Pencarian

Bayi Pinjaman 2

Bayi Pinjaman Baby On Loan Karya Liz Fielding Bagian 2


87 Tidak lucu sama sekali, pikir Jessie sambil memasang rantai pintu depan dan kembali mengaktifkan alarm keamanan yang akan memberitahunya jika Patrick Dalton kembali nanti.
"Patrick sayang, masuklah! Apa yang terjadi padamu""
"Apa aku kelihatan seburuk itu"" Pertanyaan bodoh: wajah bibinya menyiratkan bahwa tampangnya sama kacaunya dengan perasaannya. Patrick menyisir rambut dengan tangannya, menyentuh jahitan di dahinya. "Tidak usah dijawab. Apa aku mengganggu, Bibi Molly" Aku tahu seharusnya aku menelepon dulu-"
"Sama sekali tidak. Dan Grady pasti senang melihatmu. Dia sedang tidur-tiduran di kebun. Bagaimana kalau kau ke sana dan memberinya kejutan sementara aku menyiapkan minuman""
Patrick mengikutinya sampai ke dapur dan melihat ke luar jendela, memandang anjing hound tua kurus dan berbulu kusut yang berbaring di bawah pohon apel. "Bagaimana keadaannya""
"Sempurna. Dia sangat jinak. Orang bilang kau tidak bisa mengajarkan trik-trik baru pada anjing tua, tapi dia masih setajam anjing muda. Kami bersenang-senang...." Bibi Molly terdiam dan memutar tubuhnya dari bak cuci piring. "Aku sudah membaca koran, tapi kukira hari ini kau akan tidur karena jet lag.""
"Sementara ini tidur harus ditunda dulu."
"Jangan ditunda terlalu lama," nasihat bibinya.
88 Lalu. "Well. Apa kau akan memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi""
"Ini"" Dengan tak acuh Patrick menunjuk perban di dahinya. "Bukan apa-apa. Aku tersandung kucing." Ia mengambil kopi yang dituangkan bibinya dan menambah gula.
"Kucing"" Bibinya tampak sedikit curiga, tapi berbaik hati mengganti topik itu. "Mungkin kau harus mengobatinya dengan segelas wiski dan berbaring di kamar tidur tamu selama satu-dua jam."
"Tawar an yang sangat menggoda..." Patrick menguap dan mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. "...Tapi sebaiknya aku minum kopi saja. Aku punya masalah yang memerlukan pikiran yang jernih."
"Masalah hukum" Ada yang bisa kubantu""
"Sayangnya tidak. Carenza memutuskan bahwa merawat rumahku selama musim panas sedikit membosankan, jadi dia menyewakannya pada seorang wanita dan mengantongi uang sewanya untuk melancong ke Eropa."
"Dasar anak nakal. Kurasa dia pikir kau tidak akan tahu."
Si Venus yang membawa tongkat cricket juga berpendapat begitu. Tapi Patrick mengenal Carenza lebih baik. "Carrie akan mengaku, Bibi Molly. Kurasa dia sudah memikirkannya, dan seandainya tidak terjadi hal yang hebat itu, aku bakal memuji inisiatifnya. Masalahnya, dia mungkin benar."
"Ah, yah, kau memang selalu memanjakannya."
Patrick mengangkat bahu. "Mungkin, tapi se-
89 seorang harus melakukannya. Ayahnya tidak mau peduli dan Leonora selalu saja terlalu sibuk. Tadinya aku mencoba lebih tegas." Kesalahan besar. "Kalau saja aku mengizinkannya pergi, aku tidak akan terlibat dalam kekacauan ini "
"Berarti kau harus mengganti uang wanita yang menyewa rumah dari Carenza""
"Aku sudah mencobanya. Dia malah berniat menyewakan gudangku padaku. Kalau aku tidak bisa menemukan tempat tinggal lain." Walaupun jengkel, Patrick mendapati dirinya menyeringai saat mengingat rona di pipi Jessica Hayes. Wanita itu lebih dari seraut wajah cantik. Jauh lebih dan itu. "Dengan sewa yang masuk akal."
"Kau bercanda!"
Patrick memasang tampang datar. Hal itu tidak menghibur sama sekali. Wanita itu harus pergi dan lebih cepat lebih baik. "Kuharap begitu. Ada usul""
"Tinggal di sini""
"Bibi Molly, apa kau menyarankan aku mengaku kalah dan menyerah begitu saja""
Bibinya tertawa "Tidak, kurasa itu harapan yang terlalu berlebihan." Ia menimbang-nimbang sesaat. "Kau bisa menunggu sampai dia pergi keluar dan mengganti kuncinya."
"Itu saran yang hebat." Patrick meletakkan cangkirnya dan menyeringai pada bibinya. "Kenapa hal itu tidak terpikir olehku sebelumnya""
"Kau belum memikirkan hal itu" Benturan di kepalamu pasti lebih keras dan yang kaukira. Tambah kopinya""
90 Patrick mengangguk. Lalu sedikit menyesal telah menerimanya. Ia butuh tidur. Segera. "Yah, well, dia punya surat perjanjian sewa. Mungkin tidak terlalu berarti, tapi aku tidak bisa bersikap seolah-olah mengabaikan hak-haknya di bawah hukum."
"Dan"" desak bibinya.
Patrick mengangkat bahu. "Dan dia punya bayi." Ia menggambarkan ukuran Bertie dengan tangannya. "Laki-laki. Umurnya sekitar enam bulan."
Tangan Molly terulur menyentuh lengan Patrick sesaat. Kemudian ia bertanya dengan ringan, "Tidak ada pria""
"Sejauh yang kulihat sih tidak ada. Ms Hayes juga tidak pakai cincin." Dan kapan ia memperhatikan itu" "Tapi zaman sekarang pernikahan sepertinya memang tidak populer lagi." Lalu Patrick menambahkan. "Ms Hayes tidak mengesankan wanita yang membutuhkan pria untuk menggandeng lengannya."
"Yang pasti seseorang pernah melakukan lebih dan itu." Patrick mengingat cara wanita itu telentang di bath tub. Memeluknya pasti bukan hal yang sulit, akunya. Sama sekali tidak sulit. "Baiklah," kata Molly setelah diam sejenak. Patrick sepertinya tidak berniat memberi informasi lebih lanjut. "Kalau begitu kurasa kau harus tidur di gudang. Kau bilang sewanya masuk akal, kan""
"Hanya ada satu masalah." Terlepas dan kotak-kotak kenangan yang tak sanggup dilihatnya, namun tak sanggup dilupakannya juga. "Di sana tidak ada tempat tidur."
91 Dame Justice Mary Faulkner tersenyum lebar. "Kau bilang itu masalah" Kebanyakan pria akan merasa beruntung." Lalu dengan lebih lembut, ia berkata, "Sudah hampir sepuluh tahun, Patrick. Belia juga pasti tidak ingin kau sendiri terus."
"Aku tahu. Tapi sejak aku kehilangan dia kehilangan mereka berdua sepertinya aku tidak bisa..." Patrick terdiam, berusaha menyusun pikirannya. "Aku melihat seorang wanita dan berpikir... apa gunanya" Dia bukan Belia." Sampai ia melihat penyewa rumahnya yang cantik telentang dalam bath tub-nya. Ini pengalaman baru "Tidak adil membebani wanita mana pun dengan hal itu," ujarnya. Lal
u ia berdiri. "Sebaiknya aku segera pulang."
"Kalau-kalau tamu yang tak diundang itu, sama seperti dirimu, tidak segan-segan mengganti semua kunci rumah""
"Dia tidak akan..." Patrick mulai bicara, lalu berhenti. Patrick lebih yakin kalau Ms Hayes sanggup melakukan hal itu.
Jessie merapikan tempat tidur, membersihkan kamar mandi, berdecak jengkel melihat tumpukan handuk yang digeletakkan begitu saja, lalu mengosongkan keranjang cucian, memisahkan pakaiannya dengan pakaian Mr Patrick Dalton QC.
Jessie tidak menerima cucian. Atau penyewa. Betapa pun menariknya. Dan Patrick Dalton memang menarik. Hampir setampan Graeme. Yang berarti berita buruk.
92 Jessie melihat tumpukan pakaian kotor dan memungut sebuah kemeja pria. Dijahit di Jermyn Street, hitam, dan kaku karena susu dan telur yang sudah kering. Jessie bisa menduga kemeja itu milik "teman QC"-nya, walaupun pria itu tidak memakainya terakhir kali Jessie melihatnya. Tapi Patrick Dalton sama sekali tidak memakai kemeja waktu Jessie mendapatinya di kamar tidurnya Kamar Patrick Dalton Kamar mereka. Oh, masa bodoh.
Bagaimanapun juga, Jessie menyadari Patrick tadi tidak memakai baju. Sulit untuk mengabaikannya. Dada telanjang Patrick sudah memenuhi pandangan matanya. Lebar, berotot, dan agak kecokelatan. Rupanya selama di Timur Jauh pria itu tidak berada di ruang sidang sepanjang waktu. Sejujurnya dada yang sama sekali tak tertutup itu membuat Jessie terpesona.
Aneh. Tadinya Jessie mengira Patrick kabur dan rumah sakit, tapi seandainya Patrick memang diantar pulang oleh kepala polisi setempat yang terus minta maaf karena kesalahan mereka, seharusnya pria itu kan berpakaian lengkap. Jadi kenapa kemejanya ada di bawah handuk yang tadi Jessie pakai, di bawah baju-baju Jessie yang lain" Kerutan di dahinya semakin dalam. Ada sesuatu yang terlewatkan olehnya Sesuatu yang penting.
Jessie menguap. Tidur delapan jam tanpa terganggu. Itu yang terlewatkan olehnya
Pikirannya teralihkan oleh dering bel alarm keamanan. Mr Dalton sepertinya sudah kembali
93 Bertie terbangun dan menambah keributan. Jessie mengangkatnya. Sambil menggendong Bertie di pinggulnya, ia menuruni tangga. Setidaknya dengan begini ia bisa mengurangi waktu latihannya di gym minggu ini. Naik-turun tangga... tak ada waktu untuk makan...
Jessie membuka pintu depan, tapi hanya selebar tujuh sampai sepuluh senti. Sepanjang rantai pintu. Ia mengintip melalui celah itu, bersiap-siap bersikap sopan kalau-kalau pria itu berhenti menganggap dirinya berada di rumah sendiri. Sekalipun ini memang rumahnya.
Tak ada orang di luar. Jessie tidak menyangka Patrick menyerah semudah itu. Hal itu malah membuatnya gugup. Tapi ia menutup pintu lalu mencari-cari kertas catatan kecil tempat Carenza menuliskan kode untuk mematikan alarmnya. Kertasnya hilang. Bagus.
Jessie memejamkan mata dan berusaha berkonsentrasi, mencoba membayangkan nomor-nomor itu. Lalu suara berisik itu berhenti sama mendadaknya seperti mulainya dan, dengan terperanjat, Jessie membuka matanya lagi. Patrick Dalton berdin di sampingnya dan, saat pria itu berbalik dari panel kontrol, hal itu terjadi lagi. Jessie jadi lupa bernapas lagi.
Lupa bernapas pertanda buruk. Kurangnya aliran udara ke otak membuat Jessie sulit berpikir, dan saat ia tidak berpikir, penilaiannya pasti tidak bisa diandalkan.
Jessie perlu marah, menunjukkan bahwa Patrick sudah masuk tanpa-
94 "Tipuan yang bagus, Ms Hayes," kata Patrick sebelum Jessie sempat bersikap seperti tuan rumah yang marah besar. "Tapi tidak ada gunanya memasang rantai di pintu depan kalau kau tidak mengunci pintu belakang."
Patrick tidak menunggu reaksi Jessie. Tak lama kemudian, menyadari dinnya sudah mengangga seperti ikan mas, Jessie mengikuti Patrick menuruni tangga pendek menuju dapur. Bagaimanapun juga ia bertekad meluapkan kemarahannya pada pria itu. Patrick berdiri di bak cuci piring, memenuhi mangkuk besar dengan air dan keran.
"Kau masuk lewat garasi itu," tuding Jessie.
"Bukan garasi itu. Garasiku. Dan aku ingin kau memindahkan barang-barang rongsokanmu."
"Itu garasiku," tukas Jessie tegas. Ia menahan napas dan memutuskan
bahwa bersikap sopan lebih bermanfaat. Dengan begitu ia menjadi orang yang lebih beradab daripada Patrick Dalton. "Aku punya surat perjanjian sewa. Dan itu bukan barang-barang rongsokan."
Kelihatannya memang seperti barang-barang rongsokan. Jessie tergesa-gesa mengepak barang-barangnya dalam kotak apa pun yang bisa ditemu kan penjaga pintu Taplow Towers. Ia meletakkan nya begitu saja di garasi sampai punya waktu untuk menatanya. Ia tidak mengantisipasi pengacara pemberang yang menuntut tempat parkir untuk mobilnya. Tapi ia tidak mendebat pria iiu. Mereka punya segudang alasan untuk bertengkar tanpa harus mengkhawatirkan beberapa kotak kardus.
95 Setelah semburan kata-katanya tadi, Patrick juga kelihatan berusaha keras bersikap sopan karena kemudian Patrick menghadapnya sebelum berkata, "Tolong...," awal yang bagus, pikir Jessie, "...jangan bersikap keras kepala tentang hal ini."
Keras kepala! Ia tidak keras kepala, ia hanya membela haknya. "Dalam situasi ini, kurasa sikapku sangatlah masuk akal," balas Jessie manis.
"Benarkah" Kalau begitu, aku rasa sangatlah masuk akal untuk beranggapan bahwa, kalau mobilku sampai diderek karena parkir di tempat terlarang, kau yang membayar dendanya." Patrick melirik arlojinya. "Kau punya 22 menit terhitung dari sekarang."
Semua sel impulsif di tubuh Jessie mendesak untuk memberitahu pria itu apa yang bisa dia lakukan dengan 22 menitnya. Jessie menahan diri. Ia tidak melakukan hal-hal impulsif lagi sekarang. Setidaknya itulah rencananya. Dibutuhkan usaha yang sangat keras, dan setelah menghitung sampai sepuluh dengan cepat, Jessie bertanya dengan kesopanan yang dibuat-buat, "Dan menurutmu apa yang harus kulakukan dengan barang-barangku dalam 22 menit""
"Itu urusanmu, Ms Hayes." "Begitu." Kalau Patrick berniat mempermainkannya, dia akan tahu bahwa Jessie punya banyak masalah dan dengan sepenuh hati bersedia membaginya. "Jadi kau ingin aku memindahkan kotak-kotak itu sekarang""
"Kau sudah membuang waktu dua menit."
96 "Baiklah." Jessie mengikat Bertie di kursi tinggi bayi. berniat memberinya biskuit, lalu mengurungkan niatnya. Jessie tidak mau Bertie nyaman.
"Akan kuusahakan secepat mungkin," ujar Jessie. Ia mengambil tas tangannya dan menaiki tangga menuju pintu depan "Tapi mungkin akan memakan waktu."
Jessie sudah mencapai anak tangga ketiga sebelum Patrick menghentikannya. "Ms Hayes!" "Ya""
"Tidakkah kau melupakan sesuatu""
Jessie berhenti tanpa menengok. Ia membuka tasnya dan berkata, "Kunci, kartu kredit, ponsel. Tidak, semuanya sudah lengkap." Ia naik selangkah lagi-
"Bayi"" sergah Patrick ketus.
"Bertie"" Jessie berbalik. Patrick sama sekali tidak kelihatan senang. Pria itu malah terlihat agak pucat dan tegang. Sisi Jessie yang impulsif ingin memeluknya, menenangkannya, menyuruhnya pergi tidur dan istirahat. Mengatakan bahwa ia bakal langsung pindah dan rumah ini sekarang juga....
Sebaliknya, Jessie hanya mengatakan, "Aku tidak bisa memindahkan kotak-kotak itu sekaligus menggendong bayi, Mr Dalton. Tapi jangan khawatir, dia tidak menyusahkan, kok." Jessie tidak repot-repot menyilangkan jarinya waktu mengatakan hal itu. Bagaimanapun juga, itu hanya masalah persepsi, dan dalam persepsinya saat ini Bertie seperti malaikat. "Dan Bertie sepertinya menyukaimu. Mungkin kau bisa membawanya jalan-jalan nanti-"
97 Nanti" Nanti! "Tapi kau tidak bisa meninggalkan dia begitu saja..."
"Setelah kau menyuapinya"" lanjut Jessie. "Menyuapinya!"
"Aku harus menyimpan barang-barangku di suatu tempat, Mr Dalton. Paling-paling hanya satu-dua jam," tambahnya. "Mungkin." Lalu, "Kau tinggal memberinya semangkuk makanan bayi dan membuat sebotol... Kau bisa membaca petunjuknya di kaleng. Popoknya ada di lemari di sebelah bak cuci piring. Kau tahu bagaimana cara mengganti popok, kan""
"Kau serius""
"Sangat." Jessie menatap Patrick dan mencoba melawan rasa panas yang seakan-akan membakar tubuhnya hingga meleleh. Itu tidak gampang. "Memangnya kau tidak""
Patrick angkat tangan. "Baiklah. Oke. Aku yang akan memindahkan kotak-kotak itu. Mungkin masih ada tempat di belakang garasi kalau aku menumpuk kotak-kotak itu
-" "Oh, tapi..." "Apa"" "Tidak apa apa." Patrick menunggu, tidak bisa dibodohi dan menganggap Jessie sudah selesai bicara. "Tolong berhati-hatilah dengan kardus yang berisi barang-barang keramikku..."
"Apa kardus itu bertanda "Mudah Pecah""" selidik Patrick dengan tatapan berbahaya seperti hampir meledak.
"Sepertinya tidak. Dan aku tidak begitu pandai
98 mengepak barang. Aku agak terburu-buru waktu pindah."
"Kira-kira kenapa ya," sindir Patrick, "padahal kau kan orang yang menyenangkan untuk diajak berbagi rumah""
Jessie tidak mengacuhkannya. "Aku yakin kau mampu mengatasinya. Sebaiknya kau memeriksa tiap kardus untuk memastikan kau tidak menaruh apa pun di atas barang-barang Royal-ku-"
"Baiklah!" Patrick Dalton mulai kehilangan kesabaran, pikir Jessie. Kesombongannya yang tajam mulai menumpul. "Baiklah," ulang Patrick lebih berhati-hati. "Aku akan menjaga barang-barang keramikmu. Tapi jangan coba-coba memainkan rantai pintu dan alarmnya lagi."
"Aku janji," ujar Jessie.
Mungkin Jessie tidak benar-benar meyakinkan. Atau mungkin pengalaman selama bertahun-tahun di ruang pengadilan sudah mengajar Patrick untuk mewaspadai siapa pun yang berjanji semudah itu, karena Patrick lalu berkata, "Aku yakin kau menyadari bahwa Carenza tidak punya hak legal apa pun untuk menandatangani surat perjanjian sewa atas rumah ini, Ms Hayes. Aku yakin pengacara yang bertekad kuat bisa saja membuatmu diusir dalam hitungan hari, kalau dia mau mempersulit keadaan."
Jessie tidak meragukannya semenit pun. Dan Patrick pengacara yang tekadnya sangat kuat. "Aku tidak akan memain-mainkan rantai pintu lagi," Jessie sepakat. Kali ini ia bersungguh-sungguh. "Aku bahkan akan membuatkan secangkir teh
99 untukmu karena telah bersedia membantuku." Sebelum kau pergi, tambah Jessie dalam hati.
"Terima kasih," ujar Patrick. Tatapannya menunjukkan dia bisa membaca pikiran Jessie. "Aku akan sangat senang." Patrick juga kedengarannya bersungguh-sungguh. Jessie baru menyadari bahwa pria itu terlihat betul-betul letih sewaktu kembali menghadap ke bak cuci piring dan mengangkat mangkuk air yang tadi diisinya. Rasa bersalah menghunjam Jessie. Ini rumah Patrick Dalton. Yang diinginkan pria itu hanyalah sedikit ketenangan. Tempat untuk berbaring dan tidur. Sama seperti Jessie sendiri.
"Mr Dalton-" "Tolong... kurasa kita sudah tidak perlu berbasa-basi seperti itu, Ms Hayes. Panggil aku Patrick..." Patrick tidak menunggu Jessie menghinanya dengan menolak menuruti permintaannya Sebaliknya Patrick hanya memutar tubuh dan meletakkan mangkuk itu di depan pintu dapur. "Grady, sini, boy." Seekor anjing muncul dari bawah anak tangga pintu belakang dan dengan rakus mulai minum. Anjing yang sangat besar. Besar dan berbulu kusut, tingginya mencapai paha Patrick....
Jessie membeku. Aku benci kucing, begitu juga anjingku. Patrick pernah mengatakannya saat terkapar di tengah pecahan telur dan genangan susu di lantai dapur. Jessie tidak memperhatikannya waktu itu, yah setidaknya tidak secara serius, karena ia mengira Patrick pencuri. Tapi ternyata Patrick sama sekali bukan pencuri.
100 Ini rumahnya. Dan itu anjingnya.
Anjing itulah yang didatangi Patrick waktu dia bergegas pergi tadi. Pria itu bukan menghubungi iklan mini lokal untuk mencari flat yang bisa disewa. Patrick mungkin memercayai Carenza untuk menjaga rumahnya, tapi dia tidak memercayakan mobil maupun anjingnya pada keponakannya itu.
Jessie sempat merasa terganggu oleh kehadiran Mao. Ia mengira menghadapi Patrick Dalton sebagai penyewa merupakan masalah yang sangat besar. Ia sudah berencana berusaha sekuat tenaga-dengan menaruh harapan besar pada Bertie-membuat Patrick tidak betah di sini.
Sekarang seluruh kengerian dan situasi saat ini akhirnya menghantam Jessie.
Ia merintih dan berusaha merapat ke dinding di belakangnya. Ia tidak terlalu suka kucing, tapi ia bisa menoleransi mereka. Tapi anjing... anjing sih lain masalah...
Patrick berbalik saat mendengar pekikan tertahan Jessie. Saat itu juga ia tahu ia sudah menemukan kelemahan Jessie. "Kenapa" Ada masalah apa"" tanya Patrick, padahal ia tahu. Tidak perlu jadi orang jenius
untuk menyimpulkan bahwa penyewanya itu ketakutan setengah mati pada anjingnya. Patrick tahu ia menang.
Dan kalah. Jessie merapat ke dinding, menempel di sana, seolah olah ingin menghilang ke dalamnya. Ia men-
101 jerit lemah, menunjukkan perasaannya yang kacau dan menderita. Ini lebih dan sekadar rasa takut. Walaupun Patrick sangat ingin lepas dari Jessie dan bayinya yang mengganggu, ia tidak bisa bersikap sekejam itu.
"Tidak apa-apa," ujar Patrick hati-hati, suaranya menenangkan, "Grady tidak akan menyakitimu." Tapi bahkan saat mengucapkan kata-kata itu pun Patrick menyadari bahwa "Jessie tidak bisa diajak bicara. Patrick mengangkat mangkuk Grady dan memindahkannya keluar. Anjing itu menengadah, menaikkan alisnya yang berbulu kasar dengan kaget. "Maaf, boy. Pengaturan sementara." Lalu Patrick mendorong anjing itu keluar dan menutup pintu.
Jessie merosot di dinding, dan sebelum Patrick bisa menghentikan dirinya sendiri ia sudah melmtasi dapur dan memeluknya. "Ms Hayes..." Ya Tuhan, betapa konyolnya kata itu, melihat bagaimana Jessie gemetar dalam .pelukannya, ketika ia bisa merasakan napas Jessie yang panik dan tersengal-sengal di lehernya sendiri, mencium aroma sabun yang menyelimuti kulit wanita itu. "Jessie... sudahlah, tidak apa-apa." Jessie masih bersandar padanya, gemetar ketakutan. "Kau aman. Sungguh. Dia tidak bisa menyentuhmu. Aku sudah menyuruhnya keluar." Tenggelam dalam ketakutannya sendiri, Jessie tidak mendengarnya Patrick terus menggumamkan kata-kata lembut dan menenangkan yang biasa diucapkannya untuk menenangkan anak kecil atau mengendalikan kuda yang gugup.
102 Kata-katanya tidak penting. Tapi suara dan sentuhannya menimbulkan rasa aman yang dibutuhkan Jessie. Patrick semakin erat mendekapnya, bibirnya menyapu rambut dan dahi Jessie, sambil terus membelai punggungnya dengan kelembutan menenteramkan. Kelembutan yang berasal dari suatu tempat yang sudah lama ditinggalkan Patrick, suatu tempat jauh dalam dirinya yang telah membeku dan menutup diri dan semua emosi yang berisiko.
Sepanjang hari Jessie terus-menerus memukuli dinding es dalam diri Patrick dengan suaranya, senyumnya, dan sekarang dengan kebutuhan wanita itu untuk dipeluk, dilindungi. Jadi ketika akhirnya Jessie bergerak, gemetar dalam pelukannya, dan menengadah dengan sepasang matanya yang besar, muram, berkabut... Patrick lupa alasannya memeluk wanita itu, melupakan semuanya...
Jessie tahu ia sedang mempermalukan dirinya sendiri Ia tahu sangatlah bodoh ketakutan seperti itu, tapi menyadari hal itu tidak ada gunanya. Begini lebih berguna. Dipeluk oleh Patrick, mendengar pria itu menggumamkan kata-kata yang menenangkan di telinganya, kelembutan yang manis...
Jessie menengadah, mencoba mengendalikan diri, menjelaskan. Tapi menengadah sama sekali tidak menolong. Sepasang mata Patrick penuh dengan perhatian, kehangatan, dan bintik-bintik keemasan mendominasi warna abu-abu. Dan bibir pria itu, yang tercipta untuk gairah, juga tercipta untuk kelembutan.
103 Hening sesaat, saat yang sangat singkat ketika apa pun bisa terjadi.
Lalu Patrick menciumnya. Sudah begitu lama Patrick menyingkirkan jauh-jauh kelembutan bibir wanita yang seperti sutra, sentuhan lembut yang dengan mudah bisa berubah menjadi kobaran yang bisa menghanguskan jiwa.
Gula-gula dan brendi, manis dan penuh kekuatan, bibir Jessie meniupkan kehidupan dalam diri Patrick, menyalakan obor yang membakar darahnya, mencairkan setiap sisa es saat api itu mengalir melalui pembuluh darahnya, memanaskan, dan membangkitkan gairah yang sudah terlalu lama dipendamnya.
Jessie lupa kenapa ia takut tadi. Melupakan semua janji yang sudah dibuatnya untuk tidak menanggapi ketertarikan dalam waktu singkat dan bertindak impulsif. Tidak ada apa pun dalam pikirannya kecuali rasa bibir Patrick, aroma kulitnya, dan untuk beberapa saat yang penuh kebahagiaan Jessie meninggalkan dunia nyata dan membiarkan dirinya terhanyut...
"Jessie..." Jessie menengadah dan angan-angannya menguap. Ciuman itu seperti dongeng yang sempurna, bernilai sepuluh dalam skala sepuluh tanpa perlu latihan. Wajah Patrick mengatakan hal yan
g berbeda. Dia tampak bingung, putus asa... Yah. dia kan pengacara. Mungkin Pria itu mengira Jessie berniat menuntutnya.
Saat mulai sadar, Patrick memutuskan otaknya pasti sudah kacau. Hanya itu jawabannya; alasan lainnya terlalu mengerikan untuk dipikirkan -sama
104 seperti melongok ke jurang yang dalam. Tidak ada, tidak ada yang bisa menggodanya menyusuri jalan yang membawanya menuju rasa sakit yang begitu dalam...
"Jessie..." Jessie menyadari Patrick sedang berusaha minta maaf. Bahkan saat ini otak pengacara itu sedang menyusun permintaan maaf yang pantas. Well, sialan dia, Jessie tidak akan membiarkan Patrick meminta maaf karena sudah menciumnya.
"Kenapa kau melakukannya"" tuntut Jessie.
"Kau sedang histeris. Kau membuat bayimu ketakutan." Bertie, yang bereaksi terhadap suara Jessie yang tajam, mulai merengek.
Histeris" Apa tadi ia histeris" Jessie memejamkan matanya, mengusap-usap dahinya, dan tubuhnya bergidik. Ya, pasti begitu. Ia benar-benar membuat dirinya tampak bodoh. "Cara yang bagus," ujar Jessie, berusaha bergurau. "Yang pasti cara itu berhasil."
"Tidak sekasar tamparan," Patrick mengiyakan, menyamai usaha Jessie untuk mencairkan suasana. Dan waktu Jessie membuka matanya lagi, ia melihat mata Patrick menunjukkan rasa prihatin. Tidak lebih, ia pasti hanya mengkhayalkan rasa panas maupun gairah yang membara tadi.
"Itu gara-gara sh-shock. Aku tidak punya waktu untuk mempersiapkan diri. Aku pasti bisa mengatasinya kalau aku tahu lebih dulu..." Benar-benar konyol. Jessie seharusnya berdiri di atas kedua kakinya sendiri, bukannya bersandar pada Patrick Dalton seperti makhluk malang yang kakinya tidak
105 bertulang. Kalau terus bersikap seperti ini, Patrick akan berpikir Jessie ingin pria itu menciumnya lagi. "Dia sangat b-besar." Jessie merasa dirinya lebih tepat disebut mahkluk malang yang bodoh.
Patrick bernapas lega saat bahaya sudah berlalu. Ketika mereka kembali berperan seperti dua orang asing. "Makin besar tubuhnya, makin jinak," ujar Patrick.
"Makin besar tubuhnya, makin besar gigi mereka. Anjing jenis apa dia""
"Grady" Dia wolfhound Irlandia."
"Wolfhound..." ulang Jessie lemah.
"Aku minta maaf, Jessie. Seharusnya aku mem-peringatkanmu. Aku lupa Grady cenderung menakutkan waktu pertama kali melihatnya. Dia sebenarnya sejinak domba. Aku janji."
"Mmm. Orang-orang selalu bilang begitu, benar kan" Sebelum anjing mereka yang jinak dan tidak-akan-melukai-seekor-lalat-pun menancapkan giginya di pergelangan kakimu."
Kedengarannya Jessie berbicara berdasarkan pengalaman. "Dalam kasus Grady, aku bersumpah menyatakan yang sebenar-benarnya," ujar Patrick, berusaha membuat Jessie tersenyum lagi.
"Aku lebih senang kalau dia sendiri yang bersumpah, kalau kau tidak keberatan."
"Dengar, umurnya sebelas tahun," ujar Patrick, berusaha menenangkan Jessie. "Dia mungkin tidak perlu alat bantu untuk berjalan, tapi untuk ukuran anjing, dia sudah termasuk anjing tua." Harusnya Patrick membantu Jessie duduk. Melakukan sesuatu
106 yang berguna, seperti membuatkan secangkir teh manis hangat, tapi Patrick tidak ingin melepaskannya. Jessie terasa sangat tepat dalam pelukannya. Wangi tubuhnya juga menyenangkan. Rasanya seperti berjalan di antara pepohonan yang menyegarkan. "Grady anjing istriku..." Patrick berhenti. Istriku. Patrick tidak ingat kapan terakhir kali ia mengucapkan kata itu. "Belia memeliharanya sejak Grady masih kecil." Lalu Patrick tersenyum. "Well, sejak Grady masih anak anjing. Hadiah Natal."
"Walaupun begitu, dia meninggalkannya bersamamu." Jessie mengatakannya seolah-olah hal itu merupakan beban berat. Dan di satu sisi memang terasa berat.
"Kami tidak akan lama." Belia berdiri di ambang pintu ruang kerja. "Hanya pemeriksaan rutin Mary Louise ke klinik. Aku tidak bisa membawa Grady, tapi dia akan menemanimu..."
"Sudah berapa lama dia pergi""
"Apa"" Patrick kelihatan seperti berada di tempat yang sangat jauh, pikir Jessie. "Oh." Patrick memejamkan matanya sejenak. Jessie rupanya berpikir ia dan Belia bercerai-dan Patrick tidak mau menjelaskan yang sebenarnya. "Sepuluh tahun. Hampir sepuluh tahun.""
Dengan ragu Jessie mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Patrick, berusaha membawa Patrick kembali padanya. "Kau tidak menganggap memelihara anjing itu suatu kesalahan"" Oh, Tuhan, Jessie tidak percaya ia mengatakan hal itu! Pasti karena kurang tidur, ketakutan... "Lupakan aku
107 mengatakan itu. Kumohon." Jessie menjauh sebelum Patrick sempat melakukannya. Tapi Patrick menangkap tangannya, memegangnya, wajahnya berkerut membentuk senyum yang pasti sering dilakukannya dulu.
"Tidak apa-apa. Lupakan saja. Bisakah kau mencapai kursi itu sekarang""
"Aku p-pikir begitu."
Patrick tersenyum-walaupun Jessie sedikit menyinggung perasaannya karena membicarakan anjing Belia seperti itu. Patrick nyaris tidak memercayainya. Tapi Jessie tidak bermaksud menyakiti hatinya, wanita itu baru pulih dari shock, belum bisa berpikir jernih. Dalam hal itu Patrick sendiri ikut bersalah, dan kalau ia mengatakan yang sebenarnya dan membiarkan Jessie mengetahui dia sudah menyakitinya, wanita itu pasti akan merasa malu dan ngeri oleh ucapannya tadi. Patrick bisa melihat Jessie sudah cukup merasa bersalah, ia berutang senyuman itu pada Jessie dan ia rasa Belia akan setuju dengan tindakannya ini. "Kemarilah, duduk di sini. Aku akan mengambilkan segelas brendi"
"Tidak. Tidak, aku tidak..."
"Tidak minum""
"Tidak suka brendi." Jessie hampir tidak berani menatap Patrick, takut kalau senyum itu bukanlah senyum, melainkan seringai meremehkan. Sebaliknya Jessie melihat ke pintu. "Dia tidak bisa masuk, kan""
"Tidak kecuali dia belajar menggunakan pegangan pintu waktu aku pergi." Kemudian, karena bersikap
108 acuh tak acuh tidak akan membantu, Patrick berjongkok dan menengadah menatap wajah Jessie. "Kau takut pada semua anjing atau hanya yang besar""
"Um... semua a-an-anjing." Mengucapkannya saja sudah cukup buruk. "Walaupun mungkin yang kecil itu yang paling mengerikan. Sebagian kecil." Kaki Jessie berkedut, seakan mengenang rasa sakit, dan ia mengulurkan" tangannya ke bawah, mengusap bekas luka lama yang terletak di atas tulang pergelangan kakinya. Anjing terrier, pikir Patrick, jenis yang suka menancapkan giginya dan tidak akan melepaskan gigitannya.
"Ya, aku mengerti. Well, aku janji padamu bahwa Grady tidak menggigit. Tapi aku akan mengunci pintu belakang sebelum aku pergi."
"Pergi"" Patrick menyadari bahwa Jessie yang merasa malu akibat ciuman tadi yang mereka berdua tahu bukan gara-gara histeris serta kelancangan kata-katanya, sedan tadi mengelak untuk menatapnya. Saat Patrick mengatakan akan pergi, Jessie langsung menengadah. "Pergi ke mana""
Ya Tuhan, sangatlah mudah untuk mengusir Jessie keluar, pikirnya. Biarkan Grady masuk, tuliskan selembar cek, dan Jessie sudah bakal masuk taksi sebelum petugas parkir datang dan menyuruh Patrick segera memindahkan mobilnya.
Tapi betapapun Patrick menginginkan Jessie pergi, ia tidak bisa mengusirnya seperti itu. "Memindahkan kardus-kardusmu dan memindahkan mobilku dan jalan sebelum diderek " Patrick meluruskan tubuhnya.
109 melintasi ruangan menuju pintu, dan memutar kuncinya. Untuk sementara Grady akan cukup senang berbaring di bawah kursi kebun. "Nah, sudah terkunci." Lalu, berjaga-jaga seandainya semua ini hanya sandiwara-karena dengan pintu belakang terkunci dan rantainya terpasang di pintu depan Patrick tidak akan bisa masuk lagi-Patrick mengantongi kuncinya. Seorang wanita akan melakkan apa pun untuk melindungi anaknya. Apa pun.
Jessie masih kelihatan tidak senang. "Aku akan melakukannya secepat yang aku bisa," tambah Patrick.
Jessie tidak berusaha mengingatkan Patrick untuk berhati-hati dengan barang-barang keramiknya. Patrick tidak berusaha mengingatkan Jessie untuk tidak memasang rantai. Patrick menduga Jessie tidak akan beranjak dan kursi itu dalam waktu singkat.
Bertie, yang sudah kesal karena tidak diperhatikan, akhirnya berhenti terisak pelan dan menangis sekeras-kerasnya.
"Oh, Sayang, kau lapar, ya" Maafkan aku!"
Patrick memperhatikan saat Jessie melupakan rasa takutnya dan melintasi dapur untuk mencium bayi yang sangat disayanginya, melepas ikatan kursi supaya bisa mengangkat Bertie, dan memberi-nya perhatian penuh.
Pemandangan ibu bersama anaknya itu mendorong Patrick keluar dan dapur untuk menumpahkan perasaannya pada barang-barang yang berserakan di garasi.
110 Patrick mengisi dan memindahkan kardus-kardus sambil berpikir tentang Jessie serta bayinya. Jessie tidak mengenakan cincin, hampir dipastikan tidak menikah. Jadi apa yang terjadi pada ayah Bertie" Apa mereka masih terus berhubungan"
Dan memangnya kenapa dia peduli" Satu ciuman tidak berarti apa-apa. "Tidak ada artinya," ujar Patrick keras-keras untuk mempertegas maksudnya. Jessie adalah masalah rumit yang tidak bisa ditanganinya. Bayinya hanya semakin memperumit keadaan. Wanita itu harus pergi.
Jessie masih gemetar saat Bertie sudah menghabiskan sebotol makanan bayi. Botol itu dikirim Faye beserta instruksi panjang-lebar tentang bagaimana dan kapan Bertie harus memakannya. Tapi apakah anjingnya ataukah tuannya yang menyebabkan tubuh Jessie gemetar, sulit untuk dikatakan.
Anjing yang pernah menyerang Jessie waktu kecil dulu meninggalkan bekas luka samar di kakinya, tanpa luka permanen. Hanya bekas yang hilang seiring waktu. Luka itu masih bisa di tanggungnya. Graeme menyisakan luka emosional. Apakah reaksinya terhadap Patrick Dalton-bagaimana ia menanggapi ciuman pria itu tadi-menandakan bahwa luka emosional itu juga sudah mulai memudar" Hanya bagian dan proses belajar" Atau itu hanya peringatan bahwa dirinya belum belajar apa pun"
Histeris" Apakah tadi ia benar-benar histeris" "Bagaimana menurutmu, Sayang"" tanya Jessie
111 pada Bertie, menggunakan suara lembut yang digunakan kakak iparnya yang pintar saat sedang merasa bahagia bersama bayinya. Tadinya Jessie tidak mengerti-bagaimanapun juga Bertie tidak akan menjawab. Tapi mungkin tiga hari berperan sebagai ibu sudah mengubahnya, karena tiba-tiba semuanya jadi masuk akal. Bertie kelihatannya menyukainya, karena dia balas tersenyum. Jessie membersihkan wajah Bertie dan mengangkatnya dari kursinya. "Oh, kau kira ini lucu, ya"" Jessie menggelitikinya dan Bertie tertawa.
Saat itulah Jessie menyadari kenapa Bertie sangat bahagia. "Bertie! Sayang! Gigimu sudah tumbuh satu! Oh, syukurlah!" Jessie berbalik saat Patrick Dalton meletakkan sebuah kotak di atas meja dapur.
"Yang satu ini," ujar Patrick, dengan suara yang menunjukkan bahwa Jessie tidak memiliki alasan untuk tersenyum, "tidak mual."
"Benarkah" Oh, well, mungkin itu bisa ditaruh di atas, dalam kamar penuh kotak itu bersama barang-barang bekas lainnya." Kemudian, karena Jessie tiba-tiba merasa puas dengan hidup, dengan dirinya, dengan Bertie, dan tak ada orang lain yang bisa diajaknya berbagi berita itu, Jessie berkata, "Dia mendapat gigi pertamanya! Lihat!"
Patrick tidak terkesan, dia tetap menjaga jarak, bergeming untuk melihat keajaiban kecil ini. "Tidakkah seharusnya kau berbagi peristiwa sekali seumur hidup ini dengan ayah Bertie"" tanya Patrick.
Wajah Jessie memerah kesal saat ia menyadari
112 kata-katanya bisa menjadi perangkap bagi dirinya sendiri. "Ayahnya"" ulangnya, berusaha mengulur waktu.
"Dia punya ayah, kan""
"Tentu saja dia punya ayah." Jessie tahu ia tidak bisa terus berpura-pura. Faye dan Kevin akan kembali dalam satu atau dua hari lagi. Jessie tidak suka harus berbohong pada Patrick dengan tidak menceritakan yang sebenarnya, dan hampir tergoda untuk berterus terang dan bertekuk lutut memohon belas kasihan Patrick. Dulu itu tidak berhasil dengan Dorothy Ashton dan Residents" Association Taplow Towers. Tapi Jessie menduga mereka memang sedang menimbang-nimbang kembali keputusan untuk mengizinkannya menyewa apartemen di tempat kediaman mereka yang terhormat. Jessie berusaha kelihatan setua mungkin saat wawancara, tapi ia tetap saja lupa. Mereka mungkin lega karena punya alasan untuk mengusirnya...
"Patrick-" "Kalau dia anakku, aku pasti ingin tahu," sela Patrick. "Aku tidak akan melepaskannya dari pandanganku." Kata-kata Patrick itu terdengar penuh perasaan dan ada kesuraman dalam matanya yang membuat Jessie berpikir lagi Ada hasrat yang terpendam di sana. Apakah Patrick punya anak laki-laki" Istrinya mempersulit Patrick menemui anaknya" Meninggalkan an
jing itu, membawa anak mereka. Patrick tidak menunggu Jessie bicara, melainkan langsung mengangkat
113 kotak itu. "Aku akan membawa ini ke atas," sergahnya kasar.
"Terima kasih." Jessie berbalik, mengangkat botol Bertie untuk memeriksa temperaturnya. Kemudian, saat Bertie menyedot susunya dengan lapar, terpikir oleh Jessie bahwa "teman barunya" itu pasti lapar juga. "Kau mau kubuatkan sandwich atau sesuatu"" tawarnya. Kata-kata "sebelum kau pergi" yang tak terucapkan sekali lagi menggantung di antara mereka.
Lima PATRICK menimbang-nimbang beberapa saat. Ia mengangguk dan berkata, "Terima kasih. Kau baik sekali." Jessie mendengar sedikit nada tajam dalam suaranya, menunjukkan Patrick tahu Jessie tidak bersungguh-sungguh. Itu tidak sepenuhnya benar, tapi mungkin lebih bijaksana untuk membiarkan Patrick berpikir begitu.
"Bukan masalah kok. Toh aku berniat membuat sandwich untukku sendiri," Jessie meyakinkannya. Ia tidak ingin Patrick berpikir ia mau bersusah payah untuk membuat Patrick merasa betah. "Ada permintaan khusus""
Patrick langsung menyesali nada tajamnya tadi Ia tidak tahu situasi apa yang dialami Jessie. Ia tidak berhak menghakiminya. Jessie mungkin ada di rumahnya, tapi wanita itu sama sekali tidak berniat mempersulit hidupnya; Carenza-lah yang harus disalahkan. Patrick mengangkat bahu. "Apa saja asal bukan ikan tumbuk atau daging ayam cincang," ujar Patrick.
115 Jessie menatapnya sesaat. Apa Patrick bermaksud menyindir" Mata pria itu sedikit berkerut dan ujung bibirnya sedikit terangkat seolah menahan tawa. Atau bercanda"
Sebelum Jessie sempat memahaminya, tersenyum paham, Patrick sudah setengah jalan menaiki tangga.
Mungkin lebih baik begitu, pikir Jessie agak jengkel, berkonsentrasi mengganti popok Bertie. Ia berusaha keras menjauhkan Patrick Dalton dan sepasang mata kelabu dengan bintik-bintik keemasan yang sangat mengganggu itu dari pikirannya. Banyak pekerjaan yang membuatnya sibuk. Pertama-tama sederetan orang yang harus diteleponnya; klien-klien potensial yang tidak bakal mau dibiarkan terus menunggu.
Dan sekarang Jessie malah berjanji membuatkan makan siang untuk tuan rumahnya yang kelihatannya berusaha menarik diri. Kapan aku belajar menutup mulut" pikir Jessie.
Jessie membuat setumpuk sandwich keju. Ia menaruh beberapa di piring untuk dirinya sendiri, lalu menutupi sisanya. Lalu sambil menggendong Bertie di pinggulnya, ia menaiki tangga.
"Mr Dalton"" Pria itu minta dipanggil Patrick saja, tapi Jessie merasa semuanya bakal lebih sederhana kalau mereka tetap mempertahankan sikap formal. Cara Patrick Dalton memeluknya waktu ia ketakutan gara-gara anjing itu, bagaimana perasaannya saat pria itu memeluknya, sudah meyakinkan Jessie akan kerumitan yang bisa terjadi.
116 Memangnya sejak kapan Patrick menemukan bahwa untuk mengatasi histeria ciuman lebih manjur dibanding tamparan" Bukannya Jessie mengeluh. Ia bersedia menerima ciuman itu kapan pun, kalau pria itu yang mencium...
Itulah sebabnya kenapa semua ini begitu rumit.
Patrick Dalton meninggalkan kardus-kardus Jessie di ruang belajar dan bukannya di gudang, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan pria itu. Jessie meletakkan piring dan mencari pria itu. "Mr Dalton"" panggilnya. "Sandwich-mu ada di..." Ia berhenti di ambang pintu kamar tidur. Patrick Dalton QC berbaring di tempat tidur Jessie. Atau apakah itu tempat tidur Patrick" Bukankah pemilik lebih berhak atas benda yang tengah dipersengketakan" Kalau benar begitu, Patrick sudah mendapatkan tempat tidurnya, karena pria itu telentang di atasnya dan tampaknya tidur nyenyak. "Dapur," lanjut Jessie sambil mendesah.
Jessie meletakkan Bertie di tempat tidurnya, memutar kotak musik kecilnya yang memainkan lagu ninabobo Brahms Lullaby, dan berdiri di samping Bertie. Ia membelai pipi keponakannya itu, berusaha tidak mengacuhkan pria yang berbanng di tempat tidur di belakangnya. Bayi yang malang. Mungkin sekarang setelah giginya sudah tumbuh, Bertie tidak terlalu rewel lagi.
Jessie menyelimuti Bertie dan dengan enggan berbalik dari Bertie ke arah pria yang tertidur itu. Di balik tekadnya untuk mengenyahkan pria
itu dan hidupnya, Jessie tidak bisa marah. Patrick
117 pasti benar-benar kelelahan, hal yang membuat Jessie bersimpati. Keinginan untuk berbaring di samping Patrick dan ikut menikmati tidur siang sangat sulit untuk ditolaknya.
Tapi apakah tempat tidurnya atau pria yang berbaring di sana yang sangat menggoda Jessie" Bagi seseorang yang sudah pernah dikhianati pria, yang tahu betapa kecil arti sebuah ciuman, menentukan hal itu seharusnya mudah. Sebaliknya, ledakan tiba-tiba dan perasaan tertekan yang ditimbulkan Patrick Dalton mendidih ke permukaan. Ledakan itu mengubah apa yang seharusnya menjadi keputusan yang mudah, sesuatu yang tidak perlu pertimbangan sama sekali, menjadi pertanyaan dengan banyak pilihan.
Sambil menahan diri untuk tidak menguap dan mengabaikan godaan tempat tidur-atau pria di atasnya-Jessie memutuskan mengambil pilihan yang mudah dan pergi. Sambil berbalik menjauh, ia berjingkat-jingkat menuju pintu.
Bertie rupanya tidak terima. SegeTa setelah Jessie menghilang dari pandangannya, dia mulai merengek sedih.
"Shh," bisik Jessie. "Biarkan pria malang itu tidur." Rengekan Bertie makin menjadi-jadi. Sialan! Kalau saja Patrick memberi peringatan sebelumnya bahwa dia mau tidur, Jessie pasti sudah memindahkan tempat tidur bayi ke ruang kerja. Tapi, mungkin Patrick tidak berniat tidur. Seandainya iya, maka pria itu tidak akan mengatakan "ya" waktu ditawari sandwich. Dia pasti akan melepaskan lebih dan
118 sekadar sepatunya dan menyelinap masuk ke bawah selimut.
Ada sekotak obat penghilang rasa sakit di samping tempat tidur, mungkin obat-obatan yang diberikan untuk pria itu sewaktu di rumah sakit. Mungkin dia sudah menelan dua pil dan itulah yang membuatnya tertidur. Ditambah jet lag dan kejadian selama 24 jam yang dialaminya, tidak perlu banyak obat untuk bisa membuatnya tidur. Patrick mungkin bakal tidur sampai pagi.
Jessie perlahan-lahan duduk di ujung tempat tidur dan memutar ulang lagu ninabobo tadi. Setelah dua hari yang melelahkan, tidur sampai pagi kedengarannya enak. Jessie terpaksa menahan diri untuk tidak menguap lebar-lebar saat lagu sayup-sayup yang menghipnotis itu mulai membuainya.
Jessie melompat berdiri. Ia tidak punya waktu untuk tidur; banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya. Bertie langsung mulai merengek lagi. Jessie berdiri mematung, terombang-ambing antara tempat tidur bayi dan pintu.
"Jessie, kalau kau duduk diam di tempat dia bisa melihatmu, dia pasti akan tidur."
Jessie memutar tubuhnya. Patrick tidak kelihatan berbeda. Matanya masih tertutup dan dia tidak bergerak. "Kukira kau sedang tidur."
"Begitu juga aku." Alunan pertama dan lagu ninabobo itu merasuk dalam otaknya seperti palu. "Kombinasi dan kotak musik, bayi itu, dan kau yang melompat naik-turun seperti mainan jack in the-box memaksaku bangun."
119 "Maaf. Aku akan memindahkan tempat tidur bayinya-"


Bayi Pinjaman Baby On Loan Karya Liz Fielding di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Patrick yang tampak berat hanya terbuka separo. Jessie kelihatan kecapekan, dan mengingat malam yang dilaluinya, itu tidak mengejutkan. "Kau tidak akan memindahkan tempat tidurnya," tukas Patrick tegas. "Kau akan berbaring dan diam selama sepuluh menit penuh. Saat itu Bertie dan aku pasti sudah terlelap." Kalau beruntung Jessie juga akan tertidur. "Setelah itu kau bisa segera keluar dan melakukan apa pun yang sepertinya begitu penting."
"Kau tidak mengerti."
Tak ada tunjangan finansial, pikir Patrick. Jessie harus mencukupi hidupnya sendiri dan itu pasti sangat berat. Tapi wanita itu juga perlu istirahat. "Sepuluh menit tidak akan membuat banyak perbedaan. Bagaimana jika itu bisa membuat Bertie tenang lebih cepat"" Patrick membiarkan Jessie memilih pilihan yang masuk akal. Wanita itu tidak mengecewakannya.
"Mungkin kau benar."
"Aku selalu benar," ujarnya saat Jessie membaringkan tubuhnya dengan ragu-ragu ke tempat tidur. Bertie, yang tanpa sengaja menjadi kaki tangan Patrick, mengawasi setiap gerakan bibinya, siap menangis bila Jessie menghilang. "Lepaskan sepatumu dan naikkan kakimu. Anak itu sangat pintar; kau tidak bisa menipunya dengan setengah berbaring begitu."
"Mr Dalton" 120 "Patrick." Matanya tetap mengawasi langit-l
angit. "Lebih baik kita saling memanggil nama depan kalau kita akan berbagi tempat tidur, bukankah begitu, Jessie""
"Kita tidak berbagi tempat tidur!" Patrick hanya menepuk ruang di sebelahnya. "Patrick, kupikir ini tidak-"
"Jangan. Berpikir. Setidaknya jangan keras-keras. Berbaringlah dan diam. Tolong." Patrick lalu memejamkan matanya untuk meyakinkan Jessie. Rasa kantuk yang tadi perlahan-lahan menguasainya, begitu tak terduga, sekarang harus diusahakannya. Kegelapan merangkak sedikit demi sedikit seperti yang terjadi setiap malam selama sepuluh tahun.
Selain merasa bersalah karena sudah mengganggu Patrick, Jessie juga merasa agak bodoh karena begitu cemas untuk berbaring di samping pria yang hanya memiliki satu keinginan: tidur. Ia menendang lepas sepatunya dan berbaring di samping Patrick. Mereka tidak bersentuhan, tapi Jessie sangat menyadari kehangatan tubuh yang tegap dan maskulin yang jaraknya hanya sejauh uluran tangan. Ia dapat mencium aroma kulit Patrick bercampur aroma seprai yang baru dicuci.
Lagu ninabobo itu perlahan-lahan berhenti. Bertie menggumamkan sendiri lagu pengantar tidurnya. Tidak bakal sampai sepuluh menit. Lima menit saja sudah lebih dari cukup, lalu Jessie akan bangun dan meninggalkan mereka berdua tidur. Ia merasa tenang, tenggelam dalam aroma lavender kain linen dan memejamkan matanya.
121 Patrick, yang berbaring diam di samping Jessie, tersenyum mendengarkan napas wanita itu yang mulai berirama lembut. Ia menyadari bahwa dengan latihan, lebih mudah mengendalikan wanita itu.
Patrick bergerak, berusaha membuka matanya yang berat, mencoba mengingat di mana dirinya berada, dan memisahkan mimpi dan kenyataan. Ia mengulur-ulur waktu. Ia merasa hangat dan nyaman dan merasa sedang berbaring dalam kehangatan payudara wanita yang nyaman.... Payudara wanita.
Dan balik kabut akibat obat penghilang rasa sakit yang mengaburkan ingatannya, Patrick tahu itu salah. Tak ada kenyamanan. Tidak di sini, tidak di mana pun.
Tapi payudara tempat kepalanya bersandar sangat lembut dan manis seperti yang senantiasa menghantui mimpinya. Dan jauh lebih hangat.
Ia harus bergerak, memisahkan kenyataan dan khayalan, meskipun sebenarnya ia lebih senang tetap berada di tempatnya sekarang. Patrick menepis rambut yang menyangkut di bulu matanya, rambut sungguhan yang terasa seperti sutra di jarinya. Ia berjuang membangunkan otaknya yang masih mengantuk. Tentunya tidak ada mimpi yang senyata itu, kan" Dan kali ini ketika matanya terbuka, ia tidak memejamkannya lagi.
Jessie. Wanita itu tidak kelihatan seperti mimpi, tapi T-shirt longgar dan celana baggy-nya tidak bisa menipu
Patrick. Ia tahu apa yang tersembunyi di balik pakaian itu. Dan wajah itu tersenyum begitu natural. Jessie harus berusaha sangat keras untuk kelihatan marah, saat dia benar-benar marah sekalipun. Bahkan dalam tidur pun bibirnya sedikit membuka, memperlihatkan giginya sekilas, seolah-olah mengundang Patrick untuk menciumnya.
Saat itu Patrick tahu persis bagaimana perasaan pangeran sewaktu menemukan Putri Tidur. Dan untuk sesaat, sekejap, ia menyerah pada godaan itu, bibirnya menyapu bibir Jessie yang lembut. Seandainya ia percaya pada keajaiban, pada dongeng, ia sendiri yang akan terbangun dari kutukan... Janji itu sudah ada di sana semenjak ia menarik pergelangan kaki Jessie dan dikonfrontasi dari jarak dekat oleh sepasang mata berwarna biru jernih yang terperanjat.
Patrick mengira dinnya sudah mendapat masalah waktu berjalan ke kamar mandi dan menemukan Jessie tertidur dalam bath tub.
Patrick baru menyadan bahwa saat itu sama sekali tidak bisa dianggap masalah ketika Jessie bergerak, menggerakkan kepalanya, dan makin merapat. Lalu Jessie, yang kelihatannya mulai menyadan bahwa ada yang tidak beres, langsung terdiam. Matanya terbuka, belum sepenuhnya sadar, tapi hampir sadar. Ini baru masalah.
Sesaat tidak ada yang terjadi. Dalam keremang-an cahaya, dengan bingung Jessie memisahkan bayangan yang dilihatnya dengan apa yang ia pikir dilihatnya. Keningnya berkerut. "Graeme"" gumam
123 Jessie setengah mengantuk.
Graeme" Rasa cemburu yang tak terduga menusuk Pa
trick. "Siapa Graeme"" tanyanya, kata-kata itu terlontar sebelum ia sempat mencegahnya.
"Apa"" Jessie mengerjap, masih setengah mengantuk.
"Apakah dia ayah Bertie""
Jessie merasa kacau. Tidur siang mengaburkan pikirannya, membuatnya tak siap untuk apa pun... Lalu kesadaran menghantamnya seperti baru saja mencium minyak angin, menjernihkan otaknya, dan membuatnya sadar di mana ia berada dan dengan siapa ia sudah berbagi tempat tidur. Dan Jessie pun mengerang. "Oh, tidak Aku tidak percaya. Aku ketiduran."
"Kau membutuhkannya."
Dan bukan hanya di sebelah Patrick; tampaknya ia malah menghambur ke dalam pelukan pria itu. Ini mulai jadi kebiasaan. Pertama di lantai dapur, kemudian gara-gara anjing itu... Apa yang bisa dikatakannya" Apa anggapan Patrick"
"Kita harus berhenti bertemu seperti ini," ujar Jessie. Ia perlu bergerak. Benar-benar bergerak. Ia memerintahkan otaknya, tapi mungkin otaknya masih tidur karena tak ada yang terjadi. "Aku harus bangun," ujarnya, hanya untuk membuktikan bahwa ia bersungguh-sungguh.
"Jangan khawatir, Bertie masih tidur."
Jangan khawatir... "Jangan khawatir!" ulang Jessie. Lalu terdiam. Secara logis, ia tahu Patrick benar. Tak ada yang perlu dikhawatirkannya.
124 Mereka berdua berpakaian lengkap. Tidak ada yang terjadi. Mereka hanya bergelung seperti yang biasa dilakukan orang...
Logika, pikir Jessie, sulit menang melawan pelukan menyeluruh dari pria seperti Patrick Dalton. Tubuh tinggi, wajah tampan pria dewasa, ditambah kerutan-kerutan wajah yang hanya diperoleh dari pengalaman hidup dan tingkat kematangan.
Dari dekat, dengan sinar matahari samar yang masuk dan ruang depan, Jessie bisa melihat pelipis Patrick sudah ditumbuhi beberapa helai uban. Ia mengagumi hidung tirus seperti paruh burung elang itu, struktur tulang yang pasti disukai kamera Ketampanan yang semakin matang seinng bertambahnya usia. Jessie yakin Patrick pria yang dikagumi di tengah pengadilan kriminal. Mungkin itu sebabnya istri Patrick mengakhiri pernikahan mereka dan cepat-cepat pergi-sayang dia tidak membawa anjingnya bersamanya.
"Siapa Graeme"" ulang Patrick.
"Apa"" Jessie tidak ingin membahas Pria itu. "Bukan siapa-siapa. Pna yang pernah tinggal bersamaku untuk beberapa waktu... Aku harus bangun," ujarnya. Patrick memegang paha Jessie dan tangan pria itu bergerak perlahan, memperkuat pegangannya. "Sungguh," ujar Jessie lagi, maksud hati ingin terdengar tegas, tapi sama sekali tidak meyakinkan.
"Seharusnya kau mengambil setiap kesempatan yang kau punya untuk tidur, Jessie. Saat kau memiliki bayi, pekerjaan harus dikesampingkan dulu."
125 "Mudah saja kau bilang begitu. Aku harus menghidupi diriku sendiri."
"Aku mengerti." Graeme sepertinya pria pecundang yang tidak turut membiayai perawatan anaknya. Ataupun Jessie. Fakta yang membuat Patrick senang, walaupun itu berat untuk Jessie.
"Aku meragukannya. Tapi kau benar, aku memang butuh tidur. Tapi sekarang -" Sekarang wajahnya terbenam di leher Patrick. Jessie bisa merasakan denyut nadi Patrick di pipinya, bakal janggut pria itu yang samar-samar menusuk dahinya, serta lengan Patrick yang memeluk erat pinggulnya, mendekap Jessie di sisinya. Jessie tergoda untuk melupakan pekerjaan, memejamkan mata, dan tetap tinggal di tempatnya sekarang.
Jessie melihat Patrick punya bekas luka kecil di dagunya. Luka itu sudah lama. Kevin punya luka persis seperti itu yang didapatkannya gara-gara bermain rugby waktu sekolah dulu. Apakah Patrick dulu juga pemain rugby"
Apa Patrick sudah tertidur lagi" Matanya terpejam. Mungkin seharusnya ia tidak mengganggu pria itu, melainkan hanya berbaring diam di situ sampai Bertie bangun, mungkin ia sendiri bisa mencuri waktu beberapa menit untuk tidur...
Tapi sulit untuk tidur lagi ketika dalam benaknya-pikiran Jessie bekerja ekstra keras-kenangan-kenangan bermunculan, hormon-hormon yang telah ditahannya terlalu lama mulai melompat-lompat, dan mengusik hasrat memiliki yang sudah dikubur-
126 nya dalam-dalam. Bertie, Bertie yang manis, menyelamatkan Jessie dengan rengekannya.
"Memang terlalu indah untuk bertahan lama." Patrick memindahkan lengannya, membiar
kan Jessie pergi, mengawasinya saat wanita itu menurunkan T-shirt-nya yang kusut, menggendong bayinya yang berharga. Bayi Graeme. Bagaimana pria itu bisa tidak peduli..." "Kau sadar tidak bahwa ada makanan bayi di rambutmu"" tanyanya.
"Oh, terima kasih banyak. Aku benar-benar perlu tahu itu."
Sama-sama," ujar Patrick sambil melompat turun dari tempat tidur. Mungkin berjalan-jalan menghirup udara segar bisa menjernihkan kepalanya dan membuat otaknya bekerja secara efisien seperti biasa. Seandainya ia tetap tinggal di sini, satu-satunya hal yang akan bekerja secara efisien sudah pasti tidak ada hubungannya dengan otaknya. "Aku akan mengajak Grady jalan-jalan keluar," ujar Patrick dan ambang pintu. "Apa kau akan memasak malam ini, atau aku perlu membawakan sesuatu waktu kembali nanti""
"Masak"" Maksudnya untuk Jessie sendiri, dan Patrick bermaksud mengatakan, ada yang bisa kubawakan untukmu" Tapi Jessie jelas-jelas salah mengerti karena wajahnya, yang beberapa saat sebelumnya hanya sedikit jengkel, mulai mengernyit, dan Patrick melihat ada lebih dan satu cara untuk mengusir penyewa yang tak diinginkannya itu Dan lebih cepat lebih baik, bagi mereka berdua.
"Bukankah itu alasan mengapa banyak Pria ingin
127 berbagi dengan wanita" Wanita kan benar-benar orang rumahan. Di rumah, bekerja di dapur," tambah Patrick, berniat semakin memancing kemarahan Jessie.
"Kalau begitu kau harus mencari wanita yang bisa memasak Dan berharap dia mengundangmu makan malam," Jessie meneriakinya saat ia berjalan ke tangga. Bertie memutuskan ikut meramaikan suasana
"Well, boy" ujar Patrick saat Grady melompat berdiri, dengan gembira menyambutnya waktu ia berjalan melewati kebun menuju garasi, "ternyata gampang sekali." Jadi kenapa ia tidak merasa lebih senang"
Jessie memerciki wajahnya dengan air dingin, lalu memandang bayangannya di cermin. Patrick persis seperti Graeme Suka memanfaatkan. Pria itu tidak bisa mengusirnya, jadi dia memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya.
Cermin menunjukkan bahwa, selain makanan bayi yang melekat di rambutnya seperti semen, ada noda biskuit bayi di T-shirt-nya. Tak ada sisa-sisa lipstik yang bisa memperbaiki penampilannya. Meskipun sebenarnya bibirnya tidak memerlukan lipstik itu. Bibirnya kelihatan penuh dan panas, seolah-olah minta dicium. Seperti baru dicium .. Jessie masih bisa merasakan napas Patrick di pipinya. Ketika Jessie menyentuh bibirnya dengan ujung jarinya, ia seakan bisa merasakan kesan sekejap yang ditinggalkan bibir Patrick.
128 Jessie menjatuhkan tangannya. Memangnya ia pikir dinnya ini siapa" Putn Tidur" Bahkan seandainya ia benar-benar Putri Tidur, Patrick tidak akan menciumnya. Dia kan pengacara. Dia tidak akan bertindak sebodoh itu. Dua kali. Benar, kan"
Bagian dirinya yang berkhianat agak berharap Patrick melakukannya.
Itu sebabnya Jessie membutuhkan ruang bernapas sebelum melihat pria itu lagi, dan, bukannya pergi ke bawah, ia berbelok di bordes menuju ruang belajar dan menyalakan telepon selulernya.
Lega rasanya mendapati banyak pesan yang menuntut perhatiannya segera. Jessie menurunkan Bertie di lantai dan, saat Bertie dengan gembira mengunyah ujung celana panjang bibinya, Jessie membalas telepon-telepon dan membuat kesepakatan yang ia harap bisa dipenuhinya. Lalu ia menelepon Kevin dan Faye.
"Aku harap kalian sedang bersenang-senang," ujarnya waktu diminta meninggalkan pesan. "Harus ada yang melakukannya. Omong-omong, gigi Bertie sudah tumbuh."
"Satu gigi! Dia mendapatkan gigi pertamanya dan aku tidak ada di sana!" Faye bergelung pada Kevin. menangis di bahunya.
"Shh. Jangan bersedih. Sayang, dia akan punya banyak gigi lagi"
"Tapi bukan yang pertama!"
"Aku tahu, tapi... mm... ini idemu ingat""
"Aku ingat. Dan kurasa memang layak untuk
129 dilakukan, kalau bisa membuat Jessie keluar dan apartemen yang mengerikan itu." Faye mendengus. "Dia kedengaran benar-benar muak, bukan""
"Well, itu pertanda baik."
"Benarkah""
"Apa kau akan bahagia kalau baru saja diusir dan rumahmu""
Setelah menelepon ke sana-sini, Jessie mengalihkan
pikirannya pada makan malam. Mr Dalton ingin orang rumahan, begitu" Pula
ng dari lari sorenya, lalu mandi, dan menemukan wanita mungil yang
sedang sibuk bekerja di depan kompor panas.
Teruslah bermimpi. Jessie tidak pernah bisa mem-
buat kue yang mengembang atau kentang yang
garing-setidaknya tidak pada waktu bersamaan
untuk bisa dihidangkan bersama masakan-masakan
lain yang dimasaknya. Seandainya ia hampir sejago
koki internasional pun. Jessie tidak sudi mendemon-
strasikan keahliannya pada Patrick. Makin tidak nyaman pria itu, makin cepat dia menyadari bahwa tak ada untungnya tinggal di sini. Tidak ada.
Jessie menatap tempat tidur yang berantakan lalu merapikannya.
Pertama-tama tidak ada lagi tidur siang bersama yang nyaman.
Jessie keramas untuk membersihkan makanan bayi yang menempel di rambutnya. Patrick pasti ingin mandi air panas saat dia kembali nanti. Fasilitas yang menurut surat perjanjian sewa men-
130 jadi tanggungan Jessie. Jadi ia mematikan pemanas air
Kemudian ia mengganti T-shirt-nya, mengisi mesin cuci-ia sudah tidak bisa menghitung lagi berapa banyak ia sudah melakukan itu semenjak Bertie masuk dalam kehidupannya-lalu memeriksa lemari di dapur.
Baked bean, sereal makan pagi, satu kantong keripik. Di lemari pendingin hanya ada kantong nut cutlets. Yang isinya tinggal satu. Kalau Patrick ingin tinggal untuk makan malam, dia harus memilih antara tinggal di rumah dan mengasuh Bertie, atau mengunjungi supermarket terdekat.
Mereka bisa mulai berdebat siapa yang akan memasak setelah mereka punya bahan-bahan untuk dimasak.
Patrick menyadari bahwa usahanya untuk lari merupakan usaha yang terlalu ambisius. Memangnya berapa lama seorang pria bisa lari dari sesuatu yang menghantuinya"
Ia melempar tongkat bagi Grady, berjalan pelan melintasi taman, mencoba memikirkan makna dari gelombang emosi bertentangan yang terus berperang dalam dirinya semenjak ia bertemu dengan Jessica Hayes yang menjengkelkan itu.
Ia bilang pada Molly bahwa ia tidak tertarik pada hubungan yang baru sejak Belia meninggal. Kebenarannya lebih rumit dari itu. Pada awalnya ia sudah terlalu kebas untuk bereaksi bahkan terhadap tawaran penghiburan yang paling terang-
131 terangan. Setelah rasa kebas itu hilang, perasaannya membeku menjadi es, kekuatan dingin yang sanggup menampik wanita paling menggoda sekalipun.
Namun pertahanannya memang sedikit menurun dan ia merasa rapuh saat tiba di rumah pada tengah malam. Satu-satunya yang dipikirkannya hanyalah berapa lama yang dibutuhkan Carenza untuk berkemas.
Yang menjelaskan reaksi berbahaya yang langsung muncul dan dirinya menghadapi wanita barbar pemarah yang sudah mengambil alih kediamannya itu.
Mungkin. Kebanyakan pria, jika secara tak terduga dihadapkan dengan seorang wanita cantik terutama setelah melihatnya telanjang di kamar mandi- akan bereaksi seperti itu. Sama sekali tidak berarti apa-apa. Seharusnya tidak, hanya saja pada kenyataannya gairah itu tidak mau pergi. Senyum Jessie seperti matahari yang membakarnya. Wajah cemberutnya membuat Patrick ingin memeluknya, menciumnya untuk menghilangkan kerutan itu. Dan waktu wanita itu marah... yah, sebaiknya tidak usah memikirkan apa yang dirasakannya saat melihat Jessie marah.
Sebenarnya situasi ini bisa saja jadi agak menyenangkan, seandainya tidak ada bayi. Bayi itu membuat situasi semakin rumit. Mereka seperti satu paket kecil yang indah. Hal itu begitu nyata; godaan yang terlalu berbahaya untuk diraih dengan
132 kedua tangannya. Belia dan bayi perempuan mereka, Mary Louise, sudah meninggal. Jessica dan Bertie begitu pas mengisi lubang dalam hidupnya seperti tutup botol dengan botolnya.
Rasanya hampir seperti cinta yang terulang kembali. Dalam kasus Patrick, seperti musim semi yang terentang selama sepuluh tahun, dan mungkin itu menjelaskan kenapa reaksinya begitu kuat dan menakutkan.
Mesin cuci sedang sibuk, tapi selain itu dapurnya kosong waktu Patrick kembali. Ia memberi Grady minum, membawa anjing itu keluar, lalu ia sendiri naik. Jessica sedang meringkuk di sofa, membuat catatan. Wanita itu seolah-olah tidak menyadari kehadiran Patrick. Well, memangnya apa yang diharapkannya" Lengan yang memeluk lehernya, sambutan g
embira, "Sayang, kau sudah pulang""
"Apa kau sadar bayimu meneteskan air liurnya di atas karpet yang sangat mahal"" tuntut Patrick tajam. "Dan kucingmu meninggalkan bulu pada seluruh kain pelapis perabot""
Jessie menengadah, mengintip dan atas kacamatanya. "Mao bukan kucingku. Aku tidak suka kucing. Aku tidak akan pernah secara sukarela tinggal bersama mereka." Kemudian Jessie menambahkan, "Tapi, kalau disuruh memilih antara kucing dan pria, aku pilih kucing."
"Sama dong," balas Patrick, berharap suaranya meyakinkan. Begitu mereka pergi-dan mereka akan segera pergi-Patrick akan membersihkan
133 tempat ini mulai dari loteng sampai ruang bawah tanah. Menghilangkan kehangatan aroma bayi yang mencabik-cabiknya. Menghilangkan aroma Jessica Hayes yang menggoda sebelum aroma itu menyerbu jiwanya. Kembali hidup normal. "Pastikan kau membersihkan karpetnya sebelum kau pergi."
Jessie bergeming menatap karpet itu. "Kalau memang nilainya begitu tinggi, seharusnya karpet itu dibersihkan secara profesional. Sebenarnya waktu aku membersihkan cokelat-"
"Cokelat""
"-aku melihat beberapa noda lain. Ada satu di sana...," dan Jessie mengangguk, "...persis di bawah kakimu. Anggur merah, kurasa."
"Aku percaya. Dan aku terima nasihatmu. Bilang saja ke mana aku harus mengirim tagihannya."
"Kau tidak akan bersikap seperti salah satu induk semang itu, kan, Patrick""
Namanya terdengar begitu tepat di bibir Jessie... "Aku tidak akan jadi induk semang seperti apa pun," tukas Patrick" kasar. Lalu, karena tidak bisa menghentikan dirinya yang penasaran, "Induk semang yang bagaimana""
"Induk semang yang suka mengarang-ngarang segala macam alasan supaya tidak perlu mengembalikan uang jaminan pada akhir masa sewa."
"Kau tidak memberiku uang jaminan sepeser pun."
"Induk semang yang akan kutuntut ke pengadilan tanpa berpikir dua kali."
"Sangat lucu." Tapi, didorong keputusannya bah-
134 wa Jessie harus pergi-setidaknya ia mengira keputusannya sudah mantap Patrick mengalihkan pembicaraan. "Sedang sibuk" Membuat daftar agensi penyewaan yang harus ditelepon"" tanyanya penuh harap.
"Tidak," sahut Jessie sambil menggetukkan pensil di giginya. "Aku membuat daftar belanja. Lemari di dapur kosong."
"Benarkah" Well, silakan bersenang-senang dengan roti dan bayam, aku mau mandi."
Jessie memelorotkan kacamatanya dan menatap Patrik. Rambut Patrick basah, menempel di dahi dan lehernya, dan dia terlihat agak pucat. "Kau baik baik saja"" tanyanya, kekhawatiran memenuhi hatinya. Lalu ia buru-buru menambahkan, "Kurasa seharusnya kau tidak lari dulu setelah mengalami cedera di kepala."
"Aku tersentuh oleh perhatianmu, tapi Grady-lah yang lebih banyak berian."
"Aku senang mendengarnya." Kemudian, dengan perasaan sangat bersalah karena sudah mengenng-kan tangki air panas, Jessie berkata, "Aku khawatir airnya mungkin tidak terlalu panas; aku sedang menyalakan mesin cuci. Mesin itu tidak pernah berhenti kalau kau punya bayi."
Patrick mengangkat bahu. "Pemanas airnya menyala... Iya kan""
"Kurasa tidak. Hanya sejam di pagi hari dan sejam di malam hari selama aku yang membayar tagihannya."
Patrick menarik napas dalam-dalam. "Jangan
135 khawatir soal tagihannya: aku yang bayar. Lain kali biarkan pemanasnya tetap menyala."
Sial, sial, sial, rutuk Jessie dalam hati. Bagaimana ia bisa sekejam itu" "Bisakah aku mendapatkan pernyataan itu secara tertulis""
"Aku akan memastikannya."
"Terima kasih." Sulit sekali mengusir pria itu. Tapi Jessie tidak bisa mengambil nsiko tinggal bersamanya di sini. Patrick terlalu berpotensi sebagai pengingat akan apa yang sudah dilepaskannya. Jessie harus kuat. "Bagaimana kalau kutinggalkan daftarnya di meja dapur"" tanya Jessie. menguji kesabaran Patrick lebih jauh.
"Daftar"" "Kalau kau mau makan, kau yang harus belanja. Aku harus menyuapi Bertie, memandikannya, lalu menidurkannya."
Hening sejenak saat Patrick sepertinya berusaha menenangkan diri. "Berarti kau tidak makan""
"Waktu aku bilang lemarinya kosong, aku memikirkan dinmu. Aku sih sudah punya baked beans untuk makan malamku. Dan satu nut cutlet" Jessie menimpali sekenanya.
"Hanya satu""
Jessie mene liti Patrick dengan saksama. Pernahkah Patrick melihat isi supermarket" tanyanya dalam hati. Pasti ada orang yang mengurusnya, atau setidaknya mengurus rumahnya. Seorang wanita yang dicintainya yang bisa bersih-bersih dan belanja. Jessie tidak yakin Patrick bisa masak. Pria tampan yang masih lajang pasti sering diundang ke jamuan
136 makan malam. Sering diundang, titik. Ia yakin bahwa" seandainya Patrick mau berusaha, pria itu pasti bisa menemukan orang yang bisa menampungnya.
Seandainya Patrick menanggapi gertakannya" Dan pergi belanja"
Jessie mengangkat bahu. Ia mencemaskan sesuatu yang hampir tidak mungkin terjadi. "Hanya satu. Tentu saja, kau boleh ikut menikmatinya kalau kau mau."
"Terima kasih, Jessica. Kau baik sekali."
Ia benci dipanggil Jessica, kenyataan yang ia yakin sudah diketahui Patrick dengan sendirinya, tapi ia mengimbangi kontrol diri Patrick yang mengagumkan. Tadinya ia berharap Patrick langsung keluar. Pindah. Atau setidaknya kehilangan kesabaran dan menyuruhnya untuk pergi ke neraka supaya ia tahu ia berhasil membuat pria itu kesal.
Sekarang ia dihadapkan pada pilihan memasak cutlet yang sama sekali tidak menggugah selera itu dan membaginya bersama Patrick. Atau menyerah. Seharusnya ia berhenti saat posisinya di atas angin, bersama baked bean.
Enam PaTRICK berdiri di bawah shower yang memancarkan air dingin dan bersumpah Jessie akan mendapat ganjaran karena menyiksanya seperti ini. Direndam dalam nut cutlet kalau perlu. Bukan berarti Patrick lebih percaya pada cerita nut cutlet-untuk-satu-orang itu daripada alasan Jessie yang menggunakan semua air panas untuk mencuci baju bayinya.
Air sedingin ini hanya bisa terjadi gara-gara keran yang dibiarkan terbuka sampai semua air panasnya terkuras dan tangki.
Keterlaluan! Baik, kalau Jessie menginginkan peperangan, dia akan mendapatkannya. Wanita itu begitu yakin bisa menang mudah, pikir Patrick, dengan kasar membalut tubuhnya dengan handuk supaya hangat lagi. Dia salah. Patrick mungkin sudah jatuh sekali dan hampir kalah waktu ia terbangun dengan wanita itu dalam pelukannya tadi siang, tapi ia takkan menyerah semudah itu.
138 Ia akan berbagi hidangan minim apa pun yang dipilih Jessie untuk makan malam, senang karena tahu bahwa Jessie bakal ikut menderita.
Saat melewati ruang belajar, Patrick melihat melalui pintu yang terbuka. Jessie sedang duduk di depan komputernya. Tertarik melihat apa pekerjaan penyewanya, Patrick masuk untuk menyelidiki. Tapi Jessie sedang tidak bekerja; dia sedang menyantap makan siangnya sambil browsing internet.
"Enak"" tanyanya saat Jessie menggigit sandwich-nya.
"Sedikit kering. Aku juga membuatkan satu untukmu. Ada di dapur."
Terima kasih. Apa yang kaucari""
"Tempat tinggal." Jessie mengklik mouse dan layar menjadi gelap. "Aku melihat-lihat beberapa agen rumah."
"Kau sudah memutuskan mencari tempat lain"" Patrick berhasil menekan perasaan leganya supaya tidak terdengar dalam suaranya. Ternyata gampang sekali.
"Tidak, aku sudah muak dengan para induk semang yang cerewet." Jessie tersenyum sambil mengangkat Bertie dan berjalan menuju tangga. Patrick mengabaikan usaha Jessie yang terang terangan memanas-manasinya, ia malah memperhatikan kata para yang dipakai Jessie. Yang menimbulkan pertanyaan, kenapa Jessie pindah dengan sangat terburu-buru dan tempat sewanya sebelumnya" Surat perjanjian sewa yang ditandatangani wanita itu masih tergeletak di meja depan dan
139 Patrick mengambilnya sambil mengikuti Jessie turun ke dapur. "Aku memutuskan sudah saatnya menghadapi kenyataan dan membeli rumah sendiri. Kelihatannya aku hanya mampu membeli lemari sapu-"
"Membeli"" ulang Patrick, teralihkan dari rentetan pikirannya. "Tapi itu bakal butuh waktu berbulan-bulan."
"Benarkah"" Jessie melrink surat perjanjian sewa yang dipegang Patrick. "Lebih dan tiga bulan""
"Mungkin," sahut Patrick. mengenali suara yang menantang itu. "Kecuali kau bisa segera menemukan suatu tempat. Apa perjanjian sewamu bisa diperpanjang""
Jessie tersenyum lebar. "Tidak. Carenza sangat tegas mengenai hal itu. Sekarang aku tahu kenapa. Bisakah kau menunggu untuk makan mala
mmu" Aku harus menyuapi Bertie." Kalau Patrick lapar, dia mungkin akan pergi.
"Kurasa bisa. Menurutku sandwich itu bakal cukup mengganjal perutku."
"Bagus," ujar Jessie, menyesal mengapa tidak melemparkan sandwich itu pada burung padahal ia punya kesempatan untuk melakukannya. Ia pasti sudah gila karena menawari Pria itu sandwich. Impulsif. Kebiasaan yang sulit dihilangkan.
Jessie ternyata tidak perlu khawatir. Piring yang tadinya berisi sandwich sekarang pecah berantakan di lantai dapur. Tak ada tanda-tanda roti atau keju. Hanya Grady, berbaling telungkup di seberang anak tangga dengan ekspresi anjing yang tahu bahwa dia
140 sudah sangat nakal. Jessie mendapati dirinya secara tak terduga ingin memeluk anjing itu.
"Oh, sayang sekali," ujarnya saat Patrick menutup pintu, mengamankan ruang depan demi Jessie. "Sepertinya itu tadi keju terakhir. Dan kau sudah memecahkan semua telur semalam. Biasanya aku tidak sekacau ini. Ini karena pindahan-"
"Mendadak. Aku tahu. Tapi aku sudah mengeluarkan Grady."
"Aku bersumpah, aku tidak membawanya masuk."
"Tidak." Patrick tahu Jessie tidak akan melakukan itu. "Mungkin aku yang tidak menutup pintunya dengan benar."
"Mungkin Grady lebih pintar daripada yang kau-kira."
"Dia anjing yang patuh," tukas Patrick, "dan dia akan berguling dan mati demi sang Ratu bersama anjing-anjing terbaik. Tapi membuka pintu" Kurasa tidak." Patrick mengulurkan tangannya. "Sebaiknya kau memberiku daftarnya."
"Daftar"" "Daftar belanja. Itu kan rencananya. Aku belanja, kau masak."
"Berarti kau tidak suka nut cutlet, ya"" Jessie jelas tidak mengharapkan jawaban karena ia langsung merobek kertas berisi daftar itu dari buku catatannya dan menyerahkannya pada Patrick.
Sekilas pandang saja sudah memberitahu Patrick bahwa daftar itu bensi jenis makanan yang bisa memberi nama buruk bagi kaum vegetarian. "Ini
141 sudah semuanya"" tanya Patrick sambil menengadah. "Tak ada kacang""
"Oh, wah, terima kasih sudah mengingatkanku," ujar Jessie ceria, tanpa memedulikan nada menyindir dalam suara Patrick. "Dan selagi kau pergi...," ia mengambil kembali daftar itu, menambahkan setengah lusin barang lagi, lalu mengembalikannya. "Sebaiknya aku memberimu uang," ujarnya, sambil mengedarkan pandangan mencari-cari tasnya. "Tidak perlu repot-repot." Patrick melihat Jessie tidak tampak gembira, padahal dia sudah me-
menangi ronde ini. Apa wanita itu membayangkan Patrick menganggap dirinya terlalu hebat untuk mendorong troli keliling supermarket" Ataukah ada alasan lain hingga hati nurani wanita itu mulai
mengusiknya" Misalnya, berpegang teguh pada
surat perjanjian sewanya yang meragukan" Atau
ada alasan lain yang lebih mendasar" Patrick
mengangkat botol makanan bayi, sudah dicuci dan
siap dimasukkan dalam keranjang sampah yang bisa didaur ulang, dan menemukan labelnya sangat informatif. "Kau bisa mengganti uangku nanti." "Benar. Terima kasih."
"Bergembiralah, setidaknya kau tidak perlu membagi nut cutlet-mu yang berharga itu."
Jessie jadi santai dan tersenyum. "Aku tidak keberatan."
"Kau memang santa." Kata-katanya sama sekali tidak tulus, tapi Patrick memang tidak berniat bersikap tulus. "Katakan padaku, kau sudah lama jadi vegetarian""
142 "Apa"" Wajah Jessie memerah bingung. "Oh, well.. mm... aku mulai waktu umurku lima belas tahun..."
"Benarkah" Aku sedang bertanya-tanya apakah itu hanya keputusan mendadak. Karena kau memberi daging domba dan hotpot wortel untuk makan siang Bertie." Patrick membalik botol makanan bayi supaya Jessie bisa melihat labelnya. Kemudian, meraih tangan Jessie yang bebas, Patrick meletakkan botol itu di telapak tangan Jessie. "Kutunjukkan barang bukti..." Hampir saja Patrick mengatakan A, tapi ia teringat tongkat cricket. "Barang bukti B."
Ia tidak memberi Jessie kesempatan untuk menjawab dan langsung meninggalkannya berdiri di tengah-tengah dapur dengan mulut ternganga. Siapa suruh wanita itu berbohong setengah-setengah.
Jessie tahu mengatakan hal pertama yang muncul dalam kepalanya bukanlah tindakan yang pintar. Aku pasti sudah mulai kacau di bawah semua tekanan yang kualami, putusnya sambil meletakkan kemba
li botol makanan bayi tadi dalam lemari pengering. Otaknya mulai berubah jadi bubur bayi.
Tak ada alasan lain yang bisa menjelaskan kelakuannya. Seharusnya ia tidak memainkan permainan yang bodoh. Ia punya hak. Ia punya surat perjanjian sewa yang ditandatangani keponakan Patrick, yang bertindak mewakili pria itu. Semua keluhan mestinya disampaikan pada Carenza Finch, dan saat Patrick kembali nanti ia akan mengatakan
143 itu. Tenang tapi tegas. Menjelaskan bahwa Patrick harus membuat pengaturan tempat tinggal selama tiga bulan ke depan
Patrick pria yang pandai. Pria itu mungkin tidak menyukainya, tapi dia pasti menyadari Jessie benar.
Jessie menghela napas. Secara teori kedengarannya memang gampang, tapi dalam praktiknya ia tahu Patrick tidak akan menyetujui solusi seperti itu. Memangnya kenapa Pria itu harus setuju" Ini rumahnya dan dia punya hak untuk menempatinya tanpa halangan dari siapa pun. Keponakannya sekalipun.
Jessie mengerang, duduk, dan menyandarkan dahinya di meja dapur. Ia sudah bekerja keras, taat membayar pajak, dan sebagai balasannya yang ia minta hanya kehidupan yang tenang. Apa yang sudah dilakukannya sampai harus mengalami semua ini"
Patrick langsung menuju ke bagian daging. Daging steik yang besar dan gemuk pasti cocok, pikirnya, dipanggang di atas panggangan dan disajikan sangat mentah. Kalau Jessie memang benar benar vegetarian-penekanan pada kata "kalau"-daging itu akan membuatnya jijik. Kalau bukan, dia bisa menonton Patrick memakannya sementara dia memain-mainkan nut cutlet-nya dan menderita
Keduanya sama-sama menyenangkan bagi Patrick.
Memang bukan sikap yang baik, tapi begitu juga usaha Jessie yang berusaha membuat Patrick menyerah dengan buncis dan gandum.
144 Untung saja wanita itu tidak tahu betapa Patrick sudah hampir benar-benar menyerah tadi.
Patrick melempar daging itu ke dalam troli. Untuk berjaga-jaga seandainya itu masih kurang, ia juga memasukkan botol saus yang besar dan daging bacon potongan sedang untuk sarapan, walaupun membayangkan dirinya benar-benar memakan semua daging itu membuatnya merasa agak mual.
Dokter di ruang UGD tidak repot-repot menyuruhnya beristirahat. Kehadiran polisi dapat dipastikan memberi kesan pada dokter itu bahwa pasiennya akan dikurung dan menjalani hukuman selama jangka waktu yang lama. Di lain pihak Patrick sendin tadinya berpikir untuk istirahat seharian di tempat tidur, memulihkan kesehatannya dengan tenang. Sendirian.
Berdasarkan standar apa pun, bagi pria yang menderita luka di kepalanya, Patrick bekerja terlalu keras.
Patrick menarik napas dalam-dalam beberapa kali, lalu mengambil beras, buncis, dan telur organik, wortel, dan bawang yang tercantum dalam daftar yang dibuat Jessie. Daftar yang ditambahkan wanita itu pada detik-detik terakhir tadi adalah beberapa keperluan Bertie. Bedak dan tisu basah untuk bayi.
Rasa mual itu semakin menghebat.
Patrick menatap rak mainan dengan nanar, tenggelam dalam kenangannya sendiri. Seorang wanita bersama bayi yang terikat di trolinya berhenti dan
145 memintanya mengambilkan satu pak popok bayi dari rak atas. Tersadar dari masa lalunya, Patrick menjangkau pak itu dan memberikannya pada wanita itu.
"Perlu bantuan"" tanya wanita itu sambil memasukkan popok itu ke dalam trolinya. "Bantuan""
"Anda kelihatan agak bingung." Wanita itu tidak menunggu Patrick mengiyakan atau menyangkal. "Anak pertama, ya" Rasanya menyenangkan melihat pria ikut membantu mengurus anak." Wanita itu mengambil daftar yang dipegang Patrick. "Laki-laki atau perempuan"" tanyanya sambil mengambilkan barang barang yang ditulis Jessica.
Perempuan. Mary Louise. Patrick ada di sana waktu itu dan meletakkan putrinya yang baru lahir dalam pelukan Belia... "Ini untuk Bertie." ujarnya cepat-cepat.
"Bertie" Manis sekali. Apa kepanjangannya"" Otaknya bingung mencari jawaban. "Albert" Robert"" wanita itu terus bertanya, tanpa menyadari ekspresi Patrick yang hampa.
"Hanya Bertie," sahut Patrick cepat-cepat, mengisi keheningan yang memperingatkannya bahwa sekarang gilirannya untuk bicara.
"Well, jaga mereka berdua baik-baik. Sangatlah berat melakukan semuany
a sendirian. Aku tahu."
"Ya, aku juga berpikir begitu. Terima kasih atas bantuan Anda." Patrick kembali menatap mainan bayi yang kecil dan berwarna cerah. Kecuali warnanya, mainan itu tidak berubah, pikirnya. Ia
146 mengambil satu dari rak dan memegangnya sejenak, lalu melemparnya ke dalam troli bersama barang-barang lain yang dibelinya.
Itu suatu kesalahan. Patrick menyadarinya sewaktu tiba di kasir.
Patrick mengambil mainan kecil berwarna cerah itu dari troli dan memegangnya sesaat. Tadinya ia berniat balas dendam. Sekarang, saat daging steik, saus, dan bacon dikeluarkan di tempat kasir, ia merasa sikapnya kurang kesatria.
Ia selalu merasa bagai pahlawan orang-orang yang tertindas, bersedia berjuang dalam kasus-kasus yang akan kalah, dan terkadang menang meskipun kemungkinannya sangat tipis. Seandainya Jessie Hayes kliennya, ia akan memastikan tak seorang pun bisa mengusir wanita itu dari rumah yang sudah disewanya dengan niat baik. Seharusnya Jessie tak perlu menderita gara-gara keponakannya kurang peka.
Siapa yang bisa menduga apa yang sudah dialami Jessie" Dan, dengan egoisnya, Patrick berusaha sekuat tenaga untuk memperburuk keadaan wanita itu. Hanya untuk menyelamatkan dirinya dan tekanan mental waktu emosinya yang sudah lama mati rasa secara tiba-tiba bangkit kembali.
Mungkin, pikirnya, mereka bisa mulai lagi. Menyepakati semacam pengaturan yang masuk akal. Tentunya dua orang dewasa yang beradab sanggup berbagi rumah selama beberapa hari sementara Jessie mulai mencari tempat tinggal lain. Hanya dibutuhkan sedikit memberi dan menerima. Dan
147 kalau ia memberi lebih dari yang Jessie tahu... yah, itu urusannya sendiri.


Bayi Pinjaman Baby On Loan Karya Liz Fielding di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anda mau membeli barang itu"" tanya gadis di belakang meja kasir padanya.
"Apa" Oh, ya. Maaf." Patrick menaruh mainan itu di meja kasir dan meraih dompetnya, lalu membawa semua belanjaannya ke mobil.
Patrick tidak langsung pulang. Seandainya Jessie ingin tinggal, Patrick ingin wanita itu tinggal berdasarkan persyaratan darinya, bukan dari wanita itu sendiri.
Di agen penyewaan, seorang wanita separo baya dengan senyum profesional mempersilakannya duduk. "Selamat sore, Sir. Ada yang bisa saya bantu""
"Saya perlu bicara dengan siapa pun yang sudah mengatur penyewaan rumah di Cotswold Street nomor 27." Wanita itu mengernyit. "Anda menyewakannya pada Miss Jessica Hayes awal minggu ini," Patrick mengingatkan.
"Saya ingat Miss Hayes. Dia menelepon dalam keadaan putus asa. Sarah mencoba membantunya, tapi wanita itu membutuhkan sebuah tempat dengan segera dan kami tidak bisa membuat referensi secara tergesa-gesa."
"Seseorang melakukannya."
"Bukan kami." Wanita itu menggeleng. "Selain itu, kami tidak punya properti di Cotswold Road. Seandainya saja kami memilikinya."
"Kalau begitu sebaiknya Anda minta Sarah menjelaskan ini."
148 "Sarah tidak bekerja di sini lagi," ujar wanita itu, sambil mengambil surat perjanjian sewa dari Patrick. "Dia hanya pekerja paro waktu di sini, mengumpulkan uang untuk keliling Eropa. Saya sendiri tidak bisa melihat apa yang menarik-" Kemudian, saat wanita itu meneliti dokumen yang diserahkan Patrick padanya, senyumnya lenyap dan dia menggumamkan kata-kata yang sama sekali tidak profesional.
Jessie memutuskan untuk bersikap dewasa dan mengaku sejujurnya.
Ia memang tidak makan banyak daging, tapi ia bukan vegetarian. Ia tidak berbohong soal menjadi vegetarian waktu umurnya lima belas; ia hanya tidak menyebutkan bahwa ia kehilangan minatnya tiga hari kemudian, waktu ia diundang ke pesta barbecue oleh anak laki-laki yang sudah ditaksirnya selama berbulan-bulan.
Perbuatannya sama sekali tidak mencerminkan dirinya. Jessie ingin memperbaiki sikap dengan memesan makanan untuk mereka berdua dan restoran Italia favontnya dan minta diantarkan. Ayam polenta lembut dan game chips, pikirnya. Diikuti zabaglione dan biskuit ratafia. Mungkin bahkan sebotol minuman. Itu akan menjadi tawaran perdamaian yang pantas.
Jessie tidak memberi kesempatan pada dirinya untuk berubah pikiran, dan langsung menelepon restoran.
Ia baru selesai memberikan pesanannya, meminta
149 pesanan diantar jam setengah delapan,
saat mendengar bunyi ceklikan pegangan pintu dan merasakan serbuan udara dingin waktu pintu membuka di belakangnya.
"Wah, kau cepat sekali," ujar Jessie sambil menyunggingkan senyum ceria di bibirnya. Dalam hati ia merasa jengkel pada dirinya sendiri karena terlalu lama menimbang-nimbang padahal ia bisa sedikit memperbaiki penampilannya. Menghilangkan jejak-jejak makanan bayi yang menempel di bajunya mungkin bisa membuat Patrick terkesan dengan keandalannya sebagai wanita mandiri yang tidak akan memercayai omong kosong apa pun dari Patrick Dalton, si pengacara bertubuh besar dan menakutkan.
Tapi itu bukan Patrick. Grady-lah yang berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan tatapan membujuk yang diperlihatkan anjing waktu mereka ingin bermain.
Gawat. Dan bakal semakin gawat. Mao, yang sedang memakan sisa-sisa ikan dengan berisik, menengadah waktu pintu terbuka; menengadah dan mematung.
Untuk sesaat tidak terjadi apa-apa.
Lalu Grady menundukkan kepalanya yang besar dan berbulu kusut dan mendengus curiga ke arah kucing itu.
Jessie yang malang. Wanita itu berpegang pada surat perjanjian sewanya seolah olah itu tali ke-
150 hidupannya dan ternyata kertas itu sama sekali tidak berharga. Salah seorang teman Carenza melanggar semua peraturan dengan memfotokopi surat perjanjian sewa yang standar.
Jessie tidak tahu. Patrick sangat yakin dia tidak tahu. Yang membuatnya diuntungkan secara sepihak. Mungkin ia harus melupakan steiknya dan memesan makanan yang layak untuk makan malam supaya mereka tidak perlu memasak. Bagaimanapun juga, hari ini hari yang melelahkan bagi mereka berdua.
Makanan Cina atau India pilihan terbaik, pikirnya, kalau memang mereka harus menyantap hidangan vegetarian. Dengan sedikit niat baik dan anggur yang cocok untuk melancarkan suasana, mereka pasti bisa membereskan masalah. Menurut syarat-syarat yang dibuatnya, Jessie boleh memakai gudang. Dan ruang kerja.
Patrick tersenyum lebar saat memarkir mobilnya di garasi dan menelepon restoran terdekat dari telepon mobilnya sebelum berjalan melintasi kebun sambil membawa barang-barang belanjaannya.
Pintu dapur terpentang dan Grady tidak kelihatan di mana-mana.
Patrick menjatuhkan kantong belanjaannya, tak peduli dengan telur-telur organik yang dibelinya sesuai daftar yang dibuat Jessie dengan cermat. Ia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkan beberapa telur pecah, ataupun pecahan keramik berharga yang berserakan keramik yang saat ia meninggalkan rumah tadi masih menghiasi lemari Welsh di dinding dapur yang jauh.
151 Khawatir bukanlah kata yang akan digunakan Patrick. Melihat kursi tinggi yang terbalik, percikan darah di lantai dapur tidak membuatnya khawatir. Ia ketakutan. Ketakutan mendalam serta putus asa. "Jessie"" teriaknya sambil berlari bahkan sebelum kantong belanjaan menghantam lantai, mengikuti jejak kehancuran di tempat itu. "Jessie, kau di mana""
Ruang depan juga kacau-balau. Lukisan-lukisan di dinding miring, meja terbalik, telepon terenggut dari sambungannya dan retak. Dahan pohon fig yang besar tergeletak tak berdaya di tengah jejak-jejak kaki binatang, kecil dan besar, di atas kompos yang berserakan. Tidak perlu ahli forensik untuk mengungkap barang buktinya.
"Jessie!" Patrick berharap dan berdoa menemukan wanita itu sedang menngkuk ketakutan di ruang duduk. Setelah pemandangan yang membuat jantungnya berhenti, Patrick melihat ruangan itu tak tersentuh. Dan kosong. "Jessie!" Rasa takut mulai menggema dalam suaranya. Kalau Jessie lari... Grady memang lembut, tapi anjing termasuk hewan pemburu... "Jawab aku, Jessie! Kau di mana""
Kekacauan itu berlanjut di sepanjang tangga dan Patrick menaiki tiga anak tangga sekaligus, berhenti di ambang pintu kamar tidur. Grady berdiri tegak di tempat tidur, memamerkan gigi-giginya, bulu kuduknya berdiri, dan hidungnya berdarah akibat perkelahiannya dengan Mao.
"Grady! Berbaring!" Anjing itu jatuh seperti batu dan langsung berbaring di tempat tidur, kepala
152 menunduk, sementara si kucing mendesis mencemooh dari atas rel tirai yang aman. Patrick mementang pintu kamar mandi. "Jessie!" Tak ada tanda-tanda keberadaan wan
ita itu. Benar-benar mimpi buruk. Seharusnya ia tidak meninggalkan Jessie. Dengan jantung berdebar kencang dan sambil mencengkeram kalung Grady kuat-kuat, Patrick mulai menuruni tangga, membuka lebar-lebar semua pintu yang dilewatinya. Ia sudah separo jalan melintasi ruang depan, bertanya-tanya apakah Jessie tadi berlari ke luar lewat pintu depan dan langsung menuju jalanan. Samar-samar ia mendengar suara seseorang memanggil-manggil namanya. Ada suara menggedor-gedor di kejauhan.
Patrick mematung. Mendengarkan. Suara itu datangnya dari dapur. Dari arah lemari sapu di bawah tangga.
Patrick membuka pintu lemari itu dan Jessie, yang duduk meringkuk seperti bayi dalam kandungan dan mendekap Bertie di dadanya, jatuh keluar dari lemari, terbelit sapu-sapu dan kain pel. "Kukira kau takkan pernah datang." Jessie terengah-engah. "Apa kau tidak mendengar aku berteriak-teriak""
Perasaan lega karena Jessie tak terluka, bahwa mereka berdua tidak terluka, terhapus oleh kemarahan yang datang tiba-tiba.
"Mendengarmu"" ulang Patrick. "Madam, apa kaupikir aku akan memanggil-manggil namamu selama lima menit terakhir," ujar Patrick sementara benaknya membayangkan semua mimpi buruk yang terpikir olehnya, "kalau aku mendengarmu""
153 "Aku sudah berteriak sekuat tenaga," protes Jessie. ia mengusap debu dari wajahnya dan bersin. Lalu, sambil memandang Grady dengan gugup, ia bertanya, "Apakah keadaannya buruk""
Patrick menunjuk kekacauan di dapur. "Masih kalah dibanding kekacauan yang diakibatkan gajah ngamuk," jawabnya, sambil mendorong Grady keluar dan menutup pintu. "Kuharap kau bisa menemukan penjelasan yang meyakinkan dan efektif untuk perusahaan asuransi."
"Perusahaan asuransi"" Jessie menatapnya. Hanya itukah yang dipedulikan Patrick" Semua kekacauan ini" Beberapa piring tua" "Tentu saja aku punya cerita meyakinkan yang akan kuceritakan pada perusahaan asuransi," sergah Jessie marah, sebelum napasnya tertahan oleh isakan gemetar. "Oh, sial!" ujarnya sambi! mendekap Bertie lebih erat lagi, menghujani kepala Bertie yang lembut dan berambut halus dengan ciuman. "Persetan dengan perusahaan asuransimu. Dan koleksi keramikmu. Apa yang akan kulakukan" Apa yang akan kukatakan kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Bertie""
"Jangan." ujar Patrick, sambil meraih Jessie dengan kikuk, tidak benar-benar menyentuhnya. Menyentuh Jessie akan meruntuhkan seluruh dinding pertahanannya, membuatnya mengkhianati semua kenangan yang berharga... "Tolong, jangan..."
"Kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Bertie karena aku terlalu bodoh, terlalu takut..." Sebutir air mata mendesak, keluar dan kelopak mata Jessie
154 yang gemetar dan bergulir menuruni pipinya. Kemudian satu lagi.
"Tak ada hal buruk yang terjadi," hibur Patrick. Ia mengabaikan peringatannya sendiri, berlutut di samping Jessie, dan meraih wanita itu, meraih bayinya, dan kali ini membawa mereka dalam pelukannya, mendekap mereka erat-erat. "Tidak ada yang terjadi. Tak ada yang akan terjadi," ujarnya. "Kalian baik-baik saja." Patrick mencium kepala Bertie yang mungil. "Dia tidak terluka, hanya sedikit berdebu." Ia mencium rambut ikal Jessie.
Jessie menengadah, air mata mengalir di pipinya yang berdebu. "Maafkan aku."
"Tidak, aku yang minta maaf." Patrick mencium dahi Jessie. "Aku tidak bermaksud meneriakimu tapi aku sangat ketakutan... kau tidak mungkin tahu..." Tubuhnya gemetar. "Aku takkan pernah membuatmu tahu," ujarnya kasar. Jessie mengerjap. "Seharusnya aku tidak meninggalkanmu sendirian padahal aku tahu kau ketakutan. Aku... aku minta maaf. Ayolah, Jessie, jangan menangis."
Jessie mengusap pipi dengan telapak tangannya, menengadah, dan memandang wajah Patrick lekat-lekat. "Kau juga menangis," ujarnya, tangannya terulur menyentuh pipi Patrick seolah-olah sulit memercayainya. Pipi itu basah. "Patrick, kau gemetar." Kemudian entah bagaimana Jessie lah yang menenangkan, memeluk Patrick, tangannya mengalungi leher Patrick, pipinya merapat di pipi Pria itu. "Semuanya baik-baik saja. Sungguh. Kau lihat"" Jessie berhasil menyunggingkan seulas
155 senyum. "Tak ada yang terjadi pada kami. Dan kau benar, ka
lau saja aku tidak diam seperti pengecut, hal ini tidak akan terjadi. Ini kesalahanku, bukan Grady. Sungguh." Jessie membelai wajah Patrick, mencium pipinya. Rasanya basah dan asin. Jessie merapatkan pipinya di sana, ingin menenangkan Patrick, meyakinkan pria itu bahwa ia dan Bertie selamat. "Pandang aku," ucapnya lembut, telapak tangannya menyentuh pipi Patrick agar pria itu bisa melihatnya, melihat bahwa apa yang dikatakannya benar. Dan saat Patrick menatapnya, Jessie menyentuhkan bibirnya ke bibir pria itu.
Sejenak mereka terdiam, tak bernapas. Kemudian bibir Patrick terbuka di bawah bibir Jessie dan mencium wanita itu seolah-olah ingin mengisap seluruh napas dari tubuh Jessie.
Selama sepuluh tahun perasaan Patrick telah mati dan sekarang wanita ini, selain mengambil alih rumahnya, juga mengambil alih hatinya. Jessie membangkitkan kembali hatinya yang telah mati, membuatnya bisa merasakan lagi, membuatnya nyeri. Patrick tidak menghendaki hal ini. ia ingin ditinggalkan sendiri bersama kenangan-kenangannya. Hanya kenangan-kenangan itulah yang dimilikinya dan ia sangat takut kalau ia tidak berkonsentrasi maka kenangan itu akan menyelinap pergi darinya. Tapi memeluk Jessie, merasakan kulit wanita itu di tangannya, merasakan intisari Jessie memenuhi bibirnya, terasa seperti rasa nyeri, kerinduan tak tertahankan yang telah begitu lama dipendam. Jessie menawarinya ciuman kehidupan...
156 "Jessie... jangan, please..."
Patrick menjauhkan diri, berdiri sebelum Jessie bisa menyentuhnya. "Lagi pula apa sih yang kaulakukan dalam lemari sapu"" sergah Patrick tiba-tiba, berusaha menciptakan jarak antara dirinya dan Jessie serta dari perasaan-perasaannya. Terlalu banyak emosi yang berkecamuk dalam dirinya untuk bisa ditepis akal sehat.
"Memangnya kaupikir apa yang kulakukan di dalam sana"" tuntut Jessie, yang berjuang sendiri untuk berdiri dengan Bertie dalam pelukannya karena Patrick tidak berani menyentuhnya. Jessie merasa tersinggung dan terluka oleh perubahan sikap Patrick yang mendadak. "Aku bersembunyi dari anjing pemburu..."
"Grady bukan-" Patrick berhenti. Berdebat tentang temperamen anjing tidak akan menyelesaikan masalah. Ia menyisir rambutnya dengan jemarinya. "Apa tidak terpikir olehmu untuk pergi saja ke ruang depan dan menutup pintu dapur""
"Aku tidak sempat memikirkan tindakan terbaik untuk kulakukan," jawab Jessie angkuh, mencoba berpura-pura tak ada yang terjadi. Tiba-tiba ia bersin, yang merusak efek penampilannya. Patrick ingin tertawa. Ia berusaha mengendalikan dirinya, meskipun mungkin sedikit terlambat, tapi setidaknya ia akhirnya berusaha. "Lemari sapu takkan menjadi pilihan pertamaku, percayalah. Aku hanya membuka pintu pertama yang bisa kucapai dan melompat masuk." Jessie bersin lagi, lalu merogoh-rogoh sakunya untuk mencari tisu. Tak ada sehelai pun.
157 Patrick mengeluarkan saputangan, menawarkan padanya tanpa komentar. Jessie meraihnya tepat saat ia bersin untuk ketiga kalinya. Kemudian, dengan mata berair, Jessie berkata. "Selain itu, anjingmu bisa membuka pintu."
"Jangan bicara omong kosong."
"Omong kosong, heh" Well, memang kaupikir bagaimana dia bisa masuk""
"Mungkin kuncinya longgar..." Patrick berjalan untuk memeriksanya, dengan senang menjaga jarak di antara mereka, memberi ruang untuk bernapas, tapi dengan segera ingin mendekat lagi. Patrick mencengkeram pegangan pintu dan mengguncangnya. Tetap kencang. Ia mengangkat bahu. "Mungkin pintunya tidak tertutup dengan benar, tapi itu bukan masalah. Tak satu pun hal ini akan terjadi seandainya kucingmu tidak ada di sini."
"Mao bukan kucingku!"
"Kalau begitu, seandainya kau tidak ada di sini!"
"Salah dua-duanya. Tak satu pun dari hal ini akan terjadi seandainya kau tidak ada di sini! Seandainya kau menghormati surat perjanjian sewa yang kutandatangani dengan niat baik!"
"Mengenai surat perjanjian sewa itu-" Patrick mulai bicara, tapi Jessie tidak mendengarkan.
"Aku baru selesai menelepon dan sedang mengangkat Bertie waktu kudengar p-p-pintunya terbuka." Jessie gemetar lagi. tapi ini bukan sepenuhnya kesalahan Grady Ia mencium Patrick. Hanya menciumnya. Han
ya! Lucu sekali. Tapi Jessie merasa ingin menangis. Itu bukan hanya. Ciuman
158 itu pasti mencapai nilai 9,5 menurut skala Richter untuk ciuman, ciuman yang mengguncang dunia ciuman yang sanggup mengubah hidupmu. Dan Patrick menghentikannya. Menarik diri. Berdiri dan menjauh. Gigi Jessie mulai bergemeletuk saat tubuhnya mulai bereaksi dan kakinya goyah. "Aku pikir kau yang datang, aku berbalik dan..."
"Hei, tenang." Patrick menangkap tubuh Jessie saat kakinya lemas. Menangkap dan memeluknya, mengambil bayi dalam gendongannya sebelum memapah wanita itu ke ruang duduk di lantai atas. Saat Jessie sudah duduk di kursi dengan aman, Patrick menurunkan Bertie di karpet satu tetesan air liur atau lebih tidak ada bedanya dan ia memenuhi gelas dengan brendi. "Ini." Ia mengulurkan gelas itu. Jessie mundur setelah mencium baunya, tapi kali ini Patrick tidak menerima penolakan. Ia membungkuk dan memegang gelas itu di bibir Jessie. "Ini berkhasiat," ujarnya tegas. "Minumlah."
Jessie menyesap, tersedak, lalu bergidik, tapi minuman yang membakar itu tampaknya memulihkan keadaannya. "Ya ampun, rasanya benar-benar tidak enak."
"Makin tidak enak, makin manjur. Minum lagi." Patrick mengulangi dosisnya, dengan hasil yang sama. Patrick hanya tidak bisa percaya siapa pun bisa begitu... bodoh. Begitu menggemaskan. "Aku tidak mendengarmu, tapi kau pasti mendengarku memanggil-manggilmu. Kenapa kau tidak keluar waktu kau tahu aku sudah pulang"" tanyanya.
159 "Aku tidak bisa. Tidak ada pegangan pintu di dalam. Aku menggedor dan berteriak..." Jessie mengangkat bahu.
"Tidak ada pegangan"" Patrick membayangkan betapa takutnya Jessie waktu menyadari hal itu dan berusaha menahan senyumnya.
Patrick hanya perlu mengingat bagaimana perasaannya tadi, kepanikannya, dan ia merasa dirinya juga membutuhkan seteguk brendi untuk menenangkan sarafnya. Lalu saat mengingat bagaimana perasaannya waktu memeluk Jessie, waktu wanita itu menyentuh pipinya, bagaimana ia mencium Jessie, Patrick langsung mengosongkan isi gelasnya. "Aku sudah mencari ke seluruh rumah...," ia mulai bicara. Lalu ia mengangkat bahu, cara yang janggal untuk mengakui bahwa Jessie benar. "Aku ketakutan setengah mati kalau kau terluka."
"Benarkah" Kukira hanya aku satu-satunya yang ketakutan tadi."
"Tidak." Patick menggenggam tangan Jessie. "Jessie, maafkan aku. Aku benar-benar menyesal kau sampai ketakutan seperti tadi."
Dan ciuman itu, apakah Patrick menyesali ciuman itu juga" Jessie bertanya-tanya. Sekali lagi" Jessie menghela napas. "Aku juga. Benar-benar menyesal." Tapi ia sendiri tidak yakin tepatnya dosa apa yang ia sesali.
"Sudahlah. Tak ada yang tidak bisa diperbaiki." Patrick jelas-jelas menganggap Jessie sedang membicarakan rumahnya yang berantakan, yah mungkin itu juga. Kalau Patrick bertanya. "Well mungkin
160 keramiknya tidak bisa diselamatkan," ujar pria itu. "Sebaiknya aku pergi dan membersihkannya."
"Aku yang harus melakukannya. Itu semua kesalahanku-"
"Tidak!" Kemudian, dengan lebih lembut, Patrick berkata, "Kejadian ini bukan salahmu. Serahkan saja padaku."
Di dapur, Patrick membetulkan letak kursi tinggi lalu pergi mencari kardus, sementara Jessie-yang ikut turun walaupun Patrick sudah menyuruhnya agar diam di tempat-mendudukkan Bertie di kursi itu dan memasang tali pengamannya. "Lebih cepat kalau dikerjakan berdua," ujarnya saat Patrick kembali. Kemudian, sambil mengumpulkan pecahan besar keramik dan mengangsurkannya pada Patrick, ia bertanya, "Apakah benda ini sangat berharga""
"Berharga"" Patrick sedang memegang piring yang hanya rompes, membalikkannya secara tidak sadar, pikir Jessie, seolah-olah mencari semacam jawaban untuk pertanyaannya. "Itu tergantung pada apa yang kaumaksud berharga. Aku membeli piring ini untuk Belia waktu bazar benda-benda antik tak lama setelah kami menikah."
"Istrimu"" Wanita yang sudah meninggalkan Patrick hanya ditemani anjing, walaupun pria mana pun yang bisa mencium seperti Patick Dalton tampaknya mampu mengatasi kehidupan sosialnya sendiri.
"Waktu itu hari ulang tahunnya. Dia berumur 26 .." Itu lebih daripada yang ingin kuketahui, pikir Jessie
. "...dan dia melihat piring ini. Kami
161 makan malam dalam perjalanan pulang. Aku tidak ingat di mana. Kau pikir kau tidak akan pernah lupa, tapi ternyata kau lupa-"
"Kalian bercerai"" tanya Jessie, bersemangat ingin menghentikan perjalanan Patrick menelusuri masa lalu, karena kelihatannya kenangan itu tidak membuatnya bahagia. Dan, karena Patrick yang menciumnya duluan, Jessie merasa berhak tahu.
"Bercerai"" Perhatian Patrick teralihkan. "Oh, tidak "
Oh, bagus! "Well" ujar Jessie cepat-cepat, "piring itu tidak terlalu rusak. Tidak akan kelihatan kalau kau mendirikannya seperti ini. Lihat"" Jessie berbicara dengan keceriaan yang dipaksakan saat ia mendirikan piring keramik itu di lemari dengan tepian yang pecah di balik penopangnya.
"Tidak." Patrick menjangkau melewati bahu Jessie. "Piring rompes tidak ada gunanya kecuali hanya untuk menampung bakteri. Dulu Belia hanya mengoleksi benda-benda yang berharga." Patrick menjatuhkan piring itu dalam kotak.
Jessie mengerjap melihat perilaku Patick yang kasar itu.
Dulu. Jessie menyadan setelah jauh terlambat, bahwa istri Patrick tidak meninggalkan pria itu. Wanita itu mungkin sudah meninggalkan anjingnya, tapi dia tak mungkin meninggalkan koleksi piringnya yang berharga. Mereka bukan bercerai. Istrinya meninggal.
"Well" ujar Jessie ragu-ragu, "kalau piring-piring itu diasuransikan-"
162 "Diasuransikan"" Patrick memandang ke dalam kotak berisi pecahan piring-piring keramik. "Berapa harga yang bisa kauberikan pada kenangan satu hari yang kami habiskan bersama, Jessie" Saat yang takkan bisa terulang lagi. Coba katakan padaku di mana kau bisa mengasuransikan kenangan supaya tidak pernah hilang, tidak terlepas dari dirimu, atau memudar seperti foto lama."
Jessie menelan ludah, berharap tadi ia mematuhi Patrick dan tetap tinggal di ruang duduk. Tapi sekarang ia sudah terlibat terlalu dalam; ia sudah memunculkan terlalu banyak kepedihan untuk pergi begitu saja. "Apa yang terjadi padanya""
Patrick membalikkan tubuhnya, menatap Jessie seolah-olah tidak ada yang berani menanyakan hal itu sebelumnya. Atau berani membicarakannya. "Dia ditabrak pengemudi yang mabuk. Pria itu melaju sangat cepat, sehingga walaupun dia melihat lampu mobil Belia, dia tidak akan sempat menghentikan mobilnya."
"Sepuluh tahun yang lalu"" Patrick mengangguk. "Aku sangat menyesal." Jessie mengibaskan tangannya tanpa daya ke arah pecahan benda-benda keramik itu. Ia ingin menghampiri Patrick meraih tangannya, melingkarkan tangan di sekeliling tubuh pria itu, memeluknya seperti tadi Patrick memeluknya. Tapi sikap Patrick begitu kaku. Menciptakan jarak yang tidak bisa diseberangi Jessie. "Aku benar-benar menyesal."
"Dalam skala malapetaka kehidupan, kurasa be-
163 berapa piring yang pecah tidak terlalu berarti. Beberapa kenangan yang hancur-"
"Kenangan tidak hancur, Patrick." Patrick menengadah, tertegun. "Tidak jika kau ingin menyimpannya." Jessie memungut sekeping pecahan yang terlewat oleh Patrick. "Piring-piring ini hanya benda, sama seperti foto-foto. Pengingat yang efektif, tapi kalau foto-foto itu hilang, kau hanya akan kehilangan selembar kertas. Kenangan ada dalam dirimu, dalam benakmu, dalam hatimu. Cara kau tersenyum waktu kalian berdua mendengarkan lagu yang kalian sukai, ingatan akan warna pakaian yang dikenakannya waktu kalian pertama kali bertemu... Hanya kepedihan yang bisa memudar. Kalau kau mengizinkannya. Kalau kau tidak terus menusuk-nusuknya seperti gigi yang sakit. Kalau kau men-ciptakan kenangan-kenangan yang baru." Jessie memberikan kepingan piring keramik itu padanya. "Itu sebabnya matahari selalu bersinar di musim panas saat kanak-kanak dulu. Mengapa es krim terasa lebih enak."
Patrick mengambil kepingan piring keramik yang dipegang Jessie. membalikkannya dalam telapak tangannya. Piring itu dulunya ribbon plate, piring hias yang indah. Benda pertama yang dibelinya untuk wanita cantik yang dinikahinya. Dua tahun singkat setelannya, wanita itu dikubur di samping bayi mereka. "Benarkah""
"Kuharap begitu." Patrick tersentak menatapnya, dan Jessie bisa melihat pertanyaan terbentuk di balik mata pr
ia itu. "Sebaiknya aku menidurkan
164 Bertie," ujar Jessie cepat-cepat, berkutat mengikat kardusnya. "Aku baru saja mau menidurkannya waktu... yah..." Jessie tidak melanjutkan kata-katanya. "Apa kau akan baik-baik saja""
"Ya, Jessie. Aku akan baik-baik saja " Patick berdiri, melepaskan Bertie dari kursinya untuk membantu Jessie, lalu memeluk Bertie sejenak. "Dia anak yang baik."
"Ya. Aku hanya berharap dia tidak memberiku kesulitan sebanyak yang Carenza berikan padamu."
""Semoga," ujar Patick. "lapi aku cukup terhibur mengingat aku bisa minta ganti rugi pada ayahnya nanti." Patick menyerahkan Bertie pada Jessie, lalu dengan cepat berbalik pergi. "Patick, tentang makan malam-" "Jangan khawatir tentang itu," ujarnya. "Tidak-" Jessie mulai bicara. "Atau pindah. Tiga bulan tidak lama. Kita bisa mengaturnya."
Bulan" Patrick hanya berencana beberapa hari saja. Beberapa minggu, paling lama. Sejak kapan beberapa hari jadi tiga bulan" Antara otaknya dan mulutnya" Antara makan siang dan makan malam" Antara masa lalu dan masa sekarang"
Hati Patrick berdebar nyeri waktu mengangkat kotak kardus. Ia yakin perusahaan asuransi pasti ingin melihat buktinya. Kira-kira seperti apa reaksi mereka... Ia berhenti, bersandar di pintu, terlalu gemetar untuk melangkah lebih jauh. Sudah begitu lama ia berpegangan pada kenangan pahitnya, memanfaatkan rasa sakit dan amarahnya sebagai
165 energinya dari hari ke hari. Ta sangat takut jika melepaskan kenangannya maka ia takkan memiliki apa-apa lagi... "Patick-"
"Apa"" Patrick membelalak marah pada Jessie dan bayi yang sedang dipeluknya, membenci rasa simpati dalam suaranya. Jessie mundur selangkah seolah bisa merasakan kemarahan Patrick.
"Aku... kau kelihatan sangat pucat..."
"Aku baik-baik saja. Maaf, aku tidak bermaksud membentakmu." Patrick tidak marah pada Jessie. "Tidurkan Bertie, kemudian kita akan membahas bagaimana kita membagi dua rumah ini."
Jessie tampak ragu-ragu lalu berkata, "Kurasa maksudmu baik, Patrick. Tapi kita berdua tahu itu tidak akan berhasil."
Tujuh "TIDAK akan berhasil"" Patrick hampir tidak bisa memercayai pendengarannya. "Apa maksudmu tidak akan berhasil""
"Aku mungkin bisa berbagi denganmu, Patrick, tapi aku tidak bisa tinggal bersama anjingmu."
"Mungkin" Mungkin bisa berbagi denganku" Dasar tidak tahu diuntung-" Patrick terdiam. Jessie tidak punya alasan untuk merasa beruntung, dia tidak tahu bahwa surat perjanjian sewa itu palsu. Grady-lah masalahnya, bukan Patrick. Ia menurunkan kotaknya dan meraih telepon dapur. Salurannya mati dan ia menyumpah-nyumpah. "Mana ponselmu""
Jessie mengeluarkan telepon dari tasnya yang ada di meja dapur dan menyerahkannya pada Patrick tanpa sepatah kata pun. Ia mengawasi Pria itu menekan nomor telepon. "Molly""
"Halo, Patrick. Bagaimana hubunganmu dengan penyewamu yang cantik itu""
"Kau mau versi pendeknya atau mau menunggu bukunya terbit""
167 Molly tertawa. "Kedengarannya menarik. Seandainya saja aku punya waktu untuk versi yang belum I disensor, tapi saat ini aku sedang sibuk sekali."
"Oh, well, bukan apa-apa kok. Aku hanya ingin bertanya apa aku bisa membawa Grady kembali-"
"Oh, Patrick! Maaf." Patrick mendengarkan sementara Molly menjelaskan kenapa ia tidak bisa menampung Grady. Patick mengucapkan selamat pada bibinya sebelum mengembalikan telepon itu ke Jessie.
"Dia tidak bisa menampungnya""
"Tidak." "Aku pernah dengar bahwa penjaga anjing yang bisa diandalkan lebih sulit dicari daripada pengasuh bayi yang bagus."
"Mungkin, tapi ini bukan soal siapa yang bisa diandalkan. Molly orang yang sangat bisa diandalkan. Waktunya tidak tepat. Dia baru saja kembali dari Downing Street, dan Perdana Menteri memintanya untuk memimpin Komisi Kerajaan yang baru dibentuk untuk menangani masalah kriminalitas remaja."
"Oh." Kemudian. "Dia hakim Pengadilan Tinggi, ya"" Patrick mengangguk. "Tidakkah dia sedikit, well, terlalu tinggi untuk menjaga anjing""
"Dia kan bibiku."
"Benar. Dan kurasa jika anjingmu nakal, menitipkannya pada hakim untuk menjalani pelatihan dan memperbaiki diri sangatlah masuk akal."
"Lucu sekali." "Aku senang kau berpikir begitu." J
Pengusung Jenazah 3 Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo Harimau Mendekam Naga Sembunyi 18
^