Pencarian

Bayi Pinjaman 3

Bayi Pinjaman Baby On Loan Karya Liz Fielding Bagian 3


essie hanya 168 berharap Patrick tersenyum lagi dan meyakinkannya bahwa pria itu benar-benar menganggap hal itu lucu. "Apa yang akan dilakukan bibimu seandainya kau belum pulang""
"Mencari jalan lain. Kalau aku memaksa, aku yakin dia pasti bersedia menerima Grady, tapi itu tidak adil baginya." Patrick menyapukan jemarinya ke rambut. "Jangan khawatir, aku akan memikirkan sesuatu. Omong-omong, itu belanjaanmu," ujarnya sambil menunjuk kantong-kantong yang isinya tumpah di lantai dapur.
"Terima kasih," kata Jessie, alisnya sedikit terangkat melihat kekacauan itu. "Kurasa. Berapa banyak utangku""
"Aku akan melupakannya kalau kau mau pindah," tawar Patrick. Satu usaha terakhir yang lemah untuk mempertahankan kewarasannya.
"Usaha yang bagus, tapi diperlukan lebih dari setengah kilo bawang dan sekantong ayam bun..." Jessie membuka kantongnya. "Apa ini"" Ia mengeluarkan mainan yang dibeli Patrick untuk Bertie saat pertahanannya melemah.
"Aku tidak akan repot-repot menebak benda apa itu. Itu hanya benda dengan tombol berwarna-warni dan pernak-pernik lain untuk dimainkan. Aku pikir Bertie mungkin menyukainya."
Jessie menatapnya. "Ya Tuhan, kau memang pria yang menyebalkan, Patrick Dalton." Menyebalkan" Apa yang menyebalkan tentang membeli mainan anak-anak" "Seandainya saja aku tahu apa yang sedang kaumainkan di sini."
169 Yeah, well. Berarti mereka berdua memikirkan hal yang sama. Wanita itu sudah mengatakan ini tidak akan berhasil dan ia malah menjawab, Jangan khawatir, aku akan memikirkan sesuatu. Mungkin, bagaimanapun juga, Patick berharap pengaturan ini bisa berhasil. Bahkan ketika ia sudah mendapatkan semua bukti yang dibutuhkannya untuk mengusir Jessie saat itu juga. "Dia masih bayi. Aku membelikannya mainan. Dialah yang akan memainkannya."
"Kenapa"" "Kau terlalu banyak bertanya, tahu"" Lalu Patrick berkata, "Aku membelinya karena seorang wanita di supermarket mengira aku ayah baru yang sangat perhatian, berbelanja untuk istri dan bayinya..." ia berhenti, mengambil napas dalam-dalam.
"Patrick-" "Mungkin aku mencoba membuat wanita itu terkesan," ujar Patrick dingin, menyela kata "Patrick..." yang diucapkan Jessie dengan lemah itu. "Tidak perlu berterima kasih."
"Ini mustahil." Jessie benar, pikir Patrick. Mungkin. "Kau mustahil. Aku sudah mencoba, benar-benar mencoba-"
"Begitu juga aku, tapi kau memang bisa menguji kesabaran seorang santa."
"Memangnya kau tahu apa"" sergah Jessie. Tanpa menunggu jawaban, ia mengangkat kantong yang berisi barang-barang bayi lalu buru-buru meninggalkan ruangan sambil menggendong Bertie.
Jessie memperlambat langkahnya saat tiba di ruang
170 depan yang berantakan. Bukankah ia sudah berjanji untuk bersikap tenang tapi tegas" Berpegang teguh pada moral" Pemikiran tentang dua orang dewasa yang berbagi rumah" Apa sih yang terjadi padanya"
Patrick Dalton, pikir Jessie getir. Seorang pria dan anjingnya. Dan istrinya yang sudah meninggal. Semua membebani hatinya. Ia melangkahi tanaman yang bertebaran, kompos dalam pot yang berserakan di ruang depan, dan menaiki tangga. Lupakan berbagi. Ia tidak sudi berbagi rumah dengan Patrick Dalton seandainya pria itu Lord Chief Justice sekalipun.
Jessie mengusir Mao dari tempat tidur bayi, mengganti seprai, dan membaringkan Bertie di dalamnya. Keponakannya itu mulai merengek.
Tempat tidurnya sendiri berantakan dan kotor, penuh dengan jejak kaki kucing. Jessie melepas seprai dan menggantinya. Rengekan Bertie semakin keras. Sulit untuk tidak diacuhkan, tapi ia tahu Bertie lelah dan mungkin akan segera tertidur. Tapi Jessie tidak akan meninggalkannya sampai Bertie benar-benar tertidur. Meskipun sebenarnya ia merasakan dorongan untuk turun.
Patrick sudah menyalakan kembali pemanas airnya, jadi Jessie memutuskan untuk mandi cepat-cepat dan membersihkan diri dari campuran makanan bayi yang lengket dan debu dari lemari sapu. Saat ia selesai, Bertie sudah berhenti merengek.
Jessie tersenyum sambil membungkus tubuhnya
171 dengan handuk. Ia sudah mulai terbiasa menangani bayi. Seandainya saja ia bisa menemukan cara untuk menangani Patrick Dalton, maka hidupnya akan kembali te
nang. Jessie membuka pintu dengan hati-hati, supaya tidak membangunkan Bertie. Ia tidak perlu melakukannya Patrick sedang menggendong Bertie, berjalan mondar-mandir, dan bayi itu menggigiti mainan barunya.
"Apa yang sedang kaulakukan"" tanya Jessie ketus.
Patrick berputar, mengawasinya sesaat, kemudian berkata, "Dia tadi menangis."
"Tentu saja dia menangis. Bayi-bayi selalu menangis waktu kau menaruh mereka di tempat tidur," dengus Jessie marah. "Kalau kau membiarkannya, mereka bakal berhenti sendiri."
"Tapi untuk apa membiarkannya sedih seperti itu kalau aku bisa menggendong dan membuatnya senang""
"Kalau tidak salah itu namanya "mencambuk punggungmu sendiri" dalam hubungan ibu-bayi."
"Dia masih kecil, Jess. Dia baru saja dipindahkan dari lingkungan yang dikenalnya. Dia perlu dipeluk."
"Aku mengutip teorimu, bukan mencoba untuk membenarkannya, lagi pula, memangnya aku tahu apa""
"Kau melakukannya dengan baik. Ayolah, Bertie. Sudah waktunya tidur." Patrick melintasi ruangan menuju tempat tidur bayi dan membaringkannya.
172 Bertie berceloteh senang sambil mengunyah mainannya.
"Kuharap kau sudah mencuci benda itu sebelum memberikannya pada Bertie."
"Ya, Jessie. Aku sudah mencucinya. Sekarang, menurutmu kita bisa berdamai tidak" Aku sudah mengatur makan malam-"
"Tidak, aku yang sudah mengatur makan malam," tukas Jessie.
"Aku tidak berminat pada baked beans, terima kasih."
"Bukan, maksudku-" Bel pintu berdering. Sudahlah, toh Patrick bisa melihatnya sendiri. "Maukah kau membukakan pintu," tanya Jessie, "sementara aku berpakaian""
"Jangan repot-repot melakukannya demi aku. Aku suka handuk itu." Pandangan Patrick menelusuri tubuh Jessie hingga berhenti di paha wanita itu. "Aku juga suka tato kepikmu."
Jessie merona merah dan berusaha menarik handuknya menutupi tato tanpa memamerkan bagian tubuhnya yang lain. "Itu pernyataan yang sangat pribadi!"
"Yeah"" sahut Patick sambil menyeringai lebar. "Tambahkan itu dalam daftar keluhanmu dan tuntut
aku." Patrick tidak menunggu benda-benda beterbangan. Sejujurnya. Patrick tidak percaya ia mengatakannya. Tapi bila dipikir-pikir lagi, seandainya ada yang bertanya padanya seminggu yang lalu,
173 ia pasti akan menertawakan siapa pun yang mengusulkan padanya untuk berbagi rumah dengan seorang wanita. Apalagi dengan wanita yang memiliki bayi.
Aroma tubuh mungil Bertie yang hangat menempel di tubuhnya. Napas bayi yang berbau susu. Patrick merindukan itu. Ia merindukan semuanya. Gigi pertama. Langkah pertama. Kata pertama. Hari pertama masuk sekolah.
Patrick mengusap wajah dengan kedua tangannya. Semua itu bukan salah Jessie. Seharusnya ia tidak menimpakannya pada Jessie. Wanita itu kelihatan capek. Tidak aneh; Jessie sudah mengalami hari yang Patrick harap tidak menimpa siapa pun.
Patrick sendiri sudah mengalami hari yang lebih buruk, jauh lebih buruk, hari-hari yang ia harap tidak akan pernah Jessie alami. Tapi mungkin itu malah bisa menjadi titik awal. Mereka berdua sudah mengalami hari yang buruk. Mungkin, bersama-sama mereka bisa melakukan sesuatu tentang hal itu.
Ia membuka pintu depan. Ternyata makanan yang dipesannya. Sedikit lebih awal, tapi mungkin lebih baik begitu. Ia memberi tip pada si pengantar makanan, membawa bungkusan itu ke dapur, dan menyalakan oven untuk menjaga makanan tetap hangat. Ia baru membuka bungkusan pertama dan sedang bertanya-tanya apa yang salah waktu pintu dapur membuka di belakangnya.
Di luar, Grady diam di anak tangga. Anjing itu merengek pelan, ekspresinya sangat sedih. Lalu ia
174 mencium aroma ayam dan ekornya mulai bergoyang penuh harap
Bel pintu berdering lagi, dan kali ini tidak ada yang menjawabnya. Jessie menghela napas, mematikan pengering rambut, dan pergi ke bawah.
Ternyata kiriman makanan dari restoran. Ia memberi tip pada si pengantar makanan dan menutup pintu, kemudian turun ke dapur. Patrick tidak kelihatan di mana-mana.
Ia mengangkat bahu, membuka kolak, memeriksa ke dalam karton, lalu wajahnya mengerut. "Sialan!" ujarnya. "Dari mana datangnya semua ini"" Di belakangnya ada bunyi "klik" dan Jessie langsung memutar tubuhnya.
Grady berdiri di ta ngga, tampak sangat puas dengan dirinya sendiri. Patrick muncul di belakang anjingnya, wajahnya takjub.
"Kau benar, Jessie."
"Jangan kaget begitu. Itu kan bukan hal yang aneh," sahut Jessie sambil memandang anjing itu dengan gelisah. "Tentang apa""
"Keluarlah dan aku akan menunjukkannya padamu."
Itu jebakan. Patrick akan menguncinya di luar bersama anjing itu. "Kalau kau mengunciku di luar, aku bersumpah akan menelepon koran hari Minggu." Jessie menggenggam telepon selulernya untuk menunjukkan pada Patrick bahwa ia tidak main-main. Ponselnya menyala menandakan "baterai lemah". Mungkin Patrick belum mengetahuinya.
175 "Bateraimu lemah," ujar Patrick. "Kau aman kok. Kalau aku menguncimu di luar, kau akan berdemonstrasi sendirian, duduk di trotoar, dan aku yang terpaksa mengurus si bayi. Ayolah." Patrick mencengkeram kalung leher Grady kuat-kuat dan memegangnya di satu sisi sementara Jessie berjalan merapat ke dinding dan dengan gugup melewatinya. Kemudian Patrick menutup pintu.
"Sekarang apa""
"Sekarang Grady akan menunjukkan padamu kemampuan barunya. Buka pintunya. Grady." Anjing besar itu mengangkat satu kakinya dan menekan pegangan pintu. Pintu mengayun terbuka. "Molly memang sempat menyinggung soal mengajari anjing tua keterampilan baru, tapi aku tidak terlalu memperhatikan." Patrick memerintahkan Grady untuk duduk lalu berjongkok sampai wajahnya sejajar dengan anjingnya. "Grady, ini Jessie. Kau membuatnya gugup, jadi aku ingin kau menunjukkan padanya seberapa baik kau bisa bersikap." Patick berbalik menghadap Jessie sambil mengulurkan tangannya. "Kemarilah, akan kuperkenalkan kalian secara resmi."
Jessie mundur selangkah. "Tidak usah, terima kasih."
"Kalau kau akan tinggal di sini- "Aku memang-"
"-sampai kau berhasil memperoleh tempat ting gal sendiri, kalian harus bisa berteman."
"Tidak kalau kau yang pindah dan membaw anjing itu."
176 "Itu tidak akan terjadi. Berikan tanganmu."
"Tolong jangan lakukan ini...," Jessie memohon. Patick menunggu. Dalam hati Jessie tahu pria itu benar. Masalahnya terletak pada Jessie sendiri, bukan pada Grady. Walaupun begitu, ini terlalu berat baginya.
"Jessie, aku takkan membiarkan hal buruk terjadi padamu. Aku janji."
Patrick begitu mudah dipercaya. Kalau saja saat ini Jessie sedang duduk di kursi saksi, ia bakal mengakui pembunuhan sadis yang telah dilakukannya saat mendengar janji seperti itu. Tapi menyentuh Grady hal yang sama sekali berbeda. "Aku tidak bisa."
"Sudah saatnya menghapus kenangan tentang anjing yang jahat. Grady akan membantumu kalau kau mengizinkannya." Jessie masih bergeming. "Kalau Bertie dalam bahaya, kau pasti melakukannya. Benar, kan" Kau bersedia melompat ke jurang demi Bertie."
"Ya," bisik Jessie.
"Ya," ujar Patrick. "Well, Grady sama sekali tidak seburuk itu. Dia benar-benar anjing jinak yang tidak akan menyakiti seekor lalat pun."
"Katakan itu pada piring-piringmu."
"Kucingmu yang menjatuhkan piring-piring itu saat memanjat ke atas meja." Jemari Patick membujuk semakin dekat. Jemari yang panjang dan indah. Menyentuh jari itu akan sama berbahayanya dengan menyentuh Grady. "Kucingmu
177 berhasil mengalahkan Grady tanpa kesulitan sedikit pun. Kau juga bisa."
"Dia bukan kucingku," tukas Jessie sambil menyelipkan tangannya dalam tangan Patick, dan untuk sesaat pria itu menggenggam tangannya dengan ringan.
"Kita bisa berdebat soal itu nanti." Jessie sangat gemetaran hingga Patrick ingin menggenggam tangannya untuk menenangkan, tapi kalau ia mempererat pegangannya, Jessie akan panik dan menjauh. Toh Jessie bakal tetap melakukannya. Patrick tidak perlu tergesa-gesa. Ia berdiri, mengangkat tangan Jessie ke bibirnya, dan menciumnya. "Bertukar bau," katanya, ketika Jessie terperanjat dan langsung menengadah menatap wajahnya. "Sekarang kita sudah menyatu. Biarkan dia mencium jemarimu," ujarnya lembut. Jessie memekik gugup. "Aku memegang tanganmu. Kau akan baik-baik saja."
"Bagaimana kalau kucingnya lewat"" Jessie masih mencoba mencari-cari alasan untuk menghindar menyentuh Grady.
"Kalau kucingnya lewat, kau hal terakhir yang dipikirkan Grady. Percayalah padaku." Patrick"
bukan orang bodoh. Ia tahu ini strategi berisiko tinggi, tapi jelas sekali bahwa tak seorang pun- semenjak Jessie digigit waktu kecil pernah berusaha membuat wanita itu menghadapi rasa takutnya. Patrick mengulurkan tangan dan mengelus kepala anjingnya yang berbulu kusut, sementara ibu jarinya terus mengelus-elus tangan Jessie, me-
178 nenangkannya. "Biarkan dia mencium punggung tanganmu." Jessie perlu berusaha keras untuk mengulurkan tangannya, sama kerasnya untuk tidak menariknya kembali waktu anjing itu mengendus-endus dengan hati-hati, tanpa menyentuh. "Baik. Cukup. Tiarap, Grady." Patick berbalik menghadap Jessie. "Sekarang kau yang mengatakannya." "Tiarap, Grady""
"Ucapkan sebagai perintah." Jessie berdeham dan mengulanginya dengan suara sedikit gemetar Grady tidak kelihatan terkesan, tapi Patrick tidak mendesak Jessie lebih jauh.
"Baik. Ingat itu. Ucapkan itu kalau dia terlalu dekat, atau setiap kali dia membuatmu gugup."
Patrick masuk kembali ke dapur, diikuti Jessie, yang menutup pintu di belakangnya dengan mantap. "Itu saja"" tanya Jessie, terkejut.
"Memangnya kaukira apa yang akan kulakukan" Memasukkan tanganmu ke mulutnya""
"Kupikir aku harus mengelusnya."
"Pertama kau bilang halo. Lain kali kau menyentuh. Kalau kau ingin. Kau tidak harus melalaikannya. Sekarang, bisakah kita makan""
"Oh, ya." Jessie hampir pingsan karena lega. "Aku baru mau bilang padamu..." Patick tidak menyadari betapa takutnya wanita itu. Ia hanya menyadari betapa sulitnya Jessie melakukannya dan ingin memeluk wanita itu karena sudah sangat berani.
"Aku sudah memesan makanan dari Giovanni"s. Baru saja datang. Setidaknya sesuatu datang-"
179 "Pantas." "Apa""
"Aku memesan makanan vegetanan India untuk jam delapan. Waktu Grady membuka pintu, aku sedang berpikir kenapa aku mendapat ayam Italia pada jam setengah delapan."
"Oh." Patrick menunggu. "Aku baru mau menjelaskan. Sambil minum anggur nanti." Jessie mengalihkan pandangannya ke mana pun selain ke arah Patrick. "Kau punya piring yang masih utuh"" Itu bukan pertanyaan serius, hanya usaha untuk menunda hal yang tak terhindarkan. Usaha itu tidak berhasil.
"Menjelaskan apa"" Jessie membuka lemari, menyibukkan diri mencari-cari piring. "Aku sudah menaruh beberapa piring beserta ayamnya dalam oven supaya tetap hangat. Menjelaskan apa sambil minum anggur"" desak Patrick.
Jessie berbalik. tapi tidak begitu memandang matanya. Tentang pernyataanku bahwa aku vegetarian."
"Aku mendengarkan."
Jessie sempat berpikir untuk menceritakan pada Patrick seluruh kisah sedihnya, mulai dari waktu Graeme mengetuk pintunya dan menjungkirbalikkan hidupnya. Tapi ia capek dan lapar, dan mungkin Patrick tidak akan tertarik sedikit pun. "Ceritanya panjang" Akhirnya Jessie melihat tepat ke arah Patrick. "Bisakah kau menerima jika aku hanya mengatakan maaf""
Patrick balas memandangnya. "Begitu juga cukup." Untuk saat ini. "Bagaimana kalau kau
180 menyimpan sayur-sayuran itu di lemari es buat besok, sementara aku membuka sampanye"" Sepertinya itu pembagian tugas yang masuk akal, meskipun sedikit berbau diskriminasi gender. Tapi Jessie tidak terlalu memedulikannya. Ia menata semua makanan itu di atas piring, menaburkan game chip di atas ayamnya sebelum mengenyakkan tubuh di kursi. "Kapan terakhir kali kau tidur nyenyak"" tanya Patick saat memberikan gelas pada Jessie. Tebersit dalam benak Jessie saat ia terbangun dan mendapati Patrick sedang menunduk memandangnya, merasakan sensasi menyenangkan seolah-olah baru saja dicium. Sangat mendambakan untuk dicium lagi.
Seolah-olah saat itu ia memang dicium. Dia sama sekali bukan Putri Tidur. "Minggu malam," jawab Jessie.
"Kalau begitu lebih baik kau yang memakai tempat tidurnya. Aku bisa tidur di sofa malam ini."
"Tidak.." Jessie sudah hampir menolak dengan berbasa-basi seperti, Aku tidak bisa... sungguh...
"Kecuali kau senang berbagi lagi""
Wajah Jessie merona mengingat hal itu. Ia bisa memakai tempat tidurnya. Dan ia akan melakukannya. Lagi pula ia sudah membayar mahal untuk tidur di tempat tidur itu sendirian. Itu yang diinginkannya, kehidupan tanpa komplikasi. Dan kalau Patic
k merasa tidak nyaman, pria itu bisa pindah ke hotel. Kemudian, kenyataan bahwa pria itu tadi mengatakan "malam ini"
181 menusuk kebahagiaan atas kemenangannya. "Apa maksudmu dengan "malam ini"" Kalau Patrick pikir - "
"Besok aku akan membereskan kamar tambahan itu untukmu."
"Kamar tambahan" Kenapa aku yang mendapat kamar tambahan""
"Lebih mudah begitu, kan" Kalau tidak, aku harus memindahkan seluruh barang-barangku padahal kau belum mengeluarkan barang-barangmu. Setidaknya aku berasumsi itu alasan kau memakai jubah mandiku, kan""
Benar. Tapi Jessie tidak akan menyerah tanpa memperoleh keuntungan. "Aku mengerti maksudmu. Bertie dan aku akan mengambil kamar tambahan itu, tapi hanya kalau aku boleh menggunakan ruang kerja-"
"Aku sudah berniat menanyakan apa pekerjaanmu," ujar Patrick, sambil meraih botol anggur. "Tapi aku selalu saja lupa."
Jessie menyerah pada pengalihan pembicaraan itu. "Aku merancang website internet"
"Benarkah"" Kenapa sih pria selalu saja tampak takjub setiap kali ia memberitahu mereka apa pekerjaannya" Semua orang berpikir seolah-olah komputer hanya pantas digunakan kaum pria. "Kukira itu sesuatu yang dilakukan anak laki-laki ABG di waktu senggang."
"Memang. Tapi mereka tidak menghasilkan uang dari hal itu," sahut Jessie.
"Dan kau menghasilkan uang""
182 "Aku bekerja dengan rapi dan dapat diandalkan. Aku mengirimkan hasil kerjaku."
"Tidak jika aku tidak memperbaiki sambungan teleponnya."
Jessie menengadah, masih merasa sulit memercayai perubahan suasana hati yang tiba-tiba itu. Apa Patrick mengira bisa mengusirnya dengan mengisolasinya dari dunia luar" "Tidak perlu ber-susah payah demi aku. Aku bisa dengan mudah men-download lewat telepon selulerku." Segera setelah ia mengecas teleponnya.
Patick mengangkat bahu. "Silakan menggunakan ruang kerja. Toh aku juga harus mampir ke kantorku besok."
"Menggunakan ruang kerja ini sepenuhnya," ulang Jessie, "dan mendapat pengurangan uang sewa."
"Kau belum membayar uang sewa," balas Patrick, sambil memenuhi gelas Jessie. "Setidaknya padaku."
"Itu masalahmu."
"Sepertinya begitu." Lalu tanpa diduga-duga Patrick tersenyum lebar, dan semua garis tawa di wajahnya terlihat jelas. Senyum lebar seperti itu seharusnya diberi stempel peringatan berbahaya bagi kesehatan. Disegel di tempat yang aman supaya tidak melukai siapa pun. Senyum lebar seperti itu berbahaya. Bisa membuatmu melakukan hal-hal yang akan kausesali setelah kau sempat memikirkannya. Karena kau bakal punya banyak waktu setelannya. "Oke," ujarnya, sementara Jessie masih berusaha memanggil kembali sekumpulan
183 hormonnya yang melakukan terjun bebas menuju kehancuran. "Tapi kau harus menyirami tanamannya. Yang tersisa dan tanaman-tanaman itu."
"Mungkin sebaiknya kaubuang saja tanaman itu ke tempat sampah supaya menghemat waktu kita berdua. Tanaman cenderung jadi layu kalau aku lewat." Jessie mengangkat bahu. "Tadinya aku bemiat mengganti tanaman itu sebelum aku pergi nanti."
"Kau memang punya kecenderungan menghancurkan tempat yang kaulewati, ya""
"Hidup ini terlalu singkat untuk mengurusi tanaman rumah yang membosankan."
"Rupanya kau dan Carenza punya banyak kesamaan." Jessie cukup yakin itu bukan pujian, tapi ia terlalu sibuk menyadari kenyataan bahwa hidup ini terlalu singkat untuk disia-siakan, titik, untuk membalas komentar Patick. Jessie sedang berpikir-pikir apakah ia bisa berbagi kesadaran yang tiba-tiba muncul ini saat Patick berkata, "Ini benar-benar lezat. Aku sudah dengar bahwa Giovanni"s tempat makan yang enak."
"Memang. Aku sering makan di sana."
"Bersama Graeme""
Bersama Graeme. Jessie mengangguk dan menusukkan garpunya ke daging ayam. Bagaimana ia bisa termakan tipu daya Pria itu" Patrick orang asing-terlepas dan beberapa jam janggal yang mereka luangkan di tempat tidur yang sama- namun pria itu sudah menyiapkan makanan vegetarian karena Jessie mengaku padanya bahwa ia
184 vegetarian. Dan Patrick membayar sendiri makanan itu. "Sebaiknya kau menikmati makanannya. Aku tidak akan melakukan hal ini lagi dalam waktu dekat, karena aku sedang menabung untuk membeli lemari sapuku sendiri."
"Mungkin ka u seharusnya agak menekan ayah Bertie untuk bantuan keuangan. Setidaknya demi Bertie."
Dan itu masalah lain lagi. Jessie tidak suka membiarkan Patick salah paham tentang siapa Bertie sebenarnya. Tapi siapa tahu pria itu masih berusaha memancing-mancing, bahkan saat ini, mencari jalan keluar dari situasi yang dibebankan Carenza padanya. "Makanlah, Patrick," ujar Jessie, tidak menghiraukan pertanyaan yang diumpankan padanya. "Masih ada puding zabaglione."
"Aku tidak suka puding."
"Tidak" Well kalau begitu, aku akan membawa bagianku ke atas, kalau kau tidak keberatan. Aku perlu bekerja beberapa jam lagi sebelum tidur." Koreksi, ia perlu memberi jarak antara dirinya dan teman serumahnya yang baru dan sanggup mengacaukan pikirannya ini. Jessie berhenti di ambang pintu. "Kau tidak keberatan kalau aku memintamu mencuci piring, kan"" Ia tidak menunggu jawaban. "Oh, dan kalau kau memerlukan seprai dan perlengkapan tidur lainnya, bisakah kau segera mengambilnya""
Sensitif sekali, pikir Patrick, sambil duduk kembali. Jessie sangat sensitif jika statusnya sebagai
185 orangtua tunggal disinggung-singgung, tapi sangat teguh untuk hidup mandiri. Mungkin Patick sendiri yang harus sedikit menekan ayah Bertie. Mendapatkan bantuan untuk membeli rumah dan Pria itu, supaya bisa sedikit mempercepat penyelesaian masalah ini. Pengaruh sepucuk surat resmi dari pengacara kelas atas sangatlah besar. Dan banyak pengacara kelas tinggi berutang budi padanya.
Kecuali, tentu saja, Patrick sama sekali tidak tahu siapa ayah Bertie. Selain bahwa namanya adalah Graeme. Dan bahwa Jessie tidak mau membicarakan pria itu.
Mungkin Pria itu masih tinggal di alamat Jessie yang lama. Alamatnya tercantum dalam surat perjanjian sewa. Dan kalau Pria itu tidak tinggal di sana lagi, dia pasti meninggalkan alamat barunya pada pemilik rumah untuk mengirimkan surat-suratnya.
Patrick menjatuhkan setumpuk bantal di atas sofa dan memikirkan kelebihannya dibandingkan tempat tidur: sofa itu lebih besar daripada sofa pada umumnya, tapi tidak cukup besar untuk tidur dengan nyaman. Ia harus melakukan sesuatu tentang hal itu. Membersihkan kamar tambahan, membeli tempat tidur yang pantas...
Yang sama saja seperti mengundang Jessie untuk tinggal selama yang diinginkan wanita itu.
Kenapa tidak" Gagasan membiarkan Jessie tinggal, bukan hanya untuk beberapa minggu, tapi selamanya, begitu menggoda Patrick sampai-sampai terasa menakutkan.
186 * * * Bertie sudah tidur, Patrick ada di bawah, mungkin sudah tidur di sofa. Akal sehat Jessie menyarankan sudah saatnya mengikuti jejak mereka dan mencoba tidur. Namun karena rutinitasnya tertangguhkan selama beberapa hari ini, ia harus bekerja selagi sempat. Besok ia akan mengikuti saran Patrick untuk tidur kalau ia punya kesempatan dan mengatur waktu tidur siangnya agar bersamaan dengan waktu tidur siang Bertie. Sekarang-well, setidaknya saat ini tenang.
Jessie memasang telepon selulernya untuk dicas dan mulai bekerja. Ia masih terus bekerja hingga matanya perih. Kemudian sambil terhuyung-huyung ia kembali ke kamar tidur memeriksa Bertie sebelum menggosok gigi, memakai pakaian tidurnya, dan jatuh tertidur dengan nyenyak dan bahagia.
Patrick mendusin, terbangun oleh lengkingan tangis bayi, lalu berguling, dan jatuh ke lantai. Ia menyumpah-nyumpah, berdin, dan meregang untuk menghilangkan rasa pegal pada punggungnya. Sekarang tengah malam dan ada bayi yang menangis. Jessie benar. Kenangan memang lebih dan hanya sekadar gambar di kertas. Patick takkan pernah melupakan suara itu, keinginan mendesak untuk ditenangkan.
Patick berhenti tanpa terlihat di ambang pintu kamar. Jessie berdiri memunggunginya, berjalan
187 mondar-mandir di kamarnya sambil terus mengayun-ayun Bertie dalam gendongannya. Rambut wanita itu tergerai di bahunya, berkilauan tertimpa sinar dari lorong, suaranya begitu merdu ketika berusaha menenangkan Bertie. "Sshh, Sayang. Jessie di sini. Kau tidak ingin membangunkan Patrick..." Ia berbalik dan melihatnya. "Oh."
Protes Bertie semakin melengking saat Jessie berhenti bergerak dan berhenti mengayunnya. Patrick mengulurkan tangannya. "Ba
gaimana kalau kugantikan""
"Oh, tapi-" "Aku tidak bakal bisa tidur lagi." "Aku bisa turun bersama Bertie. Kau bisa tinggal di sini."
Patrick membayangkan dirinya berbaring di tempat tidur yang hangat bekas ditiduri Jessie, membenamkan wajahnya di bantal yang masih menunjukkan bekas kepala wanita itu. Patrick ingin lebih dari itu. Lebih dari sekadar kehadiran bayangan. Ia mendambakan tubuh Jessie seutuhnya. Patrick tahu itu; ia hanya tidak yakin kenapa. "Kau tampak letih, Jessie. Kembalilah tidur." Patrick mengambil Bertie dari tangannya. Menyandarkan bayi itu di bahunya. "Kami akan baik-baik saja." Lalu, ketika Jessie masih ragu-ragu. Patick mulai berjalan mondar-mandir seperti yang tadi dilakukan Jessie. "Ayolah, Bertie," gumam Patick. "Mummy wanita sibuk. Kalau dia tidak mendapatkan istirahat malam yang cukup, dia tidak bakal punya tenaga untuk mencari rumah besok pagi, benar kan""
188 Ada suara pelan tapi jelas. Lalu Patrick mendengar Jessie naik ke tempat tidur. Ketika ia berbalik, Jessie sudah menarik selimut sampai sebatas telinga dan memunggungi Patrick. Ia tersenyum dalam rambut ikal si bayi, menciumnya, dan kemudian, dengan sangat perlahan, kembali turun dan membaringkan tubuhnya di sofa bersama Bertie yang berbaring dalam lekukan tangannya.
Bertie sangat tampan. Matanya yang besar berwarna gelap, kulit yang lembut, senyum yang cukup manis untuk mematahkan hatinya. Fakta yang sangat mengejutkan, karena tadinya Patrick merasa yakin hatinya sudah patah, hancur tanpa bisa diperbaiki lagi.
Jessie menemukan mereka beberapa saat setelah subuh, ketika ia mendadak terbangun dan dengan panik berlari turun. Ia berhenti di ambang pintu ruang duduk, kepanikannya tampak konyol ketika dihadapkan pada pemandangan yang begitu menyentuh.
Patrick berbaring telentang di sofa, Bertie berbaring di dada Patrick yang telanjang. Mereka kelihatan begitu sempurna bersama, begitu nyaman. Sepertinya sayang untuk mengganggu salah satu dari mereka, tapi Bertie pasti mendengar Jessie, karena bayi itu menengadahkan kepalanya yang mungil untuk menatap bibinya. Jessie meletakkan satu jari ke bibir, kemudian mengangkat Bertie dengan hati-hati supaya tidak membangunkan Patrick
Patrick tidak bergerak, dan setelah beberapa
189 saat, Jessie memaksa dirinya berlalu dari sisi pria itu dan turun menuju dapur.
Patrick terbangun dengan kaget, merasa kehilangan sesuatu, ia langsung terduduk, tubuhnya berkeringat, gemetaran, dan ia tergesa-gesa menuruni tangga dan menuju dapur.
"Semuanya baik-baik saja"" Jessie berbalik dengan terkejut, tangannya memegang sekarton susu. "Kau seharusnya membangunkanku."
"Aku tidak mau membangunkanmu." Ekspresi Jessie mengingatkan Patrick akan reaksinya yang berlebihan dan tingkah lakunya yang aneh. "Aku minta maaf karena kami mengganggumu semalam."
Patick mengibaskan tangannya tak acuh. "Tak jadi masalah."
"Itu tidak benar. Kau sangat baik karena mengambil Bertie. Seharusnya semalam aku langsung tidur dan bukannya bekerja dulu."
"Kau bekerja"" Patrick sangat marah pada Jessie, pada Pria yang sudah melakukan ini pada wanita itu. "Seharusnya kau tidak bekerja." Kemudian sambil menyisiri rambut dengan tangannya, Patrick berkata, "Maafkan aku, itu bukan urusan-ku, tapi merawat bayi adalah pekerjaan yang menuntut waktu penuh. Kau perlu merawat dirimu sendiri."
Jessie menahan diri untuk tidak menguap. "Mungkin kau benar. Tapi kau bisa menjadi ayah pengganti yang hebat lho."
Tubuh Patrick menegang nyeri. "Well, kau harus
190 bisa mengatur segalanya sendiri tanpa aku hari ini. Agendaku sangat kosong dan sekretarisku pasti sudah gatal ingin mengisinya."
"Mau kubuatkan sarapan sebelum kau pergi""
Godaan untuk mengatakan ya, untuk duduk dan berpura-pura menjadi keluarga bahagia, terasa sangat kuat. "Tidak, terima kasih. Aku akan membeli sesuatu dalam perjalanan nanti."
"Baiklah. Bagaimana dengan Grady"" Jessie mengernyit. "Apa yang kaulakukan padanya semalam""
"Aku meletakkan tempat tidurnya di garasi. Dan hari ini aku akan membawanya." Setelah mengucapkannya, Patrick langsung menghilang. Jessie mengangkat bahu dan tak lama kemudian ia
mendengar pintu depan dibanting menutup.
"Dan semoga harimu juga menyenangkan," gumamnya.
"Miss Hayes"" Penjaga pintu di Taplow Towers mengawasi Patrick dengan saksama dan, karena kelihatannya tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, ia mengangguk. "Dia pindah beberapa hari yang lalu. Wanita yang sangat baik. Saya menyesal melihatnya meninggalkan tempat ini." Dia mengangkat bahu. "Kalau kau mau tahu pen- dapatku, dia bagai embusan angin segar di tempat ini"
"Kenapa dia pergi""
"Well, gara-gara bayi itu, kan" Begini, semuanya tercantum dalam peraturan sewa, tidak ada anak-
191 anak, tidak ada binatang peliharaan. Anda tertarik untuk mengambil alih apartemen Miss Hayes""
"Aku tertarik dengan ayah si bayi. Di mana dia"" Patrick mengeluarkan selembar uang dari dompetnya dan penjaga pmtu itu meraih dan meremas uang itu dengan gerakan yang nyans tak terlihat.
"Dia dan istrinya pergi." Pria itu mengangkat bahu. "Begitulah yang kudengar." istrinya" Ayah Bertie sudah menikah" "Memang sedikit tak terduga. Membuat Miss Hayes sangat shock."
Delapan JESSIE men-dial server-nya untuk men-down-load pekerjaan yang sudah diselesaikannya malam sebelumnya, lalu tidak beranjak dan sana.
Informasi. Semuanya ada di internet, kalau kau tahu ke mana harus mencari. Ia tinggal mengetik beberapa kata kunci dan ia bisa menemukan semua yang ingin diketahuinya tentang Patrick Dalton. Kasus-kasus yang pernah ditanganinya. Istrinya.
Ia tinggal serumah dengan si pengacara QC dan sepertinya masuk akal kalau ia mencari tahu sebanyak yang ia bisa tentang pria itu. Selain itu, ia juga bertanggung jawab terhadap Bertie...
Alasan yang sangat dibuat-buat untuk menutup-nutupi keingintahuannya yang sangat besar Kalau Patrick berniat mencelakainya, pria itu punya banyak kesempatan untuk melakukannya. Kalau ia memang ingin mencari tahu, sebaiknya ia jujur saja dengan motifnya.
Hanya saja Jessie tidak begitu yakin dengan motifnya.
193 Kalau ia tertarik pada Patrick, misalnya melihat pria itu sebagai calon kekasihnya, well, itu bisa membenarkan keingintahuannya. Dengan gugup-Jessie cepat-cepat mengalihkan otaknya dari pemikiran itu. Lalu perlahan kembali lagi untuk menjajaki ide itu, mendorongnya hati-hati, rasanya hampir seperti mengulurkan tangan untuk menyentuh Grady, tak yakin apakah anjing itu akan menggigit atau tidak.
"Oh, yang benar saja!" seru Jessie. Patrick memang sudah menciumnya. Dia mungkin sudah mencium lusinan wanita, yang histeris maupun tidak. Setiap saat. Pria itu pasti sudah banyak berlatih untuk bisa semahir itu.
Dan bagaimana dengan caranya mencium Patrick"
Patrick sedang sedih. Ciuman itu tidak berarti apa-apa.
Tidak berarti apa-apa. Jadi kenapa ia masih bisa merasakan air mata yang asm di kulit Patrick, lidahnya yang lembut, merasakan tangan pria itu melingkari tubuhnya, mendekapnya erat, seolah-olah Patick benar-benar memedulikan keselamatannya maupun keselamatan Bertie"
Sesaat jari-jari Jessie terdiam di atas tuts, lalu ia menggeser pointer pelan-pelan di layar. Ia sedang bekerja dan kehidupan pribadi Patrick Dalton sama sekali bukan urusannya.
Ia sudah melepaskan diri dan kerumitan semacam itu, Jessie mengingatkan dirinya sendiri
194 dengan tegas, lalu berkonsentrasi kembali untuk memeriksa update yang sedang dikerjakannya. Jessie terlonjak kaget waktu melihat Patrick. Pria yang berpenampilan layaknya pengacara sukses dalam setelan tiga potongnya yang berwarna abu-abu gelap itu memperhatikannya dan ambang pintu.
"Sudah berapa lama kau berdiri di sana"" tanya Jessie, wajahnya merona merah saat menyadari ia nyaris tepergok sedang mencari tahu tentang pria itu.
Patrick beranjak dan pintu, melintasi ruangan menuju meja Jessie, dan mencondongkan badannya untuk melihat web page yang sedang dibuka wanita itu. "Mungkin satu menit. Mungkin lebih. Apa kau selalu seserius itu saat bekerja""
"Memangnya kau tidak"" tukas Jessie ketus. "Kukira kau hendak pergi ke kantormu hari ini."
"Rencananya sih begitu. Tapi aku baru sadar aku belum mengapa-apakan kamar tambahan itu."
"Kau yakin tidak berharap aku sudah pindah sebelum kau merapikannya""
"Aku suda h membeli tempat tidur dan aku perlu mengeluarkan kardus-kardus dalam kamar itu sebelum tempat tidurnya tiba," ujar Patrick, tidak menyetujui ataupun menyangkal ucapan Jessie. Pria itu berdiri di belakangnya, mengambil alih mouse-nya, lalu mulai menjelajahi website yang sedang dikerjakan Jessie. "Ini salah satu hasil karyamu""
Jessie berbalik dan menatap layar, hal itu jauh lebih mudah danpada melihat Patick Dalton saat
195 pria itu mengutak-atik komputernya sesuka hati. "Ya. Ini pekerjaan besarku yang pertama. Tempat pengembangbiakan bunga liar di Maybridge. Stacey lebih banyak melakukan bisnisnya lewat internet."
"Dia mengekspor tanamannya""
"Tidak, dia berpendapat bahwa semua spesies harus berada di habitat aslinya, tapi dia mendistribusikan tanamannya ke seluruh Inggris "
Patrick memilih "hutan di musim semi", memilih bunga primrose, dan segera diantar ke halaman yang menjelaskan tanaman itu secara terperinci, tempat pertumbuhannya, tanah yang cocok, sekaligus tanggal pengiriman, biaya, serta undangan untuk "beli aku". "Sangat menggoda," ujar Patrick. "Apa orang-orang berminat membeli""
"Usaha Stacey berkembang, jadi kurasa banyak yang membeli." Patick meneruskan penjelajahannya. "Kau bisa, tentu saja, mengetik nama umum atau botanikal untuk bunga yang kaucari dan mendapat hasil yang sama," ujar Jessie gugup saat Patick mencondongkan badan ke arahnya, lengan Patrick mengusap bahunya, napasnya meniup rambutnya. Jessie ingin menyandarkan tubuhnya pada Patick, merasakan kekuatan pria itu menahan tubuhnya.
"Apakah bayarannya bagus""
"Menjual bunga liar"" Jessie balik bertanya, terganggu oleh kedekatan Patrick.
"Mendesain website," ujar Patrick dan saat Jessie menengadah, ia mendapati Patrick tidak sedang melihat ke layar, tapi ke arahnya.
Jessie merasakan dorongan kuat untuk meraih
196 Patrick, menangkup wajah pria itu dengan kedua tangannya, dan menciumnya. Jessie ingin mengatakan padanya bahwa dirinya bersedia melakukan apa pun, bahkan dengan risiko kehilangan hatinya sendiri, seandainya hal itu bisa menghapus kesedihan Patrick. Tapi sebaliknya Jessie malah berkata, "Minta aku mendesain website untukmu dan akan kuberikan rincian harganya."
"Dengan kata lain, urus saja urusanku sendiri"" Patrick tersenyum. "Apa kau akan sibuk sepanjang hari""
"Kenapa" Kau butuh bantuan untuk memindahkan kardus-kardus itu""
"Tidak. Aku hanya berpikir mungkin kita bisa membawa Bertie jalan-jalan dan makan siang di suatu tempat setelah aku membereskan kamarmu. Perabotnya baru datang siang ini."


Bayi Pinjaman Baby On Loan Karya Liz Fielding di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Membawa Bertie jalan-jalan""
"Hari ini sangat indah. Lagi pula kau kan harus makan."
"Mm, ya." Perabot" Jessie mengira ia hanya membutuhkan tempat tidur. Mengingat tekadnya untuk tidak memperumit masalah, ia membatasi komentarnya hanya pada undangan Patrick untuk makan siang. "Tapi makan siang di luar" Sambil membawa bayi""
"Hanya makanan yang sederhana. Sandwich di taman, mungkin""
Menggoda. Sangat menggoda. Tapi Jessie curiga ada udang di balik balu. "Sayangnya han ini hanya bisa berjalan-jalan di kebun dan makan
197 sandwich di teras." Itu pun sudah cukup menyenangkan kalau dilakukan bersama Patrick. Tapi Jessie menyimpan bagian itu untuk dirinya saja. "Aku sedang mengejar tenggat."
"Pekerjaan bukan segalanya, Jessie. Dan kelihatannya kau perlu kena matahari." Patick meluruskan tubuhnya dan Jessie mulai bernapas lagi. "Tapi kebun juga sudah cukup. Aku akan membuatkan sandwich-nya."
Patrick tidak menunggu Jessie berdebat, tapi langsung beranjak pergi. Jessie merasa sulit mempertahankan konsentrasinya ketika Patrick mondar-mandir. Pria itu bekerja dengan mengenakan kaus usang dan jeans, membersihkan kamar tambahan itu dari kardus-kardus yang tersimpan di sana. Patrick menurunkan semuanya, menyingkirkannya, dan Jessie bertanya-tanya sendiri apa isi semua kardus itu. Patrick Dalton tidak kelihatan seperti Pria yang suka menyimpan barang-barang rongsokan.
"Perlu kubantu""
"Tidak perlu. Sudah hampir selesai kok." Lalu, seolah merasakan pertanyaan yang tidak terucapkan, Patrick berkata, "Seharusnya aku sudah menyingkirkan barang-barang ini sejak lama."
"Apa yang akan kaulakukan dengan barang-barang itu""
"Belia dulu suka membantu di tempat penampungan wanita. Sebagai konselor, dan semacamnya. Aku meneruskannya setelah dia meninggal. Mereka pasti senang..." Patick terdiam. "Belia pasti senang jika barang-barangnya bisa bermanfaat."
198 "Aku yakin begitu." Jessie melihat ke sekeliling, lalu melihat alat penyedot debu. "Well, omong-omong, aku bisa membersihkan karpetnya."
"Dengan harga sewa yang kaubayar""
"Kau selalu bisa menurunkan harga sewanya. Aku bukan orang yang angkuh kok."
Patrick menyeringai. "Ya, well, mungkin aku akan melakukannya. Kita harus membahas soal itu. Tapi pembersihan rumah seperti biasanya dilakukan hari Senin, setelah Mrs Jacobs kembali dari liburannya."
"Mrs Jacobs""
"Dia datang selama beberapa jam setiap pagi."
"Sungguh" Carenza tidak pernah menyebut-nyebut soal dia."
"Carenza mungkin mengira para pen yang membersihkan rumah sementara dia tidur," ujar Patrick sambil tersenyum datar. "Tapi kamar ini sudah cukup lama tidak disentuh."
"Kenapa"" Terlambat, kata-kata itu sudah keluar sebelum Jessie mampu menahannya dan ia melihat Patick menarik diri.
Kenapa" Patrick tidak langsung menjawabnya. Sudah berapa kali Patrick mengajukan pertanyaan itu pada dirinya sendiri" Kenapa Belia" Kenapa Mary Louise" Kenapa aku" Tak ada jawaban.
Patrick menatap kebun ke arah pohon tempat ia berencana memasang ayunan. Tempat yang dipilihnya untuk membuat kotak pasir. Yah, mungkin Bertie bisa menikmati kotak pasir itu.
Patrick bisa saja bilang pada Jessie bahwa
199 kamar itu dulu merupakan kamar bayi perempuannya, tapi sebaliknya ia mengulurkan tangannya ke atas dan melepas tirai yang membingkai jendela. Gambarnya sudah memudar. Lalu ia berbalik untuk menjawab pertanyaan itu. "Karena kamar ini tidak diperlukan." Jari-jari Patrick menelusuri dinding. "Aku harus mendekor ulang."
"Kalau kau berpikir untuk buru-buru membeli sekaleng cat sekarang, jangan! Tolong!"
"Beritahu aku kalau kau berubah pikiran." Dan Patrick menyadari dirinya sedang tersenyum. "Kau boleh memilih warnanya. Mungkin kau lebih suka kertas "
"Patrick! Kuning sudah bagus. Warna yang cerah. Terang. Sempurna." Patrick mengangkat tangannya berpura-pura menyerah. "Kemarin kau tidak sabar untuk menyingkirkanku," Jessie mengingatkannya. "Apa yang menyebabkan kau tiba-tiba berubah seperti ini""
"Aku menepati isi surat perjanjian sewamu, Jessie. Setidaknya, aku menepati isi surat perjanjian sewamu yang baru."
"Tapi aku tidak perlu-"
"Surat perjanjian sewamu yang baru." sela Patick, "memiliki keuntungan karena keabsahannya."
"Keabsahan" Surat perjanjian sewa milikku seratus persen absah. Setidaknya..." Ia terdiam, sesuatu di wajah Patrick memperingatkannya bahwa ia tinggal selangkah lagi terperosok dalam masalah serius. "Sebaiknya kau memberitahuku."
200 "Sarah, gadis di agen penyewaan, adalah bekas teman sekolah Carenza, Sarah Blakemore. Waktu kau menelepon dalam keadaan putus asa untuk pindah ke suatu tempat secepat mungkin, agen itu tidak bisa menolongmu. Mereka memiliki ketentuan untuk mencari referensi dulu, yang akan memakan waktu Jadi Sarah, yang sangat ingin menolong teman lamanya, menghubungkanmu dengan Carenza, dan bahkan membuatkan surat perjanjian sewa standar dari agen itu."
"Agen itu tidak tahu""
"Sama sekali tidak. Sebenarnya manajernya agak marah, itu sebabnya aku minta mereka membuat surat perjanjian sewa lain dan membayar biaya mereka, kalau-kalau mereka memutuskan untuk mempermasalahkan hal ini. Kau bisa menemukan surat perjanjian sewa yang baru di meja ruang depan. Kau tinggal menandatanganinya."
"Tapi..." Jessie mencoba mencerna kata-kata Patrick. "Kau bisa saja mengusirku."
"Kurasa aku bisa melakukannya."
"Apa imbalannya"" tuntut Jessie.
"Tak ada imbalan. Tak ada ikatan. Tidak semua pria... well..." Patrick mengangkat bahu, menghindari kata yang tidak ingin diucapkannya. "Sebut saja dengan kata apa pun yang menurutmu paling cocok. Kau perlu tempat tinggal. Aku punya kamar lebih." Patrick memandang sekeliling kamar yang sekarang kosong itu, ekspresi wajahnya tak terbaca. "Jangan memperumit mas
alah ini." "Aku..." Jessie hampir bertanya apa rencana
201 Patick mengenai Grady, tapi ia berubah pikiran. Pria itu sudah berusaha sekuat tenaga memberinya tempat tinggal dan memenuhi kewajiban yang terpaksa ditanggungnya akibat ulah keponakannya yang gegabah. Jessie tidak bisa meminta pria itu menyingkirkan anjingnya. "Terima kasih, Patrick."
"Kalau begitu aku akan membawa Bertie turun, ya"" Patick tidak menunggu jawaban, langsung berjalan melewati Jessie di ruang belajar, dan mengangkat Bertie dan kursi kecilnya. "Makan siang lima belas menit lagi""
"Mm, ya. Kurasa."
Jessie bisa melakukan banyak hal dalam lima belas menit. Biasanya. Tapi usai membersihkan karpet, ia tidak bisa berkonsentrasi pada website-nya. Alih-alih, ia menelepon kakaknya. Dengan sedikit keberuntungan, mungkin Kevin akan mengangkat sendiri teleponnya.
Ia menghela napas saat mendengar alat penerima pesan berbunyi. "Kevin, Faye, kalau kalian sudah bangun dan sedikit saja tertarik... aku sudah pindah dari Taplow Towers."
Bukan hanya tubuhnya, Jessie menyadan, tapi juga jiwanya. Tadinya ia marah, tapi sekarang, well, ia siap mengakui bahwa tinggal di sana memang bakal menjadi kesalahan. Terlalu mudah untuk lari, bersembunyi, dan mengobati lukanya. Patick benar: tidak semua Pria seperti Graeme. Walaupun begitu, Jessie tidak akan membiarkan kakaknya bebas semudah itu.
"Sementara ini aku tinggal di Costwold Street,"
202 ujarnya. "Nomor 27. Kalian akan menerima tagihan untuk semua biaya kepindahanku dalam waktu dekat." Lalu Jessie menambahkan, "Omong-omong, Bertie baik-baik saja." Dan seolah-olah mendapatkan pikiran lain ia berkata, "Tapi kalau kalian sudah puas tidur, bisakah kalian segera menjemputnya" Aku punya kehidupan juga, kalian tahu. Dan kalau lain kali kalian perlu istirahat, bilang saja, hmm" Aku akan menyediakan waktu, aku janji."
"Kehidupan" Dia punya kehidupan"" "Dia memang kedengaran berbeda." "Dia kedengaran lebih seperti dirinya yang dulu." "Sebelum Bertie""
"Sebelum Graeme. Ya Tuhan, aku ingin sekali mencekik leher Pria itu. Tapi aku akan memuaskan diri dengan menciummu saja. Kau memang brilian, Faye. Aku tahu betapa beratnya minggu ini untukmu."
"Ah, tidak seberat itu kok. Kita sudah lama tidak menghabiskan waktu sebanyak ini di tempat tidur semenjak bulan madu kita."
"Semua hal yang bagus harus berakhir."
"Benar, tapi, karena Bertie ada di tangan yang baik, kurasa kita bisa meninggalkannya dengan aman selama satu-dua jam lagi."
"Apa yang sedang kaulakukan""
Patrick menengadah. "Menyuapi Bertie," sahutnya kalem. "Dia lapar. Pasta dengan keju. Benar, kan""
203 "Tapi-" Kemudian, "Bagaimana kau bisa tahu""
"Ada daftarnya di samping kotak. Entah kau ini sangat teratur atau punya ingatan yang buruk. Bagaimanapun juga, menurut daftar itu kalau hari Jumat Bertie harus makan pasta." Patick menawarkan sesendok lagi pada Bertie. Bayi itu melahapnya. Tanpa meludah, tanpa macam-macam. Patrick lebih baik dalam hal ini daripada aku, pikir Jessie, benar-benar terkesan.
"Kalau begitu, aku, mm, akan membuat susunya."
"Sudah jadi kok," ujar Patrick. "Sedang didinginkan."
"Kau cukup ahli."
"Itu masih bisa diperdebatkan, tapi aku cukup mampu membaca beberapa instruksi sederhana. Jadi kau bisa berhenti berkeliaran seperti tawon yang gugup, duduk, dan ambil saja sandwich-nya." Patrick mengulurkan tangan dan menuang segelas anggur untuk Jessie. "Karena kita sedang piknik dalam rumah, aku pikir kita bisa memanfaatkan lemari es di dekat kita dan menghindari hukum yang melarang minum-minum di tempat umum."
"Benar," ujar Jessie, sedikit kehabisan napas. Ketika hampir bergabung dengan Patrick di bangku kebun yang panjang, ia melihat Grady di bawah meja di kaki pemiliknya. Anjing itu berbaring di atas rumput, kepalanya direbahkan. Grady hanya memutar bola matanya ke arah Jessie, menghela napas, lalu matanya terpejam lagi. Patick, yang
204 memperhatikan kebimbangan Jessie, bergeser sepanjang kursi.
"Aku duduk dekat kepalanya, kau bisa duduk dekat ekornya."
"Terima kasih," ujar Jessie. "Kurasa." Dan Jessie duduk dengan sangat hati-hati di ujung bangku, mengangkat gelas
, dan menyesap anggurnya. "Kau tuan rumah yang lebih baik daripada Carenza."
"Terlepas dari anjingnya""
"Anjing... kucing..." Jessie kembali menyesap anggurnya untuk mengalihkan pikirannya dari per-gelangan kakinya yang berkedut. "Kau mau aku mengambil alih sekarang""
"Tidak, kami hampir selesai kok." Dengan cekatan Patrick menangkap tetesan makanan dengan sendok dan menyuapkannya kembali ke mulut Bertie. "Berapa umurnya""
"Eh..." Tangan Jessie terangkat gugup waktu ekor Grady bergoyang mengenai belakang kakinya dan ia menumpahkan sedikit anggur ke roknya. Patrick memberinya sehelai serbet dan Jessie cepat-cepat melap noda itu, sambil mengingatkan dirinya dengan cukup tegas bahwa ekor tidak menggigit. "Mm... enam bulan, lebih-kurang beberapa hari." Ia mengambil sepotong sandwich. "Wah, enak sekali. Kau benar-benar pandai menangani urusan rumah tangga."
"Untuk ukuran Pria" Kalau aku membuat komentar semacam itu mengenai keahlianmu dengan komputer, kau pasti menuduhku melecehkanmu."
205 "Mau pria atau wanita, yang pasti kau benar-benar mengalahkanku."
"Ya, well, ini karena aku sudah lama tinggal sendirian."
"Tak ada keluarga" Saudara laki-laki" Saudara perempuan"" Jessie buru-buru menambahkan untuk mengalihkan pikiran Patick dan istrinya yang sudah meninggal.
"Satu saudara perempuan, Leonora. Ibu Carenza. Dia sudah bercerai. Ibuku sekarang hampir memasuki masa pensiun dan tinggal di Prancis. Ayahku sudah meninggal."
"Apa ayahmu juga pengacara""
"Kami semua pengacara. Ibuku, ayahku semasa hidupnya, Nora, bibiku..." Patrick terdiam sejenak dan Jessie menyambung kata-katanya. Istrinya. Istrinya juga pengacara. Begitulah cara istrinya membantu para wanita di tempat penampungan. Memberi konsultasi hukum. "Dan Carenza sudah pasti akan mengikuti jejak ibunya dan bergabung dalam "tradisi" keluarga," lanjut Patrick sesaat kemudian. "Itu kalau dia bisa menenangkan diri dan mendapatkan nilai yang bagus saat melakukan ujian ulangnya." Patrick membersihkan mangkuk itu dengan sendok dan menyuapi Bertie dengan suapan terakhir makan siangnya. "Bagaimana denganmu" Di mana orangtuamu""
"Sedang keliling dunia. Ayahku menjual usahanya beberapa bulan lalu, dan dari pesta pensiunan mereka langsung berangkat ke bandara. Mereka seharusnya ada di Cina sekarang." Ia mulai berdiri. "Sebaiknya aku mengambil botol susu Bertie."
206 "Tidak usah. Aku akan mengambilnya beberapa menit lagi," ujar Patrick sambil meletakkan tangannya dengan ringan di bahu Jessie, menahan wanita itu tetap di sampingnya. Jari-jari Patrick terasa hangat melalui kain tipis kausnya, sentuhannya mempengaruhi Jessie, melingkupi jiwanya, dan ia merasakan dorongan yang hampir tak tertahankan untuk menunduk dan mengusapkan pipinya pada jari-jari itu.
Jessie menengadah, terpana oleh kuatnya perasaan yang timbul dalam dirinya. Merasa takut oleh perasaan itu. Napasnya tercekat diterjang gelombang gairah yang panas. Mungkin sudah saatnya ia bersosialisasi lagi, tapi ia butuh waktu untuk membiasakan diri. Waktu untuk mengembalikan kepercayaan pada instingnya. Ia sudah tidak tertarik lagi pada kesenangan berbahaya atas nafsu pada pandangan pertama.
"Tidak," ujar Jessie, lebih tajam daripada yang dimaksudkannya, dengan gugup menjauh dari sentuhan Patrick. "Kau sudah berbuat banyak." Jessie meletakkan gelasnya di meja dan melompat berdiri, butuh menjaga jarak di antara mereka.
Grady merespons dengan semangat. Anjing itu bangkit berdiri, menyalak, lalu menjatuhkan diri ke tanah menaati perintah tajam Patrick saat Jessie menjerit gugup. "Oh, Tuhan," ujar Jessie. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud melakukan itu... Aku sudah berjanji pada diriku sendiri akan benar-benar berusaha... Kau pasti berpikir aku sangat lemah."
"Aku tidak berpikir kau lemah. Aku pikir kau
207 sudah sangat terluka. Kau sudah dicampakkan oleh pria yang kaupercayai, diusir dari rumahmu hanya karena masalah sepele dalam peraturan sewa. Kau lelah dan bekerja terlalu keras. Di atas semua itu kau sudah berusaha dengan sangat berani untuk mengalahkan ketakutanmu terhadap Grady."
Jessie melupakan anjing yang berbaring di kakinya.
"Bagaimana kau tahu semua itu"" tanyanya.
Patrick mengangkat bahu. "Aku suka berpura-pura memiliki semacam kekuatan istimewa untuk bisa melihat alasan di balik perilaku seseorang. Kenyataannya tidak ada yang istimewa. Aku pergi ke Taplow Towers pagi ini dan dengan sedikit imbalan penjaga pintunya jadi senang bergosip. Dia menjelaskan semuanya."
Jessie menatap Patrick tanpa berkedip, hampir tak bisa percaya bahwa pria itu mengakui sudah mencari tahu mengenai dirinya. "Kau memata-mataiku..."
"Aku tidak berniat begitu." Patrick berusaha meraih tangannya, tapi Jessie bergerak menjauh dan jangkauannya. "Sungguh. Jessie. Aku menginginkan informasi, itu saja. Aku tadinya berharap bisa memberikan semacam tekanan pada ayah Bertie untuk membantumu mengumpulkan uang jaminan supaya kau bisa menyewa tempat tinggal sendiri yang layak. Kau akan terkejut mengetahui apa yang bisa dilakukan selembar surat dari pengacara."
Sesaat Jessie tak sanggup berkata-kata meng-
208 hadapi perhatian semacam itu. Hanya saja itu bukan perhatian; Patrick hanya menginginkan ia pindah secepatnya. "Kalau begitu, aku menyesal kau sudah membuang-buang waktumu tadi pagi," tukas Jessie.
"Sama sekali tidak. Banyak yang kudapatkan."
"Aku yakin begitu. Tapi sebenarnya kau tidak perlu membayar untuk informasi itu. Kalau kau bertanya, aku pasti menceritakannya padamu. Bagaimanapun juga, kau memang akan segera mengetahuinya." Kevin dan Faye mungkin akan segera muncul.
Patick menggeleng. "Tidak jadi masalah, Jessie. Tinggallah di sini. Kau boleh tinggal selama yang kau mau."
"Surat perjanjian sewa hanya mencantumkan tiga bulan."
"Dalam surat perjanjian sewa buatanku ada pilihan untuk memperpanjang. Kalau-kalau kau tidak bisa menemukan tempat yang ingin langsung kau beli. Mencari rumah tidaklah mudah." Patick mengangkat sebelah alisnya, mengundang Jessie untuk ikut tersenyum. "Jangan bilang kau tidak membacanya dengan saksama sebelum menandatanganinya."
Tidak setiap kata," akunya. Jessie bingung. Kalau memang penjaga pintu itu sudah menceritakan segalanya, kenapa Patrick tidak marah karena ia sudah berpura-pura menjadi ibu Bertie" "Kenapa kau tidak marah""
"Marah" Kenapa aku harus marah" Kau yang
209 diusir dari rumahmu. Kau yang harus merawat bayi sendirian."
"Aku tahu, tapi seharusnya aku sudah menjelaskan. Tadinya aku memang berniat membentahumu, tapi aku pikir kalau kau tahu yang sebenarnya kau akan memaksaku pergi."
Patrick terang-terangan terlihat jijik. "Memangnya kauanggap aku ini orang macam apa"" Kemudian Patrick berkata, "Dia benar-benar sudah melukaimu, benar kan""
Pipi Jessie seperti terbakar. Patrick tidak hanya tahu ia sudah berbohong padanya-dengan beberapa kebenaran yang dihilangkannya-mengenai Bertie. Patrick juga mengetahui semuanya mengenai Graeme. Ya Tuhan, benar-benar memalukan. Jessie menutupi pipinya yang panas dengan kedua tangan dan sambil mengerang dalam hati bertanya-tanya berapa banyak yang sudah didapatkan pria itu dari alamat lamanya sebelum Taplow Towers.
Ia menduga penjaga pintu di Towers juga yang sudah memberi Patrick alamat itu. Selama ber-minggu-minggu surat-suratnya dialihkan dari sana. Dan sedikit uang sogokan pasti juga berhasil mengorek informasi di sana, padahal Jessie begitu berhati-hati menggunakan jasa informasi publik di internet untuk mencari tahu soal Patrick.
"Permisi," ujar Jessie kaku, saat kenyataan menghantamnya, dan ia mengetahui dengan jelas apa yang sedang terjadi. "Aku akan mengambil Bertie, kalau kau tidak keberatan."
"Jangan bersikap seperti ini." Patick berdiri,
210 menangkap lengan Jessie, dan tidak mau melepaskannya. "Tolong tinggallah dan selesaikan makan siangmu."
"Makanan itu hanya akan membuatku tersedak. Dan aku lebih suka kalau kita gunakan lagi panggilan Ms Hayes dan Mr Dalton," ujar Jessie, sambil menatap tangan yang memegang lengannya sampai Patrick melepaskannya
"Aku benar-benar hanya berusaha membantu," ujar Patrick.
"Sungguh" Kau tidak mencoba membualku merasa benar-benar muak, supaya aku akan membentahumu di mana kau bisa menancapkan surat perjanjian sewa barumu yang hebat itu" Dan pilihannya un
tuk memperpanjang""
"Untuk apa aku melakukan itu""
"Karena dengan begitu kau bisa mengusirku dan kalau aku mengeluh kau bisa menunjukkan surat perjanjian sewa baru yang baru saja kutanda-tangani. Kau bisa menunjukkan pengurangan tanf sewa, perabot yang baru kaubeli; aku hanya akan menjadi wanita bodoh dan histeris yang tidak tahu saat dia kalah!" Kemudian, karena air matanya hampir tumpah, Jessie berbali k dan bergegas berjalan ke rumah. Grady membuntuti di belakangnya. "Tiarap!" bentaknya, dan anjing itu langsung merespons. Jessie masih berusaha mengatasi rasa shocknya waktu Patrick memanggilnya.
"Dan apa kau akan mengaku kalah, Ms Hayes""
Jessie memutar tubuhnya menghadap pria itu
211 lagi. "Tidak akan, "teman pengacaraku,"" jawabnya. "Tidak akan."
"Cuma bertanya," balas Patick tenang. "Kalau-kalau aku perlu membatalkan pesanan tempat tidurnya."
Jessie memandangnya. Ia terkejut waktu Patrick Dalton QC hanya tertawa. Well, ia bisa memperbaiki itu. "Kalau kau membatalkannya, Mr Dalton, aku jamin kau akan tidur di sofa selama beberapa waktu mendatang."
"Ya. Ma"am," ujar Patrick. Tapi saat sedang berjalan melintasi dapur, sambil mencengkeram botol susu Bertie, Jessie menyadari suara tawa Patick mengikuti langkahnya sampai ia menaiki tangga.
Jessie sedang bekerja waktu perabotnya tiba. Ia bertekad tidak mengacuhkan para pekerja yang mondar-mandir, menolak untuk melihat bahkan waktu ia mendengar suara wanita, menolak untuk terkesan, maupun menawarkan bantuan. Ia bahkan tidak akan memberi Patick kepuasan dengan bangkit dan tempat duduknya dan menutup pintu ruang belajar untuk menghalangi semua kegiatan itu dan pandangannya.
"Sudah selesai. Jessie. Kau mau melihatnya""
Patick sudah berdin di ambang pintu selama setidaknya satu menit. Dan Patick tahu Jessie mengetahui kehadirannya. "Aku yakin kamar itu pasti akan bagus."
"Mungkin kau ingin memenksa apa kasurnya sesuai dengan keinginanmu."
212 "Kalau tidak, kau bisa tidur di situ."
"Aku akan menolak godaan untuk bertanya apakah itu sebuah undangan..." Jessie memelototinya. "Aku hanya akan bilang bahwa belum terlambat untuk mengganti kasurnya kalau kau tidak merasa nyaman. Jadi penksalah, atau kau harus puas dengan apa yang ada."
Jessie menghela napas. "Baiklah. Kalau kau memaksa." Ia buru-buru melewati Patrick menuju kamar barunya. Dan berhenti. Kamar itu sudah berubah drastis. Tampak baru dengan tirai-tirai warna hijau lumut digantung di depan jendela, tempat tidur, dan lemari pakaian sama-sama bergaya Prancis, bergaya pedesaan yang menyegarkan.
Para pria pengantar barang berdiri di lorong, menunggu persetujuannya, bersama seorang wanita yang tampaknya sudah mengatur seprai linen, menggantung tirai, dan mendandani tempat tidur itu. "Patick, aku tidak tahu harus bilang apa."
"Itu berarti dia menyukainya," ujar pria pengantar barang itu yakin.
"Aku lebih suka mendengar langsung darinya." Patrick menunjuk tempat tidur.
Jessie mencoba kasur itu. "Sepertinya bagus," ujarnya.
"Tidakkah sebaiknya kau berbaring dan memastikan kasur itu memang bagus""
Sekarang Patrick bercanda. Mungkin Jessie tadi sudah sedikit kejam dalam menilai pria itu. "Mungkin sebaiknya kulakukan." Ia menendang lepas sepatu-
213 nya duduk di ujung tempat tidur, lalu berbaring di atasnya. "Ini luar biasa," ujarnya, sambil melipat tangan di belakang kepalanya di atas bantal. "Aku ingin mengundangmu untuk mencobanya, tapi mungkin nanti kau ingin bertukar."
"Sebagus itu, hmm"" Patrick duduk di sisi lain tempat tidur, kemudian berbaring di sampingnya. Hati Jessie yang berkhianat mulai berdebar kencang. "Kau benar." Patrick tersenyum lebar ke arah si pengantar barang. "Kami akan membelinya," ujar Patrick, dan tanpa bergerak menerima clipboard dari orang itu, menandatangani kuitansinya, dan mengeluarkan uang tip dan saku kemejanya. "Tolong sekalian tutup pintunya saat kalian keluar, ya""
Mereka sama-sama diam saat para pekerja keluar. Semenit atau dua menit kemudian pintu depan dibanting menutup, dan perlahan-lahan kesunyian muncul kembali hingga satu-satunya yang bisa Jessie dengar hanyalah denyut nadinya sendiri yang b
ergema di telinganya. Akhirnya, saat ia sudah tidak bisa menahan din lebih lama lagi, Jessie berkata, "Kau tidak perlu melakukan semua ini, Patrick. Yang aku butuhkan hanya satu tempat tidur untuk beberapa minggu..."
"Memangnya kau akan menyimpan pakaianmu dalam beberapa koper""
"Yah...," sambil memandang Patick dengan pandangan tak menentu, ia menambahkan, "...mungkin tidak."
Patick terus menatap langit-langit dengan kon-
214 sentrasi yang sama seperti kalau dia sedang melihat Kapel Sistine. "Kalau kau memutuskan untuk tinggal, kau harus merasa nyaman."
Bagaimana Jessie bisa berpikir bahwa Graeme itu tampan" Dibandingkan Pria di sampingnya, Graeme hanya kelihatan sedikit tampan. Dan lemah. Hanya indah di permukaan, tanpa kekuatan dalam dirinya. Profil Patick tinggi dan kuat... Tangan Jessie mencengkeram seprai untuk mencegah dirinya menyentuh wajah Patrick, melumat bibir bawah pria itu dengan bibirnya, mengecapnya, memilikinya... "Kau takkan bisa menyingkirkanku kalau kau terus bersikap begini, kau tahu," ujar Jessie buru-buru.
"Tidak" Well, mungkin aku sudah terbiasa dengan kehadiranmu di sini." Lalu Patrick berbalik, dan memandangnya. "Mungkin aku tidak mau menying-kirkanmu."
Jantung Jessie, yang dan tadi sudah berdegup kencang tapi teratur, sepertinya kehilangan satu detakan. "Aku bukan orang rumahan, kau tahu. Aku tidak bisa masak..."
"Bahkan memasak nut cutlet sekalipun"" Suara Patick seperti sutra di kulitnya. Sudah saatnya untuk bergerak.
"Terutama b-bukan n-nut cutlet" Jessie ter-gagap-gagap, merasa malu oleh pertanyaan itu.
"Kenapa tidak" Kau suka makan, bukan"" Patick begitu percaya diri dan terus menggodanya
"Tentu saja aku suka makan, tapi untuk satu...," Jessie berusaha bernapas, "...seringnya untuk satu
215 orang. Lagi pula, sepertinya tidak ada gunanya membuat yang rumit-rumit."
"Kau selalu makan di luar" Waktu kau masih bersama Pria itu"" Patrick kedengaran terkejut atas kenyataan itu. "Kau dan Graeme""
Jadi Patick mau tahu semua detailnya yang memalukan. Merasa kecewa, Jessie sama sekali tidak mendapati kesulitan untuk bernapas lagi. "Tidak. Kami lebih sering memesan makanan. Aku sibuk, dia tidak bisa... atau lebih tepat tidak mau... bersusah payah." Buat apa Graeme bersusah payah" Bukankan ada Jessie yang melakukan semuanya"
"Ibuku selalu bilang jangan pernah memercayai pria yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri," Patick memberitahu Jessie. "Kau tak pernah bisa yakin dengan alasannya. Apa dia menginginkanmu karena dirimu" Atau hanya membutuhkan seseorang yang tahu cara membuka kaleng""
"Ibuku selalu bilang bahwa kau bisa tahu segalanya yang perlu kauketahui tentang pria dari caranya menangani barang bawaan yang hilang, hujan waktu piknik, dan lampu pohon Natal," balas Jessie. "Sayangnya barang bawaan yang hilang dan lampu pohon Natal tidak terjadi cukup sering untuk dijadikan pedoman karakter yang berguna. Dan kami tidak suka "piknik"." Ia berbalik menghadap Patrick. "Kemampuan mengurus diri sendiri memang lebih bisa menentukan. Ibumu wanita yang bijaksana."
"Begitulah yang selalu dikatakannya padaku. Secara pribadi, aku selalu berpikir itu hanya cara
216 halus untuk menyuruhku belajar masak dan bersih-bersih. Bagaimana kau bertemu dengannya""
Jessie terkejut betapa mudahnya ia membicarakan Graeme. Bagaimana hal itu hanya sedikit melukainya. "Dia mengetuk pintu apartemenku, hendak meminjam sebotol kopi, persis seperti iklan konyol di televisi." Kejadiannya sangat klise hingga seharusnya Jessie bisa mengenali tipuannya, tapi saat itu ia terlalu terkesima oleh senyum yang memesona, gaya rambut lurus Graeme yang bagus, serta tubuh yang terpahat bagai dewa Yunani. Semua itu membuatnya tidak mampu berkata-kata secara tepat, apalagi menggunakan akal sehatnya. "Well, dia aktor. Setidaknya dia mengaku begitu. Mungkin dia hanya ikut audisi untuk sebuah peran. Singkatnya, aku langsung luluh melihat ketidakberdayaan serta senyum mautnya. Menengok ke belakang dengan pikiran yang jernih, aku curiga dia sudah melatih dua hal itu di depan cermin."
"Dia tetanggamu"" Patrick tampak terkejut mendengarnya.
Jessie meng ernyit saat berputar untuk melihatnya. "Bukan, dia tinggal bersama beberapa teman yang berbagi apartemen di lantai atas apartemenku. Tidur di sofa. Sesuatu yang, sekali lagi jika dilihat kembali, kuduga sering dilakukannya."
"Oh, aku mengerti."
"Sayangnya, waktu itu aku tidak mengerti. Aku menduga tetanggaku yang baik itu tidak mau menampung Graeme di ruang tamu mereka lebih lama dari yang benar-benar diperlukan dan di sanalah aku,
217 masih lajang dan memiliki tempat tidur double yang nyaman dan hanya digunakan separo..." "Orang-orang yang baik."
"Mungkin mereka memang baik. Well, mungkin, tidak baik, tapi sedikit putus asa untuk menyingkirkan tamu yang tak diundang." Kemudian Jessie tersenyum. "Agak seperti kau."
"Oh." "Kau benar. Maafkan aku." Secara tak sadar Jessie mengulurkan sebelah tangannya dan menggenggam tangan Patrick. "Kau sama sekali tidak seperti mereka." ujarnya. "Sedikit pun tidak."
"Kau terlalu baik hingga membahayakan dirimu sendiri."
"Ya," ujar Jessie penuh perasaan. "Mabuk kepayang gara-gara seorang pria memang bisa mengakibatkan efek seperti itu. Lima puluh pound untuk potong rambut karena ada audisi yang harus dihadirinya. Seratus pound untuk makan siang di luar bersama agennya. Jumlahnya terus bertambah. Baru ketika tagihan dari bankku datang, aku terbangun dari mimpiku. Gagasan "dua orang bisa hidup semurah hidup sendirian" tidak sepenuhnya benar, kau tahu."
"Aku tahu." Sial! Jessie tidak bermaksud mengingatkan Patrick tentang istrinya. "Ya, well, usulku supaya dia ikut menyumbang biaya hidup kami menghantamnya. Tepatnya menghapus rasa cintanya. Walaupun dia pintar mengalihkan perhatian..." Berapa kali Graeme menggunakan rayuan klasiknya
218 "ini cincin pertunangan ibuku" pada wanita yang bisa dibujuk untuk mengurusnya" Berapa banyak sudah cincin itu dikembalikan padanya untuk disimpan lagi" Jessie seharusnya membuang benda itu ke tempat sampah, tempat yang semestinya.
"Dan tetanggamu tidak pernah memperingatkan-mu""
"Bahwa Graeme sering berbuat seperti itu" Tidak. Kenapa mereka harus melakukannya" Mereka temannya, bukan temanku. Itu sebabnya aku tidak bisa tinggal di sana, setelah semuanya berakhir. Waktu aku menyadarinya. Berpapasan dengan mereka di lorong... membuatku marah dan merasa bodoh. Aku perlu pergi dari semua itu."
"Tapi kupikir kau pindah karena-"" Patrick tidak melanjutkan kata-katanya dan hanya mengangkat bahu. "Itu tidak penting."
"Kau benar, itu memang tidak penting. Sudah berakhir. Terlupakan."
"Kau begitu... pemaaf. Aku tahu orang-orang yang bisa melakukan pembunuhan tanpa alasan yang jelas."
"Itu karena kau pengacara. Kau sudah bertemu orang-orang yang sudah menemui jalan buntu. Aku sih cuma membodohi diriku sendiri. Mengizinkan Graeme membodohiku." Jessie merenggangkan badannya. "Kuakui untuk beberapa waktu aku merasa sangat rendah. Aku merasa dimanfaatkan. Muak. Dan bertekad sungguh-sungguh seumur hidup takkan pernah lagi melibatkan diriku dengan pria lain."
219 "Tapi"" tanya Patrick lembut. Ia berguling menghadap Jessie dan bergerak mendekat tangannya terus menggenggam tangan Jessie.
"Tapi"" ulang Jessie dengan suara agak berat oleh emosi.
"Sepertinya ada "tapi" yang mengikuti kalimatmu tadi."
"Benarkah"" Jessie menelan ludah dengan susah payah. "Kurasa begitu. Beginilah, Patrick. Kehidupan. Mungkin tidak sempurna, tapi tidak ada gladi resik. Kau harus membereskan semua kekacauan, meninggalkan semua itu di belakangmu, dan maju terus..." Suara Jessie menghilang saat tangan Patrick terangkat dan menyentuh pipinya, membelai bibirnya dengan ibu jari, kemudian menyelipkan jemari di rambut Jessie sebelum meraih wanita itu dalam pelukannya, awal dari ciuman yang sudah dapat dipastikan akhirnya.
"Tinggallah di sini," ujar Patrick. "Aku ingin kau tinggal di sini."
Setiap sel dalam tubuh Jessie memaksanya untuk berjanji, untuk mengatakan "Ya. Please". Mengabaikan akal sehat, pelajaran yang telah diperolehnya, dan terjun kembali ke perairan penuh ikan hiu dari hubungan antar lawan jenis ini. Tapi tidak seperti ini. Ia perlu memegang kendali, membuat keputusan yang rasional, bukan kepu
tusan emosional yang hanya didasari kebutuhan untuk dipeluk, untuk dicintai. Lain kali ia akan melakukan yang benar.
"Patrick..." 220 Patrick menciumnya, bukan di bibir, tapi di dahi. Pria itu lalu bangun dan tempat tidur dan membuat jarak selebar ruangan di antara mereka sebelum Jessie sempat memprotes, sebelum ia sempat menyesalinya.
"Patrick!" Patick berhenti di ambang pintu saat Jessie bangkit dan tempat tidur, berjalan ke arahnya, dan memegang lengan pria itu. "Terima kasih. Untuk semua ini."
"Kembali." "Dan tentang tinggal-"
"Selama yang kauinginkan," Patrick menyelanya. "Kalau memerlukan bantuanku untuk mencari flat dengan didampingi pengacara, beritahu aku."
Patrick sepertinya menjaga jarak dan Jessie melepaskan tangannya. "Perlu waktu lama untuk menemukan tempat yang bisa menyamai rumah ini," ujar Jessie, sambil berbalik dengan cepat untuk melihat ke kebun di bawah. Kemudian, masih menghindari tatapan Patrick, ia berkata, "Sebaiknya aku memindahkan tempat tidur bayi dari kamarmu supaya kau bisa mendapatkan kamarmu seperti semula."
Patrick tidak merasa hal itu jadi masalah. Orang yang berbagi kamar denganmulah yang membuat kamar itu terasa nyaman. Tapi ia punya banyak waktu. Tubuhnya mungkin memaksanya untuk mengejar ketinggalan selama sepuluh tahun yang dihabiskannya dalam kehampaan, tapi ia perlu meyakinkan Jessie bahwa hatinya benar-benar tulus.
"Biarkan saja," ujarnya. "Bertie masih tidur dan
221 masih ada pekerjaan yang harus kauselesai kan. Kau sendin yang terus mengatakannya padaku. Aku akan mengurusnya nanti."
Sembilan JESSIE masuk ke ruang kerja dan menutup pintu di belakangnya. Patick Dalton terlalu mudah mengusik perhatiannya.
Tapi Jessie tetap kesulitan berkonsentrasi Ia bisa mendengar pria itu mondar-mandir di loteng. Memindahkan benda-benda yang berat. Dan Patrick turun beberapa kali ke lantai tempat Jessie sedang bekerja. Seandainya Patick bertekad membersihkan rumah, Jessie berharap pria itu mau melakukannya di lain waktu.
Jessie memandangi layar di hadapannya tapi sepertinya pikirannya terpusat pada Patrick dan menolak untuk dialihkan oleh apa pun bahkan hal sepenting pekerjaan.
Akhirnya suara berisik itu berhenti. Tapi keheningan ini malah terasa lebih buruk, hingga Jessie akhirnya mengesampingkan kerumitan desain yang sedang dikerjakannya. Sebaliknya ia menelepon beberapa orang. Hanya untuk mencegah dirinya keluar dan melihat apa yang sedang Patick kerja-
kan. Hanya untuk menghentikan dirinya memikirkan pria itu.
Patrick mengusap dagunya dengan bahu, mencoba menganalisis perasaan yang membanjiri dinnya. Penyesalan. Kesedihan atas kehidupan yang tidak sempat dijalani.
Ia menyentuh tempat tidur bayi yang dicat putih mengilap, mencoba mengingat bagaimana rasanya sewaktu ia membawa Belia dan Mary Louise pulang dari rumah sakit. Perasaan bangga yang meledak-ledak tak tertandingi.
Bel pintu berdering. Seandainya ia pergi bersama Belia hari itu, bukannya tinggal di rumah untuk mengerjakan laporan barunya. Seandainya Belia membawa Grady bersamanya...
Belnya berdering lagi dan Patrick membelai kain sepanjang jeruji tempat tidur untuk terakhir kalinya dan membiarkan bayangan itu pergi. Ia tidak bisa mengubah apa pun; yang bisa dilakukannya untuk Belia dan Mary Louise sekarang hanyalah menjalani hidupnya dengan baik. Mulai sekarang. Tanpa membuang-buang satu detik pun dalam penyesalan.
Jessie membuka pintu ruang belajar saat Patick lewat. "Oh, aku mendengar bunyi bel," ujar Jessie. Wajahnya kelihatan agak merona dan sedikit bersalah, seperti wanita yang tertangkap basah sedang menunggu kekasih gelapnya, membuat Patrick merasakan gejolak rasa cemburu menguasainya. Ia
224 ingin Jessie terlihat seperti itu saat menantinya. "Aku tidak yakin kau mendengarnya juga."
"Kau sedang menunggu seseorang""
"Tidak... aku hanya berpikir... sepertinya kau sedang kerja."
"Tidak, aku sudah selesai. Aku akan membukanya. Tadi kaubilang kau sedang sibuk, kan""
"Ya... Lagi pula, paling-paling tamu itu mencarimu."
Sialan. Sekarang Jessie tampak ketakutan. "Jessie..." Terdengar dering panjang dan tajam. Siapa pun yang berada di
depan menuntut perhatian segera.
"Ya ampun. Aku datang!" Patrick memutar tubuhnya, tergesa-gesa menuruni tangga, dan membuka pintu lebar-lebar. "Ya, ada apa"" tanyanya.
"Oh." Pna yang berdin di depan pintunya mundur selangkah, terkejut oleh responsnya yang kasar. Pna itu berusia sekitar tiga puluh tahun, rambutnya tebal dan nyaris berwarna merah, tubuhnya tinggi, atletis, dan anehnya kelihatan familier.
"Well"" tanya Patick. "Apa yang Anda inginkan""
"Eh, tidak ada. Maksudku... aku mencari Jessie."
"Jessie"" Jawaban itu sangat tidak terduga hingga Patrick sendiri juga ikut mundur selangkah.
Tamunya yang tidak sabaran itu sepertinya menganggap gerakan Patrick sebagai undangan untuk masuk. Pna itu memasuki ruang depan, mengedarkan pandangannya seakan berharap bisa melihat Jessie di sana. "Dia meninggalkan pesan bahwa dia pindah
225 kemari. Begini, kami baru saja kembali dan bepergian. Aku ayah Bertie." Lalu. waktu tidak mendapatkan respons apa pun, pria itu melanjutkan lagi, "Kurasa Jess agak marah padaku, ya""
Patrick bukan pria yang kasar. Ia sudah terlalu sering berurusan dengan dampak kekerasan serta melihat penderitaan yang diakibatkannya. Tapi tidak satu pun dari hal itu berarti baginya saat ia melewati tangan yang terulur dan sebaliknya mencengkeram jaket pria itu, mengangkatnya, dan membenturkan tubuhnya ke dinding.
"Agak marah"" bentaknya. "Kaupikir dia mungkin agak marah" Setelah apa yang kaulakukan padanya" Pria macam apa kau ini"" Pertanyaan itu murni retorik, Patrick tidak tertarik pada alasan-alasan. "Akan kukatakan pria macam apa. Kau adalah parasit, tukang selingkuh, dan pembohong, tapi kalau kaupikir kau bisa masuk kembali dalam hidup Jessie dan mengacaukannya lagi. kau salah besar. Sekarang dia tinggal di rumahku dan tak seorang pun... tak seorang pun... Kaudengar"" desak Patick. Korbannya hanya membalas dengan mengangguk-angguk cepat. "Dia tinggal di rumahku," ulang Patick, memberi penekanan pada pesannya, "dan tak seorang pun bakal memanfaatkan kebaikannya, atau menyalahgunakan cintanya lagi."
"Maaf, tapi kupikir-"
"Aku tidak peduli apa yang kaupikirkan. Apa yang kaupikirkan sama sekali tidak menarik bagiku. Aku hanya ingin kau keluar dan kehidupan Jessie-"
"Patick!" Jessie buru-buru menuruni tangga


Bayi Pinjaman Baby On Loan Karya Liz Fielding di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

226 menghampiri mereka. Saat Patrick melihat ke atas, melihat wajah wanita itu, mendengar ketergesaan dalam suaranya, hatinya seolah-olah tenggelam. "Turunkan dia! Apa yang kaulakukan""
Patrick menatap pria yang dijepitnya di dinding, lalu memandang Jessie, wajahnya yang cantik menunjukkan kekhawatirannya. Jessie mungkin mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia sudah melupakan ayah Bertie -yang jelas dia sudah meyakinkan Patick-tapi sekali melihat sudah cukup bagi Patrick untuk mengetahui bahwa bagi Jessie semua ini belum selesai. Tak peduli seburuk apa pun sikap Graeme, pria itu hanya perlu muncul di hadapan Jessie untuk mendapatkan sambutan layaknya pahlawan.
"Membodohi diriku sendiri"" jawab Patick pahit. Kemudian ia melepaskan pria itu dan melangkah mundur, menabrak meja di ruang depan. Patrick mengulurkan tangan untuk memegang meja itu dan melihat surat perjanjian sewa yang ditinggalkannya di sana sewaktu ia pulang dipenuhi... kehidupan. Patrick mengambilnya dan merobeknya jadi dua. "Satu kamar, penghuni satu orang," ujarnya saat mulut Jessie menganga. "Aku tidak menerima pasangan."
"Apa"" Lalu, "Kau atau aku yang sudah gila""
"Aku juga pernah menanyakan hal yang sama padamu. Sekarang kita tahu. Kita hampir serupa, Jessie, tapi karena kau yang menerima kembali parasit ini dengan tangan terbuka, kurasa kaulah yang pantas disebut gila."
227 "Tentu saja aku menerimanya. Aku sudah menghubunginya sepanjang minggu ini. Dia datang menjemput Bertie, Patrick," kata Jessie hati-hati. "Untuk membawanya pulang." Lalu, sambil berbalik menghadap kakaknya, Jessie bertanya, "Faye tidak ikut bersamamu""
Kevin berdeham. "Dia sedang mencari tempat parkir. Dan sepertinya mengulur-ulur waktu." Dia menatap Patrick. "Kami tidak yakin sambutan seperti apa yang akan kami terima."
"Oh, kemarilah, idiot!" Jessie mengulurkan
lengannya dan memeluk Kevin. "Istirahatmu cukup""
"Aku tidak turun dari tempat tidur selama tiga hari." Lalu Kevin menyeringai. "Entah apa itu bisa disebut istirahat..." Ia mendekap Jessie erat-erat. "Siapa gorila itu"" gumamnya.
"Gorila"" Jessie langsung membayangkan gorila yang memakai wig pengacara dan toga, lalu terkikik. "Gorila itu namanya Patrick. Patrick Dalton. Aku tinggal bersamanya waktu aku diusir dari flatku..." Bersamanya" Sepertinya kurang tepat, tapi penjelasan bisa menunggu. Kemudian Jessie berkata, "Patrick"" Bibir Patrick terlihat pucat dan masih tetap menatap Kevin seolah-olah ingin merobohkannya dengan tangan kosong. "Patrick, ini Kevin." Dia masih belum bergerak. "Dia kakakku, Kevin," tambah Jessie hati-hati.
"Kakakmu"" Sekarang setelah Jessie memberitahunya, Patrick menyadari kemiripan itu. Tapi... "Tapi dia bilang dia ayah Bertie."
228 "Wall, ya. Penjaga pintu itu sudah bilang padamu..." Jessie terdiam. "Kau bilang dia sudah memberitahumu."
"Dia memberitahuku bahwa kau terpaksa meninggalkan Taplow Towers waktu bayi itu datang. Bahwa ayah si bayi mendadak pergi bersama istrinya."
"Ya. Kevin dan Faye..." Jessie menatap Kevin. "Sebaiknya kau pergi mencari Faye dan bilang padanya sekarang sudah aman untuk masuk."
"Aku tidak yakin," balas Kevin, sambil tetap mengawasi Patrick lekat-lekat.
"Jangan bodoh. Ini cuma semacam kesalahpahaman yang konyol. Kita akan membereskannya sambil minum teh."
Kevin menunggu Patrick menyetujui usul itu. Jessie membuka kacamata dan alisnya terangkat memberi dorongan. Patick mengangkat tangannya. "Terserah, masuk saja. Bawa istrimu. Undang seluruh keluargamu. Anggap saja rumah sendiri. Tapi lupakan tehnya. Yang kubutuhkan sekarang adalah minuman keras." Patrick berbalik saat seorang wanita muda yang menarik melambaikan saputangan putih dari ambang pintu.
"Sudah aman untuk masuk""
"Faye!" Jessie langsung berlari menghampiri wanita itu dan memeluknya sebelum kemudian menjauhkan kakak iparnya itu untuk menatapnya. "Kau tampak hebat. Istirahat itu sudah jelas manjur."
"Kau tidak marah""
229 "Yah, aku lebih suka kalau kau bertanya dulu. Pasti akan lebih mudah kalau aku menginap di tempatmu. Kau tidak harus mengirim barang-barang keperluan bayi lewat paket kilat, dan aku tidak akan diusir dari rumahku." Faye tidak benar-benar menatap mata Jessie. Kevin tiba-tiba menekuri kakinya. Dan Jessie mendadak mengerti. "Oh, jadi begitu, ya."
"Kami harus mengeluarkanmu dari sana. Jess. Semua ketenangan itu. Kau pasti bakal layu," ujar Faye. Kemudian, masih belum yakin harus melihat ke mana, Faye melihat ke sekelilingnya. "Rumah ini indah..." Suaranya terputus dan Jessie akhirnya merasa kasihan padanya.
"Ya, memang. Sewanya juga sangat masuk akal. Dan pemiliknya sangat pandai dalam menangani bayi..." Jessie bertemu pandang dengan Patrick dan tak menyukai apa yang dilihatnya. "Naiklah dan lihat Bertie. Tunggu sampai kalian melihat giginya..."
"Jessie"" Patrick memanggilnya dengan nada suara yang mungkin digunakannya untuk menanyai saksi yang sulit diajak kerja sama, untuk menakut-nakuti mereka. "Bisakah kaujelaskan apa sebenarnya yang terjadi di sini"" Patrick bergerak menghampirinya, tapi Jessie menarik lengan Faye dan menaiki tangga, berhenti hanya untuk menepuk lengan Kevin.
"Giliranmu, kakakku sayang. Aku akan meninggalkanmu untuk menceritakan pada Patick apa yang telah kaulakukan padaku dan kenapa. Buat cerita yang bagus, karena kau sebaiknya berharap dia cukup iba padaku hingga bersedia menyatukan
230 kembali surat perjanjian sewa itu." Jessie akhirnya menatap Patrick lurus-lurus. "Aku suka tinggal di sini."
Tatapan Kevin berpindah-pindah dan Jessie, ke Patick, kemudian sambil tersenyum lebar, menatap adiknya lagi. "Kalau memang begitu, adik kecil, kurasa sebaiknya kau menjelaskannya sendiri. Demi amannya."
"Aku juga setuju," ujar Faye. Ia mencengkeram tangan suaminya dan mendorongnya menaiki tangga. "Jangan khawatirkan kami. Kami bisa mencari poci tehnya-"
"Lupakan tehnya," kata Jessie. "Dalam hal ini aku setuju dengan Patrick." Ia menatap Patrick dan sama sekali tidak menerima dukunga
n. "Sebenarnya sekarang mungkin saat yang tepat untuk mengeluarkan brendi yang sepertinya selalu kau-paksakan padaku dalam setiap kesempatan." Ia berputar di ambang pintu lalu memandang Kevin dan Faye. "Kalian akan menemukan Bertie di lantai atas di kamar sebelah kanan-"
"Dan dapurnya di bawah," tambah Patick. "Anggap saja rumah sendiri." Lalu ia menutup pintu dan berbalik menghadap Jessie, sambil bersandar di pintu seolah-olah mencegah kalau-kalau Jessie berniat melankan diri. Ia tidak mengatakan apa-apa.
"Brendi," ujar Jessie sesaat kemudian.
Suara Patrick menghentikan Jessie yang berjalan melintasi ruangan. "Bertie bukan bayimu."
Sekonyong-konyong Jessie berbalik. "Tapi kukira-"
231 "Graeme bukan ayahnya." "Bukan! Patick-"
"Kalau begitu aku hanya punya satu pertanyaan." "Hanya satu""
"Sebenarnya permainan apa yang sedang kau-mainkan""
"Permainan"" "Permainan, sandiwara, sebut saja apa yang kau suka. Orangtua tunggal yang menderita dan diusir ke jalanan. Apa arti semua itu""
"Tapi kau tahu Bertie bukan anakku. Kau sendiri yang bilang begitu. Kau sudah pergi ke Taplow Towers-"
"Tempat aku diberitahu bahwa kau harus pindah karena bayimu. Bahwa ayahnya pergi bersama istrinya-"
"Kau pikir aku berselingkuh dengan pria beristri"" seru Jessie. "Bagaimana mungkin kau berpikir seperti itu"" Ia tidak menunggu jawaban tapi langsung mencengkeram botol brendi, menuang isinya ke dua gelas besar, lalu menenggak isi gelasnya. Dan tersedak. Patrick tidak melakukan apa-apa untuk menolongnya, dia hanya menunggu sampai Jessie bisa mengembalikan fungsi paru-parunya lagi. "Well" Itukah yang kaupikirkan"" tanya Jessie setelah mampu bernapas dengan normal lagi.
"Asal kau tahu, aku tak percaya semenit pun juga bahwa kau tahu Pria itu sudah menikah. Kenapa kau tidak langsung memberitahuku bahwa Bertie bukan bayimu""
"Aku berniat mengatakannya..." Jessie terdiam.
Ia mengangkat bahu, merasa lebih mudah untuk melihat isi gelas yang sedang dipegangnya. "Tapi""
"Aku hendak mengatakannya padamu di pagi pertama itu. Menjelaskan situasinya."
"Jadi kenapa kau tidak melakukannya""
"Karena kau bilang kalau bukan karena Bertie, kau sudah melemparku ke jalanan saat itu juga."
"Kepalaku terbentur, masih jet lag, dan berhadapan dengan penyewa rumah yang tidak kuinginkan. Kau tidak bisa mengharapkanku bersikap masuk akal, kan""
"Aku tidak punya harapan apa pun. Sikapmu sama sekali tidak masuk akal..."
Patrick menyisir rambut dengan jemarinya, berusaha menerima perubahan mendadak ini. Tidak ada Bertie. Tidak ada bayi. Hanya Jessie. "Aku tidak bermaksud begitu. Tidak bersungguh-sungguh. Demi Tuhan, memangnya kauanggap aku ini monster macam apa""
"Kau terluka, jet lag, dan keponakanmu menyewakan rumahmu tanpa izin. Mana aku tahu bahwa di balik penampilanmu yang garang seperti harimau itu terdapat hati selembut kucing."
"Seharusnya kau memberitahuku..."
"Well, ya, aku tahu itu. Dan aku memang berniat memberitahumu. Lalu kau pergi ke Taplow Towers. Penjaga pintu di sana tahu kejadian yang sebenarnya, semuanya. Kau sudah bicara dengannya... Demi Tuhan, tidakkah kaulihat bahwa aku terkejut karena kau begitu tenang mengenai hal ini""
233 Tenang" Ia tidak tenang. Tidak di dalam. "Kusangka kau ditelantarkan."
"Tidak, Bertie-lah yang ditelantarkan. Di depan pintuku. Oleh Kevin dan Faye. Dengan catatan kecil bahwa mereka sangat membutuhkan tidur."
"Well, kurasa mereka sudah mendapatkan istirahat yang cukup," ujar Patrick muram.
"Bukan itu alasan mereka melakukannya, Patick. Tidakkah kaulihat betapa berat hal ini bagi Faye" Mereka melakukannya demi aku."
"Demi kau""
"Aku ingat waktu itu aku sempat berpikir bahwa jika mereka ingin membuatku diusir dan Taplow Towers mereka benar-benar berhasil melakukannya."
"Tapi kenapa mereka ingin berbuat seperti itu""
"Aku merasa aman di sana. Tak ada seorang pun di tempat itu yang bakal mengetuk pintuku untuk meminta kopi dan membuatku patah hati."
"Itukah yang dilakukan Graeme" Membuatmu patah hati"" Ada semacam kekuatan dalam diri Patrick yang membuat Jessie menjaga jarak padahal yang diinginkannya hanyalah menghampiri Pria itu, memel
uknya, dan meyakinkannya. Satu-satunya yang bisa dilakukan Jessie hanyalah bersikap jujur sepenuhnya. Menumpahkan seluruh isi hatinya.
"Kelihatannya begitu. Waktu itu. Parahnya lagi, dia membuatku tidak percaya pada penilaianku sendiri. Aku menyingkir dan kehidupan untuk sementara, lupa bahwa kita hanya mendapat satu kesempatan dalam hidup, tanpa latihan. Bersakit-
234 sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Bukankah itu yang mereka katakan""
Patrick melintasi ruangan dengan langkah-langkah lebar, mengambil gelas dari tangan Jessie dan menggenggam tangan wanita itu. "Jessie-"
Pintu diketuk dan wajah Faye muncul dari baliknya. "Maaf mengganggu, tapi Bertie ingin minum dan ada seekor anjing besar yang kelihatannya keberatan kalau aku menggunakan dapurnya."
"Oh, ya..." Patrick melangkah mundur. "Aku akan ke sana dan mengeluarkannya."
Jessie menghentikannya. "Biar aku saja. Tetaplah di sini dan mengobrol dengan Kevin."
"Kau yakin""
Jessie tersenyum padanya. "Kalau aku akan tinggal di sini, Grady dan aku harus saling membiasakan diri. Ayo, Faye,"
"Tapi, Jessie..."
"Grady jinak seperti domba," ujar Jessie, suaranya yang terdengar sedikit bergetar menunjukkan ketakutannya.
Kakaknya bergerak untuk mengikuti mereka, tapi Patick menghentikannya. "Adikku takut pada anjing," ujar Kevin muram.
"Ya, aku tahu. Tapi kurasa dia lebih memilih untuk memberanikan diri. Bisakah kita memberinya kesempatan"" Dari atas tangga mereka memperhatikan Jessie mendekati Grady yang sedang menjaga pintu dan Faye.
"Duduk, Grady." Suara Jessie terdengar tegas; hanya orang yang mengenal Jessie dengan baik
235 yang dapat menangkap keragu-raguan di dalamnya. Grady langsung patuh, duduk sesuai perintah, lalu berbaring di lantai dapur, menumpukan kepalanya yang besar di kakinya. "Anjing pintar," puji Jessie. Kemudian ia membungkuk dan memegang kepala anjing itu sekilas. "Anjing pintar."
Kedua Pria yang mengawasinya bernapas lega bersamaan, lalu bertukar senyum. "Bisakah kau tinggal untuk makan malam"" tanya Patrick. "Hanya makanan seadanya, tapi kau selalu diterima."
"Terima kasih. Dengan senang hati."
"Maafkan aku, Patrick. Seharusnya aku mengatakan padamu yang sebenarnya sejak awal." Mereka sedang berada di dapur, bersama-sama menyiapkan makan malam dari campuran makanan India dari malam sebelumnya dan oseng-oseng daging sapi pedas buatan Patrick, sementara Kevin dan Faye bermain dengan bayi mereka yang pintar di ruang duduk. "Aku hanya berpikir, kalau kau tahu aku memiliki Bertie bersamaku selama beberapa hari saja, maka kau akan menentang surat perjanjian sewa itu dan mengusirku." Jessie menengadah. "Yang menunjukkan betapa salahnya aku."
"Tidak, kau benar. Itulah pikiran pertamaku, satu-satunya yang kupikirkan."
"Apa yang mengubah pikiranmu""
Ciuman. Sebuah ciuman. "Ada yang bisa kami bantu"" tanya Faye memasuki dapur, diikuti oleh Kevin yang menggendong
236 putranya. "Cantik sekali kucingnya." Mao duduk di ambang pintu, sementara Grady yang waspada tetap menjaga jarak
"Kau suka kucing"" tanya Patrick.
"Sangat." Faye membungkuk untuk membelai Mao dan kucing itu menerima penghormatan itu dengan senang hati "Sayangnya-"
"Bertie benar-benar memujanya," ujar Jessie cepat-cepat, ia menatap Patrick. Ia hampir bisa merasakan pria itu membaca pikirannya. Rasanya seperti disentuh secara intim. Dimiliki. Dikenal baik.
"Kalau Bertie memujanya...," Patrick balas menatapnya, dan Jessie langsung tahu apa yang akan dikatakannya, "...Bertie harus memilikinya."
"Oh, tapi...," Kevin mulai menolak, seperti yang Jessie tahu akan dilakukannya. Ketidaksukaan pada kucing memang menurun dalam keluarga.
Jessie, matanya masih belum lepas dari Patrick, berkata, "Aku memaksa, Kevin."
Kakaknya menelan ludah dan menyerah. "Terima kasih. Selama kau tidak memintaku membawa anjingnya juga."
"Tidak." Jessie juga bersikap tegas dalam hal itu. "Mao disewakan dalam jangka pendek, dan kau akan lega mengetahui bahwa pemiliknya akan menjemputnya bulan September nanti. Grady sudah punya kedudukan tetap di sini." Lalu Jessie menyerahkan semangkuk salad pada Kevin. "Bagaimana kalau kita makan di
kebun"" 237 * * * Patrick menutup pintu di belakang tamu-tamunya. "Well. Sekarang hanya tinggal kau, aku, dan Grady."
"Dua dari tamumu yang tak diundang sudah pergi," Jessie menyetujui. "Dengan Bertie yang sudah kembali ke pelukan orangtuanya dan Mao yang memiliki rumah baru sampai Carenza kembali, sebaiknya besok aku mulai mencari rumah." Patick tidak mengatakan apa pun. "Setidaknya kau bisa memindahkan tempat tidur Grady dari garasi karena kucingnya sudah tidak ada."
"Kau masih di sini. Aku membutuhkan malam yang tenang."
Jessie mengangkat alisnya. "Histeris""
"Siapa tahu kau mau secangkir teh... atau sesuatu. Sore ini kau sangat berani menghadapi Grady, tapi tengah malam, sendirian..."
"Aku bisa mengatasinya. Faye tadi ketakutan dan aku berpikir, Jangan bodoh. Grady tidak akan menyakitimu. Dan aku tahu itu benar."
"Ya sudah kalau kau betul-betul yakin."
"Aku yakin. Selamat malam, Patrick."
Patrick merasa seolah-olah tersapu dalam gelombang samudra luas dan muncul di permukaan, yakin bahwa terlalu cepat untuk memberitahu Jessie apa yang dirasakannya. Ia tahu bagaimana perasaannya, tak pernah seyakin ini mengenai apa pun
238 seumur hidupnya. Pertama kali melihat Belia, Patrick sudah jatuh cinta padanya. Lalu, ia tidak pernah tahu apakah cinta itu akan bertahan dan berkembang. Kali ini ia bisa yakin. Sesaat, Bertie memang mengaburkan situasinya, membuatnya bingung. Tapi Bertie sudah pergi dan perasaan itu tetap tinggal. Hanya Jessie yang selama ini membuat hatinya gelisah. Hanya Jessie yang bisa membuatnya merasa utuh.
Tapi pengalaman Jessie akan cinta pada pandangan pertama berakhir dalam kesedihan. Jessie perlu waktu dan Patrick akan memberikannya. Waktu dan ruang. Patrick senang ia sudah bersusah payah menata kamar Jessie. Tak ada yang sementara tentang kamar itu. Di dalamnya terdapat semua yang dibutuhkan wanita itu, bahkan-
Ya Tuhan! Tempat tidur bayi itu! Kalau Jessie melihatnya, dia akan tahu... Dia akan berpikir...
Patrick melangkahi tiga anak tangga sekaligus, berharap Jessie mungkin memutuskan untuk bekerja sejam lagi di depan komputernya. Tapi wanita itu sedang berdiri di samping tempat tidur bayi bercat putih, jemarinya menelusuri gambar teddy bear di kaki tempat tidur.
Jessie menengadah, matanya cekung. "Dari mana datangnya benda ini""
"Loteng. Aku pikir tempat tidur itu akan lebih nyaman daripada boks bepergian yang digunakan Bertie." Lalu, karena tidak tahan menghadapi keheningan yang mengikutinya, Patrick menambahkan, "Itu tempat tidur putriku." Jessie masih diam.
239 "Namanya Mary Louise. Dia sedang bersama ibunya, bersama Belia, waktu..." Patrick membuat gerakan tak berdaya. "Umurnya baru lima bulan."
"Patrick, maafkan aku. Aku tidak tahu. "
"Belia ada janji di klinik, hanya salah satu pemeriksaan rutin. Belia tidak bisa membawa Grady bersamanya dan dia berkata "Grady akan menemanimu..."" Jessie mengerang pelan. "Seorang saksi dalam pemeriksaan polisi mengatakan bahwa Belia sebenarnya tidak akan terluka, tapi dia melempar dirinya sendiri ke atas keranjang bayi..."
"Kenapa kau tidak menceritakannya padaku""
"Aku tidak bisa. Terlalu menyakitkan " Patick mengucapkannya terpatah-patah saat berbalik menghadap Jessie yang langsung meraih dan memeluknya. "Kau melihat wajah orang-orang. Rasa iba. Keinginan mereka untuk berada di tempat lain... Berharap seandainya mereka tidak bertanya.. "
Jessie memeluk Patrick. Ia memeluk dan membiarkan pria itu menumpahkan seluruh isi hatinya, dan berusaha tidak memikirkan apa artinya. Kamar yang hanya diisi kardus-kardus yang menyedihkan itu Berusaha tidak memikirkan Patick yang memindahkan barang-barang bayinya yang tewas demi dirinya. Demi Bertie. Dan akhirnya, alasan terakhir, Jessie tidak mau memikirkan kenapa Patick menurunkan boks bayinya dari loteng dan meletakkannya di sini. Jessie takut ia tahu alasannya. "Ayo," ajaknya. "Kita keluar dari sini."
"Tidak, aku akan memindahkannya
"Besok. Lakukanlah besok." Jessie berjalan ber-
240 sama Patrick menuju pintu kamar pria itu. Lalu, karena tidak tega meninggalkan Patrick sendirian bersama kenangan-kenangan yang menyakitkan
itu, Jessie berkala, "Aku akan menemanimu malam ini."
Patrick menatapnya. "Ini mulai jadi kebiasaan "
"Tidak semua kebiasaan itu buruk."
Jessie sepertinya melihat senyum samar yang bersinar di mata Patrick. "Berarti tidak ada seks""
Godaan itu hampir tak dapat ditahannya. "Aku hanya ingin menemanimu. Bisakah kau mengatasinya""
Patrick mendekap Jessie sesaat. Ia sudah me nunggu sepuluh tahun untuk memulai hidupnya lagi. Ia bisa menunggu sampai Jessie memercayainya.
Patrick tidak bisa tidur. Jessie memeluknya lama dan mereka berbincang-bincang. Ia bercerita tentang Belia dan Mary Louise, tentang kesepian yang dirasakannya, dan Jessie memeluknya erat waktu semua itu keluar dari dirinya
Jessie tidak menceritakan Graeme, tapi Patrick sudah tahu detailnya dari Kevin. Ia dan Kevin sama-sama berkeinginan kuat untuk mencekik Graeme sampai mati, tapi akhirnya, mereka sepakat membiarkan takdir melakukannya.
Jessie bergerak dan makin merapat. Jessie juga butuh dihibur. Butuh seorang pria yang bisa diandal kannya. Patrick bisa menunggu. Ia sudah menunggu sepuluh tahun. Seminggu, sebulan, setahun... Patrick
241 menatap Jessie, mencium rambutnya yang berantakan. Tolong, batinnya, jangan setahun.
Hari masih gelap waktu Jessie terbangun dan mendapati dirinya sedang diperhatikan Patrick. Patrick bertumpu pada sikunya dan entah kapan pria itu telah menanggalkan kausnya, jadi sekarang Jessie dihadapkan pada bahu yang lebar dan kokoh. Jessie mencoba tidak mencemaskan pakaian lain yang mungkin sudah ditanggalkan Patrick. Sejauh yang bisa diingatnya Patrick tadi hanya memakai kaus dan celana pendek abu-abu muda waktu naik ke tempat tidur. "Kau salah, tahu tidak""
"Salah"" Patrick masih memakai celana pendeknya" Tidak... tidak... "Salah tentang apa""
"Kaupikir aku memanfaatkanmu dan Bertie sebagai pengganti Belia dan Mary Louise."
"Patick, tidak apa-apa. Aku mengerti-"
Patrick menyentuh bibir Jessie dengan jarinya. "Biar kuselesaikan. Aku tidak mau ada kesalahpahaman lagi di antara kita." Jessie memandangnya, lalu perlahan-lahan mengangguk. Patrick tidak terburu-buru. "Untuk beberapa waktu, aku tidak mengerti. Aku takut mungkin aku memang melakukannya. Mengisi kekosongan dalam hidupku dengan kehadiran ibu dan bayinya di depan pintu rumahku. Yang membutuhkanku. Aku salah."
"Bagaimana kau bisa tahu, Patrick""
"Bayinya sudah pulang tapi kau tetap tinggal. Hanya itulah yang berarti." Patick mengusap ram-
242 but yang menutupi wajah Jessie, tangannya membingkai pipi wanita itu. Rasanya seperti pulang ke rumah. Dan terhindar dan jurang, ia ingin mencium Jessie, menunjukkan padanya bagaimana ia tahu. Tapi terlalu cepat. Keputusan ada di tangan Jessie. "Bagaimana dengan Graeme" Ada bayang-bayang terakhir yang ingin kauhilangkan""
Perut Jessie terasa kram. Lilitan dalam perutnya ini tidak mau pergi. Sesaat Jessie berpikir bahwa Patrick akan memeluknya erat dan membuatnya lupa. Sebaliknya Patrick malah memaksanya untuk mengingat.
"Tidak juga. Dibandingkan dengan apa yang sudah kaualami itu bukanlah apa-apa. Yang pasti tidak cukup penting untuk membuang-buang waktumu." Jelas sekarang sudah saatnya untuk turun dari tempat tidur Patrick. "Kenapa kau berpikir aku mau membicarakan dia lagi"" tanyanya, mencoba mengulur waktu.
"Tidak ada alasan. Aku sudah menghapus semua kenangan buruk yang terus menghantuiku. Aku juga sudah menjernihkan pikiranku untuk mulai mengambil langkah maju dalam hidupku. Berhenti hidup di masa lalu. Rasanya... tepat. Kupikir mungkin kau mau melakukan hal yang sama."
"Aku sudah melakukannya. Atau kau mau mendengar seluruh sejarah hidupku""
"Hanya kalau kau mau menceritakannya. Tapi jangan sekarang." Menjadi pria yang bisa dipercaya Jessie mempersulit tekad Patick untuk melakukan semuanya menurut keinginan wanita itu. Patrick
243 perlu menjaga jarak di antara mereka. Tapi sebaliknya ia malah menurunkan selimut dan berkata, "Kecuali kau mau menceritakan kenapa kau punya tato kepik di paha kananmu""
Jessie mendengus kesal "Kenapa sih Pria selalu penasaran dengan tato""
"Aku tidak tahu. tapi yang pasti tato itu berhasil menarik perhatianku.
Waktu aku masuk dan melihatmu..." Patrick berhenti, menyadari apa yang baru saja dikatakannya.
"Masuk"" Jessie mengerutkan alis. "Tapi waktu itu kau ada di sini Aku yang masuk ke sini..." Dan barulah ia sadar persisnya kapan pertama kali Patick melihat tatonya. "Sialan, Patrick! Aku sudah bertanya-tanya kenapa waktu itu kau tidak memakai baju." Jessie mencoba bergerak, tapi Patrick memegang pahanya dan rasanya terlalu berat untuk digerakkan. "Aku menemukan kemejamu di keranjang cucian dan aku tahu ada sesuatu yang terlewatkan. Kau langsung masuk ke kamar mandi waktu itu, kan" Melempar kemejamu dalam keranjang cucian-"
"Dan jatuh dalam nafsu."
"Nafsu!" Patrick menghentikan kata-kata Jessie dengan jarinya, lalu menunduk untuk menciumnya, dan menghentikan keberatan Jessie dengan ciuman yang paling ringan. Lembut, ringan, tak terasa mengancam sedikit pun, mungkin undangan. Bahkan mungkin sebuah janji. Oh, entahlah! Jessie hampir tak mengenal Patrick, tapi ia bereaksi terhadap sentuhannya seperti roket di malam kembang api.
244 Ia sudah berbaring dalam pelukan pria itu selama berjam-jam, tapi kali ini berbeda. "Kau punya cara yang bagus untuk mengalihkan perhatian," ujar Jessie gemetar.
"Seandainya aku bilang bahwa aku jatuh cinta, apa kau akan memercayaiku""
Jessie mengerutkan keningnya, lalu dengan lembut menyapu rambut dari wajahnya dan menahan tangannya di sana. "Kau bukan pembohong seperti Graeme. Sama sekali tidak mirip dengan Graeme dalam hal apa pun."
"Itu benar," sahut Patrick. Lalu, seolah memberi Jessie ruang untuk bernapas dan waktu untuk berpikir, ia melanjutkan, "Apa kau akan menceritakan soal tato itu padaku""
Jessie segera menanggapinya penuh semangat. "Tato itu ide Faye."
"Sungguh" Apa aku tanpa sengaja masuk ke semacam perkumpulan rahasia kaum feminis""
"Tidak juga. Kami dulu anggota tim cheerleader untuk tim basket universitas dan menurut Faye kami perlu pengalih perhatian." Jessie tidak bisa menahan senyum. "Percayalah, tidak ada tim basket yang punya kelompok suporter yang lebih berdedikasi dan antusias daripada kami. Kurasa Kevin tidak pernah melewatkan satu pertandingan pun saat Faye tampil."
"Maksudmu waktu kau melompat-lompat dengan mengenakan rok-rok pendek itu..."" Patrick memaki pelan. "Itu sangat-" Patick menghentikan dirinya.
"Ayolah," ujar Jessie, menyeringai. "Katakan saja."
245 "Seksi." "Ya. well kami baru sembilan belas dan masih polos. Tapi nafsu saja tidak cukup. Patrick."
"Itu baru awalnya." Patrick mencondongkan tubuh dan mencium Jessie. Bibirnya berlama-lama di bibir wanita itu, seolah berusaha menekankan maksudnya. "Kalau aku bilang cinta, kau tidak akan memercayaiku. Benar, kan""
Kali ini Jessie tahu tidak mungkin baginya untuk menghindari pertanyaan itu. Mustahil ia mau menghindarinya. "Seminggu yang lalu, aku pasti akan bilang tidak tanpa berpikir dua kali."
"Dan sekarang""
"Sekarang"" Jessie menatap Patick, menyentuh pipi pria itu. lalu bibirnya. "Sekarang aku akan tetap memercayaimu seandainya kau bilang langit berwarna hijau dan rumput merah jambu. Cium aku, Patrick."
Bibir Patrick begitu lembut. Jessie menginginkan lebih dan membuka bibirnya menyambut bibir Patick, lidahnya menggoda sepanjang bibir bawah Patrick, mengisapnya, seperti ingin mengisap kehidupan, kekuatan, dan keberanian pria itu.
"Jessie"" suara Patrick parau dan lembut.
"Sekali lagi. supaya aku yakin."
Kali ini Patrick menciumnya lebih lama. Ingin meyakinkan Jessie bahwa dia aman dalam pelukannya. Lama setelahnya, Patick mengangkat kepalanya dan berkata, "Well""
"Tanyakan lagi padaku besok pagi."
246 "Kau benar-benar gila, kau tahu itu, kan" Matahari belum lagi muncul, dan kalaupun Patrick ada di sini dia pasti masih tidur. Kalau wanita itu di sini kau mungkin akan membuatnya ketakutan setengah mati."
"Aku tidak bisa menahannya, Sarah. Aku sudah tidak tahan lagi menunggu kelanjutan situasi buruk ini. Setiap kali aku berbalik aku mengira akan melihat Patick di belakangku. Atau ibuku. Kau tidak perlu kembali bersamaku."
"Tentu saja aku harus. Bagaimana kalau dia menguncimu di gudang bawah tanah sampai musim panas b
erakhir" Siapa yang bakal tahu""
"Jangan konyol. Patrick tidak akan berbuat seperti itu." Carenza memasukkan kunci ke lubang kunci di pintu, membukanya, dan menekan kode alarm keamanan. "Setelah kupikir-pikir lagi, mungkin sebaiknya kau pergi dan tunggu di mobil. Nyalakan mesinnya kalau kau mendengar keributan. Aku tidak akan lama." Kemudian Carrie berlari pelan menaiki tangga dan mengetuk pintu kamar. "Patrick""
Tidak ada jawaban. Came membuka pintunya beberapa senti dan mengintip. Butuh beberapa waktu sebelum ia melihat sosok-sosok tubuh yang berpelukan di tempat tidur, tapi saat melihat mereka, ia menyeringai, menutup pintu dengan sangat pelan, dan berjalan keluar rumah.
247 "Well" Apa yang dikatakannya"" desak Sarah saat Carenza duduk lagi di kursi penumpang.
"Tidak ada. Dia sedang tidur."
"Kita menyewa mobil dan jauh-jauh menyetir dari Prancis ke sini hanya untuk itu""
"Kita sama sekali tidak rugi, percayalah padaku. Ayolah, kita mungkin bisa mengejar kapal feri pertama kalau kita buru-buru."
Epilog "PRIA itu mengerikan. Benar-benar mimpi buruk. Apa sih yang dipikirkan Carenza""
"Dia tidak berpikir. Dia sedang jatuh cinta." Patrick berhenti mondar-mandir cukup lama untuk mengekspresikan pendapat kasarnya tentang pacar keponakannya. "Patrick!"
"Maaf, Sayang," Patick mencium kepala putrinya yang berambut ikal. Chloe terus merengek di pundak Patick. "Kita harus melakukan sesuatu, Jessie. Carrie benar-benar buta. Pria itu pengangguran, dia hanya memanfaatkan Carrie-"
"Dia sangat tampan."
"Dan pria itu pasti sangat menyadarinya. Aku bertaruh dia pasti mencium bayangannya di cermin sebelum tidur."
"Kurasa dia tidak perlu melakukannya. Tapi berwajah tampan kan bukan dosa, Patrick."
"Memang bukan, tapi bukan hanya itu." Patrick ragu-ragu. "Sepertinya Carrie menanggung biaya hidup pria itu."
Jessie, yang sudah setengah tertidur dan nyaris
249 menyerah pada rasa kantuknya, Tiba-tiba terjaga sepenuhnya. "Carrie bilang begitu padamu""
"Aku ditelepon ayahnya. Carrie minta uang padanya."
"Ayahnya! Pasti itu pertama kalinya."
"Tepat Carrie tidak minta padaku karena dia tahu apa yang akan kukatakan."
"Kalau begitu, kau benar. Kita harus melakukan sesuatu." Jessie berguling turun dari tempat tidur. "Sini, berikan dia padaku Otakku bekerja lebih baik saat aku bergerak." Ia mengambil Chloe dari Patrick dan meneruskan ritual mondar-mandir tengah malam itu "Oh, Sayang," bujuknya. "Apa gigi-gigi nakal itu menyusahkanmu""
"Sayang, gigi-gigi itu menyusahkan kita semua."
"Betul," renungnya. Lalu, selagi memutar tubuhnya, Jessie berkata, "Mungkin itu jawabannya."
"Apa"" "Pacar Carenza keenakan. Flat yang nyaman, makan tiga kali sehari, dan tidak ada kebutuhan mendesak untuk mencari pekerjaan, dengan Carenza yang selalu ada setiap kali dia merasa ingin."
"Jessie, tolong!"
"Kita harus membuatnya merasa tidak nyaman," kata Jessie sambil menengadah, menunggu sampai suaminya bisa menangkap maksudnya "Membuatnya susah." Jessie mencium putrinya yang berharga. Akan sangat sulit, benar benar sulit membiarkan putri mereka yang masih bayi lepas dan pandangannya, bahkan untuk beberapa hari saja. Tapi Faye pernah melakukannya demi aku, pikir Jessie.
250 "Kau tidak menyarankan... Sesaat Patrick tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Kau tidak benar-benar menyarankan kita meninggalkan Chloe di depan pintu Carenza, kan"" Ketika Jessie tidak menjawab, Patick berkata, "Kau serius. Sayang, apa kau yakin" Carrie tidak tahu apa-apa tentang bayi. Bagaimana dia mengatasinya""
"Sulit, Dia pasti tidak punya waktu lagi untuk melayani si Mr Hebat. Satu minggu tanpa tidur, tanpa makanan panas, tanpa... kegiatan ekstra""
"Aku mengerti. Kau yakin""
"Oh, ya, aku yakin. Dan lebih cepat lebih baik."
"Besok"" "Pagi-pagi sekali. Kita harus datang waktu Carrie sedang tidak berpakaian."
"Dan ke mana kita akan pergi""
Tangan Jessie terulur menyentuh pipi Patrick. Mencium suaminya dengan lembut. "Ke suatu tempat di mana Carrie tidak bisa menemukan kita. Suatu tempat yang tenang." Jessie tersenyum. "Tempat yang memiliki tempat tidur besar."
TAMAT Sumber Pdf: Hanamaru @indow ebster Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Ratu Perut Bumi 1 Siluman Ular Putih 20 Murka Penghuni Kubur Carry Me Down 2
^