Pencarian

Malaikat Dan Iblis 6

Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Karya Dan Brown Bagian 6


"Figlio di puttana!" Vittoria menyumpah perlahan sambil terloncat ke belakang. Langdon juga terdorong ke belakang bersamanya.
Di samping pilar itu, terlihat seekor tikus besar sedang menyeret roti lapis yang telah dimakan separuh. Makhluk itu berhenti ketika melihat mereka, menatap lama ke arah laras senjata yang dipegang Vittoria. Ketika tikus itu merasa aman, hewan itu melanjutkan usahanya dengan menyeret makanannya ke ceruk gereja.
"Sialan .... " Langdon terkesiap, jantungnya masih berdebar
dengan kencang. Vittoria menurunkan senjatanya dan dengan cepat dia memperoleh ketenangan kembali. Langdon mengintai dari sisi pilar dan melihat sebuah kotak makan siang seorang pekerja yang terbuka di atas lantai. Tampaknya kotak itu dijatuhkan dari atas kuda-kuda kayu oleh tikus besar yang cerdik itu.
Langdon mengamati ruangan gereja itu untuk mencari adanya gerakan lainnya dan berbisik, "Kalau orang itu masih ada di sini, dia pasti juga mendengar kegaduhan itu. Kamu yakin tidak mau menunggu Olivetti""
"Apse kedua di sisi kiri," Vittoria mengulangi. "Di mana
itu"" Dengan enggan Langdon berpaling dan berusaha untuk mengingat-ingat. Istilah dalam katedral seperti papan petunjuk di panggung-sa
ngat mudah untuk ditebak. Langdon menghadap ke altar utama. Anggap itu sebagai panggung utama. Lalu dia menunjuk dengan ibu jarinya ke belakang melalui bahunya.
Mereka berdua berputar dan melihat ke arah yang ditunjuk Langdon tadi.
Tampaknya Kapel Chigi terletak di ceruk ketiga dari empat ceruk di sebelah kanan mereka. Kabar baiknya adalah Langdon dan Vittoria berada di sisi yang tepat dari gereja itu. Kabar buruknya, mereka berada di ujung yang salah. Mereka harus menyeberangi gereja itu dan melewati tiga kapel lainnya. Setiap kapel, seperti juga Kapel Chigi, tertutup dengan plastik tembus pandang.
"Tunggu," kata Langdon. "Aku jalan di depan." "Lupakan."
"Akulah yang mengacaukan keadaan dengan menyuruh orang untuk mengepung Pantheon."
Vittoria berpaling, "Tetapi akulah yang membawa pistol."
Di mata Vittoria, Langdon dapat melihat apa yang
sesungguhnya dipikirkan oleh perempuan itu .... Akulah yang
kehilangan ayahku. Akulah yang membantunya membuat senjata pemusnah masal itu. Nasib orang ini milikku ....
Langdon merasa usahanya akan sia-sia saja, jadi dia mengikuti keinginan perempuan itu. Dia berjalan di samping Vittoria dengan berhati-hati ke arah timur serambi itu. Ketika mereka melewati ceruk bertirai plastik yang pertama, Langdon merasa tegang, seperti seorang peserta dalam sebuah permainan khayalan. Aku akan membuka tirai nomor tiga, pikirnya.
Gereja itu sunyi karena dinding batu yang tebal itu menghalangi suara-suara dan pemandangan dari dunia luar. Ketika mereka bergegas melewati satu kapel dan yang lainnya, sebentuk benda pucat seperti manusia bergoyang-goyang seperti hantu di balik gemerisik tirai plastik. Pualam yang diukir, kata Langdon pada dirinya sendiri sambil berharap dia benar. Saat itu pukul 8:06 malam. Apakah pembunuh itu tepat waktu saat melakukan rencananya sehingga sekarang dia sudah menyelinap keluar sebelum Langdon dan Vittoria masuk" Atau apakah dia masih di dalam" Langdon tidak yakin skenario mana yang dia sukai.
Mereka melewati apse kedua, Langdon merasa tidak nyaman berjalan seperti itu di dalam katedral yang gelap. Malam bergulir dengan cepat sekarang dan suasananya diperjelas oleh warna suram dari jendela-jendela kaca berwarna di sekitar mereka. Ketika mereka bergegas, tirai plastik di samping mereka tiba-tiba bergerak seolah tertiup angin.
Langdon bertanya-tanya, apakah ada seseorang telah membuka pintu.
Vittoria memperlambat langkahnya ketika mereka tiba di depan ceruk ketiga. Dia mengacungkan senjatanya sambil menunjuk dengan kepalanya ke sebuah pilar dengan tulisan di samping apse. Terukir dua kata pada batu granit:
CAPELLA CHIGI Langdon mengangguk. Tanpa menimbulkan suara, mereka bergerak ke sudut pintu, lalu menempatkan diri mereka di belakang pilar. Vittoria mengarahkan senjatanya ke arah sebuah sudut yang ditutupi oleh tirai plastik. Kemudian dia memberi isyarat pada Langdon untuk menyingkap tirai itu.
Waktu yang tepat untuk mulai berdoa, pikir Langdon. Dengan enggan dia mengulurkan tangannya melalui bahu Vittoria. Dengan sehati-hati mungkin, dia mulai menyingkap tirai plastik itu ke samping. Plastik itu terkuak satu inci kemudian berderik keras. Mereka berdua membeku. Sunyi. Setelah sesaat, mereka bergerak lagi dengan sangat lambat. Vittoria mencondongkan tubuhnya ke depan dan mengintai melalui celah sempit. Langdon melihat dari belakang bahu Vittoria.
Untuk sesaat napas mereka seperti tercekat.
"Kosong," akhirnya Vittoria berkata sambil menurunkan senjatanya. "Kita terlambat."
Langdon tidak mendengarnya. Dia sedang terpaku dan dengan sekejap beralih ke dunia lain. Seumur hidupnya dia tidak pernah membayangkan sebuah kapel akan tampak seperti ini. Dengan semua bagian dilapisi oleh pualam berwarna kecokelatan, Kapel Chigi terlihat sangat mengagumkan.
Langdon langsung menyusuri kapel itu dengan matanya. Warna kecokelatan dari kapel itu mengingatkannya akan warna tanah. Seolah ini memang sebuah kapel yang telah dirancang oleh Galileo dan Illuminati sendiri.
Di atas, kubahnya bersinar karena dipasangi bintang dengan sinarnya yang terang dan tujuh planet astrono
mi. Di bawahnya terdapat lambang dua belas zodiak-simbol Pagan yang bersifat duniawi dan berasal dari astronomi. Zodiak itu terikat langsune pada Bumi, Udara, Api, dan Air ... kuadran yang mewakili kekuatan, kecerdasan, semangat dan perasaan. Bumi mewakili kekuatan, kata Langdon dalam hati.
Sementara itu di dinding, Langdon melihat penghormatan kepada empat musim-primavera, estate, autunno, inverno. Tetapi yang jauh lebih hebat dari itu adalah dua struktur besar yang mendominasi ruangan tersebut. Langdon menatap mereka dalam diam karena kagum. Tidak mungkin, pikirnya. Betul-betul tidak mungkinl Tetapi itu mungkin saja. Di sisi lain dari kapel itu, terlihat dua buah piramida pualam setinggi sepuluh kaki yang berdiri dengan sangat simetris.
"Aku tidak melihat seorang kardinal pun," bisik Vittoria. "Atau seorang pembunuh." Lalu dia menyibakkan plastik itu dan masuk.
Mata Langdon seperti terpaku pada kedua piramida itu. Untuk apa ada dua buah piramida di dalam kapel Kristen" Tapi ternyata masih ada lagi yang lebih hebat. Tepat di tengah-tengah kedua piramida, di sisi depannya, terdapat medali emas ... medali yang jarang sekali dilihat Langdon ... berbentuk elips sempurna. Cakram yang dipelitur berkilauan di bawah matahari sore yang memancar dari kubah kapel. Elips Galileo" Piramida-piramida" Kubah berbintang" Ruangan itu memiliki simbol-simbol Illuminati lebih banyak daripada yang dapat dibayangkan Langdon dalam benaknya.
"Robert," seru Vittoria, suaranya serak. "Lihat!"
Langdon terkejut, dunia nyata menariknya kembali ketika matanya melihat ke arah apa yang ditunjuk Vittoria. "Sialan!" seru Langdon sambil terlonjak ke belakang.
Sebuah mosaik dari pualam bergambar kerangka manusia seolah tersenyum pada mereka. Gambar itu menceritakan perjalanan arwah ke alam baka. Kerangka manusia itu membawa sebuah lempengan berisi piramida dan bintang seperti yang sudah mereka lihat sebelumnya. Tapi bukan gambar itu yang membuat Langdon merinding, tapi kenyataan bahwa mosaik yang terletak di atas lempengan batu yang berbentuk bundar-sebuah cupermento-sudah diangkat dari lantai seperti tutup got. Kini lempengan itu meninggalkan sebuah lubang menganga di lantai.
"Lubang iblis," kata Langdon terkesiap. Dia tadi begitu terpesona pada langit-langit ruangan ini sehingga tidak melihat ke bawah. Langdon lalu bergerak ke arah lubang itu. Aroma yang keluar tidak tertahankan.
Vittoria meletakkan tangannya di mulutnya. "Che puzza."
"Effluvium," kata Langdon, "aroma dari tulang-belulang yang membusuk." Langdon bernapas dengan lengan menutupi hidungnya ketika dia melongok ke lubang hitam di bawah sana. "Aku tidak dapat melihat apa pun."
"Kamu pikir ada orang di bawah"
"Bagaimana aku tahu""
Vittoria menunjuk ke sisi lain dari lubang itu di mana terdapat sebuah tangga kayu yang sudah lapuk yang akan membawa mereka ke dalam.
Langdon memandang Vittoria dengan lekat. "Jangan bercanda."
"Mungkin ada senter di dalam kotak peralatan para tukang yang ditinggalkan di sini." Nada suara Vittoria terdengar seperti alasan untuk melarikan diri dari bau busuk yang menyengat itu.
"Aku akan melihatnya."
"Hati-hati!" Langdon memperingatkan. "Kita tidak tahu pasti apakah si Hassassin itu-"
Tetapi Vittoria sudah menghilang. Perempuan yang keras kepala, pikir Langdon. Ketika dia menoleh kembali ke arah sumur itu, dan merasa pusing karena bau menyengat yang keluar dari sana. Sambil menahan napasnya, Langdon meletakkan kepalanya ke dekat tepian lubang dan melongok ke dalam kegelapan di bawahnya. Perlahan, matanya menyesuaikan diri dengan kegelapan. Lalu dia mulai dapat melihat ada bentuk samar-samar di bawah. Lubang itu ternyata memiliki ruang kecil. Lubang iblis. Dia bertanya-tanya, berapa generasi keluaga Chigi yang telah dimakamkan tanpa upacara pemakaman di sini. Langdon memejamkan matanya, menunggu, sambil memaksa bola matanya untuk membesar sehingga dia dapat melihat dengan lebih baik ke dalam kegelapan. Ketika dia membuka matanya lagi, dia melihat sesosok pucat tanpa bersuara melayang-layang dalam kegelapan. Langdon bergidik, tapi dia melawan instingn
ya untuk mengeluarkan kepalanya dari lubang itu. Apakah aku sedang melihat sesuatu" Apakah itu mayat" Sosok itu memudar. Langdon memejamkan matanya lagi dan menunggu, kali ini lebih lama sehingga matanya dapat menangkap sinar yang paling samar sekali pun.
Dia mulai merasa pusing, dan pikirannya melayang-layang dalam kegelapan. Beberapa detik lagi saja. Langdon tidak yakin apakah karena dia mencium bau yang menyengat dari dalam
lubang itu atau karena posisi kepalanya yang terjulur ke bawah yang membuatnya pusing. Tetapi yang pasti, dia mulai merasa mual. Ketika akhirnya dia membuka matanya lagi, sosok di depannya menjadi sulit untuk dilihat.
Sekarang dia menatap ke ruang bawah tanah yang tiba-tiba bermandikan cahaya kebiruan. Samar-samar terdengar suara mendesis yang menggema di dalam telinganya. Sinar itu memantul di dinding terowongan di bawahnya. Tiba-tiba sebuah bayangan panjang muncul membayanginya. Dengan sangat terkejut Langdon berdiri.
"Awas!" seseorang berteriak di belakangnya.
Sebelum Langdon dapat memutar tubuhnya, leher belakangnya terasa sakit. Dia berputar dan melihat Vittoria membawa sebuah obor las. Sinar kebiruan yang mengeluarkan suara mendesis itu, menyinari seluruh kapel.
Langdon memegang lehernya. "Apa yang kamu lakukan""
"Aku tadi menerangimu," katanya, "tapi langsung kamu berdiri tanpa melihat ke belakang."
Langdon melihat obor las di tangan Vittoria sambil melotot.
"Hanya ini yang dapat kutemukan," kata Vittoria. "Tidak ada senter."
Langdon menggosok lehernya yang masih terasa sakit. "Aku tidak mendengarmu datang."
Vittoria memberikan obor itu kepadanya sambil meringis ke arah lubang yang bau itu. "Kamu pikir aroma itu dapat terbakar""
"Mudah-mudahan tidak."
Langdon mengambil obor dari tangan Vittoria dan bergerak perlahan ke arah lubang itu lagi. Dengan berhati-hati dia maju ke bibir lubang dan mengarahkan api yang dipegangnya ke dalam lubang untuk menerangi dinding di dalamnya. Ketika dia
mengarahkan sinar itu, matanya menyusuri dinding ruang bawah tanah itu. Ruangan itu berbentuk bundar dan berdiameter kira-kira dua puluh kaki dengan kedalaman tiga puluh kaki. Sinar obornya menerangi lantai ruangan tersebut. Dasarnya gelap dan berantakan. Tanah. Kemudian Langdon melihat tubuh itu.
Instingnya mengatakan untuk pergi dari situ tapi nalarnya yang menahannya. "Dia di sini," kata Langdon sambil memaksa dirinya untuk tidak lari dari situ. Sosok itu terlihat pucat di atas lantai tanah di bawahnya. "Sepertinya dia ditelanjangi." Tiba-tiba teringat dengan mayat Leonardo Vetra yang ditelanjangi.
"Apakah itu salah satu dari kardinal itu""
Langdon tidak tahu, tetapi dia tidak dapat membayangkan siapa lagi yang mungkin terbaring di tempat seperti ini. Dia menatap ke bawah ke arah sesosok tubuh yang pucat itu. Dia terlihat tidak bergerak. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tapi ... Langdon ragu-ragu. Ada yang sangat aneh pada posisi sosok itu. Dia tampak ....
Langdon berseru. "Halo""
"Kamu pikir dia masih hidup""
Tidak ada jawaban dari bawah.
"Dia tidak bergerak," kata Langdon. "Tetapi dia tampak .... "
Tidak, tidak mungkin. "Dia tampak apa"" sekarang Vittoria juga ikut melongok ke bawah.
Langdon menyipitkan matanya untuk melihat ke dalam kegelapan. "Dia seperti berdiri."
Vittoria menahan napasnya dan menurunkan wajahnya ke arah bibir lubang agar dapat melihat dengan lebih jelas. Setelah sesaat, dia menarik diri. "Kamu benar. Dia berdiri. Mungkin dia masih hidup dan memerlukan pertolongan!" Dia berseru ke dalam lubang. "Halo" Mi puy sentire""
Tidak ada gema dari bagian dalam ruangan yang berlumut itu. Hanya kesunyian.
Vittoria menuju ke tangga yang sudah reyot itu. "Aku mau turun."
Langdon menangkap lengannya. "Tidak. Itu berbahaya. Aku saja."
Kali ini Vittoria tidak membantah.
66 CHINITA MACRI MARAH sekali. Dia duduk di bangku penumpang di van BBC ketika mobil itu berhenti di sudut jalan Via Tomacelli. Gunther Glick sedang memeriksa peta Roma ditangannya. Nampaknya mereka tersesat. Seperti yang ditakutkan oleh Macri, beberapa saat yang lalu penelepon misterius itu menele
pon Glick kembali. Kali ini dia memberikan informasi baru.
"Piazza del Popolo," Glick berkeras. "Tempat itulah yang kita cari. Ada gereja di sana. Dan di dalamnya ada bukti."
"Bukti." Chinita berhenti menggosok lensa kameranya yang berada di tangannya dan berpaling ke arahnya. "Bukti bahwa seorang kardinal telah dibunuh""
"Itu yang dikatakannya."
"Kamu percaya semua yang kamu dengar"" Chinita selalu herharap kalau dirinyalah yang memimpin tugas ini. Bagaimanapun juga seorang videografer harus mengikuti tingkah gila para reporter ketika mereka mengejar berita. Kalau Gunther Glick ingin mengikuti petunjuk meragukan yang diberikan oleh penelepon misterius itu, Macri harus mengikutinya seperti anjing yang dibawa berjalan-jalan oleh majikannya.
Kini, Macri menatap Glick yang duduk di bangku pengemudi sambil mengeraskan rahangnya. Macri menyimpulkan orang tua lelaki itu pasti pelawak yang putus asa. Tidak ada orang tua normal yang memberi nama anak mereka
Gunther Glick. Tidak heran kalau lelaki itu selalu merasa harus membuktikan sesuatu. Walau keberuntungannya biasa-biasa saja dan semangatnya untuk mendapat pengakuan kadang mengganggu orang lain, Glick sebetulnya lelaki yang manis ... memesona walau sedikit lembek.
"Kita kembali saja ke Basilika Santo Petrus, ya"" kata Macri sesabar mungkin. "Kita bisa memeriksa gereja misterius itu lain waktu. Rapat pemilihan paus sudah dimulai satu jam yang lalu. Bagaimana kalau para kardinal itu sudah menetapkan paus yang baru sementara kita tidak berada di sana""
Tampaknya Glick tidak mendengarnya. "Kukira kita harus belok ke kanan dari sini." Dia mengangkat peta itu dan mempelajarinya lagi. "Ya, kalau aku membelok ke kanan ... dan kemudian langsung ke kiri." Dia mulai menjalankan mobil menuju ke jalan sempit di depan mereka.
"Awas!" teriak Macri. Dia adalah juru kamera dan tidak heran kalau matanya tajam. Untunglah, Glick juga tak kalah sigap. Dia menginjak pedal rem dan tidak jadi berbelok di perempatan itu tepat ketika empat buah mobil Alfa Romeo muncul dari kegelapan dan membelah jalanan dengan cepat. Begitu mobil-mobil itu berlalu, terdengar bunyi rem yang mendecit, mereka terlihat mengurangi kecepatan lalu berhenti satu blok di depannya. Mereka mengambil jalan yang sama dengan yang akan dilalui oleh Glick.
"Dasar orang gila!" teriak Macri.
Glick tampak gemetar. "Kamu lihat itu tadi""
"Ya, aku melihatnya! Mereka hampir membunuh kita!"
"Bukan itu. Maksudku, mobil-mobil itu," kata Glick. Suaranya tiba-tiba terdengar sangat bersemangat. "Mereka semua sama."
"Mereka adalah orang-orang gila yang tidak punya imajinasi."
"Mobil-mobil itu juga penuh." "Lalu memangnya kenapa""
"Empat mobil yang sama dan semuanya berisi empat penumpang."
"Kamu pernah mendengar arak-arakan mobil""
"Di Italia"" kata Glick sambil memeriksa perempatan di hadapan mereka. "Mereka bahkan belum pernah mendengar ada bensin tanpa timbal." Dia lalu menginjak pedal gas dan melesat mengikuti mobil-mobil itu.
Macri tersentak ke belakang di atas bangkunya. "Apa yang kamu lakukan""
Glick memacu mobilnya dan membuntuti keempat Alfa Romeo itu. "Aku punya perasaan kalau kita berdua bukan satu-satunya orang yang pergi ke gereja sekarang."
67 LANGDON TURUN PERLAHAN-LAHAN.
Dia menjejakkan kakinya satu per satu di atas anak tangga yang reyot ... ke dalam dan lebih dalam lagi ke ruang bawah tanah di Kapel Chigi. Masuk ke lubang iblis, pikirnya. Badannya menghadap ke dinding sementara punggungnya menghadap ke ruangan itu. Langdon bertanya-tanya berapa banyak ruangan gelap dan sempit yang bisa muncul dalam satu hari untuk penderita claustophobia seperti dirinya. Tangga itu berderit setiap kali kaki Langdon menginjaknya. Sementara itu aroma menyengat dari bau daging yang membusuk dan udara pengap hampir membuat Langdon sesak. Lelaki itu bertanya-tanya di mana gerangan Olivetti.
Tubuh Vittoria masih terlihat di atas, memegangi obor gas, menerangi jalan Langdon. Ketika Langdon turun semakin dalam di ruang gelap itu, sinar kebiruan di atas menjadi semakin samar. Satu-satunya yang bertambah tajam adalah bau men
usuk itu. Dua belas anak tangga ke bawah sudah terlalui. Sekarang kaki Langdon menyentuh bagian yang licin karena lapuk sehingga membuatnya limbung. Secara refleks, Langdon menangkap tangga dengan lengan bawahnya agar tidak tersungkur ke dasar ruangan. Sambil menyumpahi lengannya yang terasa sakit, Langdon berusaha menyeret tubuhnya ke tangga dan mulai bergerak turun kembali.
Tiga anak tangga membawanya lebih dalam dan Langdon hampir terjatuh lagi. Kali ini bukan karena anak tangganya, tetapi karena ledakan ketakutannya. Dia turun melewati sebuah ceruk yang terdapat di dinding di depannya dan tiba-tiba dia berhadapan dengan sekumpulan tengkorak. Ketika dia dapat bernapas lagi, dia sadar kalau pada kedalaman ini terdapat ceruk berlubang-lubang seperti rak-rak-rak pemakaman, dan semuanya berisi kerangka manusia. Dalam sinar kebiruan yang menyinarinya dari atas, kumpulan tulang-tulang iga yang menakutkan dan membusuk itu tampak berkelip-kelip di sekitarnya.
Kerangka yang bersinar dalam gelap, dia tersenyum masam ketika menyadari kalau dia pernah mengalami hal yang sama bulan lalu. Ketika itu dia hadir dalam acara Semalam Bersama Tulang Belulang dan Pendar Api. Acara tersebut adalah sebuah acara makan malam yang diterangi nyala lilin, yang diselenggarakan oleh Museum Arkeologi New York, dan diadakan untuk pengumpulan dana. Hidangan malam itu adalah ikan salmon flambe yang disajikan dalam bayangan kerangka brontosaurus. Langdon menghadirinya karena undangan dari Rebecca Strauss, seorang model fesyen yang sekarang menjadi kritikus seni di majalah Times. Malam itu Nona Strauss mengenakan gaun beledu hitam yang memesona, ketat, dan memamerkan buah dadanya dengan agak berani. Setelah malam itu, Nona Strauss meneleponnya dua kali Tapi Langdon tidak membalasnya. Sangat tidak sopan bagi seorang lelaki, caci Langdon pada dirinya sendiri sambil bertanya-tanya berapa lama Rebecca Strauss dapat bertahan di dalam sumur berbau busuk seperti ini.
Langdon merasa lega ketika anak tangga terakhir membawanya ke tanah yang lunak. Tanah di bawah sepatunya
terasa lembab. Setelah meyakinkan diri kalau dinding di sekitarnya tidak akan menguburnya, dia memutar tubuhnya ke arah ruangan bawah tanah itu. Ruangan tersebut berbentuk bundar, dan memiliki garis tengah sebesar dua puluh kaki. Sambil menutupi hidungnya dengan lengannya, Langdon mengarahkan matanya pada sosok itu. Dalam keremangan, sosok itu tampak kabur. Kulitnya yang berwarna putih terlihat jelas. Sosok itu menghadap ke arah yang lain. Tidak bergerak. Tidak bersuara.
Langdon melangkah maju di dalam ruang bawah tanah yang suram itu, dan mencoba untuk mengerti apa yang sedang dilihatnya sekarang. Punggung orang itu menghadap ke arahnya sehingga Langdon tidak dapat melihat wajahnya. Tetapi jelas, lelaki itu berdiri.
"Halo"" kata Langdon dengan suara seperti tercekik dari balik lengan yang menutupi hidungnya. Tidak ada jawaban. Ketika dia melangkah mendekat, dia sadar kalau lelaki itu sangat pendek. Terlalu pendek ....
"Apa yang terjadi"" tanya Vittoria sambil berseru dari atas dan menggerak-gerakkan obor gasnya.
Langdon tidak menjawabnya. Dia sekarang sudah cukup dekat untuk dapat melihat semuanya. Dengan gemetar karena jijik, dia sekarang mengerti apa yang dilihatnya. Ruangan itu terasa menciut di sekitarnya. Lalu Langdon melihat tubuh seorang lelaki tua tersembul dari tanah seperti iblis, ... atau setidaknya setengah dari tubuhnya. Lelaki itu ditanam hingga sebatas pinggangnya. Orang tua itu berdiri tegak dengan separuh badannya terkubur di dalam tanah. Dia ditelanjangi. Tangannya terikat di belakang punggungnya dengan ikat pinggang kardinal yang terbuat dari kain merah. Tubuh lelaki tua itu tersembul ke atas dengan lunglai. Punggungnya melengkung ke belakang
seperti karung tinju yang mengerikan. Kepalanya terkulai ke belakang, matanya mengarah ke langit seolah memohon pertolongan dari Tuhan.
"Apakah dia sudah mati"" seru Vittoria bertanya.
Langdon bergerak ke arah tubuh itu. Kuharap begitu, demi kebaikan orang itu sendiri. Ketika dia mendekat lagi, Langdon melihat mata ora
ng itu menengadah ke atas. Kedua bola matanya membelalak. Mata orang itu berwarna biru dan agak kemerahan. Langdon membungkuk untuk memastikan kemungkinan orang itu masih bernapas, tetapi tiba-tiba dia menarik dirinya. "Ya, Tuhan!"
"Apa"" Langdon hampir saja muntah. "Dia memang sudah meninggal. Aku baru saja melihat penyebab kematiannya." Pemandangan itu sangat mengerikan. Mulut lelaki itu dibuka paksa dan tersumbat dengan lumpur padat. "Seseorang telah mengisi mulutnya dengan segenggam penuh lumpur dan menjejalkannya ke dalam tenggorokannya. Dia pasti mati tercekik."
"Lumpur"" tanya Vittoria. "Maksudnya ... tanah""
Langdon heran sekali. Tanah" Dia hampir lupa. Cap-cap itu. Tanah, Udara, Api, Air. Pembunuh itu mengancam akan memberikan cap yang berbeda pada setiap korbannya. Cap yang menggambarkan berbagai elemen ilmu pengetahuan. Elemen pertama adalah tanah. Dari makam duniawi Santi. Duniawi ... bumi ... tanah ... Langdon merasa pusing karena aroma dalam ruangan itu, tapi dia memaksakan diri untuk melihat bagian depan si korban. Dia melakukannya karena dorongan simbologi di dalam jiwanya berteriak dan menuntut untuk melihat perwujudan ambigram yang mistis itu. Tanah" Bagaimana mungkin mereka visa membuat cap seperti itu" Lalu dengan
sekejap, simbol itu sudah ada di depan matanya. Legenda Illuminati yang sudah berabad-abad itu berputar-putar di dalam otaknya. Cap di dada kardinal itu gosong dan memperlihatkan ambigram yang simetris. Dagingnya terlihat kehitaman. La lingua pura ...
Langdon sedang menatap cap tersebut dan merasa ruangan itu seperti mulai berputar.
"Earth, tanah" Langdon berbisik, sambil memiringkan kepalanya untuk melihat simbol itu secara terbalik. "Earth."
Kemudian, dengan ketakutan luar biasa yang tiba-tiba muncul, Langdon sadar. Masih ada tiga cap lainnya lagi.
68 WALAU LILIN MEMANCARKAN sinar lembut di dalam Kapel Sistina, Kardinal Mortati tetap saja merasa tegang. Rapat pemilihan paus sudah dimulai satu jam yang lalu. Dan acara itu dimulai dengan cara yang paling tidak lazim.
Setengah jam yang lalu, pada jam yang sudah ditentukan, Camerlegno Carlo Ventresca memasuki kapel. Dia berjalan menuju altar dan memimpin doa pembukaan. Kemudian dia membuka tangannya dan berbicara kepada para kardinal lainnya dengan ketegasan yang belum pernah didengar Mortati dari altar Kapel Sistina itu.
"Anda sekalian pasti menyadari," kata sang camerlegno, "bahwa empat preferiti kita tidak hadir dalam rapat pemilihan paus saat ini. Saya memohon, atas nama mendiang Paus, kepada Anda sekalian untuk melanjutkan acara ini ... dengan keyakinan dan tujuan. Semoga hanya Tuhan yang ada di depan mata Anda sekalian." Lalu dia berpaling untuk beranjak pergi.
"Tetapi," salah satu kardinal berseru, "di mana mereka""
Sang Camerlegno berhenti. "Itu tidak dapat saya katakan dengan terus terang."
"Kapan mereka akan kembali""
"Saya tidak dapat mengatakannya dengan terus terang."
"Apakah mereka baik-baik saja""
"Saya tidak dapat mengatakannya dengan terus terang."
"Apakah mereka akan kembali""
Ada sunyi yang panjang. "Doakan agar mereka kembali," kata sang camerlegno. Kemudian dia berjalan keluar ruangan.
Seperti tradisi yang sudah berlangsung selama beratus-ratus tahun, pintu-pintu yang menuju Kapel Sistina sudah dikunci dengan dua rantai berat dari luar. Empat orang Garda Swiss berjaga-jaga di koridor. Mortati tahu satu-satunya yang dapat membuat pintu itu terbuka sebelum paus yang baru terpilih adalah ada kardinal yang jatuh sakit, atau ketika sang preferiti tiba. Mortati berdoa agar yang terakhirlah yang akan terjadi, walau ketegangan yang dirasakannya membuatnya menjadi tidak yakin kalau harapannya akan terkabul.
Lanjutkan seperti seharusnya, Mortati memutuskan kemudian mengambil alih acara tanpa mampu menghilangkan nada tegas dan sang camerlegno tadi dari benaknya. Sang camerlegno sudah meminta kami untuk melakukan pemilihan itu sekarang. Apa lagi yang dapat kami lakukan"
Membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk menyelesaikan ritual persiapan sebelum pemungutan suara dilakukan. Mortati menunggu dengan sabar
di altar utama ketika setiap kardinal, sesuai dengan urutan kesenioran mereka, datang mendekat dan melakukan prosedur pemilihan khusus.
Sekarang, akhirnya kardinal terakhir telah tiba di depan altar dan berlutut di depan Mortati.
"Saksiku adalah," kata kardinal itu, persis sama dengan para kardinal sebelumnya, "Yesus Kristus yang akan menjadi hakimku sehingga suara yang kuberikan adalah bagi seorang yang pantas di hadapan Tuhan."
Kardinal itu berdiri. Kemudian dia memegang surat suaranya tinggi di atas kepalanya agar semua orang dapat melihatnya. Setelah itu dia menurunkan surat suaranya ke altar
di mana sebuah piring diletakkan di atas sebuah piala yang biasa digunakan dalam misa suci. Dia meletakkan surat suaranya itu di atas piring tersebut. Lalu dia mengambil piring tersebut dan menggunakannya untuk menjatuhkan surat suaranya ke dalam piala. Penggunaan piring itu adalah untuk memastikan agar tidak ada seorang pun yang meletakkan lebih dari satu surat suara.
Setelah kardinal tadi memasukkan surat suaranya, dia kemudian meletakkan piring itu kembali di atas piala, lalu membungkuk di depan salib dan kembali ke tempat duduknya. Surat suara terakhir telah diberikan.
Sekarang waktunya bagi Mortati untuk melakukan kewajibannya.
Dengan membiarkan piring itu tetap berada di atas piala, Mortati mengocok surat suara itu sehingga teraduk. Kemudian dia membuka piring itu dan mengeluarkan satu surat suara yang diambilnya secara acak. Dia membuka lipatannya. Surat suara itu lebarnya dua inci. Dia membaca dengan keras sehingga semua kardinal dalam ruangan itu dapat mendengarnya.
"Eligo in summum pontificem ... " dia berkata, lalu membaca teks yang tertulis pada bagian atas setiap surat suara. Paus ouct pilihanku adalah ... Kemudian dia mengumumkan nama calon yang tertulis di bawahnya. Setelah Mortati menyebutkan nama calon tersebut, dia meraih sebuah jarum jahit dan menusuk surat suara itu menembus kata Eligo, lalu dengan berhati-hati dia meluncurkan surat suara itu pada benang. Setelah itu dia mencatat suara di sebuah buku catatan.
Kemudian dia mengulangi seluruh prosedur itu. Dia memilih satu surat suara dari piala, membacanya dengan keras, lalu menjahitnya seperti tadi dan mencatatnya dalam buku catatan.
Mortati segera dapat merasakan bahwa pemilihan ini akan
gagal. Tidak ada konsensus. Dia baru membuka tujuh surat suara, dan ketujuh surat suara tersebut menyatakan nama kardinal yang berbeda. Seperti yang biasa terjadi, tulisan tangan di setiap surat suara disamarkan dengan huruf cetak atau tulisan indah. Dalam hal ini, penyamaran itu ironis karena para kardinal menuliskan namanya sendiri. Mortati tahu, keangkuhan ini tidak ada hubungannya dengan ambisi pribadi. Ini hanyalah pola untuk mengulur waktu. Sebuah manuver pertahanan. Sebuah taktik untuk meyakinkan bahwa tidak ada seorang kardinal pun yang bisa mendapatkan suara yang cukup banyak untuk menang ... sehingga terpaksa diadakan pemilihan lagi.
Kardinal-kardinal itu sedang menanti preferiti mereka...
Ketika surat suara terakhir dihitung, Mortati menyatakan kalau pemilihan ini gagal menentukan paus yang baru.
Dia kemudian mengambil benang yang merangkai semua surat suara itu dan mengikat kedua ujungnya sehingga menjadi sebuah kalung. Kemudian dia meletakkan kalung tersebut di atas sebuah nampan perak. Dia menambahkan zat kimia khusus lalu membawa nampan itu ke cerobong asap kecil di belakangnya. Di situ dia membakar surat-surat suara tersebut. Ketika surat-surat suara itu terbakar, zat kimia yang tadi ditambahkannya membuat asap hitam. Asap itu naik melalui sebuah pipa lalu masuk ke cerobong asap yang terletak di atap kapel. Dari situ asapnya akan keluar dan semua orang dapat melihatnya. Kardinal Mortati baru saja mengirimkan komunikasi pertamanya ke dunia luar.
Satu kali pemungutan suara. Tidak ada paus yang terpilih.
69 LANGDON HAMPIR SESAK napas karena aroma menyengat di sekitarnya sementara dia berjuang untuk menaiki tangga menuju ke arah cahaya di atas sumur. Di atas, dia mendengar suara-suara, tetapi tidak ada yang terdengar masuk akal. Kepalan
ya dipenuhi dengan gambaran kardinal yang dicap. Tanah... Tanah...
Ketika dia terus memanjat, pandangan matanya mengabur dan dia takut akan pingsan dan jatuh. Dua anak tangga lagi dari atas dan keseimbangannya pun goyah. Dia menggapai ke atas, mencoba untuk meraih bibir sumur, tetapi masih terlalu jauh. Dia kehilangan pegangannya di tangga dan hampir terjatuh lagi ke dalam kegelapan. Langdon merasa sakit di lengan bawahnya, dan tiba-tiba dia melayang, kakinya terayun bebas di atas lubang.
Ternyata tangan dua orang Garda Swiss yang kuat meraih lengan bawahnya dan menariknya ke luar. Sesaat kemudian kepala Langdon muncul dari Lubang Iblis. Dirinya tersedak dan megap-megap. Kedua Garda Swiss itu menariknya menjauh dari bibir lubang, kemudian membaringkannya di atas lantai pualam yang dingin.
Untuk sesaat, Langdon tidak yakin dia berada di mana. Di atasnya dia melihat bintang-bintang ... planet-planet yang mengorbit. Sosok-sosok samar yang berkejaran. Orang-orang berteriak. Dia terbaring di dasar sebuah piramida batu dan mencoba untuk duduk. Suara galak yang sudah akrab di
telinganya menggema di dalam kapel itu dan kemudian Langdon ingat dia sedang berada di mana.
Olivetti berteriak pada Vittoria. "Kenapa kalian tidak mengetahuinya dari awal""
Vittoria mencoba menjelaskan situasinya.
Olivetti menyelanya di tengah kalimat dan kemudian meneriakkan perintah kepada anak buahnya. "Keluarkan mayat itu! Geledah seluruh gedung ini!"
Langdon berusaha lagi untuk duduk. Kapel Chigi yang dipenuhi oleh Garda Swiss. Tirai plastik di depan kapel telah disobek dan udara segar mulai mengisi paru-parunya. Ketika akal sehatnya kembali muncul, Langdon melihat Vittoria berjalan mendekatinya. Vittoria berlutut, wajahnya terlihat seperti malaikat.
"Kamu tidak apa-apa"" tanya Vittoria sambil memegang tangan Langdon dan meraba denyut nadinya. Tangan Vittoria terasa lembut di kulitnya.
"Terima kasih," kata Langdon setelah benar-benar duduk. "Olivetti marah."
Vittoria mengangguk. "Sudah sepantasnya dia marah. Kita menggagalkannya."
"Maksudmu, aku menggagalkannya."
"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita akan menangkapnya lain waktu."
Lain waktu" Langdon berpendapat itu adalah komentar yang jahat. Tidak ada lain waktu! Kita sudah gagal menembak sasaran kita!
Vittoria memeriksa jam tangan Langdon. "Mickey mengatakan kita masih punya waktu empat puluh menit lagi. Kumpulkan tenagamu dan bantu aku untuk menemukan petunjuk berikutnya."
"Sudah kukatakan padamu, Vittoria, patung-patung itu sudah hilang. Jalan Pencerahan sudah-" Suara Langdon tertahan.
Vittoria tersenyum lembut.
Tiba-tiba dengan susah payah Langdon berdiri. Dia berjalan mengelilingi ruangan itu dan mengamati karya seni di sekelilingnya. Piramida-piramida, planet-planet, elips-elips. Tiba-tiba semuanya menjadi jelas. Inilah altar ilmu pengetahuan yang pertama itu! Bukan Pantheon! Langdon sekarang menyadari betapa sempurnanya kapel ini sebagai kapel Illuminati. Jauh lebih tersamar dan daripada Pantheon yang terkenal di dunia itu. Kapel Chigi adalah ceruk yang berbeda, benar-benar sebuah lubang di dalam dinding sebuah tanda penghormatan bagi seorang pemuka ilmu pengetahuan, dan didekor dengan simbologi duniawi yang menggambarkan unsur tanah. Sempurna.
Langdon bersandar di dinding supaya tidak limbung dan menatap patung piramida besar itu. Vittoria sangat benar. Kalau kapel ini adalah altar ilmu pengetahuan yang pertama, berarti ada patung yang menjadi petunjuk berikutnya. Langdon merasakan hadirnya aliran harapan. Kalau petunjuk itu ada di sini, dan mereka dapat mengikutinya ke altar ilmu pengetahuan yang berikutnya, mereka mungkin memiliki kesempatan sekali lagi untuk menangkap pembunuh itu.
Vittoria bergerak mendekatinya. "Aku tahu siapa pematung Illuminati misterius itu."
Kepala Langdon berputar. "Apa""
"Sekarang kita hanya harus mengetahui patung yang mana yang merupakan-"
"Tunggu sebentar! Kamu tahu siapa pematung Illuminati itu"" Langdon sudah bertahun-tahun mencari informasi itu.
Vittoria tersenyum. "Pematung itu adalah Bernini." Dia berhenti. "Bernini y
ang itu." Langdon langsung tahu kalau Vittoria salah. Tidak mungkin Bernini. Gianlorenzo Bernini adalah pematung paling terkenal sepanjang masa. Ketenarannya hanya dapat dikalahkan oleh Michelangelo sendiri. Selama tahun 1600-an, Bernini menciptakan patung lebih banyak daripada pematung lainnya. Sayangnya, pematung yang mereka cari adalah seorang pematung yang tidak terkenal, bukan siapa-siapa.
Vittoria mengerutkan dahinya. "Kamu tidak tampak bersemangat."
"Tidak mungkin Bernini."
"Kenapa tidak" Bernini adalah pematung yang sezaman dengan Galileo. Dia pematung yang brilian."
"Dia adalah pematung yang sangat terkenal dan seorang Katolik yang taat."
"Ya," sahut Vittoria. "Betul-betul seperti Galileo."
"Tidak," bantah Langdon. "Sama sekali tidak seperti Galileo. Galileo adalah duri dalam daging bagi Vatican. Sementara Bernini adalah anak kesayangan mereka. Gereja mencintai Bernini. Dia terpilih sebagai pemegang otoritas artistik di Vatican. Dia bahkan tinggal di dalam Vatican City sepanjang hidupnya!"
"Sebuah penyamaran yang sempurna. Penyusupan Illuminati."
Langdon merasa putus asa. "Vittoria, anggota Illuminati menyebut seniman rahasia mereka itu sebagai il maestro ignoto- maestro tak dikenal."
"Ya, tidak dikenal oleh mereka. Ingat kerahasiaan kelompok Mason-hanya anggota tingkat atas saja yang tahu semua rahasia. Bisa saja Galileo menyembunyikan jati diri
Bernini yang sesungguhnya dari anggota-anggota lainnya ... untuk keamanan Bernini sendiri. Dengan begitu Vatican tidak pernah tahu."
Langdon tidak yakin, tetapi dia mengakui jalan pikiran Vittoria masuk akal juga walau terdengar aneh. Kelompok Illuminati terkenal dengan kemampuan mereka dalam menyimpan informasi rahasia secara tertutup, dan hanya membuka rahasia kepada para anggota tingkat atas. Karena itulah kerahasiaan mereka terjaga ... hanya sedikit orang yang tahu keseluruhan cerita tentang kelompok mereka itu.
"Dan keterlibatan Bernini dengan Illuminati," tambah Vittoria sambil tersenyum, "menjelaskan kenapa dia merancang kedua piramida itu."
Langdon berpaling pada kedua patung piramida besar itu dan menggelengkan kepalanya. "Bernini adalah seorang pematung religius. Tidak mungkin dia membuat piramida-piramida itu."
Vittoria mengangkat bahunya. "Katakan itu kepada tanda di belakangmu."
Langdon berputar dan melihat sebuah plakat.
SENI KAPEL CHIGI Raphael adalah arsitek bangunan ini sementara seluruh dekorasi interior dibuat oleh Gianlorenzo Bernini
Langdon membaca plakat itu dua kali, dan masih tetap tidak percaya. Gianlorenzo Bernini terkenal karena kerumitan karyanya, seperti patung-patung suci Bunda Maria, malaikat-malaikat, nabi-nabi, paus-paus. Kenapa dia harus membuat piramida"
Langdon menatap monumen yang menjulang tinggi dan merasa sangat bingung. Dua buah piramida, masing-masing dengan dua medali berbentuk elips. Keduanya adalah patung yang sama sekali tidak bersifat Kristen. Piramida-piramida itu memiliki bintang di atasnya yang merupakan lambang zodiak. Seluruh dekorasi interior dibuat oleh Gianlorenzo Bernini. Langdon baru sadar, kalau itu benar berarti Vittoria pasti tidak keliru. Jadi, Bernini adalah maestro Illuminati yang tak dikenal; tidak ada seniman lain yang menyumbangkan karya seni di kapel ini. Pemikiran itu datang terlalu cepat untuk dicerna oleh Langdon.
Bernini adalah anggota Illuminati.
Bernini merancang ambigram Illuminati.
Bernini yang meletakkan Jalan Pencerahan.
Langdon hampir tidak dapat berbicara. Mungkinkah di sini, di dalam Kapel Chigi yang kecil ini, Bernini yang terkenal itu menempatkan sebuah patung yang mengarahkan kita ke arah altar ilmu pengetahuan yang berikutnya"
"Bernini," kata Langdon. "Aku tidak pernah mengira."
"Siapa lagi selain seorang seniman Vatican terkenal yang mempunyai kekuasaan untuk meletakkan karya seninya di kapel Katolik tertentu di sekitar Roma dan menciptakan Jalan Pencerahan. Pasti bukan seniman kacangan."
Langdon mempertimbangkan perkataan Vittoria tadi. Dia menatap kedua piramida itu sambil bertanya-tanya apakah salah satu dari mereka menjadi petunjuk ke altar ilmu pengeta
huan selanjutnya. Mungkin juga keduanya" "Kedua piramida itu menghadap ke sisi yang berlawanan," kata Langdon, tidak yakin apa artinya itu. "Mereka juga sama persis, jadi aku tidak tahu yang mana .... "
"Kukira kedua piramida itu bukan petunjuk yang kita cari."
"Tetapi mereka adalah satu-satunya patung di sini."
Vittoria menyelanya dengan menunjuk Olivetti dan beberapa penjaga yang masih berkerumun di dekat Lubang Iblis itu.
Langdon mengikuti arah yang ditunjuk oleh Vittoria. Pada awalnya dia tidak melihat apa-apa. Lalu seseorang bergerak, dan Langdon melihat sesuatu. Pualam putih. Sebuah lengan. Sebuah patung dada. Dan pahatan wajah. Sebagian tersembunyi di dalam ceruknya. Dua buah patung manusia dengan ukuran yang sesungguhnya, saling terjalin. Denyut nadi Langdon menjadi cepat. Dia tadi begitu tercengang oleh dua piramida dan lubang iblis sehingga dia tidak melihat patung itu. Dia menyeberangi ruangan tersebut dan melewati kerumunan Garda Swiss. Ketika dia semakin dekat, Langdon mengenali karya itu sebagai karya Bernini yang asli-komposisi artistik yang kuat, kerumitan wajah dan pakaian yang melambai, semuanya terbuat dari pulam putih murni yang hanya bisa dibeli oleh uang Vatican. Baru ketika Langdon berada hampir di depan patung itu, dia mampu mengenali patung tersebut. Dia memandang wajah kedua patung itu dan terkesiap.
"Siapa mereka"" tanya Vittoria ketika dia tiba di belakang Langdon.
Langdon berdiri dan memandangnya dengan tatapan terpesona. "Habakkuk dan malaikat," sahut Langdon dengan suara yang hampir tidak terdengar. Karya seni itu dikenal sebagai karya Bernini walau tidak terlalu banyak dibicarakan dalam buku-buku sejarah seni. Langdon lupa kalau karya itu ditempatkan di sini.
"Habakkuk""
"Ya. Nabi yang meramalkan penghancuran bumi."
Vittoria tampak tidak tenang. "Kamu kira ini juga sebuah petunjuk""
Langdon mengangguk dengan kagum. Selama hidupnya dia belum pernah merasa seyakin ini. Ini adalah petunjuk pertama Illuminati. Tidak diragukan lagi. Langdon memang berharap patung itu akan menunjukkan altar ilmu pengetahuan selanjutnya, tapi dia tidak mengira kalau patung tersebut akan menunjukkannya sejelas ini. Tangan malaikat dan tangan Habakkuk terulur dan menunjuk ke suatu arah yang jauh.
Langdon tiba-tiba tersenyum. "Tidak terlalu tersamar,
bukan"" Vittoria tampak gembira sekaligus bingung. "Aku memang melihat mereka menunjuk, tetapi mereka menunjukkan arah yang berlawanan. Sang malaikat menunjuk ke satu arah, dan sang nabi ke arah yang lain."
Langdon tertawa. Apa yang dikatakan Vittoria memang benar. Walau kedua sosok itu menunjuk ke arah yang jauh, mereka menunjuk ke arah yang berlawanan. Tapi tampaknya Langdon sudah mendapatkan jawabannya. Dengan bersemangat Langdon berjalan menuju ke pintu.
"Mau ke mana kamu"" tanya Vittoria sambil beseru.
"Keluar gedung ini!" Kaki Langdon terasa ringan ketika dia berlari ke arah pintu. "Aku harus melihat ke arah mana patung itu menunjuk!"
"Tunggu! Bagaimana kamu tahu jari siapa yang harus kamu
ikuti"" "Puisi itu," seru Langdon tanpa berhenti bergerak. "Baris terakhir!"
"'Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencanan muliamu'"" Vittoria melihat ke jari sang malaikat. Tiba-tiba tatapannya kabur. "Kita sial kalau membuat kesalahan lagi."
70 GUNTHER GLICK DAN CHINITA Macri duduk di dalam van BBC yang diparkir di dalam kegelapan di ujung Piazza del Popolo. Mereka sampai tidak lama setelah keempat mobil Alfa Romeo itu tiba. Gunther merasa beruntung karena tepat waktu untuk menyaksikan rangkaian peristiwa yang tak dapat terbayangkan olehnya. Chinita masih tidak tahu apa arti semua itu, tetapi dia tetap merekamnya.
Begitu mereka tiba. Chinita dan Glick melihat sepasukan orang muda menghambur dari dalam mobil Alfa Romeo lalu mengepung gereja. Beberapa dari mereka mengeluarkan senjatanya. Salah satu dari mereka, yang tampak tua dan kaku, memimpin regu itu untuk menaiki tangga depan gereja. Para serdadu mengeluarkan senjatanya dan menembak kunci pintu depan gereja itu. Macri tidak mendengar suara apa pun. Dia tahu mereka pasti menggunakan peredam
suara. Kemudian serdadu-serdadu itu masuk.
Chinita memutuskan untuk duduk tenang di dalam mobil dan merekam dari kegelapan. Lagi pula, senjata tetaplah senjata, dan mereka berhasil mendapatkan gambar aksi tersebut dengan jelas dari dalam mobil. Sekarang mereka melihat orang-orang bergerak keluar-masuk gereja. Mereka berteriak satu sama lain. Chinita mengatur kameranya untuk mengikuti mereka ketika regu itu menggeledah sekeliling area itu. Walau semuanya mengenakan pakaian preman, tapi mereka bergerak dengan
ketepatan militer. "Menurutmu mereka itu siapa"" tanya Macri pada Glick.
"Mana aku tahu." Glick tampak terpaku. "Kamu merekam semuanya""
"Setiap gerakan."
Kemudian suara Glick terdengar puas. "Masih ingin kembali untuk menunggu Paus""
Chinita tidak yakin harus mengatakan apa. Yang pasti di sini sedang terjadi sesuatu. Dia sudah cukup lama makan asam garam dunia jurnalisme sehingga tahu pasti ada penjelasan membosankan untuk berbagai peristiwa menarik seperti yang satu ini. "Mungkin ini tidak berarti apa-apa," katanya. "Mungkin saja orang-orang itu juga mendapatkan petunjuk yang sama denganmu dan sekarang mereka hanya memeriksa tempat itu. Bisa juga itu hanya peringatan palsu."
Glick mencengkeram lengan Chinita. "Di sana! Fokus." Glick menunjuk lagi ke arah gereja itu.
Chinita mengarahkan kameranya kembali ke puncak tangga gereja. "Halo!" katanya sambil terus mengarahkan kameranya ke arah seorang lelaki yang keluar dari gereja.
"Siapa lelaki gaya itu""


Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Chinita mengatur lensanya untuk mengambil gambar closeup. "Belum pernah melihatnya." Dia terus mengarah ke wajah lelaki itu dan tersenyum. "Tetapi aku tidak keberatan untuk bertemu dengannya lagi."
Robert Langdon berlari menuruni tangga di luar gereja dan berlari ke tengah piazza. Sekarang hari sudah mulai gelap. Matahari musim semi terbenam agak lambat di Roma sebelah selatan. Matahari telah surut di sekitar gedung-gedung di kota ini dan bayangan mulai tampak di lapangan itu.
"Baik, Bernini," katanya keras pada dirinya sendiri. "Katakan padaku ke mana malaikatmu menunjuk""
Dia berputar dan memeriksa sekeliling gereja dari arah dia keluar tadi. Dia membayangkan Kapel Chigi di dalam gereja beserta patung malaikat yang ada di sana. Tanpa ragu-ragu dia berpaling ke arah barat, ke arah kilau matahari yang akan terbenam. Waktu berjalan sangat cepat.
"Barat Daya," katanya sambil cemberut ke arah gedung-gedung pertokoan dan apartemen yang menghalangi pandangan. "Petunjuk berikutnya ke arah sana."
Sambil memeras otaknya, Langdon membayangkan halaman demi halaman dari sejarah seni Roma. Walau dia sangat akrab dengan karya-karya Bernini, dia tahu pematung itu memiliki karya patung yang terlalu banyak sehingga tidak seorang ahli pun yang dapat mengenali semua karyanya. Walau demikian, dengan menimbang petunjuk pertama yang cukup terkenal itu-Habakkuk dan sang malaikat-Langdon berharap petunjuk kedua adalah karya yang dapat diingatnya.
Tanah, Udara, Api, Air, pikirnya. Tanah. Di dalam Kapel Tanah mereka sudah menemukannya Habakkuk, seorang nabi yang meramalkan penghancuran bumi.
Udara adalah petunjuk berikutnya. Langdon memaksa dirinya untuk berpikir. Sebuah karya Bernini yang berhubungan dengan Udara! Langdon sama sekali tidak dapat mengingatnya. Tapi dia merasa sangat bersemangat. Aku berada di Jalan Pencerahan! Semua petunjuknya masih lengkap!
Sambil menatap ke arah barat daya, Langdon berusaha untuk mencari sebuah menara atau puncak katedral yang tersembul melebihi gedung-gedung yang menghalanginya. Tapi dia tidak melihat apa-apa. Dia membutuhkan peta. Kalau peta tersebut menunjukkan ada gereja yang terletak di barat daya dari
tempat ini, mungkin salah satunya dapat membangkitkan ingatan Langdon. Udara, dia memaksa dirinya untuk berpikir. Udara. Bernini. Patung. Udara. Berpikirlah!
Langdon berpaling dan berlari menuju ke tangga katedral itu kembali. Di bawah menara perancah dia bertemu dengan Vittoria dan Olivetti.
"Barat Daya," kata Langdon sambil terengah-engah. "Gereja berikutnya berada di sebelah barat daya dari sini."
Kata-kata Olivetti terucap
seperti bisikan dingin. "Kamu yakin kali ini""
Langdon tidak menanggapinya. "Kita membutuhkan peta. Peta yang memperlihatkan semua gereja di Roma."
Sang komandan menatapnya sesaat, air mukanya tidak pernah berubah.
Langdon melihat jam tanganya. "Kita hanya mempunyai waktu setengah jam."
Olivetti bergerak melewati Langdon dan menuruni tangga menuju ke arah mobilnya yang diparkir tepat di depan katedral. Langdon berharap Olivetti akan mengambil sebuah peta.
Vittoria tampak bersemangat. "Jadi sang malaikat menunjuk ke arah barat daya" Kamu tidak tahu gereja apa yang ada di barat daya""
"Aku tidak dapat melihat melewati gedung-gedung sialan itu," kata Langdon sambil berpaling dan menghadap ke lapangan itu lagi. "Dan aku tidak terlalu tahu tentang gereja-gereja di Roma-" Dia berhenti.
Vittoria tampak heran. "Apa""
Langdon menatap piazza itu lagi. Setelah menaiki tangga, sekarang dia berdiri lebih tinggi sehingga pandangannya lebih baik. Dia masih tetap tidak dapat melihat apa pun, tetapi dia tahu dia sedang bergerak ke arah yang benar. Matanya mendaki menara perancah yang tinggi namun tampak reyot itu. Menara itu setinggi enam tingkat, hampir setinggi jendela gereja itu, jauh lebih tinggi daripada gedung-gedung di sekitar lapangan. Dia segera tahu ke mana dia harus pergi.
Di seberang lapangan, Chinita Macri dan Gunther Glick duduk dan seperti terpaku ketika menatap keluar melalui kaca depan van BBC itu.
"Kamu mengambil yang ini"" tanya Gunther.
Bidikan Macri sekarang mengikuti lelaki yang sedang memanjat menara perancah di hadapan mereka. "Dia berpakaian agak terlalu rapi untuk pura-pura menjadi Spiderman kalau kamu bertanya pendapatku."
"Lalu siapa Spidey, si laba-laba merah itu"" Chinita melihat sekilas ke arah seorang perempuan cantik di bawah menara perancah itu. "Aku bertaruh, kamu pasti ingin mengetahuinya."
"Kamu pikir aku harus menelepon redaksi""
"Belum. Kita lihat saja dulu. Lebih baik kita tahu apa yang kita dapatkan di sini sebelum melapor kalau kita sudah meninggalkan peliputan rapat pemilihan paus."
"Kamu pikir seseorang betul-betul sudah membunuh salah satu kakek-kakek itu di sana""
Chinita tergelak. "Kamu benar-benar akan masuk neraka."
"Dan aku akan membawa Pulitzer bersamaku."
71 MENARA PERANCAH ITU tampaknya semakin tidak stabil ketika Langdon bergerak semakin tinggi. Tapi pandangan Langdon akan kota Roma menjadi lebih baik setiap kali dia memanjat semakin tinggi. Dia terus memanjat.
Langdon mulai sulit bernapas ketika mencapai tingkat yang lebih tinggi. Dia akhirnya tiba di landasan, lalu membersihkan dirinya dari serpihan semen yang menempel di tubuhnya, kemudian dia berdiri tegak. Ketinggian itu sama sekali tidak membuatnya takut. Itu malah membuatnya segar.
Pemandangan di bawahnya mengejutkannya. Terbentang di depan mata
Langdon, terlihat atap gedung-gedung yang terbuat dari genteng berwarna merah, dan berkilau tertimpa cahaya matahari yang mulai terbenam. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Langdon melihat Roma sebagai Citta di Dio-Kota Tuhan, di antara polusi dan lalu-lintas kota Roma.
Sambil menyipitkan matanya ke arah matahari terbenam, Langdon mengamati atap gedung-gedung itu untuk mencari atap gereja atau menara lonceng. Tetapi saat dia melihat ke kejauhan menuju cakrawala, dia tidak menemukan apa pun. Ada ratusan gereja di Roma, pikirnya. Pasti ada satu gereja yang terletak di sebelah barat daya ini! Kalau saja gereja itu terlihat. Dia kemudian mengingatkan dirinya sendiri. Sialan, itu juga kalau gereja itu masih berdiri!
Ketika memaksakan matanya untuk menelusuri pemandangan itu dengan perlahan-lahan, dia berusaha untuk mencari lagi. Tentu saja dia tahu kalau tidak semua gereja mempunyai menara yang terlihat, terutama gereja kecil yang tidak seperti rumah suci biasa. Apalagi Roma telah berubah secara dramatis sejak tahun 1600an, ketika hukum mengharuskan gereja menjadi gedung tertinggi di Roma. Tapi sekarang, Langdon melihat gedung-gedung apartemen, gedung-gedung pencakar langit, dan menara-menara TV menjulang lebih tinggi daripada gereja.
Untuk kedua kalinya, mata
Langdon menyentuh cakrawala tanpa menemukan apa yang dicarinya. Tidak ada satu menara pun. Dari kejauhan, di sisi lain kota Roma, kubah karya Michelangelo yang besar menutupi pemandangan matahari yang sedang tenggelam. Itu Basilika Santo Petrus. Vatican City. Langdon bertanya-tanya bagaimana para kardinal melanjutkan rapat pemilihan paus, dan apakah Garda Swiss berhasil menemukan antimateri yang berbahaya itu. Firasatnya mengatakan kalau mereka belum dan tidak akan menemukannya.
Puisi itu berdengung lagi di dalam kepalanya. Dia memikirkannya dengan seksama, baris demi baris. Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. Mereka telah menemukan makam Santi. Seberangi Roma untuk membuka elemen-elemen mistis. Elemen-elemen mistis adalah Tanah, Udara, Api, Air. Jalan cahaya sudah terbentang, ujian suci. Jalan Pencerahan ditunjukkan oleh patung-patung karya Bernini. Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencarian sucimu..
Malaikat itu menunjuk ke arah barat daya ....
"Tangga depan!" seru Glick sambil menunjuk dengan tidak sabar di balik kaca depan mobil van BBC. "Ada yang terjadi!"
Macri mengalihkan bidikannya kembali ke jalan masuk utama. Memang ada yang sedang terjadi di sana. Di dasar tangga, lelaki yang bertampang seperti seorang militer itu menuju ke salah satu dari Alfa Romeo di dekat tangga dan membuka bagasinya. Kini dia mengamati lapangan seolah memeriksa apakah ada orang yang melihatnya. Sesaat, Macri mengira lelaki itu akan melihat mereka, tetapi mata lelaki itu terus bergerak. Tampaknya lelaki itu merasa puas, lalu dia mengeluarkan walkie-talkie-nya. dan berbicara dengan menggunakan alat itu.
Nyaris saat itu juga, sekelompok serdadu keluar dari gereja. Serdadu-serdadu itu berbaris dengan rapi di bagian teratas tangga gereja. Lalu mereka bergerak seperti tembok manusia untuk menuruni tangga. Di belakang mereka, hampir tertutup oleh tembok bergerak itu, empat orang serdadu tampak membawa sesuatu. Sesuatu yang berat dan kaku.
Glick mencondongkan tubuhnya ke depan. "Apakah mereka mencuri sesuatu dari gereja""
Chinita lebih mempertajam bidikannya dengan menggunakan telefoto untuk menembus tembok manusia itu dan mencari celah. Celah satu detik saja, serunya dalam hati. Satu frame saja. Hanya itu yang kubutuhkan. Tetapi orang-orang itu bergerak dengan serempak. Ayolah! Macri terus membidik, dan dia akhirnya mendapatkan hasilnya. Ketika para serdadu itu berusaha mengangkat benda itu ke dalam bagasi, Macri mendapatkan celah yang dicari-carinya. Ironisnya, benda berat itu ternyata seorang lelaki tua. Kejadian itu hanya sekejap, tapi berlangsung cukup lama. Marcri mendapatkan gambar yang
dicarinya. Sebetulnya, dia mendapatkan gambar lebih dari sepuluh frame.
"Telepon redaksi," kata Chinita. "Kita menemukan mayat."
Jauh sekali dari tempat itu, di CERN, Maximilian Kohler menggerakkan kursi rodanya ke dalam ruang kerja Leonardo Vetra.
Dengan kegesitannya, dia mulai memilah-milah dokumen Vetra. Tidak menemukan apa yang dicarinya, Kohler kemudian bergerak ke kamar tidur staf seniornya itu. Laci teratas meja yang terdapat di sisi tempat tidur Vetra terkunci. Kohler berusaha membukanya dengan menggunakan pisau dapur.
Di dalam laci itulah Kohler menemukan apa yang dicarinya.
72 LANGDON MENURUNI MENARA perancah dan akhirnya meloncat turun ke tanah. Dia mengibaskan semen yang menempel di pakaiannya. Vittoria masih di sana dan menyambutnya.
"Berhasil"" tanya Vittoria.
Langdon menggelengkan kepalanya.
"Mereka sudah meletakkan kardinal malang itu di dalam bagasi."
Langdon melihat ke arah Olivetti dan teman-temannya. Sekarang mereka tampak sedang memegang peta yang terbentang di atas kap mobil. "Apakah mereka mencari gereja di sebelah barat daya""
Vittoria mengangguk. "Tidak ada gereja. Dari sini, gereja pertama adalah Basilika Santo Petrus."
Langdon menggerutu. Setidaknya mereka sependapat. Kemudian dia berjalan mendekati Olivetti. Para serdadu memberinya jalan.
Olivetti mendongak. "Tidak ada apa-apa. Tetapi peta ini tidak memperlihatkan semua gereja yang ada. Hanya gereja-gereja besar saja. Kira-kir
a ada lima puluh gereja."
"Kita di mana"" tanya Langdon.
Olivetti menunjuk di atas peta itu, di titik Piazza del Popolo dan menarik garis lurus ke arah barat daya. Garis itu sama sekali tidak menyentuh tanda penting berupa sekumpulan persegi berwarna hitam yang menunjukkan beberapa gereja besar di Roma. Sayangnya, gereja-gereja besar itu juga merupakan gereja-gereja yang berusia lebih tua ... yang sudah ada sejak tahun 1600-an.
"Aku harus memutuskan sesuatu," kata Olivetti. "Apakah kamu yakin dengan arah itu""
Langdon membayangkan patung malaikat yang sedang menunjukkan jarinya. Perasaan yakin itu datang lagi. "Ya, Pak. Aku yakin."
Olivetti mengangkat bahunya dan menelusuri garis lurus itu lagi. Jalan itu memotong Jembatan Margherita, Via Cola di Riezo, dan melewati Piazza del Risorgimento, sama sekali tidak menyentuh satu gereja pun hingga tiba-tiba sampai di tengah-tengah Lapangan Santo Petrus.
"Memangnya kenapa dengan Basilika Santo Petrus"" salah satu serdadu itu berkata. Lelaki itu memiliki bekas luka yang dalam di bawah mata kirinya. "Itu juga sebuah gereja."
Langdon menggelengkan kepalanya. "Harus merupakan tempat umum. Sulit untuk mengatakan itu sebagai tempat umum pada saat ini."
"Tetapi garis itu melewati Lapangan Santo Petrus," tambah Vittoria yang sedang memerhatikan melalui bahu Langdon. "Lapangan itu adalah tempat umum."
Langdon telah mempertimbangkannya. "Tidak ada patung di sana."
"Bukankah di sana ada monolit di tengah-tengahnya""
Vittoria benar. Ada monolit Mesir di Lapangan Santo Petrus. Langdon menatap monolit di piazza yang berada di hadapan mereka. The lofty pyramid, piramida mulia. Kebetulan yang aneh, pikirnya. Dia mengusir bayangan itu. "Monolit yang ada di Vatican bukan karya Bernini. Benda itu dibawa ke sana oleh Kaisar Caligula. Lagi pula itu tidak ada hubungannya
dengan Udara." Itu satu masalah lagi. "Lagipula, puisi itu mengatakan elemen-elemen itu tersebar di seluruh Roma. Lapangan Santo Petrus ada di Vatican City. Bukan di Roma."
"Tergantung siapa yang kamu tanya," seorang serdadu menyela.
Langdon mendongak. "Apa""
"Hal itu selalu menjadi perdebatan. Sebagian besar peta memang memperlihatkan Lapangan Santo Petrus sebagai bagian dari Vatican City, tetapi karena lapangan tersebut berada di luar tembok kota suci itu, para pejabat kota Roma menganggapnya sebagai bagian dari kota ini selama berabad-abad."
"Kamu bercanda," kata Langdon. Dia tidak pernah tahu tentang hal ini.
"Aku hanya mengatakannya," penjaga itu melanjutkan, "karena Komandan Olivetti dan Nona Vetra bertanya-tanya tentang sebuah patung yang ada hubungannya dengan Udara."
Mata Langdon terbelalak. "Dan kamu tahu patung itu ada di Lapangan Santo Petrus""
"Tidak begitu tepatnya. Yang kutahu itu bukan benar-benar sebuah patung. Mungkin juga tidak ada hubungannya."
"Jelaskan," desak Olivetti.
Penjaga itu mengangkat bahunya. "Satu-satunya penyebab aku tahu tentang hal itu adalah karena aku selalu bertugas di piazza itu. Aku tahu setiap sudut Lapangan Santo Petrus."
"Patung itu," desak Langdon. "Seperti apa bentuknya"" Langdon mulai bertanya-tanya apakah Illuminati cukup berani untuk meletakkan petunjuk kedua mereka di luar Basilika Santo Petrus.
"Aku berpatroli dan melewatinya setiap hari," kata penjaga itu. "Patung itu berada di tengah-tengah, tepat di tempat garis ini menujuk. Karena itulah aku ingat. Seperti yang tadi kukatakan, itu bukan benar-benar patung. Lebih seperti ... sebuah balok."
Olivetti tampak marah sekali. "Sebuah balok""
"Ya, Pak. Balok dari pualam itu diletakkan di lapangan itu. Balok itu dapat kita temukan di dasar monolit. Tapi balok itu tidak berbentuk persegi, melainkan berbentuk elips. Dan di permukaan balok itu terukir sebuah gambar menyerupai gelombang tiupan angin." Dia berhenti. "Udara, kukira, kalau kamu ingin lebih ilmiah tentang hal itu."
Langdon menatap serdadu muda itu dengan kagum. "Sebuah relief!" serunya tiba-tiba.
Semua orang melihat ke arahnya.
"Relief," kata Langdon, "adalah sisi lain dari patung!" Seni pahat adalah seni membentuk sosok dalam bentuk patung tiga dimens
i atau dalam bentuk relief dua dimensi. Langdon sudah menulis definisi itu di atas papan tulis selama bertahun-tahun. Relief pada dasarnya adalah patung dua dimensi. Seperti profil Abraham Lincoln di uang logam. Medali karya Bernini di Kapel Chigi adalah contoh lain yang sempurna.
"Bassorelievo"" tanya penjaga itu dengan menggunakan istilah seni dalam bahasa Italia.
"Ya! Bas-relief." Langdon mengetuk-ngetuk atap mobil dengan buku jarinya. "Aku tidak memikirkan istilah itu! Lantai yang kamu ceritakan di Lapangan Santo Petrus tadi disebut West Ponente-Angin Barat. Juga dikenal sebagai Respiro di Dio."
"Napas Tuhan""
"Ya. Udara. Dan itu diukir dan diletakkan di sana oleh arsiteknya yang asli."
Vittoria tampak bingung. "Tetapi kukira Michelangelo yang merancang Lapangan Santo Petrus."
"Ya, gerejanya!" Langdon berseru, ada nada kemenangan dalam suaranya. "Tetapi Lapangan Santo Petrus dirancang oleh Bernini!"
Ketika iring-iringan Alfa Romeo itu bergerak meninggalkan Piazza del Popolo, semua orang terlalu terburu-buru sehingga tidak menyadari ada van BBC yang membuntuti mereka.
73 GUNTHER GLICK MENEKAN pedal gas van BBC dalam-dalam dan meluncur menembus lalu lintas ketika mengikuti empat mobil Alfa Romeo yang melesat melintasi Sungai Tiber di Ponte Margherita. Biasanya Glick berusaha untuk menjaga jarak supaya tidak mencurigakan, tetapi hari ini dia hampir tidak dapat mengejar mereka. Orang-orang itu melesat seperti terbang.
Macri duduk di tempat kerjanya di bagian belakang van sambil menyelesaikan sambungan telepon ke London. Setelah dia meletakkan teleponnya, dia berteriak pada Glick untuk mengalahkan suara riuh lalu lintas di sekeliling mereka. "Kamu mau dengar berita baik atau berita buruk""
Glick mengerutkan keningnya. Tidak ada yang mudah ketika berhubungan dengan kantor pusat. "Berita buruk."
"Redaksi marah sekali ketika tahu kalau kita meninggalkan pos kita."'
"Kejutan," sahut Glick yang sama sekali tidak terkejut. "Mereka juga berpikir kalau informan-mu itu penipu." "Tentu saja."
"Dan bos mengatakan kepadaku kalau kamu payah dan tidak dapat diandalkan."
Glick cemberut. "Bagus sekali. Dan berita baiknya"" "Mereka setuju untuk melihat rekaman yang baru saja kita
ambil." Glick merasa cemberutnya berubah menjadi senyuman. Akan kita lihat siapa orang payah itu. "Jadi, ayo kita lakukan."
"Aku tidak dapat mengirimkannya kalau kita tidak berhenti.
Glick mengarahkan van itu ke Via Cola di Rienzo. "Kita tidak dapat berhenti sekarang." Dia membuntuti keempat Alfa Romeo yang sedang membelok tajam di sekitar Piazza Risorgimento.
Macri memegangi komputernya ketika semua peralatan di sekelilingnya berjatuhan. "Kalau transmiter-ku patah," ancamnya, "kita harus mengirim gambar ini dengan berjalan kaki ke London."
"Duduk sajalah, Sayang. Aku punya firasat sebentar lagi kita tiba di sana."
Macri menatapnya. "Di mana""
Glick menatap ke kubah yang sudah sangat dikenalnya yang sekarang menjulang tinggi di depan mereka. Dia tersenyum. "Kita kembali ke tempat kita memulainya tadi."
Keempat mobil Alfa Romeo itu menyelinap dengan tangkas di sela-sela lalu lintas di sekitar Lapangan Santo Petrus. Mereka berpencar dan menyebar di sekeliling piazza, dan mengeluarkan penumpangnya pada titik-titik tertentu tanpa bersuara. Para serdadu yang diturunkan itu segera bergerak masuk ke dalam kerumunan wisatawan dan mobil-mobil van pers di tepi lapangan, lalu segera menghilang. Beberapa penjaga melewati pilar-pilar yang menopang atap bangunan itu. Ketika Langdon melihat ke luar melalui kaca depan mobil, dia merasa ada ketegangan di sekitar Lapangan Santo Petrus.
Untuk menambah jumlah orang, Olivetti telah meminta bantuan tambahan penjaga yang menyamar ke tengah lapangan tempat di mana West Ponente karya Bernini terletak. Saat Langdon mengamati Lapangan Santo Petrus, pertanyaan yang
biasa muncul mulai menggoda Langdon. Bagaimana pembunuh itu bisa meloloskan diri dari ini semua" Bagaimana dia membawa kardinal itu melewati orang-orang ini dan membunuhnya di tempat terbuka" Langdon melihat jam tangan Mickey Mouse-nya. Pukul 8:5
4 malam. Enam menit lagi.
Di bangku depan, Olivetti menoleh dan menatap Langdon dan Vittoria. "Aku ingin kalian berada di atas batu bata Bernini atau balok atau apa sajalah itu. Peran yang sama. Kalian wisatawan. Gunakan ponsel jika kalian melihat sesuatu."
Sebelum Langdon dapat menjawab, Vittoria sudah memegang tangannya dan menariknya keluar mobil.
Matahari musim semi mulai terbenam di balik Basilika Santo Petrus, dan bayangan besar gereja tersebut membentang dan menelan piazza di hadapannya. Langdon merinding ketika mereka berdua bergerak memasuki bayangan yang dingin dan gelap itu. Ketika menyelinap di antara kerumunan, Langdon mengamati setiap wajah yang mereka lewati sambil bertanya-tanya apakah pembunuh itu ada di antara mereka. Tangan Vittoria terasa hangat.
Ketika mereka melintasi tempat terbuka yang luas di Lapangan Santo Petrus, Langdon merasa kalau piazza karya Bernini ini menimbulkan perasaan yang sesuai seperti pesan yang disampaikan seniman itu kepada semua orang-"membuat perasaan siapa saja yang memasuki lapangan ini menjadi rendah hati." Langdon memang merasa rendah hati saat itu. Rendah hati dan lapar. Dia baru menyadarinya dan juga heran karena pikiran yang sepele seperti itu dapat muncul dalam situasi seperti saat ini.
"Ke obelisk itu"" tanya Vittoria.
Langdon mengangguk sambil membelok ke kiri untuk menyeberangi piazza itu.
"Jam"" tanya Vittoria sambil berjalan cepat tetapi tetap santai.
"Lima menit lagi."
Vittoria tidak mengatakan apa-apa, tetapi Langdon merasakan genggaman tangan perempuan itu mengeras. Langdon masih membawa pistol. Dia berharap Vittoria memutuskan untuk tidak membutuhkannya. Dia tidak dapat membayangkan Vittoria mengacungkan senjata di Lapangan Santo Petrus dan menembak seorang pembunuh ketika pers dari seluruh dunia meliput di lapangan ini. Tapi, kejadian seperti itu tidak akan sebanding dengan pembunuhan seorang kardinal dengan cap di dada yang akan terjadi di sini.
Udara, pikir Langdon. Elemen kedua dari ilmu pengetahuan. Dia mencoba membayangkan cap itu. Lalu metode pembunuhannya. Sekali lagi, Langdon menyusuri lantai granit yang terbentang luas di sekitarnya-Lapangan Santo Petrus-sebuah tempat terbuka yang sudah dikepung oleh Garda Swiss. Kalau si Hassassin benar-benar berani melakukan ini, Langdon tidak dapat membayangkan bagaimana pembunuh itu dapat lolos.
Di tengah-tengah piazza, terdapat obelisk Mesir yang merupakan persembahan Kaisar Caligula seberat 350 ton. Tingginya 81 kaki dengan ujung berbentuk piramida yang dipasangi sebuah salib besi yang berongga. Cukup tinggi untuk menangkap sinar matahari yang kian redup, salib itu bersinar seperti keajaiban ... konon berisi salib yang digunakan untuk menyalib Yesus.
Dua air mancur mengapit obelisk dengan kesimetrisan yang sempurna. Para ahli sejarah seni tahu kedua air mancur itu
menandai dua titik pusat piazza berbentuk elips karya Bernini ini, tetapi itu adalah keanehan arsitektur yang sebelumnya tidak pernah diperhatikan Langdon. Dia merasa tiba-tiba Roma dipenuhi dengan elips, piramida dan bentuk-bentuk geometri yang mengejutkan.
Ketika mereka mendekati obelisk tersebut, Vittoria memperlambat langkahnya. Dia bernapas dengan terengah-engah seperti membujuk Langdon agar berjalan dengan perlahan. Langdon berusaha untuk berjalan lebih lambat, menurunkan bahunya dan melemaskan rahangnya yang terkatup rapat.
Di suatu tempat di sekitar obelisk, diletakkan dengan berani di luar gereja terbesar di dunia, berdiri altar ilmu pengetahuan yang kedua-West Ponente karya Bernini-sebuah balok berbentuk elips di Lapangan Santo Petrus.
Gunther Glick mengamati dari balik pilar-pilar yang berada di sekitar Lapangan Santo Petrus. Pada kesempatan lain, seorang lelaki mengenakan jas wol dan seorang perempuan bercelana pendek dan bahan khaki tidak akan menarik perhatiannya sama sekali. Mereka tampak seperti wisatawan biasa yang menikmati suasana di lapangan itu. Tetapi hari ini bukanlah hari biasa. Hari ini adalah hari yang berisi petunjuk lewat telepon, mayat, mobil-mobil tanpa pelat nomor yang berlomba melintasi Roma, dan seo
rang lelaki mengenakan jas wol memanjat menara perancah untuk mencari sesuatu yang hanya Tuhan yang tahu. Glick terus mengamati mereka.
Dia memandang lapangan itu dan melihat Macri. Perempuan berkulit hitam itu berada tepat di tempat yang disuruhkan kepadanya, agak jauh dari pasangan itu dan membayangi mereka. Macri membawa kamera videonya dengan
santai. Tapi walaupun dia pura-pura terlihat seperti seorang wartawan yang sedang bosan, juru kamera itu terlihat begitu mencolok. Tidak ada wartawan yang berada di sisi lapangan itu, dan singkatan "BBC" yang terpasang di kameranya menarik perhatian turis-turis yang lewat.
Rekaman gambar yang telah diambil Macri sebelumnya yang berisi mayat tanpa busana yang disimpan di dalam bagasi mobil, saat ini sedang dikirimkan melalui pemancar VCR di vannya. Glick tahu gambar itu sekarang sedang melayang di atas kepalanya menuju London. Dia bertanya-tanya apa yang akan dikatakan oleh redaksi di kantor pusat.
Glick berharap mereka berdua dapat tiba di tempat mayat itu sebelum tentara berpakaian preman itu ikut campur. Dia tahu tentara yang sama sekarang telah menyebar dan mengepung piazza itu. Ada sesuatu yang besar akan terjadi.
Media pers adalah senjata terampuh bagi anarki, kata si pembunuh. Glick bertanya-tanya apakah dia sudah kehilangan kesempatan untuk meliput berita besar ini. Dia melihat ke arah van-van dari media lainnya di kejauhan dan melihat Macri mengikuti pasangan misterius itu melintasi piazza. Dia punya firasat kalau dirinya masih punya kesempatan ....
74 LANGDON SUDAH BISA menemukan apa yang dicarinya dari jarak sepuluh yard, bahkan sebelum mereka sampai di sana. Di antara para wisatawan yang berlalu-lalang, balok pualam berbentuk elips karya Bernini yang disebut West Ponente itu tampak menonjol di atas lantai piazza yang terbuat dari batu granit. Sepertinya Vittoria juga sudah melihatnya. Genggaman tangannya terasa tegang.
"Tenang," bisik Langdon. "Lakukan saja piranha-mu itu."
Vittoria merenggangkan genggamannya.
Ketika mereka berjalan semakin dekat dengan balok pualam itu, semuanya masih tampak sangat normal. Para wisatawan berjalan hilir-mudik, beberapa biarawati mengobrol di tepi piazza, dan seorang gadis memberi makan burung-burung dara di dasar obelisk itu.
Langdon mengurungkan niatnya untuk melihat jam tangannya. Dia tahu, waktunya hampir tiba.
Mereka tiba di dekat balok elips itu, dan memperlambat langkah mereka, lalu berhenti. Mereka terlihat santai dan tampak seperti dua orang wisatawan yang memang harus berhenti sejenak di tempat yang agak menarik.
"West Ponente," kata Vittoria sambil membaca tulisan di atas batu itu.
Langdon melihat ke atas relief yang terukir di batu pualam itu dan tiba-tiba merasa agak naif. Dalam buku-buku seni yang pernah dibacanya, dalam kunjungannya yang sudah
dilakukannya beberapa kali ke Roma, tidak sekalipun West Ponente dianggap penting olehnya. Tidak sampai sekarang.
Relief itu berbentuk elips, kira-kira panjangnya tiga kaki, dan terlihatlah ukiran kasar yang menggambarkan West Wind, Angin Barat, seperti seraut wajah malaikat. Berhembus dari mulut sang malaikat, Bernini menggambarkan desahan napas yang berhembus keras ke luar Vatican ... napas Tuhan. Ini adalah penghormatan Bernini terhadap elemen kedua ... Udara hembusan angin yang keluar dari mulut malaikat. Ketika Langdon memerhatikan relief itu, dia baru menyadari kalau makna dari relief itu sangat dalam. Bernini mengukir udara itu dalam lima hembusan yang terlihat jelas ... lima! Terlebih lagi, ada dua bintang berkilauan yang mengapit batu pualam itu. Langdon ingat pada Galileo. Dua bintang, lima hembusan udara, elips, kesimetrisan Langdon merasa kosong. Kepalanya terasa sakit.
Tiba-tiba, Vittoria mulai berjalan lagi, dan menggandeng Langdon menjauh dari relief itu. "Sepertinya ada orang yang mengikuti kita," bisiknya.
Langdon menatapnya. "Di mana""
Vittoria bergerak menjauh kira-kira tiga puluh yard sebelum berbicara. Dia berpura-pura menunjuk ke arah Vatican seolah memperlihatkan sesuatu di atas kubah gereja kepada Langdon. "Orang yang sama. Dia sud
ah mengekor di belakang kita sejak menyeberangi lapangan tadi." Lalu dengan santai Vittoria melihat sekilas melewati bahunya. "Dia masih di belakang kita."
"Kamu pikir dia itu si Hassassin""
Vittoria menggelengkan kepalanya. "Bukan, kecuali Illuminati menyewa seorang perempuan yang membawa kamera
BBC." Ketika lonceng Basilika Santo Petrus berdentang keras, Langdon dan Vittoria terlonjak. Ini waktunya. Mereka tadi berjalan menjauhi West Ponente untuk menghindari wartawan yang membuntuti mereka, tetapi sekarang mereka bergerak mendekati relief itu lagi.
Walau dentangan lonceng terdengar sangat keras, lapangan itu tampak sangat tenang. Wisatawan masih berlalu-lalang. Seorang gelandangan mabuk, tertidur dengan posisi aneh di dasar obelisk. Seorang gadis kecil memberi makan burung-burung dara. Langdon bertanya-tanya apakah wartawan itu sudah membuat si pembunuh takut. Tidak mungkin, katanya dalam hati ketika ingat dengan janji si pembunuh. Aku akan membuat kardinal-kardinal kalian menjadi pencerah media.
Ketika gema yang berasal dari dentangan kesembilan mulai memudar, lapangan itu terasa sangat sunyi dan damai.
Hingga kemudian ... gadis kecil itu mulai berteriak.
75 LANGDONLAH YANG PERTAMA tiba di dekat gadis kecil itu.
Anak kecil yang ketakutan itu berdiri seperti membeku sambil menunjuk ke dasar obelisk di mana gelandangan mabuk yang terlihat kumal itu terpuruk di tangga obelisk. Lelaki itu tampak kacau sekali ... kemungkinan dia adalah gelandangan Roma. Rambut kelabunya terurai di sekitar wajahnya, dan tubuhnya terbungkus pakaian kotor. Gadis kecil itu terus berteriak sambil berlari menjauh dan menerobos kerumunan orang.
Perasaan takut yang dirasakan Langdon meningkat ketika mendekati lelaki itu. Terlihat ada noda gelap yang menyebar ke seluruh pakaian rombengnya. Ternyata itu adalah darah segar yang mengalir.
Kemudian, semuanya seperti terjadi bersamaan.
Lelaki tua itu tampak semakin lemas, dan terbungkuk ke depan. Langdon bergerak maju dengan cepat, tetapi terlambat. Lelaki tua itu terguling ke depan, dan menggelinding di tangga, lalu jatuh tersungkur di lantai dengan wajah mencium bumi. Setelah itu dia tidak bergerak lagi.
Langdon berlutut. Vittoria tiba di sampingnya. Kerumunan mulai terbentuk.
Vittoria meletakkan jemarinya di tenggorokan orang itu dari belakang kepalanya. "Masih ada denyutan," katanya. "Balikkan tubuhnya."
Langdon langsung bergerak. Dengan memegang bahu lelaki itu, dia membalikkan tubuhnya. Ketika itu, pakaian kumal longgar yang dikenakannya tampak meluncur dari tubuhnya. Lalu lelaki itu tergeletak terlentang. Di dadanya yang telanjang terlihat luka bakar yang cukup besar.
Vittoria terkesiap dan mundur.
Langdon merasa lumpuh, terpaku di antara perasaan mual dan ngeri. Simbol itu tertulis sederhana namun menakutkan.
"Udara," Vittoria seperti tersedak. "Itu ... dia."
Beberapa orang Garda Swiss muncul entah dari mana, sambil meneriakkan perintah, kemudian berlari mengejar si pembunuh yang tidak terlihat.
Di dekat tempat kejadian, seorang wisatawan berkata, sekitar beberapa menit yang lalu, seorang lelaki berkulit gelap berbaik hati dengan menolong gelandangan malang yang sedang mendesah-desah itu untuk menyeberangi lapangan ... lelaki itu bahkan sempat duduk sebentar di tangga dan menemani gelandangan cacat itu sebelum akhirnya menghilang di dalam kerumunan.
Vittoria merobek sisa pakaian kumal itu di bagian perutnya. Di sana terdapat dua luka tusukan yang dalam, masing-masing berada di sisi cap itu, tepat di bawah tulang iganya. Vittoria mengangkat kepala lelaki itu dan segera memberikan pernapasan buatan dari mulut ke mulut. Langdon tidak siap
untuk melihat apa yang terjadi setelah itu. Ketika Vittoria meniupkan napasnya, kedua luka di pinggang orang itu berdesis dan menyemburkan darah ke udara seperti seekor paus menyemburkan udara. Cairan asin itu menyembur ke wajah Langdon.
Vittoria langsung menghentikan usahanya, dan tampak sangat ketakutan. "Paru-parunya ...," katanya. "Kedua paru-parunya ... ditusuk."
Langdon mengusap matanya dan memandang dua luka yang menganga
di tubuh orang itu. Lubang itu mengeluarkan suara menggelegak. Paru-paru kardinal itu hancur. Dia kemudian meninggal.
Vittoria menutup mayat itu ketika beberapa orang Garda Swiss mendekat.
Langdon berdiri dengan perasaan bingung. Lalu dia melihat perempuan itu. Perempuan yang sudah mengikuti mereka sejak tadi sekarang berjongkok di dekat kejadian tersebut. Kamera video BBC-nya terpanggul di bahunya, mengarah ke mayat itu dan merekamnya. Pandangannya bertemu dengan mata Langdon, dan Langdon tahu kalau perempuan itu merekam semua kejadian tadi. Lalu, seperti seekor kucing, dia menyelinap
pergi. 76 CHINITA MACRI MELARIKAN DIRI. Dia sudah mendapatkan cerita yang sangat penting dan bernilai dalam hidupnya.
Kamera videonya terasa seperti sebuah jangkar yang memberati langkahnya ketika dia berlari menyeberangi Lapangan Santo Petrus sambil menguak kerumunan orang. Sepertinya semua orang bergerak berlawanan arah dengannya ... Mereka menuju ke arah kegemparan terjadi. Macri mencoba untuk berada sejauh mungkin dari tempat itu. Lelaki yang mengenakan jas wol itu telah melihatnya. Sekarang dia merasa beberapa orang lelaki lainnya mengejarnya, lelaki yang tidak dapat dilihatnya, yang mendekatinya dari segala penjuru.
Macri masih terguncang oleh pemandangan yang baru saja direkamnya tadi. Dia bertanya-tanya apakah lelaki yang mati tadi adalah seseorang yang dikhawatirkannya. Penelepon misterius yang berbicara dengan Glick tiba-tiba saja terkesan tidak terlalu gila lagi baginya.
Ketika Macri bergegas menuju van BBC-nya, seorang lelaki muda dengan wajah tegas seperti anggota militer, muncul dari balik kerumunan di depannya. Mata mereka saling tatap, dan keduanya berhenti. Seperti kilat, lelaki muda itu mengangkat walkie-talkie-nya kemudian berbicara. Lalu dia bergerak mendekati Macri. Macri berbalik dan kembali menembus kerumunan, jantungnya berdebar cepat.
Sambil menyeruak kerumunan orang yang berdesak-desakan, Macri berusaha mengeluarkan kaset video yang sudah digunakannya tadi dari kameranya. Pita emas, pikirnya sambil menyelipkan kaset itu di balik ikat pinggangnya, kemudian mendorongnya lagi hingga sampai ke bagian belakang tubuhnya dan membiarkan bagian belakang jaketnya menutupi harta karunnya itu. Saat itu dia merasa beruntung karena bertubuh agak gemuk. Glick, di mana kamu!
Seorang serdadu lainnya muncul dari sebelah kirinya, dan bergerak mendekat. Macri tahu dia hanya punya waktu sedikit. Dia bergerak menembus kerumunan itu lagi. Dia sempat mengeluarkan kaset kosong dari kantungnya dan memasukkannya ke dalam kamera. Kemudian dia berdoa.
Dia berada tiga puluh yard dari van BBC ketika dua orang lelaki mendekatinya dari depan. Lengan mereka terlipat. Macri kali ini tidak dapat menghindar lagi.
"Film," salah satunya membentak. "Sekarang."
Macri mundur sambil memeluk kameranya erat-erat.
"Tidak." Salah satu dari mereka membuka jasnya dan memperlihatkan pistolnya.
"Tembak saja aku," kata Macri sambil merasa kagum akan keberanian dalam suaranya sendiri.
"Film," kata serdadu pertama tadi mengulangi.
Glick, di mana kamu" Macri menghentakkan kakinya dan berteriak sekuat tenaga. "Aku seorang videografer profesional yang bekerja untuk BBC! Menurut pasal 12 Undang-undang Kebebasan Pers, film ini adalah milik British Broadcasting Corporation!"
Orang-orang itu tidak takut. Orang yang bersenjata itu melangkah ke depannya. "Aku seorang letnan Garda Swiss dan
menurut Doktrin Suci kami menguasai tanah yang kamu injak sekarang. Kamu adalah orang yang harus kami selidiki dan kami tangkap."
Kerumunan orang mulai terbentuk di sekitar mereka.
Macri berteriak. "Aku tidak akan memberikan film ini dengan alasan apa pun tanpa berbicara dengan editorku di London. Aku sarankan agar kalian-"
Serdadu itu memotong kalimat Macri dan menjambret kamera itu dari tangan Macri. Sementara itu, yang lainnya menarik lengan Macri dengan kasar dan memutarnya menghadap ke Vatican. "Grazie," serdadu itu berkata sambil membawanya ke arah kerumunan yang berdesakan di sekitar mereka.
Macri berdoa agar mereka tidak menggeledahnya dan menemukan
kaset itu. Kalau saja dia dapat melindungi kaset itu cukup lama sampai-
Tiba-tiba, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Seseorang dari kerumunan itu merogoh ke bawah jaketnya. Macri merasa kaset itu ditarik dari bawah jaketnya. Dia berputar dan nyaris menjerit. Di belakangnya, Gunther Glick dengan napas terengah-engah, mengedipkan matanya pada Macri dan menghilang di antara kerumunan itu.
77 ROBERT LANGDON DENGAN langkah terhuyung-huyung memasuki kamar mandi pribadi yang terletak di sebelah Kantor Paus. Dia membasuh darah dari wajah dan bibirnya. Darah itu bukan darahnya, tetapi darah Kardinal Lamasse yang baru saja meninggal dengan cara mengerikan di lapangan yang penuh sesak di luar Vatican. Pengorbanan para perjaka di altar ilmu pengetahuan. Sejauh ini si Hassassin benar-benar melaksanakan ancamannya.
Langdon merasa tidak berdaya ketika menatap cermin di hadapannya. Matanya terlihat letih. Pipi dan dagunya terlihat gelap karena belum bercukur pagi ini. Ruangan di sekitarnya sangat bersih dan mewah, terdiri atas pualam hitam, perlengkapan mandi berwarna keemasan, handuk katun, dan sabun wangi untuk cuci tangan.
Langdon mencoba untuk menghilangkan bayangan cap berdarah yang baru saja dilihatnya dari benaknya. Tetapi bayangan itu tidak mau pergi. Dia sudah melihat tiga ambigram sejak dia bangun tidur pagi ini ... dan dia tahu masih ada dua lagi yang akan muncul.
Di luar pintu, terdengar Olivetti, sang camerlegno dan Kapten Rocher sedang berdebat tentang apa yang harus dilakukan kemudian. Tampaknya pencarian antimateri yang mereka lakukan sejauh ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Entah para penjaga yang tidak mampu menemukan tabung itu atau si penyusup yang terlalu lihai
menyembunyikannya di dalam Vatican, tapi kedua-duanya bukan sejenis hiburan yang diinginkan oleh Komandan Olivetti.
Langdon mengeringkan tangan dan wajahnya. Lalu dia berpaling untuk mencari tempat buang air kecil untuk laki-laki. Ternyata yang ada hanya WC duduk biasa. Dia kemudian mengangkat tutupnya.
Ketika berdiri di sana, Langdon merasa begitu tegang dan rasa letih mulai meliputinya. Berbagai emosi yang berkecamuk di dadanya begitu campur aduk dan sulit untuk dijabarkan. Dia kelelahan, berlari-lari tanpa makan dan tidur, berkeliaran untuk mencari Jalan Pencerahan dan merasa trauma akibat dua pembunuhan yang dilihatnya tadi. Langdon merasa semakin ketakutan ketika memikirkan akhir dari drama ini.
Berpikirlah, katanya pada diri sendiri. Tapi benaknya terasa kosong.
Ketika dia menyiram WC, tiba-tiba dia menyadari sesuatu. Ini kamar mandi paus, pikirnya. Aku baru saja buang air kecil di kamar mandi paus. Dia ingin tertawa. Singgasana Suci.
78 DI LONDON, seorang teknisi BBC mengeluarkan sebuah kaset video dari unit penerima satelit, kemudian dia berlari menyeberangi ruang kendali. Perempuan itu menghambur masuk ke kantor pemimpin redaksi, memasukkan kaset video itu ke dalam pemutarnya dan menekan tombol play.
Ketika rekaman video itu ditayangkan, dia menceritakan percakapannya tadi dengan Gunther Glick yang masih berada di Vatican City. Selain itu, bagian arsip foto BBC juga baru saja memastikan identitas korban di Lapangan Santo Petrus.
Ketika sang pemimpin redaksi akhirnya muncul dari ruangannya, dia membunyikan sebuah lonceng besar dan semua orang di bagian redaksi berhenti bekerja.
"Siaran langsung dalam lima menit!" lelaki itu berseru mengejutkan. "Km di studio, cepat bersiap-siap. Kordinator media, aku ingin kalian menghubungi teman-teman di media. Kita punya sebuah berita yang bisa kita jual! Dan kita punya filmnya!"
Para kordinator penjualan segera meraih Rolodex mereka. "Spesifikasi film"" seru salah seorang dari mereka. "Liputan berdurasi tiga puluh detik dengan kualitas prima," sahut sang pemimpin redaksi.
"Isi"" "Pembunuhan, direkam langsung."
Para kordinator itu tampak gembira. "Penggunaan dan harga lisensi""
"Satu juta dolar Amerika Serikat per detik." Semua kepala mendongak. "Apa""
"Kalian dengar aku tadi! Aku ingin kita berada di posisi puncak. CNN, MSNBC, lalu tiga stasiun besar lainnya! Tawarkan tay
angan awal dial-in. Beri mereka waktu lima menit untuk menumpang sebelum BBC menyiarkannya."
"Apa yang sedang terjadi"" seseorang bertanya. "Perdana Menteri kita dikuliti hidup-hidup""
Sang pemimpin redaksi menggelengkan kepalanya. "Lebih baik dari itu."
Pada saat yang bersamaan, di suatu tempat di Roma, si Hassassin menikmati saat istirahat pendeknya di atas sebuah kursi yang nyaman. Dia mengagumi ruang legendaris di sekitarnya. Aku sedang duduk di Gereja Pencerahan, pikirnya. Markas Illuminati. Dia masih tidak percaya kalau gereja itu masih berdiri di sini setelah berabad-abad tidak digunakan.
Dia kemudian menelepon wartawan BBC yang tadi diteleponnya. Sudah waktunya. Dunia sudah harus mendengar berita yang mengguncangkan itu.
79 VITTORIA VETRA MENEGUK air dari gelas dan mengunyah beberapa kue scone yang baru saja disajikan oleh salah satu dari Garda Swiss sambil melamun. Dia tahu dia harus makan, tetapi dia tidak berselera. Kantor Paus sekarang begitu ramai karena percakapan tegang antara Kapten Rocher, Komandan Olivetti dan setengah lusin penjaga yang sedang memperhitungkan kerusakan dan memperdebatkan tindakan berikutnya.
Robert Langdon berdiri di dekat mereka sambil menatap ke Lapangan Santo Petrus. Dia tampak murung. Vittoria mendekatinya. "Ada ide""
Langdon menggelengkan kepalanya.
"Mau scone""
Perasaan Langdon tampak menjadi lebih baik ketika melihat makanan. "Wah, tentu saja. Terima kasih." Lalu dia makan dengan lahap.
Percakapan di belakang mereka tiba-tiba terhenti ketika dua orang Garda Swiss yang mengawal Camerlegno Ventresca berjalan masuk. Kalau sebelumnya sang camerlegno sudah tampak sangat letih, kini dia terlihat kosong, pikir Vittoria.
"Apa yang terjadi"" tanya sang camerlegno kepada Olivetti. Dari kesan di wajahnya, sepertinya dia sudah diberi tahu berita terburuk yang menimpa lembaga yang dipimpinnya.
Laporan terkini Olivetti terdengar seperti laporan korban di medan pertempuran. Dia memberikan faktanya dengan apa adanya. "Kardinal Ebner ditemukan meninggal di gereja Santa
Maria del Popolo beberapa menit setelah pukul delapan. Beliau dicekik dan dicap tubuhnya dengan tulisan ambigram 'Tanah'. Kardinal Lamasse dibunuh di Lapangan Santo Petrus sepuluh menit yang lalu. Beliau meninggal karena ditusuk hingga berlubang di dadanya. Beliau dicap dengan tulisan 'Udara', juga dalam bentuk ambigram. Pembunuhnya lolos."
Sang camerlegno melintasi ruangan dan menjatuhkan diri di atas kursi Paus. Dia menundukkan kepalanya.
"Kardinal Guidera dan Baggia, masih hidup."
Kepala sang camerlegno mendongak cepat, sorot matanya tampak terluka. "Itukah penghiburan kita" Dua orang cardinal telah dibunuh, Komandan. Dan dua kardinal lainnya jelas tidak akan hidup lebih lama lagi kecuali kita dapat menemukan mereka." "Kita akan menemukan mereka," kata Olivetti meyakinkan baya jamin.
"Jamin" Kita tidak mempunyai apa pun kecuali kegagalan."
"Tidak benar. Kita memang telah kalah dalam dua pertempuran, signore, tetapi kita akan memenangkan peperangan ini. Illuminati bermaksud menjadikan malam ini sebagai pertunjukan menarik bagi media. Sejauh ini kita telah menggagalkan rencana mereka. Kedua jasad kardinal itu telah ditemukan tanpa keributan dengan media. Lagipula," Olivetti melanjutkan, "Kapten Rocher melaporkan kalau dia mendapatkan kemajuan dalam operasi pencarian antimateri."
Kapten Rocher melangkah ke depan dengan mengenakan baret merahnya. Vittoria berpikir, lelaki ini mmpak lebih manusiawi dibandingkan dengan anggota Garda Swiss lainnya-tegas tetapi tidak terlalu kaku. Suara Rocher terdengar memiliki emosi dan bening seperti biola. "Mudah-mudahan kami akan menemukan tabung itu dalam satu jam untuk Anda, signore."
"Kapten," kata sang camerlegno, "maafkan saya kalau saya kurang berharap, tetapi saya mendapat kesan kalau pencarian di dalam Vatican City akan membutuhkan waktu lebih lama daripada yang kita punya."


Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau mencari di seluruh Vatican City, memang begitu. Tapi, setelah memperkirakan keadaannya, saya percaya kalau tabung antimateri itu diletakkan pada salah satu zona putih kami-tempat-te
mpat yang hanya bisa dimasuki publik seperti museum dan Basilika Santo Petrus. Kami telah memadamkan listrik di zona-zona tersebut dan melakukan pencarian."
"Jadi Anda hanya mencari di sebagian kecil tempat dan seluruh wilayah Vatican City""
"Ya, signore. Sangat tidak mungkin kalau si penyusup itu mempunyai akses hingga ke zona dalam di Vatican City. Fakta bahwa kamera yang hilang itu dicuri dari kawasan yang bisa dikunjungi publik-dari tangga di salah satu museum-jelas menyatakan bahwa si penyusup memiliki akses terbatas. Jadi menurut asumsi saya, dia hanya mampu memindahkan kamera dan antimateri itu ke kawasan publik lainnya. Kawasan inilah yang menjadi sasaran dalam pencarian kami."
"Tetapi penyusup itu berhasil menculik empat kardinal. Itu jelas menyatakan bahwa mereka mampu menyusup lebih dalam dari yang kita duga."
"Tidak perlu begitu. Kita harus ingat kalau hari ini para kardinal banyak meluangkan waktunya di Museum Vatican dan Basilika Santo Petrus dan menikmati suasana tenang di sana. Kemungkinan keempat kardinal tersebut diculik dari salah satu tempat itu."
"Tetapi bagaimana mereka dibawa keluar dari tembok
kita"" "Kami masih memperkirakannya."
"Oh, begitu." Sang camerlegno menarik napas, lalu berdiri.
Dia berjalan mendekati Olivetti. "Komandan, saya ingin mendengar rencana Anda tentang kemungkinan untuk evakuasi para kardinal."
"Kami masih merencanakannya, signore. Sementara itu, saya percaya Kapten Rocher dapat menemukan tabung itu."
Rocher menegakkan tubuhnya seolah menghargai kepercayaan yang diterimanya. "Anak buah saya sudah memeriksa dua pertiga bagian dari zona putih. Saya sangat yakin kami akan segera menemukannya."
Sang camerlegno tampaknya tidak ikut merasa begitu yakin.
Pada saat itu penjaga yang mempunyai bekas luka di bawah matanya masuk sambil membawa sebuah papan dengan penjepit dan sebuah peta. Dia berjalan ke arah Langdon. "Pak Langdon" Saya mempunyai informasi yang Anda minta tentang West Ponente."
Langdon menelan kue scone-nya... "Bagus. Mari kita
lihat." Yang lainnya melanjutkan pembicaraan mereka. Sementara itu Vittoria bergabung dengan Robert dan penjaga itu dan mereka mulai membentangkan peta di atas meja paus.
Serdadu itu menunjuk Lapangan Santo Petrus. "Kita berada di sini. Garis arah angin West Ponente menuju ke timur, menjauh dari Vatican City." Si penjaga menelusuri garis dengan menggunakan jarinya dari Lapangan Santo Petrus menyeberangi Sungai Tiber dan berhenti di jantung kota Roma kuno. "Seperti yang Anda lihat, garis ini melewati hampir seluruh bagian dari Roma. Di sana ada sekitar dua puluh Gereja Katolik yang berada di dekat garis ini.
Langdon merasa tidak bersemangat. "Dua puluh""
"Mungkin lebih."
"Adakah gereja yang betul-betul langsung terlintasi oleh garis itu""
"Beberapa gereja tampak lebih dekat dibandingkan dengan yang lainnya," sahut penjaga itu, "tetapi pemindahan garis West Ponente ke lembaran peta bisa mengalami kesalahan."
Langdon menatap keluar ke Lapangan Santo Petrus sejenak. Kemudian dia menggerutu sambil mengusap dagunya. "Bagaimana dengan Api" Apakah ada gereja yang memiliki karya seni Bernini yang berhubungan dengan Api""
Sunyi. "Bagaimana dengan obelisk"" Langdon bertanya lagi. "Apakah ada gereja yang berdiri di dekat obelisk""
Penjaga itu mulai memeriksa petanya lagi. Vittoria melihat kilauan harapan di mata Langdon dan tahu apa yang dipikirkannya. Dia benar! Dua petunjuk pertama terletak di dekat piazza yang memiliki obelisk! Mungkin obelisk merupakan sebuah tema" Piramida tinggi adalah petunjuk yang menandai Jalan Pencerahan" Semakin banyak Vittoria berpikir, semuanya mulai masuk akal ... empat menara berdiri di Roma untuk menandai altar ilmu pengetahuan.
"Ini sulit," kata Langdon, "tapi aku tahu banyak obelisk di Roma dibangun atau dipindahkan ketika Bernini hidup. Tidak diragukan lagi kalau Bernini juga punya pengaruh dalam penempatan obelisk-obelisk itu."
"Atau," tambah Vittoria. "Bernini mungkin saja telah meletakkan petunjuk-petunjuk itu di dekat obelisk-obelisk yang
ada." Langdon mengangguk. "Benar."
"Berita buruk," ka
ta penjaga itu. "Tidak ada obelisk yang berada di garis ini." Jarinya menyusuri garis di peta. "Bahkan
yang berada di dekat garis pun tidak ada. Tidak ada sama
sekali." Langdon mendesah. Bahu Vittoria lunglai. Dia mengira itu adalah gagasan yang hebat. Tampaknya, ini tidak akan semudah yang mereka harapkan. Tetapi dia berusaha untuk tetap yakin. "Robert, berpikirlah. Kamu pasti tahu patung Bernini yang berhubungan dengan api. Apa saja."
"Percayalah, aku juga sedang berpikir saat ini. Bernini adalah seniman yang produktif. Dia menciptakan ratusan karya. Aku berharap West Ponente akan menunjukkan satu gereja. Sesuatu yang dapat mengingatkan kita pada sesuatu."
"Fuoco," Vittoria berseru. "Api. Tidak ada karya Bernini yang berhubungan dengan api yang bisa kamu ingat""
Langdon mengangkat bahunya. "Ada sketsa terkenal berjudul Kembang api, tetapi itu bukan patung, dan ada di Leipzig, Jerman."
Vittoria mengerutkan keningnya. "Dan kamu yakin napas itu adalah petunjuk arah""
"Kamu melihat relief itu, Vittoria. Rancangan itu betul-betul simetris. Satu-satunya indikasi petunjuk adalah pada napas
itu." Vittoria tahu Langdon benar.
"Terlebih lagi," Langdon menambahkan, "karena West Ponente menandakan Udara, mengikuti arah napas secara simbolis tampak masuk akal."
Vittoria mengangguk. Jadi kita sekarang mengikuti arah napas itu. Tetapi ke mana"
Olivetti mendekat. "Apa yang kalian dapatkan""
"Terlalu banyak gereja," kata serdadu itu. "Kira-kira dua lusin atau lebih. Saya kira kita bisa menempatkan empat orang dalam satu gereja-"
"Lupakan," kata Olivetti. "Kita sudah gagal menangkap orang itu dua kali ketika kita tahu dengan pasti ke mana dia akan menuju. Pengawasan besar-besaran berarti meninggalkan Vatican City tanpa penjagaan dan menunda pencarian tabung."
"Kita membutuhkan sebuah buku referensi," kata Vittoria. "Sebuah indeks tentang karya-karya Bernini. Kalau kita dapat melihat judul karya-karyanya, mungkin ada yang dapat kita ketahui."
"Aku tidak tahu," kata Langdon. "Kalau memang Bernini menciptakannya khusus untuk Illuminati, pasti bentuknya akan sangat tersamar, dan tidak akan terdaftar dalam sebuah buku."
Vittoria tidak mau memercayai itu. "Dua patung yang sudah kita temukan sebelumnya, keduanya terkenal. Kamu pernah mendengar tentang keduanya."
Langdon menggerakkan bahunya. "Ya."
"Kalau kita dapat membaca referensi judul yang mengacu pada kata 'api', mungkin kita akan menemukan patung yang tepat dan menjadi petunjuk ke arah yang benar."
Kini Langdon tampak percaya dan ingin memeriksanya. Dia lalu berpaling pada Olivetti. "Aku memerlukan sebuah daftar berisi karya-karya Bernini. Kalian pasti memiliki sebuah buku edisi khusus tentang Bernini, bukan""
"Buku edisi khusus"" Olivetti tampak tidak akrab dengan istilah itu.
"Sudahlah, lupakan. Daftar apa saja. Bagaimana dengan Museum Vatican" Mereka pasti memiliki referensi tentang Bernini.
Penjaga yang memiliki bekas luka itu mengerutkan keningnya. "Listrik di museum dipadamkan, dan ruangan penyimpan catatan itu besar sekali. Tanpa petugas yang membantu di sana-"
"Karya Bernini yang kita cari itu," Olivetti menyela. "Mungkinkah diciptakan ketika masih bekerja di sini, di
Vatican"" "Hampir pasti," sahut Langdon. "Dia berada di sini hampir sepanjang karirnya. Dan yang pasti selama masa pertentangan antara gereja dengan Galileo."
Olivetti mengangguk. "Kalau begitu ada referensi yang lainnya."
Vittoria merasa optimismenya menyala. "Di mana""
Komandan itu tidak menjawab. Dia mengajak penjaganya menepi dan berbicara dengan suara perlahan sekali. Penjaga itu tampak tidak yakin tetapi mengangguk patuh. Ketika Olivetti selesai berbisik, penjaga itu berpaling pada Langdon.
"Kemari, Pak Langdon. Sekarang jam sembilan lewat lima belas. Kita harus cepat."
Langdon dan penjaga itu menuju pintu.
Vittoria bergerak untuk mengikuti mereka. "Aku ikut."
Olivetti menangkap lengannya. "Tidak, Nona Vetra. Aku harus berbicara denganmu." Kata-kata sang komandan adalah perintah.
Langdon dan penjaga itu keluar. Wajah Olivetti terlihat sangat muram ketika membawa Vittoria k
e tepi. Tapi apa pun yang ingin disampaikan Olivetti kepada Vittoria, dia tidak punya kesempatan untuk membicarakannya. Walkie-talkie-nya bergemersik keras. "Commandante""
Semua orang di dalam ruangan itu menoleh.
Suara dari walkie-talkie itu terdengar muram. "Sebaiknya Anda menyalakan televisi, Komandan."
80 KETIKA LANGDON MENINGGALKAN ruang Arsip Rahasia Vatican dua jam yang lalu, dia tidak pernah membayangkan akan masuk ke sana lagi. Sekarang, dengan terengah-engah karena berlari-lari kecil sepanjang jalan bersama seorang Garda Swiss, dia sudah berada di depan ruangan itu lagi.
Pengawalnya, penjaga yang memiliki bekas luka itu, sekarang membawa Langdon melewati deretan ruangan-ruangan tembus pandang yang sudah tidak asing lagi baginya. Kesunyian di dalam ruangan arsip itu sekarang menjadi bertambah mencekam, dan Langdon merasa sangat lega ketika penjaga itu memecahkan kesunyian.
"Sepertinya ke sebelah sini," katanya sambil mengajak Langdon ke bagian belakang ruangan di mana sederet ruang kedap udara yang lebih kecil berbaris di dinding. Penjaga itu memeriksa judul yang terdapat di ruangan-ruangan itu, kemudian menunjuk pada salah satunya. "Ya, ini dia. Tepat di tempat yang dikatakan Komandan."
Langdon membaca judul itu. ATTIVI VATICANI. Aset Vatican" Langdon memeriksa daftar isinya. Lahan yasa ... mata uang ... Bank Vatican ... benda-benda antik ... Daftar itu hanya sampai di situ.
"Itu adalah catatan dari semua aset Vatican," kata penjaga
itu. Langdon melihat beberapa ruangan kedap udara berukuran kecil di hadapannya. Ya ampun. Bahkan dalam kegelapan sekali pun, Langdon dapat melihat kalau catatan itu banyak sekali.
"Komandan saya mengatakan apa pun yang dibuat oleh Bernini ketika bekerja di Vatican akan tercatat di sini sebagai aset."
Langdon mengangguk, dan tahu kalau naluri komandan itu benar. Menurut hukum yang berlaku pada masa Bernini, apa pun yang dibuat oleh seorang seniman selama mengabdi kepada paus akan menjadi milik Vatican. Peraturan itu lebih merupakan feodalisme daripada patronase. Namun kehidupan para seniman kelas atas sangat baik, jadi mereka tidak mengeluh. "Termasuk karya-karyanya yang ditempatkan di gereja-gereja di luar
Vatican City"" Serdadu itu menatapnya dengan aneh. "Tentu saja. Semua gereja Katolik di Roma adalah milik Vatican."
Langdon melihat daftar di tangannya. Daftar itu berisi kurang lebih dua puluh gereja yang terletak tepat di arah angin West Ponente. Altar ilmu pengetahuan ketiga berada di salah satu dari gereja-gereja itu, dan Langdon berharap dia punya waktu untuk mengetahui gereja mana yang berisi altar yang mereka cari. Dalam situasi yang berbeda, Langdon akan senang sekali memeriksa setiap gereja itu sendirian. Tapi hari ini, dia hanya memiliki kira-kira dua puluh menit untuk menemukan apa yang mereka cari-satu gereja yang berisi karya penghormatan Bernini pada api.
Langdon berjalan ke arah pintu putar elektronik yang akan membawanya masuk ke dalam salah satu ruangan kedap udara itu. Penjaga itu tidak mengikutinya. Langdon merasa ragu-ragu. Dia tersenyum. "Udaranya tidak apa-apa. Tipis, tetapi masih cukup untuk bernapas."
"Saya hanya diperintahkan untuk mengawal Anda ke sini dan kembali ke markas dengan segera."
"Kamu pergi""
"Ya. Garda Swiss tidak diizinkan masuk ke ruang arsip. Saya sudah melanggar protokol dengan mengantar Anda sampai di sini. Komandan mengingatkan saya tentang itu."
"Melanggar protokol"" Sadarkah kamu apa yang sedang terjadi di sini malam ini" "Komandanmu itu berpihak pada siapa""
Keramahan hilang dari wajah penjaga itu. Bekas luka di bawah matanya berdenyut. Penjaga itu menatapnya, dan tiba-tiba menjadi sangat mirip dengan Olivetti.
"Maafkan aku," kata Langdon sambil menyesali kata-katanya. "Hanya saja ... mungkin kamu dapat membantuku."
Penjaga itu tidak berkedip. "Saya terlatih untuk mematuhi perintah. Bukan untuk mendebatnya. Kalau Anda sudah menemukan apa yang Anda cari, hubungi Komandan segera."
Langdon bingung. "Tetapi dia berada di mana""
Penjaga itu melepaskan walkie-talkie-nya. dan meletakkannya di meja terdekat
. "Saluran satu." Lalu dia menghilang dalam kegelapan.
81 PESAWAT TELEVISI DI KANTOR Paus adalah televisi bermerek Hitachi berukuran besar sekali yang tersembunyi di dalam lemari yang masuk ke dalam dinding di depan meja kerja Paus. Pintu lemari itu sekarang terbuka, dan semua orang berkumpul di sekitarnya. Vittoria bergerak mendekatinya. Ketika layarnya menyala, seorang wartawati muda muncul. Perempuan itu berambut cokelat dengan wajah lugu.
"Laporan dari MSNBC," dia melaporkan, "saya Kelly Horan-Jones, langsung dari Vatican City," Gambar di belakangnya adalah rekaman keadaan malam hari di Basilika Santo Petrus dengan semua lampu menyala terang.
"Kamu tidak sedang siaran langsung," bentak Rocher. "Itu hanya siaran tunda! Lampu di gereja sudah dipadamkan" Olivetti menyuruhnya diam.
Wartawati itu melanjutkan, suaranya terdengar tegang. "Ada perkembangan mengejutkan dalam pemilihan paus di Vatican malam ini. Kami mendapatkan laporan bahwa dua anggota Dewan Kardinal telah dibunuh dengan kejam di Roma." Olivetti menyumpah perlahan.
Ketika wartawati itu melanjutkan, seorang penjaga muncul di pintu ruangan itu dengan napas terengah-engah. "Komandan, operator pusat melaporkan bahwa semua jalur telepon menyala. Mereka meminta penjelasan resmi dari kita tentang -"
"Matikan saja," kata Olivetti tanpa mengalihkan tatapannya dari layar televisi.
Penjaga itu tampak ragu. "Tetapi Komandan-"
"Pergilah!" Penjaga itu berlari pergi.
Vittoria merasakan sang camerlegno ingin mengatakan sesuatu, namun dia kemudian menahan diri. Sebaliknya, lelaki itu hanya menatap Olivetti dengan tajam dan lama sebelum dia mengalihkan tatapannya ke arah televisi lagi.
MSNBC sekarang memutar rekaman itu. Beberapa Garda Swiss membawa jasad Kardinal Ebner menuruni tangga di luar gereja Santa Maria del Popolo dan menaikkannya ke sebuah mobil Alfa Romeo. Rekaman itu berhenti dan di-zoowz sehingga jasad kardinal yang tanpa busana itu menjadi tampak jelas sebelum mereka memasukkannya ke dalam bagasi mobil.
"Siapa yang mengambil gambar itu"" tanya Olivetti berang.
Wartawati MSNBC itu terus berbicara. "Diyakini ini adalah jasad Kardinal Ebner dari Frankfurt, Jerman. Orang-orang yang memindahkan jasad itu dari gereja diyakini adalah Garda Swiss." Wartawan itu tampak berusaha untuk tampil alamiah. Mereka lalu menyorot wajahnya dari dekat untuk menunjukkan kemuraman yang dirasakannya. "Pada saat ini, MSNBC ingin memperingatkan para pemirsa kami. Gambar yang akan kami perlihatkan ini sangat gamblang dan mungkin tidak pantas untuk dilihat oleh semua pemirsa."
Pemanah Sakti Bertangan Seribu 1 Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu Wasiat Dewa Geledek 1
^