Pencarian

Eldest 4

Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini Bagian 4


Ya, sergah Eragon. Ia menanggalkan selimut dan menerobos melewati Saphira, terhuyung-huyung ke tengah perkemahan, tempat Arya dan para kurcaci duduk mengelilingi api unggun. "Masih ada makanan yang tersisa"" tanya Eragon.
Duthmer mengisi mangkuk tanpa berbicara dan memberikannya pada Eragon. Dengan ekspresi tak peduli, Thorv bertanya, "Apakah kau sudah lebih baik sekarang, Shadeslayer"" Ia dan kurcaci lain tampak terpesona pada apa yang mereka lihat.
"Aku baik-baik saja."
"Kau menanggung beban yang berat, Shadeslayer."
Eragon mengerutkan kening dan tiba-tiba berjalan ke tepi perkemahan, di sana ia duduk dalam kegelapan. Ia bisa merasakan Saphira di dekatnya, tapi Saphira tidak mengusiknya. Eragon memaki diam-diam dan menusuk sup buatan Duthmer dengan marah.
Tepat saat ia mengunyah santapannya, Orik berkata dari sampingnya, "Seharusnya kau tidak memperlakukan mereka begitu"
Eragon memelototi wajah Orik yang tersembunyi dalam keremangan. "Apa""
"Thorv dan anak buahnya dikirim untuk melindungi dirimu dan Saphira. Mereka bersedia mati demi dirimu kalau perlu, dan memercayakan pemakaman suci mereka padamu. Kau harus mengingat itu."
Eragon menahan lidahnya dan menatap permukaan sungai yang gelap--selalu bergerak, tidak pernah berhenti--untuk berusaha menenangkan pikiran. "Kau benar. Aku membiarkan emosiku meledak."
Gigi-gigi Orik berkilau dalam kegelapan saat ia tersenyum "Itu pelajaran yang harus dikuasai setiap komandan. Hrothga, mengajariku hal itu berkali-kali sesudah aku melemparkan sepatu botku kepada kurcaci yang meninggalkan tombak bergoloknya di tempat orang lain bisa tak sengaja menginjaknya."
"Lemparanmu kena""
"Hidungnya patah," kata Orik sambil tergelak.
Eragon, tanpa bisa menahan diri, juga tertawa. "Akan kuingat untuk tidak berbuat begitu." Ia memegang mangkuk dengan dua tangan agar tetap hangat.
Eragon mendengar gemerincing logam saat Orik mengeluarkan sesuatu dari kantung. "Ini," kata si kurcaci, sambil menjatuhkan cincin-cincin emas yang berkaitan ke t
elapak tangan Eragon. "Ini teka-teki yang kami gunakan untuk menguji kecerdasan dan keuletan. Ada delapan cincin. Kalau kau mengaturnya dengan benar, kedelapannya akan membentuk satu cincin. Menurutku ini berguna untuk mengalihkan perhatian sewaktu aku merasa gelisah."
"Terima kasih," gumam Eragon, terpesona oleh kerumitan rangkaian cincin kemilau itu.
"Kau boleh memilikinya kalau bisa merangkainya dengan benar."
Sewaktu kembali ke tenda, Eragon menelungkup dan memeriksa cincin-cincin itu dalam keremangan api unggun yang menyusup ke balik pintu tenda. Empat cincin saling mengait ke empat cincin yang lain. Masing-masing halus pada paro bawahnya dan asimetris pada bagian atas, tempat cincin-cincin itu saling mengait.
Sementara Eragon mencoba berbagai konfigurasi, dengan cepat ia frustrasi karena fakta sederhana: rasanya mustahil memparalelkan dua rangkaian cincin agar bisa menyatu.
Asyik memikirkan tantangan itu, ia melupakan teror yang baru saja dialaminya.
Eragon terjaga tepat sebelum subuh. Setelah menggosok mata untuk menghilangkan kantuk, ia keluar tenda dan menggeliat. Napasnya berubah menjadi uap putih di udara pagi yang dingin.
Ia mengangguk kepada Shrrgnien, yang berjaga di dekat api unggun, lalu berjalan ke tepi sungai dan mencuci muka, mengerjapkan mata karena terkejut merasakan dinginnya air.
Ia menemukan Saphira dalam sekejap dengan pikirannya, menyandang Zar'roc, dan menuju tempat Saphira di balik pepohonan beech yang berjajar di tepi Az Ragni. Dalam waktu singkat tangan dan wajah Eragon basah akibat embun dari sesemakan chokecherry yang menghalangi jalannya. Bukit bulat menjulang di depannya. Saphira dan Arya berdiri di puncaknya--bagai dua patung kuno. Mereka memandang ke timur, sementara cahaya keemasan mulai merayapi langit dan menerangi padang rumput di bawahnya.
Saat cahaya menerpa kedua sosok itu, Eragon teringat bagaimana Saphira mengawasi matahari terbit dari tiang ranjangnya beberapa jam setelah menetas. Saphira seperti elang atau falcon dengan pandangan mata yang keras dan kemilau di bawah tulang matanya, lengkungan lehernya, dan kekuatan liat yang tertanam pada setiap inci tubuhnya. Ia pemburu, dan memiliki semua keindahan buas yang terkandung dalam istilah itu. Wajah Arya yang bersegi-segi dan keanggunannya yang bagai macan kumbang serasi dengan naga di sampingnya. Tidak ada ketidakcocokan di antara sikap mereka saat mereka berdua bermandikan cahaya pertama pagi hari.
Perasaan kagum dan suka cita merayapi punggung Eragon. Di sinilah tempatnya, sebagai Penunggang. Dari segala hal yang ada di Alagaesia, ia cukup beruntung bisa bergabung dengan ini. Keajaiban pemandangan itu memancing air mata dan senyum kebanggaannya yang menghapus seluruh keraguan dan ketakutannya dalam gelombang emosi murni.
Sambil tetap tersenyum, ia mendaki bukit dan berdiri di dekat Saphira, lalu mereka memandangi hari baru.
Arya menatapnya. Eragon membalas tatapannya, dan terasa ada sentakan dalam dirinya. Wajah Eragon memerah tanpa ia tahu alasannya, merasakan hubungan yang tiba-tiba timbul dengan elf itu, perasaan bahwa elf tersebut memahaminya lebih baik daripada siapa pun selain Saphira. Reaksinya membingunkan dirinya sendiri, karena belum pernah ada yang mengaruhinya seperti itu.
Sepanjang sisa hari, Eragon hanya perlu mengingat saat itu dan senyumnya langsung timbul dan hatinya bergejolak dengan campuran perasaan aneh yang tidak bisa dikenalinya, Ia menghabiskan sebagian besar waktunya dengan duduk bersandar di kabin rakit, berusaha memecahkan teka-teki cincin Orik dan mengamati pemandangan yang terus berubah.
Sekitar tengah hari mereka melewati mulut lembah, do sungai lain menyatu ke Az Ragni, melipatgandakan ukuran dan kecepatannya hingga kedua tepinya terpisah sejauh satu mil. Para kurcaci harus berjuang keras agar rakit-rakit tidak terlempar arus deras dan menghantam pepohonan yang sesekali hanyut lewat.
Satu mil sesudah sungai bergabung, Az Ragni berbelok ke utara dan mengalir melewati puncak tunggal tertutup awan yang berdiri terpisah dari kumpulan utama Beor, seperti menara pengawas raksasa yang di
bangun untuk mengawasi dataran.
Para kurcaci membungkuk ke puncak itu sewaktu melihatnya, dan Orik memberitahu Eragon, "Itu Moldun si Bangga. Ia pegunungan sejati terakhir yang akan kita lihat dalam perjalanan ini."
Sewaktu rakit-rakit ditambatkan pada malam harinya, Eragon melihat Orik membuka bungkusan kotak hitam panjang yang dihiasi lapisan mutiara, batu-batu rubi, dan garis-garis perak melengkung. Orik membuka pengaitnya, lalu mengangkat tutupnya, dan tampaklah busur yang belum bertali di atas beludru merah. Kedua ujung busur terbuat dari kayu hitam, yang menjadi latar belakang bagi gambar-gambar rumit sulur, bunga, hewan, dan huruf, semuanya terbuat dari emas terbaik, Senjata yang sangat mewah, Eragon jadi penasaran bagaimana bisa ada yang berani menggunakannya.
Orik memasang tali busur--busur itu nyaris setinggi dirinya, tapi tetap tidak sebesar busur anak-anak, berdasarkan standal Eragon--mengesampingkan kotaknya, dan berkata, "Aku akan mencari daging segar bagi kita. Aku akan kembali satu lam lagi." Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia menghilang ke dalam sesemakan. Thorv mendengus tak setuju, tapi tidak bertindak mencegahnya.
Sesuai janjinya, Orik kembali membawa seekor angsa leher panjang. "Kutemukan sekawanan bertengger di pohon," katanya, sambil melempar unggas itu kepada Duthmer.
Sementara Orik mengambil kembali kotaknya, Eragon bertanya, "Busurmu itu terbuat dari kayu apa""
"Kayu"" Orik tertawa, sambil menggeleng. "Kau tidak bisa membuat busur sependek ini dari kayu dan memanah lebih dari dua puluh yard; busur itu pasti patah, atau melengkung sesudah beberapa tembakan. Tidak, ini busur dari tanduk Urgal!"
Eragon menatapnya curiga, pasti kurcaci ini berusaha menipu dirinya. "Tanduk tidak cukup luwes atau memiliki kelentingan untuk menjadi busur."
"Ah," kata Orik, "itu karena kau harus tahu cara merawatnya dengan benar. Kami pertama mencobanya dengan tanduk Feldunost, tapi tanduk Urgal juga bisa. Caranya dengan memotong memanjang tanduknya menjadi dua, lalu merapikan lengkung luarnya hingga ketebalannya tepat. Tanduk itu lantas direbus dan digosok dengan pasir hingga bentuknya sesuai sebelum dipasang pada kayu ash dengan lem yang dibuat dari sisik ikan dan kulit langit-langit mulut ikan trout. Lalu bagian belakang kayunya ditutup dengan berlapis-lapis otot; dengan begitu busurnya memiliki kelentingan. Langkah terakhir adalah menghiasinya. Seluruh proses bisa memakan waktu hampir satu dekade."
"Aku tidak pernah mendengar cara membuat busur seperti itu," kata Eragon. Senjatanya sendiri jadi terasa seperti cabang yang dipotong sekadarnya. "Seberapa jauh jarak tembaknya""
"Lihat saja sendiri," kata Orik. Ia membiarkan Eragon mengambil busurnya, yang dipegangnya dengan hati-hati, karena takut merusaknya. Orik mengambil sebatang anak panah dari tabungnya dan memberikannya pada Eragon. "Tapi kau berutang satu anak panah padaku."
Eragon memasang anak panah itu pada tali, membidik ke atas Az Ragni, dan menarik talinya. Tarikan busur itu kurang dari dua kaki, tapi ia terkejut mendapati beratnya melebihi busur Eragon sendiri; ia nyaris tidak cukup kuat untuk menahan talinya. Ia melepaskan anak panahnya dan anak panah tersebut menghilang diiringi bunyi dentingan, dan muncul kembali jauh di atas sungai. Eragon mengawasinya dan terpesona saat anak panah itu mendarat dengan memercikkan air di tengah Az Ragni.
Ia bergegas menjangkau melewati penghalang dalam benaknya hingga kekuatan sihir melingkupi dirinya dan berkata "Gath sem oro un lam iet." Beberapa detik kemudian, anak panah itu melesat kembali di udara dan mendarat di telapak tangannya yang terulur. "Dan ini," katanya, "anak panah utang ku padamu."
Orik memukulkan tinju ke dadanya, lalu memeluk anak panah dan busurnya dengan kegembiraan yang kelihatan jelas. "Luar biasa! Sekarang aku masih memiliki dua lusin lengkap. Kalau tidak, aku terpaksa menunggu hingga tiba di Hedarth untuk menambah persediaanku." Dengan sigap ia melepaskan tali busur dan menyimpannya, membungkus kotak dengan kain lunak untuk melindunginya.
Eragon melihat Arya mengawasi. Ia berta
nya padanya, "Apa elf juga menggunakan busur tanduk" Kalian begitu kuat, busur kayu bisa pecah berantakan kalau dibuat cukup berat bagi kalian."
"Kami menyanyikan busur kami dari pepohonan yang tidak tumbuh." Kemudian Arya berlalu.
Selama berhari-hari, mereka hanyut melewati padang-padang rerumputan musim semi sementara Pegunungan Beor memudar menjadi dinding putih samar di belakang mereka. Tepi-tepinya sering tertutup kawanan gazelle dan rusa merah kecil yang memandangi mereka dengan mata bening.
Sekarang sesudah Fanghur bukan lagi ancaman, Eragon nyaris terus-menerus terbang bersama Saphira. Ini kesempatan pertama mereka sejak sebelum Gil'ead untuk melewatkan begito banyak waktu bersama di udara, dan mereka memanfaatkannya sepenuhnya. Selain itu, Eragon menikmati kesempatan untuk meloloskan diri dari rakit yang penuh sesak, ia merasa kikuk dan gelisah dengan keberadaan Arya sedekat itu.
ARYA SVIT-KONA Eragon dan rekan-rekannya menyusuri Az Ragni hingga sungai itu bergabung dengan Sungai Edda, yang lalu mengalir ke tempat yang tidak diketahuinya di timur. Di persimpangan di antara kedua sungai, mereka mengunjungi pos perdagangan terluar kurcaci, Hedarth, dan menukar rakit mereka dengan keledai. Kurcaci tidak pernah menggunakan kuda karena ukuran tubuh mereka yang kecil.
Arya menolak tunggangan yang disodorkan padanya, dengan mengatakan, "Aku tidak akan kembali ke tanah leluhur dengan menaiki keledai."
Thorv mengerutkan kening. "Bagaimana kau bisa mengikuti kami""
"Aku akan lari." Dan ia pun lari, mengalahkan Snowfire dan para keledai, lantas duduk menunggu mereka di bukit atau kumpulan pepohonan berikutnya. Biarpun mengerahkan tenaga, Arya tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan sewaktu mereka berhenti untuk bermalam, ia juga tidak menunjukkan keinginan untuk berbicara lebih dari beberapa patah kata antara sarapan dan makan malam. Seiring setiap langkahnya, Arya tampak Semakin tegang.
Dari Hedarth, mereka melanjutkan perjalanan ke utara, menyusuri Sungai Edda hingga ke titik asalnya di Danau Eldor.
Du Weldenvarden terlihat tiga hari kemudian. Hutan itu Pertama tampak seperti tebing samar di kaki langit, lalu dengan cepat berkembang menjadi lautan zamrud yang terdiri atas pohon ek, beech, dan maple tua. Dari punggung Saphira, Eragon melihat hutan itu terhampar tanpa terputus ke kaki langit baik di utara maupun barat, dan ia tahu hutan tersebut masih membentang lebih jauh lagi, hingga sepanjang Alagaesia.
Baginya, keremangan di bawah cabang-cabang melengkUng pepohonan terasa misterius dan memesona, sekaligus berbaha, ya, karena di sanalah tinggal para elf. Tersembunyi di suatu tempat di jantung Du Weldenvarden terdapat Ellesmera--tempat ia bisa menyelesaikan latihannya--juga Osilon, dan kota-kota elf lain yang hanya pernah dikunjungi sedikit orang luar sejak kejatuhan para Penunggang. Hutan itu tempat yang berbahaya bagi makhluk fana, Eragon bisa merasakannya, jelas dipenuhi sihir aneh dan makhluk-makhluk yang lebih aneh lagi.
Rasanya seperti dunia lain, katanya. Sepasang kupu-kupu terbang berputar Baling mengelilingi sambil membubung dari bagian dalam hutan yang gelap.
Kuharap, kata Saphira, ada ruang bagiku di sela pepohonan atau jalan setapak apa pun yang digunakan para elf. Aku tidak bisa terbang terus.
Aku yakin mereka memiliki cara untuk mengakomodasi naga selama masa para Penunggang.
Mmm. Malam itu, tepat saat Eragon hendak mencari selimut, Arya muncul di dekat bahunya, seperti roh yang muncul begin saja. Kemunculannya yang tanpa suara menyebabkan Eragon terlonjak; ia tidak pernah bisa memahami bagaimana Arya bisa bergerak tanpa suara seperti itu. Sebelum ia sempat Menanyakan apa yang diinginkan Arya, benak Arya menyentuh benaknya dan elf itu berkata, Ikuti aku sebisa mungkin tanpa suara.
Kontak itu mengejutkan Eragon, sama seperti permintaannya. Mereka berbagi pikiran dalam penerbangan ke Farthen Durhanya itu satu-satunya cara Eragon bisa berbicara dengan elf melalui koma yang ditimbulkan Arya sendiri--tapi sejak itu pulih, Eragon tidak pernah berusaha menyentuh benaknya lagi. Pengalaman itu sanga
t personal. Setiap kali ia menjangkau kesadaran orang lain, jiwanya seperti bersinggungan dengan mereka. Rasanya sangat kasar kalau ia memicu tindakan yang sepribadi itu tanpa diundang, juga merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan Arya, yang tipis. Selain itu, Eragon khawatir hubungan seperti itu akan mengungkap perasaan barunya yang membingungkan terhadap Arya, dan ia tidak ditertawakan karenanya.
Ia mengiringi Arya sementara si elf menyelinap keluar dari perkemahan, berhati-hati untuk menghindari Trihga, yang mendapat giliran jaga pertama, dan keluar dari jangkauan pendengaran para kurcaci. Di dalam Eragon, Saphira mengawasi dengan ketat perkembangannya, siap melompat membantunya kalau perlu.
Arya berjongkok di balok kayu berlumut dan memeluk lutut tanpa memandang Eragon. "Ada hal-hal yang harus kauketahui sebelum kita tiba di Ceris dan Ellesmera agar kau tidak mempermalukan dirimu sendiri atau diriku dengan kebodohanmu."
"Misalnya"" Ia berjongkok di depan Arya, penasaran.
Arya ragu-ragu. "Selama bertahun-tahun bertugas sebagai duta besar Islanzadi, kuamati bahwa manusia dan kurcaci cukup mirip satu sama lain. Kalian menganut kepercayaan dan semangat yang sama. Lebih dari satu manusia pernah tinggal dengan nyaman di kalangan kurcaci karena bisa memahami budaya mereka, sebagaimana mereka memahami budayamu. Kalian berdua menyayangi, bergairah, membenci, berkelahi, dan menciptakan dengan cara yang sangat mirip. Persahabatanmu dengan Orik dan diterimanya dirimu dalam Durgrimst Ingeitum merupakan contohnya." Eragon mengangguk, sekalipun perbedaan mereka baginya terasa lebih besar daripada itu. "Tapi elf tidak seperti ras-ras lain."
"Kau berbicara seakan kau bukan elf," kata Eragon, menirukan kata-kata Arya di Farthen Dur.
"Aku sudah tinggal bersama kaum Varden cukup lama untuk terbiasa dengan tradisi mereka," jawab Arya pedas.
Jadi maksudmu para elf tidak memiliki emosi yang sama seperti kurcaci dan manusia" Menurutku itu sulit dipercaya. Semua makhluk hidup memiliki kebutuhan dan keinginan dasar yang sama."
"Bukan itu yang kumaksud!" Eragon terlonjak mundur, lalu mengerutkan kening dan mengamati Arya. Tidak biasanya Arya bersikap sekasar itu. Arya memejamkan mata dan menempelkan jemari di kening, menghela papas panjang. "Karena elf hidup begitu lama, kami menganggap kesopanan sebagai nilai sosial tertinggi. Kau tidak boleh menyinggung perasaan kalau dendam bisa disimpan selama beberapa dekade atau berabad-abad. Kesopanan merupakan satu-satunya cara untuk mencegah penumpukan permusuhan seperti itu. Tidak selalu berhasil, tapi kami mematuhi ritual kami semaksimal mungkin karena ritual kami melindungi kami dari hal-hal yang ekstrem. Elf juga tidak produktif, jadi penting bagi kami untuk menghindari konflik di antara kami sendiri. Kalau kami mempunyai tingkat kejahatan yang sama seperti manusia atau kurcaci, kami akan punah tidak lama lagi.
"Ada cara yang sopan untuk menyapa para penjaga di Ceris, pola-pola dan formasi-formasi tertentu yang harus kau amati sewaktu dihadapkan pada Ratu Islanzadi, dan ratusan tata cara lain untuk menyapa mereka yang ada di sekitarmu, kalau tidak sebaiknya kau tetap diam."
"Dengan adanya semua kebiasaan kalian itu," kata Eragon, memberanikan diri, "rasanya kalian justru makin mudah menyinggung perasaan orang lain."
Senyum merekah sekilas di bibir Arya. "Mungkin. Kau sama tahunya seperti diriku bahwa kau akan dinilai berdasarkan standar yang paling tinggi. Kalau kau melakukan kesalahan, para elf akan menganggapmu sengaja melakukannya. Dan kalau ketahuan bahwa kesalahanmu terjadi karena kau tidak peduli, itu hanya akan menimbulkan bencana. Lebih baik dianggap kasar dan mampu daripada kasar dap tidak mampu, kalau tidak kau menanggung risiko dimanipulasi seperti The Serpent dalam pertandingan Runes. Politik kami bergerak dalam siklus yang sumir dan panjang. Apa yang kau lihat atau dengar dari seorang elf pada suatu hari mungkin hanya merupakan tindakan kecil dalam strategi yang berawal beratus-ratus tahun yang lalu, dan mungkin tidak bisa dijadikan patokan bagaimana sikap elf besok. I
ni permainan yang kami semua mainkan tapi hanya sedikit yang menguasainya, permainan yang akan kaulakukan.
"Sekarang mungkin kau menyadari kenapa aku mengatakan elf tidak seperti ras-ras lain. Para kurcaci juga berumur panjang, mereka jauh lebih produktif daripada kami dan tidak memiliki keterbatasan atau kesukaan kami terhadap intrik. Dan manusia...." Ia membiarkan suaranya memudar dalam kebisuan.
"Manusia," kata Eragon, "berusaha sebaik-baiknya dengan apa yang mereka miliki."
"Biarpun begitu."
"Kenapa kau tidak memberitahu Orik juga mengenai hal ini" Ia akan tinggal di Ellesmera, sama seperti diriku."
Suara Arya berubah agak pedas. "Ia sudah agak mengenali etiket kami. Tapi, sebagai Penunggang, sebaiknya kau tampak lebih terdidik dibandingkan dirinya."
Eragon menerima komentarnya tanpa protes. "Apa yang harus kupelajari""
Jadi Arya mulai mengajarinya dan, melalui dirinya, juga Saphira, mengenai sopan santun dalam masyarakat elf. Pertama ia menjelaskan bahwa saat elf bertemu elf lain, mereka berhenti dap menyentuhkan jari telunjuk dan tengah ke bibir sebagai tanda bahwa "kita tidak akan memelesetkan kebenaran selama percakapan kita." Ini diikuti kata-kata "Atra esterni ono thelduin", yang dijawab dengan "Atra du evarinya ono varda."
"Dan," kata Arya, "kalau kau bersikap sangat resmi, jawaban ketiga diucapkan: Un atra mor'ranr lifa unin hjarta onr', yang berarti, 'Dan semoga kedamaian ada di hatimu'. Kalimat-kalimat ini diadopsi dari pemberkatan yang dilakukan naga sewaktu persekutuan kami dengan mereka mencapai puncaknya. Secara keseluruhan bunyinya:
Atra esterni ono thelduin,
Mor'ranr lifa unin hjarta onr,
Un du evarinya ono varda.
"Atau: 'Kiranya keberuntungan menguasaimu, kedamaian ada dalam hatimu dan bintang-bintang menjagamu'."
"Bagairnana kau tahu siapa yang seharusnya bicara lebih dulu""
"Kalau kau menyapa seseorang yang berstatus lebih tinggi daripada dirimu atau kalau kau ingin menghormati bawahan, bicaralah terlebih dulu. Kalau kau menyapa seseorang yang statusnya lebih rendah daripada dirimu, bicaralah terakhir. Tapi kalau kau tidak yakin dengan posisimu, beri kesempatan lawanmu berbicara, dan kalau mereka diam, bicaralah terlebih dulu. Begitulah aturannya."
Apa itu juga berlaku bagiku" tanya Saphira.
Arya mengambil daun kering dari tanah dan meremasnya, Di belakangnya, perkemahan memudar dalam keremangan sementara para kurcaci mengecilkan api unggun, menutupinya dengan tanah agar baranya mampu bertahan hingga pagi. "Sebagai naga, tidak ada yang lebih tinggi dari kau dalam budaya kami. Bahkan Ratu tidak akan mengklaim kewenangan atas dirimu. Kau boleh bertindak dan berbicara sesuka hatimu. Kami tidak mengharapkan naga terikat pada hukum kami."
Kemudian ia menunjukkan pada Eragon cara memutar tangan kanannya dan meletakkannya di atas perut, membentuk isyarat aneh. "Ini," kata Arya, "akan kaugunakan sewaktu bertemu Islanzadi. Dengan isyarat ini kau menunjukkan kau menawarkan kesetiaan dan kepatuhanmu padanya."
"Apakah ini mengikat, seperti sumpah setiaku pada Nasuada""
"Tidak, hanya sopan santun, dan tidak terlalu berarti."
Eragon bersusah payah mengingat berbagai gerakan dan sapaan yang diajarkan Arya padanya. Salamnya bervariasi antara pria dan wanita, dewasa dan anak-anak, bocah laki-laki dan bocah perempuan, juga berdasarkan peringkat dan prestasi. Daftarnya panjang sekali, tapi Eragon tahu ia harus menghafalkannya dengan sempurna.
Sesudah ia menyerap sebisa mungkin, Arya bangkit dan membersihkan tangan. "Selama kau tidak lupa, kau sudah cukup baik." Ia berbalik hendak pergi.
"Tunggu," kata Eragon. Ia mengulurkan tangan hendak menghentikan Arya, lalu menarik kembali tangannya sebelum Arya menyadari tindakannya. Arya berpaling dengan pandangan bertanya, dan perut Eragon terasa melilit sewaktu berusaha mencari cara untuk mengutarakan pikirannya. Biarpun sudah berusaha sebaik mungkin, ia akhirnya hanya mengatakan, "Apakah kau baik-baik saja, Arya" & Kau tampak banyak pikiran dan tidak biasa sejak kami meninggalkan Hedarth."
Ketika ekspresi wajah Arya mengeras menjadi topeng kosong, Erag
on diam-diam mengernyit, tahu telah memilih pendekatan yang salah, walau ia tak bisa menebak kenapa pertanyaan tadi menyinggung perasaan Arya.
"Sesudah kita tiba di Du Weldenvarden," kata"Arya padanya, "kuharap kau tidak berbicara seakrab itu padaku, kecuali kau ingin bertengkar." Ia melangkah pergi.
Kejar! seru Saphira. Apa" Ia tidak boleh marah padamu. Minta maaflah.
Harga diri Eragon memberontak. Tidak! Ia yang salah, bukan aku.
Minta maaflah, Eragon, kalau tidak, akan kupenuhi tendamu dengan bangkai. Itu bukan ancaman kosong.
Bagaimana caranya" Saphira berpikir sejenak, lalu memberitahu Eragon apa yang harus dilakukannya. Tanpa membantah, Eragon melompat bangkit dan melesat ke depan Arya, memaksa elf itu berhenti. Arya menatapnya dengan ekspresi kaku.
Eragon menyentuh bibirnya dan berkata, "Arya Svit-kona," menggunakan salam yang baru saja dipelajarinya untuk wanita yang sangat bijaksana. "Aku telah berbicara buruk, dan untuk itu kumohon ampunanmu. Saphira dan aku mengkhawatirkan kesejahteraanmu. Sesudah semua yang kaulakukan bagi kami, rasanya kami hanya bisa menawarkan bantuan kami sebagai balasannya kalau kau membutuhkannya."
Akhirnya Arya mengalah dan berkata, "Keprihatinanmu kuhargai. Dan aku juga telah berbicara dengan buruk." Ia menunduk dalam kegelapan, sosoknya tampak sangat kaku. "Kau menanyakan apa yang membuatku gelisah, Eragon" Apa kau benar-benar ingin tahu" Kalau begitu, akan kuberitahukan." Suaranya sangat lembut. "Aku takut."
Karena tertegun, Eragon tidak menjawab, dan Arya melewatinya meninggalkannya sendirian dalam malam.
CERIS Di pagi hari keempat, sewaktu Eragon berkuda di samping Shrrgnien, kurcaci itu berkata, "Katakan, apa manusia benar-benar memiliki sepuluh jari kaki, seperti kata orang" Karena aku benar-benar belum pernah bepergian melewati perbatasan kami."
"Tentu saja kami memiliki sepuluh jari kaki!" kata Eragon, tertegun. Ia bergeser di pelana Snowfire, mengangkat satu kaki, menanggalkan sepatu bot dan kaus kaki kanannya, lalu menggerak-gerakkan jemari kakinya di bawah tatapan Shrrgnien yang terpesona. "Kau tidak""
Shrrgnien menggeleng. "Nay, kami memiliki tujuh jari di setiap kaki. Begitulah Helzvog menciptakan kami. Lima terlalu sedikit dan enam jumlah yang salah, tapi tujuh... tujuh sudah pas." Ia melirik kaki Eragon lagi, lalu menjejak keledainya malu dan bercakap-cakap penuh semangat dengan Ama dan Hedin, yang akhirnya memberikan sejumlah koin perak pada Shrrgnien.
Menurutku, kata Eragon sambil mengenakan sepatu bot lagi, aku baru saja menjadi bahan taruhan. Entah mengapa, Saphira menganggap hal itu sangat menggelikan.
Seiring turunnya senja dan terbitnya bulan purnama, Sungai Edda mengalir lebih dekat dengan tepi Du Weldenvarden. Mereka menyusuri jalan setapak sempit melintasi gerombolan tanaman dogwood dan rosebush yang saling melilit dan Peri bunga, yang memenuhi udara malam dengan keharumannya.
Perasaan penuh semangat melanda Eragon saat ia menatap hutan yang gelap, tahu mereka memasuki wilayah elf dan dekat dengan Ceris. Ia mencondongkan tubuh ke depan di pelana Snowfire, tali kekang tertarik kuat di antara kedua tangannya. Gairah Saphira sama besarnya dengan gairahnya; naga itu melayang di atas kepala, melecutkan ekornya ke sana kemari karena tidak sabar.
Eragon merasa mereka seperti berjalan memasuki mimpi. Rasanya tidak nyata, katanya.
Aye. Di sini legenda-legenda lama masih hidup.
Akhirnya mereka tiba di padang rumput kecil di antara sungai dan hutan. "Berhenti di sini," kata Arya pelan. Ia berjalan maju hingga berdiri seorang diri di tengah rerumputan yang subur, lalu berseru dalam Bahasa Kuno, "Majulah, saudara-saudaraku! Tidak ada yang perlu kalian takuti. Ini aku, Arya dari Ellesmera. Yang bersamaku adalah para teman dan sekutu; mereka tidak berniat buruk." Ia menambahkan kata-kata lain, yang asing bagi Eragon.
Selama beberapa menit, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah suara sungai mengalir deras di belakang mereka, hingga dari bawah dedaunan yang tidak bergerak terdengar serangkaian kata dalam Bahasa Elvish, begitu cepat dan pelan hingga E
ragon tidak memahami artinya. Arya menjawab, "Benar."
Diiringi suara gemeresik, dua elf berdiri di tepi hutan dan dua lagi melompat ringan ke sebatang ek. Dua yang di tanah menyandang tombak panjang bermata pisau putih, sementara dua lainnya membawa busur. Semuanya mengenakan tunik berwarna lumut dan kulit kayu di balik jubah berkibar-kibar yang dijepitkan di bahu dengan bros gading. Yang satu berambut sehitam rambut Arya. Yang tiga lagi rambutnya seperti cahaya bintang.
Elf-elf itu berlompatan turun dari pohon dan memeluk Arya, tertawa dengan suara mereka yang jernih. Mereka bergandengan tangan dan menari mengelilingi Arya seperti anak-anak, bernyanyi riang sambil berputar di rerumputan.
Eragon memandangi dengan terpesona. Arya tidak pernah untuk berpikir bahwa elf senang--atau bahkan bisa--tertawa. Suaranya luar biasa, seperti suling dan harpa yang bergetar karena musiknya sendiri. Ia berharap bisa mendengarnya selamanya.
Lalu Saphira melayang ke sungai dan mendarat di samping Eragon. Saat ia mendekat, elf-elf itu berteriak terkejut dan mengarahkan senjata ke Saphira. Arya berbicara cepat dan dengan nada menenangkan, memberi isyarat mula-mula pada Saphira, lalu Eragon. Sewaktu ia berhenti sejenak untuk menarik napas, Eragon menanggalkan sarung tangan kanannya, memiringkan telapaknya hingga gedwey ignasia di sana kena cahaya bulan, dan berkata, seperti yang dulu dikatakannya pada Arya, "Eka fricai un Shur'tugal." Aku Penunggang dan teman. Teringat pelajarannya kemarin, ia menyentuh bibirnya, sambil menambahkan, "Atra esterni ono thelduin."
Elf-elf itu menurunkan senjata sementara wajah mereka yang bersegi berseri-seri karena suka cita. Mereka menempelkan jari telunjuk masing-masing ke bibir dan membungkuk pada Saphira dan Eragon, menggumamkan jawaban mereka dalam bahasa kuno.
Lalu mereka bangkit, menunjuk para kurcaci, dan tertawa seakan ada lelucon tersembunyi. Sambil berlari kembali ke dalam hutan, mereka melambai dan berseru, "Ayo, ayo!"
Eragon mengikuti bersama Saphira dan para kurcaci, yang menggerutu sendiri. Sewaktu mereka lewat di antara pepohonan, kanopi di atas kepala menyelimuti mereka dalam kegelapan bagai beludru, kecuali di tempat cahaya bulan menerobos sela-sela dedaunan yang saling menumpuk. Eragon bisa mendengar para elf berbisik dan tertawa di sekitarnya, sekalipun ia tidak bisa melihat mereka. Sesekali, mereka berseru memberitahukan arah saat ia atau para kurcaci salah arah.
Di depan, api berkobar dari balik pepohonan, melontarkan bayang-bayang yang berlomba bagai hantu menyeberangi lahan yang dipenuhi dedaunan. Sewaktu Eragon memasuki lingkaran cahaya api, ia melihat tiga gubuk kecil mengumpul di sekitar kaki pohon ek besar. Tinggi di atas pohon terdapat panggung beratap tempat penjaga bisa mengamati sungai dan hutan, Sebatang tiang diikat di antara dua gubuk itu: di sana tergantung berikat-ikat tanaman yang mengering.
Keempat elf itu menghilang ke dalam gubuk, lalu kembali membawa sepelukan buah dan sayuran--tapi tidak ada daging--dan mulai menyiapkan hidangan bagi tamu-tamu mereka.
Mereka bersenandung sambil bekerja, berpindah dari satu nada ke nada yang lain sesuka mereka. Sewaktu Orik menanyakan nama mereka, elf berambut hitam menunjuk dirinya sendiri dan berkata, "Aku Lifaen dari House Rilvenar. Dan rekan-rekanku ini Edurna, Celdin, dan Nari."
Eragon duduk di samping Saphira, gembira karena bisa beristirahat dan memandangi para elf. Sekalipun keempatnya pria, wajah mereka mirip wajah Arya, dengan bibir tipis, hidung ramping, dan mata miring yang besar dan bersinar di bawah alis matanya. Bagian tubuh mereka yang lain sama persis, dengan bahu sempit dan lengan serta kaki yang ramping. Masing-masing lebih mungil dan anggun daripada manusia mana pun yang pernah ditemui Eragon, dan sikap mereka unik dan eksotis.
Siapa pernah mengira aku akan mengunjungi tanah para elf" tanya Eragon dalam hati. Ia tersenyum dan menyandar ke sudut gubuk, mengantuk karena kehangatan api unggun. Di atasnya, mata biru Saphira menari-nari mengikuti para elf dengan ketepatan luar biasa.
Ras ini memiliki lebih b anyak sihir, kata Saphira akhirnya, daripada manusia atau kurcaci. Mereka tidak merasa berasal dari tanah atau batu, tapi dari alam lain, separo di dalam, separo di luar, seperti bayangan yang dilihat dari balik air.
Yang jelas mereka anggun, kata Eragon. Elf-elf itu bergerak leperti penari, setiap tindakan mereka halus dan lincah.
Brom pernah memberitahu Eragon bahwa tidak sopan bagi siapa pun untuk membicarakan pikiran mereka secara langsung kepada naga Penunggang tanpa izin, dan para elf itu mematuhi kebiasaan tersebut, mengucapkan keras-keras berbagai komentar mereka pada Saphira, yang lalu menjawab langsung pada elf-elf itu. Saphira biasanya menahan diri tidak menyentuh benak manusia dan kurcaci, dan membiarkan Eragon menyampaikan kata-katanya, karena hanya sedikit anggota ras-ras itu yang terlatih menjaga pikiran ketika mereka menginginkan privasi. Rasanya juga tidak layak menggunakan bentuk kontak sepribadi itu untuk percakapan biasa. Tapi para elf tidak memiliki keterbatasan tersebut; mereka menyambut Saphira dalam benak mereka, memuja kehadirannya.
Akhirnya hidangan matang dan disajikan dalam piring-piring berukir yang terasa seperti tulang padat, sekalipun urat kayu terlihat di sela-sela ukiran bunga dan sulur yang menghiasi tepinya. Eragon juga mendapat segelas anggur gooseberry--dibuat dari bahan yang sama tidak biasanya--dengan ukiran naga meliliti gagangnya.
Sementara mereka makan, Lifaen mengeluarkan serangkaian pipa dan melantunkan melodi yang menghanyutkan, jemarinya menari-nari di berbagai lubangnya. Tidak lama kemudian elf berambut perak terjangkung, Nari, mulai bernyanyi:
0! Hari sudah berlalu; bintang-bintang cemerlang;
Dedaunan tidak bergerak; bulan putih!
Tertawalah sesuka hati dan tertawakan musuh,
Anak-anak Menoa aman malam ini!
Kita kehilangan anak hutan untuk berjuang;
Putri hutan ditangkap kehidupan;
Terbebas dari ketakutan dan terbebas dari api;
Ia merenggut Penunggang dari hamparan kegelapan!
Sekali lagi naga-naga membubung pada sayap mereka,
Dan kami membalas penderitaan mereka!
Pedang yang kuat dan lengan yang kuat,
Waktunya tiba bagi kami untuk membunuh raja!
0! Angin lembut; sungai dalam;
Pepohonan tinggi; burung-burung tidur!
Tertawalah sesuka hati dan tertawakan musuh,
Tiba waktunya menuai sukacita!
Sesudah Nari selesai, Eragon mengembuskan napasnya yang tertahan. Ia belum pernah mendengar suara seperti itu; rasanya seolah elf tersebut mengungkapkan intisari dirinya, jiwanya. "indah sekali, Nari-vodhr."
"Komposisi yang kasar, Argetlam," kata Nari. "Tapi tetap saja aku berterima kasih."
Thorv mendengus. "Sangat cantik, Master Elf. Tapi, ada hal-hal yang lebih serius yang harus kita tangani daripada mengutip ayat-ayat. Apakah kami harus menemani Eragon lebih jauh lagi""
"Tidak," kata Arya tergesa-gesa, menarik pandangan dari elf-elf yang lain. "Kalian boleh pulang besok pagi. Kami akan memastikan Eragon tiba di Ellesmera."
Thorv menunduk. "Kalau begitu tugas kami selesai."
Saat membaringkan diri di ranjang yang disiapkan para elf baginya, Eragon berusaha keras mendengar kata-kata Arya, yang terdengar dari salah satu gubuk. Sekalipun Arya menggunakan banyak kata asing dalam bahasa kuno, Eragon menduga Arya tengah menjelaskan kepada para tuan rumahnya bagaimana ia kehilangan telur Saphira dan kejadian-kejadian yang berlangsung sesudahnya. Timbul kesunyian panjang sesudah Arya berhenti, lalu seorang elf berkata, "Senang kau kembali, Arya Drottningu. Islanzadi sangat berduka sewaktu kau tertangkap dan telurnya dicuri, apalagi oleh para Urgal! Ia sakit hati--hingga sekarang."
"Huss, Edurna... huss," tegur yang lain. "Dvergar kecil, tapi mereka memiliki telinga yang tajam, dan aku yakin ini akan dilaporkan pada Hrothgar."
Lalu suara mereka bertambah pelan dan Eragon tidak lagi bisa membedakan gumaman-gumaman yang terdengar, yang menyatu dengan bisikan dedaunan sementara ia tertidur, lagu elf tadi berulang-ulang dalam mimpinya.
Bau bunga sangat tebal di udara sewaktu Eragon terjaga untuk menyaksikan Du Weldenvarden yang bermandikan cahaya matahari. Di atasnya mele
ngkung atap dedaunan, didukuh batang-batang besar yang membenamkan diri di tanah yahg kering dan telanjang. Hanya lumut, pakis, dan beberapa sesemakan rendah yang bertahan dalam keteduhan itu. Jarangnya sesemakan menyebabkan ia bisa melihat hingga jauh di sela pilar-pilar yang saling menjalin dan berjalan bebas di bawah langit-langit daun.
Sewaktu berjalan, Eragon mendapati Thorv dan para peng. awalnya telah berkemas-kemas dan siap berangkat. Keleda; Orik terikat di belakang tunggangan Ekksvar. Eragon mendekati Thorv dan berkata, "Terima kasih, kalian semua, karena sudah melindungi diriku dan Saphira. Tolong sampaikan rasa terima kasih kami pada Undin."
Thorv menekankan tinjunya ke dada. "Akan kusampaikan pesanmu." Ia ragu-ragu dan memandang gubuk-gubuk. "Elf ras yang aneh, penuh cahaya dan kegelapan. Di pagi hari, mereka minum bersamamu; di malam hari, mereka menusukmu. Jaga dirimu baik-baik, Shadeslayer. Mereka sulit ditebak."
"Akan kuingat pesanmu."
"Mmm." Thorv memberi isyarat ke arah sungai. "Mereka berencana pergi ke Danau Eldor dengan perahu. Akan kauapakan kudamu" Kami bisa membawanya kembali ke Tarnag bersama kami, dan dari sana, ke Tronjheim."
"Perahu!" seru Eragon kecewa. Tadinya ia merencanakan membawa Snowfire ke Ellesmera. Rasanya menyenangkan untuk memiliki kuda saat Saphira tidak berada di dekatnya, atau di tempat-tempat yang terlalu sempit bagi sosok Saphira. Ia mengelus bakal janggut di rahangnya. "Tawaran yang baik. Maukah kau memastikan Snowfire dirawat dengan baik" Aku tidak akan tahan kalau terjadi apa-apa padanya."
"Demi kehormatanku," kata Thorv, "kau akan mendapatinya gemuk dan lincah saat kembali nanti."
Eragon mengambil Snowfire dan mengalihkan kuda itu, pelananya, dan peralatan perawatannya ke tangan Thorv. Ia mengucapkan selamat jalan pada setiap pejuang, lalu ia, Saphira, dan Orik mengawasi para kurcaci itu menunggang keledai masing-masing menyusuri jalan setapak tempat merek datang tadi.
Sesudah kembali ke gubuk, Eragon dan sisa rombongannya mengikuti para elf ke rumpun di tepi Sungai Edda. Di sana, terikat di kedua sisi sebongkah batu besar, terdapat dua kano putih besar berukiran sulur-suluran di sisinya.
Eragon naik ke perahu terdekat dan meletakkan ransel di bawah kaki. Ia terpesona ketika menyadari betapa ringan perahu itu; ia bisa mengangkatnya dengan satu tangan. Yang lebih mengejutkan lagi, lunasnya tampak terbuat dari panel-panel kulit pohon birch yang digabung menjadi satu kesatuan yang utuh. Dengan penasaran, ia menyentuh sisi-sisi perahu. Kulit kayunya terasa keras dan kencang, seperti perkamen yang direntangkan, dan sejuk akibat bersentuhan dengan air. Ia mengetuknya dengan buku jari. Papan berserat itu bergetar seperti drum teredam.
"Apa semua perahu kalian dibuat seperti ini"" tanyanya.
"Semua kecuali yang paling besar," jawab Nari, sambil duduk di haluan perahu Eragon. "Untuk yang itu, kami bernyanyi pada cedar dan ek terbaik hingga terbentuk."
Sebelum Eragon sempat menanyakan apa maksud elf itu, Orik menggabungkan diri di kano mereka sementara Arya dan Lifaen menempati kano kedua. Arya berpaling pada Edurna dan Celdin--yang berdiri di tepi sungai--lalu berkata, "Jaga jalan ini agar tidak ada yang mengikuti kami, dan jangan beritahu siapa pun mengenai kehadiran kami. Harus Ratu yang pertama kali tahu. Aku akan mengirim pasukan tambahan begitu kami tiba di Silthrim."
"Arya Drottningu."
"Semoga bintang-bintang mengawasi kalian!" jawab Arya.
Sambil membungkuk ke depan, Nari dan Lifaen mengambil tongkat-tongkat sepanjang sepuluh kaki yang ditajamkan dari dalam perahu dan mendorong perahu ke hulu. Saphira masuk ke air di belakang mereka dan berjalan di dasar sungai hingga mereka Sejajar. Sewaktu Eragon memandangnya, Saphira mebgerlapkan sebelah mata dengan malas, lalu menyelam, membuat sungai meninggi melewati punggungnya yang bergerigi. Para elf tertawa sewaktu ia berbuat begitu dan memuji ukuran serta kekuatannya.
Sesudah satu jam, mereka tiba di Danau Eldor, yang tertutup ombak-ombak kecil. Berbagai burung dan nyamuk beterbangaa dekat deretan pepohonan di tepi
barat, sementara tepi timurnya miring ke dataran. Di sisi itu berkeliaran ratusan rusa.
Begitu mereka lepas dari arus sungai, Nari dan Lifaen menyimpan tongkatnya, lalu membagikan dayung berbilah daun, Orik dan Arya tahu cara mengendalikan perahu, tapi No harus menjelaskan prosesnya pada Eragon. "Kita berbelok ke sisi mana pun kau mendayung," kata elf itu. "Jadi kalau aku mendayung di sisi kanan dan Orik mendayung di sisi kiri, kau harus mendayung di satu sisi terlebih dulu lalu di sisi yang lain, kalau tidak kita akan menyimpang." Di siang hari, rambut Nari tampak berpendar seperti kawat sangat halus, setiap helainya membara.
Dalam waktu singkat Eragon menguasai keahlian itu, dan seiring dengan terbiasanya ia dengan gerakan itu, benaknya jadi bebas untuk melamun. Dengan begitu, ia mengapung di permukaan danau yang sejuk, tenggelam dalam dunia fantastis yang tersembunyi di balik matanya. Sewaktu diam sejenak untuk mengistirahatkan lengannya, ia mengeluarkan lagi cincin teka-teki Orik dari sabuknya dan bersusah payah menata cincin-cincin emas keras kepala itu ke dalam pola yang benar.
Nari menyadari apa yang dilakukannya. "Boleh kulihat cincin itu""
Eragon memberikan cincin itu kepada si elf, yang berbalik. Selama beberapa saat, Eragon dan Orik mengendalikan kano sementara Nari berusaha memecahkan cincin yang berkaitan tersebut. Lalu, sambil berseru gembira, Nari mengangkat tangan, dan cincin yang utuh berkilau di jari tengahnya. "Teka-teki yang menyenangkan," kata Nari. Ia menanggalkan cincin itu dan mengguncangnya, hingga keadaannya kembali seperti semula sewaktu ia mengembalikannya pada Eragon.
"Bagaimana caramu memecahkannya"" tanya Eragon, kecewa dan iri karena Nari mampu menguasai teka-teki itu demikian mudah. "Tunggu... Jangan beritahukan. Aku mau menebaknya sendiri."
"Tentu saja," kata Nari, sambil tersenyum.
LUKA MASA LALU Selama tiga setengah hari, para penduduk Carvahall membicarakan serangan terakhir, tragedi kematian Elmund muda, dan apa yang mungkin bisa dilakukan untuk meloloskan diri dari bencana yang mereka hadapi. Perdebatan pahit dan penuh kemarahan berlangsung di setiap ruangan di setiap rumah. Dengan sepatah kata, teman bisa berbalik menjadi lawan, suami berselisih dengan istri, anak-anak menentang orangtua, tapi berbaik kembali beberapa saat kemudian dalam usaha panik untuk menemukan cara bertahan hidup.
Ada yang mengatakan bahwa karena Carvahall toh akan tetap hancur, mungkin sebaiknya mereka membunuh Ra'zac dan para prajurit yang tersisa sehingga setidaknya mereka bisa membalas dendam. Yang lain mengatakan kalau Carvahall memang benar-benar sudah ditakdirkan hancur, maka satusatunya tindakan yang logis adalah menyerah dan memasrahkan diri pada belas kasihan Raja, sekalipun itu berarti siksaan dan kematian bagi Roran dan perbudakan bagi semua orang lainnya. Tapi ada juga orang-orang yang tidak menyetujui kedua pendapat itu, dan memilih merasa marah terhadap setiap orang yang menimbulkan bencana ini. Banyak yang berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kepanikan mereka dengan minuman keras.
Ra'zac sendiri tampak menyadari bahwa dengan kematian sebelas prajurit, mereka tidak lagi memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menyerang Carvahall, dan dengan begitu mengundurkan diri semakin jauh di jalan. Mereka cukup puas dengan mendirikan sejumlah pos penjagaan di seantero Lembah Palancar dan menunggu. "Menunggu pasukan dari Ceunon atau Gil'ead, kalau kalian tanya pendapatku," kata Lorinn pada suatu pertemuan. Roran mendengarkan pendapat itu dan yang lainnya, menyimpan pikirannya sendiri, dan diam-diam mempertimbangkan berbagai rencana. Semua tampak terlalu berisiko dan berbahaya.
Roran masih belum memberitahu Sloan bahwa dirinya dan Katrina telah bertunangan. Ia tahu menunggu merupakan tin. dakan bodoh, tapi ia takut akan reaksi si tukang jagal kalau mengetahui Roran dan Katrina telah melanggar tradisi dan, dengan begitu, menyepelekan kewenangan Sloan. Lagi pula ada banyak pekerjaan untuk mengalihkan perhatian Roran; ia meyakinkan diri bahwa memperkuat pertahanan di sekeliling Carvahall merupakan
tugas terpentingnya saat ini.
Mendapatkan bantuan dari orang-orang ternyata lebih mudah daripada dugaan Roran. Sesudah pertempuran terakhir, para penduduk desa lebih bersedia mendengarkan dan mematuhi dirinya-tepatnya, mereka yang tidak menyalahkan dirinya atas kesialan yang menimpa mereka. Ia bingung dengan kewenangan barunya, hingga menyadari bahwa kewenangan itu timbul akibat keterpesonaan, penghormatan, dan mungkin bahkan ketakutan karena pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya. Mereka memanggilnya Stronghammer--Martil Kuat. Roran Stronghammer.
Ia senang dengan nama itu.
Saat malam menyelimuti lembah, Roran bersandar ke sudut ruang makan Horst, matanya terpejam. Percakapan terus mengalir di antara para pria dan wanita di sekeliling meja yang diterangi lilin. Kiselt tengah menjelaskan kondisi persediaan Carvahall. "Kita tidak akan kelaparan," katanya mengakhiri, "tapi kalau tidak bisa segera mengurus ladang dan ternak sebaiknya kita gorok leher kita sendiri sebelum musim dingin yang akan datang. Itu nasib yang lebih baik."
Horst merengut. "Tahi kucing!"
"Tahi kucing atau bukan," kata Gertrude, "aku ragu kita akan mendapat kesempatan untuk mengetahuinya. Perbandingan kita dengan para prajurit sepuluh banding satu sewaktu mereka tiba. Mereka kehilangan sebelas orang; kita kehilangan dua belas, dan aku merawat sembilan orang lainnya yang luka. Apa yang akan terjadi, Horst, saat jumlah mereka terbanyak daripada kita sepuluh banding satu""
"Kita beri alasan pada keparat-keparat itu untuk mengingat nama kita," balas si tukang besi. Gertrude menggeleng sedih.
Loring menghantam meja dengan tinju. "Dan menurutku sekarang giliran kita untuk menyerang, sebelumn kita kalah banyak. Kita hanya membutuhkan beberapa orang, perisai, dan tombak, maka kita akan bisa menyapu hama seperti mereka. Kita bisa melakukannya malam ini!"
Roran bergerak gelisah. Ia pernah mendengar semua ini, dan seperti sebelumnya, usulan Loring memicu perdebatan yang melanda seluruh kelompok. Sesudah satu jam, perdebatan masih tidak menunjukkan tanda-tanda mencapai kesepakatan, juga tidak ada gagasan baru yang diutarakan, kecuali saran Thane agar Gedric menyamak kulitnya sendiri, yang nyaris memicu perkelahian.
Akhirnya, sewaktu percakapan mereda, Roran tertatih-tatih mendekati meja secepat yang bisa dilakukannya dengan kaki terluka. "Ada yang ingin kukatakan." Baginya ini seperti menginjak duri panjang dan langsung mencabutnya tanpa memikirkan sakitnya; ia harus melakukannya, dan semakin cepat semakin baik.
Semua mata--dengan ekspresi keras, lunak, marah, ramah, tak acuh, dan penasaran-berpaling kepadanya, dan Roran menghela napas dalam. "Tidak ada keputusan akan membunuh kita sepasti pedang atau anak panah." Orval memutar bola mata, tapi yang lain masih mendengarkan. "Aku tidak tahu apakah kita sebaiknya menyerang atau melarikan diri--"
"Ke marta"" dengus Kiselt.
"--tapi aku tahu satu hal: para anak, ibu, dan teman kita yang terluka harus dilindungi dari bahaya. Ra'zac menghalangi jalan kita ke rumah Cawley dan tanah pertanian lain di lembah. Jadl apa" Kita lebih men genal tanah ini daripada siapa pun di Alagaesia, dan ada satu tempat... ada satu tempat di mana orang-orang terkasih kita akan aman: Spine."
Roran meringis saat teriakan-teriakan kemarahan menyerangnya. Sloan yang paling keras, berseru, "Lebih baik aku digantung sebelum menjejakkan satu kaki pun di pegunungan terkutuk itu!"
"Roran," kata Horst, mengalahkan keributan. "Kau, di antara semua orang, seharusnya paling tahu Spine terlalu berbahaya--di sanalah Eragon menemukan batu yang memicu kedatangan Ra'zac! Pegunungan itu dingin dan penuh serigala, beruang, dan monster-monster lain. Kenapa kau bahkan menyebutnya""
Agar Katrina aman! Roran ingin meneriakkannya. Tapi ia malah berkata, "Karena berapa pun prajurit yang bisa dikerahkan Ra'zac, mereka tidak akan pernah berani memasuki Spine. Tidak sesudah Galbatorix kehilangan separo pasukannya di sana."
"Sudah lama sekali," kata Mom ragu-ragu.
Roran segera menerkam pernyataan itu. "Dan kisah-kisahnya tumbuh semakin menakutkan! Ada jalan
setapak ke puncak Air Terjun Igualda. Kita hanya perlu mengirim anak-anak dan yang lainnya ke sana. Mereka cuma akan berada di tepi pegunungan, tapi mereka tetap aman. Kalau Carvahall berhasil dikuasai, mereka bisa menunggu hingga para prajurit pergi, lalu mencari perlindungan di Therinsford."
"Terlalu berbahaya," kata Sloan. Si tukang daging mencengkeram tepi meja begitu keras hingga ujung jemarinya memutih. "Dinginnya, hewan-hewan buasnya. Tidak ada orang waras yang bersedia mengirimkan keluarganya ke sana.
"Tapi...." Roran bimbang, tidak siap mendengar reaksi Sloan. Sekalipun tahu si tukang daging lebih membenci Spine dibandingkan yang lain--karena istrinya tewas akibat jatuh dari tebing di samping Air Terjun Igualda--tadinya ia berharap keinginan Sloan melindungi Katrina cukup kuat untuk mengalahkan ketakutannya. Roran sekarang memahami ia harus merebut kepercayaan Sloan seperti ia merebut kepercayaan semua orang lainnya. Dengan nada membujuk, Roran berkata, "Tidak seburuk itu. Salju sudah mulai mencair dari puncak. Udara di Spine tidak lebih dingin daripada di sini beberapa bulan yang lalu. Dan aku ragu serigala atau beruang akan mengusi kelompok sebesar itu."
Sloan mengernyit, mengerutkan bibir, dan menggeleng. "Kau tidak akan menemukan apa-apa kecuali kematian di Spine."
Yang lain tampak setuju, tapi justru malah memperkuat kebulatan tekad Roran, karena ia yakin Katrina akan tewas kalau ia tak bisa membujuk mereka. Ia mengamati wajah-wajah oval dan panjang di sekitarnya, mencari ekspresi simpati. "Delwin, aku tahu kejam sekali aku mengatakannya, tapi seandainya Elmund tidak berada di Carvahall, ia pasti masih hidup. Kau tentu setuju ini tindakan yang benar! Kau memiliki kesempatan menyelamatkan orangtua-orangtua lainnya dari penderitaan seperti yang kau alami."
Tidak ada yang menjawab. "Dan Birgit!" Roran memaksa diri mendekati wanita itu, mencengkeram punggung kursi agar tidak jatuh. "Kau mau Nolfavrell mengalami nasib yang sama seperti ayahnya" Ia harus pergi. Apa kau tidak bisa memahami, ini satu-satunya cara agar Nolfavrell aman"" Sekalipun mencoba sebaik-baiknya menahannya, Roran bisa merasakan air mata membanjiri matanya. "Ini demi anak-anak!" teriaknya marah.
Ruangan sunyi sementara Roran menatap kayu di bawah tangannya, berusaha keras mengendalikan diri. Delwin yang pertama kali bergerak. "Aku tidak akan pernah meninggalkan Carvahall selama para pembunuh putraku masih di sini. Tapi," ia diam sejenak, lalu melanjutkan dengan kelambatan yang menyakitkan, "aku tidak bisa mengingkari kebenaran kata-katamu; anak-anak harus dilindungi."
"Seperti yang kukatakan sejak awal," kata Tara.
Lalu Baldor berbicara, "Roran benar. Kita tidak bisa membiarkan diri kita dibutakan ketakutan. Sebagian besar dari kita pernah mendaki ke puncak air terjun itu. Tempat tersebut cukup aman."
"Aku juga," kata Birgit, akhirnya menambahkan, "harus setuju "
Horst mengangguk. "Aku lebih suka tidak melakukannya, tapi mengingat situasinya... kurasa kita tidak memiliki pilihan lain." Semenit kemudian, para pria dan wanita mulai menyetujui usul itu dengan enggan.
Omong kosong!" raung Sloan. Ia berdiri dan menunjuk Roran dengan sikap menuduh. "Bagaimana cara mereka mendapatkan cukup makanan untuk menunggu hingga berminggu-minggu" Mereka tidak bisa membawanya. Bagaimana cara mereka agar tetap hangat" Kalau menyalakan api unggun mereka akan terlihat! Bagaimana, bagaimana, bagaimana" Kalau tidak kelaparan, mereka mati beku. Kalau tidak mati beku, mereka akan disantap. Kalau mereka tidak disantap... Siapa tahu" Mereka mungkin jatuh!"
Roran membentangkan lengan. "Kalau kita semua membantu mereka akan memiliki banyak makanan. Api tidak akan jadi masalah kalau mereka masuk lebih jauh ke dalam hutan, yang harus mereka lakukan, karena tidak cukup ruang untuk berkemah di dekat air terjun."
"Alasan! Pembenaran!"
"Menurutmu apa yang harus kita lakukan, Sloan"" tanya Morn, menatap si tukang daging dengan pandangan ingin tahu.
Sloan tertawa pahit. "Bukan ini."
"Kalau begitu apa""
"Tidak penting. Hanya saja ini pilihan yang salah." "Kau tid
ak harus ikut," kata Horst.
"Aku juga tidak ingin ikut," kata si tukang daging. "Lanjutkan saja kalau kalian mau, tapi aku atau keturunanku tidak akan memasuki Spine selama masih ada sumsum di tulangku." Ia menyambar topinya dan berlalu sambil memelototi Roran, yang membalas dengan sikap yang sama.
Menurut Roran, Sloan membahayakan Katrina dengan sikap keras kepalanya yang bodoh. Kalau ia tidak bisa membuat dirinya menerima bahwa Spine merupakan tempat pengungsian, pikir Roran mengambil keputusan, ia jadi musuhku dan aku harus menangani sendiri masalah ini.
Horst mencondongkan tubuh ke depan pada sikunya dan mengatupkan jari-jarinya yang tebal. "Nah... Kalau kita akan menggunakan rencana Roran, persiapan apa yang dibutuhkan" Mereka berpandangan dengan waspada, lalu mulai mendiskusikan hal itu.
Roran menunggu hingga yakin ia tujuannya telah tercapai sebelum keluar dari ruang makan. Dengan tertatih-tatih melintasi desa yang temaram, ia mencari Sloan di batas dalam dinding pohon. Akhirnya ia melihat si tukang daging jongkok di bawah suluh, perisainya terikat di lutut. Roran berputar pada satu kaki dan berlari ke toko Sloan, bergegas ke dapur di belakang.
Katrina berhenti menata meja dan menatap Roran dengan tertegun. "Roran! Kenapa kau kemari" Apakah kau sudah memberitahu Ayah""
"Belum." Roran mendekat dan meraih lengan Katrina, menikmati sentuhannya. Sekadar berada dalam ruangan yang sama dengan Katrina saja mampu memenuhinya dengan perasaan suka cita. "Ada pertolongan besar yang harus kuminta darimu. Sudah diputuskan untuk mengirim anak-anak dan beberapa orang lainnya ke Spine, ke atas Air Terjun Igualda." Katrina tersentak. "Kuminta kau menemani mereka."
Dengan ekspresi kaget, Katrina menarik tangannya hingga lepas dan berbalik memandang perapian yang terbuka. Ia memeluk diri dan menatap api yang berkobar. Lama ia tidak mengatakan apa-apa. Lalu: "Ayah melarangku pergi ke air terjun itu sesudah Ibu meninggal. Tanah pertanian Albem adalah tempat terdekat dengan Spine yang pernah kukunjungi selama lebih dari sepuluh tahun." Ia bergidik, dan nadanya berubah menuduh. "Bagaimana kau bisa tega menyarankan aku meninggalkan kau dan ayahku sekaligus" Ini rumahku, juga rumahmu. Dan kenapa aku harus pergi sementara Elain, Tara, dan Birgit tetap tinggal""
"Katrina, tolong." Roran dengan hati-hati menyentuh bahu Katrina. "Ra'zac kemari mencariku, dan aku tidak ingin kau terluka karenanya. Selama kau terancam bahaya, aku tidak bisa memusatkan perhatian pada apa yang harus dilakukan: mempertahankan Carvahall."
"Siapa yang akan menghormatiku kalau aku melarikan diri seperti pengecut"" Katrina mengangkat dagu. "Aku akan malu menghadapi para wanita Carvahall dan mengaku sebagai istrimu"
Pengecut" Tidak ada kepengecutan dalam menjaga dan melindungi anak-anak di Spine. Bahkan memasuki pegunungan membutuhkan keberanian yang lebih besar daripada tetap tinggal."
"Kengerian apa ini"" bisik Katrina. Ia meronta dalam pelukan Roran, matanya berkilau dan mulutnya kaku. "Orang yang akan menjadi suamiku tidak lagi menginginkan aku di sisinya."
Roran menggeleng. "Itu tidak benar. Aku--"
"Benar! Bagaimana kalau kau terbunuh sementara aku tidak ada""
"Jangan berkata--"
"Tidak! Kecil harapan Carvahall bisa selamat, dan kalau kit, harus mati, aku lebih suka mati bersama daripada meringkuk di Spine tanpa kehidupan atau hati. Biar mereka yang bersama anak-anak menjaga diri mereka sendiri. Seperti aku juga," Air mata bergulir di pipinya.


Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rasa syukur dan takjub melanda diri Roran ketika melihat pengabdian Katrina. Ia menatap dalam-dalam mata gadis itu, "Demi cinta itulah aku ingin kau pergi. Aku tahu perasaanmu. Aku tahu ini pengorbanan terbesar yang bisa dilakukan salah satu dari kita, dan kuminta kau melakukannya sekarang."
Katrina menggigil, seluruh tubuhnya kaku, kedua tangannya yang putih mencengkeram erat sabuk muslinnya. "Kalau kulakukan," katanya dengan suara gemetar, "kau harus berjanji padaku, sekarang juga, bahwa kau tidak akan pernah mengajukan permintaan seperti itu lagi. Kau harus berjanji bahwa kalau kita menghadapi Galbatorix s
endiri sekalipun dan hanya salah satu dari kita yang bisa lolos, kau tidak akan memintaku pergi."
Roran memandangnya tanpa daya. "Tidak bisa."
"Kalau begitu, bagaimana kau bisa mengharapkan aku melakukan apa yang kau sendiri tidak mau melakukannya"" jerit Katrina. "Itu imbalan bagiku, dan tidak ada emas atau perhiasan atau kata-kata indah yang bisa menggantikan sumpahmu. Kalau kau tidak cukup peduli padaku untuk melakukan pengorbananmu sendiri, Roran Stronghammer, pergilah, dan aku tidak ingin bertemu denganmu lagi!"
Aku tidak bisa kehilangan dirinya. Sekalipun nyaris tidak tahu menanggung kesengsaraannya, Roran menunduk dan berkata, "Aku berjanji."
Katrina mengangguk dan duduk di kursi--punggunpya kaku dan tegak--dan mengeringkan air matanya dengan pergelangan tangan bajunya. Dengan suara pelan ia berkata, "Ayah pasti tidak suka dengan kepergianku."
"Bagaimana kau akan memberitahunya""
"Tidak akan kuberitahu," kata Katrina dengan sikap menantang. "Ia tidak akan pernah mengizinkan aku masuk ke Spine, tapi ia tidak bakal berani mengejarku ke pegunungan; ia lebih takut pada pegunungan itu daripada pada kematian."
"Ia mungkin lebih takut lagi kehilangan dirimu."
"Kita lihat saja. Jika--kalau--tiba saat untuk kembali, kuharap kau sudah membicarakan pertunangan kita padanya. Dengan begitu ia seharusnya memiliki cukup waktu untuk menerima faktanya."
Roran mengangguk setuju, sambil berpikir bahwa mereka beruntung kalau semua berjalan sebaik itu.
LUKA-LUKA MASA KINI Saat subuh tiba, Roran terjaga dan berbaring menatap langit-langit putih sambil mendengarkan helaan pelan napasnya sendiri. Semenit kemudian, ia berguling turun dari ranjang, berpakaian, dan berjalan ke dapur. Ia mengambil sepotong roti, mengolesinya dengan keju lunak, lalu melangkah ke serambi depan untuk makan dan menikmati matahari terbit.
Ketenangannya tak lama kemudian dikacaukan sekawanan anak kusut yang berlarian menerobos kebun rumah sebelah, menjerit-jerit gembira memainkan Tangkap-si-Kucing, diikuti sejumlah orang dewasa yang berniat menangkap anak masing-masing. Roran memandangi rombongan yang ribut itu menghilang di balik tikungan, lalu memasukkan potongan roti terakhir ke mulutnya dan kembali ke dapur, yang telah dipenuhi para penghuni rumah lainnya.
Elain menyapanya. "Selamat pagi, Roran." Ia mendorong daun jendela dan menatap ke langit. "Tampaknya hujan akan turun lagi."
"Semakin deras semakin baik," kata Horst. "Dengan begitu kita tetap tersembunyi saat mendaki Pegunungan Narnmor."
"Kita"" tanya Roran. Ia duduk di meja di samping Albriech, yang masih menggosok-gosok matanya untuk mengusir kantuk.
Horst mengangguk. "Sloan benar mengenai makanan d pasokan; kita harus membantu membawanya ke air terjun, kalau tidak, takkan mencukupi."
"Apa masih akan ada orang-orang untuk mempertahankan Carvahall""
"Tentu saja, tentu saja.
Begitu mereka semua telah sarapan, Roran membantu Baldor dan Albriech membungkus makanan, selimut, dan persediaan menjadi tiga buntalan besar. Mereka lalu menyandangnya di bahu dan membawanya ke ujung utara desa. Betis Roran menyiksanya, tapi ia masih mampu menahan sakitnya. Di perjalanan mereka bertemu tiga bersaudara Darmmen, Larne, dan Hamund, yang juga membawa beban.
Tepat di dalam parit yang mengelilingi rumah-rumah, Roran dan rekan-rekannya mendapati serombongan besar anak-anak, orangtua, dan kakek-nenek yang sibuk mengorganisir ekspedisi ini. Beberapa keluarga meminjamkan keledai mereka untuk membawa barang-barang dan anak-anak yang lebih muda; hewan-hewan itu diikat dalam barisan yang kacau dan tidak sabar, menambah kebingungan.
Roran meletakkan buntalan di tanah dan mengamati kelompok itu. Ia melihat Svart--paman Ivor dan, dengan usia hampir enam puluh tahun, merupakan pria tertua di Carvahall--duduk di setumpuk pakaian, menggelitik bayi dengan ujung janggut berubannya yang panjang; Nolfavrell, yang dijaga Birgit; Felda, Nolla, Calitha, dan sejumlah ibu lain yang tampak khawatir; serta banyak orang yang enggan lainnya. Roran juga melihat Katrina di antara keramaian. Katrina menengadah dari bungkusan yang te
ngah diikatnya dan tersenyum pada Roran, lalu kembali melakukan tugas.
Karena tampaknya tidak ada yang memimpin, Roran berusaha sebaik-baiknya untuk mengatasi kekacauan dengan mengawasi penataan dan pengemasan berbagai pasokan. Ia mendapati kantong air ternyata masih kurang, tapi sewaktu meminta lagi, ia justru mendapat tiga belas kantong terlalu banyak. Penundaan-penundaan seperti itulah yang menghabiskan pagi hari.
Saat berdiskusi dengan Loring mengenai kemungkinan perlunya sepatu tambahan, Roran berhenti saat melihat Sloan berdiri di mulut lorong.
Tukang daging itu menatap kesibukan di depannya. Kesebalan terlihat jelas dari bibirnya yang mencibir. Ekspresinya berubah menjadi ketertegunan sekaligus kemurkaan sewaktu ia melihat Katrina, yang menyandang bungkusan, menghapus kemungkinan apa pun bahwa kehadirannya di sana sekadar untuk membantu. Pembuluh darah di tengah dahi Sloan berdenyut-denyut.
Roran bergegas mendekati Katrina, tapi Sloan mencapainya lebih dulu. Sloan menyambar bagian atas bungkusan dan mengguncangnya kuat-kuat, sambil berteriak, "Siapa yang memaksamu berbuat begitu"" Katrina mengatakan sesuatu tentang anak-anak dan mencoba membebaskan diri, tapi Sloan menyentakkan bungkusannya--memuntir lengan Katrina dan tali bungkusan pun terlepas dari bahunya--dan melemparkannya ke tanah hingga isinya berhamburan. Sambil terus berteriak, Sloan menyambar lengan Katrina dan menyeretnya pergi. Katrina menjejakkan tumit dan melawan, rambut tembaganya terurai di wajahnya seperti badai debu.
Dengan murka Roran menerjang Sloan dan menjauhkannya dari Katrina, mendorong dada tukang daging itu hingga ia terhuyung ke belakang beberapa yard. "Hentikan! Aku yang ingin ia pergi."
Sloan memelototi Roran dan meraung, "Kau tidak berhak!"
"Aku berhak sepenuhnya." Roran memandang penonton yang berkerumun di sekitarnya dan berbicara cukup keras agar semua bisa mendengar: "Katrina dan aku telah bertunangan, dan aku tidak akan membiarkan calon istriku diperlakukan seperti itu!" Untuk pertama kalinya hari itu, para penduduk desa membisu sepenuhnya; bahkan keledai-keledai pun tidak bersuara.
Keterkejutan dan kesakitan mendalam yang tak tersembuhkan terpancar di wajah Sloan, bersama kilau air mata. Selenak Roran bersimpati padanya, lalu serangkaian kernyitan mengubah wajah Sloan, setiap kali lebih buruk dari sebelumnya hingga wajahnya berubah merah padam. Ia memaki dan berkata, "Dasar pengecut bermuka dua! Bagaimana kau bisa menatap mataku dan berbicara seperti orang jujur sementara, pada saat yang sama, kau merayu putriku tanpa izin" Kuhadapi kau dengan niat baik, tapi ternyata kau merusak rumahku tanpa sepengetahuanku."
"Tadinya aku berharap bisa melakukannya dengan benar," kata Roran, "tapi peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak mendukungku. Aku tak pernah berniat membuatmu sedih. Sekalipun segalanya tidak berjalan seperti yang kita harapkan, aku masih mengharapkan restumu, kalau kau bersedia memberikannya."
"Lebih baik aku punya menantu babi penuh belatung daripada kau! Kau tidak memiliki tanah pertanian. Kau tidak memiliki keluarga. Dan kau tidak boleh berhubungan dengan putriku!" Si tukang daging kembali memaki. "Dan ia tidak boleh pergi ke Spine!"
Sloan meraih Katrina, tapi Roran menghalanginya, wajahnya sama kerasnya dengan tinjunya yang terkepal. Dengan jarak yang sangat dekat, mereka saling menatap, gemetar akibat kuatnya emosi masing-masing. Mata Sloan yang merah tampak penuh kegilaan.
"Katrina, kemari," kata Sloan.
Roran menjauhi Sloan--hingga mereka bertiga membentuk segitiga--dan memandang Katrina. Air mata mengalir di wajah gadis itu saat ia memandang Roran dan ayahnya bergantian. Ia maju, ragu-ragu, lalu sambil menangis gusar, ia menarik rambutnya karena kebingungan.
"Katrina!" seru Sloan agak takut.
"Katrina," gumam Roran.
Mendengar suara Roran, air mata Katrina berhenti mengalir dan ia berdiri tegak, tenang. Ia berkata, "Maafkan aku, Ayah, tapi aku sudah memutuskan untuk menikah dengan Roran," dan melangkah ke samping Roran.
Sloan berubah pucat pasi. Ia menggigit bibir begitu keras hingga setetes darah m
uncul. "Kau tidak bisa meninggalkanku! Kau putriku!" Ia menerjang Katrina dengan jemari siap mencakar. Pada saat itu, Roran meraung dan memukul si tukang daging sekuat tenaga, membuatnya terkapar di tanah di depan penduduk desa.
Sloan bangkit perlahan-lahan, wajah dan lehernya merah karena malu. Sewaktu memandang Katrina lagi, tukang daging itu seperti runtuh di dalam, tinggi badan dan kegagahannya menyusut hingga Roran merasa seperti memandang hantunya. Dengan berbisik pelan, ia berkata, "Selalu begini; yang paling dekat dengan hatilah yang paling menyakiti. Kau tidak akan mendapat mas kawin dariku, ular, maupun warisan ibumu." Sambil menangis pahit, Sloan berbalik dan lari ke tokonya.
Katrina menyandar ke Roran dan Roran memeluknya. Mereka terus berpelukan sementara orang-orang mengerumuni mereka, menyampaikan belasungkawa, saran, ucapan selamat, dan menyatakan ketidaksetujuan. Biarpun ada keributan itu, Roran hanya menyadari wanita yang dipeluknya, dan yang memeluknya.
Pada saat itu, Elain menerobos maju secepat yang bisa dilakukannya dalam keadaan hamil. "Oh, anak yang malang!" serunya, dan memeluk Katrina, menariknya dari pelukan Roran. "Benarkah kau bertunangan"" Katrina mengangguk dan tersenyum, lalu menangis histeris di bahu Elain. "Tenang, tenang." Elain memeluk Katrina, menepuk-nepuknya dan berusaha menenangkannya, tapi gagal--setiap kali Roran mengira Katrina akan pulih, gadis itu mulai menangis lagi. Akhirnya Elain memandang ke balik bahu Katrina yang terguncang-guncang dan berkata, "Aku akan membawanya ke rumah."
"Aku ikut." "Tidak," sergah Elain. "Ia membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, dan ada pekerjaan yang harus kaulakukan. Kau mau nasihatku"" Roran mengangguk bodoh. "Menjauhlah hingga malam. Kujamin ia akan pulih sepenuhnya pada saat itu. Ia bisa bergabung dengan yang lain besok." Tanpa menunggu jawaban Roran, Elain membimbing Katrina yang terisak-isak menjauhi dinding pepohonan yang diruncingkan.
Roran berdiri dengan kedua tangan terkulai lemas di sisinya tertegun dan tak berdaya. Apa yang telah kami lakukan" Ia menyesal tidak lebih awal mengungkapkan pertunangan mereka pada Sloan. Ia menyesal dirinya dan Sloan tidak bisa bekerja sama untuk melindungi Katrina dari Kekaisaran. Dan ia menyesal Katrina terpaksa membuang satu-satunya keluarganya demi dirinya. Sekarang tanggung jawabnya berlipat ganda dengan kesejahteraan Katrina. Mereka tidak memiliki pilihan kecuali menikah. Aku mengacaukan semua ini. Ia mendesah dan mengepalkan tinju, mengernyit saat buku-buku jarinya yang memar tertarik.
"Bagaimana keadaanmu"" tanya Baldor, sambil berdiri di samping Roran.
Roran memaksa tersenyum. "Ternyata tidak sesuai harapanku. Sloan tak bisa diajak bicara kalau mengenai Spine."
"Dan Katrina." "Itu juga. Aku--" Roran membisu ketika Loring berhenti di depan mereka.
"Benar-benar tindakan yang bodoh!" geram tukang sepatu itu, sambil mengernyitkan hidung. Lalu ia mengangkat dagu, tersenyum, dan memamerkan sisa gigi-giginya. "Tapi kuharap kau dan gadis itu beruntung." Ia menggeleng. "Heh, kau akan membutuhkannya, Stronghammer!"
"Kita semua akan membutuhkannya," sergah Thane sambil berjalan lewat.
Loring melambai. "Bah, dasar pemuram. Dengar, Roran; aku sudah tinggal di Carvahall bertahun-tahun, dan berdasarkan pengalamanku, lebih baik ini terjadi sekarang daripada sewaktu kita semua merasa hangat dan nyaman."
Baldor mengangguk, tapi Roran bertanya, "Kenapa begitu""
"Apa masih kurang jelas" Dalam keadaan normal, kau dan Katrina akan menjadi sumber gosip selama sembilan bulan berikutnya." Loring menempelkan satu jari di sisi hidungnya. "Ah, tapi dengan begini, kalian akan segera dilupakan karena segala hal lain yang sedang berlangsung, dan dengan begitu kalian berdua bisa mendapatkan kedamaian."
Roran mengerutkan kening. "Aku lebih suka jadi bahan Pembicaraan daripada membiarkan para penghujat itu berkemah di jalan."
"Kita semua begitu. Tapi ini mestinya tetap disyukuri, dan kita semua membutuhkan sesuatu yang bisa disyukuri--terutama sesudah kau menikah nanti!" Loring tergelak dan menuding Roran. "Waj
ahmu barusan jadi ungu, Nak!"
Roran mendengus dan mengumpulkan barang-barang Katrina dari tanah. Saat berbuat begitu, ia berulang kali dihentikan komentar orang-orang yang kebetulan berada di dekatnya, tidak satu pun membantu menenangkan syarafnya. "Dasar busuk," gumamnya sendiri sesudah mendengar komentar yangg sangat menusuk.
Sekalipun ekspedisi ke Spine sempat tertunda kejadian tidak biasa yang disaksikan penduduk desa, pagi baru saja berlalu sewaktu iring-iringan manusia dan keledai mulai menapaki jalan setapak yang tergurat di lereng Pegunungan Narnmor ke puncak Air Terjun Igualda. Lereng itu curam dan harus didaki perlahan-lahan, karena anak-anak dan beratnya beban yang dibawa setiap orang.
Roran hampir sepanjang waktu tertahan di belakang Calithaistri Thane--dan kelima anaknya. Ia tidak keberatan, dengan begitu ia jadi punya kesempatan mengistirahatkan kakinya yang terluka dan mempertimbangkan lebih dalam kejadian-kejadian yang baru berlangsung. Ia galau karena konfrontasinya dengan Sloan. Setidaknya, ia menghibur sendiri, Katrina tidak akan berada di Carvahall lebih lama lagi. Karena Roran yakin, jauh di dasar hatinya, bahwa desa itu segera akan dikalahkan. Fakta yang suram, tapi tak terhindarkan.
Ia berhenti sejenak untuk beristirahat setelah menempuh tiga perempat perjalanan menuju pegunungan dan bersandar di pohon sambil mengagumi pemandangan Lembah Palancar dari ketinggian. Ia mencoba menemukan perkemahan Ra'zac yang ia tahu berada tepat di sebelah kiri Sungai Anora dan jalan ke selatan--tapi tidak bisa melihat kepulan asapnya sekalipun.
Roran mendengar gemuruh Air Terjun Igualda lama sebelum melihatnya. Air terjun itu tampak seperti surai salju raksasa yang bergulung-gulung dan mengalir turun dari kepala Narnmor yang bergerigi ke dasar lembah setengah arah bawahnya. Curahan raksasa tersebut berbelok ke berbeda-beda ketika jatuh, akibat tiupan beberapa lapis angin yang berbeda.
Melewati langkan batu pipih tempat Sungai Anora tercurah, menuruni tebing penuh tumbuhan thimbleberry, dan akhirnya masuk lapangan luas yang dijaga setumpuk bongkahan batu besar di satu sisi, Roran mendapati mereka yang berada di bagian terdepan prosesi telah mulai kemah. Hutan dipenuhi teriakan dan jeritan anak-anak.
Setelah menurunkan bungkusan, Roran melepas kapak yang terikat di atasnya, lalu membersihkan sesemakan di lokasi itu bersama beberapa orang lainnya. Sesudah selesai, mereka menebang cukup cukup banyak pohon untuk mengelilingi kemah. Bau getah pinus memenuhi udara. Roran bekerja dengan cepat, serpihan kayu berhamburan seirama ayunan kapaknya. Saat pertahanan selesai dibangun, perkemahan itu berisi tujuh belas tenda wol, empat api unggun kecil untuk memasak, dan para manusia serta keledai dengan ekspresi muram. Tidak ada yang ingin pergi, dan tidak ada yang ingin tinggal.
Roran mengamati kumpulan bocah dan kakek yang mencengkeram tombak, dan berpikir, Terlalu berpengalaman dan terlalu kecil. Kakek-kakek tahu cara mengalahkan beruang dan sejenisnya, tapi apakah para cucu memiliki kekuatan untuk benar-benar melakukannya" Lalu ia menyadari ekspresi keras di mata para wanita dan menyadari bahwa sekalipun mereka memeluk bayi atau sibuk merawat lengan yang tergores, perisai dan tombak mereka tidak pernah jauh dari jangkauan. Roran tersenyum. Mungkin... mungkin kami masih memiliki harapan.
Ia melihat Nolfavrell seorang diri di balok kayu--menatap lembah Palancar--dan duduk di samping bocah itu, yang memandangnya serius. "Apakah kau akan segera pergi"" tanya Nolfavrell. Roran mengangguk, terkesan pada ketenangan dan kebulatan tekad bocah itu. "Kau akan berusaha sebaik-baiknya, bukan, untuk membunuh Ra'zac dan membalaskan dendam ayahku" Aku mau melakukannya, tapi kata Mama aku harus menjaga adik-adikku."
"Aku sendiri yang akan membawa kepala mereka padamu, kalau bisa," Roran berjanji.
Dagu bocah itu gemetar. "Bagus!"
Nolfavrell.... " Roran diam sejenak saat mencari kata-kata yang tepat. "Kau satu-satunya di sini, selain diriku, yang membunuh orang. Tidak berarti kita lebih baik atau buruk daripada siapa pun, tapi itu ber
arti aku bisa mempercayai dirimu untuk bertempur dengan baik kalau kalian diserang. Sewaktu Katrina tiba di sini besok, kau mau memastikan ia dilindungi dengan baik""
Dada Nolfavrell mengembang karena bangga. "Akan kujaga ke mana pun ia pergi!" Lalu ia tampak menyesal. "Itu ... kalau aku tidak perlu mengawasi--"
Roran memahami. "Oh, keluargamu terlebih dulu. Tapi mungkin Katrina bisa tinggal setenda dengan adik-adikmu."
"Ya," kata Nolfavrell perlahan-lahan. "Ya, kupikir bisa. Kau dapat mengandalkan diriku."
"Terima kasih." Roran menepuk bahunya. Ia bisa meminta bantuan orang yang lebih tua dan lebih mampu, tapi orang dewasa terlalu sibuk dengan tanggung jawab mereka sendiri untuk membela Katrina seperti yang diharapkannya. Tapi Nolfavrell memiliki kesempatan dan kecenderungan untuk memastikan Katrina tetap aman. Ia bisa menggantikan aku sewaktu kami berpisah. Roran bangkit sewaktu Birgit mendekat.
Sambil menatap Roran tajam, Birgit berkata, "Ayo, sudah waktunya." Lalu ia memeluk putranya dan terus berjalan ke air terjun bersama Roran dan para penduduk desa lain yang harus kembali ke Carvahall. Di belakang mereka, semua orang dalam perkemahan kecil itu berkerumun dekat pepohonan tumbang dan menatap penuh kerinduan dari balik jeruji kayunya.
WAJAH MUSUHNYA Saat melanjutkan pekerjaan sepanjang sisa hari itu, Roran merasakan kekosongan Carvahall jauh di dalam hatinya. Rasanya seperti sebagian dirinya diambil dan disembunyikan di Spine. Dan bersama kepergian anak-anak, desa sekarang terasa seperti kamp bersenjata. Perubahan itu tampak menyebabkan semua orang tampak muram dan berduka.
Sewaktu matahari akhimya terbenam ke gigi-gigi Spine yang menunggu, Roran mendaki bukit ke rumah Horst. Ia berhenti di pintu depan dan memegang kenopnya, tapi terhenti di sana, tidak mampu masuk. Kenapa ini menakutkannya bagiku seperti pertempuran"
Akhirnya ia melupakan pintu depan sepenuhnya dan berjalan ke sisi rumah, lalu menyelinap ke dapur dan, yang membuatnya kecewa, melihat Elain merajut di satu sisi meja, bercakapcakap dengan Katrina, yang duduk di seberangnya. Mereka berdua berpaling padanya, dan Roran berkata tanpa berpikir, Apakah kau baik-baik saja""
Katrina melangkah ke sampingnya. "Aku baik-baik saja." Ia tersenyum lembut. "Hanya saja aku sangat terkejut sewaktu Ayah ... Sewaktu.... " Ia menunduk sejenak. "Elain sangat ramah padaku. Ia setuju meminjamkan kamar Baldor untukku malam ini,"
Aku senang kau sudah lebih baik," kata Roran. Ia memeluknya berusaha menyampaikan seluruh cinta dan pujaannya melalui sentuhan sederhana itu.
Elain melipat rajutannya. "Ayo. Matahari telah terbenam, Sudah Waktunya kau tidur, Katrina."
Roran dengan enggan melepaskan Katrina, yang rnencium pipinya dan berkata, "Sampai bertemu besok pagi."
Ia hendak mengikuti Katrina keluar, tapi berhenti sewak Elain berkata dengan nada pedas, "Roran." Wajah Elain berubh keras dan tegas.
"Ya"" Elain menunggu hingga mereka mendengar derak tangga yang menandakan Katrina tidak bisa mendengar mereka lagi. "Kuharap kau bersungguh-sungguh dengan setiap janji yang kauberikan pada gadis itu, karena kalau tidak, akan kuseleng. garakan pertemuan dan memintamu diusir dalam seminggu.,,
Roran tertegun. "Tentu saja aku bersungguh-sungguh. Aku mencintainya."
"Katrina menyerahkan segala yang dimilikinya atau disayanginya demi dirimu." Elain menatapnya dengan pandangan yang tidak tergoyahkan. "Aku pernah melihat pria-pria yang menyayangi para wanita muda seperti menebarkan biji-bijian pada ayam. Si gadis mendesah dan menangis, percaya dirinya istimewa, tapi bagi si pria, itu hanya kesenangan singkat. Selama ini kau bersikap terhormat, Roran, tapi godaan bisa mengubah orang yang paling logis menjadi rubah yang sangat licik. Apakah kau begitu" Karena Katrina tidak membutuhkan orang bodoh, penipu, atau bahkan cinta; yang paling ia butuhkan di atas segalanya adalah pria yang akan memenuhi kebutuhannya. Kalau kau meninggalkan dirinya, ia akan menjaai orang paling menyedihkan di Carvahall, terpaksa hidup dan teman-temannya, pengemis kita yang pertama dan satu-satunya, Demi d
arah dalam pembuluhku, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi."
"Aku juga tidak," Roran memprotes. "Aku tidak memiliki hati, atau lebih buruk lagi, kalau sampai berbuat begitu"
Elain menyentakkan dagu. "Tepat sekali. Jangan lupa bahwa kau berniat menikahi wanita yang telah kehilangan maskawin dan warisan ibunya. Kau mengerti apa artinya bagi Katrina untuk kehilangan warisannya" Ia tidak memiliki perak, tidak memiliki linen, tidak memiliki renda, atau benda-benda lain yang dibutuhkan rumah yang diurus dengan baik. Benda-benda itulah yang kita miliki, diwariskan dari ibu ke putrinya sejak hari pertama kita menjejakkan kaki di Alagaesia. Benda-benda itu menentukan nilai kita. Wanita yang tidak memiliki warisan seperti... seperti--"
"Seperti pria yang tidak memiliki pertanian atau keahlian," kata Roran.
"Begitulah. Kejam sekali Sloan merampas warisan Katrina, tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang. Baik kau maupun dirinya tidak memiliki uang atau sumber daya. Hidup sudah cukup sulit tanpa kesulitan tambahan itu. Kalian akan memulai dari nol dan tanpa memiliki apa-apa. Apakah prospek itu membuatmu takut atau rasanya tidak tertahankan" Kutanyakan padamu sekali lagi--dan jangan berbohong, kalau kau berbohong, kalian berdua akan menyesalinya sepanjang sisa hidup kalian--apakah kau bersedia merawatnya tanpa dendam atau kemarahan""
"Ya." Elain mendesah dan mengisi dua cangkir tembikar dengan cider dari guci yang digantung di sela rusuk-rusuk atap. Ia memberikan satu kepada Roran sambil duduk kembali di meja. "Kalau begitu, kusarankan kau berkonsentrasi untuk mengganti rumah dan warisan Katrina agar ia dan putri yang mungkin akan kalian miliki bisa berdiri tanpa malu di antara para istri di Carvahall."
Roran menghirup cider yang sejuk itu. "Kalau kami hidup selama itu."
"Aye." Elain mengibaskan seuntai rambut pirangnya ke belakang dan menggeleng. "Kau memilih jalan yang berat, Roran."
"Aku harus memastikan Katrina mau meninggalkan Carvahall."
Elain mengangkat satu alisnya. "Jadi itu rupanya. Well, aku tidak akan berdebat, tapi kenapa kau tidak membicarakan pertunanganmu dengan Sloan sebelum tadi pagi" Sewaktu Horst melamar pada ayahku, ia memberi keluarga kami dua belas domba, bajak, dan delapan pasang tempat lilin dari besi bahkan sebelum ia tahu orangtuaku setuju. Begitulah seharusnya. Tentunya kau bisa memikirkan strategi yang lebih baik daripada memukul calon mertuamu."
Tawa sedih terhambur dari mulut Roran. "Bisa saja, tapi waktunya tidak pernah terasa tepat karena adanya semua serangan itu."
"Sekarang sudah hampir enam hari Ra'zac tidak menyerang."
Roran mengerutkan kening. "Ya, tapi... itu... Oh, entahlah!" Ia menghantam meja dengan frustrasi.
Elain meletakkan cangkir dan mencengkeram tangan Roran. "Kalau kau bisa memperbaiki hubunganmu dengan Sloan sekarang, sebelum kemarahan menumpuk bertahun-tahun, hidupmu dengan Katrina akan jauh lebih mudah. Besok pagi sebaiknya kau pergi ke rumah Sloan dan meminta maaf."
"Aku tidak bersedia mengemis! Tidak padanya."
"Roran, dengarkan aku. Mengemis selama sebulan demi kedamaian dalam keluargamu layak dilakukan. Aku tahu berdasarkan pengalaman; usaha tidak membuat hidupmu susah."
"Sloan membenci Spine. Itu tidak ada kaitannya denganku,"
"Tapi kau harus mencobanya," kata Elain tulus. "Bahkan kalau ia menolak permintaan maafmu, minimal kau tidak bisa disalahkan karena tak berusaha. Kalau kau mencintai Katrina, telan harga dirimu dan lakukan tindakan yang benar untuknya. Jangan membuatnya menderita karena kesalahanmu." Elain menghabiskan cider-nya, menggunakan topi seng untuk mematikan lilin, dan meninggalkan Roran duduk seorang diri dalam kegelapan.
Beberapa menit berlalu sebelum Roran bisa memaksa dirinya bergerak. Ia mengulurkan sebelah lengannya dan meraba-raba sepanjang tepi meja hingga menemukan ambang pintu, lalu naik ke lantai atas, sambil terus menyusurkan ujung jemarinya di sepanjang dinding berukir untuk menjaga keseimbangan. Dalam kamarnya, ia membuka mantel dan membaringkan din di ranjang.
Setelah memeluk bantalnya yang berisi wol, Roran mende
ngarkan suara samar yang merayapi seluruh penjuru rumah di malam hari: suara tikus lari di loteng dan cicitannya Yang terus-menerus, erangan balok-balok kayu yang mendingin di malam hari, bisikan dan elusan angin di jendelanya, dan & gemerisik sandal di lorong di luar kamarnya.
Ia menatap selot di atas kenop pintunya ditarik lepas dari kaitannya, lalu pintunya bergeser maju diiringi derit protes. Pintunya berhenti. Sosok gelap menyelinap masuk, pintunya ditutup, dan Roran merasakan tirai rambut menyapu wajahnya bersama bibir yang terasa seperti kelopak mawar. Ia mendesah.
Katrina. Guntur menyentakkan Roran dari tidurnya.
Cahaya menyambar wajahnya saat ia berusaha keras bangun, seperti penyelam yang mati-matian berusaha mencapai permukaan. Ia membuka mata dan melihat lubang bergerigi pada pintunya. Enam prajurit menerobos masuk melalui lubang itu, diikuti dua Ra'zac, yang tampak memenuhi kamar dengan kehadiran mereka yang menakutkan. Sebilah pedang ditempelkan ke leher Roran. Di sampingnya, Katrina menjerit dan menarik selimut menutupi tubuhnya.
"Bangun," kata Ra'zac. Roran bangkit dengan hati-hati. Jantungnya terasa seperti akan meledak dalam dadanya. "Ikat tangannya dan bawa bocah ini."
Seorang prajurit mendekati Roran sambil membawa tali, Katrina menjerit lagi dan menerkam para prajurit itu, menggigit dan mencakar sekuat tenaga. Kuku-kukunya yang tajam merobek wajah mereka, mengalirkan darah yang membutakan prajurit yang memaki-maki itu.
Roran berlutut dan menyambar martil dari lantai, lalu menjejakkan kaki, mengayunkan martil melewati kepala dan meraung seperti beruang. Para prajurit menerjangnya dalam usaha menundukkan dirinya semata dengan jumlah mereka yang lebih banyak, tapi sia-sia: Katrina terancam bahaya, dan Roran tidak terkalahkan. Perisai-perisai melesak akibat pukulannya, balu besi dan jala baja terbelah akibat senjatanya yang tak kenal ampun, dan helm-helm penyok. Dua orang terluka, tiga jatuh dan tidak bangkit lagi.
Dentangan dan keributan itu membangunkan seisi rumah; samar-samar mendengar suara Horst dan kedua putranya berteriak-teriak di lorong. Ra'zac saling mendesis, lalu bergegas malu dan menyambar Katrina dengan kekuatan yang tidak manusiawi, mengangkatnya dari lantai sementara mereka melarikan diri dari kamar.
"Roran!" jerit Katrina.
Dengan mengerahkan tenaga, Roran menerjang melewati kedua prajurit terakhir. Ia terhuyung ke lorong dan melihat Ra'zac memanjat keluar jendela. Roran melesat ke arah mereka dan menghantam Ra'zac terakhir, tepat saat makhluk itu akan turun ke balik kusen jendela. Tersentak ke atas, Ra'zac itu menangkap pergelangan tangan Roran di udara dan berdecit gembira, mengembuskan napasnya yang bau ke wajah Roran "Ya! Kau yang kami inginkan!"
Roran berusaha membebaskan diri, tapi Ra'zac itu bergeming, Dengan tangannya yang bebas, Roran menghantam kepala dan bahu makhluk itu--yang sekeras besi. Putus asa dan murka, ia menyambar tepi kerudung Ra'zac dan menariknya ke belakang, menampakkan wajah musuhnya.
Wajah yang mengerikan, tersiksa, menjerit padanya. Kulitnya hitam mengilap, seperti kulit kumbang. Kepalanya botak. Setiap mata yang tidak berkelopak besarnya sama dengan kepalannya dan mengilap seperti bola batu licin; tidak ada iris atau pupil, Sebagai hidung, mulut, dan dagu, ada paruh tebal melengkung lancip yang berdecak-decak dengan lidah ungu dan berduri.
Roran berteriak dan menjejakkan tumit ke sisi-sisi kusen jendela, berjuang membebaskan diri dari kengerian ini, tapi Ra'zac tanpa bisa dicegah menariknya keluar rumah. Roran bisa melihat Katrina di tanah, masih menjerit-jerit dan melawan.
Tepat pada saat lutut Roran melemas, Horst muncul di sampingnya dan memeluk dadanya, menguncinya di tempat. "Ambil tombak!" teriak tukang besi itu. Ia menggeram, pembuluh-pembuluh darah di lehernya menggembung karena berusaha keras menahan Roran. "Jangan sampai kita dikalahkan antek iblis!"
Ra'zac itu menariknya untuk terakhir kali, lalu, sewaktu gagal menarik lepas Roran, memiringkan kepala dan berkata, "Kau milik kami!" Ia menerjang maju secepat kilat, dan Roran meraung wa
ktu merasakan paruh Ra'zac menjepit bahu kanannya, melukai bagian depan ototnya. Pada saat yang sama, pergelangannya retak. Diiringi tawa kejam, Ra'zac itu melepaskannya dan terjun ke dalam malam.
Horst dan Roran terkapar tumpang tindih di lorong. "Mereka menangkap Katrina," erang Roran. Pandangannya kabur dan tepi-tepinya menghitam sewaktu ia memaksa diri bangkit dengan bertumpu pada lengan kirinya--lengan kanannya terjuntai lemas. Albriech dan Baldor muncul dari kamar, berlumuran darah. Hanya mayat yang tersisa di belakang mereka. Sekarang aku telah membunuh delapan. Roran mengambil martilnya dan terhuyung-huyung menyusuri lorong, tapi tiba-tiba jalannya dihalangi Elain yang mengenakan gaun tidur putih.
Ia memandang Roran dengan mata membelalak, lalu meraih lengan Roran dan mendorongnya ke peti kayu yang menempel di dinding. "Kau harus menemui Gertrude."
"Tapi--" "Kau akan pingsan kalau pendarahan ini tidak dihentikan."
Roran menunduk memandang sisi kanannya; bagian itu basah kuyup kemerahan. "Kita harus menyelamatkan Katrina sebelum"--ia mengertakkan gigi saat sakit menyengatnya--"sebelum mereka melakukan apa pun terhadapnya."
"Ia benar; kita tidak bisa menunggu," kata Horst, menjulang di atas mereka. "Perban sebaik-baiknya, lalu kita pergi." Elain mengerutkan bibir dan bergegas ke laci linen. Ia kembali membawa beberapa helai kain, yang dililitkannya erat-erat di bahu Roran yang luka dan pergelangannya yang patah. Sementara itu, Albriech dan Baldor mengambil baju besi dan pedang dari para prajurit. Horst memuaskan diri dengan hanya mengambil sebatang tombak.
Elain memegang dada Horst dan berkata, "Hati-hati." Ia memandang kedua putranya. "Kalian semua."
"Kami akan baik-baik saja, Ibu," Albriech berjanji. Elain memaksa diri tersenyum dan mencium pipi keduanya.
Mereka meninggalkan rumah dan lari ke tepi Carvahall, di mana rnereka mendapati dinding pepohonan telah terbuka dan penjaganya, Byrd, mati dibantai. Baldor berlutut dan memeriksa mayatnya, lalu berkata dengan suara tercekik. "Ia ditusuk dari belakang." Roran nyaris tidak mendengarnya karena dentamarl di telinganya sendiri. Karena pusing, ia menyandar ke kemah dan terengah-engah.
Ho! Siapa itu""
Dari Pos mereka di sepanjang pagar Carvahall, para penjaga lain berkumpul di sekitar rekan mereka yang terbunuh, me bentuk kumpulan lentera bertutup. Dengan suara pelan, Horst menceritakan serangannya dan tertangkapnya Katrina. "Siapa yang mau membantu kami"" tanyanya. Sesudah berdiskusi dengan cepat, lima orang setuju menemani mereka; sisanya akan tetap berjaga di lubang di dinding dan membangunkan para penduduk desa.
Dengan memaksa diri beranjak dari rumah, Roran berlari ke depan kelompok saat mereka melintasi ladang-ladang dan menyusuri lembah ke perkemahan Ra'zac. Setiap langkah terasa menyakitkan, tapi tidak penting; tak ada yang sepenting Katrina. Ia terhuyung sekali dan Horst menangkapnya tanpa bicara.
Setengah mil dari Carvahall, Ivor melihat ada penjaga di punggung bukit, yang memaksa mereka membelok jauh. Beberapa ratus yard di baliknya, tampak cahaya suram suluh. Roran mengangkat lengannya yang sehat untuk memperlambat gerak mereka, lalu mulai merunduk dan merangkak melintasi rerumputan, mengejutkan seekor kelinci liar. Orang-orang mengikuti Roran sementara ia mendekati serumpun rumput air, lalu berhenti dan memisahkan tirai batang rumput untuk melihat ketiga belas prajurit yang tersisa.
Di mana Katrina" Berbeda dengan sewaktu mereka tiba pertama kali, para prajurit itu tampak cemberut dan berantakan, senjata mereka tidak lagi utuh dan baju besi mereka penyok-penyok. Sebagia, besar dari mereka mengenakan perban yang kotor kena darah kering. Orang-orang itu berkerumun menjadi satu, menghadap para Ra'zac--keduanya sekarang mengenakan kerudung--di seberang api unggun kecil.
Satu orang berteriak, "...lebih dari separo dari kami dibunuh segerombolan orang udik berotak udang yang tidak bisa membedakan tombak dan tongkat, atau menemukan ujung mata pedang bahkan biarpun pedang itu menancap di perutnya karena kalian tidak punya akal yang dimiliki pembawa
benderaku sekalipun! Aku tidak peduli kalau Galbatorix sendiri yang menjilat sepatu bot kalian hingga licin, pokoknya kami bersedia melakukan apa pun sebelum mendapat komandan baru." Yang lain mengangguk. "Komandan manusia."
"Sungguh"" tanya Ra'zac lembut.
"Kami sudah muak diperintah si bungkuk seperti kalian, yang berdecak-decak dan mendesis-desis--membuat kami mual! Dan aku tidak tahu apa yang kalian lakukan pada Sardson, tapi kalau kalian tinggal semalam lagi, kami akan menikam kalian dan melihat apakah kalian juga mengucurkan darah seperti kami. Tapi kalian bisa meninggalkan gadis itu, ia akan--"
Pria itu tidak sempat melanjutkan, karena Ra'zac terbesar melompati api dan mendarat di bahunya, seperti gagak raksasa. Sambil menjerit, prajurit itu jatuh karena beratnya. Ia mencoba mencabut pedang, tapi Ra'zac tersebut mematuk lehernya dua kali dengan paruh tersembunyinya, dan prajurit itu pun tak bergerak lagi.
"Kita harus melawan itu"" gumam Ivor di belakang Roran.
Para prajurit membeku karena kaget sementara kedua Ra'zac berlutut di dekat leher mayat. Sewaktu makhluk-makhluk hitam itu beranjak, mereka menggosok-gosokkan tangan, seakan mencuci, dan berkata, "Ya. Kami akan pergi. Tinggallah kalau kalian mau; pasukan tambahan hanya beberapa hari lagi." Ra'zac mengangkat kepala dan menjerit ke langit, lolongannya semakin lama semakin melengking hingga melampaui batas pendengaran.
Roran juga menengadah. Mulanya ia tidak melihat apa-apa, tapi lalu kengerian tak terbayangkan mencengkeramnya saat dua sosok muncul, tinggi di atas Spine, menutupi bintang-bintang. Keduanya mendekat dengan cepat, semakin lama semakin besar hingga menutupi separo langit dengan kehadiran mereka. Angin yang busuk menyapu daratan, membawa bau belerang yang menyebabkan Roran terbatuk dan tercekik.
Para prajurit juga terpengaruh; makian mereka menggema sementara mereka menekankan lengan baju dan syal ke hidung masing-masing.
Di atas mereka, bayang-bayang itu berhenti sejenak lalu mulai melayang turun, menutupi perkemahan dengan kubah kegelapan yang mengancam. Suluh-suluh berkelap-kelip dan terancam padam, tapi masih memancarkan cukup cahaya untuk menampakkan dua makhluk buas yang turun di sela tenda-tenda.
Tubuh mereka telanjang dan tidak berbulu--seperti tikus yang baru dilahirkan--dengan kulit kelabu yang terentang kencang di dada dan perut mereka yang berotot. Bentuk mereka mirip anjing kelaparan, tapi kaki belakang mereka menggembung dengan otot yang cukup untuk meremukkan sebongkah batu besar. Tonjolan kecil membentang dari belakang setiap kepala mereka yang memanjang, dengan paruh hitam panjang dan lurus untuk menusuk mangsa, dan mata dingin menonjol yang mirip mata Ra'zac. Di bahu dan punggung mereka membentang sayap-sayap besar yang menyebabkan udara menderu karena berat mereka.
Setelah menjatuhkan diri ke tanah, para prajurit meringkuk dan menyembunyikan wajah dari para monster itu. Kecerdasan yang asing dan menakutkan terpancar dari makhluk-makhluk tersebut, menunjukkan ras yang jauh lebih tua dan kuat daripada manusia. Roran tiba-tiba takut misinya gagal. Di belakangnya, Horst berbisik pada yang lain, mendesak mereka bertahan dan tetap bersembunyi, kalau tidak mereka akan dibantai.
Ra'zac membungkuk pada makhluk-makhluk itu, lalu masuk ke tenda dan keluar membawa Katrina--yang diikat dengan tali--dan diikuti Sloan. Si tukang daging berjalan dengan bebas.
Roran menatapnya, tidak mampu memahami bagaimana Sloan bisa tertangkap. Rumahnya sama sekali tidak berada di dekat rumah Horst. Lalu ia menyadarinya. "Ia mengkhianati kita," kata Roran takjub. Genggamannya perlahan-lahan bertambah erat di martilnya saat kengerian sesungguhnya dari situasi ini meledak dalam dirinya. "Ia membunuh Byrd dan mengkhianati kita!" Air mata kemurkaan mengalir turun di wajahnya.
"Roran," gumam Horst, sambil berjongkok di sampingya; "Kita tidak bisa menyerang sekarang; mereka akan membantai kita. Roran... kau dengar aku""
Roran hanya mendengar bisikan di kejauhan saat ia mengawasi Ra'zac yang lebih kecil melompat ke bahu salah satu makhluk buas itu, lalu
menangkap Katrina saat Ra'zac yang satu lagi melemparkannya. Sloan tampak gusar dan ketakutan sekarang. Ia mulai berdebat dengan Ra'zac, menggeleng-geleng dan menunjuk ke tanah. Akhirnya Ra'zac itu menampar mulutnya, membuatnya pingsan. Sambil menaiki makhluk buas kedua, memanggul si tukang daging, Ra'zac terbesar berkata, Kami akan kembali begitu situasi sssudah aman lagi. Bunuh bocah itu, maka kalian akan diampuni." Lalu tunggangan mereka menekuk paha mereka yang besar dan melompat ke langit, sekali lagi menjadi bayang-bayang di padang bintang-bintang.
Tidak ada kata-kata atau emosi yang tersisa pada Roran. Ia benar-benar hancur. Tugas yang tersisa hanyalah membunuh para prajurit. Ia berdiri dan mengangkat martil, bersiap-siap menyerang, tapi sewaktu ia melangkah maju, kepalanya berdenyut-denyut bersamaan dengan luka di bahunya. Tanah bagai menghilang dalam semburan cahaya, dan ia pun jatuh pingsan.
ANAK PANAH KE JANTUNG Setiap hari sejak meninggalkan pos perdagangan terluar Ceris terasa bagai mimpi buram berupa sore-sore hangat yang dihabiskan dengan mendayung di Danau Eldor lalu menyusuri Sungai Gaena. Di sekitar mereka, air menggelegak melintasi terowongan-terowongan pinus yang meliuk masuk makin dalam lagi ke Du Weldenvarden.
Eragon mendapati perjalanan bersama para elf menggembirakan. Nari dan Lifaen sering tersenyum, tertawa, dan menyanyi, terutama kalau ada Saphira di dekat mereka. Mereka jarang memandang ke arah lain atau membicarakan topik lain kecuali Saphira saat naga itu Nadir.
Tapi para elf bukanlah manusia, tidak peduli semirip apa pun penampilan mereka. Mereka bergerak terlalu cepat, terlalu luwes, bagi makhluk yang terdiri atas daging dan darah. Dan sewaktu berbicara, mereka sering menggunakan ungkapan dan istilah berputar-putar yang malah menyebabkan Eragon lebib kebingungan daripada saat mereka mulai. Di sela-sela keriangan mereka, Lifaen dan Nari bisa membisu berjam-jam, mengaman sekitar dengan aura damai di wajah mereka. Kalau Eragon atau Orik mencoba mengajak mereka bercakap-cakap saat mereka begitu, mereka hanya mendapat jawaban satu atau dua patah kata.
Eragon jadi merasa betapa terus terang dan lugasnya Arya kalau dibandingkan mereka. Malahan, Arya tampak tidak nyaman di dekat Lifaen dan Nari, seakan ia tidak lagi yakin harus bersikap bagaimana bersama kaumnya sendiri.
Dari buritan kano, Lifaen menoleh ke samping dan berkata, "Katakan, Eragon-finiarel... Apa yang kalian, manusia, nyanyikan tentang hari-hari yang gelap ini" Aku ingat epos-epos yang pernah kudengar di Iliera--petualangan para raja dan bangsawan kalian yang berwibawa--tapi sudah lama sekali dan kenangannnya seperti bunga yang gugur dalam benakku. Karya baru apa yang telah kalian ciptakan" Eragon mengerut kening ketika berusaha mengingat judul-judul cerita yang pernah disampaikan Brom. Sewaktu mendengarnya, Lifaen menggeleng sedih dan berkata, "Begitu banyak yang hilang. Tidak ada balada istana yang berhasil bertahan, dan, kalau kau bicara jujur, begitu juga sebagian besar sejarah atau kesenianmu, kecuali kisah-kisah indah yang diizinkan Galbatorix untuk berkembang."
"Brom pernah bercerita tentang kejatuhan para Penunggang," kata Eragon dengan nada membela diri. Bayangan rusa berlompatan melewati batang pohon tumbang melintas di balik matanya dari Saphira, yang tengah berburu.
"Ah, pria pemberani." Selama semenit, Lifaen mendayung tanpa bicara. "Kami juga menyanyikan Kejatuhan... tapi jarang. Sebagian besar dari kami masih hidup sewaktu Vrael memasuki kehampaan, dan kami masih berduka atas kota-kota kami yang dibakar--bunga-bunga lili merah Ewayena, kristal Luthivira--dan untuk keluarga kami yang dibantai. Waktu hdak bisa menumpulkan penderitaan atas luka-luka itu, bahkan setelah beribu-ribu tahun berlalu dan matahari sendiri padam, meninggalkan dunia melayang dalam malam abadi."
Orik mendengus di belakang. "Begitu juga keadaan para kuraci. Ingat, elf, kami kehilangan satu klan karena Galbatorix."
Dan kami kehilangan raja kami, Evandar."
Aku tidak pernah mendengar soal itu," kata Eragon terkejut.
Lifaen mengangguk sambi l mengendalikan rakit melewati batu menders bawah permukaan air. "Hanya sedikit yang pernah mendengarnya. Brom sebetulnya bisa saja menceritakannya padamu; ia ada di sana sewaktu serangan mematikan itu dilancarkan. Sebelum kematian Vrael, para elf menghadapi Galbatorix di dataran Ilirea dalam usaha terakhir kami mengalahkannya. Di sana Evandar--"
"Di mana Ilirea"" tanya Eragon.
"Itu Uru'baen, Nak," kata Orik. "Dulunya kota elf."
Tanpa terganggu interupsi itu, Lifaen melanjutkan. "Seperti katamu tadi, Ilirea dulu salah satu kota kami. Kami meninggalkannya selama peperangan melawan naga, lalu, berabad-abad kemudian, manusia menjadikannya ibukota mereka sesudah Raja Palancar dikucilkan."
Eragon berkata, "Raja Palancar" Siapa dia" Apakah dari dia Lembah Palancar mendapatkan namanya""
Kali ini elf itu berpaling dan memandangnya dengan geli. "Kau memiliki pertanyaan sebanyak dedaunan di pohon, Argetlam."
"Brom juga berpendapat begitu."
Lifaen tersenyum, lalu berhenti sejenak, seakan mengumpulkan ingatan. "Sewaktu para leluhurmu tiba di Alagaesia delapan ratus tahun yang lalu, mereka menjelajahinya hingga jauh, mencari tempat tinggal yang cocok. Akhirnya, mereka menetap di Lembah Palancar--sekalipun namanya bukan itu waktu itu--karena wilayah tersebut salah satu dari sedikit tempat yang bisa dipertahankan dan tidak diklaim oleh kami atau para kurcaci. Di sana rajamu, Palancar, mulai membangun negara yang kuat.
"Dalam upayanya meluaskan wilayah, ia menyatakan perang terhadap kami, sekalipun kami tidak memprovokasinya. Tiga kali ia menyerang, dan tiga kali kami menang. Kekuatan kami menakutkan para bangsawan Palancar dan mereka memohon perdamaian. Palancar tidak mengacuhkan nasihat mereka. Lalu para bangsawan mendekati kami sambil menawarkan perjanjian yang kami tandatangani di luar sepengetahuan Raja.
"Dengan bantuan kami, Palancar dikalahkan dan dibuang, tapi ia, keluarganya, dan para pembantu mereka menolak meninggalkan lembah. Karena tidak ingin membunuh mereka, kami membangun menara Ristvak'baen agar para Penunggang bisa mengawasi Palancar dan memastikan ia tidak akan pernah berkuasa atau menyerang siapa pun lagi di Alagaesia.
"Tidak lama kemudian Palancar dibunuh putranya yang tidak ingin menunggu dalam bertindak. Sesudah itu, politik keluarga terdiri atas pembunuhan, pengkhianatan, dan kemerosotan lainnya, memudarkan kemegahan rumah Palancar. Tapi para keturunannya tidak pernah pergi, dan darah raja masih mengalir di Therinsford dan Carvahall."
"Aku mengerti," kata Eragon.
Lifaen mengangkat salah satu alisnya yang hitam. "Sungguh"
Fakta itu lebih penting daripada yang kaukira. Kejadian itulah yang meyakinkan Anurin--pendahulu Vrael sebagai kepala Penunggang--untuk mengizinkan manusia menjadi Penunggang, untuk mencegah perselisihan sejenis."
Orik tertawa terbahak-bahak. "Itu pasti menimbulkan perdebatan seru."
"Keputusan itu memang tidak populer," Lifaen mengakui. "Bahkan sekarang masih ada yang mempertanyakan kebijakan keputusan itu. Keputusan tersebut menimbulkan perselisihan antara Anurin dan Ratu Dellanir hingga Anurin dipecat dari pemerintahan kami dan mendirikan para Penunggang di Vroengard sebagai lembaga yang mandiri."
"Tapi kalau para Penunggang dipisahkan dari pemerintahanmu, bagaimana cara mereka mempertahankan perdamaian, seperti yang seharusnya mereka lakukan"" tanya Eragon.
"Mereka tidak bisa," kata Lifaen. "Hingga Ratu Dellanir memahami kebijakan adanya Penunggang yang bebas dari bangsawan atau raja mana pun dan memulihkan akses mereka ke Du Weldenvarden. Sekalipun begitu, Ratu tidak pernah senang kalau ada kewenangan yang dapat mengalahkan kewenangannya sendiri."
Eragon mengerutkan kening. "Tapi bukankah itu intinya""
"Ya... dan tidak. Para Penunggang seharusnya menjaga agar adak terjadi kejatuhan berbagai pemerintahan dan ras, tapi siapa yang mengawasi para pengawas" Itulah masalah utama yang menyebabkan Kejatuhan. Tidak ada yang bisa mengetahui kelemahan-kelemahan dalam sistem para Penunggang itu sendiri, karena mereka di luar pengawasan, dan dengan begitu, mereka hancur."
Eragon menday ung--mula-mula di satu sisi lalu sisi yang lain--sambil mempertimbangkan kata-kata Lifaen. Dayung bergetar di tangannya sewaktu menghantam arus yang menyilang. "Siapa yang menggantikan Dellanir sebagai raia atau ratu""
"Evandar. Ia naik tahta lima ratus tahun yang lalu-- sewaktu Dellanir mengabdikan diri untuk memelajari misteri sihir dan bertahan hingga kematiannya. Sekarang pasangannya Islanzadi, yang memerintah kami.
"Itu--" Eragon terdiam dengan mulut ternganga. Tadinya ia hendak mengatakan mustahil, tapi lalu menyadari betapa konyolnya pernyataan itu kedengarannya. Ia akhirnya bertanya "Apakah elf hidup abadi""
Dengan suara lembut, Lifaen berkata, "Dulu kami Seperti dirimu, cemerlang, indah, dan sesingkat embun pagi. Sekarang kehidupan kami membentang tanpa batas selama bertahun-tahun yang penuh debu. Aye, kami sekarang hidup abadi, sekalipun kami masih rentan terhadap luka-luka daging."
"Kalian jadi abadi" Bagaimana caranya"" Si elf menolak menjelaskan, sekalipun Eragon mendesaknya agar lebih terinci. Akhirnya, Eragon bertanya, "Berapa usia Arya""
Lifaen mengalihkan tatapannya yang berkilau-kilau padanya, menelaah Eragon dengan ketajaman yang menggelisahkan. "Arya" Apa kepentinganmu terhadap dirinya""
"Aku...." Eragon tergagap, tiba-tiba tidak yakin pada niatnya. Ketertarikannya pada Arya diperumit fakta bahwa Arya elf, dan bahwa usianya, berapa pun itu, jauh lebih tua daripada usianya sendiri. Ia pasti memandangku sebagai anak-anak. "Aku tidak tahu," katanya sejujurnya. "Tapi ia menyelamatkan nyawaku dan Saphira, dan aku ingin tahu lebih banyak tentang dirinya."
"Aku merasa malu," kata Lifaen, mengucapkan setiap kata dengan hati-hati, "mengajukan pertanyaan seperti itu. Dalam kaum kami, mencari tahu urusan orang lain merupakan tindakan yang kasar.... Hanya saja, harus kukatakan, dan aku yakin Orik setuju dengan pendapatku, kau sebaiknya menjaga hatimu, Argetlam. Sekarang bukan waktu untuk kehilangan kendali, atau untuk diungkapkan."
"Aye," kata Orik.
Eragon merasa wajahnya panas saat darah mengalir deras ke sana, seolah ada cairan panas menjalari dirinya. Sebelu ata sempat menukas, Saphira memasuki benaknya dan berkata, Dan sekarang waktu untuk menjaga lidahmu. Mereka berniat baik. Jangan menghina mereka.
Eragon mengela napas dalam dan berusaha mengusir perasaan malunya. Kau setuju dengan mereka"
Aku yakin, Eragon, bahwa kau penuh kasih dan kau mencari seorang yang akan membalas perasaanmu. Tidak ada yang memalukan dalam hal itu.
Eragon berusaha memahami kata-kata Saphira, lalu akhirnya berkata, Kau akan segera kembali"
Aku dalam perjalanan sekarang.
Eragon kembali memerhatikan sekitarnya dan mendapati si elf dan kurcaci memandanginya. "Aku mengerti keprihatinan kalian & dan aku masih ingin pertanyaanku dijawab."
Lifaen ragu-ragu sejenak. "Arya masih cukup muda. Ia dilahirkan setahun sebelum kehancuran para Penunggang."
Pedang Hati Suci 1 Lembah Merpati Karya Chung Sin Macan Tutul Di Salju 2
^