Pencarian

Eldest 3

Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini Bagian 3


Berbeda dengan benteng-benteng Tarnag yang tebal, bangunan-bangunan di dalamnya, sekalipun dari batu, dibentuk dengan begitu cerdas hingga terkesan anggun dan ringan. Ukiran yang kuat dan berani, biasanya menggambarkan hewan menghiasi rumah-rumah dan toko-toko. Tapi yang lebih mempesona adalah batunya sendiri: berpendar lembut, dari merah muda cerah hingga hijau yang paling pucat, membuat batu berpendar dengan lapisan-lapisan tembus pandang.
Dan di seluruh kota terdapat lentera-lentera tanpa api kurcaci, warna-warninya menegaskan senja dan malam di Beor yang panjang.
Tidak seperti Tronjheim, Tarnag dibangun sesuai proporsi kurcaci, tanpa mempertimbangkan kunjungan manusia, elf, atau naga. Tinggi maksimal ambang pintunya hanya lima kaki, dan sering kali hanya empat setengah kaki. Tinggi Eragon rata-rata, tapi sekarang ia merasa seperti raksasa yang dipindahkan ke panggung boneka.
Jalan-jalannya lebar dan penuh sesak. Kurcaci dari berbagai klan bergegas membereskan urusan masing-masing atau berdiri di dalam dan sekitar toko-toko. Banyak di antara mereka yang mengenakan kostum aneh dan eksotis, seperti sekelompok kurcaci berambut hitam yang mengenakan helm perak berbentuk kepala serigala.
Eragon paling sering menatap kurcaci wanita, karena ia hanya melihat mereka sekilas di Tronjheim. Mereka bertubuh lebih lebar daripada yang pria, dan wajah mereka tegas, tapi mata mereka cemerlang dan rambut mereka lebat, dan mereka lembut pada anak-anak mereka yang mungil. Mereka tidak mengenakan perhiasan, hanya bros rumit dari besi dan batu kecil.
Salt mendengar langkah-langkah tajam Feldunost, para kurcaci berpaling melihat para pendatang baru. Mereka tidak bersorak sebagaimana dugaan Eragon, tapi membungkuk dan menggumam, "Shadeslayer." Saat mereka melihat martil dan bintang-bintang di helm Eragon, kekaguman digantikan keterkejutan dan, pada banyak kurcaci, kemurkaan. Sejumlah kurcaci yang lebih marah bergerak-gerak di sekitar Feldunost, melotot di sela hewan-hewan pada Eragon dan meneriakkan makian--Bulu kuduk Eragon meremang. Sepertinya mengadopsi diriku bukanlah keputusan paling populer yang bisa diambil Hrothgar.
Aye, Saphira menyetujui. Ia mungkin memang memperkuat cengkeramannya atas dirimu, tapi dengan konsekuensi dikucilkan banyak kurcaci... Sebaiknya kita segera menghilang sebelum ada darah yang tumpah.
Thorv dan para pengawal lainnya terus maju seakan kerumunan itu tidak ada, membuka jalan melewati tujuh teras lagi hingga tersisa hanya satu gerbang yan
g memisahkan mereka dari kumpulan Celbedeil. Lalu Thorv berbelok ke kiri, menuju aula luas yang menempel ke lereng gunung dan bagian depannya dilindungi benteng dengan dua menara.
Sewaktu mereka semakin mendekati aula, sekelompok kurcaci bersenjata berhamburan keluar dari sela rumah-rumah dan membentuk barisan tebal, menghalangi jalan. Cadar-cadar ungu panjang menutupi wajah mereka dan menjuntai melewati bahu, seperti kerudung jala baja.
Para pengawal seketika menghentikan Feldunost masingmasing, ekspresi wajah mereka mengeras. "Ada apa"" tanya Eragon pada Orik, tapi kurcaci itu hanya menggeleng dan melangkah maju, satu tangan pada kapaknya.
"Etzil nithgech!" seru seorang kurcaci bercadar, sambil mengangkat tinju. "Formv Hrethcarach... formv Jurgencarmeitder nos eta goroth bahst Tarnag, dur encesti rak kythn! Jok ia warrev az barzulegur dur durgrimst, Az Sweldn rak Anhuin, mogh tor rak Jurgenvren" Ne udim etal os rast knurlag. Knurlag ana..." Selama semenit yang terasa lama, ia terus mengoceh dengan kemarahan yang semakin hebat.
"Vrron!" salak Thorv, menghentikannya, lalu kedua kurcaci itu mulai bertengkar. Sekalipun pertengkaran itu sengit, Eragon melihat Thorv tampak menghormati kurcaci yang satu lagi.
Eragon bergeser ke samping-berusaha bisa melihat lebih jelas ke balik Feldunost yang ditunggangi Thorv--dan kurcaci bercadar itu seketika membisu, menunjuk helm Eragon dengan ekspresi ngeri.
" Knurlag qana qirdnu Durgrimst Ingeitum!" jeritnya. "Qarzul ana Hrothgar oen volfild-"
"Jok ia frekk durgrimstvren"" sela Orik pelan, sambil mencabut kapak. Dengan khawatir, Eragon melirik Arya, tapi Arya terlalu tenggelam dalam konfrontasi itu untuk memerhatikan dirinya. Eragon diam-diam menurunkan tangan ke gagang Zar'roc yang dililit kawat.
Kurcaci asing itu menatap tajam Orik, lalu mengambil cincin besi dari sakunya, mencabut tiga helai janggutnya, melilitkarulya ke cincin, dan melemparnya ke jalan hingga berdenting keras, lalu meludah. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, kurcaci-kurcaci bercadar ungu tersebut berlalu.
Thorv, Orik, dan para pejuang lain mengernyit saat cincin memantul-mantul menyeberangi jalan dari granit. Bahkan Arya tampak tertegun. Kedua kurcaci yang lebih muda tersentak dan meraih pedangnya, lalu menurunkan tangan sewaktu Thorv membentak. "Eta!"
Reaksi mereka lebih meresahkan Eragon daripada pertengkaran hebat tadi. Sementara Orik maju sendiri dan memasukkan cincin itu ke kantong, Eragon bertanya, "Apa artinya itu""
"Artinya," kata Thorv, "kau mendapat musuh."
Mereka bergegas melewati benteng ke halaman luas tempat tiga meja besar, dihiasi lentera dan bendera. Di depan meja-meja itu berdiri sekelompok kurcaci, yang paling depan adalah kurcaci berjanggut ubanan yang mengenakan kulit serigala. Ia membentangkan lengan, berkata, "Selamat datang di Tarnag, rumah Durgrimst Ragni Hefthyn. Kami mendengar banyak pujian tentang dirimu, Eragon Shadeslayer. Aku Undin, putra Derund, dan ketua klan."
Kurcaci lain melangkah maju. Bahu dan dadanya menunjukkan ia pejuang, dengan mata hitam dalam yang tidak pernah meninggalkan wajah Eragon. "Dan aku, Gannel, putra Orm si Kapak-darah dan ketua klan Durgrimst Quan."
"Kehormatan bagiku untuk menjadi tamu kalian," kata Eragon, sambil menunduk. Ia merasakan kejengkelan Saphira karena diabaikan. Sabar, gumam Eragon, sambil memaksa tersenyum.
Saphira mendengus. Para ketua klan itu menyapa Arya dan Orik bergantian, tapi keramahan mereka tak dirasakan Orik, yang hanya mengulur' kan tangan, dengan cincin besi di telapaknya.
Mata Undin membelalak, dan ia dengan hati-hati mengangkat cincin itu, menjepitnya dengan ibu jari dan telunjuk seakan benda itu ular berbisa. "Siapa yang memberikan ini padamu""
Sweldn rak Anhuin. Dan bukan padaku, tapi pada Eragon."
Kewaspadaan terpancar di wajah mereka, kekhawatiran yang semula dirasakan Eragon muncul kembali. Ia pernah melihat kurcaci menghadapi sepasukan Kull tanpa gentar sedikit pun. Cincin itu pasti melambangkan sesuatu yang benar-benar menakutkan hingga mampu menurunkan semangat mereka.
Undin mengerutkan kening sambil mendengar
kan gumaman para penasihatnya, lalu berkata, "Kita harus mengkonsultasikan masalah ini. Shadeslayer, kami sudah menyiapkan pesta untuk menghormatimu. Kalau kauizinkan para pelayanku mengantarmu ke kamar, kau bisa membersihkan diri, dan sesudah itu kita bisa mulai."
"Tentu saja." Eragon menyerahkan kekang Snowfire ke kurcaci yang telah menunggu dan mengikuti pemandu masuk ke aula. Sewaktu melewati ambang pintu, ia melirik ke belakang dan melihat Arya dan Orik bercakap-cakap serius dengan para ketua klan, kepala mereka rapat satu sama lain. Aku tidak akan lama, katanya pada Saphira.
Sesudah berjongkok melewati lorong-lorong berukuran kurcaci, ia merasa lega karena kamar yang disediakan baginya cukup luas hingga ia bisa berdiri tegak. Si pelayan membungkuk dan berkata, "Aku akan kembali sesudah Grimstborith Undin siap."
Begitu kurcaci itu pergi, Eragon diam sejenak dan menghela napas dalam, lega karena kesunyiannya. Pertemuan dengan kurcaci-kurcaci bercadar masih terbayang dalam benaknya, menyebabkan ia sulit bersantai. Selama kita tidak terlalu lama di Tarnag. Dengan begitu mereka tidak akan sempat menghalangi kita.
Setelah menanggalkan sarung tangan, Eragon melangkah ke baskom marmer yang diletakkan di lantai di samping ranjang rendah. Ia memasukkan tangan ke air, lalu menyentakkannya keluar sambil menjerit tanpa tertahan. Airnya nyaris mendidih. Ini Pasti budaya kurcaci, pikirnya. Ia menunggu hingga airnya agak dingin, lalu membasahi wajah dan leher, menggosoknya hingga bersih sementara uap mengepul dari kulitnya.
Setelah segar kembali, ia menanggalkan pakaian dan menggantinya dengan pakaian yang dikenakan untuk pemakaman Ajihad. Ia menyentuh Zar'roc, tapi memutuskan bahwa menyandang pedang itu hanya akan menghina pesta Undin, dan sebagai gantinya ia menyandang pisau berburu.
Lalu, dari ranselnya, ia mengeluarkan gulungan dokumen yang dipercayakan Nasuada padanya untuk diantar kepada Islanzadi dan menimbang-nimbangnya di tangan, penasaran di mana tempat terbaik untuk menyembunyikannya. Dokumen itu terlalu penting untuk ditinggalkan di tempat terbuka sehingga bisa dibaca atau dicuri. Karena tidak mampu memikirkan tempat yang lebih baik, ia menyelipkan gulungan itu ke balik lengan bajunya. Lebih aman di sana kecuali aku terlibat pertempuran, di mana aku menghadapi masalah yang lebih besar untuk dikhawatirkan.
Sewaktu akhirnya pelayan kembali menjemput Eragon, waktu baru menunjukkan sekitar satu jam selewat tengah hari, tapi matahari telah menghilang di balik pegunungan yang menjulang, menyebabkan Tarnag diselimuti keremangan mirip senja. Sewaktu keluar dari aula, Eragon terpesona melihat perubahan kota. Dalam keremangan yang terlalu dini, lentera-lentera kurcaci menunjukkan kekuatannya yang sebenarnya, membanjiri jalanan dengan cahaya murni yang tidak tergoyahkan hingga seluruh lembah tampak terang.
Undin dan kurcaci-kurcaci lain telah berkumpul di halaman, bersama Saphira, yang menempatkan diri di kepala salah sata meja. Tidak ada yang tampak ingin mendebat pilihannya.
Ada kejadian apa" tanya Eragon, sambil bergegas mendekatinya.
Undin memanggil pejuang tambahan, lalu memblokir gerbang. Apa ia mengira akan ada serangan"
Setidaknya, ia mengkhawatirkan kemungkinan itu.
"Eragon, silakan duduk bersamaku," kata Undin, sambi memberi isyarat ke kursi di sebelah kanannya. Ketua klan itu duduk bersama Eragon, dan yang lainnya bergegas mengikuti.
Eragon gembira sewaktu Orik akhirnya duduk di sampingnya sementara Arya duduk di seberang meja, sekalipun keduanya tampak muram. Sebelum ia sempat menanyakan cincin itu pada Orik, Undin memukul meja dan meraung, "Ignh az voth!"
Para pelayan mengalir keluar dari aula, membawa piring-piring emas tempa berisi tumpukan tinggi daging, kue, dan buah. Mereka membaginya menjadi tiga baris--satu baris untuk setiap meja--dan meletakkan hidangan-hidangan itu dengan anggun.
Di depan mereka tersaji sup dan sayur rebus yang penuh dengan berbagai tuber, daging panggang, roti-roti panjang yang masih hangat, dan berderet-deret kue madu yang berlumuran selai raspberry. Ada fillet ikan trout b
eralas daun yang dihiasi parsley, dan di samping, belut asin menatap sedih dari mangkuk keju, seakan berharap entah bagaimana bisa melarikan diri kembali ke sungai. Seekor angsa dihidangkan di setiap meja, dikelilingi kawanan partridge, angsa liar, dan bebek.
Di mana-mana ada jamur: dipotong panjang, diletakkan di puncak kepala burung seperti topi, atau diukir berbentuk puri di tengah parit berisi lemak. Banyak sekali jenis yang dihidangkan, dari jamur putih yang tebal sebesar kepalan tangan Eragon, hingga yang bisa dikira sebagai kulit pohon yang dikunyah, toadstool yang dibelah dua dengan rapi untuk menunjukkan dagingnya yang biru.
Lalu hidangan utama disajikan: babi hutan liar raksasa yang dipanggang mengilap karena saus. Paling tidak, Eragon merasa hewan itu babi hutan, karena sosoknya sama besar dengan Snowfire dan dibutuhkan enam kurcaci untuk membawanya. Siungnya lebih panjang daripada lengan bawah Eragon, moncongnya sama lebar dengan kepalanya. Dan baunya, baunya mengalahkan segala bau lain hingga menyebabkan mata Eragon berair.
"Nagra," bisik Orik. "Babi hutan raksasa. Undin benar-benar menghormatimu malam ini, Eragon. Hanya kurcaci paling pemberani yang memiliki nyali untuk memburu Nagra, dan Nagra hanya dihidangkan pada mereka yang memiliki keberanian hebat. Selain itu, kurasa ia memberi isyarat bahwa akan mendukungmu dalam Durgrimst Nagra."
Eragon mencondongkan tubuh ke arahnya agar tidak bisa didengar yang lain. "Kalau begitu ini makhluk ash Beor yang lain" Ada apa lagi""
"Serigala hutan yang cukup besar untuk memburu Nagra dan cukup lincah untuk menangkap Feldunost. Beruang gua, yang kami sebut Urzhadn dan elf memanggilnya Beorn. Dari nama merekalah puncak-puncak di sini diberi nama, sekalipun kami sendiri tidak memanggilnya begitu. Nama pegunungan ini merupakan rahasia yang tidak kami beritahukan pada ras mana pun. Dan--"
"Smer voth," kata Undin, sambil tersenyum pada tamu-tamunya. Para pelayan seketika mencabut sebilah pisau melengkung kecil dan mengiris sepotong Nagra, yang mereka letakkan di piring semua orang-kecuali piring Arya-termasuk sebongkah besar untuk Saphira. Undin kembali tersenyum, mencabut sebilah pisau, dan mengiris sedikit daging bagiannya.
Eragon meraih pisaunya sendiri, tapi Orik menyambar lengannya. "Tunggu."
Undin mengunyah perlahan-lahan, memutar bola mata dan mengangguk-angguk dengan sikap berlebihan, lalu menelan dan berseru, "Ilf gauhnith!"
"Sekarang," kata Orik, sambil beralih ke hidangan sementara percakapan timbul di sepanjang meja.
Belum pernah Eragon mencicipi makanan apa pun yang rasanya seperti babi hutan itu. Dagingnya lezat, lembut, dan seperti berempah--seakan daging itu direndam madu dan cider--rasa yang diperkuat mint yang digunakan untuk memberi rasa pada daging babi tersebut. Aku ingin tahu bagaimana cara mereka memasak hewan sebesar ini.
Sangat lambat, Saphira mengomentari, sambil menyantap Nagra-nya.
Sambil makan, Orik menjelaskan, "Sudah menjadi kebiasaan bagi tuan rumah, dari zaman racun merajalela di kalangan klan-klan, untuk mencicipi hidangannya terlebih dulu dan menyatakan hidangan itu aman bagi tamu-tamunya."
Selama pesta, Eragon membagi waktunya antara mencicipi berbagai hidangan dan bercakap-cakap dengan Orik, Arya, dan kurcaci-kurcaci lain di mejanya. Dengan cara itu, berjamu berlalu tanpa terasa, karena pestanya begitu besar, baru sore hari hidangan terakhir disajikan, gigitan terakhir ditelan, dan minuman terakhir ditenggak. Sementara para pelayan menyingkirkan peralatan makan, Undin berpaling pada Eragon dan berkata, "Hidangannya memuaskanmu, ya"'.'
"Lezat sekali."
Undin mengangguk. "Aku senang kau menikmatinya. Kemarin kuperintahkan mejanya dipindah keluar agar nagamu bisa makan bersama kita." Tatapannya terarah ke Eragon sepanjang waktu.
Eragon dilanda perasaan dingin. Sengaja atau tidak, Undin memperlakukan Saphira tidak lebih daripada makhluk buas. Eragon berniat bertanya tentang para kurcaci bercadar secara pribadi, tapi sekarang--karena keinginan membalas Undin--ia berkata, "Saphira dan aku berterima kasih." Lalu, "Sir, kenapa cin
cin itu dilemparkan pada kami""
Kesunyian yang menyakitkan merayapi halaman. Dari sudut matanya, Eragon melihat Orik mengernyit. Tapi Arya tersenyum, seakan memahami apa yang dilakukannya.
Undin meletakkan pisau, merengut hebat. "Knurlagn yang kautemui dari klan yang tragis. Sebelum kejatuhan para Penunggang, mereka termasuk keluarga paling tua dan paling kaya di kerajaan kami. Tapi kehancuran mereka diakibatkan dua kesalahan: mereka tinggal di tepi barat Pegunungan Beor, dan para pejuang terhebat mereka secara sukarela mengabdi pada Vrael."
Kemarahan meledak dalam suaranya bagai derakan-derakan tajam "Galbatorix dan para Terkutuk-nya membantai mereka di kota Uru'baen. Lalu mereka terbang ke kami, membantai banyak orang. Dari klan itu, hanya Grimstcarvlorss Anhuin dan para penjaganya yang berhasil selamat. Anhuin meninggal tidak lama kemudian karena berduka, dan anak buahnya mengganti nama mereka menjadi Az Sweldn rak Anhuin, Air Mata Anhuin, menutupi wajah untuk mengingatkan diri akan kehilangan dan keinginan mereka untuk membalas dendam."
Pipi Eragon terasa bagai tersengat karena malu sementara ia berusaha keras agar wajahnya tidak menampilkan ekspresi apa pun. "Jadi," kata Udin, menatap kue-kue dengan ceria, "mereka membangun kembali klannya selama beberapa dekade ini, menunggu dan memburu kesempatan untuk membalas. Dan sekarang kau datang, membawa lambang Hrothgar. Itu penghinaan terburuk bagi mereka, tidak peduli jasamu di Farthen Dur. Karena itulah mereka melemparkan cincinnya tantangan tertinggi. Itu berarti Durgrimst Az Sweldn rak Anhuin akan menentangmu dengan segenap sumber daya mereka, dalam segala hal, besar atau kecil. Mereka menantangmu terang-terangan, menyatakan diri sebagai musuh bebuyutanmu."
"Apa mereka berniat menyakitiku secara fisik"" tanya Eragon kaku.
Tatapan Undin goyah sejenak sementara ia melirik Gannel, lalu menggeleng dan tertawa serak yang, mungkin, lebih keras daripada yang seharusnya. "Tidak, Shadeslayer! Bahkan mereka pun tidak berani menyakiti tamu. Itu dilarang. Mereka hanya ingin kau pergi, pergi, pergi." Tapi Eragon masih penasaran. Lalu Undin berkata, "Please, kita jangan membicarakan masalah yang tidak menyenangkan ini lebih jauh. Gannel dan aku menawarkan hidangan dan anggur madu kami dalam persahabatan; bukankah itu yang penting"" Pendeta menggumam menyetujui.
"Kuhargai," kata Eragon, akhirnya mengalah.
Saphira memandangnya dengan tatapan khidmat dan berkata, Mereka takut, Eragon. Takut dan marah karena dipaksa menerima bantuan Penunggang.
Aye. Mereka mungkin bertempur bersama kita, tapi mereka tidak bertempur bagi kita.
CELBEDEIL Pagi tanpa subuh menampakkan Eragon di aula utama Undin, mendengarkan sementara ketua klan itu berbicara dengan Orik dalam Bahasa Dwarvish. Undin berhenti bicara sewaktu Eragon mendekat, lalu berkata, "Ah, Shadeslayer. Tidurmu nyenyak""
"Ya." "Bagus." Ia memberi isyarat ke arah Orik. "Kami sudah mempertimbangkan keberangkatanmu. Tadinya kuharap kau bisa menghabiskan sedikit waktu bersama kami. Tapi mengingat situasi, rasanya paling baik kalau kau melanjutkan perjalanan besok pagi-pagi sekali, sewaktu yang mungkin akan mempersulit dirimu di jalan masih sedikit. Pasokan dan transportasi sedang disiapkan bahkan saat aku mengatakan ini. Atas permintaan Hrothgar, pengawal akan mendampingi kalian hingga Ceris. Aku menambah jumlahnya dari tiga menjadi tujuh."
"Dan sementara itu""
Undin mengangkat bahunya yang berbulu. "Tadinya aku berniat menunjukkan kehebatan Tarnag padamu, tapi sekarang bodoh sekali kalau kau berkeliaran di kotaku. Namun Grirnstborith Gannel mengundangmu ke Celbedeil untuk menghabiskan hari ini. Terimalah kalau kau mau. Kau aman bersamanya." Ketua klan seperti melupakan penilaian awalnya bahwa Az Sweldn rak Anhuin tidak akan menyakiti tamu.
"Terima kasih, mungkin akan kuterima." Sewaktu Eragon meninggalkan aula, ia menarik Orik ke samping dan bertanya,
"Seberapa serius permusuhan ini, sebenarnya" Aku harus tahu kebenarannya."
Orik menjawab dengan keengganan yang nyata. "Di masa lalu bukan tidak biasa perseteruan berdarah ter
us berlangsung hingga beberapa generasi. Satu keluarga bisa musnah seluruhnya karena itu. Az Sweldn rak Anhuin terlalu tergesa-gesa menggunakan cara lama; cara itu sudah tidak digunakan lagi sejak perang klan terakhir... Sebelum mereka membatalkan sumpah kau harus berhati-hati terhadap tipuan mereka, entah selama setahun atau seabad. Sayang sekali persahabatanmu dengan Hrothgar justru menyebabkan hal ini, Eragon. Tapi kau tidak sendirian. Durgrimst Ingeitum mendampingimu dalam hal ini."
Begitu tiba di luar, Eragon bergegas mendekati Saphira, yang menghabiskan malam dengan bergelung di halaman. Apa kau keberatan kalau aku berkunjung ke Celbedeil"
Pergilah kalau memang harus. Tapi bawa Zar'roc. Eragon mematuhi sarannya, juga menyelipkan gulungan dokumen Nasuada ke balik tuniknya.
Sewaktu Eragon mendekati gerbang pagar aula, lima kurcaci mendorong balok kayu besar ke samping, lalu mengelilinginya, tangan pada kapak dan pedang sementara mereka memeriksa jalan. Para pengawal tetap mengikuti sementara Eragon menapaki kembali jalan yang ditempuhnya kemarin ke pintu masuk paling depan Tarnag yang diblokir.
Eragon menggigil. Kekosongan kota terasa tidak wajar. Pintu-pintu tertutup, jendela-jendela juga, dan beberapa pejalan kaki terlihat mengalihkan pandangan dan berbelok memasuki lorong-lorong untuk mengindari berpapasan dengannya. Mereka takut terlihat berada di dekatku, pikirnya menyadari. Mungkin karena mereka mereka tahu Az Sweldn rak Anhuin akan menghukum siapa saja yang membantuku. Karena ingin meninggalkan jalan terbuka, Eragon mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi sebelum ia sempat melakukannya, satu pintu bergeser keluar, dan kurcaci berjubah hitam memanggil dari dalam. Setelah mengeratkan sabuk pedang, Eragon masuk, meninggalkan para pengawalnya di luar.
Kesan pertamanya adalah warna. Hijau membara yang melapisi bangunan Celbedeil yang berpilar, seperti mantel yang diselimutkan menutupi bukit simetris tempat kuil itu berdiri. Tanaman ivy merayapi dinding-dinding kuno bangunan berupa tali yang berbulu sepanjang kaki demi kaki, embun masih mengilap di dedaunannya yang lancip. Dan melengkung di atas semua itu, tapi masih kalah tinggi daripada pegunungannya, adalah cungkup putih raksasa berusuk emas pahatan.
Kesannya selanjutnya adalah wangi. Bunga dan dupa membaurkan keharumannya, menebarkan aroma yang begitu halus hingga Eragon merasa mampu hidup dari aroma tersebut semata.
Yang terakhir adalah suara, karena sekalipun banyak pendeta berlalu lalang di sepanjang lorong-lorong bermosaik dan lahan kuil yang luas, satu-satunya suara yang dikenali Eragon hanyalah desir pelan gagak hitam yang melayang di atas kepala.
Si kurcaci kembali memberi isyarat dan menyusuri jalan utama menuju Celbedeil. Saat mereka berjalan melewati hiasan depan atapnya, Eragon hanya bisa terpesona melihat kekayaan dan keahlian yang ditampilkan di sekelilingnya. Dinding-dinding dihiasi batu permata berbagai warna dan potongan--semua tanpa cacat--dan emas merah dipalukan ke pembuluh-pembuluh yang malang melintang di langit-langit, dinding, dan lantai batu. Mutiara dan perak jadi aksennya. Sesekali, mereka melewati partisi tipis berukir yang sepenuhnya dari batu giok.
Kuil itu tidak memiliki hiasan kain. Sebagai gantinya, para kurcaci memahat puluhan patung, banyak yang menggambarkan para monster dan dewa dalam pertempuran legendaris.
Sesudah naik beberapa lantai, mereka melewati pintu tembaga mengilap dan dihiasi pola-pola simpul yang rumit, memasuki ruangan berlantai kayu. Perisai menggantung berat di dinding-dindingnya, bersama rak-rak berisi tongkat berpedang Yang mirip dengan yang digunakan Angela di Farthen Dur.
Cannel ada di sana, berlatih-tanding dengan tiga kurcaci Yang lebih muda. Mantel ketua klan itu digulung di atas pahanya hingga ia bisa bergerak bebas, wajahnya merengut buas sementara tongkat kayu berputar-putar di tangannya, pisau-pisau yang tidak diasah menyambar-nyambar bagai lebah.
Dua kurcaci menerjang Gannel, hanya untuk dilumpuhkan dengan dentangan kayu dan logam saat ia berputar melewati mereka, menghantam lutut dan kep
ala mereka, dan mengempaskan mereka ke lantai. Eragon tersenyum melihat Gannel melumpuhkan lawan terakhirnya dengan serangkaian pukulan cepat yang cemerlang.
Akhirnya ketua klan itu menyadari kehadiran Eragon dan membubarkan kurcaci-kurcaci lain. Sementara Gannel meletakkan senjata di rak, Eragon berkata, "Apa semua Quan seahli itu dengan pedang" Rasanya itu keahlian yang aneh bagi pendeta."
Gannel memandanginya. "Kami harus mampu membela diri, bukan" Banyak musuh yang mengincar tanah ini."
Eragon mengangguk. "Itu pedang yang unik. Aku belum pernah melihat yang seperti itu, kecuali yang digunakan ahli tumbuh-tumbuhan dalam pertempuran di Farthen Dur."
Kurcaci itu menghirup udara, lalu mendesiskannya keluar melalui sela gigi-giginya. "Angela." Ekspresinya berubah masam. "Ia mendapatkan tongkatnya dari pendeta dalam permainan teka-teki. Tipuan yang jahat, karena hanya kami satusatunya yang diperkenankan menggunakan huthvirn. Ia dan Arya...." Ia mengangkat bahu dan melangkah ke meja kecil, tempat ia mengisi dua gelas besar dengan bir putih. Setelah mengulurkan segelas pada Eragon, ia berkata, "Kuundang kau kemari hari ini atas permintaan Hrothgar. Ia memberitahuku bahwa kalau kau menerima tawarannya untuk menjadi Ingeitum, aku harus mengenalkan tradisi kurcaci padamu."
Eragon menghirup birnya dan membisu, mengamati bagaimana alis tebal Gannel menangkap cahaya, bayang-bayang menuruni pipi-pipinya dari tepinya yang kurus.
Ketua klan itu melanjutkan. "Belum pernah ada orang luar yang diajari kepercayaan rahasia kami, dan kau juga tidak boleh membicarakannya dengan manusia atau elf. Tapi tanpa pengetahuan ini, kau tidak bisa memahami apa artinya menjadi knurla. Kau Ingeitum sekarang: darah kami, daging kami, kehormatan kami. Kau mengerti""
"Mengerti." "Ikut aku." Sambil tetap membawa bir, Gannel mengajak Eragon dari ruang latihan melewati lima koridor besar, berhenti di ambang pintu melengkung menuju ruangan yang samar akibat dupa. Di depan mereka, patung menjulang dari lantai ke langit-langit, cahaya samar menerangi wajah muram kurcaci yang dipahat kasar dari granit cokelat.
"Siapa kurcaci ini"" tanya Eragon, terintimidasi.
"Guntera, Raja para Dewa. Ia pejuang dan terpelajar, sekalipun suasana hatinya selalu berubah-ubah, jadi kami membakar sajian untuk memastikan kasihnya pada saat solstice--saat matahari berada di titik terjauh--sebelum membajak, dan saat-saat kematian dan kelahiran." Gannel memuntir tangannya dengan gerakan yang aneh dan membungkuk ke patung. "Pada dirinya kami berdoa sebelum bertempur, karena ia membentuk tanah ini dari tulang seorang raksasa dan menata dunia. Semua alam merupakan karya Guntera."
Lalu Gannel mengajarkan pada Eragon cara yang benar untuk memberi hormat pada dewa, menjelaskan tanda-tanda dan kata-kata yang digunakan. Ia menerangkan arti dupa--bahwa dupa melambangkan kehidupan dan kebahagiaan--dan selama bermenit-menit yang panjang menceritakan berbagai legenda tentang Guntera, bahwa dewa itu dilahirkan serigala betina dalam bentuk sempurna pada awal masa bintang-bintang, bahwa ia bertempur melawan para monster dan raksasa untuk memenangkan tempat bagi kerabatnya di Alagaesia, dan bagaimana ia menjadikan Kilf, dewi sungai dan laut, sebagai pasangannya.
Lalu mereka mengunjungi patung Kilf, yang diukir dengan cermat dari batu biru pucat. Rambutnya berkibar ke belakang bagai hidup, bergulung-gulung turun di lehernya dan membingkai mata ametisnya. Tangannya menangkup di atas teratai air dan sepotong batu merah berpori yang tidak dikenal Eragon.
Apa itu"" tanyanya, sambil menunjuk.
"Koral yang diambil dari dalam lautan yang membatasi Beor."
"Koral"" Gannel menenggak bir, lalu berkata, "Para penyelam kami menemukannya sewaktu mencari mutiara. Tampaknya, di air asin, batu-batu tertentu tumbuh seperti tanaman."
Eragon menatap penasaran. Ia tidak pernah menduga batu kecil atau besar hidup, tapi di sini ada bukti bahwa untuk tumbuh yang dibutuhkan hanyalah air dan garam. Dengan begini akhirnya jelas kenapa batu-batu terus bermunculan di ladang mereka di Lembah Palancar, bahkan sesudah
tanahnya disisir bersih setiap musim semi. Mereka tumbuh!
Mereka melanjutkan ke Urur, penguasa udara dan langit, dan saudaranya Morgothal, dewa api. Di patung Morgothal yang berwarna merah tua, pendeta itu menceritakan bagaimana kedua bersaudara tersebut begitu saling menyayangi hingga mereka tidak bisa mandiri. Dengan begitu, istana Morgothal membara di langit pada siang hari, dan bunga api dari bengkelnya muncul di atas kepala setiap malam. Juga, karena itu, Urur terus memberi makan saudaranya agar tidak tewas.
Hanya dua dewa lagi yang tersisa sesudah itu: Sindri--ibu bumi--dan Helzvog.
Patung Helzvog berbeda dari patung-patung lain. Dewa telanjang itu agak membungkuk di atas bongkahan batu api kelabu sebesar kurcaci, mengelusnya dengan ujung telunjuk. Otot-otot punggungnya menonjol dan menggumpal karena tegangan yang tidak manusiawi, tapi ekspresinya sangat lembut, seakan yang ada di depannya adalah bayi yang baru lahir.
Suara Gannel berubah pelan. "Guntera mungkin Raja Dewa, tapi Helzvog yang menguasai hati kami. Ia yang merasa tanah seharusnya dihuni orang-orang sesudah raksasa dilenyapkan Dewa-dewa lain tidak setuju, tapi Helzvog mengabaikan mereka dan, diam-diam, membentuk kurcaci pertama dari akar-akar pegunungan.
"Sewaktu perbuatannya terungkap, kecemburuan melanda dewa-dewa dan Guntera menciptakan elf untuk mengendalikan Alagaesia bagi dirinya sendiri. Lalu Sindri menciptakan manusia dari tanah, Urur dan Morgothal menggabungkan pengetahuan mereka dan melepas naga-naga ke tanah. Hanya Kilf yang menahan diri. Jadi ras-ras pertama memasuki dunia ini."
Eragon menyerap kata-kata Gannel, menerima ketulusan ke, tua klan itu tapi tidak mampu mengusir pertanyaan sederhana: Dari mana ia tahu" Eragon merasa kikuk untuk mengajukan pertanyaan itu, jadi ia hanya mengangguk sambil mendengarkan.
"Ini," kata Gannel, menghabiskan bir, "membawa kita ke hal yang paling penting, yang aku tahu sudah dibicarakan Orik bersamamu... Semua kurcaci harus dimakamkan dalam batu, kalau tidak roh kami tidak akan pernah bergabung dengan Helzvog di aulanya. Kami tidak berasal dari tanah, air, atau api, tapi dari batu. Dan sebagai Ingeitum, sudah menjadi tanggung jawabmu untuk memastikan tempat peristirahatan yang layak bagi kurcaci mana pun yang mungkin tewas saat bersamamu. Kalau kau gagal-tanpa luka atau musuh Hrothgar akan mengucilkan dirimu, dan tidak ada kurcaci yang mengakui kehadiranmu hingga sesudah kematianmu." Ia menegakkan bahu, menatap tajam Eragon. "Masih banyak yang harus kaupelajari, tapi pertahankan adat-adat yang kujelaskan hari ini, maka kau sudah cukup baik."
"Aku tidak akan lupa," kata Eragon.
Dengan puas, Gannel mengajaknya pergi dari patung-patung dan menaiki tangga melingkar. Sementara mereka mendaki, ketua klan itu memasukkan tangan ke balik mantel dan mengeluarkan seuntai kalung sederhana, rantai yang menembus tangkai martil perak mini. Ia memberikannya pada Eragon.
"Ini permintaan Hrothgar yang lain padaku," Gannel menjelaskan. "Ia khawatir Galbatorix mungkin mendapatkan bayangan dirimu dari benak Durza, Ra'zac, atau prajurit mana pun yang melihat dirimu di seluruh Kekaisaran."
"Kenapa aku harus takut pada hal itu""
"Karena dengan begitu Galbatorix bisa men-scry dirimu. Mungkin sudah."
Gelombang ketakutan merayapi sisi tubuh Eragon, seperti ular es. Seharusnya sudah kupikirkan, ia menegur dirinya sendiri.
"Kalung ini akan menghalangi siapa pun men-scry dirimu atau nagamu, selama kau mengenakannya. Aku sendiri yang memantrainya, jadi seharusnya mampu bertahan bahkan terhadap benak terkuat. Tapi berhati-hatilah, pada saat diaktifkan, kalung ini akan mengisap kekuatanmu hingga kautanggalkan atau bahaya telah berlalu."
"Bagaimana kalau aku tidur" Bisakah kalung ini mengiSap semua energiku sebelum aku menyadarinya""
"Nay. Kalung ini akan membangunkan dirimu."
Eragon memutar-mutar martil itu di sela jemarinya. Sulit menghindari mantra orang lain, apalagi mantra Galbatorix, Kalau Gannel sehebat ini, mantra apa lagi yang mungkin tersembunyi dalam hadiahnya" Ia menyadari ada sebaris kata yang diukirkan pada kep
ala martil. Bunyinya Astim Hefthyn. Tangga berakhir saat ia bertanya, "Kenapa kurcaci menulis dengan huruf yang sama seperti manusia""
Untuk pertama kali sejak mereka bertemu, Gannel tertawa, suaranya menggema ke seluruh kuil sementara bahunya yang besar terguncang. "Justru sebaliknya; manusia menulis menggunakan huruf kami. Sewaktu leluhurmu mendarat di Alagaesia, mereka sama buta hurufnya dengan kelinci. Tapi, dalam waktu singkat mereka menyerap abjad kami dan mencocokkannya dengan bahasa mereka. Beberapa katamu bahkan berasal dari kami, seperti father--ayah, yang aslinya adalah farthen."
"Jadi kalau begitu Farthen Dur berarti..."" Eragon mengenakan kalung itu dan menyelipkannya ke balik tunik.
"Ayah kami." Setelah berhenti di pintu, Gannel menyilakan Eragon masuk ke galeri melengkung yang terletak tepat di bawah cungkup. Jalur jalannya mengelilingi Celbedeil, memberikan pemandangan melalui ambang-ambang pintu terbuka ke pegunungan di belakang Tarnag, sebagaimana kota berteras jauh di bawah.
Eragon nyaris tidak melirik pemandangannya, karena dinding dalam galeri itu tertutup satu lukisan yang menyambung, pita narasi raksasa yang dimulai dengan gambaran penciptaan kurcaci di tangan Helvzog. Sosok-sosok dan benda-benda bermunculan di permukaan dinding, menimbulkan perasaan tidak nyata dengan warna-warninya yang menyolok dan detailnya.
Dengan tertegun, Eragon bertanya, "Bagaimana cara membuat ini""
"Setiap adegan diukir dari pelat-pelat marmer kecil, yang disemprot dengan enamel, lalu dipasang menjadi satu bagian Yang utuh."
"Apa tidak lebih mudah kalau menggunakan cat biasa""
"Memang," kata Gannel, "tapi kami ingin lukisan ini mampu bertahan berabad-abad tanpa berubah. Enamel tidak pernah memudar atau kehilangan kecemerlangannya, tidak seperti cat minyak. Bagian pertama ini diukir hanya satu dekade sesudah Farthen Dur ditemukan, jauh sebelum para elf menapakkan kaki di Alagaesia."
Si pendeta meraih lengan Eragon dan membimbingnya sepanjang diorama itu. Setiap langkah membawa meseka melewati tahun-tahun sejarah yang tak terhitung banyaknya.
Eragon melihat bagaimana para kurcaci dulu merupakan kaum nomaden di dataran yang tampaknya tak bertepi, sampai tanah berubah begitu panas dan gersang hingga mereka terpaksa pindah ke Pegunungan Beor di selatan. Begitulah cara Padang Pasir Hadarac terbentuk, ia menyadari, terpesona.
Sementara mereka terus menyusuri mural itu, menuju bagian belakang Celbedeil, Eragon menyaksikan segala sesuatu mulai dari penjinakan Feldunost hingga pengukiran Isidar Mithrim, pertemuan pertama antara kurcaci dan elf, dan pengangkatan setiap raja baru kurcaci. Naga sering muncul, membakar dan membantai. Eragon sulit menahan komentar selama bagian-bagian ini.
Langkah-langkahnya melambat sementara lukisan beralih ke kejadian yang sejak tadi diharapkannya: perang antara kaum elf dan naga. Di sini para kurcaci menyediakan ruang yang cukup luas untuk menggambarkan kehancuran Alagaesia akibat kedua ras itu. Eragon menggigil ngeri melihat pemandangan elf dan naga saling membunuh. Pertempuran berlanjut hingga beryard-yard, setiap gambar lebih berdarah daripada gambar sebelumnya, hingga kegelapan terangkat dan seorang elf muda ditampilkan berlutut di tepi tebing, membawa sebutir telur naga putih.
"Itu &"" bisik Eragon.
Aye, itu Eragon, Penunggang Pertama. Ukirannya mirip, karena ia setuju menjadi model bagi seniman kami."
Sambil melangkah maju karena terpesona, Eragon mengamati Walah orang yang bernama sama dengannya itu. Selama ini kubayangkan ia lebih tua. Elf itu memiliki mata miring yang memandang ke bawah dari atas hidung paruh dan dagu lancip, menyebabkan ekspresinya tampak keji. Wajah yang asing, berbeda sama sekali dengan wajahnya sendiri... tapi sikap bahunya, tinggi dan tegang, mengingatkan Eragon akan perasaannya sewaktu menemukan telur Saphira. Kita tidak terlalu berbeda, kau dan aku, pikirnya, sambil menyentuh enamel yang sejuk. Dan begitu telingaku mirip dengan telingamu, kita benar-benar menjadi saudara yang terpisah waktu... Aku ingin tahu, apa kqu setuju dengan tindakan-tindakanku"
Ia tahu mereka setidaknya telah mengambil satu keputusan yang mirip: mereka sama, sama menyimpan telurnya.
Ia mendengar suara pintu dibuka dan ditutup, dan berpaling melihat Arya mendekat dari ujung seberang galeri. Arya mengamati dinding dengan ekspresi kosong yang sama seperti yang dilihat Eragon sewaktu elf itu menghadapi Dewan Tetua. Apa pun emosi Arya, Eragon merasa situasi ini menyebalkan elf itu.
Arya memiringkan kepala. "Grimstborith."
"Arya." "Kau mengajarkan mitologimu pada Eragon""
Gannel tersenyum datar. "Orang harus selalu memahami iman masyarakat di mana ia menjadi bagiannya."
"Tapi paham tidak selalu berarti percaya." Arya menunjuk pilar ambang pintu melengkung. "Juga tidak berarti mereka yang menyebarkan kepercayaan seperti itu melakukannya untuk mendapatkan lebih daripada... keuntungan material."
"Kau mau mengingkari pengorbanan yang dilakukan klanku untuk menyenangkan saudara-saudara kami""
"Aku tidak mengingkari apa pun, hanya ingin tahu manfaat apa yang bisa diperoleh kalau kekayaanmu dibagikan di antara kaum miskin, mereka yang kelaparan, gelandangan, atau bahkan membeli persediaan untuk kaum Varden. Sebaliknya, kau menumpuknya menjadi monumen bagi harapanmu sendiri."
"Cukup!" Kurcaci itu mengepalkan tangan, wajahnya merah padam. "Tanpa kami tanaman tidak akan bertahan akibat banjir, Sungai-sungai dan danau-danau akan meluap. Ternak kami akan melahirkan makhluk buas bermata satu. Langit sendih akan hancur berkeping-keping akibat kemurkaan para dewa! Arya tersenyum. "Hanya doa dan pelayanan kami yang mencegah hal itu terjadi. Kalau bukan karena Helzvog, di mana--"
Dalam waktu singkat Eragon tidak lagi mampu mengikuti pertengkaran itu. Ia tidak memahami kritikan samar Arya terhadap Durgrimst Quart, tapi ia merasa dari jawaban-jawaban Gannel bahwa, dengan cara yang tidak langsung, Arya mengisyaratkan bahwa dewa-dewa kurcaci tidak ada, meragukan kesehatan mental setiap kurcaci yang memasuki kuil, dan menunjukkan apa yang menurut elf itu merupakan kesalahan dalam pemahaman mereka-semuanya dengan suara yang ramah dan sopan.
Sesudah beberapa menit, Arya mengangkat tangan, menghentikan Gannel, dan berkata, "Itulah perbedaan di antara kita, Grimstborith. Kau mengabdikan diri pada apa yang kaupercayai sendiri sebagai kebenaran tapi kau tidak bisa membuktikannya. Dalam hal ini kita harus setuju untuk tidak setuju." Ia lalu berbalik pada Eragon. "Az Sweldn rak Anhuin membujuk penduduk Tarnag untuk menentangmu. Undin, dan aku juga, percaya sebaiknya kau tetap tinggal di balik dindingdindingnya hingga pergi dari sini."
Eragon ragu-ragu. Ia ingin melihat Celbedeil lebih jauh, tapi kalau akan ada masalah, ia harus berada di samping Saphira. Ia membungkuk pada Cannel dan meminta diri. "Kau tidak perlu meminta maaf, Shadeslayer," kata si ketua klan. Ia memelototi Arya. "Lakukan apa yang harus kaulakukan, dan semoga Guntera merestuimu."
Bersama-sama Eragon dan Arya meninggalkan kuil dan, dengan dikelilingi selusin pejuang, berlari-lari kecil melintasi kola. Saat mereka berlari, Eragon mendengar teriakan-teriakan dari kerumunan yang marah di teras yang lebih rendah. Sebutir batu melayang ke atap di dekatnya. Gerakan itu menarik pandangannya ke kepulan asap hitam yang membubung dari tepi kota.
Begitu tiba di aula, Eragon bergegas ke kamar. Di sana ia mengenakan jala bajanya; mengikat pelindung kaki ke tulang kerlng dan penguat ke lengan bawah; ia mengenakan topi, kerudung jala baja, lalu helmnya; dan menyambar perisai. Setelah meraup tas dan kantong pelana, ia berlari kembali ke halaman-- tempat ia duduk di samping kaki kanan depan Saphira.
Tarnag seperti bukit semut yang dihancurkan, kata Saphira.
Semoga saja kita tidak digigit.
Arya menggabungkan diri dengan mereka dalam waktu singkat, begitu juga lima puluh kurcaci bersenjata lengka yang mengambil tempat di tengah halaman. Para kurcaci itu menunggu dengan sabar, bercakap-cakap pelan sambil terus menatap gerbang yang diblokir dan pegunungan yang menjulang di belakang mereka.
"Mereka takut," kata Arya, sambil duduk di samping Eragon "kurcaci-kurcaci l
ain akan menghalangi kita mencapai rakit."
"Saphira selalu bisa menerbangkan kita keluar."
"Juga Snowfire" Dan para pengawal Undin" Tidak, kalau dihentikan, kita harus menunggu kemarahan para kurcaci mereda." Ia mengamati langit yang bertambah gelap. "Sial sekali kau berhasil menyinggung perasaan begitu banyak kurcaci, tapi mungkin itu tidak terelakkan. Klan-klan sejak dulu bertentangan; apa yang menyenangkan klan yang satu memicu kemurkaan klan yang lain."
Eragon mengelus tepi jala bajanya dengan jari. "Seandainya saja aku tidak menerima tawaran Hrothgar."
"Ah, ya. Sama seperti Nasuada, kurasa kau mengambil satusatunya pilihan yang layak. Kau tidak bisa disalahkan. Kesalahannya, kalau ada, terletak pada Hrothgar karena mengajukan tawaran itu. Ia seharusnya menyadari keributan yang akan diakibatkannya."
Kesunyian menyelimuti selama beberapa menit. Setengah lusin kurcaci berbaris mengelilingi halaman, melemaskan kaki. Akhirnya Eragon bertanya, "Kau memiliki keluarga di Du Weldenvarden""
Lama sekali baru Arya menjawab. "Tidak satu pun Yang dekat denganku."
"Kenapa... kenapa begitu""
Arya kembali ragu-ragu. "Mereka tidak menyukai pilihanku menjadi duta dan wakil Ratu; rasanya tidak pantas. Sewaktu kuabaikan keberatan mereka dan tetap mentato yawe di bahuku--yang menunjukkan aku mengabdikan diri pada tujuan yang lebih baik bagi ras kami, sebagaimana cincin yang kau dapat dari Brom--keluargaku menolak bertemu denganku lagi."
"Tapi itu lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu," Eragon memprotes.
Arya membuang muka, menutupi wajah di balik rambut. Eragon berusaha membayangkan bagaimana rasanya bagi elf ini--dikucilkan dari keluarga dan dikirim untuk tinggal bersama dua ras yang berbeda sama sekali. Tidak heran sikapnya begitu tertutup, Eragon menyadari. "Apa ada elf lain di luar Du Weldenvarden""
Sambil tetap menutupi wajah, Arya berkata, "Kami bertiga dikirim dari Ellesmera. Faolin dan Glenwing selalu bepergian bersamaku setiap kali kami membawa telur Saphira antara Du Weldenvarden dan Tronjheim. Hanya aku yang selamat dari sergapan Durza."
"Seperti apa mereka""
"Pejuang yang bangga. Glenwing senang berbicara pada burung-burung menggunakan pikirannya. Ia suka berdiri di hutan dikelilingi kawanan burung penyanyi dan mendengarkan nyanyian mereka selama berjam-jam. Sesudahnya, ia mungkin menyanyikan lagu terindah bagi kami."
"Dan Faolin"" Kali ini Arya menolak menjawab, sekalipun tangannya makin erat mencengkeram busur. Tak gentar, Eragon mencari topik pembicaraan lain. "Kenapa kau begitu tidak menyukai Gannel""
Arya tiba-tiba berbalik memandangnya dan menyentuh pipi Eragon dengan jemarinya yang halus. Eragon mengernyit terkejut. "Itu," kata Arya, "pembicaraan untuk lain waktu." Lalu ia bangkit dan dengan tenang pindah ke seberang halaman.
Dengan kebingungan Eragon menatap punggung elf itu. Aku tidak mengerti, katanya, sambil menyandar ke perut Saphira. Saphira mendengus, geli, lalu melilitkan leher dan ekornya pada Eragon dan langsung tertidur.
Sementara lembah semakin gelap, Eragon berjuang keras untuk tetap waspada. Ia mengeluarkan kalung pemberian Cannel dan memeriksanya beberapa kali dengan sihir, tapi alnya mendapati mantra penjaga dari pendeta itu. Ia menyerah mengembalikan kalung ke balik tunik, menarik perisai nutupi dirinya dan menunggu malam berlalu.
Seiring munculnya cahaya pertama di langit-sekalipun lernbah sendiri masih remang-remang dan akan tetap begitu hingga nyaris tengah hari--Eragon membangunkan Saphira. Para kur, caci telah terjaga, sibuk membungkus senjata agar bisa diam-diam menyelinap melintasi Tarnag. Undin bahkan meminta Eragon mengikatkan kain ke cakar Saphira dan ladam Snowfire.
Sesudah semua siap, Undin dan para pejuangnya berkumpul mengelilingi Eragon, Saphira, dan Arya. Gerbang dibuka dengan hati-hati--tidak terdengar suara dari engsel-engselnya yang telah diminyaki--lalu mereka berangkat ke danau.
Tarnag tampak kosong, jalanan yang sunyi diapit rumah-rumah tempat para penghuninya berbaring tak sadarkan diri dan bermimpi. Beberapa kurcaci yang mereka temui menatap mereka tanpa sua
ra, lalu melanjutkan perjalanan seperti hantu-hantu di saat senja.
Di gerbang setiap teras, penjaga melambai menyuruh mereka terus tanpa berkomentar. Dalam waktu singkat mereka meninggalkan gedung-gedung dan mendapati diri menyeberangi ladang-ladang kosong ke dasar Tarnag. Selepas itu, mereka tiba di dermaga batu di tepi air kelabu yang tenang.
Di sepanjang dermaga terikat dua rakit lebar yang menunggu mereka. Tiga kurcaci berjongkok di rakit pertama, empat di rakit kedua. Mereka berdiri saat Undin muncul.
Eragon membantu para kurcaci menutup mata Snowfire, lalu membujuk kuda yang enggan itu naik ke rakit kedua, di mana ia dipaksa berlutut dan diikat. Sementara itu, Saphira menyelinap dari dermaga ke dalam danau. Hanya kepalanya yang tetap berada di permukaan saat ia berenang.
Undin mencengkeram lengan Eragon. "Kita berpisah di sini. Kau didampingi orang-orang terbaikku; mereka akan melindungimu hingga tiba di Du Weldenvarden." Eragon berusaha mengucapkan terima kasih, tapi Undin menggeleng. Tidak, tidak perlu berterima kasih. Ini kewajibanku. Aku hanya malu karena masa tinggalmu di sini dinodai kebencian Az Sweldri rak Anhuin."
Eragon membungkuk, lalu naik ke rakit pertama bersam Orik dan Arya. Tali-tali tambatan dilepaskan, dan para kurcaci mendorong rakit-rakit menjauhi pantai dengan tongkat panjang. Seiring mendekatnya subuh, kedua rakit itu hanyut ke mulut Az Ragni, Saphira berenang di antara keduanya.
BUTIR-BUTIR BERLIAN DI MALAM HARI
Kekaisaran memasuki rumahku. Begitulah pikiran Roran saat mendengarkan erangan kesakitan orang-orang yang luka dalam pertempuran kemarin malam menghadapi Ra'zac dan para prajurit. Roran menggigil ketakutan dan murka hingga seluruh tubuhnya bergetar seperti demam, menyebabkan pipinya terasa terbakar dan napasnya tersengal-sengal. Dan ia sedih, begitu sedih... seakan tindakan Ra'zac menghancurkan kepolosan tempat tinggal masa kanak-kanaknya.
Setelah meninggalkan tabib, Gertrude, yang merawat mereka yang luka, Roran terus berjalan ke rumah Horst, menyadari dinding-dinding darurat yang mengisi sela bangunan-bangunan: papan, tong, tumpukan batu, dan kepingan dua kereta yang dihancurkan ledakan Ra'zac. Semua tampak sangat rapuh.
Beberapa orang yang lalu lalang di Carvahall tampak nanar karena shock, berduka, dan kelelahan. Roran juga kelelahan, lebih daripada yang pernah dirasakannya sepanjang ingatannYa, Ia belum tidur sejak dua malam yang lalu, dan lengan serta punggungnya terasa sakit akibat bertempur.
Ia masuk ke rumah Horst dan melihat Elain berdiri dekat ambang pintu ruang makan yang terbuka, mendengarkan percakapan yang tertis terdengar dari dalam. Elain memanggilnya.
Sesudah mereka berhasil menggagalkan serangan balasan Ra'zac, para pemuka Carvahall mengurung diri dalam usaha memutuskan tindakan apa yang harus diambil penduduk desa dan apakah Horst dan sekutunya akan dihukum karena memulai serangan. Kelompok ini berdiskusi hampir sepanjang pagi.
Roran rnengintip ke dalam ruangan. Di sekeliling meja panjang terdapat Birgit, Loring, Sloan, Gedric, Delwin, Fisk, Morn, dan sejumlah orang lain. Horst duduk di kepala meja.
"... dan menurutku tindakan itu bodoh dan ceroboh!" seru Kiselt, sambil menumpukan tubuh di sikunya yang kurus. "Kau tidak memiliki alasan untuk membahayakan--"
Morn melambai. "Kita sudah membicarakan masalah ini. Apakah yang telah dilakukan seharusnya dilakukan atau tidak, tak penting lagi. Kebetulan aku setuju--Quimby temanku, juga teman yang lain-lain, dan aku ngeri memikirkan apa yang akan dilakukan monster-monster tersebut pada Roran... tapi yang ingin kuketahui adalah bagaimana cara kita menghindari bencana ini."
"Mudah, bunuh saja para prajuritnya!" salak Sloan.
"Lalu apa" Akan datang lebih banyak lagi hingga kita tenggelam dalam lautan tunik merah. Bahkan kalau Roran kita serahkan, tidak ada gunanya; kau dengar apa yang dikatakan Ra'zac--mereka akan membunuh kita kalau melindungi Roran dan memperbudak kita kalau tidak melindunginya. Kau mungkin memiliki pendapat yang berbeda, tapi, bagiku sendiri, aku lebih baik mati daripada menjalani hidup seba
gai budak." Morn menggeleng, mulutnya membentuk garis yang kaku. "Kita tidak bisa bertahan."
Fisk mencondongkan tubuh ke depan. "Kita bisa pergi."
"Tidak ada tempat yang bisa kita datangi," balas Kiselt. "Di belakang kita ada Spine, para prajurit memblokir jalan, dan di belakang mereka ada Kekaisaran."
"Semua ini salahmu," seru Thane, sambil menunjuk Horst dengan jari gemetar. "Mereka akan membakar rumah kita dan membunuh anak-anak kita karena perbuatanmu. Karena kau!"
Horst bangkit begitu cepat hingga kursinya terlempar kebelakang. "Di mana kehormatanmu, Bung" Apa kau akan membiarkan mereka menyantap kita tanpa melawan""
"Ya, kalau melawan berarti bunuh diri." Thane melotot ke sekeliling meja, lalu menghambur keluar melewati Roran. Wajahnya berkerut karena ketakutan luar biasa.
Lalu Gedric melihat Roran dan melambai memanggilnya masuk. "Masuk, masuk, kami menunggumu."
Roran mengepalkan tangan di punggung bawe.hnya semen, tara beberapa pasang mata menatap tajam dirinya. "Bagaimana aku bisa membantu""
"Kupikir," kata Gedric, "kami semua setuju tidak ada gunanya menyerahkan dirimu pada Kekaisaran saat ini. Apakah ada gunanya atau tidak kalau kami menyerahkan kau bukanlah masalah untuk saat ini. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah bersiap menghadapi serangan lagi. Horst akan rnembuat mata tombak-dan senjata-senjata lain kalau sempat--dan Fisk setuju membuat perisai. Untungnya, bengkel tukang kayunya tidak terbakar. Dan harus ada yang memimpin pertahanan kita. Kami senang kalau kau mau. Kau akan mendapat banyak bantuan."
Roran mengangguk. "Aku akan berusaha sebaik-baiknya."
Di samping Morn, Tara berdiri, menjulang di atas suaminya. Ia wanita bertubuh besar, dengan rambut hitam berhias uban dan tangan kuat yang mampu memuntir putus kepala ayam juga memisahkan orang berkelahi. Ia berkata, "Pastikan begitu, Roran, kalau tidak, akan lebih banyak lagi yang harus kita makamkan." Lalu ia berpaling pada Horst. "Sebelum kita bertindak lebih jauh, ada orang-orang yang harus dimakamkan. Dan ada anak-anak yang harus dikirim ke tempat yang aman, mungkin ke pertanian Cawley di Nost Creek. Sebaiknya kau juga ke sana, Elain."
"Aku tidak akan meninggalkan Horst," bantah Elain tenang.
Tara meradang. "Ini bukan tempat bagi wanita yang sedang hamil lima bulan. Kau akan kehilangan anakmu kalau berkeliaran seperti itu."
"Akan lebih berbahaya bagiku kalau aku khawatir tanpa tahu apa-apa daripada tetap di sini. Aku sudah melahirkan kedua putraku; aku akan tetap tinggal, dan aku tahu kau dan semua istri lain di Carvahall juga bakal begitu."
Horst mengitari meja dan, dengan ekspresi lembut, meraih tangan Elain. "Aku juga tidak mau kau ada di mana pun kecuali di sisiku. Tapi anak-anak harus pergi. Cawley akan menjaga mereka dengan baik, tapi kita harus memastikan rute ke tanah pertaniannya aman."
"Bukan hanya itu," kata Loring serak, "tidak satu pun dari kita, tidak satu pun yang ada kaitannya dengan keluarga-keluarga di lembah, selain dari Cawley, tentu saja. Mereka tidak bisa membantu kita, dan kita tidak ingin para penghujat itu mengganggu mereka."
Semua orang setuju pendapatnya benar, lalu pertemuan berakhir dan mereka yang hadir menyebar ke seluruh Carvahall. Tapi, dalam waktu singkat, mereka berkumpul "kembali--bersama sebagian besar penduduk desa--di pemakaman kecil di belakang rumah Gertrude. Sepuluh mayat terbungkus kain putih diletakkan di samping makam masing-masing, seberkas ranting hemlock diletakkan di dada mereka yang dingin dan jimat perak melingkar di leher masing-masing.
Gertrude melangkah maju dan menyebutkan nama mereka masing-masing, "Parr, Wyglif, Ged, Bardrick, Farold, hale, Garner, Kelby, Melkolf, dan Albem." Ia meletakkan batu kerikil hitam menutupi mata mereka, lalu mengangkat kedua lengannya, menengadah ke langit, dan melantunkan doa pengiring kematian. Air mata menetes dari sudut matanya yang terpejam sementara suaranya naik-turun seiring doa, mendesah dan mengerang bersama kedukaan desa. Ia bernyanyi tentang bumi dan malam serta kedukaan tanpa akhir manusia yang tidak bisa dihindari siapa pun.
Se sudah nada duka terakhir memudar dalam kesunyian, para anggota keluarga memuji kebaikan mereka yang telah meninggal. Lalu mayat-mayat itu dimakamkan.
Sementara Roran mendengarkan, tatapannya terarah ke gundukan tak bertanda tempat ketiga prajurit dikuburkan. Satu dibunuh Nolfavrell, dan dua olehku. Ia masih bisa merasakan entakan otot dan tulang... berderak... hancur dihantam martilnya. Ia ingin muntah dan terpaksa berjuang keras untuk tidak muntah di depan seluruh penduduk desa. Aku yang menghancurkan mereka. Roran tidak pernah menduga dan tidak ingin membunuh dan tapi ia telah membunuh lebih banyak daripada siapa pun di Carvahall. Ia merasa seolah alisnya ditandai dengan darah.
Ia berlalu secepat mungkin--bahkan tidak berhenti untuk bercakap-cakap dengan Katrina--dan naik ke tempat ia bisa mengamati Carvahall dan mempertimbangkan cara terbaik melindunginya. Sialnya, rumah-rumah terpisah terlalu jauh untuk bisa membangun pertahanan dengan hanya memperkuat sela-sela di antara bangunan. Roran juga merasa tidak ada gunanya membiarkan para prajurit bertempur di dekat dinding rumah orang-orang dan menginjak kebun mereka. Sungai Anora menjaga sisi barat kami, pikirnya, tapi bagian Carvahall lain, kami bahkan tidak bisa mengusir anak kecil dari sana... Apa yang bisa kami baugun dalam waktu beberapa jam yang cukup kuat untuk jadi penghalang"
Ia berlari ke tengah desa dan berteriak, "Aku memerlukan bantuan semua yang bebas untuk menebang pohon-pohon!" Semenit kemudian, orang-orang mulai keluar dari rumah dan melintasi jalan. "Ayo, lebih banyak lagi! Kita semua harus membantu!" Roran menunggu sementara kerumunan di sekitarnya semakin banyak.
Salah seorang putra Loring, Darmmen, menerobos ke sampingnya. "Apa rencanamu""
Roran mengeraskan suara agar mereka semua bisa mendengar. "Kita membutuhkan dinding untuk mengelilingi Carvahall; semakin tebal semakin baik. Kupikir kalau kita menebang beberapa pohon besar, meletakkannya miring, dan menajamkan cabang-cabangnya, Ra'zac akan cukup sulit melewatinya."
"Menurutmu berapa banyak pohon yang dibutuhkan"" tanya Orval.
Roran ragu-ragu, berusaha menghitung keliling Carvahall. "Sedikitnya lima puluh. Mungkin enam puluh lebih tepat." Orang-orang memaki dan mulai berdebat. "Tunggu! Roran menghitung jumlah orang dalam kerumunan. Jumlahnya empat puluh delapan. "Kalau kalian masing-masing menebang Satu pohon dalam satu jam mendatang, kita dapat menyelesaikannya. Kalian bisa""
"Menurutmu kami ini apa"" tegur Orval. "Terakhir kali aku membutuhkan waktu satu jam untuk menebang sebatang Pohon adalah sewaktu aku berusia sepuluh tahun!"
Darmmen berbicara, "Bagaimana dengan semak duri" apa bisa melilitkannya ke pohon. Aku tida tahu siapa yang bisa memanjat melewati tumbukan sulur berduri."
Roran tersenyum. "Gagasan yang hebat. Selain itu, kalian yang memiliki putra, perintahkan mereka memasang kekang kuda kalian agar kita bisa menyeret pepohonannya kemari." Orang-orang setuju dan berhamburan ke seluruh Carvahall untuk mengambil kapak dan gergaji untuk melakukan tugas itu. Roran menghentikan Darmmen dan berkata, "Pastikan pepohonannya memiliki cabang di seluruh batang, kalau tidak takkan ada gunanya."
"Kau sendiri mau ke mana"" tanya Darmmen.
"Menangani pertahanan yang lain." Roran meninggalkannya dan berlari ke rumah Quimby, di mana ia mendapati Birgit sibuk memasang papan di jendela-jendela.
"Ya"" kata Birgit, sambil memandangnya.
Dengan cepat Roran menjelaskan rencananya dengan pepohonan. "Aku ingin menggali parit di bagian dalam lingkaran pohon, untuk memperlambat siapa pun yang berhasil menerobos masuk. Kita bahkan bisa menancapkan pasak-pasak runcing di dasarnya dan--"
"Apa intinya, Roran""
"Aku membutuhkan bantuanmu mengorganisir wanita dan anak-anak, dan semua orang lain yang bisa kaukumpulkan, untuk menggali. Terlalu repot bagiku untuk menanganinya seorang diri dan kita tidak memiliki banyak waktu." Roran memandangnya lurus-lurus. "Tolong."
Birgit mengerutkan kening. "Kenapa meminta tolong padaku""
"Karena, seperti diriku, kau membenci Ra'zac, dan aku tahu kau bersedia melakuka
n apa saja untuk menghentikan mereka."
"Aye," bisik Birgit, lalu bertepuk tangan cepat. "Baiklah, terserah padamu. Tapi aku tidak akan pernah lupa, Roran putra Garrow, bahwa kau dan keluargamulah yang menyebabkan kehancuran suamiku." Ia berlalu sebelum Roran sempat menjawab.
Ia menerima tuduhan Birgit dengan tenang; ia sudah menduganya, mengingat kehilangan yang dialami wanita itu. Ia beruntng Birgit tidak memulai perseteruan berdarah. Lalu ia menggeleng dan lari ke mulut jalan utama Carvahall. Itu titik terlemah di desa dan pertahanan di sana harus berlipat ganda. Ra'zac tidak boleh dibiarkan menerobos masuk dengan ledakan lagi.
Roran merekrut Baldor, dan bersama-sama mereka menggali parit melintang di jalan. "Aku harus segera pergi," Baldor memperingatkan di sela-sela ayunan beliungnya. "Dad membutuhkanku di bengkel."
Roran mendengus setuju tanpa menengadah. Sementara ia bekerja, benaknya sekali lagi dipenuhi kenangan akan para prajurit: bagaimana ekspresi mereka sewaktu ia menghantam mereka, dan perasaannya, perasaan menakutkan saat tubuh terhantam seakan tunggul pohon yang membusuk. Ia berhenti sejenak, mual, dan menyadari keributan di Carvahall sementara orang-orang bersiap menghadapi serangan berikutnya.
Sesudah kepergian Baldor, Roran menyelesaikan menggali parit sedalam paha seorang diri, lalu pergi ke bengkel Fisk. Dengan seizin tukang kayu itu, ia menyeret lima balok kayu tua dengan kuda ke jalan utama. Di sana Roran menancapkan balok-balok itu miring di samping parit hingga membentuk penghalang ke Carvahall yang tidak bisa ditembus.
Saat ia menginjak-injak tanah di sekeliling balok, Darmmen berlari mendekat. "Kami sudah mendapatkan pohon-pohonnya. Sekarang sedang diletakkan di tempatnya." Roran menemaninya ke tepi utara Carvahall, di mana dua belas orang tengah berjuang keras menata empat pinus yang lebat sementara seregu kuda penarik di bawah lecutan cambuk seorang bocah kembali ke kaki bukit. "Sebagian besar dari kami membantu menarik pohon-pohon ini. Yang lainnya seakan terinspirasi; mereka seperti bertekad bulat untuk menebang seluruh sisa hutan sewaktu aku pergi."


Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus, kita bisa memanfaatkan balok tambahan."
Darmmen menunjuk tumpukan semak duri lebat yang ada di tepi ladang Kiselt. "Kupotong semak-semak itu dari tepi Anora. Gunakan sesukamu. Aku mau mencari lagi."
Roran menepuk lengannya, lalu berpaling ke sisi timur Carvahall, tempat barisan melengkung panjang yang terdiri atas para wanita, anak-anak, dan pria bersusah payah di tanah. Ia mendekati mereka dan mendapati Birgit memerintah seperti jendral dan membagikan air di antara para penggali. Parit ltu sudah lima kaki lebarnya dan dua kaki dalamnya. Sewaktu Birgit berhenti sejenak untuk menghela napas, Roran berkata, "Aku terkesan."
Birgit menyibakkan segumpal rambutnya ke belakang tanpa memandang Roran. "Kami membajak tanahnya terlebih dulu. Dengan begitu lebih mudah."
"Ada sekop yang bisa kugunakan"" tanyanya. Birgit menunjuk tumpukan alat di ujung seberang parit. Sewaktu Roran berjalan ke sana, ia melihat kilau tembaga rambut Katrina di tengah punggung-punggung yang bergerak naik-turun. Di samping Katrina, Sloan menggali tanah liat lunak dengan energi yang berlebihan, seakan berusaha menguliti bumi, mengelupas kulit tanah liatnya dan menampilkan otot-otot di bawahnya. Pandangan Sloan liar, dan giginya terlihat mengatup rapat, sekalipun bercak-bercak tanah dan kotoran menodai bibirnya.
Roran bergidik melihat ekspresi Sloan dan bergegas pergi, membuang muka agar tidak beradu pandang dengan Sloan. Ia meraih sekop dan langsung menghunjamkannya ke tanah, berusaha sebaik-baiknya melupakan kekhawatiran dengan mengerahkan tenaga.
Hari berlalu dalam kesibukan, tanpa berhenti untuk makan atau istirahat. Parit bertambah panjang dan dalam, hingga meliputi dua-pertiga desa dan mencapai tepi Sungai Anora. Semua tanah galian ditumpuk di tepi sebelah dalam parit untuk menghalangi siapa pun melompatinya... dan menyulitkan untuk dipanjat keluar.
Dinding pepohonan selesai menjelang sore. Pada saat itu Roran berhenti menggali dan membantu menajamkan pu
luhan cabang--yang tumpang tindih dan terkait--dan memasang jang semak duri. Sesekali, mereka harus menarik sebatang pohon agar petani seperti Ivor bisa membawa masuk ternak mereka ke Carvahall yang aman.
Menjelang malam pertahanannya lebih kuat dan lebih luas daripada yang berani diharapkan Roran, sekalipun mereka perlu bekerja beberapa jam lagi sampai ia puas.
Ia duduk di tanah, mengunyah roti kering dan menatap bintang-bintang dengan kelelahan. Seseorang menyentuh bahunya dan ia menengadah memandang Albriech. "Ini." Albreich mengulurkan perisai kasar dari papan yang digergaji dan dipaku menjadi satu--dan tombak sepanjang enam kaki. Roran menerimanya dengan bersyukur, lalu Albriech melanjutkan perjalanan, membagikan tombak dan perisai pada siapa pun yang ditemuinya.
Roran memaksa diri bangkit, mengambil martil dari rumah Horst, dan dengan persenjataan itu, berjalan ke pintu masuk jalan utama, tempat Baldor dan dua orang lainnya berjaga. "Bangunkan aku kalau kalian perlu beristirahat," kata Roran, lalu membaringkan diri di rerumputan lunak di bawah langkan rumah terdekat. Ia menata senjatanya agar bisa menemukannya dalam gelap dan memejamkan mata dengan sikap menunggu.
"Roran." Bisikan itu berasal dari telinga kanannya. "Katrina"" Ia berusaha bangkit, mengerjapkan mata sementara Katrina membuka kerudung lenteranya hingga seberkas sinar mengenai paha Roran. "Apa yang kaulakukan di sini""
"Aku mau menemuimu." Mata Katrina, besar dan misterius di wajahnya yang pucat, diselubungi bayang-bayang malam. Ia meraih lengan Roran dan membimbingnya ke serambi yang kosong jauh dari pendengaran Baldor dan para penjaga lain. Di sana ia menyentuh pipi Roran dan menciumnya dengan lembut, tapi Roran terlalu lelah dan gelisah untuk membalas kemesraannya. Katrina menjauh dan mengamati Roran. "Ada apa""
Tawa tanpa kegembiraan tersembur dari mulut Roran. "Ada apa" Segalanya tidak beres; situasinya sama kacaunya seperti lukisan yang dipukul sisinya sampai miring." Ia menekankan tinju ke perut. "Dan aku keliru. Setiap kali kubiarkan diriku beristirahat, aku melihat para prajurit yang berlumuran darah dihantam martilku. Orang-orang yang kubunuh, Katrina. Dan mata mereka... mata mereka! Mereka tahu akan mati dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasinya." Ia gemetar dalam kegelapan. "Mereka tahu... aku tahu... dan aku masih haru melakukannya. Tidak bisa--" Kata-kata menghilang darinya saat ia merasakan air mata panas mengalir di pipinya.
Katrina memeluk kepalanya sementara Roran menangis akibat shock yang dialaminya beberapa hari terakhir. Ia menangisi Garrow dan Eragon; ia menangisi Parr, Quimby, dan orang-orang lainnya yang tewas; ia menangisi diri sendiri; dan ia menangisi nasib Carvahall. Ia terisak-isak hingga emosinya mereda dan meninggalkan dirinya sekering dan sehampa bulir gandum tua.
Setelah memaksa diri menghela napas dalam, Roran memandang Katrina dan menyadari gadis itu juga menangis. Dengan ibu jari ia mengusap air mata Katrina, yang seperti butir-butir berlian di malam hari. "Katrina... kekasihku." Ia mengucapkannya lagi, meresapi kata-katanya, "Kekasihku. Aku tidak bisa memberimu apa-apa kecuali cintaku. Tapi... aku harus menanyakan. Maukah kau menikah denganku""
Dalam keremangan cahaya lentera, Roran melihat suka cita murni dan keheranan di wajah Katrina. Lalu gadis itu ragu-ragu dan kegelisahan muncul. Roran keliru karena menanyakan, atau Katrina karena menerimanya, tanpa seizin Sloan. Tapi Roran tidak peduli lagi; ia harus tahu sekarang apakah ia dan Katrina akan menghabiskan hidup mereka bersama.
Lalu, dengan suara lembut, "Ya, Roran, aku mau."
DI BAWAH LANGIT YANG MENGGELAP
Malam itu hujan turun. Berlapis-lapis awan tebal menyelimuti Lembah Palancar, menempel pada pegunungan dengan lengan-lengan yang kuat dan memenuhi udara dengan kabut tebal dan dingin, Dari dalam, Roran memandangi saat untaian air kelabu menghantami pepohonan yang dedaunannya basah berbuih, memenuhi parit di sekeliling Carvahall dengan lumpur, dan menggoreskan jemari yang tumpul ke atap dan langkan jerami saat awan-awan menumpahkan muatan
mereka. Segalanya bergarisgaris kena aliran hujan, buram, dan tersembunyi di balik curahan tak terbendung.
Menjelang siang badai mereda, sekalipun gerimis masih terus menerobos kabut. Rambut dan pakaian Roran dengan cepat basah kuyup sewaktu ia berjaga di penghalang jalan utama. Ia berjongkok di samping balok kayu yang berdiri tegak, mengibaskan jubah, lalu menarik kerudung lebih rendah menutupi wajahnya dan mencoba mengabaikan dinginnya udara.
Meskipun cuaca buruk, Roran merasa sangat gembira karena Katrina menerimanya. Mereka bertunangan! Dalam benaknya rasanya seperti ada kepingan dunia hilang yang dikembalikan ke tempatnya, seakan ia mendapat keyakinan diri pejuang yang tidak terkalahkan. Apa artinya para prajurit, atau Ra'zac, atau bahkan Kekaisaran sendiri, dibandingkan cinta seperti cinta mereka" Tidak ada.
Tapi, terlepas dari suka cita barunya, benaknya tetap terfokus pada apa yang menjadi inti terpenting keberadaannya: bagaimana memastikan Katrina selamat dari kemurkaan Galbatorix. Ia tidak memikirkan apa-apa lagi sejak terjaga. Yang terbaik adalah Katrina pindah ke rumah Cawley, pikirnya mengambil keputusan, sambil menatap jalan yang buram, tapi Katrina mungkin tidak akan pernah setuju untuk pergi... kecuali Sloan memerintahkan begitu. Mungkin aku bisa meyakinkan Sloan; aku yakin ia ingin Katrina menjauhi bahaya sama seperti diriku
Sementara ia mempertimbangkan cara mendekati si tukang jagal, awan kembali menebal dan hujan memperbarui serangannya terhadap desa, menghunjam miring dalam gelombang yang menyengat. Di sekitar Roran, genangan-genangan bagai tersentak hidup saat tetes-tetes air memukuli permukaannya, memantul kembali seperti belalang yang terkejut.
Sewaktu merasa lapar, Roran mengalihkan tugas jaga pada Larne--putra bungsu Loring--dan pergi mencari makan siang, melesat dari satu langkan ke langkan yang lain. Sewaktu berbelok di tikungan, ia terkejut melihat Albriech di serambi rumah, berdebat sengit dengan sekelompok orang.
Ridley berteriak, "...kau buta-susuri pohon-pohon kapuk, maka mereka tidak akan pernah melihat! Kau membabi buta."
"Cobalah kalau kau mau," balas Albriech.
"Pasti!" "Sesudah itu kau bisa memberitahuku bagaimana rasanya tertusuk anak panah."
"Mungkin," kata Thane, "kami tidak selamban dirimu."
Albriech berpaling padanya sambil menggeram. "Kata-katamu sama tololnya seperti otakmu. Aku tidak cukup bodoh untuk mempertaruhkan keluargaku pada perlindungan beberapa helai daun yang belum pemah kulihat sebelumnya." Mata Thane membelalak dan wajahnya berubah merah padam. "Kenapa"" ejek Albriech. "Lidahmu hilang""
Thane meraung dan menghantam pipi Albriech dengan tinlunya. Albriech tertawa. "Lenganmu sama lemahnya seperti lengan wanita." Lalu ia meraih bahu Thane dan melemparnya ke lumpur di luar serambi, tempat Thane terkapar, tertegun.
Sambil memegang tombak seperti memegang tongkat, Roran melompat ke samping Albriech, menghalangi Ridley dan yang lain agar tidak menyerang Albriech. "Hentikan," geram Roran murka. "Kita memiliki musuh-musuh lain. Kita bisa menyelenggarakan pertemuan dan para penengah akan memutuskan apakah Albriech atau Thane harus membayar ganti rugi. Tapi sebelum itu, kita tidak boleh berkelahi sendiri."
"Mudah bagimu mengatakannya," Ridley menukas. "Kau tidak memiliki istri atau anak-anak." Lalu ia membantu Than, berdiri dan berlalu bersama yang lain.
Roran menatap tajam Albriech dan memar ungu yang melebar di bawah mata kanannya. "Apa penyebabnya"" tanyanya.
"Aku--" Albriech terdiam sambil meringis dan meraba rahangnya. "Aku pergi memeriksa situasi bersama Darmmen Ra'zac menempatkan prajurit-prajurit di sejumlah bukit. Mereka bisa melihat ke seberang Anora dan ke seluruh lembah. Satu atau dua dari kita mungkin, mungkin, bisa menyelinap melewati mereka tanpa ketahuan, tapi kita tidak akan pernah bisa mengirim anak-anak ke Cawley tanpa membunuh prajurit-prajurit itu, dan dengan begitu sama saja kita memberitahukan tujuan kita pada Ra'zac."
Ketakutan melanda Roran, membanjir seperti racun ke jantung dan seluruh pembuluh darahnya. Apa yang bisa kulakukan" Mua
l karena khawatir akan kehancuran yang mengintai, ia memeluk bahu Albriech dengan satu lengan. "Ayo; sebaiknya Gertrude memeriksamu."
"Tidak," kata Albriech, sambil melepaskan lengan Roran. "Banyak yang lebih perlu diperhatikannya daripada diriku." Ia menarik napas dengan sikap bersiap-siap--seakan hendak terjun ke danau--dan terhuyung menerobos hujan ke bengkel.
Roran mengawasi kepergiannya, lalu menggeleng dan masuk. Ia mendapati Elain duduk di lantai bersama sebarisan anak, mengasah setumpuk mata tombak dengan kikir dan batu asahan. Roran memberi isyarat pada Elain. Begitu mereka berada di ruangan lain, ia memberitahu Elain apa yang baru saja terjadi.
Elain memaki kasar--mengejutkan Roran, karena ia belum pernah mendengar Elain menggunakan kata-kata seperti itu lalu bertanya, "Apa ada sebab bagi Thane untuk menyatakan perseteruan""
"Mungkin," Roran mengakui. "Mereka berdua saling menghina tapi hinaan Albriech paling pedas... Namun Thane yang memukul terlebih dulu. Kau sendiri bisa menyatakan perseteruan."
"Omong kosong," kata Elain, sambil melilitkan syal di bahu. "Biar para penengah yang menyelesaikan perselisihan ini. Kalau kami harus membayar ganti rugi, biarlah, selama bisa menghindari pertumpahan darah." Ia melangkah ke pintu depan, sambil membawa sebilah mata tombak yang telah selesai diasah.
Dengan risau Roran mencari roti dan daging di dapur, lalu rnembantu anak-anak menajamkan mata tombak. Begitu Felda, salah seorang ibu, tiba, Roran meninggalkan anak-anak dalam pengawasannya dan kembali melintasi Carvahall ke jalan utama.
Sementara ia berjongkok dalam lumpur, seberkas cahaya matahari menerobos dari balik awan dan menerangi hujan hingga setiap tetesnya berkilau bagai api kristal. Roran menatapnya, tertegun, mengabaikan air yang mengalir turun di wajahnya. Celah di awan semakin lebar hingga awan mendung tebal menggantung di sebelah barat, menutupi tiga perempat Lembah Palancar, menghadap selarik langit biru yang bersih. Karena atap-atap di atas dan sudut matahari, pemandangan yang basah akibat hujan tampak terang benderang di satu sisi dan tertutup keremangan pekat di sisi lain, menyebabkan ladang-ladang, sesemakan, pepohonan, sungai, dan pegunungan kelihatan sangat indah. Rasanya seolah seluruh dunia berubah menjadi patung logam yang digosok.
Tepat pada saat itu, ada gerakan yang menarik perhatian Roran, dan ia memandang ke jalan tempat seorang prajurit berdiri, jala bajanya berkilau seperti es. Pria itu ternganga memandang pertahanan baru Carvahall, lalu berbalik dan melarikan diri ke dalam kabut keemasan.
"Prajurit!" teriak Roran, sambil melompat bangkit. Ia menyesal tidak membawa busurnya, tapi ia meninggalkan busurnya itu di rumah untuk melindunginya dari hujan. Satu-satunya hiburan hanyalah para prajurit tersebut lebih sulit lagi menjaga persenjataan mereka tetap kering.
Para pria dan wanita berhamburan dari rumah masing-masing, berkumpul di sepanjang parit, dan memandang ke balik dinding balok pinus yang bertumpuk. Cabang-cabangnya yang panjang meneteskan air, cermin-cermin kecil yang memantulkan deretan mata yang gelisah.
Roran berdiri di samping Sloan. Si tukang daging menyandang salah satu perisai darurat Fisk di tangan kiri, dan di tangan kanannya terdapat golok daging yang melengkung seperti bulan sabit. Sabuknya dipenuhi sedikitnya selusin pisau, semuanya besar dan setajam pisau cukur. Ia dan Roran saling mengangguk singkat, lalu memfokuskan pandangan kembali ke tempat prajurit tadi menghilang.
Kurang dari semenit kemudian, suara Ra'zac yang tak berwujud terdengar dari dalam kabut, "Dengan terus melindungi Carvahall, kalian menunjukkan pilihan kalian dan memastikan kehancuran kalian. Kalian akan mati!"
Loring menjawab, "Tunjukkan wajahmu yang penuh belatung kalau berani, pengecut berkaki bengkok dan bermata ular! Akan kami pecahkan tengkorakmu dan kami gemukkan babi-babi kami dengan darahmu!"
Sosok hitam melayang ke arah mereka, diikuti debuman pelan tombak yang menancap di pintu, satu inci dari lengan kiri Gedric.
"Berlindung!" teriak Horst dari tengah barisan. Roran berlutut di ba
lik perisai dan mengintip melalui celah tipis di antara dua papan. Ia tepat pada waktunya, karena setengah lusin tombak melayang melewati dinding pepohonan dan membenamkan diri di antara para penduduk desa yang meringkuk.
Dari suatu tempat di tengah kabut terdengar jerit kesakitan.
Jantung Roran bagai terlompat karena menderita. Ia terengah-engah, sekalipun ia tidak bergerak, dan tangannya licin karena keringat. Ia mendengar suara samar kaca pecah di tepi utara Carvahall... lalu bunyi ledakan dan balok-balok kayu yang jatuh.
Setelah berputar, ia dan Sloan berlari menyeberangi Carvahall ke tempat mereka menemukan enam prajurit menyeret sisa-sisa beberapa batang pohon. Di belakang mereka, pucat dan menakutkan dalam siraman hujan yang kemilau, para Ra'zac duduk di kuda hitam mereka. Tanpa melambat, Roran menerjang prajurit pertama, menghunjamkan tombaknya. Tusukan pertama dan kedua ditangkis lengan yang terangkat, lalu Roran menSenai pinggul prajurit itu, dan sewaktu si prajurit terhuyung, ia menikam tenggorokannya.
Sloan melolong seperti makhluk buas yang terluka, melemparkan golok, dan membelah helm salah satu prajurit, menghancurkan tengkoraknya. Dua prajurit menyerangnya dengan pedang terhunus. Sloan melangkah ke samping, sekarang tertawa, dan menangkis serangan mereka dengan perisai. Seorang prajurit berputar begitu keras hingga pedangnya menancap di sisi perisai. Sloan menyentakkannya mendekat dan menusuk matanya dengan pisau pengukir dari sabuknya. Setelah mencabut golok kedua, tukang daging itu mengelilingi lawannya yang satu lagi sambil menyeringai sinting. "Apa sebaiknya kucabik perutmu, atau kugorok"" tanyanya, nyaris menari-nari sambil menyeringai menakutkan karena berlumuran darah.
Roran kehilangan tombaknya karena dua prajurit yang dihadapinya sesudah itu. Ia nyaris tidak sempat mencabut martil untuk menangkis pedang yang hendak memutus kakinya. Prajurit yang berhasil merampas tombak dari tangan Roran sekarang melemparkan senjata itu ke arahnya, membidik dadanya. Roran menjatuhkan martil, menangkap gagang tombak di udara--yang mengejutkan dirinya, juga prajurit itu--memutarnya, dan menghunjamkan tombak itu menembus baju besi dan rusuk orang yang melemparnya. Tak bersenjata, Roran terpaksa mundur dari hadapan prajurit yang tersisa, mati-matian mencari apa pun dalam lumpur semata kaki, apa saja yang bisa digunakarulya sebagai senjata. Gagang pedang menyapu jemarinya, dan ia mencabutnya dari lumpur lalu mengibaskannya ke tangan prajurit yang memegang pedang, memutuskannya.
Pria itu tertegun menatap sisa tangannya yang berlumuran darah, lalu berkata, "Ini akibat aku tidak melindungi diri."
Aye, " Roran menyetujui, dan memenggal kepalanya.
Prajurit terakhir panik dan melarikan diri ke Ra'zac sementara Sloan menghujaninya dengan makian dan ejekan. Sewaktu Prajurit itu akhirnya berhasil menerobos tirai hujan, Roran mengawari dengan ngeri saat dua sosok hitam membungkuk di atas tunggangan masing-masing, di kedua sisi prajurit, dan mencengkeram pangkal lehernya dengan tangan yang bengkok. Jemari rnereka yang kejam bertambah erat, dan pria itu menjerit putus asa dan tersentak-sentak, lalu terkulai. Ra'zac meletakkan mayat itu di belakang salah satu pelana mereka sebelum berbalik dan berderap pergi.
Roran bergidik dan memandang Sloan, yang tengah membersihkan pisau. "Kau bertempur dengan baik." Ia tidak pernah menduga si tukang daging bisa sebuas itu.
Sloan berkata dengan suara pelan, "Mereka tidak akan pernah mendapatkan Katrina. Tidak akan pernah, bahkan kalau aku harus menguliti mereka, atau melawan seribu Urgal dan Raja habis-habisan. Akan kucabik langit dan membiarkan Kekaisaran tenggelam dalam darahnya sendiri bahkan sebelum Katrina tergores sedikit pun." Ia menutup mulutnya rapat-rapat setelah itu, menjejalkan pisau terakhirnya ke sabuk, dan menyeret ketiga batang pohon itu kembali ke posisi semula.
Sementara Sloan berbuat begitu, Roran menggulingkan mayat-mayat prajurit di lumpur yang terinjak-injak, menjauhi pertahanan. Sekarang aku telah membunuh lima orang. Setelah menyelesaikan tugas, ia menegakkan
tubuh dan memandang sekitarnya, kebingungan, karena ia hanya mendengar kesunyian dan desis hujan. Kenapa tidak ada yang membantu kami"
Penasaran ada kejadian apa lagi, ia kembali bersama Sloan ke lokasi penyerangan pertama. Dua prajurit terkulai tak bernyawa di cabang-cabang dinding pepohonan, tapi bukan itu yang menarik perhatian mereka. Horst dan penduduk desa lainnya tengah berlutut mengelilingi sesosok tubuh kecil. Napas Roran tertahan. Sosok itu Elmund, putra Delwin. Bocah sepuluh tahun itu tertusuk tombak di sisi tubuhnya. Orangtuanya duduk di lumpur di sampingnya, wajah mereka sehampa batu.
Harus mengambil tindakan, pikir Roran, sambil berlutut dan bersandar ke tombaknya. Hanya sedikit anak yang berhasil melewati usia lima atau enam tahun. Tapi kehilangan putra pertamamu sekarang, sewaktu segalanya menunjukkan ia akan tumbuh jangkung dan kuat untuk mengambil alih tempat ayahnya di Carvahall--itu cukup untuk menghancurkan dirimu. Katrina... anak-anak... mereka semua harus dilindungi. Tapi di mana"... Di mana"... Di mana"... Di mana!
MENYUSURI ALIRAN YANG DERAS
Pada hari pertama dari Tarnag, Eragon berusaha mempelajari nama-nama para pengawal Undin. Mereka adalah Ama, Trihga, Hedin, Ekksvar, Shrrgnien--yang sulit diucapkan Eragon, sekalipun ia diberitahu itu berarti Hati Serigala--Duthmer, dan Thorv.
Setiap rakit dilengkapi kabin kecil di tengah. Eragon lebih suka menghabiskan waktu duduk di tepi rakit, memandangi Pegunungan Beor melintas. Burung-burung kingfisher dan jackdaw melayang di atas sungai yang jernih, sementara heron biru berdiri diam di tepinya yang berlumpur, yang dihiasi garis-garis cahaya yang menerobos cabang-cabang pohon hazel, beech, dan dedalu. Sesekali, katak bullfrog mengorek dari rumpun pakis.
Sewaktu Orik duduk di sampingnya, Eragon berkata, "Indah."
"Memang." Kurcaci itu menyulut pipanya tanpa bicara, lalu menyandar ke belakang dan mengembuskan asapnya.
Eragon mendengarkan derik kayu dan tali sementara Trihga mengemudikan rakit dengan dayung panjang di buritan. "Orik, bisa kauberitahukan kenapa Brom bergabung dengan kaum Varden" Aku hanya tahu sedikit mengenai dirinya. Hampir seumur hidupku, ia hanya pendongeng desa."
Ia tidak pernah bergabung dengan kaum Varden; ia membantu mendirikannya." Orik terdiam sejenak untuk membuang abu ke air. "Sesudah Galbatorix menjadi raja, Brom satu-satunya Penunggang yang masih hidup, selain para Terkutuk."
Tapi ia bukan Penunggang, pada saat itu tidak. Naganya terbunuh dalam pertempuran di Doru Araeba."
"Well, Penunggang berdasarkan latihan. Brom yang pertama mengorganisir teman-teman dan sekutu para Penunggang yahg terpaksa bersembunyi. Ia yang meyakinkan Hrothgar untUk mengizinkan kaum Varden tinggal di Farthen Dur, dan ia yang mendapat bantuan para elf."
Mereka membisu sejenak. "Kenapa Brom menolak memim pin"" tanya Eragon.
Orik tersenyum tipis. "Mungkin ia tidak pernah mengingin. kannya. Kejadiannya sebelum Hrothgar mengadopsi diriku, jadi aku jarang bertemu Brom di Tronjheim... Ia selalu pergi bertempur melawan para Terkutuk atau terlibat dalam suatu rencana."
"Orangtuamu sudah meninggal""
"Aye. Cacar mengambil mereka sewaktu aku masih muda, dan Hrothgar cukup baik untuk menerimaku di aulanya dan, karena ia tidak memiliki anak sendiri, menjadikan aku ahli warisnya."
Eragon teringat pada helmnya, yang ditandai lambang Ingeitum. Hrothgar juga baik padaku.
Sewaktu senja tiba, para kurcaci menggantung lentera di setiap sudut rakit. Lentera-lentera itu berwarna merah, dan Eragon ingat gunanya supaya mereka bisa melihat di malam hari. Ia berdiri di dekat Arya dan mengamati kedalaman cahaya lentera yang murni dan tidak bergerak. "Kau tahu cara membuat lentera-lentera ini"" tanyanya.
"Itu mantra yang kami berikan pada kurcaci dulu sekali. Mereka menggunakannya dengan sangat ahli."
Eragon mengulurkan tangan dan menggaruk dagu serta pipinya, merasakan ujung-ujung janggut mulai bermunculan. "Bisa kau mengajariku lebih banyak sihir selama kita dalam perjalanan""
Arya memandangnya, keseimbangannya sempurna di atas balok-balok kayu yang naik-turun
. "Bukan hakku. Ada guru yang menunggumu."
"Kalau begitu, setidaknya katakan," kata Eragon, "apa arti nama pedangku""
Suara Arya sangat lembut. "Kesengsaraan adalah nama Pedangmu. Dan begitulah yang ditimbulkannya hingga kau menggunakannya."
Eragon menatap Zar'roc dengan gundah. Semakin ia mempelajari senjatanya, rasanya semakin jahat pedang itu, seakan pedang tersebut bisa menimbulkan kesialan sendiri. Bukan saja Morzan membunuh para Penunggang dengan pedang ini, tapi Zar'roc sendiri pun jahat. Kalau bukan Brom yang memberikan pedang itu padanya, dan kalau bukan karena fakta bahwa Zar'roc tidak pernah tumpul dan tidak bisa dipatahkan, Eragon pasti membuangnya ke sungai saat itu juga.
Sebelum cuaca bertambah gelap, Eragon berenang mendatangi Saphira. Mereka terbang bersama untuk pertama kalinya sejak meninggalkan Tronjheim dan membubung tinggi di atas Az Ragni, di mana udara tipis dan air di bawah hanya berupa garis keunguan.
Tanpa pelana, Eragon mencengkeram Saphira erat-erat dengan lutut, merasakan sisik-sisiknya yang keras menggosok bekas luka akibat penerbangan pertama mereka.
Sewaktu Saphira miring ke kiri, membubung menunggangi aliran udara ke atas, Eragon melihat tiga bercak cokelat bergerak dari lereng gunung di bawah dan naik dengan cepat. Mulanya Eragon mengira mereka burung falcon, tapi sewaktu ketiganya mendekat, ia menyadari hewan-hewan itu panjangnya hampir dua puluh kaki, dengan ekor lancip dan sayap kulit. Malahan, ketiganya lebih mirip naga, sekalipun bertubuh lebih kecil, lebih kurus, dan lebih mirip ular daripada tubuh Saphira. Sisik mereka juga tidak berkilau, tapi berwarna hijau dan cokelat pudar.
Dengan penuh semangat, Eragon menunjukkan ketiganya pada Saphira. Apakah mereka naga" tanyanya.
Entah. Saphira melayang di tempat, mengamati para pendatang baru itu saat mereka berputar mengelilinginya. Makhlukmakhluk tersebut tampak bingung melihat Saphira. Mereka melesat mendekatinya, hanya untuk mendesis dan berbelok di atas kepala pada saat-saat terakhir.
Eragon tersenyum dan menjangkau dengan benaknya, berusaha menyentuh pikiran mereka. Sewaktu ia berbuat begitu, ketiganya tersentak dan menjerit, membuka moncong mereka seperti Ular yang lapar. Jeritan melengking mereka mental kaligus fisik. Jeritan itu mencabik-cabik Eragon dengan kekuatan yang brutal, berusaha melumpuhkan dirinya. Saphira juga merasakannya. Sambil terus menjerit, makhluk-makhluk itu menyerang menggunakan cakar-cakar setajam pisau cukur.
Bertahanlah, Saphira memperingatkan. Ia melipat sayap kirinya dan berputar seratus delapan puluh derajat, menghindari dua makhluk itu, lalu mengepakkan sayap dengan cepat, membubung di atas makhluk yang satu lagi. Pada saat yang sama, Eragon mati-matian berusaha menghalangi jeritan mereka. Begitu benaknya jernih, ia menjangkau kekuatan sihirnya. Jangan bunuh mereka, kata Saphira. Aku menginginkan pengalaman ini.
Sekalipun makhluk-makhluk tersebut lebih lincah daripada Saphira, Saphira memiliki keuntungan tubuhnya yang lebih besar dan lebih kuat. Salah satu makhluk itu menukik ke arahnya. Saphira berjungkir balik--ke belakang--dan menendang dada hewan itu.
Jeritan seketika mereda saat musuhnya yang terluka itu menjauh.
Saphira membentangkan sayap, melambung hingga berhadapan dengan dua makhluk lain yang mengepungnya. Ia melengkungkan leher, Eragon mendengar gemuruh dalam di selasela rusuknya, lalu semburan api menyambar dari mulut Saphira. Cahaya kebiruan menyelimuti kepala Saphira, mengilap di sisik-sisiknya yang bagai permata hingga ia berpendar megah dan tampak seperti menyala dari dalam.
Kedua makhluk mirip naga itu menjerit kecewa dan berbelok. Serangan mental berhenti saat mereka melesat pergi, mundur ke lereng pegunungan.
Kau hampir menjatuhkan aku, kata Eragon, sambil mengendurkan lengannya yang kram dari leher Saphira.
Saphira memandangnya dengan sombong. Hampir, tapi tidak, kan"
Benar juga, Eragon tertawa.
Dengan wajah merah akibat kemenangan, mereka kembali ke rakit. Sewaktu Saphira mendarat di antara dua riak air yang besar, Orik berteriak, "Kalian terluka""
"Tidak!" seru Eragon. Air sedingin es mengalir deras di kakinya saat Saphira berenang ke sisi rakit. "Apa tadi itu ras lain yang unik di Beor""
Orik menariknya ke rakit. "Kami menyebutnya Fanghur. Mereka tidak secerdas naga dan tidak bisa menyemburkan api, tapi tetap merupakan lawan yang tangguh."
"Kami juga mendapati begitu." Eragon memijat-mijat keningnya untuk menyingkirkan pusing akibat serangan Fanghur. "Tapi Saphira lebih tangguh daripada mereka." Tentu saja, timpal Saphira.
Begitulah cara mereka berburu," Orik menjelaskan. "Mereka menggunakan pikirannya untuk melumpuhkan mangsa sebelum membunuhnya."
Saphira mencipratkan air ke Eragon dengan ekornya. Gagasan bagus. Mungkin akan kucoba kalau aku berburu lagi kelak.
Eragon mengangguk. Berguna juga dalam pertempuran.
Arya mendekat ke tepi rakit. "Aku senang kau tidak membunuh mereka. Fanghur cukup langka hingga kehilangan ketiga makhluk tadi akan sangat menyakitkan."
"Mereka masih berhasil menyantap ternak kami cukup banyak," kata Thorv dari dalam kabin. Kurcaci itu keluar mendekati Eragon, tampak jengkel di balik janggutnya yang bersimpulsimpul. "Jangan terbang lagi di Pegunungan Beor ini, Shadeslayer. Sudah cukup sulit untuk menjaga keselamatan kalian tanpa kau dan nagamu ini melawan para pemburu angin."
"Kami akan tetap di darat hingga tiba di dataran," kata Eragon berjanji.
"Bagus. "Sewaktu mereka berhenti untuk bermalam, para kurcaci menambatkan rakit-rakit ke pepohonan aspen di sepanjang mulut sungai kecil. Ama menyalakan api unggun sementara Eragon membantu Ekksvar mendaratkan Snowfire. Mereka mengikat kuda itu di sepetak rerumputan.
Thorv mengawasi pendirian enam tenda besar. Hedin mengumpulkan kayu bakar hingga cukup sampai pagi, dan Duthmer menurunkan persediaan dari rakit kedua lalu mulai memasak makan malam. Arya berjaga di tepi perkemahan, dan tidak lama kemudian ia ditemani Ekksvar, Ama, dan Trihga sesudah mereka bertiga menyelesaikan tugas.
Sewaktu Eragon menyadari ia tidak memiliki tugas, ia berjongkok di dekat api unggun bersama Orik dan Shrrgnien. Sewaktu Shrrgnien menanggalkan sarung tangan dan mengacungkan tangannya yang dipenuhi bekas luka ke atas api, Eragon melihat ada paku-paku baja mengilap--sekitar seperempat inci panjangnya--mencuat dari setiap buku jari kurcaci itu, kecuali pada ibu jarinya.
"Apa itu"" tanyanya.
Shrrgnien memandang Orik dan tertawa. "Ini Ascudgamln" 'tinju bajaku'." Tanpa berdiri, ia berputar dan memukul sebatang aspen, meninggalkan empat lubang yang simetris pada kulit pohon tersebut. Shrrgnien kembali tertawa. "Bagus untuk bertempur, eh""
Timbul rasa penasaran dan iri Eragon. "Bagaimana cara membuatnya" Maksudku, bagaimana paku-paku itu ditancapkan ke tanganmu""
Shrrgnien ragu-ragu, berusaha menemukan kata yang tepat. "Tabib menidurkan dirimu, agar kau tidak merasa sakit. Lalu ada lubang yang--diborkan, ya"--diborkan ke sendimu..." Ia terdiam dan berbicara dengan cepat pada Orik dalam bahasa kurcaci.
"Dudukan logam ditancapkan ke setiap lubang," Orik menjelaskan.
"Sihir digunakan untuk menempelkan dudukan itu, dan sesudah si pejuang sembuh sepenuhnya, berbagai macam paku bisa ditancapkan di dudukan itu."
"Ya, lihat," kata Shrrgnien, sambil tersenyum. Ia mencengkeram paku besi di atas jari telunjuk kirinya, dengan hati-hati memuntirnya hingga lepas dari buku jari, lalu memberikannya kepada Eragon.
Eragon tersenyum sambil memutar-mutar gumpalan tajam itu di telapak tangannya. "Aku tidak keberatan memiliki 'tinju baja'." Ia mengembalikan paku itu kepada Shrrgnien.
"Operasi yang berbahaya," Orik memperingatkan. "Hanya sedikit knurlan yang mendapat Ascudgamln karena kalian bisa kehilangan fungsi tangan dengan mudah kalau bornya terlalu dalam." Ia mengangkat tinju dan menunjukkannya pada Eragon. "Tulang kami lebih tebal daripada tulang kalian. Mungkin cara itu tidak bagus bagi manusia."
"Akan kuingat." Sekalipun begitu, Eragon tetap membayangkan bagaimana rasanya bertempur menggunakan Ascudgamln, bisa menghantam apa pun tanpa tertahan, termasuk Urgal berbaju besi. Ia menyukai gagasan itu.
Sesudah makan, Eragon masuk ke
tenda. Api memberikan cukup cahaya hingga ia bisa melihat siluet Saphira yang berbaring di samping tenda, seperti sosok yang dipotong dari kertas hitam dan ditempelkan ke dinding kanyas.
Eragon duduk dengan selimut menutupi kaki dan menatap pangkuannYa, mengantuk tapi masih belum ingin tidur. Tanpa tertahan, pikirannya kembali ke rumah. Ia ingin tahu bagaimana keadaan Roran, Horst, dan semua orang lain di Carvahall, dan apakah cuaca di Lembah Palancar cukup hangat bagi para petani untuk mulai menanami ladang. Kerinduan dan kesedihan tiba-tiba mencengkeram Eragon.
Ia mengambil mangkuk kayu dari tas dan, sesudah mengambil kantong air, mengisi mangkuk itu dengan cairan hingga penuh. Lalu ia memusatkan perhatian pada bayangan Roran dan berbisik, "Draumr kopa."
Seperti biasa, airnya berubah menghitam sebelum berubah kembali menjadi cerah dan menunjukkan objek yang tengah di-scry. Eragon melihat Roran duduk seorang diri di kamar tidur yang diterangi lilin, yang dikenalinya sebagai kamar tidur di rumah Horst. Roran pasti sudah meninggalkan pekerjaannya di Therinsford, Eragon menyadari. Sepupunya itu bertelekan pada lutut dan menangkupkan tangan, menatap dinding seberang dengan ekspresi yang diketahui Eragon berarti Roran tengah memikirkan masalah sulit. Sekalipun begitu, Roran tarnpak cukup sehat, walau agak tertutup, membuat Eragon terhibur sedikit. Sesudah semenit, ia melepaskan sihir, mengakhiri mantranya, dan menjernihkan permukaan air.
Dengan perasaan tenang kembali, Eragon mengosongkan mangkuknya, lalu membaringkan diri, menarik selimut hingga dagu. Ia memejamkan mata dan membenamkan diri ke dalam senja yang hangat dan memisahkan kesadaran dan tidur, di mana kenyataan dibelokkan dan bergoyang ditiup angin pikiran, dan di mana kreatifitas berkembang dalam kebebasannya dari keterbatasan dan segala hal mungkin saja terjadi.
Tidur menguasainya. Sebagian besar masa istirahatnya berlangsung tenang hingga tepat sebelum ia terjaga, hantu-hantu malam yang biasa menemaninya digantikan visi yang sejelas dan sehidup pengalaman saat terjaga.
Ia melihat langit yang tersiksa, hitam dan merah karena asap Banyak gagak dan elang terbang tinggi, berputar di atas anak-anak panah yang melayang melengkung dari satu sisi pertempuran ke sisi yang lain. Seorang pria terkapar dalam lumpur dengan helm penyok dan jala baja berlumuran darah--wajahnya tersembunyi di balik lengan yang terangkat.
Tangan berbaju besi memasuki pandangan Eragon. Sarung tangan besi itu begitu dekat hingga menghalangi separo dunia dengan logamnya yang mengilap. Seperti mesin yang tidak bisa ditahan, ibu jari dan ketiga jarinya mengepal membentuk tinju, hingga hanya telunjuk yang menuding pria yang terkapar itu dengan kekuatan takdir.
Visi itu masih memenuhi benak Eragon sewaktu ia merangkak keluar dari tenda. Ia menemukan Saphira agak jauh dari perkemahan, menggigiti gumpalan berbulu. Sewaktu Eragon memberitahukan apa yang dilihatnya, Saphira menghentikan gigitannya, lalu menyentakkan leher dan menelan sepotong daging.
Terakhir kali kejadian seperti itu, katanya, visimu terbukti merupakan ramalan sebenarnya dari kejadian-kejadian di tempat lain. Menurutmu apakah ada pertempuran yang sedang berlangsung di Alagaesia"
Eragon menendang sebatang cabang yang lepas. Aku tidak yakin... Kata Brom kau hanya bisa men-scry orang-orang, tempat-tempat, dan benda-benda yang pernah kaulihat. Tapi aku belum pernah melihat tempat itu. Aku juga tidak pernah bertemu Arya sewaktu pertama kali memimpikan dirinya di Teirm.
Mungkin Togira Ikonoka bisa menjelaskan.
Sementara mereka bersiap-siap berangkat, para kurcaci sekarang tampak lebih santai karena mereka telah cukup jauh dari Tarnag. Sewaktu mereka mulai menyusuri Az Ragni, Ekksvar--yang mengemudikan rakit tempat Snowfire berada--mulai bernyanyi dengan suara basnya yang kasar:
Menyusuri aliran deras parah Kilf yang membual-bual,
Kami menaiki balok-balok yang tumpang-tindih,
Demi keluarga, klan, dan kehormatan.
Di bawah langit ernes, Menerobos mangkuk-mangkuk hutan serigala es,
Kami menaiki balok kayu, Demi besi, emas, dan i
ntan. Biarlah genta tangan dan penjaga berjanggut memenuhi tanganku
Dan daun tempur menjaga batuku
Dan akan kutinggalkan aula para ayahku
Demi lahan kosong di baliknya.
Kurcaci-kurcaci yang lain menggabungkan diri dengan Ekksvar, beralih ke bahasa Dwarvish saat melanjutkan ke baitbait berikutnya. Dengungan pelan suara mereka menemani Eragon sementara ia dengan riang berjalan ke kepala rakit, tempat Arya duduk bersila.
"Aku semalam mendapat... visi dalam tidurku," kata Eragon. Arya memandangnya dengan penuh minat, dan Eragon menceritakan bayangan-bayangan yang dilihatnya. "Kalau itu scrying, maka--"
"Itu bukan scrying," kata Arya. Ia berbicara dengan kelambanan yang disengaja, seakan agar tidak terjadi salah pengertian. "Aku sudah lama memikirkan bagaimana kau bisa melihatku ditawan di Gil'ead, dan aku yakin bahwa sewaktu pingsan, rohku mencari bantuan, di mana pun yang bisa kutemukan."
Tapi kenapa diriku""
Arya mengangguk ke arah tempat Saphira berenang. "Aku terbiasa dengan kehadiran Saphira selama lima belas tahun menjaga telurnya. Aku menjangkau apa pun yang terasa kukenali sewaktu menyentuh mimpi-mimpimu."
"Apa kau benar-benar cukup kuat untuk menghubungi sese, orang di Teirm dari Gil'ead" Terutama saat kau di bawah pengaruh obat."
Senyum yang sangat tipis menyentuh bibir Arya. "Aku mampu berdiri di gerbang Vroengard dan berbicara denganmu sejelas sekarang ini." Ia diam sejenak. "Kalau kau tidak men-scry diriku di Teirm, kau tidak mungkin bisa men-scry mimpi baru ini. Ini pasti firasat. Firasat diketahui sering muncul pada ras yang memiliki kesadaran, terutama di antara pengguna sihir."
Eragon mencengkeram jala-jala yang membungkus buntalan persediaan ketika rakit tersentak. "Kalau apa yang kulihat akan terjadi, bagaimana cara kita mengubah apa pun yang terjadi" Apakah pilihan kita berpengaruh" Bagaimana kalau aku terjun ke sungai dan tenggelam sekarang juga""
"Tapi kau tidak akan berbuat begitu." Arya mencelupkan telunjuk kirinya ke sungai dan menatap setetes air yang bertahan pada kulitnya, seperti lensa yang bergetar. "Sekali waktu, dulu sekali, ada elf bernama Maerzadi yang mendapat firasat bahwa dirinya tanpa sengaja akan membunuh putranya dalam pertempuran. Bukannya menunggu hingga firasat itu menjadi kenyataan, ia bunuh diri, menyelamatkan putranya, dan pada saat yang sama membuktikan bahwa masa depan tidaklah pasti. Tapi, membunuh dirimu sendiri tidak akan banyak mengubah takdirmu, karena kau tidak tahu pilihan-pilihan apa yang akan membawamu ke titik waktu yang kaulihat itu." Ia membalik tangan dan air itu menetes ke balok di antara mereka. "Kita tahu ada kemungkinan mendapatkan informasi dari masa depan--para peramal sering bisa merasakan jalan hidup seseorang--tapi kita tidak mampu menghaluskan prosesnya hingga kau bisa memilih apa, di mana, atau kapan yang ingin kau lihat."
Eragon mendapati seluruh konsep mengenai penyaluran pengetahuan melewati waktu sangatlah meresahkan. Konsep itu menimbulkan terlalu banyak pertanyaan mengenai sifat kenyataan. Entah nasib dan takdir benar-benar ada atau tidak, satu-satunya yang bisa kulakukan adalah menikmati saat ini dan hidup seterhormat mungkin. Namun ia tak mampu menahan diri untuk ddak bertanya, "Tapi apa yang mencegahku men-scry salah satt, kenanganku" Aku sudah melihat segala sesuatu di dalamnya.,, jadi seharusnya aku bisa melihatnya dengan sihir."
Tatapan Arya terarah lurus ke matanya. "Kalau kau menghargai hidupmu, jangan pernah mencobanya. Bertahun-tahun yang lalu, sejumlah perapal mantra kami mcngabdikan diri pada usaha mengalahkan teka-teki waktu. Sewaktu mereka berusaha memanggil masa lalu, mereka hanya berhasil menciptakan bayangan samar di cermin sebelum mantra melahap energi dan menewaskan mereka. Kami tidak lagi melakukan percobaan mengenai hal itu. Ada yang berpendapat mantranya akan berhasil kalau lebih banyak penyihir yang terlibat, tapi tidak seorang pun bersedia menanggung risiko dan teori itu tetap tidak terbukti. Bahkan kalau ada yang bisa men-scry masa lalu, penggunaannya akan terbatas. Dan untuk men-scry masa depan, seseorang ha
rus tahu persis apa yang akan terjadi dan di mana dan kapan, yang mengacaukan tujuannya.
"Dengan begitu, bagaimana orang-orang bisa mendapat firasat dalam tidur, bagaimana mereka tanpa sadar bisa mengalahkan usaha-usaha terhebat kami, merupakan misteri. Firasat mungkin berkaitan dengan sifat dan bahan sihir... atau mungkin berfungsi dengan cara yang mirip dengan kenangan leluhur naga. Kami tidak tahu. Banyak cara penggunaan sihir yang masih belum dieksplorasi." Arya bangkit dengan gerakan yang sigap. "Berhati-hatilah agar tidak tersesat di dalamnya."
MENGAPUNG Lembah bagai melebar di pagi hari saat rakit-rakit melaju ke celah terang di antara dua pegunungan. Mereka tiba di celah pada tengah hari dan memandang ke balik bayangan, ke padang rumput terang benderang yang memudar di utara.
Lalu arus mendorong mereka melewati tebing-tebing membeku dan dinding-dinding dunia pun menghilang, digantikan langit raksasa dan horison yang rata. Hampir seketika, udara berubah lebih hangat. Az Ragni berbelok ke timur, menyusuri kaki pegunungan di satu sisi dan dataran di sisi lain.
Luasnya ruang terbuka tampak menggelisahkan para kurcaci. Mereka bergumam sendiri dan melirik penuh kerinduan ke celah bagai gua di belakang mereka.
Eragon mendapati cahaya matahari membangkitkan semangat. Sulit untuk merasa terjaga saat tiga perempat hari dihabiskan dalam keremangan. Di belakang rakit, Saphira keluar dari air dan terbang di atas padang rumput hingga hanya terlihat bagai bintik dalam kubah kemerahan di atas.
Apa yang kaulihat" tanya Eragon.
Aku melihat kawanan besar gazelle di utara dan timur. Di barat, Padang Pasir Hadarac. Hanya itu.
Tidak ada yang lain" Tidak ada Urgal, pedagang budak, atau kaum nomaden"
Kita sendirian. Malam itu, Thorv memilih ceruk kecil sebagai tempat perkemahan mereka. Sementara Duthmer menyiapkan makan malam, Eragon membersihkan bagian samping tendanya, lalu mencabut Zartroc dan bersiap dalam posisi yang diajarkan Brom padanya sewaktu mereka berlatih-tanding pertama kalinya. Eragon tahu ia bukan tandingan para elf, dan tidak berniat tiba di Ellesmera dalam keadaan kurang terlatih.
Dengan kelambanan yang menyakitkan, ia mengayunkan Zar'roc ke atas kepala dan menurunkannya dengan kedua tangan, seakan hendak membelah helm musuh. Ia menahan posisi itu selama sedetik. Sambil menjaga agar gerakannya tetap terkendali, ia berputar ke kanan--memuntir ujung Zar'roc untuk menangkis pukulan imajiner--lalu berhenti dengan kedua lengan kaku.
Dari sudut mata, Eragon menyadari Orik, Arya, dan Thorv mengawasinya. Ia mengabaikan mereka dan memusatkan perhatian hanya pada pedang merah di tangannya; ia mengacungkannya seakan pedang itu ular yang bisa menggeliat lepas dari cengkeramannya dan menggigit lengannya.
Sambil berputar lagi, ia melakukan serangkaian serangan, mengalir dari satu gerakan ke gerakan lain dengan penuh disiplin sambil meningkatkan kecepatan. Dalam benaknya, ia tidak lagi berada di ceruk remang-remang, tapi dikelilingi segerombolan Urgal dan Kull yang buas. Ia merunduk dan mengayunkan pedang, menangkis, membalas, melompat ke samping, dan menusuk dengan gerakan berkelanjutan. Ia bertempur habis-habisan, sebagaimana yang dilakukannya di Farthen Dar, tanpa memikirkan keselamatannya sendiri, melesat dan mencabik musuh-musuh imajinernya.
Ia memutar Zar'roc--berusaha memindahkan tangkai pedang dari satu tangan ke tangan yang lain--lalu menjatuhkan pedang Saat sakit yang hebat membelah punggungnya. Ia terhuyung dan jatuh. Di atasnya, ia bisa mendengar Arya dan para kurcaci berbicara, tapi yang dilihatnya hanyalah kumpulan kabut merah berkilau-kilau, seperti cadar berlumuran darah yang menutupi dunia. Tidak ada perasaan apa pun kecuali kesakitan. Rasa sakit itu menutupi pikiran dan akal sehat, hanya menyisakan binatang buas yang meraung minta dilepaskan.
Sewaktu Eragon cukup pulih untuk menyadari keberadaannya ia mendapati dirinya telah berada di dalam tendanya dan diselimuti rapat-rapat. Arya duduk di sampingnya, sementara kepala Saphira terjulur dari balik pintu tenda.
Apakah aku pingsan lama" tanya Eragon.
Sebentar. Kau tidur sebentar akhirnya. Kucoba menarikmu dari tubuhmu ke tubuhku dan melindungimu dari sakit, tapi tidak banyak yang bisa kulakukan karena kau tidak sadar.
Eragon mengangguk dan memejamkan mata. Seluruh tubuhnya berdenyut-denyut. Setelah menghela napas dalam, ia menengadah memandang Arya dan dengan suara pelan bertanya, "Bagaimana aku bisa berlatih"... Bagaimana aku bisa bertempur, atau menggunakan sihir"... Aku sudah rusak." Wajahnya tampak tua saat ia berbicara.
Arya menjawab sama pelannya. "Kau bisa duduk dan menonton. Kau bisa mendengarkan. Kau bisa membaca. Dan kau bisa belajar."
Biarpun kata-kata Arya membangkitkan semangat, Eragon mendengar ketidakpastian, bahkan ketakutan, dalam suara elf itu. Ia berguling ke samping supaya tidak beradu pandang dengan Arya. Ia malu karena begitu tidak berdaya di hadapan Arya. "Bagaimana Shade bisa berbuat begini padaku""
"Aku tidak tahu, Eragon. Aku bukan elf yang paling bijaksana maupun yang paling kuat. Kita semua berusaha sebaikbaiknya, dan kau tidak bisa disalahkan. Mungkin waktu akan menyembuhkan lukamu." Arya menekankan jemarinya ke alis Eragon dan bergumam, "Se mor'ranr ono finna," lalu meninggalkan tenda.
Eragon duduk dan mengernyit saat otot-otot punggungl'Ya yang kram meregang. Ia menatap tangannya tanpa melihatnya. Aku ingin tahu apakah bekas luka Murtagh juga menyakiti dirinya seperti bekas lukaku.
Aku tidak tahu, kata Saphira.
Timbul kebisuan yang mati. Lalu: Aku takut.
Kenapa" Karena.... Eragon ragu-ragu. Karena apa pun yang kulakukan tidak bisa mencegah serangan berikutnya. Aku tidak tahu kapan atau di mana akan terjadinya, tapi aku tahu hal itu tidak terelakkan. Jadi aku rnenunggu, dan setiap saat aku takut bahwa kalau aku mengangkat sesuatu yang terlalu berat atau menggeliat dengan gerakan yang salah, sakitku akan kembali. Tubuhku sendiri telah menjadi musuhku.
Saphira bergumam dalam di tenggorokannya. Aku juga tidak tahu jawabannya. Hidup ini menyakitkan sekaligus menyenangkan. Kalau ini harga yang harus kaubayar untuk saat-saat yang kaunikmati, apakah berlebihan"
Pendekar Tanpa Bayangan 1 Pendekar Rajawali Sakti 161 Siluman Tengkorak Gantung Tujuh Pembunuh 2
^