Pencarian

Petualangan Tom Sawyer 1

Petualangan Tom Sawyer Karya Mark Twain Bagian 1


Mark Twain Petualangan Tom Sawyer Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
KATA PENGANTAR Hampir semua peristiwa yang diceritakan dalam buku ini betul-betul terjadi; satu dua pengalamanku sendiri, selebihnya pengalaman kawan-kawan sekolahku.
Huck Finn dilukiskan dari kehidupan sebenarnya; Tom Sawyer demikian juga, tapi bukan dari satu pribadi - ia merupakan gabungan sifat-sifat tiga orang anak yang kukenal, jadi merupakan bentukan karangan.
Kepercayaan takhyul yang aneh-aneh, yang disebutkan dalam buku ini, merupakan kepercayaan yang sangat mendalam di antara anak-anak serta para budak belian di daerah Barat pada waktu cerita ini terjadi - yaitu tiga atau empat puluh tahun yang lalu.
Walaupun buku ini dimaksudkan terutama sebagai bacaan bagi anak-anak dan para remaja, kuharap tak akan dihindari oleh orang-orang dewasa, sebab sebagian dari maksudku mengarang buku ini adalah untuk secara gembira mengingatkan para orang tua akan dirinya bagaimana mereka dulu berfikir, berbicara dan berperasaan, serta kejadian-kejadian aneh apa yang mereka alami.
Hartford, 1876 Pengarang DAFTAR ISI I Permainan Tom, Perkelahian dan Sembunyi-sembunyian ... 9
II Seniman Tukang Kapur ...23
III Dalam Perang dan Cinta ... 33
IV Semangat di Sekolah Minggu ...43
V Seorang Pendeta dan Do'anya ... 59
VI Pertemuan Tom dengan Becky ...68
VII Sebuah Perjalanan dan Sebuah Kekesalan ...86
VIII Tom Menentukan Masa Depannya ...95
IX Perkelahian di Kuburan ... 104
X Anjing Melolong yang mengerikan ... 115
XI Hati Nurani yang Mengejar-ngejar ... 126
XII Kucing dan Obat yang Mujarab ... 134
XIII Bajak-bajak Laut Berlayar ... 142
XIV Kehidupan di Perkemahan ... 155
XV Tom Mengintai dan Mempelajari Keadaan ... 164
XVI Bajak-bajak Laut Beroleh Pelajaran ... 172
XVIII Menghadiri Upacara Penguburan Sendiri ... 188
XVIII Tom Menceritakan Mimpinya ... 195
XIX Tom Berterus Terang ... 210
XX "Tom, betapa mulia hatimu!" ... 214
XXI Dendam Murid-murid Terbalas ... 223
XXII Disambut dengan Ayat-ayat Kitab Suci ... 234
XXIII Muff Potter Diadili ... 240
XXIV Hari-hari Indah dan Malam-malam Seram ... 251
XXV Mencari Harta Karun ... 254
XXVI Dalam Rumah Hantu ...265
XXVII Menghilangkan Keraguan ... 279
XXVIII Berhadapan dengan Bahaya ... 284
XXIX Membalas Dendam ... 290
XXX Tom dan Becky dalam Gua ... 302
XXXI Tersesat di dalam Gua ... 316
XXXII Keluar! Mereka Ditemukan ... 332
XXXIII Nasib Joe Si Indian ... 337
XXXIV Timbunan Uang Mas ... 354
XXXV Huck Yang Terhormat Menyatukan Diri dengan para Petualang ... 359
Penutup ...369 Bab I PERMAINAN TOM, PERKELAHIAN DAN SEMBUNYI-SEMBUNYIAN
"TOM!" Tak ada jawaban. "Tom!"
Tak ada jawaban. "Kenapa gerangan anak itu" Hei, Tom!" Tak ada jawaban.
Nyonya Tua itu menarik kaca matanya ke bawah, mencari-cari lewat bagian atas kaca mata tersebut ke sekeliling ruangan; kemudian diangkatnya kaca mata itu, mencari lewat bawahnya. Jarang, bahkan tidak pernah kaca mata itu digunakannya untuk mencari-cari yang kecil seperti seorang anak; kaca mata itu kebanggaannya, dipakai bukan untuk kegunaannya namun hanya untuk bergaya - menggunakan kaca mata itu baginya sama saja seperti melihat dengan tutup kompor. Sesaat Nyonya Tua itu tampak kebingungan, kemudian berkata, tidak terlalu galak tapi cukup keras untuk membuat perabot-perabot di kamar itu bisa mendengar, "Hhh, awas nanti bila kau tertangkap olehku akan
9 !ku,.." Kalimat itu tak diselesaikannya; ia membungkuk dan digebuk-gebuknya kolong tempat tidur dengan sebatang sapu. Untuk memukul-mukul ia perlu bernafas, maka kalimat itu terputus. Yang keluar dari bawah kolong hanya seekor kucing.
"Anak itu betul-betul tak bisa kupegang ekornya."
Ia pergi ke pintu yang terbuka, memperhatikan pokok-pokok tomat dan semak-semak "jimson" yang merupakan bagian utama di dalam kebun. Tom tak terlihat. Dengan suara yang lebih tinggi Nyonya Tua itu berteriak, "He-e-e-e-i, Tom!"
Terdengar suara gemersik di belakangnya dan ia berpaling untuk menangkap anak kecil yang sedang berlari itu.
"Heh! Mengapa tak terpikir olehku lemari itu. Apa yang kaukerjakan di dalam lemari itu"" "Tak a
pa-apa, Bi." "Tak apa-apa! Lihat tanganmu! Dan lihat mulutmu! Bekas apa itu"" "Tidak tahu, Bi."
"Baiklah, tapi aku tahu. Itu bekas selai, tak salah lagi. Empat puluh kali sudah kuperingatkan padamu, jangan mengganggu tempat selai itu, kalau kau tak ingin kukuliti. Bawa ke mari cambuk itu!"
Cambuk terangkat... bahaya mengancam...
"Astaga! Tengok ke belakang, Bi!"
Nyonya Tua itu berpaling, menyambar gaun-gaunnya dari bahaya. Pada saat itu juga anak itu
10 lari, melompati pagar yang tinggi dan lenyap.
Bibi Polly tertegun sesaat, kemudian terdengar tawanya yang Sehat.
"Sialan betul anak itu, masih saja aku ditipunya. Seharusnya aku saat ini sudah cukup waspada, begitu sering ia mempermainkan aku. Betul-betul orang tua yang tolol adalah yang paling tolol. Anjing tua tak bisa diajari lagi, kata peribahasa. Tapi Tuhanku, tipuannya selalu berubah-ubah, sama sekali tak bisa diduga-duga. Dan agaknya ia tahu sampai berapa jauh bisa menyiksaku sebelum amarahku memuncak, dan ia tahu saja bila ia bisa membuatku lalai sesaat atau membuatku tertawa, sehingga segalanya beres dan aku tak tega untuk memukulnya. Demi Tuhan, aku telah melalaikan kewajibanku terhadap anak itu! Menghemat cambuk berarti merusak anak, kata kitab suci. Bila ia tak kukerasi, berarti aku menimbun dosa untuknya dan untukku sendiri, aku tahu itu. Nakalnya bukan main, tapi ia anak almarhum adik kandungku, aduhai, tak sampai hatiku mencambuknya. Tiap kali ia kubebaskan dari hukuman, batinku menderita; dan tiap kali ia kuhukum, hatiku serasa akan pecah lantaran sedih. Hhhhhh, lelaki yang lahir dari wanita, harinya pendek dan penuh kesulitan, seperti kata kitab suci. Kukira betul juga. Sore ini ia pasti membolos dari sekolah dan aku terpaksa harus menyuruhnya bekerja besok pagi untuk menghukumnya. Sungguh sulit untuk menyuruh dia bekerja pada hari Sabtu, saat anak-anak
11 lain berlibur. Tetapi ia paling benci bekerja, dan aku harus melakukan kewajibanku terhadap anak itu; kalau tidak aku akan merusakkan hidupnya."
Tom betul-betul membolos; ia bermain-main sepuas hati. Ia pulang tepat pada waktunya sehingga masih sempat menolong Jim, seorang anak kulit berwarna, menggergaji kayu untuk keesokan harinya serta menyerpih-nyerpih kayu bakar sebelum makan malam; setidak-tidaknya dia di situ untuk menceritakan petualangannya, sedang Jim mengerjakan tiga perempat pekerjaannya. Adik Tom (atau lebih tepat adik tirinya) Sid, telah menyelesaikan tugasnya (mengumpulkan serpihan kayu bakar). Sidney seorang anak pendiam dan tidak nakal.
Sementara Tom makan malam, dan mencuri gula bila ada kesempatan, Bibi Polly mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang penuh dengan perangkap tersembunyi - nyonya itu ingin menjebak Tom membuka rahasia tentang kesalahan yang dibuatnya. Seperti orang-orang yang berjiwa sederhana lainnya Bibi Polly merasa berbakat untuk memecahkan rahasia dengan pertanyaan-pertanyaan yang berbelit-belit. Tak disadarinya bahwa orang dengan mudah bisa mengetahui ke mana arah sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu.
"Tom, hari ini di sekolah agak panas, bukan"" tanya Bibi Polly.
"Ya, Bi." "Sangat panas, bukan"" "Ya, Bi."
12 "Apakah tadi kau tak ingin berenang, Tom""
Setitik rasa waswas muncul di kepala Tom - kecurigaannya timbul. Diperhatikannya wajah Bibi Polly, namun wajah itu tak menerangkan apa-apa. Maka ia menjawab, "Tidak Bi... eh, ingin juga sedikit."
Bibi Polly mengeluarkan tangan, meraba kemeja Tom dan berkata, "Tapi kini kau tak merasa panas lagi, toh""
Dalam hati Bibi Polly merasa sangat bangga bisa mengetahui kemeja Tom kering tanpa seorang pun yang tahu bahwa memang itulah yang sebenarnya ingin dia ketahui. Tak diduganya bahwa kini Tom mengerti ke mana arah pembicaraan itu. Tom menunda 'serangan' bibinya yang berikut dengan berkata, "Beberapa orang kawan memompa air untuk membasahi kepala kami masing-masing. Coba raba, kepalaku masih lembab."
Bibi Polly merasa menyesal sekali karena ia telah melewatkan bukti kecil itu, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menyerang. Namun ia mendapat ilham baru dan berkata, "Tom, bukankah untuk membasahi kepalamu kau tak usah membuka
leher kemejamu yang kujahit" Buka jaketmu!"
Rasa waswas lenyap dari wajah Tom. Jaketnya dibuka, leher bajunya masih terjahit rapat.
"Sialan! Pergilah sekarang. Kukira, kau tadi bolos dan pergi berenang. Tapi kuampuni kau, Tom. Agaknya kau seumpama kucing terbakar, buruk di luar baik di dalam. Setidak-tidaknya
13 (Untuk kali ini." Bibi Polly agak menyesal bahwa 'serangan-serangannya' tak berhasil, tapi di balik itu girang karena sekali ini Tom patuh pada peraturan.
Tetapi Sidney berkata, "Wah, Bi, kalau tidak salah leher kemeja itu Bibi jahit dengan benang putih, tapi kini benangnya hitam!"
"Astaga! Memang kujahit dengan benang putih! Tom!"
Tom tak menunggu lagi, ia berlari ke luar. Di pintu masih sempat ia berseru, "Sidney, awas nanti!"
Di sebuah tempat yang aman Tom memeriksa dua batang jarum yang disimpannya di leher jaketnya. Sebatang dengan benang putih, yang lain dengan benang hitam. Tom menggerutu, "Bibi tak akan tahu bila tidak dibilangi oleh Sid. Sialan! Kadang-kadang ia memakai benang putih, kadang-kadang pula hitam. Bingung aku; alangkah senangnya, bila ia hanya mempergunakan semacam benang saja. Tetapi tak apalah, akan kuhajar Sid untuk penghianatannya. Dia betul-betul harus di-Ihajar!"
Tom bukanlah anak teladan yang patut dicontoh oleh anak-anak lain di kampung itu. Ia tahu siapa anak teladan - dan ia sangat benci pada anak itu.
Dalam dua menit, bahkan kurang, ia telah lupa akan segala kesulitannya. Bukan karena kesulitan itu baginya kurang berat dan kurang pahit dibanding dengan kesulitan orang dewasa, tetapi
14 karena ada sesuatu yang baru dan lebih menarik yang telah menghapuskan kesulitan dari pikirannya waktu itu - seperti juga kesulitan orang dewasa akan terlupakan oleh sesuatu rangsangan yang baru. Bagi Tom, 'sesuatu' itu adalah cara baru bersiul, yang baru saja dipelajarinya dari seorang Negro dan ia telah bersusah payah untuk melatih siulan itu tanpa diganggu. Suara siulannya seperti lekukan nyanyi burung, semacam nyanyian gelagak air, yang dibuat dengan jalan menyentuhkan ujung lidah ke langit-langit mulut di tengah-tengah lagu yang sedang disiulkan mungkin pembaca sendiri masih ingat bagaimana caranya bila saja pembaca pernah menjadi anak-anak. Kerajinan dan kesungguhannya menyebabkan ia cepat menguasai 'ilmu baru' itu. Ia berjalan dengan mulut penuh irama dan jiwa penuh terima kasih. Perasaan hatinya sama dengan perasaan seorang ahli ilmu bintang yang baru saja menemukan sebuah planet baru - bahkan bila yang dijadikan ukuran adalah perasaan gembira yang kuat dan dalam serta murni, maka perasaannya jauh lebih senang dari perasaan si ahli bintang.
Sore musim panas panjang. Belum lagi gelap. Tiba-tiba Tom menghentikan siulnya. Seseorang yang belum dikenalnya berdiri di depannya; seorang anak yang lebih besar sedikit daripadanya. Seorang baru, tidak peduli umur atau jenis kelaminnya merupakan daya tarik perhatian yang amat kuat di desa St. Petersburg yang kecil, miskin dan tak
15 teratur itu; Anak asing ini berpakaian menyolok, memakai pakaian serba baik pada hari bukan hari Minggu, sesuatu hal yang sangat mengherankan di St Petersburg. Topinya sangat bagus, baju luarnya yang berkancing banyak berwarna biru baru dan rapi. Begitu juga celananya. Dan ia memakai sepatu - memakai sepatu di hari Jum'at! Bahkan ia memakai dasi, dasi pita yang berwarna cerah. Sekali pandang orang akan tahu bahwa anak baru ini datang dari kota, dan ini mempengaruhi pikiran Tom. Makin lama Tom memandang solekan anak baru itu, makin diperjelasnya sikapnya yang menyatakan seolah-olah anak baru itu tak terpandang sebelah mata olehnya. Tapi makin terasa pula betapa pakaiannya buruk sekali bila dibandingkan dengan pakaian si anak asing. Kedua anak itu tak ada yang berbicara, bila seorang bergerak, yang lain pun bergerak... dengan miring, membentuk lingkaran; mereka terus saling berhadapan muka, mata saling pandang.
Akhirnya Tom berkata, "Aku bisa menghajarmu!"
"Aku ingin sekali melihatmu mencobanya."
"Hh, aku bisa."
"Tidak, kau tak akan bisa."
"Bisa!" "Tidak, kau tak bisa." "Aku bisa!" "Kau tak bisa!" "Bisa!"
16 "Tak bisa!" Mereka diam penuh ketegangan. Kemudian Tom bertanya, "Siapakah namamu"" "Bukan urusanmu, mungkin." "Hh, kubuat itu urusanku!" "Coba saja."
"Bila kau ngomong banyak, akan kujadikan urusanku."
"Banyak - banyak - banyaki Nah, sudah kukatakan."
"Jangan berlagak! Aku bisa mengalahkanmu dengan satu tangan diikat di punggungku bila saja aku mau."
"Kerjakan segera! Kau bilang tadi kau bisa."
"Tunggu, bila kau bikin gara-gara."
"Oh, ya... banyak sekali kulihat seluruh keluarga menghadapi persoalan yang sama."
"Lagaknya! Kaukira kau manusia luar biasa, huh" Cih, topi apa itu."
"Kau boleh membuang topiku ini bila kau tak menyukainya. Ayuh kalau berani... dan siapa pun yang berani membuang topiku ini pasti kubikin bocor hidungnya."
"Pembohong!" "Kau juga!" "Kau pura-pura berani berkelahi, tapi sebetulnya pengecut!"
"Oh, pergi sajalah!"
"Dengar ... bila kau masih saja banyak cingcong akan kuambil batu dan kulempar kepalamu."
17 "O, betul""
"Kau kira aku tak berani""
"Nah, kenapa tak segera kaukerjakan omonganmu itu" Untuk apa kau terus-terusan ngomong" Aku tahu, kau tidak akan kerjakan ucapanmu itu, karena kau takut."
"Aku tidak takut!"
"Kau takut!" 'Tidak!" "Ya!" Berhenti lagi. dan saling tatap, serta bergerak saling mengitari sehingga akhirnya bahu mereka bersentuhan.
"Pergi kau dari sini!" bentak Tom.
"Kau yang pergi!"
"Tidak mau!" "Aku pun tak mau!"
Mereka berdiri, masing-masing dengan sebelah kaki sebagai topang, keduanya saring dorong dengan seluruh tenaga, dengan mata penuh kebencian. Tak satu pun bergerak maju atau mundur. Beberapa lama mereka memeras tenaga, tubuh terasa panas dan air muka merah padam. Perlahan dan penuh kewaspadaan masing-masing mengurangi tenaga dan Tom berkata, "Kau pengecut. Kuadukan kau pada kakakku. Dengan mudah ia bisa melilitkan engkau dengan jari kelingkingnya. Kusuruh dia menghajarmu."
"Kaukira aku takut pada kakakmu" Aku pun punya kakak, lebih besar dari kakakmu... dan ia
bisa melempar kakakmu ke balik pagar itu." (Kedua kakak itu hanya dalam khayalan masing-masing). "Bohong!"
"Kata-katamu juga tak bisa dipercaya!"
Tom membuat garis di atas tanah dengan ibu jari kakinya, dan berkata, "Bila kau berani melangkahi garis ini kuhajar kau hingga kau tak akan sanggup berdiri lagi. Siapa pun yang berani melangkahi garis ini, pastilah pencuri domba."
Saat itu juga si anak baru melangkahi garis tadi, dan berkata, "Kerjakan apa yang kaukatakan tadi."
"Jangan kaubikin aku marah, hati-hati kau!"
"Hhh, bukankah kau sendiri yang akan menghajarku; mengapa tak segera kaukerjakan""
"Persetan! Dengan upah satu sen cukup bagiku untuk menghajarmu!"
Si anak baru mengambil sekeping uang tembaga lebar dari sakunya dan mengulurkan pada Tom dengan mengejek. Tom menampar uang itu hingga terlempar ke tanah. Sesaat kemudian kedua anak tersebut bergulingan jungkir balik di tanah, saling mencengkeram bagaikan dua ekor kucing; kira-kira semenit mereka saling renggut dan tarik rambut serta pakaian masing-masing lawan, menghantam dan mencakar hidung lawan, dan badannya bermandi debu. Segera kekacauan itu terhenti dan di antara remang-remang terlihat Tom duduk di atas tubuh si anak baru di tanah, menghujaninya dengan tinju.
20 "Cukup tidak"" seru Tom. Lawannya mencoba untuk membebaskan diri. Kini ia menangis - menahan amarah.
"Cukup tidak"" seru Tom lagi, sementara hujan tinjunya tidak berhenti-henti.
Akhirnya si anak baru dengan susah payah berkata, "Sudah!"
Tom membiarkan lawannya berdiri dan berkata, "Nah, mudah-mudahan pelajaran ini betul-betul cukup. Lain kali hati-hati berhadapan dengan aku."
Anak baru itu meninggalkan Tom sambil mengipas-ngipaskan debu dari pakaiannya, tersedu-sedu, sekali-sekali menoleh ke belakang, menggelengkan kepala dan meneriakkan ancaman tentang apa yang akan diperbuatnya pada Tom, "lain kali bila bertemu lagi." Ancaman itu dijawab oleh Tom dengan tertawa mengejek, ia berpaling untuk pergi dengan membusungkan dada. Tetapi begitu Tom berpaling, si anak baru memungut sebuah batu, melemparkannya tepat mengenai punggung Tom. Sebelum Tom berpaling lagi si anak itu berlari jauh. Tom mengejar sampai ke rumah si pe
nghianat itu, hingga kini ia tahu di mana si anak tinggal. Beberapa lama Tom berdiri di pintu pagar menantang musuhnya, agar keluar. Tapi si musuh mengejeknya dari balik jendela dan kemudian menghilang. Akhirnya Ibu si musuh muncul dan menyatakan Tom seorang anak jahat, kejam dan biadab serta menyuruhnya pergi. Tom pergi, setelah menjawab bahwa suatu kali ia akan menghajar
21 lagi musuhnya. Tom pulang terlambat sekali malam itu. Pintu tertutup semua, hati-hati ia memanjat jendela, tetapi begitu masuk didapatinya Bibinya telah menunggu; dan ketika Bibi Polly melihat bagaimana pakaian Tom, maka keputusannya untuk memberi Tom hukuman kerja di hari Sabtu tak bisa diubah lagi.
22 Bab II SENIMAN TUKANG KAPUR HARI Sabtu pagi telah tiba membawa kecerahan dan kesegaran pada alam musim panas, penuh dengan kehidupan. Tiap hati bernyanyi dan kalau kita merasa muda, nyanyian itu keluar di bibir. Tiap wajah gembira, dan keringanan tampak di setiap langkah. Pohon-pohonan berkembang harum, dan baunya semerbak memenuhi udara. Bukit Cardiff, di luar desa agak di atasnya, hijau oleh tumbuh-tumbuhan, dari kejauhan tampak bagaikan Tanah Impian, tenang, seakan menghimbau yang melihatnya.
Tom muncul di trotoar kayu dengan membawa seember kapur dan sebuah sapu bergagang panjang. Ia memperhatikan pagar papan yang harus dikapurnya dan semua kegembiraan segera lenyap diganti oleh kemurungan yang mencengkam hati. Hidup baginya terasa kosong, kehadirannya di dunia malahan bagaikan beban. Pagar papan sepanjang tiga puluh meter dan tinggi tiga meter! Sambil menghela nafas panjang ia mencelupkan sapu ke
23 dalam ember dan menggoreskan sapu itu ke papan paling atas; kemudian diulangi pekerjaan itu; diulanginya lagi. Dibandingkannya olesan kapur itu dengan pagar yang belum dikapur, maka baginya seolah benua luas yang tak terlihat batasnya. Tom jadi putus asa, duduk di atas sebuah peti. Jim keluar, melompat-lompat dari pintu pagar membawa sebuah ember dan menyanyi "Gadis-gadis Buffalo". Mengambil air dari sumur pompa umum merupakan pekerjaan yang dibenci Tom, tetapi kini tidaklah demikian. Teringat ia, bahwa di pompa umum itu banyak sekali kawan. Anak-anak berkulit putih, coklat dan Negro berkelompok di sekitar pompa menunggu giliran, beristirahat, tukar-menukar barang permainan, bertengkar, berkelahi, bersenda gurau. Dan teringat ia walaupun sumur pompa itu hanya seratus lima puluh meter jauhnya dari rumah, namun Jim jarang sekali pulang dalam waktu kurang dari satu jam, itu pun biasanya ia harus disusul.
Tom berkata, "He, Jim, biarlah aku yang mengambil air, kau yang mengapur."
Jim menggelengkan kepala, menjawab, 'Tidak, Tuan Tom, Nyonya bilang aku yang mengambil air; aku dilarang berhenti dan berbicara dengan siapa pun. Kata Nyonya, Tuan Tom pasti akan menyuruhku mengapur, tapi saya tidak boleh memperhatikan Tuan Tom. Aku harus mengurus pekerjaanku sendiri. Kata Nyonya, ia sendiri yang akan mengurus pengapuran."
"Oh, lupakanlah kata-kata Bibi, Jim. Memang ia selalu berkata begitu. Mana ember itu, percayalah, semenit saja pasti aku telah kembali. Bibi tak akan tahu."
"Oh, aku tak berani, Tuan Tom. Nyonya pasti akan mencopot kepalaku, bila ia tahu. Pasti."
"Bibi Polly" Oh, ia tak pernah memukul, paling-paling memukul kepala dengan sarung tangan. Dan siapa takut akan sarung tangan" Ancamannya saja, tapi karena ancaman saja tidak bisa sakit. Omongannya saja banyak, tapi omongan tidak menyakitkan, kalau tidak disertai menangis. Jim kuberi kau sebutir kelereng, kuberi kau kelereng batu pualam putih."
Jim mulai terbujuk. "Lihat Jim, kelereng batu pualam putih, kelereng besar."
"Wah, bagus betul kelereng ini, betul bagus. Tapi Tuan Tom, aku sangat takut pada Nyonya ..."
"Selain kelereng itu, akan kutunjukkan jari kakiku yang sakit padamu."
Jim hanya manusia biasa, ia jadi amat tertarik hatinya. Diletakkannya embernya, kelereng pualam putih diterimanya dan ia membungkuk untuk memeriksa jari kaki Tom yang sakit. Dengan penuh perhatian ia menunggu sementara perban jari itu dibuka. Namun tiba-tiba sebuah pukulan keras jatuh di punggungnya. Tanpa menoleh Jim berla
ri dengan membawa embernya, sementara Tom cepat-cepat mengambil sapu dan bekerja giat. Bibi Polly
25 kembali masuk rumah dengan sandal di tangan dan sinar kemenangan di mata.
Kegiatan Tom tidak lama. Ia mulai memikirkan rencana sebenarnya untuk hari itu dan kesedihan hatinya jadi berlipat ganda. Sebentar lagi kawan-kawannya pasti akan bermunculan, masing-masing mengejar kesenangan sendiri dan mereka pasti akan mengolok-olokkannya, karena terhukum di hari libur. Pikiran itu membuat otaknya makin kacau. Ia berhenti bekerja, mengeluarkan semua harta bendanya, memeriksanya - beberapa mainan kecil, kelereng, dan tetek bengek lainnya; cukup untuk mengupah yang mau mengerjakan pekerjaannya, tapi tak cukup untuk membeli setengah jam kebebasan. Maka Tom memasukkan kembali harta bendanya ke dalam kantungnya dan membatalkan rencananya untuk mengupah kawan-kawannya. Di saat pikirannya kegelapan itu tiba-tiba ia mendapat ilham! Betul-betul ilham besar!
Diambilnya sapunya dan ia mulai bekerja dengan tenang. Ben Rogers muncul - anak yang paling ditakuti Tom olok-oloknya! Ben berlompat-lompatan kecil, menunjukkan hatinya yang riang, melambung tinggi. Dia menggerogoti sebuah appel, berteriak-teriak panjang berirama diikuti oleh suara ding-dong-dong, ding-dong-dong bernada rendah. Agaknya Ben sedang meniru bunyi sebuah kapal uap. Ben makin dekat, mengurangi kecepatan, berdiri di tengah jalan, condong jauh ke sebelah kanan kapal khayalannya, berputar berat seperti
26 kapal uap terbesar masa itu: Big Missouri. Ben sekaligus menjadi kapal, kapten kapal, lonceng mesin, maka ia harus membayangkan dirinya di geladak topan, meneriakkan perintah serta mengerjakan perintah itu juga.
"Hentikan kapal, Tuan! Ting-a-ling-ling!" hampir ia kehabisan tempat, perlahan mundur ke trotoar.
"Undurkan! Ting-a-ling-ling!" kedua belah lengannya kejang lurus di samping tubuh. "Hidupkan roda kanan! Ting-a-ling-ling! Jus-jus jus! Jus!" Tangan kanannya berputar membentuk lingkaran besar, sebab tangan itu bergerak sebagai roda dayung yang bergaris tengah empat puluh kaki.
"Hidupkan roda kiri!" Tangan kiri mulai berputar, "Ting-a-ling-ling! Jus-jus-j-jus!"
"Hentikan roda kanan! Ting-a-ling-ling! Hentikan roda kiri! Tambah kekuatan roda kanan! Hentikan! Biarkan bagian luar berputar pelan! Ting-a-ling-ling! Jus-us-us! Lemparkan tali utama! Cepat! Ayuh -keluarkan tali pelompat - he, apa yang kaukerja-kan di situ! Ayuh, bantu si tonggak dengan gulungannya! Siapkan pangkalan, ayuh - lepaskan! Matikan mesin! Ting-a-ling-ling! Sh't! Sh't! Sh't!" (Mencoba alat pengukur tekanan uap).
Tom mengapur saja, sama sekali tak memperhatikan kapal uap raksasa itu. Ben memandangnya sesaat, kemudian berkata, "Haya! Kau betul-betul sebuah tunggul kayu, bukan!"
Tak ada jawaban. Tom memeriksa hasil sapuannya yang terakhir dengan mata seorang seniman,
27 kemudian diguriskannya lagi sapunya perlahan-lahan dan memperhatikan hasilnya. Ben berdiri di sampingnya, titik air liur Tom melirik apel di tangan Ben, tapi ia terus bekerja. Ben berkata, "Hallo, sobat kental, kau harus bekerja, eh""
Tom berpaling tiba-tiba dan berkata, "Astaga, kau ini, Ben" Maaf, aku tak tahu."
"Hh" Dengar, aku akan pergi berenang. Kau pasti ingin berenang pula, bukan" Tetapi tentu saja kau akan bilang bekerja lebih senang daripada berenang. Betul begitu, kan""
Tom memandang Ben sesaat, "Apa yang kau namakan bekerja""
"Wah, bukankah ini bekerja namanya""
Tom kembali mengapur dan menjawab acuh tak acuh, "Hm, mungkin ini bekerja, mungkin juga tidak. Bagaimanapun, ini sangat cocok bagi Tom Sawyer."
"Jangan berlagak, kaukira aku percaya, kau menyukai pekerjaan ini"" Sapu Tom terus bekerja.
"Menyukai" Mengapa tidak" Apakah kau setiap hari mempunyai kesempatan untuk mengapur pagar""
Ini menggugah pikiran Ben. Ia berhenti menggigit apel. Tom terus saja mengerjakan sapuannya dengan hati-hati mundur sedikit untuk melihat hasilnya -menambah olesan di sana sini - menilai lagi -sementara Ben memperhatikan setiap gerakannya makin lama makin tertarik.
28 Akhirnya Ben berkata, "He, Tom, biarlah aku coba mengapur."
Tom mempertimbangkan pe rmintaan itu, hampir saja meluluskannya, tapi ia segera merubah pikiran: "Tidak - tidak - sayang sekali tak dapat, Ben. Kau tahu, Bibi Polly sangat teliti tentang pagar ini, sebab di tepi jalan besar. Kalau pagar belakang aku tak akan keberatan, juga Bibi Polly. Ya, dia sangat mengutamakan pagar ini, mengapurnya harus hati-hati. Kukira hanya ada seorang anak di antara seribu, mungkin di antara dua ribu, yang bisa mengapurnya seperti yang dikehendaki Bibi."
"Masa. Biar kucoba. Sebentar saja, Tom, bila kau menjadi aku, pasti kau kuperbolehkan, Tom."
"Ben, sungguh mati aku pun tak keberatan kau mencoba mengapur; tetapi Bibi Polly ... hhh, Jim ingin mengerjakannya, tetapi tidak boleh; Sid juga ingin" juga tak diijinkan. Mengertikah kau betapa sulit kedudukanku" Bila kau kuperbolehkan mengapur kemudian terjadi kesalahan ..."
"Oh, tak mungkin, Tom, aku akan berhati-hati. Ayolah, mari kucoba. Dengar, biji apelku ini boleh kauambil nanti."
"Baiklah, nih... oh, tidak, Ben, aku takut..." "Apelku ini untuk kau semua, dah!" Dengan air muka enggan, tapi hati gembira, Tom memberikan sapunya. Dan sementara bekas kapal uap Big Missouri itu bekerja bermandi peluh di panas matahari, si bekas seniman tukang kapur duduk di sebuah tong terlindung dari sinar matahari,
29 menggoyang-goyangkan kaki sambil makan apel. Pikirannya penuh rencana untuk mencari korban lain. Bahan untuk korban kelicikannya tak kurang, sebentar-sebentar muncul seorang anak yang datang untuk mengejek, tetapi kemudian mengerjakan pekerjaan Tom pula. Pada saat Ben tak kuat lagi, Tom telah menjual giliran berikutnya pada Billy Fisher yang membayar dengan sebuah layang-layang. Billy diganti oleh Johnny Miller dengan pembayaran seekor tikus mati yang diikat tali untuk memutarnya. Demikianlah seterusnya jam demi jam. Pada tengah hari, Tom yang pada pagi hari memulai pekerjaan dalam keadaan miskin kini telah menjadi kaya. Kecuali benda-benda yang telah disebutkan di atas ia pun mendapatkan dua belas kelereng, sebuah belahan kecapi Yahudi, sepotong gelas botol biru untuk meneropong, sebuah meriam mainan dari kelos benang, sebuah kunci yang tak bisa dipakai lagi, sepotong kapur, tutup toples dari gelas, serdadu mainan dari timah, sepasang katak, enam buah petasan, seekor anak kucing bermata satu, sebuah tombol pintu dari kuningan, seutas kalung anjing (tapi tanpa anjingnya), gagang pisau, empat pasi jeruk, dan sebuah jendela kaca yang telah rusak.
Sementara harta benda itu terkumpul, ia bersenang-senang bermalas-malasan. Kawannya banyak dan pagar telah dikapur sampai tiga kali. Bila ia tak kehabisan kapur, pasti semua anak di desa itu menjadi melarat.
30 Tom berpendapat bahwa kiranya dunia ini tak begitu mengecewakan seperti perkiraannya tadi pagi. Tanpa diketahuinya, ia telah menemukan sebuah hukum besar dari sifat manusia, yaitu: untuk membuat seseorang menghendaki sesuatu, bikinlah 'sesuatu' itu sukar untuk diperoleh. Kalau
31 Tom menjadi seorang ahli filsafat besar dan bijaksana seperti pengarang buku ini, ia akan mengerti, bahwa Kerja terdiri dari apa saja yang wajib dikerjakan, sedang Bermain-main ialah yang tak wajib dikerjakan oleh seseorang. Contohnya: membuat bunga tiruan atau memperlihatkan ketangkasan di atas jentera adalah bekerja, sedang menggulingkan tenpin atau mendaki Gunung Mont Blanc hanyalah hiburan. Banyak sekali orang kaya di Inggris yang mengendalikan kereta penumpang berkuda empat sejauh dua puluh atau tiga puluh kilometer di jalan lalu lintas umum, dan untuk mengerjakan itu mereka harus membayar uang yang banyak; tetapi bila penumpang membayar, mereka tak akan mau mengerjakan pekerjaan itu, sebab mereka bukan bersenang-senang lagi namanya, melainkan mencari upah.
Beberapa saat Tom merenungkan tentang perubahan yang dialaminya, kemudian ia pergi ke markas besar untuk melaporkan.
32 Bab III DALAM PERANG DAN CINTA TOM menghadap Bibi Polly yang sedang duduk di dekat jendela terbuka di kamar belakang, kamar yang merupakan gabungan antara kamar tidur, kamar makan dan perpustakaan. Udara hangat musim panas, suasana tenang, bau bunga-bunga dan suara kumbang-kum
bang yang mendengung dan membuat Bibi Polly terkantuk-kantuk di atas rajutannya, ia tak berkawan kecuali dengan kucingnya, kucing itu pun telah tertidur di pangkuannya. Agar tak jatuh, kaca matanya disisipkan di kepalanya. Nyonya Tua itu mengira, pastilah Tom telah melarikan diri dan sudah tentu ia heran melihat anak itu dengan berani datang kembali ke daerah kekuasaannya dan bertanya, "Bi, bolehkah aku kini bermain""
"Apa" Begini pagi" Berapa luas yang telah
kaukapur"" "Selesai semuanya, Bi."
"Tom, jangan berdusta, aku tak tahan kau berdusta."
"Aku tidak berdusta, Bi, pagar itu telah selesai dikapur."
Bibi Polly hampir tidak percaya. Segera ia keluar untuk membuktikannya, kalau pernyataan Tom itu hanya duapuluh persen dari kebenarannya, ia akan sudah merasa puas. Bukan main tercengangnya Bibi Polly, waktu melihat bukan saja pagar itu selesai dikapur, tapi jelas, pengapuran itu dilakukan sampai beberapa kali, bahkan tanahnya juga dikapur.
"Masya Allah!" seru Bibi Polly, "sebetulnya kau dapat bekerja, Tom, bila kau mau." Kemudian ia mencabarkan pujian itu dengan menambah, "Tapi jarang sekali kau punya kemauan untuk bekerja. Baiklah, pergilah bermain, tetapi jangan lupa pulang kembali pada waktunya kalau tidak, kukuliti engkau."
Bibi Polly begitu terpesona oleh hasil kerja Tom, sehingga Tom dibawanya ke lemari. Dipilihnya apel yang terbaik, lalu diberikannya kepada Tom dengan diiringi kuliah, bagaimana harga dan rasa sesuatu sangat menonjol bila didapat dengan kebersihan hati dan dengan usaha yang terpuji. Sementara Bibi Polly menutup kuliahnya dengan kata-kata mutiara dari kitab suci, Tom telah berhasil mencopet kue donat dari lemari.
Waktu Tom melompat ke luar, sekilas ia melihat Sid akan naik tangga luar yang menuju kamar-kamar belakang di tingkat dua. Sekejap saja kepalan-kepalan tanah menghujani Sid, dan sebelum Bibi Polly sempat menolongnya, tujuh atau enam gumpal
34 tanah telah tepat mengenai sasaran, sementara. Tom melompati pagar dan menghilang. Pagar itu mempunyai pintu, tetapi biasanya Tom tidak mempunyai waktu untuk mempergunakan pintu pagar itu. Sekarang hatinya merasa tenang, karena telah berhasil membalas dendam Sid atas penghianatan-nya tentang benang hitam yang membuatnya mendapat banyak sekali kesulitan.
Tom melintasi blok itu, sampai ke sebuah gang berlumpur yang melewati bagian belakang kandang sapi bibinya. Kini ia tak bisa dicapai oleh bibinya lagi, dan ia bergegas menuju tanah lapang desa di mana dua buah kelompok pasukan yang terdiri dari anak-anak telah bertemu untuk mengadakan pertempuran sesuai dengan sarat-sarat yang diucapkan sebelumnya. Tom adalah jendral dari sebuah kelompok, Joe Harper (seorang kawan karibnya) menjendrali kelompok lainnya. Kedua pemimpin besar ini tak sudi untuk melibatkan diri dalam pertempuran, yang dilakukan oleh anak-anak yang lebih kecil. Kedua jendral duduk di tempat istimewa dan memimpin operasi tentara dengan perintah-perintah yang disampaikan pada pasukan melalui beberapa orang pembantu. Setelah bertempur sengit, pasukan Tom mendapat kemenangan besar. Kemudian yang mati dihitung, tawanan-tawanan ditukar, batasan untuk perselisihan berikutnya disetujui, hari untuk pertempuran yang dibutuhkan ditentukan; setelah itu kedua kelompok berbaris dan Tom sendiri pulang.
35 Ketika ia melewati rumah Jeff Thatcher ia melihat seorang anak perempuan di kebun. Seorang gadis cilik bermata biru dengan rambut pirang dikelabang dua, memakai rok musim panas putih dengan celana dalam berenda. Jendral yang baru saja menang perang itu seakan rubuh tanpa tertembak. Amy Lawrence, gadis yang selama ini menghias hatinya lenyap seketika, lenyap tak berbekas. Tom pernah mengira, bahwa ia bagaikan gila mencintai Amy, ia memuja gadis itu sepenuh hati; ternyata semuanya disebabkan oleh daya tarik Amy yang kini disadarinya tak ada seperseribu dari sebutir debu. Berbulan-bulan ia mencoba memikat Amy, dan seminggu yang lalu Amy mengaku, ia pun mencintai Tom. Selama seminggu Tom merasa jadi anak yang paling bangga dan paling bahagia di dunia tetapi perasaan itu segera lenyap tak berbekas, ketika ia me
lihat gadis baru ini. Dipujanya bidadari baru ini dengan mata tak berkedip sampai ia menyaksikan bidadari itu melihatnya. Tom berpura-pura tak tahu, si gadis di situ. Maka ia mulai 'jual tampang' mempertontonkan berbagai keanehan cara anak lelaki untuk menarik perhatian si gadis cilik. Beberapa lama Tom mempertunjukkan tingkah laku ketololan yang lucu sampai satu saat, ia tengah melakukan senam ketangkasan yang berbahaya.. Ia melirik ke samping dan melihat, gadis pujaannya itu telah meninggalkan kebun dan berjalan pulang. Tom
36 mendekati pagar, berdiri bertumpu pada pagar itu. Hatinya sedih, penuh harapan, semoga si gadis itu tak segera masuk rumah. Si gadis berhenti sesaat kemudian berjalan ke arah pintu. Tom menghela napas panjang waktu si gadis masuk ke dalam rumah. Tetapi air muka Tom jadi cerah saat itu juga sebab sebelum lenyap ke dalam rumah si gadis itu melemparkan bunga melati melewati pagar!
Tom berlari memutar, berhenti sampai beberapa kaki dari bunga itu. Tangannya ditudungkan di atas alis, menatap ke ujung jalan seolah-olah ada yang menarik perhatiannya. Kemudian diambilnya sebatang jerami, yang didirikannya di atas hidungnya sementara ia menengadahkan kepala jauh ke belakang. Sambil menjaga keseimbangan jerami, ia bergerak ke samping, makin lama makin mendekati bunga, akhirnya kakinya menyentuh bunga itu. Dengan jari-jarinya bunga dicengkeramnya dan Tom melompat-lompat menghilang untuk menyunting-kan bunga itu di jaketnya di dekat jantung atau di dekat perutnya. Ia tak mempunyai banyak pengetahuan tentang tubuh manusia.
Kemudian Tom kembali ke depan rumah si gadis sampai malam tiba, 'jual tampang' seperti tadi, namun ternyata si gadis tak keluar lagi. Tom menghibur dirinya dengan berkata dalam hati, mungkin si gadis di balik salah satu jendela dan memperhatikan dia. Akhirnya dengan rasa segan Tom pulang, dengan pikiran penuh impian.
Selama makan malam Tom tampak begitu gem-
37 bira, hingga Bibi Polly bertanya-tanya dalam hati, "apa gerangan yang terjadi pada anak itu." Tom tak menghiraukan kemarahan bibinya, karena ia telah melempari Sid. Di depan mata bibinya terang-terangan ia mencoba mencuri gula. Karena itu tangannya mendapat pukulan keras. Tom membela diri:
"Bibi tak pernah memukul Sid, kalau ia mengambil gula."
"Sid tak pernah menyiksa orang seperti engkau. Setiap saat aku berpaling, kau selalu mencoba mengambil gula."
Beberapa saat kemudian Bibi Polly pergi ke dapur. Kesempatan ini digunakan oleh Sid untuk memamerkan kekebalannya, yang hampir tak tertahankan oleh Tom. Sid mengulurkan tangan ke mangkuk tempat gula. Sial bagi Sid, mangkuk itu terlepas dari tangannya dan jatuh pecah. Tak terkirakan kegembiraan Tom sampai membuat ia menahan mulutnya untuk bersuara. Pikirannya, ia akan terus menutup mulut, duduk diam sampai bibinya bertanya siapa yang berbuat salah; dan Tom akan berterus terang, akan sangat menyenangkan untuk melihat anak terbaik di kampung itu mendapat hajaran. Begitu besar harapan Tom, sampai hampir ia tak bisa menahan diri waktu bibinya datang dan berdiri di depan pecahan mangkuk dengan mata terbelalak penuh amarah di balik kacamatanya, "Ini dia!" pikir Tom. Dan tepat pada saat itu tiba-tiba saja ia terlempar
38 ke lantai. Tangan bibinya sudah terangkat lagi untuk memukul, ketika ia cepat berteriak, "Bi, mengapa aku yang dipukul! Sid yang memecahkannya!"
Bibi Polly tertegun bingung, dan Tom menunggu belas kasihan yang bisa menyembuhkan rasa sakitnya. Tetapi ketika Bibi Polly berbicara lagi, katanya, "Pukulan itu tak sia-sia sebab sudah pasti kau berlaku nakal, luar biasa pula, waktu Bibi tadi tak di sini."
Dalam hati Bibi Polly sangat menyesal, ia ingin mengucapkan yang lembut dan penuh kecintaan; tetapi ia berpikir perkataan-perkataan serupa itu akan menimbulkan pengakuan, bahwa ia di pihak salah, dan ini akan mengacaukan tata tertib. Maka Bibi Polly diam saja, mengerjakan pekerjaannya dengan hati yang berat. Tom merengut di sudut kamar, berduka cita. Ia tahu, di hatinya Bibi Polly merengek-rengek minta maaf padanya dan ini sedikit meringankan kemurungannya. Ia menetapkan di dalam ha


Petualangan Tom Sawyer Karya Mark Twain di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinya, ia sama sekali tak akan memberi tanda, ia telah memaafkan kesalahan bibinya dan juga tak akan memperhatikan tanda-tanda permintaan maaf. Tom tahu, pandangan-pandangan meminta maaf dilemparkan padanya, dengan mata diliputi air mata, tetapi ia menolak mentah-mentah untuk memperhatikan semua itu. Dirinya seolah-olah terbaring sakit akan melepaskan nyawa penghabisan dan bibinya membungkuk menantikan sepatah kata, namun ia membalikkan
39 tubuh menghadap ke dinding dan tak ingin mengucapkan apa-apa, pura-pura akan mati. Ah, betapa perasaan bibinya nanti" Dan dibayangkannya dia diangkat orang dari sungai, tubuhnya basah kuyup dan jantungnya tak berdetak lagi. Betapa bibinya akan memeluknya sementara air mata berderai bagai hujan. Pasti Bibi akan memohon kepada Tuhan, agar ia dihidupkan kembali dengan janji, ia tak akan dihajarnya lagi. Tetapi Tom tak akan hidup kembali, terbaring pucat dan dingin, tak memberi tanda hidup sedikit pun, seorang penderita cilik yang kedukaannya kini telah berakhir.
Begitu penuh perasaan ia membayangkan impian ini, hingga kerongkongannya terasa tersekat dan matanya penuh air mata, yang akhirnya mengahr waktu ia mengerdipkan mata, mengalir lewat hidungnya. Menurutkan kesedihannya itu begitu menyenangkan bagi Tom, hingga ia tak sudi sedikit kegembiraan atau secercah kesenangan memasuki dunia kesedihannya. Kedukaannya terlalu suci untuk dinodai oleh kegembiraan. Maka ketika Mary, kemanakannya, masuk sambil menari, gembira kembali pulang setelah bepergian seminggu yang rasanya berabad-abad, Tom bangkit dengan diselubungi kedukaan untuk menghindari sinar kegembiraan Mary.
Ia berjalan tak tentu tujuan ke tempat-tempat yang jauh dari yang biasa dikunjungi oleh anak-anak mencari tempat sepi dan terpencil yang serasi dengan keadaan jiwanya waktu itu. Sebuah rakit
40 kayu di sungai bagaikan menghimbau-himbaunya. Tom duduk di rakit itu merenungi keluasan sungai, sambil berharap ia terbenam secepat-cepatnya, tanpa terasa seperti orang-orang lain yang sungguh-sungguh terbenam. Kemudian teringat olehnya bunga yang sekuntum itu. Dikeluarkannya bunga itu, kumal dan layu; maka kebahagiaannya menjadi bertambah suram. Tom bertanya-tanya dalam hati, apakah si gadis menaruh kasihan" Mungkinkah gadis itu akan menangis dan memeluknya, menghiburnya" Ataukah si gadis juga akan meninggalkannya seperti dunia yang kejam ini" Bayangan tentang ini menimbulkan penderitaan batin yang terasa nikmat, hingga Tom terus-menerus berhayal, sampai akhirnya menjadi bosan. Maka berdirilah dia menghilang di kegelapan.
Kira-kira pukul sepuluh ia tiba di jalan sepi, tempat pujaan hatinya tinggal. Tom berhenti sesaat, tak terdengar suara sedikit pun. Sinar lilin bercahaya redup di sebuah jendela di tingkat dua. Apakah pujaan hatinya di sana" Tom memanjat pagar hati-hati, tanpa bersuara di antara tanam-tanaman hingga akhirnya ia tepat di bawah jendela tadi. Lama sekali dipandanginya jendela itu dengan penuh perasaan, kemudian ia berbaring di tanah di bawah jendela, tangan terlipat di dada memegang bunga yang layu. Begitulah ia akan mati, di tempat terbuka di dunia yang dingin, tanpa naungan di atas kepalanya, tiada tangan sahabat yang mengusap keringat maut dari alisnya, tiada wajah penuh
41 cinta membungkuk bila malaikat maut tiba. Dan begitu jugalah yang akan dilihat si gadis esok hari, kalau jendela dibuka di sinar pagi. Oh, mungkinkah pujaan hatinya akan meneteskan airmata pada tubuhnya yang telah tak bernyawa, mungkinkah ia mengeluh melihat kehidupan yang begitu muda terputus sebelum sempat mekar"
Di atas, tiba-tiba jendela terbuka, suara ember seorang babu terdengar memecahkan suasana suci, menyusul ember penuh air dicurahkan ke tubuh si jihad yang terbaring di tanah.
Pahlawan yang telah gugur itu melompat, mendengus marah. Segera terdengar desingan batu di udara, diiringi oleh suara makian, disusul oleh bunyi kaca pecah dan bayangan melompati pagar, kemudian lenyap.
Tak lama kemudian Tom berada di kamarnya sendiri, memperhatikan baju yang basah kuyup dalam cahaya lilin. Sid terbangun, tetapi bila ia mempunyai maksud untuk mengucapk
an beberapa sindiran ia cepat-cepat menutup mulut melihat cahaya ancaman di mata Tom.
Tanpa mengucapkan do'a Tom tidurlah. Kelalaian membaca do'a itu dicatat oleh Sid di dalam hati.
42 Bab IV SEMANGAT DI SEKOLAH MINGGU
MATAHARI muncul di atas dunia yang tenang, menyinari desa yang penuh damai bagaikan pemberkatan. Selesai sarapan, Bibi Polly mengadakan kebaktian keluarga. Kebaktian itu dimulai dengan doa dari kitab suci dengan sedikit tambahan dari Bibi Polly sendiri dan sebagai puncaknya Bibi Polly membawakan dalih-dalih Musa sehebat khotbah Musa sendiri di Gunung Sinai.
Setelah itu Tom menyingsingkan lengan baju untuk menghapalkan ayat-ayat kitab suci. Sid telah hapal beberapa hari yang lalu. Tom mengerahkan segenap tenaga untuk menghapalkan lima buah ayat dan dipilihnya khotbah di bukit yang ayat-ayatnya dianggapnya pendek-pendek. Setelah setengah jam barulah Tom mengerti secara taram-temaram ayat-ayat yang dihapalkannya. Hanya itulah, tak lebih, sebab pikirannya tertuju pada penjelajahan medan pikiran manusia, sedang tangannya sibuk mengerjakan kesenangannya sendiri. Mary mengambil buku Tom untuk mendengarkan
43 hafalannya. Susah payah Tom mencoba mengingat-ingat, "Diberkatilah mereka yang... yang..." "Miskin ..."
"Ya... miskin. Diberkatilah mereka yang miskin ... m ... m ..." "Jiwanya..."
"Jiwanya. Diberkatilah mereka yang miskin jiwanya, sebab mereka ... mereka ..." "Milik mereka ..."
"Sebab milik mereka. Diberkatilah mereka yang miskin jiwanya, sebab milik merekalah kerajaan surga. Diberkatilah mereka yang berduka cita, sebab mereka ... mereka ..."
"Ak ..." "Sebab mereka ... m ..." "A, K, A ..."
"Sebab mereka A, K ... oh, aku tak mengerti apa itu." "Akan!"
"Oh, akan! Sebab mereka akan ... mereka akan... m... akan berduka cita... m... m... diberkatilah mereka yang akan... mereka apa" Mengapa tak kau beri tahu, Mary" Mengapa kau begitu kejam padaku""
"Oh, Tom, si tolol yang malang, aku kejam padamu, sama sekali tidak. Belajarlah lagi, janganlah putus asa, Tom, engkau pasti bisa ... dan bila kau hapal, akan kuberi nanti hadiah yang sangat bagus. Nah belajarlah lagi."
"Baiklah! Apa yang akan kauhadiahkan padaku,
44 Mary, apa"" "Tak usah kaupikirkan, Tom, percayalah, kalau kukatakan barang itu bagus, barang itu pasti akan bagus."
"Benar, Mary. Nah, baiklah, akan kuhadapi pelajaran itu."
Dan betul-betul tugas itu diganyangnya, dengan dorongan rasa ingin tahu dan hadiah, maka dikerjakannya tugasnya itu dengan bersemangat hingga hasilnya gemilang. Mary memberinya pisau merek 'Barlow', masih baru. Hadiah itu menyebabkan kegembiraan luar biasa di seluruh tubuh Tom. Memang pisau itu tidak bisa dipakai memotong apa-apa, tapi pisau Barlow 'tulen'. Itu saja sudah cukup untuk berlagak. Sama sekali anak-anak udik tak sedikit pun mempunyai dugaan, bahwa pisau yang terkenal itu bisa dipalsukan dengan yang berkwalitas rendah. Tom sudah merancangkan untuk menghias lemari dengan goresan pisau barunya, dan ia akan memulai menggores meja, ketika ia dipanggil untuk berpakaian pergi ke sekolah minggu.
Tom diberi sewaskom air dan sepotong sabun. Ditaruhnya waskom itu di sebuah bangku di luar, kemudian dicelupkan sabun ke dalam air. Lengan baju digulungnya, air bersabun di dalam waskom dituangkannya perlahan sampai habis dan ia masuk kembali ke dapur, menggosok mukanya dengan handuk yang bergantung di balik pintu. Tapi handuk itu diambil Mary dan berkatalah dia,
45 "Tidakkah kau malu, Tom" Jangan terlalu malas, air tak akan menyakitkan."
Tom sedikit kacau. Waskom diisi kembali dengan air dan ditaruh lagi di bangku di luar. Beberapa saat Tom berdiri di hadapan waskom itu, mengumpulkan kemauan, menghela napas panjang dan mulai. Tak lama ia telah masuk ke dapur, kedua mata tertutup rapat tangan meraba-raba mencari handuk. Air dan busa sabun bertetesan dari mukanya. Namun ketika ia keluar, mukanya masih belum memuaskan Mary, karena yang bersih hanya sampai ke atas dagu dan rahang bagaikan sebuah topeng. Selebihnya belum tersentuh air, di bawah dagu dan lehernya. Mary menyeretnya ke luar kini, dan ketika ia selesai membersihkan Tom, Tom menjelm
a menjadi anak yang patut menjadi saudara Mary, tanpa perbedaan warna kulit, rambutnya disisir rapi, dikeriting kecil-kecil dan simetris. (Diam-diam Tom meratakan kembali keritingan itu dengan susah payah, diratakannya rambutnya rapat-rapat sebab baginya keriting hanyalah untuk wanita; betapa ia benci kepada keritingnya yang asli). Mary mengeluarkan pakaian Tom yang selama dua tahun hanya dipakai di hari-hari Minggu, yang untuk menggampangkan disebut "pakaian yang lain", sehingga bisa kita ketahui berapa banyak pakaian Tom. Mary membetulkan dandanan Tom, baju luarnya dikancingkan sampai ke bawah dagu, kerah kemejanya yang lebar menutupi bahu, disikatnya dan ditutupi kepalanya dengan topi jerami ber-
46 bintik-bintik. Tom gelisah sebab untuk berdandan dan bersih hatinya menjadi kesal. Harapannya yang terakhir mudah-mudahan Mary lupa akan sepatunya. Tapi harapan itu hampa, Mary menggosok sepatunya dengan lilin hingga mengkilap. Tom tak tahan lagi, ia merengut dan berkata, ia selalu dipaksa untuk mengerjakan yang tak disukainya. Tapi dengan membujuk Mary menjawab, "Ayolah, Tom, kau kan anak baik."
Walaupun dengan bersungut-sungut, Tom terpaksa memakai sepatunya. Mary pun siap dan ketiga orang anak itu berangkat ke Sekolah Minggu, sebuah tempat yang dibenci Tom, tapi disenangi oleh Mary dan Sid.
Sekolah Minggu itu dimulai pukul sembilan dan berakhir pukul setengah sebelas, dilanjutkan dengan kebaktian gereja. Sid dan Mary selalu menghadiri kebaktian dengan ihlas, Tom dengan hati kesal.
Gereja itu mempunyai kursi-kursi kayu tak beralas dengan sandaran tinggi, cukup untuk tiga ratus orang. Bangunannya kecil, sederhana, dengan semacam kotak kayu pinus di puncaknya sebagai menara. Di pintu gereja Tom memisahkan diri dari Sid dan Mary, mendekati seorang kawan yang juga berbaju bagus, dia bertanya, "Hai, Billy, apakah kau punya karcis kuning""
"Ya." "Kau ingin apa sebagai tukarannya"" "Kau punya apa"" "Kayu manis dan kail."
47 "Coba, lihat." Tom memperlihatkan barangnya. Tukar-menukar terjadi. Kemudian Tom menukarkan dua buah kelereng pualam putih dengan tiga helai karcis merah, dan lain-lain dengan dua helai karcis biru. Ia mencegat anak-anak lain. Selama sepuluh atau lima belas menit ia membeli karcis dari berbagai warna. Ia masuk dalam gereja bersama serombongan anak berbaju bersih tapi ribut, menuju tempat duduk dan bertengkar dengan anak pertama yang dilihatnya. Gurunya, seorang tua pendiam, melerai pertengkaran itu. Tapi begitu sang guru berpaling, rambut seorang anak di samping bangkunya ditariknya, kemudian pura-pura membaca ketika si anak berpaling. Anak lain dicucuknya dengan peniti agar menjerit, "Aduh!" Tom mendapat teguran lagi dari gurunya. Kawan-kawan sekelasnya tidak berbeda dengan dia: gelisah, ribut dan nakal. Bila mereka disuruh menghapal, tak seorang pun bisa menghapal dengan sempurna, selalu harus dituntun. Betapapun kalau mereka mau bersusah payah, mereka bisa mendapat hadiah berupa karcis biru. Tiap karcis mengandung ayat-ayat Al-Kitab; sehelai karcis biru adalah upah bagi mereka yang berhasil menghapalkan dua ayat. Sepuluh helai karcis biru bisa ditukarkan dengan sehelai karcis merah; sepuluh karcis merah seharga sehelai karcis kuning; dan bagi yang bisa mengumpulkan sepuluh karcis kuning, Pengawas Umum akan memberi hadiah berupa sebuah Al-Kitab yang sederhana (jaman itu berharga
48 empat puluh sen). Siapa di antara pembacaku yang punya kesanggupan dan kemampuan untuk menghapalkan dua ribu ayat, bahkan bila dengan janji hadiah sebuah Al-Kitab Dore" Mary berhasil mendapatkan dua buah Al-Kitab dengan cara ini, setelan bekerja dengan sabar selama dua tahun, dan seorang anak berdarah Jerman berhasil memenang- kan empat atau lima buah! Pernah anak itu menghapalkan tiga ribu ayat tanpa berhenti; tetapi tekanan pada pikiran yang terlalu besar membuat si anak menjadi tolol. Suatu kehilangan besar bagi sekolah, sebab pada peristiwa-peristiwa besar di hadapan tamu agung Pengawas Umum (meminjam istilah Tom) selalu memanggil anak Jerman itu untuk memamerkan kepandaiannya. Hanya murid-murid yang lebih tua bisa berhasil
mengumpulkan karcis dan dengan rajin berusaha terus dan lama untuk memenangkan sebuah Al-Kitab. Pemberian hadiah ini sangat jarang, maka peristiwanya selalu mendapat perhatian besar; murid yang berhasil diagungkan dan menjadi pusat perhatian hingga di hati murid-murid lainnya timbul pula keinginan untuk merebut hadiah, suatu keinginan yang biasanya hanya berlangsung dua minggu. Mungkin Tom sama sekali tak menginginkan hadiah itu, tetapi jelas, ia menginginkan keagungan dan kemashuran karena mendapat hadiah itu.
Pada saat yang tepat, Pengawas Umum berdiri, di depan mimbar dengan memegang buku nyanyian pujaan, jari telunjuknya terselip di antara halaman-
49 halaman, meminta perhatian para murid. Bila seorang Pengawas Umum Sekolah Minggu mengadakan pidato, memegang sebuah buku nyanyian pujaan adalah suatu keharusan seperti memegang kertas musik bagi seorang penyanyi yang maju ke panggung untuk menyanyi di sebuah konser. Apakah sebabnya, tidak seorang pun yang tahu, sebab baik buku nyanyian ataupun kertas musik itu jarang sekali dipergunakan oleh pemegangnya. Pengawas Umum ini bertubuh kurus, kira-kira berumur tiga puluh lima tahun, dengan jenggot kambing dan rambut pasir. Kerah bajunya kaku, yang bagian belakangnya hampir mencapai telinga dan ujung depannya mencapai sudut mulut bagaikan pagar putih yang memaksanya selalu memandang ke depan dan membuat ia harus memutar seluruh tubuhnya, bila akan melihat ke samping. Dagunya ditopang oleh seutas dasi lebar, selebar dan sepanjang sehelai uang kertas dengan pinggir berenda. Ujung sepatunya mencuat ke atas, mengikuti mode masa itu, seperti ujung ski - gaya yang ditiru dengan sabar dan giat oleh murid-muridnya dengan jalan menekankan sepatu mereka ke tembok berjam-jam. Tuan Walters ini berwajah sungguh-sungguh, jujur dan tulus hati. Ia begitu menghormati benda-benda dan tempat-tempat suci, serta sangat membedakannya dengan keduniawian, sehingga tanpa terasa suaranya bernada dan berlagu istimewa, jika berbicara di Sekolah Minggu. Ini tak akan terjadi pada hari-hari biasa. Ia mulai pidatonya
50 demikian: "Nah anak-anak, aku ingin kalian duduk baik-baik, baik sedapat-dapatnya, dan perhatikanlah aku selama beberapa menit ini. Nah, begitulah. Begitulah cara duduk bagi anak-anak yang baik. Aku melihat seorang gadis cilik yang melihat ke luar jendela -aku takut ia mengira, aku di luar sana - mungkin di salah satu pohon itu, memberi pelajaran pada burung kecil. (Sekalian hadirin tertawa kecil). Aku ingin mengatakan pada kalian, betapa senangnya bagiku untuk melihat wajah-wajah cerah, bersih di tempat seperti ini untuk belajar mengerjakan apa yang baik dan benar." Dan seterusnya. Dan seterusnya. Tak ada gunanya untuk mencatat kelanjutannya di sini, sebab pidato semacam itu selalu sama pola dan bumbunya, jadi tak ada yang
aneh bagi kita. Bagian terakhir dari pidato itu dinodai oleh perkelahian kecil di antara beberapa anak nakal, dan oleh kegelisahan serta bisik-bisik sampai mendekati batu-batu karang yang tak tergoda seperti Sid dan Mary. Keributan itu berhenti tiba-tiba dengan berkurangnya suara Tuan Walters dan pidatonya berakhir dengan penuh rasa terima kasih
oleh hadirin. Sebagian besar dari bisik-bisik itu disebabkan oleh suatu kejadian yang jarang terjadi, yaitu masuknya beberapa orang tamu: ahli hukum Thatcher, diiringi oleh seorang pria yang sudah tua, seorang pria lain yang gagah dan tampan berambut
51 kelabu; seorang wanita yang tampaknya patut dihormati, agaknya istri pria yang belakangan. Nyonya itu menuntun seorang anak perempuan. Selama itu Tom gelisah penuh keluh kesah; hati nuraninya terpukul pula - ia tak berani menyambut pandang mata Amy Lawrence yang penuh kecintaan memandang padanya. Begitu melihat masuknya si gadis cilik yang dituntun oleh nyonya tadi jiwanya berkobar dengan gembira. Segera ia 'jual tampang' dengan segala cara - menampar beberapa orang kawan, menarik-narik rambut, menyeringai-nyeri-ngai hingga mirip monyet - pokoknya segala cara, yang kira-kira bisa menarik perhatian si gadis dan memperoleh sambutannya. Hanya ada setitik noda dalam kegembiraannya - ke
nangan tentang penghinaan atas dirinya di kebun sang bidadari - namun kenangan ini bagaikan sebuah catatan di pasir pantai, segera terhapus oleh hempasan gelombang kebahagiaan.
Para tamu diberi tempat terhormat dan segera setelah Tuan Walters menyelesaikan pidatonya, ia memperkenalkan para tamu itu kepada murid-muridnya. Orang gagah setengah umur itu ternyata seorang yang luar biasa - ia adalah Hakim Daerah - jabatan yang paling mulia di mata anak-anak. Mereka menduga-duga terbikin dari bahan apa kiranya sang hakim, mereka setengah mengharap, sang hakim akan mengaum dengan menakutkan. Hakim itu datang dari Konstantinopel, yang jauhnya dua belas mil. Hal itu berarti ia telah berjalan jauh dan
52 melihat separuh dunia. Sang hakim pernah melihat kantor pengadilan daerah, yang katanya mempunyai atap seng! Semua itu menambah kekaguman anak-anak, yang terbukti dari suasana sunyi senyap serta pandangan mata yang tak berkedip. Inilah Hakim Thatcher, saudara dari ahli-ahli hukum setempat. Jeff Thatcher meninggalkan bangkunya untuk berkenalan dengan pamannya yang agung itu. Betapa irinya semua anak pada Jeff, dan bisik-bisik di sana-sini yang terdengar oleh telinganya betul-betul melebihi keindahan musik yang terindah:
"Lihat padanya, Jim! Dia maju ke sana! Waduh, lihat! Ia akan berjabatan tangan dengan tuan hakim ... ia berjabatan tangan dengan hakim daerah! Ampun, tak inginkah kau menjadi Jeff""
Tuan Walters juga 'jual tampang' dengan berbagai macam kesibukan, memberi perintah-perintah, menentukan putusan, memberikan petunjuk di sana-sini dan di mana saja ia bisa mendapat alasan untuk berbuat itu. Pegawai perpustakaan 'jual tampang' lari ke sana lari ke mari dengan tangan penuh buku, berbicara ribut tak berarti seperti yang digemari oleh para pejabat rendah. Guru muda wanita 'jual tampang' secara manis membungkuk memberi nase-hat kepada murid-murid yang beberapa saat yang lalu mereka pukul, mengangkat jari secara manis memberi peringatan pada anak-anak kecil yang nakal, dengan penuh kecintaan membelai-belai anak-anak yang baik. Guru-guru muda pria 'jual tampang' dengan membentak-bentak kecil memper-
53 tontonkan kekuasaan dan memberi perhatian penuh pada tata tertib - dan semua guru tak peduli jenis kelaminnya tiba-tiba mempunyai berbagai macam keperluan di perpustakaan dekat mimbar; keperluan yang selalu harus diulangi dua atau tiga kali (dengan mempertunjukkan sedikit kegusaran). Murid-murid perempuan 'jual tampang' dengan cara-cara mereka sendiri, sementara murid-murid lelaki begitu rajinnya 'jual tampang', hingga udara kelas itu penuh dengan peluru-peluru kertas dan suara ribut. Di atas semua itu si orang besar duduk, mengumbar senyuman agung, sadar akan kebesaran dirinya, sebab ia pun sedang 'jual tampang' juga.
Hanya ada satu hal yang menyebabkan kesukacitaan Tuan Walters tidak sempurna, yaitu kesempatan untuk memberikan hadiah sebuah Al-Kitab dan memamerkan seorang anak ajaib. Beberapa orang murid mempunyai karcis kuning, tetapi tak ada yang mempunyai yang cukup. Betapa bahagianya ia, bila anak Jerman itu bisa sembuh kembali.
Tepat pada saat harapannya hampir musnah, Tom Sawyer maju ke depan dengan membawa sembilan helai karcis kuning, sembilan helai karcis merah dan sepuluh helai karcis biru. ia minta haknya untuk menerima hadiah. Betul-betul sebuah halilintar di siang hari bolong bagi Tuan Walters. Sama sekali tak diketahuinya Tom akan menuntut hadiah, sekurang-kurangnya tidak untuk sepuluh tahun mendatang. Namun tak bisa ditolak, bukti-bukti lengkap dan syah. Tom segera didudukkan
54 bersama-sama sang hakim dan tamu-tamu terhormat lainnya. Berita itu segera disiarkan ke segenap penjuru. Betul-betul berita yang mengejutkan, berita paling menggemparkan dalam masa sepuluh tahun! Begitu hebat kegemparan itu sehingga dalam pandangan seisi sekolah Tom terlontar ke tingkat kedudukan sang hakim. Jadi kini ada dua keajaiban, yang tadinya hanya satu. Murid-murid lelaki setengah mati menahan perasaan iri. Tapi yang paling menderita adalah mereka yang terlambat sadar, bahwa merekalah yang membantu Tom mendapatkan kedudukan yang te
rtinggi itu dengan menukarkan karcis mereka dengan benda-benda yang didapat Tom dari mereka juga, karena menjual hak untuk mengapur. Anak-anak itu tak habis-habisnya menyesali diri sendiri sebagai korban sang penipu ulung, si musang berbulu ayam.
Hadiah diberikan kepada Tom oleh Pengawas Umum dengan keriangan yang hambar, karena sang Pengawas Umum sadar, di balik itu semua pasti ada sesuatu rahasia yang meliputi kegelapan, karena mustahillah Tom bisa menimbun dua ribu kata mutiara dari kitab Injil, sedang biasanya dua belas ayat saja ia tak mampu menghapal.
Amy Lawrence bangga dan gembira dan ia berusaha agar Tom melihat kegembiraan itu di wajahnya, tetapi Tom mengabaikannya. Perasaan khawatir terbit di hati Amy. Kemudian kecurigaan membayang di hatinya. Diperhatikannya Tom; lirikannya membuka rahasia gadis itu patah hati.
55 Karena iri dan amarah air matanya jatuh berderai. Ia benci semua orang, terutama terhadap Tom.
Tom diperkenalkan kepada hakim tetapi lidahnya kelu, nafasnya sesak, jantungnya berdebar disebabkan kebesaran hakim, tetapi yang lebih utama ialah karena hakim itu ayah pujaan hatinya. Kalau hari itu gelap, mau rasanya Tom berlutut dan memuja sang hakim. Hakim Thatcher meletakkan tangannya ke atas kepala Tom dan menanyakan namanya.
Tom tergagap menjawab, "Tom ..."
"Oh, bukan, pasti bukan Tom, namamu ...""
"Thomas." "Ah, bagus. Tapi kukira ada sambungnya, bukan itu saja. Itu memang cukup namun kau mau mengatakan sambungannya, bukan""
"Katakan pada tuan itu namamu yang lengkap, Thomas," sela Tuan Walters menyela, "dan jangan lupa menyebut 'Tuan'. Jangan lupa sopan santun."
"Thomas Sawyer ..., Tuan."
"Bagus sekali. Betul-betul kau seorang anak yang baik. Anak cakap. Kecil, cakap dan jantan. Dua ribu ayat itu sangat banyak sekali. Kau tak akan menyesal menghapalkannya dengan susah payah, sebab pengetahuan lebih berharga dari apa saja di dunia. Pengetahuanlah yang membuat orang-orang besar dan baik. Kau sendiri akan menjadi orang besar dan orang baik kelak, Thomas. Saat itu kau akan mengenangkan masa silam dan berkata dalam hati: Semua ini adalah hasil dari pelajaran yang
56 kudapat dari Sekolah Minggu di masa kanak-kanak. Ini semua berkat jerih payah guru-guruku yang memberiku pelajaran. Ini semua berkat Bapak Pengawas Umum yang mengawasi dan memberi dorongan padaku dan memberiku sebuah Al-Kitab yang indah, sebuah Al-Kitab yang bagus diberikan padaku untuk selama-lamanya. Ini semua berkat pendidikanku yang baik, benar! Itulah yang akan kaukatakan pada waktu itu, Thomas, dan bagimu dua ribu ayat itu lebih berharga daripada uang berapa pun, betul-betul lebih berharga. Dan kini pasti kau tak berkeberatan untuk menceritakan sedikit tentang apa yang telah kau pelajari padaku dan pada Nyonya ini. Tidak, pasti kau tidak akan berkeberatan, sebab kami berdua sangat bangga akan anak-anak yang rajin belajar. Nah pasti kau telah tahu nama-nama dari dua belas rasul. Kini katakanlah, siapakah dua orang pertama yang ditunjuk""
Tom menarik-narik sebuah lubang kancing dan tampak kemalu-maluan. Ia menundukkan muka, wajahnya memerah. Hati Tuan Walters pun ikut berdegup-degup. Dalam hatinya ia berkata, anak ini tak mungkin bisa menjawab pertanyaan yang termudah itu. Mengapa Tuan Hakim menanyakannya" Maka ia merasa wajib untuk berbicara pada Tom, "Jawablah pertanyaan itu, Thomas, jangan takut."
Tom masih bungkam. "Aku tahu pasti kau mau mengatakannya pada-
57 ku," kata Nyonya itu. "Nama kedua orang rasul itu..."
"DAUD dan GOLIATH!"
Kasihan, marilah kita tutup saja adegan ini.
58 Bab V SEORANG PENDETA DAN DO'ANYA
KIRA-KIRA setengah sebelas, lonceng retak gereja kecil mulai berbunyi, dan segera jemaat berbondong-bondong untuk mendengarkan khotbah pagi. Anak-anak Sekolah Minggu tersebar menempati tempat-tempat duduk bersama orang tua masing-masing, agar bisa diawasi dengan ketat. Bibi Polly datang, Tom, Sid, dan Mary duduk berdampingan. Tom didudukkan di tepi gang antara barisan bangku, agar ia jauh dari jendela yang terbuka, jadi jauh pula dari godaan pemandangan musim panas di luar. Orang-orang terus membanjiri gang; kepala kantor
pos yang tua tapi masih diperlukan, walikota dan istrinya (St. Petersburg mempunyai walikota juga, di antara jabatan yang tidak perlu), Nyonya janda Douglas yang cantik, cerdik, berumur empat puluh tahun, pemurah, baik hati dan kaya, rumahnya di bukit merupakan satu-satunya istana di kota kecil itu, kebanggaan St. Petersburg dalam hal mengadakan pesta-pesta dan perayaan besar; yang patut dihormati, tetapi bongkok: Mayor Ward dan
59 Nyonya; ahli hukum Riverson, seorang tokoh pendatang; gadis tercantik di desa itu, diikuti oleh beberapa gadis -lain, berpakaian indah, disusul oleh semua juru tulis muda dari kota yang masuk serentak - pemuda-pemuda itu tadi berkumpul di pintu gerbang merupakan kelompok yang sampai basah kuyup oleh minyak wangi dan selalu tersenyum menunggu sampai gadis terakhir lewat barulah mereka masuk, dan akhir sekali muncullah anak terbaik dari desa, yang lalu dijadikan contoh untuk anak-anak lain: Willie Mufferson yang dengan hati-hati menuntun ibunya. Willie selalu mengiringkan ibunya ke gereja dan ia menjadi kebanggaan kaum ibu. Anak-anak membencinya, sebab ia terlalu baik. Selain daripada itu Willie selalu dijadikan contoh, hingga mereka merasa muak. Seperti biasanya tiap minggu, Willie membawa sapu tangan putih bersih yang tampak di saku belakangnya. Tom tak punya sapu tangan, dan ia menganggap setiap anak yang membawa sapu tangan adalah pesolek yang tolol.
Ruang gereja telah penuh, lonceng dibunyikan lagi untuk memberi peringatan bagi mereka yang masih tertinggal. Kemudian gereja itu diliputi oleh suasana sunyi, yang hanya dipecahkan oleh bisik dan tawa kecil anggota-anggota paduan suara. Pernah ada sebuah paduan suara yang tak mempunyai kebiasaan buruk itu, tetapi aku telah lupa di mana paduan suara semacam itu sekarang. Hal itu telah lama sekali, hampir aku tak ingat lagi, kalau tak salah di luar negeri.
60 Pendeta menunjukkan lagu yang akan dinyanyikan dan membacakan syairnya sampai habis dengan lagu rawan, dengan gaya istimewa yang sangat disenangi di daerah itu. Suaranya dimulai dengan nada sedang, makin lama makin tinggi sampai mencapai puncak ketinggian. Pada puncak itu kata terakhir diberi tekanan keras dan bagian akhir dari kalimat dijatuhkan ke nada rendah, bagaikan terlempar dari papan peloncat.
Akankah aku sampai di surga
dengan mudah. Sedang yang lain mencari pahala berjuang
dengan susah" Pendeta itu dianggap sebagai tukang baca yang paling baik. Dalam pertemuan-pertemuan gereja ia selalu diundang untuk membacakan sajak-sajak. Setiap habis membaca sajak, para pendengar wanita pasti mengangkat tangan dan menjatuhkannya lemas ke samping, kemudian menutup mata sambil
61 menggelengkan kepala seakan-akan berkata:
'Tak ada kata-kata untuk melukiskan keindahannya, keindahan membacanya, sungguh indah, terlalu indah bagi dunia yang fana ini."
Setelan lagu pujian dinyanyikan, Pendeta Sprague berpaling ke papan pengumuman dan membacakan beberapa pengumuman tentang pertemuan-pertemuan, hal-hal lainnya, hingga seakan-akan pengu-muman-pengumuman itu tak habis-habisnya sampai hari kiamat. Suatu kebiasaan aneh yang masih ada sampai saat ini di Amerika, yaitu di jaman surat kabar telah merajalela ini. Memang, makin terasa tiada kegunaannya suatu kebiasaan, makin sukar bagi kita untuk menghapuskannya.
Setelah semua pengumuman yang banyak itu habis terbaca, pendeta mulai berdo'a. Do'a yang baik dan tak tanggung-tanggung telitinya. Berdo'a untuk gereja dan anak-anak kecil di gereja; untuk gereja-gereja lain di desa itu; untuk desanya sendiri; untuk daerah; untuk negara bagian; untuk pejabat-pejabat negara bagian; untuk negara Amerika Serikat; untuk Konggres; untuk presiden; untuk pejabat-pejabat pemerintahan; untuk pelaut-pelaut yang sedang menderita di laut berbadai; untuk jutaan jiwa yang menderita di bawah injakan raja-raja di Eropa dan para penguasa di Timur; untuk mereka yang punya mata dan telinga, tapi tak bisa melihat dan mendengar; untuk para pribumi di pulau-pulau terpencil di samudera-samudera besar. Maka ditutupnya do'a itu dengan permohon-
62 an, semoga kata-kata yang akan diucapkannya nant
i mendapat perkenan dan berkat Tuhan dan menjadi bagaikan benih yang disebarkan di tanah subur, yang kelak akan memberikan hasil yang memuaskan. Amin.
Terdengar gemerisik para jemaat, yang tadi berdiri selama do'a diucapkan dan kini serentak duduk kembali. Anak yang diceritakan dalam buku ini sama sekali tak bisa menikmati do'a yang panjang itu, malahan ia menderita. Ia kebal akan do'a-do'a itu. Dengan tidak sadar ia mencatat seluk-beluk do'a itu, ia mendengarkan, tapi telah hapal jalan-jalan yang ditempuh sang pendeta - dan bila ada yang kecil yang ditambahkan pada do'a itu pasti Tom tahu dan hal ini membuatnya makin benci. Baginya penambahan itu licik dan keji. Di pertengahan do'a seekor lalat hinggap di punggung kursi di hadapan Tom dan lalat itu menambah siksaan baginya dengan jalan tenang menggosok-gosok tangan, memeluk serta menggosok kepala begitu keras hingga seolah-olah akan mencopot dari tubuhnya. Kemudian lalat itu menggosok-gosok sayap, meratakannya dengan kaki belakang seolah-olah sayap itu sebuah jas, dan bersolek dengan tenang dan tentram seperti ia tahu, bahwa dirinya terlindung dari segala macam mara bahaya. Dan memang demikian keadaannya; sebab betapapun tangan Tom gatal untuk menangkapnya, ia tidak berani. Dalam kepercayaannya, kalau lalat itu dibunuh sewaktu khotbah diucapkan, jiwanya
63 akan hancur seketika itu juga. Tetapi dengan berakhirnya do'a itu tangannya mulai menekuk dan maju perlahan. Begitu kata "Amin" terdengar, tangannya menyambar dan lalat itu menjadi tawanan perang. Sayang, Bibi Polly mengetahuinya dan Tom harus melepaskan tawanannya.
Sang pendeta mulai membaca khotbahnya dengan suara yang datar dan membicarakan persoalan-persoalan dengan kalimat berbunga-bunga, hingga makin banyak yang terangguk-angguk mengantuk - padahal persoalan yang sedang dibicarakannya adalah tentang api neraka dan jiwa-jiwa terpilih yang hanya sedikit, sehingga menyia-nyiakan gerakan penyelamatan jiwa. Tom menghitung lembar-lembar khotbah; pulang dari gereja biasanya Tom mengetahui, berapa lembar khotbah itu tapi jarang mengetahui isinya. Tetapi kali ini hatinya tertarik. Sang pendeta memberikan gambaran bagaimana isi seluruh dunia dikumpulkan waktu singa dan anak domba berbaring berdekatan dan seorang anak kecil memimpin mereka. Tetapi pelajaran dan moral dari pemandangan yang digambarkan itu tak tertangkap oleh Tom; ia hanya memikirkan betapa menariknya peranan tokoh utama itu di hadapan segala bangsa yang berkumpul untuk melihat; mukanya bersinar betapa senang bila ia bisa menjadi si anak tadi, kalau saja yang dipimpinnya singa yang jinak.
Kemudian Tom jatuh ke alam penderitaan, ketika pendeta kembali pada persoalan-persoalan kering. Dan terpikirlah oleh Tom akan harta yang dibawa-
64 nya, yaitu seekor kumbang hitam dengan rahang yang bercakar; Tom menamakannya 'kumbang cubit'. Kumbang itu ditaruhnya dalam sebuah kotak, bekas tempat tutup peledak. Begitu keluar, kumbang itu menggigit jari Tom. Tom terkejut, mengibaskan tangannya, si kumbang terlempar ke gang dan Tom memasukkan jari yang digigit ke dalam mulut. Kumbang itu berusaha keras untuk membalikkan tubuh, tapi sia-sia; Tom sangat ingin mengambilnya namun tempatnya terlalu jauh. Orang-orang yang tak menaruh perhatian pada khotbah mengikuti kumbang itu dengan cermat. Tak lama kemudian seekor anjing pudel datang mendekat. Agaknya anjing itu pun malas oleh kelembutan musim panas, bosan akan hidup dalam kekangan sepi, jadi menginginkan perubahan. Tampaklah kumbang itu kepadanya; ekor yang terkulai lesu kini bergoyang-goyang gembira. Diperhatikannya si kumbang, diputarinya; diciumnya dari jarak yang cukup aman, kemudian mencium lebih dekat; mengangkat bibir ragu-ragu menyambar si kumbang, disengajanya agar luput, diulangi dan diulangi lagi; dimulainya lagi perbuatan itu; berbaring dengan si kumbang di antara kedua kaki depannya dan melanjutkan percobaannya; tapi akhirnya bosan, termenung dan melamun. Kepalanya terangguk-angguk, janggutnya makin turun dan akhirnya menyentuh musuhnya yang cepat menggigitnya. Terdengar lengkingan tajam, si anjing mengibaskan kep
ala dan si kumbang terlempar dua meter dan
65 sekali lagi jatuh terlentang. Orang-orang di dekat tempat itu bergetar oleh kegembiraan yang terpaksa mereka telan, beberapa orang tertawa kecil di balik kipas atau sapu tangan, dan Tom merasa bahagia tak terkira.
Si anjing kelihatan tolol betul dan agaknya memang tolol; ia menaruh dendam pada kumbang dan bermaksud untuk membalas dendam. Didekatinya kumbang itu, disergapnya hati-hati; ia meloncat dari putaran si kumbang, kaki depannya menyerang sampai beberapa inci dari sasaran, moncongnya malahan menyerang lebih dekat, setiap serangan disertai oleh goncangan kepala yang menyebabkan telinganya berkelepak. Tetapi si anjing segera merasa lelah; mencoba menghibur hatinya dengan seekor lalat, tapi tak terhibur; mengikuti perjalanan seekor semut dengan hidungnya dekat kepada lantai, tapi segera juga bosan; menguap, mengeluh dan sama sekali melupakan si kumbang, tak sengaja duduk tepat di tempat si kumbang terlentang. Terdengar lagi lengkingan kesakitan yang keras dan si anjing bagaikan terbang berlari sepanjang gang; ia berlari terkaing-kaing; berlari menyeberangi tempat sembahyang di depan, masuk ke gang lain, melintasi pintu-pintu, berputar ke seluruh tempat di ruang itu sambil melengking ribut; penderitaannya makin besar dengan makin panjangnya jarak yang ditempuhnya, ia makin cepat berlari hingga yang terlihat seakan sebuah komet berbulu yang sedang bergerak dalam orbitnya dengan kecepatan
66 cahaya. Akhirnya si penderita yang sangat bingung itu meninggalkan jalan yang sedang ditempuhnya dan melompat ke pangkuan pemiliknya yang serta-merta melemparkannya ke luar jendela. Di luar masih terdengar lengkingan kesakitan, yang makin lama makin jauh.
Pada saat itu seluruh isi gereja berwajah merah dan menahan tawa, khotbah berhenti sama sekali. Kemudian khotbah dimulai lagi, tapi tidak begitu bersemangat dan malah tertegun-tegun, semua nada yang meyakinkan hilang, bahkan ungkapan yang paling menyedihkan disambut oleh jemaat dengan tertawa yang terlindungi oleh punggung kursi jauh dari mimbar, seakan-akan pendeta baru saja mengucapkan sesuatu yang amat lucu. Sungguh, suatu kelegaan bagi jemaat ketika cobaan Tuhan itu selesai dan pemberkatan dimulai.
Tom Sowyer pulang dengan gembira, bahkan merasa puas dalam pelayanan rokhani, kalau sedikit saja ada variasi di dalamnya. Hanya ada sedikit yang membuatnya kecewa; ia tak keberatan anjing pudel itu bermain-main dengan kumbangnya, tetapi tidak patut, bila si anjing membawa kumbang itu pergi.
67 Bab VI PERTEMUAN TOM DENGAN BECKY
TI^P Senin pagi, Tom selalu merasa sedih, karena dengan tibanya hari Senin berarti dimulailah siksaan sekolah atas dirinya selama seminggu. Biasanya ia memulai hari itu dengan berharap mudah-mudahan ia bisa bersekolah terus tanpa hari libur, sebab hari libur selalu membuat kembali ke sekolah tak tertahan.
Tom berpikir. Segera terlintas di hatinya, baik ia sakit. Kalau sakit, tak perlu ia pergi ke sekolah. Ada kemungkinan yang masih kabur. Diperiksanya bagian tubuhnya dengan teliti. Tak diketemukan-nya rasa sakit sedikit pun, dan sekali lagi ia memeriksa dirinya. Kali ini agaknya ia berhasil menemukan sedikit gejala perut mulas. Ia mulai berbuat agar rasa mulas itu makin terasa tapi malahan rasa tadi berkurang dan akhirnya lenyap. Kemudian Tom mencari-cari lagi. Tiba-tiba ia menemukan sesuatu. Salah satu gigi atasnya goyah. Untung; ia sudah mulai berkeluh kesah, tetapi terpikir olehnya, bila sakit giginya dibicarakan,
68 bibinya akan mencabut gigi itu yang pasti akan menyakitkan. Maka ia akan simpan gigi goyah itu sebagai cadangan, dan mulai mencari-cari lagi. Beberapa saat tak terdapat apa-apa, kemudian ia ingat akan kata dokter tentang penyakit yang membuat penderita harus berbaring selama dua atau tiga minggu dan mungkin menyebabkan hilangnya sebuah jari. Dengan bersemangat Tom mulai memeriksa jempol kakinya yang sakit. Sayang ia tak tahu gejala-gejala penyakit aneh tadi. Betapapun, tak ada salahnya untuk mencoba, maka mulailah ia beraduh-aduh dengan suara keras.
Tapi Sid tetap tidur nyenyak.
Tom memperkeras keluh kesahnya, sampai merasa jari kakinya betul-betul terasa sakit.
Sid tak berkutik. Tom menjadi lelah, karena berkeluh kesah. Ia mengumpulkan napas dan mengeluh lagi dengan suara yang betul-betul patut dikagumi.
Sid tetap mendengkur. Tom merasa sulit sendiri. Ia berseru, "Sid! Sid!" dan mengguncang-guncang adik tirinya. Sid menguap, menggeliat dan sambil mendengus bangkit, memperhatikan Tom. Tom merintih-rintih.
"Tom! He, Tom!" seru Sid. Seruan ini tak terbalas. "He, Tom! Tom! Kenapa kau, Tom"" Sid mengguncangkan tubuh Tom dan memperhatikan wajahnya dengan sangat khawatir.
Tom merintih, "Oh, jangan, Sid, jangan guncangkan aku."
69 "Mengapa, Tom" Biar kupanggilkan Bibi."
"Jangan... jangan pedulikan aku, Sid. Akan hilang juga nanti, jangan panggil siapa pun."
"Tidak, Bibi harus tahu! Oh, jangan merintih begitu, Tom, ngeri kedengarannya. Sudah lama kau sakit""
"Berjam-jam! Aduh! Jangan sentuh aku, Sid, kau membunuhku!"
"Tom, mengapa aku tak segera kaubangunkan" Oh, Tom, jangan merintih, berdiri bulu romaku. Tom, apa sebenarnya yang sakit""
"Kuampuni segala kesalahanmu, Sid. (Merintih), segala kesalahanmu padaku. Bila nanti aku telah tiada..."
"Oh, Tom, kau akan mati" Jangan Tom... jangan ... oh, jangan. Mungkin ..."
"Kuampuni semua orang, Sid. (Merintih.) Katakan pada semua orang. Dan Sid, berikan bingkai jendelaku serta anak kucingku yang bermata satu pada gadis yang baru itu, katakan bahwa..."
Tetapi Sid menyambar pakaiannya dan pergi. Kini Tom benar-benar merasa sakit, begitu besar khayalnya sehingga keluh kesahnya bernada asli.
Sid berlari ke tingkat bawah sambil berseru, "Aduh, Bibi Polly, cepat! Tom hampir mati!"
"Mati!" "Ya, Bi. Cepat, jangan menunggu lagi!" "Omong kosong. Aku tak percaya." Tetapi bagaikan terbang Bibi Polly naik ke kamar Tom, disusul oleh Mary dan Sid. Wajah Bibi
70 Polly pucat dan bibirnya gemetar. Sesampai di kamar tidur Tom, Bibi Polly berteriak, "Tom! Ada apa""
"Aduh, Bibi, aku .. ."
"Ada apa .. ., ada apa, Nak""
"Oh, Bibi, jempol kakiku yang sakit kini mati!"
Nyonya tua itu menjatuhkan diri di sebuah kursi, kemudian tertawa, menangis dan akhirnya tertawa dan menangis. Pikirannya menjadi tenang dan ia berkata pada Tom, 'Tom, kamu membuatku terkejut. Kini tutup mulut dan bangun!"
Suara rintihan lenyap dan rasa sakit menghilang dari jempol kaki itu. Tom malu dan berkata, "Bibi Polly, betul kurasa jempol kakiku mati dan sakitnya begitu keras, sehingga aku lupa pada gigiku."
"Gigimu! Kenapa lagi gigimu""
"Gigiku goyah, Bi, dan sakitnya bukan main."
"Nah, jangan merintih-rintih lagi. Buka mulutmu, coba lihat. Hm, memang gigimu goyah, tapi itu bukan berarti kau akan mati. Mary, ambilkan benang dan bara api dari dapur."
Tom mengaduh, "Oh, Bibi, jangan cabut gigi itu. Jangan! Tak sakit lagi sekarang. Sungguh mati, tak terasa sakit lagi. Jangan, Bi. Aku tak ingin tinggal di rumah dan mau masuk sekolah."
"Betul demikian" Jadi ini semua hanya karena kaupikir kau bisa tinggal di rumah dan tak sekolah, supaya kau bisa mengail, he" Tom, Tom, aku sangat mencintaimu, tapi kau selalu bikin hatiku pedih." Saat itu alat-alat gigi telah tiba. Bibi Polly
71 mengikat gigi Tom yang goyah dengan ujung benang sutera, sedang ujung yang lain diikatnya pada tiang tempat tidur. Kemudian diambilnya kayu bara yang apinya masih menyala, tiba-tiba kayu itu disodorkan sampai hampir mengenai muka Tom. Tom melompat mundur dan giginya kini tergantung dengan benang di tiang tempat tidur.
Tetapi kekecewaan itu selalu ada upahnya. Ketika Tom berangka ke sekolah setelah sarapan, ia menjadi sasaran perhatian anak-anak yang dijumpainya, disebabkan lobang bekas giginya membikin ia meludah-ludah, tetapi dengan cara istimewa. Anak-anak mengerumuninya untuk memperhatikan ia meludah; seorang anak yang tadinya ditonton karena jarinya yang terpotong kini tak mendapat perhatian. Kebanggaannya hilang, hatinya terasa berat. Dengan pura-pura acuh tak acuh anak itu berkata, meludah seperti cara Tom Sawyer bukan apa-apa. Tetapi anak-anak lain berolok-olok, hingga ia terpaksa pergi dengan perasaan kalah.
Setelah itu Tom bertemu dengan seorang anak yang
harus disingkiri, Huckleberry Finn, anak seorang pemabuk. Huckleberry dibenci dan ditakuti oleh semua ibu di kota kecil itu, sebab ia selalu bermalas-malasan, tak mempunyai aturan, kasar dan dianggap bertabiat buruk. Seperti juga anak-anak lainnya Tom iri pada Huckleberry akan kegelandangannya, tetapi dia tidak diperbolehkan bermain dengannya. Karena dilarang, maka pada
72 setiap kesempatan dia bermain dengan Huckleberry. Huckleberry selalu memakai pakaian orang dewasa yang telah dibuang, compang-camping dan teriaki besar. Topinya telah rusak, bertepi lebar dengan puncaknya sudah copot. Jaketnya, bila kebetulan dipakainya, tergantung mencapai kaki dan kancing belakangnya di kedudukan; tali celananya hanya sebelah yang menahan celana; pantat celana ke bawah menggelembung dengan udara; ujung celana diseret, bila tak digulungkan ke atas.
Huckleberry datang dan pergi sesuka hatinya. Ia tidur di ambang pintu, kalau cuaca cerah dan di tong-tong kosong bila hari hujan; ia tak usah pergi ke sekolah dan ke gereja, tak bertuan dan tak harus menuruti siapa pun; ia boleh pergi mengail atau berenang sesuka hatinya; tak ada yang melarang untuk berkelahi; jam tidurnya tak tentu; ia menjadi anak pertama yang bertelanjang kaki di musim semi dan yang terakhir memakai sepatu di musim gugur; tak pernah ia harus mencuci atau memakai pakaian bersih; ia bisa memaki-maki dengan sangat baiknya. Pokoknya apa saja yang bisa membuat hidup ini senang, dipunyainya oleh Huckleberry Finn, demikianlah pikir semua anak yang terkekang oleh tata tertib di St. Petersburg.
Tom menyapa gelandangan yang menarik hatinya itu, "Hallo, Huckleberry!"
"Hallo untukmu sendiri, bila kausenangi itu."
"Apa yang kaubawa""
73 "Bangkai kucing."
"Coba lihat, Huck. Astaga betapa kejang. Dari mana kaudapat""
"Kubeli dari seorang anak."
"Dengan apa kaubayar""
"Sehelai karcis biru dan sebuah kantung empedu yang kudapat dari rumah pemotongan hewan."
"Dari mana kaudapat karcis biru""
"Kubeli dari Ben Rogers dengan sebuah tongkat simpai dua minggu yang lalu."
"Untuk apa bangkai kucing ini, Huck""
"Untuk menyembuhkan kutil."
"Mana mungkin. Aku tahu obat kutil, yang lebih mujarab."
"Tak ada yang lebih mujarab dari ini. Apakah obatmu""
"Air keberanian."
"Air keberanian! Bagiku air keberanian tak berharga sepeser pun."
"Mengapa tidak" Pernahkah kau mencobanya"" "Tak pernah. Tapi Bob Tanner pernah." "Bagaimana kau tahu""
"Dia berceritera pada Jeff Thatcher, Jeff berkata pada Johnny Baker, Johnny berkata pada Jimm Hollis dan Jim berkata pada Ben Rogers, Ben berkata pada seorang Negro, Negro itu berkata padaku. Nah, begitulah."
"Lalu mengapa" Mereka semua pasti berdusta, kecuali Negro itu yang tak akan berdusta. Cih. Coba ceriterakan bagaimana Bob Tanner memper-
74 gunakan air keberanian itu, Huck."
"Mudah saja, ia mencelupkan tangannya ke dalam sebuah rongga di tunggul kayu busuk di mana terdapat genangan air hujan."
"Di siang hari""
"Tentu." "Dan ia menghadap tunggul itu"" "Ya. Begitulah kira-kira." "Ada yang diucapkan"" "Kukira tidak. Aku tidak tahu." "Aha! Tolol sekali untuk menyembuhkan kutil dengan air keberanian, bila tak tahu cara-caranya. Bukan begitu caranya. Kau harus datang seorang diri ke tengah hutan, di mana kau tahu ada tunggul kayu busuk dengan air hujan tergenang dalam rongganya. Kau harus datang di tengah malam, kemudian mundur ke arah tunggul itu, masukkan tanganmu ke dalam rongganya sambil berkata: Biji gandum, biji gandum, makanan kecil orang Indian, air keberanian, air keberanian, kutil-kutil ini yang kau telan; kemudian kau harus berjalan cepat sebelas langkah, dengan mata tertutup, setelah itu kauputari tunggul itu tiga kali dan kau pulang tanpa bicara pada siapa pun tentang yang kaukerjakan. Bila kaulanggar sedikit saja aturannya, mantera itu tak mujarab lagi."
"Tampaknya memang mujarab; tapi bukan begitu cara yang dipakai oleh Bob Tanner."
75 "Tak salah lagi,- pasti berlainan. Bob adalah orang yang paling banyak mempunyai kutil di kota ini dan semuanya pasti lenyap, bila ia mengetahui tentang mantera air keberanian itu. Beribu-ribu kutil telah hilang dari tangan
ku, Huck, hanya dengan mantera itu. Kau tahu, betapa sering aku bermain-main dengan kodok, hingga aku mempunyai banyak kutil. Kadang-kadang kuhilangkan kutil itu dengan biji kacang."
"Ya, kacang juga obat kutil yang baik. Aku pernah mencobanya."
"Pernah" Bagaimana caranya""
"Kaubelah kacang jadi dua, kemudian kutil diiris, hingga mengeluarkan darah. Oleslah belahan yang satu dengan darah itu dan pendam di perempatan jalan di tengah malam waktu bulan gelap. Belahan yang satu lagi harus dibakar habis. Kaulihat nanti, belahan kacang yang kita pendam akan menarik belahan yang lainnya, tetapi karena tertutup oleh darah, darah itu pun punya daya penarik yang akan menarik kutil tadi hingga terlepas."
"Ya, betul begitu caranya, Huck, hanya waktu kau memendam belahan kacang itu kau harus berkata, "Jatuhlah kacang; lepaslah kutil; jangan datang untuk menggangguku lagi!" begitulah sebaiknya. Begitulah yang dibuat oleh Joe Harper, dan ia pernah ke Coonville serta ke tempat-tempat lainnya. Tapi coba bagaimana kau mengobati kutil dengan mempergunakan bangkai kucing""
76 "Mudah sajp, kaubawa kucing itu ke kuburan menjelang tengah malam, bila ada orang yang berhati jahat baru dikubur. Kalau tengah malam setan tiba, mungkin satu atau mungkin dua atau tiga, kau tak akan bisa melihat mereka. Yang kaudengar, hanyalah suara berdesau seperti angin lalu, atau mungkin bisa kaudengar mereka bercakap-cakap; setan-setan itu datang untuk mengambil mayat yang baru dikubur tadi. Bila mereka membawa mayat itu pergi, kaulemparkan bangkai kucing ke arah mereka sambil berkata: 'Setan ikuti mayat, kucing ikuti setan, kutil ikuti kucing, kau tak kuperlukan lagi!' Nah, dengan obat itu segala macam kutil akan sembuh."
"Pernah kaukerjakan itu, Huck" kedengarannya betul mujarab."
"Belum, Mak Hopkins Tua yang mengatakan padaku."
"Aku percaya deh, kalau begitu, sebab kata orang ia tukang tenung."
"Wah, bukan kata orang lagi, Tom, aku yakin dia memang seorang tukang sihir. Dia pernah menenung bapakku. Bapak sendiri yang mengatakannya. Suatu hari waktu ia datang ke mari, ia melihat Mak Hopkins Tua menenungnya, maka Bapak mengambil sebuah batu. Bila Mak Hopkins tak cekatan, pasti ia terkena lemparan itu. Nah, malam itu juga Bapak jatuh dari atap yang ditidurinya selagi mabuk, tangannya patah."
"Wah, ngeri sekali. Bagaimana ayahmu tahu,
77 Mak Hopkins yang menenungnya""
"Tuhan, Bapak tahu betul, mudah sekali. Kata Bapak, bila seorang tenung memandangmu dalam-dalam, percayalah bahwa ia sedang menggunakan ilmunya. Apalagi bila mulutnya komat-kamit; itu berarti mereka sedang mengucapkan Doa Bapa Kami dengan membacanya terbalik."
"Huck, kapan kau akan mencoba bangkai kucing itu""
"Malam ini. Setan-setan akan mengambil mayat Hoss Williams malam ini."
"Tetapi Hoss Williams dikubur hari Sabtu, apakah setan-setan tak mengambilnya Sabtu malam""
"Oh, tololnya kau ini. Bagaimana mantera mereka bisa bekerja di tengah malam hari Sabtu" Waktu itu hari telah masuk hari Minggu. Tak ada setan bergelandangan di hari Minggu, kau tahu""
"Memang benar, tak terpikir olehku. Bolehkah aku pergi bersamamu""
"Tentu saja, bila kau tak takut."
"Takut! Tak mungkin. Kau memberi tanda dengan mengeong""
"Ya, dan balas pula dengan eongan. Kemarin dulu aku mengeong terus, sebab tak kaubalas dan si Hays tua melempari aku dengan batu, sambil berseru, 'Kucing terkutuk!' Maka kulempar jendelanya dengan batu bata, tapi jangan kaukatakan pada siapa pun."
"Tentu saja tidak. Malam itu aku tak bisa menjawab kamu, sebab Bibi selalu mengawasiku.
78 Tapi kali ini pasti kubalas, eh, apakah itu"" "Bukan apa-apa, hanya seekor kutu pohon." "Dari mana kaudapat"" "Di hutan."
"Mau kautukar dengan apa""
"Tak tahu. Aku tak ingin menjualnya."
"Baiklah. Betapa pun kutu itu terlalu kecil."
"Oh, semua orang bisa mengejek kutu pohon yang bukan miliknya. Aku puas dengan kutu ini, cukup bagus bagiku."
"Memang, tapi kutu pohon banyak. Bila aku mau, aku bisa mengumpulkan ribuan kutu pohon."
"Nah, mengapa kau tak punya seekor pun" Karena kau tahu, kau tak akan bisa. Ini belum musimnya, dan ini adalah kutu pohon yang pertama yang
muncul tahun ini." "Eh, Huck, mau kau menukar kutu itu "dengan gigiku""


Petualangan Tom Sawyer Karya Mark Twain di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Coba lihat dulu."
Tom mengeluarkan segumpal kertas yang hati-hati dibukanya. Lama Huckleberry memperhatikan gigi Tom, yang dicabut tadi pagi. Ia betul-betul sangat ingin.
Akhirnya ia berkata, "Apakah itu gigi asli""
Tom mengangkat bibirnya, hingga terlihat lowongan bekas gigi.
"Baik. Jadilah!" kata Huckleberry.
Tom memasukkan kutu ke dalam kotak bekas memenjarakan kumbang cubitnya. Kemudian kedua anak itu berpisah, masing-masing merasa lebih kaya
79 dari semula. Ketika Tom sampai ke sekolah yang kecil dan terpencil, ia masuk dengan tergesa-gesa, seolah-olah ia berlari dari rumah. Digantungkannya topinya dan ia melemparkan diri duduk di bangku dengan penuh semangat. Gurunya, yang duduk di kursi tinggi, terkantuk-kantuk oleh suara anak-anak yang belajar. Masuknya Tom membuat ia terbangun.
"Thomas Sawyer!"
Tom tahu, kalau namanya disebutkan sepenuhnya berarti ia akan mendapat kesulitan. "Ya, Tuan."
"Kemari! Nah, mengapa kau terlambat lagi""
Tom mau berdusta, tapi pada saat itu dilihatnya seorang anak perempuan berambut pirang, yang segera dikenalnya sebagai anak yang dicintainya. Di kelas itu hanya di sebelah gadis itulah tempat yang kosong, satu-satunya di bagian murid perempuan! Cepat-cepat Tom menjawab:
"Saya berhenti untuk bercakap-cakap dengan Huckleberry Finn!"
Detak jantung sang guru terhenti, ternganga memandang Tom Sawyer. Bisik anak-anak juga berhenti; mereka memandang Tom sambil bertanya-tanya, mungkinkah anak keras kepala itu telah gila"
"Apa ..., apa katamu"" tanya guru tak percaya.
"Saya berhenti untuk berbicara dengan Huckleberry Finn."
Jelas sekali, tak mungkin salah dengar.
"Thomas Sawyer, ini pengakuan yang paling
80 mengejutkan yang pernah kudengar. Cambukan biasa tak cukup untuk menghukumnya. Buka jaketmu!"
Guru sendiri yang melakukan hukuman cambuk, sampai tangannya terasa sakit. Hukuman selanjutnya, "Nah, kini kau harus duduk dengan murid perempuan! Biarlah ini menjadi pelajaran bagimu!"
Suara tawa kecil terdengar dari seluruh kelas, dan Tom tampak kemalu-maluan, tetapi pipinya memerah karena kini ia bisa duduk di samping pujaan hatinya yang belum dikenalnya. Suatu keuntungan yang tak pernah diduganya. Ia duduk di ujung bangku, si gadis menggeser jauh tanpa memandang. Di sana-sini kepala saling mengangguk dan mata-mata berkedip, tapi Tom diam dengan kedua belah tangan terlipat rapi di meja dan pura-pura belajar dari buku.
Lama-kelamaan tak ada lagi yang memperhatikan Tom, suara anak-anak belajar mulai terdengar kembali. Tom mulai melemparkan lirikan kepada gadis di sampingnya. Si gadis mengetahui, me-moncongkan mulutnya dan membelakangi beberapa lama. Ketika si gadis diam-diam berpaling, sebuah persik terletak di depannya. Buah itu didorongnya ke dekat Tom. Perlahan Tom mendorong kembali buah itu ke tempat semula. Si gadis mendorongnya lagi, tapi tak sekasar tadi. Dengan sabar Tom mengembalikannya ke depan si gadis. Kali ini si gadis diam. Tom menulis di batu tulisnya, "Ambillah, aku masih punya banyak."
81 Si gadis membaca tulisan itu tapi diam. Kini Tom mulai menggambar sesuatu di batu tulisnya, menutupi pekerjaan dengan tangan kiri. Beberapa lama si gadis tak memperhatikannya, tapi rasa ingin tahu lama-lama mulai menguasai dirinya, walaupun tidak diperlihatkan. Tom terus bekerja, seolah tak peduli. Si gadis melirik acuh tak acuh, walaupun tahu, Tom pura-pura tak tahu pula. Akhirnya si gadis tak tahan, lalu berbisik, "Coba, lihat."
Tom mengangkat tangannya, hingga terlihat coretan di batu tulisnya, gambar sebuah rumah dengan atap berujung lancip, dua buah asap berlingkar bagai pegas dari cerobong asap. Rasa ingin tahu si gadis terpaku pada gambar itu dan ia lupa akan segala. Ketika Tom selesai menggambar, si gadis memperhatikan lukisan itu, kemudian berbisik, "Bagus... sekarang gambar orang."
Seniman Tom menggambar seorang lelaki di halaman depan, lelaki yang lebih mirip sebuah mesin derek, seolah-olah dia mau melangkahi rumah. Tetapi si gadis tak cerewet, ia puas dengan raksasa itu dan berbisik, "Bagus ... kini gambarlah aku be
rsama dia." Tom menggambar sebuah benda mirip sebuah gitar, diberi kepala bulan purnama dan kaki bagaikan batang padi dan tangan yang jari-jarinya melebar membawa kipas luar biasa. Si gadis berkata:
"Manis sekali ... oh, ingin aku bisa menggambar."
"Mudah," bisik Tom, "aku bisa mengajarmu."
82 "Betulkah" Kapan""
"Tengah hari. Istirahat tengah hari, kau pulang makan""
"Bila kau mau, aku akan tinggal di sekolah." "Baik. Siapa namamu""
"Becky Thatcher. Siapa namamu" Oh, aku tahu, namamu Thomas Sawyer, bukan""
"Nama itu kalau aku akan mendapat cambuk. Jika aku sedang dianggap baik namaku Tom saja.
83 Kau mau panggil aku Tom, bukan"" "Baik."
Tom menulis di batu tulisnya, menyembunyikannya dari Becky. Tapi kini Becky tak malu lagi, ia minta agar diperbolehkan melihat.
Tom berkata, "Oh, bukan apa-apa."
"Ya, ada yang kautulis."
"Tidak. Tak ada. Kau tak akan ingin melihatnya."
"Siapa bilang, aku ingin melihat."
"Kaukatakan nanti pada kawan-kawan."
"Tidak, tak akan kukatakan. Sungguh! Tak akan kukatakan."
"Tak akan kaukatakan pada siapa pun" Selama hidupmu""
"Tidak, tak akan kukatakan pada siapa pun. Nah, lihat."
"Oh, sebetulnya kau tak ingin melihatnya."
"Oh, kalau kau terus berbelit-belit, akan kulihat sendiri!" Becky memegang tangan Tom, mengangkatnya. Terjadi adu kekuatan, tapi Tom berpura-pura menahannya. Sedikit demi sedikit tangannya terangkat, hingga terlihatlah tulisan, "Aku cinta padamu."
"Oh, kau nakal." Becky memukul tangan Tom, tetapi terlihat sekali, bahwa gadis yang pipinya memerah itu merasa bahagia.
Tepat pada saat itu Tom merasakan cengkeraman yang kuat di telinganya, cengkeraman yang perlahan menariknya berdiri. Maka Tom diangkat ke bangkunya di tengah-tengah riuh tawa dari seluruh sekolah.
84 Untuk beberapa saat gurunya berdiri di hadapannya, yang sangat mengerikan bagi Tom, kemudian kembali ke tahtanya tanpa berbicara. Walaupun kedua telinganya terasa sakit, Tom betul-betul gembira dalam hatinya.
Sekali lagi sekolah menjadi sunyi dan Tom berusaha untuk belajar, tetapi pergolakan dalam jiwanya tak tertahankan. Pelajaran membacanya gagal; nama danau dikacaukannya menjadi nama gunung, nama gunung menjadi nama sungai dan nama sungai menjadi nama benua; dalam pelajaran mengeja ia jatuh masuk kotak hanya karena beberapa kata sederhana, hingga dalam urutan kepandaian mengeja ia menduduki tempat paling bawah, dan terpaksa melepaskan medali timbalnya, medali tanda nomor satu dalam mengeja yang dipakainya dengan bangga selama berbulan-bulan.
85 Bab VII SEBUAH PERJANJIAN DAN SEBUAH KEKESALAN
MAKIN kuat Tom memusatkan pikiran pada pelajarannya, makin jauh pikirannya mengembara. Akhirnya dengan mengeluh dan menguap, ia menghentikan usahanya. Baginya seolah-olah waktu istirahat tengah hari tak kunjung tiba. Udara tegang. Hari itu hari yang paling mengantukkan. Dengung dua puluh lima murid bagaikan mantera tidur. Bukit Cardiff tampak cerah memperlihatkan lereng-lereng hijau di balik tirai panas yang ber-pendar-pendar; beberapa ekor burung melayang-layang tinggi di udara; tak ada lagi mahluk hidup selain beberapa ekor sapi dan mereka pun pulas. Hati Tom sakit merindukan kebebasan atau sesuatu, yang dipakai untuk melewatkan waktu. Tangannya meraba-raba saku, dan seketika wajahnya cerah oleh rasa terimakasih bagaikan terkabulnya suatu do'a. Diam-diam kotak kutu pohonnya dikeluarkan. Kutu itu dikeluarkan dan ditaruhnya di atas meja. Mahluk itu mungkin menyinarkan terima kasih juga, namun saat itu rasa terima kasihnya terlalu
86 lekas, sebab begitu ia akan bergerak, Tom membelokkannya dengan peniti dan memaksanya untuk mengambil arah lain.
Sahabat karib Tom, Joe Harper, duduk di sampingnya. Ia pun menderita seperti Tom, dan sekarang sangat berterima kasih serta menaruh perhatian atas permainan Tom. Tom dan Joe adalah sahabat paling karib sepanjang pekan, tetapi hari Sabtu mereka berhadapan sebagai musuh. Joe mengambil peniti dari leher bajunya dan membantu Tom mengerjakan tawanannya. Makin lama olah raga menggiring kutu itu makin menarik. Tiba-tiba Tom berkata, bahwa mereka saling mengganggu dan menjadi malas dengan permainan it
u. Maka Tom meletakkan batu tulis Joe di meja, lalu dibuatnya garis di tengah-tengah dari atas ke bawah.
"Nah," kata Tom, "selama ia berada di daerahmu, kau boleh mempermainkannya dan aku tak akan campur; tetapi bila ia lolos dari tanganmu dan lari ke daerahku, kau tak boleh menyentuhnya."
"Baik, silakan."
Kutu itu lolos dari pengawasan Tom, menyeberang ke perbatasan dan dipermainkan oleh Joe sesaat, kemudian kembali lagi ke daerah Tom. Demikian terjadi berulang-ulang. Bila seorang mempermainkan kutu itu dengan penuh perhatian, yang lain ikut mengawasi, kedua kepala mendekat di atas batu tulis. Keduanya tak memperhatikan lagi keadaan sekelilingnya. Akhirnya Joe lebih beruntung daripada Tom, betapapun kutu itu mencoba
87 namun Joe tetap bisa menahan di daerahnya. Kutu itu hendak lari, namun peniti Joe sangat tangkas. Tangan Tom sudah gatal, dan akhirnya ia tak tahan. Diulurkan tangannya dan membantu Joe mempermainkan tawanan itu. Seketika Joe menjadi marah.
"Tom, biarkan saja dia!"
"Aku hanya ingin menggelitiknya sedikit, Joe."
'Tidak, itu tak adil, kau tak boleh ikut campur."
"Sebentar saja."
"Jangan ikut campur, kataku."
"Tidak!" "Harus ... ia masih di daerahku."
"Tapi, Joe Harper, ingat kutu siapa itu""
"Tak peduli, pokoknya ia masih di daerahku dan kau tak boleh mengganggunya."
"Siapa bilang" Ia milikku dan akan kulakukan apa saja yang kuingini, sampai mati pun aku rela."
Sebuah pukulan hebat jatuh ke punggung Tom, disusul oleh pukulan yang sama di punggung Joe; selama dua menit debu mengepul dari jaket kedua orang anak itu dengan dinikmati oleh seluruh isi sekolah. Kedua anak itu begitu asyik dalam permainannya, sehingga tidak mereka perhatikan gurunya datang mendekat. Agak lama juga gurunya memperhatikan permainan kutu itu, sebelum ia turun tangan.
Ketika istirahat tengah hari tiba, Tom berlari ke Becky Thatcher dan berbisik di telinganya, "Pakailah kudungmu, pura-pura pulang, dan bila kau
88 sampai di pengkolan, kembalilah lagi lewat jalan samping. Aku akan berbuat serupa dari arah yang berlawanan.
Tom pergi dengan sekelompok kawannya, Becky pergi pula dengan kelompok lain. Beberapa saat kemudian keduanya bertemu di ujung jalan samping dan ketika mereka kembali di sekolah, sekolah itu sunyi. Mereka duduk berdampingan dengan batu tulis di hadapan. Tom memberi Becky anak batu tulis dan dengan memegang tangan gadis itu ia menuntunnya untuk menggambar sebuah rumah yang aneh. Sesudah mereka bosan menggambar, mereka bercakap mengenai berbagai hal. Tom merasa bahagia dan ia bertanya, "Suka kau pada tikus""
"Tidak, aku benci pada tikus."
"Aku juga, tapi yang kubenci hanya tikus hidup. Yang kumaksud suka kau pada tikus mati, untuk diputar-putarkan di atas kepala dengan tali""
"Tidak, mati atau hidup aku tak suka pada tikus. Yang paling kugemari permen karet."
"Oh, aku juga. Betapa senangnya bila aku punya permen karet."
"Aku punya. Kau boleh mengunyah sebentar, tapi kembalikan lagi padaku."
Usul itu disetujui, mereka bergantian mengunyah permen karet itu sementara kaki mereka bergoyang-goyang di bangku tanda senang.
"Pernahkah kau menonton sirkus"" tanya Tom.
"Ya, dan ayahku akan mengajakku menonton
89 lagi." "Aku pernah nonton sirkus tiga atau empat kali. Gereja bukanlah tandingan sirkus. Selalu ada-ada saja yang terjadi dalam sirkus. Bila aku telah dewasa aku akan menjadi badut sirkus."
"Betulkah" Bagus sekali. Badut-badut itu sangat indah, pakaiannya berbelang-belang."
"Ya, dan mereka mendapat banyak uang, sampai sedollar sehari, kata Ben Rogers. Eh, Becky, pernahkah kau bertunangan""
"Apakah itu""
"Bertunangan untuk kemudian kawin."
"Belum pernah."
"Maukah kau bertunangan""
"Aku tak tahu. Bagaimanakah rasanya""
"Rasanya" Wah, tak bisa dibandingkan dengan apa pun. Kau hanya harus mengatakan kepada seorang lelaki, bahwa kau tak akan kawin dengan orang lain untuk selama-lamanya. Kemudian kaucium dia, dan selesailah pertunangan itu. Semua orang bisa mengerjakannya."
"Cium" Untuk apa cium itu""
"Wah, itu, kau tahu adalah untuk ... eh, semua orang mengerjakannya."
"Semua orang""
"Ya, semua orang yang saling mencintai. Ingatka
h kau akan yang kutulis di batu tulisku"" "Y ... ya." "Apakah itu""
"Aku tak mau mengatakannya padamu."
90 "Boleh kukatakan padamu"" "Y ... ya ... tapi lain kali saja." "Tidak, sekarang."
"Tidak, jangan sekarang ... besok saja."
"Oh, tidak, sekarang. Ayolah, Becky, akan kubisikkan, kubisikkan sangat pelahan."
Becky ragu, Tom menganggap Becky diam sebagai setuju, dipeluknya pinggang Becky dan dibisikkannya kalimat yang ditulisnya sangat pelahan, dengan mulutnya dekat-dekat ke telinga Becky. Kemudian ditambahkannya:
"Nah, kini kau berbuat serupa, bisikkan kata-kata itu kepadaku."
Becky diam sesaat, kemudian berkata, "Palingkan kepalamu biar kau tak bisa melihatku, baru kukatakan. Tapi jangan kaukatakan pada siapa pun ya" Berjanjilah!"
"Tentu, Becky, tak akan kukatakan pada siapa pun. Nah, bisikkanlah."
Tom berpaling, kemalu-maluan Becky membungkukkan kepalanya sampai napasnya meniup rambut Tom dan berbisik, "Aku... cinta... padamu!"
Kemudian Becky melompat dan lari mengelilingi bangku-bangku dan meja-meja. Tom mengejar hingga akhirnya Becky tersudut, menutupi mukanya dengan gaunnya. Tom memeluk leher Becky dan memohon, "Nah, Becky, hampir selesai sudah... tinggal ciumnya. Jangan takut... sesungguhnya tak apa-apa, ayolah, Becky." Tom menarik gaun
91 Becky dan tangannya. Lama kelamaan Becky menyerah, perlahan-lahan tangannya turun: wajahnya memerah karena pergulatan dan menunduk. Tom mencium bibir Becky yang merah dan katanya, "Nah, selesailah, Becky. Dan selanjutnya, kau tahu, kau tak boleh mencintai orang lain kecuali aku, dan kau tak akan kawin dengan siapa pun kecuali dengan aku, selama-lamanya, selama-lamanya. Maukah kau""
"Ya, Tom, aku tak akan mencintai orang lain kecuali engkau, dan aku tak akan kawin dengan orang lain kecuali dengan engkau... dan kau pun tak boleh kawin dengan orang lain."
"Pasti. Begitulah. Dan bila pergi ke sekolah atau pulang dari sekolah kau harus berjalan bersamaku, bila tak ada orang yang melihat... dan kau harus memilihku, serta aku memilihmu di pesta-pesta untuk berdansa, sebab begitulah cara orang bertunangan."
"Oh, senang sekali. Belum pernah kudengar."
"Ya, bahagia sekali. Dulu, waktu aku dengan Amy Lawrence ..."
Mata Becky membesar dan Tom segera sadar, bahwa ia telah berbuat sesuatu kesalahan. Ia tertegun, bingung.
"Oh, Tom, jadi ini bukan pertama kali kau bertunangan!"
Anak gadis itu menangis. "Oh, jangan menangis, Becky, aku tak mencintainya lagi."
92 "Tidak, kau masih mencintainya, Tom, kau tahu itu."
Tom mencoba memeluk leher Becky, tapi Becky mendorongnya dan berpaling menghadap dinding, menangis. Tom mencoba lagi membujuk, tapi tetap ditolak. Kesal hati Tom, ia pergi ke luar. Beberapa lama ia mondar-mandir di halaman, sekali-sekali memandang ke pintu dengan harapan Becky akan menyesal dan keluar untuk menemuinya. Tapi Becky tak muncul juga, membuat Tom makin gelisah. Hatinya bergolak. Sesungguhnya ia malu untuk mengalah, tapi akhirnya dikuatkan hatinya untuk masuk. Becky masih berdiri di sudut, mena-
93 ngis menghadap dinding. Hati Tom hancur. Didekatinya Becky, kemudian berdiri bingung, ragu berkata, "Becky... aku... tak ada yang kucintai selain engkau."
Jawaban hanya sedu sedan.
"Becky," Tom memohon lagi, "Becky, tak maukah kau berbicara!"
Sedu sedan lagi. Tom mengeluarkan harta bendanya yang paling berharga, sebuah tombol kuningan laci bupet, diperlihatkannya tombol itu pada Becky sambil berkata, "Ayolah, Becky, maukah kau mengambil ini""
Becky menampar tombol itu, hingga jatuh ke lantai. Tak berpikir lagi Tom berlari menuju bukit di kejauhan, tak kembali lagi ke sekolah hari itu. Segera setelah Tom keluar Becky mulai mencurigai. Ia menyusul tapi terlambat. Tom tak terlihat. Becky berlari mengitari lapangan tempat bermain, yang dicarinya tak ada. Ia berteriak, "Tom! Kembalilah, Tom!"
Tak ada jawaban, ia tak berteman, sunyi dan kesepian. Maka ia duduk, menangis dan menyesali dirinya. Tak lama kemudian murid-murid pada datang, dan Becky terpaksa menyembunyikan kesedihannya, serta menenangkan hatinya yang patah. Sore yang panjang dan menyakitkan itu hampir tak tertanggung olehnya,
apa lagi ia di antara kawan-kawan yang masih asing baginya, tak bisa diajak untuk membicarakan kesedihan hatinya.
94 Bab VIII TOM MENENTUKAN MASA DEPANNYA
TOM menyelinap lewat jalan-jalan kecil untuk menghindari kawan-kawannya yang kembali ke sekolah. Setelah merasa selamat, Tom berlari-lari kecil. Diseberanginya sebatang sungai dua-tiga kali. Menurut kepercayaan, menyeberangi sungai akan membingungkan guru-guru. Setengah jam kemudian ia lenyap di belakang rumah besar janda Douglas di puncak Bukit Cardiff. Sekolah hampir tak tampak lagi, jauh tersembunyi di lembah belakangnya. Tom masuk ke dalam sebuah hutan lebat, membuat jalan untuk masuk ke tengahnya. Kemudian ia duduk di bawah pohon oak yang rimbun, di tanah yang berlumut. Tak ada angin di kepanasan tengah hari, bahkan burung-burung pun tak terdengar; alam bagaikan terpukau. Kesunyian itu hanya dipecahkan oleh suara burung pelatuk di kejauhan yang menambah kesunyian makin terasa. Kesedihan Tom memuncak, perasaan hatinya bagai keadaan sekitarnya. Lama ia duduk mencangkung, dagunya ditopang tangan, termenung. Baginya hidup ini
95 hanya penuh kesulitan, dan ia amat mengirikan almarhum Jimmy Hodges, salah seorang kawannya yang baru saja meninggal. Betapa damai hatinya, pikir Tom, ia bisa berbaring dan bermimpi selama-lamanya, berteman nyanyian angin, dibelai rumput dan bunga-bungaan di atas kuburannya, tak ada yang harus dipikirkan tak ada yang harus disedihkan. Bila saja ia mempunyai catatan berkelakuan baik dari Sekolah Minggu, maulah rasanya menyusul Jimmy Hodges. Dan tentang gadisnya... hm, apa sebenarnya yang telah diperbuatnya" Bukan apa-apa. Ia bermaksud baik dan diperlakukan bagaikan anjing... betul-betul bagai anjing. Becky pasti menyesal, mungkin terlambat. Ah, betapa senangnya kalau bisa mati.
Iblis Edan 1 Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan Kelelawar Hijau 5
^