Pencarian

Sang Penyihir Beraksi 2

Sang Penyihir Beraksi Wizard At Work Karya Vivian Vande Velde Bagian 2


Sang penyihir yakin itu adalah satu-satunya cara untuk menyingkirkan gadis itu. Ia melontarkan mantra untuk memindahkan mereka berdua ke gua sang naga. Namun, ia mengeluarkan terlalu banyak energi sehingga bukan hanya ia dan sang putri yang terbawa, tapi juga tempat tidur ayun, cermin ajaib, dua batang pohon mawar yang berada di dekatnya tadi, dan pakaian musim dingin yang sedang diangin-anginkan di tali jemuran.
Yang tidak terbawa adalah sepasang pohon tempat ia menyangkutkan tempat tidur ayunnya. Akibatnya, tempat tidur itu jatuh ke lantai gua-beserta dirinya yang masih berbaring di dalamnya.
"Terima kasih," kata Putri Gilbertina.
Naga hijau yang sedang duduk bersandar di mulut gua segera berbalik saat mendengar suara gadis itu dan langsung menjerit kaget bercampur cemas.
"Ya," kata sang putri, "Aku telah kembali."
Naga itu memejamkan mata dan menutupinya dengan cakar. Ia berbalik dan menjauh. "Aku tak mau melihatmu!" katanya. "Kau hanya akan membodohiku lagi."
Sang penyihir bangkit berdiri dari jeratan tempat tidurnya. Ia menatap naga itu, kemudian sang putri. "Aku rasa ada yang tidak kumengerti di sini."
"Apakah kau memerhatikan apa yang sedang ia lakukan"" tanya si naga sambil mengintip dari balik cakarnya. "Aku sadar yang terjadi dahulu adalah sebuah kesalahan, tapi rambut pirangnya yang begitu indah telah membuatku tak bisa menolaknya. Dan ia tahu hal itu." la mengangkat bahu dengan canggung. "Kautahu kan naga sangat suka emas."
"Ayo, ayo ke mari," kata sang putri pada si naga. "Maukah kau tersenyum sedikit untukku"" Ia menggaruk-garuk bagian belakang telinga makhluk besar itu.
Naga itu menggeleng-gelengkan kepala. "'Selamatkan aku,' katamu. 'Selamatkan aku dari kebosanan yang menyiksaku,' katamu. 'Bawa aku terbang dan kau akan menjadi temanku seumur hidup.' Ha! Lebih tepatnya, menjadi pelayanmu. Aku sudah lelah melayanimu dan berulang kali mengatakan betapa cantiknya dirimu. Punggung dan sayapku sakit karena membawamu berkeliling sepanjang hari. Saat aku melihat sang penyihir dan pangeran, aku sadar apa yang sedang terjadi dan sepertinya hal itu adalah kesempatan yang sempurna. Aku berpura-pura mengejar naga palsu mereka supaya mereka bisa membawamu pergi dari sini."
Sang putri cemberut. "Itu sangat tidak sopan." Kemudian, ia tersenyum. "Tapi aku memaafkanmu." Ia menggelitik dagu sang naga. "Kau juga mau memaafkanku""
Naga besar itu berkata sambil menggeliat. "Ya, baiklah. Sekarang pergilah dari sini."
"Ayolah," bujuk G
ilbertina, "berikan aku sebuah senyuman kecil. Senyuman kecil nan manis seekor naga. Penyihir, tidakkah menurutmu ia naga termanis yang pernah kaulihat""
Sang penyihir tak tahu bagaimana harus menjawab, tapi untungnya cermin ajaib tahu jawabannya. Kata cermin itu, "Sebenarnya, itu betul. Ia nomor satu; naga tertampan di negeri ini."
Mata si naga membelalak. Benarkah""
"Aku tak pernah tidak benar. Dan yang pasti, aku tak pernah berbohong."
"Cermin yang mengagumkan!" seru naga itu. Bukankah ini cermin yang mengagumkan" Dan terbuat dari emas pula. Milik siapa ini""
"Milikku," dengung sang putri.
Naga itu mengalihkan pandangan ke arah sang putri.
Gilbertina memiringkan kepala dengan gaya santun sehingga yang terlihat oleh naga itu hanyalah rambut emasnya.
Naga itu tersenyum. Sang penyihir memungut tempat tidurnya dan membisikkan mantra pindah tempat.
Setelah berada di halamannya, ia kembali mengikat tempat tidurnya ke pohon. Semoga sang putri akan mencoba untuk lebih bisa bergaul dan semoga sang naga bisa lebih sabar sehingga mereka berdua dan si cermin bisa hidup bahagia selamanya.
Ia kemudian berbaring dengan wajah menghadap matahari yang sudah hampir terbenam. Dan semoga saja pangeran dari Talahandra tidak akan datang untuk mencari sang putri. Semoga ia menikah dengan gadis pemerah susu di peternakan Petani Seymour.
Sang penyihir bersenandung pelan. Kalau hal itu terjadi, ia punya sebuah hadiah perkawinan untuk mereka, sesuatu yang ia dapatkan dari salah satu perjalanannya, tapi ia belum pernah tahu kegunaannya: sebuah sepatu kaca...
5. Sang Penyihir dan Hantu
SANG PENYIHIR sedang berada di kebunnya. Ia sedang melilitkan tali di sekeliling potongan besi usang dan kemudian memaku barang aneh itu ke pasak kayu. Sebagian besar bahan yang ia pakai adalah potongan baju zirah berkarat yang ia dapatkan sebagai imbalan dari seorang kesatria malang nan miskin. Kesatria itu tak bisa memberi imbalan untuk sebuah mantra pembawa kemujuran. Selain itu, ada juga beberapa panci hangus dan penyok karena memasak memang bukan salah satu keahlian sang penyihir. Ia berharap bunyi yang ditimbulkan oleh benda buatannya
itu saat tertiup angin mampu menakut-nakuti kelinci-yang tahun ini sangat lancang. Mereka melompati pagar yang telah ia buat pada bulan Mei, menggerogoti bagian bawah orang-orangan sawah yang ia buat pada bulan Juni, dan membuat sarang dari potongan rambut orang-orangan sawah yang tercecer sejak bulan Juli. Sekarang sudah bulan Agustus. Ia berprinsip untuk tidak mencelakai makhluk hidup dengan sihir. Namun, sayur-sayuran di kebunnya sudah tinggal sedikit dan pendiriannya mulai goyah.
Ia sedang memandang benda yang baru saja dipakunya ketika seorang pria datang sambil menginjak-injak sayurannya. Orang asing itu sepertinya tidak sadar sama sekali kalau ia berada di sebuah kebun. Tanaman wortel mungkin masih bisa bertahan walau terinjak. Tapi pohon tomat jelas tidak.
Ia bisa saja berteriak kepada orang itu agar memerhatikan langkahnya, tapi ia tidak dapat melakukannya. Ibunya dulu selalu memeringatkan bahwa menggigiti paku sangatlah berbahaya karena ia khawatir paku itu tertelan.
"Berhenti!" ia mencoba berteriak dengan mulut penuh paku.
Orang asing itu pasti mengira apa yang diteriakkan sang penyihir sebagai sebuah sapaaan karena ia menyahut, "Halo juga!" sambil terus berjalan mendekat.
Sang penyihir meludahkan paku-paku dalam mulutnya ke tangan. Pria asing yang sudah berada di depannya bertanya, "Apakah kau sang penyihir atau tukang kebun""
"Aku tadinya seorang tukang kebun," jawab sang penyihir dengan nada sarkastis. "Tapi kelihatannya tidak berhasil."
Sepertinya sikap sarkastis sang penyihir tidak dimengerti oleh orang itu. "Jadi, kau bukan sang penyihir" Aku diberi tahu bahwa ia tinggal di sini. Tahukah kau di mana sebenarnya ia tinggal""
"Akulah sang penyihir."
Pria itu jadi kesal. "Bagaimana sih, mengapa tidak bilang dari tadi" Kausuka ya, membuat orang jadi bingung""
Sang penyihir menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa sebagian orang memang lebih gampang menjadi bingung dibandingkan yang lain. Ia mendesah dan berkat
a, "Tolong perhatikan kakimu dan katakan mengapa kau ada di sini."
Orang itu langsung memerhatikan kakinya. Sepertinya ia tidak sadar bahwa dirinya terbenam sampai ke mata kaki di antara tanaman daun selada.
Ia berkata, "Tuanku, Duke Snell, mengutusku untuk menjemputmu, untuk datang ke kastilnya di Northrup."
"Aku tak kenal Duke Snell," kata sang penyihir. Meskipun demikian, ia tahu bahwa Northrup berada di tempat yang jauhnya bukan main. Ia tak terkesan pada undangan itu-apalagi pada si pembawa pesan yang masih terus memerhatikan kakinya sendiri. Sepertinya, ia mengira perintah sang penyihir untuk memerhati-
kan kakinya harus terus dilakukan. Duke Snell mungkin mempekerjakan orang-orang yang kurang cerdas atau ia mungkin suka memberikan perintah yang harus diikuti persis seperti apa yang dikatakan. Kedua alasan itu tetap tak bisa menjelaskan kebodohan tamu ini.
Si pembawa pesan itu meyakinkan sang penyihir, "Tapi sang bangsawan mengenal Anda. Atau paling tidak, ia pernah dengar tentang Anda. Ada masalah di kastil dan ia membutuhkan bantuan Anda untuk mengatasinya."
"Benarkah"" Sang penyihir sudah mulai kehilangan kesabaran. "Dan apa yang membuatnya berpikir aku akan menolongnya"" Si tamu sepertinya tidak sadar bahwa kemarahan sang penyihir semakin memuncak. Sambil masih terus memerhatikan kakinya-mungkin karena khawatir sang penyihir akan mengutuknya-si pembawa pesan menjelaskan, "Raja akan datang berkunjung minggu depan dan Duke Snell ingin memastikan kalau kastilnya aman."
Itu sama sekali bukan jawaban yang tepat atas pertanyaannya, tapi sang penyihir tahu bahwa raja bukan tipe orang yang secara sembarangan memberikan perintah atau yang membiarkan dirinya dikelilingi oleh orang-bodoh. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada sang raja. Jadi, ia bertanya, "Apa masalah yang dihadapi Duke Snell""
"Kastilnya berhantu."
Sang penyihir tak punya banyak pengalaman dalam menangani hantu karena laporan tentang hantu jauh lebih banyak daripada hantu itu sendiri. Sebenarnya, ia curiga mungkin saja ada penjelasan sederhana tentang apa yang sedang terjadi di kastil Duke Snell. Walaupun demikian, rasa ingin tahunya tumbuh dan ia bertanya, "Siapa yang menghantui kastilnya""
"Hantu." Sang penyihir mendesah. "Siapa yang meninggal baru-baru ini""
"Itulah masalahnya," kata laki-laki itu. "Tepatnya, itulah salah satu masalahnya:
Tak ada seorang pun yang meninggal baru-baru ini. Begini, maksudku seseorang di suatu tempat di dunia yang luas ini pasti telah meninggal baru-baru ini, tapi bukan salah seorang yang tinggal di kastil. Mau pergi ke sana""
Sang penyihir kembali mendesah. Mungkin ini bukan hantu betulan-hantu sungguhan sangatlah jarang. Terlebih lagi, ia harus membereskan beberapa hal di kebun sebelum murid-muridnya kembali dari liburan musim panas. Namun, masalah ini membuatnya penasaran. Ia juga berniat melindungi sang raja. "Baiklah," katanya.
"Bagus," kata si pembawa pesan. "Bolehkah aku berhenti memerhatikan kakiku sekarang""
Sang penyihir sebenarnya ingin melihat berapa lama hal itu dapat berlangsung, tapi akhirnya ia berkata, "Ya."
Walaupun sebelumnya sudah pernah berkunjung ke daerah Northrup, sang penyi-
hir tidak pernah singgah ke kastil milik Duke Snell. Jadi, ia tidak bisa memindahkan dirinya ke sana dengan mantra. Ia minta si pembawa pesan memberi tahu tempat-tempat terkenal di sekitar kastil. Salah satu yang ia kenal dan pernah kunjungi ialah Standish Wood. Jadi, dengan menggunakan mantra, ia memindahkan diri ke kota Frisbane yang terletak di antara pinggiran Standish Wood dan dataran luas di bagian utara. Dengan demikian, ia menghemat waktu tiga hari jika dibanding harus mengendarai kuda berperangai buruk milik Petani Seymour. Ia juga terbebas dari orang suruhan Duke Snell. Ia mengatakan-walaupun hal itu tidak benar-bahwa mantranya hanya berlaku untuk dirinya sediri.
Di Frisbane, ia mengubah wujudnya agar terlihat lebih seperti seorang penyihir dan kemudian menyewa sebuah perahu. Ia membutuhkan setengah hari untuk sampai di tujuan. Tentu saja dengan mantra, ia bisa tiba dalam sekejap. Hari sudah mulai sore ket
ika akhirnya tukang perahu mengumumkan, "Kastil Bangsawan Snell."
Kastil itu berada di sebuah pulau di tengah sungai. Sang penyihir melihat dua gerbang air di dekat kastil-satu di depan dan satu lagi di belakang-dan ada alat untuk menaik-turunkan kedua gerbang itu.
Seorang penjaga menghampiri dan mengisyaratkan mereka untuk merapat. Ia memegang seberkas kertas catatan dan tampangnya terlihat bosan. Seakan-akan telah mengatakan hal yang sama sebanyak seribu kali dalam sehari, penjaga itu memberi tahu: "Sekeping uang perak untuk bea masuk ke area parit di sekeliling parit." Satu keping uang perak cukup untuk membeli satu kaleng cat serta ampelas untuk memperbaiki perahu yang sedang ditumpangi sang penyihir dan juga beberapa bantal empuk untuk alas duduknya.
"Aku tak ingin masuk ke area parit," kata si tukang perahu. "Aku hanya perlu mendayung ke tempat tambatan perahu di kastil untuk menurunkan penumpang-ku."
Penjaga itu menandai berkas catatannya. "Dua keping uang perak untuk bea berlabuh di sekitar area parit," katanya.
Sang penyihir mencondongkan badan ke depan dan menjelaskan, "Duke Snell memintaku untuk datang."
Penjaga itu menunggu beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Maksudmu ...""
Sebenarnya masalah ini tidak terlalu rumit, demikian pikir sang penyihir. "Maksudku: karena aku adalah tamu sang bangsawan, kami seharusnya tidak perlu membayar bea masuk."
"Tentu saja," kata penjaga itu dengan nada mencemooh. "Dan anjing mestinya tidak berkutu. Apel seharusnya tidak berulat dan sepatu baru seharusnya tidak membuat kaki menjadi sakit.
Sang penyihir berpikir untuk berubah menjadi seekor burung agar bisa terbang melewati perairan menuju kastil, tapi ia tidak ingin menyebabkan kehebohan. Ia tidak tahu apakah Snell ingin orang-orang tahu atau tidak kalau dirinya telah menyewa seorang penyihir. Kadang-kadang, saat bekerja untuk para bangsawan, kita harus merahasiakannya. Selain itu, mungkin saja ada bea masuk tiga keping emas untuk menggunakan wilayah udara di situ.
Tukang perahu itu jelas-jelas menunggu sang penyihir untuk membayar bea masuk. Sang penyihir tidak menyalahkannya karena kalau tidak begitu, ia akan kehilangan setengah dari ongkos yang baru didapatkan.
Sang penyihir mengambil dua keping dari sejumlah koin yang telah diberikan si pembawa pesan sebagai bayaran untuk datang ke sini dan menyerahkannya pada si penjaga.
Penjaga itu kembali menandai sesuatu di berkas catatannya dan kemudian memutar roda penggerak untuk menaikkan gerbang.
Gerbang itu naik, berderik, dan meneteskan air.
Setelah mereka lewat, penjaga itu menandai berkas catatannya lagi. "Teruskan perjalanan langsung ke area penambatan perahu," ia memperingatkan dengan tegas. "Akan ada denda kalau kalian berkeliaran di sekitar sini."
"Aku sama sekali tidak terkejut," gumam si tukang perahu sambil mendayung.
"Hati-hati," bisik sang penyihir. "Bisa jadi, ada bea untuk sikap sarkastis."
Tukang perahu itu cemberut tapi tidak bilang apa-apa lagi ketika mendayung ke tempat penambatan perahu.
Sang penyihir merambat ke luar dari perahu tanpa dibantu oleh penjaga kastil-yang berdiri sekitar tiga kaki dari situ dan terlihat seakan-akan tugasnya adalah berdiri seperti patung.
Perasaanku tidak enak tentang urusan ini, kata sang penyihir kepada dirinya sendiri. Mungkin sebaiknya aku pulang saja sekarang-hal mana yang akan lebih mudah daripada perjalanan ke sini karena ia bisa menggunakan mantranya. Tapi ia masih penasaran dengan masalah hantu ini dan ia sudah dibayar. Coba aku lihat sebentar lagi, katanya pada diri sendiri.
"Katakan urusanmu," kata penjaga kastil yang menyerupai patung itu.
Karena si pembawa pesan tidak pernah memanggil namanya, sang penyihir menduga Snell juga tidak tahu namanya. Jadi, ia hanya mengatakan, "Aku sang penyihir." Ia merasa tak perlu merahasiakan kedatangannya kepada penjaga karena mungkin tidak akan dibiarkan masuk.
Penjaga ini juga mempunyai daftar dan di daftar itu pasti tertulis Sang Penyihir,' karena ia kemudian menandai daftarnya dan berkata, "kau boleh masuk. Seseorang akan mengantarmu menuju ruang pertemuan. Oh ya, uang tip dit
erima dengan tangan terbuka."
"Terima kasih atas keterangannya," kata sang penyihir.
Saat menaiki tangga menuju kastil, sang penyihir mendengar penjaga gerbang berkata kepada tukang perahu, "Sekeping perak untuk bea keluar dari area penambatan perahu." Sang penyihir menggeleng-gelengkan kepala dan memasuki kastil sambil menduga-duga apakah dirinya dan Snell bisa bergaul dengan baik.
Sang penyihir menunggu dan menunggu dan menunggu di ruang pertemuan sampai ia akhirnya berniat membaca mantra untuk kabur-tak peduli apakah kastil itu berhantu atau tidak. Ia curiga tak akan bisa bertemu Snell kalau tidak menyogok salah seorang penjaga. Tentu saja, ia sama sekali tak berniat untuk melakukan hal itu. Dalam perjalanan pulang, ia bisa singgah ke tempat sang raja, pikirnya, dan memperingatkannya bahwa kastil milik Snell tidak aman. Lamunannya terpotong oleh sebuah pertanyaan: apakah para penjaga gerbang akan meminta bea masuk dari sang raja. Sementara ia sedang memikirkan hal itu, Snell akhirnya muncul untuk menemuinya.
Duke Snell adalah seorang pria tinggi dan tampan dengan senyum terkulum. Rambutnya yang berwarna pirang gelap sering terjatuh ke depan sehingga ia harus sering menggerakkan kepala untuk melempar rambutnya ke belakang agar tidak menutupi mata. Sang penyihir menduga bahwa hal tersebut mungkin menarik bagi para wanita. Ia langsung merasa kesal pada pria ini.
"Ah, Tuan Penyihir!" kata Snell. "Terima kasih telah datang begitu cepat. Aku yakin perjalananmu pasti tidak bermasalah."
Sang penyihir tersenyum. "Ya, begitulah, sampai para penjaga kastil mulai menggerogoti uangku."
Snell memperlihatkan wajah prihatin. "Bea masuk"" tanyanya. "Sesuatu yang tidak menyenangkan tapi penting. Aku baru saja mewarisi wilayah ini dan aku harus mengumpulkan dana untuk membiayai fasilitas umum seperti sekolah dan perbaikan jalan yang terabaikan oleh pen-dahuluku."
Ketika terakhir kali berkunjung ke daerah Northrup, sang penyihir tidak melihat ada jalan yang rusak. Dan jika dilihat dari berbagai hiasan dinding yang mewah serta ornamen dari emas dan perak di dalam kastil, sang penyihir menduga filosofi Snell mengenai perbaikan pasti dimulai dari tempat tinggalnya sendiri.
Snell kemudian berkata, "Tapi seharusnya kau tidak dipungut bea masuk karena aku yang mengundangmu datang. Kau sebaiknya meminta kembali uangmu dari para penjaga."
Aku" pikir sang penyihir. Ia tahu bahwa hal itu percuma saja. Snell juga sudah tahu. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia malah bertanya, "Jadi, kau baru saja diangkat menjadi bangsawan""
Snell mengangguk. "Dan sekarang kau diganggu oleh hantu."
Sekali lagi Snell mengangguk. "Padahal," tambahnya, "tidak ada seorang pun di kastil ini yang meninggal baru-baru ini."
Meskipun ia menduga bahwa ada penjelasan yang lebih sederhana mengenai masalah tersebut, sang penyihir tetap bertanya, "Mungkinkah itu arwah bangsawan sebelumnya""
"Bisa saja," Snell mengiyakan, "tapi aku ragu tentang itu karena pria itu belum meninggal." Snell tersenyum pada sang penyihir dan sang penyihir tersenyum balik padanya-sekedar untuk mengisyaratkan kalau pemikiran Snell itu sangat cerdas. Ia merasa Snell benar-benar angkuh dan hanya memikirkan diri sendiri. "Aku tidak mewarisi kastil ini," Snell menjelaskan. "Kastil ini diberikan oleh Duke Lawrence sebagai hadiah atas pekerjaan yang ku-selesaikan dengan baik. Ia sendiri mempunyai tanah di tempat lain."
"Beruntung sekali semuanya." Sang penyihir tidak berniat menanyakan pekerjaan seperti apa yang telah dilakukan oleh Snell. Ia yakin Snell pasti sangat ingin menceritakannya "Jadi, menurutmu siapa hantu ini dan apa yang kira-kira diinginkannya""
"Entahlah," kata Snell. "Itulah sebabnya aku menyewamu."
"Apa yang dilakukan hantu ini""
"Oh, ia mengerang terus dan meneteskan air di lorong."
"Mengerang," ulang sang penyihir. "Air." Snell tidak memberikan informasi yang membantu. "Biasanya rumah tua memang suka mengeluarkan bunyi, kan" Dan kau yakin tidak ada yang bocor di kastil ini""
"Sangat yakin," kata Snell. "Mari kita lihat bagian yang dulu kuhuni."
Ia mengajak sang penyihir ke ruangan lain,
ke sebuah kamar tidur. Kelambu tempat tidur di kamar itu sudah terlepas dari kaitannya. Gantungan dindingnya juga sudah terkoyak-koyak. Semua benda yang tadinya berada di atas rak dan meja rias sudah terlempar ke lantai.
"Sepertinya ada yang tak suka padamu," sang penyihir menyimpulkan. Ia sendiri tidak suka pada Snell, tapi situasi ini tampak berbahaya. "Tidak tahu kira-kira siapa"" tanyanya.
"Tidak tahu," ulang Snell. "Sudah dua kali kau menanyakannya. Apakah kaumau mendengar kelanjutan ceritanya""
"Mengapa tidak"" kata sang penyihir. Ia kesal karena Snell sangat cinta pada suaranya sendiri. "Aku kan sudah jauh-jauh datang ke mari."
Snell tidak memerhatikan atau bahkan berkomentar atas nada kesal sang penyihir. "Kelanjutannya," katanya, "adalah semua jendela terpalang dan pintu terkunci ketika peristiwa itu terjadi."
"Kalau begitu pelakunya pasti memiliki kunci," tebak sang penyihir sambil terus mencari penjelasan yang lebih masuk akal.
"Dan memiliki kecenderungan untuk tak kasatmata," kata Snell. "Aku berada di dalam ruangan waktu itu."
Hal itu menarik perhatian sang penyihir. "Mungkin sebaiknya kau mulai dari awal."
Dengan tampang seperti orang yang sangat bangga, Duke Snell berkata, "Setelah aku menyelamatkan anak perempuan Duke Lawrence, Cordelia, dari serangan sekelompok bandit di Standish Wood, bangsawan itu menghadiahiku tempat ini dan menikahkanku dengan putri-nya.
Sang penyihir tidak terkejut saat Snell kembali menceritakan prestasinya.
"Segera setelah kami menikah dan pindah ke kastil ini, kami mulai mendengar suara erangan. Awalnya sangat lemah. Tapi setiap hari, suara itu bertambah keras dan mulai terdengar lebih awal dan berlangsung lebih lama. Kemudian, kami mulai menemukan air di lorong dan di beberapa ruangan lain. Awalnya hanya berupa genangan kecil di beberapa tempat. Tapi makin lama genangannya menjadi semakin banyak sampai akhirnya menjadi seperti jejak basah yang besar-dan seringnya, harus aku akui, tepat di depan pintu kamarku."
Beberapa pertanyaan terlintas di benak sang penyihir. Yang pertama ia tanyakan adalah "Jejak" Maksudmu jejak kaki pria" Atau perempuan" Apakah jejak-jejak ini jejak sepatu bot, atau sepatu biasa, atau kaki telanjang""
Snell menggeleng. "Bukan jejak kaki. Lebih seperti bekas dilewati sesuatu yang basah. Seakan-akan hantu itu menarik sesuatu di belakangnya, seperti selimut basah yang lebar."
"Mengapa hantu itu menarik selimut""
"Aku bilang tadi seakan-akan," Snell mengeluh. "Kau tidak menyimak dengan baik. Bagaimana kau bisa menyelesaikan masalah ini kalau terus-terusan mengulang pertanyaan yang sama dan tidak mendengarkan dengan baik" Aku tidak mengatakan kalau hantu itu menarik selimut basah di belakangnya. Aku bilang ia meninggalkan jejak air seakan-akan itu adalah
sebuah selimut basah. Kau perlu meningkatkan kemampuan menyimak." Kemudian, ia menambahkan, "Kadang-kadang dindingnya juga basah."
Untuk membuktikan kalau dirinya menyimak, sang penyihir bertanya, "Seakan-akan hantu itu menempelkan selimut basah di dinding""
"Kurasa kau tidak menanggapi masalah ini dengan serius," kata Snell dengan suara yang agak merengek. "Untuk apa aku membayar mahal kalau kau tidak menanggapiku dengan serius""
Sang penyihir tergoda untuk menjawab bahwa Snell tidak bisa membayar orang untuk menanggapinya dengan serius, dan bahwa Snell tidak membayarnya terlalu mahal. Tapi ia hanya berkata, "Suara erangan dan kemudian air. Teruskan."
Snell melanjutkan, "Kemudian, barang-barang mulai pecah. Barang-barangku. Maksudku, semua barang di dalam kastil ini memang milikku. Duke Lawrence menyatakan demikian. Tapi yang kumaksud tadi
adalah barang-barang pribadiku. Kemudian, hal itu bertambah buruk, sampai akhirnya aku meminta kau datang. Kau bisa melihat apa yang terjadi semalam," Snell menunjuk kamar yang rusak itu dengan gerakan dramatis, "saat aku sedang menunggu kedatanganmu."
Sang penyihir tidak berkata, "Jangan salahkan aku karena tinggal di tempat yang jaraknya tiga hari perjalanan dari sini." Ia hanya mengatakan, "Katamu kau menyaksikan semuanya terjadi."
"Aku menyumpal telingaku dengan li
lin agar terhindar dari bunyi erangan itu," Snell menjelaskan, "kalau tidak begitu, aku tidak akan pernah bisa tidur. Tapi kemudian, aku terbangun saat kaca hias berwarna yang besar itu jatuh terhempas ke lantai. Tahu tidak, kaca hias seperti itu sangat mahal."
"Bisa kubayangkan." Menurut sang penyihir, Snell adalah tipe yang tidak puas dengan berbagai barang mewah yang mengelilinginya. Ia juga ingin semua orang tahu kalau ia dikelilingi barang-barang mewah.
"Aku sedang duduk di tempat tidurku. Dan sebelum kau menanyakannya, tidak, aku waktu itu tidak sedang bermimpi. Aku benar-benar sedang terjaga."
Sang penyihir tersenyum dengan tampang tak berdosa.
"Dan kemudian, aku melihat barang-barang itu terangkat dari atas meja kecil di samping tempat tidur, satu per satu, tanpa ada yang menyentuhnya. Setelah itu, meja tersebut terbalik. Lalu, meja itu hancur, seakan-akan ada yang menghantamnya dengan palu raksasa."
"Palu hantu ...," tebak sang penyihir dengan ragu-ragu.
Snell mendesah tak sabar. "Atau mungkin hantu itu melompat ke atasnya"
"Lebih tepat seperti itu," sang penyihir menyetujui. "Apakah istrimu juga menyaksikan semua ini""
"Duchess Cordelia telah kembali ke rumah orangtuanya demi keselamatannya," kata Snell. "Tapi ini bukanlah imajinasiku semata, kalau itu maksudmu."
"Aku sama sekali tidak pernah berpikir seperti itu," sang penyihir berbohong. "Apakah kau tidak pernah berpikir untuk kembali ke rumah orangtuamu""
Duke Snell mendengus seakan-akan berbicara tentang orangtuanya mengingatkannya pada bau tak sedap. "Orangtuaku adalah penebang kayu-orang-orang sederhana yang tinggal di rumah sederhana."
Sang penyihir menebak bahwa itu berarti tidak. Snell tidak berpikir untuk kembali ke tempat mereka. Ia juga sadar bahwa Snell tidak pernah mengatakan bahwa mertuanya mengundangnya untuk tinggal bersama mereka. "Meski begitu," katanya, "kalau kau pergi, kita bisa melihat apakah hantu itu akan tetap tinggal di sini atau mengikutimu."
"Mengapa hantu itu akan mengikutiku""
"Mengapa hantu itu merusak barang-barangmu"" sang penyihir balas bertanya.
Snell kembali menunjukkan tampang seperti mencium bau tak sedap.
Sang penyihir melanjutkan, "Kita akan melihat apakah hantu itu mengganggu kastil ini atau mengganggumu. Biasanya, hantu tinggal di tempat mereka meninggal, tapi kau bilang tak ada seorang pun di kastil ini yang meninggal baru-baru ini.
"Sejauh ini betul sekali," kata Snell dengan nada tidak sabar. "Seperti ... yang ... sudah ... kukatakan ... tadi."
"Tapi kadang-kadang hantu mengganggu orang yang bertanggung jawab atas kematiannya."
"Aku tidak pernah membunuh siapa pun," protes Snell.
Sang penyihir ingin sekali berkata, "Kau yakin belum pernah membuat orang bosan sampai akhirnya meninggal"" Sebaliknya, ia bertanya, "Bagaimana dengan para bandit yang menyerang istrimu waktu itu"
Snell menggelengkan kepala. "Aku tidak membunuh mereka. Mereka kabur ke dalam hutan."
"Beruntung sekali Cordelia," kata sang penyihir. "Beruntung sekali kau. Beruntung sekali para bandit itu."
"Dan aku tidak kenal satu pun dari mereka," Snell menambahkan, meskipun hal itu tidak akan pernah ditanyakan oleh sang penyihir. "Mereka mengenakan topeng saat menawan Cordelia dan mereka menutup mata istriku selama ia ditawan sehingga ia tidak bisa mengenali mereka."
"Dan kebetulan kau berada di sekitar tempat persembunyian mereka," kata sang penyihir, "karena kau adalah anak penebang kayu. Tapi kau juga tidak pernah melihat wajah mereka."
"Betul sekali," kata Snell.
Sang penyihir menduga bahwa orang berambisi seperti Snell tidak akan pernah puas dengan kehidupan sebagai seorang penebang kayu. Sebenarnya mungkin saja, ia adalah salah seorang dari bandit itu.
Ia telah meyakinkan atau membayar rekan-rekannya untuk kabur supaya ia bisa tampil sebagai pahlawan bagi gadis muda itu dan keluarganya. Tapi sang penyihir tidak memiliki bukti tentang hal ini, dan- selain itu-hal tersebut tidak memperjelas masalah hantu ini.
"Kalau kau tidak pergi ke rumah orang-tuamu atau ke rumah mertuamu," kata sang penyihir, "apakah ada tempat lain di mana kau bisa bermalam""
"Ini sangat menjengkelkan," keluh Snell. Ia diam sejenak sambil melihat ke ruangan yang hancur di sekelilingnya. "Kurasa aku bisa bermalam di pondok berburu milikku."
Walaupun ia mengatakannya sambil lalu, dalam waktu satu jam, Snell sudah berangkat ke pondok tersebut.
Sang penyihir telah menghabiskan hampir satu hari hanya untuk datang ke kastil dan sekarang waktu makan malam telah tiba. Ia makan bersama para penghuni
lain di ruang utama (dengan membayar sekeping uang perak) dan ia berbincang-bincang dengan para pelayan. Cerita mereka cocok dengan cerita Duke Snell. Mereka juga mendengar suara erangan yang setiap malam bertambah keras dan menemukan lorong-lorong licin karena basah.
"Lorong-lorong yang mana"" ia bertanya saat para pelayan sedang membereskan bekas makan malam.
Sebagian besar adalah lorong-lorong di antara jalan masuk dan ruang pribadi Duke Snell, demikian kata mereka.
"Sungguh menarik," kata sang penyihir. "Suara erangan seperti apa""
Para pelayan saling menatap. Salah seorang mencoba menirukannya-erangan sedih yang keras. Yang lainnya mengangguk atau berkata, "Ya," atau, "Kurang lebih seperti itu," atau, "Tidak begitu tepatnya."
"Bukan suara erangan manusia," seorang yang lain akhirnya berkata, dan semuanya mengangguk setuju.
"Suara erangan yang membuat bulu kudukmu berdiri dan ingin segera pergi," tambah seorang pelayan lain yang sedang menyapu lantai. Pelayan ini botak, yang mungkin berarti ia sebaiknya ditanggapi dengan serius. Atau mungkin juga tidak.
Sang penyihir bertanya, "Siapa orang terakhir yang meninggal di sini""
Para pelayan meletakkan piring, tatakan cangkir, sabut pencuci, dan sapu. Mereka sama-sama berpikir keras dan mencoba untuk mengingat. Ibu dari salah seorang asisten tukang roti, akhirnya mereka ingat. Seorang wanita tua yang meninggal dalam tidurnya antara Natal dan Tahun Baru-beberapa bulan sebelum kemunculan Snell dari persembunyian para bandit.
Sepertinya bukan dia, pikir sang penyihir. Biasanya, orang yang mati di usia tua tidak menjadi hantu yang gentayangan di malam hari. Umumnya, hantu adalah korban tindak kekerasan. Dan mengapa arwah itu baru menunjukkan keberadaannya setelah delapan bulan berkeliaran di dunia dan kemudian melampiaskan kejengkelannya pada benda-benda milik Snell"
Dan bagaimana dengan air"
"Apakah kalian tahu kalau ada yang tenggelam baru-baru ini"" tanya sang penyihir.
Para pelayan menjadi resah dan gelisah karena ia membuat mereka tidak bisa menyelesaikan pekerjaan mereka. Beberapa dari mereka bahkan sudah kembali ke dapur sementara ia masih sibuk bertanya-tanya pada yang lain. Tidak, kata para pelayan yang masih bersamanya-mungkin di salah satu kota kecil yang berbatasan dengan sungai, tapi tidak di kastil ini. Mereka jarang bepergian melalui sungai dan lebih suka dikunjungi. Dan tidak seorang pun berenang di area sekitar kastil karena ada monster parit.
Sang penyihir tidak tahu kalau ada monster di parit. Kalau saja tahu, ia pasti sudah merasa gugup saat berada di perahu siang tadi. "Mungkinkah monster itu telah memangsa seseorang"" tanyanya.
Pandangan para pelayan menunjukkan bahwa mereka tidak sependapat.
"Tidak ada seorang pun yang hilang," kata salah seorang dari mereka.
"Kami tidak terlalu sering melihat makhluk itu," kata yang lain. "Aku sudah tidak melihatnya selama beberapa minggu."
"Ia pemalu, tambah yang lain. Para pelayan yang lain mengangguk.
"Kami jarang melihatnya."
"Hanya sesekali, bagian atas kepalanya kalau ia sedang mengintip ke luar air, atau punuk di punggungnya atau ekor-nya.
"Ia makhluk yang lembut dan setia. Tidak mungkin ia memakan siapa pun juga."
Sang penyihir-yang pernah bertemu dengan anjing ganas yang menurut pemiliknya sangat ramah-merasa ragu.
Sore makin gelap dan sepi, dan sang penyihir pergi ke kamar tidur Snell yang
sudah dikosongkan. Ia akan bermalam di sana-untuk menghindar dari biaya menginap dan untuk melihat apakah si hantu akan muncul walaupun Snell sudah tidak ada.
Mungkin ia akan muncul, pikir sang penyihir, atau mungkin si hantu telah mengikuti Snell ke pondok berburu. Hal tersebut akan membuktikan sesuatu
, walaupun sang penyihir tidak yakin apa tepatnya. Kalau hal itu memang terjadi, Snell pasti sangat terganggu. Gagasan tersebut menyenangkan hati sang penyihir yang sedang duduk di kursi besar nan nyaman milik Snell.
Sang penyihir sudah terlelap saat ia terbangun oleh suara erangan rendah yang sedih-terdengar mirip tapi tidak persis seperti yang ditirukan para pelayan. Suara itu datang dari luar, tapi ketika ia membuka tirai jendela, yang terlihat hanyalah pantulan bulan di permukaan air parit yang tenang dan hutan di kejauhan.
Walaupun sang penyihir tidak melihat apa-apa, suara erangan itu terus bergerak-sehingga sekarang datangnya dari bawah kastil, bergema lemah di antara batu-batu yang dingin.
Sang penyihir tidak bergerak. Ia yakin suara itu mendekatinya: arahnya dari jalan masuk di lantai pertama, melalui ruang utama, menaiki tangga, semakin mendekat, melalui sepanjang lorong hingga sampai di tikungan, dan terus bergerak ke ujung lorong hingga akhirnya tiba di depan ruang pribadi Snell.
Ia bisa mendengar suara erangan cukup keras yang berasal dari balik pintu sehingga tulang-tulangnya bergetar.
Ia berniat membuka pintu, tapi menurut Snell, hal itu tidak perlu.
Tak lama kemudian, setitik rembesan air muncul di pintu, dan kemudian di lantai di depan pintu-sebuah genangan air yang besar. Sangat besar. Sebuah genangan yang sangat besar, yang tak mungkin dibuat oleh hantu seukuran manusia biasa. Sesuatu yang tak terlihat-sesuatu yang sebesar sebuah rumah kecil-sedang berdiri di depannya sambil meneteskan air. Ia bisa melihat air mulai menetes, mulai dari tempat yang tingginya hampir menyentuh langit-langit ruangan yang tingginya lima belas kaki.
Suara erangan itu-yang berasal dari atas kepala sang penyihir-berhenti sejenak ...
... kemudian berlanjut, agak pelan, seakan hantu itu berbalik dari sang penyihir dan keluar melalui pintu.
Tentu saja ia pergi, pikir sang penyihir. Ia mencari Snell.
"Tunggu!" panggilnya.
Suara erangan itu berhenti sama sekali, tapi tetesan airnya tidak.
"Aku di sini untuk menolongmu," katanya. Menolong menghilangkanmu tepatnya, tapi cara menghilangkan hantu adalah dengan membereskan masalah yang mengganggunya.
Jika dilihat dari air yang menetes, makhluk tak terlihat itu-apa pun itu- sedang berdiri diam di tempat.
"Bisakah kau bicara"" tanya sang penyi
hir. Suara erangan itu terdengar lagi.
Karena sadar bahwa suara erangan adalah bahasa yang dipakai makhluk itu, sang penyihir melontarkan sebuah mantra agar dirinya bisa mengerti. "Baiklah. Sekarang, bisakah kaukatakan siapa kau""
"Aku adalah Penjaga," kata sebuah suara yang berat tapi tenang. "Tugasku adalah menjaga sarang ini."
"Sarang"" ulang sang penyihir. Apakah kastil ini dulu dibangun di atas sarang naga" Tapi biasanya naga lebih suka gua di tempat tinggi. Dan kastil ini sudah lama berdiri. Tak mungkin ada sarang naga yang terusik.
Suara seram itu kembali berkata, "Sarang ini. Beserta seluruh makhluk sebang-samu yang tinggal di dalamnya."
Yang dimaksud oleh si makhluk adalah kastil ini. Makhluk itu menyebut kastil ini dengan istilah yang ia ketahui, istilah yang paling dekat artinya dengan 'rumah' atau 'tempat tinggal.'
Monster parit, sang penyihir teringat. Ia tidak pernah membunuh siapa pun- ia sendirilah yang telah meninggal. Semua orang telah mencoba mengingat-ingat orang yang telah meninggal. Dan selama ini, makhluk malang yang telah mati ini tetap melaksanakan tugas yang telah dibebankan kepadanya.
Sang penyihir berkata, "Bagus sekali karena kau telah menjalankan tugasmu dengan serius, tapi sekarang sudah saatnya kau beristirahat."
"Aku tidak bisa," kata hantu monster itu.
"Apakah dulu ada penyihir yang me-mantraimu""
Monster itu berkata, "Dulu ada kata-kata yang diucapkan di bawah sinar perak beraroma wangi bunga melati dan berasa
seperti batu-batuan kecil yang hangat karena sinar matahari-persis seperti yang tadi kaulakukan agar bisa mengerti perkataanku. Kata-kata tersebut memerintahkan agar aku menjadi Penjaga dan melindungi sarang ini beserta semua yang tinggal di dalamnya selama waktu hidupku yang alami."
Sang penyihir tida k tahu kalau kata-kata mantra ternyata mempunyai aroma dan tekstur. "Begini," katanya, "menyampaikan sebuah berita buruk sama sekali tidak mudah, tapi aku harus mengatakannya padamu ..." Ia mendesah karena
sebelumnya tidak pernah harus mengatakan pada seseorang, Kau telah mati.
Tapi ia tidak harus mengatakannya sekarang. Sepertinya makhluk itu sudah tahu kalau dirinya sudah mati. "Waktu hidup alamiku," ulangnya. "Makhluk sepertiku biasanya hidup selama seribu kali perputaran bumi mengelilingi matahari: musim hujan dan semi, musim panas, musim daun-daun berubah menjadi warna menyala, dan musim salju. Tapi aku baru hidup selama seratus kali perputaran."
Itulah masalahnya. Kadang-kadang, kekuatan mantra bisa berlanjut terus-menerus.
Sang penyihir berkata, "Mantra orang lain bisa sangat sulit untuk diatasi, tapi aku bisa mencoba untuk melepaskan mantra yang telah mengikatmu pada tempat ini."
Hening. Sang penyihir memang tak biasa mendapat sambutan meriah atas semua pernyataannya, tapi paling tidak ia berharap monster itu mengatakan sesuatu. Apakah ia telah meninggalkan ruangan ini" Karena tidak terlalu yakin akan mendapat tanggapan, ia kemudian bertanya, "Apakah kau tak ingin melanjutkan ke kehidupan selanjutnya""
Suara monster itu terdengar seperti sebuah desahan, tapi masih dari tempat yang sama. Katanya, "Seratus dari seribu kali perputaran sama sekali bukan waktu yang lama."
"Aku tahu itu," kata sang penyihir. Kemudian, ia bertanya, "Apa yang membuatmu mati""
"Daging jelek," kata monster itu.
Itulah resikonya kalau makan daging mentah. Sang penyihir ingin mengatakan hal itu, tapi tindakan tersebut mungkin terlalu kasar. Tapi kemudian, ia ingat bagaimana para pelayan menegaskan kalau monster ini adalah makhluk yang lembut. Dan ia sadar monster ini tadi mengatakan 'daging' bukan 'ikan,' dan ia ingin tahu dari mana si monster parit memperoleh daging. Ia bertanya, "Maksudmu busuk""
"Maksudku beracun." Monster itu mendesah. "Tentu saja, aku tidak memakannya. Hidung dan mataku bisa mendeteksi kalau ada yang salah. Tapi racun itu menyebar dari potongan-potongan daging ke dalam air. Aku menghindari area yang terkena racun, tapi kemudian makin banyak potongan-potongan yang dilemparkan ke dalam air, di sana dan di sini, di seluruh perairan yang mengelilingi sarang ini. Kalau tidak berenang menjauh, ikan-ikan pasti akan sakit atau mati. Tapi aku tidak diizinkan untuk berenang menjauh."
"Duke Snell," tebak sang penyihir. "Ia membangun gerbang air supaya bisa menarik bea keluar-masuk dan mendapatkan uang untuk membeli barang-barang bagus untuk dirinya sendiri serta membuat orang-orang kagum padanya." Untuk sesaat, ia ingin menjelaskan apa yang telah terjadi pada monster itu. Tapi kemudian, setelah melihat berbagai benda yang rusak di sekeliling ruangan, ia sadar bahwa monster itu telah mengetahui segalanya.
"Aku tak bisa mengembalikan nyawamu yang hilang," kata sang penyihir, "tapi aku bisa membuat Duke Snell membayar-nya.
"Bagaimana caranya"" tanya monster
itu. "Tunggu dan lihat saja," kata sang penyihir karena ia tahu monster itu tidak
akan suka pada jalan keluar yang ia rencanakan.
Pagi berikutnya, segera setelah Duke Snell kembali, sang penyihir memintanya untuk memerintahkan semua penghuni kastil- para pelayan dan pengikut pengikutnya- untuk meninggalkan kastil.
"Mengapa"" tanya Snell.
"Aku akan mengenyahkan hantu kastil ini," sang penyihir menjelaskan.
"Kurasa kau seharusnya melakukan hal tersebut semalam," keluh Snell.
Sang penyihir memaksakan sebuah senyuman manis. "Hantu lebih kuat pada saat gelap. Siang hari adalah waktu yang tepat untuk mengenyahkan mereka."
Snell mendesah. "Wah, untuk mengeluarkan semua hartaku dari dalam kastil akan memakan waktu hampir satu hari."
"Oh, harta bendamu bisa tinggal," kata sang penyihir, "sedangkan para penghuni lain tidak. Aku tidak ingin terlalu membahas masalah teknisnya, tapi makhluk
organik biasanya dapat ... terpengaruh zat-zat sisanya"-sang penyihir berpikir cepat-"mmm ... zat sisa dari kekuatan sihirku. Tapi harta benda akan tetap aman."
Snell bertanya dengan nada tidak yakin, "Ka
u yakin"" "Bukankah kau membayarku sangat mahal karena aku memang ahlinya""
Snell terlihat seperti sedang berpikir apakah ia telah membayar terlalu mahal atau sang penyihir hanya sedang bersikap sarkastik. Tapi akhirnya, ia memberi perintah untuk mengosongkan kastil. Sang penyihir menyuruh semua orang untuk menunggu di tepi sungai, di seberang pulau tempat kastil itu berdiri.
Mereka baru saja hendak memakan bekal piknik mereka ketika sang penyihir mulai melontarkan mantranya. Mantra itu adalah variasi dari mantra pindah tempat dan ia bekerja dengan sangat hati-hati, sedikit demi sedikit, memindahkan bagian belakang kastil terlebih dahulu karena bagian itu tidak terlihat oleh orang-orang di seberang sungai.
Si monsterlah yang pertama kali sadar apa yang sedang dilakukan sang penyihir. Karena terikat oleh mantra untuk melindungi kastil, hantu itu muncul dari parit diiringi raungan marah dan ledakan air yang dashyat sehingga air yang menempel pada badannya memperlihatkan wujud si monster yang tak kasatmata: tubuh yang bundar besar dengan leher panjang dan rahang terbuka lebar yang meneteskan sesuatu, mungkin air liur atau air parit.
Orang-orang menunjuk sambil berteriak dan sang penyihir memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memindahkan seluruh bagian dasar kastil sebelah belakang ke halaman belakang rumahnya sendiri. Nanti ia bisa menggunakan batu-batu dari dasar kastil itu untuk membangun dinding kebun sehingga kelinci-kelinci tak tahu aturan itu harus memiliki sayap untuk bisa memasuki kebunnya. Tapi itu bukanlah tujuan utamanya. Tujuannya adalah untuk menggoyahkan bangunan kastil dan memang itulah yang sedang terjadi. Retakan besar muncul di bagian depan kastil pada saat seluruh bangunan mulai runtuh ke atas bagian yang sudah hilang.
"Penyihir!" teriak Snell dari seberang sungai. "Lihat apa yang terjadi!"
Air telah terlepas dari badan monster sehingga ia tidak begitu terlihat lagi. Tapi sesuatu mendorong sang penyihir sampai terjatuh. Ia yakin itu pasti ulah si monster, yang menyundulnya dengan kepala. Walau begitu, tak peduli seberapa gigih si monster berusaha menjaga kastil, makhluk itu tidak akan cukup kuat-apalagi pada siang hari-untuk melawannya.
Ada suara krak! pada saat kastil itu terbelah karena tidak kuat menopang berat sendiri. Batu-batu terhempas ke luar. Itulah sebabnya sang penyihir tidak ingin ada siapa pun berdiri di dekat situ. Dan kemudian, dengan diiringi gumpalan debu yang muncul dari dasar bangunan dan membubung ke atas, kastil itu runtuh.


Sang Penyihir Beraksi Wizard At Work Karya Vivian Vande Velde di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dasar orang bodoh tak becus!" jerit Snell. "Kastilku! Kastilku yang indah! Duke Lawrence takkan memberiku satu lagi! Cordelia tak akan mau tetap menikah denganku kalau ia harus tinggal di gubuk penebang kayu!"
"Maaf," kata sang penyihir. Kalau Snell cukup dekat, ia mungkin mengira sang penyihir meminta maaf karena gagal menyelamatkan kastil dari si hantu. Ia tidak mungkin mengira kalau sang penyihir sebenarnya meminta maaf kepada hantu itu.
Sang penyihir bangkit berdiri dari rumput dan berjalan ke pinggir pulau. "Apakah kalian melihat makhluk yang keluar dari air tadi"" ia berseru kepada orang-orang di seberang. Ia tahu mereka melihat karena tadi semua berteriak. "Siapa yang akan mengira kalau makhluk itu bisa merobohkan kastil seperti tadi" Aku tidak pernah mendengar hal seperti itu terjadi
sebelumnya. Oleh karenanya, Duke Snell, aku tidak akan meminta sisa bayaranku yang setengah lagi."
Sang penyihir tidak menunggu sampai Snell sempat berkata-kata. "Selamat tinggal, kalau begitu," katanya dengan riang dan berbalik untuk berbicara dengan si monster. "Maaf," ulang sang penyihir. "Sepertinya itu jalan terbaik untuk membebaskanmu dari tugas melindungi kastil dan sekaligus menghukum Duke Snell."
Tentu saja, ia tidak bisa melihat apakah makhluk itu memang benar-benar berada di depannya atau tidak. Setelah beberapa saat-karena tidak ada jawaban-ia mengira-ngira apakah dengan hancurnya kastil, arwah si monster juga ikut lenyap. Kemudian, ia mendengar monster itu berkata dengan tenang, "Kalau aku tahu kau merencanakan hal ini, aku pasti telah mencegahmu."
"Itulah sebab nya aku tidak membahas rencanaku denganmu," jelas sang penyihir. "Kastilnya sudah lenyap; orang-orang yang tinggal di sana sekarang harus pergi ke tempat lain. Mantra yang mengekangmu sebagai Penjaga sudah tidak menguasaimu lagi."
"Tetap saja ..." desah monster itu. "Akan lebih menyenangkan seandainya aku bisa tinggal di dunia ini selama paling tidak beberapa siklus lagi, seperti yang seharusnya terjadi."
"Tinggallah kalau begitu," kata sang penyihir, "selama yang kauinginkan." Sekilas ia melihat dua penjaga kastil sedang mendayung perahu ke arah pulau. Snell juga ada dalam perahu. Bangsawan itu sedang mengayunkan tinju ke arahnya.
Monster itu berkata, "Tapi terlalu banyak kenangan buruk di sini. Seandainya aku tahu ada sungai atau danau lain
... Tapi sulit bagi makhluk sepertiku
untuk bepergian melalui jalan darat..."
Sang penyihir tadi sempat melihat tubuhnya yang besar dan kakinya yang kecil. Ia menawarkan, "Aku bisa membawamu ke suatu tempat yang kukenal:
sebuah danau yang dalam dan indah, yang terpencil, dengan air yang bersih, dan tanah yang gembur di dasarnya. Dengan demikian, kalau ada orang yang datang, kau bisa berguling di tanah gembur itu dan membiarkan mereka melihatmu-seperti orang-orang di sini melihatmu tadi, sebelum air terlepas dari badanmu-dan mereka pasti akan lari ketakutan."
"Kau bisa mengantarku ke sana dengan kata-kata perak beraroma wangi bunga melati dan berasa seperti batu-batuan kecil yang hangat karena sinar matahari"" Ketika sang penyihir mengangguk, monster itu berkata, "Kalau begitu aku mau."
Sambil diiringi suara perahu Snell yang bergesekan dengan dasar parit yang dangkal, sang penyihir melontarkan mantra ganda untuk berpindah tempat.
"Tempat ini benar-benar menyenangkan untuk menghabiskan beberapa siklus lagi sebelum aku siap untuk melanjutkan hidup di alam berikutnya," kata si monster sambil menceburkan kepalanya ke
dalam air dan kemudian muncul kembali dengan cepat sehingga sang penyihir hanya bisa melihat sebentuk kepala kecil di atas leher panjang selama sekejap.
"Dan aku akan mengingat-ingat bagaimana cara untuk membuat tubuhku terlihat kalau aku mau sesekali menggoda bangsamu yang mungkin datang ke sini. Terima kasih, Penyihir."
"Sama-sama, Penjaga," kata sang penyihir. Sebelum mengucapkan mantra untuk pulang, ia berkata, "Nikmati danau ini. Oh ya, namanya Ness."
6. Sang Putri dan Petualangan Mencari Timun Emas
KETIKA RAJA dan ratu yang berkuasa di negeri sang penyihir mengundangnya untuk minum teh di kastil mereka, si ahli sihir sadar bahwa ia seharusnya membuat alasan untuk menolak. "Sekolah akan segera mulai minggu depan," ia bisa bilang begitu. "Ada banyak yang harus kukerjakan," ia bisa juga bilang begitu. Lagi pula, ia tahu mereka memiliki seorang putri dan di musim panas ini, ia sudah cukup banyak berurusan dengan para putri.
Walau begitu, ia tidak ingin membuat mereka marah. Jadi, ia menyiapkan sekotak besar brokoli untuk dipersembahkan kepada sang ratu dan tiba di istana tepat pada waktunya.
Sang putri belum datang. Sambil menunggu, sang penyihir membuat teko teh terangkat dari meja dan melayang tepat di di atas cangkir sang raja.
Sang raja dan ratu mengundangnya datang untuk meminta bantuan. Ia sangat yakin akan hal itu. Dan tidak diragukan lagi, hal terbaik yang harus dilakukannya adalah tidak menonjolkan kemampuan sihirnya, tapi ia sulit menahan godaan untuk tidak memamerkan kemampuannya, terutama karena penyamaran sebagai pria tua nan bijaksana tidak berpengaruh pada raja dan ratu. Mereka tahu usianya yang sebenarnya. Saat ini, mereka sedang memandang sesuatu di balik punggung sang penyihir, sesuatu di luar jendela pran-cis besar yang terbuka ke taman bunga. Ia baru saja menangkap bayangan seorang wanita muda yang sedang menunggang seekor kuda besar ketika sang raja menepuk lututnya.
"Putriku benar-benar gadis yang menawan," kata sang raja. "Menawan, dengan caranya sendiri. Tapi tidak dalam pengertian yang orang sebut sebagai ... emm ... tepatnya, emm ..."
"Layak untuk dinikahi," sang ratu membantunya.
Sang raja mengernyit. "Layak untuk dinikahi," ujarnya setuju.
"Masalahnya adalah, tidak ada pelamar untuknya. Maksudku, kami belum menemukan seseorang yang pantas, yang ... emm, seperti, ah
"Yang mau mengajaknya menikah," sang ratu menyelesaikan kalimatnya.
Sang raja mengangkat bahu dengan tampang menyesal. "Kami berharap kau bisa melakukan sesuatu tentang hal ini," bisiknya dengan cepat ketika sang putri meluncur turun dari kuda dan melompati melewati tanaman perdu yang pendek dan masuk melalui jendela. Ia bertubuh tinggi. Itulah kesan pertama tentang sang putri. Ia memiliki rambut keriting panjang yang
agak cokelat dan kusam. "Halo," katanya sebelum sang penyihir sempat memerhatikan hal lain pada dirinya. "Maaf, aku terlambat, tapi kereta Petani Seymour terperosok-"
"Ya, ya, sayangku." Sang ratu memerhatikan celana putrinya dengan pandangan tidak suka dan menepuk lengan bajunya yang berdebu. "Kau seharusnya membiarkan Petani Seymour mendorong keretanya sendiri. Ayo sapa sang penyihir."
Sang penyihir-yang tidak pendek- berdiri dan mendapati dirinya hanya setinggi dagu sang putri.
"Senang bertemu denganmu," kata sang putri sambil menjabat tangan sang penyihir sebelum pria itu sempat mencium tangannya. "Kau agak muda untuk seorang penyihir, ya""
Sang ratu terdengar bergumam ah. "Theodora, jangan bersikap tidak sopan." Ia berbalik ke sang penyihir. "Aku tahu kalau Theodora-"
"Teddy," sela sang putri.
"Theodora," lanjut sang ratu, "telah menyiapkan hidangan istimewa untuk kita. Mungkin kau bisa mengambilnya sekarang, sayangku, sebelum kita mulai""
Sang penyihir memerhatikan Putri Teddy melangkah meninggalkan ruangan dengan tungkai yang agak melengkung, persis seperti orang yang menghabiskan sepanjang hari di atas sadel.
Sang raja menggeleng-gelengkan kepala dan melihat ke luar jendela.
"Kami sudah mencoba. Ya ampun, kami sudah mencoba," kata sang ratu. "Tapi ia tidak terlihat seperti seorang putri. Ia tidak bertingkah seperti seorang putri..."
"Yah ...," kata sang penyihir untuk mengisi keheningan, tapi ternyata ia mendapati dirinya sedang diperhatikan oleh dua pasang mata yang penuh harapan. Ia berdeham dan menepuk-nepuk jari-jarinya di lutut. Kemudian, ia melihat ke luar jendela. "Ia bukannya tidak menarik-"
"Seorang putri seharusnya terlihat elok," kata sang raja. "Mereka seharusnya memiliki kecantikan yang tak tertandingi- kecantikan yang membuat para pria muda menahan napas karena kagum. Mereka seharusnya tidak memiliki bintik-bintik di wajah dan mereka seharusnya tidak menggigiti kuku, dan mereka seharusnya sama sekali tidak tampak di depan calon pelamar seperti seorang ... seorang..."
"Seperti seorang kakak perempuan," kata sang ratu, "yang lebih ahli dalam hal menunggang kuda, memanah, dan
menjelajahi hutan ..." Ia menghitung
semua hal tersebut dengan jarinya.
"Dan yang tidak mau mengalah dalam berdebat-"
"Dan yang tidak punya waktu untuk belajar bagaimana melakukan pekerjaan seorang wanita seperti menyulam dan memasak-"
"Ini dia!" Teddy masuk ke ruangan. Ia membuka dan menutup pintu dengan kakinya. Ia meletakkan piring yang dibawanya di atas meja pendek di hadapan mereka. "Memanggang kue bukanlah keahlianku," jelasnya kepada sang penyihir, "tapi ibu memaksaku untuk membuat sesuatu yang istimewa karena kau akan datang."
Sang penyihir menatap gundukan remah-remah berwarna merah, putih, dan hijau di atas piring di hadapannya. Yang muncul dalam pikirannya adalah Kue Yang Diserang Oleh Pembuat Kue Gila.
"Aku mendapat kesulitan saat mengeluarkannya dari dalam loyang," jelasnya ketika ketiga orang itu tidak bergerak dan hanya duduk memandang. Akhirnya, ia menjelaskan, "Ini kue pepermint dengan lapisan gula pistachio."
Sang ratu menarik sebuah saputangan berenda dari balik lengan bajunya dan bersandar di sofa sambil menutupi mulutnya.
Sang raja menelan tegukan terakhir tehnya yang sudah dingin dan mengalihkan pandangannya.
Sang putri meletakkan sepotong kue di atas piring perak dan memberikannya
pada sang penyihir. "Mereka pasti sedang menceritakan kepadamu kalau mereka belum berhasil menjodohkanku."
"Anakku sayang," sang ratu berkata dari balik saputangannya.
"Tidak apa-apa. Aku mengerti. Banyak pangeran datang berkunjung, tapi kami tidak pernah berhasil. Aku selalu merasa mereka semua terlalu muda dan bodoh. Dan mereka selalu secara mendadak teringat pada sebuah urusan penting di tempat lain. Ibu dan Ayah menjadi kalut. Aku anak tunggal mereka, putri mahkota salah satu kerajaan di wilayah ini, dan aku belum menerima satu pinangan pun. Semua temanku sudah menikah. Semua adik teman-temanku sudah menikah. Aku sudah menjadi aib." Teddy duduk bersila di lantai, menyandarkan kedua sikunya di meja, dan tangannya menopang dagu. "Jadi, apa rencananya""
Sang penyihir berusaha menghindari tatapan sang putri. Ia memusatkan perhatian pada kuenya dan mencoba menyembunyikan kenyataan bahwa garpunya tidak cukup kuat untuk mencungkil kue tersebut. "Begini ...," katanya.
"Bisakah kau mengusahakan sebuah mantra untuk memperbaiki wajahku"
Untuk membuatku agar tidak terlalu..."
Ia memperlihatkan tampang pasrah. "... tidak terlalu seperti diriku dan lebih seperti layaknya seorang putri""
Sang penyihir menekan garpunya. Secungkil kue terlepas serta terloncat ke luar dari piring dan menghantam cangkir dengan suara ting! yang keras.
Putri Teddy menatap cangkir itu. "Apakah kaukenal seorang pangeran rabun," tanyanya pelan, "yang kebetulan sedang diet""
"Coba dengar." Sang penyihir meletakkan garpunya dengan tegas. Ia menatap sang putri, kemudian sang raja, kemudian sang ratu, dan kembali ke sang putri. "Kau adalah seorang putri yang sempurna sebagaimana adanya." Ia mengangkat sebuah jari sebagai isyarat agar tak seorang pun menyela. "Yang kita butuhkan hanyalah sedikit usaha ekstra. Nuansa misteri! Petualangan! Pencarian! Sebuah hadiah yang sulit dimenangkan!"
"Apa maksumu"" tanya sang ratu.
"Sebuah ujian"" kata Teddy. "Apakah maksudmu sebuah ujian""
"Tepat." Sang penyihir berdiri dan mulai melangkah mondar-mandir. "Kita akan mengumumkan bahwa hanya pria yang bisa melewati ujian berhak mendapatkan sang putri. Saat kita memacu semangat bersaing mereka-"
"Ah ya, aku mengerti!" sela sang putri. "Kita akan menyuruh orang bodoh malang yang datang ke mari untuk mempertunjukkan berbagai atraksi luar biasa, seperti menyentuh jempol kaki dua kali, atau menyeimbangkan buku di atas kepala selama tujuh detik, atau mungkin kita bisa mengajukan sebuah teka-teki-antara lain, siapa namanya dan dari mana asalnya-dan kalau ia bisa menjawab dengan benar, ia harus menikah denganku."
"Yah," sang raja mengiyakan, "seperti itulah kira-kira."
"Tidak," kata sang penyihir dengan tegas. Kemudian, ia mengulang untuk memberikan penekanan. "Tidak." Ia menatap lekat-lekat pada sang putri. "Hal itu sangat rendah dan hina."
Sang putri memalingkan wajah.
"Percayalah padaku. Yang perlu kaulakukan adalah berusaha untuk bersemangat. Kau tidak perlu menggunakan tipu daya."
Gadis itu mengusap rambutnya dan berusaha mengaturnya agar rapi. "Baiklah," katanya pelan. "Aku setuju. Aku akan menikahi pria yang berhasil melewati ujianmu. Sekarang, ujian seperti apa""
Sang penyihir tiba-tiba mendapat inspirasi. "Kita akan meminta para pelamar untuk mempersembahkan kepadamu tiga buah timun emas dari kebun rahasia milik kurcaci Maximilian. Dengan demikian, jika kau tidak suka pelamar tertentu- kalau ia ternyata terlalu muda atau terlalu bodoh, atau terlalu apalah-yang harus kaulakukan hanyalah menolak menerima timun darinya, dan pencariannya tidak dianggap berhasil."
"Timun"" tanya sang raja. "Timun" Bukankah biasanya para peserta diminta mencari apel emas"
"Siapa pun bisa mendapatkan apel," cemooh sang penyihir.
"Oh, baiklah, terima kasih banyak!" kata Teddy "Tapi aku pernah mendengar cerita tentang kurcaci Maximilian ini. Ia pelit sekali."
"Coba dengar," kata sang penyihir. "Memang sulit, tapi bukannya tidak mungkin."
"Bukannya tidak mungkin" ulang Teddy. "Mungkin mudah untuk seorang penyihir." Ia mulai menggigiti salah satu kuku jarinya.
"Sungguh," sang penyihir mencoba meyakinkannya. Sambil mengabaikan kata hatinya yang mengingatkan kalau dirinya sudah melangkah terlalu jauh, ia berkata, "Lihat. Aku akan membuktikan kalau hal itu bisa dilakukan. Aku akan melakuka
n-nya. "Tanpa sihir"" tanya Teddy.
Sang penyihir mengangguk, tapi sang putri tetap terlihat khawatir. Sungguh tidak adil, pikir sang penyihir. Setelah melihat bagaimana para putri seperti Rosalie dan Gilbertina mampu menarik perhatian pelamar dari golongan bangsawan, sang penyihir merasa bahwa tidak adil jika seorang gadis manis seperti Teddy tidak mampu melakukan hal yang sama. Rasa marah membuatnya berkata, "Baiklah, ya ampun, kalau kau tidak percaya padaku. Kalau kau mau, kau bisa ikut bersamaku untuk mengawasiku-"
"Oh," kata sang putri. "Gagasan yang bagus! Terima kasih."
Sang raja segera berdiri untuk menjabat tangan sang penyihir.
"Baiklah, beres sudah." Sang ratu berdiri dan tersenyum. "Selamat jalan."
Sang penyihir menarik napas dalam-dalam dan bertanya dalam hati bagaimana
ia bisa sampai terlibat dalam urusan ini. Mungkin ia bisa menyalahkan penyihir wanita-yang dulu ditemuinya di toko pandai besi. Wanita itu mungkin-mungkin juga tidak-telah mengutuknya.
Ia terus bertanya-tanya dalam hati tentang hal itu selama tiga hari perjalanan mencapai pulau yang dikuasai oleh raja kurcaci Maximilian.
Mereka harus melakukan perjalanan dengan berkuda karena Putri Teddy bersikeras bahwa menggunakan mantra pindah tempat terhitung tidak adil karena termasuk sihir.
"Tapi tak ada apa pun di sini," keluh sang penyihir saat kuda-kuda mereka berjalan dengan susah payah sepanjang jalan setapak berdebu. Sang penyihir terbatuk-batuk dan bersin karenanya. "Hanya ada dataran dan padang rumput serta kota-kota kecil sampai kita tiba di danau Maxi-milian. Tidak ada bahaya. Tidak ada yang menarik."
"Walaupun begitu, kita tidak pernah tahu," kata Teddy berulang kali.
Jadi, mereka menunggang kuda dan bermalam di hutan. Sang penyihir dengan sukarela memasak. Waktu berjalan dengan cepat karena ternyata Teddy seorang teman seperjalanan yang baik. Ia menceritakan berbagai kisah menarik.
Setelah tiga hari berlalu, lebih cepat dari yang diperkirakan sang penyihir, mereka tiba di tepi danau yang mengelilingi pulau terlarang raja kurcaci.
Kebun milik sang raja kurcaci dapat terlihat dari seberang pulau. Putri Teddy mengalihkan pandangannya dari kebun yang dibatasi dinding itu dan menatap perairan yang menghalangi mereka. "Ikan jenis apakah itu"" tanya sang putri dengan rasa khawatir sambil menunjuk ke arah bayangan gelap yang memerhatikan mereka dari dalam air.
Sang penyihir menatap ikan-ikan itu dengan waspada. "Entahlah. Yang pasti, mereka memiliki banyak gigi, ya""
Teddy menariknya menjauh dari tepi sungai itu. "Hati-hati. Yang satu itu menjilat bibirnya saat kau mencondongkan badan seperti itu."
Sang penyihir tidak tahu bahwa ikan- tak peduli seberapa laparnya mereka-bisa menjilat bibir. Namun, ia memutuskan untuk menjaga jarak-untuk berjaga-jaga. Katanya, "Kurcaci adalah makhluk yang praktis. Mereka tinggal di bawah gunung dan merasa bahwa memakai mantra setiap kali datang ke sini adalah pemborosan sihir. Jadi, kesimpulanku adalah ada cara untuk menyeberangi danau ini tanpa menggunakan kekuatan sihir." Ia mulai berjalan di sepanjang tepi danau sambil mengintai ke dalam air. Makhluk-makhluk di dalam danau itu membalas tatapannya.
"Cara-cara untuk menyeberangi sebuah perairan," kata Teddy sambil mulai menghitung dengan jarinya. "Perahu: Kita tidak punya. Berenang: Kita tidak berani. Meloncat: Kita tidak bisa. Jembatan: Satu pun tak terlihat."
Sang penyihir menangkap jari terakhir yang digunakan sang putri. "Tepat sekali!"
"Tepat sekali apanya""
"Pasti ada sebuah jembatan," kata sang penyihir, "tapi kita tidak melihatnya. Mengapa" Benda apa yang tembus pandang""
Teddy menggigit salah satu kuku jarinya. "Udara ... air ..." Ia memerhatikan wajah sang penyihir untuk melihat kalau ada perubahan ekspesi. "Kaca..."
Sang penyihir menyeringai dan menunjuk ke arah air tepat di depan mereka. Di sebelah kiri, sekelompok ikan kecil galak yang bergigi tajam menunggu dengan penuh harapan. Di sebelah kanan, seekor ikan besar galak yang juga bergigi tajam sedang berenang mondar-mandir dan menunggu. Tapi di depan mereka ada rentangan air di mana tidak ada satu p
un ikan yang melewatinya. Tidak ada pemisah yang tampak di dalam air, dan dasar danau yang berpasir membentang luas tanpa ada pembatas. Setelah sekian
lama mereka berdua memandang, tidak ada satu makhluk pun yang melintasi rentangan tersebut.
"Sebuah jembatan kaca," bisik Teddy, "di bawah permukaan air."
Sang penyihir berjalan mendahului dan Teddy mengikutinya dari dekat. Jembatan kaca itu sempit dan licin. Makhluk-makhluk danau, yang besar dan yang kecil, berenang sedekat mungkin ke jembatan itu. Sang penyihir hampir percaya kalau ia bisa mendengar ikan-ikan itu menggertakkan gigi dengan putus asa, tapi hal itu sama bodohnya dengan membayangkan mereka menjilat bibir dengan lapar. Akhirnya, ia dan sang putri berhasil sampai ke seberang.
"Huh!" kata sang putri. Kemudian, ia terkejut. "Awas!"
Seorang kurcaci melompat melewati dinding yang mengelilingi taman dan berlari menuruni bukit ke arah mereka.
"Tadinya, kupikir kau mengatakan para kurcaci itu tinggal di sebuah kerajaan di
bawah gunung," kata Teddy. Ia mundur selangkah begitu pria kerdil itu mendekat sambil memegang mahkota dengan satu tangan dan mengayunkan kapak dengan tangan yang lain. "Mengapa raja mereka yang menjaga kebunnya""
Sang penyihir menjadi bingung. "Ia seharusnya tidak berada di sini. Raja Maxi-milian dan rakyatnya memang tinggal di bawah gunung. Ia pasti mempunyai urusan-urusan yang lebih penting dibandingkan sekadar duduk di sini setiap hari untuk menjaga sayurannya."
Saat sang penyihir sedang berbicara, raja kurcaci itu berhenti hanya beberapa kaki di depan mereka. Meskipun ia pendek, lengannya sangat berotot dan wajahnya sangat galak. Bahkan seorang ibu pun akan bilang begitu. Ia membenahi mahkotanya dan berkata dengan suara yang seperti sedang mengeram, "Kalian pasti datang untuk mengambil timun emasku, kan" Semua selalu berusaha mencuri timun-timunku. Dulu ada dua kesatria yang tidak
bisa memutuskan siapa yang terhebat. Kemudian, mereka memutuskan bahwa siapa yang mampu mencuri timun Maximilian adalah pemenangnya. Seorang pangeran, yang ingin membuktikan dirinya pantas mendapatkan cinta seorang wanita, juga mencuri sebuah timun dari Maximilian yang malang. Seorang ayah, yang tidak mempunyai mahar perkawinan untuk anak gadisnya, menyelinap ke sini, karena Maxi-milian tua memang bisa diandalkan dan memiliki cukup emas untuk seratus mahar perkawinan, walaupun dalam bentuk sayuran. Aku berani bertaruh. Kalian pasti datang ke sini dengan berbagai alasan yang panjang, menyedihkan, dan juga masuk akal, kan""
Dengan raut wajah bersalah, Teddy melihat sekilas ke arah sang penyihir. "Begini, aku-"
"Ha!" Maximilian mendengus. "Cerita yang mirip!"
Sang penyihir meletakkan tangan di depan mulut dan berdeham. Kemudian,
ia menutupi mulut dengan tangan untuk berbisik kepada Teddy. "Ia seharusnya tidak berada di sini."
"Kalian mestinya malu pada diri sendiri," kata sang raja kurcaci sambil mengeram lagi, "orang-orang tinggi seperti kalian." Ia mengangkat kapaknya lebih tinggi untuk mengancam.
Sang penyihir menggeleng-gelengkan kepala. "Raja Maximilian ada di sini" Untuk menjaga timun emasnya""
Teddy mencondongkan badannya untuk berbisik di telinga sang penyihir, "Itu tidak begitu penting sekarang."
"Tentu saja penting," katanya kepada sang putri, meskipun Maximilian telah maju selangkah. Ia memberikan senyuman yang diharapkan bisa meyakinkan Teddy. Ia berkata padanya, "Sudah kukatakan tadi. Para kurcaci adalah makhluk yang praktis. Dan kurasa Maximilian terlalu praktis untuk duduk di sini setiap hari dan berjaga-jaga bila ada yang berhasil menyeberangi danau. Semua ini tidak
nyata. Penjaga itu jadi-jadian." Dengan lebih pelan, ia menambahkan, "Kuharap begitu." Ia sadar kalau ia sedang menggenggam tangan Putri Teddy. Walaupun bintik-bintik di wajah gadis itu berubah menjadi pucat, tapi sang penyihir merasa terkesan karena sang putri tidak jatuh pingsan-karena biasanya para putri mudah pingsan-atau mencoba untuk kabur. "Kita melihatnya, tapi ia sebenarnya tidak ada," sang penyihir meyakinkan dengan maksud untuk menguatkan sang putri sekaligus dirinya sendiri.
"Kesempatan terakhir untuk kabur," Maximilian mengingatkan.
Sang penyihir dan Teddy berdiri tegak.
Kurcaci itu mengayunkan kapaknya.
Sang penyihir bisa melihat rambut-rambut yang tumbuh di kutil prajurit kecil itu dan ia juga bisa merasakan kibasan udara dari kapaknya yang terayun untuk memenggal lehernya.
Tapi kapak itu lewat menembus dirinya. Ia bahkan tidak merasakannya dan
hanya menatap kapak itu saat melewatinya melalui sisi yang lain.
Sang penyihir memejamkan mata dan menghitung dalam hati sampai sepuluh sebelum bisa bernapas normal lagi. Kemudian, ia berjalan menembus bayangan Maximilian, yang terus masih mengayunkan kapak, seolah-olah sedang menebas sekawanan penyihir.
Sambil menarik napas lega, Putri Teddy menyingkirkan rambut keriting coklatnya dari wajah dan mengikuti sang penyihir. Maximilian tetap tinggal di pinggir danau dan mengayun-ayunkan kapaknya. "Sekarang bagaimana"" tanya Teddy.
"Sekarang," kata sang penyihir ketika sudah bisa berbicara lagi, "kita ambil timunnya."
Tapi hal itu lebih mudah dikatakan daripada dikerjakan. Di sana ada pohon pir, pohon persik, pohon cherry, dan segala jenis pohon kacang-kacangan. Ada tanaman anggur, semak-semak buah berry, tanaman tomat, dan pohon jagung. (Sang penyihir sangat iri pada kebun kurcaci ini.) Tapi tidak ada tanaman timun emas sama sekali.
"Aku tidak mengerti," kata sang penyihir.
Hanya ada satu tanaman timun di kebun itu. Tanaman itu tumbuh merambat dan mengelilingi lengkungan berkisi-kisi. Kedua orang itu berdiri tepat di bawahnya sambil memandang ke atas. Mereka melihat begitu banyak timun-timun biasa nan hijau dan besar.
"Mungkin timun emas berwarna hijau sebelum matang," Teddy menyimpulkan tanpa terlalu yakin.
Mungkin," kata sang penyihir sambil mencoba terdengar lebih penuh harapan daripada yang sebenarnya ia rasakan, karena menurutnya, sebagian timun itu sudah matang dengan sempurna, tapi tidak ada tanda-tanda akan menjadi emas. "Atau mungkin timun emas tumbuh di pohon yang sama dengan timun biasa, tapi mereka tersembunyi di bawah dedaunan."
"Mungkin," Teddy mengiyakan, tapi sang penyihir menduga ia mengatakannya hanya untuk bersikap sopan.
Sang penyihir memanjat teralis, tapi setelah beberapa menit kemudian, sekujur tubuhnya bermandi keringat. Ranting dan daun tersangkut di rambutnya dan menggores lengannya. "Cukup sudah," katanya sambil melompat turun ke tanah. Kau benar. Hal ini tidak bisa dilakukan. Kita pikirkan pencarian lain untuk menguji calon pelamarmu."
"Tahu tidak"" kata Teddy, "Aku baru saja berpikir. Pertama: kita menemukan sesuatu yang tidak bisa kita lihat, tapi memang ada-jembatan kaca. Kemudian, kita menemukan sesuatu yang bisa kita lihat, tapi tidak nyata-kurcaci penjaga." Ia mengitari teralis itu dengan tampang serius. "Sekarang di sini, kita memiliki sesuatu yang bisa kita lihat, yang mungkin benar-benar ada di sini, tapi yang mungkin ...."
"... tidak seperti yang terlihat," sang penyihir menyelesaikan kalimatnya. Ia mengangguk. "Sangat bagus. Sangat, sangat bagus. Aku terkesan."
Putri Teddy tersipu. "Sebelum kau menjadi terlalu terkesan, coba periksa apakah aku benar."
Sang penyihir menggapai dan meme gang sebuah timun hijau yang besar. Ia menariknya, merasakan timun itu menjadi hangat serta berat di dalam tangannya. Ia menurunkan tangan, memegang timun itu di depan mereka dan menjadi terkejut karena tangannya sedikit bergetar. Pantulan cahaya matahari berkilau di permukaan timun yang mulus itu dan secara perlahan timun itu berubah menjadi emas padat, yang cukup berkilau sehingga ia bisa melihat bayangannya yang basah kuyup. Ia menarik napas panjang dan menatap wajah sang putri. Ia telah berhasil. Ia telah membuktikan bahwa seseorang- tanpa sihir-bisa mendapatkan timun emas. Kalau ia bisa melakukannya, orang lain
juga pasti bisa dan orang tersebut akan menikahi Putri Teddy. Tugas sang penyihir sudah selesai. Jadi, mengapa ia merasa sedih" Ia menjulurkan timun itu pada Teddy.
Gadis itu bergerak sedikit seakan hendak mengambil darinya. Kemudian, ia menarik tangannya. "Katamu tiga," gumamnya-walaupun ia sendiri bisa saja menggapa
i timun-timun itu lebih mudah daripada sang penyihir karena badannya yang tinggi.
Sang penyihir memetik dua lagi, dan kemudian menjulurkan ketiganya pada Theodora. "Betul, kan"" katanya sambil membungkuk, "mungkin saja bagi seseorang untuk mencuri tiga timun emas dari kebun rahasia kurcaci Maximilian- tanpa sihir-dan kemudian mendapatkan Putri Theodora."
Sang putri menerima timun-timun itu sambil senyum malu. Ia berkata, "Kena kau!"
Senyum sang penyihir sirna. "Apa maksudmu""
"Kena kau. Dan kautahu maksudku. Kau memenuhi semua syarat pencarian ini." Ia mengacungkan sebuah jari dengan kuku yang patah. "Betul, kan""
"Tunggu sebentar-"
"Betul, kan""
Sang penyihir mendesah, melipat tangan di depan dada, dan mendesah lagi. Sang putri memerhatikannya dengan ekspresi gelisah. Sang penyihir tidak mempermasalahkan rambut keriting atau bintik-bintik pada wajah sang putri, atau kenyataan bahwa ia harus menengadah untuk menatap matanya. Ia teringat pada kisah-kisah lucu yang diceritakan sang putri di sepanjang perjalanan dan pada kepandaian serta keberaniannya. Menurutnya, Theodora adalah putri tercantik yang pernah ia temui. Penyihir wanita dulu itu sangat benar mengenai kebahagiaan sejati. Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. "Kena aku," katanya.
Teddy mengalihkan pembicaraannya. "Bukannya aku ingin memaksamu-"
Sang penyihir meraih tangannya dan menciumnya dengan lembut. "Ayo pulang," katanya, "putriku."
Dan mereka pun pulang. tamat Ladang Pembantaian 2 Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 9
^