Pencarian

Strangers 1

Strangers Karya Barbara Elsborg Bagian 1


Strangers Bab 1 SELAMAT TINGGAL Kate menatap tulisan yang ada di atas pasir dan tertawa. Kalau itu bukan tanda, dia tak tahu apakah itu. Tiga langkah berikutnya dan gelombang dingin menyapu kakinya. Kate mengertakkan gigi dan mengarungi maju sampai air mencapai pinggang. Terjun sambil gemetar dan dia mulai berenang. Beberapa saat kemudian sandalnya terlepas dari kakinya. Sial, itu adalah favoritnya. Kate mendengus dengan tawa, sehingga ia menghirup penuh air asin dan mencoba untuk berdiri. Ketika kakinya gagal menyentuh dasar, dia menggapai-gapai disekelilingnya sampai ia mendapatkan napas kembali dan bisa berenang lagi.
Tak butuh waktu lama sebelum ia menggigil. Kate membayangkan dirinya meluncur ke dalam tidur nyenyak dan tenggelam. Lalu membayangkan dirinya berjuang untuk bernapas karena air bergegas ke tenggorokannya. Dia memukul pergi ketakutan dengan keras. Tidak akan kembali.
Berbalik, dia mendongak ke langit abu-abu pucat dini hari. Akan lebih menyenangkan melihat matahari untuk terakhir kalinya. Kate membiarkan dirinya tenggelam dan beberapa saat kemudian kakinya menendang ke permukaan. Dia mendengus kesal. Dia bahkan menahan napas.
Ini tidak akan semudah apa yang ia pikirkan. Betapa anehnya jika dia berenang jauh sampai ke Perancis.
Kemungkinan besar sebuah tanker yang akan menggilasnya.
Sebuah hantaman menerjang ujung hidungnya. Kate tersentak saat ia terdorong ke bawah, air tertelan dan panik. Tenggelam adalah satu hal, diserang oleh hiu sungguh sesuatu yang sama sekali berbeda. Dia menendang agar muncul ke permukaan, kengerian akan dimakan hiu mengubahnya menjadi geliat ketakutan yang luar biasa. Ketika kakinya bersentuhan dengan sesuatu yang padat, rasa takut berubah menjadi teror.
"Oww!" hiu itu berteriak.
Kate meronta-ronta lebih keras.
"Apa yang sebenarnya kau lakukan"" hiu itu menuntut.
Memiliki halusinasi yang menghibur. Kate berputar putar. Dia tidak tidur semalam dan pikiran lelahnya membayangkan seseorang ada bersama dirinya. Untungnya bukan hiu.
Dia tersihir oleh manusia yang sangat menakjubkan seorang pria yang marah, berambut gelap yang perlu bercukur.
Meskipun ada bayangan hitam di bawah matanya, dia sangat tampan. Gelombang nafsu bergabung dengan rasa menggigil pada tubuh Kate. Tentu saja dia bisa memiliki tubuh kuda nil, karena dia hanya bisa melihat kepala dan bahu telanjang.
"Oh Tuhan, hidungmu berdarah. Maaf," kata pria itu.
Kate menyentuh wajahnya dan melihat darah di jarinya sebelum percikan air laut mencucinya dengan bersih.
"Aku tidak melihat ke mana aku menuju. Aku tidak mengira akan ada seseorang yang berada sejauh ini, "katanya.
Kate terus menginjak air, bertanya-tanya apakah ia bisa membuat pria itu tetap bersamanya.
"Apakah kau tidak akan mengatakan apapun"" Tanyanya.
Kate membuka mulutnya, menganggap tak masuk akal bicara dengan seseorang yang tidak ada di sana, dan menutupnya.
"Apa kau putri duyung"" pria itu lalu menyelam ke bawah gelombang.
Apa dia seorang duyung jantan" Tapi kemudian dia tahu Kate bukan putri duyung. Dia muncul di sampingnya, lebih dekat dari sebelumnya, pandangan ngeri terlihat di mata cokelatnya yg besar dan lembut.
"Berjari kaki," sembur dia, lalu meludahi wajahnya. "Dengan kuku dicat merah. Aku sangat kecewa."
Hati Kate khawatir. Satu bagian dari imajinasinya tidak akan mengeluh atau meludah ke arahnya. Dia nyata.
"Kupikir kau hiu," kata Kate. "Lalu kupikir aku hanya berkhayal."
"Seekor hiu"" Dia berbalik dan tersentak. "Oh Tuhan, dan kau berdarah. Mereka bisa mencium aroma darah dalam air walau berada di lautan jauh disana. Sekumpulan dari mereka mungkin menyerang dan mencabik cabik kita, anggota tubuh kita bagian demi bagian. Jika kau merasakan tarikan tiba-tiba, itu mungkin kakimu yang terlepas."
Kate menyeka hidungnya lagi. Masih berdarah.
"Maaf. Kuharap aku tidak mematahkannya." pria itu berkata.
"Jangan khawatir tentang itu."
"Jadi...kau sering melakukan ini"" dia muncul di atas gelombang saat Kate jatuh ke dalam palungan.
Kate terbelah antara ingin tertawa atau menangis. "Apa""
"Berenang di laut memakai pakaian lengka
p"" "Ya, itu olah raga yang luar biasa. Sebaiknya aku pergi." Kate tidak bergerak.
"Siapa namamu"" Tanyanya.
"Kate." "Aku Charlie." "Nah, halo dan selamat tinggal, Charlie."
Kate berenang ke tengah laut dengan menggunakan dorongan yang kuat dan tegas.
"Kau salah arah," teriaknya.
"Aku belum selesai. Harus membakar tujuh belas Mars Bars-ku (merk coklat) yang kumakan tadi malam. Banyak sekali kalori untuk dihilangkan."
Dia menghampiri disamping Kate, melakukan gaya dada seperti dia. Mereka berenang berdampingan dalam keheningan.
"Apa kau pernah menonton film Open Water"" tiba-tiba Charlie bertanya.
Kate telah berusaha untuk tidak berpikir tentang hal itu. "Tidak seperti pasangan buruk dalam film itu, kita tidak hilang.
Pantai ada di belakang kita."
"Aku tak ingin kembali ke pantai," kata Charlie.
Kate melirik. Gila, kemungkinan apa yang membuat mereka memilih tempat yang sama untuk melenyapkan diri" di lautan luas ini dan mereka berakhir di tempat yang sama"
"Aku di sini lebih dahulu," kata Kate.
"Bagaimana kau tahu""
Dia benar. Kate salah. Cahaya mulai menyingsing.
"Apakah pesan diatas pasir itu milikmu"" Tanya Kate.
"Ya kan, aku ada di sini duluan. Lagi pula, ada cukup air bagi kita berdua." Benar. Kate bertanya-tanya bagaimana jika dia menyelam, kemudian membuka mulutnya membiarkan air laut membanjiri paru-parunya. Apakah itu berhasil" Itu akan cepat"
"Hidungmu masih berdarah," katanya.
"Sial." "Aku akan berpikir kau akan mengundang hiu."
Kate menangkap sedikit senyum di wajahnya dan melotot. "Aku yang memilih bagaimana caraku mati, dan aku tidak memilih hiu."
"Aku juga," kata Charlie. "Kenapa kita tidak berhenti berenang saja""
"Aku sudah mencoba. Kakiku tak mau bekerja sama. Perhatikan." Kate berhenti bergerak dan hampir seketika mulai menginjak air. Charlie diam menahan tubuhnya, masuk ke dalam air kemudian muncul lagi di samping Kate, air mengalir di wajahnya.
"Ini gila." kata Charlie, giginya gemeletuk. "Jangan ragu untuk mengubah pikiranmu. Tak ada yang memaksamu." Lalu Kate menjerit dan Charlie langsung keluar dari air. Kate melihat dia mempunyai otot dada yang kekar, kemudian rasa panik melanda seluruh pikirannya.
"Ya Tuhan, ada apa"" Charlie megap-megap.
"Ada sesuatu di belakangku. Menggesek punggungku. Oh Tuhan. Ubur-ubur." Charlie berenang di sekitarnya, dan kemudian sejumput rumput laut menjuntai di kepala Kate. Kate menjerit lagi dan dengan kecepatan tinggi, menghentak-hentakkan lengan dan kakinya.
"Ini bukan ubur-ubur," seru Charlie. "Ini rumput laut."
"Aku juga tak suka rumput laut."
Charlie mendongak. "Kenapa memilih melakukannya dengan cara ini, jika kau takut ubur-ubur, hiu dan rumput laut" Ada lagi yang mau ditambahkan""
"Kepiting, belut dan kapal tanker minyak."
Charlie terkikik. "Bagaimana kalau cumi-cumi raksasa""
Kate menelan ludah. "Kupikir jika aku tetap memakai pakaian, aku tak akan keberatan dangan makhluk yang berlendir, tapi aku salah. Aku tidak berpikir tentang hiu sampai kau menyebutnya. Dan cumi.
Lagi pula, aku bukan satu-satunya yang tak suka hiu."
"Mereka tak akan mencariku. Aku tidak berdarah."
"Kau ada di sekitarku. Aku tidak berpikir mereka pilih-pilih. Lebih baik kau berenang menjauh dan tinggalkan aku sendiri."
"Tapi itu salahku membuat kau berdarah. Aku akan merasa bersalah jika hiu itu memakanmu." Charlie gagal meredam tawanya.
Kate berenang dan ia mengikuti.
"Apa kau menguntitku"" Tanya Kate. "Tidak bisakah aku bahkan bunuh diri dengan tenang""
"Kau yg sepertinya menguntitku."
"Ya, itu benar. Sudah cukup."
Dia berbalik dan mulai berenang kembali ke pantai. Charlie terus berpacu dengannya. Tak ada yg bicara, tapi setelah beberapa menit menjadi jelas bahwa pantai tidak makin bertambah dekat.
"Berenanglah perlahan-lahan," kata Charlie. "Kita mungkin bisa membuat kemajuan." Tapi mereka tidak.
Kakinya lemas, Kate merasa sulit untuk menjaga kepalanya tetap ada di atas air. Pakaiannya menariknya ke bawah. Dia menahan Charlie, dan tahu tanpa dia mengatakan bahwa dia menolak untuk meninggalkannya. Kate membuka ritsleting celana jeans-nya d
an mencoba untuk melepas dari atas pinggulnya, tindakan yang malah membuatnya masuk ke air yang dalam. Charlie meraih lengannya dan menariknya ke permukaan.
"Apa sih yang kau lakukan"" Teriaknya.
"Mencoba melepaskan celana jeansku."
Charlie mengerjapkan air dari matanya. "Biasanya aku akan mendukung itu, tapi kau akan menenggelamkan dirimu sendiri."
Mereka saling memandang dan tertawa.
"Kita bisa menggunakannya sebagai alat bantu apung," kata Kate. "Ikat di bagian ujung kakinya dan mengisinya dengan udara."
Ekspresi ragu di wajah Charlie membuat Kate bertekad untuk membuktikan bahwa dia bisa melakukannya.
Kate menyelam ke bawah permukaan. Rasanya seperti mencoba mengupas jeruk dengan pisau plastik. Terbunuh oleh celana jeans-nya adalah bukan cara lain untuk mengakhiri sesuatu.
Ketika Kate muncul penuh kemenangan, celana di tangan, hujan turun. Dia berjuang dengan jari-jari dingin untuk membuat simpul di satu kaki, sementara Charlie bekerja di sisi lain. Ketika kedua kaki diikat, Kate memegang celana jeans di bagian pinggang dan meraupnya dgn udara. Angin merenggut jeans keluar dari pegangannya dan melemparkannya beberapa meter jauhnya.
Charlie terkikik. "Haruskah aku mengambilnya""
"Jangan repot-repot. Itu harganya murah dan mungkin tidak akan berhasil." Dan jika aku mati, aku juga tak akan membutuhkannya. Langit gelap dan Kate menjerit ketika gemuruh guntur terdengar seperti diatas kepala. Air mulai pasang, ombak memecah di wajah mereka.
"Kupikir seseorang sudah kesal karena kita telah berubah pikiran." Charlie batuk.
Kate meludahkan air setelah gelombang menabrak wajahnya. "Apa kau pikir pantai semakin dekat""
"Tidak." "Kita pasti terjebak dalam arus."
"Berenang lebih cepat," katanya, "tapi sejajar ke pantai." Kate bertanya-tanya apa yang dia lakukan, berjuang untuk tetap mengambang ketika seluruh tujuan hari ini telah tenggelam. Mungkin dia tidak begitu menginginkan ini seperti apa yang ia pikirkan. Mungkin dia sudah mati dan dihukum karena membunuh dirinya sendiri, ditakdirkan untuk berjuang terus menerus di laut liar dengan seorang pria tampan tapi menjengkelkan.
"Apakah kau seorang malaikat"" Sembur Kate.
"Tidak." "Iblis"" "Hmm. Berhenti bicara, terus berenang."
Kate berkonsentrasi cara mengambil napas diantara gelombang. Menjaga dirinya mengambang dan menyambar setiap udara sebanyak yang dia bisa lakukan. Dia tak yakin bagaimana waktu berlalu sebelum dia menyadari Charlie tidak bersamanya. Dia berputar dalam lingkaran.
"Charlie! Charlie! Charlie!"
Puncak dan palung menjadi lebih ekstrim, hujan mengurangi penglihatan menjadi hanya beberapa meter. Kate tak bisa membedakan antara langit dan laut, seperti ia telah terjebak di salah satu lukisan Turner tanpa detail, warna hanya untuk mengekspresikan suasana hati. Setiap kali dia mencoba menelan udara, ia menelan air. Kate terbatuk-batuk, tersedak dan berteriak memanggil Charlie. Dia berputar melingkar mencari dia dan sekarang pantai telah lenyap.
"Charlie!" Ketika dia melihat wajah putihnya di puncak gelombang, Kate berenang dengan panik ke arahnya, melawan air untuk sampai ke sisinya. Melalui mata yg menyengat, Kate melihat dia berenang ke arahnya.
"Kupikir aku akan kehilanganmu." Kate mengulurkan tangan untuk menyentuhnya.
Charlie terbatuk dan meludahkan air. "Aku sulit untuk menyingkirkannya. Aku sangat kedinginan dan lelah. Hal ini seharusnya menjadi apa yang kuinginkan, tapi sekarang aku tidak menginginkannya."
Di bawah bayangan wajahnya yang belum bercukur. Kulitnya tampak hampir transparan. Cekungan bawah tulang pipinya tampak lebih dalam, seolah-olah ia berubah menjadi mayat di depan Kate.
"Terus berenang," kata Kate.
"Arah mana" Dimana pantai sialan itu""
"Aku tak tahu."
Mereka saling memandang dan Charlie tersenyum kecut. "Mungkin kita tidak diijinkan untuk mengubah pikiran kita."
Charlie memegang tangannya di atas air dan Kate meraih jari putihnya.
"Jangan lepaskan aku," Kate tersentak.
"Jangan lepaskan aku." kata Charlie.
Dan mereka membiarkan laut memilih apakah ingin menjaga mereka atau tidak.
*** Strangers Bab 2 Ki sah Kate "Coba tebak"" Kata Lucy, penghuni apartemen nomor empat, di Elm Gardens, Greenwich, di bawah apartemen Kate di nomor lima.
"Apa"" Tanya Kate.
Seperti pinball, Lucy menerobos ke apartemen Kate dan langsung meluncur ke kursi panjang.
"Aku punya tiket pers ke tempat baru di Knightsbridge untuk kita."
"Tidak, terima kasih." kata Kate.
"Ini disebut 'Pesta Pernikahan'."
"Tidak tertarik."
Dua kata yang mengejutkan Lucy.
"Ini akan menjadi hebat," kata Lucy. "Tentu saja kau ingin pergi." Kate selesai mencuci piring. "Tidak, aku tidak pergi."
"Jelas aku tidak membuat ini terdengar cukup menarik. Dengarkan iklan ini. 'Malam ini adalah persilangan antara lelucon tentang resepsi pernikahan dan acara kencan. Sambil menikmati makan malam pernikahan yang bertema komedi' yang akan membuat kita tertawa, 'Kau juga mendapatkan kesempatan untuk bertemu orang baru' bukankah itu ide bagus""
"Tidak." Kate mulai membersihkan pegangan di lemari dapur.
Bahu Lucy turun. "Kenapa tidak""
"Bukankah kau pikir itu aneh, mencoba untuk berpasangan dengan para single di sebuah pernikahan yang tidak berguna""
Lucy berpikir tentang hal itu dan kemudian mengangkat bahu. "Tiket gratis."
"Tidak." Kate pindah ke pinggir papan.
"Ada pesta perjamuan tujuh rupa dan minuman keras tak terbatas." Itu menggoda tapi "Tidak."
"Ini akan menyenangkan, malam bermabuk ria." kata Lucy putus asa.
"Bukan acara pencarian putus asa oleh pria lajang dan wanita lajang yang putus asa""
"Well, aku tidak single," kata Lucy.
"Dan apakah aku putus asa dan single"" Kate menarik penyedot debu dari lemari.
"Tentu saja tidak. Rachel dan Dan akan pergi, kumohon""
Kate menyerah. Dan akhirnya diketahui, bahwa Dan yang tinggal di samping Kate di nomor enam, dan Rachel yang tinggal di nomor tiga di bawah, hanya setuju untuk pergi karena Lucy mengatakan pada mereka bahwa Kate hanya akan pergi jika mereka juga pergi.
"Kau gadis licik kecil yang nakal." kata Dan.
Lucy menyeringai. "Hei, aku tidak bisa menahannya, menjadi gigih dan persuasif. Jika aku mendengarkan ketika orang berkata tidak, aku tak akan pernah mendapat pekerjaan di Radio Metro."
Karena Lucy sekarang pacaran dengan Nick, bosnya yang sudah menikah. Kate bertanya-tanya seberapa gigih dan persuasifnya dia jika benar-benar harus.
Ketika mereka berempat berjalan ke tenda pernikahan, yang didirikan di dalam sebuah gedung, mereka melongo. Berhektar-hektar kain putih berkilauan menutupi dinding, sementara di atas kepala mereka ribuan lampu berkelap-kelip di kanopi hitam. Setiap meja bundar memiliki delapan kursi perak, dan di atas ditengah-tengah tiap meja ada tiga balon merah berbentuk hati yang tertanam di patung-patung es yang meleleh. Pose pengantin wanita dan pria yang sudah terjalin berubah menjadi pose yang agak cabul.
Mikrofon menjerit dan suara tanpa tubuh menginstruksikan wanita untuk menemukan kursi mereka dan pria untuk berdiri bersama-sama di sisi yang jauh dari ruangan.
"Aku berharap mereka tidak memilih Nick," bisik Lucy.
"Tapi dia akan memilihmu," kata Kate.
Mata Lucy melebar. "Aku belum memikirkan itu."
Kate menyaksikan lingkaran cahaya yang menari dari wajah seorang pria ke pria yang lain. Setiap kali cahaya berhenti, reaksi mereka berbeda-beda senang, ngeri, sombong, jengkel, tak sadar.
Ketika cahaya mendarat di atas Dan, ia tampak begitu ketakutan, Kate terkikik. Kemudian sorotan bergerak liar, antisipasi meningkat oleh gembar-gembor rekaman jauh sebelum cahaya menetap. Ketika seorang pria berjalan ke depan, Kate bertepuk tangan bersama yang lain. Dia tampan, tinggi, dengan rambut cokelat rapi, gigi yang sangat putih dan rahang persegi. Dia juga memiliki senyum gugup di wajahnya.
"Pilihlah aku, jemput aku." kata Rachel.
Kate melirik temannya. Rachel memiliki rambut lurus cokelat yang jatuh ke bahunya dan melengkung keluar di ujungnya. Hidungnya mancung dan bibirnya merah dan penuh. Dia menatap pria itu dan berada di atas tempat duduknya agar terlihat lebih tinggi. Di seberang meja, Lucy menatap ke arah yang berbeda. Dia tidak mau terpilih, karena bukan Nick yang memilih, tapi
siapa yang bisa menolak rambut pirang pucatnya yang panjang, mata biru cerah dan tulang pipi yang cukup tajam untuk mengiris Parma ham.
Meraih gelas sampanye, Kate tenggelam di bawah taplak meja sejauh mungkin yang dia bisa, yang tidak terlalu jauh dengan kaki meja terjepit di antara pahanya. Dia meneguk cairan hangat dan meringis. Bukan berarti ia seorang ahli, tapi jika ini adalah sampanye, dia adalah supermodel. Rasanya terlalu manis, terlalu bersoda dan mengandung alkohol sama banyaknya dengan minuman olahraga.
"Oh Tuhan, dia datang ke mari," cicit Rachel.
Lucy, seperti juga Rachel, sekarang fokus pada pria yang berjalan melewati bangku wanita.
Kate melihat dalam senyum sensual mereka, cemberut yang menjanjikan dan pandangan bercintalah-denganku dan melihat ekspresi mereka memudar ketika ia hanya lewat. Dia langsung menuju meja Kate. Lucy cukup menarik, hanya saja Nick sang lover-boy tak akan terlalu senang jika ia harus menghabiskan malam dan bersikap manis pada pria lain.
Kate butuh waktu sejenak untuk menyadari bahwa seseorang sedang berusaha untuk menarik tangannya dari tepi kursinya. Beberapa saat kemudian sebelum dia menyadari bahwa pria dengan rahang persegi dan tersenyum malu telah menjatuhkan satu lutut di sampingnya dan bukan di samping Lucy, bahkan tidak di samping Rachel.
"Maukah kau menikah denganku"" Tanyanya.
Semua orang di ruangan itu menjadi liar, bersorak dan bersiul selama beberapa detik.
Gelas sampanye Kate jatuh dari jari-jarinya. Dia melihat gelas itu jatuh di ujung atas meja.
Cairan tenggelam ke dalam kain putih murni dan menyebar seperti jamur oranye. Dia tidak bisa melepaskan pandangannya dari noda. Rachel menyodok Kate dengan garpu, mendesiskan sesuatu di telinganya. Kate berbalik untuk melihat orang yang menunggu di kakinya. Ekspresi tidak nyaman di wajahnya menjadi lebih jelas setelah beberapa detik berlalu. Ruangan menyelinap menjadi keheningan. Semua orang menunggu dia untuk berbicara. Garpu memukulnya lagi dan ia tersentak.
"Baiklah," memaksa dia keluar.
Pengantin prianya tertawa. Dia bangkit berdiri, menariknya berdiri dan berbalik menjauh dari meja.
Kate beberapa saat mengalami panik ketika ia tidak bisa bernapas. Dia membawa Kate melalui pintu, jauh dari kebisingan dan orang-orang sebelum dia berhasil berusaha mengisi paru-parunya.
"Ya Tuhan, kupikir tadi kau akan mengatakan tidak." Dia menyeringai padanya, senyumnya sedikit melebar.
Kate menelan ludah. Dia ingin mengatakan tidak, sangat ingin mengatakan tidak, mempunyai kata "tidak" pada bibirnya, bersama dengan "pilih Lucy, bodoh" atau bahkan "Rachel sedang putus asa", yang Rachel tak akan pernah memaafkannya, tapi entah bagaimana "baiklah" yang keluar dari mulutnya.
Seorang pria bercelana kulit hitam dan kemeja putih berenda bergegas menyusuri koridor ke arah mereka. Dia mengenakan headset dengan mikrofon yang melengkung di pipinya seperti ular hitam kepala gemuk.
"Pasangan pertama kami yang sangat bahagia. Luar biasa. Ikuti saya."
Dia berjalan mundur dan Kate tergoda untuk melakukan hal yang sama.
"Saya Chris. Nama anda""
"Richard Winter."
"Kate Snow." Richard berpaling ke Kate dan memberinya senyum murahan. "Hei, Winter dan Snow pada hari terpanas tahun ini. Pastilah takdir."
Matanya berkerut dan Kate membalas tersenyum.
"Aku sangat senang kau menjawab ya," kata Richard, " karena kau tahu apa" Aku benar-benar ingin menikah denganmu."
Kate tertawa. Hal ini mungkin bisa berubah jadi menyenangkan, pikirnya, meskipun jika dia punya pilihan, dia akan menolaknya. Ketika dia setuju untuk datang dengan Lucy dan lain-lain, tidak pernah terlintas dalam benaknya dia mungkin dipilih sebagai pengantin. Sekarang dia berkewajiban untuk menjalankannya. Kate tak ingin mengecewakan orang lain.
Dia dan pengantin pria diantar ke kamar terpisah. "Buka bajumu," adalah kata pertama yang di dengar Kate.
Penyelenggara bicara padanya dan pengiring pengantin saat mereka bersiap-siap, mengatakan pada mereka apa yang harus mereka lakukan dan memberi mereka beberapa ide tentang apa yang diharapkan, meskipun tidak semuanya, karena me
reka ingin reaksi spontan. Kate berharap dia bisa terbakar secara spontan sebelum dia muntah dan mereka panik. Rasa gelisah pada malam pertama mengikuti acara ini melanda Kate dan yang lainnya. Ketika Chris mengingatkan mereka betapa banyak teman dan rekan kerja mereka di luar sana, lalu mereka semua berubah pucat.
"Pers tak peduli siapa yang mereka bunuh," kata Chris.
Kate masuk ke dalam gaunnya, hal terbesar yang pernah dilihatnya, lapisan demi lapisan bulu putih. Yang terbaik, dia tampak seperti sebatang permen kapas yang menempel dari atas ke bawah dan yang terburuk seperti adik Barbie yang jelek dan pemarah. Seorang wanita berkutat dengan rambut Kate yang berantakan dan menyumpah ketika gagal untuk merapikan, akhirnya menyerah. Kate tersenyum dan berpikir setidaknya rambutnya punya pikiran sendiri. Sebuah mahkota putri raja yang berkilau disematkan di kepala dan kerudung pendek kaku terikat di situ.
Di samping Kate, tiga pengiring pengantin dengan lengan berritsleting sesak, berleher sendok, benda aneh berbentuk bunga warna hijau limau, pink fuchsia dan coklat lumpur. Kau tidak perlu memakai kata sifat pada warna cokelat, pikir Kate. Dia menyaksikan dengan simpati tangis Brown meledak, dihibur oleh Pink dan Green yang lega.
Kembali ke ruang utama, semua orang bertepuk tangan ketika mereka masuk. Kate tahu pipinya mendekati warna karpet, tapi dia menegakkan kepalanya dan berjalan menuju tempat di mana pengantin prianya dan pendeta bohongan berdiri menunggu. Lagu Mars Pernikahan meraung keluar, terputus setiap beberapa detik oleh transmisi statis-kacau dari radio polisi mengenai serangan di panti pijat.
Ketika suami-untuk-malam-ini berpaling ke arahnya, napas Kate tercekat di tenggorokannya. Richard mengenakan tuksedo dengan dasi merah muda neon. Dia tampan sekali dan benar-benar senang saat melihat Kate. Jadi Kate tidak mengerti mengapa ada suara dalam kepalanya menyuruhnya lari seperti di film Julia Robert dan keluar dari sana.
Pendeta cegukan dan tergagap saat pelayanan. Dia menyebut nama mereka salah dan kata-katanya beralih antara pembaptisan dan pernikahan. Ketika penghinaan usai, kedua mempelai duduk di atas meja panjang.
"Aku bertaruh kau tidak berpikir akan menikah hari ini kan," kata Richard.
Kate tidak berpikir dia akan pernah menikah.
"Apa yang membuatmu memilihku""
"Karena kau meringis saat kau meneguk sampah ini." Dia mengangkat gelas sampanyenya.
Itu pantas kudapatkan. Dia biasanya jauh lebih handal dalam menyembunyikan perasaannya.
"Jadi apa yang istriku kerjakan untuk hidup" presenter berita pukul enam" Koresponden politik untuk The Times" Kolumnis gosip untuk The Sun""
"Pelayan." Ada jeda sesaat. Kate tahu dia berharap akan memilih seseorang yang lebih menarik atau sedang menunggu untuk bertanya apa pekerjaan Richard. Kate diam, bertanya-tanya apakah Richard akan lulus tes.
"Aku seorang bankir investasi."
Gagal. "Tapi aku punya perasaan ketika kita mendengar pidato pendamping pengantin pria tadi, ia akan menemukan karier yang lebih menarik untukku. Untuk ayahmu juga, mungkin, tapi aku di bidang perbankan. Jujur, aku takut aku akan sangat membosankan."
Mungkin Kate menilai Richard terlalu cepat.
"Aku senang aku memilihmu. Kau tidak terasa membosankan sama sekali, "kata Richard.
Dia tersenyum kecil dan pertahanan Kate mulai goyah.
Saat pelayanan pertama selesai, gong berbunyi dan para pria bangkit dan bertukar meja.
"Semoga kau tidak cepat berubah pikiran," kata Richard. "Aku takut kita terjebak satu sama lain untuk malam ini."
"Tidak apa-apa." Kate mengerti itu. Dia tidak datang mencari seorang pria tapi Richard kelihatannya baik. Kate tidak banyak bicara, tapi Richard penuh perhatian dan mendengarkan ketika dia berbicara dan dia mulai menikmati dirinya sendiri.
Itu tidak berlangsung lama.
"Kupikir ayahmu akan mempermalukanmu." Richard menaruh tangannya di lengan Kate.
Jauh dari rasa malu, Kate merasa terhanyut pada apa yang terjadi. Pria botak riang yang berdiri di sampingnya tidak tampak seperti ayah yang Kate ingat.
"Selamat datang," Santa tak berambut menggelegar. "Selam
at datang, semuanya, wartawan bohongan, fotografer amatir, calon bintang TV dan radio, pekerja lepas dari rumah perawatan Bibi Lizzie yang sangat tidak punya harapan, paparazi yang memakan sampah, teman-teman, relasi, dan orang asing."
Itu mengatur suasana. Rupanya, Richard adalah seorang ahli kandungan dan Kate adalah seorang proctologist (ahli penyakit usus dan rektum). Pasangan yang sempurna. Kisah Kate menunjukkan pada dunia pantatnya di Marks and Spencer dan Richard tertangkap basah tangannya terjebak di kalkun adalah dua dari banyak anekdot.
Itu hanya ketika ibunya, seorang wanita tinggi, kurus mengenakan topi terbesar yang pernah Kate lihat, bangkit untuk bicara dan mulai berdebat dengan suaminya, yang membuat ketenangan Kate terguncang.
Ketika Richard mengangkat tangan Kate dari kaki meja dan meremas jari-jarinya, seolah-olah ia menduga ada sesuatu yang salah, Kate tahu dia tidak akan keberatan bertemu dia lagi.
Setelah kue pengantin yang runtuh, nyonya rumah histeris, jeritan bayi, penyerbuan polisi, hadiah pernikahan memalukan dan memperebutkan buket oleh pengantar titik dimana Kate bertanya-tanya berapa banyak lagi yang bisa mereka jejalkan penyiksaan itu hampir berakhir.
Kate dan Richard memiliki lantai dansa untuk mereka sendiri dengan satu lagu lambat. Suara sengau Wynette Tammy menyanyikan lagu D.I.V.O.R.C.E memenuhi ruangan. Kemudian malam itu mereka bebas melakukan apa yang mereka inginkan, tapi saat Richard menarik Kate ke dalam pelukannya, Kate ragu dia akan berdansa dengan orang lain. Dia merasa jantung Richard berdetak cepat terhadap dirinya. Jari-jarinya menyentuh punggungnya dan ia menekan wajahnya ke rambutnya, bicara seolah-olah ia menolak kata kerja.
"Bisakah aku menciummu" Biarkan aku menciummu. Aku ingin menciummu. Aku harus menciummu." Tangannya pindah ke tenggorokan Kate dan memiringkan wajahnya saat ia menekan bibirnya ke bibir Kate.
Begitu Kate membuka mulutnya, Richard meluncurkan satu tangan ke punggung Kate dan menariknya ke pelukannya, pinggulnya menempel ketat ke tubuh Kate. Bahkan melalui lapisan tebal gaun yang mengerikan, Kate merasakan ereksinya menekan ke perutnya. Jelas menunjukkan ketertarikannya. Ciuman awalnya lambat dan hangat, namun berubah dalam sekejap menjadi cepat, panas dan serakah. Kate tersadar oleh suara berseru-seru dan bersorak-sorai dan menarik diri, menemukan orang lain bergerak ke lantai dansa di sekitar mereka.
Richard berbisik di telinganya, "Kau tampak lezat dan sekarang aku tahu kau terasa lezat."
"Kau suka meringue (nama sejenis kue)""
"Aku lebih suka krim kocok."
Kate tertawa. Tangan Richard meluncur ke sekitar pinggang Kate, dan ia mengangkat ibu jarinya sehingga mereka berada di bawah payudara Kate. Kate terhuyung. Dia tiba-tiba membayangkan tempat tidur menunggu mereka di ruangan lain, bersama dengan tumpukan mainan seks. Tempat tidurnya akan dikelilingi oleh tempat duduk bertingkat dan malam pertama mereka akan diamati oleh setiap tamu, semua hakim di Olimpiade Malam Pertama Pernikahan, mencetak nilai sepuluh. Dia bergidik.
"Apa yang kau pikirkan"" Tanya Richard.
Kate tidak mau menjelaskan. "Kalau teman-temanku baik-baik saja."
"Kau ingin tahu apa yang kupikirkan""
Kate sudah tahu. "Aku tak ingin kau memakai gaun seperti itu ketika kita menikah. Aku membayangkan kau dalam sesuatu yang ramping dan elegan."
Bukan apa yang Kate tebak.
"Bisakah aku datang kembali ke tempatmu""
Itu dia. Richard menatapnya dengan senyum miring, dan Kate terbagi pikirannya menganggap itu manis dan membingungkan.
Kate menarik diri. "Tidak"
"Apa kau ingin kembali ke tempatku""
"Tidak." Kate menyukai kenyataan Richard tertawa, tapi Kate sendiri tidak percaya pada orang ini.
Richard lari menuju taksi Kate, meniupkan ciuman saat Kate melihat di balik jendela. Setelah Kate pergi, Richard kembali ke teman-temannya yang berdiri di garis menunggu taksi dan tidak coba menyembunyikan tampang bangganya.
"Lima puluh pound untuk kita masing-masing," kata Simon pada Richard, mengulurkan tangannya. Richard mengangkat ponselnya, menampilkan nomor telepon Kate.
"Itu hanya nomor telepon, bisa saja nomor Rumah Penampungan Anjing Battersea," kata Simon.
"Hanya kalian yang berikan itu." Richard menyeringai. "Mau meningkatkan taruhan" Aku punya ide lain."
Dua temannya saling bertukar pandang. Richard tahu Simon akan setuju. Dia adalah seorang reporter untuk koran harian, 24/7, oleh karena itu dia setuju untuk apa pun. Dia tidak begitu yakin dengan Alexander Philo, yang dikenal sebagai Fax, seorang fotografer lepas. Richard belum lama mengenalnya.
"Kau hanya beralasan. Bayar." kata Simon.
"Baiklah, jadi dia tidak tidur denganku malam ini, tapi aku yakin aku bisa mendapatkan dia untuk menikahiku dalam dua bulan."
Fax dan Simon tertawa terbahak-bahak.
"Aku serius," kata Richard, kesal karena mereka tertawa begitu keras. "Sebenarnya aku sangat serius, aku akan memberikan seribu pound masing-masing untuk kalian jika aku gagal membawanya ke kantor pendaftaran dalam delapan minggu. Tapi aku tidak akan gagal, lalu kau yang akan membayarku." Ada keheningan tiba-tiba.
"Aku tidak suka ini." Fax menggelengkan kepalanya.
"Apa yang tidak di suka tentang mendapatkan uang dengan mudah"" Tanya Simon. "Bukan berarti aku harus mendukung Richard dalam kecanduan judi hinanya, tapi aku ikut. Kau tak akan pernah berhasil. Bahkan, jika Fax tidak tertarik, aku akan pasang dua ribu."
Richard menyalakan rokoknya. "Kau yakin""
Simon mengangguk. "Hei guys, sudahlah," kata Fax. "Kalian seharusnya tidak main-main dengan orang seperti itu."


Strangers Karya Barbara Elsborg di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Richard mendengus. "Ini hanya sedikit bersenang-senang. Santailah." Dia menangkap sorot mata Simon.
"Kau tak akan menulis tentang hal ini, Baxter."
"Oke, tidak ada artikel, tapi aku pasti ikut taruhan ini. Kau tidak sepersuasif itu. Kau bisa mengambil fotonya, Fax." Simon menyikut rusuknya. "Aku menginginkan bukti."
"Juga tidak boleh ikut campur," kata Richard. "Aku tak ingin kau mengatakan padanya aku mengidap herpes atau apapun itu."
"Kalau begitu sembuhkan, jelas kan"" Tanya Simon.
"Dasar banci." Richard tertawa.
"Kalian berdua banci." kata Fax.
*** Pada Jumat malam, lima minggu setelah "Pesta Pernikahan", Kate dan Richard berjalan bergandengan tangan melalui Greenwich Park. Fax mengikuti bersama Simon dari belakang. Empat dari mereka habis makan di Crispies, kafe tempat Kate bekerja. Dia lebih suka makan di tempat lain tapi Richard bersikeras.
"Berhenti di sini," kata Richard, sambil menatap sinar laser hijau di atas kepala, bersinar dari Observatorium di atas bukit. "Kau berada di belahan bumi timur dan aku di barat."
Dia menunggu Fax dan Simon muncul. "Kau dapat menjadi saksinya," katanya dan menjatuhkan satu lutut di jalan berkerikil. "Kate, sayangku, maukah kau menikah denganku"" Karena Richard berkata ia mencintainya dan karena ia menginginkan dirinya dan membuatnya merasa aman, Kate berpikir itu sudah cukup. Dia mulai mengatakan ya, kemudian ingat apa yang dia katakan pertama kalinya. "Baiklah."
Richard tertawa, lebih bersemangat daripada yang pernah Kate lihat sebelumnya. Dia memutar-mutar Kate di jalan, dan melakukan tos dengan teman-temannya.
"Benar. Aku yang akan mengatur semuanya," kata Richard. "Kantor catatan sipil, bunga, foto, bulan madu. Semua yang harus kau lakukan adalah hanya muncul di kantor pendaftaran dalam gaun yang indah, tampak seksi, siap untuk mengatakan ya dan tidak baiklah."
"Tenanglah." Kate tersenyum atas kegembiraannya.
"Kami akan menikah," teriaknya. "Dia bilang ya."
"Sebenarnya, aku berkata baiklah." Kate melompat ke dalam pelukannya untuk memberinya ciuman.
"Astaga, kau hanya mengenal satu sama lain dalam beberapa minggu. Tentu kau tidak terburu-buru kan"" Tanya Simon.
"Itulah apa yang kita lakukan bergegas." Richard menyeringai.
"Kau tak apa-apa dengan pernikahan di kantor catatan sipil"" Tanya Simon pada Kate. "Atau kau ingin berjalan menuju altar""
"Kita bisa melakukannya di gereja jika kau ingin," kata Richard. "Meskipun aku lebih suka tidak."
"Sebuah kantor registri tidak apa-apa." Kate tidak ingin fasilitasnya.
"Kapan kau akan mengikat simpulnya"" tanya Fax.
"Secepat mungkin. Hari ini jika kita bisa. Sek
arang pergilah kalian berdua. Tunanganku dan aku memiliki hal-hal untuk dibahas."
Richard memegang tangan Kate dan menariknya lebih cepat menuju apartemen Kate.
"Mereka tidak mengucapkan selamat," gumam Kate.
"Fax cemburu. Dia naksir padamu."
Dia tidak percaya itu. Fax selalu bertanya tentang Lucy.
"Mari kita menjaga rahasia ini," kata Richard. "Tidak memberitahu siapa pun sampai selesai. Aku tahu kita belum saling kenal lama, tapi kita tak ingin orang-orang mengatakan pada kita itu terlalu cepat. Itu mungkin alasan untuk wajah kesal Fax. Dia sangat berhati-hati, mengherankan ia pernah mengambil sebuah foto."
Richard menarik Kate ke dalam pelukannya. "Kita akan menikah dan setelah itu kita akan mengadakan pesta dan mengundang teman-teman dan relasimu dan aku." Kate tahu tidak akan ada banyak teman-temannya, dan tidak ada relasi. Kate menceritakan orangtuanya sudah meninggal.
"Aku tidak ingin ribuan kerabatku ada dan tidak ada satupun dari kerabatmu." Richard membelai pipinya. "Dengan cara ini, itu hari khusus kita. Aku juga tidak ingin ibuku mengganggu. Ya Tuhan, tapi aku akan senang muncul di depan pintu orang tuaku, memegang tanganmu, memberitahu mereka kau adalah istriku. Kemana kau ingin pergi untuk bulan madu""
Kate merasa seolah-olah dia telah ditembakkan ke dalam roket dan meledak ke segala arah.
Richard meremas tangannya. "Kemana kau ingin pergi, Kate" Biarkan aku membuat impianmu menjadi kenyataan."
Bisakah dia" Pada saat itu ia tampak mampu melakukan apapun.
"Hawaii," katanya.
"Itu milikmu." Richard menyeringai.
Kate terkesiap dengan terkejut, tapi ia percaya padanya.
*** Fax mengunduh gambar ke komputer dan menatap layar, berharap dengan tekadnya sendiri, dia bisa membuat peristiwa itu tidak terjadi. Gambar pertama menunjukkan Kate tiba di kantor catatan sipil Woolwich terlihat begitu bahagia, wajahnya bersinar seperti bunga yang baru saja mekar. Fax mengambil beberapa gambar dari Kate di antara limo dan pintu. Dia bahkan berbalik di pintu masuk, menoleh ke belakang dan tertawa, seolah-olah ia telah berpose untuk kameranya, meskipun Fax merasa yakin dia tidak melihatnya.
Terutama gambar itu, antara indah dan mengerikan. Menangkap kegembiraannya, saat-saat terakhir dari kebahagiaannya. Dia bisa menghentikannya masuk ke dalam, tapi dia selalu jadi pengecut. Fax telah meyakinkan dirinya sendiri itu ada gunanya, namun sudah terlambat. Kate berpikir Richard akan menikahinya dan ia muncul dalam gaun pengantin warna gading yang menakjubkan. Kerusakan telah terjadi dan kalah atau menang taruhan tergantung pada dari sisi mana kau melihatnya. Richard adalah pecundang, tapi si brengsek itu tidak akan melihatnya.
Saat Fax menunggu di luar, suasana hatinya sempat terasa ringan oleh harapan bahwa Richard ada di dalam, atau akan muncul terlambat, karena dia mungkin belum mulai mencintai Kate, tapi mungkin dia sedang menuju ke arah jatuh cinta. Di sisi lain, Fax tahu Kate layak mendapatkan yang lebih baik daripada harus menikah dengan seorang brengsek seperti Richard Winter. Dengan cara ini, Kate akan terluka, tapi bisa bertahan hidup.
Fax mengklik foto berikutnya. Dia tak perlu menunggu setelah Kate masuk ke gedung, tapi dia menunggu. Semakin lama ia berdiri di sana ia semakin yakin bahwa Richard tidak dalam. Fax tahu tak peduli seberapa buruk ia rasakan, itu bukan apa-apa dibandingkan dengan apa yang Kate rasakan. Pasangan lain datang dan pergi, dan Fax masih menunggu karena Kate masih menunggu. Dia menelepon Richard tapi bajingan itu telah mematikan ponselnya.
Ketika Kate keluar, Fax telah mengangkat kameranya hampir seperti sebuah pelindung dan penghalang. Kate tampak lebih kecil, seolah-olah dia kehilangan sesuatu. Itulah yang telah dilakukan Richard, Fax pikir. Richard membenamkan giginya di leher Kate dan mengisap kehidupan keluar dari dirinya. Itu hampir cukup untuk membuat Fax percaya pada vampir.
Wajah Kate sepucat gaunnya. Dia bisa mendekatinya, tapi untuk mengatakan apa" Sebaliknya, Fax mengikutinya ke Greenwich, mengambil gambar mengerikan, berharap sekarang Kate berbalik, melihat dia dan mem
ukulnya sehingga rasa bersalahnya berkurang. Kate tenggelam begitu jauh di dalam dirinya, Fax pikir dia bisa duduk di sampingnya di bus tanpa bisa melihat dirinya.
Fax membuntutinya ke apartemennya. Kate mengambil kunci dari sepatunya dan masuk. Meskipun Fax terlalu pengecut untuk bicara dengannya, tapi dia tidak terlalu pengecut untuk bicara dengan Richard.
Berbekal salinan foto-foto itu, ia pergi ke apartemen Richard.
"Membawa uangmu"" Tanya Richard.
"Persetan, kau bajingan."
Richard meraih amplop cokelat dari tangan Fax dan merobek untuk membukanya. Fax menyaksikan saat ia melihat foto demi foto, mengharapkan sekilas penyesalan, berharap foto-foto itu akan memperoleh sesuatu setidaknya yang patut dihargai.
"Ya Tuhan, dia tampak agak kesal." Richard menyeringai.
Fax tersentak. "Dia lebih dari sedikit kesal, kau brengsek."
"Dia akan bisa mengatasinya."
"Kupikir kau mencintainya. Dia pikir kau mencintainya."
"Cara dia bercinta tidaklah buruk, tapi dia hanya seorang pelayan." Sebuah kilatan marah melanda Fax. "Dia lebih baik darimu, Richard."
"Kau tahu tentang kesepakatan itu. Jika kau begitu alim, kenapa kau tidak memberitahunya""
"Aku berharap aku memberitahunya."
Richard menyipitkan matanya. "Kapan kau akan membayarku"" Fax mengepalkan tangannya seperti tinju. "Aku tidak pernah setuju untuk ini, tapi aku membuat kesalahan dengan memberikanmu keuntungan dari keraguanku. Aku melihatmu dengan dia dan berpikir kau peduli. Jika saja kau memiliki sedikit kesopanan, kau akan katakan padanya kau takut atau apapun."
"Katakan Simon ia berutang padaku." Richard membanting pintu.
Fax tidak bisa berkendara dengan benar. Dia sangat gemetaran. Pada saat ia mengenakan helm, ia tahu apa yang harus ia lakukan. Menceritakan semuanya pada Lucy itu berarti ia tak pernah punya kesempatan bersamanya karena Lucy akan berpikir ia adalah seorang bajingan, tapi itu hukuman baginya karena pernah menganggap Richard Winter sebagai temannya.
*** "Dasar kau bajingan," Lucy terkesiap. "Kupikir dia mencintainya. Aku seharusnya mengatakan ini lebih awal, tapi aku benar-benar berpikir dia mencintainya." Fax bahkan tidak bisa meyakinkan dirinya sendiri.
Dia duduk di apartemen Lucy, gelisah di pinggir sofa. Dia sangat ingin duduk ditempat itu, hanya dengan Lucy dalam pelukannya, tapi sebaliknya Lucy memelototinya seakan ia tumbuh tanduk dan tumbuh ekor bercabang. Fax mengangkat tangannya dan merapikan rambut spiky-nya, memeriksa benjolan yang muncul. Bahkan ketika sangat marah dia terlihat cantik.
"Aku perlu bicara dengannya," kata Lucy, tapi dia tetap ditempat.
"Aku bisa menemanimu, jika kau pikir mungkin membantu." Sinar kematian lain menembak ke arahnya.
"Aku akan melakukan apa saja." Fax mencoba untuk tidak melihat dadanya.
Lucy mendesah. "Rachel dan Dan sedang berada di luar. Kukira kau lebih baik daripada tidak ada sama sekali." Menyedihkan namun Fax bersyukur bahkan untuk itu.
Kate berbaring dengan gaun pengantinnya, meringkuk di lantai di dalam apartemennya, nyaris tidak bisa bernapas. Dia mengambil resiko memperluas dunianya untuk Richard dan sekarang sudah tak ada tempat aman yang tersisa. Hatinya sudah diparut, cincang dan diencerkan karena dia membiarkan dirinya percaya Richard mencintainya. Dan semua yang bisa Kate pikirkan adalah bahwa ia pantas menerimanya.
Dia tersentak saat Lucy menggedor pintu.
"Kate, kau di sana""
Kate memutar ulang beberapa minggu terakhir, mencari apa yang tidak beres.
"Kate! Aku tahu apa yang terjadi. Fax mengatakannya padaku. Aku tidak percaya Richard akan melakukan itu. Tolong buka pintunya."
Menyangkal kesempatan untuk berpura-pura bahwa itu tidak pernah terjadi, jantung Kate tersendat.
"Kate, kumohon."
Betapa bodohnya untuk berpikir sesuatu telah berubah, ketika ia tidak berubah. Apakah Richard menemukan sesuatu yang begitu buruk sehingga ia tidak lagi ingin menikahinya" Napasnya macet di tenggorokannya, berhentilah. Mungkin hal itu. Tidak ada yang akan pernah menginginkannya. Kate berharap dia sudah mati, berharap jantungnya akan berhenti memompa darah.
"Kate, buka pintu ini sekaran
g," kata Lucy. Jantung Kate terpelintir seolah Richard meremas dengan tangannya. Dia menginginkan pembuluh darahnya menyusut, arterinya menyumbat, otaknya membeku.
"Kate, mari kita minum dan bicara tentang betapa brengseknya dia," panggil Fax.
"Dia seorang monster. Aku juga telah jatuh karenanya." kata Lucy.
Dan untuk sesaat, Kate benar-benar bimbang. Jatuh untuk apa"
"Fax tak pernah berpikir Richard akan melakukannya, kalau tidak dia akan memberitahumu lebih dulu. Kate, Richard sudah merencanakan ini sejak di 'Pesta Pernikahan'." Kate gemetar. Jadi Richard tidak berubah pikiran, mendapat gangguan saraf atau menemukan rahasia Kate. Dia sengaja dirayu dan kemudian mencampakkannya.
"Dia seharusnya lolos begitu saja karena mempermainkan orang-orang seperti ini," kata Lucy.
Sebuah permainan" Tidak, taruhan. Richard menyukai berjudi. Balap kuda, anjing, permainan kartu. Salah satu dari beberapa hal tentang dirinya yang membuat Kate tidak nyaman.
"Kupikir dia tidak didalam," kata Fax. "Mungkin dia pergi."
"Mobilnya ada di luar."
"Dia mungkin ingin sendirian."
Kumohon. Dia mendengarkan suara kaki menjauh dan meringkuk lebih ketat. Dibanjiri oleh gelombang rasa kekurangan yang mendalam. Kate merasa mudah percaya, itu adalah kesalahannya Richard melakukan ini padanya. Dia tidak cukup baik, cukup cantik atau cukup pintar untuk melihatnya.
Ini salahnya, bukan Richard.
Pada akhir malam tanpa tidurnya, Kate menyadari tak ada yang bisa dia lakukan untuk merubah keadaan dan hanya ada satu cara untuk melupakan semuanya.
*** Strangers Bab 3 Kisah Charlie "Kupikir punyamu lebih baik dari Robbie Williams," bisik gadis itu di telinga Charlie.
Dia menggertakkan gigi. Dia memang jauh lebih baik dari Robbie Williams.
"Benarkah"" Charlie menatap ke arahnya. Tuhan, ia tidak bisa mengingat namanya. "Lalu apa kau pernah bercinta dengan Robbie""
Dia terkikik. "Tidak, maksudku saat bernyanyi."
Charlie melempar selimut dan berdiri, telanjang bulat. "Aku tidak menyanyi lagi." Dia mencari celana pendeknya.
"Kau bisa menyanyi untukku. Kembalilah ke tempat tidur."
Charlie melirik padanya. Mengapa Charlie selalu berpikir dia akan bertemu wanita dengan watak berbeda, ketika ia terus pergi ke tempat yang sama" Dia melemparkan dirinya pada wanita dan mengatakan ya. Charlie terpaksa menjadi menarik dan seksi, pria yg diinginkan wanita di tempat tidur dan banyak laki-laki, juga. Tapi Charlie lelah bangun tidur dan bertanya-tanya siapa yang berbaring di sampingnya.
Yang satu ini sama seperti yang lain. Tubuh seksi, tapi tak punya otak. Charlie bahkan tidak bisa tidur dan tetap tak bisa mengingat namanya. Charlie berfokus pada dada gadis itu saat ia menggerakkan tangannya di sekitar payudaranya yg bulat sempurna, menunjukkan puting cokelat kecil ke arahnya, senjata pemusnah miliknya. Kemaluannya mengejang dan Charlie menjilat bibirnya.
"Tidakkah kau menginginkan aku, Charlie""
Ya dan tidak. Dia melihat ke bawah tempat tidur. Tak ada pakaian dalam tapi banyak bekas bungkus kondom. Dia meringis. Charlie menyerah, meraih celana jins dan akan segera pergi, menarik risletingnya dengan hati-hati. Si jalang itu mungkin menyembunyikan celana pendeknya sehingga dia bisa menjualnya di eBay. Ini bukan yg pertama kalinya terjadi.
"Charlie""
"Maaf, aku punya pekerjaan pagi-pagi besok," katanya berbohong.
"Punya kokain lagi"" Dia berbaring, mencubit putingnya yg sekeras berlian dengan jari gelisah.
Charlie bertanya-tanya apakah payudaranya palsu karena mereka begitu sempurna. Dia tidak melihat bekas luka, meskipun ia pernah mendengar ahli bedah bisa membuatnya di bawah ketiakmu. Charlie memiliki minat yang samar-samar untuk memeriksa, tapi tak ingin gadis itu berprasangka buruk, lagipula dia tampak terlalu muda untuk memiliki operasi semacam itu. Dia tampak sangat muda. Sial.
"Berapa umurmu lagi""
"Enam belas. Apa kau pikir aku cukup besar"" Dia meremas payudaranya.
"Ya, kau hebat." kata Charlie. Ya Tuhan, enam belas!
Ia merogoh ke dalam kemejanya dan menarik bungkus foil dari sakunya. Dia melemparkannya ke perutnya yang rata, mencari sepatu
nya, dan teringat meninggalkannya di lantai bawah.
"Seks yg hebat, terima kasih banyak." katanya dan meninggalkannya tanpa menengok ke belakang.
Pesta di lantai bawah masih berlangsung meriah, diiringi oleh kata-kata yg dipakai oleh dua pria setengah telanjang dan satu wanita telanjang berpelukan di sofa, tapi Cherlie sudah cukup. Dia mencari sepatunya dan pergi.
Tidak sampai hari berikutnya, ketika Charlie mendengar pembaca berita di TV mengatakan, ia ingat namanya. India Westerby. Umur enam belas tahun. Dalam keadaan koma setelah pesta di rumah Justin Denton, vokalis dari "Blast". Pikiran pertama Charlie adalah, terima kasih Tuhan dia benar-benar enam belas, kemudian, untunglah itu terjadi setelah ia pergi, dan kemudian, astaga, apakah dia telah melakukan itu" Dia menatap bungkus kokain di jari-jarinya, berpikir tentang memakainya dan melemparkannya di toilet. Gadis malang, pikirnya, dan dia pun muntah.
Justin tidak menjawab teleponnya sampai sore harinya.
"Apa yang terjadi semalam"" Hati Charlie berdetak begitu keras dan cepat, ia membayangkan bahwa itu adalah awal dari serangan jantung. Itu pantas dia dapatkan.
"Ya Tuhan, itu menjadi mimpi buruk. Aku naik ke lantai atas sekitar jam tiga pagi ini dan menemukannya di tempat tidur, kokain dan darah di seluruh wajahnya. Brian Jackson berada di sudut, meracau seperti bayi. Aku harus menelepon polisi. Brian mengaku ia yg memberinya kokain dan mereka menangkapnya. Ya Tuhan, aku sangat kacau. Rumahku." Ratap Justin.
Charlie berusaha menelan gumpalan di tenggorokannya dan gagal. "Apakah polisi ingin tahu yang ada di sana""
Jeda itu mengatakan segalanya.
"Aku harus, sobat. Semua orang melihatmu. Kau dengan dia walaupun sebentar."
"Umm." "Jangan berbelit tentang hal itu. Dia turun ke sini menari tanpa pakaian setelah kau pergi, mencelupkan payudaranya di Grand Marnier dan membiarkan setiap orang mengisapnya. Dasar jalang bodoh.
Manajerku sudah kembali. Aku harus pergi."
Tangan Charlie bergetar saat ia meletakkan gagang telepon. Brian Jackson, drummer dari "The Flakes" mungkin telah memberikan India kokain, tapi dia juga. Paket itu memiliki sidik jarinya di atasnya. Celana pendek terkutuknya masih di dalam ruangan itu. Mungkin. Apakah ia sudah membilas kondomnya" Charlie tidak bisa ingat. Dia ingin muntah. Dia orang yang menyedihkan. Dia bisa saja membunuh gadis itu dan semua yang bisa dia pikirkan hanya menyelamatkan diri sendiri. Isi perutnya naik ke mulutnya lagi dan ia bergegas ke kamar mandi.
Ketika ia melihat ke cermin, Charlie tidak mengenali orang yang balas menatapnya.
Semua orang terus bilang wajahnya luar biasa, tapi dia tampak seperti sampah. Lingkaran hitam membingkai matanya yang merah dan kulitnya pucat, meskipun berminggu-minggu menghabiskan syuting di gurun Arizona. Dia butuh bercukur. Napasnya akan membuat bunga layu.
Demi Tuhan, enam belas tahun" Charlie merasa seperti bencana yang hidup. Berapa banyak kehidupan lagi yang akan dia hancurkan"
Charlie berusaha untuk tersenyum pada sekretaris dari agennya, tapi ketika Alicia tidak akan melihat ke arahnya, ia tahu ia berada dalam masalah. Alicia menelepon untuk memberitahu bahwa Ethan ingin menemuinya
sekarang dan Charlie bertanya-tanya bagaimana Ethan tahu dia ada di pesta itu. Tapi kemudian Ethan seperti Dewa. Dia tahu segalanya. Dia telah menjadi agennya sejak awal dan teman yang paling dekat yang Charlie punya.
"Langsung masuk," kata Alicia.
Ethan Silver berdiri menatap keluar jendela ketika Charlie membuka pintu.
Agennya berusia empat puluhan, lebih tinggi dari dia, dengan rambut abu-abu pendek mulai menipis.
"Maaf," kata Charlie, cara terbaik untuk membuka percakapan dia dengan siapa pun.
Ethan berbalik dan Charlie menelan ludah. Rahang Ethan tegang, matanya menyipit hitam karena marah.
"Aku ingin membunuhmu, kau banci bodoh sialan." Suara Ethan awalnya lembut tapi pada akhir kalimatnya dia berteriak.
Dia melangkah melintasi ruangan dengan dasinya yang miring, wajahnya memerah. Dia berhenti di depan Charlie dan Charlie meringis.
"Apa-apaan yang terjadi denganmu" Apa kau punya otak"
Jangan menjawab pertanyaan itu. Tahukah kau bahwa kau kehilangan sel-sel otak setiap kali kau bersetubuh" kau benar-benar membuat hidupmu berantakan!" teriak Ethan.
"Hitung sampai sepuluh perlahan-lahan. Kurasa itu membantu." kata Charlie.
Ethan mendengus jijik dan kembali ke mejanya merosot di kursinya. Dia menunjuk ke jok rendah kulit hitam diseberangnya. Charlie duduk.
"Benar delapan, sembilan, sepuluh. Kau masih banci tolol. Seolah-olah pekerjaanku tidak cukup membuat stress tanpa berurusan dengan orang-orang bodoh."
Ethan mematahkan pensilnya jadi dua dan Charlie menekan dirinya ke kursi. Dia tahu Ethan telah memilih kursi semacam itu sehingga ia menjulang tinggi di atas siapa saja yang duduk di sana. Seolah-olah orang ini tidak cukup mengintimidasi. Ethan mengambil pensil lain dan mematahkan yang itu juga.
"Apa kau tahu mengapa aku mematahkan pensilku, Charlie"" Charlie menggelengkan kepalanya.
"Karena meskipun mematahkam lehermu akan memberiku rasa kepuasan yang lebih besar, aku akan dikirim ke penjara karenanya."
Charlie tetap tenang. "Aku tak tahu apa yang salah denganmu. Itu adalah bagian tersialmu." Kabut hilang dalam sekejap. Dan Charlie agak lega. Ethan tak tahu tentang dia dan India. "Aku tidak memahaminya""
Charlie tetap tenang. "Aku tak tahu apa yang salah denganmu. Itu adalah bagian tersialmu." Kabut hilang dalam sekejap. Dan Charlie agak lega. Ethan tak tahu tentang dia dan India. "Aku tidak memahaminya""
"Tentu saja kau tidak akan memahaminya," teriak Ethan.
"Oke." "Apa cuma itu yang bisa kau katakan""
"Apa yang kau ingin aku katakan""
"Kau adalah idola, Charlie. Yang harus kau lakukan hanya berjalan ke ruangan dan pamerkan senyummu. Betapa sulitnya itu"" Charlie membuka mulutnya dan menutupnya lagi.
"Rupanya kau mabuk, teler dan kasar. Apakah ada yang terlewat"" Ethan bangkit dari kursinya dan mondar-mandir lagi.
Charlie merasa seperti tikus yang dimainkan oleh kucing. Setiap saat Ethan bisa mengunyah dan menelannya. Memori Charlie saat audisi agak kabur. Mabuk, sedang tinggi dan kasar menyelimutinya. "Tidak," katanya. "Kau tidak melewatkan apapun." Ethan menggeretakkan giginya.
"Kau akan merusak perawatan gigimu."
"Kau beruntung aku tidak merusak milikmu." Ethan menendang keranjang sampah kertas langsung ke pintu.
Charlie melompat karena suara berisik dan sakit kepalanya berkobar lagi.
Alicia bergegas masuk "Apa anda baik-baik saja, Mr. Silver""
"Kau dipecat," kata Ethan.
Dagunya goyah, ia larut dalam air mata dan lari pergi.
"Untuk apa itu"" Tanya Charlie.
"Wanita itu tak berguna. Aku sudah muak dengan orang tidak berguna. Aku membutuhkan pekerjaan yang berbeda. Sebuah karir dengan perubahan besar. Tapi malah mencoba menemukan pekerjaan untuk banci sepertimu, mungkin aku harus mengambil pekerjaan yang tidak membuat stres, seperti bekerja sebagai asisten pribadi Naomi Campbell."
Charlie tidak berani tertawa. "Maaf." gumamnya.
"Berubahlah, Charlie, atau kau keluar. Aku bukan menjadi agen seorang pecundang."
"Aku bukan pecundang." Dia pikir ini bukan waktu yang tepat untuk memberitahu Ethan tentang India.
Ethan duduk lagi, suaranya bersahabat. "Dengar, Charlie. Aku tak ingin kehilanganmu sebagai klien. Aku tahu kau adalah tambang emas pertama kali aku bertemu denganmu, tapi emas itu tenggelam lebih dalam dan dalam lagi dan lama-lama tidak akan bisa diakses." Charlie mengangguk, berusaha terlihat menyesal.
"Aku ingin kau kembali ke jalur yang benar, Charlie. Dan jika aku tidak bisa melakukannya dengan peran seumur hidup, bagaimana aku bisa melakukannya""
*** Charlie pergi dengan marah. Ethan sangat marah dengannya dan Charlie sangat marah dengan dirinya sendiri. Bukan seolah-olah ia ingin menghancurkan hidupnya. Setelah menyerah dengan karir yang sangat sukses sebagai penyanyi/penulis lagu, Charlie pernah ikut ambil bagian dalam beberapa film yang nyaris tidak berhasil untuk dirilis umum, sampai ia mendapat waktu istirahatnya. Dia baru saja menyelesaikan peran utama pertamanya dalam produksi Steven Spielberg dan ia telah berhasil. Steven bilang begitu. Film ini dijadwalk
an keluar dalam beberapa bulan lagi, tapi rumor itu sudah beredar bahwa film ini bisa menang Oscar. Mungkin bukan untuk Charlie, tapi dikaitkan dengan sebuah film pemenang penghargaan akan melambungkan karirnya.
Di samping karya Charlie untuk Spielberg, Ethan mengatur audisi untuk sebuah film di mana ia akan jadi aktor utamanya. Itu adalah sebuah proyek dari salah satu studio besar di Amerika dan Charlie tidak cukup mampu untuk percaya. Film itu sementara berjudul The Green, tentang seorang pria yang istrinya telah dibawa ke dunia paralel. Setelah Charlie membaca naskah dia menginginkannya, dia pikir dia seperti itu dan dia akan mengacaukannya. Tak ada kejutan di sana.
Charlie memutuskan dia butuh hiburan, sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dari masalahnya. Ponsel Jen dimatikan sehingga ia menelpon ke rumahnya, berharap bukan ibunya yg mengangkat.
Arabella, adik Jen, menjawab. "Jen sedang keluar, belanja. Tidak akan lama. Ingin datang dan menunggu""
"Ya, baiklah," keluar dari mulutnya, saat ia seharusnya mengatakan tidak. Sudah menjadi kisah hidupnya.
*** Charlie menatap wanita yang berbaring telanjang disampingnya di tempat tidur. Arabella memancarkan seringai puas di wajahnya. Lalu ia melihat dua wanita berdiri di ambang pintu. Salah satunya adalah ibu Arabella, Veronica dan yang lain adalah adik Arabella, Jennifer. Sekarang dia sudah meniduri ketiganya.
"Kupikir sudah waktunya aku pergi." Charlie berdiri, tak peduli kalau ia telanjang dan masih keras. Ia meraih celana pendeknya.
Veronica memelototinya dan Jen menangis tanpa suara, air mata besar membasahi pipinya.
"Maaf, Jen." gumamnya, berpakaian secepat yang dia bisa.
"Kau akan menyesal, dasar kau bajingan kecil." desis Veronica. "Suamiku akan memastikan kau tak akan pernah "
"Bekerja di kota ini lagi"" Charlie tidak bisa menahan seringainya. Ia melangkah dan mendekatkan wajahnya ke Veronica. "Mungkin dia akan mempertimbangkannya lagi, jika aku menawarkan untuk memberitahu koran Sunday tentang kinky sex yg dinikmati istrinya dan bagaimana tiga puluh menit yang lalu, tangan putri bungsunya terjebak di celanaku sementara aku berdiri di depan pintu. Mungkin tertangkap di kamera CCTV-mu. Jika kau melihatnya di The UK's Funniest Videos, gunakan bagianku untuk membeli sendiri beberapa krim penghilang keriput."
Charlie tersenyum meminta maaf pada Jen yang mulutnya menganga dan dia pun lari menghilang.
"Keluar," Veronica terengah.
Charlie melarikan diri selagi ia masih bisa.
Dia berbuat bodoh lagi. Dia menyukai Jen. Well, dia mulai menyukainya, sampai Jen menempel terus padanya, namun ayahnya bukanlah orang yang ia butuhkan untuk dibuat berang. Malcolm Ward memimpin perusahaan musik yang mengontrak Charlie. Dia tak akan senang jika ia mendapat kabar seberapa baik Charlie mengetahui semua wanita dalam rumah tangganya. Dan jika Ethan tahu, dia akan membunuhnya. Maksudnya ketika ia menemukannya, Charlie mengoreksi. Jadi dia sama saja sudah mati. Sial.
Charlie bahkan belum sampai ke apartemennya ketika Ethan meneleponnya.
"Apa kau tak mampu menjaga kemaluanmu tetap di celanamu" Kau baru saja menyelesaikan film yang akan membuatmu menjadi bintang besar dan kau membuangnya begitu saja. Apa yang terjadi denganmu" Apakah seseorang sudah menekan tombol penghancuran dirimu"" Charlie memutuskan telepon Ethan ditengah-tengah sumpah serapahnya dan menelpon Justin.
"Mau minum""
*** Charlie sudah mabuk saat Justin sampai di sana. Sekelompok gadis berdiri di bar, menghasut satu sama lain saat Charlie menatap mereka. Justin membawa beberapa botol dan bergabung di mejanya.
"Jangan buang waktumu dengan mereka. Mereka semua tidak menarik." kata Justin.
"Karena mereka tidak memperhatikanmu"" Lanjut Charlie dengan mata menggoda ke salah satu gadis jelek untuk membuat panas yang lain.
Justin menggeleng. "Jika kau mengedipkan mata pada sebuah patung, patung itu tetap akan basah di antara pahanya."
Charlie tersenyum, lalu berbalik dan mengambil sendiri salah satu rokok Justin.
"Kupikir kau sudah berhenti"" Tanya Justin.
"Berhenti membelinya, bukan menghisapnya."
"Kau ak an membuat kita diusir jika kau merokok di sini."
"Tidak sampai aku menyedot beberapa hisap."
Charlie melihat mata Justin fokus pada suatu tempat di atas bahunya dan berbalik untuk melihat salah satu gadis jelek menatapnya, matanya terbuka lebar dalam kegembiraan. Gadis itu hidungnya pesek, semua tergencet ke dalam wajahnya, dengan mata sipit kecil dan berkeriput.
"Bolehkah aku minta tanda tanganmu"" Gadis itu menawarkan alas bir.
"Enyahlah," kata Charlie.
Dia mendengar gadis itu terisak saat melarikan diri kembali ke teman-temannya.
"Buat apa yang kau lakukannya"" Justin menatapnya.
"Dia tidak bilang please."
"Kau benar-benar bajingan brengsek."
Dia memang brengsek. Dia tak peduli. Dia tak peduli tentang apa pun. Itulah masalahnya.
"Dengar-dengar India meninggal karena overdosis," kata Justin pelan. "Cukup banyak kokain dalam tubuhnya untuk membuat kau dan aku teler selama seminggu."
"Sial." "Bagaimana kalau memberiku tanda tanganmu""
Charlie berbalik lalu melihat salah satu teman si gadis jelek. Wajah cantik, berlesung pipi, mata sayu.
"Tentu." Dia tersenyum.
"Angkat rokmu."
Saat Charlie menulis di pahanya, gadis itu menjerit dengan gembira. Charlie menyerahkan kembali pena dan menepuk pantatnya.
Sesaat kemudian, ada raungan kemarahan.
"Apa yang kau tulis"" Tanya Justin.
"Robbie Williams."
"Dasar brengsek. Ingin pergi ke klub""
"Kenapa tidak""
Namun Charlie bisa memikirkan ratusan alasan bilang mengapa tidak. Yang terbesar adalah ia lelah karena tak mampu menjadi dirinya sendiri. Dia tidak semudah itu pergi ke klub kalau tidak direcoki. Semua orang ingin menjadi bagian dari dirinya. Mereka memiliki gambar Charlie Storm pada ponsel mereka, di dinding mereka, dalam hati mereka. Mereka tahu rincian tentang tubuhnya hampir lebih baik dari dirinya sendiri tinggi, berat badan, kerah dan ukuran sepatu, golongan darah, lokasi yang tepat dari setiap bekas luka. Dia milik mereka. Dia kadang-kadang merasa dia hanya ada karena mereka dan Charlie membenci hidupnya dan membenci dirinya sendiri.
*** Charlie pulang naik taksi. Menjadi dewa seks sangatlah melelahkan. Dia tahu itu terdengar menyedihkan, tapi saat ia menyukai perempuan, senang pergi keluar dengan mereka, senang meniduri mereka, bagian dari dirinya bosan dengan itu semua. Wanita pemangsa berkerumun di sekelilingnya seperti lalat pada mayat dan itulah yang ia rasakan kadang-kadang, seperti mayat.
Dia memiliki begitu banyak surat dari wanita yang mengemis untuk tidur dengannya dan ia bisa melapisi seluruh rumah dengan surat itu dan bersetubuh dengan wanita yang berbeda setiap hari selama bertahun-tahun, mungkin selama sisa hidupnya. Banyak yang ingin memiliki bayi darinya. Charlie selalu membawa kondom dan membiarkan staf Ethan mengurusi surat-suratnya sekarang.
Yang lucunya adalah dia tidak tidur dengan wanita sebanyak yang orang pikir. Misalnya, ia tidak meniduri Jody Morton, wanita pemeran utama di film Spielberg, meskipun rumornya bertentangan bahwa sudah jelas dia tertarik untuk memiliki Charlie, di luar atau di dalam trailernya. Gagasan digigit ular sudah cukup untuk menindihnya untuk terakhir kali. Jody memiliki tubuh yang luar biasa, tapi dia terlalu intens. Charlie telah berusaha membuktikan sesuatu pada dirinya sendiri dengan tidak tidur dengannya, jadi ia melampiaskan hasratnya pada gadis juru riasnya dan salah satu asisten produksi.
Meskipun ia tahu ia brengsek, Charlie menolak desakan Ethan bahwa ia perlu mencari psikiater. Dia tak perlu bicara tentang hal itu karena Charlie tahu apa masalahnya. Dia tidak dicintai. Tentu, wanita mengatakan mereka mencintainya, tapi mereka mencintai ide tentangnya, wajahnya, Charlie dengan gitarnya menyanyikan lagu Angel Eyes, Just One Look atau Fade Away.
Itu yang mereka cintai dan Charlie di dalam layar. Bahkan ketika dia adalah seorang bajingan, bukan Charlie yang sebenarnya karena mereka sama sekali tidak mengenalnya. Jika tidak, mereka akan lari berteriak ke arah lain. Dia tidak layak untuk dicintai. Dia tidak layak untuk hidup.
Charlie hanya merasa lebih baik ketika ia mabuk atau teler atau dua
-duanya karena itu membuatnya berhenti berpikir. Dia sangat membenci hidupnya sampai itu membuatnya takut.
Saat dia berjalan ke rumahnya, telepon berdering. Hati Charlie melonjak. Itu pasti jelas berita buruk.
"Kita selesai." kata Ethan.
"Apa"" "Kau dengar aku. Semuanya sudah berakhir."
"Kau membuang aku"" Charlie mengamuk pada agennya.
"Aku tidak tahu siapa yg aku wakili lagi, Charlie. Kau bukan orang yang sama yang aku kenal."
"Kumohon, Ethan. Aku akan berusaha lebih keras."
"Ini tak akan berhasil. Setiap kali aku mencoba untuk membantumu, kau mengacaukannya. Bahkan psikiater tak bisa merubah kelakuanmu."
"Aku bukan maniak."
"Itu masalah opini," kata Ethan. "Jika kau ingin mencoba psikiater lain, aku akan merekomendasikan satu, tapi kau harus bicara dengan mereka, Charlie, bukannya duduk di sana menatap karpet."
"Itu seharusnya menjadi rahasia."
"Mengatakan padaku kau tak akan bicara bukanlah melanggar janji."
"Jika aku mencari psikiater lain, kau tidak akan mengeluarkanku"" Kata Charlie. "Komohon." Dia tahu dia terdengar putus asa dan ia membenci dirinya sendiri untuk itu, tapi ia benar-benar putus asa. Tanpa Ethan, dia kacau.
"Tidak." kata Ethan.
"Katakan kau akan memikirkannya lagi," tanya Charlie.
"Tidak." Kemarahan bangkit dalam dirinya seperti gelombang pasang, merebus, meluap, memuntahkan dari mulutnya.
"Ethan, kau adalah, banci egois sialan."
"Persetan, Charlie. Aku sudah melakukan yang terbaik untukmu. Tapi Veronica Ward dan anak-anaknya" Demi Tuhan, apa yang kau pikirkan" benahi dirimu."


Strangers Karya Barbara Elsborg di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau membutuhkan aku," kata Charlie putus asa. "Aku membayar hipotek rumah sialanmu di Mayfair. Aku yang membayar mobilmu. Aku sudah membelimu."
"Aku telah menciptakan seorang monster." Ethan tertawa.
"Ketika aku bunuh diri, aku akan menyebutmu dalam pesanku," teriak Charlie.
"Kau tak akan bunuh diri, Charlie."
"Kita lihat saja nanti."
Charlie mematikan teleponnya, melemparkannya ke seberang ruangan dan merosot di sofa.
Apakah Ethan benar" Bukankah ia bahkan tidak punya nyali untuk melakukan itu" Charlie tidak mengerti bagaimana segala sesuatu sudah tepat dan kemudian jadi begitu salah.
Setelah ia dan band-nya tampil di sebuah acara serikat buruh karena bantuan seorang pria dari EMI, mereka menjulang seperti roket. Ketika Charlie jatuh dengan yang lain, terutama Jed, drummer yang arogan, dan memutuskan untuk solo karir, Charlie menuju ke galaksi lain, sedangkan sisa temannya tetap tinggal di planet yang sama. Kemudian, begitu ia sampai di sana, ia kehilangan minat.
Charlie masih suka menulis lagu, tapi dia tak lagi ingin bernyanyi di depan penonton. Dia telah mengikuti festival besar seperti Glastonbury dan Reading. Dia mengisi acara di Pusat Pameran Nasional. Dia lebih sukses di Amerika dibandingkan Robbie dan tanpa melepas pakaiannya, tapi itu tak pernah cukup.
Charlie selalu menyukai akting. Dia berada di semua acara produksi sekolah. Dia suka berpura-pura menjadi orang lain. Mengingat kata-kata untuk bicara, ia bisa merasakan mereka, menggulung mereka di dalam mulutnya, mengeluarkannya, menari-nari, lalu meniup mereka keluar. Dia bisa menyihir, jijik atau merayu. Tiga menit sebagai pembunuh dalam film pertamanya sedikit berbeda dengan peran Romeo anak sekolahan, tapi Charlie ketagihan dan menemukan dia bagus berperan jahat. Tak ada kejutan di sana. Selanjutnya, ia dibayar untuk memperkosa, membunuh dan memutilasi bukan berarti ia bisa memberitahukan itu pada seseorang, terutama pada psikiater Ethan. Mereka benar-benar akan berpikir dia gila.
Telepon rumah berdering dan ia melirik layar pemanggil. Ia berharap untuk Ethan, tapi itu bukan nomor yang ia tahu.
"Simon Baxter dari 24/7 mencari tahu reaksi anda terhadap klaim yang menyatakan bahwa anda menyuplai kokain untuk pesta Justin Denton."
"Apa"" "Kau menyangkal""
Charlie membanting telepon. Telepon itu berdering lagi hampir seketika. Kali ini seorang reporter dari The Sun.
"Ada komentar tentang gadis empat belas tahun, India Westerby" Sumber mengatakan "
Charlie menyeret tali teleponnya dari dinding. Empat belas" Mereka bilang enam bela
s. Itu sudah cukup buruk, tapi empat belas" Bagaimana bisa gadis itu hanya berumur empat belas tahun" Dia berlari ke kamar mandi dan muntah sebelum ia mencapai toilet. Dia muntah-muntah dan menangis pada saat yang sama, berbaring di lantai ubin-marmernya yang indah, diselimuti air mata dan muntah dan merindukan ibunya, hanya saja dia tidak bisa mendapatkannya karena dia sudah mengacaukannya juga.
Lalu ia mendapati dirinya sedang mencari simpanan yang digunakan dalam konsisi "benar-benar darurat" dan kemudian melemparkannya ke dalam panci dan menyiramnya sebelum ia berubah pikiran. Polisi bisa datang dalam beberapa menit. Dia harus menggunakan otaknya, bukannya mengeluarkannya.
Semua sudah menjadi miliknya. Menurut Ethan, Charlie nyaris berada pada titik menjadi bintang pujaan paling digilai di belahan bumi barat dan dia membuang semuanya.
Pikirannya sakit karena stres mencoba untuk mencari tahu apa yang harus dilakukan, cara untuk membuat segala sesuatunya jadi benar.
Pada akhir malam tanpa tidur, Charlie menyadari tak ada yang bisa ia lakukan untuk merubah keadaan dan hanya ada satu cara untuk melupakannya.
*** Strangers Bab 4 Charlie menjerit ketika jari-jari kakinya menggesek sesuatu dan rasa takutnya membuat Kate panik. Kate menjerit dan menendang-nendang.
"Oh Tuhan, apa itu hiu"" Teriak Kate.
Pasir bergeser di bawah kakinya dan Charlie mendesah. "Turunkan kakimu ke bawah." Kate tersentak lega. "Oh Tuhan."
Charlie melihat perjuangan Kate melalui gelombang dan terjatuh ke pantai.
"Kita berhasil," teriaknya dan berbalik untuk mencari Charlie. "Apa yang kau lakukan""
"Kembali lagi mengambil pakaianku. Di sini lebih hangat daripada di luar sana." Mungkin saja benar. Meskipun bukan itu alasan dia tetap berada di laut. Charlie meninggalkan pakaiannya di pantai, termasuk celana boxernya, meskipun ia berharap ia terus memakainya. Beberapa kali ia merasa ada sesuatu yang menyapu kemaluannya dan sementara itu ia tidak keberatan di makan ketika ia sudah mati, ia menolak pada apapun yang akan memakannya jika dia masih hidup, terutama jika diawali pada bagian tubuhnya yang mencuat. Bukan berarti miliknya mencuat sejak ia memasuki air. Memikirkan hiu saja sudah membuat kejantanannya ketakutan dan menyusut dengan cara yang dia pikir tidak mungkin secara fisik.
Kate berdiri dengan tangan memeluk tubuhnya. Charlie bisa melihat kakinya gemetar.
Angin berhembus melintasi pasir, mendera pergelangan kakinya. Yang ia kenakan sekarang hanya kemeja putih,
menempel di kulitnya. "Di sana," teriak Charlie di atas suara ombak dan menunjuk ke kiri.
Saat ia berenang paralel ke pantai, ia tahu Kate mengawasinya. Jika ia berbalik dan kembali ke laut, Kate akan mengikuti.
Charlie mengenali tempat di mana ia meninggalkan pakaiannya, di sebuah semak berduri yang luas di belakang pantai. Air laut menyeret pakaiannya tidak jauh dari tempat asalnya.
"Barang-barangku di atas sana," teriak Charlie. "Teruslah jalan."
"Kenapa" Apa kau tidak mengenakan apapun""
Charlie menyeringai malu. "Semuanya menyusut dalam air dingin. Aku tak ingin kau mendapat kesan yang salah terhadap kejantananku yang luar biasa."
Ia juga memiliki ketakutan yang tak masuk akal jika tiba-tiba fotografer dengan lensa kamera yang kuat mungkin bersembunyi di bukit-bukit pasir, siap untuk membidik pada saat kemaluannya tidak dalam keadaan terlalu mengesankan. Mereka semua telah mendapat pelajaran Jude alfresco strip dan, sejujurnya, Charlie tidaknya mengira kemaluan Jude berukuran dibawah rata-rata, tapi itulah pers untukmu.
Kate menemukan pakaiannya dan berjalan kembali ke dalam air membawa celana pendek sutra hitam.
"Itu basah." kata Charlie jijik.
"Sekarang hujan."
Kate kembali mengarungi ombak dan merosot di atas pasir. Beberapa saat kemudian, Charlie jatuh di sampingnya.
"Ya Tuhan, kita hampir tenggelam." katanya, dengan suara yang serius.
Kate mulai tertawa. Begitu pula Charlie dan dia tidak bisa berhenti. Mereka berbaring, menggigil, terpercik dengan pasir, kehujanan dan terus tertawa. Charlie meraih tangan Kate. Jari-jari mereka terjalin dan berpeganga
n erat-erat dan mereka berbaring bersama, dingin, basah dan masih hidup.
Charlie memutar kepalanya ke arah Kate dan menunggunya untuk berpaling padanya. Ketika ia melakukannya, Charlie berbicara. "Jadi."
"Jadi apa""
"Apa kau tidak bertanya padaku apa yang aku lakukan di luar sana""
"Bukan urusanku."
Charlie tertawa singkat. Segala sesuatu yang Charlie lakukan adalah urusan semua orang.
"Kau tahu siapa aku." Itu bukan pertanyaan. Tentu saja dia tahu.
Alis Kate berkerut. "Tidak, meskipun kau terlihat tidak asing." Charlie tersenyum. Dia tidak percaya padanya.
"Apakah kau tinggal di dekat sini""
"London." "Tepatnya""
"Greenwich." "Itu lebih dekat daripada Islington. Mau mengundangku"" Ketika Kate tidak menjawab, Charlie melanjutkan, "Semua kejadian tadi membuatku lapar."
"Seharusnya aku tidak bicara dengan orang asing. Kau bisa saja seorang pembunuh." Mereka tertawa lagi.
Persetan, aku masih hidup. Aku senang.
Charlie duduk sambil mengerang dan berdiri. Ia menarik Kate padanya. Mereka berdua gemetaran, gigi mereka bergemeletuk. Charlie menatapnya. Dia menduga Kate berusia pertengahan dua puluh, beberapa tahun lebih muda darinya. Dia tinggi dan kurus, rambutnya gelap merah-kebiruan lebih pendek darinya. Telinganya mencuat sedikit dan agak ke atas seperti peri. Saat Kate memalingkan wajah pucat dan mata gelapnya, dia merasakan tarikan akrab di pangkal pahanya. Kemaluannya hidup kembali. Dia menunduk dan melihat kaki Kate.
Kakinya panjang sekali. "Jadi kau bukan kuda nil," kata Kate.
"Apa"" Charlie kembali melihat ke wajahnya.
"Aku menghabiskan beberapa jam terakhir hanya dengan melihat kepala dan bahumu. Aku tahu kau berambut gelap berantakan dan mata besar yang sedih, tapi aku bertanya-tanya apa tubuhmu gemuk, kurus, berekor, bersirip""
"Aku berpikir kau adalah seorang putri duyung seksi dan kau pikir aku adalah kuda nil gemuk" Aku tersinggung."
"Mungkin aku suka sesuatu tentang kuda nil."
"Jadi, apa kau melihat seekor kuda nil"" Tanya Charlie, membuka lengannya.
Kate melihat ke arahnya. "Seekor kuda nil anoreksia."
Charlie tersenyum. "Lalu, bagaimana kalau kita minum""
Charlie mengambil pakaian dan sepatu botnya yang basah.
Kate mulai berjalan. "Aku bisa jadi penumpang," katanya, ketika Kate tidak menjawab.
Kate menghela napas. "Mungkin aku juga. Aku meninggalkan kuncinya di dalam mobil. Seseorang pasti telah membongkarnya."
Ketika mereka sampai di tempat parkir, hanya ada satu mobil di sana. Sebuah mobil rongsok merah yang berbaur dalam segala macam karat yang kompleks. Charlie nyaris berharap seseorang telah membongkar mobilnya, tapi Kate langsung menuju ke situ. Matahari terbit dan mobil itu tampak lebih buruk lagi.
"Aku tidak terkejut mobil itu masih di sini." kata Charlie.
"Jika kau berkata kasar tentang mobilku, kau bisa melupakan tentang mendapat tumpangan." Kate masuk dan membanting pintu. Charlie meringis, menunggu pintu itu copot. Dia masuk ke kursi penumpang dan membuang sepatu dan pakaian basah di kakinya.
"Istana di atas roda, untuk memastikan. Ini pertanda." Charlie menggunakan aksen dari film terakhirnya.
"Ada apa dengan aksen yang aneh"" Tanya Kate.
Dia mengerutkan kening. "Hei, aku berpura-pura menjadi orang Irlandia."
"Untuk apa""
Apakah dia benar-benar tidak tahu siapa dia"
"Jadi, jika kau tidak datang dengan mobil, bagaimana kau bisa sampai di sini"" Tanya Kate.
"Kereta ke St.Dimana-ke-yang-lain, lalu berjalan."
Saat Kate menyalakan mesin, kakinya terpeleset dari pedal gas. Mobil meraung dan macet. Charlie menahan tubuhnya dari dashboard.
"Maaf, kombinasi jari kaki beku dan tidak pakai sepatu," kata Kate sambil tersenyum.
"Berusahalah untuk tidak membunuh kita," katanya.
Mereka saling memandang dan keduanya terkikik.
Dalam kehangatan mobil, Charlie tertidur. Kate terus melirik padanya. Sekarang wajahnya santai, dia tampak tidak asing, tapi Kate tidak mengenalnya. Apakah dia terkenal" Kate cenderung untuk tidak melihat orang-orang di wajah, terutama pria. Lebih baik tetap menundukkan kepala, memikirkan urusannya sendiri. Mungkin Charlie pernah ke Crispies, kaf
e tempat Kate bekerja. Mungkin dia tahu Richard. Kate mengalami kram kepanikan sesaat bertanya-tanya apakah dia adalah salah satu teman Richard dan kemudian momen itu berlalu. Murni kegilaan. Richard sudah menunjukkan dia tidak peduli pada Kate. Mengapa ia mengirim orang untuk mengikutinya"
Kepala Charlie bersandar di jendela. Mulutnya menganga dan Kate bisa melihat ujung giginya sangat putih. Dia lebih tua dari Kate, tapi tampak lebih muda sekarang. Tidak cemas lagi. Bocah kecil yang hilang. Akan tetapi dia bukan seorang anak kecil, tapi seorang pria. Seorang pria tampan. Kate tidak tahu apapun tentangnya, namun mereka telah berbagi pengalaman yang lebih intens daripada kebanyakan pasangan pernah melakukannya. Mereka tidak akan bertahan tanpa satu sama lain dan dengan sebuah keberuntungan. Itu semacam ikatan yang aneh. Mungkin semakin cepat mereka pergi sendiri-sendiri, semakin baik.
Menjelang sore, mereka terperangkap pada kemacetan kota. Selama sepuluh mil terakhir, mesin masih bertahan hidup mengendus tangki bensin. Kate tidak punya uang untuk membeli bahan bakar. Tasnya tertinggal di apartemen. Dia berpikir panjang dan keras supaya bisa mengganti mobilnya.
Itu adalah jaring pengaman yang mahal. Ketika dia pagi itu, ia berencana menggunakan kendaraannya untuk menabrak dinding. Ide yang tidak akan berhasil setelah dia menyadari dia mungkin akan berakhir terluka, mungkin lumpuh dan orang lain mungkin akan terluka. Dia butuh ide lain.
Jadi dia mengabaikan semua dinding dan terus mengemudi sampai ia mencapai pantai. Kemudian dia mengagumi kecocokan tertentu pada lautnya. Dia bisa bersembunyi selamanya. Ide bertubrukan dengan maniak bunuh diri yang lain tak pernah masuk dalam kepalanya.
Semakin dekat dia ke Greenwich, Kate menjadi lebih cemas, suasana hatinya tenggelam lebih cepat dibanding Titanic. Sekarang dia kembali Lucy, Dan dan Rachel ingin bicara dengannya tentang pernikahan yang tidak terjadi. Mungkin ia akan kembali ke pantai besok dan mencobanya lagi. Toh, tidak ada yang berubah. Hidupnya masih saja kacau. Jika Charlie tidak datang, hari ini akan menjadi hari terakhirnya. Besok harus terjadi. Lebih banyak pakaian akan membantu. Beberapa lapis sweater supaya memberatkannya ke bawah. Seolah-olah dia tidak merasa cukup. Di cermin, ia melihat senyum sangat tipis yang nyaris tak terlihat melintasi wajahnya.
Dia mengaktifkan remote untuk membuka gerbang, berbalik ke tempat parkir nya di belakang blok dan mematikan mesin. Kate melirik ke jendela apartemennya. Dia pikir dia melihat pemandangan terakhirnya pagi itu, tapi dia tidak mati hari ini.
Charlie bergerak dan mengerang. Dia membuka matanya dan duduk, mengernyit saat bahu telanjangnya menjauh dari jok vinyl.
"Apa kita sudah kembali"" Gumamnya.
"Dari mana"" Kate mendorong membuka pintu dan melangkah keluar dari mobil.
Kemeja linennya kering seperti karung amplas yang tidak nyaman, kakinya kaku oleh garam, pasir dan lumpur.
Charlie mengambil pakaian basah dan bergabung dengannya di jalan.
"Kita akan membuat kekacauan," katanya saat mereka berjalan menuju gedung.
"Kita membawa setengah dari pantai bersama kita."
Di dinding beton, di samping pot bunga kecil, selang hijau melingkar seperti ular tidur.
"Kita bisa membersihkan diri dengan selang. Kau akan melakukannya padaku lebih dulu." kata Charlie.
Dia meletakkan pakaiannya di bawah pintu dan kemudian berdiri di tengah-tengah area parkir dengan tangan terentang, tubuhnya yang sempurna bagai dewa tak tertahankan. Kate menyalakan keran, mengambil pistol selangnya dan menggunakan air hangat pertama yg keluar pada kakinya. Saat suhu berubah, dia mengarahkan pancaran air di tengah dada Charlie dan menyemprotnya dengan air dingin.
"Brengsek," dia berteriak. "Aku berubah pikiran." Charlie melompat ke samping, berusaha menahan semburan air dengan tangannya. Kate mengarahkan pancaran air ke bawah kakinya dan Charlie berputar menjauh darinya. Saat ia mengerang dan merengek, Kate menyadari sedang menikmati dirinya sendiri.
"Apa kau belum selesai"" Teriaknya.
"Hampir." Kate memaksa Charlie terlalu jauh. Lalu K
ate menyadari pistolnya direnggut dari tangannya. Dia menjerit dan berlari, tapi tak ada jalan keluar. Ketika ia mencoba untuk menghindar ke sisi mobil yg lebih besar, Charlie mengatur pancaran supaya mencapai lebih jauh dan menyemprot Kate dari atas mobil. Kate menjerit. Air laut terasa lebih hangat.
"Kau bisa lari, tapi tak ada tempat untuk bersembunyi." gerutu Charlie meniru logat Clint Eastwood dengan buruk.
Dia menggeliat di depan salah satu mobil dan mencoba untuk bersandar di sisi yang lain.
"Buka bajumu," kata Charlie.
"Ada beberapa rumput laut atau sesuatu yang menempel di punggungmu."
Kate mendengar kata rumput laut dan panik. Dia melompat dari tempat persembunyiannya dan melepas kemejanya begitu cepat, sehingga salah satu kancingnya terlempar ke pipi Charlie.
Jarinya melepas pelatuk selang dan air berhenti menyembur.
"Ya Tuhan, Kate. Apa yang kau kenakan""
"Pakaian dalam."
"Itu tidak terlihat seperti pakaian dalam."
"Anggap saja bikini."
"Itu tidak membantu," katanya, ekspresi sedih di wajahnya.
"Singkirkan rumput lautnya dan bilas aku sebelum kita mati beku." Charlie menurut. Ini tidak seperti pakaian dalam yang ia lihat sebelumnya, dan ia melihat lebih dari bagiannya secara adil. Merah api, berjumbai, berenda dan luar biasa mengganggu. Bahan-bahan tadi dihiasi dengan bunga-bunga hitam kecil dan di tengahnya terletak manik merah kecil. Kecuali tidak ada bunga di bagian putingnya. Dia bisa melihat itu begitu indah seperti penghapus pensil kecil yang tajam menonjol keluar di dadanya. Kepingan material yang cocok di sekitar pinggulnya adalah sebuah pita lurus, tapi di belakang, hampir tidak ada apa-apa. Kate memiliki bagian punggung paling manis, paling mudah digigit dari yang Charlie pernah lihat seumur hidupnya. Darah naik ke pangkal pahanya saat Kate berlari ke lobi. Bagus mengetahui bahwa air dingin tidak memiliki efek yang berlangsung lama.
Dia mematikan selang di keran dan kemudian mengikutinya menaiki tangga, pakaiannya yang basah berkumpul seperti bola untuk menyembunyikan ereksinya. Satu jentikan dari jarinya dan bra-nya akan lepas, biasanya dia tahu bagaimana seorang wanita akan bereaksi terhadap itu tapi dengan Kate ia tidak yakin.
Ketika ia memindahkan pandangannya kepunggung Kate yamg halus dan kecokelatan, matanya berlama-lama pada bekas luka putih lurus sekitar tiga inci panjangnya, bertengger di bawah tulang bahunya. Operasi" Diserang"
Di dalam apartemennya, dia membuka lemari, mengambil beberapa handuk dari rak di atas penghangat dan melemparkan satu ke Chalie. Handuk lainnya mengelilingi dadanya.
"Pakaianmu," desaknya.
Charlie menyeringai dan menyerahkannya.
"Ada sesuatu di kantong"" Kate membuka pintu lain dan memasukkan semuanya ke mesin cuci, bersama dengan bajunya.
"Tidak." Dia mengunci ponsel, dompet dan kunci di apartemennya. Tindakan buruk.
"Ini, kau mungkin menginginkan ini, juga."
Dia meraih ke bawah handuk, mengeluarkan celana boxernya dan menyerahkannya sambil tersenyum.
Tidak ada reaksi. Dia mengerutkan kening ketika Kate mengambil dari tangannya, memasukkannya ke dalam drum dan menyalakan mesin.
Charlie mengikutinya ke ruang utama dan mundur. "Ya Tuhan, kau telah dirampok."
Ruangan itu hampir kosong. Sebuah dapur menempati sebagian kecil dari itu, tapi di bagian lain satu-satunya perabot adalah sofa tua, ditumpuk dengan bantal, berada di sudut seberang ruangan. Tidak ada TV, tidak ada sound system, tidak ada tanaman, tidak ada ornamen, tidak ada foto, tidak ada tirai.
"Tidak, ini memang biasanya seperti ini."
Dari sudut matanya, Charlie melihat Kate melepas catatan yang telah dia tempelkan di pintu lemari. Meremasnya menjadi bola dan memegangnya. Charlie datang di belakang Kate.
"Aku pikir kau bercanda tentang Mars Bars." Dia mengangguk pada bungkusan di atas meja.
"Aku hanya makan sembilan. Lalu aku mual. "
"Mengapa kau makan begitu banyak""
"Aku tidak ingin membuang-buangnya." Kate menyeringai dan Charlie tertawa.
"Kau punya minum apa"" Tanya Charlie.
"Teh, kopi, cokelat panas."
"Tak ada bir, Jack Daniel atau sejenisnya""
"Tidak." "Kalau begitu cokelat panas saja. Terima kasih." Ia tersenyum padanya, tapi Charlie bisa melihat Kate melamunkan sesuatu di kepalanya. Dia mengambil kotak minuman cokelat dari jari-jari Kate dan menyendok ke dua mug.
"Aku kira kau pasti tidak memiliki marshmallow"" Tanyanya.
"Tidak." "krim kocok""
"Tidak." "Twiglets""
Kate menatapnya sekilas. "Aku suka Twiglets," kata Charlie.
"Mmm, stik renyah dilapisi dengan Marmite. Favoritku."
"Aku juga suka, tapi tidak dengan cokelat panas."
"Coba saja. Itu adalah kenikmatan yang nyata."
Dia menyaksikan pikiran Kate pergi lagi dan menggigit bibirnya.
"Minggir dan duduklah. Aku yang akan membuat minumannya." kata Charlie.
Dia menuangkan air dan mengaduk dengan sendok di masing-masing tangan. Kate tidak bergerak, dan mengambil cangkir yang ditawarkan.
"Apakah kau ingin menggunakan kamar mandi duluan" Ada bak mandi dan shower terpisah." katanya dengan suara datar.
"Setelahmu." kata Charlie otomatis menelan kembali kata "denganmu" .
Yang membuat Charlie kecewa, Kate membawa gumpalan catatannya. tapi ketika Kate sibuk di tempat lain, Charlie menjelajahi ruangan. Pintu pertama yang ia buka membawanya ke sebuah ruangan kosong hampir sama dengan ruang utama. Tidak ada lemari, tidak ada karpet, tidak ada tirai. Satu-satunya perabot adalah meja topang di dinding, kursi plastik terselip di bawahnya. Di atas meja terletak komputer lama dan mesin jahit dan di bawahnya, tiga buah kardus. Ia membuka salah satu tutupnya. Penuh dengan bahan hitam halus.
Ketika Charlie membuka pintu kamarnya, nafasnya tercekat di tenggorokan.
Dia merasa seolah-olah dia melangkah ke dunia lain, tepatnya sebuah apartemen yang berbeda. Ruangan yang didominasi oleh tempat tidur bertiang empat di hiasi logam rumit yang memutar dengan kupu-kupu perunggu di bagian kepala ranjangnya. Tirai kain warna krem dilimpahi dengan ornamen kupu-kupu warna-warni yang diikat dengan tali perak di sudut logam tiap tiang. Tiba-tiba Charlie membayangkan mereka berdua di ranjang, telanjang dalam pelukan masing-masing, tirai ditutup untuk memisahkan mereka dari dunia luar. Dia mengerang saat kemaluannya menonjol dari balik handuknya. Dia berkhayal terlalu banyak.
Jari-jarinya bergerak ke arah laci. Tidak seharusnya, tapi dia melakukannya. Dia menelan ludah ketika melihat pakaian dalam bermacam-macam warna dan bahan renda, beludru, katun, kulit, sutra, denim. Dia menutup laci, tidak berani melihat lebih jauh. Dia berdiri sejenak dan kemudian kembali ke kamar mandi.
"Kate, aku harus menggunakan toilet," serunya melalui pintu.
"Kau baru manghabiskan waktu berjam-jam di laut. Bukannya kau sudah mengeluarkannya""
"Mom bilang padaku untuk keluar dari air terlebih dahulu."
"Apa"" bahkan di laut sekalipun"""
"Kita bersalah bila mencemarinya." Charlie mencoba terdengar serius.
Dia bisa saja menyelinap di tempat parkir atau bahkan menggunakan wastafel dapur itu bukan yang pertama kali tapi sebenarnya Charlie memiliki motif tersembunyi dan berpikir Kate hanya perlu sedikit dorongan. Siapapun dengan laci penuh pakaian seksi harus siap untuk itu.
Kate melompat dari tangga di depan Charlie, tahu Kate tampak nyaris telanjang dari belakang, sehingga Charlie perlu lebih meningkatkan pesonanya. Charlie benar-benar ingin masuk ke dalam bak mandi dengannya, tapi itu adalah sejenis tindakan yang akan mengacaukan segalanya. Pelan-pelan saja.
"Kumohon," pintanya, dengan suara menggoda terbaik yang dimilikinya. "Aku sudah tak tahan." Kate melihat sekelilingnya. Gelembung busa menutupi semuanya, tapi dia juga tidak peduli.
Kate sudah menyingkirkan kesopanan bertahun-tahun yang lalu. Dia telah menghabiskan seluruh hidupnya berbagi kamar mandi dan kamar tidur. Sekali saja menunjukkan rasa malu dan kamu berakhir.
"Pintu tidak ada kuncinya," kata Kate.
Charlie bahkan tidak mencoba untuk tidak melihat ke arahnya.
"Air hangat lagi"" Tanya Charlie.
"Aku tidak memintamu untuk memulai pembicaraan."
"Maaf." Kate mendengarkan suara gemericik dan memikirkan Richard. Ia tak pernah merasa cukup nyaman untuk buang air kecil ketika Kate berada di kamar mandi. Di
a tenggalam kembali ke dalam air, mendorong lututnya sehingga kepalanya meluncur di bawah permukaannya. Benar-benar kacau, berantakan dan mengerikan. Kate tidak mati, tapi dia merasa mati.
Ketika Kate muncul kembali, Charlie sedang berlutut di sisi bak mandi. Dia mengingatkan Kate pada siapa ya" Charlie mengusap gelembung dari bibir Kate.
"Bolehkan aku masuk""
"Tidak." Dia menghela napas. "Bisakah kau berpura-pura untuk tidak berpikir tentang hal itu""
"Tidak." "Bahkan tidak sedikitpun""
"Tidak." "Jadi, kenapa kau mencoba bunuh diri"" Tanya Charlie.
"Kau mungkin bisa menggunakan shower selagi ada di sini. Ada handuk lebih di lemari."
Pada saat Charlie keluar dari shower, Kate telah pergi dan membawa catatan yang diremasnya, membuat Charlie bahkan lebih penasaran untuk membacanya. Di bawah wastafel, Charlie menemukan paket pisau cukur, sekaleng gel cukur pria dan tiga kotak kondom. Semua terbuka.
Charlie tidak yakin apakah dia senang atau tidak tentang itu. Dia tidak memeriksa ada pakaian pria di lemari, namun Charlie tidak mengira Kate tinggal bersama atau pernah tinggal bersama seorang pria. Tidak ada pria yang bisa bertahan hidup tanpa TV. Mungkin sang pacar hanya datang untuk melakukan seks dan bercukur. Sedikit sama seperti dia. Kecuali untuk bercukur, karena Charlie akan menunggu sampai ia pulang. Tapi sekarang, ia menikmati kesenangan busuknya dengan bercukur menggunakan pisau cukur pria lain. Charlie tidak yakin mengapa, tapi dia tidak menyukai bila Kate punya pacar, meskipun ia menduga Kate tidak akan berada di laut jika dia punya pacar.
Mungkinkah dia hamil" Mungkin pria itu tidak menginginkannya. Charlie meradang dengan kemarahan.
Siapapun orang ini, dia adalah seorang banci. Bahkan saat pikiran itu berputar di dalam pikirannya, menyaring asap ke setiap celah, Charlie sadar ia jadi begitu bodoh. Dia tak tahu apapun tentang Kate. Itu karena Kate tidak terlihat tertarik padanya yang membuat Charlie bahkan lebih menginginkan dia. Charlie masih tidak mengetahui bagaimana perasaan Kate tentang dirinya. Pipi Charlie tergores pisau cukur ketika ia mendengar ketukan di pintu depan, tangannya terlompat dan setetes darah mengalir melalui busa. Dia bersumpah dan menatap ke tubuh telanjangnya.
Dia berharap itu bukan pacar Kate.
"Kate, aku sangat yakin kau di dalam."
Charlie menjadi santai ketika ia mendengar suara wanita.
"Mobilmu ada di sana, tadi sempat menghilang dan sekarang sudah kembali. Biarkan aku masuk. Aku ingin bicara denganmu."
"Hai, Lucy," kata Kate.
"Kau baik-baik saja"" Tanya Lucy.
"Ya." "Benarkah"" Suaranya naik menjadi jeritan.
Charlie senang Lucy bisa melihat Kate sedang dalam keadaan tidak baik.
"Kami tahu apa yang terjadi kemarin. Kau pasti hancur."
Apa yang terjadi kemarin, Charlie bertanya-tanya.
"Bisakah aku masuk"" Tanya Lucy.
Tidak. Charlie berpikir lalu memanggil,
"Kate, aku butuh pakaian, kecuali jika kau lebih memilih aku berjalan-jalan dengan telanjang."
"Oh, mungkin tidak sehancur itu." kata Lucy.
Charlie terkikik. "Aku sedang ada seorang teman." kata Kate.
"Aku akan bicara lain waktu."
Charlie mendengar pintu ditutup. Kemudian pintu kamar mandi dibuka. Sebuah T-shirt putih dan celana tidur dilemparkan ke dadanya.
Charlie berpakaian dan menemukan Kate di dapur.
"Mau mengakui kalau kau mengenaliku sekarang"" Tanya Charlie.
Kate berbalik menghadapnya dan dalam sekejap rasa panas langsung menjalar ke pangkal pahanya. Kate berpakaian sama sepertinya dan tampak begitu seksi, dengan rambutnya yang basah dan berantakan, ia memaksa diri untuk tidak menarik Kate ke dalam pelukannya dan menidurinya.
"Charlie, kuda nil laut peliharaanku." bisiknya.
Apakah Kate benar-benar tidak tahu siapa dia"
"Coba lagi." Kate mengerutkan matanya.
"Kenapa kau menatapku seperti itu""
"Kau agak berjerawat," katanya.
Charlie tertawa. Itu adalah kata yang tak pernah ditujukan kepadanya sebelumnya
tampan, menggoda, indah, tidak pernah ada kata berjerawat. "Ini gara-gara pisau cukur."
"Oh. Lapar""
"Kelaparan." "Apakah kau makan daging""
"Aku makan apa saja. Hampir," ia mengoreks
i, jika Kate tidak membuat otak rebus atau tembolok panggang. "Punya anggur"" Charlie menatap botol kosong di samping wastafel.
"Hanya sampanye."
Kate mengambil dua kontainer dari freezer, membuka tutupnya dan menaruhnya dalam microwave untuk dicairkan.
"Apa sampanye-nya kau taruh di lemari es"" Tanya Charlie dan membuka pintunya.
Kate meluncur ke arah Charlie dan menutup pintu kulkas dengan keras.
"Whoa." Charlie mundur, tangan di udara.
"Maaf. Aku yang akan mengambilnya."
"Apa yang kau taruh di sana" organ tubuh""
"Oh Tuhan, kau kan bisa mengiranya. Aku suka mentraktir beberapa pria ke pria lain dan seterusnya. Salah satu kebiasaanku. Aku kira kau tidak ingin tinggal hanya untuk makan sekarang." Kate mengepalkan catatan yang ditempel di sampanye dan menyerahkan botol padanya.
Charlie terkesiap saat melihat labelnya. Tidak ada perabot tapi ia bisa membeli Cristal"
"Astaga. Ini untuk acara khusus"" tanya Charlie, mengacungkan botol.
"Kupikir mungkin tidak ada kesempatan yang lebih istimewa daripada sekarang."
"Memiliki aku di rumahmu, ya, kau benar."
Kate tertawa dan Charlie tersenyum. Kate tampak begitu berbeda ketika dia tertawa, seolah-olah setiap kekhawatiran telah lenyap.
Charlie akan melangkah lebih lanjut, selagi Kate sedang dalam suasana baik.
"Bolehkah aku menginap""


Strangers Karya Barbara Elsborg di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kekhawatiran itu kembali.
"Aku tidak punya tempat tidur cadangan."
"Aku bisa tidur di sofa."
Ketika Kate tidak mengatakan apa-apa, Charlie menambahkan, "Atau aku bisa pergi. Tapi aku akan butuh tumpangan."
"Kupikir," Kate berkata, "Aku lebih suka jika kau tinggal." Charlie merasa seakan-akan Kate menaruh tangan di keningnya untuk menenangkannya. Charlie mendorong gabus pelan-pelan keluar dari botol sampai terdengar bunyi pop dan menuangnya.
"Untuk apa kita minum""
"Kau dan aku." "Dan seekor anjing bernama Sue," Charlie bernyanyi dan mendentingkan gelasnya pada gelas Kate.
Kate memutar matanya. "Dia anjing yang cantik," kata Charlie. "Setengah Chihuahua, setengah Doberman. Ibunya adalah Chihuahua. Bukan hubungan yang mudah."
"Jadi siapa dirimu"" Tanya Kate. "Seorang komedian yang tidak lucu"" Charlie geram. "Biasanya aku menyanyi, tapi sekarang aku berakting."
"Ya Tuhan." Kate memutar matanya.
Charlie tertawa. "Apa kau benar-benar tidak mengenaliku""
Kate menatap lurus ke arahnya dan Charlie melihat momen pengenalan menghantam Kate.
"Oh, sial." kata Kate.
*** Strangers Bab 5 Kate tidak berkedip. Bagaimana mungkin dia tidak menyadari" Bingung, ia meraih sepasang kacamata yang jarang ia pakai dan memakainya sebelum berbalik ke arah Charlie. Mustahil, luar biasa, tak terbayangkan benar-benar terlihat seperti yang ada di fantasi anak remaja, berdiri di depan Kate, di apartemennya, si bad boy bintang pop, Charlie Storm, dengan bulu mata panjang runcing dan penampilan yang menggiurkan, hanya saja agak berjerawat. Rekamannya telah terjual jutaan kopi. Hidupnya menjadi pembicaraan umum di tabloid. Dia adalah seorang pria yang tiba-tiba datang dari dunia musik lalu meninggalkan perusahaan rekaman dengan terguncang dan para penggemarnya menjerit-jerit.
Ada di apartemenku! Kate membungkuk dengan sangat hormat.
"Paduka Yang Mulia. Saya sangat tersanjung untuk menerima Anda di rumah saya yang sederhana. Bagaimana Camilla""
Charlie menyeringai. "Lucu sekali." Kemudian wajahnya berubah kecewa. Ia mengulurkan tangan ke arah kacamata Kate dan menarik tangannya kembali. "Ya Tuhan, tidak heran kau menyetir tidak terarah di jalanan. Kau tidak bisa melihat ke mana arah yang kau tuju!"
"Kupikir kau tertidur."
"Aku terlalu takut untuk membuka mataku. Kenapa kau tidak membiarkan aku mengemudi""
"Mobil itu hanya diasuransikan untukku."
"Kita bisa saja terbunuh," keluh Charlie dan Kate menyeringai.
"Mataku tidak seburuk itu." Kate melemparkan kacamatanya kembali ke meja dan menyetel ulang microwave. Charlie mendengus dan perutnya bergemuruh. Aroma manis membuat Kate lapar juga.
"Jadi bagaimana rasanya ada selebriti di sekitarmu untuk makan malam"" Tanya Charlie.
"Maksudmu kau benar-benar terkenal"" Kate menganga padanya.
"Ha ha ." Apa yang akan Lucy, Rachel dan Dan katakan" Kate berpikir tentang hal itu. Tak seorang pun akan percaya ini.
"Kenapa kau ingin bunuh diri"" Tanya Charlie.
Kate mendesah. "Kau pikir jika kau terus membahasnya, aku tidak akan memperhatikan dan menjawab begitu saja"" Charlie memberinya senyum malu-malu. "Ya."
Kate menahan senyumnya. "Bagaimana kalau kau yang duluan""
"Aku kesana untuk berenang," kata Charlie.
"Aku juga." "Kau tahu kau tidak."
Kate bertanya-tanya berapa lama mereka bisa memainkan permainan ini, tenis tanpa bola.
"Siapa tadi yang mengetuk pintu""
"Lucy. Dia tinggal di lantai bawah."
"Dan apa yang terjadi kemarin sehingga membuat mereka ikut prihatin dan kau hancur""
Kate mendesah. "Kau punya telinga besar, Charlie." Dia mengambil dua piring dari lemari dan menaruhnya di permukaan meja.
"Bagaimana bisa kau tidak mengenaliku" Jadi kau bukan penggemar, ya"" Mulut Kate mengejang. "Kau tak pernah membuatku menjerit." Saat kalimat tadi keluar dari bibirnya, Kate berharap tidak mengatakannya. Charlie tampak seolah-olah ia ingin bicara dan memikirkan yang lebih baik tidak melakukannya. Kate berjuang menemukan sesuatu untuk dikatakan.
"Apakah kau tahu salah satu dari lagu-laguku"" Tanya Charlie. "Menonton salah satu filmku""
"Err... Aku pernah melihatmu di koran," kata Kate.
"Tempat dimana aku tidak ingin terlihat," tukasnya.
Kate meradang. Dasar sombong. "Aku terkejut mereka tidak kehabisan kata-kata untuk menggambarkanmu. Penampilan menarik yang tak bisa dijelaskan, luar biasa tampan. Terlalu banyak yang sangat berlebihan, itu tak berarti apa-apa." Charlie tertawa singkat. "Kau benar sekali. Mereka mencetak omong kosong." Mungkin tidak sesombong itu. Kate menyendok makanan ke piring biru.
"Ya Tuhan, baunya harum sekali. Apa itu""
"Chihuahua dan Doberman Hotpot."
Charlie tertawa keras. "Jadi aku harus menghindari bagian yang kenyal."
"Aztec beef dan kentang manis tumbuk. Tidak ada bagian yang kenyal. Apa ada yang lain untuk diminum"" Charlie tampak bersalah. "Mungkin ada tetesan yang tersisa." Dia menuangkan tetesan terakhir ke gelas Kate. "Maaf."
Menuntut Balas 23 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Perawan Lembah Wilis 20
^