The Broker 4
The Broker Karya John Grisham Bagian 4
"Keputusan yang pintar."
"Beberapa bahkan berusia ribuan tahun. Jumlahnya lebih banyak daripada
kota-kota lain di dunia, kau tahu""
Tidak. Aku tidak banyak membaca, Luigi. Kalau aku punya uang. aku bisa
membeli buku, lalu aku bisa membaca dan mempelajari hal-hal semacam itu."
"Uangnya akan kuberikan saat makan siang nanti."
"Makan siangnya di mana"" "Ristorante Cesarina, Via San Stefano, pukul
satu"" "Bagaimana aku bisa menolak""
Luigi sedang duduk dengan seorang wanita di meja dekat bagian depan
restoran ketika. Marco tiba, lima menit lebih awal. la menyela percakapan
yang serius. Wanita itu berdiri, dengan enggan, dan menawarkan jabat tangan
lemah dan tampang masam ketika Luigi memperkenalkannya sebagai Signora
Francesca Ferro. Ia wanita yang menarik, berusia pertengahan empat puluhan,
mungkin agak-terlalu tua untuk Luigi, yang sering memelototi gadis-gadis
kuliahan. wanita ini memancarkan kesan sebal yang anggun. Sampai-sampai
Marco ingin berkata: Maaf, rapi aku diundang ke sini untuk makan siang.
Sementara mereka menduduki kursi masing-masing Marco memerhatikan
dua puntung rokok yang telah diisap sampai habis di asbak. Gelas air Luigi
hampir kosone n,- . & F 8' Dua ""ng ini sudah duduk
di sini paling tidak selama dua puluh menit. Dengan bahasa Italia yang
diucapkan lambat-lambat, Luigi berkata kepada Marco, "Signora Ferro adalah
guru bahasa dan pemandu tur setempat." Ia berhenti, Marco mengucapkan "Si"
pelan. Marco melirik Signora dan tersenyum, dan wanita itu membalasnya dengan
senyum enggan. ; Belum-belum calon gurunya sudah tampak bosan dengannya.
Luigi melanjutkan dalam bahasa Italia. "Ia guru bahasamu yang baru.
Ermanno akan mengajarmu di
pagi hari, dan Signora Ferro pada siang hari."
Marco memahami semuanya. Ia memaksakan senyum palsu ke arah wanita itu
dan berkata, "Va bene." Bagus.
"Ermanno ingin melanjutkan kuliahnya di universitas minggu depan," Luigi
menjelaskan. "Sudah kuduga," ujar Marco dalam bahasa Inggris.
Francesca menyulut rokok lagi dan mengerucur-kan bibirnya di batang rokok
tersebut. Ia mengembuskan segumpal awan asap dan bertanya, "Jadi
bagaimana bahasa Italia-mu"" Suaranya terdengar berat, nyaris parau, tak ragu
lagi akibat merokok bertahun-tahun. Bahasa Inggris-nya lambat-lambat, sangat
bagus, dan tanpa aksen. "Buruk sekali," jawab Marco.
"Dia baik-baik saja," sela Luigi. Pelayan datang
membawa sebotol air mineral dan memberikan tiga daftar menu. Lm signer*
menghilang di balik menunya. Marco ikut-ikutan. Suasana sunyi yang panjang
menyusul sementara mereka memilih makanan dan tak menghiraukan satu
sama lain. Ketika menu-menu itu akhirnya diturunkan, Francesca berkata kepada
Marco, "Aku ingin mendengarmu memesan dalam bahasa Italia."
'Tidak masalah," sahut Marco. Ia menemukan beberapa hidangan yang bisa
diucapkannya tanpa memicu tawa. Pelayan muncul dengan bolpoinnya dan
Marco berkata, "Si, allora, vorrei un'insalata di pamodori, e una mezza porzione
di lasagna." Ya, oke, aku mau salad dengan tomat dan setengah porsi lasagna.
Sekali lagi ia bersyukur dengan adanya makanan-makanan trans-Adanrik seperti
spaghetti, lasagna, ravioli, pasta.
"Non c'e male," ujar Francesco. Tidak buruk. Ia dan Luigi berhenti merokok
ketika hidangan salad datang. Menyantap makanan memberi mereka jeda
dalam percakapan yang canggung. Tak ada yang menawarkan anggur, walaupun
minuman itu sangat dibutuhkan.
Masa lalu Marco, hidup wanita itu saat ini, dan pekerjaan Luigi yang tak
jelas adalah topik-topik yang verboden, jadi sambil menikmati makan siang
mereka terapung-apung dan meliuk-liuk dalam percakapan ringan tentang
cuaca, yang untungnya sebagian besar berlangsung dalam bahasa Inggris
Ketib espresso sudah habis, Luigi membayar tagihan dan mereka segera
keluar dari restoran. Sementara itu; dan ketika Francesca tidak melihat, Luigi
menyelipkan amplop kepada Marco dan berbisik, "Ini ada beberapa euro."
"Grozie." Hujan salju sudah' berhenti, matahari muncul dan bersinar terang. Luigi
meninggalkan mereka di Piazza Maggiore dan menghilang, seperti yang hanya
bisa dilakukan olehnya. Mereka berjalan dalam diam beberapa waktu, sampai
Francesca bertanya, "Che cosa vorrebbe vedere"" Apa yang ingin kaulihat"
Marco belum sempat masuk ke katedral, Basilica di San Petronio. Mereka
berjalan ke arah undakan depannya yang melengkung, lalu berhenti. Tempat
ini cantik sekaligus sedih," katanya dalam bahasa Inggris, dengan setitik aksen
Inggris yang baru kali ini terdengar. "Mulanya ini dibangun oleh dewan kota
sebagai balai kota, bukan katedral, melawan kehendak paus di Roma. Desain
aslinya lebih besar daripada Katedral Santo Petrus, namun dalam prosesnya
rencana itu gagal. Roma menentangnya dan mengalihkan dananya ke tempat
lain, sebagian diberikan untuk mendirikan universitas."
"Kapan ini dibangun"" tanya Marco.
"Katakan dalam bahasa Italia," perintahnya.
"Aku tidak bisa."
"Kalau begini dengarkan: 'Quando e stata cos. trutia"' Coba tirukan."
Marco menirukannya empat kali sebelum Francesca puas.
"Aku tidak percaya pada pengajaran dengan buku, kaset, dan sebagainya,"
jelas Francesca ketika mereka mendongak mengamati katedral yang besar itu.
"Aku lebih percaya pada percakapan. Untuk mempelajari bahasa, kau harus
mengucapkannya, berulang-ulang, seperti ketika kau masih kecil."
"Di mana kau belajar bahasa Inggris"" tanya Marco.
"Aku tidak bisa menjawabnya. Aku sudah diberi instruksi untuk tidak
mengatakan apa pun tentang masa laluku. Dan masa lalumu juga."
Sejenak lamanya Marco sudah hampir berbalik dan pergi. Ia muak dengan
orang-orang yang tidak bisa berbicara padanya, yang mengelak dari
pertanyaannya, yang bertingkah seolah seluruh dunia ini penuh mata-mata. la
sudah muak pada segala bentuk permainan.
Ia manusia bebas, ujarnya selalu pada diri sendiri, sepenuhnya bisa datang
dan p ergi dan membuat keputusan apa pun yang diinginkannya. Kalau ia muak
pada Luigi dan Ermanno dan sekarang Signora Ferro, ia pun bisa menyumpahi
mereka semua, dalam bahasa Italia, agar tercekik panino.
"Pembangunan dimulai pada tahun 1390, dan
semua berlangsung mulus selama beberapa ratus
tahun," ujarnya. Sepertiga bagian bawah tampak muka katedral tersebut
merupakan marmer merah muda yang indah; dua pertiga selebihnya berupa
batu bata cokelat yang buruk yang belum dilapisi marmer. "Lalu halangan
datang. Jelas terlihat, bagian luarnya tak pernah selesai." "Tidak terlalu
cantik." "Memang tidak, tapi menggelitik. Kau mau melihat ke dalam""
Memangnya apa yang akan ia lakukan selama tiga jam mendatang"
"Certamente, "jawab Marco.
Mereka menaiki undakan dan berhenti di pintu depan. Francesca menatap
papan pengumuman dan betkata, "Mi dica." Katakan padaku. "Jam berapa
gereja ini tutup""
Marco mengerutkan kening dalam-dalam, melatih beberapa kata, lalu
berkata, "La chiesa chiude die sei." Gereja tutup pukul enam. "Ripeta."
Marco mengulangnya tiga kali sebelum Francesca menyuruhnya berhenti,
lalu mereka masuk. "Katedral ini diberi nama untuk menghormati Petronio,
santo pelindung Bologna," ia berkata pelan. Lantai utama katedral tersebut
cukup luas untuk pertandingan hoki dengan banyak penonton di kedua sisinya.
"Besar sekali," ujar Marco rer-kagum-kagum.
'ia, padahal ini sekitar seperempat rancangan aslinya. Sekali lagi, Paus
khawatir dan memberikan tekanan. Pembangunannya menyerap banyak sekali
uang rakyat, dan akhirnya orang bosan melanjutkannya."
"Tapi tetap saja sangat mengesankan." Marco sadar betul mereka bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, yang sesuai dengan harapannya.
"Kau mau tur panjang atau pendek"" tanya Francesca. Walaupun suhu di
dalam nyaris sedingin udara di luar, Signora Ferro tampaknya mulai mencair
sedikit "Kau kan gurunya," jawab Marco. Mereka berjalan ke sisi kiri dan
menunggu serombongan kecil turis Jepang selesai mempelajari makam besar
yang rerbuat dari marmer. Selain orang-orang Jepang itu, tak ada orang lain
lagi di dalam katedral. Saat iru hari Jumat di bulan Februari, bukan musim
turis. Sore harinya Marco mengetahui bahwa pekerjaan Francesca yang sangat
tergantung musim turis memang agak sepi pada bulan-bulan musim dingin.
Pengakuan itu satu-satunya data pribadi yang bersedia diakuinya.
Karena pekerjaan sedang sepi, Francesca tidak harus terburu-buru di dalam
Basilica di San Petronio. Mereka melihat 22 kapel kecil yang ada di sana dan
mengamari hampir semua lukisan, patung, hasil karya dari gelas, dan lukisan
dinding. Kapel-264 kapel tersebut dibangun oleh keluarga-keluarga kaya di Bologna yang
mengeluarkan banyak uang untuk karya-karya seni tanda peringatan.
Pembuatannya membentuk sejarah kota itu, dan Francesca mengetahui setiap
rinciannya. Ia menunjukkan pada Marco tengkorak Santo Petronio yang terawat
baik yang diletakkan di altar, dan jam astrologi yang diciptakan pada tahun
1655 oleh dua ilmuwan yang sangat meyakini hasil-hasil penelitian Galileo di
universitas. Walau terkadang bosan dengan penjelasan mendetail tentang lukisan dan
patung, dan kewalahan dengan begitu banyak nama dan tanggal, Marco tetap
bertahan sementara tur berlangsung lambat mengelilingi bangunan besar itu.
Suara Francesca menawan hatinya, cara bicaranya yang lambat dan betat,
bahasa Inggris-nya yang apik dan sempurna.
Lama sesudah rombongan turis Jepang tadi meninggalkan katedral, mereka
akhirnya kembali di pintu depan dan Francesca berkata, "Sudah cukup"" "Ya."
Mereka keluar dan Francesca langsung menjulur
rokok. "Bagaimana kalau minum kopi"" ujar Marco.
"Aku tahu tempat yang tepat."
,, .___ - nvrbcranei jalan menuju
Marco mengikutinya menyeoerai B , ,
i i Mna langkah kemudian mereka Via Clavature; beberapa langKa/.
265 masuk ke Rosa Rose. "Cappuccino paling nikmat di lapangan ini," Francesca
meyakinkannya sesudah memesan dua cangkir di bar. Marco hendak bertanya
tentang larangan memesan cappuccino selewat pukul setengah sebelas pagi,
tapi mengurungkan diri. Sambil menunggu, dengan hati-hati Francesca
melepas sarung tangan kulit, syal, serta mantelnya.
Mungkin acara minum kopi ini akan berlangsung
agak lama. Mereka memilih meja di dekat jendela depan. Francesca menambahkan dua
bongkah gula hingga segalanya sedemikian tepat. Ia tidak pernah tersenyum
selama tiga jam terakhir, dan Marco pun tidak mengharapkannya sekarang.
"Aku punya salinan bahan-bahan pelajaran yang kaugunakan dengan guru
yang satu lagi," ujar Francesca sambil meraih rokok. "Ennanno."
"Terserahlah, aku tidak kenal dia. Kusarankan setiap sore kita melatih
percakapan berdasarkan apa yang kalian pelajari pagi harinya."
Marco tidak bisa membantah apa pun yang ia usulkan. "Terserah," ujarnya
sambil mengangkat bahu. Francesca menyulut rokoknya, lalu menyesap kopinya.
"Apa yang diceritakan Luigi tentang diriku"" tanya Marco.
"Tidak banyak. Kau orang Kanada. Kau sedang liburan panjang keliling Italia
dan ingin mempelajari bahasanya. Apakah itu benar""
"Kau menanyakan pertanyaan pribadi""
"Tidak, aku cuma bertanya apakah itu benar."
"Benar." "Aku tak punya urusan untuk mengkhawatirkan soal-soal seperti itu."
"Aku tidak memintamu untuk merasa khawatir."
Marco membayangkan wanita itu sebagai saksi yang kuat di pengadilan,
duduk dengan angkuh di depan juri, bertekad dirinya tak akan dibengkokkan
maupun dipatahkan, bagaimanapun serunya tanya-jawab itu nanti. Ia telah
menguasai dengan baik tampang cemberut dan tak peduli yang begitu jamak di
kalangan wanita Etopa. Ia memegang tokoknya dekat dengan wajah, matanya
mengamati segalanya di trotoar, tapi tidak melihat apa-apa. Obrolan basa-basi
bukanlah kelebihannya. "Kau sudah menikah"" tanya Marco, isyarat pertama
sesi tanya-jawab. Dengusan, senyum palsu. "Aku sudah mendapat perintah, Mr. Lazzeri."
"Panggil aku Marco. Dan aku harus memanggilmu apa""
"Signora Ferro sudah cukup untuk sementara
1 267 "Tapi kau sepuluh tahun lebih muda dariku" "Di sini situasi lebih formal, Mr.
Lazzeri * "Tampaknya begitu."
Signora Ferro mematikan rokoknya, menyesap kopi lagi, dan langsung ke
urusan pekerjaan. "1^ hari liburmu, Mr. Lazzeri. Ini terakhir kali kita
menggunakan bahasa Inggris. Pelajaran berikut, kita tidak bicara bahasa lain
selain bahasa Italia."
"Baik, tapi aku ingin kau mengingat satu hal. Kau tidak menawarkan
bantuan dengan gratis, oke" Kau dibayar. Inilah pekerjaanmu. Aku turis Kanada
yang memiliki banyak waktu, dan kalau kita tidak cocok, aku akan mencari
orang lain untuk mengajarku." "Apakah aku telah menyinggung perasaanmu"
Kau bisa tersenyum."
Wanha itu mengangguk kecil dan seketika matanya tampak basah. Ia
membuang muka, mena-UP ke luar jendela, dan berkata, "Aku tidak punya
banyak hal yang bisa membuatku tersenyum."
16 Toko-toko di sepanjang Via Rizzoli buka pukul sepuluh pagi pada hari Sabtu
dan Marco sedang menunggu sambil mengamati barang-barang yang dipajang di
etalase. Dengan uang lima ratus euro saku, ia menelan ludah dengan susah
payah, Meyakinkan diri bahwa ia tak punya pilihan lain kcuali masuk dan
menjalani acara belanjanya pertama dan sungguhan dalam bahasa Italia. Ia
telah menghafal kata-kata dan kalimat-kalimat hin8ga ia tertidur, tapi ketika
pintu menutup di belakangnya ia berdoa ada penjaga toko muda.yang ba* hati
dan bisa berbahasa Inggris dengan rasin. . Tak sepatah kata pun. Penjaga itu
pria separo kb,aya yan* !"y"m ^Sarco tTah me-7^6 dari lima belas menit M* nu*juk, tergagap-gagap, dan kadang Jo* S
baik ketika menanyakan ukuran dan harga, la pun pergi dengan membawa
sepasang sepatu bot hiking yang harganya sedang dan bergaya muda, jenis yang
sering dilihatnya di sekitar universitas ketika cuaca memburuk, dan jaket parka
hitam tahan air dengan tudung yang bisa digulung masuk ke dalam kerahnya.
Dan ia masih memiliki hampir tiga ratus euro di sakunya. Mengumpulkan uang
tunai kini menjadi prioritas utamanya.
la bergegas kembali ke apartemennya, berganti pakaian dengan bot baru
dan jaket parka, lalu pergi lagi. Tiga puluh menit perjalanan ke Bologna
Cenrrale menghabiskan waktu satu jam karena ia harus menggunakan jalur
yang berliku-liku dan memutar. Ia tidak pernah menoleh ke belakang, tapi
masuk ke kafe dengan mendadak dan
mempelajari lalu lintas pejalan kaki, atau
tiba-tiba berhenti di depan toko kue dan mengagumi kue-kue sambil
mengamati pantulan di kaca. Kalau mereka membuntutinya, ia tidak ingin
membuat meteka curiga. Latihan ini pun sangat penting. Lebih dari sekali Luigi
mengatakan padanya bahwa tak lama lagi ia akan pergi, dan Marco Lazzeri
ditinggalkan sendirian di dunia.
Pertanyaannya adalah, seberapa jauh ia bisa memercayai Luigi" Marco
Lazzeri maupun Joel Backman sama-sama tidak memercayai siapa pun.
Ada saat-saat menggelisahkan di stasiun kereta ketika ia berjalan masuk,
melihat keramaian di sana, mempelajari jadwal kedatangan dan
keberangkatan, dan menoleh ke sana kemari dengan putus asa mencari loket
penjualan tiket. Karena kebiasaan, ia juga mencari apa pun yang menggunakan
bahasa Inggris. Namun ia belajar untuk menyisihkan kegugupannya dan terus
The Broker Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maju. Ia berbaris dalam antrean dan sewaktu loket dibuka, ia maju dengan
cepat, tersenyum pada wanita mungil di balik bea, melontarkan "Buon giorno"
yang ramah, dan berkata, 'Yado a Milano." Saya mau pergi ke Milan.
Wanita itu sudah mengangguk. "Alle tredici e venti," ujar Marco. Jam 13.20.
"Si, cinquanta euro," sahut wanita itu. Lima puluh euro.
Marco memberikan uang kertas pecahan seratus euto katena ia
menginginkan kembaliannya, lalu betjalan pergi sambil menggenggam tiketnya
dan memuji dirinya sendiri. Karena memiliki waktu luang satu jam, ia keluar
dari stasiun dan berjalan dua blok di Via Boldrmi sampai menemukan kafe. la
menikmati panino dan bir sambil mengamati trotoar, tidak berharap melihat
siapa pun yang menarik perhatiannya.
Kereta Eurostar tiba tepat sepera yang dijadwalkan, dan Marco mengikuti
arus penumpang yang berjalan di peron. Ini perjalanan kereta pertamanya di Eropa dan ia tidak
terlalu yakin dengan kebiasaan yang ada di sini. Ia telah mempelajari tiketnya
sambil makan siang dan tidak melihat apa pun yang menunjukkan nomor
tempat duduk. Sepertinya orang bebas memilih, dan ia menempati kursi dekat
jendela pertama yang dilihatnya. Gerbongnya tak sampai separo penuh ketika
kereta mulai bergerak, tepat pada pukul 13.20.
Dengan segera mereka keluar dari Bologna dan pemandangan pinggiran kota
berkelebat cepat. Rel kereta itu mengikuti M4, jalan raya utama dari Milano ke
Parma, Bologna, Ancona, dan sepanjang pesisir timur Italia. Setelah setengah
jam, Marco kecewa dengan pemandangannya. Sulit menghargai pemandangan
ketika melesat dengan kecepatan 160 kilometer per jam; semuanya menjadi
kabur dan pemandangan yang indah lenyap dalam sekejap. Dan terlalu banyak
pabrik yang berjajar di sepanjang rute transportasi.
Dengan segera ia pun menyadari mengapa ia satu-satunya orang di gerbong
itu yang tampak tertarik dengan pemandangan di luar. Orang-orang yang
berusia lebih dari tiga puluh tenggelam dalam surat kabar dan majalah, dan
tampak santai, bahkan bosan. Yang lebih muda sudah tertidur lelap. Tak
berapa kuna kemudian, kepala Marco pun tertunduk mengantuk.
Kondektur membangunkannya, mengucapkan
sesuatu dalam bahasa Italia yang sama sekali tak
dipahaminya. Ia hanya menangkap kata "bigiietto" dalam kalimat kedua atau
ketiga dan cepat-cepat mengangsurkan tiketnya. Si kondektur cemberut
memandangi tiket itu seolah ia akan menendang Marco keluar di jembatan
berikut yang mereka lewati, tapi kemudian langsung melubanginya dan
mengembalikannya sambil tersenyum lebar penuh W
Satu jam kemudian serangkaian kata tanpa arti terdengar dari pengeras
suara, mengumumkan sesuatu yang ada hubungannya dengan Milano, dan
pemandangan mulai berubah dengan drastis. Kota yang besar segera menelan
mereka begitu keteta melambat, lalu berhenti, lalu bergerak lagi. Mereka
melewati blok-blok gedung apartemen yang dibangun sesudah masa perang,
berdempet-dempet, dengan jalan-jalan lebar yang memisahkannya. Buku
panduan Ermanno mengatakan Milano memiliki populasi empat juta jiwa; ini
kota penting, secara tak resmi merupakan ibu kota Italia utara, pusat
keuangan, mode, penerbitan, dan industri negara tersebut. Kota industri sibuk
yang, tentu saja, memiliki pusat kota dan katedral yang layak
dikunjungi. ^ makin banyak jalur-jalur re memecah n"nja^
dan melebar ketika mereka mem
Milano Centralc. Mereka berhenti di bawah kubah raksasa stasiun, dan
ketika Marco turun ke peron, ia terperangah melihat betapa besarnya tempat
itu. Tatkala berjalan di peron ia menghitung paling sedikit ada dua belas jalur
yang berjajar rapi, sebagian besar dengan kereta yang sabar menunggu
penumpangnya. Ia berhenti di ujung peron, di tengah-tengah keliaran ribuan
orang yang datang dan pergi, dan mempelajari rute keberangkatan: Smttgart,
Roma, Florence, Madrid, Paris, Betlin, Jenewa.
Seluruh Eropa ada di dalam jangkauannya, hanya beberapa jam jauhnya.
Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke gerbang masuk utama dan
melihat perhentian taksi, tempat ia mengantre sebentar sebelum akhirnya naik
ke kabin belakang mobil Renault putih kecil. "Aeroporto Malpensa," katanya
pada sopir. Merek merayap di lalu lintas Milano yang padat sampai tiba di
pinggiran kota. "Quale compagnia aerea"" tanya si sopir sambil menengok ke
belakang. Maskapai apa"
"Lufthansa," sahut Marco. Di Terminal 2 taksi iru menemukan ruang lowong
di tepi trotoar, dan Marco kembali merelakan empat puluh euro. Pintu otomatis
membuka ke arah keramaian orang, dan ia bersyukur tidak harus mengejar
pesawat apa pun. Ia meneliti jadwal keberangkatan dan menemukan
yang diinginkannya-penerbangan langsung ke Dulles. Ia mengelilingi
tetminal sampai menemukan meja pendaftaran Lufthansa. Ada antrean panjang
di depannya, tapi efisiensi Jerman yang biasa memungkinkan barisan itu
bergerak cepat. Prospek pertama adalah wanita berambut merah yang menarik berusia
sekitar 25 tahun, yang sepertinya bepergian sendiri. Ia lebih menyukai calon
seperti itu. Orang yang bepergian dengan teman mungkin tergoda untuk
membicarakan pria aneh di bandara yang mengajukan permintaan janggal.
Wanita itu ada di baris kedua dalam antrean kelas bisnis. Ketika mengawasi
wanita itu, Marco juga menemukan prospek nomor dua: mahasiswa berbaju
denim dengan rambut gondrong acak-acakan, ransel kumal, dan sweter
University of Toledo-calon yang tepat. Pemuda itu ada di bagian belakang
antrean, mendengarkan musik dengan headphone warna kuning cerah.
Marco mengikuti si rambut merah saat meninggalkan konter dengan kartu
pas dan tas kabinnya. Penerbangannya masih dua jam lagi, jadi wanita itu
melangkah mengikuti arus ke arah toko bebas pajak, tempat ia berhenti dan
mengamati arloji-arloji Swiss paling mutakhir. Setelah tidak melihat apa pun
yang ingin dibelinya, ia menuju kios majalah dan membeli dua majalah mode.
Ketika wanita itu berjalan ke gerbang keberangkatan, serta pos
pemeriksaan pertama, Marco meneguhkan diri dan mendekat. "Permisi,
Miss, permisi." Wanita itu mau tak mau menoleh dan menatapnya, tapi terlalu
curiga untuk mengatakan sesuatu.
"Apakah Anda akan pergi ke Dulles"" tanya Marco dengan senyum lebar dan
pura-pura terengah-engah, seolah baru saja berlari mengejarnya.
"Ya," sahut wanita itu ketus. Tanpa senyum. Orang Amerika.
"Saya juga, tapi paspor saya baru saja dicuri. Belum tahu kapan saya bisa
kembali." Marco mengeluarkan amplop dari sakunya. "Ini kartu ulang tahun
untuk ayah saya. Bisakah Anda memasukkannya ke bus surat begitu Anda tiba di
Dulles" Ulang tahunnya hari Selasa depan, dan saya khawatir kartu ini tidak
akan tiba tepat pada waktunya. Tolong."
Wanita itu memandangi Marco dan amplop itu dengan curiga. Itu kan cuma
kartu ulang tahun, bukan bom atau pistol.
Marco mencabut sesuatu yang lain dari sakunya "Maaf, tidak ada
prangkonya. Ini satu euro untuk membelinya Tolonglah, kalau Anda tidak
keberatan." Wajah itu akhirnya bergerak, dan wanita itu , hampir tersenyum. "Tentu
saja," katanya, menerima amplop dan uang satu euro itu, lalu menyelip-kannya
ke dalam tasnya. 276 Terima kasih banyak," ujar Marco, nyaris menangis. "Ini ulang tahunnya yang
kesembilan puluh. Terima kasih."
Tentu, tidak masalah," kata si tambut merah.
Si pemuda dengan headphone kuning itu sedikit lebih sulit. Ia juga orang
Amerika, dan termakan kisah paspor yang hilang. Tapi ketika Marco hendak
memberikan amplop itu, si pemuda menoleh ke kanan-kiri d
engan waspada seakan mereka melanggar hukum.
'Wah, entahlah, man," ujarnya sambil mundur selangkah. "Kurasa tidak."
Marco tahu lebih baik ia tidak mendesak. Ia mundur dan berkata seketus
mungkin, "Semoga penerbanganmu menyenangkan."
Mts. Ruby Ausberry dari York, Pennsylvania, adalah penumpang terakhir di
meja pendaftaran. Ia telah mengajar sejarah dunia di SMA selama empat puluh
tahun dan sedang menikmati uang pensiunnya dengan bepergian ke tempat-tempat yang hanya ia lihat dalam buku-buku pelajaran. Ini akhir petualangan
tiga minggunya setelah menjelajahi Turki. Ia hanya mampir di Milano dari
Istambul untuk meneruskan penerbangan ke Washington. Pria ramah itu
mendekatinya dengan senyum putus asa dan menjelaskan bahwa paspornya
baru dicuri. Ia bisa jadi akan melewatkan ulang tahun ayahnya. Dengan senang
hati ia menerima kami itu dan menyimpannya di dalam tas. Ia melewati pemeriksaan dengan lancar
dan berjalan tiga ratus meter ke gerbang keberangkatan, tempat ia
menemukan tempat duduk dan mulai membangun sarangnya.
Di belakang wanita itu, tak sampai lima meter jauhnya, si rambut merah
sampai pada ke-putusannya. Bisa jadi itu surat berisi bom. Memang tampaknya
tidak cukup tebal untuk memuat bahan peledak, tapi mana ia tahu hal-hal
semacam itu" Ada tong sampah di dekat jendela-tong sampah krom keperakan
dengan tutup krom (ini kan Milano)-dan dengan lagak santai ia berjalan
menghampirinya, lalu membuang amplop itu ke sana.
Bagaimana kalau amplop itu meledak di sana" ia bertanya-tanya sendiri
sambil kembali duduk Sudah terlambat. Ia tidak akan ke sana dan mengaisnya
lagi. Kalaupun ia mau melakukannya, lalu apa" Mencari petugas berseragam
dan berusaha menjelaskan dalam bahasa Inggris bahwa ada kemungkinan ia
tadi membawa surat berisi bom" Yang benar saja, tegurnya pada diri sendiri. Ia
meraih tas kabinnya dan pindah ke seberang ruangan, sejauh mungkin dari rong
sampah tadi. Dan ia tak dapat melepaskan pandang dari tong sampah itu.
Ketegangan ku semakin meningkat. Ia orang pertama yang naik ke pesawat
747 itu. Hanya dengan bantuan segelas sampanye ia bisa mulai tenang. Begitu sampai di Baltimore
ia langsung menonton CNN. Ia yakin akan terjadi pembantaian besar-besaran di
bandara Malpensa Milano. Perjalanan Marco kembali ke Milano Centrale dengan taksi memaksanya
mengeluarkan 45 euro, tapi Marco tidak bertanya-tanya pada si sopir. Untuk
apa repot-repot" Tiket kembali ke Bologna harganya sama-lima puluh euro.
Setelah satu hari belanja dan jalan-jalan, uangnya hanya tinggal sekitar seratus
euro. Simpanan uang tunainya menipis dengan cepat.
Hari sudah hampir gelap ketika kereta melambat di stasiun Bologna. Marco
hanya salah satu penumpang kecapekan ketika ia turun di peron, tapi diam-diam hatinya membuncah karena bangga atas keberhasilannya hari itu. Ia sudah
membeli pakaian, membeli tiket kereta, selamat dari kegilaan di stasiun kereta
dan bandara Milano, dua kali naik taksi, dan mengirimkan suratnya, satu hari
penuh tanpa petunjuk bahwa ada orang yang tahu siapa dia dan di mana dia
berada. Dan tak sekali pun ia diminta menunjukkan paspor maupun randa pengenal
lainnya. Luigi naik kereta yang lain, kereta cepat pukul 11.45 ke Milano. Namun ia
turun di Parma dan langsung
tenggelam dalam keramaian. Ia menemukan taksi dan pergi tak jauh ke
tempat pertemuan, sebuah kafe favorit. Hampir satu jam ia menunggu
Whitaker, yang ketinggalan kereta di Milano dan segera menyusul dengan
kereta berikutnya. Seperti biasa, suasana hati Whitaker sangat suram, yang
menjadi lebih buruk lagi karena pertemuan itu berlangsung pada hari Sabtu.
Dengan cepat mereka memesan dan begitu pelayan pergi, Whitaker berkata,
"Aku ridak suka perempuan itu-"
"Francesca""
"Ya, si pemandu tur. Kita belum pernah menggunakan dia, bukan""
"Benar. Tenang saja, jangan khawatir. Ia tidak tahu apa-apa."
"Bagaimana rupanya""
"Lumayan menarik."
"Lumayan menarik bisa berarti apa saja, Luigi. Berapa umurnya""
"Aku tidak pernah bertanya Dugaan paling baik, empat puluh lima."
"Sudah menikah""
"Ya, tak punya anak Ia menikah dengan pria tua yang kesehatannya sangat
buruk. Orang itu s ekarat." > '. Seperti biasa, Whitaker mencoret-coret di catatannya, memikirkan
pertanyaan berikutnya. "Sekarat" Kenapa""
"Kurasa karena kanker. Aku tidak banyak ber-tanya."
"Mungkin sebaiknya kau lebih banyak bertanya."
"Mungkin wanita itu tidak ingin membicarakan beberapa hal tertentu-
usianya dan suaminya yang sudah hampir mati." "Di mana kau menemukan dia""
Tidak mudah. Guru bahasa tidak antre seperti taksi. Ada teman yang
merekomendasikan dia Aku bertanya ke sana kemari. Ia punya reputasi baik di
kota itu. Dan kebetulan ia bersedia. Hampir mustahil menemukan guru bahasa
yang mau menghabiskan tiga jam setiap hari dengan muridnya" "Setiap hari""
Hampir setiap hari selain akhir pekan. Ia mau bekerja setiap siang untuk
sekitar satu bulan ke depan. Sekarang ini belum musim turis. Ia mungkin punya
pekerjaan satu atau dua kali seminggu, tapi berusaha tetap pada jadwal yang
disepakati. Tenang, ia cukup bagus." "Berapa bayarannya""
"Dua ratus euro seminggu, sampai musim semi ketika turis mulai ramai."
Whitaker memutar bola matanya, seolah jurulah itu harus dipangkasnya dari
uang gajinya "Biaya Marco tinggi sekali," ia berkata, seperu pada din sendiri.
"Marco punya ide bagus. Ia ingin pergi Australia atau Selandia Baru atau
tempat lajn j! mana ridak ada kendala bahasa."
"Ia ingin dipindah""
"Ya, dan menurutku itu ide bagus. Mari Icjta buang dia ke tempat lain."
"Bukan kita yang mengambil keputusan, kan Luigi""
"Memang bukan."
Pesanan salad riba dan mereka pun diam selama beberapa saat. Kemudian
Whitaker berkata, "Aku tetap tidak menyukai wanita itu. Teruslah mencari
orang lain." Tidak ada orang lain lagi. Apa sebenarnya yang kaukhawatirkan""
"Marco punya sejarah dengan kaum wanita, oke" Selalu ada kemungkinan
romansa bersemi. Wanita itu bisa mengacaukan banyak hal."
"Aku sudah memperingatkan wanita itu. Lagi pula ia butuh uangnya"
Ta tidak punya uang""
"Aku mendapat kesan kondisi keuangannya sedang sulit. Sekarang bukan
musim turis dan suaminya tidak bekerja."
Whitaker nyaris tersenyum, seakan iru kabar baik Dijejalkannya seiri" besar
tomat ke dalam mulur dan dikunyahnya sambil menyapukan pandang ke
trattoria itu, fcalau-kalau ada orang
yang menguping pembicaraan mereka yang dilangsungkan dalam bahasa
Inggris dengan suara pelan. Ketika akhirnya bisa menelan, ia berkata, "Sekarang
masalah e-mail. Marco sama sekali bukan tipe hacker. Pada masa jayanya dulu,
ia hidup dengan teleponnya-ia punya empat atau lima pesawat telepon di
kantornya, dua di mobil, satu di dalam saku-selalu menerima tiga telepon
sekaligus. Sering membual ia menagihkan lima ribu dolar hanya untuk
menerima telepon dari klien baru, omong kosong semacam itu. Tidak pernah
menggunakan komputer. Orang-orang yang bekerja padanya mengatakan ia
sesekali membaca e-mail. Ia jarang mengirim e-mail, dan kalaupun
mengirimkannya, sekretarisnyalah yang melakukannya. Kantornya penuh
peralatan berteknologi tinggi, tapi ia membayat orang untuk melakukan
pekerjaan kasar. Ia terlalu penting."
"Bagaimana ketika ia di penjara""
Tidak ada bukti pengiriman e-mail. Ia mempunyai laptop yang digunakannya
untuk menulis surat, bukan e-mail. Tampaknya semua orang menjauhinya
ketika ia jatuh. Sekali-sekali ia menulis surat kepada ibunya dan putranya, tapi
selalu melalui pos biasa."
"Kedengarannya ia sama sekali buta huruf/' "Kedengarannya begitu, tapi
Langlcy khawatir ia akan mencoba menghubungi seseorang di luar.
h ridak bisa melakukannya Jewac telepon, paling ridak sekarang ini. la ridak
punya alamat lain yang bisa dipakai, jadi mungkin surat tidak perlu
dicemaskan." "Bodoh sekali kalau ia menulis sura r," kara Luigi. "Iru bisa membongkar
keberadaannya." Tepat Begitu pula telepon, faks, dan segalanya, kecuali e-mail." "Kita bisa
melacak e-mail." "Sebagian besar bisa, tapi selalu ada cara." Ta ridak punya
komputer maupun uang untuk membelinya."
"Aku tahu, tapi secara hipotesis, ia bisa saja menyelinap ke kafe Internet,
menggunakan account berkode, mengirim e-mail, dan menghapus jejaknya,
mengeluarkan sedikit uang untuk membayar pihak rental, lalu pergi."
"Bisa saja, tapi siapa yang akan me
The Broker Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngajarinya cara melakukannya""
"Ia bisa belajar. Ia bisa menarinya di buku. Memang kecil kemungkinannya,
tapi bukan berarti tidak ada sama sekali"
"Aku menyisir apartemennya setiap hari," ujar Luigi. "Setiap jengkalnya.
Kalau ia membeli buku atau meletakkan bon pembelian, aku pasti tahu."
"Selidiki dengan cermat kafe-kafe Internet di sekitar situ. Sudah ada
beberapa di Bologna sekarang"
"Aku tahu semuanya."
"Di mana Marco sekarang""
"Aku tak tahu. Sekarang hari Sabtu, hari liburnya. Ia mungkin menjelajahi
jalanan Bologna, menikmati kebebasannya."
"Dan ia masih ketakutan""
"Ngeri." Mrs. Ruby Aus berry menelan pil sedatif ringan dan teridap selama enam
jam dari delapan jam waktu terbang dari Milano ke Dulles International. Kopi
suam-suam kuku yang mereka sajikan sebelum mendarat nyaris tak sanggup
menyibakkan kabut kantuk, dan ketika pesawat 747 itu meluncur menuju
gerbang kedatangan, ia sudah mulai tertidur lagi. la lupa pada kartu ulang
tahun itu ketika mereka digiring ke mobil-mobil pengangkut ternak yang
menunggu di landasan dan mengantar mereka ke terminal utama. Ia melupakan
kartu itu ketika bersama penumpang-penumpang lain menunggu bagasi dan
betbondong-bondong melewati pemeriksaan imigrasi. Dan ia pun melupakannya
ketika ia melihat cucu perempuan yang ia sayangi
" i i: ninrti keluar terminal ke-sudah menunggunya di pintu aeiu"i
datangan. . , , " "
o . "omnai ia sudah tiba de-Ia melupakan kartukuisamp"
ngan selamat di rumahnya di
dan mengais-ngais tas cangklongnya mencari oU oleh. "Oh, astaga," katanya
ketika kartu itu jatuh di meja dapur. "Seharusnya aku memasukkan kartu ini ke
bus surat di bandara tadi." Lalu ia bercerita pada cucunya tentang pria malang
di bandara Milano yang kehilangan paspor dan terpaksa tak bisa hadir pada hari
ulang tahun ayahnya yang kesembilan puluh.
Cucunya mengamati amplop itu. "Kok tidak sepera kartu ulang tahun""
katanya. Ia membau alamatnya: R.N. Backman, Attorney at Law, 412 Main
Street, Culpepet, Virginia, 22701.
"Tidak ada alamat pengirimnya," ujar si cucu perempuan.
"Aku akan mengirimkannya besok pagi-pagi sekali," kata Mrs. Ausberry.
"Kuharap bisa sampai sebelum hari ulang tahunnya."
17 Pada pukul sepuluh pagi di Singapura, dana misterius sejumlah tiga juta
dolar yang sudah mendekam di rekening Old Stone Group, Ltd, mendadak
meninggalkan tempatnya secara elektronis dan memulai perjalanan diam-diam
menuju belahan dunia yang lain. Sembilan jam kemudian, ketik* Pwtu-pintu
Galleon Bank and Trust di Pulau Saint Christopher di Kepulauan Karibia dibuka,
dana itu langsung diterima dan dimasukkan ke rekening Jwnomor tanpa nama.
Lazimnya, peristiwa 'tu Walah transaksi anonim biasa, salah satu dan nb"an
transaksi serupa pada Senin pag| "o" " J"*un Old Stone telah mendapat V^g^
dari PBI. Bank di Singapura ^ M "Ma sepenuhnya. Bank di Saint Christ P
demikian halnya, walau rak berapa lama lagi akan mendapat kesempatan
untuk berpartisipasi. Ketika Direktur Anthony Price tiba di kantornya di Hoover Building sebelum
fajar merekah pada hari Senin itu, memo berisi berita panas telah
menunggunya. Ia membatalkan semua kegiatan j yang sudah direncanakan pagi
itu. Bersama timnya ia menunggu dana tersebut mendarat di Saint Christopher.
Lalu ia menelepon Wakil Presiden. Makan waktu empat jam pemaksaan yang
sama sekak tidak diplomatis untuk mengguncang Saint Christophet dan
merontokkan informasi dari sana. Pada awalnya para bankir tersebur tetap
bergeming, tapi negara yang nyaris tak bisa disebut negara ku tentu tak mampu
bertahan melawan kekuatan dan amarah satu-satunya negara adidaya di dunia.
Sewaktu Wakil Presiden mengancam perdana menteri negara tersebut dengan
sanksi ekonomi dan perbankan yang akan menghancurkan perekonomian kecil
yang menjadi rulang punggung pulaunya, sang perdana menteri akhirnya,
bertekuk lutut dan ganti melabrak para bankirnya.
Rekening angka tersebut dapat dilacak dan secara langsung mengarah pada
Artie Morgan, putra sang mantan presiden yang berusia 31 tahun. Ia JaJuar-masuk Oval Office selama jam-jam terakhir pemerintahan ayahnya, menyesap
bir Heineken f dan sekali-sekali mem berikan saran kepada Critz
dan sang Presiden. Skandal itu semakin panas seiring berlalunya
waktu. Dari Grand Cayman ke Singapura dan sekarang ke Saint Christopher, transfer
kawat itu memperlihatkan tanda-tanda jelas seorang amatir yang berusaha
menutupi jejak-jejaknya. Seorang profesional akan memecah dana tersebut
menjadi delapan dan memarkir masing-masing bagian di sejumlah bank yang
berbeda di beberapa negara, lalu mentransfernya satu per satu dengan selang
waktu beberapa bulan. Kenyataannya, pemain pelonco seperti Artie pun
semestinya bisa menyimpan dana tersebut. Bank-bank luar negeri yang ia pilih
bersedia bekerja sama untuk melindunginya. Hanya saja, FBI berhasil
mendapatkan terobosan berkat bajingan penipu dana bersama yang
kelimpungan mencari jalan keluar untuk menghindari hukuman penjara.
Namun demikian, masih belum ada bukti dari mana dana tersebut berasal.
Selama tiga hari ter-akhk masa baktinya, Presiden Morgan memberikan 22
pengampunan hukuman. Di antara semua itu, hanya dua yang menarik
perhatian: Joel Backman dan Duke Mongo. FBI berupaya keras menggali
informasi keuangan tentang kedua puluh orang yang lain. Siapa yang mungkin
mempunyai tiga 289 juta dolar" Siapa yang memiliki sumber untuk mendapatkannya" Semua
teman, anggota keluarga, dan rekan bisnis diselidiki dengan cermat oleh FBI.
Analisis awal menyatakan apa yang sebelumnya telah diketahui Mongo
memiliki dana miliaran dolar dan mental yang korup sehingga bisa menyogok
siapa saja, Backman pun bisa melakukannya. Kemungkinan ketiga adalah
mantan anggota legislatif dan New Jersey yang mengeruk banyak keuntungan
untuk "keluarganya" dari kontrak pembangunan jalan pemerintah. Dua belas
tahun yang lalu, ia masuk ke "kamp fedetal" selama beberapa bulan dan
sekarang ingin hak-haknya dipulihkan kembali.
Presiden sedang berada di Eropa dalam rangkaian kunjungan perkenalan,
putaran kemenangannya yang pertama keliling dunia. Baru tiga hari lagi ia akan
kembali, dan Wakil Presiden memutuskan untuk menunggu. Mereka akan
mengawasi dana itu, memeriksa ulang semua fakta dan detail hingga dua-tiga
kali. Saat Presiden kembali, mereka akan menyajikan kasus yang solid. Skandal
jual-beli pengampunan hukuman akan menyengat negara ini. Partai oposisi
akan dipermalukan dan resolusinya di Kongres akan melemah. Anthony Price
dipastikan akan tetap menjabat sebagai direktur FBI selama beberapa tahun
lagi. Teddy Maynard pada akhirnya akan dikirim ke panti jompo. Tidak ada "isi
buruk dalam serangan besar-besaran FBI melawan mantan
presiden yang sama sekali tidak curiga.
Gurunya sudah menunggu di barisan bangku belakang Basilica di San
Francesco. Wanita itu terbungkus pakaian rapat, tangannya yang mengenakan
sarung tangan setengah tersembunyi di dalam saku mantelnya yang tebal. Di
luar turun hujan salju lagi, dan di dalam tempat ibadah yang luas, dingin, dan
kosong itu, suhu udara tidak lebih hangat daripada di luar. Marco duduk di
sebelahnya dan dengan suara pelan menyapa, "Buon porno."
Wanita itu membalasnya dengan senyum sekadarnya yang cukup untuk
disebut sopan, dan berkata, "Buon giorno." Marco tetap menyimpan tangannya
di dalam saku, dan untuk waktu yang , cukup lama mereka duduk saja seperti
dua pendaki gunung kedinginan yang sedang berlindung dari dahsyatnya cuaca.
Seperti biasa, wajah Francesca tampak muram dan pikirannya berkelana jauh
dari pengusaha Kanada kikuk yang ingin mempelajari bahasanya, la kelihatan
tak ambil pusing dan j pikirannya sibuk sendiri, dan Marco pun muak dengan
tingkahnya. Ermanno makin kehilangan : minat dari hari ke hari. Francesca
nyaris tak bisa diajak kompromi. Luigi selalu ada di belakang
191 sana, mengendap-endap dan mengawasi, tapi ja pun sepertinya sudah
kehilangan minat pada permainan ini.
Marco mulai berpikir akan terjadi sesuatu tak lama lagi. Potong tali
pelampungnya dan biarkan ia mengapung sendiri, entah berenang atau
tenggelam. Biarkan saja. Sudah hampir satu bulan ia menjadi orang bebas. Ia
sudah mempelajari cukup banyak bahasa Italia untuk bertahan hidup. Ia pasti
biasa belajar sendiri lebih banyak lagi.
"Jadi berapa usia gereja ini
"" tanya Marco setelah jelas bahwa ia yang
pertama kali diharapkan memecahkan keheningan.
Wanita itu beringsut sedikit, berdeham, mengeluarkan kedua tangannya dari
saku, seolah Marco telah membangunkannya dari tidur yang lelap. "Gereja ini
mulai dibangun pada tahun 1236 oleh biarawan-biarawan Fransiskan. Tiga puluh
tahun kemudian aula utama selesai dibangun." "Pekerjaan yang terburu-buru."
"Ya, memang cukup cepat. Selama berabad-abad sesudahnya, kapel-kapel
mulai dibangun di kedua sisinya. Sakristi kemudian dibangun, lalu menara
loncengnya Pada tahun 1798, Prancis, di bawah Napoleon, mengubah tempat
ibadah ini menjadi kantor pabean. Pada tahun 1886, bangunan ini kembal
menjadi gereja, lalu direstorasi pada tahun 1928. Kak" Bologna dibom Sekutu,
bagian fasad-nya rusak berat. Bangunan ini memang memiliki sejarah yang keras."
Tidak tampak cantik dari luar."
"Begitulah akibat pemboman."
"Kurasa itu karena kalian keliru memihak."
"Bologna tidak berpikir begitu."
Tak ada perlunya menghidupkan perang yang sudah berlalu. Mereka terdiam
sementara suara mereka seolah mengambang naik dan bergaung pelan di dalam
kubah. Ketika Backman masih kecil, ibunya mengajaknya ke gereja beberapa
kali dalam setahun, tapi upaya setengah hati untuk memperdalam iman
tersebut dengan segera ditinggalkan pada masa SMA dan sama sekali terlupakan
selama empat puluh terakhir. Penjara pun tidak sanggup membujuknya
kembali, tak seperti beberapa narapidana lain. Namun bahkan pria yang tak
memiliki kepercayaan apa pun itu sulit memahami bagaimana pemujaan dalam
bentuk apa pun bisa dilangsungkan di tempat serupa museum yang begitu
dingin dan tak bernyawa. "Gereja ini begitu kosong. Memangnya pernah ada orang yang beribadah di
sini" "Ada misa harian dan hari Minggu. Aku dulu
menikah di sini." "Seharusnya kau tidak menceritakan kisah pribadimu. Luigi bisa marah."
_ . * i Tnlia. Marco, tidak boleh
"Gunakan bahasa Italia, 1VHM
bahasa Inggris lagi." Dengan bahasa Italia, ia ber tanya, "Apa yang
kaupela/ari pagi ini benam; Ermanno"" "La famiglia."
"La sua famiglia. Mi dica." Keluargamu. Cerita-kanJah padaku. "Berantakan,"
ujar Marco dalam bahasa Inggris. "Sua moglie""Istrimu" "Yang mana" Aku punya
tiga." "Bahasa Italia." "Quale"Ne ho tre." "L'ultima." Yang terakhir. Lalu Marco
menahan diri. Ia bukan Joel Backman, yang mempunyai tiga mantan istri dan
keluarga berantakan. Ia Marco Lazzeri dari Toronto, yang memiliki seorang
istri, empat anak, dan lima cucu. "Aku bergurau," katanya dalam bahasa
Inggris. "Aku cuma punya satu istri."
"Mi duo, in Italiano, di sua moglie." Ceritakan tentang istrimu.
Dengan bahasa Italia yang lambat, Marco menggambarkan istri rekaannya.
Namanya Laura. Umurnya 52 tahun. Ia tinggal di Toronto. Ia bekerja di
perusahaan kecil. Ia tidak suka bepergian. Dan seterusnya.
Setiap kalimat diulang paling tidak tiga kali. Setiap pengucapan yang salah
disambut kernyitan dan ucapan singkat, "Ripeta." Berulang-ulang Marco
ia/. bercerita tentang Laura yang tak pernah ada. Ketika ceritanya tentang
Laura habis, ia digiring untuk ber-cerira tentang putra sulungnya, rekaan juga,
yang satu ini namanya Alex. Usianya tiga puluh tahun, bekerja sebagai
pengacara di Vancouver, bercerai, memiliki dua anak, dst, dst.
Untungnya, Luigi telah memberinya biografi kecil tentang Marco Lazzeri,
lengkap dengan semua detail yang diingat-ingatnya kembali di bangku belakang
gereja yang dingin menggigit itu. Francesca mendorongnya terus, memaksanya
menuju kesempurnaan, memperingatkannya agar tidak betbicara terlalu cepat,
kecenderungan yang alami.
"Deve parlare lentamente," ujarnya berkali-kali. Kau harus bicara perlahan.
Francesca sangat tegas dan tanpa humor, tapi juga membuatnya
termotivasi. Kalau bahasa Italia Marco separo saja kemampuan Francesca
berbahasa Inggris, tentu ia akan berhasil baik Jika Francesca yakin
kemampuannya akan meningkat dengan pengulangan kalimat, ia pun akan
melakukan hal yang sama. Ketika mereka sedang membicarakan ibu Marco,
seorang pria berumur memasuki gereja dan duduk
di barisan bangku tepat di depan mereka. Tak lama
kemudian bapak itu tenggelam
dalam meditasi dan doa. Mereka memutuskan untuk keluar tanpa
_, _. Calm tipis masih turun dari langit
mengganggu. o"Ju " "
dan mereka berhenti di kafe pertama yang mereka lihat, untuk minum
espresso dan merokok "iaesso, possiamo parlare della sua familia"" tanya Marco. Bisakah kita
berbicara tentang keluargamu sekarang"
Francesca tersenyum, memperlihatkan geliginya; yang sangat jarang
terjadi. Lalu ia berkata, 'Benissimo, Marco." Bagus sekali. "Ma, non possiamo. Mi
displace." Tapi, maafkan aku. Kita tidak bisa melakukannya.
"Perche non"" Mengapa tidak"
"Abbiamo delle regole." Kita punya peraturan.
"Dove suo marito"" Di mana suamimu berada"
"Qui, a Bologna." Di sini, di Bologna.
"Dove lavora"" Di mana ia bekerja"
"Non lavora." Setelah rokoknya yang kedua, mereka berjalan kembali ke arah trotoar
bernaungan dan memulai pelajaran mendalam tentang salju." Francesca
mengatakan kalimat pendek dalam bahasa Inggris, lalu Marco harus
menerjemahkannya. Salju turun. Di Florida tak pernah turun salju. Mungkin
besok akan turun salju. Minggu lalu, hujan salju turun dua kali. Aku suka salju.
Aku tidak suka salju. Mereka menyusuri tepi alun-alun utama dan tetap berjalan di bawah
portico. Di Via Rizzoli, mereka melewati toko tempat Marco membeli sepatu
bot dan jaketnya, dan menurutnya Francesca akan
296 senang mendengar cerita tentang peristiwa itu. Marco mampu menangani
pembicaraan dalam bahasa Italia. Namun ia mengurungkan niat, karena
tampaknya Francesca begitu berkonsentrasi dengan obrolan tentang cuaca. Di
persimpangan, mereka berhenti dan memandang Le Due Torri, dua menara
yang masih berdiri, yang menjadi kebanggaan penduduk Bologna.
Dulu pernah terdapat lebih dari dua ratus menara, jelas Francesca. Lalu ia
meminta Marco mengulang kalimat tersebut. Marco mencobanya, mengucapkan
bentuk lampau dan angkanya dengan ngawur, kemudian diminta mengulang
kalimat keparat itu sampai ia mengatakannya dengan benar.
Di abad pertengahan, untuk alasan-alasan yang tak pernah bisa diterangkan
oleh bangsa Italia zaman sekarang, nenek moyang mereka mengembangkan
ketertarikan arsitektur yang tak biasa dengan membangun menara-menara
jangkung dan langsing untuk tempat tinggal mereka. Karena perang antarsuku
dan kerusuhan setempat menjadi sesuatu yang biasa dan menyebar cepat,
menara-menara itu utamanya dijadikan tempat perlindungan. Bangunan
tersebut bisa menjadi pos pengamatan yang bagus dan sangat penting artinya
saat terjadi serangan, sekalipun tidak terlalu praktis sebagai tempat tinggal.
Untuk melindungi persediaan pangan, dapur dibangun di lantai tertinggi,
tiga ratusan anak tangga dari tanah, sehingga tak \ mudah mencari
pembantu yang bisa diandalkan. Ketika pecah perlawanan, keluarga-keluarga
yang bermusuhan tinggal melontarkan anak-anak panah dan melemparkan
tombak dari satu menara ke menara yang lain. Tak ada perlunya berperang di
jalanan sepera orang kebanyakan.
Menara-menara tersebut juga menjadi simbol status. Kaum bangsawan dan
The Broker Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang-orang terhormat tak rela bila tetangga dan/atau musuhnya memiliki
menara yang lebih tinggi, jadi pada abad ketiga belas dan keempat belas
muncullah perlombaan aneh yang melanda kaki langit Bologna, ketika para
aristokrat berusaha menyaingi tetangga-tetangganya. Kota itu pun dijuluki la
turrita, yang bermenara. Seorang pengelana dari Inggris menggambarkannya
sebagai "lautan asparagus".
Pada abad keempat belas, pemerintahan yang terorganisir baik berhasil
mengokohkan kekuasaannya di Bologna, dan orang-orang yang memiliki visi
tahu bahwa perseteruan itu harus dihentikan. Kota tersebut, bilamana memiliki
cukup tenaga kerja, merobohkan sebagian besar menara-menara ku. Pekerjaan
pembongkaran sebagian yang lain diambil alih oleh waktu dan gaya gravitasi-
fondasi yang buruk membuatnya roboh sendiri setelah be-berapa abad.
Pada akhir 1800-an, muncul gerakan untuk meruntuhkan semua menata,
tapi hanya mendapat sedikit dukungan. Cuma dua menara yang bertahan-
Asinelli dan Garisenda. Keduanya berdiri berdekatan di Piazza di Porto
Ravegnana, tak satu pun berdiri tegak lurus. Garisenda condong ke utara pada
sudut yang sangg up menyaingi menara yang lebih cantik dan lebih terkenal,
yang ada di Pisa. Kedua menara yang masih berdiri itu telah memicu timbulnya
banyak julukan selama berpuluh-puluh tahun. Seorang penyair Prancis
mengibaratkan mereka sebagai dua pelaut mabuk yang terseok-seok pulang,
saling menyandarkan tubuh ke yang lain agar tidak roboh. Buku panduan
Ermanno menyebut mereka "Laurel dan Hardy" dari masa arsitektur abad
pertengahan. La Torre degii Asinelli dibangun pada awal abad kedua belas, dan, dengan
tinggi 97,2 meter, dua kali lebih jangkung daripada rekannya. Garisenda mulai
miring ketika hampir selesai dibangun pada abad ketiga belas, dan langsung
dipenggal setengahnya demi mencegah kemiringan lebih lanjut. Klan Garisenda
kehilangan minat dan meninggalkan kota tersebut dengan menanggung malu.
Marco pernah mempelajari sejarah tersebut dari buku panduan Ermanno.
Francesca tidak mengetahuinya, dan ia, sebagai pemandu yang baik,
menghabiskan lima belas menit dalam udara dingin untuk bercerita rentang
menara-menara yang terkenal itu. Ia menyusun kalimat sederhana,
mengucapkannya dengan sempurna, membantu Marco terbata-bata
mengulanginya, lalu dengan enggan beralih ke kalimat lain.
"Asinelli memiliki empat ratus sembilan puluh delapan anak tangga hingga
ke puncaknya," ujar Francesca.
"Andiomo," ujar Marco segera. Ayo. Mereka memasuki fondasi menara yang
besar melalui pintu sempit, menaiki tangga melingkar setinggi kurang-lebih
lima belas meter sampai ke bilik penjualan tiket yang terjepit di suatu sudut.
Marco membeli dua tiket yang masing-masing harganya tiga euro, dan mereka
pun mulai mendaki. Menara itu bolong di tengah, dengan tangga yang
menempel di dinding paling luar.
Francesca mengatakan, paling tidak sudah sepuluh tahun ia tidak naik ke
menara itu, dan sepertinya bersemangat dengan petualangan kecil mereka. Ia
mulai menaiki anak-anak tangga sempit dari kayu ek, sementara Marco
menjaga jarak di belakangnya. Sesekali terdapat jendela terbuka, sehingga ada
udara dan cahaya yang menembus masuk "Atur sendiri langkahmu," kata
Francesca dalam bahasa Inggris sambil menoleh ke belakang, ketika ia mulai
jauh dari Marco. Pada siang hari di
bulan Februari yang bersalju itu, tidak ada orang yang berminat mendaki ke
puncak kota. Marco mengatur kecepatannya dan segera saja Francesca lenyap dari
pandangan. Sekitar setengah jalan ke puncak, Marco berhenti di jendela lebar
yang terbuka sehingga angin bisa menyejukkan wajahnya. Ia berhasil mengatur
napas, lalu mendaki lagi, kali ini lebih lambat. Beberapa menit kemudian, ia
berhenti lagi, jantungnya berdegup kencang, paru-parunya kembang-kempis,
benaknya bertanya-tanya apakah ia sanggup sampai ke puncak Setelah 498
anak tangga, akhirnya ia muncul di kotak sempit di bawah atap dan melangkah
ke puncak menara. Francesca sedang merokok, menera-wangi kotanya yang
indah, tak terlihat setitik keringat pun di wajahnya.
Pemandangan dari puncak sungguh mengagumkan. Atap-atap rumah
bergenting merah sekarang tertutup salju putih setebal lima sentimeter. Kubah
hijau pucat San Bartolomeo ada di bawah atap-atap itu, tidak terkubur di
bawah salju. "Pada hari cerah, kau bisa melihat Laut Adriatik di sebelah timur,
dan Pegunungan Alpen di utara," kata Francesca, masih berbahasa Inggris.
"Indah sekali, bahkan ketika terlapisi salju."
"Indah sekali," kata Marco, napasnya tersengal-sengal. Angin bertiup melalui
jeruji besi di antara batu bata, dan udara di puncak Bologna lebih dingin daripada di jalanan di
bawah. "Menara ini adalah bangunan kelima tertinggi di Italia zaman kuno," kata
Francesca bangga. Marco yakin wanita itu bisa menyebutkan keempat bangunan
yang lain. "Mengapa menara ini dipertahankan"" tanya Marco.
"Untuk dua alasan, kurasa. Menara ini memiliki rancangan dan konstruksi
yang bagus. Asinelli keluarga yang kuat dan- berkuasa. Dan bangunan ini pernah
digunakan sebagai penjara pada abad keempat belas, ketika banyak menara
lain dihancurkan. Sesungguhnya, tak ada orang yang benar-benar tahu mengapa
menara ini dipertahankan.'' Pada ketinggian sembilan puluh meter, Francesca
menjadi orang yang berbe da. Matanya berbinar, suaranya terdengar hidup.
"Pemandangan ini selalu mengingatkanku mengapa aku mencintai kotaku,"
karanya sambil menyunggingkan senyum langka. Bukan senyum yang ditujukan
pada Marco, bukan pada apa pun dikatakannya, tapi pada atap bangunan dan
kaki langit Bologna Mereka menyeberang ke sisi lain dan memandang kejauhan
di sebelah barat daya. Di atas bukit di atas kota, samar-samar terlihat
Santuario di San Luca, malaikat pelindung kota itu.
"Kau pernah ke sana"" tanya Francesca.
"Belum." "Kita akan pergi ke sana bila cuaca cerah, oke""
"Baik." "Banyak yang harus kita lihat."
Barangkali ia tidak akan memecat Francesca. Marco begitu mendambakan
pertemanan, terutama dari lawan jenis, sehingga ia sanggup menolerir
ketidakacuhan Francesca, kemuramannya, serta perubahan suasana hatinya.
Marco bahkan akan belajar lebih giat lagi demi memperoleh pengakuan
darinya. . Bila perjalanan mendaki Menara Asinelli telah meningkatkan semangat
Francesca, perjalanan turun mengembalikan lagi sikapnya yang murung. Mereka
minum espresso sebentar di dekat menara dan kemudian berpisah jalan. Ketika
Francesca berjalan menjauh tanpa pelukan yang palsu, tanpa kecupan di pipi,
bahkan tanpa jabat tangan sopan santun, Marco memutuskan untuk
memberinya walau satu minggu lagi.
Diam-diam ia menempatkan Francesca pada masa percobaan. Wanita itu
punya waktu tujuh hari untuk bersikap lebih manis, kalau tidak Marco akan
menghentikan kegiatan belajar-mengajar ini. Hidup ini terlalu singkat.
Namun, Francesca cantik juga sih.
Amplop itu dibuka oleh sekretarisnya, seperti semua surat yang datang
kemarin dan kemarin dulu. Tapi di dalam amplop itu terdapat amplop lain,
yang ditujukan kepada Neal Backman. Di muka dan belakang amplop, dalam
huruf-huruf kapital tebal, tertulis peringatan serius: PRIBADI, RAHASIA, HANYA
BOLEH DIBUKA OLEH NEAL BACKMAN.
"Anda mungkin mau melihat yang paling atas lebih dulu," ujar sekretarisnya
ketika mengantarkan tumpukan tebal surat-surat yang masuk itu pada pukul
sembilan pagi. "Prangkonya distempel dua hari yang lalu di York, Pennsylvania."
Sewaktu sekretaris itu menutup pintu di belakangnya, Neal meneliti amplop
tersebur. Warnanya cokelat muda, tanpa tanda-tanda apa pun kecuali yang
sudah ditulis tangan oleh si pengirim. Tulisan itu tampak familier.
Dengan pisau pembuka surat, dengan perlahan dibukanya bagian atas
amplop tersebut, lalu dikeluarkannya selembar kertas putih yang terlipat. Surat
itu dari ayahnya. Mengejutkan, namun demikian tidak juga.
Dear Neal; 21 Feb Sementara ini aku aman, tapi keadaan ini kurasa tak akan bertahan lama.
Aku memerlukan bantuanmu. Aku tidak punya alamat, tidak punya telepon
maupun mesin faks, dan bila memilikinya pun aku tidak yakin dapat menggunakannya. Aku perlu
akses e-mail, sesuatu yang tidak dapat dilacak. Aku tidak tahu bagaimana
mendapatkannya, tapi aku tahu kau bisa. Aku tidak punya komputer dan tidak
punya uang. Ada kemungkinan besar kau diawasi, jadi apa pun yang
kaulakukan, kau tidak boleh meninggalkan jejak. Tutupi semua jejakmu. Tutupi
jejakku. Jangan percaya pada siapa pun. Amati segalanya. Simpan surat ini,
lalu hancurkan. Kirimi aku uang sebanyak yang mungkin kaukirimkan. Kau tahu
aku akan menggantinya nanti. Jangan pernah gunakan nama aslimu atau apa
pun juga. Gunakan alamat ini:
Sr. Rudolph Viscovitch, Universita degli Studi, Universitas Bologna, Via
Zamboni 22, 44041, Bologna, Italia. Gunakan dua amplop-yang pertama
ditujukan pada Viscovitch, yang kedua padaku. Dalam suratmu padanya,
katakan padanya agar menyimpankan kirimanmu itu untuk Marco Lazzeri.
Cepatlah! Love, Marco Neal meletakkan surat itu di mejanya dan berjalan ke pintu untuk
menguncinya. Ia duduk di sofa kecil berlapis kulit dan berusaha menata pi-kiran. Ia telah memutuskan bahwa ayahnya ada di luar negeri, karena kalau
tidak, ia pasti akan mengontaknya jauh sebelum ini. Mengapa ia ada di Italia"
Mengapa surat ini dikirim dari York, Pennsylvania"
Istri Neal tidak pernah bertemu ayah mertuanya. Backman sudah dipenjara
selama dua tahun ketika Neal dan istrinya bertemu, lalu menikah. Mereka
mengirim fot o-foto pernikahan ke penjara, kemudian sebuah foto putri
mereka,-cucu perempuan Joel yang kedua.
Neal tidak senang membicarakan ayahnya. Maupun memikirkannya. Joel
bukan ayah teladan, sering tak ada hampir di sepanjang masa kecilnya, dan
kejatuhannya yang mengejutkan dari kekuasaan telah mencoreng muka orang-orang yang dekat dengannya. Dengan enggan Neal mengirim surat dan kami
selama masa tahanannya, tapi ia bisa dengan jujur mengatakan, paling tidak
pada diri sendiri dan istrinya, bahwa ia tidak kehilangan ayahnya. Toh ia nyaris
tak pernah berada dekat-dekat ayahnya.
Sekarang ayahnya kembali, meminta uang yang tak dimiliki oleh Neal, tanpa
ragu beranggapan Neal akan melakukan apa yang diperintahkan, dengan tenang
mempertaruhkan keselamatan orang lain.
Neal kembali menghampiri meja kerjanya dan membaca lagi surat itu, lalu
sekali lagi. Tulisan 306 cakar ayam yang nyaris tak bisa dibaca itu sama seperti yang sering
dilihatnya selama hidupnya. Dan metode operasinya pun sama, di rumah
maupun di kantor. Lakukan ini, ini, dan ini, dan semuanya pasti berhasil.
Lakukan dengan caraku, dan lakukan sekarang juga! Cepat! Pertaruhkan
segalanya karena aku membutuhkanmu.
Dan bagaimana bila segalanya berjalan lancar dan sang broker kembali" Ia
pasti tidak akan memiliki wakru luang untuk Neal dan cucunya. Bila diberi
kesempatan lagi, Joel Backman, 52 tahun, pasd akan berjaya lagi dalam
lingkaran kekuasaan Washington. Ia akan berteman dengan orang-orang yang
tepat, menggiring klien-klien yang tepat, menikahi wanita yang tepat,
menemukan parrner-partner yang tepat, dan dalam setahun, sekali lagi ia akan
bekerja dalam kantornya yang luas tempat ia menagihkan uang jasa dalam
jumlah tak tanggung-tanggung dan menyiksa para anggota Kongres. .
Hidup ini terasa lebih sederhana ketika ayahnya masih dipenjara.
Apa yang akan dikatakannya pada Lisa, istrinya" Sayang, uang dua ribu dolar
yang kita kubur dalam tabungan itu hendak diminta. Ditambah beberapa rams
dolar untuk sistem e-mail rahasia. Kau dan putri kita sebaiknya mengunci pintu
sepanjang waktu karena hidup ini menjadi berbahaya.
Pada hari yang berubah drastis itu, neal meminta sekretarisnya untuk
menahan semua telepon masuk. Diregangkannya tubuhnya di sofa, dilepasnya
sepatunya, lalu ia memejamkan mata dan mulai memijat-mijat pelipisnya.
18 Duma perang kecil yang keji antara CIA dan FBI, kedua belah pihak sering
kali menggunakan beberapa wartawan tertentu untuk alasan-alasan taktis.
Serangan-serangan yang sudah dipertimbangkan akan dilancarkan, serangan
balasan h tangkis, langkah mundur yang buru-buru segera ditutupi, bahkan
pengendalian kerusakan^isa^ implementasikan dengan memanipulasi Sandberg
memiliki sumber-sumber dan^ ^ belah pihak selama dua puluh ^""^^ diberi
bersedia dirinya dimanfaatkan "1 "^y^ ja imbalan informasi yang benar,
jug" ^ Je_ Pun bersedia mengemban pera" angkatan
ngan hati-hati bergerak di anK^.p ^akt untuk dengan men
yebarkan sosip^cwlioi Pihftk ,ain' menjajaki seberapa jauh
Dalam upayanya mengonfirmasi kabar bahwa FBJ sedang melakukan
investigasi skandal penjualan pengampunan hukuman, ia pun mengontak
sumber CIA-nya yang paling dapat diandalkan. Seperti biasa, ia disambut
tembok batu, tapi tak sampai 48 jam kemudian tembok itu diturunkan.
Kontaknya di Langiey adalah Rusty Lowell, pegawai karier yang kelelahan,
dengan jabatan berganti-ganti. Apa pun jabatannya, pekerjaan sesungguhnya
adalah mengawasi media dan memberikan nasihat pada Teddy Maynard tentang
bagaimana memanfaatkah dan menyalahgunakan media. Ia bukan informan
yang menyampaikan sesuatu yang ridak benar. Setelah bertahun-tahun menjaga
hubungan, Sandberg cukup yakin bahwa banyak hal yang didapatnya dari Lowell
bersumber dari tangan Teddy sendiri.
Mereka bertemu di Tyson's Corner Mall di Virginia, tepat di mar jalur
Beltway, di meja belakang warung pizza murahan di food court lantai atas.
Masing-masing membeli seiris pizza pepperoni-keju serta minuman ringan, lalu
mencari meja bilik yang tersembunyi dari semua orang. Aturan- J aturannya
seperti biasa adalah: (1) segalanya bersifat j off-the-record dan dari
sumber yang sangat dalam; j (2) Lowell akan memberikan lampu hijau lebih dulu
sebelum Sandberg boleh memuat tulisannya; I dan (3) bila apa pun yang
dikatakan Lowell di- | 310 J kontradiksi oleh sumber lain, ia, Lowell, diberi ke-semparan untuk
mempelajarinya dan memberikan
kata akhir. Sebagai wartawan investigasi, Sandberg membenci aturan-aturan tersebut
Namun, Lowell tidak pernah salah, dan ia tak pernah berbicara pada orang lain.
jika Sandberg ingin menggali tambang berharga ini, ia harus main sesuai
aturan. "Mereka menemukan sejumlah dana," demikian Sandberg mulai. "Dan
menurut mereka, itu berkaitan dengan pengampunan hukuman."
Sorot mata Lowell menyatakan apa yang dipikirkannya karena pada
dasarnya ia memang tak pernah berbohong. Matanya langsung menyipit dan
jelas bahwa ini berita yang benar-benar baru. "Apakah CIA mengetahuinya""
tanya Sandberg. "Tidak," jawab Lowell terus terang. Ia tidak pernah takut pada
kebenaran. "Kami memang sedang mengawasi beberapa rekening luar negeri,
tapi ridak ada sesuatu pun yang terjadi. Berapa jumlahnya""
"Banyak sekali. Aku tidak tahu tepatnya. Dan aku tidak tahu bagaimana
mereka menemukannya."
"Dari mana asalnya""
"Mereka tidak yakin, tapi ingin sekali menghubungkannya pada Joel
Backman. Mereka sudah membicarakannya dengan White House."
"Tidak dengan kami."
311 "Jehs tidak. Semua ini berbau politik. Mereka akan senang kalau bisa
mengaitkan skandal ini dengan Presiden Morgan, dan Backman dijadikan mitra
sekongkol yang sempurna." "Duke Mongo juga bisa dijadikan target." "Ya, tapi
boleh dibilang ia sudah mati. Ia memang punya karier panjang dan penuh
warna dalam penipuan pajak, tapi sekarang ia sudah pensiun. Backman masih
mempunyai banyak rahasia Mereka ingin menggiringnya pulang,
memasukkannya ke dalam mesin penggiling di Departemen Kehakiman,
mengguncang Washington selama beberapa bulan. Itu akan mempermalukan
Morgan." "Perekonomian sedang merosot tajam. Benar-benar pengalih perhatian yang
menarik." "Seperti yang sudah kubilang, semua ini berbau politik"
Akhirnya Lowell menggigit pizzanya dan mengunyahnya dengan cepat sambil
The Broker Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpikir. "Tidak mungkin Backman. Mereka salah sasaran." "Kau yakin.''
"Yakin benar. Backman tidak pernah tahu akan ada pengampunan hukuman.
Boleh dibilang kami menyeretnya keluar dari selnya pada tengah malam buta,
menyuruhnya menandatangani beberapa dokumen, lalu mengirimnya ke luar
negeri sebelum matahari terbit."
"Dan ke mana dia pergi""
312 "Wah, aku tidak tahu. Dan kalaupun tahu, aku tidak akan memberitahumu.
Intinya, Backman tidak punya waktu mengatur sogokan. Ia dikubur dalam-dalam di penjara, bahkan tak pernah mimpi bakal mendapat pengampunan. Itu
gagasan Teddy, bukan Backman. Mereka salah orang." "Mereka bertekad
mencarinya." "Mengapa" Ia kan manusia bebas, mendapat pengampunan penuh,
bukan residivis yang sedang dalam pelarian. Ia tidak bisa diekstradisi, kecuali
mereka bisa mengajukan dakwaan." "Sepertinya mereka bisa melakukannya."
Lowell mengerutkan kening pada meja selama beberapa saat. "Aku tidak bisa
membayangkan seperti apa bentuknya. Mereka tidak punya bukti. Mereka
memang mengetahui ada dana yang mencurigakan di sebuah bank, tapi tidak
tahu dari mana asalnya. Yakinlah, itu bukan uang Backman." "Bisakah mereka
menemukan Backman"" "Mereka akan memberikan tekanan pada Teddy, dan itu
sebabnya aku mau bicara." Disisihkannya sisa pizzanya dan ia mencondongkan
tubuh ke muka. "Tak berapa lama lagi akan ada pertemuan di Oval Office.
Teddy akan hadir, dan ia akan diminta oleh Presiden untuk melihat beberapa
fakta sensitif mengenai Backman. Teddy akan menolak. Lalu akan ada waktu
penentuan. Apakah Presiden akan memiliki nyali untuk memecat pak tua itu""
"Dia punya nyali, tidak"" "Barangkali. Paling tidak, itulah yang diharapkai
Teddy. Ini adalah masa kepresidenan keempat yang pernah dijalaninya, dan
kau sendiri tahu itu rekoi luar biasa. Ketiga presiden yang pertama ingin
memecatnya. Tapi sekarang, ia sudah tua dan sudah siap melepas jabatan."
"Sudah lama ia tua dan siap melepas jabatan." "Memang benar, rapi dulu ia
memimpin dengan tangan besi. Kali i
ni berbeda." "Mengapa ia tidak pensiun
saja"" "Karena ia bangsat pemarah, kontradiktif, dan keras kepala. Kau tahu
itu." "Memang sudah terbukti." "Dan bila ia dipecat, ia tidak akan pergi begitu
saja Ia mengharapkan liputan yang seimbang."
"Liputan yang seimbang" adalah istilah lama mereka untuk "buat kami
tampak lebih baik". Sandberg menyingkirkan pizzanya juga dan membunyikan buku-buku
jarinya. "Begini cerita yang kubayangkan," katanya, sebagai bagian dari ritual.
"Setelah delapan belas tahun memegang tampuk pimpinan CIA, Teddy Maynard
dipecat oleh presiden yang baru dilantik Alasannya adalah Maynard menolak
membeberkan rincian peka yang berkaitan dengan operasi yang sedang
dilangsungkan. Ia tetap pada pendiriannya demi melindungi keamanan
nasional, dan meman-dang rendah Presiden, yang, bersama FBI, menginginkan informasi rahasia
itu supaya FBI dapat melanjutkan penyelidikan yang berhubungan dengan
pengampunan hukuman yang diberikan oleh mantan presiden Morgan."
"Kau tidak boleh menyinggung-nyinggung nama Backman."
"Aku memang belum siap menggunakan nama itu. Aku belum dapat
konfirmasi." "Kupastikan bahwa uang itu bukan berasal dari Backman. Dan kalau kau
menggunakan namanya sekarang ada kemungkinan ia akan melihatnya dan
melakukan sesuatu yang bodoh."
"Seperti apa""
"Kabur menyelamatkan diri." "Kenapa itu dibilang bodoh"" Karena kami tidak
ingin dia kabur menyelamatkan diri." "Kau ingin dia dibunuh"" "Tentu saja.
Begitulah rencananya. Kami ingin tahu siapa yang membunuhnya."
Sandberg bersandar ke bangku plastik keras dan mengalihkan pandangan.
Lowell mencomoti irisan-irisan pepperoni dari pizzanya yang sudah dingin dan
liat seperti karet, dan untuk beberapa lama mereka berpikir dalam diam.
Sandberg menghabiskan Diet Coke-nya, dan akhirnya berkata, "Entah
bagaimana Teddy berhasil meyakinkan
Morgan untuk memberikan pengampunan pada Backman, yang sekarang
disembunyikan di suatu tempat sebagai umpan untuk dibunuh." Lowell
membuang muka, tapi mengangguk. "Dan pembunuhan itu akan menjawab
beberapa pertanyaan di Langley""
"Barangkali. Begitulah rencananya." "Apakah Backman tahu mengapa ia
mendapat pengampunan""
Tentu saja kami tidak memberitahunya, tapi ia cukup pintar."
"Siapa yang memburunya"" "Orang-orang berbahaya yang menyimpan
dendam." "Kau tahu siapa mereka""
Anggukan, kedikan bahu, jawaban yang tidak jelas. "Ada beberapa yang
memiliki potensi. Kami akan mengawasi mereka dari dekar dan mungkin bisa
mengetahui sesuatu. Mungkin juga tidak."
"Mengapa mereka menyimpan dendam""
Lowell tertawa mendengar pertanyaan konyol tersebut. "Boleh juga, Dan.
Sudah enam tahun kau mengajukan pertanyaan itu. Sudah, aku harus pergi
Kerjakanlah tulisan seimbang itu dan tunjukkan padaku."
"Kapan pertemuan dengan Presiden akan dilangsungkan""
"Aku tak tahu tepatnya. Pokoknya begitu ia
kembali." "Dan kalau Teddy dipecat"" "Kau orang pertama yang akan
kuhubungi." Sebagai pengacara kota kecil di Culpeper, Virginia, penghasilan Neal
Backman jauh lebih kecil daripada yang pernah diimpikannya ketika masih
kuliah di fakultas hukum. Pada waktu itu, biro hukum ayahnya memiliki
kekuasaan hebat di D.C. sehingga dengan mudah ia membayangkan akan
menghasilkan banyak uang setelah praktik beberapa rahun saja. Associate
termuda di Backman, Pratt & Boiling mulai dengan gaji seratus ribu dolar per
tahun, dan partner junior berusia tiga puluh tahun yang baru menanjak
kariernya akan mendapatkan tiga kak lipat jumlah tersebut. Pada tahun
keduanya di fakultas hukum, majalah setempat memajang foto sang broker di
halaman sampul dan menulis tentang mainan-mainan mahal yang dimilikinya.
Penghasilannya diperkirakan sekitar sepuluh juta per tahun. Fakta tersebut
cukup menimbulkan kehebohan di fakultas hukum, tapi tidak membuat Neal
rikuh. Ia ingat dulu sering membayangkan betapa hebat masa depannya dengan
kemungkinan penghasilan sebesar itu. _ L- "mrai saru rahun setelah mu-Kenyataannya, tak sampai
lai bekerja sebagai associate pemula, ia dipecat old biro setelah ayahnya
divonis bersalah, dan bold: dibilang ia diusir keluar dari gedung kantor.
Namun dengan segera Neal berhenti memimpikan uang yang banyak dan
gaya hidup yang gemerlapan. Ia sudah puas dengan menjalankan praktik hukum
bersama biro hukum kecil di Main Street dan membawa pulang penghasilan
50.000 dolar setahun. Lisa berhenti bekerja sesudah putri mereka lahir. Lisa-lah yang menangani keuangan dan membuat anggaran ketat untuk hidup
keluarga mereka. Setelah melalui malam tanpa tidur sekejap pun, Neal bangun dengan
gagasan kasar tentang apa yang harus ia lakukan kemudian. Masalah paling
berat adalah pilihan untuk memberitahu istrinya atau tidak Begitu ia
memutuskan untuk tidak melakukannya, rencananya mulai berbentuk. Ia pergi
ke kantor pada pukul delapan, seperti biasa, dan berkutat dengan Internet
selama satu setengah jam, sampai ia yakin bank sudah buka. Ketika menyusuri
Main Street, ia merasa sulit memercayai kemungkinan ada orang-orang yang
bersembunyi di sekitarnya, mengawasi setiap tindak-tanduknya. Meski
demikian, ia tetap tidak mau ambil risiko.
Richard Koley mengepalai cabang Piedmont National Bank yang terdekat.
Mereka teman saru gereja, teman berburu burung, teman main sofbol
di Rotary Club. Sejak dulu, biro hukum tempat Neal bekerja melakukan
kegiatan perbankan di sana. Lobinya masih kosong pada hari sepagi itu, dan
Richard sudah duduk di mejanya ditemani secangkir besar kopi, The Wall Street
Journal, dan jelas sedang tidak punya banyak pekerjaan. Ia terkejut dan
senang melihat Neal, dan selama dua puluh menit mereka mengobrol tentang
turnamen basket antzi-college. Ketika akhirnya pembicaraan bergeser ke
masalah bisnis, Richard bertanya, "Nah, apa yang bisa kubantu""
"Aku cuma ingin tahu," kata Neal santai, mdon-tarkan kalimat yang sudah
dilatihnya sepanjang pagi. "Berapa uang yang bisa kupinjam dengan tanda
tanganku sendiri""
"Sedang cekak, ya"" Richard sudah meraih mouse dan melirik layar monitor,
tempat segala jawaban tersedia.
"Tidak, bukan begitu. Suku bunga rendah sekali dan aku sedang mengincar
saham panas." "Bukan strategi buruk, meskipun aku tidak akan gembar-gembor menyuruh
orang melakukannya. Dengan indeks Dow Jones pada tingkat sepuluh ribu lagi,
kau pasti heran mengapa orang tidak mengajukan kredit sebanyak mungkin dan
membeli saham. Tapi jelas baik dampaknya bagi bank tua ini." Ia melontarkan
tawa kikuk seorang bankir menanggapi leluconnya sendiri. "Penghasilan rata-rata"" ia bertanya sembari tangannya sibuk denga
keyboard, mimik wajahnya serius sekarang. "Bervariasi," sahut Neal. "Enam
puluh hinggj delapan puluh ribu." Kening Richard berkerut lebih dalam, dan Neal
ridak tahu apakah itu karena ia sedih mengetahui gaji temannya yang begitu
kecil, atau karena temannya berpenghasilan lebih besar daripada dirinya. Ia
tidak akan pernah tahu. Bank-bank kota kecil bukan jenis bank yang membayar
karyawannya dengan gaji tinggi.
"Utang keseluruhan, tanpa hipotek"" tanya Richard, mengetik-ngetik lagi.
"Hmmm, tunggu sebentar." Neal memejamkan mara dan menghitung-hitung
lagi. Hipoteknya hampir 200.000 dolar dan Piedmonr penjaminnya. Lisa sangat
menentang utang sehingga neraca kecil mereka sangat bersih, "Pinjaman mobil
sekitar dua puluh riou," jawabnya. "Mungkin sekitar seribu lebih di kami kredit.
Tidak banyak kok." Richard mengangguk setuju dan tak pernah mengalihkan pandangan dari
layar monior. Kerika jari-jarinya tak lagi menyentuh keyboard, ia mengangkat
bahu dan kembali menjadi bankir yang murah hati. "Kita bisa mendapatkan tiga
ribu dengan tanda tangan saja. Bunga enam persen, selama dua belas bulan."
Karena tak pernah meminjam tanpa jaminan, j 320 I
Neal ridak tahu apa yang bisa diharapkannya. Ia tidak tahu berapa banyak
yang bisa didapatkan tanda tangannya, tapi tiga ribu dolar sepertinya pantas
saja. "Bisakah dinaikkan sampai empat ribu"" ia bertanya.
Kening yang berkerut lagi, tatapan serius ke arah monitor, yang kemudian
memberikan jawaban. 'Ya, kenapa ridak" Aku tahu di mana harus mencarimu,
kan"" "Bagus. Akan kuberitahukan perkembangan saham itu."
"Apakah ini kisikan panas, dari sumber yang ada di dalam""
"Beri aku waktu satu bulan. Kalau harganya naik, aku akan kembali dan
sesumbar." "Cukup
adil." Richard membuka laci, mencari formulir. NeaJ berkata, "Begini, Richard, ini
hanya di antara kita, oke" Tahu maksudku" Lisa tidak akan ikut tanda tangan."
"Tidak masalah," kata bankir itu, si penjaga rahasia. "Istriku hampir tak tahu
apa pun yang kulakukan dengan masalah finansial. Perempuan ridak akan
mengerti." "Benar sekali. Dan sejalan dengan itu, bisakah aku mendapatkan dananya
dalam bentuk tunai""
Richard terdiam, matanya terlihat bingung, tapi
tidak ada yang mustahil di Piedmont National "Bisa, beri aku waktu sekitar
satu jam." "Aku perlu kembali ke kantor untuk menuntui seseorang oke" Aku akan
kembali tengah hari nanti untuk menandatangani semua dan membawa
uangnya." Neal buru-buru kembali ke kantornya, dua blok jauhnya, dengan perut
mulas karena gugup. Lisa akan membunuhnya jika tahu, dan di kota kecil
seperti ini rahasia tidak bisa dikubur lama-lama. Selama empat tahun
pernikahan mereka yang bahagia, mereka selalu memutuskan segalanya
bersama. Menjelaskan pinjaman ini akan sulit sekali, walaupun pada akhirnya
Lisa mungkin akan mengerti kalau ia menerangkan alasannya dengan jujur.
Membayar kembali utang itu juga tidak mudah. Ayahnya memang terkenal
mudah mengumbar janji. Kadang-kadang ia menepatinya, kadang-kadang tidak
dan apa pun yang dilakukannya, ia tidak terlalu peduli. Tapi itu kan Joel
Backman "yang dulu. Joel Backman yang sekarang adalah pria yang putus asa,
tak memiliki teman, tak memiliki orang yang bisa dipercaya.
Persetan. Ini kan cuma empat ribu dolar. Richard akan menutup mulut. Neal
akan memusingkannya lagi lain kali. Lagi pula, ia kan pengacara. Ia bisa
memeras tambahan upah di sana-sini, bekerja lebih lama lagi.
Sumber keprihatinannya saat ini adalah paket yang harus dikirimkan kepada
Rudolph Viscovitch. Dengan kantong tebal penuh berisi uang, Neal pergi dari Culpeper pada jam
makan siang dan dengan cepat menuju Alexandria, satu setengah jam jauhnya.
Ia menemukan Toko Chatter, di deretan pertokoan kecil di Russell Road,
sekitar dua kilometer jauhnya dari Sungai Potomac. Di Internet, toko itu
mengiklankan diri sebagai tempat yang tepat untuk mendapatkan peralatan
telekomunikasi paling mutakhir, dan salah satu dari sedikit tempat di Amerika
Serikat di mana orang bisa membeli ponsel tak berkunci yang bisa digunakan di
Eropa. Ketika sedang melihat-lihat, Neal tercengang melihat banyaknya pilihan
telepon, pager, komputer, telepon satelit-semua yang mungkin dibutuhkan
untuk menjalin komunikasi. Ia tidak bisa berlama-lama-ada deposisi di
kantornya pada pukul empat nanti. Lisa juga akan melakukan pengecekan
seperti biasa untuk mengetahui, jika ada, apa yang terjadi di pusat kota.
Ia meminta penjaga toko menunjukkan Ankyo 850 PC Pocket Smartphone,
hasil karya teknologi paling canggih yang mulai dipasarkan tiga bulan lalu. Si
penjaga toko mengambilnya dari pajangan dan, dengan antusias, mengganti
bahasanya dengan bahasa teknologi dan menggambarkannya, "Keyboard QWERTY, operasi tri-band di lima benua, delapan puluh megabyte dengan buik-in memory,
konektrvitas data high-speed dengan EGPRS, akses LAN wireless, teknologi
Bluetooth wireless, Ipv4 dan Ipv6 dual stack support, inframerah, interface
Pop-Fort, sistem operasi Symbian versi 7.0S, platform Series 80."
"Pindah band otomatis"" "Ya"
"Didukung oleh jaringan Eropa""
"Tentu saja." Smartphone itu agak lebih besar daripada ponsel bisnis biasa, tapi masih
nyaman digenggam. Pemukaannya metalik yang halus dengan lapisan belakang
dari plastik bergelombang agar tidak licin bua digunakan.
"Memang lebih besar dibanding yang lain," kata petugas itu. "Tapi isinya
canggih-e-mail, multimedia messaging, kamera, video, word processor
lengkap, Internet-dan akses wireless lengkap hampir di mana pun di dunia.
Anda mau membawanya ke mana"" "Italia."
"Tinggal bawa saja. Anda hanya perlu membuka rekening di penyedia
layanan." Membuka rekening berarti melibatkan dokumen Dokumen berani
meninggalkan jejak, padahal Nea
bertekad untuk menghindarinya. "Bagaimana dengan SIM card prabayar"" ia
bertanya. "Bisa juga. Di Italia namanya TIM-Telecom Italia Mobile. Mereka provider
t erbesar di Italia, mencakup sekitar sembilan puluh lima persen wilayah
negara." "Oke, aku ambil."
Neal menggeser tutup bagian bawah dan menampilkan keypad penuh.
Petugas itu menjelaskan, "Lebih nyaman kalau Anda memegangnya dengan dua
tangan dan mengetik dengan ibu jari. Sepuluh jari kan tidak muat di sana." Ia
mengambil alat itu dari tangan Neal dan mendemonstrasikan metode mengetik
dengan ibu jari yang lebih dianjurkan. "Mengerti," kata Neal. "Aku ambil." Harga
telepon itu adalah 925 dolar tidak termasuk pajak, ditambah 89 dolar lagi
untuk kami TIM. Neal membayarnya dengan tunai sambil menolak tawaran
tambahan garansi, pendaftaran rabat, program pemilik, semua yang melibarkan
dokumen dan meninggalkan jejak. Penjaga toko itu menanyakan nama dan
alamatnya, dan Neal menolak. Akhirnya ia menjadi sangat kesal dan berkata,
"Bisakah aku membayarnya saja dan pergi"" " Well, bisa saja sih," kata petugas
itu. "Kalau begitu, lakukan saja. Aku terburu-buru." la pun meninggalkan toko
itu dan mengemudi j sejauh delapan ratus meter ke toko perlengkapan
kantor yang besar. Dengan segera ia menemukan Hewlett-Packard Tablet PC
dengan kemampuan nirkabel yang terintegrasi. Empat ratus empat puluh dolar
lagi diinvestasikan untuk keselamatan ayahnya, walaupun Neal akan
menyimpan laptop itu dan menyembunyikannya di kantornya. Dengan peta
yang di-doumload-nya, ia menemukan PackagePost di pertokoan lain tak jauh
The Broker Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari sana. Di dalam, di loket pengiriman, dengan tergesa-gesa ia menuliskan
dua halaman instruksi untuk ayahnya, lalu melipat dan memasukkannya ke
amplop yang berisi surat dan instruksi lain yang sudah ia siapkan pagi harinya.
Ketika ia yakin tak ada yang memerhatikan, ia menyusupkan dua puluh lembar
uang seratus dolar ke dalam kantong hitam kedi smartphone Ankyo tadi. Lalu ia
meletakkan surat dan instruksi, smartphone serta wadahnya ke dalam kardus
paket yang dibelinya dari toko. k menyelotiprrya rapat-rapat, dan di bagian
luar " menulis dengan spidol hitam: TITIPAN UNTUK fARCO lAzzETu. Karaiu itu
pun dimasukkan alnTu kin yanS sedikit lebih besar, dan di-SSTJ^ Rudolph
Viscovitch di Via ^ckagePos/ "o^- AktMt Pengirimnya adalah Virginia 22303 v
Braddock Road, Alexandria.
tinggalkan namTT P1"1"* Pilihan' *
nya di tempat * mat' Kn* nomor telepon-Pcndaftaran, kalau-kalau p^1
tersebut dikembalikan. Petugas menimbang paket itu dan bertanya apakah
Neal menghendaki asuransi. Neal menolak, lagi-lagi menghindari jejak
dokumen. Petugas itu menempelkan prangko internasional dan akhirnya
berkata, "Totalnya delapan belas dolar dan dua puluh sen."
Neal membayarnya dan sekali lagi diyakinkan bahwa paket tersebut akan
dikirim sore itu juga. 19 Dalam keremangan apartemennya yang kecil, Marco melakukan rutinitas
paginya dengan efisiensi seperti biasa. Ia bukan orang yang biasa bermalas-malasan sewaktu membuka mata di pagi kari, kecuali di penjara, ketika ia
tidak memiliki kanyak pilihan dan tidak punya motivasi untuk menjejakkan kaki
di lamai dan segera bergiat. Dulu la SerinS ke kantornya sebelum pukul enam
Pa& hidungnya menyemburkan asap panas dan siap
Kebias y* ti8a atau cmPat Ja"1,
ada tantangan- ' mencari-cari perkara, tapi
Dalam w^^n Y!"g berbeda, "lesai mandi, u'1"8 dati tiga menit ia sudah
lasaan >ama lainnya yang di-328
lakukan sepenuh hati di Via Fondazza karena keterbatasan air panas. Di atas
toilet, ia bercukur dan dengan hati-hati menghindari jenggot menarik yang
dibiarkannya tumbuh di wajahnya. Kumisnya hampir tumbuh sempurna;
dagunya kelabu seluruhnya. Ia sama sekali tidak mirip Joel Backman, tidak juga
bersuara seperti Joel Backman. Ia melatih dirinya berbicara lebih lambat dan
dengan nada lebih pelan. Dan tentu saja ia melakukannya dalam bahasa asing.
Rutinitas paginya yang singkat termasuk melakukan sedikit kegiatan
spionase. Di samping ranjangnya, terdapat lemari laci tempat ia menyimpan
barang-barangnya. Empat laci, semua berukuran sama, yang paling bawah lima
belas sentimeter jaraknya dari lantai. Ia mengambil seuntai benang Putih tipis
yang dicabutnya dari seprai; benang yang sama yang digunakannya setiap hari
Dijilat-nya kedua ujung benang, meninggalkan saliva sebanyak mungkin, lalu
menjepitkan salah satu "jungnya di bawah laci paling terakhir. Ujung yang lain
diselipkannya di dinding samping laci, jadiku laci tersebut dibuka, benang yang
tak terlihat ltu akan tercabut dari tempatnya.
Seseorang, menurut dugaannya Luigi, memasuki barnya setiap hari
sementara ia bela/ar_ dengan Ermanno ataupun Francesca, dan memeriksa
Jaci-laci. Meja kerjanya ada di ruang duduk yang kecil, ' di bawah satu-satunya
jendela. Di sana Marco menyimpan berbagai kertas, notes, dan buku; buku
panduan Bologna milik Ermanno, beberapa eksemplar Herald Tribune, koleksi
menyedihkan panduan belanja gratis yang didapatkannya dari orang-orang Gipsi
yang membagi-bagikannya di jalan, kamus Italia-Inggris yang amat sering
digunakan, dan tumpukan bahan pelajaran dari Ermanno yang semakin
membengkak. Meja itu tidak diatur dengan selayaknya, kondisi yang
membuatnya jengkel. Meja pengacaranya yang lama, yang tidak akan muat
diletakkan di ruang duduknya sekarang, terkenal karena keteraturannya yang
luar biasa. Seorang sekretaris merapikannya sedemikian rupa setiap sore.
Namun di tengah-tengah kekacauan tersebut tersembunyi sebuah skenario.
Permukaan meja tersebut berupa kayu keras yang sudah carut-marut karena
digunakan selama puluhan tahun. Salah satu cacatnya adalah semacam noda
kecil-Marco memutuskan itu barangkali noda tinta. Ukurannya sebesar kancing
dan terletak tepat di tengah-tengah meja. Setiap pagi, sebelum pergi, ia
menempatkan sudut selembar kertas di tengah noda itu. Bahkan mata-mata
yang paling teliti tidak akan memerhatikannya.
Dan memang demikian adanya. Siapa pun yang
menyusup masuk setiap hari untuk menyisir apartemen ini tak pernah sekali
pun cukup berhati-hati untuk mengembalikan kertas-kertas dan buku-buku
tersebut di tempatnya yang tepat.
Setiap hari, tujuh hari seminggu, bahkan pada akhir pekan ketika ia tidak
belajar, Luigi serta gengnya masuk dan melakukan pekerjaan kotor mereka.
Marco mempertimbangkan rencana di mana ia akan bangun pada hari Minggu
pagi dengan sakit kepala hebat, lalu menelepon Luigi, satu-satunya orang yang
dihubunginya lewat ponsel, dan minta dibelikan aspirin atau apa pun obat
semacam itu yang digunakan di Italia. Ia akan pura-pura sibuk mengurus
dirinya, tak jauh-jauh dari tempat tidur, membiarkan apartemen tersebut
tetap gelap, hingga sore hari ketika ia menelepon Luigi lagi dan mengumumkan
bahwa ia sudah merasa jauh lebih sehat dan perlu makan. Mereka akan pergi ke
sudut jalan, makan sesuatu dengan cepat, laki Marco mendadak merasa perlu
segera kembali ke apartemen. Mereka akan pergi tak lebih dari satu jam.
Adakah orang lain yang menyisir apartemennya" Rencana itu semakin matang.
Marco ingin tahu siapa lagi yang memata-matainya. Sebesar apa jaring-jaringnya. Kalau kepentingan mereka hanya menjaga dirinya tetap hidup,
mengapa mereka menggeratak apartemennya setiap hari" Apa yang
Mereka takut ia akan menghilang. Dan mengapa hal itu membuat mereka
begitu khawatir" Toh ia manusia merdeka, bebas pergi ke mana pun.
Penyamarannya bagus. Kemampuan bahasanya memang masih mendasar, tapi
dapat dimengerti dan semakin baik dari hari ke hari. Peduli apa mereka kalau
ia pergi" Naik kereta dan keliling negeri ini" Tidak pernah kembali lagi"
Bukankah hidup mereka justru akan menjadi lebih mudah"
Dan mengapa mereka mengenakan tali kendali yang pendek padanya, tanpa
paspor dan uang sekadarnya"
Mereka takut ia akan menghilang. Marco mematikan lampu-lampu dan
membuka pintu. Di luar, di bawah trotoar bernaungan di Via Fondazza, suasana
masih gelap. Ia mengunci pintu dan berjalan dengan cepat, sekali lagi mencari
kopi pagi-pagi. Di seberang dinding tebal, Luigi terbangun oleh suara berdengung di suatu
tempat di kejauhan; dengung yang sama yang membangunkannya hampir setiap
pagi pada jam-jam yang tak masuk akal. "Apa itu"" tanya si gadis. "Bukan apa-apa," kata Luigi sambil menyibakkan selimut tebal ke arah perempuan itu dan
terhuyung-huyung keluar tanpa mengenakan apa-apa. la cepat-cepat melintasi
ruang kerja ke arah dapur, membuka kunci pintu, masuk, menutupnya,
me-nguncinya lagi, dan menatap monitor di atas meja lipat. Marco tampak
meninggalkan apartemennya melalui pintu depan, seperti biasa. Dan sekali lagi
pada pukul enam lewat sepuluh menit, tak ada yang aneh. Benar-benar
kebiasaan yang bikin frustrasi. Orang Amerika terkutuk.
Ia menekan tombol dan monitor pun senyap. Prosedur mengharuskannya
segera berpakaian, keluar ke jalan, menemukan Marco, dan mengawasinya
sampai Ermanno mengadakan kontak dengannya. Namun Luigi sudah semakin
bosan dengan prosedur itu. Lagi pula Simona menunggu.
Simona tak lebih dari dua puluh tahun usianya, mahasiswa dari Napoli, gadis
cantik yang dikenalnya seminggu sebelumnya di klub yang dikunjunginya. Tadi
malam adalah malam pertama mereka betsama, dan jelas tidak akan menjadi
yang terakhir. Gadis itu sudah tertidur kembali ketika Luigi kembali ke kamar
dan membenamkan diri di bawah selimut.
Di luar cuaca dingin. Ia memiliki Simona. Whitaker ada di Milan,
kemungkinan masih tidur dan kemungkinan bersama seorang wanita Italia. Tak
seorang pun mengawasi apa yang akan ia, Luigi, lakukan sepanjang hari itu.
Marco tidak melakukan apa pun selain minum kopi.
Ia menarik Simona mendekat dan teridap lagi.
Pada awal bulan Maret itu, hari cerah dan penuh sinar matahari. Marco
melewatkan sesi dua jam bersama Ermanno. Seperti biasa, bila cuaca
berkompromi, mereka berjalan-jalan di pusat kota Bologna dan hanya
berbicara dalam bahasa Italia. Kara kerja hari itu adalah "fare", yang bisa
diterjemahkan sebagai "melakukan" atau "membuat", dan sejauh yang diketahui
Marco, iru adalah kata yang paling fleksibel dan paling sering digunakan dalam
bahasa Italia. Berbelanja adalah "fare la spesa", yang terjemahannya bebasnya
berarti "melakukan pengeluaran biaya, atau melakukan pembelian". Bertanya
adalah "fare la domanda", yaitu "membuat pertanyaan". Sarapan adalah "fare la
colazume", yang berarti "(melakukan) sarapan".
Ermanno berpamitan lebih awal, seperti biasa mengatakan ia harus belajar.
Sering kali, bila sesi pelajaran jalan-jalan berakhir, Luigi akan muncul
menggantikan Ermanno, yang menghilang dengan kecepatan menakjubkan.
Marco curiga koordinasi tersebut sengaja dimaksudkan untuk memberi kesan
bahwa ia selalu diawasi. Mereka berjabat tangan dan saling mengucapkan selamat berpisah di depan
Feltrinelli's, salah satu dari banyak toko buku yang ada di area universitas. Luigi
muncul dari sudut jalan dan seperti biasa
menyapa dengan riang, "Buon giorno. Pranziamo"" Kita makan siang"
"Certamente." Acara makan siang menjadi lebih jarang, dan Marco mendapat lebih banyak
kesempatan makan dan memesan sendiri.
"Ho trovato un nuovo ristorante." Aku menemukan restoran baru.
"Andiamo." Mari.
Tidak jelas apa saja yang dilakukan Luigi sepanjang hari, tapi tak diragukan
lagi bahwa ia melewatkan berjam-jam menjelajah kota ini untuk mencari kafe,
trattoria, dan restoran. Mereka tidak pernah makan di tempat yang sama dua
kali. Mereka menyusuri jalan sempit dan sampai di Via dek" Indipendenza. Luigi
yang lebih banyak bicara, selalu dengan bahasa Italia yang perlahan dan tepat
pengucapannya. Menurut Marco, ia sudah melupakan bahasa Inggris sama
sekali. "Francesca tidak bisa datang mengajar sore ini," ujarnya. "Kenapa tidak""
"Ada rombongan tur dari Australia yang meneleponnya kemarin. Bisnisnya
sedang sepi bulan-bulan ini. Kau menyukainya""
"Apakah aku harus menyukai dia""
Tah, lebih baik kalau begitu."
"Ia bukan orang yang hangat dan lembut."
"Apakah ia guru yang baik"" Luar biasa. Bahasa Inggris-nya yang sempurna
memacuku untuk belajar lebih lagi."
"Ia bilang, kau belajar dengan sangat rajin, dan bahwa kau orang yang baik."
"Ia menyukaiku""
"Ya, sebagai murid. Menurutmu ia cantik"" "Sebagian besar wanita Italia
cantik, rermasuk Francesca."
Mereka berbelok ke jalan kecil, Via Goito, dan Luigi menuding ke depan.
"Itu," katanya, dan mereka berhenti di pintu Franco Rossi's. "Aku belum pernah
makan di sini, tapi kudengar makanannya enak sekali."
Franco sendiri yang menyambut mereka dengan senyum dan lengan terbuka.
Pria itu mengenakan setelan warna gelap yang konrras dengan rambut
kelabunya y ang lebat. Ia menerima mantel mereka dan bercakap-cakap dengan
Luigi seolah mereka teman lama. Luigi menyebut nama-nama tertentu dan
Franco senang mendengarnya. Dipilihlah meja di dekat jendela depan. "Meja
kami yang terbaik," ujar Franco penuh semangat. Marco menatap sekelilingnya
dan tidak melihat meja yang buruk.
"Antiposti di sini luar biasa," kata Franco rendah hati, seakan ia tidak suka
sesumbar tentang hidangan-hidangannya. Tapi favorit saya hari ini
adalah salad jamur iris. Lino menambahkan truffles, keju Parmesan,
beberapa iris apel..." Pada saat itu kata-kata Franco memelan sewaktu ia
mencium ujung jemarinya. "Benar-benar enak," akhirnya ia berhasil
mengucapkannya dengan mata terpejam, seolah bermimpi.
Mereka setuju memesan salad itu dan Franco meninggalkan mereka untuk
menyambut pengunjung lain. "Lino itu siapa"" tanya Marco.
"Kakaknya,- koki kepala." Luigi mencelupkan roti Tuscany ke dalam
semangkuk minyak zaitun. Seorang pramusaji berhenti dan menawarkan
anggur. Tentu saja," jawab Luigi. "Aku ingin anggur merah, dari daerah sini."
Tak perlu ditanyakan lagi. Pramusaji itu dengan bolpoinnya menunjukkan
sesuatu dalam daftar anggur dan berkata, "Yang ini, Liano dari Imola.
Fantastis." Ia berlagak mencium udara untuk menekankan ucapannya.
Luigi tak punya pilihan lain. "Kami mau mencobanya."
"Kita tadi bicara soal Francesca," kata Marco kemudian. "Sepertinya ia
kurang konsentrasi. Ada apa dengannya""
Luigi mencelupkan roti lagi ke dalam minyak zaitun dan menggigit besar-besar seraya mempertimbangkan sebanyak apa yang bisa ia beritahukan pada
Marco. "Suaminya tidak sehat," jawabnya.
"Ia punya anak"" "Kurasa ridak." "Suaminya kenapa""
"Sakit cukup parah. Kurasa usianya sedikit lebih tua daripada Francesca. Aku
beJum pernah bertemu dia."
// Signore Rossi kembali untuk membantu mereka dengan menu, yang
sebenarnya tak dibutuhkan. Ia menjelaskan bahwa hidangan torteUini-ttp.
adalah yang terbaik di Boiogna,.dan terutama hari ini sedang bagus-bagusnya.
Lino akan senang keluar dari dapur dan membenarkan hai ini. Setelah tor-tellini, pilihan terbaik adalah filet daging sapi muda dengan truffle.
Selama lebih dari dua jam mereka mengikuti saran Franco, dan ketika
meninggalkan restoran itu mereka membawa perut mereka kembali ke Via deh"
Indipendenza sambil membicarakan waktu siesta.
Marco menemukannya secara tak sengaja di Piazza Maggiore. Ia sedang
menikmati espresso di meja luar kafe, menahan udara dingin di bawah sinar
matahari yang benderang, setelah jalan-jalan cepat selama tiga puluh menit. Ia
melihat sekelompok kecil lansk berambut kelabu keluar dari Palazzo Comunale,
balai kota Bologna. Sesosok rubuh yang
tak asing memimpin mereka, wanita kurus dan kecil dengan bahu tegak,
rambutnya yang hitam terurai di bawah topi baret warna ungu kemerahan.
Marco meninggalkan sekeping uang satu euro di meja dan mendekati mereka.
Di kolam Neptunus, ia beringsut ke belakang rombongan tersebut-seluruhnya
ada sepuluh orang-dan mendengarkan Francesca bekerja. Ia menjelaskan
bahwa patung perunggu dewa laut Romawi itu dibuat oleh pria Prancis selama
tiga tahun, dari tahun 1563 hingga 1566. Patung itu dipesan oleh seorang uskup
dalam rangka program mempercantik kota, demi menyenangkan sang paus.
Legenda mengatakan bahwa sebelum mulai bekerja, pria Prancis itu risau
dengan kondisi Neptunus yang telanjang bulat, jadi ia mengirim rancangannya
kepada Paus di Roma untuk meminta persetujuan. Paus mengirim pesan
kembali, "Untuk Bologna, tidak apa-apa."
Sikap Francesca dengan turis-turis sungguhan tampak lebih bersemangat
ketimbang dengan Marco. Suaranya lebih hidup, senyumnya lebih sering
terkembang. Ia mengenakan kacamata yang sangat trendi, yang membuatnya
tampak sepuluh tahun lebih muda. Sambil bersembunyi di belakang rombongan
Australia iru, Marco menonton dan mendengarkan untuk waktu yang lama tanpa
ketahuan. Francesca menjelaskan bahwa Fontana del Nettuno adalah salah satu simbol
kota yang paling terkenal, dan boleh jadi paling sering difoto. Kamera-kamera
pun dikeluarkan dari kantongnya, dan para turis mengambil waktu berpose di
depan Nept unus. Pada saat itu, Marco berhasil cukup dekat untuk menangkap
perhatian Francesca. Ketika melihat Marco, Francesca langsung tersenyum, lalu
dengan pelan berkata, "Buon giorno."
"Buon giorno. Keberatan kalau aku ikut"" tanya Marco dalam bahasa Inggris.
Tidak. Maaf aku harus membatalkan pelajaran."
Tidak apa-apa. Bagaimana kalau makan malam""
Francesca melirik ke sekitarnya, seolah ia baru melakukan sesuatu yang
dilarang. "Untuk belajar, tentu saja. Tidak lebih," ujar Marco.
"Maafkan aku," timpal Francesca. Ia melihat ke balik bahu Marco, ke
seberang piazza, ke arah Basilica di San Petronio. "Kafe kecil di sana itu," kata
Francesca, "di sebelah gereja, yang di pojok.
Temui aku di sana pada jam lima, lalu kita akan
belajar selama satu jam." "Va bene,"
Tur dilanjutkan beberapa langkah lagi ke tembok barat Palazzo Comunale,
tempat mereka berhenti di
depan tiga foto hitam-putih besar yang dipajang di dalam bingkai.
Sejarahnya, selama Perang Dunia II, Bologna dan sekitarnya menjadi jantung
Perlawanan Italia. Bolognesi membenci Mussolini dan kaum fasis serta
pendudukan Jerman, dan mereka berjuang dengan bergerilya. Nazi membalas
dengan penuh dendam-aturan mereka yang tetkenal adalah mereka akan
The Broker Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membunuh sepuluh orang Italia untuk satu tentara Jerman yang dibunuh oleh
kelompok Perlawanan. Dalam rangkaian 55 pembantaian yang dilakukan di
Bologna dan sekitarnya" mereka membunuh ribuan pemuda pejuang Italia.
Nama dan wajah mereka dipajang di dinding, dikenang selama-lamanya.
Dalam saat-saat yang muram itu, para anggora tur Australia yang sudah
berusia lanjut itu beringsut mendekat untuk melihat para pahlawan dengan
lebih jelas. Marco juga ikut mendekat. Ia tercengang melihat betapa mudanya
mereka, janji-janji yang selamanya tak akan pernah terpenuhi-dibantai karena
keberanian mereka. Sementara Francesca berjalan lagi bersama rombongannya, Marco diam di
tempat, menatap wajah-wajah yang menutupi sebagian besar dinding panjang
itu. Ada ratusan, bahkan ribuan jumlahnya. Di sana-sini terlihat wajah wanita
cantik. Saudara. Ayah dan anak. Seluruh keluarga.
Rakyat jelata bersedia mati untuk negara mereka
dan apa yang mereka yakini. Patriot-patriot setia yang tak memiliki apa pun
untuk dipersembahkan selain nyawa mereka, lapi Marco tidak. Maaf saja. Kalau
terpaksa memilih antara kesetiaan dan uang Marco melakukan apa yang selalu
ia lakukan. Ia memilih uang. Ia menyangkal negaranya. Semua demi kemuliaan
harta. Francesca berdiri di balik pintu kafe, menunggu, tidak minum apa pun, tapi
tentu saja merokok Marco telah memutuskan bahwa kesediaan Francesca
bertemu dengannya selarut ini merupakan bukti lebih lanjut betapa wanita itu
membutuhkan pekerjaan. "Kau mau berjalan-jalan," tanya wanita itu tanpa mengucapkan halo.
Tentu." Ia sudah berjalan beberapa mil bersama Ermanno sebelum makan
siang, lalu selama beberapa jam setelah makan siang, ketika menunggu
Francesca. Ia sudah berjalan cukup jauh untuk satu hari, rapi apa lagi yang bisa
dilakukan" Setelah sebulan berjalan beberapa mil setiap harinya, tubuhnya
menjadi lebih fit. "Ke mana""
"Jalan jauh," jawab Francesca.
Mereka menyusuri jalan-jalan sempit, menu/u arah barat daya, bercakap-cakap pelan dalam bahasa Italia, membicarakan pelajaran pagi itu dc-I ngan Ermanno. Francesca menceritakan tentang orang-orang Australia
Rahasia Anak Neraka 2 Pendekar Rajawali Sakti 123 Misteri Hantu Berkabung Para Ksatria Penjaga Majapahit 2
"Keputusan yang pintar."
"Beberapa bahkan berusia ribuan tahun. Jumlahnya lebih banyak daripada
kota-kota lain di dunia, kau tahu""
Tidak. Aku tidak banyak membaca, Luigi. Kalau aku punya uang. aku bisa
membeli buku, lalu aku bisa membaca dan mempelajari hal-hal semacam itu."
"Uangnya akan kuberikan saat makan siang nanti."
"Makan siangnya di mana"" "Ristorante Cesarina, Via San Stefano, pukul
satu"" "Bagaimana aku bisa menolak""
Luigi sedang duduk dengan seorang wanita di meja dekat bagian depan
restoran ketika. Marco tiba, lima menit lebih awal. la menyela percakapan
yang serius. Wanita itu berdiri, dengan enggan, dan menawarkan jabat tangan
lemah dan tampang masam ketika Luigi memperkenalkannya sebagai Signora
Francesca Ferro. Ia wanita yang menarik, berusia pertengahan empat puluhan,
mungkin agak-terlalu tua untuk Luigi, yang sering memelototi gadis-gadis
kuliahan. wanita ini memancarkan kesan sebal yang anggun. Sampai-sampai
Marco ingin berkata: Maaf, rapi aku diundang ke sini untuk makan siang.
Sementara mereka menduduki kursi masing-masing Marco memerhatikan
dua puntung rokok yang telah diisap sampai habis di asbak. Gelas air Luigi
hampir kosone n,- . & F 8' Dua ""ng ini sudah duduk
di sini paling tidak selama dua puluh menit. Dengan bahasa Italia yang
diucapkan lambat-lambat, Luigi berkata kepada Marco, "Signora Ferro adalah
guru bahasa dan pemandu tur setempat." Ia berhenti, Marco mengucapkan "Si"
pelan. Marco melirik Signora dan tersenyum, dan wanita itu membalasnya dengan
senyum enggan. ; Belum-belum calon gurunya sudah tampak bosan dengannya.
Luigi melanjutkan dalam bahasa Italia. "Ia guru bahasamu yang baru.
Ermanno akan mengajarmu di
pagi hari, dan Signora Ferro pada siang hari."
Marco memahami semuanya. Ia memaksakan senyum palsu ke arah wanita itu
dan berkata, "Va bene." Bagus.
"Ermanno ingin melanjutkan kuliahnya di universitas minggu depan," Luigi
menjelaskan. "Sudah kuduga," ujar Marco dalam bahasa Inggris.
Francesca menyulut rokok lagi dan mengerucur-kan bibirnya di batang rokok
tersebut. Ia mengembuskan segumpal awan asap dan bertanya, "Jadi
bagaimana bahasa Italia-mu"" Suaranya terdengar berat, nyaris parau, tak ragu
lagi akibat merokok bertahun-tahun. Bahasa Inggris-nya lambat-lambat, sangat
bagus, dan tanpa aksen. "Buruk sekali," jawab Marco.
"Dia baik-baik saja," sela Luigi. Pelayan datang
membawa sebotol air mineral dan memberikan tiga daftar menu. Lm signer*
menghilang di balik menunya. Marco ikut-ikutan. Suasana sunyi yang panjang
menyusul sementara mereka memilih makanan dan tak menghiraukan satu
sama lain. Ketika menu-menu itu akhirnya diturunkan, Francesca berkata kepada
Marco, "Aku ingin mendengarmu memesan dalam bahasa Italia."
'Tidak masalah," sahut Marco. Ia menemukan beberapa hidangan yang bisa
diucapkannya tanpa memicu tawa. Pelayan muncul dengan bolpoinnya dan
Marco berkata, "Si, allora, vorrei un'insalata di pamodori, e una mezza porzione
di lasagna." Ya, oke, aku mau salad dengan tomat dan setengah porsi lasagna.
Sekali lagi ia bersyukur dengan adanya makanan-makanan trans-Adanrik seperti
spaghetti, lasagna, ravioli, pasta.
"Non c'e male," ujar Francesco. Tidak buruk. Ia dan Luigi berhenti merokok
ketika hidangan salad datang. Menyantap makanan memberi mereka jeda
dalam percakapan yang canggung. Tak ada yang menawarkan anggur, walaupun
minuman itu sangat dibutuhkan.
Masa lalu Marco, hidup wanita itu saat ini, dan pekerjaan Luigi yang tak
jelas adalah topik-topik yang verboden, jadi sambil menikmati makan siang
mereka terapung-apung dan meliuk-liuk dalam percakapan ringan tentang
cuaca, yang untungnya sebagian besar berlangsung dalam bahasa Inggris
Ketib espresso sudah habis, Luigi membayar tagihan dan mereka segera
keluar dari restoran. Sementara itu; dan ketika Francesca tidak melihat, Luigi
menyelipkan amplop kepada Marco dan berbisik, "Ini ada beberapa euro."
"Grozie." Hujan salju sudah' berhenti, matahari muncul dan bersinar terang. Luigi
meninggalkan mereka di Piazza Maggiore dan menghilang, seperti yang hanya
bisa dilakukan olehnya. Mereka berjalan dalam diam beberapa waktu, sampai
Francesca bertanya, "Che cosa vorrebbe vedere"" Apa yang ingin kaulihat"
Marco belum sempat masuk ke katedral, Basilica di San Petronio. Mereka
berjalan ke arah undakan depannya yang melengkung, lalu berhenti. Tempat
ini cantik sekaligus sedih," katanya dalam bahasa Inggris, dengan setitik aksen
Inggris yang baru kali ini terdengar. "Mulanya ini dibangun oleh dewan kota
sebagai balai kota, bukan katedral, melawan kehendak paus di Roma. Desain
aslinya lebih besar daripada Katedral Santo Petrus, namun dalam prosesnya
rencana itu gagal. Roma menentangnya dan mengalihkan dananya ke tempat
lain, sebagian diberikan untuk mendirikan universitas."
"Kapan ini dibangun"" tanya Marco.
"Katakan dalam bahasa Italia," perintahnya.
"Aku tidak bisa."
"Kalau begini dengarkan: 'Quando e stata cos. trutia"' Coba tirukan."
Marco menirukannya empat kali sebelum Francesca puas.
"Aku tidak percaya pada pengajaran dengan buku, kaset, dan sebagainya,"
jelas Francesca ketika mereka mendongak mengamati katedral yang besar itu.
"Aku lebih percaya pada percakapan. Untuk mempelajari bahasa, kau harus
mengucapkannya, berulang-ulang, seperti ketika kau masih kecil."
"Di mana kau belajar bahasa Inggris"" tanya Marco.
"Aku tidak bisa menjawabnya. Aku sudah diberi instruksi untuk tidak
mengatakan apa pun tentang masa laluku. Dan masa lalumu juga."
Sejenak lamanya Marco sudah hampir berbalik dan pergi. Ia muak dengan
orang-orang yang tidak bisa berbicara padanya, yang mengelak dari
pertanyaannya, yang bertingkah seolah seluruh dunia ini penuh mata-mata. la
sudah muak pada segala bentuk permainan.
Ia manusia bebas, ujarnya selalu pada diri sendiri, sepenuhnya bisa datang
dan p ergi dan membuat keputusan apa pun yang diinginkannya. Kalau ia muak
pada Luigi dan Ermanno dan sekarang Signora Ferro, ia pun bisa menyumpahi
mereka semua, dalam bahasa Italia, agar tercekik panino.
"Pembangunan dimulai pada tahun 1390, dan
semua berlangsung mulus selama beberapa ratus
tahun," ujarnya. Sepertiga bagian bawah tampak muka katedral tersebut
merupakan marmer merah muda yang indah; dua pertiga selebihnya berupa
batu bata cokelat yang buruk yang belum dilapisi marmer. "Lalu halangan
datang. Jelas terlihat, bagian luarnya tak pernah selesai." "Tidak terlalu
cantik." "Memang tidak, tapi menggelitik. Kau mau melihat ke dalam""
Memangnya apa yang akan ia lakukan selama tiga jam mendatang"
"Certamente, "jawab Marco.
Mereka menaiki undakan dan berhenti di pintu depan. Francesca menatap
papan pengumuman dan betkata, "Mi dica." Katakan padaku. "Jam berapa
gereja ini tutup""
Marco mengerutkan kening dalam-dalam, melatih beberapa kata, lalu
berkata, "La chiesa chiude die sei." Gereja tutup pukul enam. "Ripeta."
Marco mengulangnya tiga kali sebelum Francesca menyuruhnya berhenti,
lalu mereka masuk. "Katedral ini diberi nama untuk menghormati Petronio,
santo pelindung Bologna," ia berkata pelan. Lantai utama katedral tersebut
cukup luas untuk pertandingan hoki dengan banyak penonton di kedua sisinya.
"Besar sekali," ujar Marco rer-kagum-kagum.
'ia, padahal ini sekitar seperempat rancangan aslinya. Sekali lagi, Paus
khawatir dan memberikan tekanan. Pembangunannya menyerap banyak sekali
uang rakyat, dan akhirnya orang bosan melanjutkannya."
"Tapi tetap saja sangat mengesankan." Marco sadar betul mereka bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, yang sesuai dengan harapannya.
"Kau mau tur panjang atau pendek"" tanya Francesca. Walaupun suhu di
dalam nyaris sedingin udara di luar, Signora Ferro tampaknya mulai mencair
sedikit "Kau kan gurunya," jawab Marco. Mereka berjalan ke sisi kiri dan
menunggu serombongan kecil turis Jepang selesai mempelajari makam besar
yang rerbuat dari marmer. Selain orang-orang Jepang itu, tak ada orang lain
lagi di dalam katedral. Saat iru hari Jumat di bulan Februari, bukan musim
turis. Sore harinya Marco mengetahui bahwa pekerjaan Francesca yang sangat
tergantung musim turis memang agak sepi pada bulan-bulan musim dingin.
Pengakuan itu satu-satunya data pribadi yang bersedia diakuinya.
Karena pekerjaan sedang sepi, Francesca tidak harus terburu-buru di dalam
Basilica di San Petronio. Mereka melihat 22 kapel kecil yang ada di sana dan
mengamari hampir semua lukisan, patung, hasil karya dari gelas, dan lukisan
dinding. Kapel-264 kapel tersebut dibangun oleh keluarga-keluarga kaya di Bologna yang
mengeluarkan banyak uang untuk karya-karya seni tanda peringatan.
Pembuatannya membentuk sejarah kota itu, dan Francesca mengetahui setiap
rinciannya. Ia menunjukkan pada Marco tengkorak Santo Petronio yang terawat
baik yang diletakkan di altar, dan jam astrologi yang diciptakan pada tahun
1655 oleh dua ilmuwan yang sangat meyakini hasil-hasil penelitian Galileo di
universitas. Walau terkadang bosan dengan penjelasan mendetail tentang lukisan dan
patung, dan kewalahan dengan begitu banyak nama dan tanggal, Marco tetap
bertahan sementara tur berlangsung lambat mengelilingi bangunan besar itu.
Suara Francesca menawan hatinya, cara bicaranya yang lambat dan betat,
bahasa Inggris-nya yang apik dan sempurna.
Lama sesudah rombongan turis Jepang tadi meninggalkan katedral, mereka
akhirnya kembali di pintu depan dan Francesca berkata, "Sudah cukup"" "Ya."
Mereka keluar dan Francesca langsung menjulur
rokok. "Bagaimana kalau minum kopi"" ujar Marco.
"Aku tahu tempat yang tepat."
,, .___ - nvrbcranei jalan menuju
Marco mengikutinya menyeoerai B , ,
i i Mna langkah kemudian mereka Via Clavature; beberapa langKa/.
265 masuk ke Rosa Rose. "Cappuccino paling nikmat di lapangan ini," Francesca
meyakinkannya sesudah memesan dua cangkir di bar. Marco hendak bertanya
tentang larangan memesan cappuccino selewat pukul setengah sebelas pagi,
tapi mengurungkan diri. Sambil menunggu, dengan hati-hati Francesca
melepas sarung tangan kulit, syal, serta mantelnya.
Mungkin acara minum kopi ini akan berlangsung
agak lama. Mereka memilih meja di dekat jendela depan. Francesca menambahkan dua
bongkah gula hingga segalanya sedemikian tepat. Ia tidak pernah tersenyum
selama tiga jam terakhir, dan Marco pun tidak mengharapkannya sekarang.
"Aku punya salinan bahan-bahan pelajaran yang kaugunakan dengan guru
yang satu lagi," ujar Francesca sambil meraih rokok. "Ennanno."
"Terserahlah, aku tidak kenal dia. Kusarankan setiap sore kita melatih
percakapan berdasarkan apa yang kalian pelajari pagi harinya."
Marco tidak bisa membantah apa pun yang ia usulkan. "Terserah," ujarnya
sambil mengangkat bahu. Francesca menyulut rokoknya, lalu menyesap kopinya.
"Apa yang diceritakan Luigi tentang diriku"" tanya Marco.
"Tidak banyak. Kau orang Kanada. Kau sedang liburan panjang keliling Italia
dan ingin mempelajari bahasanya. Apakah itu benar""
"Kau menanyakan pertanyaan pribadi""
"Tidak, aku cuma bertanya apakah itu benar."
"Benar." "Aku tak punya urusan untuk mengkhawatirkan soal-soal seperti itu."
"Aku tidak memintamu untuk merasa khawatir."
Marco membayangkan wanita itu sebagai saksi yang kuat di pengadilan,
duduk dengan angkuh di depan juri, bertekad dirinya tak akan dibengkokkan
maupun dipatahkan, bagaimanapun serunya tanya-jawab itu nanti. Ia telah
menguasai dengan baik tampang cemberut dan tak peduli yang begitu jamak di
kalangan wanita Etopa. Ia memegang tokoknya dekat dengan wajah, matanya
mengamati segalanya di trotoar, tapi tidak melihat apa-apa. Obrolan basa-basi
bukanlah kelebihannya. "Kau sudah menikah"" tanya Marco, isyarat pertama
sesi tanya-jawab. Dengusan, senyum palsu. "Aku sudah mendapat perintah, Mr. Lazzeri."
"Panggil aku Marco. Dan aku harus memanggilmu apa""
"Signora Ferro sudah cukup untuk sementara
1 267 "Tapi kau sepuluh tahun lebih muda dariku" "Di sini situasi lebih formal, Mr.
Lazzeri * "Tampaknya begitu."
Signora Ferro mematikan rokoknya, menyesap kopi lagi, dan langsung ke
urusan pekerjaan. "1^ hari liburmu, Mr. Lazzeri. Ini terakhir kali kita
menggunakan bahasa Inggris. Pelajaran berikut, kita tidak bicara bahasa lain
selain bahasa Italia."
"Baik, tapi aku ingin kau mengingat satu hal. Kau tidak menawarkan
bantuan dengan gratis, oke" Kau dibayar. Inilah pekerjaanmu. Aku turis Kanada
yang memiliki banyak waktu, dan kalau kita tidak cocok, aku akan mencari
orang lain untuk mengajarku." "Apakah aku telah menyinggung perasaanmu"
Kau bisa tersenyum."
Wanha itu mengangguk kecil dan seketika matanya tampak basah. Ia
membuang muka, mena-UP ke luar jendela, dan berkata, "Aku tidak punya
banyak hal yang bisa membuatku tersenyum."
16 Toko-toko di sepanjang Via Rizzoli buka pukul sepuluh pagi pada hari Sabtu
dan Marco sedang menunggu sambil mengamati barang-barang yang dipajang di
etalase. Dengan uang lima ratus euro saku, ia menelan ludah dengan susah
payah, Meyakinkan diri bahwa ia tak punya pilihan lain kcuali masuk dan
menjalani acara belanjanya pertama dan sungguhan dalam bahasa Italia. Ia
telah menghafal kata-kata dan kalimat-kalimat hin8ga ia tertidur, tapi ketika
pintu menutup di belakangnya ia berdoa ada penjaga toko muda.yang ba* hati
dan bisa berbahasa Inggris dengan rasin. . Tak sepatah kata pun. Penjaga itu
pria separo kb,aya yan* !"y"m ^Sarco tTah me-7^6 dari lima belas menit M* nu*juk, tergagap-gagap, dan kadang Jo* S
baik ketika menanyakan ukuran dan harga, la pun pergi dengan membawa
sepasang sepatu bot hiking yang harganya sedang dan bergaya muda, jenis yang
sering dilihatnya di sekitar universitas ketika cuaca memburuk, dan jaket parka
hitam tahan air dengan tudung yang bisa digulung masuk ke dalam kerahnya.
Dan ia masih memiliki hampir tiga ratus euro di sakunya. Mengumpulkan uang
tunai kini menjadi prioritas utamanya.
la bergegas kembali ke apartemennya, berganti pakaian dengan bot baru
dan jaket parka, lalu pergi lagi. Tiga puluh menit perjalanan ke Bologna
Cenrrale menghabiskan waktu satu jam karena ia harus menggunakan jalur
yang berliku-liku dan memutar. Ia tidak pernah menoleh ke belakang, tapi
masuk ke kafe dengan mendadak dan
mempelajari lalu lintas pejalan kaki, atau
tiba-tiba berhenti di depan toko kue dan mengagumi kue-kue sambil
mengamati pantulan di kaca. Kalau mereka membuntutinya, ia tidak ingin
membuat meteka curiga. Latihan ini pun sangat penting. Lebih dari sekali Luigi
mengatakan padanya bahwa tak lama lagi ia akan pergi, dan Marco Lazzeri
ditinggalkan sendirian di dunia.
Pertanyaannya adalah, seberapa jauh ia bisa memercayai Luigi" Marco
Lazzeri maupun Joel Backman sama-sama tidak memercayai siapa pun.
Ada saat-saat menggelisahkan di stasiun kereta ketika ia berjalan masuk,
melihat keramaian di sana, mempelajari jadwal kedatangan dan
keberangkatan, dan menoleh ke sana kemari dengan putus asa mencari loket
penjualan tiket. Karena kebiasaan, ia juga mencari apa pun yang menggunakan
bahasa Inggris. Namun ia belajar untuk menyisihkan kegugupannya dan terus
The Broker Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maju. Ia berbaris dalam antrean dan sewaktu loket dibuka, ia maju dengan
cepat, tersenyum pada wanita mungil di balik bea, melontarkan "Buon giorno"
yang ramah, dan berkata, 'Yado a Milano." Saya mau pergi ke Milan.
Wanita itu sudah mengangguk. "Alle tredici e venti," ujar Marco. Jam 13.20.
"Si, cinquanta euro," sahut wanita itu. Lima puluh euro.
Marco memberikan uang kertas pecahan seratus euto katena ia
menginginkan kembaliannya, lalu betjalan pergi sambil menggenggam tiketnya
dan memuji dirinya sendiri. Karena memiliki waktu luang satu jam, ia keluar
dari stasiun dan berjalan dua blok di Via Boldrmi sampai menemukan kafe. la
menikmati panino dan bir sambil mengamati trotoar, tidak berharap melihat
siapa pun yang menarik perhatiannya.
Kereta Eurostar tiba tepat sepera yang dijadwalkan, dan Marco mengikuti
arus penumpang yang berjalan di peron. Ini perjalanan kereta pertamanya di Eropa dan ia tidak
terlalu yakin dengan kebiasaan yang ada di sini. Ia telah mempelajari tiketnya
sambil makan siang dan tidak melihat apa pun yang menunjukkan nomor
tempat duduk. Sepertinya orang bebas memilih, dan ia menempati kursi dekat
jendela pertama yang dilihatnya. Gerbongnya tak sampai separo penuh ketika
kereta mulai bergerak, tepat pada pukul 13.20.
Dengan segera mereka keluar dari Bologna dan pemandangan pinggiran kota
berkelebat cepat. Rel kereta itu mengikuti M4, jalan raya utama dari Milano ke
Parma, Bologna, Ancona, dan sepanjang pesisir timur Italia. Setelah setengah
jam, Marco kecewa dengan pemandangannya. Sulit menghargai pemandangan
ketika melesat dengan kecepatan 160 kilometer per jam; semuanya menjadi
kabur dan pemandangan yang indah lenyap dalam sekejap. Dan terlalu banyak
pabrik yang berjajar di sepanjang rute transportasi.
Dengan segera ia pun menyadari mengapa ia satu-satunya orang di gerbong
itu yang tampak tertarik dengan pemandangan di luar. Orang-orang yang
berusia lebih dari tiga puluh tenggelam dalam surat kabar dan majalah, dan
tampak santai, bahkan bosan. Yang lebih muda sudah tertidur lelap. Tak
berapa kuna kemudian, kepala Marco pun tertunduk mengantuk.
Kondektur membangunkannya, mengucapkan
sesuatu dalam bahasa Italia yang sama sekali tak
dipahaminya. Ia hanya menangkap kata "bigiietto" dalam kalimat kedua atau
ketiga dan cepat-cepat mengangsurkan tiketnya. Si kondektur cemberut
memandangi tiket itu seolah ia akan menendang Marco keluar di jembatan
berikut yang mereka lewati, tapi kemudian langsung melubanginya dan
mengembalikannya sambil tersenyum lebar penuh W
Satu jam kemudian serangkaian kata tanpa arti terdengar dari pengeras
suara, mengumumkan sesuatu yang ada hubungannya dengan Milano, dan
pemandangan mulai berubah dengan drastis. Kota yang besar segera menelan
mereka begitu keteta melambat, lalu berhenti, lalu bergerak lagi. Mereka
melewati blok-blok gedung apartemen yang dibangun sesudah masa perang,
berdempet-dempet, dengan jalan-jalan lebar yang memisahkannya. Buku
panduan Ermanno mengatakan Milano memiliki populasi empat juta jiwa; ini
kota penting, secara tak resmi merupakan ibu kota Italia utara, pusat
keuangan, mode, penerbitan, dan industri negara tersebut. Kota industri sibuk
yang, tentu saja, memiliki pusat kota dan katedral yang layak
dikunjungi. ^ makin banyak jalur-jalur re memecah n"nja^
dan melebar ketika mereka mem
Milano Centralc. Mereka berhenti di bawah kubah raksasa stasiun, dan
ketika Marco turun ke peron, ia terperangah melihat betapa besarnya tempat
itu. Tatkala berjalan di peron ia menghitung paling sedikit ada dua belas jalur
yang berjajar rapi, sebagian besar dengan kereta yang sabar menunggu
penumpangnya. Ia berhenti di ujung peron, di tengah-tengah keliaran ribuan
orang yang datang dan pergi, dan mempelajari rute keberangkatan: Smttgart,
Roma, Florence, Madrid, Paris, Betlin, Jenewa.
Seluruh Eropa ada di dalam jangkauannya, hanya beberapa jam jauhnya.
Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke gerbang masuk utama dan
melihat perhentian taksi, tempat ia mengantre sebentar sebelum akhirnya naik
ke kabin belakang mobil Renault putih kecil. "Aeroporto Malpensa," katanya
pada sopir. Merek merayap di lalu lintas Milano yang padat sampai tiba di
pinggiran kota. "Quale compagnia aerea"" tanya si sopir sambil menengok ke
belakang. Maskapai apa"
"Lufthansa," sahut Marco. Di Terminal 2 taksi iru menemukan ruang lowong
di tepi trotoar, dan Marco kembali merelakan empat puluh euro. Pintu otomatis
membuka ke arah keramaian orang, dan ia bersyukur tidak harus mengejar
pesawat apa pun. Ia meneliti jadwal keberangkatan dan menemukan
yang diinginkannya-penerbangan langsung ke Dulles. Ia mengelilingi
tetminal sampai menemukan meja pendaftaran Lufthansa. Ada antrean panjang
di depannya, tapi efisiensi Jerman yang biasa memungkinkan barisan itu
bergerak cepat. Prospek pertama adalah wanita berambut merah yang menarik berusia
sekitar 25 tahun, yang sepertinya bepergian sendiri. Ia lebih menyukai calon
seperti itu. Orang yang bepergian dengan teman mungkin tergoda untuk
membicarakan pria aneh di bandara yang mengajukan permintaan janggal.
Wanita itu ada di baris kedua dalam antrean kelas bisnis. Ketika mengawasi
wanita itu, Marco juga menemukan prospek nomor dua: mahasiswa berbaju
denim dengan rambut gondrong acak-acakan, ransel kumal, dan sweter
University of Toledo-calon yang tepat. Pemuda itu ada di bagian belakang
antrean, mendengarkan musik dengan headphone warna kuning cerah.
Marco mengikuti si rambut merah saat meninggalkan konter dengan kartu
pas dan tas kabinnya. Penerbangannya masih dua jam lagi, jadi wanita itu
melangkah mengikuti arus ke arah toko bebas pajak, tempat ia berhenti dan
mengamati arloji-arloji Swiss paling mutakhir. Setelah tidak melihat apa pun
yang ingin dibelinya, ia menuju kios majalah dan membeli dua majalah mode.
Ketika wanita itu berjalan ke gerbang keberangkatan, serta pos
pemeriksaan pertama, Marco meneguhkan diri dan mendekat. "Permisi,
Miss, permisi." Wanita itu mau tak mau menoleh dan menatapnya, tapi terlalu
curiga untuk mengatakan sesuatu.
"Apakah Anda akan pergi ke Dulles"" tanya Marco dengan senyum lebar dan
pura-pura terengah-engah, seolah baru saja berlari mengejarnya.
"Ya," sahut wanita itu ketus. Tanpa senyum. Orang Amerika.
"Saya juga, tapi paspor saya baru saja dicuri. Belum tahu kapan saya bisa
kembali." Marco mengeluarkan amplop dari sakunya. "Ini kartu ulang tahun
untuk ayah saya. Bisakah Anda memasukkannya ke bus surat begitu Anda tiba di
Dulles" Ulang tahunnya hari Selasa depan, dan saya khawatir kartu ini tidak
akan tiba tepat pada waktunya. Tolong."
Wanita itu memandangi Marco dan amplop itu dengan curiga. Itu kan cuma
kartu ulang tahun, bukan bom atau pistol.
Marco mencabut sesuatu yang lain dari sakunya "Maaf, tidak ada
prangkonya. Ini satu euro untuk membelinya Tolonglah, kalau Anda tidak
keberatan." Wajah itu akhirnya bergerak, dan wanita itu , hampir tersenyum. "Tentu
saja," katanya, menerima amplop dan uang satu euro itu, lalu menyelip-kannya
ke dalam tasnya. 276 Terima kasih banyak," ujar Marco, nyaris menangis. "Ini ulang tahunnya yang
kesembilan puluh. Terima kasih."
Tentu, tidak masalah," kata si tambut merah.
Si pemuda dengan headphone kuning itu sedikit lebih sulit. Ia juga orang
Amerika, dan termakan kisah paspor yang hilang. Tapi ketika Marco hendak
memberikan amplop itu, si pemuda menoleh ke kanan-kiri d
engan waspada seakan mereka melanggar hukum.
'Wah, entahlah, man," ujarnya sambil mundur selangkah. "Kurasa tidak."
Marco tahu lebih baik ia tidak mendesak. Ia mundur dan berkata seketus
mungkin, "Semoga penerbanganmu menyenangkan."
Mts. Ruby Ausberry dari York, Pennsylvania, adalah penumpang terakhir di
meja pendaftaran. Ia telah mengajar sejarah dunia di SMA selama empat puluh
tahun dan sedang menikmati uang pensiunnya dengan bepergian ke tempat-tempat yang hanya ia lihat dalam buku-buku pelajaran. Ini akhir petualangan
tiga minggunya setelah menjelajahi Turki. Ia hanya mampir di Milano dari
Istambul untuk meneruskan penerbangan ke Washington. Pria ramah itu
mendekatinya dengan senyum putus asa dan menjelaskan bahwa paspornya
baru dicuri. Ia bisa jadi akan melewatkan ulang tahun ayahnya. Dengan senang
hati ia menerima kami itu dan menyimpannya di dalam tas. Ia melewati pemeriksaan dengan lancar
dan berjalan tiga ratus meter ke gerbang keberangkatan, tempat ia
menemukan tempat duduk dan mulai membangun sarangnya.
Di belakang wanita itu, tak sampai lima meter jauhnya, si rambut merah
sampai pada ke-putusannya. Bisa jadi itu surat berisi bom. Memang tampaknya
tidak cukup tebal untuk memuat bahan peledak, tapi mana ia tahu hal-hal
semacam itu" Ada tong sampah di dekat jendela-tong sampah krom keperakan
dengan tutup krom (ini kan Milano)-dan dengan lagak santai ia berjalan
menghampirinya, lalu membuang amplop itu ke sana.
Bagaimana kalau amplop itu meledak di sana" ia bertanya-tanya sendiri
sambil kembali duduk Sudah terlambat. Ia tidak akan ke sana dan mengaisnya
lagi. Kalaupun ia mau melakukannya, lalu apa" Mencari petugas berseragam
dan berusaha menjelaskan dalam bahasa Inggris bahwa ada kemungkinan ia
tadi membawa surat berisi bom" Yang benar saja, tegurnya pada diri sendiri. Ia
meraih tas kabinnya dan pindah ke seberang ruangan, sejauh mungkin dari rong
sampah tadi. Dan ia tak dapat melepaskan pandang dari tong sampah itu.
Ketegangan ku semakin meningkat. Ia orang pertama yang naik ke pesawat
747 itu. Hanya dengan bantuan segelas sampanye ia bisa mulai tenang. Begitu sampai di Baltimore
ia langsung menonton CNN. Ia yakin akan terjadi pembantaian besar-besaran di
bandara Malpensa Milano. Perjalanan Marco kembali ke Milano Centrale dengan taksi memaksanya
mengeluarkan 45 euro, tapi Marco tidak bertanya-tanya pada si sopir. Untuk
apa repot-repot" Tiket kembali ke Bologna harganya sama-lima puluh euro.
Setelah satu hari belanja dan jalan-jalan, uangnya hanya tinggal sekitar seratus
euro. Simpanan uang tunainya menipis dengan cepat.
Hari sudah hampir gelap ketika kereta melambat di stasiun Bologna. Marco
hanya salah satu penumpang kecapekan ketika ia turun di peron, tapi diam-diam hatinya membuncah karena bangga atas keberhasilannya hari itu. Ia sudah
membeli pakaian, membeli tiket kereta, selamat dari kegilaan di stasiun kereta
dan bandara Milano, dua kali naik taksi, dan mengirimkan suratnya, satu hari
penuh tanpa petunjuk bahwa ada orang yang tahu siapa dia dan di mana dia
berada. Dan tak sekali pun ia diminta menunjukkan paspor maupun randa pengenal
lainnya. Luigi naik kereta yang lain, kereta cepat pukul 11.45 ke Milano. Namun ia
turun di Parma dan langsung
tenggelam dalam keramaian. Ia menemukan taksi dan pergi tak jauh ke
tempat pertemuan, sebuah kafe favorit. Hampir satu jam ia menunggu
Whitaker, yang ketinggalan kereta di Milano dan segera menyusul dengan
kereta berikutnya. Seperti biasa, suasana hati Whitaker sangat suram, yang
menjadi lebih buruk lagi karena pertemuan itu berlangsung pada hari Sabtu.
Dengan cepat mereka memesan dan begitu pelayan pergi, Whitaker berkata,
"Aku ridak suka perempuan itu-"
"Francesca""
"Ya, si pemandu tur. Kita belum pernah menggunakan dia, bukan""
"Benar. Tenang saja, jangan khawatir. Ia tidak tahu apa-apa."
"Bagaimana rupanya""
"Lumayan menarik."
"Lumayan menarik bisa berarti apa saja, Luigi. Berapa umurnya""
"Aku tidak pernah bertanya Dugaan paling baik, empat puluh lima."
"Sudah menikah""
"Ya, tak punya anak Ia menikah dengan pria tua yang kesehatannya sangat
buruk. Orang itu s ekarat." > '. Seperti biasa, Whitaker mencoret-coret di catatannya, memikirkan
pertanyaan berikutnya. "Sekarat" Kenapa""
"Kurasa karena kanker. Aku tidak banyak ber-tanya."
"Mungkin sebaiknya kau lebih banyak bertanya."
"Mungkin wanita itu tidak ingin membicarakan beberapa hal tertentu-
usianya dan suaminya yang sudah hampir mati." "Di mana kau menemukan dia""
Tidak mudah. Guru bahasa tidak antre seperti taksi. Ada teman yang
merekomendasikan dia Aku bertanya ke sana kemari. Ia punya reputasi baik di
kota itu. Dan kebetulan ia bersedia. Hampir mustahil menemukan guru bahasa
yang mau menghabiskan tiga jam setiap hari dengan muridnya" "Setiap hari""
Hampir setiap hari selain akhir pekan. Ia mau bekerja setiap siang untuk
sekitar satu bulan ke depan. Sekarang ini belum musim turis. Ia mungkin punya
pekerjaan satu atau dua kali seminggu, tapi berusaha tetap pada jadwal yang
disepakati. Tenang, ia cukup bagus." "Berapa bayarannya""
"Dua ratus euro seminggu, sampai musim semi ketika turis mulai ramai."
Whitaker memutar bola matanya, seolah jurulah itu harus dipangkasnya dari
uang gajinya "Biaya Marco tinggi sekali," ia berkata, seperu pada din sendiri.
"Marco punya ide bagus. Ia ingin pergi Australia atau Selandia Baru atau
tempat lajn j! mana ridak ada kendala bahasa."
"Ia ingin dipindah""
"Ya, dan menurutku itu ide bagus. Mari Icjta buang dia ke tempat lain."
"Bukan kita yang mengambil keputusan, kan Luigi""
"Memang bukan."
Pesanan salad riba dan mereka pun diam selama beberapa saat. Kemudian
Whitaker berkata, "Aku tetap tidak menyukai wanita itu. Teruslah mencari
orang lain." Tidak ada orang lain lagi. Apa sebenarnya yang kaukhawatirkan""
"Marco punya sejarah dengan kaum wanita, oke" Selalu ada kemungkinan
romansa bersemi. Wanita itu bisa mengacaukan banyak hal."
"Aku sudah memperingatkan wanita itu. Lagi pula ia butuh uangnya"
Ta tidak punya uang""
"Aku mendapat kesan kondisi keuangannya sedang sulit. Sekarang bukan
musim turis dan suaminya tidak bekerja."
Whitaker nyaris tersenyum, seakan iru kabar baik Dijejalkannya seiri" besar
tomat ke dalam mulur dan dikunyahnya sambil menyapukan pandang ke
trattoria itu, fcalau-kalau ada orang
yang menguping pembicaraan mereka yang dilangsungkan dalam bahasa
Inggris dengan suara pelan. Ketika akhirnya bisa menelan, ia berkata, "Sekarang
masalah e-mail. Marco sama sekali bukan tipe hacker. Pada masa jayanya dulu,
ia hidup dengan teleponnya-ia punya empat atau lima pesawat telepon di
kantornya, dua di mobil, satu di dalam saku-selalu menerima tiga telepon
sekaligus. Sering membual ia menagihkan lima ribu dolar hanya untuk
menerima telepon dari klien baru, omong kosong semacam itu. Tidak pernah
menggunakan komputer. Orang-orang yang bekerja padanya mengatakan ia
sesekali membaca e-mail. Ia jarang mengirim e-mail, dan kalaupun
mengirimkannya, sekretarisnyalah yang melakukannya. Kantornya penuh
peralatan berteknologi tinggi, tapi ia membayat orang untuk melakukan
pekerjaan kasar. Ia terlalu penting."
"Bagaimana ketika ia di penjara""
Tidak ada bukti pengiriman e-mail. Ia mempunyai laptop yang digunakannya
untuk menulis surat, bukan e-mail. Tampaknya semua orang menjauhinya
ketika ia jatuh. Sekali-sekali ia menulis surat kepada ibunya dan putranya, tapi
selalu melalui pos biasa."
"Kedengarannya ia sama sekali buta huruf/' "Kedengarannya begitu, tapi
Langlcy khawatir ia akan mencoba menghubungi seseorang di luar.
h ridak bisa melakukannya Jewac telepon, paling ridak sekarang ini. la ridak
punya alamat lain yang bisa dipakai, jadi mungkin surat tidak perlu
dicemaskan." "Bodoh sekali kalau ia menulis sura r," kara Luigi. "Iru bisa membongkar
keberadaannya." Tepat Begitu pula telepon, faks, dan segalanya, kecuali e-mail." "Kita bisa
melacak e-mail." "Sebagian besar bisa, tapi selalu ada cara." Ta ridak punya
komputer maupun uang untuk membelinya."
"Aku tahu, tapi secara hipotesis, ia bisa saja menyelinap ke kafe Internet,
menggunakan account berkode, mengirim e-mail, dan menghapus jejaknya,
mengeluarkan sedikit uang untuk membayar pihak rental, lalu pergi."
"Bisa saja, tapi siapa yang akan me
The Broker Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngajarinya cara melakukannya""
"Ia bisa belajar. Ia bisa menarinya di buku. Memang kecil kemungkinannya,
tapi bukan berarti tidak ada sama sekali"
"Aku menyisir apartemennya setiap hari," ujar Luigi. "Setiap jengkalnya.
Kalau ia membeli buku atau meletakkan bon pembelian, aku pasti tahu."
"Selidiki dengan cermat kafe-kafe Internet di sekitar situ. Sudah ada
beberapa di Bologna sekarang"
"Aku tahu semuanya."
"Di mana Marco sekarang""
"Aku tak tahu. Sekarang hari Sabtu, hari liburnya. Ia mungkin menjelajahi
jalanan Bologna, menikmati kebebasannya."
"Dan ia masih ketakutan""
"Ngeri." Mrs. Ruby Aus berry menelan pil sedatif ringan dan teridap selama enam
jam dari delapan jam waktu terbang dari Milano ke Dulles International. Kopi
suam-suam kuku yang mereka sajikan sebelum mendarat nyaris tak sanggup
menyibakkan kabut kantuk, dan ketika pesawat 747 itu meluncur menuju
gerbang kedatangan, ia sudah mulai tertidur lagi. la lupa pada kartu ulang
tahun itu ketika mereka digiring ke mobil-mobil pengangkut ternak yang
menunggu di landasan dan mengantar mereka ke terminal utama. Ia melupakan
kartu itu ketika bersama penumpang-penumpang lain menunggu bagasi dan
betbondong-bondong melewati pemeriksaan imigrasi. Dan ia pun melupakannya
ketika ia melihat cucu perempuan yang ia sayangi
" i i: ninrti keluar terminal ke-sudah menunggunya di pintu aeiu"i
datangan. . , , " "
o . "omnai ia sudah tiba de-Ia melupakan kartukuisamp"
ngan selamat di rumahnya di
dan mengais-ngais tas cangklongnya mencari oU oleh. "Oh, astaga," katanya
ketika kartu itu jatuh di meja dapur. "Seharusnya aku memasukkan kartu ini ke
bus surat di bandara tadi." Lalu ia bercerita pada cucunya tentang pria malang
di bandara Milano yang kehilangan paspor dan terpaksa tak bisa hadir pada hari
ulang tahun ayahnya yang kesembilan puluh.
Cucunya mengamati amplop itu. "Kok tidak sepera kartu ulang tahun""
katanya. Ia membau alamatnya: R.N. Backman, Attorney at Law, 412 Main
Street, Culpepet, Virginia, 22701.
"Tidak ada alamat pengirimnya," ujar si cucu perempuan.
"Aku akan mengirimkannya besok pagi-pagi sekali," kata Mrs. Ausberry.
"Kuharap bisa sampai sebelum hari ulang tahunnya."
17 Pada pukul sepuluh pagi di Singapura, dana misterius sejumlah tiga juta
dolar yang sudah mendekam di rekening Old Stone Group, Ltd, mendadak
meninggalkan tempatnya secara elektronis dan memulai perjalanan diam-diam
menuju belahan dunia yang lain. Sembilan jam kemudian, ketik* Pwtu-pintu
Galleon Bank and Trust di Pulau Saint Christopher di Kepulauan Karibia dibuka,
dana itu langsung diterima dan dimasukkan ke rekening Jwnomor tanpa nama.
Lazimnya, peristiwa 'tu Walah transaksi anonim biasa, salah satu dan nb"an
transaksi serupa pada Senin pag| "o" " J"*un Old Stone telah mendapat V^g^
dari PBI. Bank di Singapura ^ M "Ma sepenuhnya. Bank di Saint Christ P
demikian halnya, walau rak berapa lama lagi akan mendapat kesempatan
untuk berpartisipasi. Ketika Direktur Anthony Price tiba di kantornya di Hoover Building sebelum
fajar merekah pada hari Senin itu, memo berisi berita panas telah
menunggunya. Ia membatalkan semua kegiatan j yang sudah direncanakan pagi
itu. Bersama timnya ia menunggu dana tersebut mendarat di Saint Christopher.
Lalu ia menelepon Wakil Presiden. Makan waktu empat jam pemaksaan yang
sama sekak tidak diplomatis untuk mengguncang Saint Christophet dan
merontokkan informasi dari sana. Pada awalnya para bankir tersebur tetap
bergeming, tapi negara yang nyaris tak bisa disebut negara ku tentu tak mampu
bertahan melawan kekuatan dan amarah satu-satunya negara adidaya di dunia.
Sewaktu Wakil Presiden mengancam perdana menteri negara tersebut dengan
sanksi ekonomi dan perbankan yang akan menghancurkan perekonomian kecil
yang menjadi rulang punggung pulaunya, sang perdana menteri akhirnya,
bertekuk lutut dan ganti melabrak para bankirnya.
Rekening angka tersebut dapat dilacak dan secara langsung mengarah pada
Artie Morgan, putra sang mantan presiden yang berusia 31 tahun. Ia JaJuar-masuk Oval Office selama jam-jam terakhir pemerintahan ayahnya, menyesap
bir Heineken f dan sekali-sekali mem berikan saran kepada Critz
dan sang Presiden. Skandal itu semakin panas seiring berlalunya
waktu. Dari Grand Cayman ke Singapura dan sekarang ke Saint Christopher, transfer
kawat itu memperlihatkan tanda-tanda jelas seorang amatir yang berusaha
menutupi jejak-jejaknya. Seorang profesional akan memecah dana tersebut
menjadi delapan dan memarkir masing-masing bagian di sejumlah bank yang
berbeda di beberapa negara, lalu mentransfernya satu per satu dengan selang
waktu beberapa bulan. Kenyataannya, pemain pelonco seperti Artie pun
semestinya bisa menyimpan dana tersebut. Bank-bank luar negeri yang ia pilih
bersedia bekerja sama untuk melindunginya. Hanya saja, FBI berhasil
mendapatkan terobosan berkat bajingan penipu dana bersama yang
kelimpungan mencari jalan keluar untuk menghindari hukuman penjara.
Namun demikian, masih belum ada bukti dari mana dana tersebut berasal.
Selama tiga hari ter-akhk masa baktinya, Presiden Morgan memberikan 22
pengampunan hukuman. Di antara semua itu, hanya dua yang menarik
perhatian: Joel Backman dan Duke Mongo. FBI berupaya keras menggali
informasi keuangan tentang kedua puluh orang yang lain. Siapa yang mungkin
mempunyai tiga 289 juta dolar" Siapa yang memiliki sumber untuk mendapatkannya" Semua
teman, anggota keluarga, dan rekan bisnis diselidiki dengan cermat oleh FBI.
Analisis awal menyatakan apa yang sebelumnya telah diketahui Mongo
memiliki dana miliaran dolar dan mental yang korup sehingga bisa menyogok
siapa saja, Backman pun bisa melakukannya. Kemungkinan ketiga adalah
mantan anggota legislatif dan New Jersey yang mengeruk banyak keuntungan
untuk "keluarganya" dari kontrak pembangunan jalan pemerintah. Dua belas
tahun yang lalu, ia masuk ke "kamp fedetal" selama beberapa bulan dan
sekarang ingin hak-haknya dipulihkan kembali.
Presiden sedang berada di Eropa dalam rangkaian kunjungan perkenalan,
putaran kemenangannya yang pertama keliling dunia. Baru tiga hari lagi ia akan
kembali, dan Wakil Presiden memutuskan untuk menunggu. Mereka akan
mengawasi dana itu, memeriksa ulang semua fakta dan detail hingga dua-tiga
kali. Saat Presiden kembali, mereka akan menyajikan kasus yang solid. Skandal
jual-beli pengampunan hukuman akan menyengat negara ini. Partai oposisi
akan dipermalukan dan resolusinya di Kongres akan melemah. Anthony Price
dipastikan akan tetap menjabat sebagai direktur FBI selama beberapa tahun
lagi. Teddy Maynard pada akhirnya akan dikirim ke panti jompo. Tidak ada "isi
buruk dalam serangan besar-besaran FBI melawan mantan
presiden yang sama sekali tidak curiga.
Gurunya sudah menunggu di barisan bangku belakang Basilica di San
Francesco. Wanita itu terbungkus pakaian rapat, tangannya yang mengenakan
sarung tangan setengah tersembunyi di dalam saku mantelnya yang tebal. Di
luar turun hujan salju lagi, dan di dalam tempat ibadah yang luas, dingin, dan
kosong itu, suhu udara tidak lebih hangat daripada di luar. Marco duduk di
sebelahnya dan dengan suara pelan menyapa, "Buon porno."
Wanita itu membalasnya dengan senyum sekadarnya yang cukup untuk
disebut sopan, dan berkata, "Buon giorno." Marco tetap menyimpan tangannya
di dalam saku, dan untuk waktu yang , cukup lama mereka duduk saja seperti
dua pendaki gunung kedinginan yang sedang berlindung dari dahsyatnya cuaca.
Seperti biasa, wajah Francesca tampak muram dan pikirannya berkelana jauh
dari pengusaha Kanada kikuk yang ingin mempelajari bahasanya, la kelihatan
tak ambil pusing dan j pikirannya sibuk sendiri, dan Marco pun muak dengan
tingkahnya. Ermanno makin kehilangan : minat dari hari ke hari. Francesca
nyaris tak bisa diajak kompromi. Luigi selalu ada di belakang
191 sana, mengendap-endap dan mengawasi, tapi ja pun sepertinya sudah
kehilangan minat pada permainan ini.
Marco mulai berpikir akan terjadi sesuatu tak lama lagi. Potong tali
pelampungnya dan biarkan ia mengapung sendiri, entah berenang atau
tenggelam. Biarkan saja. Sudah hampir satu bulan ia menjadi orang bebas. Ia
sudah mempelajari cukup banyak bahasa Italia untuk bertahan hidup. Ia pasti
biasa belajar sendiri lebih banyak lagi.
"Jadi berapa usia gereja ini
"" tanya Marco setelah jelas bahwa ia yang
pertama kali diharapkan memecahkan keheningan.
Wanita itu beringsut sedikit, berdeham, mengeluarkan kedua tangannya dari
saku, seolah Marco telah membangunkannya dari tidur yang lelap. "Gereja ini
mulai dibangun pada tahun 1236 oleh biarawan-biarawan Fransiskan. Tiga puluh
tahun kemudian aula utama selesai dibangun." "Pekerjaan yang terburu-buru."
"Ya, memang cukup cepat. Selama berabad-abad sesudahnya, kapel-kapel
mulai dibangun di kedua sisinya. Sakristi kemudian dibangun, lalu menara
loncengnya Pada tahun 1798, Prancis, di bawah Napoleon, mengubah tempat
ibadah ini menjadi kantor pabean. Pada tahun 1886, bangunan ini kembal
menjadi gereja, lalu direstorasi pada tahun 1928. Kak" Bologna dibom Sekutu,
bagian fasad-nya rusak berat. Bangunan ini memang memiliki sejarah yang keras."
Tidak tampak cantik dari luar."
"Begitulah akibat pemboman."
"Kurasa itu karena kalian keliru memihak."
"Bologna tidak berpikir begitu."
Tak ada perlunya menghidupkan perang yang sudah berlalu. Mereka terdiam
sementara suara mereka seolah mengambang naik dan bergaung pelan di dalam
kubah. Ketika Backman masih kecil, ibunya mengajaknya ke gereja beberapa
kali dalam setahun, tapi upaya setengah hati untuk memperdalam iman
tersebut dengan segera ditinggalkan pada masa SMA dan sama sekali terlupakan
selama empat puluh terakhir. Penjara pun tidak sanggup membujuknya
kembali, tak seperti beberapa narapidana lain. Namun bahkan pria yang tak
memiliki kepercayaan apa pun itu sulit memahami bagaimana pemujaan dalam
bentuk apa pun bisa dilangsungkan di tempat serupa museum yang begitu
dingin dan tak bernyawa. "Gereja ini begitu kosong. Memangnya pernah ada orang yang beribadah di
sini" "Ada misa harian dan hari Minggu. Aku dulu
menikah di sini." "Seharusnya kau tidak menceritakan kisah pribadimu. Luigi bisa marah."
_ . * i Tnlia. Marco, tidak boleh
"Gunakan bahasa Italia, 1VHM
bahasa Inggris lagi." Dengan bahasa Italia, ia ber tanya, "Apa yang
kaupela/ari pagi ini benam; Ermanno"" "La famiglia."
"La sua famiglia. Mi dica." Keluargamu. Cerita-kanJah padaku. "Berantakan,"
ujar Marco dalam bahasa Inggris. "Sua moglie""Istrimu" "Yang mana" Aku punya
tiga." "Bahasa Italia." "Quale"Ne ho tre." "L'ultima." Yang terakhir. Lalu Marco
menahan diri. Ia bukan Joel Backman, yang mempunyai tiga mantan istri dan
keluarga berantakan. Ia Marco Lazzeri dari Toronto, yang memiliki seorang
istri, empat anak, dan lima cucu. "Aku bergurau," katanya dalam bahasa
Inggris. "Aku cuma punya satu istri."
"Mi duo, in Italiano, di sua moglie." Ceritakan tentang istrimu.
Dengan bahasa Italia yang lambat, Marco menggambarkan istri rekaannya.
Namanya Laura. Umurnya 52 tahun. Ia tinggal di Toronto. Ia bekerja di
perusahaan kecil. Ia tidak suka bepergian. Dan seterusnya.
Setiap kalimat diulang paling tidak tiga kali. Setiap pengucapan yang salah
disambut kernyitan dan ucapan singkat, "Ripeta." Berulang-ulang Marco
ia/. bercerita tentang Laura yang tak pernah ada. Ketika ceritanya tentang
Laura habis, ia digiring untuk ber-cerira tentang putra sulungnya, rekaan juga,
yang satu ini namanya Alex. Usianya tiga puluh tahun, bekerja sebagai
pengacara di Vancouver, bercerai, memiliki dua anak, dst, dst.
Untungnya, Luigi telah memberinya biografi kecil tentang Marco Lazzeri,
lengkap dengan semua detail yang diingat-ingatnya kembali di bangku belakang
gereja yang dingin menggigit itu. Francesca mendorongnya terus, memaksanya
menuju kesempurnaan, memperingatkannya agar tidak betbicara terlalu cepat,
kecenderungan yang alami.
"Deve parlare lentamente," ujarnya berkali-kali. Kau harus bicara perlahan.
Francesca sangat tegas dan tanpa humor, tapi juga membuatnya
termotivasi. Kalau bahasa Italia Marco separo saja kemampuan Francesca
berbahasa Inggris, tentu ia akan berhasil baik Jika Francesca yakin
kemampuannya akan meningkat dengan pengulangan kalimat, ia pun akan
melakukan hal yang sama. Ketika mereka sedang membicarakan ibu Marco,
seorang pria berumur memasuki gereja dan duduk
di barisan bangku tepat di depan mereka. Tak lama
kemudian bapak itu tenggelam
dalam meditasi dan doa. Mereka memutuskan untuk keluar tanpa
_, _. Calm tipis masih turun dari langit
mengganggu. o"Ju " "
dan mereka berhenti di kafe pertama yang mereka lihat, untuk minum
espresso dan merokok "iaesso, possiamo parlare della sua familia"" tanya Marco. Bisakah kita
berbicara tentang keluargamu sekarang"
Francesca tersenyum, memperlihatkan geliginya; yang sangat jarang
terjadi. Lalu ia berkata, 'Benissimo, Marco." Bagus sekali. "Ma, non possiamo. Mi
displace." Tapi, maafkan aku. Kita tidak bisa melakukannya.
"Perche non"" Mengapa tidak"
"Abbiamo delle regole." Kita punya peraturan.
"Dove suo marito"" Di mana suamimu berada"
"Qui, a Bologna." Di sini, di Bologna.
"Dove lavora"" Di mana ia bekerja"
"Non lavora." Setelah rokoknya yang kedua, mereka berjalan kembali ke arah trotoar
bernaungan dan memulai pelajaran mendalam tentang salju." Francesca
mengatakan kalimat pendek dalam bahasa Inggris, lalu Marco harus
menerjemahkannya. Salju turun. Di Florida tak pernah turun salju. Mungkin
besok akan turun salju. Minggu lalu, hujan salju turun dua kali. Aku suka salju.
Aku tidak suka salju. Mereka menyusuri tepi alun-alun utama dan tetap berjalan di bawah
portico. Di Via Rizzoli, mereka melewati toko tempat Marco membeli sepatu
bot dan jaketnya, dan menurutnya Francesca akan
296 senang mendengar cerita tentang peristiwa itu. Marco mampu menangani
pembicaraan dalam bahasa Italia. Namun ia mengurungkan niat, karena
tampaknya Francesca begitu berkonsentrasi dengan obrolan tentang cuaca. Di
persimpangan, mereka berhenti dan memandang Le Due Torri, dua menara
yang masih berdiri, yang menjadi kebanggaan penduduk Bologna.
Dulu pernah terdapat lebih dari dua ratus menara, jelas Francesca. Lalu ia
meminta Marco mengulang kalimat tersebut. Marco mencobanya, mengucapkan
bentuk lampau dan angkanya dengan ngawur, kemudian diminta mengulang
kalimat keparat itu sampai ia mengatakannya dengan benar.
Di abad pertengahan, untuk alasan-alasan yang tak pernah bisa diterangkan
oleh bangsa Italia zaman sekarang, nenek moyang mereka mengembangkan
ketertarikan arsitektur yang tak biasa dengan membangun menara-menara
jangkung dan langsing untuk tempat tinggal mereka. Karena perang antarsuku
dan kerusuhan setempat menjadi sesuatu yang biasa dan menyebar cepat,
menara-menara itu utamanya dijadikan tempat perlindungan. Bangunan
tersebut bisa menjadi pos pengamatan yang bagus dan sangat penting artinya
saat terjadi serangan, sekalipun tidak terlalu praktis sebagai tempat tinggal.
Untuk melindungi persediaan pangan, dapur dibangun di lantai tertinggi,
tiga ratusan anak tangga dari tanah, sehingga tak \ mudah mencari
pembantu yang bisa diandalkan. Ketika pecah perlawanan, keluarga-keluarga
yang bermusuhan tinggal melontarkan anak-anak panah dan melemparkan
tombak dari satu menara ke menara yang lain. Tak ada perlunya berperang di
jalanan sepera orang kebanyakan.
Menara-menara tersebut juga menjadi simbol status. Kaum bangsawan dan
The Broker Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang-orang terhormat tak rela bila tetangga dan/atau musuhnya memiliki
menara yang lebih tinggi, jadi pada abad ketiga belas dan keempat belas
muncullah perlombaan aneh yang melanda kaki langit Bologna, ketika para
aristokrat berusaha menyaingi tetangga-tetangganya. Kota itu pun dijuluki la
turrita, yang bermenara. Seorang pengelana dari Inggris menggambarkannya
sebagai "lautan asparagus".
Pada abad keempat belas, pemerintahan yang terorganisir baik berhasil
mengokohkan kekuasaannya di Bologna, dan orang-orang yang memiliki visi
tahu bahwa perseteruan itu harus dihentikan. Kota tersebut, bilamana memiliki
cukup tenaga kerja, merobohkan sebagian besar menara-menara ku. Pekerjaan
pembongkaran sebagian yang lain diambil alih oleh waktu dan gaya gravitasi-
fondasi yang buruk membuatnya roboh sendiri setelah be-berapa abad.
Pada akhir 1800-an, muncul gerakan untuk meruntuhkan semua menata,
tapi hanya mendapat sedikit dukungan. Cuma dua menara yang bertahan-
Asinelli dan Garisenda. Keduanya berdiri berdekatan di Piazza di Porto
Ravegnana, tak satu pun berdiri tegak lurus. Garisenda condong ke utara pada
sudut yang sangg up menyaingi menara yang lebih cantik dan lebih terkenal,
yang ada di Pisa. Kedua menara yang masih berdiri itu telah memicu timbulnya
banyak julukan selama berpuluh-puluh tahun. Seorang penyair Prancis
mengibaratkan mereka sebagai dua pelaut mabuk yang terseok-seok pulang,
saling menyandarkan tubuh ke yang lain agar tidak roboh. Buku panduan
Ermanno menyebut mereka "Laurel dan Hardy" dari masa arsitektur abad
pertengahan. La Torre degii Asinelli dibangun pada awal abad kedua belas, dan, dengan
tinggi 97,2 meter, dua kali lebih jangkung daripada rekannya. Garisenda mulai
miring ketika hampir selesai dibangun pada abad ketiga belas, dan langsung
dipenggal setengahnya demi mencegah kemiringan lebih lanjut. Klan Garisenda
kehilangan minat dan meninggalkan kota tersebut dengan menanggung malu.
Marco pernah mempelajari sejarah tersebut dari buku panduan Ermanno.
Francesca tidak mengetahuinya, dan ia, sebagai pemandu yang baik,
menghabiskan lima belas menit dalam udara dingin untuk bercerita rentang
menara-menara yang terkenal itu. Ia menyusun kalimat sederhana,
mengucapkannya dengan sempurna, membantu Marco terbata-bata
mengulanginya, lalu dengan enggan beralih ke kalimat lain.
"Asinelli memiliki empat ratus sembilan puluh delapan anak tangga hingga
ke puncaknya," ujar Francesca.
"Andiomo," ujar Marco segera. Ayo. Mereka memasuki fondasi menara yang
besar melalui pintu sempit, menaiki tangga melingkar setinggi kurang-lebih
lima belas meter sampai ke bilik penjualan tiket yang terjepit di suatu sudut.
Marco membeli dua tiket yang masing-masing harganya tiga euro, dan mereka
pun mulai mendaki. Menara itu bolong di tengah, dengan tangga yang
menempel di dinding paling luar.
Francesca mengatakan, paling tidak sudah sepuluh tahun ia tidak naik ke
menara itu, dan sepertinya bersemangat dengan petualangan kecil mereka. Ia
mulai menaiki anak-anak tangga sempit dari kayu ek, sementara Marco
menjaga jarak di belakangnya. Sesekali terdapat jendela terbuka, sehingga ada
udara dan cahaya yang menembus masuk "Atur sendiri langkahmu," kata
Francesca dalam bahasa Inggris sambil menoleh ke belakang, ketika ia mulai
jauh dari Marco. Pada siang hari di
bulan Februari yang bersalju itu, tidak ada orang yang berminat mendaki ke
puncak kota. Marco mengatur kecepatannya dan segera saja Francesca lenyap dari
pandangan. Sekitar setengah jalan ke puncak, Marco berhenti di jendela lebar
yang terbuka sehingga angin bisa menyejukkan wajahnya. Ia berhasil mengatur
napas, lalu mendaki lagi, kali ini lebih lambat. Beberapa menit kemudian, ia
berhenti lagi, jantungnya berdegup kencang, paru-parunya kembang-kempis,
benaknya bertanya-tanya apakah ia sanggup sampai ke puncak Setelah 498
anak tangga, akhirnya ia muncul di kotak sempit di bawah atap dan melangkah
ke puncak menara. Francesca sedang merokok, menera-wangi kotanya yang
indah, tak terlihat setitik keringat pun di wajahnya.
Pemandangan dari puncak sungguh mengagumkan. Atap-atap rumah
bergenting merah sekarang tertutup salju putih setebal lima sentimeter. Kubah
hijau pucat San Bartolomeo ada di bawah atap-atap itu, tidak terkubur di
bawah salju. "Pada hari cerah, kau bisa melihat Laut Adriatik di sebelah timur,
dan Pegunungan Alpen di utara," kata Francesca, masih berbahasa Inggris.
"Indah sekali, bahkan ketika terlapisi salju."
"Indah sekali," kata Marco, napasnya tersengal-sengal. Angin bertiup melalui
jeruji besi di antara batu bata, dan udara di puncak Bologna lebih dingin daripada di jalanan di
bawah. "Menara ini adalah bangunan kelima tertinggi di Italia zaman kuno," kata
Francesca bangga. Marco yakin wanita itu bisa menyebutkan keempat bangunan
yang lain. "Mengapa menara ini dipertahankan"" tanya Marco.
"Untuk dua alasan, kurasa. Menara ini memiliki rancangan dan konstruksi
yang bagus. Asinelli keluarga yang kuat dan- berkuasa. Dan bangunan ini pernah
digunakan sebagai penjara pada abad keempat belas, ketika banyak menara
lain dihancurkan. Sesungguhnya, tak ada orang yang benar-benar tahu mengapa
menara ini dipertahankan.'' Pada ketinggian sembilan puluh meter, Francesca
menjadi orang yang berbe da. Matanya berbinar, suaranya terdengar hidup.
"Pemandangan ini selalu mengingatkanku mengapa aku mencintai kotaku,"
karanya sambil menyunggingkan senyum langka. Bukan senyum yang ditujukan
pada Marco, bukan pada apa pun dikatakannya, tapi pada atap bangunan dan
kaki langit Bologna Mereka menyeberang ke sisi lain dan memandang kejauhan
di sebelah barat daya. Di atas bukit di atas kota, samar-samar terlihat
Santuario di San Luca, malaikat pelindung kota itu.
"Kau pernah ke sana"" tanya Francesca.
"Belum." "Kita akan pergi ke sana bila cuaca cerah, oke""
"Baik." "Banyak yang harus kita lihat."
Barangkali ia tidak akan memecat Francesca. Marco begitu mendambakan
pertemanan, terutama dari lawan jenis, sehingga ia sanggup menolerir
ketidakacuhan Francesca, kemuramannya, serta perubahan suasana hatinya.
Marco bahkan akan belajar lebih giat lagi demi memperoleh pengakuan
darinya. . Bila perjalanan mendaki Menara Asinelli telah meningkatkan semangat
Francesca, perjalanan turun mengembalikan lagi sikapnya yang murung. Mereka
minum espresso sebentar di dekat menara dan kemudian berpisah jalan. Ketika
Francesca berjalan menjauh tanpa pelukan yang palsu, tanpa kecupan di pipi,
bahkan tanpa jabat tangan sopan santun, Marco memutuskan untuk
memberinya walau satu minggu lagi.
Diam-diam ia menempatkan Francesca pada masa percobaan. Wanita itu
punya waktu tujuh hari untuk bersikap lebih manis, kalau tidak Marco akan
menghentikan kegiatan belajar-mengajar ini. Hidup ini terlalu singkat.
Namun, Francesca cantik juga sih.
Amplop itu dibuka oleh sekretarisnya, seperti semua surat yang datang
kemarin dan kemarin dulu. Tapi di dalam amplop itu terdapat amplop lain,
yang ditujukan kepada Neal Backman. Di muka dan belakang amplop, dalam
huruf-huruf kapital tebal, tertulis peringatan serius: PRIBADI, RAHASIA, HANYA
BOLEH DIBUKA OLEH NEAL BACKMAN.
"Anda mungkin mau melihat yang paling atas lebih dulu," ujar sekretarisnya
ketika mengantarkan tumpukan tebal surat-surat yang masuk itu pada pukul
sembilan pagi. "Prangkonya distempel dua hari yang lalu di York, Pennsylvania."
Sewaktu sekretaris itu menutup pintu di belakangnya, Neal meneliti amplop
tersebur. Warnanya cokelat muda, tanpa tanda-tanda apa pun kecuali yang
sudah ditulis tangan oleh si pengirim. Tulisan itu tampak familier.
Dengan pisau pembuka surat, dengan perlahan dibukanya bagian atas
amplop tersebut, lalu dikeluarkannya selembar kertas putih yang terlipat. Surat
itu dari ayahnya. Mengejutkan, namun demikian tidak juga.
Dear Neal; 21 Feb Sementara ini aku aman, tapi keadaan ini kurasa tak akan bertahan lama.
Aku memerlukan bantuanmu. Aku tidak punya alamat, tidak punya telepon
maupun mesin faks, dan bila memilikinya pun aku tidak yakin dapat menggunakannya. Aku perlu
akses e-mail, sesuatu yang tidak dapat dilacak. Aku tidak tahu bagaimana
mendapatkannya, tapi aku tahu kau bisa. Aku tidak punya komputer dan tidak
punya uang. Ada kemungkinan besar kau diawasi, jadi apa pun yang
kaulakukan, kau tidak boleh meninggalkan jejak. Tutupi semua jejakmu. Tutupi
jejakku. Jangan percaya pada siapa pun. Amati segalanya. Simpan surat ini,
lalu hancurkan. Kirimi aku uang sebanyak yang mungkin kaukirimkan. Kau tahu
aku akan menggantinya nanti. Jangan pernah gunakan nama aslimu atau apa
pun juga. Gunakan alamat ini:
Sr. Rudolph Viscovitch, Universita degli Studi, Universitas Bologna, Via
Zamboni 22, 44041, Bologna, Italia. Gunakan dua amplop-yang pertama
ditujukan pada Viscovitch, yang kedua padaku. Dalam suratmu padanya,
katakan padanya agar menyimpankan kirimanmu itu untuk Marco Lazzeri.
Cepatlah! Love, Marco Neal meletakkan surat itu di mejanya dan berjalan ke pintu untuk
menguncinya. Ia duduk di sofa kecil berlapis kulit dan berusaha menata pi-kiran. Ia telah memutuskan bahwa ayahnya ada di luar negeri, karena kalau
tidak, ia pasti akan mengontaknya jauh sebelum ini. Mengapa ia ada di Italia"
Mengapa surat ini dikirim dari York, Pennsylvania"
Istri Neal tidak pernah bertemu ayah mertuanya. Backman sudah dipenjara
selama dua tahun ketika Neal dan istrinya bertemu, lalu menikah. Mereka
mengirim fot o-foto pernikahan ke penjara, kemudian sebuah foto putri
mereka,-cucu perempuan Joel yang kedua.
Neal tidak senang membicarakan ayahnya. Maupun memikirkannya. Joel
bukan ayah teladan, sering tak ada hampir di sepanjang masa kecilnya, dan
kejatuhannya yang mengejutkan dari kekuasaan telah mencoreng muka orang-orang yang dekat dengannya. Dengan enggan Neal mengirim surat dan kami
selama masa tahanannya, tapi ia bisa dengan jujur mengatakan, paling tidak
pada diri sendiri dan istrinya, bahwa ia tidak kehilangan ayahnya. Toh ia nyaris
tak pernah berada dekat-dekat ayahnya.
Sekarang ayahnya kembali, meminta uang yang tak dimiliki oleh Neal, tanpa
ragu beranggapan Neal akan melakukan apa yang diperintahkan, dengan tenang
mempertaruhkan keselamatan orang lain.
Neal kembali menghampiri meja kerjanya dan membaca lagi surat itu, lalu
sekali lagi. Tulisan 306 cakar ayam yang nyaris tak bisa dibaca itu sama seperti yang sering
dilihatnya selama hidupnya. Dan metode operasinya pun sama, di rumah
maupun di kantor. Lakukan ini, ini, dan ini, dan semuanya pasti berhasil.
Lakukan dengan caraku, dan lakukan sekarang juga! Cepat! Pertaruhkan
segalanya karena aku membutuhkanmu.
Dan bagaimana bila segalanya berjalan lancar dan sang broker kembali" Ia
pasti tidak akan memiliki wakru luang untuk Neal dan cucunya. Bila diberi
kesempatan lagi, Joel Backman, 52 tahun, pasd akan berjaya lagi dalam
lingkaran kekuasaan Washington. Ia akan berteman dengan orang-orang yang
tepat, menggiring klien-klien yang tepat, menikahi wanita yang tepat,
menemukan parrner-partner yang tepat, dan dalam setahun, sekali lagi ia akan
bekerja dalam kantornya yang luas tempat ia menagihkan uang jasa dalam
jumlah tak tanggung-tanggung dan menyiksa para anggota Kongres. .
Hidup ini terasa lebih sederhana ketika ayahnya masih dipenjara.
Apa yang akan dikatakannya pada Lisa, istrinya" Sayang, uang dua ribu dolar
yang kita kubur dalam tabungan itu hendak diminta. Ditambah beberapa rams
dolar untuk sistem e-mail rahasia. Kau dan putri kita sebaiknya mengunci pintu
sepanjang waktu karena hidup ini menjadi berbahaya.
Pada hari yang berubah drastis itu, neal meminta sekretarisnya untuk
menahan semua telepon masuk. Diregangkannya tubuhnya di sofa, dilepasnya
sepatunya, lalu ia memejamkan mata dan mulai memijat-mijat pelipisnya.
18 Duma perang kecil yang keji antara CIA dan FBI, kedua belah pihak sering
kali menggunakan beberapa wartawan tertentu untuk alasan-alasan taktis.
Serangan-serangan yang sudah dipertimbangkan akan dilancarkan, serangan
balasan h tangkis, langkah mundur yang buru-buru segera ditutupi, bahkan
pengendalian kerusakan^isa^ implementasikan dengan memanipulasi Sandberg
memiliki sumber-sumber dan^ ^ belah pihak selama dua puluh ^""^^ diberi
bersedia dirinya dimanfaatkan "1 "^y^ ja imbalan informasi yang benar,
jug" ^ Je_ Pun bersedia mengemban pera" angkatan
ngan hati-hati bergerak di anK^.p ^akt untuk dengan men
yebarkan sosip^cwlioi Pihftk ,ain' menjajaki seberapa jauh
Dalam upayanya mengonfirmasi kabar bahwa FBJ sedang melakukan
investigasi skandal penjualan pengampunan hukuman, ia pun mengontak
sumber CIA-nya yang paling dapat diandalkan. Seperti biasa, ia disambut
tembok batu, tapi tak sampai 48 jam kemudian tembok itu diturunkan.
Kontaknya di Langiey adalah Rusty Lowell, pegawai karier yang kelelahan,
dengan jabatan berganti-ganti. Apa pun jabatannya, pekerjaan sesungguhnya
adalah mengawasi media dan memberikan nasihat pada Teddy Maynard tentang
bagaimana memanfaatkah dan menyalahgunakan media. Ia bukan informan
yang menyampaikan sesuatu yang ridak benar. Setelah bertahun-tahun menjaga
hubungan, Sandberg cukup yakin bahwa banyak hal yang didapatnya dari Lowell
bersumber dari tangan Teddy sendiri.
Mereka bertemu di Tyson's Corner Mall di Virginia, tepat di mar jalur
Beltway, di meja belakang warung pizza murahan di food court lantai atas.
Masing-masing membeli seiris pizza pepperoni-keju serta minuman ringan, lalu
mencari meja bilik yang tersembunyi dari semua orang. Aturan- J aturannya
seperti biasa adalah: (1) segalanya bersifat j off-the-record dan dari
sumber yang sangat dalam; j (2) Lowell akan memberikan lampu hijau lebih dulu
sebelum Sandberg boleh memuat tulisannya; I dan (3) bila apa pun yang
dikatakan Lowell di- | 310 J kontradiksi oleh sumber lain, ia, Lowell, diberi ke-semparan untuk
mempelajarinya dan memberikan
kata akhir. Sebagai wartawan investigasi, Sandberg membenci aturan-aturan tersebut
Namun, Lowell tidak pernah salah, dan ia tak pernah berbicara pada orang lain.
jika Sandberg ingin menggali tambang berharga ini, ia harus main sesuai
aturan. "Mereka menemukan sejumlah dana," demikian Sandberg mulai. "Dan
menurut mereka, itu berkaitan dengan pengampunan hukuman."
Sorot mata Lowell menyatakan apa yang dipikirkannya karena pada
dasarnya ia memang tak pernah berbohong. Matanya langsung menyipit dan
jelas bahwa ini berita yang benar-benar baru. "Apakah CIA mengetahuinya""
tanya Sandberg. "Tidak," jawab Lowell terus terang. Ia tidak pernah takut pada
kebenaran. "Kami memang sedang mengawasi beberapa rekening luar negeri,
tapi ridak ada sesuatu pun yang terjadi. Berapa jumlahnya""
"Banyak sekali. Aku tidak tahu tepatnya. Dan aku tidak tahu bagaimana
mereka menemukannya."
"Dari mana asalnya""
"Mereka tidak yakin, tapi ingin sekali menghubungkannya pada Joel
Backman. Mereka sudah membicarakannya dengan White House."
"Tidak dengan kami."
311 "Jehs tidak. Semua ini berbau politik. Mereka akan senang kalau bisa
mengaitkan skandal ini dengan Presiden Morgan, dan Backman dijadikan mitra
sekongkol yang sempurna." "Duke Mongo juga bisa dijadikan target." "Ya, tapi
boleh dibilang ia sudah mati. Ia memang punya karier panjang dan penuh
warna dalam penipuan pajak, tapi sekarang ia sudah pensiun. Backman masih
mempunyai banyak rahasia Mereka ingin menggiringnya pulang,
memasukkannya ke dalam mesin penggiling di Departemen Kehakiman,
mengguncang Washington selama beberapa bulan. Itu akan mempermalukan
Morgan." "Perekonomian sedang merosot tajam. Benar-benar pengalih perhatian yang
menarik." "Seperti yang sudah kubilang, semua ini berbau politik"
Akhirnya Lowell menggigit pizzanya dan mengunyahnya dengan cepat sambil
The Broker Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpikir. "Tidak mungkin Backman. Mereka salah sasaran." "Kau yakin.''
"Yakin benar. Backman tidak pernah tahu akan ada pengampunan hukuman.
Boleh dibilang kami menyeretnya keluar dari selnya pada tengah malam buta,
menyuruhnya menandatangani beberapa dokumen, lalu mengirimnya ke luar
negeri sebelum matahari terbit."
"Dan ke mana dia pergi""
312 "Wah, aku tidak tahu. Dan kalaupun tahu, aku tidak akan memberitahumu.
Intinya, Backman tidak punya waktu mengatur sogokan. Ia dikubur dalam-dalam di penjara, bahkan tak pernah mimpi bakal mendapat pengampunan. Itu
gagasan Teddy, bukan Backman. Mereka salah orang." "Mereka bertekad
mencarinya." "Mengapa" Ia kan manusia bebas, mendapat pengampunan penuh,
bukan residivis yang sedang dalam pelarian. Ia tidak bisa diekstradisi, kecuali
mereka bisa mengajukan dakwaan." "Sepertinya mereka bisa melakukannya."
Lowell mengerutkan kening pada meja selama beberapa saat. "Aku tidak bisa
membayangkan seperti apa bentuknya. Mereka tidak punya bukti. Mereka
memang mengetahui ada dana yang mencurigakan di sebuah bank, tapi tidak
tahu dari mana asalnya. Yakinlah, itu bukan uang Backman." "Bisakah mereka
menemukan Backman"" "Mereka akan memberikan tekanan pada Teddy, dan itu
sebabnya aku mau bicara." Disisihkannya sisa pizzanya dan ia mencondongkan
tubuh ke muka. "Tak berapa lama lagi akan ada pertemuan di Oval Office.
Teddy akan hadir, dan ia akan diminta oleh Presiden untuk melihat beberapa
fakta sensitif mengenai Backman. Teddy akan menolak. Lalu akan ada waktu
penentuan. Apakah Presiden akan memiliki nyali untuk memecat pak tua itu""
"Dia punya nyali, tidak"" "Barangkali. Paling tidak, itulah yang diharapkai
Teddy. Ini adalah masa kepresidenan keempat yang pernah dijalaninya, dan
kau sendiri tahu itu rekoi luar biasa. Ketiga presiden yang pertama ingin
memecatnya. Tapi sekarang, ia sudah tua dan sudah siap melepas jabatan."
"Sudah lama ia tua dan siap melepas jabatan." "Memang benar, rapi dulu ia
memimpin dengan tangan besi. Kali i
ni berbeda." "Mengapa ia tidak pensiun
saja"" "Karena ia bangsat pemarah, kontradiktif, dan keras kepala. Kau tahu
itu." "Memang sudah terbukti." "Dan bila ia dipecat, ia tidak akan pergi begitu
saja Ia mengharapkan liputan yang seimbang."
"Liputan yang seimbang" adalah istilah lama mereka untuk "buat kami
tampak lebih baik". Sandberg menyingkirkan pizzanya juga dan membunyikan buku-buku
jarinya. "Begini cerita yang kubayangkan," katanya, sebagai bagian dari ritual.
"Setelah delapan belas tahun memegang tampuk pimpinan CIA, Teddy Maynard
dipecat oleh presiden yang baru dilantik Alasannya adalah Maynard menolak
membeberkan rincian peka yang berkaitan dengan operasi yang sedang
dilangsungkan. Ia tetap pada pendiriannya demi melindungi keamanan
nasional, dan meman-dang rendah Presiden, yang, bersama FBI, menginginkan informasi rahasia
itu supaya FBI dapat melanjutkan penyelidikan yang berhubungan dengan
pengampunan hukuman yang diberikan oleh mantan presiden Morgan."
"Kau tidak boleh menyinggung-nyinggung nama Backman."
"Aku memang belum siap menggunakan nama itu. Aku belum dapat
konfirmasi." "Kupastikan bahwa uang itu bukan berasal dari Backman. Dan kalau kau
menggunakan namanya sekarang ada kemungkinan ia akan melihatnya dan
melakukan sesuatu yang bodoh."
"Seperti apa""
"Kabur menyelamatkan diri." "Kenapa itu dibilang bodoh"" Karena kami tidak
ingin dia kabur menyelamatkan diri." "Kau ingin dia dibunuh"" "Tentu saja.
Begitulah rencananya. Kami ingin tahu siapa yang membunuhnya."
Sandberg bersandar ke bangku plastik keras dan mengalihkan pandangan.
Lowell mencomoti irisan-irisan pepperoni dari pizzanya yang sudah dingin dan
liat seperti karet, dan untuk beberapa lama mereka berpikir dalam diam.
Sandberg menghabiskan Diet Coke-nya, dan akhirnya berkata, "Entah
bagaimana Teddy berhasil meyakinkan
Morgan untuk memberikan pengampunan pada Backman, yang sekarang
disembunyikan di suatu tempat sebagai umpan untuk dibunuh." Lowell
membuang muka, tapi mengangguk. "Dan pembunuhan itu akan menjawab
beberapa pertanyaan di Langley""
"Barangkali. Begitulah rencananya." "Apakah Backman tahu mengapa ia
mendapat pengampunan""
Tentu saja kami tidak memberitahunya, tapi ia cukup pintar."
"Siapa yang memburunya"" "Orang-orang berbahaya yang menyimpan
dendam." "Kau tahu siapa mereka""
Anggukan, kedikan bahu, jawaban yang tidak jelas. "Ada beberapa yang
memiliki potensi. Kami akan mengawasi mereka dari dekar dan mungkin bisa
mengetahui sesuatu. Mungkin juga tidak."
"Mengapa mereka menyimpan dendam""
Lowell tertawa mendengar pertanyaan konyol tersebut. "Boleh juga, Dan.
Sudah enam tahun kau mengajukan pertanyaan itu. Sudah, aku harus pergi
Kerjakanlah tulisan seimbang itu dan tunjukkan padaku."
"Kapan pertemuan dengan Presiden akan dilangsungkan""
"Aku tak tahu tepatnya. Pokoknya begitu ia
kembali." "Dan kalau Teddy dipecat"" "Kau orang pertama yang akan
kuhubungi." Sebagai pengacara kota kecil di Culpeper, Virginia, penghasilan Neal
Backman jauh lebih kecil daripada yang pernah diimpikannya ketika masih
kuliah di fakultas hukum. Pada waktu itu, biro hukum ayahnya memiliki
kekuasaan hebat di D.C. sehingga dengan mudah ia membayangkan akan
menghasilkan banyak uang setelah praktik beberapa rahun saja. Associate
termuda di Backman, Pratt & Boiling mulai dengan gaji seratus ribu dolar per
tahun, dan partner junior berusia tiga puluh tahun yang baru menanjak
kariernya akan mendapatkan tiga kak lipat jumlah tersebut. Pada tahun
keduanya di fakultas hukum, majalah setempat memajang foto sang broker di
halaman sampul dan menulis tentang mainan-mainan mahal yang dimilikinya.
Penghasilannya diperkirakan sekitar sepuluh juta per tahun. Fakta tersebut
cukup menimbulkan kehebohan di fakultas hukum, tapi tidak membuat Neal
rikuh. Ia ingat dulu sering membayangkan betapa hebat masa depannya dengan
kemungkinan penghasilan sebesar itu. _ L- "mrai saru rahun setelah mu-Kenyataannya, tak sampai
lai bekerja sebagai associate pemula, ia dipecat old biro setelah ayahnya
divonis bersalah, dan bold: dibilang ia diusir keluar dari gedung kantor.
Namun dengan segera Neal berhenti memimpikan uang yang banyak dan
gaya hidup yang gemerlapan. Ia sudah puas dengan menjalankan praktik hukum
bersama biro hukum kecil di Main Street dan membawa pulang penghasilan
50.000 dolar setahun. Lisa berhenti bekerja sesudah putri mereka lahir. Lisa-lah yang menangani keuangan dan membuat anggaran ketat untuk hidup
keluarga mereka. Setelah melalui malam tanpa tidur sekejap pun, Neal bangun dengan
gagasan kasar tentang apa yang harus ia lakukan kemudian. Masalah paling
berat adalah pilihan untuk memberitahu istrinya atau tidak Begitu ia
memutuskan untuk tidak melakukannya, rencananya mulai berbentuk. Ia pergi
ke kantor pada pukul delapan, seperti biasa, dan berkutat dengan Internet
selama satu setengah jam, sampai ia yakin bank sudah buka. Ketika menyusuri
Main Street, ia merasa sulit memercayai kemungkinan ada orang-orang yang
bersembunyi di sekitarnya, mengawasi setiap tindak-tanduknya. Meski
demikian, ia tetap tidak mau ambil risiko.
Richard Koley mengepalai cabang Piedmont National Bank yang terdekat.
Mereka teman saru gereja, teman berburu burung, teman main sofbol
di Rotary Club. Sejak dulu, biro hukum tempat Neal bekerja melakukan
kegiatan perbankan di sana. Lobinya masih kosong pada hari sepagi itu, dan
Richard sudah duduk di mejanya ditemani secangkir besar kopi, The Wall Street
Journal, dan jelas sedang tidak punya banyak pekerjaan. Ia terkejut dan
senang melihat Neal, dan selama dua puluh menit mereka mengobrol tentang
turnamen basket antzi-college. Ketika akhirnya pembicaraan bergeser ke
masalah bisnis, Richard bertanya, "Nah, apa yang bisa kubantu""
"Aku cuma ingin tahu," kata Neal santai, mdon-tarkan kalimat yang sudah
dilatihnya sepanjang pagi. "Berapa uang yang bisa kupinjam dengan tanda
tanganku sendiri""
"Sedang cekak, ya"" Richard sudah meraih mouse dan melirik layar monitor,
tempat segala jawaban tersedia.
"Tidak, bukan begitu. Suku bunga rendah sekali dan aku sedang mengincar
saham panas." "Bukan strategi buruk, meskipun aku tidak akan gembar-gembor menyuruh
orang melakukannya. Dengan indeks Dow Jones pada tingkat sepuluh ribu lagi,
kau pasti heran mengapa orang tidak mengajukan kredit sebanyak mungkin dan
membeli saham. Tapi jelas baik dampaknya bagi bank tua ini." Ia melontarkan
tawa kikuk seorang bankir menanggapi leluconnya sendiri. "Penghasilan rata-rata"" ia bertanya sembari tangannya sibuk denga
keyboard, mimik wajahnya serius sekarang. "Bervariasi," sahut Neal. "Enam
puluh hinggj delapan puluh ribu." Kening Richard berkerut lebih dalam, dan Neal
ridak tahu apakah itu karena ia sedih mengetahui gaji temannya yang begitu
kecil, atau karena temannya berpenghasilan lebih besar daripada dirinya. Ia
tidak akan pernah tahu. Bank-bank kota kecil bukan jenis bank yang membayar
karyawannya dengan gaji tinggi.
"Utang keseluruhan, tanpa hipotek"" tanya Richard, mengetik-ngetik lagi.
"Hmmm, tunggu sebentar." Neal memejamkan mara dan menghitung-hitung
lagi. Hipoteknya hampir 200.000 dolar dan Piedmonr penjaminnya. Lisa sangat
menentang utang sehingga neraca kecil mereka sangat bersih, "Pinjaman mobil
sekitar dua puluh riou," jawabnya. "Mungkin sekitar seribu lebih di kami kredit.
Tidak banyak kok." Richard mengangguk setuju dan tak pernah mengalihkan pandangan dari
layar monior. Kerika jari-jarinya tak lagi menyentuh keyboard, ia mengangkat
bahu dan kembali menjadi bankir yang murah hati. "Kita bisa mendapatkan tiga
ribu dengan tanda tangan saja. Bunga enam persen, selama dua belas bulan."
Karena tak pernah meminjam tanpa jaminan, j 320 I
Neal ridak tahu apa yang bisa diharapkannya. Ia tidak tahu berapa banyak
yang bisa didapatkan tanda tangannya, tapi tiga ribu dolar sepertinya pantas
saja. "Bisakah dinaikkan sampai empat ribu"" ia bertanya.
Kening yang berkerut lagi, tatapan serius ke arah monitor, yang kemudian
memberikan jawaban. 'Ya, kenapa ridak" Aku tahu di mana harus mencarimu,
kan"" "Bagus. Akan kuberitahukan perkembangan saham itu."
"Apakah ini kisikan panas, dari sumber yang ada di dalam""
"Beri aku waktu satu bulan. Kalau harganya naik, aku akan kembali dan
sesumbar." "Cukup
adil." Richard membuka laci, mencari formulir. NeaJ berkata, "Begini, Richard, ini
hanya di antara kita, oke" Tahu maksudku" Lisa tidak akan ikut tanda tangan."
"Tidak masalah," kata bankir itu, si penjaga rahasia. "Istriku hampir tak tahu
apa pun yang kulakukan dengan masalah finansial. Perempuan ridak akan
mengerti." "Benar sekali. Dan sejalan dengan itu, bisakah aku mendapatkan dananya
dalam bentuk tunai""
Richard terdiam, matanya terlihat bingung, tapi
tidak ada yang mustahil di Piedmont National "Bisa, beri aku waktu sekitar
satu jam." "Aku perlu kembali ke kantor untuk menuntui seseorang oke" Aku akan
kembali tengah hari nanti untuk menandatangani semua dan membawa
uangnya." Neal buru-buru kembali ke kantornya, dua blok jauhnya, dengan perut
mulas karena gugup. Lisa akan membunuhnya jika tahu, dan di kota kecil
seperti ini rahasia tidak bisa dikubur lama-lama. Selama empat tahun
pernikahan mereka yang bahagia, mereka selalu memutuskan segalanya
bersama. Menjelaskan pinjaman ini akan sulit sekali, walaupun pada akhirnya
Lisa mungkin akan mengerti kalau ia menerangkan alasannya dengan jujur.
Membayar kembali utang itu juga tidak mudah. Ayahnya memang terkenal
mudah mengumbar janji. Kadang-kadang ia menepatinya, kadang-kadang tidak
dan apa pun yang dilakukannya, ia tidak terlalu peduli. Tapi itu kan Joel
Backman "yang dulu. Joel Backman yang sekarang adalah pria yang putus asa,
tak memiliki teman, tak memiliki orang yang bisa dipercaya.
Persetan. Ini kan cuma empat ribu dolar. Richard akan menutup mulut. Neal
akan memusingkannya lagi lain kali. Lagi pula, ia kan pengacara. Ia bisa
memeras tambahan upah di sana-sini, bekerja lebih lama lagi.
Sumber keprihatinannya saat ini adalah paket yang harus dikirimkan kepada
Rudolph Viscovitch. Dengan kantong tebal penuh berisi uang, Neal pergi dari Culpeper pada jam
makan siang dan dengan cepat menuju Alexandria, satu setengah jam jauhnya.
Ia menemukan Toko Chatter, di deretan pertokoan kecil di Russell Road,
sekitar dua kilometer jauhnya dari Sungai Potomac. Di Internet, toko itu
mengiklankan diri sebagai tempat yang tepat untuk mendapatkan peralatan
telekomunikasi paling mutakhir, dan salah satu dari sedikit tempat di Amerika
Serikat di mana orang bisa membeli ponsel tak berkunci yang bisa digunakan di
Eropa. Ketika sedang melihat-lihat, Neal tercengang melihat banyaknya pilihan
telepon, pager, komputer, telepon satelit-semua yang mungkin dibutuhkan
untuk menjalin komunikasi. Ia tidak bisa berlama-lama-ada deposisi di
kantornya pada pukul empat nanti. Lisa juga akan melakukan pengecekan
seperti biasa untuk mengetahui, jika ada, apa yang terjadi di pusat kota.
Ia meminta penjaga toko menunjukkan Ankyo 850 PC Pocket Smartphone,
hasil karya teknologi paling canggih yang mulai dipasarkan tiga bulan lalu. Si
penjaga toko mengambilnya dari pajangan dan, dengan antusias, mengganti
bahasanya dengan bahasa teknologi dan menggambarkannya, "Keyboard QWERTY, operasi tri-band di lima benua, delapan puluh megabyte dengan buik-in memory,
konektrvitas data high-speed dengan EGPRS, akses LAN wireless, teknologi
Bluetooth wireless, Ipv4 dan Ipv6 dual stack support, inframerah, interface
Pop-Fort, sistem operasi Symbian versi 7.0S, platform Series 80."
"Pindah band otomatis"" "Ya"
"Didukung oleh jaringan Eropa""
"Tentu saja." Smartphone itu agak lebih besar daripada ponsel bisnis biasa, tapi masih
nyaman digenggam. Pemukaannya metalik yang halus dengan lapisan belakang
dari plastik bergelombang agar tidak licin bua digunakan.
"Memang lebih besar dibanding yang lain," kata petugas itu. "Tapi isinya
canggih-e-mail, multimedia messaging, kamera, video, word processor
lengkap, Internet-dan akses wireless lengkap hampir di mana pun di dunia.
Anda mau membawanya ke mana"" "Italia."
"Tinggal bawa saja. Anda hanya perlu membuka rekening di penyedia
layanan." Membuka rekening berarti melibatkan dokumen Dokumen berani
meninggalkan jejak, padahal Nea
bertekad untuk menghindarinya. "Bagaimana dengan SIM card prabayar"" ia
bertanya. "Bisa juga. Di Italia namanya TIM-Telecom Italia Mobile. Mereka provider
t erbesar di Italia, mencakup sekitar sembilan puluh lima persen wilayah
negara." "Oke, aku ambil."
Neal menggeser tutup bagian bawah dan menampilkan keypad penuh.
Petugas itu menjelaskan, "Lebih nyaman kalau Anda memegangnya dengan dua
tangan dan mengetik dengan ibu jari. Sepuluh jari kan tidak muat di sana." Ia
mengambil alat itu dari tangan Neal dan mendemonstrasikan metode mengetik
dengan ibu jari yang lebih dianjurkan. "Mengerti," kata Neal. "Aku ambil." Harga
telepon itu adalah 925 dolar tidak termasuk pajak, ditambah 89 dolar lagi
untuk kami TIM. Neal membayarnya dengan tunai sambil menolak tawaran
tambahan garansi, pendaftaran rabat, program pemilik, semua yang melibarkan
dokumen dan meninggalkan jejak. Penjaga toko itu menanyakan nama dan
alamatnya, dan Neal menolak. Akhirnya ia menjadi sangat kesal dan berkata,
"Bisakah aku membayarnya saja dan pergi"" " Well, bisa saja sih," kata petugas
itu. "Kalau begitu, lakukan saja. Aku terburu-buru." la pun meninggalkan toko
itu dan mengemudi j sejauh delapan ratus meter ke toko perlengkapan
kantor yang besar. Dengan segera ia menemukan Hewlett-Packard Tablet PC
dengan kemampuan nirkabel yang terintegrasi. Empat ratus empat puluh dolar
lagi diinvestasikan untuk keselamatan ayahnya, walaupun Neal akan
menyimpan laptop itu dan menyembunyikannya di kantornya. Dengan peta
yang di-doumload-nya, ia menemukan PackagePost di pertokoan lain tak jauh
The Broker Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari sana. Di dalam, di loket pengiriman, dengan tergesa-gesa ia menuliskan
dua halaman instruksi untuk ayahnya, lalu melipat dan memasukkannya ke
amplop yang berisi surat dan instruksi lain yang sudah ia siapkan pagi harinya.
Ketika ia yakin tak ada yang memerhatikan, ia menyusupkan dua puluh lembar
uang seratus dolar ke dalam kantong hitam kedi smartphone Ankyo tadi. Lalu ia
meletakkan surat dan instruksi, smartphone serta wadahnya ke dalam kardus
paket yang dibelinya dari toko. k menyelotiprrya rapat-rapat, dan di bagian
luar " menulis dengan spidol hitam: TITIPAN UNTUK fARCO lAzzETu. Karaiu itu
pun dimasukkan alnTu kin yanS sedikit lebih besar, dan di-SSTJ^ Rudolph
Viscovitch di Via ^ckagePos/ "o^- AktMt Pengirimnya adalah Virginia 22303 v
Braddock Road, Alexandria.
tinggalkan namTT P1"1"* Pilihan' *
nya di tempat * mat' Kn* nomor telepon-Pcndaftaran, kalau-kalau p^1
tersebut dikembalikan. Petugas menimbang paket itu dan bertanya apakah
Neal menghendaki asuransi. Neal menolak, lagi-lagi menghindari jejak
dokumen. Petugas itu menempelkan prangko internasional dan akhirnya
berkata, "Totalnya delapan belas dolar dan dua puluh sen."
Neal membayarnya dan sekali lagi diyakinkan bahwa paket tersebut akan
dikirim sore itu juga. 19 Dalam keremangan apartemennya yang kecil, Marco melakukan rutinitas
paginya dengan efisiensi seperti biasa. Ia bukan orang yang biasa bermalas-malasan sewaktu membuka mata di pagi kari, kecuali di penjara, ketika ia
tidak memiliki kanyak pilihan dan tidak punya motivasi untuk menjejakkan kaki
di lamai dan segera bergiat. Dulu la SerinS ke kantornya sebelum pukul enam
Pa& hidungnya menyemburkan asap panas dan siap
Kebias y* ti8a atau cmPat Ja"1,
ada tantangan- ' mencari-cari perkara, tapi
Dalam w^^n Y!"g berbeda, "lesai mandi, u'1"8 dati tiga menit ia sudah
lasaan >ama lainnya yang di-328
lakukan sepenuh hati di Via Fondazza karena keterbatasan air panas. Di atas
toilet, ia bercukur dan dengan hati-hati menghindari jenggot menarik yang
dibiarkannya tumbuh di wajahnya. Kumisnya hampir tumbuh sempurna;
dagunya kelabu seluruhnya. Ia sama sekali tidak mirip Joel Backman, tidak juga
bersuara seperti Joel Backman. Ia melatih dirinya berbicara lebih lambat dan
dengan nada lebih pelan. Dan tentu saja ia melakukannya dalam bahasa asing.
Rutinitas paginya yang singkat termasuk melakukan sedikit kegiatan
spionase. Di samping ranjangnya, terdapat lemari laci tempat ia menyimpan
barang-barangnya. Empat laci, semua berukuran sama, yang paling bawah lima
belas sentimeter jaraknya dari lantai. Ia mengambil seuntai benang Putih tipis
yang dicabutnya dari seprai; benang yang sama yang digunakannya setiap hari
Dijilat-nya kedua ujung benang, meninggalkan saliva sebanyak mungkin, lalu
menjepitkan salah satu "jungnya di bawah laci paling terakhir. Ujung yang lain
diselipkannya di dinding samping laci, jadiku laci tersebut dibuka, benang yang
tak terlihat ltu akan tercabut dari tempatnya.
Seseorang, menurut dugaannya Luigi, memasuki barnya setiap hari
sementara ia bela/ar_ dengan Ermanno ataupun Francesca, dan memeriksa
Jaci-laci. Meja kerjanya ada di ruang duduk yang kecil, ' di bawah satu-satunya
jendela. Di sana Marco menyimpan berbagai kertas, notes, dan buku; buku
panduan Bologna milik Ermanno, beberapa eksemplar Herald Tribune, koleksi
menyedihkan panduan belanja gratis yang didapatkannya dari orang-orang Gipsi
yang membagi-bagikannya di jalan, kamus Italia-Inggris yang amat sering
digunakan, dan tumpukan bahan pelajaran dari Ermanno yang semakin
membengkak. Meja itu tidak diatur dengan selayaknya, kondisi yang
membuatnya jengkel. Meja pengacaranya yang lama, yang tidak akan muat
diletakkan di ruang duduknya sekarang, terkenal karena keteraturannya yang
luar biasa. Seorang sekretaris merapikannya sedemikian rupa setiap sore.
Namun di tengah-tengah kekacauan tersebut tersembunyi sebuah skenario.
Permukaan meja tersebut berupa kayu keras yang sudah carut-marut karena
digunakan selama puluhan tahun. Salah satu cacatnya adalah semacam noda
kecil-Marco memutuskan itu barangkali noda tinta. Ukurannya sebesar kancing
dan terletak tepat di tengah-tengah meja. Setiap pagi, sebelum pergi, ia
menempatkan sudut selembar kertas di tengah noda itu. Bahkan mata-mata
yang paling teliti tidak akan memerhatikannya.
Dan memang demikian adanya. Siapa pun yang
menyusup masuk setiap hari untuk menyisir apartemen ini tak pernah sekali
pun cukup berhati-hati untuk mengembalikan kertas-kertas dan buku-buku
tersebut di tempatnya yang tepat.
Setiap hari, tujuh hari seminggu, bahkan pada akhir pekan ketika ia tidak
belajar, Luigi serta gengnya masuk dan melakukan pekerjaan kotor mereka.
Marco mempertimbangkan rencana di mana ia akan bangun pada hari Minggu
pagi dengan sakit kepala hebat, lalu menelepon Luigi, satu-satunya orang yang
dihubunginya lewat ponsel, dan minta dibelikan aspirin atau apa pun obat
semacam itu yang digunakan di Italia. Ia akan pura-pura sibuk mengurus
dirinya, tak jauh-jauh dari tempat tidur, membiarkan apartemen tersebut
tetap gelap, hingga sore hari ketika ia menelepon Luigi lagi dan mengumumkan
bahwa ia sudah merasa jauh lebih sehat dan perlu makan. Mereka akan pergi ke
sudut jalan, makan sesuatu dengan cepat, laki Marco mendadak merasa perlu
segera kembali ke apartemen. Mereka akan pergi tak lebih dari satu jam.
Adakah orang lain yang menyisir apartemennya" Rencana itu semakin matang.
Marco ingin tahu siapa lagi yang memata-matainya. Sebesar apa jaring-jaringnya. Kalau kepentingan mereka hanya menjaga dirinya tetap hidup,
mengapa mereka menggeratak apartemennya setiap hari" Apa yang
Mereka takut ia akan menghilang. Dan mengapa hal itu membuat mereka
begitu khawatir" Toh ia manusia merdeka, bebas pergi ke mana pun.
Penyamarannya bagus. Kemampuan bahasanya memang masih mendasar, tapi
dapat dimengerti dan semakin baik dari hari ke hari. Peduli apa mereka kalau
ia pergi" Naik kereta dan keliling negeri ini" Tidak pernah kembali lagi"
Bukankah hidup mereka justru akan menjadi lebih mudah"
Dan mengapa mereka mengenakan tali kendali yang pendek padanya, tanpa
paspor dan uang sekadarnya"
Mereka takut ia akan menghilang. Marco mematikan lampu-lampu dan
membuka pintu. Di luar, di bawah trotoar bernaungan di Via Fondazza, suasana
masih gelap. Ia mengunci pintu dan berjalan dengan cepat, sekali lagi mencari
kopi pagi-pagi. Di seberang dinding tebal, Luigi terbangun oleh suara berdengung di suatu
tempat di kejauhan; dengung yang sama yang membangunkannya hampir setiap
pagi pada jam-jam yang tak masuk akal. "Apa itu"" tanya si gadis. "Bukan apa-apa," kata Luigi sambil menyibakkan selimut tebal ke arah perempuan itu dan
terhuyung-huyung keluar tanpa mengenakan apa-apa. la cepat-cepat melintasi
ruang kerja ke arah dapur, membuka kunci pintu, masuk, menutupnya,
me-nguncinya lagi, dan menatap monitor di atas meja lipat. Marco tampak
meninggalkan apartemennya melalui pintu depan, seperti biasa. Dan sekali lagi
pada pukul enam lewat sepuluh menit, tak ada yang aneh. Benar-benar
kebiasaan yang bikin frustrasi. Orang Amerika terkutuk.
Ia menekan tombol dan monitor pun senyap. Prosedur mengharuskannya
segera berpakaian, keluar ke jalan, menemukan Marco, dan mengawasinya
sampai Ermanno mengadakan kontak dengannya. Namun Luigi sudah semakin
bosan dengan prosedur itu. Lagi pula Simona menunggu.
Simona tak lebih dari dua puluh tahun usianya, mahasiswa dari Napoli, gadis
cantik yang dikenalnya seminggu sebelumnya di klub yang dikunjunginya. Tadi
malam adalah malam pertama mereka betsama, dan jelas tidak akan menjadi
yang terakhir. Gadis itu sudah tertidur kembali ketika Luigi kembali ke kamar
dan membenamkan diri di bawah selimut.
Di luar cuaca dingin. Ia memiliki Simona. Whitaker ada di Milan,
kemungkinan masih tidur dan kemungkinan bersama seorang wanita Italia. Tak
seorang pun mengawasi apa yang akan ia, Luigi, lakukan sepanjang hari itu.
Marco tidak melakukan apa pun selain minum kopi.
Ia menarik Simona mendekat dan teridap lagi.
Pada awal bulan Maret itu, hari cerah dan penuh sinar matahari. Marco
melewatkan sesi dua jam bersama Ermanno. Seperti biasa, bila cuaca
berkompromi, mereka berjalan-jalan di pusat kota Bologna dan hanya
berbicara dalam bahasa Italia. Kara kerja hari itu adalah "fare", yang bisa
diterjemahkan sebagai "melakukan" atau "membuat", dan sejauh yang diketahui
Marco, iru adalah kata yang paling fleksibel dan paling sering digunakan dalam
bahasa Italia. Berbelanja adalah "fare la spesa", yang terjemahannya bebasnya
berarti "melakukan pengeluaran biaya, atau melakukan pembelian". Bertanya
adalah "fare la domanda", yaitu "membuat pertanyaan". Sarapan adalah "fare la
colazume", yang berarti "(melakukan) sarapan".
Ermanno berpamitan lebih awal, seperti biasa mengatakan ia harus belajar.
Sering kali, bila sesi pelajaran jalan-jalan berakhir, Luigi akan muncul
menggantikan Ermanno, yang menghilang dengan kecepatan menakjubkan.
Marco curiga koordinasi tersebut sengaja dimaksudkan untuk memberi kesan
bahwa ia selalu diawasi. Mereka berjabat tangan dan saling mengucapkan selamat berpisah di depan
Feltrinelli's, salah satu dari banyak toko buku yang ada di area universitas. Luigi
muncul dari sudut jalan dan seperti biasa
menyapa dengan riang, "Buon giorno. Pranziamo"" Kita makan siang"
"Certamente." Acara makan siang menjadi lebih jarang, dan Marco mendapat lebih banyak
kesempatan makan dan memesan sendiri.
"Ho trovato un nuovo ristorante." Aku menemukan restoran baru.
"Andiamo." Mari.
Tidak jelas apa saja yang dilakukan Luigi sepanjang hari, tapi tak diragukan
lagi bahwa ia melewatkan berjam-jam menjelajah kota ini untuk mencari kafe,
trattoria, dan restoran. Mereka tidak pernah makan di tempat yang sama dua
kali. Mereka menyusuri jalan sempit dan sampai di Via dek" Indipendenza. Luigi
yang lebih banyak bicara, selalu dengan bahasa Italia yang perlahan dan tepat
pengucapannya. Menurut Marco, ia sudah melupakan bahasa Inggris sama
sekali. "Francesca tidak bisa datang mengajar sore ini," ujarnya. "Kenapa tidak""
"Ada rombongan tur dari Australia yang meneleponnya kemarin. Bisnisnya
sedang sepi bulan-bulan ini. Kau menyukainya""
"Apakah aku harus menyukai dia""
Tah, lebih baik kalau begitu."
"Ia bukan orang yang hangat dan lembut."
"Apakah ia guru yang baik"" Luar biasa. Bahasa Inggris-nya yang sempurna
memacuku untuk belajar lebih lagi."
"Ia bilang, kau belajar dengan sangat rajin, dan bahwa kau orang yang baik."
"Ia menyukaiku""
"Ya, sebagai murid. Menurutmu ia cantik"" "Sebagian besar wanita Italia
cantik, rermasuk Francesca."
Mereka berbelok ke jalan kecil, Via Goito, dan Luigi menuding ke depan.
"Itu," katanya, dan mereka berhenti di pintu Franco Rossi's. "Aku belum pernah
makan di sini, tapi kudengar makanannya enak sekali."
Franco sendiri yang menyambut mereka dengan senyum dan lengan terbuka.
Pria itu mengenakan setelan warna gelap yang konrras dengan rambut
kelabunya y ang lebat. Ia menerima mantel mereka dan bercakap-cakap dengan
Luigi seolah mereka teman lama. Luigi menyebut nama-nama tertentu dan
Franco senang mendengarnya. Dipilihlah meja di dekat jendela depan. "Meja
kami yang terbaik," ujar Franco penuh semangat. Marco menatap sekelilingnya
dan tidak melihat meja yang buruk.
"Antiposti di sini luar biasa," kata Franco rendah hati, seakan ia tidak suka
sesumbar tentang hidangan-hidangannya. Tapi favorit saya hari ini
adalah salad jamur iris. Lino menambahkan truffles, keju Parmesan,
beberapa iris apel..." Pada saat itu kata-kata Franco memelan sewaktu ia
mencium ujung jemarinya. "Benar-benar enak," akhirnya ia berhasil
mengucapkannya dengan mata terpejam, seolah bermimpi.
Mereka setuju memesan salad itu dan Franco meninggalkan mereka untuk
menyambut pengunjung lain. "Lino itu siapa"" tanya Marco.
"Kakaknya,- koki kepala." Luigi mencelupkan roti Tuscany ke dalam
semangkuk minyak zaitun. Seorang pramusaji berhenti dan menawarkan
anggur. Tentu saja," jawab Luigi. "Aku ingin anggur merah, dari daerah sini."
Tak perlu ditanyakan lagi. Pramusaji itu dengan bolpoinnya menunjukkan
sesuatu dalam daftar anggur dan berkata, "Yang ini, Liano dari Imola.
Fantastis." Ia berlagak mencium udara untuk menekankan ucapannya.
Luigi tak punya pilihan lain. "Kami mau mencobanya."
"Kita tadi bicara soal Francesca," kata Marco kemudian. "Sepertinya ia
kurang konsentrasi. Ada apa dengannya""
Luigi mencelupkan roti lagi ke dalam minyak zaitun dan menggigit besar-besar seraya mempertimbangkan sebanyak apa yang bisa ia beritahukan pada
Marco. "Suaminya tidak sehat," jawabnya.
"Ia punya anak"" "Kurasa ridak." "Suaminya kenapa""
"Sakit cukup parah. Kurasa usianya sedikit lebih tua daripada Francesca. Aku
beJum pernah bertemu dia."
// Signore Rossi kembali untuk membantu mereka dengan menu, yang
sebenarnya tak dibutuhkan. Ia menjelaskan bahwa hidangan torteUini-ttp.
adalah yang terbaik di Boiogna,.dan terutama hari ini sedang bagus-bagusnya.
Lino akan senang keluar dari dapur dan membenarkan hai ini. Setelah tor-tellini, pilihan terbaik adalah filet daging sapi muda dengan truffle.
Selama lebih dari dua jam mereka mengikuti saran Franco, dan ketika
meninggalkan restoran itu mereka membawa perut mereka kembali ke Via deh"
Indipendenza sambil membicarakan waktu siesta.
Marco menemukannya secara tak sengaja di Piazza Maggiore. Ia sedang
menikmati espresso di meja luar kafe, menahan udara dingin di bawah sinar
matahari yang benderang, setelah jalan-jalan cepat selama tiga puluh menit. Ia
melihat sekelompok kecil lansk berambut kelabu keluar dari Palazzo Comunale,
balai kota Bologna. Sesosok rubuh yang
tak asing memimpin mereka, wanita kurus dan kecil dengan bahu tegak,
rambutnya yang hitam terurai di bawah topi baret warna ungu kemerahan.
Marco meninggalkan sekeping uang satu euro di meja dan mendekati mereka.
Di kolam Neptunus, ia beringsut ke belakang rombongan tersebut-seluruhnya
ada sepuluh orang-dan mendengarkan Francesca bekerja. Ia menjelaskan
bahwa patung perunggu dewa laut Romawi itu dibuat oleh pria Prancis selama
tiga tahun, dari tahun 1563 hingga 1566. Patung itu dipesan oleh seorang uskup
dalam rangka program mempercantik kota, demi menyenangkan sang paus.
Legenda mengatakan bahwa sebelum mulai bekerja, pria Prancis itu risau
dengan kondisi Neptunus yang telanjang bulat, jadi ia mengirim rancangannya
kepada Paus di Roma untuk meminta persetujuan. Paus mengirim pesan
kembali, "Untuk Bologna, tidak apa-apa."
Sikap Francesca dengan turis-turis sungguhan tampak lebih bersemangat
ketimbang dengan Marco. Suaranya lebih hidup, senyumnya lebih sering
terkembang. Ia mengenakan kacamata yang sangat trendi, yang membuatnya
tampak sepuluh tahun lebih muda. Sambil bersembunyi di belakang rombongan
Australia iru, Marco menonton dan mendengarkan untuk waktu yang lama tanpa
ketahuan. Francesca menjelaskan bahwa Fontana del Nettuno adalah salah satu simbol
kota yang paling terkenal, dan boleh jadi paling sering difoto. Kamera-kamera
pun dikeluarkan dari kantongnya, dan para turis mengambil waktu berpose di
depan Nept unus. Pada saat itu, Marco berhasil cukup dekat untuk menangkap
perhatian Francesca. Ketika melihat Marco, Francesca langsung tersenyum, lalu
dengan pelan berkata, "Buon giorno."
"Buon giorno. Keberatan kalau aku ikut"" tanya Marco dalam bahasa Inggris.
Tidak. Maaf aku harus membatalkan pelajaran."
Tidak apa-apa. Bagaimana kalau makan malam""
Francesca melirik ke sekitarnya, seolah ia baru melakukan sesuatu yang
dilarang. "Untuk belajar, tentu saja. Tidak lebih," ujar Marco.
"Maafkan aku," timpal Francesca. Ia melihat ke balik bahu Marco, ke
seberang piazza, ke arah Basilica di San Petronio. "Kafe kecil di sana itu," kata
Francesca, "di sebelah gereja, yang di pojok.
Temui aku di sana pada jam lima, lalu kita akan
belajar selama satu jam." "Va bene,"
Tur dilanjutkan beberapa langkah lagi ke tembok barat Palazzo Comunale,
tempat mereka berhenti di
depan tiga foto hitam-putih besar yang dipajang di dalam bingkai.
Sejarahnya, selama Perang Dunia II, Bologna dan sekitarnya menjadi jantung
Perlawanan Italia. Bolognesi membenci Mussolini dan kaum fasis serta
pendudukan Jerman, dan mereka berjuang dengan bergerilya. Nazi membalas
dengan penuh dendam-aturan mereka yang tetkenal adalah mereka akan
The Broker Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membunuh sepuluh orang Italia untuk satu tentara Jerman yang dibunuh oleh
kelompok Perlawanan. Dalam rangkaian 55 pembantaian yang dilakukan di
Bologna dan sekitarnya" mereka membunuh ribuan pemuda pejuang Italia.
Nama dan wajah mereka dipajang di dinding, dikenang selama-lamanya.
Dalam saat-saat yang muram itu, para anggora tur Australia yang sudah
berusia lanjut itu beringsut mendekat untuk melihat para pahlawan dengan
lebih jelas. Marco juga ikut mendekat. Ia tercengang melihat betapa mudanya
mereka, janji-janji yang selamanya tak akan pernah terpenuhi-dibantai karena
keberanian mereka. Sementara Francesca berjalan lagi bersama rombongannya, Marco diam di
tempat, menatap wajah-wajah yang menutupi sebagian besar dinding panjang
itu. Ada ratusan, bahkan ribuan jumlahnya. Di sana-sini terlihat wajah wanita
cantik. Saudara. Ayah dan anak. Seluruh keluarga.
Rakyat jelata bersedia mati untuk negara mereka
dan apa yang mereka yakini. Patriot-patriot setia yang tak memiliki apa pun
untuk dipersembahkan selain nyawa mereka, lapi Marco tidak. Maaf saja. Kalau
terpaksa memilih antara kesetiaan dan uang Marco melakukan apa yang selalu
ia lakukan. Ia memilih uang. Ia menyangkal negaranya. Semua demi kemuliaan
harta. Francesca berdiri di balik pintu kafe, menunggu, tidak minum apa pun, tapi
tentu saja merokok Marco telah memutuskan bahwa kesediaan Francesca
bertemu dengannya selarut ini merupakan bukti lebih lanjut betapa wanita itu
membutuhkan pekerjaan. "Kau mau berjalan-jalan," tanya wanita itu tanpa mengucapkan halo.
Tentu." Ia sudah berjalan beberapa mil bersama Ermanno sebelum makan
siang, lalu selama beberapa jam setelah makan siang, ketika menunggu
Francesca. Ia sudah berjalan cukup jauh untuk satu hari, rapi apa lagi yang bisa
dilakukan" Setelah sebulan berjalan beberapa mil setiap harinya, tubuhnya
menjadi lebih fit. "Ke mana""
"Jalan jauh," jawab Francesca.
Mereka menyusuri jalan-jalan sempit, menu/u arah barat daya, bercakap-cakap pelan dalam bahasa Italia, membicarakan pelajaran pagi itu dc-I ngan Ermanno. Francesca menceritakan tentang orang-orang Australia
Rahasia Anak Neraka 2 Pendekar Rajawali Sakti 123 Misteri Hantu Berkabung Para Ksatria Penjaga Majapahit 2