Pencarian

The Iron King 3

The Iron Fey 1 The Iron King Karya Julie Kagawa Bagian 3


Sampai aku memutuskan sebaliknya, kata Oberon dengan nada yang biasa ibuku gunakan ketika memutuskan sesuatu yang tak bisa diganggu gugat. Sebab aku bilang begitu. Sedikitnya sampai Elysium usai. Rombongan Istana Musim Dingin akan tiba beberapa hari lagi, dan aku akan membuatmu berada di tempat di mana aku bisa melihatmu. Dia bertepuk tangan, dan seorang gadis satyr maju dan membungkuk di depannya. Antar putriku ke kamarnya, perintahnya, duduk kembali di takhtanya. Pastikan dia merasa nyaman.
Baik, Tuanku, gumam si satyr, berderap pergi, menoleh ke belakang untuk melihat apakah aku mengikutinya. Oberon duduk bersandar tanpa menatapku, wajahnya kosong dan membatu.
Pertemuanku dengan Erlking sudah usai.
Aku mundur, bersiap mengikuti si gadis-kambing keluar dari ruangan, ketika suara Grimalkin terdengar dari bawah. Aku benar-benar melupakan kucing itu. Mohon maaf, Tuanku, kata Grimalkin yang duduk sambil melingkarkan ekor di sekeliling dirinya, tapi urusan kami belum selesai. Begini, gadis ini berutang padaku. Dia berjanji membayarku karena aku mengantarnya ke sini, dan kewajiban itu belum dibayar.
Aku menatap marah, bertanya-tanya kenapa kucing itu mengungkit hal itu sekarang. Tapi Oberon menatapku dengan ekspresi muram. Apakah itu benar"
Aku mengangguk, heran melihat para bangsawan menatapku ngeri dan iba. Grim menolongku melarikan diri dari goblin, jelasku. Dia menyelamatkan hidupku. Aku takkan berada di sini jika tidak ada & Ucapanku terhenti ketika melihat tatapan Oberon.
Utang nyawa, kalau begitu. Dia mendesah. Baiklah, Cait Sith. Apa yang kau inginkan"
Grimalkin menyipitkan mata. Jelas sekali terlihat kalau kucing itu sedang mendengkur puas. Satu permintaan kecil, Yang Mulia, katanya pelan, yang akan ditagih nanti.
Dikabulkan. Sang Erlking mengangguk, tubuhnya tampak membesar. Bayangannya menutupi si kucing yang berkedip dan merapatkan telinga. Bunyi guntur terdengar, cahaya meredup, udara dingin berembus menggoyangkan dahan-dahan, menyirami kami dengan kelopak bunga. Seisi ruangan mengerut takut; beberapa bahkan menghilang. Dalam kegelapan, mata Oberon membara. Tapi hati-hati, kucing, suaranya bergemuruh, tanah bergetar. Jangan menganggap remeh diriku. Jangan menganggap kau bisa mempermainkanku, karena aku bisa mengabulkan permintaanmu dalam berbagai cara yang tidak menyenangkan.
Tentu, Erlking yang Mulia, Grimalkin meyakinkan, bulunya melambai-lambai diterpa angin kencang. Hamba adalah pelayanmu.
Aku bodoh bila memercayai ucapan manis cait sith. Oberon bersandar di kursi, wajahnya kembali seperti topeng tanpa ekspresi. Angin mereda, matahari bersinar, dan suasana kembali normal. Kau telah mendapatkan keinginanmu, sekarang pergi.
Grimalkin menundukkan kepala, berbalik dan berjalan ke arahku, ekor sikat botolnya terangkat tinggi.
Apa-apaan itu tadi, Grim" tuntutku, merengut padanya. Aku kira kau menginginkan bayaran dariku. Apa hubungannya dengan Oberon"
Grimalkin bahkan tak berhenti. Dengan ekor terangkat dia melewatiku tanpa bicara, menyelinap ke dalam terowongan pepohonan, lalu lenyap dari pandangan.
Satyr itu menyentuh lenganku. Lewat sini, lalu membawaku menjauh dari istana. Aku merasakan tatapan mata para bangsawan dan anjing-anjing di punggungku saat kami pergi dari hadapan Erlking.
Aku tak mengerti, kataku sedih, mengikuti gadis satyr melintasi padang. Otakku tak bisa berpikir: aku merasa terbawa arus dalam lautan kebingungan, dan sewaktu-waktu akan tenggelam. Aku hanya ingin menemukan adikku. Bagaimana bisa jadi seperti ini"
Satyr itu menatapku penuh simpati. Dia lebih pendek sekitar tiga puluh senti dariku, matanya yang besar kecokelatan serasi dengan rambut ikalnya. Aku berusaha untuk tidak menatap bagian tubuh bawahnya yang berbulu, tapi sulit sekali, terutama karena dia beraroma seperti anggota kebun binatang yang disukai anak-anak.
Se mua ini tak begitu buruk, katanya membimbingku tidak melewati terowongan, tapi ke sisi terjauh padang. Pepohonan di sana begitu lebat sehingga cahaya matahari tak bisa menerobos cabang-cabangnya, menaungi semua yang ada di bawahnya dalam kegelapan berwarna zamrud. Kau mungkin senang di sini. Ayahmu memberimu kehormatan besar.
Dia bukan ayahku, bentakku. Mata cokelat cairnya terbelalak kaget, bibir bawahnya bergetar. Aku mendesah, menyesali nada kasarku. Maaf. Hanya saja terlalu banyak yang terjadi. Dua hari lalu aku di rumah, tidur di tempat tidurku sendiri. Aku tak percaya ada goblin atau elf atau kucing yang bisa bicara, dan aku sudah pasti tak menginginkan semua ini.
Raja Oberon mengambil risiko besar demi kau, kata si satyr, suaranya lebih tegas. Kau berutang nyawa pada Cait Sith, yang artinya dia bisa meminta apa saja. Tuanku Oberon mengambil alih utangmu, jadi Grimalkin tak bisa menyuruhmu meracuni siapa pun atau menyerahkan anak pertamamu.
Aku meringis ngeri. Dia bisa melakukan itu"
Siapa yang tahu apa yang ada dalam pikiran seekor kucing" Si satyr mengedikkan bahu, melangkah hati-hati di antara akar-akar yang saling berkait. Hanya saja & berhati-hatilah bicara di sini. Jika kau berjanji, kau akan terikat pada janjimu, dan perang bisa terjadi karena permintaan kecil. Terutama, waspadalah di sekitar para bangsawan mereka semua mahir dalam permainan politik dan mengorbankan pion. Wajahnya memucat dan dia menutup mulut dengan tangan. Aku terlalu banyak bicara. Maaf. Jika sampai terdengar oleh Raja Oberon &
Aku takkan bilang siapa-siapa, janjiku.
Dia tampak lega. Terima kasih, Meghan Chase. Yang lain pasti menggunakannya untuk mencelakaiku. Aku masih berusaha untuk membiasakan diri dengan kebiasaan di istana.
Siapa namamu" Tansy. Yah, kau satu-satunya yang memperlakukanku dengan baik tanpa mengharapkan balasan, kataku padanya. Terima kasih.
Dia tampak malu. Sungguh, kau tak perlu merasa berutang padaku, Meghan Chase. Mari, kutunjukkan kamarmu.
Kami berada di tepi deretan pepohonan. Dinding semak berduri yang sedang berbunga begitu tebal dan menjulang di atas kami sehingga aku tak bisa melihat sisi di sebelahnya. Di antara bunga-bunga merah muda dan ungu terdapat duri-duri yang tegak mengancam.
Tansy mengulurkan tangan, mengusap salah satu kelopak bunga. Pagar tanaman itu bergetar lalu mengerut dan mengubah wujudnya hingga membentuk terowongan. Di ujung terowongan berduri itu terdapat sebuah pintu merah kecil.
Tercengang, aku mengikuti Tansy melalui terowongan semak dan melewati pintu yang dia bukakan. Kamar tidur mengagumkan menyambutku. Lantainya dari marmer putih yang dihiasi motif bunga, burung, dan hewan lain. Dengan tak percaya aku melihat beberapa di antaranya bergerak. Ada air mancur di tengah ruangan, ada meja kecil di dekatnya, dipenuhi kue tar, teh, dan botol anggur. Tempat tidur besar yang beralaskan seprai sutra memenuhi satu sisi kamar, dengan perapian di seberangnya. Api yang berderak di dalamnya berganti-ganti warna, dari hijau ke biru ke merah muda, dan kembali ke hijau lagi.
Ini kamar tamu kehormatan, kata Tansy sambil menatap sekeliling dengan iri. Hanya tamu penting Istana Terang yang diizinkan menempatinya. Ayahmu benar-benar memberimu kehormatan besar.
Tansy, tolong jangan menyebut itu. Aku mendesah, menatap ruang besar itu. Ayahku adalah penjual asuransi dari Brooklyn. Aku pasti tahu kalau aku bukan sepenuhnya manusia. Bukankah ada tanda-tanda seperti telinga lancip atau sayap atau sesuatu yang seperti itu"
Tansy mengerjap, dan tatapannya membuatku merasa dingin di punggung. Kaki kambingnya berderap menyeberangi ruangan dan berdiri di sebelah meja rias yang dilengkapi cermin besar. Menoleh ke belakang, dia menyuruhku mendekat dengan jarinya.
Dengan cemas aku beringsut ke sisinya. Jauh di dalam diriku ada suara yang berteriak, suara yang mengatakan bahwa aku tak ingin melihat apa yang akan kulihat. Kali ini aku tak menghiraukan. Dengan tatapan serius, Tansy menunjuk cermin, dan untuk kedua kalinya hari ini, duniaku terbalik.
Aku belum melihat diriku sejak m
elangkah ke dalam lemari bersama Puck. Aku tahu pakaianku kotor, penuh keringat, dan tercabik-cabik oleh ranting, duri dan cakar. Dari leher ke bawah, aku terlihat seperti yang kupikir akan kulihat: seperti gelandangan yang berkeliaran di alam liar selama dua hari tanpa mandi.
Aku tidak mengenali wajahku.
Maksudku, aku tahu itu aku. Bayangan di cermin menggerakkan bibir ketika aku melakukannya, dan berkedip ketika aku berkedip. Tapi kulitku lebih pucat, struktur tulang wajahku lebih tajam, dan mataku lebih besar, seperti mata rusa yang tersorot sinar lampu mobil. Dan dari balik rambut yang kusut dan lepek, terlihat sesuatu yang kemarin tidak ada, telinga lancip yang mencuat dari kedua sisi kepalaku.
Aku tercengang melihatnya, merasa pusing, tak bisa memahami apa arti semua ini. Tidak! benakku menjerit, menolak keras pantulan di depannya, itu bukan kau! Bukan!
Lantai berayun di kakiku. Aku tak bisa bernapas. Semua rasa terguncang, adrenalin, ketakutan, dan kengerian yang kualami selama dua hari ini menyerbuku sekaligus. Dunia berputar, melenceng dari sumbunya, dan aku jatuh dalam ketidaksadaran.
BAGIAN II BAB SEBELAS Janji Titania Meghan, panggil Mom dari balik pintu. Bangun. Nanti kau terlambat ke sekolah.
Aku mengerang, mengintip dari balik selimut. Memangnya sudah pagi" Rupanya sudah. Cahaya abu-abu buram akibat terhalang oleh jendela kamar menerangi jam mejaku yang menunjukkan jam 6:48 pagi.
Meghan! seru Mom, dan kali ini ketukan keras mengiringi suaranya. Kau sudah bangun"
Iy-ya! teriakku dari tempat tidur, berharap dia membiarkanku.
Kalau begitu, cepat! Kau akan ketinggalan bus.
Aku berdiri gontai, memakai baju dari tumpukan paling bersih di lantai, dan mengambil ranselku. IPodku terguling keluar, mendarat disertai percikan air di kasurku. Aku mengernyit heran. Kenapa benda ini basah"
Meghan! Suara Mom terdengar lagi, dan aku memutar bola mata. Sudah hampir jam tujuh! Kalau aku harus mengantarmu ke sekolah karena kau ketinggalan bus, kau dihukum satu bulan!
Baik! Aku datang, menyebalkan! Mengentakkan kaki menuju pintu, aku membukanya.
Ethan berdiri di sana, wajahnya biru dan keriput, bibirnya menyeringai sadis. Satu tangannya menggenggam pisau jagal. Tangan dan wajahnya berlumuran darah.
Mom tergelincir, bisiknya dan menghunjamkan pisau di kakiku.
* * * AKU menjerit hingga terbangun.
Api hijau menyala-nyala di perapian, menerangi ruangan dengan cahaya yang menyeramkan. Terengah-engah, aku berbaring lagi di atas bantal sutra dingin, mimpi buruk beralih menjadi dunia nyata.
Aku sedang berada di Istana Musim Panas, sebagai tawanan, tidak berbeda dengan Puck yang terperangkap dalam kandang. Ethan Ethan yang sebenarnya, masih ada di luar sana entah di mana, menunggu untuk diselamatkan. Aku ingin tahu apakah dia baik-baik saja, apakah dia ketakutan sepertiku. Aku juga ingin tahu apakah Mom dan Luke tidak apa-apa dengan adanya changeling jahat di rumah. Aku berdoa semoga cedera Mom tidak parah, dan changeling itu tidak mencelakai orang lain.
Dan kemudian, berbaring di tempat tidur asing di kerajaan faery, aku memikirkan suatu hal. Pikiran yang terpicu oleh sesuatu yang Oberon katakan. Laki-laki yang itu bukan ayahmu, Meghan. Itu aku.
Yang itu ayahmu, bukan yang dulunya ayahmu. Seakan Oberon tahu di mana ayahku berada. Seakan ayah masih hidup. Pikiran itu membuat jantungku berdebar penuh kegembiraan. Aku sudah tahu. Ayahku pasti berada di Faeryland, di suatu tempat. Mungkin tidak jauh dari sini. Seandainya aku bisa menemukannya.
Tapi aku harus memikirkan yang penting-penting dulu. Aku harus pergi dari sini.
Aku duduk &dan tatapanku bertemu dengan mata hijau tenang milik sang Erlking.
Dia berdiri di sebelah perapian, nyala api berpendar menerangi wajahnya, membuatnya kian mengerikan, seperti hantu. Bayangan tubuhnya memanjang hingga memenuhi ruangan, bayangan mahkota tanduknya di atas selimut mirip jari-jari yang mencengkeram. Dalam kegelapan, matanya bersinar hijau seperti kucing. Melihatku bangun, dia mengangguk dan memberi isyarat dengan jari panjangnya yang elegan.
Kemari. Suaranya, meskipun
pelan tapi penuh otoritas. Mendekatlah. Mari kita bicara, putriku.
Aku bukan putrimu, aku ingin berkata, tapi ucapan itu tersangkut di tenggorokanku. Dari sudut mata aku melihat cermin di meja rias, dan bayangan telinga lancipku terlihat di sana. Aku bergidik dan berpaling.
Melemparkan selimut, aku melihat pakaianku sudah berganti. Alih-alih kaus compang-camping menjijikkan dan celana yang kupakai selama dua hari, aku bersih dan mengenakan gaun malam berenda. Bukan hanya itu, di kaki tempat tidur tergeletak satu setel pakaian untukku: gaun mewah konyol berhias zamrud dan safir, lengkap dengan jubah dan sarung tangan panjang. Aku mengerutkan hidung melihat semua itu.
Di mana pakaianku" tanyaku, berbalik menatap Oberon. Pakaian milikku.
Sang Erlking mendengus. Aku tidak suka pakaian mortal ada di istanaku, katanya pelan. Kau seharusnya mengenakan sesuatu yang sesuai dengan asal usulmu, mengingat kau akan tinggal di sini cukup lama. Aku telah menyuruh agar pakaian mortalmu dibakar.
Anda apa" Oberon menyipitkan mata, dan aku sadar mungkin aku sudah keterlaluan. Kurasa Raja Istana Terang tak terbiasa dibantah. Um &maaf, gumamku, beringsut turun dari tempat tidur. Aku akan mencemaskan pakaianku nanti saja. Jadi, apa yang ingin Anda bicarakan"
Sang Erlking mendesah, memandangku dengan tidak nyaman. Kau menempatkan diriku dalam posisi yang sulit, putriku, gumamnya, membalikkan badan menatap perapian. Kaulah satu-satunya keturunanku yang masuk dalam dunia kami. Aku mengakui, aku agak terkejut kau bisa bertahan sampai sejauh ini, meskipun ada Robin yang selalu menjagamu.
Keturunan" Aku mengerjap. Maksudmu aku punya saudara" Saudara tiri"
Tidak ada yang masih hidup, kata Oberon acuh tak acuh. Dan tidak di abad ini. Aku bisa pastikan itu. Ibumu adalah satu-satunya manusia yang menarik perhatianku selama hampir dua ratus tahun.
Mulutku mendadak kering. Aku menatap Oberon dengan kemarahan yang semakin berkobar. Kenapa" tanyaku, membuatnya mengangkat satu alis. Kenapa dia" Bukankah dia sudah menikah dengan ayahku" Apa kau tidak peduli dengan hal itu"
Memang aku tidak peduli. Wajah Oberon terlihat kejam, tanpa belas kasihan. Buat apa aku memedulikan ritual para manusia" Aku tak membutuhkan izin untuk mengambil apa yang kuinginkan. Selain itu, jika dia memang bahagia, aku takkan bisa menggodanya.
Bajingan. Aku menggigit lidah agar kata-kata makian itu tidak terlontar. Semarah apa pun, aku tak ingin bunuh diri. Tapi tatapan Oberon semakin menusuk, seakan dia tahu apa yang kupikirkan. Dia menatapku tajam dan lama, menantangku untuk membantahnya. Kami saling melotot selama beberapa saat, bayang-bayang menggulung di sekitar kami selagi aku berjuang agar tak berkedip. Tak ada gunanya; menatap Oberon seperti menghadapi tornado yang mendekat. Aku bergidik dan mengalihkan pandangan.
Beberapa saat kemudian wajah Oberon melembut, dan senyum samar tersungging di bibirnya. Kau mirip sekali dengannya, putriku, lanjutnya, suaranya terpecah antara bangga dan pasrah. Ibumu seorang mortal yang luar biasa. Jika dia fey, maka lukisan dirinya akan hidup dan banyak kasih sayang dicurahkan padanya. Ketika mengawasinya di taman, aku bisa merasakan kerinduan, kesendirian dan keterasingannya. Dia menginginkan hal yang lebih dalam hidupnya. Dia menginginkan sesuatu yang luar biasa terjadi.
Aku tak ingin mendengar semua ini. Aku tak ingin ada yang menghancurkan kenanganku akan kehidupan kami yang sempurna saat itu. Aku ingin tetap meyakini bahwa ibuku mencintai ayahku, bahwa kami senang dan bahagia, dan dia adalah segalanya bagi ayahku. Aku tak ingin mendengar tentang ibuku yang kesepian, yang tergoda oleh rayuan dan glamour salah satu faery. Dengan satu ucapan sepintas lalu, masa laluku hancur berkeping-keping menjadi serpihan yang tak kukenal, dan aku merasa tak mengenal ibuku sama sekali.
Aku menunggu satu bulan sebelum memperkenalkan diriku kepadanya, lanjut Oberon, tidak menyadari perasaanku. Aku merosot lemas di tempat tidur saat dia terus bercerita. Aku mengenal semua kebiasaan, emosi, setiap senti dirinya. Dan ket
ika aku mengatakan siapa diriku yang sebenarnya, aku hanya memperlihatkan sedikit kilasan wujud asliku, ingin tahu apakah dia akan menerima hal yang mengejutkan itu, atau apakah dia bertahan dengan ketidakpercayaan mortalnya. Dia menerimaku dengan tangan terbuka, kebahagiaan yang tidak ditahan-tahan, seakan dia telah menanti kedatanganku sejak dulu.
Hentikan, aku tercekik. Perutku melilit; aku menutup mata untuk menahan rasa mual. Aku tidak ingin mendengar ini. Ke mana ayahku saat semua ini terjadi"
Suami ibumu jarang di rumah, jawab Oberon, menekankan pada dua kata itu, untuk mengingatkan bahwa laki-laki itu bukan ayahku. Mungkin itulah sebabnya ibumu menginginkan sesuatu yang lebih. Aku berikan itu kepadanya: satu malam penuh keajaiban, gairah yang selama ini tak dia miliki. Hanya sekali, sebelum aku kembali ke Arcadia, dan ingatannya akan kami memudar dari benaknya.
Mom tidak mengingatmu" Aku menatapnya. Karena itukah dia tak pernah memberitahuku"
Oberon mengangguk. Mortal cenderung melupakan pertemuan dengan bangsa kita, katanya pelan. Paling-paling mereka hanya menganggap itu mimpi yang terasa nyata. Seringkali kita memudar dari pikiran mereka sepenuhnya. Pasti kau pernah mengalaminya. Bahkan orang yang tinggal bersamamu, yang setiap hari bertemu denganmu, sepertinya tak bisa mengingatmu. Meskipun sebenarnya aku selalu curiga ibumu tahu lebih banyak, ingat lebih banyak, daripada yang dia katakan. Terutama setelah kau lahir. Nada marah terselip dalam suaranya; matanya berubah menjadi hitam dan tak berpupil. Aku menggigil ketika bayangan merayap di lantai, menghampiriku dengan jari menuding. Ibumu berusaha membawamu pergi, katanya dengan suara yang menyeramkan. Dia ingin menyembunyikanmu dari kami. Dari aku. Oberon berhenti bicara. Api berlompatan di perapian, menari-nari ganas di mata Erlking.
Tapi di sinilah kau sekarang. Oberon berkedip, suaranya melembut, dan api kembali berderak pelan. Berdiri di hadapanku, tampilan manusiamu akhirnya memudar. Begitu kau menginjakkan kaki di Nevernever, hanya masalah waktu sebelum asal-usulmu terlihat. Tapi kini aku harus sangat berhati-hati. Dia merapikan diri, membenahi jubahnya seakan hendak pergi. Aku tidak boleh lengah, Meghan Chase, dia memperingatkan. Ada banyak yang hendak menggunakanmu untuk menentangku, beberapa bahkan berada di istana ini. Waspadalah, putriku. Bahkan aku pun tak bisa melindungimu dari semua hal.
Aku terenyak di tempat tidur, pikiranku bekerja keras. Oberon mengamatiku beberapa lama, garis mulutnya berubah muram, lalu menyeberangi ruangan tanpa menoleh. Ketika aku mengangkat wajah, sang Erlking telah pergi. Aku bahkan tidak mendengar pintu ditutup.
* * * KETUKAN di pintu mengagetkanku hingga terduduk. Aku tak tahu berapa lama telah berlalu sejak kedatangan Oberon. Aku masih berbaring di tempat tidur. Nyala api yang berwarna-warni mulai padam, berkedip-kedip di perapian. Semuanya terasa tak nyata, membingungkan, dan seperti mimpi, seolah-olah aku hanya membayangkan pertemuan itu.
Bunyi ketukan terdengar lagi, dan aku bangkit. Masuk!
Pintu berderit terbuka, dan Tansy masuk, tersenyum. Selamat malam, Meghan Chase. Bagaimana perasaanmu hari ini"
Aku turun dari tempat tidur, menyadari masih memakai gaun malam. Baik, kurasa, aku menggumam, mencari-cari sekeliling ruangan. Di mana bajuku"
Raja Oberon memberimu gaun itu. Tansy tersenyum dan menunjuk ke arah gaun di tempat tidur. Baju itu dirancang khusus untukmu.
Aku merengut. Tidak. Tidak mau. Aku ingin bajuku.
Satyr kecil itu berkedip. Dia berderap mendekat dan menyentuh ujung gaun itu, membelainya. Tapi &tuanku Oberon menginginkan kau mengenakan ini. Dia tampak panik karena aku menentang keinginan Oberon. Apa kau tidak menyukainya"
Tansy, aku tidak akan memakai itu.
Kenapa tidak" Aku meringis saat membayangkan harus berkeliaran dalam tenda sirkus ini. Sepanjang hidupku, aku memakai jins lusuh dan kaus usang. Keluaragaku miskin dan tak mampu membeli pakaian rancangan desainer dan merek terkenal. Alih-alih mengeluh karena tak pernah memiliki barang bagus, a
ku malah memamerkan kemiskinanku dan mencibir pada gadis-gadis kaya yang menghabiskan waktu berjam-jam di toilet untuk merapikan dandanannya. Satu-satunya gaun yang pernah aku kenakan yaitu ketika menghadiri pesta pernikahan.
Selain itu, jika mengenakan gaun mewah pemberian Oberon, sama artinya dengan mengaku sebagai anak gadisnya. Dan aku tak berniat melakukan itu.
Aku-aku hanya tidak ingin, kataku terbata-bata. Aku lebih suka memakai bajuku sendiri.
Bajumu sudah dibakar. Mana ranselku" Tiba-tiba aku teringat pakaian cadangan yang kumasukkan di dalamnya. Pakaian itu mungkin lembap, berlumut, dan menjijikkan, tapi lebih baik daripada mengenakan gaun mewah faery.
Aku menemukan ranselku, dijejalkan sembarangan di belakang meja rias. Bau asam dan lembap menguar ketika aku menumpahkan isinya ke lantai. Gumpalan pakaian menggelinding keluar, kumal dan berbau, tapi itu milikku. IPod yang rusak juga terlempar keluar, menggelinding di lantai marmer, dan berhenti tak jauh dari Tansy.
Gadis satyr itu memekik, dan dalam satu lompatan fantastis, meloncat ke atas tempat tidur. Mencengkeram tiangnya, dia menatap iPod di lantai dengan mata terbelalak.
Apa itu" Apa" Ini" Ini iPod. Mengerjap, aku ambil benda itu dan mengacungkannya. Ini mesin yang bisa memutar musik, tapi sekarang sudah rusak, jadi aku tak bisa tunjukkan cara kerjanya. Maaf.
Benda itu baunya seperti besi!
Aku tak tahu harus berkata apa, jadi aku memilih memasang tampang bingung.
Tansy menatapku dengan mata cokelat besarnya, pelan-pelan turun dari tempatnya bertengger. Kau &kau bisa memegangnya" bisiknya. Tanpa membakar kulitmu" Tanpa meracuni darahmu"
Um. Aku melirik iPod itu, tergeletak tak berbahaya di telapak tanganku. Iya"
Dia bergidik. Kumohon, singkirkan itu. Aku mengangkat bahu, dan memasukkannya ke dalam kantong samping ransel. Tansy menghela napas dan kembali tenang. Maaf, aku tak berniat membuatmu kesal. Raja Oberon memerintahkan aku mendampingimu sampai ke Elysium. Apa kau ingin melihat-lihat istana lagi"
Tidak juga, tapi itu lebih baik daripada berada di dalam sini tanpa melakukan apa-apa. Dan siapa tahu aku bisa menemukan jalan keluar dari tempat ini.
Baiklah, kataku. Tapi aku ganti baju dulu.
Dia melirik pakaian mortalku, tergeletak kumal di lantai, dan hidungnya kembang kempis. Aku tahu dia ingin berkomentar tapi cukup sopan untuk tak mengucapkannya. Baiklah. Aku akan menunggu di luar.
* * * AKU mengenakan jins baggy dan kaus bau juga kumal, merasa kepuasan yang nakal ketika pakaian itu dengan nyaman menutupi tubuhku. Membakar barang-barangku, seenaknya saja dia. Pikirku, menarik keluar sepatu kets dan memasukkan kakiku ke dalamnya. Aku bukan bagian dari kerajaannya, dan sudah pasti aku tak mau mengaku sebagai anaknya. Tak peduli apa katanya.
Ada sikat rambut di meja rias, aku mengambilnya, menyisir rambutku. Ketika melihat cermin, perutku melilit. Aku terlihat semakin berbeda, tapi aku sendiri tak bisa menunjukkan apa bedanya. Aku hanya tahu, semakin lama aku di sini, bagian diriku yang manusia akan kian memudar.
Bergidik, aku meraih ransel, sedang dengan beratnya yang familiar dan menenangkan, lalu aku menyandangnya di bahu. Meskipun isinya hanya iPod rusak, tapi benda itu milikku. Bertekad tak melirik cermin, merasakan tatapan di tengkukku, aku membuka pintu dan melangkah ke terowongan semak-semak.
Cahaya bulan tersaring oleh dahan-dahan pohon, memerciki jalan setapak dengan bayangan keperakan. Aku bertanya-tanya berapa lama aku tertidur. Udara malam terasa hangat, dan samar-samar terdengar irama musik. Tansy menghampiri, dan dalam kegelapan, wajahnya lebih mirip kambing-hitam. Seberkas cahaya bulan menerpa, dan dia terlihat normal kembali. Sambil tersenyum dia meraih tanganku lalu membimbingku pergi.
Terowongan semak terasa lebih panjang kali ini, melewati banyak tikungan dan belokan yang tak aku kenal. Sekali aku menoleh ke belakang dan melihat onak dan duri menutup di belakang kami, dan terowongan pun lenyap dari pandangan.
Um & Tak apa-apa, kata Tansy, menarikku maju. Pagar tanaman bisa membawamu seluruh bagi
an istana ini. Kau hanya perlu mengetahui arah yang tepat.
Kita mau ke mana" Kau akan tahu nanti. Terowongan berakhir di suatu padang yang bermandikan cahaya bulan. Musik mengalun terbawa angin, dimainkan gadis langsing berkulit hijau dengan harpa emas elegan. Beberapa gadis elf berkumpul di sekeliling kursi tinggi yang dihiasi sulur anggur di sandarannya dan mawar putih yang tumbuh di lengannya.
Duduk di kaki kursi ada seorang manusia. Aku mengerjap, mengucek-ngucek mata, memastikannya tak salah lihat. Tidak, itu memang manusia, seorang pemuda berambut ikal pirang, matanya kosong dan bingung. Dia bertelanjang dada, kalung emas besar membelenggu lehernya, tersambung pada rantai perak tipis. Gadis-gadis fey mengerumuninya, mencium bahu telanjangnya, mengelus-elus dadanya, membisikkan sesuatu di telinganya. Salah satu dari mereka menjilati lehernya dengan lidah berwarna merah muda, kukunya menancap di punggung si pemuda hingga berdarah. Perutku mual dan aku berpaling. Sesaat kemudian, aku sudah melupakan semua itu.
Di singgasana duduk seorang wanita dengan kecantikan yang luar biasa, serta merta aku menjadi malu dengan pakaian lusuh dan dandanan santaiku. Rambut panjangnya berganti-ganti warna di bawah cahaya bulan, terkadang perak, kadang berwarna keemasan cemerlang. Keangkuhan beradu dengan aura kekuasaan yang mengelilinginya. Ketika Tansy menarikku maju dan membungkuk hormat, wanita itu menyipitkan mata biru berkilaunya dan menatapku seperti mengamati seekor siput yang ditemukan di bawah pohon.
Jadi, akhirnya dia berkata, suaranya seperti tetesan es beracun, ini anak haram Oberon.
Oh, sial. Aku tahu siapa dirinya. Dia duduk di singgasana kedua, kursi yang kosong di istana Oberon. Dia salah satu pemegang kekuasaan dalam A Midsummer Night s Dream. Dia nyaris sama berkuasanya dengan Oberon.
Ratu Titania, aku menelan ludah, membungkuk hormat.
Makhluk itu bicara, kata sang ratu, berpura-pura heran, seolah dia mengenalku. Seolah-olah memiliki darah Oberon akan melindunginya dari kemurkaanku. Matanya berkilau seperti berlian, dan dia tersenyum, membuatnya semakin jelita dan menakutkan. Tapi aku sedang berbelas kasih malam ini. Mungkin aku tak akan memotong lidahnya untuk diberikan kepada anjing pemburu. Mungkin. Titania memandang Tansy yang masih membungkuk hormat, dan membengkokkan satu jari elegannya. Maju ke depan, bocah-kambing.
Dengan kepala tetap menunduk, Tansy melangkah maju hingga berdiri di dekat lengan ratu faery. Ratu Titania mencondongkan tubuh ke depan, seakan berbisik kepada satyr itu, tapi suaranya cukup nyaring untuk kudengar. Aku akan mengizinkanmu menjadi suara dalam percakapan ini, dia menjelaskan seperti pada anak kecil. Aku akan mengarahkan semua pertanyaan padamu, dan kau akan bicara pada anak haram di sana itu. Jika, apa pun alasannya, dia bicara langsung kepadaku, aku akan mengubahnya menjadi rusa jantan dan menyuruh anjing-anjing pemburuku mengejarnya sampai dia mati kelelahan atau tercabik-cabik. Jelas"
Ya, Ratuku, bisik Tansy.
Sangat jelas, ratu-jalang, jawabku dalam hati.
Bagus. Titania bersandar di kursi, tampak puas. Dia memberiku senyum tipis penuh rasa permusuhan, lalu berpaling pada Tansy. Sekarang, gadis-kambing, kenapa anak haram ini ada di sini"
Kenapa kau ke sini" Tansy bertanya padaku.
Aku mencari adikku, jawabku, berhati-hati agar hanya menatap Tansy, bukan ratu es pendendam di sebelahnya.
Dia mencari adiknya, kata Tansy kepada si ratu faery. Ya Tuhan, ini akan lama sekali.
Dia diculik dan dibawa ke Nevernever, kataku sebelum Titania bertanya. Puck membawaku ke sini lewat lemari pakaian. Aku datang untuk mencari adikku dan membawanya pulang, dan menyingkirkan changeling yang menggantikan tempatnya. Hanya itu yang aku inginkan. Aku akan pergi begitu menemukannya.
Puck" Wanita itu merenung. Ooh, jadi di sana dia berada selama ini. Pintar sekali Oberon menyembunyikanmu seperti itu. Dan kau malah membongkar perbuatannya dengan datang ke sini. Dia berdecak dan menggeleng. Gadis-kambing, katanya menatap Tansy lagi, tanya si anak haram dia lebih suk
a jadi kelinci atau rusa jantan"
Ra-ratuku" Tansy terbata-bata selagi aku merasakan bayang-bayang mendekatiku. Jantungku berdebar kencang, aku melihat sekeliling mencari rute untuk kabur. Semak belukar berduri mengelilingi kami; tak ada tempat untuk lari.
Itu pertanyaan mudah, lanjut Titania, nada suaranya seperti sedang bercakap-cakap biasa. Dia mau diubah jadi apa kelinci atau rusa jantan"
Seperti kelinci yang terjerat, Tansy menoleh dan menatap mataku. Ra-ratu ingin tahu apakah kau
Ya, aku sudah dengar, potongku. Seekor kelinci atau rusa jantan. Bagaimana kalau tidak dua-duanya" Aku memberanikan diri untuk mengangkat muka, menatap mata ratu faery. Begini, aku tahu Anda membenciku, tapi izinkan aku menyelamatkan adikku dan pulang. Dia baru empat tahun, dia pasti ketakutan. Kumohon, aku tahu dia menungguku. Begitu menemukannya, kami akan pergi dan Anda takkan melihat kami lagi, aku bersumpah.
Wajah Titania bersinar penuh kemenangan juga amarah. Makhluk ini berani bicara padaku! Baiklah. Dia telah memilih takdirnya. Ratu faery itu mengangkat tangannya yang bersarung, dan kilat menyambar di atas kepalanya. Rusa jantan, kalau begitu. Lepaskan anjing pemburu. Kita akan mengadakan perburuan yang seru.
Dia menurunkan tangan, menunjuk ke arahku, getaran mengguncang tubuhku. Aku menjerit, merasakan tulang belakangku memanjang dan menonjol. Tangan yang tak terlihat mencengkeram wajahku dan menariknya, meregangkan mulutku menjadi moncong. Kakiku terasa memanjang, mengecil, jari-jariku berubah menjadi kuku belah. Aku menjerit lagi, namun yang keluar dari tenggorokanku hanyalah suara rusa yang kesakitan.
Lalu semua itu tiba-tiba terhenti. Tubuhku tersentak ke wujud semula, seperti karet putus, dan aku tersungkur di tanah, tersengal-sengal.
Melalui pandangan yang kabur, aku melihat Oberon berdiri di mulut terowongan, sepasang prajurit faery berdiri di belakangnya, lengannya terulur. Sesaat aku yakin melihat Grimalkin di dekat kakinya, namun ketika aku berkedip, bayangan itu lenyap. Dengan kemunculannya, alunan musik harpa terhenti. Gadis-gadis fey yang mengelilingi manusia berkalung-rantai mengempaskan diri ke tanah lalu menunduk.
Istriku, kata Oberon tenang, melangkah memasuki padang. Kau tak boleh lakukan ini.
Titania bangkit, wajahnya penuh amarah. Kau berani bicara seperti itu padaku, dia meludah, angin berembus membuat dahan-dahan bergerak. Beraninya kau, setelah menyembunyikan dia dariku, setelah kau menyuruh peliharaanmu untuk melindunginya! Titania menyeringai marah, kilat menyambar-nyambar di atas kepala. Kau melarangku memiliki pendamping, tapi kau malah memamerkan darah-campuran hasil perbuatan aibmu di istana ini, di hadapan semua orang. Dasar tidak tahu malu. Anggota istana menghina di belakangmu, dan kau masih melindunginya.
Tetap saja. Entah bagaimana, suara tenang Oberon bisa mengatasi lolongan angin. Dia memiliki darahku, dan kau takkan menyentuhnya. Jika kau keberatan, Ratuku, lampiaskan padaku, bukan pada gadis itu. Semua ini bukan salahnya.
Mungkin sebaiknya aku mengubahnya jadi kubis, sang ratu menggumam, menatapku penuh kebencian, dan menanamnya di kebunku untuk dimakan kelinci. Dengan begitu dia berguna dan dibutuhkan.
Kau tidak akan menyentuhnya, kata Oberon lagi, suaranya meninggi penuh otoritas. Jubahnya berkibar-kibar, dan tubuhnya membesar, bayangannya memanjang di tanah. Aku memerintahkan itu, istriku. Aku telah berjanji bahwa dia takkan dilukai di istanaku, dan kau akan mematuhiku juga. Apa ucapanku jelas"
Kilat mendesis, dan tanah bergetar akibat intensitas tatapan kedua penguasanya. Gadis-gadis di kaki singgasana meringis ketakutan, dan pengawal Oberon memegang pangkal pedang. Sebatang dahan patah, nyaris mengenai gadis pemain harpa yang berlindung di bawah pohon. Aku berbaring menempel di tanah, berusaha membuat diriku sekecil mungkin.
Baiklah, suamiku. Suara Titania sedingin es, tapi angin perlahan mereda dan bumi berhenti berguncang. Sesuai perintahmu. Aku takkan melukai si darah-campuran selama dia berada di istana.
Oberon mengangguk cepat. Dan pelaya
nmu juga takkan mencelakainya.
Sang ratu melipat bibir seolah-olah baru saja menelan sebutir jeruk asam. Tidak, suamiku.
Sang Erlking mendesah. Bagus. Kita akan bahas ini nanti. Aku ucapkan selamat malam, Ratuku. Dia berbalik, jubahnya berkibar di belakangnya. Dia meninggalkan padang diikuti oleh para pengawalnya. Aku ingin memanggilnya tapi aku tak ingin terlihat seperti anak yang meminta perlindungan ayahnya, terutama setelah dia memarahi Titania.
Bicara tentang Titania &
Aku menelan ludah dan berbalik menghadap sang ratu faery yang memelototiku seakan berharap darah di urat nadiku mendidih. Nah, kau sudah dengar ucapan Yang Mulia, darah-campuran, katanya manis, suaranya terbalut racun. Pergi dari hadapanku sebelum aku ingkari janjiku dan mengubahmu menjadi bekicot.
Aku senang-senang saja disuruh pergi. Tetapi baru saja aku berdiri, Titania menjentikkan jari.
Tunggu! perintahnya. Aku punya ide yang lebih bagus. Gadis-kambing, ke sini.
Tansy muncul di sisinya. Satyr itu ketakutan setengah mati, matanya membelalak nyaris lepas dan kaki berbulunya gemetaran. Sang ratu menunjuk ke arahku. Bawa anak haram Oberon itu ke dapur. Bilang pada Sarah kita mendapatkan gadis baru untuk membantunya. Jika anak haram itu akan tinggal di sini, lebih baik dia bekerja.
Ta-tapi, Ratuku, Tansy terbata-bata, dan aku kagum dia masih memiliki keberanian untuk membantah sang ratu, Raja Oberon mengatakan
Ah, tapi Raja Oberon tak ada di sini, kan" Mata Titania berkilau, dan dia tersenyum. Dan apa yang Oberon tidak tahu takkan melukainya. Sekarang pergi, sebelum kesabaranku habis.
Kami pun pergi, berusaha tidak tersandung ketika menyingkir dengan cepat dari hadapan sang ratu dan kembali ke terowongan.
Ketika tiba di tepi semak berduri, udara terasa beriak, dan gadis-gadis di belakang kami menjerit kecewa. Sesaat kemudian, seekor rubah berbulu kemerahan melesat masuk ke dalam terowongan. Hewan itu berhenti beberapa meter kemudian, menatap kami, mata batu ambarnya melebar kebingungan dan ketakutan. Aku melihat kilauan kalung emas di lehernya, sebelum hewan itu mendengking ketakutan dan lenyap ke dalam semak-semak.
Diam seribu bahasa, aku mengikuti Tansy melewati jalan belukar yang simpang siur, berusaha memahami apa yang terjadi tadi. Oke, Titania menaruh dendam padaku, itu sangat buruk. Seperti dalam daftar Musuh-yang-tak-kuinginkan , Ratu para faery mungkin berada di urutan teratas. Mulai sekarang, aku harus berhati-hati, atau berisiko berakhir sebagai jamur dalam mangkuk sup seseorang.
Tansy tidak mengatakan apa-apa sampai kami tiba di depan sepasang pintu batu besar di pagar tanaman. Uap mengepul keluar dari celah-celah, udara terasa panas dan berlemak.
Embusan udara panas dan berasap menyerbu ketika pintu didorong terbuka. Dengan mata berair, aku menatap dapur yang sangat luas. Oven-oven dari batu bata meraung, kuali-kuali tembaga menggelegak di atas api, dan selusin aroma membanjiri indraku. Laki-laki kecil berbulu memakai celemek mondar-mandir di sela beberapa meja panjang, memasak, memanggang, mencicipi isi kuali. Karkas babi hutan tergeletak di meja, dan yang sedang memotong-motongnya adalah wanita bertubuh besar, berkulit hijau, bertaring dengan rambut cokelat dikepang satu.
Wanita itu melihat kami di ambang pintu lalu menghampiri dengan langkah berdebum, darah dan serpihan daging menempel di celemeknya.
Tak boleh ada pemalas di dapurku, dia menggeram, melambaikan pisau jagal perunggu besar ke arahku. Aku tak punya sisa makanan untuk orang seperti kalian. Bawa jari-jari pencuri kalian ke tempat lain.
Sa-Sarah Skinflayer, ini Meghan Chase. Ketika Tansy memperkenalkanku, aku memberi senyum kumohon-jangan-bunuh-aku ke arah wanita troll itu. Dia akan membantumu di dapur atas perintah Ratu.
Aku tak butuh bantuan dari bocah kurus separuh-manusia, Sarah Skinflayer menggeram, menatapku hina. Dia hanya akan menghambat, dan kami sedang banting tulang untuk persiapan Elysium. Menatapku lagi, dia mendesah dan menggaruk-garuk kepala dengan bagian pisau yang tumpul. Kurasa aku bisa mencarikan tempat untuknya. Tapi be
ritahu Yang Mulia, jika dia ingin menyiksa orang lagi, cobalah kandang kuda atau kandang anjing. Aku sudah cukup tenaga di sini.
Tansy mengangguk lalu pergi dengan cepat, meninggalkan aku bersama raksasa wanita ini. Keringat mengalir di punggungku, dan itu bukan karena panas api. Baiklah, bocah, bentak Sarah Skinflayer, menunjukku dengan pisau. Aku tak peduli kau keturunan Yang Mulia, kini kau berada di dapurku. Peraturan di sini sederhana kau tidak bekerja, kau tidak makan. Dan aku suka sekali bermain dengan cambuk kuda di pojok itu. Mereka memanggilku Sarah Skinflayer bukan tanpa alasan.
Sisa malam itu berlalu samar-samar antara menggosok dan membersihkan. Aku mengepel darah dan serpihan daging dari lantai batu. Aku menyapu abu dari oven batu bata. Aku mencuci gunungan piring, gelas, panci, dan wajan. Setiap kali aku berhenti bekerja untuk menggosok tanganku yang sakit, wanita troll itu selalu tahu, meneriakkan perintah dan memaksaku melakukan tugas berikutnya.
Menjelang malam berakhir, setelah memegokiku duduk di bangku, dia menggumamkan sesuatu tentang manusia pemalas. Menyambar sapu dari tanganku, lalu menggantinya dengan sapu yang dia bawa. Begitu tanganku menggenggam gagang sapunya, sapu itu melompat hidup dan mulai menyapu dengan ayunan keras dan cepat, sementara kakiku menarikku berkeliling ruangan. Aku berusaha melepas benda itu, tapi jariku seperti menempel di gagangnya, dan aku tak bisa membuka genggaman. Aku menyapu lantai sampai kakiku sakit dan tanganku terbakar, hingga aku tak bisa melihat karena banyaknya keringat menutupi mataku. Akhirnya, wanita troll itu menjentikkan jari dan sapu itu menghentikan ayunan gilanya. Aku tersungkur, lututku gemetar, tergoda menjejalkan sapu sadis itu ke dalam oven terdekat.
Apa kau menikmatinya, darah-campuran" tanya Sarah Skinflayer dan aku terlalu letih untuk menjawab. Besok kurang lebih akan seperti ini, aku jamin. Ini. Dua potong roti dan segumpal keju jatuh ke lantai. Itu makan malam yang kau hasilkan hari ini. Seharusnya aman untuk kau makan. Mungkin besok kau akan dapat makanan yang lebih baik.
Baik, gumamku, bersiap merangkak ke kamarku, bertekad takkan kembali ke sini lagi. Aku berencana melupakan tugas kerja paksaku ini besok, mungkin bahkan mencari jalan keluar dari Istana Terang. Sampai jumpa besok.
Troll itu mengadangku. Kau pikir kau mau ke mana, darah-campuran" Kau bagian dari pembantuku sekarang, artinya kau milikku. Dia menunjuk ke arah pintu kayu di sudut. Kamar pelayan sudah penuh. Kau boleh pakai lemari pantry itu. Dia tersenyum hingga memperlihatkan taring dan giginya yang kuning. Kita mulai bekerja saat fajar. Sampai jumpa besok, bocah.
* * * AKU menyantap makan malam yang sangat sedikit itu dan menyelinap tidur di antara rak bawang, lobak, dan sayur aneh berwarna biru. Aku tak punya selimut, tapi udara dapur sudah terlalu hangat. Aku menjadikan satu karung gandum sebagai bantal, ketika aku teringat ranselku yang dicampakkan di rak, dan merangkak untuk mengambilnya. Ransel oranye itu kini tak ada isinya kecuali iPod rusak, tapi benda itu milikku, satu-satunya pengingat akan kehidupan lamaku.
Kuambil ransel dari rak dan berjalan kembali ke kamar kecilku ketika merasakan sesuatu menggeliat di dalamnya. Aku menjatuhkannya karena terkejut, dan mendengar tawa sinis pelan dari dalam ransel. Melangkah ke tepi meja, aku letakkan ransel, mengambil pisau, dan membukanya, siap menghunjamkan pisau ke apa pun yang melompat keluar.
IPodku tergeletak di dalam, rusak dan bisu. Sambil mendesah aku menatap ransel dan membawanya ke dalam pantri. Melemparnya di sudut, aku meringkuk di lantai, meletakkan kepalaku di karung gandum dan membiarkan pikiranku melayang. Aku memikirkan Ethan, Mom, dan sekolah. Apa ada yang merindukan aku di rumah" Apakah ada tim pencari yang dikerahkan untuk menemukanku, polisi dan anjing pelacak mengendus-endus tempat terakhir di mana aku terlihat" Atau apakah Mom telah melupakanku, seperti Luke" Apakah aku masih punya rumah untuk pulang, jika aku berhasil menemukan Ethan"
Aku mulai gemetar, mataku berair. Segera s
aja air mata mengalir deras di pipiku, membasahi karung di bawah kepalaku dan membuat rambutku lengket. Aku membenamkan wajah ke karung kasar itu dan terisak. Aku berada di titik terendah. Berbaring di pantri yang gelap, tanpa harapan bisa menyelamatkan Ethan dan tak ada yang dinantikan kecuali rasa takut, sakit, dan letih, aku sudah siap menyerah.
Perlahan, setelah isakanku terhenti dan napasku lebih tenang, aku menyadari aku tak sendirian.
Ketika mengangkat kepala, yang pertama kulihat adalah ransel yang kulemparkan di sudut. Benda itu terbuka, tergeletak seperti mulut yang menganga. Aku melihat kilauan iPod di dalamnya.
Lalu, aku melihat mata. Jantungku berhenti, dan aku duduk dengan cepat hingga kepalaku terbentur rak. Debu menyiramiku ketika aku bergerak secepat kilat ke sudut ruangan, terengah-engah. Aku pernah melihat mata itu sebelumnya, hijau berkilau dan cerdas. Makhluk itu kecil, lebih kecil daripada goblin, dengan kulit hitam berminyak dan lengan panjang dan kurus. Kecuali telinganya yang besar, mirip goblin, makhluk itu seperti persilangan aneh antara monyet dan laba-laba.
Makhluk itu tersenyum, dan giginya menyinari sudut pantri dengan cahaya biru pucat.
Lalu dia bicara. Suaranya menggema datar dalam cahaya muram, seperti desisan statis speaker radio. Awalnya aku tak mengerti ucapannya. Lalu seolah-olah siaran radionya bergeser, desisan statis menghilang dan aku mendengar kata-kata.
sedang menunggu, suaranya berderak, masih berdengung statis. Datang ke &besi &adikmu &ditahan di &
Ethan" Aku bangkit dengan cepat, kepalaku terbentur lagi. Di mana dia" Apa yang kau tahu tentang dia"
&Istana Besi &kami &menunggu & Makhluk itu bekerlip dalam kegelapan, samar-samar seperti sinyal lemah. Dia mendesis dan bekerlip hilang dari pandangan, membuat ruangan kembali gelap.
Aku berbaring dalam kegelapan, jantung berdebar kencang, memikirkan ucapan makhluk itu. Tidak banyak informasi dari percakapan menyeramkan itu, kecuali adikku masih hidup, dan sesuatu yang disebut Istana Besi sedang menunggu sesuatu.
Baiklah, kataku pada diri sendiri, menghela napas dalam-dalam. Mereka ada di luar sana, Meghan. Ethan dan ayahmu. Kau tak boleh menyerah. Hentikan sikap cengeng dan bersiaplah menyusun rencana.
Kuambil iPod dan menjejalkannya ke dalam saku belakang jinsku. Jika makhluk-monster itu datang lagi dengan berita tentang Ethan, aku ingin sudah siap. Kembali berbaring di lantai, aku menutup mata dan mulai menyusun rencana.
* * * DUA hari berikutnya berlalu samar-samar. Aku melakukan apa pun yang wanita troll itu perintahkan: mencuci piring, menyikat lantai, mengiris daging dari karkas hewan sampai tanganku berwarna darah. Tak ada lagi mantra yang ditujukan padaku, dan Sarah Skinflayer dengan terpaksa mulai menatapku dengan respek. Makanan yang diberikan sederhana: roti dan keju serta air. Wanita troll itu memberitahuku bahwa makanan lain yang lebih eksotis bisa berakibat fatal bagi sistem pencernaan separuh-manusiaku yang rapuh. Di malam hari aku merangkak kelelahan ke tempat tidur di dalam pantri dan langsung terlelap. Makhluk aneh itu tak lagi datang setelah malam itu, dan tidurku menyenangkan, bebas dari mimpi buruk.
Aku selalu memasang mata dan telinga, mengumpulkan informasi yang mungkin berguna jika aku berhasil melarikan diri. Di dapur, di bawah pengawasan mata elang Sarah Skinflayer, melarikan diri tidaklah mungkin. Wanita troll itu memiliki kebiasaan muncul tepat ketika aku berpikir untuk beristirahat, atau masuk ke kamar setelah menyelesaikan tugas. Aku pernah mencoba keluar dari dapur pada suatu malam, tapi ketika aku membuka pintu dapur, yang kutemui adalah gudang kecil alih-alih terowongan semak berduri. Aku hampir putus asa, tapi aku memaksakan diri untuk terus bersabar. Waktunya akan tiba, kataku pada diri sendiri, aku harus siap ketika saat itu tiba.
Aku mengobrol dengan pelayan dapur lain ketika sempat, makhluk yang disebut brownie dan kurcaci rumah, tapi mereka begitu sibuk sehingga aku hanya mendapat sedikit informasi dari mereka. Aku memang mengetahui sesuatu yang membuat jantungku berdebar penuh semang
at. Elysium, acara yang membuat semua orang di dapur kalang kabut, akan berlangsung beberapa hari lagi. Sesuai tradisi, Istana Terang dan Istana Gelap akan bertemu untuk membicarakan politik, menandatangani perjanjian baru, dan melanjutkan gencatan senjata mereka dengan susah payah. Karena kini musim semi, Istana Gelap akan mengunjungi wilayah Oberon dalam rangka Elysium; di musim dingin, Istana Gelap akan menjadi tuan rumah. Semua anggota istana diundang, dan sebagai staf dapur, kami dibutuhkan untuk berada di sana.
Aku terus bekerja keras, rencanaku pada saat Elysium nanti berputar-putar di benakku.
Lalu, tiga hari setelah dihukum bekerja di dapur, kami mendapat tamu.
Aku berdiri di dekat keranjang burung puyuh yang sudah mati, mencabuti bulunya setelah Sarah Skinflayer mematahkan lehernya dan menyerahkannya padaku. Aku berusaha mengabaikan troll itu ketika dia meraih ke dalam kandang, mencengkeram burung bermata cemerlang yang mengepak-ngepakkan sayap, dan memuntir lehernya diiringi bunyi patahan yang samar. Kemudian dia melempar tubuh tak bernyawa itu ke dalam keranjang seperti buah yang baru dipanen lalu mengambil burung lainnya.
Pintu terbuka tiba-tiba, menyorotkan cahaya ke dalam ruangan, dan tiga prajurit faery melangkah masuk. Rambut panjang perak, diikat ke belakang, berpendar dalam ruangan yang remang-remang, wajah mereka angkuh dan arogan.
Kami datang untuk menjemput darah-campuran, salah satu dari mereka mengumumkan, suaranya berdering di seantero dapur. Atas perintah Raja Oberon, dia harus ikut dengan kami.
Sarah Skinflayer melirikku, mendengus, lalu mengambil burung puyuh lagi. Tidak masalah. Anak itu hanya menjadi beban sejak berada di sini. Bawa dia keluar, aku senang dia pergi. Dia menegaskan pernyataannya dengan bunyi leher burung puyuh patah, dan seorang brownie meninggalkan oven untuk mengambil alih posisiku, menyuruhku pergi seraya melompat duduk di bangku.
Aku mengikuti mereka, tapi teringat ranselku yang tergeletak di lemari pantri. Menggumamkan kata maaf, aku buru-buru mengambilnya, menyandangnya di bahu ketika aku kembali. Tak satu pun brownie menoleh saat aku pergi, meskipun Sarah Skinflayer menatapku tajam seraya mematahkan leher burung. Diiringi rasa lega dan rasa bersalah ganjil yang berperang dalam diriku, aku mengikuti para prajurit itu keluar ruangan.
Mereka membawaku melalui semak berduri yang berliku-liku menuju pintu lain, membukanya tanpa mengetuk. Aku melangkah masuk ke dalam kamar tidur kecil yang tidak semewah kamar pertamaku, tapi cukup nyaman. Aku melihat sekilas kolam bundar beruap melalui pintu kamar sebelah, merindukan mandi.
Aku mendengar derap kaki teredam di lantai beralas karpet, dan menoleh untuk melihat sepasang gadis satyr masuk di belakang wanita tinggi langsing berkulit putih mulus dan rambut sehitam raven. Dia mengenakan gaun yang sangat hitam sehingga terasa menyedot cahaya, jarinya panjang, mirip laba-laba.
Salah satu gadis satyr itu mengintipku dari balik gaun wanita itu. Aku mengenali Tansy, yang tersenyum takut, seolah-olah khawatir aku marah karena pertemuan dengan Titania. Aku tidak marah; dia hanya pion dalam permainan ratu faery, sama seperti aku. Tapi sebelum aku berkata apa pun, wanita tinggi itu menatapku dari atas ke bawah dan menyentuhku, memegangi daguku dengan jarinya yang kurus. Mata hitam tanpa selaput pelangi atau pupil mengamati wajahku.
Jorok, dia mengeluh, suaranya seperti sutra diiris pisau baja. Sungguh spesimen jorok, terlalu biasa. Apa yang Oberon harap bisa aku lakukan dengan ini" Aku bukan pembuat keajaiban.
Aku menarik wajahku dari cengkeramannya, gadis-gadis satyr mencicit kaget. Meskipun demikian, wanita itu tampak geli. Yah, kurasa kita coba saja. Darah-campuran
Namaku bukan darah-campuran , aku membentak, muak mendengar ucapan itu. Namaku Meghan. Meghan Chase.
Wanita itu tak berkedip. Kau terlalu mudah memberikan nama lengkapmu, Nak, katanya, membuatku mengerutkan dahi dengan bingung. Kau beruntung itu bukan Nama Sejatimu, kalau tak kau akan berada dalam situasi tidak menguntungkan. Baiklah, Meghan Chase. Aku Lady
Weaver, dan kau harus dengar ucapanku. Raja Oberon menyuruhku untuk membuatmu tampil rapi di Elysium malam ini. Dia tak ingin anak gadisnya yang berdarah-campuran berkeliaran dengan pakaian compang-camping, atau lebih buruk lagi, berpakaian mortal di hadapan Istana Gelap. Aku berjanji akan melakukan yang terbaik, tapi jangan mengharapkan keajaiban. Sekarang dia menyuruhku ke kamar sebelah yang pertama dulu. Kau berbau manusia, troll, dan darah. Pergi mandi. Dia bertepuk tangan satu kali, dan kedua satyrberderap menghampiriku. Tansy dan Clarissa akan membantumu. Sekarang aku harus merancang sesuatu untuk kau pakai, sesuatu yang tidak membuat ayahmu menjadi bahan tertawaan.
Aku melirik Tansy yang tak mau melihat mataku. Tanpa bersuara aku mengikuti mereka ke dalam kolam, melepas pakaianku yang menjijikkan lalu masuk ke dalam air panas.
Nikmat sekali. Aku mengapung beberapa menit, membiarkan kehangatan meresap dalam tulangku, meredakan rasa nyeri dan sakit yang kualami selama tiga hari ini. Aku ingin tahu apakah faery pernah kotor atau berkeringat; aku tak pernah melihat satu pun bangsawan yang tidak tampil elegan.
Kehangatan membuatku mengantuk. Aku pasti tertidur, karena aku bermimpi sekawanan laba-laba merayapi tubuhku, membungkusku dalam sarangnya seakan-akan aku lalat raksasa. Ketika bangun dalam keadaan masih bergidik dan gatal, aku sudah terbaring di tempat tidur dan Lady Weaver berdiri di dekatku.
Baiklah. Dia mendesah ketika aku berusaha berdiri. Ini bukan karya terbaikku, tapi kurasa sudah cukup. Ayo kemari, Nak. Berdiri di depan cermin sebentar.
Aku menurun, dan ternganga melihat pantulan diriku di cermin. Gaun perak berkilauan menutupi tubuhku, terbuat dari kain yang lebih ringan dari sutra. Gaun itu beriak seperti air setiap kali aku bergerak, lengannya yang berenda mengembang keluar dari tanganku, nyaris tak menyentuh kulitku. Rambutku digelung dengan elegan dan dipilin menjadi sanggul anggun di puncak kepalaku, dengan bantuan pin-pin gemerlapan. Sebuah batu safir seukuran kepalan bayi berkilau seperti api biru di leherku.
Well" Lady Weaver dengan lembut menyentuh salah satu lengan gaunku, mengaguminya seperti seorang seniman mengagumi lukisan favoritnya. Bagaimana menurutmu"
Cantik sekali, aku berhasil bersuara, memandangi putri elf di cermin. Aku bahkan tak mengenali diriku. Suatu pikiran terlintas di benakku dan aku terkikik histeris. Aku takkan berubah menjadi labu tengah malam nanti, kan"
Jika kau mengganggu orang yang salah, bisa saja. Lady Weaver berbalik, bertepuk tangan. Tansy dan Clarissa muncul dengan otomatis, mengenakan gaun putih sederhana, rambut ikal mereka disisir rapi. Sekilas aku melihat tanduk di balik poni merah kecokelatan Tansy. Dia memegang ransel oranyeku dengan dua jari, seakan-akan takut benda itu akan menggigitnya.
Aku menyuruh mereka mencuci pakaian mortalmu, kata Lady Weaver, berpaling dari cermin. Oberon akan menyuruhnya dihancurkan, tapi itu menambah pekerjaanku, jadi aku masukkan dalam tasmu. Begitu Elysium selesai, aku akan ambil gaun itu lagi, jadi kau pasti ingin memakai bajumu sendiri.
Um, oke, kataku, mengambil ransel dari Tansy. Pemeriksaan sekilas memperlihatkan jins dan kausku terlipat rapi di dalam, dan iPod masih ada di kantong samping. Aku sempat berpikir meninggalkan ransel itu, tapi memutuskan untuk membawanya. Oberon mungkin menganggapnya menjijikkan dan menyuruh orang membakarnya tanpa sepengetahuanku. Benda itu milikku, berisi semua hal yang kumiliki di dunia ini. Merasa agak malu, aku menyandangnya di bahu, putri kampungan dan ransel oranye cerah.
Ayo kita pergi, ujar Lady Weaver serak, menyampirkan syal hitam tipis di lehernya. Elysium menunggu. Dan, darah-campuran, aku bekerja keras membuat gaun itu. Cobalah agar tidak membuat dirimu terbunuh.
BAB DUA BELAS Elysium Kami melewati terowongan semak berduri menuju ke halaman istana. Seperti sebelumnya, tempat itu dipenuhi para fey, tapi suasana terasa agak gelap. Musik yang dimainkan terdengar mengerikan dan liar, dan para faery berdansa, meloncat dan bersalto gila-gilaan. Se
orang satyr berlutut di belakang gadis berkulit merah yang pasrah, tangannya bergerak naik menyusuri pinggang si gadis dan mencium lehernya. Dua wanita bertelinga rubah mengelilingi brownie yang terlihat bingung, mata keemasan mereka bersinar lapar. Sekelompok bangsawan fey berdansa dalam gerakan yang menghipnosis, gerakan mereka erotis, sensual, larut dalam musik dan gairah.
Aku merasakan dorongan liar untuk bergabung, ikut menggerakkan kepala mengikuti musik. Aku menutup mata, merasakan irama mendayu-dayu mengangkat jiwaku dan membawanya terbang ke surga. Tenggorokanku tercekat, dan tubuhku mulai berayun mengikuti irama. Aku membuka mata tiba-tiba. Tanpa sadar aku mulai mendekati lingkaran para penari.
Aku menggigit bibir keras-keras, darah dan rasa sakit menyadarkanku. Sadarlah, Meghan. Kau tak boleh lengah. Itu berarti tak boleh makan, berdansa, atau bicara dengan orang asing. Konsentrasilah pada apa yang harus kau lakukan.
Aku melihat Oberon dan Titania duduk di meja panjang, dikelilingi prajurit Terang dan troll. Raja dan ratu duduk berdampingan, tapi saling acuh tak acuh. Oberon bertopang dagu ketika mengamati anggota istananya. Titania duduk seperti ada tiang es diikat di punggungnya.
Puck tak terlihat di mana-mana. Aku ingin tahu apakah Oberon sudah membebaskannya.
Menikmati pesta ini" tanya suara yang sudah familiar.
Grimalkin! jeritku, melihat kucing abu-abu itu bertengger di tepi kolam, ekor melingkar di antara kakinya. Mata emasnya menatapku dengan tatapan malas dan tak tertarik yang sama. Apa yang kau lakukan di sini"
Dia menguap. Aku mau tidur, tapi sepertinya akan ada hal menarik sebentar lagi, jadi kurasa aku akan tinggal sebentar di sini. Kucing itu bangkit, meregangkan punggung dan melirikku. Jadi, manusia, bagaimana kehidupan di istana Oberon"
Kau tahu, tuduhku ketika dia duduk dan menjilati cakarnya. Kau tahu siapa aku dari awal. Itulah sebabnya kau mau membawaku menemui Puck kau berniat memeras Oberon.
Memeras, kata Grimalkin, mengedipkan mata kuning malasnya, adalah kata kasar. Dan kau sudah banyak belajar tentang fey, Meghan Chase. Kau pikir yang lain takkan melakukan hal yang sama" Semuanya ada harganya. Tanya saja Oberon. Atau lebih tepatnya, tanya Puck-mu.


The Iron Fey 1 The Iron King Karya Julie Kagawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku ingin bertanya apa maksudnya, tapi pada saat itu suatu bayangan muncul dari belakangku dan aku menoleh, melihat Lady Weaver berada di dekatku.
Istana Musim Dingin akan segera tiba, katanya dengan suara serak, jarinya yang sekurus pensil memegang bahuku. Kau akan duduk di sebelah Raja Oberon. Beliau menginginkan kehadiranmu. Cepat, cepat.
Cengkeramannya semakin erat, dan dia membimbingku ke meja di mana Oberon dan para bangsawan Istana Musim Panas berada. Tatapan Oberon biasa-biasa saja, tapi tatapan penuh kebencian Titania membuatku ingin lari dan bersembunyi. Berada di antara wanita laba-laba menakutkan dan Ratu Istana Terang, aku cukup yakin akan berakhir sebagai tikus atau kecoak malam ini.
Beri hormat pada ayahmu, desis Lady Weaver di telingaku, sebelum sedikit mendorongku ke arah sang Erlking. Aku menelan ludah dan di bawah tatapan tajam para bangsawan, aku mendekati meja.
Aku tidak tahu harus bicara apa, tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa seperti sedang berpidato di depan auditorium sekolah dan lupa membawa naskah. Berdoa agar mendapat petunjuk, kutatap mata hijau hampa Oberon dan menekuk lutut untuk membungkuk dengan canggung.
Sang Erlking beringsut di kursinya. Aku melihat matanya tertuju pada ransel oranyeku dan menyipit. Pipiku terbakar, tapi aku tak bisa meletakkan ranselku sekarang. Istana menyambut Meghan Chase, kata Oberon dengan suara yang kaku dan formal. Dia berhenti, seakan menungguku mengucapkan sesuatu, tapi suaraku tak mau keluar. Keheningan tercipta di antara kami, dan seseorang menyeringai. Akhirnya, Oberon menunjuk kursi kosong di ujung meja, dan aku duduk, pipi merah terbakar di bawah tatapan seluruh anggota istana.
Cukup mengesankan, kata suara geli di dekat kakiku. Grimalkin melompat ke atas kursi di sebelahku, tepat ketika aku hendak meletakkan ransel di sana. Kau memang mewar
isi kecerdasan ayahmu. Lady Weaver pasti sangat bangga.
Tutup mulutmu, Grim, gumamku, menaruh ransel di bawah kursi. Aku masih ingin bicara, tapi musik berhenti dan bunyi nyaring trompet terdengar.
Mereka datang, kata Grimalkin, matanya menyipit menjadi celah keemasan. Kucing itu tampak seperti tersenyum. Ini pasti sangat menarik.
Bunyi trompet semakin nyaring, dan di salah satu sudut istana dinding dari semak berduri yang biasanya ada di sana bergerak menggulung ke belakang, membentuk gerbang melengkung yang megah, jauh lebih tinggi dan elegan dari yang pernah kulihat. Mawar hitam mekar di antara onak dan duri, dan angin dingin berembus melalui gerbang itu, menyelubungi pepohonan di dekatnya dengan bunga es.
Sesosok makhluk melangkah melewati gerbang, dan aku bergidik, bukan hanya karena angin dingin. Itu goblin, hijau dan berkutil, mengenakan mantel hitam mewah berkancing emas. Makhluk itu menatap licik ke arah anggota istana yang menunggu, membusungkan dada, dan berteriak dengan suara jernih tapi juga parau.
Yang Mulia, Ratu Mab, Pemimpin Istana Musim Dingin, Penguasa Teritorial Musim Gugur, dan Ratu Udara dan Kegelapan.
Dan Istana Gelap pun tiba.
Sepintas lalu, mereka mirip fey Istana Terang. Laki-laki kecil yang membawa spanduk Istana Gelap mirip kurcaci dalam jubah mewah dan topi merah. Lalu aku melihat cengiran gigi-gigi seperti hiu dan kegilaan di mata mereka, dan sadar kalau mereka bukan kurcaci rumah yang ramah, tidak dalam arti apa pun.
Redcap, gumam Grimalkin sambil mengerutkan hidung. Kau sebaiknya jauh-jauh dari mereka, manusia. Terakhir kali mereka datang, seorang phouka yang-tak-begitu-pintar menantang salah satunya dalam permainan tebak-dimana-koinnya yang sudah dicurangi dan menang. Tidak berakhir dengan baik.
Apa yang terjadi" tanyaku, penasaran apa itu phouka.
Mereka memakannya. Grimalkin menunjuk ke arah ogre, raksasa besar berwajah bodoh dan taring licin penuh liur. Borgol terpasang di pergelangan tangan, dan rantai perak melilit leher besar mereka. Mereka terhuyung-huyung memasuki istana seperti gorila dibius, tak menyadari tatapan bermusuhan yang ditujukan pada mereka dari para troll.
Lebih banyak anggota Istana Gelap yang memasuki padang. Bogey kurus mirip yang dalam lemari Ethan mengendap-endap, merayap di tanah seperti laba-laba ceking. Goblin mendesis, menggeram. Laki-laki dengan kepala dan dada berupa kambing hitam, tanduknya berujung runcing, memantulkan cahaya. Dan masih banyak makhluk lain menyusul, masing-masing lebih mengerikan dari sebelumnya. Mereka menatap kepingin saat melihatku, menjilati bibirnya. Untungnya, di bawah tatapan tegas Oberon dan Titania, tak satu pun dari mereka yang mendekati meja.
Akhirnya, setelah istana dipenuhi tamu nyaris dua kali lipat dari sebelumnya, Ratu Mab menampakkan diri.
Tanda pertama yang kulihat adalah suhu di padangini turun sekitar sepuluh derajat. Bulu tanganku berdiri, dan aku merinding, berharap tadi memakai gaun yang lebih tebal daripada yang terbuat sutra laba-laba dan kain pelapis yang tipis. Aku baru berniat menggeser kursi agar menjauh dari angin ketika embusan salju keluar dari mulut terowongan, dan dari dalamnya melangkah seorang wanita yang membuat wanita lain menangis karena iri dan pria-pria berperang untuk memperebutkannya.
Dia tidak setinggi Oberon, atau selangsing Titania, tapi kehadirannya menarik semua mata yang ada di halaman istana. Rambutnya begitu hitam hingga di beberapa bagian terlihat biru, terurai di punggungnya laksana air terjun tinta. Matanya hampa, seperti malam tanpa bintang, sangat kontras dengan kulitnya yang seputih marmer dan bibirnya yang merah pucat. Dia mengenakan gaun yang menyelubunginya seperti bayangan. Dan seperti Oberon dan Titania, dia juga menguarkan aura kekuasaan.
Banyaknya fey di halaman, baik dari Istana Terang maupun Istana Gelap, membuatku sangat gugup. Tapi ketika aku berpikir tak ada yang bisa lebih mengerikan lagi, rombongan pengiring Mab melangkah masuk.
Dua pengiring pertama tinggi dan rupawan seperti bangsa mereka, garis wajah tajam dan anggun. Mereka mengenakan setelan hitam
dan perak dengan kepercayaan diri seorang bangsawan. Rambut sehitam raven diikat ke belakang semakin menegaskan garis wajah angkuh dan kejam mereka. Layaknya pangeran kegelapan, mereka melangkah di belakang Mab dengan sikap arogan yang serupa, tangan kurus di atas gagang pedang, mantel berkelepak di belakangnya.
Pengiring ketiga, berjalan di belakang mereka, juga memakai setelan hitam dan perak. Seperti keduanya, dia juga membawa pedang, tergantung di pinggang, dan garis wajahnya juga menunjukkan darah aristokrat. Tapi, tak seperti yang lain, dia tampak tidak peduli, nyaris bosan, pada acara ini. Matanya diterpa cahaya bulan dan bersinar seperti koin perak.
Jantungku membeku, dan isi perutku terancam keluar. Itu dia, pemuda dalam mimpiku, orang yang mengejar Puck dan aku di hutan. Aku melihat sekeliling dengan panik, bertanya-tanya apakah aku bisa bersembunyi sebelum dia melihatku. Grimalkin menatapku geli dan menggoyang-goyangkan ekornya.
Itu dia! bisikku, mengalihkan tatapanku pada bangsawan yang mendekat di belakang sang Ratu. Pemuda itu! Dia yang memburuku di hutan waktu itu, sehingga aku mendarat di pohonmu. Dia hendak membunuhku!
Grimalkin mengerjap. Itu Pangeran Ash, putra termuda Ratu Mab. Mereka bilang dia pemburu jagoan, dan banyak menghabiskan waktu di wyldwood, alih-alih di istana bersama kakak-kakaknya.
Aku tak peduli siapa dia, desisku, menunduk di kursiku. Dia tak boleh melihatku. Bagaimana caraku keluar dari sini"
Dengusan Grimalkin terdengar mirip tawa. Aku takkan mencemaskan itu, manusia. Ash takkan membuat Oberon murka dengan menyerangmu di sini. Peraturan Elysium mencegah adanya kekerasan, apa pun bentuknya. Selain itu kucing itu mengendus-endus perburuan itu terjadi berhari-hari lalu. Kemungkinan besar dia sudah melupakanmu.
Aku merengut pada Grimalkin sambil terus mengawasi si pemuda fey agar dia tidak hilang dari pandanganku. Pemuda itu membungkuk hormat pada Oberon dan Titania, menggumamkan sesuatu yang tak dapat kudengar. Oberon mengangguk, dan pangeran itu melangkah mundur, masih membungkuk. Ketika dia menegakkan badan dan berbalik, tatapannya menyapu seluruh meja
dan terpaku hanya padaku. Matanya menyipit, dan dia tersenyum, mengangguk kecil ke arahku. Jantungku berdebar kencang, aku bergidik.
Ash belum melupakanku, sama sekali.
* * * MALAM semakin larut, aku merindukan hari-hariku di dapur.
Bukan hanya karena Pangeran Ash, meskipun itu alasan utama yang membuatku tak ingin menarik perhatian. Rombongan Istana Gelap membuatku gugup dan tak nyaman, dan aku bukanlah satu-satunya. Ada ketegangan antara anggota Istana Terang dan Istana Gelap; jelas sekali mereka musuh bebuyutan. Hanya karena obsesi para fey pada peraturan dan etiket serta kekuatan penguasa sidhe-nya maka acara tak berubah menjadi pertumpahan darah.
Atau begitulah yang Grimalkin katakan. Aku memercayai ucapannya dan duduk tak bergerak di kursiku, berusaha tak menarik perhatian.
Oberon, Titania, dan Mab duduk di meja sepanjang malam. Ketiga pangeran duduk di sebelah kiri Mab, dan Ash di ujung terjauh meja, membuatku lega. Makanan disajikan, anggur dituangkan, dan penguasa sidhe berbincang dengan sesamanya. Grimalkin menguap bosan lalu pergi dari sisiku, lenyap di keramaian. Rasanya baru berjam-jam kemudian, hiburan dimulai.
Tiga pemuda berpakaian warna terang dengan buntut monyet berayun ke panggung yang dipasang di depan meja. Mereka melompat bersalto jungkir balik. Satyr memainkan seruling, dan seorang wanita manusia menari mengikuti iramanya sampai kakinya berdarah, ekspresi wajahnya merupakan gabungan antara kengerian dan kenikmatan. Seorang wanita memesona berkaki kambing dan gigi piranha menyanyikan balada tentang laki-laki yang mengikuti kekasihnya ke dalam danau, dan tak pernah terlihat lagi. Di akhir lagu, aku menghela napas ke dalam paru-paruku yang terbakar lalu duduk tegak, tidak sadar kalau dari tadi aku tidak bisa bernapas.
Entah kapan di antara kemeriahan suasana, Ash menghilang.
Mengerutkan dahi, aku mencari-cari di sekeliling halaman istana, mencari wajah pucat dan rambut gelap di antara lautan
fey. Dia tak berada di halaman, sejauh yang bisa kulihat, dan dia tak berada di meja bersama Mab dan Oberon &
Terdengar tawa kecil di sebelahku, dan jantungku berhenti berdetak.
Jadi ini dia darah-campuran Oberon yang terkenal itu, kata Ash serius selagi aku berbalik. Matanya, dingin tak manusiawi, bersinar penuh rasa geli. Dari dekat dia terlihat semakin rupawan, tulang pipinya tinggi dan rambut hitam acak-acakan jatuh menutupi matanya. Tangan pengkhianatku ini merasa gatal, ingin menyentuh poninya dengan jariku. Dengan ngeri, aku mengepalkan tangan erat-erat di pangkuan, berusaha berkonsentrasi pada ucapan Ash. Bayangkan, lanjut sang pangeran tersenyum, aku kehilangan kau di hutan hari itu, bahkan tanpa mengetahui apa yang sedang kuburu.
Aku merosot di kursiku, melirik Oberon dan Ratu Mab. Mereka sedang berbincang serius, tidak memperhatikanku. Aku tak ingin menyela pembicaraan mereka hanya karena seorang pangeran dari Istana Gelap mengajakku mengobrol.
Selain itu aku putri faery sekarang. Meskipun aku sendiri tak yakin, Ash sama sekali tak ragu. Aku menghela napas dalam-dalam, mengangkat dagu, dan menatapnya tepat di mata.
Aku peringatkan, senang karena suaraku tak bergetar, jika kau mencoba melakukan sesuatu, ayahku akan memenggal kepalamu dan menempelkannya di plakat untuk dipasang di dinding.
Dia mengedikkan satu bahu rampingnya. Ada yang lebih buruk dari itu. Melihat tatapan ngeriku, dia tersenyum samar penuh kerendahan hati. Jangan takut, Putri. Aku takkan melanggar peraturan Elysium. Aku tak berniat menghadapi kermukaan Mab dengan mempermalukannya. Bukan itu alasanku ke sini.
Jadi apa yang kauinginkan"
Dia membungkuk. Dansa. Apa! Aku menatapnya tak percaya. Kau pernah mencoba membunuhku.
Secara teknis, aku hendak membunuh Puck. Kebetulan saja kau ada di sana. Tapi ya, jika ada kesempatan, aku akan melakukannya.
Lalu kenapa kau pikir aku mau berdansa denganmu"
Itu dulu. Dia menatapku sopan. Ini sekarang. Dan sudah tradisi di Elysium, putra dan putri dari wilayah berbeda berdansa bersama untuk memperlihatkan niat baik antara dua kerajaan.
Yah, itu tradisi bodoh. Aku melipat lengan di dada dan melotot. Dan lupakan saja. Aku tak mau dekat-dekat denganmu.
Dia mengangkat alis. Apa kau berniat menghina Ratu Mab, dengan menolakku" Dia akan menjadikannya masalah pribadi, dan menyalahkan Oberon karena melakukan penghinaan. Dan Mab bisa menyimpan dendam untuk waktu yang sangat lama.
Oh, sial. Aku terjebak. Jika menolak, aku akan menghina Ratu Istana Gelap. Aku juga akan masuk daftar musuh Mab dan Titania, dan di antara mereka berdua, peluangku bertahan hidup sama dengan nol.
Jadi maksudmu kau tak memberiku pilihan.
Selalu ada pilihan. Ash mengulurkan tangan. Aku takkan memaksamu. Aku hanya mengikuti perintah ratuku. Tapi kini seluruh anggota istana menantikan kita. Dia tersenyum lagi, pahit dan mengejek diri sendiri. Dan aku berjanji akan bersikap sopan sampai malam ini berlalu. Kau bisa memegang janjiku.
Sialan. Aku bersedekap, berusaha mencari cara agar lolos dari situasi ini. Aku akan membuat malu nanti, kataku menantang. Aku tak bisa dansa.
Kau punya darah Oberon. Ada nada geli dalam suaranya. Tentu saja kau bisa berdansa.
Aku masih bergumul dengan diriku sendiri selama beberapa saat. Ini pangeran dari Istana Gelap, pikirku, benakku berputar. Mungkin dia tahu sesuatu tentang Ethan. Atau ayahku! Setidaknya aku bisa bertanya.
Aku menghela napas dalam-dalam. Ash menunggu dengan sabar, tangannya masih terulur. Saat aku letakkan jariku di telapak tangannya, dia tersenyum samar. Kulitnya terasa dingin ketika dengan gerakan mulus dia memindahkan tanganku ke lengannya, dan aku bergidik karena tubuhnya terlalu dekat denganku. Dia beraroma tajam seperti bunga es dan sesuatu yang asing bukan tidak menyenangkan, tapi aneh.
Perutku melilit ketika melihat ratusan pasang mata fey yang bersinar menatap saat kami melangkah. Fey dari Istana Terang maupun Gelap memberi jalan, membungkuk hormat, ketika kami menghampiri panggung terbuka.
Lututku gemetaran. Aku tak bisa melakukan ini,
bisikku, mencengkeram lengan Ash agar tak jatuh. Biarkan aku pergi. Rasanya aku mau muntah.
Kau akan baik-baik saja. Ash tak menatapku saat kami memasuki lantai dansa. Dia menatap trio penguasa fey dengan kepala terangkat, tanpa ekspresi. Aku memandang melewati lautan wajah dan gemetar ketakutan.
Ash mempererat cengkeramannya di tanganku. Ikuti saja gerakanku.
Dia membungkuk hormat ke arah meja Oberon, aku melakukan hal yang sama. Sang Erlking mengangguk dengan wajah serius, dan Ash menoleh menatapku, meraih satu tanganku dan meletakkan tangan satuku ke bahunya.
Musik pun dimainkan. Ash melangkah maju, dan aku hampir tersandung. Aku menggigit bibir seraya berusaha mengikuti langkahnya. Kami bisa dibilang mengitari lantai dansa, aku berusaha tak terjatuh atau menginjak kaki Ash. Sementara Ash bergerak seanggun harimau. Untungnya tak ada yang mencela atau melemparkan sesuatu ke arah kami, tapi aku tersandung-sandung dan linglung, hanya ingin agar semua ini cepat berakhir.
Ada saat di dalam mimpi-terjagaku ini, aku mendengar tawa geli. Jangan berpikir, gumam Ash, menarikku berputar yang berakhir dengan tubuhku menempel di dadanya. Jangan pedulikan penonton. Jangan pedulikan langkahmu. Tutup saja matamu dan dengarkan alunan musiknya.
Mudah saja kau bicara, geramku, tapi dia memutarku begitu cepat sehingga lantai seakan berputar dan aku menutup mata. Ingatlah kenapa kau melakukan ini, benakku berbisik. Semua demi Ethan.
Betul. Aku membuka mata dan menatap pangeran gelap itu. Jadi, gumamku, berusaha terdengar biasa, kau anak Ratu Mab"
Kukira kita sudah sepaham, ya.
Apa dia suka &mengoleksi sesuatu" Ash menatapku aneh, dan aku buru-buru melanjutkan. Manusia, maksudku. Apakah ada banyak manusia"
Ada beberapa. Ash memutarku lagi, dan kali ini aku tak melawan. Matanya bersinar ketika aku kembali dalam pelukannya. Mab biasanya bosan dengan mortal setelah beberapa tahun. Jadi dia melepas atau mengubah mereka menjadi sesuatu yang lebih menarik, tergantung suasana hatinya. Kenapa"
Jantungku bertalu-talu. Apa dia punya anak kecil di istananya" tanyaku selagi kami berputar-putar mengelilingi panggung. Empat tahun, rambut cokelat ikal, mata biru" Pendiam"
Ash menatapku heran. Aku tidak tahu, katanya membuatku kecewa. Sudah lama aku tidak ke istana. Meskipun di sana, aku takkan ingat semua mortal yang dimiliki dan dilepaskan ratu selama ini.
Oh, gumamku, menunduk kecewa. Yah, itu hanya pertanyaan coba-coba. Jadi, jika kau tak di istana, di mana kau"
Ash tersenyum dingin. Di wyldwood, jawabnya, memutarku menjauh. Berburu. Aku jarang kehilangan buruan, jadi bersyukurlah karena Puck itu pengecut. Sebelum aku bisa membalas, dia menarikku mendekat lagi, bibirnya di telingaku. Meskipun begitu, aku senang tidak membunuhmu waktu itu. Aku sudah bilang putri Oberon pasti bisa berdansa.
Aku sudah melupakan musiknya, dan menyadari tubuhku bereaksi secara otomatis, bergerak di lantai dansa seolah-olah sudah melakukannya ribuan kali. Cukup lama kami tak mengatakan apa-apa, terlarut dalam musik dan tarian. Emosiku melayang tinggi ketika alunan musik kian keras, dan tak ada yang lain selain kami, terus berputar dan berputar.
Musik berhenti ketika Ash menarikku di putaran terakhir. Aku berakhir menempel di tubuhnya, wajahnya hanya beberapa senti dariku, mata abu-abunya cemerlang dan bergelora. Kami berdiri seperti itu beberapa saat, membeku dalam waktu, jantung kami berdebar kencang. Seluruh isi dunia terasa lenyap. Ash berkedip dan tersenyum kecil. Hanya butuh setengah langkah untuk menyentuh bibirnya.
Jeritan memecah malam, menyadarkan kami. Sang pangeran melepasku dan melangkah mundur, wajahnya kembali memasang topeng tanpa ekspresi.
Jeritan itu terdengar lagi, diikuti raungan yang menggetarkan meja dan membuat gelas kristal berjatuhan ke lantai. Dari atas lautan penonton, aku melihat dinding semak berguncang hebat seakan-akan ada sesuatu yang besar memaksa masuk. Fey berteriak-teriak dan saling mendorong, Oberon berdiri, meneriakkan perintah. Selama sesaat, semuanya terdiam membeku.
Semak-semak terkoyak diser
tai bunyi patahan nyaring, dan sesuatu yang besar merangkak keluar. Darah mengalir dari kulit kecokelatan sesosok monster bukan seperti bogey di-bawah-tempat-tidur yang membuatmu kaget, tapi monster sungguhan yang akan merobek perutmu dan melahap isinya. Makhluk itu memiliki tiga kepala mengerikan: kepala singa dengan satyr berlumuran darah di rahangnya, kepala kambing dengan mata putih liar, dan kepala naga yang mendesis dengan api cair menetes-netes dari mulutnya. Seekor chimera.
Makhluk itu berhenti sesaat, menatap pesta yang baru saja diselanya, kepala-kepalanya berkedip kompak. Satyr yang sudah tercabik-cabik jatuh ke tanah, dan seseorang di kerumunan menjerit.
Chimera itu meraung, tiga lengkingan yang memekakkan telinga. Kerumunan lari kocar kacir ketika monster itu menarik kaki belakang ke bawah tubuhnya dan melompat ke tengah keramaian. Dia mendarat di samping redcap yang lari ketakutan dan mengayunkan kaki bercakarnya, menangkap seorang faery di perut dan langsung merobeknya. Selagi si redcap jatuh tersungkur dengan memegangi usus, chimera itu berpaling meninju troll, memukulinya di tanah. Troll itu menggeram dan mencekik leher berkepala singa, menjauhkannya, tapi kepala naga turun tangan, mengatupkan rahangnya di leher si troll lalu memutarnya. Darah hitam menyembur deras, memenuhi udara dengan aroma tembaga yang memuakkan. Troll itu mengejang kemudian lemas.
Dengan darah menetas dari moncongnya, chimera itu menengadah dan melihatku yang masih terpaku di panggung. Makhluk itu meraung lalu melompat ke sudut lantai dansa. Otakku menjerit-jerit menyuruhku lari, tapi aku tak bisa bergerak. Aku hanya terbelalak ketika makhluk itu menunduk. Napas panasnya menerpaku, berbau darah dan daging terbakar, dan aku melihat serpihan kain merah di gigi singanya.
Sambil memekik, chimera itu mengayunkan cakar, dan aku menutup mata, berharap kematianku akan cepat.
BAB TIGA BELAS Melarikan Diri dari Istana Terang
Sesuatu menubrukku, mendorongku menjauh. Rasa sakit menyengat lenganku karena mendarat dengan bahu terlebih dulu, dan aku membuka mata, terkesiap.
Ash berdiri di antara aku dan chimera, pedangnya terhunus. Bilah pedangnya bersinar sebiru es, berselubung bunga es dan kabut. Monster itu meraung, berusaha memukulnya, tapi Ash melompat ke samping sambil mengayunkan pedang. Mata pedangnya yang beku mengenai cakar chimera, membuat monster itu menjerit seperti manusia. Makhluk itu memukul lagi, dan Ash berguling menjauh. Ketika berdiri kembali, dia mengangkat satu tangan, cahaya kebiruan memercik dari jarinya. Ketika monster itu menerjang, dia mengulurkan tangan dan chimera itu menjerit ketika serpihan es tajam berkilauan meluncur merobek kulitnya.
Bersiap! suara Oberon membahana mengatasi raungan chimera. Pengawal, tahan binatang buas itu! Lindungi para tamu! Cepat!
Suara Mab juga terdengar dalam kekacauan itu, memerintahkan para pengawalnya untuk menyerang. Semakin banyak fey melompat ke panggung dengan senjata dan teriakan perang, taring dan gigi dipamerkan. Fey yang bukan tipe kesatria keluar meninggalkan panggung, sementara yang lain menyerang. Troll dan ogre menghantam makhluk itu dengan tongkat pemukul, redcap menyayat kulitnya dengan pisau perunggu bernoda darah dan prajurit Terang mengayunkan pedang berapi menghunjam pinggulnya. Aku melihat kakak-kakak Ash terjun dalam pertempuran ini, pedang es menusuk punggung si monster. Chimera meraung lagi, terluka parah, selama sesaat tampak ketakutan terhadap penyerangnya.
Lalu kepala naga beraksi, uap mengepul dari mulutnya, dan menyemburkan api cair ke arah fey yang mengelilinginya. Ludah berapi menyelubungi beberapa penyerangnya, yang menjerit dan berjatuhan ke tanah, menggeliat-geliut ketika daging mereka meleleh. Monster itu berusaha meninggalkan lantai dansa, tapi para fey mendekat, menusuknya, membuatnya tak bisa bergerak ke mana-mana.
Ketika fey sipil terakhir meninggalkan panggung, Raja Terang bangkit, wajahnya asing dan menakutkan, rambut panjang peraknya berkibar di punggungnya. Dia mengangkat tangan, dan getaran keras mengguncang tanah. Piring-piring berjatuhan
menghantam lantai, pohon bergoyang, dan para fey menjauhi monster yang meradang itu. Chimera itu menggeram lalu terlontar ke udara, matanya tampak bingung seakan tak mengerti apa yang terjadi.
Panggung terbuat dari batu marmer, setinggi lebih dari satu meter hancur berkeping-keping dengan bunyi yang memekakkan, dan akar raksasa muncul dari dalam tanah. Besar dan sangat tua, penuh duri mengilap, langsung melilit chimera itu seperti ular raksasa, menembus kulitnya. Monster itu meraung, mengguncang akar-akar itu dengan cakar, tapi lilitannya semakin erat.
Para fey menyerbu monster itu lagi, menusuk dan memotong. Chimera terus melawan, mengayunkan cakar dan taringnya yang mematikan, mengenai siapa pun yang berada terlalu dekat. Satu ogre menghantamkan tongkat pemukulnya, tapi mendapat pukulan keras dari cakar si monster. Seorang prajurit Terang berusaha memenggal kepala naga, tapi rahangnya membuka dan menyerang si prajurit dengan api cair. Sang prajurit menjerit dan mundur, sementara si naga mengangkat kepala dan menatap Erlking yang berdiri di dekat meja, matanya separuh tertutup penuh konsentrasi. Bibir monster itu terlipat ke dalam, dan menghela napas. Aku berteriak memperingatkan Oberon, tapi suaraku tak terdengar dalam keributan ini, dan aku tahu peringatanku sudah terlambat.
Dan seketika Ash ada di sana. Sambil menghindari cakar hewan buas itu, pedangnya berayun ke bawah begitu cepat sehingga tampak kabur. Pedang itu mengiris leher naga, memenggal kepala hingga jatuh di marmer disertai percikan menjijikkan. Ash berkelit mundur karena leher itu masih mengejang, menyemprotkan darah dan api cair dari lehernya yang terpenggal. Beberapa fey melolong kesakitan. Ketika Ash mundur dari semburan lava, satu troll menusukkan tombaknya ke mulut singa yang terbuka hingga tembus ke belakang kepala, dan tiga redcap berhasil menghindari cakar yang terayun untuk mengeroyok kepala kambing, menggigit dan menikam. Chimera itu tersentak, meronta-ronta, dan akhirnya tersungkur di jalinan dahan, sesekali tubuhnya masih berkedut. Meskipun sudah mati, redcap masih terus menyayat-nyayat tubuhnya.
Pertempuran sudah berakhir, tapi banyak korban yang berjatuhan. Tubuh terbakar, hancur, terpotong-potong bertebaran seperti mainan rusak di sekitar panggung yang pecah. Fey yang terluka parah memegangi luka mereka dengan wajah menahan sakit. Bau darah dan daging terbakar amat menusuk.
Perutku mual. Memalingkan kepalaku dari pemandangan mengerikan itu, aku merangkak ke sudut panggung dan muntah di semak-semak mawar.
Oberon! Jeritan itu membuatku merinding. Ratu Mab berdiri, matanya membara, menudingkan jari yang terbungkus sarung tangan ke arah Erlking.
Beraninya kau! suaranya serak, dan aku menggigil ketika suhu turun drastis, membekukan. Bunga es melapisi dahan-dahan dan merayap di tanah. Beraninya kau lepas monster itu untuk menyerang kami pada saat Elysium, ketika kami mendatangimu dengan rasa percaya! Kau telah melanggar perjanjian, dan aku tak akan melupakan penghinaan ini!
Oberon tampak sedih, tapi Ratu Titania melompat berdiri. Kau berani" dia menjerit sementara petir menyambar-nyambar di atas kepala. Beraninya kau menuduh kami yang memanggil makhluk itu" Sudah jelas ini pekerjaan Istana Gelap untuk melemahkan kami, di rumah kami sendiri!
Para fey mulai berbisik-bisik, menatap curiga pada fey yang berasal dari istana lain, meskipun baru saja mereka berjuang bersama. Satu redcap yang mulutnya masih meneteskan darah chimera melompat turun dari panggung menatapku, mata bulatnya bersinar lapar.
Aku mencium bau manusia, katanya, menjilat taring dengan lidah ungunya. Aku mencium bau darah gadis muda, dan daging yang lebih manis daripada monster itu. Aku beringsut menjauh, mengeliling panggung, tapi makhluk itu terus mengikuti. Datang padaku, gadis kecil, katanya membujuk. Daging monster pahit, tidak semanis daging manusia muda. Aku ingin mencicipi sedikit. Satu jari mungkin.
Mundur. Ash muncul entah dari mana, tampak berbahaya dengan percikan darah hitam di wajahnya. Kita sudah punya banyak masalah tanpa memakan putri Oberon. Pe
rgi dari sini. Redcap itu mendesis dan pergi. Ash menghela napas dan berpaling padaku. Tatapannya memeriksaku dari atas sampai bawah. Kau terluka"
Aku menggeleng. Kau menyelamatkan hidupku, gumamku. Aku hampir mengatakan terima kasih , tapi menahan diri, karena kata-kata itu sepertinya membuatmu berutang di Faeryland. Suatu pikiran terlintas, tak disangka-sangka dan mengganggu. Aku &aku tak terikat padamu atau apa pun seperti itu, kan" tanyaku takut-takut. Dia mengangkat sebelah alis, dan aku menelan ludah. Tidak ada utang nyawa, atau harus menjadi istrimu, kan"
Tidak, kecuali penguasa kita membuat kesepakatan tanpa sepengetahuan kita. Ash menatap para penguasa yang berdebat. Oberon berusaha menenangkan Titania yang tak mau diam, mengalihkan kemarahannya pada Oberon, sama seperti Mab. Dan menurutku perjanjian damai sudah resmi dilanggar. Ini bisa berarti perang.
Perang" Sesuatu yang dingin menyentuh pipiku, dan aku menengadah melihat bunga salju berputar-putar di langit yang berpetir. Indah sekaligus mengerikan, dan aku bergidik. Apa yang akan terjadi"
Ash mendekat. Jemarinya menepis rambut dari wajahku, mengirimkan sentakan listrik yang menyengatku dari punggung hingga ke ujung kaki. Napas dinginnya menggelitik telingaku saat dia mencondongkan tubuh.
Aku akan membunuhmu, bisiknya, lalu melangkah pergi, bergabung dengan kakak-kakaknya di meja. Dia tak menoleh ke belakang.
Aku meraba tempat jarinya tadi menyentuh kulitku, agak melayang dan ketakutan di saat yang sama.
Hati-hati, manusia, Grimalkin muncul dari sudut panggung, dinaungi bayangan mayat chimera. Jangan sampai jatuh hati pada pangeran faery. Tak pernah berakhir baik.
Siapa yang tanya pendapatmu, aku memelototinya. Dan kenapa kau selalu muncul saat tidak diinginkan" Kau sudah mendapatkan keinginanmu. Kenapa kau masih mengikutiku"
Kau lucu, Grimalkin mendengkur. Mata emasnya menatap penguasa yang sedang bertengkar dan kembali padaku lagi. Raja dan Ratu punya kepentingan besar atasmu. Dan itu menjadikanmu pion berharga. Aku penasaran apa yang akan kaulakukan setelah tahu bahwa adikmu tak ada di wilayah Oberon"
Aku menatap Ash yang berdiri di samping kakak-kakaknya, wajahnya beku sementara perdebatan antara Mab dan Titania kian memanas. Oberon berusaha menenangkan, tapi tak berhasil.
Aku harus pergi ke Istana Gelap, bisikku sementara Grimalkin tersenyum. Aku harus mencari Ethan di teritorial Ratu Mab.
Kupikir juga begitu, kata Grimalkin, menyipitkan mata ke arahku. Hanya saja, kau tak tahu di mana letak Istana Gelap. Rombongan Mab ke sini dengan kereta terbang. Bagaimana kau akan menemukannya"
Aku bisa menyelinap masuk dalam salah satu kereta. Menyamar.
Grimalkin mendengus sambil tertawa. Jika redcap tak mencium baumu, ogre pasti bisa. Takkan ada yang tersisa selain tulang ketika kau sampai di Tir Na Nog. Kucing itu menguap dan menjilati kaki depannya. Sayang sekali kau tak punya penunjuk jalan. Seseorang yang tahu jalan.
Aku menatap si kucing, kemarahan pelan-pelan memuncak ketika menyadari maksud ucapannya. Kau tahu jalan ke Istana Gelap, kataku pelan.
Grimalkin menggosok-gosok telinga dengan cakar. Mungkin.
Dan kau akan membawaku ke sana, lanjutku, dengan sedikit bayaran.
Tidak, kata Grimalkin, menatapku. Tidak ada yang murah bila berkaitan dengan teritorial Istana Gelap. Hargaku akan sangat mahal, manusia. Jadi, kau harus menanyakan pada dirimu, seberapa berarti adikmu"
Aku terdiam, menatap meja tempat para ratu masih bertengkar.
Buat apa aku memanggil makhluk buas itu" tanya Mab mencibir pada Titania. Aku juga kehilangan banyak rakyat setiaku. Buat apa aku melepaskan makhluk itu untuk menyerang rakyatku"
Titania membalas cibiran Mab. Kau tak peduli siapa yang terbunuh, katanya sambil mendengus, asalkan keinginanmu tercapai. Ini strategi licik untuk melemahkan kami tanpa membuatmu dicurigai.
Mab marah besar, dan hujan salju semakin lebat. Sekarang kau menuduhku membunuh rakyatku sendiri! Aku tidak mau dengar semua ini lagi! Oberon! dia berpaling ke arah Erlking dengan gigi menyeringai marah. Car
i siapa yang lakukan semua ini! Dia mendesis, rambutnya bergelora di sekitar tubuhnya seperti ular. Temukan mereka dan serahkan padaku, atau kau akan menghadapi kemurkaan Istana Gelap.
Lady Mab, kata Oberon, mengangkat satu tangan, jangan buru-buru. Pasti kau menyadari apa arti semua ini bagi kita semua.
Wajah Mab tak berubah. Aku akan tunggu sampai Malam Pertengahan Musim Panas, dia mengumumkan, ekspresinya membatu. Jika Istana Terang tidak menyerahkan siapa pun yang bertanggung jawab atas kekejaman ini, kalian harus bersiap untuk perang. Dia berbalik ke anak-anaknya, yang sejak tadi menunggu perintahnya. Kirimkan penyembuh kita, kata Mab pada mereka. Kumpulkan yang terluka dan mati. Kita akan kembali ke Tir Na Nog malam ini.
Jika ingin mengambil keputusan, kata Grimalkin pelan, lakukan dengan cepat. Begitu mereka pergi, Oberon takkan membiarkanmu pergi. Kau terlalu berharga untuk dihilangkan ke Istana Gelap. Dia akan memaksamu tinggal di sini, dikurung bila terpaksa, untuk menjagamu jauh dari cengkeraman Mab. Setelah malam ini, mungkin takkan ada kesempatan untuk pergi, dan kau takkan menemukan adikmu.
Aku melihat Ash dan saudaranya lenyap dalam kerumunan fey gelap, melihat tatapan suram dan mengerikan di wajah Erlking.
Aku menghela napas dalam-dalam. Baiklah. Kita pergi dari sini.
Grimalkin berdiri. Bagus, katanya. Kita pergi sekarang. Sebelum kekacauan mereda. Dia menatap gaunku yang anggun dan mengendus-endus, mengerutkan hidung. Akan kuambilkan pakaian dan barang-barangmu. Tunggu di sini, dan berusahalah untuk tidak menarik perhatian. Dia menggoyangkan ekor, menyelinap dalam bayang-bayang, dan lenyap.
Aku berdiri di sebelah mayat chimera, menatap sekeliling dengan gugup, berusaha tak terlihat oleh Oberon.
Ada sesuatu yang kecil terjatuh dari surai singa, berkilau sejenak ketika diterpa cahaya, menimpa marmer dengan bunyi pelan. Ingin tahu, aku mendekat dengan hati-hati, tetap menjaga jarak dari bangkai raksasa itu dan beberapa redcap yang masih menggerogotinya. Benda di tanah itu bersinar seperti logam ketika aku berlutut dan mengambilnya, membalikkannya di telapak tanganku.
Bentuknya seperti kutu besi kecil, bulat dan mirip laba-laba, kira-kira seukuran kuku jari kelingkingku. Kaki besinya melingkar di perutnya, seperti kaki serangga mati. Benda itu tertutup cairan kental hitam, yang kusadari dengan ngeri adalah darah chimera.
Selagi aku memandanginya, kaki-kaki itu bergoyang, dan dia membalikkan badan di tanganku. Aku memekik dan melemparkan kutu itu ke tanah, dia merayap cepat di panggung marmer, menyelinap ke dalam celah, dan lenyap dari pandangan.
* * * AKU sedang menghapus darah chimera dari tanganku ketika Grimalkin datang, muncul entah dari mana bersama ransel oranye cerahku. Lewat sini, gumam si kucing, dan memimpinku keluar dari halaman istana memasuki deretan pohon. Cepat ganti baju, perintahnya ketika kami menunduk di bawah bayang-bayang. Kita tak punya banyak waktu.
Aku membuka ransel dan mengeluarkan baju dari dalamnya. Aku mulai melepaskan gaun, ketika menyadari Grimalkin masih menatapku, matanya bersinar di kegelapan. Apa aku bisa mendapat privasi" tanyaku. Kucing itu mendesis.
Kau tak punya apa-apa yang membuatku tertarik, manusia. Cepat.
Merengut, aku menanggalkan gaun lalu mengenakan pakaian lamaku yang nyaman. Begitu memakai sepatu kets, aku melihat Grimalkin menatap halaman. Tiga prajurit Istana Terang berjalan menuju kami, menyeberangi halaman, dan sepertinya mereka sedang mencari seseorang.
Grimalkin merapatkan telinga. Kau sudah dicari. Lewat sini!
Aku mengikuti si kucing melewati bayang-bayang ke pagar tanaman yang mengelilingi halaman. Semak-semak menyingkir ketika kami mendekat, memperlihatkan lubang sempit, hanya cukup aku masuki dengan merangkak. Grimalkin melewatinya tanpa menoleh. Aku meringis, berlutut dan merangkak masuk mengikuti si kucing, menyeret ransel di belakangku.
Terowongan itu gelap dan berkelok-kelok. Aku berulang kali terkena duri ketika bermanuver melewati labirin berduri yang membingungkan. Memaksakan diri masuk dalam satu bag
ian terowongan yang sempit, aku menggerutu ketika duri terus menyangkut di rambut, pakaian dan kulitku. Grimalkin menoleh ke belakang, mengedip-ngedipkan matanya yang berkilau ketika aku bersusah payah lewat.
Usahakan untuk tak terlalu banyak mengeluarkan darah, katanya ketika telapak tanganku tertusuk dan aku mendesis kesakitan. Saat ini siapa pun bisa mengikuti kita, kau meninggalkan jejak yang terlalu jelas.
Oh benar, aku terluka di sekujur tubuh karena iseng. Satu lagi duri menyangkut di rambutku, dan aku menariknya lepas disertai bunyi patah yang menyakitkan. Berapa lama lagi kita keluar dari sini"
Tidak jauh. Ini jalan pintas.
Ini jalan pintas" Ke mana, apa langsung menuju kebun Mab atau semacamnya"
Tidak juga. Grimalkin duduk dan menggaruk telinga. Jalur ini sebenarnya membawa kita kembali ke duniamu.
Aku mengangkat kepala tiba-tiba, duri menusuk tengkorakku dan membuat mataku berair. Apa" Kau serius" Kelegaan dan kegembiraan menerpaku; aku bisa pulang! Aku bisa bertemu ibuku; dia pasti mencemaskanku. Aku bisa masuk ke kamarku sendiri dan
Aku berhenti, balon kegembiraanku mengempis dengan cepat. Tidak. Aku belum mau pulang, kataku, merasakan tenggorokanku tercekat. Tidak, bila tanpa Ethan. Aku menggigit bibir, menguatkan hati, lalu memelototi kucing itu. Kupikir kau akan membawaku ke Istana Gelap, Grim.
Grimalkin menguap, terlihat bosan dengan semua ini. Memang. Istana Gelap terletak lebih dekat dengan duniamu dibandingkan teritorial Istana Terang. Lebih cepat memasuki dunia mortal dan menyelinap ke Tir Na Nog dari sana.
Oh. Aku memikirkan itu sejenak. Kalau begitu, kenapa Puck membawaku melewati wyldwood" Jika lebih mudah mencapai Istana Gelap dari duniaku, kenapa dia tidak melewati jalur ini"
Siapa yang tahu" Trod jalur ke Nevernever sulit ditemukan. Beberapa di antaranya terus bergeser. Sebagian besar menuju wyldwood. Sangat sedikit yang membawamu langsung ke teritorial Istana Terang atau Gelap, dan ada penjaga yang melindunginya. Trod yang kita pakai ini hanya bisa untuk satu kali jalan. Begitu melewatinya, kita takkan bisa menemukannya lagi.
Adakah jalan lain untuk masuk"
Grimalkin mendesah. Ada jalan lain ke Tir Na Nog dari wyldwood, tapi kau harus berurusan dengan makhluk-makhluk yang tinggal di sana, seperti yang pernah kau alami dengan goblin, dan mereka bukan makhluk terburuk yang bisa kau temui. Selain itu, pengawal Oberon sedang memburumu, dan wyldwood adalah tempat pertama yang mereka cari. Cara tercepat ke Istana Gelap adalah jalan yang kau lewati sekarang. Jadi putuskan, manusia. Apa kau masih ingin pergi.
Apa aku kelihatannya punya pilihan lain"
Kau sering bilang begitu, Grimalkin mengamati, tapi selalu ada pilihan. Dan aku sarankan kita berhenti bicara dan terus bergerak. Kita sedang diikuti.
Kami melanjutkan perjalanan, melalui terowongan semak berduri sampai aku kehilangan kesadaran akan waktu dan arah. Awalnya aku berusaha menghindar agar tidak tergores duri, tapi terus menerus tergores dan tertusuk, sampai akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk tak peduli lagi. Anehnya, begitu aku tak peduli, aku malah jarang tergores. Begitu aku tak lagi bergerak seperti kucing, Grimalkin berderap dengan kecepatan stabil melewati semak-semak, dan aku mengikutinya secepat yang aku sanggup. Kadang-kadang aku melihat terowongan bercabang, dan melihat sekilas bayangan bergerak melalui celah-celah semak, meskipun aku tak pernah bisa melihat dengan jelas.
Kami berbelok di tikungan, dan tiba-tiba melihat terowongan semen besar di depan. Itu pipa saluran air: aku bisa melihat langit biru dan udara bebas lewat lubangnya. Aneh sekali, dunia sebelah terang benderang.
Dunia mortal lewat sini, kata Grimalkin memberitahu. Ingat, begitu kita melewatinya, kita takkan bisa kembali ke Nevernever dari sini lagi. Kita harus mencari trod lain untuk kembali.
Aku tahu, kataku. Grimalkin menatapku lama dengan pandangan yang membuatku gelisah. Ingat juga, manusia kau pernah ke Nevernever. Glamour di matamu sudah lenyap. Meskipun mortal lain takkan melihat keanehan pada dirimu, kau
akan melihat beberapa hal secara &berbeda. Jadi berusahalah agar tidak panik.
Berbeda" Seperti apa"
Grimalkin tersenyum. Kau akan lihat.
* * * KAMI keluar dari pipa saluran air dan langsung mendengar deru mesin mobil dan lalu lintas di jalan, suatu kejutan setelah beberapa lama berada di alam liar. Kami berada di kota, gedung-gedung menjulang tinggi di sekitar kami. Trotoar berada di atas pipa saluran air; di dekatnya, lalu lintas sedang macet di jam sibuk, dan orang-orang berjalan bergegas, tenggelam dalam dunia kecil mereka sendiri. Tak seorang pun menyadari seekor kucing dan remaja lusuh berdarah-darah merangkak keluar dari dalam pipa saluran air.
Oke. Meskipun khawatir, aku senang sekali bisa kembali berada di duniaku, dan terpana oleh gedung-gedung dari kaca-dan-logam yang menjulang tinggi. Udara di sini dingin, tak begitu nyaman, dan air kotor menggenangi trotoar dan saluran air. Memanjangkan leher, aku menengadah menatap pencakar langit, merasa agak pusing karena mereka tampaknya berayun di angkasa. Tak ada hal yang seperti ini di kota kecilku di Lousiana. Di mana kita"
Detroit. Grimalkin menyipitkan mata, mengamati kotadan orang-orang yang melewati kami. Sebentar. Sudah lama juga sejak aku terakhir ke sini. Biarkan aku berpikir.
Detroit, Michigan" Ssst. Selagi Grimalkin berpikir, seorang laki-laki bertubuh besar dengan kaus bertudung merah compang-camping keluar dari kerumunan dan menghampiri kami, memegang botol dalam kantong kertas. Dia tampak seperti gelandangan, meskipun aku belum pernah melihat gelandangan. Aku tidak terlalu cemas, kami berada di jalan yang ramai, banyak saksi yang akan mendengar jeritanku jika dia mencoba macam-macam. Dia mungkin hanya ingin meminta uang kecil atau sebatang rokok, dan berlalu.
Tetapi, begitu dekat, dia mengangkat kepala, dan aku melihat wajah keriput berjenggot dengan taring mencuat keluar dari rahangnya. Dalam naungan tudung bajunya, matanya kuning dan sipit seperti kucing. Aku terlompat ketika orang itu menatapku dan mendekat. Baunya nyaris membuatku pingsan; dia tercium seperti hewan mati yang ditabrak di jalan, campuran antara bau telur busuk dengan ikan yang membusuk di bawah matahari. Aku tercekik, hampir memuntahkan sarapanku.
Gadis cantik, orang asing itu menggeram, mengulurkan satu cakarnya. Kau datang dari sana, kan" Kirim aku kembali, sekarang. Kirim aku kembali!
Aku melangkah mundur, tapi Grimalkin melompat ke tengah kami, bulunya mengembang dua kali ukuran tubuhnya. Geraman marahnya membuat laki-laki itu tersentak kaget, matanya melebar ketakutan. Dia berbalik dan kabur sambil melolong sedih, menabrak orang-orang di jalan. Mereka memaki dan melihat sekeliling, tapi sepertinya tak seorang pun yang melihat gelandangan yang melarikan diri itu.
Apa itu" tanyaku pada Grimalkin.
Norrgen. Kucing itu mendesah. Makhluk menjijikkan. Takut pada kucing, kau percaya tidak. Dia mungkin diusir dari Nevernever. Itu menjelaskan ucapannya, memintamu mengirimnya kembali.
Aku mencari si norrgen, tapi dia sudah lenyap dalam kerumunan orang. Apakah semua fey yang berkeliaran di dunia manusia adalah buangan" Aku bertanya.
Tentu saja tidak. Tatapan Grimalkin mencela, dan tak seorang pun bisa terlihat mengejek sebaik seekor kucing. Banyak yang memilih berada di sini, datang dan pergi antara dunia ini dan Nevernever atas kemauan sendiri, selama mereka bisa menemukan trod. Beberapa, seperti brownie atau bogart, menghantui sebuah rumah selamanya. Yang lain berbaur dengan masyarakat manusia, berlagak seperti mortal, mengonsumsi mimpi, emosi dan bakat manusia. Beberapa bahkan menikahi mortal yang dianggapnya istimewa, meskipun anak-anak mereka tak diakui masyarakat faery, dan orangtua fey biasanya pergi jika keadaan dirasakan terlalu berat.
Tentu saja ada juga mereka yang diusir ke dunia mortal. Mereka berusaha bertahan sekuat tenaga, tapi terlalu lama hidup di dunia manusia mengakibatkan terjadinya hal-hal aneh pada mereka. Mungkin banyaknya besi dan teknologi sangat fatal bagi keberadaan mereka. Mereka mulai kehilangan dirinya, sedikit demi sedikit, s
ampai hanya tinggal bayangan diri mereka yang dulu, cangkang kosong yang diselubungi glamour agak tampak nyata. Pada akhirnya mereka lenyap begitu saja.
Aku menatap Grimalkin dengan ngeri. Itu bisa terjadi padamu" Padaku" Aku memikirkan iPod-ku, terbayang cara Tansy melompat ketakutan menjauh darinya. Aku juga tiba-tiba teringat Robbie yang selalu bolos tanpa alasan dari semua kelas komputernya. Aku hanya menduga dia benci mengetik. Aku tak tahu benda itu mematikan baginya.
Darah Seratus Bayi 2 Saraswati Si Gadis Sunyi Karya A. A Navis Pahlawan Harapan 1
^