Pencarian

The Name Of Rose 1

The Name Of The Rose Karya Umberta Eco Bagian 1


The Name of the Rose Umberta Eco Djvu: Otoy Edit & Convert to Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Catatan Penerjemah Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada Penerbit Bentang yang telah-mengusahakan copyright novel The Name of the Rose-aslinya il nome della rosa, karya Umberto Eco, terjemahan William Weaver ke dalam bahasa Inggris, dan memercayakan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia kepada kami dan akhirnya menerbitkannya dalam bentuk buku.
Kalau pembaca sudah membaca Catatan Akhir Umberto Eco, mudahlah dipahami mengapa William Weaver yang menerjemahkan buku ini dari bahasa Italia ke dalam bahasa Inggris, mempertahankan banyak frasa dalam bahasa Latin. Kami percaya frasa Latin itu sudah tentu dipertahankan dengan pertimbangan matang, dan karenanya tetap dipertahankan dalam terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan begitu suasana dan nuansa Zaman Pertengahan tetap bisa dirasakan.
Kecuali judul buku dan apa yang dibaca dari katalog perpustakaan, kami berusaha sedapat mungkin untuk memberikan terjemahannya secara harfiah, yang dirangkum dalam catatan kaki. Untuk
itu kami berutang budi kepada Dr. I. Kuntara Wiryamartana S.J. dan Dr. Martin Sardi O.F.M. yang banyak membantu kami memahami frasa-frasa Latin tersebut.
Harapan kami, banyaknya catatan kaki tersebut tidak mengganggu, justru memberikan penjelasan kepada pembaca yang ingin memahaminya dengan baik.
Nin Bakdi Soemanto Tujuh Hari Terakhir di Labirin
St. Sunardi Saya mengenal film The Name of the Rose
lebih dahulu daripada novel il nome della ro-sa karya Umberto Eco. Film itu saya tonton pada tahun 1988 di sebuah gedung bioskop di Perugia, kota kecil di Pegunungan Italia. Sudah lama saya membaca dan mendengar posisi penting Perugia dalam sejarah gereja, terutama sejak Fransiskus dari Assisi (yang termasuk wilayah Perugia) mendirikan Ordo Fratrum Minorum (OFM, di Indonesia dikenal dengan sebutan Ordo Saudara-Saudara Dina) pada awal abad ke-13. Konon Fransiskus mendirikan ordo itu setelah dia mendengar suara Kristus yang berkata, "Fransiskus, perbaikilah rumahku yang sedang hendak roboh." Sapaan itu ditafsirkan oleh Fransiskus sebagai panggilan untuk ikut memperbaiki situasi gereja yang sedang digerogoti oleh gaya hidup kota yang membuat gereja lupa meneladani kemiskinan Kristus. Dari film itu saya ketahui beberapa hal (terutama
le-wat guru bahasa Latin dan sejarah gereja yang adalah seorang Fransiskan) namun juga terbuka ba-gi saya sejumlah peristiwa dalam sejarah gereja di Perugia yang masih harus saya pelajari lagi. Dari Perugia ternyata tidak hanya lahir seorang Santo Kemiskinan bernama Fransiskus yang pernah menggubah "Gita Sang Surya" yang amat terkenal itu namun juga lahir keputusan-keputusan keras dari Kapitel (semacam muktamar) OFM yang menggelisahkan Paus yang sedang dililit oleh godaan kekayaan.
Dari sanalah muncul keinginan saya untuk memiliki novel yang telah melahirkan film tersebut; yaitu il nome della rosa karya Umberto Eco. Dibantu dengan alur dan setting yang sudah saya saksikan lewat film, dengan kemampuan bahasa Italia yang baru dipelajari selama satu bulan, il nome bagi saya lebih mirip seperti pemacu untuk belajar bahasa Italia daripada sebuah novel. Baru kurang lebih sepuluh tahun kemudian il nome saya baca lagi dan saya bicarakan lagi dengan seorang teman di Yogya yang berminat pada sastra Italia. Saya membacanya kembali biasanya karena dua hal: untuk keperluan melihat sejarah Eropa Abad Pertengahan (khususnya saat terjadi transmisi keilmuan dari Bagdad ke Eropa) dan untuk keperluan belajar kritik sastra sebagaimana kita temukan dalam lampiran berjudul "Il postille".
Kalau il nome bisa mencapai best seller di Italia, saya tidak heran. II nome ini bisa menggaruk banyak konsumen dari berbagai segmen dengan
kepentingan yang berbeda-beda. Orang-orang yang terlibat dengan sejarah Abad Pertengahan pada umumnya, sejarah Gereja (dan secara khusus sejarah Ordo-Ordo Religius), dan kritik sastra pasti tidak akan tahan untuk tidak membaca il nome. Eco berhasil mengangkat tema lama bahkan te
ma yang jarang disentuh menjadi objek imajinasi yang menarik. Maklum, periode yang dikisahkan oleh Eco selama ini "dikunci" sebagai periode tradisional atau periode pramodern yang jarang disentuh orang-orang modern. Periode ini biasanya diandaikan begitu saja sebagai periode gelap tanpa kita tahu lebih dekat apa sebenarnya yang terjadi selama itu. Dari periode ini seakan-akan tidak ada hal-hal yang bisa dipelajari kecuali hanya sebagai objek kemarahan. Sebaliknya, orang lebih suka bicara tentang zaman Renaisans, Pencerahan, dan sebagainya dengan capaian-capaiannya yang gemilang yang menjadi fondasi zaman modern. Di tangan seorang medievalis (ahli Abad Pertengahan) dan novelis seperti Eco, periode gelap ini disajikan se-cara berbeda sampai akhirnya karyanya bisa menem-bus best seller. Ketika saya membelinya, pada hari Kamis 8 September 1988, saya menemukan bahwa novel yang muncul pertama kali pada tahun 1980 ini pada tahun 1988 sudah mencapai cetakan ke-23! Pe-nyertaan "Il postille" menunjukkan sambutan besar di kalangan pembaca di Italia. Bahkan konon di Eropa dan Amerika, The Name of the Rose telah menimbulkan "ge-lom-bang baru Abad Pertengahan" (new medieval wave).
Kalau sekarang muncul il nome dalam versi bahasa Indonesia, saya tidak tahu apakah dia akan mencapai best seller atau tidak, apakah dia bisa menimbulkan minat di masyarakat ini untuk membaca ulang abad-abad yang selama ini dicap sebagai sumber tradisionalisme atau tidak. Paling tidak, kehadiran novel ini bisa menjadi salah satu contoh novel posmodern yang menggabungkan antara "kutipan" dan fiksi, sejarah dan kisah, serta imajinasi dan semiotika. Dari segi tema, kita mendapatkan sebuah contoh novel yang mengambil persoalan keagamaan, politik, dan ilmu pengetahuan sebagai objek imajinasinya.
1. Dari Abbazia del delitto menjadi il nome della rosa
Seperti diakui oleh penulisnya, novel ini pernah mau diberi judul Abbazia del delitto (Biara Kejahatan). Karena judul ini dirasa membatasi kebebasan pembaca, Eco kemudian menggantinya dengan judul il nome della rosa (versi Inggris menjadi The Name of the Rose, dalam bahasa Indonesia kurang lebih bisa diterjemahkan menjadi "Nama Mawar"), sebuah judul yang lebih bebas ditafsirkan. Nama pertama sebenarnya juga bisa dipakai karena tema utama dalam novel ini adalah kejahatan pembunuhan yang terjadi dalam biara. Alur cerita berkembang mengikuti peristiwa-peristiwa pembunuhan dan penyelidikannya. Akan tetapi, di sela-sela alur cerita ini kita menemukan begitu banyak informasi dari Abad Pertengahan sehingga kita tidak hanya
menemukan peristiwa kejahatan melainkan juga budaya biara (cultura dell'abbazia) bahkan Zeitgeist dari periode yang sering disebut akhir Abad Pertengahan. Pembaca mempunyai begitu banyak kemungkinan untuk memberi nama novel yang begitu kaya ini. Oleh karena itu, judul il nome della rosa kemudian dipilih karena, sebagai nama, mawar bisa berarti segala-galanya atau tidak berarti apa-apa: Stat rosa pristina nomine, nomina nuda tenemus.
Materi novel ini pada awalnya merupakan kesaksian atau memoar seorang biarawan muda (monacella). Fransiskan dari Jerman bernama Adso ketika dia berada di Biara Melk selama seminggu pada tahun 1327 di akhir bulan November (menjelang hari Natal). Adso menulis (dalam bahasa Latin dengan gaya patristik-skolastik) pada akhir abad ke-14 saat dia sudah menjadi seorang biarawan matang (monaco). Pada tahun 1968 Eco menemukan versi bahasa Prancis (dengan gaya neoGothik) diterjemahkan oleh Dom J. Mabillon (dengan judul Le Manuscrit de Dom Adson de Melk, traduit en francais d'apres l'edition de Dom J. Mabillon). Kalau kisah ini terjadi pada ta-hun 1327, itu berarti bahwa kisah itu berada pada saat sejarah gereja mengalami apa yang disebut "Babylonian captivity", yaitu saat Paus meninggalkan "rumah tradisionalnya" Roma dan tinggal di Avignon (Prancis Selatan) dari tahun 1305-1377. Memang, peristiwa itu menjadi salah satu latar belakang penting dalam il nome seperti dikatakan dalam "Pro-logo"
Bagi seorang medievalis pengagum Thomas Aquinas sekaligus mengajar di Universitas Bol
ogna (salah satu universitas yang ikut membentuk budaya Abad Pertengahan) seperti Eco, dengan menerjemahkan dokumen semacam ini ke dalam bahasa Italia, dia juga melacak bekas tempat biara tersebut. Karena satu dan lain hal, dokumen yang ada di tangannya lenyap. Akhirnya, Eco menulis dokumen itu dalam bentuk novel berdasarkan catatan-catatannya dalam bahasa Italia.
Novel ini dibagi menjadi tujuh bagian, masing-masing bagian diberi judul "Hari Pertama", "Hari Kedua", dan sebagainya sampai "Hari Ketujuh". Kalau hari pertama bertepatan dengan hari Minggu (" William bertanya apakah kami bisa menemukan seseorang di skrip torium juga pada hari Minggu"), Hari Kedua dengan hari Senin, dan sebagainya, pembagian dengan nama-nama ini jelas sesuai dengan nama-nama hari dalam satu minggu. Kemudian, masing-masing bagian dibagi menjadi bab-bab mengikuti acara Ibadat Harian (Liturgia Horarum) yang lazim diadakan dalam sebuah biara. Ibadat Harian adalah doa-doa wajib yang dilakukan di suatu biara sepanjang hari. (Dalam bentuknya yang paling mendekati Ibadat Harian seperti di il nome kita bisa melihatnya di Biara Trapis di Rawaseneng, Temanggung). Ibadat ini dimulai pada pagi dini hari (maka disebut Mattunina atau Vigiliae) kira-kira pada pukul 2.30 dan berakhir pada malam hari dengan Ibadat Penutup atau Completorium sekitar pukul 18.00.
Secara keseluruhan; ibadat-ibadat harian ini bisa diurutkan demikian: Vigiliae (Ibadat Malam, 2.30-3.00), Laudes (Ibadat Pagi, 5.00-6.00), Prima (7.30), Tertia (Ibadat Siang, 9.00), Sexta (Ibadat Siang, tengah hari), Nona (antara pukul 14.00 dan 15.00), Vesperae (Ibadat Sore, 16.30), Completorium (Ibadat Penutup, 18.00). Kini ibadat ini sudah "disederhanakan": Tertia, Sexta, dan Nona disatukan menjadi Hora Media (Ibadat Siang). Dengan mengorganisasi novel lewat ukuran waktu Liturgia Horarum, il nome membawa kita pada kesadaran waktu Abad Pertengahan yang akrab dengan peribadatan.
Pada Hari Pertama, Hari Minggu, Adso mengisahkan kedatangannya bersama gurunya William Baskerville (dalam bahasa Italia disebut Guglielmo), seorang Inggris dengan tradisi intelektual Oxford, ke sebuah biara Benediktan Melk. Dia datang ke biara itu dengan tugas untuk meneliti kasus kematian seorang biarawan muda (Adelmo dati Otranto, seorang ilmuninator dalam perpustakaan) dan menjadi utusan Raja dalam pertemuan yang akan diadakan di biara itu untuk mendamaikan antara kelompok Fransiskan (yang dekat de-ngan Raja) dan kelompok Paus (dengan du-kungan para Dominikan). Biara Benediktan Melk dianggap sebagai daerah netral dan Abbasnya (pemimpin biara) yang bernama Abo diharapkan bisa menjadi mediator.
Belum mendapatkan titik terang tentang kasus kematian Adelmo, pada Hari Kedua, saat mengikuti ibadat Mattunina bersama para anggota biara lainnya, ia dikejutkan oleh sebuah peristiwa berdarah (un sanguinosissimo even to): Venantius ditemukan mati di luar. Venantius adalah juga petugas perpustakaan sahabat Adelmo. Dari informasi yang ia kumpulkan dia curiga rupanya perpustakaan di biara itu ada kaitannya dengan kematian. Oleh karena itu, dengan gaya seorang detektif dia bersama Adso memberanikan diri memasuki perpustakaan yang berada dalam Aedificium. Pada Hari Ketiga, mereka semakin yakin bahwa Venantius tidak mati bunuh diri namun terbunuh. Pada hari ketiga mereka dikagetkan oleh mayat ketiga, mayat Berengar.
Di sela-sela kesibukan memecahkan "enigma del iabirino" (teka-teki labirin) dan mengautopsi jenazah Berengar di laboratorium Severinus (dengan kesimpulan: ia mati karena keracunan), pada Hari Keempat, hari Rabu, William menerima kedatangan Michele da Cessna, delegasi dari Frati Minori atau para Fransiskan pada pagi hari. Michele adalah pemimpin Ordo Fransiskan yang sebelumnya membuat kapitel di Perugia dan keputusannya membuat Paus marah. Sore harinya (sekitar Nona), delegasi Paus Yohanes dari Avignon datang dengan anggota antara lain Kardinal del Poggetto dan Bernard Gui (nama Italianya: Bernardo Guadino), seorang tokoh inkuisisi dari Ordo Dominikan yang menulis buku pedoman inkuisisi: Practica officii inguisitionis heretic
e pravitatis. Walaupun Paus ingin membawa pertemuan ini demi "perdamaian dan kebaikan" (...), pihak frati minori, sebaliknya, merasakannya lebih seperti perang. Hari itu mereka dijamu dengan makan malam besar. Pada hari tersebut William dan Adso sangat sedih karena Salvatore, salah seorang pemberi informasi yang sangat jujur, ditangkap.
Pertemuan resmi (kapitel) antara dua delegasi diadakan pada Hari Kelima, hari Kamis, dengan tema diskusi tentang kemiskinan Kristus yang diputuskan dalam Kapitel General Fransiskan di Perugia pada tahun 1322. Hasilnya (sangat mengecewakan William): Kardinal del Poggetto melihat tafsiran kemiskinan Kristus itu sebagai bidah, Remigio ditahan dengan tuduhan bidah. Pada hari ini mayat baru juga ditemukan. Severinus yang banyak membantu William mengautopsi mayat-mayat sebelumnya kini menjadi korban. William dan Adso yakin mulai memfokuskan buku aneh ("un strano iibro"). Hari ini ditutup dengan upacara, dengan khotbah panjang yang disampaikan oleh Jorge dengan tema: bahaya kedatangan Antikristus.
Pada Hari Keenam, hari Jumat, mayat baru masih juga ditemukan. Kali ini kematian justru menimpa Maleakhi seorang bibiiothecaricus yang justru dicurigai William sebagai dalangnya. Adelmo, Venantius, Berengar Severinus, dan Maleakhi telah menjadi korban pembunuhan misterius. Abo, pemimpin biara, mengeluh kepada William: "Terlalu lama, rupanya. Saya harus mengaku, frate William, bahwa saya mengharapkan terlalu banyak dari Anda. Enam hari sejak Anda datang di tempat ini, empat biarawan mati, di samping Adelmo, dua orang ditahan oleh Inkuisisi itu keadilan, tentu, tapi kami sebenarnya bisa menghindarkan rasa malu ini seandainya inkuisitor tidak terlalu peduli dengan kejahatan sebelumnya dan akhirnya pertemuan yang saya jembatani, hanya karena perilaku jahat ini memberikan hasil yang pedih ..." Begitulah "hasil" pe nyelidikan kejahatan dan pertemuan sampai hari keenam. Biara Melk (dan William) gagal menjadi perantara, sementara penyebab kematian masih belum terungkap. Pihak Avignon, sebaliknya, merasa menang dengan mengadili Remigio sebagai bidah dan menjadikannya sebagai kambing hitam kasus-kasus pembunuhan di biara itu. Lebih dari itu, mereka juga berhasil menyandera Michele da Cessna untuk dibawa ke Avignon. Namun, akhirnya pada tengah malam William berhasil masuk ke finis Africae, tempat misteri perpustakaan.
Seluruh misteri ini terbuka pada Hari Ketujuh saat William menghubungkan orang dan hal-hal yang ia curigai: Jorge de Burgos, Secretum finis Africae, racun, buku misterius. "Hai vinto Kau menang," kata Jorge pada William. Di luar biara, dekat Aedificium petugas inkuisisi dengan bangga membakar para bidah. Sementara itu, di dalam Aedificium, William dan Adso berjuang melawan api yang sedang melalap seluruh bangunan dan buku-buku berharga.
Begitulah alur cerita "detektif yang terjadi pada biara Benediktan Melk yang menjadi tempat pelarian orang-orang yang dikejar petugas inkuisisi, menjadi tempat penyimpanan buku-buku yang
dikumpulkan dari berbagai daerah dan berbagai zaman. Dari alur sebagaimana diceritakan di atas, novel ini memang bisa saja diberi judul Abbazia del delitto karena novel ini ditata mengikuti kejahatan kriminal yang terjadi di Biara Melk serta usaha pengungkapannya. Novel ini juga bicara tentang biara Benediktus Melk yang menjadi pelarian para bidah Fransiskan yang dikejar-kejar oleh petugas inkuisisi yang didominasi para Dominikan.
Akan tetapi, di luar alur ini kita mendapatkan berbagai macam informasi tentang kehidupan biara pada khususnya dan kehidupan gereja pada Abad Pertengahan pada umumnya. Informasi-informasi ini menjadi kekuatan tekstual untuk membentuk ritme kehidupan biara dengan budayanya (cultura dell'abbazia). Secara struktural, informasi-informasi ini memang kurang menduduki posisi penting dalam perkembangan kisah. Akan tetapi, informasi-informasi itu punya peran penting dalam pembentukan dunia literer yang masih akan kita bahas kemudian. Informasi-informasi ini meliputi seluk beluk kehidupan baik dalam biara (kapel dan doa hariannya, perpustakaan dan kegiatan di d
alamnya, dapur dan orang-orang yang lalu-lalang di desa di sekitarnya), maupun di luar biara (situasi politik baik sezaman maupun sebelumnya).
Kalau kita memerhatikan cara berkembangnya kisah yang pelik namun tetap enak diikuti, kita melihat Eco sebagai seorang storyteller yang ulung; sedangkan kalau kita memerhatikan informasi-informasi tentang Abad Pertengahan yang disajikan
secara selektif, kita melihat Eco sebagai se-orang medievalis yang erudit. Melalui informasi-informasi ini, kita bisa mencium aroma Abad Pertengahan lewat buku-buku yang apak, melihat keseriusan wajah-wajah para penghuninya yang dibungkus dengan habitus atau pakaian biara berwarna hitam, menyaksikan kebengisan para petugas inkuisisi, mendengarkan amarah mereka yang sedang berseteru, melihat gerak-gerik seorang monacello Adso yang masih lugu (termasuk saat bersetubuh dengan fanciulla belia dari desa dekatnya!), nasib buku-buku artes liberates yang disingkirkan, mencium bau lezat hidangan yang disuguhkan pada para delegasi, dan sebagainya. Belum lagi, kita disodori dengan "sejarah pemikiran" dari pemikiran Virgilius yang puitis, kelompok Universitas Paris yang spekulatif, sampai dengan kelompok Oxford yang empiris. Kalau Eco mengatakan bahwa dia bercerita dalam Abad Pertengahan daripada bercerita tentang Abad Pertengahan, hal itu memang benar. Dengan begitu dia bisa mengonstruksi cultura dell'abbazia. Pembaca mendapatkan ruang begitu luas dan sudut pandang yang bermacam-macam untuk mengatakan sendiri (sesuai dengan kondisi kultural dan ideologisnya masing-masing) apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalamnya. il nome della rosa adalah judul "paling netral" yang ditawarkan Eco daripada Abbazia del delitto yang terkesan membatasi pembaca.
2. Intertekstualitas Kesan paling mencolok ketika kita membaca il nome adalah kuatnya intertekstualitas. Novel ini terus-menerus bicara tentang teks-teks lain. Sudah sejak kalimat pertama dalam "Prologo" dia menggunakan teks lain: "Pada awalnya adal-ah Sabda dan Sabda bersama Allah dan Sabda adalah Allah". Lihatlah, Eco tidak ragu-ragu menggunakan sebuah teks mapan, ortodoks, doktrinal, dan bahkan biblis (di sini dia mengambil ayat dari Injil Yohanes). Hanya pengarang yang cukup punya energi yang berani menggunakan teks semacam ini. Penggunaan teks-teks lain ini terus-menerus berjalan sampai dengan akhir bukunya. Teks-teks ini diambil dari mana saja: dari Injil, pikiran para teolog, ilmu pengetahuan dari Yunani, dan sebagainya. Ada yang bisa langsung kita kenali dengan cepat dan ada yang tercium samar-samar saja. Ada yang ditulis dengan tanda kutip ("...") dan ada yang dipakai begitu saja. Karena pemakaian teks-teks ini begitu konstan dan masif, cara ini bisa menjadi salah satu teknik penyusunan sebuah novel.
Tentang teknik intertekstual ini Eco membahas dalam bukunya The Limit of Interpretation. Kegunaan dan risiko menggunakan teks-teks lain dikatakan oleh Eco demikian:
"Persoalan intertekstual itu sendiri sudah dielaborasi dalam kerangka refleksi tentang seni 'tinggi'. Meskipun demikian, sejumlah contoh yang diberikan di atas [Paiders of the Lost Ark,
Bananas, dan ET] diambil secara provokatif oleh dunia komunikasi massa untuk menunjukkan bagaimana bentuk-bentuk dialog intertekstual ini sampai sekarang su-dah diterapkan dalam bidang produksi populer. Gejala ini merupakan ciri khas apa yang disebut sastra dan seni posmodern (bukankah hal itu sudah terjadi pada musik Stravinsky") dengan mengutip menggunakan (kadang-kadang dengan berbagai bungkus stilistis) tanda kutip sehingga pembaca tidak memerhatikan isi kutipan melainkan cara di mana kutipan dari teks pertama dimasukkan ke dalam jalinan teks kedua. Renato Barilli [dalam 'Dalleggibile all'illeggibile', 1984] mengamati bahwa salah satu risiko prosedur ini adalah kegagalan memperjelas tanda kutip sehingga apa yang dikutip diterima oleh pembaca yang naif sebagai temuan orisinal dan bukannya sebagai referensi ironik."
Jadi, intertekstualitas lazim dipakai dalam seni atau sastra posmodern; mula-mula dipakai dalam seni tinggi namun kini sudah lumrah dipa
kai dalam budaya pop. Dalam seni semacam ini, teks lain dikutip bukan sebagai temuan melainkan sebagai referensi ironik. Kalau itu adalah fungsi intertekstual, seluruh il nome adalah sebuah korpus tekstual ironik atas Abad Pertengahan dan secara khusus atas budaya abbazia. Bagi orang yang sudah terbiasa dengan tradisi Abad Pertengahan,
kutipan ini memang bi-sa bersifat ironik. Bagaimana dengan kita yang belum terbiasa dengan budaya tersebut" Bukankah itu adalah sebuah temuan orisinal" Bukankah suatu kutipan dalam novel tidak jauh dari buku ilmiah" Bagi orang Barat (Eropa pada khususnya), kutipan-kutipan yang diambil dalam il nome sebagian besar sudah jelas asal muasalnya, sudah terang kelompok-kelompok sosial yang memakai, sudah bisa dikenali fungsi penggunaannya. Bagi kita yang tidak terlalu akrab, fungsi ironik dari suatu kutipan barangkali tidak cepat tertangkap. Saya menduga latar belakang ini bisa menjadi salah satu penyebab lambatnya perjalanan teks.
Oleh karena itu, "II postille" (1982) yang disertakan dalam il nome tiga tahun kemudian bisa amat membantu untuk memahami il nome. Hanya saja kita harus hati-hati bahwa "II postille" bukanlah tafsiran resmi dari il nome, "II postille" bukanlah signified dari signifter II nome. Betapapun cerdas "il postille" membaca il nome, dia tetap menjadi satu di antara bacaan-bacaan kita. Eco sadar betul dengan kedudukan "II postille" itu dengan mengakui bahwa "seorang autore harus mati begitu menyelesaikan tulisannya" ("l'autore dovrebbe morire dopo aver scritto"). Jadi, "II postille" bukan-lah suara autore dari il nome me-lainkan suara salah satu pembaca. Meskipun demikian, "il postille" bisa membantu kita untuk membaca il nome karena "II postille" bicara tentang kondisi-kondisi yang menghasilkan teks il nome.
Kondisi-kondisi ini bisa menjadi pertimbangan ekstratekstual untuk memahami teks il nome dan bukannya untuk mengganggu jalannya teks itu sendiri.
Catatan kedua sehubungan dengan interteks-tualitas, kita bisa bertanya, pada level mana suatu teks dalam kisah menunjuk teks lainnya" Suatu teks bi-sa berinteraksi dengan teks lain bukan hanya kalau teks itu diberi tanda ku-tip. Dalam il nome, kekuatan untuk menunjuk teks-teks lain juga muncul dari nama entah orang, judul buku, nama tempat bahkan gaya. Nama-nama seperti Isidorus dari Sevilla, Thomas Aquinas, William of Ockham, dan sebagainya bukanlah sebuah nama-nama diri melainkan menghadirkan rangkaian teks panjang yang kadang-kadang dibahas il nome dengan gaya argumentasi seperti para profesor silogisme di Universitas Paris, kemudian dengan gaya bahasa orang-orang kudus dengan penuh kesalehan, waktu lain dengan gaya Apokalips Yohanes. Jadi, ironi tidak hanya dengan jalan mengutip melainkan juga dengan menggunakan cara bicara (retorik) suatu kelompok masyarakat. Di sini Eco tidak mengutip kata-kata melainkan menirukan cara berbicara. Begitulah il nome membicarakan Abad Pertengahan dan/atau budaya abbazia, bicara ten-tang dirinya sendiri, daripada bicara tentang Abad Pertengahan. Di sini intertekstual dipilih sebagai tekniknya. Hasilnya: ironisasi.
3. Abduksi "Saya merasa sedih. Selama ini saya selalu yakin bahwa logika adalah senjata universal dan kini saya menyadari bagaimana ternyata validitasnya tergantung pada cara kita menggunakan logika tersebut. Dari sisi lain, dengan selalu hadir pada Guru saya, saya mulai menyadari dan terlebih pada hari-hari selanjutnya bahwa logika bisa sangat berfaedah dengan syarat kita memasuki logika itu dan kemudian kita keluar lagi."
Begitulah Adso mulai meragukan kekuatan mutlak logika. Logika yang dimaksud tidak lain adalah logika Aristotelian. Untuk menelusuri kasus-kasus kemati-an di biara, senjata logika Aristotelian ternyata tumpul. Orang hanya menemukan kasus-kasus kematian berupa mayat. Orang masih harus mencari penyebabnya. Sejauh itu, dilihat dari tempat ditemukannya mayat, orang mengira bahwa penyebab kematian adalah bunuh diri. Mengapa bunuh diri" Sam-pai seberapa banyak orang bunuh diri" Sebagai seorang mantan inkuisitor, sejak kedatangannya di biara itu William Baske
rville berusaha mencari informasi sebanyak-banyaknya, menghubungkan satu dengan lainnya untuk mendapatkan titik terang bagi penyebab kematian Adelmo dati Otranto. Strategi yang dipakai William ini bisa disebut abduksi (abduction). Abduksi adalah cara penalaran yang dibedakan dari induksi dan deduksi. Dalam il nome, deduksi ini dipakai oleh
Adso yang sangat setia dengan silogisme Aristotelian, sedangkan induksi oleh Seve-rinus. Di samping itu, ada cara-cara lain untuk memahami ber-bagai peristiwa seperti biblis (terutama dengan menggunakan "ramalan" dalam Kitab Apokalips Yohanes).
Perdebatan tentang pencarian penalaran yang paling tepat bisa kita lihat dalam dialog ini:
"Saya benar-benar tidak mengerti," kata Severinus. "Dua orang mati, keduanya dengan jari-jari hitam. Apa yang bisa kamu deduksi [dedurre] darinya""
"Saya tidak mendeduksi apa-apa: nihil sequitar geminis ex particu-laribus unguam. Kedua kasus itu seharusnya dikembalikan lagi [ricondurre] pada suatu hukum [regola]. Misalnya, terdapat bahan yang memberikan noda hitam pada jari orang yang menyentuhnya
Dengan penuh rasa kemenangan saya [Adso] melengkapi silo-gisme: "Ve-nantius dan Berengar memiliki jari hitam, ergo mereka te-lah menyentuh bahan itu."
"Bravo Adso," kata William. "Sayangnya bahwa silogismemu tidak valid karena aut semel aut iterum medium generaliter esto, dan bahan silogisme ini term tengah tidak pernah tampak sebagai universal. Tanda yang kita pilih dengan tidak tepat [adalah] premis mayor. Saya tidak harus mengatakan bahwa semua orang yang menyentuh bahan tertentu
memiliki jari-jari hitam. Saya harus mengatakan bahwa semua orang dan hanya semua orang yang mempunyai jari hitam pasti telah menyentuh suatu bahan yang ada. Venantius dan Berengar, dan sebagainya. Dengan apa kita punya Darii, silogisme ketiga yang sempurna dari figur silogistik per-tama""
Itulah perdebatan tentang silogisme yang membuat Adso merasa sedih karena selama ini dia terlalu percaya pada silogisme. Lewat William, dia diingatkan untuk tidak memutlakkan silogisme deduktif. William memperkenalkan Abduksi di tengah-tengah orang yang tergila-gila pada Deduksi (seperti Adso) maupun Induksi (seperti Severinus). Lewat Abduksi, William ingin menemukan hukum umum (regola) atas dasar kasus-kasus yang ada. Dengan menemukan hukum dan kasus dia akan menarik hipo-tesis. Lewat hipotesis semacam inilah dia kemudian melakukan penyelidikan secara sistematis. Memang, seperti diperingatkan Severinus, ada bahaya orang akan cepat-cepat menyimpulkan. William sadar betul dengan bahaya itu. Lewat metode abduksi itu dia hanya ingin tidak menutup berbagai hipotesis sekalipun hipotesis itu secara sepintas terkesan aneh. Abduksi hanya dimaksudkan untuk mencari tahu "sesuatu yang mungkin bisa terjadi". Abduksi berusaha menggabungkan antara metode deduksi dan induksi. Dari deduksi dipinjam silogismenya dan dari induksi dipinjam cara pengamatan empirismenya. Hasilnya
adalah sebuah hipotesis. Tentang abduksi (yang dipinjam Eco dari Peir-ce) dibahas Eco dalam The Theory of Semiotics maupun The Limit of Interpretation. Dalam buku per-tama, Eco membahas abduksi dalam konteks "Teori Kode" dan secara khusus dalam konteks "Overcoding in Uqbar" Eco meneliti Uqbar karya Bor-ges. Lewat contoh-contoh yang sudah amat terkenal dan banyak dipakai, Eco membedakan deduksi, induksi, dan abduksi sebagai berikut. Deduksi: Semua kacang dari karung ini berwarna putih, Kacang ini berasal dari karung ini, Kacang ini berwarna putih. Induksi: Kacang ini berasal dari karung ini, Kacang ini berwarna putih, Semua kacang dari karung ini berwarna putih. Abduksi: Semua kacang dari karung ini berwarna putih, Kacang ini berwarna putih, Kacang ini berasal dari karung ini.
Kita melihat bahwa di dalam Deduksi kita tahu aturan umum dan kasus, kemudian kita menarik kesimpulan secara deduktif, dan hasilnya adalah validitas logis. Dalam Induksi, kita mempunyai kasus dan akibat, kemudian kita mengasumsikan sebuah aturan umum, hasilnya adalah probabilitas. Dalam Abduksi, kita mempunyai aturan umum dan akibat kemudian kita menarik sebuah
kasus, hasilnya adalah probabilitas . Secara ringkas, Eco menjelaskan pentingnya Abduksi demikian:
"Pada kenyataannya, karena kita tidak tahu berapa banyak percobaan yang diperlukan
sebelum Induksi dapat dianggap sebagai Induksi yang baik, kita benar-benar tidak tahu apa itu Induksi yang valid. Apakah sepuluh percobaan cukup" Mengapa tidak sembilan" Atau delapan" Dan mengapa bukan malah satu"
Pada titik ini, Induksi bergerak melampaui dan menciptakan ruang bagi Abduksi. Dengan Abduksi saya menemukan diri saya dikonfrontasikan dengan hasil yang aneh dan tak terduga. Dengan mengambil contoh kita, saya mempunyai satu kantong kacang di meja, dan di sampingnya, juga di atas meja, terdapat segenggam kacang putih. Saya tidak tahu bagaimana segenggam kacang itu bisa berada di sana atau siapa yang menaruh kacang itu di sana, atau bah-kan dari mana kacang itu berasal. Anggap saja hasil ini meru-pa-kan kasus yang aneh. Sekarang saya perlu menemukan Hukum ....
Pada titik ini saya menciptakan suatu conjecture: saya meneore-ti-sasi suatu Hukum ...."
Saya bicara tentang abduksi agak panjang karena metode ini memang sangat kental dalam seluruh il nome. Metode abduksi bukan hanya dipakai oleh tokoh seperti William namun sudah menjadi landasan struktur il nome. zz Dengan membaca il nome dari perspektif abduksi, kita sebenarnya langsung tahu alur cerita il nome. Eco bahkan menggunakan idiom-idiom teori abduksi
secara verbatim. Langkah-langkahnya mulai kelihatan saat William bersama Severinus memeriksa lidah dan tangan para korban: semuanya berwarna hitam. Jadi, William menemukan "kasus": semua ujung jari dan lidah para korban berwarna hitam (lalu mati). Untuk sampai ke sana, William minta informasi dari Severinus bahwa itu adalah benar-benar racun yang mematikan dan minta kepastian juga bahwa di biara itu ada atau pernah ada racun yang mematikan. Kemudian dia mencari "rule" umum yang bisa dipakai untuk menjelaskan kasus tersebut. Aturan ini ia dapatkan dari Severinus bahwa memang pernah ada racun mematikan yang dibawa dari seorang biarawan namun sekarang lenyap. Dari dua informasi dan ditambah dengan imajinasi kreatifnya, William kemudian menarik hipotesis atau melakukan "the inference of a case from a rule and a result". Hipotesis ini kurang lebih berbunyi demikian: Ada racun mematikan di biara, Orang-orang ini mati karena keracunan, Orang-orang ini mati karena keracunan tersebut. Hipotesis ini dijadikan dasar bagi penyelidikan selanjutnya. Sisa waktu yang ada digunakan untuk menjelaskan bagaimana racun itu ada di dalam perpustakaan. Hipotesis ini menjadi "misteri terletak di perpustakaan". Kisah-kisah lainnya hanyalah sophistication atau perumitan sehingga menjadi menarik. Dengan menyusun alur kisah melalui logika semacam ini, tidak mengherankan kalau novel ini menjadi novel "detektif dalam arti sedalam-dalamnya. Teresa
menyebut struktur il nome "investigative and inferrial [abductive] structure".
Jadi, logika abduksi bukan hanya menjadi pesan yang ingin disampaikan lewat il nome namun juga menjadi struktur seluruh novel. Sebagai pesan, abduksi didampingkan dengan logika deduksi seperti dipraktikkan oleh para petugas inkuisisi. Sebagai pesan abduksi juga dipersonifikasi oleh Adelmo seperti diakui sendiri oleh Maleakhi. Hal ini diakui sendiri oleh Maleakhi: "Adelmo dati Otranto, karena usianya yang masih muda, hanya bekerja pada marginalia. Dia memiliki imajinasi sangat hidup dan dari hal-hal yang mencolok dia mampu menyusun komposisi tentang hal-hal yang tidak diketahui dan menakjubkan seperti orang yang menyatukan tubuh manusia dengan leher kuda. Lihat buku-bukunya ada di bawah sana. Belum ada orang yang menyentuh mejanya." Marginalia adalah ga-ris margo yang diberi ilustrasi untuk mengomentari isi buku dan dia di-akui sebagai salah satu ilustrator paling berbakat ("miniatori piu valenti").
Jadi, di sini kita melihat dua macam inkuisisi: inkuisisi sejati dan in-kuisisi formal. Inkuisisi sejati adalah sebuah penelitian untuk mencari kebenaran. Inkuisi formal, sebaliknya, tidak punya minat untuk memeriksa. Maunya ha-nya menghukum
. 4. The Possible World: Labirin
"Jiwa menjadi cerita hanya kalau mengontem-plasikan kebenaran dan mencapai kenikmatan dalam kebaikan, kebenaran dan kebaikan tidak
ditertawakan. Itulah sebabnya Kristus tidak pernah tertawa. Senyum merangsang keraguan."
Hari kedua pengalaman Adso berada di Biara Melk membuatnya bertanya-tanya tentang dunia yang sedang ia jalani. Ia mulai menggugat ayahnya yang telah mengirimnya untuk menjadi seorang biarawan Fransiskan. Untung saja sebagai seorang monacello Adso memiliki seorang Guru yang penuh pengertian yang bisa membimbingnya untuk belajar dari situasi hidup yang sulit. Ia kadang-kadang malah diajak William untuk menertawakan apa yang sedang mereka jalani. Ia merenungkan hidupnya itu saat siesta:
"Kemudian William menyuruhku untuk istirahat. Ketika berbaring saya menyimpulkan bahwa ayah saya seharusnya tidak usah mengirimkan saya ke dunia yang ternyata lebih rumit daripada yang saya pikirkan. Saya sedang belajar begitu banyak hal." Kemudian dia menutup dengan sebuah doa "Salva me ab ore leonis Selamatkan saya dari mulut singa. "
Begitulah Adso berada dalam ambang putus asa. Dunia yang ia masuki ternyata tidak seindah dan setenteram yang ia pikirkan sebelumnya. Dalam il nome tak ada ungkapan yang lebih tepat untuk melukiskan dunia semacam ini kecuali kata labyrinthus labirin, dan tak ada gambaran yang
lebih tepat tentang labirin kecuali perpustakaan yang berada dalam Aedificium. Adso dan William baru benar-benar merasakan labirin itu pada hari keempat khususnya pada malam hari, sesudah Komplina. Sebelumnya, mereka hanya mendengar ucapan kata labirin itu dari Alinardo dari Grottaferrata yang menyebut bahwa perpustakaan adalah labirin. Mendengar pengakuan ini William balik bertanya: "Perpustakaan adalah labirin"" Kemudian Alinardo menjawab:
"Nunc mundum tipice labyrinthus denotat ille. Intranti largus, redeunti sed nimis artus. Perpustakaan adalah sebuah labirin besar, tanda dari labirin du-nia. Begitu kamu masuk, kamu tak tahu lagi apakah kamu bisa keluar atau tidak. Kamu tidak bisa melewati pilar-pilar Hercules ...."
Ungkapan yang diucapkan Alinardo, seorang monaco senior ini, memang tepat untuk melukiskan "dunia yang lebih rumit daripada yang saya pikirkan". Hanya saja, Alinardo membiarkan labirin sebagai labirin, dia tidak ingin melangkahkan kakinya ke sana, dia mendengar peristiwa-peristiwa mengerikan dan wajah-wajah seram di sana namun dia tidak menelitinya. Adso sebaliknya, berkat tugas yang sedang dilakukan oleh William, mau tidak mau harus memasuki labirin itu. Mereka berdua tidak bisa menghindar seperti Alinardo dan para biarawan lainnya; lebih daripada itu, mereka harus bisa masuk
dan keluar dengan membawa hasil dan bukannya seperti sejumlah biarawan yang bisa masuk namun berakhir de-ngan kematian. Jadi, mereka harus bisa masuk, bisa keluar lagi, dan membawa hasil.
Labirin sebagai metafor dunia secara khusus bisa kita kaitkan dengan dunia Abad Pertengahan yang sedang dikisahkan dalam il nome. Dengan demikian, seluruh teks kisah il nome sesungguhnya adalah sebuah strategi untuk memasuki dan keluar dari labirin dunia Abad Pertengahan. Bagaimana mundus labyrhinthus Abad Pertengahan ditata dalam il nome"
Tanda paling jelas yang kita temukan dalam il nome adalah cara mengatur dan menghayati waktu. Tidak sulit bagi kita untuk menentukan makna simbolis struktur novel ini yang mengambil tujuh hari dengan jadwal ibadat harian. Tujuh hari adalah simbol sejarah dalam waktu dan Liturgia Horarum adalah Abad Pertengahan. Tujuh hari terakhir sebagaimana diceritakan dalam il nome tidak lain adalah akhir dari Abad Pertengahan. Gereja yang telah ikut mengharumkan Abad Pertengahan sampai mencapai Renaisans abad ke-12 ikut menghancurkan apa yang telah dilahirkannya sendiri. Saya merasa sah menafsirkan gejala-gejala Abad Pertengahan dengan cara yang kurang lebih demikian. Jadi, novel ini adalah sebuah novel tentang Abad Pertengahan. Eco tidak hanya menafsirkan Abad Pertengahan secara semiotik namun juga minta supaya hasil laporan tafsirannya dibaca secara semiotik pula ata
u paling tidak ada dalam posisi untuk ditafsirkan demikian.
Akan tetapi, tujuh hari dengan pembagian waktu menurut Liturgia Horarum terjadi tidak mulus. Sebagaimana Aedificium yang dari luar tam-pak megah dan gagah, kehidupan ibadat yang ditata lewat Liturgia Horarurn punya arti lain bagi para penghuninya.
Dunia hierarkis Abad Pertengahan didukung dengan logika Aristotelian. Sebagai labirin, ada wilayah yang tidak boleh dimasuki. Ada wilayah yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang tertentu. Perpustakaan sebagai labirin berada dalam kekuasaan Abo, seorang Abbas.
Barangsiapa mem-butuhkan sesuatu dari dalam dunia labirin, dia harus menyebutkan barangnya, petugas akan menentukan boleh dan tidaknya. Tidak semua orang boleh masuk ke dalam perpustakaan karena di sana ada buku-buku yang mematikan. Mengapa mematikan" Menurut William, wajah mematikan itu bisa dibaca dalam wajah Jorge. Ketika ditanya "Wajah siapa", William dengan tegas mengatakan, "Jorge, dico Aku bilang: Jorge." Kemu-dian dia meneruskan alasannya:
"Dalam wajahnya yang dihancurkan oleh kebenciannya atas filsafat, saya menyaksikan untuk pertama kalinya gambar Antikristus, yang tidak datang dari suku Yudas seperti dimaui oleh para pewarta, juga bukan dari tanah seberang yang jauh. Antikristus bisa lahir dari kesalehan itu sendiri (stessa pieta), cinta yang
berlebihan pada Allah atau kebenaran, seperti halnya seorang bidah lahir dari orang suci dan orang kesurupan dari orang yang melihat vision. Takutlah, Adso, pada para nabi dan mereka yang bersedia mati demi kebenaran, yang biasanya mereka mengajak banyak orang mati bersama mereka, sering kali sebelum mereka, kadang-kadang demi mereka. Jorge telah menyelesaikan sebuah karya iblis (opera diabolica) karena dengan cara licik dia mencintai kebenarannya sehingga dia tidak takut apa-apa untuk menghancurkan kepalsuan. Jorge takut atas buku kedua Aristoteles [Poesia] karena buku itu barangkali benar-benar mengajarkan untuk mendeformasi wajah setiap kebenaran supaya kita tidak menjadi budak fantasma kita. Barangkali tugas mereka yang mencintai manusia adalah membuat kebenaran tertawa, membuat kebenaran tertawa, karena satu-satunya cara menuju kebenaran adalah belajar membebaskan diri kita dari nafsu tidak sehat akan kebenaran.
Mundus labyrinthus dunia labirin muncul karena ketakutan. Logika Aristotelian menjadi fondasi untuk membangun sebuah labirin karena salah pakai. Logika Aristotelian menghasilkan cara berpikir yang valid namun tidak pernah bisa bicara banyak tentang kasus-kasus empiris yang terjadi. Gaya labirin adalah gaya yang mengandalkan hukum
umum. Sementara hukum umum ini ditentukan oleh yang berkuasa untuk kepentingan lain. Ada banyak cara untuk mempertahankan dunia semacam ini termasuk lembaga inkuisisi, penguasaan para teolog, baik oleh Raja maupun Paus.
Bersamaan dengan gambaran tentang dunia labirin tersebut, kita melihat dunia lain, possible world, yang diimajinasikan dalam il nome. Dunia yang dimaksud adalah dunia penuh tawa. Tertawa adalah bagian dari cara orang melihat kebenaran, melihat dunia. Tertawa adalah cara orang melihat kebenaran supaya tidak menjadi dogma. Tertawa juga menjungkirbalikkan apa yang sudah ada. Dunia yang dilukiskan oleh Adelmo dalam marginalia adalah "dunia lain". Dalam il nome, dunia semacam ini dicita-citakan dan dirintis oleh orang-orang abduksionis (kalau saya bisa menggunakan istilah ini) seperti William, Adso, dan Adelmo.
Terlepas dari itu semua, dunia lain yang coba diangkat oleh il nome adalah dunia yang mencoba mendudukkan kembali pembagian dunia keilmuan. Persoalan ini sedikit banyak juga membekas dalam cara biara itu mengurus perpustakaan. Dalam Abad Pertengahan, puncak dari hierarki ilmu diduduki oleh hukum dan teologi. Tidak mengherankan bahwa dalam sistem universitas pada Abad Pertengahan misalnya di Universitas Bologna dan Universitas Paris hanya orang yang sudah menyelesaikan hukum atau teologi yang berhak menyandang gelar doktor. Kedua ilmu ini sering disebut ratu segala ilmu. Sedangkan ilmu-ilmu lainnya yang dikenal
dengan artes liberales menduduki po
sisi di bawahnya, sebagai ilmu-ilmu bantu. Sudah sejak abad ke-12 di Paris ada persaingan antara para pendukung artes liberates dan para pengelola universitas yang ingin tetap mem-pertahankan ideologi sebagai puncak ilmu. Dalam il nome, sebagaimana kita temukan dalam Biara Melk, kita masih menyaksikan sisa-sisa persaingan ini.
Apakah Melk merupakan simbol benteng biara terakhir bagi artes liberales" Rupanya begitu. Paling tidak, di sana kita menyaksikan nasib buku-buku artes liberates yang coba disembunyikan dari mata-mata pikiran yang terus mencari ilmu dari mana saja asalnya. Dari sisi lain, kita menyaksikan kekuatan ratu segala ilmu yang sudah terlembagakan dalam tata tertib (Regula) dalam biara itu. Eco memasukkan tradisi keilmuan lainnya, terutama dari para pemikir di Oxford. Sejumlah penafsir bahkan berpendapat (dan pendapat ini memang sangat beralasan) bahwa William Baskerville dalam il nome tidak lain adalah personifikasi semangat keilmuan William of Ockham, yaitu "filsuf empiris, politisi Fransiskan yang mengajar di Oxford dan yang, setelah dipanggil ke Avignon oleh Yohanes XXII dengan tuduhan bidah, berusaha mencari perlindungan di istana Louis Bavarian dan menjadi pendukungnya". William of Ockham mengajar di Oxford dari tahun 1318 sampai 1324 dan dikenal sebagai seorang Nominalis. Ilmuwan lainnya yang mendapat tempat istimewa dalam tulisan ini adalah Roger Bacon (1214-1294), juga seorang biarawan
Fransiskan, yang banyak melakukan penelitian eksperimental berkat bacaannya atas karya-karya ilmiah yang tertulis dalam bahasa Arab.:: Bacon juga mengajar di Oxford dari tahun 1240 sampai 1247. Seperti diketahui, dalam sejarah universitas, Bologna menjadi pusat kajian hukum, Universitas Paris menjadi pusat kajian Teologi, dan Oxford menjadi pusat kajian ilmu-ilmu empiris. Dalam il nome, Biara Melk diimajinasikan sebagai focal point yang mempertemukan berbagai tradisi keilmuan ini dan dibumbui dengan kepentingan politik serta semangat keagamaan yang menyertainya. Dengan demikian, il nome bisa berfungsi sebagai cermin yang sedang mendeformalisasikan gambaran tentang dunia Abad Pertengahan selama ini, yaitu dunia yang ditata sesuai dengan Aristotelianisme yang sudah dikristenkan.
Yogyakarta, Menjelang 'Id al-Fitr 1424, Menjelang Natal 2003
Tentu Saja, Satu Naskah Pada 16 Agustus 1968, saya mendapatkan sebuah buku karya seorang Wakil Abbas[Pemimpin biara petapaan-pen], yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, berjudul, Le Manuscrit de Dom Adson de Melk, traduit en francais d'apres l'edition de Dom J. Mabillon (Aux Presses de l'Abbaye de la Source, Paris, 1842). Dilengkapi dengan informasi historis yang sungguh langka, buku itu mengklaim telah meniru secara tepat sebuah naskah dari abad keempat belas, yang kemudian ditemukan di dalam Biara Melk oleh seorang terpelajar abad kedelapan belas. Darinya kita mendapatkan begitu banyak informasi tentang sejarah Ordo Benediktin. Penemuan ilmiah ini (yang saya maksudkan dengan ini adalah penemuan saya, ketiga dalam urutan kronologis) menghibur saya saat sedang di Praha, menunggu seorang teman dekat. Enam hari kemudian, pasukan Soviet menyerbu kota yang malang itu. Dengan susah payah, saya berhasil mencapai perbatasan Aus-tria di Linz. Dari situ saya
berangkat ke Wina, bertemu dengan kekasih saya, lalu kami bersama-sama melayari Sungai Danube.
Dalam suasana kegairahan intelektual yang meluap-luap, saya mem-baca dengan penuh minat sebuah kisah menyedihkan tentang Adso of Melk. Saya membiarkan diri saya sangat terhanyut oleh kisah itu, sampai-sampai, hampir dengan satu kali ledakan energi saja, saya selesai menerjemahkan pada beberapa bloknot besar buatan Papetiere Joseph Gilbert jenis buku catatan yang amat menyenangkan untuk ditulisi dengan pena bulu. Semasa saya menulis, kami sampai di dekat Melk. Di tempat ini, tepatnya di atas belokan sungai, biara anggun itu berdiri hingga hari ini, setelah mengalami beberapa perbaikan selama beberapa abad. Seperti dugaan pembaca sekalian, dalam perpustakaan biara saya sama sekali tak menemukan tanda-tanda naskah Ad
so pernah ada di situ. Sebelum kami sampai Salzburg, pada satu malam yang tragis dalam hotel kecil di pinggir Pantai Mondsee, tiba-tiba saya tidak lagi bersama teman seperjalanan saya. Dia menghilang membawa buku Wakil Abbas itu, bukan dengan sengaja, tetapi karena hubungan kami berakhir secara berantakan. Demikianlah, saya ditinggalkan, dengan menyisakan beberapa buku catatan naskah dalam genggaman saya dan kehampaan besar dalam hati saya.
Beberapa bulan kemudian, di Paris, saya memutuskan untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Di antara beberapa informasi yang saya dapatkan dari buku Prancis itu, saya masih
mencatat referensi sumbernya, amat terperinci dan teliti:
Vetera analecta, sive collectio veterum aliquot operum & opusculorum omnis generis, carminum, epistolarum, diplomaton, epitaphiorum, & cum itinere gertwanico, adnotationibus & aliquot disquisitionibus R.P.D Joannis Mabillon, Presbiteri ac Monachi Ord. Sancti Benedicti e Congregatione S. Mauri-Nova Editio cui accessere Mabilonii vita & aliquot opus-cu-la, scilicet Dissertatio de Pane Eucharistico, Azymo et Fertwentato ad Eminentiss. Cardinalem Bona. Subiungitur opusculum Eldefonsi Hispaniensis Episcopi de eodem Argumento Et Eusebii Romani ad Theophilum Gallum epistola, De cultu sanctorum ignotorum, Parisiis, apud Levesque, ad Pontem S. Michaelis, MDCCXXI, cum privilegio Regis.
Segera saya mencari Vetera anaiecta di Perpustakaan Sainte Genevieve. Tetapi, saya terkejut saat menemukan bahwa edisi yang ada ternyata berbeda dari deskripsi di atas: pertama, penerbitnya, tertulis "Montalant, ad Ripam P.P. Augustinianorum" (bukan Pontem S. Michaelis), selain itu, tahun terbitnya adalah dua tahun setelahnya. Saya tidak perlu mengatakan bahwa anaiecta atau kutipan ini belum men-cakup naskah Adso atau Adson of Melk. Karena, siapa pun yang ter-tarik silakan mengeceknya ini adalah kumpulan teks ukuran singkat atau sedang, padahal kisah
yang dicatat Wakil Abbas itu panjangnya beratus-ratus halaman. Saat itu juga, saya mencari keterangan dari para pakar abad pertengahan yang ter-masyhur, salah satunya Etienne Gilson yang baik, namun terbukti bahwa satu-satunya Vetera analecta adalah yang saya lihat di Sainte Gene-vieve. Perjalanan singkat ke Abbaye de la Source dekat Passy, demi sebuah percakapan lebih lanjut dengan teman saya Dom Arne Lahnestedt telah membuat saya semakin yakin bahwa tidak ada Wakil Abbas yang merilis buku lewat penerbitan biara (untuk hal itu, memang tidak ada). Kaum terpelajar Prancis memang dikenal sembrono dalam melengkapi informasi kepustakaan yang dapat dipercaya, tetapi kasus ini lebih dari sekadar pembuktian terhadap nada-nada pesimis tersebut. Saya mulai berpikir bahwa saya menemukan kasus pemalsuan. Saat ini, edisi Wakil Abbas itu sudah tak bisa didapatkan kembali (jangankan meminta edisi itu pada dia yang telah mengambilnya dari saya, untuk sekadar bertemu saja saya tak punya keberanian). Hanya catatan-catatan saya yang masih ada. Dan, saya mulai merasa ragu terhadap catatan-catatan tersebut.
Ada saat-saat gaib (membutuhkan kelelahan fisik luar biasa akibat gerakan riang gembira sepenuh semangat) yang menghadirkan penampakan dari orang-orang terkenal di masa lalu ("en me retracant ces details, j'en suis a me demander s'ils
sont reels, ou bien si je les ai reves").[Dengan menelusuri kembali detail-detail ini, aku bertanya-tanya apakah ini nyata atau aku hanya mimpi-pen.] Ada pula sebagaimana yang saya pelajari dari buku kecil yang asyik dibaca, dari Abbas de Bucquoy penampakan dari buku-buku yang hingga sekarang belum ditulis.
Ketika tak ada hal lain yang terpikirkan, saya masih bertanya-tanya dari mana kisah Adso of Melk berasal. Ternyata, pada suatu waktu, tahun 1970 di Buenos Aires, saat saya sedang melihat-lihat isi rak toko kecil penjual buku-buku kuno di Corrientes tidak jauh dari Patio del Tango yang terkenal itu, secara kebetulan saya menemukan karya Milo Temesvar versi Kastilian, On the Use of Mirrors in the Game of Chess. Ini adalah terjemahan Italia dari edisi asli berbahasa Georgia yang kini tidak mungkin ditemukan (Tb
ilisi, 1934). Di sini, dengan terkaget-kaget saya menemukan banyak sekali kutipan dari naskah Adso, walaupun sumbernya bukan Wakil Abbas ataupun Mabillon, melainkan Imam Athanasius Kircher (tetapi karya yang mana"). Seorang sarjana lebih baik tidak saya sebutkan namanya belakangan meyakinkan saya bahwa (dan ia berpedomankan ingatan) Jesuit yang Agung tak pernah menyebut Adso of Melk. Tetapi, buku Temesvar ada di depan mata ke-pala saya, dan bagian-bagian yang ia kutip benar-benar sama dengan naskah milik Wakil Abbas itu (khususnya deskripsi tentang labirin yang sama sekali tak bisa diragukan lagi).
Saya menyimpulkan bahwa memoar Adso secara tepat menggam-barkan nuansa dari peristiwa-
peristiwa yang ia ceritakan: samar terselubung dalam berlapis-lapis misteri, diawali dengan identitas pengarang dan diakhiri dengan lokasi biara, yang, tentang ini Adso bersikeras mengunci rapat-rapat mulutnya. Berdasarkan dugaan, kita boleh menunjuk suatu wilayah yang tak jelas antara Pomposa dan Conques, dengan memperkirakan kemungkinan yang masuk akal bahwa komunitas itu berada di suatu tempat di Perbukitan Apenina, antara Piedmont, Liguria, dan Prancis. Mengenai kapan peristiwa tersebut berlangsung, kita bisa berang-kat dari November 1327. Di lain pihak, tentang kapan peristiwa itu dituliskan, rupanya tidak ada kejelasan yang pasti. Disebutkan bahwa dia menjadi novis[Calon Biarawan .. akan ditahbiskan setelah membaca kaul (kaul kemiskinan, selibat, dan ketaatan)-pen.] pada 1327 dan dikatakan bahwa dia hampir meninggal saat menuliskan memoar ini. Sehingga, lewat hitung-hitungan kasar kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa naskah tersebut dituliskan pada akhir, atau, menjelang akhir abad keempat belas.
Setelah mempertimbangkan secara sungguh-sungguh, saya mendapatkan beberapa alasan untuk menerbitkan versi Italia naskah ini, berdasarkan edisi Wakil Abbas yang merupakan versi bahasa Prancis neoGothik (sungguh bahasa yang sukar dimengerti) dari tulisan Latin abad ketujuh belas, yang pada awalnya ditulis dalam bahasa Latin oleh seorang biarawan Jerman menjelang akhir abad keempat belas.
Nah, lalu, pertanyaan pertama: gaya apa yang
harus saya gunakan" Godaan untuk memakai gaya Italia pada masa itu harus ditolak, sebab sama sekali tidak berdasar: Adso menulis dalam bahasa Latin, lagipula dari keseluruhan peristiwa dalam naskah itu sangat terang bahwa budaya dia (atau, budaya biara yang jelas-jelas dapat dirasakan memberikan pengaruh besar terhadapnya) berasal dari tahun yang lebih awal lagi. Budaya tersebut merupakan gambaran nyata dari pengetahuan dan gaya bahasa khas tradisi Latin abad pertengahan-akhir. Adso berpikir dan menulis seperti seorang rahib yang tak terpengaruh oleh perubahan gaya bahasa besar-besaran yang terjadi di luar biara. Ia masih terikat dengan lembar-lembar yang tersimpan dalam perpustakaan yang ia ceritakan dan ayat-ayat hasil didikan sekolah kepasturan.
Di pihak lain, tak diragukan bahwa dalam menerjemahkan memoar Adso yang berbahasa Latin itu ke dalam bahasa Prancis neo-Gotik, sang Wakil Abbas menerapkan sejumlah kebebasan, bukan hanya kebebasan dalam hal gaya. Sebagai contoh, terkadang tokohnya bicara soal tanaman-tanaman obat edisi abad kedelapan belas yang mengacu pada buku tentang rahasia-rahasia yang melekat pada Albertus Magnus, yang berkali-kali direvisi selama beberapa abad. Sudah pasti Adso tahu karya tersebut, namun ternyata kutipan-kutipan yang ia tuliskan merupakan tiruan yang terlalu harfiah, baik dari formula Paracelcus[Paracelsus (1493-1541), terkenal dengan catatannya dalam bidang kesehatan-pen.] maupun dari
sisipan-sisipan yang jelas-jelas diambil dari edisi Albertus Magnus yang berasal dari periode Tudor. Walaupun demikian, belakangan saya temukan bahwa pada saat Wakil Abbas sedang mentranskrip (") naskah Adso, di Paris sedang beredar edisi abad kedelapan belas dari Grand dan Petit Albert, kini telah rusak tak dapat diperbaiki. Bagaimanapun juga, dari mana saya bisa yakin bahwa naskah atau percakapan rahib-rahib yang ia catat tidak mengandung anotasitaruhlah, soal pemberian komentar atau keteran
gan-keterangan, scholia[Komentar atau keterangan yang dibuat oleh kaum terpelajar Yunani-i pen.], dan aneka lampiranyang berasal dari masa-masa setelahnya"
Akhirnya, mengapa saya mempertahankan kutipan-kutipan bahasa Latin yang tidak diterjemahkan oleh Wakil Abbas secara layak jika bukan untuk mempertahankan nuansa periode tersebut" Tidak ada alasan tertentu untuk melakukannya, selain ... mungkin sebuah kesetiaan berlebihan yang tidak pada tempatnya kepada sumber saya. Saya telah mengurangi hal-hal yang saya nilai melampaui batas, tetapi saya tetap mempertahankan beberapa. Dan, saya khawatir jangan-jangan saya telah meniru novelis-novelis buruk yang, memperkenalkan karakter Prancis dengan ber-teriak "Parbleu!"["Tentu saja!"] dan
"La femme, ah! La femme!"["Perempuan, ah, perempuan!"]
Sudahlah, intinya saya penuh dengan keraguan. Saya benar-benar tak tahu mengapa saya memutuskan untuk mengumpulkan keberanian saya dan mempersembahkan ini, seolah-olah naskah asli Adso of Melk. Bolehlah kita sebut saja semua tindakan ini gara-gara cinta. Atau, jika Anda mau, katakan saja ini cara saya untuk meredam diri dari obsesi akut yang terus mengganggu.
Saya mentranskrip teks tanpa peduli masalah ketepatan waktu. Pada tahun saya menemukan edisi Wakil Abbas, ada semacam keyakinan umum bahwa orang seharusnya hanya menulis hal-hal yang berkomitmen pada masa kini, dengan tujuan mengubah dunia. Kini, setelah sepuluh tahun lebih, sang manusia kesusastraan ini (tertimbun dalam harga diri yang terlalu tinggi) bisa menulis dengan riang, semata-mata karena cinta yang murni terhadap penulisan itu sendiri. Dan, karena itu, sekarang saya merasa bebas untuk menceritakan kisah Adso of Melk, demi sebuah kesenangan naratif semata. Juga, saya merasa terhibur merasakan kisah ini benar-benar jauh tanpa batas (sekarang sebagai akibat dari kemampuan berpikir yang dapat menghalau semua monster yang terlelapnya pun terasa mengganggu), sangat berjarak dari masa kini, serta asing dari pengharap-an-pengharapan dan kepastian-kepastian kita.
Karena ini adalah sebuah kisah tentang buku-buku, bukan kecemasan sehari-hari, membacanya dapat membuat kita menirukan, bersama a Kempis,
seorang pengikut Kristus: "In omnibus requiem quaesivi, et nusquam inveni nisi in anquio cum libro. "["Dalam segala hal saya telah mencari ketenteraman dan saya tak menemukan di mana pun, kecuali di pojok bersama buku."-penerj.]
5 Januari 1980 Catatan Naskah Adso dibagi menjadi tujuh hari.
masing-masing hari dibagi berdasarkan jam-jam ibadat harian. Subjudulnya, dalam bentuk orang ketiga, mungkin ditambahkan oleh Wakil Abbas itu. Karena semua itu berguna dalam memberi gambaran kepada pembaca, dan karena pemakaian ini tidak asing dalam banyak literatur setempat masa itu, saya tidak merasa perlu menghilangkannya.
Acuan Adso kepada jam-jam ibadat harian Gereja membuat saya agak bi-ngung, karena arti jam-jam itu bervariasi menurut tempat dan musim; lebih-lebih, sangat mungkin bahwa pada abad keempat belas, instruksi yang diberikan oleh Santo Benediktus dalam buku Regula[Peraturan suatu ordo-i penerj.] tidak dipatuhi secara persis.
Bagaimanapun juga, sebagai pedoman bagi pembaca, jadwal berikut ini, saya kira, dapat dipercaya. Sebagian disarikan dari naskah dan sebagian didasarkan pada perbandingan Regula asli dengan penggambaran kehidupan biara oleh
Edouard Schneider dalam Les Heures benedictines (Paris, Grasset, 1925).
Martina, (Terkadang Adso menyebutnya
dengan ungkapan yang lebih kuno:
"Vigiliae".) Antara pukul 2.30
dan 3.00 pagi. Lauda, (Dalam kebanyakan tradisi kuno
disebut "Matutini" atau "Matins".)
Antara pukul 5.00 dan 6.00 pagi,
berakhir saat subuh. Prima, Sekitar pukul 7.30, tidak lama setelah
pagi merekah. Tersiat, Sekitar pukul 9.00. Sexta, Tengah hari (dalam biara saat para
rahib tidak bekerja di ladang, juga
jam makan tengah hari pada musim
dingin). Nona, Sekitar pukul 2.00 dan 3.00 sore.
Vespers, Sekitar 4.30, saat matahari terbenam
(Regula mengharuskan makan malam
sebelum gelap). Komplina, Sekitar pukul 6 .00 (sebelum pukul 7.00, para rahib tidur). Perhitungan itu berdasarkan kenyataan bahwa pada akhir bulan November, di Italia bagian utara matahari terbit sekitar pukul 7.30 pagi dan terbenam sekitar pukul 4.40 sore.[]
PROLOG Pada mulanya adalah Sabda dan Sabda bersama Allah, dan Sabda adalah Allah. Ini di awali dengan Allah, dan adalah tugas setiap rahib setia untuk mengulanginya setiap hari sambil menyanyikan dengan rendah hati, kejadian tak pernah-berubah yang mengandung kebenaran tak dapat dibantah itu. Tetapi sekarang kita melihat melalui kaca gelap, dan kebenaran, sebelum diungkapkan kepada semua, berhadapan muka, kita melihatnya dalam bentuk potongan-potongan (astaga, betapa tak terbaca) kekeliruan du-nia, jadi kita harus menguraikan isyarat kesetiaannya secara agak terperinci bahkan kalau terlihat samar samar bagi kita dan seakan menyatu dengan suatu kemauan yang sepenuhnya condong kepada kejahatan.
Karena sudah mencapai akhir dari kehidupanku sebagai pendosa malang, rambutku kini memutih, aku semakin tua seperti bumi yang semakin tua, sementara menanti akan lenyap ke dalam lubang kesunyian tanpa dasar dan ketuhanan yang terbengkalai, sementara masih ikut diterangi cahaya
inteligensia sesuci malaikat; dengan tubuh berat, sakit-sakitan, kini terpenjara dalam bilik di Biara Melk tercinta ini, aku siap meninggalkan pernyataanku di atas perkamen ini, tentang kejadian luar biasa dan mengerikan yang kebetulan kuamati pada masa mudaku. Sekarang secara harfiah aku mengulangi semua yang sudah kulihat dan kudengar, tanpa berusaha mencari suatu desain, seakan menyerahkan kepada mereka yang akan mencari (andaikan Antikristus tidak datang lebih dulu) tanda demi tanda, sehingga mereka dapat mengucapkan doa yang memberi makna itu.
Semoga Tuhan memberiku karunia untuk menjadi saksi nyata dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam biara yang hanya namanya yang benar dan sekarang hilang kesuciannya, hampir akhir tahun Masehi 1327, waktu Kaisar Louis datang ke Italia untuk mengembalikan kewibawaan Kekaisaran Romawi Suci, dalam upaya menaati rencana Yang Mahakuasa dan untuk membuat bingung para perampas kekuasaan, simoniak dan heresiak yang keji, yang telah mempermalukan nama suci rasul di Avignon (maksudku jiwa penuh dosa dari Jacques dari Cahors yang oleh orang-orang tak bertuhan dipanggil Yohanes XXII).
Mungkin, agar peristiwa-peristiwa yang ternyata aku sendiri terlibat di dalamnya itu bisa lebih dipahami, aku perlu mengenang apa yang sedang terjadi selama tahun-tahun terakhir abad itu, seperti yang waktu itu kupahami, kujalani, dan yang sekarang kuingat, dilengkapi dengan kisah lainnya
yang kudengar setelah itu jika memoriku terbukti masih mampu menghubungkan benang-benang kejadian yang be-gitu banyak dan ruwet.
Pada tahun-tahun awal abad itu, Paus Clement V sudah memindahkan takhta suci ke Avignon, sementara membiarkan Roma dimangsa orang-orang ambisius dan bangsawan setempat; dan lama kelamaan, kota suci kaum Kristen itu diubah menjadi sebuah sirkus, atau sebuah kompleks pelacuran, hancur oleh percekcokan antar pemimpinnya; meskipun disebut republik, ini bukan republik, dan tempat ini diserbu oleh pasukan bersenjata, jadi korban kekerasan dan perampokan. Pejabat Gereja, sementara menghindari yurisdiksi sekular, memimpin kelompok-kelompok penjahat dan merampok, dengan membawa pedang, melakukan dan mengorganisasi perdagangan licik. Bagaimana mungkin mencegah Caput Mundi itu mulai lagi, dan secara benar, tujuan dari orang yang ingin memperoleh mahkota kekaisaran Romawi Suci itu dan mengembalikan kewibawaan dari kekuasaan duniawi yang sudah menjadi milik para Caesar"
Maka pada 1314, lima pangeran Jerman di Frankfurt memilih Louis dari Bavaria menjadi penguasa tertinggi kekaisaran itu. Tetapi pada hari yang sama, di seberang lain Sungai Main, Count Palatine dari Rhine dan Uskup Cologne memilih Frederick dari Austria untuk menduduki jabatan yang sama. Dua kaisar untuk satu singgasana dan seorang paus untuk dua kaisar: suatu situasi yang, benar-benar, memicu kekacauan hebat ....
Dua tahun kemudian, di Avi
gnon, paus baru dipilih, Jacques dari Cahors, seorang tua berusia tujuh puluh dua yang mengambil nama, seperti sudah saya katakan, Yohanes XXII, dan alam menakdirkan bahwa tidak ada paus yang mau memakai lagi nama yang begitu tidak disukai oleh orang berhak itu. Seorang Prancis, setia kepada Raja Prancis (penduduk dari negeri yang korup itu selalu cenderung mendukung kepentingan bangsa mereka sendiri, dan tidak mampu memandang seluruh dunia sebagai rumah spiritual mereka), ia telah mendukung Philip "Si Rupawan" melawan Kesatria Templars, yang oleh Raja dituduh (menurutku secara tidak adil) melakukan kejahatan paling memalukan agar bisa merampas harta milik mereka dengan memanfaatkan keterlibatan para rahib yang membelot itu.
Pada 1322, Louis dari Bavaria mengalahkan rivalnya, Frederick. Karena lebih takut pada kaisar tunggal daripada dua kaisar, Yohanes mengucilkan pemenang itu, yang pada gilirannya mengutuk Paus tersebut sebagai bidah. Aku tentu saja ingat bagaimana, bahwa pada tahun itu juga, rapat umum rahib Fransiskan diselenggarakan di Perugia, dan minister jenderalnya, Michael dari Cesena, karena menerima permohonan kelompok Spiritual (akan dibicarakan nanti), menyatakan kemiskinan Kristus sebagai masalah iman dan doktrin, yang, andaikan bersama para pengikutnya ia memiliki sesuatu, hanya memilikinya sebagai usus facti (untuk dipakai seperlunya). Suatu resolusi yang
bermanfaat, dimaksudkan untuk mengamankan kesalehan dan kemurnian ordo itu, membuat Paus amat tidak senang. Paus mungkin menemukan di dalamnya suatu prinsip yang akan dapat membahayakan tuntutan yang sudah ia buat sebagai kepala gereja, sementara menyangkal hak kekaisaran untuk memilih uskup, dan sebaliknya menegaskan bahwa takhta kepausan berhak melantik kaisar. Tergerak oleh ini semua atau alasan lainnya, Yohanes mengutuk usulan Fransiskan pada 1323 dengan dekrit Cum inter nonnuiios.
Pada titik ini, aku membayangkan, bahwa Louis menganggap kaum Fransiskan, sekarang musuh Paus, sebagai sekutu potensial. Dengan menegaskan kemiskinan Kristus, entah bagaimana mereka memperkuat ide para teolog kekaisaran, misalnya saja Marsilius dari Padua dan Yohanes dari Jandun. Dan akhirnya, hanya beberapa bulan sebelum kejadian yang akan saya ceritakan ini, Louis mengadakan kesepakatan dengan Fre-derick yang terkalahkan, masuk ke Italia, dan di-mah-kotai di Milan.
Inilah situasi ketika aku seorang novis dari ordo Benediktin di Biara Melk dicabut dari kedamaian biara oleh ayahku, yang berjuang di pihak Louis, karena setidaknya ia salah seorang baron raja itu. Ayah menganggap bijaksana untuk mengajakku agar aku bisa menyaksikan kehebatan Italia dan ikut menghadiri penobatan Kaisar di Roma. Tetapi serbuan ke Pisa membuat ayah sibuk dengan masalah militernya. Karena ditinggal sendirian, aku
berkelana di antara kota-kota di Tuskania, sebagian karena menganggur, sebagian karena hasrat belajar. Tetapi kebebasan yang tidak disiplin ini, menurut ayahku, tidak cocok bagi remaja yang mau mengabdi pada kehidupan kontemplatif. Dan atas saran dari Marsilius, yang sudah mulai menyukai aku, mereka memutuskan untuk menyerahkan aku di bawah pengarahan seorang Fransiskan yang pandai, Bruder William dari Baskerville, yang tengah menjalankan suatu misi yang akan membawanya ke kota-kota ternama dan biara-biara kuno. Maka aku menjadi juru tulis sekaligus murid William. Aku tidak pernah menyesal, karena bersamanya aku menyaksikan peristiwa-peristiwa yang berharga untuk diceritakan, seperti yang sekarang kukerjakan, kepada para penerus kami.
AKU tidak tahu apa yang dicari oleh Bruder William, dan terus terang saja, sampai sekarang pun aku tidak tahu. Aku mengira dia sendiri juga tidak tahu, karena ia berjalan seakan hanya didorong oleh hasrat untuk mencari kebenaran, dan oleh kecurigaan yang nyata bagiku selalu ia sembunyikan bahwa kebenaran itu bukan apa yang setiap saat tertentu muncul di hadapannya. Dan selama tahuntahun itu, studi yang ia cintai mungkin terganggu oleh tugas sekularnya.
Misi yang ditugaskan kepada William tetap tidak kuketahui selama kami melakukan perjalanan,
atau, lebih tepatnya, ia tidak pernah membicarakan tentang itu. Hanya dari mendengar secara tidak
sengaja sepotong-sepotong percakapannya dengan para rahib dari biara-biara di mana kami mampir, maka aku bisa membentuk semacam ide tentang sifat tugas ini. Namun, aku baru sepenuhnya memahami setelah kami mencapai tempat tujuan, yang akan segera kuceritakan. Kami bertujuan pergi ke utara, tetapi tidak langsung ke sana, melainkan mampir beristirahat di berbagai biara. Maka, bisa jadi kami belok ke barat padahal tujuan akhir kami berada di timur, hampir mengikuti jalur pegunungan yang dari Pisa menuruti arah perjalanan peziarah ke Santiago, berhenti sebentar di suatu tempat di mana terjadi peristiwa-peristiwa mengerikan di sana yang membuat aku sekarang tidak bisa mengenalinya lagi. Akan tetapi, para bangsawan di sana setia kepada Kaisar, dan para rahib dari ordo kami, sepenuhnya sepakat, menentang Paus korup yang bidah itu. Kami melakukan perjalanan kami selama dua minggu, di tengah berbagai perubahan, dan selama itu aku mendapat kesempatan untuk mengenal (aku tetapi yakin bahwa tidak pernah cukup mengenalnya) guruku yang baru.
Dalam halaman-halaman selanjutnya, aku tidak akan menyibukkan diri untuk menggambarkan orang-orang kecuali kalau suatu ekspresi wajah, atau suatu sikap tubuh, tampak seperti isyarat suatu bahasa yang diam tetapi penuh perasaan. Ini karena, seperti kata Boethius, tidak ada yang lebih cepat berubah daripada bentuk luar, yang menjadi layu dan berubah bagaikan bunga-bunga di padang ketika musim panas tiba. Jadi, buat apa hari ini
mengatakan bahwa mata Abbas Abo galak dan pipinya pucat, kalau sekarang ia dan mereka yang ada di sekelilingnya hanya debu dan tubuh mereka sudah menjadi abu jenazah (hanya jiwa mereka, atas kuasa Tuhan, berkilau oleh cahaya yang tak pernah bisa mati)" Tetapi aku ingin menggambarkan William paling sedikit sekali saja, karena sosoknya saja sudah membuat aku kagum, dan anak muda biasa terpesona kepada seseorang yang lebih tua dan lebih bijak, tidak hanya oleh kata-katanya dan ketajaman otaknya, tetapi juga oleh bentuk luar tubuhnya, yang terbukti amat menyenangkan, seperti figur seorang ayah, yang gerak-geriknya kita pelajari, dan kerenyit dahinya, senyumnya, kita amati tanpa suatu bayangan nafsu untuk mengotori bentuk (mungkin satu-satunya yang sungguh-sungguh murni) cinta jasmani ini.
Orang zaman dulu tampan dan besar (sekarang mereka seperti anak-anak dan orang kerdil), tetapi ini sekadar salah satu dari banyak fakta yang memperagakan malapetaka dari suatu dunia yang makin menua. Orang muda tidak lagi ingin mempelajari apa saja, pelajaran merosot, seluruh dunia berjalan dengan kepala di bawah, orang buta membimbing orang lain yang juga buta sehingga keduanya tercebur ke dalam jurang, burung meninggalkan sarangnya sebelum bisa terbang, keledai memainkan lira, kerbau menari. Maria tidak lagi mencintai kehidupan kontemplatif dan Martha tidak lagi mencintai kehidupan aktif, Lea mandul, mata Rachel penuh hawa nafsu, Cato mengunjungi
rumah pelacuran, Lucretius menjadi seorang perempuan. Segala sesuatunya berada di jalur yang salah.
Pada masa itu, puji Tuhan, dari guruku aku mendapatkan hasrat belajar dan suatu kepekaan akan jalan yang lurus, yang tetap seperti itu bahkan ketika jalan itu berliku-liku.
PENAMPILAN fisik Bruder William saat itu sedemikian rupa sehingga pengamat yang paling tidak peduli sekalipun akan tertarik kepadanya. Tingginya di atas normal dan ia begitu kurus sampai seakan masih lebih tinggi lagi. Matanya tajam dan menembus; hidungnya yang kurus dan agak bengkok memberi wajahnya ekspresi dari seseorang yang amat berhati-hati, apalagi pada beberapa masa lembam tertentu yang kelak akan aku ceritakan. Dagunya juga menunjukkan kemauan keras, meski wajah lonjong penuh bintik-bintik itu sedemikian rupa seperti yang sering kulihat di kalangan mereka yang lahir di antara Hibernia dan Northumbria kadang kadang bisa tampak membingungkan dan meragukan. Pada saat yang tepat aku menyadari bahwa apa yang kelihatannya kurang percaya diri itu hanya keingintahuan, tetap
i pada mulanya aku tidak banyak tahu tentang kebajikan ini, yang justru kukira suatu gairah dari semangat serakah. Aku justru percaya bahwa semangat rasional seharusnya tidak menuruti gairah semacam itu, tetapi hanya disuburkan oleh Kebenaran, yang (kukira) sudah diketahui orang
sejak semula. Waktu itu aku masih anak-anak. Pertama-tama, dan secara amat mendalam, aku terpesona oleh beberapa gumpalan rambut kekuningan yang mencolok di sisi kedua telinganya, dan oleh alisnya yang pirang tebal. Mungkin ia sudah mengalami lima puluh musim semi dan karenanya sudah amat tua, tetapi tubuhnya yang tak kenal lelah itu bergerak dengan kegesitan yang aku sendiri sering tidak punya. Energinya seakan tak bisa habis manakala ia tenggelam dalam suatu ledakan kegiatan. Tetapi dari waktu ke waktu, semangat vitalnya seakan punya semangat seekor udang karang, ia bergerak mundur pada masa-masa lembam, dan aku mengamatinya berbaring selama berjam-jam di atas dipanku di bilikku yang kecil, hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun, tanpa mengerutkan satu pun otot wajahnya. Pada kesempatan seperti itu, muncul dalam matanya suatu ekspresi absen, kosong, dan tentu saja aku menduga ia tengah dikuasai suatu substansi alami yang mampu menghasilkan penampakan andaikan kesahajaan hidupnya yang nyata itu tidak menyebabkan aku menolak pendapat ini. Bagaimanapun juga, aku tidak akan mengingkari bahwa selama perjalanan itu, ia kadangkadang berhenti di tepi suatu padang rumput, sebelum memasuki sebuah hutan, untuk mengumpulkan beberapa dedaunan obat (sepertinya selalu daun yang sama); dan kemudian ia akan mengunyahnya dengan pandangan mata asyik. Ia menyimpan
sedikit dedaunan itu, dan memakannya pada saat-saat paling menegangkan (dan kami mengalami beberapa kali di biara!). Suatu ketika, waktu aku menanyakan apa itu, sambil tertawa ia berkata bahwa seorang Kristen yang baik kadang-kadang bisa juga belajar dari orang kafir, dan waktu aku minta diperbolehkan mencicipinya, ia menjawab bahwa dedaunan itu baik untuk seorang Fransiskan tua tetapi tidak baik untuk seorang Benediktin muda.
Selama bepergian bersama, kami tidak sempat hidup dengan amat teratur; bahkan di biara tersebut, kami tetap melek pada malam hari dan terkapar keletihan pada siang hari, kami juga tidak bisa mengikuti ibadah suci secara teratur. Bagaimanapun juga, dalam perjalanan kami, ia jarang terjaga setelah komplina, dan ia punya kebiasaan bersahaja. Kadang-kadang, juga di dalam biara itu, ia akan menghabiskan seluruh hari dengan berjalan-jalan di kebun sayuran, sambil memeriksa tanaman seakan itu permata atau manikam; dan kulihat ia menjelajahi ruang harta bawah tanah, memeriksa sebuah kotak berhiaskan manikam dan permata seakan kotak itu seonggok apel busuk. Pada waktu lainnya ia akan menghabiskan seluruh hari di aula perpustakaan yang luas, menyisiri halaman-halaman naskah seakan tidak mencari apa-apa kecuali karena menyukainya saja (sementara, di sekeliling kami, mayat rahib, dibunuh secara mengerikan, makin bertambah). Suatu hari aku menemukannya sedang berjalan pelan-pelan di kebun bunga tanpa tujuan jelas, sepertinya ia tidak
perlu mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada Tuhan. Dalam ordoku; mereka telah mengajarkan cara yang berbeda untuk menghabiskan waktU; dan aku bilang begitu kepadanya. Dan ia menjawab bahwa keindahan kosmos tidak hanya diperoleh dari kesatuan dalam keanekaragaman tetapi juga dari keanekaragaman dalam kesatuan. Menurutku tampaknya ini seperti suatu jawaban yang didikte oleh akal sehat yang sederhana; tetapi sesudah itu aku jadi tahu bahwa orang di negerinya sering membuat definisi dengan cara-cara yang di dalamnya kekuatan akal yang mencerahkan itu seolah-olah tidak banyak berfungsi.
Selama kami berada di biara tersebut; tangannya selalu kotor terkena debu buku-buku; serbuk emas dari sampul buku yang masih baru; atau dengan zat kekuningan yang ia sentuh dalam klinik Severinus. Agaknya ia tidak bisa memikirkan cara menjaga kebersihan tangannya; suatu sifat yang waktu itu kuanggap lebih baik daripada seorang mekanik; tetapi bahkan ketika tangannya menyent
uh benda-benda paling rentan misalnya naskah kuno tertentu yang baru saja digambari; atau perkamen yang sudah lapuk karena tua dan lengket bagai roti belum diiris; ia memiliki; menurut penglihatanku; suatu sentuhan yang amat sangat lembut; sama dengan ketika ia menyentuh peralatannya. Terus terang; aku akan menceritakan bagaimana orang asing ini membawa; dalam tasnya; peralatan yang waktu itu belum pernah kulihat; yang ia namai mesin ajaib. Mesin; katanya; adalah
suatu efek dari seni, yang merupakan tiruan alam, dan mesin tidak hanya mereproduksi bentuk alam, tetapi juga cara kerjanya. Ia menjelaskan kepadaku bahwa begitu pula keajaiban dari jam, sekstan, dan magnet. Tetapi pada mulanya aku takut kalau itu ilmu sihir, dan aku pura-pura ketiduran pada malam-malam cerah tertentu ketika ia (dengan suatu segitiga aneh di tangannya) berdiri sambil mengamati bintang.
Rahib Fransiskan yang kukenal di Italia dan di negeriku sendiri adalah orang-orang sederhana, sering tidak berpendidikan, dan aku menyatakan bahwa aku kagum akan pengetahuannya. Tetapi sambil tersenyum ia berkata, bahwa rahib Fransiskan di pulaunya adalah buangan dari cetakan lain: "Roger Bacon, yang kuhormati sebagai guruku, mengajarkan bahwa suatu hari kelak rencana Tuhan akan mencakup ilmu permesinan, yang merupakan keajaiban yang sehat dan alami. Dan suatu hari akan dimungkinkan, dengan menggarap kekuatan alam, untuk menciptakan peralatan navigasi yang dengan itu secara unik kapal akan berlayar unico homine regente[ Manusia sajalah yang menguasai-penerj.], dan jauh lebih cepat daripada kapal yang dijalankan dengan layar atau dayung; dan akan ada kereta yang bisa jalan sendiri dan 'bendabenda terbang yang bentuknya sedemikian rupa sehingga ada orang yang duduk di dalamnya, dengan memutar suatu alat, bisa mengepakkan sayap tiruan, ad modum avis volantis.'[Menurut cara burung terbang-penerj.] Benda amat
berat dapat diangkat dengan peralatan kecil dan akan ada kendaraan yang bisa membuat kita melakukan perjalanan di dasar lautan."
Waktu kutanyakan di mana mesin-mesin itu berada, ia mengatakan bahwa mesin-mesin itu sudah dibuat pada zaman dulu, dan bahkan ada yang pada zaman kita sendiri. "Kecuali peralatan terbang, yang aku belum pernah lihat atau tahu ada orang yang sudah melihatnya, tetapi aku kenal seorang sarjana yang sudah merancangnya.
Dan jembatan-jembatan dapat dibangun menyeberangi sungai tanpa kolom atau penyangga lainnya, dan mungkin juga akan ada mesinmesin lain yang belum pernah disebutkan. Tetapi kau tidak usah cemas jika mesin-mesin itu belum ada, karena itu tidak berarti kelak tidak akan ada. Dan aku berani bilang kepadamu bahwa Tuhan menghendaki mesin-mesin itu ada, dan jelas sudah ada dalam pikiranNya, bahkan jika temanku dari Ockham menyangkal kalau ide itu muncul dalam cara demikian; dan aku mengatakan ini bukan karena kita dapat menetapkan alam suci itu tetapi justru karena kita tidak bisa membuat batasan untuk itu." Ini juga bukan satu-satunya usulan kontradiktif yang kudengar dari dia; tetapi bahkan sekarang, ketika aku sudah tua dan lebih bijak daripada ketika itu, aku belum sepenuhnya memahami bagaimana dia amat memercayai temannya dari Ockham itu dan pada waktu yang sama bersumpah dengan kata-kata dari Bacon, karena yang biasa ia lakukan. Memang benar bahwa dalam masa-masa gelap itu,
seorang bijak harus memercayai hal-hal yang bertentangan di antara mereka sendiri.
Nah, mungkin aku sudah seenaknya mengatakan hal-hal tentang Bruder William, seakan sejak awal mengumpulkan kesan-kesan tidak menyambung yang waktu itu kudapat dari dia. Pembaca yang budiman, siapa dia, dan apa yang sedang ia kerjakan, Anda mungkin akan menarik kesimpulan yang lebih baik dari tindakan-tindakan yang ia lakukan pada hari-hari yang kami lewatkan di biara tersebut. Aku juga tidak menjanjikan suatu rancangan yang memuaskan, tetapi, justru, suatu kisah dari peristiwa-peristiwa (ya, memang banyak) yang aneh dan menakjubkan.
Dan demikianlah, setelah dari hari ke hari aku jadi lebih mengenal guruku, dan menghabiskan banyak jam dari perjalanan kami untuk mengobr
ol panjang lebar yang, pada waktunya kelak akan kuceritakan sedikit demi sedikit, kami sampai ke kaki bukit tempat biara itu berdiri. Dan sudah tiba saatnya bagi ceritaku untuk mendekatinya, seperti yang kami lakukan waktu itu, dan mudah-mudahan tanganku tetap tidak gemetar kalau mulai menceritakan apa yang terjadi.[]
HARI PERTAMA Prima Dalam cerita ini, kami sudah sampai ke biara itu, dan William memperagakan kelihaiannya yang hebat
Saat itu pagi yang indah di akhir bulan No
vember. Tadi malam salju turun, tetapi hanya sedikit, dan bumi ditutupi sehelai selimut dingin yang tebalnya tidak lebih dari tiga jari. Dalam kegelapan, langsung setelah lauda, kami mendengar misa di sebuah desa di ngarai itu. Lalu kami berangkat menuju gunung ketika matahari mulai terbit.
Sementara dengan susah payah kami mendaki jalan sempit dan terjal yang berputar mengelilingi gunung itu, aku melihat biara tersebut. Aku terpesona, bukan oleh tembok-tembok yang melingkari setiap sisinya, serupa dengan biara lainnya yang dapat dilihat dalam semua jagat Kristen, tetapi oleh bangunan paling besar yang kelak kukenal sebagai Aedificium. Bangunan oktagonal itu dari kejauhan terlihat seperti suatu tetragon (suatu bentuk sempurna, yang mengungkapkan Kota Tuhan yang kukuh dan tak
tergoyahkan), yang sisi-sisinya sebelah selatan tegak di atas plato biara itu, sementara sisi-sisinya sebelah utara seakan tumbuh dari sisi gunung yang terjal itu, suatu penurunan curam yang mengikat sisisisi itu. Menurutku, dari bawah, pada titik-titik tertentu, batu karang itu seakan makin tinggi, sampai menjulang ke langit, dengan bahan dan warna yang sama seperti batu gunung itu, yang pada titik tertentu menjadi tinggi dan menjulang (karya raksasa yang amat mengenal bumi dan langit). Tiga deret jendela menunjukkan ritme triuni dari peninggiannya, sehingga apa yang merupakan segiempat fisik di atas bumi, merupakan segitiga spiritual di langit. Ketika makin dekat, kami menyadari bahwa juga ada bangunan setengah lingkaran, pada masing-masing sudutnya, suatu menara heptagonal, lima sisinya tampak dari luar empat dengan delapan sisi, lalu, dari oktagon yang lebih besar muncul empat heptagon kecil, yang dari luar tampak seperti pentagon. Dan dengan begitu, setiap orang bisa menyaksikan keselarasan mengagumkan dari begitu banyak angka suci, masing-masing mengungkapkan suatu makna spiritual yang halus. Delapan, angka kesempurnaan untuk setiap tetragon; empat, jumlah Injil; lima, jumlah zona di dunia; tujuh, jumlah karunia Roh Kudus. Dalam ukuran besar dan bentuknya, Aedificium itu menyerupai Kastil Ursino atau Kastil del Monte, yang kelak akan kusaksikan di bagian selatan Semenanjung Italia, tetapi posisinya yang tak tertaklukkan membuatnya lebih mengagumkan
daripada kedua kastil tersebut, dan mampu merangsang rasa takut dalam diri pejalan yang pelan-pelan mendekatinya. Dan untungnya, karena waktu itu suatu pagi yang cerah di musim dingin, mula-mula aku tidak melihat bangunan itu seperti yang tampak pada hari-hari penuh badai.
Bagaimanapun juga, aku tidak bisa mengatakan bahwa itu mendorong perasaan gembira. Aku merasa ngeri, dan agak gelisah. Tuhan tahu, ini semua bukan momok dari jiwaku yang belum matang, dan secara betul aku menginterpretasikan pertanda pasti yang terukir di batu itu pada hari ketika para raksasa memulai pekerjaan mereka, dan sebelum kebulatan tekad yang hampa dari para rahib berani mempersembahkan bangunan itu untuk melestarikan sabda suci.
KETIKA keledai kecil kami berusaha mendaki tikungan terakhir gunung tersebut, di mana jalan utama itu jadi bercabang tiga, dengan dua jalan ke samping, guruku berhenti sejenak, untuk memandang sekeliling; ke sisi-sisi jalan itu, ke jalan itu sendiri, dan di atas jalan itu, di mana, tidak jauh dari situ, serangkaian pohon cemara membentuk suatu atap alami, putih tertutup salju.
"Biara yang kaya," katanya. "Abbasnya suka pamer pada acara umum."
Karena sudah terbiasa mendengar guruku membuat pernyataan yang paling tidak lazim, aku diam saja. Apalagi, setelah berjalan sedikit lagi, kami mendengar
bunyi ribut, dan muncul serombongan rahib dan pelayan yang bingung pada belokan berikutnya. Ketika melihat kami, salah seorang dari mereka mendekat dengan ramah.
"Selamat datang," katanya, "dan tidak perlu heran jika saya bisa menebak siapa kalian, karena kami sudah diberi tahu tentang kunjungan kalian. Saya Remigio dari Varagine, Kepala Gudang biara ini. Dan jika Anda, kalau tidak salah, memang Bruder William dari Baskerville, Abbas harus dikabari. Anda" ia memerintahkan seorang dari rombongan- nya "naiklah dan beri tahu mereka bahwa tamu kita sudah hampir memasuki tembok sebelah-dalam."
"Terima kasih, Bruder Kepala Gudang," jawab guruku dengan sopan, "dan saya sungguh menghargai keramahtamahan Anda karena, demi menyambut saya, pencarian Anda terhenti. Tetapi jangan khawatir.
Kuda itu lewat jalan sini dan mengambil jalan ke kanan. Ia tidak akan pergi jauh, karena harus berhenti kalau mencapai tumpukan kotoran itu. Ia terlalu pintar untuk terjatuh ke dalam lereng yang curam itu
"Kapan Anda melihatnya"" tanya Kepala Gudang itu.
"Kami sama sekali belum melihatnya, ya kan, Adso"" kata William, sambil menoleh kepadaku dengan pandangan bergurau. "Tetapi jika Anda sedang memburu Brunellus, kuda itu hanya mungkin berada di tempat yang baru saja saya katakan."
Kepala Gudang itu tertegun. Ia memandang William, kemudian ke jalanan, dan akhirnya
bertanya, "Brunellus" Bagaimana Anda bisa tahu""
"Ayolah," kata William, "sudah jelas Anda sedang mencari Brunellus, kuda kesayangan Abbas, tingginya lima belas telapak tangan, paling cepat larinya di antara kuda-kuda di kandang Anda, berbulu hitam, ekor lebat, kuku bulat kecil, tetapi langkahnya amat tegas; kepala kecil, telinga tajam, mata besar. Ia berjalan ke arah kanan, seperti kata saya tadi, tetapi Anda harus buruburu, siapa tahu."
Kepala Gudang itu tertegun sejenak lagi, lalu memberi isyarat kepada orang-orangnya dan bergegas lari menyusuri jalan ke kanan, sementara keledai kami mendaki lagi. Aku jadi ingin tahu, aku sudah mau menanyakan itu, tetapi William mengisyaratkan agar aku menunggu: nyatanya, beberapa menit kemudian kami mendengar teriakan gembira, dan para rahib serta pelayan itu muncul lagi pada belokan jalan itu, sambil menghela tali kekang kuda itu. Mereka melewati kami, semua melirik dengan agak kagum, kemudian mendahului kami menuju biara. Kukira William memperlambat langkahnya agar mereka punya waktu untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Aku sudah menyadari bahwa guruku, dalam segala hal adalah seorang yang amat baik, mengalahkan keburukan sifat sombong dengan sekadar memperagakan kepintarannya. Karena sudah bisa menghargai bakatnya sebagai seorang diplomat yang halus, aku mengerti bahwa ia ingin mencapai tempat tujuannya dengan diantar reputasi kuat sebagai orang pandai.
"Dan sekarang tolong ceritakan" akhirnya aku sudah tidak bisa menahan diri lagi "bagaimana Guru bisa tahu""
"Muridku Adso yang baik," kata guruku, "selama seluruh perjalanan kita, aku sudah mengajarimu mengenali isyarat yang dipakai oleh dunia untuk berbicara kepada kita bagaikan sebuah buku yang hebat. Alanus dari Insulis mengatakan bahwa
omnis mundi creatura quasi liber et pictura nobis est in speculum
[Setiap keelokan ciptaanilseolah-olah kitab dan gambarilmenakjub-kan serupa cermin-penerj.]
dan Alanus mulai berpikir tentang susunan simbol yang tak ada habisnya, dengan apa Tuhan, lewat makhluknya, berbicara kepada kita tentang kehidupan abadi. Tetapi alam semesta justru lebih cerewet daripada yang diperkirakan Alanus, dan alam tidak hanya bicara tentang benda pokok (yang selalu disebutkan dalam gaya yang kabur) tetapi juga tentang benda-benda yang lebih menyerupai, dan barulah alam berbicara dengan amat jelas. Aku hampir malu untuk mengulangi apa yang seharusnya kauketahui. Di persimpangan jalan tadi, di atas salju yang masih baru, jejak kaki kuda itu tampak jelas dengan rapi, menuju jalan di sebelah kiri kita. Jaraknya teratur, jejak kakinya menunjukkan bahwa kukunya kecil dan bulat, dan congklangnya agak teratur maka aku menarik kesimpulan tentang sifat kuda itu, dan k
enyataan bahwa ia tidak lari
pontang-panting seperti binatang ketakutan. Pada titik di mana pohon-pohon cemara membentuk suatu atap alami, beberapa cabang pada ketinggian lima kaki baru saja patah. Salah satu semak blackberry di mana binatang itu pasti membelok untuk mengambil jalan ke kanan, karena dengan anggun mengibaskan ekornya yang indah, ada bulu kuda hitam panjang yang terkait pada semak berduri itu .... Akhirnya, kamu tidak akan bilang tidak tahu bahwa jalan itu menuju ke tumpukan kotoran, karena ketika melewati tikungan yang lebih rendah kita melihat ceceran kotoran menuruni batu karang terjal di bawah menara timur yang tinggi itu, mengotori salju; dan melihat situasi persimpangan jalan tersebut, jalan itu hanya akan menuju arah tersebut."


The Name Of The Rose Karya Umberta Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya," kataku, "tetapi bagaimana dengan kepala kecil, telinga tajam, mata besar ...T'
"Aku tidak yakin kuda itu punya ciri seperti itu, tetapi tidak diragukan lagi bahwa para rahib itu amat percaya kuda itu memang punya ciri itu. Seperti dikatakan oleh Isidore dari Seville, ciri seekor kuda yang cantik adalah 'kepala kecil, siccum prope pelle ossibus adhaerente, telinga pendek dan tajam, mata besar, cuping hidung lebar, leher tegak, surai dan ekor tebal, kuku kuat dan bulat'. Andaikan kuda yang ciri-cirinya kusebutkan itu bukan betul-betul yang terbaik dari kandang kuda itu, pelayan kandang akan keluar untuk mengejarnya, tetapi yang ini, justru Kepala Gudang itu sendiri ikut mencari. Dan seorang rahib yang
menganggap seekor kuda bagus sekali, apa pun bentuk alaminya, hanya bisa memandangnya seperti yang sudah digambarkan oleh sumber yang bisa dipercaya, terutama jika" dan di sini ia tersenyum malu-malu ke arahku "yang menggambarkan adalah seorang Benediktin yang pintar."
"Baiklah," kataku, "tetapi kenapa Brunellus""
"Semoga Roh Kudus mempertajam pikiranmu, Nak!" seru guruku.
"Nama apa lagi yang mungkin diberikan kepadanya" Coba, bahkan Buridan yang agung, ia calon rektor di Paris, ketika ingin menggunakan seekor kuda dalam salah satu contoh logikanya, selalu menyebutnya Brunellus."
Begitulah cara berpikir guruku. Ia tidak hanya tahu bagaimana membaca buku alam yang agung, tetapi juga tahu cara para rahib membaca Kitab Injil, dan bagaimana mereka diajar lewat kitabkitab itu. Suatu bakat yang, seperti akan kita lihat, ternyata berguna baginya pada hari-hari selanjutnya. Di samping itu, penjelasannya, menurutku pada titik ini amat jelas sehingga rasa maluku karena tidak menemukan sendiri hanya bisa ditutup oleh rasa bangga karena sekarang bisa ikut berbagi di dalamnya, dan aku hampir memberi selamat kepada diriku sendiri untuk wawasanku sendiri. Begitulah kekuatan dari kebenaran yang, seperti kebaikan, adalah mualimnya sendiri. Dan terpujilah nama Tuhan kita Yesus Kristus yang suci karena mengaruniaiku pencerahan yang luar biasa ini.
Tetapi kembali pada perjalanan ini, oh ceritaku, karena rahib tua ini terlalu lama terus bicara tentang hal kecil-kecil. Lebih baik menceritakan bagaimana kami tiba di gerbang besar biara itu, dan di ambang pintu berdirilah sang Abbas, di sampingnya ada dua orang novis membawa sebuah baskom emas penuh air. Setelah kami turun dari keledai, Abbas itu mencuci tangan William, kemudian memeluknya, mencium mulutnya, dan memberinya berkat selamat datang.
"Terima kasih, Abo," kata William. "Adalah suatu kegembiraan besar bagiku untuk menapakkan kaki di biaramu yang Hebat, yang ketenarannya sudah dikenal di luar pegunungan ini. Aku datang sebagai seorang pengelana demi nama Tuhan kita dan sebagai itu Anda telah menghormatiku. Tetapi aku juga datang demi nama penguasa kita di atas bumi itu, seperti akan dijelaskan dalam surat yang sekarang kuserahkan kepadamu, dan demi namanya juga aku mengucapkan terima kasih atas sambutanmu."
Abbas itu menerima surat dengan cap kerajaan tersebut dan menjawab bahwa kedatangan William sudah didahului oleh saudara-saudaranya (dengan bangga aku mengatakan dalam hati bahwa sukar sekali untuk kebetulan bertemu dengan seorang Abbas Benediktin), kemudian ia minta Kepala Gudang membawa kami ke rumah penginapan, sementara p
ara tukang kuda membawa pergi keledai kami. Abbas itu berharap bisa mengunjungi kami nanti, kalau kami sudah segar lagi, dan kami
memasuki halaman luas di mana bangunan-bangunan biara itu berdiri di sekitar dataran yang memotong puncak gunung itu menjadi suatu mangkuk indah.
SUDAH tentu aku dapat kesempatan membicarakan denah biara itu lebih dari sekali, dan secara lebih terperinci. Setelah pintu gerbang itu (yang merupakan satu-satunya pintu pada tembok sebelah luar), ada sebuah jalan yang dibatasi deretan-pohon menuju gereja biara itu. Ke arah kanan jalan itu terbentang kebunkebun sayur yang amat luas dan, seperti kuketahui kelak, kebun botani, di seputar gedung pemandian dan klinik serta herbarium, sementara mengikuti garis tembok itu. Di belakangnya, di sebelah kiri gereja, tampak Aedificium yang tinggi, dipisahkan dari gereja oleh suatu halaman dengan nisan di sana sini. Pintu utara gereja itu menghadap menara selatan dari Aedificium, yang menawarkan, secara frontal, menara baratnya kepada mata tamu yang baru tiba; kemudian, ke arah kiri, bangunan itu menempel tembok dan seakan mencebur, dari menara-menaranya, ke arah jurang. Di atas jurang itu samar-samar tampak menara utara mencuat. Di sebelah kanan gereja ada beberapa bangunan, terlindung bayangbayang, dan bangunan lainnya di seputar kloster: tidak diragukan lagi asrama, rumah Abbas, dan penginapan untuk tamu yang sedang
kami tuju. Kami sampai ke sana setelah menyeberang kebun bunga yang indah. Di sisi kanan, jauh di seberang padang rumput luas, di sepanjang tembok sebelah selatan dan terus ke timur sampai belakang gereja, ada sederet tempat tinggal petani, kandang kuda, penggilingan gandum, kilang zaitun, lumbung dan gudang, dan bangunan yang menurutku mungkin novisiat. Tanah yang rata itu, hanya sedikit berombak, memberi kesempatan kepada orang-orang kuno yang membangun tempat suci itu untuk menghormati tatanan orientasi, lebih baik daripada yang bisa diminta oleh Honorius Augustoduniensis atau Guillaume Durant. Dari posisi matahari pada jam hari itu, kuperhatikan bahwa pintu utama gereja itu membuka ke arah barat dengan sempurna, sehingga koor dan altar menghadap timur; dan matahari pagi yang cerah itu, manakala terbit, dapat langsung membangunkan para rahib di asrama dan hewan-hewan di kandang. Aku belum pernah melihat suatu biara yang lebih indah atau orientasinya lebih baik, meskipun setelah itu aku mengunjungi Biara Santo Gall, dan Cluny, dan Fontenay, dan masih banyak lagi yang lain, mungkin lebih besar namun kurang proporsional. Tidak seperti lain-lainnya, yang ini mencolok karena Aedificiumnya yang berukuran luar biasa. Aku tidak berpengalaman sebagai pakar bangunan besar, tetapi segera menyadari bahwa Aedificium itu jauh lebih tua daripada bangunan di sekelilingnya. Mungkin dulunya dipakai untuk tujuan lain, dan baru
kemudian kompleks biara itu dibangun di sekelilingnya, tetapi dengan cara sedemikian rupa sehingga orientasi bangunan besar itu cocok dengan bangunan gereja, dan gereja itu cocok dengan bangunan besar tersebut. Karena arsitektur, di antara semua seni, adalah yang paling berani mereproduksi ritme tatanan alam semesta, yang oleh orang kuno disebut "kosmos", maksudnya penuh hiasan, karena ini seperti seekor hewan besar yang di atasnya bersinar kesempurnaan dan proporsi semua bagiannya. Dan terpujilah Pencipta kita, yang sudah menetapkan jumlah, berat, dan ukuran semua benda.[]
Tersiat Dalam cerita ini William mengadakan percakapan bersifat instruktif dengan Abbas tersebut.
Bruder Kepala Gudang itu orangnya kekar, penampilannya vulgar tetapi periang, rambutnya sudah beruban tetapi masih kuat, pendek namun gesit. Ia mengantarkan kami ke penginapan. Atau, lebih tepatnya, ke bilik yang sudah disediakan untuk guruku, sambil berjanji esok hari akan membersihkan satu bilik lagi untukku, karena, meskipun seorang novis, aku juga tamu dan karenanya akan diperlakukan dengan hormat. Malam itu aku bisa tidur dalam sebuah pelengkung panjang dan lebar yang menjorok ke dalam tembok bilik tersebut, dan di atasnya sudah disiapkan jerami
bersih. Kemudian para rahib membawakan kami anggur, keju, buah zaitun, roti, dan kismis yang lezat, dan menyilakan kami istirahat. Kami makan minum dengan lahap. Guruku tidak menaati kebiasaan keras rahib Benediktin dan tidak suka makan tanpa bicara. Dalam hal itu, ia selalu bicara tentang
hal-hal yang begitu baik dan bijak sehingga seakan-akan ada seorang rahib tengah membacakan kehidupan para santo buat kami.
Hari itu aku tidak tahan untuk tidak menanyakan lebih jauh tentang masalah kuda tadi.
"Namun," kataku, "waktu membaca jejak-jejak di salju dan ranting-ranting yang patah, Guru belum kenal Brunellus. Dalam artian tertentu, jejak-jejak itu membicarakan tentang semua kuda, atau paling sedikit semua kuda keturunan itu. Lalu, apa kita tidak boleh mengatakan bahwa buku alam hanya membicarakan tentang intisari, seperti yang diajarkan oleh banyak teolog terkenal""
"Tidak sepenuhnya benar, Adso terkasih," jawab guruku. "Memang, jenis jejak itu mengungkapkan kepadaku, jika kau sependapat, ide tentang 'kuda', verbum mentis[kata Jiwa - penrj] itu, dan seharusnya mengungkapkan hal yang sama kepadaku di mana pun aku mungkin menemukannya. Tetapi jejak di tempat itu, dan pada jam itu hari ini, menunjukkan kepadaku bahwa paling sedikit salah seekor dari semua kuda yang mungkin ada, telah melewati jalan itu. Jadi, aku menemukan bahwa ternyata aku berdiri di antara persepsi dari konsep 'kuda' dan pengetahuan tentang seekor kuda tertentu. Dan toh, apa yang kuketahui tentang kuda pada umumnya cocok dengan jejak-jejak itu, jejak tapak kaki kuda yang istimewa. Boleh dibilang saat itu aku terperangkap di antara keistimewaan jejak itu dan ketidaktahuanku, yang merumuskan bentuk amat
transparan dari suatu ide tentang kuda pada umumnya. Jika melihat sesuatu dari kejauhan, dan kau tidak mengerti apa itu, kau akan puas dengan menggambarkannya sebagai sosok dari suatu dimensi. Kalau lebih mendekat, maka kau akan menggambarkannya sebagai seekor binatang, bahkan jika belum tahu itu kuda atau bagal.
Dan akhirnya, kalau lebih dekat lagi, kau akan bisa mengatakan bahwa itu seekor kuda meskipun belum tahu apa itu si Brunellus atau si Niger. Dan baru kalau sudah berada pada jarak yang memadai, kau akan melihat bahwa itu si Brunellus (atau, lebih tepatnya, kuda itu dan bukan yang lain, apa pun nama yang akan kauberikan). Dan itu benar-benar suatu pengetahuan, pelajaran tentang keistimewaan. Maka satu jam yang lalu aku bisa mengharapkan semua kuda, tetapi bukan karena intelekku luas, tetapi karena aku kurang pintar menarik kesimpulan. Dan kerinduan intelekku baru terpuaskan ketika melihat si kuda yang tali kekangnya dipegangi oleh para rahib tersebut. Saat itu aku baru betul-betul tahu bahwa penalaranku yang sebelumnya telah mendekatkan aku kepada kebenaran. Begitu pula ide-ide yang kugunakan sebelumnya, untuk membayangkan seekor kuda yang belum lagi kulihat, adalah pertanda murni, karena jejak tapak kuda di atas salju itu adalah pertanda dari ide tentang 'kuda'; dan pertanda dari pertanda hanya dipakai kalau kita tidak punya apa-apa."
Pada kesempatan lainnya aku sudah mende-
ngar guruku bicara dengan amat skeptis tentang ide-ide universal dan dengan penghargaan besar terhadap benda-benda tertentu, dan setelah itu, juga, kukira ia memiliki kecenderungan ini karena ia seorang Inggris sekaligus seorang Fransiskan. Tetapi hari itu ia sudah kehabisan tenaga untuk melakukan perdebatan teologis, jadi aku meringkuk di tempat yang disediakan untukku, menutupi tubuhku dengan selimut dan tidur dengan nyenyak.
Siapa pun yang masuk akan mengira aku sebuah bungkusan. Dan jelas Abbas mengiranya begitu ketika mengunjungi William menjelang jam ketiga. Dengan cara itu aku bisa mendengarkan, tanpa diperhatikan, percakapan mereka yang pertama.
MAKA Abbas itu datang. Ia minta maaf karena mengganggu, mengulangi sambutannya, dan mengatakan bahwa ia harus bicara dengan William secara pribadi, tentang suatu masalah yang amat serius.
Ia mulai dengan memberi selamat atas keterampilan yang diperagakan tamunya dalam masalah kuda tersebut, dan menanyakan bagaimana Wi
lliam mampu memberikan informasi tepercaya seperti itu tentang hewan yang belum pernah dilihatnya. William menjelaskan dengan singkat tanpa menceritakan secara terperinci, dan
Abbas itu memuji-muji kecerdasan William. Katanya, seharusnya ia sudah tahu bahwa tidak kurang dari itu yang ia harapkan dari seseorang yang memang sudah punya reputasi sebagai orang amat bijak. Ia menyatakan sudah menerima surat dari Abbas dari Farfa yang tidak hanya menceritakan tentang misi William atas nama Kaisar (yang akan mereka bicarakan pada hari-hari mendatang) tetapi juga menambahkan bahwa guruku pernah menjadi inkuisitor dalam beberapa pengadilan Inkuisisi di Inggris dan Italia, dan di situ ia mencolok karena cerdas di samping amat rendah hati.
"Aku senang sekali mengetahui," lanjut Abbas itu, "bahwa dalam banyak sekali kasus kau memutuskan terdakwa tidak bersalah. Aku percaya, dan tidak pernah lebih daripada selama hari-hari menyedihkan itu, bahwa Iblis terus-menerus hadir dalam masalah manusia" dan tanpa kentara ia memandang sekeliling, seakan takut ada musuh bersembunyi di dalam tembok-tembok itu-"tetapi aku juga percaya bahwa Iblis sering bekerja lewat penyebab kedua. Dan aku tahu ia dapat mendorong korbannya untuk melakukan kejahatan dengan cara sedemikian rupa sehingga kesalahannya menimpa orang yang tak bersalah, dan Yang Jahat bergembira ketika orang yang tak bersalah itu dibakar dalam tempat kediamannya. Para inkuisitor sering, untuk mendemonstrasikan semangat mereka, dengan segala cara memaksa terdakwa mengaku, karena mengira bahwa inkuisitor yang baik adalah yang menyelesaikan pengadilan itu
dengan menemukan seekor kambing hitam
"Seorang inkuisitor, juga bisa didorong oleh Iblis," kata William.
"Itu mungkin," Abbas itu mengakui dengan amat hati-hati, "karena tujuan Yang Mahakuasa tak dapat diduga, dan semoga jangan sampai aku mencurigai orang orang hebat seperti itu sedikit pun.
Memang, hari ini aku membutuhkan Anda sebagai salah seorang dari mereka. Dalam biara ini telah terjadi sesuatu yang menuntut perhatian dan pertimbangan dari seseorang yang tajam dan bijaksana seperti Anda. Tajam dalam membuka rahasia, dan bijaksana (jika perlu) dalam menutup rahasia. Jika seorang gembala khilaf, ia hanya perlu dikucilkan dari para gembala lainnya, tetapi celakalah kita jika biri-biri mulai tidak memercayai para gembala."
"Aku paham maksud Anda," kata William. Aku sudah pernah mengamati bahwa kalau William mengungkapkan dirinya sendiri begitu cepat dan dengan sopan, biasanya ia mencoba menutupi, dalam suatu cara yang tulus, bahwa ia tidak sepakat atau bingung.
"Karena alasan ini," Abbas itu melanjutkan, "aku mempertimbangkan bahwa setiap kasus yang melibatkan kesalahan seorang gembala hanya bisa dipercayakan kepada orang-orang seperti Anda, yang bisa membedakan, tidak hanya antara yang baik dan yang jahat, tetapi juga yang bermanfaat atau tidak. Rasanya kukira Anda hanya akan menyatakan seseorang bersalah kalau
"... terdakwa bersalah telah melakukan tindakan kriminal, meracuni, atau memanfaatkan pemuda yang masih murni, atau kejahatan lain yang tidak berani diucapkan oleh mulutku
"... bahwa Anda menyatakan seseorang bersalah hanya kalau," lanjut Abbas itu, tanpa memedulikan interupsi tersebut, "kehadiran Iblis begitu nyata di hadapan semua mata sehingga tidak mungkin bertindak yang sebaliknya tanpa pengampunan itu jadi lebih keji daripada kejahatan itu sendiri."
"Kalau aku menemukan seseorang bersalah," William menjelaskan, "ia harus betul-betul melakukan kejahatan yang sedemikian gawat sehingga benar-benar bisa kuserahkan ke tangan sekulir."
Abbas itu bingung sejenak. "Mengapa," tanyanya, "Anda bersikeras membicarakan tindakan kriminal tanpa mengacu kepada alasan jahat mereka""
"Karena mempertimbangkan bahwa alasan dan efek adalah hal yang amat sulit, dan aku percaya hanya Tuhan yang dapat menghakimi.
Pasukan Pembunuh 2 Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala Pendekar Latah 2
^