Pencarian

The Name Of Rose 3

The Name Of The Rose Karya Umberta Eco Bagian 3


Waktu memasuki dapur yang luas itu, aku menyadari bahwa seluruh tinggi Aedificium itu mengelilingi suatu bidang oktagonal; kelak kupahami sebagai semacam sumur besar sekali, yang tidak bisa dimasuki. Pada setiap lantai, jendela-jendela besar, seperti jendela-jendela di bagian-luar, membuka ke arah itu. Dapur itu berupa suatu aula depan yang penuh asap. Banyak pelayan sibuk menyiapkan h
idangan malam di situ. Di atas sebuah meja besar dua pelayan sedang membikin pai dari sayuran, barley, oat, dan gandum, memotong-motong lobak, seledri, lobak merah, dan wortel.
Di dekatnya, seorang koki lain baru selesai merendam beberapa ikan dalam suatu campuran anggur dan air, dan membubuhi ikan itu dengan saus dari saga, peterseli, daun salam, bawang, merica, dan garam.
Di bawah menara barat ada sebuah pemanggangan roti yang besar; apinya sudah memerah. Di menara selatan ada sebuah tungku besar sekali, di atasnya panci-panci besar mulai mendidih dan panggangan daging mulai berputar. Para gembala
membawa daging babi yang sudah disembelih masuk dapur melalui pintu yang membuka ke peternakan di belakang gereja. Kami keluar lagi lewat pintu yang sama itu dan sampai ke halaman, di ujung timur laut tempat itu, menghadap tembok-tembok, di mana berdiri banyak bangunan.
Severinus menjelaskan kepadaku bahwa bangunan yang pertama adalah serangkaian lumbung, kemudian kandang kuda, lalu kandang sapi, dan sesudah itu petarangan ayam, dan halaman berpagar untuk biribiri.
Di luar kandang babi, para gembala tengah mengaduk sebuah belanga besar berisi darah dari babi yang baru saja disembelih, agar tidak membeku. Jika diaduk secara langsung dan tepat, darah itu akan tetap cair selama beberapa hari, berkat cuaca dingin, dan kemudian dapat dibikin saren.
Kami masuk kembali ke dalam Aedificium dan melirik sebentar ke ruang makan ketika menyeberanginya, menuju ke arah menara timur.
Dari dua menara yang di tengahnya dibangun ruang makan itu, yang utara ditempati sebuah tungku, dan yang lain sebuah tangga melingkar menuju skriptorium di lantai atas. Lewat tangga ini para rahib naik ke tempat kerja mereka setiap hari, atau lewat dua tangga lainnya, kurang nyaman tetapi cukup hangat, yang naik dalam bentuk spiral di balik tungku di sini dan di balik pemanggangan di dapur.
William bertanya apa ada orang dalam skrip-
torium karena ini hari Minggu. Severinus tersenyum dan mengatakan bahwa kerja, bagi rahib Benediktin, adalah berdoa. Ibadat pada hari Minggu berlangsung lebih lama, tetapi para rahib yang bertugas mengerjakan buku akan melewatkan beberapa jam di atas sana, biasanya bertukar pikiran yang bermanfaat tentang observasi ilmiah, saling minta pendapat, dan melakukan refleksi tentang Injil Suci. []
Setelah Nona Dalam cerita ini mereka mengunjungi skriptorium, dan bertemu dengan banyak sarjana, penyalin, dan rubrikator,juga seorang tua buta yang tengah mengharapkan kedatangan Antikritus itu.
Ketika kami mendaki tangga aku melihat gu-
ruku mengamati jendelajendela yang menerangi tangga. Bisa jadi aku lebih pintar daripadanya, karena aku langsung memerhatikan bahwa posisi jendelajendela itu akan membuat orang sulit mencapainya. Di lain pihak, jendela-jendela ruang makan (hanya jendela di ruang makan itu yang menghadap permukaan jurang) agaknya juga tidak mudah dicapai, karena di bawah jendela jendela itu tidak ada apa-apa.
Waktu sampai di ujung atas tangga itu, kami menerobos menara timur masuk ke skriptorium, dan di sana aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berseru keheranan. Lantai ini tidak dibagi dua seperti lantai di bawahnya, dan di mataku tampak begitu amat luas. Langit-langitnya, melengkung tetapi tidak terlalu tinggi (lebih rendah daripada dalam sebuah gereja, tetapi masih lebih tinggi daripada dalam setiap biara yang pernah kulihat),
ditunjang oleh pilar-pilar kukuh, di tengahnya ada suatu ruang yang diliputi cahaya paling indah, karena pada setiap sisinya yang panjang ada tiga jendela besar yang terbuka, sementara ada satu jendela lebih kecil pada masing-masing lima sisi luar masing-masing menara. Akhirnya, delapan jendela tinggi, tidak lebar, membuat cahaya bisa masuk dari sumur di tengah yang oktagonal itu.
Banyaknya jendela membuat ruangan besar itu diperindah oleh suatu cahaya yang terus-menerus menyebar, bahkan pada sore hari di musim dingin. Kaca jendelanya tidak berwarna seperti jendela gereja, dan kaca jernih persegi berbingkai timah itu membuat cahaya bisa masuk dalam kemungkinan cara pal
ing murni, tidak dimodulasi oleh seni manusia, dan karenanya cocok dengan tujuannya, yaitu menerangi pekerjaan membaca dan menulis. Pada waktu dan tempat lainnya aku sudah melihat banyak skriptorium, tetapi tidak ada yang seterang itu. Dalam curahan cahaya fisik yang membuat ruangan itu terang benderang, prinsip spiritual yang dilahirkan kembali oleh cahaya itu, terang benderang, sumber semua keindahan dan pengetahuan, proporsi ruangan itu mengandung sifat tak terpisahkan. Karena ada tiga hal yang sekaligus menciptakan keindahan: yang paling penting adalah integritas atau kesempurnaan, dan untuk alasan ini semua benda yang tidak lengkap dianggap jelek; kemudian proporsi atau konsonansi yang pas; dan akhirnya kejernihan dan cahaya, dan
benda-benda yang punya warna tertentu memang kita anggap indah. Dan karena keindahan yang tampak itu memberi kesan damai, dan karena selera kami juga ditenangkan oleh kedamaian, oleh yang baik, dan oleh yang indah, aku merasa seluruh diriku merasa amat terhibur dan kubayangkan betapa menyenangkan bekerja di tempat itu.
Seperti yang kusaksikan dengan kedua mataku pada sore hari itu, bagiku tempat itu seolah suatu bengkel pengetahuan yang menyenangkan. Kelak aku melihat skriptorium yang sama besarnya di St. Gall, juga terpisah dari perpustakaan (di biara lainnya para rahib bekerja di mana buku-buku juga disimpan), tetapi tidak ditata seindah yang ini. Ahli purbakala, pustakawan, rubrikator, dan sarjana duduk di sana, masing-masing di meja tulisnya sendiri, dan ada satu meja tulis di bawah masing masing jendela.
Dan karena di sana ada empat puluh jendela (sungguh jumlah yang sempurna, diambil dari penggandaan quadragon, seakan Sepuluh Perintah Allah dilipatgandakan oleh kebaikan bilangan pokok empat), empat puluh rahib dapat bekerja berbarengan, meskipun waktu itu mungkin hanya tiga puluh. Severinus menjelaskan kepada kami bahwa rahib yang bekerja di skriptorium dibebaskan dari ibadat tersiat, sexta, dan nona, sehingga tidak usah meninggalkan pekerjaan mereka selama siang hari, dan baru berhenti bekerja setelah matahari terbenam, untuk vespers.
Tempat yang paling terang disediakan untuk
ahli purbakala, ahli gambar terbaik, rubrikator, dan penyalin buku. Masing-masing meja tulis dilengkapi segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menggambar dan menyalin: tempat tinta, pena bulu ayam lancip yang waktu itu beberapa rahib sedang meruncingkannya dengan pisau tipis, batu apung untuk melicinkan perkamen, penggaris untuk menggambar garis yang akan diikuti oleh tulisan. Di sebelah masing-masing penulis, atau di atas meja tulis yang miring itu, ada sebuah lesnar untuk meletakkan naskah yang akan disalin, halamannya ditutupi dengan suatu lembaran dengan lubang yang membingkai baris yang sedang disalin waktu itu. Dan ada yang punya tinta emas dan berbagai warna. Rahib lainnya sekadar membaca buku, dan mereka menuliskan anotasi mereka dalam bloknot atau di atas batu tulis.
Bagaimanapun juga, aku tidak punya waktu untuk mengamati pekerjaan mereka, karena pustakawan itu mendatangi kami. Kami sudah tahu bahwa dia adalah Maleakhi dari Hildesheim. Wajahnya berusaha menunjukkan ekspresi menyambut dengan baik, tetapi aku tidak tahan untuk tidak gemetar melihat suatu roman muka yang ganjil semacam itu. Orangnya jangkung dan sangat kurus, dengan kaki besar dan aneh. Ketika ia melangkah dengan lebar, dalam jubah hitam ordo itu, ada sesuatu yang tidak menyenangkan dengan penampilannya.
Tudung jubahnya, yang masih dikenakan karena baru masuk dari luar, melemparkan bayang-bayang
pada kepucatan wajahnya dan memberikan suatu kualitas penderitaan tertentu pada matanya yang besar dan melankolis. Dalam fisiognominya[Ilmu wajah (penggambaran kualitas watak dan sikap seseorang)- pen.] ada sesuatu yang agaknya merupakan bekas dari banyak gairah yang telah didisiplinkan oleh keinginannya tetapi yang seakan membekukan roman yang sekarang sudah tidak lagi hidup itu. Kesedihan dan kekerasan menonjolkan garis-garis wajahnya, dan matanya begitu tajam sehingga dengan satu lirikan saja kedua mata itu dapat menembus jantung orang
yang berbicara dengannya, dan membaca rahasia pikiran, sehingga sulit menoleransi pertanyaan kedua mata itu dan orang tidak akan tergoda untuk bertemu dengan mata itu lagi untuk kedua kalinya.
Maleakhi memperkenalkan kami kepada rahib-rahib yang waktu itu tengah bekerja. Ia juga menyebutkan tugas mereka masing-masing, dan aku mengagumi devosi[Kebaktian yang tidak resmi, misalnya doa rosario, penghormatan kepada santo-pen.] mendalam dari mereka semua kepada ilmu pengetahuan dan kepada studi tentang sabda suci. Maka aku berkenalan dengan Venantius dari Salvemec, penerjemah dari bahasa Yunani dan Arab, pemuja Aristoteles yang tampak jelas paling bijaksana dari semua orang. Benno dari Uppsala, seorang rahib bangsa Skandinavia yang mempelajari retorika. Aymaro dari Alessandria, yang baru beberapa bulan menyalin buku buku yang dipinjamkan pada perpustakaan, dan kemudian
sekelompok pelukis dari berbagai negara, Patrick dari Clonmacnois, Rabano dari Toledo, Magnus dari Iona, Waldo dari Hereford.
Daftar ini masih bisa ditambah, dan tidak ada yang lebih mengagumkan daripada sebuah daftar, alat pengandaian yang mengagumkan. Tetapi aku harus mengikuti pembicaraan kami, yang dari situ muncul banyak indikasi berguna yang menunjukkan adanya kegelisahan tidak kentara di kalangan para rahib itu, dan beberapa keprihatinan, yang tidak diungkapkan, dan masih membebani semua percakapan kami.
Guruku mulai bicara dengan Maleakhi, sementara memuji keindahan dan ketekunan para rahib di skriptorium, dan menanyakan prosedur untuk pekerjaan yang diselesaikan di sini, karena, katanya dengan penuh semangat, ia sudah mendengar perpustakaan ini dibicarakan di mana-mana, dan ingin tahu lebih banyak buku-buku itu. Maleakhi menjelaskan kepadanya seperti yang sudah dikatakan sang Abbas: seorang rahib meminta kepada pustakawan buku yang ingin ia pakai berkaitan dengan pekerjaannya, dan jika permintaan itu dapat dibenarkan dan tulus, maka pustakawan itu pergi mengambilkannya dari perpustakaan di atas. William menanyakan cara agar ia bisa menemukan judul-judul buku yang disimpan dalam kotak-kotak di atas, dan Maleakhi menunjukkan sebuah naskah kuno amat tebal berisi daftar yang ditulis dengan amat rapat, diikat dengan sebuah rantai emas di atas meja tulisnya
sendiri. William menyelipkan tangannya ke dalam jubah, di tempat di mana jubah itu menggelembung di atas dadanya yang membentuk semacam kantong, dan dari situ ia mengeluarkan benda yang sudah pernah kulihat selama perjalanan kami, dan menempelkannya pada wajahnya.
Itu berupa jepitan bercabang, dibuat sedemikian rupa sehingga tetap menempel pada hidung seseorang (atau paling tidak menempel pada hidungnya, begitu bengkok dan kuat) bak seorang penunggang kuda duduk tegak di atas kudanya atau seekor burung bergantung pada tempatnya bertengger. Dan pada kedua sisi jepitan itu, di depan matanya, ada dua bingkai lonjong dari metal, yang menahan dua kaca bulat lonjong, setebal alas botol. William lebih suka membaca dengan ini di depan matanya, dan ia bilang kaca itu membuat pandangannya lebih baik daripada apa yang dikaruniakan oleh alam atau daripada yang dimungkinkan oleh usianya yang sudah lanjut, terutama jika cahaya siang meredup. Lensa itu tidak bisa ia gunakan untuk melihat dari jarak jauh, karena pada usianya sekarang, sebaliknya, matanya amat tajam, tetapi ia gunakan untuk melihat yang dekat sekali.
Dengan kedua lensa itu ia bisa membaca naskah yang hurufnya amat kecil, yang bahkan aku sendiri sulit
membacanya. Ia menjelaskan kepadaku bahwa kalau seseorang sudah melewati separuh hidupnya,
meskipun penglihatannya dulu selalu bagus sekali, mata akan mengeras dan pupilnya dalam keadaan bersifat melawan. Maka, sejauh berkaitan dengan membaca dan menulis, banyak orang terpelajar pada dasarnya sudah mati setelah melewati musim panasnya yang kelima puluh. Suatu malapetaka menyedihkan bagi orang-orang yang seharusnya dapat memberikan buah terbaik dari inteleknya selama banyak tahun lagi. Jadi, Terpujilah Tuhan karena ada seseorang yang telah merancang dan membuat alat ini. Dan ia menceritakan hal in
i dalam rangka mendukung ide-ide dari Roger Bacon-nya, yang telah mengatakan bahwa belajar juga bertujuan memperpanjang hidup manusia.
Rahib-rahib lainnya memandang William dengan penuh rasa ingin tahu tetapi tidak berani mengajukan pertanyaan. Dan aku memerhatikan bahwa, bahkan dalam suatu tempat yang secara begitu bersemangat dan bangga mengabdi baca tulis, alat mengagumkan itu belum sampai ke situ. Aku merasa bangga mendampingi seseorang yang punya sesuatu yang dapat membuat orang lain yang terkenal bijaksana di dunia ini jadi terpana.
Dengan benda itu pada kedua matanya, William membungkuk di atas daftar yang tertera dalam naskah kuno itu. Aku juga ikut melihat, dan kami menemukan judul-judul buku yang belum pernah kami dengar, dan buku-buku lain paling terkenal, yang dimiliki perpustakaan tersebut.
"De pentagono Salomonis, Ars loquendi et
intelligence in lingua hebraica, De rebus metallicis oleh Roger dari Hereford, Algebra oleh Al-Kuwarizmi, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robertus Anglicus, Punica oleh Silius Italicus, Gesta francorum, De laudibus sanctae crucis oleh Rabanus Maurus, dan Flavii Claudii Giordani de aetate mundi et hominis reservatis singulis litteris per singulos libros ab A usque ad Z," guruku membaca. "Karya-karya luar biasa. Tetapi buku-buku itu didaftar menurut apa"" Ia mengutip dari suatu teks yang aku tidak tahu tetapi yang jelas sudah dikenal Maleakhi, "'Pustakawan harus punya daftar dari semua buku, secara cermat diurutkan menurut subjek dan pengarang, dan buku-buku itu harus diklasifikasi di atas rak buku dengan petunjuk nomor urut.' Bagaimana kau tahu sanding-kata dari setiap buku""
Maleakhi menunjukkan William beberapa anotasi di samping setiap judul. Aku membaca "iii, IV gradus, V dalam prima graecorum"; "ii, V gradus, VII dalam tersiat anglorum", dan seterusnya. Aku memahami bahwa nomor yang pertama menunjukkan posisi buku itu di rak nomor berapa atau gradus, yang pada gilirannya ditunjukkan oleh nomor kedua, sementara lemarinya ditunjukkan oleh nomor ketiga; dan aku juga paham bahwa frasa-frasa lainnya menunjukkan ruangan atau gang dalam perpustakaan itu, dan aku memberanikan diri untuk meminta informasi lebih jauh tentang tanda-tanda yang terakhir ini. Maleakhi memandangku dengan galak, "Mungkin kau tidak tahu, atau sudah lupa,
bahwa hanya pustakawan yang diizinkan masuk ke dalam perpustakaan. Karenanya anotasi itu tepat dan singkat sehingga hanya pustakawan yang tahu cara menjabarkannya."
"Tetapi buku-buku tersebut dicatat menurut apa dalam daftar ini"" tanya William. "Agaknya tidak menurut subjeknya." Ia tidak menyarankan urutan menurut nama pengarang yang diurutkan secara alfabetis, karena ini suatu sistem yang menurutku baru bisa diterima beberapa tahun lalu, dan waktu itu masih jarang digunakan.
"Perpustakaan ini sudah ada sejak zaman dulu," kata Maleakhi, "dan buku-bukunya dicatat menurut tanggal penerimaan, sumbangan, atau masuknya di dalam dinding kami."
"Kalau begitu, buku-buku itu sulit dicari," William memberi kesan.
"Pustakawan sudah cukup hafal buku-buku itu dan tahu kapan setiap buku itu datang ke sini. Akan halnya rahib lainnya, mereka bisa memercayai ingatan pustakawan." Maleakhi bicara seakan membicarakan orang ketiga, bukan dirinya sendiri, dan aku menyadari bahwa ia tengah membicarakan jabatan yang pada waktu itu tidak pantas dipegangnya, tetapi yang sudah dipegang oleh seratus orang lainnya, sekarang sudah meninggal, yang telah menurunkan pengetahuan mereka dari satu ke lain pustakawan.
"Aku mengerti," kata William. "Jika kemudian aku mau mencari sesuatu, entah buku apa, tentang pentagon dari Salomon misalnya, kau tentu bisa
mengatakan kepadaku bahwa judul buku yang belum lama kubaca itu ada di sini, dan kau dapat mengenali lokasinya di lantai atas."
"Andaikan kau sungguh-sungguh harus mempelajari sesuatu tentang pentagon dari Salomon," kata Maleakhi. "Tetapi sebelum memberimu buku itu, aku lebih suka minta nasihat Abbas dulu."
"Kudengar belum lama ini salah seorang pelukis-mu yang terbaik meninggal dunia," kata William kemudian. "Abbas sudah
banyak bercerita tentang seni lukisnya. Apa aku bisa melihat naskah-naskah yang ia beri lukisan""
"Karena masih muda, Adelmo dari Otranto," kata Maleakhi, sambil memandang William dengan curiga, "hanya mengerjakan lukisan pada garis tepi. Ia punya imajinasi yang amat hidup dan karena tahu banyak, dan dari benda yang dikenal ia mampu menyusun benda tidak dikenal dan mengherankan, misalnya menyambung suatu tubuh manusia pada suatu leher kuda. Buku-bukunya ada di sana. Belum ada yang menyentuh meja tulisnya."
Kami menghampiri apa yang dulunya merupakan tempat kerja Adelmo, berlembar-lembar kitab Mazmur yang dihiasi banyak lukisan masih tergeletak di sana. Lembaran berukuran folio itu terbuat dari kulit hewan yang paling halus ratu di antara perkamen dan yang terakhir masih terbentang di atas meja tulis itu. Belum lama digosok dengan batu apung dan diempukkan dengan kapur, perkamen itu sudah diketam sampai halus dan, dari lubang-lubang kecil bekas tusukan jarum
pada sisi-sisinya, sudah dibuat semua garis yang akan membimbing tangan seniman itu. Separuhnya sudah dipenuhi dengan tulisan, dan rahib itu sudah mulai membuat sketsa ilustrasi garis tepinya. Lembaran lainnya, malahan sudah selesai, dan ketika kami mengamati lembaran-lembaran itu, aku maupun William tidak tahan untuk tidak berseru kagum. Ini adalah kitab Mazmur yang garis tepinya melukiskan suatu dunia yang bertolak belakang dengan dunia yang dikenal baik oleh indra kita. Pada garis tepi suatu tulisan yang isinya tentang kebenaran, seakan menyambung, erat berkaitan dengan itu, melalui kiasan teka-teki mengagumkan, dengan suatu tulisan tentang kebohongan di atas alam semesta yang tunggang-balik. Di situ anjing dikejar kelinci, dan kijang memburu singa. Ada kepala burung kecil berwujud kaki, hewan dengan tangan manusia pada punggung mereka, makhluk dengan kepala berbulu yang dari situ mencuat kaki-kaki, naga dengan loreng zebra, hewan berkaki empat dengan leher menyerupai ular berkeluk-keluk dalam seribu simpul tak mungkin diurai, kera dengan tanduk rusa jantan, perempuan perayu dalam bentuk unggas dengan sayap-sayap berselaput, orang tanpa lengan dengan tubuh manusia lain muncul dari punggung mereka seperti punuk, dan sosok-sosok dengan mulut penuh gigi pada perutnya. Ada pula manusia berkepala kuda, dan kuda berkaki manusia, ikan bersayap burung dan burung berekor ikan, monster dengan satu tubuh dan dua kepala atau satu kepala dengan dua
tubuh, sapi dengan ekor ayam jantan dan sayap kupu-kupu. Juga gambar perempuan dengan kepala bersisik seperti punggung seekor ikan, kimera berkepala dua berjalin dengan capung dengan moncong kadal, centaurus, naga, gajah, mantikor berbaring telentang di atas dahan, grifon bertubuh singa dengan kepala dan sayap elang yang ekornya berbentuk sebuah busur siap tempur, makhluk menyeramkan dengan leher yang tak ada akhirnya, serentet binatang antropomorfik dan zoomorfik kerdil bergabung, kadang-kadang pada halaman yang sama.
Adegan kesibukan sehari-hari digambarkan dengan semangat yang begitu mengesankan sehingga sosok-sosok itu seakan hidup, semua kehidupan di sawah, orang-orang sedang membajak, memetik buah, menuai, perempuan-perempuan sedang menenun, penabur benih bersama-sama rubah, dan musang bersenjatakan busur-salib tengah memanjat dinding sebuah kota bermenara yang dijaga kera-kera. Di sini suatu huruf awal, dibengkokkan menjadi sebuah huruf L, yang bagian bawahnya membangkitkan seekor naga; ada sebuah huruf V besar sekali, yang memulai kata "verba", diteruskan menjadi suatu tunas alami dari batangnya, seekor ular dengan seribu gelungan, yang pada gilirannya melahirkan ular-ular lainnya sebagai daun dan tandan.
Di samping kitab Mazmur itu, jelas belum lama selesai, ada suatu buku tentang waktu yang indah sekali, begitu kecil sehingga bisa digenggam
tangan. Tulisannya amat lembut, lukisan tepinya hampir tidak dapat dilihat pada pandangan pertama. Mata kita dituntut mengamati dengan cermat untuk mengungkap semua keindahannya (dan kau bertanya dalam hati dengan alat supramanusiawi apa seniman itu telah melukiskannya untuk memp
eroleh efek begitu jelas dalam suatu ruang yang amat kecil). Seluruh tepi buku itu dikuasai oleh bentuk-bentuk mini yang saling membangkitkan, seakan oleh ekspansi alami, dari gulungan akhir huruf-huruf yang dituliskan dengan amat indah itu: duyung laut, rusa berlarian, kimera, torso manusia tanpa lengan yang muncul bak siput-siput dari tubuh syair itu. Pada satu titik, seakan untuk melanjutkan tiga kali "Sanctus, Sanctus, Sanctus", yang diulang pada baris-baris yang berbeda, tampak tiga sosok buas dengan kepala manusia, dua di antaranya bengkok, satu ke bawah dan satu ke atas, bergabung dalam suatu ciuman yang kau tidak akan ragu menyebutnya tidak sopan jika tidak tergoda membayangkan, bahkan jika tidak tampak jelas, adanya suatu makna spiritual kuat yang sudah tentu membenarkan ilustrasi itu.
Sementara mengikut i halaman-halaman itu aku terpecah antara mengagumi dengan diam dan tertawa, karena semua ilustrasi itu sendiri telah mengilhami kegembiraan, meskipun mengomentari halaman suci. Dan Bruder William memeriksa ilustrasi itu dengan tersenyum dan berkomentar, "Babewyn; begitu istilahnya di kepulauanku."
"Babouins; begitu istilahnya dalam bahasa Gali-
lea," kata Maleakhi.
"Adelmo belajar melukis di negaramu, meskipun ia juga belajar di Prancis. Babun, maksudnya: kera dari Afrika. Figur-figur dari suatu dunia yang terbalik, di mana rumah-rumah berdiri di ujung menara dan bumi berada di atas langit."
Aku ingat beberapa syair yang pernah kudengar di pinggiran desaku, dan aku tidak tahan untuk tidak mengulanginya:
Aller wunder si geswigen,
das erde himel hat uberstigen,
daz sult ir vur ein wunder wigen.
[Semua keajaiban terjadiildi dunia tempat kita singgahildan tak cuma satu keajaiban- penerj.]
Dan Maleakhi melanjutkan, sambil mengutip dari teks yang sama:
Erd ob un himel unter, das sult ir han besunder vur aller wunder ein wunder.[
Bumi di bawah surga di atasildan tak hanya jalan orang berdosailkarena semua keajaiban hanya
sekadar keajaiban- penerj.]
"Kau hebat, Adso," lanjut pustakawan itu. "Nyatanya, gambargambar ini menceritakan tentang negeri yang bisa kaucapai dengan menunggang seekor itik biru, di mana ditemukan burung elang yang menangkap ikan dalam sebuah sungai, beruang yang mengejar burung elang pemburu di langit, udang galah yang terbang bersama merpati,
dan tiga raksasa terperangkap dalam sebuah jala dan digigiti seekor ayam jantan."
Dan muncul sebuah senyum tipis yang membuat bibirnya ceria.
Kemudian para rahib lainnya, yang telah mengikuti percakapan itu dengan agak malu-malu, tertawa terbahak-bahak, seakan dari tadi menunggu izin dari pustakawan tersebut. Pustakawan itu mengerenyitkan kening ketika yang lain-lainnya terus tertawa, sambil memuji keterampilan Adelmo yang malang dan saling menceritakan gambar-gambar yang lebih fantastis. Dan ketika kami masih tertawa itulah kami mendengar, di belakang kami, suatu suara yang saleh dan galak.
"Verba vana aut risui apta non loqui."["Tidak bicara kata-kata yang mubazir dan yang pantas ditertawakan,"-penerj.] Kami menoleh. Yang bicara adalah seorang rahib yang bongkok karena beban usianya, seorang tua yang putih bagaikan salju, tidak hanya kulitnya, tetapi juga wajah dan pupilnya. Ternyata ia buta. Suara itu masih amat jelas dan kaki itu masih amat kuat, biarpun tubuh itu sudah renta oleh usia. Ia menatap kami seakan bisa melihat kami, dan sejak itu aku selalu melihatnya bergerak dan berbicara seakan ia masih dikaruniai penglihatan. Tetapi nada suaranya adalah nada suara seseorang yang hanya memiliki karunia meramal.
"Orang yang kalian lihat ini, patut dimuliakan dalam usia dan kebijaksanaan," kata Maleakhi kepada William sambil menuding pendatang baru itu,
"adalah Jorge dari Burgos. Lebih tua daripada siapa saja yang tinggal di biara ini kecuali Alinardo dari Grottaferrata, ia adalah orang yang dipercaya oleh banyak rahib di sini untuk meringankan dosa mereka dalam rahasia pengakuan dosa." Kemudian, sambil menoleh kepada orang tua itu, ia berkata, "Orang yang berdiri di hadapanmu adalah Bruder William dari Baskerville, tamu kita."
"Kuharap kata-kataku tidak membuatmu marah," kata orang tua itu dalam nada kaku. "Aku mendengar orang menertawai hal-hal yang lucu dan aku mengingatkan mereka akan salah satu prinsip dari Regula kita. Dan seperti dikatakan oleh penulis Mazmur, jika seorang rahib harus menahan diri dari kata-kata yang baik karena sumpah diamnya, apa alasannya maka ia harus menghindari kata-kata buruk. Karena ada kata-kata buruk maka juga ada gambar-gambar buruk. Dan itu semua adalah kata dan gambar yang berbohong tentang penciptaan dan menunjukkan dunia sebagai berlawanan dengan yang seharusnya ada, selama ini selalu begitu, dan akan begitu sepanjang abad sampai akhir zaman. Tetapi kau datang dari ordo lain, ordo yang memandang kegembiraan, bahkan jenis yang paling tidak disengaja, dengan ketaatan." Ia mulai mengulangi apa yang dikatakan para rahib Benediktin tentang keeksentrikan Santo Fransiskus Assisi, dan mungkin juga perilaku ganjil yang ditunjukkan oleh para imam dan rahib Spiritual dari setiap macam sempalan paling baru dan memalukan dari ordo Fransiskan. Tetapi William tidak
menunjukkan tanda memahami sindiran itu.
"Gambar-gambar pinggir sering mendorong senyum, tetapi untuk memperbaiki tujuan," jawabnya. "Seperti dalam misa, untuk menyentuh imajinasi dari orang banyak yang taat, perlu diberi contoh, tidak selalu yang lucu, begitu pula wacana gambar harus ditunjukkan dalam hal-hal kecil ini. Bagi setiap kebajikan dan bagi setiap dosa, manusia mengambil contoh dari dunia binatang dan binatang mencontoh dunia manusia."
"Ah, ya," kata orang tua itu sambil mengejek, tetapi tanpa tersenyum. "Setiap gambar baik dimaksudkan untuk mengilhami kebajikan, asal jangan karya agung penciptaan, dibalik dengan kepala di bawah, dijadikan bahan tertawaan. Dan begitu pula kalau sabda Allah diberi ilustrasi dengan kuda bagal tengah memainkan kecapi, burung hantu membajak dengan sebuah tameng, kerbau memasang bajak sendiri, sungai mengalir ke hulu, lautan dimakan api, serigala berubah jadi petapa! Pergilah berburu kelinci dengan kerbau, suruh burung hantu mengajarimu tata bahasa, suruh anjing menggigit kutu, dan orang bermata satu menjaga orang bisu, dan suruh orang bisu minta roti, dan semut beranak kuda, ayam panggang terbang, kue tumbuh di atas atap, burung parkit mengajarkan retorika, ayam betina memandulkan ayam jantan, buatlah agar kereta berjalan di depan kerbau, anjing tidur di atas ranjang, dan semua berjalan dengan kepala di atas tanah! Apa tujuan dari semua omong kosong ini" Suatu dunia yang
merupakan kebalikan dan berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan, dengan dalih mengajarkan persepsi suci!"
"Tetapi seperti diajarkan oleh Areopagite," kata William dengan rendah hati, "Tuhan hanya dapat dikenali melalui hal-hal yang paling buruk. Dan Hugh dari St. Victor mengingatkan kita bahwa makin banyak kesamaan menjadi tidak serupa, dan makin banyak kebenaran diungkapkan kepada kita dengan kedok gambargambar tidak pantas dan mengerikan, makin sedikit imajinasi yang memuaskan kenikmatan jasmaniah, dan karenanya justru membantu kita menerima misteri yang tersembunyi di balik kejahatan gambargambar
"Aku sudah tahu jalan pikiran itu! Dan dengan malu aku mengaku bahwa itu adalah argumentasi pokok ordo kami waktu rahib Cluny berselisih dengan rahib Cistercia. Tetapi Santo Bernardus benar: orang yang menggambarkan makhluk-makhluk aneh dan isyarat alam untuk mengungkapkan hal-hal dari Tuhan per speculum et in aenigmate,[Lewat cermin dan dalam teka-teki- penerj.] sedikit demi sedikit jadi menikmati sifat keanehan yang ia ciptakan dan merasa senang dalam itu semua, dan akibatnya ia tidak bakal melihat Tuhan lagi kecuali lewat makhluk-makhluk aneh itu. Kalian bisa melihat, kalian yang masih punya penglihatan, pada kapital-kapital di gedung gerejamu." Dan ia menunjuk dengan tangannya jauh keluar jendela, ke arah gereja. "Di depan mata para rahib yang tekun bermeditasi, apa arti semua
gambar fantastik aneh itu, bentuk-bentuk seperti monster dan makhluk-makhluk rupawan aneh itu" Kera-kera mesum itu" Semua singa, centaurus, makhluk setengah m
anusia, dengan mulut pada perut mereka, dengan kaki satu, telinga seperti layar perahu" Semua harimau belang, kesatria yang sedang bertempur, pemburu yang meniup trompet mereka, dan satu kepala dengan banyak tubuh dan satu tubuh dengan banyak kepala" Binatang berkaki empat berekor ular, dan ikan berwajah binatang berkaki empat, dan di sini ada seekor binatang yang tubuh depannya seperti seekor kuda dan tubuh belakangnya seekor biri-biri, dan di sana ada seekor kuda bertanduk, dan selanjutnya. Sekarang ini rahib lebih senang membaca gambar daripada naskah, dan mengagumi karya-karya manusia daripada merenungkan hukum Tuhan. Memalukan! Demi nafsu mata kalian dan demi senyum kalian!"
Orang tua itu berhenti, napasnya terengah-engah. Dan aku mengagumi bahwa berkat memorinya yang jelas, mungkin sudah bertahun-tahun buta, ia masih bisa mengingat kembali gambar yang ia kutuk sebagai keji. Aku menduga bahwa saat melihatnya, gambar itu amat menggodanya, karena ia masih bisa menggambarkan itu semua dengan gairah semacam itu. Tetapi menurutku memang sudah sering terjadi bahwa ternyata gambaran dosa yang paling menggiurkan dalam lembaran hidup orang-orang yang kebajikannya tidak bisa dirusak itu sendiri yang mengutuk pesona dan efek gambaran itu.
Suatu pertanda bahwa orang-orang itu terdorong oleh keinginan sedemikian besar untuk tidak ragu menjadi saksi kebenaran, karena kasih kepada Tuhan, untuk memberi cap jahat semua godaan yang terselubung itu; jadi, para penulis itu memberi petunjuk yang lebih baik kepada orang banyak tentang cara-cara Yang Jahat memikat mereka. Dan, nyatanya, kata-kata Jorge justru membuat hatiku amat berhasrat untuk melihat harimau dan kera yang belum sempat kukagumi di gereja itu. Tetapi Jorge menyela jalan pikiranku dengan mulai bicara lagi, dalam nada yang lebih kalem.
"Allah kita tidak perlu menggunakan makhluk-makhluk tolol semacam itu untuk menunjukkan mana jalan yang lebar dan mana lorong yang sempit kepada kita. Fabel-Nya tidak ada yang menimbulkan tawa, atau rasa takut. Adelmo, yang kematiannya sedang kalian ratapi, sebaliknya, mengambil kenikmatan sedemikian rupa dalam makhluk-makhluk aneh yang ia lukis sehingga ia tidak bisa lagi melihat hal-hal pokok yang harus diberi ilustrasi. Dan ia mengikuti semua, kukatakan semua"-suaranya menjadi tenang dan berat- "jalan yang ganjil. Yang Tuhan tahu cara menghukumnya."
Suasana jadi senyap. Venantius dari Salvemec memberanikan diri bicara.
"Jorge yang mulia," katanya, "kebajikan Anda membuat Anda tidak adil. Dua hari sebelum Adelmo meninggal, Anda mengikuti perdebatan ilmiah di skriptorium ini. Adelmo berusaha agar seni lukisnya, sementara menuruti kata hatinya membuat gambar
gambar fantastik dan membingungkan, tetap ditujukan untuk memuliakan Tuhan, sebagai suatu alat memahami pengetahuan tentang hal-hal surgawi. Baru saja Bruder William menyebut Aeropagite, yang bicara tentang belajar lewat distorsi. Dan hari itu Adelmo mengutip ahli lain yang agung, Doktor Aquino, waktu mengatakan bahwa hal-hal suci seharusnya lebih cocok dijelaskan dalam sosok tubuh jahat daripada sosok tubuh mulia. Pertama-tama, karena roh manusia lebih mudah dibebaskan dari kekeliruan; nyatanya, sudah jelas bahwa sifat tertentu tidak dapat dikaitkan dengan hal-hal suci, dan menjadi tidak pasti jika digambarkan oleh benda-benda jasmani yang mulia. Yang kedua, karena uraian yang lebih sederhana ini lebih cocok dengan pengetahuan yang kita miliki tentang Tuhan di atas dunia ini: artinya di sini Dia lebih menunjukkan diri-Nya sendiri di tempat di mana Dia tidak ada, daripada di tempat di mana Dia ada. Oleh karena itu, hal-hal yang paling tidak serupa dengan Tuhan justru membawa kita kepada suatu pandangan yang lebih tepat tentang Dia, karena dengan begitu kita tahu bahwa Dia lebih penting daripada apa yang kita katakan dan pikirkan. Dan yang ketiga, karena dengan cara ini, masalah Tuhan lebih sulit dilihat oleh orang-orang yang tidak pandai.
Singkatnya, hari itu kami mendiskusikan masalah memahami cara kebenaran dapat diungkapkan melalui ungkapan yang mengejutkan, yang pintar sekaligu
s membingungkan. Dan aku memperingatkan
Adelmo bahwa dalam karya Aristoteles Agung, aku telah menemukan kata-kata amat jelas tentang alasan ini
"Aku tidak ingat," tukas Jorge dengan tajam. "Aku amat tua.
Aku tidak ingat. Mungkin selama ini sikapku keterlaluan keras.
Sekarang sudah malam, aku harus pergi."
"Aneh sekali bahwa Anda tidak ingat," desak Venantius; "diskusi itu amat ilmiah dan bagus; Benno dan Berengar juga ikut.
Masalahnya, terus terang saja, entah itu metafora dan permainan kata-kata dan teka-teki, yang agaknya juga diterima oleh para penyair demi kenikmatan besar, jangan lalu membuat kita berspekulasi tentang hal-hal dalam suatu cara yang baru dan mengejutkan, dan aku sudah katakan bahwa ini juga suatu kebajikan yang dituntut dari orang bijak .... Dan Maleakhi juga ada
"Jika Jorge yang mulia tidak ingat, mengingat usia dan keletihan pikirannya ... kalau tidak ia tentu akan ingat jelas," kata salah seorang rahib yang mengikuti diskusi tersebut. Kalimat itu diucapkan dengan nada marah paling sedikit pada awalnya, karena pembicara itu, begitu menyadari bahwa dalam upaya menghormati orang tua tersebut, sebenarnya ia mulai mengajak orang memerhatikan suatu kelemahan, lalu nadanya melembut sehingga berakhir hampir dalam bisikan minta maaf. Yang bicara itu adalah Berengar dari Arundel, asisten pustakawan. Orang berwajah pucat itu masih muda,
dan ketika mengamatinya, aku ingat deskripsi Ubertino tentang Adelmo: matanya seakan mata seorang perempuan penggoda. Karena malu, sebab sekarang semua orang memandangnya, ia menjalin jari-jari dari kedua tangannya seperti seseorang yang berharap bisa menekan suatu ketegangan hatinya.
Reaksi Venantius luar biasa. Ia menatap Bere-ngar sehingga Berengar menundukkan pandangannya. "Bagus sekali, Bruder," katanya, "jika memori adalah suatu karunia Tuhan, maka kemampuan melupakan juga karunia yang bagus, dan harus dihormati. Aku menghormati karunia bruder tua yang kuajak bicara ini. Tetapi dari kau, aku mengharap kau lebih tajam mengingat-ingat hal-hal yang telah terjadi waktu kita berada di sini bersama teman baikmu
Aku tidak yakin apa Venantius menggarisbawahi kata "baik" itu dengan nada bicaranya. Terus terang aku mencium rasa malu di kalangan mereka yang hadir. Masing-masing memalingkan wajah, dan tak ada yang memandang Berengar, yang amat tersipu. Maleakhi langsung bicara, dengan wibawa. "Mari, Bruder William," katanya, "aku akan menunjukkan kepadamu buku-buku lain yang menarik."
Kelompok itu bubar. Aku melihat Berengar melontarkan pandangan bermusuhan ke arah Venantius, dan Venantius membalas dengan pandangan diam dan menantang. Karena melihat Jorge sudah hendak pergi, aku tergerak oleh suatu
perasaan takzim yang hormat, dan membungkuk untuk mencium tangannya. Orang tua itu menerima ciumanku, lalu menaruh tangannya ke atas kepalaku, dan bertanya siapa aku. Setelah menyebutkan namaku, wajahnya jadi senang.
"Namamu hebat dan amat indah," katanya. "Kau kenal siapa Adso dari Montier-en-Der"" tanyanya. Aku mengakui bahwa aku tidak kenal.
Maka Jorge menambahkan, "Dia pengarang buku hebat dan luar biasa, Libellus de Antichristo, yang di dalamnya ia meramalkan hal-hal yang bakal terjadi; tetapi ia tidak cukup dipedulikan."
"Buku itu ditulis sebelum milenium pertama," kata William, "dan hal-hal itu tidak terjadi
"Bagi mereka yang tidak punya mata untuk melihat," kata orang buta itu. "Cara kerja Antikristus itu lambat dan menyakitkan. Ia datang saat kita tidak mengharapkannya; bukan karena kalkulasi yang disarankan oleh rasul itu (Yohanes) keliru, tetapi karena kita belum mempelajari seninya." Lalu ia berseru, dengan suara keras sekali, wajahnya menoleh ke arah serambi sehingga langitlangit skriptorium itu menggemakannya kembali: "Dia akan datang!
Jangan sia-siakan hari-hari terakhirmu untuk menertawakan makhluk-makhluk aneh kecil dengan kulit bertotol-totol dan ekor berbelit! Jangan sia-siakan tujuh hari terakhir!" []
Vespers Dalam cerita ini mereka mengunjungi bagian biara gang selebihnya. William sampai pada suatu kesimpulan tentang kematian Adebmo, ada p
ercakapan dengan bruderpandai-kaca tentang lensa untuk membaca dan tentang momok bagi mereka yang berusaha membaca terlalu banyak.
Saat itu bel berbunyi tanda vespers, ibadat
petang dimulai, dan para rahib bersiap-siap meninggalkan meja tulis mereka. Maleakhi menjelaskan bahwa kami juga harus pergi. Ia akan tetap tinggal di situ bersama asistennya, Berengar, untuk merapikan kembali barang barang (katanya) dan menata perpustakaan malam itu. William bertanya apa ia akan mengunci pintu-pintu skriptorium.
"Tidak ada pintu yang terlarang untuk masuk ke skriptorium melalui dapur dan ruang makan, atau ke perpustakaan ke skriptorium. Larangan Abbas seharusnya lebih kuat dari pintu apa saja. Dan para rahib memerlukan dapur sekaligus ruang makan sampai saat komplina, ibadat sebelum tidur. Pada saat itu, demi mencegah orang luar atau binatang masuk ke dalam Aedificium, yang bagi mereka larangan itu tidak berlaku, aku sendiri akan mengunci pintu-pintu bagian luar, yang menuju
dapur dan ruang makan, dan sejak jam itu selanjutnya Aedificium tetap kosong."
Kami turun. Ketika para rahib berjalan menuju gereja, guruku memutuskan bahwa Allah akan mengampuni jika kami tidak mengikuti ibadat suci itu (Allah banyak sekali mengampuni kami pada harihari berikutnya!), dan guruku mengajak berkeliling sebentar, agar kami terbiasa dengan tempat tersebut.
Cuaca mulai memburuk. Angin dingin telah bangkit dan langit mulai berkabut. Matahari tentu sudah merasakannya dan mulai terbenam di balik kebun sayuran; dan hari sudah mulai gelap ketika kami berjalan ke arah timur, menyusuri tepi gereja dan menuju bagian samping tempat itu. Di sana, hampir menempel pada dinding bagian luar, yang menyambung dengan menara timur Aedificium tersebut, ada kandang-kandang; para gembala sedang menutupi belanga berisi darah babi. Kami perhatikan bahwa di belakang kandang-kandang itu, tembok sebelah luarnya lebih rendah, sehingga orang bisa melongok dari atasnya. Di sisi luar dinding itu, ada lerengan ke bawah, tanah di bawah yang meluncur turun memusingkan itu penuh dengan sampah yang tidak semuanya dapat disembunyikan oleh salju. Aku menyadari bahwa itu tumpukan jerami lama, yang dilemparkan melalui bagian atas dinding dan longsor turun ke belokan yang mengawali jalan yang diambil oleh Brunellus nakal itu.
Dalam kandang yang tidak jauh dari situ, para
tukang kuda sedang menggiring hewan-hewan itu ke tempat pakan. Kami mengikuti jalan yang menyusuri sisinya, ke arah dinding, ada berbagai kandang: ke arah kanan, di balik gereja, ada asrama rahib dan kakus-kakus. Kemudian, sementara dinding sebelah timur membelok ke utara, pada sudut korset batu, ada bengkel pandai besi. Pandai besi yang masih ada mulai meletakkan peralatan mereka dan mematikan api, bersiap mengikuti ibadat. Dengan rasa ingin tahu, William berjalan ke arah satu bagian dari bengkel pandai besi itu, hampir terpisah dari bengkel selebihnya, di mana ada seorang rahib yang sedang membenahi barang-barangnya. Di atas mejanya ada koleksi potongan kecil-kecil kaca berwarna-warni yang amat indah, tetapi lembaran kaca yang lebih lebar disandarkan pada dinding.
Di depan orang itu ada suatu benda peninggalan yang sudah setengah digarap, baru jadi kerangka peraknya, tetapi jelas orang tersebut sudah mulai menata potongan kaca dan batu, yang dengan alatnya sudah diasah menjadi dimensi-dimensi permata.
Begitulah maka kami berkenalan dengan Nicholas dari Morimondo, pandai-kaca di biara tersebut. Ia menjelaskan kepada kami bahwa di bagian tepi tempat kerja itu mereka juga meniup kaca, sementara di bagian depan, tempat tukang besi bekerja, mereka memasang kaca pada kerangka timah, untuk membuat jendela. Tetapi, tambahnya, karya kaca lapis hebat yang menghiasi gereja dan
Aedificium itu dibuat paling sedikit dua abad sebelumnya.
Sekarang dia dan yang lain-lainnya hanya terbatas mengerjakan tugas-tugas kecil, dan memperbaiki yang rusak karena usia.
"Dan dengan kesulitan besar," tambahnya, "karena sekarang tidak mungkin menemukan warna-warna dari zaman dulu, terutama biru luar biasa indah yang masih bisa Anda li
hat di dalam gereja, begitu jernih sehingga, kala matahari sedang tinggi, bisa menerangi jalan-tengah gereja dengan suatu cahaya firdaus. Kaca di sisi barat jalan-tengah itu, belum lama ini diperbaiki, kualitasnya tidak sama, dan kau bisa membedakannya pada musim panas. Amat menyedihkan," ia melanjutkan. "Kita tidak punya lagi pengetahuan zaman kuno, zaman raksasa sudah lewat!"
"Kita orang kerdil," William mengakui, "tetapi orang kerdil yang berdiri di atas bahu raksasa-raksasa itu, dan meskipun kecil, kadang-kadang kita berhasil melihat lebih jauh pada cakrawala dibandingkan mereka."
"Coba katakan apa yang bisa kita kerjakan lebih baik daripada yang mampu mereka kerjakan," seru Nicholas. "Andaikan kau turun ke dalam ruang bawah tanah gereja, tempat penyimpanan harta biara ini, kau akan menemukan relikui[Barang peninggalan orang suci yang dianggap keramat -pen.] yang dibuat dengan keterampilan sedemikian luar biasa sehingga benda-benda aneh kecil yang sekarang tengah kutata ini" ia mengangguk ke arah pekerjaannya
sendiri di atas meja "akan kelihatan seperti suatu olok-olok saja dibandingkan itu semua."
"Tidak tertulis bahwa pandai-kaca harus hanya membuat jendela, relikui buatan pandai-emas, karena para pandai di masa lalu mampu memproduksi benda benda yang sedemikian indah, dirancang agar awet selama berabad-abad. Sebaliknya, bumi akan menjadi penuh dengan relikui padahal zaman ini sudah tidak banyak santo pemilik relikui itu," gurau William. "Juga jendela tidak selamanya harus disoldir. Tetapi di berbagai negeri aku sudah melihat karya baru terbuat dari kaca yang memberi kesan suatu dunia masa depan ketika kaca tidak hanya melayani tujuan suci tetapi juga membantu kelemahan manusia. Aku ingin menunjukkan kepadamu suatu ciptaan dari zaman kita sendiri, yang aku merasa terhormat karena punya suatu contoh amat berguna." Ia merogoh bagian dalam jubahnya dan mengeluarkan kaca matanya. Lawan bicara kami terpana.
Dengan amat berminat, Nicholas mengambil benda bercabang yang diulurkan William kepadanya. "Oculi de vitro cum capsula!"["Mata dari kaca dengan kotaknya!" -penerj.] serunya.
"Aku sudah mendengar cerita tentang ini dari seorang bernama Bruder Jordan yang kutemui di Pisa! Katanya, ini ditemukan belum sampai dua puluh tahun sebelumnya. Tetapi aku sudah lebih dari dua puluh tahun lalu ketika bicara dengannya."
"Aku yakin benda ini ditemukan jauh lebih awal," kata William, "tetapi sulit dibuat, dan memerlukan
pandai-kaca yang amat ahli.
Butuh kerja keras dan waktu lama. Sepuluh tahun yang lalu sepasang ab oculis ad legendum[Kaca untuk membaca di depan mata - penerj.] ini harganya enam crown Bologna.
Aku dikasih sepasang oleh guruku yang agung, Salvinus dari Amati, lebih dari sepuluh tahun yang lalu, dan dengan sangat cermat aku merawatnya selama ini, seakan mereka seperti sekarang ini bagaikan bagian dari tubuhku sendiri."
"Kuharap kau akan mengizinkan aku menelitinya kapan kapan; aku akan amat bahagia untuk memproduksi beberapa pasang yang sama," kata Nicholas dengan penuh perasaan.
"Tentu saja," William mengiyakan, "tetapi harus diingat, ketebalan kaca itu harus bervariasi menurut mata yang akan dilayaninya, dan kau harus menguji banyak lensa semacam ini, mencobakan pada seseorang sampai diketemukan ketebalan yang cocok."
"Sungguh luar biasa!" Nicholas melanjutkan. "Namun, banyak orang akan menyebut ini pekerjaan tukang sihir dan mesin jahat
"Tentu saja kau bisa bicara tentang kekuatan gaib dalam alat ini," William mengiyakan. "Tetapi ada dua bentuk kekuatan gaib.
Ada kekuatan gaib karya Iblis dan bertujuan menjatuhkan manusia lewat kelicikan dan itu tidak patut dibicarakan. Tetapi ada kekuatan gaib yang suci, di mana pengetahuan Tuhan dibuat mewujud lewat pengetahuan manusia, dan ini berguna untuk
mengubah alam, dan salah satu tujuan akhirnya adalah memperpanjang hidup manusia sendiri. Dan ini kekuatan gaib suci, yang makin lama makin harus ditekuni oleh orang-orang terpelajar, tidak hanya untuk menemukan hal-hal baru tetapi juga menemukan kembali banyak rahasia alam yang telah diungkapkan oleh kebijaks
anaan suci kepada orang Yahudi, kepada orang Yunani, kepada orang purba lainnya, dan bahkan, sekarang ini, kepada orang-orang kafir (dan aku tidak bisa menceritakan kepadamu semua hal menakjubkan tentang optik dan ilmu penglihatan yang bisa dibaca dalam buku-buku orang kafir!).
Dan tentang semua pengetahuan ini, juga harus dimiliki oleh pengetahuan Kristiani, dengan mengambilnya dari kaum penyembah berhala dan kafir tamquam ab iniustis possessoribus."[Seakan untuk melepaskan kepemilikan yang sewenang-wenang - penerj.]
"Tetapi mengapa mereka yang memiliki pengetahuan ini tidak menyampaikannya kepada semua umat Allah""
"Karena tidak semua umat Allah mau menerima begitu banyak rahasia, dan sudah sering terjadi bahwa pemilik pengetahuan ini justru dituduh sebagai ahli nujum yang bersekutu dengan Iblis, dan keinginan mereka untuk berbagi gudang pengetahuan mereka dengan orang lain ini telah mereka bayar dengan hidup mereka. Aku sendiri, selama mengadili orang yang dicurigai mengadakan kesepakatan dengan Iblis, harus berhati-hati untuk tidak menggunakan lensa ini, cukup memercayai
seorang sekretaris rajin yang akan membacakan catatan yang kubutuhkan. Kalau tidak, dalam suatu waktu ketika kehadiran Iblis begitu meluas, dan setiap orang akan mencium, boleh dibilang begitu, bau busuk belerang, aku sendiri bisa dianggap seorang teman terdakwa. Dan akhirnya, seperti sudah diperingatkan oleh Roger Bacon yang agung, rahasia ilmu pengetahuan tidak harus selalu disampaikan kepada semua tangan, karena ada yang bisa menggunakannya untuk tujuan jahat.
Orang terpelajar itu sering membuat ajaib buku-buku tertentu yang tidak berkekuatan gaib, namun sekadar ilmu pengetahuan yang baik, dengan tujuan melindungi buku-buku itu dari mata yang tidak bijaksana."
"Kalau begitu, kau khawatir orang biasa akan memanfaatkan rahasia-rahasia ini untuk kejahatan," tanya Nicholas.
"Sejauh berkaitan dengan orang biasa, aku cuma khawatir mereka mungkin jadi ketakutan, membaurkan rahasia itu dengan pekerjaan Iblis seperti yang terlalu sering dikatakan oleh pengkhotbah mereka. Kau tahu, aku kebetulan kenal dengan para dokter yang amat terampil, yang telah mendestilasi obat yang mampu menyembuhkan suatu penyakit dengan segera. Namun ketika membubuhkan salep atau menyuntikkannya kepada orang biasa, mereka membarenginya dengan kata-kata suci dan ungkapan yang dinyanyikan yang kedengarannya seperti doa: bukan karena doa itu punya kekuatan untuk menyembuhkan, tetapi orang
biasa mau disuntik atau tubuhnya disalep karena percaya bahwa kekuatan penyembuhan itu datang dari doa, dan dengan begitu mereka akan disembuhkan, sementara tidak terlalu memerhatikan kekuatan efektif obat tersebut. Demikian pula, roh itu, karena dibangkitkan oleh kepercayaan pada formula suci tersebut, akan lebih bersedia menerima aksi jasmaniah dari obat itu. Tetapi kekayaan pengetahuan sering harus dipertahankan, tidak terhadap orang biasa, namun justru terhadap orang terpelajar lainnya. Sekarang ada mesin-mesin hebat, suatu hari nanti kita bicarakan, yang dengan itu jalannya alam bisa benar-benar diprediksi. Tetapi celakalah jika mesin itu jatuh ke tangan orang-orang yang akan menggunakannya untuk memperluas kekuasaan duniawi mereka dan memuaskan keinginan besar mereka untuk menjadi kaya. Kudengar di Cathay ada seorang petapa yang meramu suatu bubuk yang, kalau bersinggungan dengan api, dapat menghasilkan suara gemuruh dan api besar, menghancurkan segala sesuatu sampai jarak beryard-yard di sekelilingnya. Suatu sarana yang menakjubkan jika dipakai untuk memindahkan aliran sungai atau menghancurkan batu untuk meremukkan tanah agar bisa ditanami. Tetapi bagaimana jika ada orang yang menggunakannya untuk mencederai musuh pribadinya""
"Mungkin baik juga, jika dia musuh umat Allah," kata Nicholas dengan tenang.
"Mungkin," William mengakui. "Tetapi sekarang ini siapa musuh umat Allah" Louis sang Kaisar, atau
Yohanes sang Paus""
"Oh, astaga!" kata Nicholas, amat ketakutan. "Aku benar benar tidak suka memutuskan suatu pertanyaan yang menyakitkan seperti itu!"
"Nah, kau tahu kan"" kata Willi
am. "Kadang-kadang rahasia tertentu lebih baik tetap terselubung oleh kata-kata rahasia.
Rahasia alam tidak untuk disampaikan pada kulit kambing atau biri-biri. Dalam buku rahasianya, Aristoteles mengatakan bahwa menyampaikan terlalu banyak rahasia alam dan seni justru akan merusak meterai surgawi dan banyak kejahatan bisa masuk. Ini tidak berarti bahwa rahasia tidak boleh diungkapkan, tetapi orang terpelajar harus memutuskan kapan dan bagaimana menyampaikannya."
"Oleh karena itu, dalam tempat seperti ini, yang terbaik adalah," kata Nicholas, "tidak semua buku boleh diambil semua orang."
"Ini masalah lain," kata William. "Akibat dari gemar bicara bisa menjadi dosa, dan begitu pula akibat dari tutup mulut. Aku tidak bermaksud bahwa sumber pengetahuan perlu ditutup-tutupi.
Menurutku ini justru semacam kejahatan besar. Aku serius, karena semua ini adalah rahasia yang dari situ bisa diambil kebaikan dan kejahatan, maka orang terpelajar punya hak dan kewajiban untuk menggunakan bahasa yang terselubung, hanya dimengerti oleh sesamanya orang terpelajar. Kehidupan belajar itu sulit, dan tidak mudah membedakan yang baik dari yang jahat. Dan orang
terpelajar zaman sekarang hanyalah orang kerdil yang berdiri di atas bahu orang kerdil."
Percakapan ramah dengan guruku ini tentunya membuat suasana hati Nicholas mau percaya. Karena ia mengerdip ke arah William (seakan mau mengatakan: Kau dan aku saling memahami karena kita bicara tentang hal yang sama) dan secara tidak langsung mengatakan, "Tetapi di sana itu" ia mengangguk ke arah Aedificium "rahasia pengetahuan dipertahankan dengan baik oleh kekuatan gaib
"Oh, ya"" kata William, dengan sikap tidak percaya. "Menurutku itu cuma pintu-pintu berjeruji, larangan keras, ancaman."
"Oh, tidak. Lebih daripada itu
"Apa, misalnya""
"Yah, aku tidak tahu persis; aku menggeluti kaca, bukan buku.
Tetapi ada rumor di dalam biara ... rumor aneh..."
"Semacam apa""
"Aneh. Begini, rumor tentang seorang rahib yang memutuskan untuk menjelajah ke dalam perpustakaan pada malam hari, untuk mencari sesuatu yang tidak mau diberikan oleh Maleakhi, dan ia telah melihat ular-ular, orang-orang tanpa kepala dan orang-orang dengan dua kepala. Ia hampir gila ketika keluar dari labirin itu
"Mengapa kau bicara tentang kekuatan gaib dan bukan penampakan menyeramkan""
"Karena kendati aku cuma pandai kaca yang
malang, aku bukannya amat bodoh. Iblis (Tuhan, kasihanilah kami!) tidak menggoda rahib dengan ular dan manusia berkepala dua. Andaikan ada, biasanya dengan penampakan yang menimbulkan berahi, seperti Iblis menggoda bapak-bapak di padang gurun. Dan di samping itu, andaikan membaca buku tertentu itu perbuatan jahat, mengapa Iblis mencegah rahib melakukan kejahatan""
"Menurutku itu suatu kesimpulan yang bagus," guruku mengiyakan.
"Dan akhirnya, sewaktu aku sedang memperbaiki jendela jendela rumah sakit, aku menghibur diri dengan membuka-buka buku Severinus.
Itu suatu buku tentang rahasia yang ditulis, aku yakin, oleh Albertus Magnis. Aku tertarik pada beberapa ilustrasi yang aneh, dan aku membaca beberapa halaman tentang cara melumasi sumbu dari lampu minyak, dan asap yang dihasilkan kemudian akan menimbulkan bayang-bayang. Kau pasti sudah memerhatikan atau, mungkin tentu belum memerhatikan, sebab kau belum menginap semalam di biara ini bahwa selama jam-jam yang gelap, lantai atas Aedificium itu terang. Pada titik-titik tertentu, tampak cahaya redup dari jendela-jendela. Banyak orang ingin tahu apa itu, dan selama ini terdengar rumor tentang lelatu, atau jiwa almarhum pustakawan yang berkunjung kembali ke dunia. Banyak orang di sini percaya dongeng tersebut. Kukira itu semua adalah lampu-lampu yang disiapkan untuk menimbulkan bayang-bayang. Tahukah kau, jika kau mengambil lemak dari telinga
seekor anjing dan melumaskannya pada sumbu lampu, siapa pun yang menghirup asap lampu itu akan percaya ia punya kepala seekor anjing. Dan ada pelumas lainnya yang membuat mereka merasa sebesar gajah jika berada di dekat lampu itu. Dan lemak serigala dicampur dengan mata seekor kelelawar dan mata ikan yang namanya
aku lupa, yang dilumaskan pada sumbu, kalau lampunya dinyalakan, kau akan melihat binatang-binatang yang lemaknya sudah kauambil. Dan ekor seekor kadal bisa membuat segala sesuatu di sekelilingmu seakan terbuat dari perak, dan dengan lemak seekor ular hitam dan secarik kain kafan, ruangan itu seakan penuh dengan ular. Aku tahu ini. Ada orang di dalam perpustakaan yang amat pintar
"Tetapi apa tidak mungkin itu jiwa-jiwa dari para almarhum pustakawan yang yang melakukan perbuatan gaib""
Nicholas tetap bingung dan gelisah. "Aku belum berpikir sampai ke sana. Mungkin. Tuhan, lindungi kami. Sekarang sudah malam.
Vespers sudah dimulai. Sampai ketemu." Dan ia berjalan menuju gereja.
Kami melanjutkan perjalanan menyusuri sisi selatan: di sebelah kanan kami ada penginapan dan sekolah dengan kebunnya, di sebelah kiri kami ada kilang minyak zaitun, penggilingan gandum, lumbung dan gudang, asrama novis. Dan setiap orang bergegas menuju gereja.
"Bagaimana pendapat Anda tentang apa yang dikatakan Nicholas"" tanyaku.
"Aku tidak tahu. Ada sesuatu di dalam perpustakaan itu, dan aku tidak percaya itu adalah jiwa para almarhum pustakawan
"Kenapa tidak""
"Karena kubayangkan mereka begitu baik sehingga sekarang tetap tinggal dalam kerajaan surga untuk menatap wajah suci itu, puas"
Akan halnya lampu-lampu, akan kita lihat apa memang ada di sana.
Dan akan halnya pelumas yang dikatakan oleh pandai kaca kita, ada banyak cara yang lebih mudah untuk menimbulkan bayang-bayang, dan hari ini kau tentu sadar, Severinus tahu benar akan hal itu. Yang pasti adalah bahwa dalam biara ini mereka tidak ingin siapa saja memasuki perpustakaan pada malam hari dan bahwa banyak, sebaliknya, yang sudah berusaha atau mau mencoba berbuat begitu."
"Dan apa hubungannya kejahatan itu dengan hal ini""
"Kejahatan. Makin itu kupikirkan, aku makin yakin bahwa Adelmo bunuh diri." "Mengapa begitu""
"Kau ingat pagi tadi ketika aku menyebutkan tumpukan jerami kotor" Waktu kita mendaki ke belokan di bawah menara timur, tampak olehku bahwa di tempat itu, masih ada bekas telapak kaki akibat longsornya tanah; atau, lebih tepatnya, sebagian dari tempat itu sudah membuka jalan ke bawah menara, setidak-tidaknya sampah itu telah longsor ke bawah dan menumpuk di sana. Dan itulah sebabnya sore ini, waktu kita memandang ke
bawah dari atas dinding, jerami itu seakan tertutup salju tipis; hanya tertutup oleh salju terakhir, salju kemarin, dan bukan oleh salju yang turun beberapa hari yang lalu. Akan halnya mayat Adelmo, Abbas itu bilang bahwa mayat itu sudah tergesek oleh batu-batu, dan di bawah menara timur, di mana bangunan itu menempel pada lereng yang curam, ditumbuhi pohon pinus. Bagaimanapun juga, batu-batu itu berada tepat di bawah tempat di mana tembok itu berakhir, membentuk semacam tangga, dan sesudah itu jerami mulai menumpuk di sana." "Jadi""
"Jadi, pikirkan apa tidak lebih bagaimana ya mengatakannya" lebih ringan bagi pikiran kita untuk percaya bahwa Adelmo, karena alasan-alasan yang sampai sekarang belum pasti, dengan kemauannya sendiri menjatuhkan dirinya dari atas dinding yang rendah itu, menggesek batu-batu, dan tentunya luka-luka atau, dan jatuh ke atas tumpukan jerami. Kemudian tanah yang longsor itu, membawa jerami dan sebagian tanah dan tubuh pemuda malang itu meluncur ke bawah menara timur."
"Mengapa Anda katakan bahwa solusi ini lebih ringan bagi pikiran kita""
"Adso terkasih, orang tidak perlu memperpanjang penjelasan dan penyebab kalau tidak sangat perlu. Andaikan Adelmo jatuh dari menara timur, tentunya ia sudah masuk ke dalam perpustakaan, pasti ada seseorang yang memukulnya dulu agar tidak bisa melawan, dan kemudian orang ini tentu
menemukan suatu cara untuk memanjat ke jendela sambil menggendong tubuh tak bernyawa itu, membuka jendela, dan menjungkirkan rahib malang itu ke bawah. Tetapi dengan hipotesisku, kita hanya memerlukan Adelmo, keputusannya, dan bergesernya sedikit tanah. Segala sesuatunya menjadi jelas, dengan penyebab yang lebih sedikit."
"Tetapi kenapa ia mau bunuh diri""
"Tetapi kenapa ada orang yang mau membunuhnya" Dalam kedua
kasus tersebut harus dicari alasannya. Dan menurutku, alasanalasan ini agaknya tidak diragukan lagi. Dalam Aedificium itu ada suatu suasana tutup mulut; mereka semua berusaha merahasiakan sesuatu. Sementara itu, kita sudah mendengar beberapa sindiran aku yakin cukup jelas tentang semacam hubungan aneh antara Adelmo dan Berengar. Itu berarti kita akan pasang mata pada asisten pustakawan itu."
Sementara kami bercakap-cakap seperti ini, vespers sudah selesai. Para pelayan mulai menyelesaikan tugas mereka sebelum mengaso untuk makan malam, para rahib berjalan menuju ruang makan. Langit sekarang gelap dan salju mulai turun. Hujan salju tipis, dalam bunga salju kecil lembut, yang aku yakin, tentunya akan berlangsung sepanjang malam, karena pada keesokan harinya, tanah ditutupi selimut putih, seperti yang akan kuceritakan.
Aku merasa lapar dan dengan lega menyambut baik gagasan untuk makan. []
Komplina Dalam cerita ini William dana Adso menikmati keramahtamahan ceria Abbas dan percakapan Jorge yang penuh amarah
Ruang makan itu diterangi dengan obor-obor besar. Para rahib duduk di sebaris meja dan lurus di ujungnya ada meja Abbas yang diletakkan di atas podium yang lebar. Di seberang meja-meja itu ada sebuah mimbar, seorang rahib yang akan membaca selama makan malam sudah berdiri di situ. Abbas itu menunggu kami di samping sebuah air mancur kecil, dengan sehelai kain putih untuk mengeringkan tangan kami setelah cuci tangan, sesuai dengan tradisi penerimaan tamu Santo Pachomius.
Abbas itu mengundang William duduk di mejanya dan mengatakan bahwa untuk petang ini, karena juga tamu, aku boleh menikmati hak istimewa yang sama, kendati aku seorang novis Benediktin. Pada hari-hari berikutnya, katanya kepadaku dengan sikap kebapakan, aku harus duduk bersama para rahib, atau, jika aku harus mengerjakan suatu tugas tertentu dari guruku, aku
boleh mampir ke dapur sebelum atau sesudah jam makan, dan koki akan memberiku makanan.
Para rahib itu sekarang berdiri di samping meja, tak bergerak, tudung mereka diturunkan ke atas wajah mereka, tangan mereka di balik skapular mereka. Abbas itu menghampiri mejanya dan mengucapkan, "Benedicite."["Pujilah Tuhan"- penerj.] Dari mimbar, pemimpin ibadat melantunkan, "Edent pauperes."["Kaum miskin akan makan"- penerj.] Abbas itu memberikan berkatnya dan setiap orang lalu duduk.
Penyusun Regula telah menetapkan makanan bersahaja tetapi mengizinkan Abbas menentukan seberapa banyak makanan yang memang dibutuhkan para rahib. Bagaimanapun juga, dalam biara kami sekarang (di Melk), lebih menuruti kata hati sendiri dalam menikmati meja makan. Aku tidak akan bicara tentang biara-biara yang, sayangnya, telah berubah menjadi sarang orang rakus; tetapi bahkan yang taat kepada patokan pengampunan dan kebajikan, menyediakan makanan sehat yang tidak mewah tetapi penting bagi para rahib yang hampir selalu dibebani pekerjaan intelektual. Di lain pihak, meja Abbas selalu didahulukan, apalagi karena tamu-tamu terhormat sering duduk di sana, dan biara-biara membanggakan hasil pertanian dan peternakan mereka, dan keterampilan tukang masak mereka.
Seperti biasa, para rahib makan dengan diam; mereka biasa saling berkomunikasi dengan bahasa jari. Novis dan rahib yang lebih muda dilayani lebih dulu, langsung setelah semua orang di meja Abbas
sudah menyendok hidangan yang diedarkan.
Bersama kami di meja Abbas itu duduk Maleakhi, Kepala Gudang, dan dua rahib tertua, Jorge dari Burgos: orang buta mulia yang sudah kutemui di skriptorium, dan Alinardo dari Grottaferrata: tua sekali, umurnya hampir satu abad, timpang dan kurus, dan menurutku kelihatan bodoh. Abbas itu menceritakan kepada kami bahwa karena datang ke biara itu sebagai seorang novis, Alinardo selalu tinggal di situ dan ingat semua kejadian di situ selama hampir delapan puluh tahun. Mulanya Abbas itu menceritakan semua ini sambil berbisik, tetapi setelah itu ia ingat akan kebiasaan ordo kami dan mengikuti bacaan itu dengan diam. Tetapi, seperti sudah kukatakan, ada kebebasan tertentu di meja Abbas itu, dan kami memuji hidangan yang ditawarkan sem
entara Abbas itu menyombongkan kualitas minyak zaitunnya, atau anggurnya. Memang, sekali, ketika menuangkan anggur buat kami, ia langsung mengingatkan kami akan bab dalam Regula di mana penyusun suci berpendapat bahwa anggur, tepatnya, tidak cocok untuk rahib, tetapi karena rahib zaman kita ini tidak bisa dibujuk untuk tidak minum, paling sedikit mereka tidak boleh minum sampai puas, karena anggur merangsang bahkan orang bijak ketagihan, seperti diperingatkan oleh Kitab Surah dalam Perjanjian Lama. Benediktus menyebutkan "dari zaman kita" untuk mengacu kepada zamannya sendiri, sekarang sudah amat lama berlalu; bisa dibayangkan kemerosotan perilaku seperti itu sudah mulai terjadi pada makan
malam zaman Benediktus di biara (dan aku tidak akan bercerita tentang zamanku, zaman ketika aku menulis ini, kecuali mengatakan bahwa di Melk sini, orang lebih gemar minum bir!): singkat kata, kami minum tanpa berlebihan tetapi bukannya tanpa kenikmatan.
Kami makan daging yang dimasak di atas panggangan, daging babi yang baru disembelih, dan aku menyadari bahwa untuk memasak hidangan lainnya mereka tidak menggunakan lemak hewan atau minyak lobak, tetapi minyak zaitun yang bagus, hasil kebun yang dimiliki biara itu di kaki gunung yang menghadap lautan. Abbas itu memaksa kami mencicipi (hanya disediakan di mejanya) ayam yang tadi kulihat sedang dimasak di dapur. Kulihat ia juga memakai sebuah garpu metal, sesuatu yang amat langka, yang bentuknya mengingatkan aku akan kacamata guruku. Sebagai seorang keturunan bangsawan, tuan rumah kami tidak ingin mengotori tangannya dengan makanan, dan memang menawarkan alatnya itu kepada kami, paling sedikit untuk mengambil daging dari pinggan besar dan menaruhnya ke mangkuk kami. Aku menolak, tetapi kulihat William dengan senang menerima tawaran itu dan dengan seenaknya menggunakan peralatan makan yang biasa dipakai golongan perlente hebat itu, mungkin untuk menunjukkan kepada Abbas bahwa tidak semua Fransiskan berpendidikan rendah atau keturunan orang biasa.
Karena bersemangat mencicipi semua hidangan lezat itu (setelah beberapa hari melakukan
perjalanan dan hanya makan apa yang bisa kami temukan), aku tidak memerhatikan bacaan yang sementara itu berlanjut dengan khusyuk. Aku baru sadar ketika Jorge menggerundel keras mengiyakan bacaan itu, dan ternyata sudah sampai saatnya suatu bab dari Regula itu selalu dibaca. Aku memahami mengapa Jorge tampak begitu puas, karena aku sudah mendengarkan kata-katanya sore itu. Rahib itu membaca, "Marilah kita meniru contoh dari nabi, yang mengatakan: 'Aku sudah menetapkan, aku akan menjaga jalanku sehingga jangan berbuat dosa dengan lidahku, aku sudah menaruh kekang pada mulutku, aku sudah jadi bisu, dengan merendahkan diriku, aku tidak mau lagi bicara bahkan tentang hal yang jujur.' Dan jika dalam kata-kata ini nabi tersebut mengajarkan kepada kita bahwa kadang-kadang cinta kita terhadap diam akan menyebabkan kita tidak lagi mau bicara bahkan tentang hal yang benar, berapa banyak lagi kita harus mengundurkan diri dari percakapan yang tidak benar, untuk menghindari hukuman atas dosa ini!" Dan kemudian dia melanjutkan, "Tetapi ketidaksopanan, omong kosong, dan gurauan, kita kutuk untuk dipenjarakan selamanya, di setiap tempat, dan kita tidak mengizinkan murid membuka mulut untuk berbicara semacam itu."
"Dan ini cocok untuk gambar tepi halaman yang kita bicarakan hari ini," Jorge tidak tahan untuk tidak mengomentari dengan suara lirih. "John Chrysostom mengatakan bahwa Kristus tidak pernah tertawa."
"Tidak ada dalam sifat manusianya yang melarangnya," cetus William, "karena tertawa, seperti ajaran para teologis, cocok bagi manusia."
"Putra Manusia bisa tertawa, tetapi tidak tertulis bahwa ia berbuat begitu," kata Jorge pedas, sambil mengutip Petrus Cantor.
"Manduca, iam coctum est," gumam William. "Makanlah, karena ini sudah dimasak."
"Apa"" tanya Jorge sambil mengira William mengacu kepada hidangan yang disodorkan kepadanya.
"Itu adalah kata-kata yang menurut Ambrose, diucapkan oleh Santo Laurensius di atas alat pemanggang, ketika ia menyilakan para algojo
nya untuk memutarnya, seperti juga dikenang oleh Prudentius dalam buku Peristephanon," kata William dengan ekspresi wajah yang saleh. "Jadi, Santo Laurensius tahu caranya tertawa dan mengatakan hal-hal lucu, meskipun itu untuk mengejek musuh-musuhnya."
"Yang membuktikan bahwa tertawa adalah sesuatu yang amat dekat dengan kematian dan dengan penggerogotan tubuh ordo," jawab Jorge sambil membentak; dan aku harus mengakui bahwa ia bicara seperti seorang yang jalan pikirannya logis.
Pada waktu itu dengan ramah Abbas minta kami agar diam. Namun, makan malam hampir berakhir. Abbas itu berdiri dan memperkenalkan William kepada para rahib. Ia memuji kebijaksanaan William, mengutarakan ketenarannya, dan memberi tahu mereka bahwa tamu itu sudah diminta untuk
menyelidiki kematian Adelmo; dan Abbas itu juga mendorong para rahib untuk menjawab setiap pertanyaan dan menginstruksikan bawahan mereka, di seluruh biara itu, untuk berbuat begitu.
Makan malam berakhir, para rahib bersiap berangkat ke gereja untuk ibadat komplina. Sekali lagi mereka menarik tudung kepala ke atas wajah mereka dan berbaris keluar. Kemudian barisan panjang itu bergerak, menyeberang makam dan memasuki gereja melalui pintu masuk utara.
Kami ikut pergi bersama Abbas itu. "Apa pada jam ini saatnya pintu-pintu Aedificium dikunci"" tanya William.
"Segera setelah para pelayan selesai membersihkan ruang makan dan dapur, pustakawan sendiri akan menutup semua pintu, sambil memalang pintu-pintu itu di sebelah-dalam."
"Sebelah-dalam" Dan dari mana ia keluar""
Abbas itu membelalak sejenak ke arah William. "Sudah tentu ia tidak tidur di dapur," katanya singkat. Dan ia mulai berjalan lebih cepat.
"Bagus sekali," bisik William kepadaku, "jadi memang ada pintu yang lain, tetapi kita tidak boleh tahu di mana itu." Aku tersenyum, bangga akan kesimpulan William, dan William membentakku, "Dan jangan tertawa. Seperti sudah kaulihat, di dalam lingkup dinding-dinding ini tertawa tidak punya reputasi bagus."
Kami memasuki gereja. Hanya ada sebuah lampu menyala di atas sebuah tripod tembaga, dua kali setinggi manusia. Dengan diam, para rahib itu
mengambil tempat mereka di bagian koor.
Lalu Abbas itu memberi suatu tanda, dan pemimpin ibadat melantunkan kalimat, "Tu autem Domine miserere nobis." Abbas itu menjawab, "Adiutorium nostrum in nomine Domini"; dan semua menjawab dalam koor, dengan, "Qui fecit coelum et terram."["Adapun Engkau Tuhan, kasihanilah kami." Abbas itu menjawab, "Pertolongan kita dalam nama Tuhan," dan semua menjawab dalam koor, dengan, "Yang menciptakan langit dan bumi"- penerj.] Kemudian mazmur mulai dinyanyikan, "Apabila aku berseru, jawablah aku, ya Allah, yang membenarkan aku"; "Aku akan bersyukur kepadaMu Tuhan dengan segenap hatiku"; "Bangkitlah, Tuhan, berkati kami, kami semua hamba Tuhan." Kami tidak duduk di tempat koor, tetapi mundur ke bangku utama. Dari situ, tiba-tiba kami melihat Maleakhi sekilas muncul dari kegelapan suatu sisi kapel itu.
"Pasang matamu pada tempat itu," kata William kepadaku. "Bisa jadi ada suatu pintu menuju Aedificium di situ."
"Di bawah makam""
"Dan mengapa tidak" Terus terang, karena aku mulai memikirkan tentang itu, entah di mana pasti ada suatu osarium, tempat tengkorak; tidak mungkin semua rahib mereka dimakamkan dalam sebidang tanah itu selama berabad-abad."
"Tetapi Guru tidak bersungguh-sungguh mau memasuki perpustakaan pada malam hari"" aku bertanya, ketakutan.
"Di mana ada rahib-rahib mati dan ular dan cahaya misterius, Adso yang baik" Tidak, Anakku,


The Name Of The Rose Karya Umberta Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari ini aku mulai memikirkan tentang hal ini dan bukan karena ingin tahu tetapi karena aku mulai merenungkan pertanyaan tentang cara Adelmo meninggal.
Sekarang, seperti sudah kukatakan kepadamu, aku cenderung mencari penjelasan yang lebih logis, dan, setelah mempertimbangkan semua hal, aku lebih suka menghormati adat tempat ini."
"Kalau begitu, mengapa Guru ingin tahu""
"Karena pengetahuan tidak hanya terdiri atas mengetahui apa yang harus dan dapat kita lakukan, tetapi juga tahu apa yang dapat kita lakukan dan mungkin tidak usah dilakukan." []
HARI K EDUA Matina Dalam cerita ini, beberapa jam kebahagiaan mistik diganggu oleh suatu kejadian amat berdarah.
Kadang menjadi simbol dari Setan, kadang dari Kristus Yang Bangkit, tidak ada bina-
tang yang lebih tidak bisa dipercaya daripada ayam jantan. Dalam ordo kami ada beberapa pemalas yang tidak pernah berkokok saat matahari terbit. Di lain pihak, terutama pada musim dingin, ibadat matina dilakukan manakala hari masih gelap dan alam masih tidur, karena rahib harus bangun saat masih gelap dan berdoa lama dalam gelap, sambil menunggu datangnya pagi dan menerangi bayang-bayang dengan nyala api devosi. Oleh karena itu, biasanya ada kebijakan untuk menugaskan beberapa orang untuk membangunkan, yang tidak berangkat tidur manakala saudara-saudara mereka pergi tidur, tetapi akan melewatkan malam dengan melantunkan sejumlah tepat mazmur yang akan membuat mereka dapat menghitung waktu yang lewat, sehingga, kalau lamanya tidur yang ditetapkan untuk yang lainnya berakhir, mereka dapat
membunyikan tanda untuk bangun.
Maka malam itu kami dibangunkan oleh mereka yang berjalan berkeliling asrama dan penginapan sambil membunyikan sebuah lonceng.
Sambil berjalan dari satu bilik ke bilik lain, rahib itu akan berteriak, "Benedicamus Domino," dan masing-masing menjawab, "Deo gratias."["Mari memuji Tuhan," dan masing-masing menjawab, "Syukur kepada Allah"- penerj.]
William dan aku mengikuti kebiasaan Benediktin itu: tidak sampai setengah jam kami sudah siap menyambut kedatangan hari baru, lalu kami turun ke gereja, di mana para rahib, bertiarap di atas lantai, menunggu sampai para novis masuk dipimpin oleh guru mereka, sambil melantunkan yang pertama dari lima belas mazmur.
Kemudian masing-masing duduk di tempatnya sendiri sendiri dan koor bernyanyi, "Domine labia mea aperies et os meum annuntiabit laudem tuam."["Tuhan, hendaklah Engkau membuka bibirku dan mulutku akan mewartakan pujian kepada-Mu"- penerj.] Seruan itu naik ke langit-langit gereja yang berbentuk kubah itu bagaikan suara anak kecil memohon. Dua rahib naik ke atas mimbar dan melantunkan mazmur kesembilan puluh empat, "Venite exultemus,"["Marilah kita bersukaria"- penerj.] yang diikuti oleh mazmur lainnya yang telah ditetapkan. Dan aku merasakan kehangatan dari iman yang diperbarui.
Para rahib itu duduk di bangku-bangku koor, enam puluh figur yang tidak bisa dibedakan karena jubah dan tudung kepala mereka, enam puluh bayang-bayang yang samar-samar diterangi oleh
api dari tripod besar itu, enam puluh suara bersama-sama memuliakan Yang Mahakuasa. Dan sementara mendengar harmoni yang mengharukan ini, serambi depan kegembiraan firdaus, aku bertanya dalam hati apakah biara itu sungguh-sungguh suatu tempat misteri tersembunyi, tempat upaya gelap untuk mengungkapkan misteri-misteri itu, dan tempat penuh ancaman mengerikan. Tempat itu sekarang, bagiku justru seakan tempat tinggal orang-orang saleh, ruangan kebajikan, bejana ilmu pengetahuan, bahtera kebijaksanaan, menara kebijaksanaan, wilayah kekuasaan ketaatan, baluarti kekuatan, turibulum kesucian.
Setelah enam mazmur, pembacaan Kitab Injil dimulai. Beberapa rahib terangguk-angguk karena mengantuk, dan salah seorang yang bertugas membangunkan pada malam hari berjalan-jalan di antara bangku-bangku koor dengan sebuah lampu kecil untuk membangunkan mereka yang tertidur lagi. Jika seorang rahib tidak bisa melawan kantuk, sebagai hukuman ia harus mengambil lampu itu dan melanjutkan berkeliling. Lantunan enam mazmur lagi berlanjut. Kemudian Abbas memberikan berkatnya, lalu diadakan doa mingguan, semua membungkuk ke arah altar selama saat meditasi yang keindahannya tak dapat dipahami siapa pun yang belum pernah mengalami saatsaat penuh kegairahan mistik dan kebahagiaan hati yang kuat.
Akhirnya, dengan tudung menutupi wajah mereka lagi, semua duduk dan dengan khidmat melantunkan lagu "Te Deum".["Allah Mahaagung"- penerj.] Aku juga memuji
Tuhan karena Dia telah melepaskan aku dari keragu-raguanku dan membebaskan aku dari perasaan gelisah yang memenuhi hatiku pada hari pertama di biara itu. Kita ini makhluk lemah, kata
ku kepada diriku sendiri: bahkan di antara para rahib yang pintar dan patuh ini, Yang Jahat menyebarkan rasa iri kecil-kecil, menimbulkan pertikaian licik, tetapi semua ini kemudian menghilang bagai asap oleh angin iman yang kuat, saat semua berkumpul dalam nama Bapa, dan Kristus bangkit ke tengah mereka.
DI ANTARA matina dan lauda, para rahib tidak kembali ke bilik mereka, bahkan jika hari masih gelap. Para novis mengikuti guru mereka masuk ke gedung sekolah untuk mempelajari mazmur; beberapa rahib tinggal di gereja untuk menghias gereja, tetapi sebagian besar berjalan pelan-pelan dalam kloster dan bermeditasi dengan diam, seperti halnya William dan aku. Para pelayan masih tidur dan tetap tidur ketika, langit masih gelap, kami kembali ke kapel untuk ibadat lauda.
Nyanyian mazmur dilanjutkan lagi, dan satu yang khusus, di antara mazmur yang ditetapkan untuk hari-hari Minggu, telah melontarkan diriku kembali ke dalam ketakutanku yang sebelumnya. "Pelanggaran orang jahat berkata dalam hatiku, bahwa tidak ada ketakutan akan Tuhan di depan matanya. Kata-kata dari mulutnya adalah ketidakadilan." Bagiku, ini seakan pertanda buruk bahwa Regula harus menetapkan suatu peringatan
mengerikan untuk hari itu sendiri. Kesedihan dan kegelisahanku juga tidak berkurang, setelah mazmur pujian, oleh bacaan biasa dari Kitab Wahyu; figur-figur ambang pintu itu kembali ke dalam benakku, ukiran-ukiran yang sehari sebelumnya telah membuat hati dan mataku terpana. Tetapi setelah nyanyian bersahut-sahutan, himne, dan pembacaan ayat suci, saat Injil mulai dinyanyikan, sekilas aku melihat di atas altar, di atas jendela-jendela tempat koor, suatu cahaya pucat yang membuat daun jendela, yang sampai saat itu buram oleh kegelapan, mulai bersinar dalam berbagai warna. Fajar belum lagi tiba, fajar baru mulai bangkit selama ibadat Prima, persis saat kami menyanyikan "Deus qui est sanctorum splendor mirabilis," dan "Iam lucis orto sidere."["Tuhan yang adalah kecemerlangan yang mengagumkan," dan "Bintang terang telah terbit"-penerj.] Itu sekadar bentara samar-samar pertama dari hari baru di musim dingin, tetapi itu sudah cukup, dan sekarang pantulan sinar tipis yang mulai menggantikan kegelapan di jalan-tengah gereja itu sudah cukup untuk melegakan hatiku.
Kami menyanyikan kata-kata dari buku suci itu dan, ketika kami mulai menjadi saksi bahwa Sabda akan menerangi semua bangsa, bintang siang dalam semua kemuliaannya terasa seakan menguasai tempat suci itu. Sinar, yang masih belum muncul, bagiku seakan berkilau dalam kata-kata dari himne bakung wangi, mistik, yang membuka di antara pelengkung-pelengkung kubah itu. "Aku bersyukur kepada-Mu, O Allahku, untuk saat kegembiraan
yang tak terlukiskan ini," aku berdoa dengan diam, dan berkata dalam hatiku, "Hati yang tolol, apa yang kautakuti""
Tiba-tiba terdengar bunyi-bunyi dari arah pintu utara. Aku ingin tahu mengapa para pelayan, sementara mulai bekerja, mengganggu ibadat suci dengan cara ini. Ketika itu tiga gembala babi masuk, wajah mereka ketakutan; mereka mendekati Abbas dan membisikkan sesuatu kepadanya. Mula-mula Abbas itu menenangkan mereka dengan gerakan tangannya, seakan-akan mengatakan ia tidak mau menghentikan doa itu; tetapi seorang pembantu lain masuk, dan teriakan-teriakan makin keras. Ada yang mengatakan, "Seseorang!
Orang mati!" Dan yang lainnya, "Seorang rahib. Kau lihat sandal itu""
Doa itu dihentikan, dan sang Abbas bergegas keluar, sambil mengangguk kepada Kepala Gudang untuk mengikutinya. William mengikuti di belakang mereka, tetapi waktu itu rahib lainnya juga mulai meninggalkan bangku dan bergegas keluar.
Sekarang langit sudah terang, dan salju di atas tanah membuat lingkungan bangunan itu justru lebih terang. Di belakang kapel, di depan kandang-kandang, yang pada hari sebelumnya ada belanga besar dengan darah babi, suatu benda aneh, hampir berbentuk salib, mencuat di atas tepi belanga itu, seperti dua batang kayu ditancapkan di tanah, lalu ditutupi dengan baju compang-camping untuk menakuti burung.
Tetapi kedua batang kayu itu kaki manusia,
dua kaki seorang manusia yang dita
ncapkan dengan kepala terjungkir dalam belanga darah.
Abbas itu menyuruh mayat tersebut (karena tidak bakal ada orang hidup yang dapat tetap berada dalam posisi aneh itu) dikeluarkan dari cairan mengerikan itu. Beberapa gembala babi mendekati tepi belanga dengan ragu-ragu dan, sementara diri mereka sendiri mulai tepercik darah, menarik benda berlumur darah yang malang itu. Seperti sudah dijelaskan kepadaku, darah tersebut, karena sudah langsung diaduk dengan baik setelah ditampung, dan kemudian dibiarkan di bawah udara dingin di luar, belum mengental, tetapi lapisan yang menutupi mayat itu sekarang mulai mengental; darah itu membuat jubah mayat itu basah kuyup, membuat wajahnya tak dapat dikenali. Seorang pelayan mendekat dengan seember air dan mengguyurkan sedikit di atas wajah jenazah yang tidak keruan itu. Yang lain membungkuk untuk menyeka wajah itu dengan secarik kain. Dan di depan mata kami muncul wajah putih Venantius dari Salvemec, sarjana Yunani yang kami ajak bicara sore itu di dekat naskah Adelmo.
Abbas itu mendekat. "Bruder William, seperti kausaksikan sendiri, sesuatu sedang berlangsung dalam biara ini, sesuatu yang meminta semua kebijaksanaanmu. Tetapi aku mohon kepadamu: cepatlah bertindak!"
"Apa dia hadir dalam koor selama ibadat"" tanya William sambil menuding mayat itu.
"Tidak," kata Abbas itu. "Aku melihat bangkunya
kosong." "Tidak ada lainnya yang absen""
"Rasanya begitu. Aku tidak melihat apa-apa yang aneh."
William termangu sebelum mengajukan pertanyaan berikutnya, dan ia menanyakannya sambil berbisik, sambil berhati-hati jangan sampai terdengar yang lainnya, "Berengar ada di bangkunya""
Abbas itu memandang William dengan rasa heran yang gelisah, seakan untuk menandakan bahwa ia kaget mendengar guruku sampai pada satu tuduhan yang sejenak sudah ia pikirkan sendiri, untuk alasan-alasan yang lebih dapat dimengerti. Lalu ia berkata dengan cepat, "Ia ada di sana. Ia duduk di baris pertama, hampir di sebelah kananku."
"Tentu saja," kata William, "semua ini tidak berarti apa apa.
Aku percaya tidak ada orang yang memasuki tempat koor dari belakang bagian gereja yang menonjol itu, dan oleh karenanya, bisa saja mayat itu sudah ada di sana selama beberapa jam, paling tidak sejak saat setiap orang sudah pergi tidur."
"Untuk pastinya, para pelayan baru mulai bangun saat subuh, dan itulah sebabnya mereka baru menemukannya sekarang."
William membungkuk di atas mayat itu, seakan sudah terbiasa menangani mayat. Ia mencelupkan kain yang tergeletak di situ ke dalam air dalam ember dan membersihkan wajah Venantius lebih lanjut. Sementara itu, rahib lainnya berkerumun di sekeliling, ketakutan, membentuk suatu lingkaran
yang berisik sampai Abbas menyuruh mereka diam. Di antara lain-lainnya, yang sekarang berusaha untuk maju, datang Severinus, yang menangani masalah kesehatan tubuh di dalam biara itu, dan ia membungkuk di samping guruku. Untuk mendengarkan percakapan mereka, dan untuk membantu William, yang memerlukan sehelai kain bersih basah, aku bergabung dengan mereka, sambil mengatasi ketakutan dan rasa mualku.
"Apa kau pernah melihat seorang yang tenggelam"" tanya William.
"Banyak kali," kata Severinus. "Dan jika aku menduga apa yang ingin kaukatakan, wajah mereka tidak seperti ini, biasanya membengkak."
"Jadi, orang ini sudah mati pada waktu seseorang melemparkan tubuhnya ke dalam belanga."
"Mengapa ia berbuat begitu""
"Mengapa ia membunuhnya lebih dulu" Kita menghadapi pekerjaan dari suatu pikiran yang terpelintir. Tetapi sekarang kita harus memeriksa apakah ada luka atau lecet-lecet pada tubuh itu. Aku mengusulkan untuk membawanya ke klinik, dibuka pakaiannya, dibersihkan dan diperiksa. Aku akan segera ke sana."
Dan sementara Severinus, setelah menerima izin dari Abbas, menyuruh para gembala babi membawa pergi mayat tersebut, guruku minta agar para rahib disuruh kembali ke tempat koor melalui jalan yang sudah mereka ambil sebelumnya, dan bahwa para pelayan juga kembali ke tempat kerja melalui jalan yang sama, sehingga tempat itu akan tetap
kosong. Demikianlah maka tinggal kami berdua di sana
, di samping belanga itu, di tengah darah yang tumpah selama mereka bekerja keras mengeluarkan mayat itu. Salju di seputarnya menjadi merah, sementara di beberapa tempat di mana air telah diguyurkan, salju itu meleleh; dan ada sebuah noda gelap besar di tempat mayat itu tadi ditelentangkan.
"Kekacauan yang bagus," kata William sambil mengangguk ke arah pola ruwet bekas langkah kaki yang ditinggalkan di mana-mana oleh para rahib dan pelayan. "Salju, Adso terkasih, adalah perkamen mengagumkan yang di atasnya tertera tulisan yang ditinggalkan oleh tubuh manusia, yang amat mudah dibaca. Tetapi lembaran perkamen ini sudah banyak digores-gores, dan mungkin kita tidak akan membaca sesuatu yang menarik di atasnya. Di antara sini dan gereja para rahib telah berjalan dengan terburu-buru, di antara sini dan gereja, lumbung dan kandang-kandang, para pelayan telah datang tergesa-gesa. Satu-satunya tempat yang tidak terjamah adalah antara lumbung dan Aedificium. Mari kita lihat apakah kita bisa menemukan sesuatu yang menarik."
"Apa yang kauharap akan ditemukan""
"Jika ia tidak melemparkan dirinya sendiri ke dalam belanga tersebut, maka ada orang yang menggendongnya ke sana, kubayangkan sudah mati. Dan di atas salju, seseorang yang menggendong tubuh orang lain akan meninggalkan jejak kaki yang dalam. Jadi, lihat dan perhatikan jika kau menemukan beberapa bekas tapak kaki di seputar
sini yang menurutmu tampak lain dari tapak kaki para rahib yang berisik itu, yang telah merusak perkamen kita itu."
Dan kami mulai bekerja. Dan aku akan langsung mengatakan bahwa akulah, Tuhan, ampuni semua kesombonganku, yang menemukan sesuatu di antara belanga itu dan Aedificium. Itu adalah jejak kaki manusia, amat dalam, dalam suatu zona yang belum dilewati lagi oleh siapa pun dan, ketika langsung diamati oleh guruku, lebih tipis daripada jejak kaki yang ditinggalkan oleh para rahib dan pelayan itu, suatu tanda bahwa lebih banyak salju yang turun, dan artinya jejak itu sudah ada beberapa waktu sebelumnya. Tetapi apa yang bagi kami tampak paling mencolok adalah bahwa di antara jejakjejak kaki itu ada suatu jejak yang lebih menyambung, seperti
jejak dari sesuatu yang telah diseret oleh orang yang meninggalkan jejak kaki itu. Singkatnya, suatu jalur yang berlangsung dari belanga itu menuju pintu ruang makan, di samping Aedificium, di antara menara selatan dan menara timur.
"Ruang makan, skriptorium, perpustakaan," kata William. "Sekali lagi, perpustakaan. Venantius meninggal di dalam Aedificium, dan hampir mungkin di dalam perpustakaan."
"Dan kenapa tepatnya di perpustakaan""
"Aku tengah berusaha mendudukkan diriku sendiri di tempat si pembunuh. Andaikan Venantius telah meninggal, telah dibunuh, di dalam ruang makan, di dalam dapur, atau di dalam skriptorium,
mengapa tidak ditinggalkan di sana" Tetapi jika meninggal di dalam perpustakaan, maka ia harus dibawa ke suatu tempat lain, sekaligus karena di dalam perpustakaan mayat itu tidak bakal pernah diketemukan (dan mungkin si pembunuh khusus berminat membuat mayat itu diketemukan) dan karena si pembunuh mungkin tidak ingin perpustakaan menjadi pusat perhatian."
"Dan mengapa si pembunuh berminat membuat mayat itu diketemukan""
"Aku tidak tahu. Aku bisa menyarankan beberapa hipotesis. Bagaimana kita tahu bahwa si pembunuh membunuh Venantius karena ia membenci Venantius" Tentu saja ia bisa membunuhnya, dan bukan orang lainnya, untuk meninggalkan suatu tanda, untuk menunjukkan sesuatu yang lain."
"Omnis mundi creatura, quasi liber et scriptura
gumamku. "Tetapi kira-kira pertanda apa itu""
"Itu yang aku tidak tahu. Tetapi jangan lupa bahwa ada juga pertanda yang tampaknya sedemikian rupa dan ternyata tidak ada maknanya, sekadar blitiri dan bla-bla-bla
"Akan sangat tidak sopan," kataku, "membunuh seseorang hanya untuk mengatakan bla-bla-bla!"
"Akan sangat tidak sopan," tukas William, "membunuh seseorang justru untuk mengucapkan 'Credo in unum Deum'[Syahadat- penerj.]
Saat itu Severinus mendatangi kami. Mayat itu
sudah dicuci dan diperiksa dengan saksama. Tidak ada luka, tidak ada lecet pada kepa
la. "Apa kau punya racun-racun dalam laboratoriummu"" tanya William, sementara kami berjalan menuju klinik.
"Salah satu di antaranya. Tetapi itu tergantung pada apa yang kaumaksudkan dengan racun. Ada bahan-bahan yang dalam dosis kecil menyehatkan dan dalam dosis berlebihan menyebabkan kematian.
Sebagaimana halnya setiap herbalis yang baik, aku menyimpannya, dan kugunakan secara diam-diam. Dalam kebunku, aku menanam, misalnya saja, valerian. Beberapa tetes valerian dalam suntikan yang terbuat dari dedaunan obat lainnya akan menenangkan jantung jika detaknya tidak teratur. Dosis yang terlalu banyak menyebabkan kantuk dan kematian."
"Dan kauperhatikan tidak ada pertanda dari racun khusus apa saja pada mayat itu""
"Sama sekali tidak ada. Tetapi banyak racun tidak meninggalkan jejak."
Kami sudah sampai ke klinik. Mayat Venantius, setelah dibersihkan di pemandian, sudah dibawa kemari dan terbaring di atas meja besar dalam laboratorium Severinus: alembik dan alat-alat lainnya dari kaca dan tanah liat membuatku membayangkan toko seorang ahli kimia (kendati hal-hal semacam itu hanya kudengar melalui percakapan tidak langsung). Di atas beberapa rak memanjang yang menempel pada dinding dekat pintu, berjajar banyak sekali rangkaian pot kecil, ampul, kendi,
belanga, penuh dengan bahan-bahan yang berwarna-warni.
"Koleksi bahan-bahan yang bagus," kata William. "Semua produksi dari kebunmu""
"Tidak," kata Severinus, "banyak bahan, langka, atau tidak mungkin tumbuh dalam iklim ini, yang selama bertahun-tahun kuterima sebagai buah tangan para rahib yang datang dari setiap bagian dunia ini. Aku punya banyak benda amat berharga yang tidak bisa didapatkan segera, juga bahan-bahan yang dengan mudah diperoleh dari dunia flora setempat. Kau lihat ... aghalingho pesto berasal dari Cathay, Cina; aku memerolehnya dari seorang Arab yang pandai, lidah buaya India, obat penyembuh luka yang bagus sekali. Arient segar membuat orang mati tetap hidup, atau, lebih baik dikatakan, membangunkan mereka yang telah kehilangan akal. Arsenako: amat berbahaya, racun mematikan bagi siapa saja yang menelannya. Boraks, tanaman yang bagus untuk menyembuhkan paru-paru. Betoni, baik untuk keretakan pada kepala. Mastik: menenangkan aliran darah ke paru-paru dan katarak yang mengganggu. Mir..."
"Hadiah Tiga Raja"" tanyaku.
"Sama. Tetapi sekarang dipakai untuk mencegah keguguran kandungan, dipetik dari sebuah pohon yang disebut Balsamodendron myrra. Dan ini mumia, amat langka, dihasilkan oleh pembusukan mayat yang dibuat mumi; digunakan untuk menyiapkan banyak obat yang hampir ajaib. Mandragora officinalis, baik untuk tidur
"Dan merangsang nafsu dari daging," komentar guruku.
"Begitu kata orang, tetapi kau bisa membayangkan bahwa di sini ini tidak digunakan untuk tujuan tersebut." Severinus tersenyum.
"Dan lihat ini," katanya sambil menurunkan sebuah ampul. "Tutty[Seng, elemen kimiawi dengan simbol Zn- pen.], ajaib untuk mata."
"Dan ini apa"" tanya William dengan suara gembira, sambil menyentuh sebuah batu yang tergeletak di atas sebuah rak.
"Itu" Itu diberikan kepadaku beberapa waktu yang lalu. Tampak jelas batu itu punya khasiat terapeutik, tetapi aku belum menemukan apa itu. Apa kau tahu itu""
"Ya," kata William, "tetapi bukan sebagai obat." Ia mengeluarkan sebilah pisau kecil dari dalam jubahnya dan memegangnya di dekat batu tersebut. Ketika pisau itu, bergera oleh tangannya dengan amat pelan, sampai ke dekat batu tersebut, aku melihat pisau itu mendadak melompat, seakan William telah menggerakkan pergelangan tangannya, yang, bagaimanapun juga, tetap tidak bergerak. Dan pisau itu menempel pada batu tersebut sambil mengeluarkan bunyi metalik yang lembut.
"Kau lihat," kata William kepadaku, "ini menarik besi."
"Dan apa kegunaannya"" tanyaku.
"Kegunaannya macam-macam, nanti kuceritakan kepadamu. Tetapi untuk saat ini, aku hanya ingin tahu, Severinus, kalau-kalau di sini ada
sesuatu yang bisa membunuh seseorang."
Severinus merenung sejenak terlalu lama, menurutku, untuk mempertimbangkan kejelasan dari jawabannya, "Banyak benda. Seperti sudah kukatak
an, garis antara racun dan obat itu amat halus; untuk keduanya orang Yunani menggunakan kata 'pharmacon'."
"Dan tidak ada yang telah dipindahkan akhir-akhir ini"" Severinus merenung lagi, kemudian, seakan mempertajam kata-katanya, "Tidak ada akhir-akhir ini."
"Dan pada masa lalu""
"Siapa tahu" Aku tidak ingat. Aku sudah tinggal di biara ini selama tiga puluh tahun, dan dua puluh lima tahun bertugas di klinik."
"Terlalu lama untuk ingatan seorang manusia," William membenarkan.
Kemudian, tiba-tiba, ia berkata, "Kemarin kita membicarakan tentang tumbuh-tumbuhan yang dapat merangsang penampakan.
Yang mana itu""
Gerak-gerik Severinus dan ekspresi pada wajahnya menunjukkan suatu keinginan besar untuk menghindari pokok pembicaraan itu.
"Kau tahu, sudah tentu aku harus berpikir dulu. Aku punya begitu banyak bahan di sini. Tetapi lebih baik mari kita bicarakan tentang kematian Venantius. Bagaimana pendapatmu tentang itu""
"Sudah tentu aku harus berpikir dulu," jawab William. []
Prima Dalam cerita ini, Benno dari Uppsala menceritakan rahasia tertentu, lainnya diceritakan oleh Berengar dari Arundel, dan Adso mempelajari dari pertobatan yang sebenarnya.
Peristiwa mengerikan itu telah mengganggu kehidupan komunitas tersebut. Kebingung-
an akibat ditemukannya mayat tadi telah memutus ibadat suci itu. Abbas langsung menyuruh para rahib kembali ke tempat koor, untuk mendoakan jiwa saudara mereka.
Suara para rahib itu terputus-putus. William dan aku memilih duduk dalam suatu posisi yang memungkinkan kami mengamati wajah mereka yang pada saat liturgi tidak perlu menurunkan tudung kepala mereka. Kami langsung melihat wajah Berengar. Pucat, murung, mengilat oleh peluh.
Di sebelah Berengar tampak oleh kami Maleakhi. Murung, mengernyitkan kening, tidak bersemangat. Di sebelahnya, juga tanpa semangat, adalah wajah Jorge yang buta. Di lain pihak, kami mengamati gerak-gerik Benno dari Uppsala yang gelisah, sarjana retorika yang kami temui hari sebelumnya di skriptorium; dan kami memergokinya melirik Maleakhi
sebentar. "Benno gelisah, Berengar ketakutan," komentar William. "Mereka harus segera ditanyai."
"Mengapa"" tanyaku tidak paham.
"Tugas kita ini berat," kata William. "Suatu tugas berat, tugas seorang inkuisitor, yang harus menyerang yang paling lemah, dan pada saat mereka sedang dalam keadaan sangat lemah."
Nyatanya, begitu ibadat berakhir, kami berpapasan dengan Benno, yang mau menuju perpustakaan. Orang muda itu tampak kaget mendengar William memanggilnya, dan menggumamkan suatu alasan yang sudah ia hafal tentang harus menyelesaikan pekerjaan. Kelihatannya ia terburu-buru pergi ke skriptorium. Tetapi guruku mengingatkan Benno bahwa ia sedang menjalankan permintaan Abbas untuk menyelidiki, dan mengajak Benno masuk kloster. Kami duduk di dinding sebelah dalam, di antara dua pilar. Sambil dari waktu ke waktu memandang ke arah Aedificium, Benno menunggu William mulai bicara.
"Baiklah kalau begitu," William mulai bertanya, "apa yang kaukatakan pada hari itu ketika kau mendiskusikan gambar tepi Adelmo bersama Berengar, Venantius, Maleakhi, dan Jorge""
"Kau sudah dengar kemarin. Waktu itu Jorge mengatakan bahwa menggunakan gambar aneh untuk menghiasi buku yang berisi kebenaran adalah haram. Dan Venantius berpendapat bahwa Aristoteles sendiri telah membicarakan tentang kejenakaan dan permainan kata sebagai alat yang lebih baik untuk mengungkapkan kebenaran, dan
karenanya tawa belum tentu suatu hal yang buruk jika bisa menjadi sarana kebenaran. Jorge berkata bahwa, sejauh yang bisa diingatnya, Aristoteles sudah menyebutkan hal-hal ini dalam bukunya, Poetics, waktu membicarakan metafora. Dan dalam buku itu sendiri ada dua keadaan yang mengganggu, pertama karena buku Poetics itu, begitu lama tidak dikenal oleh dunia Kristen, yang mungkin oleh dekrit suci, sekarang dibawa kepada kita oleh bangsa Moor yang kafir
"Tetapi buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh seorang doktor suci dari Aquino," kata William.
"Itulah yang kukatakan kepada Jorge," jawab Benno, langsung bersemangat. "Aku tidak lancar be
rbahasa Yunani dan aku bisa mempelajari buku hebat itu, terus terang saja, hanya melalui terjemahan William dari Moerbeke. Ya, aku bilang begitu. Tetapi Jorge menambahkan bahwa alasan kedua yang menimbulkan kegelisahan adalah bahwa dalam buku itu, Stagirite itu, membicarakan puisi, yang merupakan doktrin murahan dan yang ada dalam isapan jempol.
Dan Venantius berkata bahwa Mazmur, juga, berupa karya puisi dan menggunakan metafora; dan Jorge menjadi marah karena menurutnya Mazmur adalah hasil karya inspirasi suci dan menggunakan metafora untuk menyampaikan kebenaran, sementara karya penyair kafir itu menggunakan metafora untuk menyampaikan kebohongan dan untuk tujuan kesenangan belaka, sebuah ucapan
yang membuatku amat tersinggung "Mengapa""
"Karena aku mempelajari retorika, dan aku membaca banyak penyair kafir, dan aku tahu ... atau aku percaya bahwa kata-kata mereka telah menyampaikan kebenaran asli Kristen pula ....
Singkat kata, pada waktu itu, kalau aku tidak salah ingat, Venantius juga menyebutkan buku-buku lainnya dan Jorge menjadi amat marah."
"Buku apa""
Benno tertegun. "Aku tidak ingat. Apa masalahnya dengan bukubuku yang disebutkan itu""
"Masalahnya besar sekali, karena di sini kita sedang berusaha memahami apa yang telah terjadi di kalangan orang-orang yang hidup di antara buku, bersama buku, dari buku, dan karenanya kata-kata mereka tentang buku juga penting."
"Memang," kata Benno, sambil tersenyum untuk pertama kalinya, wajahnya makin berseri-seri. "Kami hidup untuk buku. Suatu misi indah di dunia yang didominasi oleh kekacauan dan kemerosotan ini. Mungkin, kelak, kau akan memahami apa yang telah terjadi pada kesempatan itu. Venantius, yang fasih yang amat menguasai bahasa Yunani, mengatakan bahwa Aristoteles telah mengabdikan buku Poetics yang kedua khususnya pada tawa, dan kalau seorang filsuf yang sedemikian hebat mengabdikan seluruh buku itu pada tawa, maka tawa tentu penting. Jorge berkata bahwa banyak pendeta telah mengabdikan seluruh buku untuk dosa, yang merupakan buku penting, tetapi jahat;
dan Venantius berkata bahwa sejauh ia ketahui, Aristoteles telah membicarakan tawa sebagai sesuatu yang baik dan suatu alat kebenaran; dan kemudian Jorge menanyakan kepadanya dengan sinis apakah ia pernah mendapat kesempatan untuk membaca buku Aristoteles ini; dan Venantius berkata bahwa tak seorang pun telah membacanya, karena buku itu belum pernah diketemukan dan mungkin sudah hilang untuk selamanya. Dan, dalam kenyataan, William dari Moerbeke belum pernah memilikinya. Kemudian Jorge mengatakan bahwa jika tidak pernah diketemukan, ini karena buku itu belum pernah ditulis, karena Tuhan tidak menghendaki hal-hal jelek dimuliakan. Aku ingin menenangkan semangat setiap orang, karena Jorge mudah marah dan Venantius terang-terangan berbicara untuk mendorong kemarahan Jorge, dan karenanya aku katakan bahwa dalam bagian dari Poetics yang kita tidak tahu itu, dan di dalam Rhetoric, tentu ditemukan banyak observasi bijaksana tentang perumpamaan lucu, dan Venantius sepakat denganku. Sekarang, ikut bicara Pacificus dari Tivoli, yang mengenal penyair kafir dengan amat baik, dan ia berkata bahwa kalau sampai pada masalah perumpamaan lucu, tidak ada orang yang bisa mengungguli para penyair Afrika. Ia mengutip, nyatanya, perumpamaan tentang ikan, dari Symphosius:
Est domus in terris, clara quae voce resultat. Ipsa domus resonat, tacitus sed non sonat
hospes. Ambo tamen currunt, hospes simul et domus una.[Ada rumah di bumi, yang menggema dengan suara nyaringilRumah itu sendiri memantulkan suara, tamunya diam dan tidak bersuarailTetapi keduanya berjalan cepat, tamu bersama dengan satu rumah- penerj.]
"Saat itu Jorge mengatakan bahwa Yesus telah
mendesak agar pembicaraan kita menjadi ya atau
tidak, karena penjelasan apa saja selanjutnya,
datang dari Yang Jahat; dan bahwa untuk
menyebutkan ikan, sudah cukup menyebut 'ikan',
tanpa mengungkapkan gagasan di balik bunyi-bunyi
bohong. Dan ia menambahkan bahwa baginya,
rasanya tidak bijaksana untuk mengambil orang
orang Afrika itu sebagai contoh .... Dan kemudian.
.." "Kemudian""
"Kemudian sesuatu telah terjadi yang tidak kumengerti. Berengar mulai tertawa. Jorge membentaknya, dan berkata bahwa Berengar tertawa karena timbul dalam benaknya bahwa jika ada yang dengan cermat mencari cari di antara karya Afrika, akan ditemukan perumpamaan lain yang amat berbeda, dan tidak begitu gampang seperti perumpamaan tentang ikan itu. Maleakhi, yang juga hadir, menjadi berang, mencekal tudung kepala Berengar dan menyuruhnya kembali bekerja .... Berengar, kau tahu, adalah asisten
"Dan sesudah itu""
"Sesudah itu Jorge mengakhiri argumentasi itu
dengan meninggalkan kami. Kami semua kembali ke pekerjaan kami, tetapi sementara bekerja, mula-mula aku melihat Venantius, kemudian Adelmo menghampiri Berengar dan menanyakan sesuatu. Dari kejauhan aku melihat Berengar mengelakkan pertanyaan mereka, tetapi pada siang hari itu keduanya juga mendatangi Berengar lagi. Dan petang harinya aku melihat Adelmo dan Berengar tengah mengobrol di dalam kloster sebelum memasuki ruang makan. Nah, itu semua yang kutahu."
"Kau tahu, nyatanya, bahwa kedua orang yang akhir akhir ini meninggal dalam keadaan misterius itu telah menanyakan sesuatu kepada Berengar," kata William.
Benno menjawab dengan sikap tidak nyaman. "Aku tidak berkata begitu! Aku menceritakan apa yang telah terjadi hari itu, karena kau bertanya Ia merenung sejenak, lalu buru-buru menambahkan, "Tetapi jika kau ingin tahu pendapatku, Berengar menceritakan kepada mereka tentang sesuatu dalam perpustakaan, dan itu tempat yang harus kauselidiki."
"Mengapa kau berpikir tentang perpustakaan" Apa yang dimaksud oleh Berengar tentang mencari-cari di antara buku Afrika" Apa itu bukan berarti bahwa penyair Afrika seharusnya lebih banyak dibaca""
"Mungkin juga. Agaknya memang begitu. Tetapi kemudian, mengapa Maleakhi harus marah-marah Bagaimanapun juga, Maleakhi adalah orang yang
memutuskan boleh tidaknya sebuah buku karya penyair Afrika diserahkan untuk dibaca. Tetapi ada satu yang kuketahui: siapa saja yang membuka-buka katalog buku itu akan sering menemukan, di antara singkatan-kata yang hanya dipahami oleh pustakawan itu, ada satu yang bunyinya 'Afrika', dan aku bahkan sudah menemukan lagi yang bunyinya 'finis Africae'[Batas-batas Afrika- penerj.]. Aku pernah minta sebuah buku yang punya indikasi tersebut, aku tidak ingat buku apa itu, meskipun judulnya telah membangkitkan rasa ingin tahuku; dan Maleakhi mengatakan kepadaku bahwa buku-buku dengan indikasi itu sudah lama hilang. Ini yang kuketahui. Dan inilah sebabnya menurutku kau benar, coba amati Berengar, dan selidiki kapan ia naik ke dalam perpustakaan. Kau tidak mungkin bisa tahu."
"Kau tidak mungkin bisa tahu," William mengakhiri percakapan itu dan membiarkan Benno pergi. Kemudian ia mulai jalan-jalan bersamaku di dalam kloster dan mengatakan bahwa, yang paling pertama, sekali lagi Berengar telah menjadi sasaran kasak-kusuk para saudaranya; kedua, Benno seakan ingin sekali mengarahkan kami ke perpustakaan. Aku mengajukan pendapat bahwa mungkin Benno ingin kami menemukan hal-hal yang ia sendiri juga ingin tahu di sana; dan William berkata mungkin ini masalahnya, tetapi juga mungkin bahwa dengan mengarahkan kami ke perpustakaan, ia ingin menjauhkan kami dari suatu tempat lain. Tempat yang mana" tanyaku. Dan
William berkata tidak tahu, mungkin skriptorium, mungkin dapur, atau tempat koor, atau asrama rahib, atau klinik. Aku memberanikan diri untuk mengatakan bahwa justru dia, William, yang telah tertarik pada perpustakaan, dan William menjawab bahwa ia memang ingin tertarik pada hal-hal yang ia pilih dan bukan hal-hal yang disarankan oleh orang-orang lain. Tetapi perpustakaan itu harus tetap diselidiki, katanya selanjutnya, dan dalam hal ini, bukan suatu gagasan yang buruk untuk berusaha memasukinya entah dengan cara bagaimana. Semua keadaan itu sekarang menguasai rasa ingin tahunya, di dalam batasan kesopanan dan hormat kepada kebiasaan dan hukum biara tersebut.
Pertarungan Dua Datuk 2 First Love Never Die Karya Camarillo Maxwell Midnight Sun 5
^