Pencarian

Akhir Segalanya 1

Fear Street Akhir Segalanya Fearhall The Conclusion Bagian 1


bagian satu HOPE bab 1 AKU memegang erat-erat susuran besi tangga darurat
kebakaran dan bersandar ke arah jendela asrama yang terbuka. Aku
terus merapatkan diri ke dinding batu, bersiap-siap untuk bersembunyi
bila ada seseorang di dalam kamarku yang melihat ke luar.
Polisi sedang berada dalam kamarku. Dua polisi, yang terlihat
masih muda, menggosok-gosok dagu dan menggeleng-gelengkan
kepala mereka. Ketiga gadis dari kamar 13-A di seberang kamarku juga telah
menyelinap masuk ke dalam kamarku yang kecil. Melanie, Margie,
dan Mary. Si Trio M. Aku tak pernah suka pada ketiga tukang intip itu. Sangat
congkak dan pongah. Begitu sempurna. Selalu bertingkah laku seolaholah mereka adalah ratu-ratu Ivy State College. Mendengarkan
mereka bicara kepada polisi itu membuatku sadar betapa aku sangat
membenci mereka. Dari tempatku berdiri di luar pada tangga darurat, aku dapat
mendengar setiap kata yang mereka ucapkan. Aku dapat mendengar
setiap kebohongan. Mereka sedang menceritakan kebohongan-kebohongan kepada
polisi itu mengenai diriku dan teman-teman sekamarku. Jasmine dan
Angel berimpit-impitan di sampingku di tangga darurat. Mereka
mendengarkan pembicaraan di dalam kamar kami, mata mereka
terbelalak dengan rasa tidak percaya. Dan ketakutan.
"Hope tidak punya teman sekamar seorang pun," Melanie
berkata. "Aku tak pernah mendengar seorang gadis pun yang bernama
Eden, Jasmine, atau Angel."
Mendengar itu, aku terisak pelan. Aku menarik kepalaku ke
belakang dan menekannya rapat-rapat pada dinding batu, berharap tak
seorang pun mendengar suaraku.
Eden yang malang, pikirku. Teman sekamarku yang malang.
Darryl telah membunuhnya.
Aku ngeri membayangkan pemandangan yang mengerikan itu
lagi. Darryl saat sedang benar-benar marah. Benar-benar di luar
kendali. Ia mengangkat Eden dari lantai dan membantingnya ke
bawah dengan keras di atas lututnya yang terangkat. Ia menghajar
punggungnya. Mematahkannya seperti sebuah kacang polong.
Kemudian ia melempar Eden ke luar jendela.
Jendela tempat aku sedang mengintip ke dalam sekarang.
Darryl membunuh Eden. Dan sekarang, polisi ada di dalam
kamar kami, mendengarkan kebohongan-kebohongan Melanie.
"Aku melihat Hope sedang bicara kepada dirinya sendiri."
Suara Melanie melayang keluar dari jendela yang terbuka. "Dia selalu
terlihat sedang berdebat dengan dirinya sendiri. Aku
mengkhawatirkan dirinya. Sungguh."
Melanie membelakangi jendela itu. Jika ia mundur dua langkah
ke belakang, aku bisa menjangkau dan menariknya.
Aku ingin melakukannya. Aku ingin mencekiknya karena ia
mengatakan kebohongan-kebohongan mengenai diri kami. Karena ia
mengatakan kepada polisi itu bahwa Eden, Jasmine, dan Angel
semuanya hanya ada di pikiranku.
"Kita mungkin sedang berhadapan dengan orang gila," salah
satu polisi itu berkata pelan. "Orang gila yang berbahaya."
"Mungkin kita berhadapan dengan orang yang berkepribadian
ganda," rekannya berbisik.
Apa yang sedang ia bicarakan" Jasmine dan Angel berada tepat
di sampingku. Dan aku tahu Darryl juga berada di dekatku. Yang
harus dilakukan oleh polisi-polisi itu hanyalah menjulurkan kepala
mereka ke luar jendela. Mereka akan melihat kami.
"Bagaimana tentang anak laki-laki bernama Darryl ini?" aku
mendengar seorang polisi bertanya. "Kami menerima sebuah laporan
bahwa dia tinggal di lantai bawah yang berisi anak laki-laki."
"Tidak ada anak laki-laki di asrama ini," aku mendengar Mary
menjawab. Mary. Sang Juara Renang State. Ia dan Melanie sama-sama
berpikir amatlah keren berada dalam tim renang.
Kenapa kalian tidak membenamkan saja kepala kalian di dalam
kolam renang dan meninggalkannya di sana" pikirku. Kenapa kalian
tidak minum chlorine dan mati" Chlorine adalah sejenis bahan kimia
yang biasa dicampurkan ke dalam air kolam renang untuk membasmi
kuman-kuman. Pikiran-pikiran yang mengerikan dan tidak menyenangkan.
Tetapi kenapa mereka bercerita kepada polisi itu bahwa aku
gila" "Mungkin kita berhadapan dengan orang yang berkepribadian
ganda di sini," kata seorang polisi. "Apakah kau mengira Hope Mathis
ini adalah empat gadis" Dan juga Darryl?"
"Mungkin," rekannya menjawab. Aku hanya bisa melihat
sebagian dirinya. Ia sedang menulis pada notes kecilnya dengan
tergesa-gesa. "Pertanyaannya adalah"apakah Hope membunuh kedua
anak laki-laki itu" Benar-benar ada siswa laki-laki yang dibunuh di
kampus. Mereka bukan khayalan."
Aku mendengar Mary dan Margie menarik napas panjang.
"Semua ini begitu... tak dapat dipercaya," Mary berujar.
Salah besar. Tentu saja aku tahu siapa yang membunuh kedua laki-laki itu.
Darryl yang membunuh mereka. Darryl dalam kemarahannya karena
cemburu. Ia tak pernah suka kalau ada laki-laki lain yang terlalu akrab
denganku. Itu bisa membuatnya gila. Dan maksudku, benar-benar gila.
Darryl-lah yang gila, pikirku dengan tidak senang. Darryl-lah
yang seharusnya kalian bicarakan di dalam sana.
Cowok yang malang. Aku sangat mencintainya. Sejak dari
SMU. Darryl adalah satu-satunya cowok yang pernah sungguhsungguh menyayangi diriku.
Tetapi ia sudah keterlaluan kali ini. Ia membunuh dua cowok.
Memotong-motong mereka seolah mereka santapan makan siang.
Kemudian ia membunuh Eden yang malang.
Keterlaluan. Ia sudah bertindak keterlaluan.
Aku tahu aku harus melakukan sesuatu mengenai Darryl.
Meskipun aku sangat mencintai dia, aku harus menyingkirkannya.
Jauh-jauh. Keluar dari kehidupanku.
Di dalam kamar, aku mendengar Margie sedang berbicara
kepada salah satu polisi itu. "Aku sudah tahu Hope itu gila," ia
berkata. "Tetapi mungkinkah ia menjadi seorang pembunuh?" Melanie
berteriak. Aku melihat sesosok berseragam biru bergerak menuju jendela.
Saatnya untuk pergi. "Mereka tidak akan menemukan kita" bukankah begitu,
teman-teman?" aku berbisik.
Angel dan Jasmine menggelengkan kepala mereka.
"Dan saat polisi itu menemukan kita," aku melanjutkan,
"Melanie dan teman-teman sekamarnya akan mati. Mereka akan
merasakan akibatnya karena menyebut kita gila"benar?"
"Benar," bisik Jasmine.
"Benar," Angel sependapat.
"Benar," Darryl berbisik di telingaku. Aku tahu ia ada di
dekatku. Aku tahu ia ada bersamaku.
"Ayo kita pergi," aku berbisik. Dengan memegang erat-erat
susuran tangga darurat itu, aku meluncur menjauhi jendela.
Sepatuku tersangkut pada injakan metal dan menimbulkan
bunyi klang samar-samar. Aku terkejut. Apakah mereka mendengarnya"
Ya. Aku mendengar teriakan tajam dari dalam kamar.
Kemudian seorang polisi berteriak, "Itu dia! Di tangga darurat!
Tangkap dia!" Tanganku tergelicir pada susuran. Dalam kepanikanku, aku
kehilangan keseimbangan. Pergi! Aku memerintahkan kami semua. Pergi, semuanya! Lari!
Terlambat. Seorang polisi"dengan mata terbelalak, rahangnya terkatup
dengan gusar"cepat-cepat berlari ke jendela. Ia mengulurkan
tangannya keluar dan mencengkeram sekeliling pinggangku. "Aku
berhasil menangkapnya!"
bab 2 SAAT tangannya mengetat di sekeliling tubuhku, napasku
keluar dalam embusan panjang tanda menyerah. Bahuku merosot, dan
aku merasa lututku mulai tertekuk.
Seharusnya aku mencoba untuk lari, kataku kepada diri sendiri.
Aku memalingkan kepalaku"dan melihat Jasmine dan Angel
menuruni tangga-tangga besi yang reyot, sudah berada dua atau tiga
lantai di bawah. Aku tahu aku seharusnya mencoba membebaskan diri. Tetapi
tiba-tiba aku merasa begitu takut dan bingung.
Kenapa ini bisa terjadi" Kenapa ini terjadi pada diriku" Aku
tidak membunuh siapa-siapa.
Darryl, aku berpikir. Darryl, kumohon"tolong aku!
Saat aku berpikir tentang Darryl, ia muncul di sampingku. Mata
biru pucatnya terbelalak penuh kemarahan. Rambut hitamnya yang
panjang kusut berantakan di atas mukanya.
Ia menyapu rambutnya ke belakang dengan satu tangan.
Kemudian tangan lainnya bergerak dengan cepat ke leher perwira
polisi itu. Aku melihat jari-jari Darryl mencengkeram leher yang kurus
itu. Kulit polisi itu memerah saat Darryl mencekik. Merenggut dan
mencekiknya. Polisi itu membuka mulutnya dan mendeguk tercekik.
Tangannya terlepas dariku. Tampaknya dia terjatuh kembali ke dalam
kamar. Aku berputar. Merasa pusing. Jantungku berdebar-debar.
Dan mulai melarikan diri. Susuran tangga besi dingin meluncur
di bawah tanganku saat aku berlari menuruni tangga darurat itu.
Kakiku terasa begitu berat. Sepatuku menimbulkan bunyi
gemerencing pada tangga-tangga besi itu.
Klang... klang... klang... seperti bunyi bel.
Aku mendengar teriakan-teriakan marah di atasku, tetapi aku
tidak mendongak ke atas. Aku mendengar sepatu-sepatu berdebam dengan berat. Tangga
darurat itu bergetar dan berguncang. Dinding batu bata yang
berlapiskan tanaman menjalar tampak berwarna merah-hijau buram
saat aku berbelok tajam, tersandung, memegang susuran tangga itu,
dan terus berlari. Terus ke bawah. Turun. Mengikuti Jasmine dan Angel.
"Darryl"kau di belakangku?" aku memanggil. Suaraku
terdengar pelan dan tertahan. Aku sadar ia tidak dapat mendengar
suaraku di balik bunyi-bunyi klang, gedebuk, dan teriakan-teriakan
marah. "Kau ada di sana" Apakah kau juga melarikan diri?"
"Berhenti di sana!" seseorang berteriak. Seseorang tepat di atas
kepalaku. Begitu dekat. Begitu dekat....
Aku tidak memikirkannya. Aku tidak merencanakannya. Aku
bahkan tidak tahu aku akan melakukannya.
Aku berhenti berlari. Dan memegang susuran tangga itu.
Dan mengangkat diriku ke atas dengan dua tangan. Mengangkat
diriku, sambil berharap aku tidak begitu berat, tidak begitu gemuk,
seperti ikan paus. Aku berharap aku sekurus dan seringan seperti yang
diinginkan oleh ibuku. Sekurus, seringan, dan seanggun Angel.
Tetapi aku menarik diriku ke atas. Dan dengan sebuah erangan
keras, melompat ke samping. Melepaskan diri dari tangga darurat.
Dan melayang ke bawah. Tanganku melayang tinggi di atas
kepalaku. Sudah berapa lantai aku terjatuh"
Aku tidak tahu. Aku tidak melihat sebelum aku melompat. Aku
tidak melihat ke bawah. Dan bahkan waktu aku jatuh, mataku tetap
menatap langit. Aku jatuh dalam waktu yang lama. Atau hanya sedetik atau dua
detik. Dan aku sudah mati sebelum menghantam tanah.
bab 3 TIDAK. Aku tidak mati. Tetapi gagasan itu melayang masuk ke dalam pikiranku. Aku
masih memikirkannya saat mendarat. Dengan keras. Pada kakiku.
Rasa sakit menusuk salah satu pergelangan kakiku. Dan terasa
sampai ke atas tubuhku. Lututku melemas, dan aku jatuh ke rumput yang dingin. Rasa
sakit itu menjalar ke sekujur tubuhku. Sakit sekali, sampai-sampai aku
bisa mendengarnya. Aku membayangkan seseorang yang sedang
dikerumuni oleh sekawanan lebah yang sedang marah. Seperti ditutupi
selimut. Selimut listrik yang terus-menerus menyengat diriku.
Meskipun begitu, aku masih hidup. Menarik napas dalamdalam. Menunggu serangan rasa sakit itu terangkat.
Kemudian aku berlari lagi. Dengan tidak memedulikan rasa
sakit yang berdenyut di pergelangan kakiku. Berlari di samping
Jasmine dan Angel. Apakah orang-orang memandangi kami saat kami berlari
menyeberangi The Triangle, taman berumput yang luas yang terletak
di tengah-tengah kampus"
Aku tidak tahu. Aku terus menundukkan kepalaku dan tidak
mendongak. Aku mendengar suara langkah-langkah berlari di
belakangku. Mendengar teriakan-teriakan marah kedua perwira polisi
itu. Dan berlari seperti seekor kuda dengan penutup mata.
Aku menyeberangi Pine Street dan berlari di sepanjang tokotoko kampus di Elm. Klakson mobil berbunyi saat aku berlari
menyeberangi Elm. Aku tidak berhenti untuk melihat keadaan lalu
lintas. Aku mendengar pengemudi mobil itu meneriakkan sumpah
serapah kepadaku. Tetapi aku tidak menoleh atau melambatkan lariku.
Aku menabrak seorang laki-laki yang membawa dua kantong
belanjaan. Ia berteriak marah, sambil berusaha menyeimbangkan
kantong-kantong itu di tangannya.
"Kenapa sih buru-buru?" ia berteriak ke arahku.
Aku cepat-cepat berlari melewati kantor pos kecil dan berbelok
ke dalam gang di sebelah The Ivy, sebuah gedung bioskop tua yang
buruk. Dua anak SMU sedang berdempet-dempetan di pintu keluar
belakang gedung bioskop. Mungkin sedang bercumbu.
Aku meluncur dengan cepat melewati mereka dan melihat
ekpresi kaget mereka. Gang itu keluar ke Vermon Avenue. Aku berhenti mendadak
dan menghindar dari dua gadis bersepeda yang nyaris menabrakku.
Kemudian aku berbelok dan mulai berlari-lari kecil di sepanjang
deretan rumah-rumah tua yang beratap rendah.
Tak ada seorang pun di belakangku. Tak ada yang mengejarku
sekarang. Aku berhasil meloloskan diri dari mereka. Aku berhasil


Fear Street Akhir Segalanya Fearhall The Conclusion di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat dan menyelamatkan diri.
Benarkah aku sudah melakukan itu" Apakah aku benar-benar
melompat dari tangga darurat di belakang asrama itu"
Dari mana aku mendapatkan keberanian itu"
"Apa yang sedang kita lakukan?" Angel bertanya dengan
terengah-engah. Rambut pirangnya beterbangan dengan liar di
mukanya. "Ke mana kita akan pergi?" Daun-daun menempel di sweter
ungunya, tetapi kelihatannya ia tidak memperhatikannya.
Jasmine berlari dengan susah payah untuk menyusul. Ia
memegangi pinggangnya, menahan rasa sakit sambil berlari. "Kita
harus bicara," ia tersedak. "Kenapa kita lari" Kita tidak melakukan
apa-apa!" "Pelan-pelan, Hope," desak Angel, sambil menangkap lenganku
dan memaksaku untuk berhenti. "Jasmine benar. Kita harus bicara."
Aku berpaling untuk memeriksa jalan di belakangku. Dua orang
yang mengenakan sweatshirt bertuliskan Ivy College Athletic
Departement, meluncur lewat dengan menggunakan rollerblade. Salah
satu dari mereka mengamatiku, tetapi tidak tersenyum.
"Tak ada yang mengejar kita," Jasmine melaporkan. "Kita
sudah berhasil meloloskan diri dari mereka."
Mataku menyapu ke atas dan ke bawah jalan itu. Pohon-pohon
berusia tua yang besar hampir semuanya dalam keadaan gundul. Di
belakang pohon-pohon itu berdiri rumah-rumah yang berbatu bata
besar dan bersirap dari Fraternity Row.
Ratusan kelompok perkumpulan kampus mahasiswa dan
mahasiswi bertempat di rumah-rumah tua ini. Aku selalu bertanyatanya seperti apa di dalamnya. Aku tak pernah diundang bergabung
dengan salah satu darinya.
Sebenarnya, beberapa rumah itu mulai terlihat bobrok dan tak
terpelihara. Perkumpulan mahasiswa dan mahasiswi itu tidaklah
sepopuler dulu. Banyak anak yang tidak mampu bergabung dengan
mereka. Beberapa gedung sudah diubah menjadi rumah-rumah
penginapan atau gedung-gedung apartemen mahasiswa. Beberapa
sudah tutup dan kosong. Aku melihat tanda DIJUAL di depan rumah
besar bertiang putih di seberang jalan.
Suara musik terdengar meraung keras dari sebuah jendela yang
terbuka di sebuah rumah perkumpulan mahasiswi di seberang pagar
tanamannya yang tinggi. Suara musik itu menyadarkanku dari
lamunanku. "Kenapa kita lari?" tanya Angel masih dengan terengah-engah.
"Kenapa kita tidak tinggal dan memberitahu polisi itu tentang
Darryl?" "Bagaimana bisa?" tanyaku dengan nada tajam. "Kau
mendengar apa yang mereka ucapkan di dalam kamar itu. Mereka
mengatakan bahwa aku gila."
"Tapi, Hope...," Angel mulai memprotes.
"Apakah kau kira mereka akan mempercayai ucapanku?"
tanyaku. "Mereka mempercayai Melanie dan teman-temannya. Kau
dengar semuanya, Angel. Kau tahu mereka takkan memberiku
kesempatan untuk menjelaskan."
"Hope benar," Jasmine memberitahu Angel. Ia membereskan
kemeja wol longgarnya. Kemudian ia menarik daun-daun dari bagian
depan kemeja wol Angel. "Kita tidak punya pilihan. Kita harus lari."
"Mereka mengira aku seorang pembunuh," kataku, sambil
menggelengkan kepala. "Kau percaya itu" Mereka menyangka aku
yang membunuh kedua cowok itu. Mereka menyangka aku seorang
pembunuh gila. Ketiga gadis itu menyangka demikian. Dan sekarang
polisi juga menyangka demikian."
Aku mengerang muak. "Aku tidak tahan berada di sana dan
mendengarkan hal itu," aku memberitahu kedua temanku. "Itu"itu
terlalu gila!" Suaraku terputus. Aku merasakan air mataku berlinang. Aku
memalingkan mukaku agar Jasmine dan Angel tidak bisa melihatnya.
Aku tidak tahu kenapa. Tetapi aku hanya tidak mau terlihat
lemah saat itu. Mereka mengandalkan aku, bagaimanapun juga.
Mereka sudah mengikutiku. Mereka sudah melarikan diri
bersamaku. Mereka benar-benar sudah melekat padaku.
Aku tidak ingin mengecewakan mereka.
Eden sudah tewas. Darryl benar-benar di luar kendali.
Angel dan Jasmine adalah satu-satunya teman sejatiku di
seluruh dunia. Aku meletakkan satu lengan ke bahu Angel dan satu lengan ke
bahu Jasmine. "Ayo kita pergi," aku memberitahu mereka. "Aku rasa
aku tahu di mana kita bisa bersembunyi."
Kami memerlukan sebuah tempat untuk bersembunyi dari polisi
sampai kami tahu apa yang akan kami lakukan. Aku juga ingin
bersembunyi dari Darryl. Tetapi aku tahu ia akan menemukan diriku.
Berjalan di sepanjang jalan Vermon, aku terus melangkah
dalam bayangan pagar-pagar tinggi tanaman yang berderet di jalan itu.
Sebuah van yang dipenuhi cowok dari salah satu perkumpulan
berlalu. Seseorang di dalamnya berteriak kepadaku dan melambai.
Anak-anak lainnya tertawa.
Aku tidak berpaling. Aku terus berjalan.
Aku melewati sebuah rumah tua yang sudah diubah menjadi
apartemen. Dua mahasiswa terlihat di pintu masuk depan, sedang
berciuman, mereka saling memeluk dengan erat.
Aku memalingkan muka. Mereka membuatku memikirkan
Darryl dan diriku. Bagaimana kau tega melakukan hal ini kepadaku, Darryl"
pikirku sengit, sambil menyeberangi jalan. Aku sangat
menyayangimu. Kita sudah begitu dekat, sejak... sejak SMU.
Bagaimana kau tega mengacaukan hidup kita seperti ini"
Aku menarik napas panjang dan mengusir Darryl dari
pikiranku. Aku tidak bisa mengasihani diriku saat ini. Aku tahu aku
akan punya banyak waktu untuk itu setelah menemukan tempat untuk
tinggal. Kami menyeberangi jalan dan melewati sebidang tanah kosong.
Pohon-pohon gundul bergoyang dalam embusan angin sepoi-sepoi.
Seseorang telah menempelkan sepotong celana petinju berwarna biru
di puncak sebuah dahan pohon. Mungkin hasil beberapa pesta liar
perkumpulan mahasiswa. Di belakang tanah kosong itu berdiri rumah yang sedang kucaricari. Sebuah rumah besar terbuat dari batu bata merah dan bertingkat
tiga yang hampir tersembunyi di balik rimbunan tebal sebuah pohon
tinggi berdaun hijau.ebukulawas.blogspot.com
Aku memperhatikan jalan itu dan tidak melihat seorang pun.
Lalu aku berlari pelan menuju halaman rumput depan yang penuh
ditumbuhi rumput-rumput liar. Jendela-jendela besar di depan ditutupi
tirai yang gelap. Sebuah jendela kecil di pintu depan terlihat pecah.
Seseorang telah menuliskan nama MARIO dengan cat semprot pada
dinding di sebelah pintu itu.
Aku melangkah ke atas beranda depan bergaya tua yang
terbentang di sepanjang bagian depan rumah itu. Sebuah daun jendela
kayu terletak di bawah satu jendela. Satu sisinya sudah terjatuh di
lantai beranda itu. Aku memimpin jalan ke pintu depan. "Hati-hati," aku
memperingatkan Angel dan Jasmine. "Beberapa papan-papan kayu di
beranda sudah terlepas."
"Tempat apa ini" Apakah ada yang tinggal di sini?" tanya Angel
gelisah. "Ini rumah tua perkumpulan Phi Beta," aku memberitahu. "Para
gadis di perkumpulan Phi Beta dulu tinggal di sini. Tetapi
perkumpulan mahasiswi itu sudah ditutup. Rumahnya sudah lama
sekali kosong." Mereka berdiri tepat di belakangku, sambil memandang jalan
dengan waspada. Aku mencoba memutar tombol pintunya. Pintu
depan itu terbuka dengan mudah.
"Bagaimana kau tahu mengenai rumah ini?" Jasmine bertanya.
Aku memberi isyarat kepada mereka untuk mengikutiku ke
dalam. "Aku pernah beberapa kali bertemu dengan guru bahasa
Prancis-ku di bulan September," aku memberitahu dia. "Kau ingat.
Guru yang tampan itu dengan rambut merah ikalnya. Rumahnya
terletak di blok berikutnya. Aku dulu sering melewati rumah ini."
"Apa yang harus kita lakukan untuk bisa mendapatkan uang?"
tanya Angel. "Aku hanya mempunyai sekitar dua puluh dolar," aku
mengakui. "Aku punya beberapa dolar yang aku tabung dari hasil
pekerjaanku menjadi pelayan," Jasmine memberitahu kami. "Dan aku
punya kartu uang kontan di sakuku. Kita bisa membeli beberapa
pakaian, makanan, dan barang-barang lainnya. Cukup sampai salah
satu dari kita mendapatkan pekerjaan."
"Diam di sini sebentar," aku memberitahu kedua temanku. Aku
ingin memeriksa rumah itu.
Aku melihat-lihat di sekitar pintu masuk depan. Di depannya,
terdapat sebuah tangga lebar yang menuju ke kamar-kamar di atas.
Ruangan depan yang besar terbentang di sebelah kananku.
Aku menunggu mataku untuk menyesuaikan dengan kegelapan.
Kemudian aku berjalan ke jendela-jendela depan untuk menarik tiraitirainya terbuka.
Aku sudah separo jalan menyeberangi ruangan itu ketika
mendengar lantai-lantai kayu itu berkeriut di belakangku.
Dan menyadari aku tidak seorang diri.
Sebelum aku bisa berteriak, seseorang merenggut leherku dari
belakang dan aku terjatuh ke lantai.
bab 4 AKU berputar untuk menghadapi penyerangku.
Tak ada seorang pun di sana.
Aku membuka tirai yang berat itu"saat sinar memancar masuk
ke dalam ruangan, aku melihat dia.
Seekor kucing. Seekor kucing hitam.
Ia membungkuk dengan tegang di lantai, punggungnya
melengkung, ekornya berdiri tegak lurus. Mata hijaunya menyalanyala memandangku.
Aku menggosok-gosok belakang leherku.
"Kau"kau menerjangku!." aku berteriak ke arahnya. Jantungku
masih berdebar-debar. "Kau hampir membuat kesembilan nyawaku
lari ketakutan," aku menghardik.
Kucing itu menyipitkan matanya, sambil mengamat-amati
diriku. Ekornya perlahan-lahan turun ke bawah. Ia mulai santai.
"Aku rasa aku sudah membuatmu takut sama seperti kau
membuatku takut," kataku, dan mulai merasa lebih baik. "Apa yang
kaulakukan di dalam sini" Apakah ada kucing lainnya lagi?"
Aku menarik tirai pada jendela yang lain hingga terbuka.
Kemudian aku membiarkan mataku menyapu ruangan itu. Dua sofa
dan beberapa kursi berlengan telah didorong ke tengah-tengah
ruangan. Barang-barang itu ditutupi seprai. Sekat perapian telah
terjatuh, menampakkan batang-batang kayu hitam yang hangus di
tempat perapian. Dua kaleng bir yang sudah remuk menghiasi rak di
atas perapian itu. Aku menarik lepas seprai dari salah satu sofa. "Setidaknya kita
punya sesuatu untuk diduduki," aku bergumam, sambil
memperhatikan awan debu yang naik dari seprai itu.
Kucing hitam itu memiringkan kepalanya dan mengeong.
"Kau pasti lapar," kataku lembut. Aku membungkuk, ingin tahu
apakah ia akan membiarkanku mengangkatnya. Ternyata ia
membiarkanku mengangkatnya.
Aku mengangkat kucing itu dengan dua tangan hingga
berhadapan muka denganku. "Aku akan memanggilmu Lucky," aku
memberitahu. Aku menatap mata hijaunya yang menyala-nyala. "Apakah kau
akan membawa keberuntungan bagiku, Lucky?" aku bertanya
kepadanya. "Ya, tidak?"
Aku menarik napas panjang. "Aku benar-benar membutuhkan
keberuntungan," aku memberi tahu kucing itu. Aku menaruh dia
kembali ke lantai. "Apakah kita akan benar-benar tinggal di sini?" tanya Angel
sambil melihat ke sekeliling ruangan itu. "Agak mengerikan, ya, kan?"
Ekspresi wajahnya muak. "Tidak terlalu buruk," kata Jasmine, sambil menarik seprai dari
sofa lainnya. "Kita bisa mengaturnya." Ia memaksakan diri untuk
tersenyum. "Ruangan ini besar sekali. Aku belum pernah tinggal
dalam rumah sebesar ini."
"Dan kita memiliki semuanya untuk kita sendiri," tambahku,
mencoba terdengar gembira. "Ini tempat yang sempurna untuk
bersembunyi, dan"dan..."
Aku mencoba untuk melihat sisi baiknya. Tetapi aku tidak bisa
memadamkan amarahku. Amarahku pada Melanie, Margie, dan Mary.
Leherku menegang. Pelipisku mulai berdenyut-denyut.
Aku meninju bagian belakang sofa itu, dan membuat awan debu
beterbangan lagi. Ini salah mereka, kataku kepada diri sendiri. Karena kesalahan
mereka aku harus meninggalkan asrama, melarikan diri, bersembunyi
seperti seorang penjahat di tempat sampah yang sudah ditinggalkan
ini. Aku ingin membalas perbuatan mereka, aku memutuskan. Aku
benar-benar ingin membalasnya. Aku ingin menyakiti mereka dan
membuat mereka menderita. Seperti mereka menyakitiku.
Seolah-olah dapat membaca pikiranku, Darryl muncul di depan
pintu masuk. "Hei...!" ia berteriak, mata biru pucatnya menyapu
ruangan depan itu sebelum terkunci padaku. "Kau kira kau bisa
lolos?" Ia bergerak dengan cepat menyeberangi ruangan dan
menangkap lenganku. "Kau tidak mencoba meninggalkanku"ya, kan,
Hope?" Aku melepaskan lenganku dan tidak menjawab. Aku
memandangnya dengan marah.
"Tempat yang lumayan," ia berkata, sambil mengusap-usapkan
satu tangannya ke atas lengan sofa kulit itu. "Aku rasa aku dapat
membiasakan diri di sini."
"Tidak, kau tidak akan," kataku tajam.
Matanya terbelalak kaget. Senyumnya menghilang. Ia
meletakkan satu tangannya pada bahuku. "Jangan khawatir, Hope,"
katanya lembut. "Aku akan menolongmu."
Sentuhannya yang lembut membawa kembali banyak kenangan.
Kenangan-kenangan yang hangat.
"Menolongku?" aku menjawab. "Bagaimana?"
"Aku akan membereskan Trio M untukmu," ia berkata, sambil
mengelus-elus lenganku. Kemudian ia mengangkat tangannya dan
mengusapkan satu jarinya dengan lembut di pipiku. "Aku akan
menyakiti mereka demi kau."
"Tidak!" aku berteriak. "Tidak, Darryl!"
Ia mundur selangkah, wajahnya berkerut terkejut. "Kau
kenapa?" ia bertanya. "Ini yang kauinginkan"bukan" Ini yang
kaupikirkan." "Bagaimana kau bisa tahu apa yang sedang kupikirkan?"
tanyaku. Aku dapat merasakan kemarahanku mulai timbul. Dadaku
terasa siap untuk meledak.
Seulas senyuman aneh mengembang pada wajah Darryl. "Aku


Fear Street Akhir Segalanya Fearhall The Conclusion di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenalmu," ia berkata. "Aku mengenalmu lebih baik daripada kau
mengenal dirimu sendiri, Hope."
"Aku tidak peduli!" aku berteriak. "Lihat apa yang sudah
kaulakukan, Darryl. Kau sudah menghancurkan hidupku. Kau sudah
menghancurkan seluruh kehidupan kami!"
"Kau salah," ia bersikeras. "Melanie yang menghancurkan
hidupmu. Melanie dan kedua temannya." Ia menyapu rambut
hitamnya yang agak panjang ke belakang. "Mereka menganggapmu
gila, Hope. Mereka memberitahu polisi kau gila."
Ia menggenggam bagian belakang sofa itu dan meremas
kulitnya. Meremasnya hingga tangannya menjadi merah.
"Kau tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja
karenanya"ya, kan?" ia bertanya.
Aku dapat merasakan sorot matanya menyala-nyala masuk ke
dalam diriku. Aku bersedekap, seolah untuk melindungi diriku. "Aku
tak ingin kau melakukan apa pun," kataku dengan gigi gemertak.
"Aku hanya ingin kau pergi."
Matanya menyipit dalam ketidakpercayaan. "Hah?"
"Kau mendengarku!" aku berteriak. Kemarahanku meledak.
Aku tak bisa mengendalikannya lebih lama lagi. "Pergi, Darryl!" aku
menjerit. "Aku bersungguh-sungguh. Menyingkirlah dariku. Keluar
dari rumah ini! Aku sudah tidak sanggup lagi! Kau terlalu
menyusahkan! Terlalu!"
Lingkaran merah tua mengembang di pipinya. Ia menyelipkan
kepalan tangan ke dalam saku jaket kulitnya. Mulutnya menyeringai
mencemooh. "Kau tidak bersungguh-sungguh," ia berkata dengan suara
rendah. "Kau tidak bermaksud begitu, Hope. Kau tahu kau
membutuhkan diriku. Kau tahu kau ingin aku menyakiti ketiga gadis
itu untukmu." "Keluar!" aku menjerit. "Keluar"sekarang! Dan jangan
kembali!" Aku mengangkat tinjuku dan mendorongnya. "Keluar! Keluar!
Keluar! Aku tidak ingin melihatmu lagi!"
Aku tidak pernah berbicara kepadanya seperti itu sebelumnya.
Mulutnya ternganga kaget.
Kemudian ekspresi kaget itu mulai menghilang dan berubah
menjadi kemarahan. Mata birunya menjadi dingin. Garis-garis di
kedua sisi mulutnya berkedut.
Ia bersumpah serapah. Dan cepat-cepat bergerak maju dengan
sikap mengancam menuju diriku.
"Tidak"jangan!" aku berteriak. "Aku mohon, Darryl"
jangan!" bab 5 AKU mundur dengan terhuyung-huyung.
Aku tak pernah melihat sesuatu sedingin kebencian pada
wajahnya. Mata birunya seperti es. Rahangnya terkatup dengan begitu
rapatnya, mulutnya tak henti-hentinya berkedut.
"Jangan menyentuhku!" aku memekik.
Yang membuatku terkejut, ia bergerak melewatiku. Bahunya
menabrak bahuku. Aku merasakan jaket kulitnya yang kasar. Ia terus
berjalan, seolah menembus diriku.
Aku merasa pusing, dan berbalik. Aku tak dapat melihat
ekspresinya sekarang. Aku hanya melihat bagian belakang kepalanya
saja, rambut panjangnya tergerai di bawah kerah jaketnya.
Ia maju melewatiku, berjalan dengan langkah yang berat.
Melangkahi kucing hitam itu, hewan peliharaanku yang baru. Lucky.
Lucky si kucing. Tanpa menghentikan langkahnya, Darryl mengayunkan kakinya
ke belakang dan menendang kucing itu. Tendangannya menyambar
dengan keras. Ujung sepatu botnya menendang bagian bawah perut kucing itu
dan membuatnya melayang dari lantai"ke jendela depan.
Kucing itu membuka mulutnya dan mengeluarkan pekikan
melengking. Kucing itu membentur kaca jendela dengan suara gedebuk
keras. Dan jatuh miring ke lantai.
"Jangan bunuh kucing itu! Jangan bunuh kucing itu, Darryl!"
aku meratap. Darryl mengambil langkah panjang menuju ke kucing yang
terjatuh itu. Ia berubah pikiran. Berputar. Dan menuju ke pintu depan.
Saat sampai di jalan masuk, ia membisikkan sesuatu.
"Apa" Apa yang kauucapkan?" aku berteriak kepadanya,
suaraku gemetar. Sekujur tubuhku berguncang ketakutan.
"Aku berkata kau tidak bisa menyingkirkanku," ia mengulang,
rahangnya masih terkatup rapat menahan kemarahan. "Kau tergantung
kepadaku, Hope. Dan jangan lupa itu."
Kemudian ia pergi. Jasmine dan Angel juga telah pergi. Mungkin sedang
bersembunyi di ruangan lain. Bersembunyi dari Darryl.
Aku memperhatikan kucing itu menyelinap ke ruang belakang,
ekornya terkulai di antara kakinya.
Aku seorang diri sekarang, pikirku, masih gemetaran, masih
memeluk diriku erat-erat. Aku benar-benar seorang diri di tempat ini.
"Lucky" Hei"Lucky?" aku memanggil kucing itu. Tetapi,
tentu saja, ia tidak datang.
Aku menarik napas panjang beberapa kali, sambil menunggu
pelipisku berhenti berdenyut-denyut, menunggu detak jantungku
melambat. Kemudian aku menarik lepas seprai dari kursi berlengan,
melipatnya, dan melemparnya ke sudut ruangan.
Aku merebahkan diri ke kursi kulit mewah itu. Kursi itu berbau
apak, tetapi aku tidak peduli.
Aku harus berpikir. Apa selanjutnya" Apa yang harus dilakukan selanjutnya"
Aku sudah tidak duduk untuk waktu yang lama. Dua potret
besar manusia pada dinding di seberang rak menarik perhatianku.
Seorang pria dan seorang wanita.
Aku berdiri dan menyeberangi ruangan untuk memeriksa potret
itu. Sebuah piagam emas di bawah potret itu menjelaskan bahwa
suami-istri itu telah menyumbangkan rumah tersebut bagi
perkumpulan itu. Pria itu sudah tua, botak, dan hidungnya tampak seperti paruh
seekor ayam. Penampilannya terlihat lemah walaupun setelan jasnya
mahal dan indah. Senyumannya terlihat setengah-setengah, sehingga
ekspresinya tampak agak sedih.
Dan wanita itu. Wanita itu agak terlihat seperti kuda. Wajahnya
panjang. Giginya besar. Ia mengenakan gaun berbunga-bunga dengan
kerah yang tinggi sampai ke dagunya.
Dan rambutnya berdiri... sama seperti... sama seperti...
Sama seperti tatanan rambut yang dipakai ibuku.
Rambutnya disematkan di belakang kepalanya seperti sarang
lebah miring. Matanya juga sama. Mata ibuku. Begitu kecil, dingin, dan
terlihat mencela. Mata yang terlihat seperti kelereng-kelereng besi.
Aku dapat mencium parfum yang memuakkan itu, begitu
manisnya sampai-sampai kau ingin muntah. Satu-satunya hal yang
manis dari dirinya. Ajaib sekali bau parfum itu tidak berubah menjadi
bau masam pada kulitnya. Masam. Sinis. Ya. Itu memang ibuku. Ia mengikutiku sampai ke sini.
Apakah ia akan mengikutiku ke mana saja"
Mengikutiku ke perkemahan musim panas, Mom" Apakah kau
mengikutiku" Apakah sikap sinismu selalu mengikutiku ke Maine
selama kepergianku ke perkemahan musim panas"
Sayangku Buttertubs"Sayangku si Tong Lemak.
Begitulah kau menyapaku dalam setiap surat yang kautuliskan
kepadaku pada musim panas itu ketika aku berumur dua belas tahun.
Buttertubs Mathis. Itulah yang kautuliskan pada amplopnya.
Dan ketika Penasihat mengumpulkan kita bersama-sama untuk
pembagian surat, ia akan meneriakkan nama-nama yang tertulis di
amplop. Meneriakkannya keras-keras kepada kami supaya kami maju
ke depan untuk mengambil surat kami.
"Linda Edwards... Marci Kass... Buttertubs Mathis!"
Mereka berteriak, Bu. Gadis-gadis lain" mereka
menganggapnya lucu sekali.
Tetapi aku tidak tertawa.
Ketika tak ada yang melihat, aku menangis.
Sayangku Buttertubs, Apakah kau mendapat cukup makanan di sana" Jangan
melompat ke dalam kolam renang. Bisa-bisa kau membuat air di
dalamnya muncrat ke luar semua, sehingga yang lain tidak kebagian....
Kau hanya menulis dua surat sepanjang musim panas itu, Ibu.
Tetapi itu sudah cukup. Cukup untuk membuatku terlihat benar-benar seperti orang
tolol di hadapan semua orang. Cukup untuk memastikan bahwa aku
pulang ke rumah tanpa bisa berteman dengan seorang pun.
Tatanan rambut yang mengerikan itu. Bibir yang bergincu itu,
mencibir menjadi sebuah senyuman penuh kepuasan. Parfum itu...
Sweet Gardenia, ya, kan"
Di mana kemanisan itu, Ibu" Di mana"
Sayangku Buttertubs... Kau tidak berhenti. Bahkan setelah itu. Kau tidak pernah
berhenti. Dalam tahun terakhir SMU-ku, ketika aku mengira aku sedang
jatuh cinta dengan Mark....
Mark, dengan mata hitamnya yang lucu. Rambut hitam
bergelombangnya, begitu berkilau dan liar. Gelak tawanya yang gila
dan melengking. Lelucon-leluconnya. Lelucon-lelucon yang gila.
Mark... Kau melakukan apa saja yang bisa kaulakukan untuk
menjauhkan aku dari dia, Ibu. Kau tetap tinggal di ruangan dan tak
pernah membiarkan kami bercakap-cakap sendirian. Kau menguping
pembicaraan kami di telepon.
Kau menyebutku Fat Girl"si Gadis Gendut dan Buttertubs di
hadapan dia. Apakah kau pikir aku akan bisa melupakan hari saat kau
memberitahu Mark kau punya sebuah permainan baru" Namanya
Ayo- Semua-Hitung-Jumlah-Dagu-Hope.
Berapa banyak air mataku yang keluar akibat lelucon kecil itu"
Aku sudah mencoba untuk mengurangi berat badanku. Kau tahu
aku sudah mencobanya. Aku sudah mencoba untuk menjadi anak perempuan seperti
yang kauinginkan. Lalu kenapa kau sangat membenciku"
Pada malam yang kurencanakan untuk menyelinap keluar dan
menemui Mark.... Malam Pesta Dansa. Tahun kelas tiga-ku. Aku sudah tujuh
belas tahun, Ibu. Cukup dewasa untuk pergi bersama seorang pria
yang kusukai. Tetapi kau berkata aku terlalu muda untuk berkencan. Kau tidak
pernah mengizinkan aku menemui Mark kecuali kau hadir di sana
untuk menjagaku. Aku harus menyelinap keluar"karena kau. Aku harus
menyelinap dan membuat rencana dengan diam-diam karena kau tidak
membiarkanku punya kehidupan yang normal. Kau mengunciku di
kamar. Kau tidak mengizinkanku makan.
Kau tidak mengizinkanku menjadi... normal.
Oleh karena itu aku merencanakan untuk menyelinap keluar
lalu pergi ke acara pertandingan serta dansa itu bersama Mark. Dan
kau memanggilku ke dapur. Aku mengingatnya dengan baik.
Bagaimana kau bisa mengetahui rencanaku" Bagaimana"
"Aku punya kejutan untukmu, Hope," katamu. Aku ingat
pandangan kosong pada wajahmu. Begitu tenang dan dingin. Matamu
begitu kosong, tidak menampakkan sesuatu pun.
"Aku punya kejutan untukmu," katamu. "Pejamkan matamu dan
ulurkan tanganmu." Aku tidak punya pilihan lain. Aku tahu kau merencanakan
sesuatu. Tetapi aku melakukan perintahmu.
Aku mengulurkan tanganku.
Dan mendengar suara klik logam.
Aku membuka mataku dan melihat borgol di sekeliling
pergelangan tanganku. Rantai yang berat. Borgol lainnya"pada
pergelangan tanganmu! Kau memborgol diriku pada dirimu, Ibu.
Kau tahu aku berencana untuk menemui Mark. Untuk pergi ke
pertandingan itu. Untuk berdansa dan menjadi normal.
Dan selanjutnya kau memborgol kita bersama malam itu.
Bersama-sama. Kita bersama-sama sepanjang malam.
Kita menyantap makan malam dengan satu tangan. Kita
membersihkan piring-piringnya. Kau mencuci dan aku mengeringkan.
Bersama-sama. Bersama-sama. Kita bahkan harus tidur di tempat tidur
yang sama. Kau begitu puas dengan dirimu sendiri.
Kau tidak membebaskan aku sampai keesokan paginya.
Kemudian kau melarangku pergi selama dua minggu. Kau
menghukumku karena aku merencanakan untuk pergi keluar.
Di dalam kamarku selama dua minggu. Dua minggu, masih
merasakan luka pada pergelangan tanganku akibat gesekan borgol itu.
Itulah saat teman-temanku muncul.
Aku membutuhkan mereka, dan saat itulah mereka muncul.
Eden, Angel, dan Jasmine. Mereka datang saat aku sangat
membutuhkan mereka. Teman-temanku... teman-teman yang baik.
Akhirnya, aku mempunyai seseorang yang dapat aku ajak
berbicara. Seseorang yang dapat aku ajak untuk tertawa dan menangis
bersama-sama, serta berbagi hidup.
Kau tidak bisa memisahkan aku dari mereka, Ibu. Kau tidak
bisa menyingkirkan Eden, Angel, dan Jasmine.
Borgol tidak akan bisa. Mengurungku di dalam kamarku juga
tidak akan bisa. Menghinaku, memanggilku dengan berbagai macam panggilan
takkan bisa menyingkirkan mereka.
Kami sangat dekat, kami semua berempat. Seperti satu orang.
Aku sangat gembira ketika aku mendapatkan beasiswa. Aku
akan pergi ke perguruan tinggi bersama temanku.
Dan tak ada satu pun yang dapat kaulakukan mengenai hal itu.
Tak satu pun.... Aku menatap foto di dinding itu dengan tajam, menatapnya
sampai foto itu menjadi kabur di depan mataku.
"Berhenti mengikutiku!" aku memekik. "Berhenti mengikutiku!
Berhenti mengikutiku! Berhenti mengikutiku!"
Aku menghantam foto dia dengan tinjuku. Menghantamnya
lagi. Lagi. "Berhenti mengikutiku! Berhenti mengikutiku!"
Kacanya pecah. Dan jatuh ke lantai. Sekarang aku dapat
menyentuh foto itu. Sekarang aku dapat menyentuh dia.
Aku mencakar mukanya. Mencakarnya dengan dua tangan.
"Berhenti mengikutiku, Ibu! Berhenti mengikutiku!"


Fear Street Akhir Segalanya Fearhall The Conclusion di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mencakarnya berulang kali. Mencakarnya sampai kuku
jariku terkelupas. Dan jari-jariku mengeluarkan darah. Dan darah itu
mengalir ke bawah, menetes pada wajah ibuku.
bagian dua Melanie bab 6 AKU menutup buku pelajaran bahasa Prancisku dan berputar ke
Mary. Ia sedang duduk di lantai depan lemari riasnya, sambil mencaricari sesuatu di laci bawah. Ia berhenti dan menggaruk rambut merah
ikalnya dengan dua tangan.
"Ada apa?" aku bertanya.
"Chlorine," jawabnya, "membuat rambutku menjadi sangat
kering. Membuat kulit kepalaku terasa amat gatal."
Aku melempar buku pelajaranku ke samping dan berdiri.
"Bukan. Maksudku apa yang sedang kaucari?"
Mary mengerutkan dahi. "Aku mengira aku mempunyai baju
renang yang lain di dalam laci ini. Kau tahu. Yang berwarna biru?"
Aku tertawa. "Mary, semua baju renangmu berwarna biru."
Ia kembali ke laci meja rias itu. "Tetapi yang ini benar-benar
biru," ia berkata. "Di mana Margie?" aku bertanya. "Masih di perpustakaan?"
Mary mengangguk. "Margie bilang dia akan belajar sampai
larut malam. Aku rasa dia mendapatkan pelajaran menjadi Orang
Sempurna dari dirimu!"
"Hei"aku tidak sempurna!" aku memprotes. "Hentikan terusmenerus mengatakan aku sempurna. Kau membuatku merasa rendah
diri." Mary mendorong laci meja rias itu hingga tertutup dan berdiri.
"Lihatlah rambutmu, Melanie," katanya sambil menunjuk. "Kapan
terakhir kali kau menyisirnya?"
Aku berusaha mengingatnya. "Pagi ini, aku rasa. Ketika aku
bangun tidur." "Dan lihatlah rambutmu!" kata Mary. "Sekarang sudah pukul
16.00, dan rambutmu masih tetap saja sempurna. Bahkan poninya
masih tertata lurus dengan sempurna."
"Yang benar saja," aku menarik napas panjang. "Kau tinggal
bersamaku selama seluruh semester. Kau tahu betapa sembrononya
diriku." "Hah!" Mary berteriak, berkacak pinggang.
"Apa itu maksudnya?" aku bertanya.
"Artinya hah!" ia menjawab.
Mary sangat manis, dan aku sangat menyayanginya. Tetapi dia
tidak begitu pandai berdebat.
Margie-lah yang hebat dalam berdiskusi dan berdebat di kamar
kami. Ia senang memisah-misahkan segala sesuatu dan
menyatukannya kembali. Ia juga senang memisahkan orang-orang.
Maksudku adalah Margie seorang yang sangat kritis. Pendiriannya
sangat keras. Tetapi Mary berasal dari Carolina Selatan. Ia berkata orangorang di sana terlalu sopan untuk berpendirian keras. Jadi dia biasanya
mengakhiri setiap perdebatan dengan sebuah "Hah!" Dan hanya itu.
Margie dan aku sama-sama bertumbuh di luar Boston. Kadangkadang Mary berpikir kami dua orang dari Utara bersekongkol untuk
mengeroyok dia. Margie dan aku bisa membicarakan apa saja. Apa saja. Tetapi
Mary sering kali menjadi malu. Ia sebenarnya seorang yang sangat
pemalu. Ia tidak suka membicarakan dirinya sendiri. Dan ia benci
menggosipkan orang lain. Aku sering kali bertanya-tanya dalam hati apakah kami bertiga
akan tetap berteman setelah lulus. Kami semua sangat berbeda. Tetapi
aku mengira hal-hal mengerikan yang telah terjadi di dalam semester
ini telah membuat kami semakin akrab.
Mary memandang sekilas pada jam di lemari riasnya. "Hei, kita
terlambat, Melanie. Tidakkah kau akan pergi ke latihan renang?"
Aku menggeleng dan meraih buku bahasa Prancis itu. "Tidak
bisa. Aku ada ujian susulan bahasa Prancis setengah jam lagi."
Mulut Mary ternganga. "Kau" Ujian susulan" Bagaimana kau
bisa tidak mengikuti ujian itu?"
Aku menarik napas panjang. "Kau ingat. Aku pergi menemui
pskiater itu. Karena mimpi-mimpi burukku setelah semua yang terjadi
dengan Hope di seberang lorong itu."
Mary mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Oh, yeah.
Benar." "Aku menemui dokter itu tiga kali dalam minggu tersebut," aku
memberitahu. "Dia sangat menolongku." Aku membuka buku bahasa
Prancis itu. "Tetapi aku ketinggalan banyak sekali mata pelajaran."
Mata biru Mary mengamat-amatiku. "Aku rasa kau juga tidak
sempurna," ia berkata dengan lembut.
Aku tertawa. "Apakah itu maksudnya sebuah pujian?"
Mary tidak tersenyum. Ia bergidik. "Aku tidak percaya sudah
lebih dari seminggu, dan polisi belum berhasil menemukan Hope."
"Kejadian yang sangat mengerikan," aku sependapat.
Mary menggigit bibir bawahnya. "Ibuku terus-menerus
meneleponku. Bertanya kepadaku apakah aku ingin pulang ke rumah
sampai polisi berhasil menangkap dia."
"Hah" Para pembunuh itu masuk dalam berita di sana?" aku
berseru. Mary mengangguk. "Kurasa itu kisah besar karena Hope
memiliki semua kepribadian tersebut." Ia mengerutkan dahi lagi. "Aku
tidak mengerti. Aku benar-benar tidak mengerti. Bagaimana bisa
seorang gadis berpikir dia adalah tiga gadis lainnya?"
"Dan seorang laki-laki," aku menambahkan. "Tetapi itu
bukanlah bagian yang paling menakutkan. Bagaimana bisa seorang
gadis yang tampaknya normal pergi keluar dan membunuh dua lakilaki" Memotong mereka, kemudian kembali begitu saja ke kamar
asramanya seolah tak ada sesuatu pun yang terjadi?"
Mary mengangkat kedua tangannya di udara. "Cukup. Aku
tidak ingin membicarakannya lagi. Aku benar-benar tidak ingin."
"Hei"kau yang mengungkit hal itu," aku menjawab.
"Itu"itu hanya karena aku masih ketakutan," ia mengaku.
"Maksudku, Hope tinggal tepat di kamar seberang di lorong kita.
Seorang pembunuh gila"dan kita mengenal dia!"
"Aku biasa mendengar dia bercakap-cakap di dalam sana," aku
mengingat. "Berdebat. Tertawa. Aku mengira dia sedang berbicara di
telepon. Aku tidak pernah membayangkan..."
"Cukup!" Mary mengulang. "Aku bersungguh-sungguh. Itu
sangat mengerikan. Semua orang di kampus merasa takut. Takut
untuk pergi keluar di malam hari. Takut untuk menyeberangi The
Triangle setelah gelap. Takut untuk melakukan segala sesuatu."
Ia menjauh dan menarik tas renangnya dari bawah tempat
tidurnya. Kemudian ia memasukkan barang-barangnya ke dalamnya.
"Mereka akan menangkap Hope," aku meyakinkan Mary.
Mary menggeleng. "Melanie, ini sudah lebih dari seminggu.
Gadis itu sudah menghilang. Tak ada yang tahu apakah dia masih
berada di sekitar kampus atau tidak. Itulah yang menakutkan."
Ia menutup ritsleting tasnya. "Aku takut berjalan ke tempat
latihan renang. Aku sungguh-sungguh takut. Jalannya berada di sisi
lain kampus. Lingkungannya tidak terlalu menyenangkan di sana."
Ia menarik napas panjang. "Merasa ketakutan sepanjang waktu
sangat menyebalkan."
Aku melompat berdiri. "Begini saja. Aku akan menemanimu
berjalan ke tempat latihan renang," aku menawarkan. "Kemudian aku
akan pergi ke kelas bahasa Prancis dari sana."
"Tidak usah, terima kasih," Mary menjawab. "Kau harus
belajar. Aku akan baik-baik saja. Sungguh."
"Kau yakin?" aku bertanya. "Yakin kau tidak akan merasa lebih
tenang bila aku menemanimu?"
"Tidak. Terima kasih. Aku akan baik-baik saja. Sampai ketemu
nanti." Aku mengucapkan selamat tinggal dan mengawasi dia berjalan
ke luar melalui pintu. Aku merasa sedikit bersalah. Mary terlihat sangat ketakutan.
Kurasa dia benar-benar ingin aku menemaninya berjalan ke kolam
renang. Seharus aku pergi menemaninya. Mungkin aku bisa
membantunya. Tetapi aku tak mengira bahwa aku takkan pernah melihatnya
lagi. Bab7 Darryl AKU mengintaimu, Mary. Aku sudah mengintaimu selama berhari-hari. Membuntutimu
dari asramamu, Fear Hall" yang dulu juga tempat tinggalku.
Membuntutimu hingga ke kelasmu.
Aku tidak bisa kuliah lagi, karena kau. Karena kau dan temanteman sekamarmu. Sejak kau memberitahu polisi, aku tidak bisa
menjalani kehidupan yang normal seperti kalian semua. Aku harus
bersembunyi seperti penjahat.
Yah, mungkin aku memang penjahat, Mary. Mungkin aku
penjahat yang sangat berbahaya.
Kurasa kau akan segera mengetahui kebenarannya.
Karena aku sudah mengikutimu setiap hari. Aku tahu jadwalmu
di luar kepala sekarang. Aku tahu kapan kau ada kuliah dan kapan
tidak. Aku tahu di mana kau makan siang, dan aku tahu di mana kau
belajar. Dan aku tahu kapan kau dan Melanie pergi latihan tim
renangmu. Aku melihatmu berenang. Ya, aku sudah melakukan itu.
Kau lumayan. Tidak sekuat atau secepat Melanie, tentu saja.
Tetapi Melanie memang sempurna. Itulah sebabnya mereka
memilihnya menjadi kapten tim.
Bagaimana perasaanmu mengenai hal itu, Mary" Bagaimana
perasaanmu harus bersaing dengan teman sekamar yang selalu
sempurna, selalu menjadi yang terbaik"
Ia bahkan terlihat lebih bagus di dalam baju renangnya, ya, kan.
Kakinya sangat panjang dan ramping. Pahanya tidak gemuk seperti
pahamu. Sempurna. Sungguh-sungguh sempurna.
Tidakkah itu terkadang mengganggumu, Mary" Tidakkah itu
membuatmu berharap kau tidak mengenal Melanie" Bagaimana
perasaanmu yang sebenarnya tentang tinggal bersama Melanie yang
sempurna" Ya, sudah. Tidak apalah. Kau tidak akan tinggal bersama
dengan dia lebih lama lagi.
Aku sudah mengawasimu berlatih sepanjang minggu. Aku
sudah melihat usahamu melakukan gaya kupu-kupu. Itu memang gaya
yang sangat sulit, bukan" Kau harus sekuat Melanie untuk bisa
melakukan gaya itu dengan sempurna.
Kau harus terus menundukkan kepalamu ke bawah, Mary. Kau
harus bernapas dengan teratur. Itulah yang terus-menerus dikatakan
pelatihmu. Aku dapat mendengar setiap kata. Kau tidak melihatku. Tetapi
aku mengawasi dirimu begitu dekat.
Aku ada di atas sini di balkon yang tinggi di atas kolam renang.
Tempat khusus untuk wartawan. Tak seorang pun di atas sini selama
latihan. Aku dapat mengawasimu dan mendengarkan. Dan membuat
rencana-rencanaku. Sayang sekali kau dan teman-temanmu melapor ke polisi, Mary.
Kau membuat Hope berada dalam banyak kesulitan. Dan sekarang
Hope marah kepadaku. Hope menyalahkanku. Dia tidak ingin aku berkeliaran di
sekitarnya. Dia tidak ingin lagi melihat Darryl yang malang.
Hope dan aku dulu begitu dekat, Mary. Sangat dekat.
Dan sekarang dia tidak ingin menemuiku. Karena dia sedang
dalam kesulitan. Karena kau.
Jadi aku harus memperbaiki semuanya. Aku harus mendapatkan
Hope kembali. Dan aku tahu bagaimana harus melakukannya. Aku harus
menunjukkan kepada Hope betapa aku menyayanginya.
Ia tidak akan pernah membalas dirimu dan teman-teman
sekamarmu atas apa yang sudah kaulakukan pada dirinya. Tetapi aku
akan melakukannya demi dia. Kemudian Hope akan tahu betapa aku
menyayanginya. Dia akan tahu betapa dia sangat membutuhkan
diriku. Aku sedang mengawasi dirimu sekarang, Mary. Aku sedang
duduk di atas sini dalam ruangan wartawan yang gelap. Menatap
dirimu di bawah melalui jendela kaca yang panjang.
Di mana Melanie siang ini" Kenapa dia tidak berlatih hari ini"
Aku tidak percaya dia akan kehilangan saat-saat renangmu yang
terakhir.... ************ Si pelatih sedang berjongkok di tepi kolam renang, stopwatchnya diangkat di depan wajahnya. Ia sedang menghitung waktu putaran
anak-anak perempuan itu, satu demi satu.
Peluitnya terdengar di seluruh gedung itu, bergema di dindingdinding lantai. Perenang pertama meluncur masuk ke dalam kolam
renang hampir tanpa memercikkan air.
Mary mendapat giliran keempat dalam barisan. Kurasa aku
punya banyak waktu. Aku beranjak dari ruang wartawan, mundur dari jendela, dan
berjalan ke tangga sempit di belakang. Aku bergegas menuruni tangga
yang berbelok itu, sambil menyandarkan berat tubuhku pada jeruji
tangga untuk menjaga langkahku terdengar sepelan mungkin.
Sebuah ambang pintu terbuka menuju area kolam renang. Aku
ragu-ragu. Mendengar peluit pelatih itu yang diikuti dengan bunyi
deburan air lagi. Gadis-gadis berteriak memberikan semangat kepada
perenang yang baru terjun.
Aku mengikuti tangga itu ke bawah. Aku tahu sekali ke mana
tangga-tangga itu menuju. Aku sudah memeriksa semuanya dengan
teliti. Aku sudah menjalankan rencana ini di kepalaku terus-menerus.
Pintu di dasar tangga itu menuju ke ruang latihan. Aku berhenti
di pintu yang tertutup. Tiba-tiba aku merasa tidak enak.
Apakah ada seseorang yang mengunci pintu itu"
Itu akan mengacaukan semuanya.
Aku memutar tombol pintu itu. Pintu itu terbuka dengan mudah.
Sambil menarik napas lega, aku masuk ke dalam.
Aku menatap sederetan loker dari atas ke bawah. Aku berjalan
pelan-pelan di sepanjang dinding menuju ke ruang mandi yang
panjang dan mengintip ke dalamnya. Tak ada seorang pun.
Aku memeriksa ruang kecil pelatih di seberang ruang loker.
Kadang-kadang orang menunggu di dalam sana untuk bertemu dengan
pelatih setelah latihan. Tetapi hari ini ruangan itu kosong.
"Sempurna," aku berbisik kepada diriku sendiri.
Kata itu membuatku berpikir tentang Melanie. Ke mana dia
siang ini" Kenapa dia tidak berlatih"
Kadang-kadang Melanie bergabung dengan Mary di Jacuzzi
setelah latihan. Kalau saja ia muncul hari ini, aku bisa membunuh dua
ekor burung.... Jacuzzi itu bergelembung dan berdesis di sisi lain dari ruang
mandi. Uap air panas bergumpal ke atas dari air yang bergelembung.
Mereka terus menjaga Jacuzzi itu tetap panas.
Aku rasa itu bagus untuk otot-otot perenang setelah keluar dari
kolam renang yang dingin itu.
Tidak akan bagus untuk otot-ototmu hari ini, Mary, pikirku.
Aku bergerak dengan cepat ke lemari persediaan. Satu lagi
rintangan penting yang harus dilalui. Satu putaran lagi sebelum aku
bisa menuju ke garis akhir pertandingan itu.


Fear Street Akhir Segalanya Fearhall The Conclusion di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah ada seseorang yang mengunci lemari itu"
Tidak. Aku menarik pintunya hingga terbuka dan mengintip ke
dalamnya. Mataku menyapu dari rak paling atas sampai ke bawah. Perbanperban dan persediaan obat-obatan lainnya berada di rak paling atas.
Satu rak handuk abu-abu. Buku-buku, kertas-kertas, dan buku
petunjuk peralatan pada rak di sampingnya.
Dan pada bagian bawah lemari itu, persediaan berhargaku.
Barang-barang untuk membalas Mary. Untuk mendapatkan Hope
kembali. Botol-botol plastik putih berukuran galon berisikan chlorine.
Aku berlutut dan menghitungnya. Ada enam botol. Enam galon
chlorine. Seharusnya itu lebih dari cukup, pikirku.
Beberapa hari sebelumnya, aku bersembunyi di balik loker dan
memperhatikan pelatih itu menambahkan chlorine ke Jacuzzi. Ia
menuangkan kira-kira dua cangkir ke dalam suatu mesin di
sampingnya. Chlorine itu akan masuk ke dalam air yang bersirkulasi
sedikit demi sedikit. Enam galon akan mampu melakukan tipu muslihat itu, aku
tahu. Aku mengangkat galon yang pertama dari lantai. Lebih berat
dari yang kukira. Tetapi aku menyeretnya ke atas Jacuzzi yang
bergelembung, menarik lepas tutupnya"dan menuangkan cairan
bening itu ke dalam air yang beruap.
Dengan hati-hati aku menaruh kembali botol galon yang kosong
pada lantai lemari itu dan mengangkat keluar satu lagi.
Menuangkan keenam galon chlorine ke dalam Jacuzzi itu
menghabiskan waktu yang lebih lama daripada yang kukira. Aku baru
saja mengosongkan botol terakhir ketika mendengar pintu mengayun
terbuka dan mendengar suara gadis-gadis dari lorong.
Aku berputar dengan cepat. Melempar botol kosong itu ke
dalam lemari. Menutup pintunya.
Di belakangku, terdengar langkah-langkah kaki tanpa alas pada
lantai beton. Aku mendengar seorang gadis yang mengeluh tentang
betapa dinginnya kolam renang itu. Seorang gadis bersin. Dua gadis
berseru, "Diberkatilah engkau."
Aku mundur dari Jacuzzi. Menemukan tempat bersembunyi
yang sudah kupilih beberapa hari yang lalu"sebuah jalan sempit di
belakang, tak seorang pun pernah melewatinya.
Di hadapanku, Jacuzzi itu mengeluarkan uap panas dan
bergelegak. Sambil menahan napas, aku masuk ke dalam tempat
persembunyianku yang gelap.
Dan menunggu. bab 8 GADIS-GADIS itu berganti dengan pakaian biasa mereka
dengan cepat. Kebanyakan dari mereka tampaknya sedang terburuburu untuk pergi.
Aku mendengar seseorang memanggil Mary, "Apakah kau akan
ikut makan malam?" Mary bergerak maju hingga aku dapat melihatnya. Aku melihat
dia menarik lepas topi renangnya. Rambut merahnya tergerai keluar.
Ia membelakangiku. Ia membetulkan pakaian renangnya. Kemudian ia
mengangkat satu kaki dan menggosok-gosok lututnya.
"Mary"kau selalu yang terakhir berpakaian," kata salah satu
teman timnya. "Aku hanya ingin ke kolam pusaran air selama beberapa menit,"
Mary menjawab. "Otot-otot kakiku semuanya kram."
Suara-suara terdengar semakin lemah di lorong itu. Pintu ruang
latihan itu terbanting menutup.
Beberapa detik kemudian, ruangan itu menjadi hening.
Aku mengintip keluar dari sudut gelapku dan, di antara deretan
lemari-lemari loker, aku dapat melihat Mary. Ia menjatuhkan sebuah
handuk putih di samping Jacuzzi. Kemudian, meletakkan satu tangan
pada tangga bersepuh krom, ia melangkah masuk ke dalam air panas
itu. Aku menjulurkan kepalaku keluar lebih jauh lagi. Aku ingin
melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku melihat dia membenamkan dirinya ke dalam kolam panas
yang berputar-putar itu. Aku dapat melihat wajah dan bahu pucatnya di atas air.
Beberapa detik kemudian ia mulai menjerit.
Mulutnya terbuka dalam kekagetan. Tangannya terangkat ke
atas. Teriakannya yang melengking bergema di dinding dan lemarilemari loker.
"Ohhhhh! Tolong aku! Seseorang"tolong!"
Ia memukul-mukul airnya. Ia berusaha naik, tetapi kelihatannya
terjatuh. Ia menjerit lagi. "Airnya panas! Oh, tolong! Airnya panas
sekaaaliii!" Wajahnya bersinar merah tua sekarang.
Air bercipratan dan bergejolak.
Ia menarik rambutnya dengan kedua tangannya. "Tolong aku!
Seseorang! Aku terbakar! Aku terbakar!"
Sambil menjerit, tiba-tiba ia bergerak menyeberangi kolam
pusaran air itu, menimbulkan gelombang air yang membentur sisi
kolam itu. Ia memukul-mukul air lagi. Kemudian aku melihat satu
tangan memegang jeruji tangga, dan ia menarik dirinya keluar.
Mata Mary terlihat liar. Ia memegangi kepalanya dengan dua
tangan. Dan berjalan terhuyung-huyung di atas lantai.
Kulitnya-tangannya, kakinya"semuanya merah seperti api.
Saat mengintip melewati lemari-lemari loker, aku melihat kulit
tangannya mulai terkelupas.
"Tolong aku! Tolong aku!"
Mary terjatuh pada lututnya, masih terus meratap dan menangis.
Dan seseorang muncul. Seorang wanita membungkuk pada
Mary. Si pelatih tim renang. Ia mencoba membelitkan sebuah handuk
di sekeliling bahu Mary. "Aku terbakar! Hentikan itu!" Mary meratap.
Handuk itu terjatuh ke bawah. Bahunya sudah melepuh.
Pelatih itu mengambil handuk itu. "Aku tidak tahu apa yang
harus dilakukan!" ia berteriak.
"Tolong aku! Tolong aku!" Mary meratap, teriakannya mulai
melemah. Kemudian pelatih itu berbalik, dengan mata terbelalak lebar dan
mulut terbuka. Ia berbalik"dan menatap diriku.
Aku tertangkap, aku sadar.
Aku terjebak di belakang sini. Tak ada tempat untuk melarikan
diri. Apa yang akan kulakukan sekarang"
bab 9 Hope AKU terlonjak bangun ketika mendengar seseorang
menggedor-gedor pintu depan.
Apakah aku tertidur" Apakah aku tertidur di sofa ruang duduk
itu" Aku mengejapkan mata beberapa kali, jantungku berdebar-debar.
Aku tidak ingat aku tertidur.
Pintu itu digedor-gedor lagi. Aku terpaku di tengah ruangan,
sambil menatap pintu. Siapa itu" Tak ada yang tinggal di sini di dalam rumah tua
perkumpulan ini. Tak ada yang tahu aku sudah bersembunyi di sini
selama lebih dari seminggu.
Aku bergerak maju ke pintu dengan terhuyung-huyung.
"Siapa?" aku berseru.
"Ini aku," sebuah suara yang kukenal menjawab.
Aku tidak ingin berjumpa dengan Darryl. Aku tidak ingin
melihatnya lagi. Tetapi ia menggedor-gedor pintu itu lebih keras lagi, dan
suaranya terdengar gembira.
Aku tidak bisa menahan diriku. Aku membuka pintu depan itu.
Ia menerobos masuk, sambil terengah-engah. Bergegas
melewatiku, masuk ke dalam ruang duduk, rambutnya berantakan,
tangannya terkepal dalam kepalan yang keras.
"Tutup pintunya! Cepat!" ia memerintah.
Dengan patuh aku menutup pintunya. Tiba-tiba aku merasa
pusing. Kenapa ia ada di sini" Kenapa ia sangat bersemangat"
"Aku melakukannya demi kau, Hope," katanya dengan
terengah-engah. Ia mulai mondar-mandir di hadapanku, kepalan
tangannya mengayun di sisi tubuhnya. Jaket kulitnya terbuka. T-shirt
merah di balik jaketnya terlihat robek pada bagian kerahnya.
"Melakukan apa?" tanyaku. Tiba-tiba ada perasaan dingin di ulu
hatiku. "Aku membakarnya," kata Darryl. Ia berhenti mondar-mandir.
Aku tak pernah melihat matanya begitu liar, begitu gila. "Aku
membakarnya. Aku membakar Mary."
Kata-katanya tidak masuk akal bagiku. "Mary?" aku bertanya.
"Dari asrama Fear Hall?"
Ia mengangguk. "Dia sudah mati. Aku melakukannya demi kau,
Hope. Aku tahu kau ingin aku melakukannya."
"Kau apa?" aku berteriak. Rasa dingin menjalari sekujur
tubuhku. Aku menarik bagian depan jaket Darryl. "Apakah kau benarbenar membunuh lagi" Apakah kau berkata jujur" Kau benar-benar
membunuh Mary?" Ia mengangguk. Ia menarik napas dalam-dalam. "Aku melihat
kulitnya terbakar oleh chlorine saat dia masuk Jacuzzi. Ia menendang-
nendang dan menjerit-jerit untuk beberapa saat. Kemudian berakhir
sudah." "Tidak!" aku berteriak. "Tidak"kau tidak melakukannya."
Ia mengangguk lagi. "Aku hampir tidak bisa melarikan diri.
Aku hampir tertangkap. Pelatih renang itu. Siapa namanya" Dia
sedang berada di ruang latihan. Dia melihatku."
"Dia mengenalimu?" teriakku.
Darryl mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Dia melihatku. Dia
mulai menjerit. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku
terjebak, di belakangku tembok. Aku harus keluar dari sana."
"Lalu apa yang kaulakukan?" aku berbisik. Aku menutup
mataku. Aku sungguh-sungguh tidak ingin mendengar jawabannya.
"Aku lari," Darryl menjawab. "Aku merendahkan bahuku dan
menabraknya." ?B?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Kau menabraknya hingga jatuh?" teriakku, mataku masih
terpejam. "Aku mendorong dia masuk ke dalam Jacuzzi," jawab Darryl
dengan terengah-engah. Aku terperanjat. Dan membuka mataku. "Kau membunuhnya
juga?" Ia mengerutkan dahi kepadaku. "Bagaimana aku tahu" Aku
langsung lari. Kau tahu" Aku berlari keluar dari sana sementara dia
masih berteriak-teriak dan meronta-ronta di dalam air."
"Dan kau terus berlari sampai kemari?" aku bertanya
kepadanya. Mataku melihat melewati bahunya ke pintu depan.
"Apakah ada yang melihatmu" Apakah ada yang mengikutimu?"
"Tidak. Kenapa ada orang yang mau mengikutiku?" Darryl
balas bertanya. Ia merosot duduk ke kursi kulit berlengan itu.
"Tidak!" aku berteriak. "Bangun!" aku menariknya berdiri
dengan menarik lengan jaketnya. "Bangun, Darryl. Kau tidak bisa
tinggal di sini!" Ia menyipitkan mata biru pucatnya kepadaku. "Apa masalahmu,
Hope" Kau dan aku..."
"Kau membunuh lagi!" aku memekik. "Itu masalahku! Kau
tidak bisa berhenti membunuh, Darryl! Kau sakit. Kau benar-benar
sakit! Dan"dan..."
Kata-kataku tercekat di tenggorokanku. Aku tercekik.
Ia melangkah maju dan meletakkan satu tangannya dengan
lembut pada bahuku. Sentuhan Darryl biasanya membuatku bergairah. Tetapi
sekarang sentuhannya membuat perutku mulas.
"Ketiga gadis itu berkata kau gila, Hope," katanya lembut.
"Mereka memaksamu lari dari asrama. Aku membakar Mary demi
kau. Dan sekarang saatnya membalas dua cewek lain. Aku
melakukannya untuk menunjukkan kepadamu betapa aku sangat
menyayangimu." "Tidak!" aku memprotes. "Tidak! Tidak! Tidak! Aku tidak
ingin kau melakukannya, Darryl. Aku hanya menginginkan kau pergi.
Pergi dan jangan kembali lagi!"
Ia menarik tangannya. "Kau tidak bersungguh-sungguh."
"Ya, aku bersungguh-sungguh!" aku memekik.
Aku memegang tangannya dengan dua tanganku. Menarik dan
mendorongnya keluar dari ruangan itu.
Dan keluar dari pintu depan.
Ia tersandung di beranda. Ia berhasil menyeimbangkan
badannya. Berputar dengan marah ke arahku. "Hope"kau dan aku
harus tetap bersama. Kita tidak punya pilihan. Kita..."
"Tidak! Kau membuatku takut!" kataku padanya, suaraku
bergetar. "Kau sungguh-sungguh membuatku takut, Darryl. Kau harus
berhenti membunuh. Kau harus berhenti. Tetapi aku rasa kau tidak
bisa." "Kau tidak mau aku berhenti!" ia bersikeras. "Tidak, sampai
Margie dan Melanie..."
"Selamat tinggal." Aku berseru. Aku tidak bisa mendengar halhal seperti ini lagi. Seluruh tubuhku gemetar. Aku merasa sangat
pusing, aku memegang dinding rumah itu.
"Selamat tinggal, Darryl," kataku. "Aku bersungguh-sungguh
kali ini. Selamat tinggal."
Darryl membuka mulutnya untuk menjawab. Tetapi aku
membanting pintu depan itu sampai tertutup.
Aku menekankan punggungku pada pintu dan memeluk diriku
sendiri erat-erat. Menahan napasku, mencoba untuk memperlambat
degup jantungku. Aku memejamkan mataku dan mendengarkan.
Aku tidak bergerak sampai mendengar suara langkah kakinya
pada jalan masuk di halaman.
Kemudian aku menarik napas dalam-dalam dan berjalan dengan
gemetar ke ruang duduk. Matahari sedang terbenam. Pancaran cahaya berwarna merah
memancar masuk dari jendela yang terbuka di depan. Bayanganbayangan biru panjang terbentang melintasi lantai yang berdebu.
Sebuah bayangan bergerak ke arahku. Aku melompat ke
belakang. Ternyata hanya kucing.
Aku merasa sangat terguncang, aku harus duduk. Aku mulai
berjalan menuju ke kursi berlengan itu, tetapi aku berhenti.
Sesuatu menarik perhatianku. Secarik kertas pada bantal sofa.
Aku mengangkatnya. Ada tulisan pada kertas itu.
Sebuah catatan" Bagaimana kertas itu bisa ada di sana" tanyaku dalam hati.
Apakah ada seseorang yang masuk ke dalam rumah saat aku tidur"
Aku mengangkatnya dekat-dekat ke mukaku untuk
membacanya. Cahayanya sangat redup, sangat sulit untuk
membacanya. Tanganku masih gemetar. Aku harus memegang kertas itu eraterat dengan dua tangan supaya tidak bergoyang-goyang.
Aku memandang pada tulisan tangan kecil itu. Begitu kecil dan
ringan. Sepertinya aku mengenali tulisan tangan itu.
Ini berasal dari seseorang yang aku kenal, aku berpikir.
Seseorang yang pernah menulis kepadaku sebelumnya.
Tetapi siapa" Bagaimana orang itu tahu aku di sini"


Fear Street Akhir Segalanya Fearhall The Conclusion di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan bagaimana mereka bisa masuk kemari tanpa aku
melihatnya" Aku menatap tulisan itu lebih saksama lagi dan membaca katakatanya:
Aku akan datang demi kau, Hope. Kau tidak bisa lari dariku.
Bab 10 Chris AKU menjatuhkan dua kardusku yang berat pada lantai dan
mengamat-amati pintu-pintu pada kedua sisi lorong asrama yang
panjang itu. Aku berdiri di depan kamar 2-C. Jadi, kukira, kamar 2-J
pasti terletak di ujung lorong.
Sambil mengerang, aku mengangkat kardus itu dan berjalan
dengan terhuyung-huyung di lorong itu. Terdengar musik reggae dari
satu ruangan. Aku mendengar orang-orang sedang tertawa-tawa dan
berteriak-teriak di sebelah ruangan itu.
Butir-butir keringat mengalir ke bawah pada dahiku. Karduskardus ini berat sekali! Dan aku masih mempunyai tiga kardus lagi
dan dua koper untuk dibawa ke Fear Hall.
Di saat-saat seperti ini, aku berharap aku punya tenaga yang
kuat. Aku berharap aku sering berolahraga dan memiliki otot yang
besar. Tetapi, hei"aku ini mahasiswa jurusan sejarah. Aku bukan
atlet kampus. Dan seluruh keluargaku kecil dan kurus. Jadi kenapa
aku harus berbeda" Setidaknya orang-orang tidak lagi memanggilku Si Tikus. Aku
meninggalkan julukan itu di SMU.
Aku berjalan terhuyung-huyung di lorong itu. Dua cowok
dalam pakaian olahraga menyelusup melewatiku. Mereka tidak
menawarkan diri untuk menolong.
Itu mengingatkan aku pada Al, teman sekamar apartemenku. Si
Big Al. Ia juga tidak menawarkan diri untuk menolong. Tentu saja,
sejak sebagian besar gedung apartemen kami terbakar, Al juga harus
pindah. Ia mendapatkan apartemen lain, lebih dekat ke kampus. Tetapi
aku harus pindah ke asrama.
"Apakah kau benar-benar akan pindah ke Fear Hall?" ia
bertanya, dengan senyum tololnya. "Bukankah asrama itu untuk anak
perempuan?" Senyumannya semakin lebar. "Hei" apakah kau akan
menjadi satu-satunya laki-laki di sana" Kau akan mengundangku
untuk singgah"ya, kan?"
"Perguruan Tinggi mengizinkan lantai dua dipakai untuk tempat
tinggal murid cowok," aku memberi tahu. "Aku tidak akan sendirian.
Sekelompok anak laki-laki dari Carver Hall sudah pindah ke sana
minggu lalu." "Carver asrama yang lebih jelek daripada Fear Hall," kata Big
Al dengan wajah mencemooh. Ia menggaruk-garuk kepalanya.
"Bukankah di Fear Hall terdapat hantu dan sejenisnya yang seperti
itu" Tidakkah kau takut?"
"Yeah. Tentu saja." Aku memutar-mutar mataku. "Aku takut
sekali," kataku tajam.
"Dan bukankah polisi berkata siapa pun yang telah membunuh
dua laki-laki itu mungkin tinggal di Fear Hall?" Al bertanya.
"Yeah. Aku membaca tentang hal itu," kataku.
"Kau akan tinggal bersama para pembunuh?" Al berteriak.
"Itu tidak akan menjadi lebih menakutkan daripada gedung
apartemen kita," kataku. "Setiap kali aku menaiki tangga, aku bisa
mendengar tikus-tikus berlari kian kemari di lorong."
Big Al tertawa. "Setidaknya tikus-tikus itu berhasil mengusir
kecoak-kecoak." Aku menunggu dia menawarkan diri untuk menolongku
membawakan barang-barangku ke Fear Hall. Tetapi ia tidak
menawarkan diri. Jadi aku berkata, "Sampai nanti," dan mulai
mengangkat kardus-kardusku ke bawah. Ia duduk dan
memperhatikanku sambil tersenyum tolol.
Orang baik. Pindah di tengah-tengah semester tidaklah begitu
menyenangkan. Aku ada ujian Sejarah Eropa pada hari Senin.
Seharusnya aku mempelajarinya, bukannya mengangkat barangbarangku menyeberangi kampus.
Namun, pintu kamar 2-J terbuka. Aku meletakkan karduskardusku dan menjulurkan kepalaku ke dalam. Dua cowok sedang
duduk di meja di seberang ruangan. Mereka mendongak ke atas dari
hadapan komputer mereka. "Kau orang baru itu?" tanya salah satu dari mereka. Ia cowok
yang besar dan bundar. Lehernya besar dan tebal. Bahunya besar
sekali. Seperti seorang pemain tengah.
Aku mengangguk dan menyeka keringat dari dahiku dengan
lengan kausku. "Yeah. Aku Chris," aku memberitahu mereka. "Chris
Sandburg." "Mereka bilang kepada kami kau akan datang," kata cowok
yang satu lagi. Ia berjalan mendekat dan menjabat tanganku. "Aku
Will, dan dia Matt." Will tinggi dan ramping, dengan kulit yang gelap.
Senyumannya bersahabat. "Apartemen lamamu terbakar?" Matt bertanya, sambil
memandangiku. "Yeah," aku menjawab. "Hanya setengah dari gedung itu.
Tetapi kami semua harus pindah." Aku mulai menyeret karduskardusku melewati ambang pintu. Will mengangkat kardus yang
paling atas dan membawanya masuk.
Aku mengikuti dia melewati ruang depan masuk ke kamar tidur.
Ada lemari rias kecil di dalam kamar dan dua tempat tidur susun yang
merapat ke dinding. "Matt dan aku memakai ranjang yang di bawah," Will berkata.
"Kau bisa memilih salah satu yang di atas."
"Bagaimana keadaan di sini?" aku bertanya. "Maksudku di Fear
Hall." "Baik!" jawab Matt dari ruangan lain. "Tempat ini dipenuhi
cewek-cewek!" Ia muncul di pintu masuk, sambil menggigit-gigit
sebuah pensil. "Kau sudah punya pacar?"
"Tidak," jawabku dengan canggung. "Belum."
Aku sangat pemalu saat SMU. Aku baru menyadari bahwa
bercakap-cakap dengan cewek-cewek bukan pekerjaan gampang. Aku
tidak punya pacar. Aku punya dua sahabat. Cowok. Tetapi kurasa aku
tak pernah pergi bersama dengan anak perempuan lebih dari tiga atau
empat kali selama empat tahun di SMU.
Saat aku tiba di Ivy State College, aku berjanji kepada diriku
sendiri semuanya akan berbeda. Aku sudah lebih tua sekarang, dan
lebih matang, aku memutuskan. Aku tidak perlu merasa malu lagi
sekarang. Tetapi ini adalah tahun keduaku di Ivy State College. Dan
sejauh ini, aku belum bertemu dengan seorang gadis pun yang sangat
kusukai atau yang kelihatannya menyukai diriku.
Mungkin tinggal di asrama yang dipenuhi cewek akan
mengubah segalanya, kataku kepada diriku sendiri. Mungkin Will dan
Matt akan menolongku bertemu dengan beberapa gadis yang akan
kusukai. Aku menghabiskan waktu dua jam untuk membawa naik
barang-barangku dan membongkar semuanya. Will harus pergi ke satu
pertemuan. Tetapi Matt menolongku membawa semuanya naik ke
kamar. Saat aku selesai membongkar beberapa jam kemudian, aku
sudah benar-benar lelah, dan basah kuyup oleh keringat. Aku masih
memiliki satu kardus buku-buku yang harus diatur di rak. Kurasa itu
bisa menunggu sampai keesokan harinya.
Will kembali muncul dan menjatuhkan diri pada tempat
tidurnya. Matt bersandar di ambang pintu kamar tidur. "Kau tahu
mengenai reputasi Fear Hall?" tanya Will.
Aku mengangguk. "Aku sudah melihat sweternya," aku
menjawab. "Itu lho, AKU BERHASIL HIDUP DI FEAR HALL."
Matt tersenyum, sebuah senyuman yang aneh, bukan senyuman
gembira. "Itu semua benar," katanya lembut.
Aku menatapnya. "Apa?"
"Cerita mengenai lolongan-lolongan aneh pada malam hari dan
mahasiswa-mahasiswa yang hilang," ia berkata. "Itu semua benar.
Tidak dibuat-buat." "Yang benar saja," aku menarik napas.
Ekspresi Will berubah menjadi serius. "Itu bukan lelucon, bung.
Ada seorang laki-laki di lorong ini yang kami kenal dari Carver.
Namanya Freddie. Dia baru saja pindah minggu lalu, seperti kami. Dia
pergi mandi dua hari yang lalu"dan bak mandinya penuh dengan
darah. Darah panas yang mendidih."
Aku tertawa. "Kau bercanda"ya, kan?"
"Tidak bercanda," jawab Will, mata cokelatnya menatap
mataku dengan tajam. "Dan bagaimana dengan gadis yang di lantai atas" Yang berada
di lantai delapan?" Matt menyela.
"Kenapa dengannya?" aku bertanya.
"Dia terus-menerus melihat sebuah wajah pada cerminnya,"
Matt menjawab. "Wajahnya sendiri?" tanyaku.
Ia menggeleng. "Bukan. Dia terus-menerus melihat wajah
seorang gadis. Seorang gadis yang berpakaian kuno, sangat kabur dan
pucat, dengan rambutnya yang kaku dan berikal kecil. Itu lho, seperti
yang mereka kenakan di foto-foto tua."
"Kau bercanda," aku bergumam.
Ia mengangkat tangan kanannya seakan sedang bersumpah.
"Tidak. Ini sungguhan. Dia sudah melihat wajah itu di kaca dua atau
tiga kali. Dan setiap kali, bibir gadis itu bergerak-gerak, seolah dia
sedang mencoba untuk berbicara dengannya. Seolah dia sedang
mencoba untuk menyampaikan sesuatu kepadanya."
Aku tidak berkata apa-apa. Aku berpaling dari Matt ke Will,
kemudian kembali pada Matt. Aku sedang mencoba untuk
memutuskan apakah mereka serius.
Akhirnya, aku mengangkat bahu dan berkomat-kamit, "Aneh."
Apa lagi yang dapat kuucapkan"
"Yeah. Aneh," Will mengulang.
"Aku akan berlama-lama mandi air hangat," aku memberitahu.
"Aku sangat berkeringat dan pegal-pegal karena membongkar semua
ini." Mereka berjalan kembali ke ruang depan. Beberapa detik
kemudian, aku dapat mendengar Will sedang mengetik di
komputernya. Matt mulai mengobrol di telepon.
Sambil memikirkan cerita-cerita aneh mereka, aku membuka
bajuku dan berjalan ke kamar mandi.
Darah panas yang mendidih di bak mandi" Wajah aneh seorang
gadis pada cermin" Aku berjalan ke pancuran air. Memeriksa untuk memastikan
terdapat sabun dan sampo. Menutup pintu kaca pancuran air dan
menyalakan air panas. Kepala pancuran air itu berdesis dan terbatuk-batuk.
Aku memutar tombol air panas.
Sebuah desisan lagi. Kemudian airnya memancar keluar.
Panas dan"merah! Air merah! Merah tua. Bukan. Bukan air. Bukan air....
Darah merah panas memancar ke wajahku, ke dadaku.
Aku membuka mulutku dalam ketakutan. Dan mulai menjerit.
bab 11 AKU memejamkan mataku dan menampar-nampar dadaku,
mencoba untuk menyeka cairan merah yang beruap itu.
Aku terhuyung-huyung menuju pintu pancuran itu.
Mendorongnya terbuka dengan bahuku.
Dan mendengar gelak tawa, gelak tawa bernada tinggi dari
ruangan lain. Pintu kamar mandi mengayun terbuka. Matt dan Will
menerobos masuk, sambil tersenyum. "Apakah ada yang menjerit?"
Matt berteriak mengalahkan suara air yang deras pada pancuran.
"Darah...," aku mulai berkata.
Tetapi aku tahu. Aku tahu dari senyuman mereka bahwa aku
berhasil diperdaya. "Ciumlah," perintah Will.
Aku menciumnya dalam-dalam. Dan mencium bau buah ceri.
Mereka berdua tertawa lagi dan saling ber-high five.
"Kami menaruh agar-agar merah dalam kepala pancuranmu,"
Matt menjelaskan. "Tipu muslihat kuno agar-agar merah!" Will berkata, sambil
tertawa. "Hei, man"teriakanmu hebat sekali!"
Itu membuat mereka mulai tertawa lagi.
"Selamat datang di Fear Hall!" Matt menyatakan.
Aku memandang ke bawah. Dadaku penuh warna merah. Air
dari kepala pancuran itu sudah jernih sekarang. "Ha-ha. Lucu," aku
bergumam. Dan aku membanting pintu pancuran itu hingga tertutup.
Tentu saja aku merasa seperti orang yang sangat tolol. Kenapa
aku menjerit seperti itu" Kenapa aku tak pernah bisa cool dalam
segala hal" Aku masih memikirkan hal itu, masih merasa malu, saat
berjalan ke bawah ke ruang pertemuan yang besar setelah makan
malam. Aku sedang tidak ingin berpesta. Tetapi asrama itu sudah
mengatur sebuah pesta perkenalan" hidangan penutup dan dansa"
kesempatan bagi anak laki-laki di asrama untuk berjumpa dengan
gadis-gadis yang tinggal di lantai atas.
Aku merasakan kegelisahan yang biasa saat melangkah masuk
ke dalam ruangan itu. Teng-gorokanku sedikit tercekik, dan tanganku
tiba-tiba menjadi dingin seperti es.
Tenang saja, Chris, perintahku pada diri sendiri. Sekali dalam
seumur hidupmu, tenang saja.
Ketika mulai kuliah, aku berjanji kepada diriku sendiri aku akan
mengalahkan rasa maluku. Sekarang adalah waktunya untuk menepati
janji itu. Mungkin aku akan berjumpa dengan beberapa cewek manis,
pikirku. Aku memandang ke sekeliling ruangan itu. Bangku-bangku
yang biasanya digunakan untuk pertemuan asrama sudah didorong
merapat ke dinding. Sebuah meja panjang dengan taplak kuning tua
terletak di satu sudut, penuh kue, donat, dan minuman ringan.
Sekitar tiga puluh atau empat puluh orang yang tinggal di
asrama itu"kebanyakan cewek"berkerumun di tengah ruangan,
bercakap-cakap dalam kumpulan dua atau tiga orang. Musik dansa
yang keras berdentum-dentum dari sebuah boom box yang besar.
Tetapi tidak ada yang berdansa.
Dengan tangan terselip dalam saku celana khaki-ku, aku
berjalan dengan kaki terseret-seret menuju ke meja kuning itu untuk
mengambil segelas Coke. Saat berjalan, aku menghitung laki-laki
yang ada di dalam ruangan. Hanya delapan orang.
Cukup ganjil, aku berpikir. Delapan cowok dan sekitar tiga
puluh cewek. Aku berharap Matt dan Will turun bersama-sama denganku.
Punya dua teman cowok yang sudah kukenal akan memecahkan
kekakuan. Tetapi Matt pergi menemui pacarnya di seberang kampus.
Dan Will berkata dia harus belajar untuk menghadapi ujian.
Aku begitu asyik dengan pikiranku sehingga menabrak gadis di
depanku dalam antrean di meja minuman. "Oh. Maaf," kataku tidak
jelas.

Fear Street Akhir Segalanya Fearhall The Conclusion di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia berputar, terkejut. Ia sangat manis. Ia memiliki rambut hitam yang pendek dengan
poni rata yang tergerai pada dahinya. Ia mengenakan sebuah anting
gemerlap yang berjuntai panjang. Senyumnya manis.
"Hai. Kau baru saja pindah?" ia bertanya. Mata hitam
bundarnya mengamati diriku.
Aku dapat merasakan aku tersipu-sipu. "Yeah. Siang hari tadi,
tepatnya," aku berhasil menjawabnya. "Apartemenku terbakar, jadi..."
"Kau tidak punya rumah?" gadis yang berada di sampingnya
menyela. Aku mengangguk. "Yeah. Aku rasa."
"Aku Melanie," gadis pertama memperkenalkan diri. "Dan ini
teman sekamarku Margie."
Margie bertubuh pendek seperti diriku. Ia terlihat
menggemaskan. Ia memiliki rambut yang agak keriting, suara yang
nyaring melengking, dan hidung kecil yang mancung ke atas.
"Aku... Chris," aku memberitahu mereka. Kenapa selalu sulit
untuk memberitahu namamu sendiri ke orang lain" Kenapa selalu
terdengar sangat aneh"
Margie mengoperkan segelas Coke kepadaku. "Apakah kau
pernah tinggal di asrama sebelumnya, Chris?"
Aku menggeleng. "Tidak. Hanya di apartemen."
Melanie menarik napas panjang. "Asrama seharusnya lebih
aman. Tetapi..." Suaranya semakin lemah. Matanya menerawang.
Musik berdentum-dentum semakin keras. "Tak ada yang
berdansa," aku berkata, sambil menunjuk ke kerumunan anak-anak
yang berkumpul di tengah ruangan.
"Tak ada yang benar-benar ingin berpesta," Melanie menjawab.
Ia berbicara dengan pelan. Aku hampir-hampir tidak bisa mendengar
suaranya di balik suara musik.
"Keadaannya sangat menakutkan di sini," Margie
menambahkan. "Teman sekamar kami dibunuh," Melanie berkata. Dagunya
gemetar. Aku terperanjat. "Oh tidak...," seruku. "Apakah dia yang...?"
"Di dalam kolam pusaran. Di pusat latihan renang," kata
Melanie. "Itu sangat mengerikan," kataku. Mulutku tiba-tiba terasa
sangat kering. Aku menyeruput panjang dari gelas kertas Coke itu.
"Aku melihat tubuhnya di TV. Dia terbakar dengan sangat parah..."
Margie terisak. "Maafkan aku!" seruku. "Aku tidak bermaksud..."
Melanie meletakkan lengannya di sekeliling pinggang Margie
untuk menghiburnya. "Tidak apa-apa," katanya kepadaku. "Margie
dan aku mungkin sebaiknya tidak datang malam ini. Kami berdua
masih merasa tidak enak. Mary... seorang teman yang baik. Kami
benar-benar tak bisa percaya bahwa hal itu terjadi."
Aku mengangguk. Aku tidak tahu apa yang harus dikatakan.
"Kami berpikir jika kami datang ke pesta perkenalan, kami bisa
melupakan Mary untuk beberapa menit," kata Margie sedih. "Tetapi
kurasa kami tidak bisa."
"Semua orang di kampus sangat ketakutan," Melanie
menambahkan. "Tiga pembunuhan dalam bulan lalu. Ditambah pelatih
renang itu ada di rumah sakit. Dan polisi tampaknya tidak berdaya.
Mereka tidak dapat menemukan gadis itu... gadis yang..."
Suaranya tajam. "Maafkan aku," kata Melanie. "Kurasa Margie dan aku lebih
baik naik ke atas. Maaf. Sungguh."
"Aku juga," aku bergumam. "Benar-benar mengerikan." Apa
yang bisa kuucapkan kepada mereka" Aku sudah membaca tentang
pembunuhan-pembunuhan itu dan menonton program berita di TV.
Tetapi aku tidak mengenal ketiga korban itu secara pribadi.
Bagaimana rasanya mengenal seseorang yang dibunuh" tanyaku
kepada diri sendiri. "Sampai jumpa lagi," kata Melanie.
"Semoga beruntung di asrama," Margie menambahkan.
Mereka bergegas keluar ruangan.
Aku masih tinggal di pesta perkenalan itu beberapa saat. Tetapi
pesta itu tidak begitu menyenangkan. Melanie benar. Tak seorang pun
ingin berpesta. Aku berjumpa cewek-cewek lain yang sepertinya lumayan.
Tetapi meskipun aku mencoba untuk menjadi tenang dan percaya diri,
aku merasa sangat tidak nyaman.
Rasanya susah sekali untuk melupakan bagaimana rasanya
dipanggil "Si Tikus" seumur hidupmu.
Dan kurasa beberapa orang ada yang gila pesta dan beberapa
orang lagi tidak. Pukul 21.00, beberapa pasangan mulai berdansa. Dan beberapa
anak tertawa-tawa dan saling bercanda.
Tetapi aku memutuskan sudah cukup bagiku. Aku tidak ingin
naik ke kamarku. Aku terlalu gelisah untuk duduk dan mencoba
belajar. Jadi aku mengambil jaket buluku dan pergi menyeberangi The
Triangle ke sebuah kedai kopi kecil bernama Java Jim's yang terletak
di daerah sisi utara kampus.
Java Jim's terletak jauh dari kebanyakan toko dan restoran
kampus. Jadi sebenarnya tempat itu bukanlah tempat berkumpulnya
para mahasiswa. Tetapi aku menyukainya karena tempatnya tenang,
mereka punya kue chocolate chip yang sangat enak, dan mereka
mengizinkan kau duduk dengan hanya membeli satu cangkir minuman
saja. Aku duduk di konter berlapiskan formika putih, sambil
mengunyah sebuah kue yang besar, mencelupkannya ke dalam
kopiku. Memikirkan tentang Melanie dan Margie. Memikirkan
tentang kenapa aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk
diucapkan kepada mereka. Setelah aku berada di sana selama kira-kira lima belas menit,
aku mendengar suara batuk. Aku menoleh dan melihat seorang gadis
di ujung konter. Rambutnya hitam lurus membingkai wajah
bundarnya, dan bibirnya dipulas lipstik merah. Ia mengenakan sweter
hitam yang kebesaran di atas celana hitam ketatnya.
Ia menatap lurus ke depan pada dinding ubin. Setiap beberapa
detik, ia menyeruput sedikit busa tinggi cappuccino-nya.
Aku menunggunya untuk melihatku. Aku menunggunya dalam
waktu yang lama. Akhirnya, mata kami bertemu. "Hai. Apa kabar?"
tanyaku kepadanya. Ia ragu-ragu. Mata cokelatnya menyipit kepadaku. "Baik," ia
menjawab akhirnya. Ia menyeruput dari cangkirnya, kemudian
menyeka busa dari bibir atasnya dengan satu jari. "Kopi di sini enak."
"Yeah, benar," aku sependapat. Apakah dia ingin bercakapcakap" aku bertanya-tanya dalam hati. Atau dia hanya bersikap sopan
saja" "Kau kuliah di Ivy State College?" aku bertanya.
Ia kelihatannya berpikir mengenai hal itu. "Yeah. Begitulah," ia
berkata. Ia tertawa pendek. "Aku harus keluar di semester ini."
Aku mengangguk. "Aku tingkat dua," aku memberitahu. "Aku
baru saja pindah ke asrama siang hari tadi. Apartemenku terbakar."
Mulutnya membentuk huruf O kaget. "Terbakar?"
"Yeah. Yah, sebenarnya, setengah gedung," aku berkata.
"Setengah lainnya. Bukan apartemenku. Tetapi..."
"Asrama apa?" ia bertanya. Ia kembali menyeruput
minumannya. Aku memperhatikan ia telah merobek-robek serbet
kertasnya menjadi potongan-potongan yang panjang dan tipis.
"Fear Hall," kataku.
Mulutnya ternganga lagi. Tetapi ia tidak mengucapkan apa-apa.
Aku memutuskan inilah saatnya untuk berhenti bersikap begitu
pemalu. Aku beranjak melewati beberapa bangku, berpindah
mendekat kepadanya. "Aku menyukai rambutmu," kataku. "Sangat
berkilau." Pujian itu sepertinya membuatnya malu. Ia melemparkan
pandangannya ke pintu masuk.
"Aku baru saja datang dari sebuah pesta perkenalan yang
terburuk," aku memberitahu dia, mencoba untuk menjaga agar
perbincangan itu terus berlangsung.
Kenapa ia memandangi pintu itu"
"Eh... dengar...," akhirnya ia berkata, kembali menghadap ke
diriku. Ekspresinya berubah menjadi tegang. Ia merobek-robek
potongan-potongan serbet itu menjadi potongan yang lebih kecil lagi.
"Sebenarnya lebih baik kau tidak berbicara denganku."
"Maaf?" aku menjawab. "Aku tidak ber-maksud..."
"Aku baru saja putus dengan seorang cowok," ia menjelaskan,
kembali memandang ke pintu masuk. "Dan dia seorang yang sangat
pencemburu. Jika dia melihat kau dan aku..."
"Tetapi kita hanya ngobrol," aku memprotes. "Tidak ada hukum
yang melarangnya, ya, kan?"
"Tidak, tetapi... sebaiknya kau tidak melakukannya," ia
menjawab. "Dia"dia bisa menjadi sangat berbahaya."
Berbahaya" "Hmm...," aku ragu-ragu. Tiba-tiba ia terlihat sangat tegang.
Aku bergegas kembali ke tempatku. "Bisakah aku... eh...
meneleponmu kapan-kapan?" aku bertanya.
Ia menggigit bibir bawahnya. "Aku rasa tidak."
Ia menyorongkan kakinya ke lantai dan berdiri. Ia menarik
sweter panjangnya ke bawah, menutupi celana ketatnya. Kemudian ia
menaruh beberapa dolar pada konter dan mulai meninggalkan tempat.
Ia melewati diriku, menghindari pandanganku. Berjalan
beberapa langkah. Kemudian berputar kembali kepadaku.
"Aku bisa... bertemu denganmu lusa mungkin," ia berkata.
"Bagus!" aku menjawab, sedikit terlalu bersemangat. "Di
mana?" "Bagaimana kalau di sini?" Ia memandang ke luar jendela
dengan gelisah. "Yeah. Tentu. Baik," kataku.
Ia berputar dan bergegas ke pintu.
"Hei"namaku Chris. Chris Sandburg. Siapa namamu?" aku
berseru memanggilnya. Ia berhenti dan menatapku sesaat. "Karen," ia menjawab.
"Namaku Karen." Ia menghilang melewati pintu itu.
"Karen." Aku mengulangi nama itu keras-keras. "Nama yang
indah." bab 12 Hope "AKU berlari sampai ke rumah!" seruku kepada Angel dan
Jasmine. Aku memegang dadaku, merasakan jantungku berdebardebar, dan menunggu debarannya mereda untuk menarik napas.
Jasmine telentang di sofa, sambil membaca sebuah majalah.
Angel duduk di seberangnya di kursi berlengan yang besar dan terbuat
dari kulit, sambil mengelus-elus kucing.
"Hope, apa yang terjadi?" Angel berteriak, terlonjak berdiri dari
kursinya, dan bergegas mendatangiku. "Apa ada yang melihatmu"
Apa ada yang mengejarmu?"
"Tidak. Bukan seperti itu," aku menjawab, masih terengahengah. "Tak ada yang mengenaliku. Tak ada yang mencari-cari gadis
berambut cokelat. Mereka semua mencari-cari gadis yang berambut
pirang. Merubah warna rambutku adalah hal yang tercerdik yang
pernah kulakukan." "Kemudian apa yang terjadi?" tanya Angel tak sabar.
"Aku bertemu dengan seorang laki-laki," aku memberitahu
mereka. Jasmine tertawa. Ia melemparkan majalah yang sedang ia baca
ke bawah. "Hanya itu?"
Angel menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dari pandangan di
wajahmu, kami mengira telah terjadi sesuatu yang buruk."
Aku tidak mampu untuk menahan senyum yang mengembang
di wajahku. "Yah, memang buruk sih sampai saat ini," kataku.
"Maksudku, inilah aku, bersembunyi dari polisi dalam rumah tua
kosong ini. Dan aku bertemu cowok idamanku." Aku menarik napas
panjang. "Saatnya sama sekali tidak tepat, ya, kan?"
Jasmine menatapku dalam-dalam.
Angel terperanjat. "Cowok idamanmu?"
Aku mengangguk dan tersenyum lagi.
"Di mana kau bertemu dengan cowok ini?" tanya Jasmine,
sambil duduk tegak. "Di kedai kopi," aku memberitahu dia. "Kau tahu tempat itu.
Java Jim's." "Lebih terperinci lagi dong," Angel mendesak. "Ayo, Hope.
Ceritakan. Lebih terperinci iagi."
"Yah...," aku ragu-ragu. "Kami baru ngobrol-ngobrol saja, itu
saja. Aku rasa dia menggemaskan. Tetapi sepertinya dia sangat malumalu pada awalnya. Dan aku benar-benar tidak ingin berbicara
dengannya karena... kau tahu, kan."
"Siapa namanya?" tanya Jasmine.
Aku harus berpikir. "Chris." Kemudian aku tidak bisa menahan
diri. Kata-kata menyembur begitu saja dari diriku. Aku merasa begitu
bergairah. "Dia sempurna!" aku mencurahkan isi hatiku. "Yang aku tahu
dia adalah cowok yang tepat untukku. Aku dapat merasakannya!"
"Whoa. Nanti dulu!" Angel bersikeras. Ia meletakkan
lengannya di bahuku dan menuntunku ke sofa. Aku duduk di sebelah
Jasmine. Jasmine tertawa terkekeh-kekeh. "Kau bahkan tidak bisa
mengingat namanya!" "Dia juga tidak tahu namaku," aku memberitahu Jasmine.
"Setidaknya bukan nama asliku. Aku tidak bisa memberitahu dia,
bukan nama yang biasa kutulis di surat-surat. Tetapi, kau tahu tidak"
Aku rasa dia bahkan tidak peduli jika dia sampai tahu kalau aku
adalah gadis yang sama. Dia sangat mudah untuk diajak bicara. Dia
akan mengira aku tidak bersalah."
"Hope, aku tidak pernah melihatmu begitu kasmaran!" Angel
berseru. Ia benar. Jantungku berdegup keras seperti guntur.
"Yah... aku tidak mengharapkan untuk berjumpa dengan
seseorang," aku menjelaskan. "Kau tahu, kan. Dengan semua nasib
buruk yang kita alami, dan lain-lainnya. Aku tidak mengira..."
"Yeah. Bicara tentang nasib buruk," potong Angel. "Bagaimana
dengan Darryl?" Aku merasa bulu romaku meremang. Leherku menegang. "Ya,
Pengelana Rimba Persilatan 11 Akhirnya Senja Karya Sulaiman Tripa Cewek Junkies 2
^