Benteng Astral 2
Benteng Astral Tom Swift 5 Bagian 2
Ia menyaksikan, beberapa orang melihat ke arloji, sadar bahwa saat pergantian giliran kerja akan tiba. Sebuah pesawat pengangkut akan dikirim dari benteng, dan sekelompok yang baru akan menggantikan mereka. Tetapi Tom beserta teman-temannya tidak termasuk yang akan kembali ke benteng.
Ia memungut kunci kombinasi satu setengah inci yang telah dipakai untuk mengerjakan mekanisme pendorong pada kendaraan yang akan dipergunakan. Kalau saja ada cara untuk keluar dari tempat yang liar ini!
Di dekatnya, Mok N'Ghai sedang berusaha menekan batuknya.
Tom mengernyit. Bernapas saja menjadi hal yang berat bagi makhluk asing itu, dan ia tak akan dapat bertahan lebih lama terhadap iklim Belle Genevieve ini. Tetapi dengan diangkutnya mereka ke planet tersebut, telah membuyarkan rencana untuk melarikan diri. Rencana yang telah dipikirkan masak-masak bersama teman-temannya. Apakah mereka akan mendapatkan kesempatan lagi"
Di kejauhan, Tom telah melihat banyak kemajuan dalam pembangunan perkemahan. Sejak kedatangannya, kerangka bangunan telah didirikan untuk kubah utama, lantai telah dipasang, dan regu pekerja mulai menyemprot dinding luar dengan larutan campuran plastik. Bila sudah kering akan mengeras seperti beton.
Tetapi mempertahankan disiplin merupakan masalah pula. Setiap orang sering berhenti bekerja dan semakin sering mendongak ke langit, berharap melihat tanda-tanda pertama datangnya pesawat shuttle yang akan membawa mereka kembali ke benteng.
"Engkau membuang-buang waktu!" teriak Luna kepada Tom. Ia meninggalkan sekelompok ahli teknik dan melangkah lebar-lebar ke arah Tom. Kedua pengawal selalu hadir mengikutinya, lalu bersandar kepayahan pada bagian kendaraan yang telah dilepas.
"Anda salah!" kata Tom. Tiba-tiba ia mengayunkan ujung kunci kombinasi, tepat mengenai Luna di bawah dagunya hingga terlempar ke belakang. Ia jatuh ke tanah pingsan!
Terdengar suara terkejut yang tertahan dari para pengawal.
Tetapi, seperti yang diharapkan oleh Tom, semua orang sudah terlalu payah untuk dapat bereaksi dengan cepat.
Kate dan Anita melompati salah seorang pengawal, lalu merebut senjata dan helmnya. Dengan cepat Anita melemparkan senjata itu kepada Tom, yang lalu menodongkannya kepada orang yang sedang pingsan.
"Ha! Itu menunjukkan bahwa engkau tak selalu membutuhkan suatu rencana!" kata Ben, tersenyum kepada Tom. Ahli komputer Indian itu mengambil senjata dari pengawal yang lain. Orang itu menyerahkannya tanpa perlawanan.
"Kalau tak seorang pun yang bergerak, tuan Luna tak akan cedera. Saya berjanji," kata Tom.
Tak seorang pun yang bergerak.
Setidak-tidaknya pegawai-pegawai Luna mempunyai rasa kesetiaan, pikir Tom. Atau mereka merasakan kelangsungan hidup yang kuat. Ia teringat apa yang dikatakan oleh Gunn. Semua orang ingin kembali ke Bumi. Tanpa Luna, mungkin mereka tak dapat pulang.
Luna mulai sadar. Berlawanan dengan hati nuraninya, Tom menodongkan senjata itu ke pipinya. "Jangan memaksa aku menggunakan senjata ini," katanya datar, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Mulai kini, pengaturan waktu akan sangat kritis. Ia harus dapat menahan Luna, hingga pesawat shuttle datang.
"A " aku mengerti," kata Luna. Kata-kata itu kurang jelas terdengar. Ia mengalami bilur yang merah-biru di bawah dagunya, dan rahangnya mulai membengkak.
"Pesawat shuttle akan mendarat kira-kira sepuluh menit tujuhbelas detik lagi," Aristotle melapor.
"Matikan radio," kata Tom. Ia tak ingin ada seseorang yang berlagak seperti pahlawan untuk memberitahu pesawat shuttle tentang keadaan di darat.
*** Ben bergegas ke tempat alat komunikasi di perkemahan. Pemuda Indian itu menyuruh para operatornya pergi, lalu menembak beberapa kali dengan senjata yang direbutnya dari pengawal. Logam dan plastik meleleh dan terbakar. Bunga api bepercikan dari tubuh pesawat radio. Luna meludah bercampur darah dan patahan gigi, lalu tertawa. Tetapi kini tak terdengar lagi humornya.
"Pesawat shuttle minta keterangan-keterangan untuk mendarat," kata Kate khawatir.
"Aristotle akan mengurusnya," jawab Tom.
Detik-detik berlalu amat lambat. Sementara itu, semua berkeringat dan diam, meskipun udara dingin dan lembab karena kabut. Sekali, Tom bertemu pandang dengan Gunn. Orang itu, seperti awak kapal yang lain, terpaku memandang Tom, dan dengan resah berdiri pada kaki yang satu berganti kaki yang lain. Tom tak dapat menerka dari wajahnya, dan ia juga tak tahu berapa lama ia dapat menahan orang-orang itu dengan menyandera Luna.
Dari arah kubangan, suara buih-buih yang memecah terdengar jelas, karena lumpur telah memasuki ruang-ruang di pesawat yang rusak. Luna mengutuk sambil menahan napas. Kemudian, suara desingan dan lengkingan memecah kesunyian.
Tom mendongak ke udara dan melihat pijaran yang terang dari knalpot mesin pelebur. Dengan rasa lega ia mengawasi pesawat itu turun pada tanda-tanda pendaratan, hingga berhenti di lumpur. Dengan Luna sebagai perisai, Tom memanggil teman-temannya. Mereka mundur perlahan-lahan dari kerumunan dan bergerak ke arah pesawat.
Orang yang pertama ke luar dari pesawat telah melangkah beberapa meter, ketika menyadari ada sesuatu yang terjadi. Wanita itu terpaku, tak tahu apa yang harus diperbuat.
"Jalan terus saja, tak ada yang akan mencelakai engkau," kata Ben. Ia memberi isyarat dengan senjatanya agar berkumpul dengan teman-temannya yang lain.
Setelah semuanya turun dari pesawat, Ben, Anita dan Kate bergegas ke dekat Tom. Tom mengawasinya dan terkejut melihat Mok N'Ghai berjalan lambat, dibantu oleh Aristotle. Makhluk asing itu berjalan dengan kaku, dan Tom mendengar dia mendengus pada setiap langkah. Dengan cepat Anita, Ben dan Kate membantu makhluk setengah serangga itu masuk ke pesawat.
Tom memandangi para pekerja. Beberapa orang nampak takut dan yang lain nampak curiga. "Menyesal sekali, tetapi kalian harus menunggu pesawat berikut untuk kembali ke benteng," katanya.
Sementara itu teman-temannya telah masuk semua. "Kalau kami selamat sampai di Exedra, kami akan mengirimkan pesan radio. Mengenai spacedrive benteng, aku telah membereskannya hingga bisa bekerja sekali lagi. Janganlah mengikuti kami, sebab kalian hanya mempunyai satu kali kesempatan untuk pulang ke Bumi. Aku tak menghendaki perselisihan ini, tetapi bila kalah berarti kematian bagi kami. Menyesal sekali bahwa kalian harus terlibat," Tom menghabisi kata-katanya.
"Apa yang akan kaulakukan?" Luna mengejek. "Engkau tak akan dapat tetap menawan aku, bila telah berada di benteng! Akuilah, Tom, keadaanmu sungguh tak ada harapan!"
"Semua siap?" seru Tom melalui pintu-pintu yang masih terbuka. Ia tak menghiraukan ejekan-ejekan Luna.
Tom memandangi Luna. Untuk pertama kali ia tersenyum kepadanya.
Luna memicingkan mata dengan curiga dan takut. Tiba-tiba pemuda itu mendorong dia dengan keras. Orang tua itu terhuyung ke depan beberapa langkah, lalu jatuh tengkurap. Luna melompat bangun, tetapi Tom telah masuk ke pesawat.
Pintu-pintu menutup dan terkunci. Beberapa pekerja lari maju dan menarik Luna yang marah itu menjauhi tempat pendaratan, ketika mesin-mesin pesawat mulai mendesing.
Chapter 10 Selama perjalanan pendek ke benteng, Tom cepat-cepat memberikan gambaran rencana pelarian kepada teman-temannya.
"Itu terlalu banyak risiko," kata Anita. "Apakah tak ada cara lain untuk sampai ke Exedra?"
"Kita tak punya waktu untuk merundingkan siasat yang lain," Kate mendesak. "Gagasan Tom sederhana dan ada harapan untuk berhasil. Selain itu," ia menambahkan, "kita memiliki unsur kejutan."
"Benar," kata Ben. "Apa yang paling tak disangka oleh para pengawal di benteng ialah, kita berbaris masuk seperti pemiliknya!"
"Siap untuk mendarat," Aristotle memperingatkan.
"Oke semuanya. Inilah dia!" seru Tom. "Kalau ada yang ingin jadi bintang film, inilah saatnya yang terbaik!"
Siasat Tom ialah berpura-pura mengurus para tawanan. Ia dan Kate bertindak sebagai pengawal, mengenakan topi helm yang mereka rampas dari pengawal-pengawal Luna di planet. Ia berharap, semua orang terlalu capai setelah bekerja lama di Belle Genevieve, dan karena tak ada Luna tentu penjagan keamanan agak mengendor.
Tetapi ia tak berani terlalu berharap demikian!
"Mari," katanya sambil membuka pintu pesawat shuttle.
Seperti yang mereka perkirakan, para awak di geladak pendaratan hanya memandangi saja dengan rasa ingin tahu, seperti yang selalu ditimbulkan oleh makhluk serangga dan robot yang mengkilat itu. Rombongan berbaris ke hanggar pribadi David Luna tanpa menimbulkan insiden.
Geladak yang sangat besar itu bagaikan gua. Tom mendengar suara langkah-langkah kaki di kejauhan. Kegiatan yang nampak hanya sedang saja, dan ia berharap hal itu cukup untuk menyembunyikan gerakan mereka.
Ia menjumpai petugas yang bertanggung jawab atas geladak, dan di saku pakaiannya tertera nama: Sandra Carlson.
"Kami mendapat perintah dari tuan Luna; untuk membawa para tawanan ini kembali ke benteng, nona," kata Tom. "Kutu besar itu sakit dan robot itu juga perlu distrum lagi."
Ia berusaha keras agar nampak seperti bosan akan tugas rutin. Tetapi ia tak dapat menahan diri untuk melirik ke arah Exedra!
Pesawat itu nampaknya tak pernah disentuh orang. Tetapi hal itu tak dapat dipastikan. Ia akan memeriksanya dengan teliti bila ia berhasil masuk ke dalamnya. Tetapi, sekilas melihat wajah Carlson yang angker, Tom tahu bahwa sulit untuk dapat masuk ke dalam.
Nona Carlson melepaskan sebuah alat komunikasi dari sabuknya, lalu mencari hubungan dengan pusat komunikasi di benteng.
"Siapa namamu?" Dan berapa nomor indukmu?" ia bertanya dengan curiga.
Tom mulai berkeringat di bawah pandangan yang tajam dari nona keamanan itu. Secara "naluriah" ia berpaling ke "teman pengawal" di sampingnya untuk minta bantuan.
Wajah Kate One Star tersembunyi di bawah topi perangnya. Ia memisahkan diri dari teman-temannya. Sambil menarik perhatian ia menggumam dan menyodok Mok N'Ghai dengan senjatanya agar melangkah ke depan.
"Siapa?" tanya Carlson tak sabar, tak menghiraukan ulah Kate yang mencoba mengalihkan perhatian.
"Barangkali orang lupa memberitahu anda," kata Tom. "Kami baru saja kembali dari darat, dan"." Ia tahu, nona itu tentu akan menangkapnya bila ia berdusta.
Tiba-tiba saja Aristotle mengayun-ayunkan lengannya sambil bersuara mendesing seperti mesin. "Ini tak diperhitungkan!" robot itu mengomel.
Tom sangat terkejut, seperti juga halnya si pengawal. Tetapi ia segera menjadi tenang. Tentu robot itu mempunyai alasan berbuat demikian! Itulah yang ingin diketahui oleh Tom.
Aristotle mulai berjalan. Langkah-langkahnya yang kaku menuju ke nona pengawal.
"Tolong!" pengawal itu berteriak.
Ia menarik senjatanya, tetapi tak berani menembak. Sebaliknya, ia mundur menjauhi manusia mesin yang lepas kendali itu.
Tanpa peringatan atau tujuan, Aristotle berpaling ke rombongan pekerja. Mereka seperti terpaku ketakutan. Salah seorang di antaranya tiba-tiba menjadi sadar lalu mengeluarkan senjatanya. Ia menembak robot itu, dan seberkas tenaga yang kuat mental berbias pada tubuh Aristotle, berbalik mengenai dinding. Tempat yang terkena itu merah memijar lalu menjadi hitam bagaikan arang setelah dingin kembali.
"He! Berhenti menembak!" teriak Carlson. "Bisa-bisa engkau membocorkan tekanan udara di geladak ini!"
"Perkenankan kami lewat," kata Tom. "kita dapat membereskan administrasinya kelak. Yang terpenting kita harus menyetrum untuk memberi tenaga baru pada robot itu."
Aristotle memungut peti besar tempat perkakas, lalu menuangkan isinya ke geladak. Kemudian peti kosong itu dilemparkan kepada petugas perawatan yang mencoba melarikan diri.
Tom melihat peti itu jatuh ke lantai sebelum mencapai sasaran. Robot itu memang berbuat begitu dengan sengaja.
"Berbuatlah sesuatu!" teriak pengawal itu, ketika robot itu melangkah menuju ke pesawat-pesawat barang sambil berseru berulang-ulang: "Aku harus memenuhi programku! Aku harus memenuhi programku ...."
"Aku tak tahu," kata Tom seperti ragu-ragu. "Ia tak terkendalikan sekarang. Biarlah aku yang mengurusnya untuk sementara waktu ini."
"Masukkan dia ke pesawat!" teriak Carlson, "Sebelum ia memporak-porandakan geladak ini!"
Aristotle seperti tak mendengar kata-kata itu, tetapi Tom melihat, ia berganti arah pengrusakannya. Kini ia melangkah menuju ke Exedra!
Anita mendapatkan pintu luar terlebih dulu lalu memutar kuncinya. Ben, Kate dan Mok N'Ghai menyusul. Pengawas itu memicingkan mata sambil berpikir. Tom mengikuti arah pandangannya, dan melihat seberkas rambut merah tersembul di bawah topi Anita.
Sebelum Tom dapat memikirkan suatu keterangan, perhatiannya teralih oleh suara lift utama. Pintu lift itu terbuka dan Pengawas Kepala Parkinson melangkah keluar. "Apa yang terjadi di sini?" serunya.
Tom dengan cepat berjalan ke Exedra, tak menghiraukan pertanyaan itu.
"Tunggu dulu!" teriak Parkinson sambil lari mendekati. "Engkau Tom Swift!"
Tom mulai berlari. "Engkau tak akan dapat keluar dari sini! Engkau terjebak!" teriak pengawas itu.
Tom sampai di pintu Exedra, lalu masuk di belakang Aristotle yang berusaha keras untuk berjalan cepat. "Terimakasih atas 'kerusakan' pada sirkuit logikamu, hingga engkau berhasil menimbulkan kekacauan!" kata Tom terengah-engah. "Justru ini yang kita butuhkan!"
"Memang bukan kerusakan. Lebih tepat perbaikan dari cara penyusunan kodemu," jawab robot itu. "Hal itu menyebabkan aku dapat mengubah keputusan-keputusan logis menjadi tidak logis!"
Tom mengunci pintu dan menepuk-nepuk manusia mesin itu pada dadanya. "Aku membutuhkan engkau di anjungan," katanya.
"Kita mungkin masih memerlukan logikamu yang tidak logis itu untuk dapat keluar dari sini!"
Kate dan Ben mengamati kekalutan di geladak hanggar dari jendela. Tom berlari ke anjungan lalu melompat duduk di kursi pengatur tenaga.
Pegawai-pegawai Luna menembak-nembak pesawat itu. Tom mendengar suara laser bergemeretak di dinding pesawat. Ia tak merasa khawatir, karena tahu bahwa semua senjata yang digunakan di dalam benteng tidak cukup kuat untuk merusakkan Exedra.
"Parkinson benar," kata Kate khawatir. "Kita tak dapat membuka pintu hanggar sendiri, dan orang-orang Luna tentu tak mau melakukannya!"
"Kita memang tak dapat membukanya dengan aman," kata Mok N'Ghai, sementara Anita membantu dia memasang sabuk pengaman.
Tiba-tiba Anita nampak sesak napasnya karena ketakutan. Tom menoleh untuk melihat apa yang terjadi.
Ia mengamati makhluk Skree dengan seksama dan melihat bercak-bercak seperti jamur yang tumbuh pada kulitnya! Mok N'Ghai dengan sadar mengangkat tangan ke wajahnya, dan Tom melihat jamur-jamur itu juga tumbuh pada jari-jari-nya!
"Inilah yang paling kutakutkan, akibat kelembaban di planet itu," kata Mok N'Ghai.
"Apakah ada obatnya?" tanya Anita.
Mok N'Ghai mengangkat bahu. "Penyakit ini cepat meluas ke seluruh tubuh. Kalau mencapai organ-organ yang vital, kematian segera menyusul."
"Kalau kita sudah keluar dari sini, aku akan ke laboratorium mencari obat," Tom berjanji.
Selama masa tawanan, ia merasa khawatir, jengkel dan marah kepada Luna. Tetapi belum pernah ia merasakan marah yang hebat seperti sekarang ini! Hidup Mok N'Ghai berada dalam bahaya karena ulah orang jahat itu. Itulah yang tak dapat dimaafkannya!
Tom mengeratkan sabuk pengaman, memeriksa kontrol-kontrol sebelum berangkat. Di belakangnya, semua mengikuti perbuatannya.
"Bagaimana rencanamu?" tanya Ben. Ia mengamati alis mata Tom yang hampir bertemu karena memusatkan perhatiannya. Ahli komputer itu selalu dapat menebak bila temannya sedang melakukan sesuatu yang penuh risiko. "Apa pun itu," ia menyambung, "kita semua seratus persen di belakangmu!" "Siap tempur di laser depan! Tunggu isyarat dari aku," Tom memerintahkan. Kemudian ia mengalihkan radionya untuk hubungan ke luar. "Perhatian bagi semua awak geladak!" katanya dengan sangat tenang. "Kalian mempunyai waktu empat menit tepat untuk mengosongkan geladak dan membuka pintu hanggar. Kalau tidak, kami akan menggunakan kekerasan!"
Reaksi para awak sangat cepat! Mereka mundur sangat cepat karena takut, kemudian berlari menuju ke lift.
Parkinson mulai berteriak-teriak kepada para awak. Tom dan teman-temannya tak dapat mendengar apa yang dikatakannya, tetapi mereka melihat para awak tak menghiraukannya. Dengan marah pengawas kepala itu berpaling ke pesawat dan mengacung-acungkan tinjunya. Kemudian ia pergi ke elevator.
Tigapuluh detik telah lewat. Satu menit. Pintu hanggar tidak juga dibuka.
"Teruskanlah, Swift!" Parkinson berteriak melalui radio. "Cobalah ke luar dengan menembak! Itu akan menghabiskan nyawamu sekalian. Geladak hanggar ini diberi tekanan udara. Sekali engkau membuat lubang sekecil apa pun, engkau bersama pesawatmu akan tersedot ke dalam ruang angkasa dalam keadaan berkeping-keping!"
Chapter 11 "Apakah kita dapat selamat melewati keadaan tanpa tekanan udara?" tanya Kate.
"Tentu, kalau kita dapat membuat lubang yang cukup besar," jawab Tom. "Memang, kerusakan pasti ada. Baik kita maupun benteng. Aku sungguh heran mengapa kebencian Parkinson sedemikian mendalam!"
"Kalau kita menyerah, kita juga akan mati," kata Ben. "Aku memilih pendapatmu, Tom. Exedra tentu akan berhasil menembus!"
"Mulailah menembak jarak dekat. Setel penyebaran yang paling lebar," Tom memerintah.
Seberkas cahaya putih kebiruan yang sangat menyilaukan, menerpa pintu-pintu hanggar. Ben melebarkannya lagi. Berkas itu menjadi berkurang kekuatannya, tetapi mengenai bidang yang lebih luas dari tubuh pesawat mereka. Tetapi waktu yang digunakan untuk melumerkan pintu hanggar juga menjadi lebih lama, namun lubang yang besar itu akan mengurangi kerusakan pada Exedra.
"Hati-hati! Jaga jangan sampai panas di titik pusat terlalu tinggi," Tom memperingatkan. "Logam itu harus lumer dengan rata."
Pintu itu berpijar merah-oranye, kemudian menjadi kuning. Tetesan-tetesan logam cair mulai berjatuhan di geladak.
"Stop!" seru Kate tiba-tiba. Ia menunjuk ke monitor komputer geladak. Tulisan: GELADAK BERTEKANAN telah lenyap di layar, berganti dengan: BAHAYA! TEKANAN BERKURANG!
"Tak kukira, kalian dapat berhasil," Parkinson menggeram di radio. "Kalian memang menang di sini. Aku tak mau ambil risiko atas benteng ini untuk menangkap kalian. Tetapi lain kali akan kutangkap kalian!"
Entah dari mana, jauh di bawah geladak, Tom dan teman-temannya merasakan getaran kuat disertai suara dentang pintu-pintu katup yang dibuka secara hidrolis.
TEKANAN NOL! terpampang di layar monitor, dan pintu-pintu terbuka.
Tom menghidupkan jet-jet pengendali, dan dengan pandainya membawa pesawat itu ke ruang angkasa. Mesin utama lalu dihidupkan. Pada layar utama pesawat, benteng itu mengecil dengan cepat sementara Tom menggunakan tenaga maksimum dari Exedra.
"Lebih baik engkau segera berangkat menjemput majikanmu," kata Tom dengan radio pada Parkinson.
Tetapi tak ada jawaban dari benteng.
*** Setelah mereka sampai pada jarak yang aman dari benteng, semua lalu pergi ke laboratorium mencari obat bagi Mok N'Ghai.
Mereka berkerumun di belakang Ben, yang telah melakukan beberapa percobaan metabolik terhadap panglima Skree, dan memandangi layar monitor komputer, yang secara berturut-turut mengeluarkan tulisan-tulisan dan grafik-grafik.
"Yang mirip jamur itu adalah sejenis kudis," kata Ben. "Sesuatu yang sejenis butir-butir darah putih manusia."
Anita menyambung: "Butir-butir darah putih bertindak sebagai polisi, bukan" Begitu ada gejala penyakit di dalam tubuh, mereka segera ke luar."
"He-eh. Yang mirip jamur itu adalah cara tubuh Mok N'Ghai untuk menahan apa saja yang menyerang dia." Ben menyeringai malu dan melirik dengan perasaan bersalah ke makhluk Skree itu. Mok N'Ghai hanya melambaikan tangannya, tanda tak merasa tersinggung.
"Menyesal sekali, tak ada waktu untuk melakukan penyelidikan secara konvensional," Tom minta maaf.
"Aku mengerti, Tom. Engkaulah kapten di sini. Aku akan selalu patuh atas perintah-perintahmu!"
Tom mengedip-ngedipkan matanya. Kapten Swift" Memang, ia yang memegang pimpinan. Tetapi bagi dia, seorang kapten seharusnya seseorang yang lebih tua!
"Kita telah melakukan percobaan alergi bagi Mok N'Ghai," kata Kate. "Apakah masih ada yang terlewat?"
"Mungkin," jawab Tom. "Anatomi tubuh makhluk asing belum kita kenal. Apa yang dapat kita lakukan hanyalah prosedur-prosedur menurut standar. Tetapi kukira kita dapat memecahkan masalah ini pada tingkat elektronik."
Mata Ben bersinar. "Ingat cara-cara ionisasi kuno?" tanya Tom kepadanya.
"Tentu. Partikel-partikel udara diberi muatan negatif, segala debu dan kotoran disingkirkan. Banyak orang percaya, bahwa hal itu dapat menyebabkan rasa nyaman."
"Mari, kita coba melakukan itu," usul Tom.
"Engkau hendak memasukkan Mok N'Ghai dalam kamar steril?" tanya Kate. "Itu membuat dia seperti tawanan! Hidup, mungkin, tetapi tetap saja seperti tawanan!"
"Bukan, bukan begitu," kata Tom untuk meyakinkan. "Begini yang kupikirkan. Aristotle!"
"Ya, Tom," jawabnya segera.
"Engkau dapat membantu kami. Lakukanlah kerjasama dengan komputer pesawat. Itu akan mempercepat segalanya, karena tak perlu lagi menterjemahkan segala tetek-bengek ke dalam bahasa komputer!"
"Baik, Tom." "Nah, beginilah pikiranku," kata Tom. Semuanya berkerumun mengelilingi dia sambil mendekatkan kepala mereka.
*** "Bagaimana rasanya?" tanya Tom.
Rahang Mok N'Ghai terbuka, lalu menutup lagi. "Luar biasa," katanya. "Sedikit hambar, tetapi luar biasa." Seraknya telah mulai hilang.
"Berhasil!" seru Anita meriah, sementara mereka memandangi kotak kecil hitam yang tergantung pada sabuk Mok N'Ghai.
"Ya, tetapi bagaimana cara kerjanya?" tanya Kate.
"Coba, kulihat apakah betul," kata Anita. Si cantik itu telah menyambungkan komputer pribadinya dengan komputer Exedra dan ikut dalam proses yang penuh daya cipta itu. "Tom telah mengionisasikan udara di sekeliling Mok N'Ghai. Ia telah menyehatkan udara itu, karena itu terasa hambar bagi Mok N'Ghai. Tak ada apa pun yang masuk ke paru-paru Mok N'Ghai, kecuali udara. Partikel-partikel yang melayang di udara, yang menimbulkan reaksi alergi kepadanya telah diberi muatan negatif. Bukan hanya debu, tetapi segalanya. Semua spora-spora, semua yang bersifat organik."
"Ia akan kurang gizi!" seru Kate.
"Tidak." Tom tertawa. "Itu hanya mengenai bahan-bahan yang melayang di udara: serbuk sari, debu, spora-spora dan semacamnya. Ingat kalau engkau mendekatkan dua magnit dengan kutub kutub sejenis?"
Kate mengangguk. "Mok N'Ghai adalah positif; semua bahan-bahan tadi telah dibuat negatif. Engkau dapat mendorong bahan organik mendekat, tetapi tak suatu pun yang akan melayang mendekat," Tom menjelaskan.
"Engkau telah menyelamatkan jiwaku, Tom," kata Mok N'Ghai.
"Aku tak akan melupakannya. Tata-kesopanan prajurit Skree tak memperbolehkan aku melupakannya!" sambungnya dengan suara yang aneh di tenggorokannya.
"Lupakanlah," kata Tom yang merah wajahnya. "Hanya suatu sulapan dengan kotak hitam. Hanya itu. Tetapi, itu memberikan jalan bagiku untuk mengembangkan penemuan lain. Aku selalu berpikir-pikir: bagaimana caranya menghadapi rasa mual yang menyertai peristiwa melompat ke angkasa luar. Kukira, kini aku telah dapat memecahkannya!"
Ahli penemu itu pergi ke meja kerja elektroniknya, lalu memungut sehelai plastik khusus yang berlapis-lapis. Beberapa bagian lapisan atas disingkirkan, menampakkan lapisan bawahnya. Polanya seperti suatu jaringan. "Inilah kedok " atau modelnya " untuk suatu sirkuit khusus yang akan kuhubungkan dengan komputer stardrive." Ia berpikir sejenak sebelum melanjutkan. "Ini akan diperkecil secara fotografis menjadi sebesar makroskopik, kemudian dicetak pada silikon. Jadi seperti keping-keping lainnya. Tetapi yang ini adalah istimewa. Bila sirkuit stardrive dihidupkan, ia akan mencegatnya dan membalikkan polaritas dari seluruh peralatan di dalam Exedra."
Melihat mereka memandang tak mengerti, Tom menjelaskan: "Ia akan menciptakan kantong ruang normal sementara waktu di dalam pesawat!"
"Aku segera memotretnya!" seru Ben penuh gairah. "Keping itu segera selesai!"
"Penemuan-penemuanmu sungguh luar biasa," kata Mok N'Ghai kagum. "Dengan alat ionisasimu, engkau telah memberikan kepada bangsaku sebuah paspor! Tidak saja ke duniamu, tetapi juga ke dunia-dunia yang lain. Dan kini engkau telah memecahkan masalah yang selalu ditimbulkan pada perjalanan ke ruang angkasa luar. Aku sungguh merasa bangga menjadi teman dan juga teman seperjuanganmu!"
Wajah Tom memerah lagi. "Tunggu dulu!" kata Aristotle memotong pembicaraan mereka.
Ia masih saja tetap menghubungkan diri dengan komputer pesawat.
"Benteng angkasa sedang mendapat serangan, Tom. Banyak pula pesawat-pesawat yang sedang menuju ke Belle Genevieve!"
Chapter 12 "Siapa yang mau menyerang"." Tom baru saja hendak bertanya kepada Aristotle, tetapi seketika itu juga ia telah menjadi tahu.
"Bangsa Sansoth," kata Mok N'Ghai seperti menyuarakan pikiran Tom. "Aku sudah merasa takut ketika menemukan pecahan-pecahan yang aneh di Belle Genevieve. Kukira, itu adalah pecahan-pecahan kulit telur Sansoth. Planet itu sekarang menjadi bagian dari kerajaan mereka, juga salah satu tempat untuk menetaskan telur-telur mereka."
"Telur?" tanya Anita. "Maksudmu, begitukah cara mereka".eh".beranak?"
"Apakah bangsamu tidak berbiak dengan cara demikian?" tanya Mok N'Ghai, rahangnya berdetak-detak keheranan.
"Tidak persis begitu," kata Anita. "Kukira, kita harus banyak belajar dari masing-masing pihak."
"Kalau Luna dan orang-orangnya masih ada di sana, mereka tentu tak berdaya menghadapi bangsa Sansoth!" seru Tom. "Kita harus kembali dan menyelamatkan mereka!"
"Untuk apa?" tanya Kate One Star. "David Luna adalah musuh kita yang paling jahat! Kubilang: lenyapkanlah dia! Itulah yang paling pantas untuk dia!"
"Jangan begitu," kata Tom. "Ketika kita melarikan diri dari planet itu, Luna dan beberapa orang yang tidak berdosa terdampar di sana. Tetapi dengan janji, bahwa mereka akan dijemput dan dikembalikan ke Bumi. Aku sendiri yang membuat perlengkapan pengawasan tak bekerja, dengan maksud agar kita jangan dikejar." Ia menghela napas. "Itulah yang menjadikan benteng itu terbuka bagi serangan Sansoth!"
"Tom ..." Ben hendak menyela, tetapi Tom memotongnya. "Kalau aku lalu merasa puas dengan pembalasan cara begini, " atau pembalasan yang bagaimana pun juga, " maka aku sama jahatnya dengan si Luna! Di samping itu, aku tak bermusuhan dengan orang-orangnya. Demikian pula mereka terhadap aku. Kalau Luna mendapatkan apa yang menjadi bagiannya, itu karena ketololan atau kekejiannya sendiri. Bukan karena derajatku merosot sedemikian rendah. Betapa pun risikonya, kita harus kembali!"
Suatu cahaya putih menyala terang memenuhi layar utama Exedra. Tom memejamkan matanya, tetapi bintik-bintik warna pelangi masih saja melayang-layang di dalam matanya.
"Sebuah pesawat tempur hancur lagi," kata Aristotle. "Tanpa meninggalkan puing-puing!" Tom membuka matanya. Di depan mereka, angkasa memang nampak kosong di sekitar Belle Genevieve. Tom dan teman-temannya memandangi tak berdaya sementara armada dari benteng angkasa mencoba melawan armada Sansoth yang menyerang. Armada tempur itu bukan tandingan bagi kapal-kapal penjelajah ruang angkasa, sedangkan mereka juga harus melindungi benteng. Satu demi satu armada itu dihabisi oleh serangan Sansoth.
"Mereka mempunyai sinar pengurai!" seru Ben.
"Berikan saja aba-aba, dan Kate serta aku akan mulai menembak!" seru Anita dalam interkom.
"Jangan!" kata Tom. "Mereka tentu akan mengarahkan sinar pengurainya kepada kita, dan kita tak mendapat kesempatan untuk berbicara dengan mereka."
"Mereka juga belum membalas sinyal kita," Aristotle melapor. "Kukira mereka tidak ingin diajak berunding!"
"Perkenankanlah aku mencobanya," kata Mok N'Ghai. "Aku ragu-ragu untuk mengganggu, karena engkaulah kapten di pesawat ini. Tetapi mungkin mereka mau mendengarkan aku."
Tom setuju, lalu berpaling kepada robotnya. "Aristotle, lebih baik kausiapkan komputer pertempuran sekarang juga. Kita tak boleh lengah," katanya. Aristotle mengangguk, dan tiba-tiba pesawat itu menikung tajam sambil menambah kecepatan. Seberkas sinar pengurai lewat tak membahayakan di bawah mereka.
"Nah inilah salah satu pikiranmu yang terbaik untuk hari ini," kata Ben acuh tak acuh.
"Sungguh mengecewakan, ditembaki tanpa dapat mempertahankan diri," Kate menggerutu.
Mok N'Ghai berbicara pada mikrofon dalam bahasa yang tak dikenal oleh Tom. Diperlukan beberapa waktu untuk menyesuaikan penterjemahannya pada alat TTU.
"Engkau berbicara dalam bahasa Sansoth?" ia bertanya.
"Bukan. Ini bahasa Unispeech, perpaduan antara beberapa bahasa di belahan rasi bintang ini. Bahasa ini diakui sebagai bahasa diplomasi," jawab wakil bangsa Skree itu.
"Kami tak perlu berbicara dengan kalian, kaum penghancur sarang!" terdengar suara mendesis di radio. "Menyerahlah, pembunuh anak-anak! Kami akan memaafkan!"
Tom memandangi Mok N'Ghai dengan penuh pertanyaan.
"Bangsa Sansoth memang berdarah panas, dan cenderung untuk melebih-lebihkan sesuatu yang mengancam telur-telur mereka," Mok N'Ghai menjelaskan. Ia berbicara lagi di mikrofon. "Saya panglima Skree dan berbicara atas nama bangsa manusia. Kalau sarang kalian dirusak, itu tidak dengan sengaja. Hentikan serangan itu!"
"Apakah bangsa Skree telah menjadi pembunuh anak yang baru menetas" Dan siapa manusia-manusia itu?" jawab di radio.
Tiba-tiba Exedra bertambah kecepatannya, melemparkan Tom dan teman-temannya ke kursi mereka.
"Tembakan itu hampir mengenai ekor kita," Anita melapor.
"Apakah bangsa Sansoth telah menjadi biadab" Menembak sambil melakukan perundingan?" tanya Mok N'Ghai terus terang.
"Bangsa Sansoth tak mau berunding dengan kaum penyerbu dan segala momok!"
"Bangsa manusia bukan bangsa penyerbu dan momok. Ada kesalahpahaman. Kalau bangsa Sansoth telah menjadi tak tahu aturan, membantai tanpa alasan segala yang melintas di wilayahnya, kejadian ini akan menimbulkan konsekuensi besar di antara bangsa-bangsa beradab di rasi bintang ini!"
Tom tahu, bahwa Mok N'Ghai sedang marah sekali.
"Saya adalah utusan khusus untuk misi damai ke Bumi, dan saya berbicara bagi planet saya Kosanth dan seluruh bangsa Skree! Bangsa manusia adalah sekutu kami. Kalau kalian mengancam mereka, kalian harus mempertanggungjawabkan terhadap kami."
Menyusul keheningan yang sangat menyolok. Akhirnya bangsa Sansoth setuju. "Kami tak ingin menghina bangsa Skree yang telah sering datang di meja perdamaian bersama kami."
"Aku tahu, bahwa mereka terpaksa setuju," bisik Mok N'Ghai dalam bahasa Inggris yang kaku. "Kapal-kapal mereka tak mungkin terbang tanpa sukucadang tertentu buatan Skree. Lagi pula, bangsa-bangsa lain di rasi bintang ini tak akan mau berdagang dengan mereka bila bangsa Skree tak mau pula."
"Bagaimana?" tanya makhluk Sansoth itu.
"Saya baru berunding dengan bangsa manusia," jawab makhluk Skree itu dalam bahasa Uni-speech. "Mereka menghendaki, agar kalian mengizinkan mereka mendarat di planet itu tanpa diganggu, hingga mereka dapat menyaksikan sendiri keadaan di sana. Kalau memang ada bangsa manusia yang menghancurkan telur-telur kalian, mereka akan membayar kerugian."
"Kalian boleh meneruskan," kata makhluk Sansoth itu.
Semua yang di pesawat menghela napas lega.
Beberapa saat kemudian, Exedra mendarat di Belle Genevieve, dan Tom mengajak teman-t-mannya turun dari pesawat. Mereka berhenti, terpukau oleh apa yang mereka lihat.
"Apa yang terjadi di sini?" seru Tom. "Di mana orang-orang itu?" Pemuda itu memandang tak percaya ke tempat perkemahan yang masih berdiri beberapa jam yang lalu. Kini yang nampak hanyalah penghancuran yang sulit dipercaya.
"Apakah bangsa Sansoth yang melakukan ini?" ia bertanya kepada Mok N'Ghai.
"Itu bukan cara mereka," jawab Mok N'Ghai.
"Tetapi kita akan segera dapat bertanya kepada mereka." Ia menunjuk ke arah belakang Exedra.
Sebuah pesawat yang besar sedang turun dari udara, berbentuk bulat dengan disain organik yang menyolok. Tom memandanginya, memperhatikan segala bagian-bagian bentuknya. Nampaknya terbuat dari logam.
"Sebuah jenis yang baru sama sekali," katanya heran.
Kapal itu mendarat, menjadi samar di antara tumbuhan rawa-rawa. Ketika untuk sesaat seperti tak terjadi apa-apa, Tom mulai melihat-lihat di sekitar perkemahan.
Ia berlutut untuk memungut sepotong plastik busa yang tergeletak di lumpur. Kubah utama dari perkemahan itu sudah hampir lengkap ketika mereka melarikan diri. Kini yng tinggal hanya sebagian dari pondasinya. Potongan-potongan besar dari atap yang keras tersebar di mana-mana. Peti-peti tempat bahan makanan telah terkoyak-koyak. Kopi, tepung protein, sayuran yang dikeringkan dan butiran-butiran kacang kedelai telah diinjak-injak ke dalam lumpur.
Pengangkutan mesin-mesin yang makan waktu lama oleh David Luna ke darat, telah dirusak dan tersobek-sobek bagaikan terbuat dari kertas. Beberapa bagian yang terbuat dari logam telah diinjak menjadi rata oleh suatu kekuatan yang mengerikan.
Wuuuushsh! Pintu hidrolis pesawat Sansoth terbuka. Beberapa detik kemudian beberapa anggota awaknya keluar.
Anita hampir saja tak dapat menahan tawanya. "Mereka seperti kadal mainan yang telah dikeringkan," bisiknya kepada Tom.
Tom memandangi kelima makhluk asing bersisik seperti tembaga yang kini mendatangi mereka. Kaki belakangnya nampak kuat-kuat. Ia kurang sependapat dengan Anita. Menurut dia, mereka lebih mirip dengan dinosaurus pemakan daging sebesar manusia. Rahang-rahang yang kuat, bergigi dua baris yang nampak tajam-tajam! Ia tak dapat mengatakan, apakah mereka sedang tersenyum atau sedang lapar. Hal ini membuat dia tidak tenang.
Pimpinan rombongan itu lalu berhenti, berlutut, memeriksa sebuah jejak di lumpur dengan jari-jarinya yang halus berkuku tajam.
"Torith," katanya kepada yang lain. Huruf "th"-nya diucapkan seperti mendesis. Yang lain mengangguk.
"Jejak itulah yang kukatakan kepadamu, ketika pertama kali kita mendarat di sini!" bisik Ben. "Jejak itu banyak sekali di daerah ini. Jadi hewan yang mempunyai jejak itu disebut Torith!"
Kelima makhluk asing itu langsung menghampiri Tom, sementara Kate dengan perlahan-lahan mendekat ke samping Tom dalam keadaan siap tempur. Satu tangan berada di dekat gagang pestol laser di pinggangnya.
Mok N'Ghai mendehem " begitulah suaranya " lalu maju ke depan. "Kami merasa sangat terhormat, bahwa kapten dari kapal Sansoth yang demikian perkasa sudi untuk datang berbicara dengan kami," katanya. "Suatu kehormatan bagi saya untuk memperkenalkan Tom Swift, kapten dari pesawat Exedra dari Bumi."
Tom maju beberapa langkah lalu mengacungkan tangannya.
Makhluk asing itu tak bergerak, hanya memandangi saja. Pemuda itu dengan perlahan-lahan menurunkan tangannya, merasa kikuk dan bingung.
Kapten makhluk Sansoth itu mengedipkan matanya perlahan-lahan. Gerakan kelopak matanya itu mengingatkan Tom akan seekor buaya yang sedang enak-enak berjemur. Seragam kapten itu agak lain dengan anggota rombongannya, kalau selempang tempat senjata itu boleh disebut seragam. Tom segera sadar akan dirinya. Ia yakin, bahwa kapten Sansoth itu melihat ke pakaiannya yang tidak dilengkapi dengan tanda pangkat.
"Saya kira, ini akan berjalan kurang baik," Tom menggumam kepada Mok N'Ghai.
"Sebaliknya," kata makhluk Skree itu. "Hanya karena rasa hormatnya, kapten tak menunjukkan sikap menurut isi hatinya. Kalau ia bergerak, berarti hendak membunuh kita semua!"
"Hebat," bisik Ben.
"Suatu tambahan bagiku untuk mempelajari adat istiadat asing," kata Aristotle.
Kapten Sansoth menoleh sedikit ke arah si robot. "Untuk maksud apa perkakas yang dapat berbicara itu?" ia bertanya lambat-lambat.
"Ia . . . Ia . . . " Tom mengernyitkan alis matanya memusatka
n pikirannya. Apakah robot itu dibuat untuk tujuan tertentu" "Ia adalah teman saya dan anggota yang penting dari awak Exedra, " kata Tom akhirnya.
Kelima makhluk Sansoth saling berpandangan, menurut tafsiran Tom wajah-wajah mereka menunjukkan keheranan. Kapten Sansoth memicingkan matanya. "Kalian bangsa manusia memang makhluk yang aneh. Mengaku mesin sebagai teman!" katanya. "Saya tak tahu di mana planet Bumi kalian, tetapi saya harap saja cukup jauh dari sini!"
Ben menggeram tak senang.
Tiba-tiba, suara mengerang kesakitan terdengar datang dari semak-semak di tepi perkemahan yang hancur itu. Suara itu seperti suara manusia.
Tanpa ragu-ragu lagi Tom berlari ke arah datangnya suara itu.
Ia menemukan Gunn si ahli disain. Orang itu terbaring di tanah, babak belur dan darah mengucur dari beberapa luka.
"Tenang," kata Tom. Dengan hati-hati ia membalikkannya, lalu menyangga kepalanya sehingga dapat duduk. "Engkau ada di antara teman-teman." Ahli teknik itu mendongak dan tersenyum lemah, sementara semuanya berkerumun mengelilingi, termasuk makhluk-makhluk Sansoth.
"Berapa la. . . lama aku ping-pingsan?" tanya Gunn. Kemudian, merasakan hangatnya matahari, ia melanjutkan: "Sudah beberapa jam, ya?"
Kapten Sansoth itu melangkah maju, sambil menunjuk ke perkemahan yang hancur. "Jelaskan, untuk apa anda tanpa izin memasuki daerah penetasan yang keramat bagi bangsa Sansoth ini?"
Gunn ternganga memandangi makhluk setengah reptil itu, dan Mok N'Ghai berdiri di sana dengan gelisah.
"Apa penjelasan anda melukai orang ini tanpa alasan?" balas Tom; ia memandangi kapten Sansoth itu dengan tegas.
Kapten itu mengedip-ngedipkan matanya keheranan. "Bukan kami yang melakukan itu!" ia menerangkan.
Tom segera ingat, makhluk Sansoth menggunakan senjata pengurai. Ia langsung mempercayainya.
"Di sini banyak jejak torith," kapten itu melanjutkah. "Beberapa di antaranya ada yang besar dan ada pula yang kecil. Menurut pendapat saya, manusia-manusia itu telah berjumpa dengan sekeluarga torith. Mereka sangat ganas, dan jumlahnya banyak di planet ini. Mereka juga menimbulkan banyak kesedihan bagi kami."
"Apa pun mereka itu, kami berjuang mati-matian sebelum mengetahui apa yang menimpa kami!" kata Gunn. "Mereka itu besar-besar, mirip katak yang licin dengan cakar yang mengerikan. Kami tak dapat berbuat lain kecuali melarikan diri!"
"Apakah semuanya berhasil melarikan diri?" tanya Tom cepat.
"Banyak yang dapat," jawab ahli teknik itu. "Beberapa dari kami tinggal di belakang untuk bertempur, tetapi sia-sia. Makhluk-makhluk itu tak takut menghadapi apa pun. Yang kuingat hanyalah, salah satu makhluk itu memegangi aku dengan cakar-cakarnya. Aduh, baunya!" sambungnya.
Salah satu Sansoth berkata untuk pertama kali. "Manusia ini masuk tanpa izin," katanya kepada kaptennya. "Apa perintah kapten?"
"Anda tahu, di sini tak ada rambu-rambu yang menyatakan: Milik Sansoth, dilarang masuk!" kata Anita. "Bagaimana orang tahu, bahwa planet ini adalah tempat penetasan kalian?"
"Bangsa Skree seharusnya tahu," gertak kapten itu.
"Saya akan tahu kalau kalian mencatatkan pemilikan planet ini pada Dewan Dunia-Dunia," Mok N'Ghai menyatakan. "Saya usul, agar anda menghentikan serangan terhadap benteng angkasa, sebelum mereka melampaui batas wewenang anda, dan membahayakan pemilikan anda atas planet ini."
"Pendaftaran itu dapat ditunda," kapten itu menggumam. Tanpa kata-kata lagi kelima makhluk setengah reptil itu pergi ke pesawat mereka.
Tom memandangi Mok N'Ghai dengan kagum. Makhluk Skree itu telah benar-benar berhasil menekan bangsa Sansoth, serta menyelamatkan jiwa mereka.
"Bagaimana dengan tuan Luna dan yang lain-lain?" tanya Gunn khawatir. "Kita harus mencari mereka."
Chapter 13
Benteng Astral Tom Swift 5 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Satu jam kemudian, Tom merasa seperti telah menjelajahi rawa-rawa itu selama berhari-hari. Rimbunan rumput di depannya nampak sangat kokoh, tetapi jika diinjak kakinya terbenam di dalam lumpur sampai ke mata kaki. Sesuatu yang abu-abu kehijauan menggeleser masuk ke air. Tom memandangi rumpun rumput berikutnya dengan hati-hati, melangkahinya, lalu melompat ke tempat yang agak kering.
Waktu menoleh ke belakang, ia melihat Ben mengikutinya melompat dari tanah berumput melewati air yang hijau kehitaman. Berjalan di belakang Ben adalah Kaneth, si kapten Sansoth.
Setelah berunding di pesawatnya, ia bersama beberapa awaknya menawarkan diri untuk ikut mencari bangsa manusia.
Ia berjalan dengan mudah melintasi rawa-rawa yang berbahaya dan memperdaya itu, menimbulkan rasa iri bagi para manusia. Mereka seperti sedang jalan-jalan, sebagaimana Tom sedang melancong di jalan-jalan besar di Bumi.
Ben, yang mulai terengah-engah menyusul Tom. Mereka melihat, bagaimana Kaneth menghindar dari pagutan seekor ular bermoncong merah, melangkahi gerumbul yang terakhir, mendahului kedua manusia itu seperti tak terjadi apa-apa. Kedua pemuda itu saling berpandangan, mengangkat bahu, lalu mengikuti makhluk asing tersebut.
"Aku sedang berpikir, bagaimana Kate dan Anita bergaul dengan makhluk-makhluk yang menemaninya itu," kata Ben. Ia memandangi segerombolan tikus yang berlarian di depan mereka.
Tom mengangkat bahu. "Mereka tak ingin berjalan bersama kita," katanya. "Mungkin mereka hendak membuktikan bahwa mereka tak tergantung dari kita."
"Engkau bergurau?" tanya Ben. "Kate dapat mengalahkan kita berdua. Anita juga mungkin. Bila kita telah kembali nanti, aku akan menyisihkan waktu untuk mempelajari jeet kune do agar tetap berimbang."
Kate One Star dan Anita Thorwald berjalan ke arah yang berlainan, sementara Mok N'Ghai tinggal bersama Aristotle untuk mengkoordinasikan komunikasi, dan mencoba menghubungi benteng angkasa secepat-cepatnya.
Tom dan Ben dapat menyusul kapten Sansoth itu di tepi suatu rawa yang lain. Permukaan rawa itu beriak-riak kecil karena adanya kehidupan kecil yang tak kelihatan di dalamnya.
Kapten Sansoth itu meneliti daerah itu. "Ke sana," katanya, menunjuk dengan tangannya yang bercakar.
Untuk sesaat perjalanan agak mudah, mengitari sepanjang tepi rawa. Kedua pemuda itu mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang dengan prajurit Sansoth tersebut.
"Mengapa kalian justru memilih tempat ini sebagai tempat penetasan?" tanya Tom. Ia terperanjat, melihat sebatang tongkat menggeleser menjadi seekor ular.
"Tradisi," kata makhluk Sansoth tersebut. Kedua matanya yang bulat, menonjol ke luar mengamati tubuh manusia yang lebih kecil itu dengan sikap meninggikan diri. "Kami adalah bangsa kuno yang bermartabat tinggi. Cara-cara kuno sukar dilepaskan."
"Cara-cara kuno apa?" Tom melompat menghindari seekor laba-laba yang menggendong bungkusan telur-telurnya sebesar bola kaki. Laba-laba itu sedang memeriksa sarangnya yang rusak diterjang prajurit Sansoth tersebut.
Mula-mula Tom mengira, bahwa kapten Kaneth tak akan menjawab, tetapi akhirnya berkata juga: "Hanya yang terkuat sajalah yang dapat mempertahankan hidupnya. Itulah tradisi kami. Ada banyak sekali ujian-ujiannya, baik dari alam maupun dari kami sendiri yang harus dihadapi."
Mereka menyeberangi sungai kecil yang memuntahkan airnya ke dalam sebuah danau. "Tempat tinggal kami, dulu sangat hebat," sambung makhluk Sansoth itu.
"Dulu?" tanya Ben.
Kaneth mendesis, yang ditafsirkan Tom sebagai mengeluh.
"Sansoth sudah dijinakkan. Hanya di dunia luar, dunia baru yang pada waktu ini masih terdapat keadaan yang semestinya." Ia berhenti sejenak, mendongak mengawasi serombongan burung yang bersayap panjang. "Bangsa Torith adalah pemakan telur," katanya. "Tetapi mereka merupakan sebagian dari pola kehidupan kami. Yaitu untuk menguji keturunan kami. Karena itulah, kami tak dapat membunuh mereka."
"Tetapi telur kan tak dapat mempertahankan diri?" kata Ben.
Kaneth tak menghiraukan. "Sebaliknya, kami justru membunuh serigala yang kami sebut Torocka. Mereka justru merupakan ujian yang besar, sebab mereka membunuh Torith." Ia nampak puas, membayangkan bagaimana membunuh serigala.
"Tetapi itu menyebabkan lebih banyak lagi Torith yang menghabisi telur-telur kalian!" kata Ben. Ia memandang ke Tom.
"Sama seperti di Bumi pada zaman dulu. Orang mengadakan pembantaian terhadap serigala, sebab mereka mengira serigala itu berbahaya bagi manusia, lagipula banyak memakan rusa. Tetapi mereka tak menyadari, bahwa sesungguhnya serigala tak pernah menyerang manusia. Dan rusa yang mereka terkam hanyalah rusa tua atau sakit. Jadi mereka justru meninggalkan kawanan rusa yang paling baik!"
Kaneth menatap mereka. "Apa yang anda katakan" Jangan membunuh torocka" Kalian manusia! Makhluk tolol dan lemah!"
Dengan mendengus ia melangkah melintasi tanah yang rendah, mencipratkan lumpur.
Tiba-tiba permukaan air yang penuh sampah bergelombang dan mendebur pecah berbusa hijau. Sesuatu yang bersisik dan besar sekali muncul, berlumur lumpur dan akar-akar tumbuhan air. Ia mengibaskan diri seperti anjing yang kebasahan, mencipratkan air yang hitam dan gumpalan-gumpalan lumpur yang berbau ke segala jurusan.
Ia mengaum, suatu hentakan suara gemuruh yang mengejutkan dan menakuti kedua manusia. Apa yang Tom lihat hanya deretan-deretan gigi yang mengkilat, mulut yang merah basah, sisik dan cakar pada kaki-kakinya. Bentuknya seperti buaya yang berinduk seekor beruang. Dan makhluk itu menginginkan Tom sebagai santapannya!
Ben melangkah mundur, terserimpat sesuatu lalu jatuh berkecipak. Tom membalikkan tubuhnya untuk menolong, tetapi merasakan sambaran angin dari pukulan yang tak kena.
Auman kedua terdengar. Tetapi kali ini datangnya dari Kaneth.
Prajurit setengah reptil itu berdiri pada sebuah tonggak pohon sambil menarik sesuatu dari sabuknya. Cakar-cakarnya yang kuat membuka sebuah tabung. Terdengar logam mendenting, dan pada ujung tabung keluarlah mata kapak yang lengkung. Makhluk Sansoth itu meringis, gigi-giginya nampak berkilau. Sementara itu tangannya mengutik-ngutik gagang kapak, dan muncullah mata kapak yang lain. Kini Kaneth memegangi sebuah kapak bermata dua!
Ia menyerbu binatang rawa itu, gigi-giginya telanjang menantang, dan kapaknya berayun berkilau di sinar matahari.
Binatang rawa itu mengayunkan cakarnya, tetapi meleset.
Kaneth berpegang erat pada sisik-sisik yang dua kali lebih besar dari sisiknya sendiri. Kapaknya membenam dalam di tubuh yang berperisai kuat itu.
Binatang rawa itu mengaum dan melemparkan tubuhnya ke belakang, menyeret serta Kaneth.
Gelombang air busuk mengguyur tubuh Tom, melemparkannya ke dalam rawa di samping Ben. Kedua manusia itu melompat bangun, membuang serangga yang mirip lintah dari tubuhnya. Mereka memandangi pertempuran itu tanpa berkedip.
"Apakah itu tor- torocka?" tanya Ben dengan gugup.
Tom tak menjawab, terpukau. Ia melihat binatang rawa itu menggelepar di air. Cakar dan kapak berkilau-kilau di sinar matahari.
Binatang rawa itu mengaum dan Kaneth balas mengaum.
Pestol laser Tom ada di tangannya, tetapi ia tak berani menembak. Tak mungkin dapat melihat jelas dalam kekalutan itu.
Binatang rawa itu meraung, menghentak-hentak dan memilin-milin melepaskan diri. Ia bangun dengan cepat, memuncratkan gumpalan-gumpalan lumpur. Kaneth jatuh terkulai dan menghilang ke dalam air payau. Binatang rawa itu berbalik ke arah kedua manusia, rahangnya terbuka dan menutup. Darah bertetesan di antara lumuran lumpur. Tom mengangkat lasernya untuk menembak. Tetapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, binatang itu terhuyung-huyung. Kemudian, bagaikan tiang pancang yang putus-putus talinya, ia jatuh terlentang di air dengan benturan keras.
Untuk sesaat, baik Tom mau pun Ben tak bergerak. Sebuah tangan bercakar dari binatang itu membuka dan menutup lagi.
Kemudian ia diam, mati. Tom tersadar dari keterpukauannya.
"Kaneth! seru Tom, sambil berjalan di air. Mereka mendapatkan makhluk Sansoth yang tegap besar itu, di bawah permukaan air yang dangkal. Tetapi menyeretnya keluar dari lumpur yang lengket tidaklah mudah. Mereka bekerja keras untuk dapat menariknya ke rumput di darat.
"Masih hidup," kata Ben.
"Panggillah bantuan," Tom mendesak. Ia mencoba untuk menutup luka-luka prajurit Sansoth itu.
"Bantuan sedang datang," kata Ben setelah memanggil melalui alat komunikasi mininya. Empu jari kakinya menyentuh sesuatu yang keras di dalam air, dan ia melompat. Setelah ternyata tak ada apa-apa, tangannya merogoh-rogoh ke dalam air, lalu mengeluarkan kapak perang Kaneth.
"Luar biasa!" katanya sambil mengamati senjata itu. "Primitif, tetapi sangat berguna. Lihat, Tom. Gagangnya berbentuk teleskop, dan pegangannya serasi benar dengan tangan. Bagian tajamnya terdiri atas kepingan-kepingan seperti kipas dan saling mengunci." "Nampaknya makhluk-makhluk Sansoth itu sudah bersiap-sedia," Tom mengamati. Dari sudut matanya ia melihat suatu gerakan.
"Ben," ia menggumam, "kukira kita diawasi.
Dari pohon-pohon di sana itu, di sebelah kiri."
"Betul," kata Ben diam-diam. Ia berpura-pura bermain-main dengan kapak, sebentar-sebentar ia memutar tubuhnya sambil mengayun-ayunkan kapak. "Aku tahu," katanya tersenyum. "Kukira mereka adalah teman-teman kita yang hilang. Setidak-tidaknya, mereka seperti manusia."
"Jangan menakut-nakuti mereka," Tom memperingatkan. Ia menuju ke tempat yang tertinggi di pulau mini itu, lalu berseru keras: "Jangan takut! Kami akan menolong kalian! Kami datang untuk menjemput kalian pulang ke Bumi."
Tetapi jawabannya ialah batu-batu yang beterbangan, hampir saja mengenai kepalanya.
"Jangan! Tunggu!" teriak Tom. Tetapi malah lebih banyak lagi batu yang beterbangan.
"Pergi engkau, Swift!" terdengar suara. "Engkaulah yang membuat kami begini!"
"Itu suatu jebakan, Perk," terdengar suara lain dari hutan itu.
"Pergi dari sini, Swift!"
"Tidak. Dengarlah!" Tom memaksa. "Kami telah menguasai benteng. Tenaga David Luna telah buyar. Kami akan membawa kalian ke bumi ...."
Ben bangkit berdiri, tetapi cabang-cabang pohon dan batu memaksa dia bertiarap kembali. Ia meraba-raba sebuah bilur. "Sudah kukira,tongkat dan batu memang juga dapat menyakiti," ia mengeluh.
Tom berseru lagi. "Dengarlah! Saya akan membuktikan!" Ia mengacungkan senjatanya jauh ke depan lalu menjatuhkannya di rerumputan.
"Ben, berdirilah. Jatuhkanlah senjatamu,"katanya.
"Ya ampuuun!" kata Ben. Tetapi ia berdiri, melepaskan sabuk senjatanya lalu dijatuhkan di rerumputan.
Mereka menunggu. Kaneth menggumam dan bergerak, tetapi selain itu tak ada yang bergerak untuk sesaat.
"Tom," kata Ben. "Kalau Luna ada di sana bersama mereka" Orang itu sangat licik ...."
"Hee!" terdengar dari pepohonan.
"Yaa?" jawab Tom.
"Kami datang, tetapi kalian jangan memungut senjata-senjata itu."
Tom mengangguk. Ia bahkan mundur, menjauhi tempat diletakkannya senjata-senjata. "Bagaimana dengan Kaneth?" ia bertanya kepada Ben.
"Saya masih hidup, orang bumi," kata Kaneth dengan suaranya yang seperti guruh dari kejauhan. Lidahnya yang bercabang ke luar bagaikan kilat, menyambar seekor serangga kuning yang mampir di lengan bajunya. Lidah itu menggulung kembali, dan mata makhluk Sansoth itu setengah terpejam.
Tom mengawasi sekelompok kecil orang-orang yang keluar dari antara pepohonan, lalu menyeberang ke darat. Mata mereka nampak sayu dan penuh curiga. Dua di antaranya mengenakan baju laboratorium putih yang telah dekil koyak-koyak.
Seorang yang masih muda memungut senjata Tom dan seorang wanita lagi mencari-cari senjata Ben di rerumputan. Mereka tak mengacungkan senjata itu, tetapi tetap memeganginya.
"Aku Perkins," kata seorang yang jangkung berewok," mandor tuan Luna bagi pekerjaan di darat. Di mana dia?"
"Lho! Kalian tak tahu?" Tom mengernyit. "Kami juga sedang mencari dia."
Tom lalu menceritakan kepada mereka, segala apa yang telah terjadi. Meskipun mereka mendengarkan dengan sungguh-sungguh, tetapi mata mereka terpaku pada makhluk Sansoth. Makhluk itu sendiri balas memandang.
"Kalian sendiri" Apa yang terjadi dengan kalian?" tanya Tom.
Perkins mengangkat bahu. "Kami sedang bekerja. Tiba-tiba".makhluk-makhluk ini datang entah dari mana, dan merusak segala-galanya." Ia menunjuk ke arah rawa-rawa. "Kami bersembunyi di ... di sana sejak itu."
"Tom," kata Ben. "Orang-orang Sansoth yang lain datang kemari. Nampaknya mereka tak gembira."
Tom menoleh, melihat sembilan makhluk Sansoth. Mereka mendekati dia, dengan senjata siap di tangan.
Chapter 14 Pemimpin pasukan yang mendatangi itu, memberi isyarat.
Semua prajurit kecuali dua orang menyebar sejajar, senjata disiapkan.
Yang dua itu menyeberangi air menuju ke Kaneth. Tak seorang pun berbicara sambil memeriksa Kaneth yang terluka. Kemudian yang satu menekan sebuah benda bulat pada sehelai kulit bersisik dan terdengar suara merekah.
Dokter Sansoth itu (atau entah apa dia itu) melemparkan benda bulat itu dan memandangi pemimpinnya dengan teliti. Tom mencuri pandang ke arah anak buah Perkins yang dekil-dekil basah berlumpur.
Mereka tetap nampak curiga, tetapi tak seorang pun yang berbicara atau melakukan sesuatu.
Kaneth mengeluarkan suara mendesis, dan kedua makhluk Sansoth itu melangkah mundur. "Tamith, aku tak apa-apa. Aku cukup sehat," katanya. Ia berpaling lalu memandangi Tom, kemudian ke arah anah buah Perkins. "Itulah manusia-manusia penghancur telur itu!"
"Nanti dulu," kata Tom sambil melangkah ke depan, tak menghiraukan suara-suara mendesis dari pasukan Sansoth yang menyiapkan senjata mereka. "Orang-orang ini tak tahu-menahu tentang daerah penetasan kalian. Tak seorang pun yang tahu."
Perkins nampak terkejut. "Te"telur-telur itu"eh"itu telur telur makh".mereka ini?" Salah seorang wanita yang rambutnya penuh lumpur menelan ludahnya.
"Ya," kata Tom. "Aku akan menjelaskannya kemudian." Ia berpaling kepada Kaneth. "Bagaimana mereka akan tahu?"
"Kami kira, itu adalah telur-telur binatang seperti dinosaurus itu," kata seorang anak buah Perkins dengan menyesal.
Tamith mengeluarkan suara di tenggorokan, matanya menyipit. Tenggorokannya yang pucat itu nampak berdenyut-denyut, dan Tom dengan cepat menengahi di antara Perkins dan dia.
"Jangan marah," kata Tom dengan tegang. "Ini suatu kecelakaan. Kapten Kaneth, katakanlah kepada orang-orang anda, bahwa ini semua adalah karena salah paham."
Kapten yang bertubuh besar itu bangkit dan berdiri tegak, sementara dokternya mengolesi luka-lukanya dengan cairan yang tak sedap baunya. Cairan itu segera mengeras, menutup luka yang terbuka.
"Kapten Swift," katanya. "Bagaimana perasaan anda, bila ada makhluk-makhluk asing membantai seratus anak-anak yang belum terlahir?"
"Mengerikan," Tom mengakui. "Tetapi bila bangsa-bangsa yang baru bertemu untuk pertama kali, mereka dapat memperkirakan adanya kejutan-kejutan. Bahkan kecelakaan-kecelakaan yang tak terduga. Saya yakin, bahwa Luna Corporation akan memberikan ganti rugi. Tentu saja kami tak dapat mengganti telur-telur yang hancur. Tapi kami dapat membantu kalian menjaga telur-telur kalian, di kemudian hari."
Kaneth menatap Tom dengan mata menyala. "Bagaimana" Memerangi Torith?" Ia mendengus keras. "Ketika torocka itu menyerang, apa yang anda lakukan" Diam saja!"
"Itu tidak benar!" Ben membantah. "Kami tak dapat menembak, takut mengenai anda!" Mata Kaneth yang setengah reptil itu membesar. "Tak terhormat membunuh dari kejauhan! Bertempur harus dari dekat, dapat dicapai moncong atau cakar!"
"Dalam pembunuhan tak ada kehormatan apa pun!" kata Tom.
"Ben dapat menceritakan tentang adu ketangkasan, menyentuh tubuh lawan yang bersenjata, hanya dengan sebatang tongkat!" "Dengan tongkat!" Kaneth menukas.
"Suatu pertandingan kesatria," kata Ben. "Banyak suku-suku dari bangsa saya yang melakukan itu. Bertanding dari jarak dekat, tanpa senjata, dan hanya saling menyentuh." "Bangsa kalian tak membunuh musuh?" Tamith bertanya tak percaya. Kaneth menoleh memandangi prajuritnya, sementara Tom menjawab.
"Ya, dulu. Pada zaman sekarang, yah, kami melakukannya di depan pengadilan."
Kaneth memandangi kedua pemuda, lalu berkata: "Maafkan prajuritku, Terrans. Ia sangat menginginkan kekuasaan, kekuasaan apa pun! Bahkan kekuasaan saya!" Kaneth memperlihatkan gigi-giginya yang tajam. "Seperti yang telah saya katakan, kami adalah bangsa yang percaya, bahwa kelangsungan hidup hanya diperoleh bagi yang terkuat. Dan letnan Tamith mengira, bahwa dialah yang terkuat."
Tamith tak berkata apa-apa. Tetapi moncongnya yang lebar itu mendesis sebentar.
Tom cepat menengahi. "Saya kira kita harus kembali. Kapten Kaneth diobati luka-lukanya, kita harus memberi makan orang-orang ini secukupnya, dan . . . " ia menoleh kepada Ben.
"Dan saya dapat mandi!" Pemuda Indian itu tersenyum .
Kaneth tak berkeberatan Tom memimpin rombongan manusia-manusia Bumi itu ke perkemahan. Makhluk-makhluk Sansoth mengikuti dari belakang, dengan susah payah menyeberangi lumpur hingga matahari hampir terbenam.
Tiba di perkemahan, mereka mendapatkan Anita dan Kate bersama tujuh orang anak buah Perkins, ditambah lima lagi yang datang sendiri-sendiri.
"Kukira tak ada lagi yang lain," kata Perkins kepada Tom, setelah bercakap-cakap dengan rombongan itu.
"Kerugian yang besar." Tom menghela napas. Ia mendongak dari peta yang baru dipelajarinya. "Kita akan satu kali lagi mengirimkan regu pencari besok pagi di daerah ini," katanya sambil menunjuk ke peta. "Kalau kita menemukan orang lagi, bagus. Kalau tidak?" Ia mengangkat bahu dengan sedih.
Ben berdiri, berjalan lewat samping Mok N'Ghai dan Aristotle ke pintu kemah yang dengan tergesa-gesa telah mereka dirikan. "Aku akan berjaga sekarang," katanya. "Kate, engkau mengganti aku empat jam lagi, ya?"
Gadis berambut hitam itu mengangguk sambil melirik ke peta.
"Nah, dengar teman-teman," kata Perkins. "Aku harus mengatakan, sungguh lega terbebas dari rawa-rawa. Dan aku mengucapkan terima kasih kepada kalian." Ia memandangi mereka dengan tenang, bahkan kepada Aristotle. "Aku hanya ingin agar kalian tahu, bahwa banyak di antara kami berpendapat Luna adalah penipu. Memperdaya kami dengan segala cara. Memang, dia baik terhadap kami, tetapi itu hanya karena kami telah menguntungkan dia! Kami telah sadar sekarang."
"Lalu, apa rencana anda?" tanya Kate.
Perkins mengangkat bahu. "Yah, dengan sejujurnya, aku tak ingin lekas-lekas kembali ke Bumi. Aku sebenarnya ingin melakukan penyelidikan. Ingin tahu apa-apa yang terdapat di luar sana. Barangkali saja ... eh, barangkali saja menemukan sesuatu yang sangat berguna untuk di rumah."
"Yang paling berharga untuk dibawa pulang, mungkin hanya informasi-informasi," kata Tom. Ia tertawa kecil, lalu menyambung: "Ada sesuatu yang praktis, yang dapat segera digunakan!"
"Apa?" tanya Kate.
Tom mengacungkan ibu jarinya ke atas. "Benteng angkasa itu. Sebuah kota yang dapat berpindah-pindah. Dapat digunakan sebagai pangkalan sewaktu melakukan penyelidikan di planet-planet. Juga merupakan kapal yang nyaman untuk bepergian."
"Tetapi . . . engkau?" Kate hendak mulai berkata.
"O, aku akan membereskan stardrive-nya," kata Tom. "Akan kubuat sedemikian rupa, hingga dapat digunakan terus-menerus. Tidak hanya untuk satu kali seperti sekarang ini. Bagaimana pendapatmu?" ia bertanya kepada Perkins.
"Aku ... heh . . . apakah mereka memperbolehkan?"
"Kukira demikian. Kalian merupakan penyelidik ruang angkasa kawakan! Itu termasuk jenis manusia yang langka." Ia tersenyum.
"Kate, bagaimana engkau" Bukankah aku mendengar sesuatu pada suaramu tadi?"
Kate menyeringai, lalu tersenyum lebar. "Tommy, anakku! Engkau baru saja menyelamatkan bibimu Kate dari nasib yang mengerikan!" Ia berdiri dan tubuhnya yang sedemikian lentur dan tegang mendekapkan kedua tangannya. Kemudian kedua tangan itu dibentangkan dan memekik hingga mengejutkan semuanya. Dalam beberapa detik, dua makhluk Sansoth muncul di pintu kemah. Tetapi Tom memberinya isyarat untuk pergi.
"Jadi engkau suka?" pemuda itu menggoda.
"Senang sekali!" jawabnya. Dengan segera ia menjadi tenang kembali. "Aku boleh ikut, bukan" Maksudku, tak ada sesuatu pun yang menghalangi?"
"Ini adalah alam raya yang bebas," kata Tom.Sekali lagi Kate One Star memekik, lalu menjatuhkan diri di kursi. "Tom, engkau tak mengerti, bagaimana aku menginginkan sesuatu seperti ini! Justru karena itulah aku langsung ikut dengan Luna. Bumi telah menjadi sedemikian kecil . . . , begitu jinak!" "Bumi jinak?" tanya Anita. Ia membayangkan badai, taufan, angin ribut, perang, gempa bumi, gunung meletus, kemarau yang panjang dan kebakaran.
"Ya, jinak!" tukas Kate. "Tak ada lagi sesuatu yang baru! Tidak lagi berbahaya! Engkau selalu tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana pun buruknya, mungkin telah terjadi sebelumnya. Tetapi tidak demikian di dunia-dunia baru! Di luar sana, di bintang-bintang!"
Tom tertawa. "Kate, aku belum pernah melihat engkau begitu demonstratif!"
"Karena sebelum ini tak ada alasannya, Tom!" Ia berpaling kepada Perkins. "Dengar! Apakah saya bisa ikut dengan kalian" Saya cukup lumayan untuk bekerja!"
"Nona One Star! Apakah anda bergurau" Mungkin sekali kami justru memilih anda menjadi pemimpin kami!"
Kate memandang padanya sejenak. "Maksud anda, eh"seperti kapten?"
"Tentu! Atau apa saja yang anda mau: Nona Boss, Chief Honcho, apa sajalah!" Perkins nampak sangat gembira. "Izinkan saya pergi sebentar, untuk membicarakannya dengan Cazier, Bev Warren, Cliff dan yang lain-lain."
Kate berdiri. "Apakah kalian tak ikut juga" Kalian juga anak-anak baik."
"Terimakasih, Kate," kata Tom. "Tetapi kami harus membereskan ini semua." Ia menunjuk ke sekeliling, ke surat-surat dan perkakas-perkakas perlengkapan.
"Termasuk pula mencari Luna yang sulit dipahami itu," kata Mok N'Ghai perlahan-lahan.
"Nah, kalau begitu aku permisi dulu, ya?" kata Kate. "Aku hendak memikirkan sesuatu. Aku selalu menyukai langit di ruang angkasa di sekitar Sirus," katanya, lalu keluar dari kemah.
Hening sejenak, lalu Tom bertanya kepada Anita: "Engkau juga mau ikut?"
Anita menegakkan duduknya. "Tentu saja aku ingin. Tetapi kuharap bukan hanya benteng itu saja satu-satunya kapal yang terbang ke bintang-bintang, kalau engkau mengerti maksudku."
"Akan kuingat," kata Tom. "Nah, kalau"."
Ia berhenti, mendengar teriakan-teriakan dari kegelapan di luar.
Terdengar suara-suara teriakan dan derap kaki. Ia melompat ke pintu kemah, lalu keluar diikuti yang lain-lain.
"Ada apa?" ia berteriak.
Seorang prajurit Sansoth muncul dari kegelapan, sebuah kapak perang di tangannya. Tom mengenali Tamith. "Ada serangan di kubu selatan, kapten Swift!"
"Siapa yang menyerang?" Tom minta penjelasan.
"Torith!" Prajurit setengah reptil itu mengayunkan kapaknya ke arah selatan. "Mereka membunuh dua prajurit saya dan seorang dari rombongan anda."
Tom ternganga menahan napas.
"Itu belum semua, kapten! Salah seorang dari rombongan anda diculik, dibawa oleh mereka," Tamith menambahkan.
"Diculik" Dibawa" Siapa?" ia bertanya sambil melangkah mendekati letnan Tamith.
"Yang anda panggil Ben!"
Chapter 15 "Apa?" seru Tom. "Untuk apa mereka membawa Ben?"
"Saya kira, saya dapat menjawab," kata kapten Kaneth, yang muncul dari kegelapan. Ia juga membawa kapak perang, tetapi hanya digantungkan di pinggangnya.
"Teman anda, atau makhluk apa pun sebesar dia, sangat berharga bagi bangsa Toritih. Ia tentu dijadikan hadiah bagi ratu mereka."
"Ratu?" kata Anita. "Kukira mereka itu binatang, seperti".eh"dinosaurus."
"Memang," jawab Kaneth. "Kami tak banyak mengetahui tentang mereka. Tetapi kami tahu, mereka tinggal jauh di dalam batu-batuan. Disanalah tinggal ratu mereka, yang menelurkan mereka semua."
"O, jadi seperti ratu semut atau rayap," kata Anita sambil menghela napas.
"Pada waktu kami mendarat untuk pertama kali di sini, ada prajurit kami yang mereka bawa. Kami terlambat menemukan pintu masuk ke tempat mereka. Ia sudah dibungkus dengan selaput dan sudah mati." Kaneth memberi isyarat hendak mengundurkan diri.
"Kami tinggalkan dia di sana sebagai santapan ratu. Dengan demikian, ratu itu tak menginginkan makanan lain untuk sementara waktu."
Dengan suara menunjukkan rasa muak Anita berkata: "Mengapa anda tidak membunuh ratu itu?"
"Pertama-tama, karena kami memang tak dapat. Terlalu banyak Torith di sana. Kedua, kami memang tak mau. Itu akan merusakkan keseimbangan. Telur-telur kami harus mendapat ujian!"
"Anda mengetahui sesuatu," kata Anita. Ada nada panas dalam suaranya. "Kalian ...."
"Anita," Tom mencegah. "Itu tak akan menolong. Kapten Kaneth, apakah anda menduga Ben hendak mereka makan?"
Prajurit setengah reptil itu mengangguk.
"Anda juga tahu di mana tempat tinggal mereka?"
Makhluk Sansoth itu mengangguk lagi. "Maukah anda membawa kami ke sana?"
Makhluk Sansoth itu menggeleng perlahan-lahan.
"Mengapa tak mau?" Dengan marah Tom menunjuk ke luar.
"Ben ada di sana, kapten! Benyamin Franklin Walking Eagle, teman saya yang paling baik. Saya tak akan dapat membiarkan dia dibawa pergi, dimakan. "
"Makhluk-makhluk Torith tidak boleh diganggu, orang Bumi!" kata Kaneth dengan dingin. "Anda boleh mencoba mencari dan membebaskan teman anda. Itu hak anda. Tetapi tidak disertai kematian makhluk Torith!"
"Tetapi Torith itu telah memakan telur kalian!"
"Memang," jawab prajurit Sansoth itu. "Itu merupakan bagian dari hukum alam!"
"Kalau begitu, kami sendiri akan mencari ratu itu!" tukas Tom.
Dalam beberapa detik mereka telah berkumpul: Tom, Anita, Kate dan Mok N'Ghai serta Aristotle.
"Ia ada di bawah tanah," kata Tom. "Tetapi di mana?"
"Kita dapat melakukan penyelidikan seismografik," kata Anita.
"Tetapi semua instrumen-instrumen ...." Ia mengangkat bahu dan menunjuk ke reruntuhan perkemahan.
"Aku punya kemampuan," kata Aristotle. "Kalau aku mempunyai bahan peledak, lebih baik lebih dari satu. Aku dapat menggunakan gelombang-gelombang suaranya untuk menyelidiki ruangan-ruangan yang ada di bawah tanah. Sebuah lubang yang dapat ditempati, akan segera dapat diketahui."
"Bagaimana hendak kaulakukan?" tanya Anita ingin tahu.
"Aku dapat menyesuaikan sensor-sensor suaraku untuk menyelidiki gelombang-gelombang tersebut. Ledakan itu suara, seperti juga percakapan itu suara. Ini hanya suatu cara yang sederhana, tetapi radarku kurang kuat untuk mencapai jauh ke dalam batu," Aristotle menyesal.
"Ledakan macam apa yang kaukehendaki?" tanya Anita.
"Jangan terlalu besar," jawab si robot. "Dua lebih baik."
"Hmmm," Kate berpikir-pikir. "Kukira aku pernah melihat EXP-12 di gudang keamanan. Barangkali belum rusak oleh lumpur. Ayo, Anita!" Kedua gadis itu berlari pergi sambil melambaikan tangan.
*** Tom memandangi Mok N'Ghai sambil menggigit-gigit bibirnya.
"Mok N'Ghai, Torith-Torith itu tentu tak mau melepaskan Ben begitu saja. Mungkin kita harus membunuh beberapa di antara mereka."
"Dan engkau tentu bertanya-tanya, apa yang akan dipikirkan oleh makhluk-makhluk Sansoth, ya?"
Tom mengangguk. "Kalau aku tidak salah membaca pikiran teman reptil kita itu, ia seperti sedang berjalan di benang halus," kata perwira Skree itu. "Ia percaya, bahwa Torith-Torith itu sangat penting untuk menguji anak-anak mereka, tetapi juga ingin membantu engkau melepaskan temanmu."
"Mengapa engkau berpikir begitu?" tanya Tom.
"Sebab ia tak menutup sama sekali jalan tersebut. Kalau engkau berhasil menemukan jalan masuknya, berhasil menemukan dan membebaskan Ben, itulah memang maksudnya; kalau tidak?" Rahangnya bergemeletak dan sungutnya berayun-ayun.
"Tak membantu, tetapi juga tak menghalang-halangi, maksudmu?" sambung Tom. Sekali lagi ia menggigit-gigit bibirnya.
"Dan ia mengatakan, bahwa Torith-Torith itu tinggal di dalam tanah, dalam semacam liang atau sarang atau entah apa. Kalau begitu ...."
"Ini!" seru Kate. Ia dan Anita-kembali, masing-masing membawa kotak EXP-12. "Semuanya ada tiga! Engkau dapat membuat tiga ledakan."
"Bagus sekali," kata si robot. "Dapatkah kausetel agar meledak sekaligus?"
"Dapat!" kata Kate. Ia memegangi beberapa kabel.
Beberapa saat kemudian, Aristotle menunjukkan arah-arah dan jarak.
Tom, Anita dan Kate beranjak pergi, lampu-lampu senternya bergerak-gerak. Mereka hendak menanam bahan peledak.
Tak lama kemudian, mereka telah siap. Pendengaran Aristotle disetel menjadi sangat tajam dan dipertinggi. Sebelah kakinya dimasukkan ke dalam tanah sebagai alat penduga. Sekarang ia menyiapkan detonator lalu menyalakannya sendiri. Dengan demikian ia dapat mengukur sampai ke mikrodetik.
Tiga sambaran api membelah kegelapan malam, dan beberapa detik kemudian suara ledakan bergemuruh di telinga mereka. Burung-burung bercuit-cuit terbang ke udara dan hewan melata berlomba-lomba masuk ke air.
"Bagaimana?" Tom tak sabar.
"Satu kilometer selatan-baratdaya ada gua. Ini yang paling besar. Tetapi ada lainnya, lebih kecil, agak lebih jauh dari yang pertama. Arahnya selatan-tenggara."
"Kita cari yang paling dekat dulu," kata Tom. Ia melihat ke kompas yang diberikan oleh Kate. "Mok N'Ghai, maukah engkau ikut kami ke mulut gua" Aku ingin engkau dapat menyediakan garis pertahanan. Bila kami ke luar nanti, mungkin kami memerlukan perlindungan."
"Tentu saja, Tom."
"Aristotle! Engkau?"
"Bolehkah aku menyertai kalian" Ben juga temanku," kata manusia mesin itu.
"Ini nanti di dalam gua, temanku. Dan engkau bukan prajurit yang gesit. Lagi pula masih ada larangan bagimu untuk mencelakai makhluk hidup!"
"Makhluk hidup yang cerdas beradab," robot itu mengingatkan.
"Oke, ikutlah ke mulut gua. Mungkin kita masih memerlukan pengarahanmu untuk menghemat waktu."
"Terima kasih," kata si robot.
Kepada Anita Tom berkata: "Engkau tinggal di sini. Awasi para Sansoth itu. Gunakan radio untuk memberitahu Aristotle kalau terjadi apa-apa." Ketika Anita hanya memandangi dia, Tom menyeringai. "Ini perintah!"
Gadis berambut merah itu hanya meringis, tetapi mengangguk juga. Ia mengawasi regu pencari itu menghilang di kegelapan planet asing yang penuh tantangan.
Tak lama kemudian, senter mereka menyinari batu karang, lalu bergerak keluar-masuk mulut gua yang gelap. Aristotle telah menuntun mereka tanpa kesalahan sedikit pun. Mereka lalu ragu-ragu.
Mana penjaga-penjaganya" Jebakan" Tanda bahaya"
"Mari," kata Tom akhirnya. Senjata lasernya ada di tangan, tetapi ia berharap tak perlu menggunakannya. "Siap di tempatmu masing-masing!"
Mok N'Ghai dan si robot mengambil pada sisi berlawanan dari mulut gua.
"Kukira kini saat yang tepat untuk mengucapkan selamat berjuang," kata Aristotle.
Kate tersenyum kepadanya di keremangan cahaya lampu senter.
"Kukira engkau tak percaya akan peruntungan!"
"Nasib"peruntungan"itu hanya nama-nama yang diberikan oleh manusia untuk kesempatan," jawab si robot. "Ungkapan-ungkapan begitu hanyalah singkatan dari kalimat yang menunjukkan puji baik bagi yang mengucapkan."
"Percayailah Aristotle, kalau untuk menjela-kan sesuatu," Kate bergurau sambil mengikuti Tom dalam kegelapan.
Gua itu miring turun ke bawah dan membelok ke kanan. Dalam beberapa saat, Tom dan Kate tak lagi dapat melihat keremangan langit malam di belakangnya. Cahaya lampu senter mereka, menerangi batu yang aus dan terpantul pada kubangan-kubangan kecil yang demikian jernihnya hingga hampir tak nampak.
Mereka menyeberangi kubangan-kubangan itu hingga lantai gua miring menanjak lagi. Lapisan-lapisan batu berubah, lalu berubah lagi ketika mereka sekali lagi harus berjalan menurun. Tanda-tanda kandungan kuarza nampak di dinding granit, memantulkan cahaya senter balik ke mata.
"Wah!" Kate menahan napas ketika mereka menikung lagi di sudut. Di hadapan nampak sebuah dinding setengah kristal berwarna-warni. Hijau lavender, ungu muda dan merah muda, berkilau-kilau dalam cahaya senter mereka.
"Indah sekali!" bisik Kate.
Dinding itu miring, lalu melengkung di atas, dan kini mereka ada di dalam terowongan yang sempit.
"Lihat lantainya," kata Tom. "Sudah diratakan secara kasar. Benjolan-benjolan dibabat, dan pecahaan-pecahannya dimasukkan ke dalam celah-celah."
"Siapa kiranya yang melakukan itu?" Kate berpikir. "Apakah makhluk Torith itu cerdas juga?"
"Kera dan monyet juga cukup cerdas untuk melakukan hal itu," jawab Tom. "Mereka dapat menggunakan alat-alat sederhana. Dan ini adalah makhluk-makhluk asing. Mungkin saja mereka bosan berjalan telanjang kaki di batu-batu yang tajam. "
Kate tersenyum melihat sebuah batu kuarza merah jingga besar menonjol ke luar. "Aku merasa seperti di dalam musium."
"Ya," bisik Tom. "Tetapi yang ini mempunyai aturan-aturan keras."
"Maksudmu, lebih baik kita tak berbicara?"
Tom mengangguk. Dengan hati-hati mereka berjalan menuruni terowongan. Di sini terdapat turunan tajam seperti undakan raksasa setinggi tubuh Tom.
Satu jam kemudian mereka masuk ke dalam gua yang luas, setinggi rumah bertingkat lima. Kristal biru memancarkan sinar berbayang hijau muda dan merah ungu, di sekitar mereka. Keindahan itu menyebabkan Kate berbisik: "Aku merasa seperti ada di dalam Telur Paskah Faberge yang indah! Sungguh indah!"
Tom menunjuk ke secercah kegelapan di seberang dan Kate mengangguk. Kedua muda-mudi itu memanjat naik ke tempat gelap tersebut, yang ternyata merupakan pintu ke terowongan lain. Kristal-kristal biru itu segera berubah menjadi merah ungu, sementara mereka merangkak sepanjang terowongan tersebut. Pada saat mereka membelok, kristal-kristal kuarza itu telah berubah berwarna merah darah.
Tiba-tiba Tom mengangkat tangannya. Ada suara!
Kate juga mendengarnya. Suara yang lain lagi. Mereka mematikan senter, dan tanpa bersuara terus maju. Mereka meraba-raba dengan ujung sepatu dan jari-jari di kegelapan. Tetapi setelah beberapa meter, Kate memegangi lengan Tom.
Di depan nampak cahaya merah jambu, memantul pada dinding kristal merah. Suara itu lalu menjadi seperti nyanyian yang keluar dari tenggorokan, disertai oleh langkah-langkah kaki yang aneh. Tom dan Kate mendekati cahaya tersebut lalu berhenti, terpukau oleh apa yang mereka lihat!
Sebuah gua, lebih besar dari semua yang mereka lihat sebelumnya, membentang di depan mereka. Bentuknya bulat telur, setinggi kira-kira tigapuluh meter. Di atas, bergemerlapan sekelompok besar kristal merah, menyebarkan cahaya kemerahan ke seluruh ruangan. Tom tahu, bahwa kristal-kristal itu berada dekat dengan permukaan tanah di atasnya. Kini sudah hampir pagi, dan sinar matahari mulai menyinari kristal-kristal tersebut dari luar.
Di atas berpuluh-puluh blok kristal merah padam yang sangat besar, berdiri makhluk-makhluk setengah reptil yang belum mereka kenal sebelumnya. Bentuknya mirip kodok yang kurus, tetapi tinggi tubuhnya dua meter lebih! Kakinya yang berbelah menjorok ke luar untuk mendukung berat tubuhnya yang berbentuk seperti sebuah pin pada permainan bowling. Mulutnya lebar terbuka, dengan lidah merah jambu yang sewaktu-waktu ke luar-masuk bagaikan kilat. Matanya yang bulat besar, seperti terpaku pandangannya pada satu titik. Kedua muda-mudi itu berpaling mengikuti pandangan mereka.
Di sebelah kanan mereka ada sebuah blok kristal putih sebesar rumah. Di depannya berdiri dua sosok tubuh. Tubuh manusia! Kedua lengan mereka terbentang, dipegangi pada pergelangannya oleh tangan-tangan bercakar dari makhluk-makhluk setengah kodok tersebut.
Kurban! pikir Tom. Ia berkedip-kedip ketika mengenali siapa kedua kurban tersebut: yang satu adalah Ben, berambut hitam dan berotot, bersikap menantang dan waspada; yang lain adalah David Luna!
Chapter 16 Semuanya diam tak bergerak. Bahkan Ben dan Luna pun tak bergerak.
"Menunggu apa mereka itu?" Kate berbisik.
Kemudian Tom melihatnya. Dari cahaya merah darah kristal-kristal di atas, nampak seberkas cahaya tunggal berwarna putih. Di dalam kristal-kristal itu ada sebongkah kristal lain, jernih bagaikan kaca. Kristal tersebut meneruskan cahaya matahari pagi, memusatkannya menjadi satu berkas cahaya putih yang jatuh ke lantai.
Tom mengawasinya. Cahaya tersebut bergerak lambat sekali ke arah balok batu kuarza merah. Dalam waktu lima menit lagi, berkas cahaya itu tentu akan sampai di balok kristal putih. Tom menduga, saat itulah pengurbanan akan dimulai. Ia tak dapat menekan rasa merinding ketakutan!
Torith-Torith si pemakan telur bangsa Sansoth itu semuanya diam. Nyanyian permulaan telah selesai; hanya suara napas yang terdengar. Tom berpikir dengan kalut apa yang harus diperbuatnya.
Terlalu banyak Torith yang harus dihadapi. Dan dia merasa tak punya alasan untuk membunuh mereka. Namun Ben, temannya, sedang hendak dikurbankan!
Kedua Torith yang berdiri di samping manusia-manusia kurban itu memegang sebatang batu kristal yang tajam, seperti pisau upacara.
Benteng Astral Tom Swift 5 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tom berpikir keras sejenak, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Kate. Ia membisikkan rencana kepadanya. Kate menyeringai, memandangi Tom seperti sedang kesakitan, lalu mengangguk. Ia menyiapkan senjata lasernya, lalu membungkuk rendah di atas lantai yang merah.
Tom menarik napas panjang, dan ia pun bertiarap di lantai kristal. Ia menghadapi risiko akan melukai makhluk hidup, namun ia tak dapat memikirkan usaha lain yang membayangkan keberhasilan yang paling minim pun.
Ia tahu, bahwa alat-alat penterjemah mereka pun tak ada gunanya. Sebab semuanya akan telah berlalu sebelum bahasa Torith itu dapat diprogramkan. Adapun yang terdengar hanyalah ocehan-ocehan kodok-kodok raksasa itu. Apa yang akan terjadi nanti, hanya akan berupa sandiwara murni, gertakan, dan keberanian.
Tom memegangi pergelangan kaki Kate dan melihat jago berkelahi itu mengangguk. Mereka menegangkan otot-otot, mempersiapkan diri. Tom menepuk sepatu Kate lalu berdiri.
Kate juga berdiri, senjata lasernya menyembur dengan denyut-denyut pendek, menghamburkan berkas-berkas sinar merah delima ke dinding gua di seberang dan di langit-langit. Sinar-sinar yang lurus tipis bagaikan benang itu memantul pada permukaan kristal-kristal, membias dalam sudut-sudut yang berlainan ke segala arah. Kemudian memantul lagi pada kristal-kristal berikutnya, hingga ruangan itu bagaikan penuh benang-benang sinar laser, bersimpang-siur berwarna merah.
Tom menyelinap melalui ujung terowongan ke gua di sebelah bawah, sementara semua mata terarah ke suatu sosok tubuh manusia, yang berdiri di keremangan mulut gua. Tangan kanannya bagaikan tak henti-hentinya menyemburkan sinar api. Kristal-kristal menjadi retak-retak dengan tenaga seperti meledaknya senapan, sementara yang lain-lain pecah berantakan karena tekanan dalamnya terlepas.
Ting! Tak! Criiing! Gedubr aaak!
Makhluk-makhluk Torith, sambil meringkukkan tubuh memandang terpukau ke manusia yang tak henti-hentinya menyemburkan sinar api. Salah satu sinar memantul pada kristal di dekat Tom, memecah di permukaannya lalu menyebar ke dalam benang-benang sinar yang lemah.
Tom melompat dari balok kristal, menghindar mengitari Torith yang terpukau, yang nampaknya tak melihat Tom. Tom mencapai sisi balok kristal putih, dan menemukan beberapa batu pijakan. Ia naik ke atas dua batu loncatan sekaligus. Pada saat itu jaring sinar-sinar merah di ruangan itu berhenti. Untuk sesaat suasana menjadi hening.
Kate mulai berbicara. "Keenamratus penunggang kuda masuk ke lembah maut!" Perintah Kate menggeledek. "Meriam-meriam di sebelah kanan! Meriam-meriam di sebelah kiri!"
Tom menyelinap, mengitari permukaan balok putih-susu itu hingga tinggal beberapa langkah lagi dari Ben. Ia melihat mata temannya tertuju kepadanya, lalu mengedip-ngedip gembira karena mengenalinya. Tetapi pemuda Indian itu tetap tak bergerak.
"Lalu apa lagi sekarang" pikir Tom.
"William Penakluk!" seru Kate. "William Rufus putra William Penakluk! Henry Pertama! Stephen, kemenakan Henry Pertama!"
Tom tersenyum mendengar disebutnya nama penguasa Inggris tersebut. Ia melangkah maju, lalu memukul dengan pukulan karate si Torith yang memegangi tangan kanan Ben. Makhluk itu terhuyung, memandangi Tom dengan gerakan yang lambat lalu rubuh. Pengawal yang memegangi tangan kiri Ben menghentak, hingga pemuda itu kehilangan keseimbangan. Kemudian Torith itu mengangkat pisau kristalnya dan melangkah ke arah Tom.
"Henry Kedua!" seru Kate keras-keras. Suaranya bergema ke seluruh ruangan. "Richard Kedua! Richard Berhati Singa!"
Ben menjegal Torith yang ketiga, dan Tom menyodok perut Torith yang memegang pisau. Makhluk itu mental ke belakang, merosot dari batu kristal lalu jatuh ke dalam rekahan di lantai. Kini kedua Torith yang memegangi Luna telah maju, tetapi Luna berhasil memukul salah satu dari mereka.
"John Tak Bernegara, putra Henry Kedua!" teriak Kate sambil melambai-lambaikan tangannya kalang kabut.
Tiga manusia melawan Torith. Sebuah pisau upacara merobek baju Luna, menggores tubuhnya, tetapi tendangan yang keras melemparkan lawannya jatuh melalui pinggiran. Dalam sekejap Tom dan Ben berhasil memukul jatuh kedua makhluk setengah kodok, lalu lari menuruni batu-batu pijakan, disusul oleh Luna di belakangnya.
"Henry Ketiga! Eh, Edward Pertama, Edward Kedua, Edward Ketiga, Henry Keempat, eh bukan, Richard Kedua!"
Puluhan Torith berdiri bagaikan terkena pesona pada teriakan-teriakan yang aneh itu. Tom, Ben dan Luna menunduk lalu memanjat hingga tiba di dekat mulut gua.
"Elizabeth Kedua! Charles Ketiga!"
Tom masuk ke terowongan dan Kate mengacungkan senjatanya ke dalam gua. Ia menembakkan beberapa denyut sinar laser di atas kepala lawan-lawannya. Sinar itu mental pada kristal, dan Tom menuntun rombongan itu keluar melalui terowongan.
Kate mengawal di belakang. "Laser"laserku sudah habis," ia terengah-engah ketika memanjat.
Sebelum Tom dapat menyahut, suara menggerung bergema di telinga mereka. Para Torith mulai sadar dari pesona dan terkejut, lalu mulai mengejar para kurban.
"Berikan aku lasermu," Luna meminta kepada Tom. "Aku akan membereskan"."
"Terus lari!" bentak Tom. Ia mendorong Luna dan Ben ke depan dan memberikan lampu senternya kepada Ben. Ia menunggu Kate menyusul, lalu menyuruh gadis itu untuk terus lari. "Aku yang mengawal di belakang," katanya.
Kate mengangguk. Senjata Tom tinggal satu-satunya yang masih berisi.
Mereka berlari amat kencangnya. Luna tersandung dan jatuh, berguling di kerikil kristal. Ia berteriak kesakitan. Kate menolong dia berdiri, tetapi Luna menggertaknya sambil menghentakkan tangannya dari pegangan Kate.
"Biarkan aku!" "Barangkali lebih baik kami meninggalkan anda sendiri, Luna?" tukas Kate kembali.
"Lari! Lari!" Tom berseru mendorong mereka. Ia menoleh, mengira melihat gerakan pada bayangan terowongan kristal.
Tom menembak pendek-pendek beberapa kali, diarahkan menyudut pada dinding terowongan, hingga terpantul beberapa kali membentuk jaringan sinar-sinar merah di kegelapan. Terdengar suara parau dan derap kaki.
Kristal-kristal merah berbaur menjadi merah ungu, lalu hijau muda, kemudian biru. Ketiga muda-mudi serta Luna mendaki, menurun, menyeberangi kubangan-kubangan yang tak nampak di dekat jalan masuk.
"Aristotle!" Kate berteriak. "Ini kami!"
Mereka tiba di pendakian mulut gua, basah dan bilur-bilur. Mok N'Ghai menjemput dan membantu ketika mereka menjadi silau oleh matahari pagi. "Cepat!" katanya. "Kita harus kembali ke perkemahan."
"Lepaskan tangan kutumu! Engkau, makhluk yang buruk!"Luna menggertak.
"Tak ada rasa terimakasih yang menghangatkan hatimu," Ben menggerutu.
"Engkau tidak menyelamatkan aku," Luna membentak Tom. "Engkau membebaskan temanmu! Aku hanya beruntung!"
"Terus lari!" seru Tom. "Mereka dekat di belakang kita."
Hutan yang berawa-rawa merapat di sekeliling mereka ketika mereka berlari menuju perkemahan.
Para prajurit Sansoth menunggu mereka, bersama manusia-manusia anak buah Perkins yang merasa khawatir.
"Apa yang terjadi?" tanya Cazier.
"Ada Torith yang mati?" tanya Kaneth dengan keras.
"Tidak," jawab Tom. "Kukira tak ada. Sinar laser itu banyak kehilangan tenaga bila dipantulkan. Tetapi kami dikejar oleh beberapa puluh Torith!"
Pemimpin Sansoth itu berkedip, lalu memandang ke belakang Tom. Kemudian ia berpaling ke Tamith dan memerintahkan: "Perkuat penjagaan! Perintahkan mereka untuk menakut-nakuti Torith!"
"Siap," jawab Tamith, tetapi ketika Kaneth beranjak pergi, Anita melihat bayangan aneh di wajah Tamith. Sulit untuk mengenali sikap makhluk asing, itu ia tahu. Tetapi ia berani bersumpah bahwa Tamith menunjukkan rasa jijik bercampur benci.
"Engkau tak mempunyai hak hukum atas aku!" David Luna berkata marah kepada Tom. "Di sini juga bukan segalaksi dengan Bumi, apa lagi Bumi sendiri!"
"Saya akan membuat tahanan kota," kata Tom tenang.
"Sudah kukatakan! Engkau tak punya kekuasaan!" Luna menggertak.
"Tom," kata Aristotle. "Aku mengerti, ini adalah suatu contoh dan akan menjadi pokok acara dalam penafsiran dan analisa di kemudian hari. Tetapi barangkali, undang-undang standar hukum di Bumi bisa berlaku pula bagi manusia di seluruh ruang angkasa?"
Anita tertawa. "Aku terima pendapatmu itu! Paling tidak itu cukup untuk menyeret David Luna yang besar itu kembali ke Bumi. Lihat saja kata-kata mereka di sana."
"Mungkin ia akan menyuap untuk kebebasannya," Ben meramal.
"Tak ada gunanya!" Luna mengangkat bahu. Ia membungkuk di meja di tengah kemah. "Ini adalah bangsa baru! Belle Genevieve adalah milikku! Akulah penguasa di sini. Justru kalian itulah yang masuk kemari tanpa izin!"
"Mereka di Bumi nanti yang memutuskan," kata Ben. "Kalau mereka"." Ia berhenti ketika Kapten Kaneth masuk.
Pemimpin Sansoth itu melihat ke sekeliling dengan pandangan bermusuh. Seekor kumbang hinggap di pipinya. Dalam sekejap mata lidahnya berkilat menangkapnya, dan lenyaplah serangga itu.
"Torith-Torith itu tidak menyerang," ia mengumumkan. "Mereka berjalan berkeliling dua kali, lalu menghilang. Tetapi mereka masih bersembunyi, menunggu." Ia memandangi Ben dan Luna.
"Apakah kalian mencelakai ratu mereka?"
"Ratu?" kata Luna sambil mengernyitkan dahinya. Ia terkejut ketika dengan singkat Tom menjelaskan, bahwa ia dan Ben diculik untuk dijadikan mangsa bagi ratunya.
"Hiii," Luna bergidik. "Binatang-binatang yang memuakkan!"
Ia memandangi Mok N'Ghai dan Kaneth dengan pandangan sengit.
"Ben, usahakan agar tuan Luna selalu di bawah pengawasan," kata Tom. "Gunakan beberapa orang dari para pekerja itu."
Ben melihat ke Luna yang bersikap angkuh, tinggi hati dan sombong. "Apakah kita dapat mempercayai mereka" Bagaimana pun Luna yang membayar mereka!"
"Dan menipu mereka," sambung Tom. "Panggillah Perkins untuk mencari sukarelawan."
"Oke," Ben mengangkat bahu. "Ayo, timah panas! Inilah kejatuhanmu!"
"Lepaskan tanganmu yang kotor itu," Luna menggertak.
Ben tertawa kecil. Kepada Anita, Tom dan yang lain-lain ia berkata: "Seharusnya kalian melihat, bagaimana orang ini mencoba menyuap para Torith ketika kami menunggu terbitnya matahari. Ia menawarkan kepada mereka seluruh planet Belle Genevieve ini ditambah dengan setengah negara bagian New Yersey, kalau mereka mau mengambil aku lebih dulu. Tentu saja mereka tak mengerti sepatah kata pun!"
"Mereka itu binatang-binatang!" kata Luna.
"Betul," kata Ben. "Tetapi binatang pun mempunyai cara-cara sendiri. Dan Torith-Torith itu juga mempunyai cara mereka sendiri mengurbankan daging." Ia memberi isyarat kepada Luna dari pintu tenda. "Mari kita pergi, tuan penguasa dunia!"
Ketika mereka meninggalkan tenda, Kate masuk dan duduk.
"Tahukah engkau?" katanya. Aku tadi berpikir: Seandainya saja aku ingat seluruh 'serangan Brigade Light' di sekolah dulu! Tentu merupakan pidato yang mengesankan bagi para Torith!"
"Engkau sudah bertindak bagus," kata Tom tersenyum. "Pertunjukan cahaya yang hebat pula!"
"Aku takut kalau ada yang mengenai engkau; tak mengontrol bagaimana mereka akan memantul!"
Tom mengangkat bahu, mengamati Kaneth sedang berbalik dan meninggalkan kemah, sedikit pun tak berkata-kata.
"Kalian tahu, kita harus mengawasi Luna yang licin itu dengan ketat. Ia tak akan melepaskan harta yang berharga seperti Belle Genevieve ini tanpa berjuang."
"Ia boleh memperjuangkannya nanti di Bumi." Kate menguap dan menggeliat. "Bagaimana kalau kita tidur saja" Aku sudah kehabisan tenaga. Mari kita mengaso di dipan-dipan kita yang nyaman di Exedra. "
Tom setuju, dan beberapa saat kemudian tinggal Aristotle yang masih berdiri tegak tak bergerak"tetapi tetap berpikir.
Nampaknya baru beberapa detik berlalu, ketika Ben mengguncang-guncang Tom dari tidurnya yang nyenyak.
"Tom! Tom! Bangun!" ia berteriak. "A ...?"
Tom menggeliat. "Luna telah melarikan diri!"
Chapter 17 Mata Tom bagaikan hendak meloncat ke luar menatap Ben.
"Luna lari" bagaimana?"
"Para Sansoth itu telah mendaratkan sebuah pesawat lagi, dan entah bagaimana Luna bebas dan naik ke pesawat!" seru Ben.
"Tak mungkin ia mengemudikan seorang diri sebuah pesawat asing!" katanya sambil mengenakan jumpsuitnya, "Apakah ada yang ikut bersama dia?"
"Orang-orang Luna Corporation" Tidak, sejauh yang dapat kukatakan. Tapi justru Tamith yang ikut lenyap. Ia pergi bersama Luna. Demikian juga beberapa prajurit Sansoth."
"Di mana Kaneth?"
"Di pesawatnya. Mereka sedang bersiap untuk mengejar. Ia telah memanggil kembali anak buahnya dari pos-pos penjagaan. Berarti tak ada lagi pengawal"."
"Hingga Torith-Torith itu dapat menyerang!" Tom menyelesaikan kata-kata temannya.
Ia melompat keluar dari kabin ke pintu tekanan udara, disusul oleh Ben di belakangnya. Anita menyertai sambil mengancingkan ritsleting dari jumpsuitnya yang hijau. Ben dengan singkat memberitahu Anita sementara pintu tekanan bergeser. Mereka bertiga lalu lari melintasi tanah berawa-rawa ke pesawat Sansoth. Para prajurit reptil sedang berbaris hendak masuk, sambil menghentak-hentakkan kaki melemparkan lumpur. Tom mendesak masuk.
Pertama-tama yang dirasakannya ialah hawa yang panas dan lembab. Rasanya seperti di rawa-rawa, baik udaranya maupun suasananya. Dengan terheran-heran ia berhenti untuk mengamati apa yang dilihatnya.
Lorong-lorongnya berbentuk oval dan cukup besar. Tetapi sepanjang dinding-dindingnya, di sekeliling alat-alat elektronik dan bagian-bagian mekanik di seluruh pesawat itu, disusun kotak-kotak logam yang masing-masing berisi tanaman hidup. Suatu susunan rumit sistem pengairan dan pipa-pipa penyaluran melayani tiap-tiap pot tersebut. Tanaman itu tumbuh melilit dan membelit pipa-pipa tersebut. Banyak bunga-bunga tergantung pada lampu-lampu, dan sulur-sulurnya menghias piringan jarum penunjuk dan alat-alat ukur lainnya.
Udaranya berat, panas dan penuh tepung sari dan serangga. Para Sansoth itu mendesak-desak Tom ketika ia menerjang masuk. Ketika ia menunduk pada sebatang tanaman, daun-daunnya yang merah mengkerut, daun-daun bunganya menutup dan duri-duri batangnya berlompatan ke luar.
Tom memegang Sansoth yang sedang lewat. "Kapten Kaneth ada di mana?"
Prajurit itu mengeluarkan suara parau dan menunjuk ke depan.
Diikuti oleh Ben dan Anita, Tom menunduk di bawah daun-daun hijau dan berjalan di lorong. Di sana-sini dipasang papan-papan logam dipoles halus dengan huruf-huruf asing.
Manusia-manusia Bumi itu melewati sebuah ruangan besar yang penuh dengan prajurit-prajurit, yang sedang sibuk mengikat diri pada kursi masing-masing. Seorang petugas yang nampak ingin tahu mempersilakan mereka ke ruang pengemudi.
Kapten Kaneth menoleh dari kursinya untuk menghadapi mereka. Di sekelilingnya ada empat prajurit Sansoth, duduk membungkuk mengamati layar-layar monitor komputer dan papan-papan penuh tombol. Bahkan di sini pun banyak terdapat pot-pot tanaman, dan udaranya juga panas serta lembab hingga Tom sulit bernapas.
"Kapten! Luna telah melarikan diri"dan membajak pesawat anda!" kata Tom.
"Bukan, kapten Swift. Tamithlah yang mencuri pesawat kami. Tak salah lagi, tentu dibujuk oleh teman anda Luna. Tetapi Tamithlah yang mencuri."
"Kita harus menangkap Luna!" kata Anita. "Ia adalah penjahat."
"Demikian pula Tamith," Kaneth menggumam. "Dan kami akan menangkap dan menghukum dia!" Ia memandangi ketiga manusia.
"Sekarang turunlah dari kapal kami. Saya akan berangkat, dan kami tak mau kalian ada di kapal kami." Kepalanya menoleh ke kiri dan berkata: "Gorim, beri isyarat untuk minta tenaga gaya angkat semenit lagi!"
"Tunggu sebentar, kapten," kata Tom. "Mengapa letnan Tamith pergi dengan Luna" Apakah ia bukan perwira yang patuh?"
"Tamith"sekarang sudah mati bagi keluarganya. Dan namanya dicoret dari daftar".ia sangat ambisius. Ia menganggap lebih baik daripada saya." Cakar Kaneth bergerak memberi isyarat. "Ia mencoba membuktikannya, tetapi ia sudah mati."
"Kau sungguh keras terhadap anak buahmu," kata Ben.
Kaneth memandangi dia. "Kami adalah makhluk yang berhasil mempertahankan hidup. Kami akan hidup melampaui bangsa-bangsa di alam raya. Saya akan mengejar Tamith. Kalau dia yang menang, dialah yang terkuat dan keluarganya dapat hidup lebih lanjut. Nah, kalian tinggal punya waktu tigapuluh detik untuk turun dari pesawat."
"Mari," kata Tom. "Tak ada gunanya berbicara dengan dia."
Mereka lari kembali, menyelinap melewati pengawal yang tak sabar di pintu tekanan, lalu turun dan lari ke perkemahan.
Pesawat Sansoth naik dengan suara gemuruh. Tom berteriak kepada para anak buah Perkins. "Lekas naik ke pesawat! Kita akan berangkat lima menit lagi."
Tom mendapatkan Mok N'Ghai dan Aristotle sudah berada di ruang pengemudi, melakukan pemeriksaan sebelum terbang. Tom menjulurkan tubuhnya dan menekan sebuah tombol. "Perkins" Cazier" Apakah semuanya sudah naik?"
"Sudah!" jawab Perkins.
"Anda pasti" Tak seorang pun yang tertinggal?"
"Jangan bergurau!" seru Perkins. "Siapa yang mau tinggal di planet ini?"
Ketika Tom membetulkan letak duduknya di kursi pilot, ia melihat gerakan di tepi rawa-rawa. Torith-Torith sedang mendatangi!
"Sudah siap untuk naik?" Tom bertanya kepada Mok N'Ghai.
"Siap," jawab makhluk Skree itu. "Angkat, kapten!"
Pesawat Exedra bergerak meninggalkan daratan dengan mulus.
Bau dan kelembaban Belle Genevieve seperti hilang mengalir. Dalam beberapa detik langit menjadi gelap, dan mereka sudah ada di ruang angkasa.
"Di mana Luna dan Tamith, Aristotle?" tanya Tom.
"Quadrant ketiga, duapuluh delapan derajat selatan, enambelas utara. O ya, Tom. Aku telah menghubungkan diriku dengan komputer Sansoth. Mereka sedang melakukan perhitungan untuk lompatan ke ruang angkasa luar!"
"Kita tak mungkin mengejar mereka," kata Anita. Kate menerjang masuk ke ruang pengemudi, mempelajari situasi pada layar-layar dengan sekali pandang orang yang berpengalaman.
"Bahayanya besar," kata Aristotle.
"Apa maksudnya?" tanya Kate kepada Tom.
"Bila sebuah pesawat melompat ke ruang angkasa luar, ada gaya belok yang kuat sekali di daerah sekitarnya yang dekat. Karena itulah, kita selalu menjauhi planet-planet dan bulan sebelum kita melakukannya," kata Tom. Ia menekan suatu penyusun kode pada komputer di dekatnya. "Kalau ada dua pesawat yang cukup dekat jaraknya ..." Ia ragu-ragu. "Engkau tahu, semua ini masih hal-hal yang baru. Mok N'Ghai?"
"Seperti yang kauduga, Tom. Gaya-gaya magnetik dan gravitasi masing-masing pesawat akan menjadi sangat besar. Paling buruk akibatnya ialah salah satu atau keduanya akan hancur berkeping-keping. Itu pasti! Paling sedikit, masing-masing akan tertarik lalu menyeleweng dari arah tujuan semula."
"Waduh!" kata Kate. Pada layar terpampang posisi, lintasan dan kemungkinan daerah yang akan dilalui oleh kedua pesawat Sansoth.
"Apakah Kaneth tidak mengerti?" ia bertanya. Mok N'Ghai mengertakkan rahangnya. Untuk sejenak, sungut-sungutnya menunduk. "Ia tahu. Tetapi bangsa Sansoth adalah bangsa yang tinggi harga dirinya, dan, eh, bangsa yang mulia. Mereka mengaku tak punya rasa takut."
"Angkuh dan tolol, menurut aku." kata Kate.
"Ini menyangkut rasa kehormatan bagi kapten Kaneth," Mok N'Ghai menjelaskan.
"Aku tak mengesampingkan kehormatan," jawab Kate. "Tetapi ini bermain dengan api. Luna dapat menghilang di ruang angkasa luar setiap detik."
"Tidak, sebelum tigabelas menit empatpuluh detik," kata si robot. "Tetapi sesudah itu, setiap saat."
Tom menekan sebuah tombol. "Sambungkan pada frekuensi radio Luna," katanya pada si robot.
Robot itu menekan dua buah tombol. "Silakan," katanya.
"Luna, di sini Exedra. Ganti!" Tom memanggil. Ia menunggu, lalu mengulang. Pada percobaan ketiga Luna muncul di udara.
"Exedra, di sini David Luna. Sebenarnya aku tak mau menghiraukan lagi orang yang kalah seperti engkau, Swift. Tetapi aku tak kuasa menolak rasa senang melihat orang yang kalah. Ini suatu sifaf pembawaan, aku tahu. Tetapi itu sungguh memuaskan."
"Luna, apakah anda tak tahu apa yang akan terjadi, bila anda atau pun yang mengejar anda melompat ke ruang angkasa luar" Kalian akan hancur berkeping-keping!"
Luna tertawa. "Swift! Engkau tak membuat aku takut. Memang, tekanannya akan dapat menghancurkan kami, tetapi yang lebih mungkin hanyalah menyelewengkan arah tujuan kami."
"Anda akan ...."
"Aku tahu! Maksudmu baik. Tetapi engkau tak mengerti situasinya. Kalau kami memang lalu menyeleweng dari tujuan semula, mengapa" Apa bedanya" Kami bukannya menuju ke suatu bintang tertentu. Pokoknya pergi, pergi jauh dari hukum-hukum kalian yang mencekik. Jauh dari orang-orang yang picik."
"Dengan membawa begitu banyak makhluk Sansoth?" sela pemuda itu.
"Aku tak butuh orang-orang, Swift. Aku lebih senang manusia, tetapi itu hanya rasa patriot yang berlebihan. Engkau akan mengetahui bahwa aku telah memperoleh penemuanmu yang gemilang, alat penterjemah. Aku akan membuat tiruannya, hingga aku dapat pergi ke mana pun, bercakap-cakap dengan siapa pun. Aku akan menciptakan suatu kerajaan baru." David Luna berhenti sejenak secara dramatis, lalu melanjutkan: "Kemudian aku akan kembali ke Bumi!"
"Saya kira anda tak membutuhkan siapa-siapa lagi!" Kate menukas, mendekat pada mikrofon.
"Tetapi aku mempunyai harga diri, sayang! Sudah kukatakan, aku mempunyai cacat. Aku akan merasa sangat gembira, dapat kembali sebagai penguasa, berunding dengan pemerintahan-pemerintahan di Bumi sebagai sesamanya." Luna tertawa. "Sama sederajat dengan seluruh Bumi, sudah tentu!"
"Lalu Tamith?" tanya Tom. "Ia menjadi pelayan anda?"
"Sungguh cerdik engkau! Mengadu domba antara aku dan pembantuku yang setia. Syukurlah alat penterjemah sedang dimatikan. Reptil itu tak mengerti apa yang kita bicarakan. Ia mengira, kita berdua bersekutu!" Luna tertawa lagi. "Harus kukatakan, aku memang cerdik. Aku dapat menjual barang rongsokan. Aku melukiskan gambaran yang indah tentang apa saja yang dapat ia lakukan bersama aku. Aku yang punya otak, dia yang punya otot. Ia sangat ambisius, si Tamith itu; putra Sansoth yang mulia dan sejati."
Tom tak menanggapi, dan Luna melanjutkan. "Ya. Pada setiap perlombaan harus ada yang menang dan yang kalah, Swift. Kita tahu, termasuk yang mana kita masing-masing. Kami akan segera masuk ke Ruang Angkasa Luar!"
"Tom, kalau kita tak ingin terperangkap, kita harus berganti arah. Kita tetap di ruang angkasa biasa, sementara mereka masuk ke ruang angkasa luar. Tekanan-tekanan itu akan?"
"Pindah tujuan!" Tom memerintah. Jari-jari Mok N'Ghai yang halus bermain di papan kontrol, dan Exedra menikung lebar.
"Engkau sungguh berpikiran sehat, Swift," kata Luna di radio.
"Tidak demikian dengan Kaneth. Aku sungguh tak mengerti apa yang hendak ia lakukan. Menganggap dan memperlakukan kami sebagai perampok"he, jangan Tamith! Apa yang kaulakukan" Tak jadi soal Tamith! Jangan menembak! Kita tinggalkan saja dia, seperti mereka yang kalah dengan yang lain-lainnya."
Tom memandangi teman-temannya. "Tamith ingin bertempur," katanya. "Rupa-rupanya Luna mendapat kesulitan dengan teman sekutunya!"
"Pengejaran Kaneth merupakan tantangan baginya," Mok N'Ghai menjelaskan.
"Tolol!" Luna menggumam. "Lihat, dalam beberapa detik lagi kita akan?"
Terdengar dua kali ledakan, dan suara-suara lain yang tak dapat dikenali Tom. Kemudian suara Luna menggeledek lagi.
"Biawak goblok! "Tidak! Aku tak mengizinkan! Sungguh sinting! Berhenti menembak dan memerangi dia. Kita ..." Luna menjerit marah dan kesakitan. Terdengar pula suara-suara teriakan yang lain.
"Aku akan"he, kadal goblok! Aku akan. . ."
Lalu hening. Saat berikutnya kedua noktah menghilang dari layar Exedra.
Chapter 18 "Ke"ke mana mereka?" Anita menahan napas.
"Entah di mana"jauh sekali," kata Ben dengan geram.
"Mengerikan!" Kate menggigil.
"Ah, mereka mungkin tak cedera," kata Tom. "Apa dugaanmu Mok N'Ghai?"
"Mereka cukup dekat untuk saling mempengaruhi, tetapi tidak terlalu dekat. Yang jelas kapal kapten Kaneth masih ada di ruang angkasa biasa. Apakah ia ikut terpental ke ruang angkasa luar, atau?" Makhluk setengah serangga itu mengangkat bahu.
"Kita sendiri tak apa-apa?" tanya Kate.
Tom mengamat-amati alat-alat penunjuk di layar, lalu mengangguk. "Kembali ke benteng!" ia memerintahkan.
"Oke!" Kate melangkah ke pintu.
"Aku juga pergi, memberitahu yang lain-lain," kata Ben, lalu mengikuti Kate.
Anita mendekati Tom yang berdiri di belakang Mok N'Ghai dan si robot. "Menurut engkau, apakah Luna masih hidup?" ia bertanya. Ia melihat ke layar yang mengamati kedua pesawat Sansoth.
Tom mengangkat bahu. "Itu mungkin sekali, tetapi kukira kita tak akan bertemu dengan dia untuk sementara waktu."
Anita tertawa. "Sebenarnya suasana lebih ramai kalau ada dia!"
Tom merengut. "Luna sangat rakus. Seorang egomaniak yang ambisius. Sejenis manusia yang menganggap orang lain sebagai mainan atau bidak catur saja. Ia menggunakan pesona sebagai alat, bukan sebagai penampilan kepribadiannya."
"Ya, aku tahu. Tetapi dia juga manusia." Anita menunjuk ke sekeliling. "Dan manusia sama sekali bukan makhluk yang umum di luar sini!"
"Mereka akan dijumpai di mana-mana," Mok N'Ghai meramal.
"Aku telah mengamati kalian selama ini, pada berbagai macam keadaan," kata makhluk Skree itu. "Kalian ulet. Memang, kalian bukan makhluk yang sempurna, tetapi dapat cepat menyesuaikan diri. Mungkin, kalian bukan mewakili bangsa kalian yang sebenarnya. Seperti juga aku. Untuk ke ruang angkasa, orang harus berani, cerdas dan penuh sumber daya. Itu membutuhkan jenis orang tertentu. Orang yang ingin tahu, tak pernah tenang, bahkan tak dapat bergembira dan selalu ketakutan."
"Ketakutan?" tanya Anita.
"Orang banyak melakukan perbuatan-perbuatan karena ketakutan. Takut: kalau ditinggal di rumah, semuanya akan bertambah buruk. Takut kalau ditinggal, tak ada masalahnya. Kalian bangsa manusia akan tersebar luas mulai sekarang. Kalian adalah kasar, polos, tetapi mau menerima tantangan."
Tangan Mok N'Ghai menunjuk ke bintang-bintang. "Itulah tantangan terbesar bagi semua saja. Bangsa yang tak mau menerima tantangan itu, yang tak mau berusaha, akan mati. Bukan mati secara jasmani mungkin, tetapi secara rohani. Bangsa lain yang menerima tantanganlah, yang akan dapat tumbuh."
"Wah, Mok! Itu suatu pidato yang hebat!" kata Anita sambil bertepuk tangan.
"Dan benar sama sekali," sambung Tom.
"Aku akan sangat menghargai, bila aku diperbolehkan membantu pada penyelidikan-penyelidikan selanjutnya," kata Aristotle.
"Kami tak akan berangkat tanpa engkau!" Tom berjanji sambil tersenyum. "Tetapi kini, selesaikan dulu tugas-tugas yang belum selesai!"
*** Kate One Star berdiri di pintu tekanan Exedra, tersenyum kepada teman-temannya. "Dengar! Aku ingin agar kalian mengetahuinya. Ya, sesungguhnya memang sangat menyenangkan bersama kalian. Tetapi di luar sana ada toko kembang gula. Dan aku tak kuat menahan keinginanku!"
Ada sesuatu yang membasahi matanya. Tidak hanya itu. Juga di mata Tom, Ben dan Anita. Mok N'Ghai mengeluarkan suara yang amat lembut. Hanya Aristotle yang berdiri diam sama sekali.
"Nah, pergilah dan ambillah dia, kapten!" kata sepupunya.
"Kapten!" Kate merenung. "Dapatkah kalian membayangkan itu" Aku" Kapten?"
"Tak ada yang lebih baik," Anita menyatakan. "Nah, sudah saatnya," kata Kate. Ia mengambil napas dalam-dalam. Kemudian secara berturut-turut dan cepat ia memeluk Anita, mencium Ben di pipi, mengejutkan Mok N'Ghai dengan bersuara gemelitik, menepuk-nepuk Aristotle dan mencium Tom. Kemudian dengan gerakan yang indah dan lincah ia keluar dari ruang pintu tekanan.
Tom duduk di kursi pilotnya lalu menutup pintu secara magnetik. Exedra melayang lepas dari benteng angkasa yang kini disebut Star of Magellan, untuk menyingkirkan segala kenangan yang menyangkut Luna Corporation.
Alat planetary drive pesawat Magellan dihidupkan, dan kedua pesawat berpisah dengan kecepatan yang semakin tinggi. Anita berpaling kepada Mok N'Ghai. "Apa arti suara Kate tadi itu" Rupanya mengejutkan engkau?"
"Ah, ya. Suatu pernyataan cinta kasih yang digunakan oleh bangsa kami. Pernyataan antara bangsa dan bangsa, antara pribadi dan pribadi."
Tak lama kemudian, benteng angkasa tinggal sebuah titik kecil di layar. Tom memasang penyusun kode arah navigasi, dan pesawat Exedra membelok menuju ke Bumi.
"Pulang ke kandang!" Ben menghela napas. Ia tak tahu, bahwa ia hanya tinggal sebentar saja di sana. Suatu petualangan baru telah menunggu!
"Bumi berarti rumah," kata Tom. "Tetapi?"
Semua pandangan tertuju ke layar, yang penuh bintang-bintang di segala penjuru. Alam raya berkedip-kedip gemerlapan dalam seratus warna.
Kabut Nebula terhampar bagaikan selubung, melintas medan-medan matahari yang berapi-api. Terdapat jutaan galaksi, ratusan juta bintang-bintang bertaburan bercahaya yang merupakan tanda suatu bumi yang lain lagi.
END Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Anak Pendekar 26 Dewa Arak 33 Mahluk Dari Dunia Asing Si Jenius Dungu 4
Ia menyaksikan, beberapa orang melihat ke arloji, sadar bahwa saat pergantian giliran kerja akan tiba. Sebuah pesawat pengangkut akan dikirim dari benteng, dan sekelompok yang baru akan menggantikan mereka. Tetapi Tom beserta teman-temannya tidak termasuk yang akan kembali ke benteng.
Ia memungut kunci kombinasi satu setengah inci yang telah dipakai untuk mengerjakan mekanisme pendorong pada kendaraan yang akan dipergunakan. Kalau saja ada cara untuk keluar dari tempat yang liar ini!
Di dekatnya, Mok N'Ghai sedang berusaha menekan batuknya.
Tom mengernyit. Bernapas saja menjadi hal yang berat bagi makhluk asing itu, dan ia tak akan dapat bertahan lebih lama terhadap iklim Belle Genevieve ini. Tetapi dengan diangkutnya mereka ke planet tersebut, telah membuyarkan rencana untuk melarikan diri. Rencana yang telah dipikirkan masak-masak bersama teman-temannya. Apakah mereka akan mendapatkan kesempatan lagi"
Di kejauhan, Tom telah melihat banyak kemajuan dalam pembangunan perkemahan. Sejak kedatangannya, kerangka bangunan telah didirikan untuk kubah utama, lantai telah dipasang, dan regu pekerja mulai menyemprot dinding luar dengan larutan campuran plastik. Bila sudah kering akan mengeras seperti beton.
Tetapi mempertahankan disiplin merupakan masalah pula. Setiap orang sering berhenti bekerja dan semakin sering mendongak ke langit, berharap melihat tanda-tanda pertama datangnya pesawat shuttle yang akan membawa mereka kembali ke benteng.
"Engkau membuang-buang waktu!" teriak Luna kepada Tom. Ia meninggalkan sekelompok ahli teknik dan melangkah lebar-lebar ke arah Tom. Kedua pengawal selalu hadir mengikutinya, lalu bersandar kepayahan pada bagian kendaraan yang telah dilepas.
"Anda salah!" kata Tom. Tiba-tiba ia mengayunkan ujung kunci kombinasi, tepat mengenai Luna di bawah dagunya hingga terlempar ke belakang. Ia jatuh ke tanah pingsan!
Terdengar suara terkejut yang tertahan dari para pengawal.
Tetapi, seperti yang diharapkan oleh Tom, semua orang sudah terlalu payah untuk dapat bereaksi dengan cepat.
Kate dan Anita melompati salah seorang pengawal, lalu merebut senjata dan helmnya. Dengan cepat Anita melemparkan senjata itu kepada Tom, yang lalu menodongkannya kepada orang yang sedang pingsan.
"Ha! Itu menunjukkan bahwa engkau tak selalu membutuhkan suatu rencana!" kata Ben, tersenyum kepada Tom. Ahli komputer Indian itu mengambil senjata dari pengawal yang lain. Orang itu menyerahkannya tanpa perlawanan.
"Kalau tak seorang pun yang bergerak, tuan Luna tak akan cedera. Saya berjanji," kata Tom.
Tak seorang pun yang bergerak.
Setidak-tidaknya pegawai-pegawai Luna mempunyai rasa kesetiaan, pikir Tom. Atau mereka merasakan kelangsungan hidup yang kuat. Ia teringat apa yang dikatakan oleh Gunn. Semua orang ingin kembali ke Bumi. Tanpa Luna, mungkin mereka tak dapat pulang.
Luna mulai sadar. Berlawanan dengan hati nuraninya, Tom menodongkan senjata itu ke pipinya. "Jangan memaksa aku menggunakan senjata ini," katanya datar, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Mulai kini, pengaturan waktu akan sangat kritis. Ia harus dapat menahan Luna, hingga pesawat shuttle datang.
"A " aku mengerti," kata Luna. Kata-kata itu kurang jelas terdengar. Ia mengalami bilur yang merah-biru di bawah dagunya, dan rahangnya mulai membengkak.
"Pesawat shuttle akan mendarat kira-kira sepuluh menit tujuhbelas detik lagi," Aristotle melapor.
"Matikan radio," kata Tom. Ia tak ingin ada seseorang yang berlagak seperti pahlawan untuk memberitahu pesawat shuttle tentang keadaan di darat.
*** Ben bergegas ke tempat alat komunikasi di perkemahan. Pemuda Indian itu menyuruh para operatornya pergi, lalu menembak beberapa kali dengan senjata yang direbutnya dari pengawal. Logam dan plastik meleleh dan terbakar. Bunga api bepercikan dari tubuh pesawat radio. Luna meludah bercampur darah dan patahan gigi, lalu tertawa. Tetapi kini tak terdengar lagi humornya.
"Pesawat shuttle minta keterangan-keterangan untuk mendarat," kata Kate khawatir.
"Aristotle akan mengurusnya," jawab Tom.
Detik-detik berlalu amat lambat. Sementara itu, semua berkeringat dan diam, meskipun udara dingin dan lembab karena kabut. Sekali, Tom bertemu pandang dengan Gunn. Orang itu, seperti awak kapal yang lain, terpaku memandang Tom, dan dengan resah berdiri pada kaki yang satu berganti kaki yang lain. Tom tak dapat menerka dari wajahnya, dan ia juga tak tahu berapa lama ia dapat menahan orang-orang itu dengan menyandera Luna.
Dari arah kubangan, suara buih-buih yang memecah terdengar jelas, karena lumpur telah memasuki ruang-ruang di pesawat yang rusak. Luna mengutuk sambil menahan napas. Kemudian, suara desingan dan lengkingan memecah kesunyian.
Tom mendongak ke udara dan melihat pijaran yang terang dari knalpot mesin pelebur. Dengan rasa lega ia mengawasi pesawat itu turun pada tanda-tanda pendaratan, hingga berhenti di lumpur. Dengan Luna sebagai perisai, Tom memanggil teman-temannya. Mereka mundur perlahan-lahan dari kerumunan dan bergerak ke arah pesawat.
Orang yang pertama ke luar dari pesawat telah melangkah beberapa meter, ketika menyadari ada sesuatu yang terjadi. Wanita itu terpaku, tak tahu apa yang harus diperbuat.
"Jalan terus saja, tak ada yang akan mencelakai engkau," kata Ben. Ia memberi isyarat dengan senjatanya agar berkumpul dengan teman-temannya yang lain.
Setelah semuanya turun dari pesawat, Ben, Anita dan Kate bergegas ke dekat Tom. Tom mengawasinya dan terkejut melihat Mok N'Ghai berjalan lambat, dibantu oleh Aristotle. Makhluk asing itu berjalan dengan kaku, dan Tom mendengar dia mendengus pada setiap langkah. Dengan cepat Anita, Ben dan Kate membantu makhluk setengah serangga itu masuk ke pesawat.
Tom memandangi para pekerja. Beberapa orang nampak takut dan yang lain nampak curiga. "Menyesal sekali, tetapi kalian harus menunggu pesawat berikut untuk kembali ke benteng," katanya.
Sementara itu teman-temannya telah masuk semua. "Kalau kami selamat sampai di Exedra, kami akan mengirimkan pesan radio. Mengenai spacedrive benteng, aku telah membereskannya hingga bisa bekerja sekali lagi. Janganlah mengikuti kami, sebab kalian hanya mempunyai satu kali kesempatan untuk pulang ke Bumi. Aku tak menghendaki perselisihan ini, tetapi bila kalah berarti kematian bagi kami. Menyesal sekali bahwa kalian harus terlibat," Tom menghabisi kata-katanya.
"Apa yang akan kaulakukan?" Luna mengejek. "Engkau tak akan dapat tetap menawan aku, bila telah berada di benteng! Akuilah, Tom, keadaanmu sungguh tak ada harapan!"
"Semua siap?" seru Tom melalui pintu-pintu yang masih terbuka. Ia tak menghiraukan ejekan-ejekan Luna.
Tom memandangi Luna. Untuk pertama kali ia tersenyum kepadanya.
Luna memicingkan mata dengan curiga dan takut. Tiba-tiba pemuda itu mendorong dia dengan keras. Orang tua itu terhuyung ke depan beberapa langkah, lalu jatuh tengkurap. Luna melompat bangun, tetapi Tom telah masuk ke pesawat.
Pintu-pintu menutup dan terkunci. Beberapa pekerja lari maju dan menarik Luna yang marah itu menjauhi tempat pendaratan, ketika mesin-mesin pesawat mulai mendesing.
Chapter 10 Selama perjalanan pendek ke benteng, Tom cepat-cepat memberikan gambaran rencana pelarian kepada teman-temannya.
"Itu terlalu banyak risiko," kata Anita. "Apakah tak ada cara lain untuk sampai ke Exedra?"
"Kita tak punya waktu untuk merundingkan siasat yang lain," Kate mendesak. "Gagasan Tom sederhana dan ada harapan untuk berhasil. Selain itu," ia menambahkan, "kita memiliki unsur kejutan."
"Benar," kata Ben. "Apa yang paling tak disangka oleh para pengawal di benteng ialah, kita berbaris masuk seperti pemiliknya!"
"Siap untuk mendarat," Aristotle memperingatkan.
"Oke semuanya. Inilah dia!" seru Tom. "Kalau ada yang ingin jadi bintang film, inilah saatnya yang terbaik!"
Siasat Tom ialah berpura-pura mengurus para tawanan. Ia dan Kate bertindak sebagai pengawal, mengenakan topi helm yang mereka rampas dari pengawal-pengawal Luna di planet. Ia berharap, semua orang terlalu capai setelah bekerja lama di Belle Genevieve, dan karena tak ada Luna tentu penjagan keamanan agak mengendor.
Tetapi ia tak berani terlalu berharap demikian!
"Mari," katanya sambil membuka pintu pesawat shuttle.
Seperti yang mereka perkirakan, para awak di geladak pendaratan hanya memandangi saja dengan rasa ingin tahu, seperti yang selalu ditimbulkan oleh makhluk serangga dan robot yang mengkilat itu. Rombongan berbaris ke hanggar pribadi David Luna tanpa menimbulkan insiden.
Geladak yang sangat besar itu bagaikan gua. Tom mendengar suara langkah-langkah kaki di kejauhan. Kegiatan yang nampak hanya sedang saja, dan ia berharap hal itu cukup untuk menyembunyikan gerakan mereka.
Ia menjumpai petugas yang bertanggung jawab atas geladak, dan di saku pakaiannya tertera nama: Sandra Carlson.
"Kami mendapat perintah dari tuan Luna; untuk membawa para tawanan ini kembali ke benteng, nona," kata Tom. "Kutu besar itu sakit dan robot itu juga perlu distrum lagi."
Ia berusaha keras agar nampak seperti bosan akan tugas rutin. Tetapi ia tak dapat menahan diri untuk melirik ke arah Exedra!
Pesawat itu nampaknya tak pernah disentuh orang. Tetapi hal itu tak dapat dipastikan. Ia akan memeriksanya dengan teliti bila ia berhasil masuk ke dalamnya. Tetapi, sekilas melihat wajah Carlson yang angker, Tom tahu bahwa sulit untuk dapat masuk ke dalam.
Nona Carlson melepaskan sebuah alat komunikasi dari sabuknya, lalu mencari hubungan dengan pusat komunikasi di benteng.
"Siapa namamu?" Dan berapa nomor indukmu?" ia bertanya dengan curiga.
Tom mulai berkeringat di bawah pandangan yang tajam dari nona keamanan itu. Secara "naluriah" ia berpaling ke "teman pengawal" di sampingnya untuk minta bantuan.
Wajah Kate One Star tersembunyi di bawah topi perangnya. Ia memisahkan diri dari teman-temannya. Sambil menarik perhatian ia menggumam dan menyodok Mok N'Ghai dengan senjatanya agar melangkah ke depan.
"Siapa?" tanya Carlson tak sabar, tak menghiraukan ulah Kate yang mencoba mengalihkan perhatian.
"Barangkali orang lupa memberitahu anda," kata Tom. "Kami baru saja kembali dari darat, dan"." Ia tahu, nona itu tentu akan menangkapnya bila ia berdusta.
Tiba-tiba saja Aristotle mengayun-ayunkan lengannya sambil bersuara mendesing seperti mesin. "Ini tak diperhitungkan!" robot itu mengomel.
Tom sangat terkejut, seperti juga halnya si pengawal. Tetapi ia segera menjadi tenang. Tentu robot itu mempunyai alasan berbuat demikian! Itulah yang ingin diketahui oleh Tom.
Aristotle mulai berjalan. Langkah-langkahnya yang kaku menuju ke nona pengawal.
"Tolong!" pengawal itu berteriak.
Ia menarik senjatanya, tetapi tak berani menembak. Sebaliknya, ia mundur menjauhi manusia mesin yang lepas kendali itu.
Tanpa peringatan atau tujuan, Aristotle berpaling ke rombongan pekerja. Mereka seperti terpaku ketakutan. Salah seorang di antaranya tiba-tiba menjadi sadar lalu mengeluarkan senjatanya. Ia menembak robot itu, dan seberkas tenaga yang kuat mental berbias pada tubuh Aristotle, berbalik mengenai dinding. Tempat yang terkena itu merah memijar lalu menjadi hitam bagaikan arang setelah dingin kembali.
"He! Berhenti menembak!" teriak Carlson. "Bisa-bisa engkau membocorkan tekanan udara di geladak ini!"
"Perkenankan kami lewat," kata Tom. "kita dapat membereskan administrasinya kelak. Yang terpenting kita harus menyetrum untuk memberi tenaga baru pada robot itu."
Aristotle memungut peti besar tempat perkakas, lalu menuangkan isinya ke geladak. Kemudian peti kosong itu dilemparkan kepada petugas perawatan yang mencoba melarikan diri.
Tom melihat peti itu jatuh ke lantai sebelum mencapai sasaran. Robot itu memang berbuat begitu dengan sengaja.
"Berbuatlah sesuatu!" teriak pengawal itu, ketika robot itu melangkah menuju ke pesawat-pesawat barang sambil berseru berulang-ulang: "Aku harus memenuhi programku! Aku harus memenuhi programku ...."
"Aku tak tahu," kata Tom seperti ragu-ragu. "Ia tak terkendalikan sekarang. Biarlah aku yang mengurusnya untuk sementara waktu ini."
"Masukkan dia ke pesawat!" teriak Carlson, "Sebelum ia memporak-porandakan geladak ini!"
Aristotle seperti tak mendengar kata-kata itu, tetapi Tom melihat, ia berganti arah pengrusakannya. Kini ia melangkah menuju ke Exedra!
Anita mendapatkan pintu luar terlebih dulu lalu memutar kuncinya. Ben, Kate dan Mok N'Ghai menyusul. Pengawas itu memicingkan mata sambil berpikir. Tom mengikuti arah pandangannya, dan melihat seberkas rambut merah tersembul di bawah topi Anita.
Sebelum Tom dapat memikirkan suatu keterangan, perhatiannya teralih oleh suara lift utama. Pintu lift itu terbuka dan Pengawas Kepala Parkinson melangkah keluar. "Apa yang terjadi di sini?" serunya.
Tom dengan cepat berjalan ke Exedra, tak menghiraukan pertanyaan itu.
"Tunggu dulu!" teriak Parkinson sambil lari mendekati. "Engkau Tom Swift!"
Tom mulai berlari. "Engkau tak akan dapat keluar dari sini! Engkau terjebak!" teriak pengawas itu.
Tom sampai di pintu Exedra, lalu masuk di belakang Aristotle yang berusaha keras untuk berjalan cepat. "Terimakasih atas 'kerusakan' pada sirkuit logikamu, hingga engkau berhasil menimbulkan kekacauan!" kata Tom terengah-engah. "Justru ini yang kita butuhkan!"
"Memang bukan kerusakan. Lebih tepat perbaikan dari cara penyusunan kodemu," jawab robot itu. "Hal itu menyebabkan aku dapat mengubah keputusan-keputusan logis menjadi tidak logis!"
Tom mengunci pintu dan menepuk-nepuk manusia mesin itu pada dadanya. "Aku membutuhkan engkau di anjungan," katanya.
"Kita mungkin masih memerlukan logikamu yang tidak logis itu untuk dapat keluar dari sini!"
Kate dan Ben mengamati kekalutan di geladak hanggar dari jendela. Tom berlari ke anjungan lalu melompat duduk di kursi pengatur tenaga.
Pegawai-pegawai Luna menembak-nembak pesawat itu. Tom mendengar suara laser bergemeretak di dinding pesawat. Ia tak merasa khawatir, karena tahu bahwa semua senjata yang digunakan di dalam benteng tidak cukup kuat untuk merusakkan Exedra.
"Parkinson benar," kata Kate khawatir. "Kita tak dapat membuka pintu hanggar sendiri, dan orang-orang Luna tentu tak mau melakukannya!"
"Kita memang tak dapat membukanya dengan aman," kata Mok N'Ghai, sementara Anita membantu dia memasang sabuk pengaman.
Tiba-tiba Anita nampak sesak napasnya karena ketakutan. Tom menoleh untuk melihat apa yang terjadi.
Ia mengamati makhluk Skree dengan seksama dan melihat bercak-bercak seperti jamur yang tumbuh pada kulitnya! Mok N'Ghai dengan sadar mengangkat tangan ke wajahnya, dan Tom melihat jamur-jamur itu juga tumbuh pada jari-jari-nya!
"Inilah yang paling kutakutkan, akibat kelembaban di planet itu," kata Mok N'Ghai.
"Apakah ada obatnya?" tanya Anita.
Mok N'Ghai mengangkat bahu. "Penyakit ini cepat meluas ke seluruh tubuh. Kalau mencapai organ-organ yang vital, kematian segera menyusul."
"Kalau kita sudah keluar dari sini, aku akan ke laboratorium mencari obat," Tom berjanji.
Selama masa tawanan, ia merasa khawatir, jengkel dan marah kepada Luna. Tetapi belum pernah ia merasakan marah yang hebat seperti sekarang ini! Hidup Mok N'Ghai berada dalam bahaya karena ulah orang jahat itu. Itulah yang tak dapat dimaafkannya!
Tom mengeratkan sabuk pengaman, memeriksa kontrol-kontrol sebelum berangkat. Di belakangnya, semua mengikuti perbuatannya.
"Bagaimana rencanamu?" tanya Ben. Ia mengamati alis mata Tom yang hampir bertemu karena memusatkan perhatiannya. Ahli komputer itu selalu dapat menebak bila temannya sedang melakukan sesuatu yang penuh risiko. "Apa pun itu," ia menyambung, "kita semua seratus persen di belakangmu!" "Siap tempur di laser depan! Tunggu isyarat dari aku," Tom memerintahkan. Kemudian ia mengalihkan radionya untuk hubungan ke luar. "Perhatian bagi semua awak geladak!" katanya dengan sangat tenang. "Kalian mempunyai waktu empat menit tepat untuk mengosongkan geladak dan membuka pintu hanggar. Kalau tidak, kami akan menggunakan kekerasan!"
Reaksi para awak sangat cepat! Mereka mundur sangat cepat karena takut, kemudian berlari menuju ke lift.
Parkinson mulai berteriak-teriak kepada para awak. Tom dan teman-temannya tak dapat mendengar apa yang dikatakannya, tetapi mereka melihat para awak tak menghiraukannya. Dengan marah pengawas kepala itu berpaling ke pesawat dan mengacung-acungkan tinjunya. Kemudian ia pergi ke elevator.
Tigapuluh detik telah lewat. Satu menit. Pintu hanggar tidak juga dibuka.
"Teruskanlah, Swift!" Parkinson berteriak melalui radio. "Cobalah ke luar dengan menembak! Itu akan menghabiskan nyawamu sekalian. Geladak hanggar ini diberi tekanan udara. Sekali engkau membuat lubang sekecil apa pun, engkau bersama pesawatmu akan tersedot ke dalam ruang angkasa dalam keadaan berkeping-keping!"
Chapter 11 "Apakah kita dapat selamat melewati keadaan tanpa tekanan udara?" tanya Kate.
"Tentu, kalau kita dapat membuat lubang yang cukup besar," jawab Tom. "Memang, kerusakan pasti ada. Baik kita maupun benteng. Aku sungguh heran mengapa kebencian Parkinson sedemikian mendalam!"
"Kalau kita menyerah, kita juga akan mati," kata Ben. "Aku memilih pendapatmu, Tom. Exedra tentu akan berhasil menembus!"
"Mulailah menembak jarak dekat. Setel penyebaran yang paling lebar," Tom memerintah.
Seberkas cahaya putih kebiruan yang sangat menyilaukan, menerpa pintu-pintu hanggar. Ben melebarkannya lagi. Berkas itu menjadi berkurang kekuatannya, tetapi mengenai bidang yang lebih luas dari tubuh pesawat mereka. Tetapi waktu yang digunakan untuk melumerkan pintu hanggar juga menjadi lebih lama, namun lubang yang besar itu akan mengurangi kerusakan pada Exedra.
"Hati-hati! Jaga jangan sampai panas di titik pusat terlalu tinggi," Tom memperingatkan. "Logam itu harus lumer dengan rata."
Pintu itu berpijar merah-oranye, kemudian menjadi kuning. Tetesan-tetesan logam cair mulai berjatuhan di geladak.
"Stop!" seru Kate tiba-tiba. Ia menunjuk ke monitor komputer geladak. Tulisan: GELADAK BERTEKANAN telah lenyap di layar, berganti dengan: BAHAYA! TEKANAN BERKURANG!
"Tak kukira, kalian dapat berhasil," Parkinson menggeram di radio. "Kalian memang menang di sini. Aku tak mau ambil risiko atas benteng ini untuk menangkap kalian. Tetapi lain kali akan kutangkap kalian!"
Entah dari mana, jauh di bawah geladak, Tom dan teman-temannya merasakan getaran kuat disertai suara dentang pintu-pintu katup yang dibuka secara hidrolis.
TEKANAN NOL! terpampang di layar monitor, dan pintu-pintu terbuka.
Tom menghidupkan jet-jet pengendali, dan dengan pandainya membawa pesawat itu ke ruang angkasa. Mesin utama lalu dihidupkan. Pada layar utama pesawat, benteng itu mengecil dengan cepat sementara Tom menggunakan tenaga maksimum dari Exedra.
"Lebih baik engkau segera berangkat menjemput majikanmu," kata Tom dengan radio pada Parkinson.
Tetapi tak ada jawaban dari benteng.
*** Setelah mereka sampai pada jarak yang aman dari benteng, semua lalu pergi ke laboratorium mencari obat bagi Mok N'Ghai.
Mereka berkerumun di belakang Ben, yang telah melakukan beberapa percobaan metabolik terhadap panglima Skree, dan memandangi layar monitor komputer, yang secara berturut-turut mengeluarkan tulisan-tulisan dan grafik-grafik.
"Yang mirip jamur itu adalah sejenis kudis," kata Ben. "Sesuatu yang sejenis butir-butir darah putih manusia."
Anita menyambung: "Butir-butir darah putih bertindak sebagai polisi, bukan" Begitu ada gejala penyakit di dalam tubuh, mereka segera ke luar."
"He-eh. Yang mirip jamur itu adalah cara tubuh Mok N'Ghai untuk menahan apa saja yang menyerang dia." Ben menyeringai malu dan melirik dengan perasaan bersalah ke makhluk Skree itu. Mok N'Ghai hanya melambaikan tangannya, tanda tak merasa tersinggung.
"Menyesal sekali, tak ada waktu untuk melakukan penyelidikan secara konvensional," Tom minta maaf.
"Aku mengerti, Tom. Engkaulah kapten di sini. Aku akan selalu patuh atas perintah-perintahmu!"
Tom mengedip-ngedipkan matanya. Kapten Swift" Memang, ia yang memegang pimpinan. Tetapi bagi dia, seorang kapten seharusnya seseorang yang lebih tua!
"Kita telah melakukan percobaan alergi bagi Mok N'Ghai," kata Kate. "Apakah masih ada yang terlewat?"
"Mungkin," jawab Tom. "Anatomi tubuh makhluk asing belum kita kenal. Apa yang dapat kita lakukan hanyalah prosedur-prosedur menurut standar. Tetapi kukira kita dapat memecahkan masalah ini pada tingkat elektronik."
Mata Ben bersinar. "Ingat cara-cara ionisasi kuno?" tanya Tom kepadanya.
"Tentu. Partikel-partikel udara diberi muatan negatif, segala debu dan kotoran disingkirkan. Banyak orang percaya, bahwa hal itu dapat menyebabkan rasa nyaman."
"Mari, kita coba melakukan itu," usul Tom.
"Engkau hendak memasukkan Mok N'Ghai dalam kamar steril?" tanya Kate. "Itu membuat dia seperti tawanan! Hidup, mungkin, tetapi tetap saja seperti tawanan!"
"Bukan, bukan begitu," kata Tom untuk meyakinkan. "Begini yang kupikirkan. Aristotle!"
"Ya, Tom," jawabnya segera.
"Engkau dapat membantu kami. Lakukanlah kerjasama dengan komputer pesawat. Itu akan mempercepat segalanya, karena tak perlu lagi menterjemahkan segala tetek-bengek ke dalam bahasa komputer!"
"Baik, Tom." "Nah, beginilah pikiranku," kata Tom. Semuanya berkerumun mengelilingi dia sambil mendekatkan kepala mereka.
*** "Bagaimana rasanya?" tanya Tom.
Rahang Mok N'Ghai terbuka, lalu menutup lagi. "Luar biasa," katanya. "Sedikit hambar, tetapi luar biasa." Seraknya telah mulai hilang.
"Berhasil!" seru Anita meriah, sementara mereka memandangi kotak kecil hitam yang tergantung pada sabuk Mok N'Ghai.
"Ya, tetapi bagaimana cara kerjanya?" tanya Kate.
"Coba, kulihat apakah betul," kata Anita. Si cantik itu telah menyambungkan komputer pribadinya dengan komputer Exedra dan ikut dalam proses yang penuh daya cipta itu. "Tom telah mengionisasikan udara di sekeliling Mok N'Ghai. Ia telah menyehatkan udara itu, karena itu terasa hambar bagi Mok N'Ghai. Tak ada apa pun yang masuk ke paru-paru Mok N'Ghai, kecuali udara. Partikel-partikel yang melayang di udara, yang menimbulkan reaksi alergi kepadanya telah diberi muatan negatif. Bukan hanya debu, tetapi segalanya. Semua spora-spora, semua yang bersifat organik."
"Ia akan kurang gizi!" seru Kate.
"Tidak." Tom tertawa. "Itu hanya mengenai bahan-bahan yang melayang di udara: serbuk sari, debu, spora-spora dan semacamnya. Ingat kalau engkau mendekatkan dua magnit dengan kutub kutub sejenis?"
Kate mengangguk. "Mok N'Ghai adalah positif; semua bahan-bahan tadi telah dibuat negatif. Engkau dapat mendorong bahan organik mendekat, tetapi tak suatu pun yang akan melayang mendekat," Tom menjelaskan.
"Engkau telah menyelamatkan jiwaku, Tom," kata Mok N'Ghai.
"Aku tak akan melupakannya. Tata-kesopanan prajurit Skree tak memperbolehkan aku melupakannya!" sambungnya dengan suara yang aneh di tenggorokannya.
"Lupakanlah," kata Tom yang merah wajahnya. "Hanya suatu sulapan dengan kotak hitam. Hanya itu. Tetapi, itu memberikan jalan bagiku untuk mengembangkan penemuan lain. Aku selalu berpikir-pikir: bagaimana caranya menghadapi rasa mual yang menyertai peristiwa melompat ke angkasa luar. Kukira, kini aku telah dapat memecahkannya!"
Ahli penemu itu pergi ke meja kerja elektroniknya, lalu memungut sehelai plastik khusus yang berlapis-lapis. Beberapa bagian lapisan atas disingkirkan, menampakkan lapisan bawahnya. Polanya seperti suatu jaringan. "Inilah kedok " atau modelnya " untuk suatu sirkuit khusus yang akan kuhubungkan dengan komputer stardrive." Ia berpikir sejenak sebelum melanjutkan. "Ini akan diperkecil secara fotografis menjadi sebesar makroskopik, kemudian dicetak pada silikon. Jadi seperti keping-keping lainnya. Tetapi yang ini adalah istimewa. Bila sirkuit stardrive dihidupkan, ia akan mencegatnya dan membalikkan polaritas dari seluruh peralatan di dalam Exedra."
Melihat mereka memandang tak mengerti, Tom menjelaskan: "Ia akan menciptakan kantong ruang normal sementara waktu di dalam pesawat!"
"Aku segera memotretnya!" seru Ben penuh gairah. "Keping itu segera selesai!"
"Penemuan-penemuanmu sungguh luar biasa," kata Mok N'Ghai kagum. "Dengan alat ionisasimu, engkau telah memberikan kepada bangsaku sebuah paspor! Tidak saja ke duniamu, tetapi juga ke dunia-dunia yang lain. Dan kini engkau telah memecahkan masalah yang selalu ditimbulkan pada perjalanan ke ruang angkasa luar. Aku sungguh merasa bangga menjadi teman dan juga teman seperjuanganmu!"
Wajah Tom memerah lagi. "Tunggu dulu!" kata Aristotle memotong pembicaraan mereka.
Ia masih saja tetap menghubungkan diri dengan komputer pesawat.
"Benteng angkasa sedang mendapat serangan, Tom. Banyak pula pesawat-pesawat yang sedang menuju ke Belle Genevieve!"
Chapter 12 "Siapa yang mau menyerang"." Tom baru saja hendak bertanya kepada Aristotle, tetapi seketika itu juga ia telah menjadi tahu.
"Bangsa Sansoth," kata Mok N'Ghai seperti menyuarakan pikiran Tom. "Aku sudah merasa takut ketika menemukan pecahan-pecahan yang aneh di Belle Genevieve. Kukira, itu adalah pecahan-pecahan kulit telur Sansoth. Planet itu sekarang menjadi bagian dari kerajaan mereka, juga salah satu tempat untuk menetaskan telur-telur mereka."
"Telur?" tanya Anita. "Maksudmu, begitukah cara mereka".eh".beranak?"
"Apakah bangsamu tidak berbiak dengan cara demikian?" tanya Mok N'Ghai, rahangnya berdetak-detak keheranan.
"Tidak persis begitu," kata Anita. "Kukira, kita harus banyak belajar dari masing-masing pihak."
"Kalau Luna dan orang-orangnya masih ada di sana, mereka tentu tak berdaya menghadapi bangsa Sansoth!" seru Tom. "Kita harus kembali dan menyelamatkan mereka!"
"Untuk apa?" tanya Kate One Star. "David Luna adalah musuh kita yang paling jahat! Kubilang: lenyapkanlah dia! Itulah yang paling pantas untuk dia!"
"Jangan begitu," kata Tom. "Ketika kita melarikan diri dari planet itu, Luna dan beberapa orang yang tidak berdosa terdampar di sana. Tetapi dengan janji, bahwa mereka akan dijemput dan dikembalikan ke Bumi. Aku sendiri yang membuat perlengkapan pengawasan tak bekerja, dengan maksud agar kita jangan dikejar." Ia menghela napas. "Itulah yang menjadikan benteng itu terbuka bagi serangan Sansoth!"
"Tom ..." Ben hendak menyela, tetapi Tom memotongnya. "Kalau aku lalu merasa puas dengan pembalasan cara begini, " atau pembalasan yang bagaimana pun juga, " maka aku sama jahatnya dengan si Luna! Di samping itu, aku tak bermusuhan dengan orang-orangnya. Demikian pula mereka terhadap aku. Kalau Luna mendapatkan apa yang menjadi bagiannya, itu karena ketololan atau kekejiannya sendiri. Bukan karena derajatku merosot sedemikian rendah. Betapa pun risikonya, kita harus kembali!"
Suatu cahaya putih menyala terang memenuhi layar utama Exedra. Tom memejamkan matanya, tetapi bintik-bintik warna pelangi masih saja melayang-layang di dalam matanya.
"Sebuah pesawat tempur hancur lagi," kata Aristotle. "Tanpa meninggalkan puing-puing!" Tom membuka matanya. Di depan mereka, angkasa memang nampak kosong di sekitar Belle Genevieve. Tom dan teman-temannya memandangi tak berdaya sementara armada dari benteng angkasa mencoba melawan armada Sansoth yang menyerang. Armada tempur itu bukan tandingan bagi kapal-kapal penjelajah ruang angkasa, sedangkan mereka juga harus melindungi benteng. Satu demi satu armada itu dihabisi oleh serangan Sansoth.
"Mereka mempunyai sinar pengurai!" seru Ben.
"Berikan saja aba-aba, dan Kate serta aku akan mulai menembak!" seru Anita dalam interkom.
"Jangan!" kata Tom. "Mereka tentu akan mengarahkan sinar pengurainya kepada kita, dan kita tak mendapat kesempatan untuk berbicara dengan mereka."
"Mereka juga belum membalas sinyal kita," Aristotle melapor. "Kukira mereka tidak ingin diajak berunding!"
"Perkenankanlah aku mencobanya," kata Mok N'Ghai. "Aku ragu-ragu untuk mengganggu, karena engkaulah kapten di pesawat ini. Tetapi mungkin mereka mau mendengarkan aku."
Tom setuju, lalu berpaling kepada robotnya. "Aristotle, lebih baik kausiapkan komputer pertempuran sekarang juga. Kita tak boleh lengah," katanya. Aristotle mengangguk, dan tiba-tiba pesawat itu menikung tajam sambil menambah kecepatan. Seberkas sinar pengurai lewat tak membahayakan di bawah mereka.
"Nah inilah salah satu pikiranmu yang terbaik untuk hari ini," kata Ben acuh tak acuh.
"Sungguh mengecewakan, ditembaki tanpa dapat mempertahankan diri," Kate menggerutu.
Mok N'Ghai berbicara pada mikrofon dalam bahasa yang tak dikenal oleh Tom. Diperlukan beberapa waktu untuk menyesuaikan penterjemahannya pada alat TTU.
"Engkau berbicara dalam bahasa Sansoth?" ia bertanya.
"Bukan. Ini bahasa Unispeech, perpaduan antara beberapa bahasa di belahan rasi bintang ini. Bahasa ini diakui sebagai bahasa diplomasi," jawab wakil bangsa Skree itu.
"Kami tak perlu berbicara dengan kalian, kaum penghancur sarang!" terdengar suara mendesis di radio. "Menyerahlah, pembunuh anak-anak! Kami akan memaafkan!"
Tom memandangi Mok N'Ghai dengan penuh pertanyaan.
"Bangsa Sansoth memang berdarah panas, dan cenderung untuk melebih-lebihkan sesuatu yang mengancam telur-telur mereka," Mok N'Ghai menjelaskan. Ia berbicara lagi di mikrofon. "Saya panglima Skree dan berbicara atas nama bangsa manusia. Kalau sarang kalian dirusak, itu tidak dengan sengaja. Hentikan serangan itu!"
"Apakah bangsa Skree telah menjadi pembunuh anak yang baru menetas" Dan siapa manusia-manusia itu?" jawab di radio.
Tiba-tiba Exedra bertambah kecepatannya, melemparkan Tom dan teman-temannya ke kursi mereka.
"Tembakan itu hampir mengenai ekor kita," Anita melapor.
"Apakah bangsa Sansoth telah menjadi biadab" Menembak sambil melakukan perundingan?" tanya Mok N'Ghai terus terang.
"Bangsa Sansoth tak mau berunding dengan kaum penyerbu dan segala momok!"
"Bangsa manusia bukan bangsa penyerbu dan momok. Ada kesalahpahaman. Kalau bangsa Sansoth telah menjadi tak tahu aturan, membantai tanpa alasan segala yang melintas di wilayahnya, kejadian ini akan menimbulkan konsekuensi besar di antara bangsa-bangsa beradab di rasi bintang ini!"
Tom tahu, bahwa Mok N'Ghai sedang marah sekali.
"Saya adalah utusan khusus untuk misi damai ke Bumi, dan saya berbicara bagi planet saya Kosanth dan seluruh bangsa Skree! Bangsa manusia adalah sekutu kami. Kalau kalian mengancam mereka, kalian harus mempertanggungjawabkan terhadap kami."
Menyusul keheningan yang sangat menyolok. Akhirnya bangsa Sansoth setuju. "Kami tak ingin menghina bangsa Skree yang telah sering datang di meja perdamaian bersama kami."
"Aku tahu, bahwa mereka terpaksa setuju," bisik Mok N'Ghai dalam bahasa Inggris yang kaku. "Kapal-kapal mereka tak mungkin terbang tanpa sukucadang tertentu buatan Skree. Lagi pula, bangsa-bangsa lain di rasi bintang ini tak akan mau berdagang dengan mereka bila bangsa Skree tak mau pula."
"Bagaimana?" tanya makhluk Sansoth itu.
"Saya baru berunding dengan bangsa manusia," jawab makhluk Skree itu dalam bahasa Uni-speech. "Mereka menghendaki, agar kalian mengizinkan mereka mendarat di planet itu tanpa diganggu, hingga mereka dapat menyaksikan sendiri keadaan di sana. Kalau memang ada bangsa manusia yang menghancurkan telur-telur kalian, mereka akan membayar kerugian."
"Kalian boleh meneruskan," kata makhluk Sansoth itu.
Semua yang di pesawat menghela napas lega.
Beberapa saat kemudian, Exedra mendarat di Belle Genevieve, dan Tom mengajak teman-t-mannya turun dari pesawat. Mereka berhenti, terpukau oleh apa yang mereka lihat.
"Apa yang terjadi di sini?" seru Tom. "Di mana orang-orang itu?" Pemuda itu memandang tak percaya ke tempat perkemahan yang masih berdiri beberapa jam yang lalu. Kini yang nampak hanyalah penghancuran yang sulit dipercaya.
"Apakah bangsa Sansoth yang melakukan ini?" ia bertanya kepada Mok N'Ghai.
"Itu bukan cara mereka," jawab Mok N'Ghai.
"Tetapi kita akan segera dapat bertanya kepada mereka." Ia menunjuk ke arah belakang Exedra.
Sebuah pesawat yang besar sedang turun dari udara, berbentuk bulat dengan disain organik yang menyolok. Tom memandanginya, memperhatikan segala bagian-bagian bentuknya. Nampaknya terbuat dari logam.
"Sebuah jenis yang baru sama sekali," katanya heran.
Kapal itu mendarat, menjadi samar di antara tumbuhan rawa-rawa. Ketika untuk sesaat seperti tak terjadi apa-apa, Tom mulai melihat-lihat di sekitar perkemahan.
Ia berlutut untuk memungut sepotong plastik busa yang tergeletak di lumpur. Kubah utama dari perkemahan itu sudah hampir lengkap ketika mereka melarikan diri. Kini yng tinggal hanya sebagian dari pondasinya. Potongan-potongan besar dari atap yang keras tersebar di mana-mana. Peti-peti tempat bahan makanan telah terkoyak-koyak. Kopi, tepung protein, sayuran yang dikeringkan dan butiran-butiran kacang kedelai telah diinjak-injak ke dalam lumpur.
Pengangkutan mesin-mesin yang makan waktu lama oleh David Luna ke darat, telah dirusak dan tersobek-sobek bagaikan terbuat dari kertas. Beberapa bagian yang terbuat dari logam telah diinjak menjadi rata oleh suatu kekuatan yang mengerikan.
Wuuuushsh! Pintu hidrolis pesawat Sansoth terbuka. Beberapa detik kemudian beberapa anggota awaknya keluar.
Anita hampir saja tak dapat menahan tawanya. "Mereka seperti kadal mainan yang telah dikeringkan," bisiknya kepada Tom.
Tom memandangi kelima makhluk asing bersisik seperti tembaga yang kini mendatangi mereka. Kaki belakangnya nampak kuat-kuat. Ia kurang sependapat dengan Anita. Menurut dia, mereka lebih mirip dengan dinosaurus pemakan daging sebesar manusia. Rahang-rahang yang kuat, bergigi dua baris yang nampak tajam-tajam! Ia tak dapat mengatakan, apakah mereka sedang tersenyum atau sedang lapar. Hal ini membuat dia tidak tenang.
Pimpinan rombongan itu lalu berhenti, berlutut, memeriksa sebuah jejak di lumpur dengan jari-jarinya yang halus berkuku tajam.
"Torith," katanya kepada yang lain. Huruf "th"-nya diucapkan seperti mendesis. Yang lain mengangguk.
"Jejak itulah yang kukatakan kepadamu, ketika pertama kali kita mendarat di sini!" bisik Ben. "Jejak itu banyak sekali di daerah ini. Jadi hewan yang mempunyai jejak itu disebut Torith!"
Kelima makhluk asing itu langsung menghampiri Tom, sementara Kate dengan perlahan-lahan mendekat ke samping Tom dalam keadaan siap tempur. Satu tangan berada di dekat gagang pestol laser di pinggangnya.
Mok N'Ghai mendehem " begitulah suaranya " lalu maju ke depan. "Kami merasa sangat terhormat, bahwa kapten dari kapal Sansoth yang demikian perkasa sudi untuk datang berbicara dengan kami," katanya. "Suatu kehormatan bagi saya untuk memperkenalkan Tom Swift, kapten dari pesawat Exedra dari Bumi."
Tom maju beberapa langkah lalu mengacungkan tangannya.
Makhluk asing itu tak bergerak, hanya memandangi saja. Pemuda itu dengan perlahan-lahan menurunkan tangannya, merasa kikuk dan bingung.
Kapten makhluk Sansoth itu mengedipkan matanya perlahan-lahan. Gerakan kelopak matanya itu mengingatkan Tom akan seekor buaya yang sedang enak-enak berjemur. Seragam kapten itu agak lain dengan anggota rombongannya, kalau selempang tempat senjata itu boleh disebut seragam. Tom segera sadar akan dirinya. Ia yakin, bahwa kapten Sansoth itu melihat ke pakaiannya yang tidak dilengkapi dengan tanda pangkat.
"Saya kira, ini akan berjalan kurang baik," Tom menggumam kepada Mok N'Ghai.
"Sebaliknya," kata makhluk Skree itu. "Hanya karena rasa hormatnya, kapten tak menunjukkan sikap menurut isi hatinya. Kalau ia bergerak, berarti hendak membunuh kita semua!"
"Hebat," bisik Ben.
"Suatu tambahan bagiku untuk mempelajari adat istiadat asing," kata Aristotle.
Kapten Sansoth menoleh sedikit ke arah si robot. "Untuk maksud apa perkakas yang dapat berbicara itu?" ia bertanya lambat-lambat.
"Ia . . . Ia . . . " Tom mengernyitkan alis matanya memusatka
n pikirannya. Apakah robot itu dibuat untuk tujuan tertentu" "Ia adalah teman saya dan anggota yang penting dari awak Exedra, " kata Tom akhirnya.
Kelima makhluk Sansoth saling berpandangan, menurut tafsiran Tom wajah-wajah mereka menunjukkan keheranan. Kapten Sansoth memicingkan matanya. "Kalian bangsa manusia memang makhluk yang aneh. Mengaku mesin sebagai teman!" katanya. "Saya tak tahu di mana planet Bumi kalian, tetapi saya harap saja cukup jauh dari sini!"
Ben menggeram tak senang.
Tiba-tiba, suara mengerang kesakitan terdengar datang dari semak-semak di tepi perkemahan yang hancur itu. Suara itu seperti suara manusia.
Tanpa ragu-ragu lagi Tom berlari ke arah datangnya suara itu.
Ia menemukan Gunn si ahli disain. Orang itu terbaring di tanah, babak belur dan darah mengucur dari beberapa luka.
"Tenang," kata Tom. Dengan hati-hati ia membalikkannya, lalu menyangga kepalanya sehingga dapat duduk. "Engkau ada di antara teman-teman." Ahli teknik itu mendongak dan tersenyum lemah, sementara semuanya berkerumun mengelilingi, termasuk makhluk-makhluk Sansoth.
"Berapa la. . . lama aku ping-pingsan?" tanya Gunn. Kemudian, merasakan hangatnya matahari, ia melanjutkan: "Sudah beberapa jam, ya?"
Kapten Sansoth itu melangkah maju, sambil menunjuk ke perkemahan yang hancur. "Jelaskan, untuk apa anda tanpa izin memasuki daerah penetasan yang keramat bagi bangsa Sansoth ini?"
Gunn ternganga memandangi makhluk setengah reptil itu, dan Mok N'Ghai berdiri di sana dengan gelisah.
"Apa penjelasan anda melukai orang ini tanpa alasan?" balas Tom; ia memandangi kapten Sansoth itu dengan tegas.
Kapten itu mengedip-ngedipkan matanya keheranan. "Bukan kami yang melakukan itu!" ia menerangkan.
Tom segera ingat, makhluk Sansoth menggunakan senjata pengurai. Ia langsung mempercayainya.
"Di sini banyak jejak torith," kapten itu melanjutkah. "Beberapa di antaranya ada yang besar dan ada pula yang kecil. Menurut pendapat saya, manusia-manusia itu telah berjumpa dengan sekeluarga torith. Mereka sangat ganas, dan jumlahnya banyak di planet ini. Mereka juga menimbulkan banyak kesedihan bagi kami."
"Apa pun mereka itu, kami berjuang mati-matian sebelum mengetahui apa yang menimpa kami!" kata Gunn. "Mereka itu besar-besar, mirip katak yang licin dengan cakar yang mengerikan. Kami tak dapat berbuat lain kecuali melarikan diri!"
"Apakah semuanya berhasil melarikan diri?" tanya Tom cepat.
"Banyak yang dapat," jawab ahli teknik itu. "Beberapa dari kami tinggal di belakang untuk bertempur, tetapi sia-sia. Makhluk-makhluk itu tak takut menghadapi apa pun. Yang kuingat hanyalah, salah satu makhluk itu memegangi aku dengan cakar-cakarnya. Aduh, baunya!" sambungnya.
Salah satu Sansoth berkata untuk pertama kali. "Manusia ini masuk tanpa izin," katanya kepada kaptennya. "Apa perintah kapten?"
"Anda tahu, di sini tak ada rambu-rambu yang menyatakan: Milik Sansoth, dilarang masuk!" kata Anita. "Bagaimana orang tahu, bahwa planet ini adalah tempat penetasan kalian?"
"Bangsa Skree seharusnya tahu," gertak kapten itu.
"Saya akan tahu kalau kalian mencatatkan pemilikan planet ini pada Dewan Dunia-Dunia," Mok N'Ghai menyatakan. "Saya usul, agar anda menghentikan serangan terhadap benteng angkasa, sebelum mereka melampaui batas wewenang anda, dan membahayakan pemilikan anda atas planet ini."
"Pendaftaran itu dapat ditunda," kapten itu menggumam. Tanpa kata-kata lagi kelima makhluk setengah reptil itu pergi ke pesawat mereka.
Tom memandangi Mok N'Ghai dengan kagum. Makhluk Skree itu telah benar-benar berhasil menekan bangsa Sansoth, serta menyelamatkan jiwa mereka.
"Bagaimana dengan tuan Luna dan yang lain-lain?" tanya Gunn khawatir. "Kita harus mencari mereka."
Chapter 13
Benteng Astral Tom Swift 5 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Satu jam kemudian, Tom merasa seperti telah menjelajahi rawa-rawa itu selama berhari-hari. Rimbunan rumput di depannya nampak sangat kokoh, tetapi jika diinjak kakinya terbenam di dalam lumpur sampai ke mata kaki. Sesuatu yang abu-abu kehijauan menggeleser masuk ke air. Tom memandangi rumpun rumput berikutnya dengan hati-hati, melangkahinya, lalu melompat ke tempat yang agak kering.
Waktu menoleh ke belakang, ia melihat Ben mengikutinya melompat dari tanah berumput melewati air yang hijau kehitaman. Berjalan di belakang Ben adalah Kaneth, si kapten Sansoth.
Setelah berunding di pesawatnya, ia bersama beberapa awaknya menawarkan diri untuk ikut mencari bangsa manusia.
Ia berjalan dengan mudah melintasi rawa-rawa yang berbahaya dan memperdaya itu, menimbulkan rasa iri bagi para manusia. Mereka seperti sedang jalan-jalan, sebagaimana Tom sedang melancong di jalan-jalan besar di Bumi.
Ben, yang mulai terengah-engah menyusul Tom. Mereka melihat, bagaimana Kaneth menghindar dari pagutan seekor ular bermoncong merah, melangkahi gerumbul yang terakhir, mendahului kedua manusia itu seperti tak terjadi apa-apa. Kedua pemuda itu saling berpandangan, mengangkat bahu, lalu mengikuti makhluk asing tersebut.
"Aku sedang berpikir, bagaimana Kate dan Anita bergaul dengan makhluk-makhluk yang menemaninya itu," kata Ben. Ia memandangi segerombolan tikus yang berlarian di depan mereka.
Tom mengangkat bahu. "Mereka tak ingin berjalan bersama kita," katanya. "Mungkin mereka hendak membuktikan bahwa mereka tak tergantung dari kita."
"Engkau bergurau?" tanya Ben. "Kate dapat mengalahkan kita berdua. Anita juga mungkin. Bila kita telah kembali nanti, aku akan menyisihkan waktu untuk mempelajari jeet kune do agar tetap berimbang."
Kate One Star dan Anita Thorwald berjalan ke arah yang berlainan, sementara Mok N'Ghai tinggal bersama Aristotle untuk mengkoordinasikan komunikasi, dan mencoba menghubungi benteng angkasa secepat-cepatnya.
Tom dan Ben dapat menyusul kapten Sansoth itu di tepi suatu rawa yang lain. Permukaan rawa itu beriak-riak kecil karena adanya kehidupan kecil yang tak kelihatan di dalamnya.
Kapten Sansoth itu meneliti daerah itu. "Ke sana," katanya, menunjuk dengan tangannya yang bercakar.
Untuk sesaat perjalanan agak mudah, mengitari sepanjang tepi rawa. Kedua pemuda itu mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang dengan prajurit Sansoth tersebut.
"Mengapa kalian justru memilih tempat ini sebagai tempat penetasan?" tanya Tom. Ia terperanjat, melihat sebatang tongkat menggeleser menjadi seekor ular.
"Tradisi," kata makhluk Sansoth tersebut. Kedua matanya yang bulat, menonjol ke luar mengamati tubuh manusia yang lebih kecil itu dengan sikap meninggikan diri. "Kami adalah bangsa kuno yang bermartabat tinggi. Cara-cara kuno sukar dilepaskan."
"Cara-cara kuno apa?" Tom melompat menghindari seekor laba-laba yang menggendong bungkusan telur-telurnya sebesar bola kaki. Laba-laba itu sedang memeriksa sarangnya yang rusak diterjang prajurit Sansoth tersebut.
Mula-mula Tom mengira, bahwa kapten Kaneth tak akan menjawab, tetapi akhirnya berkata juga: "Hanya yang terkuat sajalah yang dapat mempertahankan hidupnya. Itulah tradisi kami. Ada banyak sekali ujian-ujiannya, baik dari alam maupun dari kami sendiri yang harus dihadapi."
Mereka menyeberangi sungai kecil yang memuntahkan airnya ke dalam sebuah danau. "Tempat tinggal kami, dulu sangat hebat," sambung makhluk Sansoth itu.
"Dulu?" tanya Ben.
Kaneth mendesis, yang ditafsirkan Tom sebagai mengeluh.
"Sansoth sudah dijinakkan. Hanya di dunia luar, dunia baru yang pada waktu ini masih terdapat keadaan yang semestinya." Ia berhenti sejenak, mendongak mengawasi serombongan burung yang bersayap panjang. "Bangsa Torith adalah pemakan telur," katanya. "Tetapi mereka merupakan sebagian dari pola kehidupan kami. Yaitu untuk menguji keturunan kami. Karena itulah, kami tak dapat membunuh mereka."
"Tetapi telur kan tak dapat mempertahankan diri?" kata Ben.
Kaneth tak menghiraukan. "Sebaliknya, kami justru membunuh serigala yang kami sebut Torocka. Mereka justru merupakan ujian yang besar, sebab mereka membunuh Torith." Ia nampak puas, membayangkan bagaimana membunuh serigala.
"Tetapi itu menyebabkan lebih banyak lagi Torith yang menghabisi telur-telur kalian!" kata Ben. Ia memandang ke Tom.
"Sama seperti di Bumi pada zaman dulu. Orang mengadakan pembantaian terhadap serigala, sebab mereka mengira serigala itu berbahaya bagi manusia, lagipula banyak memakan rusa. Tetapi mereka tak menyadari, bahwa sesungguhnya serigala tak pernah menyerang manusia. Dan rusa yang mereka terkam hanyalah rusa tua atau sakit. Jadi mereka justru meninggalkan kawanan rusa yang paling baik!"
Kaneth menatap mereka. "Apa yang anda katakan" Jangan membunuh torocka" Kalian manusia! Makhluk tolol dan lemah!"
Dengan mendengus ia melangkah melintasi tanah yang rendah, mencipratkan lumpur.
Tiba-tiba permukaan air yang penuh sampah bergelombang dan mendebur pecah berbusa hijau. Sesuatu yang bersisik dan besar sekali muncul, berlumur lumpur dan akar-akar tumbuhan air. Ia mengibaskan diri seperti anjing yang kebasahan, mencipratkan air yang hitam dan gumpalan-gumpalan lumpur yang berbau ke segala jurusan.
Ia mengaum, suatu hentakan suara gemuruh yang mengejutkan dan menakuti kedua manusia. Apa yang Tom lihat hanya deretan-deretan gigi yang mengkilat, mulut yang merah basah, sisik dan cakar pada kaki-kakinya. Bentuknya seperti buaya yang berinduk seekor beruang. Dan makhluk itu menginginkan Tom sebagai santapannya!
Ben melangkah mundur, terserimpat sesuatu lalu jatuh berkecipak. Tom membalikkan tubuhnya untuk menolong, tetapi merasakan sambaran angin dari pukulan yang tak kena.
Auman kedua terdengar. Tetapi kali ini datangnya dari Kaneth.
Prajurit setengah reptil itu berdiri pada sebuah tonggak pohon sambil menarik sesuatu dari sabuknya. Cakar-cakarnya yang kuat membuka sebuah tabung. Terdengar logam mendenting, dan pada ujung tabung keluarlah mata kapak yang lengkung. Makhluk Sansoth itu meringis, gigi-giginya nampak berkilau. Sementara itu tangannya mengutik-ngutik gagang kapak, dan muncullah mata kapak yang lain. Kini Kaneth memegangi sebuah kapak bermata dua!
Ia menyerbu binatang rawa itu, gigi-giginya telanjang menantang, dan kapaknya berayun berkilau di sinar matahari.
Binatang rawa itu mengayunkan cakarnya, tetapi meleset.
Kaneth berpegang erat pada sisik-sisik yang dua kali lebih besar dari sisiknya sendiri. Kapaknya membenam dalam di tubuh yang berperisai kuat itu.
Binatang rawa itu mengaum dan melemparkan tubuhnya ke belakang, menyeret serta Kaneth.
Gelombang air busuk mengguyur tubuh Tom, melemparkannya ke dalam rawa di samping Ben. Kedua manusia itu melompat bangun, membuang serangga yang mirip lintah dari tubuhnya. Mereka memandangi pertempuran itu tanpa berkedip.
"Apakah itu tor- torocka?" tanya Ben dengan gugup.
Tom tak menjawab, terpukau. Ia melihat binatang rawa itu menggelepar di air. Cakar dan kapak berkilau-kilau di sinar matahari.
Binatang rawa itu mengaum dan Kaneth balas mengaum.
Pestol laser Tom ada di tangannya, tetapi ia tak berani menembak. Tak mungkin dapat melihat jelas dalam kekalutan itu.
Binatang rawa itu meraung, menghentak-hentak dan memilin-milin melepaskan diri. Ia bangun dengan cepat, memuncratkan gumpalan-gumpalan lumpur. Kaneth jatuh terkulai dan menghilang ke dalam air payau. Binatang rawa itu berbalik ke arah kedua manusia, rahangnya terbuka dan menutup. Darah bertetesan di antara lumuran lumpur. Tom mengangkat lasernya untuk menembak. Tetapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, binatang itu terhuyung-huyung. Kemudian, bagaikan tiang pancang yang putus-putus talinya, ia jatuh terlentang di air dengan benturan keras.
Untuk sesaat, baik Tom mau pun Ben tak bergerak. Sebuah tangan bercakar dari binatang itu membuka dan menutup lagi.
Kemudian ia diam, mati. Tom tersadar dari keterpukauannya.
"Kaneth! seru Tom, sambil berjalan di air. Mereka mendapatkan makhluk Sansoth yang tegap besar itu, di bawah permukaan air yang dangkal. Tetapi menyeretnya keluar dari lumpur yang lengket tidaklah mudah. Mereka bekerja keras untuk dapat menariknya ke rumput di darat.
"Masih hidup," kata Ben.
"Panggillah bantuan," Tom mendesak. Ia mencoba untuk menutup luka-luka prajurit Sansoth itu.
"Bantuan sedang datang," kata Ben setelah memanggil melalui alat komunikasi mininya. Empu jari kakinya menyentuh sesuatu yang keras di dalam air, dan ia melompat. Setelah ternyata tak ada apa-apa, tangannya merogoh-rogoh ke dalam air, lalu mengeluarkan kapak perang Kaneth.
"Luar biasa!" katanya sambil mengamati senjata itu. "Primitif, tetapi sangat berguna. Lihat, Tom. Gagangnya berbentuk teleskop, dan pegangannya serasi benar dengan tangan. Bagian tajamnya terdiri atas kepingan-kepingan seperti kipas dan saling mengunci." "Nampaknya makhluk-makhluk Sansoth itu sudah bersiap-sedia," Tom mengamati. Dari sudut matanya ia melihat suatu gerakan.
"Ben," ia menggumam, "kukira kita diawasi.
Dari pohon-pohon di sana itu, di sebelah kiri."
"Betul," kata Ben diam-diam. Ia berpura-pura bermain-main dengan kapak, sebentar-sebentar ia memutar tubuhnya sambil mengayun-ayunkan kapak. "Aku tahu," katanya tersenyum. "Kukira mereka adalah teman-teman kita yang hilang. Setidak-tidaknya, mereka seperti manusia."
"Jangan menakut-nakuti mereka," Tom memperingatkan. Ia menuju ke tempat yang tertinggi di pulau mini itu, lalu berseru keras: "Jangan takut! Kami akan menolong kalian! Kami datang untuk menjemput kalian pulang ke Bumi."
Tetapi jawabannya ialah batu-batu yang beterbangan, hampir saja mengenai kepalanya.
"Jangan! Tunggu!" teriak Tom. Tetapi malah lebih banyak lagi batu yang beterbangan.
"Pergi engkau, Swift!" terdengar suara. "Engkaulah yang membuat kami begini!"
"Itu suatu jebakan, Perk," terdengar suara lain dari hutan itu.
"Pergi dari sini, Swift!"
"Tidak. Dengarlah!" Tom memaksa. "Kami telah menguasai benteng. Tenaga David Luna telah buyar. Kami akan membawa kalian ke bumi ...."
Ben bangkit berdiri, tetapi cabang-cabang pohon dan batu memaksa dia bertiarap kembali. Ia meraba-raba sebuah bilur. "Sudah kukira,tongkat dan batu memang juga dapat menyakiti," ia mengeluh.
Tom berseru lagi. "Dengarlah! Saya akan membuktikan!" Ia mengacungkan senjatanya jauh ke depan lalu menjatuhkannya di rerumputan.
"Ben, berdirilah. Jatuhkanlah senjatamu,"katanya.
"Ya ampuuun!" kata Ben. Tetapi ia berdiri, melepaskan sabuk senjatanya lalu dijatuhkan di rerumputan.
Mereka menunggu. Kaneth menggumam dan bergerak, tetapi selain itu tak ada yang bergerak untuk sesaat.
"Tom," kata Ben. "Kalau Luna ada di sana bersama mereka" Orang itu sangat licik ...."
"Hee!" terdengar dari pepohonan.
"Yaa?" jawab Tom.
"Kami datang, tetapi kalian jangan memungut senjata-senjata itu."
Tom mengangguk. Ia bahkan mundur, menjauhi tempat diletakkannya senjata-senjata. "Bagaimana dengan Kaneth?" ia bertanya kepada Ben.
"Saya masih hidup, orang bumi," kata Kaneth dengan suaranya yang seperti guruh dari kejauhan. Lidahnya yang bercabang ke luar bagaikan kilat, menyambar seekor serangga kuning yang mampir di lengan bajunya. Lidah itu menggulung kembali, dan mata makhluk Sansoth itu setengah terpejam.
Tom mengawasi sekelompok kecil orang-orang yang keluar dari antara pepohonan, lalu menyeberang ke darat. Mata mereka nampak sayu dan penuh curiga. Dua di antaranya mengenakan baju laboratorium putih yang telah dekil koyak-koyak.
Seorang yang masih muda memungut senjata Tom dan seorang wanita lagi mencari-cari senjata Ben di rerumputan. Mereka tak mengacungkan senjata itu, tetapi tetap memeganginya.
"Aku Perkins," kata seorang yang jangkung berewok," mandor tuan Luna bagi pekerjaan di darat. Di mana dia?"
"Lho! Kalian tak tahu?" Tom mengernyit. "Kami juga sedang mencari dia."
Tom lalu menceritakan kepada mereka, segala apa yang telah terjadi. Meskipun mereka mendengarkan dengan sungguh-sungguh, tetapi mata mereka terpaku pada makhluk Sansoth. Makhluk itu sendiri balas memandang.
"Kalian sendiri" Apa yang terjadi dengan kalian?" tanya Tom.
Perkins mengangkat bahu. "Kami sedang bekerja. Tiba-tiba".makhluk-makhluk ini datang entah dari mana, dan merusak segala-galanya." Ia menunjuk ke arah rawa-rawa. "Kami bersembunyi di ... di sana sejak itu."
"Tom," kata Ben. "Orang-orang Sansoth yang lain datang kemari. Nampaknya mereka tak gembira."
Tom menoleh, melihat sembilan makhluk Sansoth. Mereka mendekati dia, dengan senjata siap di tangan.
Chapter 14 Pemimpin pasukan yang mendatangi itu, memberi isyarat.
Semua prajurit kecuali dua orang menyebar sejajar, senjata disiapkan.
Yang dua itu menyeberangi air menuju ke Kaneth. Tak seorang pun berbicara sambil memeriksa Kaneth yang terluka. Kemudian yang satu menekan sebuah benda bulat pada sehelai kulit bersisik dan terdengar suara merekah.
Dokter Sansoth itu (atau entah apa dia itu) melemparkan benda bulat itu dan memandangi pemimpinnya dengan teliti. Tom mencuri pandang ke arah anak buah Perkins yang dekil-dekil basah berlumpur.
Mereka tetap nampak curiga, tetapi tak seorang pun yang berbicara atau melakukan sesuatu.
Kaneth mengeluarkan suara mendesis, dan kedua makhluk Sansoth itu melangkah mundur. "Tamith, aku tak apa-apa. Aku cukup sehat," katanya. Ia berpaling lalu memandangi Tom, kemudian ke arah anah buah Perkins. "Itulah manusia-manusia penghancur telur itu!"
"Nanti dulu," kata Tom sambil melangkah ke depan, tak menghiraukan suara-suara mendesis dari pasukan Sansoth yang menyiapkan senjata mereka. "Orang-orang ini tak tahu-menahu tentang daerah penetasan kalian. Tak seorang pun yang tahu."
Perkins nampak terkejut. "Te"telur-telur itu"eh"itu telur telur makh".mereka ini?" Salah seorang wanita yang rambutnya penuh lumpur menelan ludahnya.
"Ya," kata Tom. "Aku akan menjelaskannya kemudian." Ia berpaling kepada Kaneth. "Bagaimana mereka akan tahu?"
"Kami kira, itu adalah telur-telur binatang seperti dinosaurus itu," kata seorang anak buah Perkins dengan menyesal.
Tamith mengeluarkan suara di tenggorokan, matanya menyipit. Tenggorokannya yang pucat itu nampak berdenyut-denyut, dan Tom dengan cepat menengahi di antara Perkins dan dia.
"Jangan marah," kata Tom dengan tegang. "Ini suatu kecelakaan. Kapten Kaneth, katakanlah kepada orang-orang anda, bahwa ini semua adalah karena salah paham."
Kapten yang bertubuh besar itu bangkit dan berdiri tegak, sementara dokternya mengolesi luka-lukanya dengan cairan yang tak sedap baunya. Cairan itu segera mengeras, menutup luka yang terbuka.
"Kapten Swift," katanya. "Bagaimana perasaan anda, bila ada makhluk-makhluk asing membantai seratus anak-anak yang belum terlahir?"
"Mengerikan," Tom mengakui. "Tetapi bila bangsa-bangsa yang baru bertemu untuk pertama kali, mereka dapat memperkirakan adanya kejutan-kejutan. Bahkan kecelakaan-kecelakaan yang tak terduga. Saya yakin, bahwa Luna Corporation akan memberikan ganti rugi. Tentu saja kami tak dapat mengganti telur-telur yang hancur. Tapi kami dapat membantu kalian menjaga telur-telur kalian, di kemudian hari."
Kaneth menatap Tom dengan mata menyala. "Bagaimana" Memerangi Torith?" Ia mendengus keras. "Ketika torocka itu menyerang, apa yang anda lakukan" Diam saja!"
"Itu tidak benar!" Ben membantah. "Kami tak dapat menembak, takut mengenai anda!" Mata Kaneth yang setengah reptil itu membesar. "Tak terhormat membunuh dari kejauhan! Bertempur harus dari dekat, dapat dicapai moncong atau cakar!"
"Dalam pembunuhan tak ada kehormatan apa pun!" kata Tom.
"Ben dapat menceritakan tentang adu ketangkasan, menyentuh tubuh lawan yang bersenjata, hanya dengan sebatang tongkat!" "Dengan tongkat!" Kaneth menukas.
"Suatu pertandingan kesatria," kata Ben. "Banyak suku-suku dari bangsa saya yang melakukan itu. Bertanding dari jarak dekat, tanpa senjata, dan hanya saling menyentuh." "Bangsa kalian tak membunuh musuh?" Tamith bertanya tak percaya. Kaneth menoleh memandangi prajuritnya, sementara Tom menjawab.
"Ya, dulu. Pada zaman sekarang, yah, kami melakukannya di depan pengadilan."
Kaneth memandangi kedua pemuda, lalu berkata: "Maafkan prajuritku, Terrans. Ia sangat menginginkan kekuasaan, kekuasaan apa pun! Bahkan kekuasaan saya!" Kaneth memperlihatkan gigi-giginya yang tajam. "Seperti yang telah saya katakan, kami adalah bangsa yang percaya, bahwa kelangsungan hidup hanya diperoleh bagi yang terkuat. Dan letnan Tamith mengira, bahwa dialah yang terkuat."
Tamith tak berkata apa-apa. Tetapi moncongnya yang lebar itu mendesis sebentar.
Tom cepat menengahi. "Saya kira kita harus kembali. Kapten Kaneth diobati luka-lukanya, kita harus memberi makan orang-orang ini secukupnya, dan . . . " ia menoleh kepada Ben.
"Dan saya dapat mandi!" Pemuda Indian itu tersenyum .
Kaneth tak berkeberatan Tom memimpin rombongan manusia-manusia Bumi itu ke perkemahan. Makhluk-makhluk Sansoth mengikuti dari belakang, dengan susah payah menyeberangi lumpur hingga matahari hampir terbenam.
Tiba di perkemahan, mereka mendapatkan Anita dan Kate bersama tujuh orang anak buah Perkins, ditambah lima lagi yang datang sendiri-sendiri.
"Kukira tak ada lagi yang lain," kata Perkins kepada Tom, setelah bercakap-cakap dengan rombongan itu.
"Kerugian yang besar." Tom menghela napas. Ia mendongak dari peta yang baru dipelajarinya. "Kita akan satu kali lagi mengirimkan regu pencari besok pagi di daerah ini," katanya sambil menunjuk ke peta. "Kalau kita menemukan orang lagi, bagus. Kalau tidak?" Ia mengangkat bahu dengan sedih.
Ben berdiri, berjalan lewat samping Mok N'Ghai dan Aristotle ke pintu kemah yang dengan tergesa-gesa telah mereka dirikan. "Aku akan berjaga sekarang," katanya. "Kate, engkau mengganti aku empat jam lagi, ya?"
Gadis berambut hitam itu mengangguk sambil melirik ke peta.
"Nah, dengar teman-teman," kata Perkins. "Aku harus mengatakan, sungguh lega terbebas dari rawa-rawa. Dan aku mengucapkan terima kasih kepada kalian." Ia memandangi mereka dengan tenang, bahkan kepada Aristotle. "Aku hanya ingin agar kalian tahu, bahwa banyak di antara kami berpendapat Luna adalah penipu. Memperdaya kami dengan segala cara. Memang, dia baik terhadap kami, tetapi itu hanya karena kami telah menguntungkan dia! Kami telah sadar sekarang."
"Lalu, apa rencana anda?" tanya Kate.
Perkins mengangkat bahu. "Yah, dengan sejujurnya, aku tak ingin lekas-lekas kembali ke Bumi. Aku sebenarnya ingin melakukan penyelidikan. Ingin tahu apa-apa yang terdapat di luar sana. Barangkali saja ... eh, barangkali saja menemukan sesuatu yang sangat berguna untuk di rumah."
"Yang paling berharga untuk dibawa pulang, mungkin hanya informasi-informasi," kata Tom. Ia tertawa kecil, lalu menyambung: "Ada sesuatu yang praktis, yang dapat segera digunakan!"
"Apa?" tanya Kate.
Tom mengacungkan ibu jarinya ke atas. "Benteng angkasa itu. Sebuah kota yang dapat berpindah-pindah. Dapat digunakan sebagai pangkalan sewaktu melakukan penyelidikan di planet-planet. Juga merupakan kapal yang nyaman untuk bepergian."
"Tetapi . . . engkau?" Kate hendak mulai berkata.
"O, aku akan membereskan stardrive-nya," kata Tom. "Akan kubuat sedemikian rupa, hingga dapat digunakan terus-menerus. Tidak hanya untuk satu kali seperti sekarang ini. Bagaimana pendapatmu?" ia bertanya kepada Perkins.
"Aku ... heh . . . apakah mereka memperbolehkan?"
"Kukira demikian. Kalian merupakan penyelidik ruang angkasa kawakan! Itu termasuk jenis manusia yang langka." Ia tersenyum.
"Kate, bagaimana engkau" Bukankah aku mendengar sesuatu pada suaramu tadi?"
Kate menyeringai, lalu tersenyum lebar. "Tommy, anakku! Engkau baru saja menyelamatkan bibimu Kate dari nasib yang mengerikan!" Ia berdiri dan tubuhnya yang sedemikian lentur dan tegang mendekapkan kedua tangannya. Kemudian kedua tangan itu dibentangkan dan memekik hingga mengejutkan semuanya. Dalam beberapa detik, dua makhluk Sansoth muncul di pintu kemah. Tetapi Tom memberinya isyarat untuk pergi.
"Jadi engkau suka?" pemuda itu menggoda.
"Senang sekali!" jawabnya. Dengan segera ia menjadi tenang kembali. "Aku boleh ikut, bukan" Maksudku, tak ada sesuatu pun yang menghalangi?"
"Ini adalah alam raya yang bebas," kata Tom.Sekali lagi Kate One Star memekik, lalu menjatuhkan diri di kursi. "Tom, engkau tak mengerti, bagaimana aku menginginkan sesuatu seperti ini! Justru karena itulah aku langsung ikut dengan Luna. Bumi telah menjadi sedemikian kecil . . . , begitu jinak!" "Bumi jinak?" tanya Anita. Ia membayangkan badai, taufan, angin ribut, perang, gempa bumi, gunung meletus, kemarau yang panjang dan kebakaran.
"Ya, jinak!" tukas Kate. "Tak ada lagi sesuatu yang baru! Tidak lagi berbahaya! Engkau selalu tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana pun buruknya, mungkin telah terjadi sebelumnya. Tetapi tidak demikian di dunia-dunia baru! Di luar sana, di bintang-bintang!"
Tom tertawa. "Kate, aku belum pernah melihat engkau begitu demonstratif!"
"Karena sebelum ini tak ada alasannya, Tom!" Ia berpaling kepada Perkins. "Dengar! Apakah saya bisa ikut dengan kalian" Saya cukup lumayan untuk bekerja!"
"Nona One Star! Apakah anda bergurau" Mungkin sekali kami justru memilih anda menjadi pemimpin kami!"
Kate memandang padanya sejenak. "Maksud anda, eh"seperti kapten?"
"Tentu! Atau apa saja yang anda mau: Nona Boss, Chief Honcho, apa sajalah!" Perkins nampak sangat gembira. "Izinkan saya pergi sebentar, untuk membicarakannya dengan Cazier, Bev Warren, Cliff dan yang lain-lain."
Kate berdiri. "Apakah kalian tak ikut juga" Kalian juga anak-anak baik."
"Terimakasih, Kate," kata Tom. "Tetapi kami harus membereskan ini semua." Ia menunjuk ke sekeliling, ke surat-surat dan perkakas-perkakas perlengkapan.
"Termasuk pula mencari Luna yang sulit dipahami itu," kata Mok N'Ghai perlahan-lahan.
"Nah, kalau begitu aku permisi dulu, ya?" kata Kate. "Aku hendak memikirkan sesuatu. Aku selalu menyukai langit di ruang angkasa di sekitar Sirus," katanya, lalu keluar dari kemah.
Hening sejenak, lalu Tom bertanya kepada Anita: "Engkau juga mau ikut?"
Anita menegakkan duduknya. "Tentu saja aku ingin. Tetapi kuharap bukan hanya benteng itu saja satu-satunya kapal yang terbang ke bintang-bintang, kalau engkau mengerti maksudku."
"Akan kuingat," kata Tom. "Nah, kalau"."
Ia berhenti, mendengar teriakan-teriakan dari kegelapan di luar.
Terdengar suara-suara teriakan dan derap kaki. Ia melompat ke pintu kemah, lalu keluar diikuti yang lain-lain.
"Ada apa?" ia berteriak.
Seorang prajurit Sansoth muncul dari kegelapan, sebuah kapak perang di tangannya. Tom mengenali Tamith. "Ada serangan di kubu selatan, kapten Swift!"
"Siapa yang menyerang?" Tom minta penjelasan.
"Torith!" Prajurit setengah reptil itu mengayunkan kapaknya ke arah selatan. "Mereka membunuh dua prajurit saya dan seorang dari rombongan anda."
Tom ternganga menahan napas.
"Itu belum semua, kapten! Salah seorang dari rombongan anda diculik, dibawa oleh mereka," Tamith menambahkan.
"Diculik" Dibawa" Siapa?" ia bertanya sambil melangkah mendekati letnan Tamith.
"Yang anda panggil Ben!"
Chapter 15 "Apa?" seru Tom. "Untuk apa mereka membawa Ben?"
"Saya kira, saya dapat menjawab," kata kapten Kaneth, yang muncul dari kegelapan. Ia juga membawa kapak perang, tetapi hanya digantungkan di pinggangnya.
"Teman anda, atau makhluk apa pun sebesar dia, sangat berharga bagi bangsa Toritih. Ia tentu dijadikan hadiah bagi ratu mereka."
"Ratu?" kata Anita. "Kukira mereka itu binatang, seperti".eh"dinosaurus."
"Memang," jawab Kaneth. "Kami tak banyak mengetahui tentang mereka. Tetapi kami tahu, mereka tinggal jauh di dalam batu-batuan. Disanalah tinggal ratu mereka, yang menelurkan mereka semua."
"O, jadi seperti ratu semut atau rayap," kata Anita sambil menghela napas.
"Pada waktu kami mendarat untuk pertama kali di sini, ada prajurit kami yang mereka bawa. Kami terlambat menemukan pintu masuk ke tempat mereka. Ia sudah dibungkus dengan selaput dan sudah mati." Kaneth memberi isyarat hendak mengundurkan diri.
"Kami tinggalkan dia di sana sebagai santapan ratu. Dengan demikian, ratu itu tak menginginkan makanan lain untuk sementara waktu."
Dengan suara menunjukkan rasa muak Anita berkata: "Mengapa anda tidak membunuh ratu itu?"
"Pertama-tama, karena kami memang tak dapat. Terlalu banyak Torith di sana. Kedua, kami memang tak mau. Itu akan merusakkan keseimbangan. Telur-telur kami harus mendapat ujian!"
"Anda mengetahui sesuatu," kata Anita. Ada nada panas dalam suaranya. "Kalian ...."
"Anita," Tom mencegah. "Itu tak akan menolong. Kapten Kaneth, apakah anda menduga Ben hendak mereka makan?"
Prajurit setengah reptil itu mengangguk.
"Anda juga tahu di mana tempat tinggal mereka?"
Makhluk Sansoth itu mengangguk lagi. "Maukah anda membawa kami ke sana?"
Makhluk Sansoth itu menggeleng perlahan-lahan.
"Mengapa tak mau?" Dengan marah Tom menunjuk ke luar.
"Ben ada di sana, kapten! Benyamin Franklin Walking Eagle, teman saya yang paling baik. Saya tak akan dapat membiarkan dia dibawa pergi, dimakan. "
"Makhluk-makhluk Torith tidak boleh diganggu, orang Bumi!" kata Kaneth dengan dingin. "Anda boleh mencoba mencari dan membebaskan teman anda. Itu hak anda. Tetapi tidak disertai kematian makhluk Torith!"
"Tetapi Torith itu telah memakan telur kalian!"
"Memang," jawab prajurit Sansoth itu. "Itu merupakan bagian dari hukum alam!"
"Kalau begitu, kami sendiri akan mencari ratu itu!" tukas Tom.
Dalam beberapa detik mereka telah berkumpul: Tom, Anita, Kate dan Mok N'Ghai serta Aristotle.
"Ia ada di bawah tanah," kata Tom. "Tetapi di mana?"
"Kita dapat melakukan penyelidikan seismografik," kata Anita.
"Tetapi semua instrumen-instrumen ...." Ia mengangkat bahu dan menunjuk ke reruntuhan perkemahan.
"Aku punya kemampuan," kata Aristotle. "Kalau aku mempunyai bahan peledak, lebih baik lebih dari satu. Aku dapat menggunakan gelombang-gelombang suaranya untuk menyelidiki ruangan-ruangan yang ada di bawah tanah. Sebuah lubang yang dapat ditempati, akan segera dapat diketahui."
"Bagaimana hendak kaulakukan?" tanya Anita ingin tahu.
"Aku dapat menyesuaikan sensor-sensor suaraku untuk menyelidiki gelombang-gelombang tersebut. Ledakan itu suara, seperti juga percakapan itu suara. Ini hanya suatu cara yang sederhana, tetapi radarku kurang kuat untuk mencapai jauh ke dalam batu," Aristotle menyesal.
"Ledakan macam apa yang kaukehendaki?" tanya Anita.
"Jangan terlalu besar," jawab si robot. "Dua lebih baik."
"Hmmm," Kate berpikir-pikir. "Kukira aku pernah melihat EXP-12 di gudang keamanan. Barangkali belum rusak oleh lumpur. Ayo, Anita!" Kedua gadis itu berlari pergi sambil melambaikan tangan.
*** Tom memandangi Mok N'Ghai sambil menggigit-gigit bibirnya.
"Mok N'Ghai, Torith-Torith itu tentu tak mau melepaskan Ben begitu saja. Mungkin kita harus membunuh beberapa di antara mereka."
"Dan engkau tentu bertanya-tanya, apa yang akan dipikirkan oleh makhluk-makhluk Sansoth, ya?"
Tom mengangguk. "Kalau aku tidak salah membaca pikiran teman reptil kita itu, ia seperti sedang berjalan di benang halus," kata perwira Skree itu. "Ia percaya, bahwa Torith-Torith itu sangat penting untuk menguji anak-anak mereka, tetapi juga ingin membantu engkau melepaskan temanmu."
"Mengapa engkau berpikir begitu?" tanya Tom.
"Sebab ia tak menutup sama sekali jalan tersebut. Kalau engkau berhasil menemukan jalan masuknya, berhasil menemukan dan membebaskan Ben, itulah memang maksudnya; kalau tidak?" Rahangnya bergemeletak dan sungutnya berayun-ayun.
"Tak membantu, tetapi juga tak menghalang-halangi, maksudmu?" sambung Tom. Sekali lagi ia menggigit-gigit bibirnya.
"Dan ia mengatakan, bahwa Torith-Torith itu tinggal di dalam tanah, dalam semacam liang atau sarang atau entah apa. Kalau begitu ...."
"Ini!" seru Kate. Ia dan Anita-kembali, masing-masing membawa kotak EXP-12. "Semuanya ada tiga! Engkau dapat membuat tiga ledakan."
"Bagus sekali," kata si robot. "Dapatkah kausetel agar meledak sekaligus?"
"Dapat!" kata Kate. Ia memegangi beberapa kabel.
Beberapa saat kemudian, Aristotle menunjukkan arah-arah dan jarak.
Tom, Anita dan Kate beranjak pergi, lampu-lampu senternya bergerak-gerak. Mereka hendak menanam bahan peledak.
Tak lama kemudian, mereka telah siap. Pendengaran Aristotle disetel menjadi sangat tajam dan dipertinggi. Sebelah kakinya dimasukkan ke dalam tanah sebagai alat penduga. Sekarang ia menyiapkan detonator lalu menyalakannya sendiri. Dengan demikian ia dapat mengukur sampai ke mikrodetik.
Tiga sambaran api membelah kegelapan malam, dan beberapa detik kemudian suara ledakan bergemuruh di telinga mereka. Burung-burung bercuit-cuit terbang ke udara dan hewan melata berlomba-lomba masuk ke air.
"Bagaimana?" Tom tak sabar.
"Satu kilometer selatan-baratdaya ada gua. Ini yang paling besar. Tetapi ada lainnya, lebih kecil, agak lebih jauh dari yang pertama. Arahnya selatan-tenggara."
"Kita cari yang paling dekat dulu," kata Tom. Ia melihat ke kompas yang diberikan oleh Kate. "Mok N'Ghai, maukah engkau ikut kami ke mulut gua" Aku ingin engkau dapat menyediakan garis pertahanan. Bila kami ke luar nanti, mungkin kami memerlukan perlindungan."
"Tentu saja, Tom."
"Aristotle! Engkau?"
"Bolehkah aku menyertai kalian" Ben juga temanku," kata manusia mesin itu.
"Ini nanti di dalam gua, temanku. Dan engkau bukan prajurit yang gesit. Lagi pula masih ada larangan bagimu untuk mencelakai makhluk hidup!"
"Makhluk hidup yang cerdas beradab," robot itu mengingatkan.
"Oke, ikutlah ke mulut gua. Mungkin kita masih memerlukan pengarahanmu untuk menghemat waktu."
"Terima kasih," kata si robot.
Kepada Anita Tom berkata: "Engkau tinggal di sini. Awasi para Sansoth itu. Gunakan radio untuk memberitahu Aristotle kalau terjadi apa-apa." Ketika Anita hanya memandangi dia, Tom menyeringai. "Ini perintah!"
Gadis berambut merah itu hanya meringis, tetapi mengangguk juga. Ia mengawasi regu pencari itu menghilang di kegelapan planet asing yang penuh tantangan.
Tak lama kemudian, senter mereka menyinari batu karang, lalu bergerak keluar-masuk mulut gua yang gelap. Aristotle telah menuntun mereka tanpa kesalahan sedikit pun. Mereka lalu ragu-ragu.
Mana penjaga-penjaganya" Jebakan" Tanda bahaya"
"Mari," kata Tom akhirnya. Senjata lasernya ada di tangan, tetapi ia berharap tak perlu menggunakannya. "Siap di tempatmu masing-masing!"
Mok N'Ghai dan si robot mengambil pada sisi berlawanan dari mulut gua.
"Kukira kini saat yang tepat untuk mengucapkan selamat berjuang," kata Aristotle.
Kate tersenyum kepadanya di keremangan cahaya lampu senter.
"Kukira engkau tak percaya akan peruntungan!"
"Nasib"peruntungan"itu hanya nama-nama yang diberikan oleh manusia untuk kesempatan," jawab si robot. "Ungkapan-ungkapan begitu hanyalah singkatan dari kalimat yang menunjukkan puji baik bagi yang mengucapkan."
"Percayailah Aristotle, kalau untuk menjela-kan sesuatu," Kate bergurau sambil mengikuti Tom dalam kegelapan.
Gua itu miring turun ke bawah dan membelok ke kanan. Dalam beberapa saat, Tom dan Kate tak lagi dapat melihat keremangan langit malam di belakangnya. Cahaya lampu senter mereka, menerangi batu yang aus dan terpantul pada kubangan-kubangan kecil yang demikian jernihnya hingga hampir tak nampak.
Mereka menyeberangi kubangan-kubangan itu hingga lantai gua miring menanjak lagi. Lapisan-lapisan batu berubah, lalu berubah lagi ketika mereka sekali lagi harus berjalan menurun. Tanda-tanda kandungan kuarza nampak di dinding granit, memantulkan cahaya senter balik ke mata.
"Wah!" Kate menahan napas ketika mereka menikung lagi di sudut. Di hadapan nampak sebuah dinding setengah kristal berwarna-warni. Hijau lavender, ungu muda dan merah muda, berkilau-kilau dalam cahaya senter mereka.
"Indah sekali!" bisik Kate.
Dinding itu miring, lalu melengkung di atas, dan kini mereka ada di dalam terowongan yang sempit.
"Lihat lantainya," kata Tom. "Sudah diratakan secara kasar. Benjolan-benjolan dibabat, dan pecahaan-pecahannya dimasukkan ke dalam celah-celah."
"Siapa kiranya yang melakukan itu?" Kate berpikir. "Apakah makhluk Torith itu cerdas juga?"
"Kera dan monyet juga cukup cerdas untuk melakukan hal itu," jawab Tom. "Mereka dapat menggunakan alat-alat sederhana. Dan ini adalah makhluk-makhluk asing. Mungkin saja mereka bosan berjalan telanjang kaki di batu-batu yang tajam. "
Kate tersenyum melihat sebuah batu kuarza merah jingga besar menonjol ke luar. "Aku merasa seperti di dalam musium."
"Ya," bisik Tom. "Tetapi yang ini mempunyai aturan-aturan keras."
"Maksudmu, lebih baik kita tak berbicara?"
Tom mengangguk. Dengan hati-hati mereka berjalan menuruni terowongan. Di sini terdapat turunan tajam seperti undakan raksasa setinggi tubuh Tom.
Satu jam kemudian mereka masuk ke dalam gua yang luas, setinggi rumah bertingkat lima. Kristal biru memancarkan sinar berbayang hijau muda dan merah ungu, di sekitar mereka. Keindahan itu menyebabkan Kate berbisik: "Aku merasa seperti ada di dalam Telur Paskah Faberge yang indah! Sungguh indah!"
Tom menunjuk ke secercah kegelapan di seberang dan Kate mengangguk. Kedua muda-mudi itu memanjat naik ke tempat gelap tersebut, yang ternyata merupakan pintu ke terowongan lain. Kristal-kristal biru itu segera berubah menjadi merah ungu, sementara mereka merangkak sepanjang terowongan tersebut. Pada saat mereka membelok, kristal-kristal kuarza itu telah berubah berwarna merah darah.
Tiba-tiba Tom mengangkat tangannya. Ada suara!
Kate juga mendengarnya. Suara yang lain lagi. Mereka mematikan senter, dan tanpa bersuara terus maju. Mereka meraba-raba dengan ujung sepatu dan jari-jari di kegelapan. Tetapi setelah beberapa meter, Kate memegangi lengan Tom.
Di depan nampak cahaya merah jambu, memantul pada dinding kristal merah. Suara itu lalu menjadi seperti nyanyian yang keluar dari tenggorokan, disertai oleh langkah-langkah kaki yang aneh. Tom dan Kate mendekati cahaya tersebut lalu berhenti, terpukau oleh apa yang mereka lihat!
Sebuah gua, lebih besar dari semua yang mereka lihat sebelumnya, membentang di depan mereka. Bentuknya bulat telur, setinggi kira-kira tigapuluh meter. Di atas, bergemerlapan sekelompok besar kristal merah, menyebarkan cahaya kemerahan ke seluruh ruangan. Tom tahu, bahwa kristal-kristal itu berada dekat dengan permukaan tanah di atasnya. Kini sudah hampir pagi, dan sinar matahari mulai menyinari kristal-kristal tersebut dari luar.
Di atas berpuluh-puluh blok kristal merah padam yang sangat besar, berdiri makhluk-makhluk setengah reptil yang belum mereka kenal sebelumnya. Bentuknya mirip kodok yang kurus, tetapi tinggi tubuhnya dua meter lebih! Kakinya yang berbelah menjorok ke luar untuk mendukung berat tubuhnya yang berbentuk seperti sebuah pin pada permainan bowling. Mulutnya lebar terbuka, dengan lidah merah jambu yang sewaktu-waktu ke luar-masuk bagaikan kilat. Matanya yang bulat besar, seperti terpaku pandangannya pada satu titik. Kedua muda-mudi itu berpaling mengikuti pandangan mereka.
Di sebelah kanan mereka ada sebuah blok kristal putih sebesar rumah. Di depannya berdiri dua sosok tubuh. Tubuh manusia! Kedua lengan mereka terbentang, dipegangi pada pergelangannya oleh tangan-tangan bercakar dari makhluk-makhluk setengah kodok tersebut.
Kurban! pikir Tom. Ia berkedip-kedip ketika mengenali siapa kedua kurban tersebut: yang satu adalah Ben, berambut hitam dan berotot, bersikap menantang dan waspada; yang lain adalah David Luna!
Chapter 16 Semuanya diam tak bergerak. Bahkan Ben dan Luna pun tak bergerak.
"Menunggu apa mereka itu?" Kate berbisik.
Kemudian Tom melihatnya. Dari cahaya merah darah kristal-kristal di atas, nampak seberkas cahaya tunggal berwarna putih. Di dalam kristal-kristal itu ada sebongkah kristal lain, jernih bagaikan kaca. Kristal tersebut meneruskan cahaya matahari pagi, memusatkannya menjadi satu berkas cahaya putih yang jatuh ke lantai.
Tom mengawasinya. Cahaya tersebut bergerak lambat sekali ke arah balok batu kuarza merah. Dalam waktu lima menit lagi, berkas cahaya itu tentu akan sampai di balok kristal putih. Tom menduga, saat itulah pengurbanan akan dimulai. Ia tak dapat menekan rasa merinding ketakutan!
Torith-Torith si pemakan telur bangsa Sansoth itu semuanya diam. Nyanyian permulaan telah selesai; hanya suara napas yang terdengar. Tom berpikir dengan kalut apa yang harus diperbuatnya.
Terlalu banyak Torith yang harus dihadapi. Dan dia merasa tak punya alasan untuk membunuh mereka. Namun Ben, temannya, sedang hendak dikurbankan!
Kedua Torith yang berdiri di samping manusia-manusia kurban itu memegang sebatang batu kristal yang tajam, seperti pisau upacara.
Benteng Astral Tom Swift 5 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tom berpikir keras sejenak, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Kate. Ia membisikkan rencana kepadanya. Kate menyeringai, memandangi Tom seperti sedang kesakitan, lalu mengangguk. Ia menyiapkan senjata lasernya, lalu membungkuk rendah di atas lantai yang merah.
Tom menarik napas panjang, dan ia pun bertiarap di lantai kristal. Ia menghadapi risiko akan melukai makhluk hidup, namun ia tak dapat memikirkan usaha lain yang membayangkan keberhasilan yang paling minim pun.
Ia tahu, bahwa alat-alat penterjemah mereka pun tak ada gunanya. Sebab semuanya akan telah berlalu sebelum bahasa Torith itu dapat diprogramkan. Adapun yang terdengar hanyalah ocehan-ocehan kodok-kodok raksasa itu. Apa yang akan terjadi nanti, hanya akan berupa sandiwara murni, gertakan, dan keberanian.
Tom memegangi pergelangan kaki Kate dan melihat jago berkelahi itu mengangguk. Mereka menegangkan otot-otot, mempersiapkan diri. Tom menepuk sepatu Kate lalu berdiri.
Kate juga berdiri, senjata lasernya menyembur dengan denyut-denyut pendek, menghamburkan berkas-berkas sinar merah delima ke dinding gua di seberang dan di langit-langit. Sinar-sinar yang lurus tipis bagaikan benang itu memantul pada permukaan kristal-kristal, membias dalam sudut-sudut yang berlainan ke segala arah. Kemudian memantul lagi pada kristal-kristal berikutnya, hingga ruangan itu bagaikan penuh benang-benang sinar laser, bersimpang-siur berwarna merah.
Tom menyelinap melalui ujung terowongan ke gua di sebelah bawah, sementara semua mata terarah ke suatu sosok tubuh manusia, yang berdiri di keremangan mulut gua. Tangan kanannya bagaikan tak henti-hentinya menyemburkan sinar api. Kristal-kristal menjadi retak-retak dengan tenaga seperti meledaknya senapan, sementara yang lain-lain pecah berantakan karena tekanan dalamnya terlepas.
Ting! Tak! Criiing! Gedubr aaak!
Makhluk-makhluk Torith, sambil meringkukkan tubuh memandang terpukau ke manusia yang tak henti-hentinya menyemburkan sinar api. Salah satu sinar memantul pada kristal di dekat Tom, memecah di permukaannya lalu menyebar ke dalam benang-benang sinar yang lemah.
Tom melompat dari balok kristal, menghindar mengitari Torith yang terpukau, yang nampaknya tak melihat Tom. Tom mencapai sisi balok kristal putih, dan menemukan beberapa batu pijakan. Ia naik ke atas dua batu loncatan sekaligus. Pada saat itu jaring sinar-sinar merah di ruangan itu berhenti. Untuk sesaat suasana menjadi hening.
Kate mulai berbicara. "Keenamratus penunggang kuda masuk ke lembah maut!" Perintah Kate menggeledek. "Meriam-meriam di sebelah kanan! Meriam-meriam di sebelah kiri!"
Tom menyelinap, mengitari permukaan balok putih-susu itu hingga tinggal beberapa langkah lagi dari Ben. Ia melihat mata temannya tertuju kepadanya, lalu mengedip-ngedip gembira karena mengenalinya. Tetapi pemuda Indian itu tetap tak bergerak.
"Lalu apa lagi sekarang" pikir Tom.
"William Penakluk!" seru Kate. "William Rufus putra William Penakluk! Henry Pertama! Stephen, kemenakan Henry Pertama!"
Tom tersenyum mendengar disebutnya nama penguasa Inggris tersebut. Ia melangkah maju, lalu memukul dengan pukulan karate si Torith yang memegangi tangan kanan Ben. Makhluk itu terhuyung, memandangi Tom dengan gerakan yang lambat lalu rubuh. Pengawal yang memegangi tangan kiri Ben menghentak, hingga pemuda itu kehilangan keseimbangan. Kemudian Torith itu mengangkat pisau kristalnya dan melangkah ke arah Tom.
"Henry Kedua!" seru Kate keras-keras. Suaranya bergema ke seluruh ruangan. "Richard Kedua! Richard Berhati Singa!"
Ben menjegal Torith yang ketiga, dan Tom menyodok perut Torith yang memegang pisau. Makhluk itu mental ke belakang, merosot dari batu kristal lalu jatuh ke dalam rekahan di lantai. Kini kedua Torith yang memegangi Luna telah maju, tetapi Luna berhasil memukul salah satu dari mereka.
"John Tak Bernegara, putra Henry Kedua!" teriak Kate sambil melambai-lambaikan tangannya kalang kabut.
Tiga manusia melawan Torith. Sebuah pisau upacara merobek baju Luna, menggores tubuhnya, tetapi tendangan yang keras melemparkan lawannya jatuh melalui pinggiran. Dalam sekejap Tom dan Ben berhasil memukul jatuh kedua makhluk setengah kodok, lalu lari menuruni batu-batu pijakan, disusul oleh Luna di belakangnya.
"Henry Ketiga! Eh, Edward Pertama, Edward Kedua, Edward Ketiga, Henry Keempat, eh bukan, Richard Kedua!"
Puluhan Torith berdiri bagaikan terkena pesona pada teriakan-teriakan yang aneh itu. Tom, Ben dan Luna menunduk lalu memanjat hingga tiba di dekat mulut gua.
"Elizabeth Kedua! Charles Ketiga!"
Tom masuk ke terowongan dan Kate mengacungkan senjatanya ke dalam gua. Ia menembakkan beberapa denyut sinar laser di atas kepala lawan-lawannya. Sinar itu mental pada kristal, dan Tom menuntun rombongan itu keluar melalui terowongan.
Kate mengawal di belakang. "Laser"laserku sudah habis," ia terengah-engah ketika memanjat.
Sebelum Tom dapat menyahut, suara menggerung bergema di telinga mereka. Para Torith mulai sadar dari pesona dan terkejut, lalu mulai mengejar para kurban.
"Berikan aku lasermu," Luna meminta kepada Tom. "Aku akan membereskan"."
"Terus lari!" bentak Tom. Ia mendorong Luna dan Ben ke depan dan memberikan lampu senternya kepada Ben. Ia menunggu Kate menyusul, lalu menyuruh gadis itu untuk terus lari. "Aku yang mengawal di belakang," katanya.
Kate mengangguk. Senjata Tom tinggal satu-satunya yang masih berisi.
Mereka berlari amat kencangnya. Luna tersandung dan jatuh, berguling di kerikil kristal. Ia berteriak kesakitan. Kate menolong dia berdiri, tetapi Luna menggertaknya sambil menghentakkan tangannya dari pegangan Kate.
"Biarkan aku!" "Barangkali lebih baik kami meninggalkan anda sendiri, Luna?" tukas Kate kembali.
"Lari! Lari!" Tom berseru mendorong mereka. Ia menoleh, mengira melihat gerakan pada bayangan terowongan kristal.
Tom menembak pendek-pendek beberapa kali, diarahkan menyudut pada dinding terowongan, hingga terpantul beberapa kali membentuk jaringan sinar-sinar merah di kegelapan. Terdengar suara parau dan derap kaki.
Kristal-kristal merah berbaur menjadi merah ungu, lalu hijau muda, kemudian biru. Ketiga muda-mudi serta Luna mendaki, menurun, menyeberangi kubangan-kubangan yang tak nampak di dekat jalan masuk.
"Aristotle!" Kate berteriak. "Ini kami!"
Mereka tiba di pendakian mulut gua, basah dan bilur-bilur. Mok N'Ghai menjemput dan membantu ketika mereka menjadi silau oleh matahari pagi. "Cepat!" katanya. "Kita harus kembali ke perkemahan."
"Lepaskan tangan kutumu! Engkau, makhluk yang buruk!"Luna menggertak.
"Tak ada rasa terimakasih yang menghangatkan hatimu," Ben menggerutu.
"Engkau tidak menyelamatkan aku," Luna membentak Tom. "Engkau membebaskan temanmu! Aku hanya beruntung!"
"Terus lari!" seru Tom. "Mereka dekat di belakang kita."
Hutan yang berawa-rawa merapat di sekeliling mereka ketika mereka berlari menuju perkemahan.
Para prajurit Sansoth menunggu mereka, bersama manusia-manusia anak buah Perkins yang merasa khawatir.
"Apa yang terjadi?" tanya Cazier.
"Ada Torith yang mati?" tanya Kaneth dengan keras.
"Tidak," jawab Tom. "Kukira tak ada. Sinar laser itu banyak kehilangan tenaga bila dipantulkan. Tetapi kami dikejar oleh beberapa puluh Torith!"
Pemimpin Sansoth itu berkedip, lalu memandang ke belakang Tom. Kemudian ia berpaling ke Tamith dan memerintahkan: "Perkuat penjagaan! Perintahkan mereka untuk menakut-nakuti Torith!"
"Siap," jawab Tamith, tetapi ketika Kaneth beranjak pergi, Anita melihat bayangan aneh di wajah Tamith. Sulit untuk mengenali sikap makhluk asing, itu ia tahu. Tetapi ia berani bersumpah bahwa Tamith menunjukkan rasa jijik bercampur benci.
"Engkau tak mempunyai hak hukum atas aku!" David Luna berkata marah kepada Tom. "Di sini juga bukan segalaksi dengan Bumi, apa lagi Bumi sendiri!"
"Saya akan membuat tahanan kota," kata Tom tenang.
"Sudah kukatakan! Engkau tak punya kekuasaan!" Luna menggertak.
"Tom," kata Aristotle. "Aku mengerti, ini adalah suatu contoh dan akan menjadi pokok acara dalam penafsiran dan analisa di kemudian hari. Tetapi barangkali, undang-undang standar hukum di Bumi bisa berlaku pula bagi manusia di seluruh ruang angkasa?"
Anita tertawa. "Aku terima pendapatmu itu! Paling tidak itu cukup untuk menyeret David Luna yang besar itu kembali ke Bumi. Lihat saja kata-kata mereka di sana."
"Mungkin ia akan menyuap untuk kebebasannya," Ben meramal.
"Tak ada gunanya!" Luna mengangkat bahu. Ia membungkuk di meja di tengah kemah. "Ini adalah bangsa baru! Belle Genevieve adalah milikku! Akulah penguasa di sini. Justru kalian itulah yang masuk kemari tanpa izin!"
"Mereka di Bumi nanti yang memutuskan," kata Ben. "Kalau mereka"." Ia berhenti ketika Kapten Kaneth masuk.
Pemimpin Sansoth itu melihat ke sekeliling dengan pandangan bermusuh. Seekor kumbang hinggap di pipinya. Dalam sekejap mata lidahnya berkilat menangkapnya, dan lenyaplah serangga itu.
"Torith-Torith itu tidak menyerang," ia mengumumkan. "Mereka berjalan berkeliling dua kali, lalu menghilang. Tetapi mereka masih bersembunyi, menunggu." Ia memandangi Ben dan Luna.
"Apakah kalian mencelakai ratu mereka?"
"Ratu?" kata Luna sambil mengernyitkan dahinya. Ia terkejut ketika dengan singkat Tom menjelaskan, bahwa ia dan Ben diculik untuk dijadikan mangsa bagi ratunya.
"Hiii," Luna bergidik. "Binatang-binatang yang memuakkan!"
Ia memandangi Mok N'Ghai dan Kaneth dengan pandangan sengit.
"Ben, usahakan agar tuan Luna selalu di bawah pengawasan," kata Tom. "Gunakan beberapa orang dari para pekerja itu."
Ben melihat ke Luna yang bersikap angkuh, tinggi hati dan sombong. "Apakah kita dapat mempercayai mereka" Bagaimana pun Luna yang membayar mereka!"
"Dan menipu mereka," sambung Tom. "Panggillah Perkins untuk mencari sukarelawan."
"Oke," Ben mengangkat bahu. "Ayo, timah panas! Inilah kejatuhanmu!"
"Lepaskan tanganmu yang kotor itu," Luna menggertak.
Ben tertawa kecil. Kepada Anita, Tom dan yang lain-lain ia berkata: "Seharusnya kalian melihat, bagaimana orang ini mencoba menyuap para Torith ketika kami menunggu terbitnya matahari. Ia menawarkan kepada mereka seluruh planet Belle Genevieve ini ditambah dengan setengah negara bagian New Yersey, kalau mereka mau mengambil aku lebih dulu. Tentu saja mereka tak mengerti sepatah kata pun!"
"Mereka itu binatang-binatang!" kata Luna.
"Betul," kata Ben. "Tetapi binatang pun mempunyai cara-cara sendiri. Dan Torith-Torith itu juga mempunyai cara mereka sendiri mengurbankan daging." Ia memberi isyarat kepada Luna dari pintu tenda. "Mari kita pergi, tuan penguasa dunia!"
Ketika mereka meninggalkan tenda, Kate masuk dan duduk.
"Tahukah engkau?" katanya. Aku tadi berpikir: Seandainya saja aku ingat seluruh 'serangan Brigade Light' di sekolah dulu! Tentu merupakan pidato yang mengesankan bagi para Torith!"
"Engkau sudah bertindak bagus," kata Tom tersenyum. "Pertunjukan cahaya yang hebat pula!"
"Aku takut kalau ada yang mengenai engkau; tak mengontrol bagaimana mereka akan memantul!"
Tom mengangkat bahu, mengamati Kaneth sedang berbalik dan meninggalkan kemah, sedikit pun tak berkata-kata.
"Kalian tahu, kita harus mengawasi Luna yang licin itu dengan ketat. Ia tak akan melepaskan harta yang berharga seperti Belle Genevieve ini tanpa berjuang."
"Ia boleh memperjuangkannya nanti di Bumi." Kate menguap dan menggeliat. "Bagaimana kalau kita tidur saja" Aku sudah kehabisan tenaga. Mari kita mengaso di dipan-dipan kita yang nyaman di Exedra. "
Tom setuju, dan beberapa saat kemudian tinggal Aristotle yang masih berdiri tegak tak bergerak"tetapi tetap berpikir.
Nampaknya baru beberapa detik berlalu, ketika Ben mengguncang-guncang Tom dari tidurnya yang nyenyak.
"Tom! Tom! Bangun!" ia berteriak. "A ...?"
Tom menggeliat. "Luna telah melarikan diri!"
Chapter 17 Mata Tom bagaikan hendak meloncat ke luar menatap Ben.
"Luna lari" bagaimana?"
"Para Sansoth itu telah mendaratkan sebuah pesawat lagi, dan entah bagaimana Luna bebas dan naik ke pesawat!" seru Ben.
"Tak mungkin ia mengemudikan seorang diri sebuah pesawat asing!" katanya sambil mengenakan jumpsuitnya, "Apakah ada yang ikut bersama dia?"
"Orang-orang Luna Corporation" Tidak, sejauh yang dapat kukatakan. Tapi justru Tamith yang ikut lenyap. Ia pergi bersama Luna. Demikian juga beberapa prajurit Sansoth."
"Di mana Kaneth?"
"Di pesawatnya. Mereka sedang bersiap untuk mengejar. Ia telah memanggil kembali anak buahnya dari pos-pos penjagaan. Berarti tak ada lagi pengawal"."
"Hingga Torith-Torith itu dapat menyerang!" Tom menyelesaikan kata-kata temannya.
Ia melompat keluar dari kabin ke pintu tekanan udara, disusul oleh Ben di belakangnya. Anita menyertai sambil mengancingkan ritsleting dari jumpsuitnya yang hijau. Ben dengan singkat memberitahu Anita sementara pintu tekanan bergeser. Mereka bertiga lalu lari melintasi tanah berawa-rawa ke pesawat Sansoth. Para prajurit reptil sedang berbaris hendak masuk, sambil menghentak-hentakkan kaki melemparkan lumpur. Tom mendesak masuk.
Pertama-tama yang dirasakannya ialah hawa yang panas dan lembab. Rasanya seperti di rawa-rawa, baik udaranya maupun suasananya. Dengan terheran-heran ia berhenti untuk mengamati apa yang dilihatnya.
Lorong-lorongnya berbentuk oval dan cukup besar. Tetapi sepanjang dinding-dindingnya, di sekeliling alat-alat elektronik dan bagian-bagian mekanik di seluruh pesawat itu, disusun kotak-kotak logam yang masing-masing berisi tanaman hidup. Suatu susunan rumit sistem pengairan dan pipa-pipa penyaluran melayani tiap-tiap pot tersebut. Tanaman itu tumbuh melilit dan membelit pipa-pipa tersebut. Banyak bunga-bunga tergantung pada lampu-lampu, dan sulur-sulurnya menghias piringan jarum penunjuk dan alat-alat ukur lainnya.
Udaranya berat, panas dan penuh tepung sari dan serangga. Para Sansoth itu mendesak-desak Tom ketika ia menerjang masuk. Ketika ia menunduk pada sebatang tanaman, daun-daunnya yang merah mengkerut, daun-daun bunganya menutup dan duri-duri batangnya berlompatan ke luar.
Tom memegang Sansoth yang sedang lewat. "Kapten Kaneth ada di mana?"
Prajurit itu mengeluarkan suara parau dan menunjuk ke depan.
Diikuti oleh Ben dan Anita, Tom menunduk di bawah daun-daun hijau dan berjalan di lorong. Di sana-sini dipasang papan-papan logam dipoles halus dengan huruf-huruf asing.
Manusia-manusia Bumi itu melewati sebuah ruangan besar yang penuh dengan prajurit-prajurit, yang sedang sibuk mengikat diri pada kursi masing-masing. Seorang petugas yang nampak ingin tahu mempersilakan mereka ke ruang pengemudi.
Kapten Kaneth menoleh dari kursinya untuk menghadapi mereka. Di sekelilingnya ada empat prajurit Sansoth, duduk membungkuk mengamati layar-layar monitor komputer dan papan-papan penuh tombol. Bahkan di sini pun banyak terdapat pot-pot tanaman, dan udaranya juga panas serta lembab hingga Tom sulit bernapas.
"Kapten! Luna telah melarikan diri"dan membajak pesawat anda!" kata Tom.
"Bukan, kapten Swift. Tamithlah yang mencuri pesawat kami. Tak salah lagi, tentu dibujuk oleh teman anda Luna. Tetapi Tamithlah yang mencuri."
"Kita harus menangkap Luna!" kata Anita. "Ia adalah penjahat."
"Demikian pula Tamith," Kaneth menggumam. "Dan kami akan menangkap dan menghukum dia!" Ia memandangi ketiga manusia.
"Sekarang turunlah dari kapal kami. Saya akan berangkat, dan kami tak mau kalian ada di kapal kami." Kepalanya menoleh ke kiri dan berkata: "Gorim, beri isyarat untuk minta tenaga gaya angkat semenit lagi!"
"Tunggu sebentar, kapten," kata Tom. "Mengapa letnan Tamith pergi dengan Luna" Apakah ia bukan perwira yang patuh?"
"Tamith"sekarang sudah mati bagi keluarganya. Dan namanya dicoret dari daftar".ia sangat ambisius. Ia menganggap lebih baik daripada saya." Cakar Kaneth bergerak memberi isyarat. "Ia mencoba membuktikannya, tetapi ia sudah mati."
"Kau sungguh keras terhadap anak buahmu," kata Ben.
Kaneth memandangi dia. "Kami adalah makhluk yang berhasil mempertahankan hidup. Kami akan hidup melampaui bangsa-bangsa di alam raya. Saya akan mengejar Tamith. Kalau dia yang menang, dialah yang terkuat dan keluarganya dapat hidup lebih lanjut. Nah, kalian tinggal punya waktu tigapuluh detik untuk turun dari pesawat."
"Mari," kata Tom. "Tak ada gunanya berbicara dengan dia."
Mereka lari kembali, menyelinap melewati pengawal yang tak sabar di pintu tekanan, lalu turun dan lari ke perkemahan.
Pesawat Sansoth naik dengan suara gemuruh. Tom berteriak kepada para anak buah Perkins. "Lekas naik ke pesawat! Kita akan berangkat lima menit lagi."
Tom mendapatkan Mok N'Ghai dan Aristotle sudah berada di ruang pengemudi, melakukan pemeriksaan sebelum terbang. Tom menjulurkan tubuhnya dan menekan sebuah tombol. "Perkins" Cazier" Apakah semuanya sudah naik?"
"Sudah!" jawab Perkins.
"Anda pasti" Tak seorang pun yang tertinggal?"
"Jangan bergurau!" seru Perkins. "Siapa yang mau tinggal di planet ini?"
Ketika Tom membetulkan letak duduknya di kursi pilot, ia melihat gerakan di tepi rawa-rawa. Torith-Torith sedang mendatangi!
"Sudah siap untuk naik?" Tom bertanya kepada Mok N'Ghai.
"Siap," jawab makhluk Skree itu. "Angkat, kapten!"
Pesawat Exedra bergerak meninggalkan daratan dengan mulus.
Bau dan kelembaban Belle Genevieve seperti hilang mengalir. Dalam beberapa detik langit menjadi gelap, dan mereka sudah ada di ruang angkasa.
"Di mana Luna dan Tamith, Aristotle?" tanya Tom.
"Quadrant ketiga, duapuluh delapan derajat selatan, enambelas utara. O ya, Tom. Aku telah menghubungkan diriku dengan komputer Sansoth. Mereka sedang melakukan perhitungan untuk lompatan ke ruang angkasa luar!"
"Kita tak mungkin mengejar mereka," kata Anita. Kate menerjang masuk ke ruang pengemudi, mempelajari situasi pada layar-layar dengan sekali pandang orang yang berpengalaman.
"Bahayanya besar," kata Aristotle.
"Apa maksudnya?" tanya Kate kepada Tom.
"Bila sebuah pesawat melompat ke ruang angkasa luar, ada gaya belok yang kuat sekali di daerah sekitarnya yang dekat. Karena itulah, kita selalu menjauhi planet-planet dan bulan sebelum kita melakukannya," kata Tom. Ia menekan suatu penyusun kode pada komputer di dekatnya. "Kalau ada dua pesawat yang cukup dekat jaraknya ..." Ia ragu-ragu. "Engkau tahu, semua ini masih hal-hal yang baru. Mok N'Ghai?"
"Seperti yang kauduga, Tom. Gaya-gaya magnetik dan gravitasi masing-masing pesawat akan menjadi sangat besar. Paling buruk akibatnya ialah salah satu atau keduanya akan hancur berkeping-keping. Itu pasti! Paling sedikit, masing-masing akan tertarik lalu menyeleweng dari arah tujuan semula."
"Waduh!" kata Kate. Pada layar terpampang posisi, lintasan dan kemungkinan daerah yang akan dilalui oleh kedua pesawat Sansoth.
"Apakah Kaneth tidak mengerti?" ia bertanya. Mok N'Ghai mengertakkan rahangnya. Untuk sejenak, sungut-sungutnya menunduk. "Ia tahu. Tetapi bangsa Sansoth adalah bangsa yang tinggi harga dirinya, dan, eh, bangsa yang mulia. Mereka mengaku tak punya rasa takut."
"Angkuh dan tolol, menurut aku." kata Kate.
"Ini menyangkut rasa kehormatan bagi kapten Kaneth," Mok N'Ghai menjelaskan.
"Aku tak mengesampingkan kehormatan," jawab Kate. "Tetapi ini bermain dengan api. Luna dapat menghilang di ruang angkasa luar setiap detik."
"Tidak, sebelum tigabelas menit empatpuluh detik," kata si robot. "Tetapi sesudah itu, setiap saat."
Tom menekan sebuah tombol. "Sambungkan pada frekuensi radio Luna," katanya pada si robot.
Robot itu menekan dua buah tombol. "Silakan," katanya.
"Luna, di sini Exedra. Ganti!" Tom memanggil. Ia menunggu, lalu mengulang. Pada percobaan ketiga Luna muncul di udara.
"Exedra, di sini David Luna. Sebenarnya aku tak mau menghiraukan lagi orang yang kalah seperti engkau, Swift. Tetapi aku tak kuasa menolak rasa senang melihat orang yang kalah. Ini suatu sifaf pembawaan, aku tahu. Tetapi itu sungguh memuaskan."
"Luna, apakah anda tak tahu apa yang akan terjadi, bila anda atau pun yang mengejar anda melompat ke ruang angkasa luar" Kalian akan hancur berkeping-keping!"
Luna tertawa. "Swift! Engkau tak membuat aku takut. Memang, tekanannya akan dapat menghancurkan kami, tetapi yang lebih mungkin hanyalah menyelewengkan arah tujuan kami."
"Anda akan ...."
"Aku tahu! Maksudmu baik. Tetapi engkau tak mengerti situasinya. Kalau kami memang lalu menyeleweng dari tujuan semula, mengapa" Apa bedanya" Kami bukannya menuju ke suatu bintang tertentu. Pokoknya pergi, pergi jauh dari hukum-hukum kalian yang mencekik. Jauh dari orang-orang yang picik."
"Dengan membawa begitu banyak makhluk Sansoth?" sela pemuda itu.
"Aku tak butuh orang-orang, Swift. Aku lebih senang manusia, tetapi itu hanya rasa patriot yang berlebihan. Engkau akan mengetahui bahwa aku telah memperoleh penemuanmu yang gemilang, alat penterjemah. Aku akan membuat tiruannya, hingga aku dapat pergi ke mana pun, bercakap-cakap dengan siapa pun. Aku akan menciptakan suatu kerajaan baru." David Luna berhenti sejenak secara dramatis, lalu melanjutkan: "Kemudian aku akan kembali ke Bumi!"
"Saya kira anda tak membutuhkan siapa-siapa lagi!" Kate menukas, mendekat pada mikrofon.
"Tetapi aku mempunyai harga diri, sayang! Sudah kukatakan, aku mempunyai cacat. Aku akan merasa sangat gembira, dapat kembali sebagai penguasa, berunding dengan pemerintahan-pemerintahan di Bumi sebagai sesamanya." Luna tertawa. "Sama sederajat dengan seluruh Bumi, sudah tentu!"
"Lalu Tamith?" tanya Tom. "Ia menjadi pelayan anda?"
"Sungguh cerdik engkau! Mengadu domba antara aku dan pembantuku yang setia. Syukurlah alat penterjemah sedang dimatikan. Reptil itu tak mengerti apa yang kita bicarakan. Ia mengira, kita berdua bersekutu!" Luna tertawa lagi. "Harus kukatakan, aku memang cerdik. Aku dapat menjual barang rongsokan. Aku melukiskan gambaran yang indah tentang apa saja yang dapat ia lakukan bersama aku. Aku yang punya otak, dia yang punya otot. Ia sangat ambisius, si Tamith itu; putra Sansoth yang mulia dan sejati."
Tom tak menanggapi, dan Luna melanjutkan. "Ya. Pada setiap perlombaan harus ada yang menang dan yang kalah, Swift. Kita tahu, termasuk yang mana kita masing-masing. Kami akan segera masuk ke Ruang Angkasa Luar!"
"Tom, kalau kita tak ingin terperangkap, kita harus berganti arah. Kita tetap di ruang angkasa biasa, sementara mereka masuk ke ruang angkasa luar. Tekanan-tekanan itu akan?"
"Pindah tujuan!" Tom memerintah. Jari-jari Mok N'Ghai yang halus bermain di papan kontrol, dan Exedra menikung lebar.
"Engkau sungguh berpikiran sehat, Swift," kata Luna di radio.
"Tidak demikian dengan Kaneth. Aku sungguh tak mengerti apa yang hendak ia lakukan. Menganggap dan memperlakukan kami sebagai perampok"he, jangan Tamith! Apa yang kaulakukan" Tak jadi soal Tamith! Jangan menembak! Kita tinggalkan saja dia, seperti mereka yang kalah dengan yang lain-lainnya."
Tom memandangi teman-temannya. "Tamith ingin bertempur," katanya. "Rupa-rupanya Luna mendapat kesulitan dengan teman sekutunya!"
"Pengejaran Kaneth merupakan tantangan baginya," Mok N'Ghai menjelaskan.
"Tolol!" Luna menggumam. "Lihat, dalam beberapa detik lagi kita akan?"
Terdengar dua kali ledakan, dan suara-suara lain yang tak dapat dikenali Tom. Kemudian suara Luna menggeledek lagi.
"Biawak goblok! "Tidak! Aku tak mengizinkan! Sungguh sinting! Berhenti menembak dan memerangi dia. Kita ..." Luna menjerit marah dan kesakitan. Terdengar pula suara-suara teriakan yang lain.
"Aku akan"he, kadal goblok! Aku akan. . ."
Lalu hening. Saat berikutnya kedua noktah menghilang dari layar Exedra.
Chapter 18 "Ke"ke mana mereka?" Anita menahan napas.
"Entah di mana"jauh sekali," kata Ben dengan geram.
"Mengerikan!" Kate menggigil.
"Ah, mereka mungkin tak cedera," kata Tom. "Apa dugaanmu Mok N'Ghai?"
"Mereka cukup dekat untuk saling mempengaruhi, tetapi tidak terlalu dekat. Yang jelas kapal kapten Kaneth masih ada di ruang angkasa biasa. Apakah ia ikut terpental ke ruang angkasa luar, atau?" Makhluk setengah serangga itu mengangkat bahu.
"Kita sendiri tak apa-apa?" tanya Kate.
Tom mengamat-amati alat-alat penunjuk di layar, lalu mengangguk. "Kembali ke benteng!" ia memerintahkan.
"Oke!" Kate melangkah ke pintu.
"Aku juga pergi, memberitahu yang lain-lain," kata Ben, lalu mengikuti Kate.
Anita mendekati Tom yang berdiri di belakang Mok N'Ghai dan si robot. "Menurut engkau, apakah Luna masih hidup?" ia bertanya. Ia melihat ke layar yang mengamati kedua pesawat Sansoth.
Tom mengangkat bahu. "Itu mungkin sekali, tetapi kukira kita tak akan bertemu dengan dia untuk sementara waktu."
Anita tertawa. "Sebenarnya suasana lebih ramai kalau ada dia!"
Tom merengut. "Luna sangat rakus. Seorang egomaniak yang ambisius. Sejenis manusia yang menganggap orang lain sebagai mainan atau bidak catur saja. Ia menggunakan pesona sebagai alat, bukan sebagai penampilan kepribadiannya."
"Ya, aku tahu. Tetapi dia juga manusia." Anita menunjuk ke sekeliling. "Dan manusia sama sekali bukan makhluk yang umum di luar sini!"
"Mereka akan dijumpai di mana-mana," Mok N'Ghai meramal.
"Aku telah mengamati kalian selama ini, pada berbagai macam keadaan," kata makhluk Skree itu. "Kalian ulet. Memang, kalian bukan makhluk yang sempurna, tetapi dapat cepat menyesuaikan diri. Mungkin, kalian bukan mewakili bangsa kalian yang sebenarnya. Seperti juga aku. Untuk ke ruang angkasa, orang harus berani, cerdas dan penuh sumber daya. Itu membutuhkan jenis orang tertentu. Orang yang ingin tahu, tak pernah tenang, bahkan tak dapat bergembira dan selalu ketakutan."
"Ketakutan?" tanya Anita.
"Orang banyak melakukan perbuatan-perbuatan karena ketakutan. Takut: kalau ditinggal di rumah, semuanya akan bertambah buruk. Takut kalau ditinggal, tak ada masalahnya. Kalian bangsa manusia akan tersebar luas mulai sekarang. Kalian adalah kasar, polos, tetapi mau menerima tantangan."
Tangan Mok N'Ghai menunjuk ke bintang-bintang. "Itulah tantangan terbesar bagi semua saja. Bangsa yang tak mau menerima tantangan itu, yang tak mau berusaha, akan mati. Bukan mati secara jasmani mungkin, tetapi secara rohani. Bangsa lain yang menerima tantanganlah, yang akan dapat tumbuh."
"Wah, Mok! Itu suatu pidato yang hebat!" kata Anita sambil bertepuk tangan.
"Dan benar sama sekali," sambung Tom.
"Aku akan sangat menghargai, bila aku diperbolehkan membantu pada penyelidikan-penyelidikan selanjutnya," kata Aristotle.
"Kami tak akan berangkat tanpa engkau!" Tom berjanji sambil tersenyum. "Tetapi kini, selesaikan dulu tugas-tugas yang belum selesai!"
*** Kate One Star berdiri di pintu tekanan Exedra, tersenyum kepada teman-temannya. "Dengar! Aku ingin agar kalian mengetahuinya. Ya, sesungguhnya memang sangat menyenangkan bersama kalian. Tetapi di luar sana ada toko kembang gula. Dan aku tak kuat menahan keinginanku!"
Ada sesuatu yang membasahi matanya. Tidak hanya itu. Juga di mata Tom, Ben dan Anita. Mok N'Ghai mengeluarkan suara yang amat lembut. Hanya Aristotle yang berdiri diam sama sekali.
"Nah, pergilah dan ambillah dia, kapten!" kata sepupunya.
"Kapten!" Kate merenung. "Dapatkah kalian membayangkan itu" Aku" Kapten?"
"Tak ada yang lebih baik," Anita menyatakan. "Nah, sudah saatnya," kata Kate. Ia mengambil napas dalam-dalam. Kemudian secara berturut-turut dan cepat ia memeluk Anita, mencium Ben di pipi, mengejutkan Mok N'Ghai dengan bersuara gemelitik, menepuk-nepuk Aristotle dan mencium Tom. Kemudian dengan gerakan yang indah dan lincah ia keluar dari ruang pintu tekanan.
Tom duduk di kursi pilotnya lalu menutup pintu secara magnetik. Exedra melayang lepas dari benteng angkasa yang kini disebut Star of Magellan, untuk menyingkirkan segala kenangan yang menyangkut Luna Corporation.
Alat planetary drive pesawat Magellan dihidupkan, dan kedua pesawat berpisah dengan kecepatan yang semakin tinggi. Anita berpaling kepada Mok N'Ghai. "Apa arti suara Kate tadi itu" Rupanya mengejutkan engkau?"
"Ah, ya. Suatu pernyataan cinta kasih yang digunakan oleh bangsa kami. Pernyataan antara bangsa dan bangsa, antara pribadi dan pribadi."
Tak lama kemudian, benteng angkasa tinggal sebuah titik kecil di layar. Tom memasang penyusun kode arah navigasi, dan pesawat Exedra membelok menuju ke Bumi.
"Pulang ke kandang!" Ben menghela napas. Ia tak tahu, bahwa ia hanya tinggal sebentar saja di sana. Suatu petualangan baru telah menunggu!
"Bumi berarti rumah," kata Tom. "Tetapi?"
Semua pandangan tertuju ke layar, yang penuh bintang-bintang di segala penjuru. Alam raya berkedip-kedip gemerlapan dalam seratus warna.
Kabut Nebula terhampar bagaikan selubung, melintas medan-medan matahari yang berapi-api. Terdapat jutaan galaksi, ratusan juta bintang-bintang bertaburan bercahaya yang merupakan tanda suatu bumi yang lain lagi.
END Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Anak Pendekar 26 Dewa Arak 33 Mahluk Dari Dunia Asing Si Jenius Dungu 4