Pencarian

Pesawat Ark Two 1

Pesawat Ark Two Tom Swift 07 Bagian 1


Tom Swift Pesawat Ark Two Victor Appleton Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 "Masih ada empatpuluh lima menit, sebelum mendarat di New America," kata Tom Swift kepada temannya Ben Walking Eagle.
"Bila kau mau pegang kemudi, aku akan mencoba penemuanku yang terakhir, oke?"
Tom Swift menunjukkan dengan telunjuk jarinya ke sebuah kotak logam besar, yang terikat pada geladak pesawat angkasa mereka, Exedra. Kabel-kabel plastik yang besar dari kotak itu menjulai-julai ke arah dinding kanan pesawat, menghubungkan alat tersebut dengan kabel tenaga listrik dan komputer pesawat Exedra.
"Oke, kawan! Kau pindahlah!"
Tom bangkit dari tempat duduk pilot yang berbentuk khusus.
Dalam pakaian null gravity (pakaian angkasa tanpa berat), ia melayang ke geladak. Ia memperkokoh pijakannya pada batang-batang pegangan yang terdapat pada dinding pesawat.
"Ha! Ini pasti akan menggembirakan," kata Anita Thorwald.
"Kuharap semuanya akan berjalan baik. Kita sudah bekerja sekian lamanya pada alat itu." Ia menyibakkan rambutnya yang merah panjang, dan memandangi kota tersebut. Rasa khawatir tampak membayang sedikit di matanya yang bergairah.
Tom, si genius berambut pirang, dan Ben si ahli komputer, bersama Anita telah berbulan-bulan bekerja menyempurnakan alat yang disebut shadowlator. Yaitu alat untuk dapat mengacaukan gelombang cahaya di sekitar pesawat angkasa, hingga tidak akan nampak meskipun ditangkap dengan alat radar yang paling kuat sekalipun. Percobaan-percobaan yang mereka lakukan di Kubah Triton di arena Tom Swift Enterprise telah menunjukkan harapan besar. Kini Tom ingin menggunakannya pada keadaan tanpa berat di angkasa luar.
Tom berpaling kepada robotnya.
"Ayo kerjakan, Aristotle. Aku membutuhkan bantuanmu!"
Robot elektronik yang besar itu lalu melepaskan tali pengaman dan bergerak menjauh dari dinding.
"Semua komponen oke! Sudah siap!" kata alat itu.
"Terimakasih" jawab Tom.
Ia membuka alat shadowlator, lalu memutar tombol-tombolnya menghidupkan sirkuit listriknya. Lampu-lampu pengaman berwarna kuning menyala berkedip. Ahli penemu berumur delapan belas tahun itu memilih kabel-kabel berwarna di papan percobaan shadowlator itu dan menyambungkannya pada kabel-kabel di dada Aristotle.
"Aku sudah mendapat tenaga bebas di sini", seru Tom sambil menoleh. "Periksa papan instrumenmu, Ben!"
"Tenaga stabil! Gelombangnya bagus di layarku!"
"Akan kuberikan aliran pancaran percobaan selama tigapuluh detik. Lihat di monitormu!" seru Tom kepada Aristotle. "Cocokkan dengan program sewaktu di laboratorium. Lihat bagaimana hasilnya!"
"Tentunya di sini lebih dapat dipercaya, Tom. Tidak ada gangguan atmosfir," kata Aristotle, si robot. "Itu akibat?".."
"Betul!" Tom memotong. "Nah, akan kuberikan pulsa selama lima detik." Jari-jarinya bermain di papan pengontrol dan memutar tombol persiapan pada "On"!
Tiba-tiba suatu cahaya putih meledak di dalam kabin kecil itu.
Pelindung mata Tom terhempas menutupi wajahnya. Suatu goncangan membentur ke perutnya, menghempaskan dia ke bagian belakang pesawat.
"Putuskan aliran"..cepat!"
Ben tidak menjawab. Ia terkulai di tempat duduknya, nampak setengah sadar. Lonceng bahaya berdering di seluruh pesawat Exedra.
Tom menjulurkan kedua tangannya menjaga jangan sampai terhempas ke dinding. Dari sudut matanya ia melihat Aristotle bergetar, lalu menjadi kaku. Bola listrik melayang-layang di dalam kabin, menjilat-jilat setiap permukaan.
Tom membulatkan tubuhnya, membungkuk. Lalu ia menendangkan kakinya ke dinding belakang pesawat hingga melesat ke depan. Kedua tangannya menangkap sandaran tempat duduk Ben. Dengan tangannya yang berkaus tangan ia mematikan tombol darurat.
Seketika itu juga bunga-bunga api yang meletik-letik di seluruh kabin padam. Lampu-lampu darurat menyala suram di atas kepalanya.
Tom menyibakkan pelindung matanya ke atas. Sementara itu beberapa kipas angin menyedot bau sangit dari plastik dan logam yang terbakar keluar dari kabin.
"Ben... , engkau oke?"
"Yaaah.. , kukira begitu!"
"Anita!?" Gadis itu mengkedip-kedipkan mata. Ia membuang pandangan mata ke arah Tom. Hidungnya berkembang kempis menghirup udara.
"Apa sih yang terjadi di bagian belakang tadi?"
"Mana aku tahu! Tiba-tiba saja tenaga listrik melonjak naik berlipat empatpuluh kali ketika kuhidupkan alat itu."
Tom memandang dengan khawatir ke bagian belakang pesawat.
"Aku khawatir, si Aristotle yang paling menderita," katanya melanjutkan. "Ia terbakar melekat di dinding. Barangkali setiap mikrochip yang di kepalanya terbakar."
Ahli komputer Indian itu menyisirkan jari-jari tangannya di rambutnya yang hitam dan memandangi Tom seperti mencari-cari sesuatu.
"Kalau aku sendiri tidak kena goncangan itu, aku takkan percaya bisa terjadi lonjakan tenaga listrik sampai sedemikian tinggi di pesawat Exedra ini."
"Dan itulah yang terjadi," sahut Tom. "Sudah demikian banyak alat pengaman untuk menghindarkan terjadinya kebakaran. Susahnya, masih juga terjadi kebakaran!"
Ia bangkit, lalu duduk di kursi pilotnya. Dengan cepat ia periksa peralatan pesawat Exedra. Segera dapat diketahui sebab-sebabnya.
Seluruh lampu di papan pengontrol menyala merah. Itu berarti komputer terbakar habis. Demikian pula navigasi, permesinan dan pengarahan juga mati."
"Berarti kita terbang buta," sambung Ben dengan muka muram sambil memainkan tombol demi tombol. "Tidak bisa menangkap sinyal stasiun bumi yang mana pun. Sat-com (satelite communication) juga tidak."
Mereka sadar, bahwa yang masih bekerja Exedra itu hanyalah tinggal sistem untuk hidup darurat, lampu darurat dan sistem pengendalian tangan. Mesin nuklir memang masih bekerja tersendiri dan tertutup dengan segel. Tetapi tidak demikian dengan instrumen-instrumen.
"Rupa-rupanya kita harus menentukan arah sendiri," kata Tom.
Kedua pemuda itu berpikiran sama. Mudah-mudahan New America, yaitu koloni ruang angkasa yang mereka tuju, menangkap isyarat darurat mereka. Pesawat darurat itu mendapat tenaga listrik tersendiri.
Ia dapat menangkap dan mengirimkan isyarat selama batere sinar matahari masih bekerja. Pesawat penolong atau pesawat patroli Marine Angkasa mungkin akan datang membantu dengan mengarahkan mereka untuk mendarat, tanpa harus melakukan perhitungan kecepatan rumit yang biasanya dikerjakan oleh komputer.
Kalau saja beruntung! "Engkau benar," kata Ben. Pandangannya melekat pada layar radar kecil yang kini dihubungkan dengan pembangkit tenaga listrik darurat. "Tetap kemudikan pada arah ini. Engkau belum akan melakukan pintasan, bukan?"
Tom menggeleng dengan tegas.
"Aku tak menghendakinya sama sekali. Kecuali kalau memang terpaksa. Senang sekali bila mereka berhasil menangkap isyarat kita dan datang menyelamatkan kita."
"Itu sama dengan yang kupikirkan," Suara Ben Walking Eagle menunjukkan perhatiannya.
"Itu tentang tegangan listrik yang berlipat meningkatnya tadi," kata Tom sambil mengangguk, "terlalu kebetulan. Mula-mula suatu ledakan di kubah Triton, lalu kebakaran di laboratorium yang seharusnya tidak mungkin terjadi. Sekarang ini".."
Sebelum dapat menyelesaikan kata-katanya, pesawat Exedra bergetar dan terlempar ke samping.
"Ada dua sinar berkedip!" seru Ben. "Melintas cepat di buritan!"
Tom membanting Exedra terbang berputar ke luar. Ia lalu menoleh, dan memandang melalui jendela sisi kanan. Tepat pada waktu itu ia melihat dua berkas sinar merah lewat mendesir.
"Senjata Laser!" suaranya sesak. "Apa maunya" Kecelakaan yang keempat?"
"Kalau salah satu saja mengenai, kita pasti terbelah dua," teriak Ben. "Tom, belokkan tajam ke kiri!"
Tom sekali lagi membanting pesawatnya dengan tajam. Sinar-sinar maut bagaikan cambuk melesat melintas di belakang mereka. Ia melihat dua bayangan hitam melintas di antara bintang-bintang.
Bentuk bayangan yang tak dikenal itu membuat bulu kuduknya berdiri. Pesawat-pesawat itu berwarna hitam jelek, dan pada bagian punggungnya, masing-masing terdapat selusin duri-duri tajam bagaikan ekor ikan laut.
Kedua pesawat asing itu melacak mereka dengan komputer.
Kecepatan, sudut serangan dan pengontrolan senjata terpadu pada satu tujuan: yaitu hendak menghancurkan pesawat Exedra. Sebaliknya Tom terbang dengan setengah buta. Rupanya pesawat musuh itu tahu dengan tepat ke mana ia hendak terbang, dan tidak berapa lama lagi ia akan sampai. Ia tidak akan menang dalam pertarungan ini. Tembakan laser itu telah gagal sekali, mungkin dua kali, tetapi?""
Ben berpegangan pada sandaran kursi dan nampak tegang.
"Nah, mereka datang lagi dengan cepat... ," serunya melalui pundaknya, "ketinggian jam dua... empatpuluh derajat." Sambungnya setenang mungin. "Tom, kukira kita harus berbuat sesuatu. Sekarang juga!"
"Lalu apa yang kaupikirkan, kawan?"
"Mana kutahu" Kaulah komandannya!"
Tom tetap mengarah ke tujuan semula. Ia memaksa dirinya agar Exedra tetap pada tujuannya, meski setiap naluri membisikkan agar membelok dan melarikan diri. Kesempatan justru terletak pada tindakan musuh yang salah pada saat-saat yang salah pula. Komputer musuh tahu dengan pasti bila ia hendak membelokkan Exedra.
Komponen-komponen mikrochip mereka dapat memecahkan segala masalah dalam sepersekian detik, jauh lebih cepat daripada pikiran manusia.
Kedua pesawat asing itu tampak mendatangi dengan arah lurus ke Exedra. Tom membuat kelokan lengkung ke kiri, kemudian ke kanan, ke kiri lagi, lalu dibanting ke luar dari terbang berzig-zag, dan kini langsung menuju ke arah kedua pesawat musuh itu.
Cahaya merah melintas beberapa inci di sebelah kanan.
Seberkas sinar maut membaret tipis sepanjang kulit tubuh pesawat Exedra. Suara menggelegar membuat pesawat kecil itu bergetar ketika kedua pesawat musuh itu membelok menghindari tubrukan. Tom menarik kemudi hingga pesawat Exedra menukik tegak ke atas. Ia memberikan tenaga sepenuhnya kepada mesin pesawat. Pesawat menderu-deru, melesat melemparkan tubuhnya melintas membelah angkasa luar yang hitam pekat.
"Hampir saja, bung!" Ben menelan ludah karena tegang.
"Nyaris benar!" sahut Tom. "Itu tak dapat kita ulang. Mereka pun tahu hal itu. Di mana mereka sekarang?"
Ben menatap layar radarnya, dan ia pun sadar, bahwa hal itu sia-sia karena tenaga listrik darurat. Kembali Tom menaikkan hidung pesawatnya agar Ben dapat melihat melalui jendela atap kabin.
"Jauh di sisi kanan, kira-kira sepuluh derajat," Ben menyahut. Ia bersiul pelahan. "Kukira Exedra kita sudah cepat, tetapi anak-anak itu ternyata lebih cepat lagi!"
Ben mengerutkan dahinya, berpikir keras.
"Kalau engkau tak dapat memenangkan adu cepat ini, bikin mereka mati kebingungan. Bukankah begitu?" Ben menambahkan.
Tom mengangguk. "Aku tahu apa yang hendak kaulakukan," Ben meneruskan.
"Pada satu segi engkau benar. Komputer mereka didasarkan kepada logika. Seperti juga punya kita. Manuvermu sangat cemerlang. Tetapi untuk selanjutnya, mungkin kau harus memberi mereka faktor-faktor isian bagi otak komputer mereka. Memberikan mereka masalah-masalah dengan bertubi-tubi."
"Tak kupikirkan karir dengan akal demikian," gerutu Tom. "Kalau aku masih dapat menyelamatkan diri beberapa kali lagi dengan akal demikian, aku pun sudah senang."
"Betul. Hanya beberapa kali saja yang mungkin dapat kaucapai," Ben menyetujuinya. Ia lalu menjulurkan lehernya, memandang ke kekelaman angkasa yang penuh bintang itu. Cahaya merah tampak memantul pada kulitnya yang merah tembaga. "Mereka masih terus mendatangi!"
Ben menarik layar radar tambahan ke depannya.
"New America ada di luar cakrawala," katanya khawatir. "Engkau telah kehilangan mereka sewaktu menghindar tadi, Tom. Itu berarti mereka tidak dapat menemukan kita lagi berdasar isyarat darurat kita."
"Di mana mereka sekarang?"
"Sisi kanan, tigapuluh dua akan membawa kita ke sudut garis lurus. Tetapi mereka bergerak cepat sekali!"
"Akan kita selesaikan!" kata Tom pendek. Ia melirik ke papan penunjuk arah yang menyala di sebelah kirinya. Ia membelokkan pesawatnya melengkung tinggi dan mengarahkannya ke lintasan di atas sisi-malam Bumi.
Suatu badai sedang bergerak lambat melintasi Atlantik Selatan. Senja telah menyapu pantai barat Afrika ketika pesawat mereka melayang di atas Eropa yang sudah gelap, kutub utara, dan memperkecil jarak antara pesawat Exedra dengan orbit New America.
"Setan-setan terbang itu masih terus membuntuti kita," kata Ben dengan tegang. "Yang satu kira-kira pada ketinggian jam enam, yang lain naik ke arah perut kita."
Tom menekan gas sampai lampu merah menyala. Pesawat yang ramping itu bergetar ketika mesin-mesin nuklir meraung-raung menambah tenaga. Tenaga yang sangat besar itu melemparkan pesawat melalui lengkung bulatan bumi. Tiba-tiba bola putih panas Matahari menguak di kegelapan.
"Tentunya kita sudah dekat sekarang," teriak Tom mengatasi raungan mesin pesawatnya. "Kita mestinya telah tertangkap layar radar di New America. Boleh bertaruh mereka tentu?"."
Dua tombak sinar merah membentuk ancaman maut laser di hadapan pesawat. Tom bereaksi cepat sekali hingga melemparkan Exedra ke suatu putaran mendatar di angkasa.
"Tom," seru Ben, "kedua burung-burung itu masih terus saja di belakang. Rupanya mereka hendak menggiring kita ke dalam jebakan!"
Semangat Tom turun secara drastis. Ia sadar bahwa kata-kata Ben itu benar. Ada pesawat musuh yang ketiga sedang menukik ke atas, cepat sekali di belakang mereka.
Chapter 2 Otak Tom berputar cepat. "Oke," ia berseru. "Aku sudah muak dengan ini. Gantikan pegang kemudi, Ben. Terbangkan dengan tenang selama engkau masih bisa!"
Melewati tubuh Aristotle yang diam kaku, Tom mengambil sebuah pendorong roket cadangan dari atas rak di samping. Ia membuka pada sebelah sisi. Dari sebuah laci ia mengeluarkan sebuah kotak logam berisi beberapa benda bulat warna keperak-perakan, tidak lebih besar dari bola tenis. Benda-benda itu adalah suar bintang, juga salah satu hasil penemuan Tom. Suar itu mulanya dimaksudkan untuk tanda-tanda pada penyelidikan sabuk asteroid. Tetapi kini hendak digunakannya untuk tujuan yang lebih baik.
Dengan cepat ia masukkan suar-suar bintang itu ke dalam pendorong roket, kemudian dipasang pada tabung peluncur. Lalu ia kembali ke sisi Ben. Baru saja ia memasang sabuk pengaman, Ben membanting pesawat Exedra dengan putaran memilih sejauh 300 mil di atas samudra Pasifik.
"Oke, terbangkan tegak dan naik sembilan-puluh derajad!" perintah Tom.
Ben mendorong Exedra lurus ke atas.
"Ya ampun," Ben mengerang, "sekarang mereka bertiga ada di belakang kita."
"Itu sangat bagus!" sahut Tom. "Itulah yang kuharapkan."
Tom menjulurkan tubuhnya di atas papan kontrol, lalu menarik sebuah tombol secara manual. Pendorong roket mencuat ke luar dari buritan pesawat Exedra.
"Rendahkan pelindung matamu, Ben," Tom memerintahkan, "Cepat!"
Pesawat-pesawat yang bersirip hitam tampak mendekati dengan cepat. Sinar-sinar laser membelah angkasa kelam membentuk pola jaring-jaring mencari-cari tubuh pesawat Exedra. Tiba-tiba sejumlah tiga lusin suar-suar bintang meledak sekaligus, tepat pada lintasan ketiga pesawat penyerang.
Cahaya bulat bola yang menyilaukan segera membesar membentuk bulatan bola yang terang benderang hampir empatpuluh mil dalamnya. Ledakan itu memang tidak mempunyai tenaga merusak. Dan alat-alat musuh tentu segera dapat mengetahui, bahwA bola cahaya itu hanya berupa suar belaka. Tidak lebih dari itu!
Tetapi biar bagaimana, tanpa alat ilmiah pun mereka sadar, bahwa cahaya bola itu tentu telah menarik perhatian setiap pesawat patroli ke arah mereka. Sambil mengitari cahaya suar itu, mereka menancap kecepatan untuk sekejap kemudian menghilang dari pandangan.
*** Lebih dari setengah jam kemudian, pesawat Exedra melayang turun di landasan bawah tubuh silinder yang mengkilat dari pesawat New America, yang dikawal oleh tiga pesawat hiu udara dari Marine Angkasa. Sebuah pesawat penyelamat menangkap pesawat Exedra dan menuntunnya ke arah ruangan yang terang benderang dari Dermaga Sembilan.
Dari kejauhan, New America nampak kecil dengan latar belakang kehampaan angkasa luar. Tetapi dari dekat, keluasan koloni angkasa yang mengorbit itu akan mempesonakan para pengunjungnya.
Sesering Tom mengunjunginya, sesering itu pula ia tidak dapat melepaskan rasa kagumnya atas kehebatan proyek itu. New America itu hampir lima kilometer panjangnya dan bergaris tengah hampir 2 kilometer. Lebih dari 5000 orang yang mendiami dan bekerja di dalamnya. Danau, tanah pertanian, hutan, pabrik dan rumah-rumah tempat tinggal menempel di dinding lengkung bulatan yang berputar itu.
Tetapi Ark Two, yaitu tambahan pada proyek New America yang terakhir itulah yang paling menarik perhatian Tom. Dirancang oleh Tom bersama ayahnya, Ark two terdiri atas sembilan sistem ekologi. Masing-masing merupakan dunia mini tersendiri, berisi hewan yang telah langka, hewan laut, dan tumbuhan berasal dari seluruh bagian bumi. Konsep untuk melestarikan makhluk-makhluk bumi yang hampir punah menjadikan proyek itu sangat terkenal.
Tidak saja dari penghuni planet bumi, melainkan juga dari kalangan anggota-anggota Dewan Antar Planet. Walaupun yang belakangan ini tidaklah selalu menyetujui proyek-proyek maupun politik yang dianut makhluk Bumi.
Tom dan Ben Walking Eagle melangkah di atas lantai logam berkisi di Dermaga Sembilan. Laksamana Ross Silmon sedang memperhatikan goresan bekas sambaran senjata laser pada dinding Exedra. Ia memberi salam kepada kedua anak muda itu dengan wajah gembira.
"Aku tidak tahu pasti apa yang telah terjadi di luar sana," kata Laksamana itu," tetapi aku senang melihat kalian kembali dengan selamat!" Ia menjabat tangan mereka, lalu mengajak pergi menjauhi pesawat.
"Kami pun tak tahu dengan pasti," kata Tom. "Tetapi kami sungguh bersyukur dapat sampai di sini."
Silmon tak berkata lagi sampai mereka bertiga masuk ke kantor pribadinya. Laksamana itu bertubuh jangkung, langsing, berkulit hitam dengan rambut yang mulai memutih serta janggut tercukur rapih. Secara resmi ia adalah komandan yang mengepalai kontingen Marine Angkasa Luar, baik New America maupun Sunflower.
Sunflower adalah sebuah koloni baru yang hampir selesai pembangunannya tidak jauh dari New America. Tom pun mengetahui, bahwa Laksamana Silmon juga terlibat hal-hal yang menyangkut intel demi pengamanan antar planet.
"Nah, marilah kita bicara langsung mengenai masalahnya," kata Silmon sambil menunjuk kursi, mempersilakan Tom dan Ben duduk.
"Kita harus membicarakan banyak masalah. Barangkali lebih banyak daripada yang kalian bayangkan."
Silmon berhenti sebentar. Pandangan tajam dilemparkan kepada kedua anak muda itu berganti-ganti.
"Bukan hanya kalian yang mengalami 'kecelakaan' dan menjumpai hal-hal aneh belakangan ini," ia melanjutkan, "kita pun mengalami kejadian-kejadian aneh di sini!"
"Apa maksud anda?" tanya Tom ingin tahu.
Simon mengangkat tangannya.
"Bersabarlah tentang hal itu. Ceritakan dulu dengan jelas apa yang telah terjadi di luar sana, yang kuketahui hanyalah kalian telah diserang oleh seseorang atau sesuatu. Kami di sini menangkap isyarat yang kalian kirim dan melihat cahaya suar kalian. Tetapi selain itu aku tidak tahu apa-apa lagi."
Kemudian Tom menceritakan tentang daya listrik yang tiba-tiba melonjak tinggi menyebabkan Aristotle dan shadowlator rusak. Disusul serangan-serangan oleh pesawat-pesawat bersirip hitam.
Ketika Tom selesai bercerita, laksamana Silmon bangkit dari kursinya dan memandang ke luar melalui jendela ke arah bulatan biru dari Bumi.
"Pesawat-pesawat demikian belum pernah kudengar," katanya dengan penuh pikiran. "Mereka itu bukan pesawat Antar Planet, dan nampaknya juga bukan bajak-bajak angkasa. Bagaimana pun bukan jenis yang pernah kuhadapi."
"Kami berdua juga berpikir demikian," Tom mengaku. "Tetapi siapa pun mereka, yang jelas mereka memiliki banyak tenaga.Bolehlah saya katakan lebih cepat daripada pesawat tempur marine jenis Lancer kita."
Laksamana Silmon mengerutkan dahinya. Kedua tangannya berpegangan di belakang punggungnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku sungguh tidak senang mendengar hal itu. Orang-orangku di sini telah melihat kecepatan pesawat mereka dan tidak mau mempercayainya. Dan kini aku khawatir semua keteranganmu itu memperkuat dugaan kita di sini."
"Memang mereka sungguh cepat sekali," sambung Ben. "Saya pun yakin, bahwa komputer pesawat mereka dalam segala hal sama baiknya dengan kepunyaan kita."
Silmon mengatupkan rahangnya dan memandang dengan muka yang masam.
"Apa kalian mengira, mereka menghendaki shadowlator?" Silmon bertanya, karena laksamana itu adalah salah satu dari beberapa orang yang mengetahui kegunaan alat penemuan Tom.
"Kalau mereka memang menghendaki," kata Tom datar, "aneh juga caranya. Jika laser itu mengenai Exedra, tak ada apa-apanya lagi yang dapat mereka ambil. Dan di samping itu akhir-akhir ini banyak kejadian yang aneh-aneh."
Tom lalu menceritakan tentang kebakaran di Triton, dan ledakan di salah satu pintu bertekanan di kubah.
Mata Silmon yang hitam itu menatap wajah Tom dalam-dalam.
"Kau ingin tahu apa yang sedang kupikirkan" Kukira, justru kalian berdualah yang mereka kehendaki. Engkau, Tom, dan Ben Walking Eagle!"
Tom dan Ben menegakkan tubuh mereka penuh keheranan.
"Mengapa?" tanya Ben. "Untuk apa semuanya itu?"
"Itu aku tak tahu," jawab Silmon tak enak hati. "Kukira kita harus melakukan penyelidikan." Ia lalu membuka alat komunikator pribadinya yang di pergelangan tangan sambil berkata: "Joe, kirimkan ahli-ahli teknik kita yang terbaik untuk memeriksa pesawat Exedra. Aku ingin tahu apa yang menyebabkan Tom Swift tak dapat bekerja."
"Anda mengira telah terjadi sabotase?" tanya Tom ketika laksamana itu selesai memberikan perintah-perintahnya.
Suatu bayangan melintas di wajah Silmon.
"Sesuatu yang harus kita pastikan! Mungkin seseorang telah mempersiapkan pesawatmu dengan daya listrik yang berlebihan hingga kalian menjadi sasaran empuk bagi pesawat-pesawat yang memburu kalian."
Ben meniadi terheran-heran.
"Tetapi siapa yang tahu, bahwa kami akan menguji alat baru itu?" ia bertanya. "Hanya beberapa orang saja yang mengetahui alat itu."
"Orang-orang di Swift Enterprise ada yang tahu!" Silmon menegaskan.
"Hanya ada delapan atau sembilan orang yang tahu datanya," Tom menjelaskan. "Kalau ada mata-mata, tentunya telah terjalin hubungan yang baik sekali. Itu sepertinya tidak mungkin."
Laksamana Silmon mengangkat bahu.
"Aku tidak mengatakan demikian. Tetapi apa yang terungkap dari kejadian-kejadian".."
Ia terhenti oleh mendesirnya komunikator pribadi di pergelangan tangannya. Ia lalu berbicara ke alat tersebut dan memandang ke arah Tom. Sudut-sudut mulutnya menunjukkan sebuah senyuman kecil.
"Ada beberapa orang menunggu di luar. Kukira ada baiknya mereka tahu hal ini."
Sebelum Tom dan Ben sempat berbicara, pintu telah terbuka. Di ambang pintu berdiri seorang gadis manis berambut merah, dan seorang berkulit biru dari dunia air di Aquilla.
"Anita! K'orlii!" seru Tom dan Ben bersamaan, menyapa kedua teman mereka. Anita Thorwald telah sering ikut serta dalam petualangan mereka di angkasa luar, dan K'orlii adalah juga teman lama mereka.
"Wah!" Anita menyeringai, lalu merangkul keduanya dengan ramah. "Rupanya kalian berdua selalu terlibat kesulitan walau hanya untuk beberapa menit saja!"
"Engkau benar," sahut Tom. "Kami membutuhkan uluran tanganmu yang hangat dan menenangkan itu, Anita. Takkan ada sesuatu bakal terjadi bila engkau ada di sekeliling kami."
Maka meledaklah tawa Anita. Pernyataan Tom itu lain bunyinya dengan kenyataan. Ke mana saja si rambut merah itu melangkah, selalu saja diikuti kehebohan. Pertama kali Tom bertemu dia di arena perlombaan Space Triangle. Ketika itu Tom menggunakan pesawat bermesin fusi "Davy Cricket "melawan Anita dengan pesawat Valkyrie. Perkenalan yang bermula penuh badai itu berubah menjadi sangat akrab.
"Aku ikut prihatin kalian menemui kesulitan," kata K'orlii. "Tetapi kalian berdua toh tidak apa-apa, kan?"
"Sekarang baik-baik saja," jawab Tom. "Tetapi beberapa waktu yang lalu aku tidak yakin akan nasibku!"
Orang Aquilla itu sangat berbeda dibanding dengan Anita Thorwald. Bila si rambut merah mudah bergaul dan cekatan menghadapi suatu tantangan, maka K'orlii sangat pemalu dan tertutup.
Sebagai pribumi dunia air yang bertaburan dengan pulau-pulau karang, ia lebih sesuai di laut daripada di darat. Celah sempit yang hampir tidak nampak di tenggorokannya seolah insang bila di dalam air. Sepasang paru-paru seperti yang dimiliki manusia Bumi memungkinkan ia dapat hidup di darat. Kecuali bayangan biru pucat pada kulit tubuhnya, ia nampak seperti lazimnya manusia Bumi biasa yang ramping. Rambutnya hitam mengkilat, dan bahunya tegap sebagaimana seorang perenang yang kuat. Tetapi matanya yang menyolok benar-benar asing. Mata itu besar bulat keemasan dengan pandangan tajam menusuk, bermanik perak dan jernih.
K'orlii dan Anita lalu duduk.
"Wah, laksamana," kata Anita kemudian, "kapten Morgan telah menahan saya sebentar di serambi dengan sebuah pesan. Pesawat-pesawat yang menyerang Exedra itu lari lurus masuk ke Quadrant B. Radar angkasa telah mengikuti mereka sampai menghilang."
"Quadrant B?" Silmon menundukkan kepala, berpikir. "Itulah arah umum dari sabuk meteroid!"
"Jadi," kata Ben, "mereka itu bajak angkasa"'' "Atau seseorang yang menginginkan agar kita mengira mereka itu bajak," sambung Silmon. "Aku baru saja hendak memulai menceritakan apa yang terjadi di New America ini. Atau, barangkali lebih baik engkau saja yang bercerita, Anita. Engkau salah seorang yang juga telah menyaksikannya."
Dagu Tom menjorok maju, lalu bertanya: "Melihat apa" Kapan?"
"Seorang asing berkeliaran di sekitar gang pintu masuk Sea Globe," jawab Anita. "Terlalu gelap untuk dapat melihat dengan jelas. Lagipula ia mengenakan kain hitam untuk menutup kepalanya. Dua kali aku melihatnya. Tadi malam, salah seorang teknik perawatan pun melihat dia lagi."
Tom mengerutkan dahi. "Terlihat tiga kali di sekitar Sea Globe" Dan tidak pernah di ekosistem yang lain?"
"Tidak!" Anita menggelengkan kepalanya. "Aku tidak berhasil melihat lebih dekat untuk mengetahui apa yang dilakukannya. Demikian pula ahli teknik itu."
Tom menarik napas dalam-dalam.
"Laksamana, siapa yang demikian tertarik memperhatikan stasiun-stasiun ekologi" Tak dapat kubayangkan, seseorang akan mengganggu hewan-hewan yang terancam punah itu, yang kita ...."
Tanda bahaya berbunyi di seluruh serambi luar memotong kata-katanya.
Chapter 3 "Ada orang yang tidak setuju dengan kata-katamu, Tom." seru Anita.
Ross Silmon melompat melalui pintu dorong ke serambi masuk.
Tangannya menggenggam sepucuk senjata sonik pendek. Seorang marinir memberi hormat, lalu menunjuk ke ujung serambi. Tom dan teman-temannya mengikuti di belakang laksamana, seratus meter sepanjang serambi sempit bergaris-garis kuning.
Seorang penjaga terduduk bersandar pada pintu baja yang menuju pintu masuk Sea Globe. Ia mengedip-ngedipkan mata dengan kepala menggeleng-geleng. Sebuah bilur yang cukup besar menghitam di matanya sebelah kanan.
"Apa yang terjadi, nak?" tanya laksamana. Ia membungkukkan badannya ke tubuh si penjaga. Wajahnya membayangkan rasa khawatir.
"Tidak... kurang jelas," penjaga itu menggelengkan kepala. Melihat tanda pangkat di pundak laksamana, lalu cepat-cepat berkata: "Pak...."
"Kaulihat si penyerang?"
"Hanya sekilas," katanya dengan nanar. "Ia memakai kain ...."
"Kerudung hitam?"
"Betul, pak. Tetapi sa... ," marinir penjaga itu sebentar ragu-ragu. Ia mengelak pandangan atasannya, lalu dengan gemetar menudingkan jarinya ke arah K'orlii. "Seperti dia, pak!" ia melanjutkan dengan nada marah. "Cukup jelas bagi saya untuk mengenalnya kembali."
"Tak mungkin," K'orlii menggeleng dengan tegas. "Saya tahu... ia tentu bukan orang Aquilla!"
"Saya lihat dia!" kata marinir itu ngotot. "Jelas bagaikan siang hari, pak. Saya dengar ia di belakang saya. Begitu saya membalikkan badan, wajah biru memandangi saya. Matanya besar, warna kuning!"
Sekelompok marinir datang mengerumun. Dua di antara mereka membantu penjaga itu untuk berdiri dan menuntunnya ke sebuah pos pengobatan. Laksamana Silmon memerintahkan yang lain untuk melakukan pemeriksaan.
"Aku tak tahu apakah dapat ditemukan sesuatu. Tetapi baiklah kita coba," ia berkata.
"Laksamana," kata K'orlii dengan serius. "Saya kira tak mungkin ada orang Aquilla yang terlibat dalam perkara ini. Bukan saja tidak mungkin, tetapi kedengarannya pun tidak logis!"
Silmon memicingkan mata. "Logis" Mengapa kaukatakan demikian?"
"Sederhana saja. Tak ada suatu alasan bagi salah seorang bangsa saya untuk mencuri masuk ke dalam Sea Globe." Dengan membentangkan kedua tangannya K'orlii melanjutkan kata-katanya:
"Setiap orang Aquilla di New America telah memiliki izin masuk ke Sea Globe. Dan itu menjadi tanggungjawab kami di sini untuk memelihara hewan-hewan laut dari Bumi."
"Hmm," Silmon menggigit bibirnya. "Engkau benar!"
Silmon diam sebentar. "Tetapi aku harus memperoleh bukti-bukti. Kau pun mengerti!"
"Ya, pak. Itu sudah jelas!" kata K'orlii.
"Aku kenal kopral yang kena pukul itu. Seorang marinir yang baik. Orang yang dapat dipercaya. Ia tentu tidak akan membual seperti itu."
Silmon menghela napas, matanya memandangi serambi gang.
Dari air mukanya Tom dapat merasakan, bahwa laksamana itu bukannya tak percaya orang Aquilla terlibat dalam perkara itu.
"Nah, lihat saja, apa yang kemudian muncul! Oke?" Silmon berkata sambil mengangguk kepada Tom dan teman-temannya, lalu melangkah sepanjang serambi yang seperti sebuah terowongan itu dan menghilang di sudut belokan.
"Dengar!" tiba-tiba Anita berseru cerah kepada mereka. "Masih cukup lama sebelum waktu makan. Mari ikut aku! Ada sesuatu yang akan kuperlihatkan kepada kalian. Di sini, di Kenya World. Sesudah itu baru kita makan!"
K'orlii nampaknya kurang bergairah. Tetapi Tom dan Ben mengajaknya untuk ikut. Orang Aquilla itu memang kurang peduli untuk melihat secercah padang rumput Afrika sekarang ini. Dan Tom tahu hal itu, tetapi bagaimana pun ia jangan ditinggal sendirian.
Tom sudah pernah ke Kenya World sebelumnya, tetapi ia tidak pernah merasa bosan. Seperti halnya ekosistem yang lain-lain, tempat itu juga terpisah dari New America, yaitu hanya terikat dengan tali logam yang halus. Setiap globe berputar sendiri-sendiri pada sumbu socket dalam kerangka. Sebuah jalur anti bocor selebar 150 cm mengelilinginya menjadi jalan masuk. Secara teratur sebuah katup hampa udara menggeser di permukaan dengan memberikan waktu selama sepuluh detik untuk memasukinya.
Tom mengedip-ngedipkan matanya begitu tiba-tiba berada di tempat terang benderangnya "matahari" yang masuk melalui jalur-jalur transparan pada dinding globe untuk memberikan cahaya dan panas yang cukup. Padang rumput yang kuning panas membentang sampai ke lengkung kubah, lalu berganti dengan kelompok pohon-pohon yang lebat, dan di langit membentang danau yang biru.
K'orlii pun rupa-rupanya lupa akan keresahan hatinya. Ia memandang heran atas pemandangan indah mempesonakan di depannya.
"Kalau ini benar-benar contoh tiruan," katanya kepada Anita, "aku jadi sangat tertarik untuk melihat Afrika yang sesungguhnya! Ya, kapan-kapan!"
"Itu tidak perlu," balas Anita sambil mengerutkan dahinya. "Sekarang di sana sudah tidak seperti ini lagi. Sayang sekali, bukan" Itulah gunanya Kenya World. Demikian pun kubah-kubah ekosistem yang lain. Kita hendak melestarikan apa yang dapat kita lakukan di sini. Sementara itu di Bumi pengrusakan lingkungan berjalan terus."
K'orlii menunjuk ke arah dua ekor gajah raksasa Afrika, yang sedang keluar dari hutan dengan pelan-pelan. Yang seekor mengibas-ngibaskan telinganya, yang seekor lagi mengacungkan belalainya ke atas lalu memekik keras.
"Apakah... sebaiknya kita... menyingkir saja?" saran K'orlii.
"O, tidak perlu!" Anita menjawab. "Dinding-dinding sonik selalu memisahkan setiap jenis hewan itu tersendiri. Baik terhadap jenis-jenis hewan lain maupun terhadap kita. Kita tak dapat membiarkan hewan buas yang besar memangsa hewan lain yang lemah, yang kita khawatirkan akan punah."
Ia menyeringai dengan mata berkedip-kedip melihat wajah K'orlii yang khawatir.
"Kau jangan gelisah," sambung Anita, "hewan yang sangat ganas, seperti harimau, semuanya mengenakan kalung pengaman. Itu pun penemuan Tom, yaitu semacam elemen sonik yang membuat setiap pemakainya menjadi tenang dan jinak."
"Apa maksudmu dengan "tenang dan jinak" itu?" tanya Ben.
"Kaumaksudkan, apakah singa-singa itu takkan mau memangsa orang Indian Amerika Utara, misalnya?"
"Ya, kira-kira begitukah?"
Anita mengangkat bahu, lalu memberi isyarat untuk mengikutinya.
"Mengapa tidak ke Seksi D saja" Di sana nanti engkau akan melihatnya sendiri!"
Ben memandang penuh curiga. Ia mengenal Anita sangat baik, tetapi sekarang ia tidak tahu sejauh mana gadis itu hendak membuktikannya.
"Kedengarannya itu gagasan yang baik," sahut Tom.
Ben menatapnya. "Siapa yang menanyaimu?" K'orlii dan Tom tertawa.
"Ayo! Ini sungguh-sungguh!" kata Anita tegas. Ia lalu mengajak mereka ke arah pepohonan.
"Kita mempunyai banyak harimau di sini," Anita melanjutkan. "Tempatnya juga tidak terlalu luas, hingga takkan kesulitan untuk melihatnya. Harimau-harimau itu bercampur baur. Tetapi bukan seluruhnya yang ada di Kenya World itu berasal dari Afrika. Karena kekurangan tempat maka dicampur baurkan menurut daerah asal yang beriklim sama."
Empat ekor buaya berkulit tebal merayap masuk ke dalam air ketika mereka datang mendekati. Di kejauhan Tom melihat sepasang kuda Nil menghilang ke bawah air yang berlumpur.
Anita mendapatkan sebuah perahu yang bermesin listrik.
Mereka lalu naik ke atasnya. Dalam waktu setengah jam saja mereka telah sampai di ujung lengkung globe, yaitu di tepi sebuah danau yang luas. Tepi danau itu ditumbuhi gelagah dan jenis rumput-rumputan tinggi. Sebuah perahu lain melewati mereka. Anita melambaikan tangannya kepada dua orang gadis di perahu itu. Mereka mengenakan jumpsuit warna kuning keperakan, sama dengan pakaian yang dikenakan Anita, yaitu seragam Kenya World.
"Oke!" kata Anita akhirnya lalu menghentikan perahunya.
Semua turun. "Harap tenang. Jangan berjalan terlalu cepat! Hewan-hewan yang ingin kutunjukkan agak pemalu!"
Ia mulai menikung di sudut danau, dan menunjukkan jalan-jalan bagi teman-temannya melalui tanaman gelagah yang sebahu tingginya. Gelagah berdesir bila mereka lalui. Untuk beberapa waktu, baik Tom maupun teman-temannya tidak melihat sesuatu. Kemudian rumpun gelagah mulai menipis. Anita meletakkan telunjuk tangannya di bibir.
"Awas, jangan bicara lagi," ia berbisik.
Ia melangkah maju beberapa meter lagi. Dengan hati-hati ia menyibakkan tanaman gelagah, sedang bibirnya terkulum senyuman puas.
"Lihat! Semua saja! Kalian pasti belum pernah melihat seperti ini!"
Tom melangkah maju dan mengintip melalui pundak Ben. Di seberang cabang sempit dari danau tersebut terdapat padang rumput yang datar dan lebar, membentang hingga ke lengkung kubah. Di tengah-tengah padang itu berdiri dua batang pohon yang tinggi lurus, dengan daun-daun di bagian atas pohon. Pada waktu Tom memandang ke arah pohon itu, yang satu tampak bergerak dan diikuti pohon yang satu lagi. Wajah Tom menjadi berbinar.
"Engkau benar, Anita. Sesuatu yang pantas untuk dilihat!"
K'orlii menjadi terheran-heran.
"A-a-pa sih itu?" ia bertanya.
"Itulah jerapah!" jawab Anita tertawa lembut. "Jerapah jantan dan betina. Tinggal sepasang yang hidup. Itu pula yang menjadikan mereka sesuatu yang khusus. Kami berharap tidak lama lagi akan lahir bayi jerapah."
Kedua hewan itu berlari berlompatan dengan enaknya melintas padang lurus menuju ke tempat Anita dan teman-temannya. Kaki-kakinya melangkah lebar-lebar dan lehernya yang panjang bergoyang-goyang di atas sangat indahnya.
"Yang jantan itu tingginya enam meter," Anita meneruskan uraiannya. "Hee... aduh! Jangan!"
Tiba-tiba Anita menjadi tegang. Tom melihat goncangan dalam matanya dan perasaan takut mencekam gadis itu, lalu ia melirik ke arah jerapah-jerapah itu. Hewan tinggi besar yang suka berkawan itu membelok, berputar-putar sebentar, kemudian berlari kalang kabut menuju ke danau.
Seekor binatang lain lari meluncur di belakangnya, segumpal otot-otot kuning dan hitam melompat-lompat bagaikan kilat melintas padang rumput seperti gelombang.
"Itu harimau Benggala!" teriak Tom. "Bukan main besarnya! He, Anita, mau apa harimau itu di sana?"
"A-a-ku tak " tak tahu. Kalau ia berhasil menerkam jerapah itu ...."


Pesawat Ark Two Tom Swift 07 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajahnya berbayang kemarahan. Sebelum Tom dapat mencegahnya, Anita telah ke luar dari rumpun gelagah. Ia berteriak-teriak sambil mengayun-ayunkan tangan.
"Berhenti! Dengar, berhenti kau! Jangan dekati jerapah itu! Berhenti sekarang juga!"
"Anita!" seru Ben dengan pandangan ketakutan, lalu meraih dan menarik gadis itu kembali masuk ke dalam rerumpunan gelagah. Anita mengedip-ngedipkan matanya. Tiba-tiba ia menjadi sadar dengan apa yang telah dilakukannya. Tujuhpuluh meter jauhnya di sana, harimau besar itu berhenti, mendengus-denguskan hidungnya di udara dan membalikkan tubuhnya ke arah rerumpunan gelagah.
"Aduh!" Anita menggigit bibir sambil mengeluh. "Aku menyesal, menyesal sekali, teman-teman. Kita harus pergi sekarang. Ikutilah aku! Jangan sampai ketinggalan."
Ben menunjuk dengan ibu jarinya melalui pundaknya ke belakang.
"Yah, ke mana kita sekarang"..agar tidak dapat diikuti si dia?" Anita tidak menjawab. Cepat-cepat ia berjalan menerobos rerumpunan gelagah sambil berbicara cepat kepada unit komunikasi di pergelangan tangannya. Tom tahu, bahwa si gadis itu dicekam rasa takut tetapi tidak ingin menunjukkannya.
"Di mana si dia itu sekarang?" Anita bertanya dengan datar, tanpa berani menengok ke belakang. "Apa kalian masih melihat si dia?"
"Ia masih saja mengikuti kita," kata Tom. "Satu menit yang lalu masih kulihat dia, tetapi sekarang tidak lagi."
"Kita jangan lari," Anita berkata kepadanya. "Kita terus saja berjalan. Jangan pula berhenti. Aku telah memanggil patroli heli. Kita akan mendapat pertolongan segera!"
"Di mana mereka?" tanya K'orlii dengan was-was.
"Tak jauh lagi, kuharap!"
Anita menghela napas. "Terus terang, ya, mereka memang jauh dari sini. Tetapi bagaimana pun juga mereka segera akan datang kemari.... Teman-teman aku sungguh menyesal. Tolol benar apa yang telah kulakukan tadi!"
"Kau sedang mengkhawatirkan jerapah-jerapah itu?" tanya Tom. "Tak seorang pun akan menyalahkanmu!"
"Aku sendiri yang menyalahkan diriku!" kata Anita. "Memang hanya jerapah. Tetapi manusia lain!"
Anita mengepalkan tangannya erat-erat sedang rambutnya yang merah menjurai ke wajahnya.
"Tolol!" ia menggerutu. "Tolol! Tolol!"
"Aku maklumi!" kata Ben yang ada di sampingnya.
Anita melemparkan pandangannya kepada Ben.
"Sekali ini, Ben, engkau benar. Tetapi jangan kau berharap suatu peruntungan! Oke?"
Tiba-tiba saja tumbuhan air itu telah berganti dan terbuka. Anita terus saja berjalan dengan langkah-langkah cepat. Tetapi hutan itu seperti tak terjangkau jauhnya. Duaratus tanah lapang tanpa ada lindungan.
"Kita ambil senjata pembius di perahu," kata Anita. "Hanya saja, apa harimau itu mau sabar terus menunggu!"
"Barangkali saja ia mau berhenti dalam rerumpunan gelagah," kata Ben berharap cemas. "Atau mungkin ia berbalik dan kembali mengejar jerapah...."
Suara menggeram menggema datang dari arah sungai.
"Minta ampuuunn!" Ben mengeluh.
Harimau itu menggeram sekali lagi. Kali ini terdengar semakin dekat. Kemudian rerumpunan gelagah di belakang mereka menguak, dan harimau benggala itu melompat ke padang terbuka, lalu dengan cakarnya yang luar biasa ia mengambil ancang-ancang melompat hendak menerkam mereka. Kepalanya yang besar loreng-loreng menunduk rendah di antara bahunya.
"Nah, sekarang lari!" jerit Anita.
"Menyebar!" seru Tom. "Jangan berkumpul!"
Tom, Anita, Ben dan K'orlii berlari zig-zag menuju ke perahu.
Untuk sejenak harimau itu berhenti. Bingung melihat keempat mangsanya itu lari berpencaran. Kemudian pandangan harimau itu mengarah Tom Swift, lalu menyiapkan otot-otot pahanya dan melompat tinggi melintasi padang rumput.
Tom mendengar jerit Anita, lalu menoleh ke belakang. Sesuatu yang besar bergerak mengarah kepadanya. Harimau itu kini telah dekat"...terlalu dekat. Jaraknya semakin dekat, empatpuluh meter... duapuluh....
Harimau itu mengeraskan otot-ototnya dan melompat. Tom menjatuhkan diri dengan menyembunyikan mukanya. Ia merasakan nafas hewan buas itu berhembus, dan kemudian ia melihat harimau itu jatuh ke tanah tidak sampai dua meter dari padanya. Rahang yang seram menganga dan terdengar suara menggerung. Dan tiba-tiba mata harimau itu memandang kosong. Ia bergetar sebentar, lalu rubuh menggeliat ke tanah.
Tom segera bangkit berdiri. Lututnya masih terasa gemetaran. Ia mendengar suara mendengung dari sebuah heli di atas kepalanya. Ia mendongak. Seseorang dalam pakaian jumpsuit kuning mengintip cemas. Sebuah senapan pembius dipegang erat di tangannya. Pesawat itu kemudian membelok dan mendarat tidak jauh dari Tom.
Tom dan teman-temannya beramai-ramai mendekati harimau itu. Tampak dari dekat jauh lebih besar lagi.
"Lihatlah itu," kata Anita penuh perhatian sambil menunjuk harimau yang sedang "tidur nyenyak". "Ia tidak"..mengenakan kalung"..pengaman! Aneh! Tidak mungkin".tidak mungkin terlepas!"
"Anita," kata Tom sambil menyeka wajahnya, "bukankah kaukatakan ada orang yang datang kemari?"
"Apa" Ya, tentu, banyak. Aku sedang merencanakan untuk memperlihatkan jerapah kepadamu, kemudian . . "
Ia berhenti, membiarkan suaranya menghilang di udara. Sekonyong-konyong ia mengeluh.
"Ya, ampuuunn!"
"Aku tidak terlalu yakin," kata Tom, "tetapi rupanya ada orang yang menginginkan kita mati disergap harimau. Dengan cara ini atau cara lain "
Chapter 4 Setelah peristiwa di Kenya World, Tom bersama teman-temannya berkeputusan untuk menghindari ruang makan para petugasArk Two yang selalu dipenuhi orang. Sebaliknya mereka mengambil beberapa potong roti isi, lalu pergi ke laboratorium kecil yang digunakan oleh Tom apabila ada di New America.
Anita menerima panggilan melalui alat komunikasi di pergelangan tangannya. Lalu ia sampaikan berita itu kepada teman-temannya.
"Bukan hanya kalung pengaman. Seseorang telah pula mengganggu sistem dinding sonik."
Ia lalu mencari pensil dan kertas dan membersihkan sebagian meja kerja Tom.
"Lihat! Sistem itu disusun begini: daerah hidup hewan-hewan berbaur satu dengan yang lain, tetapi seperti halnya bermacam-macam warna tidak dapat bercampur. Kau mengerti itu" Hal ini pun mirip dengan alam bebas. Namun di sini banyak gangguannya. Bagi Kenya World, hal ini berarti bahwa siapa pun yang memerlukan dapat pergi ke padang rumput, danau air, pohon-pohon hutan... apa pun yang dibutuhkan pada lingkungan hidup alamiahnya."
Anita kemudian meletakkan pensilnya.
"Siapa pun orangnya yang telah melepaskan harimau benggala itu untuk menerkam kita, tahu benar apa yang ia perbuat. Menurut orang-orang di bagian komputer, orang itu telah menggiring harimau ke arah kita. Tepatnya dengan lebih dulu menuntunnya ke daerah tempat hidup jerapah."
Tom mengutuk sambil mengunyah rotinya.
"Perbuatan itu memerlukan pengetahuan yang cukup mendalam. Bahkan lebih dari satu bidang ilmu."
"Apa itu suatu kejutan?" tanya Ben. "Siapa pun orangnya yang ada di belakang layar itu, aku menarik kesimpulan tentang komplotan yang sama, yaitu ia tahu benar tentang shadowlator, cara kerja pintu tekanan udara di kubah, punya pengetahuan tentang ilmu sonik, penggunaan sepasukan pesawat angkasa yang bertenaga besar serta persenjataan laser."
"Bukannya perlengkapan yang murah," Tom setuju. "Apa yang selalu mengganggu pikiranku ialah: mengapa" Siapa pun mereka itu, apa yang sebetulnya mereka kehendaki?"
"Aduh, aku hampir saja lupa!" Anita menyela sambil menatap K'orlii. "Aku dapat memastikan, tidak ada orang Aquilla yang memasuki Kenya World selama enam minggu yang terakhir ini. Jadi dapatlah dikatakan tak ada dari bangsamu yang harus bertanggungjawab dalam hal ini."
"Aku khawatir, itu tak banyak berarti," jawab K'orlii sambil mengangkat bahu. "Kalau komplotan itu begitu luas seperti yang nampak, mungkin saja ada orang-orang Aquilla yang terlibat. Hanya aku tidak percaya hal itu. Itulah masalahnya!"
*** Hari berikutnya, Ben dan K'orlii sangat sibuk, sementara Tom dan Anita pergi ke laboratorium untuk memperbaiki Aristotle. Si rambut merah yang cantik itu menguasai beberapa cabang ilmu. Tetapi keahlian utamanya ialah prosthetik dalam keadaan tanpa berat.
Sebagai akibat dari suatu kecelakaan adalah kaki sebelahnya sebatas lutut ke bawah merupakan kaki buatan, di dalamnya terdapat komputer-komputer lengkap. Oleh karena itu dalam melakukan segala kegiatannya, ia tidak merasakan suatu gangguan apa pun, termasuk kegiatan olahraga. Pengalamannya dengan kaki bionik membuatnya tidak kepalang berharga dalam tugas-tugas sulit seperti yang mereka hadapi sekarang.
"Wah! Kukira aku tak dapat menambahkan sesuatu pada diagnosamu, Doktor Swift!" Anita menghela napas. Ia mematikan alat pembesaran penglihatan pada sebagian sirkuit robot yang rusak itu.
"Teman kita Aristotle nampaknya benar-benar tidak sehat. Besarnya peningkatan tenaga listrik di Exedra secara tiba-tiba itu telah membakarnya seperti sate, tapi apa boleh buat!"
Anita mengambil suatu komponen yang telah terbakar meleleh, lalu memandanginya dengan perasaan muak.
"Apa kau punya suku-cadang untuk ini semua" Rupa-rupanya kita harus mengganti semua!" Anita berkata kepada Tom.
Tom dapat menangkap isi hatinya seperti yang tampak pada wajah Anita. Ia meletakkan tangannya pada pundak gadis itu.
"Tidak seburuk yang kauperkirakan, Anita," kata Tom sambil menyeringai. "Takkan sulit dengan kaki ajaibmu untuk membantu aku, bukan?"
Anita menatapnya dengan pandangan tidak mengerti. Tetapi kemudian wajahnya menjadi cerah.
"Oo, tentu saja! Mengapa aku tak memikirkan begitu" Kita dapat menyalurkan informasi-informasi melalui sirkuit-sirkuit pengujiku. Dengan demikian kita selalu dapat mengetahui bagaimana kita harus mengerjakan!"
"Membersihkan bagian unit dasar adalah yang paling sulit," sambung Tom. "Kalau kita berhasil menyelesaikan itu, kita dapat menyuruh Aristotle sendiri untuk mengambil alih pekerjaan kita, bukan" Kalau ia mencoba komponen-komponennya sendiri, akan membantu mengurangi pekerjaan kita hingga separohnya!"
"Barangkali!" Anita menyibakkan rambutnya ke belakang sambil memandangi Tom dengan ragu-ragu. "Kau tahu hukum Thorwald" Semuanya akan memakan waktu dua kali lipat dari semestinya!"
"Kecuali bagian-bagian yang nampak mudah," sambung Tom dengan bergurau, "itu mungkin memerlukan waktu tiga kali lipat!"
Anita memang benar. Meskipun dikerjakan dengan cara lintasan pendek, namun pekerjaan memperbaiki robot itu memakan waktu lama pada hari itu. Sekali Aristotle mulai bekerja kembali, Tom mengisinya dengan segala data kejadian semenjak peristiwa kebakaran. Sirkuit penyimpan ingatan Aristotle ternyata masih baik hingga saat terjadinya kebakaran. Salah satu manfaat dari robot itu adalah selalu bertambahnya data yang dapat disimpannya, dan semakin banyak pula yang dia ketahui. Dengan demikian semakin banyak bantuan yang dapat ia berikan. Pada waktu membuat disain proyek Aristotle, Tom berhasil membuat alat penyelamatan khusus yang dapat melindungi sirkuit-sirkuit ingatan terhadap segala macam kerusakan, terkecuali kalau memang telah hancur sama sekali.
Tom mundur ke belakang dan memandangi robotnya, Aristotle.
"Nah, bagaimana engkau sekarang, kawan?"
Sensor-sensor dari Aristotle yang berwarna biru lembayung mengerdip sekali.
"Menurut pengertianku, Tom, pertanyaanmu itu tertuju kepada keadaan fisikku. Terimakasih, aku dalam keadaan baik dan siap kerja. Anita, aku berikan salamku kepadamu!"
"Dan aku... ha... beri salam pula, Aristotle!"
"Rupa-rupanya suatu kekuatan yang tak diketahui sedang bertekad hendak menghancurkan engkau dan kawan-kawanmu, Tom. Kecuali kalau engkau tidak memberi aku semua data yang kauperoleh, maka kuanggap serangan yang terus-menerus terhadapmu itu tidak masuk akal sama sekali. Agresi manusiawi biasanya didasarkan atas kebutuhan, baik yang nyata maupun yang khayalan."
"Itu pun kesimpulanku juga," kata Tom, "tetapi seperti kaunyatakan sebelumnya, akal sehat tidak selalu mempengaruhi cara manusia bertindak."
"Sayang sekali," komentar Aristotle.
Tom lalu memberi perintah kepada robot tersebut, agar menguji komponen-komponennya hingga tiga kali. Kemudian ia mengikuti Anita berjalan melintasi laboratorium. Anita melihat dari sampingnya lalu menaikkan alis matanya penuh rasa ingin tahu.
"He! Apa alat itu seperti yang kuduga" Rupanya seperti sudah kukenal!"
"Yang ini?" Tom membalik ke meja kerja yang di belakangnya dan memungut sebuah sabuk logam. Tali-temali anyaman dari nilon menyambungkan sabuk itu dengan sebuah kotak lengkung yang ringan, cocok sekali untuk dipasangkan di punggung. Ia memberikannya kepada Anita.
"Aku sudah membuatnya beberapa perangkat. Kalau keadaan di sini sudah tenang, kita dapat melakukan uji coba."
"Ini kan alat drysuit, bukan" Kau sudah berhasil menyelesaikannya, Tom" Apa sudah dapat bekerja dengan baik?"
"Sudah. Tetapi aku ingin agar engkau dan Ben pun melakukan uji coba. Bukankah masih selalu ada saja hal-hal kecil yang masih perlu diperbaiki, hingga semua orang aman memakainya. Kita pergi ke Sea Globe besok pagi."
"Senang sekali, Tom. Ini akan membuat olah-raga selam scuba menjadi mudah, sehingga semua orang akan dapat melakukannya."
"Kuharap lebih dari itu," kata Tom, "kalau aku dapat memecahkan masalah tekanan udara, maka kita akan dapat memperoleh alat pengaman, baik untuk tugas angkasa dalam, maupun untuk penyelidikan di bawah air."
Drysuit itu merupakan hasil penemuan Tom selama ia tinggal di Triton. Sirkuit-sirkuit mikro yang sangat pelik dalam sabuk itu menimbulkan suatu medan bertekanan oksigen di sekeliling tubuh si pemakai. Jadi dapatlah dikatakan semacam "pembungkus kering" yang memungkinkan si pemakai tetap dapat bernapas maupun melakukan berbagai gerakan bebas tanpa mengenakan topeng atau pun perlengkapan lainnya. Hanya tangki-tangki oksigen bertekanan tinggi yang ringan merupakan perlengkapan tambahan pada sabuk drysuit tersebut.
Anita membalik-balikkan sabuk itu di tangannya dan mempelajarinya dengan seksama.
"Aku yakin, bahwa sabuk ini tentu bekerja baik kalau engkau sudah mengatakannya," ia berkata. "Namun kukira masih memerlukan waktu untuk seseorang yang berani menyelam tanpa topeng."
"Engkau akan menjadi terbiasa nanti," kata Tom, "seperti kaukatakan memerlukan waktu, memang. Tetapi itu tak lama, dan nanti kita akan dapat berenang dan menyelam dalam air seperti K'orlii."
"Wah, wah!" Anita mengangkat alisnya. "Aku sudah lihat bagaimana orang-orang Aquilla berenang, Tom. Aku tak bersedia berlomba melawan mereka! Biar pun memakai drysuit penemuanmu itu!"
Alat komunikasi di pergelangan tangan Tom mendengung. Ia mendengarkan, menjawabnya lalu berpaling kepada Anita.
"Ia menghendaki kita datang ke ruang kerjanya," katanya, "kata Laksamana Silmon, Ben dan K'orlii ada di sana pula."
"Ada sesuatu yang tidak beres?"
"Mungkin! Mendengar cara ia berbicara!"
Tom lalu mengunci ruang laboratoriumnya dengan kode sidik jarinya dan meninggalkan Aristotle tetap di dalam. Bersama Anita ia bersepeda-udara menuju ke stasiun. Seorang ahli teknik berpakaian jumpsuit merah melewati mereka, berpaling sebentar lalu bergegas ke arah yang berlawanan.
Kedua kawan itu terus bersepeda udara yang lazim digunakan di New America. Sepeda udara itu mereka tinggalkan di stasiun yang ada di sudut bangunan. Baru saja hendak turun dari sepedanya, Tom memegang lengan Anita.
"Lihat! Orang yang berpakaian merah itu!" ia berbisik sambil menunjuk ke seseorang yang menghilang di sudut.
"Ada apa dengan dia?"
"Ia tadi melewati kita di depan laboratorium. Namun, meskipun ia berjalan berlawanan dengan arah kita, sekarang ia mendahului kita!"
Anita memandang Tom dengan mata bertanya. "Maksudmu, ia membayangi kita?"
"Tidak hanya itu. Untuk dapat mendahului kita, cara satu-satunya tentu lewat terowongan pengamanan darurat. Itu berarti ia memiliki surat pas khusus."
"Mari kita lihat! Ke mana ia pergi!" tanya Anita.
Mereka segera berlari. Ketika membelok di sudut, mereka melihat orang itu sedang memasuki sebuah pintu. Tom dan Anita menyusul. Mereka memasuki sebuah toko kecil, khusus menjual roti dan keju. Tetapi orang itu tidak nampak di sana.
"Dapatkah saya menolong anda?" Seorang penjaga berambut coklat menyapa mereka dengan manis dari balik mejanya. "Sudah hampir waktunya untuk tutup, tetapi ...."
"Orang yang baru saja masuk kemari, ke mana perginya?"
Pada saat itu juga pintu di belakang Tom mendadak terbuka. Orang berpakaian jumpsuit merah berdiri di pintu dan matanya menunjukkan rasa terkejut. Tom melihat sesuatu bayangan marah di matanya.
"Anita!" seru Tom memperingatkan.
Ia melihat tangan orang itu merogoh ke dalam saku jumpsuitnya. Tom membungkukkan tubuhnya. Pestol jarum yang mengkilat meledak di tangan orang itu. Tom merasakan peluru-peluru bersirip halus mendesing di samping kepalanya tepat ketika pundaknya mendarat di atas perut lawannya. Mereka bergulingan di lantai.
Orang itu kehilangan keseimbangan dan terlempar ke ambang pintu. Senjatanya jatuh di atas lantai gang yang terbuat dari bahan plastik. Ia segera bangkit dan lari ke luar. Tom merayap bangun, lalu mengejarnya. Rupa-rupanya orang itu telah hapal benar dengan daerah itu. Ia membelok dua kali di gang-gang, lalu menghilang di antara kerumunan orang berbelanja. Tom berhenti mengejar, lalu kembali ke toko roti.
Sementara itu Anita berusaha menjelaskan segalanya kepada penjaga toko. Bukan hal yang mudah baginya, karena si penyerang telah menembakkan seluruh pelurunya berhamburan di dalam toko. Bola-bola keju, roti dan sosis yang bergantungan penuh peluru.
Ketika Tom masuk kembali ke dalam toko, Anita berpaling kepadanya.
"Engkau tidak apa-apa?"
"Ya, aku baik-baik saja. Tetapi si bangsat itu telah lolos," kata Tom. "Maafkan segala kegaduhan tadi," katanya sambil berpaling ke penjaga toko. "Kalau ada kerusakan kami bersedia menggantinya!"
"Tak perlu," gadis penjaga itu memaksakan diri untuk tersenyum. "Kalian kemari saja".kalau... kalian perlu keju...."
"Huh," dengus Tom dengan muka merah, ketika sampai di kantor laksamana Silmon, "siapa pun mereka itu, laksamana Silmon, merekalah yang memulai berperang di New America ini!"
Tom mondar-mandir di ruangan itu dengan kedua tangan di saku. Ben bersandar pada dinding, sementara Anita dan K'orlii di seberang laksamana Silmon.
"Aku berharap dapat mengatakan apa yang terjadi di sekitar ini kepada kalian," kata Silmon. "Sayang sekali, apa yang dapat kulakukan justru malah menambah kerisauan."
Tom mendongak dengan perasaan tidak enak. Ia melihat garis-garis keresahan di sekitar mata laksamana.
"Saya kira, kita semua tidak senang dengan semuanya itu. Lalu sekarang harus bagaimana?"
Laksamana Silmon membuka laci mejanya, lalu mengeluarkan sebentuk cincin perak dan meletakkannya di atas meja. K'orlii ternganga mulutnya. Ia memungut dan mengamatinya.
"Pak Silmon, di mana anda memperoleh ini?" "Kukira engkau dapat mengatakan benda apa ini," kata Silmon.
"Tentu saja. Ini adalah cincin lambang keluarga kami. Saya sendiri mempunyainya." Ia mengangkat tangan dan menunjukkan sebentuk cincin perak. "Dari mana cincin itu, laksamana?"
"Nah, itulah jeleknya. Regu penyelidikku menemukannya di gerbang. Tidak sampai tiga puluh meter dari tempat marinir penjaga itu dipukul pagi tadi."
"Saya tidak percaya!" K'orlii menggeram marah. Matanya yang kuning keemasan menyala-nyala. "Tak seorang pun anggota keluarga saya ada di New America ini."
"Aku tahu hal itu," jawab laksamana dengan sabar. "Tetapi bagaimana pun juga cincin itu ada di sini, bukan?"
"Itu belum merupakan bukti, K'orlii," kata Tom. Ia berpaling kepada laksamana. "Ini agak aneh, bukan laksamana" Mula-mula penjaga itu melihat wajah orang Aquilla, setelah itu ditemukan sebentuk cincin Aquilla. Cincin tentunya tak begitu saja lepas dari jari tangan. Itu kan tidak biasa, bukan?"
"Ya! Itu memang tidak biasa." Laksamana Silmon bangkit berdiri dan menghela napas. "Nah, apa kalian masih ingin mendengar yang selanjutnya?"
"Masih ada apa lagi?"
"Begini, pertama, aku baru saja dapat kabar dari Swift Enterprises. Seorang ahli teknik telah menghilang dari kubah Triton. Ia dulu bekerja di markas ayahmu di Shopton. Kemudian dipindahkan ke kubah Triton, empat minggu yang lalu." "Yaitu tepat sebelum terjadi kecelakaan-kecelakaan di kubah dan di laboratoriummu!" kata Silmon sambil menatap Tom.
"Ini suatu kebetulan lagi," kata Tom bernada sinis.
"Itu betul, Tom. Dan dua. . .." kali ini Silmon berganti pandang kepada K'orlii. "Aku sebetulnya tidak senang menumpuk-numpuk berita buruk kepadamu. Tetapi itulah keadaannya. Gambar-gambar yang diperoleh pada alat penyelidikan angkasa di dalam ketiga pesawat yang menyerang Exedra itu memang kurang jelas. Tetapi masih cukup jelas bagi Dinas Intelijen. Sirip-sirip itu telah mengecoh kita untuk sementara. Dan kalau sirip-sirip itu dihilangkan, maka akan diperoleh siluet, yaitu gambar bayangan yang cukup jelas: Pesawat-pesawat itu milik Aquilla. Tidak diragukan lagi!"
Chapter 5 Siang itu, Tom dan teman-temannya sedang melayang-layang di pintu masuk Sea Globe. Tom sedikit meringkukkan tubuh bagaikan bola, lalu menendangkan kakinya untuk dapat menghentikan laju gerak melayangnya. Ia meraih sebuah pegangan, menoleh ke belakang. Ben, Anita dan K'orlii berada tepat di belakangnya sedang melewati jarak limapuluh meter terakhir dalam terowongan itu.
Sekali lagi Tom berpaling ke pintu, memandangi bulan Sea Globe yang besar berwarna biru keputih-putihan. Ekosistem air itu nampak bagaikan mutiara besar yang bersinar, dengan latar belakang ruang angkasa yang bagaikan beledu. Ia seakan-akan sedang menelan seluruh langit, membuat bintang-bintang nampak kosong pucat. Dari seluruh bagian-bagian Ark Two hanya Kenya World-lah yang paling besar. Sedang yang lain-lain itu ada di bawahnya. Ben bersiul panjang dan memberikan pujiannya.
"Wah, wah! Itu namanya akuarium yang sangat besar!"
"Yang kubenci adalah bila harus mengganti airnya!" tukas Anita sambil menyibakkan rambut. "Siap untuk berenang, kawan-kawan?"
"Boleh!" jawab Tom. "Setelah aku selesai memeriksa peralatannya masing-masing!"
Pakaian karet yang merupakan standar tidak diperlukan lagi, biarpun mereka hendak menyelam sangat dalam. Anak-anak muda itu lalu mengenakan celana renang, kecuali Anita yang mengenakan bikini warna biru. Lapisan udara yang ditimbulkan oleh alat drysuit tidak saja menahan air, tetapi juga memungkinkan tubuh tetap memperoleh suhu yang nyaman pada kedalaman dan tekanan air yang berubah-ubah.
Sambil membungkuk di atas pintu masuk, Tom berkeliling memeriksa perlengkapan teman-temannya. Lampu kecil pada setiap sabuk logam beranyam itu menyala biru. Jaringan nilon mengikat instrumen yang kompak itu di antara kedua bahu dengan enaknya.
Tom telah menyiapkan pula tangki-tangki oksigen di sisi dari setiap alat. Oksigen itu merupakan campuran bertekanan tinggi, sedang setiap tangki itu tidak lebih besar daripada sebuah termos.
"Bila alat ini nanti dihidupkan," kata Tom, "lampu kedua pada sabuk logam kalian akan menyala kuning. Itu berarti, bahwa kalian bernapas dalam medan tekanan oksigen campuran."
"Itu kalau alat bekerja baik," Ben menyela.
Tom menyeringai. "Kalau alat tidak bekerja, biar K'orlii menarik kalian ke luar, dan kalian akan menerima uang kembali!" Tom berseloroh.
Ia lalu melompat dan mengapung-apung beberapa meter melalui pintu masuk. Di luar, berkas-berkas cahaya yang bersinar berkejaran berlalu pada bagian dari jalinan tali-tali logam yang mengikat Sea Globe pada orbit tambatannya.
Akhirnya terowongan yang panjang itu berakhir pada gerbang bertekanan yang selalu bergeser pada permukaan globe. Pintu bertekanan yang berbentuk elips terbuka, dan mereka lalu masuk.
Mereka merasakan adanya peralihan secara perlahan-lahan antara keadaan tanpa berat ke dalam daerah keadaan gaya berat yang sama seperti di permukaan bumi. Sementara itu udara dingin yang disalurkan oleh mesin-mesin ke dalam terowongan sedikit demi sedikit terasa menjadi hangat. Mereka kemudian menuruni sebuah tangga pendek menuju ke sebuah anjungan dari logam yang berongga hingga terapung di air.
Permukaan air Sea Globe yang jernih kehijauan membentang luas berupa lengkungan yang menghilang tepi-tepinya pada kaki langit plastik yang tembus pandang karena transparan.
"Perlu waktu untuk menyesuaikan diri," kata Anita. "Di tempat-tempat pada ekosistem lain kita telah terbiasa berada di dalam bulatan kubah."
K'orlii menyelam lewat samping mereka dan menghilang meninggalkan jejak gelembung-gelembung busa. Air yang jernih dan bening memungkinkan Tom melihat ke bawah, sebuah bayangan biru pucat dengan latar belakang hijau kelam.
Ia pun menghidupkan alat drysuitnya, dan kemudian merosot membungkuk di tepi anjungan. Kepalanya dibenamkan ke dalam air.
Drysuit-nya bekerja baik. Ngeri juga rasanya memandang ke kedalaman dunia bawah air tanpa menggunakan alat scuba. Ia rasakan seolah-olah ada dalam lapisan kaca yang tidak nampak yang menyelubungi tubuhnya kira-kira dua setengah sentimeter di luar kulit tubuhnya.
Ben mengikutinya, disusul oleh Anita. Gadis itu menyeringai sambil menjejak-jejakkan kaki dan menyibak-nyibakkan tangan untuk dapat tetap di tempatnya.
"Luar biasa! Kini aku harus mengakuinya." Suaranya itu jelas terdengar melalui pesawat penerima getaran di telinga.
"Lihat itu di sana!" seru Ben.
Seratus meter di sebelah kiri, tiga orang Aquilla yang berkulit biru sedang menggiring segerombolan ikan tuna. Ketika Tom memperhatikannya seluruh gerombolan ikan mendadak berbalik bagaikan kilatan putih keperakan dan lalu menghambur ke kedalaman.
"Ada sepasang hiu putih di sebelah kiri," K'orlii memperingatkannya. "Kukira itulah yang membuat gerombolan ikan tuna takut."
Ben memandang ke arah ikan hiu di kejauhan itu dengan seksama. "Aku maklum itu."
"Ikan-ikan buas di Sea Globe ini telah dilengkapi kalung pengaman," kata Anita. "Mereka takkan mengganggu kita."
"Harimau Benggala itu pun memakai kalung pengaman," Ben mengingatkan.
"Tidak sama, bung," Anita menggeleng, "ada orang yang sengaja melepaskan kalung pengaman. Harimau itu tak dapat melepaskannya sendiri."
Tom menjauh. Menyelam ke kedalaman. Ia dapat maklum apa yang dikhawatirkan oleh Ben. Sudah beberapa kali mereka mengalami berbagai usaha pembunuhan. Maka, mengapa tidak dilakukan lagi di Sea Globe ini" Di sini merupakan tempat yang ideal untuk menimbulkan "kecelakaan". Apabila memang ada orang-orang Aquilla yang terlibat?"..
Tom tidak ingin memikirkan hal itu. Sebab kebanyakan orang-orang Aquilla yang pernah ia jumpai mirip K'orlii, yaitu ramah, tertutup dan suka damai. Lalu" Siapa" Tom berpikir-pikir.
Semua bangsa-bangsa di berbagai bintang pada dasarnya adalah ramah. Memang bajak ruang angkasa selalu memusingkan kepala, tetapi mereka tidak terorganisasi dengan baik, dan jumlahnya pun tidak cukup banyak untuk dapat melakukan serangan seperti yang telah mereka alami.
"Kalau David Luna masih hidup", pikir Tom, "aku akan menimpakan segalanya itu kepadanya."
Itulah dia musuh mereka bebuyutan, seorang industrialis multi jutawan yang memperkaya diri dengan cara-cara yang rendah. Ia tentu akan mampu melakukan segala-galanya, dan tidak akan berhenti biarpun harus melakukan pembunuhan, untuk dapat memenuhi keinginannya. Tetapi David Luna hampir dapat dipastikan sudah mampus.
Sesudah petualangan mereka pada peristiwa The Rescue Mission (misi penyelamatan), yang terakhir kali mereka lihat pesawat itu terlibat dalam pertempuran dengan Sansoth, yaitu suatu bentuk kehidupan asing. Tak seorang pun berhasil menyelamatkan dia.
Apakah dengan suatu mukzizat ia dapat selamat" Lalu kembali ke dalam susunan Planet Dalam untuk mengganggu Swift Enterprise"
Serombongan ikan merah dan kuning menyingkir karena kehadiran ketiga manusia itu. Tom, di bawah, melihat air yang semakin menjadi kedalam. Sea Globe dilengkapi tekanan udara buatan agar mirip dengan keadaan di Bumi. Sebagai inti dari seluruh sistem itu ada suatu kedalaman yang gelap pekat, meniru sebuah palung di Pasifik dengan kedalaman hingga 3000 meter. Hewan jenis cumi-cumi dan belut raksasa mengintai di sana. Sedang jenis tumbuhan lilia laut halus berwarna keungu-unguan dan beberapa kerang raksasa adalah yang tersisa dari Bumi.
"Tom," terdengar suara Ben berdesis di telinganya, "turunlah kemari. Engkau harus melihat ini."
Tom lalu memandang ke bawah dan melihat bayangan kulit tubuh Ben yang bagaikan tembaga. Bersama Anita, Ben sedang menunggunya di bawah susunan karang millepore yang berwarna merah, yaitu suatu hutan kehidupan yang membentang di keluasan yang serba biru. Mata Ben kelihatan terbelalak melihat pemandangan yang begitu mengagumkan.
"Aku tak mengira kesemuanya ini," katanya penuh gairah, "kusangka Sea Globe adalah sebuah kolam ikan yang banyak ikannya."
"Jauh dari itu," jawab Tom. "Memang harus begitu untuk meniru keadaan laut yang sebenarnya."
Tom sendiri kagum atas susunan batu karangnya. Baru kali ini ia melihatnya. Karang laut merupakan tempat yang penting dan vital untuk kelangsungan hidup ribuan jenis hewan laut. Tetapi Sea Globe tidak mempunyai dasar tanah sebagai alas tumbuhnya hewan karang.
Masalah itu dipecahkan dengan suatu cara yang sangat cerdik. Daripada tumbuh dari dasar tanah, hewan karang di Sea Globe benar-benar mengelilingi seluruh sistem itu pada kedalaman yang sewajarnya.
Tom mengikuti Ben dan Anita melewati lengkung dan terowongan yang tak terhitung banyaknya. Semuanya itu terbentuk dari suatu jalinan yang hidup. Batu karang seperti menyala dalam aneka warna-warni, putih, merah muda, hijau kuning dan merah cerah.
Kipas-kipas laut yang halus membuka dan menutup lambat-lambat mengikuti irama alunan air.
Anita mendekat ke sampingnya.
"Lihat itu, yang seperti awan di sana itu" Itu adalah gerombolan udang-udang kecil."
Tom melihat suatu gerakan di sudut matanya. "Maksudmu, itu yang biasa?"
Serombongan kecil ikan kuning melesat bagaikan peluru datang dari kedalaman, lalu meledak di tengah-tengah rombongan besar udang-udang kecil tadi. Awan jingga terhambur buyar ke segala penjuru. Ikan-ikan kuning berputar-putar lapar dan dengan cepatnya menyikat udang-udang kecil yang tersisa.
"Apa tidak ada kalung pengaman pada ikan-ikan kuning itu?" tanya Ben. "Kutahu bahwa di lautan bebas siapa pun saling makan-memakan. Tetapi bagaimana petugas-petugas di sini itu tahu bahwa suatu jenis hewan yang berharga itu takkan punah dimakan hewan lain dalam satu malam" Nah, Anita, kau jelaskanlah masalah itu di Kenya World ini!"
Tom, Ben dan Anita membalikkan tubuh untuk melihat K'orlii yang sedang melayang-layang di atas mereka.
"Aku dapat menjawab pertanyaanmu, Ben," K'orlii menyela.
"Itu merupakan sebagian dari tugas orang-orang Aquilla di sini. Komputer-komputer kita selalu mengecek keseimbangan dari rantai makanan. Bila ada sebagian yang susut jauh dari semestinya, maka petugas-petugas lapangan segera mendirikan yang disebut "pagar sonik" agar jenis hewan yang sangat berkurang itu dapat diperbanyak lagi."
K'orlii berhenti sejenak, lalu menegangkan kepalanya seperti ada suara yang menyengat syarafnya.
"Apa kalian mau ikuti aku" Sepasang hewan konsumen yang terbesar pada rantai makanan berada sangat dekat di sekitar ini."
Ketiga anak-anak muda itu sulit untuk dapat berenang menyamai kecepatan alami orang dari Aquilla itu di dalam air. Orang-orang Aquilla memang merupakan perenang-perenang ulung, tetapi dari mereka itu tidak ada seorang pun yang dapat menandingi kecepatan berenangnya K'orlii. Akhirnya K'orlii lalu berhenti sambil menunjuk lurus ke depan.
"Nah, lihatlah penguasa-penguasa Sea Globe!"
"Ya ampuun!" Anita bergerak mundur terpesona, lalu menjulurkan batang lehernya.
Dua bentuk bayangan sebesar sebuah kapal selam kecil menghalang berkas cahaya di atas mereka.
"Itu ikan paus bukan?" tanya Tom. "Dan yang di sebelah kiri panjangnya sampai duapuluh meter!"
"Hampir tepat dugaanmu. Yang benar duapuluh empat meter," K'orlii membetulkan. "Kita juga punya gerombolan ikan-ikan paus bersirip tajam. Beberapa di antaranya, panjangnya mencapai tigapuluh meter lebih."
"Tadinya aku mengira, aku sedang menghadapi masalah yang sulit mengenai gajah. Tak tahunya... ," kata Anita datar.
"Sedang melakukan apa orang-orang itu terhadap mereka" K'orlii, rupa-ruanya ada sesuatu pada bagian sisi ikan yang besar itu!"
"Engkau benar! Ikan itu telah bertubrukan dengan ikan hiu yang ganas. Itu sebenarnya bukan suatu kejadian yang biasa. Hewan-hewan besar itu tak punya musuh-musuh alamiah."
Ikan-ikan paus itu melayang-layang bermalas-malas. Sirip-siripnya yang besar hampir-hampir tak bergerak. Empat orang Aquilla nampak sedang merawat seekor ikan betina dengan memberikan obat antibiotik pada luka yang panjangnya hampir satu meter. Ikan betina itu seperti tidak menghiraukannya. Namun Tom melihat, bahwa ikan itu tetap mengawasi mereka dengan matanya yang kecil.
"Apa ikan-ikan itu juga memakai kalung pengaman?" tanya Anita. "Mereka nampak demikian tenang!"
"Tidak!" jawab K'orlii. "Itu tidak perlu. Kita orang Aquilla selalu akrab dengan masyarakat ikan paus, hingga mereka menjadi terbiasa dengan kita!"
"Kukira, seperti juga halnya dengan kuda-kuda nil. Boleh dikata"... "
Anita tidak sempat meneruskan kata-katanya. Tiba-tiba saja terjadi goncangan pusaran air. Tom yakin bahwa tidaklah mungkin itu disebabkan oleh gempa. Tampak ikan-ikan raksasa itu segera bereaksi. Sirip-sirip mereka bergerak membelah air, lalu ikan-ikan itu menyelam ke kedalaman dengan "melemparkan" para perawat.
"Cepat!" Suara K'orlii keras di telinga Tom. "Kembali ke tempat yang dangkal!"
Tom melihat wajah ketakutan dari orang Aquilla itu. Dengan cepat K'orlii menghilang dari tempatnya, mendahului mereka ke permukaan. Suatu getaran menggoncang air lagi di kedalaman. Kini jauh lebih hebat dari yang pertama. Sebuah gelombang melanda Tom, membuatnya jungkir balik. Anita memekik dan bergulingan melewati dia. Tom mengulurkan tangannya untuk meraih tangan gadis itu. Anita meluruskan tubuhnya dan mengikutinya.
Di atas mereka, air menjadi cerah kembali. Segerombolan ikan todak melesat lewat bagaikan anak peluru. Serombongan ikan kuning kecil-kecil menyebar buyar dan melesat pergi.
Kepala Tom menyembul di atas permukaan. Anjungan tinggal duapuluh meter. K'orlii tampak sudah berdiri di sana, melambaikan tangannya dengan serabutan, Ia menarik Ben ke sampingnya.
Kemudian Tom merayap ke tepi anjungan dan menarik Anita ke luar dari air.
"Awas!" teriak Ben. "Gelombang datang lagi!"
Tom dan teman-temannya melemparkan tubuh mereka ke lantai anjungan. Suatu getaran hebat menimpa Sea Globe. Anjungan itu terlempar dan jatuh kembali ke air, hampir saja melemparkan mereka ke dalam air.
"A-a-pa yang terjadi?" tanya Anita sambil menelan ludah. "Apa kita telah membentur sesuatu" Itu kan tidak mungkin?"
Sebelum Tom sempat menjawab, sebuah getaran hebat menggoncang penutup kubah yang tembus cahaya di sebelah atas mereka. Tom menatap ke arah lengkung lanygit-langit itu. Tepat di bagian luarnya nampak dua bayangan besar dari sesuatu yang melayang di atas Sea Globe.
"Lekas keluar dari pintu air! Cepat!" ia berteriak, lalu memanjat tangga pendek itu secepat-cepatnya. Pintu-pintu yang berbentuk lonjong menggeser terbuka, dan ia menggiring teman-temannya segera keluar, lalu cepat-cepat menutup pintu-pintu itu. Kemudian mereka berlarian menuju pintu masuk terowongan. Rupa-rupanya mesin-mesin peralatannya selalu m
udah membukanya. Akhirnya mereka berempat berhasil keluar untuk berlarian di serambi yang tanpa berat menuju ke New America.
Untuk pertama kali Tom memberanikan diri menengok ke belakang, dan jantungnya bagaikan lepas ke dalam perutnya. Dua buah pesawat raksasa melayang-layang di atas Sea Globe, yang sebuah sedemikian dekatnya hingga hampir-hampir dapat diraihnya.
Pesawat-pesawat itu hitam berbintik-bintik, pada permukaannya lebat dengan batang-batang dan sirip-sirip. Belalai-belalai logam yang lentur menjulai-julai dari haluannya meraba-raba permukaan luar Sea Globe. Sementara Tom mengawasinya, tampak pada ujung-ujung belalai itu tumbuh piringan-piring-an bulat pipih yang dapat melekat erat pada kulit permukaan Sea Globe yang lunak.
Bulu kuduk Tom berdiri. Segera ia menjatuhkan diri untuk turun.
"Cepat!" ia menukas melalui unit komunikasi di pergelangan tangannya. "Lekas keluar dari sini!"
Tetapi ia pun sadar, bahwa ia tidak mungkin dapat melepaskan diri. Terowongan itu satu setengah kilometer panjangnya. Sebelum mereka sampai di tempat yang aman di New America, pesawat-pesawat hitam tentu sudah akan memutuskan tali pengikat antara Sea Globe dengan bagian-bagian koloni lainnya. Dan jika itu terjadi, udara akan memeras ke luar dari terowongan sehingga mereka akan terhisap ke dalam ruang angkasa yang hampa udara. Tom mengetahui apa gunanya belalai dan piringan penghisap itu. Para penjahat itu hendak mencuri Sea Globe dengan melepaskan dari ikatannya dengan New America.
Chapter 6 Meskipun tidak ada berat yang menghalanginya, Tom merasa seperti merangkak melalui semacam cairan yang sangat kental. New America masih sekitar seribu meter jauhnya, suatu jarak yang seperti seribu kilometer rasanya.
Tiba-tiba terowongan yang lentur itu bergetar meliuk-liuk bagaikan ular. Tom terlempar keras ke dinding terowongan, membentur sisi yang satu ke sisi yang lain. Ia sempat meraih pegangan sebelum tendangan-tendangan dinding itu membuatnya pingsan. Kini kegelapan menyelubungi bintang-bintang. Tom meringkuk mundur. Sebuah pesawat hitam melayang tepat di atas tambatan tempat dia berada. Sebuah jendela di bagian kubah yang jelek itu terbuka. Untuk sekejap Tom melihat wajah yang disinari cahaya biru. Kubah itu bergerak, berputar ke arahnya. Tenggorokan Tom terasa kering. Ia memaksakan dirinya untuk melepaskan pegangan dan melompat turun ke terowongan.
Pintu bertekanan tertutup, tetapi tidak cukup rapat. Ben yang ada di depannya bersama yang lain-lain berhenti. Ia mendorong Anita dan K'orlii ke depan. Ia sendiri berbalik kepada Tom.
"Ben, jangan!" teriak Tom. "Lekas kau kembali... tak ada sesuatu yang dapat kaulakukan!"
"Kurang jelas suaramu!"
Suara Ben itu memukul gendang telinganya. "Ayo, maju Tom... kau jangan berhenti!" teriak Ben lagi.
Ben melompat kepadanya, tangannya melambai-lambai. Suatu cahaya merah berkedip dari pesawat. Suatu berkas sinar tipis menembus kegelapan.
"Laser!" teriak Tom. "Mereka hendak memotong terowongan!"
Mendadak ia berhenti. Tangan dan kakinya terjerat jaringan logam. Suatu badai kecil menerpa melalui terowongan, memeras setiap udara dari paru-paru ke ruang hampa. Goncangan itu hampir saja menjatuhkan Tom dari tempatnya bertengger. Secara naluri ia menekan sebuah tombol dari sabuk drysuitnya, dan dalam sekejap ia telah terselubungi lapisan udara. Ia mengetahui, bahwa hal itu takkan dapat bertahan lama. Drysuit itu dibuat untuk keperluan di bawah air, tidak di dalam ruang hampa udara.
Ben jungkir balik dari gerbang langsung menuju kepadanya. Tom mengulurkan tangannya, dan Ben menangkapnya dengan tarikan keras hingga tangan Tom seperti hendak copot rasanya. Tom melihat sekilas wajah Ben yang pucat. Dengan serabutan ia mencari-cari tombol pada sabuk drysuit Ben, lalu ditekannya. Ben lalu menghirup udara dalam-dalam. Wajahnya mulai memerah kembali.
"Wah".kau selamatkan aku, ya!"
"Sungguh mengerikan! Kau tak apa-apa?"
"Tidak. Aku kedinginan setengah mati. Tom, bagaimana kita...."
"Drysuit itu mampu mempertahankan tekanan. Tetapi tentu takkan tahan semenit lagi. Sirkuit-sirkuitnya akan terbakar, dan kita akan meledak memenuhi New America."
Ben menonjokkan jarinya ke bahu Tom. "Lihat!"
Tom membalikkan tubuhnya. Sea Globe bersinar, berkedip-kedip dengan cahaya hijau yang aneh. Kemudian ia lebur dalam kegelapan ruang angkasa.
Sebelum Tom dapat berkomentar, Ben telah mendorongnya masuk ke dalam terowongan dengan mendesaknya dari belakang. Dingin menggigilkan yang mematikan rasa menyusup sampai ke tulang-tulang. Tom sadar, bahwa drysuit mereka tak bermanfaat lagi, karena telah menyedot habis isi tangki yang di punggungnya. Pintu bertekanan masih duapuluh meter lagi jauhnya. Terlalu jauh!
Tiba-tiba cahaya kuning memenuhi jalanan. Bayangan orang-orang berpakaian ruang angkasa datang melesat menuju ke arahnya.
Alat-alat penggeraknya mengepul bagaikan uap es. Para penyelamat itu berhenti, meraih Tom dan Ben dan kembali melesat ke pintu bertekanan. Pintu yang berat itu menutup dengan keras di belakang mereka. Udara bertekanan memenuhi ruangan kecil di seberang.
Dengan merebahkan diri, Tom bersandar pada dinding dan melepaskan drysuitnya. Ben tersenyum lemah, lalu mengikuti apa yang dilakukan oleh Tom. Para marinir itu melepaskan topeng udaranya. Salah seorang berpaling kepada Tom.
"Wah, itu benar-benar nyaris sekali," katanya. "Tetapi untung alatmu bekerja sangat baik!"
Tom mengenali bentuk tubuh kapten Marc Henson.
"Hanya dapat bertahan dalam tiga menit dalam ruang hampa," katanya gemetar. "Aku tak ingin lebih lama dari itu. Terimakasih atas bantuan yang begitu cepat, kapten."
Henson mengangkat bahu, lalu cepat-cepat memberi hormat ketika pintu katub di dalam terbuka. Laksamana Silmon menghambur masuk ruangan disusul oleh Anita dan K'orlii. Ia menatap keduanya, lalu menghela napas lega.
"Syukur, kulihat engkau selamat," katanya sembarangan, "meskipun aku tidak tahu bagaimana kalian dapat tetap hidup."
Anita memberi selimut kepada Tom dan Ben. Silmon tidak mau mengajukan pertanyaan lebih jauh sebelum sebuah kendaraan ambulans membawa mereka ke kantornya. Di sana anak-anak muda itu diberinya teh hangat.
"Mereka dengan leluasa dapat pergi datang," kata Silmon dengan darah mendidih. "Mereka telah memancing semua pesawat patroli kita di quadrant itu dengan sirene palsu."
Silmon tidak berusaha untuk menyembunyikan kemarahannya. "Siapa yang dapat mengatakan kepadaku mengapa mereka mau merampas Sea Globe" kata laksamana itu setengah berteriak. "Apa yang dapat mereka kerjakan dengan itu" Mereka tak mungkin akan dapat menjualnya!"
"Barangkali saja untuk menyandera," kata Anita.
Silmon mendengus. "Ya, tentu. Itu mungkin. Proyek itu telah memakan waktu lama dan habis beberapa bilyun dolar untuk biaya pembangunannya. Lagipula hewan-hewan yang ada di dalamnya sukar untuk memperolehnya lagi."
Silmon menghela napas dalam-dalam, lalu menjatuhkan diri di kursi.


Pesawat Ark Two Tom Swift 07 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya tidak tahu," kata Tom ragu-ragu, "apakah hal ini ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Kiranya tidak masuk akal. Kecelakaan di kubah Triton, sabotase pesawat Exedra serta shadowlator . . . ."
Tom membentangkan kedua tangannya.
"Kalau tujuan utamanya mencuri Sea Globe, untuk apa yang lain-lain itu?" Tom meneruskan.
"Kau benar," sambung Ben. "Itu tidak cocok!" Ia menghirup tehnya. "Kukira pasti ada sesuatu tujuan yang lebih besar lagi. Sesuatu yang belum dapat kita perkirakan!"
"Lalu, apa?" tanya Anita, berdiri dengan resah dan kemudian berjalan mondar-mandir. "Tom, pesawat-pesawat itu...."
"Kau melihat juga?"
"Yaah! Tetapi agak dari kejauhan," jawab Anita sedikit enggan.
Tom memandangi K'orlii. "Maafkan, kawan. Ada seorang Aquilla dalam pesawat itu!"
K'orlii melompat berdiri. "Atau seseorang yang mirip dengan kami, Tom!"
Ia mengucapkan kata-katanya itu dengan mengusapkan tangannya di kepala.
"Engkau mungkin benar, Tom. Tidak semua orang Aquilla yang bekerja di Sea Globe merasa perlu bersahabat dengan Bumi. Tetapi jangan lupa empatpuluh orang bekerja di Sea Globe ketika dicuri. Mereka atau semuanya terlibat komplotan, atau menjadi tawanan seperti halnya ikan-ikan hiu dan lain-lainnya."
"Pendapat yang bagus," kata laksamana manggut-manggut.
"Aku setuju denganmu. Kukira, seseorang sedang berusaha keras untuk memburuk-burukkan Aquilla, atau seluruh duniamu dengan tiba-tiba mengumumkan perang terhadap Planet-planet Dalam. Kalau memang demikian halnya, tak ada seorang pun yang mau bersusah-susah mengatakannya kepadaku."
Anak-anak muda itu meninggalkan ruang kantor Silmon. Mereka hendak berganti pakaian yang hangat. Sebelum Tom meninggalkan ruang kantor, perwira itu mengajaknya menyendiri.
"Aku mendapat pesan kilat dari ayahmu. Ia menginginkan engkau bicara dengannya. Aku memang baru saja menyuruh memanggil kau, tetapi setelah terjadi peristiwa Sea Globe. Kau kembalilah setelah bicara dengan ayahmu!"
"Siap! Terimakasih banyak!"
Tom berlari ke kamarnya. Ia berganti pakaian lalu bergegas menuju Ruang Komunikasi. Setelah bicara lama dengan pak Swift melalui radio Ruang Angkasa Dalam, ia menemui teman-temannya di ruang kantor laksamana.
"Ayah meminta saya untuk segera datang ke Instalasi Swift Enterprise di Bulan," katanya. Anita menjadi heran.
"Ayahmu tidak mengatakan untuk apa?"
"Tidak! Ia tidak ingin bicara terlalu banyak. Biarpun lewat saluran khusus!"
"Aku akan memberi kalian pengawalan," kata laksamana.
"Tidak perlu kita ambil risiko!"
"Saya justru ingin tanpa ada pengawalan, laksamana!" kata Tom. "Makin banyak orang akan makin menarik perhatian. Perjalanan itu tidak jauh. Saya kira tak akan ada kesulitan."
Laksamana menjadi agak ragu-ragu sebentar.
"Aku setuju itu, meskipun aku kurang yakin apakah gagasanmu itu yang terbaik. Maka kami akan mengikuti kalian dengan ketat, dan patroli Negara Bagian Bulan akan menjemputmu di tengah perjalanan."
Silmon berpaling dan mengulurkan tangannya kepada K'orlii.
"Peristiwa ini akan segera menjadi jelas. Kau jangan terlalu merisaukannya."
"Terimakasih, laksamana," kata orang Aquilla itu sambil menjabat erat tangan laksamana. Ia tersenyum. Tetapi Tom dapat menangkap perasaan khawatir pada matanya yang keemasan.
Perbaikan-perbaikan pesawat Exedra telah dilakukan dengan cepat. Para ahli teknik New America telah melakukan pekerjaan teknik tingkat tinggi untuk dapat mempersiapkan pesawat Exedra kembali. Atas permintaan Tom, tak seorang pun diperkenankan menjamah alat shadowlator, karena untuk memperbaikinya seperti semula adalah pekerjaannya pribadi.
Setelah dilakukan pengujian secara menyeluruh kepada semua perlengkapan, maka ahli ilmuwan muda itu menyerahkan kemudi kepada Aristotle. Kemudian ia mengambil laporan tentang kerusakan yang diberikan oleh laksamana sebelum ia meninggalkan koloni ruang angkasa itu.
Ia memeriksanya dan kemudian diberikan kepada Ben. Ahli komputer itu hanya membaca halaman pertama, lalu bersiul tajam.
"Sederhana saja, ya?" tanya Tom. "Itu kalau tahu bagaimana cara mengerjakannya."
"Benar! Rupanya ada orang yang ahli betul. Menyelinapkan sebuah mikrochip di tempat yang salah." Ben mengerang, lalu menyeka wajahnya. "Tom, tak heran kalau kita mendapat daya listrik berlebihan. Aku heran, kita tidak meledak sekalian bersama seluruh pesawat. Kita benar-benar mendapat lawan yang profesional."
"Ya. Dan kalau membaca halaman terakhir, engkau akan tahu bahwa seorang bekas pegawai Swift Enterprises telah menghilang, yaitu seorang yang boleh dikatakan genius dalam dua atau tiga bidang ilmu. Termasuk teknologi komputer dan elektronik."
"Luar biasa!" Ben menggeleng tidak senang. "Apa maksudnya orang seperti itu mau bersekongkol dengan gerombolan penjahat" Sama sekali tidak perlu bagi dia, bukan?"
Ben lalu melirik ke halaman kertas.
"Edward Gattersby ini sudah cukup mampu untuk mendirikan usaha sendiri." sambungnya.
Anita menjulurkan kepalanya ke dalam kabin.
"Barangkali saja David Luna telah menawarinya, hingga terlalu sayang untuk menolaknya." katanya.
"Ah, Luna sudah mampus," gerutu Ben.
"Atau seseorang seperti Luna?"
"Tak ada seorang pun yang seperti Luna!"
Tom mengambil kesempatan untuk tidur sebentar di atas sebuah bangku di geladak bagian belakang. Suara berdentang tajam dari alat tanda bahaya Exedra membangunkannya. Ia lari ke depan, dan Ben sedang membungkuk di atas pundak Aristotle dan memandang tajam ke layar.
"Lihat ini," kata Ben sambil melangkah ke samping. Dua kedipan warna hijau melintasi pesawat Exedra ke sisi kiri. Beberapa saat kemudian Tom melihat bahwa mereka mempertahankan jarak 800 kilometer. Tidak mau mendekat, dan juga tidak mau menjauh.
"Setan-setan kecil yang mencurigakan, bukan?" kata Tom masam.
"Barangkali baik kalau kita terima saja tawaran pengawalan laksamana tadi," kata K'orlii di belakangnya.
"Sepertinya, mereka tak berbuat apa-apa," kata Tom dalam alat komunikasi. Ia memilih frekuensi Negara Bagian Bulan, lalu mengambil alat pendengar dari gantungannya di dinding.
"Komando Bulan! Di sini Exedra. Kalian memonitor lalu lintas sektor kami?"
"Betul!" terdengar jawaban tegas. "Dua buah pesawat tidak terdaftar. Kami sedang melakukan penyelidikan atas mereka sekarang. Tetap pertahankan arahmu yang sekarang!"
"Mengerti! Terimakasih, Komando Bulan!"
Tom mematikan tombol, lalu melihat ke layar. Hampir bersamaan dengan itu, tampak kedua titik itu mempercepat terbangnya lalu menghilang dari layar. Tom menyeringai lebar. Empat pesawat Bulan nampak di bagian tepi layar dan bergerak dengan cepat.
"Rupanya teman-teman yang tadi tidak suka ditemani kawan-kawan yang lain," katanya.
"Lalu, apa perkiraanmu mereka tadi ada di sini?" tukas Anita.
"Engkau ingin tahu apa yang kupikirkan?" tanya Tom datar.
"Kukira mereka tidak menginginkan sesuatu. Kecuali hendak memberi kita peringatan, bahwa mereka tidak melupakan kita!"
Deru mesin pesawat Exedra menghilang. Pesawat itu mendarat dengan mulus di atas lapangan yang bulat panjang di dalam kawah Copernikus. Kendaraan angkasa tampak melompat-lompat dengan roda-rodanya yang kebesaran menuju ke arah mereka. Sebentar kemudian Tom mendengar suara pintu terkatup kemudian bersambung pada dinding pesawat.
Anak Pendekar 20 Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Naga Sasra Dan Sabuk Inten 42
^