Pencarian

Pembalasan 3

Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear Bagian 3


sambungan rel. Segalanya tampak kabur"relnya, keretanya, tanah.
Luke berjongkok dan mencengkeram tepi gerbong. Ia
memejamkan mata dan menghela napas dalam-dalam. Ia mulai
mengulang-ulang nama Mary dalam benaknya.
Ia membuka mata dan menatap gerbong berikutnya. Ia
memperkirakan jaraknya sekitar dua meter. Gerbong itu terayun-ayun
seiring dengan lajunya kereta.
Luke menunduk. Tatapannya terpaku pada roda-roda besinya.
Aku bisa terpotong menjadi dua, pikirnya.
Aku harus melakukannya, kata Luke sendiri. Ia bangkit berdiri.
Lalu ia berlari. Berlari sekuat tenaga.
Dan melompat. Ia menghantam gerbong dengan keras. Udara terempas keluar
dari paru-parunya. Ia bahkan tidak bersusah payah untuk bangkit
berdiri. Ia merangkak ke ujung seberang gerbong.
Serpihan kayu menusuk-nusuk kaki dan tangannya.
Sewaktu ia hampir tiba di ujung gerbong, ia bangkit berdiri dan
berlari. Ia melompat ke gerbong berikutnya dan terhuyung-huyung
menyeberanginya tanpa beristirahat.
Masih ada dua gerbong lagi, pikirnya. Angin dingin melecutlecut di sekitarnya.
Ia menyeberangi gerbong itu secepat mungkin. Ia
membayangkan racun mengalir ke seluruh tubuh Mary. Tidak banyak
waktu yang tersisa. Luke menuruni tangga di samping lokomotif. Ia mengayunkan
diri masuk ke dalam. Masinis tersentak dan berpaling memandangnya. "Apa yang
kaulakukan di sini?" teriaknya.
"Salah satu anak yatim piatu. Dia digigit labah-labah janda
hitam," kata Luke kepadanya. "Kau harus menolongnya. Cepat, atau
dia akan tewas." Mata masinis membelalak. "Janda hitam! Akan kuhentikan
kereta begitu melihat tempat kita bisa mendapat bantuan."
"Terima kasih," kata Luke. Ia meraih tangga dan merasakan ada
tangan kuat yang mencengkeram lengannya. Ia memandang ke balik
bahunya. "Tetap di sini," kata masinis. "Terlalu berbahaya di atas sana."
"Tidak. Dia memerlukanku. Luke menyentakkan tangannya dan
memanjat tangga sebelum masinis bisa menangkapnya lagi.
Detak jantungnya bergemuruh di telinganya saat Luke tiba di
atap kereta lagi. Keretanya menggemuruh. Tersentak-sentak. Luke tahu ia bisa
terlempar dengan mudah. Tapi Mary pasti sangat ketakutan, pikirnya. Aku harus
memberitahunya bahwa kita akan membawanya ke dokter.
Luke berusaha menyeberangi kereta secepat mungkin. Ia
menuruni tangganya, mengayunkan dirinya kembali ke dalam gerbong
yatim piatu, dan menutup pintunya.
Ia berlari mendekati Mary dan berlutut di sampingnya.
Mary menengadah menatapnya, mata birunya tampak bulat dan
berkilau karena demam dan ketakutan. Luke mengesampingkan
rambut Mary dan meraba keningnya.
Tubuh Mary sangat panas. Luke sadar bahwa pakaian Mary
telah basah kuyup oleh keringat.
"Kau akan sembuh, Mary," kata Luke. Ia menangkup pipi Mary
dan mengarahkan wajah Mary kepadanya. "Masinis akan
menghentikan kereta tidak lama lagi. Kau akan sembuh."
Mata Mary yang cantik berkaca-kaca.
"Aku melihat kejahatan," bisiknya. "Aku melihat kejahatan,
Luke. Kau harus membunuh..."
Bab 16 LUKE berdiri di depan makam Mary. Corey merintih pelan di
sampingnya. Bocah kecil itu mencengkeram kaki Luke erat-erat.
Pagar jeruji besi hitam mengelilingi pemakaman kecil itu. Di
dekatnya, sebuah gereja papan berwarna putih berdiri bagaikan
prajurit bisu. Leah menunggu di gerbang. Ia menolak untuk masuk ke dalam
pemakaman. Ia tidak tersenyum sewaktu Mary meninggal.
Tapi ia juga tidak menangis.
Kereta akhirnya berhenti di kota kecil ini menjelang tengah
malam. Tapi sudah jauh terlambat bagi Mary.
Mungkin sudah jauh terlambat bagi kita semua, pikir Luke
pahit. Saat Luke memejamkan mata, ia bisa mendengar kata-kata
terakhir Mary. Aku melihat kejahatan. Kau harus membunuh...
Tapi ia tidak bisa. Tak mungkin ia membunuh adik
perempuannya sendiri. Meskipun ia percaya bahwa Leah telah membunuh Mary
dengan mengirimkan labah-labah janda hitam yang menggigitnya,
Luke tidak bisa membunuh adik perempuannya sendiri.
Rengekan Corey berubah menjadi isakan saat meletakkan
bunga liar yang dipetiknya di makam Mary. Ia mulai menangis begitu
Mary tewas. Ia menangis sepanjang malam, dalam tidurnya, saat ia
berguling-guling gelisah.
Ia begitu kecil, pikir Luke tersadar. Terlalu muda untuk melihat
begitu banyak kematian. Luke memandang makam Mary untuk terakhir kalinya. Lalu ia
berbalik dan mengamati kota kecil yang membentang di hadapannya.
Last Chance"Kesempatan Terakhir.
Nama yang aneh untuk sebuah kota, pikir Luke, tapi tampaknya
tempat yang bagus bagi sebuah keluarga untuk memulai kehidupan
baru. Toko-toko berjajar di kedua sisi Main Street yang berdebu.
Semua bangunannya terbuat dari kayu. Toko serbaada, bank, hotel. Di
ujung jalan, jauh dari semua bangunan yang lainnya, terdapat sebuah
bangunan batu besar yang menjulang.
Tulisan RUMAH SAKIT JIWA diukirkan di batu di atas
pintunya. Apakah Leah seharusnya berada di sana" pikir Luke penasaran.
Kalau dia kuserahkan ke tempat seperti itu, apakah dia tidak akan
menyakiti orang lain lagi"
Suatu hari, pikir Luke, suatu hari aku harus mengambil
keputusan itu. Tapi bukan hari ini. Hari ini aku harus menemukan
keluarga untuk mengadopsi kami. Rumah tempat kami bisa tinggal.
Mungkin Leah akan kembali menjadi dirinya yang dulu dan
semua ini akan terasa seperti sebuah mimpi buruk.
Kereta telah berangkat tanpa membawa mereka, membawa
anak-anak yatim piatu semakin jauh ke barat.
Mungkin Mary benar. Mungkin kereta yatim piatu itu yang
telah membangkitkan sisi terburuk Leah. Mungkin dengan adanya
keluarga, Leah akan mulai menggunakan bakatnya seperti yang
diinginkan Ayah. Dia bisa menggunakan bakatnya untuk membimbing
hewan-hewan. Bukan mengubah mereka menjadi monster.
Last Chance. Kota ini akan menjadi kesempatan terakhir kami menjadi
sebuah keluarga, pikir Luke tersadar.
Kami akan memulai lagi di sini, pikirnya mengambil keputusan.
Kami akan menemukan keluarga di kota ini yang mau
mengadopsi kami. Corey akan bicara lagi dan Leah akan berhenti menggunakan
cara-cara yang jahat. Aku yakin akan hal itu. Leah, Corey, dan aku akan tetap bersama. Sebagai sebuah
keluarga. Dan takkan ada yang mencoba untuk menyakiti kami.
Luke berjalan sepanjang jalan berdebu, diikuti Leah dan Corey.
Pepohonan ek memberikan keteduhan yang melindungi mereka dari
matahari. Leah menggeram saat mengangkat Corey ke dalam pelukannya.
"Berapa jauh lagi, Luke?" tanyanya.
Luke bisa melihat asap mengepul dari cerobong rumah
pertanian di dekat situ. Ia menunjuk. "Pertama-tama, kita coba ke
sana," katanya. "Pertama," gumam Leah, dan memindahkan Corey ke
pinggulnya. "Apakah kau merasa akan ada yang kedua; dan ketiga,
dan keempat" Berapa banyak semuanya?"
"Sebanyak yang harus kita lakukan," jawab Luke, dan
mempercepat langkahnya. Sewaktu mendekati rumah pertanian putih bertingkat dua yang
besar itu, harapan Luke membubung. Lantai dasarnya memiliki empat
jendela dan lantai kedua memiliki empat jendela. Kalau setiap jendela
menunjukkan sebuah kamar yang terpisah, mereka jelas memiliki
cukup tempat untuk kami di sini, pikirnya.
Seorang wanita gemuk duduk di serambi depan, mengaduk
mentega. Tiga gadis kecil duduk di kakinya. Seorang gadis lain tengah
berayun-ayun di tali yang terikat kencang di sebatang pohon di
dekatnya. Wanita itu tersenyum ramah saat Luke berhenti di depan
serambi. "Selamat siang, Ma'am," kata Luke. "Namaku Luke Fier..."
Seorang bocah lelaki melesat dari balik sudut rumah, diikuti
seorang bocah lelaki lainnya. Luke melompat mundur sebelum
mereka bertabrakan. Enam anak. Ia sudah melihat enam orang anak
sejauh ini. Meskipun begitu, ia berharap...
"Adik-adikku dan aku yatim piatu."
Senyum wanita itu menghilang.
"Kami mencari tempat tinggal," lanjut Luke. "Aku tahu cara
bekerja di ladang..."
Wanita itu beranjak bangkit sambil mengangkat satu tangannya
untuk menghentikan kata-kata Luke.
Luke mengetahui jawabannya sebelum wanita itu membuka
mulut. "Maaf, tapi kami sudah memiliki dua belas anak. Panen kurang
berhasil tahun ini. Kami hampir-hampir tidak bisa memberi makan
anak-anak kami sendiri. Mungkin sebaiknya kau coba keluarga Green.
Ikuti saja jalan tanah itu. Kau akan melihat rumah berwarna kuning
cerah. Cobalah di sana."
"Terima kasih, Ma'am."
Wanita itu mengalihkan pandangannya kepada Corey. "Biar
adik lelakimu bermain-main dengan anak-anakku sesudah kau
menetap di sana." Mereka menemukan rumah keluarga Green tanpa kesulitan.
Rumah itu mengingatkan Luke akan burung kenari kuning raksasa
yang bertengger di atas sarang hijau besar. Ia belum pernah melihat
rumah yang dicat kuning cerah sebelumnya.
Tirai-tirai berenda putih berkibar-kibar di seluruh jendela di
lantai pertama dan kedua. Asap mengepul dari cerobong batanya.
Cerobong itu juga dicat kuning.
Di serambi depannya yang berwarna putih, dua kursi goyang
kuning yang kosong bergoyang-goyang tertiup angin.
Seorang pria mengenakan celana terusan dan topi lusuh tengah
menyekop lumpur di kandang babi. Enam ekor babi hitam berbintikbintik putih menguik-nguik dan berkeliaran di sekitar pria itu.
Luke belum pernah melihat babi sebesar itu. Babi-babi itu lebih
tinggi dari lutut pria itu. Suara dan keributan mereka menggema ke
halaman. Itu pasti Mr. Green, pikir Luke sambil mengawasi pria itu
mendorong seekor babi yang menghalangi pekerjaannya. Tubuhnya
yang jangkung dan kurus tampak langsing dan kuat. Ekspresi
wajahnya ramah saat menangani babi-babi itu. Uban menjulur ke
segala arah dari bawah topinya.
Luke kembali memandang rumah itu dan melihat seorang
wanita berlutut di depan kebun bunga, menggali tanah di sekitar
bunga kuning cerah. Itu pasti Mrs. Green, pikir Luke.
Luke tidak melihat adanya anak-anak. Ia tidak mendengar suara
anak-anak. Ia membasahi jemarinya dengan lidahnya. Lalu ia merapikan
rambutnya. Ia juga merapikan rambut Corey dengan cara yang sama.
"Bersikaplah yang baik," katanya sambil berlutut di depan adik
terkecilnya itu. "Kau kedengaran seperti Pengawas," kata Leah.
Luke masih mendengar kemarahan dalam suara Leah.
"Maaf," katanya sambil bangkit berdiri. "Aku tidak bermaksud
menirunya. Tapi aku ingin kita menemukan rumah. Tempat ini
tampaknya menyenangkan." Ia mendesah berat. "Cobalah, Leah. Demi
Corey. Dia memerlukan orangtua. Begitu mendapat rumah, aku yakin
dia akan merasa lebih bahagia dan mau bicara lagi. Kita semua
mungkin akan merasa lebih bahagia," tambahnya.
Leah bertukar pandang dengan Corey. Dengan enggan, ia
mengangguk. "Baiklah, Luke. Aku akan bersikap ramah."
Janji Leah membuat Luke gembira. Dengan kerja sama Leah,
pikirnya, kami mungkin memiliki kesempatan untuk mendapatkan
rumah di sini. Dan melupakan kejahatan Leah.
Sambil menggandeng tangan Leah dan Corey, ia mendekati
Mrs. Green. "Permisi, Anda Mrs. Green?" tanya Luke pelan.
Wanita itu melompat mundur, menekankan tangannya ke renda
putih yang mengelilingi tenggorokannya. "Oh, ya ampun. Kau
membuatku terkejut."
Mrs. Green tersenyum, dan sudut-sudut matanya menampilkan
kerutan-kerutan. "Ya, aku Mrs. Green. Kau siapa?" tanyanya dengan
suara ramah. Ia mengangkat satu tangan dan menyentuh rambut
ubanannya. Ia mengikatnya ekor kuda. Tapi tidak seketat ikatan
rambut Pengawas. Luke merasa ikatan rambut Mrs. Green tampak
lebih longgar. "Namaku Luke Fier. Dan ini adikku, Corey. Dan Leah,"
katanya kepada Mrs. Green, sambil menarik Corey dan Leah maju.
"Orangtua kami sudah meninggal. Kami bepergian dengan kereta
yatim piatu dan sekarang kami mencari rumah..."
"Oh, ya ampun," seru Mrs. Green sambil bangkit berdiri.
"Kalian anak-anak yang malang."
Luke melihat bahwa Mr. Green telah meninggalkan kandang
babi. "Ada apa ini?" tanyanya saat ia telah berada dekat rumah.
Mata kelabu Mr. Green tampak prihatin saat ia berhenti di
samping istrinya. "Ini anak-anak yatim piatu. Mereka mencari rumah.
Bocah kecil ini manis, bukan" Kami selalu ingin punya anak lakilaki."
Luke memutuskan untuk lebih baik bersikap jujur sejak awal.
"Dia tidak berbicara sejak kematian orangtua kami."
"Tentu saja tidak," jawab Mrs. Green dengan nada simpati
sambil berlutut di depan Corey. "Dia berduka. Mungkin dia sangat
merindukan ibunya." "Bisa dipahami, bocah yang malang," tambah Mr. Green.
Mrs. Green bangkit berdiri dan meraih tangan Leah. Luke
mengawasinya saat ia mencondongkan tubuh mendekati Leah.
"Dan pasti menyenangkan kalau ada wanita lain yang bisa
diajak bercakap-cakap," katanya kepada Leah. "Wah, matamu cantik
sekali, Sayang. Rambutmu juga."
Leah tersenyum. Senyum tulus pertama yang dilihat Luke di
wajahnya sejak lama.

Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu saja, kami dengan senang hati menerima dirimu juga,"
kata Mrs. Green kepada Luke.
Mr. Green meraih tangan Luke dan menjabatnya kuat-kuat.
"Ya, ya, kami dengan senang hati menerima kalian semua. Aku bisa
menggunakan bantuan pemuda yang kuat di sini. Apa yang kau tahu
tentang babi?" "Bisa jadi daging asap yang lezat," kata Luke.
Mr. Green tertawa. Mrs. Green mengajak mereka masuk ke
rumah. "Ayo," katanya kepada mereka. "Kita atur tempat kalian."
Malam itu saat makan, Luke memutuskan Mrs. Green adalah
wanita paling bahagia yang pernah ditemuinya.
Ia terus-menerus tersenyum sambil melayani Corey, menyisir
rambutnya dan menggosok wajahnya sebelum medudukkannya di
kursi depan meja. Mrs. Green terus sibuk, menyendokkan seonggok kentang
tumbuk, ham, dan biskuit ke piring masing-masing. "Besok kita beli
pakaian baru untuk kalian," katanya sambil menuangkan saus cokelat
kental di kentang-kentangnya. "Dan akan kucukur rambut kalian
semua." Ia duduk dan mulai mengiris-iris ham di piring Corey.
Air liur Luke membanjir saat ia menyuapkan potongan ham
yang pertama ke mulutnya. Tidak ada lagi bubur yang menggumpal,
pikirnya. Tidak ada lagi kereta yang berderak-derak.
Tidak ada lagi jerami yang gatal.
Tidak ada lagi lantai yang keras.
Kami akan mendapat ranjang yang empuk untuk tidur.
Hidangan yang lezat untuk disantap. Pakaian baru.
Ia melirik Mrs. Green. Lalu ke arah Mr. Green di ujung lain
meja. Mereka orang-orang yang bahagia, pikir Luke.
Kami juga akan bahagia. Paling tidak ia berharap mereka akan bahagia.
Bab 17 Gudang Bawah Tanah yang Gelap
KALAU saja aku tahu apa yang akan terjadi di tanah pertanian
Green. Kalau saja kuceritakan segala sesuatu yang kuketahui pada
pasangan Green. Kalau saja aku tidak menutup mulutku....
Pemuda itu berlutut di samping api lilin yang berkedip.
Jemarinya terasa kaku dan sakit karena dingin. Ia mengacungkannya
ke atas api. Lilinnya begitu kecil sekarang, ia menyadarinya. Tak akan lama
lagi lilin itu akan habis terbakar.
Lalu padam. Dan mereka akan menyerbuku.
Ia menatap ke kegelapan di sekelilingnya. Ia tahu ular-ular itu
ada di sana, tapi ia tak bisa melihat mereka.
Api lilinnya bergoyang. Jangan sekarang, pintanya dengan diam-diam. Tolong jangan
padam sekarang. Lilinnya terus menyala. Perlahan-lahan, ia mengembuskan
napas. Ia menggerak-gerakkan jemarinya.
Sudah waktunya untuk menyelesaikan ceritanya. Sudah
waktunya untuk menceritakan semuanya.
Sambil berjongkok, ia berbalik menghadap ke dinding.
Huruf-huruf merahnya menari-nari di depan matanya.
Aku hampir kehabisan tempat di dinding, dan masih begitu
banyak yang harus kuceritakan.
Ia mencengkeram pakunya dan mulai menulis, membulatkan
tekad untuk menyesuaikan sisa ceritanya di tempat kosong yang
tersisa di dinding. Seseorang, suatu hari nanti, harus ada yang
mengetahui kebenarannya. Kebenaran tentang kejahatan yang telah dilihatnya.
Waktu berlalu dengan cepat. Aku tidak lagi menghitung harihari. Aku dan adik lelakiku merasa bahagia.
Lebih bahagia dari sejak kematian kedua orangtua kami.
Tapi Leah tetap muram dan menjaga jarak dari kami semua.
Setiap hari kuawasi dia, menunggu tanda-tanda ketidakbahagiaannya
lenyap. Tapi aku hanya melihatnya semakin muram.
Dan semakin marah. Sekarang kusadari bahwa seharusnya aku bicara dengan
pasangan Green tentang Leah. Seharusnya aku menceritakan
semuanya kepada mereka, semua yang kuketahui pada saat itu.
Aku tidak tahu apakah dengan begitu semuanya akan berbeda.
Aku hanya tahu bahwa kebisuanku telah menghancurkan kami
semua. Bab 18 LUKE mengangkat sepelukan kayu ke bagian belakang rumah.
Ia melirik ke balik bahunya, kepada Corey yang mengikuti dengan
riang di belakangnya, membawa sebatang balok.
Celana terusan dan sepatu bot baru Luke terasa kaku. Tapi ia
bangga mengenakan pakaian baru dan bukannya kain lusuh yang
dikenakannya sewaktu tiba di rumah ini. Mrs. Green telah
membelikan mereka semua setumpuk pakaian baru di toko serbaada.
Dan sepatu baru. Luke mendengarkan suara burung-burung berkicau di
pepohonan yang meneduhi rumah. Aku bahagia, pikirnya sambil
melirik ke arah Corey di belakangnya. Corey membalas tatapannya
dengan senyuman. Kami berdua bahagia.
Ia meletakkan balok-balok itu dan mulai menumpuknya agar
tidak membusuk. Corey membantunya.
Ia melihat angin melecut tirai-tirai di jendela dapur yang
terbuka dan mencium bau kue apel Mrs. Green yang lezat. "Rasanya
kita akan mendapat kue untuk makan malam nanti," katanya kepada
Corey. Corey menggoyang-goyangkan kepalanya dengan penuh
semangat. Luke tersenyum. Adiknya masih belum berbicara, tapi Luke
bisa melihat bahwa Corey bahagia tinggal bersama pasangan Green.
"Tidak, tidak, tidak," terdengar suara Mrs. Green dari balik
jendela. "Kau harus menjumput lapisan atasnya, bukan menekannya."
"Aku tidak melihat perbedaannya," jawab Leah masam.
Luke mendengar nada frustasi dalam suara Leah. Ia
menyelesaikan menumpuk kayu secepat mungkin dan lalu mengetuk
pintu belakang. Mrs. Green membuka pintunya. Ia tersenyum cerah. "Luke, kau
tidak perlu mengetuk. Ini rumahmu."
"Aku masih belum terbiasa," kata Luke sambil melangkah
masuk, diikuti Corey dekat di belakangnya. "Apakah kami boleh
minta limun?" "Tentu saja. Leah, tolong ambilkan limun untuk kakakmu."
"Tentu saja," kata Leah, menegakkan kepalanya dan meniru
suara Mrs. Green. Tapi ia tidak tersenyum seperti Mrs. Green.
Leah mengenakan gaun kuning berpita. Luke tahu adiknya itu
membenci pakaian yang dipilihkan Mrs. Green untuknya.
Leah mengeluarkan dua buah gelas dari lemari dan
meletakkannya di meja. Lalu ia mengangkat guci berisi limun segar
dan menuangkannya. Gucinya terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai.
Limunnya berhamburan di lantai kayu berlapis lilin.
"Oh, tidak!" kata Mrs. Green, sambil berlutut dan segera
memunguti pecahan kacanya. "Itu guci kristal kesayanganku."
"Maafkan aku, Mrs. Green," kata Leah. "Aku tidak sengaja."
"Aku tahu," jawab Mrs. Green lelah.
Lalu ia menjerit. Ia membuka tangannya dan Luke bisa melihat
sekeping kaca menancap di telapak tangannya. Darah menetes ke
lantai. "Tolong bawa Corey keluar," kata Mrs. Green. "Aku tidak ingin
dia terluka." Leah tersenyum, meraih tangan Corey, dan mengajaknya
keluar. Luke mengawasinya dengan perasaan tidak berdaya sementara
Mrs. Green mencabut kepingan kaca dari tangannya. "Biar
kubersihkan ini, Mrs. Green," kata Luke.
Mrs. Green mendesah berat. "Tidak, kau bantu Mr. Green saja.
Aku bisa menangani ini." Ia tersenyum dan menepuk lutut Luke.
"Rasanya senang sekali kalian ada di sini. Sekarang, lakukan saja
tugasmu." "Ya, Ma'am." Luke melangkah ke serambi. Ia yakin Leah sengaja
menjatuhkan guci itu. Ia tahu Leah tidak bahagia tinggal bersama
keluarga Green. Ia harus berbicara dengan Leah. Ia berjalan mengitari
rumah. Ia tidak melihat Leah atau Corey di mana pun.
Ia melangkah ke lumbung. Ia melihat Mr. Green tengah berdiri
di samping kandang pertama. "Mr. Green, apakah kau melihat Leah?"
tanyanya. Mr. Green berbalik dan tersenyum. "Dia ada di dalam."
Luke mendekati kandang itu dan mengintip dari celah-celah
dindingnya. Leah tengah duduk di dalam kandang di samping seekor
babi besar. Corey menggendong dua ekor anak babi di pangkuannya.
Luke mengawasi dengan terpesona saat Leah menggosok-gosok perut
babi itu sementara seekor anak babi lain tengah dilahirkan.
Luke mulas ketakutan saat melihat kotoran yang menodai gaun
kuning Leah. Ia tahu Mrs. Green akan merasa tidak senang dan
memarahi Leah. Tapi Mr. Green tampaknya tidak keberatan.
"Belum pernah aku melihat yang seperti ini," seru Mr. Green.
"Matilda mendapat kesulitan untuk melahirkan. Aku bisa melihat
bahwa dia ketakutan, tapi aku tidak bisa membuatnya cukup santai
untuk melahirkan anak-anaknya. Leah hanya duduk di sampingnya
dan berbicara padanya. Matilda langsung tenang."
"Leah selalu bisa menangani hewan-hewan," kata Luke padanya
sementara Matilda melahirkan anak keempatnya.
"Dia punya bakat," kata Mr. Green. Ia menggeleng terpesona.
"Bakat alami." ************* Malamnya Luke berbaring terjaga di ranjang dan
mendengarkan. Sesudah yakin semua orang lain telah tidur, ia
menyusuri lorong dengan hati-hati hingga tiba di kamar Leah. Ia
mengetuk pintunya pelan dan menunggu.
Leah membuka pintunya sambil menggosok matanya.
"Aku harus bicara denganmu," bisik Luke. "Ayo ke serambi."
Bersama-sama mereka berjalan berjingkat-jingkat ke luar
rumah. Dengan diam-diam, Luke membuka pintu depan. Leah
menyelinap ke luar. Luke mengikuti dan menutup pintu di
belakangnya. Leah duduk di anak tangga, menarik lututnya, dan memeluknya.
Luke duduk di anak tangga di sampingnya. Ia mendengarkan suara-
suara malam"derik jangkrik, dengus babi yang tidur dalam kandang
di kejauhan, dan anak-anak babi yang baru lahir tengah menguiknguik minta susu.
Bagaimana caranya memulai" Luke merasa denyut nadinya
bertambah cepat. Dulu ia merasa begitu bebas untuk berbicara kepada
Leah, untuk mengatakan apa pun yang ada dalam benaknya.
Kekhawatiran-kekhawatirannya yang terdalam, impian-impiannya
yang paling cerah. Sekarang ia merasa berbeda.
Ia takut pada Leah. Ia takut membangkitkan kemarahan Leah.
Takut akan apa yang mungkin dilakukan Leah kepadanya.
Luke menengadah menatap langit. "Ingat sewaktu kita masih
kecil dan Ma biasa memaksa kita mengajukan permintaan kepada
bintang pertama setiap malam?" tanya Luke pada akhirnya.
"Ya," jawab Leah ragu-ragu.
"Aku meminta kepada bintang malam ini," kata Luke
kepadanya. "Kuminta kau akan bahagia, dan Corey akan berbicara
lagi." "Kalau aku bahagia, kau akan pergi," jawab Leah.
"Tidak, aku tidak akan pergi," kata Luke berusaha meyakinkan
adiknya. "Apa yang membuatmu berpikiran begitu?"
"Kau sendiri yang mengatakannya," kata Leah mengingatkan.
"Kau yang mengatakan bahwa kau akan tinggal bersama kami dan
memastikan bahwa kami bahagia."
Luke mendesah. "Tapi aku merasa bahagia di sini, Leah. Aku
tidak ingin pergi. Aku ingin kau bahagia."
Leah meletakkan dagunya di lutut. "Aku merasa bahagia hari
ini, bekerja dengan Matilda. Aku akan bahagia kalau bisa bersama
hewan-hewan, tapi Mrs. Green ingin aku menjadi seorang wanita
terhormat. Aku tidak ingin menjadi wanita terhormat. Membosankan."
"Mungkin kalau kau berusaha..."
"Aku sudah berusaha," sergah Leah.
Luke mendengar lengkingan dalam suara Leah. Tanda yang
jelas bahwa kemarahan Leah tengah memuncak.
"Maaf," kata Luke kepadanya. "Aku tahu bahwa kau berusaha.
Aku tahu bahwa beberapa bulan terakhir merupakan masa yang sulit
bagi kita semua. Paling sulit bagi Corey. Leah, kita harus menemukan
cara agar Corey mau berbicara lagi."
Leah meraih benang yang terurai dari gaunnya. "Aku sudah
berbicara dengannya, tapi kurasa suaranya terjebak dalam dirinya."
"Tapi dia tertawa. Di kereta, dia tertawa. Kau ingat?"
"Ya, aku ingat. Rasanya sudah lama sekali," tambah Leah. Ia
menengadah menatap langit. "Kau meminta pada bintang yang
mana?" "Semuanya," kata Luke kepadanya.
Leah meremas tangan Luke. "Ayo pejamkan mata dan meminta
sekali lagi." Luke memejamkan mata. Bersama-sama, ia dan Leah berkata,
"Kuharap Corey akan berbicara lagi."
Luke membuka matanya dan menatap ke langit malam.
"Aku merindukan suasana yang dulu," kata Leah sambil
mendesah. "Aku juga," kata Luke mengakui.
Dan salah satu hal yang paling dirindukannya adalah hubungan
antara dirinya dan adik perempuannya ini. Sebelum ia mulai
mencurigai tingkah gila Leah yang buas....
************* Dengan diikuti Corey, Luke berjalan menuju ke pohon ek besar
yang tumbuh di samping serambi.
Mrs. Green dan Leah duduk di kursi goyang di serambi. Mereka
masing-masing membawa potongan-potongan kain linen dan benang
bordir di pangkuan mereka.
"Mrs. Green, aku boleh menggantungkan ayunan ini di sini?"
tanya Luke. Mrs. Green menengadah dari rajutannya. "Tentu saja, Luke."
Luke memandang Corey. "Kau mau bermain ayunan?"
Corey mengangguk. "Kau bisa menjawab ya?" tanya Luke.
Corey merapatkan bibirnya. Semangat Luke merosot, tapi ia
masih tersenyum kepada Corey sebelum memanjat pohonnya. Ia
merayap hingga mencapai cabang besar dan mulai mengikatkan


Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

talinya di cabang itu. "Tidak, tidak, tidak," Luke mendengar Mrs. Green memarahi
Leah. "Rajutannya harus lebih kecil."
"Aku tidak bisa merajut lebih kecil lagi," balas Leah. "Jemariku
terlalu besar." "Omong kosong. Kau hanya tidak berusaha, dan kau harus
berusaha. Rajutan seorang wanita muda harus seanggun dan secantik
dirinya." Luke mengikatkan ujung tali yang lain. Corey menengadah
penuh harap memandangnya. Luke mengeratkan simpulnya, lalu
mengalihkan pandangannya ke arah Leah.
Ia melihat bahwa bibir bawah Leah mencibir, alisnya berkerut
marah. Minggu yang lalu, Mrs. Green memberikan pelajaran memasak
kepada Leah. Setelah lima kali hidangan yang hangus berturut-turut,
Mr. Green menyarankan bakat Leah mungkin ada di bidang lain.
Sambil mendesah, Mrs. Green menyetujui.
Minggu sebelum itu, Mrs. Green telah memaksa Leah berjalan
dengan membawa buku di kepalanya. Buku itu jatuh dari kepala Leah
saat ia melewati patung-patung keramik Mrs. Green. Patung-patung
itu hancur berantakan. Mrs. Green hanya menginginkan yang terbaik bagi Leah, tapi
Leah tidak berusaha untuk mempelajarinya, pikir Luke.
"Duduk yang tegak," kata Mrs. Green memarahi Leah.
"Seorang wanita terhormat selalu..."
Leah melompat turun dari kursi goyang dan membuang
bordirannya. "Aku bukan wanita terhormat!" jeritnya. "Aku tidak
ingin menjadi wanita terhormat. Menjadi wanita terhormat itu
membosankan. Kau membosankan!"
Leah melesat ke lumbung. Luke mengawasi saat Mrs. Green beranjak bangkit,
punggungnya tegak lurus dan kaku. Ia berderap menuruni tangga.
Luke menjatuhkan bangku kayu ayunannya sehingga menjuntai
dari dahan pohon. "Mrs. Green?"
Mrs. Green menengadah, bibirnya terkatup rapat membentuk
garis lurus. "Sikap adikmu sulit sekali, Luke. Dia menolak untuk
mendengarkan kata-kataku. Kalau dia tidak mau bekerja sama, Mr.
Green dan aku akan terpaksa mengusirnya." Ia menggeleng. "Kami
tidak ingin mengusirnya, tapi aku tidak bisa menerima anak yang
semaunya sendiri di rumahku."
"Biar aku yang berbicara dengannya," kata Luke sambil turun
dati pohon. "Aku yakin kalau menjelaskan segalanya padanya..."
"Kami tidak ingin mengusirnya," ulang Mrs. Green,
menyelanya. "Tapi kami tidak punya pilihan lain."
"Aku mengerti," jawab Luke, perutnya mulas karena frustrasi.
Kalau saja Leah mau berusaha, pikirnya, kita semua bisa
berbahagia di sini. Corey akan patah hati kalau Leah diusir. Dan aku
sudah berjanji pada mereka berdua untuk mempertahankan kami
selalu bersama. "Biar aku bicara padanya," pinta Luke.
Mrs. Green mengangguk. "Mungkin kau akan lebih beruntung
dengan Leah daripada denganku," katanya. Lalu ia memandang
Corey. "Kau mau mencoba ayunan baru kita?"
Corey menatapnya dengan mata membelalak. Lalu ia
mengangguk, dan Mrs. Green pun mengulurkan tangannya.
Paling tidak Corey merasa bahagia, pikir Luke sambil
mengawasi adiknya naik ke kursi kayu ayunannya. Mrs. Green
mendorongnya pelan. Luke belari-lari kecil ke lumbung. Meskipun matahari pagi
tengah memancarkan cahayanya di luar, di dalam lumbung terasa
sejuk. Luke berusaha memandang ke keremangan, matanya
menyesuaikan dengan sedikitnya cahaya. Debu menari-nari di berkasberkas cahaya matahari yang menerobos sela-sela dinding.
Ada yang tidak beres. Luke merasakan ketakutan merayapi
tulang punggungnya. Seekor kuda meringkik gugup dan menendang istal.
Kucing lumbung mendesis dan melengkungkan punggungnya.
Saat Luke melewatinya, hewan itu mencakari udara dengan buas.
Leah sedang berbicara dengan hewan-hewan, pikir Luke takut.
Mereka tahu bahwa dia tengah jengkel. Jadi mereka juga jengkel.
Sambil memandang sekitarnya dengan hati-hati, Luke terus
melangkah masuk ke dalam lumbung.
Ia mendengar kepakan sayap. Ia menundukkan kepala dan
melindunginya dengan tangan tepat saat seekor burung hantu lumbung
melintas lewat. Luke merasakan cakar-cakar tajam burung itu
menggores lengannya sebelum membubung ke luar melalui pintu.
Ia menunduk memandang guratan panjang di tangan dan
jemarinya yang tiba-tiba mulai mengeluarkan darah.
"Leah?" bisiknya serak, jantungnya berdebar-debar kencang di
dalam dada. Bayang-bayang berputar-putar bagai asap dan tampaknya
seperti menjulurkan diri dari sudut-sudut.
Luke menggigil saat merasa udara tiba-tiba berubah dingin.
Apa yang kaulakukan, Leah" pikirnya penasaran.
Terdengar debuman pelan menggema di seluruh lumbung.
Derakan. Jeritan. Sambil menahan napas, Luke melangkah perlahan-lahan
melewati kandang terakhir dan mengintip ke balik sudut.
Leah tengah memukuli dan menendangi sebongkah besar
jerami, ekspresi wajahnya liar.
"Aku benci padanya, aku benci padanya, aku benci padanya!"
jerit Leah. Bab 19 LUKE berusaha untuk melupakan kemarahan yang dilihatnya di
wajah Leah siang kemarin. Semalam, Leah bersikap sangat sopan dan
pendiam sewaktu makan malam. Sikap diamnya menakutkan.
Luke menggigil mengingatnya saat ia menuruni tangga dan
mulai melakukan tugas pertamanya hari ini.
Meskipun Luke sangat menikmati tinggal bersama suami-istri
Green, ia benci mengurus babi-babi mereka.
Saat subuh merekah di kaki langit, Luke melangkah ke serambi
belakang dan mengambil dua ember besar. Bau sisa-sisa makanan
semalam menyerbu cuping hidungnya"dan ia hampir-hampir
tercekik karenanya. "Bagaimana babi-babi bisa menyantap benda ini sesudah
dibiarkan di sini sepanjang malam?" katanya penasaran.
Ia mendengar pintu di belakangnya terbuka. Ia menengok ke
balik bahunya dan melihat adik lelakinya. Corey menarik-narik tali
bahu celana terusannya. "Pagi, Corey," kata Luke menyapanya.
Corey hanya mengangguk. "Kau mau membantuku mengurus babi-babinya lagi?" tanya
Luke, gembira melihat adiknya menghabiskan lebih banyak waktu
bersamanya, membantunya melakukan tugasnya.
Corey kembali mengangguk.
Kami sedang menjadi sebuah keluarga, pikir Luke sambil
tersenyum. Kalau saja kami bisa menemukan cara agar Leah merasa
bahagia.... "Ayo ikut, kalau begitu," katanya kepada Corey. "Babi-babinya
sudah menunggu, dan aku agak terlambat menyajikan sarapan mereka
hari ini." Luke mengangkat ember-ember itu ke kandang babi. Sewaktu
ia berbelok melewati sudut rumah, ia melihat Mrs. Green tengah
berlutut di depan kebun bunganya, memilih bunga-bunga yang akan
diletakkannya di meja sebelum sarapan.
"Selamat pagi, Mrs. Green," kata Luke saat melewatinya.
"Pagi, Luke. Pagi, Corey."
Luke mengawasi saat Corey menggerak-gerakkan kepalanya.
Aku tahu dia lebih bahagia di sini, pikir Luke. Aku hanya
berharap dia mau berbicara.
Luke mendekati kandang kayu. Babi-babinya mendengusdengus dan saling dorong lebih keras daripada biasanya.
"Mereka pasti kelaparan pagi ini," katanya kepada Corey sambil
meletakkan satu ember dan menuangkan ember yang lain ke celah di
pagar. Babi-babi itu menguik dan mendengus lebih keras.
Luke meraih ember yang tersisa dan melangkah ke sisi lain
pagar, tempat terdapat celah lain untuk menuang makanan.
Corey mengikutinya. Saat Luke menuangkan isi ember ke celah di pagar, Corey naik
ke pagar terbawah dan mengintip melalui celah yang lebih lebar.
"Jangan terlalu dekat," kata Luke memperingatkan Corey. "Gigi
babi-babi itu sangat tajam." Luke pernah melihat gigi-gigi yang besar
dan runcing dalam mulut babi. Ia pernah melihat rahang mereka yang
kuat dan panjang mematahkan tulang menjadi dua dalam sekejap.
Pemandangan itu membuatnya menggigil.
Babi-babi itu mengabaikan sisa-sisa makanan yang dituangkan
Luke bagi mereka dan mulai menggerung lebih keras.
Mereka mulai berlari-lari membentuk lingkaran dalam kandang,
kaki-kaki mereka yang pendek sangat kuat. Luke selalu terpesona
melihat betapa cepatnya mereka berlari meskipun kaki mereka kecil
dan tubuh mereka besar. Luke melangkah mundur, mengawasi mereka. Ia merasa denyut
nadinya bertambah cepat. Apa yang terjadi" Apakah mereka sakit"
Mereka mulai berlari lebih kencang di dalam kandang. Menguik
lebih keras. Ada apa dengan mereka" pikir Luke penasaran. Kenapa mereka
bertingkah seperti ini"
Seekor babi yang terbesar mencakari tanah berlumpur dengan
kakinya. Ia memandang Luke bagaikan seekor kerbau yang marah dan
bukannya seekor babi. Babi itu membuka moncongnya lebar-lebar.
Luke melihat gigi-giginya yang tajam dan mirip gading mematikan di
kedua sisi moncongnya. Luke menggigil melihat gigi-gigi yang bisa dengan mudah
mencabik-cabik seseorang itu.
Lalu babi itu tiba-tiba melesat maju dan mengempaskan
tubuhnya yang besar ke pagar.
Corey terlontar dari pagar dan jatuh telentang, matanya
membelalak. Luke bergegas mendekati Corey. "Kau baik-baik saja?"
Sebelum Corey sempat mengangguk, babi itu kembali
mengempaskan diri ke pagar. Kayunya mulai berhamburan. Seekor
babi yang lain menabrak pagar. Kayunya patah dan babi-babi itu
berhamburan ke luar. Luke menyambar Corey dari tanah. Sambil memeluk Corey
erat-erat, Luke bergegas menuju ke lumbung. "Mr. Green! Mr. Green!
Tolong!" teriaknya panik.
Luke mendengar lengkingan di belakangnya dan seketika
menahan larinya. Dengan Corey masih memeluk dirinya, Luke berbalik.
Gerungan dan kuikan babi yang menakutkan membuat darahnya
seolah membeku. Lalu Luke melihat babi-babi yang besar itu tengah memburu
Mrs. Green. Mrs. Green terjatuh ke kebun bunganya dan berlari ke
jalan. Luke melihat ekspresi ketakutan di wajahnya, pandangannya
liar, rambutnya tergerai lepas dari jepitnya.
Luke meletakkan Corey ke tanah di dekat lumbung. "Tunggu di
sini," katanya. Lalu ia berbalik dan berlari mengejar Mrs. Green, mengejar
babi-babi itu. "So-wee! So-wee!" teriaknya, berusaha mengalihkan perhatian
babi-babi itu. Tapi babi-babi itu terus mengejar Mrs. Green. Kaki-kaki
mereka yang pendek menghantami tanah. Gerungan mereka yang
keras dan menjijikkan membahana.
Napas Luke tertahan sewaktu ia melihat Mrs. Green terjatuh.
Mrs. Green jatuh berlutut.
"Tidak!" jerit Luke, tahu bahwa ia tidak bisa meraih Mrs. Green
pada waktunya, tahu bahwa dirinya akan terlambat menolong wanita
itu. Ia mengawasi dengan ngeri saat babi-babi besar itu menginjakinjak Mrs. Green.
Napas Luke terengah-engah, air mata menyengat matanya, ia
memandang ke rumah. Leah berdiri di depan jendela kamar tidurnya... mengawasi
dengan tenang. Bab 20 BEBERAPA malam kemudian, saat memejamkan matanya,
Luke bisa melihat semuanya.
Mrs. Green berbaring di peti matinya... tepat sebelum Mr.
Green menurunkannya ke dalam tanah.
Mary, terengah-engah menghirup napas terakhirnya, sementara
ia memeluknya. Ia melihat gagak-gagak hitam yang tengah menyantap
Pengawas. Ia melihat lintah-lintah, anjing yang menyerang Mike, dan
serigala yang membawakan makanan untuk Leah.
Ia melihat ayahnya kehilangan kendali atas kuda-kudanya. Ia
mendengar jeritan kematian ibunya.
Matanya membuka. Apakah itu awalnya" pikirnya penasaran. Apakah semuanya
dimulai pada hari orangtuaku meninggal"
Ia memejamkan matanya, berusaha untuk tidur. Korban-korban
Leah melayang-layang dalam benaknya, wajah-wajah mereka
mengerut kesakitan, pandangan mereka menuduh, suara mereka
berbisik-bisik pelan. Kau tahu! Kau tahu! Dan kau tidak melakukan apa pun!
Lalu wajah Mary mendekatinya.
"Aku melihat kejahatan," bisiknya sekali lagi. "Kau harus
membunuh..." Luke tersentak bangun. Ia merasakan pakaiannya basah kuyup
menempel ke tubuhnya, tubuhnya bermandikan keringat.
"Aku tidak bisa membunuh Leah," bisiknya serak kepada
kegelapan. "Dia adikku. Aku tahu dia jahat. Tapi aku tidak bisa
membunuhnya." Ia kembali membaringkan diri, kepalanya terbenam ke bantal
yang lunak. Ia menatap langit-langit yang berbayang-bayang.
Aku tahu bahwa harus bertindak. Ia mengepalkan tangannya
menggenggam selimut di ranjangnya. Aku akan bertindak. Aku tidak
bisa melindungi Leah lebih lama lagi.
*************** Keesokan paginya Luke menatap Mr. Green yang tengah berdiri
di samping makam Mrs. Green.
Mr. Green menggenggam tangan kecil Corey yang berdiri di
sampingnya. Luke perlu berbicara dengan Mr. Green, tapi Corey
hampir setiap saat ada di sampingnya sejak kematian Mrs. Green.
Luke tidak ingin Corey mendengar apa yang harus dikatakannya
kepada Mr. Green.

Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mr. Green membungkuk mengatakan sesuatu kepada Corey.
Lalu Corey berlari ke kebun bunga Mrs. Green dan mulai memetiki
bunga-bunga kuningnya. Untuk makamnya, pikir Luke dengan sedih. Setiap pagi Corey
meletakkan bunga-bunga segar di makam Mrs. Green.
Baru tiga hari berlalu, tapi Luke mengetahui bahwa tiga hari
sudah terlalu lama. Ia harus berbicara dengan Mr. Green.
Ia mendekati makam yang baru itu. "Mr. Green?"
Mr. Green berpaling, mata kelabunya memancarkan kesedihan.
"Luke. Apa yang bisa kubantu, Nak?"
Perut Luke bergolak. Ia selalu baik kepada kami,
memperlakukan kami bagai anak-anaknya sendiri. Ia tidak layak
menderita kesedihan ini. "Mr. Green." Luke menelan ludah dengan susah payah,
mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Mr. Green, kupikir sudah
waktunya kuceritakan segalanya kepadamu."
Luke memulai dari awalnya... dari kematian orangtuanya dan
tingkah laku kuda-kudanya yang aneh. Bakat ayahnya. Dan
bagaimana ayahnya telah mengajari Leah untuk menggunakan bakat
itu. "Tapi aku khawatir dia sudah menggunakan bakat itu untuk
kejahatan," kata Luke kepada Mr. Green.
Mr. Green menggeleng. "Aku sudah pernah melihatnya
menggunakan bakat itu, Luke" terhadap Matilda. Aku tidak
menyebut menenangkan hewan sebagai kejahatan."
Luke berdeham. Sulit sekali menemukan kata-kata yang tepat.
"Aku sudah pernah melihat hewan-hewan yang membunuh orang, Mr.
Green. Dan Leah selalu ada di dekatnya, mengawasi. Tidak pernah
sekali pun dia menunjukkan penyesalan," tambahnya dengan sedih.
Kata-katanya tercekat di tenggorokan, tapi ia memaksa diri untuk
bersikap jujur. "Terkadang... dia bahkan tampak bahagia karenanya,"
tambahnya dengan suara serak.
Ia menceritakan kepada Mr. Green tentang kematian Pengawas,
kematian Mary, dan hewan-hewan yang menyerang beberapa orang
lainnya. "Dan menurutmu dia yang menyuruh babi-babi untuk
menyerang istriku?" tanya Mr. Green tertegun.
Dengan enggan, Luke mengangguk. "Ya, Sir. Aku khawatir
begitu." "Tapi kenapa?" tanya Mr. Green.
Luke merasakan kesedihan menekan dalam dirinya. "Leah tidak
bahagia. Dia menyakiti orang-orang yang membuatnya tidak bahagia."
"Dan apakah sekarang dia bahagia?" tanya Mr. Green.
"Kurasa begitu," kata Luke. "Tapi besok..."
"Dia mungkin tidak bahagia," kata Mr. Green, menyelesaikan
kata-kata Luke. Mr. Green menggeleng perlahan-lahan. "Lalu dia akan
menggunakan kekuatannya untuk melawan kita setiap saat"setiap
kali dia merasa tidak bahagia."
"Ya, Sir. Aku harus menyerahkan Leah kepada pihak
berwenang." "Bukan pihak berwenang. Dia masih anak-anak. Mereka tidak
akan memenjarakan dirinya. Mereka tidak akan menggantungnya,
sebagaimana yang layak diterimanya. Kau harus membawanya ke
rumah sakit jiwa. Mereka bisa mengurungnya. Itu pilihan yang
terbaik." Dengan berat hati, Luke menyetujui.
*********** Luke melecutkan kekang dan merasakan kuda-kudanya menarik
kereta pergi dari pertanian Green. Ia melirik ke belakangnya dan
melihat Mr. Green masih berdiri di samping makam istrinya.
"Bisakah kami minta permen di kota nanti?" tanya Leah. "Kata
Mrs. Green permen buruk untuk gigi wanita terhormat, tapi karena dia
sudah tidak ada lagi..."
"Ya," kata Luke cepat, menghentikan kata-kata Leah.
Leah tidak merasa bersalah sama sekali, pikir Luke sedih. Dia
tidak menyesal menggunakan bakatnya untuk menyakiti orang-orang.
Sama sekali tidak. "Dan aku ingin pakaian baru," tambah Leah. "Yang tidak
menggunakan pita-pita bodoh seperti ini. Mrs. Green..."
"Kau akan mendapatkan pakaian baru," kata Luke kepada
adiknya, sambil mengertakkan gigi. Pakaian kelabu. Pakaian
sederhana. Pakaian untuk pasien rumah sakit jiwa.
Luke mendengarkan saat Leah memberitahu Corey betapa
berbedanya kehidupan mereka mulai sekarang. Bagaimana dia bisa
lebih sering bermain dengan Corey, bermain dengan hewan-hewan.
"Tidak ada lagi menjahit, memasak, dan menjadi wanita
terhormat," kata Leah, sambil tersenyum saat kereta bergulir menuju
kota. Luke menghentikan kuda-kudanya di depan gedung rumah sakit
jiwa yang terbuat dari bata itu. Gerbang-gerbang besi hitam yang
tinggi menandai pintu masuknya. Ia melihat semua jendelanya
dipasangi jeruji, seperti sebuah penjara. Suasana muram dan tertutup
tempat itu membuat Luke menggigil.
"Kenapa kita berhenti di sini?" tanya Leah.
Bahu Luke merosot ke depan. Perasaan bersalah meremasremas dadanya. Ia tidak ingin berbuat begini terhadap adiknya... tapi
wajah orang-orang yang mungkin bisa diselamatkannya melayanglayang dalam benaknya sekali lagi.
Luke berbalik dan membalas tatapan adiknya. Suaranya pecah.
"Leah, tolong mengertilah..."
"Tidak!" jerit Leah.
Dari kilau dingin mata Leah, Luke melihat adiknya itu telah
mengetahui apa yang akan dilakukannya.
"Kau tidak bisa menyerahkan aku dan Corey ke rumah sakit
jiwa." Luke menggeleng. "Bukan kau dan Corey. Hanya kau."
Pada saat itu sebuah pintu terbuka dan tiga orang pria
berseragam putih melangkah mendekati kereta.
Leah mencengkeram lengan Luke, jemarinya menancap ke kulit
kakaknya. "Tidak, Luke, please. Jangan berbuat begini. Aku tahu apa
pendapatmu tentang diriku. Tapi aku tidak jahat. Aku bersumpah..."
"Aku tidak berpendapat begitu, Leah. Aku tahu."
"Luke, jangan..."
"Aku tak punya pilihan, Leah!" jerit Lukt berusaha
mengabaikan air mata yang menggenang di mata adiknya. "Kau tidak
memberiku pilihan." "Tidak!" jerit Leah. "Tidak! Aku tidak mau!"
Kuda-kuda mengangkat kaki depannya Luke mempererat
cengkeramannya pada kekang dan memegang kursi.
Keretanya miring. Keretanya akan terbalik, pikir Luke keretanya akan menimpa
kami sama seperti orangtua kami.
Lalu keretanya kembali ke posisi semula dan kuda-kudanya
melesat. Luke merasakan keretanya melaju, dan ia hampir-hampir
terlempar dari kursi kusir. Ia berpegangan pada sisi kereta dengan satu
tangan, tangan yang lain mencengkeram kekangnya. Tali kulit itu
melilit tangannya saat ia berjuang untuk mendapatkan keseimbangan.
Leah menjerit sementara kuda-kuda berderap semakin cepat.
Kuda-kuda liar itu melaju di jalan, mengepulkan debu tebal.
Orang-orang menjerit-jerit dan berusaha mati-matian untuk
menyingkir. Suara derap kaki kuda menggemuruh di telinga Luke. Tokotoko melintas lewat bagaikan bayangan yang kabur. Keringat mengalir
ke matanya. Kuda-kudanya telah berubah liar. Luke tidak mampu
menghentikan mereka. Jantungnya bak melonjak ke tenggorokannya. Napasnya
tertahan di dada. Dengan mengerahkan segenap kekuatannya, Luke menarik
kekang sekeras-kerasnya. Tapi terlambat. Terlambat. Ia tidak bisa menghentikan kuda-kudanya yang menerjang
langsung ke kaca etalase toko serbaada.
Bab 21 DENGUNG roda yang berputar membangunkan Luke.
Perlahan-lahan ia membuka mata. Dari balik kabut kemerahan,
ia bisa melihat keretanya yang telah tergeletak miring, roda-rodanya
masih berputar. Ia menyentuh keningnya yang berdenyut-denyut dan merasakan
darah yang hangat dan lengket membasahi jemarinya.
Ia mengangkat kepalanya yang terasa berat, dan sakit menusuk
di tengah-tengah keningnya bagai sambaran kilat.
Bau minyak tanah menyerbu cuping hidungnya. Minyak tanah!
Kami pasti sudah menghancurkan lentera sewaktu menerobos kaca
etalase, pikirnya dengan perasaan pusing.
Di kejauhan ia bisa mendengar suara yang lain, sesuatu yang
pernah didengarnya sebelumnya. Bulu-bulu di tubuhnya meremang
waspada mendengar suara kertas berderak-derak. Ia tercekik bau asam
yang menusuk. Kebakaran! Luke melompat bangkit. "Corey! Leah!" Kepingan-kepingan
papan menutupi kereta. Dengan panik, Luke mulai membongkarnya:
serpihan kayu, karung tepung yang berlubang, pecahan kaca.
"Leah! Corey!" Ia melihat sebuah tangan kecil yang terjulur
dari bawah kereta. "Corey!" Sambil terengah-engah, Luke berlutut. Ia mengintip
ke bawah kereta. Corey tergeletak tidak bergerak seakan-akan tewas,
dan Luke melihat kakinya terjepit di bawah kereta.
Raungan api semakin keras, memekakkan telinga Luke.
Panasnya api mengepung dirinya.
Tidak banyak waktu, pikir Luke dengan ketakutan yang
semakin meningkat. Tidak banyak waktu untuk mengeluarkan Corey
sebelum dia terbakar hingga tewas.
Ia mengawasi dengan ngeri saat lidah-lidah api melompat ke
kereta kayu. Ia mendengar keretanya berderak-derak dan meletupletup.
Ia melihat kayunya seketika menghitam dan terbakar.
Ia menyelipkan tangan ke bawah kereta. Ia menggeram,
kehilangan detik-detik yang berharga saat berjuang mengangkat
keretanya. Corey tetap tergeletak di bawahnya, tapi Luke tidak
melihat darah. Kereta akhirnya terangkat. Sambil menahannya dengan satu
tangan, Luke menggeser tubuhnya hingga bisa meraih kemeja Corey
dan menariknya bebas. Tapi di mana Leah" "Leah!" serunya, tapi ia hanya bisa mendengar raungan api.
Lidah-lidah api dengan cepat menguasai toko, melahap apa pun yang
ditemuinya. Keretanya menghalangi pintu depan. Dengan menggendong
Corey, Luke tidak bisa menemukan cara untuk memanjat melewati
kereta dan menerobos lidah api yang menjilat-jilat jalan keluar ke
jalan. Aku harus menemukan jalan lain, pikir Luke dengan panik
sambil berbalik. Asap berebut memasuki paru-parunya, mencekiknya.
Air mata mengalir di pipinya saat panas dan asap membakar matanya.
Dengan tercekik, terengah-engah menghirup udara, ia memeluk
Corey erat-erat. Tidak banyak waktu. Apinya membesar. Asapnya mengepul semakin tebal.
Ia memicingkan mata dan memandang sekitarnya ke balik asap
dan api. Jantungnya berdebar liar. Ia tak bisa melihat ke balik asap
yang semakin menebal. Tidak banyak waktu. Tirai oranye yang berkobar-kobar mengelilinginya.
Lalu dengan cepat melahapnya.
Bab 22 LUKE melihat sebuah pintu agak jauh dari kereta. Ia berlari ke
sana dan mencoba memutar kenopnya. Logam yang panas itu
menyengat kulitnya, dan ia melompat mundur. Ia mundur beberapa
langkah, lalu berlari lurus ke pintu.
Pintu itu terdobrak membuka, dan Luke jatuh ke lantai apa yang
tampaknya seperti gudang. Api mengikuti, menjilat-jilat tumitnya
bagai anjing marah. Di ujung seberang ruangan, Luke melihat pintu belakang. Luke
mengempaskan bahunya ke pintu tersebut. Pintunya bergeming.
Api meraung-raung di belakangnya.
Ia terbatuk-batuk, dan kegelapan mulai merapat.
Tidak! pikir Luke mengambil keputusan. Aku tidak akan mati
dengan cara seperti ini. Aku tidak akan membiarkan Corey tewas
dengan cara seperti ini. Lengannya terasa sakit akibat berat tubuh Corey. Kakinya
terasa lemas. Dengan mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, ia
menubrukkan dirinya ke pintu berulang-ulang.
Pintu tersebut terdobrak dan Luke terhuyung-huyung masuk
jalan belakang. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya sambil terhuyunghuyung menjauhi toko.
Apinya bagaikan hidup, pikir Luke saat mengawasi api itu
melompat dari bangunan ke bangunan. Membakar. Lidah-lidahnya
yang tidak pernah terpuaskan melahap segala sesuatu yang
ditemuinya. Di mana Leah" pikir Luke penasaran. Aku tidak bisa
membiarkannya melarikan diri.
Sambil menggendong Corey, ia bergegas kembali ke rumah
sakit jiwa. Ia menerobos kerumunan orang-orang yang membawa
ember air. Mereka tidak akan mampu menghentikan api yang dimulai
Leah, pikir Luke sedih. Ia menunduk memandang Corey. Corey masih pingsan,
wajahnya hitam kena jelaga. Mungkin ada dokter di rumah sakit jiwa
yang bisa menolong Corey, pikir Luke.
Luke mendekati gerbang besi gedung itu. Ia melihat Leah
memberontak membebaskan diri dari cengkeraman dua orang dokter.
"Luke! Tolong aku! Kau keliru."
"Aku tidak bisa membantumu sekarang, Leah. Aku sudah
berusaha sebaik-baiknya percayalah," seru Luke kepadanya. Ia
merasakan dadanya sesak bagai dijepit penjepit besi.
Tak peduli apa pun yang telah dilakukan Leah, dia masih
adikku. Luke berusaha untuk tidak memikirkan masa-masa yang lebih
bahagia. Sebelum kejahatan datang dalam kehidupan mereka.
Ia mengawasi dengan perasaan berat saat orang-orang itu
membawa Leah ke arah bangunan bata yang kokoh.
"Luke!" jeritan Leah menggema di telinganya. "Tolong aku!"
Luke menggeleng. Leah sudah tidak bisa ditolong. Dia harus
dijauhkan agar tidak bisa membunuh lagi. Luke berharap tak ada yang
menyakiti adiknya di rumah sakit jiwa.
Saat para mantri membuka pintunya yang berat, Leah menatap
Luke dengan tajam. "Kau akan menyesal," jeritnya kepada kakaknya. "Kau akan
menyesal, Luke!"

Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bab 23 LUKE duduk di ranjang Corey dan menarik selimut adiknya
hingga ke dagu. Corey menatapnya dengan matanya yang besar.
Corey telah pulih dari kecelakaan kereta kuda dan
kebakarannya. Tapi Luke merasa adiknya merasa sangat sedih tentang
Leah. "Aku berjanji kita akan mengunjunginya," kata Luke kepada
Corey. "Mereka tidak akan menyakiti Leah, tapi mereka akan
memastikan bahwa dia tidak menyakiti siapa pun."
Bibir Corey menegang membentuk garis lurus, dan Luke
melihat mulut kecilnya gemetar. Matanya berkaca-kaca.
"Mr. Green mengizinkan kita untuk tinggal di sini," kata Luke
berusaha meyakinkan Corey. "Dan segalanya akan menjadi jauh lebih
baik. Kau akan bersekolah. Dan kau bisa bermain-main dengan anakanak yang kita temui hari pertama di sini. Berani taruhan Mr. Green
bahkan akan mengizinkanmu memelihara anak anjing untuk teman
bermain." "Tentu saja dia boleh memelihara anak anjing," tambah
seseorang dengan suara berat dari ambang pintu.
Luke tersentak dan berpaling. Mr. Green telah masuk ke dalam
kamar. Ia tampak kurus, kelelahan.
"Akan ada badai," katanya kepada Luke. "Aku mau memeriksa
jendela badai di gudang. Kuminta kalian berdua menutup jendela
sebelum tidur." Ia melangkah ke luar kamar.
"Lihat," kata Luke sambil berpaling kembali kepada Corey.
"Kita akan bahagia di sini. Besok akan kulihat apakah ada tetangga
yang punya anjing yang tidak mereka inginkan. Kau bisa memberinya
nama apa pun sesuka hatimu."
Luke mengawasi mulut Corey merekah membentuk senyum
ragu. "Apa yang terjadi pada Leah memang menyedihkan. Tapi kau
akan menjalani kehidupan yang biasa," janji Luke kepada adiknya.
Mata hijau Corey mulai berkilau penuh semangat.
Luke merasakan semangatnya sendiri membesar. Kehidupan
yang biasa. Segalanya akan beres sekarang.
Segalanya. ************* Luke terjaga mendengar keributan.
Ia duduk tegak di ranjang, menahan napasnya. Ia
mendengarkan, setiap otot di tubuhnya tegang dan waspada.
Kilat menyambar, menerangi kamar tidurnya yang gelap
sekejap. Guntur menggelegar.
Badainya datang, pikirnya. Hanya badai.
Ia kembali mengempaskan diri ke bantal dan menghela napas
panjang. Matanya kembali terpejam diiringi gemuruh lembut guntur.
Lalu ia mendengar seseorang menjerit singkat.
Mr. Green! Luke kembali tersentak di ranjangnya. Ia meraih celana terusan
dan kemejanya, lalu bergegas mengenakannya. Dengan tangan
gemetar, ia menyulut lilin yang disimpannya di samping ranjang. Ia
mengambilnya dan melesat ke lorong, terus menuruni tangga.
Api lilinnya bergoyang-goyang. Bayangan dirinya sendiri
menjulang menakutkan di dinding-dinding tangga.
Rumah gelap gulita. Sunyi senyap. Aku tahu aku mendengar sesuatu, pikir Luke. Aku mendengar
Mr. Green menjerit. Ia melesat ke dapur dengan kaki telanjang.
Ia melihat pintu ke gudang bawah tanah terbuka. Luke
mengintip ke dalam. Ke dalam kegelapan total.
"Mr. Green?" panggilnya pelan.
Tidak ada jawaban. Denyut nadinya berdentam-dentam di keningnya. Mulutnya
terasa sekering pasir. Ia mengacungkan lilinnya dan menuruni tangga yang berderitderit perlahan-lahan. Satu demi satu. "Mr. Green, kau di bawah sini?"
serunya sekali lagi. Suaranya menggema dalam kegelapan.
Bau kelembapan memenuhi hidungnya, dan ia terbatuk-batuk
karena udara busuk. Luke tiba di dasar tangga dan melangkah ke lantai batu gudang
bawah tanah. Tubuhnya menggigil saat kakinya yang telanjang
menyentuh batu yang dingin. Ia maju selangkah, merasakan dingin
yang menusuk tulang. Ia memicingkan mata. Ia bisa melihat sesuatu... kaki-kaki yang
tergeletak di lantai. Jantungnya berdebar-debar ketakutan. Ia memaksa diri untuk
maju selangkah lagi, kakinya terasa seberat batu bata.
Ia berusaha memandang ke dalam kegelapan dan mengenali
celana terusan denim biru tua yang menutupi kaki-kaki yang tidak
bergerak itu. Celana terusan Mr. Green.
Luke bergegas melangkah melewati kaki-kaki itu dan berlutut
di samping tubuhnya. Ia mengacungkan lilinnya dekat dengan wajah
Mr. Green. "Mr. Green..." katanya.
Suaranya tercekik saat melihat wajah Mr. Green, tatapan
matanya yang kosong, memandang langit-langit.
Tewas! Luke melompat bangkit dan melangkah mundur. Mr. Green
tewas! Bagaimana bisa terjadi lagi"
Bagaimana cara Leah melarikan diri"
Ia menggigil saat pikiran lain melintas.
Apakah kekuatan Leah sehebat ini" Mungkinkah dia
menjangkau kami sekalipun terkurung jauh dari sini"
Lalu Luke mendengar seseorang berkata pelan. Suara anakanak.
"Terima kasih. Dia jahat pada kakak perempuanku. Begitu
jahat. Kalian teman-temanku. Terima kasih."
Luke berputar balik dan menjulurkan lilinnya untuk menerangi.
Suara kecil itu... Tangannya gemetar tidak terkendali.
Ia terhuyung-huyung ngeri saat menyaksikan Corey melangkah
ke luar kegelapan. Corey, tertutup ular-ular kerincing gemuk yang menggeliatgeliat di sekeliling kaki, lengan, dan lehernya. Ia mengelus-elus ularular itu dan mencium kepala mereka yang berdesis-desis sementara
ular-ular tersebut merayapi tubuhnya.
Bab 24 "COREY," kata Luke dengan napas tersentak. "Jadi selama ini
kau rupanya! Kau yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan
hewan-hewan." "Aku dan Leah," jawab Corey. "Dan Papa. Tapi mereka tidak
pernah melakukan tindakan yang buruk. Aku juga tidak"sampai
orang-orang mulai bersikap jahat terhadap Leah. Kau tidak mau
membantunya"jadi aku terpaksa."
Luke menatap adik lelakinya. Ia tidak mampu bergerak. Ia
tertegun dan ketakutan. Ia merasa tersesat dalam mimpi buruk.
Berjuang keras untuk terjaga.
Meskipun begitu ia tahu kejadian ini bukan mimpi.
Ia merasakan beratnya kebenaran yang mengerikan menekan
dirinya. Menguburnya hidup-hidup. Jantungnya berdetak begitu keras
sehingga seakan-akan hendak meledak keluar dari dadanya.
"Kau yang membunuh mereka," bisik Luke, suaranya serak
karena tidak percaya. "Kau yang membunuh mereka semua!"
"Mereka jahat," jawab Corey tenang. "Mereka jahat. Dan kau
juga!" kata Corey bersikeras. "Kau mengurung Leah yang malang
untuk selama-lamanya. Sekarang kau harus merasakan akibatnya!"
Luke tahu ia harus melarikan diri demi keselamatannya. Tapi
tubuhnya terasa membeku di tempatnya. Membeku ketakutan.
Dengan tertegun, ia mengawasi saat Corey meletakkan ular-ular
kerincingnya di lantai batu dengan hati-hati, menepuk-nepuk kepala
setiap ekornya seakan-akan mereka anak anjing dan bukannya ular
yang mematikan. Ular-ular itu mendesis. Mereka menggoyanggoyangkan ekornya, suara kerincingan yang berdentang-dentang
menggema di dinding- dinding gudang.
"Mereka juga akan membunuhmu, Luke," kata Corey pelan.
"Kalau kuperintahkan."
Luke mengacungkan lilinnya tinggi-tinggi dan menatap ularular yang merayap ke sana kemari itu. Begitu banyak. Begitu besar.
Lidah mereka yang bercabang terjulur keluar-masuk mulut.
Mata mereka yang hitam tampak dingin. Keras.
Mereka tidak mengenal takut.
Mereka mengenal kematian dan bagaimana menyajikannya
secepat kilat dengan satu serangan. Satu gerakan yang luwes.
Luke menggigil. Ia memandang ke sekeliling gudang dan melihat ular-ular itu
telah menghalangi jalan ke tangga. Ke pintu.
Ia kembali memandang sekitarnya, berjuang menekan
kepanikan. Ia hanya bisa melihat satu jendela kecil. Jendela antibadai.
Jendela yang terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar.
Dengan tangan gemetar Luke menurunkan lilinnya,
mengacungkannya di depan dirinya.
Apakah dengan begitu ular-ular itu akan menjauh"
Lilinnya tidak lebih panjang dari jari telunjuknya dan kuranglebih sama besarnya. Berapa lama lagi lilin ini akan menyala"
Tidak cukup lama baginya untuk bisa melarikan diri. Luke
merasakan ketakutan bergolak dalam perutnya.
"Corey, kau tidak bisa berbuat begini. Bagaimana caramu
bertahan hidup nanti?" tanya Luke.
"Semua hewan adalah temanku. Mereka akan membantuku,"
kata Corey penuh percaya diri.
"Jangan," pinta Luke pelan sambil menatap adiknya. "Aku satusatunya kakakmu," katanya mengingatkan. "Apakah aku tidak
berusaha sebaik-baiknya untuk melindungimu dan menjaga dirimu
sejak Mama dan Pa meninggal?"
Mata hijau Corey berkilau. "Kau sudah berjanji kita takkan
pernah berpisah. Kau melanggar janjimu, Luke. Kau mengusir Leah
dari sini." "Corey, please..." pinta Luke.
Corey berbalik dan perlahan-lahan menaiki tangga ruang bawah
tanah. Luke mendengar suara langkah kakinya yang lambat. Lalu
mendengar suara pintu dibanting hingga tertutup.
Dan gema suara kunci saat Corey memutarnya.
Bab 25 Gudang Bawah Tanah yang Gelap
LUKE berpaling memandang asal suara pelan yang mendesisdesis.
Ia melemparkan pakunya ke sudut yang gelap dan
mendengarnya bergemerencing menghantam lantai batu.
Desisannya bertambah keras. Semakin buas.
Luke menunduk memandang lilinnya. Apinya mengambang
rendah di atas genangan lilin cair.
Detak jantung Luke bertambah cepat melihatnya. Tidak lama
lagi sekarang. Ia menyentuh darah yang menodai dinding. Darahnya.
Darah yang menceritakan kisah ini.
Aku sudah menceritakan kisahku. Kalau saja kuceritakan lebih
awal. Kalau saja kusadari bahwa Corey yang melakukannya... dan
bukan Leah... Apinya berkedip-kedip. Bergetar. Lalu padam. Kegelapan menyelimuti ruangan.
Luke menekankan punggungnya ke dinding. Tidak lama lagi
aku akan mati sama seperti Mr. Green dan yang lain.
Ia menahan napas. Mendengarkan. Mendengarkan sekuat tenaga.
Ia mendengar desisan ular-ular itu.
Lalu gemerencingnya. Ia mendengar suara geseran pelan sisik yang merayap melintasi
lantai batu. Lalu ia tidak mendengar apa pun kecuali jeritannya sendiri.
Bab 26 LUKE menjerit lagi. Ia menekankan punggungnya ke dinding batu yang dingin.
Gudang bawah tanah gelap. Gelap gulita.
Ia tak tahu seberapa dekat ular-ular itu. Ia tak tahu kapan
mereka akan menancapkan taring-taring mereka kepada dagingnya.
Luke merasakan sesuatu bergeser di sepatu bot sebelah
kirinya"dan meliliti pergelangan kaki kirinya.
Ia menggigil. Ia ingin menendang pergi ular itu.
Tidak, katanya sendiri. Kau tidak boleh bergerak. Kalau kau
bergerak, ular itu akan menyerang. Dan kau akan mati.
"Aku tidak mau mati!" teriaknya. "Aku tidak mau mati!"
Kata-katanya menggema di antara dinding-dinding batu, tapi
kata-kata itu takkan mengubah nasibnya.
Seekor ular lain meliliti kakinya. Meliliti lutut kanannya eraterat.
Luke menahan diri untuk tidak bergerak sama sekali,
menunggu. Menunggu taring-taring mematikan menancap ke pahanya.
Apakah ini ular yang akan membunuhku" pikir Luke penasaran.
Apakah ular ini yang akan membunuhku"
Luke mendengar suara sisik-sisik menggeser celana panjangnya
saat seekor ular kerincing lainnya merayapi kakinya dan meliliti
pinggangnya. Ia bisa merasakan kerincingnya mengetuk-ketuk
punggungnya. EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Atau yang ini" Kericingannya bergema ke seluruh ruangan. Semakin lama
semakin keras. Semakin keras.
Blang! Pintu gudang bawah tanah terdobrak membuka.
Dalam keremangan, Luke melihat Leah berdiri di ambang pintu.
"Leah! Tolong aku!" jerit Luke.
Leah mengulurkan tangan ke depannya, dengan telapak
menghadap ke atas. "Jangan bergerak, Luke. Jangan bergerak."
Seekor ular lain merayap di tubuh Luke. Lalu yang lain dan
yang lain lagi. Leah menuruni tangga dan dengan hati-hati melangkahi ularular itu hingga berdiri di tengah-tengah ruangan. Ia merentangkan
lengannya ke langit-langit dan mulai bergoyang-goyang.
"Datanglah kepadaku," katanya dengan nada bagai menyanyi.
"Datanglah kepadaku, ular-ular."
"Tidaaaak!" Tatapan Luke tersentak kembali ke puncak tangga. Corey
berdiri di sana, mata hijaunya membara.
"Tidak, kalian teman-temanku," jerit Corey kepada ular-ular itu.
"Bunuh dia! Bunuh dia!" Ia bergegas menuruni tangga. "Bunuh dia
sekarang!" Ular yang meliliti pinggang Luke perlahan-lahan mengangkat
kepalanya. Luke menatap matanya yang hitam dan tidak bernyawa. Ia
mengawasi cuping hidung hewan itu mengembang.
"Tidak," bujuk Leah. "Kalian bukan makhluk jahat. Kalian
makhluk alam. Jangan biarkan diri kalian dipergunakan dengan cara
seperti ini, saudara-saudaraku."
"Bunuh dia, bunuh dia, bunuh dia!" kata Corey bagai membaca


Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mantra. Pipi-pipinya merah padam. Napasnya terengah-engah keras.
Lidah bercabang ular-ular kerincing itu menjulur keluar-masuk
dengan cepat di mulut mereka.
Lalu makhluk itu membuka mulutnya lebar-lebar, menampilkan
taring-taring runcing yang putih. Mengilat karena racunnya.
Luke menelan ludah dengan susah payah.
"Jangan bergerak," bisik Leah sambil mendekati Luke.
Ular kerincing itu menyerang.
Leah menyambar kepalanya tepat saat taring-taringnya
menyentuh tenggorokan Luke.
Perut Luke bergolak. Ia mulai gemetar. Ia merasa tubuhnya
dialiri air es bukan darah.
Leah perlahan-lahan memutar ular itu menghadap dirinya.
Pandangan mereka terpaku satu sama lain. "Tidak, saudaraku,"
bisiknya. "Bukan ini tujuan keberadaanmu."
Perlahan-lahan, rahang ular itu mengatup.
Leah meletakkan ular itu di bahunya, dan hewan tersebut
meluncur meliliti lehernya. "Terima kasih," kata Leah.
"Tidak!" jerit Corey. "Mereka teman-temanku! Temantemanku! Mereka harus mematuhi perintahku!"
"Tidak, Corey. Tidak benar menggunakan makhluk-makhluk ini
untuk kejahatan," kata Leah tenang. Ia mengulurkan tangan ke arah
ular yang meliliti paha Luke.
Ular itu merayapi lengannya, dan Luke mengembuskan napas
yang ditahannya sejak tadi.
Leah melangkah menjauhinya. Saat itu, ular-ular yang lain
meluncur meninggalkan Luke. Mereka mulai merayapi Leah,
melilitkan diri di tubuh Leah.
"Aku benci padamu!" jerit Corey. "Aku benci kalian berdua!"
Ia melesat menaiki tangga dan bergegas ke luar dari rumah.
Dengan gemetar, Luke merosot ke lantai dan menatap adik
perempuannya yang tengah dililiti ular-ular.
"Ternyata selama ini Corey yang melakukannya," kata Luke
terengah-engah. "Dia yang membunuh semuanya."
"Aku tahu," kata Leah. "Aku menyadari kebenarannya sewaktu
kau kehilangan kendali atas kuda-kudanya. Sebelum itu, aku tidak
menyadari bahwa Corey mewarisi kekuatan itu dari Ayah."
Luke menggosok wajahnya dengan tangan. "Bagaimana caramu
melarikan diri?" tanya dengan tiba-tiba. "Apa yang terjadi?"
"Aku tidak melarikan diri. Aku berhasil meyakinkan dokter
bahwa aku memiliki bakat untuk berhubungan dengan hewanhewan" tidak lebih. Dia membebaskanku."
"Apa yang akan kita lakukan terhadap Corey?" tanya Luke.
"Kita tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menunggu dia
kembali." Luke memutuskan dirinya dan Leah akan tetap tinggal di
pertanian Green, menempati rumah kuning cerah bertirai putih itu.
Selalu mengawasi. Selalu menunggu Corey kembali.
Tahu bahwa saat Corey kembali, teror akan kembali
bersamanya.END EBOOK INI TERSELENGGARA BERKAT DONASI BUKU OLEH NIKEN Jejak Di Balik Kabut 8 Hati Yang Terberkahi Blessed Heart Karya Adam Aksara Sekutu Iblis 3
^