Pencarian

Tarian Kematian 1

Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead Bagian 1


Prolog Shadowbrook, New York, 1793 TOBIAS tercekik. Suaranya menggelegak menakutkan.
Ia mengangkat tangan ke lehernya. Ia merasakan bilah logam
pisau bedah mencuat dari tenggorokannya.
Ia merasakan darah yang hangat mengalir membasahi
jemarinya. Turun ke dadanya, meresap di kemeja dan mantelnya.
Aku tidak bisa mencabut pisau bedah ini, pikir Tobias. Kalau
kucabut, darahku akan membanjir keluar, dan aku akan tewas seketika
karena kehabisan darah. "Mati kau, Tobias." Musuhnya mengamatinya berlumuran
darah. "Kau takkan pernah mencampuri urusanku lagi," lanjut
musuhnya dengan suara dingin. "Aku tidak memerlukan dirimu. Aku
tidak memerlukan tunanganmu yang cantik. Aku akan memilih korban
baru. Dan kau tidak akan ada untuk mencegahku lain kali. Kau akan
mati." Dokumennya, pikir Tobias. Ia menoleh sambil memaksa diri
untuk melangkah maju. Aku harus menghancurkan dokumendokumen itu. Tak boleh ada orang lain lagi yang mempelajari
pelaksanaan ritual ini. Tak boleh ada orang lain lagi yang menemukan
rahasia jahat ini. Laboratoriumku. Aku harus ke laboratoriumku. Tobias
membuka pintu ruang duduk dengan susah payah dan terhuyunghuyung ke lorong. Dengan setiap tarikan napasnya, ia mendengar
udara bersiul melalui lubang di sekeliling pisau bedahnya.
Ia mendengar suara musuhnya di belakangnya.
"Benar, Tobias," kata musuhnya, mengejek. "Merangkaklah
pergi seperti hewan dan cari tempat untuk mati. Akan kumakamkan
kau dengan selayaknya. Jangan khawatir."
Tobias merasakan tangan-tangan yang kuat mendorongnya dari
belakang. Ia jatuh tertelungkup ke lantai. Lalu ia mendengar suara
pintu ruang duduk dibanting hingga menutup di belakangnya.
Kegelapan menelannya. Tobias perlahan-lahan merangkak menyusuri lorong dan
menaiki tangga hingga tiba di lorong rahasia. Ia terengah-engah
menghirup udara, darahnya sendiri mencekiknya. Sakit yang panas
membara bagai mencabik-cabik tenggorokannya.
Ia tahu bahwa ia bisa bergerak lebih cepat seandainya berdiri.
Tapi ia terlalu lemah untuk melakukannya.
Aku harus menghemat tenagaku, pikirnya sambil menyeret
dirinya ke kamar tidur musuhnya. Ia membuka panel tersembunyinya.
Ia menyeret dirinya menuruni tangga di baliknya, yang menuju ke
terowongan panjang dan gelap ke laboratorium bawah tanahnya.
Aku harus ke laboratoriumku. Dokumen-dokumen itu harus
dihancurkan! Darah Tobias menetes ke lantai laboratorium saat ia menyeret
dirinya masuk ke dalam. Ia bisa melihat dokumen-dokumen kuno
yang tengah dipelajarinya selama beberapa minggu ini bergeletakan di
atas mejanya. Sebatang lilin tengah menyala di dekat tempat tinta.
Akan kubakar dokumen-dokumen ini, pikir Tobias. Dengan
begitu semua ini akan berakhir untuk selama-lamanya. Kalau saja
dengan begitu kejahatan ini juga akan berakhir!
Tobias mengangkat diri ke kursinya. Tangan-tangannya
gemetar sewaktu ia meraih dokumen-dokumen itu dan
mengacungkannya ke api lilin.
Tobias meletakkan kepalanya di tangan. Selesai, pikirnya. Lalu
ia melihat sehelai kertas yang terjatuh ke bawah mejanya. Ia
membungkuk untuk mengambilnya. Ia merasa pusing dan mual.
Ruangan berubah gelap. Perlahan-lahan, pandangannya pulih. Terlalu banyak, pikirnya.
Aku sudah kehilangan terlalu banyak darah. Aku akan mati tidak lama
lagi. Ia menjulurkan kertas itu ke arah lilin. Tulisan pada kertas itu
menarik perhatiannya. Aku belum pernah membaca halaman yang ini,
pikirnya. Tobias meletakkan kertas itu di meja. Lingkaran dan bulatan
khas huruf-huruf gaya lama menari-nari di depan matanya.
Pusatkan perhatian, pikirnya. Aku harus memusatkan perhatian.
Kenapa dokumen yang ini berbeda dengan yang lainnya"
Halaman itu menjelaskan rahasia untuk menghancurkan setanpencuri-jiwa! pikirnya tersadar.
Tobias mencari-cari buku hariannya. Ia tahu ia tidak punya
banyak waktu. Jemarinya terasa mati saat ia mencelupkan pena ke
tempat tinta. Aku harus menuliskannya. Aku harus meninggalkan catatan
tentang cara menghancurkan pencuri-jiwa itu. Mungkin dengan begitu
kehidupanku tidak sia-sia sama sekali.
Para pencuri-jiwa memperoleh kekuatannya dari darah korbankorbannya, tulis Tobias di buku hariannya. Tapi, kalau pencuri-jiwa
sendiri mengeluarkan darah, kekuatannya akan hancur. Darah para
korbannya akan mengalir keluar dari dirinya, membuatnya tidak
berdaya. Ia akan menjadi tua dan mati.
Itu dia! pikir Tobias. Itu rahasianya. Kalau musuhku
mengeluarkan darah, ia akan mati.
Tobias mengangkat dokumen terakhir itu ke api lilin.
Kemudian, hampir-hampir kehabisan tenaga, ia mencelupkan penanya
ke tempat tinta untuk yang terakhir kalinya.
Ia ingin meninggalkan pesan terakhir untuk Honoria, gadis yang
dicintainya. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri karena
apa yang sudah terjadi padamu, Honoria, pikirnya. Tapi aku akan
meninggalkan buku harianku untukmu. Suatu hari, kau akan
mengetahui kebenarannya. Honoria, tulisnya, kalau kau menemukan buku harian ini, aku
ingin kau tahu bahwa aku akan mencintaimu selamanya. Aku
menyesali apa yang sudah kulakukan terhadapmu. Dan perananku
dalam kejahatan ini. Aku bersumpah bahwa jiwaku tidak akan beristirahat sebelum
musuhku terkalahkan dan kejahatannya dihancurkan.
Tobias menggigil hebat. Darah menyembur dari
tenggorokannya ke buku harian itu.
Aku merasa sangat lemah, pikirnya. Begitu kedinginan. Aku tak
bisa merasakan tanganku lagi. Kaki-kakiku terasa membeku.
Akhirnya telah datang, Honoriaku. Ini adalah kata-kata terakhir
yang kutuliskan. Kalau saja aku mau mendengarkanmu! Tidak satu pun dari
kejadian-kejadian mengerikan ini yang akan berlangsung. Kita bisa
berbahagia, jauh dari sini.
Kalau menurutmu kau bisa, maafkanlah aku. Kumohon
kepadamu. Kekasihmu, Tobi... EBOOK INI TERSELENGGARA BERKAT DONASI BUKU OLEH NIKEN BAGIAN SATU Madeline Bab 1 Shadowbrook, New York, 1873 AKU aman, pikir Madeline Simms. Ini kota baru. Ini
Shadowbrook. Aku aman. Tidak akan ada kejadian buruk yang
menimpaku di sini. Madeline berdiri di peron stasiun kereta kecil Shadowbrook. Ia
mendesah saat menunduk memandang pakaian terbaiknya, kusut dan
kotor setelah perjalanannya yang panjang. Ia merapikan gaunnya
dengan tangan. Lingkaran-lingkaran hitam membayangi mata cokelatnya.
Beberapa helai rambut hitam menjulur keluar dari bawah topinya.
Aku tampak buruk, pikir Madeline. Aku ingin memberi kesan
yang baik. Aku ingin para sepupuku, Deborah dan Marcus,
menyukaiku pada pandangan pertama.
Madeline berutang budi begitu banyak kepada mereka. Mereka
dengan dermawan telah menawarkan untuk menerimanya saat seluruh
dunianya runtuh di sekitarnya. Saat ia tidak memiliki siapa pun yang
peduli. Tidak memiliki tempat untuk dituju.
Madeline mencengkeram tas kanvasnya sedikit lebih erat dan
memandang ke sekeliling peron. Di mana pelayan yang seharusnya
menjemputnya" Tas kanvas itu terasa berat. Isinya barang-barang Madeline
yang tidak seberapa. Semua miliknya di dunia ini.
Kecuali kenanganku. Tapi lebih baik tidak memikirkannya.
Lebih baik tidak mengingat-ingat masa lalu. Lebih aman untuk
melupakan apa yang terjadi atas Mama dan Papa.
Kalau ia memikirkan masa lalu, Madeline yakin dirinya akan
mulai menjerit. Lalu Deborah dan Marcus akan tahu bahwa ia sinting.
Mereka akan mengusirnya. Mengurungnya. Mereka tidak akan mau
menerimanya. Aku tidak sinting, kata Madeline sendiri. Aku tidak seperti
Mama. Aku tidak akan berakhir seperti dirinya. Aku tidak peduli apa
kata orang. "Permisi, Miss. Apa kau Madeline Simms?"
Madeline terkejut. Ia tidak menyadari kuda dan kereta yang
berhenti tepat di depannya.
Madeline menatap pria tua yang duduk di atas kereta kuda
hitam itu. Wajahnya yang begitu kurus mengingatkan Madeline akan
tengkorak yang menyeringai. Dan tubuhnya tampak seperti
sekumpulan kulit dan tulang terbungkus pakaian yang kebesaran.
Madeline merasa kedinginan, sekalipun hari sebenarnya hangat.
Kematian telah datang menjemputku. Seperti Mama dan Papa.
Aku tidak ingin pergi! Pria tua itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Madeline bisa
merasakan mata hitam dan bulat pria itu terpaku pada wajahnya. Ia
menggigil begitu keras hingga giginya mulai bergemeretuk.
Aku harus menenangkan diri! Ini pasti pelayan yang dikirim
para sepupuku untuk menjemputku. Dia tidak benar-benar bermaksud
untuk menakut-nakutiku. Dia tidak bisa berbuat apa-apa mengenai
penampilannya yang begitu kurus dan aneh.
Kalau kubiarkan imajinasiku melayang-layang sekarang, aku
takkan pernah bisa bertahan di sini. Aku takkan pernah bisa bertahan
di mana pun. Aku tak bisa membiarkan pak tua ini mengetahui
seberapa gugupnya diriku.
"Ya, aku Miss Simms," jawab Madeline. Ia senang karena
suaranya hanya sedikit gemetar.
Pria tua itu mengangguk. "Sudah kuduga," katanya. Senyumnya
melebar, menampilkan celah-celah lebar di antara gigi-giginya. Ia
tertawa sambil melompat turun dari kereta. "Pasti kau. Tidak ada
orang lain lagi di sini."
Ia bergurau, pikir Madeline sambil mengawasi pak tua itu
melangkah mendekatinya. Madeline lega. Ia menggodaku.
Madeline merasa agak santai. Pria tua itu tidak menyadari
kegugupannya. Dia tidak menyadari bahwa ada yang tidak beres
dengan dirinya. Dan takkan ada orang lain yang menyadarinya. Karena tidak
ada yang tidak beres denganku. Aku normal sepenuhnya. Sama
normalnya dengan semua orang di sekitar sini.
"Nah," kata pak tua itu sambil mendekatinya. "Kau pasti
kelelahan, bukan" Dan aku terlambat menjemput. Maafkan aku, Miss.
Tapi kudanya agak gelisah. Kau tidak akan memberitahu Mr. Marcus
bahwa aku terlambat, bukan" Dia pasti sangat marah kalau
mengetahuinya." "Tentu saja tidak," jawab Madeline hangat, merasa senang
karena bisa mengurangi ketegangan pria tua itu.
Lihat" Tidak ada yang perlu ditakutkan, pikir Madeline. Dia
sama gugupnya dengan diriku.
"Tolong berikan tasnya, biar kusimpan di kereta," lanjut pak tua
itu. "Rumah sepupumu tidak jauh dari sini. Kita akan tiba di sana
dalam waktu singkat, begitu kita berangkat."
Sekarang Madeline bisa melihat keramahan di matanya yang
hitam. Pria ini berusaha agar aku merasa diterima di sini, pikirnya.
Ia merasakan kegugupan terakhirnya menguap. Pendapat
pertamanya benar. Ia akan aman dan bahagia di Shadowbrook ini.
"Siapa kau?" tanyanya kepada pria itu saat mengambil tasnya.
"Namaku William," jawabnya.
Ia meletakkan tas Madeline di bagian belakang kereta, lalu
membantunya naik ke bangku yang sempit.
"Aku yang merawat kebun dan kuda-kuda Mr. Marcus," lanjut
William. "Sepupuku tinggal di luar kota, bukan?" tanya Madeline.
William mengangguk sambil naik ke samping Madeline.
"Memang benar, Miss. Tepat di balik bukit itu. Kau akan melihat
pemandangan kota yang cukup bagus dalam perjalanan."
"Shadowbrook tempat yang menyenangkan, bukan?" tanya
Madeline. William mendecakkan lidah kepada kudanya. Kereta itu mulai
meluncur maju, terguncang-guncang dan bergoyang-goyang.
Madeline berpegangan pada tepi kereta.
"Oh, ya, Miss. Memang benar. Orang-orang di sini juga ramah.
Aku yakin kau akan segera betah di sini."
Kuharap begitu, pikir Madeline. Aku memerlukan rumah.
Kuku-kuku kuda menimbulkan suara ketoplak-ketoplak yang
menyenangkan saat melaju di jalan beraspal. Madeline menyukai apa
yang dilihatnya di Shadowbrook. Jalan-jalannya yang lebar dipagari
pepohonan yang tinggi. Sesekali, ia mendengar kicau burung.
Ia menikmati pemandangan rumah-rumah besar yang cantik di
sana. Rumah-rumah itu berdiri agak jauh dari jalan, dipisahkan oleh
halaman rumput yang halus dan hijau. Dan setiap rumah memiliki
kebun yang cantik. Saat kereta melaju melintasi kota, Madeline merasa dikelilingi
suasana damai dan tenang. Aku senang datang kemari. Di tempat ini
masa laluku takkan bisa menyentuhku. Di tempat ini aku bisa sembuh.
William kembali mendecakkan lidah ke kudanya, mendesak
mereka mendaki bukit yang curam di tepi kota. Madeline menduga
rumah para sepupunya tidak jauh lagi.
Ia merasakan harapan menjulang dalam dirinya. Aku hampir
tiba. Hampir aman. Hampir sampai di rumah.
Madeline melihat sebuah rumah putih yang tinggi dengan daundaun jendela hijau gelap di puncak bukit. Sebuah kebun mawar yang
cantik memenuhi halaman sampingnya. Rumah tercantik yang
dilihatnya sejauh ini. "Rumah siapa itu?" tanyanya kepada William dengan penuh
semangat. "Rumah para sepupuku Deborah dan Marcus?"
"Tempat itu?" jawab William. "Oh, tidak. Rumah itu milik Dr.
Justin Fear." Kuda-kuda mendengus dan menikung ke kanan. "Tenang,
Buttercup. Tenang," William berusaha membujuk kudanya. "Kuakui,
aku tidak tahu ada apa dengan kuda itu hari ini, Miss. Tidak biasanya
dia bersikap seaneh ini."
Kuda itu meringkik melengking dan mundur. Keretanya
terguncang keras. Roda-roda depannya tersentak dan terangkat dari
tanah, lalu terempas kembali. Madeline mencengkeram tepi kereta
dengan kedua tangan. "William! Ada masalah apa" Ada apa?" jeritnya.


Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi William tidak menjawab. Ia sibuk berusaha
mengendalikan kudanya. Hewan itu tampak seperti kerasukan. Ia
menjerit dan mencakari udara dengan kakinya.
Lalu kuda itu menerjang maju"langsung ke arah seorang pria
yang tengah berdiri di tengah jalan.
Pria itu melambaikan tangannya dengan liar. Rambut hitamnya
melecut-lecut di sekitar wajahnya.
"Lari!" teriak Madeline kepada pria itu. "Lari!"
Pria itu membuka mulutnya, meneriakkan jeritan bisu.
Kami akan menabraknya! Bab 2 "AKU tidak bisa menahan kudanya, Miss," raung William.
"Lompat sebelum terlambat!"
Madeline meraih roknya dan melompat turun dari kereta.
Tubuhnya terempas ke tanah. Napasnya tersentak keluar dari paruparunya.
Kuda itu meringkik. Hewan itu kembali mengangkat kaki
depannya"kuku-kukunya melayang di atas kepala Madeline.
Aku akan hancur! Terinjak-injak hingga tewas!
Tidak! Madeline memaksa diri berguling menjauh. Sakit menyengat
seluruh tubuhnya. Debu mengepul memasuki hidung dan matanya,
mencekiknya. Pergi! katanya sendiri. Tapi ia tidak mampu. Telinganya berdenging. Ia mendengar ringkikan Buttercup dan
perintah William yang terlontar putus asa. Tapi keduanya terdengar
jauh. Begitu jauh. Darah dari luka di kening Madeline menetes ke matanya.
Pandangannya mengabur. Di mana orang yang tadi di jalan" pikir Madeline tiba-tiba. Aku
tidak bisa melihatnya! Aku tidak bisa melihatnya! Ia sudah hancur.
Madeline mengulurkan tangan untuk menghapus darah dari
matanya. Sakit menusuk-nusuk kepalanya.
Lalu... kegelapan. ****************** "Miss Simms. Miss Simms, kau bisa mendengar suaraku?"
Perlahan-lahan, Madeline tersadar kembali. Di mana aku"
pikirnya penasaran. Lalu ia teringat akan kecelakaannya.
Ia membuka mata dan mengerjapkannya karena cahaya
matahari yang terang benderang. Wajah seorang pemuda terfokus
dalam pandangannya. Pemuda itu bergerak lebih dekat, membungkuk
di atasnya. Matanya sebiru langit, pikir Madeline. Dan rambutnya
pirang keemasan. Dia seorang malaikat, pikirnya. Aku pasti ada di surga.
"Kau baik-baik saja?" tanya malaikat Madeline.
"Aku masih hidup?" tanyanya.
Senyuman pemuda itu merekah. "Tentu saja," jawabnya dengan
suara dalam, hangat. "Sekalipun aku khawatir kau menderita beberapa
memar. Kenapa kau mengira dirimu sudah mati?"
"Karena kau," jawab Madeline. "Kau begitu tampan, kukira kau
pasti malaikat." Pemuda itu tertawa. Madeline merasakan wajahnya memerah
hingga ke akar-akar rambutnya.
Kenapa aku berkata begitu" pikirnya. Wanita muda yang sopan
tidak menyemburkan kata-kata seperti itu begitu saja. Dia akan
mengira aku berusaha untuk menarik perhatiannya. Aku bahkan tidak
mengenalnya. "Maafkan aku, Sir," gumam Madeline. Ia berusaha untuk
duduk. Tindakan pelan itu membuat kepalanya berdenyut-denyut
menyakitkan. Ia mengernyit.
"Perlahan-lahan saja," kata pemuda itu. "Kepalamu terbentur
cukup keras." Ia memegang salah satu tangan Madeline dengan
lembut. Kulit pemuda itu terasa dingin dan licin" seperti kulit ular.
Madeline menarik tangannya.
"Maaf," kata pemuda itu. "Tidak ada waktu untuk...," ia tidak
melanjutkan kata-katanya dan menggeleng.
"Namaku Dr. Justin Fear," lanjutnya sesaat kemudian. "Aku
melihat kecelakaan yang kaualami dari rumahku. Aku datang untuk
membantu." "Terima kasih untuk keramahanmu," kata Madeline. Sekarang
ia merasa bodoh karena bereaksi begitu aneh terhadap sentuhan Justin.
Tangannya hanya dingin, kata Madeline pada dirinya sendiri. Tidak
ada alasan untuk menarik tangannya sendiri seperti itu.
"Aku ingat bahwa William mengatakan rumah cantik di atas
bukit itu milik Dr. Fear," lanjut Madeline, mencoba untuk
memperbaiki sikap kasarnya.
"Kau baik sekali memperhatikan rumahku," jawab Dr. Fear.
"Dan kau tidak perlu memanggilku Dr. Fear. Namaku Justin."
Madeline merasa bahwa menggunakan nama Justin terlalu
akrab. Mereka baru saja bertemu. Tapi ia tidak mampu menolak
permintaan pemuda itu. "Baiklah... Justin," jawabnya.
Kehangatan yang dilihatnya dalam pandangan Justin membuat
seluruh bulu kuduknya meremang. Perasaan itu hampir-hampir
membuatnya lupa bagaimana rasa kulit Justin.
"William!" jerit Madeline dengan tiba-tiba. Ia berjuang bangkit
berdiri. "Apa yang terjadi pada William" Dia baik-baik saja"
Bagaimana aku bisa melupakan dirinya?"
"William baik-baik saja," kata Justin kepadanya. "Dia ada di
sebelah sana, mencoba untuk menenangkan kudanya sampai kau
cukup sehat untuk melanjutkan perjalanan ke rumah sepupumu."
"Dan orang itu?" tanya Madeline. "Orang yang ada di jalan.
Apa dia terluka parah?"
Justin menatapnya, kerutan merusak wajahnya yang sempurna.
"Orang apa?" tanyanya.
"Yang ada di jalan," ulang Madeline. "Pria bertampang aneh
yang membuat kuda itu ketakutan."
"William," seru Justin. "Kenapa kau tidak mengatakan apa-apa
tentang orang di jalan?"
"Karena tidak ada orang di jalan, Sir," balas William.
Madeline merasa kedinginan. "Tadi ada seorang pria,
kuberitahu," katanya bersikeras. "Aku melihatnya."
Justin menatap Madeline dengan membisu. Keningnya berkerut
sedikit. Perut Madeline mulai bergolak. Dia mengira aku gila. Kalau
aku membayang-bayangkan, persis seperti yang dilakukan Mama.
Tapi tidak. Aku tidak sinting!
"Well, William," kata Justin sesaat kemudian. "Apa
pendapatmu?" William menjatuhkan kekang kudanya dan mendekati Justin
serta Madeline. "Maafkan aku, Miss," jawabnya. "Tapi aku tidak
melihat seorang pun di jalan."
William melirik Justin. Ia mempermainkan topinya dengan
gugup. "Kalau ada orang di depan kuda, aku pasti sudah melihatnya,"
lanjutnya. "Aku memandang lurus ke depan sepanjang waktu.
Sepanjang pengetahuanku, kudanya ketakutan begitu saja."
Madeline menggeleng. Tidak! Ini tidak mungkin terjadi. Tidak
padaku. Tidak secepat ini.
"William," katanya dengan napas tersentak. "Kau pasti
melihatnya." "Aku bersumpah padamu, Miss, jalan kosong sepanjang lereng
bukit," jawab William. "Tidak ada orang yang berdiri di jalan."
Bab 3 MADELINE berjuang untuk mengendalikan diri. "William,"
katanya lagi, mempertahankan suaranya agar tetap pelan dan tenang.
"Kau pasti sudah melihat orang itu. Dia berdiri tepat di depan kuda,
melambai-lambaikan lengannya. Kau pasti sudah melihatnya,
William." Suara Madeline mulai meninggi. "Kau pasti..."
"Madeline, sudah cukup!" kata Justin tegas. "Kepalamu
terbentur dan kau kebingungan."
Penjelasan Justin terasa masuk akal. Madeline merasakan
dirinya mulai santai. "Kurasa mungkin begitu," katanya menyetujui.
"Maafkan aku, William," katanya kemudian. "Aku yakin Dr.
Fear benar." William menggeser-geser kakinya dengan kikuk. "Tidak
penting bagiku, Miss," katanya. "Tapi sepupumu, mereka akan
khawatir. Kalau kau siap, sebaiknya kuantar kau pulang sekarang."
Pulang! pikir Madeline. Betapa menyenangkan kedengarannya.
"Terima kasih, William," jawabnya singkat. "Tolong antar aku
pulang." William membantu Madeline naik kembali ke kereta, lalu
duduk di kursi di sampingnya. Madeline melirik Buttercup dengan
gugup, tapi kuda itu tampak benar-benar tenang.
Justin duduk di sisi lain Madeline. "Aku ikut," katanya. "Aku
ingin memastikan kau tiba di rumah sepupumu dalam keadaan selamat
dan sehat walafiat."
"Rumah sepupumu tepat di balik bukit," kata William.
Saat rumah itu terlihat, Madeline merasa agak kecewa. Ia telah
membayangkan sebuah rumah yang anggun, dengan lahan dan kebun
yang dirawat dengan baik"seperti rumah Dr. Fear.
Rumah sepupunya tingginya beberapa tingkat, dengan menaramenara yang aneh mencuat di sana-sini. Serambinya melesak dan
atapnya tampak memerlukan perbaikan. Cat kelabu yang terkelupas
dan daun jendela yang rusak menambah kereyotan penampilan rumah
itu. Beberapa batang pohon yang tinggi dan gundul tumbuh di
halaman depannya. Madeline memandang sekitarnya mencari-cari
kebun bunga, tapi tidak melihat satu pun.
Sepupuku pasti tidak sekaya dugaanku, pikir Madeline tersadar.
Aku tak boleh menilai mereka sekeras ini hanya karena mereka tidak
mampu membiayai perbaikan-perbaikan rumah sebesar dan setua ini.
Begitu kereta berhenti, seorang wanita gemuk berambut pirang
berlari menyeberangi serambi yang lebar dan menuruni tangganya.
Madeline menebak wanita itu kurang-lebih sebaya dengan ibunya saat
ibunya meninggal. Wanita itu memandang luka di wajah Madeline dan menjerit
singkat. "Ya ampun! Apa yang terjadi?" serunya.
Seorang pria jangkung bergegas mendekati wanita itu dan
memeluk bahunya. Wajahnya yang kurus dan rambut hitamnya yang
dihiasi uban membuat dia tampak elegan, pikir Madeline.
"Tenang, Deborah," kata pria itu. "Justin bersamanya, jadi
segalanya pasti baik-baik saja." Ia menarik wanita pirang itu lebih
dekat kepadanya. "Hanya luka kecil," kata Madeline, berusaha untuk meyakinkan
mereka sementara Justin membantunya turun dari kereta. "Maaf sudah
menyebabkan kalian khawatir. Aku..."
"Jangan konyol, Sayang," sela wanita berambut pirang itu.
"Kami senang kau tiba di sini. Aku sepupumu Deborah, tentu saja,
dan ini Marcus." Deborah bergegas mendekati Madeline. "Kau yakin kau baikbaik saja" Apa yang terjadi?"
Madeline bahagia melihat keprihatinan sepupunya. Sudah lama
sekali tidak ada orang yang begitu memperhatikan dirinya.
"Kudamu ketakutan oleh bayangan di jalan," jawab Justin.
"Miss Simms terpaksa melompat dari kereta."
"Oh, Sayang." Deborah mendesah. Ia memeluk Madeline
dengan hangat. "Benar-benar kejadian yang mengerikan, dan justru
pada hari pertamamu di Shadowbrook."
Dia ramah sekali, pikir Madeline, sementara Deborah
membimbingnya ke dalam rumah. Semua orang di sini ramah sekali.
Bagian dalam rumah Simms gelap dan muram. Sekalipun
matahari bersinar cerah di luar, seluruh tirai yang ada tertutup rapat.
Rasanya seperti berada di dalam makam. Kenapa mereka tidak
membiarkan cahaya masuk ke dalam" pikir Madeline penasaran.
Deborah menariknya ke sebuah sofa di ruang tamu. "Kau pasti
sangat kelelahan. Duduklah di sini," katanya kepada Madeline. Debu
tipis mengepul saat Madeline duduk di sofa.
Pasti itu sebabnya tirai-tirainya ditutup, pikir Madeline. Agar
tidak ada yang mengetahui betapa tidak terawatnya rumah ini.
Sungguh baik sekali mereka mau menerimaku sedangkan mereka
sendiri tidak memiliki uang!
Tangan Deborah meraba-raba wajahnya. "Begitu Justin selesai
merawat lukamu, kau harus langsung tidur."
"Terima kasih," bisik Madeline. "Aku senang...," ia terdiam,
tidak yakin bagaimana menyebut keluarga barunya sekarang sesudah
mereka berhadap-hadapan. "Mrs. Simms," katanya.
Deborah tertawa. "Oh, jangan memanggilku begitu," katanya
memprotes. "Deborah kedengarannya jauh lebih nyaman. Dan Marcus
senang dipanggil Marcus, benar kan, Sayang?"
Marcus Simms mengangguk saat ia masuk ke dalam ruangan
bersama Justin. Dia jarang berbicara, pikir Madeline. Dan Deborah tak
pernah berhenti berceloteh. Kurasa dengan begitu mereka pasangan
yang serasi! "Aku tahu bahwa kita semua akan menjadi teman yang hebat,"
kata Deborah. "Marcus dan aku akan merawatmu dengan baik,
Sayang. Kau sangat penting bagi kami. Benar, Marcus?"
"Jelas," kata Marcus menyetujui, berbicara juga pada akhirnya.
"Dan sekalipun memar, aku bisa melihat bahwa dia sangat cantik. Kau
setuju, Justin?" "Tentu saja," jawab Justin.
Madeline merasa wajahnya memerah mendengar kehangatan
suara Justin. Justin menarik sebuah kursi ke samping sofa dan duduk. Ia
membungkuk dan tersenyum kepada Madeline. "Bengkak dan memar
sedikit tidak mampu mengubahnya," tambahnya.
Madeline merasakan pipinya semakin panas. Ada apa
denganku" pikirnya. Wajahku jarang sekali memerah.
"Sekarang, coba kuperiksa dulu kepalamu," lanjut Justin,
nadanya tiba-tiba berubah serius. "Aku membutuhkan air hangat,
Deborah." "Tentu saja, Justin. Akan kuambilkan segera." Ia meninggalkan
ruangan untuk memanggil pelayan. Sesaat kemudian, ia telah kembali.
"Pelayan akan membawakan air hangat sebentar lagi," kata
Deborah. Terdengar seseorang mengetuk pintu ruang gambar. "Masuk,"
kata Marcus. Pintunya membuka dan seorang gadis pelayan muda melangkah
masuk. Madeline menatapnya, terpesona oleh kecantikannya. Rambut
keriting kemerahan yang lebat menutupi kepalanya bagai lingkaran
orang suci. Kulitnya bersih dan seputih porselen. Dia mengingatkan
Madeline akan boneka keramik yang cantik.
Pelayan itu membawa sebuah mangkuk berisi air yang masih
mengepulkan uap. Ia mengawasinya dengan hati-hati, memastikannya
tidak tumpah. "Letakkan airnya di sini, Molly," kata Justin.
Mata hijau gadis pelayan itu tersentak menatap Justin.
Tangannya mulai gemetar begitu hebat sehingga airnya tumpah keluar
dari mangkuknya.

Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dr. Fear," bisiknya, "Dr. Fear."
"Bawa airnya kemari," kata Justin sekali lagi.
Kaki Molly tetap bergeming.
"Lakukan perintahku, Molly," kata Justin lembut tapi bernada
memerintah. Molly terhuyung-huyung maju. Ia menggeleng-geleng seakanakan kesakitan. Tapi tatapannya terus kembali ke wajah Justin.
"Ada apa?" tanya Madeline dengan nada kebingungan. "Apa
airnya terlalu panas" Apa tanganmu terkena airnya?"
Molly berhenti, menggigil, dan menunduk.
"Aku tidak mau," jeritnya. "Kau jahat dan aku tidak mau
mendekatimu. Kau tidak bisa memaksaku!"
Bab 4 "TENANG, Molly," kata Justin. "Jangan bersikap bodoh. Kau
tahu bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan."
Ia beranjak bangkit dan maju selangkah mendekati gadis itu.
Molly melompat menjauhinya.
Ada apa dengannya" pikir Madeline.
Molly menabrak sebuah lemari pendek. Mangkuk airnya
terlepas. Mangkuk itu jatuh ke lantai dan pecah berantakan menjadi
lusinan kepingan kecil. Air mengalir membasahi lantai yang hitam.
"Sekarang lihat apa yang sudah kaulakukan, Molly," kata Justin
memarahi. Molly menutupi wajahnya dengan celemek dan berlari keluar
dari pintu. "Mollly! Kembali kemari sekarang juga dan bersihkan ini!"
teriak Deborah. Satu-satunya jawaban yang terdengar hanyalah isakan histeris
Molly yang menggema di lorong.
"Aku benar-benar harus meminta maaf, Justin," kata Deborah,
sambil berbalik kepadanya. "Gadis itu begitu tegang, tidak layak
untuk dipikirkan. Aku sendiri yang akan mengambil airnya."
Justin menggeleng dan mendesah. "Kukira Molly sudah
berhasil mengatasi ketakutannya padaku," katanya kepada Madeline
sesudah ia kembali ke tempatnya di samping Madeline. "Tapi
sekarang bisa kulihat bahwa aku keliru. Kakak Molly mendapat
kecelakaan belum lama ini," kata Justin menjelaskan. "Tidak ada yang
bisa kulakukan untuk menyelamatkannya. Tapi aku khawatir Molly
percaya bahwa kematian kakaknya merupakan kesalahanku."
Madeline merasa simpati terhadapnya. "Kasihan sekali kau.
Rasanya pasti tidak menyenangkan untuk kehilangan pasien lalu
disalahkan." Ekspresi wajah Justin menghangat. "Memang begitu," katanya.
"Sesaat tadi aku takut bahwa reaksi Molly akan membuatmu
kebingungan. Tapi seharusnya aku mengetahui bahwa kau akan
mengerti." Madeline menunduk. Ia tiba-tiba merasa malu. Kenapa Justin
memedulikan pendapatnya" Mereka hampir-hampir tidak saling
mengenal. "Ini airnya," kata Deborah, muncul kembali di ruang tamu
dalam sekejap mata. "Terima kasih, Deborah," kata Justin. "Tolong letakkan di
meja." Deborah memenuhi permintaannya. "Sekarang tolong rawat
sepupuku baik-baik," katanya dengan nada menggoda. "Kami tidak
ingin merusak wajahnya yang cantik."
"Jangan khawatir. Aku juga tidak ingin," jawab Justin.
Deborah menjauh, mendekati Marcus dan memeluk
pinggangnya. Justin membasahi saputangannya dengan air hangat.
"Madeline?" katanya lembut.
Madeline menengadah memandangnya.
"Aku akan menyentuhmu," kata Justin menjelaskan, suaranya
pelan. Begitu pelan sehingga Madeline merasa Deborah atau Marcus
tidak akan mendengarnya. Tanpa berniat untuk itu, Madeline menggigil. Ia masih
mengingat bagaimana dingin dan licinnya tangan Justin.
Justin mendesah. "Pemikiran aku menyentuhmu membuatmu
tidak enak, bukan?" "Aku tidak menginginkannya begitu, Justin," bisik Madeline.
"Sejujurnya?" jawab Justin. "Mungkin akan lebih mudah kalau
kujelaskan. Aku sudah banyak bepergian dalam rangka pendidikan
medisku. Dalam salah satu perjalanan itu, aku terjangkit penyakit
yang mempengaruhi tanganku. Sentuhanku menjadi agak"tidak
biasa. Tidak setiap orang mampu menerimanya."
Madeline merasa tidak enak. Dia sudah begitu ramah
terhadapku, begitu baik. Dan sikapku justru sangat tidak ramah,
pikirnya. "Aku tidak keberatan kau menyentuhku, Justin," katanya.
"Sungguh?" tanya Justin. "Kau benar-benar serius, Madeline?"
Madeline mengangguk. Justin mengelus pipinya dengan satu
jari. Madeline membayangkan seekor ular yang menjijikkan
merayapi dirinya. Ia tidak mampu menahannya.
Ia harus mengerahkan segenap kekuatannya untuk tidak
menjerit dan mundur menjauhi Justin. Tapi ia berhasil mengendalikan
diri. Itu bukan ular, kata Madeline pada diri sendiri. Hanya
seseorang yang ramah dan baik. Seseorang yang hanya ingin
membantuku. Justin. "Madeline," bisik Justin dengan suara serak. "Tak seorang pun
yang pernah mengizinkanku berbuat begini sejak aku terjangkit. Tak
bisa kukatakan betapa berartinya bagiku. Aku..."
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, dan melirik ke arah Deborah
dan Marcus. Madeline hampir-hampir melupakan bahwa mereka
berdua masih ada dalam ruangan.
Justin bergegas mengusap wajah Madeline dan memeriksa luka
serta memarnya. Jemarinya lembut dan ahli.
Madeline merasakan dirinya semakin santai. Ia yakin bahwa
bila diberi kesempatan yang cukup, ia bahkan takkan menyadari
keanehan sentuhan Justin.
Mungkin aku tidak harus berakhir seperti Mama. Kehidupanku
mungkin akan berakhir dengan bahagia, pikir Madeline.
"Selesai," kata Justin dengan lembut. "Hanya beberapa goresan
dan memar yang agak besar, tidak lebih. Kau masih akan tetap
secantik biasanya. Tapi berjanjilah padaku kau akan beristirahat."
Madeline tersenyum kepadanya. "Aku berjanji," jawabnya.
Tanpa memikirkannya terlebih dulu, ia mengulurkan tangannya.
Justin menunduk menatapnya, shock. Lalu ia meraih tangan
Madeline dengan penuh semangat. Ia membungkuk dan menempelkan
bibirnya ke buku-buku jari Madeline.
Madeline merasakan hangatnya bibir Justin merayapi
lengannya. "Ayo, Sayang," kata Deborah, sambil mendekatinya. "Kau
harus ke kamarmu di lantai atas. Izinkan dia pergi sekarang, Justin,"
tambahnya dengan sikap main-main, sewaktu ia menyadari bahwa
Justin masih memegang tangan Madeline. "Kau bisa menemuinya
besok." Kali ini, Madeline senang saat melihat wajah Justin memerah.
Lalu pria itu tertawa dan melepaskan tangannya.
"Tentu saja. Jaga dia baik-baik demi aku sampai besok,"
katanya. "Kau tahu bahwa itu yang akan kami lakukan," kata Marcus
berjanji. Madeline membiarkan Deborah membantunya bangkit berdiri
dari sofa dan membimbingnya ke ambang pintu. Tepat sebelum
mereka meninggalkan ruang tamu, Madeline berbalik. "Terima kasih
untuk kebaikanmu," katanya. "Aku tidak akan pernah melupakannya."
Senyum lebar merekah di wajah Justin.
******************* Madeline tertidur dengan nyenyaknya. Ia terjaga mendengar
suara gumaman pelan dalam kamarnya. Mula-mula ia mengira masih
bermimpi. Lalu ia menyadari bahwa suara itu suara Deborah dan
Marcus. Mungkin mereka hanya memeriksaku karena jatuh tadi, pikir
Madeline mencari alasan. Tapi sesuatu dalam nada suara mereka
mengganggunya. Ia tetap memejamkan mata dan mendengarkan.
"Kita harus menjaganya dengan sangat hati-hati mulai sekarang,
kau tahu bukan?" Madeline mendengar Deborah menggumam.
Madeline merasa detak jantungnya bertambah keras.
"Tentu saja," jawab Marcus. "Tapi tidak akan terjadi apa-apa
sementara dia tidur di dalam rumah kita. Mungkin sebaiknya kita
jangan mengganggunya."
"Entahlah," gumam Deborah. "Kita tidak boleh membiarkan
terjadi apa pun. Kau mendengar apa yang dikatakan William. Dia
mengira sudah melihat seseorang di jalan."
"Tapi Justin berhasil meyakinkan sebaliknya," balas Marcus.
"Tenang, Deborah. Tidak akan terjadi apa-apa sekarang sesudah dia
tinggal bersama kita. Segalanya akan berjalan dengan baik."
Madeline mendengar deritan pintu kayu berat saat dibuka dan
ditutup. Lalu ia mendengar suara langkah-langkah kaki mereka
menjauh di lorong. Ia memaksa diri untuk tetap berbaring tidak bergerak dan
menghitung hingga seratus sebelum membuka matanya dan beranjak
duduk. Jantungnya masih berdebar-debar.
Deborah dan Marcus sudah berbicara dengan William. Mereka
tahu bahwa Madeline menganggap sudah melihat seseorang di jalan.
Apa itu sebabnya hingga mereka mengira perlu mengawasi dirinya"
Apa mereka mengira dirinya sinting, seperti ibunya"
Tenang. Ambil napas dalam-dalam. Deborah dan Marcus tidak
tahu tentang Mama, kata Madeline sendiri. Mereka mengira sama
seperti orang lainnya"bahwa Mama dan Papa meninggal dalam
kecelakaan yang tragis. Tak seorang pun yang mengetahui kebenaran tentang diriku.
Tidak seorang pun. Dan takkan ada orang lain lagi yang mengetahuinya, pikir
Madeline. Karena aku tidak seperti Mama. Aku takkan berubah
sinting. Aku hanya melihat bayangan di jalan, sama seperti kata
Justin. Madeline menyingkap selimutnya. Ia menyeberangi ruangan
menuju ke tempat cuci muka. Ia mengisi baskom dengan air dari guci,
lalu mencuci mukanya. Airnya terasa sejuk dan menyegarkan di kulitnya. Ia kembali
membasahi handuknya dan mengusap pergelangan dan punggung
lehernya. Mama dan Papa yang malang. Aku tidak akan memikirkan
mereka lagi, katanya berjanji sendiri. Ia memejamkan mata dan
menekankan handuk itu ke wajahnya.
Aku sudah memiliki rumah baru, kehidupan baru, pikirnya. Aku
harus memusatkan perhatian pada saat ini. Pada Shadowbrook.
Madeline menurunkan handuk itu dari wajahnya. Ia
memandang pantulan wajahnya di cermin.
Tidak! Bab 5 PRIA aneh yang dilihatnya di jalan telah berdiri di
belakangnya! Madeline mencoba untuk menjerit. Tapi tenggorokannya
tercekat. Pria itu maju selangkah mendekatinya.
Madeline berputar balik. "Siapa kau?" jeritnya. "Beraninya kau
datang kemari" Bagaimana caramu masuk ke kamarku?"
Pria itu tidak menjawab. Ia menggeleng-geleng. Rambutnya
bergumpal-gumpal menjuntai di sekitar wajahnya. Matanya tertutup
bayang-bayang. Dan kemeja putihnya... bagian depan kemeja putihnya basah
kuyup oleh darah. Begitu pula mantelnya.
Madeline melangkah mundur"dan menghantam meja rias, ia
terjebak. Satu-satunya kesempatanku hanyalah melawan, pikirnya. Aku
tak bisa membiarkan dia melihat betapa ketakutan diriku.
"Apa maumu?" tanya Madeline.
Pria itu mengangkat satu tangan dan menunjuk lurus
kepadanya. Madeline merasakan bulu kuduknya meremang.
Aku. Dia datang untuk diriku!
Pria itu bergegas mendekatinya.
Madeline memejamkan mata. Ia mengangkat kedua lengannya
ke kepala untuk melindungi diri.
Ia merasakan embusan udara sedingin es menerobos dirinya.
Tapi tidak seorang pun yang menyentuhnya.
Madeline menurunkan lengannya. Ia membuka mata dan
memandang sekeliling ruangan.
Pria itu telah menghilang.
Apa yang terjadi" pikir Madeline. Dia berlari menembus diriku!
Kemarahan membara dalam diri Madeline. Dia memainkan
tipuan yang jahat. Dia ingin membuatku ketakutan.
Madeline melesat ke pintu kamar tidur dan membukanya. Aku
takkan membiarkannya lolos begitu saja! pikirnya.
Madeline melesat ke lorong. Ia melihat warna putih sekilas
menghilang di balik tikungan di sebelah kanannya.
Itu dia! Ia mengangkat roknya dan mengejar pria itu. Ia
berbelok di tikungan"dan menghadapi lorong yang kosong.
Tapi ia melihat warna putih yang lain sekilas.
Madeline berlari menyusuri lorong sempit itu, terus-menerus
mengikuti belokan-belokan. Selalu terlambat sesaat untuk menangkap
pria itu. Tenggorokannya terasa seperti terbakar saat ia terengah-engah.
Jangan berhenti, perintahnya pada diri sendiri. Kau tidak bisa berhenti
sekarang. Madeline melihat warna putih sekali lagi dan mengejarnya. Ia
melintasi tikungan yang lain dan seketika menghentikan langkahnya.
Jalan buntu. Madeline menarik salah satu pintu yang berjajar di kedua sisi
lorong. Terkunci. Ia mencoba setiap pintu yang ada. Semuanya
terkunci. EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Tidak! pikir Madeline. Ini tidak mungkin terjadi. Aku tahu pria
itu berbelok masuk ke lorong ini.
Sekarang aku takkan pernah merasa aman di sini. Tak pernah
tahu kapan pria itu akan muncul kembali. Tak pernah tahu apa yang
diinginkannya. Dan tak ada seorang pun yang mempercayaiku kalau aku
menceritakan kejadian ini. Dulu pun tidak ada. Aku seorang diri,
tanpa ada seorang pun yang membantuku. Madeline menyandarkan
kepalanya ke dinding. Tak... sret... Tak... sret... Tak...

Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa itu" Langkah kaki. Di belakangku. Dari lorong"
Tak... sret... Tak... sret... Tak... Madeline mendengar suara langkah kaki itu semakin dekat dan
semakin dekat. Lalu ia mendengar suara seseorang yang aneh.
"Tobias," kata suara yang menakutkan itu. "Tobiiiiaaas."
Madeline merasakan hawa dingin merayapi tulang
punggungnya. Ia mendekap mulutnya agar tidak menjerit.
Sesosok pucat muncul di ujung lorong.
Bukan pria yang tadi. Tapi seorang wanita tua. Seorang wanita tua yang mengenakan
pakaian putih. Tak... sret... Tak... sret... Tak... Wanita itu melangkah memasuki lorong, mendekati Madeline.
Napas Madeline tersentak.
Wanita tua itu mengenakan pakaian pengantin yang telah usang.
Pakaian itu telah tercabik-cabik dan menjuntai di tubuhnya yang kurus
kering. Cadar tipisnya telah robek-robek dan diperbaiki dengan
benang merah darah yang dijahit zigzag.
Tampak seperti bekas luka, pikir Madeline. Bekas luka pada
seorang hantu. Tak... Wanita tua itu melangkah maju.
Sret... Ia menyeret ekor gaun pengantinnya yang telah tercabik-cabik
di belakangnya. Tak... sret... Ia hampir tiba di depan Madeline. Sekarang Madeline bisa
melihat mata biru wanita itu berkilau-kilau di balik cadar tambal
sulamnya. Ia bisa merasakan napas wanita itu yang panas dan masam
mengembus wajahnya. "Kau sudah bertemu Tobiasku, bukan?" bisik wanita tua itu. Ia
mengulurkan tangan dan meraih lengan Madeline. Jemarinya yang
mirip cakar menancap ke kulit Madeline.
Wanita tua itu mulai mengguncang Madeline. Dan
mengguncangnya. Dan mengguncangnya.
Kepala Madeline menghantam tembok dengan suara keras.
Bintik-bintik sinar menari-nari di depan matanya.
"Tobiasku," ulang wanita itu. Ia mengguncang Madeline seiring
dengan setiap katanya. "Kau sudah bertemu dengan Tobiasku, bukan"
Benar, bukan" Di mana dia" Di mana Tobiasku?"
Tobias" Siapa yang dimaksudkan wanita tua ini" pikir
Madeline. Siapa Tobias"
BAGIAN DUA Tobias Bab 6 Shadowbrook, New York, 1793 TOBIAS MORGAN membuka buku hariannya dan
mencelupkan penanya ke tempat tinta.
Hari ini, sudah lebih dari setahun, Justin kembali dari
perjalanannya ke padang pasir, tulis Tobias. Aku hampir-hampir tidak
mengenalinya. Wajahnya terbakar matahari dan angin. Bibirnya
begitu kering hingga mengucurkan darah. Dan matanya... matanya
liar. Bagai mata orang sinting.
Dia membawa kembali dokumen-dokumen yang dipercayainya
sebagai kunci proyek kami. Dia percaya kami hampir meraih tujuan
kami. Aku harus mengakui bahwa aku tidak yakin hari ini akan
pernah datang. Dan ada saatnya aku berharap hari ini tidak usah
datang sama sekali. Karena mungkin pengetahuan yang dicari Justin
dan aku seharusnya bukan menjadi milik manusia fana....
Justin memintaku mulai menerjemahkan dokumen-dokumen itu
secepat mungkin. Aku mulai melakukannya begitu dia meninggalkan
diriku. Tobias berhenti sejenak untuk menghapus titik-titik keringat
dari keningnya. Saat itu telah larut, hampir tiba waktunya bagi dirinya
untuk meninggalkan laboratorium medisnya hari ini dan naik untuk
makan malam. Tapi ia ingin menyelesaikan penulisan buku hariannya
lebih dulu. Buku harian bersampul kulit yang cantik itu hadiah dari wanita
yang dicintainya. Honoria Bancroft, tunangannya.
Tobias sudah berjanji kepada Honoria akan menuliskan
harapan-harapan dan mimpi-mimpinya yang paling rahasia ke dalam
buku harian itu. Dengan begitu, kalau mereka sampai terpisah,
Honoria bisa menyimpan buku harian itu, dan dia akan merasa dekat
dengan Tobias. Tapi malam ini Tobias menemui kesulitan untuk menuliskan
pemikirannya. Ia tidak yakin apakah ia ingin Honoria mengetahui
pekerjaan yang dilakukannya untuk Justin Fear.
Tidak ada salahnya, tidak benar-benar salah. Tapi tidak semua
orang akan memahaminya, pikir Tobias.
Tobias hampir yakin Honoria takkan memahaminya. Hampir
yakin bahwa dia tidak akan menyetujuinya. Honoria ingin Tobias
berhenti bekerja untuk Justin.
Begitu mereka menikah, Honoria ingin Tobias membuka
praktek medisnya sendiri di tempat lain. Ia ingin mereka
meninggalkan Shadowbrook.
Kalau bukan karena Justin, aku tidak akan menjadi dokter, pikir
Tobias. Dia membiayai seluruh pendidikan medisku karena dia ingin
kami bekerja bersama-sama. Dia membelikan rumah yang cantik ini,
tepat di samping ru-mahnya sendiri karena dia ingin aku tinggal di
dekatnya. Dia ingin aku menjadi rekannya, selain sebagai sahabatnya.
Bagaimana caraku memberitahu bahwa aku tak ingin kami
bekerja sama lagi" Aku tak bisa membayar kebaikannya dengan
mengecewakannya. Tapi tetap saja terasa sulit bagi Tobias untuk menuliskan apa
yang tengah dilakukannya ber-sama Justin. Pendorong utama di balik
kegiatan Justin. Pikirkan semua kebaikan yang bisa kami lakukan sesudah
berhasil, kata Tobias sendiri.
Ia mencelupkan pena ke dalam tempat tinta. Ujung pena bulu
itu menggores halaman saat ia melanjutkan penulisan buku hariannya.
Lebih baik Honoria mengetahui kebenarannya suatu hari nanti,
pikir Tobias. Aku tak ingin ada rahasia di antara kami berdua. Aku
ingin dia mengetahui apa yang sedang Justin dan aku usahakan.
Aku merasa hampir yakin bahwa dokumen-dokumen yang akan
kuterjemahkan berisi kunci untuk membuka rahasia hidup abadi.
Embusan angin dingin memenuhi ruangan. Tobias gemetar. Api
lilinnya bergoyang-goyang. Dokumen-dokumen kuno yang dibawa
Justin dari padang pasir bergeser dan bergemerisik.
Aneh, pikir Tobias. Di laboratorium bawah tanah ini tak pernah
ada angin. Justin menciptakan laboratorium itu khusus untuk pekerjaan
yang dilakukannya bersama-sama dengan Tobias. Pekerjaan itu akan
memberikan rahasia kehidupan abadi bagi mereka. Sebuah lorong
rahasia menghubungkan rumah Justin dengan laboratorium itu, lalu ke
rumah Tobias. Lorong itu berpintu di kamar tidur Tobias. Para pelayannya
tidak mengetahui akan hal itu. Bukannya Tobias memiliki banyak
pelayan. Ia terlalu miskin. Kalau bukan karena Justin, Tobias takkan
mampu tinggal di Shadowbrook.
Justin akan marah kalau tahu bahwa aku memberitahu Honoria
mengenai lorong dan laboratorium rahasia ini, pikir Tobias. Tapi kami
akan menikah. Tidak lama lagi kami akan menjadi suami-istri. Aku
tak bisa menyimpan rahasia dari Honoria.
"Tobias!" seru seseorang.
Tobias menengadah dan melihat Honoria masuk ke dalam
laboratorium. Ia bergegas mendekati Tobias dan menghambur ke
dalam pelukannya. "Kau gemetar," seru Tobias. "Ada apa?"
"Oh, Tobias," kata Honoria, sambil membenamkan wajahnya ke
dada Tobias. "Bagaimana kau bisa tahan berjalan melewati lorong itu
hari demi hari" Suasananya gelap dan menakutkan. Dan aku
mendengar suara tikus-tikus berlarian di sekitarku."
"Itu hanya bayanganmu saja, Honoria," hibur Tobias. "Kuakui
bahwa lorong itu perlu dibersihkan, tapi di sini hanya ada aku dan aku
ada pekerjaan yang lebih penting. Lorongnya tidak seburuk itu, begitu
kau sudah terbiasa."
"Aku takkan pernah terbiasa," jerit Honoria. Ia menengadah dan
menatap Tobias. "Tidak akan pernah. Oh, Tobias, berjanjilah bahwa
sesudah kita menikah, kau tidak akan melakukan pekerjaan ini lebih
lama lagi. Berjanjilah kita akan pergi dari tempat ini."
Tobias merasa hatinya bagai diremas saat menunduk
memandang Honoria. Dia begitu cantik. Bagaimana aku bisa menolak permintaannya"
Rambut Honoria warnanya sama seperti cahaya matahari.
Matanya seindah langit biru. Dia selalu mengingatkan Tobias akan
pagi musim panas yang terang dan bersih.
Aku begitu beruntung. Begitu beruntung dia mencintaiku.
Begitu beruntung dia setuju untuk menikah denganku.
Tapi dalam hatinya, Tobias menyimpan rahasia besar.
Ketakutan bahwa suatu hari Honoria akan berubah pikiran tentang
dirinya. Honoria dan Justin bisa menjadi pasangan yang serasi. Tobias
tahu bahwa ketampanannya masih jauh tertinggal dibandingkan Justin.
Rambut dan matanya hanyalah cokelat biasa. Justin berambut pirang
dan bermata biru, sesuai dengan rambut dan mata Honoria.
Honoria tampaknya tak pernah tertarik pada Justin. Ia malah
tampak tidak menyukai pria itu. Tapi Tobias tidak bisa menghentikan
kekhawatirannya kalau suatu hari nanti Honoria akan menyadari
bahwa Justin yang kaya dan tampan bisa menjadi suami yang jauh
lebih baik. Apa yang dilihatnya dalam diriku" Dibandingkan dengan Justin,
aku bukan apa-apa. Aku ini biasa saja dan miskin.
Oh, Honoria, pikir Tobias. Jangan pernah meninggalkan diriku.
Aku sangat mencintaimu! Tapi tidak peduli seberapa besar ia mencintai Honoria, Tobias
tak bisa mengkhianati sahabatnya. "Aku tak bisa pergi dari sini
sebelum pekerjaanku bersama Justin selesai," kata Tobias perlahanlahan. "Aku berutang segalanya padanya, Honoria. Tolong, cobalah
untuk mengerti." Honoria menyentakkan diri dari pelukan Tobias dan berjalan
mondar-mandir dalam laboratorium. "Aku mengerti kau lebih
memperhatikan Justin daripada diriku," sergahnya. "Aku akan menjadi
istrimu, Tobias. Apa itu tidak berarti apa-apa bagimu" Aku hanya
menginginkan yang terbaik bagi kita."
"Tapi aku juga menginginkan begitu," kata Tobias. "Begitu aku
menyelesaikan pekerjaanku untuk Justin, kita akan pergi bersamasama. Aku berjanji. Tapi aku tak bisa pergi sebelum itu."
Ia kembali menarik Honoria ke dalam pelukannya.
"Oh, Tobias," bisik Honoria. Ia memeluk Tobias erat-erat. "Aku
takut sekali." "Takut?" kata Tobias. "Terhadap apa?"
"Terhadap Justin," kata Honoria mengaku. "Aku melihatnya
sewaktu dia pulang hari ini. Dia berkuda melewatiku sewaktu aku
dalam perjalanan ke rumahmu. Dia tampak berbeda, entah bagaimana.
Pandangannya begitu aneh, Tobias."
Gadis itu menggigil. "Aku takut Justin berniat untuk
menahanmu di sini selama-lamanya. Takut dia tidak akan membiarkan
dirimu pergi. Aku sudah memiliki uang mas kawinku. Aku ingin kita
menggunakannya untuk memulai kehidupan baru bersama. Aku ingin
kita pergi sekarang juga!"
"Honoria, aku baru saja menjelaskan bahwa aku tak bisa pergi
sekarang," jawab Tobias. "Dan kau seharusnya tidak perlu
mengkhawatirkan Justin. Kuakui bahwa terkadang dia agak tegang.
Tapi kau tidak bisa membiarkan imajinasimu berkembang ke manamana."
Sebagian dari diri Tobias senang akan perasaan Honoria
terhadap Justin. Kalau Honoria takut terhadap Justin, dia tidak akan
pernah meninggalkan Tobias demi sahabatnya itu.
Ya, Justin memiliki segalanya. Kecuali Honoria, pikir Tobias.
Dia milikku. Dan dia akan selalu menjadi milikku.
Percayalah, kata Tobias pada dirinya sendiri. Percayalah.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan," gumamnya. "Aku akan
menjagamu. Aku mencintaimu, Honoria."
"Oh, Tobias," bisik Honoria. "Aku juga mencintaimu." Ia
menengadahkan kepalanya, siap untuk menerima ciuman.
Tobias menunduk menatap mata biru kekasihnya yang cantik.
Ia menunduk hingga bibirnya hampir menyentuh bibir Honoria. Ia
tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukannya. Tidak sopan baginya
untuk mencium Honoria. Bahkan tidak sopan bagi mereka untuk
berdua saja tanpa ada pendamping.
Tapi bibir Honoria terasa begitu menyenangkan.
Bibir Honoria membuka. Ia menjerit melengking. Bab 7 TOBIAS mendorong Honoria ke belakangnya dan
membungkuk dalam posisi siap untuk berkelahi. Ia bisa melihat
sesosok gelap yang berdiri dalam keremangan di pintu masuk lorong.
Itu lorong dari rumah Justin! Pasti ada kejadian yang buruk.
Tidak ada orang yang pernah menggunakan lorong itu kecuali dirinya.
Tobias bisa merasakan detak jantungnya bertambah cepat saat
adrenalin mengalir di tubuhnya.
"Maaf kalau aku sudah mengganggu," kata Justin sinis.
Justin! Hanya Justin. "Kenapa kau tidak langsung mengatakan bahwa itu dirimu,"
sergah Tobias. "Aku bisa melukaimu!"
"Aku tahu kau tidak akan melukai diriku, Tobias," kata Justin.
"Kau tidak bisa melukaiku, sekalipun sudah berusaha."
Justin melangkah melewati Tobias. "Honoria," katanya. "Aku
tidak menduga akan bertemu denganmu di sini."
Dia marah, pikir Tobias. Marah karena aku sudah melanggar
janjiku dan menceritakan tentang laboratorium ini kepada Honoria.
"Aku mengikuti Tobias sewaktu dia tidak memperhatikan," kata
Honoria. "Kau tidak boleh menyalahkan dirinya, Justin. Itu bukan
kesalahannya." "Itu tidak benar...," kata Tobias.
Justin tertawa. "Tentu saja aku tidak akan menyalahkan
Tobias," katanya. "Bagaimana aku bisa menyalahkan dirinya hanya
karena ingin bersamamu" Kalau kau tunanganku, aku tidak akan
membiarkanmu lepas dari pandanganku, Honoria."
Justin maju selangkah mendekati Honoria. Tobias mengepalkan
kedua tangannya. Dia selalu menggoda Honoria, pikirnya. Selalu berusaha
merebutnya dariku. Honoria mundur selangkah dengan cepat. Tobias


Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengembuskan napas lega. Dia bahkan tidak ingin berada di dekat Justin, pikir Tobias
mengingatkan dirinya sendiri. Aku yang diinginkannya. Honoria
mencintaiku. "Aku mau ke atas untuk menyiapkan makan malammu,
Tobias," kata Honoria, berusaha untuk menghindari Justin. "Kau akan
naik sebentar lagi, bukan?"
"Begitu Tobias dan aku menyelesaikan diskusi kecil ini," jawab
Justin sebelum Tobias sempat mengatakan sesuatu.
Tobias merasakan kemarahannya memuncak. Ia menekannya
kembali. Aku hanya perlu menerjemahkan dokumen-dokumen ini, pikir
Tobias. Lalu Honoria dan aku bisa menikah dan pergi bersama-sama.
Kami takkan pernah bertemu dengan Justin lagi.
Sebelum itu, aku harus mengingat seberapa besar utang budiku
kepada Justin. Betapa baik sikapnya kepadaku selama ini.
Honoria bergegas meninggalkan laboratorium. Ketergesagesaannya membuatnya kikuk. Ia menabrak meja peralatan Tobias,
menjatuhkan sebaki pisau bedah yang tajam.
"Aduh!" jerit Honoria.
"Honoria, ada apa?" kata Tobias, bergegas maju.
Tapi Justin lebih dekat. "Bukan apa-apa," katanya, sambil bergegas melangkah ke
depan Tobias. "Dia melukai dirinya sendiri. Kurasa tidak dalam, biar
kutangani." Justin mengeluarkan sehelai sapu tangan seputih salju dari saku
mantelnya dan menekankannya ke luka Honoria.
"Ini," katanya. "Dengan begini akan menghentikan
perdarahannya." Tobias bisa mendengar napas Honoria yang tidak teratur.
"Justin," katanya tersentak. "Kau menekan terlalu keras."
"Omong kosong, Sayang," kata justin. "Justru tekanannya yang
menghentikan perdarahannya. Ingat, aku dokter, sudah seharusnya aku
tahu." "Lepaskan dia," teriak Tobias sambil melompat maju.
"Tenang, Tobias," kata Justin tajam. "Tidak ada alasan untuk
terkejut. Nah, lihat" Perdarahannya berhenti."
Ia mengangkat saputangannya dari tangan Honoria yang terluka
dan memasukkannya ke saku. "Kau bisa menyiapkan makan malam
sekarang, Honoria, lanjutnya. "Tobias akan menemuimu tidak lama
lagi." Honoria bergegas melewati Justin. Ia menyentuh lengan Tobias
dengan tangan gemetar. "Tobias," katanya dengan pelan. "Aku tak
ingin kau tetap berada di sini. Aku tak ingin kembali melewati lorong
menakutkan itu seorang diri. Ikutlah denganku sekarang, Tobias."
Tobias tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya. Mana
yang lebih penting" Utang budinya kepada Justin atau cintanya
terhadap Honoria" Aku takkan bisa menikah dengan Honoria kalau bukan karena
Justin, pikirnya. Dia yang memungkinkan diriku memenuhi
kebutuhanku sendiri. Aku tidak kaya. Tapi apa yang kumiliki
sekarang, semua karena Justin.
"Aku harus berbicara dengan Justin," jawabnya. "Bawa salah
satu lilinku. Aku akan naik secepat mungkin."
"Oh, Tobias," bisik Honoria. Mata birunya yang cantik dipenuhi
air mata. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia meraih lilinnya dan
berlari keluar dari laboratorium.
Sebaiknya kau memiliki alasan yang bagus untuk menahanku di
sini, Justin, pikir Tobias. Ia tidak suka melihat Honoria sesedih itu.
Sambil berusaha menahan emosinya, Tobias berbalik menghadapi
Justin Fear. Justin tengah membungkuk di atas meja Tobias. Ia mempelajari
catatan-catatan yang dibuat Tobias mengenai dokumen-dokumen itu.
Dia sudah melupakan Honoria sama sekali, pikir Tobias.
"Kau sudah berhasil, bukan?" tanya Justin, matanya berkilauan
saat menengadah dari dokumen-dokumen itu.
"Kau sudah mulai menerjemahkan ini, bukan?" kata Justin.
"Kau tahu arti kata-kata ini."
Ia mengangkat dokumen-dokumen itu dan menunjuk satu kata
yang ditulis berulang-ulang. Dokumen itu berderak tersentuh Justin.
Seakan-akan hidup, pikir Tobias. Seakan-akan mereka ingin
aku menceritakan rahasia mereka kepada Justin.
"Ya," jawab Tobias. "Aku tahu apa arti kata itu. Aku berhasil
menemukannya tepat sebelum kau masuk. Tapi aku belum
mengetahui semuanya, Justin. Kata itu hanya langkah pertama."
"Ini lebih dari itu," kata Justin. "Aku merasa yakin inilah
kuncinya. Kata ini merupakan elemen vital untuk menyingkapkan
rahasia kehidupan abadi. Kata apa ini, Tobias" Katakan."
Tobias menghela napas dalam-dalam. Aku harus
memberitahunya, pikirnya. Aku berutang budi padanya.
"Darah," bisiknya dengan suara serak.
Angin dingin berembus ke dalam laboratorium. Ruangan
berubah gelap gulita saat setiap lilin yang ada di sana padam.
Bab 8 MATA Justin berkilau dalam kegelapan. Pemandangan itu
menyebabkan Tobias menggigil.
"Darah," seru Justin. "Darah, aku tahu! Sekarang aku
mendapatkan jawabannya. Aku sudah menemukan kuncinya. Aku bisa
hidup untuk selamanya. Aku bisa melakukannya!"
Kepala Justin tersentak ke belakang saat ia tertawa penuh
kemenangan. Suaranya menggema dalam laboratorium yang gelap.
Honoria benar, pikir Tobias. Ada yang sangat tidak beres
dengan Justin. Dia terobsesi oleh dokumen-dokumen itu. Terobsesi
dengan menemukan rahasia kehidupan abadi. Kehidupan abadi"bagi
dirinya sendiri. Dan dia tidak lagi menginginkan kebaikan bagi orang lain, pikir
Tobias tersadar. Sekarang dia menginginkan rahasia itu hanya untuk
dirinya. Tobias tergesa-gesa menyulut sebatang lilin. Tawa Justin masih
terus terdengar. Aku harus menghentikannya, pikir Tobias. Aku harus
membuatnya mengerti bahwa apa yang kita lakukan bisa jadi
berbahaya. Sebatang lilin menyala dalam kegelapan.
"Justin, kekuatan ini bisa...," seru Tobias.
Justin tiba-tiba berhenti tertawa. Tapi matanya masih
memancarkan kemenangan. "Kau mau mengatakan sesuatu yang masuk akal, bukan?"
tanyanya. "Tobias yang praktis. Kau selalu mengambil pendekatan
langsung. Katakanlah, kenapa kau menganggap dokumen itu
menyinggung darah?" Tobias mengembuskan napas lega. Suasana hati Justin masih
tetap aneh, tapi histerianya sudah berlalu.
"Pasti ada kaitannya dengan sistem sirkulasi," kata Tobias.
"Mungkin dokumen-dokumen itu menceritakan cara untuk
merangsang darah agar jantung selalu tetap sehat dan kuat."
"Penjelasan seperti itulah yang kuharapkan darimu," kata Justin.
"Sopan dan ilmiah."
"Memangnya ada penjelasan apa lagi?" tanya Tobias. "Kita
dokter, Justin. Kita harus mencari penjelasan yang ilmiah. Kalau
tidak, apa yang kita lakukan merupakan kejahatan besar. Ritual dan
ilmu hitam." Justin meletakkan dokumen-dokumen itu dan menjauhi meja
Tobias. "Tentu saja, kau benar," katanya menyetujui. "Teruskan
pekerjaanmu. Tidak lama lagi kau sudah akan menerjemahkan seluruh
dokumen. Lalu kita akan mengetahui kebenarannya. Penemuan besar
sedang menanti kita, Tobias."
"Kuharap begitu," jawab Tobias.
Justin menepuk bahunya. "Aku tahu begitu," katanya
bersikeras. "Tapi aku tidak boleh menahanmu lebih lama lagi. Kau
harus bekerja, dan Honoria sudah menunggu."
Justin melangkah ke lorong yang menuju ke rumahnya. "Jangan
bekerja terlalu lama," godanya. "Ada hal-hal yang tidak bertahan."
Apa maksudnya" pikir Tobias penasaran. Apakah dia
membicarakan Honoria"
Aku tidak mengerti dirinya sekarang, pikir Tobias sambil duduk
kembali di mejanya. Aku dulu begitu mengenalnya. Dia seperti saudara bagiku. Tapi
sekarang rasanya dia seperti seorang asing.
Ia kembali melirik Justin.
Justin menekankan saputangannya ke bibirnya. Tobias
mendengar suara mengisap. Lalu ia melihat lidah Justin terjulur dan
menjilati kain itu. Tadi ia menggunakan saputangan itu untuk menghentikan
perdarahan di tangan Honoria, pikir Tobias.
Justin sedang meminum darah Honoriaku!
BAGIAN TIGA Madeline Bab 9 Shadowbrook, New York, 1873 MADELINE berdiri di lorong. Wanita tua itu memegang
lengannya erat-erat. Kuku-kuku jemarinya yang bergerigi menancap
ke dalam daging Madeline. Cengkeraman wanita tua itu semakin erat
dan Madeline merasa kulitnya bagai mati.
"Tobiasku," lolong wanita tua itu. "Tobiasku. Aku tahu kau
sudah melihatnya. Dia mengetahui rahasianya. Terlambat.
Terlambat...," katanya sambil mengerang.
"Bibi!" Suara Deborah tiba-tiba terdengar. "Hentikan sekarang
juga! Menjauh darinya!"
Wanita tua itu melepaskan lengan Madeline dan berbalik.
Sambil tertawa liar, ia melesat menyusuri lorong. Ia menerobos
melewati Deborah. "Tobias! Tobias!" Madeline mendengar Bibi berseru-seru
sambil menghilang ke balik tikungan.
"Kenapa kau hanya berdiri di sana?" jerit Madeline dengan
putus asa. "Kenapa kau tidak menghentikannya?"
Tangan Deborah bergerak-gerak di tenggorokannya. "Tenang,
Sayang." Ia memeluk bahu Madeline dengan satu tangan. "Itu hanya
Bibi tua. Kau tidak, perlu memikirkan dirinya. Dia sama sekali tidak
berbahaya. Hanya agak sinting, itu saja."
"Tapi dia siapa?" tanya Madeline. Ia mengernyit saat tangan
sepupunya memegang lengannya yang memar-memar akibat
cengkeraman Bibi. Deborah mengangkat bahu. "Sejujurnya, tak seorang pun yang
benar-benar mengetahuinya," jawabnya. Ia membimbing Madeline
kembali menyusuri lorong.
"Dia sudah tinggal di rumah ini saat Marcus dan aku membeli
rumah ini. Dia termasuk persyaratan penjualan, dia harus diizinkan
tetap tinggal di sini."
Benar-benar pengaturan yang aneh, pikir Madeline. Tapi
Deborah dan Marcus tampaknya sangat miskin. Mungkin harga rumah
ini murah karena Bibi harus terus tinggal di sini. Mereka mungkin tak
mampu untuk membeli rumah yang lain.
"Maaf kalau dia sudah membuatmu ketakutan," lanjut Deborah.
"Ini merupakan bagian tempat tinggalnya. Memangnya apa yang
kaulakukan sampai sejauh ini dari kamarmu?"
Apa sebaiknya kuceritakan" Kuceritakan tentang pria yang
kulihat di jalan tadi siang membuatku kecelakaan telah menyelinap
masuk ke dalam kamar tidurku" Dan bahwa aku mengejarnya hingga
ke lorong ini" Madeline teringat pada percakapan antara kedua sepupunya
yang tak sengaja didengarnya di kamarnya. Deborah dan Marcus
khawatir karena mereka mengira Madeline telah membayangkan yang
bukan-bukan. Apa pendapat mereka kalau kukatakan bahwa pria itu ada di
sini, di rumah mereka sendiri" Di kamar tidur Madeline"
Mereka akan menganggapku sinting. Sama seperti Mama.
Aku tak bisa memberitahu mereka. Aku tak bisa memberitahu
siapa pun. "Aku mau turun untuk menemui kau dan Marcus," kata
Madeline. Ia berharap Deborah tidak tahu bahwa dirinya tengah
berbohong. "Aku kebingungan dengan lorong-lorongnya dalam gelap
dan tersesat." Deborah menatap Madeline dengan tajam. Jantung Madeline
mulai berdebar-debar. Apa yang akan dilakukannya kalau sepupunya
tidak mempercayainya"
"Sial sekali," kata Deborah pada akhirnya. "Tampaknya kau
sudah ketakutan tanpa alasan. Tapi jangan dipikirkan lagi. Aku ada
berita yang bagus. Kau mendapat undangan. Menurutmu dari siapa?"
Madeline merasakan jantungnya melonjak hebat. Hanya ada
satu orang lagi yang mengetahui kehadirannya di Shadowbrook.
"Undangan dari Dr. Fear?" tanyanya, sambil berusaha
menyembunyikan semangat dalam suaranya.
"Dr. Fear," goda Deborah sambil membimbing Madeline ke
ruang riasnya sendiri. "Sayang, kau benar-benar lucu. Tentu saja
undangan itu dari Justin. Aku bisa langsung melihat bahwa dia cukup
tergila-gila padamu. Dia cukup populer di sini, kau tahu," kata
Deborah mengakui. Ia membimbing Madeline ke sebuah kursi empuk. "Semua
gadis lain pasti akan sangat iri. Sekarang, kau harus mengizinkanku
meminjamkan gaun untuk kunjunganmu. Aku tahu kau memiliki
pakaian sendiri, tapi ada sesuatu yang menurutku sangat sempurna."
Madeline mengawasi saat Deborah membuka ruang
penyimpanan pakaiannya dan mulai memilih-milih di antara sederetan
gaun. "Tapi, Deborah," kata Madeline memprotes. "Kau dan Marcus
sudah memberiku begitu banyak. Aku tidak bisa mengambil salah satu
pakaianmu." Deborah tertawa riang. "Omong kosong, Sayang," katanya.
"Kami harus membantumu menimbulkan kesan yang terbaik di mata
Justin. Ah, ini dia."
Napas Madeline tertahan di tenggorokannya sewaktu melihat
gaun cantik yang diacungkan sepupunya. Gaun satin berwarna putih
krem itu berlengan sangat panjang, dengan bagian punggung yang
tinggi dan ekor yang panjang. Butir-butir kristal mungil bertaburan di
seluruh gaun. Butir-butir itu berkilauan tertimpa cahaya api lilin.
Deborah menarik Madeline bangkit berdiri dan menempelkan
gaun itu ke tubuhnya yang langsing. Lalu ia berbalik dan memandang
ke cermin oval yang besar.
"Oh, sayangku. Kau benar-benar memesona," seru Deborah.
Madeline merasakan pipinya memerah saat mengagumi
bayangannya di cermin. Gaun satin putih pucat itu menyebabkan
rambut dan matanya yang hitam tampak sempurna.
Aku tampak seperti seorang putri dalam dongeng, pikirnya
bagai bermimpi. Atau seperti...
"Aku sudah tidak sabar melihat ekspresi wajah Justin saat
melihatmu mengenakan gaun ini," kata Deborah. "Sayang, kau akan
tampak seperti pengantin."


Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pengantin! Pengantin Justin. Madeline menggigil. Ruangan ini begitu lembap, pikirnya.
"Ya ampun, Sayang," seru Deborah. "Reaksimu aneh sekali.
Kau tampak seperti orang yang baru saja melihat hantu."
Bab 10 SAAT ia melangkah menyusuri jalur masuk dari batu ke rumah
Justin, Madeline melihat pria itu ada di kebun mawarnya. Ia
melangkah ke arahnya, lalu berhenti di gerbang kebun.
Madeline merasa mulutnya tiba-tiba mengering dan jantungnya
berdebar-debar penuh harapan. Justin begitu tampan, pikirnya saat
mengawasi pria itu berkeliaran di antara bunga-bunganya yang harum.
Pakaiannya yang bagus menunjukkan bentuk tubuhnya yang
sempurna. Cahaya matahari pagi mengubah warna rambutnya menjadi
keemasan. Apa pendapatnya mengenai gaun baruku" Apakah dia akan
menyukainya" Atau dia akan menganggapnya terlalu mencolok" Atau
aku sedang berusaha untuk menarik perhatiannya" Memintanya
membayangkan diriku sebagai pengantinnya"
Justin berpindah-pindah dari rumpun mawar yang satu ke
rumpun mawar yang lain. Di setiap rumpun ia berhenti dan
mengeluskan ujung jemarinya ke kelopak salah satu mawar yang
tengah merekah. Rumpun-rumpun itu bergetar dan bergoyang-goyang
karena sentuhannya. Madeline menyandarkan diri ke gerbang dan gerbang itu
berderit membuka. Justin seketika berbalik. "Madeline!" serunya.
"Halo, Justin," sapa Madeline malu-malu.
Justin tersenyum. Ia melangkah mendekati Madeline dan
membukakan pintunya. "Aku senang sekali kau bisa datang siang ini,"
katanya. "Bagaimana perasaanmu" Apakah kepalamu sakit?"
"Oh, tidak," kata Madeline kepadanya. "Aku mendapatkan
dokter yang sempurna."
Justin tersenyum kepadanya. "Kukira kita bisa minum teh di
kebun," katanya. Ia memberi isyarat ke sebuah meja kecil yang
dikelilingi rumpun-rumpun mawar.
"Kedengarannya luar biasa," jawab Madeline.
"Kita berjalan-jalan di kebun lebih dulu," kata Justin. "Ada
beberapa jenis yang langka dan berharga di sini," katanya.
Keharuman mawar-mawar itu menebar tebal di udara. Madeline
menghirupnya dalam-dalam. Perasaan mual menyerbunya. Keinginan
untuk muntah melonjak ke tenggorokannya. Ia menelannya kembali.
Ada apa denganku" pikir Madeline. Aku senang dengan
keharuman mawar. Aku hanya gugup karena berdua saja dengan Justin, pikirnya
memutuskan. Hanya itu. "Senang sekali kau mau mengundangku," kata Madeline.
"Kuharap aku tidak mengganggu pekerjaanmu."
"Aku tidak akan keberatan kalau kau yang menggangguku,
Madeline," kata Justin, berusaha untuk meyakinkannya. Mata birunya
memancarkan kehangatan saat ia berbicara. "Aku selalu merasa
senang bertemu denganmu. Kuharap kau mempercayainya."
"Aku ingin mempercayainya," jawab Madeline.
Aku tidak bermaksud untuk berkata begitu! pikirnya.
Mata Justin bagaikan memancarkan api biru yang cemerlang
saat menunduk menatap Madeline. Madeline merasakan seluruh
wajahnya mulai memerah. Bagaimana aku bisa memiliki perasaan yang begitu kuat
terhadapnya" Aku baru saja bertemu dengannya. Segalanya terjadi
terlalu cepat! Tapi Madeline tak bisa menghentikan perasaan kehangatan dan
kepuasan bagai mimpi yang tampaknya membanjiri dirinya dari
pandangan Justin. Dengan perasaan seperti terhipnotis, Madeline mengawasi
Justin menyentuh dagunya dengan dua jari dan mengangkat wajahnya.
Dia akan menciumku, pikir Madeline tersadar. Ia merasa
mengantuk, seakan-akan terpengaruh obat tidur. Kantuk berat yang
aneh menguasai organ-organ tubuhnya. Ia merasa tak berdaya
menghentikan Justin. Tapi bukannya ia ingin menghentikannya.
Justin tersenyum, seakan-akan mengetahui pikiran Madeline.
Lalu ia mencium gadis itu.
Bibir Justin terasa mantap dan menuntut. Madeline merasakan
dirinya mulai bereaksi. Ia memeluk leher Justin dan menumpahkan
seluruh keberadaan dirinya ke dalam ciuman Justin. Lengan-lengan
Justin memeluknya semakin erat sehingga akhirnya Madeline
kesulitan bernapas. Aku ingin berada dalam pelukannya untuk selama-lamanya. Di
sinilah tempatku. Ciuman itu berakhir dan Justin mengecup kening Madeline.
"Aku sudah tahu," gumamnya. "Aku tahu kaulah orangnya."
Mereka berdiri berpelukan sejenak. Madeline bisa merasakan
detak jantung Justin yang berdebar-debar. Ia mengetahui detak
jantungnya juga sama cepatnya. Ia merasa pusing dan lemah.
Aku tak boleh tergesa-gesa. Aku seharusnya lebih perlahanlahan, pikir Madeline.
"Ayo," gumam Justin akhirnya. "Sebaiknya kita bersikap lebih
sopan atau kita akan mengguncang seluruh lingkungan di sini. Aku
tahu, akan kupotongkan bunga mawar untukmu."
Ia menggandeng tangan Madeline. Lalu ia menarik Madeline ke
ujung seberang kebun mawar.
"Ini varietas terbaruku. Kebanggaan dan sukacitaku. Aku akan
menamainya mawar pengantin. Apa pendapatmu?"
Madeline menunduk menatap mawar-mawar itu. Kelopakkelopak putihnya dihiasi warna merah, seperti tetes-tetes darah. Duriduri merah tebal mencuat dari batangnya yang ramping.
Madeline menggigil. "Ada apa?" tanya Justin. "Apa menurutmu mawar-mawar ini
tidak cantik?" "Tentu saja cantik," kata Madeline. "Hanya saja aku belum
pernah melihat mawar yang seperti ini. Tampaknya seperti seluruh
rumpun... tersiram darah."
"Darah," kata Justin. Ia mengamati mawar itu sejenak.
"Memang benar, bukan," katanya. "Aku belum pernah berpikiran
begitu sebelumnya." Senyum aneh merekah di wajahnya. Madeline kembali
menggigil. Justin berlutut dan memotong sekuntum mawar dari
rumpunnya. Ia membuang duri-duri dari batangnya dengan
menggunakan pisau sakunya. Lalu dengan hati-hati meletakkan duriduri itu di tangan Madeline. Ia menggenggamkan jemari Madeline,
menekannya erat-erat. Sakit yang menyengat menyapu telapak tangan Madeline dan
terus ke lengannya. "Justin," jerit Madeline. "Berhenti. Kau menyakitiku."
Tapi Justin justru mempererat cengkeramannya. Sakit yang
hebat menyentakkan lengan Madeline. Justin kembali mempererat
cengkeramannya. Darah mengalir dari sela-sela jemari Madeline yang terkepal
dan menetes ke lipatan-lipatan gaun putihnya yang cantik.
Ia memberontak, berusaha untuk membebaskan tangan dari
cengkeraman Justin. Usahanya hanya memperhebat kesakitannya.
"Justin," kata Madeline dengan napas tersentak. "Tolong,
lepaskan." Justin justru menggunakan tangannya yang satu lagi untuk
mencengkeram Madeline, lebih erat lagi. Dan lebih erat lagi. Bintikbintik hitam menari-nari di depan mata Madeline.
Telinganya berdenging. Paru-parunya terasa sakit setiap kali ia
menghela napas. "Justin," katanya sambil terengah-engah.
"Justin. Lepaskan!"
"Oh, Madeline," gumam Justin. "Kita akan berbahagia bersama.
Kau bisa merasakannya?"
Ia mengangkat tangan Madeline yang ber lumuran darah dan
menempelkannya ke bibirnya.
Madeline menjerit. Justin menyentakkan kepalanya ke belakang. Darah mengalir
dari sudut-sudut mulutnya dan menetes dari dagunya.
Ia menjilat bibirnya sekali. Dua kali. Lalu ia tersenyum.
Madeline tersentak melihat gigi-gigi putih Justin yang
sempurna bernoda darah. Justin menjilati giginya. Madeline merasa
tercekik. Ia menutup mulut dengan tangannya.
Justin membalik tangannya dan membuka cengkeraman jemari
Madeline. Sebatang duri mawar tertancap di tengah-tengah telapak
tangannya. "Oh, tidak," seru Justin. Ia mencabut duri itu.
Madeline merasakan sakit yang hebat di lengannya mulai
mereda, meskipun kepalanya masih terasa pusing.
Justin mengangkat tangan Madeline. Madeline merasakan gigigigi Justin menancap ke daging telapaknya.
"Justin!" jeritnya. "Apa yang kaulakukan?"
Justin menempelkan mulutnya ke luka akibat duri itu. Lalu ia
mulai mengisap darah Madeline.
BAGIAN EMPAT Tobias Bab 11 Shadowbrook, New York, 1793 TOBIAS membuka buku hariannya dan mulai menulis.
Sejak melihat Justin meminum darah Honoria, aku hanya ingin
menyelesaikan penerjemahan dokumen-dokumen tua ini. Aku
mengurung diri di laboratorium agar bisa bekerja tanpa terganggu.
Aku bahkan tidak mengizinkan Honoria kemari menjengukku.
Aku tidak keluar selama berhari-hari. Aku tidak yakin berapa lama.
Aku tahu bahwa Honoria kecewa. Pernikahan kami semakin
lama semakin dekat. Tapi aku tak bisa berhenti bekerja, bahkan untuk
dirinya pun tidak. Sebelum berhasil memecahkan misteri ini, aku tak
bisa beristirahat. Oh, Honoriaku. Apa kau mengerti apa yang kulakukan" Kenapa
aku bersikap seperti ini"
Aku berusaha untuk menyelamatkan kita berdua. Mencoba
untuk menemukan jalan keluar dari semua ini. Dan satu-satunya jalan
adalah dengan menyingkapkan arti sebenarnya dari dokumendokumen ini.
Apa rahasia kehidupan abadi" Kenapa darah adalah kuncinya"
Justin semakin lama semakin bersikap aneh. Dia menemuiku
beberapa kali dalam sehari.
Setiap kali dia datang, aku merasa dia mengawasiku.
Menunggu. Hampir seakan-akan dia mengetahui sesuatu. Sesuatu
yang tidak diberitahukannya kepadaku.
Sikapnya justru semakin membulatkan tekadku untuk
menyelesaikan penerjemahan dokumen-dokumen ini. Sesudah selesai,
mimpi buruk yang mengerikan ini akan berakhir. Aku bisa menikah
dengan Honoria. Kami bisa memulai kehidupan baru, di suatu tempat
jauh dari sini. Jauh dari kejahatan Justin.
Nah, aku sudah menuliskannya. Kata-kata yang selama ini takut
untuk kuucapkan. Kejahatan Justin.
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Justin. Tapi aku tahu
bahwa semua kebaikan telah menghilang dari dalam dirinya. Dia tidak
lagi ingin membuka rahasia kehidupan abadi untuk membantu orang
lain. Dia ingin menyimpan rahasia itu sendiri.
Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa begitu berubah. Tapi
aku tahu satu hal. Aku tahu bahwa Justin telah berubah menjadi sesuatu yang
mengerikan. Aku tidak ingin apa yang terjadi padanya terjadi juga padaku.
Dengan kelelahan, Tobias meletakkan penanya. Ia meletakkan
kepalanya di tangannya. Aku tak bisa bertindak seperti ini, pikirnya. Aku tak bisa
melanjutkan pekerjaanku lebih lama lagi.
Saat ia memejamkan mata, bayang-bayang tulisan yang aneh
dan kuno itu menari-nari dalam kepalanya.
Aku begitu dekat. Begitu dekat untuk mengungkapkan rahasia
ini. Begitu dekat untuk bisa membawa Honoria pergi dari sini.
Pemikiran akan Honoria memperkuat tekad Tobias untuk
melanjutkan pekerjaannya. Ia mengangkat kepalanya dan
mengesampingkan buku hariannya. Ia mulai mempelajari dokumendokumen itu kembali.
Yang paling baik bila orang yang tidak bersalah berpartisipasi
secara sukarela, tulisnya menerjemahkan dokumen itu. Tapi tidak
harus begitu. Yang paling penting adalah terjadinya perpindahan
darah. Kening Tobias berkerut. Ini masih tidak masuk akal, pikirnya
lelah. Dan aku sudah mempelajarinya selama berhari-hari.
Kenapa ada orang yang bersedia melakukan proses yang akan
memungkinkan mereka untuk hidup selama-lamanya" Dan kenapa
kata itu berarti "orang yang tidak bersalah" dan bukannya "pasien?"
Sesudah perpindahan darah, jiwa orang yang tidak bersalah
mulai dikuasai kekuatan...
Di sini muncul sebuah kata yang tidak bisa diterjemahkan
Tobias. Ia membalik-balik catatannya.
Bagian pertama kata itu berarti jiwa, Tobias merasa yakin akan
hal itu. Ia mengenalinya dari kata yang sama yang muncul
sebelumnya di bagian awal dokumen.
Sesudah perpindahan darah, jiwa orang yang tidak bersalah
mulai dikuasai kekuatan"jiwa.
Jiwa apa" pikir Tobias. Ini tidak masuk akal. Rasanya lebih
mirip sebuah ritual sihir daripada sebuah prosedur medis.
Ia membuka kamus yang baru saja tiba tadi pagi. Kamus yang
berisi banyak kata-kata kuno dalam dokumen itu. Tobias
menggunakan jarinya untuk menelusuri halaman-halaman kuno
berdebunya hingga ia menemukan kata yang diinginkannya.
Ia menatapnya, jantungnya berdebar kencang.
Pencuri. Kata itu berarti pencuri.
Tidak! pikir Tobias. Ini tidak mungkin benar. Kalau kata itu
berarti pencuri, maka kalimat dalam dokumen itu berbunyi:
Sesudah perpindahan darah, jiwa orang yang tidak bersalah
mulai dikuasai kekuatan pencuri-jiwa.
Pencuri-jiwa, pikir Tobias. Pencuri-jiwa.
Semakin murni dan semakin cantik orang yang tidak bersalah,
lanjut dokumen itu, semakin cantik pencuri-jiwa jadinya. Pencuri-jiwa
mendapatkan dua puluh tahun kehidupan sebagai ganti setiap jiwa
orang tidak bersalah yang diambilnya. Lalu, orang yang tidak bersalah
lainnya harus diambil jiwanya agar pencuri-jiwa bisa terus hidup.
Yang lain, pikir Tobias. Korban tidak bersalah yang lain. Siklus
kejahatan yang berlangsung terus-menerus.
Cara untuk hidup selamanya adalah bukan dengan merangsang
sirkulasi darah. Tapi meminumnya. Meminum darah orang tidak
bersalah. Untuk mencuri jiwa mereka.
Tobias menyapu dokumen-dokumen dan kamus dari atas
mejanya. Semuanya berdebum jatuh ke lantai.
Jahat, pikir Tobias. Kejahatan yang tidak terkatakan.
Dan tepat itulah yang diinginkan Justin.
Darah siapa yang akan diminumnya" pikir Tobias. Siapa yang
akan menjadi korban pertama Justin"
Kenangan akan Justin menjilati darah dari saputangan Honoria


Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melintas dalam benaknya. Tidak! pikir Tobias. Jangan Honoriaku!
Tobias memandang sekeliling laboratorium untuk mencari
senjata. Ia meraup salah satu pisau bedahnya yang paling tajam. Lalu
ia berlari menyusuri lorong yang menuju ke rumah Justin.
Sesudah perpindahan darah, jiwa orang yang tidak bersalah
mulai dikuasai kekuatan pencuri-jiwa.
Kata-kata itu menggema berulang-ulang dalam benak Tobias.
Akan kutemukan cara untuk menghentikanmu, Justin! pikirnya
bersumpah. Kalau tidak, ia akan kehilangan alasan untuk melanjutkan
kehidupannya. Honoria. Korban tidak bersalah Justin yang pertama adalah Honoria!
Bab 12 TOBIAS melesat menyusuri lorong menuju rumah Justin.
Gelap sekali, pikirnya. Gelap dan kurang segar. Justin bisa saja
bersembunyi di terowongan ini. Menungguku....
Ia tersandung, dan meraih dinding untuk berpegangan. Lalu ia
kembali berlari, sambil terengah-engah.
Tidak ada yang bisa menghentikanku mencapai Justin. Aku
harus melindungi Honoria.
Sebuah pintu muncul di hadapannya. Tobias menghentikan laju
langkahnya. Apakah Justin ada di balik pintu" Menunggunya" Tobias
menempelkan telinganya ke pintu.
Ia tidak mendengar suara apa pun. Rumah Fear sunyi sepi.
Apakah semuanya sudah selesai" Bagaimana kalau aku
terlambat memperkirakannya"
Bagaimana kalau Honoria tewas dengan anggapan aku tidak
memedulikan dirinya"
Krieeet! Tobias membuka pintu itu dan mengintip ke baliknya. Lorong
Justin berakhir di kamar tidurnya, sama seperti lorong ke rumah
Tobias. Ruangan itu kosong. Tobias tidak membuang-buang waktu
lebih lama lagi. Ia melesat ke pintu kamar tidur, membukanya
perlahan-lahan, dan melangkah ke lorong.
Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Satu-satunya suara yang bisa didengar Tobias hanyalah detak
jam tinggi Justin di lorong. Tanpa menimbulkan suara, ia menaiki
tangga menuju ke lorong atas. Jantungnya berdebar-debar.
Aku harus siap, pikirnya, sambil mengeratkan cengkeramannya
pada pisau bedahnya. Justin bisa menemukan diriku setiap saat.
Jangan sampai aku terlambat, doa Tobias. Ia mendengar suara
dari ruang gambar dan melangkah ke sana. Semoga Honoria selamat.
Sewaktu tiba di ruangan itu, ia melihat sesosok orang
berpakaian putih berdiri menatap ke luar jendela. Bulan purnama
menyirami sosok itu dengan cahaya keperakan yang menakutkan.
Tobias melupakan pentingnya untuk tidak bersuara. "Honoria!"
serunya. Tanpa bernapas, ia mengawasi Honoria yang perlahan-lahan
berbalik menghadapinya. Wajah Honoria begitu pucat tertimpa cahaya
bulan. Kulitnya hampir-hampir seperti tembus pandang. Bayangbayang keunguan melingkari matanya yang besar. Bibirnya yang dulu
semerah mawar tampak kebiru-biruan.
Seakan-akan Justin telah mengisap jiwanya, pikir Tobias,
tersadar dengan perasaan ngeri. Seakan-akan roh Honoria telah
terkuras habis. "Tobiasku," bisik Honoria. "Katanya kau sudah melupakan
diriku sama sekali. Kalau kau sudah tidak lagi mencintaiku. Tapi aku
tahu bahwa dia berbohong. Aku tahu bahwa kau akan datang. Kau
belum melupakan hari apa ini, bukan?"
Tobias menyadari bahwa Honoria mengenakan gaun pengantin.
Ia tiba-tiba merasakan kesakitan yang hebat di dadanya. Hari
pernikahan kami! Hari ini hari pernikahan kami.
Ia menyelipkan pisau bedahnya ke saku mantelnya dan
bergegas mendekati Honoria. Honoria maju selangkah mendekatinya,
dan menjatuhkan diri ke dalam pelukannya.
"Honoria," bisik Tobias tanpa daya. Ia mengelus-elus rambut
pirang Honoria dan memeluknya erat-erat. Kulit Honoria terasa
dingin. Dingin bagai mati. "Tidak apa-apa," bisiknya. "Aku sudah ada
di sini, kekasihku."
Honoria gemetar dalam pelukannya. Tobias mendengarnya
berusaha untuk berbicara sementara gigi-giginya gemeletuk tanpa
terkendali. "Jangan berbicara sekarang," katanya. "Biar kuhangatkan
dirimu dulu." Ia memeluk Honoria lebih erat lagi. Usahanya sia-sia.
Tubuh Honoria gemetar hebat. Gadis itu berpegangan pada Tobias,
terlalu lemah untuk berdiri sendiri.
"Aku mengetahuinya," kata Honoria berulang-ulang. "Aku tahu
bahwa kau masih mencintaiku. Aku tahu bahwa kau akan datang."
Sementara aku menyembunyikan diri di laboratorium, bekerja
siang-malam untuk Justin, Justin juga bekerja siang-malam, menyusun
rencana untuk menghancurkan wanita yang kucintai.
"Honoria," katanya. "Tolong, jangan menangis. Akan kubawa
kau pergi dari sini hari ini. Aku berjanji."
"Oh, Tobias...," Honoria mendesah lagi di bahunya.
"Terlambat, Tobias," kata seseorang di belakang Tobias dengan
nada dingin. Tobias berbalik secepat kilat, mendorong Honoria ke
belakangnya untuk melindunginya. Justin berdiri di pintu ruang
gambar. Mata Justin bagai memancarkan api kebiruan yang terang
benderang. Bibirnya merah cerah, semerah darah dari jantung
Honoria. Jahat, pikir Tobias. Justin merupakan manifestasi kejahatan.
Dan aku satu-satunya yang bisa menghentikannya.
Keinginan untuk muntah menekan tenggorokan Tobias. Ia bisa
merasakannya, masam dan menjijikkan. Merasakannya membakar
bagian belakang tenggorokannya.
"Dia takkan pernah menjadi milikmu," kata Tobias dengan
napas terengah-engah. Ia mencabut pisau bedah dari sakunya. "Aku
tahu apa yang ingin kaulakukan. Akan kubunuh kau lebih dulu
sebelum kubiarkan kau menyakitinya."
Justin terbahak-bahak sampai kepalanya tersentak ke belakang.
"Kau tidak bisa menyakitiku, Tobias," jawabnya sambil
terhuyung-huyung masuk ke dalam ruangan. "Aku lebih kuat daripada
dirimu. Dan lebih pandai. Lebih kaya dan lebih tampan. Terimalah,
teman, aku selalu merupakan orang yang lebih baik daripada dirimu.
Tapi aku siap untuk bersikap dermawan. Seperti biasa."
Justin tersenyum dan Tobias mundur selangkah.
"Akan kubagi Honoria denganmu, Tobias. Kita berdua bisa
menghirup darahnya. Dengan begitu kita berdua akan hidup abadi,
Tobias. Kita bisa mendapatkan segala yang kita inginkan.
"Kau suka dengan gagasan itu, bukan, Tobias" Suka, bukan"
Minum darahnya, Tobias."
93 . BAGIAN LIMA Madeline Bab 13 Shadowbrook, New York, 1873 BIBIR Justin menempel ketat di telapak tangan Madeline saat ia
menghirup darahnya. Madeline mendengar suara isapan mulut Justin pada tangannya
yang hangat dan basah. Suara itu membuat ia merasa akan sinting.
Ia menjerit sekuat tenaga dan berjuang mati-matian. Justin
memejamkan matanya, bibirnya menempel semakin rapat ke
dagingnya. Cengkeraman Justin di pergelangannya lebih kuat dari sebuah
borgol baja. Madeline berusaha untuk menarik tangannya, dan Justin
memuntir pergelangannya hingga Madeline merasa seakan-akan
tulangnya akan patah menjadi dua.
Madeline merasakan kekuatan Justin menghirup darahnya.
Kedua kakinya terasa berat dan tebal. Kepalanya terasa pusing dan
ringan. Ia memandang ke sekeliling kebun, mati-matian mencari
pertolongan. Pandangannya mengabur dan berputar. Ia hanya bisa melihat
bunga-bunga mawar. Rumpun-rumpun mawar sebesar rumah, berputar-putar di
sekitarnya. Merapat mengepungnya. Mencekiknya dengan keharuman
mereka yang menjijikkan. Menguras darah kehidupannya hingga habis
dengan duri-duri mereka yang tajam....
Madeline memejamkan mata dan mengumpulkan sisa-sisa
kekuatannya. Aku harus menghentikan Justin. Aku harus
menghentikannya sebelum dia membunuhku. Sebelum dia meminum
habis darahku. Mata biru Justin menengadah menatapnya. Madeline balas
menatapnya, tertegun. Saat itu, ia melihat bagian putih dari mata
Justin perlahan-lahan berubah merah.
Matanya terisi darahku! Madeline menyentak. Ia mendorong Justin ke belakang dengan
segenap kekuatannya yang tersisa.
Justin terjatuh, terbelit rumpun-rumpun mawar. Ia melompat
bangkit dan berusaha menyambar Madeline. Tapi cabang-cabang
mawar yang berduri mencengkeram pakaiannya, menariknya kembali
ke dalam pelukan berduri mereka.
Madeline berbalik dan lari. Tapi kaki-kakinya terasa begitu
berat, ia hampir-hampir tak bisa menggerakkannya.
Aku harus pergi dari sini. Aku harus menjauhi Justin.
"Madeline," jerit Justin di belakangnya. "Jangan pergi. Kau
tidak mengerti. Aku harus melakukannya."
Madeline merasakan tangan-tangan Justin menarik roknya. Aku
tak bisa membiarkannya menangkap diriku! Kalau dia menangkapku,
jelas aku akan mati. Ia menginjak-injak tangan Justin, menghancurkan jemari Justin.
Justin menjerit kesakitan. Madeline terhuyung-huyung maju,
menyeberangi kebun. Ia membuka gerbang kebunnya dan melesat
keluar ke jalan. Aku harus pulang. Hanya itu satu-satunya kesempatanku. Aku
harus pulang. Deborah dan Marcus akan melindungiku. Mereka akan
mengamankan diriku dari Justin.
Kaki-kaki Madeline terasa begitu kaku dan berat"seperti
balok-balok kayu. Setiap langkah yang diambilnya membuat
kepalanya terasa ditusuk-tusuk dan giginya gemeletuk.
Lari. Pulang. "Madeline!" Ia mendengar Justin berteriak di belakangnya.
"Kau tidak mengerti," kata Justin. "Durinya beracun. Kau bisa
tewas karenanya. Aku harus mengisap racunnya keluar."
Madeline tak percaya. Ia sudah melihat ekspresi wajah Justin.
Pria itu memang ingin melakukannya. Dia ingin menghirup darahnya.
Ia mendengar suara langkah-langkah Justin di belakangnya.
Langkah-langkah itu terdengar semakin lama semakin cepat. Tak lama
lagi Justin akan berhasil mengejarnya.
Lalu dia akan menyelesaikan apa yang telah dimulainya, pikir
Madeline. Ia berbelok meninggalkan jalan. Langkahnya berubah
kacau di tanah kasar tepi jalan yang curam. Ia jatuh dan bergulingguling.
"Madeline!" teriak Justin. "Di mana kau?"
Sesemakan berduri mencabik-cabik rambut dan gaun Madeline
saat ia terguling-guling menuruni lereng bukit yang curam. Ia
mengertakkan gigi dan melindungi wajahnya dengan tangan
sementara tubuhnya terguncang-guncang menghantam cabang-cabang
pohon dan bebatuan. Ia menghantam sebatang pohon. Udara terempas keluar dari
Lima Wajah Seribu Dendam 3 Sherlock Holmes - Petualangan Enam Napoleon Dingdong Matilah Kau 2
^