Pencarian

Pesta Semalam Suntuk 2

Fear Street Pesta Semalam Suntuk All Night Party Bagian 2


Jackson" Apa cowok itu akan menjawab dengan jujur"
"Kami tidak menemukan siapa pun," kata Patrick saat ia masuk
kembali ke dalam ruangan bersama Gil dan Marco.
"Kami juga tidak," jawab Gretchen. Ia meninggalkan Jackson di
perapian dan mengempaskan diri ke sofa di samping Hannah.
"Apa kau sudah memeriksa seluruh tempat di lantai dasar ini?"
tanya Jackson. "Semuanya, kecuali dapur," kata Gretchen padanya.
"Biar Marco dan aku yang memeriksanya," kata Jackson
menawarkan diri. Gretchen mengawasi Jackson dan Marco menghilang ke dapur.
Ia bisa mendengar mereka berkeliaran di sana. Lalu segalanya berubah
sunyi. Menit demi menit berlalu. Jackson dan Marco tidak juga keluar
dari dapur. Gretchen melirik arlojinya. Mengapa mereka begitu lama"
"Ada apa di sana?" kata Hannah dengan suara gemetar.
"Entah," jawab Gretchen.
Ia melompat bangkit dari sofa dan melangkah ke pintu dapur. Ia
menekankan telinganya ke daun pintu. Dari dalam dapur tidak
terdengar apa pun. "Pembunuhnya di dalam situ!" teriak Gretchen. "Dia
membunuh Jackson dan Marco!"
Bab 19 "JACKSON!" seru Hannah.
Gretchen melangkah mundur saat Jackson dan Marco keluar
dari dapur. "Apa yang terjadi?" tuntut Gretchen dalam perjalanan kembali
ke kamar depan. Ia duduk di samping Hannah. "Kenapa kalian lama
sekali?" "Sori," kata Jackson sambil duduk di kursi kayu di seberang
ruangan. "Kami masuk ke tempat penyimpanan makanan."
"Jadi, dapurnya aman?" tanya Gil.
Jackson mengangguk. "Sekarang apa tindakan kita?" tanya Hannah. "Menunggu
kedatangan polisi besok?"
Marco menggeleng. "Tidak. Ada yang ingin kami tanyakan."
Gretchen menatap Marco. "Tanya" Tanya apa?"
Marco berpaling ke Patrick, yang duduk di lantai di depan
perapian. "Bagaimana bajumu bisa berlumuran darah?"
Gretchen mengawasi sementara semua mata di sana terpaku ke
bagian depan kaus Patrick.
"Sudah kukatakan," kata Patrick menjelaskan. "Tanganku teriris
sewaktu membuka jendela kamar tidur."
"Tapi di kusennya tidak ada darah," kata Marco. "Aku tahu.
Aku memeriksanya sewaktu kita menggeledah lantai atas."
Patrick tertawa. "Lalu" Apa itu berarti aku pembunuhnya?"
"Kenapa darahnya tidak ada?" tanya Gil.
"Darahnya tidak ada di kusen jendela sebab sudah
kubersihkan." Patrick mengacungkan tangannya yang diperban. "Dan
kalau kalian masih tidak percaya, lihat saja sendiri luka di telapak
tanganku ini. Atau periksa tempat sampah di dapur. Pecahan kacanya
kubuang di sana." Gretchen merasa tubuhnya gemetar. Ia tahu bahwa ini bukan
karena hujan dan dingin, tapi karena ketakutan yang mengisi ruangan.
"Bisa, tidak, kita tidak saling menyerang?" pintanya. "Tidak ada
gunanya untuk kita. Sebaiknya kita pikirkan saja tindakan selanjutnya.
Kita butuh rencana."
Hannah kembali menangis. "Aku merasa sangat tidak enak," katanya di sela isakannya.
"Kemarin sore aku bertengkar dengan Cindy. Aku baru tahu kalau dia
mendapatkan beasiswa yang kuinginkan, dan aku sempat mengatakan
hal-hal yang tidak menyenangkan padanya. Sekarang aku tidak punya
kesempatan untuk minta maaf."
Gretchen mengamati Hannah dengan teliti, penasaran apakah
air matanya memang sungguh-sungguh. Ia teringat apa yang telah
terjadi di dapur. Teringat kalau Hannah mengatakan harapannya agar Cindy
mati. Teringat betapa marahnya Hannah karena beasiswa tersebut.
Dengan kematian Cindy, ada kemungkinan beasiswa tersebut
akan jatuh ke tangan Hannah.
Dan Cindy tidak mungkin mencuri Gil kembali.
Pandangan Gretchen beralih dari Hannah ke Jackson.
Jackson yang menakutkan. Selalu menatap dirinya. Selalu mengawasinya. Mungkinkah ia juga mengawasi Cindy seperti mengawasi
dirinya" Ia hampir tidak mengenal cowok itu. Jackson mungkin
mampu melakukan apa saja.
Termasuk membunuh" "Tadi aku sempat mendengarmu berdebat dengan Cindy,
Jackson," sembur Gretchen. "Aku ada di luar. Kudengar pertengkaran
kalian melalui jendela dapur."
"Tidak mungkin," kata Jackson mengingkari.
"Aku yakin itu suaramu," kata Gretchen bersikeras. "Aku tahu
apa yang kudengar." Ia melihat pipi Jackson memerah, seiring dengan naiknya
amarah. "Kau menyebutku pembohong?"
Gretchen merasa sulit mempercayai penglihatannya. Jackson
kehilangan ketenangannya!
"Aku tidak bertengkar dengan Cindy malam ini," kata Jackson
bersikeras. "Orang lain yang kaudengar. Mungkin Patrick. Atau
Marco." Dia bohong, pikir Gretchen. Aku tahu apa yang kudengar.
Jackson bertengkar dengan Cindy tadi. Dia menampar Cindy. Tapi
apa memang pertengkaran itu sudah lepas kendali" Apa Jackson
bertindak lebih dari sekadar menampar Cindy"
Apa dia membunuh Cindy"
Dan apa dia juga akan membunuhku di serambi tadi seandainya
dia tahu aku tidak sengaja mendengar pertengkarannya dengan Cindy"
Dan... apa dia akan membunuh lagi"
Bab 20 HANNAH terus menangis, sambil duduk di samping Gretchen
di sofa. "Bukan aku," protes Patrick. "Aku bahkan tidak berada di
dalam pondok. Aku juga keluar. Aku merasa agak ngantuk. Kupikir
udara segar akan membantuku mengusirnya."
Ada yang berbohong, pikir Gretchen.
Yang kudengar di dapur tadi suara Jackson. Aku yakin itu. Dan
sewaktu keluar dari pondok, Patrick mengaku tidak bisa bergerak.
Sedangkan Marco, dia keluar bersamaku. Dan Gil bersama
Hannah. "Bisa kau berhenti menangis?" sergah Gil pada Hannah. "Kau
membuatku sinting." "Maaf. Aku bingung," kata Hannah sambil terisak-isak. "Sulit
bagiku untuk menerima kalau Cindy sudah tewas. Malam ini
seharusnya menjadi malam yang istimewa. Dan sekarang dia tidak
akan pernah berulang tahun lagi."
"Kau tidak peduli," Gil mencibir. "Kau sudah siap untuk
mencabut bola matanya tadi."
"Itu karena dia mendekatimu habis-habisan," balas Hannah.
"Dan kau malah menanggapinya."
"Tidak!" "Memang benar!" Hannah menyipitkan mata menatapnya.
"Kaupikir Cindy benar-benar menyukaimu" Dia cuma merayumu
untuk membalasku." "Kau sungguh-sungguh?" balas Gil. "Kalau bukan karena
orangtua Cindy, dia dan aku masih berpacaran. Kau cemburu. Kau
selalu mencemburuinya."
"Hentikan!" jerit Gretchen. "Sebelum kalian berdua mengatakan
sesuatu yang akan kalian sesali."
Hannah tidak mengacuhkan saran Gretchen. Ia melompat
bangkit dari sofa dan berdiri di depan Gil.
"Cindy tidak peduli padamu," katanya pada Gil. "Kalau dia
peduli, dia tidak akan pernah membuangmu."
"Itu tidak benar!"
Hannah mengangguk. "Ya, benar. Cindy selalu menginginkan
apa yang tidak bisa diperolehnya. Dia selalu harus mencuri dari orang
lain. Itu sebabnya dia selalu merayumu. Baginya yang penting
mencurimu dariku." "Dia tidak perlu mencuriku darimu!" jerit Gil. "Aku sudah mau
memutuskanmu!" "Aku benci padamu!" Hannah terisak, air mata membanjiri
wajahnya. "Kau jahat! Kuharap kau mati!"
"Seperti Cindy?" ejek Gil. "Dengan adanya pembunuh yang
berkeliaran, mungkin keinginanmu akan menjadi kenyataan. Mungkin
aku akan mati besok pagi. Atau mungkin aku akan beruntung dan kau
yang mati!" Gretchen sulit untuk percaya Hannah dan Gil saling
melontarkan kata-kata yang begitu mengerikan.
"Hentikan!" jeritnya, menyelinap masuk di antara keduanya.
"Hentikan! Jangan bertengkar! Bagaimana kalian bisa berkata-kata
seperti itu sementara ada pembunuh di sini" Bagaimana..."
Gretchen tersentak saat pintu depan terempas membuka dan
menghantam dinding sekeras-kerasnya.
Ia berbalik. "Siapa di situ?" jeritnya.
Bab 21 TIDAK ada orang di sana. "Angin," gumam Jackson. "Angin yang membuka pintunya."
Gretchen mendesah. Tadinya ia mengira akan melihat si
pembunuh berdiri di ambang pintu, melambai-lambaikan pisau yang
berlumuran darah, mengancam akan membunuh mereka semua.
Jackson melangkah ke pintu dan menutupnya. "Kurasa tadi aku
kurang rapat menutupnya."
Hannah mendengus. Ia duduk kembali di sofa, menarik lutut
hingga rapat di dada. "Lain kali kalau pintunya membuka, bisa jadi pembunuhnya
yang membuka, siap untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulainya
dengan Cindy," semburnya.
"Untuk apa pembunuhnya kembali" Kenapa dia harus mengejar
kita?" tanya Patrick.
"Kenapa dia mengincar Cindy?" tuntut Hannah. Ia meringkuk
di sudut sofa. "Yang aku tahu, aku takut. Aku ingin pulang."
"Kita tidak bisa pulang," kata Patrick. "Tidak sebelum polisi
datang." "Pada saat polisi tiba di sini, kita semua bisa-bisa sudah menjadi
mayat!" jerit Hannah.
Marco berbalik dari perapian. "Rasanya tidak. Kita punya
sedikit keuntungan. Maksudku, kita berenam dan dia cuma seorang
diri." "Tidak kalau dia membunuh kita satu demi satu," kata Hannah
sambil menghapus noda air mata di wajahnya.
"Hannah benar," kata Gretchen menyetujui. "Kupikir kita perlu
berkumpul terus. Kurasa sebaiknya tidak ada yang pergi seorang diri.
Resikonya terlalu besar."
Gretchen membayangkan mayat Cindy telentang di atas tepung.
Apa pikiran terakhir Cindy sebelum tewas"
Gretchen menatap teman-temannya. Ia merasa seperti baru
pertama kali melihat mereka.
Ia mengira telah mengenal mereka"tapi apa benar"
Bisakah salah satu dari mereka telah membunuh Cindy"
Apa itu sebabnya pandangan Cindy begitu ngeri"
Apa dia kesulitan untuk percaya kalau seseorang yang
dipercayainya yang membunuh dirinya"
Tidak, pikir Gretchen. Tidak mungkin.
Pasti narapidana itu pelakunya.
Kalau dia bersembunyi di hutan Fear Street, dia bisa dengan
mudah menyeberang ke pulau.
Pasti narapidana itu, katanya sendiri. Pasti.
Karena kalau bukan narapidana itu pelakunya, salah satu teman
baikku ternyata seorang pembunuh.
Gretchen menggigil. "Kita lebih aman kalau berkumpul
bersama-sama," katanya.
"Ya," kata Jackson. "Kita terus bersama-sama sepanjang waktu.
Mulai sekarang. Ikuti aku. Kita semua harus kembali ke dapur."
"Hah?" Hannah mencengkeram perutnya. "Berpikir kembali ke
sana saja aku tidak bisa."
Jackson mendesah. "Ini penting. Aku ingin memeriksa mayat
Cindy sekali lagi." "Kenapa?" tanya Gretchen. Ia merasa curiga.
"Mungkin akan membantu kita mengira-ngira apa yang sudah
terjadi," jawab' Jackson.
Hannah menggeleng kuat-kuat. "Aku tidak bisa kembali ke
dapur. Tidak bisa!" "Ayo, Hannah," kata Gretchen sambil menarik lengan
sahabatnya. "Kau tahu kami benar. Kita harus berkumpul bersama.
Kau tidak bisa berada di luar sini seorang diri."
Begitu Gretchen membimbing Hannah ke dapur, Hannah
melesat ke seberang ruangan. Sejauh mungkin dari mayat Cindy.
Gretchen melihatnya berpaling ke dinding dengan mata
terpejam rapat. Gil dan Marco melompati meja dapur, sementara Patrick
bersandar ke lemari es. Dengan tidak mengacuhkan yang lain, Jackson
mulai berjalan mengitari mayat Cindy.
Gretchen berdiri di tengah-tengah dapur, beberapa inci dari
mayat. Ia menatap ke lantai. Ia berdiri begitu dekat dengan mayatnya,
kakinya boleh dikatakan menyentuh tangan Cindy.
Ia melihat cat kuku merah pada kuku jari Cindy, beberapa di
antaranya telah terkelupas. Seuntai gelang emas terjuntai di
pergelangannya. Tapi bukan itu saja. Mata Gretchen membelalak.
Bagaimana ia bisa tidak melihatnya tadi"
Sebuah topi bisbol. Terjepit dalam genggaman Cindy.
Cindy tidak mengenakan topi bisbol sewaktu datang ke pondok.
Kalau topi itu bukan miliknya, lalu dari mana asalnya"
Apa ada orang lain yang mengenakannya"
Pembunuhnya" Apa Cindy sempat menyambar topi pembunuhnya"
Gretchen mengalihkan pandangannya kepada teman-temannya.
Jackson tengah mengawasinya. Ia membalas tatapan cowok itu.
"Ada apa?" tuntut Jackson.
Gretchen menelan ludah dengan susah payah untuk
membersihkan tenggorokannya. "Cindy memegang topi bisbol,"
jawabnya. Hannah seketika membuka mata. "Apa katamu?"
"Cindy memegang topi bisbol," ulang Gretchen. "Dia tidak


Fear Street Pesta Semalam Suntuk All Night Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawanya sewaktu datang kemari."
Tangannya gemetar sewaktu menunjuk topi tersebut.
"Milik siapa" Topi itu milik siapa?"
Bab 22 MULUT Patrick ternganga. "Itu... itu topiku," katanya tergagap.
"Topimu?" Gretchen tersentak.
Marco melompat turun dari meja dapur. Matanya menyipit
menatap Patrick. "Bagaimana topimu bisa ada di tangan Cindy?" tuntutnya.
Patrick mengangkat bahu. "Hei, yang benar saja. Aku tidak
tahu. Kenapa kau menanyakannya padaku?"
"Karena itu topimu," kata Gretchen tajam. "Kau sendiri
mengakuinya." "Karena topiku ada di tangan Cindy, kalian pikir aku yang
membunuhnya?" seru Patrick. "Itu pendapat paling bodoh yang pernah
kudengar!" Hannah menatap Patrick tajam. Ia mundur menjauhinya. "Kau
yang membunuhnya?" "Tentu saja bukan aku yang membunuh Cindy," kata Patrick
bersikeras. Ia maju selangkah mendekati Hannah.
"Pergi!" Hannah berteriak keras. Ia melesat ke samping Gil.
"Jangan mendekat!"
"Hei"ayolah!" pinta Patrick. "Kalian mengenalku. Kita sudah
berteman lama. Untuk apa aku membunuh Cindy" Itu benar-benar
bodoh." "Kalau begitu, kenapa topimu bisa berada di tangannya?" tuntut
Marco lagi. "Bagaimana topimu bisa berada di sana?"
Patrick mengangkat tangannya ke udara. "Entah!"
"Cuma itu yang bisa kaukatakan?" seru Gil. Ia memeluk
Hannah yang gemetar. "Topi itu bukti nyata, Patrick. Bukti kalau kau
pelakunya." "Aku mau pulang," Hannah terisak-isak. "Seandainya kita tidak
pernah datang ke pondok yang mengerikan ini."
"Itu tidak membuktikan apa pun," kata Patrick bersikeras. "Aku
tidak tahu bagaimana topiku bisa berada di tangan Cindy. Tadi
kugantung di rak mantel dekat pintu sewaktu kita masuk."
"Tidak ada yang melihatmu melakukannya," kata Jackson
padanya. "Aku tidak bohong! Percayalah!" pinta Patrick. "Tadi
kugantung topiku dekat pintu depan. Mungkin Cindy memutuskan
untuk mengenakannya."
Hannah mengerang pahit. "Kau menyedihkan! Kaupikir kami
akan percaya begitu saja?"
"Cindy memakai jaket," tunjuk Gretchen.
"Kau benar," kata Gil. "Itu jaket penebang kayu milik kakekku.
Dari lemari pakaian di depan."
"Jadi, mungkin Cindy tadi keluar untuk menghirup udara,"
lanjut Gretchen. "Tadi hujan turun, mungkin dia tidak ingin
rambutnya basah. Jadi, dia mengambil topi Patrick dari rak. Cindy
paling benci kalau rambutnya kusut sedikit saja. Semua orang tahu."
Patrick mengangguk. "Masuk akal bagiku," katanya.
"Tapi kalau dia khawatir rambutnya kehujanan, untuk apa dia
mencengkeram topimu seerat itu sesudah ditusuk?" tanya Gretchen.
"Kurasa dia mau meninggalkan petunjuk tentang identitas
pembunuhnya," kata Marco. "Mungkin pembunuh itu yang
mengenakan topi ini"dan Cindy mencabutnya sewaktu ditusuk."
"Tidak!" Patrick tersentak, menggeleng. "Tidak."
"Ada darah di kausmu," tunjuk Jackson.
"Dan Cindy mencengkeram topimu," tambah Gil.
"Memangnya kenapa?" jerit Patrick. "Itu tidak berarti aku yang
membunuhnya." "Tapi membuatmu tampak sangat bersalah," sembur Hannah.
"Aku punya pistol"ingat?" jerit Patrick. "Kalau aku ingin
membunuh Cindy, sudah kutembak dia. Untuk apa menusuknya
dengan pisau roti!" Gretchen merasa kengerian menyelimutinya saat mendengar
kata-kata Patrick. Ia menatap luka di mayat Cindy yang telah dikitari darah beku.
"Dari mana kau tahu pembunuhnya menggunakan pisau roti?"
ia tercekat. "Katakan, Patrick"dari mana kau tahu pisau apa yang
dipakai pembunuhnya?"
Bab 23 "KARENA pisau rotinya hilang," jawab Patrick. Ia menunjuk
tempat pisau roti yang kosong di rak pisau di atas meja.
Pandangan Gretchen beralih ke rak pisau yang terbalik tersebut.
Aku jadi mencurigai semua orang, pikirnya. Aku sudah kenal
orang-orang dalam ruangan ini selama berbulan-bulan. Dan sekarang
aku mulai percaya kalau salah satu dari mereka ternyata pembunuh.
"Maafkan aku, Patrick," gumamnya. "Kita semua sedang
ketakutan." "Tolong dimengerti," tambah Hannah.
"Kita tidak bisa saling tuduh sepanjang malam," lanjut
Gretchen. Ia berusaha agar suaranya terdengar normal. "Kita harus
tenang dan mencoba untuk berkepala dingin."
"Dan sesudah itu, apa yang harus kita lakukan?" tuntut Hannah
sinis. "Melacak pembunuhnya" Memberinya kesempatan untuk
membunuh salah satu dari kita lagi?"
"Apa lagi yang harus kita lakukan?" sentak Gretchen. "Berdiam
diri dan menangis" Itu yang kaulakukan semalaman ini."
Begitu kata-kata itu terlontar, Gretchen menyesalinya.
Hannah menatapnya dengan mulut ternganga karena terkejut
dan sakit hati. "Maafkan aku, Hannah. Aku tahu kau merasa tidak enak karena
kejadian yang menimpa Cindy. Kita semua merasa tidak enak," kata
Gretchen. "Aku juga tertekan."
"Kurasa kita semua perlu mendinginkan kepala. Bagaimana
kalau kita kembali ke ruang duduk?" saran Jackson. "Kurasa kita
sudah selesai di sini."
Gretchen keluar paling akhir.
Sewaktu berjalan mengitari mayat Cindy, ia berusaha untuk
tidak memandangnya. Tapi tidak bisa. Ia merasa tatapannya bagai
ditarik magnet ke arah lantai.
Mata biru Cindy menatap tanpa berkedip ke langit-langit.
Mulutnya ternganga meneriakkan jeritan bisu. Darah tersebar di
mana-mana di sekitarnya. Pemandangan itu mirip film-film horor yang sangat dibenci
Cindy, pikir Gretchen. Gretchen merasa meriang. Ia menyandar ke lemari es. Ia
menekankan wajahnya ke permukaan lemari yang dingin dan
menghela napas panjang. Sewaktu membuka matanya kembali, ia merasa lebih baik. Ia
melangkah lagi"tapi lalu berhenti.
"Whoa! Tunggu dulu!" panggilnya pada teman-temannya.
"Ada apa?" tanya Jackson.
Cowok itu berbalik dan mendekatinya. Yang lain mengikuti.
"Ada apa?" ulang Jackson.
"Lihat." Gretchen mengacungkan jarinya.
Menunjuk ke noda gelap di lantai yang tampak berbeda dari
noda-noda lainnya. Apa itu" Gretchen berlutut. Ia merasa denyut nadinya bertambah cepat.
Jejak kaki" Tidak, kurang tepat. Bukan jejak kaki.
Ia melihat ada pola di sana.
Semacam desain. Itu jejak sepatu bot. Di tepung. Mereka semua menatapnya. Tidak ada yang berbicara.
Perlahan-lahan Gretchen menyadari apa yang pasti telah terjadi.
Cindy dan pembunuh itu berada di dapur. Mereka berdebat.
Cindy menampar pembunuh itu. Dan pembunuhnya menerjang.
Cindy melangkah mundur. Ia mengenai kaleng tepung dan
menjatuhkannya. Tepung pun berhamburan ke mana-mana.
Pembunuhnya menusuk Cindy. Ia jatuh ke tepung, berlumuran
darah. Lalu pembunuhnya pergi. Melangkah di tepung yang tumpah.
Meninggalkan jejak sepatu botnya.
"Jejak sepatu bot yang sangat jelas," gumam Gretchen.
"Kalau pembunuh itu melangkah di tepung...," Gil mulai
berbicara. "... pasti ada tepung di alas sepatunya," kata Gretchen
menyelesaikannya. "Aku mengerti," kata Jackson. "Jejak sepatu bot itu akan
membantu kita menemukan pembunuhnya."
"Kita semua mencurigai Patrick, jadi mari kita mulai dengan
dirinya," desak Marco. "Tangkap dia!"
Gil dan Jackson menerkam Patrick. Mereka masing-masing
mencengkeram satu lengan, memeganginya erat-erat.
"Hei!" protes Patrick. "Kalian mau apa?" Ia menggeliat-geliat,
berusaha membebaskan diri. "Yang benar saja!" jeritnya. "Ayolah!
Jangan begitu! Lepaskan!"
"Periksa sepatu botnya," kata Jackson kepada Gretchen. "Pasti
ada di dekat pintu depan, bersama sepatu yang lain."
Gretchen bergegas keluar dari dapur dan melesat ke pintu
depan. Sepatu bot mereka berjajar di dinding.
Ia mencari-cari sepatu bot Patrick. Sepatu Hannah bertali merah
cerah, tali sepatu Gil kuning neon. Sepatu Jackson hitam. Marco hijau
zaitun. Gretchen dengan hati-hati mengangkat sepatu bot Patrick pada
bagian atasnya. Ia menghela napas dalam. Apa ada tepung di solnya"
Bab 24 YA. Selapis tipis tepung menempel pada bagian tumit dan alas
sepatu bot kanan Patrick.
Gretchen tersentak. Kejutan tersebut menyebabkan kepalanya
pusing. Ia ingin membuang sepatu bot tersebut ke lantai dan lari keluar
dari pintu depan. Tapi ia menghela napas, lalu mengamati alas sepatu bot Patrick
sekali lagi dengan teliti.
Ia tidak ingin mempercayainya.
Ia tidak ingin percaya bahwa Patrick yang telah membunuh
Cindy. Patrick yang manis dan menyenangkan. Selalu bergurau. Selalu
konyol. Tidak mungkin ia bisa melakukan perbuatan sejahat ini.
Sekejam ini. Ia tidak ingin mempercayainya. Ia terlalu menyukai cowok itu.
Tapi bukti-bukti yang ada tidak bisa diingkari.
Darah di kausnya. Topinya di tangan Cindy. Dan sekarang tepung di alas sepatunya.
Sambil membawa sepatu bot tersebut, perlahan-lahan ia
kembali ke dapur. Semua temannya tengah menunggu di ambang pintu, menanti
apa yang telah ditemukannya.
Menunggu terungkapnya pembunuh tersebut.
Patrick. Gretchen masuk kembali ke dapur.
"Well?" tuntut Marco. "Apa yang kautemukan?"
"Ada tepung di alas salah satu sepatunya," kata Gretchen. Ia
mengangkat sepatu bot itu agar setiap orang bisa melihat tepung di
alasnya. Tatapan Gretchen terpaku pada Patrick. Ekspresi wajah Patrick
seakan-akan sulit untuk percaya. "Aku tidak tahu bagaimana tepung
itu bisa menempel di situ. Sumpah!"
"Tepung itu menempel di sepatumu sewaktu kau membunuh
Cindy," tuduh Marco.
"Tapi aku tidak membunuh Cindy," jerit Patrick. "Sumpah!
Percayalah!" Hannah merosot ke kursi dekat meja dapur dan mulai menangis
lagi. "Kenapa kita setuju untuk pergi ke pulau ini malam ini?"
lolongnya. "Seharusnya kita tetap tinggal di Shadyside. Kalau saja kita
tetap di sana, ini pasti tidak akan terjadi. Cindy pasti masih hidup."
"Kita tidak tahu," kata Gil. "Kalau Patrick ingin Cindy mati, dia
bisa membunuhnya di mana saja."
"Bukan aku yang membunuhnya!" kata Patrick bersikeras.
"Narapidana itu yang membunuhnya. Gretchen, kau percaya padaku,
bukan?" Gretchen menelan dengan susah payah. Ia tidak tahu harus
menjawab apa. Ia ingin percaya bahwa Patrick tidak bersalah. Cowok itu
terdengar begitu jujur. Tapi semua bukti menunjuk ke arahnya.
"Aku ingin mempercayaimu, Patrick," bisiknya. "Sungguh.
Tapi tidak bisa." "Sekarang apa tindakan kita?" tanya Gil.
"Pertama-tama, sebaiknya kita ikat Patrick dulu," saran Marco.
"Lalu kita bisa memutuskan tindakan selanjutnya tanpa khawatir akan
terbunuh." Ia membuka laci-laci di dapur hingga menemukan seikat tali.
Gretchen berdiri di belakang Hannah, sementara Gil dan
Jackson mendorong Patrick agar duduk di kursi dapur. Lalu Marco
melilitkan tali ke tubuh Patrick.
"Jangan!" protes Patrick, berusaha membebaskan diri. "Ini tidak
adil! Aku tidak berbuat apa-apa."
"Jangan menyakitinya," pinta Gretchen setelah Marco memaksa
cowok itu untuk duduk kembali.
"Kita tidak akan menyakitinya," kata Marco padanya. "Cuma
memastikan dia tidak akan menyakiti kita."
Setelah mengikat Patrick erat-erat di kursi, Marco melangkah
mundur. EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
"Sekarang apa?" kata Gretchen.
"Kita geledah barang-barangnya," jawab Marco.
"Kenapa?" tanya Gretchen.
"Untuk apa?" tuntut Hannah.
"Kalau-kalau dia menyembunyikan sesuatu," kata Marco
menjelaskan. "Kalian tidak bisa menggeledah barang-barangku!" protes
Patrick. "Jangan mengatur kami," sergah Marco. "Kami yang berkuasa
di sini. Bukan kau."
"Silakan," Patrick mencibir. "Geledah saja barang-barangku.
Kalian tidak akan menemukan apa-apa"karena aku tidak melakukan
apa-apa. Kalian cuma membuang-buang waktu."
Gretchen meninggalkan sepatu bot Patrick di meja dapur dan


Fear Street Pesta Semalam Suntuk All Night Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyusul Gil, Jackson, dan Marco.
Ia berhenti sejenak di ambang pintu. "Hannah, kau tidak ikut?"
Hannah tidak menjawab. Ia merosot di meja dapur, memegangi
kepalanya, tubuhnya gemetar. Ia tampak membeku ketakutan.
"Hannah, bangun dan ikut kami," kata Gretchen dengan tenang.
"Cowok-cowok itu memerlukan bantuan kita."
Hannah mengangguk. Ia bangkit berdiri dengan gemetar dan
mengikuti Gretchen keluar dari dapur.
Kamar depan dingin dan gelap. Apinya telah padam, dan hanya
tersisa beberapa batang lilin yang masih menyala.
Gretchen menggigil. Bukankah baru beberapa jam yang lalu mereka tertawa-tawa
dan berpesta" Rasanya sudah lama sekali.
"Aku menemukan ransel Patrick," kata Marco, mengangkat
ransel itu dari balik sofa.
Marco membuka ransel tersebut dan menumpahkan isinya ke
meja kopi. Gretchen melihat sepasang kaus kaki tergulung yang keluar
terlebih dulu. Lalu sehelai kaus tergulung. Sekotak permen karet.
Sikat dan pasta gigi Patrick. Sejumlah uang receh dan majalah sepeda
motor. Gil, Jackson, dan Marco meneliti barang-barang tersebut.
Sejauh ini, tidak ada yang menarik. Mungkin mereka tidak akan
menemukan apa pun. Mungkin mereka keliru, sekalipun semua bukti sudah ada. Dan
Patrick bukanlah pembunuh Cindy. Mungkin ia sudah berbicara jujur.
Di tepi meja kopi, Gretchen melihat sehelai kertas terlipat jatuh
dari ransel. Dengan rasa ingin tahu, ia meraihnya dan membuka lipatannya.
Ia membaca beberapa kata yang tertulis di sana.
Dan tersentak. Bab 25 IA menunjukkan kertas tersebut kepada teman-temannya.
"Kalian bisa berhenti mencari. Ini bukti yang kita perlukan,"
katanya. Ia mendengar suaranya sendiri gemetar. "Patrick jelas
pembunuhnya." "Apa itu?" tanya Jackson. "Kau menemukan apa?"
"Surat dari Cindy kepada Patrick," jawab Gretchen.
"Bacakan," kata Jackson. "Apa isinya?" Gretchen
membersihkan kerongkongannya dan menatap surat tersebut. Ia
membaca: Patrick, aku tidak bisa menyembunyikan rahasia kita lebih lama
lagi. Aku akan memberitahu orangtuaku"tidak peduli apa yang akan
terjadi. Jangan coba untuk menghentikanku.
Cindy. Gretchen mendengar Hannah tersentak.
Rahasia apa yang disimpan Patrick dan Cindy"
"Apa ada sesuatu antara Cindy dan Patrick?" bisik Gretchen.
"Tanpa ada yang tahu?"
"Kenapa ia tidak mau menceritakannya pada kita?" tanya
Hannah. "Kau tahu bagaimana kerasnya orangtua Cindy," kata Gretchen
mengingatkan teman-temannya. "Mungkin Cindy mengira
orangtuanya tidak akan mengizinkannya menemui Patrick lagi."
"Sudah pasti," gumam Gil menyetujui. "Menurut mereka tidak
ada cowok yang layak untuk Cindy."
Marco menggeleng. "Tidak mungkin begitu. Kalau pun Cindy
tidak ingin orangtuanya tahu ia berhubungan dengan Patrick, ia pasti
memberitahu kita. Kita teman-teman terbaiknya. Pasti ada hal lain."
"Misalnya?" tanya Gretchen. Ia tidak bisa memikirkan
penjelasan lain. Ia merasa begitu bingung.
"Sebaiknya kita lanjutkan memeriksa barang-barang Patrick,"
kata Marco. "Kita sudah menemukan suratnya. Mungkin ada yang
lain." Gretchen mendesah dan menyeberangi ruang duduk ke sudut di
mana kantung tidur mereka bertumpuk. Ia mencari-cari kantung tidur
Patrick dan menemukannya di dasar tumpukan.
"Mungkin ini cuma membuang-buang waktu," katanya, sambil
mengambil kantung tidur tersebut.
Gretchen membuka kantung tidur tersebut. "Oh, tidak,"
erangnya. "Oh tidak! Tidak!"
Gretchen terhuyung-huyung mundur menjauhi kantung tidur
tersebut, menutupi matanya dengan tangan.
Jackson bergegas mendekatinya. Ia merasa tangan cowok
tersebut menyentuh lengannya, mendukungnya.
"Ada apa?" kata cowok tersebut.
Marco, Gil, dan Hannah bergegas mendekat, mengerumuninya.
"Ada apa?" tanya Marco. "Apa yang kautemukan?"
Gretchen menunjuk ke lantai.
Di sana, di tengah-tengah kantung tidur Patrick, terdapat pisau
roti yang hilang. Mata pisaunya tertutup noda gelap.
Bab 26 "PISAU yang digunakan untuk membunuh Cindy," gumam
Gretchen. Mereka semua menatap ke arah kantong tidur tersebut.
Menatap pisaunya. Tatapan Gretchen terpaku pada mata pisau yang setajam pisau
cukur. Ia menggigil dan mengalihkan pandangannya. Membayangkan
pisau tersebut mengiris Cindy menyebabkan ia merasa mual.
Ia memegangi perutnya erat-erat dan memaksa diri untuk tidak
memandangnya lagi. "Sulit dipercaya," ia mendengar Hannah berkata. "Sulit
dipercaya kalau Patrick..."
Gretchen tiba-tiba merasa pusing. Ia terhuyung-huyung ke sofa
dan duduk. Ia meletakkan kepalanya di lutut dan menghela napas
dalam. Ia mendengar seseorang mendekatinya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Jackson lembut.
Gretchen menyingkirkan rambut dari wajahnya. "Aku tidak
apa-apa," jawabnya. "Kurasa."
"Ini bukti yang kita perlukan," kata Marco. "Kita lihat apakah
Patrick masih mengingkarinya atau tidak!"
Marco mendului berjalan ke dapur.
"Aku tidak bisa kembali ke sana," bisik Hannah. Ia
mencengkeram lengan Gretchen. "Kau mau menemaniku di sini"
Mau, ya?" "Aku ingin mendengar apa yang akan dikatakan Patrick
sewaktu melihat pisaunya," kata Gretchen padanya.
Ia memeluk Hannah. "Aku akan kembali sebentar lagi, oke?"
"Oke," Hannah mengangguk. Ia memuntir-muntir ujung
sweaternya dengan kedua tangannya. "Akan kutunggu di sini, dekat
pintu. Aku baik-baik saja."
Gretchen berbalik menuju dapur, meninggalkan Hannah.
Marco, Jackson, dan Gil berdiri mengitari Patrick dengan
ekspresi suram. "Aku tahu kalian tidak akan menemukan apa pun," kata Patrick
dengan marah. "Sekarang, lepaskan aku!"
"Kau keliru, Patrick," kata Gretchen. "Kami menemukan
beberapa bukti. Dua, tepatnya."
Seketika wajah Patrick pucat pasi. Mulutnya ternganga, dan ia
menatap Gretchen seakan-akan tidak mendengar kata-katanya dengan
benar. "Maaf?" Gretchen menatap Patrick tajam.
Entah cowok itu sudah berkata jujur dan tidak membunuh
Cindy, atau dia memang seorang aktor sejati, pikirnya.
"Kami menemukan dua benda," ulang Gretchen. "Kami
menemukan surat dalam ranselmu. Dari Cindy. Katanya dia akan
memberitahu orangtuanya tentang rahasia kalian berdua. Katanya dia
tidak bisa menyimpannya lebih lama lagi."
"Kau ini ngomong apa?" kata Patrick dengan gigi terkatup.
"Cindy dan aku tidak punya rahasia apa-apa. Surat itu palsu. Pasti
palsu. Aku tidak pernah mendapat surat dari Cindy."
Mereka semua menatap Patrick tajam, mengamati wajahnya
dengan teliti. Patrick mendesah. "Apa lagi yang kalian temukan?"
Gretchen menghela napas panjang. "Pisau roti yang hilang...
berlumuran darah... dalam kantong tidurmu."
"Kau membunuhnya!" jerit Gil dengan tiba-tiba.
"Tidak! Bukan aku!" teriak Patrick.
"Tapi, Patrick," sela Gretchen. "Bagaimana kau menjelaskan
pisau roti di dalam kantong tidurmu?" tanya Gretchen.
"Entahlah. Aku tidak tahu. Bukan aku yang meletakkannya di
sana," kata Patrick bersikeras.
"Tapi pisau itu ada di sana," kata Gretchen. "Dan berlumuran
darah." "Aku tidak membunuh Cindy!" teriak Patrick. "Kenapa tidak
ada yang percaya padaku" Kalau kalian membebaskan diriku, aku bisa
membantu kalian memecahkannya."
"Simpan saja," kata Gil kasar. Ia mendekati Patrick. "Kami
tidak akan membebaskanmu. Kami akan menahanmu sampai bisa
menghubungi polisi. Sesudah mereka tiba di sini, kau bisa
memberitahu mereka kalau kau tidak bersalah."
"Please," pinta Patrick. "Dengarkan aku."
Gretchen menggeleng. "Tidak ada lagi yang perlu dikatakan,"
katanya pada Patrick. "Bukti yang ada terlalu banyak."
"Justru itu," seru Patrick. "Kalau aku yang membunuh Cindy,
apa aku akan membuatnya semudah itu" Apa aku akan meninggalkan
begitu banyak bukti?"
Pandangan Patrick berkeliaran ke sekeliling dapur dengan liar.
"Kalau aku pembunuhnya, apa aku akan menyembunyikan
pisaunya dalam kantong tidurku?" tuntut Patrick. "Apa aku akan
berkeliaran dengan pakaian berlumuran darah, dan menyisakan tepung
di sepatuku" Apa aku akan membiarkan topiku ada di tangan Cindy"
Dan meninggalkan suratnya dalam ranselku?"
Pandangan Patrick yang mengemis bertemu dengan tatapan
Gretchen. Ia tiba-tiba merasa tidak enak.
Pendapat Patrick terasa masuk akal.
"Gretchen," pinta Patrick, "kau satu-satunya yang masih mau
mendengar pendapat orang lain. Kau tahu aku tidak mungkin berbuat
semua ini." Gretchen menelan dengan susah payah dan menatap ke lantai.
"Tolong pikirkan lagi," lanjut Patrick. "Ada yang ingin
menimpakan kesalahan padaku. Aku tidak bodoh. Kalau aku
pembunuhnya, aku tidak akan meninggalkan jejak begitu banyak
dalam pondok." Cowok itu menjerit marah. "Kalian masih belum mengerti juga"
Ada yang mencoba mengkambinghitamkan diriku. Pelakunya pasti
salah satu dari kalian."
Gretchen berpaling ke ambang pintu. Ia melihat Hannah berdiri
di sana. Pandangan mereka bertemu.
Terkadang aku berharap dia mati!
Kata-kata Hannah tentang Cindy bergema dalam benak
Gretchen. "Kau tidak akan terpengaruh, bukan?" tanya Hannah dengan
suara gemetar. "Dia akan mengatakan apa pun agar kita
membebaskannya. Kalau kita melepaskannya, kita semua dalam
bahaya." "Kalian masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi di
sini?" tuntut Patrick. "Ada orang dalam pondok yang mencoba
menjebakku." "Menjebakmu?" tanya Gretchen. "Kenapa ada yang ingin
menjebakmu?" "Aku tidak tahu!" seru Patrick. "Tapi mereka sudah keterlaluan.
Mereka meletakkan terlalu banyak bukti! Kalau aku yang membunuh
Cindy, akan kusembunyikan semua buktinya. Aku tidak akan
membiarkannya tergeletak sembarangan."
Dari tempat duduknya di meja, Jackson melontarkan pandangan
ragu-ragu kepada Gretchen. Gretchen bisa melihat pertanyaan dalam
pandangan cowok itu. Jackson tampaknya juga mulai ragu-ragu.
Gretchen berpaling kepada Gil dan Marco yang duduk di meja
lainnya. Keduanya tampak tidak nyaman. Ia bisa memastikan bahwa
mereka pun ragu-ragu. "Dia benar," kata Jackson menyetujui. "Kita sudah bersikap
bodoh." Gretchen tidak tahu apa yang harus dipercayainya. Ia mondarmandir di dapur. Ia mengeluarkan surat Cindy dari sakunya dan
membacanya kembali. Ia melihat Patrick mengawasinya, berusaha melihat suratnya
sekalipun terikat. "Itu surat yang kalian temukan?" tanyanya. "Biar
kulihat." Gretchen berhenti di depan kursi Patrick. Ia membuka lipatan
kertasnya dan mengacung-kannya di depan Patrick.
Patrick membungkuk maju, menarik talinya hingga kencang.
Gretchen mengawasi bola mata cowok itu bergerak-gerak
membaca tulisan tangan di surat.
Setelah selesai, mulutnya ternganga.
"Sulit dipercaya!" jeritnya.
Bab 27 "ITU palsu! Palsu semua!" seru Patrick.
"Dari mana kau bisa berkata begitu?" tanya Gretchen padanya.
"Aku sudah melihat tulisan tangan Cindy ratusan kali. Begitu pula
dengan yang lain." "Tapi itu bukan tulisan tangan Cindy," kata Patrick bersikeras.
"Bagiku mirip," jawab Gretchen.
"Memang, kalau kaubaca sepintas. Tapi kau melewatkan
sesuatu," kata Patrick penuh semangat. "Sesuatu yang membuktikan
bukan Cindy yang menulisnya."
"Apa?" tuntut Cindy.
"Cindy selalu melingkari huruf 'i' dalam namanya dengan hati.
Kau lupa?" kata Patrick mengingatkannya. "Lihat tanda tangannya.
Tidak ada lukisan hatinya!"
Gretchen membalikkan suratnya dan mempelajari tulisan yang
ada. Seketika ia melihat apa yang tadi terlewatkan. Tidak ada hati.
"Dia benar," katanya. "Huruf 'i'-nya tidak dilingkari hati. Dan
Cindy selalu melingkarinya."
"Biar kulihat," kata Hannah sambil berjalan masuk ke dalam
dapur. "Aku teman terbaik Cindy. Aku pasti lebih mengenal tulisan
tangannya daripada kalian."
Hannah menyambar surat tersebut dari tangan Gretchen. Bola
matanya bergerak-gerak membacanya, lalu ia mengembalikan surat
tersebut. "Itu tulisan tangan Cindy," katanya mantap. "Sekalipun tidak
ada lingkaran hatinya. Bukan masalah."
"Tapi Cindy selalu melingkari dengan hati," ulang Patrick. "Dia
tidak pernah lupa." Gil mendesah. "Dia benar."


Fear Street Pesta Semalam Suntuk All Night Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cindy dan aku tidak punya rahasia apa-apa," kata Patrick
bersikeras. "Siapa pun yang menulis surat itu mencoba menjebakku.
Tapi mereka lupa menggunakan lingkaran hatinya."
Gretchen memberikan surat tersebut kepada yang lain. Sekarang
tidak ada yang yakin apakah itu tulisan tangan Cindy atau bukan.
"Bagaimana kalau kita periksa tas Cindy?" usul Gil. "Mungkin
ada sesuatu yang berisi tulisan tangan Cindy."
"Gagasan bagus," kata Gretchen menyetujui. "Dengan begitu,
kita bisa yakin apakah dia memang menulis surat ini atau tidak."
Mereka bergegas kembali ke kamar depan.
"Itu dia!" jerit Gretchen, melihat ransel Cindy di bawah sofa.
Sambil duduk di sofa, Gretchen mengangkat ransel tersebut ke
pangkuannya dan mengeluarkan isinya.
Tidak banyak. Lip gloss. Eye shadow. Sekotak permen karet.
Kunci-kunci rumah. Bedak. Sikat rambut. Kacamata hitam.
"Cuma itu?" tanya Marco.
Gretchen mengaduk-aduk dasar tas dan menemukan beberapa
helai kertas. Ia meraihnya dan mengeluarkannya.
"Mungkin ini ada tulisannya," katanya bersemangat.
Ia membuka lipatan kertas-kertas tersebut perlahan-lahan,
sementara yang lain mengerumuninya. Ia menatap lembaran-lembaran
kertas tersebut, denyut nadinya berdetak lebih kencang saat ia
mencoba memperkirakan tulisan apa yang ada di sana.
"Ini catatan," gumamnya, mengamati daftar nama, tanggal, dan
tempat. "Catatan kelas sejarah."
"Coba bandingkan dengan surat yang kita temukan," desak
Jackson. Gretchen mencabut surat untuk Patrick. Ia meletakkannya di
meja kopi, di samping catatan sejarah Cindy.
Tulisan tangannya tampak mirip.
Pandangan Gretchen berpindah-pindah di antara kedua helai
kertas, mencari perbedaannya.
Ia bisa melihat bahwa catatan sejarah Cindy ditulis dengan
tergesa-gesa. Tapi masih bisa dibaca dengan mudah.
Surat dari ransel Patrick tampak lebih rapi. Gretchen merasa
surat tersebut ditulis dengan lebih berhati-hati. Huruf-hurufnya tegas.
Lebih terinci. Tapi tetap saja tulisan tangan Cindy.
Kecuali satu perbedaan kecil.
"Coba perhatikan huruf 'y'-nya," kata Gretchen.
"Kenapa dengan huruf 'y'-nya?" tanya Hannah.
"Yang di surat dari ransel Patrick berbeda dengan yang di
catatan Cindy," kata Gretchen pada mereka.
Ia merasa jantungnya berdebar lebih keras saat bicara. "Huruf
'y' dalam catatan Cindy lebih bulat, tapi huruf 'y' dalam surat kepada
Patrick agak bengkok."
Gretchen meletakkan kembali kedua helai kertas itu. Tangannya
gemetar. "Kalian tahu apa artinya ini," katanya.
Marco bersiul pelan. "Patrick sudah berbicara jujur. Ada yang
mencoba menjebaknya."
"Tapi siapa?" bisik Gretchen. "Siapa?"
Bab 28 IA menatap teman-temannya. Semuanya tampak tertegun.
Ia mengira telah mengenal mereka"tapi apa benar"
Mungkinkah salah seorang dari mereka yang telah membunuh Cindy"
Kalau mereka telah keliru terhadap Patrick, maka pembunuhnya
masih bebas berkeliaran. Gretchen merasa hawa dingin merambati punggungnya. Ia
berusaha mengusirnya. Aku tidak boleh ketakutan. Kalau aku ketakutan, aku tidak akan
bisa berpikir jernih. Aku harus tetap berkepala dingin, pikirnya.
Gretchen menghela napas dalam. Ia melipat kedua helai kertas
itu dan menyelipkannya ke saku depan celana jeans-nya. "Sebaiknya
kita beritahu Patrick apa yang kita temukan," katanya.
Gil memimpin jalan kembali ke dapur.
"Well?" tanya Patrick. "Apa kalian menemukan sesuatu dalam
tas Cindy?" Gretchen mengangguk. "Memang."
"Lalu?" "Kau benar," kata Gretchen kepadanya. Ia mengeluarkan kedua
helai kertas itu dan menunjukkannya kepada Patrick. "Surat dalam
ranselmu palsu." "Sudah kukatakan!" seru Patrick. "Sudah kukatakan bukan aku
yang membunuh Cindy."
"Well, kami harus memastikannya dulu," geram Gil.
"Apa tidak sebaiknya kita lepaskan dia sekarang?" tanya
Gretchen. Marco dan Jackson pun mengendurkan ikatan Patrick. Dan
membiarkan talinya jatuh ke lantai. Patrick melompat bangkit,
merenggangkan kaki dan tangannya yang kaku.
"Sekarang apa tindakan kita?" tanya Gretchen.
"Kita perlu rencana," jawab Patrick. "Bagaimana kalau kita
semua kembali ke kamar duduk" Aku tidak tahan berada di sini
bersama mayat Cindy."
"Tunggu sebentar!" seru Gil.
Gretchen berputar menghadap ke Gil. "Ada apa" Apa lagi?"
"Mana Hannah?" tanya Gil.
Gretchen menatap ke sekeliling dapur.
"Hannah?" panggilnya. Ia berlari keluar. Tidak ada Hannah.
"Kau di sana" Jawab!" Ia melesat ke kamar depan.
Kosong. Gretchen berbalik saat teman-temannya bergegas menyusulnya.
"Dia tidak ada di sini!" seru Gretchen.
"Aku periksa atas," kata Marco.
"Kutemani," kata Gil.
Mereka lari ke tangga, memanggil-manggil nama Hannah. Di
tangga, mereka melompati dua anak tangga sekaligus.
Patrick dan Jackson tampak muram. Tidak ada yang berbicara.
"Dia tidak ada di atas!" teriak Gil dari tengah tangga. Ia dan
Marco berlari turun. "Tidak ada di atas," ulang Gil dengan terengah-engah.
Gretchen balas menatapnya. Tidak mampu berbicara. Tidak
mampu bergerak. Namun akhirnya tersembur juga.
"Hannah hilang."
Bab 29 "KITA harus menemukannya!" jerit Gil.
Ia berbalik dan lari ke pintu.
"Tunggu dulu," kata Marco. Ia menyusul Gil dan
menyambarnya. "Kita pergi bersama-sama. Tunggu sebentar," kata Marco
padanya. "Kita harus berpikir sejenak."
"Memikirkan apa" Hannah bisa saja sedang mempertahankan
nyawanya!" jerit Gil.
Ia mengayunkan lengannya dan mendorong Marco sekeraskerasnya. Marco terhuyung-huyung mundur hingga menghantam
dinding. Yang lainnya menatap Gil, tertegun.
Aku belum pernah melihatnya meledak seperti itu, pikir
Gretchen. Gretchen bergegas mengambil jaketnya. Ia juga ingin keluar
dan mencari Hannah. Di meja kecil dekat rak mantel, ia melihat sehelai kertas terlipat,
disandarkan ke lampu. "Lihat!" seru Gretchen sambil menunjuk kertas tersebut.
"Surat." Ia menyambarnya dan membuka lipatannya.
"Apa katanya?" tanya Jackson.
"Bacakan," desak Gil.
"Dari Hannah," kata Gretchen pada mereka. Ia membaca isi
surat itu keras-keras: Aku tidak bisa berdiam di sini lebih lama lagi bersama seorang
pembunuh. Aku terlalu takut.
Gretchen menjatuhkan surat tersebut di meja lampu. Ia melesat
ke pintu depan dan menariknya hingga terbuka.
Di luar, di jalan setapak berlumpur yang menjauhi pondok, ia
melihat jejak-jejak kaki.
Gretchen berpaling memandang yang lain. "Kita harus
mengejarnya. Dia tidak aman sendirian di luar sana."
"Dia belum lama pergi," kata Marco. "Kita pasti bisa
menyusulnya." "Cepat," desak Gretchen. "Hujan mulai turun lagi. Sebentar lagi
jejak kakinya pasti hilang."
Patrick, Gil, dan Marco mengenakan sepatu bot masing-masing
dan berlari keluar dari pintu depan. Gretchen mengenakan jaketnya,
lalu bergegas ke kamar duduk di mana ia meninggalkan sepatu
botnya. Berbagai pikiran menjejali benaknya. Pikiran-pikiran yang
mengerikan. Apa Hannah memang pergi karena benar-benar ketakutan" ia
penasaran. Atau dia lari karena telah membunuh Cindy"
Hannah dan Cindy selalu bersaing. Dan Hannah benar-benar
membenci Cindy. Untuk banyak alasan.
Tapi apa cukup banyak untuk membunuhnya"
Gretchen sulit untuk percaya bahwa ia memikirkan hal-hal
seperti itu tentang temannya. Hannah bukanlah pembunuh.
Tapi sejak awal Hannah-lah yang paling semangat untuk
membuktikan kalau Patrick pembunuhnya.
Apa karena Hannah telah meletakkan surat itu ke dalam ransel
Patrick" Apa dia juga yang meletakkan pisau berlumuran darah itu
dalam kantong tidur Patrick"
Gretchen menemukan sepatu botnya di samping perapian, di
mana ia meletakkannya agar kering. Sewaktu mengikat talinya, ia
merasa ada yang mengawasi dirinya.
Ia menengadah dan memandang Jackson yang berdiri di
samping sofa. Menatapnya. Tatapannya yang begitu tajam membuat Gretchen ketakutan.
Ia mendengar pintu depan ditutup. Teman-temannya yang lain
telah bergegas keluar. Aku sendirian di sini bersama Jackson, ia sadar.
Kenapa dia menatapku seperti itu"
Kenapa dia mendekatiku dengan begitu mantap"
Kenapa dia tidak mengatakan apa-apa"
Gretchen merasa bagai dicekik. Ia kesulitan untuk bernapas.
Pandangannya berputar panik mengitari ruangan, mencari-cari
apa pun yang bisa digunakannya untuk membela diri.
Ia melihat kotak kayu bakar dan tumpukan balok yang berat di
dalamnya. Aku bisa mengambil sebatang dan menghantam kepala Jackson
dengan itu kalau terpaksa, pikirnya.
Ia mundur selangkah. Ia ingin menjaga jarak sejauh mungkin di antara mereka. Dan ia
ingin berada cukup dekat dengan kotak kayu bakar untuk menyambar
salah satu balok yang ada.
Tapi setiap kali ia mundur selangkah, Jackson maju selangkah
mendekatinya. Jackson menatapnya lurus di mata.
"Kurasa kau sudah menduga...," kata Jackson.
Bab 30 SELURUH tubuh Gretchen bergetar.
Apa Jackson mau mengaku kepadanya"
"Aku mau menyusul yang lain," semburnya. Ia melesat
melewati Jackson, berusaha agar tidak terlihat ketakutan.
"Gretchen"tunggu!" panggil Jackson. "Biar kuselesaikan."
"Tidak. Aku... aku harus pergi!"
Gretchen berlari melintasi dapur dan keluar melalui pintu
belakang. Di luar, hujan tengah turun. Ia mengikuti jejak kaki temantemannya di lumpur.
Sambil berlari sekencang-kencangnya, ia berpaling"dan
melihat Jackson mengejarnya.
Gretchen memaksa diri untuk berlari lebih cepat. Ia harus
menyusul teman-temannya yang lain.
Ia aman bersama mereka. Jackson tidak akan bisa
menyakitinya. Kerongkongannya bagai terbakar. Cabang-cabang pohon yang
basah melukai wajahnya. Ia mengangkat tangan untuk melindungi
diri. Ia merasa sepatu botnya selip di dedaunan basah dan lumpur.
Dan ia pun terjatuh. Ia berpegangan pada sebatang cabang pohon untuk
keseimbangan. Ia mendengar suara gemeresik dan patahnya cabang-cabang
pohon sewaktu Jackson mendekat. Lalu ia melihat sosok jangkung
cowok itu dengan cepat mendekatinya.
Ia mencari-cari temannya yang lain dalam kegelapan hutan, tapi
tidak melihat satu pun. Ia memanggil. Tapi angin tengah melolong,
menenggelamkan suaranya. Tidak ada yang tahu kalau dirinya tengah berada dalam bahaya!
Ia bergegas kembali ke jalan setapak dan melesat menembus
hutan. Cabang-cabang tajam menancap di pakaiannya. Tapi ia berhasil
membebaskan diri. Ia melihat tempat terbuka di pepohonan dan berlari ke sana. Di
ujung hutan, ia melihat bukit di hadapannya.
Dengan terengah-engah ia mulai mendaki. Bukit tersebut
curam, tertutup karang tajam dan beberapa onggok rerumputan.
Ia berpegangan pada karang untuk mendukung dirinya. Ia
mendengar suara napasnya sendiri yang mulai terputus-putus.
Karang yang tajam melukai tangannya, tapi ia tidak
memedulikannya. Jackson masih terus mengejarnya. Ia bisa
mendengar langkah kaki cowok itu di bawah bukit.
Jauh di atas, Gretchen melihat puncak bukit. Dengan
mengerahkan tenaga, ia berusaha secepatnya tiba di sana.
Terlalu cepat. Kakinya selip saat menginjak rumput basah yang tinggi.
Selip dan meluncur jatuh.
Turun, turun ke sisi bukit yang sebaliknya.
Sekarang bergulingan, berguling-guling tanpa daya.
Memantul-mantul di sepanjang lereng bukit yang licin oleh
lumpur, seperti sebuah bola karet.
Akhirnya ia berhenti. Dalam genangan lumpur yang dingin.
Sambil terengah-engah, Gretchen beranjak duduk dan
menyingkirkan rambut basah dari matanya.
Ia memandang sekelilingnya, berusaha memperkirakan tempat
pendaratannya. Mana yang lain"
Perlahan-lahan ia bangkit berdiri. Ia maju selangkah.
Lalu berhenti. Ia mendengar teriakan. Gretchen berbalik dan mengawasi hutan. Dari mana asalnya
teriakan tadi" Ia kembali mendengarnya.

Fear Street Pesta Semalam Suntuk All Night Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di sana! Di puncak bukit.
Gretchen menengadah. Jackson. Di puncak bukit. Cowok itu melangkah turun dengan mantap.
Lalu mulai berlari. Kedua tangannya terangkat. Mulutnya ternganga melontarkan
jeritan. Jerit serangan. Cowok tersebut berderap ke arahnya sebelum ia sempat
bergerak. Mereka berdua terjatuh ke dalam lumpur.
Sambil mengerang keras, cowok itu menjepit dirinya di bawah.
Ia tidak mampu meloloskan diri.
Dia akan membunuhku! Gretchen sadar.
Bab 31 GRETCHEN memejamkan matanya. "Bangun!" katanya
setengah tercekik. "Maaf," kata Jackson.
Ia beranjak bangkit. "Aku... aku terpeleset. Kau baik-baik saja?"
Gretchen membuka mata dan menatapnya kaget.
Dia bukannya mau menyakitiku" ia penasaran.
Jackson mengulurkan satu tangan, dan ia menerimanya.
Gretchen bangkit berdiri dengan gemetar dan menyingkirkan
rambut basah dari matanya.
"Ada apa denganmu" Mengapa kau lari?" tanya cowok itu
dengan napas masih tersengal-sengal.
"Aku ketakutan," kata Gretchen mengakui.
"Ketakutan" Pada apa?"
"Kau," bisik Gretchen. "Kupikir... kupikir kau mau
membunuhku." Mata Jackson terbelalak keheranan. "Hah" Kenapa kau bisa
berpikiran seperti itu?"
"Karena kau selalu menatapku! Mengawasiku!" jerit Gretchen.
"Aku bukan mau menakut-nakutimu," kata Jackson pelan.
"Well, tapi itu yang terjadi," kata Gretchen bersikeras. Ia
menghela napas panjang. "Kenapa kau selalu mengawasiku?"
"Aku cuma ingin berbicara tentang... sesuatu." Cowok itu
menunduk. Gretchen kebingungan setengah mati. "Apa yang mau
kaubicarakan?" "Aku ingin memberitahukan kalau... well... aku menyukaimu,"
kata Jackson mengakui. "Itu yang ingin kukatakan di pondok tadi.
Tapi kau pergi begitu saja. Kurasa waktunya tidak tepat," tambahnya
lembut. Gretchen tidak yakin ia telah mendengar Jackson dengan benar.
"Maaf" Maksudmu..."
"Sebenarnya sudah lama aku menyukaimu. Sejak kau datang ke
SMA Shadyside," sembur Jackson. "Tapi aku tidak pernah bisa
mengutarakan hal-hal seperti itu. Pada saat aku berhasil
mengumpulkan keberanian untuk mengajakmu keluar, kau sudah
berpacaran dengan Marco."
"Kenapa kau memutuskan untuk memberitahuku sekarang?"
"Kudengar kau berkata pada Cindy dan Hannah bahwa kau
tidak mau bertemu dengan Marco lagi. Jadi, pikirku, Hebat, sekarang
aku punya kesempatan untuk memberitahunya," kata Jackson
menjelaskan. "Lalu sewaktu Marco muncul di sini, aku jadi marah.
Lalu begitu banyak kejadian mengerikan yang berlangsung..."
Jackson menggeleng. "Aku ingin berhenti menjadi pengecut.
Dan memberitahukan perasaanku padamu. Maksudku, kalau sampai
terjadi apa-apa dengan kita."
Gretchen menatapnya dengan pandangan tidak percaya.
Jackson menyukai dirinya"
"Marco dan aku putus malam ini," kata Gretchen. Ia tidak tahu
mengapa ia ingin Jackson mengetahui hal itu. Tapi tetap saja ia
memberitahu cowok itu. Wajah Jackson berubah cerah. "Sungguh" Eh, apa itu artinya
kau dan aku mungkin..."
"Bagaimana kalau kita berusaha melewati malam ini dulu?"
Gretchen mendesah. Jackson mengangguk. "Kita harus menemukan yang lain," saran Gretchen. Ia mulai
mendaki bukit yang berlumpur tersebut.
Jackson mengikuti. Gretchen merasa lebih aman daripada sebelumnya. Paling tidak,
sekarang ada satu orang yang bisa dipercayainya.
Jackson menyukaiku, pikirnya. Aneh.
Sambil memaksa menyingkirkan pikiran tentang Jackson dari
benaknya, Gretchen berusaha mencapai puncak bukit. Karena lumpur,
mereka terus-menerus terpeleset dan merosot turun. Tapi tidak lama
kemudian ia bisa melihat puncak bukit.
Sewaktu mereka mendekati puncak, Jackson mengulurkan
tangan untuk membantunya naik.
Gretchen mencengkeramnya, memeganginya erat-erat
sementara Jackson menariknya ke atas.
"Berhasil," kata Jackson tanpa bernapas.
Gretchen berpaling memandang Jackson, mau menjawab.
Sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata pun, sebuah
jeritan ngeri terdengar membelah malam.
"Hannah!" jerit Gretchen.
Bab 32 GRETCHEN membeku. Jeritan tersebut seakan berasal dari pondok.
Ia dan Jackson berlomba ke sana.
Jeritan ngeri kedua terdengar membahana.
Jangan sampai kami terlambat, pinta Gretchen diam-diam.
Jangan sampai kami terlambat!
Dengan memimpin jalan, Gretchen melesat menerobos hutan
secepat mungkin. Ia mendorong cabang-cabang pohon yang
menampari wajah dan pakaiannya.
Ia harus menemukan Hannah!
Saat pepohonan menipis, Gretchen bisa melihat sosok pondok
di ujung jalan setapak. Dan ia bisa mendengar jeritan Hannah.
Hannah masih hidup! Gretchen mencari-cari senjata dengan matanya, apa pun yang
bisa digunakannya untuk menghadapi pembunuh itu. Ia melihat
sebuah batu yang besar dan tajam. Ia menyambarnya.
Gretchen melesat keluar dari hutan, diikuti Jackson. Ia
menerjang ke arah pondok, mengira akan melihat Hannah tengah
berjuang menghadapi pembunuhnya.
Ya! Hannah! Di luar pondok. Menggeliat-geliat berusaha
membebaskan diri dari ceng-keraman seseorang.
Siapa" EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Gretchen memicingkan mata untuk melihat lebih jelas dalam
kegelapan. Lalu ia mengenali Gil yang tengah memegangi lengan Hannah.
Marco dan Patrick ada di samping cowok itu. Ketiganya
berusaha menyeret Hannah kembali ke dalam pondok.
Gretchen mengawasi sementara Hannah menendang-nendang
dan menjerit. Ia memegangi kusen pintu pondok dengan kedua tangan.
Marco dan Gil memeganginya erat-erat, sementara Patrick
melepaskan cengkeraman cewek itu dari kusen pintu dan
mendorongnya masuk. Hannah menendang Patrick.
Ekspresi kesakitan mewarnai wajah Patrick saat ia
mencengkeram lututnya. Gretchen dan Jackson bergegas mengikuti ke dalam pondok.
Mereka menemukan teman-teman mereka di kamar depan.
Gil, Marco, dan Patrick tengah mengepung Hannah.
Hannah duduk di lantai. Pakaiannya yang berlumuran lumpur
menempel ketat di tubuhnya.
Ia menengadah menatap Gretchen, pandangannya bagai seekor
kelinci yang tengah dikelilingi anjing-anjing liar.
"Kenapa kalian berbuat begini?" jerit Hannah melengking.
"Aku tidak melakukan apa-apa."
"Sewaktu kau dan aku ke dermaga untuk memandang bintangbintang, kau sempat meninggalkanku. Katamu kau kedinginan. Kau
kembali ke pondok untuk mengambil sweater-mu," kata Gil. "Kau
bisa saja membunuh Cindy waktu itu, Hannah. Lalu meletakkan
semua bukti-bukti untuk menjebak Patrick."
Gretchen berpaling kepada Gil. "Kenapa kau tidak
mengatakannya sebelum ini?" tuntutnya. "Kenapa kau tidak
memberitahukan kalau Hannah kembali ke pondok?"
Gil mengangkat bahu. "Semula kukira tidak penting. Kupikir
narapidana itu yang membunuh Cindy. Lalu kukira Patrick pelakunya.
Tapi sekarang aku tidak begitu yakin."
"Aku mengambil sweater-ku. Lalu, sewaktu aku kembali ke
dermaga, kau sudah tidak ada," kata Hannah kepada Gil. "Kau yang
mungkin membunuh Cindy dan menjebak Patrick. Bukan aku."
Baik Hannah maupun Gil sama-sama tidak punya alibi,
Gretchen sadar. Salah satu dari mereka bisa jadi pembunuhnya.
"Kalau ada orang di ruangan ini yang menginginkan kematian
Cindy, kaulah orangnya, Hannah!" seru Patrick. "Kau membencinya."
"Bukan aku pembunuhnya!" jerit Hannah.
"Kalau begitu, kenapa kau melarikan diri?" tuntut Marco.
"Karena aku ingin pulang," Hannah terisak-isak. "Aku takut dan
ingin pulang. Cuma itu."
"Kami tahu alasan sebenarnya mengapa kau pergi," tuduh
Patrick dengan tiba-tiba. "Kau mencoba melarikan diri. Karena kau
sudah membunuh Cindy."
Gretchen mengawasi ekspresi wajah Hannah mengeras. Ia
menghapus air matanya dengan ujung jari, lalu menatap Patrick
dengan pandangan menantang.
Senyum dingin merekah di bibirnya dan matanya menyipit.
"Kau benar!" seru Hannah. "Memang aku yang membunuh
Cindy." Bab 33 "AKU sudah membunuh sedikitnya dua puluh orang," seru
Hannah. "Sekarang aku akan membunuh kalian semua. Lalu aku akan
kembali ke Shadyside dan membunuh semua orang yang ada di sana!"
Gretchen menatap Hannah dengan pandangan shock. Tapi lalu
ia menyadari bahwa Hannah sekadar bersikap sinis.
"Tega sekali kalian menuduhku seperti itu," teriak Hannah.
"Ada pembunuh dalam ruangan ini. Tapi bukan aku." Ia menunduk
dan kembali terisak-isak.
Gretchen menjilat bibirnya saat mendengarkan Hannah.
Bibirnya terasa begitu kering.
Sewaktu menemukan tas tangannya di meja kopi, Gretchen
membukanya di pangkuannya dan mencari-cari Chap Stick.
Ia mengaduk-aduk sekotak permen karet, segulung permen
pengharum napas, sikat rambut dan sisir, pengikat rambut merah
muda, dompetnya, dan uang receh.
Ia mengaduk-aduk bagian dasar tas, berusaha menemukan
tabung kecil Chap Stick-nya.
"Hei...," jeritnya ketika tas tangannya jatuh dari pangkuan.
Seluruh isinya tumpah, tersebar di lantai.
Gretchen membungkuk untuk memunguti barang-barangnya.
Sewaktu memasukkannya kembali ke dalam tas, ia menemukan
sehelai surat terlipat. Dengan rasa ingin tahu ia mengambil surat tersebut dan
membuka lipatannya. Ia melihat tulisan di dalamnya sekilas, boleh dikatakan tidak
membacanya. Cuma surat lama. Ia bahkan tidak ingat lagi kenapa ia
masih menyimpan surat itu.
Ia hendak mengembalikan surat itu ke dalam tas tangan, tapi
lalu membatalkannya. Dengan jari-jari gemetar, Gretchen kembali membaca tulisan
yang ada di sana. Tidak mungkin, pikirnya. Aku pasti keliru.
Gretchen membaca surat itu untuk kedua kalinya dengan jauh
lebih hati-hati, dan matanya pun terbelalak ketakutan. Ia merasa hawa
dingin merayapi punggungnya sewaktu menyadari kebenaran yang
mengerikan itu. Aku tahu siapa pembunuhnya.
Bab 34 "GRETCHEN?" suara Jackson menerobos lamunan Gretchen.
"Kau tidak apa-apa?"
"Patrick"kenapa kau melakukannya?" bisik Gretchen dengan
suara serak. "Kenapa kau membunuh Cindy?"
"Kau ini ngomong apa?" tuntut Patrick dengan marah. "Kukira
kita sudah membereskan masalah itu?"
Gretchen menatap Patrick dengan pandangan tak percaya.
Cowok itu tampak tidak bersalah, tapi sebenarnya ia bersalah.
Patrick seorang pembunuh berdarah dingin.
Ia sudah merencanakan semua ini sampai sekecil-kecilnya. Dan
ia hampir saja lolos. Hampir. Semua orang menatap Gretchen.
Gretchen menggeleng sedih. Ia merasa kata-katanya terganjal di
tenggorokannya. "Kau yang membunuhnya, Parick. Dan aku punya
buktinya. Bukti yang nyata kali ini."
"Bukti" Bukti apa" Memangnya menurutmu kenapa aku
membunuhnya?" tuntut Patrick. "Kenapa aku berbuat begitu?"
Gretchen mengacungkan surat yang ia temukan dalam tas
tangannya. "Ini suratmu untukku, bahwa kau akan membawa soda
untuk pestanya." "Lalu?" kata Patrick. "Memangnya kenapa?"
"Tulisannya sama seperti surat yang ditujukan Cindy padamu,"
kata Gretchen. "Kau yang menulis surat itu, Patrick. Kau yang
meninggalkannya di ranselmu."
"Kau yakin?" Gil menyambar surat tersebut dari tangan
Gretchen. Ia memeriksanya dengan hati-hati.
"Mana catatan sejarah Cindy?" tanya Jackson. "Dan surat yang
kita temukan dalam ransel Patrick. Kita bandingkan dengan surat ini."
Gretchen merogoh saku celana jeans-nya dan mengeluarkan
kedua kertas tersebut. Ia memberikannya kepada Marco, dan Marco
membentangkannya di meja kopi.
Jackson dan Gil duduk di kedua sisinya dan mempelajari suratsurat tersebut.
"Gretchen benar," kata Marco, menengadah memandang
Patrick. "Tulisannya sama."
Hannah mengintip surat tersebut. "Dari mana kau tahu?"
"Lihat huruf 'y' dalam surat Patrick untukku," kata Gretchen
menjelaskan. "Tulisannya sama persis seperti huruf 'y' dalam surat
yang kita temukan di ranselnya. Patrick yang menulis kedua surat itu."
Patrick menjerit serak. "Aku yang menulis surat itu sendiri"
Aku yang menulis surat itu agar kelihatan bersalah?"
Ia memutar bola matanya. "Yang benar saja, Gretchen. Kurasa
kau sudah kacau-balau sekarang."
Gretchen merasa tubuhnya menegang. Jantungnya berdebar
kencang. "Kau tahu perbuatanmu, Patrick," jawab Gretchen perlahanlahan. "Kau yang meletakkan semua bukti-bukti yang memberatkan


Fear Street Pesta Semalam Suntuk All Night Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirimu sendiri. Kau yang menjebak dirimu sendiri"benar, bukan"
Agar orang lain yang dicurigai."
"Mungkin benar," jawab Patrick dingin.
Tangannya masuk ke balik jaket kulit hitamnya.
Dan ia mengeluarkan pistolnya.
"Dan sekarang mungkin aku tidak punya pilihan lain. Mungkin
aku terpaksa membunuh kalian semua," ia mencibir.
Bab 35 HANNAH menjerit. "Letakkan pistolmu!" jerit Gretchen. Ia maju selangkah
mendekati Patrick. Dan melihat cowok itu mengangkat pistol berlaras keperakan
tersebut ke arahnya. Patrick menggeleng. Ia menatap Gretchen dengan mata yang
tiba-tiba berkaca-kaca. Ekspresinya mengeras.
Ia berubah menjadi orang yang sama sekali berbeda, Gretchen
sadar. "Kenapa kau membunuhnya?" tanya Gretchen. "Kenapa kau
membunuh Cindy?" "Diam, diam, diam!" kata Patrick. Ia memejamkan mata
sedetik, seakan-akan kesakitan.
"Semuanya diam. Dan jangan bergerak," kata Patrick
memperingatkan, sambil membuka matanya kembali. Ia mengayunkan
pistolnya, menodong teman-temannya satu demi satu. "Jangan
bergerak. Kuperingatkan kalian."
"Tapi kenapa?" kata Gretchen bersikeras. "Kenapa kau
membunuhnya?" "Katakan," kata Gil. "Kami ingin tahu."
"Dia "temanmu, Patrick," kata Hannah. "Kenapa kau
membunuhnya?" Patrick mendesah. "Dia mengetahui perbuatanku dulu,"
katanya. "Perbuatan yang buruk."
"Apa?" desak Gretchen.
"Sesuatu yang kulakukan sebelum aku pindah kemari," bisik
Patrick. "Tidak ada yang tahu tentang hal itu. Orangtuaku pun tidak.
Tapi Cindy tahu." "Apa yang dia lakukan sesudah tahu?" tanya Jackson. "Apa dia
mengancam akan memberitahukannya pada semua orang?"
Patrick menggeleng. "Tidak. Dia tidak berbuat begitu."
"Kalau begitu, apa yang dilakukannya?" tanya Gil.
"Dia mengejekku," jawab Patrik. "Dia senang sekali
mengejekku tentang hal itu. Mula-mula itu bukan masalah, karena aku
sangat menyukainya. Tapi dia tidak memedulikan diriku. Dia sama
sekali tidak peduli! Kalian tahu apa yang dilakukannya?"
"Apa?" kata Gretchen.
Wajah Patrick mengerut marah. "Dia pura-pura menyukaiku.
Tapi dia berpacaran dengan Gil!" jeritnya. "Dia tidak peduli kalau
perbuatannya itu menyakitkan untukku. Dia cuma ingin mengejekku.
Dia cuma ingin mengingatkanku akan perbuatanku dulu. Mengejekku.
Mengejekku. Mengejekku."
Ia terisak. "Itu keterlaluan. Aku... kurasa aku tidak tahan lagi."
"Dan kau membunuhnya malam ini," kata Gretchen.
"Ya," jawab Patrick pelan, sambil menunduk. "Aku... aku
merencanakannya dengan sangat hati-hati. Mulai saat aku tahu bahwa
kita akan mengadakan pesta."
Dagunya gemetar. Seluruh tubuhnya terguncang. "Kuberikan
hadiah yang sangat diinginkan Cindy."
Gretchen menelan ludah dengan susah payah. Aku tidak tahu
Patrick punya masalah seberat ini, pikirnya. Sama sekali tidak tahu.
Kurasa kita tidak pernah benar-benar mengetahui apa yang ada
dalam hati orang lain" sekalipun teman-teman baik kita sendiri.
"Aku hampir saja membatalkan rencanaku," lanjut Patrick.
"Sesudah semua orang keluar dari pondok, kuikuti dia ke dapur.
Kuberitahukan bahwa aku ingin menciumnya sebagai hadiah ulang
tahun. Kalian tahu apa yang dilakukannya?"
Tidak ada yang menjawab. "Dia menertawakanku!" jerit Patrick melengking. "Katanya dia
tidak akan pernah bersedia kucium. Dia mencoba pergi dari dapur,
tapi tidak kubiarkan. Kusambar lengannya. Dan sewaktu kucium, dia
menamparku." Jadi, itu Patrick, bukan Jackson, yang kudengar berdebat
dengan Cindy, pikir Gretchen.
Patrick menggeleng sedih. "Seharusnya dia tidak berbuat
begitu." "Waktu itu kaubunuh dia?" tanya Gretchen.
"Ya," jawab Patrick. "Seharusnya kalian melihat ekspresinya
sewaktu dia melihat pisau itu. Dia benar-benar tidak menduga kalau
aku mampu melakukannya. Aku juga tidak. Tapi... tapi kulakukan
juga." Wajah Patrick menggelap karena marah. "Kubunuh dia. Kalian
masih belum mengerti" Aku harus menghentikan ejekannya. Aku
tidak bisa diejek lagi."
Patrick mengangkat pistolnya dan mengarahkannya kepada
Gretchen. Jemarinya menarik picunya.
Selesai sudah, Gretchen sadar. Patrick akan membunuhku.
"Maaf. Tapi sekarang kalian juga harus mati," bisik Patrick.
Gretchen menatap tanpa daya saat jemari Patrick menekan
pelatuknya. Menariknya ke belakang. Tidak ada yang bisa kulakukan, pikir Gretchen. Aku tidak bisa
meloloskan diri. Aku akan mati.
Gretchen memejamkan matanya. Ia menutupi wajahnya dengan
tangan. Ia mendengar letusan pistol yang memekakkan telinga.
Lalu terdengar jeritannya sendiri.
Bab 36 GRETCHEN menunggu datangnya rasa sakit itu.
Menunggu. Menunggu. Ia membuka matanya. Ia melihat pintu depan pondok terbuka.
Suara yang semula dikiranya letusan pistol ternyata suara pintu
menghantam dinding pondok.
Bukan letusan pistol. Seorang polisi berambut gelap, mengenakan seragam biru,
berdiri di ambang pintu. Petugas lain berambut pirang berdiri di
belakangnya. "Kalian baik-baik saja?" tanyanya. Ia melangkah masuk ke
dalam pondok. Petugas yang lain mengikuti, sambil mengguncang air
hujan dari seragamnya. "Partnerku dan aku..."
Gretchen mengawasi dengan ketakutan saat Patrick
mengalihkan pistolnya ke arah polisi tersebut.
"Tidak!" seru Gretchen. "Patrick! Jangan!"
Gretchen menerjang cowok tersebut.
Ia mendorongnya ke lantai, menjepitnya di bawah tubuhnya
sendiri. Di belakangnya, ia mendengar jeritan teman-temannya.
Kedua polisi tersebut menerjang ke seberang kamar duduk.
Gretchen mencakar pistol di tangan Patrick.
Cowok itu berusaha membebaskan tangannya. Ia mengarahkan
pistolnya ke Gretchen. Gretchen mencengkeram lengannya dan menghantamkannya ke
lantai. Ia menghantamkannya sekali lagi. Lagi. Lagi.
Akhirnya cengkeraman Patrick mengendur.
Polisi berambut gelap tersebut mengambil pistol dari lantai dan
menjauhkannya dari Patrick.
Petugas yang lain membantu Gretchen berdiri.
Patrick telentang di lantai, menggosok-gosok tangan yang
dihantamkan Gretchen. Polisi itu lalu memborgol pergelangan tangan Patrick.
Gretchen melirik pelat nama di seragam polisi tersebut:
READE. "Anda datang tepat pada waktunya, Officer Reade," katanya.
"Kelihatannya begitu," jawab polisi tersebut, melirik ke
sekeliling pondok. Gretchen menghela napas. "Dia... dia membunuh Cindy,"
katanya. "Mayatnya... mayatnya ada di dapur."
"Dia menusuknya dengan pisau," kata Hannah sambil terisak.
"Mula-mula kami kira narapidana yang melarikan diri itu yang
membunuhnya...," lanjut Gretchen.
"Narapidana yang melarikan diri?" Reade menatap Gretchen
dengan pandangan kebingungan.
Ia menarik Patrick berdiri. Gretchen melihat cowok tersebut
merengut. Patrick terhuyung-huyung maju, kepalanya terjuntai,
tangannya terikat di belakang punggungnya.
"Narapidana apa?" tanya Reade.
"Yang membunuh tiga gadis remaja itu," jawab Gretchen.
Kedua polisi tersebut bertukar pandang kebingungan.
"Aku dan Harding tidak tahu apa-apa tentang narapidana yang
melarikan diri," kata Reade.
Patrick tertawa terbahak-bahak hingga kepalanya tersentak ke
belakang. "Memang benar," katanya. "Tidak ada narapidana yang
melarikan diri. Aku mengarangnya dan mengatakan dia sudah
membunuh gadis remaja agar kalian percaya dialah pembunuh
Cindy." "Dan kami memang percaya," Gretchen mendesah. "Karena kau
teman kami." "Kalian semua bodoh," gumam Patrick sambil menggeleng.
"Kalian percaya semua yang kukatakan. Kalian telan saja mentahmentah bukti-bukti yang kusiapkan. Surat palsu. Jejak sepatu bot di
tepung. Pisau berlumuran darah dalam kantong tidurku. Sekalipun
darah Cindy ada di kausku dan topi bisbolku ada di tangannya, kalian
masih percaya bukan aku pelakunya."
"Itu karena kami tidak ingin percaya kau mampu melakukan
perbuatan yang begitu mengerikan," kata Gretchen, suaranya lebih
menyerupai bisikan. Patrick menyipitkan mata memandang kedua petugas polisi itu.
"Kenapa kalian kemari?"
"Ayahmu melapor kau telah mencuri pistolnya. Dia
memberitahukan bahwa kau ada pesta di sini dan meminta kami
mengambilnya kembali," jawab Reade.
"Kata Patrick, Cindy tahu sesuatu tentang dirinya," kata
Gretchen pada para polisi tersebut. "Dia tahu perbuatan yang
dilakukan Patrick sebelum pindah kemari. Kata Patrick itu sebabnya
dia harus membunuhnya."
Harding berpaling kepada Patrick. "Oh, yeah" Jadi, dia tahu kau
yang membakar Waynesbridge?"
Patrick mencibir. "Aku tidak mengerti maksudmu."
Kedua polisi tersebut bertukar pandang. "Kau berhasil lolos dari
kejadian itu karena ayahmu," kata Reade kepada Patrick. "Tapi kau
tidak akan bisa lolos kali ini."
Ia menyeret Patrick keluar pondok.
Harding berpaling kepada Gretchen dan teman-temannya.
"Kalian tidak keberatan menunggu di sini sementara kami
menyeberangkan dia lebih dulu" Nanti kami kirim perahu lain untuk
menjemput kalian." Gretchen terus mengawasi hingga kedua polisi tersebut tidak
terlihat lagi, lalu berpaling kepada teman-temannya.
"Dari mana Cindy tahu Patrick membakar Waynesbridge?"
tanyanya. "Dia tidak tahu," jawab Hannah. "Cindy tidak tahu apa pun
tentang masa lalu Patrick. Dia cuma suka menggoda Patrick. Biasanya
Dia sering mengatakan Patrick nampak berbahaya."
"Berbahaya" Cuma itu?" seru Marco.
"Cuma itu," kata Hannah sedih. "Dia sebenarnya tidak tahu apaapa. Sama sekali. Dan kalian tahu apa pendapatku" Kalian tahu
kenapa Cindy begitu sering menggoda Patrick" Karena dia menyukai
Patrick." Gretchen mendesah, tiba-tiba merasa sangat lelah.
Jackson merangkul bahunya.
Ia menyusupkan kepalanya ke cowok itu.
Di balik jendela, matahari tengah terbit.
"Pesta sudah selesai," bisiknya.END
Pedang Golok Yang Menggetarkan 10 Suro Bodong 11 Adipati Bukit Sekarat Hotel Majestic 2
^