Pencarian

Hotel Majestic 2

Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie Bagian 2


"Kami lalu bertekad untuk bepergian," katanya. "Sudah lama kami ingin datang ke
negeri tua ini. Nah, kami pun melakukannya. Lalu kami datang ke daerah ini. Kami
mencoba untuk mencari beberapa orang sanak saudara istri saya. Mereka memang
berasal dari daerah sekitar sini. Tapi kami tak berhasil menemukan jejak mereka.
Kemudian kami pergi ke benua Eropa - ke Paris, Roma, ke danau-danau di Italia, ke
Florence, pokoknya ke semua tempat yang bagus. Waktu berada di Italia itulah
kami mengalami kecelakaan kereta api. Istri saya yang malang yang paling hebat
terimpit. Kejam sekali, bukan" Saya telah membawanya ke dokter-dokter terbaik,
tapi komentar mereka sama saja - tak ada yang dapat dilakukan, jadi dia harus
bersabar. Bersabar, dan terus terbaring. Yang dialaminya adalah cedera pada
pinggul." "Kasihan sekali!"
"Buruk sekali nasib kami, bukan" Nah, begitulah. Padahal dia masih saja memendam
satu keinginan, yaitu datang ke daerah ini. Dia ingin sekali punya rumah kecil,
untuk tinggal sendiri - yang kecil saja - supaya keadaan bisa berubah. Sudah banyak
pondok yang kami lihat, tapi semuanya buruk. Kemudian kami beruntung menemukan
ini. Bagus, tenang, dan tersembunyi. Tak ada mobil-mobil berseliweran, atau
suara gramofon dari sebelah. Jadi langsung saya ambil."
Sambil bercakap-cakap demikian, kami pun tiba di pondok itu. "Cooee," teriaknya
dengan suara nyaring dan bergema. Lalu terdengar suara balasannya, "Cooee."
"Mari masuk," kata Mr. Croft. Ia masuk melalui pintu yang memang sudah terbuka,
lalu menaiki sebuah tangga rendah, dan langsung ke sebuah kamar tidur yang
menyenangkan. Di kamar itu, di atas sebuah sofa, terbaring seorang wanita
setengah baya yang gemuk. Rambutnya bagus, berwarna abu-abu, dan senyumnya manis
sekali. "Coba lihat siapa ini, Mama?" kata Mr. Croft. "Mr. Hercule Poirot, detektif
kawakan yang terkenal di seluruh dunia. Aku mengajaknya kemari supaya bisa
mengobrol denganmu, Mama."
"Aduh, tak tahu saya apa yang harus dikatakan," pekik Mrs. Croft, sambil
menyalami Poirot dengan hangat. "Saya sudah membaca tentang perkara Kereta Api
Biru itu. Kebetulan sekali Anda berada di dalam kereta api itu juga, ya" Saya
juga sudah membaca tentang banyak perkara Anda yang lain. Sejak mengalami
kesulitan dengan punggung saya ini, saya rasa saya sudah membaca semua cerita
detektif yang ada. Cuma itu yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu. Bert
sayang, tolong panggilkan Edith, supaya dia membawakan teh."
"Baik, Ma." "Edith adalah semacam perawat, merangkap pelayan," Mrs. Croft menjelaskan. "Dia
datang setiap hari untuk mengurus saya. Kami tak menginginkan pelayan sepanjang
hari. Bert pandai sekali memasak, dan dia bisa bertindak sebagai seorang
pengurus rumah tangga yang baik sekali. Dan hal itu memberinya kesibukan,
ditambah lagi dengan pekerjaannya di kebun."
"Nah," kata Mr. Croft waktu ia muncul kembali sambil membawa nampan, "ini teh
kita. Ini merupakan hari yang penting dalam hidup kita, ya, Ma."
"Anda menginap di sini, Mr. Poirot?" tanya Mrs. Croft, sambil membungkuk sedikit
dan mengambil poci teh. "Ya, Madame. Saya sedang berlibur di sini."
"Oh, ya, sudah saya baca bahwa Anda sudah pensiun - bahwa Anda ingin berlibur
untuk selama-lamanya."
"Ah, Madame! Jangan percaya semua yang Anda baca dalam surat-surat kabar."
"Yah, benar juga. Jadi Anda masih terus bekerja?"
"Bila saya menemukan suatu perkara yang menarik minat saya."
"Jadi Anda berada di sini bukan khusus untuk bekerja?" tanya Mr. Croft tajam.
"Atau mungkin Anda hanya pura-pura saja menyebutnya libur?"
"Jangan menanyakan pertanyaan yang membuat risi begitu, Bert," tegur Mrs. Croft.
"Nanti dia tak mau datang lagi. Kami hanya orang-orang sederhana, Mr. Poirot,
dan kedatangan Anda kemari benar-benar merupakan suatu hiburan besar - juga
sahabat Anda. Anda tak menyadari betapa besarnya kesenangan yang Anda berikan
pada kami." Wanita itu tampak begitu wajar dan begitu berterus terang dalam menyatakan rasa
terima kasihnya, hingga hatiku merasa hangat karenanya.
"Peristiwa mengenai lukisan itu mengerikan sekali," kata Mr. Croft.
"Gadis malang itu bisa-bisa tewas bila tertimpa," kata Mrs. Croft dengan
perasaan mendalam. "Dia itu seperti kabel listrik saja. Dia menghidupkan suasana
di sini bila dia datang. Tapi saya dengar dia kurang suka berada di daerah ini.
Begitulah keadaannya di tempat-tempat terpencil di Inggris ini. Tempat-tempat
begini tak bisa memberikan kehidupan dan keceriaan pada seorang gadis. Saya tak
heran kalau dia tak sering menghabiskan waktunya di sini. Dan sepupunya yang
suka mencampuri urusannya itu pun tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk
mendesaknya supaya menetap di sini selama-lamanya...."
"Jangan menggunjingkan orang, Milly," kata suaminya.
"Oh," kata Poirot. "Jadi ke sana rupanya arah angin. Percayailah naluri wanita!
Jadi Mr. Charles Vyse mencintai gadis kecil kita itu?"
"Pria itu tergila-gila padanya," kata Mrs. Croft. "Tapi gadis itu tak mau
menikah dengan seorang pengacara desa. Dan saya tidak menyalahkannya. Soalnya
pria itu juga membosankan. Saya lebih senang kalau dia menikah dengan pelaut
yang baik itu - siapa namanya" Challenger. Mereka cocok sekali. Pria itu memang
lebih tua darinya, tapi apalah artinya" Yang dibutuhkan gadis itu adalah
penunjang untuk hidup menetap. Supaya dia tidak terbang kian-kemari saja, bahkan
ke benua Eropa, seorang diri atau dengan Mrs. Rice yang berwajah aneh itu. Dia
seorang gadis yang baik, Mr. Poirot - saya tahu betul itu. Tapi saya khawatir
memikirkannya. Akhir-akhir ini ia sama sekali tidak kelihatan ceria. Wajahnya
membayangkan ketakutan. Dan saya jadi cemas! Saya punya alasan sendiri menaruh
minat pada gadis itu, bukan begitu, Bert?"
Mr. Croft bangkit dari kursinya dengan agak mendadak.
"Tak perlu kau bicara terlalu banyak tentang itu, Milly," katanya. "Apakah Anda
tak ingin melihat beberapa foto dari Australia. Mr. Poirot?" Sisa kunjungan kami
ke pondok itu berlalu tanpa peristiwa penting. Sepuluh menit kemudian, kami
minta diri. "Orang-orang yang baik, mereka itu," kataku. "Sederhana sekali, dan
tidak tinggi hati. Khas orang-orang Australia."
"Kau suka pada mereka?"
"Kau tidak?" "Mereka memang menyenangkan - ramah sekali."
"Lalu ada apa" Pasti ada sesuatu, aku melihatnya."
"Mungkin mereka agak terlalu 'khas'," kata Poirot sambil merenung. "Teriakan
'cooee' itu - desakan untuk memperlihatkan foto-foto pada kita - apakah itu tak
mungkin suatu sandiwara yang dimainkan dengan terlalu sempurna?"
"Dasar setan yang terlalu banyak curiga kau ini!"
"Kau benar, mon ami. Aku curiga pada semua orang - semua orang. Aku takut,
Hastings, aku takut."
6 KUNJUNGAN PADA MR. VYSE POIROT tetap berpegang pada sarapan dengan gaya Eropa. Ia bingung dan tak suka
melihatku makan telur dan lemak babi - begitu katanya selalu. Jadi ia sarapan di
tempat tidur, minum kopi dan makan roti, sedangkan aku bebas mengawali hariku
dengan sarapan bergaya Inggris yang terdiri atas lemak babi, telur, dan selai
marmalade. Aku menjenguk ke dalam kamarnya pada pagi hari Senin, waktu aku akan turun ke
lantai bawah. Ia masih duduk di tempat tidurnya dengan mengenakan pakaian tidur
yang bagus sekali. "Bonjour,* (*selamat pagi, selamat siang) Hastings. Aku baru saja akan menekan
bel untuk memanggilmu. Aku baru selesai menulis surat. Maukah kau menolongku
menyuruh seseorang mengantarnya ke End House, dan langsung menyerahkannya pada
Mademoiselle?" Kuulurkan tanganku untuk mengambil surat itu. Poirot memandangiku, lalu
mendesah. "Kalau saja... kalau saja kau membelah rambutmu di tengah, dan tidak di tepi
begitu, Hastings! Akan besar bedanya dengan simetri penampilanmu. Lalu kumismu.
Kalau kau memang ingin punya kumis, sebaiknya kumis yang tebal... bagus seperti
kepunyaanku." Kutahan diriku dengan bergidik mendengar jalan pikirannya itu, lalu cepat-cepat
kuambil surat dari tangannya, dan kutinggalkan kamar itu.
Aku sedang duduk bersamanya lagi di ruang duduk, ketika kami diberitahu bahwa
Miss Buckley datang untuk menemui kami. Poirot memerintahkan supaya gadis itu
dipersilakan naik. Gadis itu masuk dengan ceria, tapi kurasa lingkaran hitam di bawah matanya lebih
gelap daripada biasanya. Ia sedang memegang telegram, yang kemudian
diserahkannya pada Poirot.
"Ini," katanya, "saya harap itu akan membuat Anda senang!"
Poirot membacanya dengan bersuara.
"Tiba hari ini jam setengah enam. Maggie."
"Perawat dan pelindung saya!" kata Nick. "Tapi tahukah Anda" Anda keliru. Maggie
itu tak punya otak. Yang cocok baginya adalah kegiatan-kegiatan yang baik.
Selain itu, dia juga tak pernah memahami lelucon. Sebenarnya Freddie sepuluh
kali lebih pandai dalam melacak penyerang tersembunyi. Dan Jim Lazarus akan
lebih baik lagi. Saya rasa, orang tak pernah mengerti betul tentang Jim."
"Dan bagaimana dengan Komandan Challenger?"
"Oh! George! Dia takkan pernah melihat apa pun kalau tidak disodorkan ke bawah
hidungnya. Tapi begitu melihatnya, dia akan benar-benar menindaknya. George
berguna sekali kalau harus diadakan adu kekuatan."
Ditanggalkannya topinya, lalu ia berkata lagi,
"Sudah saya pesankan supaya pria yang Anda sebutkan dalam surat Anda itu
diperbolehkan masuk. Kedengarannya misterius sekali. Apakah dia akan memasang
alat penyadap atau semacamnya?"
Poirot menggeleng. "Tidak, tidak. Bukan sesuatu yang bersifat ilmiah. Hanya berdasarkan suatu
pendapat sederhana, Mademoiselle. Sesuatu yang ingin saya ketahui."
"Wah," kata Nick, "menyenangkan sekali, ya?"
"Begitukah menurut Anda, Mademoiselle?" tanya Poirot dengan halus.
Sesaat lamanya gadis itu berdiri membelakangi kami. Ia memandang ke luar
jendela. Lalu ia berbalik. Semua sikap berani dan menantang sudah hilang sama
sekali dari wajahnya. Kini wajah itu seperti wajah kanak-kanak, berkerut, dan
tampak bahwa ia sedang berjuang menahan air matanya.
"Tidak," katanya. "Bukan... sebenarnya tidak begitu. Saya takut. Takut sekali.
Padahal saya pikir saya ini pemberani."
"Anda memang pemberani, mon enfant.* (*anakku) Anda pemberani sekali. Saya dan
Hastings sama-sama mengagumi keberanian Anda itu."
"Ya, memang begitu," kataku dengan hangat.
"Tidak," kata Nick sambil menggeleng. "Saya tidak pemberani. Apalagi dalam
keadaan menunggu begini. Saya selalu bertanya-tanya apakah akan terjadi sesuatu
lagi. Dan bagaimana hal itu akan terjadi! Saya tahu hal itu akan terjadi."
"Ya, ya, itu memang menegangkan."
"Semalam, tengah malam, saya tarik tempat tidur saya keluar dari kamar. Dan saya
mengunci jendela, dan pintu. Waktu saya datang kemari pagi ini, saya lewat jalan
besar. Saya tak bisa... saya benar-benar tak bisa lagi lewat kebun. Rasanya
seolah-olah keberanian saya hilang sama sekali. Gara-gara soal yang menumpuk di
atas segala-galanya ini."
"Apa maksud Anda sebenarnya, Mademoiselle" Menumpuk di atas segala-galanya?"
Keadaan hening sejenak sebelum ia menyahut.
"Saya tak punya maksud khusus. Saya rasa saya sedang mengalami apa yang dalam
surat-surat kabar disebut 'ketegangan akibat kehidupan zaman modern'. Saya jadi
terlalu banyak minum koktail, terlalu banyak merokok - -segala macam hal itu. Itu
gara-gara saya berada dalam... dalam keadaan aneh ini."
Ia menjatuhkan dirinya ke sebuah kursi, dan duduk di situ. Jemarinya dikatupkan
dan dibuka berulang kali dengan gugup.
"Anda tidak berterus terang pada saya, Mademoiselle. Pasti ada sesuatu."
"Tak ada... sungguh tak ada apa-apa."
"Ada sesuatu yang tidak Anda ceritakan pada saya."
"Sudah saya ceritakan segala-galanya, sampai hal yang sekecil-kecilnya."
Ia berbicara dengan tulus dan bersungguh-sungguh.
"Mengenai 'kecelakaan-kecelakaan' itu - mengenai serangan-serangan atas diri Anda,
memang sudah." "Ya - lalu?" "Tapi Anda tidak menceritakan segala-galanya yang ada dalam hati Anda - dalam
hidup Anda...." Lambat-lambat ia berkata,
"Apakah ada orang yang bisa berbuat begitu?"
"Nah," kata Poirot dengan nada kemenangan. "Anda mengaku!"
Gadis itu menggeleng. Poirot memandanginya lekat-lekat.
"Atau mungkin itu rahasia tentang diri Anda?" tanya Poirot dengan tajam.
Kurasa aku melihat suatu getaran kecil pada kelopak mata gadis itu. Tapi ia
segera menjawab. "Sungguh mati, M. Poirot, saya sudah menceritakan segala-galanya yang saya
ketahui mengenai urusan yang tak menyenangkan itu. Bila Anda pikir saya tahu
sesuatu mengenai seseorang, atau Anda curiga, Anda keliru. Karena saya tak punya
rasa curiga, saya merasa seperti akan menjadi gila! Karena saya tidak bodoh.
Karena saya menyadari bahwa bila 'kecelakaan-kecelakaan' itu bukan kecelakaan,
semua itu tentu telah diciptakan oleh seseorang yang sangat dekat - seseorang yang
mengenal saya. Dan itulah yang mengerikan. Karena saya sama sekali tak punya
dugaan - sedikit pun tidak - siapa seseorang itu."
Sekali lagi ia pergi ke jendela dan melihat ke luar. Poirot memberi isyarat
padaku supaya tidak berbicara. Kurasa ia berharap akan ada pernyataan
selanjutnya, setelah kontrol diri gadis itu hancur.
Waktu gadis itu berbicara lagi, suaranya lain sekali, seperti suara orang yang
sedang bermimpi. "Tahukah Anda bahwa saya sudah lama punya suatu keinginan" Saya mencintai End
House, Sudah lama saya ingin mementaskan suatu sandiwara di situ. Sandiwara itu
harus merupakan drama yang punya ciri tersendiri. Saya sudah membayangkan
bermacam-macam sandiwara yang bisa dipentaskan di situ. Dan sekarang saya merasa
seolah-olah suatu drama sedang dimainkan di situ. Tapi saya bukan produsernya.
Saya memegang peran di dalamnya! Saya benar-benar ikut main dalam sandiwara itu!
Barangkali saya yang akan menjadi orang mati dalam adegan pertama...."
Suaranya terputus. "Ah, sudahlah, Mademoiselle." Suara Poirot penuh semangat dan ceria. "Tak ada
gunanya kita begini terus. Ini namanya histeris."
Ia berbalik, lalu memandang Poirot dengan tajam.
"Apakah Freddie yang mengatakan pada Anda bahwa saya histeris?" tanyanya. "Dia
berkata bahwa saya kadang-kadang histeris. Tapi Anda jangan selalu percaya apa
kata Freddie. Soalnya, kadang-kadang dia... dia lain dari biasanya."
Keadaan hening sebentar. Kemudian Poirot menanyakan sesuatu yang sama sekali tak
ada hubungannya. "Eh. Mademoiselle, pernahkah ada orang yang menyatakan ingin membeli End House?"
tanyanya. "Membeli End House?"
"Ya." "Tidak. Tak ada."
"Apakah Anda mau mempertimbangkan untuk menjualnya, kalau ada orang yang
menawarkan harga yang baik?"
Nick berpikir sebentar. "Tidak, saya rasa tidak. Maksud saya, kecuali kalau tawaran itu demikian
tingginya, hingga bodoh sekali saya bila tidak menerimanya."
"Precisement."* (*Tepat sekali.)
"Tapi saya tak ingin menjualnya, karena saya menyayangi rumah itu."
"Tentu. Saya mengerti."
Nick berjalan perlahan-lahan ke arah pintu.
"Ngomong-ngomong. malam ini akan ada pesta kembang api. Maukah Anda datang" Kita
makan malam jam delapan. Pesta kembang apinya dimulai jam setengah sepuluh. Kita
bisa melihatnya dengan jelas, dari kebun yang menghadap ke pelabuhan."
"Pasti saya akan terpesona melihatnya."
"Anda berdua tentu harus datang," kata Nick.
"Terima kasih banyak," kataku.
"Hanya dengan pesta kita bisa menghidupkan kembali semangat yang lesu ini," kata
Nick. Lalu ia keluar sambil tertawa.
"Kasihan anak itu," kata Poirot.
Ia menjangkau topinya, lalu dengan cermat menjentik sebutir debu yang kecil
sekali dari permukaan topi itu.
"Akan pergikah kita?" tanyaku.
"Mais oui,* (*tentu saja) ada urusan penting yang harus kita lakukan, mon ami."
"Ya, tentu. Aku mengerti."
"Otakmu yang cemerlang tentu bisa mengerti, Hastings."


Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perkantoran Messrs. Vyse. Trevannion & Wynnard terletak di jalan utama kota.
Kami menaiki tangga ke lantai dua, dan masuk ke sebuah ruangan di mana ada tiga
orang yang sedang menulis. Poirot minta bertemu dengan Mr. Charles Vyse.
Seorang pegawai menggumamkan beberapa patah kata di telepon. Agaknya ia
mendapatkan jawaban positif, lalu ia berkata bahwa Mr. Vyse bersedia menemui
kami - sekarang. Ia berjalan mendahului kami, menyeberangi lorong rumah, mengetuk
sebuah pintu, lalu menyingkir sambil mempersilakan kami masuk.
Mr. Vyse bangkit dari balik meja tulis besar yang penuh dengan surat resmi. Ia
menyambut dan menyalami kami.
Ia seorang pria muda yang tinggi, agak pucat, dan air mukanya tidak membayangkan
perasaan apa-apa. Kedua sisi pelipisnya mulai agak botak, dan ia memakai
kacamata. Rambut dan matanya pucat dan sulit dipastikan warnanya.
Poirot datang dalam keadaan siap. Untunglah ia membawa semacam surat perjanjian
yang pada saat itu belum ditandatangani. Ada beberapa hal teknis sehubungan
dengan surat perjanjian itu, yang memerlukan nasihat Mr. Vyse.
Mr. Vyse berbicara dengan berhati-hati dan cermat. Ia segera bisa menghilangkan
keragu-raguan yang dikemukakan Poirot, dan bisa pula menjelaskan beberapa soal
mengenai peristilahan dalam surat perjanjian itu.
"Saya berterima kasih sekali pada Anda," kata Poirot. "Anda tentu mengerti bahwa
sebagai seorang asing, urusan-urusan resmi dan penggunaan kata-kata tentu sulit
sekali bagi saya." Pada saat itulah Mr. Vyse bertanya siapa yang memberitahu Poirot untuk datang
padanya. "Miss Buckley," sahut Poirot langsung. "Dia saudara sepupu Anda, bukan" Dia
seorang gadis yang menarik sekali. Saya kebetulan bercerita padanya bahwa saya
sedang kebingungan, dan dia memberitahukan supaya saya datang pada Anda. Saya
sudah mencoba menemui Anda pada hari Sabtu siang, kira-kira jam setengah satu,
tapi Anda sedang keluar."
"Ya, saya ingat. Saya pulang lebih awal pada hari Sabtu."
"Pasti Mademoiselle, sepupu Anda itu, merasa kesepian di rumah besar itu, ya"
Kalau tak salah, dia tinggal seorang diri di situ."
"Ya, memang." "Mr. Vyse, izinkan saya bertanya, apakah ada kemungkinan rumah itu akan dijual?"
"Saya rasa tidak."
"Anda tentu mengerti bahwa saya tidak asal bertanya. Saya punya alasan! Saya
sendiri sedang mencari rumah dan tanah seperti itu. Iklim di St. Loo ini membuat
saya tertarik. Rumah itu kelihatannya memang memerlukan perbaikan besar. Saya
rasa selama ini tak pernah dikeluarkan biaya untuk perbaikan, ya" Sehubungan
dengan itu, apakah tak mungkin Mademoiselle mempertimbangkan suatu tawaran untuk
menjualnya saja?" "Kemungkinan itu sama sekali tak ada." Charles Vyse menggeleng dengan penuh
keyakinan. "Sepupu saya sayang sekali pada rumah itu. Tak ada satu hal pun yang
bisa mendorongnya untuk menjualnya, saya tahu betul itu. Soalnya rumah itu
merupakan rumah keluarga."
"Saya mengerti, tapi..."
"Sama sekali tak mungkin. Saya kena! betul sepupu saya itu. Dia benar-benar
sayang pada rumah itu."
Beberapa menit kemudian, kami sudah berada di jalan lagi.
"Nah, sahabatku," kata Poirot, "kesan apa yang kaudapatkan tentang M. Charles
Vyse?" Aku berpikir. "Suam kesan yang negatif sekali," kataku akhirnya. "Dia aneh dan negatif
sekali." "Bisakah dikatakan bahwa pribadinya lemah?"
"Bukan begitu. Dia jenis orang yang takkan kita ingat bila kita bertemu lagi
dengannya. Orang yang tak ada istimewanya."
"Penampilannya memang sama sekali tidak menarik. Apakah kau mendengar
pertentangan dalam percakapanku dengannya tadi?"
"Ada," kataku lambat-lambat. "Sesuatu yang sehubungan dengan penjualan End
House." "Tepat. Bisakah kita menyatakan bahwa Mademoiselle 'sayang sekali' pada rumah
itu, setelah kita mendengar kata-katanya sendiri?"
"Kata-kata itu terlalu berlebihan."
"Padahal M. Vyse bukan jenis orang yang biasa menggunakan kata-kata berlebihan.
Sikapnya yang wajar - yang selalu resmi - lebih cenderung merendah daripada memberi
tekanan berlebihan. Tapi dia berkata bahwa Mademoiselle sayang sekali pada rumah
nenek moyangnya itu."
"Padahal tadi pagi gadis itu tidak memberikan kesan begitu," kataku. "Kupikir
dia berbicara dengan akal sehat mengenai rumah itu. Kelihatannya dia memang
sayang pada rumah itu - seperti biasanya orang-orang seperti dia - tapi tak lebih
dari itu." "Jadi yang jelas, salah seorang di antara mereka lelah berbohong," kata Poirot
sambil merenung. "Tapi kita tak bisa menduga Vyse berbohong."
"Jelas ada alasannya kalau seseorang harus berbohong," kata Poirot. "Ya, pria
itu sok menentukan, seperti seorang presiden saja. Apakah kau melihat yang lain
lagi, Hastings?" "Apa itu?" "Dia tidak berada di kantornya pada hari Sabtu, jam setengah satu."
7 TRAGEDI NICK adalah orang yang pertama-tama kami jumpai waktu kami tiba di End House
malam itu. Ia sedang berjalan kian-kemari dengan ceria, di dalam ruangan besar.
Ia mengenakan sehelai kimono besar bergambar naga.
"Oh. Anda!" "Mademoiselle, maaf. kami mengganggu!"
"Saya mengerti. Maafkan, mungkin kata-kata saya kasar tadi. Soalnya saya sedang
menunggu baju saya. Mereka - setan-setan itu - sudah berjanji sungguh-sungguh untuk
mengantarnya!" "Oh! Persoalan pakaian rupanya! Malam ini ada acara dansa, rupanya?"
"Ya. Kita semua akan meneruskan dengan acara dansa, setelah pesta kembang api.
Maksud saya, begitulah rencananya."
Suaranya tiba-tiba merendah. Tapi kemudian ia tertawa lagi.
"Jangan pernah merendah! Itulah semboyan saya. Jangan pikirkan kesulitan, maka
kesulitan itu takkan datang! Malam ini saya sudah memiliki keberanian lagi. Saya
akan ceria dan bersenang-senang."
Terdengar langkah-langkah orang di tangga. Nick menoleh.
"Oh! Ini Maggie. Maggie, ini detektif-detektif yang melindungiku dari penyerang-
penyerang rahasia itu. Tolong bawa mereka ke ruang tamu utama, dan mintalah agar
mereka menceritakan soal itu padamu."
Kami bergantian bersalaman dengan Maggie Buckley, dan sebagaimana diminta oleh
Nick, kami diajaknya masuk ke ruang tamu utama. Aku langsung mendapatkan kesan
yang baik tentang gadis itu.
Kurasa penampilannya yang tenang dan akal sehat yang dimilikinyalah yang paling
menarik. Ia seorang gadis pendiam, pantas dalam bergaya dengan cara kuno, dan ia
sama sekali tidak cantik. Di wajahnya ia tidak memakai make-up, dan ia
mengenakan pakaian malam yang sederhana, yang sudah agak tua. Matanya biru dan
membayangkan kejujuran, sedangkan suaranya halus dan menyenangkan.
"Nick telah menceritakan hal-hal yang luar biasa," katanya.
"Pasti dia telah melebih-lebihkan, ya" Siapa sih yang ingin menyakiti Nick" Tak
mungkin dia punya musuh!"
Nada suaranya jelas membayangkan rasa tak percaya. Ia melihat pada Poirot dengan
pandangan tak menyenangkan. Aku mengerti bahwa bagi gadis seperti Maggie
Buckley, orang-orang asing selalu mencurigakan.
"Padahal saya bisa memastikan bahwa itu benar, Miss Buckley," kata Poirot dengan
tenang. Gadis itu tak menyahut, tapi wajahnya tetap membayangkan rasa tak percaya.
"Malam ini Nick kelihatan seperti orang linglung," katanya. "Saya tak tahu ada
apa dengannya. Dia kelihatan kacau sekali."
Kata linglung itu membuatku merasa bergidik. Lalu sesuatu dalam suaranya pun
membuatku jadi ingin tahu.
"Apakah Anda orang Skot, Miss Buckley?" tanyaku mendadak.
"Ibu saya orang Skot," jelasnya.
Kulihat pandangannya terhadap diriku lebih baik daripada terhadap Poirot. Aku
jadi merasa bahwa bila aku yang mengemukakan persoalan itu, akan lebih berarti
baginya daripada bila Poirot yang melakukannya.
"Saudara sepupu Anda itu sangat berani," kataku, "Dia bertekad untuk bersikap
seperti biasa." "Memang hanya itu yang bisa dilakukannya, bukan?" kata Maggie. "Maksud saya,
bagaimanapun perasaan kita, tak ada gunanya diributkan. Itu hanya akan membuat
suasana tak enak bagi orang lain." Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan dengan
suara halus, "Saya sayang sekali pada Nick. Dia selalu baik pada saya."
Kami tak dapat berkata apa-apa lagi, karena pada saat itu Frederica Rice masuk
ke dalam ruangan. Ia mengenakan gaun berwarna biru Madonna, dan ia kelihatan
halus dan rapuh sekali. Lazarus segera menyusulnya, lalu Nick masuk dengan
ceria. Ia mengenakan gaun hitam, di pundaknya tergantung sehelai syal tua
bergaya Cina, yang bagus sekali, warnanya merah cerah berkilat.
"Halo, semuanya," katanya. "Mari minum koktail."
Kami semua minum. Lazarus mengangkat gelasnya ke arah Nick.
"Cantik sekali syal itu, Nick," katanya. "Itu pasti sudah tua, ya?"
"Ya, ini oleh-oleh dari kakek buyutku, Timothy, dari perjalanannya."
"Cantik - benar-benar cantik. Biar dicari ke mana pun, pasti takkan bisa ditemukan
lagi yang seperti itu."
"Rasanya pun hangat," kata Nick. "Enak sekali kalau kita nonton pesta kembang
api nanti. Apalagi warnanya cerah. Aku... aku benci warna hitam."
"Ya," kata Frederica, "selama ini kurasa aku memang tak pernah melihatmu memakai
baju hitam, Nick. Mengapa kau memakainya sekarang?"
"Entahlah." Gadis itu mengelak dengan gerakan marah, tapi aku sempat melihat
sekilas gerakan bibirnya yang membayangkan rasa tersiksa. "Siapa yang tahu
mengapa seseorang melakukan sesuatu?"
Kami pergi makan malam. Seorang pelayan laki-laki yang misterius muncul. Kurasa
ia disewa untuk kesempatan itu. Makanannya biasa-biasa saja. Sebaliknya,
sampanyenya enak. "George belum muncul," kata Nick. "Menjengkelkan sekali. Dia harus kembali ke
Plymouth kemarin malam. Tapi kurasa dia akan berusaha datang malam ini. Entah
kapan, mungkin pada saat acara dansa dimulai, Untuk Maggie sudah kusediakan
seorang pasangan. Lumayan untuk ditampilkan, meskipun tidak terlalu menarik."
Samar-samar terdengar bunyi deru mesin lewat jendela.
"Ah, sialan speedboat itu," kata Lazarus. "Bosan aku mendengarnya."
"Itu bukan bunyi speedboat," kata Nick. "Itu pesawat terbang laut."
"Kurasa kau benar."
"Tentu saja aku benar. Bunyinya lain sekali."
"Kapan kau akan membeli pesawat terbangmu, Nick?"
"Kalau aku sudah bisa mengumpulkan uangnya," kata Nick sambil tertawa.
"Lalu pasti kau akan terbang ke Australia, seperti gadis itu - siapa namanya?"
"Ingin sekali memang."
"Aku kagum sekali pada gadis itu," kata Mrs. Rice dengan suaranya yang terdengar
letih. "Betapa beraninya dia! Seorang diri lagi!"
"Aku kagum pada semua penerbang," kata Lazarus. "Kalau saja Michael Seton
berhasil dalam penerbangannya keliling dunia, dia pasti akan menjadi pahlawan -
itu memang pantas. Sayang sekali dia mengalami kecelakaan itu. Inggris sangat
rugi kehilangan orang seperti dia."
"Mungkin saja dia masih selamat," kata Nick.
"Tak mungkin! Kemungkinannya satu berbanding seribu. Kasihan si Seton gila itu."
"Ya, orang selalu menyebutnya Seton gila, ya?" kata Frederica.
Lazarus mengangguk. "Dia berasal dari suatu keluarga yang agak tak waras," kata Lazarus. "Pamannya,
Sir Matthew Seton, yang baru meninggal kira-kira seminggu yang lalu itu, benar-
benar gila." "Bukankah dia jutawan gila yang mengelola tempat pelestarian burung itu?" tanya
Frederica. "Dia juga pernah membeli pulau-pulau. Dia benci sekali pada wanita. Kurasa dia
pernah dikhianati oleh seorang wanita. Dan untuk menghibur diri, dia mempelajari
sejarah alam." "Mengapa kaupastikan bahwa Michael Seton meninggal?" Nick berkeras. "Aku masih
belum melihat alasan untuk putus harapan."
"Oh, ya, kau kenal dia, ya?" kata Lazarus. "Aku lupa."
"Aku dan Freddie bertemu dengannya di Le Touquet, tahun lalu," kata Nick. "Dia
hebat sekali, bukan, Freddie?"
"Jangan tanya padaku, Sayang. Kaulah yang telah memenangkannya, bukan aku. Dia
pernah mengajakmu terbang, bukan?"
"Ya, di Scarborough. Menyenangkan sekali."
"Apakah Anda pernah terbang, Kapten Hastings?" tanya Maggie padaku dengan nada
sopan. Aku harus mengakui bahwa penerbangan pulang-pergi ke Paris merupakan satu-
satunya pengalaman terbang bagiku.
Tiba-tiba, sambil berseru, Nick melompat bangkit.
"Ada telepon. Jangan tunggu aku. Hari sudah larut. Dan aku telah mengundang
banyak orang." Ia meninggalkan ruangan. Aku melihat ke arlojiku. Waktu itu tepat jam sembilan.
Orang menghidangkan makanan penutup dan minuman. Poirot dan Lazarus asyik
berbincang-bincang tentang seni. Lazarus sedang berkata bahwa lukisan merupakan
candu berat di pasaran sekarang. Lalu mereka terus membahas pikiran-pikiran baru
mengenai perabot rumah tangga dan dekorasi.
Aku menjalankan tugasku dengan mengajak Maggie Buckley bercakap-cakap. Tapi
harus kuakui bahwa gadis itu adalah teman bicara yang sulit. Ia menjawab dengan
cara yang menyenangkan, tapi ia tak pernah melemparkan bahan pembicaraan baru.
Sungguh suatu tugas yang sulit.
Frederica Rice duduk diam-diam sambil merenung. Sikunya bertelekan di meja, dan
asap rokoknya berputar-putar di sekeliling kepalanya yang berambut pirang. Ia
kelihatan seperti bidadari yang sedang bersemedi.
Baru jam sembilan lewat dua puluh menit. Nick menjengukkan kepalanya di pintu.
"Ayo keluar semua! Orang-orang akan berdatangan berpasang-pasangan."
Kami berdiri dengan patuh. Nick sibuk menyambut tamu-tamu yang datang. Kira-kira
dua belas orang yang diundangnya. Kebanyakan kurang menarik. Kulihat Nick adalah
seorang nyonya rumah yang baik. Sikap hidupnya yang modem disingkirkannya, dan
ia menyambut setiap tamu dengan cara kuno. Di antara para tamu kulihat Charles
Vyse. Setelah itu, kami semua pindah ke kebun, ke suatu tempat yang menghadap ke laut
dan ke pelabuhan. Beberapa buah kursi telah disiapkan di situ untuk orang-orang
tua, tapi kebanyakan di antara kami berdiri saja. Kembang api yang pertama
menyala di langit. Pada saat itu kudengar suatu suara nyaring yang kukenal, dan waktu aku menoleh,
kulihat Nick menyambut Mr. Croft.
"Sayang sekali Mrs. Croft tak bisa datang," kata Nick. "Seharusnya kita angkut
dia dengan tandu atau sesuatu."
"Memang buruk sekali nasib si Mama. Tapi dia tak pernah mengeluh. Wanita itu
punya sifat yang manis sekali. Ha! Itu bagus sekali." Waktu itu sebuah kembang
api yang merupakan hujan emas nampak di langit.
Malam itu gelap - bulan tak ada - tiga hari lagi bulan baru akan muncul. Sebagaimana
biasanya musim panas, waktu itu udaranya dingin. Maggie Buckley yang berdiri di
sampingku menggigil. "Saya akan masuk mencari mantel," gumamnya.
"Biar saya yang mengambilkan."
"Jangan, Anda tak tahu tempatnya."
Ia berbalik ke arah rumah. Pada saat itu terdengar Frederica Rice berseru,
"Oh, Maggie, tolong ambilkan kepunyaanku juga, ya" Ada di dalam kamarku."
"Dia tak mendengar," kata Nick. "Biar aku yang mengambilkan, Freddie. Aku akan
mengambil mantel buluku juga. Syal ini sama sekali tak cukup hangat. Anginnya
keras." Memang angin keras sedang bertiup dari laut.
Ada beberapa kembang api yang dinyalakan dari dermaga. Aku terlibat percakapan
dengan seorang wanita yang agak tua, yang berdiri di sebelahku, yang dengan
gigih memberikan ceramah mengenai hidup, karier, selera, dan kemungkinan berumur
panjang. Dor! Hujan bintang-bintang hijau memenuhi langit. Bintang-bintang kecil itu
berubah menjadi biru, lalu merah, dan kemudian berwarna perak.
Sebuah lagi dan sebuah lagi.
"'Oh!' dan 'Ah!' begitulah kata orang-orang," kata Poirot tiba-tiba di dekat
telingaku. "Akhirnya jadi membosankan, ya" Huh! Rumputnya membuat kaki dingin!


Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bisa-bisa aku menggigil kalau begini. Apalagi tak mungkin bisa mendapatkan
minuman hangat." "Menggigil" Pada malam seindah ini?"
"Malam yang indah! Malam yang indah! Kau berkata begitu karena kita tidak
diguyur hujan malam ini! Bila hujan tidak turun, selalu disebut malam yang
indah. Tapi aku yakin, sahabatku, kalau saja ada termometer, baru kau melihat."
"Yah," kuakui, "aku tidak keberatan memakai mantel."
"Itu namanya akal sehat. Soalnya kau datang dari negeri beriklim panas."
"Biar kubawakan sekali kepunyaanmu."
Poirot mula-mula mengangkat kakinya sebelah, lalu yang sebelah lagi, bergantian
seperti gerakan kucing. "Aku takut kakiku basah. Apa kaupikir kau bisa membawakan sekalian sepatu
karet?" Aku menahan senyum. "Tak mungkin bisa," kataku. "Kau kan tahu, Poirot, bahwa orang tidak memakai
begituan lagi?" "Kalau begitu, aku akan duduk di dalam rumah saja," katanya. "Mana aku mau masuk
angin lalu pilek, gara-gara pertunjukan kembang api Guy Fawkes ini! Bisa-bisa
aku sakit radang paru-paru."
Kami pun berjalan menuju rumah, Poirot tak henti-hentinya mengomel dengan
berbisik. Dari tempat kami berada, masih terdengar tepuk tangan nyaring dari
dermaga di bawah, di mana satu set kembang api dipertunjukkan lagi. Waktu itu
yang dipertunjukkan adalah suatu rangkaian yang bertulisan SELAMAT DATANG PADA
SEMUA TAMU KAMI. "Pada dasarnya, kita ini tetap anak-anak," kata Poirot. "Kita menyukai kembang
api, pesta-pesta, permainan-permainan, pesta dansa, ya, bahkan ahli sulap, orang
yang pandai menipu mata, betapapun cermat kita memperhatikannya. Yah, untuk apa
itu semua?" Pada saat itu, aku menangkap dan mencengkeram lengannya dengan sebelah tanganku,
sedangkan dengan tangan yang sebelah lagi aku menunjuk.
Kami berada dalam jarak hampir seratus meter dari rumah, dan tepat di depan
kami, di antara kami dan pintu yang terbuka, terbaring suatu sosok dalam keadaan
meringkuk, terbungkus syal Cina berwarna merah hati....
"Mon Dieu!"* (*Tuhanku!) bisik Poirot. "Mon Dieu."
8 SYAL KEMATIAN KURASA tak lebih dari empat puluh detik kami berdiri di situ, membeku karena
ngeri, tanpa bisa bergerak. Tapi rasanya satu jam. Lalu, sambil menepiskan
tanganku, Poirot bergerak maju. Gerakannya kaku seperti robot.
"Terjadi juga rupanya," gumamnya. Sulit rasanya aku menggambarkan kegetiran
bercampur kesedihan dalam suaranya. "Meskipun kita telah melakukan segala-
galanya, meskipun kita telah begitu waspada, terjadi juga! Ah! Alangkah jahat
dan tololnya aku! Mengapa aku tidak mengawalnya dengan lebih ketat! Seharusnya
aku sudah tahu ini akan terjadi - aku seharusnya sudah tahu. Sebenarnya tak
sedetik pun aku boleh meninggalkannya!"
"Jangan salahkan dirimu," kataku.
Lidahku terasa kaku, dan sulit rasanya aku mengucapkan kata-kata.
Poirot hanya menjawab dengan menggeleng. Ia berlutut di dekat korban.
Pada saat itulah kami mengalami shock untuk kedua kalinya. Karena pada saat itu
suara Nick melengking dengan jelas dan ceria, dan sebentar kemudian Nick sendiri
muncul di ambang pintu yang berbentuk segi empat. Ia berdiri menghalangi sinar
lampu yang bersinar dari ruangan di belakangnya.
"Maaf, aku terlalu lama, Maggie," katanya. "Soalnya..."
Suaranya terputus. Ia terbelalak melihat pemandangan di hadapannya.
Sambil memekik tajam, Poirot membalikkan mayat yang terbaring di halaman itu.
Aku pun maju mendekat untuk melihat lebih jelas.
Yang kulihat adalah wajah Maggie Buckley yang sudah meninggal.
Sesaat kemudian, Nick sudah berada di sisi kami. Ia berteriak,
"Maggie - oh! Maggie - tidak - tak mungkin...."
Poirot masih memeriksa tubuh gadis itu. Akhirnya ia bangkit perlahan-lahan
sekali. "Apakah... apakah dia...," suara Nick terputus.
"Ya, Mademoiselle. Dia sudah meninggal."
"Tapi mengapa" Mengapa" Siapa yang ingin membunuhnya?"
Poirot menjawab dengan cepat dan tegas,
"Bukan dia yang ingin dibunuh orang, Mademoiselle! Andalah yang ingin mereka
bunuh! Mereka kelim gara-gara syal itu."
Nick berteriak nyaring. "Mengapa bukan aku?" ratapnya. "Oh! Mengapa bukan aku saja" Lebih baik aku yang
mati sekarang. Aku tak ingin hidup. Aku... aku ingin sekali... aku rela...
mati." Ia mengangkat kedua belah tangannya tanpa kendali, agak terhuyung. Aku cepat-
cepat melingkarkan lenganku ke tubuhnya, untuk menopangnya.
"Bawa dia masuk ke rumah, Hastings," kata Poirot. "Lalu telepon polisi."
"Polisi?" "Mais oui! Katakan pada mereka bahwa ada seseorang yang tertembak. Setelah itu,
kau harus tetap berada di dekat Mademoiselle Nick. Jangan sekali-kali
meninggalkan dia!" Aku mengangguk, menyatakan bahwa aku mengerti instruksi-instruksi itu. Dan
sambil menopang gadis yang setengah pingsan itu, aku masuk melalui pintu ruang
tamu utama. Di sana gadis itu kubaringkan di sofa, kepalanya kusangga dengan
sebuah bantal kursi. Lalu aku bergegas keluar ke lorong rumah, untuk mencari
pesawat telepon. Aku terkejut sekali, karena aku hampir bertabrakan dengan Ellen. Ia sedang
berdiri dengan air muka yang aneh sekali pada wajahnya yang lemah. Matanya
berkilat, dan ia membasahi bibirnya dengan lidah. Tangannya gemetar karena
merasa kacau. Begitu melihatku, ia berkata,
"Apakah telah terjadi sesuatu, Sir?"
"Ada kecelakaan," kataku mengelak. "Ada yang luka. Saya harus menelepon."
"Siapa yang luka, Sir?"
Wajahnya tampak penuh rasa ingin tahu.
"Miss Buckley. Miss Maggie Buckley."
"Miss Maggie" Miss Maggie" Yakinkah Anda, Sir" Maksud saya, yakinkah Anda
bahwa... bahwa dia Miss Maggie?"
"Saya yakin sekali. Mengapa?"
"Oh! Tak apa-apa. Sa... saya pikir, mungkin salah seorang tamu wanita yang lain.
Saya pikir mungkin... Mrs. Rice."
"Sudahlah," kataku. "Mana telepon?"
"Di kamar kecil, di sini, Sir." Dibukanya pintu kamar itu, lalu ditunjukkannya
pesawat itu. "Terima kasih," kataku. Dan karena kelihatannya ia berniat untuk berlama-lama,
kutambahkan, "Hanya itu saja. Terima kasih."
"Bila Anda memerlukan Dr. Graham..."
"Tidak, tidak," kataku. "Itu saja. Pergilah."
Ia mengundurkan diri dengan enggan dan lambat-lambat sekali. Mungkin saja ia
memasang telinga di luar pintu, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Bagaimanapun juga, sebentar lagi ia pasti tahu semua yang ingin diketahuinya.
Aku dihubungkan dengan kantor polisi, dan aku pun menyampaikan laporanku.
Kemudian, atas inisiatifku sendiri, aku menelepon Dr. Graham yang disebut Ellen
tadi. Nomor teleponnya kutemukan di dalam buku. Soalnya, kupikir Nick
kelihatannya memerlukan perawatan, meskipun dokter sudah tak bisa berbuat apa-
apa lagi untuk gadis yang terbaring di luar sana. Ia berjanji akan segera
datang. Kugantungkan kembali alat penerima telepon, lalu keluar ke lorong rumah
lagi. Kalaupun Ellen tadi memasang telinga di luar pintu, ia telah berhasil menghilang
dengan cepat. Tak ada seorang pun yang kelihatan waktu aku keluar. Aku kembali
ke ruang tamu utama. Nick sedang mencoba duduk.
"Bisakah... Anda... menolong mengambilkan brendi?"
"Tentu." Aku cepat-cepat pergi ke ruang makan. Setelah menemukan apa-apa yang kuperlukan,
aku cepat-cepat kembali. Setelah minum brendi beberapa teguk, tenaga gadis itu
tampak pulih kembali. Pipinya mulai memerah. Kuperbaiki letak bantal di bawah
kepalanya. "Semuanya... mengerikan sekali." Ia gemetar. "Segala-galanya... dan di mana-
mana." "Saya tahu itu, Anak manis. Saya tahu."
"Tidak, Anda tak tahu! Tak mungkin Anda tahu! Semuanya sia-sia. Kalau saja saya
yang menjadi korban, segala-galanya akan beres...."
"Jangan," kataku. "Anda tak boleh berpikiran begitu."
Ia hanya menggeleng, dan terus berkata, "Anda tak tahu! Anda tak tahu!"
Lalu tiba-tiba ia menangis terisak perlahan-lahan, seperti anak kecil. Kurasa
itulah yang terbaik untuknya, jadi aku tak berusaha menahan air matanya.
Waktu tangisnya yang sedih itu sudah mulai reda, aku perlahan-lahan menyeberang
ke jendela dan melihat ke luar. Beberapa menit sebelumnya, aku telah mendengar
suara orang-orang berteriak. Kini semua orang sudah berada di tempat itu. Mereka
membentuk setengah lingkaran di sekeliling tempat peristiwa menyedihkan itu
terjadi, sedangkan Poirot yang bertindak sebagai pengawal yang baik, menahan
mereka. Sementara aku memperhatikan mereka itu, tampak dua orang berseragam datang
dengan langkah-langkah tegap, menyeberangi rumput. Polisi telah tiba.
Diam-diam aku kembali ke tempatku di dekat sofa. Nick mengangkat wajahnya yang
berbekas air mata. "Apakah saya harus berbuat sesuatu?"
"Jangan, Anak manis. Poirot akan mengurus segala-galanya. Serahkan saja
padanya." Nick diam beberapa saat, lalu berkata, "Kasihan Maggie. Kasihan Maggie
tersayang. Dia begitu baik, tak pernah merugikan siapa pun juga selama hidupnya.
Mengapa ini harus terjadi atas dirinya" Saya merasa seolah-olah sayalah yang
telah membunuhnya, karena sayalah yang membawanya kemari."
Aku menggeleng dengan sedih. Manusia memang tak mampu melihat masa depan. Waktu
Poirot menganjurkan agar Nick mengundang seorang teman, ia sama sekali tidak
menyadari bahwa dengan demikian ia telah menandatangani surat perintah kematian
bagi seorang gadis. Kami duduk tanpa berkata apa-apa. Aku ingin sekali tahu apa yang sedang terjadi
di luar, tapi dengan setia aku memenuhi perintah Poirot, dan bertahan di tempat
tugasku. Rasanya berjam-jam kemudian pintu baru terbuka. Poirot masuk, diikuti oleh
seorang inspektur polisi. Mereka disertai pula oleh seorang pria, yang ternyata
Dr. Graham. Ia segera mendatangi Nick.
"Bagaimana perasaan Anda, Miss Buckley" Ini pasti merupakan shock hebat bagi
Anda." Ia meraba nadi Nick. "Tidak terlalu jelek."
Ia menoleh padaku. "Apakah dia sudah diberi sesuatu?"
"Brendi sedikit," sahutku.
"Saya tak apa-apa," kata Nick dengan berani.
"Bisa menjawab beberapa pertanyaan?"
"Bisa." Inspektur Polisi maju mendekat, dengan mendehem terlebih dahulu. Nick mengangguk
padanya dengan senyum dipaksakan.
"Kali ini bukan perkara pelanggaran lalu lintas, bukan?" kata gadis itu.
Agaknya kedua orang itu sudah pernah berurusan sebelumnya.
"Ini urusan yang mengerikan, Miss Buckley," kata inspektur itu. "Saya ikut
prihatin. Saya sudah mendapat keterangan dari Mr. Poirot, yang namanya sudah tak
asing lagi bagi kita - dan kita tentu bangga dia berada di tengah-tengah kita
sekarang - bahwa menurut dia, Anda juga sudah ditembak orang di halaman Hotel
Majestic kemarin pagi?"
Nick mengangguk. "Saya pikir itu hanya seekor lebah," kata Nick menjelaskan. "Tapi rupanya
bukan." "Dan Anda telah mengalami beberapa kecelakaan aneh sebelum itu?"
"Ya. Paling tidak, aneh rasanya bahwa kecelakaan-kecelakaan itu terjadi dalam
jangka waktu yang begitu berdekatan."
Nick bercerita dengan ringkas mengenai beberapa peristiwa.
"Begitu rupanya. Lalu mengapa saudara sepupu Anda itu sampai mengenakan syal
Anda malam ini?" "Kami masuk untuk mengambil mantelnya. Udara agak dingin saat nonton pertunjukan
kembang api di luar itu. Syal saya itu saya lemparkan saja di sofa ini. Lalu
saya naik ke lantai atas, dan mengenakan mantel yang saya pakai ini - mantel dari
bahan yang ringan. Saya juga mengambil mantel untuk teman saya, Mrs. Rice, dari
kamarnya. Itu mantelnya, di lantai di dekat jendela itu. Lalu Maggie berseru
bahwa dia tak bisa menemukan mantelnya. Saya katakan bahwa mantel itu pasti ada
di lantai bawah. Dia turun, lalu berseru lagi bahwa dia masih belum berhasil
menemukannya. Saya katakan, mungkin ketinggalan di dalam mobil. Yang dicarinya
itu mantel dari bahan triko - dia tidak memiliki mantel dari kulit hewan untuk
malam hari. Saya katakan bahwa saya akan meminjaminya kepunyaan saya. Tapi
katanya tak usah, dia akan memakai syal saya saja, kalau saya tak memerlukannya.
Kata saya boleh saja, tapi apakah itu cukup" Dan katanya tak apa-apa, karena dia
tidak terlalu kedinginan. Dia sudah terbiasa dengan udara dingin di Yorkshire.
Asal ada sesuatu saja untuk melindungi dirinya. Kata saya, baiklah, sebentar
lagi saya keluar. Dan waktu saya keluar..."
Ia terhenti, suaranya terputus.
"Jangan sedih, Miss Buckley. Tolong katakan saja, apakah Anda mendengar suatu
suara tembakan - atau dua mungkin?"
Nick menggeleng. "Tidak. Saya hanya mendengar suara kembang api dan letusan petasan."
"Hanya itu saja?" tanya Inspektur. "Yah, kita memang tak bisa mengenali suara
tembakan dalam segala macam keriuhan itu. Saya rasa tak ada gunanya menanyakan
pada Anda, kalau-kalau Anda punya petunjuk mengenai siapa yang mengadakan
serangan-serangan terhadap Anda itu?"
"Saya sama sekali tak tahu," sahut Nick. "Saya tak bisa membayangkan."
"Memang tak mungkin Anda tahu," kata inspektur polisi itu. "Sepanjang
penglihatan saya, itu perbuatan seorang gila yang jahat. Runyam sekali urusan
ini. Nah, saya tak perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan lagi malam ini, Miss,
Saya prihatin sekali dengan segala kejadian ini."
Dr. Graham maju ke depan.
"Saya anjurkan supaya Anda tidak tinggal di sini, Miss Buckley. Saya sudah
membicarakan hal itu dengan M. Poirot. Saya tahu ada sebuah rumah perawatan yang
baik sekali. Anda baru saja mengalami shock. Yang Anda butuhkan adalah istirahat
total...." Nick tidak melihat padanya. Matanya tertuju pada Poirot.
"Apakah benar... karena shock itu?" tanyanya.
Poirot mendekatinya. "Saya ingin Anda merasa aman, mon enfant. Dan saya sendiri juga ingin merasa
yakin bahwa Anda aman. Di sana akan ada seorang perawat - seorang perawat yang
praktis dan rendah hati. Dia akan berada di dekat Anda sepanjang malam. Bila
Anda terbangun dan berteriak, dia akan siap siaga. Mengertikah Anda?"
"Ya," kata Nick. "Saya mengerti. Tapi Anda yang tidak mengerti. Saya tak takut
lagi. Saya tak peduli apa-apa lagi. Kalau ada orang yang ingin membunuh saya,
biar saja." "Ssst, sst," kataku. "Anda sedang tegang."
"Kalian semua tak tahu. Tak ada di antara kalian yang mengerti!"
"Saya rasa, rencana M. Poirot bagus sekali," sela Dokter, membujuknya. "Saya
akan mengantar Anda naik mobil saya. Dan Anda akan saya beri sesuatu, supaya
Anda benar-benar bisa beristirahat malam ini. Nah, bagaimana?"
"Saya tak keberatan," kata Nick. "Berbuatlah seperti yang kalian sukai. Saya tak
peduli." Poirot meletakkan tangannya di atas tangan Nick.
"Saya mengerti, Mademoiselle. Saya tahu bagaimana perasaan Anda. Saya berdiri di
hadapan Anda ini dengan perasaan malu dan tegang di hati. Saya yang telah
menjanjikan perlindungan, tidak berhasil melindungi. Saya telah gagal. Saya ini
tak becus. Tapi percayalah, Mademoiselle, hati saya tersiksa gara-gara kegagalan
itu. Bila Anda tahu betapa penderitaan saya, saya yakin Anda mau memaafkan
saya." "Tak apa-apa," kata Nick, tetap dengan suara tak bersemangat. "Anda tak perlu
menyalahkan diri sendiri. Saya yakin Anda telah berusaha keras. Tak seorang pun
bisa mencegahnya - atau berbuat lebih banyak, saya yakin itu. Janganlah Anda jadi
sedih." "Anda baik hati, Mademoiselle."
"Tidak, saya..."
Pada saat itu timbul suatu gangguan. Pintu terbuka lebar-lebar, dan George


Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Challenger bergegas masuk.
"Ada apa ini?" pekiknya. "Saya baru saja tiba. Saya dapati seorang polisi di
pintu pagar, dan saya dengar desas-desus bahwa ada seseorang yang meninggal. Ada
apa sebenarnya" Apakah... adakah sesuatu yang terjadi atas diri Nick?"
Ketakutan yang terdengar dari suaranya terasa mengerikan. Tiba-tiba baru
kusadari bahwa Poirot dan dokter itu membuat kehadiran Nick jadi sama sekali tak
kelihatan. Sebelum ada orang yang sempat menjawab, Challenger mengulangi pertanyaannya.
"Tolong katakan - katakan bahwa itu tak benar - katakan bahwa Nick tidak mati."
"Tidak, mon ami," kata Poirot dengan halus. "Dia masih hidup."
Lalu ia menyingkir, hingga Challenger bisa melihat sosok kecil yang terbaring di
sofa. Beberapa saat lamanya Challenger hanya menatap gadis itu dengan pandangan tak
percaya. Kemudian, sambil berjalan terhuyung seperti orang mabuk, ia berkata
dengan gagap, "Nick... Nick."
Lalu dijatuhkannya dirinya di sisi sofa, dan sambil menutupi mukanya dengan
kedua belah tangannya, ia meratap dengan suara tertahan, "Nick - kekasihku -
kusangka kau sudah meninggal."
Nick mencoba duduk. "Aku tak apa-apa, George. Jangan bodoh. Aku selamat."
George mengangkat kepalanya, lalu melihat ke sekelilingnya dengan heran.
"Tapi ada seseorang yang meninggal, bukan" Polisi itu berkata begitu."
"Ya," kata Nick. "Maggie. Maggie yang malang. Oh...!"
Wajah Nick mengernyit karena kejang. Dokter dan Poirot mendekatinya lagi. Graham
membantunya berdiri. Berdua dengan Poirot ia mengapit Nick dan menuntunnya
keluar dari kamar itu. "Makin cepat Anda pergi tidur, lebih baik," kata dokter itu. "Saya akan segera
membawa Anda pergi dengan mobil saya. Saya sudah meminta bantuan Mrs. Rice untuk
menyiapkan beberapa lembar pakaian untuk Anda bawa."
Mereka menghilang melalui pintu. Challenger mencengkeram lenganku.
"Saya tak mengerti. Akan mereka bawa ke mana dia?"
Kuberikan penjelasan padanya.
"Oh, begitu. Nah. Kapten Hastings, sekarang demi Tuhan, tolong ceritakan
semuanya pada saya. Mengerikan sekali tragedi ini! Kasihan gadis itu."
"Mari kita minum," kataku. "Anda kacau sekali."
"Saya tak peduli."
Kami pergi ke ruang makan.
"Tahukah Anda," katanya, setelah ia meneguk wiski soda yang keras, "saya pikir
itu Nick." Perasaan Komandan George Challenger sama sekali tak perlu diragukan lagi. Rasa
cintanya pada gadis itu begitu jelas.
9 A SAMPAI J AKU tak yakin apakah aku akan bisa melupakan peristiwa malam berikutnya. Poirot
menjadi korban dari siksaan batin yang disebabkan oleh rasa bersalahnya, hingga
aku ketakutan melihatnya. Tak henti-hentinya ia berjalan hilir-mudik di dalam
kamar, sambil mengutuki dirinya sendiri, dan sama sekali tak mau mendengarkan
sanggahan-sanggahanku yang tulus.
"Apa gunanya aku suka memuji-muji diriku sendiri" Aku sedang menjalani hukuman -
ya, aku sedang dihukum. Aku, Hercule Poirot, selama ini aku terlalu yakin akan
kemampuan diriku." "Tidak-tidak," bantahku.
"Tapi siapa yang bisa membayangkan - siapa yang bisa membayangkan kekurangajaran
yang tak ada taranya itu" Kupikir aku telah mengambil semua langkah pencegahan.
Si pembunuh telah kuberi peringatan."
"Memberi peringatan pada pembunuh?"
"Mais oui. Aku telah menarik perhatian orang pada diriku sendiri. Sudah
kuperlihatkan padanya bahwa aku mencurigai... seseorang. Aku telah membuatnya
merasa betapa akan berbahaya baginya bila dia mengulangi percobaan pembunuhannya
- setidaknya begitulah pikirku. Telah kupasang barisan pengawalan di sekeliling
Mademoiselle. Tapi pembunuh itu menyelinap melalui pengawalan itu! Dengan nekat -
boleh dikatakan di hadapan mata kita sendiri, dia menyelinap melaluinya! Padahal
kita semua ada - -padahal semua orang waspada. Dia berhasil juga mendapatkan
korbannya." "Tapi itu bukan korban yang diinginkannya," aku mengingatkan.
"Itu hanya kebetulan saja! Dan menurutku, itu sama saja. Nyawa seseorang telah
hilang, Hastings. Nyawa siapa yang tak penting?"
"Tentu," kataku, "bukan begitu maksudku."
"Tapi sebaliknya apa yang kaukatakan itu benar. Dan itu membuat keadaan
bertambah buruk - sepuluh kali lebih buruk. Karena si pembunuh masih belum
mendapatkan korban yang diincarnya, kedudukannya jadi berubah - jadi makin
memburuk. Mengertikah kau, sahabatku" Karena itu berarti tidak hanya satu nyawa -
melainkan dua nyawa - yang akan menjadi korban."
"Itu takkan terjadi selama kau masih berada di tempat," kataku dengan berani.
Poirot berhenti, lalu meremas tanganku.
"Merci,* mon ami! Merci! (*terima kasih) Kau masih menaruh kepercayaan pada
orang tua ini - kau masih percaya. Kau telah memberiku semangat baru. Hercule
Poirot takkan gagal lagi. Takkan ada lagi nyawa yang hilang. Aku akan menebus
kesalahanku, karena kau tentu maklum, kesalahan pasti ada! Pasti telah terjadi
kekurangan siasat dan kekeliruan cara kerja pada jalan pikiranku yang biasanya
begitu terencana dengan baik. Aku akan mulai lagi. Ya, aku akan mulai dari awal.
Dan kali ini aku tidak akan gagal."
"Jadi, kau benar-benar yakin bahwa nyawa Nick Buckley masih terancam bahaya?"
tanyaku. "Sahabatku, tak ada alasan lain aku mengirimnya ke rumah perawatan itu."
"Rupanya bukan karena shock?"
"Shock" Bah! Orang bisa saja pulih dari shock di rumahnya sendiri. Tak perlu di
sebuah rumah perawatan. Dalam beberapa hal, bahkan lebih baik di rumah sendiri.
Di sana keadaannya tak menyenangkan. Lantainya dari linolium berwarna hijau,
percakapan antara para perawat, makanan di nampan, dan mandi yang tak sudah-
sudahnya. Tidak, dia kukirim ke sana bukan untuk kesenangan, melainkan demi
keamanan semata-mata. Kepada dokter telah kuceritakan semua hal itu. Dan dokter
sependapat denganku. Dia akan mengatur segala-galanya. Tak seorang pun, mon ami,
akan diizinkan menemui Miss Buckley, bahkan sahabatnya yang terdekat pun tidak.
Hanya kau dan aku yang diperbolehkan. Untuk orang-orang lain - yah! Orang-orang
itu akan diberitahu bahwa larangan itu adalah atas 'perintah dokter'. Ungkapan
yang sangat memberikan kemudahan dan tak bisa dibantah."
"Ya," kataku. "Hanya..."
"Hanya apa, Hastings?"
"Keadaan itu tak bisa terus-menerus."
"Suatu pengamatan yang tajam. Setidaknya, hal itu memberi kita ruang bernapas
yang lebih luas. Dan kau tentu menyadari bahwa sifat operasi kita sudah
berubah." "Berubah bagaimana?"
"Tugas kita yang pertama adalah menjamin keselamatan Mademoiselle. Sekarang
tugas kita jadi jauh lebih sederhana, karena merupakan tugas yang sudah sangat
kita kenal, yaitu tak lebih dan tak kurang, melacak seorang pembunuh."
"Kausebut itu lebih sederhana?"
"Jelas itu lebih sederhana. Sebagaimana telah kukatakan kemarin, si pembunuh
telah menandatangani namanya atas kejahatan itu. Dia telah keluar ke tempat
terbuka." "Apa kaupikir...," aku ragu sebentar, lalu kulanjutkan, "kau kan tidak merasa
bahwa polisi benar" Bahwa ini adalah perbuatan seorang gila. seorang gelandangan
gila dengan kesukaan membunuh?"
"Aku yakin sekali bahwa bukan begitu perkaranya."
"Jadi kau benar-benar yakin bahwa..."
Aku berhenti. Poirot menyudahi kalimatku. Ia berbicara dengan serius sekali.
"Bahwa si pembunuh adalah salah seorang dalam lingkungan Mademoiselle sendiri"
Benar, mon ami, aku yakin akan hal itu."
"Tapi kejadian semalam pasti telah menghapuskan kemungkinan itu. Soalnya kita
semua bersama-sama, dan..."
Ia memotong kata-kataku. "Apakah kau bisa bersumpah, Hastings, bahwa tak ada seorang pun yang pernah
meninggalkan kelompok kecil kita barang sesaat pun, waktu kita berada di atas
batu karang itu" Apa kau bisa bersumpah bahwa setiap orang berada di tempat itu
sepanjang waktu?" "Tidak," kataku lambat-lambat. Aku terkesan oleh kata-katanya, "Kurasa tak bisa.
Malam itu gelap, dan kita boleh dikatakan berpindah-pindah terus kian-kemari.
Pada kesempatan berbeda-beda, aku melihat Mrs. Rice, Lazarus, kau, Croft, Vyse -
tapi tidak sepanjang waktu."
Poirot mengangguk. "Tepat. Pembunuhan itu hanya makan waktu beberapa menit. Kedua gadis itu masuk
ke rumah. Si pembunuh menyelinap pergi tanpa diketahui siapa-siapa, bersembunyi
di balik pohon sycamore, di tengah-tengah halaman berumput itu. Kemudian Nick
Buckley, begitu sangkanya, keluar lagi dari rumah, melewatinya hanya dalam jarak
beberapa meter, dan dia pun melepaskan tiga kali tembakan cepat berturut-turut."
"Tiga?" selaku.
"Ya, kali ini dia tak mau mengambil risiko. Kami menemukan tiga peluru di dalam
tubuhnya." "Itu ada pula risikonya, bukan?"
"Mungkin. Tapi risikonya kurang besar daripada satu tembakan saja. Sebuah pistol
Mauser tidak keras suaranya. Letusannya kurang-lebih sama dengan letupan kembang
api, dan malam itu suaranya terbaur sempurna dengan keributan kembang api."
"Apa kalian menemukan pistolnya?" tanyaku.
"Tidak. Nah, kupikir di situlah letak bukti yang tak bisa dibantah, bahwa itu
bukan perbuatan orang tak dikenal. Bukankah kita sudah sependapat bahwa pistol
Miss Buckley sendiri sudah diambil orang, terutama hanya dengan satu alasan -
supaya kematiannya diduga bunuh diri."
"Ya." "Itu satu-satunya alasan yang jelas ada, bukan" Tapi kini kaulihat, tak ada
tanda-tanda bunuh diri. Si pembunuh tahu bahwa kita tak bisa lagi ditipu begitu.
Sebenarnya dia bahkan sudah tahu bahwa kita sudah mencium kejahatannya!"
Aku berpikir, dan mengakui bahwa uraian Poirot itu masuk akal.
"Menurutmu, pistol itu diapakan?"
Poirot mengangkat bahu. "Itu sulit dikatakan. Tapi bukankah laut dekat sekali" Dengan melemparkannya
kuat-kuat, pistol itu akan tenggelam, dan takkan pernah bisa ditemukan kembali.
Kita tentu tak bisa yakin benar, tapi aku sendiri akan berbuat demikian."
Nada bicaranya yang begitu bersungguh-sungguh membuatku bergidik.
"Apakah... apakah kaupikir dia menyadari bahwa dia telah keliru membunuh orang?"
"Aku yakin dia tidak menyadarinya," kata Poirot dengan tegas. "Ya, itu pasti
merupakan kejutan tak menyenangkan baginya, waktu dia tahu keadaan sebenarnya.
Tidaklah mudah baginya untuk tidak mengubah air mukanya agar tidak mengkhianati
dirinya sendiri." Pada saat itu aku teringat akan sikap aneh Ellen, si pelayan. Tindak-tanduknya
yang aneh itu kuceritakan pada Poirot. Ia sangat tertarik.
"Dia menyatakan sangat terkejut bahwa Maggie yang meninggal, bukan?"
"Terkejut sekali."
"Itu aneh. Padahal, kenyataan bahwa suatu tragedi telah terjadi tidak membuatnya
heran. Ya, ada sesuatu yang harus diselidiki dalam hal itu. Siapa sebenarnya si
Ellen itu" Begitu tenang dan begitu anggun dalam bersikap sebagai orang Inggris
sejati. Mungkinkah dia yang...?" kata-katanya terputus.
"Kalau kau juga melibatkan kecelakaan-kecelakaan itu," kataku, "pasti hanya
seorang laki-lakilah yang bisa menggulingkan batu besar yang berat itu dari
bukit karang." "Tak perlu begitu. Itu cuma masalah tenaga pengungkit. O, ya! Itu bisa saja
terjadi." Ia terus saja berjalan hilir-mudik perlahan-lahan di dalam kamar.
"Semua orang yang berada di End House kemarin malam harus kita curigai. Tapi
tamu-tamu yang lain tidak. Kurasa bukan salah seorang di antara mereka. Kurasa
mereka hanya kenalan biasa saja. Tak ada hubungan akrab antara mereka dan nyonya
rumah yang muda itu."
"Charles Vyse ada juga di situ," kataku.
"O, ya, kita tak boleh melupakan dia. Logisnya, dialah orang yang paling kita
curigai." Ia menggoyang-goyang lengannya dengan sikap putus asa, lalu
mengempaskan diri di kursi di seberangku. "Voila, selalu saja kita harus kembali
pada soal yang sama! Motif! Kita harus menemukan motifnya kalau ingin memahami
kejahatan ini. Dan di situlah aku berulang kali gagal, Hastings. Siapakah yang
mungkin punya motif untuk membinasakan Mademoiselle Nick" Aku telah membiarkan
diriku membuat pengandaian yang bukan-bukan. Aku, Hercule Poirot, telah
menggambarkan bayangan yang paling keji. Aku telah berpikir dengan mental
seorang murahan, yang menyukai sesuatu yang mendebarkan. Sang kakek - Old Nick -
yang dianggap telah menghabiskan uangnya di meja judi. Benarkah dia berbuat
begitu" tanyaku pada diri sendiri. Atau tidakkah dia, sebaliknya, menyembunyikan
uangnya itu" Apakah uang itu tersembunyi di suatu tempat di End House" Terkubur
dalam tanah, di suatu tempat" Dengan berpegang pada kemungkinan itulah kutanyai
Mademoiselle Nick, apakah ada orang yang menyatakan keinginannya untuk membeli
rumah itu. Sebenarnya aku malu harus mengakui hal itu."
"Tahukah kau, Poirot," kataku, "gagasan itu merupakan gagasan cemerlang di
mataku. Mungkin ada sesuatu di situ."
Poirot menggeram. "Bisa dikatakan begitu! Aku tahu bahwa gagasan seperti itu akan menarik bagimu
yang berpikiran romantis, tapi agak kurang berarti. Harta terpendam - ya, kau
pasti menyukai gagasan seperti itu."
"Yah, mengapa tidak."
"Karena, sahabatku, makin biasa-biasa saja suatu penjelasan, makin besar
kemungkinannya. Kemudian mengenai ayah Mademoiselle - aku telah membayangkan
gagasan yang lebih rendah lagi mengenai dia. Dia seseorang yang banyak
bepergian. Andaikan - kataku sendiri - andaikan dia telah mencuri sebuah permata -
mata sebuah patung umpamanya, pendeta-pendeta yang sakit hati lalu mencari
jejaknya. Ya, aku, Hercule Poirot, telah merendahkan dirinya sampai pada titik
serendah itu. "Aku juga punya bayangan lain lagi mengenai ayahnya itu," lanjutnya. "Suatu
gagasan yang lebih terhormat dan lebih masuk akal. Apakah tak mungkin dalam
melanglang buana itu dia menikah untuk kedua kalinya" Dengan demikian, ada
seorang ahli waris yang lebih dekat daripada Charles Vyse. Tapi lagi-lagi hal
itu tidak menjelaskan apa-apa, karena kita dihadapkan pada kesulitan yang sama,
yaitu bahwa tak ada satu pun barang berharga yang diwariskan.
"Tak ada satu pun kemungkinan kuabaikan. Bahkan pernyataan Mademoiselle Nick
sambil lalu mengenai tawaran dari M. Lazarus itu. Ingatkah kau" Tawaran untuk
membeli lukisan kakeknya itu" Pada hari Sabtu yang lalu, aku mengirim telegram
pada seorang ahli, memintanya datang untuk memeriksa lukisan itu. Dialah pria
yang kuceritakan dalam suratku pada Mademoiselle tadi pagi. Seandainya lukisan
itu bernilai beberapa ribu pound umpamanya?"
"Masa seorang pria muda yang kaya seperti Lazarus...?"
"Apakah dia memang kaya" Penampilan saja tidak menjamin. Bahkan suam perusahaan
yang sudah mantap dengan ruang pameran yang mentereng dan segala macam
penampilan yang menunjukkan kekayaannya sekalipun, mungkin saja bertumpu pada
dasar yang busuk. Lalu apa yang dilakukan orang itu" Apakah dalam hal itu orang
itu lalu harus kian-kemari memekikkan betapa sulitnya keadaan" Tidak, orang itu
bahkan membeli sebuah mobil baru yang mewah. Orang itu lalu membelanjakan uang
agak lebih banyak daripada biasanya, dan hidup dengan agak berlebihan. Karena
kau tentu tahu, gengsi itu penting sekali! Tapi adakalanya sebuah perusahaan
besar hancur sama sekali, hingga yang tertinggal tak lebih dari beberapa ribu
pound uang tunai. "Oh, aku tahu!" lanjutnya, sebelum aku sempat menyatakan protesku. "Itu terlalu
dicari-cari, tapi perumpamaan itu lebih baik daripada pendeta yang mendendam
atau harta terpendam. Bagaimanapun juga, hal semacam itu biasa terjadi. Dan kita
tak bisa mengabaikan apa pun juga - apa pun juga yang bisa lebih mendekatkan kita
pada kebenaran." Dengan berhati-hati, diperbaikinya letak barang-barang di atas meja di
hadapannya. Waktu ia berbicara lagi, suaranya terdengar berat dan tenang.
"Motif!" katanya. "Marilah kita kembali ke situ, dan memikirkan hal itu dengan
tenang dan metodis. Pertama-tama, ada berapa macam motifkah dalam pembunuhan
ini" Motif yang manakah yang mendorong orang untuk tak segan mencabut nyawa
seorang manusia lain"
"Untuk sekarang, kita singkirkan kemungkinan penyakit suka membunuh, karena aku
benar-benar yakin bahwa penyelesaian masalah kita bukan di situ letaknya. Kita
singkirkan pula kemungkinan pembunuhan yang dilakukan atas dorongan perasaan
yang timbul seketika, berdasarkan dorongan hati karena kemarahan yang tak


Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkendalikan. Ini merupakan pembunuhan berdarah dingin yang direncanakan. Kalau
begitu, apakah motif-motif yang mendorong pembunuhan itu"
"Pertama-tama adalah keuntungan. Siapakah yang akan mendapatkan keuntungan
dengan kematian Mademoiselle Buckley" Baik secara langsung maupun tak langsung"
Yah, kita bisa mencatat Charles Vyse. Dia akan mewarisi harta, yang kalau
ditinjau secara finansial, mungkin bukan merupakan warisan yang menguntungkan.
Mungkin dia harus melunasi dulu utang yang menjaminkan rumah itu, lalu membangun
vila-vila kecil di tanah itu, dan dengan demikian baru bisa mendapatkan
keuntungan sedikit. Itu mungkin. Mungkin pula tempat itu sesuatu yang berharga
baginya karena dia amat mencintainya - bila rumah itu merupakan rumah keluarga,
umpamanya. Tak dapat diragukan bahwa itu merupakan insting yang tertanam dalam
sekali pada diri beberapa manusia. Dan dalam beberapa perkara yang kuketahui,
itu bisa menjadi penyebab kejahatan. Tapi aku tak bisa melihat motif semacam itu
pada diri M. Vyse. "Ada seorang lain lagi yang akan mendapat keuntungan dari kematian Mademoiselle
Buckley, yaitu sahabat karibnya, Madame Rice. Tapi jumlahnya jelas kecil sekali.
Sepanjang pengetahuanku, tak ada lagi orang yang mendapat keuntungan dari
kematian Mademoiselle Buckley.
"Apakah motif yang lain" Rasa benci - atau cinta yang telah berubah menjadi
kebencian, yang biasa disebut crime passionnel - kejahatan karena nafsu. Nah,
dalam hal ini, kita perhatikan kata-kata Madame Croft yang tajam pengamatannya.
Dikatakannya bahwa baik Charles Vyse maupun Komandan Challenger kedua-duanya
mencintai wanita muda itu."
"Kurasa kita sendiri pun sudah meninjau soal itu," kataku dengan tersenyum.
"Ya, pelaut yang jujur itu agaknya tak bisa menyembunyikan rasa cintanya.
Mengenai pria yang seorang lagi, kita harus mengandalkan ucapan Madame Croft.
Nah, bila Charles Vyse merasa disingkirkan, apakah dia akan demikian
terpukulnya, hingga merasa lebih baik membunuh saudara sepupunya daripada
membiarkannya menjadi istri pria lain?"
"Kedengarannya terlalu melodramatis," kataku ragu.
"Kau sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu kedengarannya tak sesuai dengan sifat
orang Inggris sejati. Aku sependapat. Tapi orang Inggris juga punya emosi,
bukan" Dan laki-laki seperti Charles Vyse itu mungkin sekali mau berbuat
demikian. Dia seorang anak muda yang tertutup. Dia tak mudah memperlihatkan
perasaannya. Padahal orang-orang begitulah yang sering punya perasaan paling
keras. Aku takkan pernah menuduh Komandan Challenger membunuh dengan alasan-
alasan emosional. Tidak, tidak, dia bukan tipe itu. Tapi bagi Charles Vyse - ya,
itu mungkin. Tapi aku sama sekali tak puas.
"Ada satu lagi motif untuk berbuat jahat, yaitu rasa cemburu. Itu kupisahkan
dari motif yang terdahulu, karena rasa cemburu bisa saja tidak bersifat emosi
seksual. Ada pula yang disebut rasa iri. Iri akan kebendaan, iri akan kelebihan
orang lain. Rasa iri semacam itulah yang telah mendorong Iago, tokoh dalam buku
karangan Shakespeare, pengarang kalian yang hebat itu, melakukan kejahatan yang
sangat berhasil - bila ditinjau dari segi profesional."
"Mengapa itu dianggap berhasil?" tanyaku, menyimpang sebentar.
"Parbleau,* (*tentu saja) karena dia menyuruh orang-orang lain melaksanakannya.
Bayangkan seorang penjahat zaman sekarang. Yang tak bisa ditangkap karena dia
sendiri tak pernah melakukan apa-apa. Tapi bukan itu pokok yang sedang kita
bahas. Bisakah semacam rasa cemburu menjadi penyebab kejahatan ini" Siapakah
yang punya alasan untuk merasa iri terhadap Mademoiselle" Apakah dia seorang
wanita lain" Yang ada hanya Madame Rice, padahal sepanjang penglihatan kita, tak
ada persaingan antara kedua wanita itu. Tapi sekali lagi, itu hanya 'sepanjang
penglihatan kita'. Mungkin ada benarnya.
"Dan yang terakhir adalah rasa takut. Mungkinkah Mademoiselle Nick menyimpan
rahasia seseorang" Apakah dia mengetahui sesuatu yang, bila diketahui orang
lain, mungkin akan menghancurkan hidup orang itu" Bila demikian keadaannya,
kurasa kita bisa berkata dengan pasti bahwa dia sendiri tidak menyadarinya. Tapi
ingat, itu hanya suatu kemungkinan. Hanya suatu kemungkinan. Dan karenanya, akan
menjadi lebih sulit lagi. Karena kalaupun ada suatu petunjuk dalam tangannya,
dia memegangnya tanpa disadarinya, dan dia takkan bisa mengatakannya pada kita."
"Apa kau yakin kemungkinan itu ada?"
"Itu suatu hipotesis. Aku mengalihkan perhatianku ke arah itu, karena sulitnya
menemukan teori yang masuk akal di tempat lain. Bila semua kemungkinan lain
sudah kita singkirkan, kita beralih pada satu-satunya kemungkinan yang masih
ada. Dan karena yang lain tak cocok, kita berkata. Pasti ini yang benar."
Lama ia berdiam diri. Akhirnya, setelah terbangun dari renungannya, ia mengambil selembar kertas dan
mulai menulis. "Apa yang kautulis itu?" tanyaku dengan rasa ingin tahu,
"Mon ami, aku sedang membuat suam daftar. Daftar nama orang-orang yang ada di
sekeliling Mademoiselle Buckley. Bila teoriku benar, dalam daftar itu pasti
tercantum nama si pembunuh."
Mungkin selama dua puluh menit dia menulis terus - lalu digeserkannya lembaran-
lembaran kertas itu ke arahku.
"Voila, mon ami. Lihat apa yang bisa kaulakukan dengan daftar itu."
Pada kertas itu tercantum sebagai berikut.
A. Ellen. B. Suaminya yang tukang kebun.
C. Anak mereka. D. Mr. Croft. E. Mrs. Croft. F. Mrs. Rice. G. Mr. Lazarus. H. Komandan Challenger. I. Mr. Charles Vyse. J. " Keterangan-keterangan: A. Ellen. Hal-hal yang mencurigakan. Sikap dan kata-katanya waktu mendengar
tentang kejahatan itu. Punya kesempatan terbesar untuk mengatur kecelakaan-
kecelakaan. Mungkin tahu tentang pistol, tapi tak mungkin mengotak-atik mobil,
dan mental kejahatan agaknya berada di atas tingkatannya.
Motif. Tak ada, kecuali mungkin rasa benci yang ditimbulkan oleh suatu insiden
yang tak disadari. Catatan. Selidiki selanjutnya mengenai kehidupannya sebelumnya. Dan bagaimana
hubungannya secara umum dengan Nick Buckley.
B. Suaminya. Sama dengan di atas. Lebih masuk akal telah mengotak-atik mobil.
Catatan. Harus diwawancarai.
C. Anak. Boleh dikesampingkan.
Catatan. Harus diwawancarai. Mungkin bisa memberikan informasi berharga.
D. Mr. Croft. Hanya satu hal yang dicurigai. Kenyataan: dia naik tangga ke
lantai atas, tempat kamar tidur berada. Langsung memberikan penjelasan yang
mungkin ada benarnya. Tapi mungkin pula tidak! Masa lalunya sama sekali tak
diketahui. Motif. Tak ada. E. Mrs. Croft. Hal-hal yang mencurigakan. Tak ada.
Motif Tak ada. F. Mrs. Rice. Hal-hal yang mencurigakan. Kesempatannya baik sekali. Meminta Nick
Buckley untuk mengambilkan mantelnya. Dengan sengaja menciptakan kesan bahwa
Nick Buckley adalah seorang pembohong, supaya kisah gadis itu mengenai
'kecelakaan-kecelakaan' tidak ditanggapi. Tidak berada di Tavistock waktu
kecelakaan-kecelakaan itu terjadi. Di mana dia berada"
Motif. Keuntungan" Sedikit sekali. Rasa cemburu" Mungkin, tapi tak diketahui
cemburu apa. Catatan. Bicara dengan Nick Buckley mengenai hal itu. Lihat kalau-kalau ada yang
memberi kejelasan pada soal itu. Mungkin ada hubungannya dengan pernikahan
Frederica Rice. G. Mr. Lazarus. Hal-hal yang mencurigakan. Kesempatan pada umumnya. Menawarkan
untuk membeli lukisan. Berkata bahwa rem mobil tak apa-apa (menurut cerita
Frederica Rice). Mungkin sudah berada di sekitar daerah ini sebelum hari Jumat.
Motif. Tak ada, kecuali mungkin keuntungan dari lukisan.
Rasa takut" Tak mungkin. Catatan. Cari tahu di mana Jim Lazarus berada setelah
tiba di St. Loo. Cari tahu mengenai keadaan keuangan Aaron Lazarus dan putranya.
H. Komandan Challenger. Hal-hal yang mencurigakan. Tak ada. Berada di sekitar
tempat kejadian sepanjang minggu lalu, jadi kesempatan untuk menciptakan
'kecelakaan-kecelakaan' baik. Tiba setengah jam setelah pembunuhan. Motif. Tak
ada. I. Mr. Vyse. Hal-hal yang mencurigakan. Tidak berada di kantor pada saat
tembakan dilepaskan di kebun hotel. Punya kesempatan baik. Pernyataan mengenai
penjualan End House perlu diragukan. Bertemperamen tertutup. Mungkin tahu
tentang pistol. Motif Keuntungan" Kecil. Cinta atau rasa benci" Mungkin, sesuai
dengan temperamennya. Rasa takut" Tak mungkin. Catatan. Cari tahu siapa yang
menerima gadaian rumah. Selidiki kedudukan perusahaan Vyse.
J. " Mungkin ada seorang J, umpamanya orang luar. Tapi yang ada hubungannya
dengan salah seorang yang tersebut di atas. Kalau begitu, mungkin, berhubungan
dengan A, D, dan E atau F. Adanya J akan menjelaskan, (1) Mengapa Ellen tidak
terlalu terkejut mendengar terjadinya pembunuhan, juga rasa puas dan rasa senang
yang tampak pada sikapnya (Tapi itu mungkin pula disebabkan orang-orang semacam
dia memang suka mendengar tentang kematian). (2) Alasan mengapa Croft dan
istrinya datang untuk tinggal di pondok. (3) Bisa memberikan motif mengenai rasa
takut yang ada pada Frederica Rice, kalau-kalau rahasianya dibuka, atau rasa
cemburu. Poirot memperhatikan diriku yang sedang membaca.
"Khas Inggris daftar itu, bukan?" katanya dengan bangga. "Aku lebih bersifat
Inggris bila sedang menulis, daripada bila berbicara."
"Ini suatu hasil karya yang istimewa," kataku dengan hangat. "Di sini tercantum
semua kemungkinannya dengan jelas sekali."
"Ya," katanya dengan merenung, waktu ia mengambil kertas itu kembali dariku.
"Satu nama menarik perhatian kita, sahabatku. Charles Vyse. Dia yang punya
kesempatan terbaik. Kita telah memberinya pilihan antara dua motif. Ma foi -
kalau saja itu daftar kuda-kuda pacu, dialah yang akan menjadi pilihan utama,
bukan?" "Dia memang tersangka paling kuat."
"Kau cenderung lebih menyukai yang paling tak mungkin, Hastings. Itu pasti
akibat terlalu banyak membaca cerita-cerita detektif. Dalam kehidupan nyata,
sembilan dari sepuluh keadaan, orang yang paling besar kemungkinannya dan yang
paling nyatalah yang melakukan kejahatan itu."
"Tapi kau kan tidak sungguh-sungguh berpikir bahwa kali ini pun demikian pula
halnya?" "Hanya ada satu hal yang melemahkan kemungkinan itu. Yaitu betapa beraninya
kejahatan itu dilakukan! Sejak semula hal itu sudah menonjol. Oleh karenanya,
sebagaimana kukatakan, motifnya tak jelas."
"Ya, kau mula-mula memang berkata begitu."
"Dan sekarang pun aku berkata begitu lagi."
Dengan gerakan kasar dan mendadak diremas-remasnya kertas itu lalu
dilemparkannya ke lantai.
"Tidak," katanya, waktu aku terpekik menyerukan protesku. "Daftar itu tak ada
gunanya, tapi telah membuat pikiranku terbuka. Aturan dan cara kerja! Itulah
langkah yang pertama. Kita harus menyusun fakta-faktanya dengan rapi dan tepat.
Langkah berikutnya..."
"Ya?" "Langkah berikutnya adalah psikologi. Yaitu pemanfaatan yang tepat dari sel-sel
kelabu yang kecil! Hastings, sebaiknya kau tidur."
"Tidak," sahutku. "Kecuali kalau kau juga tidur. Aku tak akan meninggalkanmu."
"Kau seperti anjing yang setia sekali. Tapi ketahuilah, Hastings, kau takkan
bisa membantu berpikir, Padahal hanya itulah yang akan kulakukan - aku akan
berpikir." Aku tetap menggeleng. "Mungkin kau perlu membahas sesuatu denganku."
"Yah, yah, kau memang seorang sahabat setia. Kuminta sekurang-kurangnya
berbaringlah di kursi malas."
Usul itu kuterima. Sebentar kemudian, kamar terasa mulai bergoyang-goyang dan
tenggelam. Yang terakhir kuingat adalah Poirot memungut kembali kertas yang
sudah tergumpal-gumpal dari lantai, lalu membuangnya dengan rapi ke dalam
keranjang sampah. Setelah itu pasti aku tertidur.
10 RAHASIA NICK HARI sudah siang waktu aku terbangun.
Poirot masih berdiri di tempatnya semalam. Sikapnya juga masih sama, tapi pada
wajahnya tampak perbedaan. Matanya bersinar, berwarna hijau aneh seperti mata
kucing, sebagaimana biasa kulihat.
Dengan susah payah aku duduk tegak. Tubuhku terasa kaku dan tak nyaman. Tidur di
kursi memang seharusnya tak boleh dilakukan oleh orang-orang seusiaku. Namun
setidaknya ada juga akibat baiknya. Aku terbangun tidak dalam keadaan malas dan
masih mengantuk, melainkan dengan pikiran dan otak seaktif waktu aku tertidur.
"Poirot," panggilku, "kau pasti telah menemukan sesuatu."
Ia mengangguk dan membungkukkan tubuhnya sambil mengetuk-ngetuk meja yang ada di
hadapannya. "Tolong, Hastings, jawablah ketiga pertanyaanku ini. Mengapa Mademoiselle Nick
sulit tidur akhir-akhir ini" Mengapa dia membeli gaun hitam" Bukankah dia tak
pernah mengenakan baju hitam" Mengapa semalam dia berkata, 'Saya tak punya apa-
apa lagi untuk hidup - sekarang'?"
Aku menatapnya. Pertanyaan itu agaknya tak ada hubungannya dengan persoalan yang
kami hadapi. "Jawablah pertanyaan-pertanyaan itu, Hastings, jawablah!"
"Yah... yang pertama, katanya akhir-akhir ini dia merasa susah."
"Tepat. Apa yang disusahkannya?"
"Dan mengenai baju hitam itu... yah, semua orang kadang-kadang menginginkan
perubahan." "Sebagai seorang pria beristri, kau sangat tidak menghargai psikologi wanita.
Bila seorang wanita menganggap suatu warna tertentu tak pantas baginya, dia
takkan pernah mau memakainya."
"Dan yang terakhir, yah, wajar saja dia berkata begitu setelah shock hebat yang
dialaminya." "Tidak, mon ami, itu bukan kata-kata yang wajar untuk diucapkan. Bila dia sangat
ketakutan oleh kematian sepupunya, kalau dia menyesali dirinya mengenai kejadian
itu... ya, itu wajar saja. Tapi yang satu lagi tidak. Dia berbicara tentang
kehidupan yang lesu sekali, seolah-olah mengenai sesuatu yang tak dicintainya
lagi. Padahal dia tak pernah memperlihatkan sikap seperti itu. Dulu dia bersikap
menantang. Ya, dia dulu melecehkan kejadian-kejadian. Tapi setelah pertahanannya
runtuh, dia ketakutan. Ingat, dia takut karena hidup begitu manis, dan dia tak
ingin mati. Tapi tidak... dia tak pernah bosan hidup! Tak pernah! Bahkan sebelum
kita makan malam pun tidak. Dalam hal itu, kita telah melihat suatu perubahan
psikologis. Dan itu menarik. Apa yang telah menyebabkan pandangannya berubah?"
"Shock atas kematian saudara sepupunya."
"Aku ingin tahu. Shock itu telah membuatnya berbicara. Tapi seandainya perubahan
itu terjadi sebelumnya, apakah ada sesuatu yang lain yang menjadi penyebabnya?"
"Aku tak tahu apa-apa."
"Berpikirlah, Hastings. Gunakanlah sel-sel kelabumu yang kecil."
"Benarkah...?" "Kapankah kita mendapat kesempatan terakhir untuk mengamat-amatinya?"
"Yah, kurasa sebenarnya pada saat makan malam itulah."
"Tepat. Setelah itu kita hanya melihat dia menerima tamu-tamu, dan membual
mereka merasa senang - semuanya semata-mata sikap yang resmi. Apa yang terjadi
pada saat makan malam akan berakhir, Hastings?"
"Dia pergi ke pesawat telepon," kataku lambat-lambat.
"A la bonheur.* (*Syukurlah.) Akhirnya tiba juga kau ke situ. Dia pergi untuk
menelepon. Lama sekali dia tak berada di tempat. Sekurang-kurangnya dua puluh
menit. Itu lama sekali untuk suatu percakapan di telepon. Siapa yang berbicara
padanya melalui telepon itu" Apa kata mereka" Apakah dia benar-benar menelepon"
Kita harus menyelidiki hal itu, Hastings - apa yang terjadi dalam waktu dua puluh
menit itu. Karena aku yakin benar bahwa di sanalah kita akan mendapatkan
petunjuk yang kita cari."
"Yakin benarkah kau?"
"Mais oui, mais oui! Aku selalu berkata padamu, Hastings, bahwa ada sesuatu yang
tidak diceritakan oleh Mademoiselle. Menurut dia, hal itu tidak berhubungan
dengan peristiwa pembunuhan itu. Tapi aku, Hercule Poirot, aku lebih tahu! Itu
pasti sesuatu yang ada hubungannya. Karena aku selalu berperasaan bahwa ada
suatu faktor yang kurang. Kalau saja tak ada faktor yang hilang itu... wah, akan
jelaslah segala-galanya bagiku! Dan karena kini tak jelas, eh bien... faktor


Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang hilang itu merupakan kunci dari misteri ini! Aku yakin bahwa aku benar,
Hastings. "Aku harus mendapatkan jawaban dari ketiga pertanyaan itu. Setelah itu...
setelah itu barulah aku akan mulai mengerti."
"Yah," kataku sambil meregangkan anggota-anggota tubuhku yang kaku, "kurasa kita
perlu mandi dan bercukur."
Setelah aku selesai mandi dan mengenakan pakaian sehari-hari, barulah aku merasa
enak. Rasa kaku dan lesu hilang, dan keadaan yang tak menyenangkan pun lenyap.
Aku tiba di meja sarapan dengan perasaan bahwa setelah minum kopi panas
secangkir, aku akan pulih kembali.
Aku membaca surat kabar sepintas lalu, tapi tak banyak berita di dalamnya,
kecuali berita yang memastikan kematian Michael Seton. Penerbang yang amat
pemberani itu telah tewas. Aku ingin tahu, apakah besok tajuk-tajuk rencana akan
bermunculan dengan berita: SEORANG GADIS TERBUNUH DALAM PESTA KEMBANG API. SUATU
TRAGEDI MISTERIUS. Umpamanya.
Baru saja aku selesai sarapan, Frederica Rice datang ke mejaku. Ia memakai gaun
sederhana berwarna hitam, dengan leher lembut berwarna putih yang dikerut-kerut
kecil. Ia jadi nampak makin pirang.
"Saya ingin bertemu dengan M. Poirot, Kapten Hastings. Apa dia sudah bangun?"
"Mari saya antar Anda naik," kataku. "Kita pasti akan menemukannya di ruang
duduk." "Terima kasih."
"Mudah-mudahan tidur Anda tidak terlalu terganggu?" kataku saat kami berdua
meninggalkan ruang makan.
"Peristiwa itu mengejutkan sekali," katanya dengan suara seperti orang merenung.
"Meskipun saya tak kenal pada gadis malang itu. Saya takut sekali kalau-kalau
yang tertembak itu Nick."
"Apakah Anda tak pernah bertemu dengan gadis itu?"
"Pernah sekali, di Scarborough. Dia datang bersama Nick ke sana untuk makan
siang." "Ayah dan ibunya pasti akan terpukul sekali," kataku.
"Mengerikan sekali."
Tapi caranya mengucapkan kata-kata itu tanpa perasaan. Kurasa ia seorang wanita
yang egois. Segala sesuatu yang tak ada hubungannya dengan dirinya sendiri,
kurang berarti baginya. Poirot sudah selesai sarapan, dan sedang duduk membaca harian pagi. Ia bangkit
untuk menyambut Frederica menurut tata krama yang biasa.
"Madame," katanya. "Enchante!"* (*Menyenangkan sekali!)
Ia menyodorkan sebuah kursi.
Wanita itu mengucapkan terima kasih padanya dengan senyum samar sekali, lalu
duduk. Kedua belah tangannya diletakkannya di lengan kursi. Ia duduk tegak
sekali, dan melihat ke depan saja. Ia tak ingin cepat-cepat mulai berbicara. Ada
sesuatu yang mengerikan pada sikapnya yang diam menyendiri.
"M. Poirot," katanya akhirnya, "saya rasa kejadian semalam itu pasti merupakan
satu paket yang sama, ya" Maksud saya... korban yang diinginkan sebenarnya
adalah Nick?" "Saya rasa, Madame, hal itu sama sekali tak perlu diragukan lagi."
Frederica agak mengernyitkan dahinya.
"Hidup Nick memang seperti dilindungi jimat," katanya.
Dalam suaranya terdengar sesuatu yang aneh, yang tak kumengerti.
"Kata orang, keberuntungan bergerak bersama daur," kata Poirot.
"Mungkin. Dan itu pasti tak dapat dilawan."
Kini hanya keletihan yang terdengar dalam nada suaranya. Beberapa saat kemudian
ia berkata lagi, "Saya harus meminta maaf, M. Poirot. Juga atas nama Nick. Sampai semalam, saya
tak percaya. Saya tak pernah mimpi bahwa bahaya itu... serius."
"Begitukah, Madame?"
"Sekarang saya lihat bahwa segala sesuatu harus ditinjau dengan cermat. Dan saya
pikir, lingkungan yang berhubungan langsung dengan Nick takkan bebas dari
kecurigaan. Memang tak masuk akal, tapi begitulah keadaannya, bukan, M. Poirot?"
"Anda cerdas sekali, Madame."
"Kemarin Anda mengajukan beberapa pertanyaan mengenai Tavistock, M. Poirot.
Karena cepat atau lambat Anda pasti akan tahu juga kebenarannya, sebaiknya saya
ceritakan saja apa adanya pada Anda. Saya tidak berada di Tavistock."
"Tidak, Madame?"
"Awal minggu ini, saya sudah datang ke sini, bermobil dengan Mr. Lazarus. Kami
tak ingin memancing komentar lebih banyak daripada yang perlu. Kami menginap di
suatu tempat kecil bernama Shellacombe."
"Kalau tak salah, tempat itu kira-kira sepuluh kilometer dari sini, bukan,
Madame?" "Ya, kira-kira begitulah."
Kelesuan masih saja terasa.
"Maafkan saya kalau saya lancang, Madame."
"Mana ada basa-basi begitu lagi zaman sekarang."
"Mungkin Anda benar, Madame. Sudah berapa lama Anda berteman dengan M. Lazarus?"
"Saya bertemu dengannya enam bulan yang lalu."
"Dan apakah Anda... suka padanya, Madame?"
Frederica mengangkat bahunya.
"Dia... kaya." "Oh! L? l?," seru Poirot. "Tak baik berkata begitu."
Wanita itu kelihatan agak senang.
"Bukankah sebaiknya saya sendiri yang mengatakannya daripada Anda yang
mengatakannya?" "Yah, itu memang lebih baik. Sekali lagi saya katakan, Madame, bahwa Anda
cerdas." "Anda harus segera memberi saya ijazah," kata Frederica, lalu bangkit.
"Tak ada lagikah yang ingin Anda ceritakan pada saya, Madame?"
"Tidak, saya rasa tak ada lagi. Saya akan membawa bunga untuk Nick, sekalian
melihat keadaannya."
"Ah, Anda memang seorang sahabat yang baik. Terima kasih atas kejujuran Anda,
Madame." Ia memandang Poirot dengan tajam, kelihatannya akan mengatakan sesuatu, tapi
kemudian ia mengurungkan niatnya, lalu keluar dari kamar. Ia tersenyum kecil
padaku waktu aku membukakannya pintu.
"Dia cerdas," kata Poirot. "Ya, tapi Hercule Poirot juga cerdas!"
"Apa maksudmu?"
"Cerdik sekali dia untuk memaksakan supaya aku percaya bahwa M. Lazarus itu
kaya." "Kurasa aku jadi muak."
"Mon cher, kau selalu memberikan reaksi yang benar, tapi tidak pada tempatnya.
Sekarang ini persoalannya bukan mengenai selera yang baik atau sebaliknya. Bila
Madame Rice punya teman kaya yang dicintainya, yang bisa memberikan segala yang
dibutuhkannya, yah, jelaslah bahwa dia tak perlu membunuh sahabat terdekatnya
hanya karena mengharapkan warisan yang sedikit."
"Oh!" kataku. "Precisement! Oh!"
"Mengapa kau tidak melarangnya pergi ke rumah perawatan?"
"Mengapa aku harus menunjukkan belangku" Apakah Hercule Poirot yang melarang
Mademoiselle Nick bertemu dengan sahabat-sahabatnya" Pikiran apa itu! Para
dokter dan perawat yang melarangnya. Perawat-perawat yang membosankan itu!
Banyak sekali larangan dan peraturannya. Belum lagi perintah-perintah dokter."
"Apa kau tak takut mereka tetap saja mengizinkannya masuk" Mungkin saja Nick
memaksakannya." "Takkan ada seorang pun diizinkan masuk, Hastings, sahabatku yang baik. Kecuali
aku dan kau. Dan omong-omong, sebaiknya kita cepat-cepat ke sana."
Pintu kamar duduk itu terbuka dengan mendadak, dan George Challenger masuk
bagaikan terbang. Wajahnya yang coklat akibat sengatan matahari berapi-api
karena marah. "Dengar, M. Poirot," katanya. "Apa artinya ini. Saya menelepon rumah perawatan
sialan tempat Nick berada. Saya tanyakan keadaannya, dan jam berapa saya bisa
datang menjenguknya. Mereka menjawab bahwa dokter tidak mengizinkan siapa pun
mengunjunginya. Saya minta penjelasan, apa artinya ini" Terus terang saja,
apakah itu ulah Anda" Atau Nick benar-benar sakit gara-gara shock itu?"
"Yakinlah, Monsieur, saya tak pernah membuat peraturan-peraturan untuk rumah-
rumah perawatan. Mana saya berani! Mengapa tidak Anda telepon dokternya - siapa
namanya" - Oh, ya, Dokter Graham."
"Sudah saya telepon. Katanya Nick baik-baik saja, sebagaimana diharapkan - jawaban
yang biasa itulah! Tapi saya mencium semua tipu muslihat itu, soalnya paman saya
dokter. Di Harley Street. Dia spesialis saraf. Dia biasa menangani analisis
psikologis - dan sebagainya. Menolak kunjungan sanak saudara dan teman-teman
dengan kata-kata halus. Saya sudah biasa mendengarnya. Saya tak percaya Nick tak
bisa menemui siapa-siapa. Saya yakin Andalah yang mendalangi semua ini, M.
Poirot." Poirot tersenyum ramah sekali padanya. Aku sering melihat bahwa Poirot mempunyai
perasaan halus terhadap seorang yang sedang jatuh cinta.
"Dengarkan, mon ami," katanya. "Bila seorang tamu diizinkan masuk, yang lain tak
bisa ditolak. Anda mengerti, bukan" Jadi, harus semuanya atau tidak sama sekali.
Bukankah kita menginginkan keselamatan bagi Mademoiselle" Tepat. Jadi Anda
mengerti. Tak seorang pun diperbolehkan."
"Saya mengerti," kata Challenger lambat-lambat. "Tapi lalu..."
"Sudahlah! Tak usahlah kita berkata apa-apa lagi. Bahkan sebaiknya kita lupakan
saja apa-apa yang telah diucapkan. Kewaspadaan, kewaspadaan yang sempurna,
itulah yang diperlukan sekarang."
"Saya bisa tutup mulut," kata pelaut itu dengan tenang.
Ia berbalik ke pintu, tapi sebelum keluar, ia berhenti dan berkata lagi, "Tapi
tak ada larangan untuk mengirim bunga, bukan" Asal saja tidak yang berwarna
putih." Poirot hanya tersenyum. "Nah, sekarang," katanya, setelah pintu ditutup oleh Challenger yang
bersemangat, "sementara M. Challenger dan Madame, dan mungkin M. Lazarus,
bertemu di toko bunga, kau dan aku akan pergi ke tempat tujuan kita, naik
mobil." "Untuk mencari jawaban atas tiga pertanyaan itu?" kataku.
"Ya. Kita akan bertanya-tanya. Meskipun sebenarnya aku sudah tahu jawabannya."
"Apa?" pekikku.
"Ya." "Tapi kapan kau mendapatkan jawabannya?"
"Saat aku sarapan tadi, Hastings. Rasanya jawaban-jawaban itu terbayang-bayang
di hadapanku." "Coba ceritakan."
"Tidak. Aku ingin kau mendengarnya dari Mademoiselle."
Kemudian, seolah-olah akan mengalihkan pikiranku, disodorkannya sepucuk surat
padaku. Surat itu merupakan laporan dari ahli yang telah dikirim Poirot untuk memeriksa
lukisan dari Nicholas Buckley. Dengan pasti dinyatakannya bahwa lukisan itu
bernilai paling tinggi dua puluh pound.
"Jadi sudah satu hal yang terjawab," kata Poirot.
"Jadi rupanya tak ada tikus di lubang tikus itu," kataku, mengulangi metafora
Poirot yang pernah diucapkannya pada suatu peristiwa yang lalu. Maksudnya,
lukisan itu tidak memberikan petunjuk mengenai pembunuhan itu.
"Oh! Kau ingat itu rupanya. Tidak, memang tepat katamu, tak ada tikus di lubang
tikus itu. Dua puluh pound! Padahal M. Lazarus menawarkan akan membelinya dengan
harga lima puluh pound. Betapa salahnya penilaian seorang pemuda yang
kelihatannya begitu cerdas. Tapi di situ, ya, di situlah kita harus mulai
menjalankan tugas kita."
Rumah perawatan itu terletak tinggi di atas sebuah bukit yang menghadap ke
teluk. Seorang penjaga pintu berjas putih menerima kami. Kami dipersilakan
menunggu di sebuah kamar kecil di lantai bawah, dan tak lama kemudian, seorang
juru rawat yang gesit mendatangi kami.
Sekali saja melihat Poirot agaknya sudah cukup baginya. Jelas bahwa ia telah
mendapat instruksi dari Dr. Graham, lengkap dengan gambaran yang jelas sekali
mengenai detektif bertubuh kecil itu. Perawat itu bahkan sempat menyembunyikan
senyum. "Miss Buckley tidur nyenyak semalam," katanya. "Mari silakan naik."
Kami temukan Nick dalam sebuah kamar yang menyenangkan, yang bermandikan sinar
matahari. Di tempat tidur besi yang kecil itu, ia nampak seperti seorang anak
kecil yang letih. Wajahnya pucat dan matanya sangat merah. Ia juga kelihatan
lesu dan tak bersemangat.
"Baik sekali Anda mau datang," katanya dengan suara datar.
Poirot menggenggam tangan Nick dengan kedua belah tangannya.
"Besarkan hati Anda, Mademoiselle. Hidup kita selalu ada tujuannya."
Kata-kata itu membuat gadis itu terkejut. Ia mendongak, memandangi Poirot lekat-
lekat. "Oh!" katanya. "Oh!"
"Apakah Anda sekarang masih tak mau menceritakannya pada saya, Mademoiselle" Apa
yang menyusahkan hati Anda akhir-akhir ini?"
Wajah Nick memerah. "Jadi Anda tahu. Ah, sudahlah, sekarang biar saja orang tahu. Karena sekarang
segalanya sudah berlalu. Karena sekarang saya takkan pernah bertemu dengannya
lagi." Suaranya terputus. "Besarkan hati Anda, Mademoiselle."
"Sudah tak ada lagi semangat pada diri saya. Sudah terkuras habis semangat saya
dalam minggu-minggu terakhir ini. Berharap dan berharap terus, dan - akhir-akhir
ini - mengharapkan yang sia-sia."
Aku terbelalak. Aku sama sekali tak mengerti.
"Lihatlah si Hastings yang malang itu," kata Poirot. "Dia tak tahu tentang apa
kita berbicara." Nick memandangiku dengan mata sedih.
"Michael Seton, si penerbang itu," katanya. "Saya sebenarnya sudah bertunangan
dengan dia. Dan sekarang dia sudah meninggal."
11 MOTIF AKU terpana. Aku menoleh pada Poirot. "Itukah maksudmu tadi?"
"Ya, mon ami. Tadi pagi - aku tahu."
"Bagaimana kau bisa tahu" Bagaimana kau bisa menebak" Kaukatakan hal itu
terbayang di hadapanmu waktu kau sedang sarapan."
"Memang begitu, sahabatku. Dari halaman depan surat kabar. Aku teringat
percakapan pada waktu makan semalam, lalu aku melihat segalanya."
Ia menoleh lagi pada Nick.
"Anda mendengar berita itu tadi malam?"
"Ya. Saya mendengarkan berita radio. Saya pura-pura ingin menelepon. Saya ingin
mendengar berita itu seorang diri, kalau-kalau..." Ia meneguk ludahnya kuat-
kuat. "Lalu saya dengar berita itu...."
"Saya tahu. Saya tahu." Poirot mengambil tangan Nick dengan kedua belah
tangannya. "Berita-berita itu mengerikan sekali. Lalu semua orang berdatangan. Entah
bagaimana saya bisa melewatkan waktu itu dengan baik. Segalanya terasa seperti
mimpi. Saya serasa melihat diri saya dari luar... bersikap seperti biasa. Tapi
rasanya aneh." "Ya, ya, saya mengerti."
"Lalu waktu saya pergi mengambilkan mantel Freddie... saya menangis sebentar.
Tapi saya cepat-cepat menguatkan diri. Dan Maggie memanggil-manggil terus dari
bawah, meributkan mantelnya. Lalu akhirnya dia pergi dengan membawa syal saya.
Saya membedaki wajah sedikit, dan memakai perona pipi, lalu menyusulnya. Tahu-
tahu dia sudah meninggal...."
"Ya, ya, itu tentu mengejutkan sekali."
"Anda tak mengerti. Saya marah! Saya ingin sayalah yang mengalami kejadian itu!
Saya ingin mati... tapi saya... tetap saja hidup, mungkin masih bertahun-tahun
lagi! Padahal Michael sudah meninggal - tenggelam, jauh di Samudra Pasifik."
"Pauvre enfant."* (*Anak yang malang.)
"Saya tak ingin hidup. Saya tak ingin hidup, sungguh!" katanya dengan keras.
"Saya tahu, saya tahu. Memang ada saatnya kita lebih menginginkan kematian,
daripada kehidupan, Mademoiselle. Sekarang Anda tak percaya, saya mengerti. Tak
ada gunanya orang setua saya berbicara. Kata-kata saya tak ada artinya - begitu
barangkali pikir Anda. Kata-kata yang kosong."
"Anda pikir saya akan melupakannya dan menikah dengan orang lain" Takkan
pernah!"

Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Duduk di tempat tidur begitu, ia kelihatan cantik. Kedua belah tangannya
tergenggam dan pipinya membara.
Dengan lembut Poirot berkata, "Tidak, tidak. Saya tak punya pikiran semacam itu.
Anda beruntung sekali, Mademoiselle. Anda telah dicintai oleh seorang pemberani,
seorang pahlawan. Bagaimana Anda dulu bertemu dengannya?"
"Kami bertemu di Le Touquet pada bulan September yang lalu. Hampir setahun
lalu." "Lalu kapan Anda berdua bertunangan?"
"Tak lama setelah Natal. Tapi hal itu dirahasiakan."
"Mengapa?" "Paman Michael - Sir Matthew Seton - dia mencintai burung-burung, tapi membenci
wanita." "Ah, itu tak masuk akal!"
"Oh, bukan begitu maksud saya. Dia orang yang aneh sekali. Dia berpendirian
bahwa wanita merusak hidup kaum pria. Padahal Michael benar-benar bergantung
padanya. Dia bangga sekali pada Michael, dan dialah yang membiayai pembuatan
pesawat Albatross itu, juga membiayai penerbangan keliling dunia itu. Itu
merupakan impian yang paling disukainya dalam hidupnya, juga bagi Michael.
Sekiranya dia berhasil, dia akan bisa meminta apa saja dari pamannya itu. Dan
meski seandainya Sir Matthew tetap marah padanya, itu tak jadi soal. Michael
akan dijadikan... semacam pahlawan dunia. Pamannya akhirnya pasti mau berdamai."
"Ya, ya, saya mengerti."
"Tapi kata Michael, kalau rahasia kami sampai bocor, akan habislah segalanya.
Kami harus menutup rahasia itu rapat-rapat. Dan itu saya lakukan. Saya tak
pernah menceritakannya pada siapa pun juga, bahkan pada Freddie pun tidak."
Poirot menggeram. "Alangkah baiknya bila Anda ceritakan itu pada saya dulu, Mademoiselle."
Nick memandangnya dengan terbelalak.
"Apa bedanya" Hal itu tentu tak ada hubungannya dengan serangan-serangan
misterius atas diri saya, bukan" Tidak, saya telah berjanji pada Michael, dan
saya memenuhi janji itu. Tapi itu mengerikan sekali. Saya selalu dipenuhi rasa
cemas, bertanya-tanya, dan selalu saja ketakutan. Dan semua orang mengatakan
bahwa saya gugup sekali. Sedangkan saya tak dapat menjelaskan."
"Ya, saya mengerti semuanya itu."
"Soalnya dia pernah hilang sekali. Waktu sedang menyeberangi gurun pasir, dalam
penerbangannya ke India. Mengerikan sekali, padahal kemudian ternyata dia tak
apa-apa. Pesawatnya rusak, tapi bisa diperbaiki, dan dia melanjutkan
perjalanannya. Dan saya terus-menerus berkata pada diri saya sendiri bahwa kali
Lima Setan Dari Barat 1 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Darah Menggenang Di Candi 1
^