Pencarian

Pesta Semalam Suntuk 1

Fear Street Pesta Semalam Suntuk All Night Party Bagian 1


Bab 1 "MALAM ini pasti akan menyenangkan!" seru Hannah Waters.
"Rencana kita memang cemerlang."
Gretchen Davies menghentikan minivan birunya di lampu
merah, lalu berpaling memandang sahabat baiknya. "Menurutmu apa
Cindy bakal terkejut?" tanyanya pada Hannah.
Hannah mengangguk, matanya yang hijau berkilat-kilat. "Dia
tidak menyangka sama sekali. Dia pikir kita sudah melupakan hari
ulang tahunnya. Dia kedengarannya sangat jengkel waktu kita semua
mengajukan alasan untuk tidak menemaninya malam ini. Apalagi
orangtuanya harus pergi untuk urusan bisnis minggu ini."
"Mungkin dia sedang melamun, sambil ngemil dan mengasihani
diri sendiri," pacar Hannah, Gil Shepherd, mengomentari sambil
tertawa. "Dia tidak tahu, sebentar lagi dia akan diculik," Jackson Kane
menimpali dari kursi belakang.
"Dan diseret untuk mengikuti pesta sepanjang malam di Fear
Island," tambah Gil.
"Kakekmu sungguh baik mau meminjamkan pondoknya, Gil,"
kata Gretchen. Ia melirik ke balik bahunya, kepada Gil yang duduk di
kursi belakang, di antara Jackson dan teman mereka yang lain, Patrick
Munson. "Yeah"pesta kejutan itu baru sebagian. Pesta sepanjang malam
di pondok pribadi kita sendiri benar-benar hebat," kata Patrick.
"Sudah jelas," kata Jackson menyetujui.
Gretchen mengangguk bahagia. Rasanya menyenangkan terlibat
dalam rencana "penculikan?"terutama karena ia belum terlalu lama
mengenal Cindy seperti teman-temannya yang lain.
Ia baru enam bulan pindah ke Shadyside, sewaktu ayahnya
dipindahtugaskan kemari. Semula ia mengira akan sulit untuk memulai tahun senior di
sekolah yang baru. Tapi Hannah membantunya menyesuaikan diri dan
memperkenalkan dirinya dengan teman-teman yang lain.
"Aku belum pernah berbuat begini sebelumnya," kata Gretchen
mengaku. Hannah mencibir. "Kami juga tidak pernah. Tapi Cindy layak
mendapatkannya." "Lampunya hijau," kata Jackson mengingatkan.
Gretchen mengalihkan pandangannya kembali ke jalan dan
menjalankan mobil. Enam blok kemudian, ia membelokkan mobil
memasuki jalan tempat Cindy tinggal.
Gretchen menepikan kendaraannya beberapa rumah dari rumah
Cindy dan mematikan mesinnya.
"Apa semua sudah tahu tugas masing-masing?" tanya Patrick.
"Aku siap," jawab Jackson. "Kau bagaimana, Gretchen?"
Gretchen melirik ke kaca spion tengah. Tatapannya bertemu
dengan pandangan Jackson. Ia menggigil tanpa tertahan, dan bergegas
mengalihkan pandangannya.
Ia telah bergaul dengan Jackson sejak pindah ke Shadyside, tapi
masih belum mengenal anak itu dengan baik.
Ia tidak yakin alasannya, tapi Jackson membuatnya takut.
Sewaktu mereka bertemu untuk pertama kalinya, ia
menganggap Jackson agak menggemaskan. Tapi cowok itu tampak
begitu muram. Serius dan pendiam.
Gretchen merasa belum pernah melihatnya tersenyum. Setiap
kali mereka semua berkumpul, Jackson lebih suka memisahkan diri,
mengawasi segalanya. Sudah jelas ia pemuda yang aneh.
Tapi apa cukup aneh untuk mengganggu lewat telepon"
Gretchen penasaran. Selama dua minggu terakhir ia terus-menerus mendapat telepon
yang selalu ditutup begitu diterima. Sangat mengganggu. Terlebih lagi
karena selalu di tengah malam, di nomor telepon pribadi di kamar
tidurnya. Setiap kali ia mengangkat tangkainya, telepon pasti sudah
diputus. Hanya teman-temannya yang tahu nomor telepon itu. Jadi, ia
mengira pelakunya pasti orang yang dikenalnya.
Dan setiap kali menangkap Jackson tengah mengawasinya, ia
merasa cowok itulah pelakunya.
Satu hal yang pasti, Jackson selalu menatap dirinya.
Seperti sekarang. Ia bisa merasakan bola mata cokelat tua
cowok itu terarah ke punggungnya.
Gretchen berputar di kursinya dan memandang Patrick.
Gerakan itu pasti tidak diduga Jackson. Ia mengalihkan
pandangannya dengan ekspresi bersalah.
"Kita semua tahu tugas masing-masing," kata Gretchen pada
Patrick. "Ayo. Kita culik Cindy."
Gretchen menengadah menatap rumah Cindy.
Cindy pasti akan terkejut setengah mati, pikirnya.
Ia melirik Jackson dan kembali menggigil.
Pesta ini akan hebat sekali, katanya meyakinkan diri sendiri.
Malam ini pasti sangat menyenangkan.
Jadi, kenapa ia mendapat perasaan yang sangat tidak
menyenangkan" Bab 2 "AYO mulai," desak Hannah sambil melangkah turun dari
minivan. Gretchen mengunci pintu pengemudi, sementara temantemannya bergegas keluar dari mobil.
Patrick berjalan lebih dulu. Gretchen melangkah bersama-sama
dengan Hannah. "Ini sempurna," gumam Patrick saat mereka berjalan menembus
kegelapan. Perasaan gugup mencengkeram Gretchen dengan tiba-tiba. Ia
melirik ke sekelilingnya.
Jalanan gelap dan kosong. Ia tidak melihat lampu menyala di
salah satu rumah di dekatnya.
Angin berembus menyapu rambut cokelat gelapnya ke wajah.
Langit malam yang tidak berbulan menjanjikan datangnya badai yang
semakin mendekat. "Kita bisa masuk dan keluar dengan mudah," kata Patrick
sambil terkekeh. "Kita ambil Cindy, lalu menghilang. Tidak ada yang
tahu kalau kita pernah datang."
Mereka tiba di rumah Cindy. Patrick memberi tanda kepada
yang lain untuk mengikutinya ke halaman belakang.
Sebuah lampu di atas pintu belakang menimbulkan bayangbayang panjang di rerumputan. Gretchen melihat satu lampu menyala
di dalam rumah. Di lantai dua. Di kamar Cindy.
Lalu ia melihat Hannah membungkuk di samping pintu
belakang dan mengangkat sebuah pot tanaman dari anak tangga
semen. "Dapat!" bisik Hannah.
Ia mengacungkan sebuah kunci.
Angin dingin menerobos serambi, dan Gretchen menggigil.
Maret tahun ini benar-benar datang menyerbu seperti singa, pikirnya.
Ia memeluk dirinya rapat-rapat di balik jaket denimnya,
menyesal kenapa tidak mengenakan mantel yang lebih tebal.
Ia menjejalkan tangan ke saku jaket sedalam-dalamnya sambil
menunggu Hannah membuka pintu belakang.
Sewaktu Gretchen menjejalkan beberapa helai rambut ke
belakang telinga, ia menangkap basah Jackson tengah menatapnya
lagi. Memangnya ada masalah apa dengannya" ia penasaran.
Ia melontarkan senyum hangat kepada cowok itu, berharap
mendapat balasan. Tapi tidak. Pandangan Jackson turun ke tanah, bibirnya
mengerut membentuk kernyitan. Lalu ia berbalik memunggungi
Gretchen. Aku tidak mengerti, pikir Gretchen. Kucoba untuk bersahabat,
tapi Jackson bersikap seakan-akan tidak mau berurusan dengannya.
Oke, Jackson. Terserah. Tapi aku sudah muak berusaha
bersikap manis terhadapmu. Dasar orang aneh.
Hannah bersusah payah mengatasi kuncinya sebelum, akhirnya,
berhasil membuka pintu. Mereka semua berjingkat-jingkat masuk ke dalam dapur yang
gelap. Sejenak mereka bergerombol rapat, mendengarkan kalau-kalau
ada suara. Pandangan mereka menjelajahi kegelapan.
Gretchen tidak mendengar suara apa pun. Cuma detak jam dari
ruang makan. Dan suara napas teman-temannya.
"Aman," bisik Gil.
"Ayo naik ke atas," perintah Patrick. "Mungkin Cindy ada di
kamarnya." Mereka meninggalkan dapur dengan hati-hati dan menyusuri
lorong, naik ke lantai atas melalui tangga depan.
Di puncak tangga, Gretchen bisa melihat cahaya menerobos
celah di bawah pintu kamar tidur Cindy.
Cindy ada di rumah. Sendirian. Tidak menyadari apa yang akan terjadi.
Di depan pintu kamar tidur Cindy, Patrick melintangkan sebuah
jarinya ke bibir. Lalu, sesuai rencana, ia menghitung tanpa suara
dengan jemarinya. Lima... empat... tiga... dua...
Sewaktu Patrick mencapai hitungan satu, mereka mendobrak
masuk ke dalam kamar tidur Cindy.
Pintu kamar tidur tersebut terayun ke dinding. Bagi Gretchen,
suaranya bagai dentuman guntur.
Ia melihat Cindy tengah tergeletak di ranjangnya, membaca
majalah mode. Cindy terlonjak kaget. Ia menatap mereka dengan pandangan
shock. "Ada apa?" tuntutnya. ''Bagaimana kalian masuk" Apa yang
kalian lakukan di sini?"
Gil dan Jackson berderap mendekatinya. Mereka menyambar
lengannya dan menariknya turun dari ranjang.
"Hei!" protes Cindy. "Lepaskan! Apa-apaan kalian?"
Cindy berjuang untuk membebaskan diri, tapi Gil dan Jackson
terlalu kuat baginya. Mereka memeganginya kuat-kuat agar tidak bisa
bergerak, sementara Gretchen dan Hannah mengenakan penutup mata
kepadanya. "Ini tidak lucu!" jerit Cindy. "Apa yang terjadi" Apa-apaan
kalian?" "Tenang saja, Cindy. Aku tidak ingin menyakitimu," kata
Gretchen. Ia mengeratkan ikatan penutup mata di belakang kepala
Cindy. "Nanti kami jelaskan."
Gretchen menjauhi Cindy. Ia mendesah lega.
Sejauh ini segalanya lancar. Segalanya berjalan sesuai rencana.
"Penutup matanya sudah terpasang, Patrick...," katanya sambil
berpaling. Tapi lalu kata-katanya terhambat di tenggorokannya.
Gretchen tersentak. Apa yang terjadi" Rencananya bukan
begini! Kenapa Patrick memegang pistol"
"Hei"!" serunya tercekat. Pistol berlaras keperakan tersebut
tampak kemilau saat Patrick mengacungkannya ke arah Cindy.
"Jangan bergerak, Cindy," kata Patrick, meniru suara Gretchen.
"Kami tidak ingin menyakiti dirimu."
Sambil menyeringai jahat, ia menekankan pistolnya ke sisi
tubuh Cindy. Jeritan Cindy membelah rumah yang sunyi tersebut.
Bab 3 "JANGAAAN!" lolong Gretchen. "Patrick" buang pistolmu!"
Apa Patrick sudah gila"
Hannah melesat maju dan mencengkeram lengan Patrick. "Kau
sinting, apa" Singkirkan pistolmu!" jeritnya.
Patrick tertawa. "Tenang!"
Ia menjejalkan pistolnya ke saku jaket kulit hitamnya.
"Sudah." "Kau tidak pernah mengatakan akan membawa pistol!" jerit
Gretchen dengan suara gemetar.
"Tidak perlu dibesar-besarkan. Kupikir penculikan kita akan
lebih realistis kalau ada pistol," kata Patrick menjelaskan. "Periksa
saja. Pistolku kosong."
"Apa yang terjadi?" tuntut Cindy dengan marah. "Kau sungguhsungguh membawa pistol" Apa yang kalian lakukan di rumahku?"
"Kami menculikmu," kata Gretchen padanya.
"Hah" Menculikku" Kenapa?"
"Kami akan membawamu ke pesta ulang tahun sepanjang
malam!" kata Gretchen padanya.
"Sungguh?" seru Cindy gembira. "Di mana?"
"Tunggu saja," kata Gretchen. Ia mengikuti Gil dan Jackson
keluar dari kamar tidur. Mereka membimbing Cindy menuruni tangga depan. "Itu
sebabnya kau harus memakai penutup mata," kata Hannah padanya.
"Kalian membuatku ketakutan setengah mati," kata Cindy
sambil menggeleng. "Sungguh."
"Itu idealnya!" Gretchen tertawa.
"Bisa penutup mata ini kulepas?" tanya Cindy sewaktu mereka
semua telah berada di dalam minivan. Ia mengulurkan tangan untuk
menanggalkan penutup matanya.
"Tidak bisa," jawab Gretchen. "Cuma kami yang boleh
melepaskannya." "Tapi aku tidak bisa melihat apa-apa!" protes Cindy.
"Tujuannya memang begitu," Gil tertawa.
"Cindy suka berlagak tak berdaya," geram Hannah sambil
menyelinap ke kursi penumpang depan.
"Memang," kata Gretchen bergurau.
Hannah mendesah. "Benar juga, sih."
Gretchen tersenyum dengan perasaan tidak nyaman, dan
menghidupkan mesin. Setelah beberapa bulan, ia masih belum berhasil menentukan
persahabatan Hannah dan Cindy. Mereka lebih mirip pesaing daripada
sahabat, selalu memperebutkan sesuatu. Nilai. Perhatian. Cowok.
Kalau sudah tentang cowok, Cindy jelas lebih menang daripada
Hannah. Boleh dikatakan semua cowok di SMA Shadyside menaruh
hati pada Cindy. Bertubuh mungil, dengan mata biru besar dan rambut pirang
pucat, Cindy jenis gadis pada siapa cowok-cowok segera jatuh cinta.
Mati-matian. Cowok-cowok tergila-gila memperhatikan Cindy. Termasuk
Gil, yang menjadi kekasih Cindy sampai mereka putus akhir musim
panas yang lalu. Gretchen berpaling kepada Hannah yang tengah mengeratkan
sabuk pengamannya. Tinggi dan atletis, dengan wajah berbintik-bintik
dan rambut keriting merah yang kusut, Hannah tidak memerlukan
perhatian siapa pun. "Bagaimana kalau radionya dinyalakan?" kata Patrick dari kursi
belakang. "Kalau ini pesta, kita perlu musik, bukan?"
"Akan kunyalakan kalau kau mau menjawab pertanyaanku,"
jawab Gretchen, memajukan minivan-nya keluar dari tepi jalan.
"Tanya saja," jawab Patrick.


Fear Street Pesta Semalam Suntuk All Night Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku masih sulit untuk percaya kau membawa pistol," kata
Gretchen. "Dari mana kau mendapatkannya" Kenapa kau
membawanya?" Patrick ragu-ragu. Gretchen bisa merasakan ada sesuatu yang ingin diakui Patrick,
tapi tidak jadi. "Ada apa, Patrick" Apa yang terjadi?" tuntutnya.
"Seharusnya aku tidak boleh mengatakannya pada kalian," kata
cowok tersebut akhirnya. "Polisi sudah menutup-nutupinya."
"Menutup-nutupi apa?" tanya Hannah.
"Ayolah," desak Jackson. "Kau bisa memberitahu kami. Kami
bisa menyimpan rahasia."
Patrick ragu-ragu, menatap ke luar jendela van. "Tidak.
Sebaiknya tidak kukatakan," katanya pelan. "Bisa merusak seluruh
pestanya." Bab 4 "KATAKAN," desak Gretchen. "Kau tidak boleh membiarkan
kami bertanya-tanya. Kau harus memberitahu kami sekarang juga."
Patrick mendesah. "Ayahku datang berkunjung hari ini,"
katanya memulai. "Kalian tahu dia seorang polisi di Waynesbridge, di
mana dia tinggal bersama istri barunya."
Gretchen mengangguk. Setelah perceraian orangtuanya tahun
lalu, Patrick dan ibunya pindah dari Waynesbridge ke Shadyside.
"Apa kata ayahmu?"
"Katanya ada narapidana melarikan diri dari penjara," kata
Patrick. "Dia terlihat di Hutan Fear Street."
"Hutan Fear Street!" Hannah tercekat.
Patrick mengangguk. "Aku membawa pistol ini bukan untuk
aksi penculikan kita. Ayahku yang memberikannya padaku. Sekadar
berjaga-jaga kalau kita tidak sengaja bertemu dengan narapidana itu di
Fear Island." "Patrick!" lolong Hannah. "Kau benar-benar besar mulut!
Sekarang Cindy tahu tujuan kita. Kau sudah merusak seluruh
kejutannya." "Oh, wow. Maaf," erang Patrick.
"Sudahlah," kata Cindy sambil menanggalkan penutup matanya.
"Ceritakan lagi tentang narapidana itu."
"Apa yang dilakukannya?" tanya Gretchen.
Patrick tidak menjawab. Gretchen mengulangi pertanyaannya. "Patrick, apa yang
dilakukan narapidana itu?"
Patrick menggeleng. "Kau tidak bakal mau tahu. Percayalah."
"Aku mau. Katakan," kata Gretchen bersikeras.
"Dia membunuh tiga gadis. Remaja," gumam Patrick pelan.
"Whoa!" jerit Hannah.
"Bagaimana caranya?" tanya Gretchen. Ia membelokkan
minivan memasuki jalan berkerikil melintasi hutan, menuju Danau
Fear. "Please!" protes Hannah. Ia menutupi telinga dengan
tangannya. "Aku tidak mau mendengar rinciannya yang menjijikkan."
"Aku tidak tahu bagaimana cara dia membunuh mereka," kata
Patrick. "Ayah tidak memberitahuku. Dia cuma memperingatkan agar
aku berhati-hati." "Kenapa tidak kauceritakan sebelumnya?" tanya Gretchen. Ia
memarkir minivan dekat pantai. "Kita kan jadi bisa mengubah
rencana." "Aku sudah berjanji pada Ayah, tidak akan menceritakannya,"
Patrick menjelaskan. Ia kembali mendesah.
"Seandainya tadi tidak kukeluarkan pistolnya sewaktu menculik
Cindy! Kalian tidak akan tahu. Dan kita semua bisa bersenang-senang.
Sekarang aku sudah merusak pestanya bagi kalian semua."
"Mungkin sebaiknya kita pergi ke tempat lain," kata Hannah,
menyarankan dengan tegang. "Untuk amannya."
"Hannah benar," kata Patrick menyetujui.
Gil menggeleng. "Tidak bisa. Aku tidak takut."
"Aku juga," Jackson menimpali. "Pokoknya, kita sudah bekerja
keras mempersiapkan pondoknya. Semua barang kita sudah ada di
Fear Island. Kita masih harus menyeberangi danau untuk
mengambilnya." "Untuk apa narapidana itu ke Fear Island?" tanya Cindy.
"Mungkin dia ingin melarikan diri dari polisi sejauh mungkin.
Berani taruhan dia sekarang sudah ada di negara bagian lain."
"Gadis yang ulang tahun sudah bicara!" kata Gil
mengumumkan. Gretchen mendengar pintu samping van bergeser
membuka dan melihat Gil melompat turun. Diikuti Hannah. Lalu
Patrick, yang membantu Cindy turun.
Gretchen tiba-tiba menyadari bahwa di dalam mobil tinggal
dirinya dengan Jackson. "Bagaimana denganmu, Gretchen?" tanya Jackson. "Kau
takut?" Gretchen berpaling. Ia memaksa dirinya membalas tatapan mata
Jackson yang gelap. Kata-kata cowok itu terdengar agak mengejek. Seakan berharap
ia akan ketakutan. Seakan berusaha untuk menakut-nakutinya.
"Tidak, aku tidak takut."
"Kurasa kau takut," balas Jackson pelan.
Gretchen merasa tenggorokannya bagai dicekik ketakutan. "Kau
benar-benar menjengkelkan, Jackson," sentaknya. "Pembunuh itu
bukan berada di luar sana. Sangat tidak masuk akal dia mau
bersembunyi di Fear Island."
Senyum merekah sekilas di bibir Jackson. "Jangan bilang aku
tidak memperingatkanmu."
Senyum Jackson menyebabkan Gretchen menggigil.
Apa maksudnya" Apa dia mengancamku" ia penasaran.
Seberapa sinting cowok ini"
Bab 5 "AYO!" teriak Patrick. "Kita membuang-buang waktu. Ayo
pesta!" Setelah mengunci minivan-nya, Gretchen mengikuti temantemannya ke dermaga di pantai danau. Gretchen melihat perahu
dayung yang mengambang di samping dermaga di air yang hitam.
Patrick yang pertama naik ke sana. Lalu ia membantu Hannah
naik. Gretchen menggigil, merapatkan jaket denim-nya semakin erat.
Ia tidak sabar menunggu hingga mereka telah berada dalam pondok.
Angin terasa lembap di kulitnya, dan awan tebal menutupi
langit malam. Ia tidak memerlukan laporan cuaca untuk tahu bahwa hujan
sebentar lagi akan turun dengan derasnya. Gretchen berharap mereka
tidak sedang berada di perahu sewaktu badai menghantam.
Ia paling akhir naik ke perahu. Hannah membantunya.
Gretchen melihat hanya ada satu tempat duduk yang tersisa, di
antara Jackson dan Patrick. Ia duduk, lalu menatap lurus ke depan,
menjepit tangannya dengan lutut.
Di hadapannya, Gil duduk di antara Cindy dan Hannah. Hannah
mendorong perahu agar menjauhi dermaga, dan Jackson serta Patrick
mulai mendayung. "Entah kalian bagaimana, tapi aku sudah beku," keluh Cindy,
giginya gemeletuk. "Kami menjemputmu terlalu cepat, sampai lupa membawa
mantelmu," kata Gretchen menyesal.
"Ini. Kau bisa memakai ini." Gil menanggalkan jaketnya dan
menyampirkannya ke bahu Cindy. "Lebih baik?"
"Mmm," desah Cindy. "Trims."
"Kalau belum cukup, aku tahu cara yang bahkan lebih baik lagi
untuk menghangatkanmu!" tambah Gil sambil menyeringai nakal.
Gretchen memutar bola matanya. Gil benar-benar liar. Ia tidak
mengerti bagaimana Hannah dulu bisa tahan menghadapinya.
Tentu saja, Cindy juga tidak lebih baik. Ia suka merayu cowokcowok, agar mau melakukan apa pun yang diinginkannya. Gretchen
tidak suka melihat Gil"atau cowok mana pun dalam hal ini"mau
saja merendahkan diri di depan Cindy.
Tapi ia sadar, ada orang lain yang lebih membenci hal itu.
Gretchen melihat Hannah hampir-hampir tidak bisa menahan
kemarahannya. Pasti sulit kalau pacarmu masih berteman dengan
mantan ceweknya. "Hei!" jerit Patrick tiba-tiba. Ia berhenti mendayung. "Apa itu?"
"Apa?" tuntut Gretchen.
"Ada sesuatu di air!"
"Bagaimana kau bisa melihatnya?" tanya Hannah. "Cuaca gelap
gulita begini." "Aku melihat sirip!" jerit Patrick. "Di sebelah sana."
Jackson dan Gil berusaha memandang ke arah yang ditunjuk
Patrick dengan panik. Jackson mengangkat salah satu alisnya. "Sirip" Di danau" Yang
benar saja." "Aku tidak melihat apa-apa," gumam Gil.
"Tambah dekat!" teriak Patrick. Perahu mulai bergoyanggoyang sementara ia menyenandungkan lagu film Jaws. "Dum-dum...
dum-dum... dum-dum-dum-dum-dum-dum-dum-dum."
Jackson memutar-mutar bola matanya. "Benar-benar
memalukan!" "Kau benar-benar payah, Patrick!" Gil tertawa.
Gretchen mengerang. Salah satu gurauan konyol Patrick yang
lain. "Dewasa sedikit, kenapa?" gumam Hannah.
Patrick mengangkat bahu. "Akui saja. Kau tadi termakan"
sejenak." "Jadi, ini semua tamu pestaku?" tanya Cindy. "Apa tidak ada
yang kurang?" "Misalnya?" tanya Hannah.
"Gretchen tahu siapa," Jackson mencibir.
Gretchen kebingungan setengah mati. "Aku?"
"Kau ingat cowok jangkung berambut hitam panjang?" goda
Cindy. "Cowokmu" Marco?"
Marco. Gretchen merasa tubuhnya menegang.
"Aku tidak mengundangnya," jawabnya tajam.
"Mengapa?" lanjut Cindy. "Aku suka Marco. Dia begitu
menggemaskan." "Kucoba untuk memberinya isyarat," kata Gretchen
menjelaskan. "Mungkin kalau dia tahu tidak diundang ke pestamu,
hubungan kami akan berakhir." Lalu ia menambahkan, "Kalau kau
mau, Cindy, kau boleh mengambilnya."
"Maaf kalian putus. Kupikir segalanya berjalan lancar," kata
Cindy. Gretchen menjejalkan tangannya yang kedinginan semakin
dalam di sakunya. "Tidak lagi."
Ia menatap ke air yang hitam. Ia sudah tidak suka
membicarakan Marco Hughes lagi.
Apa Cindy tidak bisa menangkap isyarat"
Tentu saja, Gretchen dan Marco tampak baik-baik saja. Marco
sangat berbeda dengan cowok-cowok yang biasanya pergi dengan
Gretchen. Ada sesuatu yang berbahaya tentang dirinya, dan Gretchen
seketika tertarik. Dengan rambut hitamnya yang panjang dan anting-anting perak
bulat, belum lagi sepeda motor yang dikendarainya, Marco benarbenar seorang pemberontak. Dan mereka memang melewati masamasa yang menyenangkan.
Mula-mula. Tapi seiring dengan berlalunya minggu demi minggu, ia
menyadari bahwa Marco terlalu liar. Marco tidak peduli terhadap
peraturan. Ia tidak peduli dengan pekerjaan rumah, nilai-nilai, atau
orang-orang lain. Dan temperamennya benar-benar menyesakkan dada.
Segalanya harus dilakukan dengan caranya. Atau... Bahkan hal
yang paling kecil pun bisa memicu kemurkaan Marco.
Gretchen tidak suka mengakui, tapi ia agak takut terhadap
Marco. Sudah beberapa minggu ia berusaha memutuskan hubungan
mereka. Ia bahkan sudah menyarankan agar mereka sama-sama
mencoba berpacaran dengan orang lain. Tapi Marco tidak memahami
keinginannya. "Apa bisa kita tidak membicarakan Marco malam ini?" pinta
Gretchen. "Aku mau bersenang-senang."
"Aku tidak akan menyinggung-nyinggung namanya lagi," janji
Cindy. Ia membuat tanda silang di dadanya. "Percaya deh."
"Sampai mati," kata Gretchen dan Hannah, mengakhirinya
bersama-sama. "Itu pulaunya!" kata Jackson.
Sewaktu perahu mendekati dermaga, Jackson melompat turun
dan mengikatnya. Hannah turun setelahnya dan membantu Gretchen.
Lalu Gil dan Patrick membantu Cindy.
Sambil berdiri di dermaga, Gretchen mendengarkan ombak
menampar tumpukan kayu dan angin di pepohonan. Ia melihat
pemecah ombak kelabu besar di sepanjang pantai. Dan, di baliknya,
kabut tebal menggantung rendah di hutan yang gelap.
Gil menghidupkan lampu senter dan memimpin jalan melintasi
jalan setapak berbatu-batu di hutan. Jalan setapak tersebut menuju
pondok kakeknya. Saat berjuang menyusuri jalan setapak, Gretchen memikirkan
dekorasi di pondok yang dengan susah payah telah dikerjakannya
bersama Hannah. Mereka mendayung sendiri siang itu untuk mendekor pondok
dan memanggang kue ulang tahun Cindy. Gretchen merasa sangat
senang, terutama ketika melihat lilin-lilin yang mereka atur di kamar
depan. Lalu ia ingat. Ia seharusnya berlari lebih dulu dan menyalakan
lilinnya sebelum yang lain datang. Pondoknya akan terlihat hebat.
Ia bergegas mendului teman-temannya dan melesat sepanjang
jalan setapak, ke dalam hutan yang gelap dan berkabut.
Di belakangnya ada yang memanggil-manggil. "Gretchen!
Tunggu! Kau mau ditemani?"
Jackson! Berjalan di hutan berdua bersamanya" Tidak bisa! Pemikiran
tersebut menakutkannya. "Nggak, trims," teriaknya. "Aku bisa lebih cepat sendirian."
Gretchen menundukkan kepala dan terus maju.
Jalan setapaknya bertambah curam. Ia terengah-engah menarik
napas dan mengurangi kecepatannya.
Ia mendengar angin melolong di sela-sela pepohonan dan
melihat dahan-dahan panjang yang telanjang di atas kepalanya
terayun-ayun.EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Daun-daun kering berputar-putar di tanah. Ia mengerjapngerjapkan mata saat air hujan besar-besar menghantam wajah dan
rambutnya. Mereka tiba di pulau tepat pada waktunya.
Gretchen melihat pondok itu dan berlari menaiki tangga depan
dari kayu ke serambi yang tertutup. Ia menghela napas panjang.
Berhasil. Tapi, sewaktu hendak meraih kenop pintu, ia mendengar
derakan. Ada yang bergerak dalam bayang-bayang serambi.
Ia berputar ke samping dan melihat dua kursi goyang kosong
tengah terayun-ayun. Perusak pesta yang tidak kasat mata"
"Bukan hantu. Cuma angin," bisik Gretchen sendiri. Ia bergegas
masuk. Gretchen membiarkan pintu depan tetap terbuka. Ia meraih


Fear Street Pesta Semalam Suntuk All Night Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saklar lampu di dinding dan menjentikkannya.
Pondok tetap gelap. Gretchen menatap ke kegelapan.
Ia kembali menjentikkan saklar lampu. Ada apa" pikirnya. Tadi
siang baik-baik saja. Ia kembali menjentikkan saklar lampu beberapa kali, lalu
menyerah. Gretchen maju beberapa langkah ke dalam kegelapan. Ia tidak
merasa takut. Ia hafal tata ruang pondok di luar kepala.
Pintu membuka ke kamar depan. Dapur dan kamar mandi ada di
sebelah kanannya. Dekat pintu dapur ada tangga menuju lantai dua, di
mana terdapat dua kamar tidur dan kamar mandi yang lain.
Gretchen memutuskan untuk mencari lilin. Ia melangkah makin
jauh ke dalam pondok. Apa itu" Ia berhenti"dan mendengarkan.
Sunyi. Lalu ia mendengarnya dengan jelas.
Langkah kaki. Lagi. Gretchen ingin lari, tapi kakinya tiba-tiba terasa seperti dua
buah balok semen. Langkah-langkah kaki pelan dan berat itu terdengar semakin
dekat. Gretchen berbalik dan terhuyung-huyung ke pintu.
Sesosok tubuh jangkung melompat dari bayang-bayang di
belakangnya. Lengan-lengan yang kuat terjulur dari kegelapan dan
memeluknya. Ia membuka mulut untuk berteriak.
Sebuah tangan yang kasar menutupnya, menghalangi suaranya.
Lengan-lengan tersebut menariknya mendekat.
Menjepit keras. Lebih keras.
Mati aku, pikirnya. Dia akan membunuhku!
Bab 6 GRETCHEN terengah-engah menghela napas. Ia menggeliatgeliat dan berjuang untuk membebaskan diri. Tidak"please! Please!
pintanya diam-diam. Yang mengejutkan, tangan-tangan tersebut kemudian
melepaskannya. Gretchen terhuyung-huyung, lalu berputar untuk melihat
penyerangnya. "Kau?" Ia tersentak.
"Kejutan!" seru cowok itu. "Kau tidak senang melihatku?"
Marco. Dentuman jantung Gretchen melambat. Ia merasa tubuhnya
lemas karena lega. "Hei, Gretch," Marco tertawa. "Aku membuatmu ketakutan,
ya?" "Ya!" teriak Gretchen. Ia memukuli dada Marco dengan kedua
kepalannya. Ia merasa ketakutannya telah menghilang, digantikan
kemarahan yang meluap-luap. Tadinya ia mengharapkan malam tanpa
Marco. Sekarang cowok itu ada di sini, berdiri di hadapannya.
Ia mengeluarkan sekotak korek dari sakunya dan menyulut
salah satu lilin. "Hei"itu cuma lelucon," kata Marco.
"Kau hampir saja membuatku mati ketakutan," sergah
Gretchen. "Sekadar kau tahu, ada pembunuh yang melarikan diri kemari.
Dia... dia membunuh tiga gadis. Kupikir..."
Marco menyisir rambut panjangnya dengan tangan. "Mana aku
tahu tentang itu?" "Polisi menutup-nutupinya," kata Gretchen padanya.
"Lalu dari mana kau tahu?"
"Patrick mendengar dari ayahnya, yang memintanya untuk tidak
menyebarkan ke mana-mana."
"Kau tidak boleh memarahiku karena sesuatu yang aku tidak
tahu," kata Marco. Ia mencoba untuk memeluk Gretchen lagi, tapi
Gretchen menggeliat membebaskan diri.
Marco menatapnya dengan pandangan kecewa. Lalu ia melipat
lengan di dada dan mendesah.
Gretchen tidak tahan melihat bagaimana T- shirt putih yang
dikenakan Marco menempel erat pada otot-ototnya, atau celana jeans
birunya yang membungkus kedua kaki cowok itu rapat-rapat.
Tubuh Marco memang hebat.
Sebagian besar gadis di SMA Shadyside akan gembira kalau
bisa bertukar tempat dengan dirinya. Tapi Gretchen benar-benar tidak
ingin berhubungan lagi dengan Marco.
Ia tidak bisa menahannya. Perasaannya memang mengatakan
begitu. Gretchen melangkah menjauhi Marco dan menanggalkan
jaketnya. Ia menggantungnya di gantungan kayu ek dekat pintu depan.
"Dari mana kau tahu aku akan berada di sini?" tanyanya.
"Ibumu yang memberitahukan sewaktu aku menelepon ke
rumahmu malam ini," jawab Marco.
Cowok itu bersandar ke pagar tangga ke lantai atas dan
tersenyum menggoda kepada Gretchen.
"Kusembunyikan perahuku di sisi lain pulau, jadi aku bisa
mengejutkanmu," bual Marco. "Kau tidak bisa melepaskan diri dariku
semudah itu, Gretchen. Apa kau tidak tahu itu?"
Gretchen mengerutkan kening.
Apa dia tahu aku ingin memutuskan hubungan" Apa dia sudah
memperkirakannya" Mungkin tidak. Marco begitu bodoh...
Ia mendengar suara-suara di pintu dan melihat sorotan lampu
senter Gil menghantam jendela depan.
Beberapa detik kemudian, teman-temannya berjejal masuk
melalui pintu depan pondok.
Hannah melihat kehadiran Marco, lalu memandang Gretchen
dengan tatapan kebingungan.
Nanti, kata Gretchen tanpa suara.
"Marco ada?" kata Cindy.
"Kaupikir aku lupa ulang tahunmu?" Marco meringis.
Ia membentangkan lengannya dan Cindy melesat masuk,
memeluknya. "Berani taruhan penampilanku pasti kacau," gumam Cindy
sambil mendorong rambutnya ke belakang.
Yang benar saja, pikir Gretchen. Cindy selalu tampil sempurna,
seperti biasa. "Kami ingin menyalakan semua lilinnya lebih dulu," kata
Hannah meminta maaf. "Tempat ini kelihatannya hebat!" seru Cindy.
"Memang," kata Gretchen menyetujui.
Ia dan Hannah telah menghabiskan tiga jam untuk
menghiasnya. Pita-pita terbentang dari satu ujung kamar duduk ke
ujung yang lain. Bintang-bintang dari kertas perak tergantung di
dinding, bersama balon-balon emas dan merah muda. Sebuah spanduk
SELAMAT ULANG TAHUN terbentang di atas perapian.
Gretchen telah menyebar lilinnya, lilin-lilin berwarna-warni
yang berbeda-beda besarnya, di seluruh ruangan. Ia bergegas
menyulutnya. Ia melangkahi kantong-kantong tidur mereka, yang tertumpuk
di salah satu sudut ruangan. Ia merasa mereka tidak akan tidur terlalu
lama malam ini. Terlalu sibuk berpesta. Gretchen menyulut lilin terakhir dan meniup koreknya hingga
padam. "Nah. Sekarang semuanya sudah sempurna."
"Selamat ulang tahun, Cindy," teriak Hannah.
Semua orang berkumpul mengerumuni Cindy. Selamat ulang
tahun!" Cindy menatap sekeliling ruangan yang telah dihias. "Belum
pernah ada yang berbuat begini baik padaku. Sulit dipercaya kalau
kalian sudah bersedia bersusah payah menyiapkan kejutan untukku."
"Kenapa tidak?" tanya Gretchen. "Kau teman kami."
"Ini ulang tahun terbaikku," Cindy mendengus. "Akan kuingat
seumur hidup." Kelak, setelah kengerian dimulai, Gretchen teringat akan katakata Cindy.
"Akan kuingat seumur hidup."
Bab 7 "JANGAN lupakan kadonya!" teriak Gil.
"Juga makanannya!" Patrick menimpali. "Kuharap kita
membawa cukup banyak. Aku kelaparan."
"Sudah biasa," gumam Hannah.
"Kalau kehabisan makanan, kita terpaksa berburu," kata Marco.
"Berburu" Apa yang mau diburu" Di sini tidak ada hewan,"
kata Gretchen padanya. "Tentu saja ada," jawab Gil. "Benar kan, Patrick?"
Patrick mengangguk, keriting rambutnya terlonjak-lonjak
sebagai akibatnya. "Ada banyak hewan liar di luar sana. Menunggu
dalam bayang-bayang." Lalu ia merendahkan suaranya hingga
terdengar sinis. "Menunggu untuk menerkam dan membunuhmu saat
kau lengah." "Bohong!" seru Cindy. Ia melirik ke sekeliling ruangan dengan
pandangan gugup, lalu bertanya dengan suara pelan, "Benar, kan?"
Gretchen menampar lengan Patrick. "Jangan mencoba menakutnakuti kami terus."
Patrick melontarkan kedua lengannya. "Oke, oke. Tapi raungan
hewan yang baru saja kaudengar itu suara perutku."
"Yeah, ayo makan!" seru Gil sambil melangkah ke dapur. "Tapi
pertama-tama, tanggalkan sepatu kalian. Aturan rumah. Nenekku akan
meledak kalau kita mengotori karpetnya."
Gretchen bisa melihat kalau Jackson tengah mengawasi mereka
semua. Tanpa mengatakan apa-apa. Ekspresinya serius, boleh
dikatakan marah. Kenapa dia mengawasi kami seperti itu" Gretchen penasaran. Ia
melontarkan sepatunya ke dekat pintu depan, bersama-sama sepatu
teman-temannya. Apa Jackson mempelajari kami" Kenapa dia tidak
menggabungkan diri seperti yang lainnya"
Kalau tidak mau berada di sini, untuk apa dia bersusah payah
datang" "Kau tidak ikut ke dapur, Jackson?" tanyanya.
"Aku mau menyalakan api," jawab cowok itu singkat. "Kau
tahu. Untuk memanggang hotdog."
Di dapur, Gretchen membantu Hannah mengosongkan isi
lemari es, sementara Gil, Patrick, Marco, dan Cindy mengeluarkan
cangkir-cangkir, piring, dan serbet kertas ke kamar duduk.
Gretchen menemukan kaleng tepung dan gula yang mereka
gunakan untuk memanggang kue ulang tahun Cindy. Kaleng-kaleng
itu masih tergeletak di meja dapur. Mangkuk-mangkuk dan panci
kotor bertumpuk di wastafel.
"Wow. Coba lihat itu. Kita benar-benar mengotori dapur waktu
memanggang kue tadi," kata Gretchen.
"Jangan khawatir," kata Hannah. "Nanti semua ikut
membersihkan." Gretchen mengesampingkan kaleng tepung agar bisa meraih
kantung hotdog. "Mungkin."
"Bagaimana urusanmu dengan Marco?" tanya Hannah sambil
mengulurkan sekantong hotdog. "Katamu kau tidak mau dia berada di
sini malam ini." "Dia menelepon ke rumah, dan ibuku memberitahukan aku ada
di sini." Hannah mengernyit. "Oh, wow."
"Bukan salah ibuku," kata Gretchen. "Dia tidak tahu aku mau
memutuskan Marco." Hannah menjejalkan botol-botol saus, moster, dan acar ke
dalam pelukannya. "Apa tindakanmu sekarang?"
Gretchen mengangkat bahu. "Mencoba menjaga jarak."
"Semoga berhasil. Pondok ini tidak terlalu besar, kalau kau
belum menyadarinya," kata Hannah mengingatkan.
"Yeah, aku tahu." Gretchen mendesah. Ia mengikuti Hannah ke
kamar duduk. "Aku harus berusaha sebaik-baiknya. Cuma semalam.
Memangnya bisa seburuk apa?"
Sewaktu Gretchen memasuki kamar duduk, ia melihat api telah
menyala di perapian. Gil mengulurkan garpu panjang untuk
memanggang hotdog. Gretchen memasak hotdog-nya di api. Lalu ia mencari-cari
tempat duduk dengan pandangannya.
Ia melihat Marco duduk di lantai, di samping Cindy. Jadi,
Gretchen duduk di sofa. Tapi Marco seketika bangkit berdiri dan
duduk di sampingnya. Gretchen merasa terjebak.
Ia merasa kalau berdiri dan duduk di lantai, atau bahkan
melarikan diri ke dapur, Marco akan mengikutinya.
Marco mencoba memeluk bahunya, tapi ia melompat bangkit
untuk mengambil soda. Dulu aku suka kalau Marco memeluk bahuku, kenang Gretchen.
Aku suka kalau dia memelukku. Menciumku.
Sekarang aku tidak ingin dia menyentuhku lagi. Aku cuma
ingin dia pergi dari hidupku.
"Ada yang mau hotdog lagi?" tanya Cindy.
Ia mengacungkan hotdog yang baru saja dipanggangnya.
"Aku mau," teriak Gil. Ia mengulurkan piringnya. "Hmmm.
Kelihatannya enak. Koki yang hebat."
"Trims," jawab Cindy sambil melontarkan senyum manis.
"Dan hotdog-nya juga kelihatan enak," tambah Gil sambil
tertawa. Cindy terkekeh. Gretchen merasa mau tersedak. Ia mencuri pandang, melirik
Hannah. Hannah duduk menatap Gil, mulutnya terkatup rapat.
"Kau mau moster dan sauerkraut?" tanya Cindy pada Gil.
"Gil tidak suka hotdog dengan moster," sela Hannah. "Dia suka
saus." "Tidak," kata Cindy bersikeras. "Dia suka moster. Benar, kan,
Gil?" Gil tidak menjawab keduanya. Ia menyambar hotdog-nya dan
menggigitnya. "Bagiku begini sudah cukup," jawabnya.
Hannah membungkuk ke depan, meraih sekaleng Coke dari
kotak pendingin. Ia membukanya dan mengulurkannya kepada Gil.
"Mau minum?" Cindy menggeleng. "Gil tidak suka Coke. Dia suka jahe."
"Tidak." "Aku tahu, Hannah," jawab Cindy. "Gil dan aku sempat pacaran
enam bulan, dan kau baru sebulan."
Gretchen bisa melihat kalau komentar Cindy bagai tamparan di
wajah Hannah. Hannah meninggalkan Gil dan melesat ke dapur.
Gretchen bergegas mengejarnya. Ia menemukan Hannah di
samping wastafel. Ia bisa melihat kalau temannya tersebut sedang
jengkel. Seluruh tubuhnya gemetar.


Fear Street Pesta Semalam Suntuk All Night Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan biarkan Cindy mengganggumu," saran Gretchen. "Dia
cuma cemburu karena Gil sekarang pacaran denganmu."
"Aku kenal Cindy seumur hidupku, dan terkadang aku sangat
membencinya," kata Hannah dengan gigi terkatup. "Menurutnya
karena dia cantik dan pirang, dia bisa mendapatkan semua yang
diinginkannya. Tidak adil, Gretchen. Ini tidak adil!"
"Kau tidak jengkel karena Cindy menggoda Gil, bukan" Ada
hal lain." "Ya," kata Hannah dengan enggan.
"Mau bercerita?"
"Cindy mendapatkan beasiswa yang kuinginkan," bisik Hannah.
Gretchen merasa sedih untuk Hannah. Ia tahu betapa Hannah
sangat membutuhkan beasiswa itu.
Selama berminggu-minggu Hannah menanti-nanti apakah ia
mendapatkan beasiswa itu atau tidak.
"Maaf," kata Gretchen lembut.
Hannah berpaling dari wastafel, memandang Gretchen.
"Ayahnya punya setumpuk uang. Dia bisa mengirim putrinya ke
universitas mana pun. Orangtuaku tidak. Beasiswa itu satu-satunya
kesempatan!" "Tapi kau juga mengajukan permohonan untuk beasiswa lain,
bukan?" "Masalahnya bukan itu!" sergah Hannah. "Cindy bahkan tidak
tertarik dengan beasiswa itu sampai dia mendengar aku mengajukan
permohonan untuk mendapatkannya. Sudah begitu sejak kami masih
kecil." Hannah mendesah marah. "Menurut Cindy, dia bisa
mendapatkan apa pun yang diinginkannya, tidak peduli siapa yang
disakitinya untuk itu. Well, tidak bisa! Terkadang kuharap dia mati
saja!" Gretchen tersentak. Ia belum pernah melihat Hannah semarah
itu. Hannah selama ini selalu hangat dan peka. Ia tidak pernah
mengatakan hal-hal yang jahat tentang siapa pun"bahkan sekalipun
mereka layak mendapatkannya.
Tapi sekarang, saat menatap Hannah, Gretchen merasa
tubuhnya menggigil. Wajah sahabatnya tersebut bagai topeng
kemarahan yang pahit. "Kau tidak bersungguh-sungguh," bisik Gretchen.
Hannah mendesah. "Oh ya" Apa benar?"
"H Bab8 "HEI, apa kalian tersesat di dapur atau bagaimana?" seru
Patrick sewaktu Gretchen dan Hannah kembali ke kamar depan.
"Kami kira tadi harus mengirim regu pencari."
"Jadi, apa selanjutnya?" tanya Marco.
"Sudah waktunya membuka kado-kadoku!" seru Cindy dengan
bangga. "Di sana." Patrick menunjuk ke tumpukan kado di dekat
perapian. "Ambil saja."
Cindy bergegas ke sana. Gretchen duduk di sofa agar bisa
menyaksikan semuanya. Gretchen melihat Cindy mengambil sebuah kotak kecil
terbungkus kertas merah muda mengilat di puncak tumpukan dan
mengguncangnya. Lalu Cindy mencabut kartu ucapannya dan
membacanya keras-keras. "Dari Gretchen," katanya. "Coba lihat. Apa, ya, isinya?"
Ia merobek kertas pembungkusnya dan membuka kotaknya.
"Anting-anting yang bagus. Trims, Gretchen," teriaknya.
Sebelum Gretchen sempat menjawab, Cindy telah melemparkan
kotaknya ke samping dan dengan semangat membuka hadiah
berikutnya. Sebotol parfum dari Hannah.
"Aku suka parfum ini. Sayangnya tidak cocok untukku,"
katanya. Ia menyambar kado berikutnya dari Gil dan Jackson. Sehelai
amplop berisi dua karcis konser rock.
Semua anak yang dikenal Gretchen sangat ingin menyaksikan
konser tersebut. Tapi Cindy sama sekali tidak terlihat tertarik.
"Hei, trims. Hadiah yang hebat," katanya.
Ia menjatuhkan karcis-karcis itu ke atas tumpukan hadiahnya.
Cindy begitu egois dan manja, pikir Gretchen sambil
mengawasinya membuka hadiah-hadiahnya. Semua orang sudah
bersusah payah memikirkan hadiahnya, dan ia sama sekali tidak
menghargainya. "Hei, Cindy! Maafkan aku!" kata Patrick dengan tiba-tiba. "Aku
lupa membungkus hadiahmu. Nanti kuberikan langsung saja, oke?"
"Boleh." Cindy mengangkat bahu. Ia meraih hadiah terakhir.
Sebuah kotak putih yang besar.
Gretchen mengawasinya mengguncang kotak besar tersebut. Ia
melihat tidak ada kartu ucapan apa pun di sana. Hanya sebuah pita
merah besar. Gretchen membaca tulisan yang tertera di kotak dengan spidol
hitam: "Untuk Cindy. Dari Marco
"Hadiah yang terakhir itu darimu," kata Cindy kepada Marco
sambil mengguncang kotaknya. "Aku ingin tahu apa isinya."
"Buka saja," kata Marco memberi semangat. Cindy merobek
pita merahnya dan mengangkat tutup kotak. Ia mengintip ke dalam"
dan mulutnya ternganga jijik.
"Ohhhh. Menjijikkan!" erangnya.
Bab 9 "IIH!" Ekspresi Cindy menunjukkan kejijikan.
"Hei, terima kasih kembali," Marco tertawa. "Kalau tidak suka,
akan kuambil kembali."
Cindy berpaling kepada Gretchen dan Hannah. "Dia memberiku
setumpuk film porno," katanya. Ia mengambil sebuah videotape dari
dalam kotak dan membaca judulnya. "Bloodfest 4."
Gretchen menatap pita video tersebut. Pada sampulnya terdapat
gambar seorang gadis setengah telanjang tengah berusaha menjauhi
sebilah pisau panjang berlumuran darah.
Cindy mengerang dan mengerutkan kening. "Uf! Bagaimana
orang normal bisa tahan menyaksikan film seperti ini?"
Gretchen hanya mengangkat bahu. Ia sulit untuk percaya Cindy
bisa bersikap sekasar ini. Kenapa ia tidak berpura-pura menyukai
hadiah Marco tanpa menyakiti hatinya"
"Kalau kau tidak mau, boleh kuambil?" tanya Patrick. "Akan
kutambahkan ke dalam koleksiku."
Cindy melambaikan satu tangannya. "Silakan."
"Sulit dipercaya," gumam Marco, menggeleng.
Gretchen memandang teman-temannya. Semuanya tampak agak
kecewa. Padahal malam ini seharusnya berlalu dengan kegembiraan.
Pesta sepanjang malam mereka yang hebat.
"Bagaimana kalau kita mendengarkan lagu?" saran Gretchen.
"Di sini terlalu sepi!"
"Gagasan bagus. Keraskan saja suaranya. Tidak akan ada yang
mengeluh di sini," kata Gil.
Gretchen menyelipkan sebuah CD ke dalam CD-player jinjing
dan memutar volumenya sekeras-kerasnya. Dentaman rock-and-roll
pun segera menggelegar memenuhi ruangan. Ia merasa lantai kayu di
bawahnya bergetar. "Luar biasa!" seru Hannah mengatasi keributan tersebut. Ia
menyambar lengan Gil dan mengajaknya berdansa.
"Ayo, Gretchen," desak Marco.
"Aku sedang tidak berminat. Mungkin nanti," kata Gretchen.
"Aku lelah sekali," tambahnya.
"Lelah?" seru Marco. "Tidak mungkin. Ini pesta sepanjang
malam!" Sebelum Gretchen sempat menolak, Marco menyambar
lengannya dan mulai menari.
Gretchen menyerah dan mencoba untuk turut menari.
Sementara mereka menari, Gretchen bisa melihat pandangan
Cindy terpaku pada Gil dan Hannah. Gil tengah membisikkan sesuatu
di telinga Hannah dan Hannah tersenyum.
Gretchen penasaran, apakah Cindy menyesal telah memutuskan
hubungannya dengan Gil. Ia tahu Cindy-lah yang memutuskan. Itu
karena Gil terlibat masalah serius. Beberapa teman Gil memutuskan
untuk mencuri mobil. Orangtua Cindy meledak marah sewaktu mereka tahu. Beberapa
hari kemudian, Cindy memutuskan hubungannya dengan Gil.
Setelah itu, Gil dan Hannah mulai berhubungan.
Gretchen sulit untuk memahami, apa yang menarik dari Gil bagi
Hannah. Memang benar, Gil agak menggemaskan, dengan tulang pipi
tinggi, mata biru, dan rambut hitam pekat.
Tapi Gil tidak sehebat itu. Siapa yang menginginkan pacar yang
selalu kembali ke mantan pacarnya"
Pandangan Gretchen beralih dari Gil dan Hannah. Patrick
tengah sibuk melahap hotdog lagi.
Jackson bersandar di dinding dekat perapian. Lengannya terlipat
di dada. Pandangannya terarah kepada dirinya.
Mengawasi. Mengikuti setiap langkahnya.
Bab 10 LAGUNYA berakhir. Gretchen pun menjauhkan diri dari
Marco. "Aku mau keluar, mengambil tambahan kayu untuk apinya,"
katanya. "Mau bantuan?" tawar Marco.
Gretchen tahu kalau Marco ikut, mereka tidak akan
mengumpulkan kayu bakar. Marco ingin mereka berdua menemukan
tempat yang sunyi. Pikiran tersebut menyebabkan perutnya melilit.
"Tidak perlu, trims," jawab Gretchen. Ia ingin menjauhi
Marco"dan Jackson"untuk beberapa saat.
Ia mulai merasa benar-benar terjebak di dalam pondok kecil
tersebut. Setelah menyambar lampu senter dari rak di atas perapian,
Gretchen melangkah ke pintu. Ia bisa merasakan tatapan Jackson
mengikutinya, tapi ia tidak berpaling.
"Kita sama-sama," panggil Hannah. "Gil dan aku mau
menikmati bintang-bintang dari dermaga."
Gretchen memutar bola matanya. Sebenarnya Hannah ingin
membohongi siapa" Di luar bintang hanya sedikit. Jelas sekali. Ia dan Gil hanya mau
berduaan saja. "Aku tidak bisa bergerak sedikit pun," Patrick mendesah dari
sofa. "Aku makan hotdog terlalu banyak." Ia bersendawa dengan suara
keras. "Sebaiknya sisakan tempat untuk pencuci mulut," kata Hannah.
"Kita akan memotong kue ulang tahun Cindy setelah kembali nanti."
"Kau sudah tahu apa yang kauinginkan?" tanya Gretchen
kepada Cindy. Cindy menatap Gil dengan tekad bulat. "Aku tahu persis apa
yang kuinginkan." "Hati-hati dengan keinginanmu," jawab Gil. "Kau mungkin
akan mendapatkannya."
Cindy tersenyum menggoda. "Akan kutanggung resikonya."
Hannah menyodok lengan Gil dengan tidak sabar. "Ayo, Gil.
Kita pergi." Setelah mengikat sepatu mendakinya, Gretchen meraih jaket
denimnya dari rak mantel. Ia mengenakannya dan melangkah ke
serambi. Gretchen menghela napas dalam-dalam. Ia merasa bagai
dikelilingi oleh kesunyian malam yang dalam dan lembut. Begitu
damai. Begitu tenang. Begitu berbeda dengan di dalam pondok.
Ia tiba-tiba berharap seandainya tidak harus kembali ke dalam.
Kembali ke Marco. Kembali ke Jackson. Gretchen menengadah menatap langit. Hujan sudah berhenti,
tapi awan tebal masih menggantung di atas. Badai lain sedang
mendekat. Sebaiknya aku bergegas mengambil kayu bakar sebelum hujan
turun lagi, pikirnya. Sambil menghidupkan lampu senternya, Gretchen bergegas
menuruni tangga serambi dan menyusuri sisi pondok ke gudang di
dekatnya. Ia menemukan beberapa potong kayu di dalam dan
mengambilnya. Sewaktu mendekati bagian belakang pondok, ia mendengar
suara-suara keras. Dari dalam dapur.
Gretchen merasa malu untuk menguping. Tapi ia tidak bisa
menahan diri. Ia mendekati dinding pondok dan berdiri tepat di bawah jendela
dapur. Ia tidak bisa melihat ke dalam. Jendelanya terlalu tinggi. Tapi ia
bisa mendengar suara itu dengan jelas.
Dua suara. Cowok dan cewek. Bernada tinggi penuh kemarahan.
Ia mengenali suara Cindy. Tapi siapa cowok yang diajaknya
bicara" Ia berusaha mendengarkan dengan lebih teliti.
Jackson. Tapi, apa yang mereka pertengkarkan" Cindy dan Jackson cuma
teman biasa"atau bukan"
Gretchen berusaha keras mendengarkan. Ia tidak bisa
menangkap satu patah kata pun, tapi nadanya kedengaran seperti
orang marah. Lalu ia mendengar suara tajam yang membuatnya tersentak
karena terkejut. Suara orang menampar. Bab 11 SUARA tamparan" Ya. Cindy terdengar menjerit.
Terkejut, Gretchen bergegas menjauhi jendela.
Apa yang harus dilakukannya" Kembali ke dalam dan
memeriksanya" Tidak. Itu bukan urusannya.
Lagi pula, Patrick dan Marco masih ada di dalam. Kalau
situasinya berubah menjadi tidak terkendali antara Cindy dan Jackson,
salah satu cowok itu pasti melerainya.
Gretchen bergegas menjauhi pondok. Dengan bantuan cahaya
lampu senter, ia masuk semakin dalam ke hutan; ia perlu waktu untuk
seorang diri. Saat ia berjalan, cahaya lampu senternya mendadak berkedipkedip, lalu menyuram. Ia hampir-hampir tidak bisa melihat pepohonan
di depannya. Oh, tidak, pikir Gretchen. Lampu senternya melemah.
Ia mengguncang-guncang lampu senternya hingga baterainya
terdengar beradu. Cahayanya pun kembali menguat, dan Gretchen
mendesah lega. Kurasa sebaiknya kembali ke pondok. Aku tidak ingin terjebak
dalam kegelapan di sini tanpa tahu jalan pulang.


Fear Street Pesta Semalam Suntuk All Night Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi sebelum Gretchen sempat berbalik, lampu senternya
padam. "Hebat," gumamnya.
Ia menjentik-jentikkan saklarnya, mengguncang-guncang
baterainya. Tidak terjadi apa-apa. Gretchen mendesah. Ia berusaha untuk tidak panik.
Sejak masih kecil, ia selalu takut akan kegelapan.
Takut akan sesuatu yang menunggu dalam bayang-bayang.
Menunggu. Mengawasi. Hentikan! ia marah sendiri. Jangan menakut-nakuti dirimu
sendiri. Sekalipun begitu, Gretchen tidak suka sendirian seperti ini.
Terutama karena adanya narapidana yang melarikan diri.
Ia berbalik dan berjalan kembali dalam kegelapan.
Saat kakinya melangkah, Gretchen mendengarkan suara-suara
hutan. Teriakan burung hantu. Jeritan jangkrik.
Lalu, di kejauhan, dari sela-sela cabang pohon yang gemetar,
Gretchen bisa melihat cahaya lampu pondok.
Oke, tidak begitu jauh. Aku bisa mencapainya.
Lalu ia mendengar sesuatu.
Sesuatu yang menggesek benda lain.
Di depannya. Gretchen berhenti. "Siapa itu?" panggilnya.
Tidak ada jawaban. "Ada orang di sana?" ulangnya.
Masih tidak ada jawaban. "Marco, kalau itu kau, menurutku ini tidak lucu," teriak
Gretchen kepada kegelapan.
Tidak ada jawaban. Suara gesekan itu semakin keras.
Gretchen merasa tubuhnya gemetar ketakutan. Ia menahan
napas dan mendengarkan. Ada sesuatu di sana. Mendekat. Suaranya menghilang. Tubuh Gretchen merosot lega. Ia
menghela napas panjang. Tidak ada siapa-siapa di sana. Aku ketakutan sendiri. Cuma
seekor hewan. Itu saja. Ia kembali mencari-cari lampu pondok. Tapi tidak mampu
melihatnya karena terhalang semak-semak lebat.
Ada di sana, di suatu tempat, katanya meyakinkan diri sendiri.
Aku tahu. Ia maju beberapa langkah, tapi berhenti sewaktu mendengar
suara lain merobek keheningan malam.
Suara napas. Napas manusia. "Siapa itu?" teriak Gretchen.
Tidak ada jawaban. Tapi suara napas tersebut terdengar semakin berat.
Mulut Gretchen terasa kering. Ia berhenti melangkah dan
bersandar ke batang pohon. Ia bisa merasakan jantungnya berdentumdentum menghantam tulang rusuknya.
Kalau itu Hannah atau Gil atau siapa pun dari pondok, mereka
pasti menjawab. Kecuali... Kecuali orang itu bukan temannya dari pondok.
Dan kalau orang itu bukan salah seorang temannya...
Perut Gretchen menegang saat menyadari siapa yang mungkin
ada di dekatnya. Narapidana yang melarikan diri.
Aku harus lari, ia mengambil keputusan. Tapi sebelum ia
sempat bergerak, seseorang melompat keluar.
Dan menangkapnya. Bab 12 GRETCHEN membuka mulut hendak menjerit, tapi tidak
terdengar suara apa pun. Marco tertawa. "Kena!" seru cowok tersebut sambil memeluknya erat-erat.
"Kau kena lagi."
"Kau idiot!" jerit Gretchen.
Ia memukuli dada Marco dengan marah. "Kau sakit! Kau benarbenar sakit!"
"Whoa"tenang," protes Marco. "Aku cuma bergurau."
"Bergurau" Aku sudah bercerita tentang narapidana yang
melarikan diri! Di mana otakmu?"
"Gretchen, tenang."
"Lepaskan!" jerit Gretchen, berjuang untuk membebaskan diri
dari pelukan Marco. "Lepaskan aku!"
Marco melepaskan pelukannya dan mundur. "Ada apa
denganmu" Sepanjang malam ini kau selalu menghindariku. Sikapmu
seakan kau tidak menginginkan aku di sini."
"Memang!" sembur Gretchen.
"Hah?" "Kau seharusnya tidak berada di sini. Aku memang sengaja
tidak mengundangmu," katanya mengakui.
Wajah Marco berubah tegang saat menatap Gretchen. Gretchen
pernah menyaksikan ekspresi Marco seperti itu. Tepat sebelum
amarah cowok itu meledak.
Gretchen memberanikan diri dan mengawasi reaksi Marco.
"Apa salahku?" tanya Marco.
"Tidak ada," jawab Gretchen, menggeleng. "Cuma..." Ia
berhenti. Ia tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan.
Tapi ia harus memberitahu Marco. "Dengar, aku tidak
mengundangmu karena aku tidak mau bertemu denganmu. Kurasa aku
tidak mau bertemu denganmu lagi."
"Hah?" Marco maju selangkah mendekati Gretchen.
Gretchen mundur. "Ada apa, Gretchen?" tanya Marco. Ia mencibir. "Takut?"
"Tidak. Aku tidak takut," jawabnya sambil mundur selangkah
lagi. Tangan Marco meraih ke saku belakang celana jeans-nya. Ia
mencabut sebatang logam ramping yang mengilat.
Mata Gretchen terbelalak terkejut dan napasnya bagai tercekik
di lehernya. Sebilah pisau lipat yang mengilat ada di tangan Marco.
Marco menekan tombolnya dan mata pisaunya melejit keluar.
"Kau mau apa dengan benda itu?" jerit Gretchen. "Singkirkan."
"Aku perlu," jawab Marco pelan. "Aku perlu."
Gretchen beringsut-ingsut menjauhi Marco. Ia berusaha untuk
tidak menatap pisau di tangan cowok itu. Tapi tidak bisa.
"Aku tidak bermaksud menyakitimu, Marco," bisik Gretchen.
"Sungguh. Mungkin aku tidak begitu baik dalam menjelaskan masalah
ini. Tapi kita tidak cocok satu sama lain. Kau mengerti?"
Marco tidak menjawab. Ia mendekati Gretchen.
"Aku pernah menggunakan pisau ini sebelumnya, dan aku akan
menggunakannya lagi," bisiknya. "Malam ini."
Malam ini" "Marco"jangan!" jerit Gretchen.
Marco mengayunkan tangannya tinggi-tinggi.
Dan menurunkannya ke dada Gretchen.
Bab 13 SAMBIL mengerang, Gretchen memejamkan mata dan
menunggu datangnya tusukan yang menyakitkan tersebut.
Kedua tangannya secara naluriah menutupi dadanya.
Tapi ia tidak merasakan apa pun. Sama sekali.
Suara mengiris-iris yang tajam membuatnya membuka mata.
"Ohh!" serunya, menyadari kalau Marco bukannya menusuk
dirinya. Cowok itu menusuk-nusukkan pisau lipatnya ke kulit pohon di
belakang dirinya. Gretchen berputar dan mengawasi mata pisau tersebut merobekrobek kulit kayu yang lunak.
Sekali. Dua kali. Tiga kali.
Ia membeku, tak mampu bergerak sedikit pun, sementara Marco
dengan buas mencincang pohon tersebut.
Serpihan kulit kayu basah menghujani wajah cowok itu. Marco
menggeram-geram dan terengah-engah sambil terus mencincang
pohon. "Ap... apa yang kaulakukan?" kata Gretchen tergagap.
"Aku marah," balas Marco dengan gigi terkatup. "Aku benarbenar marah, Gretchen. Aku... aku tidak mengerti. Mengapa kau
berbuat begini padaku?"
"Maafkan aku," kata Gretchen. Ia menggigit bibir bawahnya.
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi."
Marco melangkah menjauhi pohon, terengah-engah. Ia
menghapus keringat dari dahinya dengan punggung tangan. Lalu
melipat pisaunya dan menyelipkannya kembali ke saku celananya.
Tanpa mengatakan apa-apa, ia berbalik memunggungi Gretchen
dan berjalan ke pondok. Gretchen bergegas mengejarnya. Ia tidak tahu apa yang akan
dikatakannya kalau berhasil menyusul Marco. Tapi ia tahu bahwa ia
telah melukai perasaan cowok itu.
Ia tidak bermaksud untuk begitu terang-terangan, tapi...
"Marco..." Marco memotongnya. "Sudahlah, Gretchen. Aku sudah
mengerti maksudmu. Sangat jelas."
Mereka membisu sepanjang perjalanan kembali. Sewaktu
mereka telah berada cukup dekat dengan pondok, hujan mulai turun
lagi. Butir-butir air yang dingin dan berat.
Gretchen membuka pintu pondok, mengira akan mendengar
tawa dan suara-suara lainnya.
Tapi ia hanya mendengar kesunyian.
Ia melangkah masuk ke kamar depan. Api telah mengecil.
Beberapa lilinnya telah padam. Spanduk ulang tahun yang terbentang
di atas perapian telah jatuh.
Hawa dingin merayapi punggung Gretchen. Kekosongan
ruangan itu menakutkannya.
"Di mana yang lain?" ia penasaran.
Marco mengangkat bahu. "Mungkin keluar berjalan-jalan. Atau
pulang ke rumah. Pesta yang hebat."
Marco menjatuhkan diri di sofa, lengannya melintang di dada.
Ia menatap api kecil yang hampir padam di perapian.
Gretchen mendengarkan hujan memukul-mukul atap pondok.
Dalam beberapa detik, seharusnya teman-temannya menyerbu masuk,
siap untuk berpesta. Sebaiknya kusiapkan kuenya, pikirnya.
Gretchen membuka pintu dapur.
Ia berhenti karena terkejut. Kacau sekali! Apa yang sudah
terjadi di sini" Kaleng tepung di atas meja telah terjatuh, tumpahan tepung ada
di mana-mana. Di lantai. Di meja. Tapi noda apa itu yang mengotori tepungnya"
Noda merah gelap. Gretchen mengikuti jejak noda-noda gelap tersebut dengan
pandangannya. "Tidak!" jeritnya sewaktu melihat Cindy.
Di lantai. Telentang di atas tepung.
Di sisi tubuhnya terdapat guratan merah menantang.
Darah mengucur keluar, membasahi bajunya, menggenang
bercampur dengan tepung putih.
Cindy. Di tepung. Putih dan merah. Merah yang sangat tua.
Cindy. Matanya menatap kosong, mati.
Mulutnya terbuka, seakan menjerit ngeri dan kesakitan.
Bab 14 GRETCHEN terhuyung-huyung ke dinding. Ia mencengkeram
perutnya. Aku ingin muntah, pikirnya. Ia jatuh berlutut dan muntahmuntah.
Perutnya berontak. Lalu, sambil menyapukan tangan ke mulut,
ia mengalihkan pandangannya dari mayat Cindy dan lari keluar dari
dapur dengan panik. Bagaimana ini bisa terjadi" Di mana yang lainnya"
Beberapa langkah dari pintu dapur, ia terjatuh ke Marco.
Cowok tersebut menangkapnya dengan lengannya.
"Gretchen"ada apa?" tuntut Marco.
"Ci... Cindy," kata Gretchen. "Dia... dia... ada yang..."
"Hah" Ada apa dengan Cindy?" tanya Marco.
Gretchen berusaha mengatakannya, tapi lidahnya terasa kaku.
Air matanya terasa panas sewaktu mengalir di pipinya. Ia
memejamkan mata rapat-rapat. Tapi mayat Cindy tetap saja terlihat.
Darah yang mengalir dari lukanya yang menganga.
Darah merah. Tepung putih.
Tatapan kosong Cindy yang mengerikan.
Dibunuh! jerit benak Gretchen. Ada yang membunuh Cindy!
Orang yang kukenal sudah dibunuh!
Ia menengadah dan melihat Patrick bergegas mendekat dari
kamar mandi lantai dasar. "Ada apa" Ada apa?"
"Di dalam sana!" seru Gretchen. "Lihat sendiri!"
Ia menyambar lengan Patrick dan mendorongnya ke dapur.
Tapi ia menghentikannya sewaktu melihat noda di kaus Patrick.
"Tidak!" Gretchen tercekat. "Tidak!"
Bagian depan kaus Patrick berlumuran darah.
" Bab 15 GRETCHEN merasa ruangan itu bagai berputar. Kegelapan
memeluknya. Aku mau pingsan, pikirnya. Ia mengulurkan tangan ke
dinding untuk mencari dukungan.
Patrick membunuh Cindy! jerit benak Gretchen.
"Bagaimana kausmu bisa berlumuran darah?" tuntut Gretchen.
Patrick menunduk menatap kausnya. "Tanganku teriris sewaktu
mencoba membuka jendela kamar tidur atas," jawabnya.
Ia mengacungkan telapak tangan kanannya yang diperban.
Apa Patrick berkata jujur" Gretchen tidak bisa memikirkannya
sekarang. "Dapur," bisiknya.
Marco melesat ke dapur. Tapi Patrick tetap mendampingi
Gretchen. Kenapa dia tidak ikut Marco ke dapur" Gretchen penasaran.
Apa karena dia sudah tahu apa yang ada di dalam"
"Gretchen" Mungkin sebaiknya kau duduk dulu. Tampangmu
mengerikan," kata Patrick lembut.
Cowok itu mengulurkan tangan menyentuh lengannya.
Gretchen mengernyit dan menjauh. Tatapannya kembali terarah
ke darah di kaus Patrick.
Gretchen tidak bisa menjawab. Air mata membanjiri matanya
dan mengaburkan pandangannya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata
untuk menjernihkannya.

Fear Street Pesta Semalam Suntuk All Night Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Narapidana yang melarikan diri," bisik Patrick, matanya
terbelalak ketakutan. "Bagaimana dia bisa masuk kemari" Kenapa dia
membunuh Cindy?" Gretchen mendengar papan lantai berderak. Ia tersentak
ketakutan. Ia mendengat Patrick juga tersentak sewaktu berpaling
dengan cepat ke sumber suara.
Lalu ia mendengar suara-suara yang dikenalinya. Suara Gil dan
Hannah. Mereka melangkah masuk ke dalam pondok, saling berpelukan.
"Ada apa?" tanya Hannah. "Kalian tampak berantakan."
"Mana cewek yang ulang tahun?" tanya Gil. Tatapannya
mengelilingi kamar depan. "Ayo kita mulai pestanya!"
"Pestanya sudah selesai," erang Gretchen.
"Selesai?" balas Gil. "Kita bahkan belum memotong kuenya."
"Cindy...," Patrick hendak bicara.
"Cindy tewas!" sembur Gretchen. "Ada yang membunuhnya."
Hannah melepaskan pinggang Gil. Ia maju selangkah mendekati
Gretchen. "Hah" Kau ngomong apa?" tanyanya perlahan-lahan.
"Mati," bisik Gretchen. "Cindy sudah mati."
Hannah menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak mungkin!"
bisiknya. "Kau ini ngomong apa?"
"Aku tidak bohong," kata Gretchen.
Bibir bawah Hannah mulai gemetar dan air mata menggenang
di matanya. "Cindy tidak mungkin mati. Tidak mungkin!" katanya
sambil terisak-isak. Gil ternganga menatap Gretchen dengan pandangan shock.
"Kau yakin?" Gretchen mengangguk. "Mayatnya ada di dapur."
"Apa yang harus kita lakukan?" Hannah masih terisak-isak.
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Kita harus menghubungi polisi," kata Gretchen.
"Kita tidak bisa menghubungi polisi," jerit Patrick.
Gretchen berputar menatapnya. Perasaannya bagai diaduk-aduk,
siap untuk meledak. Patrick selalu bersikap tahu segalanya. Bahkan pada saat-saat
seperti ini. "Kenapa tidak?" tuntutnya. "Cindy sudah dibunuh! Kita harus
bertindak!" Patrick tidak menjawab. Ia bergegas mendekati Gretchen, ekspresinya tegang.
Apa yang mau dilakukannya" Gretchen penasaran.
Apa karena aku menyinggung-nyinggung polisi"
Pandangannya kembali terarah ke bagian depan kaus Patrick.
Ke darahnya. Apa tadi dia berbohong" Apa itu sesungguhnya darah Cindy
dan bukan darahnya" Apa dia pembunuhnya"
Sebelum ia sempat mundur, Patrick telah menyambarnya.
Lengan-lengan Patrick yang kuat membelit dirinya.
"Patrick"hentikan! Apa-apaan kau?" jeritnya.
Bab 16 PATRICK menarik Gretchen lebih rapat kepadanya.
Dia memelukku, Gretchen sadar. Patrick cuma memelukku. Dia
bukannya menyakitiku. "Tenang, Gretchen," bisik Patrick menenangkan. "Tenang. Kita
harus berkepala dingin. Kita tidak bisa menghubungi polisi. Di
pondok tidak ada telepon. Tidak ada telepon di seluruh Fear Island."
"Kalau begitu kita pulang!" kata Gretchen. "Kita semua
mendayung kembali ke Shadyside dan memanggil polisi."
"Tidak bisa," kata Patrick bersikeras.
"Kenapa tidak?" tanya Gil.
"Badai," kata Hannah.
"Dan karena pembunuhnya," tambah Patrick. "Dia tadi masuk
ke dapur kita. Dia mungkin masih ada di luar pondok. Kita lebih aman
di dalam. Paling tidak, kita punya pistol. Dan dia tidak bisa
menyergap kita." Gretchen melepaskan diri dari pelukan Patrick. Ia merasa agak
lebih tenang. Ya, pembunuhnya, pikirnya. Kami harus melindungi diri dari
pembunuhnya. "Tapi pistol itu tidak ada pelurunya," kata Hannah.
"Aku membawa peluru," jawab Patrick.
"Hah" Benar?" tanya Gil.
Patrick mengangguk. "Sudah kukatakan. Ayahku ingin
memastikan kita selamat."
Ia berpaling kembali ke Gretchen. "Kau tidak apa-apa?"
Tidak, aku sangat kacau! Gretchen ingin menjerit. Salah satu
teman terdekatku mati di dapur. Ditusuk hingga tewas, dan sekarang
tergeletak di genangan darah.
Tapi Gretchen tidak menjerit. Ia memeluk dirinya rapat-rapat.
Ia ingin menjerit dan menangis. Tapi tidak bisa.
Apa gunanya" Cindy tidak akan hidup kembali.
Kalau saja aku bergegas kembali ke pondok sewaktu tidak
sengaja mendengar pertengkaran tadi, pikirnya serba salah. Mungkin
aku bisa mencegah pembunuhan Cindy.
"Ada apa?" Jackson muncul di ambang pintu pondok dengan
membawa sepelukan kayu. "Cindy dibunuh," gumam Gretchen.
Ia mengamati Jackson dengan teliti, menunggu reaksinya.
Tapi Jackson tidak bereaksi sama sekali. Ia bahkan tidak
mengedipkan mata. Ia melemparkan kayu bakar ke kotak di samping perapian. Lalu
menanggalkan jas hujan kuningnya dan menggantungnya di rak
mantel. Ada apa dengan cowok ini" Gretchen penasaran. Apa dia tidak
berperasaan" "Kau tidak ingin mengatakan apa-apa?" jerit Gretchen. "Kau
tidak mendengar apa yang kukatakan" Ada yang membunuh Cindy."
"Ini cuma lelucon"benar?" tanyanya.
"Lelucon?" Gretchen tersentak.
Hannah menggeleng sedih. "Ini bukan lelucon, Jackson."
"Di... di dapur," gumam Gretchen.
Jackson menatap mereka dengan tajam, lalu menyeberangi
ruang duduk dan membuka pintu dapur.
Semua mengikutinya. Kecuali Gretchen. Ia tetap tinggal di
tempatnya. Ia tidak ingin melihat mayat Cindy lagi.
Tapi seorang diri di kamar duduk yang kosong membuatnya
ketakutan. Ia bergegas ke dapur"dan melihat Marco berdiri di depan
mayat Cindy. Wajahnya pucat pasi.
Jackson dan Patrick berdiri di samping Marco, terdiam.
Gil dan Hannah berdiri di sisi lain mayat Cindy. Hannah
berpaling dan membenamkan wajahnya di dada Gil.
"Siapa yang tega melakukan ini kepada Cindy?" Hannah
terisak. "Siapa?"
"Memang benar," bisik Gil kaku. "Dia memang sudah mati."
Hannah menjauhkan wajahnya yang telah dikotori air mata dari
kaus Gil. "Kita harus memanggil polisi. Orangtua kita. Kita harus
bertindak." "Hannah benar," kata Gretchen. "Kita perlu bantuan. Kalau kita
tetap bersama-sama, kita bisa ke dermaga perahu. Narapidana itu tidak
akan menyerang saat kita berkumpul bersama."
"Resikonya terlalu besar," kata Patrick bersikeras. "Kita cuma
perlu tinggal di sini sampai besok siang. Kalau kita tidak pulang besok
pagi, orangtua kita pasti akan meminta polisi mencari kita."
"Lalu apa yang harus kita lakukan sementara itu?" tuntut
Hannah dengan suara serak. "Aku tidak bisa tinggal di sini sekarang.
Tidak bisa!" Ia kembali terisak-isak. Gil memeluknya.
"Kupikir sebaiknya kita mencoba pergi dari sini," kata Gil.
"Tidak ada yang ingin tinggal di sini sementara mayat Cindy ada di
dapur." "Kalau kau mau mempertaruhkan nyawamu, silakan," kata
Patrick. "Tapi aku tidak akan melangkahkan kakiku keluar dari
pondok ini." "Tapi, Patrick...," kata Gretchen, hendak mengatakan sesuatu.
"Narapidana itu sinting!" jerit Patrick. "Dia sudah membunuh
satu orang malam ini!"
Gretchen menatap mayat Cindy. Menatap genangan darah di
tepung. Ia membayangkan Cindy berjuang melawan pembunuhnya.
Berjuang demi nyawanya. Patrick benar, ia memutuskan.
Pembunuh itu bisa berada di mana saja. Kita tidak bisa
mengambil resiko sebesar itu.
"Aku tidak ingin mati," sembur Gretchen, gemetar.
"Kalau begitu, kita semua tinggal di sini bersama-sama," desak
Patrick. "Tunggu sebentar," kata Hannah. "Bagaimana kalau narapidana
itu tidak berada di luar?"
"Kalau tidak, memangnya dia ada di mana?" tanya Gil.
"Bagaimana kalau dia ada di dalam pondok?"
Bab 17 "BAGAIMANA kalau kita keliru?" tuntut Hannah. "Bagaimana
kalau dia masih di dalam, mengawasi kita?"
Mereka semua menatapnya, memikirkan kata-katanya.
"Mungkin dia tidak sempat melarikan diri setelah membunuh
Cindy," lanjut Hannah. Pandangannya berkeliaran dengan gugup.
"Mungkin dia mendengar salah seorang dari kita kembali ke pondok
dan memutuskan untuk bersembunyi."
"Kalau dia ada di dalam pondok," gumam Patrick, "tidak ada
yang aman." Marco memandang sekeliling dapur dengan tatapan tidak
nyaman. "Kita sasaran empuk."
"Patrick, mana pistolmu?" tanya Gil. "Ambil."
"Tidak!" perintah Jackson. "Jangan keluarkan pistolmu,
Patrick." "Kenapa tidak?" tuntut Patrick. "Kita memerlukan
perlindungan!" "Kita tidak tahu apakah pembunuhnya ada di dalam atau tidak,"
kata Jackson bersikeras. "Jadi, jangan mengambil kesimpulan terlalu
cepat." Hannah tidak mengacuhkan pendapat Jackson dan
mencengkeram lengan Gil. "Mungkin dia bersembunyi di salah satu
lemari pakaian, mengawasi dari celah-celah. Mendengarkan setiap
patah kata pembicaraan kita."
"Cuma ada satu cara untuk memastikannya," kata Patrick. "Kita
geledah pondok ini."
"Kita tidak akan tidur malam ini sampai tahu dia tidak ada di
dalam," kata Marco muram.
Hannah menggigil. "Aku tidak akan bisa tidur malam ini. Tidak
dengan mayat Cindy ada di dapur!"
"Aku akan menemanimu, Hannah," kata Gretchen mengajukan
diri. Hannah menghapus air matanya dan melontarkan senyum
hangat kepada Gretchen. "Trims."
Cowok-cowok itu lalu naik ke lantai dua. Gretchen dan Hannah
memeriksa lantai pertama.
"Gretchen, aku takut sekali," kata Hannah dengan suara
gemetar. Gretchen meraih kenop salah satu pintu lemari pakaian. Ia
memandang Hannah dari balik bahunya. "Kau tidak sendirian,"
katanya. Telapak tangan Gretchen yang berkeringat selip dari kenop
pintu kuningan tersebut. Ia meraihnya sekali lagi dan mengencangkan
genggamannya. Sambil memutar kenop, ia membuka pintu.
Lemari pakaian tersebut dipenuhi pakaian-pakaian tua. Tidak
ada orang bersembunyi di dalamnya.
Dengan Hannah menempel ketat di belakangnya, Gretchen
memeriksa lemari-lemari pakaian yang lain dan mengintip ke balik
gorden-gorden di kamar duduk.
Setiap kali, ia bersiap-siap menghadapi serangan.
Setiap kali, mereka tidak menemukan seorang pun.
Akhirnya hanya tersisa satu tempat lagi yang harus diperiksa.
Dapur. "Aku tidak bisa kembali ke sana," jerit Hannah. "Aku tidak
mampu melihat mayat Cindy."
Gretchen berhenti dengan tangan masih memegang pintu dapur.
"Aku akan masuk sendirian. Kau tunggu di sini."
"Tidak!" teriak Hannah. "Jangan tinggalkan aku sendirian."
Gretchen mendesah dan meraih lengan Hannah. Ia membimbing
Hannah ke kamar duduk dan mendudukkannya di sofa.
"Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian, Hannah. Biar salah
satu cowok yang nanti memeriksa dapur."
Gretchen mendengar pintu-pintu dibuka dan ditutup di lantai
atas. Ia terus menunggu kemunculan teriakan bahwa ada yang telah
menemukan sesuatu. Tapi tidak ada.
"Tidak ada pembunuh. Tidak ada pembunuh," kata Hannah
berulang-ulang. Ia menarik lutut ke dadanya dan menggoyanggoyangkan tubuhnya.
"Tidak ada pembunuh di dalam sini," ulang Gretchen dengan
lembut. Hannah menggigil. "Aku kedinginan."
"Apinya sudah hampir padam," kata Gretchen. "Akan kutambah
kayu bakarnya." Gretchen mengulurkan tangan ke kotak kayu bakar dan
melontarkan sebatang kayu ke dalam api. Tidak lama kemudian api
mulai membesar, berderak-derak dan meletup-letup, dan hawa panas
mengalir dari perapian. Hannah turun dari sofa dan berdiri di depan api, mengacungkan
kedua tangannya. "Lebih enakan?" tanya Gretchen.
"Sedikit," jawab Hannah.
Hujan menghajar daun jendela.
Gretchen menatap ke badai di luar. Apa mereka aman" Atau
narapidana itu tengah bersembunyi di hutan" Mengawasi pondok dan
bersiap-siap melaksanakan langkah berikutnya"
Apa mereka bisa meninggalkan pulau ini dengan selamat"
Gretchen mendekati jendela-jendela dan memeriksa kuncinya.
Dengan mengesampingkan gorden yang setengah terbuka, ia
memeriksa setiap jendela. Semuanya aman.
Tapi sewaktu ia melepaskan gordennya, Gretchen membeku.
Ada sesuatu di serambi! Sesuatu yang bergerak! "Ada orang di luar!" Gretchen tersentak.
Bab 18 GRETCHEN melesat ke kotak kayu bakar dan mencabut
sebatang kayu yang cukup besar.
"Siapa itu?" jerit Hannah. "Apa yang kaulihat?"
Gretchen tidak menjawab. Ia melesat ke pintu.


Fear Street Pesta Semalam Suntuk All Night Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan keluar sendirian!" teriak Hannah melengking. "Terlalu
berbahaya! Biar cowok-cowok itu yang memeriksa."
Gretchen meraih kenop pintu. "Pada saat mereka muncul, orang
itu sudah lenyap." "Jangan berbuat begini, Gretchen!" pinta Hannah. "Please!"
Gretchen menarik pintu depan hingga terbuka. Kilat
menyambar di angkasa. Hujan turun dengan derasnya.
Gretchen menyelinap ke serambi. Ia mengacungkan balok kayu
di tangannya. Pandangannya berputar-putar, mencari-cari gerakan terkecil apa
pun. Angin menyiramkan air hujan kepadanya. Ia merasakan bajunya
yang basah melekat ke tubuhnya.
Apa aku tidak salah lihat" Gretchen penasaran. Apa aku mulai
melihat yang bukan-bukan"
Di tengah deru hujan, Gretchen mendengar suara lain.
Dari belakangnya. Sebelum ia sempat berbalik, sebuah tangan menepuk bahunya.
Gretchen berputar sambil mengayunkan balok di tangannya.
Pandangannya bertemu dengan penyerangnya.
Balok kayu tersebut jatuh dari tangannya, berdentam di lantai
serambi. Jackson. "Mau apa kau keluar kemari sendirian?" tuntut cowok itu
dengan marah. "Sewaktu memeriksa kunci jendela-jendela tadi, rasanya aku
melihat ada orang di luar sini. Aku cuma memeriksa keadaan di luar
sini." "Seorang diri?" Jackson mengerutkan kening kepadanya.
"Harus ada yang memeriksa," jawabnya.
"Itu bodoh, Gretchen," semprot Jackson. "Seharusnya
kautunggu salah satu cowok untuk menemanimu."
Gretchen sedang tidak ingin berdebat dengannya. Ia menerobos
cowok tersebut dan masuk kembali ke dalam pondok.
Gretchen menemukan handuk di kamar mandi dan
mengeringkan tubuhnya. Lalu, dengan mengenakan selimut kuning, ia
berdiri di depan perapian.
Rambutnya yang basah kuyup menempel ke kepalanya dan ia
mencoba menyisirnya. Jackson berdiri di sampingnya, juga
terbungkus selimut, juga menghangatkan diri.
"Bisa saja orang itu mengawasimu sepanjang waktu tadi, siap
untuk menyerang," kata Jackson. "Untung Hannah memberitahuku
kalau kau ada di luar."
Kata-kata Jackson menyebabkan Gretchen lebih menggigil
daripada disebabkan oleh dinginnya air hujan di luar. Ia teringat apa
yang tidak sengaja didengarnya dari dapur. Jackson dan Cindy
berdebat. Suara tamparan. Lalu kesunyian. Apa sebaiknya ia menanyakan tentang pertengkaran itu kepada
Darah Pendekar 17 Rajawali Emas 26 Tumbal Nyawa Perawan Cambuk Getar Bumi 3
^