Pencarian

Penelusuran Benang Merah 2

Sherlock Holmes - Penelusuran Benang Merah Bagian 2


sayap di udara, dan beruang grizzly yang kikuk tcrhuyung-huyung melintasi sungai kering yang
gelap, sambil merai h makanan apa pun yang bisa ditemukannya di sela bebatuan. Hanya merekalah
penghuni padang garam itu.
Di seluruli dunia tidak ada tempat yang lebih kering daripada lereng utara Sierra Blanco.
Sejauh mata memandang, terbentang padang pasir yang Iuas, semuanya tertutup debu garam alkali,
di sana-sini diselingi oleh semak chaparral yang pendek. Di kaki langit tampak sederetan puncak
pegunungan dengan pucuk-pucuk bergerigi yang dihiasi salju. Di kawasan ini tidak terlihat tanda-tanda kehidupan, atau apa pun yang mendekati kehidupan. Tidak ada burung di langitnya yang biru
keabuan, tidak ada gerakan di tanahnya yang kelabu pudar... yang ada hanyalah kesunyian total.
Sekalipun sudah berusaha keras, siapa pun tidak akan mampu mendengar apa-apa; hanya kesunyian
kesunyian total yang me-matahkan semangat.
Di atas dikatakan bahwa tidak ada apa pun yang mendekati kehidupan di kawasan tersebut.
Namun jika seseorang memandang ke bawah dari Sierra Blanco, ia akan melihat jalan
setapak yang berliku-liku di padang pasir dan akhirnya menghilang di kejauhan. Jalan setapak itu
dipenuhi bekas-bekas roda kereta dan jejak kaki sekian banyak petualang. Di sana-sini bertebaran
benda-benda putih yang kemilau tertimpa cahaya matahari, mencuat di tengah-tengah tumpukan
58 garam alkali yang pudar. Dekati, dan periksa benda-benda itu! Benda-benda itu adalah tulang-belulang; beberapa besar dan kasar, lainnya lebih kecil dan lebih halus. Yang pertama milik lembu
jantan, dan yang kedua milik manusia. Orang bisa menyusuri rute karavan sejauh 240 kilometer itu
dengan mengikuti tebaran tulang-belulang mereka yang tidak mampu melanjutkan perjalanan.
Di sinilah, pada 4 Mei 1847, seorang pengelana tunggal berjalan. Penampilannya bagaikan
setan kawasan ini. Seorang pengamat mungkin akan menemui kesulitan untuk mengatakan apakah
usianya empat puluhan atau enam puluhan. Wajahnya kurus dan kasar, kulitnya yang kecokelatan
tertarik rapat di tulang-tulang pipinya yang menonjol, rambut dan janggutnya cokelat beruban,
matanya cekung dan membara dengan semangat yang tidak wajar, sementara tangannya yang
mencengkeram senapan hampir-hampir sama kurusnya dengan kerangka. Ia berdiri dengan
bertumpu pada senapannya. Sosoknya yang jangkung dan tulang-tulangnya yang besar
menunjukkan tubuh yang liat serta kuat. Tapi wajahnya yang kurus dan pakaiannya yang menjuntai
menutupi tubuh yang kurus kering, menyatakan bahwa pria ini sedang sekarat sekarat karena
kelaparan dan kehausan. Ia telah bersusah payah menuruni jurang lalu naik kembali, dengan harapan yang sia-sia
untuk menemukan air. Sekarang padang garam yang luas membentang di depan matanya, dan sabuk
pegunungan yang buas di kejauhan, tanpa ada tanda-tanda kehadiran tanaman atau pohon di mana
pun. Ia memandang ke utara, timur, dan barat dengan liar, lalu menyadari bahwa pengembaraannya
telah berakhir. Di sini, di dataran yang kering kerontang ini, ia akan tewas.
"Yah, di sini atau di ranjang empuk dua puluh tahun lagi, sama saja," gumamnya sambil
duduk di bawah keteduhan sebongkah batu.
Sebelum duduk, ia meletakkan senapannya yang tidak berguna serta buntalan besar yang
tersandang di bahu kanannya. Tampaknya buntalan itu terlalu berat baginya, karena sewaktu ia
menurunkannya ke tanah, buntalan tersebut jatuh dengan agak keras. Seketika terdengar jeritan
tertahan, dan dari sela-sela buntalan itu, muncul sebentuk wajah mungil yang ketakutan dengan
mata cokelat yang sangat cemerlang.
"Kau membuatku sakit!" terdengar suaranya yang kekanak-kanakan dan bernada marah.
"Sungguh"" jawab pria itu. "Aku tidak sengaja." Sambil berbicara, ia membuka buntalan
abu-abu itu dan mengeluarkan seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun. Anak itu cantik,
sepatu serta gaun merah muda yang dikenakannya jelas menunjukkan bahwa ia dirawat dengan baik
oleh ibunya. Meskipun wajahnya tampak pucat dan kelelahan, lengan dan kakinya yang masih
berisi menunjukkan bahwa anak itu tidak semenderita teman seperjalanannya.
59 "Bagaimana sekarang"" tanya pria itu cemas, karena si gadis cilik terus menggosok-gosok
ra mbut keriting pirang yang menutupi belakang kepalanya.
"Cium agar sembuh," katanya, sambil menunjukkan bagian yang terluka kepada pria
tersebut. "Itu yang biasa dilakukan Ibu. Di mana Ibu""
"Ibu sudah pergi. Kurasa kau akan segera bertemu dengannya."
"Pergi!" kata gadis kecil itu. "Kenapa Ibu tidak mengucapkan selamat berpisah" Biasanya
Ibu selalu bilang... kalau ke rumah Bibi untuk minum teh saja, Ibu selalu bilang. Sekarang Ibu
sudah pergi tiga hari. Aduh, di sini kering sekali, ya" Tidak ada air atau makanan""
"Tidak, tidak ada apa-apa, Sayang. Kau hanya perlu bersabar sebentar, dan sesudah itu kau
akan baik-baik. Sandarkan kepalamu kepadaku, kau akan merasa lebih enak. Tidak mudah untuk
bicara dengan mulut kering, tapi kurasa kau harus mengetahui keadaan kita. Apa yang kau pegang
itu"" "Barang-barang cantik! Barang-barang bagus!" seru gadis kecil itu dengan penuh semangat,
mengacungkan dua keping mika yang berkilau-kilau. "Sesudah tiba di rumah nanti akan kuberikan
pada kakakku, Bob." "Kau akan segera melihat barang-barang yang lebih cantik," kata pria itu yakin. "Kautunggu
saja sebentar. Nah, sampai di mana aku tadi" Oh ya... kauingat sewaktu rombongan kita
meninggalkan sungai""
"Ya." "Well, tadinya kita mengira, kita akan bertemu sungai lagi. Tapi ada yang tidak beres...
kompas, peta, atau apa... dan sungainya tidak ketemu. Kita kehabisan air. Hanya ada beberapa tetes
untuk bocah kecil seperti dirimu, dan... dan..."
"Dan kau tidak bisa mandi," gadis kecil itu memotong, menatap wajah temannya yang
muram. "Ya... kami juga tak bisa minum. Dan Mr. Bender, dia yang pertama pergi, lalu Indian Pete,
Mrs. McGregor, Johnny Hones, lalu, Sayang... ibumu."
"Kalau begitu, Ibu juga mati!" seru si gadis kecil, menutupi wajah dengan celemeknya dan
menangis terisak-isak. "Ya, semuanya sudah meninggal, kecuali kau dan aku. Aku menggendongmu ke sini karena
kupikir masih ada kemungkinan kita menemukan air, tapi ternyata keadaannya tidak bertambah
baik. Sekarang kesempatan kita sangat kecil!"
"Maksudmu kita juga akan mati"" tanya si gadis kecil. Tangisnya terhenti sejenak dan ia
60 mengangkat wajahnya. "Kurang-lebih begitulah."
"Kenapa tidak kaukatakan dari tadi"" Gadis kecil itu tertawa riang. "Kau menakut-nakuti
aku saja. Mati sih tak apa-apa, soalnya kita akan bertemu Ibu."
"Ya, kau akan bertemu ibumu, Sayang."
"Kau juga. Aku akan cerita pada Ibu, kau baik sekali padaku. Taruhan, Ibu pasti menya-but
kita di pintu surga membawa seguci besar air dan kue gandum yang sangat banyak. Panas-panas,
kedua sisinya dipanggang... aku dan Bob sukanya begitu. Berapa lama lagi""
"Aku tidak tahu... sebentar lagi mungkin." Pandangan pria itu terpaku ke kaki langit di utara.
Dalam kebiruan langit muncul tiga bintik yang semakin lama semakin besar, begitu cepat ketiganya
mendekat. Sesaat kemudian, ketiga bintik itu telah menjadi tiga burung besar kecokelatan, yang
terbang berputar-putar di atas kepala kedua pengelana tersebut, lalu mendarat di bebatuan di atas
mereka. Ketiganya adalah burung pemakan bangkai yang datang mendului maut.
"Ayam!" pekik si gadis kecil dengan gembira, ditunjuknya ketiga burung nazar sambil
bertepuk tangan memanggil mereka. "Tuhankah yang menciptakan tanah ini""
"Tentu saja," sahut temannya, agak terkejut mendengar pertanyaan yang tidak terduga itu.
"Tuhan menciptakan Illinois dan Missouri," kata si gadis kecil. "Tapi kurasa bukan Dia yang
menciptakan tanah ini. Pekerjaannya kurang bagus. Mereka melupakan air dan pohon-pohon."
"Bagaimana kalau kita berdoa"" tanya pria itu.
"Sekarang belum malam," tukas si gadis kecil.
"Tidak masalah. Memang bukan waktu yang
biasa, tapi aku yakin Dia tidak keberatan. Kau ucapkan
saja doa yang biasa kauucapkan setiap malam di kereta
sewaktu kita di dataran."
"Kenapa kau tidak berdoa sendiri"" tanya gadis
kecil itu penasaran. "Aku tidak ingat. Aku sudah tidak berdoa lagi
sejak tinggiku separo senapan ini. Tapi kurasa tidak
ada kata terlambat untuk berdoa. Ucapkan doamu
keras-keras, aku akan mengikutinya."
"Kalau begitu kau harus
berlutut, dan aku juga," kata si gadis kecil sambil membentangkan
61 selendang abu-abu yang tadi membungkusnya. "Kau harus mengangkat tanganmu seperti ini.
Dengan begitu, kau merasa lebih enak."
Seandainya di tempat itu ada manusia lain, mereka pasti akan terpana menyaksikan
pemandangan yang ganjil itu. Gadis kecil yang polos dan petualang berpengalaman, berlutut
bersama-sama di atas selendang sempit. Wajah gadis kecil yang elok dan wajah petualang yang
kasar, keduanya menengadah ke langit yang tidak berawan, sementara dua suara yang satu pelan
dan jernih, yang lain berat dan serak bersatu meminta belas kasihan dan pengampunan. Setelah
berdoa, kedua orang itu kembali duduk di bayang-bayang batu besar hingga si gadis kecil jatuh
tertidur, meringkuk di dada pelindungnya. Pria itu terus mengawasi sang bocah, tapi akhirnya ia tak
mampu menolak panggilan alam. Sudah tiga hari tiga malam ia tidak membiarkan dirinya
beristirahat. Perlahan-lahan kelopak matanya yang lelah menutup, kepalanya menunduk semakin
lama semakin rendah ke dada, hingga janggut lebat pria itu menyatu dengan rambut pirang keriting
si gadis kecil, dan keduanya tidur sama nyenyaknya.
Seandainya pengelana tersebut terjaga selama setengah jam lagi, ia akan menyaksikan
pemandangan yang aneh. Jauh di tepi padang garam debu terlihat mengepul, mula-mula sangat
tipis, dan hampir-hampir tidak bisa dibedakan dari kabut di kcjauhan. Tapi kepulan tersebut
perlahan-lahan membubung semakin tinggi dan semakin lebar hingga membentuk awan yang jelas
dan tebal. Awan ini terus membesar, sehingga jelaslah bahwa hal itu hanya bisa disebabkan oleh
sejumlah besar makhluk yang bergerak. Di tempat yang lebih subur seorang pengamat akan
menyimpulkan bahwa segerombolan besar bison yang biasa merumput di padang tengah mendekati
dirinya. Hal ini jelas mustahil di padang tandus ini.
Sementara kepulan debu semakin mendekati tonjolan karang tempat kedua pengelana
berada, kereta-kereta beratap kanvas dan sosok-sosok pe-nunggang kuda bersenjata mulai terlihat.
Penampakan tersebut menunjukkan bahwa mereka merupakan serombongan karavan dalam
perjalanan ke Barat. Rombongan itu betul-betul besar! Sewaktu bagian depan rombongan tiba di
kaki pegunungan, bagian belakangnya belum terlihat di kaki langit. Iring-iringan kereta,
penunggang kuda, dan pejalan kaki memenuhi padang garam. Sejumlah wanita tampak terhuyung-huyung membawa beban, sementara anak-anak bergantungan di samping kereta atau mengintip dari
balik kanvas putih. Ini jelas bukan kelompok imigran biasa, tapi nomad yang karena keadaan
terpaksa pindah ke lahan baru. Gemuruh serta keributan yang ditimbulkan mereka membubung
mengisi udara, ditingkahi derik roda serta ringkik kuda. Sekalipun keras, suara-suara itu belum
cukup untuk membangunkan kedua pengelana yang kelelahan.
62 Di bagian depan rombongan terdapat sejumlah pria berwajah keras dan serius, mengenakan
pakaian buatan sendiri dan bersenjatakan senapan. Begitu tiba di kaki tebing, mereka berhenti dan
berdiskusi. "Sumur-sumurnya ada di sebelah kanan, Saudara," kata salah satunya, pria berambut kelabu
dan berdagu bersih. "Sebelah kanan Sierra Blanco... jadi kita akan tiba di Rio Grande," kata yang lain.
"Jangan khawatir tentang air," seru orang ketiga. "Ia yang bisa mengeluarkan air dari batu
tidak akan meninggalkan orang-orang pilihan-Nya sendiri."
"Amin! Amin!" jawab seluruh kelompok.
Mereka baru saja hendak melanjutkan perjalanan, ketika salah satu orang yang termuda dan
bermata paling tajam berseru sambil menunjuk ke karang di atas mereka. Di puncak karang itu
terlihat sekilas warna merah muda, tampak mencolok dengan latar belakang bebatuan kelabu.
Begitu melihatnya, seketika mereka menghentikan kuda-kuda dan menyiapkan senjata, sementara
penunggang-penunggang kuda yang lain berderap mendekat untuk memperkuat barisan mereka.
Semua orang berbisik, "Kulit merah."
"Tak mungkin ada orang Indian di sana," kata seorang pr
ia tua yang tampaknya memimpin
rombongan. "Kita sudah melewati wilayah Pawnee, dan tidak ada suku lain sebelum kita melintasi
pegunungan besar." "Apa sebaiknya kuperiksa, Saudara Stangerson"" tanya salah satu orang.
"Aku juga... Aku juga!" seru selusin orang lain.
"Tinggalkan kuda-kuda kalian dan kami akan menunggu kalian di sini," jawab tetua tersebut.
Dalam sekejap para pemuda telah turun dari kuda-kuda mereka dan memanjat tebing curam menuju
benda yang telah memicu rasa penasaran mereka. Mereka memanjat dengan cepat dan tanpa suara,
dengan keyakinan dan kelincahan seorang pemandu yang terlatih. Para pengawas dari dataran di
bawahnya bisa melihat mereka berlompatan dari batu ke batu, hingga sosok-sosok mereka berdiri
dengan latar belakang langit. Pemuda yang pertama kali melihat benda merah muda itu berada
paling depan. Tiba-tiba, para pengikutnya melihat ia mengangkat tangan seakan-akan terkejut.
Mereka segera menggabungkan diri dan sama-sama terperangah.
Di dataran kecil yang merupakan puncak bukit gundul itu terdapat sebongkah batu raksasa,
dan seorang pria menyandar ke sana, pria yang jangkung, berjanggut panjang, dan berwajah keras
tapi amat kurus. Wajahnya yang tenang dan napasnya yang teratur menunjukkan bahwa ia tengah
tertidur nyenyak. Di sampingnya berbaring seorang anak, kedua lengannya yang putih dan berisi
63 meliliti lehcr sang pria yang kecokelatan. Rambut pirang anak itu menutupi dada rompi beludru
sang pria. Bibir kemerahan anak itu agak membuka, menunjukkan deretan gigi seputih salju di
baliknya, dan senyum tipis merekah di wajahnya. Kaki-kakinya yang putih gemuk, ber-akhir pada
kaus kaki putih dan sepatu dengan gesper mengilat, merupakan kontras yang anch terhadap
penampilan kumuh temannya. Di tepi batu di atas pasangan ganjil ini tegak tiga burung nazar, yang
segera terbang pergi sambil memekik kecewa ketika melihat para pendatang baru.
Pekikan burung-burung pemakan bangkai tersebut membangunkan kedua orang yang sedang
tidur. Mereka menatap sekitar dengan ke-bingungan. Yang pria bangkit terhuyung-huyung dan
memandang ke bawah, ke arah padang garam yang tadi begitu sunyi dan sekarang tengah dilintasi
sejumlah besar manusia dan hewan. Pria itu tertegun, digosok-gosoknya matanya dengan tangannya
yang kurus. "Aku pasti sedang bermimpi," gumamnya. Gadis kecilnya berdiri di sampingnya sambil
mencengkeram ujung mantelnya, tidak mengatakan apa-apa tapi memandang sekitarnya dengan
tatapan bingung dan bertanya-tanya.
Kelompok penyelamat dengan cepat mampu meyakinkan kedua orang ini bahwa kehadiran
mereka bukanlah ilusi. Salah satu dari mereka meraih si gadis kecil dan mengangkatnya ke bahu,
sementara dua orang lain memapah temannya yang kurus dan membantunya ke kereta.
"Namaku John Ferrier," kata pengelana tersebut. "Aku dan si kecil ini adalah yang tersisa
dari rombongan berjumlah 21 orang. Lainnya tewas karena kehausan dan kelaparan jauh di selatan."
"Dia anakmu"" tanya seseorang.
"Sekarang ya," jawab pria itu mantap. "Dia putriku karena aku yang menyelamatkannya. Tak
ada yang boleh mengambilnya dariku. Mulai hari ini namanya Lucy Ferrier. Tapi kalian ini siapa""
tanyanya, memandang penasaran kepada para penyelamatnya yang berkulit cokelat terbakar
matahari. "Tampaknya jumlah kalian luar biasa banyak."
"Hampir sepuluh ribu," jelas salah seorang pemuda. "Kami anak-anak Tuhan yang te-aniaya
pilihan Malaikat Moroni."
"Aku tak pernah mendengar tentang malaikat itu," kata sang pengelana. "Kelihatannya dia
sudah memilih cukup banyak orang."
"Jangan mengejek apa yang suci," tegur pemuda lain. "Kami adalah orang-orang yang
mempercayai tulisan suci yang diukirkan dengan huruf Mesir pada kepingan emas dan diturunkan
kepada Joseph Smith di Palmyra. Kami berasal dari Nauvoo, Illinois, tempat kami pernah
mendirikan gereja kami. Kekejian mereka yang tak bertuhan membuat kami tersingkir sampai ke
padang gurun ini." 64 Nama Nauvoo jelas dikenali John Ferrier. "Aku mengerti," ujarnya, "kalian orang Mormon."
"Kami orang Mormon," jawab orang-orang itu seremp
ak. "Kalian mau ke mana""
"Kami tidak tahu. Tangan Tuhan yang membimbing kami melalui Nabi kami. Kau harus
menemuinya. Dia yang akan menentukan nasibmu."
Mereka telah tiba di kaki bukit, dan langsung dikerumuni oleh para musafir wanita-wanita
pucat yang tampak lemah lembut; anak-anak yang kuat dan tertawa-tawa; pria-pria yang menatap
mereka dengan penasaran dan waswas. Banyak yang berseru heran atau iba saat melihat kehadiran
gadis kecil dan pria yang kumuh tersebut. Tapi para
pengawal mereka tidak berhenti, mereka terus digiring
maju hingga tiba di sebuah kereta yang sangat
mencolok karena besarnya serta keanggunannya.
Kereta tersebut ditarik oleh enam ekor kuda, sementara
kereta-kereta lainnya hanya ditarik oleh dua atau,
paling banyak, empat ekor kuda. Di samping kusir
duduk seorang pria yang tidak mungkin lebih dari tiga
puluh tahun usianya, tapi kepalanya yang besar dan
ekspresinya yang serius menyatakan bahwa dirinya
seorang pemimpin. Ia tengah membaca sebuah buku
bersampul cokelat, tapi saat keumunan tersebut
mendekat ia meletakkan buku itu, dan dengan penuh
perhatian mendengarkan cerita mereka. Setelah
mendapat keterangan tentang apa yang telah terjadi, ia
berpaling kepada kedua pengelana.
"Kalau kalian mau ikut kami," katanya dengan nada serius, "kalian harus mengikuti ajaran
kami. Kami tidak mau ada serigala dalam kawanan domba kami. Lebih baik kalian tewas di tempat
ini daripada merusak seluruh rombongan kami. Kalian menyetujui syarat ini""
"Syarat apa pun akan kusetujui," kata John Ferrier, dengan penekanan begitu rupa sehingga
para Tetua pun tersenyum simpul. Hanya pemimpinnya yang tetap kaku.
"Bawa orang ini, Saudara Stangerson," kata sang Nabi. "Berikan makanan dan minuman
kepadanya, juga kepada anak kecil itu. Kau juga bertugas untuk mengajarkan kredo suci kita kepada
mereka. Nah, kita sudah tertunda cukup lama. Maju! Ke Zion!"


Sherlock Holmes - Penelusuran Benang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

65 "Maju! Ke Zion!" seru kelompok orang Mormon tersebut, dan kata-kata itu menyebar ke
sepanjang karavan. Diiringi lecutan cambuk dan derik roda, kereta-kereta besar mulai melaju, dan
tak lama kemudian seluruh karavan kembali bergerak. Tetua yang dipilih untuk merawat kedua
pengelana tersebut mengajak mereka ke keretanya, tempat makanan telah tersedia.
"Kalian harus tetap di sini," ujarnya. "Dalam beberapa hari kalian akan pulih. Sementara itu,
ingatlah bahwa sejak sekarang hingga selama-lamanya kalian adalah umat kami. Brigham Young
sudah mengatakannya, dan ia berbicara dengan suara Joseph Smith yang merupakan suara Tuhan
sendiri." 66 Bab 2 Bunga Utah Tulisan ini tidak akan membahas kesuliran-kesulitan serta cobaan yang dialami para imigran
Mormon sebelum mereka mencapai tempat perteduhan terakhir mereka. Cukuplah dikatakan bahwa
mulai dari pantai Mississippi hingga lereng-lereng barat Pegunungan Rocky, mereka telah berjuang
dengan kekonstanan yang hampir tidak ada bandingnya dalam sejarah. Orang-orang liar, hewan-hewan buas, kelaparan, kehausan, kelelahan, dan penyakit setiap halangan yang bisa ditempatkan
alam di depan mereka semuanya berhasil diatasi dengan ketekunan khas Anglo-Saxon. Sekalipun
begitu, perjalanan yang panjang dan teror yang semakin menumpuk telah mengguncangkan hati
mereka semua, termasuk yang mengaku paling tabah. Tak ada seorang pun yang tak berlutut untuk
mengucap syukur sewaktu melihat lembah Utah yang luas dan bermandikan cahaya matahari di
bawah mereka, dan mengetahui dari bibir pemimpin mereka bahwa inilah "tanah perjanjian". Lahan
yang masih perawan ini akan menjadi milik mereka untuk selama-lamanya.
Young dengan cepat membuktikan diri sebagai administrator yang ahli dan sekaligus
pemimpin yang tegas. Peta-peta segera dibuat dan rancangan-rancangan kota masa depan disiapkan.
Tanah-tanah pertanian dibagi secara proporsional kepada setiap individu. Para pedagang diberi
tempat untuk berdagang dan para seniman diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat mereka.
Di kota jalan-jalan dan lapangan bermunculan seakan-akan secara ajaib. Di pedalaman dibangun
saluran dan sistem i rigasi, lalu dilakukan pembersihan lahan dan penanaman, sehingga pada musim
panas berikutnya seluruh kawasan tersebut tampak keemasan oleh ladang gandum. Segalanya
tampak baik di permukiman yang aneh ini. Di atas semua itu, gereja besar yang mereka bangun di
tengah-tengah kota sudah hampir rampung. Dari subuh hingga menjelang senja, dentangan palu dan
keributan gergaji tidak pernah berhenti. Semua dengan bersemangat mendirikan "tugu peringatan"
bagi Dia yang telah menuntun mereka melewati banyak bahaya dengan selamat.
Kedua pengelana, John Ferrier dan gadis kecilnya, mengikuti para Mormon hingga akhir
perjalanan panjang mereka. Lucy Ferrier menumpang di kereta Tetua Stangerson, yang
ditempatinya bersama ketiga istri serta seorang putranya, bocah keras kepala berusia dua belas
tahun. Dengan elastisitas kanak-kanak, Lucy segera pulih dari kematian ibunya dan beradaptasi
dengan kehidupan barunya di rumah kanvas yang bisa bergerak itu. Dalam waktu singkat, ia
menjadi kesayangan ketiga istri Tetua Stangerson. John Ferrier pun relah pulih kesehatannya, dan
67 membuktikan diri sebagai pemandu yang berguna serta pemburu yang tidak kenal lelah. Begitu
cepat ia merebut respek teman-teman barunya, sehingga sewaktu mereka tiba di akhir perjalanan,
semua setuju bahwa ia berhak mendapat lahan yang sama luas dan suburnya dengan anggota-anggota lama kelompok itu. Young dan keempat Tetua utama, yaitu Stangerson, Kemball, Johnston,
dan Drebber, tentu saja mendapat bagian lebih banyak.
Di tanah pertanian yang diperolehnya John Ferrier membangun rumah kayu yang cukup
besar, dan pada tahun-tahun berikutnya rumah itu terus tumbuh menjadi tempat tinggal yang luas
dan nyaman. John Ferrier pria yang berpikiran praktis, ia juga sangat tekun dan terampil
menggunakan tangannya. Disiplin diri yang sekeras baja memungkinkannya bekerja siang-malam
mengolah tanah. Oleh karena itu, pertaniannya pun berkembang pesat. Dalam tiga tahun keadaan
ekonomi John Ferrier telah lebih baik daripada para tetangganya, dalam enam tahun ia bisa
dikatakan telah berhasil, dan dalam sembilan tahun ia telah menjadi orang kaya. Dua belas tahun
sejak ia tiba, John Ferrier telah begitu kaya dan sukses sehingga hanya beberapa gelintir orang di
Salt Lake City yang mampu menyamainya.
Namun, di balik keberhasilan John Ferrier itu ada satu hal yang masih menjadi ganjalan bagi
rekan-rekannya, sesama orang Mormon. John Ferrier tak pernah mau menikah, meskipun mereka
sudah sering kali membujuk dan mendesaknya. Ia tidak pernah memberikan alasan untuk penolakan
tersebut, tapi tekadnya tampak tak tergoyahkan. Hal ini membuat beberapa orang menuduhnya tidak
sungguh-sungguh memeluk keyakinan Mormon, yang lain mengatakan ia terlalu cinta uang dan
enggan mengeluarkan biaya. Ada pula yang mengungkit kisah cinta John Ferrier di masa lalu dan
menganggapnya patah hati. Apa pun alasannya, John Ferrier tetap membujang, walau dalam semua
aspek lain ia taat kepada aturan-aturan agama barunya.
Lucy Ferrier tumbuh dalam rumah kayu yang dibangun ayah angkatnya, dan dengan rajin
membantu sang ayah mengerjakan tugas sehari-hari. Udara segar pegunungan dan bau balsam
pohon-pohon pinus berfungsi sebagai ibu serta pengasuh bagi gadis kecil itu. Seiring dengan
bergantinya tahun, Lucy tumbuh semakin jangkung dan kuat, pipinya lebih kemerahan dan
langkahnya lebih ringan. Banyak orang yang lewat di tepi tanah pertanian Ferrier menatap Lucy
dengan penuh damba, saat gadis itu melintasi ladang gandum atau menunggangi mustang ayahnya
dengan kelincahan serta keanggunan koboi sejati. Dua belas tahun setelah mereka tinggal di Utah,
saat John Ferrier dinobatkan sebagai salah satu orang terkaya di kawasan itu, Lucy pun mencatat
prestasi sendiri. Ia telah tumbuh menjadi gadis tercantik di Utah. Bunga Utah itu telah mekar!
Tapi bukan sang ayah yang pertama kali menyadari bahwa gadis kecilnya telah menjelma
68 menjadi wanita muda. Biasanya memang begitu. Perubahan misterius itu terjadi secara bertahap dan
tak kentara sehingga kurang disadari o
leh anggota keluarga yang terdekat. Dan yang paling tidak
menyadarinya adalah si gadis sendiri, hingga suatu ketika ia mendapati jantungnya berdebar-debar
saat mendengar suara seorang pria atau merasakan sentuhannya. Pada waktu itulah ia tahu, dengan
perasaan bangga bercampur takut, bahwa sesuatu yang baru telah bangkit dalam dirinya. Beberapa
gadis mungkin tidak bisa mengingat kejadian kecil yang menandai dimulainya era baru dalam
kehidupan mereka itu, namun tidak demikian halnya dengan Lucy Ferrier. Bagi Lucy kejadian itu
sangat serius, terlepas dari pengaruhnya di masa depan terhadap nasib Lucy sendiri serta nasib
orang-orang lain yang terlibat.
Saat itu adalah suatu pagi yang hangat di bulan
Juni. Latter Day Saints sebutan lain untuk orang-orang
Mormon semua sibuk bekerja. Di tanah pertanian
maupun di kota terdengar dengung kesibukan orang-orang yang menjalankan profesi masing-masing. Di
jalan-jalan berdebu terlihat iring-iringan keledai beban
yang membawa para pemburu emas, semuanya menuju
ke barat, karena demam emas telah melanda California
dan rute darat membentang melintasi kota Orang-orang
Pilihan. Di jalan-jalan itu juga melintas domba-domba
serta ternak yang pulang merumput, dan rombongan-rombongan imigran yang kelelahan, pria-pria serta kuda-kuda yang sama lelahnya akibat perjalanan mereka. Di
tengah-tengah keramaian inilah Lucy Ferrier memacu
kudanya, mencari jalan dengan keahlian seorang
penunggang kuda yang mahir. Ia mendapat tugas dari ayahnya untuk ke kota, dan tanpa rasa takut
sedikit pun menempuh perjalanan itu, pikirannya terpusat pada tugas yang harus dilaksanakannya.
Para petualang menatap Lucy dengan terpesona, bahkan orang-orang Indian yang kaku tampak
lebih santai saat menikmati kecantikan gadis kulit pucat itu.
Lucy sudah tiba di pinggir kota sewaktu mendapati jalannya terhalang oleh segerombolan
besar ternak. Dalam ketidaksabarannya, ia berusaha menerobos celah di antara kawanan ternak ini.
Ia baru saja masuk ke sana sewaktu ternak-ternak itu menutup jalannya, dan ia terkepung oleh
puluhan banteng bermata liar serta bertanduk panjang yang terus bergerak. Karena biasa
69 menghadapi ternak, Lucy tidak terlalu khawatir dengan keadaannya. Ia mengambil setiap
kesempatan untuk terus maju, dengan harapan bisa menerobos gerombolan itu. Sialnya, tanduk
salah satu banteng menumbuk panggul kudanya, sehingga kuda itu mengamuk. Seketika hewan
tersebut mengangkat kedua kaki depannya dan melompat-lompat sambil meringkik murka.
Situasinya sangat menegangkan. Setiap entakan kuda tersebut menyebabkan ia kembali tertanduk,
dan kemurkaannya bertambah, Lucy hanya bisa bertahan di pelananya, karena turun berarti mati
terinjak-injak. Tidak terbiasa dengan keadaan darurat yang tiba-tiba, ia mulai merasa pusing, dan
pegangannya pada tali kekang mulai mengendur. Debu serta hawa panas memerangkapnya,
membuatnya nyaris tak dapat bernapas, dan ia mungkin sudah menyerah seandainya di sampingnya
tidak tiba-tiba muncul seorang penolong. Dengan suara ramah orang itu memberikan dorongan pada
Lucy, dan pada saat yang sama menangkap tali kekang kudanya lalu memaksa kuda yang ketakutan
itu menerobos kerumunan ternak. Tak lama kemudian mereka berdua sudah berhasil keluar.
"Kuharap kau tidak terluka, Nona," ujar sang penolong dengan sikap hormat.
Lucy mendongak memandang wajah cokelat yang keras itu dan tertawa gugup. "Aku merasa
sangat ngeri," katanya polos. "Tak kusangka kudaku Poncho bakal ketakutan menghadapi
segerombolan sapi!" "Syukurlah kau tetap bertahan di pelana," kata pria itu tulus. Ia masih muda, berperawakan
jangkung, dan berwajah garang. Kuda yang ditungganginya adalah kuda pengelana yang kuat, dan
ia mengenakan pakaian pemburu dengan sepucuk senapan panjang tersandang di bahunya. "Kurasa
kau putri John Ferrier," lanjutnya. "Aku melihatmu keluar dari rumahnya. Tanyakanlah pada
ayahmu nanti, apakah dia ingat pada Jefferson Hope dari St. Louis. Kalau benar dia Ferrier
yang dikenal ayahku, mereka dulu cukup akrab."
"Apa tidak lebih baik kalau kau datang dan menanyakannya sendiri""
Pemuda itu tampak senang mendengar saran Lucy, matanya yang hitam berkilau-kilau
gembira. "Akan kulakukan,." ujarnya, "tapi kami sudah dua bulan berada di pegunungan dan tidak
dalam kondisi untuk berkunjung. Ayahmu harus menerima kami apa adanya."
"Tak apa-apa. Ayah akan sangat berterima kasih karena kau telah menyelamatkan aku. Ayah
sangat menyayangiku. Dia pasti tak sanggup menerima jika aku sampai tewas terinjak-injak."
"Aku juga tidak," cetus sang pemuda.
"Kau! Apa hubungannya denganmu" Kau bahkan bukan teman kami!" tukas Lucy.
Wajah pemburu muda itu langsung menjadi muram, hingga Lucy tak dapat menahan tawa
melihatnya. 70 "Aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu," katanya memperbaiki. "Tentu saja, kau
teman kami sekarang. Kau harus berkunjung ke rumah kami. Nah, aku harus melanjutkan
perjalanan kalau tidak, Ayah takkan mempercayakan urusannya lagi kepadaku. Selamat tinggal!"
"Selamat tinggal," jawab pemuda itu, sambil mengangkat topi lebarnya dan membungkuk ke
tangan mungil Lucy. Lucy memutar kudanya, melecutkan cambuknya, dan melesat pergi diiringi kepulan debu.
Jefferson Hope muda melanjutkan perjalanan bersama teman-temannya, ekspresinya suram
dan serius. Ia dan teman-temannya termasuk kelompok pencari perak di Pegunungan Nevada, dan
tengah kembali ke Salt Lake City dengan harapan bisa menggalang dana untuk menggali sumber
perak yang mereka temukan. Sebagaimana rekan-rekannya, Jefferson Hope mencurahkan perhatian
sepenuhnya kepada usaha yang sedang mereka tangani, namun kejadian yang tak terduga hari ini
membuat perhatiannya terpecah. Ingatan akan seorang gadis muda yang polos memicu debur
jantungnya dan mengguncangkan hatinya hingga ke dasar yang paling dalam. Sewaktu gadis itu
menghilang dari pandangannya, Hope pun menyadari bahwa ia tengah menghadapi krisis dalam
kehidupannya. Spekulasi tentang perak atau usaha lainnya rasanya terlalu sepele dibandingkan
dengan pengalaman baru ini. Cinta yang telah tumbuh dalam hatinya bukanlah perasaan tiba-tiba
yang mudah berubah khas seorang bocah, tapi merupakan perasaan menggebu-gebu seorang pria
yang berkemauan kuat dan pemarah. Hope terbiasa meraih sukses dalam setiap usahanya, dan ia
bersumpah akan berusaha mati-matian untuk merebut hati Lucy Ferrier.
Ia mengunjungi John Ferrier malam itu, dan berulang-ulang setelah itu, sehingga wajahnya
dikenal baikj di tanah pertanian tersebut. Ferrier, terkurung di lembah dan tenggelam dalam
pekerjaannya, hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mengetahui keadaan dunia Iuar selama dua
belas tahun terakhir ini. Semua itu mampu diceritakan Jefferson Hope kepadanya, dan dengan gaya
yang sangat menarik. Hope salah seorang pionir di California, dan memiliki banyak kisah seru
tentang orang-orang yang memperoleh atau kehilangan harta pada hari-hari yang liar itu. Ia juga
pernah menjadi pemandu, penangkap binatang liar, peternak, dan terakhir, pencari perak. Di mana
pun ada petualangan menarik, di situ pasti ada Jefferson Hope.
71 Dalam waktu singkat, Jefferson Hope telah
menjadi kesayangan John Ferrier. Petani tua itu
sering secara terang-terangan memujinya. Pada
kesempatan-kesempatan seperti itu, Lucy diam saja,
namun pipinya yang memerah dan matanya yang
berkilau-kilau bahagia menunjukkan dengan jelas
bahwa hatinya bukan lagi miliknya. Ayahnya yang
jujur mungkin tidak memperhatikan gejala-gejala ini,
tapi pria yang telah merebut hatinya tentu saja
menyadarinya. Suatu malam di musim panas, Jefferson Hope
mengunjungi tanah pertanian dan berhenti di
gerbangnya. Lucy tengah berada di ambang pintu,
dan keluar menyambutnya. Hope mengikat tali
kekang kudanya di pagar dan melangkah menyusuri
jalan masuk. "Aku harus pergi, Lucy," katanya sambil memegang kedua tangan gadis itu dan menatapnya
lembut. "Aku tidak akan mengajakmu sekarang, tapi apa kau siap pada saat aku kembali nanti""
"Kapan"" tanya Lucy, dengan wajah
memerah dan penuh senyum.
"Dua bulan paling lama. Aku akan datang dan membawamu pada waktu itu, Sayang. Tak
ada orang yang bisa menghalangi kita."
"Bagaimana dengan Ayah"" tanya Lucy.
"Beliau sudah memberikan restu, dengan syarat tambang perak yang sedang kuusahakan
berhasil. Tapi aku tidak khawatir tentang masalah itu."
"Oh, well, kalau kau dan Ayah sudah mengaturnya, tentu saja aku tak perlu mengatakan apa-apa lagi," bisik Lucy, dengan pipi menempel ke dada Hope yang bidang.
"Syukur Tuhan!" seru Hope. Suaranya serak penuh emosi. Ia membungkuk dan mencium
Lucy. "Kalau begitu, beres. Semakin lama aku tinggal di sini, semakin sulit bagiku untuk pergi.
Teman-teman sudah menungguku di ngarai. Selamat tinggal, sayangku, selamat tinggal. Dua bulan
lagi aku akan kembali."
Hope melepaskan diri sambil berbicara, dan setelah naik ke kudanya, ia berderap pergi. Tak
sekali. pun ia berpaling, seakan-akan takut kebulatan tekadnya akan berubah bila ia memandang apa
72 yang ditinggalkannya. Lucy berdiri di gerbang, menatap kekasihnya hingga pemuda itu lenyap dari
pandangan. Lalu ia berjalan kembali ke dalam rumah, gadis yang paling bahagia di Utah.
73 Bab 3 Titah sang Nabi Tiga minggu berlalu sejak Jefferson Hope dan teman-temannya pergi dari Salt Lake City.
John Ferrier merasa cemas menantikan kepulangan pemuda itu dan memikirkan ia akan kehilangan
putri angkatnya. Sekalipun begitu, wajah putrinya yang cerah dan bahagia membuat Ferrier yakin
bahwa keputusannya tidak keliru. Selama ini ia memang telah membulatkan tekad untuk tidak
mengizinkan putrinya menikah dengan seorang Mormon. Menurutnya pernikahan seperti itu sama
sekali bukan pernikahan, melainkan hubungan yang hina dan memalukan. Meskipun doktrin-doktrin Mormon yang lain dapat diterimanya, untuk satu hal ini ia benar-benar tak bisa bertoleransi.
Tapi tentu saja ia cukup bijak untuk menutup mulutnya rapat-rapat, karena menyampaikan pendapat
yang bertentangan dengan kepercayaan mereka merupakan tindakan yang berbahaya pada hari-hari
itu di Tanah Orang Suci. Ya, tindakan yang berbahaya begitu berbahaya sehingga mereka yang
paling saleh pun hanya berani membisikkan pendapat-pendapat mereka dengan napas tertahan.
Semua orang merasa cemas kalau-kalau ada ucapan mereka yang disalahtafsirkan, dan
menimbulkan pembalasan seketika terhadap mereka. Umat korban penganiayaan yang telah
mengembara sekian lama sebelum sampai ke Tanah Orang Suci ini sekarang telah berubah menjadi
penganiaya penganiaya yang luar biasa kejam. Inquisition Seville, Vehmgericht Jerman, ataupun
Mafia Italia tak mampu menandingi kekejaman organisasi rahasia yang saat itu beroperasi di Utah.
Kemisteriusannya menyebabkan organisasi ini semakin menakutkan. Mereka tampaknya
mahatahu dan mahakuasa, tapi sebaliknya, tak seorang pun pernah melihat mereka atau
menyaksikan mereka beraksi. Yang jelas, orang yangi menentang Gereja bisa tiba-tiba saja
menghilang, tak ada yang tahu bagaimana nasibnya atau apakah ia telah meninggal. Istri dan anak-anak menunggu di rumah, namun sang ayah tidak pernah pulang untuk menceritakan bagaimana ia
menghadapi para juri rahasianya. Kata-kata yang dilontarkan tanpa pikir atau tindakan yang
ceroboh selalu mendatangkan akibat mengerikan. Tak heran kalau orang-orang menjalani kehidupan
dengan ketakutan dan gcmetar.
Mula-mula, kekuatan yang samar dan menakutkan ini hanya diterapkan kepada mereka yang
setelah memeluk kepercayaan Mormon, berharap untuk meninggalkannya. Tapi tak lama kemudian,
jangkauan mereka meluas. Jumlah wanita dewasa sangat sedikit, dan poligami tanpa ada populasi
wanita untuk diambil sebagai istri tentu saja merupakan doktrin yang kosong. Isu-isu aneh pun
74 mulai beredar isu-isu tentang para imigran yang tewas terbunuh dan penyerangan terhadap
perkemahan-perkemahan di daerah yang tidak ada orang Indian-nya. Wanita-wanita baru
bermunculan di rumah para Tetua wanita-wanita yang tertekan dan menangis, ekspresi mereka
memancarkan k engerian yang telah mereka alami. Para pengelana di pegunungan pun
membicarakan kelompok-kelompok bersenjata dan bertopeng yang tanpa suara melewati mereka
dalam kegelapan. Kisah-kisah dan isu-isu ini akhirnya mulai menampakkan bentuknya, dan
mendapat dukungan serta dukungan lagi, hingga akhirnya tersusun nama yang spesifik. Hingga hari
ini, di peternakan-peternakan terpencil di Barat, nama Kelompok Danite, atau Malaikat Pembalas,
masih merupakan nama yang ditakuti.
Pengetahuan yang lebih mendalam mengenai organisasi yang menimbulkan hasil
semengerikan itu justru meningkatkan kengerian dalam benak masyarakat. Tak seorang pun tahu
siapa anggota-anggota kelompok brutal ini. Nama-nama orang yang terlibat dalam kekerasan yang
dilakukan atas nama agama tersebut dirahasiakan rapat-rapat. Teman tempat kau mencurahkan isi
hati dan menyatakan ketidakpuasanmu terhadap Nabi serta misinya, mungkin merupakan salah satu
dari mereka yang mendatangimu di malam hari dengan membawa api dan pedang. Oleh karena itu,
setiap orang takut kepada orang-orang yang terdekat dengannya, dan mereka tidak pernah lagi
berbicara dengan bebas. Suatu pagi yang cerah John Ferrier hendak menuju ke ladang gandumnya, sewaktu ia


Sherlock Holmes - Penelusuran Benang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar derak selot pintu gerbang. Dari jendela dilihatnya seorang pria parobaya bertubuh
pendek kekar dan berambut pirang pasir tengah melangkah di jalan masuk. Jantung Ferrier bagai
melonjak ke mulutnya, karena orang tersebut tidak lain adalah Brigham Young sendiri. Dengan
ketakutan karena ia tahu kunjungan seperti itu pasti mengandung niat tertentu Ferrier berlari ke
pintu untuk menyambut pemimpin Mormon tersebut. Tapi Young menerima sambutannya dengan
dingin, dan mengikutinya ke ruang duduk dengan ekspresi kaku.
"Saudara Ferrier," kata sang Nabi sambil duduk, dan menatap petani itu dengan tajam.
"Kami orang-orang Mormon sejati telah menjadi teman-teman yang baik bagimu. Kami
memungutmu sewaktu kau kelaparan di padang gurun, kami berbagi makanan dengan dirimu,
mengajakmu hingga tiba dengan selamat di Lembah Pilihan, memberimu bagian lahan yang bagus,
dan mengizinkanmu mengumpulkan kekayaan di bawah perlindungan kami. Benar begitu""
"Benar," jawab John Ferrier.
"Sebagai balasan untuk semua ini kami hanya menuntut satu hal darimu, yaitu kau harus
memeluk keyakinan kami, dan mematuhi setiap peraturannya dalam segala hal. Kau berjanji untuk
75 melakukannya, dan ini, kalau laporan yang kudengar benar, sudah kaulanggar."
"Bagaimana aku melanggarnya"" tanya Ferrier, melontarkan tangan dengan sikap jengkel.
"Apa aku tidak menyumbang dana bersama" Apa aku tidak datang ke gereja" Apa aku tidak...""
"Mana istri-istrimu"" tanya Young sambil memandang sekitarnya. "Panggil mereka kemari,
agar aku bisa menyapa mereka."
"Memang benar aku tidak menikah," kilah Ferrier. "Tapi wanita di sini sangat sedikit, dan
banyak yang lebih pantas mendapatkan mereka daripada diriku. Aku tidak kesepian; ada putriku
yang memenuhi semua kebutuhanku."
"Justru masalah putrimulah yang ingin kubicarakan denganmu," kata sang Nabi. "Dia telah
tumbuh menjadi bunga Utah, dan menarik perhatian banyak petinggi di tanah ini."
Diam-diam John Ferrier mengerang.
"Ada cerita-cerita tentang dirinya yang tidak ingin kupercayai bahwa dia sudah
bertunangan dengan orang kafir. Ini pasti gosip orang-orang usil. Apa peraturan ketiga belas Nabi
Joseph Smith" Agar setiap wanita yang beriman menikah dengan sesama orang percaya; karena bila
ia menikah dengan orang kafir,' ia melakukan dosa besar.' Karena itu, mustahil dirimu yang sudah
mengakui iman suci akan membiarkan putrimu melakukan pelanggaran seperti itu."
John Ferrier tidak menjawab. Dengan gugup ia mempermainkan cambuk berkudanya.
"Seluruh kepercayaanmu akan diuji dari satu hal ini demikian keputusan Dewan Empat
Suci. Gadis itu masih muda, dan kami tidak mengizinkannya menikah dengan orang kafir, tapi kami
juga bukan tidak memberinya pilihan. Kami para Tetua memiliki banyak istri, namun anak-anak
kami juga harus dipenuhi kebutuhannya. Stan
gerson memiliki putra, begitu pula Drebber, dan
keduanya bersedia menerima putrimu di rumah mereka. Biar putrimu memilih salah satu dari
keduanya. Mereka masih muda dan kaya, iman mereka tak perlu diragukan lagi. Nah, bagaimana
pendapatmu"" Ferrier terdiam, alisnya berkerut.
"Kalian harus memberi kami waktu," katanya akhirnya. "Putriku masih sangat muda...
usianya belum cukup untuk menikah."
"Dia mendapat waktu satu bulan untuk memilih," kata Young sambil berdiri. "Dia harus
memberikan jawabannya pada akhir batas waktu itu."
Young mulai berjalan ke luar. Ketika melewati pintu, ia tiba-tiba berbalik dengan wajah
merah membara dan mata berkilat-kilat menyeramkan. "John Ferrier," katanya dengan suara
mengguntur, "jika sekarang kau dan putrimu hanyalah tulang-belulang yang berserakan di Sierra
76 Blanco, nasib kalian masih lebih baik daripada jika kalian berusaha menentang perintah Empat
Suci!" Dengan isyarat tangan yang mengancam, sang Nabi berbalik
kembali dan meneruskan langkahnya di sepanjang jalan setapak.
John Ferrier duduk termangu, menimbang-nimbang bagaimana
ia harus memberitahu putrinya. Tiba-tiba, sebuah tangan halus
menyentuh tangannya, dan tampak olehnya Lucy berdiri di
sampingnya. Begitu melihat wajah gadis itu yang pucat dan
ketakutan, John Ferrier pun mengerti bahwa putrinya telah
mendengar percakapan mereka.
"Aku bukan sengaja menguping," kata Lucy, membalas tatapan
ayahnya. "Suara orang itu menggema ke seluruh rumah. Oh,
Ayah, Ayah, apa yang harus kita lakukan""
"Jangan takut," jawab Ferrier, diraihnya putrinya dan dielus-elusnya rambut kecokelatan Lucy dengan tangannya yang besar
dan kasar. "Akan kita bereskan dengan satu atau lain cara.
Perasaanmu terhadap bocah itu tidak berkurang, bukan""
Lucy hanya mampu menjawab dengan isak tangis dan remasan
tangan. "Tidak, tentu saja tidak," Ferrier menyimpulkan. "Aku senang
perasaanmu tidak berubah. Dia pemuda yang baik dan seorang Kristen. Menurutku itu lebih
beriman daripada orang-orang di sini, tak peduli bagaimanapun hebatnya semua doa dan khotbah
mereka. Besok ada rombongan menuju Nevada... aku akan berusaha mengirim pesan kepadanya
untuk memberitahukan masalah yang kita hadapi. Jika dia pemuda seperti yang kubayangkan, dia
pasti akan kembali lebih cepat dari elektrotelegram."
Lucy tertawa sambil menangis mendengar ucapan ayahnya.
"Sesudah dia datang, aku yakin dia akan memberitahukan tindakan terbaik yang bisa kita
lakukan. Tapi aku mengkhawatirkanmu, Ayah. Kita sering mendengar kisah-kisah menakutkan
tentang mereka yang menentang Nabi..."
"Tapi kita belum menentangnya," tukas Ferrier. "Masih ada waktu satu bulan, dan pada saat
waktunya berakhir, kita sudah jauh meninggalkan Utah."
"Meninggalkan Utah!"
77 "Sebaiknya begitu."
"Tapi bagaimana dengan pertanian ini""
"Kita akan mengumpulkan uang sebanyak mungkin, dan meninggalkan apa yang tak dapat
kita bawa. Sejujurnya, Lucy, ini bukan pertama kali aku mempertimbangkan hal ini. Aku tidak sudi
bertekuk lutut di hadapan siapa pun, sebagaimana yang dilakukan orang-orang di sini terhadap nabi
terkutuk mereka. Aku warga Amerika yang bebas, dan semua ini baru bagiku. Kurasa aku sudah
terlalu tua untuk belajar. Kalau Young datang menyelidiki tanah pertanian ini, kemungkinan dia
akan disambut oleh serentetan peluru."
"Tapi mereka tidak akan membiarkan kita pergi," kata Lucy.
"Tunggu sampai Jefferson tiba, kita akan mengatasi masalah itu. Sementara ini, sayangku,
cobalah untuk tidak terlalu khawatir, jangan sampai matamu bengkak. Jefferson pasti takkan senang
kalau melihatmu begitu. Tidak ada yang perlu ditakutkan, Nak, tidak ada bahaya sama sekali."
John Ferrier mengucapkan kata-kata hiburan tersebut dengan nada sangat yakin, tapi Lucy
melihat bagaimana ayahnya mengunci pintu-pintu dengan lebih teliti malam itu. Ayahnya juga
dengan hati-hati membersihkan senapan tua yang tergantung di dinding kamar tidurnya dan mengisi
pelurunya. 78 Bab 4 Pelarian Sehari setelah percakapannya dengan Nabi Mormon, John Ferrier pergi ke Salt Lake Ci
ty menemui tcmannya yang hendak menuju Pegunungan Nevada. Ia menitipkan pesan untuk Jefferson
Hope, bahwa pemuda itu harus segera kembali karena mereka menghadapi masalah besar. Setelah
melakukan hal itu Ferrier merasa bebannya berkurang, dan ia pulang dengan hati lebih gembira.
Saat mendekati tanah pertaniannya, ia terkejut melihat ada kuda-kuda yang diikat ke kedua
tiang gerbangnya. Ia lebih terkejut lagi sewaktu memasuki rumah dan melihat dua orang pemuda
berada di ruang duduknya. Pemuda yang berwajah panjang dan pucat duduk santai di kursi goyang
dengan kaki diangkat ke atas tungku. Temannya, pemuda berleher tebal dan berwajah tembam,
berdiri di depan jendela dengan tangan di saku sambil menyiulkan himne yang populer. Keduanya
mengangguk kepada Ferrier saat ia masuk, dan pemuda di kursi goyang memulai pembicaraan.
"Mungkin kau tidak mengenal kami," ujarnya. "Ini putra Tetua Drebber, dan aku Joseph
Stangerson yang menjelajahi padang pasir bersamamu sewaktu Tuhan mengulurkan tangan-Nya dan
mengumpulkanmu dengan kawanan domba-Nya yang sejati."
"Sebagaimana akan dilakukan-Nya terhadap seluruh bangsa pada waktu-Nya nanti," timpal
pemuda yang satu lagi dengan suara sumbang. "Ia bekerja perlahan-lahan tapi pasti."
John Ferrier membungkuk dengan dingin. Ia telah menebak siapa kedua tamu itu.
"Kami datang," lanjut Stangerson, "sesuai saran ayah-ayah kami untuk memberi putrimu
kesempatan memilih. Karena aku hanya memiliki empat istri sementara Saudara Drebber sudah
punya tujuh, kurasa aku yang lebih berhak mendapatkan putrimu."
"Tidak, tidak, Saudara Stangerson," seru Drebber. "Persoalannya bukanlah berapa istri yang
kita miliki, tapi berapa yang bisa kita hidupi. Ayahku sudah menyerahkan penggilingannya
kepadaku, dan aku lebih kaya darimu."
"Tapi prospekku lebih baik," tukas Stangerson panas. "Pada saat Tuhan mengambil ayahku,
aku akan mendapatkan penyamakan kulit serta pabriknya. Lagi pula aku tetuamu, kedudukanku di
Gereja lebih tinggi."
"Keputusan ada di tangan gadis itu" kata Drebber sambil menyeringai pada pantulannya
sendiri di kaca. "Kita akan mematuhi keputusannya."
Sepanjang percakapan tersebut John Ferrier berdiri diam di ambang pintu. Dengan susah
payah ia menahan amarah yang hampir saja mendorongnya untuk menghajar kedua tamu itu dengan
79 cambuk. "Dengar," katanya pada akhirnya, melangkah mendekat, "pada saat putriku memanggil
kalian, kalian boleh datang. Tapi sebelum itu, aku tidak ingin melihat wajah kalian lagi."
Kedua pemuda Mormon tersebut tertegun menatap Ferrier. Menurut pandangan mereka,
kompetisi di antara mereka berdua untuk mendapatkan Lucy merupakan penghormatan tertinggi
bagi gadis itu maupun ayahnya.
"Ada dua jalan keluar dari ruangan ini!" seru Ferrier. "Ada pintu dan ada jendela! Kalian
ingin menggunakan yang mana""
Wajah Ferrier tampak begitu buas dan tangannya begitu mengancam sehingga kedua
tamunya langsung melompat bangkit. Mereka bergegas keluar, diikuti Ferrier sampai ke pintu.
"Jadi kalian memilih pintu, ya!" katanya sinis.
"Kau harus membayar untuk ini, Ferrier!" teriak Stangerson berang. "Kau sudah menentang
Nabi dan Dewan Empat! Kau akan menyesalinya sampai akhir hayat!"
"Tangan Tuhan akan menghukum kalian!" tambah Drebber. "Ia akan bangkit dan
mehajarmu!" "Kalau begitu, biar aku yang mulai menghajar!" seru Ferrier murka. Ia sudah beranjak ke
lantai atas untuk mengambil senapannya, namun Lucy mencengkeram lengannya dan menahannya.
Sebelum Ferrier bisa melepaskan diri dari putrinya, terdengar derap kaki kuda, menandakan bahwa
kedua pemuda itu telah berada di luar jangkauannya.
"Keparat! Bajingan!" Ferrier menyumpah-nyumpah. "Lebih baik aku melihatmu mati,
anakku, daripada kau menjadi istri salah satu dari mereka."
"Aku juga berpikir begitu, Ayah," jawab Lucy penuh semangat. "Tapi Jefferson akan segera
tiba." "Ya. Tidak lama lagi dia pasti tiba. Semakin cepat semakin baik, karena kita tidak tahu apa
tindakan mereka selanjutnya."
Memang, sudah saatnya seseorang yang cakap dan andal datang memberika
n bantuan kepada sang petani tua dan putri angkatnya. Sepanjang sejarah permukiman Mormon itu, belum
pernah ada orang yang berani terang-terangan menentang para Tetua seperti yang dilakukan John
Ferrier. Kalau kesalahan kecil saja dihukum sekeras itu, bagaimana nasib pemberontakan sehebat
ini" Ferrier sadar bahwa kekayaan dan posisinya takkan dapat menolongnya. Orang-orang lain yang
sama terkenal dan sekaya dirinya pun telah dilenyapkan, sementara harta mereka diberikan kepada
Gereja. Ferrier bukan penakut, tapi kali ini ia gemetar menghadapi teror yang mengintai dirinya.
80 Bahaya apa pun bisa dihadapinya dengan berani, tapi ketegangan yang mencekam ini benar-benar
menggetarkan perasaan Ferrier itu tak luput dari pengamatan putrinya, meski ia telah berusaha
menutup-nutupinya. Ferrier menduga akan menerima pesan atau teguran dari Young karena perbuatannya, dan ia
tidak keliru, sekalipun penyampaian pesan tersebut dilakukan dengan cara yang sangat tidak biasa.
Saat terjaga keesokan harinya, ia mendapati sehelai kertas kecil dijepitkan ke selimutnya tepat di
atas dadanya. Pada kertas itu tertulis sebuah kalimat dengan huruf-huruf besar dan mencolok,
"Kau mendapat waktu 29 hari untuk bertobat, sesudah itu..."
Titik-titik di akhir kalimatnya lebih menimbulkan ketakutan daripada ancaman apa pun.
Selain itu, Ferrier tak bisa mengerti bagaimana peringatan ini bisa sampai ke kamar tidurnya. Para
pelayan tidur di bangunan lain di luar rumah, dan pintu-pintu serta jendela-jendela telah dikunci.
Ferrier meremas kertas itu dan tidak mengatakan apa-apa kepada putrinya, walau perasaannya
sendiri kian galau. Dua puluh sembilan hari... dengan kekuatan serta keberanian dari mana ia harus
menghadapi musuh yang demikan misterius" Tangan yang meletakkan kertas pesan itu bisa saja
menusuk jantungnya, dan ia tidak akan pernah tahu apa yang telah membunuhnya.
Pagi berikutnya, terjadi peristiwa yang lebih mengguncangkan. Ferrier dan putrinya sedang
duduk menikmati sarapan ketika Lucy tiba-tiba menjerit sambil menunjuk ke atas. Di tengah langit-langit tertulis, tampaknya dengan tongkat kayu yang dibakar, angka 28. Lucy tidak mengerti makna
tulisan itu, dan Ferrier tidak bisa menjelaskan. Malam harinya ia duduk berjaga dengan membawa
senapannya. Ia tidak melihat atau mendengar apa pun, tapi keesokan harinya, angka 27 telah
dicatkan besar-besar di pintu rumahnya.
Pada hari-hari selanjutnya Ferrier mendapati bagaimana musuh yang tidak kasatmata itu
terus menghitung, dan menandai jumlah hari-hari yang tersisa di berbagai tempat yang mencolok.
Terkadang angka tersebut muncul di dinding, terkadang di lantai, sesekali berupa plakat kecil yang
ditempelkan di gerbang kebun atau pagar.
Sekalipun telah berusaha keras, Ferrier tidak pernah bisa menangkap basah pemberi pesan
itu. Kengerian yang luar biasa mencekamnya setiap kali ia melihat angka itu. Sepertinya musuh
yang dihadapinya tak terdiri atas darah dan daging. Ferrier menjadi berantakan dan gelisah bagaikan
binatang yang sedang diburu. Ia hanya memiliki satu harapan sekarang, yaitu kedatangan sang
pemburu muda dari Nevada.
Dua puluh menjadi lima belas, dan lima belas menjadi sepuluh, namun tidak ada berita dari
pemuda tersebut. Satu demi satu angka-angkanya mengecil, tapi tidak terlihat tanda-tanda kehadiran
81 Hope. Setiap kali terdengar suara penunggang kuda di jalan, atau kusir yang berteriak kepada kuda-kudanya, Ferrier bergegas ke gerbang, mengira bantuan akhirnya datang. Sewaktu angka lima
berubah menjadi empat, lalu tiga, Ferrier pun putus asa. Ia melupakan semua harapannya untuk
melarikan diri. Ferrier sadar tanpa bantuan ia tak mungkin berhasil. Pengetahuannya mengenai
pegunungan yang mengelilingi kawasan tersebut terbatas; jalan yang sering dilalui selalu dijaga
ketat, tak seorang pun boleh lewat tanpa perintah Dewan. Ke arah mana pun ia pergi, tampaknya
tidak mungkin ia bisa menghindari bencana ini. Sekali pun begitu, tekad sang petani tua tetap tak
tergoyahkan. Ia lebih baik mati daripada menyaksikan putrinya dilecehkan.
Suatu malam Ferrier duduk seorang diri, mempertimbangkan masalahn
ya secara mendalam dan mencari-cari jalan keluar. Tadi pagi angka 2 ada di dinding rumahnya, dan besok merupakan
hari terakhirnya. Apa yang akan terjadi sesudah itu" Segala bayangan yang menakutkan melintas
dalam benaknya. Dan putrinya... bagaimana nasib gadis itu setelah ia tiada" Tak adakah jalan keluar
dari jaring-jaring maut yang ditebarkan di sekeliling mereka" Ferrier meletakkan kepalanya di mcja
dan terisak-isak, menyesali ketidakberdayaannya.
Apa itu" Dalam kesunyian ia mendengar goresan lembut pelan tapi sangat jelas di malam
yang sunyi. Suara itu berasal dari pintu depan rumah. Ferrier merayap ke lorong dan menajamkan
telinga. Sejenak hanya ada kesunyian, lalu suara itu terdengar kembali. Jelas ada yang mengetuk
salah satu panel pintu dengan pelan. Apakah pembunuh tengah malam yang datang untuk
melaksanakan perintah pengadilan rahasia" Atau orang yang bertugas menandai hari terakhirnya"
John Ferrier merasa kematian secara langsung akan lebih baik daripada ketegangan yang
mengguncang saraf serta menggetarkan hatinya. Dengan nekat ia melompat maju, menarik selot,
lalu membuka pintu. Di luar suasananya tenang dan sepi. Malam berlangsung biasa, bintang-bintang bekerlip di
atas kepala. Kebun depan yang kecil membentang di depan matanya, dibatasi pagar dan gerbang,
tapi tidak terlihat seorang manusia pun baik di sana maupun di jalan di baliknya. Sambil
mengembuskan napas lega, Ferrier memandarig ke kiri-kanan, hingga tanpa sengaja melirik tepat ke
kakinya sendiri. Ia tertegun melihat seorang pria berbaring menelungkup, dengan lengan dan kaki
terpentang. Begitu takutnya ia melihat pemandangan tersebut sehingga ia menyandar ke dinding dengan
tangan mencengkeram leher untuk mencegah teriakannya sendiri. Pikiran pertama yang melintas di
benaknya adalah bahwa sosok tersebut seseorang yang terluka atau sekarat. Tapi saat
mengawasinya, ia melihat sosok itu menggeliat-geliat di tanah dan masuk ke dalam rumah dengan
82 kecepatan dan kebisuan seekor ular. Begitu berada di dalam; sosok itu melompat bangkit, menutup
pintu, dan menunjukkan wajahnya yang keras serta ekspresinya yang tegas. Jefferson Hope!
"Ya Tuhan!" John Ferrier ternganga. "Kau membuatku
ketakutan! Kenapa kau datang dengan cara begitu""
"Beri aku makanan," kata pemuda itu dengan suara serak.
"Aku tidak sempat makan selama 48 jam." Melihat daging
dingin dan roti yang masih ada di meja, sisa makan malam tuan
rumahnya, ia segera melahapnya. "Lucy baik-baik saja""
tanyanya setelah memuaskan laparnya.
"Ya. Dia tidak tahu bahaya yang kami hadapi," jawab Ferrier.
"Bagus. Rumah ini diawasi dari segala sisi. Itu sebabnya aku
harus merayap kemari. Mereka mungkin pandai, tapi tidak cukup
pandai untuk menangkap pemburu Washoe."
John Ferrier merasa menjadi orang yang berbeda sekarang,
karena ia memiliki sekutu yang setia. Diraihnya tangan kasar
sang pemuda dan dijabatnya kuat-kuat. "Kau benar-benar
membanggakan," ujarnya terharu. "Tak banyak orang yang
bersedia datang untuk ikut menanggung masalah kami dan menghadapi bahaya."
"Kata-katamu ada benarnya," kata sang pemburu muda. "Aku sangat menghormatimu, tapi
kalau masalah ini hanya menyangkut dirimu, aku akan berpikir dua kali sebelum menerjunkan diri


Sherlock Holmes - Penelusuran Benang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke dalam bahaya seperti ini. Aku kemari karena Lucy. Lebih baik keluarga Hope berkurang satu
daripada kubiarkan gadis itu disakiti."
"Apa yang harus kita lakukan""
"Besok hari terakhirmu, dan kecuali kau bertindak malam ini, kalian akan kalah. Aku sudah
menyiapkan seekor keledai dan dua ekor kuda di Ngarai Elang. Berapa banyak uangmu""
"Dua ribu dolar dalam bentuk emas, dan lima ribu tunai."
"Itu cukup. Aku sendiri bisa menambahkan kurang-lebih sebanyak itu. Kita harus bergegas
ke Carson City melewati pegunungan. Sebaiknya kaubangunkan Lucy. Bagus juga para pelayan
tidak tidur di dalam rumah."
Sementara Ferrier menyiapkan putrinya untuk perjalanan yang akan mereka tempuh,
Jefferson Hope mengemasi semua makanan yang bisa ditemukannya dan mengisi sebuah guci batu
dengan air. Dari pengalaman ia tahu bahwa sumber air di pegunungan sangat sedikit serta berjauhan
83 jaraknya. Hope belum lagi menyelesaikan pcrsiapannya sewaktu Ferrier kembali bersama putrinya.
Pertemuan sepasang kekasih itu berlangsung hangat tapi singkat, karena waktu sangat berharga
sedangkan masih banyak yang harus dilakukan.
"Kita harus pergi sekarang juga," kata Hope, berbicara pelan tapi tegas, sebagaimana
layaknya orang yang menyadari beratnya masalah namun telah mcmbulatkan tekad untuk
menghadapinya. "Pintu masuk depan dan belakang diawasi, tapi kalau hati-hati kita bisa melarikan
diri melalui jendela samping dan menyeberangi ladang. Begitu tiba di jalan kita tinggal tiga
kilometer dari ngarai, tempat kuda-kuda sudah menunggu. Saat fajar tiba, kita sudah separo
perjalanan di pegunungan."
"Bagaimana kalau ada orang yang menghalangi kita"" tanya Ferrier.
Hope menampar tangkai revolver yang mencuat dari bagian depan rompinya. "Kalau mereka
terlalu banyak, setidaknya kita bisa menjatuhkan dua-tiga orang," katanya tersenyum sinis.
Semua lampu di dalam rumah telah dipadamkan, dan dari jendela yang gelap Ferrier
mengintip ke ladang-ladang yang sebentar lagi akan ditinggalkannya untuk selama-lamanya. Ia
telah lama memberanikan diri unruk melakukan pengorbanan ini, dan pikiran tentang kehormatan
serta kebahagiaan putrinya mengalahkan penyesalan apa pun tentang hilangnya harta. Suasana di
luar tampak begitu tenang dan damai, sehingga orang sulit percaya bahwa ada pembunuh yang
mengintai di sana. Sekalipun begitu, wajah pucat dan tegang Jefferson Hope menunjukkan bahwa ia
telah melihat cukup banyak bahaya sewaktu mendekati rumah tadi.
Ferrier membawa tas berisi emas dan uang, Hope membawa makanan dan air, sementara
Lucy membawa buntalan kecil berisi beberapa barangnya yang berharga. Setelah membuka jendela
dengan sangat pelan dan hati-hati, mereka menunggu hingga awan gelap menutupi pandangan, lalu
satu demi satu menerobos keluar ke kebun kecil. Sambil menahan napas mereka merunduk
menyeberanginya, kemudian menyusuri sesemakan hingga tiba di celah yang menuju ladang
jagung. Mereka baru saja tiba di tempat ini sewaktu sang pemuda mencengkeram kedua rekannya
dan menyeret mereka ke dalam bayang-bayang. Di tempat gelap itu mereka berbaring dengan
membisu dan gemetar. Beruntung pengalamannya di padang rumput telah memberi Jefferson Hope telinga seekor
kucing liar. Ia dan kedua rekannya baru saja berbaring sewaktu terdengar lolongan burung hantu
hanya beberapa meter dari mereka. Lolongan iru segera dijawab dengan lolongan Iain tidak jauh
dari sana. Pada saat yang sama sosok samar muncul dari celah yang tadinya akan mereka lalui, dan
melontarkan sinyal sekali lagi. Orang kedua muncul.
84 "Tengah malam besok," kata orang pertama, yang tampaknya lebih tinggi jabatannya. "Saat
burung whippoorwill berbunyi tiga kali."
"Baik," kata rekannya. "Saudara Drebber perlu kuberitahu""
"Beritahukan, dan minta dia memberitahu yang lain. Sembilan ke tujuh!"
"Tujuh ke lima!" sahut orang tersebut, dan kedua sosok itu menyelinap ke arah yang
berlainan. Kata-kata terakhir mereka jelas semacam sandi. Begitu bunyi langkah-langkah kaki
mereka telah menghilang di kejauhan, Hope melompat bangkit. Ia membantu Ferrier dan putrinya
melewati celah, lalu memimpin jalan melintasi ladang secepat mungkin, setengah menggendong
Lucy saat kekuatan sang gadis tampak merosot.
"Cepat! Gepat!" katanya terus-menerus. "Kita berhasil melewati barisan penjaga. Segalanya
sekarang tergantung pada kecepatan. Cepat!"
Begitu tiba di jalan, mereka mencapai kemajuan dengan cepat. Hanya sekali mereka bertemu
orang, dan mereka berhasil menyelinap ke ladang sebelum sempat dikenali. Beberapa saat sebelum
tiba di kota, Hope mengajak mereka berbelok ke sebuah jalan setapak yang menuju pegunungan.
Dua puncak yang gelap dan bergerigi menjulang di atas mereka, dan celah di antara kedua puncak
tersebut adalah Ngar ai Elang. Dengan naluri yang luar biasa, Hope memimpin jalan di sela-sela
bongkahan batu besar dan sepanjang sungai kering,
hingga mereka tiba di sudut yang terhalang
bebatuan. Di sana keledai serta kuda-kuda mereka
telah menunggu. Lucy dinaikkan ke keledai, Hope
dan Ferrier menunggang kuda, lalu mereka memulai
perjalanan melewati jalur yang berliku-liku dan ber-bahaya.
Rute yang dipilih Hope sangat
membingungkan bagi mereka yang tidak terbiasa
menghadapi alam liar, Di satu sisi tebing curam
menjulang setinggi lebih dari tiga ratus meter
hitam, tegas, dan mengancam. Di sisi lain terdapat
tumpukan bebatuan besar-kecil yang tidak mungkin
dilalui. Jalan setapak yang mereka susuri begitu
sempit di beberapa tempat, sehingga mereka harus
85 berjalan beriringan, dan begitu sulit sehingga hanya penunggang kuda berpengalaman yang mampu
melintasinya. Meskipun mereka harus menempuh semua bahaya serta kesulitan itu, perasaan ketiga
pelarian tersebut sangat ringan, karena setiap langkah berarti memperlebar jarak di antara mereka
dan bencana. Namun, tak lama kemudian mereka mendapat bukti bahwa mereka masih berada di Tanah
Orang Suci. Mereka telah tiba di kawasan yang paling liar dan terkucil dari celah tersebut sewaktu
Lucy menjerit terkejut, dan menunjuk ke atas. Di atas sebuah batu, berdiri seorang penjaga yang
sedang mengawasi mereka. "Siapa itu"" teriak sang penjaga.
"Pengelana dengan tujuan Nevada," jawab Jefferson Hope, tangannya siap mengambil
senapan yang menjuntai di pelana.
Sang penjaga membidikkan senapannya dan menatap mereka tajam-tajam, seakan-akan
tidak puas dengan jawaban Hope.
"Atas izin siapa"" tanyanya lagi.
"Empat Suci," jawab Ferrier. Pengalamannya hidup sebagai orang Mormon telah
mengajarkannya bahwa itulah kewenangan tertinggi yang bisa diucapkannya.
"Sembilan ke tujuh," seru penjaga tersebut.
"Tujuh ke lima," balas Hope seketika, teringat sandi yang didengarnya di kebun.
"Pergilah, dan Tuhan bersama kalian," kata sosok di atas batu itu. Setelah pos penjagaan
terakhir tersebut jalan setapak melebar, dan kuda-kuda dapar berlari kecil. Sesaat ketiga pelarian itu
menoleh ke belakang dan melihat sang penjaga tengah bersandar pada senapannya. Mereka sangat
lega karena telah berhasil keluar dari negeri "orang-orang pilihan" dan bahwa ke-bebasan
membentang di hadapan mereka.
86 Bab 5 Malaikat Pembalas Sepanjang malam mereka berjalan melewati ngarai-ngarai yang berliku dan jalan-jalan
setapak yang dipenuhi bebatuan. Lebih dari sekali mereka tersesat, tapi pengetahuan Hope yang
mendalam tentang pegunungan memungkinkan mereka untuk menemukan jalur yang benar.
Sewaktu fajar merekah, pemandangan yang indah sekaligus buas membentang di depan mereka. Ke
mana pun mereka menatap, tampak puncak-puncak yang tertutup salju, saling mengintip dari bahu
yang lain hingga ke kaki langit. Begitu curam lereng-lerengnya sehingga sesemakan dan pinus
bagai menjuntai pada pucuknya, dan hanya perlu diembus angin untuk roboh menimpa mereka.
Kekhawatiran tersebur bukan sepenuhnya ilusi, karena lembah gersang itu dipenuhi pepohonan dan
bongkahan-bongkahan batu yang telah jatuh karena angin. Bahkan saat mereka melintas, sebongkah
batu besar bergulir menggemuruh ke sungai kering dan mengejutkan kuda-kuda mereka yang
kelelahan. Matahari perlahan-lahan menanjak di kaki langit timur, puncak-puncak pegunungan besar
itu "menyala" satu demi satu hingga semuanya tampak kemilau. Pemandangan yang mengagumkan
itu menambah semangat ketiga pelarian dan menimbulkan tenaga baru. Di sebuah sungai yang
mengalir deras mereka berhenti dan memberi kuda-kuda mereka kesempatan minum, sementara
mereka sendiri menyantap sarapan dengan tergesa-gesa. Lucy dan ayahnya ingin beristirahat lebih
lama, tapi Hope bersikap tegas.
"Mereka pasti telah melacak jejak kita sekarang," katanya. "Segalanya tergantung pada
kecepatan kita. Begitu tiba dengan selamat di Carson, kita boleh beristirahat sepanjang sisa hidup
kita." Sepanjang hari itu mereka berjuang keras mel
intasi celah-celah di pegunungan, dan saat
malam turun mereka memperhitungkan telah berada sekitar lima puluh kilometer jauhnya dari
musuh-musuh mereka. Malam itu mereka memilih tempat istirahat di dasar sebuah tonjolan tebing
dan menikmati tidur selama beberapa jam. Sebelum fajar mereka telah terjaga dan melanjutkan
perjalanan. Mereka tidak melihat tanda-tanda ada orang mengejar mereka, dan Jefferson Hope
mulai menganggap bahwa mereka telah berada cukup jauh dari jangkauan organisasi menakutkan
yang berusaha mereka hindari. Hope sama sekali tidak menyangka bahwa pengejar mereka
sebenarnya begitu dekat dan sebentar lagi mereka akan dihancurkan.
87 Sekitar tengah hari pada hari kedua itu, bekal mereka mulai habis. Tapi hal ini tidak terklu
mencemaskan Hope karena ia bisa memburu hewan-hewan pegunungan untuk makanan mereka.
Setelah memilih sebuah ceruk sebagai tempat berlindung, ia menumpukkan sejumlah dahan kering
dan membuat api unggun. Mereka sekarang hampir 1.500 meter di atas permukaan laut, dan
udaranya dingin menggigit. Hope mengikat kuda-kudanya, mengucapkan selamat berpisah kepada
Lucy, lalu menyandang senapannya untuk memburu binatang apa pun yang mungkin ditemuinya.
Saat berpaling ke belakang, ia melihat pria tua dan wanita muda tersebut tengah berjongkok di
depan api unggun, sementara ketiga hewan berdiri tidak bergerak di latar belakang. Lalu bebatuan
menghalangi pandangannya.
Hope berjalan sejauh tiga kilometer melintasi sungai kering demi sungai kering tanpa
mendapatkan buruan. Tapi dari tanda-tanda di kulit pohon dan lainnya, ia memperkirakan ada
sejumlah beruang di daerah itu. Dua-tiga jam ia mencari tanpa hasil, dan mulai berpikir untuk
kembali saja sewaktu ia melihat sesuatu yang membangkitkan kegembiraannya. Di ujung
sebongkah batu yang mencuat, sekitar seratus meter di atasnya, berdiri seekor makhluk mirip
domba yang bersenjatakan sepasang tanduk raksasa. Si Tanduk Besar mungkin tengah menjaga
kawanan yang tidak terlihat oleh Hope, tapi untungnya hewan tersebut memandang ke arah lain dan
tidak menyadari kehadirannya. Sambil menelungkup Hope menumpukan senapannya ke sebongkah
batu, lalu membidik buruannya dan menarik picu. Si Tanduk Besar melompat ke udara, terhuyung-huyung sejenak di tepi batu, lalu jatuh ke lembah di bawahnya.
Hewan tersebut terlalu besar dan berat untuk diangkat, jadi Hope hanya memotong pangkal
paha dan sebagian panggulnya. Dengan me-manggul hasil buruan itu, ia bergegas menyusuri
kembali jalan yang ditempuhnya karena malam telah turun. Ia baru saja mulai sewaktu menyadari
kesulitan yang menghadangnya. Saking bersemangatnya berburu, dirinya ternyata telah berkeliaran
jauh melewati sungai kering yang dikenalinya, dan tidak mudah untuk menemukan jalan yang tadi
diambilnya. Lembah tempat ia berada terpecah-pecah menjadi sekian banyak jalur, yang begitu
mirip satu sama lain sehingga mustahil untuk membedakannya. Ia mengikuti salah satunya hingga
sekitar satu setengah kilometer, lalu menemukan sungai yang belum pernah dilihatnya. Yakin bahwa
ia telah salah memilih jalan, Hope mencoba jalur lain, tapi hasilnya sama. Hari sudah hampir gelap
ketika akhirnya tiba di celah yang dikenalinya. Bahkan pada waktu itu, bukan masalah yang mudah
untuk menyusuri jalur yang benar, karena bulan belum terbit dan tebing-tebing tinggi di kedua sisi
semakin mempersulir pandangan. Dengan dibebani buruannya, dan kelelahan karena usahanya,
Hope terhuyung-huyung maju, mempertahankan semangatnya dengan pikiran bahwa setiap langkah
88 membawanya semakin dekat dengan Lucy, dan bahwa ia membawa cukup banyak bahan makanan
untuk pasokan mereka selama sisa perjalanan.
Hope sekarang tiba di mulut ceruk tempat ia meninggalkan Lucy dan ayahnya. Dalam
kegelapan ia masih bisa mengenali sosok tebing yang membatasinya. Mereka pasti sudah
menunggu dengan gelisah, pikirnya, karena ia telah pergi hampir lima jam. Dalam kegembiraan dan
kelegaan, ia menangkupkan tangan ke mulut dan meneriakkan "halooo" sebagai tanda
kedatangannya. Lalu ia diam
sejenak menunggu jawaban. Tapi tidak ada yang terdengar kecuali
teriakannya sendiri, yang memantul pada sungai kering dan kembali ke telinganya berulang-ulang.
Sekali lagi ia berteriak, lebih keras dari sebelumnya. Dan sekali lagi pula tidak terdengar balasan
dari kedua orang yang ditinggalkannya beberapa waktu yang lalu. Ketakutan yang samar
merayapinya, dan ia bergegas maju dalam kepanikan, makanan yang diperoleh dengan susah payah
dijatuhkannya begitu saja.
Sewaktu berbelok di tikungan, Hope melihat bekas api unggun. Masih ada tumpukan bara di
sana, tapi jelas api tersebut tidak dijaga sejak kepergiannya. Kesunyian memenuhi sekitarnya.
Dengan ketakutan yang semakin nyata, ia bergegas mendekat. Tidak terlihat tanda-tanda makhluk
hidup di tempat itu; hewan-hewan, Ferrier, putrinya, semua lenyap. Jelas telah terjadi bencana tiba-tiba selama kepergiannya bencana yang menghantam mereka semua tapi sama sekali tidak
meninggalkan jejak. Kebingungan dan tertegun oleh pukulan ini, Jefferson Hope merasakan kepalanya berputar-putar, dan ia terpaksa menyandar ke senapannya agar tidak jatuh. Tapi pada dasarnya ia orang yang
terbiasa beraksi, dan dengan cepat pulih dari ketidakberdayaannya. Setelah mengambil sebatang
kayu yang separo terbakar dari tumpukan bara, ia mengobarkan api unggunnya lagi, dan dengan
bantuan api tersebut memeriksa perkemahan kecil mereka. Tanah dipenuhi jejak-jejak kaki kuda,
menunjukkan adanya segerombolan besar penunggang kuda yang telah mengalahkan kedua
pelarian, dan jejak-jejak mereka menunjukkan bahwa sesudahnya mereka kembali ke Salt Lake
City. Apa mereka membawa Ferrier dan Lucy" Hope hampir berhasil meyakinkan dirinya bahwa
pasti begitu yang mereka lakukan, sewaktu pandangannya jatuh pada sesuatu yang langsung
menyebabkan seluruh tubuhnya bergetar.
Beberapa meter dari perkemahan itu terdapat tumpukan tanah merah yang sebelumnya jelas
tidak ada. Tak diragukan lagi bahwa itu sebuah makam baru. Hope mendekat dan melihat ada
sebatang dahan ditancapkan pada makam itu, dengan sehelai kertas terjepit di sela-selanya. Tulisan
di kertas tersebut singkat tapi jelas:
89 JOHN FERRIER, MANTAN PENDUDUK SALT LAKE CITY
Meninggal tanggal 4 Agustus 1860
Petani tua yang tangguh, yang baru
ditinggalkannya beberapa jam yang lalu, ternyata telah
tewas dan ini nisannya. Dengan panik Hope mencari-cari kalau kalau di sekitar situ ada makam kedua, tapi
ia tak menemukannya. Lucy pasti telah dibawa
kembali ke Salt Lake City untuk memenuhi "takdir"
yang mereka tentukan, yaitu mengisi harem salah satu
putra Tetua. Saat Hope menyadari kepastian nasib
Lucy dan ketidakberdayaannya sendiri untuk
mencegahnya, ia merasa ingin mati saja. Ia berharap
dirinya juga tergeletak membisu bersama sang petani
tua di tempat peristirahatannya.
Tapi, sekali lagi semangatnya yang aktif menyingkirkan keputusasaannya. Kalau tidak ada
lagi yang tersisa baginya, paling tidak ia bisa mengabdikan hidupnya untuk membalas dendam.
Selain kesabaran dan ketekunan yang tidak terpatahkan, Jefferson Hope juga memiliki sifat kejam,
yang mungkin dipelajarinya dari para Indian. Saat berdiri di dekat api unggun, Hope merasa satu-satunya yang bisa meredakan kedukaannya hanyalah pembalasan yang menyeluruh., dengan
tangannya sendiri, atas musuh-musuhnya. Kemauannya yang keras dan energi-nya yang tidak ada
habisnya harus digunakan untuk satu tujuan tersebut. Dengan wajah muram dan pucat ia kembali ke
tempat ia menjatuhkan daging si Tanduk Besar lalu memasaknya. Setelah memiliki cukup bekal
untuk beberapa hari, ia memaksa dirinya yang kelelahan untuk berjalan kembali melintasi
pegunungan, mengikuti jejak para Malaikat Pembalas.
Selama lima hari ia berjalan kaki, melewati celah-celah sulit yang sebelumnya ditempuhnya
dengan menunggang kuda. Luka-luka pada kaki-nya tak diacuhkannya, kcletihan yang menumpuk
tak dihiraukannya. Pada malam hari ia membaringkan diri di sela-sela bebatuan dan tidur selama
beberapa jam. Tapi sebelum fajar ia telah melanjutkan perjalanan. Pada hari keenam, ia tiba di
Ngarai Elang, tempat mereka memulai pelarian mereka yang gagal. Dari sana ia bisa melihat
rumah-rumah "orang suci". Karena kelelahan, Hope menyandar ke senapannya dan mengawasi kota
90 yang membentang di bawahnya. Ada bendera yang dikibarkan di beberapa jalan utama, dan tanda-tanda kemeriahan lainnya. Ia masih menduga-duga apa artinya itu sewaktu mendengar derap kaki
kuda, dan melihat seorang penunggang kuda tengah mendekatinya. Ia mengenali penunggang
tersebut, seorang Mormon bcrnama Cowper yang pernah dibantunya beberapa kali. Oleh karena itu
ia mendekati penunggang kuda tersebut, dengan tujuan mencari tahu bagaimana keadaan Lucy
Ferrier. "Aku Jefferson Hope," katanya. "Kau pasti ingat padaku."
Pria Mormon tersebut menatapnya dengan tertegun memang, sulit untuk mengenali
pengelana yang compang-camping, berwajah pucat dan buas, serta bermata liar itu. Tapi setelah
yakin akan identitasnya, keterkejutan pria Mormon tersebut berubah menjadi kekhawatiran.
"Kau sinting berani datang kemari," serunya. "Jiwaku bisa terancam hanya karena bercakap-cakap denganmu. Kau dicari oleh Empat Suci karena membantu keluarga Ferrier melarikan diri."
"Aku tidak takut pada mereka," kata Hope sejujurnya. "Kau pasti mengetahui sesuatu
tentang masalah ini, Cowper. Demi segala yang kaucintai, kuminta kau menjawab pertanyaanku.
Selama ini kita berteman. Demi Tuhan jangan menolak permintaanku."
"Apa yang ingin kautanyakan"" tanya Cowper gelisah. "Cepatlah. Mata dan telinga mereka
ada di mana-mana." "Apa yang terjadi pada Lucy Ferrier""
"Dia menikah kemarin dengan Drebber muda. Kuatkan dirimu, Sobat, kuatkan dirimu. Kau
tampak seperti orang sekarat."
"Jangan memikirkan diriku," kata Hope pelan. Wajahnya menjadi semakin pucat dan


Sherlock Holmes - Penelusuran Benang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya merosot ke batu tempat ia bersandar. "Sudah menikah, katamu""
"Menikah kemarin... karena itu mereka mengibarkan bendera-bendera di Rumah Penyatuan.
Sempat terjadi pertengkaran antara Drebber dan Stangerson muda tentang siapa yang berhak
menikah dengannya. Mereka berdua termasuk kelompok yang mengejar Ferrier, dan Stangerson
yang menembak ayah Lucy, sehingga tuntutannya lebih kuat. Tapi sewaktu berdebat di depan
Dewan, kelompok Drebber lebih kuat, jadi Nabi memberikan Lucy kepadanya. Meskipun begitu,
kurasa baik Drebber maupun Stangerson akhirnya akan kehilangan si gadis, karena aku sudah
melihat kematian di wajahnya. Gadis itu lebih mirip hantu daripada wanita. Kau mau pergi
sekarang"" "Ya, aku pergi," kata Jefferson Hope yang telah bangkit berdiri. Wajahnya begitu keras dan
kaku bagaikan patung marmer, matanya berkilat penuh murka.
91 "Kau mau ke mana""
"Tidak penting," jawab sang pengelana. Menyandang senapannya, ia melangkah ke sungai
kering dan menghilang ke jantung pegunungan tempat hewan-hewan buas berkeliaran. Tapi
pemburu yang diamuk dendam itu jauh lebih berbahaya daripada hewan buas.
Perkiraan Cowper tak meleset. Entah karena kematian ayahnya yang mengerikan, atau
pengaruh pernikahan yang dibencinya, Lucy yang malang tidak pernah pulih lagi. Ia meninggal
sebulan kemudian. Suaminya, yang menikahinya semata-mata demi harta John Ferrier, tidak
menunjukkan kedukaan sedikit pun. Tapi para istri Drebber yang lain menangisinya, dan berjaga di
sekitar jenazahnya sepanjang malam sebelum pemakaman, sebagaimana kebiasaan Mormon.
Mereka tengah berkerumun bersama menjelang pagi sewaktu pintu tiba-tiba terbuka dan seorang
pria muncul. Pria yang tampak buas dan lusuh itu langsung mendekati jenazah Lucy, tanpa melirik
sedikit pun kepada para wanita yang membeku ketakutan. Sambil membungkuk pria itu mengecup
kening Lucy yang clingin, lalu mengangkat tangannya dan melepaskan cincin kawin dari jarinya.
"Dia tidak akan dimakamkan dengan ini!" serunya sambil menyeringai buas. Sebelum tanda
bahaya sempat dibunyikan, ia telah melesat ke tangga dan menghilang. Begitu aneh dan singkat
kejadian tersebut, sehingga para wanita ya
ng berjaga hampir-hampir tak percaya bahwa hal itu
sungguh-sungguh terjadi. Tapi cincin kawin yang hilang itu merupakan buktinya.
Selama beberapa bulan berikutnya Jefferson Hope berkeliaran di pegunungan, menjalani
kehidupan yang aneh dan liar, mempertahankan keinginannya yang meluap-luap untuk membalas
dendam. Isu-isu pun bermunculan di kota tentang kehadiran seseorang yang menghantui sungai-sungai kering di pegunungan. Pernah sekali sebutir peluru menembus jendela rumah Stangerson dan
menancap di dinding, hanya tiga puluh senti dari pemuda itu. Pada kesempatan lain, sewaktu
Drebber tengah melintas di bawah tebing, sebongkah batu besar jatuh ke arahnya. Ia berhasil
selamat hanya dengan melompat dari kuda dan berbaring rapat di tanah. Kedua pemuda Mormon
tersebut tidak memerlukan waktu lama untuk mengetahui alasan usaha-usaha pembunuhan mereka
ini. Mereka lalu memimpin ekspedisi-ekspedisi ke pegunungan untuk memusnahkan musuh
mereka, tapi selalu tidak berhasil. Akhirnya mereka menerapkan tindakan berjaga-jaga dengan tidak
pernah bepergian seorang diri di malam hari, dan melakukan pengawasan ketat terhadap kuda-kuda
mereka. Setelah beberapa waktu berlalu dan tidak terjadi apa-apa, mereka mulai mengendurkan
kewaspadaan. Mereka mengira waktu telah meredakan kemarahan musuh mereka.
Sebaliknya, waktu jusrru mengobarkan kebencian Hope. Sang pemburu bersifat keras,
pantang menyerah, dan gagasan membalas dendam telah menguasai dirinya sepenuhnya sehingga
92 tidak ada ruang untuk emosi-emosi lain. Tapi ia juga seorang yang praktis. Dengan cepat ia
menyadari bahwa tekad bajanya pun takkan mampu mengatasi tekanan yang terus-menerus
diterimanya. Kekhawatiran akan tertangkap dan kerinduan akan makanan yang layak telah
menguras tenaganya. Kalau ia tewas seperti anjing di pegunungan, bagaimana dengan rencana
pembalasannya" Kematian semacam itu akan menjemputnya jika ia bertahan di pegunungan, dan
justru itu yang diinginkan musuh-musuhnya. Maka dengan enggan Hope pun kembali ke tambang-tambang tua di Nevada, untuk memulihkan kesehatan dan mengumpulkan uang demi mengejar
tujuannya. Hope berniat untuk tinggal paling lama satu tahun di tambang, tapi karena berbagai situasi
yang tak terduga, ia akhirnya baru dapat pergi dari situ setelah hampir lima tahun. Meskipun
demikian, ingatannya akan musuh-musuhnya dan keinginannya untuk membalas dendam masih
sejernih di malam ketika ia berdiri di dekat makam John Ferrier. Dengan menyamar dan
menggunakan nama lain, ia kembali ke Salt Lake City, la tak peduli apa yang terjadi pada hidupnya
sendiri, sepanjang ia mampu menegakkan keadilan. Namun di Tanah Orang Suci itu ia menemui
hambatan lain. Beberapa bulan sebelumnya telah terjadi pemberontakan terhadap kewenangan para
Tetua, dan sejumlah orang muda yang tidak puas akhirnya meninggalkan Utah serta kepercayaan
Mormon mereka. Drebber dan Stangerson termasuk dalam kelompok itu, dan tak seorang pun tahu
ke mana mereka pergi. Menurut kabar yang tersiar, Drebber berhasil menjual sebagian besar
propertinya, dan ia melarikan diri sebagai orang kaya. Rekannya, Stangerson, relatif miskin. Tapi
tidak ada petunjuk sama sekali tentang keberadaan mereka.
Kebanyakan orang, betapapun murkanya mereka, akan melupakan keinginan membalas
dendam ketika menghadapi kesulitan seperti ini. Tapi Jefferson Hope tetap bergeming. Dengan
sedikit harta yang dimilikinya, yang didapatnya dari pekerjaan apa pun yang bisa dilakukannya, ia
berkelana dari satu kota ke kota yang lain di seluruh Amerika dalam usahanya melacak musuh-musuhnya. Tahun berganti tahun, rambut hitamnya mulai menjadi kelabu, tapi ia masih terus
berkelana, bagai anjing pemburu, dengan tekad bulat untuk satu tujuan. Akhirnya ketekunannya
terbayar. Hanya sebuah wajah yang sekilas terlihat di jendela, tapi kilasan tersebut memberitahunya
bahwa orang-orang yang diburunya ada di Cleveland, Ohio. Ia kembali ke penginapannya yang
kumuh dengan rencana pembalasan yang telah tersusun rapi. Tapi Drebber yang memandang ke luar
jendela, mengenali "gelandangan" yang mengawasinya dengan penuh dendam itu. Ia bergegas
menemui pihak berwenang dengan ditemani Stangerson yang telah menjadi sekretaris pribadinya,
dan mengaku bahwa dirinya terancam bahaya akibat kecemburuan serta kebencian seorang pesaing
93 lama. Malam itu juga Jefferson Hope ditangkap, dan karena tidak bisa memberikan jaminan, ia
ditahan selama beberapa minggu. Pada saat ia akhirnya dibebaskan, Hope mendapati rumah
Drebber telah kosong. Pria itu dan sekretarisnya telah berangkat ke Eropa.
Sekali lagi Hope menemui kegagalan, dan sekali lagi kebenciannya yang terpusat
mendesaknya untuk melanjutkan pengejaran. Tapi ia memerlukan dana, dan selama beberapa waktu
ia kembali bekerja, menabung setiap dolar yang diperolehnya untuk perjalanan yang akan
dilakukannya. Akhirnya, setelah mengumpulkan cukup banyak uang untuk bertahan hidup, ia
berangkat ke Eropa dan melacak musuh-musuhnya dari satu kota ke kota lain, tapi tidak pernah
berhasil menyusul mereka. Sewaktu ia tiba di St. Petersburg, mereka baru saja berangkat ke Paris;
dan sewaktu ia mengikuti mereka ke sana, mereka baru saja menuju Copenhagen. Di ibu kota
Denmark itu kembali ia terlambat beberapa hari, karena mereka telah pergi ke London. Dengan
gigih ia menyusul ke London, dan berhasil mendapatkan buruannya. Namun mengenai kejadian
selengkapnya, sebaiknya kita mendengarkan penuturan sang pemburu sendiri seperti yang dicatat
oleh Dr. Watson. 94 Bab 6 Lanjutan Catatan Harian Dr. John Watson
PERLAWANAN hebat yang dilakukan tawanan kami ketika hendak ditangkap tampaknya
tidak serta-merta membuat sikapnya juga brutal terhadap kami. Setelah menyadari dirinya tidak
berdaya, pria itu malah tersenyum sopan dan mengatakan semoga tak ada yang terluka di antara
kami. "Kurasa kau akan membawaku ke kantor polisi," katanya kepada Sherlock Holmes.
"Keretaku ada di bawah. Kalau kau melepaskan ikatan kakiku, aku bisa berjalan sendiri. Tubuhku
tidak seringan dulu."
Gregson dan Lestrade bertukar pandang, seakan-akan mereka menganggap permintaan ini
sangat lancang, tapi Holmes seketika mempercayai kata-kata tawanan tersebut dan melepaskan
handuk yang mengikat pergelangan kakinya. Pria itu lalu bangkit dan meregangkan kaki, sepertinya
ia ingin memastikan bahwa keduanya telah bebas lagi. Aku memperhatikannya dan berpikir, jarang
sekali aku melihat pria sekekar ini. Wajahnya yang cokelat akibat terbakar matahari memancarkan
ekspresi kebulatan tekad serta semangat yang sama tangguhnya dengan kekuatan fisiknya.
"Kalau ada lowongan untuk kepala polisi, kurasa kau orang yang tepat untuk mengisinya,"
ujar Jefferson Hope, menatap Holmes dengan kekaguman yang tidak ditutup-tutupi. "Caramu
mengikuti jejakku benar-benar hebat. Sangat hati-hati."
"Sebaiknya kalian ikut denganku," kata Holmes kepada kedua detektif.
"Aku bisa mengemudi," ujar Lestrade.
"Bagus! Gregson bisa menemaniku di dalam kereta. Kau juga, Dokter. Kau berminat pada
kasus ini, dan mungkin sebaiknya kau terus mengikutinya bersama kami."
Dengan senang hati kuterima tawaran temanku, dan kami semua turun bersama-sama.
Tawanan kami tidak berusaha melarikan diri, dengan tenang ia melangkah ke dalam keretanya dan
kami mengikutinya. Lestrade naik ke tempat kusir, melecut kuda-kuda, dan membawa kami ke
tujuan dalam waktu singkat. Di kantor polisi kami diantar ke sebuah ruangan kecil, dan seorang
inspektur mencatat nama serta alamat pria yang kami kenai tuduhan pembunuhan tersebut.
"Tersangka akan dihadapkan ke pengadilan dalam waktu seminggu," kata inspektur
berwajah kaku yang menjalankan tugasnya bagaikan mesin itu. "Nah, Mr. Jefferson Hope, ada yang
ingin Anda katakan" Harus saya peringatkan bahwa kata-kata Anda akan dicatat, dan mungkin
95 digunakan untuk memberatkan tuduhan terhadap Anda."
"Ada banyak yang ingin kukatakan," ujar Hope perlahan-lahan. "Aku ingin menceritakan
semuanya kepada kalian."
"Apa tidak lebih baik menunggu sidang"" tanya Inspektur.
"Aku mungkin tidak akan pernah disidang," j
awab Hope. "Kalian tidak perlu seterkejut itu.
Aku tidak berpikir untuk bunuh diri. Kau seorang dokter"" Ia mengalihkan tatapannya yang tajam
kepadaku saat mengajukan pertanyaan itu.
"Ya, benar," jawabku.
"Letakkan tanganmu di sini," katanya sambil tersenyum, memberi isyarat dengan tangan
terborgol ke dadanya. Kupenuhi permintaannya, dan seketika menyadari detak serta keributan hebat yang berlangsung di
dalamnya. Dinding-dinding dadanya bagai bergetar dan terguncang, sebagaimana bangunan rapuh
yang di dalamnya terdapat mesin yang kuat. Dalam kesunyian ruangan aku bisa mendengar
dengungan tertahan yang berasal dari sumber yang sama.
"Astaga!" seruku. "Kau menderita aneurisme aorta!"
"Itu istilah kedokterannya," kata Hope tenang. "Minggu lalu aku memeriksakan diri, dan
dokter memberitahukan bahwa jantungku akan pecah dalam beberapa hari. Selama bertahun-tahun
ini kondisinya semakin memburuk. Aku terkena penyakit ini karena terlalu lama berada di udara
terbuka dan kekurangan makan saat berkeliaran di Pegunungan Salt Lake. Tapi aku sudah
menyelesaikan pekerjaanku, dan aku tidak peduli seberapa cepat aku mati. Hanya, aku ingin orang-orang tahu apa yang telah kulakukan. Aku tidak ingin mereka mengingatku sebagai pembunuh
biasa." Inspektur dan kedua detektif segera mendiskusikan kemungkinan untuk mengizinkan Hope
menceritakan kisahnya. "Menurut Anda, Dokter, apa kondisi tersangka membahayakan"" tanya Inspektur.
"Hampir pasti begitu," jawabku.
"Kalau begitu, jelas sudah menjadi tugas kami untuk mendengarkan pernyataan tersangka,
demi tegaknya keadilan," ujar Inspektur. "Sir, silakan menceritakan kisah Anda, yang sekali lagi
saya peringatkan, akan dicatat."
"Aku minta izin untuk duduk," kata Hope sambil menjatuhkan diri ke kursi. "Penyakit ini
menyebabkan aku mudah lelah, apalagi setengah jam yang lalu kami baru bergumul mati-matian.
Aku sudah mendekati liang kubur, untuk apa lagi aku membohongi kalian" Percayalah bahwa setiap
96 kata yang kuucapkan merupakan kebenaran, dan bagaimana kalian menggunakan kesaksian ini,
sama sekali bukan masalah bagiku."
Jefferson Hope menyandar ke kursinya dan
memulai ceritanya. Ia berbicara dengan tenang dan
teratur, seakan-akan kejadian yang diceritakannya
adalah hal yang umum terjadi. Lestrade mencatat
setiap kata yang diucapkan Hope, dan aku
mengutipnya untuk para pembaca.
"Aku tak perlu menjelaskan panjang-lebar
kenapa aku membenci kedua pria itu," ujar Hope.
"Cukuplah kalau kalian mengetahui bahwa mereka
bertanggung jawab atas kematian dua orang ayah
dan putrinya dan bahwa mereka, oleh karena itu,
sudah mengakhiri hidup mereka sendiri. Setelah
sekian lama berlalu sejak kejahatan yang mereka
lakukan, mustahil bagiku untuk mengalahkan mereka
di pengadilan mana pun. Tapi aku tahu mereka
bersalah, dan aku telah membulatkan tekad untuk
menjadi hakim, juri, dan algojo sekaligus. Kalian pasti
juga akan berbuat begitu, kalau ada keberanian dalam diri kalian, dan kalian menjadi diriku.
"Gadis yang kubicarakan seharusnya menikah denganku dua puluh tahun yang lalu. Namun
dia dipaksa untuk menikah dengan Drebber, dan mati merana karenanya. Aku melepaskan cincin
kawin dari jarinya setelah dia meninggal, dan bersumpah cincin itu akan menjadi benda terakhir
yang dilihat Drebber sebelum mati. Bajingan itu harus tahu untuk apa dia dihukum, dan dia harus
mengingat kejahatannya saat mengembuskan napas terakhirnya. Kubawa cincin itu ke mana-mana,
dan mengikuti Drebber serta rekannya di dua benua hingga berhasil menyusul mereka. Mereka
mengira telah berhasil membuatku kelelahan dan menghentikan perburuanku, tapi mereka keliru
sama sekali. Jika aku meninggal besok, dan besar kemungkinannya begitu, aku akan meninggal
dengan tenang sebab tugasku di dunia sudah selesai. Kedua orang itu telah mati di tanganku. Tak
ada lagi yang kuinginkan atau kuharapkan dalam hidup.
"Mereka kaya sedang aku miskin, jadi bukan hal yang mudah bagiku untuk
mengikuti mereka. Sewaktu tiba di London aku hampir tidak memiliki uang lagi, sehingga aku harus bekerja
97 untuk menghidupi diriku. Mengemudikan kereta dan berkuda bagiku sama wajarnya seperti berjalan
kaki, maka aku pun melamar ke kantor pemilik taksi dan segera mendapat pekerjaan. Aku harus
menyetorkan sejumlah uang setiap minggu kepada pemilik kereta, dan sisa perolehanku tidak
banyak, tapi aku mampu bertahan hidup. Tugas yang paling sulit adalah mempelajari jalan-jalan
yang harus kulewati, karena dan semua labirin yang pernah diciptakan, menurutku kota ini yang
paling membingungkan. Tapi aku selalu membawa peta, dan sesudah mengetahui lokasi hotel-hotel
serta stasiun-stasiun utama, aku bisa bekerja dengan cukup baik.
"Aku memerlukan beberapa waktu sebelum menemukan tempat tinggal kedua buruanku,
tapi akhirnya aku mengetahui bahwa mereka tinggal di rumah kos di Camberwell. Begitu
mendapatkan alamat itu, yakinlah aku bahwa mereka telah jatuh ke tanganku. Aku sudah
memelihara janggut, dan tidak mungkin mereka bisa mengenaliku. Aku akan mengikuti mereka
hingga mendapat kesempatan. Aku telah membulatkan tekad untuk tidak membiarkan mereka lolos
lagi. "Ke mana pun mereka pergi di London, aku selalu mengikuti. Terkadang aku membuntuti
mereka dengan kereta, di lain waktu dengan berjalan kaki. Naik kereta sebenarnya lebih baik,
karena dengan begitu aku tak mungkin kehilangan jejak mereka. Aku hanya bisa menarik taksi pada
pagi-pagi sekali atau larut malam, jadi aku mulai menunggak kepada majikanku. Tapi aku tidak
memusingkan hal itu sebab yang terpenting bagiku adalah menghukum kedua penjahat itu.
"Tapi mereka sangat cerdik. Mereka pasti sudah memperhitungkan kemungkinan akan
diikuti, sehingga mereka tidak pernah keluar seorang diri, dan tidak pernah di malam hari. Selama
dua minggu aku mengikuti mereka, tak sekali pun kulihat mereka berpisah. Drebber sendiri lebih
sering mabuk daripada sadar, tapi Stangerson selalu waspada. Aku terus mengawasi mereka, namun
belum juga mendapat kesempatan. Meskipun demikian, aku tidak patah semangat. Aku yakin
waktunya hampir tiba. Satu-satunya ketakutanku adalah bahwa jantungku akan pecah sebelum
tugasku selesai. "Akhirnya, suatu malam ketika aku tengah menyusuri Torquay Terrace, kulihat sebuah taksi
berhenti di depan rumah kos mereka. Koper-koper dikeluarkan dan beberapa saat kemudian mereka
muncul, lalu pergi dengan taksi itu. Aku cepat-cepat membuntuti, khawatir mereka akan berpindah
tempat tinggal. Mereka ternyata turun di Stasiun Euston, dan kudengar mereka menanyakan kereta
ke Liverpool. Petugasnya menjawab bahwa kereta itu sudah berangkat, dan kereta berikutnya baru
akan berangkat beberapa jam lagi. Stangerson tampak kesal, sebaliknya Drebber justru kelihatan
senang. Aku berada begitu dekat dengan mereka dalam keramaian sehingga bisa mendengar setiap
98 kata yang mereka ucapkan. Drebber mengatakan, ada urusan yang harus diselesaikannya sendiri,
dan ia meminta akan kembali. Stangerson menolak, dan mengingatkan bahwa mereka sudah
berjanji untuk selalu bersama. Drebber menjawab bahwa urusannya sangat pribadi, dan ia harus
pergi sendiri. Aku tidak bisa mendengar balasan Stangerson, tapi Drebber lalu meledak marah dan
memaki-maki, mengingatkan Stangerson bahwa ia hanyalah pelayan bayaran dan tidak berhak
mengatur dirinya. Mendengar itu sang sekretaris menyerah, ia bersedia menunggu di stasiun, dan
seandainya mereka tertinggal kereta berikutnya, ia akan menunggu Drebber di Halliday's Private
Hotel. Drebber menjawab bahwa ia akan ada di peron sebelum pukul sebelas, kemudian ia
meninggalkan stasiun. "Saat yang telah lama kutunggu akhirnya tiba. Musuhku berada dalam kekuasaanku. Tapi
aku tidak bertindak tergesa-gesa. Rencanaku telah tersusun. Tidak ada kepuasan dalam membalas
dendam, jika sasaran kita tidak menyadari siapa yang membalas dendam padanya dan kenapa ia
mendapat pembalasan. Kebetulan, beberapa hari sebelumnya orang yang bertugas mengawasi
rumah-rumah kosong di Brixton Road menjatuhkan kunci salah satunya di keretaku. Kunci itu telah
diminta kembali pada malam harinya, tapi aku sempat membuat duplikatnya. Dengan cara itu aku
mendapat akses ke rumah kosong tersebut, tempat aku bisa menjalankan rencanaku dengan tenang.
Masalahnya adalah bagaimana cara membawa Drebber ke rumah itu.
"Nah, aku mengikuti Drebber yang berjalan kaki menyusuri jalan lalu masuk ke kedai
minuman. Dari sana ia pergi ke kedai lain dan tinggal selama sekitar setengah jam. Sewaktu keluar,
ia terhuyung-huyung dan jelas sangat mabuk. Ada sebuah kereta tepat di depanku, dan Drebber
memanggilnya. Kuikuti kereta itu rapat-rapat; kami melaju melintasi Jembatan Waterloo dan jalan-jalan lain hingga tiba di rumah kos Drebber. Aku tidak bisa membayangkan apa maksud Drebber
kembali ke sana, tapi aku tetap mengikutinya dan berhenti sekitar seratus meter dari rumah tersebut.
Drebber masuk ke rumah, dan keretanya melaju pergi. Tolong ambilkan air. Mulutku rasanya kering
berbicara terus-menerus."
Kuulurkan gelasnya dan ia menenggak habis isinya.
"Hm, sekarang lebih enak," katanya. "Aku menunggu sekitar seperempat jam, lalu tiba-tiba
kudengar keributan seperti ada orang berkelahi di dalam rumah. Kemudian pintu terbuka dan dua


Sherlock Holmes - Penelusuran Benang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pria muncul, salah satunya Drebber, sedangkan yang seorang lagi belum pernah kulihat. Pemuda ini
mencengkeram kerah Drebber, dan sewaktu mereka tiba di tangga depan ia mendorong Drebber
serta menendangnya, sehingga Drebber terhuyung-huyung ke seberang jalan. 'Anjing!' seru pemuda
itu sambil mengacung-acungkan tongkat. 'Akan kuhajar kau karena menghina gadis baik-baik!' Ia
99 begitu murka sehingga kukira Drebber akan dipukulnya dengan tongkat, tapi Drebber bergegas
kabur. Ia berlari ke tikungan jalan dan melihat keretaku. 'Antar aku ke Halliday's Private Hotel,'
katanya sambil melompat masuk.
"Aku sangat gembira karena masalahku terpecahkan. Drebber sudah berada dalam keretaku!
Kereta kujalankan perlahan-lahan, sambil aku mempertimbangkan tindakan terbaik yang bisa
kulakukan. Apakah sebaiknya aku membawanya ke rumah kosong sebagaimana rencana semula,
atau ke pedalaman dan melakukan pembicaraan terakhir kami di salah satu jalan yang sepi" Aku
hampir saja melakukan yang terakhir, sewaktu Drebber tiba-tiba minta diantar ke kedai minum. Ia
kembali bermabuk-mabukan hingga kedainya tutup. Sewaktu keluar, Drebber nyaris sudah tak
berdaya sehingga yakinlah aku bahwa dia tak mungkin lepas dari tanganku.
"Jangan membayangkan aku berniat membunuhnya dengan darah dingin, walau hal itu layak
baginya. Aku telah lama memutuskan untuk memberinya kesempatan hidup, jika ia berani
menerima tantanganku. Begini, di antara sekian banyak pekerjaan yang pernah kulakukan sewaktu
berkelana di Amerika, salah satunya adalah menjadi tukang sapu laboratorium di York Gollege.
Suatu hari dosennya mengajar tentang racun, dan ia menunjukkan sejumlah alkaloid - kepada para
mahasiswa. Racun tersebut berasal dari tumbuh-tumbuhan di Amerika Selatan, dan begitu kuat
sehingga sebutir yang paling kecil pun akan mendatangkan kematian seketika. Kuperhatikan di
mana sang dosen menyimpan botolnya, dan sesudah mereka semua pergi, kuambil sedikit isinya.
Aku cukup pandai mencampur bahan kimia, jadi kuolah alkaloid ini menjadi pil-pil kecil yang
mudah larut. Setiap pil kusimpan dalam kotak bersama pil lain yang mirip tapi tidak beracun. Pada
waktu itu aku mengambil keputusan bahwa jika saatnya tiba, aku akan memberi Drebber dan
Stangerson kesempatan memilih. Mereka masing-masing boleh mengambil sebutir pil dari setiap
kotak, sementara aku mengambil sisanya. Pil-pil itu cukup mematikan dan tidak seribut letusan
pistol yang diredam saputangan. Setelah bertahun-tahun membawa pil-pil itu ke mana-mana, kini
tiba saatnya mereka kugunakan.
"Jam sudah mendekati pukul satu, dan hujan turun deras sekali. Sekalipun di luar
keadaannya buruk, dalam hati aku merasa gembira begitu gembira sehingga aku ingin berteriak-teriak. Kalau ada di antara kalian yang pernah menginginkan sesuatu, dan harus menun
ggu dua puluh tahun untuk mendapatkannya, kalian pasti mengerti perasaanku. Aku menyulut cerutu dan
mengisapnya untuk menenangkan sarafku, tapi tanganku gemetar dan pelipisku berdenyut-denyut
saking tegangnya. Saat keretaku melaju, aku bisa melihat John Ferrier tua dan Lucy yang manis
mcmandangku dari kegelapan. Mereka tersenyum padaku... aku melihatnya dengan jelas seperti aku
100 melihat kalian semua di ruangan ini. Sepanjang jalan mereka ada di depanku, masing-masing di
kedua sisi kuda, hingga aku berhenti di depan rumah kosong di Brixton Road itu.
"Tidak terlihat seorang pun, juga tidak terdengar suara apa pun kecuali tetesan hujan.
Sewaktu menjenguk ke dalam kereta, kulihat Drebber sedang tidur meringkuk. Kuguncangkan
lengannya, 'Sudah tiba,' kataku. 'Baik,' katanya.
"Kurasa ia mengira kami sudah tiba di hotel yang tadi disebutkannya, karena ia turun tanpa
mengatakan apa-apa, dan mengikutiku melintasi taman. Aku harus memapahnya karena ia mabuk
berat. Sewaktu kami tiba di pintu rumah, kubuka pintunya dan kubimbing dia masuk ke ruang
depan. Percayalah, sepanjang jalan, John Ferrier dan putrinya berjalan di depan kami.
"'Gelap sekali,' kata Drebber sambil mengentakkan kaki.
"'Sebentar lagi terang,' kataku, sambil menyulut korek dan menyalakan lilin yang kubawa.
'Nah, Enoch Drebber,' lanjutku, berpaling kepadanya dan mengacungkan lilin ke depan wajahku,
'siapa aku"' "la menatapku dengan mata berkaca-kaca
karena mabuk, lalu kulihat kengerian memancar
di sana. Wajahnya berkedut-kedut ketika ia
mengenali diriku. Ia terhuyung-huyung mundur,
keringat dingin mengalir di keningnya, gigi-giginya bergemeletukan. Melihat itu aku
menyandar ke pintu dan tertawa terbahak-bahak.
Sejak dulu aku tahu pembalasan akan manis
rasanya, tapi aku tidak pernah mengharapkan
kepuasan jiwa seperti yang menguasaiku pada
saat itu. "'Kau anjing!' kataku. 'Aku memburumu dari
Salt Lake City sampai ke St. Petersburg, dan kau
selalu berhasil meloloskan diri. Sekarang akhirnya pelarianmu berakhir, karena salah satu dari kita
entah kau atau aku besok tidak akan melihat matahari lagi,' Ia menyurut semakin jauh saat aku
berbicara, ekspresinya menunjukkan bahwa ia menganggapku gila. Mungkin aku memang sudah
gila. Denyut di pelipisku rasanya seperti hantaman palu godam, dan aku yakin akan terserang ayan
kalau saja darah tidak menyembur keluar dari hidungku dan melegakan diriku.
"'Sekarang apa pendapatmu tentang Lucy Ferrier"' seruku, mengunci pintu dan
101 menggoyang-goyangkan anak kunci di depan wajahnya. 'Hukuman memang lambat datangnya, tapi
akhirnya tetap saja kau menjalaninya.' Kulihat bibir pengecutnya gemetar saat aku berbicara. Ia
pasti ingin mengemis-emis untuk diampuni, tapi ia tahu benar tindakan itu tidak ada gunanya.
"'Kau akan... membunuhku"' tanyanya terbata-bata.
"'Tidak akan ada pembunuhan!' jawabku. 'Siapa yang sudi membunuh anjing gila" Apakah
kau berbelas kasihan kepada kekasihku yang malang, sewaktu kau menyeretnya dari ayahnya yang
dibantai dan memaksanya menjadi anggota haremmu yang terkutuk"'
"'Bukan aku yang membunuh ayahnya!' serunya.
"'Tapi kau yang menghancurkan hatinya!' teriakku, sambil menyodorkan kotak pil ke
hadapannya. 'Biar Tuhan yang menjadi hakim di antara kita. Pilih salah satu dan makanlah. Yang
satu adalah kematian dan yang lain kehidupan. Akan kuambil apa yang tidak kaupilih. Kita lihat
apakah memang ada keadilan di dunia ini, atau manusia hidup karena kebetulan belaka.'
"Ia meringkuk sambil menjerit-jerit liar dan meminta-minta pengampunan, tapi kucabut
pisauku dan kutempelkan di lehernya hingga ia mematuhi perintahku. Ia mengambil sebutir pil dan
menelannya. Aku menelan pil yang lain, lalu kami berdiri berhadapan tanpa berkata-kata selama
satu menit, menunggu siapa yang hidup dan siapa yang mati. Bagaimana aku bisa melupakan
ekspresi wajahnya sewaktu tanda-tanda pertama memberitahunya bahwa ia telah keracunan" Aku
tertawa sewaktu melihatnya, dan mengacungkan cincin kawin Lucy di depan matanya. Hanya
sejenak, kar ena reaksi alkaloid sangat cepat. Ia mengernyit kesakitan, mengulurkan tangannya,
terhuyung-huyung, lalu jatuh berdebum ke lantai. Aku membaliknya dengan kakiku dan
menempelkan tanganku di dadanya. Tidak ada gerakan. Ia sudah tewas!
"Darah terus mengalir dari hidungku, tapi aku tidak memedulikannya. Entah mengapa, aku
lalu terpikir untuk menulis di dinding dengan darahku. Mungkin aku hanya iseng; aku ingin
bermain-main dengan polisi karena perasaanku sedang sangat gembira. Aku teringat kejadian di
New York, ketika mayat seorang Jerman ditemukan dengan kata RACHE ditulis di atasnya. Saat itu
koran-koran ramai berdebat bahwa pembunuhan ini pasti melibatkan organisasi rahasia. Kurasa apa
yang membingungkan orang New York pasti juga membingungkan orang London, jadi kucelupkan
jariku ke dalam darahku sendiri dan menuliskan kata RACHE di dinding. Lalu aku menuju keretaku
dan pergi dari situ. Aku telah melaju beberapa lama sewaktu kumasukkan tangan ke saku, tempat
aku biasa menyimpan cincin Lucy, dan mendapati cincin itu tidak ada. Mengira aku sudah
menjatuhkannya sewaktu membungkuk di atas mayat Drebber, aku berputar balik, dan
meninggalkan keretaku di jalan samping. Kuberanikan diri untuk kembali ke rumah itu... karena
102 aku lebih baik menghadapi apa pun daripada kehilangan cincin Lucy. Sewaktu tiba di taman, aku
bertemu dengan seorang polisi yang baru datang dari rumah itu, namun aku berhasil menghapus
kecurigaannya dengan berpura-pura mabuk.
"Begitulah bagaimana Enoch Drebber menemui ajalnya. Kini aku tinggal melakukan hal
yang sama terhadap Stangerson, agar utang nyawanya kepada John Ferrier terbayar. Aku sudah tahu
bahwa Stangerson menginap di Halliday's Private Hotel, maka aku berkeliaran di dekat tempat itu
sepanjang hari. Tapi Stangerson tidak keluar-keluar. Rupanya ia menduga telah terjadi sesuatu
sewaktu Drebber tidak muncul. Si Stangerson itu cerdik dan selalu waspada, tapi kalau ia mengira
bisa menghindariku dengan tetap berada di dalam, ia keliru. Tak lama kemudian aku sudah
mengetahui jendela kamar tidurnya, dan pagi-pagi keesokan harinya aku memasuki kamar itu
dengan bantuan tangga yang tergeletak di jalan di belakang hotel. Aku membangunkan Stangerson
dan memberirahunya bahwa sudah tiba saatnya ia mempertanggungjawabkan nyawa yang
dicabutnya dulu. Kujelaskan kematian Drebber kepadanya, dan kuberikan pilihan yang sama
dengan pil-pil beracun itu. Bukannya mengambil kesempatan yang kutawarkan, ia justru melompat
dari ranjang dan berusaha mencekik leherku. Untuk mempertahankan diri kutusuk dia di
janrungnya. Pada akhirnya sama saja, karena Yang Mahakuasa tidak akan membiarkan tangannya
yang bersalah untuk mengambil pil yang tidak beracun.
"Masih ada sedikit lagi yang harus kukatakan, dan sebaiknya kuungkapkan sekarang, karena
kurasa aku sudah sekarat. Aku terus melakukan pekerjaanku sebagai kusir kereta selama satu-dua
hari, dengan harapan aku bisa mengumpulkan uang cukup banyak untuk biaya perjalanan ke
Amerika. Aku sedang berdiri di halaman sewaktu seorang bocah lusuh mcnanyakan apakah ada
kusir yang bernama Jefferson Hope, katanya ia dipanggil seseorang di Baker Street 221B. Aku
berangkat tanpa merasa curiga, dan tahu-tahu, tuan muda ini memborgol tanganku. Begitulah
seluruh kisahku, Tuan-tuan. Kalian boleh menganggapku sebagai pembunuh, tapi aku tetap yakin
bahwa diriku hanyalah penegak keadilan, sama seperti kalian."
Begitu menegangkan kisah pria tersebut, dan sikapnya begitu mengesankan, sehingga kami
semua terdiam mengikuri penururannya. Bahkan para detektif profesional yang sudah biasa
menghadapi berbagai kasus kejahatan, tampak sangat tertarik dengan cerita pria ini. Sesudah ia
selesai, kami masih membisu selama beberapa menit. Kesunyian hanya dipecahkan oleh goresan
pensil Lestrade yang menyelesaikan catatannya.
"Hanya ada satu hal yang ingin kutanyakan," kata Holmes pada akhirnya. "Siapa temanmu
yang datang mengambil cincin yang kuikl
ankan"" 103 Jefferson Hope mengedipkan mata ke arah temanku dengan jenaka. "Aku bisa menceritakan
rahasiaku sendiri, rapi aku tidak mau menyulitkan orang lain. Aku melihat iklanmu, dan kupikir ini
mungkin jebakan, atau mungkin saja memang cincin yang kuinginkan. Temanku mengajukan diri
untuk memeriksanya. Kau harus mengakui bahwa dia melakukannya dengan sangat cerdik."
"Memang," aku Holmes jujur.
"Nah, Tuan-tuan," kata Inspektur dengan serius, "peraruran harus diparuhi. Pada hari Kamis
tersangka akan disidangkan, dan kehadiran kalian diperlukan. Sampai saat itu, saya yang
bertanggung jawab atas dirinya." Ia membunyikan bel sambil berbicara, dan Jefferson Hope dibawa
pergi oleh dua orang sipir. Aku dan Holmes pun keluar dari kantor polisi, lalu naik taksi ke Baker
Street. 104 Kesimpulan Kami semua telah diperingatkan untuk menghadiri sidang pada hari Kamis, tapi sewaktu
Kamis tiba, kami ternyata tidak perlu lagi memberikan kesaksian. Hakim yang Agung telah
mengambil alih kasus ini, dan Jefferson Hope telah dipanggil untuk menghadap sidang pengadilan
yang seadil-adilnya. Pada malam ia tertangkap, jantungnya pecah, dan ia ditemukan pagi harinya
dalam keadaan tak bernyawa. Ia berbaring di lantai sel dengan senyum damai di wajahnya, seakan-akan saat maut menjemputnya, ia mampu melihat kembali kehidupannya dan merasa hidupnya telah
berguna, pekerjaannya telah diselesaikan dengan baik.
"Gregson dan Lestrade akan mengamuk karena kematiannya," kata Holmes saat kami
membicarakan hal itu pada malam harinya. "Di mana iklan besar mereka sekarang""
"Mereka kan memang tak berperan dalam penangkapanJefferson Hope," ujarku.
"Apa pun yang kaulakukan di dunia ini tidaklah penting," tukas temanku dengan pahit.
"Yang penting, kau bisa membuat orang-orang percaya bahwa itu hasil pekerjaanmu! Tidak apa,"
lanjut Holmes dengan lebih ceria, setelah diam sejenak. "Aku sudah merasa beruntung dapat
menyelidiki kasus ini dan memecahkannya. Ini kasus terbaik yang pernah kutangani. Meskipun
sederhana, ada beberapa hal yang sangat instruktif dalam kasus ini."
"Sederhana!" semburku.
"Well, sulit untuk dikatakan lain," kata Holmes, tersenyum melihat keterkejutanku. "Bukti
bahwa kasus ini pada dasarnya sederhana adalah, tanpa bantuan apa pun kecuali beberapa deduksi
biasa, aku sudah bisa menangkap pelakunya dalam tiga hari."
"Itu benar," kataku.
"Aku pernah menjelaskan bahwa apa yang tidak biasa umumnya lebih merupakan panduan
daripada hambatan. Kunci pemecahan masalah seperti ini adalah berpikir mundur. Itu langkah yang
sangat berguna dan sangat mudah, tapi jarang dilakukan orang. Dalam kehidupan sehari-hari,
berpikir maju memang lebih praktis, karena itu cara berpikir yang lainnya dilupakan. Perbandingan
jumlah orang yang biasa berpikir sintetis dan orang yang berpikir analitis adalah lima puluh banding
satu." "Aku tidak mengerti maksudmu," kataku bingung.
"Sudah kuduga. Coba kuperjelas... Sebagian besar orang, jika mendengar rangkaian
peristiwa, pasti bisa mengatakan hasil akhirnya. Mereka menyatukan rangkaian kejadian itu dalam
105 benak mereka, dan menarik kesimpulan logis tentang akibat yang mungkin timbul. Tapi jika
situasinya terbalik, jika kita memberitahu mereka hasil akhirnya dan meminta mereka merunut
kejadian-kejadian sebelumnya, hanya sedikit orang yang mampu melakukannya. Itu yang kumaksud
dengan berpikir mundur atau berpikir analitis."
"Aku mengerti sekarang," kataku.
"Nah, dalam kasus Jefferson Hope ini, kita mendapatkan hasil akhirnya dan harus
menyimpulkan sendiri semua yang terjadi sebelumnya. Sekarang biar kujelaskan langkah-langkah
pemikiranku. Kita mulai dari awal sekali. Seperti kauketahui, aku mendekati rumah tempat
pembunuhan itu terjadi dengan berjalan kaki, pikiranku kukosongkan sama sekali dari kesan apa
pun. Sewajarnya aku mulai memeriksa dari jalan, dan di sana kudapati bekas jejak kereta yang
lewat malam sebelumnya. Aku menyimpulkan bahwa kereta itu taksi dan bukan kereta pribadi
berdasarkan sempitnya jarak antara roda. Kereta biasa di London umumnya lebih sempit
dibandingkan kereta pribadi orang kaya.
"Ini penemuan pertama. Lalu perlahan-lahan kususuri jalan setapak di taman, yang
kebetulan terbuat dari tanah liat, sangat sesuai untuk mencetak jejak. Tidak ragu lagi bagimu yang
terlihat hanyalah puluhan jejak yang tumpang tindih, tapi bagi mataku yang terlatih, setiap tanda
pada permukaan tanah memiliki arti tersendiri. Tidak ada cabang ilmu detektif yang begitu penting
dan begitu disia-siakan selain seni melacak jejak. Untungnya, selama ini aku selalu menekankan
bidang itu, dan karena aku banyak berlatih, melacak jejak telah menjadi kebiasaan yang mendarah
daging bagiku. Kembali ke jejak-jejak di taman. Aku melihat jejak-jejak berat petugas polisi, juga
jejak dua orang pria yang lebih dulu melintasi taman. Mudah sekali untuk menentukan bahwa jejak-jejak itu berada di sana sebelum yang lainnya, karena di beberapa tempat mereka menghilang
tertutup jejak lain di atasnya. Kini aku memiliki mata rantai kedua, yaitu bahwa pengunjung di
malam hari itu dua orang jumlahnya, satu sangat jangkung kuhitung dari lebar langkahnya dan
yang lain berpakaian bagus, menilai jejak sepatu botnya yang kecil serta anggun.
"Begitu memasuki rumah, aku mendaparkan konfirmasi penemuan kedua ini. Pria bersepatu
bot bagus tergeletak di depan mataku. Kalau begitu, pria yang jangkung adalah pembunuhnya, jika
ini memang pembunuhan. Tidak ada luka pada mayat, tapi ekspresi kengerian di wajahnya
meyakinkan diriku kalau ia telah mengetahui nasibnya sebelum tiba. Orang yang tewas akibat
serangan jantung atau sebab-sebab alamiah apa pun, tidak pernah menampakkan kengerian pada
wajahnya. Saat mengendus bibir mayat itu, aku mendeteksi bau yang agak masam, dan aku
menyimpulkan bahwa ia telah dipaksa menelan racun. Dari mana aku tahu ia dipaksa" Sekali dari
106 ekspresinya... ekspresi kebencian dan ketakutan. Jangan membayangkan bahwa ini ide yang sama
sekali baru. Meracuni dengan paksa pernah terjadi pada kasus Dolsky di Odessa dan kasus Leturier
di Montpellier. "Sekarang kita tiba pada pertanyaan besarnya. Mengapa" Apa motif pembunuhan ini"
Perampokan jelas bukan, karena tidak ada yang diambil. Mungkinkah politik atau wanita" Aku
cenderung memilih yang kedua. Pelaku pembunuhan politik biasanya ingin melakukan tugasnya
dengan secepat mungkin lalu melarikan diri. Pembunuhan ini, sebaliknya, dilakukan dengan tenang
dan terencana, pelakunya meninggalkan jejak di seluruh ruangan, menunjukkan bahwa ia cukup
lama berada di sana. Ya, pasti kesalahan pribadi, bukan kesalahan politik, yang mengakibatkan
pembalasan yang sedemikian terencana. Sewaktu tulisan di dinding ditemukan, aku semakin yakin
dengan pendapatku. Tulisan itu jelas pengalih perhatian. Dan sewaktu cincinnya ditemukan, tak ada
keraguan lagi dalam benakku. Aku berani memastikan bahwa sang pembunuh telah menggunakan
cincin itu untuk mengingatkan korban akan seorang wanita yang kemungkinan besar telah tewas.
Pada saat inilah aku bertanya kepada Gregson, apakah ia telah mengirim telegram ke Cleveland
unruk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu Mr. Drebber. Kauingat, Gregson
mengatakan tidak. "Lalu aku memeriksa ruangan, dan apa yang kutemukan di situ mengkonfirmasikan
pendapatku tentang tinggi badan pelaku, juga memberiku rincian tambahan, yaitu abu cerutu
Trichinopoly dan panjang kuku jarinya. Sebelumnya aku sudah menyimpulkan karena ridak ada
tanda-tanda perkelahian bahwa darah yang berceceran di lantai menyembur dari hidung pelaku
karena emosinya yang terlalu meluap. Jejak darah itu ternyata sesuai dengan jejak kakinya. Jarang
sekali ada orang yang sampai berdarah begini karena emosi, kecuali kalau ia berdarah panas, jadi
kuperkirakan penjahat ini bertubuh kekar dan berwajah kasar. Kejadian selanjutnya membuktikan
kebenaran penilaianku. "Setelah meninggalkan TKP aku melakukan apa yang enggan dikerjakan Gregson. Kukirim
telegram ke Kepolisian Cleveland, membatasi pertanyaanku hanya seputar s
ituasi yang berkaitan dengan pernikahan Enoch Drebber. Jawabannya cukup jelas. Aku diberitahu bahwa Drebber pernah
meminta perlindungan polisi karena ia dikejar-kejar oleh pesaing lamanya dalam urusan cinta.
Pesaing ini bernama Jefferson Hope, dan orang itu sekarang berada di Eropa. Nah, kini aku telah
mengetahui nama si pembunuh; masalahnya hanyalah, bagaimana aku bisa menangkapnya.
"Aku merasa yakin bahwa orang yang berjalan ke dalam rumah bersama Drebber tidak lain
adalah kusir keretanya. Tanda-tanda di jalan menunjukkan bahwa kudanya berkeliaran agak jauh,
107 berarti kuda itu tak ada yang menjaga. Kalau begitu, di mana kusirnya" Pasti di dalam rumah,
bukan" Lagi pula, tak ada orang yang akan melakukan pembunuhan di depan mata pihak ketiga,
yang jelas akan melaporkannya. Dan alasan terakhir... seandainya seseorang ingin menguntit orang
lain di London, cara apa yang lebih baik daripada menjadi kusir kereta" Semua pertimbangan itu


Sherlock Holmes - Penelusuran Benang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebabkan aku menarik kesimpulan bahwa Jefferson Hope bisa ditemukan di antara para kusir
kereta di London. "Aku percaya Hope masih melanjutkan pekerjaannya, meskipun ia sudah berhasil
melaksanakan misinya. Ia pasti tak mau menimbulkan kecurigaan dengan berhenti secara tiba-tiba.
Aku juga yakin ia tidak menggunakan nama palsu. Untuk apa ia mengganti namanya" Di
London ini tak seorang pun mengenalnya! Oleh karena itu kuorganisir satuan detektif jalananku,
dan mengirim mereka secara sistematis ke setiap pemilik taksi di London hingga mereka
menemukan orang yang kuinginkan. Betapa bagusnya keberhasilan mereka, dan betapa cepatnya
aku mengambil keuntungan dari hal itu, masih segar dalam ingatanmu. Pembunuhan Stangerson
merupakan kejadian yang tidak terduga dan hampir mustahil dicegah. Karena kematiannya, aku
mendapatkan pil-pil beracun yang keberadaannya sudah kuduga sebelumnya. Kaulihat, seluruh
kejadian ini hanyalah rangkaian-rangkaian logis yang bisa kita telusuri setapak demi setapak."
"Luar biasa!" seruku. "Keberhasilanmu seharusnya diketahui umum. Kau seharusnya
menulis buku tentang kasus ini. Kalau kau tidak mau, biar aku yang melakukannya."
"Silakan melakukan apa pun yang kauinginkan, Dokter," jawab Holmes. "Lihat ini!"
lanjutnya sambil mengulurkan koran kepadaku.
Koran tersebut Echo terbitan hari ini,
dan paragraf yang ditunjuk Holmes mengulas
kasus yang sedang kami bicarakan.
"Masyarakat," demikian bunyi artikel
tersebut, "kehilangan sensasi besar akibat
kematian Hope yang tiba-tiba. Hope adalah
tersangka dalam kasus pembunuhan Mr.
Enoch Drebber dan Mr. Joseph Srangerson.
Rincian kasus ini mungkin tidak akan pernah
diketahui, namun kami memperoleh
informasi dari sumber yang dapat dipercaya
bahwa pembunuhan ini ada hubungannya
108 dengan Mormonisme serta persaingan cinta. Tampaknya kedua korban, di masa mudanya,
merupakan anggora Latter Day Saints, dan Hope dikabarkan juga berasal dari Salt Lake City. Kasus
ini merupakan contoh nyata tentang kehebatan satuan detektif polisi kita dan pantas menjadi
pelajaran bagi semua orang asing. Mereka sebaiknya tidak membawa-bawa masalah ke tanah
Inggris; perseteruan di antara mereka hendaknya diselesaikan di negeri sendiri. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa penangkapan Hope sepenuhnya berkat kerja keras kedua detektif Scotland
Yard yang terkenal, yaitu Mr. Lestrade dan Mr. Gregson. Tersangka ditangkap di rumah Mr.
Sherlock Holmes, derektif amatir yang cukup berbakat dan memiliki kesempatan besar untuk maju
di bawah bimbingan kedua detektif profesional. Dalam waktu dekat Mr. Lestrade dan Mr. Gregson
akan memperoleh penghargaan atas prestasi mereka."
"Sudah kukatakan pada waktu kita mulai, bukan"" seru Holmes sambil tertawa. "Inilah hasil
Penelusuran Benang Merah kita... penghargaan untuk Lestrade dan Gregson!"
"Tidak apa-apa," hiburku. "Aku sudah mencatat semua faktanya dalam buku harianku, dan
kelak aku akan mempublikasikannya. Sementara itu, kau harus puas dengan mengetahui bahwa
kaulah yang berhasil, seperti kata orang
Romawi... 'Populus me sibilat, at mihi plaudo
Ipse domi simul ac nummos contemplar in arca."'
tamat Pendekar Negeri Tayli 4 Wiro Sableng 175 Sepasang Arwah Bisu Sang Penebus 11
^