Pencarian

Penelusuran Benang Merah 1

Sherlock Holmes - Penelusuran Benang Merah Bagian 1


Sir Arthur Conan Doyle Penelusuran Benang Merah Download Ebook Jar LAinnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
BAGIAN I SALINAN CATATAN HARIAN DOKTER JOHN H. WATSON, PENSIUNAN
DEPARTEMEN MEDIS ANGKATAN DARAT
Bab 1 Mr. Sherlock Holmes Pada tahun 1878 aku mendapatkan gelar dokter umum dari Universitas London, dan
melanjutkan ke Netley untuk mengikuti pendidikan ahli bedah khusus Angkatan Darat. Setelah
menyelesaikan pendidikanku, aku dimasukkan dalam resimen Northumberland Fusiliers Kelima
sebagai asisten ahli bedah. Resimen tersebut ditugaskan di India pada waktu itu, namun sebelum
aku sempat bergabung dengan mereka, perang Afghanistan kedua meletus. Ketika mendarat di
Bombay, aku mendapat kabar bahwa resimenku telah bergerak maju melewati perbatasan dan
tengah berada jauh di dalam negara musuh. Aku menyusul bersama banyak perwira lain yang
senasib denganku, dan berhasil tiba di Candahar dengan selamat. Di sana kutemukan resimenku,
dan seketika memulai tugas baruku.
Perang Afghanistan kedua mendatangkan penghargaan
dan promosi bagi banyak orang, tapi yang kuterima
malah kesialan dan bencana. Aku dipindahkan ke
resimen Berkshires dan berjuang bersama mereka dalam
pertempuran yang fatal di Maiwand. Aku tertembak
dalam pertempuran itu. Peluru Jezail mengenai bahuku
dan menembus sampai ke tulang serta arteri. Hampir
saja aku jatuh ke tangan para Ghazi yang gemar
membunuh, kalau bukan karena jasa mantriku, Murray.
Pemuda itulah yang dengan berani membawaku di atas
punggung kuda hingga tiba dengan selamat di wilayah
Inggris. Lelah karena penderitaan dan lemah akibat rasa sakit
yang mendera, aku dibebastugaskan. Bersama sekereta
api penuh para prajurit yang terluka, aku dikirim ke
rumah sakit pangkalan di Peshawar. Di sini aku berusaha
keras, dan berhasil berjalan mondar-mandir di bangsal bahkan agak memaksa sedikit hingga ke
beranda. Tapi musibah kembali menimpaku; aku terserang tifus, penyakit yang merupakan "oleh-oleh" dari India.
Selama berbulan-bulan aku berada dalam keadaan kritis, dan sewaktu aku akhirnya lolos
2 dari maut, kondisiku begitu lemah sehingga para dokter memutuskan untuk segera memulangkanku
ke Inggris. Tanpa menyia-nyiakan waktu sehari pun, aku diberangkatkan dengan kapal perang
Orontes, dan mendarat sebulan kemudian di dermaga Portsmouth. Kesehatanku tak mungkin pulih
lagi, tapi Pemerintah memberiku izin untuk berusaha meningkatkannya dalam waktu sembilan
bulan. Aku tidak memiliki kerabat di Inggris, jadi hidupku sebebas udara atau lebih tepatnya,
sebebas orang yang berpenghasilan sebelas shilling enam penny sehari. Dalam keadaan seperti itu,
jelas aku tertarik ke London, tempat berkumpulnya para pemalas dan penganggur. Selama beberapa
waktu aku tinggal di sebuah hotel di Strand, menjalani kehidupan yang tidak nyaman dan tidak
berarti, menghabiskan uang lebih boros dari yang seharusnya. Kondisi keuanganku jadi morat-marit, sehingga kemudian aku menyadari bahwa aku hanya punya dua pilihan: meninggalkan ibu
kota dan berkarat di suatu tempat di pedalaman, atau mengubah gaya hidupku secara total. Memilih
yang terakhir, aku membulatkan tekad untuk meninggalkan hotel dan mencari tempat lain yang
tidak semewah dan semahal hotel tersebut.
Tepat pada hari aku mengambil keputusan itulah aku bertemu dengan Stamford, mantri yang
bertugas memerban luka di bawah peng-wasanku di Rumah Sakit Barts. Stamford menepuk bahuku
ketika aku sedang berdiri di Bar Criterion. Kehadiran sebentuk wajah yang familier di belantara
London ini merupakan kejutan yang menyenangkan bagi pria kesepian seperti aku. Meskipun dulu
kami tak begitu akrab, sekarang aku menyapa Stamford dengan antusias. Pemuda itu pun tampak
senang bertemu denganku. Dalam kegembiraan yang meluap, kuajak Stamford makan siang di
Holborn, dan kami menuju ke sana dengan kereta kuda.
"Apa saja yang kaulakukan selama ini, Watson"" tanya Stamford saat kereta kami berderap
menyusuri jalan-jalan London yang ramai. "Kau tampak kurus dan cokelat sekali."
Kuceritakan secara singkat pengala
manku, dan belum lagi selesai sewaktu kami tiba di
tempat tujuan. "Malang sekali!" komentar Stamford setelah mendengar tentang musibah yang menimpaku.
"Sekarang apa rencanamu""
"Mencari tempat tinggal," jawabku. "Mencoba memecahkan masalah, apakah mungkin
mendapatkan kamar yang nyaman dengan harga layak."
"Aneh," kata Stamford, "kau orang kedua hari ini yang berkata begitu kepadaku."
"Siapa orang yang pertama"" tanyaku.
"Rekan kerjaku di laboratorium kimia di rumah sakit. Tadi pagi dia mengeluh karena tidak
3 bisa mendapatkan orang yang bersedia berbagi dengannya. Dia menemukan apartemen yang
nyaman, tapi biaya sewanya terlalu tinggi untuk ditanggung sendiri."
"Kebetulan sekali!" seruku. "Kalau dia benarbenar sedang mencari orang untuk berbagi
tempat tinggal dan biaya sewanya, akulah orang itu. Aku lebih suka tinggal bersama teman daripada
seorang diri." Stamford memandangku dengan ekspresi agak aneh dari balik gelas anggurnya. "Kau belum
mengenal Sherlock Holmes," katanya. "Mungkin kau tidak ingin ditemani dirinya setiap saat."
"Kenapa, ada apa dengannya""
"Oh, aku tidak mengatakan kalau ada apa-apa dengannya. Orangnya cukup baik, hanya saja
dia memiliki gagasan yang aneh-aneh. Dia menaruh perhatian besar terhadap beberapa cabang
sains." "Mahasiswa kedokteran, mungkin"" kataku.
"Tidak aku tidak tahu apa tujuan belajarnya. Dia mendalami anatomi dan sangat ahli di
bidang kimia, tapi sepanjang pengetahuanku, dia tidak pernah mengikuti pendidikan medis secara
sistematik. Cara belajarnya aneh dan tak berketentuan, namun dia berhasil mengumpulkan banyak
pengetahuan yang akan membuat para profesor terpana."
"Apa kau tak pernah bertanya, untuk apa dia mempelajari semua itu"" tanyaku.
"Tidak, sebab dia orang yang agak tertutup, meskipun dia bisa juga bicara panjang-lebar
kalau lagi mau." "Aku ingin bertemu dengannya," kataku. "Kalau aku harus berbagi tempat tinggal dengan
seseorang, aku lebih suka memilih orang yang senang belajar dan memiliki kebiasaan-kebiasaan
yang tenang. Aku belum cukup kuat untuk menghadapi keributan atau suara-suara keras. Selama di
Afghanistan kedua hal itu sudah terlalu banyak menderaku, sehingga rasanya aku tak ingin
menjumpainya lagi sepanjang sisa hidupku. Bagaimana aku bisa bertemu dengan temanmu ini""
"Dia jelas ada di laboratorium," sahut Stamford. "Orang itu memang aneh. Adakalanya dia
tidak muncul di laboratorium selama berminggu-minggu, tapi di saat lain dia bisa mendekam di
sana dari pagi sampai malam. Kalau kau suka, kita bisa ke sana bersama-sama sesudah makan
siang." "Ya, terima kasih," jawabku, dan percakapan pun beralih ke hal-hal lain..
Saat menuju rumah sakit setelah meninggalkan Holborn, Stamford kembali menyinggung
masalah Sherlock Holmes. "Jangan salahkan aku jika kau tak cocok dengan Sherlock Holmes," Stamford
4 memperingatkan. "Aku sendiri tidak begitu dekat dengannya. Kami hanya sesekali bertemu di
laboratorium. Kau yang mengatakan ingin berbagi tempat tinggal dengannya, jadi kelak jangan
menuntut pertanggungjawabanku."
"Kalau kami ternyata tidak cocok, kami kan bisa berpisah," tukasku. "Sebenarnya ada apa
sih, Stamford"" tanyaku sambil menatapnya tajam. "Temperamen orang ini begitu payah, atau ada
masalah lain" Ceritakan terus terang, jangan berbelit-belit!"
"Tak mudah untuk mengungkapkan apa yang tidak bisa diungkapkan," jawab Stamford
sambil tertawa. "Begini, bagiku Holmes itu terlalu ilmiah, bahkan cenderung berdarah dingin. Bisa
kubayangkan dia memberikan alkaloid tumbuhan terbaru kepada teman serumahnya, bukan karena
niat jahat, tapi sekadar karena ingin tahu pengaruhnya. Supaya adil, aku harus mengatakan bahwa
Holmes pun akan mengkonsumsi zat itu dengan kesiapan yang sama. Dia tampaknya begitu
bernafsu untuk memperoleh pengetahuan yang jelas dan eksak."
"Memang seharusnya begitu."
"Ya, tapi mungkin Holmes sudah terlalu berlebihan. Bayangkan saja, dia pernah memukuli
mayat-mayat di kamar bedah dengan tongkat!"
"Memukuli mayat!"
"Ya, untuk melihat apakah memar masih akan timbul setelah kemat
ian. Aku menyaksikan perbuatan Holmes itu dengan mata kepalaku sendiri."
"Dan kau mengatakan dia bukan mahasiswa kedokteran""
"Ya. Hanya Tuhan yang tahu apa tujuannya mempelajari semua itu. Tapi kita sudah tiba, dan
kau bisa menentukan sendiri bagaimana kesanmu tentang dia."
Saat Stamford berbicara, kereta kami berbelok ke sebuah jalan sempit dan melewati pintu
samping kecil menuju salah satu sayap rumah sakit besar itu. Tempat ini telah kukenal, dan aku
tidak memerlukan pemandu untuk berjalan menaiki tangga batu lalu menelusuri koridor panjang
berdinding putih dengan pintu-pintu cokelat pasir di kanan-kirinya. Di dekat ujung koridor itu aku
membelok ke lorong melengkung beratap rendah tempat laboratorium kimia terletak.
Laboratorium itu penuh sesak oleh botol, baik yang berjajar rapi maupun yang tergeletak
sembarangan. Meja-meja rendah dan lebar "bertebaran", dipenuhi oleh tabung uji serta lampu-lampu Bunsen kecil dengan api biru yang menari-nari. Hanya ada satu orang di dalam ruangan
tersebut; ia tengah membungkuk di meja seakan-akan tenggelam dalam pekerjaannya. Mendengar
suara langkah kami, orang itu berpaling, dan menegakkan tubuh sambil berteriak gembira.
"Sudah kutemukan! Sudah kutemukan!" teriaknya kepada temanku, sambil berlari
5 mendekati kami dengan membawa sebuah tabung uji. "Aku sudah menemukan reagen yang hanya
bereaksi oleh haemoglobin dan tidak oleh zat lain."
Andaipun yang ditemukannya tambang emas,
barangkali kegembiraan yang terpancar di wajah orang itu
tak lebih hebat daripada sekarang.
"Dr. Watson, Mr. Sherlock Holmes," Stamford
memperkenalkan kami berdua.
"Apa kabar"" sapa Holmes riang, menjabat
tanganku kuat-kuat. "Kau baru datang dari Afghanistan,
ya." "Dari mana kau tahu"" tanyaku terkejut.
"Itu tidak penting," tukasnya, tergelak sendiri.
"Yang lebih penting adalah penemuan tentang
haemoglobin ini. Kau tentu memahami artinya bagi umat
manusia, bukan""
"Memang menarik, dalam bidang kimia," jawabku,
"tapi aku tak melihat kegunaannya dalam hidup sehari-ha..."
"Ya ampun! Masa kau tak mengerti" Ini penemuan legal-medis paling praktis yang pernah
ada. Dengan reagen ini, kita bisa memastikan apakah sebuah noda itu berasal dari darah atau bukan.
Kemarilah!" Holmes menarik kerah mantelku dengan penuh semangat dan menghelaku ke meja
kerjanya. "Kita membutuhkan darah segar," katanya sambil menusukkan sebatang jarum panjang ke
jarinya. Diisapnya darah yang keluar dengan pipet. "Sekarang, kumasukkan beberapa tetes darah ini
ke dalam satu liter air. Campuran yang dihasilkan tampak seperti air murni. Proporsi darahnya tidak
mungkin lebih dari satu dalam sejuta. Tapi aku tidak ragu bahwa kita akan mendapatkan reaksi
karakteristiknya." Sambil bicara, Holmes melemparkan beberapa butir kristal putih ke dalam air, lalu
menambahkan beberapa tetes cairan tembus pandang. Seketika airnya berubah menjadi cokelat
keruh, dan butir-butir debu kecokelatan mengumpul di bagian bawah stoples kaca tersebut.
"Ha! Ha!" teriak Holmes sambil bertepuk tangan, tampak sama gembiranya dengan anak
kecil yang mendapatkan mainan baru. "Bagai-mana pendapatmu""
6 "Tes ini tampaknya cukup ampuh," kataku.
"Bagus! Bagus! Tes guaiacum yang lama sangat kacau dan tidak pasti. Begitu pula dengan
pemeriksaan mikroskopis sel-sel darah. Pemeriksaan mikroskopis tidak ada gunanya kalau
darahnya sudah berusia beberapa jam, sedang tesku ini tampaknya berfungsi dengan baik entah
darahnya masih baru atau sudah lama. Seandainya tes ini diciptakan sejak dulu, ratusan orang yang
sekarang berkeliaran bebas pasti sudah mendapat hukuman atas kejahatan mereka."
"Oh ya"" gumamku.
"Pembuktian kasus-kasus kejahatan kan selalu bergantung pada satu hal: apakah pada
tersangka ditemukan darah korban. Padahal, seseorang mungkin baru disangka melakukan
pembunuhan setelah pembunuhan itu lewat berbulan-bulan.
Celana atau kemeja tersangka diperiksa, dan ditemukan ada noda kecokelatan di sana. Tapi
apakah itu noda darah, lumpur, karat, buah-
buahan, atau apa" Pertanyaan ini membingungkan
banyak pakar kau tahu apa sebabnya" Karena tidak ada tes yang bisa dipercaya. Sekarang kita
memiliki Tes Sherlock Holmes, dan tidak akan ada kesulitan lagi."
Mata pria itu berkilau-kilau saat ia berbicara, dan ia meletakkan tangan di dada sambil
membungkuk seakan-akan memberi hormat kepada orang-orang yang memberi aplaus kepadanya.
"Kau memang layak diberi ucapan selamat," kataku, agak terkejut melihat antusiasmenya.
"Tahun lalu ada kasus Von Bischoff di Frankfurt. Dia pasti sudah digantung seandainya tes
ini sudah ditemukan. Lalu ada kasus Mason dari Bradford, Lefevre dari Montpellier, Samson dari
New Orleans, dan Muller si penjahat kambuhan. Aku bisa menyebutkan berpuluh-puluh kasus yang
seharusnya sudah terpecahkan."
"Kau seperti kalender kasus kejahatan saja," kata Stamford tertawa. "Mestinya kau
menerbitkan koran yang isinya semua kasus kejahatan. 'Kumpulan Kasus Seru'... mungkin begitu
judul-nya." "Pasti menjadi bacaan yang sangat menarik," kata Holmes sambil menempelkan plester ke
luka tusukan di jarinya. "Aku harus hati-hati," jelasnya, berpaling kepadaku dan tersenyum, "karena
aku sering berurusan dengan racun."
Ia memperlihatkan tangannya yang dipenuhi potongan-potongan kecil plester. Kulihat
kulitnya di sana-sini berubah warna akibat terkena asam yang kuat.
"Kami datang kemari karena ada urusan," kata Stamford, duduk di kursi bulat berkaki tiga
dan mendorong kursi yang satu lagi ke arahku. "Temanku ini perlu tempat tinggal, sementara kau
sedang mencari orang untuk diajak berbagi. Kurasa kalian berdua bisa saling membantu."
7 Sherlock Holmes tampak senang mendengar ide itu. "Aku sudah menemukan apartemen
yang tampaknya cocok untuk kita berdua," kata Holmes padaku. "Letaknya di Baker Street. Kau
tidak keberatan dengan bau tembakau yang keras, kuharap""
"Aku sendiri selalu mengisap cerutu," kataku.
"Bagus. Aku biasanya membawa bahan kimia, dan sesekali mengadakan percobaan. Apa itu
mengganggumu"" "Sama sekali tidak."
"Hmm... apa keburukanku yang lain" Aku terkadang tenggelam dalam pemikiranku, dan
tidak membuka mulut sampai berhari-hari. Jangan menganggapku marah kalau aku berbuat begitu,
dan yang penting, jangan menggangguku.
Tak lama kemudian aku pasti akan pulih. Nah, ada yang ingin kauakui" Rasanya paling baik
kalau dua orang saling mengetahui keburukan masing-masing sebelum mereka mulai hidup
bersama." Aku tertawa karena pemeriksaan silang ini. "Aku tidak tahan menghadapi keributan,"
ujarku. "Aku perlu ketenangan karena sarafku sedang terguncang. Aku sering terjaga pada jam-jam
yang tidak biasa, dan aku malas luar biasa. Ada beberapa hal lain yang kulakukan dalam keadaan
sehat, tapi untuk sekarang ini, kurasa itu sudah cukup."
"Apa menurutmu bermain biola termasuk keributan"" tanya Holmes ingin tahu.
"Tergantung siapa yang memainkan. Biola yang dimainkan dengan baik merupakan hiburan
bagi para dewa, tapi permainan yang buruk..."
"Oh, beres kalau begitu," seru Holmes sambil tertawa riang. "Kurasa kita sudah mencapai
kesepakatan... tentu saja, jika apartemennya sesuai dengan keinginanmu."
"Kapan kita bisa melihatnya""
"Temui aku di sini tengah hari besok. Kita ke sana bersama-sama untuk membereskan
segalanya." "Baiklah," kataku sambil menjabat tangannya. "Tengah hari besok."
Aku dan Stamford berjalan bersama-sama kem bali ke hotelku, meninggalkan Holmes yang
melanjutkan pekerjaannya di laboratorium.
"Omong-omong," kataku tiba-tiba, berhenti dan berbalik menghadap Stamford, "dari mana
dia tahu bahwa aku datang dari Afghanistan""
Stamford melempar senyum pehuh teka-teki. "Itulah salah satu keanehan Sherlock Holmes.
Banyak orang ingin tahu bagaimana dia bisa mengetahui hal-hal seperti itu."
8 "Oh, jadi dia orang yang misterius, ya"" seruku sambil menggosok-gosokkan tangan.
"Menarik sekali. Aku sangat berterima kasih kau sudah mempertemukan kami. 'Objek yang paling
tepat dalam studi kemanusiaan adalah manusia itu sendiri,"' kukutip kata-kata orang bijak itu.
"Kalau begitu, kau harus mempelajari Sherlock Holmes," kata Stamford saat kami akan
berpisah. "Tapi kurasa kau akan menemui kesulitan. Berani taruhan, dia akan lebih banyak
mempelajari dirimu daripada kau mempelajari dirinya. Sampai ketemu lagi, Watson."
"Sampai jumpa," jawabku, melangkah masuk ke hotelku sambil masih memikirkan kenalan
baruku. 9 Bab 2

Sherlock Holmes - Penelusuran Benang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ilmu Deduksi Aku dan Sherlock Holmes bertemu keesokan harinya sesuai perjanjian. Bersama-sama kami
pergi ke Baker Street No. 22IB dan memeriksa apartemen yang dibicarakannya kemarin. Apartemen
itu terdiri atas dua kamar tidur yang nyaman dan sebuah ruang duduk yang lapang dengan
perabotan lengkap serta ventilasi baik. Penerangannya juga bagus karena cahaya masuk dengan
bebas dari dua jendela besar yang ada di sana. Apartemen tersebut begitu menarik dalam segala hal,
harganya juga cukup murah bila ditanggung kami berdua, sehingga saat itu juga kami memutuskan
untuk menyewanya. Uang sewa diserahkan kepada pemilik apartemen, surat-surat ditandatangani,
dan resmllah apartemen itu menjadi tempat tinggal kami.
Malam itu juga aku memindahkan barang-barangku dari hotel, dan keesokan paginya
Sherlock Holmes mengikuti langkahku dengan membawa beberapa kotak dan koper. Selama satu-dua hari kami sibuk membongkar serta me-nata barang-barang kami, setelah itu barulah kami
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru kami.
Holmes ternyata bukan orang yang sulit untuk diajak hidup bersama. Ia tak pernah membuat
keributafi dan hidupnya cukup teratur. Sebelum pukul sepuluh ia sudah tidur, dan kebanyakan sudah
sarapan serta pergi ke iuar pada saat aku bangun. Holmes menghabiskan waktu sepanjang hari di
laboratorium kimia dan terkadang di kamar bedah. Sesekali ia berjalan-jalan lama, kelihatannya ke
kawasan terkumuh kota. Tak ada apa pun yang bisa mengalahkan energinya pada saat semangat kerja menguasainya,
tapi di lain waktu ia hanya berbaring di sofa ruang duduk, hampir tanpa mengatakan apa-apa, sama
sekali tak bergerak dari pagi hingga malam. Pandangan matanya kosong seperti orang yang
kecanduan narkotik, tapi aku tahu itu tak mungkin sebab hidupnya selama ini sama sekali tak
menunjukkan gejala ke arah itu.
Beberapa minggu berlalu, aku makin penasaran. Apa sebenarnya tujuan hidup Sherlock
Holmes" Pertanyaan ini terus mengusikku. Holmes memiliki kepribadian serta penampilan yang
pasti akan menarik minat siapa pun. Ia bertubuh jangkung, tingginya lebih dari 180 sentimeter, dan
begitu kurus hingga tampak lebih jangkung. Matanya tajam menusuk, kecuali ketika sedang
melamun, dan hidungnya yang runcing bagai paruh rajawali menyebabkan seluruh ekspresinya
terkesan waspada dan mantap. Dagunya kokoh.dan berbentuk segi empat, menandakan ia orang
yang bertekad kuat. Tangannya sering kali ternoda tinta serta bahan kimia, namun sentuhannya
10 begitu halus, sebagaimana kusaksikan saat ia memainkan biolanya.
Pembaca mungkin menganggapku orang yang usil luar biasa, kalau kuakui betapa Sherlock
Holmes telah merangsang rasa ingin tahuku, dan betapa inginnya aku memecahkan misteri yang
menyelubungi dirinya. Namun sebelum memberikan penilaian, Anda harus ingat bahwa saat itu aku
sedang menganggur dan tak ada hal lain yang menarik perhatianku. Kondisi kesehatanku
menyebabkan aku tak bisa keluar ru-mah kecuali ketika cuaca sangat cerah, padahal aku tidak
memiliki teman yang bisa mengunjungiku dan mematahkan rutinitas kehidupanku. Dalam situasi
seperti ini, dengan penuh semangat aku menyambut misteri kecil yang ada di ha-dapanku dan
berusaha mengungkapkannya.
Holmes bukan mahasiswa kedokteran. Ini diakuinya sendiri ketika kutanya. Ia juga tidak
terlihat memburu bacaan apa pun yang memungkinkannya untuk mendapatkan gelar di bidang sains
atau bidang lainnya. Sekalipun begitu, ada hal-hal tertentu yang dengan tekun dipelajarinya, dan
dalam batasan-batasan eksentrik pengetahuannya luar biasa banyak dan pengamatannya begitu rinci
sehingga aku tertegun. Jelas tidak ada orang yang mau bekerja begitu kera
s atau memperoleh informasi setepat itu tanpa tujuan yang nyata. Orang yang membaca hanya untuk iseng pasti hanya
memperoleh pengetahuan se-kadarnya, berbeda dengan Holmes yang mau membebani benaknya
sampai ke hal-hal kecil. Anehnya, pengetahuan. Holmes yang begitu luar biasa diimbangi dengan ketidaktahuan
yang sama besar di bidang lain. Holmes sama sekali tak tahu apa-apa tentang karya-karya sastra
kon-temporer, filosofi, dan politik. Saat aku mengutip pendapat Thomas Carlyle, dengan naif
Holmes bertanya siapa orang itu dan kejahatan apa yang dilakukannya. Keherananku mencapai
puncak sewaktu tanpa sengaja kuketahui bahwa Holmes tidak mengerti Teori Copernicus dan
komposisi Tata Surya. Bahwa ada manusia beradab di abad kesembilan belas ini yang tidak
menyadari bahwa bumi mengitari matahari, bagiku merupakan fakta yang begitu luar biasa hingga
aku hampir-hampir tidak mempercayainya.
"Kau kaget, ya," kata Holmes, tersenyum melihat ekspresi wajahku. "Sekarang aku sudah
tahu teori-teori itu, tapi aku hams berusaha sebaik-baiknya untuk melupakannya."
"Melupakannya!"
"Begini," katanya menjelaskan, "otak manusia pada awalnya sama seperti loteng kecil yang
kosong, dan kau harus mengisinya dengan perabot yang sesuai dengan pilihanmu. Orang bodoh
mengambil semua informasi yang ditemuinya, sehingga pengetahuan yang mungkin berguna
baginya terjepit di tengah-tengah atau tercampur dengan hal-hal lain. Orang bijak sebaliknya.
11 Dengan hati-hati ia memilih apa yang dimasukkannya ke dalam loteng-otaknya. Ia tidak akan
memasukkan apa pun kecuali peralatan yang akan membantunya dalam melakukan pekerjaannya,
sebab peralatan ini saja sudah sangat banyak. Semuanya itu diatur rapi dalam loteng-otaknya
sehingga ketika diperlukan, ia dapat dengan mudah menemukannya. Keliru kalau kaupikir loteng-otak kita memiliki dinding-dinding yang bisa membesar. Untuk setiap pengetahuan yang
kaumasukan, ada sesuatu yang sudah kauketahui yang terpaksa kaulupakan. Oleh karena itu penting
sekali untuk tidak membiarkan fakta yang tidak berguna menyingkirkan fakta yang berguna."
"Tapi Tata Surya!" kataku memprotes.
"Apa gunanya bagiku"" tukas Holmes tak sabar. "Kalaupun bumi bergerak mengitari bulan,
itu tidak akan mempengaruhi pekerjaanku!"
Aku hampir saja menanyakan apa pekerjaannya, tapi sesuatu dalam sikapnya menunjukkan
bahwa itu bukan saat yang tepat. Aku hanya bisa mengingat-ingat percakapan singkat kami dan
berusaha keras menarik kesimpulan dari percakapan tersebut.
Holmes mengatakan bahwa ia tak mau me-nyimpan pengetahuan yang tidak berhubungan
dengan pekerjaannya. Oleh karena itu, semua pengetahuan yang dimilikinya sekarang
pastilahberguna baginya. Aku mencoba membuat daftar hal-hal yang diketahui Holmes, dan tak bisa
menahan senyum ketika melihat hasilnya. Dalam catatanku tertulis:
Sherlock Holmes kelebihan dan kekurangannya
1. Pengetahuan tentang Sastra Nol.
2. Pengetahuan tentang Filsafat Nol.
3. Pengetahuan tentang Astronomi Nol.
4. Pengetahuan tentang Politik Rendah.
5. Pengetahuan tentang Botani Bervariasi. Sangat memahami belladonna, opium, dan racun-racun secara umum. Tidak tahu apa-apa tentang praktek berkebun.
6. Pengetahuan tentang Geologi Praktis tapi terbatas. Mampu membedakan tanah dengan
sekali pandang. Sesudah berjalan-jalan dia pernah menunjukkan noda-noda cipratan tanah
pada celana panjangnya. Dari warna dan konsistensinya, dia tahu dari daerah mana tanah itu
berasal. 7. Pengetahuan tentang Kimia Menonjol.
8. Anatomi Akurat tapi kurang sistematis.
9. Pengetahuan tentang Berita-berita Menghebohkan Sangat banyak. Dia tampaknya tahu
secara rinci semua tindak kejahatan yang terjadi pada abad ini.
12 10.Bermain biola dengan baik.
11.Sangat pandai dalam bela diri satu tongkat, tinju, dan pedang.
12.Memiliki pengetahuan praktis tentang Hukum Inggris.
Begitu catatanku sampai sejauh ini, namun setelah membacanya kembali, aku masih belum
dapat menyimpulkan benang merah yang ada di antara semua itu. "Kalau saja aku bisa mengetahui,
apa tujuan Holmes mempelajari semua ini... Bidang apa yan
g memerlukan kemahiran-kemahiran
ini"" aku bertanya pada diriku sendiri. "Aku menyerah!" Dengan putus asa kulemparkan catatan itu
ke dalam api. Oh ya, tadi aku sudah mengatakan bahwa
Holmes pandai bermain biola. Tapi aku belum
menjelaskan bahwa seperti kelebihan-kelebihannya
yang lain, urusan bermain biola ini juga
menunjukkan keeksentrikan Holmes. Bahwa ia bisa
memainkan lagu-lagu yang sulit dan indah, aku tak
meragukannya, karena memenuhi permintaanku ia
pernah memainkan Lieder karya Mendelssohn dan
karya-karya komponis besar lainnya. Namun di
waktu-waktu selebihnya, Holmes kebanyakan
menggesek biolanya secara sembarangan.
Terkadang nadanya melankolis, sesekali ceria dan
penuh semangat. Jelas bahwa nada-nada tersebut
merefleksikan suasana hatinya, tapi entah musik
tersebut membantu pemikirannya, atau ia bermain
sekadar iseng, aku tak dapat memastikannya. Aku-mungkin akan memprotes permainan solo yang
mengesalkan itu, seandainya ia tidak mengkompensasikannya dengan serangkaian musik
kesukaanku sebagai penutup.
Kembali kepada kehidupan kami bersama. Selama minggu pertama kami tinggal di Baker
Street, tak ada seorang tamu pun yang datang berkunjung. Aku mulai berpikir bahwa teman
seapartemenku ini tidak berkawan, sebagaimana aku sendiri. Tapi kemudian kudapati bahwa
Holmes ternyata mempunyai banyak kenalan, dari berbagai kelas dan golongan dalam masyarakat.
Ada pria kecil berwajah runcing bernama Mr. Lestrade yang datang tiga-empat kali seminggu. Ada
pula gadis berpakaian keren yang muncul pada suatu pagi dan bertamu di apartemen kami selama
13 sekitar setengah jam. Pada hari yang sama datang seorang pria berambut ubanan, mirip pedagang
Yahudi, diikuti oleh seorang wanita tua. Dari bangsawan sampai portir, semua pernah mampir di
apartemen kami. Bilamana orang-orang ini datang, Holmes rasanya meminta izin untuk menggunakan ruang
duduk, dan aku akan diam di kamar tidurku.
"Aku harus menggunakan tempat ini sebagai kantor," jelas Holmes. "Orang-orang itu adalah
klienku." Sekali lagi aku mendapat kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, namun sopan santun
menghalangiku untuk memaksa orang mempercakan rahasianya kepadaku. Holmes pastilah
memiliki alasan kuat untuk tidak membicarakan pekerjaannya.
Tapi beberapa waktu kemudian, ia sendiri yang meyinggung masalah itu. Aku ingat ketika
itu tanggal 4 Maret, aku bangun lebih awal dari biasa dan mendapati Holmes sedang sarapan.
Sarapanku sendiri belum tersedia, karena induk semangku tahu aku biasa makan agak siang.
Dengan jengkel meskipun perasaan itu sebenarnya tak beralasan aku membunyikan bel dan
memberitahukan bahwa aku telah siap. Sambil menunggu, aku meraih majalah yang ada di meja
dan mulai membalik-baliknya, sementara Holmes dengan tenang menikmati roti bakarnya. Salah
satu artikel dalam majalah tersebut judulnya ditandai dengan pensil, maka wajarlah kalau aku pun
membacanya. Judulnya cukup hebat... "Buku Kehidupan". Artikel tersebut berusaha meyakinkan pembaca
bahwa seseorang bisa mendapatkan banyak informasi jika ia mau mengadakan pengamatan yang
cermat dan sistematis. Menurutku, tulisan itu terlalu mengada-ada dan konyol. Argumen-argumennya cukup kuat, tapi deduksi-deduksinya terlalu berlebihan dan ngawur. Sang penulis
mengklaim bahwa dari ekspresi sesaat, sentakan otot, atau lirikan mata, ia bisa mengetahui pikiran
seseorang. Kesimpulannya tak mungkin salah, sebab ia sudah terlatih untuk mengamati dan
menganalisis. Orang awam mungkin akan menganggapnya paranormal, padahal semua itu
merupakan hasil penalaran yang logis.
"Dari setetes air," penulis memberi contoh, "seseorang yang mengandalkan logikanya bisa
menentukan apakah air tersebut berasal dari Samudra Atlantik atau Air Terjun Niagara, meskipun ia
belum pernah melihat kedua tempat itu. Jadi, seluruh kehidupan dapat diumpamakan sebagai
sebuah rantai besar, yang sifat-sifatnya dapat dikenali bila kita memperoleh mata rantainya. Seperti
semua ilmu lain, kemahiran Deduksi dan Analisis hanya bisa diperoleh dengan belajar dalam waktu
yang lama dan dengan penuh kesabaran. Sayangnya, hidup manusia tak cukup panjang untuk
14 memungkinkan siapa pun mencapai kesempurnaan dalam bidang ini. Nah, sebelum Anda mencoba
membaca pikiran orang seperti yang disebutkan di atas, sebaiknya Anda mempelajari hal-hal yang
lebih mendasar. Saat beremu seseorang, cobalah untuk menebak asal-usul serta profesinya dari
pengamatan sekilas. Sekalipun tampak sepele, latihan ini mempertajam pengamatan, dan mengajar
Anda untuk mengetahui hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan. Profesi seseorang, misalnya, dapat
dilihat dari kuku-kuku tangannya serta halus tidaknya jempol dan jari telunjuknya, juga dari kerah
mantel, sepatu bot, dan lutut celana panjang yang dikenakannya. Mustahil kalau setelah
menggabungkan semua itu, Anda tak dapat menarik kesimpulan."
"Omong kosong!" seruku, mengempaskan majalah tersebut ke meja. "Aku belum pernah
membaca sampah seperti ini seumur hidupku."
"Ada apa"" tanya Holmes.
"Artikel ini," kataku, menunjuk dengan sendok telurku dan mulai menyantap sarapanku.
"Kau rasti sudah membacanya karena kulihat kau menandainya dengan pensil. Tulisan ini memang
menarik dan tampaknya meyakinkan, tapi sama sekali tidak praktis. Kurasa ini cuma teori orang
yang duduk di ruang kerjanya dan mengolah paradoks kecil ini dalam pikirannya. Coba kalau dia
disuruh naik gerbong kelas tiga kereta api bawah tanah, aku ingin melihat apakah dia bisa
menentukan profesi para penumpang di gerbong itu. Aku berani bertaruh seribu pound, dia tak
mungkin mampu melakukannya!"
"Kau akan kehilangan uangmu," kata Holmes tenang, "karena aku sendiri yang menulis
artikel itu." "Kau!" "Ya, aku sudah berpengalaman dalam hal pengamatan dan deduksi. Teori-teori yang
kujelaskan di sana, yang bagimu tampak tidak masuk akal, sebenarnya sangat praktis begitu
praktis hingga aku mengandalkannya untuk mencari nafkah."
"Bagaimana caranya"" tanyaku tanpa sadar.
"Aku memiliki profesi yang unik, bahkan mungkin satu-satunya di dunia. Aku adalah
detektif konsultan, kalau kau bisa memahami apa itu. Di London ada banyak detektif polisi dan
detektif swasta. Bilamana orang-orang ini menemui jalan buntu, mereka datang menemuiku, dan
aku berhasil membawa mereka ke jejak yang benar. Mereka menyajikan semua bukti kepadaku, dan
biasanya aku mampu, dengan bantuan pengetahuanku tentang sejarah kejahatan, untuk
memecahkan kasusnya. Ada banyak kemiripan dalam kasus-kasus kejahatan, dan kalau kau
memiliki rinciannya hingga seribu kasus, aneh sekali jika kau tidak bisa mengungkapkan kasus ke- 15
1001. Mr. Lestrade yang pernah kautemui adalah detektif polisi yang cukup terkenal. Waktu itu dia
datang untuk meminta bantuanku dalam memecahkan kasus penipuan."
"Dan orang-orang lainnya""
Sebagian besar dikirim oleh penyelidik swasta. Mereka semua orang-orang yang sedang
menghadapi masalah dan ingin mendapat penjelasan. Aku mendengarkan cerita mereka, mereka
medengarkan komentar-komentarku, lalu aku mengantongi upahku."
"Maksudmu," tegasku, "tanpa meninggalkan kamarmu kau bisa mengungkap teka-teki yang
tak bisa diungkapkan orang lain, sekalipun mereka sendiri sudah melihat setiap rinciannya""
"Kurang-lebih begitu. Aku memiliki semacam intuisi dalam hal ini. Sesekali ada kasus yang
sedikit lebih rumit. Kalau begitu aku terpaksa keluar dan melihat situasinya dengan mata kepalaku
sendiri. Kau tahu aku memiliki pengetahuan-pengetahuan khusus, dan semua itu sangat membantu
dalam pekerjaanku. Ilmu deduksi dalam artikel yang memicu kejengkelanmu itu bagiku sangat
berharga dalam praktek. Mengamati orang sepertinya sudah merupakan sesuatu yang kulakukan
secara otomatis. Kauingat ketika kita pertama kali bertemu dan kukatakan kau datang dari
Afghanistan"" "Pasti ada yang memberitahumu."
"Tidak. Aku tahu kau datang dari Afghanistan. Kebiasaan yang sudah mendarah daging
membuatku langsung mencapai kesimpulan itu tanpa mengikut
i langkah demi langkah secara sadar.
Tapi langkah-langkah itu ada. Coba perhatikan apa yang terlintas dalam pikiranku, 'Ini seseorang
yang bertipe medis, tapi dengan pembawaan militer. Jelas dia dokter Angkatan Darat. Wajah dan
kulitnya kecokelatan, berarti dia datang dari daerah tropis. Dia sudah melewati pengalaman yang
keras dan menderita sakit, itu tampak dari ekspresi wajahnya. Lengan kirinya pernah terluka karena
posisinya kaku dan tidak wajar. Di kawasan tropis mana seorang dokter Angkatan Darat Inggris
mengalami kekerasan dan terluka lengannya" Jelas di Afghanistan.' Seluruh pemikiran itu memakan
waktu tidak sampai sedetik. Aku lalu berkomentar bahwa kau datang dari Afghanistan, dan kau
tertegun." "Cukup sederhana kalau mendengar penjelasanmu," kataku tersenyum. "Kau mengingatkan
aku pada Dupin, detektif rekaan Edgar Allan Poe. Aku tak pernah menduga orang seperti itu benar-benar ada dalam kehidupan nyata."
Holmes beranjak bangkit dan menyulut pipanya. "Kau pasti menduga aku tersanjung karena
disamakan dengan Dupin, tapi bagiku Dupin itu bukan apa-apa. Trik yang biasa dilakukannya, yaitu
mengungkap pikiran orang dengan komentar tajam setelah berdiam diri selama seperempat jam,
16 menurutku sangat pamer dan berlebihan.
Dia memiliki kemampuan menganalisis yang cukup bagus, itu kuakui, tapi dia sebenarnya
tak sehebat yang dibayangkan Poe."
"Kau pernah membaca karya-karya Gaboriau"" tanyaku. "Apa menurutmu Lecoq cukup
hebat sebagai detektif""
Holmes mendengus sinis. "Lecoq cuma pembual yang payah," katanya dengan nada marah.
"Hanya ada satu hal yang layak dipuji darinya, yaitu semangatnya. Buku itu jelas membuatku muak.
Lecoq perlu waktu enam bulan untuk mengidentifikasi seorang tawanan yang tidak dikenal. Aku
bisa melakukannya dalam 24 jam. Bukannya menjadi panduan untuk para detektif, buku ini justru
mengajar mereka tentang hal-hal yang harus mereka hindari."
Jengkel karena Holmes mencela kedua tokoh yang kukagumi, aku melangkah ke jendela dan
berdiri memandang ke jalan yang ramai. Orang ini mungkin pandai, kataku dalam hati, tapi dia
sangat sombong! "Akhir-akhir ini tak ada kejahatan yang seru," keluh Holmes. "Apa gunanya kami para
detektif memiliki otak" Aku tahu aku memiliki kemahiran dan pengetahuan yang akan membuatku
terkenal, tapi tidak ada kasus kejahatan yang layak untuk diselidiki. Kasus-kasus yang ada begitu
gamblang sehingga detektif Scotland Yard pun bisa memecahkannya." Aku makin jengkel dengan
kesombongan Holmes. Aku sengaja mengalihkan topik pembicaraan.
"Apa kira-kira yang dicari orang itu, ya"" ujarku, menunjuk
pria berpakaian biasa yang tengah berjalan perlahan-lahan di
seberang jalan, memeriksa nomor-nomor rumah dengan gelisah. Ia
membawa amplop biru besar yang tampaknya berisi surat.
"Maksudmu pensiunan sersan Marinir itu"" kata Holmes.


Sherlock Holmes - Penelusuran Benang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sembarangan saja dia bicara! aku membatin. Dia tahu aku
tidak bisa mengkonfirmasi tebakannya.
Pikiran tersebut belum lagi meninggalkan benakku sewaktu
pria yang tengah kami awasi melihat nomor di pintu kami, dan
berlari secepat-cepatnya menyeberangi jalan. Kami mendengar
ketukan keras, suara berat seorang pria di bawah, dan langkah-langkah kaki menaiki tangga.
"Untuk Mr. Sherlock Holmes," kata pria itu sambil
melangkah masuk ke ruang duduk kami dan mengulurkan sepucuk
17 surat kepada temanku. Ini kesempatanku untuk membuktikan omong kosong Sherlock Holmes dan mengakhiri
kesombongannya. "Boleh aku bertanya"" kataku dengan suara datar. "Apa pekerjaanmu""
"Pembantu umum di kantor polisi, Sir," jawabnya dengan suara serak. "Seragam saya sedang
dibetulkan." "Dan sebelum ini"" tanyaku lagi, sambil melontarkan tatapan tajam ke arah rekan
serumahku. "Sersan, Sir, Royal Marine Light Infantry, Sir. Tidak ada jawaban untuk suratnya" Baik, Sir." Ia
mengentakkan kedua tumit sepatunya, mengangkat tangan memberi hormat, dan berlalu.
18 Bab 3 Misteri di Lauriston Gardens
Kuakui bahwa aku sangat terkejut mendapatkan bukti baru akan kepraktisan teori-teori
Sherlock Holmes. Respekku terhadap kemampuan menganalisisnya
meningkat pesat. Tapi aku
masih merasa curiga kalau seluruh kejadian ini merupakan rekayasa belaka, sengaja direncanakan
untuk membuatku kagum. Aku memperhatikan Holmes yang telah selesai membaca surat itu dan
tampaknya tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Dari mana kau bisa menduganya"" tanyaku.
"Menduga apa"" tanya Holmes, jengkel karena diganggu.
"Bahwa dia pensiunan sersan Marinir."
"Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan perkara sepele," tukasnya. "Maafkan
kekasaranku," katanya kemudian. "Kau menerobos rangkaian pikiranku, tapi mungkin ada baiknya.
Jadi kau benar-benar tidak bisa melihat kalau pria itu sersan Marinir""
"Tidak, sungguh."
Lebih mudah untuk mengetahuinya daripada menjelaskannya. Kau juga akan mengalami
kesulitan kalau diminta membuktikan dua tambah dua sama dengan empat, bukan" Tapi baiklah
akan kucoba. Dari seberang jalan saja aku sudah bisa melihat tato jangkar biru besar di punggung
tangan orang itu. Itu berarti dia seorang pelaut. Pembawaannya khas militer, begitu juga potongan
cambang dan jenggotnya. Dari situ kita menyimpulkan bahwa dia Marinir. Sikapnya yang
berwibawa dan penuh percaya diri menunjukkan rahwa dirinya cukup penting; lihat saja cara dia
menegakkan kepala dan mengayunkan tongkat. Semua ciri itu membuatku yakin bahwa dia
pensiunan sersan Marinir."
"Luar biasa!" seruku.
"Biasa saja," kata Holmes, meskipun kulihat wajahnya memancarkan perasaan senang.
"Nah, tadi kukatakan tak ada kasus kejahatan yang layak diselidiki. Rupanya aku keliru... lihat ini!"
Ia melemparkan surat yang dibawa pensiunan sersan tadi.
"Astaga!" seruku, saat membaca surat itu sekilas. "Ini mengerikan!"
"Memang tidak bisa dikatakan biasa," kata Holmes tenang. "Tolong bacakan surat itu keras-keras."
Inilah surat yang kubacakan untuk Holmes:
"Mr. Sherlock Holmes yang baik,
19 Kejadian aneh terjadi semalam di Lauriston Gardens No. 3, tak jauh dari Brixton
Road. Petugas kami di kawasan itu melihat cahaya di rumah tersebut sekitar
pukul dua pagi, dan karena ia tahu rumah itu kosong, ia lalu menduga kalau ada
yang tidak beres. Ia pergi ke rumah itu dan mendapati pintunya tak terkunci, dan
di ruang makan yang kosong, ia menemukan mayat seorang pria. Pria itu
berpakaian bagus, disakunya ada kartu nama bertulisan Enoch J. Drebber,
Cleveland, Ohio, U.S.A. Tidak ada tanda-tanda perampokan, dan tidak ada bukti
sama sekali bagaimana pria ini tewas. Di ruangan itu terdapat noda-noda darah,
tapi di tubuh pria ini tidak ada luka sedikit pun. Kami benar-benar bingung.
Bagaimana korban bisa berada di rumah kosong dan menemui ajalnya di sana"
Kalau kau sempat, datanglah ke Lauriston Gardens No. 3 sebelum pukul dua
belas, dan kita bisa bertemu. Aku sudah memerintahkan agar TKP tidak disentuh
sebelum kami mendapat kabar darimu. Jika kau tidak bisa datang, akan
kuberitahukan rincian lebih lanjut, dan kuhargai kebaikanmu untuk
menyampaikan pendapatmu padaku.
Salam, Tobias Gregson." "Gregson detektif yang paling cerdas di scotland Yard," kata Holmes. "Dia dan Lestrade
merupakan yang terbaik di antara kumpulan orang bodoh itu. Mereka berdua sigap dan tapi terlalu
konvensional. Mereka juga saling membenci. Mereka iri terhadap satu sama lain. Bakalan seru
kalau mereka berdua ditugaskan menanganinya."
Aku terpukau melihat ketenangan Holmes dalam menyampaikan semua ini. "Kita tidak
boleh menyia-nyiakan waktu," selaku. "Kupanggilkan taksi sekarang""
"Aku belum memutuskan akan ke sana. Aku paling malas bepergian... meskipun kalau
sedang mood, aku bisa sangat bersemangat."
"Bukankah ini kesempatan yang kaunanti-nantikan"" desakku.
"Temanku yang baik, apa gunanya bagiku" Seandainya aku mengungkapkan masalah ini,
kau boleh yakin bahwa Gregson, Lestrade, dan rekan-rekan mereka yang akan mendapat pujian.
Itulah masalahnya menjadi petugas tidak resmi."
"Tapi Gregson meminta bantuanmu."
"Dia sadar kalau aku lebih unggul, dan itu diakuinya padaku. Tapi dia lebih rela memotong
20 lidahnya sendiri daripada mengatakan hal ini kepada orang lain. Namun baiklah,
mungkin sebaiknya kita ke sana melihat-lihat keadaan. Aku akan menyelidikinya dengan caraku sendiri.
Paling tidak, aku bisa menertawakan mereka. Ayo!"
Holmes bergegas mengenakan mantel luarnya, kelihatannya semangatnya mulai timbul.
"Ambil topimu," katanya. "Kau ingin aku ikut""
"Ya, kalau kau tidak punya kesibukan lain."
Semenit kemudian kami berdua telah berada di dalam kereta kuda, berpacu menuju Brixton
Road. Cuaca pagi itu berkabut dan berawan, atap-atap rumah diselubungi kabut tebal berwarna
cokelat lumpur seperti jalanan di bawahnya. Holmes tampak sangat bersemangat, ia berceloteh
tentang biola Cremona serta perbedaan antara biola Stradivarius dan Amati. Sedangkan aku berdiam
diri saja, karena pengaruh cuaca yang muram dan urusan yang hendak kami selesaikan.
"Kau tampaknya tidak terlalu memikirkan masalah ini," kataku akhirnya, menyela ceramah
Holmes tentang musik. "Belum ada datanya," kilah Holmes. "Salah besar untuk menyusun teori sebelum kau men-dapatkan semua bukti. Itu mempengaruhi penilaian."
"Sebentar lagi kau akan mendapatkan datanya," kataku sambil menunjuk. "Ini Brixton Road,
dan itu rumahnya, kalau aku tidak keliru."
"Benar. Berhenti, Kusir, berhenti!"
Kami masih sekitar seratus meter dari rumah .tu. tapi Holmes bersikeras untuk
menghentikan kereta. Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Lauriston Gardens No. 3 tampak suram dan menakutkan. Di lingkungan itu ada tiga rumah
lain, dua di antaranya berpenghuni dan yang satu lagi kosong. Rumah kosong itu memiliki tiga
jendela yang menghadap ke depan, pada kacanya tertempel tulisan "Disewakan". Taman kecil yang
telantar membatasi rumah-rumah itu dengan jalan raya, sementara di lingkungan itu sendiri
jalanannya sempit dan tampaknya terbuat dari tanah liat serta kerikil. Jalanan dan rumah-rumah di
situ semuanya basah akibat hujan yang turun semalam.
Taman kecil itu dikelilingi dinding bata setinggi saru meter dengan pagar kayu di bagian
atasnya. Seorang polisi tengah bersandar di dinding ini, sementara sekelompok orang yang ingin
tahu menjulurkan leher untuk melihat kejadian di dalam rumah.
Tadinya kubayangkan Sherlock Holmes akan seketika bergegas memasuki rumah dan
menyelidiki misteri tersebut. Ternyata aku keliru. Dengan acuh tak acuh, temanku itu malah
21 menyusuri halaman dan dengan pandangan kosong menatap tanah, langit, rumah-rumah di
seberang, serta jajaran pagar. Setelah itu ia perlahan-lahan menyusuri jalan setapak, atau lebih
tepatnya, menyusuri rerumputan yang memagari jalan setapak, dengan pandangan terpaku ke tanah.
Dua kali ia berhenti, dan sekali kulihat ia tersenyum, lalu berseru penuh kepuasan. Ada banyak jejak
kaki di tanah basah tersebut, tapi karena polisi telah berkeliaran di sana, aku tidak tahu bagaimana
temanku berharap dapat mempelajari sesuatu dari sana. Sekalipun begitu, aku telah mendapat bukti
akan kemampuan persepsinya yang luar biasa, sehingga aku tidak ragu bahwa ia mampu melihat
banyak hal yang tersembunyi dariku.
Di pintu rumah No. 3 kami disambut oleh pria jangkung berwajah pucat dengan rambut
kemerahan. Pria itu bergegas mendekat dan menjabat tangan temanku dengan penuh semangat.
"Baik sekali kau mau datang," katanya. "Semua yang ada di situ sama sekali belum
disentuh." "Kecuali itu!" tukas temanku sambil menunjuk ke jalan. "Andai ada serombongan kerbau
yang melintas, keadaannya mungkin masih lebih rapi daripada sekarang. Tapi aku yakin, Gregson,
kau pasti sudah memeriksa jalan itu sebelum mengizinkan mereka mengobrak-abriknya."
"Banyak yang hams kulakukan di dalam rumah," kilah detektif itu. "Kolegaku, Mr. Lestrade,
ada di sini. Aku mengandalkannya untuk menjaga TKP".
Holmes melirikku dan mengangkat alis dengan sikap sinis. "Dengan dua orang seperti kau dan
Lestrade di sini, tidak banyak yang bisa ditemukan pihak ketiga," katanya.
Gregson menggosok-gosok tangannya dengan sikap puas. "Kupikir kami sudah melakukan
semua yang bisa dilakukan, tapi kasus ini aneh, dan aku tahu kau berminat pada kasus-kasus
seperti ini." "Kau tidak datang kemari dengan kereta"" tanya Holmes.
"Tidak." "Lestrade juga tidak""
"Tidak." "Kalau begitu, ayo kita lihat TKP-nya." Holmes masuk ke dalam rumah, diikuti oleh
Gregson yang tampak bingung.
Sebuah lorong pendek berlantai papan yang berdebu membawa kami ke dapur dan ruangan
belakang. Di sana terdapat dua pintu, di sebelah kiri dan kanan. Salah satu jelas tak pernah dibuka
selama berminggu-minggu. Pintu yang lain menuju ke ruang makan, tempat terjadinya peristiwa
misterius itu. Holmes melangkah masuk, dan aku mengikutinya dengan perasaan galau yang biasa
22 ditimbulkan oleh peristiwa kematian.
Ruang makan tersebut berbentuk bujur sangkar dan cukup besar, bahkan terkesan lebih besar
karena tidak adanya perabotan. Dindingnya dilapisi kertas dinding berwarna mencolok, beberapa
bagian dikotori gumpalan debu dan sarang labah-labah, ada pula yang tercabik menampilkan
lapisan semen kekuningan di bawahnya. Di seberang pintu terdapat perapian dengan rak mariner
putih imitasi. Di salah satu sudutnya terdapat puntung lilin merah. Satu-satunya jendela yang ada di
ruangan itu begitu kotor sehingga cahaya dalam ruangan hanya samar-samar, mengesankan warna
kelabu pada seluruh ruangan.
Semua rincian ini baru belakangan kuamati. Saat ini,
perhatianku terpusat pada sosok yang telentang tidak
bergerak di lantai papan, dengan mata kosong menatap
langit-langit yang telah berubah warna. Sosok tersebut
adalah mayat seorang pria berusia 43 atau 44 tahun,
berperawakan sedang dan berbahu lebar, berambut hitam
keriting dan berjanggut pendek. Pria itu mengenakan
mantel luar panjang yang tebal dan mantel dalam
sepinggang dengan celana panjang berwarna cerah.
Sebuah topi tinggi yang tersikat rapi tergeletak di lantai
di sampingnya. Tangan mayat itu mengepal dan
lengannya membentang, sementara kakinya saling
mengait, seakan-akan perjuangannya menghadapi
kematian sangatlah hebat. Wajahnya yang kaku
memancarkan ekspresi ngeri dan kebencian yang baru kali ini kujumpai pada wajah manusia.
Kerutan kejam dan menakutkan tersebut, dikombinasikan dengan kening yang rendah, hidung yang
menggembung, dan rahang yang kaku, menyebabkan mayat tersebut tampak mirip kera. Aku telah
melihat kematian dalam banyak bentuk, tapi tidak ada yang lebih menakutkan daripada yang
kutemui di apartemen gelap ini.
Lestrade yang berjaga di ambang pintu menyapa Holmes dan aku.
"Kasus ini akan menimbulkan kehebohan, Sir," katanya. "Aku belum pernah melihat
peristiwa yang semengerikan ini, padahal aku bukan penakut."
"Tidak ada petunjuk"" tanya Gregson.
"Tidak sama sekali," jawab Lestrade. Holmes mendekati mayat itu, berlutut, dan
23 memeriksanya dengan teliti. "Kalian yakin tidak ada luka"" tanyanya, menunjuk noda darah yang
terdapat di mana-mana. "Yakin!" seru kedua detektif itu.
"Kalau begitu, darah ini milik orang kedua pembunuhnya, kalau peristiwa ini dianggap
sebagai pembunuhan. Situasi di sini mirip dengan situasi pada saat kematian Van Jansen, di Utrecht,
tahun '34. Kauingat kasus itu, Gregson""
"Tidak, Sir." "Baca dan pelajarilah. Tidak ada yang baru di dunia ini. Semuanya sudah pernah dilakukan
sebelumnya." Sambil bicara, Holmes sibuk meraba-raba mayat itu, menekan, membuka kancing,
memeriksa, sementara pandangannya menerawang. Begitu cepat pemeriksaannya, sehingga sulit
untuk menebak ketelitiannya. Akhirnya, Holmes mengendus bibir mayat itu lalu melirik sol-sol
sepatu bot kulitnya. "Dia tidak digerakkan sama sekali"" tanyanya.
"Digerakkan sedikit, hanya sebatas yang di-perlukan untuk pemeriksaan kami."
"Kalian bisa membawanya ke kamar mayat sekarang," kata Holmes. "Tidak ada lagi yang
bisa dipelajari." Gregson telah menyiapkan sebuah tandu dan empat orang. Begitu ia memanggil, mereka
masuk ke dalam ruangan, dan mayat pun itu dibawa pergi. Sewaktu mereka mengangkatnya, sebuah
cincin bergulir jatuh dan menggelinding di lantai. Lestrade menyambarnya dan menatapnya dengan
kebingungan. "Ada wanita di sini,
" serunya. "Ini cincin pernikahan wanita."
Lestrade mengacungkan cincin itu dan kami semua ikut memperhatikannya. Tak diragukan
lagi bahwa lingkaran emas polos itu tadinya berada di jari seorang pengantin wanita.
"Ini memperumit masalah," kata Gregson. "Tuhan tahu kalau masalah ini sudah cukup rumit
sebelumnya." "Kau yakin cincin ini bukannya justru menyederhanakan masalah"" tanya Holmes. "Tak ada yang
bisa dipelajari dengan hanya menatapnya. Apa yang kautemukan di saku mayat itu""
"Ada di sini semuanya," jawab Gregson, menunjuk berbagai benda yang ada di anak tangga
terbawah. "Arloji emas, No. 97163, buatan Barraud, London. Rantai emas buatan Albert, sangat
berat dan kokoh. Cincin emas, penjepit emas berkepala bulldog dengan mata batu rubi. Tempat
kartu nama buatan Rusia, dengan kartu-kartu nama Enoch J. Drebber dari Cleveland. Ini cocok
24 dengan inisial E.J.D. pada pakaiannya. Tak ditemukan dompet, tapi ada uang sebanyak tujuh pound
tiga belas penny. Buku saku Decameron karya Boccaccio dengan nama Joseph Stangerson di
halaman dalamnya. Dua surat yang satu ditujukan kepada E.J. Drebber dan satu lagi kepada
Joseph Stangerson." "Alamatnya""
"American Exchange, Strand untuk disimpan diambil. Keduanya dari Guion Steamship
Company dan berisi data pelayaran kapal mereka dari Liverpool. Jelas bahwa pria yang malang ini
bermaksud kembali ke New York."
"Kau sudah mengadakan penyelidikan tentang orang bernama Stangerson ini""
"Aku langsung melakukannya, Sir," kata "Aku sudah memasang iklan di semua koran dan
mengutus seorang anak buahku untuk pergi ke American Exchange, tapi dia belum kembali."
"Kau sudah mengirim kabar ke kepolisian Cleveland""
"Kami mengirim telegram tadi pagi."
"Bagaimana bunyinya""
"Kami menceritakan situasinya, dan mengatakan bahwa kami akan senang seandainya
mereka memiliki informasi yang dapat membantu kami."
"Kau tidak merinci, apa tepatnya yang ingin kauketahui""
"Aku bertanya tentang Stangerson."
"Tidak ada lagi" Kau tidak menanyakan sesuatu yang sebenarnya sangat penting untuk kasus
ini" Kau tidak mau mengirim telegram lagi""
"Aku sudah mengatakan semua yang harus kukatakan," kata Gregson dengan nada
tersinggung. Holmes berdecak, dan tampaknya hendak berkomentar, sewaktu Lestrade, yang berada di
ruang makan sewaktu kami bercakap-cakap di lorong, muncul sambil menggosok-gosok tangannya
dengan sikap sok dan puas diri.
"Mr. Gregson," katanya, "aku baru saja menemukan sesuatu yang sangat penting. Penemuan
ini pasti sudah terlewatkan, kalau aku tidak memeriksa dinding-dinding dengan hati-hati."
Mata pria kecil itu berkilau-kilau saat ia berbicara, dan ia jelas tengah menahan
kegembiraannya karena berhasil menang satu langkah dari koleganya.
"Ayo ikut," katanya, bergegas masuk ke ruang makan yang suasananya sudah sedikit lebih
cerah setelah mayat korban disingkirkan. "Sekarang, berdirilah di sana!"
Lestrade menyulut korek api pada sepatu botnya dan mengacungkannya di depan dinding.
25

Sherlock Holmes - Penelusuran Benang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lihat itu!" katanya dengan penuh kemenangan.
Sebelum ini aku telah menerangkan bahwa kertas pelapis dinding ruang makan sebagian
robek. Di sudut ruangan yang ini secabik besar kertas dindingnya telah terkelupas, menyisakan
semen kekuningan kasar berbentuk persegi. Di tempat kosong ini, dengan huruf-huruf merah darah,
tertulis... RACHE "Apa pendapat kalian"" seru Lestrade, dengan sikap seorang tukang sulap yang tengah
memamerkan hasil kerjanya. "Ini terlewatkan karena berada di sudut tergelap ruangan, dan tak ada
seorang pun yang berpikir untuk memeriksa di sini. Sang pembunuh menulis kata ini dengan
darahnya sendiri. Lihat tetesan yang mengotori dinding ini! Dengan demikian, kasus ini jelas bukan
kasus bunuh diri. Kenapa sudut ini yang dipilih" Akan
kujelaskan. Kalian lihat lilin di rak perapian" Lilin itu
menyala sewaktu peristiwa ini terjadi, dan sudut ini
merupakan bagian yang paling terang di dinding."
"Dan apa arti kata itu, sesudah kau
menemukannya"" tanya Gregson dengan nada
merendahkan. "Artinya" Jelas ini berarti penulisnya
hendak menuliskan nama seorang wanita, Rachel, tapi ia
terganggu sebelum sempat menyelesaikannya. Camkan
kata-kataku, pada saat kasus ini terbongkar, kalian
akan menemukan keterlibatan wanita bernama Rachel.
Silakan tertawa, Mr. Sherlock Holmes. Kau mungkin
sangat cerdik dan pandai, tapi detektif yang
berpengalaman akan terbukti paling baik."
"Aku benar-benar minta maaf!" kata temanku.
"Kau patut dipuji sebagai orang pertama yang
menemukan tulisan itu. Benar kesimpulanmu bahwa kata ini ditulis oleh tokoh kedua dalam misteri
semalam. Aku belum sempat memeriksa ruangan ini, tapi dengan seizinmu, aku akan memeriksanya
sekarang." Holmes mengeluarkan pita pengukur dan kaca pembesar dari sakunya. Dengan kedua alat
ini ia berkeliaran tanpa suara di ruangan tersebut, terkadang berhenti, sesekali berlutut, dan sekali
26 bahkan menelungkup. Ia begitu tenggelam dalam kesibukannya sehingga tampak melupakan
kehadiran kami. Ia berceloteh pelan sendiri sepanjang waktu, melontarkan serangkaian seruan,
erangan, siulan. Saat mengawasinya, aku jadi teringat pada anjing pemburu rubah yang sangat
terlatih. yang melesat ke sana kemari, merengek penuh semangat, hingga menemukan bau yang
dicari. Selama sekitar dua puluh menit Holmes meneliti, mengukur dengan sangat hati-hati jarak
antara tanda-tanda yang sama sekali tidak terlihat olehku, juga mengukur dinding dengan sikap
yang sama misteriusnya. Di satu tempat, dengan hati-hati ia mengumpulkan sedebu kelabu dari
lantai dan memasukkannya ke dalam amplop. Akhirnya, ia memeriksa tulisan di dinding dengan
kaca pembesar, mempelajari setiap huruf dengan ketepatan yang luar. Setelah selesai ia tampak
puas, karena ia mengantongi kembali pita pengukur dan kaca pembesarnya.
"Orang bilang, kejeniusan adalah kemampuan yang tak terbatas untuk melakukan segala
sesuatu dengan sangat teliti. Ini bukan definisi yang tapi bisa diterapkan dalam pekerjaan detektif."
Gregson dan Lestrade mengawasi tindakan rekan amatir mereka dengan rasa penasaran dan
kejengkelan yang mencolok. Mereka jelas tidak bisa menghargai fakta yang mulai kusadari, bahwa
tindakan terkecil Sherlock Holmes ditujukan ke arah yang pasti dan praktis.
"Apa pendapatmu, Sir"" tanya mereka berdua.
"Aku akan dianggap merampok kesempatan kalau aku mempengaruhi penyelidikan kalian,"
kata temanku. "Kalian sudah bekerja dengan sangat baik, sehingga sayang kalau ada orang luar
yang turut campur." Aku menangkap nada sinis dalam suara Holmes saat ia berbicara. "Kalau kalian
mau memberitahukan perkembangan penyelidikan kalian, dengan senang hati akan kubantu sebisa
mungkin. Sementara itu, aku ingin bicara dengan petugas yang menemukan mayat korban. Kalian
bisa memberikan nama dan alamatnya""
Lestrade melirik buku catatannya. "John Rance," katanya. "Dia sedang bebas tugas
sekarang. Kau bisa menemukannya di Audley Court No. 46, Kennington Park Gate."
Holmes mencatat alamat tersebut.
"Ayo, Dokter," katanya padaku, "kita harus menemui orang ini. Omong-omong, akan
kuberitahukan satu hal yang bisa membantu memecahkan kasus ini," katanya kepada kedua detektif.
"Memang sudah terjadi pembunuhan, dan pembunuhnya seorang pria. Tinggi pria itu lebih dari 180
sentimeter, usianya tak lebih dari empat puluh, telapak kakinya terlalu kecil dibandingkan dengan
tingginya. Ia mengenakan sepatu bot kasar berujung persegi dan mengisap cerutu Trichinopoly. Ia
datang kemari dengan korban menggunakan kereta beroda empat, yang ditarik ekor kuda dengan
tiga ladam tua dan satu yang masih baru di kaki depannya. Kemungkinan pembunuh ini berjanggut
27 dan berkumis, kuku jari tangan kanannya sangat panjang. Itu hanya beberapa indikasi, tapi mungkin
bisa membantu kalian".
Lestrade dan Gregson bertukar pandang sambil tersenyum tak percaya.
"Kalau orang ini dibunuh, bagaimana caranya"" tanya Lestrade.
"Racun," jawab Holmes singkat sambil melangkah ke luar. "Satu hal lagi, Lestrade,"
tambahnya, berbalik di pintu, "'Rache' adalah kata Jerman untuk
pembalasan, jadi jangan
membuang-buang waktumu dengan mencari Miss Rachel."
Holmes berlalu setelah mengatakan itu, meninggalkan kedua rivalnya yang ternganga ke-heranan.
28 Bab 4 Cerita John Rance Saat kami meninggalkan Lauriston Gardens No. 3, waktu telah menunjukkan pukul satu
siang. Sherlock Holmes mengajakku ke kantor telegram terdekat dan mengirimkan sebuah telegram
panjang. Setelah itu ia memanggil taksi, memerintahkan kusirnya untuk membawa kami ke alamat
yang diberikan Lestrade. "Tak ada yang bisa mengalahkan bukti dari tangan pertama," kata Holmes. "Sebenarnya ke-simpulanku sudah bulat mengenai kasus ini, tapi mungkin ada baiknya kita mempelajari semua
yang bisa dipelajari."
"Kau membuatku kagum, Holmes," kataku. "Benarkah kau sungguh-sungguh yakin tentang
semua rincian yang kauberitahukan tadi""
"Yakin sekali," jawab Holmes. "Begini, hal pertama yang kulihat sewaktu tiba di sana adalah
dua jalur bekas roda kereta yang meninggalkan jejak cukup dalam di tepi jalan. Hujan sudah
seminggu tidak turun, jadi jejak roda kereta itu pasti baru timbul semalam. Aku juga menemukan
jejak-jejak ladam kuda, yang satu lebih jelas dari tiga lainnya, menunjukkan bahwa ladam itu masih
baru. Karena jejak kereta itu timbul sesudah hujan turun semalam, dan keretanya tadi pagi tidak ada
di sana Gregson yang mengatakannya jelas kereta itu datang pada malam hari. Berarti, kereta
itulah yang membawa kedua orang yang terlibat dalam misteri ini ke rumah No 3."
"Tampaknya cukup sederhana," kataku, "tapi bagaimana dengan tinggi badan si pembunuh""
Tinggi seseorang, dalam sembilan dari sepuluh bisa diperkirakan dari jarak langkahnya.
Perhitungannya cukup mudah, tapi aku tak mau membuatmu bosan dengan angka-angka. Pokoknya.
aku menemukan jejak-jejak orang ini di tanah liat di luar rumah dan pada debu di dalam rumah.
Lalu aku menghitung tingginya dengan caraku sendiri. Kebetulan, aku menemukan hal lain untuk
mengecek hitunganku. Pada saat seseorang menulis di dinding, nalurinya menyebabkan ia menulis
di atas ketinggian matanya sendiri. Nah, jarak tulisan itu dari lantai adalah 180 sentimeter lebih
sedikit. Mudah, bukan""
"Dan usianya"" tanyaku.
"Well, kalau orang bisa melangkah sejauh 135 sentimeter tanpa susah payah, tak mungkin
usianya lebih dari empat puluh. Ada genangan lumpur di taman tempat si pembunuh dan korban
pernah melintas. Korban yang mengenakan sepatu bot kulit mengitari genangan itu, tapi si
pembunuh yang mengenakan sepatu berujung persegi melompatinya. Jejak mereka tampak jelas,
29 tidak ada misteri dalam hal ini. Aku hanya menerapkan beberapa rumus pengamatan dan deduksi
yang kutuliskan dalam artikel majalah. Ada lagi yang membingungkanmu""
"Kuku jari dan Trichinopoly," kataku.
"Tulisan di dinding dibuat dengan jari telunjuk orang itu yang dicelupkan ke dalam darah.
Lewat kaca pembesar kulihat lapisan semen di dindingnya agak tergores. Ini berarti orang itu
berkuku panjang. Debu yang kukumpulkan dari lantai adalah abu cerutu Trichinopoly. Aku secara
khusus pernah mempelajari abu-abu cerutu, malah aku pernah menulis artikel tentang itu. Aku
mampu membedakan abu cerutu atau tembakau bermerek apa pun hanya dengan sekali lihat. Dalam
hal-hal seperti inilah detektif seperti aku berbeda dengan detektif biasa seperti Gregson dan
Lestrade." "Dan soal wajah berjambang"" tanyaku.
"Ah, itu tebakan yang berani, sekalipun aku tidak ragu akan kebenarannya. Kau tidak boleh
menanyakan itu sekarang."
Aku mengusap alis. "Aku jadi pusing," kataku. "Semakin dipikir, kasus ini terasa semakin
misterius. Bagaimana kedua pria ini kalau memang mereka berdua pria bisa masuk ke rumah
kosong" Bagaimana dengan kusir yang mengantar" Bagaimana seseorang bisa memaksa orang lain
menelan racun" Dari mana darahnya" Apa tujuan pembunuhan ini, karena ini jelas bukan
perampokan" Bagaimana bisa ada cincin wanita di sana" Di atas semua itu, kenapa orang kedua
menuliskan kata Jerman RACHE sebelum pergi" Kuakui bahwa aku tidak mengerti bagaimana kita
bisa menyatukan seluruh fakta ini." Teman
ku tersenyum menyetujui. "Kau sudah menyimpulkan kesulitan-kesulitan situasi ini dengan cukup ringkas dan baik,"
katanya. "Memang masih ada banyak ketidakjelasan, meskipun aku sudah membulatkan pikiran
tentang fakta-fakta utamanya. Sedang mengenai penemuan Lestrade yang malang, itu hanya
pengalih perhatian agar polisi melacak jejak yang salah. Mungkin si pembunuh ingin memberikan
indikasi soal keterlibatan kaum sosialis Jerman dan organisasi rahasia. Tapi jelas kata itu tak ditulis
oleh orang Jerman. Huruf A-nya, kalau kauperhatikan, sengaja ditulis agar mirip dengan gaya
Jerman, padahal orang Jerman sendiri tidak menuliskannya sampai begitu. Ya, kita boleh yakin
bahwa penulisnya bukan orang Jerman, melainkan seorang peniru yang ceroboh dan berlebihan.
"Aku tidak akan bercerita lebih jauh mengenai kasus ini, Dokter. Kau tahu seorang pesulap
tidak akan dihargai sesudah menjelaskan tipuannya, dan kalau kutunjukkan terlalu banyak metode
kerjaku kepadamu, kau akan menyimpulkan bahwa aku orang yang sangat biasa."
"Aku tidak akan berpikir begitu," kataku. "Kau orang pertama yang membuat ilmu deduksi
30 begitu gamblang seperti ilmu eksakta."
Wajah Sherlock Holmes memerah mendengar pujianku. Kuperhatikan ia memang sangat
peka terhadap pujian atas kemampuannya sebagaimana gadis-gadis atas kecantikan mereka.
"Akan kuberitahukan satu hal lain," ujar Holmes. "Korban dan pelaku datang dengan
menggunakan kereta yang sama. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak bersama-sama dengan
sikap akrab mungkin malah bergandengan tangan. Setelah tiba di dalam, mereka mondar-mandir
dalam ruangan atau tepatnya, korban berdiri diam sementara pelaku mondar-mandir. Aku bisa
membaca semuanya dari jejak sepatu mereka. Dari cara berjalannya, kulihat pelaku makin lama
makin bersemangat. Langkah kakinya makin lama makin lebar. Ia mondar-mandir sambil terus
berbicara sampai amarahnya meledak dan pembunuhan itu terjadi. Nah, sudah kuceritakan semua
yang kuketahui, sedangkan sisanya hanyalah pelengkap. Dengan landasan kerja yang bagus itu,
mari kita bergegas, karena aku ingin menonton konser Norman Neruda sore ini."
Percakapan tersebut berlangsung saat taksi yang kami tumpangi tengah melaju melintasi
serangkaian lorong serta jalan yang remang-remang dan suram. Di jalan yang paling gelap, kusir
kami tiba-tiba menghentikan kereta. "Audley Court di sebelah sana," katanya, menunjuk celah
sempit di jajaran bata berwarna gelap. "Akan kutunggu kalian di sini."
Audley Court bukanlah tempat yang menarik. Lorong
sempit itu membawa kami ke lapangan kecil yang
dikelilingi perumahan kumuh. Kami melewati
segerombolan anak yang kotor dan dekil, melewati jajaran
seprai yang telah luntur, hingga tiba di Nomor 46. Pintu
rumah itu dihiasi sekeping kecil kuningan dengan ukiran
nama Rance. Saat menanyakannya, kami diberitahu banwa
petugas tersebut sedang tidur, dan kami dipersilahkan
menunggu di ruang tamu kecil. .
Rance muncul tak lama kemudian, tampak jengkel
karena tidurnya terganggu. "Aku sudah menyampaikan
laporanku di kantor," katanya.
Holmes mengambil sekeping koin emas dari sakunya
dan memutar-mutarnya. "Kami pikir, sebaiknya kami
mendengarnya secara langsung darimu."
"Dengan senang hati akan kuceritakan semua yang
31 kuketahui," kata Rance, matanya terus menatap uang emas itu.
"Ceritakan saja bagaimana kejadiannya.
"Rance duduk di sofa dan mengerutkan kening. seakan-akan membulatkan tekad untuk tidak
melupakan apa pun dalam ceritanya.
"Akan kuceritakan dari awal," ujarnya. "Tugasku dimulai pukul sepuluh malam dan berakhir
pukul enam pagi. Pada pukul sebelas ada perkelahian di White Hart, bar yang biasanya cukup
tenang di kawasan tempatku bertugas. Pada pukul satu hujan turun, dan aku bertemu Harry
Murcher. Dia bertugas di kawasan Holland Grove dan kami bercakap-cakap di sudut Henrietta
Street. Mungkin sekitar pukul dua, kuputuskan untuk berkeliling dan melihat situasi di Brixton
Road. Tempat itu sangat kotor dan sunyi. Tidak seorang pun kutemui sep
anjang jalan ke sana, walau
ada satu-dua kereta yang melewatiku. Aku tengah berjalan sambil memikirkan betapa enaknya
segelas gin hangat, sewaktu tiba-tiba kulihat cahaya dari jendela rumah No. 3. Nah. aku tahu bahwa
kedua rumah di Lauriston Gardens itu kosong karena pemiliknya tidak melakukan apa-apa setelah
penyewa terakhir meninggal karena tifus. Oleh sebab itu aku sangat terkejut sewaktu melihat
cahaya di jendelanya, dan menduga ada yang tidak beres. Ketika tiba di depan pintu..."
"Kau berhenti, lalu kembali ke gerbang taman", sela temanku. "Kenapa kau berbuat begitu""
Rance terlonjak, ditatapnya Holmes dengan terpana.
"Itu benar, Sir," katanya, "dari mana Anda bisa tahu" Aku berbalik karena melihat suasana
yang begitu sepi, kupikir lebih baik kalau aku mengajak teman. Aku bukan penakut, tapi bagaimana
kalau hantu orang yang meninggal karena tipus itu datang" Pikiran itu membuatku merinding dan
aku kembali ke gerbang untuk melihat apa Murcher masih di dekat situ. Ternyata dia tidak ada,
orang lain juga tidak."
"Tak ada seorang pun di jalan""
"Tidak, Sir, bahkan anjing pun tidak ada. Terpaksa aku memberanikan diri pergi ke rumah
itu dan membuka pintunya. Di dalam sangat tenang, jadi aku masuk ke ruangan tempat cahaya itu
berasal. Ada lilin yang menyala di rak perapian lilin merah dan berkat cahayanya aku melihat..."
"Ya, aku tahu semua yang kaulihat. Kau mondar-mandir dalam ruangan itu beberapa kali,
kau berlutut di samping mayat korban, lalu kau melewatinya dan memeriksa pintu dapur..."
John Rance melompat bangkit, ekspresi wajahnya ketakutan, sementara matanya
memandang curiga. "Anda bersembunyi di mana hingga bisa melihat semuanya"" serunya. "Anda
tahu lebih banyak dari yang seharusnya."
Holmes tertawa dan melemparkan kartu namanya ke atas meja. "Jangan menangkapku
32 dengan tuduhan pembunuhan," gelaknya. "Aku salah satu pemburu dan bukan rubahnya... tanyakan
saja pada Mr. Gregson dan Mr. Lestrade. Tapi, lanjutkan. Apa yang kaulakukan sesudah itu""
Masih kebingungan, Rance duduk kembali. "Aku kembali ke gerbang dan meniup peluitku.
Murcher dan dua petugas lain seketika datang ke sana."
"Apa jalannya masih kosong waktu itu""
"Well, bisa dikatakan begitu..."
"Maksudmu""
Ekspresi petugas tersebut berubah, ia tersenyum
lebar. "Ada orang mabuk di sana, mabuk berat. Dia
bersandar di pagar taman sambil sekuat tenaga
menyanyikan New-fangled Banner-nya Columbine, atau
lagu yang mirip itu. Dia tidak bisa berdiri, apalagi
membantu kami." "Kau bisa memberi gambaran tentang orang itu""
tanya Holmes. Rance tampak agak jengkel mendengar
permintaan yang menurutnya tak ada hubungannya itu.
"Pokoknya dia mabuk berat, jauh lebih parah daripada
pemabuk-pemabuk yang biasa kutemui. Andai saat itu
kami tak disibukkan oleh misteri tersebut, dia pasti sudah
kami tangkap. "Wajahnya... pakaiannya... apa kau sempat
memperhatikan"" sela Holmes dengan tidak sabar.
"Rasanya aku sempat memperhatikan, karena aku terpaksa memapahnya... aku dan Murcher
bersama-sama. Dia bertubuh jangkung, dengan wajah kemerahan, berjanggut..."
"Cukup," tukas Holmes. "Apa yang terjadi padanya""
"Kami kan sedang sibuk, mana ada waktu untuk memperhatikan dirinya," jawab Rance
dengan nada jengkel. "Kurasa dia berhasil tiba di rumahnya dengan selamat."
"Bagaimana pakaiannya""
"Mantel panjang cokelat."
"Dia membawa cambuk""
"Cambuk... tidak."
33 Dia pasti meninggalkannya," gumam temanku. "Kau tidak kebetulan melihat kereta atau
mendengar bunyinya sesudah itu""
"Tidak." "Ini untukmu," kata Holmes, memberikan uang emas yang dipegangnya. Ia bangkit dan
mengambil topinya. "Sayang sekali, Rance, kau tidak akan pernah naik pangkat. Kepalamu itu
seharusnya digunakan, bukan hanya sebagai hiasan. Sebetulnya kau bisa mendapatkan pangkat
sersan semalam. Orang yang kaupapah itu adalah kunci misteri semalam, dan dialah yang kami cari.
Tapi tak ada gunanya meributkannya sekarang. Ayo, Dokter."


Sherlock Holmes - Penelusuran Benang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami menuju ke taksi bersama-sama, meninggalkan informan kami dalam keadaan tertegun
dan jelas-jelas tidak nyaman.
" Orang tolol!" kata Holmes dengan pahit, saat kami menempuh perjalanan pulang. "Pikir-kan saja, mendapat keberuntungan sebesar itu, dan tidak meraihnya!"
"Aku masih bingung. Memang benar bahwa deskripsi pemabuk itu cocok dengan
gagasanmu tentang pihak kedua dalam misteri ini. Tapi untuk apa dia kembali ke rumah itu" Bukan
begitu cara penjahat!"
"Cincinnya, Sobat, cincinnya... dia kembali untuk cincin itu. Kalau tidak ada cara lain untuk
menangkapnya, kita bisa memancingnya dengan cincin itu. Aku akan menangkapnya, Dokter aku
pasti bisa menangkapnya. Aku harus berterima kasih padamu. Kalau bukan karena doronganmu,
aku mungkin tidak akan pergi, dan dengan begitu melewatkan pelajaran terbaik yang pernah
kutemui. Penelusuran benang merah, eh" Bagaimana kalau kita gunakan nama itu untuk
penyelidikan kita" Memang ada benang merah pembunuhan dalam kumparan kehidupan yang tanpa
warna. Tugas kitalah untuk melusurinya, menguraikannya, dan meluruskannya. Sekarang mari kita
makan siang, sesudah itu menyaksikan Norman Neruda. Serangan dan bungkukan badannya luar
biasa. Apa judul karya Chopin yang dimainkannya dengan begitu mengagumkan itu" Tra-la-la-lira-lira-lay."
Sambil menyandar di kereta, anjing pemburu amatir ini berceloteh bagai burung gagak,
sementara aku merenungkan keunikan otak manusia.
34 Bab 5 Iklan Jebakan Kegiatan pagi itu agak berlebihan bagi kesehatanku, dan aku merasa kelelahan di siang
harinya. Setelah Holmes pergi menonton konser, aku membaringkan diri di sofa dan berusaha tidur
selama satu-dua jam. Usaha yang sia-sia. Pikiranku terlalu aktif akibat semua kejadian yang telah
berlangsung dan segala keanehan yang meliputinya. Setiap kali memejamkan mata, aku melihat
ekspresi korban yang mirip kera. Begitu mengerikan kesan yang ditimbulkan wajah tersebut
sehingga rasanya aku ingin mengucapkan terima kasih pada orang yang telah mengenyahkan
korban dari dunia ini. Seumur hidup, belum pernah aku melihat wajah yang lebih kejam daripada
wajah Enoch J. Drebber. Sekalipun begitu, aku tetap beranggapan bahwa keadilan harus ditegakkan.
Kondisi fisik korban tak boleh menjadi bahan pertimbangan di mata hukum.
Semakin kupikirkan, aku semakin meragukan hipotesis temanku bahwa pria tersebut telah
diracuni. Aku ingat bagaimana Holmes mengendus pria itu, dan mungkin mendeteksi sesuatu
menimbulkan gagasan tersebut. Tapi kalau bukan racun, apa penyebab kematian pria itu" Tak ada
luka atau bekas cekikan. Dan lagi, darah siapa yang berceceran di lantai" Tidak ada tanda-tanda
perkelahian, korban pun tidak memiliki senjata yang mungkin digunakannya untuk melukai lawan.
Selama pertanyaan-pertanyaan tersebut belum terjawab, aku jadi sulit tidur.
Holmes pulang terlambat, sehingga aku menduga ia bukan hanya menonton konser. Makan
malam telah siap di meja ketika ia tiba.
"Luar biasa," katanya sambil duduk. "Kauingat apa kata Darwin tentang musik" Dia
mengklaim bahwa kemampuan untuk menghasilkan dan menikmati musik sudah ada pada manusia
lama sebelum mereka bisa berbicara. Mungkin itu sebabnya kita secara tak sadar begitu dipengaruhi
musik. Ada kenangan samar dalam jiwa kita akan abad-abad ketika dunia masih dalam tahap kanak-kanak."
"Itu gagasan yang berlebihan," kataku.
"Gagasan seseorang haruslah sebesar alam, kalau ia ingin menafsirkan alam itu," tukas
Holmes. "Ada masalah apa" Kau tampak murung. Kasus lauriston Gardens ini mengganggumu,
ya"" "Sejujurnya, ya. Aku seharusnya lebih mampu menghadapinya setelah pengalamanku di
Afghanistan. Aku sudah melihat rekan-rekanku dicincang di Maiwand tanpa kehilangan
keberanianku." 35 "Bisa kupahami. Ada misteri dalam hal ini yang memicu imajinasi. Jika tak ada imajinasi,
tak ada ketakutan. Kau sudah membaca koran sore""
"Belum." "Laporan mengenai kasus itu cukup bagus. Tapi tidak menyinggung fakta bahwa sewaktu
korban diangkat, ada cincin pernikahan wanita yang jatuh ke lantai. Memang sebaiknya begitu."
"Kenapa"" "Lihat iklan ini," jawab Holmes. "Aku mengirimkannya ke setiap koran tadi pagi setela
h mengetahui kasus ini."
Holmes melemparkan koran ke arahku, dan aku melirik kolom yang ditunjukkannya. "Pagi
ini di Brixton Road," demikian bunyi iklan itu, "ditemukan sebentuk cincin kawin. Cincin ini
ditemukan tepatnya di jalan antara White Hart Tavern dan Holland Grove. Hubungi Dr. Watson,
Baker Street No. 22IB, antara pukul delapan dan sembilan malam."
"Maaf karena aku menggunakan namamu," kata Holmes. "Kalau kugunakan namaku sendiri,
pasti ada orang iseng yang mengenalinya, dan ingin ikut campur dalam masalah ini."
"Tak apa-apa," jawabku. "Tapi seandainya ada yang datang, aku tidak memiliki cincinnya."
"Oh, ya, ada." Holmes memberikan sebuah cincin kepadaku. "Cukup bagus, kan" Sangat
mirip." "Menurutmu, siapa yang akan menanggapi iklan ini""
"Tentu saja pria bermantel cokelat dengan sepatu berujung persegi. Kalau bukan dia sendiri
yang datang, pasti temannya."
"Apa dia tidak akan menganggap hal ini berbahaya""
"Sama sekali tidak. Bila perkiraanku mengenai kasus ini benar, dan aku memiliki semua
alasan antuk percaya memang begitu, pria ini pasti lebih suka mengambil risiko daripada
kehilangan cincinnya. Menurutku cincin itu jatuh sewaktu dia membungkuk di atas mayat Drebber,
dan saat itu dia tidak menyadarinya. Dia baru sadar setelah meninggalkan rumah, dan bergegas
kembali, tapi mendapati polisi telah berada di sana akibat kesalahannya sendiri, meninggalkan lilin
yang masih menyala. Dia berpura-pura mabuk antuk menghindari kecurigaan yang mungkin timbul
karena kemunculannya di gerbang taman. Sekarang tempatkan dirimu pada posisinya. Setelah
memikirkannya kembali, pasti terlintas dalam benaknya kemungkinan cincin itu terjatuh di jalan
setelah dia meninggalkan rumah. Apa yang akan dilakukannya" Dengan penuh semangat dia akan
membaca semua koran sore dengan harapan iklan tentang cincin itu ada pada kolom 'Ditemukan'.
Kubayangkan matanya berbinar ketika membaca iklanku. Dia pasti sangat gembira. Kenapa dia
36 harus cemas kalau-kalau ini jebakan" Dalam pandangannya, penemuan cincin itu sama sekali tak
ada hubungannya dengan pembunuhan yang dilakukannya. Dia akan datang. Percayalah padaku.
Kau akan berjumpa dengannya satu jam lagi."
"Sesudah itu bagaimana"" tanyaku.
"Aku yang akan menghadapinya. Kau punya senjata""
"Ada revolver dinasku yang lama dan beberapa butir peluru."
"Sebaiknya kaubersihkan revolver itu dan isi pelurunya. Meskipun dia tak menaruh curiga
pada kita, orang yang terjepit bisa melakukan apa saja. Jadi sebaiknya kita bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan."
Aku pergi ke kamar tidurku dan mengikuti saran Holmes. Sewaktu aku keluar kembali
membawa pistol, meja makan telah dibersihkan, dan Holmes tengah melakukan kegiatan
kesukaannya: menggesek biola secara sembarangan.
"Ceritanya semakin seru," katanya sewaktu aku masuk. "Aku baru saja mendapat jawaban
telegram yang kukirim ke Amerika. Pandanganku tentang kasus ini benar."
"Yaitu..."" tanyaku penuh semangat.
"Biolaku akan lebih merdu kalau mendapat senar baru," kata Holmes tak menjawab
pertanyaanku. "Simpan pistolmu di saku. Saat dia datang, bicaralah dengan nada biasa. Selanjutnya
biar aku yang mengurus. Jangan membuatnya takut dengan menatapnya terlalu tajam."
"Sekarang sudah pukul delapan," kataku, melirik arloji.
"Ya. Dia mungkin akan tiba beberapa menit lagi. Buka pintunya sedikit. Itu cukup. Sekarang
letakkan kuncinya di sebelah dalam. Terima kasih! buku tua ini kutemukan di kios barang bekas
kemarin... De Jure Inter Gentes diterbitkan dalam bahasa Latin di Liege, Lowlands, tahun 1642.
Kepala Charles masih utuh di lehernya sewaktu buku kecil bersampul cokelat ini terbit."
"Siapa pencetaknya""
"Philippe de Croy, entah siapa dia. Di halaman dalam, dengan tinta yang sudah sangat pudar,
tertulis 'Ex libris Guliolmi Whyte.' Aku penasaran siapa William Whyte ini. Pengacara abad ketujuh
belas yang pragmatis, mungkin. Tulisannya memiliki kecenderungan ke arah hukum... Nah, kurasa
orang yang kita tunggu-tunggu sudah datang."
Terdengar dering bel. Holmes perlahan-lahan bangkit dan meminda
hkan kursinya ke arah pintu. Kami mendengar langkah kaki pelayan melintasi lorong, dan ceklikan keras saat selot pintu
depan dibuka. 37 "Di sini tempat tinggal Dr. Watson"" tanya seseorang dengan suara jelas namun agak serak.
Kami tidak bisa mendengar jawaban pelayan, tapi pintu terdengar ditutup, dan ada orang menaiki
tangga. Langkah kakinya tidak mantap dan agak diseret. Ekspresi terkejut melintas di wajah
temanku saat ia mendengarkan bunyi langkah-langkah kaki itu. Tak lama kemudian, pintu
apartemen kami diketuk pelan.
"Masuk!" seruku.
Yang masuk bukanlah pria yang biasa menghadapi
kekerasan sebagaimana dugaan kami. Tapi seorang wanita
yang sangat tua dan keriput dengan langkah terhuyung-huyung. Ia tertegun karena cahaya terang benderang yang tiba-tiba, dan setelah membungkuk memberi hormat, ia berdiri
memandang kami dengan mata merah berkedip-kedip.
Tangannya bergerak-gerak di saku dengan gugup, gemetar.
Kulirik temanku, dan ia tampak melamun sehingga aku hanya
bisa melanjutkan aktingku.
Wanita tua itu mengeluarkan sehelai koran sore dan
menunjuk iklan kami. "Ini yang mem-bawaku kemari, tuan-tuan yang baik," katanya, sambil membungkuk memberi
hormat sekali lagi, "cincin kawin emas di Brixton Road. Itu
cincin putriku, Sally, yang baru setahun menikah dan suaminya
bekerja di kapal Union. Apa kata menantuku sepulangnya
nanti, kalau dia tahu istrinya telah menghilangkan cincin
kawin. Aku tak berani membayangkan reaksinya. Dia pemarah, apalagi kalau sedang mabuk.
Putriku Sally semalam menonton sirkus dan..."
"Ini cincinnya"" potongku.
"Puji Tuhan!" seru wanita tua itu. "Sally akan menjadi wanita yang paling gembira malam
ini. Itu memang cincinnya."
"Di mana rumah Anda"" tanyaku sambil meraih pensil.
"Duncan Street No. 13, Houndsditch. Cukup iuh dari sini."
"Brixton Road tidak terletak di antara Houndsditch dan sirkus mana pun," sela Sherlock
Holmes tajam. Wanita tua itu berpaling dan menatap temanku dengan cermat. "Tuan ini menanyakan
38 rumahku" katanya. "Sally tinggal di Mayfield Place No. 3, Peckham."
"Nama Anda..." "Sawyer... putriku Sally Dennis... karena dia menikah dengan Tom Dennis. Menantuku itu
awak kapal yang baik, sikapnya di kapal juga baik dan terpuji. Tapi di darat, dengan wanita-wanita
jalang dan toko-toko minuman itu..."
"Ini cincinnya, Mrs. Sawyer," selaku, mematuhi syarat temanku. "Jelas ini milik putri Anda,
dan aku senang bisa mengembalikannya kepada yang berhak."
Diiringi ucapan terima kasih bertubi-tubi, wanita tua itu mengantongi cincin yang kuberikan
dan tertatih-tatih menuruni tangga. Holmes melompat bangkit begitu wanita itu menghilang dan
bergegas ke kamar tidurnya. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan mengenakan mantel dan
topi. "Aku akan mengikuti wanita itu," katanya tergesa-gesa. "Dia pasti suruhan orang yang kita
cari dan akan membawaku kepadanya. Tunggu aku."
Pintu depan belum lagi ditutup setelah tamu kami keluar, sewaktu Holmes menuruni tangga.
Saat memandang ke luar jendela, aku bisa melihat wanita tua itu berjalan terhuyung-huyung di
seberang jalan, sementara penguntitnya agak jauh di belakang.
Entah seluruh teori Holmes salah, pikirku, atau dia akan dibawa ke jantung misteri ini.
Sebenarnya Holmes tidak perlu memintaku menunggu, karena mustahil aku bisa tidur se-belum mendengar hasil pelacakannya.
Waktu menunjukkan hampir pukul sembilan waktu Holmes meninggalkan rumah. Aku tidak
tahu berapa lama ia akan pergi, jadi aku duduk saja mengisap pipa sambil membalik-balik Vie de
Boheme karya Henri Murger. Pukul sepuluh berlalu, dan aku mendengar bunyi langkah kaki
pelayan saat ia bersiap-siap tidur. Pukul sebelas... langkah kaki yang lebih halus melewati pintu.
Berarti wanita induk semang kami juga akan tidur. Menjelang pukul dua belas, baru aku mendengar
selot pintu depan dibuka. Begitu Holmes masuk, aku bisa melihat dari ekspresi wajahnya bahwa ia
tidak berhasil. Penyesalan dan rasa geli tampaknya saling berjuang untuk mendominasi, sampai rasa
geli memenangkan pergulatan itu dan Holmes tertawa terbahak-bahak.
"Jangan sampai orang-orang Scotland Yard itu tahu!" serunya sambil menjatuhkan diri ke
kursi. Aku sudah begitu sering mengalahkan mereka seningga mereka tidak akan berhenti
mengejekku untuk yang satu ini. Tapi aku masih bisa tertawa, karena aku yakin aku bisa membalas
dendam pada kedua pengecohku."
"Memangnya ada apa"" tanyaku.
39 "Aku tertipu mentah-mentah, Dokter. Seperti kau tahu, aku mengikuti Mrs. Sawyer. Dia
belum jauh berjalan sewaktu mulai terpincang-pincang dan menunjukkan semua tanda kalau
kakinya sakit. Kemudian dia berhenti dan memanggil kereta yang melintas. Aku berusaha
mendekatinya supaya bisa mendengar alamatnya, tapi ternyata aku tak perlu repot-repot karena dia
menyebutkan alamatnya dengan begitu keras sehingga bisa didengar dari seberang jalan. 'Ke
Duncan Street No. 13, Houndsditch!' serunya. Kelihatannya dia tidak bohong, pikirku. Itu alamat
yang diberitahukannya kepada kita. Setelah dia masuk ke kereta, aku cepat-cepat melompat naik
dan menumpang di belakang kereta itu. Ini keahlian yang seharusnya dikuasai semua detektif. Nah,
kereta pun melaju, dan tidak berhenti hingga tiba di alamat yang dituju. Aku melompat turun
sebelum kami tiba di sana, dan melangkah menyusuri jalan dengan lagak santai. Aku melihat kereta
itu berhenti. Kusirnya melompat turun dan membuka pintu, menunggu sang penumpang keluar.
Tapi tidak ada yang keluar. Sewaktu aku tiba di dekat kusir, kulihat dia tengah melongok ke dalam
kereta yang kosong sambil menyumpah-nyumpah. Penumpangnya telah menghilang tanpa jejak,
dan dia takkan mendapat upah. Ketika bertanya pada penghuni rumah No. 13, kami mendapat
informasi bahwa rumah itu milik pria bernama Keswick, dan mereka sama sekali tidak mengenal
Mrs. Sawyer atau Mrs. Dennis."
"Maksudmu," seruku heran, "wanita tua yang jalannya tertatih-tatih itu mampu melompat
turun dari kereta yang sedang melaju" Dan kau maupun kusir tidak melihatnya""
"Wanita tua apa!" kata Sherlock Holmes tajam. "Kitalah yang layak disebut wanita tua
karena terkecoh olehnya. Dia pasti masih muda, laki-laki muda yang pandai berakting. Dia tahu
kalau dirinya diikuti, dan dengan cerdik berhasil meloloskan diri. Dari sini kita dapat
menyimpulkan bahwa pembunuh yang kita cari tidaklah bekerja seorang diri sebagaimana
bayanganku semula. Dia memiliki teman yang bersedia mengambil risiko untuknya. Nah, Dokter,
kau tampaknya sudah kehabisan tenaga, sebaiknya kau tidur sekarang."
Aku memang merasa sangat lelah, jadi kuturuti saran itu. Kutinggalkan Holmes yang masih
duduk di depan perapian yang menyala, menggesek biola sampai hari menjelang pagi. Alunan
nadanya yang melankolis menandakan bahwa sang detektif sedang memikirkan masalah aneh yang
dihadapinya. 40 Bab 6 "Keberhasilan" Tobias Gregson
Keesokan harinya berita tentang pembunuhan di Lauriston Gardens memenuhi koran-koran.
Masing-masing koran mengulas kasus yang mereka sebut "Misteri Brixton" itu secara panjang-lebar, bahkan ada yang menyajikannya sebagai berita utama. Aku memperoleh beberapa informasi
baru dari berita-berita itu. Inilah ringkasan kliping-kliping yang kukumpulkan tentang kasus
tersebut: Daily Telegraph memberi komentar bahwa dalam sejarah kejahatan, jarang sekali ada
pembunuhan yang ciri-cirinya lebih aneh dari pembunuhan ini. Nama korban yang berbau Jerman,
tidak adanya motif perampokan atau motif-motif lain, dan kata yang tertulis di dinding, semuanya
mengisyaratkan keterlibatan pelarian politik dan kaum sosialis Jerman. Sosialisme Jerman memiliki
banyak pengikut di Amerika. Tak diragukan lagi bahwa korban telah melanggar hukum tidak
tertulis mereka dan karena itu harus disingkirkan. Selah menyinggung teori-teori hebat seperti
Vehmgericht, Darwin, dan Malthus, serta mengungkit-ungkit pembunuhan di Ratcliff Highway,
penulis artikel tersebut mengecam pemerintah dan menuntut agar dilakukan pengawasan yang lebih
ketat terhadap orang asing di Inggris.
S tandard berpendapat bahwa pembunuhan keji seperti ini biasanya timbul dalam
pemerintahan liberal. Ketidakpuasan masyarakat dan pemerintah rang lemah berakumulasi pada
tindak kriminal yang melampaui batas. Menurut penyelidikan, korban adalah warga negara Amerika
yang sudah beberapa minggu tinggal di London. Ia menginap di tempat kos Madame Charpentier, di
Torquay trrace, Camberwell. Dalam perjalanannya, korban ditemani sekretaris pribadinya, Mr.
Joseph Stangerson. Keduanya mengucapkan selamat berpisah kepada induk semang mereka pada
hari Selasa, tanggal 4, dan berangkat ke Stasiun Euston dengan niat menumpang kereta Liverpool
Express. Ada saksi mata yang melihat mereka di peron, tapi setelah itu kedua orang tersebut tak
kedengaran lagi beritanya sampai mayat Mr. Drebber ditemukan di sebuah rumah kosong di Brixton
Road, berkilo-kilometer jauhnya dari Euston. Bagaimana ia bisa berada di sana, atau bagaimana
hidupnya berakhir, masih merupakan misteri. Begitu pula tentang keberadaan Stangerson.
Syukurlah, kasus ini ditangani oleh Mr. Lestrade dan Mr. Gregson, dua detektif andalan Scotland
Yard, dan kita boleh berharap mereka akan segera memecahkannya.
Daily News mengamati bahwa kasus kejahatan ini bersifat politis. Kebencian terhadap
Liberalisme yang mewarnai pemerintahan Inggris, menyebabkan kita kehilangan sejumlah orang
41 yang mestinya dapat menjadi warga negara teladan. Para penganut Liberalisme ini mempunyai
peraturan-peraturan sendiri, yang bila dilanggar berarti hukuman mati. Polisi harus segera
menemukan sekretaris korban, Stangerson, untuk mendapat informasi yang lebih rinci tentang
korban. Beruntung, ketekunan Mr. Gregson, detektif Scotland Yard, membuahkan hasil. Beliau telah
memperoleh alamat penginapan Stangerson.
Holmes tampak geli ketika membaca artikel-artikel itu bersamaku saat sarapan.
"Sudah kubilang, Watson, apa pun yang terjadi, pasti Lestrade dan Gregson yang mendapat
pujian." "Belum tentu, tergantung bagaimana akhirnya nanti."


Sherlock Holmes - Penelusuran Benang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, kau masih tak mengerti. Jika si pembunuh tertangkap, itu dianggap karena usaha
mereka. Jika si pembunuh berhasil meloloskan diri, itu akan dimaklumi karena mereka dianggap
sudah berusaha keras. Bagaimanapun akhirnya nanti, kedua detektif itu akan selalu menang. Itu
kenyataan..." "Hei, ada apa itu"" seruku, mendengar bunyi langkah-langkah kaki yang ribut di lorong dan
di tangga, ditimpali oleh seruan-seruan jengkel induk semang kami.
"Itu satuan detektif polisi divisi Baker Street,"
kata temanku dengan nada serius. Sementara ia rerbicara,
masuklah "satuan detektif polisi" itu, yaitu setengah lusin
anak jalanan yang paling kotor dan paling lusuh yang
pernah kulihat. "Siap!" Holmes memberi aba-aba, dan keenam
berandal cilik itu berdiri berjajar bagaikan sederet
patung. "Lain kali, Wiggins saja yang melapor, dan yang
lainnya menunggu di jalan, mengerti" Kau sudah
menemukannya, Wiggins""
"Belum, Sir," jawab yang ditanya.
"Sudah kudugai. Kalian harus terus berusaha
sampai menemukannya. Ini upah kalian." Holmes
memberi mereka masing-masing satu shilling. "Sekarang
pergilah, dan kembalilah dengan laporan yang lebih
baik." "Pengemis-pengemis kecil ini dapat memperoleh lebih banyak informasi daripada selusin
42 polisi," kata Holmes padaku. "Melihat sosok polisi saja semua orang sudah menutup mulut. Tapi
bocah-bocah ini bisa pergi ke mana saja dan mendengarkan percakapan apa saja. Mereka juga
sangat cerdas, hanya perlu diorganisir."
"Kau mempekerjakan mereka untuk kasus Brixton"" tanyaku.
"Ya, ada satu hal yang ingin kupastikan. Aku akan mendapatkan informasi itu, kau tunggu
saja. Wah, lihat itu! Gregson sedang menyusuri jalan dengan ekspresi penuh kemenangan! Dia pasti
akan ke tempat kita... benar, dia berhenti. Itu dia!"
Bel pintu berdentang, dan beberapa detik kemudian terdengar langkah kaki detektif itu
menaiki tangga, tiga anak tangga sekaligus. Gregson menghambur masuk ke ruang duduk kami
dengan penuh semangat. "Temanku yang baik!" serunya sambil mengguncang-g
uncang tangan Holmes, sementara
temanku tidak bereaksi. "Beri aku selamat! Aku sudah mengungkapkan semuanya hingga tuntas!"
Kegelisahan melintas di wajah temanku.
"Maksudmu kau sudah berada di jalur yang benar"" tanyanya.
"Jalur yang benar! Bukan hanya itu! Kami sudah menangkap dan menahan pelakunya!"
"Siapa dia""
"Arthur Charpentier, letnan dua di Angkatan Laut Kerajaan," jawab Gregson dengan sikap
sok. Ia menggosok-gosokkan kedua tangannya yang gemuk dan membusungkan dadanya.
Holmes mendesah lega dan tersenyum.
"Duduklah dan cicipi cerutunya," ia menyilakan. "Kami sangat ingin tahu bagaimana kau
bisa menangkap orang itu. Kau mau minum whisky""
"Terima kasih, aku memang membutuhkannya. Kerja kerasku selama satu-dua hari ini
benar-benar menguras tenaga. Bukan tenaga fisik, tapi lebih banyak pikirannya. Kau tentu mengerti,
Mr. Sherlock Holmes, karena kita berdua adalah pekerja otak."
"Kau terlalu memujiku," kata Holmes seakan bersungguh-sungguh. "Coba ceritakan,
bagaimana kau mendapatkan hasil ini."
Gregson duduk di kursi berlengan, mengisap cerutu dengan ekspresi puas. Lalu tiba-tiba, ia
menampar pahanya dengan gembira.
"Yang lucu," serunya, "adalah si bodoh Lestrade itu, yang mengira dirinya cerdas. Dia
mengikuti jejak yang salah sama sekali. Dia memburu Stangerson, yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan pembunuhan ini. Aku yakin sekarang dia sudah menangkap Stangerson."
Hal itu rupanya membuat Gregson begitu geli sehingga ia tertawa sampai tersedak.
43 "Bagaimana caramu mendapatkan petunjuk"" tanya Holmes.
"Ah, akan kuceritakan semuanya. Tentu saja, Dr. Watson, ini hanya di antara kita. Nah,
kesulitan pertama yang kami hadapi adalah bagaimana menemukan alamat serta latar belakang
korban. Detektif-detektif lain pasti hanya akan memasang iklan dan menunggu jawabannya, atau
menunggu sampai ada orang datang menyampaikan informasi secara sukarela. Namun bukan begitu
cara kerja Tobias Gregson. Kalian ingat topi yang tergeletak di samping mayat korban""
"Ya," kata Holmes, "buatan John Underwood and Sons, Camberwell Road No. 129."
Gregson tertegun. "Aku tidak tahu kalau kau menyadarinya," katanya. "Kau sudah ke sana""
"Belum." "Ha!" seru Gregson lega. "Seharusnya kau tidak melewatkan kesempatan, betapapun
kecilnya." "Bagi pikiran yang luas, tidak ada apa pun yang kecil," komentar Holmes.
"Nah, aku mengunjungi Underwood," lanjut Gregson. "Aku bertanya apakah dia pernah
menjual topi dengan ukuran serta ciri-ciri topi korban. Underwood memeriksa catatannya dan
seketika menemukannya. Dia mengirimkan topi itu kepada Mr. Drebber yang tinggal di Tempat Kos
Charpentier, Torquay Terrace. Begitulah, aku mendapatkan alamat korban."
"Cerdik... sangat cerdik!" gumam Holmes.
"Aku melanjutkan penyelidikanku dan pergi ke Tempat Kos Charpentier. Kulihat Madame
Charpentier dalam keadaan pucat dan tertekan. Putrinya juga ada di sana gadis yang sangat
menawan, tapi matanya merah dan bibirnya gemetar sewaktu aku berbicara dengannya. Tentu saja
hal itu tak luput dari pengamatanku. Aku lulai mencium sesuatu yang mencurigakan. Kau tahu
perasaan itu, Mr. Sherlock Holmes. Saat menemukan jejak yang benar, semangat kita bagai
terbakar. 'Kalian sudah mendengar tentang kematian misterius Mr. Enoch J. Drebber"' tanyaku. 'Pria
Amerika itu menyewa kamar di sini, bukan"'
"Madame Charpentier mengangguk. Wanita itu tampaknya tidak mampu berbicara. Putrinya
tiba-tiba menangis. Aku semakin yakin kalau orang-orang ini tahu tentang pembunuhan tersebut.
"'Pukul berapa Mr. Drebber meninggalkan rumah untuk menuju stasiun kereta"' tanyaku.
"'Pukul delapan,' sahut Madame Charpentier, sambil menelan ludah dengan susah payah
seolah-olah ingin menenangkan diri. 'Sekretarisnya, Mr. Stangerson, mengatakan bahwa ada dua
kereta pukul 9.15 dan pukul 11.00. Mr. Drebber berniat naik kereta yang pertama.'
"'Dan itu terakhir kali kalian bertemu dengannya"'
44 "Wajah Madame Charpentier jadi pucat pasi ketika dia mendengar pertanyaan itu. Dia me-merlukan waktu beberapa detik sebelum menjawab singkat, 'Ya.' Saat berbicar
a, suaranya pelan dan tidak wajar. "Sejenak kami semua terdiam, lalu putri Madame Charpentier berbicara dengan suara tenang
dan jelas. "'Tak ada gunanya berbohong, Ibu,' katanya. 'Lebih baik kita bersikap jujur pada tuan ini.
Kita memang bertemu lagi dengan Mr. Drebber.'
"'Demi Tuhan, Alice!' seru Madame Charpentier, sambil melontarkan tangannya ke atas dan
me-rosot di kursinya. 'Kau membunuh kakakmu.'
"'Arthur pasti lebih suka kita mengungkapkan yang sebenarnya,' jawab gadis itu tegas.
"'Sebaiknya kalian ceritakan semuanya sekarang,' tukasku. 'Informasi separo-separo lebih
buruk daripada tidak memberi informasi sama sekali. Lagi pula, kalian tidak tahu seberapa banyak
yang sudah kami ketahui.'
"'Alice, kau yang harus menanggung akibatnya!' seru Madame Charpentier menyesali
putrinya. Berpaling padaku, ia lalu berkata, 'Akan saya ceritakan semuanya, Sir. Saya mencemaskan
nasib anak laki-laki saya, namun itu bukan karena dia bersalah. Saya hanya takut Anda dan orang-orang lain menganggap dia terlibat dalam pembunuhan itu, padahal kenyataannya tidak demikian.
Sifat-sifat anak saya, latar belakangnya, pekerjaannya... semua membuktikan dia tak mungkin
melakukan kejahatan itu.'
"'Sebaiknya Anda berterus terang,' ujarku. Kalau putra Anda memang tak bersalah, dia tentu
tak akan ditangkap.' "'Mungkin, Alice, lebih baik kautinggalkan kami berdua,' kata Madame Charpentier, dan
putrinya meninggalkan ruangan. 'Baiklah, Sir,' lanjut Madame Charpentier, 'saya sama sekali ridak
berniat menceritakan semua ini, tapi karena putri saya sudah menyinggungnya, saya tidak memiliki
pilihan lain. Akan saya ungkapkan seluruh kejadiannya tanpa melewatkan satu rincian pun.'
"'Itu tindakan yang paling bijak,' kataku.
"'Mr. Drebber sudah menginap di tempat kami selama hampir tiga minggu. Dia dan
sekretarisnya, Mr. Stangerson, sedang melakukan perjalanan keliling Eropa. Sebelum ke London,
mereka rupanya pergi ke Copenhagen... saya melihat label kota itu pada koper-koper mereka.
Stangerson pria yang pendiam dan tertutup, tapi bosnya, tidak enak bagi saya untuk mengatakan-nya, jauh berbeda. Mr. Drebber orangnya kasar dan tak tahu sopan santun. Ketika tiba di sini, dia
mabuk berat, dan di hari-hari selanjutnya jarang kami melihatnya dalam keadaan sadar, baik siang
maupun malam. Sikapnya terhadap para pelayan wanita sangat tidak sopan, begitu pula terhadap
45 putri saya Alice. Bukan satu-dua kali dia mengatakan hal-hal yang tak pantas kepada putri saya itu.
Untungnya, Alice terlalu polos untuk memahami ucapan-ucapan yang kurang ajar itu. Terakhir, dia
malah memeluk putri saya tindakan yang begitu lancang sehingga sekretarisnya sendiri
menegurnya.' "'Tapi kenapa Anda mendiamkan semua ini"' tanyaku. 'Anda kan bisa mengusir mereka.'
"Wajah Madame Charpentier memerah mendengar pertanyaanku itu. 'Sejak hari pertama
saya sudah ingin mengusir mereka,' akunya. 'Tapi saya tergoda oleh uang yang mereka bayarkan.
Satu pound sehari per orang... berarti empat belas pound seminggu, dan ini musim sepi. Saya
seorang janda, sementara putra saya yang di Angkatan Laut masih memerlukan biaya. Demi uang,
saya terpaksa menahan diri. Tapi tindakan Mr. Drebber yang terakhir itu sudah keterlaluan, dan saya
mengusirnya. Itu sebabnya dia pergi dari sini.'
"'Lalu"' "'Hati saya terasa ringan sewaktu melihatnya pergi. Putra saya sedang cuti, tapi saya tidak
menceritakan masalah ini padanya. Dia gampang naik darah, dan dia sangat menyayangi adiknya.
Sayangnya, kelegaan saya tak berumur panjang. Kurang dari satu jam kemudian bel berbunyi, dan
Mr. Drebber datang lagi. Dia sangat bersemangat, dan jelas sangat mabuk. Dia memaksa masuk ke
dalam ruangan tempat saya dan Alice sedang duduk, dan dia berceloteh tidak jelas tentang
tertinggal kereta. Di depan mata saya, dia nekat mengajak Alice pergi bersamanya. 'Usiamu sudah
cukup," katanya, "dan tidak ada hukum yang melarangmu. Aku punya banyak uang. Jangan
pedulikan nenek tua ini, ikutlah denganku sekarang juga. Kau akan hidup seperti putri." Ali
ce yang malang begitu ketakutan hingga mengerut menjauhinya, tapi dia menangkap pergelangan tangan
Alice dan hendak menyeretnya ke pintu. Saya menjerit, dan pada saat itu putra saya Arthur masuk
ke dalam ruangan. Apa yang terjadi sesudah itu saya tidak tahu. Saya mendengar sumpah serapah
dan suara orang diseret. Saya terlalu takut untuk mengangkat kepala. Sewaktu akhirnya saya
menengadah, saya melihat Arthur berdiri di ambang pintu sambil membawa sebatang tongkat.
"Kurasa orang itu tidak akan mengganggu kita lagi," katanya tertawa. "Aku akan mengejarnya dan
melihat apa yang dilakukannya sekarang." Arthur mengambil topi dan berjalan ke luar. Keesokan
paginya, kami mendengar tentang kematian Mr. Drebber yang misterius.'
"Kisah ini dituturkan Madame Charpentier dengan banyak sela. Terkadang dia bicara begitu
pelan sehingga aku hampir-hampir tidak bisa mendengar kata-katanya. Tapi aku mencatatnya
dengan steno, jadi tidak mungkin ada kesalahan."
"Benar-benar menarik," kata Sherlock Holmes sambil menguap. "Apa yang terjadi
selanjutnya"" 46 "Sewaktu Madame Charpentier diam sejenak," lanjut sang detektif, "aku menyadari bahwa
seluruh kasus ini tergantung pada satu hal. Sambil menatapnya tajam dan lurus hal yang menurut
pengalamanku sangat efektif terhadap wanita kutanyakan pukul berapa putranya pulang.
"'Entahlah,' jawabnya.
"'Anda tidak tahu"'
"'Tidak, Arthur memiliki kunci rumah, dan dia masuk sendiri.'
"'Sesudah Anda tidur"'
"'Ya.' "'Pukul berapa Anda tidur"'
"'Sekitar pukul sebelas.'
"'Jadi putra Anda pergi paling sedikit selama dua jam"'
"'Benar.' "'Mungkin empat atau lima jam"'
"'Bisa saja.' "'Apa yang dilakukannya selama itu"'
"'Saya tidak tahu,' jawab Madame Charpentier dengan gemetar.
"Semua sudah jelas. Letnan Charpentier terlibat dalam pembunuhan Mr. Drebber.
Kutanyakan di mana pemuda itu berada, dan bersama dua petugas, aku menangkapnya. Ketika aku
menyentuh bahunya sambil memperingatkan agar dia mengikuti kami tanpa keributan, pemuda itu
menjawab dengan berani, 'Kalian pasti menangkapku karena kematian si keparat Drebber itu!' Kami
belum mengatakan apa-apa tentang itu, jadi kata-katanya sangat mencurigakan."
"Sangat," kata Holmes setuju.
"Letnan Charpentier masih membawa tongkat vang menurut cerita ibunya, dibawanya ketika
mengikuti Drebber. Tongkat itu terbuat dari kayu ek dan cukup kokoh."
"Lalu, apa teorimu""
"Menurutku, kejadiannya begini: Letnan Charpentier mengikuti Drebber hingga ke Brixton
Road. Di sana mereka bertengkar dan Charpentier memukul Drebber dengan tongkat, mungkin di
ulu hati, sehingga Drebber tewas tanpa meninggalkan luka. Karena malam itu hujan, jalanan sepi.
Charpentier dengan leluasa menyeret mayat korban ke rumah kosong. Mengenai lilin, cincin, darah,
dan tulisan di dinding, semua mungkin sekadar tipuan agar polisi melacak jejak yang salah."
"Bagus sekali!" Holmes memuji. "Sungguh, Gregson, kau sudah mengalami banyak
kemajuan. Kau akan menjadi detektif yang hebat."
47 "Aku memang bangga karena berhasil memecahkan kasus ini," jawab sang detektif. "Arthur
Charpentier sudah memberikan pernyataan. Katanya, dia mengikuti Drebber selama beberapa
waktu, tapi Drebber lalu sadar dirinya dibuntuti dan melarikan diri dengan taksi. Menurut penga-kuan Charpentier, setelah itu dia berjalan pulang, tapi kebetulan bertemu bekas teman sekapalnya.
Mereka berdua pergi berjalan-jalan cukup jauh. Sewaktu kami bertanya di mana temannya itu
tinggal, Charpentier tak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Kupikir kasus ini sudah
selesai, Charpentierlah pembunuhnya, semua faktanya cocok. Aku benar-benar geli kalau teringat
pada Lestrade yang melacak jejak yang salah. Aku yakin dia tidak berhasil mendapatkan banyak
petunjuk di sana. Astaga, ini dia orangnya!"
Memang, Lestrade-lah yang menaiki tangga
sewaktu kami bercakap-cakap, dan sekarang ia memasuki
ruangan. Sikapnya yang biasanya bersemangat dan penuh
percaya diri sekarang memudar. Wajahnya tampak
gelisah dan cemas, sementara pakaiannya kusut masai. Ia
jelas da tang untuk berkonsultasi dengan Sherlock
Holmes, karena begitu melihat kehadiran rekannya, ia
tampak malu dan jengkel. Ia berdiri di tengah-tengah
ruangan, mempermainkan topinya dengan gugup dan
bimbang, sepertinya ia tidak yakin harus berbuat apa.
"Kasus ini sungguh luar biasa...," katanya
akhirnya, "kasus yang sama sekali tak bisa di-pahami."
"Ah, begitu menurutmu, Mr. Lestrade!" seru
Gregson penuh kemenangan. "Sudah kuduga kau akan
menyimpulkan begitu. Kau berhasil menemukan
sekretaris itu, Mr. Joseph Stangerson""
"Sang sekretaris... Mr. Joseph Stangerson... mati dibunuh di Halliday's Private Hotel sekitar
pukul enam tadi pagi," jawab Lestrade muram.
48 Bab 7 Cahaya dalam Kegelapan Berita yang disampaikan Lestrade begitu tidak terduga sehingga kami semua terdiam
karenanya. Lalu Gregson melompat bangkit, nyaris menumpahkan sisa whisky-nya, sementara aku
dan Holmes bertukar pandang. Bibir Holmes terkatup rapat dan kedua alisnya mengerut.
"Stangerson juga!" gumamnya. "Alur ceritanya semakin rumit."
"Padahal sebelumnya sudah cukup rumit," gerutu Lestrade sambil meraih kursi. "Kalian
tampaknya sedang membahas kasus ini juga."
"Kau... kau yakin tentang kebenaran berita ini"" tanya Gregson terbata.
"Aku baru saja meninggalkan kamar Stangerson," Lestrade menegaskan. "Aku yang pertama
kali menemukan mayatnya."
"Tadi kami sudah mendengarkan pendapat Gregson mengenai kasus ini," kata Holmes. "Kau
tidak keberatan untuk menceritakan apa yang sudah kaulihat dan lakukan""
"Aku tidak keberatan," jawab Lestrade sambil duduk. "Kuakui semula aku beranggapan
Stangerson terlibat dalam kematian Drebber, namun perkembangan baru ini menunjukkan bahwa
aku salah sama sekali. "Dengan gagasan bahwa Stangerson bersalah, aku melacak sekretaris itu. Ada saksi yang
melihat Stangerson dan Drebber di Stasiun Euston pada tanggal tiga sekitar pukul setengah
sembilan malam. Esoknya pada pukul dua dini hari, Drebber ditemukan tewas di Brixton Road.
Pertanyaannya adalah, apa yang dilakukan Stangerson antara pukul setengah sembilan hingga saat
kejadian berlangsung, dan ke mana dia pergi setelah itu. Aku mengirim telegram ke Liverpool,
memberikan gambaran tentang pria itu, dan memperingatkan mereka untuk mengawasi kapal-kapal
Amerika. Kemudian aku menghubungi semua hotel dan penginapan di kawasan Euston. Menurutku
kalau Drebber dan teman seperalanannya berpisah, sewajarnyalah jika sang teman menginap di
daerah itu, lalu menunggu di stasiun keesokan paginya."
"Bisa saja mereka sepakat untuk bertemu di tempat lain," sela Holmes.
"Ternyata memang begitu. Hampir sepanjang malam aku berputar-putar di kawasan Euston
dan mendatangi hotel-hotel di sana, namun hasilnya nihil. Tadi pagi-pagi sekali aku sudah
berangkat untuk melanjutkan penyelidikan, dan pada pukul delapan aku tiba di Halliday's Private
Hotel, di Little George Street. Sewaktu kutanyakan apakah Mr. Stangerson menginap di sana,
49

Sherlock Holmes - Penelusuran Benang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka langsung mengiyakan.
"'Anda pasti orang yang ditunggu pria itu,' kata mereka. 'Sudah dua hari dia menunggu-nunggu.'
"'Di mana dia sekarang"' tanyaku.
"'Di kamarnya di lantai atas. Dia minta dibangunkan pada pukul sembilan.'
"'Aku akan menemuinya sekarang juga,' kataku.
"Kukira kemunculanku yang tiba-tiba akan mengejutkan Stangerson, sehingga tanpa sadar
dia mungkin mengatakan sesuatu yang memberatkan dirinya. Ditemani petugas hotel, aku naik ke
lantai dua dan menyusuri koridor sempit menuju kamar Stangerson. Petugas hotel menunjukkan
pintu kamarnya padaku, dan berbalik hendak turun kembali. Ketika itulah aku melihat sesuatu yang
langsung menimbulkan rasa mualku. sekalipun aku sudah dua puluh tahun menjadi polisi. Dari
bawah pintu, mengalir darah yang terus bergerak menyeberangi lorong sampai mem-bentuk kolam
kecil di tepi dinding. Aku ber-teriak, dan petugas hotel itu pun berbalik kembali. Dia hampir
pingsan ketika melihat pemandangan itu.
"Pintu kamar Stangerson terkunci dari dalam, tapi aku dan petugas hotel berhasil
mendobraknya. Kam i masuk ke kamar itu dan mendapati endelanya terbuka. Di samping jendela
ada mayat pria yang meringkuk rapat, masih mengenakan pakaian tidur. Dia pasti sudah tewas
selama beberapa jam, karena kaki dan tangannya sudah dingin dan kaku. Sewaktu kami membalik
jenazah itu, petugas hotel mengenalinya sebagai pria yang menyewa kamar atas nama Joseph
Stangerson. Penyebab kematian korban adalah tusukan yang dalam di sisi kiri tubuhnya, yang pasti
sudah menembus jantung. Dan sekarang, bagian yang paling aneh dari kasus ini. Kalian bisa
menebak, apa yang ada di dinding di atas pria yang terbunuh itu""
Bulu kudukku meremang, rasa takut merayap di hatiku bahkan sebelum Holmes menjawab.
"Kata RACHE, ditulis dengan darah," katanya.
"Benar," kata Lestrade, dengan suara tertegun, dan kami semua terdiam sejenak.
Ada sesuatu yang metodis dan tidak bisa dipahami mengenai tindakan-tindakan pembunuh
misterius ini, sehingga kasusnya tampak semakin mengerikan. Sarafku, yang cukup stabil di medan
pertempuran, sekarang rasanya mulai terganggu.
"Ada saksi yang melihat si pembunuh," lanjut Lestrade. "Seorang bocah pengantar susu
kebetulan melewati jalan di belakang hotel ketika menuju peternakan. Dia melihat tangga yang
biasanya tergeletak di sana, saat itu terangkat ke salah satu jendela di lantai dua yang terbuka lebar.
Setelah lewat, bocah itu berpaling kembali dan melihat seorang pria tengah menuruni tangga. Pria
50 itu turun dengan tenang dan secara terang-terangan, sehingga si bocah mengira dia tukang kayu
yang bekerja di hotel. Bocah itu tidak terlalu memperhatikannya, dia hanya ber-pikir bahwa pria itu
bekerja terlalu pagi. Ketika aku memintanya memberikan gambaran tentang pria itu, si bocah
mengatakan bahwa dia bertubuh jangkung, berwajah kemerahan, dan mengenakan mantel panjang
cokelat. Kuduga pria itu tetap berada di kamar selama beberapa waktu sesudah melakukan
pembunuhan, karena kami menemukan air bercampur darah di baskom, tempat dia mencuci tangan,
dan bercak-bercak pada seprai yang digunakannya untuk membersihkan pisaunya."
Aku melirik Holmes begitu mendengar deskripsi tentang si pembunuh yang persis seperti
dugaannya. Tapi, tidak ada tanda-tanda rasa bangga atau puas di wajahnya.
"Adakah sesuatu yang kautemukan di dalam kamar yang bisa menjadi petunjuk mengenai
siapa pembunuhnya""
"Tidak ada. Stangerson membawa dompet Drebber di sakunya, tapi tampaknya ini hal biasa,
karena selama ini dia yang membayar semua pengeluaran mereka. Isi dompet itu delapan puluh
pound lebih, dan tampaknya tidak ada yang diambil. Apa pun motif kejahatan luar biasa ini,
perampokan jelas tidak termasuk di dalamnya. Tak ada dokumen atau catatan di saku pria yang
terbunuh itu, kecuali sebuah telegram, dikirim dari Cleveland sekitar sebulan yang lalu, dan berisi
pesan, 'J.H. ada di Eropa.' Tidak ada nama dalam pesan ini."
"Dan tidak ada apa-apa lagi"" tanya Holmes.
"Tidak ada yang penting. Novel pria itu, yang dibacanya sebagai pengantar tidur, tergeletak
di ranjang, dan pipanya ada di kursi di sampingnya. Ada segelas air di meja, dan di kusen jendela
ada kotak kecil berisi dua buah pil."
Holmes melompat bangkit dari kursinya sambil berseru gembira, "Mata rantai terakhir!
Kasusku selesai!" Lestrade dan Gregson terpana menatapnya.
"Sekarang aku sudah berhasil menguraikan semua kerumitan ini dan mendapatkan benang
merahnya," kata temanku penuh percaya diri. Tentu saja, ada beberapa rincian yang harus diselidiki,
tapi aku sudah yakin akan fakta-fakta utamanya. Aku tahu semua yang terjadi sejak saat Drebber
dan Stangerson berpisah di stasiun hingga mayat Stangerson ditemukan tadi pagi. Semua begitu
jelas, seakan-akan aku menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Aku akan membuktikannya
pada kalian. Lestrade, pil-pil itu ada padamu""
"Ya," kata Lestrade sambil mengeluarkan sebuah kotak putih kecil. "Kotak ini, dompet, dan
telegramnya kubawa untuk diamankan di kantor polisi. Aku hampir-hampir tidak membawa pil-pil
51 ini, karena kupikir tak ada hubungannya dengan kasus ini."
"Berikan padaku," tukas Holmes. "Nah, Dokter," katanya berpaling
padaku, "tolong per-hatikan... apa ini pil-pil biasa""
Jelas bukan. Warna kedua pil itu kelabu bagai mutiara, bentuknya kecil, bulat, dan hampir
tembus pandang bila terkena cahaya. "Dari berat dan kejernihannya, aku yakin pil-pil ini larut
dalam air," kataku. "Tepat sekali," jawab Holmes. "Sekarang, kau tidak keberatan untuk turun ke bawah dan
mengambil anjing terrier kecil yang sudah menderita sekian lama itu" Induk semang kita sudah
memintamu untuk menyuntik mati anjing malang itu, bukan""
Aku turun ke lantai bawah dan naik kembali membawa anjing yang dimaksud Holmes.
Napasnya yang berat dan matanya yang berkaca-kaca menunjukkan bahwa makhluk itu sedang
sekarat. Kuletakkan anjing itu di atas bantal di karpet.
"Salah satu pil ini akan kubelah menjadi dua," ujar
Holmes sambil mengeluarkan pisau lipatnya.
"Separonya kita kembalikan ke kotak untuk keperluan
di masa mendatang. Separo yang lain kuletakkan di gelas
anggur yang sudah kuisi dengan sesendok teh air. Dugaan
teman kita, Dr. Watson, tepat. Pil ini larut seketika."
"Percobaan ini mungkin sangat menarik," kata Lestrade
tersinggung, seolah-olah dirinya sedang ditertawakan,
"tapi aku tidak melihat hubungannya dengan kematian
Mr. Joseph Stangerson."
"Sabar, temanku, sabar! Pada waktunya kau akan tahu
bahwa pil-pil ini justru berkaitan sangat erat dengan
pembunuhannya. Sekarang kutambahkan sedikit susu
agar campuran ini lebih enak. Kalian lihat, anjing malang
ini langsung menjilatinya."
Sambil bicara, Holmes menuangkan isi gelas anggur itu ke piring kecil dan meletakkannya
di didepan anjing yang seketika menjilatinya hingga tandas. Sikap Holmes sejauh ini telah
meyakinkan kami, sehingga kami semua duduk tanpa bersuara, mengawasi hewan itu dengan tajam
dan mengharapkan pengaruh yang mengejutkan. Tapi tidak terjadi apa-apa. Anjing itu terus saja
berbaring di bantal, bernapas dengan susah payah, tampak tidak lebih baik atau lebih buruk akibat
52 minumannya. Holmes telah mengeluarkan arlojinya, dan saat menit demi menit berlalu tanpa hasil,
kekecewaan besar mewarnai wajahnya. Ia menggigit bibirnya, mengetuk-ngetukkan jemarinya di
meja, dan menunjukkan semua gejala ketidaksabaran hebat lainnya. Begitu besar emosinya,
sehingga aku sungguh-sungguh merasa kasihan padanya, sementara kedua detektif polisi tersenyum
mengejek, senang melihat kegagalan Holmes.
"Tidak mungkin kebetulan!" seru Holmes, akhirnya melompat bangkit dari kursinya dan
mondar-mandir di dalam ruangan. "Mustahil kalau ini cuma kebetulan. Pil-pil yang kuduga
berkaitan dengan kasus Drebber ditemukan sesudah kematian Stangerson. Tapi pil-pil itu tidak
berguna. Apa artinya" Jelas seluruh rangkaian pemikiranku tidak mungkin keliru. Mustahil! Tapi
anjing ini tidak bertambah parah. Ah, aku mengerti!" Sambil berteriak gembira Holmes bergegas
mengambil kotak pil, membelah pil yang satu lagi menjadi dua, melarutkannya, menambahkan
susu, dan memberikannya kepada si anjing. Lidah makhluk malang itu tampaknya belum lagi
tercelup ke dalam larutan sewaktu tubuhnya mengejang, dan ia tergeletak mati seakan-akan baru
disambar petir. Holmes menghela napas panjang dan menghapus keringat dari keningnya. "Seharusnya aku
lebih yakin," katanya. "Seharusnya aku tahu dari pengalaman bahwa ketika ada fakta yang
tampaknya bertentangan dengan serangkaian panjang proses deduksi, fakta itu bisa saja
membuktikan penafsiran yang lain. Dari kedua pil yang ada di ialam kotak ini, salah satunya adalah
racun yang mematikan, sementara yang lainnya sama sekali tidak berbahaya. Mestinya aku sudah
memperhitungkan itu bahkan sebelum melihat kotaknya."
Pernyataan terakhir ini begitu mengejutkan sehingga aku bertanya-tanya apakah Holmes
tidak sedang meracau. Tapi bangkai anjing di depan kami membuktikan kebenaran kesimpulannya.
Kabut dalam benakku perlahan-lahan menipis, dan aku mulai memahami pemikiran Holmes.
"Semuanya ini tampak aneh bagi kalian," jelas Holmes, "karena pada awal penyelidik
an kalian tidak menyadari pentingnya satu petunjuk yang ada di depan mata kalian. Aku cukup
beruntung bisa mengenalinya, dan semua yang terjadi setelahnya mengkonfirmasikan dugaan
pertamaku, sebab semua itu merupakan rangkaian yang logis dari kejadian pertama. Hal-hal yang
membingungkan kalian dan menjadikan kasus ini semakin kabur, bagiku justru menjelaskan
segalanya dan memperkuat kesimpulanku. Salah sekali jika kita menganggap keanehan sama
dengan misteri. Kejahatan yang paling umum sering kali justru yang paling misterius, karena tidak
menghadirkan hal-hal baru yang bisa menjadi petunjuk. Kasus pembunuhan Drebber jelas akan
53 lebih sulit dipecahkan, jika mayat korban ditemukan tergeletak di rel kereta api. Detail-detail aneh
yang sama-sama sudah kita ketahui itulah yang memudahkan pemecahan kasusnya."
Gregson, yang mendengarkan penuturan Holmes dengan ketidaksabaran yang cukup
mencolok, tak bisa menahan diri lagi. "Dengar, Mr. Sherlock Holmes," tukasnya, "kami semua
mengakui bahwa kau memang pandai, dan kau memiliki metode kerja sendiri. Tapi saat ini kami
menginginkan lebih dari sekadar teori atau ceramah. Masalahnya adalah bagaimana menangkap si
pembunuh. Tadi aku sudah mengemukakan pendapatku, dan tampaknya aku keliru. Charpentier
muda tidak mungkin terlibat dalam pembunuhan kedua ini. Lestrade memburu sasarannya,
Stangerson, dan tampaknya dia juga keliru. Kau memberi petunjuk di sana-sini, dan tampaknya
lebih tahu daripada kami berdua, tapi sudah tiba saatnya kami bertanya, berapa banyak sebenarnya
yang kauketahui tentang urusan ini. Kau bisa menyebutkan nama pelakunya""
"Dalam hal ini aku sependapat dengan Gregson, Sir," ujar Lestrade. "Kami berdua sudah
berusaha, dan sama-sama gagal. Sejak aku tiba di sini, bukan hanya sekali kau berkata bahwa kau
sudah mendapatkan semua bukti yang kauperlukan. Kau tentu tidak akan menyembunyikannya
lebih lama lagi, bukan""
"Jika pembunuhnya tidak segera ditangkap," timbrungku, "berarti dia punya kesempatan
untuk beraksi lagi!"
Didesak oleh kami semua, Holmes sepertinya tak bisa mengambil keputusan. Ia mondar-mandir dalam ruangan dengan kepala tertunduk dan alis mengerut, sebagaimana kebiasaannya bila
ia tengah tenggelam dalam pemikiran.
"Tidak akan ada pembunuhan lagi," katanya pada akhirnya, berhenti dengan tiba-tiba dan
menghadapi kami. "Kalian bisa mengesampingkan kemungkinan itu. Kalian menanyakan apakah
aku tahu nama pembunuhnya. Ya, aku tahu. Mengetahui namanya merupakan hal yang sepele
dibandingkan dengan kemampuan untuk me-nangkapnya. Kuharap rencanaku berhasil dan kita bisa
segera menangkapnya. Situasinya memerlukan penanganan yang hati-hati, karena kita berhadapan
dengan seorang pria yang cerdik dan nekat, apalagi dia didukung oleh orang lain yang sama
cerdiknya. Selama pria ini tidak menyadari bahwa ada orang yang memiliki petunjuk yang bisa
menangkapnya, kita mungkin akan berhasil. Tapi jika dia menaruh curiga sedikit saja, dia akan
mengganti nama dan menghilang seketika di antara empat juta penduduk kota besar ini. Tanpa
bermaksud menyinggung perasaan kalian, aku terpaksa mengatakan bahwa petugas kepolisian
bukanlah tandingan kedua orang yang kita cari. Itu sebabnya aku ingin menangani hal ini sendiri.
Seandainya aku gagal, tentu saja aku akan mengakui kesalahan karena tidak meminta bantuan
54 kalian. Aku berjanji bahwa begitu aku bisa memberitahu kalian apa pun yang tidak membahayakan
persiapanku sendiri, aku akan melakukannya."
Gregson dan Lestrade tampak jauh dari puas mendengar jaminan ini, lebih-lebih, ucapan
Holmes terkesan merendahkan detektif kepolisian. Wajah Gregson merah padam, sementara mata
rekannya berkilat-kilat penasaran. Namun sebelum mereka berdua sempat berbicara, terdengar
ketukan pintu, dan Wiggins, juru bicara kelom-pok anak jalanan, muncul.
"Please, Sir," katanya. "Keretanya sudah menunggu di bawah."
"Anak pandai," kata Holmes. "Kenapa kalian tidak memperkenalkan alat ini di Scotland
Yard," lanjutnya, sambil mengeluarkan borgol baja dari la
ci. "Lihat betapa hebat cara kerja
pegasnya. Seketika mengunci."
"Borgol yang lama sudah cukup baik," tukas Lestrade, "kalau saja kita bisa menemukan
orang yang harus mengenakannya."
"Bagus sekali, bagus sekali," kata Holmes tersenyum. "Suruh kusirnya naik, Wiggins. Aku
perlu bantuan untuk membawa barang-barangku".
Aku terkejut melihat temanku berbicara seakan-akan ia siap untuk bepergian, karena sedikit
pun ia tidak pernah menyinggung rencana ini. Holmes menghampiri koper kecil yang ada di ruang
duduk kami dan mulai mengikat talinya. Ia sedang berkutat dengan tali koper itu sewaktu sang kusir
memasuki ruangan. "Tolong bantu aku mengikat ini, Kusir," kata
Holmes tanpa berpaling. Kusir berwajah masam itu mendekat dengan
enggan, diulurkannya tangan untuk membantu. Pada
saat itu terdengar bunyi ceklikan, dentingan logam,
lalu Holmes tiba-tiba melompat bangkit.
"Tuan-tuan," serunya dengan mata berbinar,
"perkenalkan... inilah Mr. Jefferson Hope,
pembunuh Enoch Drebber dan Joseph Stangerson."
Kejadiannya berlangsung begitu cepat,
sehingga kami hampir-hampir tidak menyadarinya.
Tapi aku masih ingat dengan jelas ekspresi Holmes
saat itu dan nada suaranya yang penuh ke-menangan, sementara si kusir tampak tertegun dan
55 berang, matanya memelototi borgol yang seakan-akan muncul secara ajaib di pergelangannya.
Selama satu-dua detik kami semua terdiam bagaikan patung. Lalu sambil meraung buas, tahanan itu
membebaskan diri dari cengkeraman Holmes dan menerjang jendela. Kayu dan kaca pecah
berantakan ditembus tubuhnya. Tapi sebelum ia sempat meloloskan diri, Gregson, Lestrade, dan
Holmes sudah menerkamnya bagai anjing-anjing pemburu. Pria itu diseret kembali ke dalam
ruangan, dan pergulatan yang hebat pun dimulai. Orang itu begitu kuat dan buas sehingga kami
berempat hampir-hampir tak mampu menghadapinya. Ia memiliki tenaga di luar kemampuan
manusia biasa, seperti orang yang terserang epilepsi. Wajah dan tangannya dipenuhi luka-luka
akibat usahanya menerobos jendela, namun hilangnya darah tidak mengurangi perlawanannya. Baru
setelah Lestrade berhasil meraih kain yang melilit di lehernya dan setengah mencekiknya, pria itu
menyadari kalau perlawanannya sia-sia. Tapi kami belum merasa aman sampai kami berhasil
mengikat kaki dan tangannya. Setelah hal itu dilakukan, kami bangkit berdiri dengan nafas
terengah-engah. "Kereta orang ini ada di sini," kata Holmes. "Kita bisa menggunakannya untuk
membawanya ke Scotland Yard. Dan sekarang, Tuan-tuan," lanjutnya sambil tersenyum senang,
"kita telah mencapai akhir misteri kecil kita. Kalian boleh mengajukan pertanyaan apapun... aku
pasti akan menjawabnya."
56 BAGIAN II TANAH ORANG SUCI 57 Bab 1 Di Padang Garam Di kawasan tengah benua Amerika Utara terbentang padang pasir yang kering dan
memuakkan, yang selama bertahun-tahun telah menjadi penghalang kemajuan peradaban. Dari
Sierra Nevada ke Nebraska, dari Sungai Yellowstone di utara hingga Colorado di selatan, kawasan
tersebut terisolir dan sunyi. Alam pun tidak selalu stabil di seluruh daerah yang muram ini. Padang
pasir tersebut terdiri atas pegunungan dengan puncak-puncak yang tertutup salju, serta lembah-lembah yang gelap dan muram. Ada sungai-sungai yang mengalir deras di jurang-jurang, ada pula
dataran-dataran rendah yang di musim dingin tampak putih karena tertutup salju dan di musim
panas tampak kelabu karena debu garam alkali. Namun semuanya mempertahankan ciri-ciri yang
sama akan kckeringan, ketidakramahan, dan kesengsaraan.
Tak ada manusia yang menghuni tanah keputusasaan ini. Sekelompok Indian Pawnee atau
Blackfeet sesekali melintasinya untuk mencapai lahan perburuan, tapi pemburu yang paling berani
pun merasa gembira ketika sudah meninggalkan padang garam itu dan kembali berada di padang
rumput. Coyote-coyote mengintai di sela sesemakan, burung-burung nazar mengepak-ngepakkan
Pendekar Panji Sakti 2 Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir Kemelut Di Majapahit 5
^