Pencarian

House Of Hades 5

The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades Bagian 5


ingat apa-apa. Mengapa dia begitu penting?" Frank tampak tersinggung. "Dia adalah kaisar besar pagan
terakhir!" Leo memutar bola matanya. "Mengapa aku tidak kaget kau mengetahui hal itu, Zhang?"
"Mengapa aku seharusnya tidak tahu" Dia adalah kaisar terakhir yang menyembah dewa-dewi Olympia,
sebelum Konstantinus datang dan menganut Kristen." Hazel mengangguk. "Aku ingat sesuatu tentang
itu. Suster-suster di St. Agnes mengajarkan kepada kami bahwa Diocletian adalah penjahat besar, sejajar
dengan Nero dan Kaligula."
Hazel memandang tak setuju kepada Jason. "Mengapa kau mengidolakannya?" "Dia tidak sepenuhnya
jahat," kata Jason. "Yeah, dia memang menganiaya orang-orang Kristen, tapi selain itu dia adalah
pemimpin yang baik. Dia bekerja keras mencapai kedudukannya dari bukan siapa-siapa dengan
bergabung dalam legiun. Orangtuanya adalah mantan budak atau setidaknya ibunya yang mantan budak.
Para demigod tahu dia adalah putra Jupiter"demigod terakhir yang memerintah Romawi. Dia juga
kaisar pertama yang pensiun, secara damai, dan menyerahkan kekuasaannya. Dia berasal dari Dalmatia,
maka dia kembali ke sana dan membangun istana peristirahatan. Kota Split berkembang di sekitar ...."
Ucapannya terhenti ketika dia menatap Leo, yang tengah pura-pura menulis dengan pensil udara.
"Silakan dilanjutkan, Profesor Grace!" kata Leo, dengan mata dilebar-lebarkan. "Saya ingin mendapat
nilai A saat ujian." "Tutup mulutmu, Leo." Piper menyesap sesendok sup lagi. "Jadi, apa sebabnya Istana
Diocletian ini sangat istimewa?" Nico membungkuk dan mengambil sebutir anggur. Mungkin hanya
itulah yang dimakan cowok itu sepanjang hari. "Konon hantu Diocletian bergentayangan di istana itu."
"Dia adalah putra Jupiter, sepertiku," kata Jason. "Makamnya sudah hancur berabad-abad lalu, tapi
Reyna dan aku dulu sering bertanya-tanya apakah kami bisa menemui hantu Diocletian dan bertanya di
mana dia dikuburkan yah, menurut legenda, tongkat kerajaan Diocletian dikubur bersamanya." Nico
melempar seulas senyum tipis menakutkan. "Ah legenda yang itu." "Legenda apa?" tanya Hazel.
Nico menoleh ke arah saudarinya. "Konon tongkat kerajaan Diocletian bisa memanggil hantu-hantu
legiun Romawi, semua yang menyembah dewa-dewi lama." Leo bersiul. "Oke, sekarangaku tertarik.
Akan menyenangkan punya sepasukan zombi pagan yang keren di pihak kita ketika kita memasuki Gerha
Hades." "Tidak yakin aku akan melihatnya seperti itu," gumam Jason. "Tapi, yeah." "Kita tak punya
banyak waktu." Frank memperingatkan. "Ini sudah tanggal sembilan Juli. Kita harus tiba di Epirus,
menutup Pintu Ajal?" "Yang dijaga," bisik Hazel, "oleh sesosok raksasa berasap dan seorang penyihir
perempuan yang ingin " Hazel ragu-ragu. "Yah, aku tidak yakin ingin apa. Tapi, menurut Pluto, penyihir
itu berniat `membangun kembali wilayah kekuasaannya'. Apa pun artinya, sudah cukup buruk ayahku
merasa perlu memperingatkanku secara langsung.), Frank menggerutu. "Dan, jika kita selamat dari
semua itu, kita masih harus mencari tahu di mana para raksasa hendak membangunkan Gaea dan tiba di
sana sebelum tanggal satu Agustus. Lagi pula, semakin lama Percy dan Annabeth di Tartarus?" "Aku
tahu," tukas Jason. "Kita tidak akan lama-lama di Split. Tapi, mencari tongkat itu pantas dicoba.
Sementara kita berada di istana itu, aku bisa meninggalkan pesan untuk Reyna, memberitahukan rute
yang kita ambil ke Epirus." Nico mengangguk. "Tongkat Diocletian bisa membawa perbedaan besar. Kau
akan membutuhkan bantuanku." Jason berusaha tidak menunjukkan kerisauannya, tetapi kulitnya
meremang saat berpikir akan bepergian ke mana pun bersama Nico di Angelo.
Percy pernah menyampaikan beberapa cerita yang merisaukan tentang Nico. Kesetiaan Nico tidak selalu
jelas. Nico menghabiskan lebih banyak waktu dengan yang mati ketimbang yang hidup. Suatu kali, dia
memancing Percy memasuki sebuah jebakan di Istana Hades. Mungkin Nico sudah membayarnya
dengan membantu Yunani melawan Titan, tetapi tetap saja Piper meremas tangan Jason. "Hei,
kedengarannya asyik. Aku juga mau pergi." Jason ingin memekik. Terima kasih, dews-delvi! Namun, Nico
menggelengkan kepala. "Tidak bisa, Piper. Sebaiknya hanya Jason dan aku. Hantu Diocletian mungkin
akan muncul untuk seorang putra Jupiter, tapi demigod lain kemungkinan besar ehm, membuatnya
takut. Sedangkan aku adalah satu-satunya yang bisa berbicara dengan arwahnya. Hazel pun tidak akan
bisa melakukan itu." Mata Nico berbinar menantang. Dia sepertinya ingin tahu apakah Jason akan
memprotes. Lonceng kapal berdentang. Festus berkeriang-keriut dan menderu di pengeras suara. "Kita
sudah sampai." Leo mengumumkan. "Waktunya untuk Split"berpisah." Frank mengerang. "Bisakah kita
tinggalkan Valdez di Kroasia?" Jason berdiri. "Frank, kau bertanggung jawab mempertahankan kapal. Leo,
kau harus mengerjakan perbaikan. Yang lain, bantulah sebisa kalian. Nico dan aku ...." Dia menghadapi
anak Hades. "Kami harus mencari hantu."[]
BAB TIGA PULUH LIMA JASON KALI PERTAMA JASON MELIHAT MALAIKAT itu di gerobak es krim. Argo II membuang sauh di teluk
bersama enam atau tujuh kapal pesiar. Seperti biasa, para manusia tidak mengacuhkan kapal Yunani
kuno itu, tetapi sekadar untuk berjaga-jaga, Jason dan Nico melompat ke sampan kecil dari salah satu
kapal wisatawan agar mereka terlihat seperti bagian dari orang banyak ketika tiba di pantai. Pada
pandangan pertama, Split sepertinya ternpat yang keren. Meliuk di sekitar pelabuhan, terbentanglah
tanah terbuka yang panjang dihiasi pohon-pohon palem. Di kafe-kafe pinggir jalan, remaja-remaja Eropa
tengah duduk-duduk, berbicara dengan selusin bahasa yang berbeda dan menikmati sore yang cerah.
Udara beraroma harum daging panggang dan wangi bunga yang baru dipotong. Di luar jalan utama, kota
itu merupakan campur aduk menara kastil zaman pertengahan, dinding-dinding Romawi, rumah-rumah
batu kapur beratap genteng merah, dan gedung-gedung perkantoran modern yang sating berdesakan.
Di kejauhan, perbukitan hijau-kelabu berbaris menuju sebuah punggung gunung, yang membuat Jason
agak gelisah. Dia terus melirik ke arah tebing gunung curam berbatu itu, menanti wajah Gaea m uncul
dalam bayang-bayangnya. Nico dan Jason tengah berjalan santai di sepanjang tanah lapang ketika Jason
melihat pria bersayap membeli sebatang es krim dari gerobak di jalan. Wanita penjual es krim tampak
bosan saat dia menghitung kembalian si lelaki. Para wisatawan mengitari sayap besar si malaikat tanpa
melirik kembali. Jason menyikut Nico. "Kau melihat itu?" "Yeah." Nico mengiakan. "Mungkin kita harus
membeli es krim." Saat mereka berjalan menuju gerobak kaki lima, Jason khawatir pria bersayap ini
mungkin adalah anak lelaki Boreas si Angin Utara. Di pinggangnya, si malaikat membawa pedang
perunggu bergerigi yang sama jenisnya dengan yang dimiliki Boreads, anak-inak Boreas, dan pertemuan
terakhir Jason dengan mereka tidak berlangsung terlalu baik. Namun, lelaki ini tampaknya lebih dingin
ketimbang es. Dia mengenakan kaus tanpa lengan berwarna merah, celana pendek Bermuda, dan sandal
kulit bertali ala Indian. Sayapnya merupakan kombinasi warna-warna cokelat kekuningan, seperti ayam
katai atau senja yang malas. Kulitnya cokelat gelap, sementara rambut hitamnya nyaris seikal rambut
Leo. "Dia bukan arwah yang kembali," gumam Nico. "Atau, makhluk Dunia Bawah." "Bukan." Jason
sependapat. "Aku ragu mereka akan makan hatangan es krim berlapis cokelat."
"Jadi, dia itu apa?" Nico penasaran.
jarak mereka tinggal sembilan meter, dan pria bersayap itu menatap langsung ke arah mereka. Dia
tersenyum, memberi isyarat ke balik bah unya dengan batangan es krim, lalu menghilang ditelan udara.
Jason tak benar-benar bisa melihatnya, tetapi dia sudah cukup punya pengalaman mengendalikan angin
sehingga dia bisa melacak jejak malaikat itu"asap hangat berwarna merah dan emas melesat di jalanan,
berpilin menuruni trotoar, dan meniup kartu pos-kartu pos dari komidi putar di depan kios-kios untuk
wisatawan. Angin itu menuju ke arah bagian akhir tanah lapang, tempat sebuah bangunan seperti
benteng berukuran besar menjulang. "Aku bertaruh itu ista.nanya," kata Jason. "Ayo." Bahkan, setelah
dua ribu tahun, Istana Diocletian masih menakjubkan. Dinding luarnya hanya berupa rangka granit
merah jambu dengan tiang-tiang yang remuk dan jendela-jendela lengkung membuka ke angkasa, tetapi
sebagian besar bangunan masih utuh. Panjangnya setengah kilometer sementara tingginya dua puluh
atau dua puluh lima meter, membuat toko-toko dan perumahan modern yang berkerumun di sekitarnya
tampak mungil. Jason membayangkan seperti apa rupa istana itu ketika baru dibangun, dengan
pengawal-pengawal kerajaan menyusuri tepian benteng dan elang-elang emas Romawi berkilat-kilat di
atas dindingnya. Si malaikat angin"atau entah apa pun ia"melesat keluar-masuk jendela-jendela granit
merah jambu, kemudian menghilang di sisi yang lain. Jason memeriksa bagian depan istana, mencari
pintu masuk. Satu-satunya pintu masuk yang dia lihat berada pada jarak beberapa blok dari situ,
dipenuhi antrean wisatawan yang hendak membeli tiket. Tidak ada waktu untuk "Kita harus
menangkapnya," kata Jason. "Tunggu sebentar." "Tapi?"
Jason memegang Nico dan mengangkat mereka berdua ke udara. Nico mengeluarkan suara protes tak
jelas saat mereka melayang di atas dinding-dinding dan memasuki sebuah halaman dalam tempat lebih
banyak wisatawan berkeliaran, mengambil gambar. Seorang anak kecil menatap dua kali saat mereka
mendarat, kemudian terbengong-bengong dan menggeleng-gelengkan kepala seolah-olah tengah
membuyarkan halusinasi yang ditimbulkan oleh jus kemasan. Tak ada orang lain yang memperhatikan
mereka. Di sisi kin halaman dalam itu berdirilah sederet tiang yang menopang lengkung-lengkung kelabu
yang sudah lapuk termakan cuaca. Di sebelah kanan terdapat bangunan pualam putih yang dihiasi
berderet-deret jendela tinggi. "Peristyle"Deretan tiang bulat," kata Nico. "Ini adalah pintu masuk ke
kediaman pribadi Diocletian." Dia menatap marah ke arah Jason. "Dan tolong, aku tidak suka disentuh.
Jangan pernah memegangku lagi." Tulang belikat Jason menegang. Dia merasa mendengar ancaman
tersembunyi, seperti: kecuali kau ingin hidungmu ditusuk pedang Stygian. "Uh, baiklah. Maaf.
Bagaimana kau tahu apa sebutan tempat ini?" Nico mengamati atrium. Dia memusatkan perhatian pada
beberapa anak tangga di ujung yang jauh, yang mengarah ke bawah. "Aku pernah ke sini sebelumnya."
Mata Nico segelap mata pedangnya. "Dengan ibuku dan Bianca. Tamasya akhir pekan dari Venesia.
Usiaku mungkin enam tahun?" "Saat itu tahun berapa ..." 1930-an?" "Sekitar tiga puluh delapan," sahut
Nico sambil lalu. "Mengapa kau ingin tahu" Apakah kau melih at pria bersayap itu?" "Tidak ...." Jason
masih berusaha memahami .masa lalu Nico.
Jason selalu berusaha membangun hubungan yang baik dengan orang-orang yang ada dalam timnya.
Dengan cara yang keras, dia belajar bahwa jika harus ada seseorang yang melindungi kita dalam sebuah
pertempuran, lebih baik jika kita menemukan persamaan dan saling memercayai. Namun, Nico tidak
mudah dipahami. "Aku hanya aku tidak bisa membayangkan betapa aneh tentu rasanya, berasal dari
masa yang berbeda." "Memang, kau tidak bisa membayangkannya." Nico menatap lantai batu. Dia
menarik napas dalam. "Begini aku tidak suka bicara tentang ini. Sejujurnya, kurasa Hazel malah lebih
parah. Dia lebih ingat tentang masa ketika dia masih kecil. Dia harus kembali dari kematian dan
menyesuaikan diri dengan dunia modern. Aku aku dan Bianca, kami terperangkap di Hotel Lotus. Waktu
berlalu begitu cepat. Dengan cara yang ganjil, itu membuat transisi lebih mudah." "Percy bercerita
tentang tempat itu kepadaku," kata Jason. "Tujuh puluh tahun, tapi terasa seperti satu bulan?" Nico
mengepalkan tangan sampai jari-jemarinya memutih. "Yeah. Aku yakin Percy menceritakan segalanya
tentangku." Suara Nico disarati kegetiran"lebih dari yang bisa dipahami Jason. Jason tahu Nico pernah
menyalahkan Percy karena menyebabkan saudarinya, Bianca, tewas, tetapi mereka seharusnya sudah
melewati hal itu, setidaknya menurut Percy. Piper juga pernah menyinggung tentang desas-desus bahwa
Nico menaruh hati kepada Annabeth. Mungkin itu juga memengaruhi. Tetap saja ... Jason tidak paham
mengapa Nico mendorong orang menjauh darinya, mengapa dia tak pernah menghabiskan banyak
waktu di kedua perkemahan, mengapa dia lebih menyukai yang mati ketimbang yang hidup. Jason
benar-benar tidak paham mengapa Nico berjanji memandu Argo2 ke Epirus jika dia begitu membenci
Percy Jackson. Mata Nico menyapu jendela-jendela di atas mereka. "Arwah orang Romawi ada di mana-mana di tempat
ini Lares. Lemures. Mereka mengawasi. Mereka marah." "Pada kita?" Tangan Jason bergerak ke arah
pedangnya. "Pada semuanya." Nico menunjuk ke arah sebuah bangunan batu kecil di ujung barat
halaman dalam. "Tempat itu dulunya adalah kuil untuk Jupiter. Orang-orang Kristen mengubahnya
menjadi tempat pembaptisan. Hantu-hantu Romawi tidak suka itu.
Jason memandangi pintu yang gelap itu. Dia tidak pernah bertemu Jupiter, tetapi dia memikirkan
ayahnya sebagai orang yang hidup"orang yang jatuh cinta kepada ibunya. Tentu saja dia tahu ayahnya
adalah makhluk yang kekal, tetapi entah bagaimana makna lengkap dari itu tidak pernah benar-benar
meresap sampai sekarang, saat dia memandangi pintu yang pernah dilewati orang-orang Romawi,
ribuan tahun silam, untuk menyembah ayahnya. Pikiran itu membuat kepala Jason dilanda sakit kepala
yang hebat. "Dan, sebelah sana ...." Nico menunjuk ke timur, ke arah bangunan segi enam yang
dikelilingi tiang-tiang yang berdiri sendiri. "Itu adalah ruang makam Sang Kaisar." "Tapi, makamnya
sudah tidak ada di sana lagi," tebak Jason. "Sudah berabad-abad," sahut Nico. "Ketika kerajaan itu
ambruk, bangunan itu diubah menjadi katedral Kristen." Jason menelan Judah. "Jadi, jika hantu
Diocletian masih ada di sekitar sini--" "Dia mungkin tidak bahagia." Angin berdesir, mendorong
dedaunan dan bungkus makanan di sepanjang peristyle. Di sudut matanya, Jason menangkap sekilas
gerakan"kelebatan warna merah dan emas.
Ketika dia berbalik, sehelai bulu berwarna karat tengah men-darat di atas anak tangga yang mengarah
ke bawah. "Ke arah sana." Jason menunjuk. "Pria bersayap. Ke mana menurutmu tangga itu mengarah?"
Nico menghunus pedangnya. Senyumnya bahkan lebih menggelisahkan ketimbang tatapan marahnya.
"Ruang bawah tanah," jawabnya. "Tempat favoritku."
Ruang bawah tanah bukan tempat favorit Jason. Sejak perjalanannya di bawah Roma bersama Piper dan
Percy, bertempur melawan raksasa kembar di ruang bawah tanah di bawah Koloseum, sebagian besar
mimpi buruknya adalah tentang ruang bawah tanah, pintu ruang bawah tanah, dan roda mainan
hamster berukuran besar. Ditemani Nico tidaklah menenangkan. Pedang besi Stygian Nico sepertinya
membuat bayang-bayang lebih kelam, seolah-olah logam neraka itu menyerap cahaya dan hawa panas
dari udara. Mereka bergerak pelan melalui sebuah gudang bawah tanah dengan tiang-tiang penyokong
tebal menopang langit-langit lengkung. Balok-balok batu kapurnya begitu tua sehingga sudah soling
melebur akibat berabad-abad kelembapan, membuat tempat itu terlihat nyaris seperti gua alami. Tak
seorang pun wisatawan berani turun ke tempat ini. Jelas, mereka lebih pintar daripada demigod. Jason
menghunus gladius-nya. Mereka berjalan di bawah lengkungan rendah, langkah mereka menggema di
lantai batu. Jendela-jendela berpalang berjajar di bagian atas salah satu dinding, menghadap permukaan
jalan, tetapi itu justru membuat ruang bawah tanah itu terasa lebih mengekang. Berkas-berkas cahaya
matahari terlihat seperti jeruji penjara, yang dikitari debu dari zaman kuno. Jason melewati sebuah
balok penyangga, memandang ke kiri, dan nyaris mengalami serangan jantung. Menatap persis ke
arahnya, sebuah patung dada pualam Diocletian, wajah batu kapurnya memberengut tak suka. Jason
menstabilkan napas. Ini kelihatannya tempat yang bagus untuk meninggalkan pesan yang dia tulis buat
Reyna, memberitahukan rute mereka ke Epirus. Tempat itu jauh dari keramaian, tetapi Jason percaya
Reyna akan menemukannya. Gadis itu punya naluri pemburu. Jason menyelipkan surat itu di antara
patung dan dudukannya, lalu melangkah mundur. Mata pualam Diocletian membuatnya gelisah. Mau
tak mau Jason teringat Terminus, dewa patung yang bisa bicara di Roma Baru. Dia berharap Diocletian
tidak membentaknya atau tiba-tiba bernyanyi. "Halo!" Sebelum Jason bisa memahami bahwa suara itu
berasal dari tempat lain, dia mengiris kepala Sang Kaisar. Patung dada itu terguling dan pecah terkena
lantai. "Itu tidak terlalu sopan," kata sebuah suara di belakang mereka. Jason berbalik. Pria bersayap dari
gerobak es krim tadi tengah bersandar pada sebuah tiang di dekat situ, dengan santai melempar-lempar
sebuah simpai perunggu di udara. Di kakinya terdapat sebuah keranjang piknik rotan yang berisi buahbuahan. "Maksudku," kata pria itu, "apa yang pernah dilakukan Diocletian kepadamu?" Udara berpusar
di sekitar kaki Jason. Pecahan pualam berkumpul menjadi tornado mini, meliuk-liuk kembali ke
tumpuannya, dan menyatu kembali menjadi patung dada yang utuh, surat tadi masih terselip di
bawahnya. "Uh?" Jason menurunkan pedangnya. "Itu tadi kecelakaan. Anda mengejutkan saya." Si pria bersayap
terkekeh. "Jason Grace, Angin Barat pernah disebut dengan berbagai julukan hangat, lembut, pemberi
kehidupan, dan luar biasa tampan. Tapi, aku belum pernah disebut mengejutkan. Kutinggalkan perilaku
bodoh itu untuk saudaraku yang sembrono di utara." Nico melangkah mundur. "Angin Barat" Maksud
Anda, Anda adalah?"Favonius." Jason tersadar. "Dewy angin barat." Favonius tersenyum dan
membungkukkan badan, jelas-jelas merasa senang dikenali. "Kalian bisa memanggilku dengan nama
Romawiku, tentu saja, atau Zephyros, jika kalian Yunani. Aku tidak bermasalah dengan itu." Nico terlihat
cukup bermasalah dengan itu. "Mengapa sisi Yunani dan Romawi Anda tidak berkonflik seperti dewadewi lain?" "Oh, kadang-kadang aku terserang sakit kepala." Favonius mengangkat bahu. "Saat pagi
kadang aku bangun dalam balutan chiton Yunani, padahal aku yakin aku pergi tidur dengan mengenakan
piama SPQR. Namun, perang itu lebih sering tidak menggangguku. Perlu kalian ketahui, aku ini dewa
kecil"tidak pernah benar-benar mendapat sorotan. Pertempuran antara kalian, para demigod, tidak
memengaruhiku sebesar itu." "Jac ...." Jason tidak terlalu yakin apakah sebaiknya dia menyarungkan
pedang atau tidak. "Apa yang Anda lakukan di sini?" "Beberapa hal!" jawab Favonius. "Duduk-duduk
dengan keranjang buahku. Aku selalu membawa sekeranjang buah. Apakah kalian mau buah pir?" "Tidak
usah. Terima kasih."
"Mari kita lihat tadi aku ingin makan es krim. Sekarang aku melempar-lempar gelang quoit." Favonius
memutar-mutar simpai perunggu itu pada jari telunjuknya. Jason tidak tahu apa itu quoit, tetapi dia
berusaha tetap fokus. "Maksud saya, mengapa Anda memunculkan diri kepada kami" Mengapa Anda
menggiring kami ke ruang bawah tanah ini?" "Oh!" Favonius mengangguk. "Sarkofagus Diocletian. Ya. Ini
adalah tempat peristirahatan terakhirnya. Orang-orang Kristen memindahkannya dari mausoleum.
Kemudian, beberapa orang barbar menghancurkan peti matinya. Aku hanya ingin memperlihatkan
kepada kalian?"dia merentangkan kedua tangannya dengan sedih?"bahwa yang kalian cari tidak ada
di sini. Tuanku telah mengambilnya." "Tuan Anda?" Jason mengalami kilas balik ke sebuah istana apung
di atas puncak Pike di Colorado, tempat dia mengunjungi (dan berhasil selamat dari) studio seorang
peramal cuaca sinting yang mengklaim bahwa dia adalah dewa semua angin. "Tolong katakan tuan Anda
bukan Aeolus." "Orang sinting itu?" Favonius mendengus. "Bukan, tentu saja bukan." "Yang dia maksud
adalah Eros." Suara Nico berubah tegang. "Cupid, dalam bahasa Latin." Favonius tersenyum. "Bagus
sekali, Nico di Angelo. Omong-omong, aku senang melihatmu lagi. Sudah lama sekali." Nico menautkan
alis. "Aku tak pernah bertemu Anda." "Kau tak pernah melihatku." Sang dewa mengoreksi. "Tapi, aku
pernah mengawasimu. Ketika kau datang ke sini saat masih kecil, dan beberapa kali setelah itu. Aku
sudah menduga pada akhirnya kau akan kembali untuk memandang wajah tuanku."
Wajah Nico berubah lebih pucat dari biasanya. Matanya berkelebatan ke sana-kemari di sekitar ruangan
yang seperti gua itu seolah-olah dia mulai merasa terperangkap. "Nico?" kata Jason. "Apa yang dia
bicarakan?" "Entahlah. Bukan apa-apa." "Bukan apa-apa?" seru Favonius. "Orang yang paling kau kasihi
jatuh ke dalam Tartarus, dan kau masih tidak mau berkata juj ur?" Mendadak Jason merasa seperti
sedang menguping. Orang yang paling kau kasihi. Dia teringat apa yang pernah dikatakan Piper tentang
perasaan suka Nico kepada Annabeth. Rupanya perasaan Nico jauh lebih dalam ketimbang sekadar rasa
suka biasa. "Kami ke sini hanya untuk mencari tongkat kerajaan Diocletian," ujar Nico, jelas sangat ingin
mengganti topik pembicaraan. "Di mana benda itu?" "Ah ...." Favonius mengangguk sedih. "Kau mengira
itu akan semudah berhadapan dengan hantu Diocletian" Aku khawatir tidak begitu, Nico. Ujianmu akan
jauh lebih sukar. Kau tahu, jauh sebelum menjadi. Istana Diocletian, tempat ini adalah gerbang menuju
istana tuanku. Aku sudah tinggal di sini selama beribu-ribu tahun, membawa mereka yang mencari cinta
ke hadapan Cupid." Jason tidak suka mendengar penyebutan ujian yang sukar. Dia tidak percaya kepada
dewa aneh dengan simpai, sayap, dan keranjang buah ini. Namun, sebuah cerita lama muncul dalam
benaknya"sesuatu yang pernah dia dengar di Perkemahan Jupiter. "Seperti Psyche, istri Cupid. Anda
membawanya ke Istana Cupid." Mata Favonius berbinar-binar. "Bagus sekali, Jason Grace. Persis dari
tempat ini, aku membopong Psyche dengan angin dan membawanya ke ruangan tuanku. Bahkan, itulah
alasan Diocletian inembangun istananya di sini. Tempat ini selalu diberkahi oleh Angin Barat yang lembut." Dia
merentangkan tangannya. "Ini adalah tempat ketenteraman dan cinta dalam dunia yang kacau. Ketika
Istana Diocletian dijarah?" "Anda mengambil tongkat kerajaannya," tebak Jason. "Untuk diamankan."
Favonius membenarkan. "Benda itu adalah salah satu dari banyak harta Cupid, pengingat akan masamasa yang lebih baik. Jika kau menginginkannya ...." Favonius menghadap pada Nico, "kau harus
menghadapi dewa cinta." Nico menatap cahaya matahari yang masuk melalui jendela, seolah-olah
berharap dia bisa melarikan diri melalui celah-celah sempit itu. Jason tidak yakin apa yang diinginkan
Favonius, tetapi jika menghadapi dewa cinta berarti memaksa Nico melakukan semacam pengakuan
tentang gadis mana yang dia sukai, sepertinya itu tidak terlalu buruk. "Nico, kau bisa melakukannya,"
kata Jason. "Mungkin memalukan, tapi ini demi tongkat itu." Nico tidak tampak teryakinkan. Dia malah
terlihat seperti akan muntah. Namun, dia menegapkan bahu dan mengangguk. "Kau benar. Aku aku
tidak takut kepada dewa cinta." Wajah Favonius berseri-seri. "Bagus sekali! Apakah kalian mau makanan
ringan sebelum pergi?" Dia mengambil sebuah apel hijau dari keranjangnya dan mengerutkan dahi
menatap apel itu. "Oh, sial. Aku selalu lupa lambangku adalah sekeranjang buah mentah. Mengapa
angin musim semi tidak mendapat penghargaan lebih besar" Yang seru-seru dikuasai oleh musim
panas." "Tidak apa-apa," sergah Nico cepat-cepat. "Bawa saja kami kepada Cupid." Favonius memutar
simpai di jarinya, dan tubuh Jason pun menghilang di udara.[]
BAB TIGA PULUH ENAM JASON

The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

JASON SUDAH SANGAT SERING MENGENDARAI angin. Tetapi, menjadi angin tidaklah sama. Dia merasa
kehilangan kendali, pikirannya tercerai-berai, tidak ada batas antara tubuhnya dan seisi dunia yang lain.
Dia bertanya-tanya apakah seperti ini perasaan para monster ketika dikalahkan"meledak menjadi debu,
tak berdaya dan tak berbentuk. Jason bisa merasakan kehadiran Nico di dekatnya. Angin Barat
membawa mereka ke langit di atas Split. Bersama-sama mereka menderu di atas perbukitan, melewati
saluran air Romawi, jalan raya, dan perkebunan anggur. Saat mereka mendekati pegunungan, Jason
melihat reruntuhan sebuah Kota Romawi terbentang di lembah di bawah sana"tembok-tembok yang
hancur, fondasi persegi, dan jalan-jalan retak, semuanya penuh ditumbuhi rerumputan"sehingga
terlihat seperti papan permainan raksasa yang berlumut. Favonius meletakkan mereka di tengah-tengah
reruntuhan, di sebelah sebuah kolom rusak seukuran pohon redwood.
Tubuh Jason terbentuk kembali. Sesaat, rasanya bahkan lebih buruk ketimbang menjadi angin, seolaholah mendadak dia terbungkus mantel timah. "Ya, tubuh manusia itu memang amat menyita ruang,"
ujar Favonius, seolah-olah membaca pikiran Jason. Dewa angin itu duduk di atas sebuah tembok di
dekat situ dengan keranjang buahnya dan mengembangkan sayap cokelat kekuningannya di tengah
cahaya matahari. "Sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana kalian tahan dengan itu, dari hari ke hari."
Jason memeriksa sekeliling. Dahulu, kota itu pastilah berukuran besar. Dia bisa melihat rangka-rangka
kuil dan tempat pemandian, amfiteater, serta tumpuan-tumpuan kosong yang dulunya tentu pernah
menopang patung. Deretan tiang berjajar entah ke mana. Dinding-dinding kota lama menghiasi lereng
bukit seperti benang batu yang teranyam pada kain berwarna hijau. Beberapa area tampak seperti telah
digali, tetapi sebagian besar kota itu hanya terlihat telantar, seolah-olah tempat itu ditinggalkan
terpapar cuaca selama dua ribu tahun belakangan. "Selamat datang di Salona," ujar Favonius. "Ibu kota
Dalmatia! Tempat kelahiran Diocletian! Tapi, sebelum itu, jauh sebelum itu, ini adalah rumah Cupid!"
Nama itu menggema, seolah-olah ada suara-suara yang membisikkannya di reruntuhan itu. Ada sesuatu
tentang tempat ini yang sepertinya bahkan lebih seram daripada ruang bawah tanah istana di Split.
Jason tak pernah terlalu memikirkan Cupid. Dia jelas tak pernah menganggap Cupid menakutkan.
Bahkan, untuk para demigod Romawi, nama itu memunculkan gambaran seorang bayi bersayap lucu
yang membawa busur dan panah mainan, yang melayang ke sana-kemari dengan popoknya pada hari
kasih sayang. "Oh, dia tidak seperti itu," ujar Favonius.
Jason tersentak. "Kau bisa membaca pikiranku?" "Aku tidak perlu membaca pikiranmu." Favonius
melempar lemparkan simpai perunggunya di udara. "Semua orang puny kesan yang salah tentang
Cupid ... sampai mereka menemuinya. Nico menyandarkan diri pada sebuah tiang, kedua kakiny terlihat
gemetaran. "Hei, Bung ...." Jason melangkah ke arahnya, tetapi Nic( melambaikan tangan mengusirnya.
Di dekat kaki Nico, rumput berubah menjadi berwarn, cokelat dan layu. Bidang rumput mati itu
menyebar, seolah-olal ada racun yang merembes dari sol sepatu Nico. "Ah ...." Favonius mengangguk
penuh simpati. "Aku tidal menyalahkanmu bila kau merasa gugup, Nico di Angelo. Apakal kau tahu
bagaimana aku akhirnya melayani Cupid?" "Aku tidak melayani siapa pun," desis Nico dengan jengkel
"Terutama Cupid." Favonius meneruskan perkataannya seolah-olah tidal mendengar ucapan Nico. "Aku
jatuh cinta kepada seorang manusi; bernama Hyacinthus. Lelaki itu sangat luar biasa." "Lelaki ...?" Otak
Jason masih linglung gara-gara perjalanat anginnya sehingga dia perlu waktu sedetik untuk memproses
ha itu. "Oh ...." "Yeah, Jason Grace." Favonius mengangkat salah satu alisnya "Aku jatuh cinta kepada
seorang prig. Apakah hal itu membuatmt terkej ut?" Sejujurnya, Jason tidak yakin. Dia berusaha tidak
memikirkat tentang detail-detail kehidupan cinta dewa, siapa pun pujaat hati mereka. Bagaimanapun,
ayahnya, Jupiter, tidak bisa merupakan teladan yang baik. Dibandingkan dengan beberap; skandal cinta
Olympia yang pernah dia dengar, si Angin Bara yang jatuh cinta kepada seorang manusia lelaki tidak
terlalu mengejutkan. "Kurasa tidak. Jadi ... Cupid menembakmu dengan panahnya, dan kau jatuh cinta."
Favonius mendengus. "Kau membuatnya terdengar begitu sederhana. Sayangnya, cinta tak pernah
sederhana. Begini, dewa Apollo juga menyukai Hyacinthus. Dia mengatakan mereka hanya berteman.
Entahlah. Tapi, suatu hari aku melihat mereka berdua, melakukan permainan quoits?" Kata aneh itu
lagi. "Quoits?" "Permainan dengan simpai-simpai itu." Nico menjelaskan walau suaranya terdengar
ketus. "Seperti lempar ladam." "Sejenis itulah," sahut Favonius. "Bagaimanapun, aku cemburu.
Bukannya menghadapi mereka dan mencari tahu kebenarannya, aku mengubah angin dan mengirim
sebuah gelang logam yang berat ke kepala Hyacinthus dan yah." Dewa angin mendesah. "Saat
Hyacinthus mati, Apollo mengubahnya menjadi sekuntum bunga, hyacinth. Aku yakin Apollo pasti akan
melakukan pembalasan dendam yang dahsyat terhadapku, tapi Cupid memberiku perlindungan. Aku
telah melakukan perbuatan yang sangat buruk, tapi aku dibuat gila oleh cinta, maka dia mengampuniku,
dengan syarat aku bekerja untuknya selamanya." CUPID. Nama itu bergema lagi di sepanjang
reruntuhan itu. "Itu adalah isyarat untukku." Favonius berdiri. "Berpikirlah dengan keras dan lama
tentang bagaimana langkah yang akan kau ambil, Nico di Angelo. Kau tidak bisa berbohong kepada
Cupid. Jika kau membiarkan amarah menguasaimu yah, nasibmu akan lebih menyedihkan ketimbang
nasibku." Jason merasa otaknya kembali berubah menjadi angin. Dia tidak paham apa yang dibicarakan
oleh Favonius, atau mengapa Nico tampak sedemikian terguncang, tetapi dia tidak p unya waktu
untuk berpikir tentang itu. Dewa angin menghilang dalam pusaran warna merah dan emas. Udara
musim panas mendadak terasa menyesakkan. Tanah bergetar, Jason dan Nico menghunus pedang
mereka. Jadi begitu. Suara itu mendesing melewati telinga Jason seperti sebutir peluru. Ketika dia berbalik, tidak
ada siapa-siapa di sana. Kau datang untuk mengambil tongkat kerajaan itu. Nico berdiri menempel
punggung Jason, dan sekali ini Jason senang Nico menemaninya. "Cupid," panggil Jason, "di mana kau?"
Suara itu tertawa. Jelas tidak terdengar seperti suara bayi malaikat yang lucu. Suara itu terdengar dalam
dan berat, tetapi juga menganeam"seperti getaran sebelum terjadinya gempa besar. Di tempat yang
paling tak kau duga, jawab Cupid. Seperti cinta. Ada sesuatu yang menghantam Jason dan melemparnya
ke jalan. Jason jatuh menuruni serangkaian anak tangga dan terkapar di lantai ruang bawah tanah
Romawi yang telah digali. Kupikir kau lebih bijak, Jason Grace. Suara Cupid berputar-putar di sekitarnya.
Bagaimanapun, kau telah menemukan cinta sejati. Atau, kau masih meragukan dirimu" Nico melesat
menuruni tangga. "Kau tidak apa-apa?" Jason meraih tangan Nico dan berdiri. "Yeah. Hanya pukulan
tanpa peringatan." Oh, kau mengharapkanmu bermain adil" Cupid tertawa. Aku adalah dewa cinta. Aku
tidak pernah bermain adil. Kali ini, pancaindra Jason bersiaga tinggi. Dia merasakan udara beriak persis
saat sebatang anak panah muncul, melesat menuju dada Nico.
Jason menahannya dengan pedang dan menangkisnya ke ramping. Anak panah itu meledak di dinding
terdekat, menghujani dengan pecahan batu kapur. Mereka berlari menaiki tangga. Jason menarik Nico
ke satu nisi saat embusan angin menumbangkan sebatang tiang yang pasti Akan menim panya. "Dia ini
Cinta atau Kematian?" geram Jason. Tanyakan kepada teman-temanmu, kata Cupid. Frank, Hazel, Ilan
Percy pernah bertemu dengan rekanku, Thanatos. Kami tidak ilrigat berbeda. Hanya saja kematian
kadang lebih ramah. "Kami hanya menginginkan tongkat itu!" Nico berteriak. Kami berusaha
menghentikan Gaea. Kau berpihak kepada Para dcwa atau tidak?" Anak panah kedua mengenai tanah di
sela kedua kaki Nico dan berpijar-pijar putih panas. Nico terhuyung mundur saat anak panah itu
meledakkan air mancur api. Cinta berpihak kepada semuanya, kata Cupid. Sekaligus tidak berpihak
kepada siapa pun. Jangan bertanya apa yang bisa dilakukan cinta untukmu. "Hebat," kata Jason.
"Sekarang dia menyemburkan kata-kata mutiara." Ada gerakan di belakangnya: Jason berputar,
menyabetkan pedangnya membelah udara. Mata pedangnya mengenai sesuatu yang padat. Dia
mendengar gerutuan dan kembali mengayunkan pedang, tetapi Sang dewa tak kasat mata itu sudah
lenyap. Di atas bebatuan jalan, sejalur ichor keemasan berpendar"darah dewa. Bagus sekali, Jason,
kata Cupid. Setidaknya kau bisa merasakan kehadiranku. Bahkan, sekilas Pandang pada cinta sejati pun
merupakan beban yang tak mampu ditanggung oleh kebanyakan orang.
"Jadi, sekarang aku bisa mendapatkan tongkatnya?" tany Jason. Cupid tertawa. Sayangnya, kau tidak
bisa menggunakannya Hanya anak Dunia Bawah yang bisa memanggil pasukan orang mati Dan, hanya
seorang perwira Romawi yang bisa memimpin mereka "Tapi ...." Jason ragu-ragu. Dia adalah perwira
Romawi Dia seorang praetor. Kemudian, dia teringat segala pikirannya tentang tempat semestinya dia
berada. Di Roma Baru, dia telah menawarkan untuk menyerahkan posisinya kepada Percy Jackson.
Apakah itu membuatnya tak layak memimpin pasukan hantu Romawi" Dia memutuskan untuk
menghadapi masalah itu bila saatnya tiba.
"Serahkan itu kepada kami," katanya. "Nico bisa memanggil"' Anak panah ketiga melesat di dekat bahu
Jason. Dia tak sempat menghentikannya tepat waktu. Nico tersengal saat anak panah itu membenam ke
dalam lengannya yang memegang pedang. "Nicol" Putra Hades itu terhuyung. Anak panah tadi
menghilang tanpa meninggalkan darah atau luka yang tampak, tetapi wajah Nico menjadi kaku karena
amarah dan rasa sakit. "Cukup bermain-main!" teriak Nico. "Tunjukkan dirimu!" Mahal harganya, kata
Cupid, memandang wajah sejati Cinta, Satu tiang lagi roboh. Jason buru-buru menjauh dari dekatnya
Istriku Psyche mendapat pelajaran tentang itu, kata Cupid. Dia dibawa ke sini ribuan tahun silam, ketika
tempat ini masih menjadi lokasi istanaku. Kami hanya bertemu saat gelap. Dia diperingatkan agar jangan
pernah melihatku, tapi dia tidak tahan menanggung misteri itu. Dia takut aku adalah monster. Suatu
malam, dia menyalakan sebatang lilin, lalu memandang wajahku saat aku terlelap.
"Apakah kau sejelek itu?" Jason merasa dia telah menangkap suara Cupid"di pinggir amfiteater sekitar
dua puluh meter dari situ"tetapi dia ingin memastikan. Dewa itu tertawa. Aku khawatir aku terialu
tampan. Seorang ,nanusia biasa tidak bisa memandang penampakan sejati seorang dewa tanpa
menerima akibatnya. Ibuku, Aphrodite, mengutuk Psyche atas ketidakpercayaannya. Kekasihku yang
malang itu disiksa, dipaksa mengasingkan diri, diberi tugas-tugas mengerikan untuk membuktikan
kepantasannya. Dia bahkan dikirim ke Dunia Bawah dalam misi untuk membuktikan pengabdiannya. Dia
berhasil kembali ke sisiku, tapi dia mengalami penderitaan yang sangat berat. Sekarang aku bisa
mengenaimu, pikir Jason. Dia menusukkan pedangnya ke angkasa dan gemuruh inengguncang lembah
itu. Kilat menyambar, meninggalkan sebuah Iubang di tempat suara tadi berbicara. Hening. Jason baru
saja berpikir, wah, ternyata benar-benar berhasil, ketika sebuah kekuatan tak terlihat merobohkannya
ke tanah. Pedangnya terlempar ke jalan. Usaha yang bagus, kata Cupid, suaranya sudah jauh. Tapi, Cinta
tak bisa ditaklukkan semudah itu. Di sebelahnya, sebuah tembok roboh. Jason nyaris tak berhasil
berguling ke samping. "Hentikan!" Nico berteriak. "Akulah yang kau inginkan. Jangan ganggu dia!"
Telinga Jason berdenging. Dia pusing karena dipukul sana-sini. Mulutnya terasa seperti debu kapur. Dia
tidak mengerti mengapa Nico menganggap dirinya adalah sasaran utama, tetapi Cupid tampaknya setuju.
Nico diAngelo yang malang. Suara dewa itu diwarnai kekecewaan. Tahukah kau apa yang kau inginkan,
terlebih yang kuinginkan" Psyche-ku tercinta mempertaruhkan segalanya atas nama Cinta.
Hanya itu satu-satunya cara untuk menebus ketidakpercayaannya Sedangkan kau"apa yang telah kau
pertaruhkan atas namaku" "Aku sudah pergi ke Tartarus dan kembali lagi," geram Nico., "Kau tidak
membuatku takut." Aku membuatmu sangat sangat takut. Hadapi aku. Jujurlah. Jason berdiri. Di sekitar
Nico, tanah bergerak. Rumput menjadi layu, dan batu-batu bergemeretak seolah-olah ada sesuatu yang
tengah bergerak dalam tanah di bawahnya, berusaha untuk menerobos keluar. "Berikan tongkat
Diocletian," kata Nico. "Kami tidak punya waktu untuk bermain-main." Bermain-main" Cupid menyerang,
menampar Nico ke samping hingga menghantam sebuah tumpuan yang terbuat dari granit. Cinta bukan
permainan! Cinta bukan kelembutan penuh bunga! Cinta adalah kerja keras"pencarian tanpa akhir.
Cinta menuntut segala hal darimu"terutama kebenaran. Hanya setelah itu cinta membuahkan ganjaran.
Jason mengambil kembali pedangnya. Jika pria tak kasat mata ini adalah Cinta, Jason mulai berpikir
bahwa Cinta dinilai terlalu tinggi. Dia lebih suka versi Piper"penuh perhatian, ramah, dan cantik. Jason
bisa memahami Aphrodite. Cupid lebih terlihat seperti penjahat, pemaksa. "Nico," panggil Jason, "apa
yang diinginkan pria ini darimu?" Beni tahu dia, Nico di Angelo, timpal Cupid. Beri tahu dia bahwa kau
adalah pengecut, yang takut kepada dirimu sendiri dan perasaan-perasaanmu. Beni tahu dia alasan
sebenarnya mengapa kau lari dari Perkemahan Blasteran, dan mengapa kau selalu sendirian. Nico
mengeluarkan teriakan parau. Tanah di kakinya merekah dan kerangka-kerangka manusia merayap
keluar"mayat-mayat Romawi yang tangannya hilang dan tengkoraknya berlubang,
tulang iganya patah, atau rahangnya lepas. Sebagian mayat itu mengenakan sisa-sisa toga Romawi. Yang
lain mengenakan sisa-sisa baju baja mengilat yang menggantung di dada mereka. Apakah kau hendak
bersembunyi di antara mayat-mayat, sebagaimana biasa" ejek Cupid. Gelombang kegelapan bergulung
dari putra Hades. Ketika terkena gelombang itu, Jason nyaris hilang kesadaran"terbanjiri oleh
kebencian, rasa takut, dan malu Gambar-gambar berkelebatan di benaknya. Dia melihat Nico dan
saudara perempuannya di atas sebuah tebing bersalju di Maine, Percy Jackson melindungi mereka dari
seekor manticore, singa berkepala manusia. Pedang Percy berkilauan di dalam kegelapan. Dia adalah
demigod pertama yang pernah dilihat Nico sedang beraksi. Kemudian, di Perkemahan Blasteran, Percy
memegang lengan Nico, berjanji untuk menjaga saudara perempuan Nico, Bianca. Nico memercayai
Percy. Nico menatap mata hijau-laut Percy dan berpikir, Bagaimana mungkin dia gagal" Dia ini Pahlawan
sungguhan. Percy adalah permainan favorit Nico. Mythomagic yang menjadi kenyataan. Jason melihat
mornen ketika Percy kembali dan memberi tahu Nico bahwa Bianca telah tiada. Nico menjerit dan men
yebut Percy pembohong. Nico merasa dikhianati, tetapi walau begitu ketika para kesatria kerangka
menyerang, dia tak bisa membiarkan mereka melukai Percy. Nico meminta bumi menelan mereka, dan
kemudian dia melarikan diri"dilanda ketakutan akan kekuatan dan emosi-emosinya sendiri. Jason
melihat selusin lagi adegan semacam ini dari sudut pandang Nico dan adegan-adegan itu membuatnya
terpana, tak mampu bergerak atau berbicara.
Sementara itu, kerangka-kerangka Romawi Nico menyerbu maju dan bergulat dengan sesuatu yang tak
tampak. Dewa itu melawan, mengempaskan kerangka-kerangka, mematahkan tulang iga dan tengkorak,
tetapi kerangka-kerangka terus berdatangan , memiting kedua lengan sang dewa. Menarik! kata Cupid.
Apakah kau memang sekuat itu" "Aku meninggalkan Perkemahan Blasteran karena ...," ujar Nico.
"Annabeth dia?" Masih bersembunyi, kata Cupid, seraya menghancurleburkan satu lagi kerangka. Kau
tidak kuat. "Nico." Jason berhasil berkata, "tidak apa-apa. Aku mengerti." Nico melirik ke arahnya, rasa
sakit dan kesengsaraan mendera wajahnya. "Tidak, kau tidak mengerti," sahut Nico. "Mustahil kau bisa
mengerti." Dan, kau melarikan diri lagi, ejek Cupid. Dari teman-temanmu, dari dirimu sendiri. "Aku tidak
punya teman!" teriak Nico. "Aku meninggalkan Perkemahan Blasteran karena aku bukan bagian dari
mereka! Aku tidak pernah menjadi bagian dari mereka!" Kerangka-kerangka itu memojokkan Cupid,
tetapi si dewa tak kasat mata tertawa dengan begitu kejam sehingga Jason ingin memanggil kilat lagi.
Sayangnya, dia ragu apakah dia punya kekuatan untuk itu. "Jangan ganggu dia, Cupid," seru Jason parau.
"Ini bukan ...." Suaranya menghilang. Jason ingin mengatakan ini bukan urusan Cupid, tetapi dia
menyadari bahwa ini memang urusan Cupid. Sesuatu yang dikatakan Favonius terus berdengung di
kepalanya: Apakah kau terkejut" Cerita tentang Psyche akhirnya masuk akal bagi Jason"mengapa
seorang gadis manusia biasa merasa sangat ketakutan.
Mengapa dia mengambil risiko melanggar peraturan untuk natap wajah dewa cinta itu karena dia takut
Cupid mungkin adalah monster. Psyche benar. Cupid memang monster. Cinta adalah monster yang
paling ganas. Suara Nico seperti kaca yang pecah. "Aku aku tidak jatuh cinta kepada Annabeth." "Kau
cemburu kepadanya," timpal Jason. "Itulah alasan mengapa kau tidak ingin berada di dekat Annabeth.
Terutama alasan mengapa kau tidak ingin berada di dekat ... Percy. Itu sangat masuk akal." Segala
perlawanan dan penyangkalan sepertinya menguap dari diri Nico seketika itu juga. Kegelapan
menghilang. Mayat-mayat romawi ambruk menjadi tulang-belulang dan hancur menjadi debu. "Aku
benci kepada diriku sendiri," ujar Nico. "Aku benci Percy Jackson." Cupid menampakkan diri"seorang
pria muda yang ramping clan berotot dengan sayap seputih salju, rambut hitam lurus, baju Ionggar putih
sederhana dan celana jin. Busur dan tempat anak panah yang tersampir di bahunya bukanlah mainan"
melainkan senjata perang. Matanya semerah darah, seolah-olah setiap perayaan Valentine di dunia
telah diperas hingga kering, disuling menjadi satu campuran beracun. Wajahnya tampan, tetapi juga
keras"sulit dilihat seperti lampu sorot. Dia memandangi Nico dengan penuh kepuasan, seolah-olah dia
telah menemukan tempat yang tepat untuk membidikkan anak panah berikutnya agar bisa membunuh
dengan cepat. "Aku suka kepada Percy," kata Nico dengan sengit. "Itulah kebenarannya. Itulah rahasia
besarnya." Nico menatap marah kepada Cupid. "Kau senang sekarang?"
Untuk kali pertama, pandangan Cupid tampak mengandung simpati. "Oh, aku tak akan mengatakan
bahwa perasaan itu selalu membuatmu senang." Suaranya terdengar lebih kecil, lebih manusiawi.
"Kadang-kadang rasa suka membuatmu luar biasa sedih. Tapi, setidaknya kau kini menghadapinya.
Hanya itu saw-satunya cara untuk menaklukkanku." Cupid lenyap ditelan angin. Di tanah tempat Cupid
tadi berdiri tergeletaklah sebuah tongkat gading sepanjang satu meter. Pada bagian atas tongkat itu
terdapat sebuah bola hitam yang terbuat dari pualam mengilat kira-kira seukuran bola bisbol yang
terletak di punggung tiga elang Romawi emas. Tongkat Diocletian. Nico berlutut dan memungutnya. Dia
memandangi Jason, seolah-olah ingin menyerang. "Jika yang lain mengetahuinya?" "Jika yang lain
mengetahuinya," ujar Jason, "kau akan punya jauh lebih banyak kawan yang bisa membantumu dan
melampiaskan amarah dewa-dewi kepada siapa saja yang menyulitkanmu." Nico menatapnya dengan
marah. Jason masih merasakan kebencian dan kemarahan menguar dari diri Nico. "Tapi, terserah
kepadamu." Jason menambahkan. "Memutus-kan untuk bercerita atau tidak. Aku hanya bisa
mengatakan kepadamu?" "Aku sudah tidak merasa seperti itu lagi," gumam Nico. "Maksudku aku
sudah menyerah soal Percy. Dulu aku masih muda dan mudah terpengaruh, dan a"aku tidak ...."
Suaranya pecah, dan Jason tahu pemuda ini sudah hendak menangis. Entah Nico benar-benar sudah
menyerah tentang Percy atau tidak, Jason tak bisa membayangkan seperti apa situasi Nico selama
bertahun-tahun ini, memendam rahasia yang pasti tak terpikirkan untuk diceritakan pada era 1940-an,
menyangkal jati di rinya, merasa benar-benar sendirian"bahkan jauh lebih terasing daripada para
demigod lain. "Nico," ujar Jason dengan lembut, "aku sudah pernah melihat banyak tindakan berani.
Tapi, yang baru saja kau lakukan" Mungkin itu tindakan yang paling berani." Nico mendongak tak yakin.
"Kira harus kembali ke kapal." "Yeah. Aku bisa menerbangkan kita?"Tidak," tubs Nico. "Kali ini kita
bepergian dengan bayangan. thituk sementara aku sudah muak dengan angin."[]
BAB TIGA PULUH TUJUH ANNABETH HILANGAN PENGLIHATAN SUDAH CUKUP BURUK. Terpisa dari Percy adalah hal yang sangat buruk.
Namun, setelah kini Annabeth bisa melihat lagi, menyaksikan Percy coati perlahan-lahan akibat racun
darah gorgon dan tak mampu melakukan apa-apa tentang itu"itu adalah kutukan terburuk. Bob
menyampirkan Percy di bahunya seperti sekantor g perlengkapan olahraga, sementara si anak kucing
kerangka Bob Kecil meringkuk di atas punggung Percy dan mendengkur. Bob berjalan dengan langkah
berat tetapi cepat, bahkan untuk seorang Titan, yang membuat Annabeth nyaris tidak bisa mengejar.
Paru-paru Annabeth bergemeretak. Kulitnya mulai melepuh lagi. Dia mungkin perlu minum air api lagi,
tetapi mereka telah meninggalkan Sungai Phlegethon di belakang. Tubuh Annabeth begitu nyeri dan
remuk redam sehingga dia lupa seperti apa rasany tidak kesakitan. "Berapa lama lagi?" tanya Annabeth
dengan tersengal-sengal. "Hampir terlalu lama." Bob balas berseru. "Tapi, mungkin tidak." Sangat membantu, pikir Annabeth,
tetapi dia terlalu sulit bernapas sehingga tak bisa mengatakannya. Lanskap berubah lagi. Jalan mereka,
masih menurun, yang seharusnya lebih mudah ditempuh, tetapi tanah melandai dengan sudut yang
salah"terlalu curam untuk ditempuh dengan berlari, terlalu berbahaya untuk melonggarkan
kewaspadaan walau hanya untuk sesaat. Permukaan tanah terkadang berupa kerikil lepas, terkadang
bidang-bidang lumpur. Annabeth melangkah mengitari bulu-bulu yang cukup tajam untuk menusuk
kakinya, dan kumpulan yah, bukan benar-benar batu. Lebih seperti kutil seukuran semangka. Jika
Annabeth harus menebak (dan dia tidak ingin melakukannya), dia menduga Bob tengah membawanya
menuruni usus besar Tartarus. Udara semakin pekat dan berbau got. Kegelapan mungkin tidak sekelam
tadi, tetapi Annabeth bisa melihat Bob hanya karena kilauan rambut putih Bob dan ujung tombaknya.
Annabeth memperhatikan bahwa Bob belum memasukkan lagi mata tombak sapunya sejak pertarungan
mereka melawan arai. Hal itu tidak membantu ketenangan hati Annabeth. Percy terayun-ayun ke sanakemari, menyebabkan si anak kucing harus mengatur kembali sarangnya di pinggang bagian belakang
Percy. Sesekali, Percy mengerang kesakitan, dan Annabeth merasa jantungnya seperti diremas-remas.
Annabeth teringat pesta minum tehnya bersama Piper, Hazel, dan Aphrodite di Charleston. Demi dewadewi, rasanya sudah lama sekali. Aphrodite saat itu mengeluh dan merindukan masa-masa indah di era
Perang Saudara"bagaimana cinta dan perang selalu beriringan.
Aphrodite dengan bangga menunjuk kepada Annabeth, menggunakan Annabeth sebagai contoh bagi
gadis-gadis lain: Aku pernah berjanji akan membuat kehidupan cintanya menarik. Terbukti, bukan"
Annabeth dulu ingin mencekik dewi cinta itu. Sudah lebih dari cukup bagian menarik untuknya. Kini
Annabeth benar-benar menanti akhir yang bahagia. Tentunya itu mungkin terjadi, tak peduli apa yang
dikatakan legenda tentang pahlawan - pahlawan tragis. Pasti ada pengecualian, bukan" Jika penderitaan
membuahkan imbalan, dia dan Percy pantas mendapatkan hadia utama. Annabeth teringat anganangan Percy tentang Roma Baru"mereka berdua menetap di sana, pergi kuliah bersama. Awalnya,
gagasan tinggal di tengah-tengah orang Romawi terasa mengerikan bagi Annabeth. Dia membenci
orang-orang Romawi karena telah merenggut Percy darinya. Sekarang Annabeth akan menerima hal itu


The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan senang hati. Kalau saja mereka selamat dari hal ini. Kalau saja Reyna mendapatkan pesan
darinya. Kalau saja sejuta pertaruhan berisiko tinggi akhirnya menghasilkan sesuatu.
Hentikan, dia mencela dirinya sendiri. Dia harus berkonsentrasi pada saat ini, meletakkan satu kaki di depan kaki yang
lain, menempuh perjalanan menuruni usus ini satu demi satu kutil raksasa. Lututnya terasa hangat dan
goyah, seperti gantungan kawat yang sudah bengkok nyaris patah. Percy mengerang dan
menggumamkan sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh Annabeth. Bob mendadak berhenti. "Lihat." Di
depan, dalam keremangan, tanah mendatar menjadi sebuah rawa-rawa hitam. Kabut kuning-belerang
menggantung di udara. bahkan, tanpa sinar matahari pun, ada tanaman sungguhan"rumpun alang-alang, pohon-pohon tak
berdaun yang kurus kering, bahkan beberapa bunga yang tampak pucat mekar di dalam iumpur kotor itu.
Alur berlumut meliuk di sela-sela lubang-lubang pal yang menggelegak. Persis di depan Annabeth,
terbenam dalam tanah berlumpur, terdapat jejak-jejak kaki seukuran tutup tong sampah, dengan jarijari kaki yang runcing. Sedihnya, Annabeth cukup yakin dia tabu apa yang meninggalkan jejak kaki itu.
"Drakon?" "Ya." Bob menyeringai ke arahnya. "Itu bagus!" "Uh mengapa?" "Karena, kita sudah
dekat.Bob berderap memasuki rawa. Annabeth ingin menjerit. Dia benci berada di dalam kekuasaan
corang Titan"terutama Titan yang ingatannya perlahan mulai pulih kembali dan tengah membawa
mereka menemui raksasa yang "balk". Annabeth benci berjalan melewati rawa yang jelas-jelas
merupakan tempat berjalan seekor drakon. Tetapi, Bob membawa Percy. Jika bimbang, Annabeth akan
I,chilangan jejak mereka dalam kegelapan. Dia bergegas mengejar Bob, melompat-lompat dari satu
bidang lumut ke bidang lumut lain dan berdoa pada Athena supaya tidak terjatuh dalam lubang
tampung. Setidaknya area itu memaksa Bob melangkah lebih lambat. Begitu Annabeth menyusul, dia
bisa berjalan persis di belakang Bob dan mengawasi Percy, yang tengah berkomat-kamit tak sadar,
dahinya sangat panas mengkhawatirkan. Beberapa kali dia menggumamkan Annabeth dan Annabeth
berjuang menahan tangis. Si anak kucing hanya mendengkur lebih nyaring dan meringkuk lebih rapat.
Akhirnya kabut kuning terkuak. Menampilkan bukaan berlumpur seperti pulau dalam rawa kotor itu.di
sana sini tampak pohon-pohon kerdil dan gundukan "gunundukan kutil . di bagian tengah berdirilah
sebuah gubuk besarberatap kubah yang membubung dari sebuah lubang di bagian atas gubuk. Pintu
masuk nya di tutup dengan tirai kulit reptile bersisik. Mengapit pintu masuknya terdapat 2 buah obor
terbuat dari tulang paaha yang sangat besar dengan menyala api kuning terang .
Yang benar benar menarik perhatian annabeth adalah tengkorak drakon . 50 meter di dalam bukaan itu ,
sekitar sepur jalan menuju gubuk ,sebatang pohon ek raksasa mengajur dari tanah dengan sudut 45
derajat. Rahang tengkorak drakon tadi mengitari batang pohon itu .seolah olah pohon ek itu adalah
lidah monster yang sudah mati itu . ya, gumam bobo . i8ni sangat bagus .
Tidak ada yang terasa bagus tentang tempat ini .bagi annabeth sebelum annabeth sempat memperotes ,
bob kecil melengkukng kan punggung nya dan mendesis .di belakan mereka( ada sebuah ruang dasyat
menggema di seluruh penjuru rawa- suara yang terakhir kali di dengar annabeth dalam pertempuran
man hattan . dia terbalik dan melihaat drakon menyerbu kea rah mereka.[]
BAB TIGA PULUH DELAPAN ANNABETH BAGIAN YANG PALING MENYEBALKANNYA" Drakon itu jelas hal terindah yang pernah dilihat Annabeth
sejak dia terjatuh ke dalam Tartarus. Kulitnya berwarna belang-befang hijau dan kuning, seperti sinar
matahari menembus pucuk-pucuk pepohonan. Mata reptilnya warna hijau laut kesukaan Annabeth
(sama seperti warna mata Percy). Saat bulu-bulunya menegak di seputar kepalanya, Annabeth tak kuasa
berpikir betapa megah dan menakjubkannya monster yang akan membunuhnya ini.
Badannya tampak sepanjang kereta bawah tanah. Kuku-kuku ksasanya tertancap dalam lumpur saat ia
berusaha mengangkat tubuhnya ke depan, ekornya mengibas-ngibas. Drakon itu mendesis,
memuntahkan semburan racun hijau yang menciptakan asap di tanah berlumut dan membakar lubanglubang tanah yang mengandung ter, menguarkan aroma pohon pinus segar dan jape di udara. Bau
monster itu bahkan wangi. Seperti drakon kebanyakan, ia tak bersayap, lebih panjang dan lebih
menyerupai ular daripada naga, dan ia tampak lapar.
"Bob," panggil Annabeth, "apa yang sedang kita hadapi ini?" "Drakon Maeonian," sahut Bob. "Dari
Maeonia." Lagi-lagi informasi yang berguna. Annabeth sudah akan memukul kepala Bob dengan sapunya
sendiri jika saja dia bisa mengangkatnya. "Apa kita punya cara untuk membunuhnya?" "Kita?" sahut Bob.
"Tidak." Sang drakon mengaum seakan ingin menguarkan pernyata Bob, lagi-lagi menguarkan lebih
banyak racun pinus-jahe di udara, yang sebenarnya sangat cocok sebagai wangi pengharum mobil.
"Amankan Percy," seru Annabeth. "Aku akan mengecohnya.,, Annabeth sama sekali tidak tahu
bagaimana dia akan melakukannya, tetapi hanya itulah satu-satunya pilihannya. Dia tidak bisa
membiarkan Percy meninggal"tidak selagi dia masih memiliki kekuatan untuk berdiri. "Tidak perlu,"
kata Bob. "Sebentar lagi?" "AAAUUUUUMMMM!" Annabeth memutar badan tepat saat sang raksasa
keluar dari gubuknya. Tingginya sekitar enam meter"tinggi raksasa rata-rata"dengan bentuk badan
bagian atas menyerupai manusia, dan kaki bersisik menyerupai reptil, seperti dinosaurus berkaki dua.
Dia tidak membawa senjata. baju perang, dia hanya mengenakan sehelai kaus yang dijahit dari kulit bulu
domba dan kulit bertotol-hijau. Kulitnya semerah ceri; janggut dan rambutnya sewarna karat besi,
dikepang dengan seberkas rumput, daun, dan bunga-bunga rawa. Raksasa itu berteriak menantang,
tetapi syukurlah dia tidak sedang memandang Annabeth. Bob menarik Annabeth menepi saat raksasa
itu menyerbu ke arah sang drakon. Mereka beradu layaknya adegan laga Natal yang aneh"merah lawan
hijau. Sang drakon memuntahkan racun. Raksasa
mengelak ke satu sisi. Dia kemudian merebut batang pohon ek dan mencabutnya dari dasar tanah,
lengkap dengan akar-akarnya. engkorak lama itu hancur lebur hingga kepulan debu saat sang raksasa
mengayun pohon itu seperti tongkat bisbol. Ekor drakon mencambuk dan melingkari seputar pinggang
raksasa, menyeretnya semakin dekat dengan gigi-giginya yang bergemeretak. Tetapi begitu raksasa
mengamuk, dia menancapkan pohon itu tepat ke tenggorokan sang monster. Annabeth berharap tidak
akan pernah menyaksikan adegan rnenjijikkan seperti itu lagi. Pohon itu menusuk kerongkongan drakon
dan menancapkannya ke tanah. Akar pohon mulai bergerak, menggali lebih dalam begitu menyentuh
tanah, menambatkan pohon ek itu sampai ia terlihat seolah sudah berdiri tegak di tempat itu selama
berabad-abad. Drakon menggeleng dan meronta, tetapi ia telah tertancap kuat. Sang raksasa
menghantamkan tinjunya ke leher drakon. KRAK. Tubuh monster pun terkulai. Ia mulai terburai, hanya
menyisakan tulang, daging, kulit, dan sebuah tengkorak drakon baru yang moncong membukanya
melingkari pohon ek. Bob menggumam pelan. "Keren." Si kucing mengeong penuh persetujuan, lalu
mulai menjilati cakarnya. Raksasa menendang bangkai drakon itu, mengamatinya saksama. "Tidak ada
tulang yang bagus," keluhnya. "Aku ingin tongkat jalan baru. Huh. Tapi kulitnya cukup bagus untuk bilik
jamban di luar rumah." Dia merobek sebagian kulit halus dari leher sang naga dan menyelipkannya ke
dalam sabuknya. "Ehm ...." Annabeth sebetulnya ingin bertanya apakah raksasa itu benar-benar
menggunakan kulit diakon untuk kertas toilet,
tetapi memutuskan untuk mengurungkan niatnya. "Bob, apakah kau mau memperkenalkan kami?"
"Annabeth ...." Bob menepuk kedua kaki Percy. "Ini Percy." Annabeth berharap sang Titan hanya
bercanda dengannya, walau wajah Bob tampak datar. Annabeth mengertakkan giginya. "Maksudku
dengan raksasa itu. Kau janji dia akan menolong." "Janji?" Sang raksasa menoleh sekilas dari
kesibukannya. Matanya memicing di bawah alis mata merah tebalnya. "Perkara besar, janji itu. Mengapa
Bob menjanjikan bantuanku?" Bob bergerak gelisah. Titan memang menakutkan, tetapi Annabeth belum
pernah melihat seorang Titan pun di samping raksasa sebelumnya. Dibandingkan dengan si pembantaidrakon, Bob terlihat sangat mungil dan tak berdaya. "Damasen adalah raksasa yang balk," ujar Bob. "Dia
cinta damai. Dia bisa menyembuhkan racun." Annabeth memandangi Damasen si raksasa, yang kini
sedang menyobek potongan-potongan daging berlumur darah dari bangkai drakon dengan kedua
tangan kosongnya. "Cinta damai," sahut Annabeth. "Ya, itu jelas." "Daging enak buat makan malam."
Damasen bangkit berdiri lalu mengamati Annabeth, seolah-olah Annabeth adalah sumber protein
potensial lainnya. "Masuklah ke dalam. Kita akan makan daging semur. Kemudian kita akan bahas
tentang janji itu."[]
BAB TIGA PULUH SEMBILAN ANNABETH NYAMAN. Annabeth tidak pernah mengira bisa mendeskripsikan apa pun di Tartarus dengan kata itu.
Namun, walau faktanya gubuk raksasa itu sebesar planetarium dan terbuat dari tulang-belulang, lumpur,
dan kulit bangkai drakon, gubuk itu memang jelas nyaman. Di tengah gubuk menyala api unggun yang
dibuat dari cekungan tanah dan tulang-belulang; tetapi asapnya berwarna putih dan tak berbau,
membubung menembus lubang di tengah langit-langit. Lantainya dilapisi rerurnputan rawa kering dan
karpet wol abu-abu. Di salah sate sisinya terdapat sebuah ranjang besar dari kulit domba dan drakon. Di
sisi seberangnya, tergantung rak-rak yang memuat tanaman kering, kulit untuk baju zirah, dan sesuatu
yang menyerupai potongan dendeng drakon. Seisi rumah berbau semur, asap, basil, dan dawn timi.
Satu-satunya hal yang membuat Annabeth cemas adalah sekawanan domba yang bergerombol di
kandang belakang gubuk. Annabeth teringat gua Polyphemus sang Cyclops yang melahap anak-anak
setengah-dewa dan domba-domba tanpa pandang bulu.
Dia tak kuasa bertanya jika semua raksasa memiliki sclera makan yang sama. Sebagian dirinya ingin
sekali kabur, tetapi Bob suah meletakkan Percy di ranjang raksasa. Dia sekarang nyaris tenggelam dalam
lautan wol dan kulit. Bob Kecil melompat turun dari tubuh Percy dan menepuk-nepuk selimut itu, sambil
mengeong kenca hingga ranjangnya bergetar seperti sebuah ranjang Pemijat Seribu Jari. Damasen
melangkah gontai menuju api unggun. Dia melemparkan daging drakonnya ke dalam panci gantung yang
sepertinya terbuat dari tengkorak lama sesosok monster, lalu mengambil sebuah sendok dan mulai
mengaduk. Annabeth tidak ingin menjadi bahan makanan berikutnya dalam semur itu, tetapi dia datang
kemari dengan sebuah alasan. Dia menghela napas panjang dan bergerak mendekati Damasen,
"Temanku sekarat. Kau bisa menyembuhkannya atau tidak?" Suaranya tercekat saat mengucap kata
teman. Percy jauh dari sekadar seorang teman. Bahkan kekasih pun rasanya tidak cukup mewakili anti
dirinya. Mereka telah melalui begitu banyak hal bersama. Saat inn Percy sudah menjadi bagian dari diri
Annabeth-tentu, bagian yang terkadang rnenyebalkan, tapi jelas bagian yar tanpanya dia takkan bisa
hidup. Damasen menunduk memandanginya, matanya menatap tajam di bawah alis merah tebalnya.
Annabeth sudah pernah bertemu dengan monster serupa manusia yang besar dan me-nyeramkan
sebelumnya, tapi sosok Damasen ini entah mengap a membuatnya gelisah dengan cara yang berbeda.
Dia tidak terlihat jahat. Damasen memancarkan duka dan kegetiran, seakan dirinya begitu dikuasai oleh
kesedihannya sendiri sampai-sampai dia membenci Annabeth hanya karena dia telah berusaha
membuat perhatiannya terfokus pada hal lain.
"Aku tidak pernah mendengar kata-kata semacam itu di tarrtarus," gerutu sang raksasa. "Teman. Janji."
Annabeth menyilangkan lengannya. "Bagaimana dengan darah gorgon" Kau bisa sembuhkan itu, atau
Bob hanya melebih-lebihkan kemampuanmu?" Memancing amarah pembantai-drakon dengan tinggi
enam meter mungkin bukan strategi bijak, tapi Percy sekarat, Annabeth tidak punya waktu untuk
bernegosiasi. Damasen membentaknya. "Kau mempertanyakan kemampu-anku" Seorang manusia
setengah-mati yang kesasar masuk ke rawaku berani rnempertanyakan kemampuanku?" "Yap," sahut
Annabeth. "Huh." Damasen menyerahkan sendok kepada Bob. "Aduk." Selagi Bob mengurusi semur,
Damasen mencari-cari dengan (did isi rak-raknya, mencabuti berbagai jenis rumput dan akar-akaran. Dia
menelan sekepalan bahan tanaman ke dalam mulutnya, mengunyahnya, lalu memuntahkannya dalam
bentuk gumpalan wol. "Secangkir kaldu." Damasen memberi instruksi. Bob menyendok kuah semur ke
dalam sebuah labu kosong. Dia menyerahkannya kepada Damasen, yang kemudian mencelupkan bola
muntahan dan mengaduknya dengan jarinya. "Darah gorgon," gumamnya. "Jelas bukan tantangan bagi
kemampuanku." Dia berjalan lambat menuju ranjang dan mendudukkan Percy dengan satu tangan. Bob
Kecil si kucing menghirup bau kaldu itu, lalu mendesis. Ia mencakar-cakar seprai seakan ingin
menguburnya. "Kau akan menyuapkan itu kepadanya?" tanya Annabeth. Raksasa memelototinya. "Siapa
penyembuh di sini" Kau?"
Annabeth menutup mulutnya. Dia menyaksikan selagi raksasa membuat Percy menyesapkan kaldu itu.
Damasen menangani Percy dengan kelembutan yang mengejutkan, sambil menggumamkan kata-kata
penyemangat yang tidak tertangkap oleh telinga Annabeth. Dengan setiap sesap, rona Percy semakin
membaik. Saat menghabiskan isi cangkir, matanya perlahan mengerjap-ngerjap membuka. Dia
memandang sekitar dengan ekspresi bingung, mendapati Annabeth, lalu memberinya seringai mabuk.
"Hebat." Bola matanya memutar ke belakang. Dia jatuh tertidur kembali di ranjang dan mulai
mendengkur. "Beberapa jam tidur," ujar Damasen. "Badannya akan kembali bugar." Annabeth terisak
penuh kelegaan. "Terima kasih," serunya. Damasen memandanginya dengan iba. "Oh, jangan berterima
kasih kepadaku. Kalian masih celaka. Dan aku meminta bayaran untuk jasaku." Mulut Annabeth
mengering. "Ehm bayaran seperti apa?" "Cerita." Mata sang raksasa berbinar. "Berada di Tartarus
sungguh membosankan. Kau bisa menceritakan kisahmu selagi kita makan, ya?"
Annabeth merasa tidak tenang menceritakan kepada raksasa tentang rencana mereka. Namun,
Damasen merupakan tuan rumah yang baik. Dia telah menyelamatkan nyawa Percy. Semur dagingdrakonnya sungguh lezat (apalagi kalau dibandingkan dengan air-api). Gubuknya hangat dan nyaman,
dan untuk kali pertama sejak terjatuh ke dalam Tartarus, Annabeth merasa bisa relaks. Yang
piesungguhnya ironis, mengingat dia sedang menikmati makan malam bersama seorang Titan dan
raksasa. Annabeth memberi tahu Damasen tentang kehidupannya (Ian petualangan-petualangannya
bersama Percy. Dia menjelaskan hagaimana Percy bertemu dengan Bob, menghapuskan ingatannya di
Sungai Lethe, dan meninggalkannya dalam perawatan Hades. "Percy berusaha melakukan hal yang
baik." Annabeth meyakinkan Bob. "Dia tidak tahu Hades bisa sejahat itu." Bahkan baginya, ucapannya
tidak terdengar meyakinkan. hades memang selalu jahat. Dia teringat tentang apa yang pernah
dikatakan arai"bahwa Nico di Angelo merupakan satu-satunya orang yang mengunjungi Bob di Istana
Dunia Bawah. Nico adalah anak setengah-dewa yang paling sulit bergaul dan paling dingin yang
Annabeth kenal. Namun, Nico telah bersikap baik kepada Bob. Dengan meyakinkan Bob bahwa Percy
adalah teman, Nico secara tidak langsung telah menyelamatkan nyawa mereka. Annabeth tak habis pikir
akankah dia memahami pria itu suatu saat nanti. Bob mencuci mangkuknya dengan botol semprot dan
kain I apnya. Damasen membuat gerakan memutar dengan sendoknya. "Lanjutkan ceritamu, Annabeth
Chase." Annabeth menjelaskan tentang misi mereka di Argo II. Saat dia sampai di bagian tentang
mencegah Gaea agar tak terbangun, omongannya terputus. "Dia, em dia ibumu, Ian?" Damasen
menghabiskan isi mangkuknya. Wajahnya dipenuhi bekas-bekas luka bakar lama akibat racun, lubanglubang dan jaringan parut, hingga membuatnya terlihat seperti permukaan sebuah asteroid. "Ya,"
jawabnya. "Dan Tartarus adalah ayahku." Tangannya menunjuk ke seputar gubuk. "Seperti yang bisa kau
lihat sendiri, aku adalah aib bagi kedua orangtuaku. Mereka menghara kan lebih dariku." Annabeth tidak mampu
mencerna sepenuhnya fakta bahwai dia sedang berbagi sup dengan seorang bertinggi badan enam,
meter dan berkaki-kadal yang orangtuanya merupakan Bumi dan Jantung Kegelapan. Dewa-dewi
Olympia sudah cukup sulit dibayangkan sebagai orangtua, tapi setidaknya mereka menyerupai manusia,
sementara dewa-dewi purba seperti Gaea dan Tartarus .... Bagaimana mungkin kau bisa meninggalkan
rumah, menjadi mandiri dan hidup terlepas dari orangtua, jika mereka secara harfiah menguasai seluruh
dunia" "Jadi ...," lanjut Annabeth. "Kau tidak keberatan kami berjuang melawan ibumu?" Damasen
mendengus seperti banteng. "Semoga berhasil. Tapi, saat ini ayahkulah yang harus kau cemaskan.
Dengan darinya menentangmu, kau tak punya kesempatan untuk selamat." Tiba-tiba selera makan
Annabeth menghilang. Dia me-naruh mangkuknya di lantai. Bob Kecil menghampiri untuk memeriksanya.
"Menentang kami bagaimana?" tanyanya. "Semua ini." Damasen mematahkan sebuah tulang drakon
dan menggunakan serpihannya sebagai tusuk gigi. "Yang kau lihat hanyalah tubuh dari Tartarus, atau
setidaknya sebuah manifestasi darinya. Dia tahu kau berada di sini. Dia berusaha menghalangi
kemajuanmu dalam setiap langkah. Saudara-saudaraku mei burumu. Sungguh mengagumkan melihat
kau masih hidup sampai saat ini, bahkan dengan bantuan dari Iapetus." Bob menggerutu saat dia
mendengar namanya. "Mereka yang dikalahkan memang memburu kami. Mereka mengekor dekat di
belakang sekarang." Damasen meludahkan tusuk giginya. "Aku bisa menyamarkan jejakmu untuk sementara waktu, cukup
bagi kalian untuk beristirahat. Aku punya kekuatan di rawa ini. Tapi, pada akhirnya mereka akan
menangkap kalian." "Teman-temanku harus mencapai Pintu Ajal," kata Bob. "Itu jalan keluarnya."
"Mustahil," gumam Damasen. "Pintu itu dijaga dengan begitu ketat." Annabeth memajukan posisi
duduknya. "Tapi, kau tahu di inana lokasinya?" "Tentu saja. Seluruh Tartarus bermuara ke satu tempat:
jantungnya. Pintu Ajal ada di sana. Tapi, kalian takkan bisa sampai di sana dengan selamat hanya dengan
bantuan Iapetus." "Kalau begitu, ikutlah bersama kami," ajak Annabeth. "Bantu kami." "HA!" Annabeth
melonjak. Di ranjang, Percy mengigau dalam idurnya, "Ha, ha, ha." "Putri Athena," kata raksasa, "aku
bukanlah temanmu. Aku pernah menolong anak manusia sekali, dan kau lihat nasibku sekarang.,, "Kau
menolong manusia?" Annabeth tahu banyak tentang legenda-legenda Yunani, tapi dia tidak tahu sedikit
pun tentang Damasen. "Aku"aku tidak mengerti." "Kisah yang buruk," jelas Bob. "Raksasa-raksasa baik
memiliki kisah-kisah buruk. Damasen diciptakan untuk melawan Ares." "Ya." Raksasa menyetujui. "Sama
seperti semua saudaraku, aku dilahirkan untuk menandingi dewa tertentu. Lawanku adalah Ares. Tapi,
Ares adalah dewa perang. Jadi, saat aku lahir?" "Kau adalah lawannya." Annabeth menebak. "Kau pen
cinta damai." "Cinta damai untuk ukuran seorang raksasa, setidaknya." Damasen mendesah. "Aku berkelana di
dataran Maeonia, di tanah yang sekarang kau sebut Negeri Turki. Aku menggembalakan dombadombaku dan mengumpulkan tanaman. Itu adalah kehidupan yang menyenangkan. Tapi, aku tidak ingin
bertarung melawan para dewa. Ayah dan ibuku mengutuki sikapku itu. Penghinaan terakhir: Suatu hari
sebuah drakon Maeonia membunuh seorang manusia penggembala, seorang temanku. Jadi, aku
memburu makhluk itu dan membunuhnya, menancapkan pohon hingga tepat menembus moncongnya.
Aku menggunakan kekuatan bumi untuk menumbuhkan kembali akar pohon itu, menanam sang drakon
dengan kukuh di dasar tanah. Aku memastikan agar ia tidak berani meneror manusia lagi. Itu adalah
perbuatan yang tidak bisa diampuni Gaea." "Karena kau menolong seseorang?" "Ya." Damasen tampak
malu. "Gaea membuka bumi, dan aku ditelannya, diasingkan di sini di dalam perut ayahku, Tartarus,
tempat terkumpulnya segala kepingan sampah tak berguna"segala remeh-temeh ciptaan yang sudah
tidak dipedulikannya." Sang raksasa memetik setangkai bunga dari rambutnya dan memandanginya tak
acuh. "Mereka membiarkanku tetap hidup, menggembalakan domba-dombaku, dan mengumpulkan
tumbuh-tumbuhan, agar aku kelak menyadari betapa sia-sianya kehidupan yang kupilih. Setiap hari"
atau setidaknya, apa yang dirasa sebagai hari di tempat yang tak mengenal cahaya ini"drakon Maeonia
kembali mewujud dan menyerangku. Membunuhnya adalah tugasku yang tak ada habisnya." Annabeth
menyapukan pandangan ke sekeliling gubuk, berusaha membayangkan sudah berapa ribu tahun yang
dihabiskan Damasen dalam pengasingan ini"membunuh drakon, mengumpulkan tulang-tulang, kulit,
dan dagingnya, mengetahui
ia akan kembali menyerang keesokan hari. Dia bahkan tidak m.ampu membayangkan bertahan selama
seminggu di Tartarus. Mengasingkan anak kandungmu sendiri di sini selama berabad-abad"itu sudah
melebihi batas kekejian. "Patahkan kutukannya," cetus Annabeth. "Ikutlah bersama
kami. Damasen tertawa masam. "Semudah itu. Apa kau pikir selama ini aku tidak berusaha
meninggalkan tempat ini" Itu mustahil. Ke mana pun arah perjalanan yang aku tuju, aku selalu berakhir
kembali di sini. Rawa adalah satu-satunya hal yang kutahu"satu-satunya tempat tujuan yang bisa
kubayangkan. Tidak, blasteran kecil. Kutukanku sudah menguasaiku. Aku sudah tidak punya harapan
lagi." "Tidak punya harapan." Bob membeo. "Pasti ada jalan." Annabeth tidak tahan melihat ekspresi di
wajah sang raksasa. Hal itu mengingatkan dirinya kepada ayahnya sendiri, saat beberapa kali dia
mengakui kepada Annabeth bahwa dia masih mencintai Athena. Wajah ayahnya kala itu tampak begitu
sedih dan terkalahkan, mengharapkan sesuatu yang dia rahu mustahil. "Bob punya rencana untuk
mencapai Pintu Ajal," desak Annabeth. "Dia bilang kita bisa bersembunyi di semacam Kabut Ajal."
"Kabut Ajal?" Damasen menegur Bob. "Kau akan membawa mereka ke Akhlys?" "Itu satu-satunya jalan,"
sahut Bob. "Kalian akan mati," ujar Damasen. "Dengan penuh penderitaan. Dalam kegelapan. Akhlys
tidak memercayai siapa pun dan tidak akan menolong siapa pun." Bob tampak ingin membantah, tapi
dia mengatupkan bibirnya rapat dan tetap bungkam.
"Apakah ada jalan lain?" tanya Annabeth. "Tidak," jawab Damasen. "Kabut Ajal itu adalah rencana
terbaik. Sayangnya, itu adalah rencana yang buruk." Annabeth merasa seakan dirinya kembali
menggantung di lubang kegelapan, tidak mampu mengangkat dirinya naik, tetapi tidak mampu
menahan cengkeraman pijakan tangannya"tidak lagi tersisa pilihan baginya. "Tapi, tidakkah itu patut
dicoba?" tanya Annabeth. "Kau bisa kembali ke dunia manusia. Kau bisa lihat mentari lagi." Mata
Damasen seperti rongga mata tengkorak drakon"gelap dan Nampa, kosong dari harapan. Dia
melontarkan patahan tulang ke api dan bangkit hingga berdiri tegak di hadapan Annabeth"seorang
panglima besar berambut merah dalam balutan kulit domba dan drakon, dengan bunga-bunga kering
dan tanaman di rambutnya. Annabeth bisa melihat sosoknya sebagai anti-Ares. Ares adalah dewa
terburuk, suka ribut dan penuh kekerasan. Damasen adalah raksasa terbaik, baik hati dan penolong dan


The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena itu dia telah dikutuk dalam siksa abadi. "Tidurlah," ujar raksasa. "Aku akan siapkan perbekalan
untuk perjalananmu. Maafkan aku, tapi tak ada lagi yang bisa kulakukan." Annabeth ingin membantah,
tapi begitu sang raksasa bilang tidur, tubuhnya mengkhianatinya, walau dia bertekad untuk tidak pernah
tidur di Tartarus lagi. Perutnya kenyang. Nyala api menciptakan bunyi meretih yang melenakan. Bau
tumbuh-tumbuhan di udara mengingatkannya pada perbukitan di sekitar Perkemahan Blasteran pada
musim papas, saat para satir dan naiad mengumpulkan tanaman liar pada sore hari yang santai.
"Mungkin tidur sebentar." Annabeth menyetujui. Bob menggendongnya seperti sebuah boneka kain.
Annabeth tidak keberatan. Bob meletakkannya di samping Percy di ranjang raksasa, dan dia pun
memejamkan mata.[] BAB EMPAT PULUH ANNABETH SAAT TERJAGA, ANNABETH MEMANDANGI BAYANG-BAYANG menari di langit-langit gubuk. Dia tidak
bermimpi sama sekali. Itu sungguh aneh, hingga membuatnya tidak yakin jika dia sudah benar-benar
terjaga. Selagi berbaring di ranjang, dengan Percy mendengkur di sampin.gnya dan Bob Kecil
mendengkur di perutnya, Annabeth mendengar Bob dan Damasen tengah larut dalam percakapan. "Kau
belum memberitahunya," kata Damasen. "Belum." Bob mengakui. "Dia sudah cukurketakutan." Si
raksasa menggerutu. "Memang semestinya begitu. Dan kalau kau tidak bisa menjaga mereka melewati
Malam?" Damasen menyebut Malam seakan itu nama yang selayaknya"nama yang sarat kejahatan.
"Aku harus melakukannya," ujar Bob. "Mengapa?" Damasen bertanya-tanya. "Apa yang telah diberi-kan
para blasteran kepadamu" Mereka telah menghapuskan dirimu yang lama, segalanya tentang dirimu
pada masa lalu. Bangsa titan
dan raksasa kita semestinya ditakdirkan menjadi lawan pars dewa-dewi dan anak-anak mereka.
Bukankah begitu?" "Kalau begitu, kenapa kau sembuhkan anak itu?" Damasen mengembuskan napas.
"Aku sendiri bertanya-tanya tentang itu. Mungkin karena gadis itu yang memengaruhiku, atau mungkin
aku merasa kedua demigod ini menarik. Mereka benar-benar tangguh dengan berbahan sampai sejauh
ini. Itu sungguh mengagumkan. Tapi, bagaimana kita bisa menolong mereka lebih jauh" Itu bukanlah
takdir kita." "Mungkin," kata Bob, meragu. "Tapi apa kau suka dengan takdir kita?" "Pertanyaan hebat.
Adakah yang menyukai takdirnya sendiri?" "Aku senang menjadi Bob," gumam Bob. "Sebelum aku mulai
mengingat ...." "Huh." Terdengar suara gesekan, seolah Damasen sedang mengisi tas kulit. "Damasen,"
tanya sang Titan, "apa kau ingat matahari?" Bunyi gesekan itu terhenti. Annabeth mendengar si raksasa
mengembuskan napas berat. "Ya. Matahari itu kuning. Saat is menyentuh cakrawala, warna langit jadi
begitu indah." "Aku merindukan matahari," ujar Bob. "Bintang-bintang juga. Aku ingin menyapa bintangbintang lagi." "Bintang-bintang ...." Damasen mengucapkan kata itu seolah dia telah lupa dengan
maknanya. "Ya. Mereka membentuk pola-pola perak di langit malam." Dia melemparkan sesuatu ke
lantai dengan bunyi berdebum. "Bah. Ini obrolan sia-sia. Kita tidak bisa"Di kejauhan, drakon Maeonia
mengaum. Percy tiba-tiba terduduk tegak. "Apa" Apa"di mana"apa?" "Tidak apa-apa." Annabeth
meraih lengan Percy. Saat Percy mengetahui bahwa mereka berdua tengah berada di ranjang raksasa dengan kucing
tengkorak, dia tampak semakin bingung. "Bunyi ribut itu kita ada di mana?" "Seberapa banyak yang kau
ingat?" tanya Annabeth. Percy mengernyitkan kening. Matanya tampak waspada. Semua lukanya telah
hilang. Kecuali pakaian yang koyak dan sedikit lapisan tanah dan kotoran, dia tampak seakan tidak
pernah terjatuh ke dalam Tartarus. "Aku"nenek-nenek setan"lalu tidak banyak." Damasen
menghampiri ranjang. "Tidak ada waktu lagi, manusia-manusia kecil. Drakon telah kembali. Aku khawatir
aumannya akan memanggil yang lainnya"saudara-saudaraku, untuk memburu kalian. Mereka akan
sampai di sini dalam hitungan menit." Jantung Annabeth berpacu. "Apa yang akan kau katakan kepada
mereka saat mereka sampai di sini?" Mulut Damasen berkedut. "Apa lagi yang perlu dikatakan" Tidak
ada yang penting, asalkan kalian telah pergi." Dia melontarkan dua tas berbahan kulit-drakon. "Pakaian,
tnakanan, minuman." Bob mengenakan tas yang sama tapi lebih besar. Dia bersandar pada sapunya,
memandangi Annabeth seakan-akan masih merenungkan kata-kata Damasen: Apa yang telah diberikan
para blasteran kepadamu" Kita ditakdirkan untuk menjadi lawan para dewa-dewi dan anak-anak mereka.
Tiba-tiba Annabeth dihantam oleh pikiran yang begitu tajam dan jernih, seakan berasal dari bilah pisau
Athena sendiri. "Ramalan Tujuh," seru Annabeth. Percy sudah memanjat keluar dari ranjang dan tengah
menyampirkan tasnya. Dia mengernyit ke arah Annabeth. "Ada apa dengan ramalan itu?"
Annabeth menarik tangan Damasen, mengagetkan sang raksasa. Keningnya berkerut. Kulitnya sekasar
batu pasir. "Kau harus ikut bersama kami." Annabeth memohon. "Ramalan menyebutkan musuh
panggul senjata menuju Pintu Ajal. Tadinya kukira itu artinya dewa-dewi Romawi dan Yunani, tapi bukan
itu nyatanya. Maksud kalimat itu adalah kita"para demigod, Titan, dan raksasa. Kami membutuhkanmu
untuk menutup Pintu!" Drakon mengaum di luar, lebih dekat kali ini. Damasen dengan pelan melepas
tangan Annabeth. "Tidak, Nak," gumarnnya. "Kutukanku adalah di sini. Aku tidak bisa membebaskan diri
darinya." "Ya, kau bisa," ujar Annabeth. "Jangan lawan drakon itu. Carilah jalan untuk mematahkan
siklus ini! Temukan takdir lain." Damasen menggelengkan kepala. "Bahkan kalaupun aku bisa, aku tidak
bisa meninggalkan rawa ini. Inilah satu-satunya tujuan yang bisa kubayangkan." Pikiran Annabeth
berpacu. "Ada tujuan lain. Lihatlah aku! Ingat wajahku. Saat kau siap, datanglah mencariku. Kami akan
membawamu ke dunia manusia bersama kami. Kau bisa lihat matahari dan bintang-bintang." Tanah
berguncang. Drakon itu sekarang sudah dekat, mengentakkan kaki melalui tanah rawa, menghancurkan
pepohon-an dan lumut dengan semburan racunnya. Lebih jauh lagi, Annabeth menangkap suara
Polybotes sang raksasa mendesak para pengikutnya untuk bergerak maju. "PUTRA DEWA LAUT! DIA S
UDAH D E KAT !" "Annabeth," desak Percy, "itu adalah isyarat buat kita untuk pergi." Damasen
mengambil sesuatu dari sabuknya. Di tangannya yang besar, beling putih itu tampak seperti tusuk gigi
biasa; tapi saat Damasen menawarkannya kepada Annabeth, dia menyadari itu adalah pedang"bilah dari tulang
naga, diasah hingga ujungnya r sangat tajam, dengan gagang sederhana terbuat dari kulit. "Satu
persembahan terakhir untuk Putri Athena," gelegar sang raksasa. "Aku tidak bisa membiarkanmu
berjalan menuju kematianmu tanpa senjata. Sekarang, pergilah! Sebelum terlambat." Annabeth nyaris
terisak. Diambilnya pedang itu, tapi dia hahkan tidak sanggup mengucapkan terima kasih. Annabeth
tahu raksasa itu ditakdirkan untuk berjuang di pihak mereka. Itulah Ijawabannya"tapi Damasen
menolaknya. "Kita harus pergi," desak Bob sementara kucingnya memanjati pundaknya. "Dia benar,
Annabeth," tegas Percy. Mereka berlari menuju pintu keluar. Annabeth tidak menoleh ke belakang saat
dia mengikuti Percy dan Bob memasuki rawa. Tapi, Annabeth mendengar Damasen di belakang mereka
meneriakkan EION scruan perang pada drakon yang menerjangnya, suaranya pecah dengan
keputusasaan saat dia kembali berhadapan dengan musuh Iamanya untuk kesekian kali. []
BAB EMPAT PULUH SATU PIPER PIPER TIDAK BANYAK TAHU TENTANG Laut Mediterania, tapi dia cukup yakin laut itu semestinya tidak
membeku pada bulan Juli. Dua hari mengarungi lautan dari Split, arakan awan kelabu menelan langit.
Ombak makin kencang. Gerimis dingin menciprati geladak, membentuk es di pagar pembatas kapal dan
tali-temali. "Gara-gara tongkat Diocletian," gumam Nico sambil meng-angkat tongkat kuno itu. "Pasti
itu." Piper tak habis pikir. Semenjak Jason dan Nico kembali dari Istana Diocletian, sikap mereka begitu
gelisah dan penuh rahasia. Sesuatu yang besar telah terjadi di sana"sesuatu yang tak mau diceritakan
Jason kepadanya. Masuk akal jika tongkat itu yang mungkin menyebabkan perubahan cuaca ini. Bola
hitam di pucuk tongkat tampak mengisap warna langsung dari udara. Elang-elang emas di dasarnya
berkilat dengan kejam. Konon tongkat itu bisa mengendalikan orang-orang mati, dan is jelas-jelas
menguarkan aura yang buruk. Baru sekali saja memandangi tongkat itu, Pelatih Hedge langsung berubah
pucat, lalu mengumumkan bahwa dia akan pergi ke ruangannya untuk menghibur dirinya dengan videovideo Chuck Norris. (Meskipun Piper menduga dia sebetulnya sedang mengirimkan pesan-Iris ke
kampung halamannya kepada kekasihnya, Mellie; sang pelatih bertingkah begitu gelisah belakangan ini
menyangkut kekasihnya, tapi dia tidak mau memberi tahu Piper apa yang sebenarnya terjadi). Jadi, ya
barangkali tongkat itu bisa menimbulkan badai salju yang aneh. Tapi, Piper merasa bukan itu
masalahnya. Dia mencemaskan ada hal lain yang tengah terjadi"sesuatu yang bahkan lebih buruk. "Kita
tidak bisa bicara di atas sini." Jason memutuskan. "kita tunda pertemuan ini." Mereka semua tengah
berkumpul di geladak belakang untuk merundingkan strategi selagi mereka kian mendekati Epirus.
Sudah jelas sekarang itu bukanlah tempat yang cocok untuk berkumpul. Angin mengembuskan embunembun beku sepanjang geladak. Iaut bergolak di bawah mereka. Piper tidak terlalu terganggu dengan
ombaknya. Ayunan dan goncangan mengingatkan dirinya pada kegiatan berselancar dengan ayahnya di
pesisir California. Tapi, dia tahu kondisi Hazel tak seperti dirinya. Gadis malang itu mengalami mabuk
laut bahkan di laut yang tenang. Dia tampak seperti sedang berusaha menelan sebuah bola biliar. "Aku
harus?" Hazel tersedak sambil menunjuk ke bawah. "Ya, pergilah." Nico mengecup pipinya, yang
mengejutkan Piper. Nico nyaris tidak pernah menunjukkan isyarat kasih sayang, bahkan kepada
saudarinya sekalipun. Dia sepertinya tidak menyukai kontak fisik. Mencium Hazel seperti itu rasanya dia
seperti sedang mengucapkan perpisahan.
"Aku akan mengantarmu turun." Frank melingkarkan lengannya di pinggang Hazel dan membantunya
menapaki tangga. Piper berharap Hazel akan baik-baik saja. Beberapa malam terakhir, semenjak
pertarungan dengan Sciron itu, keduanya menikmati obrolan bersama. Sungguh berat menjadi dua
orang gadis di kapal. Keduanya saling berbagi cerita, mengeluhkan kebiasaan-kebiasaan jorok para lakilaki, dan berbagi tangisan bersama saat mengenang Annabeth. Hazel memberitahunya bagaimana
rasanya mengendalikan Kabut, dan Piper terkeju mendengar betapa miripnya dengan perasaan saat
menggunakai bahasa mantra. Piper menawarkan bantuan kepadanya jika dia mampu. Sebagai balasan,
Hazel telah berjanji untuk melatihnya bertarung-pedang"kemahiran yang sangat payah dikuasai Piper
Piper merasa seolah dia memiliki seorang teman baru, yang sungguh menyenangkan jika saja mereka
bisa hidup cukup lama untuk menikmati manisnya buah pertemanan. Nico menyapukan es dari
rambutnya. Dia mengernyit memandang tongkat Diocletian. "Sebaiknya aku simpan saja ini Kalau is
benar-benar penyebab cuaca buruk ini, mungkin lebih baik untuk menaruhnya di bawah dek
"Tentu," sahut Jason. Nico menoleh kepada Piper dan Leo, seakan mengkhawatirkan apa yang akan
mereka katakan saat dia pergi. Piper merasa kewaspadaan diri Nico meningkat. Nico seperti sedang
meringkuk ke dalam bola psikologis, seperti saat dirinya kerasukan di dalam jambangan perunggu itu.
Begitu dia pergi ke bawah, Piper mengamati wajah Jason. Sorot matanya penuh kekhawatiran. Apa yang
telah terjadi di Kroasia" Leo mengeluarkan obeng dari balik sabuknya. "Batal sudah pertemuan besar tim.
Sepertinya tinggal kita lagi yang tersisa."
Tinggal kita lagi. Piper teringat akan hari bersalju di Chicago pada Desember lalu, saat mereka bertiga
baru mendarat di Taman Millennial dalam misi pertama mereka. Leo tidak banyak berubah semenjak
saat itu, kecuali dia tampak lebih terbiasa dengan perannya sebagai anak Hephaestus. Selama ini dia
selalu menyimpan terlalu banyak energi kegelisahan. Sekarang dia sudah tahu cara memanfaatkannya.
Kedua tangannya senantiasa bergerak, mengeluarkan berbagai alat dari balik sabuknya, mengutak-atik
kendali, bekerja dengan bola Archimedes kesayangannya. Hari ini dia memindahkannya dari panel
kendali dan mematikan kepala Festus di haluan kapal untuk perbaikan"menyetel-ulang prosesornya
untuk peningkatan mutu kendali-mesin dengan bola itu, entah apa itu artinya. Sementara Jason, dia
tampak lebih kurus, lebih tinggi, dan makin diliputi kesedihan. Rambutnya yang dulu dipotong cepak ala
Romawi kini lebih panjang dan acak-acakan. Pola beralur akibat serangan Sciron di sepanjang sisi kin
kepalanya juga menarik"hampir seperti gaya seorang pemberontak. Mata biru esnya entah mengapa
terkesan lebih tua"sarat kecemasan dan tanggung jawab. Piper tahu apa yang dibisikkan teman-
temannya tentang Jason"dia terlalu sempurna, terlalu taat aturan. Kalaupun itu pernah benar,
sekarang jelas tidak lagi. Jason sudah dibuat babak belur dalam perjalanan ini, bukan saja secara fisik.
Deritanya tidak lantas melemahkan dirinya. Dia justru digerus dan dilembutkan seperti kulit"seakan
secara perlahan Jason berubah menjadi versi dirinya yang lebih menyenangkan. Dan Piper sendiri" Dia
tidak bisa membayangkan apa yang ada di pikiran Leo dan Jason saat mereka memandang dirinya. Dia
jelas tidak merasa seperti orang yang sama dengan dirinya pada musim dingin lalu.
Misi pertama mereka untuk menyelamatkan Hera rasany sudah berabad-abad yang lalu. Begitu banyak
telah berubah dalan tujuh bulan dia tak habis pikir bagaimana para dewa bis bertahan hidup selama
ribuan tahun. Seberapa banyak perubahai yang telah mereka lihat" Barangkali wajar saja dewa-dewi
Olympus terlihat agak sinting. Seandainya Piper telah hidup melewati tig milenium, dia sendiri pasti
sudah akan jadi gila. Dia memandangi tetesan hujan yang dingin. Piper akai menyerahkan apa pun agar
bisa berada di Perkemahan Blasterai lagi. Di sana cuacanya begitu terkendali, bahkan saat musin dingin.
Bayangan yang dilihatnya di pisaunya baru-baru ini yah, bayang-bayang itu tidak memberinya banyak
harapan untuk dinanti. Jason meremas pundaknya. "Hei, semua akan baik-baik saja Kita sudah
mendekati Epirus sekarang. Satu atau dua hari lagi kit akan sampai, kalau petunjuk arah yang diberikan
Nico benar." "Yap." Leo sibuk mengutak-atik bolanya, mengetuk dai menekan salah satu permata di
permukaannya. "Besok pagi kita akan tiba di pesisir barat Yunani. Lalu satu jam menempul daratan, dan
jreng"Gerha Hades! Aku akan beli kaus untul kenang-kenangan!" "Hoye," gumam Piper. Piper tidak
bersemangat untuk terjun ke dalam kegelapan lagi Dia masih dihantui mimpi-mimpi buruk tentang
nymphaeun dan hypogeum di bawah kekuasaan Roma. Dalam bilah Katoptri dia melihat bayang-bayang
serupa dengan yang Leo dan Haze jelaskan dari mimpi-mimpi mereka"sesosok penyihir pucat dalan
balutan gaun emas, kedua tangannya menenun cahaya emas d udara seperti benang sutra di alat tenun;
sesosok raksasa dalan gelap menyusuri lorong panjang dengan deretan obor. Selagi di melewati setiap
obor, nyala obor padam. Piper melihat sebual
gua raksasa yang dipenuhi monster"Cyclops, Anak Bumi, dan sosok-sosok yang lebih aneh lagi"
mengepung dirinya dan teman-t emannya, jauh mengalahkan jumlah mereka. Setiap kali Piper melihat
bayang-bayang itu, suara di kepalanya lalu mengulangi satu kalimat, berulang-ulang kali. "TemanTeman," ucapnya, "aku sudah berpikir tentang Ramalan Tujuh." Tidak mudah untuk melepas perhatian
Leo dari pekerjaannya, tapi perkataan Piper itu berhasil melakukannya. "Ada apa dengan Ramalan itu?"
tanyanya. "Hal yang bagus, kuharap?" Piper merapikan tanduk kambing di tali pundaknya. Terkadang
tanduk kemakmuran itu dirasanya begitu ringan hingga dia lupa tentangnya. Saat-saat lain tanduk itu
serasa besi landasan, seolah dewa sungai Achelous sedang mengirimkan pikiran-pikiran buruk, iiiencoba
menghukumnya karena telah merebut tanduk miliknya. "Di Katoptris." Piper mulai bicara, "aku terus
melihat raksasa Clytius itu"prig yang berada di balik bayang-bayang. Aku tahu kelemahannya adalah api,
tapi dalam penglihatanku, dia niemadamkan nyala api ke mana pun dia pergi. Cahaya macam .1pa pun
terisap ke dalam awan kegelapannya begitu saja." "Kedengarannya seperti Nico," ujar Leo. "Apa
menurutmu keduanya berhubungan?" Jason menegur. "Hei, Bung, berhenti mengganggu Nico. jadi,
Piper, bagaimana dengan raksasa itu" Apa yang kau pikirkan?" Piper dan Leo bertukar pandang bingung:
Sejak kapan Jason membela Nico di Angelo" Piper memutuskan untuk tidak be rkomentar. "Aku terus
berpikir tentang api," ujar Piper. "Bahwa kita mengharapkan Leo mengalahkan raksasa itu karena dia ...."
"Hot"panas(Bisa juga diterjemahkan keren."penerj. )?" saran Leo sambil nyengir. "Em, lebih cocok kita
sebut mudah terbakar. Kembali pokok permasalahan, kalimat dari ramalan itu mengusikku: Dengan
badai atau api, dunia akan runtuh." "Yeah, kami sudah tahu tentang itu," ujar Leo meyakinkan "Kau akan
bilang aku api. Dan Jason ini badai." Piper mengangguk setengah hati. Dia tahu bahwa tak seorang pun
dari mereka senang membicarakannya, tapi mereka semua tentu bisa merasakan bahwa memang itulah
kenyataannya. Kapal berbelok haluan ke kanan. Jason meraih paga yang diselimuti es. "Jadi kau khawatir
salah seorang dari kam akan membahayakan misi ini, mungkin secara tidak sengaja menghancurkan
dunia?" "Bukan," ujar Piper. "Aku merasa selama ini kita telah salal mengartikan kalimat itu. Dunia Bumi.
Dalam bahasa Yunani kata untuk itu adalah ...." Piper meragu, tidak ingin mengucapkan nama itu
dengan lantang, walau di lautan. "Gaea." Mata Jason berbinar, langsung merasa tertaril "Maksudmu,
dengan badai atau api, Gaea akan runtuh?" "Oh ...." Seringai Leo makin lebar. "Kau tahu, aku jaul lebih
menyukai versimu. Karena kalau Gaea runtuh di bawa] kekuasaanku, Tuan Api, itu sungguh sangat
memuaskan." "Atau di bawah kekuasaanku badai." Jason mengecup Pipe: "Piper, itu sungguh brilian!
Kalau kau benar, ini berita bagth Kita hanya perlu mencari tahu siapa di antara kami yang aka
menghancurkan Gaea."
"Mungkin." Piper tidak merasa nyarnan telah mengangkat harapan mereka. "Tapi, begini, pilihannya
adalah antara badai atau api Dia mengeluarkan Katoptris dan menaruhnya di konsol. Segera saja,
pedang itu mengerjap, menunjukkan bayangan gelap raksasa Clytius bergerak menyusuri lorong,
memadamkan obor-obor. "Aku mengkhawatirkan Leo dan pertarungan melawan Clytius," ucapnya.
"Kalimat dalam ramalan itu terdengar seakan hanya satu dari kalian yang akan berhasil. Dan kalau
bagian badai atau api itu terhubung dengan kalimat ketiganya, Sumpah yang ditepati hingga tarikan
napas penghabisan Piper tidak menuntaskan pikirannya, tapi dari raut wajah Jason dan Leo, dia tahu
bahwa mereka mengerti. Jika dia membaca ramalan itu dengan benar, hanya salah seorang di antara
Leo atau Jason yang akan mengalahkan Gaea. Satunya lagi akan tewas.[]
BAB EMPAT PULUH DUA PIPER LEO MEMANDANGI BILAH BELATI ITU. "Baiklah jadi aku ternyata tidak terlalu menyukai idemu. Menurut
pikiranmu salah seorang dari kami akan mengalahkan Gaea sementara yang lain meninggal" Atau
mungkin salah seorang dari kami meninggal saw mengalahkannya" Atau?" "Teman-Teman," ujar Jason,
"kita akan membuat diri kita gila sendiri kalau terlalu memikirkannya. Kalian Ian tahu sendiri sifat dari
ramalan itu. Para pahlawan selalu mengalami kesulitan berusaha menggagalkannya." "Yeah," gumam
Leo. "Kita benci mengalami kesulitan. Kita sudah sangat nyaman dalam kondisi sekarang ini." "Kau tahu
sendiri maksudku," ujar Jason. "Baris tarikan napa. penghabisan bisa jadi tidak terhubung dengan bagian
badai daR api. Bisa saja, kita berdua bahkan bukan badai dan api. Percy bisc membangkitkan angin
topan." "Dan aku selalu bisa menyulut Pelatih Hedge hingga terbakar,' tambah Leo. "Berard, dia pun bisa
jadi api." Bayangan seorang satir terbakar sambil berteriak, "Mati kau, bajingan!" selagi menyerang Gaea nyaris
cukup lucu untuk memancing tawa Piper"nyaris. "Kuharap aku salah," ucap Piper Kati-hati. "Tapi
seluruh misi ini berawal dengan kita menemukan Hera dan membangkitkan raja raksasa Porphyrion itu.
Aku memiliki firasat, perang akan berakhir dengan diri kita juga. Entah dalam keadaan baik ataupun
buruk." "Hei," seru Jason, "secara pribadi, aku senang dengan kita." "Sepakat," sahut Leo. "Kita adalah
orang-orang kesayanganku." Piper tak kuasa tersenyum. Dia sungguh-sungguh menyayangi kawankawannya ini. Piper berharap seandainya saja dia bisa rnenggunakan charmspeak-nya pada Takdir,
menerangkan akhir yang bahagia, dan memaksa mereka untuk menjadikannya kenyataan. Sayangnya,
sulit membayangkan sebuah akhir yang bahagia saat berbagai pikiran gelap berseliweran di benaknya.
Dia khawatir si raksasa Clytius ditaruh di jalan mereka untuk menghapuskan Leo sebagai ancaman. Jika
benar demikian, itu berarti Gaea juga akan mencoba untuk menyingkirkan Jason. Tanpa badai atau api,
mereka takkan mungkin berhasil. Dan cuaca dingin ini juga mengganggunya .... Dia merasa yakin ini
disebabkan oleh sesuatu yang lebih dari sekadar tongkat kekuasaan Diocletian. Angin yang dingin,
campuran hujan dan es yang begitu ganas, dan entah mengapa familier. Bau di udara itu, bau pekat
akan Piper semestinya mengerti apa yang akan terjadi dengan lebih cepat, tapi dia telah menghabiskan
sebagian besar hidupnya di California Selatan tanpa adanya perubahan cuaca yang besar. Dia umbuh
besar tanpa mengenal bau itu bau salju yang akan segera datang.
Setiap otot dalam tubuhnya menegang. "Leo, bunyikan tombol alarm." Piper belum menyadari dirinya
baru saja menggunakan charmspeak, tapi Leo segera saja menjatuhkan obengnya dan menekan tombol
alarm. Leo mengerutkan kening saat tak terjadi apa pun. "Oh, sedang tidak berfungsi." Dia teringat.
"Festus lagi dimatikan. Beri aku semenit untuk menghidupkan kembali sistem ini secara daring." "Kita
tidak punya satu menit! Api"kita butuh botol-botol kecil api Yunani. Jason, panggil angin. Yang hangat,
angin khas selatan." "Tunggu dulu, apa?" Jason memandanginya bingung. "Piper, apa yang terjadi?"
"Dia!" Piper merebut belatinya. "Dia kembali! Kita harus?" Sebelum Piper bisa menyelesaikan
ucapannya, kapal mencapai pangkalan. Suhu udara turun begitu cepatnya, layar kapal meretih dengan
es. Tameng-tameng perunggu sepanjang pagar kapal meletup seperti kaleng-kaleng soda bertekanantinggi. Jason menghunus pedangnya, tapi sudah terlambat. Sebuah gelombang partikel es menyapu
dirinya, menyelubunginya seperti donat lapis gula dan langsung membekukannya di tempat. Di bawah
lapisan es, matanya membelalak kaget. "Leo! Api! Sekarang!" Piper berteriak. Tangan kanan Leo
membara, tapi angin berputar-putar di sekelilingnya dan memadamkan api itu. Leo menggenggam erat
bola Archimedes-nya selagi corong awan pembawa hujan es menyapu dan mengangkat tubuhnya dari
lantai. "Hei!" teriaknya. "Hei! Lepaskan aku!"
PIPED, Piper berlari menghampirinya, tapi sebuah suara di tengah pusaran badai berkata, "Oh, ya, Leo Valdez.
Aku akan benar-benar melepaskanmu." Leo diempaskan ke arah langit seakan dilontarkan dari sebuah
katapel. Tubuhnya menghilang ditelan awan-awan. "Tidak!" Piper mengangkat belatinya, tapi tidak ada
yang Lisa diserang. Dia memandang ke arah tangga dengan putus asa, berharap akan melihat temantemannya berlari untuk mcnyelamatkannya, tetapi sebongkah es telah menyegel pintu hawahnya.
Seluruh geladak bawah mungkin sudah beku oleh es. Dia butuh senjata yang lebih baik untuk digunakan
hertarung"sesuatu yang lebih baik daripada suaranya, belati peramal yang konyol, dan kornukopia
yang menembakkan daging dan buah-buahan segar. Piper mengira-ngira apakah dia bisa mencapai
meriam kapal. Lalu musuh-musuhnya muncul, dan dia pun menyadari Lihwa tak ada senjata yang cukup.


The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di tengah-tengah kapal, berdiri sesosok gadis dengan gaun panjang dari sutra putih, rambut hitamnya
dijepit ke belakang Ictigan sebuah lingkaran batu-batu permata. Matanya sewarna kopi, tetapi tanpa
kehangatannya. Di belakangnya, berdiri saudara-saudaranya"dua pemuda Icngan sepasang sayap
berbulu-ungu, rambut putih sepenuhnya, n pedang bergerigi dari perunggu Langit. "Senang berjumpa
denganmu lagi, ma there," ujar Khione, salju. "Saatnya bagi kita untuk menikmati reuni yang sangat
dingin."[] BAB EMPAT PULUH TIGA PIPER PIPER TIDAK BERENCANA UNTUK MENEMBAKKAN muffin-muffin blueberry. Kornukopia-nya pasti
menangkap kegelisahannya dan berpikir dia dan para tamunya butuh kudapan panggang hangat.
Setengah lusin muffin panas beterbangan keluar dari tanduk kemakmuran seperti tembakan peluru. Itu
bukanlah serangan pembuka yang paling efektif. Khione hanya perlu menggeser tubuhnya ke samping.
Sebagian besar muffin melesat melewatinya keluar pagan Saudaranya, para Boreads, masing-masing
menangkap satu dan mulai melahapnya. "Muffin," ucap saudara yang lebih besar. Cal, ingat Piper:
kependekan dari Calais. Pakaiannya sama persis seperti yang dikenakannya di Quebec"sepatu dengan
tonjolan sol antilicin, celana olahraga, dan kaus hold merah"dan dengan dua mata lebam dan sejumlah
gigi yang patah. "Muffin memang enak." "Ah, merci," ucap saudara bertubuh kurus kering"Zethes,
ingatnya"yang tengah berdiri di landasan meriam, sayap ungunya
terbentang. Rambut putihnya masih ditata dengan gaya mullet (Rambut pendek di bagian depan kepala
dan panjang menjuntai di 1.1kang."penerj)Era Disco yang mengerikan. Kerah kemeja sutranya mencuat
Tiga Dara Pendekar 13 Wiro Sableng 055 Misteri Dewi Bunga Mayat Kisah Sepasang Rajawali 14
^