House Of Hades 7
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades Bagian 7
suara bergemuruh di tanah yang dipijaknya. Leo terhuyung, tiba-tiba merasa seakan sedang berdiri di
permukaan sebuah trampolin. HARUS adalah kata yang terlalu sering dipakai. Pusaran sosok manusia
menyeruak dari pasir"dewi yang paling tidak disukai Leo, Nyonya Lumpur, Putri Limbah Pispot, Gaea
sendiri. Leo melemparkan tang ke arahnya. Sayangnya sosoknya tidak padat, dan tang itu terempas
menembusnya. Matanya terpejam, tapi dia tidak terlihat mengantuk, sepertinya. Senyum terluk is di
wajah keji berdebunya, seakan dia sedang serius menyimak lagu kesukaannya. Mantel berpasirnya
bergeser dan melipar, mengingatkan Leo akan riak sirip pada monster udang konyol yang mereka lawan
di Atlantik. Tapi, bagi Leo, Gaea lebih jelek lagi. Kau ingin hidup, ucap Gaea. Kau ingin bergabung dengan
kawan-kawanmu. Tapi kau tidak harus melakukan ini, anakku yang malang. Itu tidak akan ada bedanya.
Kawan-kawanmu akan mati, bagaimanapun juga.
Kaki Leo gemetar. Meski benci, tapi setiap kali nenek sihir ini muncul, dia merasa bagai bocah delapan
tahun lagi, terpaku di lobi toko mesin ibunya. Mendengarkan suara keji tetapi menghanyutkan Gaea
sementara ibunya terkunci di dalam gudang t erbakar, sekarat akibat hawa panas dan asap. "Yang tidak
harus kulakukan," geramnya, "adalah mendengar kebohongan lagi darimu, Wajah Comberan. Kau bilang
kakek buyutku meninggal pada 1960-an. Salah! Kau bilang aku tak bisa menyelamatkan teman-temanku
di Roma. Salah! Kau sudah banyak sekali membual." Tawa Gaea adalah suara gemeresik lembut, seperti
tanah yang berguguran ke bawah bukit di saat-saat awal menjelang longsor. Aku berusaha
membantumu membuat pilihan yang lebih haik. Kau semestinya bisa menyelamatkan dirimu sendiri.
Tapi kau malah menantangku di setiap langkah. Kau bangun kapalmu. Kau bergabung dengan misi
konyol itu. Sekarang kau terperangkap di sini, tak berdaya, sementara dunia manusia binasa. Kedua
tangan Leo membara. Dia ingin melelehkan wajah berpasir Gaea hingga menjadi kaca. Lalu dia merasa
tangan Calypso bersandar di pundaknya. "Gaea." Suaranya tegas dan stabil. "Kau tidal( diterirna di sini."
Leo berharap bisa terdengar seteguh Calypso. Lalu dia teringat I )ahwa gadis lima belas tahun
menjengkelkan ini sebenarnya adalah kekal dari seorang Titan. Ah, Calypso. Gaea mengangkat kedua
lengannya seakan ingin memberi pelukan. Masih di sini, ternyata, walau adanya janji-janji para dewa.
Menurutmu mengapa begitu, cucuku tersayang" Apakah dewa-dewi Olympia begitu mendendam,
meninggalkanmu sendiri tanpa seorang pun teman kecuali si bodoh cebol ini" Ataukah mereka hanya
telah melupakanmu karena kau tak penting untuk mereka urusi"
Mata Calypso menerawang menembus pusaran wajah Gae jauh hingga ke cakrawala. Memang, gumam
Gaea penuh iba. Dewa-dewi Olympia ta bisa dipercaya. Mereka tak pernah memberi kesempatan ked
Mengapa kau terus saja berharap" Kau mendukung ayahmu, Ad dalam pertempuran besarnya. Kau tahu
bahwa dewa-dewi me dihancurkan. Mengapa kau ragu sekarang" Aku menawarimu sebual' kesempatan
yang takkan pernah diberikan oleh Zeus. "Ke mana saja kau selama tiga ribu tahun belakangan ini?"
tanya Calypso. "Kalau kau begitu peduli dengan nasibku, mengap kau Baru mengunjungiku sekarang
ini?" Gaea mengacungkan kedua telapak tangannya. Bumi butu waktu lama untuk bangkit. Perang hadir
pada waktunya sendiri. Tapi jangan mengira perang itu akan melewatkanmu di Ogygia. Saul aku
menczptakan dunia kembali, penjara ini juga akan dihancurkan. "Ogygia dihancurkan?" Calypso
menggelengkan kepala seakan tak bisa membayangkan kedua kata itu dihubungkan. Kau tidak harus
berada di sini saat itu terjadi, Gaea menj anjika Bergabunglah denganku sekarang. Bunuh anak ini.
Tumpahka n darahnya ke atas bumi, dan bantulah aku untuk bangkit. Aku akan membebaskanmu dan
mengabulkan apa pun keinginanmu. Kebebasan. Pembalasan dendam kepada para dewa. Bahkan sebual,
hadiah. Apakah kau masih berkenan dengan Percy Jackson si and k setengah dewa" Aku akan
menyelamatkannya untukmu. Aku akan membangkitkannya dari Tartarus. Dia akan menjadi milikmu
untuk dihukum atau dicintai, apa pun pilihanmu. Hanya saja, bunuh, bocah yang telah masuk pulau
dengan tanpa izin ini. Tunjukkan loyalitasmu. Sejumlah skenario berputar-putar di benak Leo"tak add
satu pun yang bagus. Dia merasa yakin Calypso akan seger mencekiknya di tempat, atau memerintahkan
pelayan-pelayal angin tak karat matanya untuk mencacahnya hingga menjadi leo murni. Kenapa tidak" Gaea
mengajukan kesepakatan hebat ! kepadanya"bunuh satu pria menjengkelkan, dapatkan satu pria
tampan secara cuma-cuma! Calypso mengacungkan tangannya ke arah Gaea dengan Isyarat tiga-jari
yang dikenali Leo dari Perkemahan Blasteran: Isyarat penangkal kejahatan Yunani Kuno. "Ini bukan
hanya penjaraku, Nek. Ini juga rumahku. Dan kaulah yang masuk tanpa uin." Angin mencabik wujud
Gaea menjadi ketiadaan, inenghamburkan pasir ke langit biru. Leo menelan ludah tegang. "Eh, jangan
salah tanggap, tapi kau tidak membunuhku. Apa kau sudah sinting?" Mata Calypso membara dengan
amarah, tapi untuk pertama kali Leo merasa kemarahan itu tidak tertuju kepadanya. "Teman-temanmu
pasti membutuhkanmu. Kalau tidak, Gaea tidak akan menuntut kematianmu." "Aku"eh, yeah. Kurasa."
"Kalau begitu kita punya tugas untuk dikerjakan," ujarnya. "Kita harus mengembalikanmu ke kapalmu."[]
BAB LIMA PULUH DUA LEO LEO MENGIRA DIA SUDAN SIBUK sebelumnya. Saat Calypso sudah memusatkan pikirannya pada satu hal,
dia akan bergerak layaknya mesin. Dalam sehari, Calypso telah mengumpulkan perlengkapan cukup
untuk pelayaran selama seminggu"makanan, termos minum, obat-obatan herbal dari tamannya. Dia
menenun layar yang cukup besar untuk sebuah kapal pesiar kecil dan membuat tali-temali cukup untuk
keperluan selama pelayaran. Sudah begitu banyak yang dikerjakannya hingga pada hari kedua Calypso
menanyakan jika Leo memerlukan bantuan dengan proyeknya sendiri. Leo mendongak dari papan sirkuit
yang perlahan mulai Beres. "Sepertinya, kau sudah tak sabar rnengusirku." "Itu bonusnya," akunya.
Calypso sedang mengenakan pakaian untuk bekerja dengan balutan celana jin dan kaus oblong putih
kotor. Saat Leo menanyakannya tentang pergantian kostumnya, Calypso mengatakan bahwa dia baru
menyadari betapa praktisnya pakaian ini setelah membuatkannya untuk Leo.
Dalam balutan celana jin biru, dia tidak terlalu terlihat seperti seorang dewi. Kausnya dikotori rumput
dan noda tanah, seolah dia baru saja berlari menembus pusaran Gaea. Kakinya telanjang. Rambut kayu
manis panggangnya dikuncir ke belakang, yang membuat mata almond-nya tampak lebih besar dan
lebih mengesankan. Kedua tangannya sudah kapalan dan dipenuhi luka kcet akibat mengerjakan talitemali. Saat memandanginya, Leo merasa ada entakan di perutnya yang tidak bisa sepenuhnya
dijelaskannya. "Jadi?" tanya Calypso. "Jadi apa?" Calypso mengangguk ke arah papan sirkuit. "Jadi ada
yang bisa kubantu" Bagaimana hasilnya sejauh ini?" "Oh, eh, lumayan. Kurasa. Kalau aku bisa
menghubungkan alat ini ke perahu, semestinya aku bisa berlayar kembali ke dunia." "Sekarang yang kau
butuhkan hanyalah perahu." Leo mencoba membaca ekspresinya. Dia tidak yakin jika Calypso terganggu
karena dirinya masih berada di sini, atau sedih karena dia tidak akan ikut pergi berlayar juga. Kemudian
Leo memandangi semua perlengkapan yang telah dikumpulkan Calypso"jelas cukup untuk dua orang
selama beberapa hari. "Apa yang dikatakan Gaea ...." Leo meragu. "Tentang dirimu keluar dari pulau ini.
Apa kau ingin mencobanya?" "Dia merengut. "Apa maksudmu?" "Yah aku tidak bilang akan
menyenangkan berlayar bersamamu, selalu mengeluh dan memelototiku dan semacamnya. Tapi kurasa
aku bisa bertahan menghadapinya, kalau kau ingin mencoba." Rautnya sedikit melunak. "Mulia sekali,"
gumamnya. "Tapi tidak, Leo. Kalau aku mencoba ikut pergi bersamamu, peluang kecilmu untuk
melepaskan diri akan nihil sama sekali. Para dewa telah menaruh sihir di pulau ini untuk menahanku di sini. Seorang
pahlawa n pergi. Aku tidak bisa. Hal terpenting adalah membebaska agar kau bisa menghentikan Gaea.
Bukan berarti bahwa peduli tentang apa yang akan terjadi kepadamu." Dengan cepat dia menambahkan.
"Tapi, nasib dunia sedang dipertaruhkat "Mengapa kau peduli tentang itu?" tanya Leo. "Maksud setelah
terasingkan dari dunia sebegitu lama?" Dia melengkungkan alisnya seakan kaget Leo mengaju
pertanyaan yang masuk akal. "Kurasa aku tidak suka disur suruh"baik oleh Gaea maupun orang lain.
Meskipun terkadang membenci para dewa, selama lebih dari tiga miles aku mulai menyadari bahwa
mereka lebih baik dari bangsa Ti Mereka je/as lebih baik dari kaum raksasa. Setidaknya para d selalu
menjaga hubungan. Hermes selalu bersikap baik kepach Dan ayahmu, Hephaestus, sering datang
berkunjung. Dia or yang baik." Leo merasa ganjil dengan nada bicaranya yang terk( melantur. Calypso
seakan terdengar seperti sedang merest nilai dirinya, bukan ayahnya. Calypso mengulurkan tangannya
dan menutup muluti Leo tidak menyadari mulutnya menganga selama ini. "Sekarang," ujar Calypso, "apa
yang bisa kubantu?" "Oh." Leo memandangi proyeknya, tapi ketika dia bic tercetus sebuah ide yang
telah terbentuk sejak Calypso membuai baju baru untuknya. "Kau tahu pakaian antiapi itu" Apa kau
membuatkanku sebuah tas kecil dari bahan itu?" Leo menjelaskan dimensinya. Calypso mengibaskan
tangar tak sabar. "Itu hanya akan memakan waktu beberapa menit. itu akan membantu dalam misimu?"
"Yeah. Itu mungkin bisa menyelamatkan nyawa seseorang. dan em, bisakah kau mengikis sedikit
potongan kristal dari gua mu" Aku tidak butuh banyak."
Dia mengerutkan kening. "Itu permintaan yang aneh." "Hibur saja aku." "Baiklah. Anggap itu sudah
beres. Aku akan buatkan kantong than api malam ini di alas tenun, saat aku sudah bersih-bersih. apa
yang bisa kulakukan sekarang mumpung tanganku sudah kotor?" " Dia mengangkat jari-jarinya yang
kotor dan kapalan. Menurut leo tidak ada yang lebih seksi daripada seorang gadis yang tidak oberatan
mengotori tangannya. Tetapi, tentu saja itu hanyalah komentar secara umum. Tidak berlaku bagi
Calypso. Jelas. "Yah," ucapnya, "kau bisa memilin beberapa kawat perunggu lagi. Tapi itu pekerjaan yang
membutuhkan keahlian?" Calypso langsung mendesak duduk di sampingnya di bangku I mulai bekerja,
kedua tangannya menjalin kawat-kawat r unggu itu lebih cepat dari yang bisa dikerjakan Leo. "Persis icrti
menenun," ujar Calypso. "Ini tidak begitu sulit." "Heh," sahut Leo. "Yah, kalau kau pada akhirnya nanti
keluar dari pulau ini dan butuh pekerjaan, beri tahu aku. Kau tidak ceroboh." Dia menyeringai.
"Pekerjaan, yah" Membuat barang-barang di bengkelmu?" "Bukan, kita bisa mendirikan toko kita
sendiri," ujar Leo, mengagetkan dirinya sendiri. Mendirikan sebuah toko mesin selalu menjadi salah satu
impiannya, tapi dia tidak pernah memberi tahu siapa pun tentang itu. "Garasi Leo dan Calypso: Monster
Mekanik dan Reparasi Mobil." "Buah-buahan dan sayur-mayur segar," usul Calypso.
"Sari apel dan semur." Leo menambahkan. "Kira bahk bisa menyediakan hiburan. Kau bisa menyanyi dan
aku bisa, yah membakar diri sesekali." Calypso tertawa"sebuah suara yang jernih dan riang ya
membuat jantung Leo melompat. "Lihat," ujar Leo, "Aku lucu, Ian?" Calypso berhasil mematikan
senyumnya. "Kau tidak lug Sekarang, kembalilah bekerja, atau, tidak akan ada sari apel d semur." "Baik,
Nona," serunya. Mereka bekerja dalam heni. bersisian, selama sisa sore itu.
Dua malam kemudian, konsol panduan sudah jadi. Leo dan Calypso duduk di pantai, dekat titik tempat
Leo to menghancurkan meja makannya, dan mereka menyantap mal malam piknik bersama. Bulan
purnama mengubah ombak menj perak. Api unggun mereka melecutkan percikan jingga ke Ian Calypso
mengenakan kaus putih bersih dan celana jinnya, r tampaknya menjadi pilihan pakaiannya sehari-hari.
Di bukit pasir di belakang mereka, perbekalan sudah diker rapi dan siap dibawa. "Yang kita butuhkan
sekarang adalah perahu," kata Calyi Leo mengangguk. Dia berusaha untuk tidak ter memikirkan kata kita.
Calypso sudah menegaskan dia takkan it "Aku bisa mulai menebang kayu untuk membuat pa besok,"
ujar Leo. "Dalam beberapa hari, kita akan punya cul papan untuk membuat lambung kapal ukuran kecil."
"Kau pernah membangun kapal sebelumnya," ingat Calr "Argo II-mu." Leo mengangguk. Dia teringat
tentang berbulan-bulan n yang dihabiskannya untuk menciptakan Argo II. Entah meng
membuat perahu untuk berlayar dari Ogygia terasa seperti rugas yang lebih menantang. "Jadi, berapa
lama sampai kau bisa berlayar?" Nada suara Calypso terdengar ringan, tetapi dia tidak menatap
matanya. "Eh, belum pasti. Satu minggu lagi?" Entah mengapa, mengatakan itu mampu mengurangi
kegelisahan Leo. Saat tiba di sini, dia tak sabar untuk pergi. Kini, dia merasa lega masih memiliki
beberapa hari lagi. Aneh. Calypso menyapukan jemarinya sepanjang papan sirkuit yang sudah jadi. "Ini
menghabiskan banyak waktu untuk dibuat." "Kau tak bisa memburu-buru kesempurnaan." Senyurn
menyimpul di sudut mulutnya. "Ya, tapi apakah ini akan berfungsi?" "Untuk keluar, bukan masalah,"
kata Leo. "Tapi, untuk kembali lagi aku akan membutuhkan Festus dan?" Ape" Leo mengerjapkan mata.
"Festus. Naga perungguku. Begitu aim tahu cara merakitnya kembali, aku akan?" "Kau sudah pernah
memberitahuku tentang Festus," ujar Calypso. "Tapi, apa maksudmu dengan kembali lagi?" Leo
menyeringai gelisah. "Yah untuk kembali kemari, Ian" Aku yakin sudah pernah bilang sebelumnya." "Kau
jelas belum pernah bilang." "Aku tidak akan meninggalkanmu di sini! Setelah semua bantuanmu padaku
dan segalanya. Tentu saja aku akan kembali lagi. Begitu aku merakit ulang Festus, is akan mampu
menangani sistem panduan yang lebih baik. Ada sebuah astrolab yang aku, eh, ...." Dia menghentikan
ucapannya, memutuskan lebih baik tidak menyebutkan bahwa benda itu dibuat oleh salah seorang
mantan pujaan hati Calypso. "... yang kutemukan di Bologna. Begini, kurasa dengan kristal yang kau
berikan padaku?" "Kau tak bisa kembali lagi," desak Calypso. Hati Leo terempas. "Karena aku tidak diterima?" "Karena kau
tak bisa. Itu mustahil. Tidak ada seorang pi yang bisa menemukan Ogygia dua kali. Itu peraturannya."
Leo memutar matanya. "Yeah, well, kau mungkin suit menyadari aku tidak pandai menaati peraturan.
Aku ak kembali ke sini dengan nagaku, dan kita akan membawamu per I Mengantarmu ke mana pun kau
ingin pergi. Itu sudah semestiny, "Semestinya ...." Suara Calypso nyaris tak terdengar. Di bawah cahaya
api, matanya terlihat begitu sedih. Leo tak
kuasa melihatnya. Apa dia mengira Leo sedang membohongin hanya untuk menghiburnya saja" Leo
sudah menetapkan h bahwa dia akan kembali dan membebaskannya dari pulau inni Bagaimana mungkin
dia tidak melakukannya" "Kau tentu tidak mengira aku bisa mendirikan Reparasi Mo Leo dan Calypso
tanpa Calypso, Ian?" tanya Leo. "Aku tak b membuat sari apel dan semur, dan aku jelas tak bisa
menyanyi Mata Calypso menerawang ke pasir. "Yah, pokoknya," ujar Leo, "besok aku akan mulai
menebang kayu. Dan dalam beberapa hari lagi ...." Tatapan Leo tertuju ke lautan. Sesuatu mengapung di
tengah ombak. Leo memandang tak percaya saat rakit besar dari kayu mengambang di tengah
gelombang dan menyapunya hingga terhenti di pantai.
Leo terlalu terkejut untuk bergerak, tapi Calypso langsung bangkit berdiri. "Cepat!" Dia berlari menyusur
pantai, mengambil beberapa tas perbekalan, dan melarikannya ke rakit. "Aku tidak tahu berapa lama
rakit itu akan bertahan!"
"Tapi ...." Leo mematung. Kakinya seperti membatu. Baru Naja dia meyakinkan dirinya sendiri dia masih
memiliki seminggu di Ogygia. Sekarang dia bahkan tak punya waktu untuk menuntaskan makan
malamnya. "Itu rakit ajaibnya?" "Ampun deh!" teriak Calypso. "Rakit ini mungkin akan rfungsi seperti
semestinya dan mengantarkanmu ke mana pun ingin pergi. Tapi, kita tak bisa yakin. Sihir di pulau ini
jelas-jelas tak stabil. Kau harus siapkan alat panduanmu untuk navigasi." Calypso merebut konsolnya dan
berlari menuju rakit, yang tnendorong Leo bergerak. Leo membantunya mengikatkannya ke rakit dan
menghubungkan kawat dengan kemudi kecil di belakang. Rakit itu sudah dilengkapi sebuah tiang
sehingga Leo dan Calypso mengangkat layar mereka ke atas dan mulai memasang tali-temali. Mereka
bekerja berdampingan dalam harmoni sempurna. liahkan di antara para pekemah Hephaestus, Leo tidak
pernah bekerja dengan orang seintuitif gadis tukang kebun kekal ini. Sebentar saja, mereka telah
memasang layar dan menyimpan seluruh perbekalan di rakit. Leo menekan tombol-tombol di Iola
Archimedes, menggumamkan permohonan kepada ayahnya, Hephaestus, dan konsol perunggu Langit
itu pun berdengung hidup. Tali-temali dikencangkan. Layar dibalikkan. Rakit mulai mengais pasir,
berusaha menggapai ombak. "Pergilah," kata Calypso. Leo berpaling. Calypso berada begitu dekat
dengannya. Baunya seperti kayu manis bercampur asap kayu, dan dalam benaknya, Leo berpikir tidak
akan pernah menghirup aroma sewangi itu lagi. "Rakitnya akhirnya sampai juga," ucap Leo. Calypso
mendengus. Matanya seperti sembap, tetapi sulit memastikannya di bawah cahaya rembulan. "Kau baru
sadar?" "Tapi, kalau rakit ini hanya muncul untuk orang-orang yap
kau sukai?" "Jangan bermimpi dulu, Leo Valdez," ujarnya. "Aku masih
mem bencimu." "Oke." "Dan kau takkan kembali ke desaknya. "Jadi jan memberiku janji-janji kosong."
"Bagaimana kalau janji penuh?" ujar Leo. "Karena aku p akan--" Calypso menarik wajahnya dan
memberinya sebuah kecupa yang dengan efektif membungkam mulutnya. Meski sering bergurau dan
melempar rayuan, Leo belu pernah menerima kecupan seorang gadis sebelumnya. Ya kecupan saudari di
pipi dari Piper, tapi itu tidak terhitung. I adalah kecupan sungguhan. Seandainya Leo memiliki roda gigi
dan kawat-kawat di otaknya, mereka pasti sudah korsleting sekaran Calypso mendorong tubuhnya
menjauh. "Aku tidak per mengecupmu."
"Oke." Suaranya terdengar satu oktaf lebih tinggi dari biasa. "Pergi dari sini." "Oke." Calypso berpaling,
menyeka matanya dengan kesal, bergegas kembali ke pantai, angin mengacak-acak rambutnya. Leo
ingin memanggilnya, tetapi layarnya menangkap angin berkekuatan penuh, dan rakitnya menjauh dari
pantai. Dia berusaha menyelaraskan konsol panduan. Pada scat Leo menoleh ke belakang, Pulau Ogygia
hanya segaris gelap di kejauhan, api unggun mereka berdenyut seperti sebuah jantung jingga kecil.
Kecupan itu masih terasa.
Itu tidak terjadi, Leo membatin sendiri. Aku tidak bisa jatuh enta dengan seorang gadis kekal. Dia jelas
tak bisa jatuh cinta lenganku. Tidak mungkin. Selagi rakitnya meluncur di air, mengantarnya kembali ke
dunia manusia, dia menjadi lebih mengerti makna dari sebaris Ramalan"Sumpah yang ditepati hingga
tarikan napas penghabisan. Dia mengerti betapa bisa berbahayanya sebuah sumpah itu. Tapi Leo tidak
peduli. "Aku akan kembali untuk menjemputmu, Calypso," serunya kepada angin malam. "Aku
bersumpah atas Sungai Styx."[]
BAB LIMA PULUH TIGA ANNABETH ANNABETH TIDAK PERNAH TAKUT GELAP. Tapi, kegelapan lazimnya tidak setinggi dua betas metci.
Kegelapan biasanya tidak bersayap hitam, membawa pecut yang terbuat dari bintang-bintang, dan
menaiki kereta perang Liam yang dihela oleh kuda vampir. Nyx hampir-hampir tidak bisa dicerna oleh
indra. Menjulang tinggi di atas jurang, sosoknya seperti arang dan asap yang teraduk-aduk, berukuran
sebesar patung Athena Parthenos, tetapi hidup. Gaunnya hitam pekat bercampur warna nebula angkasa
luar, seolah-olah galaksi dilahirkan di kembannya. Wajahnya sulit dilihat terkecuali titik-titik matanya,
yang bersinar seperti kuasar. Ketika sayapnya mengepak, gelombang kegelapan bergulung-gulung di
balik tebing, membuat Annabeth merasa lesu dan mengantuk lagi, penglihatannya mengabur. Ke'reta
perang sang dewi terbuat dari material yang sama dengan bahan pedang Nico di Angelo"besi Stygian"
dan dihela oleh dua kuda mahabesar bertubuh serbahitam terkecuali taring tajam mereka yang
berwarna perak. Tungkai makhluk tersebut
mengapung di kehampaan, berubah dari padat menjadi asap selagi hergerak. Kedua kuda menggeram
dan memamerkan taring mereka kepada Annabeth. Sang dewi mencambukkan pecutnya"selarik
deretan bintang yang menyerupai kawat berduri berlian"dan kedua kuda itu pun mendompak ke
belakang.. jangan, Temaram," kata sang dewi. "Diam, Bayangan. hadiah kecil ini bukanlah untuk kalian."
Percy memandangi kedua kuda itu selagi mereka meringkik. Dia masih berselubung Kabut Ajal sehingga
penampilannya menyerupai mayat buram"membuat hati Annabeth ngilu tiap kali melihatnya. Samaran
tersebut pasti kurang bagus sebab Nyx jelas-jelas bisa melihat mereka. Annabeth kurang bisa membaca
ekspresi di wajah tirus Percy. kupanya Percy tidak menyukai perkataan kedua kuda. "Eh, jadi kau takkan
membiarkan mereka memakan kami?" tanya Percy kepada sang dewi. "Mereka sangat ingin memakan
kami." Mata kuasar Nyx berkilat-kilat. "Tentu saja. Aku takkan membiarkan kudaku memakan kalian,
sebagaimana aku takkan memperbolehkan Akhlys membunuh kalian. Hadiah sebagus ini setengah mati
ingin kubunuh sendiri!" Annabeth sedang tidak merasa berani ataupun ingin berkelakar, tapi instingnya
menyuruhnya mengambil inisiatifkalau tidak mau percakapan ini usai dalam waktu singkat. "Oh, jangan
mati!" seru Annabeth. "Kami tidak semenakutkan
itu. Sang dewi menurunkan pecutnya. "Apa" Bukan, maksudku bukan",,
"Wah, aku harap tidak!" Annabeth memandang Percy dan memaksa diri untuk tertawa. "Kita tidak ingin
menakut-nakutinya, kan?" "Ha, ha," kata Percy lemah. "Tentu saja tidak." Kedua kuda vampir kelihatan
bingung. Mereka mendompak dan mendengus serta saling membenturkan kepala gelap mereka. Nyx
menarik tali kekang kudanya. "Tahukah kalian siapa aku?" Dia menuntut jawaban. "Kutebak kau ini
Malam," kata Annabeth. "Aku tahu, soalnya, kau gelap dan sebagainya, walaupun brosur tidak
menyebut-nyebut tentang kau." Mata Nyx berkedip sesaat. "Brosur apa?" Annabeth menepuk-nepuk
sakunya. "Kita bawa brosur, Ian?" Percy menjilat bibirnya. "He-eh." Dia masih memperhatikan para kuda,
tangannya mencengkeram gagang pedang erat-erat,, tetapi dia cukup pintar untuk mengikuti lagak
Annabeth saja. Kini Annabeth hanya bisa berharap semoga dia tidak memperparah keadaan walau
sejujurnya, menurutnya keadaan tidak mungkin menjadi lebih parah daripada sekarang. "Pokoknya,"
tukas Annabeth, "aku kira brosur itu tidak banyak menyebut-nyebut tentang kau karena kau bukan daya
tarik utama dalam tur ini. Kami berkesempatan melihat Sungai Phlegethon, Cocytus, para arai, taman
beracun Akhlys, bahkan beberapa Titan dan raksasa, tapi Nyx hmmm, tidak, kau tidak termasuk objek
wisata." "Daya tarik utama" Objek wisata?" "Iya," kata Percy, menindaklanjuti bualan Annabeth. "Kami
ke bawah sini untuk mengikuti tur Tartarus"yang termasuk destinasi wisata eksotis, kau tahu, Ian"
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dunia Bawah tempatnya norak. Gunung Olympus terlalu mahal buat turis?"
"Demi dewa-dewi, aku setuju!" Annabeth sepakat. kami memesan paket perjalanan ke Tartarus, tapi tak
ada yang mengungkit-ungkit bahwa kami bakal bertemu Nyx. Begitulah. 'epertinya menurut mereka kau
ini tidak penting." "Tidak penting!" Nyx melecutkan cambuk. Kuda-kudanya menandak dan
mengertakkan taring perak mereka. Gelombang kegelapan mengempas dari jurang, membuat perut
Annabeth mulas, tetapi dia tidak boleh menunjukkan rasa takutnya. Annabeth menekan lengan Percy
yang memegang pedang, memaksanya untuk menurunkan senjata. Dewi ini lebih perkasa daripada siapa
pun yang pernah mereka hadapi. Nyx lebih tua daripada dewa-dewi Olympia, Titan, atau raksasa mana
pun, bahkan lebih tua daripada Gaea. Dia mustahil dikalahkan oleh dua demigod"setidaknya mustahil
apabila kedua demigod itu menggunakan kekerasan. Annabeth menolehkan wajah untuk menatap muka
gelap mahabesar sang dewi. "Coba saja hitung sendiri, berapa banyak demigod lain yang pernah kau
lihat mengikuti tur?" tanya Annabeth polos. Tangan Nyx mengendurkan genggamannya di tali kekang.
"Nol. Tak satu pun. Ini tidak bisa diterima!" Annabeth mengangkat bahu. "Mungkin penyebabnya karena
kau tidak pernah melakukan apa pun yang pantas masuk berita. Maksudku, lihat saja Tartarus! Aku bisa
mengerti bahwa dia memang penting! Seisi tempat ini dinamai dari namanya! Atau, kalau kami bisa
bertemu Siang?" "Oh, iya ya." Percy menimpali. "Siang" Dia pasti mengesankan. Aku mau sekali
bertemu dengannya. Mungkin minta tanda tangannya juga."
"Siang!" Nyx mencengkeram pagar kereta perang hitamnya, Kendaraan itu sontak berguncang.
"Maksudmu Hemera" Dia itu putriku! Malam jauh lebih perkasa daripada Siang!" "Eh, masa sih?" tukas
Annabeth. "Aku lebih suka arai, atau malah Akhlys." "Mereka itu anak-anakku juga!" Percy pura-pura
menahan kuap. "Anakmu banyak, ya?" "Aku adalah ibu segala bentuk kengerian!" pekik Nyx. "Moirae!
Hecate! Usia tua! Rasa sakit! Lelap! Matt! Dan segala jenis kutukan! Saksikan betapa pantasnya aku
masuk berita!"[] BAB LIMA PULUH EMPAT ANNABETH NYX MELECUTKAN CAMBUKNYA LAGI. KEGELAPAN memekat di sekelilingnya. Di satu sisi, muncullah
pasukan bayang-bayang: arai bersayap gelap, yang Annabeth jumpai lagi dengan enggan; nenek-nenek
keriput yang pasti adalah Geras, dewi usia tua; dan seorang wanita lebih muda yang mengenakan toga
hitam, matanya menyala-nyala dan senyumnya mirip pembunuh berantai--tak diragukan lagi adalah Eris,
dewi pertikaian. Semakin banyak yang bermunculan: lusinan iblis dan dewa minor, semuanya adalah
pinak sang Malam. Annabeth ingin lari. Dia menghadapi kawanan seram yang mampu menghancurkan
kewarasan siapa saja. Tapi jika lari, dia pasti math Di sebelah Annabeth, Percy bernapas pendek-pendek.
Meskipun sang pacar masih seperti mayat hidup berselubung kabut, Annabeth tahu bahwa Percy sudah
di ambang kepanikan. Annabeth hams bersikap gagah demi mereka berdua. Aku ini putri Athena,
pikirnya. Akulah yang mengendalikan pikiranku sendiri.
Annabeth mengubah pola pikirnya. Dia berkata dalam hati bahwa yang dia saksikan hanyalah semacam
film"film seram, betul, tapi tidak bisa menyakitinya. Dialah yang pegang kendali. "Iya, memang tidak
jelek." Annabeth mengakui. "Barangkali tidak ada salahnya kami memotret kau dan anak-anakmu satu
kali supaya foto kalian bisa kami simpan di buku kenangan, tapi bagaimana, ya" Kalian terlalu gelap.
Kalaupun menggunakan lampu kilat, aku tidak yakin kalian bisa terfoto." "i-iya." Percy berhasil berbicara.
"Kalian tidak fotogenik." "Dasar"turis"kurang ajar!" desis Nyx. "Berani-beraninya kalian tidak gemetar
di hadapanku! Berani-beraninya kalian tidak merengek dan mengemis demi memohon tanpa tangan
serta fotoku untuk disimpan di buku kenangan kalian! Kalian menginginkan yang layak masuk berita"
Putraku Hypnos pernah membuat Zeus terlelap! Ketika Zeus mengejarnya ke seberang dunia, bertekad
untuk membalas dendam, Hypnos bersembunyi dalam istanaku, dan Zeus tidak mengikuti. Raja Olympus
sekalipun takut padaku!" "Oke deh." Annabeth menoleh kepada Percy. "Sudah slang. Kita sebaiknya
makan di restoran yang direkomendasikan buku panduan wisata. Kemudian kita bisa mencari Pintu
Ajal." "Aha!" Nyx memekik penuh kemenangan. Bayangan anak-anaknya bergejolak dan menggemakan:
"Aha! Aha!" "Kalian bermaksud melihat Pintu Ajal?" tanpa Nyx. "Letaknya di jantung Tartarus. Manusia
fana seperti kalian tidak mungkin mencapai tempat itu, terkecuali lewat koridor istanaku"Puri Malam!"
Nyx memberi isyarat ke belakangnya. Di kehampaan, barangkali sembilan puluh meter di bawah,
terapung-apunglah ambang pintu dari marmer hitam yang mengarah ke semacam ruangan besar.
Jantung Annabeth berdebar-debar kencang sekali sehingga denyutnya terasa sampai di jari kaki. Itulah
jalan yang mesti mereka tempuh"tapi letaknya amat jauh di bawah. Andai meloncat dan meleset,
mereka akan terperosok ke dalam Khaos dan tercerai-berai hingga meniada"kematian paripurna tanpa
kehidupan berikutnya. Kalaupun mereka bisa melompat, dewi Malam dan anak-anaknya yang paling
menakutkan bakal menghalangi jalan. Dalam sekejap, Annabeth tersentak saat menyadari apa yang
mesti terjadi. Seperti semua yang pernah dia lakukan, peluangnya kecil. Bisa dibilang, kesadaran
tersebut ju.stru membuatnya tenang. Ide gila di hadapan maut" Oke, tubuhnya yang mulai relaks seolah
berkata. Yang begini sudah biasa. Annabeth lantas mendesah bosan. "Kurasa kami bisa memfotomu satu
kali, tapi foto bersama sepertinya kurang pas. Nyx, bagaimana kalau kau berfoto dengan anak
kesayanganmu" Yang mana?" Anak pinak sang dewi bergejolak. Lusinan mata berbinar-binar nan
mengerikan menoleh ke arah Nyx. Sang dewi berjengit tidak nyaman, seolah kereta perangnya
memanas di bawah kakinya. Kuda bayangan mendengus dan mencakar-cakar kehampaan. "Anak
kesayanganku?" tanyanya. "Semua anakku menye-ramkan!" Percy mendengus. "Serius" Aku pernah
bertemu Moirae. Aku pernah bertemu 'Thanatos. Mereka tidak seram-seram amat. Pasti ada satu di
antara kerumunan ini yang lebih menakutkan daripada mereka." "Yang terkelam," kata Annabeth. "Yang
paling mirip kau." "Akulah yang terkelam," desis Eris. "Perang dan pertikaian! Aku menuai segala macam
kematian!" "Aku malah lebih kelam!" Geras menggeram. "Aku mem-buramkan mata dan mengeruhkan pikiran. Tiap
manusia fana takut akan usia tua!" "Iya deh, terserah," ujar Annabeth, berusaha mengabaikan giginya
yang bergemeletuk. "Yang kulihat masih kurang kelam. Kalian anak-anak Malam! Tunjukkan yang gelap
segelap-gelapnya!" Kawanan arai melolong, mengepakkan sayap liat mereka dan mengaduk-aduk
gumpalan kegelapan. Geras mengulurkan tangan keriputnya dan semakin menggelapkan jurang. Eris
mengembuskan semprotan mimis ke kehampaan. "Aku yang terkelam!" desis salah satu iblis. "Bukan,
aku!" "Bukan! Saksikan betapa kelamnya aku!" Jika seribu gurita raksasa menyemprotkan tinta secara
bersamaan, di dasar laut terdalam dan paling tidak dijangkau sinar matahari, suasananya barangkali
masih kalah gelap. Annabeth merasa tak ubahnya orang buta. Dia menggenggam tangan Percy dan
menguatkan nyalinya. "Tunggu!" seru Nyx, mendadak panik. "Aku tidak bisa melihat apa-apa." "Ya!"
teriak salah satu anaknya dengan bangga. "Itu hasil karyaku!" "Bukan, aku!" "Bodoh, itu berkat aku!"
Lusinan suara bertengkar dalam kegelapan. Kuda-kuda meringkik waswas. "Hentikan!" bentak Nyx. "Kaki
siapa itu?" "Eris memukulku!" jerit seseorang. "Ibunda, suruh dia berhenti memukulku!" "Aku tidak
memukulmu!" sergah Eris. "Aduh!"
Suara bentrokan semakin berisik. Jika mungkin, kegelapan malah menjadi kian pekat. Mata Annabeth
melebar sekali sampai-sampai serasa ditarik dari rongganya. Diremasnya tangan Percy. "Siap?" "Siap
apa?" Setelah jeda sejenak, Percy menggeram tidak senang. "Demi celana dalam Poseidon, kau tidak
mungkin serius." "Berl aku penerangan!" jerit Nyx. "Bah! Aku tidak percaya baru saja mengatakan itu!"
"Ini tipuan!" teriak Eris. "Kedua demigod itu melarikan diri!" "Kutangkap mereka," jerit seorang arai.
"Bukan, itu leherku!" kata Geras tercekik. "Lompat!" kata Annabeth kepada Percy. Mereka melompat ke
kegelapan, membidik ambang pintu yang jauh sekali di bawah.[]
BAB LIMA PULUH LIMA ANNABETH SETELAH MEREKATERJERUMUS DALAM TARTARUS, lompatan sejauh sembilan puluh meter ke Puri
Malam semestinya terasa cepat. Namun, jantung Annabeth serasa melambat. Di antar detak jantungnya,
dia punya waktu berlirnpah untuk menuliskan obituarinya sendiri. Annabeth Chase, meninggal di usia 17.
DEG. (Dengan asumsi bahwa hari ulang tahunnya, 12 Juli, sudah berlalu sewaktu dia di Tartarus; tetapi
sejujurnya, dia tidak tahu
pasti.) DEG. Meninggal karena luka-luka berat setelah melompat seperti orang dungu ke kehampaan Khaos dan
tergolek remuk di lantai lobi istana Nyx.
DEG. Almarhumah meninggalkan ayah, ibu tiri, dan dua adik tiri
laki-laki yang nyaris tidak dia kenal.
DEG. Alih-alih rnengirim bunga, silakan sampaikan donasi Anda untuk Perkemahan Blasteran, kalau Gaea
belum menghancurkan tempat itu. Kaki Annabeth menumbuk lantai padat. Rasa nyeri menjalari
tungkainya, tetapi dia terhuyung-huyung ke depan dan serta-merta berlari sambil menarik Percy. Di atas
mereka, di kegelapan, Nyx dan anak-anaknya tergopoh-gopoh serta berteriak, "Kutangkap mereka!
Kakiku! Stop!" Annabeth terus berlari. Karena tidak bisa melihat apa-apa, dipejamkannya matanya.
Annabeth menggunakan indranya yang lain"rnendengarkan gema ruang terbuka, merasakan desir
angin dari samping di wajahnya, mengendus-endus untuk membaui bahaya--asap, racun, atau bau
badan iblis. Ini bukanlah kali pertama Annabeth terperosok dalam kegelapan. Dia membayangkan
dirinya kembali ke terowongan di bawah Roma, mencari-cari Athena Parthenos. Jika diingat-ingat,
perjalanannya ke gua Arachne seperti pelesir ke Disneyland saja. Bunyi pertengkaran anak-anak Nyx
semakin lirih. Ini pertanda bagus. Percy masih berlari di sampingnya, memegangi tangannya. Ini juga
bagus. Di kejauhan di depan mereka, Annabeth mulai mendengar bunyi berdegup, seperti gema detak
jantungnya sendiri, berkumandang amat dahsyat sampai-sampai lantai di bawah kaki mereka ikut
bergetar. Bunyi itu membuat Annabeth ngeri, dan dia pun menyimpulkan bahwa arahnya sudah benar.
Dia lari ke arah tersebut. Saat degup itu semakin kencang, Annabeth mencium bau asap dan mendengar
retihan obor di kanan-kiri. Dia menebak keberadaan cahaya, tetapi bulu kuduknya yang merinding
memperingatkan bahwa membuka mata adalah tindakan keliru.
"Jangan melihat." Annabeth memberi tahu Percy. "Tidak berencana untuk itu," kata Percy. "Kau bis;i
merasakannya, Ian" Kita masih di Puri Malam. Aku tidak mat! melihat." Anak pintar, pikir Annabeth.
Annabeth kerap menggoda Percy karena kebodohannya, tapi sebenarnya, insting Percy biasanya tepat.
Kengerian apa pun yang tersembunyi di dalam Puri Malam, semuanya itu tidak boleh dilihat oleh mata
manusia. Melihat kengerian tersebut niscaya lebih buruk daripada menatap wajah Medusa. Lebih balk
lari di kegelapan. Bunyi berdenyut semakin keras, merambatkan geto ran sampai ke tulang belakang
Annabeth. Kesannya seolah ada yang menggedor-gedor dasar bumi, minty diperkenankan masuk.
Annabeth merasakan terbukanya ruang di kanan-kiri mereka. Udara kini beraroma lebih segar"atau
setidaknya kurang beraroma belerang ketimbang sebelumnya. Ada bunyi lain juga, lebih dekat daripada
degup yang membahana bunyi air mengalir. Jantung Annabeth berdebar-debar kencang. Dia tahu jalan
keluar sudah dekat. Jika mereka bisa keluar dari Puri Malam, mungkin mereka bisa meninggalkan
kawanan iblis kelam di belakang. Annabeth mulai berlari lebih cepat, yang akhirnya akan mengantarnya ke kematian kalau
Percy tidak menghentikannya.[]
BAB LIMA PULUH ENAM ANNABETH ANNNABETH!" PERCY MENARIKNYA KE BELAKANG tepat scat kakinya menginjak bibir jurang. Dia hampir
terjungkal ke depan, entah ke dalam apa, tapi Percy memeganginya dan mendekapnya. "Tidak apa-apa."
Percy meyakinkan. Annabeth merapatkan wajahnya ke baju Percy dan terus memejamkan mata rapatrapat. Dia gemetaran, tapi bukan cuma karena takut. Pelukan Percy teramat hangat dan menenangkan
sehingga Annabeth ingin berdiam di sana selamanya, aman dan terlindung tapi dia harus kembali ke
kenyataan. Dia tidak boleh bersantai-santai. Dia tidak boleh mengandalkan Percy lebih dari sekarang.
Percy membutuhkan Annabeth juga. "Makasih ...." Annabeth melepaskan diri dengan lembut dari
pelukan Percy. "Tahukah kau di depan ada apa?" `Air," jawab Percy. "Aku masih belum membuka mata.
Menurutku belum aman." "Setuju." 'Aku bisa merasakan adanya sungai atau mungkin parit. Alirannya
menghadang jalan kita, mengalir dari kiri ke kanan
lewat saluran yang terukir di batu. Sisi seberang berjarak sekitar enam meter dari sini." Annabeth
mengomeli diri sendiri dalam hati. Dia mendengar aliran air, tapi dia tidak pernah mempertimbangkan
kemungkin an bahwa dirinya justru lari ke sana. "Adakah jembatan atau?" "Kurasa tidak," kata Percy.
"Selain itu, ada yang tidak beres pada sungai ini. Dengarkan." Annabeth berkonsentrasi. Di antara bunyi
arus yang menderu, ribuan suara berseru-seru"menjerit-jerit merana, memohon-mohon belas kasihan.
Tolong! erang mereka. Aku tidak sengaja! Sakitnya! lolong suara mereka. Hentikan! Annabeth tidak
membutuhkan matanya untuk membayangkan sungai itu"aliran hitam kental berisi jiwa-jiwa tersiksa
yang terhanyut kian jauh ke dalam Tartarus. "Sungai Acheron," tebak Annabeth. "Sungai kelima di Dunia
Bawah. "Aku lebih suka Phlegethon daripada ini," gumam Percy. "Ini Sungai Kepedihan. Hukuman
terberat untuk jiwa-jiwa yang terkutuk"terutama pembunuh." Pembunuh! Sungai itu meraung. Ya,
seperti kalian! Bergabunglah dengan kami, bisik suara lain. Kahan tidak lebih baik daripada kami. Kepala
Annabeth dibanjiri bayangan akan semua monster yang telah dia bunuh bertahun-tahun ini. Itu bukan
pembunuhan, protes Annabeth. Aku membela diri! Gambaran dalam benak Annabeth berubah"
menunjukinya. Zoe Nightshade, yang terbunuh di Gunung Tamalpais karena dia datang untuk
menyelamatkan Annabeth dari para Titan.
Dia melihat kakak Nico, Bianca di Angelo, yang mati tertindih Talos si raksasa logam, karena dia juga
mencoba menyelamatkan Annabeth. Michael Yew dan Silena Beauregard ... yang meninggal dalam
Pertempuran Manhattan. Kau bisa mencegahnya, kata sungai itu kepada Annabeth. Kau semestinya
mencari cara yang lebih baik. Yang paling menyakitkan: Luke Castellan. Annabeth ingat akan darah Luke
di belatinya ketika pemuda itu mengorbankan diri demi mencegah Kronos menghancurkan Olympus.
Tanganmu bersi.mbah darahnya! rasing sungai itu. Semestinya ada cara lain! Annabeth sendiri berkalikali menekuri pemikiran yang sama. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa kematian Luke bukanlah
salahnya. Luke telah memilih takdirnya sendiri. Meski begitu Annabeth tidak tahu apakah jiwa Luke telah
menemukan kedamaian di Dunia Bawah, apakah dia telah dilahirkan kembali, atau malah terhanyut ke
dalam Tartarus karena dosa-dosanya. Siapa tahu Luke termasuk di antara suara-suara tersiksa yang
melintas di sungai saat ini. Kau membunuhnya! pekik sungai tersebut. Terjunlah ke sini dan rasakan juga
hukumannya! Percy mencengkeram lengan Annabeth. "Jangan dengarkan." "Tapi?" "Aku tahu." Suara
Percy getir. "Mereka menyampaikan hal-hal yang sama kepadaku. Kurasa kurasa parit ini adalah batas
wilayah Malam. Kalau kita bisa menyeberang, kita bakal baik-baik saja. Kita harus melompat." "Kau
bilang jaraknya enam meter!" "Iya. Pokoknya, kau harus percaya padaku. Peluk leherku dan
berpeganglah erat-erat."
"Mana mungkin kau bisa?" "Di sana!" teriak sebuah suara di belakang mereka. "B turis-turis tidak tahu
terima kasih itu!" Anak-anak Nyx telah menemukan mereka. Annabeth memeluk leher Percy. "Ayo!"
Karena matanya terpejam, Annabeth hanya bisa menebak-nebak bagaimana kiranya Percy melompat.
Mungkin Percy entail bagaimana menggunakan energi dari sungai. Mungkin saking takutnya, tubuh
Percy terpacu adrenalin. Percy melompat sekuat tenaga melebihi yang Annabeth kira mungkin. Mereka
meluncur di udara sementara sungai bergolak dan meraung di bawah mereka, memuncratkan air
memedihkan ke pergelangan kaki Annabeth yang telanjang. Kemudian"BRUK Mereka kembali berada
di tanah padat. "Kau boleh membuka mata," kata Percy sambil tersengal-sengal. "Tapi, kau takkan
menyukai yang kau lihat." Annabeth berkedip. Setelah gelapnya Nyx, pendar merah redup Tartarus
sekalipun terasa menyilaukan. Di hadapan mereka terbentanglah lembah yang cukup besar untuk
menampung Teluk San Fransisco. Bunyi menggelegar menguar di sepenjuru bentang alam, seolah-olah
guntur tengah membahana dari bawah tanah. Di balik kepulan asap beracun, lahan yang naik-turun
berkilau ungu dan berparut-parut merah serta biru tua seperti bekas luka. "Kelihatannya seperti ...."
Annabeth berjuang melawan rasa mual. "Seperti jantung raksasa." "Jantung Tartarus," gumam Percy.
Bagian tengah lembah diselimuti bintik-bintik berupa bulu hitam halus. Jaraknya jauh sekali sehingga
Annabeth butuh waktu untuk menyadari bahwa dia sedang melihat sebuah pasukan"ribuan, barangkali
puluhan ribu monster, yang berkumpul
mengelilingi titik kegelapan sentral. Karena jaraknya terlalu jauh, Annabeth tidak bisa melihat secara
terperinci, tetapi dia tidak ragu apa titik sentral itu sesungguhnya. Bahkan dari tepi lembah, Annabeth
bisa merasakan kekuatan yang menarik-narik jiwanya. "Pintu Ajar "Iya." Suara Percy serak. Mimik
mukanya masih sepucat dan setirus mayat artinya, Percy pasti masih merasa kepayahan seperti
Annabeth. Annabeth menyadari bahwa dia sudah melupakan para pengejar mereka. "Nyx ke mana?" Dia
menoleh ke belakang. Entah bagaimana, mereka berhasil mendarat beberapa ratus meter dari bantaran
Acheron, yang mengalir di saluran yang membelah bukit vulkanik hitam. Di seberang sungai, tidak ada
apa-apa selain kegelapan. Tanda-tanda pengejaran juga tidak ada. Rupanya anak buah Malam sekalipun
tidak suka menyeberangi Acheron. Annabeth hendak menanyai Percy bagaimana dia bisa melompat
sejauh itu ketika Annabeth mendengar bunyi longsoran batu di lereng sebelah kiri mereka. Dicabutnya
pedang tulang drakon. Percy menghunus Riptide. Mahkota rambut putih cemerlang muncul di atas
bubungan, diikuti oleh wajah nyengir bermata perak kemilau yang sudah tidak asing lagi. "Bob?"
Annabeth melompat saking bahagianya. "Puji syukur kepada dewa-dewi!" "Teman-Teman!" Sang Titan
tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Ijuk sapunya gosong. Seragam petugas kebersihannya robekrobek bekas dicakar, tapi dia kelihatan gembira. Di bahunya, Bob Kecil si anak kucing mendengkur
hampir sekeras denyut jantung Tartarus.
"Aku menemukan kalian!" Bob mendekap Annabeth dan Percy, pelukannya nyaris mematahkan iga
mereka berdua. "Kalian seperti orang mati berasap. Itu bagus!" "Aduh," tukas Percy. "Bagaimana kau
bisa sampai di sini" Lewat Puri Malam?" "Bukan, bukan." Bob menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Tempat itu terlalu menyeramkan. Lewat jalan lain"hanya bisa dilewati Titan dan sebangsanya." "Biar
kutebak," kata Annabeth. "Kau berjalan menyamping." Bob menggaruk-garuk dagunya, kentara sekali
kehilangan kata-kata. "Hmm. Tidak. Lebih tepatnya ... diagonal." Annabeth tertawa. Mereka sudah
berada di jantung Tartarus, menghadapi pasukan yang mustahil dikalahkan"Annabeth bersedia
menghibur diri dengan apa pun yang tersedia. Dia bersyukur sekali karena Bob sang Titan telah kembali
bersama mereka. Dikecupnya hidung mahabesar Bob, alhasil membuat sang Titan mengejapkan mata.
"Kita sekarang sama-sama?" tanya Bob. "Ya." Annabeth sepakat. "Waktunya mencari tahu apakah Kabut
Ajal memang ampuh." "Dan kalau tidak ...," Percy terdiam. Tiada gunanya bertanya-tanya soal itu.
Mereka hendak berderap ke tengah-tengah pasukan musuh. Jika tepergok, matilah mereka. Meski
begitu, Annabeth masih mampu tersenyum. Tujuan mereka sudah di depan mata. Mereka didampingi
Titan pembawa sapu dan seekor anak kucing yang sangat berisik. Kekuatan tempur mereka tentunya
tidak bisa diremehkan. "Pintu Ajal," kata Annabeth, "kami datang."[]
BAB LIMA PULUH TUJUH JASON JASON TIDAK YAKIN MESTI MENGHARAPKAN apa: badai atau api. Selagi menanti audiensi hariannya
dengan penguasa Angin Selatan, dia mencoba memutuskan kepribadian sang dewa yang manakah,
Romawi atau Yunani, yang lebih jelek. Setelah lima hari di istana, Jason hanya merasa pasti akan saw
hal: kecil kemungkinannya Jason beserta awak kapalnya bakal keluar dari sini hidup-hidup. Dia
menjulurkan badan sambil bersandar ke pagar balkon. Udara teramat panas dan kering, seakan
menyedot kelembapan dari paru-parunya. Sepekan terakhir ini, kulitnya telah bertambah gelap.
Rambutnya menjadi seputih rambut jagung. Kapan pun dia menengok ke cermin, Jason terperanjat
menyaksikan ekspresi liar dan pampa di matanya, seolah dirinya menjadi buta sehabis luntang-lantung
di gurun. Tiga puluh meter di bawah, perairan teluk berkilau di batik pantai berbentuk sabit yang
dihampari pasir merah. Mereka tengah
berada di pesisir utara Afrika. Cuma itu yang diberitahukan roh-roh angin kepada mereka. Istana itu
sendiri terbentang di kanan-kiri Jason"jejaring rumit koridor dan terowongan, balkon, deretan pilar,
dan ruang-ruang lapang yang terukir di tebing batu paras, semuanya didesain sedemikian rupa sehingga
angin bisa berembus melewati sepanjang istana dan menghasilkan kegaduhan sekeras mungkin. Bunyi
mirip organ pipa mengingatkan Jason akan istana terapung Aeolus di Colorado, hanya saja di sini angin
sepertinya tidak terburu-buru. Itulah yang justru merupakan bagian dari masalah. Di hari-hari terbaik,
ventus selatan lamban dan pemalas. Di hari-hari terburuk, mereka marah-marah dan berembus
sesukanya. Para roh angin selatan mulanya menyambut Argo II, sebab musuh Boreas adalah kawan
Angin Selatan, tetapi mereka tampaknya sudah lupa bahwa para demigod adalah tamu mereka. Kaum
ventus segera saja kehilangan minat untuk membantu memperbaiki kapal. Suasana hati raja mereka
kian hari kian jelek. Di geladak kapal, kawan-kawan Jason sedang bekerja di Argo II. Layar utama telah
diperbaiki, tali-ternali sudah diganti. Kini mereka sedang memperbaiki dayung. Tanpa Leo, tak seorang
pun dari mereka tahu caranya memperbaiki komponen-komponen kapal yang lebih rumit, sekalipun
mereka dibantu Buford si meja dan Festus (yang sekarang menyala permanen berkat charmspeak
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Piper"entah bagaimana). Tapi, mereka terus berusaha. Hazel dan Frank berdiri di batik roda kemudi
kapal, sedang mengutak-atik panel kontrol. Piper menyampaikan perintah mereka kepada Pak Pelatih
Hedge, yang bergelantungan di samping kapal sambil menggetok-getok dayung yang penyok. Pekerjaan
menggetok memang cocok untuk Hedge.
Upaya reparasi kapal sepertinya tidak menemui banyak kemajuan, tapi mengingat apa saja yang sudah
mereka lalui, ajaib bahwa kapal tersebut masih utuh. Jason bergidik saat memikirkan serangan Khione.
Dia telah dibuat tak berdaya"dibekukan menjadi es, bukan hanya sekali tapi dua kali, sementara Leo
dilemparkan ke langit dan Piper terpaksa menyelamatkan mereka semua seorang diri. Puji syukur
kepada dewa-dewi atas kenja keras Piper. Gadis itu patah arang karena dirinya gagal menghentikan
meledaknya born angin; tetapi sesungguhnya, Piper telah menyelamatkan seluruh awak kapal dari nasib
sebagai patung es di Quebec. Piper juga berhasil mengarahkan ledakan bola es itu sehingga, walaupun
kapal terdorong melintasi setengah Laut Mediterania, kerusakan yang diderita kapal tersebut relatif
kecil. Di geladak, Hedge berteriak, "Coba sekarang!" Hazel dan Frank menarik teas. Dayung kiri langsung
menggila, bergerak naik-turun dan bergelombang. Pak Pelatih Hedge mencoba berkelit, tapi salah satu
dayung menghajar pantatnya dan melontarkannya ke udara. Sang satin jatuh sambil menjerit dan
tercebur ke teluk. Jason mendesah. Kalau begini terus, mereka takkan bisa berlayar sekalipun ventus
selatan mengizinkan. Di suatu tempat di utara, Reyna sedang terbang ke Epirus; dengan asumsi bahwa
dia memperoleh surat Jason di Istana Diocletian. Leo hilang dan sedang kesulitan. Percy dan Annabeth
mereka mungkin masih hidup dan tengah menuju Pintu Ajal. Jason tidak boleh mengecewakan mereka.
Bunyi berdesin membuatnya menoleh. Nico di Angelo berdiri di bayang-bayang pilar terdekat. Anak itu
telah menanggalkan jaketnya. Sekarang dia hanya mengenakan kaus hitam dan celana
jin hitam. Pedang dan tongkat Diocletian tersandang di kanan-kiri sabuknya. Berhari-hari di bawah
terpaan matahari terik tidak menggelapkan kulit Nico. Sebaliknya, dia justru kelihatan semakin pucat.
Rambut hitamnya menjuntai ke depan mata. Wajahnya masih kuyu, tapi kondisinya jelas-jelas sudah
lebih baik daripada scat mereka meninggalkan Kroasia. Berat badan Nico sudah bertambah sehingga dia
tidak lagi tampak bagai korban kelaparan. Lengannya tegang berotot, seakan dia telah menghabiskan
seminggu ini untuk berlatih pedang. Siapa tahu, Nico mungkin diam-diam telah berlatih memanggil rohroh dengan tongkat Diocletian, kemudian bertarung dengan mereka. Sesudah ekspedisi mereka di Split,
kemungkinan apa pun takkan membuat Jason terkejut. "Ada kabar dari raja?" tanya Nico. Jason
menggeleng. "Tiap hari, dia makin telat memanggilku." "Kita harus pergi," ujar Nico. "Segera." Jason
berpendapat sama, tapi mend.engar Nico berkata demikian menyebabkannya gelisah. "Kau merasakan
sesuatu?" "Percy sudah dekat dengan Pintu Ajal," kata Nico. "Dia membutuhkan kita supaya bisa keluar
hidup-hidup." Jason memperhatikan bahwa Nico tidak menyebut-nyebut Annabeth. Dia memutuskan
untuk tidak mengungkit soal itu. "Baiklah," kata Jason. "Tapi, kalau kita tidak bisa memperbaiki kapal?"
"Aku janji akan membimbing kalian ke Gerha Hades," ujar Nico. "Bagaimanapun caranya, akan kutepati
janjiku." "Kau tidak bisa menempuh perjalanan bayangan dengan kami semua. Padahal, untuk mencapai
Pintu Ajal, kita semua mesti bekerja sama."
Bola di ujung tongkat Diocletian berpendar ungu. Sepanjang ininggu itu, tongkat tersebut sepertinya
beresonansi dengan suasana had Nico di Angelo. Jason tidak yakin itu adalah pertanda bagus. "Kalau
begitu, kau harus meyakinkan raja Angin Selatan agar mau menolong." Suara Nico penuh amarah. "Aku
tidak datang jauh-jauh begini, mendapat malu ...." Jason harus secara sadar berusaha agar tidak
menggapai pedangnya. Kapan pun Nico marah, seluruh insting Jason menjeritkan, Bahaya! "Dengar,
Nico," kata Jason, "aku selalu slap kalau kau ingin membicarakan, kau tahu, kejadian di Kroasia. Aku
paham betapa sulitnya?" "Kau tidak paham apa-apa." "Takkan ada yang menghakimimu." Mulut Nico
meringis mencemooh. "Masa" Kalau benar begitu, baru pertama kali. Aku ini putra Hades, Jason. Dari
cara orang-orang memperlakukanku, kesannya aku ini berlumur darah atau tinja. Aku tidak cocok
berada di mana pun. Aku bahkan tidak berasal dari abadini. Tapi, bukan cuma itu yang membuatku
berbeda dengan orang lain. Celakanya, aku malah"malah?" "Nico! Kau Ian tidak punya pilihan.
Memang dirimu seperti itu." "Diriku memang seperti itu ...." Balkon bergetar. Lantai batu beriak, seperti hendak diterobos tulang
yang merangsek ke permukaan. "Mudah bagimu berkata begitu. Kau anak kesayangan semua orang,
putra Jupiter. Satu-satunya orang yang menerirna aku apa adanya cuma Bianca dan dia sudah mati!
Bukan aku yang memilih semua ini. Ayahku, perasaanku ...." Jason memutar otak untuk mencari katakata yang tepat. Dia ingin berteman dengan Nico. Dia tahu hanya itulah caranya membantu anak itu.
Tapi, sikap Nico tidak memudahkannya.
Jason angkat tangan tanda menyerah. "Iya, oke. Tapi, Nico, kau sendiri yang memilih cara menjalani
hidupmu. Kau ingin memercayai seseorang" Untuk itu, mungkin kau harus bersedia mengambil risiko
dengan menerimaku sebagai temanmu dan sebaliknya, aku akan menerimamu. Lebih baik begitu
daripada bersembunyi." Lantai retak-retak di antara mereka. Patahan berdesis. Udara di sekeliling Nico
berdenyar, memancarkan cahaya angker. "Bersembunyi?" Suara Nico pelan nan menusuk. Jemari Jason
sudah gatal, ingin menggapai pedang. Dia sudah bertemu banyak demigod seram, tapi dia mulai sadar
bahwa Nico di Angelo"walaupun rupanya pucat dan tirus"barangkali lebih berbahaya daripada yang
sanggup Jason tangani. Meski demikian, Jason terus menatap Nico lekat-lekat. "Ya, bersembunyi. Kau
melarikan diri dari kedua perkemahan. Kau takut sekali bakal ditolak sehingga kau bahkan tidal( mau
mencoba untuk bergaul. Mungkin sudah waktunya kau keluar dari bayang-bayang." Tep at ketika
ketegangan tak tertahankan lagi, Nico menundukkan pandangan. Tertutuplah retakan di lantai balkon.
Cahaya angker meredup. "Akan kutepati janjiku." Nico menegaskan, suaranya sekeras bisikan belaka.
"Akan kuantar kalian ke Epirus. Akan kubantu kalian menutup Pintu Ajal. Kemudian, selesai sudah. Aku
akan pergi"untuk selamanya." Di belakang mereka, pintu ruang singgasana menjeblak terbuka berkat
embusan angin panas. Suara tanpa tubuh berkata: Dewa Auster bersedia menemuimu sekarang. Meski
dia takut menyongsong pertemuan tersebut, Jason merasa lega. Pada saat itu, bersilat lidah dengan
dewa angin sinting sepertinya lebih aman daripada berteman dengan putra Hades yang marah. Dia menoleh untuk
mengucapkan selamat tinggal kepada Nico, tapi Nico sudah menghilang"melebur kembali ke dalam
kegelapan.[] BAB LIMA PULUH DELAPAN JASON TERNYATA, SAAT IN! ADALAH HART badai. Di atas takhta, duduklah Auster, Angin Selatan versi Romawi.
Dua hari sebelumnya, Jason sempat berurusan dengan Notus. Meskipun versi Yunani sang dewa bersifat
menggebu-gebu dan gampang marah, setidaknya dia sigap. Sebaliknya, Auster agak kurang tanggap.
Pilar-pilar marmer putih dan merah berjajar di ruang singgasana. Lantai batu paras kasar berasap di
bawah kaki Jason. Uap memekatkan udara, seperti pemandian umum di Perkemahan Jupiter, hanya saja
pemandian umum tidak dimeriahkan petir yang menyambar di langit-langit, menerangi ruangan itu
dengan kilatannya yang memusingkan. Ventus selatan berputar-putar di sepenjuru koridor,
mengepulkan debu merah dan udara teramat panas. Jason berjaga-jaga untuk menjauhi mereka. Pada
hari pertamanya di sini, tangan Jason tidak sengaja menyenggol salah satu roh angin. Saking banyaknya
lepuhan yang dia derita, jemari Jason jadi mirip tentakel.
JASON Di ujung ruangan tersebut terdapat singgasana paling janggal itg pernah Jason lihat"sebagian
dari air, sebagian lagi dari api. Podium berupa api unggun. Kobaran api dan asap yang menjilat-jilat ke
atas membentuk tempat duduk. Sandaran lengan mendesis kapan pun kelembapan bersinggungan
dengan api. Kursi singgasana itu tampaknya kurang nyaman, tapi sang dewa Auster duduk santai di sana
seperti hendak menonton siaran futbol sore-sore. Apabila berdiri tegak, tinggi sang dewa pasti sekitar
tiga meter. Mahkota uap air bertengger di rambut putihnya yang gondrong. .ranggutnya terbuat dari
awan yang senantiasa menyambarkan petir dan meneteskan hujan ke dada sang dewa, membasahi
toganya yang sewarna pasir. Jason bertanya-tanya apakah janggut dari awan berpetir bisa dipangkas.
Dia menduga pasti menyebalkan menghujani diri sendiri sepanjang waktu, tapi Auster sepertinya tidak
peduli. Sang dewa mengingatkan Jason akan Sinterklas kebasahan, tapi bersifat pemalas alih-alih
periang. "Jadi ...." Suara sang dewa menggemuruh seperti bunyi datangnya badai. "Putra Jupiter kembali lagi."
Auster mengesankan seolah Jason terlambat. Jason tergoda untuk mengingatkan dewa angin bodoh ini
bahwa dia menghabiskan berjam-jam di luar tiap hari untuk menunggu panggilan, tetapi dia menahan
diri dan justru mernbungkuk saja. "Paduka," kata Jason. "Sudahkah Paduka Dewa menerima kabar
tentang teman saya?" "Teman?" "Leo Valdez." Jason berusaha tetap sabar. "Yang dibawa pergi oleh
angin." "Oh ya. Lebih tepatnya, tidak. Kami belum mendapat kabar. Dia tidak dibawa pergi oleh anginku.
Tidak diragukan lagi yang demikian adalah perbuatan Boreas atau anak buahnya."
"Eh, benar. Memang begitu. Kami sudah tahu." "Itulah satu-satunya alasan sehingga aku menerima
kalian, tentu saja." Auster mengangkat alis mendekati mahkota uapnya. "Boreas mesti ditentang! Angin
utara harus dipukul mundur!" "Ya, Paduka. Tapi untuk menentang Boreas, perahu kami harus bisa
meninggalkan pelabuhan." "Kapal di pelabuhan!" Sang dewa bersandar ke belakang dan terkekeh-kekeh,
hujan tumpah dari janggutnya. "Kau tahu kapan kali terakhir manusia fana datang ke pelabuhanku" Raja
Libya ... namanya Psyollos. Dia menyalahkan aku atas angin panas yang melayukan tanaman pangannya.
Percayakah kau?" Jason mengertakkan gigi. Dia sudah belajar dari pengalaman bahwa Auster tidak bisa
didesak supaya terburu-buru. Selagi wujudnya sedang hujan begini, sang dewa berperangai lelet dan
hangat serta suka melantur. "Apakah benar Paduka Dewa melayukan tanaman itu?" "Tentu saja!" Auster
tersenyum ramah. "Tapi, salah sendiri! Siapa suruh Psyollos bercocok tanam di tepi Gurun Sahara" Si
tolol itu meluncurkan seluruh armadanya untuk menyerangku. Dia bermaksud menghancurkan benteng
pertahananku supaya angin selatan takkan bisa berembus lagi. Aku menghancurleburkan armadanya,
tentu saj a." "Tentu saja." Auster menyipitkan mata. "Kau bukan sekutu Psyollos, Ian?" "Bukan, Dewa
Auster. Saya Jason Grace, putra---" "Jupiter! Ya, tentu saja. Aku suka putra Jupiter. Tapi, kenapa kau
masih di pelabuhanku?" Jason mengekang desahan jengkel. "Kami belum mendapat izin dari Paduka
Dewa untuk meninggalkan pelabuhan. Selain itu, kapal kami rusak. Kami membutuhkan mekanik kami,
Leo Valdez, untuk memperbaiki mesin. Kecuali Dewa tahu cara lain?"
"Hmm." Auster mengacungkan jemari dan membiarkan debu handel berputar di antara jari-jarinya
seperti tongkat mayoret. "Kau tahu, orang-orang menuduhku plin-plan. Terkadang aku adalah angin
panas menyengat, penghancur tanaman pangan, sirocco Afrika! Di hari lain, aku lembut, membawa
hujan hangat musim panas dan kabut menyejukkan ke kawasan Mediterania Selatan. Dan saat tidak
sibuk, aku berlibur ke rumah peristirahatanku di Cancun! Singkat kata, pada zaman dahulu kala, manusia
fana takut sekaligus cinta kepadaku. Untuk seorang dewa, sifat yang tidak bisa ditebak merupakan
sebentuk kekuatan." "Kalau begitu, Dewa tentunya teramat kuat," kata Jason. "Terima kasih! Memang
aku kuat! Tapi, yang demikian tidak berlaku bagi demigod." Auster mencondongkan badan ke depan,
cukup dekat sehingga Jason bisa membaui ladang yang tersiram hujan dan pantai berpasir nan panas.
"Kau mengingatkanku akan anak-anakku sendiri, Jason Grace. Kau berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain. Dirimu bimbang. Kau berubah dari hari ke hari. Jika kau bisa memutar gada-gada, akan
mengarah ke manakah dia?" Keringat menetes di antara tulang belikat Jason. "Maaf?" "Kau bilang kau
memerlukan navigator. Kau butuh izinku. Menurutku, kau tidak butuh kedua-duanya. Sekaranglah
waktunya memilih satu tujuan. Angin yang bertiup tak tentu arah tidak berguna bagi siapa pun." "Saya
tidak saya tidak mengerti." Bahkan saat berucap begitu, Jason sesungguhnya mengerti. Nico menyebut
bahwa dirinya tidak cocok berada di mana pun. Setidaknya, Nico bebas dan tidak terombang-ambing.
Dia bisa pergi ke mana pun sesukanya. Selama berbulan-bulan, Jason mengalami pergulatan batin
karena bingung memutuskan di tempat mana dia semestinya
berada. Sedari dulu, Jason geregetan akan tradisi Perkemahan Jupiter, tarik-ulur kekuasaannya, intrikintriknya. Tapi, Reyna adalah orang baik. Reyna membutuhkan bantuan Jason. Jika Jason berpaling dari
Reyna ... seseorang seperti Octavian bakal mengambil alih dan mengobrak-abrik semua aspek yang
Jason cintai di Roma Baru. Setega itukah dirinya sehingga pergi begitu saja" Memikirkan itu saja, Jason
jadi terbebani rasa bersalah. Tapi dalam sanubarinya, Jason ingin tinggal di Perkemahan Blasteran.
Bulan-bulan yang dia lewatkan di sana bersama Piper dan Leo terasa lebih memuaskan, lebih mengena
daripada bertahun-tahun yang dia habiskan di Perkemahan Jupiter. Lagi pula, di Perkemahan Blasteran,
setidaknya ada peluang untuk bertemu ayahnya suatu hari kelak. Dewa-dewi sangat jarang mampir ke
Perkemahan Jupiter untuk menyapa anak-anak mereka. Jason menarik napas tersendat-sendat. "Ya.
Saya tahu tujuan yang harus saya tempuh." "Bagus! Lalu?" "Ehm, kami masih perlu cara untuk
memperbaiki kapal. Adakah?" Auster mengacungkan telunjuknya. "Masih mengharapkan bimbingan
dari penguasa angin" Putra Jupiter semestinya lebih tahu!" Jason ragu-ragu. "Kami akan pergi, Dewa
Auster. Hari ini." Sang dewa angin menyeringai dan merentangkan tangan. "Akhirnya kau
mengumumkan tujuanmu! Kalau begitu, kau kuizinkan pergi, walau kau sebenarnya tidak butuh izinku.
Dan bagaimana kau akan berlayar tanpa sang mekanik, sementara mesin kapalmu belum diperbaiki?"
Jason merasakan roh-roh angin selatan mendesing di sekelilingnya, meringkik menantang seperti kuda
liar keras kepala, menguji keteguhan tekad Jason.
Sepanjang pekan dia menanti-nanti, berharap semoga Auster memutuskan untuk menolong. Berbulanbulan Jason khawatir akan kewajibannya pada Perkemahan Jupiter, berharap semoga jalan yang mesti
ditempuhnya akan menjadi jelas. Kini, Jason tersadar, dia semata-mata harus mengambil pilihan yang
dia inginkan. Dia harus mengendalikan jalannya angin, bukan sebaliknya. "Dewa akan menolong kami,"
kata Jason. "Ventus anak buah Paduka Dewa bisa mewujud sebagai kuda. Dewa akan memberi kami
seregu roh angin untuk menghela Argo II. Mereka akan menuntun kami ke tempat Leo berada, di mana
pun itu." "Luar biasa!" Auster berbinar-binar, kilatan listrik menyambar-nyarnbar di janggutnya. "Nah
sekarang, bisakah kau wujudkan kata-katamu yang gagah itu" Bisakah kau mengendalikan yang kau
minta, ataukah kau justru akan tercabik-cabik?" Sang dewa bertepuk tangan. Angin berputar-putar di
sekeliling singgasananya dan mewujud sebagai kuda. Mereka ini tidak gelap dan dingin seperti kawan
Jason, Topan. Kuda-kuda Angin Selatan terbuat dari api, pasir, dan badai panas. Empat ekor kuda angin
melaju lewat, panas tubuh mereka menggosongkan rambut halus di lengan Jason. Mereka berderap
mengitari pilar-pilar marmer, meludahkan lidah api, meringkik sekeras kompresor udara. Semakin
mereka berlari, semakin liar mereka. Mereka mulai memelototi Jason. Auster mengelus-elus janggutnya
yang mengucurkan hujan. "Tahukah kau kenapa ventus bisa mewujud sebagai kuda, Nak" Sesekali, kami
dewa angin mewujud sebagai kuda kala mengembara di muka bumi. Ada kalanya, kami memiliki anak
yang menjadi kuda tercepat di bumi." "Terima kasih," gumam Jason, walaupun giginya bergemeletuk
karena ngeri. "Terlalu banyak informasi."
Salah satu ventus menyerbu ke arah Jason. Dia menghindar ke samping, pakaiannya berasap karena
kontak dengan roh angin. "Kadang-kadang." Auster melanjutkan dengan ceria, "manusia fana mengenali
darah dewata tersebut. Mereka berkata, Kuda itu berlari bagaikan angin. Tidak mengherankan! Sama
seperti kuda jantan tercepat, ventus adalah anak kami!" Para kuda angin mulai mengepung Jason.
"Seperti temanku, Topan," celetuknya. "Oh, dia ...." Auster merengut. "Aku khawatir dia itu anak Boreas.
Bagaimana kau bisa menjinakkannya, aku takkan pernah tahu. Yang ini adalah anak-anakku sendiri,
seregu angin selatan yang andal. Apabila kau bisa mengendalikan mereka, Jason Grace, niscaya mereka
akan bersedia menghela kapalmu dari pelabuhan." Mengendalikan mereka, pikir Jason. Bicara sih
gampang. Mereka berlari beringas bolak-balik. Seperti majikan mereka sang Angin Selatan, kuda-kuda
ini terombang-ambing"sebagian panas kering seperti sirocco, sebagian lagi dingin seperti muka badai.
Aku butuh kecepatan, pikir Jason. Aku butuh tujuan yang pasti. Dia membayangkan Notus, Angin Selatan
versi Yunani"panas membakar, tapi sangat cepat. Tepat saat itu, Jason memilih Yunani. Dia
menceburkan diri sebagai bagian dari Perkemahan Blasteran"dan berubahlah kuda-kuda itu. Awan
badai di dalam tubuh mereka pupus, tinggal menyisakan debu merah dan panas bergejolak, seperti
fatamorgana di Gurun Sahara. "Kerja bagus," kata sang dewa. Kini di singgasana, duduklah Notus"pria
tua berkulit sewarna perunggu yang mengenakan chiton Yunani menyala dan bermahkota jelai layu
berasap. "Apa lagi yang kau tunggu?" desak sang dewa.
Jason menoleh ke arah kuda-kuda angin panas. Mendadak dia tidak takut lagi kepada mereka. Dia
mengulurkan tangan. Kepulan debu melesat ke kuda terdekat. Seutas laso"tali dari angin, mencancang
lebih kuat daripada angin topan mana pun"membelit leher sang kuda. Angin membentuk halter dan
menyetop hewan tersebut. Jason mendatangkan satu lagi tali angin. Dia mengikat kuda kedua,
mengekang makhluk itu di bawah kendali tekadnya. Dalam waktu kurang dari semenit, Jason telah
mencancang keempat ventus. Dia mengikat para kuda yang masih meringkik dan mendompak dengan
tali kekang. Sekalipun kuda-kuda itu terns melawan, mereka tidak bisa memutus tali kekang Jason.
Rasanya seperti menerbangkan empat layangan sewaktu angin kencang"memang sukar, tapi tidak
mustahil. Tagus sekali, Jason Grace," ujar Notus. "Kau adalah putra Jupiter, tetapi kau memilih jalanmu
sendiri"sama seperti semua demigod terhebat pendahulumu. Kau tidak bisa memilih orangtua, tapi kau
bisa memilih warisan apa yang hendak kau tinggalkan. Nah, pergilah. Ikat regumu ke haluan dan arahkan
mereka ke Malta." "Malta?" Jason mencoba memfokuskan perhatian, tapi hawa panas dari kuda
membuat kepalanya pening. Dia tidak tahu apa-apa tentang Malta, hanya pernah mendengar cerita
samar tentang Maltese falcon. Apakah malt diciptakan di sana" "Setibanya di Kota Valletta," kata Notus,
"kau takkan memerlukan kuda-kuda ini lagi." "Maksud Dewa kami akan menemukan Leo di sana?" Sang
dewa berdenyar, pelan-pelan memudar menjadi gelombang panas. "Takdirmu bertambah jelas, Jason
Grace. Ketika kau kembali harus memilih"badai atau api"ingatlah aku. Dan jangan putus asa."
Pintu ruang singgasana membuka dengan keras. Keempat kuda mencium kebebasan dan serta-merta
melesat ke pintu keluar.[]
BAB LIMA PULUH SEMBILAN JASON REMAJA BERUMUR ENAM BELAS TAHUN biasanya stres gara-gara memikirkan ujian mengemudi untuk
mendapatkan SIM dan rnenabung supaya bisa membeli kendaraan sendiri. Jason stres karena mesti
mengendalikan seregu kuda api dengan tali dari angin. Setelah memastikan bahwa teman-temannya
sudah naik ke kapal dan aman di dek bawah, Jason mengikat ventus ke haluan Argo II (alhasil
menyebabkan Festus tidak senang), duduk mengangkang di kepala naga, dan berteriak, "Maju, jalan!"
Para ventus melejit membelah ombak. Mereka tidak secepat kuda Hazel, Arion, tetapi mereka jauh lebih
panas. Tendangan kaki mereka menyemburkan uap tebal sehingga Jason hampir mustahil melihat arah
yang mereka lalui. Kapal melesat meninggalkan teluk. Dalam waktu singkat, Afrika tinggal berupa garis
samar di cakrawala di belakang mereka. Jason harus mencurahkan seluruh konsentrasinya agar bisa
mengendalikan tali kekang angin. Kuda-kuda berjuang keras
untuk membebaskan diri. Hanya kekuatan tekad Jason yang menahan mereka. Malta, perintahnya.
Langsung ke Malta. Pada saat daratan akhirnya tampak di kejauhan"pulau berbukit-bukit sarat
bangunan batu pendek"Jason sudah bersimbah peluh. Lengannya terasa loyo, seperti habis
mengulurkan tangan sambil menahan barbel. Dia berharap mereka sudah mencapai tempat yang tepat
sebab dia tidak sanggup mempertahankan kuda-kuda itu lebih lama lagi. Dia membebaskan tali kekang
angin. Para ventus berhamburan menjadi partikel-partikel pasir dan uap. Kelelahan, Jason pun turun dari
buritan. Dia bersandar ke leher Festus. Sang naga menoleh dan menepuk-nepuknya dengan dagu.
"Makasih, Bung," kata Jason. "Hari yang berat, ya?" Di belakangnya, papan geladak berderit. "Jason?"
panggil Piper. "Demi dewa-dewi, lenganmu ...." Jason tidak memperhatikan, tapi kulitnya belang-belang
karena melepuh. Piper mengeluarkan sekotak ambrosia. "Makan ini." Jason mengunyah. Mulutnya
dipenuhi rasa brownies yang baru dipanggang"makanan favoritnya dari toko roti di Roma Baru. Bekas
melepuh di lengannya memudar. Tenaga Jason pulih kembali, tapi brownies ambrosia terasa lebih pahit
daripada biasanya, seolah entah bagaimana mengetahui bahwa Jason telah berpaling dari Perkemahan
Jupiter. Rasanya tidak lagi mengingatkan Jason akan rumah. "Makasih, Pipes," gumamnya. "Berapa lama
aku?"" "Kira-kira enam jam." Wow, pikir Jason. Pantas dia merasa linu-linu dan lapar. "Yang lain?"
"Semuanya baik-baik saja. Bosan terkurung. Perlu kuberi tahu mereka bahwa sudah aman untuk naik ke
geladak atas?" Jason menjilat bibirnya yang kering. Meskipun sudah makan ambrosia, dia merasa penat.
Dia tidak mau yang lain melihatnya seperti ini. "Beri aku waktu sebentar," kata Jason, "... tarik napas
dulu." Piper bersandar di sebelah Jason. Dalam balutan kaus kutung hijau, celana pendek abu-abu, dan
sepatu bot hiking-nya, Piper tampak siap mendaki gunung"dan kemudian bertarung melawan pasukan
musuh di puncak. Belatinya tersandang ke sabuk. Kornukopia-nya tersampir ke pundak. Piper sekarang
juga membawa pedang perunggu bergerigi yang dia rebut dari Zethes si Boread, yang tak kalah
menyeramkan dibandingkan senapan otomatis. Selama mereka tinggal di Istana Auster, Jason
memperhatikan bahwa Piper dan Hazel kerap menghabiskan berjam-jam untuk bertarung pedang"
sesuatu yang tidak pernah Piper minati sebelumnya. Sejak perjumpaannya dengan Khione, Piper
sepertinya lebih awas, lebih tegang seperti katapel yang hendak ditembakkan, seolah bertekad takkan
pernah lagi mengendurkan kewaspadaan. Jason memahami perasaan tersebut, tapi dia khawatir Piper
bersikap terlalu keras kepada dirinya sendiri. Tak seorang pun siap akan apa saja sepanjang waktu. Jason
tahu itu. Pertarungan terakhir dia lewatkan dalam wujud pin Boling beku. Dia pasti melongo, sebab
Piper melemparkan cengiran serbatahu. "Hei, aku baik-baik saja. Kita baik-baik saja." Piper berjingkat
dan mengecup Jason. Mata Piper berwarna-warni banyak sekali sehingga Jason bisa saja menatap
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya seharian, mengamat-amati pola yang terus berubah, sebagaimana orang-orang menonton
aurora. "Aku beruntung ada kau," kata Jason. "Iya, memang." Piper menepuk dada Jason dengan lembut. "Nah,
bagaimana kalau kita rapatkan kapal ini ke dermaga?" Jason memicingkan mata ke seberang perairan.
Jarak mereka dengan pulau masih satu kilometer kurang. Dia tidak punya gambaran bagaimana mereka
bakal menjalankan mesin kapal atau mengembangkan layar Untungnya, Festus mendengarkan
percakapan mereka. Sang kepala naga menoleh ke depan dan menyemburkan kepulan api. Mesin kapal
berderak dan mendesing. Kedengarannya seperti bunyi sepeda mahabesar yang rantainya berkarat"
tetapi kapal toh beringsut ke depan. Argo II pelan-pelan menuju pesisir. "Naga baik." Piper menepuknepuk leher Festus. Mata rubi naga itu berkilau-kilau, seolah senang akan prestasinya. "Dia tampak lain
sejak kau membangunkannya," ujar Jason.
"Lebih hidup. "Sebagaimana seharusnya." Piper tersenyum. "Kurasa kita sesekali butuh penyemangat
dari seseorang yang menyayangi kita, supaya tidak terus tertidur lesu." Saat berdiri di samping Piper,
Jason merasa bahagia sekali sampai-sampai dia nyaris bisa membayangkan masa depan mereka
bersama di Perkemahan Blasteran, seusai perang"dengan asumsi bahwa mereka masih hidup dan
masih ada perkemahan tempat mereka bisa pulang. Ketika kau kembali harus memilih, kata Notus,
badai atau api"ingatlah aku. Dan jangan putus asa. Semakin dekat dengan Yunani, semakin dada Jason
sesak karena ngeri. Dia mulai berpikir bahwa dugaan Piper tentang larik badai atau api dalam ramalan
memang benar"salah seorang
dari mereka, Jason atau Leo, takkan kembali hidup-hidup dari pelayaran ini. Itulah sebabnya mereka
harus menemukan Leo. Meskipun Jason amat menyukai kehidupannya, dia tidak sudi membiarkan
temannya meninggal demi dirinya. Dia takkan sanggup menanggung rasa bersalah jika hal itu sampai
terjadi. Tentu saja Jason berharap dirinya keliru. Dia berharap mereka berdua bakal melalui misi ini
dengan selamat. Tapi kalau tidak, Jason harus siap. Dia akan melindungi teman-temannya dan
menghentikan Gaea"apa pun taruhannya. Jangan putus asa. Iya. Enak saja Notus berkata begitu. Dia
Ian dewa angin yang kekal. Saat pulau semakin dekat, Jason melihat dermaga yang diramaikan layar di
sana-sini. Dari garis pantai berbatu-batu, menjulanglah pemecah ombak mirip benteng"tingginya
antara lima betas atau delapan betas m
eter. Di atas dinding itu, terbentanglah kota bergaya abad
pertengahan yang terdiri dari menara gereja, kubah, dan bangunan rapat-rapat yang semuanya terbuat
dari batu keemasan yang sama. Dari tempat Jason berdiri, kelihatannya kota itu memakan seluruh
jengkal lahan di pulau tersebut. Dia menelaah perahu-perahu di pelabuhan. Kurang dari seratus meter di
depan, di ujung dok terpanjang, tertambatlah rakit bertiang sederhana dengan layar kanvas segiempat.
Di bagian belakang rakit, kemudi terhubung ke semacam mesin. Bahkan dari jarak sejauh ini, Jason bisa
melihat kilauan perunggu langit. Jason menyeringai. Hanya satu demigod yang mampu membuat perahu
seperti itu dan dia telah memarkir kendaraannya sejauh mungkin di pelabuhan, alhasil mustahil
dilewatkan oleh pengamatan awak Argo II. "Panggil yang lain." Jason memberi tahu Piper. "Leo di sini."[]
BAB ENAM PULUH JASON MEREKA MENEMUKAN LEO DI ATAS benteng kota. Dia duduk-duduk di kafe terbuka yang menghadap ke
laut, sedang minum secangkir kopi dan mengenakan ... wow. Kilas balik. Busana Leo identik dengan yang
dia kenakan di hari pertama kedatangan mereka di Perkemahan Blasteran"celana jin, baju putih, dan
jaket tentara lama. Hanya saja, jaket itu sudah terbakar berbulan-bulan lalu. Piper hampir menjatuhkan
Leo dari kursi dengan pelukannya. "Leo! Demi dewa-dewi, ke mana saja kau?" "Valdez!" Pak Pelatih
Hedge menyeringai. Kemudian dia tampaknya ingat mesti menjaga reputasi dan sang satir pun
memaksakan diri untuk merengut. "Kalau kau menghilang seperti itu lagi, Berandal Kecil, akan kuhajar
kau sampai terbang ke bulan depan!" Frank menepuk-nepuk punggung Leo keras-keras sampai dia
berjengit, bahkan Nico juga menjabat tangannya. Hazel mengecup pipi Leo. "Kami kira kau sudah
meninggal!" Leo tersenyum kecil. "Hai, Kawan-Kawan. Tenang, aku baik-baik saja kok." Jason bisa melihat bahwa Leo
tidak baik-baik saja. Leo tidak mau bertemu pandang dengan mereka. Tangannya bergeming di atas
meja. Tangan Leo tidakpernah bergeming. Hiperaktivitasnya terkuras habis, digantikan oleh semacam
duka penuh nostalgia. Jason membatin apa sebabnya ekspresi Leo tampak tidak asing. Lalu dia tersadar
bahwa Nico di Angelo kelihatan sama seperti itu setelah menghadapi Cupid di reruntuhan Salona. Leo
sedang patah hati. Sementara yang lain mengambili kursi dari meja-meja dekat sana, Jason
mencondongkan badan dan meremas bahu temannya. "Hei, Bung," katanya, "apa yang terjadi?" Mata
Leo melirik kelompok mereka. Pesannya jelas: Jangan di sini. Jangan di depan semua orang. "Aku
terdampar," ujar Leo. "Ceritanya panjang. Bagaimana dengan kalian" Khione bagaimana?" Pak Pelatih
Hedge mendengus. "Bagaimana" Piper beraksi! Kuberi tahu ya, gadis ini memang lihai!" "Pak Pelatih ...,"
protes Piper. Hedge mulai menceritakan kembali kejadian itu, tapi dalam versinya, Piper bagaikan
pembunuh yang ahli kungfu dan jumlah Boread jauh lebih banyak. Sementara sang pelatih berbicara,
Jason mengamati Leo dengan khawatir. Kafe ini menghadap tepat ke pelabuhan. Leo pasti melihat Argo
Hberlabuh. Namun demikian, dia malah duduk diam di sini sambil minum kopi"yang bahkan tidak dia
sukai"untuk menunggu mereka menemukannya. Tidak biasanya Leo bersikap begitu. Kapal tersebut
adalah hal terpenting dalam hidupnya. Ketika dia melihat Argo II datang untuk menyelamatkannya, Leo
seharusnya lari ke dermaga sambil bersorak keras-keras.
Pak Pelatih Hedge sedang menggambarkan jurus tendangan memutar Piper untuk mengalahkan Khione
saat Piper memotong. "Pak Pelatih!" kata Piper. "Kejadiannya tidak seperti itu. Aku tidak mungkin
melakukan apa-apa tanpa Festus." Leo mengangkat alis. "Tapi, Festus sedang dideaktivasi." "Anu, soal
itu," kata Piper. "Aku membangunkannya." Piper menjelaskan peristiwa itu versi dia"bagaimana dia
menyalakan sang naga logam dengan charmspeak. Leo mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja, seolah
sebagian energinya telah kembali. "Seharusnya tidak mungkin," gumam Leo. "Kecuali pemutakhiran
memungkinkannya untuk merespons perintah suara. Tapi kalau dia sudah diaktivasi secara permanen,
berarti sistem navigasi dan kristal ...." "Kristal?" tanya Jason Leo berjengit. "Eh, bukan apa-apa. Omongomong, apa yang terjadi setelah born angin meledak?" Giliran Hazel yang bercerita. Seorang pelayan
mendekat dan menawari mereka menu. Tidak lama berselang, mereka sudah mengunyah roti isi dan
menenggak soda, menikmati hari yang cerah hampir seperti sekelompok remaja biasa. Frank
menyambar brosur wisata yang terselip di bawah kotak serbet. Dia mulai membaca brosur tersebut.
Piper menepuk-nepuk lengan Leo, seolah dia tidak percaya bahwa pemuda tersebut sungguh-sungguh
berada di sana. Nico menyempil di tepi kelompok itu, mengamati pejalan kaki yang melintas seakan
curiga kalau-kalau mereka adalah musuh. Pak Pelatih Hedge mengunyah wadah garam dan merica.
Meskipun reuni itu mestinya membahagiakan, semua orang tampak lebih lesu daripada biasanya"
seolah mereka ketularan suasana hati Leo. Jason tidak pernah mempertimbangkan betapa
pentingnya selera humor Leo bagi kelompok tersebut. Bahkan ketika situasi sedang amat serius, mereka
selalu bisa mengandalkan Leo untuk menceriakan suasana. Sekarang, kesannya seolah seluruh tim
tengah terpuruk. "Jadi, Jason kemudian mengekang ventus," pungkas Hazel. "Dan di sinilah kami." Leo
bersiul. "Kuda air panas" Keren, Jason. Jadi, pada dasarnya, kau menahan angin sampai ke Malta,
kemudian membuang angin sesampainya di sini." Jason mengerutkan kening. "Kau tabu, kesannya
kurang heroik kalau kau menyebutnya seperti itu." "Iya sih, tapi aku ini pakar cakap angin. Aku masih
bertanya-tanya, kenapa Malta" Rakitku terhanyut ke sini begitu saja, tapi apa karena kebetulan atau?"
"Mungkin karena ini." Frank mengetuk brosur. "Di sini disebutkan, Malta dulunya adalah tempat tinggal
Calypso." Wajah Leo langsung pucat pasi seperti kurang darah. "A-apa?" Frank mengangkat bahu.
"Menurut brosur ini, kampung halamannya yang asli adalah di sebuah pulau bernama Gozo di utara sini.
Calypso itu tokoh dari mitologi Yunani, Ian?" "Ah, tokoh dari mitologi Yunani!" Pak Pelatih Hedge
menggosok-gosok kedua telapak tangannya. "Mungkin kita harus melawan dia! Apa kita berkesempatan
melawan dia" Soalnya, aku sudah siap." "Tidak," gumam Leo. "Tidak, kita tidak harus melawan dia, Pak
Pelatih." Piper mengerutkan dahi. "Leo, ada apa" Kau kelihatan?" "Tidak ada apa-apa!" Leo sontak
berdiri. "Hei, kita sebaiknya bergegas. Kita punya pekerjaan!" "Tapi kau dari mana?" tanya Hazel. "Dari
mana kau mendapatkan pakaian itu" Bagaimana?"
"Waduh, Nona-Nona!" kata Leo. "Kuhargai kekhawatiran kalian, tapi aku tidak butuh tambahan dua
ibu!" Piper tersenyum bimbang. "Oke, tapi?" "Ayo kita perbaiki kapal!" kata Leo. "Festus mesti dicek!
Kita harus meninju wajah dewi Bumi! Apa yang kalian tunggu" Leo sudah kembali!" Dia merentangkan
tangan dan menyeringai. Leo mencoba berlagak gagah, tapi Jason bisa masih melihat kesedihan di
matanya. Sesuatu telah menimpa Leo ... sesuatu yang ada hubungannya dengan Calypso. Jason
berusaha mengingat-ingat kisah tentang Calypso. Dia semacam penyihir, mungkin seperti Medea atau
Circe. Tapi kalau Leo baru melarikan diri dari sarang penyihir jahat, kenapa dia tampak sedih sekali"
Jason harus berbicara kepada. Leo nanti, untuk memastikan bahwa temannya baik-baik saja. Untuk saat
ini, Leo jelas tidak mau diinterogasi. Jason berdiri dan menepuk pundak Leo. "Leo benar. Kita harus
bergegas." Semua orang menanggapi aba-aba tersebut. Mereka mulai membersihkan sisa-sisa makanan
dan menghabiskan minuman. Tiba-tiba, Hazel terkesiap. "Teman-Teman ...." Dia menunjuk ke kaki langit
sebelah timur laut. Awalnya. Jason tidak melihat apa-apa selain laut. Lalu selarik kegelapar melesat ke
udara bagaikan petir hitam"seolah malam kelam telal-merobek siang. "Aku tidak melihat apa-apa,"
gerutu Pak Pelatih Hedge. "Aku juga," tukas Piper. Jason menelaah wajah teman-temannya. Sebagian
besar dar mereka tampak bingung. Selain Hazel dan Jason, hanya Nico yanl tampaknya bisa melihat petir
hitam itu. "Tidak mungkin ...," gumam Nico. "Yunani masih ratusan mil dari sini." Kegelapan berkilat-kilat lagi,
sekejap mengelantang warna cakrawala. "Menurutmu itu Epirus?" Seluruh rangka Jason tergelitik
seperti disambar listrik ribuan volt. Dia tidak tabu apa sebabnya dia bisa melihat kilat gelap itu. Dia
bukan anak Dunia Bawah. Tapi, pemandangan tersebut membuat firasatnya tidak enak. Nico
mengangguk. "Gerha Hades sudah buka." Beberapa detik berselang, terdengar bunyi menggemuruh
mirip ledakan artileri di kejauhan. "Sudah mulai," ujar Hazel. "Apa yang sudah mulai?" tanya Leo. Ketika
kilat lagi-lagi tampak, mata Hazel yang keemasan menggelap seperti kertas timah yang dilalap api.
"Manuver terakhir Gaea," katanya. "Pintu Ajal bekerja lembur. Pasukannya memasuki dunia fana
berduyun-duyun." "Kita takkan sempat sampai di sana," komentar Nico. "Begitu kita tiba, sudah terlalu
banyak monster yang keluar. Kita takkan sanggup melawan mereka semua." Jason mengertakkan rahang.
"Kita pasti bisa mengalahkan mereka. Dan kita harus sampai di Epirus secepatnya. Kita sudah
rnendapatkan Leo kembali. Dia akan memberi kita kecepatan yang kita butuhkan." Dia menoleh kepada
temannya. "Ataukah kata-katamu cuma cakap angin?" Leo menyeringai. Matanya seolah berkata:
Makasih. "Waktunya terbang, Anak-Anak," katanya. "Paman Leo menyimpan trik untuk dikeluarkan!"[]
BAB ENAM PULUH SATU PERCY PERCY BELUM MATI, TAPI DIA sudah bosan menjadi mayat. Selagi mereka tersaruk-saruk menuju
jantung Tartarus, dia terus melirik tubuhnya sendiri, bertanya-tanya bagaimana mungkin jasad keriput
ini adalah badannya. Lengannya kelihatan seperti kulit samakan yang ditarik sepanjang sebatang tongkat.
Tungkai cekingnya seolah mengabur menjadi asap tiap kali dia melangkah. Dia sudah belajar bergerak
dengan normal di dalam Kabut Ajal, kurang lebih, tapi tabir magis itu itu tetap membuatnya merasa
seperti terkungkung dalam selubung helium. Dia cemas kalau-kalau Kabut Ajal bakal menempelinya
selamanya, sekalipun mereka entah bagaimana berhasil keluar dengan selamat dari Tartarus. Dia tidak
mau menghabiskan sisa hidupnya dengan penampilan seperti pemain figuran zombi di drama The
Walking Dead. Percy mencoba memfokuskan perhatian pada hal lain, tapi ke mana pun dia menengok,
tidak ada yang aman. Di bawah kakinya, tanah berkilau ungu menjijikkan, menyembunyikan jejaring
pembuluh darah yang berdenyut-
denyut. Di bawah sorot merah kabut darah, Annabeth versi Kabut Ajal tampak seperti zombi yang baru
saja bangkit dari kubur. Di depan mereka, tampaklah pemandangan paling menyesak-kan Kati.
Sepasukan monster"kawanan arai bersayap, suku Cyclops yang terhuyung-huyung, kumpulan roh jahat
yang melayang-layang"terbentang sampai ke cakrawala. Ribuan makhluk (lurjana, barangkali puluhan
ribu, semuanya luntang-lantung dengan gelisah, berdesak-desakan, main gertak untuk berebut
tempat"seperti area loker kepenuhan di sekolah di sela-sela jam pelajaran, kalau semua murid adalah
mutan temperamental yang berbau badan amat busuk. Bob membimbing mereka ke tepi pasukan. Dia
tidak berupaya untuk bersembunyi; lagi pula, memang sia-sia saja. Karena tubuhnya setinggi tiga meter
dan berkilau perak, mustahil Bob bisa beraksi diam-diam. Ketika jarak mereka sudah tiga puluh meter
kurang dari monster-monster terdekat, Bob menoleh kepada Percy. "Jangan ribut dan tetap di
belakangku," sarannya. "Mereka takkon memperhatikan kalian." "Mudah-mudahan," gumam Percy. Di
bahu sang Titan, Bob Kecil terbangun dari tidur siang. Dia mendengkur nyaring dan melengkungkan
punggung, berubah dari wujud kerangka menjadi kucing belang. Setidaknya dia tidak tampak waswas.
Annabeth mengamati tangan zombinya sendiri. "Bob, kalau kami tak karat mata bagaimana bisa kau
melihat kami" Maksudku, secara teknis, kau ...." "Ya," kata Bob. "Tapi, kita berteman." "Nyx dan anakanaknya bisa melihat kami," tukas Annabeth. Bob mengangkat bahu. "Itu di wilayah Nyx. Itu lain."
"Eh ... baiklah." Annabeth kedengarannya tidak yakin, tapi mereka sekarang sudah hampir sampai.
Mereka tidak punya pilihan kecuali mencoba.
Percy menatap kawanan monster buas. "Setidaknya kita tak perlu khawatir kalau-kalau berpapasan
dengan teman-ternan lain di antara kerumunan ini." Bob menyeringai. "Ya, itu kabar bagus! Nah, ayo
pergi. Ajal sudah dekat." "Pintu Ajal sudah dekat," ralat Annabeth. "Jangan sembarangan bicara."
Mereka masuk ke tengah-tengah kerumunan. Percy gemetar hebat sampai-sampai dia takut Kabut Ajal
bakal tanggal. Dia sudah pernah melihat sekelompok besar monster. Dia pernah bertarung melawan
sepasukan monster di Pertempuran Manhattan. Tapi, ini lain. Kapan pun dirinya bertarung melawan
monster di dunia fana, Percy setidaknya tahu dia tengah mempertahankan rumakiny ra. Pengetahuan
itu memberinya keberanian, tidak peduli betapa kecil peluangnya untuk menang. Di sini, Percy adalah si
penyusup. Dia tidak semestinya berada di tengah-tengah monster, sebagaimana Minotaurus tidak
semestinya berada di Stasiun Penn saat jam sibuk. Beberapa kaki dari sana, sekelompok empousa
merobek-robek bangkai gryphon sementara sejumlah gryphon lain terbang mengitari mereka sambil
memekik-mekik murka. Anak Burn i bertangan enam dan seorang raksasa Laistrygonian sedang saling
timpuk dengan batu, walaupun Percy tidak yakin apakah mereka tengah bertarung atau hanya mainmain. Selarik asap gelap pasti eidolon, menurut tebakan Percy---merasuki seorang Cyclops,
menyebabkan monster itu memukul wajahnya sendiri, lalu pindah untuk merasuki korban lainnya.
Annabeth berbisik, "Percy, lihat." Selemparan batu dari sana, seorang lelaki berpakaian koboi tengah
melecutkan cambuk ke sejumlah kuda bernapas api. Si pawang ternak mengenakan topi koboi di
rambutnya yang berminyak, celana jin ekstrabesar, dan sepasang sepatu bot kulit hitam. Dari samping,
dia kelihatan seperti manusia"tetapi saat dia berbalik badan, barulah Percy melihat bahwa tubuh
bagian atasnya terdiri dari tiga dada berlainan yang masing-masing mengenakan kemeja koboi berbeda
warna. Pria itu jelas adalah Geryon, yang mencoba membunuh Percy dua tahun lalu di Texas. Rupanya
sang peternak jahat tidak sabar untuk menjinakkan kawanan hewan barunya. Membayangkan laki-laki
itu berkuda ke luar Pintu Ajal, pinggang Percy terasa nyeri lagi. Iganya berdenyut-denyut di tempat arai
melontarkan kutukan sekarat Geryon di hutan tadi. Percy ingin berderap menghampiri si pawang ternak
berbadan tiga, menghajar wajahnya, dan berteriak, Makasih banyak, Bung! Sayangnya, Percy tidak boleh
berbuat begitu. Berapa banyak musuhnya yang berada di dalam kerumunan ini" Percy mulai tersadar
bahwa tiap pertempuran yang dia menangi semata-mata adalah kemenangan sementara. Tidak peduli
seberapa kuat atau mujur dirinya, tidak peduli berapa banyak monster yang dia habisi, Percy akhirnya
akan tumbang. Dia hanyalah seorang manusia fana. Dia kelak akan menjadi terlampau tua, terlampau
lemah, atau terlampau lamban. Dia nantinya akan mafi. Di sisi lain, monster-monster ini mereka abadi.
Mereka akan kembali lagi. Barangkali mereka bakal butuh waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun
untuk mewujud kembali, mungkin malah berabad-abad. Tapi, mereka pasti akan terlahir kembali.
Melihat mereka berkumpul di Tartarus, Percy merasa harapannya kandas seperti jiwa-jiwa yang
terhanyut di Sungai Cocytus. Lalu kenapa kalau dia pahlawan" Lalu kenapa kalau dia melakukan tindakan berani" Kejahatan
senantiasa hadir, beregenerasi, menggelegak di bawah permukaan. Percy tak lebih dari sekadar
gangguan remeh bagi makhluk-makhluk kekal ini. Suatu hari kelak, putra atau putri Percy mungkin harus
menghadapi mereka lagi. Putra atau putri. Pemikiran itu memedihkannya. Secepat munculnya keputusasaan yang melanda Percy, secepat itu pulalah perasaan tersebut menghilang. Dia melirik Annabeth.
Gadis itu masih menyerupai mayat berbalut kabut, tetapi Percy membayangkan penampilan sejati
Annabeth"mata kelabunya yang penuh tekad, rambut pirangnya yang diikat dengan bandana,
wajahnya yang letih dan bercoreng-moreng debu, tapi tetap secantik biasanya. Oke, mungkin monstermonster itu akan kembali berulang-ulang, untuk selamanya. Tapi, demigod juga begitu. Perkemahan
Blasteran telah bertahan selama bergenerasi-generasi. Demikian pula Perkemahan Jupiter. Meski
berjuang sendiri-sendiri, kedua kubu mampu terus bertahan. Jika bangsa Yunani dan Ro.mawi bisa
bersatu padu, mereka akan semakin kuat. Masih ada harapan. Percy dan Annabeth sudah menempuh
perjalanan sejauh ini. Pintu Ajal hampir dalam jangkauan. Putra dan putri. Pemikiran yang konyol.
Pemikiran yang menakjubkan. Tepat di jantung Tartarus, Percy menyeringai. "Ada apa?" bisik Annabeth.
Di balik tabir zombi Kabut Ajal, Percy barangkali kelihatat sedang menyeringai kesakitan. "Bukan apaapa," katanya. "Aku cuma"Dari depan mereka, sebuah suara menggerung, "IAPETUS!"[]
BAB ENAM PULUH DUA PERCY SESOSOK TITAN MELENGGANG MENGHAMPIRI MEREKA, menendangi monster-monster lebih remeh
yang menghalangi jalannya sambil lalu. Dia kira-kira setinggi Bob dan mengenakan baju tempur indah
dari besi Stygian, sebutir berlian berkilau terang di tengah-tengah tameng dadanya. Matanya putih
kebiruan, seperti warna inti gletser, dan sedingin es. Rambutnya sewarna dengan matanya dan
dipangkas pendek gaya militer. Dia mengepit helm tempur berbentuk kepala beruang. Di sabuknya,
tersandang pedang seukuran papan selancar. Meskipun wajahnya luka-luka bekas bertempur, Titan itu
tampan dan anehnya tampak tidak asing. Percy lumayan yakin dia tidak pernah bertemu Titan yang satu
ini sebelumnya, tetapi mata dan senyumnya mengingatkan Percy pada .... Sang Titan berhenti di depan
Bob. Ditepuknya bahu Bob. "Iapetus! Jangan bilang kau tidak mengenali kakakmu sendiri!" "Tidak!" Bob
menyepakati dengan gugup. "Aku takkan bilang begitu."
Titan yang satu lagi menelengkan kepala ke belakang dan tertawa. "Kudengar kau tercebur ke dalam
Sungai Lethe. Pasti tidak enak! Kami semua tahu kau akhirnya akan sembuh. Aku Koios! Koios!" "Tentu
saja," kata Bob. "Koios, Titan dari ...." "Utara!" ujar Koios. "Aku tahu!" teriak Bob. Mereka tertawa
bersama-sama dan bergantian meninju lengan satu sama lain. Rupanya jengkel akan tumbuk-tumbukan
itu, Bob Kecil merangkak ke kepala Bob dan meringkuk di rambut perak sang Titan. "Iapetus yang
malang," kata Koios. "Mereka pasti sudah merendahkanmu. Lihat dirimu! Sapu" Seragam pelayan"
Kucing di rambutmu" Sungguh, Hades mesti membayar atas penghinaan ini. Siapa si demigod yang
merampas ingatanmu" Bah! Kita harus mencabik-cabiknya, kau dan aku, bukan begitu?" "Ha-ha." Bob
menelan ludah. "Ya, betul. Cabik-cabik dia." Jemari Percy mencengkeram pulpennya semakin erat. Dia
tidak terlalu menyukai kakak Bob, bahkan sebelum Titan itu menyebut-nyebut soal ancaman mencabikcabik. Dibandingkan dengan cara bicara Bob yang polos, Koios terkesan seperti sedang merapalkan
karya Shakespeare. Itu saja sudah cukup untuk membuat Percy kesal. Dia sudah siap mencabut Riptide
jika harus, tetapi sejauh ini Koios tampaknya tidak menyadari kehadiran Percy. Selain itu, Bob juga
belum mengkhianati mereka sekalipun dia punya banyak kesempatan. "Ah, aku gembira melihatmu ...."
Koios mengetukkan jemari ke helm kepala beruang. "Kau ingat keasyikan apa saja yang kita alami pada
zaman dahulu?" "Tentu saja!" Bob mencicit. "Ketika kita, eh ....' "Memegangi ayah kita Ouranos," kata Koios. "Ya! Kita
suka bergulat dengan Papa ...." "Kita menelikungnya." "Itu yang kumaksud!" "Sementara Kronos
mencacah-cacahnya dengan sabit." "Ya, ha-ha." Bob kelihatan agak mual. "Asyik sekali." "Kau
memegangi kaki kanan Ayahanda, seingatku," kata Koios. "Kemudian Ouranos menendang wajahmu
saat dia meronta-ronta. Betapa kami kerap menggodamu karena kejadian itu!" "Bodohnya aku." Bob
mengiakan. "Sayangnya, saudara kita Kronos dihancurleburkan oleh para demigod lancang itu." Koios
mendesah keras. "Potongan kecil saripatinya masih tersisa, tapi mustahil dirinya bisa utuh kembali.
Kurasa memang ada luka-luka yang bahkan tidak sanggup disembuhkan oleh Tartarus." "Sedihnya!"
"Namun demikian, kita yang lain punya kesempatan untuk unjuk kebolehan, bukan begitu?" Dia
mencondongkan badan dengan sikap penuh rahasia. "Raksasa-raksasa ini mungkin mengira bahwa
mereka yang akan berkuasa. Biarkan mereka menjadi pasukan perintis dan membinasakan bangsa
Olympia"yang demikian justru bagus. Tapi, begitu Ibu Bumi terbangun, dia niscaya ingat bahwa kita
adalah anak-anaknya yang tertua. Camkan kata-kataku. Bangsa Titan akan kembali menguasai jagat
raya." "Hmm," kata Bob. "Raksasa mungkin takkan menyukai itu." "Persetan dengan yang mereka
sukai," kata Koios. "Mereka toh sudah melewati Pintu Ajal untuk kembali ke dunia Tana. Polybotes
adalah yang terakhir, Baru keluar setengah jam lalu, masih menggerutu karena melewatkan buruannya.
Rupanya Si anak kucing melompat dari kepala Bob. Dia mengeliling i kaki sang Titan, menyundulkan kepala ke
lipatan celana sang Titan. Bob sepertinya tidak sadar. Percy berharap bisa seyakin Annabeth. Dia
berharap bisa menyampaikan kepada Bob dengan penuh percaya diri bahwa sang Titan sebaiknya
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melupakan masa lalunya. Tapi, Percy memahami rasa bingung Bob. Dia teringat hari ketika dia membuka
mata di Rumah Serigala di California, ingatannya dihapus oleh Hera. Jika seseorang menunggui Percy
sewaktu dia baru bangun, jika mereka meyakinkan Percy bahwa namanya Bob dan dirinya adalah teman
bangsa Titan serta raksasa akankah Percy percaya" Akankah dia merasa dikhianati begitu mengetahui
identitas sejatinya" Ini lain, kata Percy kepada dirinya sendiri. Kami di pihak yang baik. Tapi, benarkah demikian"
Percy meninggalkan Bob di Istana Hades, di bawah belas kasihan majikan baru yang membencinya.
Percy merasa tidak berhak menggurui Bob mesti berbuat apa"sekalipun nyawa mereka kini bergantung
padanya. "Menurutku, kau boleh memilih." Percy angkat bicara. "Ambil bagian yang ingin kau simpan
dari masa lalu Iapetus. Tinggalkan sisanya. Masa depanmulah yang penting." "Masa depan ...." Bob
merenung. "Itu konsep ciptaan manusia fana. Aku tidak semestinya berubah, Percy Kawanku." Dia
menatap ke kerumunan monster di sekelilingnya. "Kami selalu sama selamanya." "Kalau kau sama
seperti dulu," ujar Percy, "Annabeth dan aku pasti sudah mati. Mungkin kita tidak ditakdirkan untuk
berteman, tapi sekarang kita berteman. Kau sahabat terbaik yan bisa kuminta."
Mata perak Bob kelihatan lebih gelap daripada biasanya. Dia mengulurkan tangan, dan melompatlah
Bob Kecil si anak kucing ke telapak tangannya. Sang Titan berdiri tegak. "Kalau begitu, ayo pergi, TemanTeman. Tidak jauh lagi."
Menginjak-injak jantung Tartarus tidak semenyenangkan kedengarannya. Tanah keunguan licin dan
terus berdenyut. Dari jauh, permukaannya tampak datar, tetapi dari dekat, jantung Tartarus berlipatlipat dan berbenjol-benjol sehingga semakin jauh mereka berjalan semakin sulit dilewati. Bonggolbonggol bengkok pembuluh nadi merah dan pembuluh balik biru berfungsi sebagai pijakan ketika Percy
hams mendaki, tetapi perjalanan mereka lambat. Selain itu, tentu saja monster berada di mana-mana.
Kawanan anjing neraka mengendap-endap di bentang alam tersebut, melolong dan menggeram serta
menyerang monster mana saja yang tidak awas. Arai mengepakkan sayap liat mereka untuk berputarputar di atas, menghasilkan siluet gelap seram di awan beracun. Percy tersandung. Tangannya
menyentuh pembuluh nadi merah. Sensasi menggelitik serta-merta merambati lengannya. "Ada air di
sini," katanya. "Air sungguhan." Bob menggeram. "Sam dari kelima sungai. Darahnya." "Darahnya?"
Annabeth menjauh dari gundukan pembuluh balik terdekat. "Aku tahu seluruh sungai Dunia Bawah
bermuara ke Tartarus, tapi?" "Ya." Bob membenarkan. "Semua mengalir lewat jantungnya." Percy
menelusurkan tangan ke jejaring pembuluh kapiler. Apakah air Sungai Styx ataukah mungkin Sungai
Lethe yang mengalir di bawah jemarinya" Jika salah sate pembuluh darah itu
pecah ketika dia injak ... Percy bergidik. Dia menyadari sedang berjalan-jalan di sistem pembuluh darah
paling berbahaya di alam semesta. "Kita sebaiknya bergegas," ajar Annabeth. "Kalau kita tidak bisa ...."
Suaranya melirih. Di depan mereka, kegelapan membelah udara"seperti petir, hanya saja hitam kelam.
"Pintu itu," kata Bob. "Pasti sedang dilewati kelompok besar." Mulut Percy serasa mengecap darah
gorgon. Kalaupun teman-temannya dari Argo II berhasil menemukan sisi luar Pintu Ajal di dunia fana,
mana mungkin mereka sanggup melawan monster yang keluar gerombongan, terutama jika semua
raksasa sudah menanti mereka" "Apa semua monster ini keluar di Gerha Hades?" tanya Percy. "Sebesar
apa tempat itu?" Bob mengangkat bahu. "Barangkali mereka dikirim ke tempat lain ketika keluar. Gerha
Hantu Laut Pajang 2 Goosebumps - Kejutan Di Shock Street Hotel Majestic 2
suara bergemuruh di tanah yang dipijaknya. Leo terhuyung, tiba-tiba merasa seakan sedang berdiri di
permukaan sebuah trampolin. HARUS adalah kata yang terlalu sering dipakai. Pusaran sosok manusia
menyeruak dari pasir"dewi yang paling tidak disukai Leo, Nyonya Lumpur, Putri Limbah Pispot, Gaea
sendiri. Leo melemparkan tang ke arahnya. Sayangnya sosoknya tidak padat, dan tang itu terempas
menembusnya. Matanya terpejam, tapi dia tidak terlihat mengantuk, sepertinya. Senyum terluk is di
wajah keji berdebunya, seakan dia sedang serius menyimak lagu kesukaannya. Mantel berpasirnya
bergeser dan melipar, mengingatkan Leo akan riak sirip pada monster udang konyol yang mereka lawan
di Atlantik. Tapi, bagi Leo, Gaea lebih jelek lagi. Kau ingin hidup, ucap Gaea. Kau ingin bergabung dengan
kawan-kawanmu. Tapi kau tidak harus melakukan ini, anakku yang malang. Itu tidak akan ada bedanya.
Kawan-kawanmu akan mati, bagaimanapun juga.
Kaki Leo gemetar. Meski benci, tapi setiap kali nenek sihir ini muncul, dia merasa bagai bocah delapan
tahun lagi, terpaku di lobi toko mesin ibunya. Mendengarkan suara keji tetapi menghanyutkan Gaea
sementara ibunya terkunci di dalam gudang t erbakar, sekarat akibat hawa panas dan asap. "Yang tidak
harus kulakukan," geramnya, "adalah mendengar kebohongan lagi darimu, Wajah Comberan. Kau bilang
kakek buyutku meninggal pada 1960-an. Salah! Kau bilang aku tak bisa menyelamatkan teman-temanku
di Roma. Salah! Kau sudah banyak sekali membual." Tawa Gaea adalah suara gemeresik lembut, seperti
tanah yang berguguran ke bawah bukit di saat-saat awal menjelang longsor. Aku berusaha
membantumu membuat pilihan yang lebih haik. Kau semestinya bisa menyelamatkan dirimu sendiri.
Tapi kau malah menantangku di setiap langkah. Kau bangun kapalmu. Kau bergabung dengan misi
konyol itu. Sekarang kau terperangkap di sini, tak berdaya, sementara dunia manusia binasa. Kedua
tangan Leo membara. Dia ingin melelehkan wajah berpasir Gaea hingga menjadi kaca. Lalu dia merasa
tangan Calypso bersandar di pundaknya. "Gaea." Suaranya tegas dan stabil. "Kau tidal( diterirna di sini."
Leo berharap bisa terdengar seteguh Calypso. Lalu dia teringat I )ahwa gadis lima belas tahun
menjengkelkan ini sebenarnya adalah kekal dari seorang Titan. Ah, Calypso. Gaea mengangkat kedua
lengannya seakan ingin memberi pelukan. Masih di sini, ternyata, walau adanya janji-janji para dewa.
Menurutmu mengapa begitu, cucuku tersayang" Apakah dewa-dewi Olympia begitu mendendam,
meninggalkanmu sendiri tanpa seorang pun teman kecuali si bodoh cebol ini" Ataukah mereka hanya
telah melupakanmu karena kau tak penting untuk mereka urusi"
Mata Calypso menerawang menembus pusaran wajah Gae jauh hingga ke cakrawala. Memang, gumam
Gaea penuh iba. Dewa-dewi Olympia ta bisa dipercaya. Mereka tak pernah memberi kesempatan ked
Mengapa kau terus saja berharap" Kau mendukung ayahmu, Ad dalam pertempuran besarnya. Kau tahu
bahwa dewa-dewi me dihancurkan. Mengapa kau ragu sekarang" Aku menawarimu sebual' kesempatan
yang takkan pernah diberikan oleh Zeus. "Ke mana saja kau selama tiga ribu tahun belakangan ini?"
tanya Calypso. "Kalau kau begitu peduli dengan nasibku, mengap kau Baru mengunjungiku sekarang
ini?" Gaea mengacungkan kedua telapak tangannya. Bumi butu waktu lama untuk bangkit. Perang hadir
pada waktunya sendiri. Tapi jangan mengira perang itu akan melewatkanmu di Ogygia. Saul aku
menczptakan dunia kembali, penjara ini juga akan dihancurkan. "Ogygia dihancurkan?" Calypso
menggelengkan kepala seakan tak bisa membayangkan kedua kata itu dihubungkan. Kau tidak harus
berada di sini saat itu terjadi, Gaea menj anjika Bergabunglah denganku sekarang. Bunuh anak ini.
Tumpahka n darahnya ke atas bumi, dan bantulah aku untuk bangkit. Aku akan membebaskanmu dan
mengabulkan apa pun keinginanmu. Kebebasan. Pembalasan dendam kepada para dewa. Bahkan sebual,
hadiah. Apakah kau masih berkenan dengan Percy Jackson si and k setengah dewa" Aku akan
menyelamatkannya untukmu. Aku akan membangkitkannya dari Tartarus. Dia akan menjadi milikmu
untuk dihukum atau dicintai, apa pun pilihanmu. Hanya saja, bunuh, bocah yang telah masuk pulau
dengan tanpa izin ini. Tunjukkan loyalitasmu. Sejumlah skenario berputar-putar di benak Leo"tak add
satu pun yang bagus. Dia merasa yakin Calypso akan seger mencekiknya di tempat, atau memerintahkan
pelayan-pelayal angin tak karat matanya untuk mencacahnya hingga menjadi leo murni. Kenapa tidak" Gaea
mengajukan kesepakatan hebat ! kepadanya"bunuh satu pria menjengkelkan, dapatkan satu pria
tampan secara cuma-cuma! Calypso mengacungkan tangannya ke arah Gaea dengan Isyarat tiga-jari
yang dikenali Leo dari Perkemahan Blasteran: Isyarat penangkal kejahatan Yunani Kuno. "Ini bukan
hanya penjaraku, Nek. Ini juga rumahku. Dan kaulah yang masuk tanpa uin." Angin mencabik wujud
Gaea menjadi ketiadaan, inenghamburkan pasir ke langit biru. Leo menelan ludah tegang. "Eh, jangan
salah tanggap, tapi kau tidak membunuhku. Apa kau sudah sinting?" Mata Calypso membara dengan
amarah, tapi untuk pertama kali Leo merasa kemarahan itu tidak tertuju kepadanya. "Teman-temanmu
pasti membutuhkanmu. Kalau tidak, Gaea tidak akan menuntut kematianmu." "Aku"eh, yeah. Kurasa."
"Kalau begitu kita punya tugas untuk dikerjakan," ujarnya. "Kita harus mengembalikanmu ke kapalmu."[]
BAB LIMA PULUH DUA LEO LEO MENGIRA DIA SUDAN SIBUK sebelumnya. Saat Calypso sudah memusatkan pikirannya pada satu hal,
dia akan bergerak layaknya mesin. Dalam sehari, Calypso telah mengumpulkan perlengkapan cukup
untuk pelayaran selama seminggu"makanan, termos minum, obat-obatan herbal dari tamannya. Dia
menenun layar yang cukup besar untuk sebuah kapal pesiar kecil dan membuat tali-temali cukup untuk
keperluan selama pelayaran. Sudah begitu banyak yang dikerjakannya hingga pada hari kedua Calypso
menanyakan jika Leo memerlukan bantuan dengan proyeknya sendiri. Leo mendongak dari papan sirkuit
yang perlahan mulai Beres. "Sepertinya, kau sudah tak sabar rnengusirku." "Itu bonusnya," akunya.
Calypso sedang mengenakan pakaian untuk bekerja dengan balutan celana jin dan kaus oblong putih
kotor. Saat Leo menanyakannya tentang pergantian kostumnya, Calypso mengatakan bahwa dia baru
menyadari betapa praktisnya pakaian ini setelah membuatkannya untuk Leo.
Dalam balutan celana jin biru, dia tidak terlalu terlihat seperti seorang dewi. Kausnya dikotori rumput
dan noda tanah, seolah dia baru saja berlari menembus pusaran Gaea. Kakinya telanjang. Rambut kayu
manis panggangnya dikuncir ke belakang, yang membuat mata almond-nya tampak lebih besar dan
lebih mengesankan. Kedua tangannya sudah kapalan dan dipenuhi luka kcet akibat mengerjakan talitemali. Saat memandanginya, Leo merasa ada entakan di perutnya yang tidak bisa sepenuhnya
dijelaskannya. "Jadi?" tanya Calypso. "Jadi apa?" Calypso mengangguk ke arah papan sirkuit. "Jadi ada
yang bisa kubantu" Bagaimana hasilnya sejauh ini?" "Oh, eh, lumayan. Kurasa. Kalau aku bisa
menghubungkan alat ini ke perahu, semestinya aku bisa berlayar kembali ke dunia." "Sekarang yang kau
butuhkan hanyalah perahu." Leo mencoba membaca ekspresinya. Dia tidak yakin jika Calypso terganggu
karena dirinya masih berada di sini, atau sedih karena dia tidak akan ikut pergi berlayar juga. Kemudian
Leo memandangi semua perlengkapan yang telah dikumpulkan Calypso"jelas cukup untuk dua orang
selama beberapa hari. "Apa yang dikatakan Gaea ...." Leo meragu. "Tentang dirimu keluar dari pulau ini.
Apa kau ingin mencobanya?" "Dia merengut. "Apa maksudmu?" "Yah aku tidak bilang akan
menyenangkan berlayar bersamamu, selalu mengeluh dan memelototiku dan semacamnya. Tapi kurasa
aku bisa bertahan menghadapinya, kalau kau ingin mencoba." Rautnya sedikit melunak. "Mulia sekali,"
gumamnya. "Tapi tidak, Leo. Kalau aku mencoba ikut pergi bersamamu, peluang kecilmu untuk
melepaskan diri akan nihil sama sekali. Para dewa telah menaruh sihir di pulau ini untuk menahanku di sini. Seorang
pahlawa n pergi. Aku tidak bisa. Hal terpenting adalah membebaska agar kau bisa menghentikan Gaea.
Bukan berarti bahwa peduli tentang apa yang akan terjadi kepadamu." Dengan cepat dia menambahkan.
"Tapi, nasib dunia sedang dipertaruhkat "Mengapa kau peduli tentang itu?" tanya Leo. "Maksud setelah
terasingkan dari dunia sebegitu lama?" Dia melengkungkan alisnya seakan kaget Leo mengaju
pertanyaan yang masuk akal. "Kurasa aku tidak suka disur suruh"baik oleh Gaea maupun orang lain.
Meskipun terkadang membenci para dewa, selama lebih dari tiga miles aku mulai menyadari bahwa
mereka lebih baik dari bangsa Ti Mereka je/as lebih baik dari kaum raksasa. Setidaknya para d selalu
menjaga hubungan. Hermes selalu bersikap baik kepach Dan ayahmu, Hephaestus, sering datang
berkunjung. Dia or yang baik." Leo merasa ganjil dengan nada bicaranya yang terk( melantur. Calypso
seakan terdengar seperti sedang merest nilai dirinya, bukan ayahnya. Calypso mengulurkan tangannya
dan menutup muluti Leo tidak menyadari mulutnya menganga selama ini. "Sekarang," ujar Calypso, "apa
yang bisa kubantu?" "Oh." Leo memandangi proyeknya, tapi ketika dia bic tercetus sebuah ide yang
telah terbentuk sejak Calypso membuai baju baru untuknya. "Kau tahu pakaian antiapi itu" Apa kau
membuatkanku sebuah tas kecil dari bahan itu?" Leo menjelaskan dimensinya. Calypso mengibaskan
tangar tak sabar. "Itu hanya akan memakan waktu beberapa menit. itu akan membantu dalam misimu?"
"Yeah. Itu mungkin bisa menyelamatkan nyawa seseorang. dan em, bisakah kau mengikis sedikit
potongan kristal dari gua mu" Aku tidak butuh banyak."
Dia mengerutkan kening. "Itu permintaan yang aneh." "Hibur saja aku." "Baiklah. Anggap itu sudah
beres. Aku akan buatkan kantong than api malam ini di alas tenun, saat aku sudah bersih-bersih. apa
yang bisa kulakukan sekarang mumpung tanganku sudah kotor?" " Dia mengangkat jari-jarinya yang
kotor dan kapalan. Menurut leo tidak ada yang lebih seksi daripada seorang gadis yang tidak oberatan
mengotori tangannya. Tetapi, tentu saja itu hanyalah komentar secara umum. Tidak berlaku bagi
Calypso. Jelas. "Yah," ucapnya, "kau bisa memilin beberapa kawat perunggu lagi. Tapi itu pekerjaan yang
membutuhkan keahlian?" Calypso langsung mendesak duduk di sampingnya di bangku I mulai bekerja,
kedua tangannya menjalin kawat-kawat r unggu itu lebih cepat dari yang bisa dikerjakan Leo. "Persis icrti
menenun," ujar Calypso. "Ini tidak begitu sulit." "Heh," sahut Leo. "Yah, kalau kau pada akhirnya nanti
keluar dari pulau ini dan butuh pekerjaan, beri tahu aku. Kau tidak ceroboh." Dia menyeringai.
"Pekerjaan, yah" Membuat barang-barang di bengkelmu?" "Bukan, kita bisa mendirikan toko kita
sendiri," ujar Leo, mengagetkan dirinya sendiri. Mendirikan sebuah toko mesin selalu menjadi salah satu
impiannya, tapi dia tidak pernah memberi tahu siapa pun tentang itu. "Garasi Leo dan Calypso: Monster
Mekanik dan Reparasi Mobil." "Buah-buahan dan sayur-mayur segar," usul Calypso.
"Sari apel dan semur." Leo menambahkan. "Kira bahk bisa menyediakan hiburan. Kau bisa menyanyi dan
aku bisa, yah membakar diri sesekali." Calypso tertawa"sebuah suara yang jernih dan riang ya
membuat jantung Leo melompat. "Lihat," ujar Leo, "Aku lucu, Ian?" Calypso berhasil mematikan
senyumnya. "Kau tidak lug Sekarang, kembalilah bekerja, atau, tidak akan ada sari apel d semur." "Baik,
Nona," serunya. Mereka bekerja dalam heni. bersisian, selama sisa sore itu.
Dua malam kemudian, konsol panduan sudah jadi. Leo dan Calypso duduk di pantai, dekat titik tempat
Leo to menghancurkan meja makannya, dan mereka menyantap mal malam piknik bersama. Bulan
purnama mengubah ombak menj perak. Api unggun mereka melecutkan percikan jingga ke Ian Calypso
mengenakan kaus putih bersih dan celana jinnya, r tampaknya menjadi pilihan pakaiannya sehari-hari.
Di bukit pasir di belakang mereka, perbekalan sudah diker rapi dan siap dibawa. "Yang kita butuhkan
sekarang adalah perahu," kata Calyi Leo mengangguk. Dia berusaha untuk tidak ter memikirkan kata kita.
Calypso sudah menegaskan dia takkan it "Aku bisa mulai menebang kayu untuk membuat pa besok,"
ujar Leo. "Dalam beberapa hari, kita akan punya cul papan untuk membuat lambung kapal ukuran kecil."
"Kau pernah membangun kapal sebelumnya," ingat Calr "Argo II-mu." Leo mengangguk. Dia teringat
tentang berbulan-bulan n yang dihabiskannya untuk menciptakan Argo II. Entah meng
membuat perahu untuk berlayar dari Ogygia terasa seperti rugas yang lebih menantang. "Jadi, berapa
lama sampai kau bisa berlayar?" Nada suara Calypso terdengar ringan, tetapi dia tidak menatap
matanya. "Eh, belum pasti. Satu minggu lagi?" Entah mengapa, mengatakan itu mampu mengurangi
kegelisahan Leo. Saat tiba di sini, dia tak sabar untuk pergi. Kini, dia merasa lega masih memiliki
beberapa hari lagi. Aneh. Calypso menyapukan jemarinya sepanjang papan sirkuit yang sudah jadi. "Ini
menghabiskan banyak waktu untuk dibuat." "Kau tak bisa memburu-buru kesempurnaan." Senyurn
menyimpul di sudut mulutnya. "Ya, tapi apakah ini akan berfungsi?" "Untuk keluar, bukan masalah,"
kata Leo. "Tapi, untuk kembali lagi aku akan membutuhkan Festus dan?" Ape" Leo mengerjapkan mata.
"Festus. Naga perungguku. Begitu aim tahu cara merakitnya kembali, aku akan?" "Kau sudah pernah
memberitahuku tentang Festus," ujar Calypso. "Tapi, apa maksudmu dengan kembali lagi?" Leo
menyeringai gelisah. "Yah untuk kembali kemari, Ian" Aku yakin sudah pernah bilang sebelumnya." "Kau
jelas belum pernah bilang." "Aku tidak akan meninggalkanmu di sini! Setelah semua bantuanmu padaku
dan segalanya. Tentu saja aku akan kembali lagi. Begitu aku merakit ulang Festus, is akan mampu
menangani sistem panduan yang lebih baik. Ada sebuah astrolab yang aku, eh, ...." Dia menghentikan
ucapannya, memutuskan lebih baik tidak menyebutkan bahwa benda itu dibuat oleh salah seorang
mantan pujaan hati Calypso. "... yang kutemukan di Bologna. Begini, kurasa dengan kristal yang kau
berikan padaku?" "Kau tak bisa kembali lagi," desak Calypso. Hati Leo terempas. "Karena aku tidak diterima?" "Karena kau
tak bisa. Itu mustahil. Tidak ada seorang pi yang bisa menemukan Ogygia dua kali. Itu peraturannya."
Leo memutar matanya. "Yeah, well, kau mungkin suit menyadari aku tidak pandai menaati peraturan.
Aku ak kembali ke sini dengan nagaku, dan kita akan membawamu per I Mengantarmu ke mana pun kau
ingin pergi. Itu sudah semestiny, "Semestinya ...." Suara Calypso nyaris tak terdengar. Di bawah cahaya
api, matanya terlihat begitu sedih. Leo tak
kuasa melihatnya. Apa dia mengira Leo sedang membohongin hanya untuk menghiburnya saja" Leo
sudah menetapkan h bahwa dia akan kembali dan membebaskannya dari pulau inni Bagaimana mungkin
dia tidak melakukannya" "Kau tentu tidak mengira aku bisa mendirikan Reparasi Mo Leo dan Calypso
tanpa Calypso, Ian?" tanya Leo. "Aku tak b membuat sari apel dan semur, dan aku jelas tak bisa
menyanyi Mata Calypso menerawang ke pasir. "Yah, pokoknya," ujar Leo, "besok aku akan mulai
menebang kayu. Dan dalam beberapa hari lagi ...." Tatapan Leo tertuju ke lautan. Sesuatu mengapung di
tengah ombak. Leo memandang tak percaya saat rakit besar dari kayu mengambang di tengah
gelombang dan menyapunya hingga terhenti di pantai.
Leo terlalu terkejut untuk bergerak, tapi Calypso langsung bangkit berdiri. "Cepat!" Dia berlari menyusur
pantai, mengambil beberapa tas perbekalan, dan melarikannya ke rakit. "Aku tidak tahu berapa lama
rakit itu akan bertahan!"
"Tapi ...." Leo mematung. Kakinya seperti membatu. Baru Naja dia meyakinkan dirinya sendiri dia masih
memiliki seminggu di Ogygia. Sekarang dia bahkan tak punya waktu untuk menuntaskan makan
malamnya. "Itu rakit ajaibnya?" "Ampun deh!" teriak Calypso. "Rakit ini mungkin akan rfungsi seperti
semestinya dan mengantarkanmu ke mana pun ingin pergi. Tapi, kita tak bisa yakin. Sihir di pulau ini
jelas-jelas tak stabil. Kau harus siapkan alat panduanmu untuk navigasi." Calypso merebut konsolnya dan
berlari menuju rakit, yang tnendorong Leo bergerak. Leo membantunya mengikatkannya ke rakit dan
menghubungkan kawat dengan kemudi kecil di belakang. Rakit itu sudah dilengkapi sebuah tiang
sehingga Leo dan Calypso mengangkat layar mereka ke atas dan mulai memasang tali-temali. Mereka
bekerja berdampingan dalam harmoni sempurna. liahkan di antara para pekemah Hephaestus, Leo tidak
pernah bekerja dengan orang seintuitif gadis tukang kebun kekal ini. Sebentar saja, mereka telah
memasang layar dan menyimpan seluruh perbekalan di rakit. Leo menekan tombol-tombol di Iola
Archimedes, menggumamkan permohonan kepada ayahnya, Hephaestus, dan konsol perunggu Langit
itu pun berdengung hidup. Tali-temali dikencangkan. Layar dibalikkan. Rakit mulai mengais pasir,
berusaha menggapai ombak. "Pergilah," kata Calypso. Leo berpaling. Calypso berada begitu dekat
dengannya. Baunya seperti kayu manis bercampur asap kayu, dan dalam benaknya, Leo berpikir tidak
akan pernah menghirup aroma sewangi itu lagi. "Rakitnya akhirnya sampai juga," ucap Leo. Calypso
mendengus. Matanya seperti sembap, tetapi sulit memastikannya di bawah cahaya rembulan. "Kau baru
sadar?" "Tapi, kalau rakit ini hanya muncul untuk orang-orang yap
kau sukai?" "Jangan bermimpi dulu, Leo Valdez," ujarnya. "Aku masih
mem bencimu." "Oke." "Dan kau takkan kembali ke desaknya. "Jadi jan memberiku janji-janji kosong."
"Bagaimana kalau janji penuh?" ujar Leo. "Karena aku p akan--" Calypso menarik wajahnya dan
memberinya sebuah kecupa yang dengan efektif membungkam mulutnya. Meski sering bergurau dan
melempar rayuan, Leo belu pernah menerima kecupan seorang gadis sebelumnya. Ya kecupan saudari di
pipi dari Piper, tapi itu tidak terhitung. I adalah kecupan sungguhan. Seandainya Leo memiliki roda gigi
dan kawat-kawat di otaknya, mereka pasti sudah korsleting sekaran Calypso mendorong tubuhnya
menjauh. "Aku tidak per mengecupmu."
"Oke." Suaranya terdengar satu oktaf lebih tinggi dari biasa. "Pergi dari sini." "Oke." Calypso berpaling,
menyeka matanya dengan kesal, bergegas kembali ke pantai, angin mengacak-acak rambutnya. Leo
ingin memanggilnya, tetapi layarnya menangkap angin berkekuatan penuh, dan rakitnya menjauh dari
pantai. Dia berusaha menyelaraskan konsol panduan. Pada scat Leo menoleh ke belakang, Pulau Ogygia
hanya segaris gelap di kejauhan, api unggun mereka berdenyut seperti sebuah jantung jingga kecil.
Kecupan itu masih terasa.
Itu tidak terjadi, Leo membatin sendiri. Aku tidak bisa jatuh enta dengan seorang gadis kekal. Dia jelas
tak bisa jatuh cinta lenganku. Tidak mungkin. Selagi rakitnya meluncur di air, mengantarnya kembali ke
dunia manusia, dia menjadi lebih mengerti makna dari sebaris Ramalan"Sumpah yang ditepati hingga
tarikan napas penghabisan. Dia mengerti betapa bisa berbahayanya sebuah sumpah itu. Tapi Leo tidak
peduli. "Aku akan kembali untuk menjemputmu, Calypso," serunya kepada angin malam. "Aku
bersumpah atas Sungai Styx."[]
BAB LIMA PULUH TIGA ANNABETH ANNABETH TIDAK PERNAH TAKUT GELAP. Tapi, kegelapan lazimnya tidak setinggi dua betas metci.
Kegelapan biasanya tidak bersayap hitam, membawa pecut yang terbuat dari bintang-bintang, dan
menaiki kereta perang Liam yang dihela oleh kuda vampir. Nyx hampir-hampir tidak bisa dicerna oleh
indra. Menjulang tinggi di atas jurang, sosoknya seperti arang dan asap yang teraduk-aduk, berukuran
sebesar patung Athena Parthenos, tetapi hidup. Gaunnya hitam pekat bercampur warna nebula angkasa
luar, seolah-olah galaksi dilahirkan di kembannya. Wajahnya sulit dilihat terkecuali titik-titik matanya,
yang bersinar seperti kuasar. Ketika sayapnya mengepak, gelombang kegelapan bergulung-gulung di
balik tebing, membuat Annabeth merasa lesu dan mengantuk lagi, penglihatannya mengabur. Ke'reta
perang sang dewi terbuat dari material yang sama dengan bahan pedang Nico di Angelo"besi Stygian"
dan dihela oleh dua kuda mahabesar bertubuh serbahitam terkecuali taring tajam mereka yang
berwarna perak. Tungkai makhluk tersebut
mengapung di kehampaan, berubah dari padat menjadi asap selagi hergerak. Kedua kuda menggeram
dan memamerkan taring mereka kepada Annabeth. Sang dewi mencambukkan pecutnya"selarik
deretan bintang yang menyerupai kawat berduri berlian"dan kedua kuda itu pun mendompak ke
belakang.. jangan, Temaram," kata sang dewi. "Diam, Bayangan. hadiah kecil ini bukanlah untuk kalian."
Percy memandangi kedua kuda itu selagi mereka meringkik. Dia masih berselubung Kabut Ajal sehingga
penampilannya menyerupai mayat buram"membuat hati Annabeth ngilu tiap kali melihatnya. Samaran
tersebut pasti kurang bagus sebab Nyx jelas-jelas bisa melihat mereka. Annabeth kurang bisa membaca
ekspresi di wajah tirus Percy. kupanya Percy tidak menyukai perkataan kedua kuda. "Eh, jadi kau takkan
membiarkan mereka memakan kami?" tanya Percy kepada sang dewi. "Mereka sangat ingin memakan
kami." Mata kuasar Nyx berkilat-kilat. "Tentu saja. Aku takkan membiarkan kudaku memakan kalian,
sebagaimana aku takkan memperbolehkan Akhlys membunuh kalian. Hadiah sebagus ini setengah mati
ingin kubunuh sendiri!" Annabeth sedang tidak merasa berani ataupun ingin berkelakar, tapi instingnya
menyuruhnya mengambil inisiatifkalau tidak mau percakapan ini usai dalam waktu singkat. "Oh, jangan
mati!" seru Annabeth. "Kami tidak semenakutkan
itu. Sang dewi menurunkan pecutnya. "Apa" Bukan, maksudku bukan",,
"Wah, aku harap tidak!" Annabeth memandang Percy dan memaksa diri untuk tertawa. "Kita tidak ingin
menakut-nakutinya, kan?" "Ha, ha," kata Percy lemah. "Tentu saja tidak." Kedua kuda vampir kelihatan
bingung. Mereka mendompak dan mendengus serta saling membenturkan kepala gelap mereka. Nyx
menarik tali kekang kudanya. "Tahukah kalian siapa aku?" Dia menuntut jawaban. "Kutebak kau ini
Malam," kata Annabeth. "Aku tahu, soalnya, kau gelap dan sebagainya, walaupun brosur tidak
menyebut-nyebut tentang kau." Mata Nyx berkedip sesaat. "Brosur apa?" Annabeth menepuk-nepuk
sakunya. "Kita bawa brosur, Ian?" Percy menjilat bibirnya. "He-eh." Dia masih memperhatikan para kuda,
tangannya mencengkeram gagang pedang erat-erat,, tetapi dia cukup pintar untuk mengikuti lagak
Annabeth saja. Kini Annabeth hanya bisa berharap semoga dia tidak memperparah keadaan walau
sejujurnya, menurutnya keadaan tidak mungkin menjadi lebih parah daripada sekarang. "Pokoknya,"
tukas Annabeth, "aku kira brosur itu tidak banyak menyebut-nyebut tentang kau karena kau bukan daya
tarik utama dalam tur ini. Kami berkesempatan melihat Sungai Phlegethon, Cocytus, para arai, taman
beracun Akhlys, bahkan beberapa Titan dan raksasa, tapi Nyx hmmm, tidak, kau tidak termasuk objek
wisata." "Daya tarik utama" Objek wisata?" "Iya," kata Percy, menindaklanjuti bualan Annabeth. "Kami
ke bawah sini untuk mengikuti tur Tartarus"yang termasuk destinasi wisata eksotis, kau tahu, Ian"
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dunia Bawah tempatnya norak. Gunung Olympus terlalu mahal buat turis?"
"Demi dewa-dewi, aku setuju!" Annabeth sepakat. kami memesan paket perjalanan ke Tartarus, tapi tak
ada yang mengungkit-ungkit bahwa kami bakal bertemu Nyx. Begitulah. 'epertinya menurut mereka kau
ini tidak penting." "Tidak penting!" Nyx melecutkan cambuk. Kuda-kudanya menandak dan
mengertakkan taring perak mereka. Gelombang kegelapan mengempas dari jurang, membuat perut
Annabeth mulas, tetapi dia tidak boleh menunjukkan rasa takutnya. Annabeth menekan lengan Percy
yang memegang pedang, memaksanya untuk menurunkan senjata. Dewi ini lebih perkasa daripada siapa
pun yang pernah mereka hadapi. Nyx lebih tua daripada dewa-dewi Olympia, Titan, atau raksasa mana
pun, bahkan lebih tua daripada Gaea. Dia mustahil dikalahkan oleh dua demigod"setidaknya mustahil
apabila kedua demigod itu menggunakan kekerasan. Annabeth menolehkan wajah untuk menatap muka
gelap mahabesar sang dewi. "Coba saja hitung sendiri, berapa banyak demigod lain yang pernah kau
lihat mengikuti tur?" tanya Annabeth polos. Tangan Nyx mengendurkan genggamannya di tali kekang.
"Nol. Tak satu pun. Ini tidak bisa diterima!" Annabeth mengangkat bahu. "Mungkin penyebabnya karena
kau tidak pernah melakukan apa pun yang pantas masuk berita. Maksudku, lihat saja Tartarus! Aku bisa
mengerti bahwa dia memang penting! Seisi tempat ini dinamai dari namanya! Atau, kalau kami bisa
bertemu Siang?" "Oh, iya ya." Percy menimpali. "Siang" Dia pasti mengesankan. Aku mau sekali
bertemu dengannya. Mungkin minta tanda tangannya juga."
"Siang!" Nyx mencengkeram pagar kereta perang hitamnya, Kendaraan itu sontak berguncang.
"Maksudmu Hemera" Dia itu putriku! Malam jauh lebih perkasa daripada Siang!" "Eh, masa sih?" tukas
Annabeth. "Aku lebih suka arai, atau malah Akhlys." "Mereka itu anak-anakku juga!" Percy pura-pura
menahan kuap. "Anakmu banyak, ya?" "Aku adalah ibu segala bentuk kengerian!" pekik Nyx. "Moirae!
Hecate! Usia tua! Rasa sakit! Lelap! Matt! Dan segala jenis kutukan! Saksikan betapa pantasnya aku
masuk berita!"[] BAB LIMA PULUH EMPAT ANNABETH NYX MELECUTKAN CAMBUKNYA LAGI. KEGELAPAN memekat di sekelilingnya. Di satu sisi, muncullah
pasukan bayang-bayang: arai bersayap gelap, yang Annabeth jumpai lagi dengan enggan; nenek-nenek
keriput yang pasti adalah Geras, dewi usia tua; dan seorang wanita lebih muda yang mengenakan toga
hitam, matanya menyala-nyala dan senyumnya mirip pembunuh berantai--tak diragukan lagi adalah Eris,
dewi pertikaian. Semakin banyak yang bermunculan: lusinan iblis dan dewa minor, semuanya adalah
pinak sang Malam. Annabeth ingin lari. Dia menghadapi kawanan seram yang mampu menghancurkan
kewarasan siapa saja. Tapi jika lari, dia pasti math Di sebelah Annabeth, Percy bernapas pendek-pendek.
Meskipun sang pacar masih seperti mayat hidup berselubung kabut, Annabeth tahu bahwa Percy sudah
di ambang kepanikan. Annabeth hams bersikap gagah demi mereka berdua. Aku ini putri Athena,
pikirnya. Akulah yang mengendalikan pikiranku sendiri.
Annabeth mengubah pola pikirnya. Dia berkata dalam hati bahwa yang dia saksikan hanyalah semacam
film"film seram, betul, tapi tidak bisa menyakitinya. Dialah yang pegang kendali. "Iya, memang tidak
jelek." Annabeth mengakui. "Barangkali tidak ada salahnya kami memotret kau dan anak-anakmu satu
kali supaya foto kalian bisa kami simpan di buku kenangan, tapi bagaimana, ya" Kalian terlalu gelap.
Kalaupun menggunakan lampu kilat, aku tidak yakin kalian bisa terfoto." "i-iya." Percy berhasil berbicara.
"Kalian tidak fotogenik." "Dasar"turis"kurang ajar!" desis Nyx. "Berani-beraninya kalian tidak gemetar
di hadapanku! Berani-beraninya kalian tidak merengek dan mengemis demi memohon tanpa tangan
serta fotoku untuk disimpan di buku kenangan kalian! Kalian menginginkan yang layak masuk berita"
Putraku Hypnos pernah membuat Zeus terlelap! Ketika Zeus mengejarnya ke seberang dunia, bertekad
untuk membalas dendam, Hypnos bersembunyi dalam istanaku, dan Zeus tidak mengikuti. Raja Olympus
sekalipun takut padaku!" "Oke deh." Annabeth menoleh kepada Percy. "Sudah slang. Kita sebaiknya
makan di restoran yang direkomendasikan buku panduan wisata. Kemudian kita bisa mencari Pintu
Ajal." "Aha!" Nyx memekik penuh kemenangan. Bayangan anak-anaknya bergejolak dan menggemakan:
"Aha! Aha!" "Kalian bermaksud melihat Pintu Ajal?" tanpa Nyx. "Letaknya di jantung Tartarus. Manusia
fana seperti kalian tidak mungkin mencapai tempat itu, terkecuali lewat koridor istanaku"Puri Malam!"
Nyx memberi isyarat ke belakangnya. Di kehampaan, barangkali sembilan puluh meter di bawah,
terapung-apunglah ambang pintu dari marmer hitam yang mengarah ke semacam ruangan besar.
Jantung Annabeth berdebar-debar kencang sekali sehingga denyutnya terasa sampai di jari kaki. Itulah
jalan yang mesti mereka tempuh"tapi letaknya amat jauh di bawah. Andai meloncat dan meleset,
mereka akan terperosok ke dalam Khaos dan tercerai-berai hingga meniada"kematian paripurna tanpa
kehidupan berikutnya. Kalaupun mereka bisa melompat, dewi Malam dan anak-anaknya yang paling
menakutkan bakal menghalangi jalan. Dalam sekejap, Annabeth tersentak saat menyadari apa yang
mesti terjadi. Seperti semua yang pernah dia lakukan, peluangnya kecil. Bisa dibilang, kesadaran
tersebut ju.stru membuatnya tenang. Ide gila di hadapan maut" Oke, tubuhnya yang mulai relaks seolah
berkata. Yang begini sudah biasa. Annabeth lantas mendesah bosan. "Kurasa kami bisa memfotomu satu
kali, tapi foto bersama sepertinya kurang pas. Nyx, bagaimana kalau kau berfoto dengan anak
kesayanganmu" Yang mana?" Anak pinak sang dewi bergejolak. Lusinan mata berbinar-binar nan
mengerikan menoleh ke arah Nyx. Sang dewi berjengit tidak nyaman, seolah kereta perangnya
memanas di bawah kakinya. Kuda bayangan mendengus dan mencakar-cakar kehampaan. "Anak
kesayanganku?" tanyanya. "Semua anakku menye-ramkan!" Percy mendengus. "Serius" Aku pernah
bertemu Moirae. Aku pernah bertemu 'Thanatos. Mereka tidak seram-seram amat. Pasti ada satu di
antara kerumunan ini yang lebih menakutkan daripada mereka." "Yang terkelam," kata Annabeth. "Yang
paling mirip kau." "Akulah yang terkelam," desis Eris. "Perang dan pertikaian! Aku menuai segala macam
kematian!" "Aku malah lebih kelam!" Geras menggeram. "Aku mem-buramkan mata dan mengeruhkan pikiran. Tiap
manusia fana takut akan usia tua!" "Iya deh, terserah," ujar Annabeth, berusaha mengabaikan giginya
yang bergemeletuk. "Yang kulihat masih kurang kelam. Kalian anak-anak Malam! Tunjukkan yang gelap
segelap-gelapnya!" Kawanan arai melolong, mengepakkan sayap liat mereka dan mengaduk-aduk
gumpalan kegelapan. Geras mengulurkan tangan keriputnya dan semakin menggelapkan jurang. Eris
mengembuskan semprotan mimis ke kehampaan. "Aku yang terkelam!" desis salah satu iblis. "Bukan,
aku!" "Bukan! Saksikan betapa kelamnya aku!" Jika seribu gurita raksasa menyemprotkan tinta secara
bersamaan, di dasar laut terdalam dan paling tidak dijangkau sinar matahari, suasananya barangkali
masih kalah gelap. Annabeth merasa tak ubahnya orang buta. Dia menggenggam tangan Percy dan
menguatkan nyalinya. "Tunggu!" seru Nyx, mendadak panik. "Aku tidak bisa melihat apa-apa." "Ya!"
teriak salah satu anaknya dengan bangga. "Itu hasil karyaku!" "Bukan, aku!" "Bodoh, itu berkat aku!"
Lusinan suara bertengkar dalam kegelapan. Kuda-kuda meringkik waswas. "Hentikan!" bentak Nyx. "Kaki
siapa itu?" "Eris memukulku!" jerit seseorang. "Ibunda, suruh dia berhenti memukulku!" "Aku tidak
memukulmu!" sergah Eris. "Aduh!"
Suara bentrokan semakin berisik. Jika mungkin, kegelapan malah menjadi kian pekat. Mata Annabeth
melebar sekali sampai-sampai serasa ditarik dari rongganya. Diremasnya tangan Percy. "Siap?" "Siap
apa?" Setelah jeda sejenak, Percy menggeram tidak senang. "Demi celana dalam Poseidon, kau tidak
mungkin serius." "Berl aku penerangan!" jerit Nyx. "Bah! Aku tidak percaya baru saja mengatakan itu!"
"Ini tipuan!" teriak Eris. "Kedua demigod itu melarikan diri!" "Kutangkap mereka," jerit seorang arai.
"Bukan, itu leherku!" kata Geras tercekik. "Lompat!" kata Annabeth kepada Percy. Mereka melompat ke
kegelapan, membidik ambang pintu yang jauh sekali di bawah.[]
BAB LIMA PULUH LIMA ANNABETH SETELAH MEREKATERJERUMUS DALAM TARTARUS, lompatan sejauh sembilan puluh meter ke Puri
Malam semestinya terasa cepat. Namun, jantung Annabeth serasa melambat. Di antar detak jantungnya,
dia punya waktu berlirnpah untuk menuliskan obituarinya sendiri. Annabeth Chase, meninggal di usia 17.
DEG. (Dengan asumsi bahwa hari ulang tahunnya, 12 Juli, sudah berlalu sewaktu dia di Tartarus; tetapi
sejujurnya, dia tidak tahu
pasti.) DEG. Meninggal karena luka-luka berat setelah melompat seperti orang dungu ke kehampaan Khaos dan
tergolek remuk di lantai lobi istana Nyx.
DEG. Almarhumah meninggalkan ayah, ibu tiri, dan dua adik tiri
laki-laki yang nyaris tidak dia kenal.
DEG. Alih-alih rnengirim bunga, silakan sampaikan donasi Anda untuk Perkemahan Blasteran, kalau Gaea
belum menghancurkan tempat itu. Kaki Annabeth menumbuk lantai padat. Rasa nyeri menjalari
tungkainya, tetapi dia terhuyung-huyung ke depan dan serta-merta berlari sambil menarik Percy. Di atas
mereka, di kegelapan, Nyx dan anak-anaknya tergopoh-gopoh serta berteriak, "Kutangkap mereka!
Kakiku! Stop!" Annabeth terus berlari. Karena tidak bisa melihat apa-apa, dipejamkannya matanya.
Annabeth menggunakan indranya yang lain"rnendengarkan gema ruang terbuka, merasakan desir
angin dari samping di wajahnya, mengendus-endus untuk membaui bahaya--asap, racun, atau bau
badan iblis. Ini bukanlah kali pertama Annabeth terperosok dalam kegelapan. Dia membayangkan
dirinya kembali ke terowongan di bawah Roma, mencari-cari Athena Parthenos. Jika diingat-ingat,
perjalanannya ke gua Arachne seperti pelesir ke Disneyland saja. Bunyi pertengkaran anak-anak Nyx
semakin lirih. Ini pertanda bagus. Percy masih berlari di sampingnya, memegangi tangannya. Ini juga
bagus. Di kejauhan di depan mereka, Annabeth mulai mendengar bunyi berdegup, seperti gema detak
jantungnya sendiri, berkumandang amat dahsyat sampai-sampai lantai di bawah kaki mereka ikut
bergetar. Bunyi itu membuat Annabeth ngeri, dan dia pun menyimpulkan bahwa arahnya sudah benar.
Dia lari ke arah tersebut. Saat degup itu semakin kencang, Annabeth mencium bau asap dan mendengar
retihan obor di kanan-kiri. Dia menebak keberadaan cahaya, tetapi bulu kuduknya yang merinding
memperingatkan bahwa membuka mata adalah tindakan keliru.
"Jangan melihat." Annabeth memberi tahu Percy. "Tidak berencana untuk itu," kata Percy. "Kau bis;i
merasakannya, Ian" Kita masih di Puri Malam. Aku tidak mat! melihat." Anak pintar, pikir Annabeth.
Annabeth kerap menggoda Percy karena kebodohannya, tapi sebenarnya, insting Percy biasanya tepat.
Kengerian apa pun yang tersembunyi di dalam Puri Malam, semuanya itu tidak boleh dilihat oleh mata
manusia. Melihat kengerian tersebut niscaya lebih buruk daripada menatap wajah Medusa. Lebih balk
lari di kegelapan. Bunyi berdenyut semakin keras, merambatkan geto ran sampai ke tulang belakang
Annabeth. Kesannya seolah ada yang menggedor-gedor dasar bumi, minty diperkenankan masuk.
Annabeth merasakan terbukanya ruang di kanan-kiri mereka. Udara kini beraroma lebih segar"atau
setidaknya kurang beraroma belerang ketimbang sebelumnya. Ada bunyi lain juga, lebih dekat daripada
degup yang membahana bunyi air mengalir. Jantung Annabeth berdebar-debar kencang. Dia tahu jalan
keluar sudah dekat. Jika mereka bisa keluar dari Puri Malam, mungkin mereka bisa meninggalkan
kawanan iblis kelam di belakang. Annabeth mulai berlari lebih cepat, yang akhirnya akan mengantarnya ke kematian kalau
Percy tidak menghentikannya.[]
BAB LIMA PULUH ENAM ANNABETH ANNNABETH!" PERCY MENARIKNYA KE BELAKANG tepat scat kakinya menginjak bibir jurang. Dia hampir
terjungkal ke depan, entah ke dalam apa, tapi Percy memeganginya dan mendekapnya. "Tidak apa-apa."
Percy meyakinkan. Annabeth merapatkan wajahnya ke baju Percy dan terus memejamkan mata rapatrapat. Dia gemetaran, tapi bukan cuma karena takut. Pelukan Percy teramat hangat dan menenangkan
sehingga Annabeth ingin berdiam di sana selamanya, aman dan terlindung tapi dia harus kembali ke
kenyataan. Dia tidak boleh bersantai-santai. Dia tidak boleh mengandalkan Percy lebih dari sekarang.
Percy membutuhkan Annabeth juga. "Makasih ...." Annabeth melepaskan diri dengan lembut dari
pelukan Percy. "Tahukah kau di depan ada apa?" `Air," jawab Percy. "Aku masih belum membuka mata.
Menurutku belum aman." "Setuju." 'Aku bisa merasakan adanya sungai atau mungkin parit. Alirannya
menghadang jalan kita, mengalir dari kiri ke kanan
lewat saluran yang terukir di batu. Sisi seberang berjarak sekitar enam meter dari sini." Annabeth
mengomeli diri sendiri dalam hati. Dia mendengar aliran air, tapi dia tidak pernah mempertimbangkan
kemungkin an bahwa dirinya justru lari ke sana. "Adakah jembatan atau?" "Kurasa tidak," kata Percy.
"Selain itu, ada yang tidak beres pada sungai ini. Dengarkan." Annabeth berkonsentrasi. Di antara bunyi
arus yang menderu, ribuan suara berseru-seru"menjerit-jerit merana, memohon-mohon belas kasihan.
Tolong! erang mereka. Aku tidak sengaja! Sakitnya! lolong suara mereka. Hentikan! Annabeth tidak
membutuhkan matanya untuk membayangkan sungai itu"aliran hitam kental berisi jiwa-jiwa tersiksa
yang terhanyut kian jauh ke dalam Tartarus. "Sungai Acheron," tebak Annabeth. "Sungai kelima di Dunia
Bawah. "Aku lebih suka Phlegethon daripada ini," gumam Percy. "Ini Sungai Kepedihan. Hukuman
terberat untuk jiwa-jiwa yang terkutuk"terutama pembunuh." Pembunuh! Sungai itu meraung. Ya,
seperti kalian! Bergabunglah dengan kami, bisik suara lain. Kahan tidak lebih baik daripada kami. Kepala
Annabeth dibanjiri bayangan akan semua monster yang telah dia bunuh bertahun-tahun ini. Itu bukan
pembunuhan, protes Annabeth. Aku membela diri! Gambaran dalam benak Annabeth berubah"
menunjukinya. Zoe Nightshade, yang terbunuh di Gunung Tamalpais karena dia datang untuk
menyelamatkan Annabeth dari para Titan.
Dia melihat kakak Nico, Bianca di Angelo, yang mati tertindih Talos si raksasa logam, karena dia juga
mencoba menyelamatkan Annabeth. Michael Yew dan Silena Beauregard ... yang meninggal dalam
Pertempuran Manhattan. Kau bisa mencegahnya, kata sungai itu kepada Annabeth. Kau semestinya
mencari cara yang lebih baik. Yang paling menyakitkan: Luke Castellan. Annabeth ingat akan darah Luke
di belatinya ketika pemuda itu mengorbankan diri demi mencegah Kronos menghancurkan Olympus.
Tanganmu bersi.mbah darahnya! rasing sungai itu. Semestinya ada cara lain! Annabeth sendiri berkalikali menekuri pemikiran yang sama. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa kematian Luke bukanlah
salahnya. Luke telah memilih takdirnya sendiri. Meski begitu Annabeth tidak tahu apakah jiwa Luke telah
menemukan kedamaian di Dunia Bawah, apakah dia telah dilahirkan kembali, atau malah terhanyut ke
dalam Tartarus karena dosa-dosanya. Siapa tahu Luke termasuk di antara suara-suara tersiksa yang
melintas di sungai saat ini. Kau membunuhnya! pekik sungai tersebut. Terjunlah ke sini dan rasakan juga
hukumannya! Percy mencengkeram lengan Annabeth. "Jangan dengarkan." "Tapi?" "Aku tahu." Suara
Percy getir. "Mereka menyampaikan hal-hal yang sama kepadaku. Kurasa kurasa parit ini adalah batas
wilayah Malam. Kalau kita bisa menyeberang, kita bakal baik-baik saja. Kita harus melompat." "Kau
bilang jaraknya enam meter!" "Iya. Pokoknya, kau harus percaya padaku. Peluk leherku dan
berpeganglah erat-erat."
"Mana mungkin kau bisa?" "Di sana!" teriak sebuah suara di belakang mereka. "B turis-turis tidak tahu
terima kasih itu!" Anak-anak Nyx telah menemukan mereka. Annabeth memeluk leher Percy. "Ayo!"
Karena matanya terpejam, Annabeth hanya bisa menebak-nebak bagaimana kiranya Percy melompat.
Mungkin Percy entail bagaimana menggunakan energi dari sungai. Mungkin saking takutnya, tubuh
Percy terpacu adrenalin. Percy melompat sekuat tenaga melebihi yang Annabeth kira mungkin. Mereka
meluncur di udara sementara sungai bergolak dan meraung di bawah mereka, memuncratkan air
memedihkan ke pergelangan kaki Annabeth yang telanjang. Kemudian"BRUK Mereka kembali berada
di tanah padat. "Kau boleh membuka mata," kata Percy sambil tersengal-sengal. "Tapi, kau takkan
menyukai yang kau lihat." Annabeth berkedip. Setelah gelapnya Nyx, pendar merah redup Tartarus
sekalipun terasa menyilaukan. Di hadapan mereka terbentanglah lembah yang cukup besar untuk
menampung Teluk San Fransisco. Bunyi menggelegar menguar di sepenjuru bentang alam, seolah-olah
guntur tengah membahana dari bawah tanah. Di balik kepulan asap beracun, lahan yang naik-turun
berkilau ungu dan berparut-parut merah serta biru tua seperti bekas luka. "Kelihatannya seperti ...."
Annabeth berjuang melawan rasa mual. "Seperti jantung raksasa." "Jantung Tartarus," gumam Percy.
Bagian tengah lembah diselimuti bintik-bintik berupa bulu hitam halus. Jaraknya jauh sekali sehingga
Annabeth butuh waktu untuk menyadari bahwa dia sedang melihat sebuah pasukan"ribuan, barangkali
puluhan ribu monster, yang berkumpul
mengelilingi titik kegelapan sentral. Karena jaraknya terlalu jauh, Annabeth tidak bisa melihat secara
terperinci, tetapi dia tidak ragu apa titik sentral itu sesungguhnya. Bahkan dari tepi lembah, Annabeth
bisa merasakan kekuatan yang menarik-narik jiwanya. "Pintu Ajar "Iya." Suara Percy serak. Mimik
mukanya masih sepucat dan setirus mayat artinya, Percy pasti masih merasa kepayahan seperti
Annabeth. Annabeth menyadari bahwa dia sudah melupakan para pengejar mereka. "Nyx ke mana?" Dia
menoleh ke belakang. Entah bagaimana, mereka berhasil mendarat beberapa ratus meter dari bantaran
Acheron, yang mengalir di saluran yang membelah bukit vulkanik hitam. Di seberang sungai, tidak ada
apa-apa selain kegelapan. Tanda-tanda pengejaran juga tidak ada. Rupanya anak buah Malam sekalipun
tidak suka menyeberangi Acheron. Annabeth hendak menanyai Percy bagaimana dia bisa melompat
sejauh itu ketika Annabeth mendengar bunyi longsoran batu di lereng sebelah kiri mereka. Dicabutnya
pedang tulang drakon. Percy menghunus Riptide. Mahkota rambut putih cemerlang muncul di atas
bubungan, diikuti oleh wajah nyengir bermata perak kemilau yang sudah tidak asing lagi. "Bob?"
Annabeth melompat saking bahagianya. "Puji syukur kepada dewa-dewi!" "Teman-Teman!" Sang Titan
tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Ijuk sapunya gosong. Seragam petugas kebersihannya robekrobek bekas dicakar, tapi dia kelihatan gembira. Di bahunya, Bob Kecil si anak kucing mendengkur
hampir sekeras denyut jantung Tartarus.
"Aku menemukan kalian!" Bob mendekap Annabeth dan Percy, pelukannya nyaris mematahkan iga
mereka berdua. "Kalian seperti orang mati berasap. Itu bagus!" "Aduh," tukas Percy. "Bagaimana kau
bisa sampai di sini" Lewat Puri Malam?" "Bukan, bukan." Bob menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Tempat itu terlalu menyeramkan. Lewat jalan lain"hanya bisa dilewati Titan dan sebangsanya." "Biar
kutebak," kata Annabeth. "Kau berjalan menyamping." Bob menggaruk-garuk dagunya, kentara sekali
kehilangan kata-kata. "Hmm. Tidak. Lebih tepatnya ... diagonal." Annabeth tertawa. Mereka sudah
berada di jantung Tartarus, menghadapi pasukan yang mustahil dikalahkan"Annabeth bersedia
menghibur diri dengan apa pun yang tersedia. Dia bersyukur sekali karena Bob sang Titan telah kembali
bersama mereka. Dikecupnya hidung mahabesar Bob, alhasil membuat sang Titan mengejapkan mata.
"Kita sekarang sama-sama?" tanya Bob. "Ya." Annabeth sepakat. "Waktunya mencari tahu apakah Kabut
Ajal memang ampuh." "Dan kalau tidak ...," Percy terdiam. Tiada gunanya bertanya-tanya soal itu.
Mereka hendak berderap ke tengah-tengah pasukan musuh. Jika tepergok, matilah mereka. Meski
begitu, Annabeth masih mampu tersenyum. Tujuan mereka sudah di depan mata. Mereka didampingi
Titan pembawa sapu dan seekor anak kucing yang sangat berisik. Kekuatan tempur mereka tentunya
tidak bisa diremehkan. "Pintu Ajal," kata Annabeth, "kami datang."[]
BAB LIMA PULUH TUJUH JASON JASON TIDAK YAKIN MESTI MENGHARAPKAN apa: badai atau api. Selagi menanti audiensi hariannya
dengan penguasa Angin Selatan, dia mencoba memutuskan kepribadian sang dewa yang manakah,
Romawi atau Yunani, yang lebih jelek. Setelah lima hari di istana, Jason hanya merasa pasti akan saw
hal: kecil kemungkinannya Jason beserta awak kapalnya bakal keluar dari sini hidup-hidup. Dia
menjulurkan badan sambil bersandar ke pagar balkon. Udara teramat panas dan kering, seakan
menyedot kelembapan dari paru-parunya. Sepekan terakhir ini, kulitnya telah bertambah gelap.
Rambutnya menjadi seputih rambut jagung. Kapan pun dia menengok ke cermin, Jason terperanjat
menyaksikan ekspresi liar dan pampa di matanya, seolah dirinya menjadi buta sehabis luntang-lantung
di gurun. Tiga puluh meter di bawah, perairan teluk berkilau di batik pantai berbentuk sabit yang
dihampari pasir merah. Mereka tengah
berada di pesisir utara Afrika. Cuma itu yang diberitahukan roh-roh angin kepada mereka. Istana itu
sendiri terbentang di kanan-kiri Jason"jejaring rumit koridor dan terowongan, balkon, deretan pilar,
dan ruang-ruang lapang yang terukir di tebing batu paras, semuanya didesain sedemikian rupa sehingga
angin bisa berembus melewati sepanjang istana dan menghasilkan kegaduhan sekeras mungkin. Bunyi
mirip organ pipa mengingatkan Jason akan istana terapung Aeolus di Colorado, hanya saja di sini angin
sepertinya tidak terburu-buru. Itulah yang justru merupakan bagian dari masalah. Di hari-hari terbaik,
ventus selatan lamban dan pemalas. Di hari-hari terburuk, mereka marah-marah dan berembus
sesukanya. Para roh angin selatan mulanya menyambut Argo II, sebab musuh Boreas adalah kawan
Angin Selatan, tetapi mereka tampaknya sudah lupa bahwa para demigod adalah tamu mereka. Kaum
ventus segera saja kehilangan minat untuk membantu memperbaiki kapal. Suasana hati raja mereka
kian hari kian jelek. Di geladak kapal, kawan-kawan Jason sedang bekerja di Argo II. Layar utama telah
diperbaiki, tali-ternali sudah diganti. Kini mereka sedang memperbaiki dayung. Tanpa Leo, tak seorang
pun dari mereka tahu caranya memperbaiki komponen-komponen kapal yang lebih rumit, sekalipun
mereka dibantu Buford si meja dan Festus (yang sekarang menyala permanen berkat charmspeak
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Piper"entah bagaimana). Tapi, mereka terus berusaha. Hazel dan Frank berdiri di batik roda kemudi
kapal, sedang mengutak-atik panel kontrol. Piper menyampaikan perintah mereka kepada Pak Pelatih
Hedge, yang bergelantungan di samping kapal sambil menggetok-getok dayung yang penyok. Pekerjaan
menggetok memang cocok untuk Hedge.
Upaya reparasi kapal sepertinya tidak menemui banyak kemajuan, tapi mengingat apa saja yang sudah
mereka lalui, ajaib bahwa kapal tersebut masih utuh. Jason bergidik saat memikirkan serangan Khione.
Dia telah dibuat tak berdaya"dibekukan menjadi es, bukan hanya sekali tapi dua kali, sementara Leo
dilemparkan ke langit dan Piper terpaksa menyelamatkan mereka semua seorang diri. Puji syukur
kepada dewa-dewi atas kenja keras Piper. Gadis itu patah arang karena dirinya gagal menghentikan
meledaknya born angin; tetapi sesungguhnya, Piper telah menyelamatkan seluruh awak kapal dari nasib
sebagai patung es di Quebec. Piper juga berhasil mengarahkan ledakan bola es itu sehingga, walaupun
kapal terdorong melintasi setengah Laut Mediterania, kerusakan yang diderita kapal tersebut relatif
kecil. Di geladak, Hedge berteriak, "Coba sekarang!" Hazel dan Frank menarik teas. Dayung kiri langsung
menggila, bergerak naik-turun dan bergelombang. Pak Pelatih Hedge mencoba berkelit, tapi salah satu
dayung menghajar pantatnya dan melontarkannya ke udara. Sang satin jatuh sambil menjerit dan
tercebur ke teluk. Jason mendesah. Kalau begini terus, mereka takkan bisa berlayar sekalipun ventus
selatan mengizinkan. Di suatu tempat di utara, Reyna sedang terbang ke Epirus; dengan asumsi bahwa
dia memperoleh surat Jason di Istana Diocletian. Leo hilang dan sedang kesulitan. Percy dan Annabeth
mereka mungkin masih hidup dan tengah menuju Pintu Ajal. Jason tidak boleh mengecewakan mereka.
Bunyi berdesin membuatnya menoleh. Nico di Angelo berdiri di bayang-bayang pilar terdekat. Anak itu
telah menanggalkan jaketnya. Sekarang dia hanya mengenakan kaus hitam dan celana
jin hitam. Pedang dan tongkat Diocletian tersandang di kanan-kiri sabuknya. Berhari-hari di bawah
terpaan matahari terik tidak menggelapkan kulit Nico. Sebaliknya, dia justru kelihatan semakin pucat.
Rambut hitamnya menjuntai ke depan mata. Wajahnya masih kuyu, tapi kondisinya jelas-jelas sudah
lebih baik daripada scat mereka meninggalkan Kroasia. Berat badan Nico sudah bertambah sehingga dia
tidak lagi tampak bagai korban kelaparan. Lengannya tegang berotot, seakan dia telah menghabiskan
seminggu ini untuk berlatih pedang. Siapa tahu, Nico mungkin diam-diam telah berlatih memanggil rohroh dengan tongkat Diocletian, kemudian bertarung dengan mereka. Sesudah ekspedisi mereka di Split,
kemungkinan apa pun takkan membuat Jason terkejut. "Ada kabar dari raja?" tanya Nico. Jason
menggeleng. "Tiap hari, dia makin telat memanggilku." "Kita harus pergi," ujar Nico. "Segera." Jason
berpendapat sama, tapi mend.engar Nico berkata demikian menyebabkannya gelisah. "Kau merasakan
sesuatu?" "Percy sudah dekat dengan Pintu Ajal," kata Nico. "Dia membutuhkan kita supaya bisa keluar
hidup-hidup." Jason memperhatikan bahwa Nico tidak menyebut-nyebut Annabeth. Dia memutuskan
untuk tidak mengungkit soal itu. "Baiklah," kata Jason. "Tapi, kalau kita tidak bisa memperbaiki kapal?"
"Aku janji akan membimbing kalian ke Gerha Hades," ujar Nico. "Bagaimanapun caranya, akan kutepati
janjiku." "Kau tidak bisa menempuh perjalanan bayangan dengan kami semua. Padahal, untuk mencapai
Pintu Ajal, kita semua mesti bekerja sama."
Bola di ujung tongkat Diocletian berpendar ungu. Sepanjang ininggu itu, tongkat tersebut sepertinya
beresonansi dengan suasana had Nico di Angelo. Jason tidak yakin itu adalah pertanda bagus. "Kalau
begitu, kau harus meyakinkan raja Angin Selatan agar mau menolong." Suara Nico penuh amarah. "Aku
tidak datang jauh-jauh begini, mendapat malu ...." Jason harus secara sadar berusaha agar tidak
menggapai pedangnya. Kapan pun Nico marah, seluruh insting Jason menjeritkan, Bahaya! "Dengar,
Nico," kata Jason, "aku selalu slap kalau kau ingin membicarakan, kau tahu, kejadian di Kroasia. Aku
paham betapa sulitnya?" "Kau tidak paham apa-apa." "Takkan ada yang menghakimimu." Mulut Nico
meringis mencemooh. "Masa" Kalau benar begitu, baru pertama kali. Aku ini putra Hades, Jason. Dari
cara orang-orang memperlakukanku, kesannya aku ini berlumur darah atau tinja. Aku tidak cocok
berada di mana pun. Aku bahkan tidak berasal dari abadini. Tapi, bukan cuma itu yang membuatku
berbeda dengan orang lain. Celakanya, aku malah"malah?" "Nico! Kau Ian tidak punya pilihan.
Memang dirimu seperti itu." "Diriku memang seperti itu ...." Balkon bergetar. Lantai batu beriak, seperti hendak diterobos tulang
yang merangsek ke permukaan. "Mudah bagimu berkata begitu. Kau anak kesayangan semua orang,
putra Jupiter. Satu-satunya orang yang menerirna aku apa adanya cuma Bianca dan dia sudah mati!
Bukan aku yang memilih semua ini. Ayahku, perasaanku ...." Jason memutar otak untuk mencari katakata yang tepat. Dia ingin berteman dengan Nico. Dia tahu hanya itulah caranya membantu anak itu.
Tapi, sikap Nico tidak memudahkannya.
Jason angkat tangan tanda menyerah. "Iya, oke. Tapi, Nico, kau sendiri yang memilih cara menjalani
hidupmu. Kau ingin memercayai seseorang" Untuk itu, mungkin kau harus bersedia mengambil risiko
dengan menerimaku sebagai temanmu dan sebaliknya, aku akan menerimamu. Lebih baik begitu
daripada bersembunyi." Lantai retak-retak di antara mereka. Patahan berdesis. Udara di sekeliling Nico
berdenyar, memancarkan cahaya angker. "Bersembunyi?" Suara Nico pelan nan menusuk. Jemari Jason
sudah gatal, ingin menggapai pedang. Dia sudah bertemu banyak demigod seram, tapi dia mulai sadar
bahwa Nico di Angelo"walaupun rupanya pucat dan tirus"barangkali lebih berbahaya daripada yang
sanggup Jason tangani. Meski demikian, Jason terus menatap Nico lekat-lekat. "Ya, bersembunyi. Kau
melarikan diri dari kedua perkemahan. Kau takut sekali bakal ditolak sehingga kau bahkan tidal( mau
mencoba untuk bergaul. Mungkin sudah waktunya kau keluar dari bayang-bayang." Tep at ketika
ketegangan tak tertahankan lagi, Nico menundukkan pandangan. Tertutuplah retakan di lantai balkon.
Cahaya angker meredup. "Akan kutepati janjiku." Nico menegaskan, suaranya sekeras bisikan belaka.
"Akan kuantar kalian ke Epirus. Akan kubantu kalian menutup Pintu Ajal. Kemudian, selesai sudah. Aku
akan pergi"untuk selamanya." Di belakang mereka, pintu ruang singgasana menjeblak terbuka berkat
embusan angin panas. Suara tanpa tubuh berkata: Dewa Auster bersedia menemuimu sekarang. Meski
dia takut menyongsong pertemuan tersebut, Jason merasa lega. Pada saat itu, bersilat lidah dengan
dewa angin sinting sepertinya lebih aman daripada berteman dengan putra Hades yang marah. Dia menoleh untuk
mengucapkan selamat tinggal kepada Nico, tapi Nico sudah menghilang"melebur kembali ke dalam
kegelapan.[] BAB LIMA PULUH DELAPAN JASON TERNYATA, SAAT IN! ADALAH HART badai. Di atas takhta, duduklah Auster, Angin Selatan versi Romawi.
Dua hari sebelumnya, Jason sempat berurusan dengan Notus. Meskipun versi Yunani sang dewa bersifat
menggebu-gebu dan gampang marah, setidaknya dia sigap. Sebaliknya, Auster agak kurang tanggap.
Pilar-pilar marmer putih dan merah berjajar di ruang singgasana. Lantai batu paras kasar berasap di
bawah kaki Jason. Uap memekatkan udara, seperti pemandian umum di Perkemahan Jupiter, hanya saja
pemandian umum tidak dimeriahkan petir yang menyambar di langit-langit, menerangi ruangan itu
dengan kilatannya yang memusingkan. Ventus selatan berputar-putar di sepenjuru koridor,
mengepulkan debu merah dan udara teramat panas. Jason berjaga-jaga untuk menjauhi mereka. Pada
hari pertamanya di sini, tangan Jason tidak sengaja menyenggol salah satu roh angin. Saking banyaknya
lepuhan yang dia derita, jemari Jason jadi mirip tentakel.
JASON Di ujung ruangan tersebut terdapat singgasana paling janggal itg pernah Jason lihat"sebagian
dari air, sebagian lagi dari api. Podium berupa api unggun. Kobaran api dan asap yang menjilat-jilat ke
atas membentuk tempat duduk. Sandaran lengan mendesis kapan pun kelembapan bersinggungan
dengan api. Kursi singgasana itu tampaknya kurang nyaman, tapi sang dewa Auster duduk santai di sana
seperti hendak menonton siaran futbol sore-sore. Apabila berdiri tegak, tinggi sang dewa pasti sekitar
tiga meter. Mahkota uap air bertengger di rambut putihnya yang gondrong. .ranggutnya terbuat dari
awan yang senantiasa menyambarkan petir dan meneteskan hujan ke dada sang dewa, membasahi
toganya yang sewarna pasir. Jason bertanya-tanya apakah janggut dari awan berpetir bisa dipangkas.
Dia menduga pasti menyebalkan menghujani diri sendiri sepanjang waktu, tapi Auster sepertinya tidak
peduli. Sang dewa mengingatkan Jason akan Sinterklas kebasahan, tapi bersifat pemalas alih-alih
periang. "Jadi ...." Suara sang dewa menggemuruh seperti bunyi datangnya badai. "Putra Jupiter kembali lagi."
Auster mengesankan seolah Jason terlambat. Jason tergoda untuk mengingatkan dewa angin bodoh ini
bahwa dia menghabiskan berjam-jam di luar tiap hari untuk menunggu panggilan, tetapi dia menahan
diri dan justru mernbungkuk saja. "Paduka," kata Jason. "Sudahkah Paduka Dewa menerima kabar
tentang teman saya?" "Teman?" "Leo Valdez." Jason berusaha tetap sabar. "Yang dibawa pergi oleh
angin." "Oh ya. Lebih tepatnya, tidak. Kami belum mendapat kabar. Dia tidak dibawa pergi oleh anginku.
Tidak diragukan lagi yang demikian adalah perbuatan Boreas atau anak buahnya."
"Eh, benar. Memang begitu. Kami sudah tahu." "Itulah satu-satunya alasan sehingga aku menerima
kalian, tentu saja." Auster mengangkat alis mendekati mahkota uapnya. "Boreas mesti ditentang! Angin
utara harus dipukul mundur!" "Ya, Paduka. Tapi untuk menentang Boreas, perahu kami harus bisa
meninggalkan pelabuhan." "Kapal di pelabuhan!" Sang dewa bersandar ke belakang dan terkekeh-kekeh,
hujan tumpah dari janggutnya. "Kau tahu kapan kali terakhir manusia fana datang ke pelabuhanku" Raja
Libya ... namanya Psyollos. Dia menyalahkan aku atas angin panas yang melayukan tanaman pangannya.
Percayakah kau?" Jason mengertakkan gigi. Dia sudah belajar dari pengalaman bahwa Auster tidak bisa
didesak supaya terburu-buru. Selagi wujudnya sedang hujan begini, sang dewa berperangai lelet dan
hangat serta suka melantur. "Apakah benar Paduka Dewa melayukan tanaman itu?" "Tentu saja!" Auster
tersenyum ramah. "Tapi, salah sendiri! Siapa suruh Psyollos bercocok tanam di tepi Gurun Sahara" Si
tolol itu meluncurkan seluruh armadanya untuk menyerangku. Dia bermaksud menghancurkan benteng
pertahananku supaya angin selatan takkan bisa berembus lagi. Aku menghancurleburkan armadanya,
tentu saj a." "Tentu saja." Auster menyipitkan mata. "Kau bukan sekutu Psyollos, Ian?" "Bukan, Dewa
Auster. Saya Jason Grace, putra---" "Jupiter! Ya, tentu saja. Aku suka putra Jupiter. Tapi, kenapa kau
masih di pelabuhanku?" Jason mengekang desahan jengkel. "Kami belum mendapat izin dari Paduka
Dewa untuk meninggalkan pelabuhan. Selain itu, kapal kami rusak. Kami membutuhkan mekanik kami,
Leo Valdez, untuk memperbaiki mesin. Kecuali Dewa tahu cara lain?"
"Hmm." Auster mengacungkan jemari dan membiarkan debu handel berputar di antara jari-jarinya
seperti tongkat mayoret. "Kau tahu, orang-orang menuduhku plin-plan. Terkadang aku adalah angin
panas menyengat, penghancur tanaman pangan, sirocco Afrika! Di hari lain, aku lembut, membawa
hujan hangat musim panas dan kabut menyejukkan ke kawasan Mediterania Selatan. Dan saat tidak
sibuk, aku berlibur ke rumah peristirahatanku di Cancun! Singkat kata, pada zaman dahulu kala, manusia
fana takut sekaligus cinta kepadaku. Untuk seorang dewa, sifat yang tidak bisa ditebak merupakan
sebentuk kekuatan." "Kalau begitu, Dewa tentunya teramat kuat," kata Jason. "Terima kasih! Memang
aku kuat! Tapi, yang demikian tidak berlaku bagi demigod." Auster mencondongkan badan ke depan,
cukup dekat sehingga Jason bisa membaui ladang yang tersiram hujan dan pantai berpasir nan panas.
"Kau mengingatkanku akan anak-anakku sendiri, Jason Grace. Kau berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain. Dirimu bimbang. Kau berubah dari hari ke hari. Jika kau bisa memutar gada-gada, akan
mengarah ke manakah dia?" Keringat menetes di antara tulang belikat Jason. "Maaf?" "Kau bilang kau
memerlukan navigator. Kau butuh izinku. Menurutku, kau tidak butuh kedua-duanya. Sekaranglah
waktunya memilih satu tujuan. Angin yang bertiup tak tentu arah tidak berguna bagi siapa pun." "Saya
tidak saya tidak mengerti." Bahkan saat berucap begitu, Jason sesungguhnya mengerti. Nico menyebut
bahwa dirinya tidak cocok berada di mana pun. Setidaknya, Nico bebas dan tidak terombang-ambing.
Dia bisa pergi ke mana pun sesukanya. Selama berbulan-bulan, Jason mengalami pergulatan batin
karena bingung memutuskan di tempat mana dia semestinya
berada. Sedari dulu, Jason geregetan akan tradisi Perkemahan Jupiter, tarik-ulur kekuasaannya, intrikintriknya. Tapi, Reyna adalah orang baik. Reyna membutuhkan bantuan Jason. Jika Jason berpaling dari
Reyna ... seseorang seperti Octavian bakal mengambil alih dan mengobrak-abrik semua aspek yang
Jason cintai di Roma Baru. Setega itukah dirinya sehingga pergi begitu saja" Memikirkan itu saja, Jason
jadi terbebani rasa bersalah. Tapi dalam sanubarinya, Jason ingin tinggal di Perkemahan Blasteran.
Bulan-bulan yang dia lewatkan di sana bersama Piper dan Leo terasa lebih memuaskan, lebih mengena
daripada bertahun-tahun yang dia habiskan di Perkemahan Jupiter. Lagi pula, di Perkemahan Blasteran,
setidaknya ada peluang untuk bertemu ayahnya suatu hari kelak. Dewa-dewi sangat jarang mampir ke
Perkemahan Jupiter untuk menyapa anak-anak mereka. Jason menarik napas tersendat-sendat. "Ya.
Saya tahu tujuan yang harus saya tempuh." "Bagus! Lalu?" "Ehm, kami masih perlu cara untuk
memperbaiki kapal. Adakah?" Auster mengacungkan telunjuknya. "Masih mengharapkan bimbingan
dari penguasa angin" Putra Jupiter semestinya lebih tahu!" Jason ragu-ragu. "Kami akan pergi, Dewa
Auster. Hari ini." Sang dewa angin menyeringai dan merentangkan tangan. "Akhirnya kau
mengumumkan tujuanmu! Kalau begitu, kau kuizinkan pergi, walau kau sebenarnya tidak butuh izinku.
Dan bagaimana kau akan berlayar tanpa sang mekanik, sementara mesin kapalmu belum diperbaiki?"
Jason merasakan roh-roh angin selatan mendesing di sekelilingnya, meringkik menantang seperti kuda
liar keras kepala, menguji keteguhan tekad Jason.
Sepanjang pekan dia menanti-nanti, berharap semoga Auster memutuskan untuk menolong. Berbulanbulan Jason khawatir akan kewajibannya pada Perkemahan Jupiter, berharap semoga jalan yang mesti
ditempuhnya akan menjadi jelas. Kini, Jason tersadar, dia semata-mata harus mengambil pilihan yang
dia inginkan. Dia harus mengendalikan jalannya angin, bukan sebaliknya. "Dewa akan menolong kami,"
kata Jason. "Ventus anak buah Paduka Dewa bisa mewujud sebagai kuda. Dewa akan memberi kami
seregu roh angin untuk menghela Argo II. Mereka akan menuntun kami ke tempat Leo berada, di mana
pun itu." "Luar biasa!" Auster berbinar-binar, kilatan listrik menyambar-nyarnbar di janggutnya. "Nah
sekarang, bisakah kau wujudkan kata-katamu yang gagah itu" Bisakah kau mengendalikan yang kau
minta, ataukah kau justru akan tercabik-cabik?" Sang dewa bertepuk tangan. Angin berputar-putar di
sekeliling singgasananya dan mewujud sebagai kuda. Mereka ini tidak gelap dan dingin seperti kawan
Jason, Topan. Kuda-kuda Angin Selatan terbuat dari api, pasir, dan badai panas. Empat ekor kuda angin
melaju lewat, panas tubuh mereka menggosongkan rambut halus di lengan Jason. Mereka berderap
mengitari pilar-pilar marmer, meludahkan lidah api, meringkik sekeras kompresor udara. Semakin
mereka berlari, semakin liar mereka. Mereka mulai memelototi Jason. Auster mengelus-elus janggutnya
yang mengucurkan hujan. "Tahukah kau kenapa ventus bisa mewujud sebagai kuda, Nak" Sesekali, kami
dewa angin mewujud sebagai kuda kala mengembara di muka bumi. Ada kalanya, kami memiliki anak
yang menjadi kuda tercepat di bumi." "Terima kasih," gumam Jason, walaupun giginya bergemeletuk
karena ngeri. "Terlalu banyak informasi."
Salah satu ventus menyerbu ke arah Jason. Dia menghindar ke samping, pakaiannya berasap karena
kontak dengan roh angin. "Kadang-kadang." Auster melanjutkan dengan ceria, "manusia fana mengenali
darah dewata tersebut. Mereka berkata, Kuda itu berlari bagaikan angin. Tidak mengherankan! Sama
seperti kuda jantan tercepat, ventus adalah anak kami!" Para kuda angin mulai mengepung Jason.
"Seperti temanku, Topan," celetuknya. "Oh, dia ...." Auster merengut. "Aku khawatir dia itu anak Boreas.
Bagaimana kau bisa menjinakkannya, aku takkan pernah tahu. Yang ini adalah anak-anakku sendiri,
seregu angin selatan yang andal. Apabila kau bisa mengendalikan mereka, Jason Grace, niscaya mereka
akan bersedia menghela kapalmu dari pelabuhan." Mengendalikan mereka, pikir Jason. Bicara sih
gampang. Mereka berlari beringas bolak-balik. Seperti majikan mereka sang Angin Selatan, kuda-kuda
ini terombang-ambing"sebagian panas kering seperti sirocco, sebagian lagi dingin seperti muka badai.
Aku butuh kecepatan, pikir Jason. Aku butuh tujuan yang pasti. Dia membayangkan Notus, Angin Selatan
versi Yunani"panas membakar, tapi sangat cepat. Tepat saat itu, Jason memilih Yunani. Dia
menceburkan diri sebagai bagian dari Perkemahan Blasteran"dan berubahlah kuda-kuda itu. Awan
badai di dalam tubuh mereka pupus, tinggal menyisakan debu merah dan panas bergejolak, seperti
fatamorgana di Gurun Sahara. "Kerja bagus," kata sang dewa. Kini di singgasana, duduklah Notus"pria
tua berkulit sewarna perunggu yang mengenakan chiton Yunani menyala dan bermahkota jelai layu
berasap. "Apa lagi yang kau tunggu?" desak sang dewa.
Jason menoleh ke arah kuda-kuda angin panas. Mendadak dia tidak takut lagi kepada mereka. Dia
mengulurkan tangan. Kepulan debu melesat ke kuda terdekat. Seutas laso"tali dari angin, mencancang
lebih kuat daripada angin topan mana pun"membelit leher sang kuda. Angin membentuk halter dan
menyetop hewan tersebut. Jason mendatangkan satu lagi tali angin. Dia mengikat kuda kedua,
mengekang makhluk itu di bawah kendali tekadnya. Dalam waktu kurang dari semenit, Jason telah
mencancang keempat ventus. Dia mengikat para kuda yang masih meringkik dan mendompak dengan
tali kekang. Sekalipun kuda-kuda itu terns melawan, mereka tidak bisa memutus tali kekang Jason.
Rasanya seperti menerbangkan empat layangan sewaktu angin kencang"memang sukar, tapi tidak
mustahil. Tagus sekali, Jason Grace," ujar Notus. "Kau adalah putra Jupiter, tetapi kau memilih jalanmu
sendiri"sama seperti semua demigod terhebat pendahulumu. Kau tidak bisa memilih orangtua, tapi kau
bisa memilih warisan apa yang hendak kau tinggalkan. Nah, pergilah. Ikat regumu ke haluan dan arahkan
mereka ke Malta." "Malta?" Jason mencoba memfokuskan perhatian, tapi hawa panas dari kuda
membuat kepalanya pening. Dia tidak tahu apa-apa tentang Malta, hanya pernah mendengar cerita
samar tentang Maltese falcon. Apakah malt diciptakan di sana" "Setibanya di Kota Valletta," kata Notus,
"kau takkan memerlukan kuda-kuda ini lagi." "Maksud Dewa kami akan menemukan Leo di sana?" Sang
dewa berdenyar, pelan-pelan memudar menjadi gelombang panas. "Takdirmu bertambah jelas, Jason
Grace. Ketika kau kembali harus memilih"badai atau api"ingatlah aku. Dan jangan putus asa."
Pintu ruang singgasana membuka dengan keras. Keempat kuda mencium kebebasan dan serta-merta
melesat ke pintu keluar.[]
BAB LIMA PULUH SEMBILAN JASON REMAJA BERUMUR ENAM BELAS TAHUN biasanya stres gara-gara memikirkan ujian mengemudi untuk
mendapatkan SIM dan rnenabung supaya bisa membeli kendaraan sendiri. Jason stres karena mesti
mengendalikan seregu kuda api dengan tali dari angin. Setelah memastikan bahwa teman-temannya
sudah naik ke kapal dan aman di dek bawah, Jason mengikat ventus ke haluan Argo II (alhasil
menyebabkan Festus tidak senang), duduk mengangkang di kepala naga, dan berteriak, "Maju, jalan!"
Para ventus melejit membelah ombak. Mereka tidak secepat kuda Hazel, Arion, tetapi mereka jauh lebih
panas. Tendangan kaki mereka menyemburkan uap tebal sehingga Jason hampir mustahil melihat arah
yang mereka lalui. Kapal melesat meninggalkan teluk. Dalam waktu singkat, Afrika tinggal berupa garis
samar di cakrawala di belakang mereka. Jason harus mencurahkan seluruh konsentrasinya agar bisa
mengendalikan tali kekang angin. Kuda-kuda berjuang keras
untuk membebaskan diri. Hanya kekuatan tekad Jason yang menahan mereka. Malta, perintahnya.
Langsung ke Malta. Pada saat daratan akhirnya tampak di kejauhan"pulau berbukit-bukit sarat
bangunan batu pendek"Jason sudah bersimbah peluh. Lengannya terasa loyo, seperti habis
mengulurkan tangan sambil menahan barbel. Dia berharap mereka sudah mencapai tempat yang tepat
sebab dia tidak sanggup mempertahankan kuda-kuda itu lebih lama lagi. Dia membebaskan tali kekang
angin. Para ventus berhamburan menjadi partikel-partikel pasir dan uap. Kelelahan, Jason pun turun dari
buritan. Dia bersandar ke leher Festus. Sang naga menoleh dan menepuk-nepuknya dengan dagu.
"Makasih, Bung," kata Jason. "Hari yang berat, ya?" Di belakangnya, papan geladak berderit. "Jason?"
panggil Piper. "Demi dewa-dewi, lenganmu ...." Jason tidak memperhatikan, tapi kulitnya belang-belang
karena melepuh. Piper mengeluarkan sekotak ambrosia. "Makan ini." Jason mengunyah. Mulutnya
dipenuhi rasa brownies yang baru dipanggang"makanan favoritnya dari toko roti di Roma Baru. Bekas
melepuh di lengannya memudar. Tenaga Jason pulih kembali, tapi brownies ambrosia terasa lebih pahit
daripada biasanya, seolah entah bagaimana mengetahui bahwa Jason telah berpaling dari Perkemahan
Jupiter. Rasanya tidak lagi mengingatkan Jason akan rumah. "Makasih, Pipes," gumamnya. "Berapa lama
aku?"" "Kira-kira enam jam." Wow, pikir Jason. Pantas dia merasa linu-linu dan lapar. "Yang lain?"
"Semuanya baik-baik saja. Bosan terkurung. Perlu kuberi tahu mereka bahwa sudah aman untuk naik ke
geladak atas?" Jason menjilat bibirnya yang kering. Meskipun sudah makan ambrosia, dia merasa penat.
Dia tidak mau yang lain melihatnya seperti ini. "Beri aku waktu sebentar," kata Jason, "... tarik napas
dulu." Piper bersandar di sebelah Jason. Dalam balutan kaus kutung hijau, celana pendek abu-abu, dan
sepatu bot hiking-nya, Piper tampak siap mendaki gunung"dan kemudian bertarung melawan pasukan
musuh di puncak. Belatinya tersandang ke sabuk. Kornukopia-nya tersampir ke pundak. Piper sekarang
juga membawa pedang perunggu bergerigi yang dia rebut dari Zethes si Boread, yang tak kalah
menyeramkan dibandingkan senapan otomatis. Selama mereka tinggal di Istana Auster, Jason
memperhatikan bahwa Piper dan Hazel kerap menghabiskan berjam-jam untuk bertarung pedang"
sesuatu yang tidak pernah Piper minati sebelumnya. Sejak perjumpaannya dengan Khione, Piper
sepertinya lebih awas, lebih tegang seperti katapel yang hendak ditembakkan, seolah bertekad takkan
pernah lagi mengendurkan kewaspadaan. Jason memahami perasaan tersebut, tapi dia khawatir Piper
bersikap terlalu keras kepada dirinya sendiri. Tak seorang pun siap akan apa saja sepanjang waktu. Jason
tahu itu. Pertarungan terakhir dia lewatkan dalam wujud pin Boling beku. Dia pasti melongo, sebab
Piper melemparkan cengiran serbatahu. "Hei, aku baik-baik saja. Kita baik-baik saja." Piper berjingkat
dan mengecup Jason. Mata Piper berwarna-warni banyak sekali sehingga Jason bisa saja menatap
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya seharian, mengamat-amati pola yang terus berubah, sebagaimana orang-orang menonton
aurora. "Aku beruntung ada kau," kata Jason. "Iya, memang." Piper menepuk dada Jason dengan lembut. "Nah,
bagaimana kalau kita rapatkan kapal ini ke dermaga?" Jason memicingkan mata ke seberang perairan.
Jarak mereka dengan pulau masih satu kilometer kurang. Dia tidak punya gambaran bagaimana mereka
bakal menjalankan mesin kapal atau mengembangkan layar Untungnya, Festus mendengarkan
percakapan mereka. Sang kepala naga menoleh ke depan dan menyemburkan kepulan api. Mesin kapal
berderak dan mendesing. Kedengarannya seperti bunyi sepeda mahabesar yang rantainya berkarat"
tetapi kapal toh beringsut ke depan. Argo II pelan-pelan menuju pesisir. "Naga baik." Piper menepuknepuk leher Festus. Mata rubi naga itu berkilau-kilau, seolah senang akan prestasinya. "Dia tampak lain
sejak kau membangunkannya," ujar Jason.
"Lebih hidup. "Sebagaimana seharusnya." Piper tersenyum. "Kurasa kita sesekali butuh penyemangat
dari seseorang yang menyayangi kita, supaya tidak terus tertidur lesu." Saat berdiri di samping Piper,
Jason merasa bahagia sekali sampai-sampai dia nyaris bisa membayangkan masa depan mereka
bersama di Perkemahan Blasteran, seusai perang"dengan asumsi bahwa mereka masih hidup dan
masih ada perkemahan tempat mereka bisa pulang. Ketika kau kembali harus memilih, kata Notus,
badai atau api"ingatlah aku. Dan jangan putus asa. Semakin dekat dengan Yunani, semakin dada Jason
sesak karena ngeri. Dia mulai berpikir bahwa dugaan Piper tentang larik badai atau api dalam ramalan
memang benar"salah seorang
dari mereka, Jason atau Leo, takkan kembali hidup-hidup dari pelayaran ini. Itulah sebabnya mereka
harus menemukan Leo. Meskipun Jason amat menyukai kehidupannya, dia tidak sudi membiarkan
temannya meninggal demi dirinya. Dia takkan sanggup menanggung rasa bersalah jika hal itu sampai
terjadi. Tentu saja Jason berharap dirinya keliru. Dia berharap mereka berdua bakal melalui misi ini
dengan selamat. Tapi kalau tidak, Jason harus siap. Dia akan melindungi teman-temannya dan
menghentikan Gaea"apa pun taruhannya. Jangan putus asa. Iya. Enak saja Notus berkata begitu. Dia
Ian dewa angin yang kekal. Saat pulau semakin dekat, Jason melihat dermaga yang diramaikan layar di
sana-sini. Dari garis pantai berbatu-batu, menjulanglah pemecah ombak mirip benteng"tingginya
antara lima betas atau delapan betas m
eter. Di atas dinding itu, terbentanglah kota bergaya abad
pertengahan yang terdiri dari menara gereja, kubah, dan bangunan rapat-rapat yang semuanya terbuat
dari batu keemasan yang sama. Dari tempat Jason berdiri, kelihatannya kota itu memakan seluruh
jengkal lahan di pulau tersebut. Dia menelaah perahu-perahu di pelabuhan. Kurang dari seratus meter di
depan, di ujung dok terpanjang, tertambatlah rakit bertiang sederhana dengan layar kanvas segiempat.
Di bagian belakang rakit, kemudi terhubung ke semacam mesin. Bahkan dari jarak sejauh ini, Jason bisa
melihat kilauan perunggu langit. Jason menyeringai. Hanya satu demigod yang mampu membuat perahu
seperti itu dan dia telah memarkir kendaraannya sejauh mungkin di pelabuhan, alhasil mustahil
dilewatkan oleh pengamatan awak Argo II. "Panggil yang lain." Jason memberi tahu Piper. "Leo di sini."[]
BAB ENAM PULUH JASON MEREKA MENEMUKAN LEO DI ATAS benteng kota. Dia duduk-duduk di kafe terbuka yang menghadap ke
laut, sedang minum secangkir kopi dan mengenakan ... wow. Kilas balik. Busana Leo identik dengan yang
dia kenakan di hari pertama kedatangan mereka di Perkemahan Blasteran"celana jin, baju putih, dan
jaket tentara lama. Hanya saja, jaket itu sudah terbakar berbulan-bulan lalu. Piper hampir menjatuhkan
Leo dari kursi dengan pelukannya. "Leo! Demi dewa-dewi, ke mana saja kau?" "Valdez!" Pak Pelatih
Hedge menyeringai. Kemudian dia tampaknya ingat mesti menjaga reputasi dan sang satir pun
memaksakan diri untuk merengut. "Kalau kau menghilang seperti itu lagi, Berandal Kecil, akan kuhajar
kau sampai terbang ke bulan depan!" Frank menepuk-nepuk punggung Leo keras-keras sampai dia
berjengit, bahkan Nico juga menjabat tangannya. Hazel mengecup pipi Leo. "Kami kira kau sudah
meninggal!" Leo tersenyum kecil. "Hai, Kawan-Kawan. Tenang, aku baik-baik saja kok." Jason bisa melihat bahwa Leo
tidak baik-baik saja. Leo tidak mau bertemu pandang dengan mereka. Tangannya bergeming di atas
meja. Tangan Leo tidakpernah bergeming. Hiperaktivitasnya terkuras habis, digantikan oleh semacam
duka penuh nostalgia. Jason membatin apa sebabnya ekspresi Leo tampak tidak asing. Lalu dia tersadar
bahwa Nico di Angelo kelihatan sama seperti itu setelah menghadapi Cupid di reruntuhan Salona. Leo
sedang patah hati. Sementara yang lain mengambili kursi dari meja-meja dekat sana, Jason
mencondongkan badan dan meremas bahu temannya. "Hei, Bung," katanya, "apa yang terjadi?" Mata
Leo melirik kelompok mereka. Pesannya jelas: Jangan di sini. Jangan di depan semua orang. "Aku
terdampar," ujar Leo. "Ceritanya panjang. Bagaimana dengan kalian" Khione bagaimana?" Pak Pelatih
Hedge mendengus. "Bagaimana" Piper beraksi! Kuberi tahu ya, gadis ini memang lihai!" "Pak Pelatih ...,"
protes Piper. Hedge mulai menceritakan kembali kejadian itu, tapi dalam versinya, Piper bagaikan
pembunuh yang ahli kungfu dan jumlah Boread jauh lebih banyak. Sementara sang pelatih berbicara,
Jason mengamati Leo dengan khawatir. Kafe ini menghadap tepat ke pelabuhan. Leo pasti melihat Argo
Hberlabuh. Namun demikian, dia malah duduk diam di sini sambil minum kopi"yang bahkan tidak dia
sukai"untuk menunggu mereka menemukannya. Tidak biasanya Leo bersikap begitu. Kapal tersebut
adalah hal terpenting dalam hidupnya. Ketika dia melihat Argo II datang untuk menyelamatkannya, Leo
seharusnya lari ke dermaga sambil bersorak keras-keras.
Pak Pelatih Hedge sedang menggambarkan jurus tendangan memutar Piper untuk mengalahkan Khione
saat Piper memotong. "Pak Pelatih!" kata Piper. "Kejadiannya tidak seperti itu. Aku tidak mungkin
melakukan apa-apa tanpa Festus." Leo mengangkat alis. "Tapi, Festus sedang dideaktivasi." "Anu, soal
itu," kata Piper. "Aku membangunkannya." Piper menjelaskan peristiwa itu versi dia"bagaimana dia
menyalakan sang naga logam dengan charmspeak. Leo mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja, seolah
sebagian energinya telah kembali. "Seharusnya tidak mungkin," gumam Leo. "Kecuali pemutakhiran
memungkinkannya untuk merespons perintah suara. Tapi kalau dia sudah diaktivasi secara permanen,
berarti sistem navigasi dan kristal ...." "Kristal?" tanya Jason Leo berjengit. "Eh, bukan apa-apa. Omongomong, apa yang terjadi setelah born angin meledak?" Giliran Hazel yang bercerita. Seorang pelayan
mendekat dan menawari mereka menu. Tidak lama berselang, mereka sudah mengunyah roti isi dan
menenggak soda, menikmati hari yang cerah hampir seperti sekelompok remaja biasa. Frank
menyambar brosur wisata yang terselip di bawah kotak serbet. Dia mulai membaca brosur tersebut.
Piper menepuk-nepuk lengan Leo, seolah dia tidak percaya bahwa pemuda tersebut sungguh-sungguh
berada di sana. Nico menyempil di tepi kelompok itu, mengamati pejalan kaki yang melintas seakan
curiga kalau-kalau mereka adalah musuh. Pak Pelatih Hedge mengunyah wadah garam dan merica.
Meskipun reuni itu mestinya membahagiakan, semua orang tampak lebih lesu daripada biasanya"
seolah mereka ketularan suasana hati Leo. Jason tidak pernah mempertimbangkan betapa
pentingnya selera humor Leo bagi kelompok tersebut. Bahkan ketika situasi sedang amat serius, mereka
selalu bisa mengandalkan Leo untuk menceriakan suasana. Sekarang, kesannya seolah seluruh tim
tengah terpuruk. "Jadi, Jason kemudian mengekang ventus," pungkas Hazel. "Dan di sinilah kami." Leo
bersiul. "Kuda air panas" Keren, Jason. Jadi, pada dasarnya, kau menahan angin sampai ke Malta,
kemudian membuang angin sesampainya di sini." Jason mengerutkan kening. "Kau tabu, kesannya
kurang heroik kalau kau menyebutnya seperti itu." "Iya sih, tapi aku ini pakar cakap angin. Aku masih
bertanya-tanya, kenapa Malta" Rakitku terhanyut ke sini begitu saja, tapi apa karena kebetulan atau?"
"Mungkin karena ini." Frank mengetuk brosur. "Di sini disebutkan, Malta dulunya adalah tempat tinggal
Calypso." Wajah Leo langsung pucat pasi seperti kurang darah. "A-apa?" Frank mengangkat bahu.
"Menurut brosur ini, kampung halamannya yang asli adalah di sebuah pulau bernama Gozo di utara sini.
Calypso itu tokoh dari mitologi Yunani, Ian?" "Ah, tokoh dari mitologi Yunani!" Pak Pelatih Hedge
menggosok-gosok kedua telapak tangannya. "Mungkin kita harus melawan dia! Apa kita berkesempatan
melawan dia" Soalnya, aku sudah siap." "Tidak," gumam Leo. "Tidak, kita tidak harus melawan dia, Pak
Pelatih." Piper mengerutkan dahi. "Leo, ada apa" Kau kelihatan?" "Tidak ada apa-apa!" Leo sontak
berdiri. "Hei, kita sebaiknya bergegas. Kita punya pekerjaan!" "Tapi kau dari mana?" tanya Hazel. "Dari
mana kau mendapatkan pakaian itu" Bagaimana?"
"Waduh, Nona-Nona!" kata Leo. "Kuhargai kekhawatiran kalian, tapi aku tidak butuh tambahan dua
ibu!" Piper tersenyum bimbang. "Oke, tapi?" "Ayo kita perbaiki kapal!" kata Leo. "Festus mesti dicek!
Kita harus meninju wajah dewi Bumi! Apa yang kalian tunggu" Leo sudah kembali!" Dia merentangkan
tangan dan menyeringai. Leo mencoba berlagak gagah, tapi Jason bisa masih melihat kesedihan di
matanya. Sesuatu telah menimpa Leo ... sesuatu yang ada hubungannya dengan Calypso. Jason
berusaha mengingat-ingat kisah tentang Calypso. Dia semacam penyihir, mungkin seperti Medea atau
Circe. Tapi kalau Leo baru melarikan diri dari sarang penyihir jahat, kenapa dia tampak sedih sekali"
Jason harus berbicara kepada. Leo nanti, untuk memastikan bahwa temannya baik-baik saja. Untuk saat
ini, Leo jelas tidak mau diinterogasi. Jason berdiri dan menepuk pundak Leo. "Leo benar. Kita harus
bergegas." Semua orang menanggapi aba-aba tersebut. Mereka mulai membersihkan sisa-sisa makanan
dan menghabiskan minuman. Tiba-tiba, Hazel terkesiap. "Teman-Teman ...." Dia menunjuk ke kaki langit
sebelah timur laut. Awalnya. Jason tidak melihat apa-apa selain laut. Lalu selarik kegelapar melesat ke
udara bagaikan petir hitam"seolah malam kelam telal-merobek siang. "Aku tidak melihat apa-apa,"
gerutu Pak Pelatih Hedge. "Aku juga," tukas Piper. Jason menelaah wajah teman-temannya. Sebagian
besar dar mereka tampak bingung. Selain Hazel dan Jason, hanya Nico yanl tampaknya bisa melihat petir
hitam itu. "Tidak mungkin ...," gumam Nico. "Yunani masih ratusan mil dari sini." Kegelapan berkilat-kilat lagi,
sekejap mengelantang warna cakrawala. "Menurutmu itu Epirus?" Seluruh rangka Jason tergelitik
seperti disambar listrik ribuan volt. Dia tidak tabu apa sebabnya dia bisa melihat kilat gelap itu. Dia
bukan anak Dunia Bawah. Tapi, pemandangan tersebut membuat firasatnya tidak enak. Nico
mengangguk. "Gerha Hades sudah buka." Beberapa detik berselang, terdengar bunyi menggemuruh
mirip ledakan artileri di kejauhan. "Sudah mulai," ujar Hazel. "Apa yang sudah mulai?" tanya Leo. Ketika
kilat lagi-lagi tampak, mata Hazel yang keemasan menggelap seperti kertas timah yang dilalap api.
"Manuver terakhir Gaea," katanya. "Pintu Ajal bekerja lembur. Pasukannya memasuki dunia fana
berduyun-duyun." "Kita takkan sempat sampai di sana," komentar Nico. "Begitu kita tiba, sudah terlalu
banyak monster yang keluar. Kita takkan sanggup melawan mereka semua." Jason mengertakkan rahang.
"Kita pasti bisa mengalahkan mereka. Dan kita harus sampai di Epirus secepatnya. Kita sudah
rnendapatkan Leo kembali. Dia akan memberi kita kecepatan yang kita butuhkan." Dia menoleh kepada
temannya. "Ataukah kata-katamu cuma cakap angin?" Leo menyeringai. Matanya seolah berkata:
Makasih. "Waktunya terbang, Anak-Anak," katanya. "Paman Leo menyimpan trik untuk dikeluarkan!"[]
BAB ENAM PULUH SATU PERCY PERCY BELUM MATI, TAPI DIA sudah bosan menjadi mayat. Selagi mereka tersaruk-saruk menuju
jantung Tartarus, dia terus melirik tubuhnya sendiri, bertanya-tanya bagaimana mungkin jasad keriput
ini adalah badannya. Lengannya kelihatan seperti kulit samakan yang ditarik sepanjang sebatang tongkat.
Tungkai cekingnya seolah mengabur menjadi asap tiap kali dia melangkah. Dia sudah belajar bergerak
dengan normal di dalam Kabut Ajal, kurang lebih, tapi tabir magis itu itu tetap membuatnya merasa
seperti terkungkung dalam selubung helium. Dia cemas kalau-kalau Kabut Ajal bakal menempelinya
selamanya, sekalipun mereka entah bagaimana berhasil keluar dengan selamat dari Tartarus. Dia tidak
mau menghabiskan sisa hidupnya dengan penampilan seperti pemain figuran zombi di drama The
Walking Dead. Percy mencoba memfokuskan perhatian pada hal lain, tapi ke mana pun dia menengok,
tidak ada yang aman. Di bawah kakinya, tanah berkilau ungu menjijikkan, menyembunyikan jejaring
pembuluh darah yang berdenyut-
denyut. Di bawah sorot merah kabut darah, Annabeth versi Kabut Ajal tampak seperti zombi yang baru
saja bangkit dari kubur. Di depan mereka, tampaklah pemandangan paling menyesak-kan Kati.
Sepasukan monster"kawanan arai bersayap, suku Cyclops yang terhuyung-huyung, kumpulan roh jahat
yang melayang-layang"terbentang sampai ke cakrawala. Ribuan makhluk (lurjana, barangkali puluhan
ribu, semuanya luntang-lantung dengan gelisah, berdesak-desakan, main gertak untuk berebut
tempat"seperti area loker kepenuhan di sekolah di sela-sela jam pelajaran, kalau semua murid adalah
mutan temperamental yang berbau badan amat busuk. Bob membimbing mereka ke tepi pasukan. Dia
tidak berupaya untuk bersembunyi; lagi pula, memang sia-sia saja. Karena tubuhnya setinggi tiga meter
dan berkilau perak, mustahil Bob bisa beraksi diam-diam. Ketika jarak mereka sudah tiga puluh meter
kurang dari monster-monster terdekat, Bob menoleh kepada Percy. "Jangan ribut dan tetap di
belakangku," sarannya. "Mereka takkon memperhatikan kalian." "Mudah-mudahan," gumam Percy. Di
bahu sang Titan, Bob Kecil terbangun dari tidur siang. Dia mendengkur nyaring dan melengkungkan
punggung, berubah dari wujud kerangka menjadi kucing belang. Setidaknya dia tidak tampak waswas.
Annabeth mengamati tangan zombinya sendiri. "Bob, kalau kami tak karat mata bagaimana bisa kau
melihat kami" Maksudku, secara teknis, kau ...." "Ya," kata Bob. "Tapi, kita berteman." "Nyx dan anakanaknya bisa melihat kami," tukas Annabeth. Bob mengangkat bahu. "Itu di wilayah Nyx. Itu lain."
"Eh ... baiklah." Annabeth kedengarannya tidak yakin, tapi mereka sekarang sudah hampir sampai.
Mereka tidak punya pilihan kecuali mencoba.
Percy menatap kawanan monster buas. "Setidaknya kita tak perlu khawatir kalau-kalau berpapasan
dengan teman-ternan lain di antara kerumunan ini." Bob menyeringai. "Ya, itu kabar bagus! Nah, ayo
pergi. Ajal sudah dekat." "Pintu Ajal sudah dekat," ralat Annabeth. "Jangan sembarangan bicara."
Mereka masuk ke tengah-tengah kerumunan. Percy gemetar hebat sampai-sampai dia takut Kabut Ajal
bakal tanggal. Dia sudah pernah melihat sekelompok besar monster. Dia pernah bertarung melawan
sepasukan monster di Pertempuran Manhattan. Tapi, ini lain. Kapan pun dirinya bertarung melawan
monster di dunia fana, Percy setidaknya tahu dia tengah mempertahankan rumakiny ra. Pengetahuan
itu memberinya keberanian, tidak peduli betapa kecil peluangnya untuk menang. Di sini, Percy adalah si
penyusup. Dia tidak semestinya berada di tengah-tengah monster, sebagaimana Minotaurus tidak
semestinya berada di Stasiun Penn saat jam sibuk. Beberapa kaki dari sana, sekelompok empousa
merobek-robek bangkai gryphon sementara sejumlah gryphon lain terbang mengitari mereka sambil
memekik-mekik murka. Anak Burn i bertangan enam dan seorang raksasa Laistrygonian sedang saling
timpuk dengan batu, walaupun Percy tidak yakin apakah mereka tengah bertarung atau hanya mainmain. Selarik asap gelap pasti eidolon, menurut tebakan Percy---merasuki seorang Cyclops,
menyebabkan monster itu memukul wajahnya sendiri, lalu pindah untuk merasuki korban lainnya.
Annabeth berbisik, "Percy, lihat." Selemparan batu dari sana, seorang lelaki berpakaian koboi tengah
melecutkan cambuk ke sejumlah kuda bernapas api. Si pawang ternak mengenakan topi koboi di
rambutnya yang berminyak, celana jin ekstrabesar, dan sepasang sepatu bot kulit hitam. Dari samping,
dia kelihatan seperti manusia"tetapi saat dia berbalik badan, barulah Percy melihat bahwa tubuh
bagian atasnya terdiri dari tiga dada berlainan yang masing-masing mengenakan kemeja koboi berbeda
warna. Pria itu jelas adalah Geryon, yang mencoba membunuh Percy dua tahun lalu di Texas. Rupanya
sang peternak jahat tidak sabar untuk menjinakkan kawanan hewan barunya. Membayangkan laki-laki
itu berkuda ke luar Pintu Ajal, pinggang Percy terasa nyeri lagi. Iganya berdenyut-denyut di tempat arai
melontarkan kutukan sekarat Geryon di hutan tadi. Percy ingin berderap menghampiri si pawang ternak
berbadan tiga, menghajar wajahnya, dan berteriak, Makasih banyak, Bung! Sayangnya, Percy tidak boleh
berbuat begitu. Berapa banyak musuhnya yang berada di dalam kerumunan ini" Percy mulai tersadar
bahwa tiap pertempuran yang dia menangi semata-mata adalah kemenangan sementara. Tidak peduli
seberapa kuat atau mujur dirinya, tidak peduli berapa banyak monster yang dia habisi, Percy akhirnya
akan tumbang. Dia hanyalah seorang manusia fana. Dia kelak akan menjadi terlampau tua, terlampau
lemah, atau terlampau lamban. Dia nantinya akan mafi. Di sisi lain, monster-monster ini mereka abadi.
Mereka akan kembali lagi. Barangkali mereka bakal butuh waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun
untuk mewujud kembali, mungkin malah berabad-abad. Tapi, mereka pasti akan terlahir kembali.
Melihat mereka berkumpul di Tartarus, Percy merasa harapannya kandas seperti jiwa-jiwa yang
terhanyut di Sungai Cocytus. Lalu kenapa kalau dia pahlawan" Lalu kenapa kalau dia melakukan tindakan berani" Kejahatan
senantiasa hadir, beregenerasi, menggelegak di bawah permukaan. Percy tak lebih dari sekadar
gangguan remeh bagi makhluk-makhluk kekal ini. Suatu hari kelak, putra atau putri Percy mungkin harus
menghadapi mereka lagi. Putra atau putri. Pemikiran itu memedihkannya. Secepat munculnya keputusasaan yang melanda Percy, secepat itu pulalah perasaan tersebut menghilang. Dia melirik Annabeth.
Gadis itu masih menyerupai mayat berbalut kabut, tetapi Percy membayangkan penampilan sejati
Annabeth"mata kelabunya yang penuh tekad, rambut pirangnya yang diikat dengan bandana,
wajahnya yang letih dan bercoreng-moreng debu, tapi tetap secantik biasanya. Oke, mungkin monstermonster itu akan kembali berulang-ulang, untuk selamanya. Tapi, demigod juga begitu. Perkemahan
Blasteran telah bertahan selama bergenerasi-generasi. Demikian pula Perkemahan Jupiter. Meski
berjuang sendiri-sendiri, kedua kubu mampu terus bertahan. Jika bangsa Yunani dan Ro.mawi bisa
bersatu padu, mereka akan semakin kuat. Masih ada harapan. Percy dan Annabeth sudah menempuh
perjalanan sejauh ini. Pintu Ajal hampir dalam jangkauan. Putra dan putri. Pemikiran yang konyol.
Pemikiran yang menakjubkan. Tepat di jantung Tartarus, Percy menyeringai. "Ada apa?" bisik Annabeth.
Di balik tabir zombi Kabut Ajal, Percy barangkali kelihatat sedang menyeringai kesakitan. "Bukan apaapa," katanya. "Aku cuma"Dari depan mereka, sebuah suara menggerung, "IAPETUS!"[]
BAB ENAM PULUH DUA PERCY SESOSOK TITAN MELENGGANG MENGHAMPIRI MEREKA, menendangi monster-monster lebih remeh
yang menghalangi jalannya sambil lalu. Dia kira-kira setinggi Bob dan mengenakan baju tempur indah
dari besi Stygian, sebutir berlian berkilau terang di tengah-tengah tameng dadanya. Matanya putih
kebiruan, seperti warna inti gletser, dan sedingin es. Rambutnya sewarna dengan matanya dan
dipangkas pendek gaya militer. Dia mengepit helm tempur berbentuk kepala beruang. Di sabuknya,
tersandang pedang seukuran papan selancar. Meskipun wajahnya luka-luka bekas bertempur, Titan itu
tampan dan anehnya tampak tidak asing. Percy lumayan yakin dia tidak pernah bertemu Titan yang satu
ini sebelumnya, tetapi mata dan senyumnya mengingatkan Percy pada .... Sang Titan berhenti di depan
Bob. Ditepuknya bahu Bob. "Iapetus! Jangan bilang kau tidak mengenali kakakmu sendiri!" "Tidak!" Bob
menyepakati dengan gugup. "Aku takkan bilang begitu."
Titan yang satu lagi menelengkan kepala ke belakang dan tertawa. "Kudengar kau tercebur ke dalam
Sungai Lethe. Pasti tidak enak! Kami semua tahu kau akhirnya akan sembuh. Aku Koios! Koios!" "Tentu
saja," kata Bob. "Koios, Titan dari ...." "Utara!" ujar Koios. "Aku tahu!" teriak Bob. Mereka tertawa
bersama-sama dan bergantian meninju lengan satu sama lain. Rupanya jengkel akan tumbuk-tumbukan
itu, Bob Kecil merangkak ke kepala Bob dan meringkuk di rambut perak sang Titan. "Iapetus yang
malang," kata Koios. "Mereka pasti sudah merendahkanmu. Lihat dirimu! Sapu" Seragam pelayan"
Kucing di rambutmu" Sungguh, Hades mesti membayar atas penghinaan ini. Siapa si demigod yang
merampas ingatanmu" Bah! Kita harus mencabik-cabiknya, kau dan aku, bukan begitu?" "Ha-ha." Bob
menelan ludah. "Ya, betul. Cabik-cabik dia." Jemari Percy mencengkeram pulpennya semakin erat. Dia
tidak terlalu menyukai kakak Bob, bahkan sebelum Titan itu menyebut-nyebut soal ancaman mencabikcabik. Dibandingkan dengan cara bicara Bob yang polos, Koios terkesan seperti sedang merapalkan
karya Shakespeare. Itu saja sudah cukup untuk membuat Percy kesal. Dia sudah siap mencabut Riptide
jika harus, tetapi sejauh ini Koios tampaknya tidak menyadari kehadiran Percy. Selain itu, Bob juga
belum mengkhianati mereka sekalipun dia punya banyak kesempatan. "Ah, aku gembira melihatmu ...."
Koios mengetukkan jemari ke helm kepala beruang. "Kau ingat keasyikan apa saja yang kita alami pada
zaman dahulu?" "Tentu saja!" Bob mencicit. "Ketika kita, eh ....' "Memegangi ayah kita Ouranos," kata Koios. "Ya! Kita
suka bergulat dengan Papa ...." "Kita menelikungnya." "Itu yang kumaksud!" "Sementara Kronos
mencacah-cacahnya dengan sabit." "Ya, ha-ha." Bob kelihatan agak mual. "Asyik sekali." "Kau
memegangi kaki kanan Ayahanda, seingatku," kata Koios. "Kemudian Ouranos menendang wajahmu
saat dia meronta-ronta. Betapa kami kerap menggodamu karena kejadian itu!" "Bodohnya aku." Bob
mengiakan. "Sayangnya, saudara kita Kronos dihancurleburkan oleh para demigod lancang itu." Koios
mendesah keras. "Potongan kecil saripatinya masih tersisa, tapi mustahil dirinya bisa utuh kembali.
Kurasa memang ada luka-luka yang bahkan tidak sanggup disembuhkan oleh Tartarus." "Sedihnya!"
"Namun demikian, kita yang lain punya kesempatan untuk unjuk kebolehan, bukan begitu?" Dia
mencondongkan badan dengan sikap penuh rahasia. "Raksasa-raksasa ini mungkin mengira bahwa
mereka yang akan berkuasa. Biarkan mereka menjadi pasukan perintis dan membinasakan bangsa
Olympia"yang demikian justru bagus. Tapi, begitu Ibu Bumi terbangun, dia niscaya ingat bahwa kita
adalah anak-anaknya yang tertua. Camkan kata-kataku. Bangsa Titan akan kembali menguasai jagat
raya." "Hmm," kata Bob. "Raksasa mungkin takkan menyukai itu." "Persetan dengan yang mereka
sukai," kata Koios. "Mereka toh sudah melewati Pintu Ajal untuk kembali ke dunia Tana. Polybotes
adalah yang terakhir, Baru keluar setengah jam lalu, masih menggerutu karena melewatkan buruannya.
Rupanya Si anak kucing melompat dari kepala Bob. Dia mengeliling i kaki sang Titan, menyundulkan kepala ke
lipatan celana sang Titan. Bob sepertinya tidak sadar. Percy berharap bisa seyakin Annabeth. Dia
berharap bisa menyampaikan kepada Bob dengan penuh percaya diri bahwa sang Titan sebaiknya
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melupakan masa lalunya. Tapi, Percy memahami rasa bingung Bob. Dia teringat hari ketika dia membuka
mata di Rumah Serigala di California, ingatannya dihapus oleh Hera. Jika seseorang menunggui Percy
sewaktu dia baru bangun, jika mereka meyakinkan Percy bahwa namanya Bob dan dirinya adalah teman
bangsa Titan serta raksasa akankah Percy percaya" Akankah dia merasa dikhianati begitu mengetahui
identitas sejatinya" Ini lain, kata Percy kepada dirinya sendiri. Kami di pihak yang baik. Tapi, benarkah demikian"
Percy meninggalkan Bob di Istana Hades, di bawah belas kasihan majikan baru yang membencinya.
Percy merasa tidak berhak menggurui Bob mesti berbuat apa"sekalipun nyawa mereka kini bergantung
padanya. "Menurutku, kau boleh memilih." Percy angkat bicara. "Ambil bagian yang ingin kau simpan
dari masa lalu Iapetus. Tinggalkan sisanya. Masa depanmulah yang penting." "Masa depan ...." Bob
merenung. "Itu konsep ciptaan manusia fana. Aku tidak semestinya berubah, Percy Kawanku." Dia
menatap ke kerumunan monster di sekelilingnya. "Kami selalu sama selamanya." "Kalau kau sama
seperti dulu," ujar Percy, "Annabeth dan aku pasti sudah mati. Mungkin kita tidak ditakdirkan untuk
berteman, tapi sekarang kita berteman. Kau sahabat terbaik yan bisa kuminta."
Mata perak Bob kelihatan lebih gelap daripada biasanya. Dia mengulurkan tangan, dan melompatlah
Bob Kecil si anak kucing ke telapak tangannya. Sang Titan berdiri tegak. "Kalau begitu, ayo pergi, TemanTeman. Tidak jauh lagi."
Menginjak-injak jantung Tartarus tidak semenyenangkan kedengarannya. Tanah keunguan licin dan
terus berdenyut. Dari jauh, permukaannya tampak datar, tetapi dari dekat, jantung Tartarus berlipatlipat dan berbenjol-benjol sehingga semakin jauh mereka berjalan semakin sulit dilewati. Bonggolbonggol bengkok pembuluh nadi merah dan pembuluh balik biru berfungsi sebagai pijakan ketika Percy
hams mendaki, tetapi perjalanan mereka lambat. Selain itu, tentu saja monster berada di mana-mana.
Kawanan anjing neraka mengendap-endap di bentang alam tersebut, melolong dan menggeram serta
menyerang monster mana saja yang tidak awas. Arai mengepakkan sayap liat mereka untuk berputarputar di atas, menghasilkan siluet gelap seram di awan beracun. Percy tersandung. Tangannya
menyentuh pembuluh nadi merah. Sensasi menggelitik serta-merta merambati lengannya. "Ada air di
sini," katanya. "Air sungguhan." Bob menggeram. "Sam dari kelima sungai. Darahnya." "Darahnya?"
Annabeth menjauh dari gundukan pembuluh balik terdekat. "Aku tahu seluruh sungai Dunia Bawah
bermuara ke Tartarus, tapi?" "Ya." Bob membenarkan. "Semua mengalir lewat jantungnya." Percy
menelusurkan tangan ke jejaring pembuluh kapiler. Apakah air Sungai Styx ataukah mungkin Sungai
Lethe yang mengalir di bawah jemarinya" Jika salah sate pembuluh darah itu
pecah ketika dia injak ... Percy bergidik. Dia menyadari sedang berjalan-jalan di sistem pembuluh darah
paling berbahaya di alam semesta. "Kita sebaiknya bergegas," ajar Annabeth. "Kalau kita tidak bisa ...."
Suaranya melirih. Di depan mereka, kegelapan membelah udara"seperti petir, hanya saja hitam kelam.
"Pintu itu," kata Bob. "Pasti sedang dilewati kelompok besar." Mulut Percy serasa mengecap darah
gorgon. Kalaupun teman-temannya dari Argo II berhasil menemukan sisi luar Pintu Ajal di dunia fana,
mana mungkin mereka sanggup melawan monster yang keluar gerombongan, terutama jika semua
raksasa sudah menanti mereka" "Apa semua monster ini keluar di Gerha Hades?" tanya Percy. "Sebesar
apa tempat itu?" Bob mengangkat bahu. "Barangkali mereka dikirim ke tempat lain ketika keluar. Gerha
Hantu Laut Pajang 2 Goosebumps - Kejutan Di Shock Street Hotel Majestic 2