Hantu Laut Pajang 2
Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang Bagian 2
gan kedai untuk beristirahat, ketika malam semakin
larut *** Jata Sura menghempaskan tubuhnya di atas
kursi. Terdengar helaan napas beratnya yang menan-
dakan kekecewaan hati. Tapi tidak berapa lama kemu-
dian, pemuda itu melompat bangkit ketika mendengar
teriakan Pandara dari kejauhan. Bergegas pemuda itu menyambut kedatangan
pembantunya yang bertubuh
gemuk itu. "Mengapa baru kembali sekarang, Pandara"
Hanya mencari dua orang saja perlu waktu sehari.
Huh! Lalu, sekarang mana Paman Danta dan Paman
Barna Pati...?" tegur Jata Sura.
Pemuda itu segera menyongsong kedatangan
pembantunya. Wajahnya tampak semakin memerah,
ketika melihat tidak adanya Danta dan Barna Pati
yang menyertai Pandara.
"Mereka tidak kutemukan, Tuan Muda. Hamba
telah mencari ke mana-mana tapi tidak berhasil. Seharian hamba mencari, ke
tempat mereka biasa berkum-
pul...," lapor lelaki gemuk itu dengan napas memburu.
Meskipun begitu, dari sorot mata Pandara terlihat
kelegaan. Jelas, ia merasa bersyukur karena tidak menemukan kedua orang pengawal
pribadi tuan mudanya
itu. "Aneh! Tidak biasanya mereka pergi begini la-
ma..." Bahkan biasanya mereka selalu melapor apabila hendak keluar...," gumam
Jata Sura dengan berbagai
tanda tanya memenuhi benaknya. Memang, tidak bi-
asanya kedua orang pengawal pribadinya itu keluar
tanpa melapor terlebih dahulu kepadanya.
Jata Sura dan Pandara yang tengah berpikir ke-
ras, tiba-tiba tersentak ketika mendengar suara lang-
kah kaki mendekati tempat mereka. Serentak kedua-
nya menoleh dengan alis berkerut.
"Ada apa kau menghadap tanpa dipanggil...?" da-
lam kejengkelannya, Jata Sura membentak prajurit
yang tergopoh-gopoh datang menghadap itu.
"Maaf, Tuan Muda.... Mmm..., Perwira Kala
Sungga ingin menghadap...," lapor prajurit itu, takut-takut. Tubuh prajurit itu
tampak agak gemetar akibat bentakan Jata Sura. Hatinya baru lega ketika melihat
junjungannya menganggukkan kepala.
Kemudian prajurit itu berbalik, dan pergi dari si-
tu. Namun, sebentar saja dia sudah kembali bersama
seorang perwira bertubuh tinggi besar. Pada wajahnya tampak dihiasi cambang bauk
yang lebat "Tuan muda! Aku Kala Sungga datang mengha-
dap...," perwira tinggi besar yang ternyata bernama Ka-la Sungga membungkuk
hormat kepada pemuda itu.
Lalu, segera saja diceritakan keperluannya.
"Apa...!" Danta dan Barna Pati tewas" Siapa yang
membunuh mereka" Dan di mana kalian menemukan
mayatnya..."!
Terkejut bukan main Jata Sura ketika mendengar
laporan perwira tinggi besar itu. Segera saja ia bergegas mengikuti Kala Sungga
yang memang telah mem-
bawa mayat kedua orang pengawal pribadinya.
Gemetar sekujur tubuh Jata Sura ketika melihat
mayat kedua orang pengawal pribadinya. Apalagi, me-
nyaksikan mayat Danta yang kepalanya terpisah dari
badan. Karuan saja pemuda itu bertambah murka.
"Keparat! Manusia gila dari mana yang berani
melakukan kekejian ini...!" desis Jata Sura mengepalkan tinjunya erat-erat.
Hati Jata Sura sedih bukan main. Dua orang
pengawal pribadinya ini telah mengabdikan diri semenjak ia kecil. Tapi kini,
mereka tewas dengan kematian begitu menyedihkan, tanpa diketahui siapa yang
telah melakukannya.
"Di tempat mayat mereka terbaring, kami mene-
mukan tulisan Hantu Laut Pajang yang ditulis dengan darah. Rupanya sebelum
kematiannya, Barna Pati
sempat menuliskan nama pembunuh keji itu. Hanya
saja aku merasa heran, sebab Hantu Laut Pajang telah lama hilang dari dunia
persilatan. Tapi, orang yang sudah hampir mati tidak mungkin salah menuduh...,"
kata Kala Sungga, menyadarkan Jata Sura dari kese-
dihannya. "Hantu Laut Pajang...," desis Jata Sura tanpa
mempedulikan ucapan Kala Sungga, "Kau boleh pergi,
Kala Sungga. Tapi jangan lupa, selidikilah siapa sebenarnya yang telah melakukan
pembunuhan ini...."
Tanpa banyak membantah lagi, Kala Sungga se-
gera saja bergegas meninggalkan Jata Sura. Pandara
pun ikut meninggalkan tempat itu setelah memerin-
tahkan para prajurit membawa mayat Danta dan Bar-
na Pati, untuk segera dimakamkan. Kini tinggallah Ja-ta Sura termenung seorang
diri dengan wajah murung.
"Hm.... Aku harus memberitahukan ayah tentang
kejadian ini," desis pemuda itu yang segera beranjak dan bersiap memberitahukan
Senapati Gada Sura
yang berada di istana.
*** Senapati Gada Sura segera saja bergegas me-
ninggalkan istana setelah menerima laporan dari pu-
tranya. Lelaki gagah bertubuh gemuk berwajah bersih itu tentu saja menjadi geram
mendengar laporan pu-tranya itu. Sebelum meninggalkan Istana Bantar Ge-
bang, lelaki gagah itu mengajak dua orang jagoan istana untuk membantunya.
Untungnya, semua kejadian
itu tidak sampai terdengar pejabat lain atau keluarga kerajaan. Hanya Senapati
Gada Sura dan dua orang
jagoan istana Itu sajalah yang mengetahuinya. Kalau sampai terdengar, bukan
mustahil akan menimbulkan
kegemparan. "Apa kau tidak salah dengar kalau yang melaku-
kan pembunuhan itu adalah Hantu Laut Pajang...?"
tanya Senapati Gada Sura setelah tiba di tempat ke-
diamannya. Suara lelaki gemuk itu terdengar berat dan keras,
sewajarnya seorang pembesar tinggi harus selalu berwibawa.
"Tidak, Ayah. Kalau Ayah masih kurang percaya,
silakan tanya kepada Paman Kala Sungga. Dialah yang menemukan mayat dan tulisan
dengan darah itu...,"
sahut Jata Sura menoleh ke arah lelaki tinggi besar berwajah brewok yang juga
telah dipanggil menghadap Senapati Gada Sura.
"Benar, Tuan. Hanya yang masih hamba heran-
kan, tokoh yang berjuluk Hantu Laut Pajang itu telah lama lenyap dan tidak
pernah terdengar lagi kabar-nya...," jelas Kala Sungga.
"Aku pun merasa heran, Kala Sungga. Dan me-
mang, menurut apa yang kudengar pun demikian. Tapi
untuk lebih jelasnya, aku akan menugaskan Adi Ba-
rangga dan Ki Tumbal Waru untuk menyelidikinya. Ka-
lau memang Hantu Laut Pajang masih hidup dan be-
nar melakukan pembunuhan terhadap kedua orangku,
bunuh saja tokoh itu...," kata Senapati Gada Sura
sambil menoleh ke arah dua orang jagoan istana yang memang sengaja dibawanya
untuk tugas itu.
"Jangan khawatir, Tuan Senapati. Kami berdua
akan melaksanakan tugas ini sebaik-baiknya. Tidak
sulit rasanya untuk mencari tokoh itu, karena mereka tinggal di daerah pantai
sebelah Utara Laut Pajang.
Bukan begitu, Adi Barangga...?" lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun yang
bernama Ki Tumbal Waru
itu menolehkan kepala ke arah lelaki gemuk dan ber-kepala agak botak yang
bernama Barangga.
"Benar, Tuan Senapati. Serahkan saja persoalan
ini kepada kami berdua. Percayalah. Dalam waktu de-
kat, kami akan segera mengabarkan hasilnya...," janji lelaki gemuk bernama
Barangga itu sambil terkekeh
parau. Jelas, ucapannya itu menandakan kesombon-
gan hatinya. "Baiklah. Kapan kalian berangkat...?" tanya Se-
napati Gada Sura singkat. Sepertinya, ia ingin selalu bertindak cepat dalam
segala sesuatu.
"Kalau diizinkan, sekarang juga kami akan be-
rangkat," langsung saja Ki Tumbal Waru menyahuti
tanpa menunggu keputusan Senapati Gada Sura. Se-
dangkan Gada Sura mengangguk saja menyetujui.
Tanpa banyak cakap lagi, Senapati Gada Sura
langsung memerintahkan agar mereka segera berke-
mas. Sedangkan ia sendiri segera saja memasuki ka-
mar yang khusus untuk beristirahat apabila di istana sedang tidak ada tugas.
Ruang pertemuan itu pun kembali sunyi, setelah
semua orang yang berada di dalamnya pergi mengem-
ban tugas masing-masing.
*** Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, dua
orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang bergegas menuju Pantai Utara. Laut
Pajang. Tujuan mereka jelas. Mencari Hantu Laut Pajang untuk meminta penje-
lasan tokoh itu mengenai pembunuhan dua orang ke-
percayaan Senapati Gada Sura.
Ki Tumbal Waru dan Barangga tiba-tiba meng-
hentikan larinya, saat mereka baru menginjakkan kaki di pantai sebelah Utara
Laut Pajang. Memang, satu setengah tombak di depan mereka berdiri tegak seorang
lelaki tegap yang melindungi wajahnya dengan caping bambu. Merasa kalau sosok
bercaping itu sengaja
menghadang jalan, Barangga segera saja menegurnya.
"Kisanak! Apakah kau ada keperluan dengan
kami berdua?" tanya Barangga agak hati-hati sambil
meneliti sosok tegap di depannya.
Sepasang mata lelaki gemuk itu nampak agak
menyipit seperti hendak menilai sosok bercaping bam-bu itu.
"Hm.... Seharusnya, akulah yang bertanya kepa-
da kalian berdua. Apa keperluan kalian hingga sampai ke daerah kekuasaanku ini?"
sahut sosok tegap yang
wajahnya terlindung caping bambu itu.
Sambil berkata demikian, tangannya bergerak
menaikkan tepi caping. Tampaklah sepasang mata
yang menyorot tajam menggetarkan.
"Hm.... Siapa kau, hingga berani-beraninya men-
gaku pantai ini merupakan daerah kekuasaanmu"
Kami kenal, siapa pemilik Pantai Utara Laut Pajang ini.
Dan kami pun tahu, orang itu bukanlah kau, Kisanak.
Jadi, kau tidak mempunyai hak bertanya seperti itu!"
Ki Tumbal Waru yang semenjak tadi hanya diam me-
natapi sosok bercaping itu, mulai angkat bicara. Nada suaranya demikian tegas
dan tandas. "Ha ha ha.... Begitukah" Lalu, tahukah kalian.
Siapa orang yang kini berdiri menghadang jalan ka-
lian"!" kata sosok bercaping itu, lebih mantap dan
menggeletar. Jelas kalau ia telah mengerahkan tenaga
dalamnya melalui suara itu.
"Pemilik tempat ini adalah sahabat kami yang
berjuluk Hantu Laut Pajang. Dan, aku tidak tahu siapa dirimu. Maka sebaiknya
menyingkirlah, sebelum ter-lambat...," sahut Barangga dengan tekanan ancaman
halus. Tampaknya lelaki gemuk jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang ini mulai
tidak sabar menanggapi ucapan sosok bercaping itu.
Sosok tinggi tegap yang wajahnya terlindung di
balik caping bambu itu kembali memperdengarkan su-
ara tawanya, seraya menggerakkan tangannya untuk
melepas caping yang menyembunyikan wajahnya. Ta-
pak seraut wajah kehitaman yang di sebelah kiri wa-
jahnya terdapat sebuah luka seperti bekas penyakit
kulit. Tentu saja Ki Tumbal Waru dan Barangga sema-
kin berkerut kening, karena sama sekali tidak mengenali seraut wajah yang jelas
masih muda di depannya.
"Hm.... Kalian pasti tidak kenal wajahku lagi yang
telah menjadi buruk ini. Tapi, ketahuilah. Aku tidak pernah melupakan kebiadaban
kalian yang telah
membantai keluargaku secara keji di Laut Pajang. Untuk itulah aku menghadang
kalian di tempat ini. Mak-sudku adalah hendak mencabut nyawa kalian berdua,"
tegas sosok tegap berwajah buruk yang ternyata Bhi-
rawa. Rupanya, kedua orang jagoan istana itu terma-
suk dalam daftar musuh-musuh keluarganya. Ma-
kanya dia menghadang perjalanan Ki Tumbal Waru
dan Barangga. Baik Ki Tumbal Waru maupun Barangga agak
tersentak mendengar ucapan pemuda itu. Meskipun
peristiwa itu telah dapat diingat, tapi mereka sama sekali tidak bisa mengenali
pemuda berwajah buruk
yang berada di depannya itu.
"Maaf. Aku tetap tidak mengenalmu, Kisanak.
Tapi kalau memang hendak membalas dendam, se-
butkanlah namamu. Dan, apa hubunganmu dengan
peristiwa itu...?" tanya Ki Tumbal Waru yang memang tidak bisa mengenali pemuda
berwajah buruk yang
memiliki sepasang mata mencorong tajam itu.
"Baik, namaku Bhirawa. Dan mengenai hubun-
ganku dengan peristiwa itu maupun orang-orang yang
kalian bantai secara kejam, rasanya tidak perlu lagi ku jelaskan...," sahut
Bhirawa datar namun penuh menyimpan dendam kesumat.
"Aaah...!?"
Barangga tersentak mundur dengan wajah agak
berubah. Jelas, ia sangat terkejut mendengar nama
pemuda bertubuh tegap itu. Sepasang matanya tam-
pak melotot lebar, bagaikan orang melihat hantu di
siang bolong! "Mustahil..."!" desis Ki Tumbal Waru yang juga
hampir tidak mempercayai pendengarannya.
Berbeda dengan Barangga, Ki Tumbal Waru me-
natap tajam seolah-olah ingin memastikan kalau pe-
muda itu tidak berbohong atau sengaja menakut-
nakutinya. Memang, Bhirawa yang mereka kenal, tentu saja berbeda jauh dengan
pemuda buruk rupa itu.
"Sudahlah. Tidak perlu lagi kalian berpura-pura
pikun sebaiknya, bersiaplah untuk menerima kema-
tian...!" desis Bhirawa tanpa mempedulikan keterkejutan kedua orang musuh
keluarganya. Swing...! Tahu-tahu saja, sebilah pedang bersinar kebi-
ruan telah tergenggam di tangan kanan pemuda itu.
"Hantu Laut Pajang..."!"
Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua orang jagoan istana itu tersentak mundur
begitu mengenali senjata yang berada dalam gengga-
man Bhirawa. Jelas mereka sangat terkejut melihat
adanya senjata yang sekarang berada di tangan pemu-
da berwajah buruk itu.
"Ya! Dan, senjata ini pulalah yang telah menghi-
rup darah dua orang manusia busuk Danta dan Barna
Pati semalam...," desis Bhirawa datar.
Kemudian senjata Bhirawa dilintangkan di depan
dada. Siap untuk menghirup darah musuh-musuh ke-
luarganya yang masih tersisa. *** 6
Ki Tumbal Waru dan Barangga cukup terkejut
mendengar pengakuan pemuda buruk rupa itu. Untuk
meyakinkan hatinya, kedua jagoan kerajaan itu kem-
bali meneliti sosok tinggi tegap di depannya.
"Benarkah kau yang telah membunuh Danta dan
Barna Pati dengan menyamar sebagai Hantu Laut Pa-
jang...?" tanya Barangga masih tetap meragukan pen-
gakuan Bhirawa.
Keraguan lelaki gemuk itu bukannya tanpa ala-
san. Ia sendiri cukup tahu, sampai di mana kepan-
daian kedua orang pengawal pribadi putra atasannya.
Bahkan Barangga sendiri harus memerlukan waktu
yang cukup lama untuk dapat menundukkan Danta
dan Barna Pati. Jadi, wajar saja kalau ia tidak begitu yakin kalau pemuda buruk
rupa itu yang telah membunuh Danta dan Barna Pati.
"Hm.... Percaya atau tidak, itu terserah kalian.
Yang jelas, akulah yang telah menghukum kedua ja-
hanam busuk itu! Dan aku tidak menyamar sebagai
Hantu Laut Pajang, karena memang aku sendiri yang
kini berjuluk Hantu Laut Pajang. Itu bisa kalian yakini dengan senjata kebesaran
tokoh itu yang kini berada di tanganku," jelas Bhirawa tanpa mempedulikan keti-
dakpercayaan lelaki gemuk itu.
"Jadi..., kau putra...."
"Ya! Sekarang bersiaplah menerima kematian...!"
potong Bhirawa tanpa memberi kesempatan kepada Ki
Tumbal Waru untuk menyelesaikan kalimatnya.
Usai berkata demikian, pemuda berwajah buruk
yang penuh perbawa itu bergerak ke kiri sambil menggerakkan pedangnya.
Yakin kalau pemuda itu memang benar-benar
pembunuh yang dicarinya, maka Ki Tumbal Waru dan
Barangga segera saja bergerak merenggang.
"Kalau begitu, kau bukan saja harus ditangkap.
Tapi, kau juga harus menerima hukuman berat..," de-
sis Ki Tumbal Waru yang kini merasa geram.
Ki Tumbal Waru dan Barangga sepertinya tidak
ingin menganggap remeh pemuda itu. Terbukti, mere-
ka telah mencabut senjata masing-masing.
Wuuut! Wuuut! Barangga menggeser langkahnya ke kanan sam-
bil mengibaskan senjata di tangannya yang berupa sebilah pedang tipis. Terdengar
suara mengaung ketika senjata di tangan lelaki gemuk itu berputar membentuk
gulungan sinar memanjang.
Sedangkan Ki Tumbal Waru dengan sepasang
pedang sepanjang dua jengkal, telah pula menggeser
tubuhnya ke kiri pemuda itu. Sepasang pedang pen-
deknya berkesiutan membeset udara, ketika digerak-
kan. Jelas, kedua orang jagoan istana itu sama-sama
memiliki tenaga dalam tinggi.
Bhirawa yang dikepung dari dua arah, tetap ber-
sikap tenang. Langkah-langkahnya terlihat demikian
kokoh dan mantap. Sepertinya, pemuda itu sangat ya-
kin akan kepandaian yang dimiliki. Hal itu tergambar jelas dari pancaran mata
dan raut wajahnya yang tenang. "Haaat..!"
Barangga yang memang memiliki sikap tidak sa-
bar, segera saja memulai serangan dengan sebuah
bentakan nyaring. Seketika itu juga, tubuh gemuknya langsung bergerak maju
dengan langkah-langkah pendek namun menampakkan kekokohan. Senjata di tan-
gannya bergerak turun naik berkecepatan tinggi. Jelas, jurus yang digunakannya
bukan ilmu pasaran!
Dengan selisih waktu yang tidak lebih dari seke-
jap mata, Ki Tumbal Waru pun telah pula membuka
serangan. Tubuh lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun itu melenting ke
udara diiringi pekikan nyaring.
Melihat gerakan dua orang itu yang sangat ber-
beda, sadarlah Bhirawa kalau lawan hendak memecah
perhatiannya dengan serangan dari atas dan bawah.
"Heaaah...!"
Bhirawa berseru pendek sambil mengkelebatkan
pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam. Kemu-
dian langsung disambutnya serangan dua orang lawan
dengan menggeser langkah ke kiri dan kanan. Gerakan itu dimaksudkan untuk
menipu, agar lawan-lawannya
tak mudah menduga ke mana serangannya ditujukan.
Serangan Barangga tiba lebih dulu dengan kece-
patan menggetarkan! Senjata di tangannya mengaung,
membelah udara dengan ujungnya yang bergetar ba-
gaikan mengincar beberapa jalan darah kematian di
tubuh Bhirawa. Langsung saja pemuda berwajah bu-
ruk itu memutar senjatanya untuk menyambut ujung
pedang lawan. Wettt! Wettt! Mendadak saja ketika ujung pedang itu hampir
berbenturan, Barangga merubah gerakan dengan me-
mutar pergelangan tangannya. Sehingga, ujung pe-
dangnya berputar setengah lingkaran dan meluncur
deras mengancam tenggorokan lawan!
Cuittt! Tapi, Bhirawa rupanya sudah menduga akan ge-
rakan tipu lawannya. Terbukti, ketika ujung pedang
lawan berputar dan mengancam tenggorokannya, pe-
muda itu cepat menarik mundur tubuhnya satu lang-
kah dengan kuda-kuda agak rendah. Sehingga, pedang
lawan lewat di depan wajahnya, sejengkal lebih ke
atas. "Yiaaah...!"
Bhirawa yang tak ingin membuang setiap peluang
yang dilihatnya, segera saja menusukkan pedang lu-
rus-lurus ke depan, mengincar tepat di jantung lawan!
Swing...! Sayang, Bhirawa tidak mempunyai banyak ke-
sempatan untuk melanjutkan serangan mautnya. Ka-
rena pada saat yang bersamaan, Ki Tumbal Waru su-
dah datang menerjang dengan sepasang pedang pen-
deknya. Suara mendesing-desing yang ditimbulkan
sambaran pedang pendek lelaki tua itu, membuat Bhi-
rawa terpaksa harus memutar tubuhnya. Langsung
pedangnya dikibaskan dalam keadaan berputar!
Ki Tumbal Waru yang melihat serangan balasan
pemuda itu, cepat mengangkat pedang di tangan ka-
nannya untuk menangkis.
Trang...! Terdengar benturan yang menimbulkan percikan
bunga api. Tubuh keduanya tampak sama melompat
mundur, sejauh satu setengah tombak. Jelas, baik
Bhirawa maupun Ki Tumbal Waru sama memiliki te-
naga dalam yang kuat dan seimbang.
Bhirawa yang belum lagi sempat mengatur kuda-
kudanya, cepat merendahkan tubuh. Karena, pada
saat itu juga, pedang Barangga datang mengancam
disertai suara mengaung tajam!
Cuiiit..! "Aaah...!?"
Bhirawa memekik tertahan ketika hampir saja
mata pedang lawan menggores lehernya! Untungnya,
pemuda itu masih sempat memiringkan kepala dengan
membentuk kuda-kuda serong. Sehingga, mata pedang
itu lewat tiga jari di samping kulit lehernya!
"Hihhh!"
Tindakan Bhirawa dalam melakukan serangan
balasan rupanya memang patut dipuji. Kejelian ma-
tanya dalam memanfaatkan setiap peluang, membuat
pemuda itu cepat tanggap. Maka pada saat berhasil
menghindari sambaran mata pedang itu, langsung saja kaki kanannya terlontar
menghajar tubuh Barangga!
Buggg! "Hukhhh...!"
Tendangan yang keras itu telak menghajar perut
Barangga yang memang tidak pernah menduga akan
kejelian mata lawannya. Karuan saja tubuhnya lang-
sung terjungkal ke belakang. Untungnya, lelaki gemuk itu bisa menguasai keadaan.
Cepat tubuhnya melenting dan bersalto beberapa kali, untuk kemudian men-
darat empuk sejauh dua tombak dari lawan. Meski
demikian, terlihat wajahnya agak meringis menahan
nyeri. Pada sudut bibirnya tampak lelehan darah se-
gar, yang membuatnya semakin geram.
Saat itu, Bhirawa yang berniat menyusuli seran-
gannya selagi tubuh lawan berada di udara, terpaksa harus menundanya. Karena
pedang pendek Ki Tumbal
Waru memang sudah mencegahnya!
Wettt! Wettt! Wettt!
Serangkaian sambaran pedang pendek di tangan
Ki Tumbal Waru datang susul-menyusul diiringi deci-
tan-decitan menyakitkan telinga. Untuk beberapa saat lamanya, Bhirawa terpaksa
harus bermain mundur.
Serangan orang tua itu memang cukup membuatnya
kerepotan! "Hiaaah...!"
Ki Tumbal Waru sepertinya tidak lagi ingin mem-
beri peluang kepada lawan untuk membalas. Terbukti
serangan sepasang pedang pendeknya tidak berhenti
sampai di situ saja. Senjata sepanjang dua jengkal itu terus menyambar-nyambar
hebat! Tentu saja Bhirawa
semakin terdesak hebat!
Gencarnya serangan yang dilontarkan Ki Tumbal
Waru sepertinya tidak sia-sia. Setelah selama sepuluh jurus lebih mencecar
lawannya, akhirnya salah satu
dari pedang pendeknya berhasil merobek lengan ba-
gian atas pemuda itu!
Wuttt.... Crasss...!
"Aaakh...!"
Bhirawa terpekik kaget saat ujung pedang pen-
dek di tangan lawan mengenai bagian tubuhnya. Da-
rah segar segera menyembur dari luka yang cukup da-
lam dan panjang itu. Bahkan Bhirawa sempat melintir dibuatnya!
"Haiiit...!"
Selagi tubuh lawan melintir akibat sambaran sa-
lah satu pedang pendeknya, Ki Tumbal Waru berseru
keras sambil melontarkan tendangan berputar ke ke-
pala lawannya. Namun dalam keadaan yang cukup su-
lit itu, rupanya Bhirawa sempat melihat datangnya
tendangan maut. Langsung saja tubuhnya bergeser
untuk menghindar. Sayang ia masih kalah cepat den-
gan lawannya. Sehingga....
Desss...! Tendangan itu ternyata masih sempat menghajar
punggungnya! Maka karuan saja tubuh pemuda ter-
lempar, dan tersungkur mencium tanah! Darah segar
semakin banyak mengalir dari lukanya. Tendangan ke-
ras tadi memang tepat mengenai dekat bagian lukanya.
"Uhhh...!"
Bhirawa mengeluh sambil meringis menahan sa-
kit pada lukanya. Tapi selagi pemuda itu bergerak
hendak bangkit, Barangga datang menjejakkan ka-
kinya ke tubuh pemuda itu!
Derrr! Debu mengepul ketika telapak kaki yang disaluri
tenaga dalam menjejak tanah di dekat tubuh Bhirawa.
Karena, pemuda itu sempat menggulingkan tubuhnya
untuk menghindar.
Tapi, Barangga bukan orang bodoh. Maka begitu
pijakannya luput, kaki itu langsung terlontar menghajar lambung Bhirawa!
Desss...!"
"Hukhhh...!"
Tendangan keras itu telak mengenai lambung
Bhirawa. Seketika itu juga tubuhnya bagai disentak-
kan bangkit secara paksa, dan tumbang kembali disertai keluhannya. Darah segar
pun semakin banyak yang keluar dari mulut pemuda itu.
Barangga yang rupanya sangat bernafsu untuk
menewaskan lawan, mengobat-abitkan pedangnya ke
tubuh Bhirawa yang terus bergulingan menghindarkan
diri. Meskipun demikian, tak urung beberapa buah
goresan ujung pedang harus diterimanya. Dan akhir-
nya, Bhirawa tidak lagi mampu untuk menggulingkan
diri. Pemuda itu hanya terdiam pasrah, menanti da-
tangnya maut yang akan menjemput!
"Hiyaaa...!"
Wukkk...! Pedang di tangan Barangga berkeredep menyi-
laukan mata, hendak membelah tubuh Bhirawa. Se-
dangkan pemuda itu menatap tak berkedip, pasrah
menerima kematiannya.
Mata pedang Barangga meluncur deras tanpa da-
pat dicegah lagi! Nampaknya, riwayat Hantu Laut Pa-
jang harus tamat di tangan salah seorang jagoan Kerajaan Bantar Gebang.
Trang...! "Aaah...!"
Mendadak, pada saat yang sangat gawat bagi ke-
selamatan Bhirawa, meluncur seberkas sinar hitam
dengan kecepatan tidak bisa ditangkap mata biasa.
Kemudian, sinar itu langsung membentur pedang di
tangan Barangga yang siap menamatkan riwayat Han-
tu Laut Pajang.
Benturan sinar hitam itu ternyata berakibat san-
gat mengejutkan! Bukan saja pedang di tangan Ba-
rangga dapat dibuat terpental lepas dari genggaman, bahkan tubuhnya hampir
terjengkang jatuh! Tentu sa-ja kenyataan itu hampir membuat Barangga tidak
mempercayainya. Dia lalu bangkit, dengan mata tertu-ju ke arah penyerangnya.
"Siapa kau..."!" bentak Barangga.
Mata laki-laki gemuk itu melotot bagai hendak
keluar ketika melihat seorang pemuda berjubah putih yang membantu Bhirawa
Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bangkit. Wajah pemuda itu
bersih dan tampan, dengan senyum ramah menghias
wajahnya. Bhirawa yang sama sekali tidak menduga kalau
nyawanya bisa selamat, tertegun menatap pemuda
tampan berjubah putih yang berusia sebaya dengan-
nya. Bhirawa segera menundukkan wajahnya, tidak
berani menentang pandangan mata pemuda tampan
yang terlihat demikian tajam dan mengandung perba-
wa amat kuat. 'Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak...,"
ucap Bhirawa, tanpa mengangkat wajahnya. Dia juga
masih belum percaya kalau nyawanya selamat.
Pemuda tampan berjubah putih itu hanya men-
gangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum meneri-
ma ucapan terima kasih Bhirawa. Dibawanya pemuda
itu bangkit, dan disandarkannya di dinding karang.
"Bagaimana dengan musuh-musuhku itu, Kisa-
nak...?" tanya Bhirawa mengalihkan pandangan ke
arah dua orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang.
Kening pemuda berwajah buruk itu tampak ber-
kerut, ketika melihat adanya sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian hijau yang
tengah berdiri menghadapi kedua orang musuhnya.
"Gadis berpakaian hijau itu adalah kawanku. Ja-
di, tenangkanlah dirimu...," jelas pemuda berjubah putih, sebelum sempat
bertanya. Pemuda berjubah putih itu memang Panji, yang
di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Naga Putih. Sedangkan
gadis jelita berpakaian hijau yang tak lain dari Kenanga. Kemudian tanpa banyak
cakap lagi Pendekar Naga Putih segera mengobati luka-luka di tubuh Bhirawa.
Kekaguman di hati Bhirawa semakin bertambah
ketika merasakan betapa jemari tangan pemuda itu
demikian lincah dalam melakukan pengobatan terha-
dap dirinya. Bahkan obot-obatan yang diberikan pe-
muda tampan itu sangat manjur. Maka tentu saja se-
mua itu membuat Bhirawa jadi terbengong-bengong.
Kau hebat sekali, Kisanak. Aku benar-benar ka-
gum dan tunduk kepadamu...," aku Bhirawa tulus
dengan wajah berseri.
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum menang-
gapi ucapan tulus pemuda berwajah buruk itu.
"Sekarang kau istirahatlah. Biar kami yang akan
menangani kedua orang itu...," ujar Panji yang segera bergerak meninggalkan
Bhirawa. "Maaf. Kalau kami mencampuri urusan ini, Kisa-
nak sekalian. Tapi melihat betapa teganya kalian me-nyiksa lawan yang sudah
tidak berdaya, rasanya aku
tidak bisa tinggal diam. Alangkah lebih baik apabila musuh yang sudah tidak
berdaya, diampuni dan dibawa kembali ke jalan kebenaran. Dengan demikian, ka-
lian berarti bukan saja telah menolong jiwanya, tapi juga menyelamatkan manusia-
manusia lain. Karena,
bisa saja pemuda itu jadi menyadari kesalahannya selama ini...," kata Pendekar
Naga Putih dengan tutur kata yang halus dan sopan. Sehingga, baik Barangga
maupun Ki Tumbal Waru saling berpandang sejenak.
"Hm.... Siapakah kau, Kisanak. Usia dan penam-
pilan mu mengingatkanku pada seorang pendekar
yang telah menggemparkan dunia persilatan. Benar-
kah dugaanku kalau kau yang berjuluk Pendekar Naga
Putih...?" Ki Tumbal Waru yang semenjak tadi memang memperhatikan pemuda tampan
itu secara teliti, segera saja mengungkapkan dugaannya meski agak ragu.
"Benar, Orang tua. Sahabatku ini adalah orang
yang berjuluk Pendekar Naga Putih," sahut gadis ber-paras jelita berpakaian
serba hijau itu cepat.
"Hm.... Sebagai seorang pendekar besar yang se-
lalu menentang setiap kejahatan, seharusnya kau ti-
dak menghalangiku untuk melenyapkan pemuda lak-
nat itu. Ketahuilah, pemuda berwajah buruk itu ada-
lah seorang pemberontak yang telah melakukan pem-
bunuhan terhadap dua orang pembantu Senapati Ga-
da Sura. Bahkan dia pula yang telah membunuh bebe-
rapa prajurit pada beberapa hari yang lewat Nah! Apakah kau masih tetap ingin
membela penjahat itu, Pendekar Naga Putih...?"
Barangga yang masih menyimpan kejengkelan
terhadap campur tangan pemuda itu, menjelaskan du-
duk perkaranya. Tentu saja dengan maksud agar Pen-
dekar Naga Putih tidak ikut campur tangan dalam perkara ini.
"Maaf. Sebelumnya, mungkin dugaanku akan
sama dengan kalian. Tapi setelah melihat pedang yang menjadi lambang seorang
tokoh sahabat guruku, maka
aku merasa yakin kalau pemuda itu bukan seorang
penjahat seperti yang kalian, tuduhkan. Kalaupun ia telah melakukan pembunuhan,
pasti ada alasan kuat
di balik semua perbuatannya. Kuharap, kalian berdua suka memaafkan perbuatannya.
Berilah kepercayaan
kepadaku untuk menyadarkannya," kata Pendekar Na-
ga Putih. Panji yang kedatangannya memang bukan tanpa
sebab, sepertinya masih tetap ingin membela pemuda
berwajah buruk itu. Dan apa yang dikatakannya pun
memang merupakan kebenaran. Memang tokoh yang
berjuluk Hantu Laut Pajang itu merupakan sahabat
lama gurunya. Kedatangannya ke tempat itu pun hen-
dak mengunjungi tokoh sahabat gurunya.
"Pendekar Naga Putih! Apa pun alasanmu, pe-
muda itu merupakan ancaman yang sangat berbahaya
bagi kami dan juga atasan kami. Untuk itu, kami ditu-gaskan untuk melenyapkan
nya. Kalau kau menentang
kami, itu sama artinya hendak memberontak terhadap
Kerajaan Bantar Gebang!" dengus Ki Tumbal Waru.
Laki-laki tua yang memang diberi tugas Senapati
Gada Sura untuk mendapatkan pemuda itu hidup
atau mati, tidak bisa menerima alasan Panji. Dan ia tetap berkeras hendak
mengambil Bhirawa, meskipun
untuk itu harus berhadapan dengan Pendekar Naga
Putih yang kesaktiannya telah menggemparkan jagad.
Panji tersenyum dengan wajah tetap tenang. Se-
pertinya pemuda tampan itu sama sekali tidak gentar atas gertakan Ki Tumbal Waru
yang mengatasnama-kan Kerajaan Bantar Gebang. Dan Panji bukan pemu-
da bodoh. Kalau memang pemuda itu musuh kerajaan,
tentunya bukan hanya mereka berdua yang akan diki-
rim untuk menangkapnya. Tapi, orang-orang berpa-
kaian prajuritlah yang akan melakukan tugas itu.
Sekali melihat saja, Panji dapat menilai kalau Ki
Tumbal Waru dan Barangga merupakan orang-orang
kasar yang mungkin bekerja untuk kepentingan seseo-
rang. Bukan untuk kerajaan. Pikiran itulah yang
membuat Panji tidak gentar, meskipun kedua orang itu menggertaknya.
"Maaf. Apa pun alasannya aku tetap tidak akan
membiarkan pemuda itu menjadi korban keganasan
kalian," tegas Panji yang sepertinya tetap ingin membela Bhirawa. Memang
Pendekar Naga Putih dapat meli-
hat pancaran kebaikan di hati Bhirawa.
"Kalau begitu, kami harus menggempurmu...,"
geram Barangga dengan sikap mengancam.
Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu berge-
rak merenggang. Demikian pula halnya Ki Tumbal Wa-
ru. Lelaki tua itu pun sudah siap hendak menyerang
Pendekar Naga Putih.
*** 7 Kenanga yang tadi hanya mendengarkan perde-
batan kekasihnya dengan dua orang jagoan Kerajaan
Bantar Gebang, melangkah maju. Rasa penasaran
yang semenjak tadi ditahannya bangkit seketika.
"Biar aku yang memberi pelajaran kepada mere-
ka, Kakang. Rasanya kalau hanya untuk menghadapi
dua ayam sayur ini kau tidak perlu turun tangan," ujar Kenanga sambil menatap
kekasihnya meminta perse-tujuan. Biarpun marahnya demikian besar, namun ga-
dis itu tidak berani melangkahi Panji.
Panji yang mengetahui sifat kekasihnya terme-
nung sejenak. Disadari kalau pribadi gadis jelita itu lembut Tapi dia sadar pula
kalau Kenanga bila memberi hajaran kepada orang-orang yang tidak disukainya,
atau berani menghina kekasihnya, dapat bersikap keras. Pikiran itulah yang
membuat Panji termenung.
"Untuk kali ini, biarlah aku saja yang menghada-
pi mereka. Kau menyingkirlah, Kenanga...," tolak Panji, setelah berpikir sesaat.
Tanpa membantah lagi, Kenanga segera saja ber-
gerak menyingkir. Meskipun hatinya penasaran, na-
mun ia tidak mau membantah ucapan kekasihnya.
Pendekar Naga Putih melangkah maju, dan berdi-
ri tegak menghadapi kedua orang lawannya dalam ja-
rak satu tombak lebih. Sikap dan wajahnya tetap terlihat tenang, tanpa sorot
kebencian atau permusuhan.
"Silakan kalian memulai...," ucap Panji tanpa
persiapan sedikit pun. Kedua kakinya sama sekali tidak menunjukkan kalau telah
siap tempur. Ki Tumbal Waru dan Barangga pun menyadari
sikap pemuda itu. Tapi, justru sikap tenang tanpa persiapan pemuda itulah yang
membuat mereka berhati-
hati. Jelas, sikap itu menandakan kalau Pendekar Na-ga Putih memang sudah tidak
perlu siap-siap dalam
menghadapi pertarungan. Dalam keadaan bagaimana-
pun, seorang pendekar besar seperti pemuda tampan
itu dapat saja bergerak ke mana suka. Itulah yang
membuat Ki Tumbal Waru dan Barangga berhati-hati.
Dengan geseran telapak kaki lembut, kedua
orang jagoan istana itu bergerak mengitari Pendekar Naga Putih. Sejauh itu,
mereka belum menunjukkan
tanda-tanda untuk memulai serangan. Sepertinya, me-
reka hendak mencari kelemahan pemuda tampan itu.
Panji sendiri tetap berdiri tegak tanpa merubah
kedudukannya. Hanya sepasang matanya saja yang
bergerak mengikuti gerak-gerik kedua orang lawannya.
"Haiiit...!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Ki Tumbal
Waru memulai serangannya dari samping kiri Pende-
kar Naga Putih. Terdengar suara berkeciutan ketika
sepasang pedang pendek di tangan orang tua itu bergerak susul-menyusul dengan
kecepatan sukar diikuti mata biasa.
Wettt! Wettt! Pendekar Naga Putih menggeser kaki kanannya
ke belakang dengan kuda-kuda rendah. Tubuhnya
berputar ke samping menghindari tusukan dua bilah
pedang pendek yang mengincarnya. Kemudian, Pende-
kar Naga Putih terus melangkah mundur dan bergerak
ke kiri dan kanan ketika serangan Ki Tumbal Waru
masih terus bersambungan.
"Haiiih...!"
Pada suatu kesempatan, telapak tangan Panji
menepiskan serangan, ketika senjata di tangan kanan lawan bergerak menuju
tenggorokannya!
Plakkk! "Uhhh...!"
Ki Tumbal Waru mengeluh pendek. Tepisan yang
kelihatannya sembarangan itu ternyata mampu mem-
buat tubuhnya berputar. Tentu saja orang tua itu
menjadi terkejut dibuatnya.
Tapi, tidak percuma Ki Tumbal Waru menjadi sa-
lah seorang jagoan di Istana Kerajaan Bantar Gebang.
Putaran tubuhnya itu dapat dimanfaatkan untuk me-
lanjutkan serangannya. Pedang pendek di tangan ka-
nannya bergerak menusuk ke belakang, dan langsung
mengancam dada kanan Pendekar Naga Putih.
Swiiit...! Sayang, kali ini yang dihadapinya bukanlah seo-
rang tokoh sembarangan. Bagi seorang pendekar se-
perti Panji, serangan itu sama sekali tidak membuatnya kaget. Dengan sebuah
kelitan indah, tubuh Pen-
dekar Naga Putih bergerak ke depan. Langsung si-
kunya disodokkan ke iga lawan.
Namun sayang, serangan itu tidak bisa dite-
ruskan. Karena pada saat itu juga, pedang di tangan Barangga datang mengancam
dari atas ke bawah.
Maksudnya untuk memapas putus lengan pemuda itu.
"Haiiit...!"
Kegagalan serangannya sama sekali tidak mem-
buat Panji kehilangan akal. Dibarengi seruan nyaring, tubuh pemuda itu melenting
berputar ke belakang Barangga. Bahkan terus mengirimkan sebuah tendangan
kilat yang mengejutkan!
Plakk! "Uhhh...!"
Barangga memang berhasil menangkis tendangan
lawan dengan menggunakan lengan kirinya. Tapi un-
tuk tindakannya itu, ia harus menanggung rasa nyeri yang bagaikan menusuk ke
dalam tulangnya. Sedangkan tubuhnya sendiri hampir terbanting jatuh. Untung saja
ia bertindak cepat menguasai keseimbangan tubuhnya.
Pertarungan kembali berlangsung seru. Ki Tum-
bal Waru dan Barangga kembali melancarkan seran-
gan-serangan maut ke arah lawannya. Kali ini, mereka dapat berkerja sama dengan
baik dan saling melindungi satu sama lain. Sehingga, beberapa kali serangan
Panji dapat digagalkan.
Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang
ketiga puluh, Pendekar Naga Putih mulai menebarkan
pengaruh 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Kabut bersi-
nar putih keperakan mulai menebarkan hawa dingin
menusuk tulang. Sehingga, baik Ki Tumbal Waru
maupun Barangga sangat merasa terganggu oleh pan-
caran hawa dingin yang keluar dari tubuh dan samba-
ran pukulan lawan. Akibatnya hal itu membuat mere-
ka tidak lagi leluasa untuk melontarkan serangan-
serangan. Dengan demikian, berarti gempuran-
gempuran kedua orang tokoh istana itu mulai berku-
rang. Pendekar Naga Putih tidak mau bersikap ayal-
ayalan lagi. Dengan jurus-jurus 'Naga Sakti'nya, pemuda itu mulai mendesak Ki
Tumbal Waru dan Ba-
rangga. Sehingga dalam beberapa jurus saja, kedua
orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang itu benar-benar dibuat kalang kabut!
"Gila...!" maki Barangga jengkel.
Barangga tampaknya kali ini tidak mampu lagi
melontarkan serangan-serangannya. Setiap kali melontarkan serangan, selalu saja
Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membalik. Serangannya
bagaikan terbentur lapisan benteng salju yang sukar ditembus.
Keadaan Ki Tumbal Waru pun tidak berbeda
jauh. Lelaki tua itu tampak tidak lagi garang seperti semula. Sambaran-sambaran
sepasang pedang pendeknya selalu saja gagal. Memang gerakan lawannya
kali ini terasa terlalu cepat. Sehingga, untuk membu-runya Ki Tumbal Waru harus
memerlukan tenaga ba-
nyak. Tentu saja hal itu membuatnya cepat kehabisan tenaga.
"Hiaaat...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keem-
pat puluh, terdengar pekikan nyaring dari Pendekar
Naga Putih. Pada saat yang bersamaan terlihat tubuh pemuda berjubah putih itu
bergerak cepat bagaikan
sambaran kilat di angkasa. Maka seketika, hawa din-
gin menusuk tulang langsung menebar bagai men-
gungkungi kedua jagoan istana itu.
Plaggg! Desss...!
Serangan dahsyat Pendekar Naga Putih tidak
mampu lagi dihindari Barangga maupun Ki Tumbal
Waru. Hantaman telapak tangan Panji telak menghajar dada dan punggung mereka!
Ki Tumbal Waru dan Barangga memekik kesaki-
tan! Tubuh kedua tokoh istana itu langsung terpental
dan terbanting jatuh, menimbulkan suara berdebuk
nyaring! "Huakhhh...!"
Hampir berbarengan, mereka memuntahkan da-
rah kental akibat pukulan hawa dingin Pendekar Naga Putih. Bahkan tubuh mereka
terlihat masih menggigil, dan belum bisa bergerak bangkit.
Tanpa setahu Panji, Bhirawa yang berada tidak
jauh dari tempat jatuhnya kedua orang tokoh istana
itu diam-diam meraba pedangnya. Kebencian dan den-
dam di hati pemuda berwajah buruk itu, telah mem-
buatnya menjadi gelap mata. Seketika itu juga, Bhira-wa melompat dan langsung
menyabetkan senjata ke
arah leher Barangga. Bahkan juga langsung menusuk
tubuh Ki Tubal Waru!
"Hei, tahaaan...!"
Tentu saja Panji terkejut bukan main melihat
perbuatan pemuda berwajah buruk itu. Namun karena
jarak pemuda itu dan kedua orang musuhnya memang
sangat dekat, Panji tidak sempat mencegahnya.
Barangga terlihat menggelepar dengan tubuh
tanpa kepala, lalu dia tak bergerak lagi. Sedangkan Ki Tumbal Waru menekap
dadanya yang mengucurkan
darah. Sebentar kemudian, lelaki tua itu pun tewas, karena tusukan pedang
Bhirawa tepat mengenai jantungnya.
"Mengapa kau lakukan perbuatan rendah seperti
ini...?" desis Panji menahan rasa sesal karena terlambat untuk mencegah
perbuatan pemuda itu.
"Maaf, Pendekar Naga Putih. Dendamku kepada
dua orang manusia terkutuk itu sudah terlalu berka-
rat. Sehingga, aku menjadi gelap mata...," desah Bhirawa sambil menggenggam
pedang yang telah berlu-
muran darah di tangan kanannya.
Setelah berkata demikian, Bhirawa berbalik. Dia
langsung berlari meninggalkan tempat itu.
"Kisanak, tunggu..!" seru Panji
Pendekar Naga Putih segera melesat mengejar
pemuda buruk rupa itu. Sekali melompat saja, tubuh-
nya telah berdiri menghadang jalan pemuda berwajah
buruk itu. "Oh, maaf kalau aku lupa mengucapkan terima
kasih atas pertolonganmu...," ucap Bhirawa langsung saja membungkuk memberi
hormat Rupanya ia menganggap sikap Panji yang mence-
gah kepergiannya, karena belum mengucapkan terima
kasih. "Bukan itu yang kuinginkan, Kisanak. Kalau boleh aku tahu, siapakah
namamu. Dan apa yang mem-
buat kau demikian membenci mereka?" tanya Panji
dengan sikap tenang, seperti tidak mempedulikan
pandangan pemuda itu terhadapnya.
"Aku bernama Bhirawa. Tentang persoalan den-
damku, maaf. Aku tidak bisa menceritakannya. Sela-
mat tinggal...," pamit Bhirawa.
Pemuda itu segera melesat meski dengan langkah
yang belum tetap. Karena, ia masih belum sembuh be-
nar dari luka-lukanya.
Kali ini Panji tidak berusaha mencegah. Ia me-
mang merasa tidak mempunyai hak untuk mengetahui
persoalan orang lain. Lain halnya kalau pemuda itu
menceritakan secara suka rela.
Melihat kekasihnya termenung sambil menatap
bayangan Bhirawa yang semakin jauh, Kenanga da-
tang menghampiri.
"Hm.... Seorang pemuda yang keras kepala dan
angkuh..," desis Kenanga sambil ikut memandang ke
arah yang sama.
"Tampaknya dia memang tidak ingin orang lain
ikut campur dalam masalah yang tengah dihadapinya,"
desah Panji tanpa mengalihkan pandangannya.
"Lalu, bagaimana tentang Hantu Laut Pajang"
Apakah Kakang masih ingin menjumpainya?" tanya
Kenanga, mengingatkan Panji akan tujuan mereka se-
mula mendatangi Pantai Utara Laut Pajang.
"Untuk sementara, kita lupakan saja dulu. Aku
khawatir pemuda keras kepala itu masih mempunyai
musuh-musuh lain di kotaraja yang belum didatan-
ginya. Dan mungkin juga, dia mempunyai hubungan-
nya dengan Hantu Laut Pajang. Hanya saja, dia masih keras kepala hendak
menyimpan rahasia itu sendiri...,"
jawab Panji yang kini menoleh menatap kekasihnya.
"Jadi, Kakang berniat hendak melindunginya...?"
desak Kenanga lagi ingin mengetahui tindakan Panji
selanjutnya. "Tidak pasti begitu. Yang jelas, pemuda itu san-
gat menaruh dendam terhadap musuh-musuhnya. En-
tah, apa yang dilakukan musuh-musuhnya terhadap
pemuda itu di masa lalu," sahut Panji lagi sambil melangkah menghampiri mayat
Barangga dan Ki Tumbal
Waru. Ketika melihat Panji mengangkat mayat Barangga beserta kepalanya yang
terpisah, Kenanga segera mengangkat mayat Ki Tumbal Waru. Dia mengikuti lang-
kah Pendekar Naga Putih yang hendak mencari tempat
yang baik untuk makam kedua orang itu.
*** Sepasang pendekar itu terus melangkah sambil
membawa kedua mayat jagoan Istana Kerajaan Bantar
Gebang. Mereka meninggalkan pantai untuk mencari
daerah yang pantas sebagai makam kedua orang itu.
Memang di sekitar mereka hanya terdapat tanah ber-
pasir yang tentu saja tidak bisa digunakan untuk
menguburkan mayat
Tidak berapa lama kemudian, mereka menghen-
tikan langkah di sebuah daerah berbatu yang tanah-
nya tidak lagi mengandung pasir. Kenanga meletakkan mayat Ki Tumbal Waru dari
bahunya, seperti halnya
yang dilakukan Panji terhadap mayat Barangga.
"Hm.... Rasanya tempat ini cukup baik untuk pe-
ristirahatan terakhir mereka," gumam Panji.
Kini Pendekar Naga Putih mulai menggali dengan
menggunakan pedang kekasihnya. Karena pemuda itu
menggunakan tenaga dalamnya, maka sebentar saja
terciptalah dua buah lubang besar.
Mendadak saja, sebelum Panji sempat memasuk-
kan mayat-mayat itu ke dalam liang lahat, terdengar suara bergemuruh derap
puluhan ekor kuda. Serentak
mereka menoleh saling bertukar pandang. Kemudian,
dinantikannya rombongan berkuda itu datang, lewat
dekat mereka. Ketika rombongan berkuda itu mulai nampak,
Panji sempat merasa tegang. Karena, rombongan ber-
kuda itu ternyata terdiri dari prajurit Kerajaan Bantar Gebang.
"Celaka, Kakang. Kita bisa dipersalahkan dengan
adanya mayat-mayat ini...," desis Kenanga yang langsung saja menghubungkan
prajurit berkuda itu den-
gan mayat dua orang jagoan istana yang ada bersama
mereka. Panji terdiam ketika mendengar kekhawatiran
kekasihnya. Untuk lari menghindar, tentu saja pemu-
da itu tidak sudi. Maka, kakinya segera melangkah be-
berapa tindak, dan berdiri di situ. Seolah-olah Pendekar Naga Putih hendak
menanti kedatangan prajurit
kerajaan yang jumlahnya puluhan. Memang pemuda
itu berniat menceritakan seadanya.
"Hooop...!"
Seorang lelaki gagah bercambang bauk berpa-
kaian perwira, mengangkat tangan kanannya agar pa-
sukan di belakangnya berhenti. Lalu matanya menatap ke arah pemuda berjubah
putih dan gadis jelita berpakaian hijau yang membungkuk hormat kepadanya.
Baik Panji maupun Kenanga segera dapat mengenali
dengan baik, kalau perwira itu adalah orang yang me-meriksa kedai tempat mereka
menginap. Perwira tinggi besar yang tak lain Kala Sungga itu
menatap tajam ke arah pasangan muda di depannya.
Ia yang mendapat perintah untuk segera menyusul Ba-
rangga dan Ki Tumbal Waru, segera saja membawa pa-
sukannya ke Pantai Utara Laut Pajang. Karena, Sena-
pati Gada Sura merasa khawatir kalau-kalau orang
yang dicarinya memiliki banyak pengikut. Untuk itulah Kala Sungga sekarang
berada di daerah Pantai Utara
ini. "Hahhh!" Bukankah itu Barangga dan Ki Tumbal
Waru...!" Siapa yang telah melakukan kebiadaban
itu...?" kata Kala Sungga,
Laki-laki bercambang bauk itu terkejut bukan
main ketika melihat adanya dua sosok mayat di bela-
kang pasangan muda di depannya. Segera saja ia me-
lompat turun dari atas punggung kuda dengan wajah
setengah tak percaya.
Kala Sungga melangkah lebar agak terburu-buru.
Dengan gerakan kasar, didorongnya Panji dan Kenanga yang untungnya segera
menyingkir. Sehingga, mereka
tidak sampai terjajar.
"Gila! Ini benar-benar sudah keterlaluan!" teriak
Kala Sungga, kalap.
Kemudian perwira tinggi besar itu mengalihkan
pandangan ke arah pemuda berjubah putih dan gadis
jelita berpakaian hijau dengan sorot mengerikan!
"Kami menemukan kedua mayat itu di pantai, la-
lu membawa kemari untuk dimakamkan...," jelas Pan-
ji, sedikit berbohong. Ia sengaja menjelaskan sebelum ditanya perwira tinggi
besar itu. "Bangsat! Siapa yang telah membunuh mereka..."
Ayo, katakan padaku!" dengus Kala Sungga.
Mendengar keterangan Panji, prajurit itu semakin
bertambah murka. Bahkan tangannya terulur hendak
mencengkeram bahu Panji. Dan tentu saja Pendekar
Naga Putih tidak sudi diperlakukan demikian. Segera saja tubuhnya bergeser
mundur satu langkah ke belakang. Sehingga, cengkeraman Kala Sungga hanya
mengenai angin.
"Hahhh!?"
Untuk ke sekian kalinya, Kala Sungga kembali
tertegun heran. Begitu sadar, kemarahannya pun men-
jadi berlipat-lipat. Karena perbuatan pemuda itu yang menghindari
cengkeramannya, dianggap sebagai sikap
membangkang. "Kurang ajar! Rupanya kau memiliki sedikit ke-
pandaian, ya! Aku yakin, kalian berdua pasti tahu
orang yang telah melakukan pembunuhan terhadap
dua orang jagoan istana itu! Kalian harus kami tangkap untuk diperiksa!" geram
Kala Sungga dengan wa-
jah semakin gelap.
Kenanga yang memang tidak suka terhadap sikap
kasar perwira tinggi besar itu tentu saja menjadi bertambah dongkol. Tanpa
mengenal takut, gadis jelita itu menudingkan jarinya ke wajah Kala Sungga.
"Dengar, Perwira Gila!" maki Kenanga tak kalah
marahnya. "Aku tidak suka dijadikan tawanan! Dan,
apa yang dikatakan kawanku ini memang benar. Kalau
tidak percaya, terserah! Tapi, ingat! Aku tidak suka dibentak-bentak seperti
orang pesakitan!"
Panji yang tidak sempat mencegah kemarahan
dara jelita itu tentu saja cukup terkejut. Ucapan-
ucapan Kenanga jelas-jelas seperti tengah menumpah-
kan semua kejengkelan. Maka cepat-cepat dia maju
beberapa tindak untuk menjelaskan masalahnya.
"Hm.... Kau juga ingin memberontak rupanya,"
desis Kala Sungga sebelum Panji sempat mengucap
sepatah kata pun. "Tangkap kedua orang ini! Bunuh
kalau mereka melawan!"
Terdengar perintah perwira tinggi besar itu kepa-
da puluhan orang prajuritnya. Maka segera saja mere-ka berlompatan turun dari
atas punggung kuda dan
mengepung kedua orang muda itu.
'Tunggu...!" cegah Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya mencoba meng-
hindari keributan dengan tentara kerajaan. Tapi, usa-hanya sia-sia belaka.
Ternyata pasukan prajurit itu tetap bergerak mengepung dan siap menangkap
mereka. *** 8 "Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Prajurit Kerajaan Bantar Gebang yang berjumlah
kurang lebih sekitar enam puluh orang itu mengham-
bur maju ke arah Panji dan Kenanga. Tentu saja hal
itu membuat mereka harus cepat mengambil keputu-
san. Begitu rombongan prajurit itu hampir mendekat, Panji menahan kekasihnya
yang hendak mencabut Pedang Sinar Bulan. Kemudian ditariknya gadis jelita itu ke
samping. Dan bersamaan dengan itu, muncullah
lapisan kabut bersinar putih keperakan. Kali ini, lapisan kabut itu tidak hanya
menyelimuti sekujur tubuh Panji saja, tapi juga tubuh Kenanga.
"Aaakh...!"
Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaa...!"
Terdengar teriakan-teriakan ngeri saat prajurit-
prajurit itu menghantam senjatanya ke tubuh kedua
orang korbannya. Senjata mereka langsung berbalik.
Bahkan beberapa di antaranya langsung patah. Malah
tubuh para penyerang itu pun, terlempar bagaikan ter-tolak balik oleh suatu
tenaga yang tak tampak.
"Kakang, lebih baik kita tinggalkan saja tempat
ini...," usul Kenanga.
Memang, gadis itu ingin berlalu dari kerumunan
prajurit-prajurit Ia takut, tidak bisa menahan dirinya, dan melakukan perlawanan
yang sudah pasti akan
menimbulkan korban di antara para prajurit.
"Baiklah...," sahut Panji menyetujui usul keka-
sihnya. Kemudian, pemuda itu mencari kepungan yang
lebih mudah untuk diterobosnya.
Namun rupanya Kala Sungga sempat memperha-
tikan tingkah laku pemuda berjubah putih itu yang
seperti hendak melarikan diri. Maka dengan empat
orang perwira lainnya, lelaki tinggi besar itu pun segera saja menerjang
Pendekar Naga Putih dan Kenanga.
"Yeaaat....!"
"Haaat...!"
Mendengar suara berdesingan yang lain dari de-
singan-desingan lainnya, Panji segera menoleh ke arah asal suara. Tampak perwira
tinggi besar dan empat
orang perwira lainnya tengah meluncur dengan senjata masing-masing. Sadarlah
Panji kalau perwira tinggi
besar itu sepertinya telah menduga maksudnya.
Wuettt... Trakkk!
"Uhhh...!"
Kala Sungga yang tiba lebih dulu daripada empat
orang kawannya, terkejut bukan main ketika pedang di tangannya bagaikan
membentur sebuah dinding baja
yang kokoh! Bahkan bukan hanya senjatanya saja
yang terpental balik. Tubuhnya pun sempat menggigil, bagaikan orang terserang
demam tinggi. Karena, hawa dingin yang amat kuat menyelusup melalui pedangnya
dan terus merasuk ke dalam tubuh.
"Gila..."!" maki Kala Sungga yang hampir-hampir
tidak mempercayai apa yang dialaminya.
Seumur hidupnya, belum pernah ia mengalami
hal yang demikian mengejutkan. Jangankan melihat
serangan yang dapat membuat tubuhnya bagai orang
terserang malaria. Untuk melihat orang yang mampu
menahan hantaman senjatanya dengan tubuh telan-
jang pun, belum pernah ditemukannya. Tentu saja ke-
tika pemuda itu dapat menahan senjata tanpa tameng, Kala Sungga mulai
memperhitungkannya.
Bukan hanya Kala Sungga saja yang merasakan
hal serupa itu. Perwira lainnya pun sama-sama mera-
sakan. Mereka bahkan sampai terlempar, karena de-
mikian bernafsu menamatkan riwayat pemuda berju-
bah putih itu. Akibatnya, mereka menderita lebih parah ketimbang Kala Sungga.
"Aaah..."!"
Tiba-tiba saja Kala Sungga yang kembali bersiap
menyerang dan mencoba mencari kelemahan lawan,
terkejut ketika teringat sesuatu. Wajah lelaki tinggi besar itu berubah hebat
seketika. Sepasang matanya ter-belalak lebar, bagaikan melihat hantu di siang
bolong. "Dia.... Pendekar Naga Putih...!" seru laki-laki
bercambang bauk itu.
Kala Sungga kini benar-benar teringat ciri-ciri
seorang pendekar muda yang bergaung santer di ka-
langan rimba persilatan. Sementara itu empat orang
kawan perwiranya, kini sama-sama membisikkan hal
yang serupa. Wajah-wajah mereka tampak dilanda ke-
tegangan dan kecemasan.
Sedangkan para prajurit bawahan mereka seper-
tinya tidak begitu tahu tentang kemunculan tokoh
muda yang sangat sakti itu. Hanya ada beberapa di antara mereka yang sempat
berbisik-bisik. Sepertinya, ju-lukan itu pernah didengarnya meski samar-samar
dan hanya sekilas. Bagi Panji maupun Kenanga, keadaan seperti itu
jelas merupakan peluang baik untuk melarikan diri.
Cepat mereka berkelebat selagi Kala Sungga dan pasukannya tertegun bagaikan
terkesima, ketika teringat orang-orang yang tengah mereka keroyok tadi.
"Hei..." Ke mana perginya mereka...?" teriak Kala
Sungga, begitu sadar dari keterpakuannya.
Perwira bercambang bauk itu memang tidak me-
nemukan pasangan muda itu di depannya. Tentu saja
Kala Sungga tidak mungkin dapat menemukan mereka
lagi, karena pasangan pendekar itu telah pergi menggunakan ilmu meringankan
tubuh yang telah menca-
pai tingkat tinggi.
Sadar kalau Pendekar Naga Putih dan gadis jelita
berpakaian hijau itu telah lenyap, Kala Sungga segera saja mengajak pasukannya
untuk kembali. Sepertinya,
lelaki tinggi besar itu ingin melaporkan keterlibatan Pendekar Naga Putih dalam
persoalan itu. Beberapa
saat kemudian, terlihatlah iring-iringan pasukan bergerak kembali menuju
kotaraja sambil membawa
mayat Barangga dan Ki Tumbal Waru yang belum
sempat dikuburkan oleh Pendekar Naga Putih.
*** Saat itu malam sudah semakin larut. Sinar bulan
yang redup tidak mampu menerangi gelapnya suasana
malam itu. Namun, suasana seperti itu justru sangat disukai sesosok tubuh tegap
terbungkus jubah panjang berwarna coklat tua. la terus bergerak gesit, me-
nyelinap ke dalam bangunan kediaman Senapati Gada
Sura. Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, sosok
berjubah coklat itu melewati para penjaga di bawahnya dengan selamat Menilik
gerakannya yang lincah dan
sangat ringan, jelas kalau sosok tegap itu memiliki kepandaian tinggi.
Ketika sosok ini tiba di bagian samping kanan
bangunan besar itu, tubuhnya meluruk turun tanpa
menimbulkan suara sedikit pun. Kemudian, dia me-
nyelinap masuk melalui pintu samping, dan terus bergerak menerobos ruang tengah.
Tanpa mengalami ke-
sulitan sedikit pun, sosok tegap itu pun tiba di tempat yang ditujunya.
Sementara seorang lelaki berperawakan gemuk
yang tengah berada di ruang perpustakaan rumahnya,
sepertinya sama sekali tidak sadar kalau dirinya tengah diintai. Lelaki itu
terus saja membaca dengan tenang, tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Pada, saat itu orang yang mengintainya telah menyelinap masuk.
"Hiaaat..! Mampus kau pengkhianat busuk, Gada
Sura...!" Lelaki berperawakan gemuk yang ternyata Sena-
pati Gada Sura itu sama sekali tidak kelihatan terkejut Jelas, sikap tidak
tahunya tadi seperti memang disengaja. Dan tampaknya, hal itu memang untuk
memanc- ing sosok tegap agar masuk ke dalam ruangan. Ter-
bukti, ketika pedang di tangan sosok berjubah coklat tua itu membacoknya dari
belakang, Senapati Gada
Sura lebih dahulu menghindar dengan lompatan pan-
jang ke samping.
Brakkk! Meja dan kursi tempat semula senapati itu du-
duk kontan hancur berantakan, akibat hantaman ke-
ras dari sebilah pedang bersinar kebiruan yang digunakan sosok berjubah coklat
Senapati Gada Sura memang bukan orang sem-
barangan. Begitu melompat menghindari sambaran
pedang yang sempat ditangkapnya tadi, lelaki gemuk
itu langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat
yang telak menghantam iga lelaki berjubah coklat tua itu! Bukkk!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tendangan yang cukup keras
langsung membuat sosok tegap itu terlempar keluar,
setelah menabrak daun jendela hingga hancur beran-
takan! "Yeaaat..!"
Derrr...! Senapati Gada Sura langsung mengejar lawannya
dengan jejakan keras. Dia semakin merasa geram keti-
ka jejakan telapak kakinya ternyata tidak mengenai sasaran, karena sosok itu
telah lebih dahulu bergulingan. Kemudian, sosok berpakaian coklat itu terus
melenting disertai lompatan panjang ke belakang, dan
siap melanjutkan perkelahian.
"Sudah kuduga, kau akan datang sendiri ke tem-
pat ini untuk mencariku, Pembunuh! Hm.... Sudah
empat orang pembantu-pembantuku yang kau bunuh
secara keji! Apa sebenarnya yang kau inginkan" Dan, siapa yang kau cari..."!"
kata Senapati Gada Sura datar, dengan sikap merasa tinggi.
Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu mene-
liti sosok dan wajah lawannya. Namun, keningnya berkerut ketika merasa tidak
pernah mengenal sosok yang ternyata seorang pemuda berambut panjang dan berwajah
buruk. "Hm.... Gada Sura! Kaulah pengecut busuk,
pengkhianat yang tidak patut hidup! Kau kira kejadian lima tahun yang lalu di
Laut Pajang sudah berakhir
begitu saja"! Huh! Kau keliru, Gada Sura. Ayah-ibuku memang tewas oleh kebusukan
dan kelicikanmu beserta kawan-kawanmu itu. Tapi, kau lupa. Saat terjatuh ke
dalam laut, aku sama sekali belum tewas. Sayang, kau dan pembantu-pembantumu
yang berhati busuk
itu tidak mengetahuinya. Sekarang, kau harus mene-
busnya seperti empat orang kawanmu itu...!" ancam
sosok tegap berjubah coklat yang tak lain dari Bhira-wa. Rupanya, pemuda itu
masih tetap nekat menda-
tangi musuh-musuhnya yang masih hidup. Apalagi ka-
lau bukan untuk melampiaskan dendamnya"
"Kau... kau...," Senapati Gada Sura tidak mampu
melanjutkan ucapannya, karena hatinya terlalu terkejut mendengar pengakuan
pemuda itu. "Benar! Akulah Bhirawa putra tunggal Senapati
Kalang Bawung, yang telah kau khianati itu! Rupanya, diam-diam kau mengincar
jabatan senapati dalam Kerajaan Bantar Gebang ini. Kau manusia busuk yang tidak
pernah puas dengan apa yang didapatkan, Gada
Sura. Pangkat sebagai wakil senapati yang diberikan ayah rupanya tidak membuatmu
berterima kasih. Padahal, kalau tidak ayahku yang mengusulkannya ke-
pada Gusti Prabu, belum tentu kau bisa memegang ja-
batan itu! Tapi, ternyata kau tak lebih dari seekor ular yang tega membunuh,
meski orang itu adalah maji-kanmu yang telah memberi kebaikan berlimpah-
limpah! Kau memang tidak pantas hidup, Gada Su-
ra...!" geram Bhirawa dengan sepasang mata menco-
rong kemerahan. Jelas, pemuda itu sangat menden-
dam terhadap Senapati Gada Sura yang menjadi mu-
suh utamanya. Mendengar ucapan-ucapan itu, tentu saja Sena-
pati Gada Sura terkejut bukan main. Lelaki berpera-
wakan gemuk itu menoleh ke kiri-kanan, seolah-olah
takut ada yang mendengarnya. Setelah merasa tidak
ada yang ikut mendengarkan ucapan Bhirawa, terlihat rona kelegaan pada wajah
lelaki gemuk itu.
"Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus, Bhira-
wa! Dengan demikian, rahasia ini tak akan terbongkar selamanya...," desis Gada
Sura dengan senyum iblis.
Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu me-
nyambar sebatang tombak berujung golok yang me-
mang terpajang di rak senjata halaman samping ban-
gunan itu. Wuuut! Wuuut...!
Dengan lihainya, Senapati Gada Sura memutar
tombak bermata golok di tangannya, hingga menim-
bulkan suara mengaung keras. Kemudian....
"Heaaat...!"
Dibarengi teriakan nyaring, Senapati Gada Sura
melesat dengan tusukan tombak bergoloknya.
"Yiaaah...!"
Bhirawa tidak tinggal diam. Pemuda bertubuh
tinggi tegap itu berseru keras sambil memutar pedang sinar kebiruan yang tergenggam di tangan kanannya.
Senjata itu mengaung tajam, menimbulkan angin
menderu. Gulungan sinar kebiruan pun terbentuk,
dan bergerak turun naik bagaikan naga raksasa yang
bermain-main di angkasa.
Bhirawa yang memang telah tahu kalau Senapati
Gada Sura bekas pembantu ayahnya itu memiliki ke-
pandaian tinggi, segera mengerahkan seluruh kemam-
puannya. Pedang di tangannya berkelebatan menyam-
bar-nyambar disertai kilatan cahaya kebiruan. Namun sampai sejauh itu, tubuh
lawan belum juga dapat disentuh. Bahkan gempuran tombak bergolok di tangan
Senapati Gada Sura terlihat semakin bertambah cepat dan mengejutkan!
, Wuettt..! "Aihhh...!?"
Bukan main terkejutnya Bhirawa ketika pada su-
atu kesempatan, tombak bergolok di tangan lawan bergerak menusuk dengan
kecepatan kilat. Untungnya, ia masih sempat memiringkan kepala. Sehingga,
lehernya selamat dari golok yang berada di ujung tombak lawannya.
"Yeaaah...!"
Bhirawa yang selalu dapat memanfaatkan saat-
saat tak terduga, berteriak nyaring disertai lompatan dan putaran tubuhnya
ketika sabetan mendatar tombak bergolok Senapati Gada Sura lewat sebatas ping-
gangnya. Dalam melompat ke atas sambil berputar itu,
pedang Bhirawa dikelebatkan untuk membabat dada
lawan dari udara!
Brettt! Buggg! "Aaark...!
Senapati Gada Sura menjerit kaget ketika pedang
lawan sempat menyerempet bahunya. Padahal, dia su-
dah berusaha menghindar! Namun dengan sigapnya,
lelaki gemuk itu memutar balik gagang tombak bergo-
loknya. Bahkan langsung menghajar punggung lawan!
Meski hajaran itu tidak terlalu keras, tapi Bhira-
wa cukup merasa nyeri pada punggungnya. Pemuda
keras hati yang tidak pernah menyerah itu kembali
mengibaskan pedang di tangannya dengan putaran in-
dah. Sepasang matanya tetap mencorong tajam menyi-
ratkan dendam kesumat.
Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yeaaat..!"
Kali ini, rupanya bukan Bhirawa yang lebih ber-
nafsu untuk melenyapkan lawannya. Tapi justru Se-
napati Gada Sura-lah yang terlihat lebih ingin melenyapkan pemuda itu.
Sepertinya, lelaki gemuk itu cukup sadar kalau Bhirawa satu-satunya ancaman yang
bisa membuat jabatannya hilang. Itulah sebabnya,
mengapa Senapati Gada Sura sangat bernafsu sekali
untuk segera menghabisi nyawa Bhirawa.
Pertarungan pun terus berlanjut semakin seru.
Keduanya memang memiliki tingkat kepandaian ham-
pir berimbang, sehingga, pertarungan juga terlihat
agak seimbang. Tapi suara teriakan-teriakan dan dentang senjata
yang memekakkan telinga, ternyata telah mengundang
seluruh penghuni bangunan besar itu. Terbukti, tidak berapa lama kemudian
terlihat cahaya obor yang ber-gerombol diiringi suara riuh-rendah.
Bhirawa yang saat itu telah mampu mendesak
Senapati Gada Sura menjadi terkejut bukan main, be-
gitu tahu-tahu saja di sekeliling tempat itu telah dipenuhi prajurit kerajaan
yang lengkap dengan senjata di tangan. Bahkan di satu sudut, juga terlihat Jata
Sura dan Kala Sungga. Hanya Winarsih, putri Senapati Ga-da Sura yang tidak
terlihat di tempat itu.
Sadar kalau tidak mungkin dapat lolos dari tem-
pat itu, Bhirawa teringat pesan terakhir gurunya. Cepat dirabanya suatu benda
yang tersembunyi di balik sabuknya. Selama ini ia memang tidak pernah
menggunakan, karena gurunya yang berjuluk Hantu Laut
Pajang telah berpesan sebelum kematiannya. Senjata
maut itu hanya boleh digunakan bila pada saat yang
amat genting. Kini setelah tidak ada lagi kesempatan untuk lo-
los, Bhirawa pun segera teringat pesan mendiang gu-
runya itu. Namun sayang, ia tidak sempat mengguna-
kannya. Karena saat itu, Senapati Gada Sura telah
memerintahkan putra dan pengawal-pengawalnya un-
tuk mengeroyok Bhirawa. Memang lelaki gemuk itu
sendiri terlihat mulai kepayahan. Hal itu karena lelaki gemuk itu tidak pernah
memperhatikan ilmu silatnya.
Selama ini, ia hanya kesenangan, sehingga lupa akan pentingnya ilmu silat bagi
orang berpangkat seperti dirinya. Keroyokan itu tentu saja membuat Bhirawa
terdesak hebat. Belum lagi, para prajurit yang telah siap dengan senjata di
tangan. Maka semakin sulitlah bagi pemuda itu untuk selamat!
"Yiaaat..!"
Bukkk! Desss...! "Aaakh...!"
Sebuah tendangan Jata Sura dan hantaman telak
Kala Sungga, membuat tubuh pemuda itu terjengkang
memuntahkan darah segar. Belum lagi Bhirawa sem-
pat bangkit, Senapati Gada Sura telah datang dengan ayunan tombak bergoloknya!
Wuuut! Tombak bermata sebuah golok besar itu men-
gaung tajam, siap merencah tubuh Bhirawa. Karena
masih merasakan luka pada tubuhnya, pemuda itu ti-
dak lagi bisa menghindari tebasan golok besar yang di-luncurkan Senapati Gada
Sura. Namun pada saat yang sangat gawat bagi kese-
lamatan nyawa Bhirawa, tiba-tiba melesat sesosok
bayangan putih yang langsung menggagalkan tebasan
tombak bergolok Senapati Gada Sura.
Plakkk! "Aaakh...!"
Hantaman telapak tangan sosok bayangan putih
itu memang sangat hebat! Terbukti, tubuh Senapati
Gada Sura terdorong, dan hampir terjungkal jatuh ke belakang! Wajah lelaki gemuk
itu tampak menyeringai menahan sakit.
Bhirawa yang sempat menyaksikan kejadian itu
tentu saja tidak ingin menyia-nyiakannya. Cepat bagai kilat tubuh, pemuda itu
melesat dengan tusukan pedangnya ke tubuh Senapati Gada Sura!
Bresss...! "Aaa...!"
Senapati Gada Sura meraung tinggi! Darah segar
mengalir membasahi pedang dan tanah di bawahnya,
begitu pedang Bhirawa yang tepat menembus jantung-
nya dicabut pemiliknya. Lelaki gemuk itu memang ti-
dak sempat lagi menghindar. Karena saat itu, ia belum lagi terbebas dari
pengaruh tangkisan sosok berjubah
putih yang menyelamatkan Bhirawa dari kematian.
Sedangkan sosok berjubah putih itu tidak sempat
mencegahnya, karena pada saat itu tengah memperha-
tikan seorang perwira tinggi besar dan pemuda tampan tinggi kurus yang
menerjangnya dari dua arah.
"Bhirawa..."!" seru sosok berjubah putih itu.
Pemuda berjubah putih itu benar-benar terkejut
ketika menoleh ke arah Bhirawa. Rupanya pemuda
berwajah buruk itu tidak puas dengan tindakannya.
Dia kini tengah memenggal kepala Senapati Gada Su-
ra! Maka, cepat bagai kilat sosok berjubah putih itu segera melesat ke arah
Bhirawa. Maksudnya, untuk
membawa keluar pemuda itu dari kepungan prajurit
Kerajaan Bantar Gebang.
Tapi, Kala Sungga dan Jata Sura tidak sudi
membiarkan kedua orang itu meloloskan diri begitu sa-ja. Mereka segera saja
bergerak menyerbu sambil berteriak memerintah pasukannya untuk merapatkan ke-
pungan. Bhirawa yang masih mendendam terhadap Jata
Sura, segera saja berbalik dengan pedang di tangan.
Kemudian, diterjangnya Jata Sura dengan putaran pe-
dang yang menimbulkan deru angin berkesiutan.
"Bhirawa, kita harus pergi dari sini. Kalau tidak,
kau akan ditangkap pihak kerajaan karena telah
membunuh salah seorang pejabat penting...," bisik sosok berjubah putih itu, yang
segera menyambar tangan Bhirawa. Kemudian, Bhirawa dibawanya pergi meninggalkan
kediaman Senapati Gada Sura.
'Tangkap...! Cegah mereka...!" Kala Sungga berte-
riak-teriak sambil berusaha mengejar sosok berjubah putih yang membawa lari
Bhirawa. Tapi, sepertinya pemuda berwajah buruk itu pun
tidak memberontak. Karena, ia cukup merasa puas te-
lah melepaskan dendam keluarga dengan tewasnya
Senapati Gada Sura. Sehingga saat sosok berjubah putih itu membawanya lari,
Bhirawa tidak membantah.
Dan karena sosok berjubah putih menggunakan ilmu
meringankan tubuh sepenuhnya, maka cepat sekali
tubuhnya menghilang bersama Bhirawa.
Jata Sura, Kala Sungga, dan pasukannya terpak-
sa menghentikan pengejaran ketika bayangan kedua
orang itu sudah tidak terlihat lagi. Baik Bhirawa maupun sosok berjubah putih
itu bagai lenyap ditelan bu-mi. Apalagi, suasana benar-benar gelap. Gagalnya
pengejaran itu membuat mereka kembali, karena harus
mengurus mayat Senapati Gada Sura.
Sementara itu, Bhirawa dan sosok berjubah putih
yang tak lain dari Pendekar Naga Putih terus berlari menembus kegelapan malam
yang semakin melarut.
"Ehhh..."!"
Bhirawa yang berlari di sebelah Panji, tertegun
ketika melihat adanya sesosok tubuh yang berdiri
menghadang jalan mereka. Karena keadaan cukup ge-
lap, baik Panji maupun Bhirawa tidak mengenali sosok yang berdiri menghadang
jalan itu. "Winarsih...!" Sedang apa kau di sini...?" kata
Bhirawa begitu sudah memperhatikan sosok itu.
Ternyata, sosok itu memang putri bungsu Sena-
pati Gada Sura. Melihat hal itu Bhirawa sedikit tegang.
Ia menduga, kemunculan gadis itu pasti ada hubun-
gannya dengan kematian orang tuanya.
"Bhirawa.... Aku telah tahu semua tentang per-
soalan di antara keluarga kita. Tadi aku telah mendengar pembicaraanmu dengan
ayahku. Dan kenyataan
itu membuat aku merasa malu. Karena, ayahku ter-
nyata seorang berhati kejam. Dia begitu tega
mengkhianati orang yang telah begitu menaruh keper-
cayaan kepadanya. Ketika mendengar keributan terjadi di antara kalian, aku
segera meninggalkan gedung
tanpa tahu harus berbuat apa-apa...," jelas Winarsih dengan air mata membasahi
wajahnya. "Lalu, mengapa kau menghadang kami..." Apa-
kah kau pun ingin membalas dendam atas kematian
ayahmu itu...?" tanya Bhirawa sambil menatap gadis
cantik itu dengan sikap curiga.
Sedangkan Pendekar Naga Putih hanya berdiri di
samping pemuda itu sambil menatap wajah gadis ber-
nama Winarsih penuh selidik.
"Jadi, kau sudah berhasil membunuh ayahku...?"
desis gadis cantik itu dengan bibir bergetar.
Air mata Winarsih terlihat semakin banyak ber-
gulir membasahi pipinya. Jelas sekali kalau dia begitu sedih mendengar kematian
ayahnya. Sepasang mata
indah yang basah itu menatap, tepat ke bola mata Bhirawa. Sehingga, pemuda itu
terlihat agak bingung dibuatnya.
"Apakah kau pun akan membunuh Kakang Jata
Sura dan aku..." Bukankah aku juga keturunan ma-
nusia jahat...?" kata Winarsih tanpa melepaskan pandangan matanya dari wajah
Bhirawa. "Tidak. Aku sudah cukup puas dengan kematian
Senapati Gada Sura, orang tuamu itu. Tapi aku pun
tidak akan lari dari tanggung jawab, apabila kau berniat membalas kematian
ayahmu...," sahut Bhirawa,
siap menghadapi gadis cantik itu.
"Bagus. Kalau begitu, biarlah aku merelakan ke-
matian ayahku. Kurasa itu cukup adil, bukan...?" kata Winarsih. Sepertinya,
Winarsih agak heran mendengar jawaban Bhirawa yang ternyata tidak mendendam
kepada Jata Sura maupun dirinya. Wajah berduka itu
terlihat agak berseri sekejap.
"Aku pun tidak bermaksud melanjutkan dendam
yang memusingkan ini. Kalau begitu, aku pergi.... Selamat tinggal, Winarsih.
Berilah pengertian kepada ka-kakmu...," ucap Bhirawa yang segera meninggalkan
tempat itu diiringi Pendekar Naga Putih.
"Selamat jalan, Bhirawa. Aku akan berusaha
memberi pengertian kepada Kakang Jata Sura agar
melupakan dendam atas kematian ayah...," sahut Wi-
narsih sambil melambaikan tangannya ke arah Bhira-
wa dan Panji. Gadis itu masih tetap terpaku di tempatnya, se-
belum bayangan kedua orang itu lenyap dari pandan-
gan. Sedangkan Panji dan Bhirawa terus berlari menu-ju rumah penginapan, tempat
Kenanga menunggu di
sana. Pemuda berjubah putih itu memang sengaja ti-
dak mengajak kekasihnya, ketika berniat menyelidiki tempat kediaman Senapati
Gada Sura. Dan Kenanga memang telah menanti mereka di
taman belakang rumah penginapan itu. Kemudian,
mereka bergerak meninggalkan Kotaraja Bantar Ge-
bang. "Kita harus cepat pergi meninggalkan negeri ini.
Apalagi, kau sekarang telah membunuh seorang sena-
pati kerajaan. Rasanya, tidak ada tempat lagi bagimu untuk tinggal di Kerajaan
Bantar Gebang. Bahkan
Pantai Utara Laut Pajang pun tidak bisa lagi ditinggali.
Siapa tahu, pihak kerajaan akan mengobrak-abrik
tempat itu...," kata Panji, saat mereka baru saja melewati tembok kotaraja.
'Yaaah.... Aku pun memang tidak berniat mene-
tap di Kerajaan Bantar Gebang. Aku ingin mengemba-
ra, meluaskan pengetahuan. Selamat berpisah, Pende-
kar Naga Putih...," pamit Bhirawa.
Pemuda itu segera memisahkan diri dari Pende-
kar Naga Putih dan Kenanga. Tampak Bhirawa melam-
baikan tangannya sebelum bergerak menuju ke Timur.
Pendekar Naga Putih dan kekasihnya hanya bisa
membalas lambaian tangan pemuda itu, karena me-
mang hendak menuju ke Barat. Memang mereka tidak
setujuan, sehingga harus berpisah di sini.
"Sudah kuduga, dia pasti mempunyai alasan
kuat atas semua perbuatannya...," desah Kenanga saat mereka melangkah bersamaan.
Panji hanya tersenyum
sambil melingkarkan tangannya memeluk gadis jelita itu.
SELESAI Scan/E-book: Abu Keisel
Juru Edit: Culan Ode
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Document Outline
1 *** *** 2 *** *** 3 *** 4 *** 5 *** *** *** *** *** *** 6 *** 7 *** *** 8 *** SELESAI Pedang Sinar Emas 2 Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Rahasia Pedang Berdarah 2
gan kedai untuk beristirahat, ketika malam semakin
larut *** Jata Sura menghempaskan tubuhnya di atas
kursi. Terdengar helaan napas beratnya yang menan-
dakan kekecewaan hati. Tapi tidak berapa lama kemu-
dian, pemuda itu melompat bangkit ketika mendengar
teriakan Pandara dari kejauhan. Bergegas pemuda itu menyambut kedatangan
pembantunya yang bertubuh
gemuk itu. "Mengapa baru kembali sekarang, Pandara"
Hanya mencari dua orang saja perlu waktu sehari.
Huh! Lalu, sekarang mana Paman Danta dan Paman
Barna Pati...?" tegur Jata Sura.
Pemuda itu segera menyongsong kedatangan
pembantunya. Wajahnya tampak semakin memerah,
ketika melihat tidak adanya Danta dan Barna Pati
yang menyertai Pandara.
"Mereka tidak kutemukan, Tuan Muda. Hamba
telah mencari ke mana-mana tapi tidak berhasil. Seharian hamba mencari, ke
tempat mereka biasa berkum-
pul...," lapor lelaki gemuk itu dengan napas memburu.
Meskipun begitu, dari sorot mata Pandara terlihat
kelegaan. Jelas, ia merasa bersyukur karena tidak menemukan kedua orang pengawal
pribadi tuan mudanya
itu. "Aneh! Tidak biasanya mereka pergi begini la-
ma..." Bahkan biasanya mereka selalu melapor apabila hendak keluar...," gumam
Jata Sura dengan berbagai
tanda tanya memenuhi benaknya. Memang, tidak bi-
asanya kedua orang pengawal pribadinya itu keluar
tanpa melapor terlebih dahulu kepadanya.
Jata Sura dan Pandara yang tengah berpikir ke-
ras, tiba-tiba tersentak ketika mendengar suara lang-
kah kaki mendekati tempat mereka. Serentak kedua-
nya menoleh dengan alis berkerut.
"Ada apa kau menghadap tanpa dipanggil...?" da-
lam kejengkelannya, Jata Sura membentak prajurit
yang tergopoh-gopoh datang menghadap itu.
"Maaf, Tuan Muda.... Mmm..., Perwira Kala
Sungga ingin menghadap...," lapor prajurit itu, takut-takut. Tubuh prajurit itu
tampak agak gemetar akibat bentakan Jata Sura. Hatinya baru lega ketika melihat
junjungannya menganggukkan kepala.
Kemudian prajurit itu berbalik, dan pergi dari si-
tu. Namun, sebentar saja dia sudah kembali bersama
seorang perwira bertubuh tinggi besar. Pada wajahnya tampak dihiasi cambang bauk
yang lebat "Tuan muda! Aku Kala Sungga datang mengha-
dap...," perwira tinggi besar yang ternyata bernama Ka-la Sungga membungkuk
hormat kepada pemuda itu.
Lalu, segera saja diceritakan keperluannya.
"Apa...!" Danta dan Barna Pati tewas" Siapa yang
membunuh mereka" Dan di mana kalian menemukan
mayatnya..."!
Terkejut bukan main Jata Sura ketika mendengar
laporan perwira tinggi besar itu. Segera saja ia bergegas mengikuti Kala Sungga
yang memang telah mem-
bawa mayat kedua orang pengawal pribadinya.
Gemetar sekujur tubuh Jata Sura ketika melihat
mayat kedua orang pengawal pribadinya. Apalagi, me-
nyaksikan mayat Danta yang kepalanya terpisah dari
badan. Karuan saja pemuda itu bertambah murka.
"Keparat! Manusia gila dari mana yang berani
melakukan kekejian ini...!" desis Jata Sura mengepalkan tinjunya erat-erat.
Hati Jata Sura sedih bukan main. Dua orang
pengawal pribadinya ini telah mengabdikan diri semenjak ia kecil. Tapi kini,
mereka tewas dengan kematian begitu menyedihkan, tanpa diketahui siapa yang
telah melakukannya.
"Di tempat mayat mereka terbaring, kami mene-
mukan tulisan Hantu Laut Pajang yang ditulis dengan darah. Rupanya sebelum
kematiannya, Barna Pati
sempat menuliskan nama pembunuh keji itu. Hanya
saja aku merasa heran, sebab Hantu Laut Pajang telah lama hilang dari dunia
persilatan. Tapi, orang yang sudah hampir mati tidak mungkin salah menuduh...,"
kata Kala Sungga, menyadarkan Jata Sura dari kese-
dihannya. "Hantu Laut Pajang...," desis Jata Sura tanpa
mempedulikan ucapan Kala Sungga, "Kau boleh pergi,
Kala Sungga. Tapi jangan lupa, selidikilah siapa sebenarnya yang telah melakukan
pembunuhan ini...."
Tanpa banyak membantah lagi, Kala Sungga se-
gera saja bergegas meninggalkan Jata Sura. Pandara
pun ikut meninggalkan tempat itu setelah memerin-
tahkan para prajurit membawa mayat Danta dan Bar-
na Pati, untuk segera dimakamkan. Kini tinggallah Ja-ta Sura termenung seorang
diri dengan wajah murung.
"Hm.... Aku harus memberitahukan ayah tentang
kejadian ini," desis pemuda itu yang segera beranjak dan bersiap memberitahukan
Senapati Gada Sura
yang berada di istana.
*** Senapati Gada Sura segera saja bergegas me-
ninggalkan istana setelah menerima laporan dari pu-
tranya. Lelaki gagah bertubuh gemuk berwajah bersih itu tentu saja menjadi geram
mendengar laporan pu-tranya itu. Sebelum meninggalkan Istana Bantar Ge-
bang, lelaki gagah itu mengajak dua orang jagoan istana untuk membantunya.
Untungnya, semua kejadian
itu tidak sampai terdengar pejabat lain atau keluarga kerajaan. Hanya Senapati
Gada Sura dan dua orang
jagoan istana Itu sajalah yang mengetahuinya. Kalau sampai terdengar, bukan
mustahil akan menimbulkan
kegemparan. "Apa kau tidak salah dengar kalau yang melaku-
kan pembunuhan itu adalah Hantu Laut Pajang...?"
tanya Senapati Gada Sura setelah tiba di tempat ke-
diamannya. Suara lelaki gemuk itu terdengar berat dan keras,
sewajarnya seorang pembesar tinggi harus selalu berwibawa.
"Tidak, Ayah. Kalau Ayah masih kurang percaya,
silakan tanya kepada Paman Kala Sungga. Dialah yang menemukan mayat dan tulisan
dengan darah itu...,"
sahut Jata Sura menoleh ke arah lelaki tinggi besar berwajah brewok yang juga
telah dipanggil menghadap Senapati Gada Sura.
"Benar, Tuan. Hanya yang masih hamba heran-
kan, tokoh yang berjuluk Hantu Laut Pajang itu telah lama lenyap dan tidak
pernah terdengar lagi kabar-nya...," jelas Kala Sungga.
"Aku pun merasa heran, Kala Sungga. Dan me-
mang, menurut apa yang kudengar pun demikian. Tapi
untuk lebih jelasnya, aku akan menugaskan Adi Ba-
rangga dan Ki Tumbal Waru untuk menyelidikinya. Ka-
lau memang Hantu Laut Pajang masih hidup dan be-
nar melakukan pembunuhan terhadap kedua orangku,
bunuh saja tokoh itu...," kata Senapati Gada Sura
sambil menoleh ke arah dua orang jagoan istana yang memang sengaja dibawanya
untuk tugas itu.
"Jangan khawatir, Tuan Senapati. Kami berdua
akan melaksanakan tugas ini sebaik-baiknya. Tidak
sulit rasanya untuk mencari tokoh itu, karena mereka tinggal di daerah pantai
sebelah Utara Laut Pajang.
Bukan begitu, Adi Barangga...?" lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun yang
bernama Ki Tumbal Waru
itu menolehkan kepala ke arah lelaki gemuk dan ber-kepala agak botak yang
bernama Barangga.
"Benar, Tuan Senapati. Serahkan saja persoalan
ini kepada kami berdua. Percayalah. Dalam waktu de-
kat, kami akan segera mengabarkan hasilnya...," janji lelaki gemuk bernama
Barangga itu sambil terkekeh
parau. Jelas, ucapannya itu menandakan kesombon-
gan hatinya. "Baiklah. Kapan kalian berangkat...?" tanya Se-
napati Gada Sura singkat. Sepertinya, ia ingin selalu bertindak cepat dalam
segala sesuatu.
"Kalau diizinkan, sekarang juga kami akan be-
rangkat," langsung saja Ki Tumbal Waru menyahuti
tanpa menunggu keputusan Senapati Gada Sura. Se-
dangkan Gada Sura mengangguk saja menyetujui.
Tanpa banyak cakap lagi, Senapati Gada Sura
langsung memerintahkan agar mereka segera berke-
mas. Sedangkan ia sendiri segera saja memasuki ka-
mar yang khusus untuk beristirahat apabila di istana sedang tidak ada tugas.
Ruang pertemuan itu pun kembali sunyi, setelah
semua orang yang berada di dalamnya pergi mengem-
ban tugas masing-masing.
*** Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, dua
orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang bergegas menuju Pantai Utara. Laut
Pajang. Tujuan mereka jelas. Mencari Hantu Laut Pajang untuk meminta penje-
lasan tokoh itu mengenai pembunuhan dua orang ke-
percayaan Senapati Gada Sura.
Ki Tumbal Waru dan Barangga tiba-tiba meng-
hentikan larinya, saat mereka baru menginjakkan kaki di pantai sebelah Utara
Laut Pajang. Memang, satu setengah tombak di depan mereka berdiri tegak seorang
lelaki tegap yang melindungi wajahnya dengan caping bambu. Merasa kalau sosok
bercaping itu sengaja
menghadang jalan, Barangga segera saja menegurnya.
"Kisanak! Apakah kau ada keperluan dengan
kami berdua?" tanya Barangga agak hati-hati sambil
meneliti sosok tegap di depannya.
Sepasang mata lelaki gemuk itu nampak agak
menyipit seperti hendak menilai sosok bercaping bam-bu itu.
"Hm.... Seharusnya, akulah yang bertanya kepa-
da kalian berdua. Apa keperluan kalian hingga sampai ke daerah kekuasaanku ini?"
sahut sosok tegap yang
wajahnya terlindung caping bambu itu.
Sambil berkata demikian, tangannya bergerak
menaikkan tepi caping. Tampaklah sepasang mata
yang menyorot tajam menggetarkan.
"Hm.... Siapa kau, hingga berani-beraninya men-
gaku pantai ini merupakan daerah kekuasaanmu"
Kami kenal, siapa pemilik Pantai Utara Laut Pajang ini.
Dan kami pun tahu, orang itu bukanlah kau, Kisanak.
Jadi, kau tidak mempunyai hak bertanya seperti itu!"
Ki Tumbal Waru yang semenjak tadi hanya diam me-
natapi sosok bercaping itu, mulai angkat bicara. Nada suaranya demikian tegas
dan tandas. "Ha ha ha.... Begitukah" Lalu, tahukah kalian.
Siapa orang yang kini berdiri menghadang jalan ka-
lian"!" kata sosok bercaping itu, lebih mantap dan
menggeletar. Jelas kalau ia telah mengerahkan tenaga
dalamnya melalui suara itu.
"Pemilik tempat ini adalah sahabat kami yang
berjuluk Hantu Laut Pajang. Dan, aku tidak tahu siapa dirimu. Maka sebaiknya
menyingkirlah, sebelum ter-lambat...," sahut Barangga dengan tekanan ancaman
halus. Tampaknya lelaki gemuk jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang ini mulai
tidak sabar menanggapi ucapan sosok bercaping itu.
Sosok tinggi tegap yang wajahnya terlindung di
balik caping bambu itu kembali memperdengarkan su-
ara tawanya, seraya menggerakkan tangannya untuk
melepas caping yang menyembunyikan wajahnya. Ta-
pak seraut wajah kehitaman yang di sebelah kiri wa-
jahnya terdapat sebuah luka seperti bekas penyakit
kulit. Tentu saja Ki Tumbal Waru dan Barangga sema-
kin berkerut kening, karena sama sekali tidak mengenali seraut wajah yang jelas
masih muda di depannya.
"Hm.... Kalian pasti tidak kenal wajahku lagi yang
telah menjadi buruk ini. Tapi, ketahuilah. Aku tidak pernah melupakan kebiadaban
kalian yang telah
membantai keluargaku secara keji di Laut Pajang. Untuk itulah aku menghadang
kalian di tempat ini. Mak-sudku adalah hendak mencabut nyawa kalian berdua,"
tegas sosok tegap berwajah buruk yang ternyata Bhi-
rawa. Rupanya, kedua orang jagoan istana itu terma-
suk dalam daftar musuh-musuh keluarganya. Ma-
kanya dia menghadang perjalanan Ki Tumbal Waru
dan Barangga. Baik Ki Tumbal Waru maupun Barangga agak
tersentak mendengar ucapan pemuda itu. Meskipun
peristiwa itu telah dapat diingat, tapi mereka sama sekali tidak bisa mengenali
pemuda berwajah buruk
yang berada di depannya itu.
"Maaf. Aku tetap tidak mengenalmu, Kisanak.
Tapi kalau memang hendak membalas dendam, se-
butkanlah namamu. Dan, apa hubunganmu dengan
peristiwa itu...?" tanya Ki Tumbal Waru yang memang tidak bisa mengenali pemuda
berwajah buruk yang
memiliki sepasang mata mencorong tajam itu.
"Baik, namaku Bhirawa. Dan mengenai hubun-
ganku dengan peristiwa itu maupun orang-orang yang
kalian bantai secara kejam, rasanya tidak perlu lagi ku jelaskan...," sahut
Bhirawa datar namun penuh menyimpan dendam kesumat.
"Aaah...!?"
Barangga tersentak mundur dengan wajah agak
berubah. Jelas, ia sangat terkejut mendengar nama
pemuda bertubuh tegap itu. Sepasang matanya tam-
pak melotot lebar, bagaikan orang melihat hantu di
siang bolong! "Mustahil..."!" desis Ki Tumbal Waru yang juga
hampir tidak mempercayai pendengarannya.
Berbeda dengan Barangga, Ki Tumbal Waru me-
natap tajam seolah-olah ingin memastikan kalau pe-
muda itu tidak berbohong atau sengaja menakut-
nakutinya. Memang, Bhirawa yang mereka kenal, tentu saja berbeda jauh dengan
pemuda buruk rupa itu.
"Sudahlah. Tidak perlu lagi kalian berpura-pura
pikun sebaiknya, bersiaplah untuk menerima kema-
tian...!" desis Bhirawa tanpa mempedulikan keterkejutan kedua orang musuh
keluarganya. Swing...! Tahu-tahu saja, sebilah pedang bersinar kebi-
ruan telah tergenggam di tangan kanan pemuda itu.
"Hantu Laut Pajang..."!"
Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua orang jagoan istana itu tersentak mundur
begitu mengenali senjata yang berada dalam gengga-
man Bhirawa. Jelas mereka sangat terkejut melihat
adanya senjata yang sekarang berada di tangan pemu-
da berwajah buruk itu.
"Ya! Dan, senjata ini pulalah yang telah menghi-
rup darah dua orang manusia busuk Danta dan Barna
Pati semalam...," desis Bhirawa datar.
Kemudian senjata Bhirawa dilintangkan di depan
dada. Siap untuk menghirup darah musuh-musuh ke-
luarganya yang masih tersisa. *** 6
Ki Tumbal Waru dan Barangga cukup terkejut
mendengar pengakuan pemuda buruk rupa itu. Untuk
meyakinkan hatinya, kedua jagoan kerajaan itu kem-
bali meneliti sosok tinggi tegap di depannya.
"Benarkah kau yang telah membunuh Danta dan
Barna Pati dengan menyamar sebagai Hantu Laut Pa-
jang...?" tanya Barangga masih tetap meragukan pen-
gakuan Bhirawa.
Keraguan lelaki gemuk itu bukannya tanpa ala-
san. Ia sendiri cukup tahu, sampai di mana kepan-
daian kedua orang pengawal pribadi putra atasannya.
Bahkan Barangga sendiri harus memerlukan waktu
yang cukup lama untuk dapat menundukkan Danta
dan Barna Pati. Jadi, wajar saja kalau ia tidak begitu yakin kalau pemuda buruk
rupa itu yang telah membunuh Danta dan Barna Pati.
"Hm.... Percaya atau tidak, itu terserah kalian.
Yang jelas, akulah yang telah menghukum kedua ja-
hanam busuk itu! Dan aku tidak menyamar sebagai
Hantu Laut Pajang, karena memang aku sendiri yang
kini berjuluk Hantu Laut Pajang. Itu bisa kalian yakini dengan senjata kebesaran
tokoh itu yang kini berada di tanganku," jelas Bhirawa tanpa mempedulikan keti-
dakpercayaan lelaki gemuk itu.
"Jadi..., kau putra...."
"Ya! Sekarang bersiaplah menerima kematian...!"
potong Bhirawa tanpa memberi kesempatan kepada Ki
Tumbal Waru untuk menyelesaikan kalimatnya.
Usai berkata demikian, pemuda berwajah buruk
yang penuh perbawa itu bergerak ke kiri sambil menggerakkan pedangnya.
Yakin kalau pemuda itu memang benar-benar
pembunuh yang dicarinya, maka Ki Tumbal Waru dan
Barangga segera saja bergerak merenggang.
"Kalau begitu, kau bukan saja harus ditangkap.
Tapi, kau juga harus menerima hukuman berat..," de-
sis Ki Tumbal Waru yang kini merasa geram.
Ki Tumbal Waru dan Barangga sepertinya tidak
ingin menganggap remeh pemuda itu. Terbukti, mere-
ka telah mencabut senjata masing-masing.
Wuuut! Wuuut! Barangga menggeser langkahnya ke kanan sam-
bil mengibaskan senjata di tangannya yang berupa sebilah pedang tipis. Terdengar
suara mengaung ketika senjata di tangan lelaki gemuk itu berputar membentuk
gulungan sinar memanjang.
Sedangkan Ki Tumbal Waru dengan sepasang
pedang sepanjang dua jengkal, telah pula menggeser
tubuhnya ke kiri pemuda itu. Sepasang pedang pen-
deknya berkesiutan membeset udara, ketika digerak-
kan. Jelas, kedua orang jagoan istana itu sama-sama
memiliki tenaga dalam tinggi.
Bhirawa yang dikepung dari dua arah, tetap ber-
sikap tenang. Langkah-langkahnya terlihat demikian
kokoh dan mantap. Sepertinya, pemuda itu sangat ya-
kin akan kepandaian yang dimiliki. Hal itu tergambar jelas dari pancaran mata
dan raut wajahnya yang tenang. "Haaat..!"
Barangga yang memang memiliki sikap tidak sa-
bar, segera saja memulai serangan dengan sebuah
bentakan nyaring. Seketika itu juga, tubuh gemuknya langsung bergerak maju
dengan langkah-langkah pendek namun menampakkan kekokohan. Senjata di tan-
gannya bergerak turun naik berkecepatan tinggi. Jelas, jurus yang digunakannya
bukan ilmu pasaran!
Dengan selisih waktu yang tidak lebih dari seke-
jap mata, Ki Tumbal Waru pun telah pula membuka
serangan. Tubuh lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun itu melenting ke
udara diiringi pekikan nyaring.
Melihat gerakan dua orang itu yang sangat ber-
beda, sadarlah Bhirawa kalau lawan hendak memecah
perhatiannya dengan serangan dari atas dan bawah.
"Heaaah...!"
Bhirawa berseru pendek sambil mengkelebatkan
pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam. Kemu-
dian langsung disambutnya serangan dua orang lawan
dengan menggeser langkah ke kiri dan kanan. Gerakan itu dimaksudkan untuk
menipu, agar lawan-lawannya
tak mudah menduga ke mana serangannya ditujukan.
Serangan Barangga tiba lebih dulu dengan kece-
patan menggetarkan! Senjata di tangannya mengaung,
membelah udara dengan ujungnya yang bergetar ba-
gaikan mengincar beberapa jalan darah kematian di
tubuh Bhirawa. Langsung saja pemuda berwajah bu-
ruk itu memutar senjatanya untuk menyambut ujung
pedang lawan. Wettt! Wettt! Mendadak saja ketika ujung pedang itu hampir
berbenturan, Barangga merubah gerakan dengan me-
mutar pergelangan tangannya. Sehingga, ujung pe-
dangnya berputar setengah lingkaran dan meluncur
deras mengancam tenggorokan lawan!
Cuittt! Tapi, Bhirawa rupanya sudah menduga akan ge-
rakan tipu lawannya. Terbukti, ketika ujung pedang
lawan berputar dan mengancam tenggorokannya, pe-
muda itu cepat menarik mundur tubuhnya satu lang-
kah dengan kuda-kuda agak rendah. Sehingga, pedang
lawan lewat di depan wajahnya, sejengkal lebih ke
atas. "Yiaaah...!"
Bhirawa yang tak ingin membuang setiap peluang
yang dilihatnya, segera saja menusukkan pedang lu-
rus-lurus ke depan, mengincar tepat di jantung lawan!
Swing...! Sayang, Bhirawa tidak mempunyai banyak ke-
sempatan untuk melanjutkan serangan mautnya. Ka-
rena pada saat yang bersamaan, Ki Tumbal Waru su-
dah datang menerjang dengan sepasang pedang pen-
deknya. Suara mendesing-desing yang ditimbulkan
sambaran pedang pendek lelaki tua itu, membuat Bhi-
rawa terpaksa harus memutar tubuhnya. Langsung
pedangnya dikibaskan dalam keadaan berputar!
Ki Tumbal Waru yang melihat serangan balasan
pemuda itu, cepat mengangkat pedang di tangan ka-
nannya untuk menangkis.
Trang...! Terdengar benturan yang menimbulkan percikan
bunga api. Tubuh keduanya tampak sama melompat
mundur, sejauh satu setengah tombak. Jelas, baik
Bhirawa maupun Ki Tumbal Waru sama memiliki te-
naga dalam yang kuat dan seimbang.
Bhirawa yang belum lagi sempat mengatur kuda-
kudanya, cepat merendahkan tubuh. Karena, pada
saat itu juga, pedang Barangga datang mengancam
disertai suara mengaung tajam!
Cuiiit..! "Aaah...!?"
Bhirawa memekik tertahan ketika hampir saja
mata pedang lawan menggores lehernya! Untungnya,
pemuda itu masih sempat memiringkan kepala dengan
membentuk kuda-kuda serong. Sehingga, mata pedang
itu lewat tiga jari di samping kulit lehernya!
"Hihhh!"
Tindakan Bhirawa dalam melakukan serangan
balasan rupanya memang patut dipuji. Kejelian ma-
tanya dalam memanfaatkan setiap peluang, membuat
pemuda itu cepat tanggap. Maka pada saat berhasil
menghindari sambaran mata pedang itu, langsung saja kaki kanannya terlontar
menghajar tubuh Barangga!
Buggg! "Hukhhh...!"
Tendangan yang keras itu telak menghajar perut
Barangga yang memang tidak pernah menduga akan
kejelian mata lawannya. Karuan saja tubuhnya lang-
sung terjungkal ke belakang. Untungnya, lelaki gemuk itu bisa menguasai keadaan.
Cepat tubuhnya melenting dan bersalto beberapa kali, untuk kemudian men-
darat empuk sejauh dua tombak dari lawan. Meski
demikian, terlihat wajahnya agak meringis menahan
nyeri. Pada sudut bibirnya tampak lelehan darah se-
gar, yang membuatnya semakin geram.
Saat itu, Bhirawa yang berniat menyusuli seran-
gannya selagi tubuh lawan berada di udara, terpaksa harus menundanya. Karena
pedang pendek Ki Tumbal
Waru memang sudah mencegahnya!
Wettt! Wettt! Wettt!
Serangkaian sambaran pedang pendek di tangan
Ki Tumbal Waru datang susul-menyusul diiringi deci-
tan-decitan menyakitkan telinga. Untuk beberapa saat lamanya, Bhirawa terpaksa
harus bermain mundur.
Serangan orang tua itu memang cukup membuatnya
kerepotan! "Hiaaah...!"
Ki Tumbal Waru sepertinya tidak lagi ingin mem-
beri peluang kepada lawan untuk membalas. Terbukti
serangan sepasang pedang pendeknya tidak berhenti
sampai di situ saja. Senjata sepanjang dua jengkal itu terus menyambar-nyambar
hebat! Tentu saja Bhirawa
semakin terdesak hebat!
Gencarnya serangan yang dilontarkan Ki Tumbal
Waru sepertinya tidak sia-sia. Setelah selama sepuluh jurus lebih mencecar
lawannya, akhirnya salah satu
dari pedang pendeknya berhasil merobek lengan ba-
gian atas pemuda itu!
Wuttt.... Crasss...!
"Aaakh...!"
Bhirawa terpekik kaget saat ujung pedang pen-
dek di tangan lawan mengenai bagian tubuhnya. Da-
rah segar segera menyembur dari luka yang cukup da-
lam dan panjang itu. Bahkan Bhirawa sempat melintir dibuatnya!
"Haiiit...!"
Selagi tubuh lawan melintir akibat sambaran sa-
lah satu pedang pendeknya, Ki Tumbal Waru berseru
keras sambil melontarkan tendangan berputar ke ke-
pala lawannya. Namun dalam keadaan yang cukup su-
lit itu, rupanya Bhirawa sempat melihat datangnya
tendangan maut. Langsung saja tubuhnya bergeser
untuk menghindar. Sayang ia masih kalah cepat den-
gan lawannya. Sehingga....
Desss...! Tendangan itu ternyata masih sempat menghajar
punggungnya! Maka karuan saja tubuh pemuda ter-
lempar, dan tersungkur mencium tanah! Darah segar
semakin banyak mengalir dari lukanya. Tendangan ke-
ras tadi memang tepat mengenai dekat bagian lukanya.
"Uhhh...!"
Bhirawa mengeluh sambil meringis menahan sa-
kit pada lukanya. Tapi selagi pemuda itu bergerak
hendak bangkit, Barangga datang menjejakkan ka-
kinya ke tubuh pemuda itu!
Derrr! Debu mengepul ketika telapak kaki yang disaluri
tenaga dalam menjejak tanah di dekat tubuh Bhirawa.
Karena, pemuda itu sempat menggulingkan tubuhnya
untuk menghindar.
Tapi, Barangga bukan orang bodoh. Maka begitu
pijakannya luput, kaki itu langsung terlontar menghajar lambung Bhirawa!
Desss...!"
"Hukhhh...!"
Tendangan keras itu telak mengenai lambung
Bhirawa. Seketika itu juga tubuhnya bagai disentak-
kan bangkit secara paksa, dan tumbang kembali disertai keluhannya. Darah segar
pun semakin banyak yang keluar dari mulut pemuda itu.
Barangga yang rupanya sangat bernafsu untuk
menewaskan lawan, mengobat-abitkan pedangnya ke
tubuh Bhirawa yang terus bergulingan menghindarkan
diri. Meskipun demikian, tak urung beberapa buah
goresan ujung pedang harus diterimanya. Dan akhir-
nya, Bhirawa tidak lagi mampu untuk menggulingkan
diri. Pemuda itu hanya terdiam pasrah, menanti da-
tangnya maut yang akan menjemput!
"Hiyaaa...!"
Wukkk...! Pedang di tangan Barangga berkeredep menyi-
laukan mata, hendak membelah tubuh Bhirawa. Se-
dangkan pemuda itu menatap tak berkedip, pasrah
menerima kematiannya.
Mata pedang Barangga meluncur deras tanpa da-
pat dicegah lagi! Nampaknya, riwayat Hantu Laut Pa-
jang harus tamat di tangan salah seorang jagoan Kerajaan Bantar Gebang.
Trang...! "Aaah...!"
Mendadak, pada saat yang sangat gawat bagi ke-
selamatan Bhirawa, meluncur seberkas sinar hitam
dengan kecepatan tidak bisa ditangkap mata biasa.
Kemudian, sinar itu langsung membentur pedang di
tangan Barangga yang siap menamatkan riwayat Han-
tu Laut Pajang.
Benturan sinar hitam itu ternyata berakibat san-
gat mengejutkan! Bukan saja pedang di tangan Ba-
rangga dapat dibuat terpental lepas dari genggaman, bahkan tubuhnya hampir
terjengkang jatuh! Tentu sa-ja kenyataan itu hampir membuat Barangga tidak
mempercayainya. Dia lalu bangkit, dengan mata tertu-ju ke arah penyerangnya.
"Siapa kau..."!" bentak Barangga.
Mata laki-laki gemuk itu melotot bagai hendak
keluar ketika melihat seorang pemuda berjubah putih yang membantu Bhirawa
Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bangkit. Wajah pemuda itu
bersih dan tampan, dengan senyum ramah menghias
wajahnya. Bhirawa yang sama sekali tidak menduga kalau
nyawanya bisa selamat, tertegun menatap pemuda
tampan berjubah putih yang berusia sebaya dengan-
nya. Bhirawa segera menundukkan wajahnya, tidak
berani menentang pandangan mata pemuda tampan
yang terlihat demikian tajam dan mengandung perba-
wa amat kuat. 'Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak...,"
ucap Bhirawa, tanpa mengangkat wajahnya. Dia juga
masih belum percaya kalau nyawanya selamat.
Pemuda tampan berjubah putih itu hanya men-
gangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum meneri-
ma ucapan terima kasih Bhirawa. Dibawanya pemuda
itu bangkit, dan disandarkannya di dinding karang.
"Bagaimana dengan musuh-musuhku itu, Kisa-
nak...?" tanya Bhirawa mengalihkan pandangan ke
arah dua orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang.
Kening pemuda berwajah buruk itu tampak ber-
kerut, ketika melihat adanya sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian hijau yang
tengah berdiri menghadapi kedua orang musuhnya.
"Gadis berpakaian hijau itu adalah kawanku. Ja-
di, tenangkanlah dirimu...," jelas pemuda berjubah putih, sebelum sempat
bertanya. Pemuda berjubah putih itu memang Panji, yang
di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Naga Putih. Sedangkan
gadis jelita berpakaian hijau yang tak lain dari Kenanga. Kemudian tanpa banyak
cakap lagi Pendekar Naga Putih segera mengobati luka-luka di tubuh Bhirawa.
Kekaguman di hati Bhirawa semakin bertambah
ketika merasakan betapa jemari tangan pemuda itu
demikian lincah dalam melakukan pengobatan terha-
dap dirinya. Bahkan obot-obatan yang diberikan pe-
muda tampan itu sangat manjur. Maka tentu saja se-
mua itu membuat Bhirawa jadi terbengong-bengong.
Kau hebat sekali, Kisanak. Aku benar-benar ka-
gum dan tunduk kepadamu...," aku Bhirawa tulus
dengan wajah berseri.
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum menang-
gapi ucapan tulus pemuda berwajah buruk itu.
"Sekarang kau istirahatlah. Biar kami yang akan
menangani kedua orang itu...," ujar Panji yang segera bergerak meninggalkan
Bhirawa. "Maaf. Kalau kami mencampuri urusan ini, Kisa-
nak sekalian. Tapi melihat betapa teganya kalian me-nyiksa lawan yang sudah
tidak berdaya, rasanya aku
tidak bisa tinggal diam. Alangkah lebih baik apabila musuh yang sudah tidak
berdaya, diampuni dan dibawa kembali ke jalan kebenaran. Dengan demikian, ka-
lian berarti bukan saja telah menolong jiwanya, tapi juga menyelamatkan manusia-
manusia lain. Karena,
bisa saja pemuda itu jadi menyadari kesalahannya selama ini...," kata Pendekar
Naga Putih dengan tutur kata yang halus dan sopan. Sehingga, baik Barangga
maupun Ki Tumbal Waru saling berpandang sejenak.
"Hm.... Siapakah kau, Kisanak. Usia dan penam-
pilan mu mengingatkanku pada seorang pendekar
yang telah menggemparkan dunia persilatan. Benar-
kah dugaanku kalau kau yang berjuluk Pendekar Naga
Putih...?" Ki Tumbal Waru yang semenjak tadi memang memperhatikan pemuda tampan
itu secara teliti, segera saja mengungkapkan dugaannya meski agak ragu.
"Benar, Orang tua. Sahabatku ini adalah orang
yang berjuluk Pendekar Naga Putih," sahut gadis ber-paras jelita berpakaian
serba hijau itu cepat.
"Hm.... Sebagai seorang pendekar besar yang se-
lalu menentang setiap kejahatan, seharusnya kau ti-
dak menghalangiku untuk melenyapkan pemuda lak-
nat itu. Ketahuilah, pemuda berwajah buruk itu ada-
lah seorang pemberontak yang telah melakukan pem-
bunuhan terhadap dua orang pembantu Senapati Ga-
da Sura. Bahkan dia pula yang telah membunuh bebe-
rapa prajurit pada beberapa hari yang lewat Nah! Apakah kau masih tetap ingin
membela penjahat itu, Pendekar Naga Putih...?"
Barangga yang masih menyimpan kejengkelan
terhadap campur tangan pemuda itu, menjelaskan du-
duk perkaranya. Tentu saja dengan maksud agar Pen-
dekar Naga Putih tidak ikut campur tangan dalam perkara ini.
"Maaf. Sebelumnya, mungkin dugaanku akan
sama dengan kalian. Tapi setelah melihat pedang yang menjadi lambang seorang
tokoh sahabat guruku, maka
aku merasa yakin kalau pemuda itu bukan seorang
penjahat seperti yang kalian, tuduhkan. Kalaupun ia telah melakukan pembunuhan,
pasti ada alasan kuat
di balik semua perbuatannya. Kuharap, kalian berdua suka memaafkan perbuatannya.
Berilah kepercayaan
kepadaku untuk menyadarkannya," kata Pendekar Na-
ga Putih. Panji yang kedatangannya memang bukan tanpa
sebab, sepertinya masih tetap ingin membela pemuda
berwajah buruk itu. Dan apa yang dikatakannya pun
memang merupakan kebenaran. Memang tokoh yang
berjuluk Hantu Laut Pajang itu merupakan sahabat
lama gurunya. Kedatangannya ke tempat itu pun hen-
dak mengunjungi tokoh sahabat gurunya.
"Pendekar Naga Putih! Apa pun alasanmu, pe-
muda itu merupakan ancaman yang sangat berbahaya
bagi kami dan juga atasan kami. Untuk itu, kami ditu-gaskan untuk melenyapkan
nya. Kalau kau menentang
kami, itu sama artinya hendak memberontak terhadap
Kerajaan Bantar Gebang!" dengus Ki Tumbal Waru.
Laki-laki tua yang memang diberi tugas Senapati
Gada Sura untuk mendapatkan pemuda itu hidup
atau mati, tidak bisa menerima alasan Panji. Dan ia tetap berkeras hendak
mengambil Bhirawa, meskipun
untuk itu harus berhadapan dengan Pendekar Naga
Putih yang kesaktiannya telah menggemparkan jagad.
Panji tersenyum dengan wajah tetap tenang. Se-
pertinya pemuda tampan itu sama sekali tidak gentar atas gertakan Ki Tumbal Waru
yang mengatasnama-kan Kerajaan Bantar Gebang. Dan Panji bukan pemu-
da bodoh. Kalau memang pemuda itu musuh kerajaan,
tentunya bukan hanya mereka berdua yang akan diki-
rim untuk menangkapnya. Tapi, orang-orang berpa-
kaian prajuritlah yang akan melakukan tugas itu.
Sekali melihat saja, Panji dapat menilai kalau Ki
Tumbal Waru dan Barangga merupakan orang-orang
kasar yang mungkin bekerja untuk kepentingan seseo-
rang. Bukan untuk kerajaan. Pikiran itulah yang
membuat Panji tidak gentar, meskipun kedua orang itu menggertaknya.
"Maaf. Apa pun alasannya aku tetap tidak akan
membiarkan pemuda itu menjadi korban keganasan
kalian," tegas Panji yang sepertinya tetap ingin membela Bhirawa. Memang
Pendekar Naga Putih dapat meli-
hat pancaran kebaikan di hati Bhirawa.
"Kalau begitu, kami harus menggempurmu...,"
geram Barangga dengan sikap mengancam.
Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu berge-
rak merenggang. Demikian pula halnya Ki Tumbal Wa-
ru. Lelaki tua itu pun sudah siap hendak menyerang
Pendekar Naga Putih.
*** 7 Kenanga yang tadi hanya mendengarkan perde-
batan kekasihnya dengan dua orang jagoan Kerajaan
Bantar Gebang, melangkah maju. Rasa penasaran
yang semenjak tadi ditahannya bangkit seketika.
"Biar aku yang memberi pelajaran kepada mere-
ka, Kakang. Rasanya kalau hanya untuk menghadapi
dua ayam sayur ini kau tidak perlu turun tangan," ujar Kenanga sambil menatap
kekasihnya meminta perse-tujuan. Biarpun marahnya demikian besar, namun ga-
dis itu tidak berani melangkahi Panji.
Panji yang mengetahui sifat kekasihnya terme-
nung sejenak. Disadari kalau pribadi gadis jelita itu lembut Tapi dia sadar pula
kalau Kenanga bila memberi hajaran kepada orang-orang yang tidak disukainya,
atau berani menghina kekasihnya, dapat bersikap keras. Pikiran itulah yang
membuat Panji termenung.
"Untuk kali ini, biarlah aku saja yang menghada-
pi mereka. Kau menyingkirlah, Kenanga...," tolak Panji, setelah berpikir sesaat.
Tanpa membantah lagi, Kenanga segera saja ber-
gerak menyingkir. Meskipun hatinya penasaran, na-
mun ia tidak mau membantah ucapan kekasihnya.
Pendekar Naga Putih melangkah maju, dan berdi-
ri tegak menghadapi kedua orang lawannya dalam ja-
rak satu tombak lebih. Sikap dan wajahnya tetap terlihat tenang, tanpa sorot
kebencian atau permusuhan.
"Silakan kalian memulai...," ucap Panji tanpa
persiapan sedikit pun. Kedua kakinya sama sekali tidak menunjukkan kalau telah
siap tempur. Ki Tumbal Waru dan Barangga pun menyadari
sikap pemuda itu. Tapi, justru sikap tenang tanpa persiapan pemuda itulah yang
membuat mereka berhati-
hati. Jelas, sikap itu menandakan kalau Pendekar Na-ga Putih memang sudah tidak
perlu siap-siap dalam
menghadapi pertarungan. Dalam keadaan bagaimana-
pun, seorang pendekar besar seperti pemuda tampan
itu dapat saja bergerak ke mana suka. Itulah yang
membuat Ki Tumbal Waru dan Barangga berhati-hati.
Dengan geseran telapak kaki lembut, kedua
orang jagoan istana itu bergerak mengitari Pendekar Naga Putih. Sejauh itu,
mereka belum menunjukkan
tanda-tanda untuk memulai serangan. Sepertinya, me-
reka hendak mencari kelemahan pemuda tampan itu.
Panji sendiri tetap berdiri tegak tanpa merubah
kedudukannya. Hanya sepasang matanya saja yang
bergerak mengikuti gerak-gerik kedua orang lawannya.
"Haiiit...!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Ki Tumbal
Waru memulai serangannya dari samping kiri Pende-
kar Naga Putih. Terdengar suara berkeciutan ketika
sepasang pedang pendek di tangan orang tua itu bergerak susul-menyusul dengan
kecepatan sukar diikuti mata biasa.
Wettt! Wettt! Pendekar Naga Putih menggeser kaki kanannya
ke belakang dengan kuda-kuda rendah. Tubuhnya
berputar ke samping menghindari tusukan dua bilah
pedang pendek yang mengincarnya. Kemudian, Pende-
kar Naga Putih terus melangkah mundur dan bergerak
ke kiri dan kanan ketika serangan Ki Tumbal Waru
masih terus bersambungan.
"Haiiih...!"
Pada suatu kesempatan, telapak tangan Panji
menepiskan serangan, ketika senjata di tangan kanan lawan bergerak menuju
tenggorokannya!
Plakkk! "Uhhh...!"
Ki Tumbal Waru mengeluh pendek. Tepisan yang
kelihatannya sembarangan itu ternyata mampu mem-
buat tubuhnya berputar. Tentu saja orang tua itu
menjadi terkejut dibuatnya.
Tapi, tidak percuma Ki Tumbal Waru menjadi sa-
lah seorang jagoan di Istana Kerajaan Bantar Gebang.
Putaran tubuhnya itu dapat dimanfaatkan untuk me-
lanjutkan serangannya. Pedang pendek di tangan ka-
nannya bergerak menusuk ke belakang, dan langsung
mengancam dada kanan Pendekar Naga Putih.
Swiiit...! Sayang, kali ini yang dihadapinya bukanlah seo-
rang tokoh sembarangan. Bagi seorang pendekar se-
perti Panji, serangan itu sama sekali tidak membuatnya kaget. Dengan sebuah
kelitan indah, tubuh Pen-
dekar Naga Putih bergerak ke depan. Langsung si-
kunya disodokkan ke iga lawan.
Namun sayang, serangan itu tidak bisa dite-
ruskan. Karena pada saat itu juga, pedang di tangan Barangga datang mengancam
dari atas ke bawah.
Maksudnya untuk memapas putus lengan pemuda itu.
"Haiiit...!"
Kegagalan serangannya sama sekali tidak mem-
buat Panji kehilangan akal. Dibarengi seruan nyaring, tubuh pemuda itu melenting
berputar ke belakang Barangga. Bahkan terus mengirimkan sebuah tendangan
kilat yang mengejutkan!
Plakk! "Uhhh...!"
Barangga memang berhasil menangkis tendangan
lawan dengan menggunakan lengan kirinya. Tapi un-
tuk tindakannya itu, ia harus menanggung rasa nyeri yang bagaikan menusuk ke
dalam tulangnya. Sedangkan tubuhnya sendiri hampir terbanting jatuh. Untung saja
ia bertindak cepat menguasai keseimbangan tubuhnya.
Pertarungan kembali berlangsung seru. Ki Tum-
bal Waru dan Barangga kembali melancarkan seran-
gan-serangan maut ke arah lawannya. Kali ini, mereka dapat berkerja sama dengan
baik dan saling melindungi satu sama lain. Sehingga, beberapa kali serangan
Panji dapat digagalkan.
Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang
ketiga puluh, Pendekar Naga Putih mulai menebarkan
pengaruh 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Kabut bersi-
nar putih keperakan mulai menebarkan hawa dingin
menusuk tulang. Sehingga, baik Ki Tumbal Waru
maupun Barangga sangat merasa terganggu oleh pan-
caran hawa dingin yang keluar dari tubuh dan samba-
ran pukulan lawan. Akibatnya hal itu membuat mere-
ka tidak lagi leluasa untuk melontarkan serangan-
serangan. Dengan demikian, berarti gempuran-
gempuran kedua orang tokoh istana itu mulai berku-
rang. Pendekar Naga Putih tidak mau bersikap ayal-
ayalan lagi. Dengan jurus-jurus 'Naga Sakti'nya, pemuda itu mulai mendesak Ki
Tumbal Waru dan Ba-
rangga. Sehingga dalam beberapa jurus saja, kedua
orang jagoan Istana Kerajaan Bantar Gebang itu benar-benar dibuat kalang kabut!
"Gila...!" maki Barangga jengkel.
Barangga tampaknya kali ini tidak mampu lagi
melontarkan serangan-serangannya. Setiap kali melontarkan serangan, selalu saja
Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membalik. Serangannya
bagaikan terbentur lapisan benteng salju yang sukar ditembus.
Keadaan Ki Tumbal Waru pun tidak berbeda
jauh. Lelaki tua itu tampak tidak lagi garang seperti semula. Sambaran-sambaran
sepasang pedang pendeknya selalu saja gagal. Memang gerakan lawannya
kali ini terasa terlalu cepat. Sehingga, untuk membu-runya Ki Tumbal Waru harus
memerlukan tenaga ba-
nyak. Tentu saja hal itu membuatnya cepat kehabisan tenaga.
"Hiaaat...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keem-
pat puluh, terdengar pekikan nyaring dari Pendekar
Naga Putih. Pada saat yang bersamaan terlihat tubuh pemuda berjubah putih itu
bergerak cepat bagaikan
sambaran kilat di angkasa. Maka seketika, hawa din-
gin menusuk tulang langsung menebar bagai men-
gungkungi kedua jagoan istana itu.
Plaggg! Desss...!
Serangan dahsyat Pendekar Naga Putih tidak
mampu lagi dihindari Barangga maupun Ki Tumbal
Waru. Hantaman telapak tangan Panji telak menghajar dada dan punggung mereka!
Ki Tumbal Waru dan Barangga memekik kesaki-
tan! Tubuh kedua tokoh istana itu langsung terpental
dan terbanting jatuh, menimbulkan suara berdebuk
nyaring! "Huakhhh...!"
Hampir berbarengan, mereka memuntahkan da-
rah kental akibat pukulan hawa dingin Pendekar Naga Putih. Bahkan tubuh mereka
terlihat masih menggigil, dan belum bisa bergerak bangkit.
Tanpa setahu Panji, Bhirawa yang berada tidak
jauh dari tempat jatuhnya kedua orang tokoh istana
itu diam-diam meraba pedangnya. Kebencian dan den-
dam di hati pemuda berwajah buruk itu, telah mem-
buatnya menjadi gelap mata. Seketika itu juga, Bhira-wa melompat dan langsung
menyabetkan senjata ke
arah leher Barangga. Bahkan juga langsung menusuk
tubuh Ki Tubal Waru!
"Hei, tahaaan...!"
Tentu saja Panji terkejut bukan main melihat
perbuatan pemuda berwajah buruk itu. Namun karena
jarak pemuda itu dan kedua orang musuhnya memang
sangat dekat, Panji tidak sempat mencegahnya.
Barangga terlihat menggelepar dengan tubuh
tanpa kepala, lalu dia tak bergerak lagi. Sedangkan Ki Tumbal Waru menekap
dadanya yang mengucurkan
darah. Sebentar kemudian, lelaki tua itu pun tewas, karena tusukan pedang
Bhirawa tepat mengenai jantungnya.
"Mengapa kau lakukan perbuatan rendah seperti
ini...?" desis Panji menahan rasa sesal karena terlambat untuk mencegah
perbuatan pemuda itu.
"Maaf, Pendekar Naga Putih. Dendamku kepada
dua orang manusia terkutuk itu sudah terlalu berka-
rat. Sehingga, aku menjadi gelap mata...," desah Bhirawa sambil menggenggam
pedang yang telah berlu-
muran darah di tangan kanannya.
Setelah berkata demikian, Bhirawa berbalik. Dia
langsung berlari meninggalkan tempat itu.
"Kisanak, tunggu..!" seru Panji
Pendekar Naga Putih segera melesat mengejar
pemuda buruk rupa itu. Sekali melompat saja, tubuh-
nya telah berdiri menghadang jalan pemuda berwajah
buruk itu. "Oh, maaf kalau aku lupa mengucapkan terima
kasih atas pertolonganmu...," ucap Bhirawa langsung saja membungkuk memberi
hormat Rupanya ia menganggap sikap Panji yang mence-
gah kepergiannya, karena belum mengucapkan terima
kasih. "Bukan itu yang kuinginkan, Kisanak. Kalau boleh aku tahu, siapakah
namamu. Dan apa yang mem-
buat kau demikian membenci mereka?" tanya Panji
dengan sikap tenang, seperti tidak mempedulikan
pandangan pemuda itu terhadapnya.
"Aku bernama Bhirawa. Tentang persoalan den-
damku, maaf. Aku tidak bisa menceritakannya. Sela-
mat tinggal...," pamit Bhirawa.
Pemuda itu segera melesat meski dengan langkah
yang belum tetap. Karena, ia masih belum sembuh be-
nar dari luka-lukanya.
Kali ini Panji tidak berusaha mencegah. Ia me-
mang merasa tidak mempunyai hak untuk mengetahui
persoalan orang lain. Lain halnya kalau pemuda itu
menceritakan secara suka rela.
Melihat kekasihnya termenung sambil menatap
bayangan Bhirawa yang semakin jauh, Kenanga da-
tang menghampiri.
"Hm.... Seorang pemuda yang keras kepala dan
angkuh..," desis Kenanga sambil ikut memandang ke
arah yang sama.
"Tampaknya dia memang tidak ingin orang lain
ikut campur dalam masalah yang tengah dihadapinya,"
desah Panji tanpa mengalihkan pandangannya.
"Lalu, bagaimana tentang Hantu Laut Pajang"
Apakah Kakang masih ingin menjumpainya?" tanya
Kenanga, mengingatkan Panji akan tujuan mereka se-
mula mendatangi Pantai Utara Laut Pajang.
"Untuk sementara, kita lupakan saja dulu. Aku
khawatir pemuda keras kepala itu masih mempunyai
musuh-musuh lain di kotaraja yang belum didatan-
ginya. Dan mungkin juga, dia mempunyai hubungan-
nya dengan Hantu Laut Pajang. Hanya saja, dia masih keras kepala hendak
menyimpan rahasia itu sendiri...,"
jawab Panji yang kini menoleh menatap kekasihnya.
"Jadi, Kakang berniat hendak melindunginya...?"
desak Kenanga lagi ingin mengetahui tindakan Panji
selanjutnya. "Tidak pasti begitu. Yang jelas, pemuda itu san-
gat menaruh dendam terhadap musuh-musuhnya. En-
tah, apa yang dilakukan musuh-musuhnya terhadap
pemuda itu di masa lalu," sahut Panji lagi sambil melangkah menghampiri mayat
Barangga dan Ki Tumbal
Waru. Ketika melihat Panji mengangkat mayat Barangga beserta kepalanya yang
terpisah, Kenanga segera mengangkat mayat Ki Tumbal Waru. Dia mengikuti lang-
kah Pendekar Naga Putih yang hendak mencari tempat
yang baik untuk makam kedua orang itu.
*** Sepasang pendekar itu terus melangkah sambil
membawa kedua mayat jagoan Istana Kerajaan Bantar
Gebang. Mereka meninggalkan pantai untuk mencari
daerah yang pantas sebagai makam kedua orang itu.
Memang di sekitar mereka hanya terdapat tanah ber-
pasir yang tentu saja tidak bisa digunakan untuk
menguburkan mayat
Tidak berapa lama kemudian, mereka menghen-
tikan langkah di sebuah daerah berbatu yang tanah-
nya tidak lagi mengandung pasir. Kenanga meletakkan mayat Ki Tumbal Waru dari
bahunya, seperti halnya
yang dilakukan Panji terhadap mayat Barangga.
"Hm.... Rasanya tempat ini cukup baik untuk pe-
ristirahatan terakhir mereka," gumam Panji.
Kini Pendekar Naga Putih mulai menggali dengan
menggunakan pedang kekasihnya. Karena pemuda itu
menggunakan tenaga dalamnya, maka sebentar saja
terciptalah dua buah lubang besar.
Mendadak saja, sebelum Panji sempat memasuk-
kan mayat-mayat itu ke dalam liang lahat, terdengar suara bergemuruh derap
puluhan ekor kuda. Serentak
mereka menoleh saling bertukar pandang. Kemudian,
dinantikannya rombongan berkuda itu datang, lewat
dekat mereka. Ketika rombongan berkuda itu mulai nampak,
Panji sempat merasa tegang. Karena, rombongan ber-
kuda itu ternyata terdiri dari prajurit Kerajaan Bantar Gebang.
"Celaka, Kakang. Kita bisa dipersalahkan dengan
adanya mayat-mayat ini...," desis Kenanga yang langsung saja menghubungkan
prajurit berkuda itu den-
gan mayat dua orang jagoan istana yang ada bersama
mereka. Panji terdiam ketika mendengar kekhawatiran
kekasihnya. Untuk lari menghindar, tentu saja pemu-
da itu tidak sudi. Maka, kakinya segera melangkah be-
berapa tindak, dan berdiri di situ. Seolah-olah Pendekar Naga Putih hendak
menanti kedatangan prajurit
kerajaan yang jumlahnya puluhan. Memang pemuda
itu berniat menceritakan seadanya.
"Hooop...!"
Seorang lelaki gagah bercambang bauk berpa-
kaian perwira, mengangkat tangan kanannya agar pa-
sukan di belakangnya berhenti. Lalu matanya menatap ke arah pemuda berjubah
putih dan gadis jelita berpakaian hijau yang membungkuk hormat kepadanya.
Baik Panji maupun Kenanga segera dapat mengenali
dengan baik, kalau perwira itu adalah orang yang me-meriksa kedai tempat mereka
menginap. Perwira tinggi besar yang tak lain Kala Sungga itu
menatap tajam ke arah pasangan muda di depannya.
Ia yang mendapat perintah untuk segera menyusul Ba-
rangga dan Ki Tumbal Waru, segera saja membawa pa-
sukannya ke Pantai Utara Laut Pajang. Karena, Sena-
pati Gada Sura merasa khawatir kalau-kalau orang
yang dicarinya memiliki banyak pengikut. Untuk itulah Kala Sungga sekarang
berada di daerah Pantai Utara
ini. "Hahhh!" Bukankah itu Barangga dan Ki Tumbal
Waru...!" Siapa yang telah melakukan kebiadaban
itu...?" kata Kala Sungga,
Laki-laki bercambang bauk itu terkejut bukan
main ketika melihat adanya dua sosok mayat di bela-
kang pasangan muda di depannya. Segera saja ia me-
lompat turun dari atas punggung kuda dengan wajah
setengah tak percaya.
Kala Sungga melangkah lebar agak terburu-buru.
Dengan gerakan kasar, didorongnya Panji dan Kenanga yang untungnya segera
menyingkir. Sehingga, mereka
tidak sampai terjajar.
"Gila! Ini benar-benar sudah keterlaluan!" teriak
Kala Sungga, kalap.
Kemudian perwira tinggi besar itu mengalihkan
pandangan ke arah pemuda berjubah putih dan gadis
jelita berpakaian hijau dengan sorot mengerikan!
"Kami menemukan kedua mayat itu di pantai, la-
lu membawa kemari untuk dimakamkan...," jelas Pan-
ji, sedikit berbohong. Ia sengaja menjelaskan sebelum ditanya perwira tinggi
besar itu. "Bangsat! Siapa yang telah membunuh mereka..."
Ayo, katakan padaku!" dengus Kala Sungga.
Mendengar keterangan Panji, prajurit itu semakin
bertambah murka. Bahkan tangannya terulur hendak
mencengkeram bahu Panji. Dan tentu saja Pendekar
Naga Putih tidak sudi diperlakukan demikian. Segera saja tubuhnya bergeser
mundur satu langkah ke belakang. Sehingga, cengkeraman Kala Sungga hanya
mengenai angin.
"Hahhh!?"
Untuk ke sekian kalinya, Kala Sungga kembali
tertegun heran. Begitu sadar, kemarahannya pun men-
jadi berlipat-lipat. Karena perbuatan pemuda itu yang menghindari
cengkeramannya, dianggap sebagai sikap
membangkang. "Kurang ajar! Rupanya kau memiliki sedikit ke-
pandaian, ya! Aku yakin, kalian berdua pasti tahu
orang yang telah melakukan pembunuhan terhadap
dua orang jagoan istana itu! Kalian harus kami tangkap untuk diperiksa!" geram
Kala Sungga dengan wa-
jah semakin gelap.
Kenanga yang memang tidak suka terhadap sikap
kasar perwira tinggi besar itu tentu saja menjadi bertambah dongkol. Tanpa
mengenal takut, gadis jelita itu menudingkan jarinya ke wajah Kala Sungga.
"Dengar, Perwira Gila!" maki Kenanga tak kalah
marahnya. "Aku tidak suka dijadikan tawanan! Dan,
apa yang dikatakan kawanku ini memang benar. Kalau
tidak percaya, terserah! Tapi, ingat! Aku tidak suka dibentak-bentak seperti
orang pesakitan!"
Panji yang tidak sempat mencegah kemarahan
dara jelita itu tentu saja cukup terkejut. Ucapan-
ucapan Kenanga jelas-jelas seperti tengah menumpah-
kan semua kejengkelan. Maka cepat-cepat dia maju
beberapa tindak untuk menjelaskan masalahnya.
"Hm.... Kau juga ingin memberontak rupanya,"
desis Kala Sungga sebelum Panji sempat mengucap
sepatah kata pun. "Tangkap kedua orang ini! Bunuh
kalau mereka melawan!"
Terdengar perintah perwira tinggi besar itu kepa-
da puluhan orang prajuritnya. Maka segera saja mere-ka berlompatan turun dari
atas punggung kuda dan
mengepung kedua orang muda itu.
'Tunggu...!" cegah Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya mencoba meng-
hindari keributan dengan tentara kerajaan. Tapi, usa-hanya sia-sia belaka.
Ternyata pasukan prajurit itu tetap bergerak mengepung dan siap menangkap
mereka. *** 8 "Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Prajurit Kerajaan Bantar Gebang yang berjumlah
kurang lebih sekitar enam puluh orang itu mengham-
bur maju ke arah Panji dan Kenanga. Tentu saja hal
itu membuat mereka harus cepat mengambil keputu-
san. Begitu rombongan prajurit itu hampir mendekat, Panji menahan kekasihnya
yang hendak mencabut Pedang Sinar Bulan. Kemudian ditariknya gadis jelita itu ke
samping. Dan bersamaan dengan itu, muncullah
lapisan kabut bersinar putih keperakan. Kali ini, lapisan kabut itu tidak hanya
menyelimuti sekujur tubuh Panji saja, tapi juga tubuh Kenanga.
"Aaakh...!"
Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaa...!"
Terdengar teriakan-teriakan ngeri saat prajurit-
prajurit itu menghantam senjatanya ke tubuh kedua
orang korbannya. Senjata mereka langsung berbalik.
Bahkan beberapa di antaranya langsung patah. Malah
tubuh para penyerang itu pun, terlempar bagaikan ter-tolak balik oleh suatu
tenaga yang tak tampak.
"Kakang, lebih baik kita tinggalkan saja tempat
ini...," usul Kenanga.
Memang, gadis itu ingin berlalu dari kerumunan
prajurit-prajurit Ia takut, tidak bisa menahan dirinya, dan melakukan perlawanan
yang sudah pasti akan
menimbulkan korban di antara para prajurit.
"Baiklah...," sahut Panji menyetujui usul keka-
sihnya. Kemudian, pemuda itu mencari kepungan yang
lebih mudah untuk diterobosnya.
Namun rupanya Kala Sungga sempat memperha-
tikan tingkah laku pemuda berjubah putih itu yang
seperti hendak melarikan diri. Maka dengan empat
orang perwira lainnya, lelaki tinggi besar itu pun segera saja menerjang
Pendekar Naga Putih dan Kenanga.
"Yeaaat....!"
"Haaat...!"
Mendengar suara berdesingan yang lain dari de-
singan-desingan lainnya, Panji segera menoleh ke arah asal suara. Tampak perwira
tinggi besar dan empat
orang perwira lainnya tengah meluncur dengan senjata masing-masing. Sadarlah
Panji kalau perwira tinggi
besar itu sepertinya telah menduga maksudnya.
Wuettt... Trakkk!
"Uhhh...!"
Kala Sungga yang tiba lebih dulu daripada empat
orang kawannya, terkejut bukan main ketika pedang di tangannya bagaikan
membentur sebuah dinding baja
yang kokoh! Bahkan bukan hanya senjatanya saja
yang terpental balik. Tubuhnya pun sempat menggigil, bagaikan orang terserang
demam tinggi. Karena, hawa dingin yang amat kuat menyelusup melalui pedangnya
dan terus merasuk ke dalam tubuh.
"Gila..."!" maki Kala Sungga yang hampir-hampir
tidak mempercayai apa yang dialaminya.
Seumur hidupnya, belum pernah ia mengalami
hal yang demikian mengejutkan. Jangankan melihat
serangan yang dapat membuat tubuhnya bagai orang
terserang malaria. Untuk melihat orang yang mampu
menahan hantaman senjatanya dengan tubuh telan-
jang pun, belum pernah ditemukannya. Tentu saja ke-
tika pemuda itu dapat menahan senjata tanpa tameng, Kala Sungga mulai
memperhitungkannya.
Bukan hanya Kala Sungga saja yang merasakan
hal serupa itu. Perwira lainnya pun sama-sama mera-
sakan. Mereka bahkan sampai terlempar, karena de-
mikian bernafsu menamatkan riwayat pemuda berju-
bah putih itu. Akibatnya, mereka menderita lebih parah ketimbang Kala Sungga.
"Aaah..."!"
Tiba-tiba saja Kala Sungga yang kembali bersiap
menyerang dan mencoba mencari kelemahan lawan,
terkejut ketika teringat sesuatu. Wajah lelaki tinggi besar itu berubah hebat
seketika. Sepasang matanya ter-belalak lebar, bagaikan melihat hantu di siang
bolong. "Dia.... Pendekar Naga Putih...!" seru laki-laki
bercambang bauk itu.
Kala Sungga kini benar-benar teringat ciri-ciri
seorang pendekar muda yang bergaung santer di ka-
langan rimba persilatan. Sementara itu empat orang
kawan perwiranya, kini sama-sama membisikkan hal
yang serupa. Wajah-wajah mereka tampak dilanda ke-
tegangan dan kecemasan.
Sedangkan para prajurit bawahan mereka seper-
tinya tidak begitu tahu tentang kemunculan tokoh
muda yang sangat sakti itu. Hanya ada beberapa di antara mereka yang sempat
berbisik-bisik. Sepertinya, ju-lukan itu pernah didengarnya meski samar-samar
dan hanya sekilas. Bagi Panji maupun Kenanga, keadaan seperti itu
jelas merupakan peluang baik untuk melarikan diri.
Cepat mereka berkelebat selagi Kala Sungga dan pasukannya tertegun bagaikan
terkesima, ketika teringat orang-orang yang tengah mereka keroyok tadi.
"Hei..." Ke mana perginya mereka...?" teriak Kala
Sungga, begitu sadar dari keterpakuannya.
Perwira bercambang bauk itu memang tidak me-
nemukan pasangan muda itu di depannya. Tentu saja
Kala Sungga tidak mungkin dapat menemukan mereka
lagi, karena pasangan pendekar itu telah pergi menggunakan ilmu meringankan
tubuh yang telah menca-
pai tingkat tinggi.
Sadar kalau Pendekar Naga Putih dan gadis jelita
berpakaian hijau itu telah lenyap, Kala Sungga segera saja mengajak pasukannya
untuk kembali. Sepertinya,
lelaki tinggi besar itu ingin melaporkan keterlibatan Pendekar Naga Putih dalam
persoalan itu. Beberapa
saat kemudian, terlihatlah iring-iringan pasukan bergerak kembali menuju
kotaraja sambil membawa
mayat Barangga dan Ki Tumbal Waru yang belum
sempat dikuburkan oleh Pendekar Naga Putih.
*** Saat itu malam sudah semakin larut. Sinar bulan
yang redup tidak mampu menerangi gelapnya suasana
malam itu. Namun, suasana seperti itu justru sangat disukai sesosok tubuh tegap
terbungkus jubah panjang berwarna coklat tua. la terus bergerak gesit, me-
nyelinap ke dalam bangunan kediaman Senapati Gada
Sura. Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, sosok
berjubah coklat itu melewati para penjaga di bawahnya dengan selamat Menilik
gerakannya yang lincah dan
sangat ringan, jelas kalau sosok tegap itu memiliki kepandaian tinggi.
Ketika sosok ini tiba di bagian samping kanan
bangunan besar itu, tubuhnya meluruk turun tanpa
menimbulkan suara sedikit pun. Kemudian, dia me-
nyelinap masuk melalui pintu samping, dan terus bergerak menerobos ruang tengah.
Tanpa mengalami ke-
sulitan sedikit pun, sosok tegap itu pun tiba di tempat yang ditujunya.
Sementara seorang lelaki berperawakan gemuk
yang tengah berada di ruang perpustakaan rumahnya,
sepertinya sama sekali tidak sadar kalau dirinya tengah diintai. Lelaki itu
terus saja membaca dengan tenang, tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Pada, saat itu orang yang mengintainya telah menyelinap masuk.
"Hiaaat..! Mampus kau pengkhianat busuk, Gada
Sura...!" Lelaki berperawakan gemuk yang ternyata Sena-
pati Gada Sura itu sama sekali tidak kelihatan terkejut Jelas, sikap tidak
tahunya tadi seperti memang disengaja. Dan tampaknya, hal itu memang untuk
memanc- ing sosok tegap agar masuk ke dalam ruangan. Ter-
bukti, ketika pedang di tangan sosok berjubah coklat tua itu membacoknya dari
belakang, Senapati Gada
Sura lebih dahulu menghindar dengan lompatan pan-
jang ke samping.
Brakkk! Meja dan kursi tempat semula senapati itu du-
duk kontan hancur berantakan, akibat hantaman ke-
ras dari sebilah pedang bersinar kebiruan yang digunakan sosok berjubah coklat
Senapati Gada Sura memang bukan orang sem-
barangan. Begitu melompat menghindari sambaran
pedang yang sempat ditangkapnya tadi, lelaki gemuk
itu langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat
yang telak menghantam iga lelaki berjubah coklat tua itu! Bukkk!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tendangan yang cukup keras
langsung membuat sosok tegap itu terlempar keluar,
setelah menabrak daun jendela hingga hancur beran-
takan! "Yeaaat..!"
Derrr...! Senapati Gada Sura langsung mengejar lawannya
dengan jejakan keras. Dia semakin merasa geram keti-
ka jejakan telapak kakinya ternyata tidak mengenai sasaran, karena sosok itu
telah lebih dahulu bergulingan. Kemudian, sosok berpakaian coklat itu terus
melenting disertai lompatan panjang ke belakang, dan
siap melanjutkan perkelahian.
"Sudah kuduga, kau akan datang sendiri ke tem-
pat ini untuk mencariku, Pembunuh! Hm.... Sudah
empat orang pembantu-pembantuku yang kau bunuh
secara keji! Apa sebenarnya yang kau inginkan" Dan, siapa yang kau cari..."!"
kata Senapati Gada Sura datar, dengan sikap merasa tinggi.
Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu mene-
liti sosok dan wajah lawannya. Namun, keningnya berkerut ketika merasa tidak
pernah mengenal sosok yang ternyata seorang pemuda berambut panjang dan berwajah
buruk. "Hm.... Gada Sura! Kaulah pengecut busuk,
pengkhianat yang tidak patut hidup! Kau kira kejadian lima tahun yang lalu di
Laut Pajang sudah berakhir
begitu saja"! Huh! Kau keliru, Gada Sura. Ayah-ibuku memang tewas oleh kebusukan
dan kelicikanmu beserta kawan-kawanmu itu. Tapi, kau lupa. Saat terjatuh ke
dalam laut, aku sama sekali belum tewas. Sayang, kau dan pembantu-pembantumu
yang berhati busuk
itu tidak mengetahuinya. Sekarang, kau harus mene-
busnya seperti empat orang kawanmu itu...!" ancam
sosok tegap berjubah coklat yang tak lain dari Bhira-wa. Rupanya, pemuda itu
masih tetap nekat menda-
tangi musuh-musuhnya yang masih hidup. Apalagi ka-
lau bukan untuk melampiaskan dendamnya"
"Kau... kau...," Senapati Gada Sura tidak mampu
melanjutkan ucapannya, karena hatinya terlalu terkejut mendengar pengakuan
pemuda itu. "Benar! Akulah Bhirawa putra tunggal Senapati
Kalang Bawung, yang telah kau khianati itu! Rupanya, diam-diam kau mengincar
jabatan senapati dalam Kerajaan Bantar Gebang ini. Kau manusia busuk yang tidak
pernah puas dengan apa yang didapatkan, Gada
Sura. Pangkat sebagai wakil senapati yang diberikan ayah rupanya tidak membuatmu
berterima kasih. Padahal, kalau tidak ayahku yang mengusulkannya ke-
pada Gusti Prabu, belum tentu kau bisa memegang ja-
batan itu! Tapi, ternyata kau tak lebih dari seekor ular yang tega membunuh,
meski orang itu adalah maji-kanmu yang telah memberi kebaikan berlimpah-
limpah! Kau memang tidak pantas hidup, Gada Su-
ra...!" geram Bhirawa dengan sepasang mata menco-
rong kemerahan. Jelas, pemuda itu sangat menden-
dam terhadap Senapati Gada Sura yang menjadi mu-
suh utamanya. Mendengar ucapan-ucapan itu, tentu saja Sena-
pati Gada Sura terkejut bukan main. Lelaki berpera-
wakan gemuk itu menoleh ke kiri-kanan, seolah-olah
takut ada yang mendengarnya. Setelah merasa tidak
ada yang ikut mendengarkan ucapan Bhirawa, terlihat rona kelegaan pada wajah
lelaki gemuk itu.
"Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus, Bhira-
wa! Dengan demikian, rahasia ini tak akan terbongkar selamanya...," desis Gada
Sura dengan senyum iblis.
Sambil berkata demikian, lelaki gemuk itu me-
nyambar sebatang tombak berujung golok yang me-
mang terpajang di rak senjata halaman samping ban-
gunan itu. Wuuut! Wuuut...!
Dengan lihainya, Senapati Gada Sura memutar
tombak bermata golok di tangannya, hingga menim-
bulkan suara mengaung keras. Kemudian....
"Heaaat...!"
Dibarengi teriakan nyaring, Senapati Gada Sura
melesat dengan tusukan tombak bergoloknya.
"Yiaaah...!"
Bhirawa tidak tinggal diam. Pemuda bertubuh
tinggi tegap itu berseru keras sambil memutar pedang sinar kebiruan yang tergenggam di tangan kanannya.
Senjata itu mengaung tajam, menimbulkan angin
menderu. Gulungan sinar kebiruan pun terbentuk,
dan bergerak turun naik bagaikan naga raksasa yang
bermain-main di angkasa.
Bhirawa yang memang telah tahu kalau Senapati
Gada Sura bekas pembantu ayahnya itu memiliki ke-
pandaian tinggi, segera mengerahkan seluruh kemam-
puannya. Pedang di tangannya berkelebatan menyam-
bar-nyambar disertai kilatan cahaya kebiruan. Namun sampai sejauh itu, tubuh
lawan belum juga dapat disentuh. Bahkan gempuran tombak bergolok di tangan
Senapati Gada Sura terlihat semakin bertambah cepat dan mengejutkan!
, Wuettt..! "Aihhh...!?"
Bukan main terkejutnya Bhirawa ketika pada su-
atu kesempatan, tombak bergolok di tangan lawan bergerak menusuk dengan
kecepatan kilat. Untungnya, ia masih sempat memiringkan kepala. Sehingga,
lehernya selamat dari golok yang berada di ujung tombak lawannya.
"Yeaaah...!"
Bhirawa yang selalu dapat memanfaatkan saat-
saat tak terduga, berteriak nyaring disertai lompatan dan putaran tubuhnya
ketika sabetan mendatar tombak bergolok Senapati Gada Sura lewat sebatas ping-
gangnya. Dalam melompat ke atas sambil berputar itu,
pedang Bhirawa dikelebatkan untuk membabat dada
lawan dari udara!
Brettt! Buggg! "Aaark...!
Senapati Gada Sura menjerit kaget ketika pedang
lawan sempat menyerempet bahunya. Padahal, dia su-
dah berusaha menghindar! Namun dengan sigapnya,
lelaki gemuk itu memutar balik gagang tombak bergo-
loknya. Bahkan langsung menghajar punggung lawan!
Meski hajaran itu tidak terlalu keras, tapi Bhira-
wa cukup merasa nyeri pada punggungnya. Pemuda
keras hati yang tidak pernah menyerah itu kembali
mengibaskan pedang di tangannya dengan putaran in-
dah. Sepasang matanya tetap mencorong tajam menyi-
ratkan dendam kesumat.
Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yeaaat..!"
Kali ini, rupanya bukan Bhirawa yang lebih ber-
nafsu untuk melenyapkan lawannya. Tapi justru Se-
napati Gada Sura-lah yang terlihat lebih ingin melenyapkan pemuda itu.
Sepertinya, lelaki gemuk itu cukup sadar kalau Bhirawa satu-satunya ancaman yang
bisa membuat jabatannya hilang. Itulah sebabnya,
mengapa Senapati Gada Sura sangat bernafsu sekali
untuk segera menghabisi nyawa Bhirawa.
Pertarungan pun terus berlanjut semakin seru.
Keduanya memang memiliki tingkat kepandaian ham-
pir berimbang, sehingga, pertarungan juga terlihat
agak seimbang. Tapi suara teriakan-teriakan dan dentang senjata
yang memekakkan telinga, ternyata telah mengundang
seluruh penghuni bangunan besar itu. Terbukti, tidak berapa lama kemudian
terlihat cahaya obor yang ber-gerombol diiringi suara riuh-rendah.
Bhirawa yang saat itu telah mampu mendesak
Senapati Gada Sura menjadi terkejut bukan main, be-
gitu tahu-tahu saja di sekeliling tempat itu telah dipenuhi prajurit kerajaan
yang lengkap dengan senjata di tangan. Bahkan di satu sudut, juga terlihat Jata
Sura dan Kala Sungga. Hanya Winarsih, putri Senapati Ga-da Sura yang tidak
terlihat di tempat itu.
Sadar kalau tidak mungkin dapat lolos dari tem-
pat itu, Bhirawa teringat pesan terakhir gurunya. Cepat dirabanya suatu benda
yang tersembunyi di balik sabuknya. Selama ini ia memang tidak pernah
menggunakan, karena gurunya yang berjuluk Hantu Laut
Pajang telah berpesan sebelum kematiannya. Senjata
maut itu hanya boleh digunakan bila pada saat yang
amat genting. Kini setelah tidak ada lagi kesempatan untuk lo-
los, Bhirawa pun segera teringat pesan mendiang gu-
runya itu. Namun sayang, ia tidak sempat mengguna-
kannya. Karena saat itu, Senapati Gada Sura telah
memerintahkan putra dan pengawal-pengawalnya un-
tuk mengeroyok Bhirawa. Memang lelaki gemuk itu
sendiri terlihat mulai kepayahan. Hal itu karena lelaki gemuk itu tidak pernah
memperhatikan ilmu silatnya.
Selama ini, ia hanya kesenangan, sehingga lupa akan pentingnya ilmu silat bagi
orang berpangkat seperti dirinya. Keroyokan itu tentu saja membuat Bhirawa
terdesak hebat. Belum lagi, para prajurit yang telah siap dengan senjata di
tangan. Maka semakin sulitlah bagi pemuda itu untuk selamat!
"Yiaaat..!"
Bukkk! Desss...! "Aaakh...!"
Sebuah tendangan Jata Sura dan hantaman telak
Kala Sungga, membuat tubuh pemuda itu terjengkang
memuntahkan darah segar. Belum lagi Bhirawa sem-
pat bangkit, Senapati Gada Sura telah datang dengan ayunan tombak bergoloknya!
Wuuut! Tombak bermata sebuah golok besar itu men-
gaung tajam, siap merencah tubuh Bhirawa. Karena
masih merasakan luka pada tubuhnya, pemuda itu ti-
dak lagi bisa menghindari tebasan golok besar yang di-luncurkan Senapati Gada
Sura. Namun pada saat yang sangat gawat bagi kese-
lamatan nyawa Bhirawa, tiba-tiba melesat sesosok
bayangan putih yang langsung menggagalkan tebasan
tombak bergolok Senapati Gada Sura.
Plakkk! "Aaakh...!"
Hantaman telapak tangan sosok bayangan putih
itu memang sangat hebat! Terbukti, tubuh Senapati
Gada Sura terdorong, dan hampir terjungkal jatuh ke belakang! Wajah lelaki gemuk
itu tampak menyeringai menahan sakit.
Bhirawa yang sempat menyaksikan kejadian itu
tentu saja tidak ingin menyia-nyiakannya. Cepat bagai kilat tubuh, pemuda itu
melesat dengan tusukan pedangnya ke tubuh Senapati Gada Sura!
Bresss...! "Aaa...!"
Senapati Gada Sura meraung tinggi! Darah segar
mengalir membasahi pedang dan tanah di bawahnya,
begitu pedang Bhirawa yang tepat menembus jantung-
nya dicabut pemiliknya. Lelaki gemuk itu memang ti-
dak sempat lagi menghindar. Karena saat itu, ia belum lagi terbebas dari
pengaruh tangkisan sosok berjubah
putih yang menyelamatkan Bhirawa dari kematian.
Sedangkan sosok berjubah putih itu tidak sempat
mencegahnya, karena pada saat itu tengah memperha-
tikan seorang perwira tinggi besar dan pemuda tampan tinggi kurus yang
menerjangnya dari dua arah.
"Bhirawa..."!" seru sosok berjubah putih itu.
Pemuda berjubah putih itu benar-benar terkejut
ketika menoleh ke arah Bhirawa. Rupanya pemuda
berwajah buruk itu tidak puas dengan tindakannya.
Dia kini tengah memenggal kepala Senapati Gada Su-
ra! Maka, cepat bagai kilat sosok berjubah putih itu segera melesat ke arah
Bhirawa. Maksudnya, untuk
membawa keluar pemuda itu dari kepungan prajurit
Kerajaan Bantar Gebang.
Tapi, Kala Sungga dan Jata Sura tidak sudi
membiarkan kedua orang itu meloloskan diri begitu sa-ja. Mereka segera saja
bergerak menyerbu sambil berteriak memerintah pasukannya untuk merapatkan ke-
pungan. Bhirawa yang masih mendendam terhadap Jata
Sura, segera saja berbalik dengan pedang di tangan.
Kemudian, diterjangnya Jata Sura dengan putaran pe-
dang yang menimbulkan deru angin berkesiutan.
"Bhirawa, kita harus pergi dari sini. Kalau tidak,
kau akan ditangkap pihak kerajaan karena telah
membunuh salah seorang pejabat penting...," bisik sosok berjubah putih itu, yang
segera menyambar tangan Bhirawa. Kemudian, Bhirawa dibawanya pergi meninggalkan
kediaman Senapati Gada Sura.
'Tangkap...! Cegah mereka...!" Kala Sungga berte-
riak-teriak sambil berusaha mengejar sosok berjubah putih yang membawa lari
Bhirawa. Tapi, sepertinya pemuda berwajah buruk itu pun
tidak memberontak. Karena, ia cukup merasa puas te-
lah melepaskan dendam keluarga dengan tewasnya
Senapati Gada Sura. Sehingga saat sosok berjubah putih itu membawanya lari,
Bhirawa tidak membantah.
Dan karena sosok berjubah putih menggunakan ilmu
meringankan tubuh sepenuhnya, maka cepat sekali
tubuhnya menghilang bersama Bhirawa.
Jata Sura, Kala Sungga, dan pasukannya terpak-
sa menghentikan pengejaran ketika bayangan kedua
orang itu sudah tidak terlihat lagi. Baik Bhirawa maupun sosok berjubah putih
itu bagai lenyap ditelan bu-mi. Apalagi, suasana benar-benar gelap. Gagalnya
pengejaran itu membuat mereka kembali, karena harus
mengurus mayat Senapati Gada Sura.
Sementara itu, Bhirawa dan sosok berjubah putih
yang tak lain dari Pendekar Naga Putih terus berlari menembus kegelapan malam
yang semakin melarut.
"Ehhh..."!"
Bhirawa yang berlari di sebelah Panji, tertegun
ketika melihat adanya sesosok tubuh yang berdiri
menghadang jalan mereka. Karena keadaan cukup ge-
lap, baik Panji maupun Bhirawa tidak mengenali sosok yang berdiri menghadang
jalan itu. "Winarsih...!" Sedang apa kau di sini...?" kata
Bhirawa begitu sudah memperhatikan sosok itu.
Ternyata, sosok itu memang putri bungsu Sena-
pati Gada Sura. Melihat hal itu Bhirawa sedikit tegang.
Ia menduga, kemunculan gadis itu pasti ada hubun-
gannya dengan kematian orang tuanya.
"Bhirawa.... Aku telah tahu semua tentang per-
soalan di antara keluarga kita. Tadi aku telah mendengar pembicaraanmu dengan
ayahku. Dan kenyataan
itu membuat aku merasa malu. Karena, ayahku ter-
nyata seorang berhati kejam. Dia begitu tega
mengkhianati orang yang telah begitu menaruh keper-
cayaan kepadanya. Ketika mendengar keributan terjadi di antara kalian, aku
segera meninggalkan gedung
tanpa tahu harus berbuat apa-apa...," jelas Winarsih dengan air mata membasahi
wajahnya. "Lalu, mengapa kau menghadang kami..." Apa-
kah kau pun ingin membalas dendam atas kematian
ayahmu itu...?" tanya Bhirawa sambil menatap gadis
cantik itu dengan sikap curiga.
Sedangkan Pendekar Naga Putih hanya berdiri di
samping pemuda itu sambil menatap wajah gadis ber-
nama Winarsih penuh selidik.
"Jadi, kau sudah berhasil membunuh ayahku...?"
desis gadis cantik itu dengan bibir bergetar.
Air mata Winarsih terlihat semakin banyak ber-
gulir membasahi pipinya. Jelas sekali kalau dia begitu sedih mendengar kematian
ayahnya. Sepasang mata
indah yang basah itu menatap, tepat ke bola mata Bhirawa. Sehingga, pemuda itu
terlihat agak bingung dibuatnya.
"Apakah kau pun akan membunuh Kakang Jata
Sura dan aku..." Bukankah aku juga keturunan ma-
nusia jahat...?" kata Winarsih tanpa melepaskan pandangan matanya dari wajah
Bhirawa. "Tidak. Aku sudah cukup puas dengan kematian
Senapati Gada Sura, orang tuamu itu. Tapi aku pun
tidak akan lari dari tanggung jawab, apabila kau berniat membalas kematian
ayahmu...," sahut Bhirawa,
siap menghadapi gadis cantik itu.
"Bagus. Kalau begitu, biarlah aku merelakan ke-
matian ayahku. Kurasa itu cukup adil, bukan...?" kata Winarsih. Sepertinya,
Winarsih agak heran mendengar jawaban Bhirawa yang ternyata tidak mendendam
kepada Jata Sura maupun dirinya. Wajah berduka itu
terlihat agak berseri sekejap.
"Aku pun tidak bermaksud melanjutkan dendam
yang memusingkan ini. Kalau begitu, aku pergi.... Selamat tinggal, Winarsih.
Berilah pengertian kepada ka-kakmu...," ucap Bhirawa yang segera meninggalkan
tempat itu diiringi Pendekar Naga Putih.
"Selamat jalan, Bhirawa. Aku akan berusaha
memberi pengertian kepada Kakang Jata Sura agar
melupakan dendam atas kematian ayah...," sahut Wi-
narsih sambil melambaikan tangannya ke arah Bhira-
wa dan Panji. Gadis itu masih tetap terpaku di tempatnya, se-
belum bayangan kedua orang itu lenyap dari pandan-
gan. Sedangkan Panji dan Bhirawa terus berlari menu-ju rumah penginapan, tempat
Kenanga menunggu di
sana. Pemuda berjubah putih itu memang sengaja ti-
dak mengajak kekasihnya, ketika berniat menyelidiki tempat kediaman Senapati
Gada Sura. Dan Kenanga memang telah menanti mereka di
taman belakang rumah penginapan itu. Kemudian,
mereka bergerak meninggalkan Kotaraja Bantar Ge-
bang. "Kita harus cepat pergi meninggalkan negeri ini.
Apalagi, kau sekarang telah membunuh seorang sena-
pati kerajaan. Rasanya, tidak ada tempat lagi bagimu untuk tinggal di Kerajaan
Bantar Gebang. Bahkan
Pantai Utara Laut Pajang pun tidak bisa lagi ditinggali.
Siapa tahu, pihak kerajaan akan mengobrak-abrik
tempat itu...," kata Panji, saat mereka baru saja melewati tembok kotaraja.
'Yaaah.... Aku pun memang tidak berniat mene-
tap di Kerajaan Bantar Gebang. Aku ingin mengemba-
ra, meluaskan pengetahuan. Selamat berpisah, Pende-
kar Naga Putih...," pamit Bhirawa.
Pemuda itu segera memisahkan diri dari Pende-
kar Naga Putih dan Kenanga. Tampak Bhirawa melam-
baikan tangannya sebelum bergerak menuju ke Timur.
Pendekar Naga Putih dan kekasihnya hanya bisa
membalas lambaian tangan pemuda itu, karena me-
mang hendak menuju ke Barat. Memang mereka tidak
setujuan, sehingga harus berpisah di sini.
"Sudah kuduga, dia pasti mempunyai alasan
kuat atas semua perbuatannya...," desah Kenanga saat mereka melangkah bersamaan.
Panji hanya tersenyum
sambil melingkarkan tangannya memeluk gadis jelita itu.
SELESAI Scan/E-book: Abu Keisel
Juru Edit: Culan Ode
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Document Outline
1 *** *** 2 *** *** 3 *** 4 *** 5 *** *** *** *** *** *** 6 *** 7 *** *** 8 *** SELESAI Pedang Sinar Emas 2 Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Rahasia Pedang Berdarah 2