Pencarian

Kuda Dan Anak Manusia 2

The Chronicles Of Narnia 4 Kuda Dan Anak Manusia The Horse And His Boy Bagian 2


Ketika makanan sudah habis si faun menyuruh Shasta tetap diam di tempatnya sekarang. "Dan tidak akan berakibat buruk bagimu jika kau tidur sebentar," dia menambahkan. "Aku akan memanggilmu lama sebelum saatnya naik ke kapal. Kemudian, rumah. Narnia dan negeri Utara!"
Shasta begitu menikmati makan malamnya dan segala hal yang telah diceritakan Tumnus kepadanya sehingga ketika ditinggal sendirian, pikirannya kini beralih ke arah yang berbeda. Dia hanya berharap sekarang Pangeran Corin asli tidak akan muncul sampai semua sudah terlambat dan dia akan dibawa ke Narnia dengan kapal. Sayangnya dia sama sekali tidak memikirkan apa yang akan terjadi pada Pangeran Corin yang asli kalau dia ditinggal di Tashbaan. Tapi Shasta memang agak mencemaskan Aravis dan Bree yang mungkin menunggu dirinya di Makam. Tapi kemudian dia berkata pada dirinya sendiri, yah, aku kan tidak bisa apa-apa, lagi pula si Aravis itu merasa terlalu hebat untuk melakukan perjalanan bersamaku, jadi dia akan bahagia bila pergi tanpaku. Di saat yang sama dia tidak bisa mencegah dirinya merasa akan lebih menyenangkan pergi ke Narnia lewat lautan daripada menyeberangi padang pasir.
Ketika memikirkan semua ini, dia melakukan sesuatu yang kuduga juga akan kaulakukan jika kau telah bangun sangat pagi, berjalan jauh, mengalami berbagai kejadian menarik, menyantap makanan lezat, dan kini berbaring di sofa dalam ruangan sejuk tanpa suara apa pun kecuali dengungan seekor lebah dari jendela yang terbuka lebar. Dia terlelap.
Yang membangunkan Shasta adalah bunyi entakan keras. Dia melompat dari sofa, menajamkan mata. Dia langsung menyadari dari pemandangan ruangan yang kini remang-remang--cahaya dan bayangan kini tampak berbeda--bahwa dia pasti telah tertidur selama beberapa jam. Dia juga melihat apa yang menyebabkan bunyi keras itu: vas porselen mewah yang tadinya berdiri di mulut jendela tergeletak di lantai, tercerai berai hingga menjadi serpihan. Tapi dia nyaris tidak menyadari semua ini. Yang disadarinya adalah dua tangan yang mencengkeram mulut jendela dari luar. Tangan itu mencengkeram makin erat dan erat (hingga buku-buku jarinya tampak putih), kemudian muncullah kepala dan sepasang bahu. Sedetik kemudian ada anak laki-laki seusia Shasta duduk di mulut jendela dengan satu kaki bergantung ke dalam ruangan.
Shasta tidak pernah melihat wajahnya di cermin. Bahkan kalaupun pernah, dia mungkin tidak akan menyadari bahwa anak lain itu (di saat-saat biasa) hampir sama persis dengan dirinya. Pada saat ini anak itu tidak bisa dibilang benar-benar mirip siapa
pun karena mata lebamnya hitam sekali, satu giginya hilang, dan pakaiannya (yang pastinya dulu berkualitas bagus ketika dia mengenakannya) kini sobek-sobek dan kotor, lalu ada darah juga lumpur di waj
ahnya. "Siapa kau"" tanya anak itu dalam bisikan.
"Apakah kau Pangeran Corin"" tanya Shasta.
"Ya, tentu saja," kata anak yang satunya. "Tapi siapa kau""
"Aku bukan siapa-siapa, bukan seseorang yang kaukenal, maksudku," kata Shasta. "Raja Edmund menangkapku di jalanan dan mengira aku dirimu. Kurasa kita mungkin mirip satu sama lain. Bisakah aku keluar dari jalan kau masuk""
"Ya, kalau kau pandai memanjat," kata Corin. "Tapi kenapa kau terburu-buru" Menurutku kita bisa bersenang-senang kalau orang-orang salah mengira kau diriku."
"Tidak, tidak," kata Shasta. "Kita harus bertukar tempat sekarang juga. Akan kacau sekali kalau Mr Tumnus masuk dan melihat kita berdua di sini. Aku harus berpura-pura menjadi dirimu. Dan kau harus kembali menjadi dirimu sendiri malam ini--diam-diam. Memangnya dari mana saja kau selama ini""
"Seorang anak di jalan melontarkan lelucon keji tentang Ratu Susan," kata Pangeran Corin, "jadi aku meninjunya hingga jatuh. Dia berlari sambil berteriak-teriak ke sebuah rumah dan kakaknya yang besar keluar. Jadi aku meninju kakak besarnya itu hingga jatuh. Kemudian mereka semua mengejarku sampai kami bertemu tiga pria tua dengan tombak yang mereka sebut Pengawas. Jadi aku berkelahi dengan para pengawas itu dan mereka merobohkanku. Saat itu hari mulai gelap. Kemudian si pengawas menangkapku untuk mengurungku di suatu tempat. Jadi aku bertanya pada mereka apakah mereka mau secangkir anggur dan mereka bilang tidak akan keberatan bila mendapatkannya. Aku pun membawa mereka ke tempat minum anggur dan memesan beberapa botol. Mereka semua lalu duduk dan minum sampai tertidur. Kupikir itu saatnya untukku untuk pergi jadi aku keluar pelan-pelan kemudian mendapati anak pertama--anak yang memulai semua masalah itu--masih berkeliaran. Jadi aku meninjunya hingga jatuh lagi. Setelah itu aku memanjat pipa ke atap sebuah rumah dan berbaring diam sampai hari mulai terang pagi ini. Sejak saat itu aku sibuk mencari jalan pulang. Aduh, apakah ada sesuatu yang bisa diminum""
"Tidak, aku sudah meminumnya," jawab Shasta. "Dan sekarang, tunjukkan kepadaku bagaimana caramu masuk. Tidak boleh ada semenit pun terbuang sia-sia. Kau sebaiknya berbaring di sofa dan berpura-pura-tapi aku lupa. Semua akan percuma saja dengan semua memar dan mata lebammu itu. Kau hanya harus memberitahu mereka kejadian yang sebenarnya, begitu aku sudah pergi cukup jauh."
"Memangnya apa lagi yang akan kukatakan kepada mereka"" tanya si pangeran dengan wajah agak marah. "Dan siapa kau""
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan," jawab Shasta dengan bisikan panik. "Aku orang Narnia, kurasa begitu, setidaknya berasal dari negeri Utara. Tapi aku dibesarkan sepanjang hidupku di Calormen. Dan aku sedang melarikan diri: menyeberangi padang pasir dengan Kuda yang Bisa Berbicara bernama Bree. Dan sekarang, cepat! Bagaimana aku bisa pergi dari sini""
"Dengar," kata Corin. "Lompatlah dari jendela ini ke atap beranda itu. Tapi kau harus melakukannya dengan ringan, dengan ujung jarimu, atau seseorang akan mendengarmu. Kemudian pergilah ke sebelah kiri dan kau bisa naik ke dinding itu kalau kau pemanjat ulung. Lalu ikuti terus dinding hingga ke sudut. Lompatlah ke tumpukan sampah yang akan kautemukan di luar, dan kau akan sampai."
"Trims," kata Shasta yang sudah duduk di mulut jendela. Dua anak itu menatap wajah satu sama lain dan mendadak mendapati mereka telah menjadi teman.
"Selamat tinggal," kata Corin. "Dan semoga beruntung. Aku berharap kau bisa keluar dengan selamat."
"Selamat tinggal," kata Shasta. "Wah, petualanganmu hebat juga ya!"
"Tak bisa dibandingkan dengan petualanganmu," kata si pangeran. "Sekarang lompatlah, dengan ringan--ah ya," dia menambahkan ketika Shasta akan melompat, "aku berharap kita bisa bertemu lagi di Archenland. Temui ayahku Raja Lune dan beritahu dia kau temanku. Awas! Sepertinya ada yang datang."
BAB ENAM Shasta di Antara Batu Nisan
SHASTA berlari ringan, berjingkat, di sepanjang atap. Kaki telanjangnya merasakan panasnya permukaan atap itu. Dia hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk memanjat dinding di ujung jauhnya, dan
ketika sampai ke sudut, dia mendapati dirinya menatap ke bawah jalanan sempit dan berbau, dan ada sampah yang ditumpuk di dinding luar, tepat seperti perkataan Corin. Sebelum melompat turun, Shasta memandang sekilas ke sekeliling untuk melihat posisinya sekarang. Sepertinya dia kini telah sampai di bagian mahkota bukit pulau tersebut, pulau tempat Tashbaan dibangun. Semuanya menurun di hadapannya, atap datar di bawah atap datar, hingga menara dan ceruk benteng dinding utara kota. Di balik itu tampak sungai dan setelah sungai tampak turunan pendek yang ditutupi taman. Tapi di balik itu semua, ada sesuatu yang bahkan benda mirip sesuatu itu pun belum pernah dia lihat--benda besar berwarna abu-abu kekuningan, sedatar laut tenang, dan terbentang bermil-mil. Pada ujung jauhnya ada benda-benda biru raksasa, bergelombang-gelombang tapi dengan ujung-ujung bergerigi, dan beberapa di antaranya memiliki pucuk berwarna putih. Itu padang pasirnya! Pegunungannya! pikir Shasta.
Dia melompat turun ke tumpukan sampah dan mulai berlari kecil menyusuri jalan yang menurun, secepat yang dia bisa di gang sempit itu. Tak lama kemudian, dia sampai ke jalan yang lebih lebar tempat lebih banyak orang berlalu-lalang. Tidak ada yang bahkan peduli pada anak kecil berpakaian lusuh berlari dengan kaki telanjang. Tetap saja Shasta merasa cemas dan gelisah sampai dia berbelok di suatu sudut dan melihat gerbang kota di hadapannya. Di sini dia terdesak dan terdorong-dorong sedikit, karena banyak orang yang juga berniat keluar, dan di atas jembatan di luar gerbang, kerumunan bergerak lebih lamban, lebih seperti antrean daripada kerumunan biasa. Di luar sana, dengan air jernih mengalir di kedua sisi, udara terasa jauh lebih segar setelah segala bau, panas, dan suara di Tashbaan.
Ketika telah mencapai ujung jauh jembatan itu, Shasta mendapati kerumunan kini menipis: semua orang tampak pergi ke kiri atau kanan sepanjang tepi sungai. Anak itu berjalan lurus mengikuti jalan besar yang sepertinya tidak terlalu sering digunakan, di antara taman-taman. Setelah beberapa langkah dia tinggal sendirian, dan beberapa langkah lagi membawanya ke ujung tanjakan. Di sana dia berdiri dan memandang ke sekeliling. Rasanya seperti sampai di ujung dunia karena beberapa meter di depannya rerumputan berhenti tumbuh agak mendadak dan bentangan pasir dimulai: hamparan pasir tak berujung seperti pada pantai, tapi terasa lebih keras karena tidak pernah basah. Pegunungan, yang kini tampak lebih jauh daripada sebelumnya, menjulang di depan.
Shasta lega sekali ketika dia melihat, sekitar lima menit jalan kaki ke arah kirinya, tempat yang sudah pasti merupakan Makam. Seperti yang telah digambarkan Bree, kini dilihatnya kumpulan besar batu yang sudah runtuh berbentuk sarang lebah raksasa, tapi sedikit lebih sempit. Batu-batu itu tampak begitu hitam dan muram, karena matahari kini terbenam tepat di belakang mereka.
Shasta memalingkan wajah menghadap barat dan berlari kecil menghampiri Makam. Dia tidak bisa mencegah dirinya memerhatikan dengan saksama kalau-kalau ada tanda keberadaan teman-temannya, walaupun matahari bersinar ke wajahnya sehingga dia nyaris tidak bisa melihat apa pun. Lagi pula, dia berpikir, tentu saja mereka akan ada di bagian ujung jauh makam terjauh, tidak di sisi sini tempat siapa pun mungkin bisa melihat mereka dari kota.
Ada sekitar dua belas makam di sana, masing-masing memiliki pintu melengkung yang bila dibuka akan menampilkan kegelapan sempurna. Makam-makam itu terletak sembarangan , tanpa urutan tertentu, jadi membutuhkan waktu lama untuk mengelilingi yang ini lalu mengelilingi yang itu, sebelum kau bisa yakin kau telah memutar dan memeriksa setiap sudut pada setiap makam. Dan itulah yang terpaksa dilakukan Shasta. Tidak ada siapa-siapa di sana.
Kini ketika matahari telah benar-benar terbenam, suasana begitu sepi di ujung padang pasir itu.
Mendadak dari suatu tempat di bawahnya terdengar suara mengerikan. Jantung Shasta melonjak dan dia harus menggigit lidah supaya tidak berteriak. Detik berikutnya dia menyadari apa sumber suara itu: terompet-terompet ta
nduk Tashbaan yang ditiup untuk menandakan waktunya gerbang ditutup. "Jangan jadi pengecut konyol begitu," kata Shasta pada dirinya sendiri. "Itu kan hanya suara yang sama dengan yang kaudengar pagi ini." Tapi ada perbedaan besar antara mendengar suara yang mengundangmu masuk bersama teman-teman di pagi hari dengan suara yang kaudengar sendirian malam hari, menandakan kau sudah tertutup di luar. Dan kini setelah gerbang-gerbang tertutup, Shasta tahu tidak ada kemungkinan teman-temannya bergabung dengannya malam ini. Bisa jadi mereka terkunci di dalam Tashbaan malam ini, pikir Shasta, atau tidak, mereka telah pergi tanpa diriku. Sepertinya Aravis akan tega melakukan itu. Tapi Bree tidak. Oh, dia tidak akan melakukan itu--tidak akan, ya kan"
Sekali lagi prasangka Shasta terhadap Aravis tidaklah benar. Aravis memang angkuh dan bisa bersikap keras, tapi anak perempuan itu setia dan teguh seperti besi dan tidak akan pernah menelantarkan teman seperjalanan, tidak peduli dia menyukainya atau tidak.
Kini setelah Shasta menyadari dia harus menghabiskan malam sendirian (setiap menit suasana menjadi semakin gelap), dia makin tidak menyukai pemandangan di tempat itu. Ada sesuatu yang meresahkan pada sosok-sosok batu besar yang bisu itu. Dia telah berusaha sekeras mungkin untuk tidak memikirkan hantu: tapi dia tidak bisa mencegahnya lebih lama lagi.
"Auw! Auw! Tolong!" tiba-tiba dia berteriak, karena pada saat itu dia merasa sesuatu menyentuh kakinya. Kurasa tidak ada orang yang bisa disalahkan karena berteriak kalau sesuatu datang dari belakang dan menyentuhmu, apalagi di tempat dan waktu seperti itu, ketika kita sudah merasa takut. Bagaimanapun Shasta terlalu ketakutan untuk lari. Apa pun lebih baik daripada dikejar-kejar dan lari berputa-putar di tempat penguburan raja-raja masa lampau karena sesuatu yang tidak berani dilihatnya. Dia malah melakukan sesuatu yang memang tindakan paling masuk akal untuk dilakukan. Dia memandang ke sekeliling, dan hatinya hampir pecah saking leganya. Yang menyentuhnya ternyata hanya kucing.
Cahaya kini terlalu minim bagi Shasta untuk melihat kucing itu dengan jelas, yang pasti hewan itu besar dan sangat anggun. Kucing itu tampak mampu hidup bertahun-tahun yang panjang di antara Makam, sendirian. Matanya membuatmu berpikir dia tahu rahasia-rahasia yang takkan dibagi pada siapa pun.
"Pus, pus," kata Shasta. "Kurasa kau bukanlah kucing yang bisa berbicara."
Kucing itu menatap Shasta lebih lekat daripada sebelumnya. Kemudian dia mulai berjalan menjauh, dan tentu saja Shasta mengikutinya. Si kucing menggiringnya melewati makam-makam dan keluar di padang pasir di samping mereka. Di sana kucing itu berdiri tegak dengan ekor melingkari kakinya dan wajah menghadap ke padang pasir, ke arah Narnia dan negeri Utara. Hewan itu bergeming seolah sedang mengawasi musuh yang akan datang. Shasta merebahkan tubuh di sampingnya dengan punggung bersandar pada si kucing dan wajah menghadap Makam, karena kalau kau merasa cemas, tidak ada pilihan paling baik daripada memasang wajah menghadap bahaya dan menempatkan sesuatu yang hangar dan kokoh di punggungmu. Pasirnya mungkin tampak tidak nyaman bagimu, tapi Shasta telah tidur di tanah selama berminggu-minggu dan nyaris tidak menyadari bedanya. Tak lama kemudian dia terlelap, walau bahkan di dalam mimpi dia terus bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada Bree, Aravis, dan Hwin.
Shasta terbangun tiba-tiba karena mendengar suara yang tidak pernah dia dengar sebelumnya. "Mungkin hanya mimpi buruk," katanya pada dirinya sendiri. Pada saat yang sama dia menyadari si kucing telah pergi dari punggungnya, dan dia menyesali ini. Tapi anak itu tetap berbaring diam tanpa membuka mata karena dia merasa yakin dia akan merasa lebih takut kalau duduk tegak dan melihat Makam juga kesendiriannya: seperti kau atau aku yang mungkin akan terbaring diam dengan selimut menutupi kepala kita. Tapi kemudian suara itu terdengar lagi--teriakan kasar dan menusuk dari belakangnya di padang pasir. Kemudian tentu saja dia harus membuka mata dan duduk.
Bulan bersinar terang. Makam--lebih besar dan
dekat daripada yang pernah dibayangkannya--tampak kelabu dalam sinar rembulan. Bahkan makam itu tampak seperti orang-orang besar yang mengerikan, berjubah abu-abu yang menutupi kepala dan wajah mereka. Batu-batu itu sama sekali bukan sesuatu yang kauinginkan berada di dekatmu ketika menghabiskan malam sendirian di tempat asing. Tapi suara itu datang dari arah yang berlawanan, bukan dari padang pasir. Shasta terpaksa membalikkan tubuh dan menghadap Makam (dia sangat tidak menyukai ini) dan memandang ke hamparan pasir yang datar. Teriakan liar itu terdengar lagi.
Mudah-mudahan itu bukan suara singa lagi, pikir Shasta. Tapi memang suara itu sama sekali tidak seperti auman singa yang didengarnya di malam mereka bertemu Hwin dan Aravis, dan sebenarnya itu suara anjing liar. Tapi tentu saja Shasta tidak mengetahui ini. Bahkan kalaupun dia tahu, dia sama sekali tidak akan ingin bertemu anjing liar.
Lolongan-lolongan keras itu terdengar lagi dan lagi. Mereka ada lebih dari satu, apa pun mereka, pikir Shasta. Dan mereka kian mendekat.
Kurasa kalau dia anak yang berakal jernih, dia akan kembali masuk ke antara makam-makam yang terdekat dengan sungai tempat banyak terdapat rumah, hewan-hewan liar akan lebih tidak mungkin ke sana. Tapi tentu saja ada (atau setidaknya dia pikir ada) hantu-hantu. Untuk kembali masuk ke antara makam-makam akan berarti melewati bukaan-bukaan gelap pada makam, dan apa yang mungkin bakal keluar dari sana" Mungkin pemikiran ini konyol, tapi Shasta merasa dia lebih baik mengambil risiko dengan hewan liar. Kemudian, ketika lolongan itu terdengar kian dekat dan dekat, dia mulai berubah pikiran.
Dia baru saja akan lari ketika mendadak, di antara dirinya dan padang pasir, hewan besar muncul dalam jarak pandangannya. Karena bulan berada di belakangnya, sosok itu tampak agak hitam, dan Shasta tidak tahu sosok apa itu, kecuali dia berkepala besar, berbulu, juga berkaki empat. Sosok itu tampaknya tidak menyadari kehadiran Shasta, karena dia mendadak berhenti, menolehkan kepala ke arah padang pasir dan mengeluarkan auman yang bergema ke seluruh makam dan seolah mengguncang pasir di bawah kaki Shasta. Lolongan dari makhluk-makhluk lain langsung berhenti dan Shasta merasa bisa mendengar langkah kaki berlarian menjauh. Kemudian hewan besar itu berpaling untuk memeriksa Shasta.
Itu singa, aku tahu itu singa, pikir Shasta. Tamatlah riwayatku, kira-kira bakal sangat menyakitkan, tidak ya" Kalau saja ini cepat berakhir, kira-kira apa yang terjadi pada orang setelah mereka meninggal" O-o-oh! Dia datang! Shasta pun memejamkan mata dan mengatupkan geliginya erat-erat.
Tapi bukannya gigi dan cakar, dia hanya merasakan sesuatu yang hangat berbaring di kakinya. Dan ketika dia membuka mata dia berkata, "Ya ampun, ternyata tidak sebesar yang kukira! Hanya separuhnya. Tidak, malah hanya seperempatnya. Aku harus mengakui ternyata singa itu hanyalah si kucing! Mungkin aku hanya memimpikannya sebesar kuda.
Dan apakah dia benar-benar hanya bermimpi atau tidak, sosok yang kini berbaring di kakinya, dan menatapnya penuh. ketenangan dengan matanya yang besar, hijau, dan tak berkedip, adalah si kucing. Walau yang pasti, kucing ini kucing terbesar yang pernah dilihatnya.
"Oh, pus," Shasta terengah-engah. "Aku benar-benar lega bertemu denganmu lagi. Aku bermimpi buruk sekali." Dan dia langsung kembali berbaring, saling memunggungi dengan si kucing seperti yang mereka telah lakukan di awal malam itu. Kehangatan dari tubuh si kucing menyebar ke seluruh tubuhnya.
"Aku tidak akan pernah melakukan apa pun yang kejam pada kucing lagi sepanjang hidupku," kata Shasta, separo pada si kucing dan separo pada dirinya sendiri. "Aku pernah begitu lho. Aku melemparkan batu-batu pada kucing liar tua yang kotor. Hei! Hentikan!" Karena si kucing telah berbalik dan mencakarnya. "Jangan lakukan itu," kata Shasta. "Toh kau kan tidak mengerti apa perkataanku." Lalu anak itu tertidur.
Keesokan harinya ketika Shasta terbangun, si kucing telah pergi, matahari sudah naik, dan pasir terasa panas. Shasta, karena merasa sangat haus, duduk tegak dan mengusap m
ata. Padang pasir itu tampak putih membutakan dan, walaupun terdengar gumaman dari kota di belakangnya, segala di tempat dia duduk sekarang bergeming sempurna. Ketika dia melihat agak ke kiri dan ke arah barat, sehingga matahari tidak tepat menyinari matanya, dia bisa melihat pegunungan di ujung jauh padang pasir, begitu tajam dan jelas seolah pegunungan itu hanyalah satu lemparan batu jauhnya. Shasta terutama menyadari sosok tinggi biru yang terbagi menjadi dua puncak di ujungnya dan memutuskan itu pasti Gunung Pire. Itulah tujuan kami, kalau menurut perkataan si gagak, pikirnya, jadi aku hanya harus memastikan, supaya tidak perlu membuang waktu lagi saat yang lain muncul. Jadi dia membuat lubang yang dalam dan lurus dengan kakinya yang menunjuk tepat ke arah Gunung Pire.
Tugas selanjutnya, jelas, adalah mencari sesuatu untuk dimakan dan diminum. Shasta berlari kecil kembali ke makam-makam--saat ini batu-batu di sana tampak biasa dan dia bertanya-tanya kenapa dia bisa takut melihat mereka tadi malam--lalu turun ke tanah pertanian di dekat tepi sungai. Ada beberapa orang berlalu-lalang tapi tidak terlalu banyak karena gerbang-gerbang kota telah dibuka sejak beberapa jam yang lalu dan kerumunan dini hari telah masuk. Shasta pun tidak menemukan kesulitan saat mengumpulkan "rampasan" (demikian Bree menyebutnya) kecil-kecilan. Kegiatan ini melibatkan sedikit memanjat dinding taman dan hasilnya adalah tiga jeruk, sebuah melon, satu atau dua buah ara, dan sebuah delima.
Setelah itu, dia pergi turun ke tepi sungai, tapi tidak terlalu dekat dengan jembatan, dan minum. Air terasa begitu nyaman sehingga dia melepaskan pakaiannya yang panas dan kotor, lalu berenang. Tentu saja karena telah tinggal seumur hidupnya di pantai, Shasta belajar berenang hampir segera setelah dia belajar berjalan. Ketika akhirnya keluar dari sungai, dia berbaring di rumput menatap ke seberang sungai tempat Tashbaan berdiri--seluruh keindahan, kekuatan, dan kemuliaannya. Tapi ini membuatnya teringat pada bahayanya juga. Dia tiba-tiba sadar bahwa mungkin saja teman-teman seperjalanannya sudah sampai di Makam sementara dia berenang (dan sepertinya pergi tanpaku, pikirnya), jadi dia buru-buru berpakaian dan berlari cepat sekali sehingga tubuhnya kembali merasa panas dan haus ketika dia tiba di sana, kenyamanan mandi tadi pun hilang sudah.
Seperti hari-hari biasa ketika kau sendirian dan menunggu sesuatu, hari ini terasa seperti seratus jam lamanya. Shasta punya banyak hal yang harus dipikirkan, tentu saja, tapi duduk sendirian, hanya berpikir, membuat waktu terasa berjalan lambat. Dia banyak berpikir tentang orang-orang Narnia dan terutama tentang Corin. Dia bertanya-tanya apa yang telah terjadi ketika mereka mendapati anak yang telah berbaring di sofa dan mendengar semua rencana rahasia mereka ternyata bukan Corin. Sangat tidak menyenangkan membayangkan semua orang baik itu menganggap dirinya pengkhianat.
Tapi ketika matahari perlahan, sangat perlahan, naik ke langit kemudian perlahan, sangat perlahan, mulai turun ke arah barat, dan tidak seorang pun datang dan tidak terjadi apa pun, dia mulai merasa cemas. Dan tentu saja kini dia sadar bahwa ketika mereka sepakat akan saling menunggu di Makam, tidak ada yang mengatakan apa pun tentang Berapa Lama harus menunggu. Dia tidak bisa menunggu di sini sepanjang hidupnya! Dan tak lama lagi hari akan kembali gelap, dan dia akan mengalami malam yang seperti malam lalu. Lusinan rencana yang berbeda-beda berputar di benaknya, semua rencana itu payah, dan akhirnya dia memutuskan melaksanakan rencana yang paling payah. Dia memutuskan menunggu sampai gelap kemudian kembali ke sungai dan mencuri sebanyak mungkin melon yang bisa dibawanya, lalu pergi ke Gunung Pire sendirian, memercayakan arah perjalanannya kepada garis yang telah digambarnya tadi pagi di pasir. Ini ide gila dan kalau dia sudah pernah membaca buku sebanyak dirimu tentang perjalanan melewati padang pasir, dia bahkan tidak akan memimpikannya. Tapi Shasta belum pernah membaca buku sama sekali.
Sebelum matahari terbenam sesuatu akhirnya terjadi. Shasta seda
ng duduk di bawah bayangan salah satu makam ketika dia mendongak dan melihat dua kuda datang ke arahnya. Kemudian jantungnya melompat tinggi, karena dia mengenali dua kuda itu sebagai Bree dan Hwin. Namun detik berikutnya jantungnya kembali turun ke jari kakinya. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Aravis. Kedua kuda itu digiring pria asing, pria bersenjata yang berpakaian cukup indah, seperti budak berkedudukan tinggi dalam keluarga kaya. Bree dan Hwin tidak lagi berpenampilan seperti kuda beban, tapi bersadel dan bertali kekang. Dan apa arti semua ini" Ini jebakan, pikir Shasta. Seseorang telah menangkap Aravis dan mungkin mereka sudah menyiksanya sehingga dia membongkar semua rencana. Mereka ingin aku melompat keluar dari persembunyian, berlari, dan berbicara kepada Bree sehingga aku pun ikut tertangkap! Tapi kalau tidak melakukan itu, aku mungkin akan kehilangan satu-satunya kesempatan bergabung lagi dengan yang lain. Oh, kalau saja aku tahu apa yang telah terjadi. Lalu dia mengendap-endap di belakang makam, mengawasi setiap menit, dan bertanya-tanya langkah mana yang paling tidak berbahaya untuk dilakukan.
BAB TUJUH Aravis di Tashbaan YANG terjadi sebenarnya ini. Ketika Aravis melihat Shasta dibawa pergi dengan cepat oleh orang-orang Narnia dan mendapati dirinya tinggal bersama dua kuda yang (dengan sangat bijaksananya) tidak mau mengeluarkan sepatah kata pun, tak sedetik pun dia panik. Dia langsung mencengkeram tali kekang Bree dan berdiri bergeming, sambil memegangi kedua kuda itu, dan walaupun jantungnya berdentum keras seperti pukulan palu, dia tidak menunjukkannya. Segera setelah para bangsawan Narnia lewat, dia berusaha bergerak lagi. Tapi sebelum dia melangkah, pemberi pengumuman lain (Orang-orang ini menyebalkan sekali, pikir Aravis) terdengar berteriak, "Minggir, minggir, minggir! Minggir untuk Tarkheena Lasaraleen!" dan tak lama kemudian, mengikuti si pemberi pengumuman, datang empat budak bersenjata kemudian empat pemanggul membawa tandu yang dipenuhi tirai sutra yang berkibaran, bersuara gemerencing karena dihiasi bel-bel perak, dan mengharumkan seluruh jalan dengan wangi parfum dan bunga. Di belakang tandu, berbaris budak-budak wanita dengan pakaian indah, kemudian beberapa pelayan pria, pembawa pesan, calon kesatria, dan semacamnya. Dan kini Aravis melakukan kesalahan pertamanya.
Dia mengenal Lasaraleen cukup baik--hampir seolah mereka bersekolah bersama--karena mereka sering kali tinggal di rumah yang sama dan menghadiri pesta yang sama. Dan Aravis tidak bisa mencegah dirinya mendongak untuk melihat bagaimana penampilan Lasaraleen yang sekarang sudah menikah dan memang orang yang sangat baik.
Akibatnya fatal. Mata kedua gadis itu bertemu. Dan Lasaraleen langsung duduk tegak dalam tandunya dan berteriak sekeras yang dia bisa.
"Aravis! Apa yang kaulakukan di sini" Ayah--mu--"
Tidak ada waktu yang boleh terbuang. Tanpa membuang waktu barang sedetik pun, Aravis melepaskan kedua kuda tersebut, menangkap ujung tandu, mengayunkan badan ke atas tandu, mendarat di samping Lasaraleen, dan berbisik marah ke telinganya.
"Diam! Dengar kataku" Diam. Kau harus menyembunyikanku. Beritahu orang-orangmu--"
"Tapi, Sayang--" Lasaraleen memulai, juga dengan suara yang sama kerasnya. (Dia sama sekali tidak keberatan orang-orang menatapnya, bahkan sebenarnya dia agak menyukai ini. )
"Lakukan yang kuminta atau aku tidak akan pernah mau bicara padamu lagi," desis Aravis.
"Tolonglah, aku mohon cepatlah sedikit, Las. Ini penting sekali. Perintahkan orang-orangmu untuk membawa serta dua kuda itu. Tutup tirai tandu dan pergilah ke suatu tempat aku tidak bisa ditemukan. Dan kumohon cepatlah."
"Baiklah, Sayang," kata Lasaraleen dengan suara malasnya. "Nah. Kalian berdua bawa kuda Tarkheena." (Dia bicara pada budak-budaknya.) "Dan sekarang, pulang. Sungguh, Sayang, kau benar-benar berpikir kita harus menutup tirai di hari seperti ini" Maksudku--"
Tapi Aravis sudah menarik tirai, menutupi Lasaraleen dan dirinya sendiri dalam sejenis tenda yang mewah dan diberi wewangian. Kini tenda itu terasa agak sesak.
"Aku tidak boleh te rlihat," kata Aravis. "Ayahku tidak tahu aku ada di sini. Aku kabur dari rumah."
"Sayangku, menegangkan sekali," kata Lasaraleen. "Aku ingin sekali mendengar semua detailnya. Sayang, kau menduduki gaunku. Kau keberatan" Begitu lebih baik. Gaun ini baru. Kau menyukainya" Aku membelinya di--"
"Oh, Las, seriuslah sedikit," kata Aravis. "Di mana ayahku""
"Kau tidak tahu"" tanya Lasaraleen. "Dia ada di sini, tentu saja. Dia datang ke kota kemarin dan menanyakan keberadaanmu ke mana-mana. Dan bayangkan, kau dan aku sekarang ada di sini bersama-sama, tapi dia sama sekali tidak tahu! Ini hal terlucu yang pernah kudengar." Dan dia terkikik. Lasaraleen memang sering keterlaluan bila terkikik, Aravis baru mengingatnya sekarang.
"Ini sama sekali tidak lucu," katanya. "Ini benar-benar serius. Di mana kau bisa menyembunyikanku""
"Sama sekali tidak ada kesulitan untuk soal itu, temanku tersayang," kata Lasaraleen. "Aku akan membawamu pulang. Suamiku sedang pergi dan tidak akan ada yang melihatmu. Fiuh! Tidak terlalu menyenangkan dengan tirai tertutup begini. Aku ingin melihat orang-orang. Tidak ada gunanya punya gaun baru kalau pergi dengan tertutup seperti ini."
"Mudah-mudahan tidak ada yang mendengarmu saat kau berteriak seperti itu kepadaku tadi," kata Aravis.
"Tidak, tidak, tentu saja, Sayang," kata Lasaraleen tanpa terlalu peduli. "Tapi kau belum memberitahuku bagaimana pendapatmu tentang gaun ini."
"Satu lagi," kata Aravis. "Kau harus menyuruh orang-orangmu untuk memperlakukan kedua kuda itu penuh hormat. Itu bagian dari rahasianya. Mereka sebenarnya Kuda yang Bisa Berbicara dari Narnia."
"Hebat!" kata Lasaraleen. "Menarik sekali! Dan oh, Sayang, apakah kau sudah melihat ratu barbar dari Narnia itu" Saat ini dia sedang berada di Tashbaan. Mereka bilang Pangeran Rabadash benar-benar jatuh cinta kepadanya. Dua minggu terakhir ini begitu banyak pesta, perburuan, dan berbagai hal menakjubkan diadakan. Aku sendiri tidak berpendapat dia cantik luar biasa. Tapi beberapa pria Narnia itu memang tampan. Aku diajak menghadiri pesta sungai dua hari yang lalu, dan aku mengenakan--"
"Bagaimana cara kita mencegah orang-orangmu menyebarkan berita bahwa kau kedatangan tamu--berpakaian seperti anak pengemis--di rumahmu" Berita seperti itu bisa dengan mudah sampai di telinga ayahku."
"Sudahlah, jangan meributkannya lagi, pemecahannya mudah saja," kata Lasaraleen. "Kita akan menyiapkan pakaian pantas untukmu sebentar lagi. Dan sekarang kita sudah sampai!"
Para pemanggul tandu berhenti dan tandu diturunkan. Ketika tirai dibuka Aravis mendapati dirinya berada di halaman taman yang sangat mirip dengan taman tempat Shasta dibawa beberapa menit sebelumnya di bagian lain kota itu. Lasaraleen berniat langsung masuk ke rumah, tapi Aravis mengingatkannya dengan bisikan panik untuk mengatakan sesuatu pada para budaknya tentang tidak memberitahu siapa pun bahwa nyonya mereka kedatangan tamu aneh.
"Maaf, Sayang, aku sama sekali lupa," kata Lasaraleen. "Nah. Kalian semua. Dan kau, penjaga pintu. Tidak seorang pun diperkenankan meninggalkan rumah hari ini. Dan siapa pun yang kutangkap berbicara tentang perempuan muda ini akan jadi yang pertama dipukuli hingga payah, dibakar hidup-hidup, dan setelah itu akan dikurung dengan hanya roti dan air selama enam minggu. Mengerti""
Walaupun berkata dia ingin sekali mendengar kisah Aravis, Lasaraleen sama sekali tidak menunjukkan tanda benar-benar ingin mendengarnya. Sesungguhnya dia memang lebih pintar berbicara daripada mendengarkan. Dia bersikeras supaya Aravis menikmati mandi lama dan mewah (mandi Calormen sangat terkenal) kemudian mendandaninya sebelum dia membiarkan Aravis menjelaskan apa pun. Kehebohan yang dia timbulkan ketika memilih gaun hampir membuat Aravis gila. Kini dia ingat Lasaraleen memang sejak dulu seperti itu, tertarik pada pakaian, pesta, dan gosip. Aravis selalu lebih tertarik pada busur, panah, kuda, anjing, dan berenang. Kau bisa menebak masing-masing berpikir orang yang lain konyol. Tapi ketika akhirnya mereka berdua duduk setelah makan (santapan yang kebanyakan terdiri atas krim koco
k, jeli, buah, dan sejenis es) dalam ruang indah berpilar (yang akan lebih disukai Aravis kalau saja monyet piaraan Lasaraleen yang manja tidak memanjatinya sepanjang waktu), Lasaraleen akhirnya bertanya kepadanya kenapa dia melarikan diri dari rumah.
Ketika Aravis selesai menceritakan kisahnya, Lasaraleen berkata, "Tapi, Sayang, kenapa kau tidak mau menikah dengan Ahoshta Tarkaan" Semua orang sangat menyukainya. Suamiku bilang dia mulai menjadi salah satu pria terhebat di Calormen. Dia baru saja diangkat menjadi Penasihat Agung karena Axartha tua itu sudah meninggal dunia. Tidakkah kau tahu itu""
"Aku tidak peduli. Aku tidak tahan melihat tampangnya," kata Aravis.
"Tapi, Sayang, pikirlah dulu! Tiga istana, dan salah satunya istana yang indah di danau di Ilkeen. Kudengar, sudah pasti ada bertali-tali mutiara. Mandi susu keledai. Dan kau akan bisa sering bertemu denganku."
"Sejauh yang kupedulikan, dia boleh menyimpan sendiri mutiara dan istananya," kata Aravis.
"Sejak dulu kau memang gadis yang aneh, Aravis," kata Lasaraleen. "Apa lagi yang kauinginkan""
Namun akhirnya, Aravis berhasil meyakinkan temannya bahwa dia jujur dengan ceritanya, dan bahkan mendiskusikan rencana-rencana bersamanya. Kini tidak akan ada kesulitan membawa dua kuda keluar gerbang Utara kemudian menuju Makam. Tidak akan ada yang menghentikan atau bertanya kepada bujang berpakaian indah yang membimbing kuda perang dan kuda tunggangan wanita bangsawan menyusuri singai, dan Lasaraleen punya banyak bujang yang bisa diutus. Tapi tidaklah terlalu mudah memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap Aravis sendiri. Aravis mengusulkan bagaimana kalau dia dibawa ke luar dalam tandu yang tirainya ditutup. Tapi Lasaraleen
memberitahunya tandu hanya digunakan di dalam kota dan kalau ada yang melihatnya keluar gerbang, hal ini justru akan membangkitkan pertanyaan-pertanyaan.
Ketika mereka telah berbicara lama sekali--dan pembicaraan semakin panjang karena sulit bagi Aravis untuk menjaga temannya tidak keluar dari topik utama--akhirnya Lasaraleen bertepuk tangan dan berkata, "Oh, aku punya ide. Ada satu cara supaya kau bisa keluar dari kota tanpa menggunakan gerbang. Taman Tisroc (semoga dia selamanya kekal!) terbentang hingga menyentuh air sungai dan ada pintu air kecil di sana. Hanya bagi orang-orang istana, tentu saja--tapi kau kan tahu, Sayang," (di sini dia terkikik sedikit) "kami bisa dibilang memang hampir orang-orang istana. Menurutku, kau beruntung bertemu denganku. Tisroc yang tersayang (semoga dia selamanya kekal!) begitu baik. Kami selalu diundang ke istana hampir setiap hari dan rasanya istana sudah menjadi rumah kedua kami. Aku suka sekali semua pangeran dan putri tersayang itu dan aku sangat mengagumi Pangeran Rabadash. Aku bisa saja bertemu wanita istana mana pun pada jam berapa pun siang ataupun malam. Kenapa aku tidak menyelinap masuk bersamamu, setelah hari gelap, dan membantumu keluar lewat pintu air" Selalu ada beberapa rakit dan sejenisnya diikat di luarnya. Dan kalaupun kita tertangkap--"
"Semuanya akan hancur berantakan," kata Aravis.
"Oh, Sayang, jangan berlebihan begitu," kata Lasaraleen. "Aku berniat berkata, kalaupun kita tertangkap semua orang hanya akan mengomentarinya sebagai salah satu lelucon gilaku. Aku mulai cukup terkenal karena itu. Bahkan baru kemarin--coba dengarkan, Sayang, ini lucu sekali--"
"Maksudku, semuanya bakal hancur berantakan untukku," kata Aravis agak tajam.
"Oh--ah--ya--aku mengerti maksudmu, Sayang. Yah, bisakah kau memikirkan rencana yang lebih baik""
Aravis tidak punya ide lain, dia pun berkata, "Tidak. Kita harus mengambil risiko. Kapan kita bisa mulai""
"Oh, tidak malam ini," kata Lasaraleen. "Tentu saja tidak malam ini. Ada pesta besar diadakan malam ini (aku harus mulai menata rambutku untuk acara itu beberapa menit lagi) dan seluruh tempat itu bakal bersimbahkan cahaya. Akan penuh orang pula! Rencana ini harus dilakukan besok malam."
Ini berita buruk bagi Aravis, tapi dia tetap harus memanfaatkannya sebaik-baiknya. Sore itu berlalu lambat sekali dan Aravis merasa lega ketika Lasaraleen akhirny
a pergi menghadiri pesta, karena dia mulai merasa lelah mendengarkan kikikan dan percakapan tentang gaun dan pesta, pernikahan dan pertunangan, serta skandal. Dia tidur lebih awal dan dia benar-benar menikmati bagian ini: nyaman sekali tidur di atas bantal dan seprai lagi.
Tapi hari berikutnya berlalu sangat lambat. Lasaraleen ingin membahas kembali semua rencana dan terus-menerus memberitahu Aravis bahwa Narnia adalah negeri dengan salju dan es abadi yang ditinggali iblis dan penyihir, juga menyebut Aravis gila karena berniat pergi ke sana. "Bersama anak petani pula!" kata Lasaraleen. "Sayang, pikirkan itu! Sama sekali tidak pantas." Sebenarnya Aravis juga telah sering memikirkan soal itu, tapi kini dia begitu capek dengan kekonyolan Lasaraleen sehingga, untuk pertama kalinya, dia mulai berpikir melakukan perjalanan bersama Shasta sebenarnya lebih menyenangkan daripada kehidupan mewah Tashbaan. Jadi dia hanya menjawab, "Kau lupa aku juga akan menjadi rakyat biasa, seperti dirinya, kalau kami sudah sampai di Narnia. Lagi pula, aku sudah berjanji."
"Padahal bayangkan," kata Lasaraleen, hampir menangis, "kalau saja kau punya akal sehat untuk menjadi istri Penasihat Agung!" Aravis pun pergi untuk berbicara secara pribadi dengan kedua kuda.
"Kalian harus pergi bersama bujang sedikit awal sebelum matahari terbenam menuju Makam," katanya. "Jangan gunakan karung-karung itu lagi. Kalian harus memakai sadel dan tali kekang kulit lagi. Tapi harus ada makanan dalam kantong sadel Hwin dan kantong air kulit yang penuh di belakang sadelmu, Bree. Orang itu akan diperintahkan supaya kalian menikmati minum yang lama dan banyak di sisi jauh jembatan."
"Kemudian, Narnia dan negeri Utara!" bisik Bree. "Tapi bagaimana kalau Shasta tidak ada di Makam""
"Kita akan rnenunggunya, tentu saja," kata Aravis. "Aku harap kalian merasa cukup nyaman."
"Tidak pernah dirawat senyaman ini sepanjang hidupku," ucap Bree. "Tapi jika suami teman Tarkheena-mu yang suka terkikik itu membayar kepala bujangnya untuk mendapatkan gandum terbaik, kurasa kepala bujang itu selama ini telah menipunya."
Aravis dan Lasaraleen makan malam di ruang berpilar.
Sekitar dua jam kemudian mereka siap memulai rencana. Aravis mengenakan pakaian yang membuatnya berpenampilan seperti gadis budak berkedudukan tinggi milik keluarga kaya dan mengenakan cadar di wajahnya. Mereka telah sepakat jika ada pertanyaan yang diajukan, Lasaraleen akan berpura-pura Aravis adalah budak yang dia bawa sebagai hadiah kepada salah satu putri.
Kedua gadis itu pergi berjalan kaki. Hanya dalam beberapa menit mereka tiba di gerbang istana. Di sini tentu saja ada prajurit yang berjaga, tapi pemimpin para prajurit itu cukup mengenal Lasaraleen dan memerintahkan anak buahnya bersiap dan memberi hormat. Mereka langsung melewati gerbang menuju Aula Mariner Hitam. Sejumlah besar pengirim pesan, budak, dan lain-lain masih berlalu-lalang di sini, tapi ini hanya membuat kedua gadis itu tidak kentara. Mereka melanjutkan perjalanan menuju Aula Pilar kemudian ke Aula Patung dan menyusuri tiang-tiang koridor, melewati pintu-pintu besar tembaga tempa ruang singgasana. Semua ruangan itu begitu menakjubkan sehingga tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya semua yang bisa mereka lihat dalam penerangan temaram.
Akhirnya mereka keluar ke halaman yang menurun berundak-undak. Di sisi jauh halaman itu mereka tiba di Istana Tua. Hari sudah menggelap dan mereka mendapati diri mereka dalam labirin koridor yang hanya diterangi beberapa obor yang dipasang pada penyangga di dinding. Lasaraleen berhenti pada suatu persimpangan.
"Terus jalan, ayolah teruskan," bisik Aravis, yang jantungnya sedang berdentum tak keruan dan masih merasa ayahnya bisa menangkap basah mereka di setiap sudut.
"Aku sedang berpikir...," kata Lasaraleen. "Aku tidak benar-benar yakin arah mana yang harus ditempuh dari sini. Kurasa kita harus ke kiri. Ya, aku hampir yakin kita seharusnya ke kiri. Ini menegangkan sekali!"
Mereka berbelok ke kiri dan mendapati diri mereka pada jalan sempit yang nyaris sama sekali tidak diberi penerangan dan t
ak lama kemudian menjadi anak tangga yang menurun.
"Tak apa-apa," kata Lasaraleen. "Aku yakin kita mengambil jalan yang benar. Aku ingat tangga-tangga ini." Tapi pada saat itu cahaya yang bergerak muncul di depan mereka. Sedetik kemudian muncul dari balik sudut di kejauhan, sosok gelap dua pria berjalan mundur dan membawa lilin-lilin panjang. Dan tentu saja hanya karena sedang berada di depan bangsawanlah orang berjalan mundur. Aravis merasakan lengannya dicengkeram Lasaraleen--cengkeraman tiba-tiba yang hampir mencubit dan berarti orang yang mencengkerammu sedang merasa amat takut. Aravis berpikir aneh sekali Lasaraleen bisa merasa takut pada Tisroc kalau dia benar-benar teman baiknya, tapi tidak ada waktu untuk terus berpikir. Lasaraleen buru-buru menariknya kembali menaiki tangga, berjingkat, dan meraba-raba panik di sepanjang dinding.
"Ini dia pintunya," bisik Lasaraleen. "Cepat."
Mereka masuk, menutup pintu dengan sangat lembut di belakang mereka, dan mendapati diri mereka berada dalam ruangan yang gelap gulita. Aravis bisa menebak dari tarikan napas Lasaraleen bahwa temannya ini ketakutan luar biasa.
"Semoga Tash melindungi kita!" bisik Lasaraleen. "Apa yang harus kita lakukan kalau dia masuk ke sini" Bisakah kita bersembunyi""
Ada karpet lembut di kaki mereka. Mereka meraba-raba ke dalam ruangan dan menabrak sofa.
"Ayo berbaring di belakangnya," bisik Lasaraleen. "Oh, kalau saja kita tidak pernah datang ke sini."
Ada celah di antara sofa dengan dinding bertirai dan kedua gadis itu pun merunduk. Lasaraleen berhasil mendapatkan tempat yang lebih baik dan tubuhnya tertutup sempurna. Bagian atas wajah Aravis terjulur keluar melewati tubuh sofa, jadi kalau ada orang yang datang ke ruangan itu dengan membawa penerangan dan kebetulan melihat ke tempat yang tepat, mereka bakal bisa melihatnya. Tapi tentu saja, karena dia mengenakan cadar, yang mereka lihat tidak akan langsung kelihatan seperti dahi dan sepasang mata. Aravis mendorong putus asa, berusaha memaksa Lasaraleen supaya memberinya sedikit ruang bersembunyi. Tapi Lasaraleen, kini cukup egois karena panik, balas mendorong dan mencubit kakinya. Mereka menyerah dan berbaring diam, agak terengah-engah. Napas mereka sendiri sepertinya sangat berisik, tapi tidak ada suara lain.
"Apakah situasi aman"" tanya Aravis akhirnya dalam bisikan yang sepelan mungkin.
"Ku-ku-kurasa begitu," Lasaraleen memulai. "Tapi sarafku yang malang--" kemudian terdengarlah suara paling mengerikan yang bisa mereka dengar pada saat itu: suara pintu dibuka. Kemudian datanglah cahaya. Dan karena Aravis tidak bisa menyembunyikan kepalanya lebih dalam lagi ke belakang sofa, dia melihat seluruh kejadiannya.
Pertama masuklah dua budak (tuli dan bodoh, seperti tebakan Aravis yang memang tepat, karena itu mereka digunakan dalam pertemuan-pertemuan paling rahasia) berjalan mundur dan membawa lilin-lilin. Mereka mengambil posisi berdiri pada masing-masing sisi sofa. Ini hal yang bagus, karena begitu salah satu budak itu berdiri di depannya, kini tentu saja sulit bagi siapa pun untuk melihat Aravis sementara dia bisa melihat di antara mata kaki budak tersebut. Kemudian masuklah pria tua, sangat gemuk, mengenakan topi lancip menarik yang langsung membuat Aravis tahu dialah sang Tisroc. Perhiasan paling kecil yang dia kenakan harganya lebih mahal daripada semua pakaian dan senjata para bangsawan Narnia bila digabungkan: tapi dia begitu gemuk dan begitu dipenuhi renda, lipitan, bola wol, kancing, tali, dan cincin bertuah sehingga Aravis tidak bisa mencegah dirinya berpikir gaya berpakaian orang Narnia (dalam tingkat apa pun bagi pria) tampak lebih bagus. Setelah sang Tisroc, masuklah pria muda tinggi yang mengenakan turban berbulu dan berhiaskan batu mulia di kepalanya, di sisi tubuhnya tampak badik bersarung gading. Dia tampak sangat bersemangat dan mata juga geliginya berkilau tajam dalam cahaya lilin. Terakhir muncul pria tua yang tubuhnya tampak mengerut dan agak bungkuk yang dia kenali, sambil merasa gemetar, sebagai Penasihat Agung baru dan calon suaminya, Ahoshta Tarkaan sendiri.
Tak lama se telah ketiga pria itu masuk ke ruangan dan pintu ditutup, sang Tisroc duduk di dipan sambil mengembuskan napas puas, pria yang muda mengambil posisi berdiri di hadapannya, sementara Penasihat Agung duduk berlutut, merendahkan siku, kemudian menempelkan wajahnya rata ke karpet.
BAB DELAPAN Dalam Rumah Tisroc "OH-ayahku-dan-oh-pemandangan-indah bagi-penglihatanku," mulai si pria muda, menggumamkan kata-kata dengan sangat cepat dan manis, meski sama sekali tidak terdengar benar bahwa sang Tisroc memang pemandangan indah bagi matanya. "Semoga kau selamanya kekal, tapi kau telah benar-benar menghancurkanku. Kalau saja kau memberiku kapal tercepat pada saat fajar ketika aku pertama kali melihat kapal para barbar terkutuk itu hilang dari tempatnya berlabuh, mungkin aku akan bisa mengejar mereka. Tapi kau membujukku untuk terlebih dahulu mengirim prajurit dan memeriksa apakah mereka sekadar bergerak ke pelabuhan lain untuk mencari lokasi yang lebih baik. Dan sekarang satu hari telah terbuang percuma. Dan mereka sudah lenyap--lenyap--keluar dari jangkauanku! Giok penipu itu, si--" dan saat ini dia menambahkan beberapa gambaran lain tentang Ratu Susan yang sama sekali tidak akan tampak bagus bila dituliskan. Karena tentu saja pemuda ini adalah Pangeran Rabadash dan tentu saja giok penipu itu Susan dari Narnia.
"Kendalikan dirimu, O putraku," kata sang Tisroc. "Karena kepergian para tamu membuat luka yang dengan mudah disembuhkan dalam hati tuan rumah yang bijaksana."
"Tapi aku menginginkannya," teriak si pangeran. "Aku harus mendapatkannya. Aku
akan mati bila tidak mendapatkannya--walaupun dia putri bangsa rendah yang penipu, sombong, dan berhati hitam! Aku tidak bisa tidur, makananku terasa hambar, dan mataku gelap karena kecantikannya. Aku harus mendapatkan ratu barbar itu."
"Betapa tepatnya penggambaran yang dilakukan seorang pujangga berbakat," komentar sang penasihat, mendongakkan wajah (dalam keadaan sedikit berdebu) dari karpet, "bahwa beberapa tegukan besar dari air mancur akal sehat sangat dibutuhkan untuk memadamkan api cinta orang muda."
Komentar ini tampaknya membuat si pangeran kesal. "Bangsat," teriaknya, mengarahkan beberapa tendangan yang tepat sasaran pada bokong sang penasihat. "Beraninya kau mengutip ucapan pujangga itu padaku. Aku sudah mendengar berbagai wejangan dan kalimat bijak yang membuatku muak sepanjang hari dan aku tidak lagi bisa bersabar menghadapi ini semua." Dengan menyesal, aku memberitahu kalian Aravis sama sekali tidak merasa kasihan pada sang penasihat.
Sang Tisroc tampaknya tenggelam dalam pikirannya sendiri, tapi ketika, setelah terdiam lama, dia menyadari apa yang sedang terjadi, dia berkata tenang:
"Anakku, berhentilah menendangi Penasihat yang terhormat dan punya pikiran terbuka itu: karena batu mulia tetaplah berharga walaupun disembunyikan dalam bukit kotoran, jadi usia tua dan pengalaman harus tetap dihormati walaupun adanya pada orang-orang rendahan yang adalah rakyat kita. Hentikan ini, dan beritahu kami apakah keinginan dan saranmu."
"Aku ingin dan menyarankan, O ayahku," kata Rabadash, "kau segera mengerahkan pasukanmu yang tak terkalahkan, menyerbu tanah Narnia yang terkutuk itu, lalu menghancurkan negeri tersebut dalam api, pedang, dan merengkuhnya ke dalam kekaisaranmu yang tidak terbatas, membunuh Raja Agung mereka dan semua yang berhubungan darah dengannya kecuali Ratu Susan. Karena aku harus mendapatkannya sebagai istriku, meski tentu sebelumnya dia harus mendapat pelajaran yang berat."
"Mengertilah, O putraku," kata sang Tisroc, "bahwa tidak ada kata apa pun yang bisa kauucapkan yang bisa membuatku memulai perang melawan Narnia."
"Kalau kau bukan ayahku, O Tisroc yang hidupnya abadi," kata si pangeran, menggemeretakkan geligi, "aku akan berkata itu kata-kata seorang pengecut."
"Dan kalau kau bukan anakku, O Rabadash yang emosinya mudah terbakar," jawab sang ayah, "hidupmu akan singkat dan kematiamnu akan lambat datang ketika kau mengatakannya." (Suara dingin dan tanpa emosi yang digunakannya untuk mengucapkan kata-kata ini membuat darah Aravis membeku.)
"Tapi k enapa, O ayahku," tanya si pangeran--kali ini dengan suara yang lebih penuh hormat, "kenapa kita harus berpikir dua kali untuk menghukum Narnia, bukankah ini sama saja seperti menggantung budak tak berguna atau mengirimkan kuda tua yang lelah untuk dijadikan makanan anjing" Besar negeri itu bahkan tidaklah seperempat salah satu provinsi kecilmu. Seribu tombak akan bisa menaklukkannya dalam lima minggu. Mereka bagaikan noda kecil menyebalkan pada baju bagi kerajaanmu."
"Tak diragukan lagi," kata sang Tisroc. "Negeri-negeri barbar kecil ini yang menyebut diri mereka bebas (yang sebenarnya lebih tepat dikatakan tak mau bekerja sama, tak punya aturan, dan tidak menguntungkan) membenci para dewa dan semua orang yang memiliki akal sehat."
"Kalau begitu kenapa kita lama membiarkan negeri seperti Narnia tidak menyerah""
"Ketahuilah, O pangeran yang penuh ide," kata Penasihat Agung, "bahwa sampai di tahun ketika ayah Pangeran yang mulia memulai kekuasaannya yang agung dan abadi, tanah Narnia diselimuti es dan salju, terlebih lagi dikuasai penyihir perempuan yang sangat kuat."
"Aku tahu benar soal itu, O penasihat yang banyak bicara," ucap si pangeran. "Tapi aku juga tahu si penyihir perempuan itu telah mati. Dan es juga salju telah lenyap, sehingga kini Narnia sehat, subur, dan lezat."
"Dan perubahan ini, O pangeran yang sangat terpelajar, tidak diragukan lagi datang karena mantra sihir luar biasa orang-orang licik yang kini menyebut diri mereka Raja dan Ratu Narnia."
"Aku lebih setuju pada pendapat," kata Rabadash, "bahwa itu terjadi karena perubahan posisi bintang dan sebab-sebab alami."
"Semua ini," kata sang Tisroc, "adalah pertanyaan yang harus diperdebatkan para orang pandai. Aku tidak akan memercayai perubahan yang begitu besar, dan pembunuhan si penyihir tua, akan terjadi tanpa bantuan sihir yang kuat. Dan hal-hal seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh di tanah itu, karena sebagian besar penghuninya adalah para iblis dalam bentuk hewan liar yang berbicara seperti manusia, dan para monster yang tubuhnya setengah manusia dan setengah hewan. Sering kali dilaporkan Raja Agung Narnia (yang kedudukannya mungkin sama sekali ditentang para dewa) didukung iblis yang memiliki sosok mengerikan dan kekejaman tak tertahankan yang berpenampilan seperti singa. Karena itulah penyerangan terhadap Narnia adalah usaha yang hasilnya tampak tidak cerah dan meragukan, dan aku memutuskan tidak menjulurkan tangan lebih jauh daripada yang bisa kutarik kembali."
"Betapa Calormen diberkati," kata sang penasihat, menunjukkan wajahnya lagi, "karena penguasanya diberkahi para dewa dengan kewaspadaan dan pertimbangan bijak! Namun seperti yang telah diucapkan sang Tisroc yang tak terbantahkan dan bijaksana, adalah sangat menyesakkan menahan tangan kita dari santapan yang begitu menggoda seperti Narnia. Seorang pujangga berbakat pernah berkata--" tapi pada saat ini Ahoshta melihat gerakan tidak sabar pada jari kaki si pangeran sehingga dia mendadak terdiam.
"Memang sangat menyedihkan," kata sang Tisroc dengan suaranya yang dalam dan pelan. "Setiap pagi matahari tampak gelap di mataku, dan setiap malam tidurku tidak sepenuhnya menyegarkan karena aku teringat Narnia masih bebas."
"O ayahku," kata Rabadash. "Bagaimana jika aku menunjukkan padamu cara agar kau bisa menjulurkan tangan untuk menangkap Narnia dan menariknya kembali tanpa terluka, jika usaha itu ternyata terbukti tidak memberi kita keuntungan""
"Kalau kau bisa memberitahuku itu, O Rabadash," kata sang Tisroc, "kau akan menjadi putra terbaikku."
"Dengarlah kalau begitu, O Ayah. Malam ini juga dan pada jam ini juga aku akan memimpin tidak kurang dari dua ratus kuda dan melintasi padang pasir. Dan akan tampak bagi semua orang, kau sama sekali tidak mengetahui kepergianku ini. Pada pagi kedua aku akan berada di depan gerbang istana Raja Lune dari Anvard di Archenland. Mereka dalam keadaan damai dengan kerajaan kita, karena itu tidak akan menduga serangan, dan aku akan menguasai Anvard sebelum mereka menyadarinya. Lalu aku akan berkuda melewati jalan perbukitan di atas Anvard dan terus me
nyusuri Narnia menuju Cair Paravel. Raja Agung tidak akan berada di sana, ketika aku meninggalkan mereka dia sedang mempersiapkan penyerbuan terhadap kaum raksasa di perbatasan Utara-nya. Aku akan tiba di Cair Paravel, kemungkinan besar dengan gerbang terbuka, dan memasukinya. Aku akan bertindak hati-hati, penuh kemurahan hati, dan sebisanya menumpahkan sedikit mungkin darah Narnia. Setelah itu bukankah tindakan yang tersisa hanya tinggal duduk menunggu Splendour Hyaline berlabuh, dengan Ratu Susan di atasnya, menangkap burung terbangku ketika dia menginjakkan kaki di daratan, menaikkannya ke sadel kuda, kemudian berkuda, berkuda, dan berkuda kembali ke Anvard""
"Tapi bukankah ada kemungkinan, O putraku," kata sang Tisroc, "dalam usaha merebut perempuan itu, Raja Edmund atau dirimu akan kehilangan nyawa""
"Akan ada pasukan kecil bersamaku," kata Rabadash, "dan aku akan memerintah sepuluh di antara anak buahku untuk merebut senjatanya dan mengikatnya: menahan keinginan liarku akan darahnya sehingga tidak akan ada alasan mematikan untuk memulai perang antara dirimu dan Raja Agung."
"Dan bagaimana kalau Splendour Hyaline sudah tiba di Cair Paravel lebih dahulu daripada dirimu""
"Aku tidak yakin akan itu dengan angin ini, O ayahku."
"Dan terakhir, O putraku yang penuh ide," kata sang Tisroc, "kau telah menjelaskan bagaimana semua rencana ini akan bisa memberimu perempuan barbar itu, tapi belum menerangkan bagaimana saranmu bisa membantuku merebut takhta Narnia."
"O ayahku, apakah telah luput dari perhatianmu bahwa walaupun aku dan para penunggang kudaku hanya akan datang dan melintasi Narnia seperti anak panah dari busurnya, namun kami sekaligus akan menguasai Anvard selamanya" Dan ketika kau memiliki Anvard kau akan duduk tepat di depan gerbang Narnia, dan pasukanmu di Anvard bisa diperkuat sedikit demi sedikit sampai menjadi kekuatan yang tak terkalahkan."
"Semua telah kauucapkan dengan pengertian dan pandangan akan masa depan. Tapi bagaimana aku bisa menarik kembali tanganku ketika semua itu gagal""
"Kau akan berkata aku melakukannya tanpa sepengetahuanmu, tanpa persetujuanmu, dan tanpa restumu, merasa malu karena cintaku yang brutal dan darah mudaku yang mudah menggelegak."
"Dan bagaimana kalau Raja Agung kemudian menuntut kita mengirimkan kembali perempuan barbar itu, adiknya itu""
"O ayahku, yakinlah dia tidak akan melakukan itu. Sebab walaupun karena sikap manja, wanita itu menolak pernikahan ini, Raja Agung Peter adalah pria dengan pertimbangan dan pengertian yang sudah pasti tidak akan rela kehilangan kehormatan tinggi dan keuntungan dari membangun persekutuan dengan kerajaan kita, juga ingin melihat keponakan serta cucu keponakannya memiliki kedudukan dalam takhta Calormen."
"Dia tidak akan melihat itu bila aku hidup selamanya seperti yang tanpa diragukan kauinginkan," kata sang Tisroc dengan suara yang jauh lebih kering daripada biasanya.
"Lalu juga, O ayahku dan O pemandangan indah bagi penglihatanku," kata si pangeran, setelah beberapa saat dalam keheningan canggung, "kita akan menulis surat-surat seolah dan sang ratu yang mengatakan dia mencintaiku dan tidak berkeinginan kembali ke Narnia. Karena sudah sangat diketahui perempuan selalu berubah-ubah seperti penunjuk cuaca. Dan bahkan kalau mereka tidak sepenuhnya memercayai surat-surat itu, mereka tidak akan kembali datang ke Tashbaan dengan senjata untuk menjemputnya."
"O penasihat yang bijak," kata sang Tisroc, "sumbangkan kebijakanmu kepada kami mengenai rencana aneh ini."
"O Tisroc yang abadi," Ahoshta menjawab, "kekuatan kasih sayang orangtua bukanlah sesuatu yang asing di mata hamba dan hamba sering mendengar anak laki-laki lebih berharga daripada batu delima di mata ayah mereka. Bagaimana mungkin hamba berani dengan seenaknya mengungkapkan isi benak hamba yang mungkin bisa membahayakan nyawa pangeran yang agung ini""
"Tampaknya kau akan berani melakukan itu," komentar sang Tisroc. "Karena kau akan mendapati bahaya bila kau menolak setidaknya akan sama besarnya."
"Hamba dengar dan akan mematuhi," erang pria malang itu. "Ketahuilah kalau beg
itu, O Tisroc yang paling berakal jernih, pertama-tama bahaya yang akan dihadapi sang pangeran tidaklah sebesar seperti kelihatannya. Karena para dewa telah menarik berkah cahaya kewaspadaan dari para barbar itu, seperti puisi mereka tidak seperti milik kita yang penuh hasil pengamatan dan perumpamaan yang berguna, tapi sekadar tentang cinta dan perang. Karena itu tidak akan ada yang tampak lebih mulia dan patut dikagumi bagi mereka daripada tindakan gila seperti ini yang--auw!" Karena sang pangeran, pada saat kata "gila" diucapkan, telah menendangnya lagi.
"Hentikan ini, putraku," kata sang Tisroc. "Dan kau, Penasihat yang terhormat, tak peduli dia berhenti atau tidak, jangan sampai kaubiarkan aliran pendapatmu terhambat. Karena tidak ada yang lebih pantas bagi orang dengan tekad dan sopan santun, daripada bertahan menghadapi ketidaknyamanan dengan ketabahan."
"Hamba dengar dan akan mematuhi," kata sang penasihat, beringsut sedikit sehingga bagian belakang tubuhnya agak menjauh dari kaki Rabadash. "Tidak ada, menurut hemat hamba, yang akan tampak bisa dimaklumi, bila tidak diduga, di mata mereka seperti yang--usaha berbahaya ini, terutama karena ini dilakukan demi cinta terhadap seorang perempuan. Karena itu, kalau ketidakberuntungan sang pangeran menjadi milik mereka, mereka pasti tidak akan membunuhnya. Tidak, bahkan mungkin, walaupun dia gagal merebut sang ratu, setelah melihat keberanian besarnya dan gairahnya yang tinggi mungkin hati perempuan itu akan luluh untuknya."
"Itu pemikiran yang bagus, pengoceh tua," kata Rabadash. "Bagus sekali, walaupun itu keluar dari kepala burukmu."
"Pujian dari Tuan adalah cahaya di mata hamba," kata Ahoshta. "Dan kedua, O Tisroc, yang kekuasaannya harus dan akan selalu berjaya, hamba rasa dengan bantuan para dewa Anvard nyaris pasti akan jatuh ke tangan sang pangeran. Dan kalau ini terjadi, kita memegang Narnia pada lehernya."
Ada jeda lama dan ruangan itu menjadi begitu sunyi sehingga kedua gadis itu nyaris tidak berani bernapas. Akhirnya Tisroc berbicara.
"Pergilah, putraku," katanya, "dan lakukan semua yang telah kaukatakan. Tapi jangan harapkan bantuan ataupun persetujuan dariku. Aku tidak akan membalas dendam untukmu jika kau terbunuh dan aku tidak akan membebaskanmu bila kaum barbar itu melemparkanmu ke dalam penjara. Dan jika, baik dalam kesuksesan maupun kegagalan, kau menumpahkan lebih banyak darah bangsawan Narnia barang setetes pun daripada yang kaubutuhkan dan menyebabkan perang karenanya, dukunganku tidak akan pernah kaualami lagi dan saudaramu yang berikutnyalah yang akan mengambil posisimu di Calormen. Sekarang pergilah. Bergeraklah dengan cepat, diam-diam, dan semoga beruntung. Mudah-mudahan kekuatan Tash yang mulia, yang tak tergoyahkan, ada pada pedang dan tombakmu."
"Hamba dengar dan akan mematuhi," teriak Rabadash, dan setelah berlutut sesaat untuk mencium tangan ayahnya, dia bergegas keluar ruangan. Sayangnya Aravis, yang kini tubuhnya mulai terasa kram, harus sangat kecewa karena sang Tisroc dan penasihat tetap di tempatnya.
"O Penasihat,"kata sang Tisroc, "apakah pasti tidak ada orang lain tahu tentang pertemuan kita bertiga di sini malam ini""
"O junjungan hamba," kata Ahoshta, "tidaklah mungkin ada yang tahu. Karena untuk tujuan itulah, hamba menyarankan, dan Yang Mulia dengan bijak menyetujui, bahwa kita harus bertemu di sini di Istana Tua tempat pertemuan tidak pernah diadakan dan tidak seorang pun anggota kerajaan punya alasan untuk datang."
"Bagus kalau begitu," kata sang Tisroc. "Kalau ada yang tahu, aku akan memastikan orang itu mati sebelum satu jam berlalu. Dan kau juga, O Penasihat yang waspada, lupakan semua yang kaudengar. Aku telah membuang dari hatiku sendiri dan dari hatimu segala pengetahuan tentang rencana sang pangeran. Dia pergi tanpa sepengetahuan dan persetujuanku, aku sama sekali tidak menyadari kekerasannya, ketidaksabaran, juga ketidakpatuhan darah mudanya. Tidak akan ada yang lebih terkejut daripada kau dan aku bila mendengar Anvard berada dalam genggaman tangannya."
"Hamba dengar dan akan mematuhi," kata Ahoshta.
"Itulah sebabnya kau tidak boleh menganggap, bahkan di dalam hati terdalammu, diriku sama seperti para ayah berhati keras yang mengirim anak pertama mereka untuk melakukan tugas yang kemungkinan besar akan membawanya pada kematian, walaupun ini pasti membuatmu senang karena kau tidak menyukai sang pangeran. Bagaimanapun aku bisa melihat pikiran tersembunyimu."
"O Tisroc yang sempurna," kata sang penasihat. "Bila dibandingkan dengan Yang Mulia, hamba tidak menyayangi baik sang pangeran ataupun nyawa hamba sendiri, roti, air, maupun cahaya matahari."
"Pernyataanmu itu," kata sang Tisroc, "penting dan tepat. Aku juga tidak menyayangi semua itu dibandingkan kemuliaan dan kekuatan takhtaku. Jika sang pangeran sukses, kita akan memiliki Archenland, dan mungkin setelah itu Narnia. Kalau dia gagal--aku punya delapan belas putra lain dan Rabadash, menunjukkan sikap seperti putra-putra tertua para raja, mulai berbahaya. Lebih dari lima Tisroc di Tashbaan meninggal sebelum waktu mereka karena para putra tertua mereka, para pangeran terlalu terpelajar, bosan menunggu giliran mereka bertakhta. Sebaiknya Rabadash mendinginkan darahnya di luar negeri daripada mendidihkannya karena tidak bisa berbuat apa-apa di sini. Dan sekarang, O Penasihat yang mulia, penyaluran kecemasan ala orangtuaku yang berlebihan telah membuatku mengantuk. Perintahkan para musisi untuk datang ke kamar tidurku. Tapi sebelum kau berbaring, tarik kembali maafku yang kita tulis untuk juru masak ketiga itu. Aku mulai merasakan akibat buruknya datang dengan pasti pada pencernaanku."
"Hamba dengar dan akan mematuhi," kata Penasihat Agung. Dia merangkak mundur dengan kedua tangan dan kakinya menuju pintu, berdiri, membungkuk, dan pergi keluar. Bahkan setelah itu, sang Tisroc tetap duduk dalam diam di dipan sampai Aravis mulai merasa takut sang Tisroc akan tertidur. Tapi akhirnya bersama dengan bunyi derak keras dan embusan napas, pria itu mengangkat tubuhnya yang besar dan keluar. Pintu tertutup di belakangnya, ruangan itu sekali lagi gelap gulita, dan Aravis juga Lasaraleen kini bisa bernapas bebas kembali.
BAB SEMBILAN Melintasi Padang Pasir "MENGERIKAN! Benar-benar mengerikan!" Lasaraleen mengerang. "Oh, Sayang, aku takut sekali. Seluruh tubuhku gemetaran. Coba rasakan tanganku."
"Ayo," kata Aravis, yang tubuhnya juga gemetaran. "Mereka sudah kembali ke istana baru. Sekali kita keluar dari ruangan ini, kita akan cukup aman. Tapi kita sudah membuang begitu banyak waktu. Kau harus segera membawaku ke pintu air secepat yang kau bisa."
"Sayang, kenapa kau bisa begitu tega"" Lasaraleen memekik. "Aku tidak bisa melakukan apa-apa--tidak saat ini. Sarafku yang malang! Tidak: kita harus tetap berbaring diam untuk beberapa saat, kemudian pulang."
"Kenapa pulang"" tanya Aravis.
"Oh, kau tidak mengerti. Kau sangat tidak simpatik," kata Lasaraleen, mulai menangis. Aravis memutuskan ini bukan saatnya untuk merasa kasihan.
"Dengar!" katanya, mencengkeram Lasaraleen dan mengguncangkan tubuhnya keras-keras. "Kalau kau mengucapkan bahkan satu kata lagi tentang pulang, dan kalau kau tidak segera membawaku menuju gerbang air--kau tahu apa yang akan kulakukan" Aku akan berlari ke koridor itu dan berteriak. Supaya kita berdua ditangkap."
"Tapi kita berdua akan di-di-dibunuh!" kata Lasaraleen. "Tidakkah kaudengar apa yang dikatakan Tisroc (semoga dia selamanya kekal) tadi""
"Ya, dan lebih baik aku mati dibunuh daripada harus menikah dengan Ahoshta. Jadi, ayo."
"Oh, kau memang kejam," kata Lasaraleen. "Padahal keadaanku begini!"
Tapi akhirnya dia harus menyerah kepada Aravis. Dia memimpin jalan menuruni tangga yang sebelumnya sempat mereka lalui, lalu menyusuri koridor lain dan akhirnya keluar ke udara terbuka. Mereka kini berada di taman istana yang menurun berundak-undak ke dinding kota. Bulan bersinar terang. Salah satu kekurangan berpetualangan adalah ketika kau tiba di tempat-tempat yang indah sekali, kau sering kali terlalu cemas dan terburu-buru untuk menghargai tempat-tempat itu. Aravis pun (walaupun dia mengingatnya bertahun-tahun kemudian) hanya punya kenangan samar akan h
alaman abu-abu, air mancur-air mancur yang berbuih dan bergemercik pelan, dan bayanganbayangan panjang hitam pepohonan cypress.
Ketika mereka mencapai bagian paling bawah taman dan dinding kota berdiri menjulang tinggi di atas mereka, tubuh Lasaraleen begitu gemetaran sehingga dia tidak bisa membuka gembok gerbang. Akhirnya Aravis yang melakukannya. Di sana, akhirnya tampak sungai yang permukaannya penuh pantulan sinar rembulan, panggung kecil tambatan perahu, dan beberapa perahu untuk rekreasi.
"Selamat tinggal," kata Aravis, "dan terima kasih. Maaf kalau aku sudah bertindak kasar. Tapi kau kan tahu aku berusaha melarikan diri dari apa!"
"Oh, Aravis sayang," kata Lasaraleen. "Tidak bisakah kau berubah pikiran" Apalagi sekarang kau telah melihat betapa pria yang mengagumkannya Ahoshta itu!"
"Mengagumkan!" kata Aravis. "Budak mengibakan dan menyedihkan yang memuji saat ditendang, tapi menelannya mentah-mentah dan berharap menyelamatkan punggungnya sendiri dengan mendukung rencana Tisroc yang mengerikan itu untuk membunuh putranya sendiri. Memuakkan! Lebih baik aku menikah dengan budak rendahan ayahku daripada dengan makhluk seperti itu."
"Oh, Aravis, Aravis! Mengapa kau bisa mengatakan hal-hal mengerikan begitu, bahkan tentang Tisroc (semoga dia selamanya kekal) juga" Pasti itu keputusan yang benar kalau dia yang berniat melakukannya!"
"Selamat tinggal," kata Aravis, "dan menurutku gaun-gaunmu indah. Rumahmu juga indah. Aku yakin hidupmu akan bahagia--walaupun hidup seperti itu takkan cocok buatku. Tutup pintunya pelan-pelan setelah aku keluar."
Aravis memaksa dirinya melepaskan pelukan penuh kasih sayang temannya, naik ke rakit, mendorong rakitnya pergi, dan beberapa saat kemudian berada di tengah aliran sungai dengan bulan besar sungguhan di atasnya dan pantulan besar bulan di bawahnya, jauh di dalam, di sungai. Udara terasa segar dan sejuk, ketika dia mendekati tepi jauh sungai, dia mendengar bunyi kukuk burung hantu. Ah! Begini lebih baik! pikir Aravis. Dia selalu tinggal di pedesaan dan membenci setiap menit yang dia habiskan di Tashbaan.
Ketika melangkahkan kaki ke daratan, dia mendapati dirinya berada dalam kegelapan, karena tanah yang menanjak dan pepohonan menghalangi cahaya rembulan. Tapi dia berhasil menemukan jalan yang sama dengan yang ditemukan Shasta, dan menemukan batas akhir rerumputan tumbuh seperti juga Shasta dan batas awal pasir, lalu melihat (seperti si anak lelaki) ke kirinya dan melihat Makam yang besar dan hitam. Dan kini akhirnya, walaupun dia anak perempuan yang berani, hatinya menciut. Bagaimana kalau yang lain tidak ada di sana" Bagaimana kalau benar-benar ada hantu" Tapi dia mengangkat dagu (juga agak menggigit lidah), lalu berjalan lurus mendekati makam-makam itu.
Tapi sebelum dia mencapai batu-batu tersebut, dia melihat Bree, Hwin, dan si bujang.
"Kau bisa kembali ke nyonyamu sekarang," kata Aravis (lupa bahwa si bujang tidak bisa melakukan itu, hingga gerbang kota dibuka pagi berikutnya). "Ini uang untuk jasamu."
"Hamba dengar dan mematuhi," kata si bujang, dan dia langsung pergi dengan kecepatan yang luar biasa ke arah kota. Tidak perlu memberitahunya untuk bergegas: dia juga telah banyak berpikir tentang hantu-hantu Makam.
Beberapa detik kemudian, Aravis sibuk menciumi hidung dan menepuk-nepuk leher Hwin juga Bree seolah mereka kuda biasa.
"Dan ini dia Shasta datang! Berkat sang singa!" kata Bree.
Aravis melihat ke sekeliling, dan di sana, tepat seperti ucapan Bree, tampak Shasta yang langsung keluar dari persembunyian begitu si bujang pergi.
"Dan sekarang," kata Aravis, "kita tidak boleh membuang waktu lagi." Lalu dengan cepat dia memberitahu mereka tentang ekspedisi Rabadash.
"Dasar licik!" kata Bree, menggoyangkan surainya dan mengentak-entakkan kakinya. "Penyerbuan di saat damai, bahkan tanpa mengirim peringatan! Tapi kita akan menggagalkan rencananya. Kita akan tiba di sana terlebih dahulu daripada dia."
"Menurutmu kita bisa"" tanya Aravis, mengayunkan tubuhnya naik ke sadel Hwin. Shasta berharap dia bisa naik ke kuda seperti itu.
"Brooh-hoo!" dengus Bree. "Ayo nai
k, Shasta. Tentu bisa! Dan kita berangkat lebih awal pula!"
"Dia bilang dia akan segera berangkat," kata Aravis.
"Begitulah cara manusia berbicara," kata Bree. "Tapi kau tidak bisa memberi air, memberi makan, mempersenjatai, memasang sadel, dan memberangkatkan pasukan dua ratus kuda dan penunggangnya hanya dalam satu menit. Sekarang, bagaimana arah kita" Menuju utara""
"Tidak," kata Shasta. "Aku yakin soal ini. Aku sudah menggambar garis. Aku akan menjelaskan nanti. Bergeraklah sedikit ke kiri kita,
Kedua kuda. Ah--ini dia!"
"Sekarang," kata Bree. "Berpacu penuh sehari semalam, seperti dalam cerita-cerita, itu tidak benar-benar bisa dilakukan. Kita harus berjalan dan berlari kecil: tapi lari kecil yang sering dan jalan-jalan yang singkat. Dan setiap kali kami berjalan, kalian manusia bisa turun dan berjalan juga. Nah. Apakah kau siap, Hwin" Ayo kita berangkat. Menuju Narnia dan negeri Utara!"
Awalnya perjalanan itu menyenangkan. Malam sudah berlangsung selama berjam-jam, sehingga pasir hampir habis mengembalikan semua panas matahari yang diterimanya sepanjang siang ke udara. Udara terasa sejuk, segar, dan langit cerah. Di bawah sinar rembulan, di segala arah dan di sepanjang mata dapat memandang, pasir terlihat berkilauan seolah air tenang pada baki perak raksasa. Kecuali suara tapal kaki Bree dan Hwin, tidak terdengar suara lain. Shasta bakal terlelap kalau saja dia tidak harus sekali-sekali turun dan berjalan.
Perjalanan ini rasanya berlangsung berjam-jam. Kemudian tibalah saat ketika tiada lagi rembulan. Mereka seolah berjalan dalam kegelapan total selama berjam-jam. Dan setelah itu tibalah saat ketika Shasta menyadari dia mulai bisa melihat leher Bree dan kepala di depannya sedikit lebih jelas daripada sebelumnya. Lalu perlahan, amat perlahan, mereka mulai menyadari ratanya bidang luas abu-abu di setiap penjuru. Suasana tampak sama sekali mati, seperti sesuatu dalam dunia yang telah berakhir masa hidupnya. Shasta merasa sangat lelah dan menyadari tubuhnya mulai merasa kedinginan dan bibirnya kering. Dan sepanjang waktu terdengar decitan kulit, gemerecing bagian-bagian tertentu perlengkapan kuda, dan entakan langkah kaki kuda--bukan tak-tik-tuk tak-tik-tuk seperti yang akan terdengar di jalan keras, tapi jlab-jleb-jlub jlab-jleb-jlub pada pasir kering.
Akhirnya, setelah berjam-jam berkuda, jauh di sebelah kanan Shasta tampak garis tunggal panjang yang berwarna abu-abu pucat, pada bagian terbawah cakrawala. Kemudian garis kemerahan. Akhirnya pagi hari tiba, tapi tanpa seekor burung pun bernyanyi untuk menyambutnya. Shasta kini menyukai bagian berjalan kaki karena tubuhnya terasa kedinginan sekali.
Lalu mendadak matahari terbit dan segalanya berubah dalam sedetik. Pasir abu-abu berubah menjadi kuning dan berkilauan seolah bercampur dengan permata. Di sebelah kiri mereka, tampak bayangan Shasta, Hwin, Bree, dan Aravis, panjang sekali, berpacu di samping mereka. Puncak ganda Gunung Pire, jauh di depan, berkelebat dalam sinar matahari dan Shasta menyadari mereka agak keluar dari jalur perjalanan. "Agak ke kiri, agak ke kiri," dia berseru. Tapi yang paling menyenangkan, kalau kau menoleh ke belakang, Tashbaan kini tampak kecil dan jauh. Makam Para Raja nyaris tidak terlihat, ditelan gundukan tunggal bergerigi yang merupakan kota milik Tisroc. Semua anggota kelompok itu merasa lebih tenang.
Tapi tidak untuk waktu yang lama. Walaupun Tashbaan tampak begitu jauh ketika mereka pertama melihatnya, kota itu menolak tampak semakin jauh ketika mereka melanjutkan perjalanan. Shasta menyerah menatap ke belakang ke arah kota tersebut, karena tindakan ini hanya membuatnya merasa mereka sama sekali tidak bergerak. Kemudian cahaya mulai menjadi gangguan. Kilau tajam pasir membuat matanya sakit: tapi dia tahu dia tidak boleh memejamkan mata. Dia harus menahan rasa sakitnya, terus memandang ke depan ke Gunung Pire, dan meneriakkan arah perjalanan. Kemudian datanglah panas. Dia menyadarinya untuk kali pertama ketika dia turun dari punggung Bree dan berjalan: saat menurunkan kaki, rasa panas dari pasir naik hingga ke wajahnya seola
h sedang membuka pintu oven. Kali kedua lebih buruk. Tapi kali ketiga, saat kaki telanjangnya menyentuh pasir, dia menjerit kesakitan dan langsung menaikkan satu kaki ke sanggurdi, sementara yang lain naik hingga setengah punggung Bree sebelum kau bisa mengatakan apa pun.
"Maaf, Bree," dia tergagap. "Aku tidak bisa jalan. Pasirnya membakar kakiku."
"Tentu saja!" kata Bree sambil terengah.
"Seharusnya aku sudah menduganya. Tetaplah di atas. Tak ada jalan lain."
"Pastinya bukan masalah bagimu," kata Shasta kepada Aravis yang berjalan di samping Hwin. "Kau memakai sepatu."
Aravis tidak mengucapkan apa-apa dan tampak terganggu dengan tingkah Shasta. Kita bisa berharap dia tidak benar-benar bermaksud begitu, tapi sayangnya tidak.
Mereka melanjutkan perjalanan, berlari, berjalan, kemudian berlari lagi, cring-cring-cring, srek-srek-srek, aroma kuda yang kepanasan, aroma diri sendiri yang kepanasan, cahaya yang membutakan, sakit kepala. Dan tidak ada yang berbeda dalam mil demi mil. Tashbaan tidak tampak menjadi lebih jauh lagi. Pegunungan tidak tampak menjadi lebih dekat lagi. Kau merasa ini telah berlangsung selamanya--cring-cring-cring, srek-srek-srek, aroma kuda yang kepanasan, aroma diri sendiri yang kepanasan.
Tentu saja kita akan memainkan segala jenis permainan dengan diri sendiri untuk melewati waktu: dan tentu saja semua permainan itu tidak ada gunanya. Dan kita biasanya akan berusaha keras tidak memikirkan berbagai minuman--es serbat di istana di Tashbaan, mata air jernih bergemercik dengan suara beningnya, susu dingin dan segar yang cukup gurih tapi juga tidak terlalu gurih--dan semakin kita berusaha tidak memikirkannya, justru semakin keras kita berpikir.
Akhirnya ada sesuatu yang berbeda--kumpulan batu yang mencuat keluar dari dalam pasir yang panjangnya sekitar lima puluh meter dan tingginya sepuluh meter. Bebatuan itu tidak menimbulkan bayangan besar, hanya kecil, karena matahari kini sangatlah tinggi di langit. Keempat makhluk hidup itu berkerumun di bawah bayangan. Di sana mereka menyantap sedikit makanan dan meminum sedikit air. Tidaklah mudah memberi minum kuda dari botol kulit, tapi Bree dan Hwin pandai menggunakan bibir mereka. Tidak satu pun dari mereka yang merasa tercukupi. Tidak satu pun mengeluh. Mulut kedua kuda dikotori buih dan napas mereka keras terdengar. Kedua anak itu pucat.
Setelah beristirahat singkat sekali, mereka melanjutkan perjalanan. Suara-suara yang sama, aroma yang sama, cahaya tajam yang sama, sampai akhirnya bayangan mereka berpindah ke sebelah kanan mereka, kemudian kian memanjang dan memanjang sampai bayangan itu seolah ditarik ke ujung paling timur dunia. Dengan sangat perlahan matahari turun mendekati cakrawala barat. Dan kini akhirnya matahari tenggelam dan syukurlah cahaya tajam tanpa ampun juga pergi bersamanya, walaupun panas dari pasir masih begitu menyiksa. Empat pasang mata mencari-cari dengan antusias tanda apa pun yang menunjukkan lembah yang disebut Sallowpad si gagak. Tapi, mil demi mil berlalu, tidak ada apa pun kecuali pasir yang datar.
Kini siang jelas-jelas telah berakhir, dan bintang-bintang bermunculan, namun kedua kuda itu masih melangkahkan kaki dan kedua anak itu terus naik-turun di atas sadel, menderita karena kehausan dan kelelahan. Barulah ketika rembulan muncul, akhirnya Shasta--dengan suara aneh dan seperti menyalak yang keluar dari mulut yang sama sekali kering--berteriak:
"Itu dia!' Tidak perlu diragukan lagi sekarang. Di depan dan sedikit di sebelah kanan mereka, tampak akhirnya lereng: lereng yang menurun dan berbukit-bukit batu di setiap sisinya. Kedua kuda itu terlalu lelah untuk berbicara tapi mereka bergerak ke sana, lalu dalam satu-dua menit kemudian mereka pun memasuki celah lereng tersebut.


The Chronicles Of Narnia 4 Kuda Dan Anak Manusia The Horse And His Boy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Awalnya situasi di dalam sana terasa lebih parah daripada ketika mereka berada di padang pasir terbuka, karena sumpek yang menyesakkan di antara dinding-dinding berbatu itu dan minimnya cahaya bulan. Lereng itu terus menurun curam dan bebatuan di kedua sisi mereka menjulang hingga setinggi tebing. Kemudian mereka mulai menemui tumbuhan--tanaman
yang tampak seperti kaktus berduri dan sejenis rerumputan kasar yang dapat menusuk jarimu. Tak lama kemudian tapal kuda mengentak-entak batu kerikil dan bebatuan yang menggantikan pasir.
Di setiap lengkungan lembah itu--dan banyak sekali lekukan di sana--mereka mencari air dengan penuh harap. Kedua kuda kini nyaris mencapai batas akhir kekuatan mereka, dan Hwin sambil terseok-seok dan terengah-engah, kini tertinggal di belakang Bree. Mereka hampir putus asa ketika akhirnya mereka bertemu kubangan lumpur kecil dan aliran kecil air melewati rerumputan yang lebih lembut dan subur. Dan aliran kecil itu menjadi mata air, dan mata air itu menjadi aliran deras air dengan sesemakan di tiap sisinya, dan aliran deras itu menjadi sungai, lalu datanglah (setelah begitu banyak kekecewaan yang tidak mungkin bisa kuceritakan semuanya) momen ketika Shasta, yang dalam keadaan agak tidak sadar, mendadak menyadari Bree telah berhenti, dan mendapati dirinya merosot ke bawah.
Di depan mereka tampak air terjun kecil yang tercurah ke kolam luas, dan kedua kuda itu sudah berada di dalam kolam tersebut dengan kepala menunduk, minum, minum, dan minum. "O-o-oh," kata Shasta kemudian menceburkan diri--kolam itu sedalam lututnya--dan memasukkan kepalanya ke air. Mungkin itu momen terindah dalam hidupnya.
Sekitar sepuluh menit kemudian ketika keempat makhluk itu (air nyaris membasahi seluruh tubuh kedua anak manusia) keluar dari kolam dan mulai memerhatikan sekeliling mereka. Bulan kini berada cukup tinggi di angkasa untuk mengintip ke lembah. Tampak rumput lembut di masing-masing tepi sungai dan, di balik rerumputan itu, pepohonan dan sesemakan tumbuh naik hingga ke dasar tebing-tebing. Pasti ada sesemakan bunga menyenangkan yang tumbuh di bawah bayang-bayang gelap itu karena seluruh padang ini dipenuhi wangi yang begitu sejuk dan menyegarkan. Lalu dari celah-celah gelap di antara pepohonan, terdengar suara yang tidak pernah didengar Shasta sebelumnya--nyanyian nightingale.
Mereka semua terlalu lelah untuk berbicara atau makan. Kedua kuda itu, tanpa menunggu dibebaskan dari sadel, langsung berbaring. Begitu juga Aravis dan Shasta.
Sekitar sepuluh menit kemudian Hwin yang selalu waspada berkata, "Tapi kita tidak boleh tertidur. Kita harus mendahului Rabadash."
"Tidak," kata Bree sangat perlahan. "Tidak boleh tertidur. Hanya beristirahat sebentar."
Shasta tahu (untuk sesaat) mereka semua bakal terlelap kalau dia tidak bangkit dan melakukan sesuatu, dia pun merasa harus bertindak. Bahkan dia memutuskan untuk bangun dan membujuk teman-temannya untuk terus berjalan. Tapi saat ini, belum, belum saatnya....
Tak lama kemudian rembulan bersinar, dan sang nightingale bernyanyi membuai kedua kuda dan kedua anak manusia itu hingga tertidur.
Aravis-lah yang terbangun pertama kali. Matahari sudah tinggi di langit dan jam-jam pagi yang sejuk telah terbuang. "Ini salahku," katanya kepada dirinya sendiri dengan marah ketika dia melompat berdiri dan mulai membangunkan yang lain. "Kita tidak bisa mengharapkan kuda bisa terus terjaga setelah bekerja keras seharian seperti kemarin, bahkan walaupun mereka bisa berbicara. Dan tentu saja anak itu tidak akan mampu, dia tidak pernah mendapatkan pelatihan yang layak. Tapi aku seharusnya bertindak lebih baik."
Ketiga temannya bangun dalam keadaan menerawang dan nyaris tidak sadar karena tidur mereka begitu lelap.
"Hii-ho-broo-hoo," kata Bree. "Ternyata aku tertidur dengan sadelku, ya" Aku tidak akan pernah melakukannya lagi. Benar-benar tidak nyaman--"
"Oh, ayolah, ayo," kata Aravis. "Kita sudah kehilangan separo pagi. Kita tidak boleh membuang-buang waktu lagi."
"Setidaknya aku harus menelan semulut penuh rumput dulu," kata Bree.
"Sayangnya kita tidak bisa menunggu," kata Aravis.
"Mengapa begitu terburu-buru"" tanya Bree. "Bukankah kita sudah menyeberangi padang pasir itu""
"Tapi kita belum tiba di Archenland," kata Aravis. "Dan kita harus sampai di sana sebelum Rabadash."
"Oh, kita pasti bermil-mil jauh di depannya," kata Bree. "Bukankah kita menggunakan jalan yang lebih singkat" Bukankah teman gagakmu itu
berkata ini jalan pintas, Shasta""
"Dia tidak mengatakan apa pun tentang lebih singkat," jawab Shasta. "Dia hanya bilang lebih baik, karena kita akan mendapati sungai bila pergi ke arah sini. Kalau oase berada di utara Tashbaan, sayangnya sepertinya jalan ini lebih panjang."
"Yah, yang pasti aku tidak bisa melanjutkan tanpa makan," kata Bree. "Lepaskan kekangku, Shasta."
"Ku-kumohon," kata Hwin, dengan sangat malu-malu, "perasaanku sama dengan Bree, aku merasa tidak bisa melanjutkan. Tapi ketika kuda membawa manusia (yang mengenakan taji kaki dan sejenisnya) di punggungnya, bukankah manusia sering memaksa mereka terus berjalan walaupun mereka merasa seperti ini" Kemudian mereka mendapati mereka bisa berjalan lagi. Mak-maksudku--bukankah kita seharusnya bisa melanjutkan lebih jauh lagi, terutama karena kini kita bebas" Semua ini demi Narnia."
"Kurasa, Madam," kata Bree dengan nada bicara sangat merendahkan, "aku tahu lebih banyak tentang penyerbuan dan paksaan bergerak main, juga seberapa daya tahan kuda, daripada dirimu."
Hwin tidak menjawab pernyataan ini karena, seperti sebagian besar kuda betina yang berketurunan baik, kepribadiannya yang penggugup dan lembut membuatnya mudah dipatahkan. Kenyataannya, pendapatnya sangat tepat, dan jika Bree sedang membawa seorang Tarkaan di punggungnya saat itu yang menyuruhnya maju, dia akan mendapati dirinya bisa berjalan selama beberapa jam penuh lagi. Tapi salah satu akibat terburuk diperbudak dan dipaksa melakukan berbagai hal adalah ketika tidak ada yang bisa memaksamu lagi, kau akan mendapati dirimu hampir kehilangan kekuatan untuk memaksa dirimu sendiri.
Jadi mereka harus menunggu sementara Bree makan dan minum, lalu tentu saja Hwin juga kedua anak itu ikut makan dan minum. Pastinya hari sudah mencapai sekitar jam sebelas siang ketika mereka akhirnya melanjutkan perjalanan. Dan bahkan setelah itu pun Bree berjalan lebih lambat daripada kemarin. Hwinlah yang sebenarnya, walaupun dia lebih lemah dan lelah dibanding Bree, yang mempertahankan ritme langkah kaki mereka.
Lembah itu sendiri, dengan sungai cokelatnya yang sejuk, dan rerumputan, lumut, bunga-bunga liar, juga semak rhododendron-nya, merupakan tempat yang menyenangkan sehingga membuatmu ingin berjalan perlahan.
BAB SEPULUH Pertapa Perbatasan Selatan
SETELAH mereka berkuda selama beberapa jam melewati lembah, tempat itu meluas dan mereka bisa melihat apa yang ada di hadapan mereka. Sungai yang mereka susuri kini bergabung dengan sungai yang lebih besar, lebar dan alirannya deras, air mengalir dan kiri ke kanan mereka, menuju arah timur. Di seberang sungai baru ini, daerah yang indah terbentang di perbukitan rendah, dataran tinggi di balik dataran tinggi, menuju Pegunungan Utara itu sendiri. Di sebelah kanan tampak puncak-puncak berbatu, yang pada salah satunya digantungi salju hingga ke birai bukit. Di sebelah kiri, lereng-lereng yang ditumbuhi pohon cemara, tebing-tebing menjorok, ngarai-ngarai sempit, dan puncak-puncak biru terhampar sejauh mata memandang. Shasta tidak lagi bisa melihat Gunung Pire. Di hadapannya daerah pegunungan tenggelam menjadi daerah pepohonan yang rimbun yang tentu saja pastinya merupakan rute jalan dari Archenland menuju Narnia.
"Broo-hoo-hoo, negeri Utara, Utara yang hijau!" ringkik Bree: dan memang bagian perbukitan yang rendah tampak lebih hijau dan segar, daripada apa pun yang pernah dibayangkan Aravis dan Shasta yang memiliki mata orang yang selama hidupnya tinggal di Selatan. Semangat mereka meningkat ketika mereka memasuki tempat air dua sungai itu bertemu.
Sungai yang airnya mengalir ke arah timur itu, yang tercurah dari pegunungan tinggi di bagian ujung Barat daerah tersebut, arusnya terlalu deras dan liar untuk mereka seberangi dengan berenang: tapi setelah mencari-cari, naik-turun tepi sungai, mereka menemukan tempat yang cukup dangkal untuk dilewati. Raungan dan percikan keras air, arus keras yang menampar tungkai kaki kedua kuda, udara sejuk yang penuh tantangan, capung-capung yang terbang melintas, mengisi seluruh tubuh Shasta dengan semangat aneh.
"Teman-teman, kita sud
ah tiba di Archenland!" kata Bree bangga ketika dia menimbulkan cipratan dan melompat keluar dari sungai bagian Utara. "Kurasa sungai yang baru saja kita seberangi itu bernama Winding Arrow."
"Mudah-mudahan kita tidak terlambat," gumam Hwin.
Kemudian mereka mulai mendaki, perlahan dan sering kali berzigzag, karena bukit-bukit itu begitu curam. Di seluruh tempat, tampak daerah yang seperti taman terbuka tanpa jalan ataupun rumah di sepanjang mata memandang. Pepohonan tumbuh tersebar, tidak pernah cukup tebal sehingga membentuk hutan, di mana-mana. Shasta, yang sepanjang hidupnya dihabiskan di lapangan rumput yang nyaris tidak berpohon, belum pernah melihat begitu banyak pohon baik dalam jumlah maupun jenis. Kalau kau ada di sana mungkin kau akan tahu (karena Shasta tidak) dia sedang melihat pohon-pohon ek, beech, birch perak, rowan, dan chestnut manis. Kelinci-kelinci lari bersembunyi ke segala arah ketika mereka melewati hewan-hewan itu, dan kini mereka melihat sekelompok rusa liar berkerumun di antara pepohonan.
"Tidakkah ini menakjubkan sekali"" kata Aravis.
Pada dataran tinggi pertama, Shasta berputar di atas sadel untuk melihat ke belakang. Tidak ada tanda-tanda Tashbaan. Padang pasir yang tidak terputus kecuali pada celah sempit hijau yang tadi mereka lalui, terhampar hingga ke cakrawala.
"Wah!" katanya tiba-tiba. "Apa itu""
"Apa yang apa"" tanya Bree, berbalik. Hwin dan Aravis ikut melakukan hal yang sama.
"Itu," kata Shasta sambil menunjuk. "Sepertinya asap. Apakah karena api""
"Badai pasir, kalau menurutku," kata Bree.
"Tidak cukup banyak angin untuk bisa menimbulkan badai," kata Aravis.
"Oh!" seru Hwin. "Lihat! Ada benda-benda berkilau di dalam asap itu. Lihat! Itu topi-topi baja--dan baju zirah. Dan mereka bergerak: bergerak ke arah sini."
"Demi Tash!" kata Aravis. "Itu pasukannya. Itu Rabadash."
"Tentu saja," kata Hwin. "Seperti yang aku cemaskan. Cepat! Kita harus tiba di Anvard sebelum mereka." Dan tanpa membuang waktu lagi Hwin berbalik dan mulai berpacu ke arah utara. Bree menggoyangkan kepala dan mengikutinya.
"Ayo cepat, Bree, ayo," teriak Aravis dari balik bahunya.
Berpacu benar-benar sangat berat bagi kedua kuda. Ketika mereka mencapai puncak setiap dataran tinggi, mereka akan menemukan lembah lain dan dataran tinggi lain di ujung jauhnya. Dan walaupun mereka tahu mereka bergerak kurang-lebih menuju arah yang benar, tidak ada yang yakin seberapa jauh lagi letak Anvard. Dari puncak dataran tinggi kedua, Shasta melihat ke belakang lagi. Bukannya awan debu yang mengepul di padang pasir, dia kini melihat kelompok hitam yang bergerak, agak tampak seperti pasukan semut, di seberang jauh sungai Winding Arrow. Mereka tidak di ragukan lagi sedang mencari bagian sungai yang dangkal untuk diseberangi.
"Mereka sudah di sungai!" teriak Shasta panik.
"Cepat! Cepat!" teriak Aravis. "Kalau kita tidak mencapai Anvard tepat pada waktunya, itu sama saja dengan kita tidak pernah dating sama sekali. Berpaculah, Bree, berpaculah. Ingatlah kau adalah kuda perang.
Hanya peringatan yang bisa diberikan Shasta untuk mencegah dirinya meneriakkan perintah-perintah yang sama, tapi dia berpikir, kuda malang ini sudah melakukan sebisanya, dan dia menahan lidahnya. Dan memang kedua kuda itu sudah berpacu, kalau bukan sebisa mungkin, setidaknya begitulah yang mereka pikir. Dua hal yang tidak sama sebenarnya. Bree sudah menyusul Hwin dan mereka kini berlari berdampingan melintasi rerumputan. Tampaknya Hwin tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi.
Pada saat itu kecemasan keempat makhluk tersebut mendadak sama sekali teralihkan suara dari belakang. Suara itu bukanlah suara yang mereka kira akan dengar--yaitu suara entakan kaki kuda, gemerencing baju zirah yang beradu, bercampur dengan mungkin pekikan perang bangsa Calormen. Shasta langsung mengenalinya. Itu raungan mengancam yang sama yang telah dia dengar di malam bermandikan cahaya bulan itu, ketika mereka pertama bertemu Aravis dan Hwin. Bree juga mengenalinya. Matanya bersinar merah dan telinganya menempel rata di kepalanya. Dan Bree kini mendapati sebenarnya dia
belumlah berpacu secepat--tidaklah betul-betul secepat--yang dia mampu. Shasta langsung merasakan perubahannya. Kini mereka benar-benar bergerak dengan kecepatan penuh. Dalam beberapa detik, mereka sudah jauh di depan Hwin.
Ini tidak adil, pikir Shasta. Aku benar-benar berpikir kami akan aman dari singa di sini!
Dia menoleh ke balik bahunya. Semuanya tampak begitu jelas. Makhluk besar yang kuning kecokelatan, tubuhnya rendah ke tanah, seperti kucing berlari menyeberangi lapangan menuju pohon ketika anjing asing masuk ke taman, ada di belakang mereka. Dan makhluk itu semakin dekat dan dekat dalam hitungan detik.
Shasta melihat ke depan lagi dan melihat sesuatu yang dia tidak mengerti, atau bahkan masuk ke akalnya. Jalan mereka dipagari dinding hijau mulus yang tingginya sekitar tiga meter. Di tengah dinding itu ada gerbang, yang terbuka. Di tengah gerbang itu berdiri pria tinggi yang mengenakan, hingga ke bawah kaki telanjangnya, jubah sewarna dedaunan musim gugur, bersandar pada tongkat lurus. Janggutnya hampir jatuh menjuntai hingga lututnya.
Shasta melihat semua ini sekilas lalu kembali menoleh ke belakang. Sang singa kini hampir menangkap Hwin. Hewan itu mengatup-ngatupkan rahang ke kaki belakang sang kuda betina, dan tidak ada harapan pada wajahnya yang kini pucat, mulutnya yang berbuih, dan matanya yang membelalak.
"Stop," teriak Shasta ke telinga Bree. "Kita harus berputar. Harus membantu mereka!"
Setelah itu Bree selalu berkata dia tidak pernah mendengar, atau tidak pernah mengerti, kejadian ini. Dan secara keseluruhan dia kuda yang sangat jujur sehingga kita harus menerima kata-katanya.
Shasta mengeluarkan kakinya dari sanggurdi, mengayunkan kedua kakinya ke sebelah kiri, ragu selama seperseratus detik yang mendebarkan, lalu melompat. Jatuhnya sangat menyakitkan dan hampir membuatnya sesak napas, tapi sebelum dia menyadari betapa sakit tubuhnya karena jatuh itu, dengan terhuyung-huyung dia berjalan ke belakang untuk membantu Aravis. Dia belum pernah melakukan hal seperti ini dalam hidupnya dan nyaris tidak tahu kenapa dia melakukan ini sekarang.
Salah satu suara paling mengerikan di dunia, teriakan kuda, keluar dan bibir Hwin. Aravis merunduk rendah pada leher Hwin dan tampak berusaha menghunus pedang. Dan kini ketiganya--Aravis, Hwin, dan sang singa--hampir berada di atas Shasta. Sebelum mereka mencapai anak itu, sang singa berdiri dengan kaki belakangnya, tubuhnya kelihatan lebih besar daripada bayanganmu akan besarnya singa, dan menyerang Aravis dengan cakar kanannya. Shasta bisa melihat semua kuku cakar itu memanjang. Aravis menjerit dan kehilangan keseimbangan di sadel. Sang singa merobek bahunya. Shasta, setengah gila karena rasa takut, berhasil bergerak ke depan ke makhluk buas itu. Dia tidak membawa senjata apa pun, bahkan tidak sebatang kayu atau sebongkah batu. Dia berteriak, dengan bodoh, ke sang singa seperti orang yang sedang berteriak pada anjing, "Pulang sana! Pulang!" Selama seperkian detik, Shasta memandang tepat ke mulut sang singa yang terbuka lebar mengancam. Kemudian tanpa terduga-duga, sang singa, masih sambil berdiri dengan kaki belakangnya, mendadak menghentikan dirinya, berguling ke depan, bangkit kembali, kemudian berlari pergi.
Shasta sama sekali tidak berpikir makhluk buas itu akan pergi untuk seterusnya. Dia berbalik dan berlari menuju gerbang di dinding hijau yang kini untuk kali pertama, baru dia ingat telah dilihatnya. Hwin, tergopoh-gopoh dan nyaris pingsan, baru saja memasuki gerbang itu. Aravis masih duduk di atas kuda itu, tapi punggungnya bersimbah darah.
"Masuklah, putriku, masuklah," kata si pria berjubah dan berjanggut, kemudian, "Masuklah, putraku," ketika Shasta berjalan terngah-engah menghampirinya. Dia mendengar gerbang tertutup di belakangnya, dan orang asing berjanggut itu sudah mulai menolong Aravis turun dari kuda.
Mereka berada di tempat yang luas dan bundar sempurna, dilindungi dinding tinggi tumbuhan hijau. Kolam dengan permukaan air yang tenang, begitu penuh sehingga airnya nyaris rata dengan tanah, terbentang di depannya. Pada satu ujung kolam, menau
ngi seluruh kolam itu dengan cabang-cabangnya, tumbuh pohon yang terbesar dan terindah yang pernah Shasta lihat. Di balik kolam itu ada rumah batu kecil yang rendah, beratapkan lalang tebal dan kuno. Terdengar suara embikan dan di sisi jauh tempat itu terlihat beberapa ekor kambing. Tanah yang datar itu benar-benar tertutup rumput yang sangat subur.
"Apa-apa-apakah kau," kata Shasta terengah-engah, "apakah kau Raja Lune penguasa Archenland""
Pria tua itu menggeleng. "Bukan," jawabnya dengan suara pelan, "aku Pertapa Perbatasan Selatan. Dan sekarang, putraku, jangan buang-buang waktu untuk pertanyaan-pertanyaan, tapi patuhlah. Gadis ini terluka. Kuda-kudamu tak mampu bergerak lagi. Pada saat ini Rabadash telah menemukan bagian sungai yang dangkal di Winding Arrow. Kalau kau lari sekarang, tanpa beristirahat barang sedetik pun, kau tetap akan tepat waktu untuk memperingatkan Raja Lune."
Hati Shasta melesak saat mendengar kata-kata itu karena dia merasa tenaganya pun sudah tidak tersisa. Dan dalam hatinya dia memberontak karena permintaan yang tampak begitu kejam dan tidak adil itu. Dia belumlah belajar bahwa jika kau melakukan satu perbuatan baik, imbalan perbuatan itu biasanya adalah dengan harus siap melakukan tindakan lain yang lebih berat dan lebih baik. Tapi dia hanya berkata keras-keras:
"Di mana sang raja tinggal""
Sang pertapa berbalik dan menunjuk dengan tongkatnya. "Lihat," katanya. "Ada gerbang lain, tepat berseberangan dengan yang kaumasuki tadi. Bukalah dan pergi lurus: selalu lurus, melewati jalan datar maupun mendaki, menyusuri jalan mulus ataupun kasar, kering maupun basah. Aku tahu dari kemampuanku kau akan bertemu Raja Lune tepat lurus di depan. Tapi larilah, lari. Selalu berlari."
Shasta mengangguk, berlari ke gerbang Utara dan menghilang di baliknya. Kemudian si pertapa memeriksa Aravis, yang selama ini telah dipapah dengan tangan kirinya, lalu setengah membimbing dan menggendongnya ke dalam rumah. Setelah beberapa lama dia keluar lagi.
"Sekarang, sepupuku," katanya kepada kedua kuda. "Sekarang giliran kalian."
Tanpa menunggu jawaban--dan memang kedua kuda itu terlalu lelah untuk bicara si pertapa meraih dan membuka tali kekang dan sadel keduanya. Kemudian dia menggosok keduanya, begitu mahir sehingga bujang di istal sang raja pun tidak akan bisa melakukannya dengan lebih baik.
"Nah, sepupuku," katanya, "hilangkan semua keresahan dari benak kalian dan bersantailah. Ini air dan rumput. Kalian akan mendapatkan bubur pakan hangat setelah aku memerah susu dari sepupuku yang lain, para kambing."
"Sir," kata Hwin, akhirnya menemukan suaranya, "apakah sang Tarkheena akan bertahan hidup" Apakah singa tadi telah membunuhnya""
"Aku yang mengetahui banyak hal masa kini karena kemampuanku," jawab sang pertapa dengan senyuman, "hanya punya sedikit pengetahuan akan masa depan. Karena itu aku tidak mampu mengetahui pria, wanita, ataupun makhluk mana yang tetap akan hidup ketika matahari terbenam malam ini. Tapi tetaplah berharap yang terbaik. Gadis itu punya kemungkinan akan hidup selama siapa pun yang seusianya."
Ketika siuman, Aravis mendapati dirinya berbaring telungkup pada tempat tidur rendah yang luar biasa lembut dalam ruangan sejuk dan nyaris kosong, berdinding batu tanpa lapisan. Dia tidak bisa mengerti kenapa dia berbaring dengan wajah menyentuh tempat tidur, tapi ketika dia berusaha berbalik dan merasakan rasa sakit yang panas dan membakar di seluruh punggungnya, dia pun ingat dan menyadari sebabnya. Dia tidak bisa menebak terbuat dari benda empuk apakah tempat tidur itu, karena benda tersebut bunga-bunga heather (yang merupakan bahan tempat tidur terbaik) dan heather adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat maupun dengar keberadaannya.
Pintu ruangan terbuka dan sang pertapa masuk, membawa mangkuk kayu besar di tangannya. Setelah meletakkannya dengan hati-hati, dia menghampiri sisi tempat tidur, dan bertanya:
"Bagaimana keadaanmu, putriku""
"Punggungku nyeri sekali, Bapak," kata Aravis, "tapi selain itu aku tidak apa-apa."
Sang pertapa berlutut di sampingnya, meletakkan tangan di kening Ar
avis, dan meraba denyut nadinya.
"Tidak demam," katanya. "Kau akan baik-baik saja. Sudah pasti tidak ada alasan kenapa kau tidak boleh bangun besok. Tapi sekarang, minumlah ini."
Dia mengangkat mangkuk kayu tadi dan menyodorkannya ke bibir Aravis. Aravis tidak bisa mencegah dirinya berkernyit ketika merasakan cairan di dalamnya, karena susu kambing memang agak mengejutkan bila kau tidak terbiasa meminumnya. Tapi dia sangat haus dan berhasil meneguk semua, dia pun merasa lebih baik setelahnya.
"Sekarang, putriku, kau boleh tidur kapan pun kau mau," kata sang pertapa. "Karena lukamu sudah dibersihkan dan dibalut, dan walaupun telak, luka-luka itu tidaklah lebih serius daripada luka akibat pecut. Singa itu pasti sangat aneh, karena bukannya menerkam dan menjatuhkanmu dari sadel lalu menggigit, dia hanya mengayunkan cakarnya ke punggungmu. Sepuluh goresan: cukup parah, tapi tidak dalam ataupun membahayakan."
"Astaga!" kata Aravis. "Aku benar-benar beruntung."
"Putriku," kata sang pertapa, "kini aku telah hidup selama seratus dan sembilan musim dingin di dunia ini, dan belum pernah bertemu sesuatu yang dinamai keberuntungan. Ada sesuatu tentang semua ini yang tidak kupahami, tapi jika memang kita perlu mengetahuinya, kau boleh yakin saat itu akan tiba."
"Dan bagaimana dengan Rabadash dan pasukan dua ratus kudanya"" tanya Aravis.
"Mereka tidak akan melewati tempat ini, kurasa," jawab sang pertapa. "Saat ini mereka pasti sudah menemukan daerah dangkal sungai, cukup jauh di Timur kita. Dari sana mereka tidak akan berusaha berkuda langsung menuju Anvard."
"Kasihan Shasta!" kata Aravis. "Apakah dia harus pergi jauh" Apakah dia akan sampai di sana terlebih dulu""
"Ada kemungkinan besar begitu," kata si pria tua.
Aravis berbaring lagi (pada sisi tubuhnya kali ini) dan berkata, "Apakah aku telah tidur lama" Tampaknya hari mulai gelap."
Sang pertapa sedang melihat ke luar satu-satunya jendela di ruangan itu yang menghadap utara. "Ini bukanlah kegelapan malam," katanya akhirnya. "Awan berarak turun dari Stromness Head. Cuaca buruk kami selalu datang dari sana di daerah sini. Malam ini akan datang kabut tebal."
Hari berikutnya, kecuali karena punggungnya yang nyeri, Aravis merasa begitu bugar, sehingga setelah sarapan (yang terdiri atas bubur dan krim) sang pertapa berkata dia boleh bangun. Dan tentu saja dia langsung keluar untuk berbicara dengan kedua kuda. Cuaca telah berubah dan seluruh tempat hijau itu dipenuhi, seperti cangkir hijau raksasa, dengan sinar mentari. Tempat itu begitu damai, sepi, dan sunyi.
Hwin segera berlari kecil menghampiri Aravis dan memberinya ciuman kuda.
"Tapi di mana Bree"" tanya Aravis ketika mereka berdua sudah saling menanyakan keadaan juga bagaimana tidur masing-masing.
"Di sana," jawab Hwin, menunjuk dengan hidungnya ke ujung jauh halaman. "Dan aku berharap kau mau pergi ke sana dan berbicara dengannya. Ada yang aneh, aku tidak bisa memancing satu kata pun dari dirinya."
Mereka berjalan ke tempat Bree dan mendapati kuda itu berbaring dengan wajah menghadap dinding, dan walaupun dia pasti mendengar kedatangan mereka, dia tidak menoleh atau mengatakan apa pun.
"Selamat pagi, Bree," kata Aravis. "Bagaimana keadaanmu pagi ini""
Bree menggumamkan sesuatu yang tidak bisa didengar Aravis maupun Hwin.
"Sang pertapa berkata Shasta mungkin akan bertemu Raja Lune tepat pada waktunya," lanjut Aravis, "jadi tampaknya segala kesulitan kita akan berakhir. Narnia, akhirnya, Bree!"
"Aku tidak akan pernah melihat Narnia," kata Bree dengan suara pelan.
"Bukankah kau baik-baik saja, Bree sayang"" tanya Aravis.
Bree akhirnya berbalik, wajahnya begitu muram, semuram yang bisa ditampilkan seekor kuda.
"Aku akan kembali ke Calormen," katanya.
"Apa"" kata Aravis. "Kembali menjadi budak""
"Ya," jawab Bree. "Aku hanya pantas menjadi budak. Bagaimana aku akan mampu menunjukkan muka di hadapan semua kuda bebas di Narnia"--aku yang meninggalkan kuda betina, gadis kecil, juga anak laki-laki untuk disantap singa sementara aku berlari secepat mungkin demi menyelamatkan tubuh celakaku sendiri!"
"Kita semua berl ari secepat yang kita mampu," kata Hwin.
"Shasta tidak!" dengus Bree. "Setidaknya dia berlari ke arah yang benar: ke belakang. Dan itulah yang paling membuatku malu. Aku, yang menyebut diriku sendiri kuda perang dan menyombongkan ratusan peperangan, dikalahkan anak lelaki manusia kecil--seorang anak, anak biasa, yang belum pernah menghunus pedang atau dibesarkan dan diberi teladan sepantasnya selama hidupnya!"
"Aku tahu," kata Aravis. "Aku juga punya perasaan yang sama. Shasta memang hebat. Aku juga sama bersalahnya seperti dirimu, Bree. Aku telah bersikap angkuh padanya dan meremehkannya sejak kalian bertemu kami, dan kini ternyata dia adalah yang terbaik di antara kita semua. Tapi kurasa lebih baik kita tetap tinggal dan mengucapkan maaf kepadanya daripada kembali ke Calormen."
"Itu pilihan terbaik bagimu," kata Bree. "Kau tidak sudah mempermalukan dirimu sendiri. Tapi aku telah kehilangan segalanya."
"Kudaku yang baik," kata sang pertapa, yang telah datang mendekat tanpa mereka sadari karena kaki telanjangnya nyaris tidak bersuara di atas rerumputan yang subur dan berembun. "Kudaku yang baik, kau belum kehilangan apa pun kecuali kesombongan diri. Tidak, tidak, sepupuku. Jangan turunkan telingamu dan mengibaskan suraimu di hadapanku. Jika kau memang begitu rendah hati seperti yang kautunjukkan semenit lalu, kau harus belajar mendengarkan alasan yang masuk akal. Kau bukanlah kuda agung seperti yang kaukira, karena hidup di antara kuda-kuda bodoh yang malang. Tentu saja kau lebih pemberani dan cerdas daripada mereka. Kau nyaris tidak bisa mencegah diri untuk tidak bersikap demikian. Kelihatannya kau tidak akan menjadi makhluk yang paling spesial di Narnia. Tapi selama kau tahu kau bukanlah makhluk spesial, kau akan menjadi kuda yang rendah hati, secara keseluruhan, dan bersedia menerima satu hal bersamaan dengan hal lain. Dan kini, kalau kau dan sepupu berkaki empatku yang lain bersedia datang ke pintu dapur, kita akan menentukan apa yang akan dilakukan pada separo bubur pakan yang tersisa."
Kembang Karang Hawu 2 Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti Gelang Kemala 5
^