Kuda Dan Anak Manusia 3
The Chronicles Of Narnia 4 Kuda Dan Anak Manusia The Horse And His Boy Bagian 3
BAB SEBELAS Teman Seperjalanan yang Tidak Diinginkan
KETIKA Shasta berlari melewati gerbang, dia mendapati lereng berumput dan sesemakan heather kecil yang berbaris di depannya menuju pepohonan. Tidak ada yang memenuhi benaknya saat ini dan tidak ada rencana yang telah dia buat: dia hanya perlu berlari dan pikiran itu sudah cukup menguasainya. Tungkai-tungkai tubuhnya gemetar, tusukan yang menyakitkan mulai terasa di sisi tubuhnya, dan keringat yang terus-menerus menetes ke matanya membutakan dan membuat keduanya kabur. Kakinya juga tidak bisa menjejak kuat, dan lebih dari sekali pergelangan kakinya nyaris terkilir karena menginjak batu.
Pepohonan kini lebih lebat daripada sebelumnya dan di daerah-daerah yang lebih terbuka terlihat tumbuhan bracken. Matahari telah pergi walaupun udara tetap tidak lebih sejuk. Hari itu telah menjadi hari kelabu panas ketika tampaknya ada lebih banyak lalat daripada biasanya. Wajah Shasta dikerumuni mereka, dia bahkan tidak mencoba mengusir serangga-serangga itu--dia punya banyak hal lain yang harus dilakukan.
Mendadak dia mendengar suara terompet tanduk--bukan suara terompet keras yang menggema seperti terompet-terompet Tashbaan, tapi suara ceria, Te-ro-ret-te-ro-ret! Detik berikutnya dia keluar di area luas dan mendapati dirinya menghadapi sekerumunan orang.
Setidaknya, orang-orang itu tampak seperti kerumunan baginya. Kenyataannya ada sekitar lima belas atau dua puluh orang, semua pria bangsawan dengan pakaian berburu hijau, bersama kuda-kuda mereka. Beberapa berada di atas kuda dan beberapa berdiri di samping kepala kuda mereka. Di tengah kerumunan itu seseorang sedang memegangi pijakan kaki kuda untuk pria yang hendak naik. Dan pria yang hendak dibantu naik itu raja yang paling ceria, gemuk, berpipi sebulat dan semerah apel yang bisa kaubayangkan.
Segera setelah sosok Shasta terlihat, sang raja sama sekali lupa untuk menaiki kudanya. Dia melebarkan lengannya ke arah Shasta, wajahnya tampak bahagia, dan dia berteriak dengan suara keras dan dalam yang seolah keluar dari bagian terdalam dad
anya: "Corin! Putraku! Berjalan kaki dan berpakaian compang-camping! Kenapa--"
"Bukan," jawab Shasta terengah-engah, sambil menggeleng. "Aku bukan Pangeran Corin. Aku-aku-aku tahu aku mirip dia... aku bertemu Yang Mulia di Tashbaan... dia menyampaikan salam."
Sang raja memandang lekat Shasta dengan ekspresi wajah luar biasa.
"Apakah Anda Ra-Raja Lune" Shasta tergagap. Kemudian, tanpa menunggu jawaban, "Raja yang Mulia--cepat--Anvard--tutup gerbang-gerbangnya--musuh datang menyerbu--Rabadash dan dua ratus kuda."
"Apakah kau yakin soal ini, bocah"" tanya salah seorang bangsawan.
"Dengan mataku sendiri," jawab Shasta. "Aku melihat mereka. Berpacu untuk mendahului mereka dari Tashbaan."
"Dengan berjalan kaki"" tanya sang bangsawan, mengangkat kedua alisnya sedikit.
"Kuda-kuda--kini bersama sang pertapa," jawab Shasta.
"Jangan tanya lebih banyak lagi kepadanya, Darrin," kata Raja Lune. "Aku melihat kejujuran di wajahnya. Kita harus segera berkuda pulang, Tuan-tuan. Sisakan satu kuda, untuk anak ini. Kau bisa berkuda cepat, Teman""
Untuk menjawab Shasta meletakkan kaki di pijakan kaki kuda yang dibimbing mendekatinya dan sedetik kemudian dia sudah di atas sadel. Dia telah melakukan ini ratusan kali bersama Bree dalam beberapa minggu terakhir, dan caranya naik kuda kini jauh berbeda dengan di malam pertama, ketika Bree mengomentari cara naik ke kudanya yang seperti memanjat tumpukan jerami.
Dia senang mendengar Lord Darrin berkata kepada sang raja, "Anak itu punya pembawaan penunggang kuda sejati, Sire. Saya yakin dia memiliki darah bangsawan dalam tubuhnya."
"Darahnya, benar, itu pemikiran yang tepat," kata sang raja. Lalu lagi-lagi dia memandang lekat Shasta dengan ekspresi wajah ingin tahu, nyaris ekspresi lapar karena penasaran, dalam mata abu-abu tegasnya.
Tapi kini seluruh kelompok itu bergerak dalam kecepatan penuh. Sadel Shasta luar biasa nyaman tapi dia sedih karena bingung menghadapi tali kekang. Dia tidak pernah menyentuh tali kekang ketika berada di punggung Bree. Tapi dengan hati-hati dia melihat dengan ujung matanya apa yang dilakukan anggota kelompok lain (seperti yang akan dilakukan sebagian dari kita dalam pesta-pesta ketika kita tidak cukup yakin pisau atau garpu mana yang harus digunakan) dan berusaha meletakkan jemarinya di tempat yang tepat. Tapi dia tidak berani benar-benar berusaha mengarahkan kudanya, dia memercayainya untuk mengikuti kuda yang lain. Kuda itu tentu saja kuda biasa, bukan Kuda yang Bisa Berbicara, tapi dia cukup menyadari anak lelaki di punggungnya tidak punya cambuk, taji, dan bukanlah benar-benar pengendali situasi. Itulah sebabnya tak lama kemudian Shasta mendapati dirinya di ujung akhir ekor rombongan.
Bahkan walaupun begitu, dia berpacu cukup cepat. Kini tidak ada lalat, dan angin yang menerpa wajahnya menyegarkan. Napasnya kini juga sudah teratur. Dan tugasnya telah sukses. Untuk kali pertama sejak kedatangannya di Tashbaan (betapa lama rasanya saat itu!) dia mulai merasa santai.
Dia mendongak untuk melihat seberapa dekat puncak gunung kini. Dia kecewa karena sama sekali belum bisa melihatnya: yang tampak hanya sosok abu-abu yang samar, bergulung di depan mereka. Dia belum pernah berada di daerah pegunungan dan terkejut. Itu bukan awan, katanya dalam hati, awan ini turun ke tanah. Jadi begitu ya. Di atas sini di perbukitan, sebenarnya kami berada di langit. Aku akan bisa melihat bagaimana isi awan. Menyenangkan sekali! Aku telah lama ingin tahu. Jauh di sebelah kirinya dan sedikit di belakangnya, matahari bersiap-siap tenggelam.
Kini mereka telah tiba di jalan yang kasar dan berpacu dalam kecepatan tinggi. Tapi kuda Shasta masih berada di belakang kelompok itu. Sekali atau dua kali ketika jalan membelok (kini ada hutan berkepanjangan di kedua sisinya) dia tidak bisa melihat yang lain selama sedetik atau dua detik.
Lalu mereka masuk ke kabut, atau mungkin kabut itu yang bergulung menghampiri mereka. Dunia menjadi kelabu. Shasta belum menyadari betapa dingin dan basah berada di dalam awan, ataupun betapa gelapnya. Warna abu-abu menjelma menjadi hitam sangat tiba-tiba
. Seseorang di depan barisan membunyikan terompet tanduk sesekali, dan setiap kali suara itu semakin terdengar jauh. Kini dia tidak bisa melihat satu orang pun, tapi tentu saja mereka akan kembali terlihat begitu dia sampai di belokan berikutnya. Tapi ketika berbelok, dia masih tidak bisa melihat mereka. Bahkan dia tidak bisa melihat apa pun. Kudanya kini sekadar berjalan. "Ayo, Kuda, ayo," kata Shasta. Kemudian terdengar bunyi terompet, sangat samar. Bree selalu memberitahunya dia harus selalu menjaga mata kakinya ke arah luar, dan Shasta punya firasat sesuatu yang sangat buruk akan terjadi kalau dia membenamkan mata kakinya ke sisi kuda. Tapi ini tampak baginya sebagai kesempatan untuk mencoba. "Begini, Kuda," dia berkata, "kalau kau tidak lari lagi, tahukah kau apa yang akan kulakukan" Aku akan mengentakkan mata kakiku ke perutmu. Aku benar-benar akan melakukannya." Namun kuda itu tidak mengacuhkan ancamannya. Jadi Shasta menguatkan posisi di atas sadel, mencengkeram dengan lutut, mengatupkan geligi, dan mengentakkan kedua mata kaki ke sisi perut kuda sekeras yang dia bisa.
Hasilnya si kuda hanya terlonjak sedikit dan seolah berpura-pura berlari kecil sejauh lima atau enam langkah untuk kemudian melambat menjadi jalan biasa lagi. Dan kini suasana cukup gelap dan mereka tampaknya berhenti meniupkan terompet. Satu-satunya suara yang terdengar adalah air yang menetes terus menerus dari cabang-cabang pepohonan.
"Yah, kurasa bahkan dengan berjalan, pada akhirnya kita akan di sampai di suatu tempat," kata Shasta kepada dirinya sendiri. "Aku hanya berharap aku tidak akan berpapasan dengan Rabadash dan anak buahnya."
Dia melanjutkan perjalanan yang rasanya lama sekali, selalu dengan langkah berjalan biasa. Dia mulai membenci kudanya, dan dia juga mulai merasa sangat lapar.
Akhirnya dia tiba di suatu tempat di mana jalan terbagi menjadi dua. Dia baru bertanya-tanya jalan mana yang mengarah ke Anvard ketika dia dikejutkan suara di belakangnya. Suara itu suara tapak kuda yang berlari. Rabadash! pikir Shasta. Dia tidak bisa menebak jalan mana yang akan diambil Rabadash. "Tapi kalau aku mengambil yang satu," kata Shasta pada dirinya sendiri, "dia mungkin akan mengambil yang lain, kalau aku tetap berada di persimpangan ini sudah pasti aku akan ditangkap." Dia pun turun dan menuntun kudanya secepat yang dia bisa menyusuri jalan di sebelah kanannya.
Suara pasukan berkuda semakin lama semakin dekat dan dalam satu atau dua menit kemudian, Shasta menyadari mereka telah tiba di persimpangan. Dia menahan napas, menunggu untuk melihat jalan mana yang akan mereka ambil.
Terdengar kata perintah dalam suara rendah--"Tahan! "--kemudian sesaat penuh suara kuda--dengusan hidung kuda, kaki kuda mengentak-entak, leher kuda ditepuk-tepuk. Kemudian sebuah suara berkata:
"Berkumpul, semuanya," katanya. "Kita kini berada sekitar dua ratus meter dari istana. Jangan lupakan perintah kalian. Setibanya kita di Narnia, yang seharusnya terjadi nanti saat matahari terbit, kalian hanya boleh membunuh sesedikit mungkin. Pada penyerbuan ini kalian harus menganggap setiap tetes darah Narnia sama berharganya dengan segalon darah kalian sendiri. Hanya pada penyerbuan ini, aku bertitah. Para dewa akan memberkahi kita dengan waktu yang lebih berbahagia, dan barulah pada saat itu kalian tidak diperbolehkan meninggalkan makhluk apa pun hidup di antara Cair Paravel dan daerah terpencil di Barat. Tapi kita belum berada di Narnia. Di sini di Archenland situasinya berbeda. Pada penyerangan ke istana Raja Lune ini, tidak ada yang lebih penting daripada kecepatan. Tunjukkan keberanian kalian. Keberanian itu harus menjadi milikku selama satu jam ke depan. Dan kalau aku mendapatkannya, aku akan memberikan segalanya kepada kalian. Aku tidak akan menyimpan harta apa pun untuk diriku sendiri. Bunuh untukku setiap pria barbar yang ada di dalam dinding istana itu, hingga ke anak lelaki yang dilahirkan kemarin, dan segala sisanya boleh kalian bagi sesuka kalian--wanita, emas, perhiasan, senjata, dan anggurnya. Orang yang kulihat tetap berada di belakang ketika kita tiba di
gerbang akan dibakar hidup-hidup. Demi nama Tash yang tak terhentikan, tak tergoyahkan--maju!"
Bersama gemuruh langkah kaki kuda yang gempita, barisan itu mulai bergerak, dan Shasta bernapas lega lagi. Mereka telah mengambil jalan yang satunya.
Shasta berpikir mereka menghabiskan waktu, lama sekali untuk lewat, karena walaupun dia telah beberapa kali mengucapkan dan memikirkan "dua ratus kuda" sepanjang hari, dia belumlah menyadari betapa banyaknya jumlah mereka. Tapi akhirnya suara gemuruh pasukan itu mereda dan sekali lagi dia sendirian, ditemani suara tetesan-tetesan dari pepohonan.
Dia kini tahu jalan mana yang menuju Anvard, tapi tentu saja tidak bisa pergi ke sana: itu hanya berarti akan menghadapi senjata pasukan Rabadash. "Apa yang harus kulakukan"" tanya Shasta pada dirinya sendiri. Tapi dia menaiki kembali kudanya dan meneruskan perjalanan pada jalan yang telah dipilihnya, dengan harapan tipis menemukan semacam pondokan tempat dia bisa meminta tempat berteduh dan makanan. Dia telah berpikir, tentu saja, untuk kembali ke Aravis, Bree, dan Hwin di pertapaan, tapi dia tidak bisa melakukan itu karena kini dia sama sekali tidak punya bayangan arah mana yang bisa ditempuhnya.
"Lagi pula," kata Shasta, "jalan ini pasti menuju ke suatu tempat."
Tapi semua itu tergantung pada apa yang kaumaksud dengan suatu tempat. Jalan itu terus menuju ke suatu tempat dalam arti semakin banyak dan banyak memunculkan pepohonan, semuanya gelap dan meneteskan air, dan udara mulai terasa lebih dingin dan lalu angin dingin yang aneh terus-menerus meniupkan kabut melewati Shasta walaupun angin itu tidak pernah meniup kabut hingga menghilang. Kalau anak itu terbiasa hidup di daerah pegunungan, dia akan menyadari ini berarti dia kini berada sangat tinggi--mungkin tepat di atas jalan perbukitan. Tapi Shasta tidak tahu apa pun tentang pegunungan.
"Aku benar-benar merasa," kata Shasta, "aku pasti anak paling tidak beruntung yang pernah hidup di seluruh dunia ini. Segalanya berjalan dengan baik bagi semua orang kecuali diriku. Para bangsawan pria dan wanita itu berhasil melarikan diri dari Tashbaan, aku ditinggalkan. Aravis, Bree, dan Hwin kini dalam keadaan sangat nyaman dan hangat bersama pertapa tua itu, tentu saja akulah yang dikirim menyampaikan pesan. Raja Lune dan orang-orangnya kini pasti sudah sampai dengan selamat di istana dan menutup gerbang-gerbang lama sebelum Rabadash tiba, tapi aku tertinggal di luar."
Dan karena merasa sangat lelah dan perutnya amat kosong, dia merasa iba sekali pada dirinya sendiri sehingga air mata mengalir di kedua pipinya.
Yang menghentikan semua ini adalah kejutan yang datang tiba-tiba. Shasta mendapati seseorang atau sesuatu sedang berjalan di sampingnya. Suasana gelap gulita dan dia tidak bisa melihat apa-apa. Dan Sesuatu itu (atau Orang itu) bergerak begitu tanpa suara sehingga dia nyaris tidak mendengar entakan kaki. Yang bisa didengarnya adalah embusan napas. Teman seperjalanannya yang tidak terlihat tampaknya bernapas dengan berat dan sangat dalam, dan Shasta mendapat kesan makhluk itu sangat besar ukurannya. Dan dia menyadari embusan napas itu begitu teratur sehingga dia sama sekali tidak bisa menebak seberapa lama makhluk tersebut sudah ada di sana. Kejutan yang menakutkan.
Berkelebat di benaknya ia pernah mendengar soal raksasa yang dulu sekali tinggal di negeri-negeri Utara. Dia menggigit bibirnya dalam kengerian. Tapi kini setelah dia benar-benar punya alasan untuk menangis, tangisannya terhenti.
Sesuatu itu (kecuali dia Seseorang) terus berjalan di sampingnya begitu tanpa suara sehingga Shasta mulai berharap dia hanya berkhayal. Tapi tepat ketika dia mulai yakin dengan pikiran ini, mendadak terdengar embusan napas dalam dan kaya dari kegelapan di sampingnya. Itu tidak mungkin hasil imajinasinya! Lagi pula dia telah merasakan panasnya embusan udara dari embusan napas itu pada tangan kirinya yang kedinginan.
Kalau kudanya berkemampuan tinggi--atau kalau dia tahu bagaimana cara mengeluarkan kemampuan terbaik kuda--dia mungkin akan merisikokan segalanya pada pelarian dan pacuan liar. Tapi
dia tahu dia tidak akan bisa membuat kudanya berpacu. Jadi dia terus berjalan biasa sementara rekan seperjalanannya yang tidak terlihat berjalan dan bernapas berat di sampingnya. Akhirnya dia tidak tahan lagi.
"Siapa kau"" tanyanya, nyaris tidak lebih keras daripada bisikan.
"Seseorang yang telah menunggu lama sekali agar kau berbicara," jawab Sesuatu itu. Suaranya tidak keras, tapi sangat kuat dan dalam.
"Apakah kau--apakah kau raksasa"" tanya Shasta.
"Kau bisa menyebutku raksasa," kata si Suara Kuat. "Tapi aku tidak seperti makhluk yang kausebut sebagai raksasa."
"Aku sama sekali tidak bisa melihatmu," kata Shasta, setelah menajamkan penglihatannya. Kemudian (karena pikiran yang lebih mengerikan mendatangi benaknya) dia bertanya, hampir berteriak, "Kau bukan--bukan sesuatu yang sudah mati, kan" Oh, kumohon, kumohon pergilah. Kesalahan apa yang pernah kulakukan padamu" Oh, aku orang paling sial di seluruh dunia ini!"
Sekali lagi dia merasakan embusan hangat napas Sesuatu itu pada tangan dan wajahnya. "Nah," katanya, "itu bukanlah napas hantu. Ceritakan kepadaku segala kepedihanmu."
Shasta merasa sedikit tenang karena napas itu, jadi dia bercerita betapa dia tidak pernah mengenal ayah ataupun ibu kandungnya, dan betapa dia telah dibesarkan secara keras oleh si nelayan. Kemudian dia menceritakan kisah pelariannya dan bagaimana mereka dikejar singa-singa lalu terpaksa berenang untuk menyelamatkan nyawa, dan tentang semua bahaya yang dihadapi mereka di Tashbaan, lalu tentang malam yang dihabiskannya di antara makam dan bagaimana para makhluk buas melolong pada dirinya di padang pasir. Dan dia bercerita tentang panasnya dan hausnya perjalanan padang pasir mereka, juga bagaimana mereka hampir mencapai tujuan akhir ketika singa lain mengejar mereka dan melukai Aravis. Lalu juga, betapa lamanya sejak dia terakhir memperoleh santapan untuk dimakan.
"Aku tidak akan menyebutmu tidak beruntung," kata si Suara Kuat.
"Tidakkah menurutmu adalah nasib sial untuk bertemu begitu banyak singa"" tanya Shasta.
"Hanya ada satu singa," kata si Suara.
"Apa maksudmu" Aku baru saja memberitahumu setidaknya ada dua di malam pertama perjalanan, dan--"
"Hanya ada seekor, tapi kakinya begitu cepat."
"Bagaimana kau bisa tahu""
"Karena akulah singa itu." Dan ketika Shasta terperangah dengan mulut ternganga dan tidak mengucapkan apa pun, sang Suara meneruskan, "Akulah singa yang memaksamu bergabung dengan Aravis. Akulah kucing yang memberimu kenyamanan di antara rumah mereka yang telah mati. Akulah singa yang mengusir para anjing liar darimu ketika kau tertidur. Akulah singa yang memberi kedua kuda itu kekuatan dan rasa takut untuk perjalanan satu mil terakhir, agar kau bisa menemui Raja Lune tepat pada waktunya. Dan akulah singa yang tidak kauingat telah mendorong perahu tempat kau berbaring, anak yang sekarat, sehingga perahu itu bisa mendarat di mana seorang pria sedang duduk terjaga di tengah malam untuk menerimamu."
"Kalau begitu kaulah yang telah melukai Aravis."
"Benar." "Tapi untuk apa""
"Nak," kata sang Suara. "Aku hanya memberitahumu kisahmu, bukan kisahnya. Aku tidak menceritakan kisah mana pun kepada siapa pun kecuali yang menjadi miliknya."
"Siapa kau sebenarnya"" tanya Shasta.
"Diriku sendiri," kata sang Suara, begitu dalam dan rendah sehingga tanah terasa bergetar. Kemudian sekali lagi, "Diriku sendiri", keras, jelas, dan ringan namun penuh kebanggaan, lalu untuk kali ketiga, "Diriku sendiri", dibisikkan begitu lembut sehingga kau nyaris tidak bisa mendengarnya, namun suara itu seolah keluar dari seluruh tempat di sekelilingmu seakan-akan dedaunan bergemeresik bersamanya.
Shasta tidak lagi mengkhawatirkan suara itu milik sesuatu yang akan memakannya, ataupun berasal dari hantu. Namun getaran baru yang berbeda kini menguasainya. Meski dia sekaligus merasa lega.
Kabut kini berubah dari hitam menjadi abu-abu, kemudian dari abu-abu menjadi putih. Ini pasti telah mulai terjadi beberapa waktu lalu, tapi ketika berbicara dengan sang Sesuatu, dia tidak memerhatikan hal-hal lain. Sekarang, warna putih di sekelilingnya menjad
i putih yang bersinar, matanya mulai berkedip-kedip. Di suatu tempat di depannya dia bisa mendengar burung-burung bernyanyi. Dia pun tahu akhirnya malam telah berakhir. Dia bisa melihat surai, telinga, dan kepala kudanya dengan mudah sekarang. Cahaya keemasan menyinari mereka dari arah kiri. Dia berpikir itu pasti matahari.
Dia menoleh dan melihat, kini sedang berjalan di sampingnya, lebih tinggi daripada kuda, seekor singa. Kudanya tidak tampak ketakutan pada makhluk ini atau mungkin dia tidak bisa melihatnya. Ternyata cahaya datang dari singa itu. Tidak ada yang pernah melihat apa pun semengerikan sekaligus seindah ini.
Untungnya Shasta telah hidup sepanjang hidupnya terlalu jauh di Selatan di Calormen untuk pernah mendengar kisah-kisah yang dibisikkan di Tashbaan tentang iblis Narnia menakutkan yang tampil dalam wujud singa. Dan tentu saja dia tidak tahu sama sekali cerita-cerita sesungguhnya tentang Aslan, Singa Agung, putra Kaisar-di-seberang-Lautan, Raja diraja semua Raja Agung di Narnia. Tapi setelah satu pandangan sekilas ke wajah sang singa. Shasta meluncur turun dari sadel dan memijak tanah dengan kedua kakinya. Dia tidak bisa berkata-kata walaupun dia memang tidak ingin mengatakan apa-apa, dan dia tahu dia tidak perlu mengucapkan apa pun.
Raja Agung yang lebih mulia daripada semua raja membungkuk ke arahnya. Surai sang singa, dan aroma aneh nan agung yang tercium dari surai itu, mengelilingi Shasta. Singa itu menyentuh dahi Shasta dengan lidahnya. Anak itu mengangkat kepala dan mata mereka bertemu. Kemudian mendadak cahaya pucat kabut dan sinar menyilaukan sang singa bergulung dan bertemu menjadi pusaran menakjubkan, bergabung menjadi satu, lalu menghilang. Shasta kini tinggal berdua bersama kudanya pada sisi bukit yang berumput lebat di bawah langit biru. Dan ternyata memang ada burung-burung yang bernyanyi.
BAB DUA BELAS Shasta di Narnia APAKAH semua tadi hanya mimpi" Shasta bertanya-tanya. Tapi tidak mungkin pertemuan itu sekadar mimpi karena di sana, di rerumputan di hadapannya, dia melihat jejak dalam dan besar cakar kanan depan singa. Benar-benar menyesakkan dada bila seseorang berusaha menebak berat tubuh apa pun yang bisa membuat jejak kaki seperti itu. Tapi ada sesuatu yang lebih menakjubkan daripada ukurannya. Ketika Shasta memerhatikannya, air telah memenuhi dasar jejak tersebut. Tak lama kemudian ceruk itu telah penuh hingga ke pinggir-pinggirnya, lalu luber, dan aliran air kecil kini mengalir ke bawah bukit, melewati anak itu, melintasi rerumputan.
Shasta membungkuk dan minum--minum sepuas-puasnya--kemudian mencelupkan wajah dan menyiramkan air ke kepalanya. Air terasa sangat dingin, tampak sebening kaca, dan sangat menyegarkannya. Setelah itu dia berdiri, mengibaskan air supaya keluar dari telinganya, menyisir ke belakang rambutnya yang basah dari dahi, lalu memerhatikan keadaan sekelilingnya.
Tampaknya hari masih sangat dini. Matahari baru mulai terbit, telah naik dan keluar dari hutan yang dia lihat berada sangat jauh di bawah di sebelah kanannya. Daerah yang dia lihat kini jelas-jelas asing baginya. Daratan lembah hijau yang di beberapa tempat ditumbuhi pepohonan, dan dibaliknya dia melihat kilau air sungai yang mengalir kurang-lebih ke arah barat laut. Pada sisi jauh lembah itu terlihat perbukitan yang tinggi dan bahkan lebih berbatu-batu, tapi sosoknya lebih rendah daripada pegunungan yang telah dilihatnya kemarin. Kemudian dia mulai menebak posisinya. Dia berbalik dan memerhatikan pemandangan di belakangnya, lalu melihat lereng tempatnya berdiri berada di dataran tinggi pegunungan yang jauh lebih tinggi.
"Ternyata begitu," kata Shasta pada dirinya sendiri. "Gunung-gunung itu adalah pegunungan besar di antara Archenland dan Narnia. Aku berada di sisi lain gunung-gunung itu kemarin. Aku pastinya telah melewati jalan perbukitan tadi malam. Aku benar-benar beruntung!-setidaknya bukan benar-benar karena nasib baik, ini pasti karena Dia. Dan sekarang aku sudah tiba di Narnia."
Dia berbalik lagi dan membuka sadel kudanya lalu melepas tali kekangnya--"Walaupun kau benar-benar kuda yang men
yebalkan," katanya. Kuda itu mengabaikan komentar Shasta dan langsung mulai menyantap rumput. Hewan tersebut punya pandangan amat rendah tentang diri Shasta.
Kalau saja aku bisa makan rumput, pikir Shasta. Tidak ada gunanya kembali ke Anvard, pasti semua jalan ditutup. Lebih baik aku pergi ke bawah lembah dan memeriksa apakah ada sesuatu yang bisa kumakan.
Jadi dia melanjutkan perjalanan ke bawah lembah (embun yang besar-besar terasa sangat dingin menusuk bagi kaki-kaki telanjangnya) sampai dia tiba di hutan kecil. Ada semacam jalan setapak dalam hutan itu dan dia baru menyusurinya beberapa menit ketika dia mendengar suara tebal dan agak mendesis berkata kepadanya:
"Selamat pagi, Tetangga."
Dengan antusias, Shasta melihat ke sekelilingnya untuk mendapati si pembicara dan akhirnya dia melihat sosok kecil dan berduri dengan wajah gelap baru saja keluar dari sekelompok pohon. Setidaknya, sosok itu terlalu kecil untuk manusia namun teramat besar untuk seekor landak, yang ternyata memang.
"Selamat pagi," jawab Shasta. " lapi aku bukan tetanggamu. Bahkan aku orang asing di daerah sini."
"Ah"" ucap Landak penuh tanda tanya.
"Aku datang dari balik pegunungan--dari Archenland, kau tahu, kan""
"Ah, Archenland," kata Landak. "Tempat itu jauh sekali. Aku sendiri belum pernah ke sana."
"Dan kurasa, mungkin," kata Shasta, "seseorang harus diberitahu bahwa ada pasukan Calormen yang kejam menyerang Anvard saat ini juga."
"Benarkah itu"" komentar Landak. "Wah, coba bayangkan. Padahal mereka selalu berkata bangsa Calormen berada ratusan dan ribuan mil jauhnya, tepat di ujung dunia, menyeberangi lautan pasir yang luas."
"Ternyata tidaklah sejauh seperti bayanganmu," kata Shasta. "Dan bukankah sesuatu harus dilakukan tentang penyerangan ke Anvard ini" Bukankah seharusnya Raja Agung-mu diberitahu""
"Tentu saja, sesuatu harus dilakukan mengenai perihal ini," kata Landak. "Tapi kau bisa melihat sendiri, aku sedang dalam perjalanan menuju tempat tidur untuk tidur siangku. Halo, Tetangga!"
Kata-kata terakhir ini ditujukan kepada kelinci raksasa dengan warna bulu seperti biskuit yang kepalanya baru saja muncul keluar dari suatu tempat di samping jalan setapak. Landak itu langsung memberitahu Kelinci tentang apa yang baru diketahuinva dari Shasta. Kelinci setuju ini kabar yang sangat mengejutkan dan bahwa seseorang harus memberitahu seseorang tentang ini dan melakukan sesuatu.
Jadi proses ini pun terus berlanjut. Setiap beberapa menit anggota kelompok mereka bertambah dengan makhluk-makhluk lain, beberapa dari cabang-cabang pohon di atas, dan beberapa dari rumah-rumah kecil di bawah tanah di kaki mereka, hingga akhirnya kelompok mereka terdiri atas lima kelinci, seekor bajing, dua burung magpie, faun berkaki kambing, dan seekor tikus, yang semuanya berbicara pada saat yang sama dan sependapat dengan Landak. Karena sebenarnya pada zaman keemasan ketika sang penyihir juga musim dingin telah pergi dan Peter sang Raja Agung berkuasa di Cair Paravel, rakyat daerah hutan yang lebih kecil di Narnia merasa begitu aman dan bahagia sehingga mereka mulai bersikap kurang waspada.
Namun akhirnya, dua makhluk yang lebih praktis tiba di hutan kecil tu. Salah satunya adalah Dwarf Merah yang sepertinya bernama Duffle. Makhluk yang satunya seekor rusa jantan, hewan agung dan luar biasa indah dengan mata bening lebar, sisi tubuhnya berbintik-bintik dan kakinya begitu jenjang dan anggun sehingga kelihatannya kau bisa mematahkan keempatnya hanya dengan dua jari.
"Hidup sang singa!" pekik Dwarf segera setelah dia mendengar kabar ini. "Dan kalau memang benar begitu, kenapa kita semua bergeming, bercakap-cakap" Musuh ada di Anvard! Kabar ini harus segera disampaikan ke Cair Paravel. Pasukan harus disiapkan. Narnia harus pergi dan membantu Raja Lune."
"Ah!" kata Landak. "Tapi kau tidak akan mendapati Raja Agung di Cair. Dia berada jauh di Utara memerangi para raksasa itu. Dan bicara soal raksasa, para tetanggaku, ini membuatku teringat pada--"
"Siapa yang akan mengirimkan pesan kita"" potong Dwarf. "Apakah ada yang lebih cepat daripada aku di sini""
"Ak u bisa berlari cepat," jawab Rusa Jantan. "Apa pesanku" Berapa jumlah pasukan Calormen itu""
"Dua ratus: dipimpin Pangeran Rabadash. Dan--"Tapi rusa jantan itu sudah berlari--keempat kakinya terbang dari tanah sekaligus, dan sedetik kemudian bagian belakang tubuhnya yang putih telah menghilang di antara pepohonan yang lebih jauh.
"Kira-kira ke mana dia akan pergi"" kata Kelinci. "Kalian kan tahu dia tidak akan mendapati Raja Agung di Cair Paravel."
"Dia akan menemui Ratu Lucy," kata Duffle. "Lalu--astaga! Kenapa manusia ini" Wajahnya pucat sekali. Ya ampun, kurasa dia akan pingsan. Mungkin dia kelaparan. Kapan terakhir kali kau makan, anak muda""
"Kemarin pagi," jawab Shasta lemah.
"Ayo, kalau begitu, mari," kata Dwarf, dia langsung merangkulkan tangan kecil gemuknya ke pinggang Shasta untuk membantunya berdiri. "Astaga, para tetanggaku, kita seharusnya malu! Ikutlah denganku, Nak. Sarapan! Itu lebih baik daripada bicara."
Sambil menimbulkan kehebohan dan terus bergumam memaki dirinya sendiri, dwarf itu separo menuntun dan separo menggendong Shasta buru-buru ke dalam hutan dan sedikit mengajaknya menuruni bukit. Perjalanan itu terasa lebih panjang daripada yang Shasta inginkan pada saat itu, dan kedua kakinya mulai terasa sangat gemetar sebelum mereka keluar dari pepohonan dan menuju sisi bukit yang kosong. Di sana mereka mendapati rumah kecil dengan cerobong yang berasap dan pintu yang terbuka, lalu ketika mereka memasuki pintu, Duffle berteriak:
"He, saudara-saudaraku! Ada tamu untuk sarapan."
Dan mendadak, bersamaan dengan suara berdesis, tercium oleh Shasta wangi yang menyenangkan. Aroma itu belum pernah diciumnya selama hidupnya, tapi kuharap kau pernah. Aroma itu berasal dari daging bacon, telur, dan jamur yang sedang digoreng di panci.
"Hati-hati kepalamu, Nak," kata Duffle sedetik terlambat, karena Shasta telah membenturkan dahinya ke kerangka pintu yang rendah. "Sekarang," lanjut Dwarf, "silakan duduk. Meja ini terlalu rendah untukmu, tapi toh kursinya juga rendah. Bagus. Dan ini bubur--lalu ini sepoci krim--dan ini sendoknya."
Pada saat Shasta selesai menyantap buburnya, dua saudara dwarf itu (yang bernama Rogin dan Bricklethumb) menyajikan sepiring bacon, telur, dan jamur, juga poci kopi, susu panas, dan roti bakar di meja.
Semua ini pengalaman baru dan indah bagi Shasta karena santapan Calormen sangat berbeda dengan makanan itu. Dia bahkan tidak tahu apakah irisan-irisan cokelat di hadapannya, karena dia tidak pernah melihat roti bakar sebelumnya. Dia tidak tahu benda apakah yang kuning dan lembut yang mereka oleskan ke roti bakar, karena di Calormen kau hampir selalu mendapat minyak bukannya mentega. Dan rumah itu sendiri sangat berbeda dengan gubuk gelap, dingin, berbau ikan milik Arsheesh, ataupun aula-aula berpilar dan berkarpet istana-istana Tashbaan. Langit-langitnya sangat rendah, segala hal terbuat dari kayu, dan tampak jam dinding kuk-kuk juga taplak berpola kotak-kotak merah-putih, semangkuk bunga liar serta gorden kecil pada jendela-jendela bertepi tebal. Juga terasa agak sulit menggunakan cangkir, piring, pisau, dan garpu dwarf. Ini berarti porsi tambahan memang sangat sedikit, tapi tersedia banyak porsi tambahan, sehingga piring dan cangkir Shasta selalu terisi kembali setiap saat, dan setiap saat para dwarf itu sendiri berkata, "Tolong menteganya", "Secangkir kopi lagi", "Bisakah aku memperoleh jamur lagi"", atau "Bagaimana kalau kita menggoreng sebutir telur atau lebih lagi"" Dan ketika akhirnya mereka semua selesai bersantap sebanyak yang mereka mampu, ketiga dwarf mengambil undian siapa yang akan mencuci, dan Rogin ternyata tidak beruntung. Kemudian Duffle dan Bricklethumb mengajak Shasta keluar menuju bangku yang bersandar pada dinding pondok, lalu mereka menjulurkan kaki, mengesahkan napas penuh rasa puas, dan kedua dwarf menyalakan pipa mereka. Embun kini telah mengering dari rerumputan dan sinar matahari terasa hangat, bahkan kalau tidak ada angin semilir yang sejuk, hari itu akan terasa panas.
"Sekarang, orang asing," kata Duffle, "aku akan menunjukkan padamu keadaan tanah in
i. Kau bisa melihat nyaris seluruh bagian Selatan Narnia dari sini, dan kami agak bangga dengan pemandangan ini. Langsung di sebelah kirimu, di balik bukit-bukit yang dekat itu, kau bisa melihat Pegunungan Barat. Dan bukit bundar jauh di sebelah kananmu bernama Bukit Stone Table. Di balik itu--"
Tapi pada saat itu, penjelasan Duffle terpotong dengkuran Shasta yang, berkat perjalanan sepanjang malam dan sarapan memuaskannya, telah tertidur lelap. Para dwarf yang baik hati itu, segera setelah menyadari ini, mulai membuat tanda pada satu sama lain untuk tidak membangunkan Shasta, dan mengeluarkan begitu banyak bisikan, mengangguk-angguk, bangkit, dan membuat suara saat berjingkat pergi sehingga mereka sudah pasti akan membangunkannya kalau anak itu tidak terlalu lelah.
Shasta tertidur cukup nyenyak nyaris sepanjang hari tapi terbangun tepat pada saat makan malam. Semua tempat tidur di tempat itu juga terlalu kecil untuknya tapi mereka menyiapkan kasur heather di lantai, dan dia tidak pernah bergerak gelisah maupun bermimpi sepanjang malam. Keesokan paginya mereka baru saja selesai sarapan ketika mendengar suara tajam penuh semangat dari luar.
"Terompet!" kata ketiga dwarf, ketika mereka dan Shasta sama-sama berlari keluar.
Terompet-terompet bersuara lagi: suara yang baru bagi Shasta, tidak keras dan agung seperti terompet tanduk Tashbaan, ataupun penuh semangat dan ceria seperti terompet tanduk berburu Raja Lune, tapi jelas, tajam, dan penuh keberanian. Suara itu datang dari hutan di timur, dan tak lama terdengar suara entakan kaki kuda bercampur dengannya. Beberapa saat kemudian kepala barisan mulai kelihatan.
Pertama tampak Lord Peridan di atas kuda cokelat berbintik hitam membawa panji besar Narnia--singa merah pada latar hijau. Shasta langsung mengenalinya. Kemudian menyusul tiga orang berkuda berdampingan, dua di atas kuda perang yang menakjubkan dan seorang di punggung kuda poni. Dua orang yang mengendarai kuda perang adalah Raja Edmund dan wanita berambut pirang yang berwajah sangat ceria. Dia mengenakan topi baja juga baju rantai besi, dan membawa busur yang disampirkan di bahunya serta tempat anak panah yang penuh di sisi tubuhnya.
("Itu Ratu Lucy," bisik Daffle.) Tapi orang yang duduk di atas poni ternyata Corin. Setelah itu tampak bagian utama pasukan: para manusia dengan kuda-kuda biasa, para manusia dengan Kuda yang Bisa Berbicara (yang tidak keberatan ditunggangi pada kesempatan-kesempatan khusus, seperti ketika Narnia harus berperang), para centaurus, beruang-beruang tangguh yang penuh luka gigitan, para Anjing yang Bisa Berbicara besar, dan akhirnya enam raksasa. Karena memang ada raksasa baik di Narnia. Tapi walaupun dia tahu para raksasa itu berada di pihak yang benar, awalnya Shasta nyaris tidak berani melihat mereka. Ada banyak hal yang perlu dibiasakan terlebih dahulu.
Ketika sang raja dan ratu sampai di pondok dan ketiga dwarf mulai membungkuk rendah memberi hormat kepada mereka, Raja Edmud berseru:
"Kini, teman-teman! Ini saatnya untuk berhenti dan beristirahat!" Lalu segera terjadi kericuhan akibat orang-orang turun dari kuda, kantong-kantong perjalanan dibuka, dan percakapan dimulai ketika Corin berlari menghampiri Shasta, meraih kedua tangannya dan berseru:
"Astaga! Kau ada di sini! Jadi kau berhasil ke sini" Aku sangat lega. Sekarang kita akan bersenang-senang. Betapa ini nasib baik! Kami baru tiba di pelaburan Cair Paravel pagi kemarin dan yang pertama bertemu kami adalah Chervy sang Rusa Jantan dengan semua kabar tentang penyerangan ke Anvard. Apakah menurutmu--"
"Siapa teman Yang Mulia"" tanya Raja
Edmund, yang baru saja turun dari kudanya.
"Tidakkah kau bisa melihatnya, Sire"" kata Corin. "Dia kembaranku: anak laki-laki yang kaukira aku di Tashbaan."
"Astaga, dia memang benar-benar mirip denganmu," seru Ratu Lucy. "Kalian seperti saudara kembar. Ini menakjubkan sekali."
"Aku mohon, yang Mulia," kata Shasta kepada Raja Edmund, "aku bukanlah pengkhianat, sungguh. Dan aku tidak sengaja mendengar rencan kalian. Tapi aku tidak pernah bermimpi akan membocorkannya pada musuh-musuh Anda.
" "Sekarang aku tahu kau bukan pengkhianat, Nak," kata Raja Edmund, meletakkan tangannya di kepala Shasta. "Tapi jika kau memang tidak mau dianggap begitu, lain kali upayakan kau tidak mendengar apa-apa yang dimaksud kan untuk telinga orang lain. Tapi semua tak menjadi masalah lagi."
Setelah itu terjadi begitu banyak kehebohan, percakapan, kedatangan, juga kepergian sehingga selama beberapa menit Shasta kehilangan Corin, Edmund, dan Lucy. Tapi Corin sejenis anak yang kita bisa yakin akan segera kita tahu keberadaannya, dan tidaklah butuh waktu lama sebelum Shasta mendengar Raja Edmund berkata dengan suara keras:
"Demi surai singa, Pangeran, ini keterlaluan! Apakah Yang Mulia tidak akan bersikap lebih baik lagi" Mengaturmu lebih merepotkan daripada mengatur seluruh pasukan kita! Lebih baik aku memimpin satu resimen langau kerbau daripada harus berurusan denganmu."
Shasta menyusup di antara kerumunan, dan di barisan depan dia melihat Edmund, yang memang tampak sangat marah, Corin sendiri tampak sedikit malu, dan dwarf asing duduk di tanah menampilkan ekspresi sebal. Dua faun tampaknya baru saja membantunya melepas baju zirah.
"Kalau saja aku membawa rasa belas kasihku," Ratu Lucy berkata, "aku bisa segera membereskan ini. Tapi Raja Agung telah memerintahku dengan tegas untuk tidak membawanya ke dalam peperangan dan hanya menyimpannya untuk kasus yang teramat khusus!"
Inilah yang telah terjadi. Segera setelah Corin berbincang-bincang dengan Shasta, siku Corin ditarik dwarf bernama Thornbut yang merupakan anggota pasukan.
"Ada apa, Thornbut"" Corin bertanya.
"Yang Mulia," kata Thornbut, menariknya ke samping, "perjalanan kita hari ini akan membawa kita melintasi jalan perbukitan dan tepat menuju istana agung ayah Yang Mulia. Kita mungkin akan terlibat dalam peperangan sebelum malam tiba."
"Aku tahu," kata Corin. "Bukankah ini menyenangkan""
"Menyenangkan ataupun tidak," kata Thornbut, "aku punya perintah tegas dari Raja Edmund untuk memastikan Yang Mulia tidak terjun ke dalamnya. Yang Mulia akan diizinkan menyaksikannya, dan itu ancaman yang sudah cukup besar untuk usia Yang Mulia yang masih begitu muda."
"Oh, omong kosong!" lontar Corin. "Tentu saja aku akan ikut berperang. Bahkan Ratu Lucy akan bergabung dalam pasukan pemanah."
"Yang Mulia Ratu boleh melakukan apa pun yang dia inginkan," kata Thornbut. "Tapi Anda merupakan tanggung jawabku. Apakah aku harus mendapatkan janji agung selayaknya pangeran dari Yang Mulia bahwa Anda akan tetap menjaga kuda poni Yang Mulia di samping kudaku--bahkan tidak setengah leher pun lebih maju--sampai aku memberi izin kepada Yang Mulia untuk pergi: atau pilihan lain--ini sesuai kata-kata sang raja--kita harus pergi dengan pergelangan tangan terikat satu sama lain seperti dua tawanan."
"Aku akan meninjumu bila kau mencoba mengikatku," kata Corm.
"Aku ingin melihat Yang Mulia melakukannya," kata si dwarf.
Kata-kata itu sudah cukup bagi anak seperti Corin dan sedetik kemudian dia dan si dwarf beradu jotos. Perkelahian itu mungkin akan seri karena walaupun Corin memiliki lengan yang lebih panjang dan tubuh yang lebih tinggi, si dwarf sudah lebih tua dan tangguh. Tapi perkelahian itu tidak diteruskan hingga akhir (walau perkelahian ini perkelahian paling seru pada sisi bukit yang kasar). Akibat nasib buruk, Thornbut tergelincir batu, terjatuh, dan mendarat dengan hidungnya, dan mendapati pergelangan kakinya terkilir ketika dia berusaha bangkit, keseleo yang amat parah sehingga Thornbut tidak akan bisa berjalan ataupun berkuda setidaknya selama dua minggu.
"Lihat apa yang telah Yang Mulia lakukan," kata Raja Edmund. "Membuat kita kehilangan pejuang tangguh saat kita menyongsong pertempuran.
"Aku akan menggantikan tempatnya, Sire," kata Corin.
"Hah," kata Edmund. "Tidak ada yang meragukan keberanianmu. Tapi anak lelaki dalam pertempuran hanya akan menjadi ancaman bagi pihaknya sendiri."
Pada saat itu sang raja dipanggil pergi untuk mengurusi sesuatu yang lain, dan Corin, setelah meminta maaf secara kesatria kepada si dwarf, berlari menghampiri Shasta dan berbisik:
"Cepat! Ki ni ada kuda poni tersisa, juga baju zirah si dwarf. Lekas pakai sebelum ada yang memerhatikan."
"Untuk apa"" tanya Shasta.
"Yah, tentu supaya kau dan aku bisa ikut berperang dalam pertempuran! Tidakkah kau ingin bergabung""
"Oh--ah, ya, tentu saja," kata Shasta. Tapi dia bahkan belum mulai memikirkan itu sama sekali, lalu dia mulai merasakan tusukan-tusukan tidak menyenangkan di tulang punggungnya.
"Betul begitu," kata Corin. "Kenakan dari kepalamu. Sekarang sabuk pedangnya. Tapi kita harus berkuda di dekat barisan belakang dan tetap menjaga supaya kita tak bersuara. Begitu pertempuran dimulai, semua orang akan terlalu sibuk untuk memerhatikan kehadiran kita."
BAB TIGA BELAS Pertempuran di Anvard SEKITAR pukul sebelas, seluruh pasukan sekali lagi mulai berjalan, berkuda ke arah barat dengan pegunungan di sebelah kiri mereka. Corin dan Shasta berkuda tepat di belakang barisan dengan pasukan raksasa langsung di depan mereka. Lucy, Edmund, dan Peridan sibuk dengan rencana peperangan walaupun Lucy sempat berkata, "Tapi di mana Yang Mulia Pangeran"" Edmund hanya menjawab, "Dia tidak ada di depan, dan itu kabar yang cukup baik. Biarkan saja tetap begitu."
Shasta memberitahu Corin sebagian besar petualangannya dan menjelaskan bahwa dia mempelajari seluruh kemampuan berkudanya dari seekor kuda dan tidak benar-benar tahu cara menggunakan tali kekang. Corin menunjukkan caranya, selain bercerita tentang pelayaran rahasia mereka dari Tashbaan.
"Lalu di mana Ratu Susan""
"Di Cair Paravel," kata Corin. "Dia tidak seperti Ratu Lucy, kalau kau ingin tahu, yang selihai pria, atau dalam taraf apa pun selihai pemuda. Ratu Susan lebih seperti wanita dewasa biasa. Dia tidak berkuda menuju peperangan, walaupun dia pemanah yang hebat."
Jalan setapak di sisi bukit yang mereka lewati kian menyempit sejalan dengan berlalunya waktu, dan jurang di sebelah kanan mereka menjadi kian curam. Akhirnya mereka berjalan dalam satu barisan sepanjang tepi tebing dan tubuh Shasta gemetar mengingat dia telah melakukan hal yang sama kemarin malam tanpa menyadarinya. Tapi tentu saja, dia berpikir, aku cukup aman. Itu sebabnya sang singa berjalan di sebelah kiriku. Dia berada di antara diriku dan pinggir jurang sepanjang waktu.
Kemudian jalan setapak membelok ke kiri dan mengarah ke selatan menjauhi tebing, lalu tampak hutan lebat di kedua sisinya. Mereka pun mendaki jalan yang curam itu hingga ke jalan perbukitan. Sebenarnya akan terpampang pemandangan yang indah dari puncak jalan tersebut kalau saja daerah itu berupa dataran terbuka, namun di antara semua pohon itu kau tidak bisa melihat apa pun--hanya saja, sesekali, tampak beberapa tebing batu besar di balik pucuk pepohonan, dan seekor atau dua ekor elang terbang berputar di langit biru.
"Mereka mencium pertempuran," kata Corin, menunjuk ke kedua burung tersebut. "Mereka tahu kita sedang menyiapkan santapan bagi mereka."
Shasta sama sekali tidak menyukai ini.
Ketika telah menyeberangi leher jalan perbukitan dan mencapai bagian yang lebih rendah, mereka tiba di daratan yang lebih terbuka dan dari sini Shasta dapat melihat seluruh Archenland, biru dan berkabut, terbentang di bawahnya dan bahkan (menurutnya) sedikit pemandangan padang pasir di baliknya. Tapi matahari, yang mungkin masih memiliki dua jam atau lebih untuk bertengger di langit sebelum terbenam, menghalangi pandangannya dan dia tidak bisa melihat jelas.
Di sini pasukan berhenti dan berpencar membentuk barisan, dan terjadilah berbagai pengaturan. Sekelompok Hewan yang Bisa Berbicara yang tampak sangat mengancam-Shasta tadinya tidak menyadari keberadaan mereka--dan sebagian besar terdiri atas spesies kucing (macan tutul, macan kumbang, dan semacamnya) melangkah maju dan meraung mengambil posisi di sebelah kiri pasukan.
Para raksasa diperintahkan mengambil posisi di kanan barisan, dan sebelum pergi ke posisi masing-masing, mereka menurunkan sesuatu yang telah mereka bawa di punggung dan duduk sebentar. Shasta lalu melihat sesuatu yang telah mereka bawa-bawa dan kini mereka kenakan itu ternyata sepasang sepatu bot: bot mengerikan, berat,
dan berpaku yang menutupi hingga lutut. Kemudian mereka menyampirkan gada besar mereka ke bahu dan berbaris mengambil posisi.
Pasukan pemanah, bersama Ratu Lucy, mundur ke belakang barisan dan kau bisa melihat awalnya mereka melengkungkan busur lalu mendengar toing-toing ketika mereka mengetes tali busur. Dan ke mana pun memandang, kau bisa melihat orang-orang mengencangkan sabuk, mengenakan topi baja, menghunus pedang, dan melemparkan jubah ke tanah. Kini nyaris tidak ada yang bicara. Suasana terasa sangat serius dan menegangkan. Aku sudah terlibat sekarang--aku benar-benar sudah terlibat sekarang, pikir Shasta. Kemudian terdengar suara-suara jauh di depan: suara banyak pria berteriak dan suara entakan duk-duk-duk yang terus-menerus.
"Alat pendobrak gerbang," bisik Corin. "Mereka menggedor-gedor gerbang."
Bahkan Corin kini tampak sangat serius.
"Kenapa Raja Edmund belum juga maju"" tanyanya. "Aku tidak tahan menunggu lebih lama lagi. Udara pun semakin dingin."
Shasta mengangguk: berharap dia tidak tampak setakut yang dirasakannya.
Akhirnya terdengar suara terompet! Pasukan bergerak--kini berlari kecil--panji berkibar ditiup angin. Mereka kini mencapai puncak dataran tinggi yang rendah, dan di bawah mereka seluruh keadaan mendadak terlihat jelas: istana kecil bermenara banyak dengan gerbang menghadap mereka. Sayangnya tidak berparit, tapi tentu saja gerbang itu tertutup dan kerangkeng besinya diturunkan. Pada dinding-dinding, mereka bisa melihat, seperti titik-titik putih kecil, wajah-wajah pasukan pertahanan. Di bawah, sekitar lima puluh orang Calormen, yang telah turun dari kuda, terus-menerus membenturkan batang pohon ke gerbang. Tapi pemandangan segera berubah.
Pasukan utama Rabadash mulai berjalan kaki dan siap menyerang gerbang. Tapi kini mereka telah melihat pasukan Narnia turun menyerbu dari dataran tinggi. Tidak perlu diragukan betapa terlatihnya orang-orang Calormen itu. Sepertinya baru sedetik berlalu ketika Shasta melihat seluruh barisan musuh sudah naik kembali ke punggung kuda, berputar untuk menghadapi mereka, mengalihkan penyerbuan ke arah mereka.
Dan kini mereka berpacu. Jarak di antara dua pasukan setiap saat kian berkurang. Lebih cepat, lebih cepat lagi. Semua pedang kini sudah terhunus, semua perisai diangkat hingga ke hidung, semua doa diucapkan, semua geligi dikatupkan. Shasta sangat ketakutan. Tapi mendadak timbul pemikiran di benaknya, kalau kau menggagalkan ini, kau akan menggagalkan semua pertempuran dalam hidupmu. Sekarang atau tidak sama sekali.
Tapi ketika akhirnya dua barisan bertemu dia punya sedikit bayangan akan apa yang kemudian terjadi. Terjadi kebingungan yang mengerikan dan terdengar suara penuh teror. Pedangnya segera terlempar dari tangannya tak lama setelah itu. Dan entah bagaimana tali kekangnya terbelit-belit. Lalu dia mendapati dirinya merosot turun. Kemudian tombak datang menerjang ke arahnya dan ketika merunduk untuk menghindari tusukan, dia sekaligus berputar dan turun dari kuda, membenturkan buku-buku jemari kirinya keras sekali ke baju zirah seseorang, kemudian-
Tapi tidak ada gunanya menggambarkan pertempuran itu dari sudut pandang Shasta. Secara umum dia hanya memahami sedikit tentang perang itu dan bahkan perannya sendiri di dalamnya. Cara terbaik yang bisa kulakukan untuk memberitahumu apa yang sebenarnya terjadi adalah dengan membawamu pergi sejauh beberapa mil, ke tempat Pertapa Perbatasan Selatan duduk memandang ke dalam kolam bepermukaan tenang di bawah pohon yang cabangnya terbentang panjang, bersama Bree, Hwin, dan Aravis di sampingnya.
Karena melalui kolam inilah sang pertapa mendapatkan penglihatan ketika dia ingin mengetahui apa yang terjadi di dunia di luar dinding hijau pertapaannya. Di sana, seperti pada cermin, dia bisa melihat pada waktu-waktu tertentu, apa yang terjadi di berbagai jalan kota-kota yang letaknya lebih jauh ke selatan daripada Tashbaan, atau kapal-kapal apa yang berlabuh di Redhaven di Seven Isles yang terletak di pedalaman, atau perampok-perampok apa atau makhluk buas apa yang membuat kericuhan di hutan-hutan lebat negeri Barat d
i antara Lantern Waste dan Telmar. Dan sepanjang hari ini dia nyaris tidak meninggalkan kolamnya, bahkan untuk makan dan minum, karena dia tahu peristiwa-peristiwa besar sedang berlangsung di Archenland. Aravis dan kedua kuda juga ikut memandang ke dalam kolam. Mereka bisa melihat bahwa kolam itu kolam ajaib: bukannya menampilkan bayangan pohon dan langit, kolam itu menunjukkan sosok-sosok samar dan berwarna yang bergerak, selalu bergerak, dari kedalamannya. Tapi mereka tidak bisa melihat apa pun dengan jelas. Namun pertapa itu bisa melihat jelas dan sesekali dia memberitahu mereka apa yang dia lihat. Beberapa saat sebelum Shasta berkuda menyambut pertempuran pertamanya, sang pertapa mulai berbicara seperti ini:
"Aku melihat satu--dua--tiga elang terbang berputar di celah dekat Stormness Head. Salah satunya merupakan elang yang tertua di antara bangsanya. Dia tidak akan keluar kecuali peperangan berada di depan mata. Aku melihatnya terbang berputar-putar, terkadang melihat ke bawah ke Anvard dan terkadang ke arah timur, ke balik Stormness.
"Ah--aku melihat sekarang apa yang telah menyibukkan Rabadash dan pasukannya sepanjang hari ini. Mereka telah menebang dan memotongi pohon besar dan mereka kini berjalan keluar dari hutan membawanya sebagai alat pendobrak. Mereka telah mempelajari sesuatu dari kegagalan penyerangan terakhir kemarin malam. Dia akan lebih bijaksana bila dia memerintah prajurit-prajuritnya membuat tangga: tapi tindakan itu akan memakan waktu lebih lama dan dia tidak sabar lagi. Dia memang bodoh! Dia seharusnya berkuda pulang ke Tashbaan segera setelah penyerangan pertamanya gagal, karena seluruh rencananya bergantung pada kecepatan dan elemen kejutan.
"Kini mereka memosisikan alat pendobrak mereka. Pasukan Raja Lune berteriak keras dari atas dinding. Rabadash kini mengeluarkan perintah-perintahnya. Bersamanya tampak para bangsawan paling terpercayanya, pejuang-pejuang Tarkaan tangguh dari provinsi-provmsi timur. Aku bisa melihat wajah mereka. Itu Corradin dari Istana Tormunt, Azrooh, Chlamash, Ilgamuth si bibir sumbing, dan Tarkaan tinggi dengan janggut kemerahan--"
"Demi Surai Agung, itu majikan lamaku Anradin!" kata Bree.
"Sstt," kata Aravis.
"Kini pendobrakan dimulai. Kalau aku bisa mendengar sejelas aku melihat, betapa keras suara yang dihasilkannya! Gedoran demi gedoran: dan tidak ada gerbang yang akan bisa bertahan selamanya. Tapi tunggu! Sesuatu di atas Stormness telah menakuti burung-burung. Mereka datang dalam rombongan besar. Dan tunggu sebentar lagi... aku belum bisa melihatnya... ah! Kini tampak. Seluruh punggung bukit, tinggi di Timur, tampak hitam tertutupi pasukan berkuda. Kalau saja angin dapat menangkap tiang bendera yang mereka bawa dan mengibarkan benderanya. Mereka kini berada di puncak dataran tinggi, siapa pun mereka. Aha! Aku telah melihat panji mereka. Narnia, Narnia! Itu sang singa merah. Kini mereka bergerak dengan kecepatan penuh menuruni bukit. Aku bisa melihat Raja Edmund. Ada wanita di belakang di antara para pemanah. Oh!--"
"Ada apa"" tanya Hwin menahan napas. "Semua Kucing berlari keluar dari bagian kiri barisan."
"Kucing"" tanya Aravis.
"Kucing-kucing besar, macan tutul dan sejenisnya," kata sang pertapa tidak sabar. "Ah, begitu rupanya. Pasukan Kucing menyerbu dan membuat lingkaran, mengelilingi kuda-kuda para prajurit yang telah berjalan kaki. Serangan jitu. Kuda-kuda Calormen sudah terlebih dahulu ketakutan. Kim pasukan Kucing itu berada di antara mereka. Tapi Rabadash telah mengatur ulang barisannya dan punya seratus prajurit berkuda. Mereka berpacu untuk menghadapi pasukan Narnia. Saat ini hanya ada jarak sekitar dua ratus meter di antara dua barisan. Sekarang hanya lima puluh. Aku bisa melihat Raja Edmund, aku bisa melihat Lord Peridan. Ada dua anak biasa dalam barisan pasukan Narnia. Kenapa sang raja memperbolehkan mereka ikut dalam peperangan" Tinggal sepuluh meter lagi--barisan kedua pihak akhirnya bertemu. Para raksasa pada barisan kanan pasukan Narnia melakukan serangan-serangan menakjubkan... tapi ada satu yang tumbang.., tertembak matanya, kurasa. Bag
ian tengah begitu ricuh dan membingungkan. Aku bisa melihat lebih jelas di bagian kiri. Itu dia dua anak lelaki itu lagi. Demi sang singa! Salah satunya Pangeran Corin. Anak yang satunya lagi, begitu mirip dengannya seperti dua kacang polong. Itu Shasta kecil kalian. Corin bertarung seperti pria dewasa. Dia telah membunuh seorang Calormen. Aku bisa melihat bagian tengah sedikit sekarang. Rabadash dan Edmund juga hampir bertemu sekarang, tapi mereka kembali berpisah karena terdorong pasukan--"
"Bagaimana dengan Shasta"" tanya Aravis.
"Oh, anak bodoh itu!" erang sang pertapa. "Anak kecil bodoh malang yang berani itu. Dia tidak tahu apa-apa tentang ini. Dia sama sekali tidak menggunakan perisainya. Seluruh sisi tubuhnya terbuka lebar. Dia sama sekali tidak punya bayangan bagaimana menggunakan pedangnya. Oh, sekarang dia sudah mengingatnya. Dia mengayunkannya sembarangan... nyaris memancung kepala kuda poninya sendiri, dan dia akan melakukan itu sebentar lagi bila tidak berhati-hati. Pedang itu kini terlempar dari tangannya. Mengirim anak ke pertempuran sama saja dengan sekadar pembunuhan, dia tidak akan bertahan hidup bahkan selama lima menit. Tiarap, bodoh--oh, dia terjatuh."
"Terbunuh"" tanya tiga suara menahan napas.
"Bagaimana aku bisa tahu"" kata sang pertapa. "Para Kucing telah menuntaskan tugas mereka. Kini semua kuda tidak berpenunggang telah mati atau melarikan diri: tidak mungkin pasukan Calormen bisa kembali mengendarai mereka. Kini para Kucing berbalik ke pertarungan utama. Mereka menerkam para prajurit pendobrak gerbang. Alat pendobrak terjatuh. Oh, bagus! Bagus! Gerbang kini terbuka dari dalam: akan ada penyerbuan.
"Tiga orang pertama keluar. Itu Raja Lune di tengah: saudara-saudaranya Dar dan Darrin di kedua sisinya. Di belakang mereka Tran, Shar, Cole, dan saudaranya Colin. Ada sepuluhdua puluh--nyaris tiga puluh prajurit yang telah keluar sekarang. Barisan Calormen terdorong ke belakang oleh mereka. Raja Edmund melakukan serangan-serangan luar biasa. Dia baru saja memotong kepala Corradin. Banyak di antara orang Calormen telah melemparkan senjata dan berlari menuju hutan. Pasukan yang tersisa sangat terdesak. Para raksasa mengepung dari sebelah kanan--pasukan Kucing dari sebelah kiri--Raja Lune dari belakang mereka. Pasukan Calormen kini tinggal sedikit, bertarung dengan saling memunggungi.
"Tarkaan-mu tumbang, Bree. Lune dan Azrooh bertarung langsung, sang raja tampaknya berada di atas angin--sang raja menguasai pertarungan--sang raja telah menang. Azrooh tumbang. Raja Edmund terjatuh--tidak, dia bangkit lagi: dia bertarung dengan Rabadash. Mereka bertarung tepat di depan gerbang istana. Beberapa Calormen telah menyerah. Darrin telah membunuh Ilgamuth. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi pada Rabadash. Kurasa dia sudah mati, dia bersandar di dinding istana, tapi entahlah. Chlamash dan Raja Edmund masih bertarung tapi pertempuran telah berakhir di tempat-tempat lain. Chlamash menyerah. Pertempuran sudah berakhir. Pasukan Calormen sama sekali dikalahkan."
Ketika Shasta terjatuh dari kudanya dia telah memasrahkan nyawanya. Tapi kuda-kuda, bahkan dalam pertempuran, lebih cenderung tidak akan menginjak-injak manusia seperti yang bakal kaubayangkan. Setelah sekitar sepuluh menit atau lebih yang amat mengerikan, Shasta mendadak menyadari tidak ada lagi kuda-kuda yang mengentak-entak di sekitarnya dan bahwa suara (karena masih terdengar suara-suara keras di beberapa tempat) tidaklah berasal dan pertempuran. Dia duduk tegak dan memandang ke sekelilingnya. Bahkan dia, dengan pengeahuannya yang minim tentang, bisa segera melihat pihak Archenland dan Narnia telah menang. Para orang Calormen yang masih hidup yang kini bisa dilihatnya hanyalah para tawanan.
Gerbang-gerbang istana terbuka lebar, dan Raja Lune juga Raja Edmund sedang berjabat tangan di atas alat pendobrak gerbang. Dari lingkaran para bangsawan dan pejuang di sekeliling mereka, terdengar suara yang penuh napas terengah-engah dan penuh semangat, tapi jelas-jelas ceria. Kemudian, mendadak, semua percakapan itu bersatu dan membengkak menjadi pekik
an keras tawa. Shasta bangkit, merasa tubuhnya kaku luar biasa, dan berlari menghampiri suara tawa keras itu untuk melihat apa yang menjadi penyebabnya. Pemandangan yang sangat menarik tertangkap matanya. Rabadash yang sangat malang tampak tergantung di dinding istana. Kedua kakinya, yang berada sekitar setengah meter dari tanah, menendang-nendang liar.
Baju rantai besinya entah bagaimana tersangkut sehingga tertarik ketat di bagian bawah lengannya dan setengah menutupi wajahnya. Bahkan dia tampak seperti pria yang tertangkap basah sedang berusaha mengenakan baju ketat yang terlalu kecil untuknya. Sejauh yang bisa diketahui setelahnya (dan kau bisa yakin kisah ini diceritakan berulang kali selama beberapa hari) beginilah kejadian sebenarnya.
Pada awal pertempuran salah satu raksasa telah gagal menginjak Rabadash dengan bot berpakunya: gagal karena dia tidak berhasil meremukkan sang pangeran, padahal itulah maksud tindakannya, tapi tidak sepenuhnya tidak berguna karena salah satu paku sepatu botnya merobek jalinan rantai baju besi Rabadash, seperti kau ataupun aku merobek baju biasa. Jadi ada lubang di bagian belakang baju perang Rabadash saat dia berhadapan dengan Edmund di gerbang. Dan ketika Edmund mendesaknya lebih dekat dan lebih dekat lagi ke dinding, dia melompat ke atas batang kayu yang lebih tinggi dan berdiri di sana, menghujani Edmund dengan ayunan pedang dari atas. Tapi kemudian, dia mendapati posisi ini telah membuat dirinya lebih tinggi daripada orang lain dan menjadikannya target setiap panah dari busur-busur Narnia, sehingga dia memutuskan untuk melompat turun lagi.
Dia bermaksud untuk kelihatan dan kedengaran--tak diragukan barang sedetik pun dia memang kelihatan dan kedengaran--sangat agung dan mengancam saat melompat dan berteriak, "Petir Tash akan menyambarmu dari langit." Tapi dia harus melompat ke samping karena kerumunan di depannya tidak menyisakan tempat mendarat. Lalu, dengan cara yang paling tepat yang bisa kaubayangkan, sobekan di belakang baju perangnya tersangkut pengait di dinding. (Dahulu sekali pengait ini bercincin untuk tempat mengikat kuda.) Dan di sana Rabadash mendapati dirinya, seperti selembar cucian yang digantung untuk dikeringkan, dengan semua orang menertawakannya.
"Turunkan aku, Edmund," lolong Rabadash. "Turunkan aku dan bertarunglah denganku seperti seorang raja dan pria, atau jika kau terlalu pengecut untuk melakukan itu, segera bunuhlah aku."
"Baiklah," mulai Raja Edmund, tapi Raja Lune menghentikan ini.
"Demi nama baik Yang Mulia," kata Raja Lune kepada Edmund. "Jangan diteruskan." Kemudian dia menoleh ke Rabadash dan berkata, "Yang Mulia Pangeran, kalau kau telah melemparkan tantangan itu seminggu lalu, aku akan menjawabnya karena tidak ada satu pun rakyat yang berada di bawah kekuasaan Raja Edmund, dari raja agung hingga Tikus yang Bisa Berbicara terkecil pun, yang akan menampiknya. Tapi Jengan menyerang istana Anvard kami di saat damai tanpa mengirimkan peringatan, kau telah membuktikan diri bukanlah kesatria, tapi pengkhianat, dan kami lebih baik dicambuk algojo daripada harus menderita beradu pedang dengan orang yang punya kehormatan seperti itu. Turunkan dia, ikat, dan bawa dia ke dalam sehingga kebahagiaan kita diketahui semua orang."
Tangan-tangan kuat merampas pedang Rabadash dan pangeran itu dibawa masuk ke istana, berteriak-teriak, mengancam, mengutuk, dan bahkan menangis. Karena walaupun mampu menghadapi siksaan, dia tidak tahan menjadi bahan tertawaan. Di Tashbaan semua orang selalu memerhatikannya secara serius.
Pada saat itu Corin berlari mendekati Shasta, meraih tangannya dan mulai menariknya menghadap Raja Lune. "Ini dia, Ayah, ini dia," teriak Corin.
"Ya, dan di sini rupanya kau, akhirnya," kata sang raja dengan suara yang sangat galak. "Dan kau ikut bertempur, jelas-jelas menentang perintahku. Anak yang menghancurkan hati ayahnya! Di usiamu, kau lebih pantas memegang batang kayu breech daripada pedang itu, hah!" Tapi semua orang, termasuk Corin, bisa melihat sang raja sangat bangga padanya.
"Jangan lagi marahi dia, Sire, jika Anda berkenan," k
ata Lord Darrin. "Yang Mulia tidak akan menjadi putra Paduka bila dia tidak mewariskan sifat-sifat Paduka. Akan lebih menyakitkan bagi Yang Mulia bila dia harus dimarahi karena keadaan sebaliknya."
"Yah, yah," gerutu sang raja. "Kejadian ini akan dilupakan untuk kali ini. Dan sekarang--"
Yang terjadi selanjutnya lebih mengejutkan Shasta daripada apa pun yang pernah dialaminya sepanjang hidupnya.
Dia mendapati dirinya mendadak dipeluk erat hingga tubuhnya terangkat oleh Raja Lune dan kedua pipinya dicium. Kemudian sang raja menurunkannya dan berkata, "Berdirilah berdampingan di sini, anak-anak, dan biarkan seluruh kerajaan melihat kalian. Angkatlah kepala kalian. Sekarang, saudara-saudara, lihatlah mereka berdua. Apakah masih ada yang ragu""
Dan Shasta tetap tidak mengerti kenapa kini semua orang memandang lekat dirinya dan Corin, ataupun apa yang menyebabkan semua sorakan gembira yang kini diperdengarkan.
BAB EMPAT BELAS Ketika Bree Menjadi Kuda yang Lebih Bijak
KINI kita harus kembali ke Aravis dan kedua kuda. Sang pertapa, masih mengawasi kolamnya, kini bisa memberitahu mereka Shasta tidaklah terbunuh atau bahkan terluka parah, karena dia melihat anak itu berdiri dan melihat betapa dia disambut penuh kasih sayang oleh Raja Lune. Tapi karena dia hanya bisa melihat, tanpa mampu mendengar, dia tidak tahu apa yang sedang diutarakan semua orang dan, setelah peperangan berakhir dan percakapan dimulai, tidak ada gunanya terus melihat dari kolam.
Keesokan paginya, sementara sang pertapa berada di dalam pertapaan, ketiga pengelana mendiskusikan langkah apa yang harus diambil selanjutnya.
"Aku sudah muak dengan semua ini," kata Hwin. "Sang pertapa telah begitu baik kepada kita dan aku berutang banyak padanya, aku yakin itu. Tapi aku mulai segemuk kuda poni piaraan, makan setiap hari dan tidak berolahraga sama sekali. Ayo kita pergi ke Narnia."
"Oh, tidak hari ini, Ma'am," kata Bree. "Aku tidak akan terburu-buru. Mungkin di hari lain, bagaimana menurutmu""
"Kita harus menemui Shasta dulu dan berpamitan dengannya--juga--meminta maaf," kata Aravis.
"Tepat sekali!" kata Bree dengan antusiasme tinggi. "Tepat seperti yang akan kukatakan."
"Oh, tentu saja," kata Hwin. "Kurasa dia ada di Anvard. Tentu saja kita akan menjenguknya dan berpamitan. Tapi itu searah dengan perjalanan kita. Jadi kenapa kita tidak segera berangkat saja" Lagi pula, bukankah kita semua ingin pergi ke Narnia""
"Kurasa memang begitu," kata Aravis. Dia mulai bertanya-tanya apa tepatnya akan dia lakukan sesampainya di sana, dan merasa agak kesepian.
"Tentu, tentu," kata Bree cepat-cepat. "Tapi tidak perlu terburu-buru, kalau kalian mengerti maksudku."
"Tidak, aku tidak mengerti maksudmu," kata Hwin. "Kenapa kau belum mau pergi""
"M-m-m, broo-hoo," gumam Bree. "Yah, tidakkah kaulihat, Ma'am--ini kejadian penting--untuk pulang ke negeri asal--memasuki masyarakatnya lagi--masyarakat yang terbaik--sangatlah penting untuk memberikan kesan yang baik--saat ini kita belum tampak seperti diri kita yang biasa, ya kan""
Tawa kuda Hwin pecah. "Ekormu, Bree! Aku mengerti sekarang. Kau mau menunggu sampai ekormu tumbuh lagi! Dan kita bahkan tidak tahu apakah ekor dibiarkan panjang di Narnia. Sungguh, Bree, kau sepongah Tarkheena di Tashbaan itu!"
"Kau memang konyol, Bree," kata Aravis.
"Demi surai singa, Tarkheena, aku sama sekali tidak seperti itu," kata Bree penuh harga diri. "Aku hanya punya rasa hormat yang tinggi pada diriku sendiri dan bangsaku sesama Kuda, itu saja."
"Bree," kata Aravis, yang nyaris tidak tertarik pada potongan ekor Bree, "sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padamu sejak lama. Kenapa kau selalu bersumpah Demi singa dan Demi surai singa" Kukira kau benci singa."
"Dan memang begitu," jawab Bree. "Tapi ketika aku menyebut sang singa, tentu saja yang kumaksudkan adalah Aslan, pembangkit Narnia dan yang mengusir pergi sang penyihir serta musim dingin. Semua rakyat Narnia bersumpah deminya."
"Tapi dia singa""
"Bukan, bukan, tentu saja bukan," kata Bree dengan suara yang agak terpukul.
"Semua kisah tentangnya di Tashbaan menceritakan bahwa
dia singa," ucap Aravis.
"Lagi pula kalau dia bukan singa kenapa kau menyebutnya singa""
"Yah, kau tidak akan benar-benar memahami masalah ini dengan usia mudamu," kata Bree. "Dan karena aku juga masih kecil ketika pergi meninggalkan Narnia, aku sendiri sesungguhnya juga tidak benar-benar mengerti masalah ini"
(Bree sedang berdiri memunggungi dinding hijau ketika mengatakan ini, sementara Aravis dan Hwin berdiri menghadapnya. Kuda itu berbicara dengan nada yang agak angkuh dan matanya separo terpejam, itulah sebabnya dia tidak melihat perubahan pada ekspresi wajah Hwin dan Aravis. Mereka punya alasan kuat untuk ternganga dan membelalakkan mata, karena sementara Bree berbicara, mereka melihat singa besar melompat dari luar dan mengambil posisi di atas dinding hijau itu. Hanya saja singa yang ini lebih kuning terang, dan lebih besar, menakjubkan, sekaligus mengancam dan pada singa mana pun yang pernah mereka lihat. Lalu sang singa segera melompat ke bawah ke dalam dinding dan mulai mendekati Bree dari belakang. Hewan itu sama sekali tidak bersuara. Dan Hwin serta Aravis juga tidak bisa bersuara, mereka membeku. )
"Tidak perlu diragukan," Bree melanjutkan, "ketika mereka menyebutnya sebagai singa, mereka hanya bermaksud dia sekuat singa atau (bagi musuhnya tentu saja) semengerikan singa. Atau sesuatu seperti itu. Bahkan gadis kecil sepertimu, Aravis, seharusnya bisa melihat bahwa sangatlah konyol menganggapnya singa sungguhan. Tentu saja itu seperti merendahkan. Kalau dia memang singa berarti dia harus berupa hewan liar seperti kita. Tidak mungkin!" (dan saat ini Bree mulai tertawa) "Kalau dia memang singa dia akan punya empat cakar, ekor, dan kumis! ...Aie, ooh, hoo-hoo! Tolong!"
Karena tepat saat dia mengucapkan kata kumis, salah satu kumis Aslan benar-benar menggelitiki telinganya. Bree terlonjak seperti panah ke sisi lain area itu lalu berbalik di sana, dinding itu terlalu tinggi untuk dilompatinya dan dia tidak bisa pergi lebih jauh lagi. Aravis dan Hwin sama-sama mulai mundur. Kesunyian mencekam berlangsung sesaat.
Kemudian Hwin, walaupun seluruh tubuhnya gemetaran, menyuarakan ringkikan pelan yang aneh, dan berlari kecil menghampiri sang singa.
"Aku mohon," katanya, "kau begitu menakjubkan. Kau boleh memakanku jika kau mau. Lebih baik aku disantap olehmu daripada yang lain."
"Putriku tersayang," kata Aslan, menurunkan mulut dan mencium hidung Hwin yang gemetar dan lembut, "aku tahu kau tidak akan menunda mendekatiku. Kebahagiaan akan menjadi milikmu."
Kemudian Aslan mendongak dan berbicara dengan suara yang lebih keras:
"Sekarang, Bree," katanya, "Kuda yang angkuh dan malang, kemarilah. Lebih dekat lagi, putraku. Jangan tidak berani untuk bersikap berani. Sentuhlah aku. Enduslah aku. Ini cakarku, ekorku, ini kumisku. Aku hewan liar sungguhan."
"Aslan," kata Bree dengan suara bergetar, "sayangnya aku telah bersikap bodoh."
"Berbahagialah Kuda yang menyadari itu ketika dia masih muda. Begitu juga manusia, Mendekatlah, Aravis putriku. Lihatlah! Cakarku tertutup bulu tebal yang lembut. Kau tidak akan tercabik kali ini."
The Chronicles Of Narnia 4 Kuda Dan Anak Manusia The Horse And His Boy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kali ini, Sir"" tanya Aravis.
"Akulah yang telah melukaimu," kata Aslan. "Akulah satu-satunya singa yang kalian temui di sepanjang perjalanan kalian. Tahukah kau kenapa aku mencakarmu""
"Tidak, Sir." "Goresan-goresan di punggungmu, luka demi luka, nyeri demi nyeri, darah demi darah, sama besarnya dengan luka goresan yang diderita punggung budak ibu tirimu karena obat tidur yang kauberikan kepadanya. Kau perlu tahu bagaimana rasanya."
"Ya, Sir. Lalu--"
"Teruskan, putriku," kata Aslan.
"Apakah dia akan mendapat ancaman lain karena perbuatanku""
"Nak," kata sang singa, "aku hanya memberitahumu kisahmu, bukan kisahnya. Aku tidak menceritakan kisah mana pun kepada siapa pun kecuali yang menjadi miliknya." Kemudian Aslan menggeleng dan berbicara dengan suara yang lebih ringan:
"Berbahagialah, anak-anakku," katanya.
"Kita akan segera bertemu lagi. Tapi sebelum itu kalian akan mendapat tamu lain." Kemudian dalam satu lompatan dia mencapai puncak dinding dan menghilang dari pandangan merek
a. Aneh untuk dikatakan, tapi mereka tidak merasakan keinginan untuk membicarakan Aslan pada satu sama lain setelah singa itu pergi. Mereka semua bergerak lambat ke bagian-bagian berbeda di rumput yang tenang lalu di sana berjalan mondar-mandir, masing-masing sendirian, berpikir.
Sekitar setengah jam kemudian kedua kuda itu dipanggil ke bagian belakang rumah untuk menyantap makanan lezat yang telah dipersiapkan sang pertapa untuk mereka dan Aravis, masih berjalan dan berpikir, dikejutkan suara keras terompet dari luar gerbang.
"Siapa di situ"" tanya Aravis.
"Yang Mulia Pangeran Cor dari Archenland," jawab suara dari luar.
Aravis membuka palang pintu dan melebarkannya, sedikit mundur untuk membiarkan para orang asing itu masuk.
Dua prajurit dengan tongkat berujung tombak dan kapak masuk terlebih dahulu dan mengambil posisi berdiri pada kedua sisi pintu masuk. Kemudian masuklah sang pemberi pengumuman dan si peniup terompet.
"Yang Mulia Pangeran Cor dari Archenland hendak bertemu Lady Aravis," kata si pemberi pengumuman. Kemudian dia dan si peniup terompet menyingkir ke samping dan membungkuk. Para prajurit memberi hormat dan sang pangeran sendiri masuk. Semua pendampingnya mundur keluar dan menutup gerbang di belakangnya.
Sang pangeran membungkuk, bungkukan yang sangat ceroboh bagi seorang pangeran. Aravis membalas membungkuk memberi hormat ala bangsa Calormen (yang tidak seperti cara kita) dan melakukannya dengan sangat baik karena, tentu saja, dia telah diajari cara melakukannya. Kemudian dia mendongak dan melihat seperti apakah sang pangeran itu.
Dia melihat anak lelaki biasa. Dia tidak mengenakan topi tapi rambut pirangnya dikelilingi pita tipis emas, tidak lebih tebal daripada kawat. Tunik atasnya terbuat dari linen putih tipis, seindah sapu tangan, sehingga tunik merah terang di bawahnya langsung terlihat. Tangan kirinya, yang bertengger pada pangkal pedang yang terbuat dari porselen, tampak diperban.
Aravis dua kali melihat wajah sang pangeran sebelum dia terperangah dan berseru, "Astaga! Itu kan Shasta!"
Wajah Shasta langsung merona dan dia mulai berbicara cepat, "Begini, Aravis," katanya, "aku harap kau tidak berpikir aku datang seperti ini (dengan terompet dan segala macam ini) demi membuatmu terkesan atau untuk membuktikan aku berbeda ataupun demi omong kosong sejenisnya. Karena aku jauh lebih ingin datang dengan pakaian lamaku, tapi pakaian-pakaian itu sudah dibakar, dan ayahku berkata--"
"Ayahmu"" tanya Aravis.
"Ternyata Raja Lune ayahku," kata Shasta. "Seharusnya aku sudah bisa menebaknya, karena Corin begitu mirip dengan diriku. Ternyata kami saudara kembar. Oh, dan namaku bukan Shasta, tapi Cor."
"Cor memang nama yang lebih bagus danripada Shasta," kata Aravis.
"Nama saudara biasanya memang seperti itu di Archenland," kata Shasta (atau Pangeran Cor, demikianlah kita harus memanggilnya sekarang). "Seperti Dar dan Darrin, Cole dan Colin, dan seterusnya."
"Shasta--maksudku, Cor," kata Aravis. "Tidak, diamlah dulu. Ada sesuatu yang harus segera kuucapkan. Aku minta maaf karena telah bersikap kasar. Tapi aku sudah berniat mengubah sikapku ini bahkan sebelum aku tahu kau pangeran, sungguh: terutama saat kau berbalik dan menghadapi singa itu."
"Singa itu tidak benar-benar berniat membunuhmu," kata Cor.
"Aku tahu," kata Aravis, mengangguk. Keduanya bergeming dan terdiam sesaat ketika masing-masing menyadari lawan bicaranya sudah tahu tentang Aslan.
Mendadak Aravis teringat pada tangan Cor yang diperban. "Astaga!" dia berteriak. "Aku lupa! Kau sudah ikut bertempur. Apakah itu luka perangmu""
"Hanya goresan," kata Cor, menggunakan nada bicara yang agak seperti bangsawan untuk pertama kalinya. Tapi sedetik kemudian tawanya pecah dan dia berkata, "Kalau kau mau tahu yang sebenarnya, ini sama sekali bukanlah luka yang pantas. Buku-buku jariku hanya terkelupas seperti yang akan dialami setiap orang bodoh yang ceroboh tanpa perlu mendekati pertempuran mana pun."
"Tetap saja, kau berada di dalam peperangan," kata Aravis. "Pastinya itu saat yang menyenangkan."
"Sama sekali tidak seperti yang kubayangk
an," kata Cor. "Tapi Sha--Cor, maksudku--kau belum memberitahuku apa pun tentang Raja Lune dan bagaimana dia bisa tahu siapa dirimu sebenarnya."
"Yah, mari duduk kalau begitu," kata Cor. "Karena ceritanya agak panjang. Dan omong-omong ayahku begitu tegar. Aku akan sama bahagianya--atau nyaris sama--bila mendapati dia ayahku walaupun dia bukan raja. Walaupun pendidikan dan segala yang mengerikan akan segera kualami. Tapi kau mau mendengar ceritanya, ya"
"Yah, Corin dan aku ternyata bersaudara kembar. Dan sekitar seminggu setelah kelahiran kami, tampaknya, mereka membawa kami ke centaurus tua yang bijaksana di Narnia untuk diberkati atau semacamnya. Nah, centaurus ini peramal seperti begitu juga banyak centaurus lain. Mungkin kau belum pernah melihat centaurus" Ada beberapa di antara mereka yang ikut berperang kemarin. Bangsa yang sangat menakjubkan, tapi aku belum bisa bilang aku sudah merasa nyaman bila berada di antara mereka. Astaga, Aravis, kita harus terbiasa dengan banyak hal di Negeri Utara ini."
"Ya, memang," kata Aravis. "Tapi lanjutkan dulu ceritamu."
"Yah, segera setelah dia melihat Corin dan diriku, tampaknya centaurus itu memandangku lekat dan berkata, 'Suatu hari akan datang ketika anak itu menyelamatkan Archenland dan bahaya besar yang akan dialaminya.' Jadi tentu saja ayah dan ibuku sangat bahagia. Tapi ada seseorang yang hadir di sana yang tidak begitu. Pria ini bernama Lord Bar yang waktu itu Penasihat Tinggi ayahku. Dan tampaknya dia telah melakukan sesuatu yang salah--revolusi atau kata sejenis itu--aku tidak terlalu mengerti bagian ini--dan Ayah terpaksa memecatnya. Tapi tidak ada tindakan lain yang ditimpakan kepadanya dan pria ini diperbolehkan tetap tinggal di Archenland. Tapi orang itu pastinya ternyata sangat jahat karena setelah itu terbongkar bahwa Lord Bar telah disuap Tisroc untuk mengirimkan banyak informasi rahasia ke Tashbaan. Jadi segera setelah dia mendengar aku akan menyelamatkan Archenland dari bahaya besar, dia memutuskan aku harus disingkirkan.
"Yah, dia berhasil menculikku (aku tidak tahu persis bagaimana caranya) dan berkuda pergi menyeberangi Winding Arrow menuju pantai. Dia telah menyiapkan segalanya dan sudah tersedia kapal dengan para pendukungnya di sana, menunggu kedatangannya, lalu dia berlayar di lautan sambil membawaku serta. Tapi Ayah mengetahui rencananya, walaupun terlambat, dan berusaha mengejar pengkhianat itu secepat yang dia bisa. Lord Bar sudah berada di tengah lautan ketika Ayah mencapai pantai, tapi belum hilang dari pandangan. Ayah pun bertolak dengan salah satu kapal perangnya dua puluh menit kemudian.
"Pasti saat itu terjadi kejar-mengejar yang menegangkan. Mereka mengejar kapal Bar selama enam hari dan berhadapan dengannya dalam peperangan pada hari ketujuh. Pertempuran laut dahsyat (aku mendengar banyak cerita tentang pertempuran ini kemarin malam) yang berlangsung dari pukul sepuluh pagi hingga terbenamnya matahari. Pihak kami akhirnya berhasil menguasai kapal itu. Tapi aku sudah tidak ada di sana. Lord Bar sendiri terbunuh dalam pertempuran. Tapi salah satu pengikutnya berkata, dini hari di pagi itu, segera setelah melihat dia sudah pasti akan terkalahkan, Bar memberikanku kepada salah satu kesatrianya dan mengirim kami pergi dengan sekoci kapal. Dan sekoci itu tidak pernah terlihat lagi.
"Tentu saja itu sekoci yang sama dengan yang Aslan (dia tampaknya berada di balik semua cerita) dorong ke daratan pada tempat yang tepat supaya Arsheesh menemukanku. Kalau saja aku tahu siapa nama si kesatria, karena dia pasti terus menjagaku tetap hidup walaupun itu berarti membiarkan dirinya sendiri kelaparan."
"Kurasa Aslan akan berkata itu bagian dari kisah orang lain," kata Aravis.
"Aku lupa soal itu," kata Cor.
"Dan kira-kira bagaimana akhir ramalannya"" kata Aravis. "Bahaya besar apa yang harus kauhalau dari Archentand""
"Yah," kata Cor agak canggung, "mereka tampaknya berpikir aku telah melakukannya."
Aravis bertepuk tangan. "Astaga, tentu saja!" dia berkata. "Aku bodoh sekali. Tapi ini sangat hebat! Archenland tidak pernah berada dalam bahaya yang le
bih besar daripada ketika Rabadash menyeberangi Sungai Arrow bersama pasukan dua ratus kudanya. Bayangkan bila kau tidak menyampaikan kabar itu. Tidakkah kau merasa bangga""
"Kurasa aku merasa sedikit takut saat itu," kata Cor.
"Dan kau akan tinggal di Anvard mulai sekarang," kata Aravis agak sedih.
"Oh!" kata Cor. "Aku hampir lupa tujuanku datang ke sini. Ayah ingin kau ikut tinggal bersama kami. Dia bilang sudah lama tidak ada lady tinggal di rumah tangga kerajaan (aku tidak tahu kenapa mereka menyebutnya rumah tangga) sejak Ibu meninggal. Kau mau kan, Aravis" Kau pasti akan menyukai Ayah dan Corin. Mereka tidak seperti aku, mereka telah dibesarkan dengan layak. Kau tidak perlu khawatir mereka akan--"
"Oh, hentikan," kata Aravis, "atau kita akan berkelahi sungguhan. Tentu saja aku mau tinggal di Anvard."
"Kalau begitu ayo kita temui kedua kuda itu sekarang," kata Cor.
Terjadi pertemuan yang heboh dan membahagiakan antara Bree dan Cor. Lalu Bree, yang masih dalam keadaan rendah hati, setuju untuk segera pergi ke Anvard: dia dan Hwin akan menyeberang ke Narnia di hari berikutnya. Keempat makhluk itu mengucapkan selamat tinggal penuh hormat kepada sang pertapa dan berjanji akan segera mengunjunginya lagi. Pada pertengahan pagi mereka memulai perjalanan. Kedua Kuda mengira Aravis dan Cor akan menunggangi mereka, tapi Cor menjelaskan bahwa kecuali pada saat perang, ketika semua pihak harus melakukan yang terbaik, tidak seorang pun di Narnia ataupun Archenland pernah bermimpi menunggangi Kuda yang Bisa Berbicara.
Ini kembali mengingatkan Bree yang malang betapa dia hanya tahu sedikit tentang kebiasaan Narnia dan betapa besarnya kesalahan yang bisa saja dia lakukan. Jadi sementara Hwin berjalan dengan ringan dan bahagia, Bree kian merasa gugup dan lebih menjaga sikap pada setiap langkah yang diambilnya.
"Tenanglah, Bree," kata Cor. "Keadaannya lebih parah buatku daripada buatmu. Kau tidak akan dididik. Aku bakal harus belajar membaca, menulis, cara membawa diri, dansa, sejarah, dan musik, sementara kau akan berlari bebas dan bergulingan di bukit-bukit Narnia sepuas hatimu."
"Tapi justru itu masalahnya," erang Bree. "Apakah Kuda yang Bisa Berbicara bergulingan" Bagaimana kalau mereka tidak melakukan itu" Aku tidak akan mampu tidak melakukannya lagi. Bagaimana menurutmu, Hwin""
"Aku tetap akan berguling," kata Hwin. "Kurasa mereka juga tidak peduli sedikit pun apakah kau akan berguling atau tidak."
"Apakah kita sudah dekat dengan istana"" tanya Bree kepada Cor.
"Tinggal satu belokan di depan," kata sang pangeran.
"Kalau begitu," kata Bree, "aku akan berguling sepuas hati sekarang: bisa saja ini bakal jadi yang terakhir. Tunggu sebentar ya."
Barulah setelah lima menit kemudian dia bangkit lagi, terengah-engah dan tubuhnya penuh potongan rumput.
"Sekarang aku siap," katanya dengan suara penuh kemuraman. "Tunjukkan jalannya, Pangeran Cor. Menuju Narnia dan negeri Utara."
Tapi Bree lebih tampak seperti kuda yang pergi ke pemakaman daripada pelarian yang telah melakukan perjalanan panjang dan kini bisa pergi menuju rumah dan kebebasan.
BAB LIMA BELAS Rabadash yang Konyol BELOKAN berikutnya di jalan besar itu membawa mereka keluar dari pepohonan dan di sana, di seberang halaman hijau, terlindungi dari angin utara oleh dataran tinggi berhutan di punggungnya, mereka melihat istana Anvard. Istana itu begitu tua dan dibangun dari batu hangat yang merah kecokelatan.
Sebelum mereka mencapai gerbang, Raja Lune datang keluar untuk menyambut mereka, sama sekali tidak kelihatan seperti raja dalam bayangan Aravis. Raja Lune mengenakan pakaian yang tertua di antara pakaian tua, karena dia baru saja berkeliling di kandang anjing istana bersama para pemburunya dan hanya berhenti sebentar untuk mencuci tangannya yang kotor. Tapi bungkukan menghormat yang dilakukannya untuk menyapa Aravis ketika dia menjabat tangan gadis kecil itu, sudah merupakan pernyataan yang cukup tegas akan statusnya sebagai raja.
"Lady kecil," katanya, "kami menyambut kedatanganmu sepenuh hati. Kalau istri tersayangku masih hidup, kami akan bisa mengadakan
penyambutan yang lebih baik walau saat ini hati kami terbuka sama lebarnya. Dan aku sangat menyesal mendengar berbagai nasib buruk yang kaualami dan betapa kau harus pergi dari rumah ayahmu, meski untuk yang satu itu sepertinya bukan sesuatu yang membuatmu sedih. Putraku Cor telah menceritakan kepadaku tentang petualangan bersama kalian dan semua keberanianmu."
"Dialah yang telah melakukan semua itu, Sir," kata Aravis. "Dia bahkan berani menghadapi singa demi menyelamatkanku."
"Hah, apa katamu"" tanya Raja Lune, wajahnya menjadi cerah. "Aku belum mendengar cerita yang itu."
Kemudian Aravis memberitahunya. Dan Cor, yang sangat ingin supaya cerita itu diketahui walaupun dia merasa tidak mungkin mengisahkannya sendiri, ternyata tidaklah terlalu menikmatinya. Dia malah merasa agak konyol. Tapi ayahnya teramat menikmati kisah ini dan dalam beberapa minggu ke depan memberitahukannya pada begitu banyak orang sampai-sampai Cor berharap kejadian itu tidak pernah terjadi.
Kemudian sang raja menoleh kepada Hwin dan Bree lalu bersikap sama sopannya kepada mereka seperti dia kepada Aravis. Dia pun menanyakan banyak pertanyaan tentang keluarga mereka dan di mana tempat tinggal mereka dulu di Narnia sebelum mereka ditangkap. Kedua kuda itu agak tergagap karena mereka tidak terbiasa diajak bicara seperti makhluk yang sederajat oleh manusia--lebih tepatnya, manusia dewasa. Mereka sama sekali tidak menemukan kesulitan dengan Aravis dan Cor.
Akhirnya Ratu Lucy keluar dari istana dan bergabung dengan mereka. Raja Lune berkata kepada Aravis, "Putriku, dia teman baik keluarga kami, dan dia telah memastikan kamarmu disiapkan secara layak untukmu, lebih baik daripada yang bisa kulakukan."
"Pastinya kau ingin pergi dan melihatnya sekarang, kan"" tanya Lucy, mencium Aravis. Mereka langsung saling menyukai dan tak lama kemudian pergi bersama untuk membicarakan kamar tidur dan ruang rias untuk Aravis, tentang menyiapkan pakaian untuk gadis kecil itu, juga tentang berbagai hal yang biasa dibicarakan para gadis di saat-saat seperti itu.
Seusai makan siang, yang mereka lakukan di teras (santapannya berupa burung dingin, pai bebek, anggur, roti, dan keju), Raja Lune mengernyitkan alis, mengembuskan napas, dan berkata, "Hhh! Kita masih harus mengurus Rabadash si makhluk menyedihkan itu, teman-temanku, dan perlu memutuskan apa yang akan kita lakukan terhadapnya."
Lucy duduk di sebelah kanan sang raja sementara Aravis di sebelah kirinya. Raja Edmund duduk pada salah satu ujung meja dan Lord Darrin berhadapan dengannya di ujung lain. Dar, Peridan, Cor, dan Corin duduk di sisi yang sama dengan sang raja.
"Yang Mulia punya setiap hak untuk memancung kepalanya," kata Peridan. "Penyerangan yang dia lakukan membuat posisinya sejajar dengan pembunuh gelap."
"Itu benar sekali," kata Edmund. "Tapi bahkan pengkhianat pun bisa bertobat. Aku pernah mengenal orang seperti itu." Lalu dia tampak merenung dalam.
"Membunuh Rabadash nyaris sama saja memulai perang dengan Tisroc," kata Darrin.
"Kesempatan yang ditunggu Tisroc," kata Raja Lune. "Pasukannya walau seberapa pun besarnya tidak akan mampu menyeberangi padang pasir. Tapi aku tidak berminat membunuh prajurit (bahkan pengkhianat sekalipun) dengan darah dingin. Memotong lehernya dalam pertempuran akan membuat hatiku teramat ringan, tapi ini situasi yang berbeda."
"Usulku," kata Lucy, "bagaimana jika Yang Mulia memberinya kesempatan lagi. Biarkan dia pergi bebas bersama sumpah untuk bertindak adil di masa depan. Bisa jadi dia akan menepati kata-katanya."
"Dan mungkin kera akan belajar berkata jujur, Adik," kata Edmund. "Tapi, demi sang singa, kalau dia mengingkarinya lagi mungkin saat itu akan terjadi pada waktu dan tempat yang tepat, sehingga salah satu dari kita bisa memancung kepalanya dengan tenang dalam peperangan."
"Bisa kita coba," kata sang raja, kemudian dia berkata kepada salah satu prajuritnya, "Bawa kemari tawanan itu, teman."
Rabadash dibawa ke depan mereka dalam keadaan dirantai. Bila melihat kondisinya, kita akan berpikir dia telah melewati malam di penjara bawah tanah yang kotor tanpa
makanan dan minuman. Padahal kenyataannya dia telah ditahan di ruangan yang cukup nyaman dan diberi makan malam luar biasa. Tapi karena dia terlalu marah untuk menyentuh makanannya dan menghabiskan sepanjang malam mengentak-entakkan kaki, mengerang, dan mengutuk, sudah pasti kini dia tidak tampak dalam keadaan terbaiknya.
"Yang Mulia Pangeran tidak perlu diberitahu," kata Raja Lune, "bahwa menurut hukum yang berlaku di semua negeri, begitu juga menurut semua kebijakan akal sehat, kami memiliki hak kuat akan kepalamu seperti yang dimiliki manusia mana pun dalam situasi ini. Walaupun begitu, setelah mempertimbangkan usia mudamu dan caramu dibesarkan, tanpa semua nilai kasih dan kebaikan, yang pastinya kaualami di tanah perbudakan dan tirani, kami memutuskan untuk membebaskanmu, tanpa terluka, dengan syarat-syarat sebagai berikut: pertama, kau--"
"Terkutuklah kalian, orang-orang barbar!" tukas Rabadsh. "Kalian pikir aku bahkan akan bersedia mendengarkan syarat-syarat kalian" Cuih! Kau bicara besar tentang cara membesarkan yang layak dan betapa aku sama sekali tidak mengenalinya. Begitu mudah bicara pada pria yang dirantai, hah! Lepaskan ikatan-ikatan memalukan ini, beri aku sebilah pedang, lalu biarkan siapa pun di antara kalian yang berani, maju dan bertarung denganku."
Hampir semua bangsawan langsung melompat berdiri, dan Corin berteriak:
"Ayah! Bolehkah aku bertinju dengannya" Aku mohon."
"Tenang! Yang Mulia! Para bangsawan!" kata Raja Lune. "Apakah kita tidak punya lebih banyak kesabaran daripada yang bisa langsung dikuras habis oleh sekadar ejekan merak" Duduklah, Corin, atau tinggalkan meja ini. Aku akan meminta Yang Mulia Pangeran untuk mendengarkan syarat-syarat kita lagi."
"Aku tidak akan pernah mendengarkan syarat-syarat dari orang barbar maupun penyihir," kata Rabadash. "Tidak ada seorang pun di antara kalian yang akan berani bahkan menyentuh sehelai rambutku. Setiap hinaan yang kautimpakan kepadaku akan dibayar dengan selautan darah Narnia dan Archenland. Pembalasan Tisroc akan sangat mengerikan: bahkan pada saat ini. Tapi cobalah bunuh aku, maka pembakaran dan penyiksaan di tanah-tanah utara ini akan menjadi kisah yang mencekam seluruh dunia bahkan ribuan tahun kemudian. Waspadalah! Waspadalah! Waspadalah! Petir Tash akan menyambar kalian dari langit! "
"Apakah petir itu pernah tersangkut pada kait saat separo jalan"" tanya Corin.
"Hentikan, Corin," kata sang raja. "Jangan pernah seenaknya menghina orang ketika dia lebih kuat daripada dirimu. Kalau begitu, terserah kau."
"Oh, kau Rabadash yang bodoh," Lucy mengesahkan napas.
Detik berikutnya Cor bertanya-tanya kenapa semua orang di meja itu telah berdiri dan bergeming sama sekali. Tentu saja dia juga melakukan hal yang sama. Kemudian dia melihat alasannya. Aslan telah berada di antara mereka walaupun tidak seorang pun melihatnya datang. Rabadash memandang lekat sosok raksasa sang singa yang melangkah perlahan, mengambil posisi di antara dirinya dan musuhnya.
"Rabadash," kata Aslan. "Dengarkanlah. Penentuan akhirmu sudah dekat, tapi kau masih bisa menghindarinya. Lupakan rasa banggamu (karena sebenarnya apa yang bisa kaubanggakan") dan kemarahanmu (karena sebenarnya siapa yang telah bertindak salah padamu") dan terimalah pengampunan para raja murah hati ini."
Kemudian Rabadash memutar bola matanya dan melebarkan mulutnya membentuk seringaian mengerikan yang panjang dan kejam seperti milik ikan hiu, dia pun mengoyang-goyangkan telinganya naik-turun (siapa pun bisa mempelajari cara melakukan ini kalau mereka mau meluangkan waktu). Dia selalu mendapati tindakan ini sangat efektif di Calormen. Orang yang paling pemberani sekalipun tubuhnya gemetar saat dia menunjukkan ekspresi ini, orang-orang biasa terjatuh ke lantai, dan orang-orang sensitif sering kali pingsan karenanya. Tapi yang tidak disadari Rabadash adalah sangat mudah menakut-nakuti orang yang tahu kau bisa merebus mereka hiduphidup hanya dengan mengucapkan perintah. Seringaian itu sama sekali tidak tampak berbahaya di Archenland, Lucy malah hanya mengira Rabadash mau muntah.
"Iblis! Iblis! Ibl is!" pekik si pangeran. "Aku tahu dirimu. Kau iblis jahat Narnia. Kau musuh para dewa. Ketahuilah siapa diriku, makhluk halus jahat. Aku keturunan Tash, yang tak terhentikan, tak tergoyahkan. Kutukan Tash akan menimpamu. Petir-petir dalam bentuk kalajengking akan menghujanimu. Gunung-gunung Narnia akan berubah menjadi abu. Lalu--"
"Bersiaplah, Rabadash," kata Aslan pelan. "Penentuan akhir kini sudah dekat, dia sudah di depan pintu, dia telah memutar kunci."
"Biarkan langit jatuh," pekik Rabadash. "Biarkan bumi terbelah! Biarkan darah dan
api memusnahkan dunia! Tapi yakinlah aku tidak akan berhenti sampai aku menyeret ratu barbar mereka ke istanaku dengan menarik rambutnya, putri makhluk rendah, putrid--"
"Waktunya telah tiba," kata Aslan. Dan Rabadash menyaksikan, dalam kengerian luar biasa, semua orang mulai tertawa.
Mereka tidak bisa menahan diri. Rabadash telah menggoyang-goyangkan kedua telinganya sepanjang waktu dan segera setelah Aslan berkata, "Waktunya telah tiba!" Kedua telinga itu mulai berubah. Keduanya menjadi lebih panjang, lancip, dan tak lama kemudian ditumbuhi bulu kelabu. Dan sementara semua orang bertanya-tanya di mana mereka pernah melihat telinga seperti itu, wajah Rabadash juga mulai berubah. Wajahnya menjadi lebih panjang, lebih tebal di bagian atas, dan bermata lebih besar, hidungnya tenggelam ke dalam wajahnya (bila bukan seluruh wajah yang membengkak dan menjelma menjadi hidung) lalu seluruh permukaan wajah itu ditumbuhi bulu. Lengan-lengannya juga menjadi lebih panjang dan turun ke depan tubuhnya sampai kedua telapak tangannya menyentuh tanah: hanya saja tangannya bukan lagi tangan, tapi tapal kaki. Kemudian dia berdiri dengan empat kaki, pakaiannya menghilang, dan semua orang tertawa kian keras (mereka tidak bisa menahan diri) karena kini yang tadinya sosok Rabadash, kini jelas-jelas dan tidak perlu diragukan lagi, adalah seekor keledai.
Hal yang mengerikan adalah kemampuan berbicaranya sebagai manusia bertahan lebih lama daripada bentuk tubuh manusianya, jadi ketika dia menyadari perubahan yang dialaminya, dia berteriak:
"Oh, jangan keledai! Kasihanilah aku! Bahkan lebih baik kuda--hii--aku hoo--hiihoo, hii-hoo." Lalu kata-kata lenyap dalam ringkikan keledai.
"Sekarang, dengarkan aku, Rabadash," kata Aslan. "Keadilan akan bersatu dengan belas kasih. Kau tidak akan selalu menjadi keledai."
Tentu saja ketika mendengar kata-kata ini, si keledai menegakkan telinganya ke depan--kejadian ini begitu lucu sehingga semua orang tertawa lagi. Mereka berusaha menahan diri, tapi sia-sia.
"Kau telah meminta perlindungan Tash," kata Aslan. "Maka pada kuil Tash-lah kau akan disembuhkan. Kau harus berdiri di depan altar Tash di Tashbaan pada Festival Besar Musim Gugur tahun ini dan di sana, dilihat seluruh masyarakat Tashbaan, sosok keledaimu akan lenyap dan semua orang akan tahu kau Pangeran Rabadash. Tapi sepanjang hidupmu, kalau kau bahkan pergi lebih jauh daripada sepuluh mil dari kuil besar di Tashbaan, kau akan langsung menjelma kembali menjadi sosokmu yang sekarang. Dan sejak perubahan kali kedua itu, kau tidak akan bisa kembali lagi."
Merebak keheningan sesaat, kemudian mereka semua bergerak-gerak dan saling memandang seolah baru saja terbangun dari tidur. Aslan sudah pergi. Tapi ada binar di udara dan rerumputan, juga kebahagiaan di hati, yang meyakinkan mereka kehadirannya tadi bukan sekadar mimpi: lagi pula, tampak seekor keledai di hadapan mereka.
Raja Lune adalah pria yang berhati paling lembut, dan saat melihat musuhnya dalam kondisi yang mengenaskan, dia melupakan seluruh amarahnya.
"Yang Mulia Pangeran," katanya. "Aku sangat menyesal situasi telah berubah menjadi begini ekstrem. Yang Mulia menyaksikan sendiri kejadian ini sama sekali bukanlah kehendak kami. Dan tentu saja kami akan dengan senang hati menyediakan kapal untuk Yang Mulia kembali ke Tashbaan demi memperoleh--ngng--perawatan yang disarankan Aslan. Kau akan memperoleh segala kenyamanan yang bisa kaunikmati dalam kondisimu: kapal untuk hewan ternak terbaik--wortel paling segar, juga rumput--"
Tapi ringkikan menentang yan
g dikeluarkan mulut si keledai dan tendangan telak pada salah satu prajurit membuat jelas bahwa semua tawaran baik ini diterima tanpa rasa terima kasih.
Dan saat ini, untuk menyingkirkan pangeran itu dari kisah selanjutnya, sebaiknya aku berhenti menceritakan nasib Rabadash. Sesuai saran Aslan, dia dikirim kembali ke Tashbaan dengan kapal dan dibawa ke kuil Tash saat Festival Besar Musim Gugur, kemudian dia berubah menjadi manusia lagi. Tapi tentu saja sekitar empat atau lima ribu orang telah menyaksikan perubahannya dan masalah ini tidak mungkin bisa disembunyikan. Lalu setelah kematian Tisroc tua dan Rabadash menjadi Tisroc untuk menggantikan posisinya, dia menjelma menjadi Tisroc paling pencinta damai yang pernah dikenal Calormen. Ini tentu saja, karena dia tidak berani pergi lebih dari sepuluh mil dari Tashbaan. Dia tidak bisa pergi berperang sendiri, dan dia tidak mau Tarkaan-Tarkaannya mendapatkan ketenaran dalam perang demi dirinya sendiri, karena dengan cara seperti itulah para Tisroc biasanya ditumbangkan. Tapi walaupun alasan-alasannya egois, keputusan ini membuat keadaan lebih nyaman bagi negeri-negeri kecil di sekitar Calormen.
Rakyatnya sendiri tidak pernah lupa dia pernah menjadi keledai. Selama masa kekuasaannya, dan di hadapannya, dia dipanggil Rabadash sang Pencipta Damai, tapi setelah kematiannya dan di belakang punggungnya, dia disebut Rabadash si Konyol, dan kalau kau mencarinya dalam buku Sejarah Calormen yang lengkap (cobalah perpustakaan lokal) kau akan menemukannya dengan nama itu. Dan hingga hari ini di sekolah-sekolah Calormen, kalau kau melakukan sesuatu yang luar biasa bodoh, kemungkinan besar kau akan dipanggil "Rabadash kedua".
Sementara itu di Anvard, semua orang merasa lega masalah Rabadash telah diurus sebelum keriaan utama dimulai, yaitu pesta besar yang diadakan malam itu di halaman depan istana, dengan lusinan lentera untuk membantu penerangan sinar rembulan. Dan anggur mengalir, kisah-kisah diceritakan, dan lelucon-lelucon diumbarkan, kemudian keheningan datang ketika penyair sang raja ditemani dua pemain biola datang ke tengah lingkaran. Aravis dan Cor bersiap-siap merasa bosan, karena satu-satunya jenis puisi yang mereka kenal adalah puisi-puisi Calormen, dan kau sudah tahu sendiri bagaimana bunyinya. Tapi pada gesekan pertama biola, roket seolah meluncur keluar dari dalam kepala mereka, dan sang penyair menyanyikan kisah tua petualangan Fair Olvin yang hebat dan bagaimana dia memerangi raksasa bernama Pire dan mengubahnya menjadi batu (inilah asal mulanya Gunung Pire raksasa berkepala dua) dan mendapatkan Lady Liln sebagai istrinya. Lalu ketika puisi selesai dinyanyikan, kedua anak itu berharap penyair itu akan mulai lagi. Dan walaupun Bree tidak bisa bernyanyi, dia mengisahkan cerita peperangan di Zulindreh. Dan Lucy menceritakan lagi (mereka semua, kecuali Aravis dan Cor, telah mendengarnya berulang kali, tapi mereka semua ingin mendengarnya lagi) Kisah Lemari dan bagaimana dirinya, Raja Edmund, Ratu Susan, dan Peter sang Raja Agung bisa tiba di Narnia untuk pertama kalinya.
Lalu kini, karena sudah pasti akan terjadi cepat ataupun lambat, Raja Lune berkata sudah waktunya bagi anak-anak tidur. "Dan besok, Cor," dia menambahkan, "kau akan mengunjungi seluruh istana bersamaku juga melihat perkebunannya, lalu mempelajari semua kekuatan dan kelemahannya: karena semua akan menjadi tanggung jawabmu, yang harus kaujaga bila aku sudah tiada."
"Tapi pada saat itu Corin-lah yang akan menjadi raja, Ayah," kata Cor.
"Tidak, Nak," kata Raja Lune, "kaulah pewarisku. Takhta akan menjadi milikmu."
"Tapi aku tidak menginginkannya," kata Cor. "Lebih baik aku--"
"Ini bukanlah masalah apa yang kauinginkan, Cor, ataupun apa yang kuinginkan. Ini sudah menjadi peraturan."
"Tapi bila kami bersaudara kembar, seharusnya kami seumur."
"Tidak," kata sang raja sambil tertawa. "Harus ada yang lahir terlebih dahulu. Kau lebih tua dua puluh menit daripada Corin. Dan kau juga lebih baik daripada dia, mudah-mudahan, walaupun itu bukan sesuatu yang istimewa." Dan dia memandang Corin dengan binar nakal di
matanya. "Tapi, Ayah, tidak bisakah kau mengangkat siapa pun yang kauinginkan menjadi raja berikutnya""
"Tidak. Karena raja juga berada di bawah hukum, karena hukum itulah yang menjadikannya raja. Kau tidak punya lebih banyak kekuasaan akibat mahkotamu daripada seorang prajurit akibat pangkatnya."
"Ya ampun," kata Cor. "Aku sama sekali tidak menginginkan ini. Dan Corin--aku minta maaf sekali. Aku tidak pernah bermimpi kemunculanku akan membuatmu tersingkir dari kerajaan."
"Hore! Hore!" kata Corin. "Aku tidak perlu menjadi raja. Aku tidak harus menjadi raja. Aku akan selalu menjadi pangeran. Para pangeranlah yang mendapat semua kesenangan."
"Dan itu kenyataan yang sangat diketahui adikmu, Cor," kata Raja Lune. "Karena inilah artinya menjadi raja: menjadi yang paling depan pada setiap peperangan yang mengancam, dan menjadi yang paling belakang saat waktu menyerah tiba. Lalu ketika kelaparan melanda negeri ini (seperti yang akan terjadi sesekali dalam tahun-tahun buruk), kau harus mengenakan pakaian yang lebih bagus dan tertawa lebih keras walaupun mendapat makanan paling sedikit dibanding semua orang di negerimu."
Ketika kedua anak lelaki itu naik ke lantai atas menuju kamar tidur, Cor menanyakan lagi kepada Corin apakah tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengubah ini. Corin pun menjawab:
"Kalau kau mengungkit lagi masalah ini, aku-aku akan meninjumu sampai jatuh."
Akan menyenangkan mengakhiri cerita ini dengan mengatakan setelah itu si kakak-beradik kembar tidak pernah berbeda pendapat tentang apa pun lagi, tapi sayangnya itu tidak benar. Kenyataannya mereka bertengkar dan berkelahi sesering yang bisa dilakukan dua anak lelaki lain, dan semua perkelahian mereka berakhir (kalau mereka bahkan tidak memulai) dengan Cor ditinju sampai jatuh. Karena walaupun ketika mereka berdua tumbuh dewasa dan menjadi ahli pedang--Cor pun menjelma menjadi pria paling berbahaya dalam pertempuran--tidak ada seorang pun, bahkan dirinya, di negeri-negeri Utara yang bisa menandingi Corin dalam bertinju. Itulah sebabnya Corin memperoleh sebutan sebagai Corin si Tinju Petir, begitu juga pertarungan besarnya melawan Beruang Jahat dari Stormness, yang sebenarnya Beruang yang Bisa Berbicara tapi telah kembali mengikuti kebiasaan beruang liar biasa. Corin mendaki ke sarangnya di bukit Stormness di sisi Narnia pada suatu hari di musim dingin, ketika salju menyelimuti bukit itu, dan bertinju dengannya tanpa wasit selama tiga puluh tiga ronde. Pada akhir pertarungan beruang itu tidak bisa melihat karena matanya yang babak belur dan berubah sikap menjadi baik.
Aravis juga sering bertengkar (dan sayangnya, bahkan berkelahi) dengan Cor, tapi mereka selalu berbaikan lagi: sehingga beberapa tahun kemudian, ketika mereka dewasa, karena sudah begitu terbiasa bertengkar dan berbaikan, mereka pun menikah supaya bisa terus melakukan itu dengan lebih nyaman. Dan setelah kematian Raja Lune, Cor dan Aravis menjadi Raja dan Ratu Archenland yang baik. Kemudian lahirlah Ram Agung, raja yang paling terkenal di antara semua raja Archenland, putra mereka. Bree dan Hwin hidup bahagia hingga usia tua di Narnia dan keduanya menikah tapi tidak dengan satu sama lain. Dan tidak berlalu banyak bulan saat salah satu atau keduanya akan datang berlari kecil melewati jalan pegunungan untuk mengunjungi teman-teman mereka di Anvard.
~~SELESAI~~~ Edited by. Echi https://desyrindah.blogspot.com
Pedang Tanduk Naga 3 Tongkat Setan Lam Hay Djie Tee Karya Seng Kie-su Pendekar Pedang Bayangan 1
BAB SEBELAS Teman Seperjalanan yang Tidak Diinginkan
KETIKA Shasta berlari melewati gerbang, dia mendapati lereng berumput dan sesemakan heather kecil yang berbaris di depannya menuju pepohonan. Tidak ada yang memenuhi benaknya saat ini dan tidak ada rencana yang telah dia buat: dia hanya perlu berlari dan pikiran itu sudah cukup menguasainya. Tungkai-tungkai tubuhnya gemetar, tusukan yang menyakitkan mulai terasa di sisi tubuhnya, dan keringat yang terus-menerus menetes ke matanya membutakan dan membuat keduanya kabur. Kakinya juga tidak bisa menjejak kuat, dan lebih dari sekali pergelangan kakinya nyaris terkilir karena menginjak batu.
Pepohonan kini lebih lebat daripada sebelumnya dan di daerah-daerah yang lebih terbuka terlihat tumbuhan bracken. Matahari telah pergi walaupun udara tetap tidak lebih sejuk. Hari itu telah menjadi hari kelabu panas ketika tampaknya ada lebih banyak lalat daripada biasanya. Wajah Shasta dikerumuni mereka, dia bahkan tidak mencoba mengusir serangga-serangga itu--dia punya banyak hal lain yang harus dilakukan.
Mendadak dia mendengar suara terompet tanduk--bukan suara terompet keras yang menggema seperti terompet-terompet Tashbaan, tapi suara ceria, Te-ro-ret-te-ro-ret! Detik berikutnya dia keluar di area luas dan mendapati dirinya menghadapi sekerumunan orang.
Setidaknya, orang-orang itu tampak seperti kerumunan baginya. Kenyataannya ada sekitar lima belas atau dua puluh orang, semua pria bangsawan dengan pakaian berburu hijau, bersama kuda-kuda mereka. Beberapa berada di atas kuda dan beberapa berdiri di samping kepala kuda mereka. Di tengah kerumunan itu seseorang sedang memegangi pijakan kaki kuda untuk pria yang hendak naik. Dan pria yang hendak dibantu naik itu raja yang paling ceria, gemuk, berpipi sebulat dan semerah apel yang bisa kaubayangkan.
Segera setelah sosok Shasta terlihat, sang raja sama sekali lupa untuk menaiki kudanya. Dia melebarkan lengannya ke arah Shasta, wajahnya tampak bahagia, dan dia berteriak dengan suara keras dan dalam yang seolah keluar dari bagian terdalam dad
anya: "Corin! Putraku! Berjalan kaki dan berpakaian compang-camping! Kenapa--"
"Bukan," jawab Shasta terengah-engah, sambil menggeleng. "Aku bukan Pangeran Corin. Aku-aku-aku tahu aku mirip dia... aku bertemu Yang Mulia di Tashbaan... dia menyampaikan salam."
Sang raja memandang lekat Shasta dengan ekspresi wajah luar biasa.
"Apakah Anda Ra-Raja Lune" Shasta tergagap. Kemudian, tanpa menunggu jawaban, "Raja yang Mulia--cepat--Anvard--tutup gerbang-gerbangnya--musuh datang menyerbu--Rabadash dan dua ratus kuda."
"Apakah kau yakin soal ini, bocah"" tanya salah seorang bangsawan.
"Dengan mataku sendiri," jawab Shasta. "Aku melihat mereka. Berpacu untuk mendahului mereka dari Tashbaan."
"Dengan berjalan kaki"" tanya sang bangsawan, mengangkat kedua alisnya sedikit.
"Kuda-kuda--kini bersama sang pertapa," jawab Shasta.
"Jangan tanya lebih banyak lagi kepadanya, Darrin," kata Raja Lune. "Aku melihat kejujuran di wajahnya. Kita harus segera berkuda pulang, Tuan-tuan. Sisakan satu kuda, untuk anak ini. Kau bisa berkuda cepat, Teman""
Untuk menjawab Shasta meletakkan kaki di pijakan kaki kuda yang dibimbing mendekatinya dan sedetik kemudian dia sudah di atas sadel. Dia telah melakukan ini ratusan kali bersama Bree dalam beberapa minggu terakhir, dan caranya naik kuda kini jauh berbeda dengan di malam pertama, ketika Bree mengomentari cara naik ke kudanya yang seperti memanjat tumpukan jerami.
Dia senang mendengar Lord Darrin berkata kepada sang raja, "Anak itu punya pembawaan penunggang kuda sejati, Sire. Saya yakin dia memiliki darah bangsawan dalam tubuhnya."
"Darahnya, benar, itu pemikiran yang tepat," kata sang raja. Lalu lagi-lagi dia memandang lekat Shasta dengan ekspresi wajah ingin tahu, nyaris ekspresi lapar karena penasaran, dalam mata abu-abu tegasnya.
Tapi kini seluruh kelompok itu bergerak dalam kecepatan penuh. Sadel Shasta luar biasa nyaman tapi dia sedih karena bingung menghadapi tali kekang. Dia tidak pernah menyentuh tali kekang ketika berada di punggung Bree. Tapi dengan hati-hati dia melihat dengan ujung matanya apa yang dilakukan anggota kelompok lain (seperti yang akan dilakukan sebagian dari kita dalam pesta-pesta ketika kita tidak cukup yakin pisau atau garpu mana yang harus digunakan) dan berusaha meletakkan jemarinya di tempat yang tepat. Tapi dia tidak berani benar-benar berusaha mengarahkan kudanya, dia memercayainya untuk mengikuti kuda yang lain. Kuda itu tentu saja kuda biasa, bukan Kuda yang Bisa Berbicara, tapi dia cukup menyadari anak lelaki di punggungnya tidak punya cambuk, taji, dan bukanlah benar-benar pengendali situasi. Itulah sebabnya tak lama kemudian Shasta mendapati dirinya di ujung akhir ekor rombongan.
Bahkan walaupun begitu, dia berpacu cukup cepat. Kini tidak ada lalat, dan angin yang menerpa wajahnya menyegarkan. Napasnya kini juga sudah teratur. Dan tugasnya telah sukses. Untuk kali pertama sejak kedatangannya di Tashbaan (betapa lama rasanya saat itu!) dia mulai merasa santai.
Dia mendongak untuk melihat seberapa dekat puncak gunung kini. Dia kecewa karena sama sekali belum bisa melihatnya: yang tampak hanya sosok abu-abu yang samar, bergulung di depan mereka. Dia belum pernah berada di daerah pegunungan dan terkejut. Itu bukan awan, katanya dalam hati, awan ini turun ke tanah. Jadi begitu ya. Di atas sini di perbukitan, sebenarnya kami berada di langit. Aku akan bisa melihat bagaimana isi awan. Menyenangkan sekali! Aku telah lama ingin tahu. Jauh di sebelah kirinya dan sedikit di belakangnya, matahari bersiap-siap tenggelam.
Kini mereka telah tiba di jalan yang kasar dan berpacu dalam kecepatan tinggi. Tapi kuda Shasta masih berada di belakang kelompok itu. Sekali atau dua kali ketika jalan membelok (kini ada hutan berkepanjangan di kedua sisinya) dia tidak bisa melihat yang lain selama sedetik atau dua detik.
Lalu mereka masuk ke kabut, atau mungkin kabut itu yang bergulung menghampiri mereka. Dunia menjadi kelabu. Shasta belum menyadari betapa dingin dan basah berada di dalam awan, ataupun betapa gelapnya. Warna abu-abu menjelma menjadi hitam sangat tiba-tiba
. Seseorang di depan barisan membunyikan terompet tanduk sesekali, dan setiap kali suara itu semakin terdengar jauh. Kini dia tidak bisa melihat satu orang pun, tapi tentu saja mereka akan kembali terlihat begitu dia sampai di belokan berikutnya. Tapi ketika berbelok, dia masih tidak bisa melihat mereka. Bahkan dia tidak bisa melihat apa pun. Kudanya kini sekadar berjalan. "Ayo, Kuda, ayo," kata Shasta. Kemudian terdengar bunyi terompet, sangat samar. Bree selalu memberitahunya dia harus selalu menjaga mata kakinya ke arah luar, dan Shasta punya firasat sesuatu yang sangat buruk akan terjadi kalau dia membenamkan mata kakinya ke sisi kuda. Tapi ini tampak baginya sebagai kesempatan untuk mencoba. "Begini, Kuda," dia berkata, "kalau kau tidak lari lagi, tahukah kau apa yang akan kulakukan" Aku akan mengentakkan mata kakiku ke perutmu. Aku benar-benar akan melakukannya." Namun kuda itu tidak mengacuhkan ancamannya. Jadi Shasta menguatkan posisi di atas sadel, mencengkeram dengan lutut, mengatupkan geligi, dan mengentakkan kedua mata kaki ke sisi perut kuda sekeras yang dia bisa.
Hasilnya si kuda hanya terlonjak sedikit dan seolah berpura-pura berlari kecil sejauh lima atau enam langkah untuk kemudian melambat menjadi jalan biasa lagi. Dan kini suasana cukup gelap dan mereka tampaknya berhenti meniupkan terompet. Satu-satunya suara yang terdengar adalah air yang menetes terus menerus dari cabang-cabang pepohonan.
"Yah, kurasa bahkan dengan berjalan, pada akhirnya kita akan di sampai di suatu tempat," kata Shasta kepada dirinya sendiri. "Aku hanya berharap aku tidak akan berpapasan dengan Rabadash dan anak buahnya."
Dia melanjutkan perjalanan yang rasanya lama sekali, selalu dengan langkah berjalan biasa. Dia mulai membenci kudanya, dan dia juga mulai merasa sangat lapar.
Akhirnya dia tiba di suatu tempat di mana jalan terbagi menjadi dua. Dia baru bertanya-tanya jalan mana yang mengarah ke Anvard ketika dia dikejutkan suara di belakangnya. Suara itu suara tapak kuda yang berlari. Rabadash! pikir Shasta. Dia tidak bisa menebak jalan mana yang akan diambil Rabadash. "Tapi kalau aku mengambil yang satu," kata Shasta pada dirinya sendiri, "dia mungkin akan mengambil yang lain, kalau aku tetap berada di persimpangan ini sudah pasti aku akan ditangkap." Dia pun turun dan menuntun kudanya secepat yang dia bisa menyusuri jalan di sebelah kanannya.
Suara pasukan berkuda semakin lama semakin dekat dan dalam satu atau dua menit kemudian, Shasta menyadari mereka telah tiba di persimpangan. Dia menahan napas, menunggu untuk melihat jalan mana yang akan mereka ambil.
Terdengar kata perintah dalam suara rendah--"Tahan! "--kemudian sesaat penuh suara kuda--dengusan hidung kuda, kaki kuda mengentak-entak, leher kuda ditepuk-tepuk. Kemudian sebuah suara berkata:
"Berkumpul, semuanya," katanya. "Kita kini berada sekitar dua ratus meter dari istana. Jangan lupakan perintah kalian. Setibanya kita di Narnia, yang seharusnya terjadi nanti saat matahari terbit, kalian hanya boleh membunuh sesedikit mungkin. Pada penyerbuan ini kalian harus menganggap setiap tetes darah Narnia sama berharganya dengan segalon darah kalian sendiri. Hanya pada penyerbuan ini, aku bertitah. Para dewa akan memberkahi kita dengan waktu yang lebih berbahagia, dan barulah pada saat itu kalian tidak diperbolehkan meninggalkan makhluk apa pun hidup di antara Cair Paravel dan daerah terpencil di Barat. Tapi kita belum berada di Narnia. Di sini di Archenland situasinya berbeda. Pada penyerangan ke istana Raja Lune ini, tidak ada yang lebih penting daripada kecepatan. Tunjukkan keberanian kalian. Keberanian itu harus menjadi milikku selama satu jam ke depan. Dan kalau aku mendapatkannya, aku akan memberikan segalanya kepada kalian. Aku tidak akan menyimpan harta apa pun untuk diriku sendiri. Bunuh untukku setiap pria barbar yang ada di dalam dinding istana itu, hingga ke anak lelaki yang dilahirkan kemarin, dan segala sisanya boleh kalian bagi sesuka kalian--wanita, emas, perhiasan, senjata, dan anggurnya. Orang yang kulihat tetap berada di belakang ketika kita tiba di
gerbang akan dibakar hidup-hidup. Demi nama Tash yang tak terhentikan, tak tergoyahkan--maju!"
Bersama gemuruh langkah kaki kuda yang gempita, barisan itu mulai bergerak, dan Shasta bernapas lega lagi. Mereka telah mengambil jalan yang satunya.
Shasta berpikir mereka menghabiskan waktu, lama sekali untuk lewat, karena walaupun dia telah beberapa kali mengucapkan dan memikirkan "dua ratus kuda" sepanjang hari, dia belumlah menyadari betapa banyaknya jumlah mereka. Tapi akhirnya suara gemuruh pasukan itu mereda dan sekali lagi dia sendirian, ditemani suara tetesan-tetesan dari pepohonan.
Dia kini tahu jalan mana yang menuju Anvard, tapi tentu saja tidak bisa pergi ke sana: itu hanya berarti akan menghadapi senjata pasukan Rabadash. "Apa yang harus kulakukan"" tanya Shasta pada dirinya sendiri. Tapi dia menaiki kembali kudanya dan meneruskan perjalanan pada jalan yang telah dipilihnya, dengan harapan tipis menemukan semacam pondokan tempat dia bisa meminta tempat berteduh dan makanan. Dia telah berpikir, tentu saja, untuk kembali ke Aravis, Bree, dan Hwin di pertapaan, tapi dia tidak bisa melakukan itu karena kini dia sama sekali tidak punya bayangan arah mana yang bisa ditempuhnya.
"Lagi pula," kata Shasta, "jalan ini pasti menuju ke suatu tempat."
Tapi semua itu tergantung pada apa yang kaumaksud dengan suatu tempat. Jalan itu terus menuju ke suatu tempat dalam arti semakin banyak dan banyak memunculkan pepohonan, semuanya gelap dan meneteskan air, dan udara mulai terasa lebih dingin dan lalu angin dingin yang aneh terus-menerus meniupkan kabut melewati Shasta walaupun angin itu tidak pernah meniup kabut hingga menghilang. Kalau anak itu terbiasa hidup di daerah pegunungan, dia akan menyadari ini berarti dia kini berada sangat tinggi--mungkin tepat di atas jalan perbukitan. Tapi Shasta tidak tahu apa pun tentang pegunungan.
"Aku benar-benar merasa," kata Shasta, "aku pasti anak paling tidak beruntung yang pernah hidup di seluruh dunia ini. Segalanya berjalan dengan baik bagi semua orang kecuali diriku. Para bangsawan pria dan wanita itu berhasil melarikan diri dari Tashbaan, aku ditinggalkan. Aravis, Bree, dan Hwin kini dalam keadaan sangat nyaman dan hangat bersama pertapa tua itu, tentu saja akulah yang dikirim menyampaikan pesan. Raja Lune dan orang-orangnya kini pasti sudah sampai dengan selamat di istana dan menutup gerbang-gerbang lama sebelum Rabadash tiba, tapi aku tertinggal di luar."
Dan karena merasa sangat lelah dan perutnya amat kosong, dia merasa iba sekali pada dirinya sendiri sehingga air mata mengalir di kedua pipinya.
Yang menghentikan semua ini adalah kejutan yang datang tiba-tiba. Shasta mendapati seseorang atau sesuatu sedang berjalan di sampingnya. Suasana gelap gulita dan dia tidak bisa melihat apa-apa. Dan Sesuatu itu (atau Orang itu) bergerak begitu tanpa suara sehingga dia nyaris tidak mendengar entakan kaki. Yang bisa didengarnya adalah embusan napas. Teman seperjalanannya yang tidak terlihat tampaknya bernapas dengan berat dan sangat dalam, dan Shasta mendapat kesan makhluk itu sangat besar ukurannya. Dan dia menyadari embusan napas itu begitu teratur sehingga dia sama sekali tidak bisa menebak seberapa lama makhluk tersebut sudah ada di sana. Kejutan yang menakutkan.
Berkelebat di benaknya ia pernah mendengar soal raksasa yang dulu sekali tinggal di negeri-negeri Utara. Dia menggigit bibirnya dalam kengerian. Tapi kini setelah dia benar-benar punya alasan untuk menangis, tangisannya terhenti.
Sesuatu itu (kecuali dia Seseorang) terus berjalan di sampingnya begitu tanpa suara sehingga Shasta mulai berharap dia hanya berkhayal. Tapi tepat ketika dia mulai yakin dengan pikiran ini, mendadak terdengar embusan napas dalam dan kaya dari kegelapan di sampingnya. Itu tidak mungkin hasil imajinasinya! Lagi pula dia telah merasakan panasnya embusan udara dari embusan napas itu pada tangan kirinya yang kedinginan.
Kalau kudanya berkemampuan tinggi--atau kalau dia tahu bagaimana cara mengeluarkan kemampuan terbaik kuda--dia mungkin akan merisikokan segalanya pada pelarian dan pacuan liar. Tapi
dia tahu dia tidak akan bisa membuat kudanya berpacu. Jadi dia terus berjalan biasa sementara rekan seperjalanannya yang tidak terlihat berjalan dan bernapas berat di sampingnya. Akhirnya dia tidak tahan lagi.
"Siapa kau"" tanyanya, nyaris tidak lebih keras daripada bisikan.
"Seseorang yang telah menunggu lama sekali agar kau berbicara," jawab Sesuatu itu. Suaranya tidak keras, tapi sangat kuat dan dalam.
"Apakah kau--apakah kau raksasa"" tanya Shasta.
"Kau bisa menyebutku raksasa," kata si Suara Kuat. "Tapi aku tidak seperti makhluk yang kausebut sebagai raksasa."
"Aku sama sekali tidak bisa melihatmu," kata Shasta, setelah menajamkan penglihatannya. Kemudian (karena pikiran yang lebih mengerikan mendatangi benaknya) dia bertanya, hampir berteriak, "Kau bukan--bukan sesuatu yang sudah mati, kan" Oh, kumohon, kumohon pergilah. Kesalahan apa yang pernah kulakukan padamu" Oh, aku orang paling sial di seluruh dunia ini!"
Sekali lagi dia merasakan embusan hangat napas Sesuatu itu pada tangan dan wajahnya. "Nah," katanya, "itu bukanlah napas hantu. Ceritakan kepadaku segala kepedihanmu."
Shasta merasa sedikit tenang karena napas itu, jadi dia bercerita betapa dia tidak pernah mengenal ayah ataupun ibu kandungnya, dan betapa dia telah dibesarkan secara keras oleh si nelayan. Kemudian dia menceritakan kisah pelariannya dan bagaimana mereka dikejar singa-singa lalu terpaksa berenang untuk menyelamatkan nyawa, dan tentang semua bahaya yang dihadapi mereka di Tashbaan, lalu tentang malam yang dihabiskannya di antara makam dan bagaimana para makhluk buas melolong pada dirinya di padang pasir. Dan dia bercerita tentang panasnya dan hausnya perjalanan padang pasir mereka, juga bagaimana mereka hampir mencapai tujuan akhir ketika singa lain mengejar mereka dan melukai Aravis. Lalu juga, betapa lamanya sejak dia terakhir memperoleh santapan untuk dimakan.
"Aku tidak akan menyebutmu tidak beruntung," kata si Suara Kuat.
"Tidakkah menurutmu adalah nasib sial untuk bertemu begitu banyak singa"" tanya Shasta.
"Hanya ada satu singa," kata si Suara.
"Apa maksudmu" Aku baru saja memberitahumu setidaknya ada dua di malam pertama perjalanan, dan--"
"Hanya ada seekor, tapi kakinya begitu cepat."
"Bagaimana kau bisa tahu""
"Karena akulah singa itu." Dan ketika Shasta terperangah dengan mulut ternganga dan tidak mengucapkan apa pun, sang Suara meneruskan, "Akulah singa yang memaksamu bergabung dengan Aravis. Akulah kucing yang memberimu kenyamanan di antara rumah mereka yang telah mati. Akulah singa yang mengusir para anjing liar darimu ketika kau tertidur. Akulah singa yang memberi kedua kuda itu kekuatan dan rasa takut untuk perjalanan satu mil terakhir, agar kau bisa menemui Raja Lune tepat pada waktunya. Dan akulah singa yang tidak kauingat telah mendorong perahu tempat kau berbaring, anak yang sekarat, sehingga perahu itu bisa mendarat di mana seorang pria sedang duduk terjaga di tengah malam untuk menerimamu."
"Kalau begitu kaulah yang telah melukai Aravis."
"Benar." "Tapi untuk apa""
"Nak," kata sang Suara. "Aku hanya memberitahumu kisahmu, bukan kisahnya. Aku tidak menceritakan kisah mana pun kepada siapa pun kecuali yang menjadi miliknya."
"Siapa kau sebenarnya"" tanya Shasta.
"Diriku sendiri," kata sang Suara, begitu dalam dan rendah sehingga tanah terasa bergetar. Kemudian sekali lagi, "Diriku sendiri", keras, jelas, dan ringan namun penuh kebanggaan, lalu untuk kali ketiga, "Diriku sendiri", dibisikkan begitu lembut sehingga kau nyaris tidak bisa mendengarnya, namun suara itu seolah keluar dari seluruh tempat di sekelilingmu seakan-akan dedaunan bergemeresik bersamanya.
Shasta tidak lagi mengkhawatirkan suara itu milik sesuatu yang akan memakannya, ataupun berasal dari hantu. Namun getaran baru yang berbeda kini menguasainya. Meski dia sekaligus merasa lega.
Kabut kini berubah dari hitam menjadi abu-abu, kemudian dari abu-abu menjadi putih. Ini pasti telah mulai terjadi beberapa waktu lalu, tapi ketika berbicara dengan sang Sesuatu, dia tidak memerhatikan hal-hal lain. Sekarang, warna putih di sekelilingnya menjad
i putih yang bersinar, matanya mulai berkedip-kedip. Di suatu tempat di depannya dia bisa mendengar burung-burung bernyanyi. Dia pun tahu akhirnya malam telah berakhir. Dia bisa melihat surai, telinga, dan kepala kudanya dengan mudah sekarang. Cahaya keemasan menyinari mereka dari arah kiri. Dia berpikir itu pasti matahari.
Dia menoleh dan melihat, kini sedang berjalan di sampingnya, lebih tinggi daripada kuda, seekor singa. Kudanya tidak tampak ketakutan pada makhluk ini atau mungkin dia tidak bisa melihatnya. Ternyata cahaya datang dari singa itu. Tidak ada yang pernah melihat apa pun semengerikan sekaligus seindah ini.
Untungnya Shasta telah hidup sepanjang hidupnya terlalu jauh di Selatan di Calormen untuk pernah mendengar kisah-kisah yang dibisikkan di Tashbaan tentang iblis Narnia menakutkan yang tampil dalam wujud singa. Dan tentu saja dia tidak tahu sama sekali cerita-cerita sesungguhnya tentang Aslan, Singa Agung, putra Kaisar-di-seberang-Lautan, Raja diraja semua Raja Agung di Narnia. Tapi setelah satu pandangan sekilas ke wajah sang singa. Shasta meluncur turun dari sadel dan memijak tanah dengan kedua kakinya. Dia tidak bisa berkata-kata walaupun dia memang tidak ingin mengatakan apa-apa, dan dia tahu dia tidak perlu mengucapkan apa pun.
Raja Agung yang lebih mulia daripada semua raja membungkuk ke arahnya. Surai sang singa, dan aroma aneh nan agung yang tercium dari surai itu, mengelilingi Shasta. Singa itu menyentuh dahi Shasta dengan lidahnya. Anak itu mengangkat kepala dan mata mereka bertemu. Kemudian mendadak cahaya pucat kabut dan sinar menyilaukan sang singa bergulung dan bertemu menjadi pusaran menakjubkan, bergabung menjadi satu, lalu menghilang. Shasta kini tinggal berdua bersama kudanya pada sisi bukit yang berumput lebat di bawah langit biru. Dan ternyata memang ada burung-burung yang bernyanyi.
BAB DUA BELAS Shasta di Narnia APAKAH semua tadi hanya mimpi" Shasta bertanya-tanya. Tapi tidak mungkin pertemuan itu sekadar mimpi karena di sana, di rerumputan di hadapannya, dia melihat jejak dalam dan besar cakar kanan depan singa. Benar-benar menyesakkan dada bila seseorang berusaha menebak berat tubuh apa pun yang bisa membuat jejak kaki seperti itu. Tapi ada sesuatu yang lebih menakjubkan daripada ukurannya. Ketika Shasta memerhatikannya, air telah memenuhi dasar jejak tersebut. Tak lama kemudian ceruk itu telah penuh hingga ke pinggir-pinggirnya, lalu luber, dan aliran air kecil kini mengalir ke bawah bukit, melewati anak itu, melintasi rerumputan.
Shasta membungkuk dan minum--minum sepuas-puasnya--kemudian mencelupkan wajah dan menyiramkan air ke kepalanya. Air terasa sangat dingin, tampak sebening kaca, dan sangat menyegarkannya. Setelah itu dia berdiri, mengibaskan air supaya keluar dari telinganya, menyisir ke belakang rambutnya yang basah dari dahi, lalu memerhatikan keadaan sekelilingnya.
Tampaknya hari masih sangat dini. Matahari baru mulai terbit, telah naik dan keluar dari hutan yang dia lihat berada sangat jauh di bawah di sebelah kanannya. Daerah yang dia lihat kini jelas-jelas asing baginya. Daratan lembah hijau yang di beberapa tempat ditumbuhi pepohonan, dan dibaliknya dia melihat kilau air sungai yang mengalir kurang-lebih ke arah barat laut. Pada sisi jauh lembah itu terlihat perbukitan yang tinggi dan bahkan lebih berbatu-batu, tapi sosoknya lebih rendah daripada pegunungan yang telah dilihatnya kemarin. Kemudian dia mulai menebak posisinya. Dia berbalik dan memerhatikan pemandangan di belakangnya, lalu melihat lereng tempatnya berdiri berada di dataran tinggi pegunungan yang jauh lebih tinggi.
"Ternyata begitu," kata Shasta pada dirinya sendiri. "Gunung-gunung itu adalah pegunungan besar di antara Archenland dan Narnia. Aku berada di sisi lain gunung-gunung itu kemarin. Aku pastinya telah melewati jalan perbukitan tadi malam. Aku benar-benar beruntung!-setidaknya bukan benar-benar karena nasib baik, ini pasti karena Dia. Dan sekarang aku sudah tiba di Narnia."
Dia berbalik lagi dan membuka sadel kudanya lalu melepas tali kekangnya--"Walaupun kau benar-benar kuda yang men
yebalkan," katanya. Kuda itu mengabaikan komentar Shasta dan langsung mulai menyantap rumput. Hewan tersebut punya pandangan amat rendah tentang diri Shasta.
Kalau saja aku bisa makan rumput, pikir Shasta. Tidak ada gunanya kembali ke Anvard, pasti semua jalan ditutup. Lebih baik aku pergi ke bawah lembah dan memeriksa apakah ada sesuatu yang bisa kumakan.
Jadi dia melanjutkan perjalanan ke bawah lembah (embun yang besar-besar terasa sangat dingin menusuk bagi kaki-kaki telanjangnya) sampai dia tiba di hutan kecil. Ada semacam jalan setapak dalam hutan itu dan dia baru menyusurinya beberapa menit ketika dia mendengar suara tebal dan agak mendesis berkata kepadanya:
"Selamat pagi, Tetangga."
Dengan antusias, Shasta melihat ke sekelilingnya untuk mendapati si pembicara dan akhirnya dia melihat sosok kecil dan berduri dengan wajah gelap baru saja keluar dari sekelompok pohon. Setidaknya, sosok itu terlalu kecil untuk manusia namun teramat besar untuk seekor landak, yang ternyata memang.
"Selamat pagi," jawab Shasta. " lapi aku bukan tetanggamu. Bahkan aku orang asing di daerah sini."
"Ah"" ucap Landak penuh tanda tanya.
"Aku datang dari balik pegunungan--dari Archenland, kau tahu, kan""
"Ah, Archenland," kata Landak. "Tempat itu jauh sekali. Aku sendiri belum pernah ke sana."
"Dan kurasa, mungkin," kata Shasta, "seseorang harus diberitahu bahwa ada pasukan Calormen yang kejam menyerang Anvard saat ini juga."
"Benarkah itu"" komentar Landak. "Wah, coba bayangkan. Padahal mereka selalu berkata bangsa Calormen berada ratusan dan ribuan mil jauhnya, tepat di ujung dunia, menyeberangi lautan pasir yang luas."
"Ternyata tidaklah sejauh seperti bayanganmu," kata Shasta. "Dan bukankah sesuatu harus dilakukan tentang penyerangan ke Anvard ini" Bukankah seharusnya Raja Agung-mu diberitahu""
"Tentu saja, sesuatu harus dilakukan mengenai perihal ini," kata Landak. "Tapi kau bisa melihat sendiri, aku sedang dalam perjalanan menuju tempat tidur untuk tidur siangku. Halo, Tetangga!"
Kata-kata terakhir ini ditujukan kepada kelinci raksasa dengan warna bulu seperti biskuit yang kepalanya baru saja muncul keluar dari suatu tempat di samping jalan setapak. Landak itu langsung memberitahu Kelinci tentang apa yang baru diketahuinva dari Shasta. Kelinci setuju ini kabar yang sangat mengejutkan dan bahwa seseorang harus memberitahu seseorang tentang ini dan melakukan sesuatu.
Jadi proses ini pun terus berlanjut. Setiap beberapa menit anggota kelompok mereka bertambah dengan makhluk-makhluk lain, beberapa dari cabang-cabang pohon di atas, dan beberapa dari rumah-rumah kecil di bawah tanah di kaki mereka, hingga akhirnya kelompok mereka terdiri atas lima kelinci, seekor bajing, dua burung magpie, faun berkaki kambing, dan seekor tikus, yang semuanya berbicara pada saat yang sama dan sependapat dengan Landak. Karena sebenarnya pada zaman keemasan ketika sang penyihir juga musim dingin telah pergi dan Peter sang Raja Agung berkuasa di Cair Paravel, rakyat daerah hutan yang lebih kecil di Narnia merasa begitu aman dan bahagia sehingga mereka mulai bersikap kurang waspada.
Namun akhirnya, dua makhluk yang lebih praktis tiba di hutan kecil tu. Salah satunya adalah Dwarf Merah yang sepertinya bernama Duffle. Makhluk yang satunya seekor rusa jantan, hewan agung dan luar biasa indah dengan mata bening lebar, sisi tubuhnya berbintik-bintik dan kakinya begitu jenjang dan anggun sehingga kelihatannya kau bisa mematahkan keempatnya hanya dengan dua jari.
"Hidup sang singa!" pekik Dwarf segera setelah dia mendengar kabar ini. "Dan kalau memang benar begitu, kenapa kita semua bergeming, bercakap-cakap" Musuh ada di Anvard! Kabar ini harus segera disampaikan ke Cair Paravel. Pasukan harus disiapkan. Narnia harus pergi dan membantu Raja Lune."
"Ah!" kata Landak. "Tapi kau tidak akan mendapati Raja Agung di Cair. Dia berada jauh di Utara memerangi para raksasa itu. Dan bicara soal raksasa, para tetanggaku, ini membuatku teringat pada--"
"Siapa yang akan mengirimkan pesan kita"" potong Dwarf. "Apakah ada yang lebih cepat daripada aku di sini""
"Ak u bisa berlari cepat," jawab Rusa Jantan. "Apa pesanku" Berapa jumlah pasukan Calormen itu""
"Dua ratus: dipimpin Pangeran Rabadash. Dan--"Tapi rusa jantan itu sudah berlari--keempat kakinya terbang dari tanah sekaligus, dan sedetik kemudian bagian belakang tubuhnya yang putih telah menghilang di antara pepohonan yang lebih jauh.
"Kira-kira ke mana dia akan pergi"" kata Kelinci. "Kalian kan tahu dia tidak akan mendapati Raja Agung di Cair Paravel."
"Dia akan menemui Ratu Lucy," kata Duffle. "Lalu--astaga! Kenapa manusia ini" Wajahnya pucat sekali. Ya ampun, kurasa dia akan pingsan. Mungkin dia kelaparan. Kapan terakhir kali kau makan, anak muda""
"Kemarin pagi," jawab Shasta lemah.
"Ayo, kalau begitu, mari," kata Dwarf, dia langsung merangkulkan tangan kecil gemuknya ke pinggang Shasta untuk membantunya berdiri. "Astaga, para tetanggaku, kita seharusnya malu! Ikutlah denganku, Nak. Sarapan! Itu lebih baik daripada bicara."
Sambil menimbulkan kehebohan dan terus bergumam memaki dirinya sendiri, dwarf itu separo menuntun dan separo menggendong Shasta buru-buru ke dalam hutan dan sedikit mengajaknya menuruni bukit. Perjalanan itu terasa lebih panjang daripada yang Shasta inginkan pada saat itu, dan kedua kakinya mulai terasa sangat gemetar sebelum mereka keluar dari pepohonan dan menuju sisi bukit yang kosong. Di sana mereka mendapati rumah kecil dengan cerobong yang berasap dan pintu yang terbuka, lalu ketika mereka memasuki pintu, Duffle berteriak:
"He, saudara-saudaraku! Ada tamu untuk sarapan."
Dan mendadak, bersamaan dengan suara berdesis, tercium oleh Shasta wangi yang menyenangkan. Aroma itu belum pernah diciumnya selama hidupnya, tapi kuharap kau pernah. Aroma itu berasal dari daging bacon, telur, dan jamur yang sedang digoreng di panci.
"Hati-hati kepalamu, Nak," kata Duffle sedetik terlambat, karena Shasta telah membenturkan dahinya ke kerangka pintu yang rendah. "Sekarang," lanjut Dwarf, "silakan duduk. Meja ini terlalu rendah untukmu, tapi toh kursinya juga rendah. Bagus. Dan ini bubur--lalu ini sepoci krim--dan ini sendoknya."
Pada saat Shasta selesai menyantap buburnya, dua saudara dwarf itu (yang bernama Rogin dan Bricklethumb) menyajikan sepiring bacon, telur, dan jamur, juga poci kopi, susu panas, dan roti bakar di meja.
Semua ini pengalaman baru dan indah bagi Shasta karena santapan Calormen sangat berbeda dengan makanan itu. Dia bahkan tidak tahu apakah irisan-irisan cokelat di hadapannya, karena dia tidak pernah melihat roti bakar sebelumnya. Dia tidak tahu benda apakah yang kuning dan lembut yang mereka oleskan ke roti bakar, karena di Calormen kau hampir selalu mendapat minyak bukannya mentega. Dan rumah itu sendiri sangat berbeda dengan gubuk gelap, dingin, berbau ikan milik Arsheesh, ataupun aula-aula berpilar dan berkarpet istana-istana Tashbaan. Langit-langitnya sangat rendah, segala hal terbuat dari kayu, dan tampak jam dinding kuk-kuk juga taplak berpola kotak-kotak merah-putih, semangkuk bunga liar serta gorden kecil pada jendela-jendela bertepi tebal. Juga terasa agak sulit menggunakan cangkir, piring, pisau, dan garpu dwarf. Ini berarti porsi tambahan memang sangat sedikit, tapi tersedia banyak porsi tambahan, sehingga piring dan cangkir Shasta selalu terisi kembali setiap saat, dan setiap saat para dwarf itu sendiri berkata, "Tolong menteganya", "Secangkir kopi lagi", "Bisakah aku memperoleh jamur lagi"", atau "Bagaimana kalau kita menggoreng sebutir telur atau lebih lagi"" Dan ketika akhirnya mereka semua selesai bersantap sebanyak yang mereka mampu, ketiga dwarf mengambil undian siapa yang akan mencuci, dan Rogin ternyata tidak beruntung. Kemudian Duffle dan Bricklethumb mengajak Shasta keluar menuju bangku yang bersandar pada dinding pondok, lalu mereka menjulurkan kaki, mengesahkan napas penuh rasa puas, dan kedua dwarf menyalakan pipa mereka. Embun kini telah mengering dari rerumputan dan sinar matahari terasa hangat, bahkan kalau tidak ada angin semilir yang sejuk, hari itu akan terasa panas.
"Sekarang, orang asing," kata Duffle, "aku akan menunjukkan padamu keadaan tanah in
i. Kau bisa melihat nyaris seluruh bagian Selatan Narnia dari sini, dan kami agak bangga dengan pemandangan ini. Langsung di sebelah kirimu, di balik bukit-bukit yang dekat itu, kau bisa melihat Pegunungan Barat. Dan bukit bundar jauh di sebelah kananmu bernama Bukit Stone Table. Di balik itu--"
Tapi pada saat itu, penjelasan Duffle terpotong dengkuran Shasta yang, berkat perjalanan sepanjang malam dan sarapan memuaskannya, telah tertidur lelap. Para dwarf yang baik hati itu, segera setelah menyadari ini, mulai membuat tanda pada satu sama lain untuk tidak membangunkan Shasta, dan mengeluarkan begitu banyak bisikan, mengangguk-angguk, bangkit, dan membuat suara saat berjingkat pergi sehingga mereka sudah pasti akan membangunkannya kalau anak itu tidak terlalu lelah.
Shasta tertidur cukup nyenyak nyaris sepanjang hari tapi terbangun tepat pada saat makan malam. Semua tempat tidur di tempat itu juga terlalu kecil untuknya tapi mereka menyiapkan kasur heather di lantai, dan dia tidak pernah bergerak gelisah maupun bermimpi sepanjang malam. Keesokan paginya mereka baru saja selesai sarapan ketika mendengar suara tajam penuh semangat dari luar.
"Terompet!" kata ketiga dwarf, ketika mereka dan Shasta sama-sama berlari keluar.
Terompet-terompet bersuara lagi: suara yang baru bagi Shasta, tidak keras dan agung seperti terompet tanduk Tashbaan, ataupun penuh semangat dan ceria seperti terompet tanduk berburu Raja Lune, tapi jelas, tajam, dan penuh keberanian. Suara itu datang dari hutan di timur, dan tak lama terdengar suara entakan kaki kuda bercampur dengannya. Beberapa saat kemudian kepala barisan mulai kelihatan.
Pertama tampak Lord Peridan di atas kuda cokelat berbintik hitam membawa panji besar Narnia--singa merah pada latar hijau. Shasta langsung mengenalinya. Kemudian menyusul tiga orang berkuda berdampingan, dua di atas kuda perang yang menakjubkan dan seorang di punggung kuda poni. Dua orang yang mengendarai kuda perang adalah Raja Edmund dan wanita berambut pirang yang berwajah sangat ceria. Dia mengenakan topi baja juga baju rantai besi, dan membawa busur yang disampirkan di bahunya serta tempat anak panah yang penuh di sisi tubuhnya.
("Itu Ratu Lucy," bisik Daffle.) Tapi orang yang duduk di atas poni ternyata Corin. Setelah itu tampak bagian utama pasukan: para manusia dengan kuda-kuda biasa, para manusia dengan Kuda yang Bisa Berbicara (yang tidak keberatan ditunggangi pada kesempatan-kesempatan khusus, seperti ketika Narnia harus berperang), para centaurus, beruang-beruang tangguh yang penuh luka gigitan, para Anjing yang Bisa Berbicara besar, dan akhirnya enam raksasa. Karena memang ada raksasa baik di Narnia. Tapi walaupun dia tahu para raksasa itu berada di pihak yang benar, awalnya Shasta nyaris tidak berani melihat mereka. Ada banyak hal yang perlu dibiasakan terlebih dahulu.
Ketika sang raja dan ratu sampai di pondok dan ketiga dwarf mulai membungkuk rendah memberi hormat kepada mereka, Raja Edmud berseru:
"Kini, teman-teman! Ini saatnya untuk berhenti dan beristirahat!" Lalu segera terjadi kericuhan akibat orang-orang turun dari kuda, kantong-kantong perjalanan dibuka, dan percakapan dimulai ketika Corin berlari menghampiri Shasta, meraih kedua tangannya dan berseru:
"Astaga! Kau ada di sini! Jadi kau berhasil ke sini" Aku sangat lega. Sekarang kita akan bersenang-senang. Betapa ini nasib baik! Kami baru tiba di pelaburan Cair Paravel pagi kemarin dan yang pertama bertemu kami adalah Chervy sang Rusa Jantan dengan semua kabar tentang penyerangan ke Anvard. Apakah menurutmu--"
"Siapa teman Yang Mulia"" tanya Raja
Edmund, yang baru saja turun dari kudanya.
"Tidakkah kau bisa melihatnya, Sire"" kata Corin. "Dia kembaranku: anak laki-laki yang kaukira aku di Tashbaan."
"Astaga, dia memang benar-benar mirip denganmu," seru Ratu Lucy. "Kalian seperti saudara kembar. Ini menakjubkan sekali."
"Aku mohon, yang Mulia," kata Shasta kepada Raja Edmund, "aku bukanlah pengkhianat, sungguh. Dan aku tidak sengaja mendengar rencan kalian. Tapi aku tidak pernah bermimpi akan membocorkannya pada musuh-musuh Anda.
" "Sekarang aku tahu kau bukan pengkhianat, Nak," kata Raja Edmund, meletakkan tangannya di kepala Shasta. "Tapi jika kau memang tidak mau dianggap begitu, lain kali upayakan kau tidak mendengar apa-apa yang dimaksud kan untuk telinga orang lain. Tapi semua tak menjadi masalah lagi."
Setelah itu terjadi begitu banyak kehebohan, percakapan, kedatangan, juga kepergian sehingga selama beberapa menit Shasta kehilangan Corin, Edmund, dan Lucy. Tapi Corin sejenis anak yang kita bisa yakin akan segera kita tahu keberadaannya, dan tidaklah butuh waktu lama sebelum Shasta mendengar Raja Edmund berkata dengan suara keras:
"Demi surai singa, Pangeran, ini keterlaluan! Apakah Yang Mulia tidak akan bersikap lebih baik lagi" Mengaturmu lebih merepotkan daripada mengatur seluruh pasukan kita! Lebih baik aku memimpin satu resimen langau kerbau daripada harus berurusan denganmu."
Shasta menyusup di antara kerumunan, dan di barisan depan dia melihat Edmund, yang memang tampak sangat marah, Corin sendiri tampak sedikit malu, dan dwarf asing duduk di tanah menampilkan ekspresi sebal. Dua faun tampaknya baru saja membantunya melepas baju zirah.
"Kalau saja aku membawa rasa belas kasihku," Ratu Lucy berkata, "aku bisa segera membereskan ini. Tapi Raja Agung telah memerintahku dengan tegas untuk tidak membawanya ke dalam peperangan dan hanya menyimpannya untuk kasus yang teramat khusus!"
Inilah yang telah terjadi. Segera setelah Corin berbincang-bincang dengan Shasta, siku Corin ditarik dwarf bernama Thornbut yang merupakan anggota pasukan.
"Ada apa, Thornbut"" Corin bertanya.
"Yang Mulia," kata Thornbut, menariknya ke samping, "perjalanan kita hari ini akan membawa kita melintasi jalan perbukitan dan tepat menuju istana agung ayah Yang Mulia. Kita mungkin akan terlibat dalam peperangan sebelum malam tiba."
"Aku tahu," kata Corin. "Bukankah ini menyenangkan""
"Menyenangkan ataupun tidak," kata Thornbut, "aku punya perintah tegas dari Raja Edmund untuk memastikan Yang Mulia tidak terjun ke dalamnya. Yang Mulia akan diizinkan menyaksikannya, dan itu ancaman yang sudah cukup besar untuk usia Yang Mulia yang masih begitu muda."
"Oh, omong kosong!" lontar Corin. "Tentu saja aku akan ikut berperang. Bahkan Ratu Lucy akan bergabung dalam pasukan pemanah."
"Yang Mulia Ratu boleh melakukan apa pun yang dia inginkan," kata Thornbut. "Tapi Anda merupakan tanggung jawabku. Apakah aku harus mendapatkan janji agung selayaknya pangeran dari Yang Mulia bahwa Anda akan tetap menjaga kuda poni Yang Mulia di samping kudaku--bahkan tidak setengah leher pun lebih maju--sampai aku memberi izin kepada Yang Mulia untuk pergi: atau pilihan lain--ini sesuai kata-kata sang raja--kita harus pergi dengan pergelangan tangan terikat satu sama lain seperti dua tawanan."
"Aku akan meninjumu bila kau mencoba mengikatku," kata Corm.
"Aku ingin melihat Yang Mulia melakukannya," kata si dwarf.
Kata-kata itu sudah cukup bagi anak seperti Corin dan sedetik kemudian dia dan si dwarf beradu jotos. Perkelahian itu mungkin akan seri karena walaupun Corin memiliki lengan yang lebih panjang dan tubuh yang lebih tinggi, si dwarf sudah lebih tua dan tangguh. Tapi perkelahian itu tidak diteruskan hingga akhir (walau perkelahian ini perkelahian paling seru pada sisi bukit yang kasar). Akibat nasib buruk, Thornbut tergelincir batu, terjatuh, dan mendarat dengan hidungnya, dan mendapati pergelangan kakinya terkilir ketika dia berusaha bangkit, keseleo yang amat parah sehingga Thornbut tidak akan bisa berjalan ataupun berkuda setidaknya selama dua minggu.
"Lihat apa yang telah Yang Mulia lakukan," kata Raja Edmund. "Membuat kita kehilangan pejuang tangguh saat kita menyongsong pertempuran.
"Aku akan menggantikan tempatnya, Sire," kata Corin.
"Hah," kata Edmund. "Tidak ada yang meragukan keberanianmu. Tapi anak lelaki dalam pertempuran hanya akan menjadi ancaman bagi pihaknya sendiri."
Pada saat itu sang raja dipanggil pergi untuk mengurusi sesuatu yang lain, dan Corin, setelah meminta maaf secara kesatria kepada si dwarf, berlari menghampiri Shasta dan berbisik:
"Cepat! Ki ni ada kuda poni tersisa, juga baju zirah si dwarf. Lekas pakai sebelum ada yang memerhatikan."
"Untuk apa"" tanya Shasta.
"Yah, tentu supaya kau dan aku bisa ikut berperang dalam pertempuran! Tidakkah kau ingin bergabung""
"Oh--ah, ya, tentu saja," kata Shasta. Tapi dia bahkan belum mulai memikirkan itu sama sekali, lalu dia mulai merasakan tusukan-tusukan tidak menyenangkan di tulang punggungnya.
"Betul begitu," kata Corin. "Kenakan dari kepalamu. Sekarang sabuk pedangnya. Tapi kita harus berkuda di dekat barisan belakang dan tetap menjaga supaya kita tak bersuara. Begitu pertempuran dimulai, semua orang akan terlalu sibuk untuk memerhatikan kehadiran kita."
BAB TIGA BELAS Pertempuran di Anvard SEKITAR pukul sebelas, seluruh pasukan sekali lagi mulai berjalan, berkuda ke arah barat dengan pegunungan di sebelah kiri mereka. Corin dan Shasta berkuda tepat di belakang barisan dengan pasukan raksasa langsung di depan mereka. Lucy, Edmund, dan Peridan sibuk dengan rencana peperangan walaupun Lucy sempat berkata, "Tapi di mana Yang Mulia Pangeran"" Edmund hanya menjawab, "Dia tidak ada di depan, dan itu kabar yang cukup baik. Biarkan saja tetap begitu."
Shasta memberitahu Corin sebagian besar petualangannya dan menjelaskan bahwa dia mempelajari seluruh kemampuan berkudanya dari seekor kuda dan tidak benar-benar tahu cara menggunakan tali kekang. Corin menunjukkan caranya, selain bercerita tentang pelayaran rahasia mereka dari Tashbaan.
"Lalu di mana Ratu Susan""
"Di Cair Paravel," kata Corin. "Dia tidak seperti Ratu Lucy, kalau kau ingin tahu, yang selihai pria, atau dalam taraf apa pun selihai pemuda. Ratu Susan lebih seperti wanita dewasa biasa. Dia tidak berkuda menuju peperangan, walaupun dia pemanah yang hebat."
Jalan setapak di sisi bukit yang mereka lewati kian menyempit sejalan dengan berlalunya waktu, dan jurang di sebelah kanan mereka menjadi kian curam. Akhirnya mereka berjalan dalam satu barisan sepanjang tepi tebing dan tubuh Shasta gemetar mengingat dia telah melakukan hal yang sama kemarin malam tanpa menyadarinya. Tapi tentu saja, dia berpikir, aku cukup aman. Itu sebabnya sang singa berjalan di sebelah kiriku. Dia berada di antara diriku dan pinggir jurang sepanjang waktu.
Kemudian jalan setapak membelok ke kiri dan mengarah ke selatan menjauhi tebing, lalu tampak hutan lebat di kedua sisinya. Mereka pun mendaki jalan yang curam itu hingga ke jalan perbukitan. Sebenarnya akan terpampang pemandangan yang indah dari puncak jalan tersebut kalau saja daerah itu berupa dataran terbuka, namun di antara semua pohon itu kau tidak bisa melihat apa pun--hanya saja, sesekali, tampak beberapa tebing batu besar di balik pucuk pepohonan, dan seekor atau dua ekor elang terbang berputar di langit biru.
"Mereka mencium pertempuran," kata Corin, menunjuk ke kedua burung tersebut. "Mereka tahu kita sedang menyiapkan santapan bagi mereka."
Shasta sama sekali tidak menyukai ini.
Ketika telah menyeberangi leher jalan perbukitan dan mencapai bagian yang lebih rendah, mereka tiba di daratan yang lebih terbuka dan dari sini Shasta dapat melihat seluruh Archenland, biru dan berkabut, terbentang di bawahnya dan bahkan (menurutnya) sedikit pemandangan padang pasir di baliknya. Tapi matahari, yang mungkin masih memiliki dua jam atau lebih untuk bertengger di langit sebelum terbenam, menghalangi pandangannya dan dia tidak bisa melihat jelas.
Di sini pasukan berhenti dan berpencar membentuk barisan, dan terjadilah berbagai pengaturan. Sekelompok Hewan yang Bisa Berbicara yang tampak sangat mengancam-Shasta tadinya tidak menyadari keberadaan mereka--dan sebagian besar terdiri atas spesies kucing (macan tutul, macan kumbang, dan semacamnya) melangkah maju dan meraung mengambil posisi di sebelah kiri pasukan.
Para raksasa diperintahkan mengambil posisi di kanan barisan, dan sebelum pergi ke posisi masing-masing, mereka menurunkan sesuatu yang telah mereka bawa di punggung dan duduk sebentar. Shasta lalu melihat sesuatu yang telah mereka bawa-bawa dan kini mereka kenakan itu ternyata sepasang sepatu bot: bot mengerikan, berat,
dan berpaku yang menutupi hingga lutut. Kemudian mereka menyampirkan gada besar mereka ke bahu dan berbaris mengambil posisi.
Pasukan pemanah, bersama Ratu Lucy, mundur ke belakang barisan dan kau bisa melihat awalnya mereka melengkungkan busur lalu mendengar toing-toing ketika mereka mengetes tali busur. Dan ke mana pun memandang, kau bisa melihat orang-orang mengencangkan sabuk, mengenakan topi baja, menghunus pedang, dan melemparkan jubah ke tanah. Kini nyaris tidak ada yang bicara. Suasana terasa sangat serius dan menegangkan. Aku sudah terlibat sekarang--aku benar-benar sudah terlibat sekarang, pikir Shasta. Kemudian terdengar suara-suara jauh di depan: suara banyak pria berteriak dan suara entakan duk-duk-duk yang terus-menerus.
"Alat pendobrak gerbang," bisik Corin. "Mereka menggedor-gedor gerbang."
Bahkan Corin kini tampak sangat serius.
"Kenapa Raja Edmund belum juga maju"" tanyanya. "Aku tidak tahan menunggu lebih lama lagi. Udara pun semakin dingin."
Shasta mengangguk: berharap dia tidak tampak setakut yang dirasakannya.
Akhirnya terdengar suara terompet! Pasukan bergerak--kini berlari kecil--panji berkibar ditiup angin. Mereka kini mencapai puncak dataran tinggi yang rendah, dan di bawah mereka seluruh keadaan mendadak terlihat jelas: istana kecil bermenara banyak dengan gerbang menghadap mereka. Sayangnya tidak berparit, tapi tentu saja gerbang itu tertutup dan kerangkeng besinya diturunkan. Pada dinding-dinding, mereka bisa melihat, seperti titik-titik putih kecil, wajah-wajah pasukan pertahanan. Di bawah, sekitar lima puluh orang Calormen, yang telah turun dari kuda, terus-menerus membenturkan batang pohon ke gerbang. Tapi pemandangan segera berubah.
Pasukan utama Rabadash mulai berjalan kaki dan siap menyerang gerbang. Tapi kini mereka telah melihat pasukan Narnia turun menyerbu dari dataran tinggi. Tidak perlu diragukan betapa terlatihnya orang-orang Calormen itu. Sepertinya baru sedetik berlalu ketika Shasta melihat seluruh barisan musuh sudah naik kembali ke punggung kuda, berputar untuk menghadapi mereka, mengalihkan penyerbuan ke arah mereka.
Dan kini mereka berpacu. Jarak di antara dua pasukan setiap saat kian berkurang. Lebih cepat, lebih cepat lagi. Semua pedang kini sudah terhunus, semua perisai diangkat hingga ke hidung, semua doa diucapkan, semua geligi dikatupkan. Shasta sangat ketakutan. Tapi mendadak timbul pemikiran di benaknya, kalau kau menggagalkan ini, kau akan menggagalkan semua pertempuran dalam hidupmu. Sekarang atau tidak sama sekali.
Tapi ketika akhirnya dua barisan bertemu dia punya sedikit bayangan akan apa yang kemudian terjadi. Terjadi kebingungan yang mengerikan dan terdengar suara penuh teror. Pedangnya segera terlempar dari tangannya tak lama setelah itu. Dan entah bagaimana tali kekangnya terbelit-belit. Lalu dia mendapati dirinya merosot turun. Kemudian tombak datang menerjang ke arahnya dan ketika merunduk untuk menghindari tusukan, dia sekaligus berputar dan turun dari kuda, membenturkan buku-buku jemari kirinya keras sekali ke baju zirah seseorang, kemudian-
Tapi tidak ada gunanya menggambarkan pertempuran itu dari sudut pandang Shasta. Secara umum dia hanya memahami sedikit tentang perang itu dan bahkan perannya sendiri di dalamnya. Cara terbaik yang bisa kulakukan untuk memberitahumu apa yang sebenarnya terjadi adalah dengan membawamu pergi sejauh beberapa mil, ke tempat Pertapa Perbatasan Selatan duduk memandang ke dalam kolam bepermukaan tenang di bawah pohon yang cabangnya terbentang panjang, bersama Bree, Hwin, dan Aravis di sampingnya.
Karena melalui kolam inilah sang pertapa mendapatkan penglihatan ketika dia ingin mengetahui apa yang terjadi di dunia di luar dinding hijau pertapaannya. Di sana, seperti pada cermin, dia bisa melihat pada waktu-waktu tertentu, apa yang terjadi di berbagai jalan kota-kota yang letaknya lebih jauh ke selatan daripada Tashbaan, atau kapal-kapal apa yang berlabuh di Redhaven di Seven Isles yang terletak di pedalaman, atau perampok-perampok apa atau makhluk buas apa yang membuat kericuhan di hutan-hutan lebat negeri Barat d
i antara Lantern Waste dan Telmar. Dan sepanjang hari ini dia nyaris tidak meninggalkan kolamnya, bahkan untuk makan dan minum, karena dia tahu peristiwa-peristiwa besar sedang berlangsung di Archenland. Aravis dan kedua kuda juga ikut memandang ke dalam kolam. Mereka bisa melihat bahwa kolam itu kolam ajaib: bukannya menampilkan bayangan pohon dan langit, kolam itu menunjukkan sosok-sosok samar dan berwarna yang bergerak, selalu bergerak, dari kedalamannya. Tapi mereka tidak bisa melihat apa pun dengan jelas. Namun pertapa itu bisa melihat jelas dan sesekali dia memberitahu mereka apa yang dia lihat. Beberapa saat sebelum Shasta berkuda menyambut pertempuran pertamanya, sang pertapa mulai berbicara seperti ini:
"Aku melihat satu--dua--tiga elang terbang berputar di celah dekat Stormness Head. Salah satunya merupakan elang yang tertua di antara bangsanya. Dia tidak akan keluar kecuali peperangan berada di depan mata. Aku melihatnya terbang berputar-putar, terkadang melihat ke bawah ke Anvard dan terkadang ke arah timur, ke balik Stormness.
"Ah--aku melihat sekarang apa yang telah menyibukkan Rabadash dan pasukannya sepanjang hari ini. Mereka telah menebang dan memotongi pohon besar dan mereka kini berjalan keluar dari hutan membawanya sebagai alat pendobrak. Mereka telah mempelajari sesuatu dari kegagalan penyerangan terakhir kemarin malam. Dia akan lebih bijaksana bila dia memerintah prajurit-prajuritnya membuat tangga: tapi tindakan itu akan memakan waktu lebih lama dan dia tidak sabar lagi. Dia memang bodoh! Dia seharusnya berkuda pulang ke Tashbaan segera setelah penyerangan pertamanya gagal, karena seluruh rencananya bergantung pada kecepatan dan elemen kejutan.
"Kini mereka memosisikan alat pendobrak mereka. Pasukan Raja Lune berteriak keras dari atas dinding. Rabadash kini mengeluarkan perintah-perintahnya. Bersamanya tampak para bangsawan paling terpercayanya, pejuang-pejuang Tarkaan tangguh dari provinsi-provmsi timur. Aku bisa melihat wajah mereka. Itu Corradin dari Istana Tormunt, Azrooh, Chlamash, Ilgamuth si bibir sumbing, dan Tarkaan tinggi dengan janggut kemerahan--"
"Demi Surai Agung, itu majikan lamaku Anradin!" kata Bree.
"Sstt," kata Aravis.
"Kini pendobrakan dimulai. Kalau aku bisa mendengar sejelas aku melihat, betapa keras suara yang dihasilkannya! Gedoran demi gedoran: dan tidak ada gerbang yang akan bisa bertahan selamanya. Tapi tunggu! Sesuatu di atas Stormness telah menakuti burung-burung. Mereka datang dalam rombongan besar. Dan tunggu sebentar lagi... aku belum bisa melihatnya... ah! Kini tampak. Seluruh punggung bukit, tinggi di Timur, tampak hitam tertutupi pasukan berkuda. Kalau saja angin dapat menangkap tiang bendera yang mereka bawa dan mengibarkan benderanya. Mereka kini berada di puncak dataran tinggi, siapa pun mereka. Aha! Aku telah melihat panji mereka. Narnia, Narnia! Itu sang singa merah. Kini mereka bergerak dengan kecepatan penuh menuruni bukit. Aku bisa melihat Raja Edmund. Ada wanita di belakang di antara para pemanah. Oh!--"
"Ada apa"" tanya Hwin menahan napas. "Semua Kucing berlari keluar dari bagian kiri barisan."
"Kucing"" tanya Aravis.
"Kucing-kucing besar, macan tutul dan sejenisnya," kata sang pertapa tidak sabar. "Ah, begitu rupanya. Pasukan Kucing menyerbu dan membuat lingkaran, mengelilingi kuda-kuda para prajurit yang telah berjalan kaki. Serangan jitu. Kuda-kuda Calormen sudah terlebih dahulu ketakutan. Kim pasukan Kucing itu berada di antara mereka. Tapi Rabadash telah mengatur ulang barisannya dan punya seratus prajurit berkuda. Mereka berpacu untuk menghadapi pasukan Narnia. Saat ini hanya ada jarak sekitar dua ratus meter di antara dua barisan. Sekarang hanya lima puluh. Aku bisa melihat Raja Edmund, aku bisa melihat Lord Peridan. Ada dua anak biasa dalam barisan pasukan Narnia. Kenapa sang raja memperbolehkan mereka ikut dalam peperangan" Tinggal sepuluh meter lagi--barisan kedua pihak akhirnya bertemu. Para raksasa pada barisan kanan pasukan Narnia melakukan serangan-serangan menakjubkan... tapi ada satu yang tumbang.., tertembak matanya, kurasa. Bag
ian tengah begitu ricuh dan membingungkan. Aku bisa melihat lebih jelas di bagian kiri. Itu dia dua anak lelaki itu lagi. Demi sang singa! Salah satunya Pangeran Corin. Anak yang satunya lagi, begitu mirip dengannya seperti dua kacang polong. Itu Shasta kecil kalian. Corin bertarung seperti pria dewasa. Dia telah membunuh seorang Calormen. Aku bisa melihat bagian tengah sedikit sekarang. Rabadash dan Edmund juga hampir bertemu sekarang, tapi mereka kembali berpisah karena terdorong pasukan--"
"Bagaimana dengan Shasta"" tanya Aravis.
"Oh, anak bodoh itu!" erang sang pertapa. "Anak kecil bodoh malang yang berani itu. Dia tidak tahu apa-apa tentang ini. Dia sama sekali tidak menggunakan perisainya. Seluruh sisi tubuhnya terbuka lebar. Dia sama sekali tidak punya bayangan bagaimana menggunakan pedangnya. Oh, sekarang dia sudah mengingatnya. Dia mengayunkannya sembarangan... nyaris memancung kepala kuda poninya sendiri, dan dia akan melakukan itu sebentar lagi bila tidak berhati-hati. Pedang itu kini terlempar dari tangannya. Mengirim anak ke pertempuran sama saja dengan sekadar pembunuhan, dia tidak akan bertahan hidup bahkan selama lima menit. Tiarap, bodoh--oh, dia terjatuh."
"Terbunuh"" tanya tiga suara menahan napas.
"Bagaimana aku bisa tahu"" kata sang pertapa. "Para Kucing telah menuntaskan tugas mereka. Kini semua kuda tidak berpenunggang telah mati atau melarikan diri: tidak mungkin pasukan Calormen bisa kembali mengendarai mereka. Kini para Kucing berbalik ke pertarungan utama. Mereka menerkam para prajurit pendobrak gerbang. Alat pendobrak terjatuh. Oh, bagus! Bagus! Gerbang kini terbuka dari dalam: akan ada penyerbuan.
"Tiga orang pertama keluar. Itu Raja Lune di tengah: saudara-saudaranya Dar dan Darrin di kedua sisinya. Di belakang mereka Tran, Shar, Cole, dan saudaranya Colin. Ada sepuluhdua puluh--nyaris tiga puluh prajurit yang telah keluar sekarang. Barisan Calormen terdorong ke belakang oleh mereka. Raja Edmund melakukan serangan-serangan luar biasa. Dia baru saja memotong kepala Corradin. Banyak di antara orang Calormen telah melemparkan senjata dan berlari menuju hutan. Pasukan yang tersisa sangat terdesak. Para raksasa mengepung dari sebelah kanan--pasukan Kucing dari sebelah kiri--Raja Lune dari belakang mereka. Pasukan Calormen kini tinggal sedikit, bertarung dengan saling memunggungi.
"Tarkaan-mu tumbang, Bree. Lune dan Azrooh bertarung langsung, sang raja tampaknya berada di atas angin--sang raja menguasai pertarungan--sang raja telah menang. Azrooh tumbang. Raja Edmund terjatuh--tidak, dia bangkit lagi: dia bertarung dengan Rabadash. Mereka bertarung tepat di depan gerbang istana. Beberapa Calormen telah menyerah. Darrin telah membunuh Ilgamuth. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi pada Rabadash. Kurasa dia sudah mati, dia bersandar di dinding istana, tapi entahlah. Chlamash dan Raja Edmund masih bertarung tapi pertempuran telah berakhir di tempat-tempat lain. Chlamash menyerah. Pertempuran sudah berakhir. Pasukan Calormen sama sekali dikalahkan."
Ketika Shasta terjatuh dari kudanya dia telah memasrahkan nyawanya. Tapi kuda-kuda, bahkan dalam pertempuran, lebih cenderung tidak akan menginjak-injak manusia seperti yang bakal kaubayangkan. Setelah sekitar sepuluh menit atau lebih yang amat mengerikan, Shasta mendadak menyadari tidak ada lagi kuda-kuda yang mengentak-entak di sekitarnya dan bahwa suara (karena masih terdengar suara-suara keras di beberapa tempat) tidaklah berasal dan pertempuran. Dia duduk tegak dan memandang ke sekelilingnya. Bahkan dia, dengan pengeahuannya yang minim tentang, bisa segera melihat pihak Archenland dan Narnia telah menang. Para orang Calormen yang masih hidup yang kini bisa dilihatnya hanyalah para tawanan.
Gerbang-gerbang istana terbuka lebar, dan Raja Lune juga Raja Edmund sedang berjabat tangan di atas alat pendobrak gerbang. Dari lingkaran para bangsawan dan pejuang di sekeliling mereka, terdengar suara yang penuh napas terengah-engah dan penuh semangat, tapi jelas-jelas ceria. Kemudian, mendadak, semua percakapan itu bersatu dan membengkak menjadi pekik
an keras tawa. Shasta bangkit, merasa tubuhnya kaku luar biasa, dan berlari menghampiri suara tawa keras itu untuk melihat apa yang menjadi penyebabnya. Pemandangan yang sangat menarik tertangkap matanya. Rabadash yang sangat malang tampak tergantung di dinding istana. Kedua kakinya, yang berada sekitar setengah meter dari tanah, menendang-nendang liar.
Baju rantai besinya entah bagaimana tersangkut sehingga tertarik ketat di bagian bawah lengannya dan setengah menutupi wajahnya. Bahkan dia tampak seperti pria yang tertangkap basah sedang berusaha mengenakan baju ketat yang terlalu kecil untuknya. Sejauh yang bisa diketahui setelahnya (dan kau bisa yakin kisah ini diceritakan berulang kali selama beberapa hari) beginilah kejadian sebenarnya.
Pada awal pertempuran salah satu raksasa telah gagal menginjak Rabadash dengan bot berpakunya: gagal karena dia tidak berhasil meremukkan sang pangeran, padahal itulah maksud tindakannya, tapi tidak sepenuhnya tidak berguna karena salah satu paku sepatu botnya merobek jalinan rantai baju besi Rabadash, seperti kau ataupun aku merobek baju biasa. Jadi ada lubang di bagian belakang baju perang Rabadash saat dia berhadapan dengan Edmund di gerbang. Dan ketika Edmund mendesaknya lebih dekat dan lebih dekat lagi ke dinding, dia melompat ke atas batang kayu yang lebih tinggi dan berdiri di sana, menghujani Edmund dengan ayunan pedang dari atas. Tapi kemudian, dia mendapati posisi ini telah membuat dirinya lebih tinggi daripada orang lain dan menjadikannya target setiap panah dari busur-busur Narnia, sehingga dia memutuskan untuk melompat turun lagi.
Dia bermaksud untuk kelihatan dan kedengaran--tak diragukan barang sedetik pun dia memang kelihatan dan kedengaran--sangat agung dan mengancam saat melompat dan berteriak, "Petir Tash akan menyambarmu dari langit." Tapi dia harus melompat ke samping karena kerumunan di depannya tidak menyisakan tempat mendarat. Lalu, dengan cara yang paling tepat yang bisa kaubayangkan, sobekan di belakang baju perangnya tersangkut pengait di dinding. (Dahulu sekali pengait ini bercincin untuk tempat mengikat kuda.) Dan di sana Rabadash mendapati dirinya, seperti selembar cucian yang digantung untuk dikeringkan, dengan semua orang menertawakannya.
"Turunkan aku, Edmund," lolong Rabadash. "Turunkan aku dan bertarunglah denganku seperti seorang raja dan pria, atau jika kau terlalu pengecut untuk melakukan itu, segera bunuhlah aku."
"Baiklah," mulai Raja Edmund, tapi Raja Lune menghentikan ini.
"Demi nama baik Yang Mulia," kata Raja Lune kepada Edmund. "Jangan diteruskan." Kemudian dia menoleh ke Rabadash dan berkata, "Yang Mulia Pangeran, kalau kau telah melemparkan tantangan itu seminggu lalu, aku akan menjawabnya karena tidak ada satu pun rakyat yang berada di bawah kekuasaan Raja Edmund, dari raja agung hingga Tikus yang Bisa Berbicara terkecil pun, yang akan menampiknya. Tapi Jengan menyerang istana Anvard kami di saat damai tanpa mengirimkan peringatan, kau telah membuktikan diri bukanlah kesatria, tapi pengkhianat, dan kami lebih baik dicambuk algojo daripada harus menderita beradu pedang dengan orang yang punya kehormatan seperti itu. Turunkan dia, ikat, dan bawa dia ke dalam sehingga kebahagiaan kita diketahui semua orang."
Tangan-tangan kuat merampas pedang Rabadash dan pangeran itu dibawa masuk ke istana, berteriak-teriak, mengancam, mengutuk, dan bahkan menangis. Karena walaupun mampu menghadapi siksaan, dia tidak tahan menjadi bahan tertawaan. Di Tashbaan semua orang selalu memerhatikannya secara serius.
Pada saat itu Corin berlari mendekati Shasta, meraih tangannya dan mulai menariknya menghadap Raja Lune. "Ini dia, Ayah, ini dia," teriak Corin.
"Ya, dan di sini rupanya kau, akhirnya," kata sang raja dengan suara yang sangat galak. "Dan kau ikut bertempur, jelas-jelas menentang perintahku. Anak yang menghancurkan hati ayahnya! Di usiamu, kau lebih pantas memegang batang kayu breech daripada pedang itu, hah!" Tapi semua orang, termasuk Corin, bisa melihat sang raja sangat bangga padanya.
"Jangan lagi marahi dia, Sire, jika Anda berkenan," k
ata Lord Darrin. "Yang Mulia tidak akan menjadi putra Paduka bila dia tidak mewariskan sifat-sifat Paduka. Akan lebih menyakitkan bagi Yang Mulia bila dia harus dimarahi karena keadaan sebaliknya."
"Yah, yah," gerutu sang raja. "Kejadian ini akan dilupakan untuk kali ini. Dan sekarang--"
Yang terjadi selanjutnya lebih mengejutkan Shasta daripada apa pun yang pernah dialaminya sepanjang hidupnya.
Dia mendapati dirinya mendadak dipeluk erat hingga tubuhnya terangkat oleh Raja Lune dan kedua pipinya dicium. Kemudian sang raja menurunkannya dan berkata, "Berdirilah berdampingan di sini, anak-anak, dan biarkan seluruh kerajaan melihat kalian. Angkatlah kepala kalian. Sekarang, saudara-saudara, lihatlah mereka berdua. Apakah masih ada yang ragu""
Dan Shasta tetap tidak mengerti kenapa kini semua orang memandang lekat dirinya dan Corin, ataupun apa yang menyebabkan semua sorakan gembira yang kini diperdengarkan.
BAB EMPAT BELAS Ketika Bree Menjadi Kuda yang Lebih Bijak
KINI kita harus kembali ke Aravis dan kedua kuda. Sang pertapa, masih mengawasi kolamnya, kini bisa memberitahu mereka Shasta tidaklah terbunuh atau bahkan terluka parah, karena dia melihat anak itu berdiri dan melihat betapa dia disambut penuh kasih sayang oleh Raja Lune. Tapi karena dia hanya bisa melihat, tanpa mampu mendengar, dia tidak tahu apa yang sedang diutarakan semua orang dan, setelah peperangan berakhir dan percakapan dimulai, tidak ada gunanya terus melihat dari kolam.
Keesokan paginya, sementara sang pertapa berada di dalam pertapaan, ketiga pengelana mendiskusikan langkah apa yang harus diambil selanjutnya.
"Aku sudah muak dengan semua ini," kata Hwin. "Sang pertapa telah begitu baik kepada kita dan aku berutang banyak padanya, aku yakin itu. Tapi aku mulai segemuk kuda poni piaraan, makan setiap hari dan tidak berolahraga sama sekali. Ayo kita pergi ke Narnia."
"Oh, tidak hari ini, Ma'am," kata Bree. "Aku tidak akan terburu-buru. Mungkin di hari lain, bagaimana menurutmu""
"Kita harus menemui Shasta dulu dan berpamitan dengannya--juga--meminta maaf," kata Aravis.
"Tepat sekali!" kata Bree dengan antusiasme tinggi. "Tepat seperti yang akan kukatakan."
"Oh, tentu saja," kata Hwin. "Kurasa dia ada di Anvard. Tentu saja kita akan menjenguknya dan berpamitan. Tapi itu searah dengan perjalanan kita. Jadi kenapa kita tidak segera berangkat saja" Lagi pula, bukankah kita semua ingin pergi ke Narnia""
"Kurasa memang begitu," kata Aravis. Dia mulai bertanya-tanya apa tepatnya akan dia lakukan sesampainya di sana, dan merasa agak kesepian.
"Tentu, tentu," kata Bree cepat-cepat. "Tapi tidak perlu terburu-buru, kalau kalian mengerti maksudku."
"Tidak, aku tidak mengerti maksudmu," kata Hwin. "Kenapa kau belum mau pergi""
"M-m-m, broo-hoo," gumam Bree. "Yah, tidakkah kaulihat, Ma'am--ini kejadian penting--untuk pulang ke negeri asal--memasuki masyarakatnya lagi--masyarakat yang terbaik--sangatlah penting untuk memberikan kesan yang baik--saat ini kita belum tampak seperti diri kita yang biasa, ya kan""
Tawa kuda Hwin pecah. "Ekormu, Bree! Aku mengerti sekarang. Kau mau menunggu sampai ekormu tumbuh lagi! Dan kita bahkan tidak tahu apakah ekor dibiarkan panjang di Narnia. Sungguh, Bree, kau sepongah Tarkheena di Tashbaan itu!"
"Kau memang konyol, Bree," kata Aravis.
"Demi surai singa, Tarkheena, aku sama sekali tidak seperti itu," kata Bree penuh harga diri. "Aku hanya punya rasa hormat yang tinggi pada diriku sendiri dan bangsaku sesama Kuda, itu saja."
"Bree," kata Aravis, yang nyaris tidak tertarik pada potongan ekor Bree, "sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padamu sejak lama. Kenapa kau selalu bersumpah Demi singa dan Demi surai singa" Kukira kau benci singa."
"Dan memang begitu," jawab Bree. "Tapi ketika aku menyebut sang singa, tentu saja yang kumaksudkan adalah Aslan, pembangkit Narnia dan yang mengusir pergi sang penyihir serta musim dingin. Semua rakyat Narnia bersumpah deminya."
"Tapi dia singa""
"Bukan, bukan, tentu saja bukan," kata Bree dengan suara yang agak terpukul.
"Semua kisah tentangnya di Tashbaan menceritakan bahwa
dia singa," ucap Aravis.
"Lagi pula kalau dia bukan singa kenapa kau menyebutnya singa""
"Yah, kau tidak akan benar-benar memahami masalah ini dengan usia mudamu," kata Bree. "Dan karena aku juga masih kecil ketika pergi meninggalkan Narnia, aku sendiri sesungguhnya juga tidak benar-benar mengerti masalah ini"
(Bree sedang berdiri memunggungi dinding hijau ketika mengatakan ini, sementara Aravis dan Hwin berdiri menghadapnya. Kuda itu berbicara dengan nada yang agak angkuh dan matanya separo terpejam, itulah sebabnya dia tidak melihat perubahan pada ekspresi wajah Hwin dan Aravis. Mereka punya alasan kuat untuk ternganga dan membelalakkan mata, karena sementara Bree berbicara, mereka melihat singa besar melompat dari luar dan mengambil posisi di atas dinding hijau itu. Hanya saja singa yang ini lebih kuning terang, dan lebih besar, menakjubkan, sekaligus mengancam dan pada singa mana pun yang pernah mereka lihat. Lalu sang singa segera melompat ke bawah ke dalam dinding dan mulai mendekati Bree dari belakang. Hewan itu sama sekali tidak bersuara. Dan Hwin serta Aravis juga tidak bisa bersuara, mereka membeku. )
"Tidak perlu diragukan," Bree melanjutkan, "ketika mereka menyebutnya sebagai singa, mereka hanya bermaksud dia sekuat singa atau (bagi musuhnya tentu saja) semengerikan singa. Atau sesuatu seperti itu. Bahkan gadis kecil sepertimu, Aravis, seharusnya bisa melihat bahwa sangatlah konyol menganggapnya singa sungguhan. Tentu saja itu seperti merendahkan. Kalau dia memang singa berarti dia harus berupa hewan liar seperti kita. Tidak mungkin!" (dan saat ini Bree mulai tertawa) "Kalau dia memang singa dia akan punya empat cakar, ekor, dan kumis! ...Aie, ooh, hoo-hoo! Tolong!"
Karena tepat saat dia mengucapkan kata kumis, salah satu kumis Aslan benar-benar menggelitiki telinganya. Bree terlonjak seperti panah ke sisi lain area itu lalu berbalik di sana, dinding itu terlalu tinggi untuk dilompatinya dan dia tidak bisa pergi lebih jauh lagi. Aravis dan Hwin sama-sama mulai mundur. Kesunyian mencekam berlangsung sesaat.
Kemudian Hwin, walaupun seluruh tubuhnya gemetaran, menyuarakan ringkikan pelan yang aneh, dan berlari kecil menghampiri sang singa.
"Aku mohon," katanya, "kau begitu menakjubkan. Kau boleh memakanku jika kau mau. Lebih baik aku disantap olehmu daripada yang lain."
"Putriku tersayang," kata Aslan, menurunkan mulut dan mencium hidung Hwin yang gemetar dan lembut, "aku tahu kau tidak akan menunda mendekatiku. Kebahagiaan akan menjadi milikmu."
Kemudian Aslan mendongak dan berbicara dengan suara yang lebih keras:
"Sekarang, Bree," katanya, "Kuda yang angkuh dan malang, kemarilah. Lebih dekat lagi, putraku. Jangan tidak berani untuk bersikap berani. Sentuhlah aku. Enduslah aku. Ini cakarku, ekorku, ini kumisku. Aku hewan liar sungguhan."
"Aslan," kata Bree dengan suara bergetar, "sayangnya aku telah bersikap bodoh."
"Berbahagialah Kuda yang menyadari itu ketika dia masih muda. Begitu juga manusia, Mendekatlah, Aravis putriku. Lihatlah! Cakarku tertutup bulu tebal yang lembut. Kau tidak akan tercabik kali ini."
The Chronicles Of Narnia 4 Kuda Dan Anak Manusia The Horse And His Boy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kali ini, Sir"" tanya Aravis.
"Akulah yang telah melukaimu," kata Aslan. "Akulah satu-satunya singa yang kalian temui di sepanjang perjalanan kalian. Tahukah kau kenapa aku mencakarmu""
"Tidak, Sir." "Goresan-goresan di punggungmu, luka demi luka, nyeri demi nyeri, darah demi darah, sama besarnya dengan luka goresan yang diderita punggung budak ibu tirimu karena obat tidur yang kauberikan kepadanya. Kau perlu tahu bagaimana rasanya."
"Ya, Sir. Lalu--"
"Teruskan, putriku," kata Aslan.
"Apakah dia akan mendapat ancaman lain karena perbuatanku""
"Nak," kata sang singa, "aku hanya memberitahumu kisahmu, bukan kisahnya. Aku tidak menceritakan kisah mana pun kepada siapa pun kecuali yang menjadi miliknya." Kemudian Aslan menggeleng dan berbicara dengan suara yang lebih ringan:
"Berbahagialah, anak-anakku," katanya.
"Kita akan segera bertemu lagi. Tapi sebelum itu kalian akan mendapat tamu lain." Kemudian dalam satu lompatan dia mencapai puncak dinding dan menghilang dari pandangan merek
a. Aneh untuk dikatakan, tapi mereka tidak merasakan keinginan untuk membicarakan Aslan pada satu sama lain setelah singa itu pergi. Mereka semua bergerak lambat ke bagian-bagian berbeda di rumput yang tenang lalu di sana berjalan mondar-mandir, masing-masing sendirian, berpikir.
Sekitar setengah jam kemudian kedua kuda itu dipanggil ke bagian belakang rumah untuk menyantap makanan lezat yang telah dipersiapkan sang pertapa untuk mereka dan Aravis, masih berjalan dan berpikir, dikejutkan suara keras terompet dari luar gerbang.
"Siapa di situ"" tanya Aravis.
"Yang Mulia Pangeran Cor dari Archenland," jawab suara dari luar.
Aravis membuka palang pintu dan melebarkannya, sedikit mundur untuk membiarkan para orang asing itu masuk.
Dua prajurit dengan tongkat berujung tombak dan kapak masuk terlebih dahulu dan mengambil posisi berdiri pada kedua sisi pintu masuk. Kemudian masuklah sang pemberi pengumuman dan si peniup terompet.
"Yang Mulia Pangeran Cor dari Archenland hendak bertemu Lady Aravis," kata si pemberi pengumuman. Kemudian dia dan si peniup terompet menyingkir ke samping dan membungkuk. Para prajurit memberi hormat dan sang pangeran sendiri masuk. Semua pendampingnya mundur keluar dan menutup gerbang di belakangnya.
Sang pangeran membungkuk, bungkukan yang sangat ceroboh bagi seorang pangeran. Aravis membalas membungkuk memberi hormat ala bangsa Calormen (yang tidak seperti cara kita) dan melakukannya dengan sangat baik karena, tentu saja, dia telah diajari cara melakukannya. Kemudian dia mendongak dan melihat seperti apakah sang pangeran itu.
Dia melihat anak lelaki biasa. Dia tidak mengenakan topi tapi rambut pirangnya dikelilingi pita tipis emas, tidak lebih tebal daripada kawat. Tunik atasnya terbuat dari linen putih tipis, seindah sapu tangan, sehingga tunik merah terang di bawahnya langsung terlihat. Tangan kirinya, yang bertengger pada pangkal pedang yang terbuat dari porselen, tampak diperban.
Aravis dua kali melihat wajah sang pangeran sebelum dia terperangah dan berseru, "Astaga! Itu kan Shasta!"
Wajah Shasta langsung merona dan dia mulai berbicara cepat, "Begini, Aravis," katanya, "aku harap kau tidak berpikir aku datang seperti ini (dengan terompet dan segala macam ini) demi membuatmu terkesan atau untuk membuktikan aku berbeda ataupun demi omong kosong sejenisnya. Karena aku jauh lebih ingin datang dengan pakaian lamaku, tapi pakaian-pakaian itu sudah dibakar, dan ayahku berkata--"
"Ayahmu"" tanya Aravis.
"Ternyata Raja Lune ayahku," kata Shasta. "Seharusnya aku sudah bisa menebaknya, karena Corin begitu mirip dengan diriku. Ternyata kami saudara kembar. Oh, dan namaku bukan Shasta, tapi Cor."
"Cor memang nama yang lebih bagus danripada Shasta," kata Aravis.
"Nama saudara biasanya memang seperti itu di Archenland," kata Shasta (atau Pangeran Cor, demikianlah kita harus memanggilnya sekarang). "Seperti Dar dan Darrin, Cole dan Colin, dan seterusnya."
"Shasta--maksudku, Cor," kata Aravis. "Tidak, diamlah dulu. Ada sesuatu yang harus segera kuucapkan. Aku minta maaf karena telah bersikap kasar. Tapi aku sudah berniat mengubah sikapku ini bahkan sebelum aku tahu kau pangeran, sungguh: terutama saat kau berbalik dan menghadapi singa itu."
"Singa itu tidak benar-benar berniat membunuhmu," kata Cor.
"Aku tahu," kata Aravis, mengangguk. Keduanya bergeming dan terdiam sesaat ketika masing-masing menyadari lawan bicaranya sudah tahu tentang Aslan.
Mendadak Aravis teringat pada tangan Cor yang diperban. "Astaga!" dia berteriak. "Aku lupa! Kau sudah ikut bertempur. Apakah itu luka perangmu""
"Hanya goresan," kata Cor, menggunakan nada bicara yang agak seperti bangsawan untuk pertama kalinya. Tapi sedetik kemudian tawanya pecah dan dia berkata, "Kalau kau mau tahu yang sebenarnya, ini sama sekali bukanlah luka yang pantas. Buku-buku jariku hanya terkelupas seperti yang akan dialami setiap orang bodoh yang ceroboh tanpa perlu mendekati pertempuran mana pun."
"Tetap saja, kau berada di dalam peperangan," kata Aravis. "Pastinya itu saat yang menyenangkan."
"Sama sekali tidak seperti yang kubayangk
an," kata Cor. "Tapi Sha--Cor, maksudku--kau belum memberitahuku apa pun tentang Raja Lune dan bagaimana dia bisa tahu siapa dirimu sebenarnya."
"Yah, mari duduk kalau begitu," kata Cor. "Karena ceritanya agak panjang. Dan omong-omong ayahku begitu tegar. Aku akan sama bahagianya--atau nyaris sama--bila mendapati dia ayahku walaupun dia bukan raja. Walaupun pendidikan dan segala yang mengerikan akan segera kualami. Tapi kau mau mendengar ceritanya, ya"
"Yah, Corin dan aku ternyata bersaudara kembar. Dan sekitar seminggu setelah kelahiran kami, tampaknya, mereka membawa kami ke centaurus tua yang bijaksana di Narnia untuk diberkati atau semacamnya. Nah, centaurus ini peramal seperti begitu juga banyak centaurus lain. Mungkin kau belum pernah melihat centaurus" Ada beberapa di antara mereka yang ikut berperang kemarin. Bangsa yang sangat menakjubkan, tapi aku belum bisa bilang aku sudah merasa nyaman bila berada di antara mereka. Astaga, Aravis, kita harus terbiasa dengan banyak hal di Negeri Utara ini."
"Ya, memang," kata Aravis. "Tapi lanjutkan dulu ceritamu."
"Yah, segera setelah dia melihat Corin dan diriku, tampaknya centaurus itu memandangku lekat dan berkata, 'Suatu hari akan datang ketika anak itu menyelamatkan Archenland dan bahaya besar yang akan dialaminya.' Jadi tentu saja ayah dan ibuku sangat bahagia. Tapi ada seseorang yang hadir di sana yang tidak begitu. Pria ini bernama Lord Bar yang waktu itu Penasihat Tinggi ayahku. Dan tampaknya dia telah melakukan sesuatu yang salah--revolusi atau kata sejenis itu--aku tidak terlalu mengerti bagian ini--dan Ayah terpaksa memecatnya. Tapi tidak ada tindakan lain yang ditimpakan kepadanya dan pria ini diperbolehkan tetap tinggal di Archenland. Tapi orang itu pastinya ternyata sangat jahat karena setelah itu terbongkar bahwa Lord Bar telah disuap Tisroc untuk mengirimkan banyak informasi rahasia ke Tashbaan. Jadi segera setelah dia mendengar aku akan menyelamatkan Archenland dari bahaya besar, dia memutuskan aku harus disingkirkan.
"Yah, dia berhasil menculikku (aku tidak tahu persis bagaimana caranya) dan berkuda pergi menyeberangi Winding Arrow menuju pantai. Dia telah menyiapkan segalanya dan sudah tersedia kapal dengan para pendukungnya di sana, menunggu kedatangannya, lalu dia berlayar di lautan sambil membawaku serta. Tapi Ayah mengetahui rencananya, walaupun terlambat, dan berusaha mengejar pengkhianat itu secepat yang dia bisa. Lord Bar sudah berada di tengah lautan ketika Ayah mencapai pantai, tapi belum hilang dari pandangan. Ayah pun bertolak dengan salah satu kapal perangnya dua puluh menit kemudian.
"Pasti saat itu terjadi kejar-mengejar yang menegangkan. Mereka mengejar kapal Bar selama enam hari dan berhadapan dengannya dalam peperangan pada hari ketujuh. Pertempuran laut dahsyat (aku mendengar banyak cerita tentang pertempuran ini kemarin malam) yang berlangsung dari pukul sepuluh pagi hingga terbenamnya matahari. Pihak kami akhirnya berhasil menguasai kapal itu. Tapi aku sudah tidak ada di sana. Lord Bar sendiri terbunuh dalam pertempuran. Tapi salah satu pengikutnya berkata, dini hari di pagi itu, segera setelah melihat dia sudah pasti akan terkalahkan, Bar memberikanku kepada salah satu kesatrianya dan mengirim kami pergi dengan sekoci kapal. Dan sekoci itu tidak pernah terlihat lagi.
"Tentu saja itu sekoci yang sama dengan yang Aslan (dia tampaknya berada di balik semua cerita) dorong ke daratan pada tempat yang tepat supaya Arsheesh menemukanku. Kalau saja aku tahu siapa nama si kesatria, karena dia pasti terus menjagaku tetap hidup walaupun itu berarti membiarkan dirinya sendiri kelaparan."
"Kurasa Aslan akan berkata itu bagian dari kisah orang lain," kata Aravis.
"Aku lupa soal itu," kata Cor.
"Dan kira-kira bagaimana akhir ramalannya"" kata Aravis. "Bahaya besar apa yang harus kauhalau dari Archentand""
"Yah," kata Cor agak canggung, "mereka tampaknya berpikir aku telah melakukannya."
Aravis bertepuk tangan. "Astaga, tentu saja!" dia berkata. "Aku bodoh sekali. Tapi ini sangat hebat! Archenland tidak pernah berada dalam bahaya yang le
bih besar daripada ketika Rabadash menyeberangi Sungai Arrow bersama pasukan dua ratus kudanya. Bayangkan bila kau tidak menyampaikan kabar itu. Tidakkah kau merasa bangga""
"Kurasa aku merasa sedikit takut saat itu," kata Cor.
"Dan kau akan tinggal di Anvard mulai sekarang," kata Aravis agak sedih.
"Oh!" kata Cor. "Aku hampir lupa tujuanku datang ke sini. Ayah ingin kau ikut tinggal bersama kami. Dia bilang sudah lama tidak ada lady tinggal di rumah tangga kerajaan (aku tidak tahu kenapa mereka menyebutnya rumah tangga) sejak Ibu meninggal. Kau mau kan, Aravis" Kau pasti akan menyukai Ayah dan Corin. Mereka tidak seperti aku, mereka telah dibesarkan dengan layak. Kau tidak perlu khawatir mereka akan--"
"Oh, hentikan," kata Aravis, "atau kita akan berkelahi sungguhan. Tentu saja aku mau tinggal di Anvard."
"Kalau begitu ayo kita temui kedua kuda itu sekarang," kata Cor.
Terjadi pertemuan yang heboh dan membahagiakan antara Bree dan Cor. Lalu Bree, yang masih dalam keadaan rendah hati, setuju untuk segera pergi ke Anvard: dia dan Hwin akan menyeberang ke Narnia di hari berikutnya. Keempat makhluk itu mengucapkan selamat tinggal penuh hormat kepada sang pertapa dan berjanji akan segera mengunjunginya lagi. Pada pertengahan pagi mereka memulai perjalanan. Kedua Kuda mengira Aravis dan Cor akan menunggangi mereka, tapi Cor menjelaskan bahwa kecuali pada saat perang, ketika semua pihak harus melakukan yang terbaik, tidak seorang pun di Narnia ataupun Archenland pernah bermimpi menunggangi Kuda yang Bisa Berbicara.
Ini kembali mengingatkan Bree yang malang betapa dia hanya tahu sedikit tentang kebiasaan Narnia dan betapa besarnya kesalahan yang bisa saja dia lakukan. Jadi sementara Hwin berjalan dengan ringan dan bahagia, Bree kian merasa gugup dan lebih menjaga sikap pada setiap langkah yang diambilnya.
"Tenanglah, Bree," kata Cor. "Keadaannya lebih parah buatku daripada buatmu. Kau tidak akan dididik. Aku bakal harus belajar membaca, menulis, cara membawa diri, dansa, sejarah, dan musik, sementara kau akan berlari bebas dan bergulingan di bukit-bukit Narnia sepuas hatimu."
"Tapi justru itu masalahnya," erang Bree. "Apakah Kuda yang Bisa Berbicara bergulingan" Bagaimana kalau mereka tidak melakukan itu" Aku tidak akan mampu tidak melakukannya lagi. Bagaimana menurutmu, Hwin""
"Aku tetap akan berguling," kata Hwin. "Kurasa mereka juga tidak peduli sedikit pun apakah kau akan berguling atau tidak."
"Apakah kita sudah dekat dengan istana"" tanya Bree kepada Cor.
"Tinggal satu belokan di depan," kata sang pangeran.
"Kalau begitu," kata Bree, "aku akan berguling sepuas hati sekarang: bisa saja ini bakal jadi yang terakhir. Tunggu sebentar ya."
Barulah setelah lima menit kemudian dia bangkit lagi, terengah-engah dan tubuhnya penuh potongan rumput.
"Sekarang aku siap," katanya dengan suara penuh kemuraman. "Tunjukkan jalannya, Pangeran Cor. Menuju Narnia dan negeri Utara."
Tapi Bree lebih tampak seperti kuda yang pergi ke pemakaman daripada pelarian yang telah melakukan perjalanan panjang dan kini bisa pergi menuju rumah dan kebebasan.
BAB LIMA BELAS Rabadash yang Konyol BELOKAN berikutnya di jalan besar itu membawa mereka keluar dari pepohonan dan di sana, di seberang halaman hijau, terlindungi dari angin utara oleh dataran tinggi berhutan di punggungnya, mereka melihat istana Anvard. Istana itu begitu tua dan dibangun dari batu hangat yang merah kecokelatan.
Sebelum mereka mencapai gerbang, Raja Lune datang keluar untuk menyambut mereka, sama sekali tidak kelihatan seperti raja dalam bayangan Aravis. Raja Lune mengenakan pakaian yang tertua di antara pakaian tua, karena dia baru saja berkeliling di kandang anjing istana bersama para pemburunya dan hanya berhenti sebentar untuk mencuci tangannya yang kotor. Tapi bungkukan menghormat yang dilakukannya untuk menyapa Aravis ketika dia menjabat tangan gadis kecil itu, sudah merupakan pernyataan yang cukup tegas akan statusnya sebagai raja.
"Lady kecil," katanya, "kami menyambut kedatanganmu sepenuh hati. Kalau istri tersayangku masih hidup, kami akan bisa mengadakan
penyambutan yang lebih baik walau saat ini hati kami terbuka sama lebarnya. Dan aku sangat menyesal mendengar berbagai nasib buruk yang kaualami dan betapa kau harus pergi dari rumah ayahmu, meski untuk yang satu itu sepertinya bukan sesuatu yang membuatmu sedih. Putraku Cor telah menceritakan kepadaku tentang petualangan bersama kalian dan semua keberanianmu."
"Dialah yang telah melakukan semua itu, Sir," kata Aravis. "Dia bahkan berani menghadapi singa demi menyelamatkanku."
"Hah, apa katamu"" tanya Raja Lune, wajahnya menjadi cerah. "Aku belum mendengar cerita yang itu."
Kemudian Aravis memberitahunya. Dan Cor, yang sangat ingin supaya cerita itu diketahui walaupun dia merasa tidak mungkin mengisahkannya sendiri, ternyata tidaklah terlalu menikmatinya. Dia malah merasa agak konyol. Tapi ayahnya teramat menikmati kisah ini dan dalam beberapa minggu ke depan memberitahukannya pada begitu banyak orang sampai-sampai Cor berharap kejadian itu tidak pernah terjadi.
Kemudian sang raja menoleh kepada Hwin dan Bree lalu bersikap sama sopannya kepada mereka seperti dia kepada Aravis. Dia pun menanyakan banyak pertanyaan tentang keluarga mereka dan di mana tempat tinggal mereka dulu di Narnia sebelum mereka ditangkap. Kedua kuda itu agak tergagap karena mereka tidak terbiasa diajak bicara seperti makhluk yang sederajat oleh manusia--lebih tepatnya, manusia dewasa. Mereka sama sekali tidak menemukan kesulitan dengan Aravis dan Cor.
Akhirnya Ratu Lucy keluar dari istana dan bergabung dengan mereka. Raja Lune berkata kepada Aravis, "Putriku, dia teman baik keluarga kami, dan dia telah memastikan kamarmu disiapkan secara layak untukmu, lebih baik daripada yang bisa kulakukan."
"Pastinya kau ingin pergi dan melihatnya sekarang, kan"" tanya Lucy, mencium Aravis. Mereka langsung saling menyukai dan tak lama kemudian pergi bersama untuk membicarakan kamar tidur dan ruang rias untuk Aravis, tentang menyiapkan pakaian untuk gadis kecil itu, juga tentang berbagai hal yang biasa dibicarakan para gadis di saat-saat seperti itu.
Seusai makan siang, yang mereka lakukan di teras (santapannya berupa burung dingin, pai bebek, anggur, roti, dan keju), Raja Lune mengernyitkan alis, mengembuskan napas, dan berkata, "Hhh! Kita masih harus mengurus Rabadash si makhluk menyedihkan itu, teman-temanku, dan perlu memutuskan apa yang akan kita lakukan terhadapnya."
Lucy duduk di sebelah kanan sang raja sementara Aravis di sebelah kirinya. Raja Edmund duduk pada salah satu ujung meja dan Lord Darrin berhadapan dengannya di ujung lain. Dar, Peridan, Cor, dan Corin duduk di sisi yang sama dengan sang raja.
"Yang Mulia punya setiap hak untuk memancung kepalanya," kata Peridan. "Penyerangan yang dia lakukan membuat posisinya sejajar dengan pembunuh gelap."
"Itu benar sekali," kata Edmund. "Tapi bahkan pengkhianat pun bisa bertobat. Aku pernah mengenal orang seperti itu." Lalu dia tampak merenung dalam.
"Membunuh Rabadash nyaris sama saja memulai perang dengan Tisroc," kata Darrin.
"Kesempatan yang ditunggu Tisroc," kata Raja Lune. "Pasukannya walau seberapa pun besarnya tidak akan mampu menyeberangi padang pasir. Tapi aku tidak berminat membunuh prajurit (bahkan pengkhianat sekalipun) dengan darah dingin. Memotong lehernya dalam pertempuran akan membuat hatiku teramat ringan, tapi ini situasi yang berbeda."
"Usulku," kata Lucy, "bagaimana jika Yang Mulia memberinya kesempatan lagi. Biarkan dia pergi bebas bersama sumpah untuk bertindak adil di masa depan. Bisa jadi dia akan menepati kata-katanya."
"Dan mungkin kera akan belajar berkata jujur, Adik," kata Edmund. "Tapi, demi sang singa, kalau dia mengingkarinya lagi mungkin saat itu akan terjadi pada waktu dan tempat yang tepat, sehingga salah satu dari kita bisa memancung kepalanya dengan tenang dalam peperangan."
"Bisa kita coba," kata sang raja, kemudian dia berkata kepada salah satu prajuritnya, "Bawa kemari tawanan itu, teman."
Rabadash dibawa ke depan mereka dalam keadaan dirantai. Bila melihat kondisinya, kita akan berpikir dia telah melewati malam di penjara bawah tanah yang kotor tanpa
makanan dan minuman. Padahal kenyataannya dia telah ditahan di ruangan yang cukup nyaman dan diberi makan malam luar biasa. Tapi karena dia terlalu marah untuk menyentuh makanannya dan menghabiskan sepanjang malam mengentak-entakkan kaki, mengerang, dan mengutuk, sudah pasti kini dia tidak tampak dalam keadaan terbaiknya.
"Yang Mulia Pangeran tidak perlu diberitahu," kata Raja Lune, "bahwa menurut hukum yang berlaku di semua negeri, begitu juga menurut semua kebijakan akal sehat, kami memiliki hak kuat akan kepalamu seperti yang dimiliki manusia mana pun dalam situasi ini. Walaupun begitu, setelah mempertimbangkan usia mudamu dan caramu dibesarkan, tanpa semua nilai kasih dan kebaikan, yang pastinya kaualami di tanah perbudakan dan tirani, kami memutuskan untuk membebaskanmu, tanpa terluka, dengan syarat-syarat sebagai berikut: pertama, kau--"
"Terkutuklah kalian, orang-orang barbar!" tukas Rabadsh. "Kalian pikir aku bahkan akan bersedia mendengarkan syarat-syarat kalian" Cuih! Kau bicara besar tentang cara membesarkan yang layak dan betapa aku sama sekali tidak mengenalinya. Begitu mudah bicara pada pria yang dirantai, hah! Lepaskan ikatan-ikatan memalukan ini, beri aku sebilah pedang, lalu biarkan siapa pun di antara kalian yang berani, maju dan bertarung denganku."
Hampir semua bangsawan langsung melompat berdiri, dan Corin berteriak:
"Ayah! Bolehkah aku bertinju dengannya" Aku mohon."
"Tenang! Yang Mulia! Para bangsawan!" kata Raja Lune. "Apakah kita tidak punya lebih banyak kesabaran daripada yang bisa langsung dikuras habis oleh sekadar ejekan merak" Duduklah, Corin, atau tinggalkan meja ini. Aku akan meminta Yang Mulia Pangeran untuk mendengarkan syarat-syarat kita lagi."
"Aku tidak akan pernah mendengarkan syarat-syarat dari orang barbar maupun penyihir," kata Rabadash. "Tidak ada seorang pun di antara kalian yang akan berani bahkan menyentuh sehelai rambutku. Setiap hinaan yang kautimpakan kepadaku akan dibayar dengan selautan darah Narnia dan Archenland. Pembalasan Tisroc akan sangat mengerikan: bahkan pada saat ini. Tapi cobalah bunuh aku, maka pembakaran dan penyiksaan di tanah-tanah utara ini akan menjadi kisah yang mencekam seluruh dunia bahkan ribuan tahun kemudian. Waspadalah! Waspadalah! Waspadalah! Petir Tash akan menyambar kalian dari langit! "
"Apakah petir itu pernah tersangkut pada kait saat separo jalan"" tanya Corin.
"Hentikan, Corin," kata sang raja. "Jangan pernah seenaknya menghina orang ketika dia lebih kuat daripada dirimu. Kalau begitu, terserah kau."
"Oh, kau Rabadash yang bodoh," Lucy mengesahkan napas.
Detik berikutnya Cor bertanya-tanya kenapa semua orang di meja itu telah berdiri dan bergeming sama sekali. Tentu saja dia juga melakukan hal yang sama. Kemudian dia melihat alasannya. Aslan telah berada di antara mereka walaupun tidak seorang pun melihatnya datang. Rabadash memandang lekat sosok raksasa sang singa yang melangkah perlahan, mengambil posisi di antara dirinya dan musuhnya.
"Rabadash," kata Aslan. "Dengarkanlah. Penentuan akhirmu sudah dekat, tapi kau masih bisa menghindarinya. Lupakan rasa banggamu (karena sebenarnya apa yang bisa kaubanggakan") dan kemarahanmu (karena sebenarnya siapa yang telah bertindak salah padamu") dan terimalah pengampunan para raja murah hati ini."
Kemudian Rabadash memutar bola matanya dan melebarkan mulutnya membentuk seringaian mengerikan yang panjang dan kejam seperti milik ikan hiu, dia pun mengoyang-goyangkan telinganya naik-turun (siapa pun bisa mempelajari cara melakukan ini kalau mereka mau meluangkan waktu). Dia selalu mendapati tindakan ini sangat efektif di Calormen. Orang yang paling pemberani sekalipun tubuhnya gemetar saat dia menunjukkan ekspresi ini, orang-orang biasa terjatuh ke lantai, dan orang-orang sensitif sering kali pingsan karenanya. Tapi yang tidak disadari Rabadash adalah sangat mudah menakut-nakuti orang yang tahu kau bisa merebus mereka hiduphidup hanya dengan mengucapkan perintah. Seringaian itu sama sekali tidak tampak berbahaya di Archenland, Lucy malah hanya mengira Rabadash mau muntah.
"Iblis! Iblis! Ibl is!" pekik si pangeran. "Aku tahu dirimu. Kau iblis jahat Narnia. Kau musuh para dewa. Ketahuilah siapa diriku, makhluk halus jahat. Aku keturunan Tash, yang tak terhentikan, tak tergoyahkan. Kutukan Tash akan menimpamu. Petir-petir dalam bentuk kalajengking akan menghujanimu. Gunung-gunung Narnia akan berubah menjadi abu. Lalu--"
"Bersiaplah, Rabadash," kata Aslan pelan. "Penentuan akhir kini sudah dekat, dia sudah di depan pintu, dia telah memutar kunci."
"Biarkan langit jatuh," pekik Rabadash. "Biarkan bumi terbelah! Biarkan darah dan
api memusnahkan dunia! Tapi yakinlah aku tidak akan berhenti sampai aku menyeret ratu barbar mereka ke istanaku dengan menarik rambutnya, putri makhluk rendah, putrid--"
"Waktunya telah tiba," kata Aslan. Dan Rabadash menyaksikan, dalam kengerian luar biasa, semua orang mulai tertawa.
Mereka tidak bisa menahan diri. Rabadash telah menggoyang-goyangkan kedua telinganya sepanjang waktu dan segera setelah Aslan berkata, "Waktunya telah tiba!" Kedua telinga itu mulai berubah. Keduanya menjadi lebih panjang, lancip, dan tak lama kemudian ditumbuhi bulu kelabu. Dan sementara semua orang bertanya-tanya di mana mereka pernah melihat telinga seperti itu, wajah Rabadash juga mulai berubah. Wajahnya menjadi lebih panjang, lebih tebal di bagian atas, dan bermata lebih besar, hidungnya tenggelam ke dalam wajahnya (bila bukan seluruh wajah yang membengkak dan menjelma menjadi hidung) lalu seluruh permukaan wajah itu ditumbuhi bulu. Lengan-lengannya juga menjadi lebih panjang dan turun ke depan tubuhnya sampai kedua telapak tangannya menyentuh tanah: hanya saja tangannya bukan lagi tangan, tapi tapal kaki. Kemudian dia berdiri dengan empat kaki, pakaiannya menghilang, dan semua orang tertawa kian keras (mereka tidak bisa menahan diri) karena kini yang tadinya sosok Rabadash, kini jelas-jelas dan tidak perlu diragukan lagi, adalah seekor keledai.
Hal yang mengerikan adalah kemampuan berbicaranya sebagai manusia bertahan lebih lama daripada bentuk tubuh manusianya, jadi ketika dia menyadari perubahan yang dialaminya, dia berteriak:
"Oh, jangan keledai! Kasihanilah aku! Bahkan lebih baik kuda--hii--aku hoo--hiihoo, hii-hoo." Lalu kata-kata lenyap dalam ringkikan keledai.
"Sekarang, dengarkan aku, Rabadash," kata Aslan. "Keadilan akan bersatu dengan belas kasih. Kau tidak akan selalu menjadi keledai."
Tentu saja ketika mendengar kata-kata ini, si keledai menegakkan telinganya ke depan--kejadian ini begitu lucu sehingga semua orang tertawa lagi. Mereka berusaha menahan diri, tapi sia-sia.
"Kau telah meminta perlindungan Tash," kata Aslan. "Maka pada kuil Tash-lah kau akan disembuhkan. Kau harus berdiri di depan altar Tash di Tashbaan pada Festival Besar Musim Gugur tahun ini dan di sana, dilihat seluruh masyarakat Tashbaan, sosok keledaimu akan lenyap dan semua orang akan tahu kau Pangeran Rabadash. Tapi sepanjang hidupmu, kalau kau bahkan pergi lebih jauh daripada sepuluh mil dari kuil besar di Tashbaan, kau akan langsung menjelma kembali menjadi sosokmu yang sekarang. Dan sejak perubahan kali kedua itu, kau tidak akan bisa kembali lagi."
Merebak keheningan sesaat, kemudian mereka semua bergerak-gerak dan saling memandang seolah baru saja terbangun dari tidur. Aslan sudah pergi. Tapi ada binar di udara dan rerumputan, juga kebahagiaan di hati, yang meyakinkan mereka kehadirannya tadi bukan sekadar mimpi: lagi pula, tampak seekor keledai di hadapan mereka.
Raja Lune adalah pria yang berhati paling lembut, dan saat melihat musuhnya dalam kondisi yang mengenaskan, dia melupakan seluruh amarahnya.
"Yang Mulia Pangeran," katanya. "Aku sangat menyesal situasi telah berubah menjadi begini ekstrem. Yang Mulia menyaksikan sendiri kejadian ini sama sekali bukanlah kehendak kami. Dan tentu saja kami akan dengan senang hati menyediakan kapal untuk Yang Mulia kembali ke Tashbaan demi memperoleh--ngng--perawatan yang disarankan Aslan. Kau akan memperoleh segala kenyamanan yang bisa kaunikmati dalam kondisimu: kapal untuk hewan ternak terbaik--wortel paling segar, juga rumput--"
Tapi ringkikan menentang yan
g dikeluarkan mulut si keledai dan tendangan telak pada salah satu prajurit membuat jelas bahwa semua tawaran baik ini diterima tanpa rasa terima kasih.
Dan saat ini, untuk menyingkirkan pangeran itu dari kisah selanjutnya, sebaiknya aku berhenti menceritakan nasib Rabadash. Sesuai saran Aslan, dia dikirim kembali ke Tashbaan dengan kapal dan dibawa ke kuil Tash saat Festival Besar Musim Gugur, kemudian dia berubah menjadi manusia lagi. Tapi tentu saja sekitar empat atau lima ribu orang telah menyaksikan perubahannya dan masalah ini tidak mungkin bisa disembunyikan. Lalu setelah kematian Tisroc tua dan Rabadash menjadi Tisroc untuk menggantikan posisinya, dia menjelma menjadi Tisroc paling pencinta damai yang pernah dikenal Calormen. Ini tentu saja, karena dia tidak berani pergi lebih dari sepuluh mil dari Tashbaan. Dia tidak bisa pergi berperang sendiri, dan dia tidak mau Tarkaan-Tarkaannya mendapatkan ketenaran dalam perang demi dirinya sendiri, karena dengan cara seperti itulah para Tisroc biasanya ditumbangkan. Tapi walaupun alasan-alasannya egois, keputusan ini membuat keadaan lebih nyaman bagi negeri-negeri kecil di sekitar Calormen.
Rakyatnya sendiri tidak pernah lupa dia pernah menjadi keledai. Selama masa kekuasaannya, dan di hadapannya, dia dipanggil Rabadash sang Pencipta Damai, tapi setelah kematiannya dan di belakang punggungnya, dia disebut Rabadash si Konyol, dan kalau kau mencarinya dalam buku Sejarah Calormen yang lengkap (cobalah perpustakaan lokal) kau akan menemukannya dengan nama itu. Dan hingga hari ini di sekolah-sekolah Calormen, kalau kau melakukan sesuatu yang luar biasa bodoh, kemungkinan besar kau akan dipanggil "Rabadash kedua".
Sementara itu di Anvard, semua orang merasa lega masalah Rabadash telah diurus sebelum keriaan utama dimulai, yaitu pesta besar yang diadakan malam itu di halaman depan istana, dengan lusinan lentera untuk membantu penerangan sinar rembulan. Dan anggur mengalir, kisah-kisah diceritakan, dan lelucon-lelucon diumbarkan, kemudian keheningan datang ketika penyair sang raja ditemani dua pemain biola datang ke tengah lingkaran. Aravis dan Cor bersiap-siap merasa bosan, karena satu-satunya jenis puisi yang mereka kenal adalah puisi-puisi Calormen, dan kau sudah tahu sendiri bagaimana bunyinya. Tapi pada gesekan pertama biola, roket seolah meluncur keluar dari dalam kepala mereka, dan sang penyair menyanyikan kisah tua petualangan Fair Olvin yang hebat dan bagaimana dia memerangi raksasa bernama Pire dan mengubahnya menjadi batu (inilah asal mulanya Gunung Pire raksasa berkepala dua) dan mendapatkan Lady Liln sebagai istrinya. Lalu ketika puisi selesai dinyanyikan, kedua anak itu berharap penyair itu akan mulai lagi. Dan walaupun Bree tidak bisa bernyanyi, dia mengisahkan cerita peperangan di Zulindreh. Dan Lucy menceritakan lagi (mereka semua, kecuali Aravis dan Cor, telah mendengarnya berulang kali, tapi mereka semua ingin mendengarnya lagi) Kisah Lemari dan bagaimana dirinya, Raja Edmund, Ratu Susan, dan Peter sang Raja Agung bisa tiba di Narnia untuk pertama kalinya.
Lalu kini, karena sudah pasti akan terjadi cepat ataupun lambat, Raja Lune berkata sudah waktunya bagi anak-anak tidur. "Dan besok, Cor," dia menambahkan, "kau akan mengunjungi seluruh istana bersamaku juga melihat perkebunannya, lalu mempelajari semua kekuatan dan kelemahannya: karena semua akan menjadi tanggung jawabmu, yang harus kaujaga bila aku sudah tiada."
"Tapi pada saat itu Corin-lah yang akan menjadi raja, Ayah," kata Cor.
"Tidak, Nak," kata Raja Lune, "kaulah pewarisku. Takhta akan menjadi milikmu."
"Tapi aku tidak menginginkannya," kata Cor. "Lebih baik aku--"
"Ini bukanlah masalah apa yang kauinginkan, Cor, ataupun apa yang kuinginkan. Ini sudah menjadi peraturan."
"Tapi bila kami bersaudara kembar, seharusnya kami seumur."
"Tidak," kata sang raja sambil tertawa. "Harus ada yang lahir terlebih dahulu. Kau lebih tua dua puluh menit daripada Corin. Dan kau juga lebih baik daripada dia, mudah-mudahan, walaupun itu bukan sesuatu yang istimewa." Dan dia memandang Corin dengan binar nakal di
matanya. "Tapi, Ayah, tidak bisakah kau mengangkat siapa pun yang kauinginkan menjadi raja berikutnya""
"Tidak. Karena raja juga berada di bawah hukum, karena hukum itulah yang menjadikannya raja. Kau tidak punya lebih banyak kekuasaan akibat mahkotamu daripada seorang prajurit akibat pangkatnya."
"Ya ampun," kata Cor. "Aku sama sekali tidak menginginkan ini. Dan Corin--aku minta maaf sekali. Aku tidak pernah bermimpi kemunculanku akan membuatmu tersingkir dari kerajaan."
"Hore! Hore!" kata Corin. "Aku tidak perlu menjadi raja. Aku tidak harus menjadi raja. Aku akan selalu menjadi pangeran. Para pangeranlah yang mendapat semua kesenangan."
"Dan itu kenyataan yang sangat diketahui adikmu, Cor," kata Raja Lune. "Karena inilah artinya menjadi raja: menjadi yang paling depan pada setiap peperangan yang mengancam, dan menjadi yang paling belakang saat waktu menyerah tiba. Lalu ketika kelaparan melanda negeri ini (seperti yang akan terjadi sesekali dalam tahun-tahun buruk), kau harus mengenakan pakaian yang lebih bagus dan tertawa lebih keras walaupun mendapat makanan paling sedikit dibanding semua orang di negerimu."
Ketika kedua anak lelaki itu naik ke lantai atas menuju kamar tidur, Cor menanyakan lagi kepada Corin apakah tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengubah ini. Corin pun menjawab:
"Kalau kau mengungkit lagi masalah ini, aku-aku akan meninjumu sampai jatuh."
Akan menyenangkan mengakhiri cerita ini dengan mengatakan setelah itu si kakak-beradik kembar tidak pernah berbeda pendapat tentang apa pun lagi, tapi sayangnya itu tidak benar. Kenyataannya mereka bertengkar dan berkelahi sesering yang bisa dilakukan dua anak lelaki lain, dan semua perkelahian mereka berakhir (kalau mereka bahkan tidak memulai) dengan Cor ditinju sampai jatuh. Karena walaupun ketika mereka berdua tumbuh dewasa dan menjadi ahli pedang--Cor pun menjelma menjadi pria paling berbahaya dalam pertempuran--tidak ada seorang pun, bahkan dirinya, di negeri-negeri Utara yang bisa menandingi Corin dalam bertinju. Itulah sebabnya Corin memperoleh sebutan sebagai Corin si Tinju Petir, begitu juga pertarungan besarnya melawan Beruang Jahat dari Stormness, yang sebenarnya Beruang yang Bisa Berbicara tapi telah kembali mengikuti kebiasaan beruang liar biasa. Corin mendaki ke sarangnya di bukit Stormness di sisi Narnia pada suatu hari di musim dingin, ketika salju menyelimuti bukit itu, dan bertinju dengannya tanpa wasit selama tiga puluh tiga ronde. Pada akhir pertarungan beruang itu tidak bisa melihat karena matanya yang babak belur dan berubah sikap menjadi baik.
Aravis juga sering bertengkar (dan sayangnya, bahkan berkelahi) dengan Cor, tapi mereka selalu berbaikan lagi: sehingga beberapa tahun kemudian, ketika mereka dewasa, karena sudah begitu terbiasa bertengkar dan berbaikan, mereka pun menikah supaya bisa terus melakukan itu dengan lebih nyaman. Dan setelah kematian Raja Lune, Cor dan Aravis menjadi Raja dan Ratu Archenland yang baik. Kemudian lahirlah Ram Agung, raja yang paling terkenal di antara semua raja Archenland, putra mereka. Bree dan Hwin hidup bahagia hingga usia tua di Narnia dan keduanya menikah tapi tidak dengan satu sama lain. Dan tidak berlalu banyak bulan saat salah satu atau keduanya akan datang berlari kecil melewati jalan pegunungan untuk mengunjungi teman-teman mereka di Anvard.
~~SELESAI~~~ Edited by. Echi https://desyrindah.blogspot.com
Pedang Tanduk Naga 3 Tongkat Setan Lam Hay Djie Tee Karya Seng Kie-su Pendekar Pedang Bayangan 1