Batu Penglihatan 1
The Spiderwick Chronicles 2 Batu Penglihatan The Seeing Stone Bagian 1
The Spiderwick Chronicles: THE SEEING STONE
Copyright 2003 by Tony DiTerlizzi and Holly Black
The Spiderwick Chronicles:
BATU PENGLIHATAN Alih bahasa: Donna Widjajanto
Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Untuk nenekku, Melvina, yang mengatakan aku seharusnya menulis buku seperti ini
dan kepada siapa kukatakan aku takkan melakukannya -H.B.
Untuk Arthur Rackham, semoga kau terus memberi inspirasi kepada orang lain seperti yang kaulakukan kepadaku -T.D.
Dear Pembaca, Tony dan aku sudah, bersahabat bertahun-tahun, dan kami berbagi kekaguman masa kecil yang sama kepada makhluk-makhluk sejenis peri. Kami tidak menyadari pentingnya ikatan itu atau bagaimana kekuatannya teruji.
Suatu hari Tony dan aku-bersama beberapa penulis lainnya-sedang menandatangani buku di sebuah toko buku besar. Saat acara itu selesai, kami tetap tinggal, membantu mengatur buku-buku dan mengobrol, sampai seorang pelayan mendatangi kami. Dia berkata ada surat yang ditinggalkan untuk kami. Saat aku bertanya untuk siapa surat itu, kami kaget mendengar jawabannya.
"Kalian berdua," katanya.
Surat itu disalin tepat sama dan dicantumkan di halaman berikut. Tony menghabiskan waktu lama hanya menatap kertas fotokopi yang terselipkan bersama surat itu. Lalu dengan suara pelan, dia terus bertanya-tanya tentang isi naskah itu. Kami buru-buru menulis surat balasan, memasukkannya ke amplop, dan meminta si pelayan mengantarkannya kepada anak-anak keluarga Grace.
Tidak lama setelahnya, sebuah paket tiba di pintu rumahku, terikat pita merah. Beberapa hari berikutnya, tiga anak membunyikan bel pintu, dan menceritakan semua ini kepadaku.
Apa yang terjadi setelahnya sulit dilukiskan. Tony dan aku ditarik masuk ke dunia yang tidak benar-benar kami percayai. Sekarang kami melihat bahwa makhluk-makhluk sejenis peri lebih dari sekadar kisah masa kanak-kanak. Ada dunia tak terlihat di sekeliling kita dan kami harap kau, pembaca yang budiman, mau membuka mata untuk melihatnya.
-Holy Black Dear Mrs. Black dan Mr. DiTerlizzi:
Aku tahu banyak orang tidak percaya ada makhluk-makhluk seperti peri, tapi aku percaya dan kurasa kalian juga. setelah membaca buku-buku kalian, aku memberitahu saudara-saudaraku tentang kalian dan kami memutuskan untuk menulis. kami mengenal makhluk-makhluk seperti peri yang sebenarnya. malah, kami tahu banyak tentang mereka.
Halaman yang kami sertakan ini adalah fotokopi dari buku tua yang kami temukan di loteng rumah kami. fotokopinya tidak bagus, karena kami tidak pandai menggunakan mesinnya. Buku itu memberitahu orang cara mengenali makhlu-makhluk seperti peri dan bagaimana melindungi diri mereka sendiri.
Maukah kalian memberikan buku ini kepada penerbit kalian" kalau kalian bisa, tolong masukkan surat ke amplop ini dan kembalikan ke toko. kami akan mencari jalan untuk mengirimkan buku itu. pos biasa terlalu berbahaya.
Kami hanya ingin orang-orang tahu tentang ini. Apa yang terjadi pada kami bisa terjadi pada siapa pun.
Salam hormat, Malloy, Jared, dan Simon Grace
BAB SATU KETIKA Lebih dari Sekadar Kucing yang Hilang
BUS terakhir menurunkan Jared Grace di ujung jalan menuju rumahnya. Dari sana jalanan menanjak menuju rumah tua tempat keluarga Jared tinggal sampai ibunya menemukan tempat yang lebih baik, atau bibi tuanya yang gila ingin rumah itu dikosongkan kembali. Dedaunan merah dan emas di cabang-cabang rendah pepohonan di sekitar gerbang membuat papan nama abu-abu itu tampak menyedihkan. Tempat itu tampak seburuk perasaan Jared.
Dia tak bisa percaya dia dihukum harus tinggal di sekolah setelah jam pelajaran usai.
Bukannya dia tidak berusaha bergaul dengan anak-anak lain. Dia hanya tidak pandai menghadapi orang lain. Misalnya hari ini. Memang, dia menggambar brownie saat guru menerangkan, tapi dia tetap memperhatikan. Kurang-lebih. Dan Bu Guru kan tidak perlu menunjukkan gambarnya di depan kelas. Setelah itu, anak-anak tidak berhenti mengganggunya. Sebelum Jared sadar, dia sudah merobek buku catatan seorang anak.
Dia berharap semuanya akan membaik di sekolah yang ini. Tapi sejak perceraian orang-tuanya, semuanya semakin membu
ruk saja. Jared masuk dapur. Saudara kembarnya, Simon, duduk di depan meja makan tua dengan sepiring susu yang tak tersentuh di depannya.
Simon mendongak. "Kau melihat Tibbs"" "Aku baru pulang." Jared membuka kulkas dan minum seteguk jus apel. Jus itu begitu dingin sampai membuat kepalanya sakit.
"Well, apakah kau melihatnya diluar"" tanya Simon. "Aku sudah mencari di mana-mana."
Jared menggeleng. Dia tidak peduli pada kucing bodoh itu. Kucing itu salah satu anggota terbaru koleksi Simon. Satu binatang lagi yang ingin disayang atau diberi makan, atau melompat ke pangkuannya saat dia sibuk.
Jared tidak tahu mengapa dia dan Simon begitu berbeda. Dalam film-film, kembar identik memiliki kemampuan hebat misalnya bisa saling membaca pikiran hanya dengan bertatapan. Ternyata apa yang bisa dilakukan orang kembar di dunia nyata hanyalah mengenakan celana berukuran sama.
Kakak mereka, Mallory, berlari turun tangga, menggendong tas besar. Gagang anggar muncul di sisi atas tas itu.
"Hei, hebat sekali kau mendapat hukuman, dasar gila." Mallory menghela tas itu ke pundaknya dan berjalan menuju pintu belakang. "Paling tidak kali ini tidak ada hidung yang patah."
"Jangan bilang Mom, oke, Mal"" Jared memohon.
"Masa bodohlah. Mom akan tahu cepat atau lambat." Mallory mengangkat pundak dan keluar ke halaman. Jelas kelompok anggarnya yang baru jauh lebih kompetitif daripada yang terakhir. Mallory berlatih setiap saat dia bisa. Tingkahnya itu sudah nyaris menjadi obsesi.
"Aku akan naik ke perpustakaan Arthur," kata Jared, dan mulai menaiki tangga.
"Tapi kau harus membantuku menemukan Tibbs. Aku menunggumu pulang supaya kau bisa membantuku."
"Aku tidak harus melakukan apa pun." Jared menaiki tangga dua-dua.
Di lorong atas dia membuka lemari baju dan masuk. Di belakang setumpukan seprai yang sudah menguning dan penuh kapur barus ada pintu ke ruang rahasia rumah itu.
Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi cahaya yang masuk dari jendela tunggal, juga berbau debu dan jamur. Dinding-dindingnya dipenuhi buku tua yang sudah rapuh. Meja besar yang ditutupi kertas-kertas dan stoples-stoples kaca mendominasi salah satu sisi ruangan. Perpustakaan Paman Buyut Arthur. Tempat favorit Jared.
Dia melirik lukisan yang digantung di sebelah pintu masuk. Potret Arthur Spiderwick menatap balik kepadanya dengan mata kecil yang setengah tersembunyi di belakang kacamata bundar kecil. Arthur tidak tampak terlalu tua, tapi mulutnya tipis dan sepertinya dia orang yang kaku. Dia jelas tidak mirip orang yang memercayai makhluk-makhluk seperti peri.
Setelah membuka laci pertama di sisi kiri meja, Jared mengeluarkan buku yang terbungkus kain: Panduan Lapangan Arthur Spiderwick bagi Dunia Fantastis di Sekitarmu. Dia baru menemukannya beberapa minggu sebelumnya, tapi Jared sudah menganggap buku itu miliknya. Dia sering membawanya ke mana-mana, kadang-kadang bahkan tidur dengan buku itu di bawah bantalnya. Dia bahkan ingin membawanya ke sekolah, tapi takut ada yang merampasnya.
Ada suara lembut dari dalam dinding.
"Thimbletack"" panggil Jared pelan.
Dia tidak pernah yakin kapan brownie yang tinggal di rumah itu muncul.
Jared meletakkan buku itu di sebelah proyek terakhirnya-potret ayahnya. Tidak seorang pun, bahkan Simon, tahu bahwa Jared berlatih menggambar. Dia tidak terlalu pandai-bahkan lukisannya jelek. Tapi Panduan itu dibuat untuk mencatat berbagai bal, dan supaya bisa mencatat dengan baik, dia harus belajar menggambar. Tetap saja, setelah kejadian memalukan hari ini, Jared tidak terlalu ingin menggambar. Sejujurnya, dia merasa ingin merobek-robek gambar wajah Ayahnya.
"Suasana menggantung tidak enak di hati," kata suara di dekat telinga Jared. "Lebih baik hati-hati."
Dia berbalik dan melihat pria kecil berkulit cokelat kacang, berpakaian kaus seukuran boneka, dan celana yang terbuat dari kantong gaun. Dia berdiri di salah satu rak buku setinggi mata Jared, memegang seutas benang. Di rak teratas, Jared bisa melihat kilauan jarum perak yang digunakan si brownie untuk meluncur turun.
"Thimbletack," kata Jared. "Ada apa""
"Bisa masalah, bisa dugaan salah. Apa pun it
u, kau yang memancingnya."
"Apa"" "Kau menyimpan buku itu, tak mendengar nasihatku. Cepat atau lambat, akan ada kejadian gawat."
"Kau selalu bilang begitu," kata Jared. "Memangnya tidak gawat memotong-motong gaun untuk kaujadikan pakaianmu" Jangan bilang itu gaun Bibi Lucinda."
Mata Thimbletack berkilat. "Jangan tertawa, jangan sekarang. Kau akan mengalami ketakutan menjelang."
Jared mendesah dan berjalan ke jendela. Hal terakhir yang dibutuhkannya adalah masalah baru. Di bawah, dia bisa melihat seluruh halaman. Mallory berada dekat rumah kereta, menusuk-nusuk udara dengan anggarnya. Lebih jauh lagi, dekat pagar rusak yang memisahkan halaman dengan hutan di dekatnya, Simon berdiri, tangan membentuk corong di mulut, mungkin memanggil-manggil kucing bodoh itu. Lebih jauh lagi, pohon-pohon lebat menutupi pandangan Jared. Di bawah bukit, di kejauhan, jalan tol memotong hutan, tampak seperti ular hitam di tengah rerumputan tinggi.
Thimbletack meraih benang dan ber ayun ke bingkai jendela. Dia mulai bicara, lalu hanya menatap ke luar. Akhirnya sepertinya suaranya kembali. "Goblin di hutan. Sepertinya menakutkan. Peringatanku terlambat. Tidak ada yang bisa membuatmu selamat."
"Di mana""
"Di dekat pagar sana. Kau buta, ya""
Jared menyipitkan mata dan menatap arah yang ditunjuk si brownie. Di sana ada Simon, berdiri sangat diam dan menatap rumput dengan cara yang aneh. Jared menatap ketakutan saat saudaranya mulai meronta. Simon menggeliat dan meninju, tapi tidak ada apa-apa di sana.
"Simon!" Jared berusaha membuka jendela, tapi jendela itu dipantek mati. Dia memukul-mukul kacanya.
Lalu Simon jatuh, masih berjuang melawan musuh yang tak kelihatan. Beberapa saat kemudian, dia menghilang.
"Aku tidak melihat apa pun!" jerit Jared kepada Thimbletack. "Apa yang terjadi""
Mata Thimbletack yang hitam berkilau. "Aku lupa, matamu buta. Tapi ada cara melihat itu, kalau kau mau menurut kataku."
"Kau membicarakan Penglihatan, kan""
Si brownie mengangguk. "Tapi bagaimana aku bisa melihatmu dan tidak melihat goblin-goblin itu""
"Kami bisa menunjukkan apa yang kami ingin kauketahui, bukan""
Jared meraih buku Panduan dan membalik-balik halaman-halaman yang sudah hampir di hafalnya: sketsa-sketsa, ilustrasi cat air, dan catatan dengan tulisan tangan paman buyutnya yang melingkar-lingkar. "Ini," kata Jared.
Si brownie kecil melompat dari bingkai jendela ke meja.
Halaman di bawah jari-jari Jared menunjukkan berbagai cara berbeda untuk memperoleh Penglihatan. Dia membaca cepat. "'Rambut merah. Menjadi putra ketujuh dari putra ketujuh. Air mandi peri'"" Dia berhenti di petunjuk terakhir, dan menatap Thimbletack, tapi brownie kecil itu menunjuk penuh semangat ke halaman tersebut. Ilustrasi menunjukkan dengan jelas, batu dengan lubang di lengahnya, seperti cincin.
"Dengan lensa batu ini, kau bisa melihat apa yang tidak muncul sendiri." Setelah mengatakan itu, Thimbletack melompat dari meja. Dia berlari melintasi lantai menuju pintu lemari baju.
"Kita tidak punya waktu mencari batu-batuan," teriak Jared, tapi apa yang bisa dilakukannya kecuali mengikuti si brownie"
BAB DUA KETIKA Beberapa Hal Terjadi, Termasuk Tes
THIMBLETACK berlari melintasi halaman, melompat dari satu bayangan ke bayangan yang lain. Mallory masih beerlatih anggar melawan dinding rumah ke-reta tua, membelakangi tempat Simon tadi.
Jared melangkah ke belakangnya dan melepaskan headphone yang dikenakan kakaknya dengan menarik kabelnya.
Mallory berbalik, mengarahkan anggar ke dada adiknya. "Apa"" "Simon diculik goblin!"
Mata Mallory menyipit. Dia memandang ke sekeliling halaman. "Goblin""
"Harus cepat-cepat." Suara Thimbletack mencicit seperti burung. "Tidak ada waktu untuk tercekat."
"Ayolah." Jared mengangguk ke arah rumah kereta tempat si brownie kecil menunggu. "Sebelum mereka menangkap kita."
"SIMON!" teriak Mallory.
"Diam." Jared meraih tangan kakaknya dan menariknya ke rumah kereta, menutup pintunya di belakang mereka. "Mereka akan mendengarmu."
"Siapa yang akan mendengarku"" tanya Mallory. "Goblin""
Jared mengabaikannya. Mereka sama-sama belum pernah masuk bangunan itu. Aromany
a seperti bensin dan jamur. Sehelai terpal menutupi mobil hitam tua. Rak-rak memenuhi dinding, penuh kaleng dan stoples besi setengah terisi cairan cokelat dan kuning. Ada bilik-bilik yang pasti bekas tempat kuda-kuda zaman dulu. Tumpukan kotak kayu dan kulit memenuhi satu sudut.
Thimbletack melompat ke atas sekaleng cat dan menunjuk ke arah kotak-kotak itu. "Cepat! Cepat! Kalau mereka datang, kita harus siap dengan tepat!"
"Kalau Simon ditangkap gobhn, mengapa kita membongkar-bongkar barang-barang tua ini"" tanya Mallory.
"Ini," kata Jared, mengulurkan bukunya dan menunjuk gambar batu itu. "Kita mencari ini.
"Wah, hebat," kata Mallory. "Mudah sekali mencarinya di tumpukan ini." "Cepatlah," kata Jared.
Kotak kulit pertama berisi pelana, beberapa tali kekang, beberapa sisir, dan peralatan merawat kuda lainnya. Simon pasti senang. Jared dan Mallory membuka kotak berikut bersama. Kotak itu penuh peralatan tua yang berkarat. Kemudian mereka menemukan beberapa kotak berisi peralatan makan yang terbungkus dalam handuk kotor.
"Bibi Lucinda pasti tidak pernah membuang apa pun," kata Jared.
"Ini ada lagi." Mallory terengah saat menarik kotak kayu kecil ke dekat adiknya. Tutupnya terbuka menerbangkan debu, menunjukkan bungkusan koran-koran tua.
"Lihat betapa tua benda-benda ini," kata Mallory. "Yang ini bertanggal tahun seribu sembilan ratus sepuluh."
"Aku bahkan tidak tahu sudah ada koran tahun seribu sembilan ratus sepuluh."
Di dalam setiap bungkusan koran ada benda yang berbeda. Jared membuka salah satunya yang berisi teropong besi. Dalam bungkusan lain dia menemukan kaca pembesar. Benda itu membuat tulisan di bawahnya besar. "Yang ini dari tahun seribu sembilan ratus dua puluh tujuh. Semuanya berbeda."
Jared mengambil halaman lain. "Gadis Terbenam dalam Sumur Kering.' Aneh."
"Hei, lihat ini." Mallory meratakan salah satu koran. "Seribu delapan ratus delapan puluh lima. Anak Laki-Laki Hilang.' Sepertinya dia dimakan beruang. Lihat nama anak yang selamat! Arthur Spiderwick.'"
"Ini dia! Ini dia!" kata Thimbletack, masuk ke dalam kotak. Saat muncul kembali, dia membawa kacamata paling aneh yang pernah di lihat Jared.
Kacamata itu hanya terdiri
atas satu lensa dan terpasang di wajah dengan jepitan hidung selain dengan dua tali kulit dan seutas rantai. Tersimpan dalam kantong kulit cokelat yang kaku, empat jepitan besi digunakan untuk memasang sejenis lensa. Tapi yang paling aneh dari benda itu adalah beberapa kaca pembesar yang terpasang pada lengan besi yang bisa digerakkan.
Thimbletack membiarkan Jared mengambil kacamata itu dan membalik-baliknya di tangan. Kemudian dia mengambil batu halus yang berlubang di tengah dari belakang punggungnya.
"Batu penglihatan." Jared mengulurkan tangan untuk mengambilnya.
Thimbletack melangkah mundur. "Sekarang kau harus membuktikan diri atau tidak mendapat apa-apa dari si peri."
Jared menatap ketakutan. "Kita tidak punya waktu untuk main-main."
"Ada waktu atau tidak, kau harus berjanji tidak membuat batu ini rusak."
"Aku hanya membutuhkannya untuk menemukan Simon," kata Jared. "Aku akan langsung mengembalikannya."
Thimbletack menaikkan sebelah alisnya.
Jared mencoba lagi. "Aku berjanji tidak akan membiarkan seorang pun menggunakannya-kecuali Mallory-dan, well, Simon. Ayolah! Kaulah yang mengusulkan memakai batu itu tadi."
"Anak manusia seperti ular. Janjinya mudah bubar."
Mata Jared menyipit. Dia bisa merasakan rasa frustrasi dan marah memenuhi dirinya. Tangannya mengepal. "Berikan batu itu."
Thimbletack tidak mengatakan apa-apa.
"Berikan padaku."
"Jared"" kata Mallory memberi peringatan.
Tapi Jared nyaris tidak mendengarnya. Gemuruh memekakkan telinganya saat dia melompat ke depan dan mencengkeram Thimbletack. Brownie kecil itu menggeliat dalam cengkeraman Jared, langsung berubah wujud menjadi kadal, lalu tikus yang menggigit tangan Jared, kemudian belut licin yang menggeliat-geliat membasahi semuanya. Tapi Jared tetap lebih besar, dan dia mencengkeram kuat-kuat. Akhirnya batu itu jatuh, berdenting menghantam lantai. Jared menutupinya dengan kaki sebelum membiarkan Thimbletack lepas. Brownie it
u lenyap saat Jared mengambil batu tersebut.
"Mungkin seharusnya kau tidak melakukan itu," kata Mallory.
"Aku tak peduli." Jared mengisap jarinya yang digigit Thimbletack. "Kita harus menemukan Simon."
"Apakah benda itu bisa berfungsi"" tanya Mallory.
"Mari kita lihat." Jared memegang batu itu di depan matanya dan melihat ke luar jendela.
BAB TIGA KETIKA Mallory Akhirnya Bisa Benar-Benar Menggunakan Anggarnya
MELALUI lubang kecil di batu itu, Jared melibat goblin. Ada lima, semuanya berwajah seperti kodok dan matanya putih tanpa pupil. Telinga tak berbulu yang bentuknya seperti telinga kucing berdiri di kepala mereka, dan gigi-gigi mereka seperti potongan kaca serta batu kecil yang tajam. Tubuh hijau mereka yang berbintil-bintil bergerak lincah di halaman. Salah satunya memegang karung bebercak sementara yang lain mencium-cium udara seperti anjing, bergerak menuju rumah kereta. Jared mundur dan jendela, nyaris tersandung ember tua.
"Mereka bergerak tepat ke arah kita," bisiknya, merunduk.
Mallory mencengkeram anggarnya semakin erat, buku-buku jarinya memutih. "Bagaimana dengan Simon""
"Aku tidak melihatnya."
Mallory mengangkat kepalanya dan mengintip ke luar. "Aku tidak melihat apa pun," katanya.
Jared berjongkok, batu itu dalam genggamannya. Dia bisa mendengar goblin-goblin itu di luar, menggeram dan mendengus saat bergerak semakin dekat. Dia tidak berani melihat melalui batu itu lagi.
Kemudian Jared mendengar suara kayu tua patah.
Batu menghantam salah satu jendela.
"Mereka datang," kata Jared. Dia memasukkan buku Panduan ke ranselnya, tidak mau repot-repot menutup kancingnya.
"Datang"" jawab Mallory. "Kurasa mereka ada di sini."
Cakar menggores sisi bangunan dan gonggongan kecil datang dari bawah jendela. Perut Jared terasa mulas. Dia tak bisa bergerak.
"Kita harus melakukan sesuatu," bisiknya.
"Kita harus lari ke rumah," jawab Mallory balas berbisik.
"Tidak bisa," kata Jared. Ingatan akan gigi-gigi dan cakar goblin yang tajam terus mengganggunya.
"Beberapa papan lagi dan mereka akan masuk ke sini."
Jared mengangguk kaku, menguatkan dirinya untuk bangkit. Dia berusaha memasang batu itu ke kacamata dan memasangnya ke kepala. Jepitan kacamata itu menekan hidungnya.
"Dengar aba-abaku," kata Mallory. "Satu. Dua. Tiga. Ayo!"
Mallory membuka pintu dan mereka berdua lari ke rumah. Para goblin mengejar mereka. Cakar-cakar menangkap pakaian Jared. Dia meronta bebas dan terus lari.
Mallory lebih cepat. Dia nyaris mencapai pintu rumah ketika goblin menangkap bagian belakang kaus Jared dan menariknya keras-keras. Dia jatuh tertelungkup di rumput.
Batu itu melompat dari kacamatanya. Jared mencengkeram tanah, berusaha keras bertahan, tapi tetap terseret ke belakang.
Dia bisa merasakan ranselnya mulai lepas, dan menjerit.
Mallory berbalik. Bukannya terus lari ke rumah, dia kembali untuk menolong adiknya. Anggarnya masih berada di tangannya, tapi tidak mungkin Mallory tahu apa yang sedang dihadapinya.
"Mallory!" teriak Jared. "Jangan! Lari!"
Paling tidak satu goblin pasti sudah melewatinya, karena dia melihat lengan Mallory tertarik dan mendengar kakaknya menjerit. Garis-garis merah muncul di tempat goblin itu mencakarnya. Headphone tertarik lepas dari leher Mallory. Dia berputar dan menusuk dengan anggarnya, mengibaskan anggarnya ke udara. Sepertinya dia tidak mengenai apa pun. Mallory mengibaskan anggarnya setengah lingkaran, tapi sekali lagi tidak mengenai apa pun.
Jared menendangkan sebelah kakinya kuat-kuat, mengenai sesuatu yang keras. Dia merasakan pegangan yang menahannya melonggar, dan merangkak maju, menarik ranselnya dari cengkeraman para goblin. Isinya tumpah dan Jared nyaris tidak sempat meraih buku Panduan. Setelah meraba-raba di rumput, dia mengambil batu penglihatan, dan merangkak ke tempat Mallory. Kemudian dia memegang batu itu di depan matanya dan melihat.
"Arah jam enam," teriaknya, dan Mallory berbalik, menusuk ke arah itu, mengenai telinga si goblin. Goblin itu melolong. Anggar tidak berujung tajam, tapi tetap saja terasa sakit bila terkena tusukannya.
"Lebih rendah, mereka lebih pendek dari kita." Jared berh
asil bangkit jadi sekarang dia berdiri membelakangi Mallory. Kelima goblin itu mengelilingi mereka.
Salah satunya menyerang dari kanan. "Arah jam tiga," teriak Jared.
Mallory merobohkan gobhn itu dengan mu-dah.
"Jam dua belas! Jam sembilan! Jam tujuh!" Semua gobhn itu menyerang serentak, dan Jared merasa Mallory mungkin takkan berhasil mengatasinya. Dia mengangkat bukunya dan mengayunnya sekuat mungkin pada goblin terdekat.
Pak! Buku itu menghantam si goblin cukup keras untuk membuatnya terguling-guling ke belakang. Mallory sudah menjatuhkan dua goblin lagi dengan pukulan-pukulan keras.
Sekarang goblin-goblin itu mengepung dengan lebih hati-hati, menyeringai memamerkan gigi-gigi kaca dan batu mereka.
Tiba-tiba ada panggilan aneh, seperti gonggongan dan siulan sekaligus.
Mendengar suara itu, goblin-goblin mundur satu per satu ke dalam hutan.
Jared terduduk di rumput. Sisi tubuhnya sakit dan dia kehabisan napas.
"Mereka pergi," kata Jared. Dia mengulurkan batu penglihatan kepada Mallory. "Lihat saja." Mallory duduk di sebelah adiknya dan memegang batu itu di depan matanya. "Aku tidak melihat apa pun, tapi aku juga tidak melihat apa pun beberapa menit yang lalu."
"Mungkin mereka akan kembali." Jared tengkurap dan membuka buku Panduan, membalik-balik halamannya dengan cepat. "Baca ini."
"Goblin bergerak berkelompok mencari masalah." Mallory mengernyitkan dahi membaca itu. "Dan lihat, Jared-Hilangnya kucing dan anjing merupakan pertanda bahwa ada goblin di daerah itu'."
Mereka berpandangan. "Tibbs," kata Jared sambil menggigil.
Mallory terus membaca. "Goblin lahir tanpa gigi dan karena itu mencari gantinya, misalnya taring binatang, bebatuan yang tajam, dan potongan kaca."
"Tapi buku ini tidak mengatakan bagaimana cara menghentikan mereka," kata Jared. "Atau ke mana mereka mungkin membawa Simon."
Mallory tidak mendongak dari halaman yang dibacanya.
Jared berusaha tidak memikirkan apa yang mungkin dilakukan para goblin pada Simon. Sepertinya cukup jelas baginya apa yang mereka lakukan pada kucing-kucing dan anjing-anjing, tapi dia tidak ingin memercayai saudaranya mungkin... mungkin dimakan. Dia melirik ilustrasi gigi-gigi yang menyeramkan itu.
Tentu tidak. Tentu ada penjelasan yang lain.
Mallory menarik napas panjang dan menunjuk ilustrasi itu. "Sebentar lagi gelap, dan dengan mata seperti itu, mereka mungkin punya penglihatan yang lebih bagus daripada kita."
Pernyataan itu cukup cerdas. Jared mengingatkan diri untuk menulis catatan dalam buku Panduan tentang bal itu saat mereka sudah membebaskan Simon. Dia melepaskan kacamatanya dan memasang batu penglihatan di tempatnya lagi, tapi jepitannya terlalu longgar untuk menahan batu itu di tempat.
"Tidak bisa,'' kata Jared.
"Kau harus menyesuaikannya," kata Mallory. "Kita butuh obeng atau semacamnya."
Jared mengeluarkan pisau saku dari saku belakang celananya. Pisau saku itu lengkap dengan obeng, pisau kecil, kaca pembesar, kikir, gunting lipat, dan tempat kosong yang dulu isinya tusuk gigi. Memutar sekrupnya dengan bati-hati, Jared memasangkan batu itu ke tempatnya dengan pas.
"Sini, biar kubantu mengikatnya erat-erat ke kepalamu." Mallory mengikat tali-tali kulitnya dengan erat. Jared barus agak menyipit-kan mata supaya bisa melibat dengan jelas, tapi keadaan lebib baik daripada sebelumnya.
"Ambil ini," kata Mallory, dan memberi adiknya anggar latiban. Ujungnya tidak tajam, jadi Jared tidak yakin seberapa ampuh senjata itu.
Tapi tetap saja rasanya lebih baik bila bersenjata. Setelah memasukkan buku Panduan ke ransel, memasang kancingnya dengan benar, dan memegang anggar di depannya, Jared mulai menuruni bukit menuju hutan yang gelap. Sudah waktunya menemukan Simon.
BAB EMPAT KETIKA Jared dan Mallory Menemukan Banyak Hal, Tapi Bukan Apa yang Mereka Cari
KETIKA melangkah memasuki hutan, Jared merasakan embusan hawa di-ngin. Udaranya berbeda, penuh benda hijau dan tanah segar, tapi langit mendung. Jared dan Mallory melangkahi rumpun-rumpun putri malu dan melewati pohon kurus yang dilibat sulur tanaman merambat. Di suatu tempat di atas mereka, burung mulai mencicit, membuat suara
kasar seperti peringatan. Di bawah langkah mereka, tanah licin karena lumut. Ranting-ranting patah saat mereka lewat dan Jared mendengar suara air di kejauhan.
Ada sekelebat warna cokelat, lalu burung hantu kecil hinggap di cabang yang rendah. Kepalanya ditelengkan ke arah mereka sementara cakarnya mencengkeram tikus mati.
Mallory menerobos sesemakan, dan Jared mengikutinya. Ranting-ranting kecil terselip di pakaian dan rambut Jared. Mereka berjalan menyamping mengelilingi batang pohon tumbang yang dipenuhi semut hitam.
Ada yang berbeda saat memandang dengan batu penglihatan terpasang. Semuanya lebih jelas dan terang. Tapi ada sesuatu yang lain juga. Berbagai hal bergerak di rumput, di pepohonan, hal-hal yang tak bisa Jared lihat dengan jelas tapi dia sadari untuk pertama kalinya. Wajah-wajah pada batang pohon, bebatuan, dan lumut yang hanya dilihatnya sesaat. Rasanya seluruh hutan ini hidup.
"Itu." Mallory meraba batang yang patah dan menunjuk ke tempat rumpun pakis diinjak-injak. "Mereka lewat sana."
Mereka mengikuti jejak tanaman yang hancur dan ranting-ranting yang patah sampai menemui sungai kecil. Saat itu hutan telah lebih gelap, dan suara binatang-binatang senja sudah semakin keras. Sekelompok serangga mengelilingi mereka sejenak, kemudian terbang ke atas air.
"Apa yang kita lakukan sekarang"" tanya Mallory. "Kau bisa melihat sesuatu""
Jared menyipitkan matanya di balik kacamata dan menggeleng. "Ayo ikuti sungai ini. Jejaknya pasti muncul lagi."
Mereka terus bergerak merambah hutan.
"Mallory," bisik Jared, menunjuk pohon ek besar. Makhluk-makhluk kecil berwarna hijau dan cokelat bertengger di dahan. Sayap-sayap mereka mirip daun, tapi wajah-wajah mereka sangat mirip manusia. Bukannya rambut, rumput dan kuncup bunga tumbuh di kepala mungil mereka.
"Apa yang kaulihat"" Mallory mengangkat anggarnya dan mundur dua langkah.
Jared menggeleng pelan. "Sprite-peri hutan... kurasa."
"Kenapa wajahmu tampak begitu bodoh""
"Mereka begitu..." Jared tak bisa menjelaskannya. Dia mengulurkan tangannya, telapak menghadap ke atas, dan menatap keheranan saat salah satu makhluk itu mendarat di jarinya. Kaki-kaki lembut menggelitik kulitnya saat peri kecil itu menatapnya dengan mata yang hitam.
"Jared," kata Mallory tak sabar.
Ketika mendengar suara Mallory, si sprite melompat ke udara. Jared menatapnya saat sprite itu melayang berputar kembali ke dedaunan di atas.
Pola-pola cahaya matahari menerobos pepohonan mulai berwarna oranye. Di depan, sungai melebar di tempatnya mengalir di bawah sisa-sisa jembatan batu.
Jared bisa merasakan bulu romanya berdiri saat mereka semakin mendekati reruntuhan jembatan, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan goblin. Sungai itu begitu lebar, nyaris enam meter, dan di tengahnya ada bagian gelap yang sepertinya dalam.
Jared mendengar suara di kejauhan, seperti besi beradu dengan besi.
Mallory berhenti, memandang ke seberang sungai, dan mendongak. "Kau dengar itu""
"Mungkinkah Simon"" tanya Jared. Dia berharap bukan. Suaranya sama sekali tidak mirip suara manusia.
"Aku tak tahu," kata Mallory, "tapi apa pun itu, pasti ada hubungannya dengan goblin. Ayo!" Setelah itu, Mallory maju ke arah datangnya suara.
"Jangan ke sana, Mallory," kata Jared. "Sungainya terlalu dalam."
"Jangan jadi pengecut," kata Mallory, dan berjalan memasuki sungai. Dia mengambil dua langkah panjang kemudian lenyap seolah terjatuh setelah melangkahi bibir jurang. Air hijau gelap menutupi kepalanya.
Jared berlari ke depan. Menjatuhkan anggarnya ke tepi sungai, dia mengulurkan tangannya ke dalam air sungai yang sedingin es. Kakaknya mengapung ke permukaan, menyemburkan air. Dia meraih tangan Jared.
Jared menariknya setengah jalan ke tepian saat sesuatu mulai muncul di belakang Mallory. Pertama-tama, tampaknya makhluk itu seperti bukit muncul dari air, tampak seperti batu yang tertutup lumut. Kemudian muncul kepala, warnanya hijau tua tertutup rumput sungai yang sudah membusuk, dengan dua mata hitam, hidung yang bengkok dan menonjol seperti ranting, dan mulut yang penuh gigi yang patah-patah. Sebelah tangan terulur ke arah mereka. Jari-ja
rinya sepanjang akar-akaran, dan kuku-kukunya hitam penuh lumpur. Jared menghirup aroma dasar sungai, dedaunan busuk, dan lumpur yang sudah sangat tua.
Dia menjerit. Pikirannya kosong. Dia tak bisa bergerak.
Mallory menarik dirinya sendiri naik ke tepian dan memandang ke belakangnya.
"Apa itu" Apa yang kaulihat""
Mendengar suara kakaknya, Jared tersadar untuk bergerak dan tertatih-tatih mundur dari sungai, menarik Mallory supaya mengikutinya. "Troll," katanya dengan napas tertahan.
Makhluk itu mengejar mereka. Jari-jarinya yang panjang menyapu rumput tempat mereka baru saja berada.
Kemudian makhluk itu melolong dan Jared menengok, tapi tak bisa melihat apa yang terjadi. Rasanya makhluk itu mengejar mereka lagi, tapi tersentak mundur saat satu jarinya yang panjang terkena cahaya. Monster itu melenguh.
"Matahari," kata Jared. "Monster itu terbakar matahari."
"Matahari sebentar lagi tenggelam," kata Mallory. "Ayo."
"Tungguuu," bisik monster itu. Suaranya lembut.
Mata kuning menatap mereka lekat-lekat. "Kembaaaaliii. Aku puuunya sesuatu untuk kaliaaaan." Troll Itu mengulurkan kepalan tangannya seolah sesuatu mungkin saja berada di dalamnya.
"Jared, ayolah." Suara Mallory nyaris bernada memohon. "Aku tidak bisa melihat dengan siapa kaubicara."
"Apakah kau melihat saudaraku"" tanya Jared.
"Mungkiiin. Aku mendengar sesuatu beberapa saat yang laaaalu, tapi terlalu te-raaang, terlalu terang untuk melihaaat."
"Itu pasti dia! Pasti dia. Ke mana mereka
pergi"" Kepala si troll berpaling kepada sisa-sisa jembatan kemudian kembali menatap Jared. "Mendekaaatlaaah dan akan kuberitaaahu."
Jared mundur selangkah. "Tidak mau."
"Paaaling tidaaak mendekaaatlaaah untuk mengambil pedaaangmu." Troll itu mengangguk ke arah anggar di sebelahnya. Anggar itu tergeletak di tepi sungai, tempat Jared menjatuhkannya. Jared menatap kakaknya. Tangan Mallory juga kosong. Dia pasti meninggalkan anggarnya di dasar sungai.
Mallory maju setengah langkah. "Itu satu-satunya senjata yang kita miliki."
"Maaari, aaaambilaaaah. Aku akaaan me-nutuuup matakuuu kalau itu akan membuat-muuu meraaasa lebih amaaaan." Sebelah tangannya yang besar menutup matanya.
Mallory menatap anggar yang tergeletak di lumpur itu. Matanya terfokus pada benda itu dengan cara yang membuat Jared gugup. Mallory berniat mengambilnya.
"Kau bahkan tak bisa melihat apa-apa," desis Jared. "Ayo pergi."
"Tapi anggarnya..."
Jared melepaskan kacamatanya dan menyerahkannya pada Mallory. Wajah kakaknya memucat melihat troll raksasa itu mengintip dari balik jari-jarinya, tak bisa bergerak hanya karena sisa-sisa cahaya matahari.
"Ayo," kata Mallory gemetar.
"Tidaaaak," kata si troll. "Kembaaali. Aku akaaan berbaaalik. Aku akaaan menghituuung sampai sepuluuuuh. Ituuu cukuuup adiiil. Kembaaali."
Jared dan Mallory lari melalui hutan sampai mereka menemukan seberkas sinar matahari dan berhenti di sana. Mereka berdua bersandar di sebatang pohon ek besar dan berusaha mengatur napas. Mallory gemetar. Jared tidak tahu apakah itu karena tubuh kakaknya basah kuyup atau karena si troll. Dia membuka jaketnya dan memberikannya pada Mallory.
"Kita tersesat," kata Mallory terengah-engah. "Dan kita tak bersenjata."
"Paling tidak kita tahu mereka tidak bisa menyeberangi jembatan," kata Jared, berusaha mengikat kembali kacamata itu di kepalanya. "Troll itu pasti menangkap mereka kalau mereka mencoba."
"Tapi suara itu sepertinya dari sisi seberang." Mallory menendang pohon, membuat kulitnya terkelupas.
Hidung Jared mencium sesuatu terbakar. Baunya samar tapi sepertinya bau rambut terbakar.
"Kau mencium itu"" tanya Jared.
"Dari sana," kata Mallory.
Mereka berjalan merambah sesemakan, tidak memedulikan luka-luka goresan akibat terkena ranting-ranting dan duri-duri di lengan mereka. Pikiran Jared dipenuhi saudaranya dan api.
"Lihat ini." Mallory berhenti tiba-tiba. Dia meraih ke rumput dan mengambil sebelah sepatu cokelat.
"Milik Simon." "Aku tahu," kata Mallory. Dia membalik sepatu itu, tapi Jared tidak mendapat petunjuk apa pun, kecuali lumpur di sepatu itu.
The Spiderwick Chronicles 2 Batu Penglihatan The Seeing Stone di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menurutmu dia..." Jared tidak bisa memaksa dirinya mengatakan hal
itu. "Tidak, tentu saja tidak!" Mallory memasukkan sepatu itu ke saku depan jaketnya.
Jared mengangguk perlahan, membiarkan dirinya diyakinkan.
Tidak jauh di depan, pohon-pohon mulai menipis. Mereka keluar di jalan tol. Aspal hitam memanjang sampai ke horizon. Di belakang mereka matahari tenggelam meninggalkan semburat ungu dan oranye.
Dan di bahu jalan, di kejauhan, sekelompok goblin berkumpul di sekeliling api unggun.
BAB LIMA KETIKA Nasib Kucing yang Hilang Diketahui
JARED dan Mallory mendekati kamp para goblin itu dengan hati-hati, merun-duk di balik batang-batang pohon. Pecahan-pecahan kaca dan potongan-potongan tulang mengotori tanah. Jauh di atas pepohonan mereka bisa melihat kandang-kandang yang terbuat dari ranting berduri, kantong plastik, dan benda-benda lain. Kaleng-kaleng minuman penyok tergantung di dahan-dahan, berdenting bersama seperti gaung angin jahat. Sepuluh goblin duduk mengelilingi api. Tubuh sesuatu yang telah menghitam, yang sangat mirip tubuh kucing berputar pada tongkat di atas api. Sesekali salah satu goblin akan membungkuk untuk menjilat daging panggang itu, dan gobhn yang memutar panggangan akan menggonggong keras. Kemudian mereka semua akan mulai menggonggong.
Beberapa goblin mulai menyanyi. Jared menggigil mendengar kata-katanya.
Fidirol, Fidirat! Tangkap anjing, tangkap kucing
Kuliti selagi hidup, kupas lemaknya
Dipanggang, diputar Fidirol, Fidirat! Mobil-mobil melaju lewat, tak sadar apa yang terjadi. Mungkin bahkan ibu mereka sedang melaju lewat saat ini, pikir Jared.
"Berapa banyak"" bisik Mallory, mengangkat ranting yang berat.
"Sepuluh," jawab Jared. "Aku tidak melihat Simon. Dia pasti ada dalam salah satu kandang itu."
"Kau yakin"" Mallory menyipitkan mata ke arah para gobhn. "Berikan kacamata itu."
"Jangan sekarang," kata Jared.
Mereka bergerak perlahan melalui pepohonan mencari kandang yang cukup besar yang mungkin menampung Simon. Di depan mereka, sesuatu menjerit, tinggi dan keras. Mereka terus merayap ke tepi hutan.
Seekor binatang terbaring di bahu jalan, jauh di luar kamp para goblin. Sosoknya seukuran mobil, tapi tubuhnya meringkuk, dengan kepala elang dan tubuh singa. Bulu-bulunya berlumur darah.
"Apa yang kaulihat""
"Griffin," kata Jared. "Dia terluka."
"Griffin itu apa""
"Sejenis burung, mirip - sudahlah, jauh-jauhlah dari dia."
Mallory mengembuskan napas, bergerak semakin memasuki hutan.
"Itu," katanya. "Bagaimana dengan itu""
Jared mendongak. Beberapa kandang yang digantung tinggi-tinggi lebih besar, dan dia merasa dia bisa melihat sesosok manusia di dalamnya. Simon!
"Aku bisa naik," kata Jared.
Mallory mengangguk. "Cepatlah."
Jared menjejakkan kakinya pada cabang yang rendah, mengangkat dirinya ke cabang pertama. Kemudian, dia menarik dirinya lebih tinggi, dan mulai merangkak ke arah cabang tempat kandang-kandang kecil tergantung. Kalau berdiri di cabang itu, dia bisa melihat kandang-kandang yang digantung lebih tinggi.
Saat merayap ke ujung cabang, Jared terpaksa melihat ke bawah. Dalam kandang-kandang di bawahnya, dia bisa melihat bajing, kucing, dan burung. Beberapa mencakar-cakar dan menggigiti jeruji kandangnya, sementara yang lain tidak bergerak. Beberapa kandang hanya berisi tulang-belulang. Semua kandang itu dililiti dedaunan yang mirip poison ivy.
"Hei, lendir berjamur, sini."
Suara itu membuat Jared begitu terkejut sehingga nyaris melepaskan pegangannya. Suara itu datang dan salah satu kandang yang besar.
"Siapa di sana"" bisik Jared.
"Hogsqueal. Nah, gimana kalau kau membuka pintu ini""
Jared melihat wajah kodok goblin, tapi yang ini memiliki mata kucing yang hijau. Dia mengenakan pakaian, dan giginya tidak terdiri atas pecahan kaca atau besi, tapi kelihatan mirip gigi bayi.
"Wah, maaf saja," kata Jared. "Kau boleh saja membusuk di sana. Aku tidak akan melepaskanmu."
Jangan kejam, kepala kumbang. Kalau aku menjerit, mereka akan menjadikanmu makanan penutup."
"Aku berani bertaruh kau selalu menjerit-jerit," kata Jared. "Aku berani bertaruh mereka tak peduli apa pun yang kaukatakan."
"HEI! LIHAT-" Jared meraih sisi kandang dan menariknya mendekat. Hogsque
al terdiam. Di bawah sana, para gobhn saling memukul dan berebut potongan daging kucing, sepertinya tidak menyadari keributan di pohon.
"Oke, oke," kata Jared.
"Bagus. Lepaskan aku!" pinta si goblin.
"Aku harus menemukan saudaraku. Katakan di mana dia, baru kemudian kau kulepaskan."
"Tidak mungkin, cintaku. Kau pasti berpikir aku sebodoh cacing tanah. Bebaskan aku atau aku menjerit lagi."
"Jared!" suara Simon memanggil dari salah satu kandang yang lebih tinggi. "Aku di sini.
"Aku datang," balas Jared, menoleh ke arah suara itu.
"Buka kandangnya atau aku berteriak," ancam si goblin.
Jared menarik napas panjang. "Kau tidak akan berteriak. Kalau kau berteriak, mereka akan menangkapku dan tidak akan ada yang membebaskanmu. Aku akan membebaskan saudaraku dulu, tapi aku akan kembali untuk membebaskanmu."
Jared merayap lebih jauh menelusuri cabang itu. Dia lega si goblin tetap diam.
Simon dimasukkan ke kandang yang terlalu kecil baginya. Kakinya tertekuk merapat ke dada, dan jari-jari sebelah kakinya muncul ke luar jeruji kandangnya. Kulitnya lecet-lecet karena duri yang meliliti kandang itu.
"Kau baik-baik saja"" tanya Jared, mengeluarkan pisau lipatnya dan mengiris tanaman rambat yang meliliti kandang Simon.
"Aku baik-baik saja." Suara Simon agak gemetar.
Jared ingin bertanya apakah Simon sudah menemukan Tibbs, tapi dia takut mendengar jawabannya. "Aku minta maaf," katanya akhirnya. "Seharusnya aku membantumu mencari kucing itu."
"Tidak apa-apa," kata Simon, menyelinap keluar dari bagian pintu yang berhasil dibuka Jared. "Tapi aku harus bilang padamu bah-wa"Kepala penyu! Boy! Cukup bicara! Keluarkan aku!" teriak si gobhn.
"Ayo," kata Jared. "Aku janji menolongnya."
Simon mengikuti kembarannya kembali menelusuri cabang ke kandang Hogsqueal. "Apa itu"" "Goblin, kurasa."
"Goblin!" kata Simon kaget. "Kau gila, ya"" "Aku bisa meludahi matamu," tawar Hogsqueal. kata Simon. "Tidak, terima kasih."
"Itu akan membuatmu bisa melihat, goblok. Sini," kata Hogsqueal, mengeluarkan saputangan dan sakunya dan meludahinya. "Gosok ini ke matamu."
Jared ragu-ragu. Bisakah dia memercayai goblin" Tapi, Hogsqueal akan terus terperangkap dalam kandang kalau dia melakukan kesalahan. Simon tidak akan mengizinkan goblin itu keluar.
Dia melepaskan kacamatanya dan menggosokkan kain kotor itu ke matanya. Rasanya perih.
"Uh. Itu hal paling jorok yang pernah kulihat," kata Simon.
Jared mengerjap dan melihat ke arah para goblin yang duduk mengelilingi api. Dia bisa melihat mereka tanpa batu penglihatan. "Simon, berhasil!"
Simon memandang kain itu dengan ragu tapi kemudian juga menggosok matanya dengan ludah si goblin.
"Kau sudah berjanji, kan" Bebaskan aku," tuntut Hogsqueal.
"Beritahu dulu kenapa kau ditangkap," kata Jared. Pemberian saputangan itu sikap yang manis, tapi bisa saja merupakan jebakan.
"Kau tidak terlalu goblok untuk anak bodoh," gerutu si goblin. "Aku ditangkap karena membebaskan salah satu kucing itu. Aku suka kucing, dan bukan hanya karena rasanya enak, yang memang begitu, jangan salah. Tapi mereka punya mata yang sangat mirip mataku, dan yang ini benar-benar kecil, tidak terlalu berdaging. Dan meongannya sangat manis." Goblin itu sepertinya sibuk mengenang, kemudian tiba-tiba menatap Jared. "Cukup. Bebaskan aku."
"Bagaimana dengan gigimu" Kau makan bayi atau apa"" Jared merasa kisah si goblin tidak cukup meyakinkan.
"Ini apa sih" Interogasi"" gerutu Hogsqueal.
"Aku sudah mulai membebaskanmu." Jared mendekat dan mulai mengiris simpul-simpul rumit pada kandang itu. "Tapi aku ingin tahu mengenai gigi-gigimu."
"Yah, anak-anak punya ide bodoh meninggalkan gigi mereka di bawah bantal, kan""
"Kau mencuri gigi anak-anak""
"Ya ampun. Si goblok, kau tidak percaya pada peri gigi, kan""
Jared bekerja keras beberapa saat, tanpa mengatakan apa-apa. Dia sudah nyaris memotong simpul terakhir saat si griffin mulai menjerit.
Empat goblin mengelilinginya dengan kayu runcing. Binatang itu sepertinya tidak bisa mengangkat dirinya terlalu tinggi, tapi dia bisa mematuk gobhn yang terlalu dekat. Kemudian paruh binatang itu mengatup, memotong lengan salah satu gob
lin. Goblin yang terluka menjerit sementara goblin yang lain menusuk punggung si griffin. Goblin-goblin lain berteriak gembira.
"Apa yang mereka lakukan"" bisik Jared.
"Sepertinya apa"" jawab Hogsqueal. "Mereka menunggu sampai griffin itu mari."
"Mereka mau membunuhnya!" teriak Simon. Matanya membelalak, menatap pemandangan mengerikan itu. Jared sadar saudaranya melihat semua ini untuk pertama kalinya. Tiba-tiba Simon meraih segenggam daun dan ranting tempat mereka berada dan melemparkannya pada para gobhn di bawah.
"Simon, hentikan!" kata Jared.
"Biarkan dia, brengsek!" jerit Simon. "BIARKAN DIA!"
Semua goblin mendongak serentak, mata mereka tampak putih seperti hantu dalam kegelapan.
BAB ENAM KETIKA Jared Terpaksa Membuat Keputusan yang Sulit
BEBASKAN aku!" jerit Hogsqueal. Jared tersadar dan memotong simpul terakhir.
Hogsqueal menari ke atas cabang-cabang, meskipun para goblin menggonggong di bawahnya. Mereka mulai mengelilingi pohon.
Jared memandang ke sekeliling mencari senjata, tapi yang dia miliki hanyalah pisau kecilnya. Simon mematahkan lebih banyak cabang dan Hogsqueal melarikan diri, melompat dari pohon ke pohon seperti monyet. Jared dan saudaranya tertinggal dan terjebak.
Kalau mereka mencoba turun, para goblin akan langsung menyerang mereka.
Dan entah di mana, di bawah sana, dalam kegelapan, Mallory sendirian dan tak bisa melihat. Satu-satunya pelindungnya hanyalah jaket merah yang dia kenakan.
"Bagaimana dengan binatang-binatang dalam kandang"" tanya Simon.
"Tidak ada waktu!"
"Hei, anjing goblok!" Jared mendengar Hogsqueal berteriak. Dia menengok ke arah suara itu, tapi Hogsqueal tidak memanggil mereka. Dia sedang menari mengelilingi api dan memasukkan sepotong besar daging kucing panggang ke mulutnya.
"Dasar goblok!" teriaknya ke goblin-goblin lain. "Kepala batu! Dasar gila! Keras kepala! Tak punya kerjaan!" Dia melengkungkan tubuh ke belakang lalu kencing di api, membuat api berkobar hijau.
Para goblin berpaling dari pohon dan berlari ke arah Hogsqueal.
"Turun!" kata Jared. "Sekarang!"
Simon menuruni pohon secepat dia bisa, melompat begitu dia sudah cukup dekat dengan tanah. Dia jatuh dengan bunyi buk pelan. Jared mendarat di sebelahnya.
Mallory memeluk mereka berdua, tapi tidak melepaskan ranting kayunya.
"Aku mendengar para goblin mendekat, tapi aku tidak bisa melihat apa-apa," katanya.
"Pakai ini." Jared mengulurkan kacamatanya pada Mallory.
"Kau membutuhkannya," protes kakaknya.
"Sekarang!" kata Jared.
Anehnya Mallory mengenakannya tanpa protes lagi. Setelah kacamata itu terpasang, dia merogoh kantong jaketnya dan memberikan sepatu Simon pada pemiliknya.
Mereka mulai masuk hutan, tapi Jared terus-menerus menoleh ke belakang. Hogsqueal dikepung seperti si griffin beberapa saat yang lalu. Mereka tak bisa meninggalkan Hogsqueal seperti itu.
"Hei!" teriaknya. "Di sini!"
Para goblin menoleh dan melihat ketiga anak mulai bergerak ke arah mereka.
Jared, Mallory, dan Simon mulai lari.
"Kau gila, ya"" jerit Mallory.
"Dia menolong kita," balas Jared. Dia tak yakin Mallory mendengarnya karena dia terengah-engah saat mengatakannya.
"Kita ke mana"" teriak Simon.
"Sungai," kata Jared. Dia berpikir cepat, lebih cepat daripada kapan pun dalam hidupnya. Si troll adalah satu-satunya kesempatan mereka. Dia yakin bagi troll menghentikan sepuluh goblin bukan masalah besar. Apa yang tidak diyakininya adalah bagaimana mereka sendiri bisa menghindari si troll.
"Kita tak bisa pergi ke sana," kata Mallory. Jared mengabaikan kakaknya.
Kalau saja mereka bisa melompati sungai itu, mungkin itu saja sudah cukup. Para goblin tidak akan bisa melompatinya karena di sana ada monster yang harus dihindari.
Para goblin masih cukup jauh di belakang mereka. Mereka tidak akan tahu apa yang menanti mereka.
Hampir sampai. Jared bisa melihat sungai itu di depan mereka, tapi mereka belum sampai di jembatan yang runtuh.
Kemudian Jared melihat sesuatu yang menghentikan langkahnya. Troll itu keluar dari air. Monster itu berdiri di tepi sungai, mata dan giginya berkilauan tertimpa cahaya bulan. Bahkan saat monster itu membungkuk, Jared menduga ti
ngginya lebih dari tiga meter.
"Waaaah, untuuuungnya dirikuuu," kata si troll, mengulurkan tangannya yang panjang ke arah ketiga anak.
"Tunggu," kata Jared.
Makhluk itu bergerak ke arah mereka, senyum malasnya menunjukkan giginya yang rusak. Jelas dia tidak mau menunggu.
"Dengar itu"" tanya Jared. "Itu goblin.
Sepuluh goblin gemuk. Jauh lebih mengenyangkan daripada tiga anak kurus."
Monster itu ragu-ragu. Buku Panduan mengatakan troll tidak terlalu pandai. Jared berharap keterangan itu benar.
"Kau hanya harus kembali dalam sungai dan kami akan menuntun mereka kepadamu. Janji."
Mata kuning makhluk itu berkilau serakah. "Yaaa," katanya.
"Cepat!" kata Jared. "Mereka hampir sam-pai!
Troll itu kembali ke dalam air dan menyelam nyaris tanpa membuat percikan.
"Apa itu"" tanya Simon.
Jared gemetar, tapi tidak membiarkan itu menghentikannya. "Masuk ke sungai di sana, di tempat dangkal. Kita harus membuat para goblin mengejar kita sampai masuk sungai."
"Kau gila, ya"" tanya Mallory.
"Please," kata Jared memohon. "Percayalah padaku."
"Kita harus melakukan sesuatu!" kata Simon.
"Oke, ayolah." Mallory mengikuti kedua adiknya menuju tepi sungai yang berlumpur, sambil menggeleng-geleng.
Para goblin keluar dari balik pepohonan. Jared, Mallory, dan Simon berjalan di air dangkal, berzig-zag melewati lubang-lubang yang dalam. Cara tercepat untuk mengejar mereka adalah memotong melalui tengah sungai.
Jared mendengar goblin menceburkan diri di belakang mereka, menggonggong keras-keras. Jared menengok ke belakang melihat beberapa goblin berenang ke tepian. Troll itu menangkap mereka semua, mengguncang, menggigit, dan menyeret mereka ke sarang bawah airnya.
Jared berusaha tidak melihat lagi. Perutnya merasakan mual yang aneh.
Simon tampak pucat dan agak lemas.
"Ayo pulang," kata Mallory.
Jared mengangguk. "Tidak bisa," kata Simon. "Bagaimana dengan semua binatang itu""
BAB TUJUH KETIKA Simon Bertindak dan Menemukan Binatang Peliharaan Baru yang Hebat
KAU bercanda, ya"" tanya Mallory saat Simon menjelaskan apa yang ingin dilakukannya.
"Mereka akan mati kalau kita tidak melakukannya," Simon berkeras. "Griffin itu mengalami perdarahan."
"Griffinnya juga"" tanya Jared. Dia mengerti soal kucing-kucing, tapi griffin"
"Bagaimana kita bisa menolong binatang itu"" tanya Mallory. "Kita bukan dokter hewan ajaib!"
"Kita harus mencoba," kata Simon sama tegasnya.
Jared terpaksa setuju pada keinginan Simon. Lagi pula, dia yang membuat Simon mengalami ini semua. "Kita bisa mengambil terpal tua dari rumah kereta."
"Yeah," sambung Simon. "Kemudian kita bisa menyeret si griffin kembali ke rumah. Ada banyak ruang kosong."
Mallory melotot. "Kalau dia membiarkan kita melakukan itu," kata Jared. "Kau lihat kan apa yang dilakukannya pada para goblin""
"Ayolah," kata Simon memohon. "Aku tidak cukup kuat untuk menyeretnya sendiri."
"Baiklah," kata Mallory. "Tapi aku tidak mau dekat-dekat kepalanya.
Jared, Simon, dan Mallory kembali ke rumah kereta. Bulan purnama di atas memberi cukup cahaya untuk melihat jalan memotong hutan, tapi mereka tetap berhati-hati, melintasi sungai hanya kalau airnya sangat dangkal. Di ujung halaman, Jared bisa melihat jendela-jendela rumah utama sudah terang dan mobil ibu mereka terparkir di jalan depan yang berkerikil. Apakah ibu mereka sedang membuat makan malam" Apakah dia sudah menelepon polisi" Jared ingin pergi ke dalam dan memberitahu ibunya mereka semua baik-baik saja, tapi dia tidak berani.
"Jared, ayolah." Simon sudah membuka pintu rumah kereta, dan Mallory sedang menarik terpal itu dari atas mobil tua.
"Hei, lihat ini." Simon mengambil senter dari salah satu rak dan menyalakannya. Untunglah, tidak ada cahaya yang muncul menerangi halaman.
"Baterainya mungkin sudah habis," kata Jared.
"Berhentilah main-main," kata Mallory pada kedua adiknya. "Kita kan berusaha tidak ketahuan."
Mereka menyeret terpal itu kembali merambah hutan. Mereka berjalan lebih pelan sambil bertengkar jalan mana yang terdekat. Jared terus-menerus terlompat kaget saat mendengar suara-suara malam. Bahkan suara katak pun terdengar tidak menyenangkan. Dia tak bis
a berhenti bertanya-tanya apa lagi yang berada di sana, bersembunyi di kegelapan. Mungkin ada yang lebih menakutkan daripada troll dan goblin. Dia menggeleng dan mengingatkan dirinya sendiri tak ada yang bisa sesial itu dalam satu hari.
Saat akhirnya mereka menemukan kamp para goblin lagi, Jared kaget melihat Hogsqueal duduk di depan api. Dia sedang menjilat tulang-tulang dan bersendawa senang saat mereka mendekat.
"Kurasa kau baik-baik saja," kata Jared.
"Apakah begitu caranya bicara pada yang menyelamatkan kulit kepalamu""
Jared mulai protes-mereka nyaris terbunuh karena goblin bodoh itu-tapi Mallory meraih tangannya.
"Bantulah Simon menyelamatkan binatang-binatang itu," katanya. "Aku akan mengawasi gobhn ini."
"Aku bukan goblin," kata Hogsqueal. "Aku ini hobgoblin."
"Masa bodoh," kata Mallory sambil duduk di sebongkah batu.
Simon dan Jared memanjat pohon, melepaskan semua binatang dalam kandang. Kebanyakan lari menuruni cabang terdekat atau melompat ke tanah, sama takutnya kepada kedua anak itu seperti mereka takut pada goblin. Salah satu anak kucing meringkuk di belakang kandang, mengeong menyedihkan. Jared tidak tahu apa yang harus dilakukannya, jadi dia memasukkan anak kucing itu dalam ranselnya dan terus bekerja. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Tibbs.
Saat Simon melihat anak kucing itu, dia berkeras mereka harus memeliharanya. Jared berharap Simon akan melupakan si griffin.
Jared berpikir mata Hogsqueal melembut ketika melihat si kucing kecil, tapi itu mungkin karena lapar.
Ketika semua kandang kosong, ketiga saudara dan si hobgoblin mendekati griffin itu. Binatang itu memandangi mereka dengan waspada, mengulurkan cakarnya.
Mallory menjatuhkan bagian terpal yang dipegangnya. "Tahu kan, kadang-kadang binatang terluka menyerang."
"Tapi kadang-kadang tidak juga," kata Simon, maju mendekati griffin dengan tangan terbuka. "Kadang-kadang mereka membiarkanmu merawat mereka. Aku pernah menemukan tikus seperti itu. Tikus itu baru menggigitku setelah keadaannya lebih baik."
"Hanya sekelompok idiot yang mau mengurus griffin terluka." Hogsqueal mematahkan sepotong tulang lagi dan mulai mengisap sumsumnya. "Kau mau aku menggendong kucing kecil itu""
Mallory mengernyitkan dahi ke arahnya.
"Kau mau mengikuti teman-temanmu ke dasar sungai""
Jared tersenyum. Senang rasanya Mallory mendukung mereka.
Itu membuatnya terpikir akan sesuatu. "Karena kau begitu baik hati, bagaimana kalau pemberi ludah goblin untuk kakakku""
"Ludah hobgoblin," kata Hogsqueal kesal.
"Eh, trims," kata Mallory, "tapi tidak usah deh."
"Tidak, dengar - ludah itu memberimu penglihatan. Dan itu bahkan lebih masuk akal," kata Jared. "Maksudku, kalau air mandi peri bisa, ini juga pasti bisa."
"Aku bahkan tidak bisa menjelaskan betapa menjijikkan pilihan-pilihan itu."
"Yah, kalau dia merasa begitu." Hogsqueal berusaha tampak tersinggung. Jared merasa Hogsqueal tidak terlalu berhasil, karena dia menjilati tulang pada saat yang sama.
"Mal, ayolah. Kau tidak bisa terus-menerus mengenakan batu penglihatan di kepalamu."
"Itu kan katamu," kata Mallory. "Apakah kau tahu berapa lama ludah ini bekerja""
Jared belum memikirkan hal itu. Dia menatap Hogsqueal.
"Sampai ada yang menusuk matamu," kata peri itu.
"Yah, bagus kalau begitu," kata Jared, berusaha kembali mengontrol pembicaraan itu.
Mallory mengeluh. "Baiklah, baiklah." Dia berlutut dan melepaskan kacamatanya. Hogsqueal meludah dengan gembira.
Saat mendongak, Jared melihat Simon sudah mendekati si griffin. Dia sedang berjongkok di sebelahnya dan berbisik.
"Halo, griffin," kata Simon dengan suaranya yang paling lembut. "Aku tidak akan menyakitimu. Kami hanya akan membantu merawatmu. Ayolah, jadi anak baik."
Griffin itu mengeluarkan suara seperti siulan ketel air. Simon mengelus bulunya dengan lembut.
"Ayo, tebarkan terpalnya," bisik Simon.
Griffin itu mengangkat dirinya sedikit, membuka paruh, tapi sepertinya Simon berhasil menenangkannya. Binatang itu kembali menyandarkan kepala ke aspal.
Mereka membuka terpal di belakangnya.
Simon berlutut di kepalanya, berbicara lembut dengan kata-kata yang menenangkan. Griffin itu
sepertinya mendengarkan, menggerakkan bulu-bulunya seolah bisikan Simon membuatnya geli.
Mallory mengendap-endap ke sisinya lalu dengan lembut memegang cakar depannya, dan Jared memegang cakar belakangnya.
"Satu, dua, tiga," kata mereka perlahan, kemudian menggulingkan si griffin ke atas terpal. Binatang itu menjerit dan menggerakkan kaki-kakinya, tapi saat itu dia sudah berada di atas kanvas.
Kemudian mereka mengangkatnya sebisa mereka dan mulai proses sulit menyeret si griffin ke rumah kereta. Binatang itu lebih ringan daripada perkiraan Jared. Simon memberitahu itu mungkin karena si griffin memiliki tulang berongga seperti burung.
"Sampai ketemu lagi, otak udang," teriak Hogsqueal di belakang mereka.
"Sampai ketemu lagi," jawab Jared. Dia hampir berharap si hobgoblin mau ikut mereka.
Mallory melotot. Griffin itu tidak menikmati perjalanannya.
Mereka tidak bisa terlalu mengangkatnya, jadi binatang itu sering menabrak-nabrak batang pohon dan sesemakan. Griffin itu menjerit, mencicit, dan menggerak-gerakkan sayapnya yang sehat. Mereka harus berhenti dan menunggu Simon menenangkannya kemudian baru mulai menyeret lagi. Sepertinya lama sekali perjalanan membawa pulang griffin itu.
Setelah tiba di rumah kereta, mereka harus membuka pintu ganda di belakang dan memasukkan griffin itu ke salah satu bilik kuda. Binatang itu kemudian berbaring di atas jerami tua.
Simon berjongkok untuk membersihkan luka si griffin sebaik yang bisa dilakukannya dengan penerangan cahaya bulan dan hanya dengan air dari selang. Jared menemukan ember dan mengisinya untuk air minum si griffin. Binatang itu minum dengan penuh rasa terima kasih.
Bahkan Mallory ikut berpartisipasi, ia menemukan selimut tua yang sudah dimakan rayap untuk menyelimuti binatang itu. Binatang itu nyaris tampak jinak, diperban, dan mengantuk dalam rumah kereta.
Meskipun Jared berpendapat membawa si griffin ke sini adalah tindakan gila, dia harus mengakui bahwa dia mulai menyukai binatang itu. Lebih daripada rasa sukanya kepada Hogsqueal.
Ketika Jared, Simon, dan Mallory tertatih-tatih masuk rumah, malam sudah larut. Mallory masih basah karena jatuh ke sungai, dan pakaian Simon compang-camping parah. Celana Jared bernoda rumput dan sikunya luka karena berlari-lari di tengah hutan. Tapi mereka masih memiliki buku itu dan kacamatanya, Simon masih menggendong anak kucing yang warnanya seperti permen butterscotch toffee, dan mereka semua masih hidup.
Dari sudut pandang Jared, ini termasuk sukses besar.
Ibu mereka sedang menelepon ketika mereka masuk. Wajahnya sembap karena air mata. "Mereka di sini!" Dia menutup telepon dan menatap anak-anaknya sesaat. "Kalian dari mana" Ini jam satu pagi!" Dia menuding Mallory. "Bagaimana kau bisa begitu tidak bertanggung jawab""
Mallory menatap Jared. Simon, di sebelahnya, juga menatapnya sambil memeluk rapat si kucing ke dadanya. Tiba-tiba Jared sadar saudara-saudaranya menunggunya memberi penjelasan.
"Mm... ada kucing di pohon," Jared memulai. Simon tersenyum memberinya semangat. "Kucing itu." Jared menunjuk anak kucing dalam gendongan Simon. "Dan, tahu kan, Simon memanjat pohon itu, tapi si kucing ketakutan. Dia memanjat semakin tinggi dan Simon terjebak. Dan aku lari memanggil Mallory."
"Dan aku berusaha memanjat menyusulnya," lanjut Mallory.
"Benar," kata Jared. "Mallory memanjat menyusulnya. Kemudian si kucing melompat ke pohon yang lain dan Simon menyusulnya. tapi cabangnya patah dan dia jatuh ke sungai."
"Tapi pakaiannya tidak basah," kata ibu mereka sambil mengernyitkan dahi.
"Maksud Jared, aku yang jatuh ke sungai," kata Mallory.
"Dan sepatuku jatuh ke sungai," kata Simon.
"Yeah," kata Jared. "Kemudian Simon menangkap si kucing, tapi kita harus menurunkannya dari pohon, tanpa mencakar habis Simon."
"Butuh waktu," kata Simon.
Ibu mereka menatap Jared dengan curiga, tapi tidak marah. "Kalian bertiga dihukum tak boleh keluar rumah selama sisa bulan ini. Tidak boleh main di luar dan tidak boleh mencari-cari alasan."
Jared membuka mulutnya untuk protes, tapi tak bisa memikirkan apa pun untuk dikatakan.
Saat mereka bertiga naik ke lantai atas,
Jared berkata, "Maaf. Kurasa itu alasan yang cukup buruk."
Mallory menggeleng. "Kau tidak bisa mengatakan banyak. Kau tidak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi."
"Dari mana goblin-goblin itu muncul"" tanya Jared. "Kita bahkan tidak tahu apa yang mereka inginkan."
"Buku Panduan," kata Simon. "Itulah yang ingin kukatakan padamu sebelumnya. Mereka pikir buku itu ada padaku."
"Tapi bagaimana" Bagaimana mereka tahu kita sudah menemukannya""
"Menurutmu bukan Thimbletack yang memberitahu mereka, kan"" tanya Mallory.
Jared menggeleng. "Thimbletack tidak ingin kita berhubungan dengan buku itu sejak awal."
Mallory mengeluh. "Kalau begitu, bagaimana""
"Bagaimana kalau ada yang mengawasi rumah ini, menunggu kita menemukan buku itu""
"Seseorang atau sesuatu," tambah Simon khawatir.
"Tapi kenapa"" tanya Jared dengan suara lebih keras daripada yang dimaksudkannya. "Apa pentingnya buku itu" Maksudku-apakah goblin-goblin itu bisa membaca""
Simon mengangkat bahu. "Mereka tidak bilang kenapa. Mereka hanya menginginkan buku itu."
"Thimbletack benar." Jared membuka pintu kamar yang dia pakai bersama saudara kembarnya.
Tempat tidur Simon rapi, selimutnya tertarik terbuka dan bantal-bantalnya sudah digemukkan. Tapi tempat tidur Jared beran-takan. Kasurnya lepas dari rangkanya, kotor dengan bulu-bulu dan berbagai hal lain. Seprainya dirobek-robek sampai berhelai-helai.
"Thimbletack!" kata Jared. "Aku kan sudah bilang," kata Mallory. "Kau seharusnya tidak merebut batu itu."
AKHIR BUKU DUA Baca Lanjutannya di Buku 3
Spderwick Chronicles: Rahasia Lucinda" Tentang TONY DiTERLIZZI...
Sebagai pengarang best-seller New York Times, Tony DiTerlizzi menciptakan Ted, Jimmy Zangwow's Out-of-This World Moon Pie Adventure yang memenangkan Zena Sutherland Award, juga ilustrasi dalam seri Alien and Possum untuk pembaca awal karangan Tony Johnson. Akhir-akhir ini versi sinematik brilian The Spider and the Fly karya klasik Mary Howitt diberi penghargaan Caldecott Honor. Sebagai tambahan, lukisan Tony telah menghiasi karya-karya fantasi yang sangat terkenal seperti karya-karya J.R.R. Tolkien, Anne McCaffrey, Peter S. Beagle, dan Greg Bear juga Magic The Gathering karya Wizards of the Coast. Dia dan istrinya, Angela, tinggal bersama anjing pug mereka, Goblin, di Amherst, Massachusetts. Kunjungi Tony di World Wide Web di www.diterlizzi.com.
Tentang HOLLY BLACK Kolektor cerita-cerita rakyat, Holly Black menghabiskan masa kecilnya dalam rumah besar gaya Victoria tempat ibunya menceritakan berbagai kisah hantu dan memberinya berbagai buku tentang peri. Tidak heran, novel pertamanya, Tithe: A Modern Faerie Tale, merupakan kisah tentang dunia peri. Diterbitkan musim gugur 2002, buku itu menerima ulasan yang baik dan penghargaan Best Book for Young Adults dari American Library Association. Dia tinggal di West Long Branch, New Jersey, bersama suaminya, Theo, dan sekumpulan binatang liar. Kunjungi Holly di World Wide Web di www.blackholly.com.
Tony dan Holly terus bekerja siang dan malam melawan peri dan goblin yang marah supaya bisa menceritakan kisah-kisah anak-anak keluarga Grace kepadamu.
The Spiderwick Chronicles 2 Batu Penglihatan The Seeing Stone di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ucapan Terima Kasih Tony dan Holly ingin berterima kasih kepada Steve dan Dianna untuk ide-ide mereka, Starr untuk kejujurannya, Myles dan Liza untuk berbagi pengalaman, Ellen dan Julie untuk membantu menjadikan ini nyata,
Kevin untuk antusiasmenya yang tak kenal lelah dan kepercayaannya kepada kami, dan terutama kepada Angela dan Theo - tidak ada cukup banyak pujian yang bisa mendeskripsikan kesabaran kalian dalam menjalani malam-malam panjang diskusi tentang Spiderwick.
Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Kelelawar Hijau 1 Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo Bara Naga 7
The Spiderwick Chronicles: THE SEEING STONE
Copyright 2003 by Tony DiTerlizzi and Holly Black
The Spiderwick Chronicles:
BATU PENGLIHATAN Alih bahasa: Donna Widjajanto
Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Untuk nenekku, Melvina, yang mengatakan aku seharusnya menulis buku seperti ini
dan kepada siapa kukatakan aku takkan melakukannya -H.B.
Untuk Arthur Rackham, semoga kau terus memberi inspirasi kepada orang lain seperti yang kaulakukan kepadaku -T.D.
Dear Pembaca, Tony dan aku sudah, bersahabat bertahun-tahun, dan kami berbagi kekaguman masa kecil yang sama kepada makhluk-makhluk sejenis peri. Kami tidak menyadari pentingnya ikatan itu atau bagaimana kekuatannya teruji.
Suatu hari Tony dan aku-bersama beberapa penulis lainnya-sedang menandatangani buku di sebuah toko buku besar. Saat acara itu selesai, kami tetap tinggal, membantu mengatur buku-buku dan mengobrol, sampai seorang pelayan mendatangi kami. Dia berkata ada surat yang ditinggalkan untuk kami. Saat aku bertanya untuk siapa surat itu, kami kaget mendengar jawabannya.
"Kalian berdua," katanya.
Surat itu disalin tepat sama dan dicantumkan di halaman berikut. Tony menghabiskan waktu lama hanya menatap kertas fotokopi yang terselipkan bersama surat itu. Lalu dengan suara pelan, dia terus bertanya-tanya tentang isi naskah itu. Kami buru-buru menulis surat balasan, memasukkannya ke amplop, dan meminta si pelayan mengantarkannya kepada anak-anak keluarga Grace.
Tidak lama setelahnya, sebuah paket tiba di pintu rumahku, terikat pita merah. Beberapa hari berikutnya, tiga anak membunyikan bel pintu, dan menceritakan semua ini kepadaku.
Apa yang terjadi setelahnya sulit dilukiskan. Tony dan aku ditarik masuk ke dunia yang tidak benar-benar kami percayai. Sekarang kami melihat bahwa makhluk-makhluk sejenis peri lebih dari sekadar kisah masa kanak-kanak. Ada dunia tak terlihat di sekeliling kita dan kami harap kau, pembaca yang budiman, mau membuka mata untuk melihatnya.
-Holy Black Dear Mrs. Black dan Mr. DiTerlizzi:
Aku tahu banyak orang tidak percaya ada makhluk-makhluk seperti peri, tapi aku percaya dan kurasa kalian juga. setelah membaca buku-buku kalian, aku memberitahu saudara-saudaraku tentang kalian dan kami memutuskan untuk menulis. kami mengenal makhluk-makhluk seperti peri yang sebenarnya. malah, kami tahu banyak tentang mereka.
Halaman yang kami sertakan ini adalah fotokopi dari buku tua yang kami temukan di loteng rumah kami. fotokopinya tidak bagus, karena kami tidak pandai menggunakan mesinnya. Buku itu memberitahu orang cara mengenali makhlu-makhluk seperti peri dan bagaimana melindungi diri mereka sendiri.
Maukah kalian memberikan buku ini kepada penerbit kalian" kalau kalian bisa, tolong masukkan surat ke amplop ini dan kembalikan ke toko. kami akan mencari jalan untuk mengirimkan buku itu. pos biasa terlalu berbahaya.
Kami hanya ingin orang-orang tahu tentang ini. Apa yang terjadi pada kami bisa terjadi pada siapa pun.
Salam hormat, Malloy, Jared, dan Simon Grace
BAB SATU KETIKA Lebih dari Sekadar Kucing yang Hilang
BUS terakhir menurunkan Jared Grace di ujung jalan menuju rumahnya. Dari sana jalanan menanjak menuju rumah tua tempat keluarga Jared tinggal sampai ibunya menemukan tempat yang lebih baik, atau bibi tuanya yang gila ingin rumah itu dikosongkan kembali. Dedaunan merah dan emas di cabang-cabang rendah pepohonan di sekitar gerbang membuat papan nama abu-abu itu tampak menyedihkan. Tempat itu tampak seburuk perasaan Jared.
Dia tak bisa percaya dia dihukum harus tinggal di sekolah setelah jam pelajaran usai.
Bukannya dia tidak berusaha bergaul dengan anak-anak lain. Dia hanya tidak pandai menghadapi orang lain. Misalnya hari ini. Memang, dia menggambar brownie saat guru menerangkan, tapi dia tetap memperhatikan. Kurang-lebih. Dan Bu Guru kan tidak perlu menunjukkan gambarnya di depan kelas. Setelah itu, anak-anak tidak berhenti mengganggunya. Sebelum Jared sadar, dia sudah merobek buku catatan seorang anak.
Dia berharap semuanya akan membaik di sekolah yang ini. Tapi sejak perceraian orang-tuanya, semuanya semakin membu
ruk saja. Jared masuk dapur. Saudara kembarnya, Simon, duduk di depan meja makan tua dengan sepiring susu yang tak tersentuh di depannya.
Simon mendongak. "Kau melihat Tibbs"" "Aku baru pulang." Jared membuka kulkas dan minum seteguk jus apel. Jus itu begitu dingin sampai membuat kepalanya sakit.
"Well, apakah kau melihatnya diluar"" tanya Simon. "Aku sudah mencari di mana-mana."
Jared menggeleng. Dia tidak peduli pada kucing bodoh itu. Kucing itu salah satu anggota terbaru koleksi Simon. Satu binatang lagi yang ingin disayang atau diberi makan, atau melompat ke pangkuannya saat dia sibuk.
Jared tidak tahu mengapa dia dan Simon begitu berbeda. Dalam film-film, kembar identik memiliki kemampuan hebat misalnya bisa saling membaca pikiran hanya dengan bertatapan. Ternyata apa yang bisa dilakukan orang kembar di dunia nyata hanyalah mengenakan celana berukuran sama.
Kakak mereka, Mallory, berlari turun tangga, menggendong tas besar. Gagang anggar muncul di sisi atas tas itu.
"Hei, hebat sekali kau mendapat hukuman, dasar gila." Mallory menghela tas itu ke pundaknya dan berjalan menuju pintu belakang. "Paling tidak kali ini tidak ada hidung yang patah."
"Jangan bilang Mom, oke, Mal"" Jared memohon.
"Masa bodohlah. Mom akan tahu cepat atau lambat." Mallory mengangkat pundak dan keluar ke halaman. Jelas kelompok anggarnya yang baru jauh lebih kompetitif daripada yang terakhir. Mallory berlatih setiap saat dia bisa. Tingkahnya itu sudah nyaris menjadi obsesi.
"Aku akan naik ke perpustakaan Arthur," kata Jared, dan mulai menaiki tangga.
"Tapi kau harus membantuku menemukan Tibbs. Aku menunggumu pulang supaya kau bisa membantuku."
"Aku tidak harus melakukan apa pun." Jared menaiki tangga dua-dua.
Di lorong atas dia membuka lemari baju dan masuk. Di belakang setumpukan seprai yang sudah menguning dan penuh kapur barus ada pintu ke ruang rahasia rumah itu.
Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi cahaya yang masuk dari jendela tunggal, juga berbau debu dan jamur. Dinding-dindingnya dipenuhi buku tua yang sudah rapuh. Meja besar yang ditutupi kertas-kertas dan stoples-stoples kaca mendominasi salah satu sisi ruangan. Perpustakaan Paman Buyut Arthur. Tempat favorit Jared.
Dia melirik lukisan yang digantung di sebelah pintu masuk. Potret Arthur Spiderwick menatap balik kepadanya dengan mata kecil yang setengah tersembunyi di belakang kacamata bundar kecil. Arthur tidak tampak terlalu tua, tapi mulutnya tipis dan sepertinya dia orang yang kaku. Dia jelas tidak mirip orang yang memercayai makhluk-makhluk seperti peri.
Setelah membuka laci pertama di sisi kiri meja, Jared mengeluarkan buku yang terbungkus kain: Panduan Lapangan Arthur Spiderwick bagi Dunia Fantastis di Sekitarmu. Dia baru menemukannya beberapa minggu sebelumnya, tapi Jared sudah menganggap buku itu miliknya. Dia sering membawanya ke mana-mana, kadang-kadang bahkan tidur dengan buku itu di bawah bantalnya. Dia bahkan ingin membawanya ke sekolah, tapi takut ada yang merampasnya.
Ada suara lembut dari dalam dinding.
"Thimbletack"" panggil Jared pelan.
Dia tidak pernah yakin kapan brownie yang tinggal di rumah itu muncul.
Jared meletakkan buku itu di sebelah proyek terakhirnya-potret ayahnya. Tidak seorang pun, bahkan Simon, tahu bahwa Jared berlatih menggambar. Dia tidak terlalu pandai-bahkan lukisannya jelek. Tapi Panduan itu dibuat untuk mencatat berbagai bal, dan supaya bisa mencatat dengan baik, dia harus belajar menggambar. Tetap saja, setelah kejadian memalukan hari ini, Jared tidak terlalu ingin menggambar. Sejujurnya, dia merasa ingin merobek-robek gambar wajah Ayahnya.
"Suasana menggantung tidak enak di hati," kata suara di dekat telinga Jared. "Lebih baik hati-hati."
Dia berbalik dan melihat pria kecil berkulit cokelat kacang, berpakaian kaus seukuran boneka, dan celana yang terbuat dari kantong gaun. Dia berdiri di salah satu rak buku setinggi mata Jared, memegang seutas benang. Di rak teratas, Jared bisa melihat kilauan jarum perak yang digunakan si brownie untuk meluncur turun.
"Thimbletack," kata Jared. "Ada apa""
"Bisa masalah, bisa dugaan salah. Apa pun it
u, kau yang memancingnya."
"Apa"" "Kau menyimpan buku itu, tak mendengar nasihatku. Cepat atau lambat, akan ada kejadian gawat."
"Kau selalu bilang begitu," kata Jared. "Memangnya tidak gawat memotong-motong gaun untuk kaujadikan pakaianmu" Jangan bilang itu gaun Bibi Lucinda."
Mata Thimbletack berkilat. "Jangan tertawa, jangan sekarang. Kau akan mengalami ketakutan menjelang."
Jared mendesah dan berjalan ke jendela. Hal terakhir yang dibutuhkannya adalah masalah baru. Di bawah, dia bisa melihat seluruh halaman. Mallory berada dekat rumah kereta, menusuk-nusuk udara dengan anggarnya. Lebih jauh lagi, dekat pagar rusak yang memisahkan halaman dengan hutan di dekatnya, Simon berdiri, tangan membentuk corong di mulut, mungkin memanggil-manggil kucing bodoh itu. Lebih jauh lagi, pohon-pohon lebat menutupi pandangan Jared. Di bawah bukit, di kejauhan, jalan tol memotong hutan, tampak seperti ular hitam di tengah rerumputan tinggi.
Thimbletack meraih benang dan ber ayun ke bingkai jendela. Dia mulai bicara, lalu hanya menatap ke luar. Akhirnya sepertinya suaranya kembali. "Goblin di hutan. Sepertinya menakutkan. Peringatanku terlambat. Tidak ada yang bisa membuatmu selamat."
"Di mana""
"Di dekat pagar sana. Kau buta, ya""
Jared menyipitkan mata dan menatap arah yang ditunjuk si brownie. Di sana ada Simon, berdiri sangat diam dan menatap rumput dengan cara yang aneh. Jared menatap ketakutan saat saudaranya mulai meronta. Simon menggeliat dan meninju, tapi tidak ada apa-apa di sana.
"Simon!" Jared berusaha membuka jendela, tapi jendela itu dipantek mati. Dia memukul-mukul kacanya.
Lalu Simon jatuh, masih berjuang melawan musuh yang tak kelihatan. Beberapa saat kemudian, dia menghilang.
"Aku tidak melihat apa pun!" jerit Jared kepada Thimbletack. "Apa yang terjadi""
Mata Thimbletack yang hitam berkilau. "Aku lupa, matamu buta. Tapi ada cara melihat itu, kalau kau mau menurut kataku."
"Kau membicarakan Penglihatan, kan""
Si brownie mengangguk. "Tapi bagaimana aku bisa melihatmu dan tidak melihat goblin-goblin itu""
"Kami bisa menunjukkan apa yang kami ingin kauketahui, bukan""
Jared meraih buku Panduan dan membalik-balik halaman-halaman yang sudah hampir di hafalnya: sketsa-sketsa, ilustrasi cat air, dan catatan dengan tulisan tangan paman buyutnya yang melingkar-lingkar. "Ini," kata Jared.
Si brownie kecil melompat dari bingkai jendela ke meja.
Halaman di bawah jari-jari Jared menunjukkan berbagai cara berbeda untuk memperoleh Penglihatan. Dia membaca cepat. "'Rambut merah. Menjadi putra ketujuh dari putra ketujuh. Air mandi peri'"" Dia berhenti di petunjuk terakhir, dan menatap Thimbletack, tapi brownie kecil itu menunjuk penuh semangat ke halaman tersebut. Ilustrasi menunjukkan dengan jelas, batu dengan lubang di lengahnya, seperti cincin.
"Dengan lensa batu ini, kau bisa melihat apa yang tidak muncul sendiri." Setelah mengatakan itu, Thimbletack melompat dari meja. Dia berlari melintasi lantai menuju pintu lemari baju.
"Kita tidak punya waktu mencari batu-batuan," teriak Jared, tapi apa yang bisa dilakukannya kecuali mengikuti si brownie"
BAB DUA KETIKA Beberapa Hal Terjadi, Termasuk Tes
THIMBLETACK berlari melintasi halaman, melompat dari satu bayangan ke bayangan yang lain. Mallory masih beerlatih anggar melawan dinding rumah ke-reta tua, membelakangi tempat Simon tadi.
Jared melangkah ke belakangnya dan melepaskan headphone yang dikenakan kakaknya dengan menarik kabelnya.
Mallory berbalik, mengarahkan anggar ke dada adiknya. "Apa"" "Simon diculik goblin!"
Mata Mallory menyipit. Dia memandang ke sekeliling halaman. "Goblin""
"Harus cepat-cepat." Suara Thimbletack mencicit seperti burung. "Tidak ada waktu untuk tercekat."
"Ayolah." Jared mengangguk ke arah rumah kereta tempat si brownie kecil menunggu. "Sebelum mereka menangkap kita."
"SIMON!" teriak Mallory.
"Diam." Jared meraih tangan kakaknya dan menariknya ke rumah kereta, menutup pintunya di belakang mereka. "Mereka akan mendengarmu."
"Siapa yang akan mendengarku"" tanya Mallory. "Goblin""
Jared mengabaikannya. Mereka sama-sama belum pernah masuk bangunan itu. Aromany
a seperti bensin dan jamur. Sehelai terpal menutupi mobil hitam tua. Rak-rak memenuhi dinding, penuh kaleng dan stoples besi setengah terisi cairan cokelat dan kuning. Ada bilik-bilik yang pasti bekas tempat kuda-kuda zaman dulu. Tumpukan kotak kayu dan kulit memenuhi satu sudut.
Thimbletack melompat ke atas sekaleng cat dan menunjuk ke arah kotak-kotak itu. "Cepat! Cepat! Kalau mereka datang, kita harus siap dengan tepat!"
"Kalau Simon ditangkap gobhn, mengapa kita membongkar-bongkar barang-barang tua ini"" tanya Mallory.
"Ini," kata Jared, mengulurkan bukunya dan menunjuk gambar batu itu. "Kita mencari ini.
"Wah, hebat," kata Mallory. "Mudah sekali mencarinya di tumpukan ini." "Cepatlah," kata Jared.
Kotak kulit pertama berisi pelana, beberapa tali kekang, beberapa sisir, dan peralatan merawat kuda lainnya. Simon pasti senang. Jared dan Mallory membuka kotak berikut bersama. Kotak itu penuh peralatan tua yang berkarat. Kemudian mereka menemukan beberapa kotak berisi peralatan makan yang terbungkus dalam handuk kotor.
"Bibi Lucinda pasti tidak pernah membuang apa pun," kata Jared.
"Ini ada lagi." Mallory terengah saat menarik kotak kayu kecil ke dekat adiknya. Tutupnya terbuka menerbangkan debu, menunjukkan bungkusan koran-koran tua.
"Lihat betapa tua benda-benda ini," kata Mallory. "Yang ini bertanggal tahun seribu sembilan ratus sepuluh."
"Aku bahkan tidak tahu sudah ada koran tahun seribu sembilan ratus sepuluh."
Di dalam setiap bungkusan koran ada benda yang berbeda. Jared membuka salah satunya yang berisi teropong besi. Dalam bungkusan lain dia menemukan kaca pembesar. Benda itu membuat tulisan di bawahnya besar. "Yang ini dari tahun seribu sembilan ratus dua puluh tujuh. Semuanya berbeda."
Jared mengambil halaman lain. "Gadis Terbenam dalam Sumur Kering.' Aneh."
"Hei, lihat ini." Mallory meratakan salah satu koran. "Seribu delapan ratus delapan puluh lima. Anak Laki-Laki Hilang.' Sepertinya dia dimakan beruang. Lihat nama anak yang selamat! Arthur Spiderwick.'"
"Ini dia! Ini dia!" kata Thimbletack, masuk ke dalam kotak. Saat muncul kembali, dia membawa kacamata paling aneh yang pernah di lihat Jared.
Kacamata itu hanya terdiri
atas satu lensa dan terpasang di wajah dengan jepitan hidung selain dengan dua tali kulit dan seutas rantai. Tersimpan dalam kantong kulit cokelat yang kaku, empat jepitan besi digunakan untuk memasang sejenis lensa. Tapi yang paling aneh dari benda itu adalah beberapa kaca pembesar yang terpasang pada lengan besi yang bisa digerakkan.
Thimbletack membiarkan Jared mengambil kacamata itu dan membalik-baliknya di tangan. Kemudian dia mengambil batu halus yang berlubang di tengah dari belakang punggungnya.
"Batu penglihatan." Jared mengulurkan tangan untuk mengambilnya.
Thimbletack melangkah mundur. "Sekarang kau harus membuktikan diri atau tidak mendapat apa-apa dari si peri."
Jared menatap ketakutan. "Kita tidak punya waktu untuk main-main."
"Ada waktu atau tidak, kau harus berjanji tidak membuat batu ini rusak."
"Aku hanya membutuhkannya untuk menemukan Simon," kata Jared. "Aku akan langsung mengembalikannya."
Thimbletack menaikkan sebelah alisnya.
Jared mencoba lagi. "Aku berjanji tidak akan membiarkan seorang pun menggunakannya-kecuali Mallory-dan, well, Simon. Ayolah! Kaulah yang mengusulkan memakai batu itu tadi."
"Anak manusia seperti ular. Janjinya mudah bubar."
Mata Jared menyipit. Dia bisa merasakan rasa frustrasi dan marah memenuhi dirinya. Tangannya mengepal. "Berikan batu itu."
Thimbletack tidak mengatakan apa-apa.
"Berikan padaku."
"Jared"" kata Mallory memberi peringatan.
Tapi Jared nyaris tidak mendengarnya. Gemuruh memekakkan telinganya saat dia melompat ke depan dan mencengkeram Thimbletack. Brownie kecil itu menggeliat dalam cengkeraman Jared, langsung berubah wujud menjadi kadal, lalu tikus yang menggigit tangan Jared, kemudian belut licin yang menggeliat-geliat membasahi semuanya. Tapi Jared tetap lebih besar, dan dia mencengkeram kuat-kuat. Akhirnya batu itu jatuh, berdenting menghantam lantai. Jared menutupinya dengan kaki sebelum membiarkan Thimbletack lepas. Brownie it
u lenyap saat Jared mengambil batu tersebut.
"Mungkin seharusnya kau tidak melakukan itu," kata Mallory.
"Aku tak peduli." Jared mengisap jarinya yang digigit Thimbletack. "Kita harus menemukan Simon."
"Apakah benda itu bisa berfungsi"" tanya Mallory.
"Mari kita lihat." Jared memegang batu itu di depan matanya dan melihat ke luar jendela.
BAB TIGA KETIKA Mallory Akhirnya Bisa Benar-Benar Menggunakan Anggarnya
MELALUI lubang kecil di batu itu, Jared melibat goblin. Ada lima, semuanya berwajah seperti kodok dan matanya putih tanpa pupil. Telinga tak berbulu yang bentuknya seperti telinga kucing berdiri di kepala mereka, dan gigi-gigi mereka seperti potongan kaca serta batu kecil yang tajam. Tubuh hijau mereka yang berbintil-bintil bergerak lincah di halaman. Salah satunya memegang karung bebercak sementara yang lain mencium-cium udara seperti anjing, bergerak menuju rumah kereta. Jared mundur dan jendela, nyaris tersandung ember tua.
"Mereka bergerak tepat ke arah kita," bisiknya, merunduk.
Mallory mencengkeram anggarnya semakin erat, buku-buku jarinya memutih. "Bagaimana dengan Simon""
"Aku tidak melihatnya."
Mallory mengangkat kepalanya dan mengintip ke luar. "Aku tidak melihat apa pun," katanya.
Jared berjongkok, batu itu dalam genggamannya. Dia bisa mendengar goblin-goblin itu di luar, menggeram dan mendengus saat bergerak semakin dekat. Dia tidak berani melihat melalui batu itu lagi.
Kemudian Jared mendengar suara kayu tua patah.
Batu menghantam salah satu jendela.
"Mereka datang," kata Jared. Dia memasukkan buku Panduan ke ranselnya, tidak mau repot-repot menutup kancingnya.
"Datang"" jawab Mallory. "Kurasa mereka ada di sini."
Cakar menggores sisi bangunan dan gonggongan kecil datang dari bawah jendela. Perut Jared terasa mulas. Dia tak bisa bergerak.
"Kita harus melakukan sesuatu," bisiknya.
"Kita harus lari ke rumah," jawab Mallory balas berbisik.
"Tidak bisa," kata Jared. Ingatan akan gigi-gigi dan cakar goblin yang tajam terus mengganggunya.
"Beberapa papan lagi dan mereka akan masuk ke sini."
Jared mengangguk kaku, menguatkan dirinya untuk bangkit. Dia berusaha memasang batu itu ke kacamata dan memasangnya ke kepala. Jepitan kacamata itu menekan hidungnya.
"Dengar aba-abaku," kata Mallory. "Satu. Dua. Tiga. Ayo!"
Mallory membuka pintu dan mereka berdua lari ke rumah. Para goblin mengejar mereka. Cakar-cakar menangkap pakaian Jared. Dia meronta bebas dan terus lari.
Mallory lebih cepat. Dia nyaris mencapai pintu rumah ketika goblin menangkap bagian belakang kaus Jared dan menariknya keras-keras. Dia jatuh tertelungkup di rumput.
Batu itu melompat dari kacamatanya. Jared mencengkeram tanah, berusaha keras bertahan, tapi tetap terseret ke belakang.
Dia bisa merasakan ranselnya mulai lepas, dan menjerit.
Mallory berbalik. Bukannya terus lari ke rumah, dia kembali untuk menolong adiknya. Anggarnya masih berada di tangannya, tapi tidak mungkin Mallory tahu apa yang sedang dihadapinya.
"Mallory!" teriak Jared. "Jangan! Lari!"
Paling tidak satu goblin pasti sudah melewatinya, karena dia melihat lengan Mallory tertarik dan mendengar kakaknya menjerit. Garis-garis merah muncul di tempat goblin itu mencakarnya. Headphone tertarik lepas dari leher Mallory. Dia berputar dan menusuk dengan anggarnya, mengibaskan anggarnya ke udara. Sepertinya dia tidak mengenai apa pun. Mallory mengibaskan anggarnya setengah lingkaran, tapi sekali lagi tidak mengenai apa pun.
Jared menendangkan sebelah kakinya kuat-kuat, mengenai sesuatu yang keras. Dia merasakan pegangan yang menahannya melonggar, dan merangkak maju, menarik ranselnya dari cengkeraman para goblin. Isinya tumpah dan Jared nyaris tidak sempat meraih buku Panduan. Setelah meraba-raba di rumput, dia mengambil batu penglihatan, dan merangkak ke tempat Mallory. Kemudian dia memegang batu itu di depan matanya dan melihat.
"Arah jam enam," teriaknya, dan Mallory berbalik, menusuk ke arah itu, mengenai telinga si goblin. Goblin itu melolong. Anggar tidak berujung tajam, tapi tetap saja terasa sakit bila terkena tusukannya.
"Lebih rendah, mereka lebih pendek dari kita." Jared berh
asil bangkit jadi sekarang dia berdiri membelakangi Mallory. Kelima goblin itu mengelilingi mereka.
Salah satunya menyerang dari kanan. "Arah jam tiga," teriak Jared.
Mallory merobohkan gobhn itu dengan mu-dah.
"Jam dua belas! Jam sembilan! Jam tujuh!" Semua gobhn itu menyerang serentak, dan Jared merasa Mallory mungkin takkan berhasil mengatasinya. Dia mengangkat bukunya dan mengayunnya sekuat mungkin pada goblin terdekat.
Pak! Buku itu menghantam si goblin cukup keras untuk membuatnya terguling-guling ke belakang. Mallory sudah menjatuhkan dua goblin lagi dengan pukulan-pukulan keras.
Sekarang goblin-goblin itu mengepung dengan lebih hati-hati, menyeringai memamerkan gigi-gigi kaca dan batu mereka.
Tiba-tiba ada panggilan aneh, seperti gonggongan dan siulan sekaligus.
Mendengar suara itu, goblin-goblin mundur satu per satu ke dalam hutan.
Jared terduduk di rumput. Sisi tubuhnya sakit dan dia kehabisan napas.
"Mereka pergi," kata Jared. Dia mengulurkan batu penglihatan kepada Mallory. "Lihat saja." Mallory duduk di sebelah adiknya dan memegang batu itu di depan matanya. "Aku tidak melihat apa pun, tapi aku juga tidak melihat apa pun beberapa menit yang lalu."
"Mungkin mereka akan kembali." Jared tengkurap dan membuka buku Panduan, membalik-balik halamannya dengan cepat. "Baca ini."
"Goblin bergerak berkelompok mencari masalah." Mallory mengernyitkan dahi membaca itu. "Dan lihat, Jared-Hilangnya kucing dan anjing merupakan pertanda bahwa ada goblin di daerah itu'."
Mereka berpandangan. "Tibbs," kata Jared sambil menggigil.
Mallory terus membaca. "Goblin lahir tanpa gigi dan karena itu mencari gantinya, misalnya taring binatang, bebatuan yang tajam, dan potongan kaca."
"Tapi buku ini tidak mengatakan bagaimana cara menghentikan mereka," kata Jared. "Atau ke mana mereka mungkin membawa Simon."
Mallory tidak mendongak dari halaman yang dibacanya.
Jared berusaha tidak memikirkan apa yang mungkin dilakukan para goblin pada Simon. Sepertinya cukup jelas baginya apa yang mereka lakukan pada kucing-kucing dan anjing-anjing, tapi dia tidak ingin memercayai saudaranya mungkin... mungkin dimakan. Dia melirik ilustrasi gigi-gigi yang menyeramkan itu.
Tentu tidak. Tentu ada penjelasan yang lain.
Mallory menarik napas panjang dan menunjuk ilustrasi itu. "Sebentar lagi gelap, dan dengan mata seperti itu, mereka mungkin punya penglihatan yang lebih bagus daripada kita."
Pernyataan itu cukup cerdas. Jared mengingatkan diri untuk menulis catatan dalam buku Panduan tentang bal itu saat mereka sudah membebaskan Simon. Dia melepaskan kacamatanya dan memasang batu penglihatan di tempatnya lagi, tapi jepitannya terlalu longgar untuk menahan batu itu di tempat.
"Tidak bisa,'' kata Jared.
"Kau harus menyesuaikannya," kata Mallory. "Kita butuh obeng atau semacamnya."
Jared mengeluarkan pisau saku dari saku belakang celananya. Pisau saku itu lengkap dengan obeng, pisau kecil, kaca pembesar, kikir, gunting lipat, dan tempat kosong yang dulu isinya tusuk gigi. Memutar sekrupnya dengan bati-hati, Jared memasangkan batu itu ke tempatnya dengan pas.
"Sini, biar kubantu mengikatnya erat-erat ke kepalamu." Mallory mengikat tali-tali kulitnya dengan erat. Jared barus agak menyipit-kan mata supaya bisa melibat dengan jelas, tapi keadaan lebib baik daripada sebelumnya.
"Ambil ini," kata Mallory, dan memberi adiknya anggar latiban. Ujungnya tidak tajam, jadi Jared tidak yakin seberapa ampuh senjata itu.
Tapi tetap saja rasanya lebih baik bila bersenjata. Setelah memasukkan buku Panduan ke ransel, memasang kancingnya dengan benar, dan memegang anggar di depannya, Jared mulai menuruni bukit menuju hutan yang gelap. Sudah waktunya menemukan Simon.
BAB EMPAT KETIKA Jared dan Mallory Menemukan Banyak Hal, Tapi Bukan Apa yang Mereka Cari
KETIKA melangkah memasuki hutan, Jared merasakan embusan hawa di-ngin. Udaranya berbeda, penuh benda hijau dan tanah segar, tapi langit mendung. Jared dan Mallory melangkahi rumpun-rumpun putri malu dan melewati pohon kurus yang dilibat sulur tanaman merambat. Di suatu tempat di atas mereka, burung mulai mencicit, membuat suara
kasar seperti peringatan. Di bawah langkah mereka, tanah licin karena lumut. Ranting-ranting patah saat mereka lewat dan Jared mendengar suara air di kejauhan.
Ada sekelebat warna cokelat, lalu burung hantu kecil hinggap di cabang yang rendah. Kepalanya ditelengkan ke arah mereka sementara cakarnya mencengkeram tikus mati.
Mallory menerobos sesemakan, dan Jared mengikutinya. Ranting-ranting kecil terselip di pakaian dan rambut Jared. Mereka berjalan menyamping mengelilingi batang pohon tumbang yang dipenuhi semut hitam.
Ada yang berbeda saat memandang dengan batu penglihatan terpasang. Semuanya lebih jelas dan terang. Tapi ada sesuatu yang lain juga. Berbagai hal bergerak di rumput, di pepohonan, hal-hal yang tak bisa Jared lihat dengan jelas tapi dia sadari untuk pertama kalinya. Wajah-wajah pada batang pohon, bebatuan, dan lumut yang hanya dilihatnya sesaat. Rasanya seluruh hutan ini hidup.
"Itu." Mallory meraba batang yang patah dan menunjuk ke tempat rumpun pakis diinjak-injak. "Mereka lewat sana."
Mereka mengikuti jejak tanaman yang hancur dan ranting-ranting yang patah sampai menemui sungai kecil. Saat itu hutan telah lebih gelap, dan suara binatang-binatang senja sudah semakin keras. Sekelompok serangga mengelilingi mereka sejenak, kemudian terbang ke atas air.
"Apa yang kita lakukan sekarang"" tanya Mallory. "Kau bisa melihat sesuatu""
Jared menyipitkan matanya di balik kacamata dan menggeleng. "Ayo ikuti sungai ini. Jejaknya pasti muncul lagi."
Mereka terus bergerak merambah hutan.
"Mallory," bisik Jared, menunjuk pohon ek besar. Makhluk-makhluk kecil berwarna hijau dan cokelat bertengger di dahan. Sayap-sayap mereka mirip daun, tapi wajah-wajah mereka sangat mirip manusia. Bukannya rambut, rumput dan kuncup bunga tumbuh di kepala mungil mereka.
"Apa yang kaulihat"" Mallory mengangkat anggarnya dan mundur dua langkah.
Jared menggeleng pelan. "Sprite-peri hutan... kurasa."
"Kenapa wajahmu tampak begitu bodoh""
"Mereka begitu..." Jared tak bisa menjelaskannya. Dia mengulurkan tangannya, telapak menghadap ke atas, dan menatap keheranan saat salah satu makhluk itu mendarat di jarinya. Kaki-kaki lembut menggelitik kulitnya saat peri kecil itu menatapnya dengan mata yang hitam.
"Jared," kata Mallory tak sabar.
Ketika mendengar suara Mallory, si sprite melompat ke udara. Jared menatapnya saat sprite itu melayang berputar kembali ke dedaunan di atas.
Pola-pola cahaya matahari menerobos pepohonan mulai berwarna oranye. Di depan, sungai melebar di tempatnya mengalir di bawah sisa-sisa jembatan batu.
Jared bisa merasakan bulu romanya berdiri saat mereka semakin mendekati reruntuhan jembatan, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan goblin. Sungai itu begitu lebar, nyaris enam meter, dan di tengahnya ada bagian gelap yang sepertinya dalam.
Jared mendengar suara di kejauhan, seperti besi beradu dengan besi.
Mallory berhenti, memandang ke seberang sungai, dan mendongak. "Kau dengar itu""
"Mungkinkah Simon"" tanya Jared. Dia berharap bukan. Suaranya sama sekali tidak mirip suara manusia.
"Aku tak tahu," kata Mallory, "tapi apa pun itu, pasti ada hubungannya dengan goblin. Ayo!" Setelah itu, Mallory maju ke arah datangnya suara.
"Jangan ke sana, Mallory," kata Jared. "Sungainya terlalu dalam."
"Jangan jadi pengecut," kata Mallory, dan berjalan memasuki sungai. Dia mengambil dua langkah panjang kemudian lenyap seolah terjatuh setelah melangkahi bibir jurang. Air hijau gelap menutupi kepalanya.
Jared berlari ke depan. Menjatuhkan anggarnya ke tepi sungai, dia mengulurkan tangannya ke dalam air sungai yang sedingin es. Kakaknya mengapung ke permukaan, menyemburkan air. Dia meraih tangan Jared.
Jared menariknya setengah jalan ke tepian saat sesuatu mulai muncul di belakang Mallory. Pertama-tama, tampaknya makhluk itu seperti bukit muncul dari air, tampak seperti batu yang tertutup lumut. Kemudian muncul kepala, warnanya hijau tua tertutup rumput sungai yang sudah membusuk, dengan dua mata hitam, hidung yang bengkok dan menonjol seperti ranting, dan mulut yang penuh gigi yang patah-patah. Sebelah tangan terulur ke arah mereka. Jari-ja
rinya sepanjang akar-akaran, dan kuku-kukunya hitam penuh lumpur. Jared menghirup aroma dasar sungai, dedaunan busuk, dan lumpur yang sudah sangat tua.
Dia menjerit. Pikirannya kosong. Dia tak bisa bergerak.
Mallory menarik dirinya sendiri naik ke tepian dan memandang ke belakangnya.
"Apa itu" Apa yang kaulihat""
Mendengar suara kakaknya, Jared tersadar untuk bergerak dan tertatih-tatih mundur dari sungai, menarik Mallory supaya mengikutinya. "Troll," katanya dengan napas tertahan.
Makhluk itu mengejar mereka. Jari-jarinya yang panjang menyapu rumput tempat mereka baru saja berada.
Kemudian makhluk itu melolong dan Jared menengok, tapi tak bisa melihat apa yang terjadi. Rasanya makhluk itu mengejar mereka lagi, tapi tersentak mundur saat satu jarinya yang panjang terkena cahaya. Monster itu melenguh.
"Matahari," kata Jared. "Monster itu terbakar matahari."
"Matahari sebentar lagi tenggelam," kata Mallory. "Ayo."
"Tungguuu," bisik monster itu. Suaranya lembut.
Mata kuning menatap mereka lekat-lekat. "Kembaaaaliii. Aku puuunya sesuatu untuk kaliaaaan." Troll Itu mengulurkan kepalan tangannya seolah sesuatu mungkin saja berada di dalamnya.
"Jared, ayolah." Suara Mallory nyaris bernada memohon. "Aku tidak bisa melihat dengan siapa kaubicara."
"Apakah kau melihat saudaraku"" tanya Jared.
"Mungkiiin. Aku mendengar sesuatu beberapa saat yang laaaalu, tapi terlalu te-raaang, terlalu terang untuk melihaaat."
"Itu pasti dia! Pasti dia. Ke mana mereka
pergi"" Kepala si troll berpaling kepada sisa-sisa jembatan kemudian kembali menatap Jared. "Mendekaaatlaaah dan akan kuberitaaahu."
Jared mundur selangkah. "Tidak mau."
"Paaaling tidaaak mendekaaatlaaah untuk mengambil pedaaangmu." Troll itu mengangguk ke arah anggar di sebelahnya. Anggar itu tergeletak di tepi sungai, tempat Jared menjatuhkannya. Jared menatap kakaknya. Tangan Mallory juga kosong. Dia pasti meninggalkan anggarnya di dasar sungai.
Mallory maju setengah langkah. "Itu satu-satunya senjata yang kita miliki."
"Maaari, aaaambilaaaah. Aku akaaan me-nutuuup matakuuu kalau itu akan membuat-muuu meraaasa lebih amaaaan." Sebelah tangannya yang besar menutup matanya.
Mallory menatap anggar yang tergeletak di lumpur itu. Matanya terfokus pada benda itu dengan cara yang membuat Jared gugup. Mallory berniat mengambilnya.
"Kau bahkan tak bisa melihat apa-apa," desis Jared. "Ayo pergi."
"Tapi anggarnya..."
Jared melepaskan kacamatanya dan menyerahkannya pada Mallory. Wajah kakaknya memucat melihat troll raksasa itu mengintip dari balik jari-jarinya, tak bisa bergerak hanya karena sisa-sisa cahaya matahari.
"Ayo," kata Mallory gemetar.
"Tidaaaak," kata si troll. "Kembaaali. Aku akaaan berbaaalik. Aku akaaan menghituuung sampai sepuluuuuh. Ituuu cukuuup adiiil. Kembaaali."
Jared dan Mallory lari melalui hutan sampai mereka menemukan seberkas sinar matahari dan berhenti di sana. Mereka berdua bersandar di sebatang pohon ek besar dan berusaha mengatur napas. Mallory gemetar. Jared tidak tahu apakah itu karena tubuh kakaknya basah kuyup atau karena si troll. Dia membuka jaketnya dan memberikannya pada Mallory.
"Kita tersesat," kata Mallory terengah-engah. "Dan kita tak bersenjata."
"Paling tidak kita tahu mereka tidak bisa menyeberangi jembatan," kata Jared, berusaha mengikat kembali kacamata itu di kepalanya. "Troll itu pasti menangkap mereka kalau mereka mencoba."
"Tapi suara itu sepertinya dari sisi seberang." Mallory menendang pohon, membuat kulitnya terkelupas.
Hidung Jared mencium sesuatu terbakar. Baunya samar tapi sepertinya bau rambut terbakar.
"Kau mencium itu"" tanya Jared.
"Dari sana," kata Mallory.
Mereka berjalan merambah sesemakan, tidak memedulikan luka-luka goresan akibat terkena ranting-ranting dan duri-duri di lengan mereka. Pikiran Jared dipenuhi saudaranya dan api.
"Lihat ini." Mallory berhenti tiba-tiba. Dia meraih ke rumput dan mengambil sebelah sepatu cokelat.
"Milik Simon." "Aku tahu," kata Mallory. Dia membalik sepatu itu, tapi Jared tidak mendapat petunjuk apa pun, kecuali lumpur di sepatu itu.
The Spiderwick Chronicles 2 Batu Penglihatan The Seeing Stone di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menurutmu dia..." Jared tidak bisa memaksa dirinya mengatakan hal
itu. "Tidak, tentu saja tidak!" Mallory memasukkan sepatu itu ke saku depan jaketnya.
Jared mengangguk perlahan, membiarkan dirinya diyakinkan.
Tidak jauh di depan, pohon-pohon mulai menipis. Mereka keluar di jalan tol. Aspal hitam memanjang sampai ke horizon. Di belakang mereka matahari tenggelam meninggalkan semburat ungu dan oranye.
Dan di bahu jalan, di kejauhan, sekelompok goblin berkumpul di sekeliling api unggun.
BAB LIMA KETIKA Nasib Kucing yang Hilang Diketahui
JARED dan Mallory mendekati kamp para goblin itu dengan hati-hati, merun-duk di balik batang-batang pohon. Pecahan-pecahan kaca dan potongan-potongan tulang mengotori tanah. Jauh di atas pepohonan mereka bisa melihat kandang-kandang yang terbuat dari ranting berduri, kantong plastik, dan benda-benda lain. Kaleng-kaleng minuman penyok tergantung di dahan-dahan, berdenting bersama seperti gaung angin jahat. Sepuluh goblin duduk mengelilingi api. Tubuh sesuatu yang telah menghitam, yang sangat mirip tubuh kucing berputar pada tongkat di atas api. Sesekali salah satu goblin akan membungkuk untuk menjilat daging panggang itu, dan gobhn yang memutar panggangan akan menggonggong keras. Kemudian mereka semua akan mulai menggonggong.
Beberapa goblin mulai menyanyi. Jared menggigil mendengar kata-katanya.
Fidirol, Fidirat! Tangkap anjing, tangkap kucing
Kuliti selagi hidup, kupas lemaknya
Dipanggang, diputar Fidirol, Fidirat! Mobil-mobil melaju lewat, tak sadar apa yang terjadi. Mungkin bahkan ibu mereka sedang melaju lewat saat ini, pikir Jared.
"Berapa banyak"" bisik Mallory, mengangkat ranting yang berat.
"Sepuluh," jawab Jared. "Aku tidak melihat Simon. Dia pasti ada dalam salah satu kandang itu."
"Kau yakin"" Mallory menyipitkan mata ke arah para gobhn. "Berikan kacamata itu."
"Jangan sekarang," kata Jared.
Mereka bergerak perlahan melalui pepohonan mencari kandang yang cukup besar yang mungkin menampung Simon. Di depan mereka, sesuatu menjerit, tinggi dan keras. Mereka terus merayap ke tepi hutan.
Seekor binatang terbaring di bahu jalan, jauh di luar kamp para goblin. Sosoknya seukuran mobil, tapi tubuhnya meringkuk, dengan kepala elang dan tubuh singa. Bulu-bulunya berlumur darah.
"Apa yang kaulihat""
"Griffin," kata Jared. "Dia terluka."
"Griffin itu apa""
"Sejenis burung, mirip - sudahlah, jauh-jauhlah dari dia."
Mallory mengembuskan napas, bergerak semakin memasuki hutan.
"Itu," katanya. "Bagaimana dengan itu""
Jared mendongak. Beberapa kandang yang digantung tinggi-tinggi lebih besar, dan dia merasa dia bisa melihat sesosok manusia di dalamnya. Simon!
"Aku bisa naik," kata Jared.
Mallory mengangguk. "Cepatlah."
Jared menjejakkan kakinya pada cabang yang rendah, mengangkat dirinya ke cabang pertama. Kemudian, dia menarik dirinya lebih tinggi, dan mulai merangkak ke arah cabang tempat kandang-kandang kecil tergantung. Kalau berdiri di cabang itu, dia bisa melihat kandang-kandang yang digantung lebih tinggi.
Saat merayap ke ujung cabang, Jared terpaksa melihat ke bawah. Dalam kandang-kandang di bawahnya, dia bisa melihat bajing, kucing, dan burung. Beberapa mencakar-cakar dan menggigiti jeruji kandangnya, sementara yang lain tidak bergerak. Beberapa kandang hanya berisi tulang-belulang. Semua kandang itu dililiti dedaunan yang mirip poison ivy.
"Hei, lendir berjamur, sini."
Suara itu membuat Jared begitu terkejut sehingga nyaris melepaskan pegangannya. Suara itu datang dan salah satu kandang yang besar.
"Siapa di sana"" bisik Jared.
"Hogsqueal. Nah, gimana kalau kau membuka pintu ini""
Jared melihat wajah kodok goblin, tapi yang ini memiliki mata kucing yang hijau. Dia mengenakan pakaian, dan giginya tidak terdiri atas pecahan kaca atau besi, tapi kelihatan mirip gigi bayi.
"Wah, maaf saja," kata Jared. "Kau boleh saja membusuk di sana. Aku tidak akan melepaskanmu."
Jangan kejam, kepala kumbang. Kalau aku menjerit, mereka akan menjadikanmu makanan penutup."
"Aku berani bertaruh kau selalu menjerit-jerit," kata Jared. "Aku berani bertaruh mereka tak peduli apa pun yang kaukatakan."
"HEI! LIHAT-" Jared meraih sisi kandang dan menariknya mendekat. Hogsque
al terdiam. Di bawah sana, para gobhn saling memukul dan berebut potongan daging kucing, sepertinya tidak menyadari keributan di pohon.
"Oke, oke," kata Jared.
"Bagus. Lepaskan aku!" pinta si goblin.
"Aku harus menemukan saudaraku. Katakan di mana dia, baru kemudian kau kulepaskan."
"Tidak mungkin, cintaku. Kau pasti berpikir aku sebodoh cacing tanah. Bebaskan aku atau aku menjerit lagi."
"Jared!" suara Simon memanggil dari salah satu kandang yang lebih tinggi. "Aku di sini.
"Aku datang," balas Jared, menoleh ke arah suara itu.
"Buka kandangnya atau aku berteriak," ancam si goblin.
Jared menarik napas panjang. "Kau tidak akan berteriak. Kalau kau berteriak, mereka akan menangkapku dan tidak akan ada yang membebaskanmu. Aku akan membebaskan saudaraku dulu, tapi aku akan kembali untuk membebaskanmu."
Jared merayap lebih jauh menelusuri cabang itu. Dia lega si goblin tetap diam.
Simon dimasukkan ke kandang yang terlalu kecil baginya. Kakinya tertekuk merapat ke dada, dan jari-jari sebelah kakinya muncul ke luar jeruji kandangnya. Kulitnya lecet-lecet karena duri yang meliliti kandang itu.
"Kau baik-baik saja"" tanya Jared, mengeluarkan pisau lipatnya dan mengiris tanaman rambat yang meliliti kandang Simon.
"Aku baik-baik saja." Suara Simon agak gemetar.
Jared ingin bertanya apakah Simon sudah menemukan Tibbs, tapi dia takut mendengar jawabannya. "Aku minta maaf," katanya akhirnya. "Seharusnya aku membantumu mencari kucing itu."
"Tidak apa-apa," kata Simon, menyelinap keluar dari bagian pintu yang berhasil dibuka Jared. "Tapi aku harus bilang padamu bah-wa"Kepala penyu! Boy! Cukup bicara! Keluarkan aku!" teriak si gobhn.
"Ayo," kata Jared. "Aku janji menolongnya."
Simon mengikuti kembarannya kembali menelusuri cabang ke kandang Hogsqueal. "Apa itu"" "Goblin, kurasa."
"Goblin!" kata Simon kaget. "Kau gila, ya"" "Aku bisa meludahi matamu," tawar Hogsqueal. kata Simon. "Tidak, terima kasih."
"Itu akan membuatmu bisa melihat, goblok. Sini," kata Hogsqueal, mengeluarkan saputangan dan sakunya dan meludahinya. "Gosok ini ke matamu."
Jared ragu-ragu. Bisakah dia memercayai goblin" Tapi, Hogsqueal akan terus terperangkap dalam kandang kalau dia melakukan kesalahan. Simon tidak akan mengizinkan goblin itu keluar.
Dia melepaskan kacamatanya dan menggosokkan kain kotor itu ke matanya. Rasanya perih.
"Uh. Itu hal paling jorok yang pernah kulihat," kata Simon.
Jared mengerjap dan melihat ke arah para goblin yang duduk mengelilingi api. Dia bisa melihat mereka tanpa batu penglihatan. "Simon, berhasil!"
Simon memandang kain itu dengan ragu tapi kemudian juga menggosok matanya dengan ludah si goblin.
"Kau sudah berjanji, kan" Bebaskan aku," tuntut Hogsqueal.
"Beritahu dulu kenapa kau ditangkap," kata Jared. Pemberian saputangan itu sikap yang manis, tapi bisa saja merupakan jebakan.
"Kau tidak terlalu goblok untuk anak bodoh," gerutu si goblin. "Aku ditangkap karena membebaskan salah satu kucing itu. Aku suka kucing, dan bukan hanya karena rasanya enak, yang memang begitu, jangan salah. Tapi mereka punya mata yang sangat mirip mataku, dan yang ini benar-benar kecil, tidak terlalu berdaging. Dan meongannya sangat manis." Goblin itu sepertinya sibuk mengenang, kemudian tiba-tiba menatap Jared. "Cukup. Bebaskan aku."
"Bagaimana dengan gigimu" Kau makan bayi atau apa"" Jared merasa kisah si goblin tidak cukup meyakinkan.
"Ini apa sih" Interogasi"" gerutu Hogsqueal.
"Aku sudah mulai membebaskanmu." Jared mendekat dan mulai mengiris simpul-simpul rumit pada kandang itu. "Tapi aku ingin tahu mengenai gigi-gigimu."
"Yah, anak-anak punya ide bodoh meninggalkan gigi mereka di bawah bantal, kan""
"Kau mencuri gigi anak-anak""
"Ya ampun. Si goblok, kau tidak percaya pada peri gigi, kan""
Jared bekerja keras beberapa saat, tanpa mengatakan apa-apa. Dia sudah nyaris memotong simpul terakhir saat si griffin mulai menjerit.
Empat goblin mengelilinginya dengan kayu runcing. Binatang itu sepertinya tidak bisa mengangkat dirinya terlalu tinggi, tapi dia bisa mematuk gobhn yang terlalu dekat. Kemudian paruh binatang itu mengatup, memotong lengan salah satu gob
lin. Goblin yang terluka menjerit sementara goblin yang lain menusuk punggung si griffin. Goblin-goblin lain berteriak gembira.
"Apa yang mereka lakukan"" bisik Jared.
"Sepertinya apa"" jawab Hogsqueal. "Mereka menunggu sampai griffin itu mari."
"Mereka mau membunuhnya!" teriak Simon. Matanya membelalak, menatap pemandangan mengerikan itu. Jared sadar saudaranya melihat semua ini untuk pertama kalinya. Tiba-tiba Simon meraih segenggam daun dan ranting tempat mereka berada dan melemparkannya pada para gobhn di bawah.
"Simon, hentikan!" kata Jared.
"Biarkan dia, brengsek!" jerit Simon. "BIARKAN DIA!"
Semua goblin mendongak serentak, mata mereka tampak putih seperti hantu dalam kegelapan.
BAB ENAM KETIKA Jared Terpaksa Membuat Keputusan yang Sulit
BEBASKAN aku!" jerit Hogsqueal. Jared tersadar dan memotong simpul terakhir.
Hogsqueal menari ke atas cabang-cabang, meskipun para goblin menggonggong di bawahnya. Mereka mulai mengelilingi pohon.
Jared memandang ke sekeliling mencari senjata, tapi yang dia miliki hanyalah pisau kecilnya. Simon mematahkan lebih banyak cabang dan Hogsqueal melarikan diri, melompat dari pohon ke pohon seperti monyet. Jared dan saudaranya tertinggal dan terjebak.
Kalau mereka mencoba turun, para goblin akan langsung menyerang mereka.
Dan entah di mana, di bawah sana, dalam kegelapan, Mallory sendirian dan tak bisa melihat. Satu-satunya pelindungnya hanyalah jaket merah yang dia kenakan.
"Bagaimana dengan binatang-binatang dalam kandang"" tanya Simon.
"Tidak ada waktu!"
"Hei, anjing goblok!" Jared mendengar Hogsqueal berteriak. Dia menengok ke arah suara itu, tapi Hogsqueal tidak memanggil mereka. Dia sedang menari mengelilingi api dan memasukkan sepotong besar daging kucing panggang ke mulutnya.
"Dasar goblok!" teriaknya ke goblin-goblin lain. "Kepala batu! Dasar gila! Keras kepala! Tak punya kerjaan!" Dia melengkungkan tubuh ke belakang lalu kencing di api, membuat api berkobar hijau.
Para goblin berpaling dari pohon dan berlari ke arah Hogsqueal.
"Turun!" kata Jared. "Sekarang!"
Simon menuruni pohon secepat dia bisa, melompat begitu dia sudah cukup dekat dengan tanah. Dia jatuh dengan bunyi buk pelan. Jared mendarat di sebelahnya.
Mallory memeluk mereka berdua, tapi tidak melepaskan ranting kayunya.
"Aku mendengar para goblin mendekat, tapi aku tidak bisa melihat apa-apa," katanya.
"Pakai ini." Jared mengulurkan kacamatanya pada Mallory.
"Kau membutuhkannya," protes kakaknya.
"Sekarang!" kata Jared.
Anehnya Mallory mengenakannya tanpa protes lagi. Setelah kacamata itu terpasang, dia merogoh kantong jaketnya dan memberikan sepatu Simon pada pemiliknya.
Mereka mulai masuk hutan, tapi Jared terus-menerus menoleh ke belakang. Hogsqueal dikepung seperti si griffin beberapa saat yang lalu. Mereka tak bisa meninggalkan Hogsqueal seperti itu.
"Hei!" teriaknya. "Di sini!"
Para goblin menoleh dan melihat ketiga anak mulai bergerak ke arah mereka.
Jared, Mallory, dan Simon mulai lari.
"Kau gila, ya"" jerit Mallory.
"Dia menolong kita," balas Jared. Dia tak yakin Mallory mendengarnya karena dia terengah-engah saat mengatakannya.
"Kita ke mana"" teriak Simon.
"Sungai," kata Jared. Dia berpikir cepat, lebih cepat daripada kapan pun dalam hidupnya. Si troll adalah satu-satunya kesempatan mereka. Dia yakin bagi troll menghentikan sepuluh goblin bukan masalah besar. Apa yang tidak diyakininya adalah bagaimana mereka sendiri bisa menghindari si troll.
"Kita tak bisa pergi ke sana," kata Mallory. Jared mengabaikan kakaknya.
Kalau saja mereka bisa melompati sungai itu, mungkin itu saja sudah cukup. Para goblin tidak akan bisa melompatinya karena di sana ada monster yang harus dihindari.
Para goblin masih cukup jauh di belakang mereka. Mereka tidak akan tahu apa yang menanti mereka.
Hampir sampai. Jared bisa melihat sungai itu di depan mereka, tapi mereka belum sampai di jembatan yang runtuh.
Kemudian Jared melihat sesuatu yang menghentikan langkahnya. Troll itu keluar dari air. Monster itu berdiri di tepi sungai, mata dan giginya berkilauan tertimpa cahaya bulan. Bahkan saat monster itu membungkuk, Jared menduga ti
ngginya lebih dari tiga meter.
"Waaaah, untuuuungnya dirikuuu," kata si troll, mengulurkan tangannya yang panjang ke arah ketiga anak.
"Tunggu," kata Jared.
Makhluk itu bergerak ke arah mereka, senyum malasnya menunjukkan giginya yang rusak. Jelas dia tidak mau menunggu.
"Dengar itu"" tanya Jared. "Itu goblin.
Sepuluh goblin gemuk. Jauh lebih mengenyangkan daripada tiga anak kurus."
Monster itu ragu-ragu. Buku Panduan mengatakan troll tidak terlalu pandai. Jared berharap keterangan itu benar.
"Kau hanya harus kembali dalam sungai dan kami akan menuntun mereka kepadamu. Janji."
Mata kuning makhluk itu berkilau serakah. "Yaaa," katanya.
"Cepat!" kata Jared. "Mereka hampir sam-pai!
Troll itu kembali ke dalam air dan menyelam nyaris tanpa membuat percikan.
"Apa itu"" tanya Simon.
Jared gemetar, tapi tidak membiarkan itu menghentikannya. "Masuk ke sungai di sana, di tempat dangkal. Kita harus membuat para goblin mengejar kita sampai masuk sungai."
"Kau gila, ya"" tanya Mallory.
"Please," kata Jared memohon. "Percayalah padaku."
"Kita harus melakukan sesuatu!" kata Simon.
"Oke, ayolah." Mallory mengikuti kedua adiknya menuju tepi sungai yang berlumpur, sambil menggeleng-geleng.
Para goblin keluar dari balik pepohonan. Jared, Mallory, dan Simon berjalan di air dangkal, berzig-zag melewati lubang-lubang yang dalam. Cara tercepat untuk mengejar mereka adalah memotong melalui tengah sungai.
Jared mendengar goblin menceburkan diri di belakang mereka, menggonggong keras-keras. Jared menengok ke belakang melihat beberapa goblin berenang ke tepian. Troll itu menangkap mereka semua, mengguncang, menggigit, dan menyeret mereka ke sarang bawah airnya.
Jared berusaha tidak melihat lagi. Perutnya merasakan mual yang aneh.
Simon tampak pucat dan agak lemas.
"Ayo pulang," kata Mallory.
Jared mengangguk. "Tidak bisa," kata Simon. "Bagaimana dengan semua binatang itu""
BAB TUJUH KETIKA Simon Bertindak dan Menemukan Binatang Peliharaan Baru yang Hebat
KAU bercanda, ya"" tanya Mallory saat Simon menjelaskan apa yang ingin dilakukannya.
"Mereka akan mati kalau kita tidak melakukannya," Simon berkeras. "Griffin itu mengalami perdarahan."
"Griffinnya juga"" tanya Jared. Dia mengerti soal kucing-kucing, tapi griffin"
"Bagaimana kita bisa menolong binatang itu"" tanya Mallory. "Kita bukan dokter hewan ajaib!"
"Kita harus mencoba," kata Simon sama tegasnya.
Jared terpaksa setuju pada keinginan Simon. Lagi pula, dia yang membuat Simon mengalami ini semua. "Kita bisa mengambil terpal tua dari rumah kereta."
"Yeah," sambung Simon. "Kemudian kita bisa menyeret si griffin kembali ke rumah. Ada banyak ruang kosong."
Mallory melotot. "Kalau dia membiarkan kita melakukan itu," kata Jared. "Kau lihat kan apa yang dilakukannya pada para goblin""
"Ayolah," kata Simon memohon. "Aku tidak cukup kuat untuk menyeretnya sendiri."
"Baiklah," kata Mallory. "Tapi aku tidak mau dekat-dekat kepalanya.
Jared, Simon, dan Mallory kembali ke rumah kereta. Bulan purnama di atas memberi cukup cahaya untuk melihat jalan memotong hutan, tapi mereka tetap berhati-hati, melintasi sungai hanya kalau airnya sangat dangkal. Di ujung halaman, Jared bisa melihat jendela-jendela rumah utama sudah terang dan mobil ibu mereka terparkir di jalan depan yang berkerikil. Apakah ibu mereka sedang membuat makan malam" Apakah dia sudah menelepon polisi" Jared ingin pergi ke dalam dan memberitahu ibunya mereka semua baik-baik saja, tapi dia tidak berani.
"Jared, ayolah." Simon sudah membuka pintu rumah kereta, dan Mallory sedang menarik terpal itu dari atas mobil tua.
"Hei, lihat ini." Simon mengambil senter dari salah satu rak dan menyalakannya. Untunglah, tidak ada cahaya yang muncul menerangi halaman.
"Baterainya mungkin sudah habis," kata Jared.
"Berhentilah main-main," kata Mallory pada kedua adiknya. "Kita kan berusaha tidak ketahuan."
Mereka menyeret terpal itu kembali merambah hutan. Mereka berjalan lebih pelan sambil bertengkar jalan mana yang terdekat. Jared terus-menerus terlompat kaget saat mendengar suara-suara malam. Bahkan suara katak pun terdengar tidak menyenangkan. Dia tak bis
a berhenti bertanya-tanya apa lagi yang berada di sana, bersembunyi di kegelapan. Mungkin ada yang lebih menakutkan daripada troll dan goblin. Dia menggeleng dan mengingatkan dirinya sendiri tak ada yang bisa sesial itu dalam satu hari.
Saat akhirnya mereka menemukan kamp para goblin lagi, Jared kaget melihat Hogsqueal duduk di depan api. Dia sedang menjilat tulang-tulang dan bersendawa senang saat mereka mendekat.
"Kurasa kau baik-baik saja," kata Jared.
"Apakah begitu caranya bicara pada yang menyelamatkan kulit kepalamu""
Jared mulai protes-mereka nyaris terbunuh karena goblin bodoh itu-tapi Mallory meraih tangannya.
"Bantulah Simon menyelamatkan binatang-binatang itu," katanya. "Aku akan mengawasi gobhn ini."
"Aku bukan goblin," kata Hogsqueal. "Aku ini hobgoblin."
"Masa bodoh," kata Mallory sambil duduk di sebongkah batu.
Simon dan Jared memanjat pohon, melepaskan semua binatang dalam kandang. Kebanyakan lari menuruni cabang terdekat atau melompat ke tanah, sama takutnya kepada kedua anak itu seperti mereka takut pada goblin. Salah satu anak kucing meringkuk di belakang kandang, mengeong menyedihkan. Jared tidak tahu apa yang harus dilakukannya, jadi dia memasukkan anak kucing itu dalam ranselnya dan terus bekerja. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Tibbs.
Saat Simon melihat anak kucing itu, dia berkeras mereka harus memeliharanya. Jared berharap Simon akan melupakan si griffin.
Jared berpikir mata Hogsqueal melembut ketika melihat si kucing kecil, tapi itu mungkin karena lapar.
Ketika semua kandang kosong, ketiga saudara dan si hobgoblin mendekati griffin itu. Binatang itu memandangi mereka dengan waspada, mengulurkan cakarnya.
Mallory menjatuhkan bagian terpal yang dipegangnya. "Tahu kan, kadang-kadang binatang terluka menyerang."
"Tapi kadang-kadang tidak juga," kata Simon, maju mendekati griffin dengan tangan terbuka. "Kadang-kadang mereka membiarkanmu merawat mereka. Aku pernah menemukan tikus seperti itu. Tikus itu baru menggigitku setelah keadaannya lebih baik."
"Hanya sekelompok idiot yang mau mengurus griffin terluka." Hogsqueal mematahkan sepotong tulang lagi dan mulai mengisap sumsumnya. "Kau mau aku menggendong kucing kecil itu""
Mallory mengernyitkan dahi ke arahnya.
"Kau mau mengikuti teman-temanmu ke dasar sungai""
Jared tersenyum. Senang rasanya Mallory mendukung mereka.
Itu membuatnya terpikir akan sesuatu. "Karena kau begitu baik hati, bagaimana kalau pemberi ludah goblin untuk kakakku""
"Ludah hobgoblin," kata Hogsqueal kesal.
"Eh, trims," kata Mallory, "tapi tidak usah deh."
"Tidak, dengar - ludah itu memberimu penglihatan. Dan itu bahkan lebih masuk akal," kata Jared. "Maksudku, kalau air mandi peri bisa, ini juga pasti bisa."
"Aku bahkan tidak bisa menjelaskan betapa menjijikkan pilihan-pilihan itu."
"Yah, kalau dia merasa begitu." Hogsqueal berusaha tampak tersinggung. Jared merasa Hogsqueal tidak terlalu berhasil, karena dia menjilati tulang pada saat yang sama.
"Mal, ayolah. Kau tidak bisa terus-menerus mengenakan batu penglihatan di kepalamu."
"Itu kan katamu," kata Mallory. "Apakah kau tahu berapa lama ludah ini bekerja""
Jared belum memikirkan hal itu. Dia menatap Hogsqueal.
"Sampai ada yang menusuk matamu," kata peri itu.
"Yah, bagus kalau begitu," kata Jared, berusaha kembali mengontrol pembicaraan itu.
Mallory mengeluh. "Baiklah, baiklah." Dia berlutut dan melepaskan kacamatanya. Hogsqueal meludah dengan gembira.
Saat mendongak, Jared melihat Simon sudah mendekati si griffin. Dia sedang berjongkok di sebelahnya dan berbisik.
"Halo, griffin," kata Simon dengan suaranya yang paling lembut. "Aku tidak akan menyakitimu. Kami hanya akan membantu merawatmu. Ayolah, jadi anak baik."
Griffin itu mengeluarkan suara seperti siulan ketel air. Simon mengelus bulunya dengan lembut.
"Ayo, tebarkan terpalnya," bisik Simon.
Griffin itu mengangkat dirinya sedikit, membuka paruh, tapi sepertinya Simon berhasil menenangkannya. Binatang itu kembali menyandarkan kepala ke aspal.
Mereka membuka terpal di belakangnya.
Simon berlutut di kepalanya, berbicara lembut dengan kata-kata yang menenangkan. Griffin itu
sepertinya mendengarkan, menggerakkan bulu-bulunya seolah bisikan Simon membuatnya geli.
Mallory mengendap-endap ke sisinya lalu dengan lembut memegang cakar depannya, dan Jared memegang cakar belakangnya.
"Satu, dua, tiga," kata mereka perlahan, kemudian menggulingkan si griffin ke atas terpal. Binatang itu menjerit dan menggerakkan kaki-kakinya, tapi saat itu dia sudah berada di atas kanvas.
Kemudian mereka mengangkatnya sebisa mereka dan mulai proses sulit menyeret si griffin ke rumah kereta. Binatang itu lebih ringan daripada perkiraan Jared. Simon memberitahu itu mungkin karena si griffin memiliki tulang berongga seperti burung.
"Sampai ketemu lagi, otak udang," teriak Hogsqueal di belakang mereka.
"Sampai ketemu lagi," jawab Jared. Dia hampir berharap si hobgoblin mau ikut mereka.
Mallory melotot. Griffin itu tidak menikmati perjalanannya.
Mereka tidak bisa terlalu mengangkatnya, jadi binatang itu sering menabrak-nabrak batang pohon dan sesemakan. Griffin itu menjerit, mencicit, dan menggerak-gerakkan sayapnya yang sehat. Mereka harus berhenti dan menunggu Simon menenangkannya kemudian baru mulai menyeret lagi. Sepertinya lama sekali perjalanan membawa pulang griffin itu.
Setelah tiba di rumah kereta, mereka harus membuka pintu ganda di belakang dan memasukkan griffin itu ke salah satu bilik kuda. Binatang itu kemudian berbaring di atas jerami tua.
Simon berjongkok untuk membersihkan luka si griffin sebaik yang bisa dilakukannya dengan penerangan cahaya bulan dan hanya dengan air dari selang. Jared menemukan ember dan mengisinya untuk air minum si griffin. Binatang itu minum dengan penuh rasa terima kasih.
Bahkan Mallory ikut berpartisipasi, ia menemukan selimut tua yang sudah dimakan rayap untuk menyelimuti binatang itu. Binatang itu nyaris tampak jinak, diperban, dan mengantuk dalam rumah kereta.
Meskipun Jared berpendapat membawa si griffin ke sini adalah tindakan gila, dia harus mengakui bahwa dia mulai menyukai binatang itu. Lebih daripada rasa sukanya kepada Hogsqueal.
Ketika Jared, Simon, dan Mallory tertatih-tatih masuk rumah, malam sudah larut. Mallory masih basah karena jatuh ke sungai, dan pakaian Simon compang-camping parah. Celana Jared bernoda rumput dan sikunya luka karena berlari-lari di tengah hutan. Tapi mereka masih memiliki buku itu dan kacamatanya, Simon masih menggendong anak kucing yang warnanya seperti permen butterscotch toffee, dan mereka semua masih hidup.
Dari sudut pandang Jared, ini termasuk sukses besar.
Ibu mereka sedang menelepon ketika mereka masuk. Wajahnya sembap karena air mata. "Mereka di sini!" Dia menutup telepon dan menatap anak-anaknya sesaat. "Kalian dari mana" Ini jam satu pagi!" Dia menuding Mallory. "Bagaimana kau bisa begitu tidak bertanggung jawab""
Mallory menatap Jared. Simon, di sebelahnya, juga menatapnya sambil memeluk rapat si kucing ke dadanya. Tiba-tiba Jared sadar saudara-saudaranya menunggunya memberi penjelasan.
"Mm... ada kucing di pohon," Jared memulai. Simon tersenyum memberinya semangat. "Kucing itu." Jared menunjuk anak kucing dalam gendongan Simon. "Dan, tahu kan, Simon memanjat pohon itu, tapi si kucing ketakutan. Dia memanjat semakin tinggi dan Simon terjebak. Dan aku lari memanggil Mallory."
"Dan aku berusaha memanjat menyusulnya," lanjut Mallory.
"Benar," kata Jared. "Mallory memanjat menyusulnya. Kemudian si kucing melompat ke pohon yang lain dan Simon menyusulnya. tapi cabangnya patah dan dia jatuh ke sungai."
"Tapi pakaiannya tidak basah," kata ibu mereka sambil mengernyitkan dahi.
"Maksud Jared, aku yang jatuh ke sungai," kata Mallory.
"Dan sepatuku jatuh ke sungai," kata Simon.
"Yeah," kata Jared. "Kemudian Simon menangkap si kucing, tapi kita harus menurunkannya dari pohon, tanpa mencakar habis Simon."
"Butuh waktu," kata Simon.
Ibu mereka menatap Jared dengan curiga, tapi tidak marah. "Kalian bertiga dihukum tak boleh keluar rumah selama sisa bulan ini. Tidak boleh main di luar dan tidak boleh mencari-cari alasan."
Jared membuka mulutnya untuk protes, tapi tak bisa memikirkan apa pun untuk dikatakan.
Saat mereka bertiga naik ke lantai atas,
Jared berkata, "Maaf. Kurasa itu alasan yang cukup buruk."
Mallory menggeleng. "Kau tidak bisa mengatakan banyak. Kau tidak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi."
"Dari mana goblin-goblin itu muncul"" tanya Jared. "Kita bahkan tidak tahu apa yang mereka inginkan."
"Buku Panduan," kata Simon. "Itulah yang ingin kukatakan padamu sebelumnya. Mereka pikir buku itu ada padaku."
"Tapi bagaimana" Bagaimana mereka tahu kita sudah menemukannya""
"Menurutmu bukan Thimbletack yang memberitahu mereka, kan"" tanya Mallory.
Jared menggeleng. "Thimbletack tidak ingin kita berhubungan dengan buku itu sejak awal."
Mallory mengeluh. "Kalau begitu, bagaimana""
"Bagaimana kalau ada yang mengawasi rumah ini, menunggu kita menemukan buku itu""
"Seseorang atau sesuatu," tambah Simon khawatir.
"Tapi kenapa"" tanya Jared dengan suara lebih keras daripada yang dimaksudkannya. "Apa pentingnya buku itu" Maksudku-apakah goblin-goblin itu bisa membaca""
Simon mengangkat bahu. "Mereka tidak bilang kenapa. Mereka hanya menginginkan buku itu."
"Thimbletack benar." Jared membuka pintu kamar yang dia pakai bersama saudara kembarnya.
Tempat tidur Simon rapi, selimutnya tertarik terbuka dan bantal-bantalnya sudah digemukkan. Tapi tempat tidur Jared beran-takan. Kasurnya lepas dari rangkanya, kotor dengan bulu-bulu dan berbagai hal lain. Seprainya dirobek-robek sampai berhelai-helai.
"Thimbletack!" kata Jared. "Aku kan sudah bilang," kata Mallory. "Kau seharusnya tidak merebut batu itu."
AKHIR BUKU DUA Baca Lanjutannya di Buku 3
Spderwick Chronicles: Rahasia Lucinda" Tentang TONY DiTERLIZZI...
Sebagai pengarang best-seller New York Times, Tony DiTerlizzi menciptakan Ted, Jimmy Zangwow's Out-of-This World Moon Pie Adventure yang memenangkan Zena Sutherland Award, juga ilustrasi dalam seri Alien and Possum untuk pembaca awal karangan Tony Johnson. Akhir-akhir ini versi sinematik brilian The Spider and the Fly karya klasik Mary Howitt diberi penghargaan Caldecott Honor. Sebagai tambahan, lukisan Tony telah menghiasi karya-karya fantasi yang sangat terkenal seperti karya-karya J.R.R. Tolkien, Anne McCaffrey, Peter S. Beagle, dan Greg Bear juga Magic The Gathering karya Wizards of the Coast. Dia dan istrinya, Angela, tinggal bersama anjing pug mereka, Goblin, di Amherst, Massachusetts. Kunjungi Tony di World Wide Web di www.diterlizzi.com.
Tentang HOLLY BLACK Kolektor cerita-cerita rakyat, Holly Black menghabiskan masa kecilnya dalam rumah besar gaya Victoria tempat ibunya menceritakan berbagai kisah hantu dan memberinya berbagai buku tentang peri. Tidak heran, novel pertamanya, Tithe: A Modern Faerie Tale, merupakan kisah tentang dunia peri. Diterbitkan musim gugur 2002, buku itu menerima ulasan yang baik dan penghargaan Best Book for Young Adults dari American Library Association. Dia tinggal di West Long Branch, New Jersey, bersama suaminya, Theo, dan sekumpulan binatang liar. Kunjungi Holly di World Wide Web di www.blackholly.com.
Tony dan Holly terus bekerja siang dan malam melawan peri dan goblin yang marah supaya bisa menceritakan kisah-kisah anak-anak keluarga Grace kepadamu.
The Spiderwick Chronicles 2 Batu Penglihatan The Seeing Stone di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ucapan Terima Kasih Tony dan Holly ingin berterima kasih kepada Steve dan Dianna untuk ide-ide mereka, Starr untuk kejujurannya, Myles dan Liza untuk berbagi pengalaman, Ellen dan Julie untuk membantu menjadikan ini nyata,
Kevin untuk antusiasmenya yang tak kenal lelah dan kepercayaannya kepada kami, dan terutama kepada Angela dan Theo - tidak ada cukup banyak pujian yang bisa mendeskripsikan kesabaran kalian dalam menjalani malam-malam panjang diskusi tentang Spiderwick.
Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Kelelawar Hijau 1 Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo Bara Naga 7