Meraba Matahari 3
Meraba Matahari Karya S H. Mintarja Bagian 3
membawa anak buahnya untuk bergerak, Ki Sura Branggah telah bergerak ke
padukuhan induk kademangan Panjer.
Sebelum mereka mulai bergerak, Ki Sura Branggahpun telah berpesan kepada
anak buahnya untuk tidak berbuat apa-apa di padukuhan-padukuhan yang akan
mereka lewati. "Kenapa?" bertanya yang bertubuh raksasa
"Jika kita mengganggu padukuhan yang kita lewati, maka akan ada diantara para
penghuninya yang akan memukul kentongan"
"Apa salahnya", orang-orang padukuhan induk tentu sudah mengira bahwa kita
akan datang malam ini"
"Itulah bodohnya kedua orang yang menuruti gejolak perasaannya itu"
"Apakah kita akan menjadi ketakutan jika anak-anak muda itu bersiap-siap
menyongsong kdt kita?"
"Bukan ketakutan, tetapi sudah aku katakan, apakah kita harus membunuh anakanak
muda itu", sementara itu, orang-orang terkaya di Panjer itu sempat
menyembunyikan harta benda mereka"
Tetapi seorang perampok yang lain tertawa "Tidak akan ada yang berani
menyembunyikan harta bendanya, jika kita datang, dimanapun hartanya
disembunyikan, tentu akan mereka tunjukkan dan akan mereka serahkan kepada
kita, jika tidak, ujung pedang akan kita letakkan di lehernya"
Namun seorang perampok yang lain bertanya "Jika mereka pergi mengungsi?"
"Seluruh padukuhan induk akan kita bongkar, jika padukuhan induk itu menjadi
kosong, maka rumah-rumah merekalah yang akan kita bakar"
"Cukup" Ki Sura Branggah "Bagaimanapun juga, kita, kita akan melakukan
pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya, menurut perhitunganku, orang-orang
padukuhan induk itu tidak akan mengungsi, mereka tentu justru akan menyongsong
kehadiran kita, karena mereka memang sudah mempersiapkan diri sebelumnya,
seharusnya kita menghindari kemungkinan itu, kita tidak perlu memberikan isyarat
bahwa kita akan datang atau merangsang penghuni padukuhan yang lain untuk
membunyikan kentongan"
Para perampok itupun terdiam, sementara itu mereka berjalan semakin cepat
melintasi jalan-jalan padukuhan.
Padukuhan-padukuhan di lingkungan kademangan Panjer itu nampak sepi, tidak
ada seorangpun yang nampak diluar rumah, ketika mereka melewati gardu
perondaan, maka tidak seorangpun yang nampak di dalam gardu itu.
Tetapi ketika para perampok itu melihat rumah-rumah di pinggir jalan lewat pintu
regol yang terbuka, maka di dalam rumah itu nampak cahaya lampu minyak yang
menyala. "Mereka bersembunyi di balik dinding rumah mereka" berkata para perampok itu.
"Mereka menjadi ketakutan, nampaknya berita akan kehadiran kita sudah
merambat sampai ke padukuhan-padukuhan"
"Itu pantas mereka sesali" berkata perampok yang sudah lebih tua.
Dengan demikian, maka iring-iringan itupun bergerak semakin lama menjadi
semakin cepat, para perampok itu dihinggapi oleh keinginan untuk segera sampai di
rumah yang akan menjadi sasaran perampokan, mereka ingin segera mengetahui,
apakah harta benda yang tersimpan di rumah itu sudah disembunyikan, atau bahkan
pemilik rumah itu sudah pergi mengungsi sambil membawa semua harta bendanya
yang berharga. Tetapi mereka menduga, bahwa pemilik rumah itu tidak akan pergi, di rumah itu
ada sebuah pedati, beberapa ekor lembu, kambing dan bahkan kuda, tiang-tiang di
pendapa serta gebyok pringgitan yang berukir. Semuanya itu tentu mahal harganya,
mereka tentu tidak akan membiarkan semuanya itu dibakar dan menjadi abu.
Beberapa saat kemudian, iring-iringan itupun telah mendekati padukuhan induk,
para pengawas pada lapis pertama melihat kehadiran mereka, namun mereka sama
sekali tidak mengganggu. Dalam sepinya malam, tiba-tiba saja terdengar suara burung hantu yang
ngelangut, dihanyutkan oleh angin yang bertiup perlahan.
Sementara itu, dalam kegelapan malam, seorang pengawas yang duduk diatas
dahan pohon jambu yang tumbuh di belakang dinding padukuhan induk yang
mendengar suara burung hantu itu, memberi isyarat kepada dua aorang kawannya
yang duduk bersandar batang jambu itu.
Seorang diantara merekapun segera berlari ke banjar memberikan laporan,
bahwa para perampok yang mereka tunggu, benar-benar telah datang.
"Terima kasih" berkata Raden Madyasta "Sekarang semuanya pringgitan ke
tempat yang sudah ditetapkan, yang kita perhitungkan akan menjadi sasaran
pertama adalah Ki Wiratenaya, tetapi kita akan mengawasi mereka melintas di jalan
utama padukuhan induk ini"
Para prajurit dan anak-anak muda yang telah terlatih dibawah bimbingan para
prajurit itupun memencar, sebagian dari mereka berada di balik dinding halaman di
tepi jalan utama, sementara yang lain telah mendahului berada di halaman rumah Ki
Wiratenaya, namun beberapa dari mereka juga mengawasi rumah Ki Semanggi.
Namun dengan isyarat tentu, mereka akan segera berkumpul untuk melawan
para perampok itu, apakah di halaman rumah Ki Wiratenaya atau di halaman rumah
Ki Semanggi atau justru ti tempat yang lain.
Dalam pada itu, selain anak-anak muda yang telah berpencar itu, maka anakanak
muda yang lainpun telah menjaga semua pintu gerbang padukuhan selain pintu
gerbang yang akan dilewati oleh para perampok itu.
Sejenak kemudian, maka para perampok itupun telah memasuki padukuhan
induk kademangan Panjer, namun ternyata di padukuhan induk itupun mereka tidak
menjumpai anak-anak muda yang sebelumnya sudah sempat berlatih di halaman
banjar, di halaman rumah para Bebahu dan para Bekel.
Bab 09 " Ki Tumenggung Reksadrana
"Jangan-jangan seisi padukuhan ini sudah mengungsi?" seorang diantara
merekapun bertanya. "Jika padukuhan induk ini kosong, maka rumah di padukuhan induk ini akan kita
bakar" sahut yang lain.
Ki Sura Branggah sendiri, yang berjalan paling depan, masih belum berkata apaapa, tetapi ia berjalan semakin cepat, agaknya ia langsung pergi ke rumah Ki Wiratenaya.
Ketika mereka melewati sebuah gardu perondaan, maka seperti di padukuhanpadukuhan, gardu perondaan kosong, tidak seorangpun yang meronda malam ini, bahkan oncornyapun tidak menyala sama sekali.
Malam terasa demikian mencengkam, sepi dan tegang.
Para perampok itu menjadi gelisah bukan karena mereka akan mendapat perlawanan, tetapi mereka justru menjadi gelisah karena padukuhan induk itu terasa sepi sekali.
Namun ketika Ki Sura Branggah yang gelisah itu mendorong sebuah pintu regol halaman rumah di pinggir jalan utama itu, ia melihat lampu yang menyala, bahkan kemudian iapun mendengar suara bayi yang menangis.
Ki Sura Branggah menarik nafas dalam-dalam, padukuhan ini tidak kosong, penghuninya masih ada di rumah mereka masing-masing, jika mereka pergi mengungsi, maka tentu tidak akan terdengar suara bayi yang menangis di rumah sebelah.
Karena itu, maka Ki Sura Branggah melangkah semakin cepat. Namun Ki Sura Branggah itu berhenti di luar sebuah regol halaman rumah yang luas, halaman rumah Ki Wiratenaya, seorang saudagar yang kaya.
"Rumah ini adalah sasaran kita" berkata Ki Sura Branggah sambil mendorong pintu regol halaman itu perlahan-lahan, demikian regol itu terbuka, maka Ki Sura Branggah itupun melihat lampu pringgitan yang menyala, bahkan di dalam rumah itupun nampak pula cahaya lampu yang terang.
"Kita tidak kehilangan korban kita malam ini" berkata Ki Sura Branggah.
Iapun kemudian memberi isyarat kepada anak buahnya untuk bergerak masuk.
Para prajurit yang berada di halaman itupun kemudian mempersiakan diri, mereka membiarkan para perampok itu seluruhnya memasuki halaman.
Tetapi agaknya dua orang diantara mereka tetap berada di pintu regol untuk mengamati keadaan, mereka mengawasi jalan yang melintas di depan rumah Ki Wiratenaya.
"Memang sekitar dua puluh sampai tiga puluh orang" desis seorang prajurit ke telinga kawannya.
Kawannya mengangguk-angguk, namun merekapun melihat dua orang diantara para perampok yang berdiri di pintu regol.
Sejenak suasana benar-benar dicengkam oleh ketegangan, bahkan para perampok yang sudah terbiasa melakukan pekerjaan merekapun menjadi tegang pula.
Ternyata kademangan Panjer memang mempunyai kesan yang berbeda dari padukuhan yang lain.
Sejenak kemudian, maka Ki Sura Branggah dan beberapa orang diantara anak buahnya naik ke pendapa, sementara beberapa orang yang lain telah melingkari
rumah itu, berjaga-jaga di pintu butulan dan pintu dapur.
"Jangan ada yang sempat keluar" berkata Ki Sura Branggah.
Dalam pada itu, dibawah bayangan cahaya lampu minyak di pringgitan, Ki Sura Branggah itu mengetuk pintu rumah Ki Wiratenaya yang tertutup rapat.
Namun tidak terdengar jawaban sekali lagi Ki Sura Branggah memeninggalkanetuk lebih keras lagi, tetapi juga tidak terdengar jawaban.
"Ki Wiratenaya, buka pintunya atau aku yang akan membukanya sendiri dengan paksa"
Sepi, rumah itu masih saja tetap membisu.
"Ki Wiratenaya, jika kau tetap saja diam, aku akan menghancurkan pintu rumahmu"
Karena tidak ada jawaban, maka Ki Sura Branggah itupun berkata kepada kawankawannya
"Kita pecahkan saja pintunya"
Beberapa orangpun segera melangkah mendekati Ki Sura Branggah, merekapun segera bersiap untuk mendorong dan memecahkan pintu yang masih saja tertutup rapat.
Namun sebelum mereka bersama-sama mendorong dan memecahkan pintu itu, tiba-tiba saja terdengar seseorang berkata dari dalam kegelapan "Apa yang akan kau lakukan, Ki Sanak?"
Ki Sura Branggah terkejut, iapun segera berpaling, demikian pula kawankawannya yang berada di skatakanya.
"Siapa kau" berkata Ki Sura Branggah
"Aku pimpinan anak-anak muda Panjer"
"Pimpinan anak-anak muda Panjer", sayang sekali anak muda, kau telah terjun ke sarang singa yang lapar, apakah kau belum mengenal aku?"
Jilid 03 "Kau tentu pimpinan sekelompok brandal yang akan merampok rumah Ki
Wiratenaya" "Ya, namaku Ki Sura Branggah, nama yang ditakuti di daerah ini"
"Sayang, bahwa anak-anak muda Panjer tidak merasa takut mendengar nama Ki
Sura Brandal" "Ki Sura Branggah"
"Bukankah lebih tepat jika kau disebut Ki Sura Brandal"
"Persetan kau" "Sura Brandal, kami anak-anak muda Panjer memang sudah menunggumu, kami
sudah siap untuk menangkapmu, sudah hampir sebulan kami berlatih keras dibawah
pimpinan Ki Demang, sekarang adalah waktunya untuk mengetrapkan hasil kerja
keras kami" Seorang perampok yang perutnya buncit tertawa berkepanjangan, katanya "Apa
yang kau dapatkan dengan latihan sebulan itu", ternyata kalian adalah anak-anak
muda yang lebih dungu daru yang aku duga"
"Inilah yang kami dapatkan dari latihan-latihan yang pernah kami lakukan"
terdengar suara yang lain, orang-orang berjalan dari kegelapan sambil mendorong
seseorang pula, katanya kemudian "ini tentu kawanmu pula, seorang lagi telah kami
bunuh di depan regol, dan inilah yang seorang lagi"
Ki Sura Branggah memang sangat terkejut, orang itu adalah orangnya yang
ditugaskan mengawasi keadaan di depan regol, namun ternyata orang itu tidak
berdaya, bahkan seorang dari dua orang yang ditugaskannya itu sudah terbunuh.
Bahkan orang yang membawa seorang perampok mendekati pendapa itu
kemudian mendorongnya sambil berkata lantang "Kau telah membunuh dua orang di
padukuhan yang telah kau rampok sebelumnya, karena itu, maka dua orangmu
harus dibunuh pula" Sebelum Ki Sura Branggah sempat menjawab, maka tiba-tiba saja ujung keris
yang bagaikan menyala kebiru-biruan telah menghunjam lambung perampok yang
malang itu, terdengar teriakan yang menggelepar di malam yang gelap itu.
Orang yang berdiri di depan pendapa telah berteriak pula "Jangan Kakang
Rembana" Tetapi orang yang menusuk dengan keris itu menjawab "Kita tidak dapat
beramah tamah dengan perampok"
Keteganganpun segera mencengkam, perampok yang lambungnya tertusuk keris
itupun terjatuh di tanah, nafasnya yang terakhirpun telah dihembuskannya.
Orang yang berdiri di depan pendapa itu merasa jantungnya berdegup kencang,
sementara itu Rembanapun berkata "Tidak hanya kedua orangmu ini yang akan
mati" Orang yang berdiri di depan pendapa itu akhirnya harus bersikap, karena itu,
maka iapun kemudian berkata "Ki Sura Branggah, baiklah kami berterus terang,
diantara anak-anak muda kademangan Panjer sekarang ini, memang terdapat
beberapa orang prajurit dari Paranganom, karena itu, maka aku minta kau dan
orang-orangmu menyerah, maka kita akan dapat menghindari kematian, dua orang
yang terbunuh itu sudah cukup"
Ki Sura Branggahpun bergetar oleh kemarahan yang menghimpit jantungnya.
"Jadi kau adalah prajurit Paranganom?"
"Ya" Rembanalah yang menjawab "Yang ada diantara anak-anak muda
kademangan Panjer adalah Raden Madyasta sendiri, selain itu disini ada tiga orang
senapati yang namanya dikenal oleh semua orang, tidak hanya di Paranganom,
tetapi juga di Kadipaten Kateguhan. Di Kadipaten Paranganom dan bahkan di seluruh
tlatah Tegal Langkap, senapati yang telah memukul mundur pasukan yang sangat
besar yang datang dari seberang Bengawan Rahina"
Suara Rembana yang lantang itu bagaikan menggelegar di seluruh halaman dan
bahkan menggoyang rumah yang ditinggalkan penghuninya itu.
Tetapi Ki Sura Branggah adalah seorang pimpinan perampok yang mempunyai
pengalaman yang sangat luas, ia seorang yang berilmu tinggi dan sudah kenyang
makan pahit getirnya dunia kelamnya.
Karena itu, maka Ki Sura Branggah itupun menyahut "Persetan dengan
igauanmu, jika kalian benar dapat mengalahkan pasukan yang besar yang datang
dari seberang Bengawa Rahina itu, karena kalian membawa pasukan yang sangat
besar pula, bukan saja dari Paranganom, tetapi juga dari semua Kadipaten yang
berada dibawah naungan kuasa Tegal Langkap.
"Jadi kau mendengar juga berita tentang perang besar yang terjadi itu?"
"Ya" "Kalau demikian, kau tentu pernah mendengar nama-nama Rembana, Sasangka
dan Wismaya" "Aku tidak perduli dengan nama-nama itu, jika kau salah seorang diantara
mereka, maka aku akan menghancurkan namamu itu, bahkan kau akan menjadi
mayat di halaman rumah ini, sebagaimana kedua orang kawanku yang telah kau
bunuh" "Persetan, kita akan membuktikannya"
Ki Sura Branggahpun kemudian telah memberikan isyarat kepada kawankawannya
untuk menyerang orang-orang yang berada di halaman itu.
Namun sejenak kemudian, anak-anak muda kademangan Panjerpun berloncatan
di halaman, ada yang meloncat dari dahan-dahan pohon, ada yang meloncat dari
luar dinding halaman dan ada pula yang berlari-lari memasuki halaman lewat pintu
regol yang telah terbuka.
Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit di
sekitar rumah Ki Wiratenaya yang kosong itu, enam orang prajurit Paranganom, tiga
orang senapati muda yang pilih tanding telah melibatkan diri dalam pertempuran itu.
Ternyata Ki Sura Branggah adalah orang yang benar-benar berilmu tinggi, ia
tidak mau mengikat diri menghadapi seorang lawan, tetapi ia berloncatan diantara
orang-orangnya dengan parang yang besar berputaran mengerikan.
Anak-anak muda kademangan Panjer sempat bergetar jantungnya melihat cara
para perampok itu bertempur, namun para prajurit Paranganom itu berusaha
mengimbangi mereka, para prajurit itupun berloncatan di seluruh medan, apalagi
Raden Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya.
Namun Raden Madyasta menjadi cemas melihat sikap Rembana, ia sama sekali
tidak mengekang diri dalam pertempuran itu, it tidak pernah memberikan
kesempatan kepada lawan-lawannya, kerisnya terayun-ayun sangat mengerikan,
sehingga tanpa ampun, orang yang sempat menghadapinya akan terkapar mati
dengan luka-lukanya yang parah.
Sasangka dan Wismaya serta para prajurit yang lain masih berusaha untuk
mengendalikan diri, mereka tidak harus membunuh lawan yang datang kepada
mereka. Demikianlah, maka pertempuran itu menjadi semakin sengit, dengan dibayangi
oleh kemampuan para prajurit Paranganom, maka anak-anak muda Panjerpun
menjadi semakin berani, seperti pesar yang mereka terima, maka mereka tidak
bertempur seorang melawan seorang, tetapi mereka sudah mempunyai kelompokkelompok
kecil untuk menghadapi setiap perampok yang harus mereka hadapi.
Meskipun para perampok adalah orang-orang yang sudah terbiasa bertualang
diantara ujung-ujung senjata, tetapi menghadapi para prajurit Paranganom dibawah
para senapati pilihan, merekapun mengalami kesulitan.
Tetapi Ki Sura Branggah sendiri adalah orang yang sangat garang, beberapa
orang telah tersentuh tajam parangnya, namun setiap kali Ki Sura Branggah harus
menghadapi kemampuan para prajurit Paranganom.
Namun akhirnya Ki Sura Branggah tidak dapat mengingkari kenyataan yang
dihadapinya, satu persatu orang-orangnya jatuh terkapar di tanah. Disana sini
terdengar erangan kesakitan, desah yang tertahan, serta keluhan-keluhan panjang.
Ketika terdengar di kejauhan suara ayam jantan yang berkokok untuk ketiga kalinya di malam itu, maka pertempuran di rumah Ki Wiratenaya itupun sudah selesai, beberapa orang perampok terluka parah, ada juga diantara mereka yang terbunuh.
Namun ketika Raden Madyasta dan para senapati serta para prajurit berkumpul di depan pendapa dikelilingi oleh anak-anak muda kademangan Panjer, barulah ternyata bahwa pimpinan perampok yang bernama Ki Sura Branggah itu sempat meloloskan diri.
"Setan alasan" geram Rembana "Jika Ki Sura Branggah itu tidak tertangkap, maka kita akan membunuh semua perampok yang tertinggal dan yang menyerah.
"Kita tidak dapat melakukannya, Kakang" sahut Raden Madyasta.
"Sudah aku katakan, kita tidak dapat beramah-tamah dengan mereka, para perampok itu sudah membuat banyak sekali kerugian, bukan saja herta benda yang telah mereka rampok, tetapi mereka telah menimbulkan kegelisahan dan ketakutan, harga dari keresahan itu tidak akan dapat lunas dengan kematian mereka, sebelum Ki Sura Branggah sendiri digantung di alun-alun atau diketemukan mayatnya di pertempuran"
"Bukan wewenang kita untuk menghukum mereka"
"Di medan pertempuran, kita tidak bersalah jika kita membunuh lawan"
"Tetapi pertempuran sudah selesai" desis Raden Madyasta.
"Mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya, Raden, mereka tidak akan dapat menghentikan tingkah laku mereka, seandainya mereka dibawa menghadapi Kangjeng Adipati kemudian diadili dan dijatuhi hukuman, maka setelah mereka lepas dari hukuman, mereka akan mengulangi kejahatan yang pernah lakukan"
"Biarlah segala sesuatunya di putuskan kelak" jawab Raden Madyasta.
Rembana masih akan menjawab, tetapi Sasangkapun berkata "Bukankah yang dikatakan oleh Raden Madyasta itu benar?"
"Kita akan menjadi prajurit yang cengeng"
"Kita terikat pada paugeran, Rembana" berkata Wismaya.
Rembana tidak menjawab lagi, tetapi dari raut wajahnya nampak bahwa jantungnya justru menjadi semakin bergejolak.
Raden Madyastapun kemudian telah memerintahkan kepada anak-anak muda kademangan Panjer untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang telah menjadi korban dan gugur di pertempuran, bahkan bukan hanya kawankawan
mereka yang terluka dan menjadi korban saja yang harus dikumpulkan, tetapi juga para perampok yang terluka dan terbunuh d pertempuran, sedangkan yang menyerah, telah diikat dan dibawa ke banjar.
Menjelang fajar, Ki Demang, para Bebahu, Raden Madyasta dan para senapati masih berbincang di banjar, semuanya menyatakan kekecewaan mereka, bahwa pimpinan brandal yang bernama Ki Sura Branggah itu tidak dapat tertangkap.
"Para berandal itu harus di hukum mati" geram Rembana "Ada tiga orang prajurit Paranganom yang terluka, meskipun tidak terlalu parah, siapa yang melawan, apalagi melukai petugas, ia akan dihukum dengan hukuman yang paling berat, selain itu ada sebelas orang anak muda yang terluka, tiga diantaranya parah dan yang seorang telah gugur"
"Ada berapa orang perampok yang tertangkap?" bertanya Ki Demang.
"Yang menyerah ada enam belas orang Ki Demang. Ki Sura Branggah sendiri entah dengan berapa orang kawannya, berhasil meloloskan diri, yang terluka dan terbunuh"
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam, katanya "Kami mengucapkan terima kasih yang besar sekali, Raden Madyasta. bukankah dengan demikian, gerombolan perampok itu sudah dihancurkan, mereka tidak mempunyai kekuatan lagi untuk dapat melakukan kegiatan mereka dihari-hari mendatang. Setidak-tidaknya untuk waktu yang dekat ini"
Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi kami merasa kecewa, bahwa kami tidak dapat menangkap Ki Sura Branggah, pimpinan perampok itu, Ki Demang. kami sangat memerlukan keterangannya dalam hubungannya dengan gerakannya yang seakan-akan munculdari Kadipaten Kateguhan"
"Ya, Raden, tetapi apaboleh buat, namun yang sudah Raden lakukan bersamapara senapati dan para prajurit sudah merupakan satu keberhasilan, anak-anak muda kademangan Panjer, bukan saja mendapat pengalaman yang sangat berharga malam ini, tetapi mereka bukan lagi anak-anak muda yang gemetaran mendengar suara kentongan dalam irama titir, latihan-latihan yang sudah Raden berikan bersama para senapati dan para prajurit, akan dapat kita kembangkan, sehingga jika pimpinan perampok itu datang lagi dengan membawa dendam, maka anak-anak muda Panjer sudah tidak akan mengecewakan"
"Itulah yang kami harapkan, Ki Demang, mudah-mudahan anak-anak muda di kademangan tidak segera menjadi jemu justru karena mereka merasa sudah memiliki kemampuan yang cukup"
"Aku akan berusaha, Raden, sementara itu, kelak jika Raden akan meninggalkan kademangan ini, Raden dapat memberikan pesan kepada mereka"
Raden Madyasta mengangguk-anggguk sambil berdesis "Ya, Ki Demang"
Dalam pada itu, di tempat yang jauh, di perbatasan antara Kadipaten Paranganom dan Kadipaten Kateguhan, Ki Sura Branggah memapah seorang anak
muda yang terluka parah dibantu seorang anak buahnya.
"Kuatkan, angger. Sebentar lagi kita akan sampai di pondok itu. ayah angger Ki Tumenggung Reksadrana tentu menunggu kita di pondok itu"
Anak muda itu mengerang kesakitan, sementara langit menjadi semakin terang, cahaya fajar sudah membayang di pungung pebukitan di arah timur.
"Aku tidak kuat lagi, paman"
"Jangan berkata begitu, ngger. Kau adalah anak muda yang jarang ada duanya, kau mempunyai daya tahan yang sangat tinggi, kaupun menjadi harapan ayah angger di masa mendatang."
"Tetapi lukaku sangat parah, paman"
"Lihat, di depan kita adalah regol padukuhan, podnok kita terletak dekat pintu gerbang itu, sedikit berbelok ke kiri, di tempat yang kelihatan terpisah dari rumahrumah
yang lain karena halamannya yang luas serta kebun kosong di sebelahnya"
Anak muda itu tidak menjawab, yang terdengar adalah desah desah kesakitan.
Sebelum terang, mereka bertiga telah memasuki regol padukuhan yang masih sepi, merekapun dengan cepat menyelinap memasuki lorong kecil kearah kiri, sejenak kemudian merekapun telah memasuki sebuah halaman rumah sederhana yang terletak di tengah-tengah kebun yang luas serta di sebelahnya terdapat kebun kosong yang cukup luas pula.
Karena pintu rumah sederhana itu masih tertutup, maka Ki Sura Branggahpun mengetuk pintunya perlahan-lahan.
Sekali dua kali tidak terdengar jawaban, sementara itu anak muda yang terluka itu masih saja mengerang kesakitan.
Karena itulah, maka Ki Sura Branggahpun mengetuk lebih keras lagi.
Di dalam rumah itu, Ki Tumenggung Reksadrana dan Ki Lurah Patrawangsa ternyata baru saja terlelap, semalam suntuk mereka bertahan menunggu Ki Sura Branggah itu kembali, tetapi sampai dini hari, mereka masih belum memasuki rumah sederhana yang terletak di perbatasan itu.
Namun justru ketika mereka baru saja terlelap, pintu rumah itu telah diketuk orang.
Ki Tumenggung Reksadrana yang terkejut dengan gagap memanggil Ki Lurah Patrawangsa "Patrawangsa, kau dengar pintu diketuk orang?"
Ki Lurah Patrawangsa segera terbangun pula, sementara itu ketukan pintu itupun menjadi semakin keras.
"Siapa itu?" bertanya Ki Lurah Patrawangsa sambil memutar kerisnya di lambung.
"Aku Ki Lurah" "Sura Branggah?"
"Ya" "Buka pintu itu cepat" bentak Ki Tumenggung yang tidak sabar.
Ki Lurahpun segera meloncat ke pintu sambil memegangi ujung wiron kain panjangnya yang terlepas karena terinjak kakinya sendiri.
Demikian pintu dibuka, maka Ki Sura Branggahpun segera bergerak masuk sambil memapah anak muda yang terluka itu, di belakangnya seorang anak buahnya mengikuti pula.
"Tutup kembali pintu itu, dungu" bentak Ki Lurah Patrawangsa.
Anak buah Ki Sura Branggah itupun kemudian dengan tergesa-gesa menutup pintu yang masih terbuka.
Sementara itu, cahaya fajarpun menjadi semakin terang, ayam-ayampun mulai turun dari kandangnya, seekor induk ayam berkotek memanggil anak-anaknya, ketika ia menemukan seekor cacing tanah yang gemuk.
"Anak itu terluka?" bertanya Ki Tumenggung Reksadrana.
"Ya, Ki Tumenggung"
"Siapa?" Ki Sura Branggah menjadi ragu-ragu.
"Siapa?" bentak Ki Tumenggung Reksadrana.
Ki Sura Branggahpun kemudian membaringkan anak muda yang terluka itu di lantai.
"Prakosa" Ki Tumenggung Reksadrana hampir menjerit "Jadi yang terluka itu anakku?"
Ki Sura Branggah mdk wajahnya, dengan nada dalam iapun berdesis "Ya Ki
Tumenggung" Ki Tumenggung Reksadrana segera meloncat dan berjongkok disisinya.
"Prakosa, jadi kau yang terluka itu, ngger"
"Ayah" desis Prakosa.
"kenapa kau ngger?"
"Lukaku parah, ayah"
"Biarlah Ki Lurah Patrawangsa memanggil tabib terbaik di Kateguhan"
"Tidak ada gunanya lagi, ayah"
"Jangan berkata begitu, Prakosa"
Ki Tumenggung itupun kemudian mengangkat kepala anaknya dan diletakkannya
di pangkuannya. "Aku sudah tidak kuat lagi, ayah. Darahku terlalu banyak yang keluar"
"Siapa yang melukaimu, Prakosa", orang-orang Panjer?"
"Tidak ayah, bukan orang-orang Panjer"
"Jadi siapa?" "Ternyata di Panjer kami bertemu dengan sekelompok prajurit dari Paranganom,
ayah" "Prajurit dari Paranganom?"
"Ya, ayah, para prajurit yang dipimpin langsung oleh Raden Madyasta"
"Madyasta, Raden Madyasta anak Adipati Paranganom?"
"Ya, ayah" "Kau tidak salah lihat, Prakosa, bukankah Madyasta tidak berada di Paranganom?"
"Tidak, ayah. Aku tidak salah lihat. Selain aku memang sudah mengenalnya sejak lama, seorang senapatipun telah menyebut namanya pula, disamping Madyasta, tiga orang senapati muda yang namanya mulai dikenal sejak pertempuran di sebelah Bengawan Rahina, Rembana, Sasangka dan Wismaya"
"Gila orang-orang Paranganom, tetapi jangan cemas Prakosa, kau akan segera sembuh, kau akan segera mendapat kesempatan untuk membalas dendam.
"Ayah, aku tidak mampu lagi bertahan.
"Patrawangsa" teriak Ki Tumenggung.
"Ya, Ki Tumenggung"
"Kenapa kau begitu dungu, cepat pangil tabib terbaik di Kateguhan"
"Dibawa kemari?"
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, lalu katanya "Ya, bawa orang itu kemari"
"Tetapi, apakah tidak ada bahayanya jika tabib itu melihat rumah ini?"
"Aku tidak peduli, yang penting anakku dapat diselamatkan"
Namun terdengar suara Prakosa yang lemah "Tidak usah ayah, tidak akan ada artinya"
"Prakosa" Suara Prakosa menjadi semakin sendat "Ayah"
"Prakosa" Prpakosa memandang ayahnya dengan mata yang semakin sayu, wajahnya menjadi sangat pucat seakan-akan tidak berdarah lagi, sementara itu darah yang mengalir dari lukanya membasahi lantai rumah itu, menggenang di kaki ayahnya.
"Ayah" suara Prakosa hampir tidak terdengar.
"Prakosa, dengar. Aku akan mengundang tabib itu, Prakosa"
Mata Prakosa menjadi semakin redup, sehingga akhirnya mata itupun terpejam.
"Prakosa" Ki Tumenggung berteriak.
Namun Prakosa sudah tidak mendengarnya, nafasnya yang terakhirpun telah meluncur lewat lubang hidungnya.
Ki Tumenggung memeluk anaknya dan meletakkannya di dadanya, dengan suaranya yang bergetar iapun berkata "Prakosa, kenapa kau mendahului ayahmu, ngger. Aku ingin kau menjadi seorang besar, jauh lebih besar dari ayahmu. Aku ingin kau menjadi senapati yang selalu berada dkt dengan Kangjeng Adipati, tetapi kenapa kau justru mendahului aku"
Tetapi Prakosa sama sekali sudah tidak bergerak lagi. Perlahan-lahan Ki Tumenggung meletakkan anak laki-lakinya yang sudah meninggal itu, kemudian iapun bangkit dan bergeser mendekati Ki Sura Branggah, dengan sinar mata yang menyala, Ki Tumenggung mencengkam baju Ki Sura Branggah sambil membentak "Apa kerjamu setan alasan. untuk apa kau pergi ke Panjer", kenapa kau tidak dapat melindungi anakku, sehingga terbunuh di pertempuran melawan prajurit
Paranganom", ada berapa orang prajurit Paranganom yang berada di Panjer", segelar sepapan" Seratus, lima puluh?"
Ki Sura Branggah tidak segera menjawab, mulutnya justru bagaikan terbungkam.
"Kau sudah menjadi tuli, he", atau bisu?"
Ki Sura Branggah masih belum menjawab.
Namun tiba-tiba saja tangan Ki Tumenggung menyambar wajahnya sambil membentak "Berapa, He?"
"Ampun, Ki Tumenggung. Ki Sura Branggah menjadi gagap "Tidak jelas, kami tidak tahu ada berapa orang prajurit Paranganom di Panjer, mereka tidak mengenakan pakaian prajurit, agaknya mereka sengaja menjebak kami, sementara itu, anak-anak muda Panjerpun telah ikut pula bersama-sama mereka. Jumlahnya tidak terhitung, bahkan mereka sudah pandai pula menempatkan diri untuk melawan kami"
Ki Tumenggung mengguncang baju Ki Sura Branggah yang dicengkamnya sambil membentak "Jadi kau tidak dapat mengatasi anak-anak muda Panjer itu, He"
Mulutmu saja yang selalu sesumbar, tetapi apa yang terjadi", anakku telah mati"
Ki Sura Branggah tidak menjawab, Ki Tumenggung yang kehilangan anaknya tentu sulit untuk menahan perasaannya yang bergejolak, karena itu, maka Ki Sura Branggah memilih untuk diam.
Ki Tumenggung itupun kemudian melepaskan baju Ki Sura Branggah, kemudian ia mendekati pengikut Ki Sura Branggah yang membantunya membawa Prakosa pulang ke pondok itu.
Dengan kasar Ki Tumenggung mendorong pundak orang yang duduk di lantai itu dengan kakinya, sehingga orang itu jatuh terlentang.
"Kecoa pengecut, apa kerjamu di Panjer He", Kau biarkan anakku mati?"
Orang itupun tidak menjawab pula, ketika ia perlahan-lahan bangkit dan duduk kembali, maka Ki Tumenggung Reksadranapun berkata "Aku tidak mau menerima keadaan ini, orang-orang Paranganom telah terbutang nyawa, mereka harus membayar dengan nyawa pula, Madyasta, Rembana Sasangka dan Wismaya harus mati"
Suara Ki Tumenggung tergetar seakan-akan telah mengguncang dinding pondok kecil yang dipergunakannya itu.
:Kita akan membawa Prakosa pulang"
"Apa kata orang yang melihat keadaannya di sepanjang jalan?" desis Ki LurahPatrawangsa.
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, dengan nanda berat iapun bertanya "Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?"
"Ki Tumenggung" berkata Ki Lurah Patrawangsa "Jika tubuh angger Prakosa dibawa pulang, akan dapat menimbulkan masalah, bukan saja di perjalanan, tetapi juga di katumenggungan. Seandainya akan diaadakan upacara pemakaman, apa yang dapat kita katakan kepada orang-orang yang datang melayat", kecelakaan atau pembunuhan atau apa", seandainya demikian, masih akan timbul pertanyaan panjang yang tidak berkeputusan, kita akan semakin lama akan menjadi semakin sulit untuk menjawabnya"
Bab 10 " Gegayuhan :Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?"
"Untuk sementara kita kuburkan saja disini, di halaman rumah ini"
"Disini?" "Ya, tetapi kita akan memberinya tetenger yang tidak mudah hilang, bsk pada saatnya, jika kadaan menjadi bertambah baik, kita akan menggalinya kembali dan dimakamkan sebagaimana mestinya"
"Kau gila, Patrawangsa, kau berniat untuk menguburkan anakku, anak Ki Tumenggung Reksadrana seperti mengubur seorang perampok yang mati dikeroyok orang?"
Hampir saja Ki Lurah Patrawangsa mengatakan, bahwa Prakosa memang terbunuh sebagai seorang perampok, tetapi untunglah bahwa ia segera menyadarinya, sehingga kata-katanya itupun ditelanna kembali.
Yang kemudian diucapkan adalah justru sebuah pertanyaan "Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
"Aku akan membawa Prakosa pulang, aku akan mengatakan bahwa ia mengalami kecelakaan ketika Prakosa sedang mencoba seekor kuda yang bary saja aku beli, Prakosa terjerumus jurang sehingga terluka purah"
"Tetapi apakah angger Prakosa pantas mengenakan pakaian seperti itu?"
"Kita akan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang wajar"
"Apakah disini tersedia pakaian yang wajar itu?"
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, namun tiba-tiba saja iapun berkata "Aku memerlukan pakaianmu Ki Lurah"
"Pakaianku, lalu aku?"
"Kau tinggal disini untuk sementara sampai ada orang yang datang untuk mengantar pakaian bagimu"
Ki Lurah bersungut-sungut, ia harus menyerahkan pakaiannya yang akan dipakai oleh Prakosa yang sudah tidak bernyawa lagi, dengan demikian, maka ia tidak akan pernah mendapatkan pakaiannya spengadeg itu kembali.
Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung itupun berpaling kepada Ki Sura Branggah "Apakah ada orang-orangmu yang tertangkap hidup atau menyerah?"
"Mungkin ada, Ki Tumenggung"
"Apa kata mereka tentang Prakosa?"
"Mereka tidak tahu, bahwa anak muda ini adalah anak Ki Tumenggung, yang mereka ketahui anak ini bernama Lorop, kemanakanku, kecoa inipun baru tahu tadi, bahwa Lorop adalah putera Ki Tumenggung"
"Kau tidak berbohong?"
"Tidak Ki Tumenggung"
"Bagaimana dengan rumah ini?"
"Bukankah aku tidak pernah mengajak salah seorang dari pengikutku datang kemari", mereka tidak tahu hubunganku dengan Ki Tumenggung, baru hari inhi kecoa kecil ini mengetahuinya, tetapi ia tidak akan berbicara dengan siapapun, karena jika ia membuka mulutnya itu akan aku koyakkan sampai telinga."
"Kau jamin bahwa rahasiaku tidak akan terbongkar di hadapan para prajurit Paranganom", apalagi di hadapan Raden Madyasta, putera Kangjeng Adipati"
"Aku jamin, Ki Tumenggung. taruhannya adalah leherku"
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam, tetapi ketika ia memandang tubuh anaknya yang terbaring diam, maka iapun berkata lantang "Sekali lagi aku berjanji untuk membalas kematian anakku atas orang-orang Paranganom. Terutama Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya, meskipun mereka dikagumi dalam perang di dekat Bengawan Rahina, tetapi aku tidak akan gentar menghadapi mereka bersama-sama, tidak hanya seorang-seorang"
Tidak seorangpun yang menyahut, suara Ki Tumenggung Reksadrana itu bagaikan menggetarkan rumah sederhana itu seisinya.
Seperti yang dikatakan, maka setelah pakaian Prakosa yang disesuaikan dengan pakaian para perampok itu diganti, maka Ki Tumenggung Reksadranapun telah membawa tubuhnya yang mulai membeku diatas punggung kudanya. dengan wajah yang muram, Ki Tumenggung Reksadrana membawa anaknya pulang, beberapa orang yang menjumpainya di sepanjang jalan bertanya-tanya, apa yang telah terjadi dengan anak muda itu.
Ki Tumenggung Reksadrana telah menempuh perjalanan panjang, ketika ia memasuki pintu gerbang kota, sementara itu mataharipun telah condong ke barat.
Tubuh Ki Tumenggung menjadi basah kuyup oleh keringatnya, sementara itu kudanyapun nampak sangat letih.
"Apa yang terjadi atas Prakosa Ki Tumenggung?" bertanya seseorang yang sudah mengenalnya.
"Prakosa mengalami kecelakaan ketika ia mencoba kudaku yang baru. Anak ini terlempar dari punggung kuda dan ia terjerumus ke dalam jurang, sementara kudanya lari entah kemana"
"Kasihan anak muda itu, ia adalah anak muda yang mempunyai masa depan penuh harapan"
"Jangan katakan itu kepadaku dan kepada istriku, hatiku akan menjadi semakin tersayat"
"Maaf, Ki Tumenggung"
Namun dalam pada itu, berita tentang kecelakaan yang terjadi atas Prakosa itu telah tersebar, kawan-kawannya yang mendengarpun segera pergi menyusul ke rumah Ki Tumenggung Reksadrana.
Dalam pada itu, ketika Ki Tumenggung Reksadrana membawa anaknya masuk ke dalam rumahnya, Nyi Tumenggung yang melihatnya menjerit tinggi, setelah meletakkan Prakosa, Ki Tumenggung berusaha menenangkannya.
"Kenapa Kakang, kenapa?" teriak Nyi Tumenggung.
"Prakosa mengalami kecelakaan Nyi, apa yang terjadi tidak dapat dihindari, YangMaha Kuasa sudah berkenan memanggilnya"
"Tetapi kenapa begitu cepat, Kakang, ia masih sangat muda, kecelakaan apa yang terjadi atasnya?"
Seperti kepada orang lain, maka Ki Tumenggungpun berkata "Prakosa mencoba kuda yang baru aku beli, Nyi. tetapi agaknya ia belum begitu mengenal tabiat kuda itu, sehingga Prakosa telah terlempar dari punggungnya jatuh ke dalam jurang, sedangkan kudanya lari tanpa entah kemana"
"Anakku" Nyi Tumenggung memeeluk tubuh Prakosa yang sudah dingin dan beku, sejenak masih terdengar tangisnya, namun kemudian Nyi Tumenggung itupun pingsan.
Sejenak kemudian di rumah Ki Tumenggung itupun menjadi ramai, beberapa orang telah berdatangan, beberapa orang perempuan tua telah berusaha menghibur Nyi Tumenggung demikian ia sadar dari pingsannya.
Hari itu juga Prakosa dikuburkan dengan upacara yang seharusnya dilakuka.
Kangjeng Adipati Yudapati juga datang menghadiri upacara pemakaman putera Ki Tumenggung Reksadrana itu.
"Aku ikut sedih atas kematian Prakosa, Ki Tumenggung" berkata Kangjeng
Adipati "Ia adalah anak yang baik, aku mengenalnya sejak Prakosa masih kanakkanak, umurku dan umur Prakosa tidak bertaut banyak"
"Ya, Kangjeng" namun kemudian Ki Tumenggung itupun berbisik "Ia menjadi tumbal bagi gegayuhan Kangjeng Adipati"
Kangjeng Adipati kng, tetapi Kangjeng Adipati itupun kemudian menarik nafas dalam-dalam, dengan nada rendah iapun berkata "Aku sudah mencoba mencegahmu, Ki Tumenggung"
Pembicaraan merekapun terputus, ada beberapa orang yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa atas kematian Prakosa karena kecelakaan itu.
Hari itu di Panjer, anak-anak mudapun telah menjadi sibuk pula, ketika matahari bertengger di punggung bukit, maka segala sesuatunya telah selesai pula.
Mereka harus menguburkan beberapa orang diantara para perampok yang terbunuh, sementara itu merekapun telah mengadakan upacara pemakaman anak muda terbaik dari kademangan Panjer yang telah gugur.
Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya serta para prajurit Paranganommasih tetap bersama Ki Demang dan para Bebahu Panjer untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang kemudian timbul dengan para tawanan, apalagi para tawanan yang terluka.
Di Kateguhan, ketika senja mulai membayang, maka mereka yang mengantar tubuh Prakosa ke pemakaman, telah berangsur-angsur meninggalkan makam, ketika orang yang terakhir beranjak dari gundukan tanah yang merah, orang itu sempat berkata kepada Ki Tumenggung "Sudahlah, Ki Tumenggung, marilah kita pulang, ikhlaskan kepergian Prakosa yang memang sudah saatnya dipanggil oleh Yang Maha
Kuasa, sebentar lagi senja akan turun, kemudian makam ini akan menjadi gelap"
"Sebentar, kakang, silahkan dahulu"
Orang itupun kemudian meninggalkan makam Ki Tumenggung Reksadrana sendiri, bahkan orang-orang terdekat, sanak kadangnyapun telah seluruhnya mendahuluinya.
Ketika makam itu menjadi sepi, maka langitpun menjadi buram, senja yang merah bagaikan memanggang langit.
Dari balik gerumbulan sesosok tubuh bergerak mendekati Ki Tumenggung yang tinggal sendiri.
Ki Tumenggung berpaling ketika ua mendengar desir langkah kaki mendekat.
"Apa kerjamu disini, Ki Sura Branggah?" bertanya Ki Tumenggung.
"Aku juga ingin menyaksikan putera Ki Tumenggung yang harus dimakamkan hari ini, aku juga ingin memberikan penghormatanku yang terakhir"
"Tetapi jika ada yang melihat dan mengenalmu sebagai seorang benggolan perampok, maka kehadiranmu akan mengotori upacara pemakaman yang khidmat ini"
"Bukankah aku tahu diri, Ki Tumenggung"
"Apakah Ki Lurah Patrawangsa juga datang?"
"Tentu tidak, Ki Tumenggung. Ia masih berada di pondok itu"
Ki Tumenggung mengangguk-angguk, lalu katanya "Cari pakaian dan berikkan kepada Ki Lurah"
"Apakah aku harus ke katumenggungan?"
"Kau benar-benar dungu seperti kerbau, kehadiranmu akan memberikan kesan buruk padaku"
"Jadi?" "Pergi ke pondok di belakang pasar itu, aku akan kesana nanti malam sambil membawa pakaian itu"
"Ya, Ki Tumenggung, aku akan menunggu di pondok di belakang pasar"
"Kawanmu itu juga ada disana?"
"Ya, Ki Tumenggung"
"Bukankah ia tidak akan membuka rahasia kepada siapapun juga?"
"Aku jamin kesetiaannya, aku mengenalnya sejak ia masih kanak-kanak, aku selamatkan ayahnya dari kematian, kemudian aku entaskan anak itu dari kelaparan"
"Kenapa kelaparan?"
"Ayahnya seorang penjudi yang tidak sempat merawat keluarganya, ketika ibunya meninggal, maka aku bawa anak itu dan tingal bersamaku, beberapa bulan kemudian ayahnya benar-benar mati ketika ia menyamun iring-iringan yang lewat di bulak panjang yang ternyata dturunya terdapat orang-orang berilmu, aku tidak bersamanya waktu itu, sehingga aku tidak dapat menyelamatkannya lagi"
Ki Tumenggung merenung sejenak, namun tiba-tiba saja ie menggeram "Tetapi aku tetap tidak dapat menerima kenyataan ini, aku akan membalaskan dendam yang terkubur bersama tubuh anakku, tetapi selama aku masih hidup, maka aku akan berusaha untuk membunuh Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya, siapapun yang akan mati terdahulu"
Ki Tumenggung itupun kemudian berjongkok disamping kuburan anaknya, ditepuknya tanah yang merah itu sambil berkata "Aku berjanji Prakosa, aku akan membalas dendammu"
Suara Ki Tumenggung Reksadrana itu bagaikan menggetarkan pohon-pohon kamboja yang tumbuh menebar di makam itu, bunganya yang putih bersih menebarkan bau yang menusuk.
Baru sejenak kemudian, Ki Tumenggung Reksadrana itu bangkit berdiri dan melangkah ke regol makam.
"Jangan mengikuti aku, aku sendiri di makam ini, akupun akan pulang sendiri"
Ki Sura Branggah memang tidak mengikutinya, ia berdiri saja di tempatnya memandang Ki Tumenggung Reksadrana yang melangkah diantara nisan-nisan yang berserakkan, semakin lama semakin kabur ditelan gelap malam yang mulai turun.
Ki Sura Branggah berdiri termangu-mangu, sberaniyalah bahwa iapun mendendam orang-orang yang telah menghancurkan gerombolannya, terutama kepada para prajurit Paranganom yang dipimpin oleh Raden Madyasta.
"Akupun akan membalas sakit hatiku, gerombolanku hancur terkoyak-koyak menjadi debu, bersama Ki Tumenggung Reksadrana, aku akan menghancurkan senapati-senapati muda Paranganom yang sombong itu, mereka mengira bahwa tidak ada orang yang mlk keunggulan ilmu sebagaimana mereka itu"
Ketika bayangan Ki Tumenggung Reksadrana itu hilang dibalik regol makam, maka Ki Sura Branggahpun segera beringsut dari tempatnya, kulitnya mulai merasa gatal-gatal digigit nyamuk yang berterbangan di makam itu"
Malam itu Ki Tumenggung Reksadrana menemui Ki Sura Branggah di sebuah pondok kecil di belakang pasar untuk memberikan pakaian yang harus diberikannya kepada Ki Lurah Patrawangsa.
"Untuk sementara, jangan berbuat sesuatu" berkata Ki Tumenggung Reksadrana "Kita harus berpikir matang, apa yang selanjutnya harus kita lakukan"
"Apakah aku juga tidak diperkenankan mencari makan", isteriku tiga orang, Ki Tumenggung, anakku tujuh belas"
"Berapa anakmu?"
"Tujuh belas" "Tujuh belas apa", tujuh belas tahun?"
"Tujuh belas orang"
"Kau gila Sura Branggah, aku saja seorang tumenggung isterinya Cuma satu, anakku satu, laki-laki, tetapi anak itu telah dibunuh oleh orang-orang Paranganom"
"Isteri Tumenggung memang hanta satu orang itu yang tinggal di Katumenggungan, yang tinggal disana sini?"
"Edan, aku sumbat mulutmu"
Ki Sura Branggah terdiam.
"Awas jika kau langgar perintahku, Ki Sura Branggah. untuk sementara jangan lakukan apa-apa, bukankah pemberianku cukup banyak untuk memberi makan isteriisteri dan anak-anakmu itu", selama ini kau mendapat kesempatan untuk mengambil apa saja yang kau inginkan di Paranganomm, hasil kejahatanmu itu tentu masih cukup banyak"
Ki Sura Branggah mengangguk-angguk kecil, katanya "Aku memang menyimpan beberapa barang yang dapat dijual, tetapi semakin lama akan menjadi semakin menipis juga"
"Ajab aku beri kau uang setiap akhir pekan"
"Terima kasih, Ki Tumenggung"
"Nah, pergilah menemui Ki Lurah Patrawangsa, jangan menyamun di sepanjang jalan meskipun kau berpapasan dengan orang yang membawa sekampil uang emas"
"Ya, Ki Tumenggung"
Malam itu juga Ki Sura Branggah telah pergi ke rumah sederhana di perbatasan untuk memberikan pakaian bagi Ki Lurah Patrawangsa, baju dan kain panjangnyatelah dipinjam oleh Prakosa.
Namun seperti Ki Tumenggung Reksadrana, Ki Sura Branggah tidak berani melakukan kejahatan sampai ia menerima perintah baru.
Ketika Ki Sura Branggah sampai di pondok sederhana yang tersekat oleh kebun kosong dengan rumah sebelahnya, sehingga seolah-olah letaknya menjadi terpencil itu, Ki Lurah Patrawangsa sudah tertidur nyenyak berselimut tikar. Ia hanya mengenakan celananya yang berwarna kelabu sampai ke lutut, tetapi ia tidak mengenakan baju dan kain panjang.
Ki Lurah Patrawangsa terkejut ketika ia mendengar pintunya di ketuk lewat tengah malam, ketika ia bangkit berdiri, diraihnya pedangnya yang terletak di pembaringannya.
"Siapa?" bertanya Ki Lurah Patrawangsa.
"Aku" Ki Lurah Patrawangsa mengenal suara Ki Sura Branggah, karena itu, maka iapun segera mengangkat selarak pintu.
Demikian pintu terbuka dibawah cahaya lampu minyak yang redup, ia melihat Ki Sura Branggah berdiri termangu-mangu di depan pintu.
"Kau berkuda?" "Ya Ki Lurah" "Taruh kudamu di belakang"
"Ini pakaianmu, Ki Lurah" berkata Ki Sura Branggah sambil menyerahkan bungkusan kepada Ki Lurah.
"Kenapa baru sekarang, kenapa tidak sebelum malam, sehingga aku tidak kedinginan"
"Ki Tumenggung baru sibuk mengurus pemakaman anaknya, Ki Tumenggung tidak sempat memberikan pakaian kepadaku"
Ki Sura Branggah membawa kudanya ke belakang, iapun kemudian masuk pula ke rumah itu serta menyelarak pintunya.
Ki Lurah yang sudah mengenakan pakaian itupun bertanya "Apa yang dikatakan oleh Ki Tumenggung tentang anaknya?"
"Seperti yang direncanakan, anak itu terjatuh dari kudanya yang baru"
"Apakah orang-orang mempercayainya?"
"Nampaknya mereka percaya, tetapi entahlah, aku hanya sempat menjumpai Ki Tumenggung sebentar di makam ketika orang-orang yang ikut mengantar jenazah anak muda itu sudah meninggalkan makam, Ki Tumenggung tidak mau ada orang yang melihat bahwa aku telah berhubungan dengan kademangan, jika saja ada orang yang mengenalku, maka persoalannya tentu akan bergeser"
Ki Lurah itupun mengangguk-angguk, katanya "Ya, jika saja ada yang mengenalmu sebagai seorang gegedug brandal yang terkenal, tetapi sayang, bahwa kau justru terkenal pada sisi yang hitam"
"Tetapi aku ditakuti orang, Ki Lurah. Namaku akan menjadi bayangan maut bagi orang-orang yang mencoba menentangku"
"Kau berbangga karenanya?"
"Tentu, sebagai seorang lurah brandal, aku memerlukan kewibawaan, jika namaku tidak ditakuti, maka aku akan direndahkan, terutama oleh kelompokkelompok brandal yang lain. tetapi dengan pengaruh namaku sekarang, aku mampu menghimpun beberapa kelompok brandal sebagaimana dikehendakki oleh Ki Tumenggung Reksadrana"
"Namun yang kemudian dihancirkan oleh prajurit Paranganom"
"Bukankah wajar jika aku tidak mampu melawan Kangjeng Adipati", namaku masih akan tetap ditakuti kelak bila aku muncul lagi dengan sebuah kelompok yang baru, tetapi aku memang memerlukan waktu"
Ki Lurah Patrawangsa tiba-tiba berkata "Aku masih mengantuk, aku akan tidur lagi, kau akan tidur disini sempai esok, atau kau akan kembali ke Kateguhan?"
"Aku tidak tergesa-gesa kembali, aku akan tidur saja disini, esok aku akan pergi ke Kateguhan"
"Aku juga pergi ke Kateguhan, tetapi kita akan pergi sendiri-sendiri"
Ki Sura Branggah tertawa, katanya "Ki Lurah takut terpercik noda pada namaku seperti Ki Tumenggung Reksadrana", tetapi kalian tetapi memerlukan aku untuk mencapai gegayuhan kalian"
"Bukan aku yang punya gegayuhan, tetapi Ki Tumenggung"
"Ki Lurah tentu juga punya pamrih"
"Tentu, apa yang dilakukan oleh seseorang, tentu mengandung pamrih"
Ki Sura Branggah mengangguk-angguk, tetapi ia tidak sempat menjawab, Ki Lurah telah kembali berbaring dan memejamkan matanya.
Ki Sura Branggah termangu-mangu sejenak, namun kemudian iapun membaringkan tubuhnya pula diatas tikar yang dibentangkannya di lantai"
Ki Lurah Patrawangsa itu bersungut-sungut ketika ia mendengar Ki Sura Branggah mendengkur keras sekali sebelum Ki Lurah itu sendiri tertidur.
Malam itu Ki Tumenggung Reksadrana tidak dapat tidur nyenyak, di dini hari ia sempat terlelap beberapa saat, namun kemudian iapun telah terbangun kembali.
Ketika matahari terbit, Ki Tumenggung Reksadrana sudah selesai berbenah diri, satu-satu masih ada sanak kadangnya yang datang untuk menyatakan bela sungkawa atas meninggalnya Prakosa dalam kecelakaan.
Namun ketika matahari naik, Ki Tumenggung Reksadrana telah memberitahukan kepada Nyi Tumenggung bahwa ia akan menhadap Kangjeng Adipati.
"Apakah Kakang sudah harus menghadap" bukankah Kangjeng Adipati tahu, bahwa kita telah kehilangan anak kita?"
"Aku hanya sebentar Nyi, ada persoalan yang penting aku sampaikan, aku akan segera kembali, sementara aku pergi, temui sanak kadang yang datang untuk menyatakan keprihatinan mereka, kita sangat berterima kasih atas perhatian mereka"
"Tetapi aku minta Kakang segera kembali, jika Kakang pergi, maka rasa-rasanya aku sendiri di dunia ini"
Ki Tumenggung memandang isterinya dengan penuh iba, ia mengerti, betapa pedihnya perasaan perempuan itu, anaknya begitu saja meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika ia tahu, apa yang telah terjadi sebenarnyanya, perempuan itu akan dapat membunuh dirinya sendiri" berkata Ki Tumenggung di dalam hatinya.
"Nyi" suara Ki Tumenggung merendah "Aku hanya akan pergi sebentar, aku akan segera kembali, aku tahu, bahwa dalam keadaan yang berat ini, kau memerlukan aku selalu disisimu. Tetapi aku tidak dapat mengkesampingkan tugasku yang penting ini"
Nyi Tumenggung memang tidak menghalanginya, tetapi ketika Nyi Tumenggung melepasnya di tangga pendapa, ia masih berpesan "Jangan terlalu lama Kakang, sanak kadang yang datang akan kecewa jika tidak dapat menemuimu"
Sejenak kemudian, maka kuda kKi Tumenggung itu sudah berlari menuju ke dalem Kadipaten.
"Aku kira Ki Tumenggung tidak datang menghadap hari ini. Di rumah Ki Tumenggung tentu masih ada orang tamu yang datang"
"Ya, Kangjeng, masih saja ada orang yang ikut menyatakan ikut berduka, isteri hamba masih dibayangi oleh kepedihan yang sangat menekan jiwanya"
"Karena itu, sudahlah Ki Tumenggung, sejak semula aku sudah mengatakan, bahwa tidak akan ada gunanya. rencana yang kau sampaikan kpadukuhanu itu itu adalah rencana yang sangat berbahaya"
"Anak hamba telah terlanjur menjadi korban, anak hamba terbunuh oleh orangorang Paranganom. ia mati sebagai seorang perampok yang rendah, untunglah, bahwa hamba masih sempat membersihkan namanya"
"Hentikan permainan yang berbahaya itu, Ki Tumenggung. Jika paman Adipati di Paranganom mengetahuinya, maka namakupun akan senilai sampah yang hanya pantas untuk dibakar"
"Tetapi jika berhasil?"
"Apa yang berhasil"
"Seperti yang hamba sampaikan beberapa waktu yang lalu, Kangjeng Mahapatih di Tegallangkap telah wafat"
Kanjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam, katanya "Ki Tumenggung ingin aku menggantikan kedudukan itu?"
"Ya, Kangjeng, seperti yang sudah hamba katakan, di Tegallangkap hanya ada dua orang Adipati yang dipandang pantas untuk menjadi Mahapatih di Tegalangkap"
"Tentu tidak Ki Tumenggung. ada beberapa orang Adipati yang sudah mempunyai pengalaman jauh lebih banyak dari pengalamanku, sebagaimana paman Kanjeng Adipati Prangkusuma di Paranganom, sementara aku masih belum cukup lama menjabat"
"Tetapi Kangjeng Adipati sudah menunjukkan kelebihan, hamba mendengar dari pimpinan di Tegalangkap, bahwa ada dua orang terkuat, Kangjeng Sultan di Tegalangkap adalah seorang Sultan yang masih muda. yang membuat Kangjeng Sultan di Tegalangkap bimbang adalah manakah yang terbaik, apakah Mahapatih yang akan mendampinginya itu seorang Adipati yang sudah tua dan cukup berpengalaman atau seorang Adipati yang masih muda yang akan dapat mengimbangi gejolak jiwa Kangjeng Sultan yang masih muda itu"
"Aku mengenal Kangjeng Sultan itu dengan baik, Ki Tumenggung, menurut pendapatku, yang paling tepapt mendampingi Kangjeng Sultan yang masih muda itu adalah paman Kanjeng Adipati Prangkusuma"
"Tidak, Kangjeng jangan mengalah, Kangjeng harus berjuang merebut kedudukan itu, itulah sebabnya aku telah membuat rencana untuk mengacaukan tlatah Paranganom. jika Paranganom menjadi kacau, penduduknya menjadi resah, maka pilihan Kangjeng Sultan tentu akan condong kepada Kangjeng Adipati"
"Condong kepadaku?"
"Ya, Kangjeng" "Kau kira aku akan puas berada pada satu jabatan yang direbut dengan curang?"
"Tetapi gegayuhan, Kangjeng, seseorang mempunyai hak untuk nggayuh kemukten"
"Ki Tumenggung menganggap semua cara dapat ditempuh", dengan cara yang curang, licik dan bahkan mengorbankan orang lain?"
"Jangan banyak pertimbangan, Kangjeng, pokoknya di Paranganom telah terjadi kerusuhan, dengan demikian, maka pilihan Kangjeng Sultan untuk menggantikan kedudukan Sang Mahapatih yang wafat dan tidak berputera itu akan jatuh kepada Kangjeng Adipati dari Kateguhan"
"Ki Tumenggung, sudah aku katakan, bahwa aku tidak bermimpi menjabat Mahapatih di Tegalangkap, aku sudah puas dengan kedudukan sekarang, sebagai seorang Adipati, maka aku akan berada lebih dekat dengan rakyatku daripada seorang Mahapatih"
"Tetapi gelar kekuasaan seorang Mahapatih akan meliputi seluruh kerajaan Tegalangkap, bahkan kekuasaan yang sebenarnyanya atas pemerintahan terletak pada tangan Mahapatih"
"Ki Tumenggung, aku tidak mau mempergunakan caramu, aku adalah kemanakan paman Kanjeng Adipati Prangkusuma, akupun sudah merasa puas dengan kedudukan sekarang, aku wajib mensyukuri kurnia-Nya ini. tidak sepatutnya aku justru memfitnah pamanku sendiri"
"Kangjeng, ini adalah satu gegayuhan, Kangjeng tidak boleh berpuas-puas dengan kedudukan Kangjeng sekarang, jika Kangjeng Adipati melepaskan kesempatan ini, maka kesempatan seperti ini tidak akan pernah kembali lagi"
"Biarlah kesempatan itu berlalu, Ki Tumenggung"
"Kangjeng" "Dengar perintahku, Ki Tumenggung, hentikan"
Ki Tumenggung masih akan berbicara, tetapi Kangjeng Adipatipun berkata "Sudahlah, Ki Tumenggung, aku tidak ingin membicarakannya lagi"
Karena itu, maka Ki Tumenggungpun kemudian berkata "Kangjeng, hamba mohon diri, mungkin dalam dua hari ini hamba tidak datang menghadap, baru setelah lewat hati ketiga kematian Prakosa hamba akan menghadap lagi"
"Silahkan, Ki Tumenggung. Aku tahu bahwa kau tentu sangat sibuk lahir dan batinmu di rumah, salam buat Nyi Tumenggung"
"Hamba Kangjeng Adipati"
Ki Tumenggungpun kemudian telah meninggalkan dalem Kadipaten, disepanjang jalan Ki Tumenggung masih saja bersungut.
"Anak dungu, ia tidak mau mendengarkan pendapat orang tua, anak-anak muda sekarang merasa dirinya lebih pintar dari orang-orang tua yang sudah kenyang makan pahit manisnya kehidupan. Aku melihat jalan yang terbuka bagi Kangjeng Adipati. Tetapi agaknya anak itu memang tidak mempunyai gegayuhan, Ia menerima saja apa adanya. Jiwanya sama sekali tidak setegar ayahnya yang mempunyai citacita setinggi langit"
Ki Tumenggung kemudian melarikan kudanya di sepanjang jalan yang ramai.
Kekecewaan Ki Tumenggung masih juga dibawabya sampai kr rumahnya, namun ketika ia melihat beberapa orang yang duduk di pringgitan, maka Ki Tumenggung berusaha untuk mengekang perasaannya. Apalagi ketika ia melihat isterinya itu sedang mengangis dihadapan bibi dan pamannya yang agaknya baru datang.
Ki Tumenggung yang kemudian duduk di sebelah isterinya bertanya dengan nada rendah "Sudah lama paman dan bibi datang?"
"Belum Ki Tumenggung" jawab paman "Aku baru semalam mendengar kecelakaan yang menimpa angger Prakosa"
Bab 11 " Air Mata Rara Menur
"Maaf paman dan bibi, kemarin kami tidak mempunyai kesempatan, semuanya dilakukan dengan tergesa-gesa, kami tidak ingin jasad Prakosa itu harus menginap di rumah ini karena keadaannya, karena itu, kami tidak sempat memberitahukan kepada sanak kadang, apalagi yang agak jauh, yang dekatpun ada pula yang tidak mendengar musibah ini"
"Tabahkan hati kalian, jika saatnya datang, tidak ada yang akan dapat menghalanginya"
"Ya, paman. Aku sudah mencoba untuk mengikhlaskannya, tetapi kadang-kadang masih juga tersembul pertanyaan, kenapa bukan aku saja"
"Kita tidak dapat memilih, Ki Tumenggung"
"Ya, paman, tetapi sebenarnya akulah yang akan mencoba kuda yang baru aku beli itu, tetapi Prakosa berkeras untuk melakukannya, bahwa kuda itu kadang-kadang agak sulit dikuasai"
"Itulah yang disebut pepaten, Ki Tumenggung, kuda tidak dapat menghindarinya"
"Ya, paman" "Dimana kuda itu sekarang?"
"Aku tidak mengurusnya lagi paman, kuda itu berlari entah kemana. Biar saja kuda itu hilang dari pandangan mataku"
"Tetapi bukankah kuda itu harganya tinggi?"
"Aku ingin melupakan apa yang pernah terjadi atas Prakosa"
Pamannya mengangguk-angguk, namun ia tidak bertanya lagi tentang kuda yang hilang itu, yang dikatakan kemudian adalah beberapa nasehat baik bagi Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung, namun nasehat baik itu kadang-kadang justru bagaikan ujung duri yang menusuk jantung Ki Tumenggung Reksadrana yang tahu pasti, kenapa anaknya meninggal.
"Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya harus mati" geramnya di dalam hati.
Hari itu, Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung masih banyak menerima kunjungan dari kerabat dekat dan jauh, sanak kadang yang tidak mendengar kabar meninggalnya Prakosa menyatakan penyesalan mereka. Karena mereka tidak dapat ikut memberikan penghormatan terakhir.
"Segala sesuatunya sudah berlangsung dengan baik" berkata Ki Tumenggung, kami berdoa bagi Prakosa.
"Terima kasih, terima kasih"
keikhlasan sanak kadang yang berdatangan itu dapat sedikit menghibur kepedihan yang mencengkam Nyi Tumenggung, namun kehadiran mereka, apalagi sanak kadang yang membawa anaknya seusia Prakosa, kadang-kadang membuat luka hati Nyi Tumenggung justru semakin pedih, namun setiap kali Nyi Tumenggung mendengar nasehat orang-orang tua yang datang mengunjunginya, hatinya menjadi sedikit tenang.
"Tidak ada seorangpun yang dapat melawan pepaten, Nyi Tumenggung" berkata seorang perempuan tua.
Kata-kata itu pula yang diucapkan oleh banyak orang yang datang mengunjunginya.
Dalam pada itu, selagi Ki Tumenggung Reksadrana berkabung karena kehilangan seorang anak laki-lakinya, di kademangan Panjer, Raden Madyasta Rembana, Sasangka1 dan Wismayapun telah bersiap-siap untuk meninggalkan kademangan itu.
"Biarlah untuk sementara, mungkin sepekan dua pekan, enam orang prajurit Paranganom itu akan tetap berada disini, Ki Demang" berkata Raden Madyasta.
"Terima kasih, Raden. mereka akan melindungi kademangan ini, namun sekaligus meningkatkan kemampuan anak-anak muda yang telah berlatih olah kanuragan, sehingga jika pada suatu saat kami benar-benar ditinggalkan, maka kami dapat melindungi diri kami sendiri"
Raden Madyasta mengangguk-angguk, katanya "Ya, Ki Demang mudah-mudahan kelebihan dari anak-anak muda Panjer dapat dipercikkan ke kademangan-kademangan yang lain. setidak-tidaknya jika terjadi sesuatu, anak-anak muda Panjer dapat membantu mereka."
"Tentu, Raden. kami akan menyampaikan kepada para Demang tanpa memberikan kesan kesombongan.
"Itu sulitnya membina keseimbangan dalam pergaulan ini, Ki Demang. kita benar-benar berniat baik. orang lain akan dapat menganggap, betapa sombongnya kita ini. tetapi jika kita berdiam diri, maka kita dianggap tidak peduli terhadap kehidupan antara sesama"
"Tetapi kami akan mencari jalan yang terbaik, Raden. jika mereka sudah mendengar, bahwa perampok itu telah dihancurkan di kademangan Panjer, maka mereka akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru atas hubungan mereka dengan kademangan Panjer"
"Baiklah, Ki Demang" berkata Raden Madyasta kemudian, "Setelah beberapa hari kami berada di kademangan ii, maka kami, maksudku aku, kakang Rembana, kakang Sasangka, dan kakang Wismaya akan minta diri, besok kami akan kembali ke Paranganom untuk memberi laporan kepada ayahanda, bahwa gerombolan perampok itu telah kita hancurkan, sayang, bahwa pemimpin perampok yang bernama Sura Branggah itu tidak dapat kami tangkap"
"Tetapi bahwa gerombolan itu benar-benar telah lumat, berarti bahwa setidak-tidaknya dalam waktu singkat ini, mereka tidak akan dapat segera bangkit kembali, Sura Branggah memerlukan waktu untuk menyusun kekuatan. Sementara itu, anak-anak muda kademangan ini, bahkan semua laki-laki yang masih memiliki tenaga serta keberanian, sudah siap untuk menghadapi mereka. keberadaan Raden serta para prajurit di kademangan ini, apalagi beberapa orang diantara para prajurit itu akan tinggal, telah membentuk anak muda di kademangan ini menjadi lain"
"Ya, Ki Demang, mudah-mudahan mereka tetap berminat untuk meningkatkan ilmu mereka. sementara itu, aku titipkan beberapa orang gerombolan yang tertangkap dan menyerah itu disini. Para prajurit yang kami tinggalkan akan bertanggung jawab terhadap para tawanan itu. namun tentu saja mereka akan minta bantuan anak-anak muda di kademangan ini untuk ikut menjaga. Jika Sura Branggah masih ingat kepada mereka, mungkin ia akan berusaha mengambilnya. Tetapi dalam waktu dekat ini ia tidak mempunyai kekuatan untuk melakukannya, sementara itu, sekelompok prajurit dari Paranganom akan segera menjemput mereka"
"Baiklah, Raden, kami akan ikut mempertanggung-jawabkan para tawanan itu"
"Terima kasih, Ki Demang" Raden Madyasta mengangguk-angguk, namun kemudian iapun berkata "Ki Demang, besok kami bertiga akan berangkat pagi-pagi selagi matahari belum naik"
Sebenarnya kami ingin menahan untuk beberapa hari lagi, tetapi kami mengerti, bahwa Raden harus segera memberi laporan kepada Kangjeng Adipati di Paranganom"
"Ya, Ki Demang, karena itu, maka kami tidak dapat lebih lama lagi tinggal disini"
"Baiklah, Raden. sekali lagi, kami seisi kademangan ini mengucapkan terima kasih, biarlah aku beritahu para Bebahu agar agar nanti malam mereka datang menemui Raden dan ketiga orang senapati yang menyertai Raden. biarlah nanti malam angger Rembana, Sasangka dan Wismaya berada di rumah ini pula, agar esok pagi pada saatnya berangkat, Raden dan para senapati dapat mempersiapkan diri bersama-sama"
"Terima kasih, Ki Demang" sahut Wismaya pula.
Di hari terakhir Raden Madyasta berada di kademangan Panjer, diperlukannya untuk bertemu dan berbicara dengan Rara Menur,
"Besok aku akan meninggalkan kademangan ini, Menur."
Rara Menur menunduk, suaranya dalam sekali "Raden tidak akan pernah datang lagi ke kademangan Panjer?"
"Tentu aku akan datang lagi, Menur, ada beberapa orang berandal yang masih ditahan disini, enam orang prajurit akan tinggal disini pula"
"Tentu tidak harus Raden yang mengurus mereka, mungkin seorang diantara ketiga orang senapati itu, atau bahkan orang lain sama sekali"
"Aku akan berusaha datang kembali ke kademangan ini, Menur. Bukan hanya sekedar tugasku yang memanggil"
Rara Menur terdiam. Raden Madyastapun termenung sesaat, ia melihat wajah sendu gadis Panjer itu.
Agaknya perkenalan mereka setelah Raden Madyasta berada di Panjer beberapa hari telah menundukkan perasaan yang semula terasa asing di hati kedua insan itu, mereka mulai merasakan, tali yang menjerat batin mereka masing-masing. semakin lama terasa menjadi semakin kuat membelit sehingga keduanya akan merasa sangat sulit untuk mengurainya kembali.
Tetapi Raden Madyasta harus meninggalkan Panjer, ia adalah putera Kangjeng Adipati Prangkusuma yang datang ke Panjer untuk menjalankan tugas ayahandanya. Meredam kegiatan sekelompok brandal yang mempunyai kekuatan yang sangat besar.
"Aku hanyalah seorang perempuan padesan, Raden. aku hanya akan pasrah dalam ketidak berdayaan, apakah Raden masih akan datang lagi atau tidak" desis Rara Menur kemudian.
"Aku berjanji, Menur"
"Jika Raden kemudian tenggelam dalam kehangatan pergaulan gadis-gadis kota, maka aku tidak akan berarti apa-apa lagi bagi Raden"
"Menur" suara Raden Madyasta merendah. "Meskipun aku putera seorang Adipati, tetapi aku terbiasa hidup di sebuah padepokan, aku bergaul diantara para cantrik dan anak-anak muda di padukuhan-padukuhan sekitar padepokanku. Ketika aku tumbuh dewasa, sejak lebih dari empat tahun yang lalu. Aku terpisah dari pergaulan kota"
"Tetapi seorang anak muda, putera Kangjeng Adipati pula, akan dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya"
"Mungkin kau benar, Menur. Aku memang harus segera menyesuaikan diri, terutama yang berhubungan dengan kedudukan serta tugas-tugasku. Tetapi ada nilai-nilai yang lain di jalan kehidupan ini, Menur"
Hening sejenak. Rara Menur itu menundukkan wajahnya.
Madyasta menarik nafas dalam-dalam, ketika, ketika ia berpaling memandang wajah gadis itu, ia melihat jari-jari tangan Menur mengusap titik-titik air yang mengembun di pelupuknya.
Namun kemudian Rara Menur itu mengangkat wajahnya. Senyumnya yang hambar mengembang di bibirnya "Selamat jalan, Raden. aku berharap kita dapat bertemu lagi. Tetapi bukan aku yang menentukan, tetapi Raden. aku hanya dapat berharap, tidak lebih dari itu"
"Menur" desis Raden Madyasta.
"Maaf Raden. aku harus membantu ibu di dapur, kami harus menyiapkan makan siang bagi Raden dan para senapati yang berada disini hari ini. besok mereka akan meninggalkan kademangan ini bersama Raden"
Raden Madyasta tidak sempat menjawab, Rara Menur itupun segera pergi meninggalkannya.
Raden Madyasta itupun termenung-menung sejenak. Ia tahu, bahwa Rara Menur adalah seorang gadis padesan, anak seorang Demang. latar belakang kehidupannya diketahuinya pula, sawah, ladang, lumbung, lesung dan sekali-sekali mencuci pakaian ke sungai kecil yang tidak jauh dari rumah Ki Demang.
Tetapi Rara Menur itu telah menjerat hatinya, hari itu, para senapati yang semula berpencar di rumah beberapa orang di padukuhan induk untuk kepentingan penyelengaraan latihan-latihan yang tertutup, telah berada di kademangan. Esok mereka bersama-sama dengan Raden Madyasta akan meninggalkan kademangan Panjer.
Hari itu, Raden Madyasta dan para senapati yang berada di rumah Ki Demang itupun menerima banyak tamu, ketika para Bebahu dan para sesepuh kademangan mendengar bahwa esok Raden Madyasta akan meninggalkan kademangan itu telah memerlukan menemuinya untuk mengucapkan terima kasih serta selamat jalan.
"Kapan rencana Raden berangkat?"
"Esok pagi-pagi sekali" jawab Madyasta "Selagi matahari belum terbit, kami akan menempuh perjalanan panjang"
"Ya" sahut Ki Demang "Jarak dari panjer ke Paranganom dan Kateguhan tidak terpaut banyak"
"Bukankah kademangan ini dekat sekali dengan perbatasan?" sahut Ki Jagabaya.
"Ya, itulah sebabnya maka kita dapat saja menduga, bahwa sarang para perampok itu justru di Kateguhan. Tidak di Paranganom, meskipun daerah jelajah mereka justru di Paranganom" sahut Rembana.
"Tetapi ini hanya satu dugaan; sahut Raden Madyasta "Kami tidak dapat menuduh bahwa Kateguhan terlibat, karena dapat saja terjadi, bahwa sarang para perampok itu berada di Paranganom, sementara itu, mereka juga merampok di daerah Kateguhan, mungkin kita sajalah yang belum mendengar berita dari seberang perbatasan"
Ki Demang mengangguk-angguk, ia sadar, bahwa Raden Madyasta sebagai putera Kangjeng Adipati memang harus berhati-hati mengucapkan kata-kata, apalagi yang menyangkut kadipaten yang lain.
Tetapi Rembana menyahut, tidak mungkin mereka bersarang di Paranganom, Raden."
"Banyak, kemungkinan dapat terjadi, kakang. Dari mereka yang tertangkap, kita tidak memperoleh keterangan yang cukup. Mereka adalah kelompok-kelompok yang semula berdiri sendiri-sendiri. Tetapi kemudian telah dihimpun oleh Sura Branggah. mereka ada yang berasal dari Paranganom. ada yang berasal dari Kateguhan. Tetapi ada pula yang justru berasal dari jauh. Sedangkan mereka tidak tahu, sarang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, menurut mereka, mereka tidak dapat mengenalinya apakah mereka berada di tlatah Paranganom atau di Kateguhan. Mereka hanya tahu, bahwa mereka berada di satu tempat disekitar perbatasan"
"Kita harus memaksa mereka berbicara"
"Kita sudah mencoba, tetapi mereka benar-benar tidak tahu banyak tentang gerombolan mereka sendiri, sementara itu, cara-cara yang kita gunakan untuk memaksa mereka berbicara kadang-kadang telah melampaui batas kewajaran"
Rembana masih akan menjawab, tetapi Wismaya telah mendahuluinya "Kita sudah cukup berbicara dengan mereka, Raden. aku justru mempercayai mereka tidak tahu apa-apa selain melaksanakan perntah Lurah Brandal itu"
"Ya" Raden Madyasta mengangguk-angguk, "Kita tidak usah mempermasalahkan hal itu lagi. Pada suatu saat para brandal yang tertangkap dan menyerah itu akan dibawa menghadap ayahanda, mungkin ada keterangan yang tertinggal dapat diungkap oleh ayahanda sendiri."
Rembana terdiam meskipun berusaha untuk membawa pembicaraan kembali pada arah semula. Para Bebahu itu datang untuk menemuinya serta para senapati yang esok akan meninggalkan kademangan Panjer.
Ketika Rara Menur bersama seorang pembantunya menyampaikan hidangan bagi para tamu, maka Raden Madyasta melihat tangan gadis itu gemetar, tetapi Raden Madyasta tidak bertanya apapun kepadanya. Apalagi di hadapan banyak orang.
Sampai malam masih saja ada beberapa orang yang datang untuk menemui Raden Madyasta serta ketiga orang senapati yang berada di kademangan Panjer. Pada umumnya mereka menyampaikan terima kasih serta mengucapkan selamat jalan. Beberapa orang kaya telah datang untuk menyampaikan kenang-kenangan kadipaten Raden Madyasta beserta para senapati dan prajurit Paranganom yang telah menyelamatkan kademangan mereka. bahkan ada diantara mereka yang membawa barang-barang berharga.
"Terima kasih" berkata Raden Madyasta kepada mereka "Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tetapi kami minta maaf, bahwa kami tidak dapat membawa ke Paranganom. kami akan menitipkan semuanya itu kepada Ki Demang Panjer. Mungkin barang-barang itu lebih bermanfaat bagi rakyat Panjer sendiri. Kami hanya akan membawa satu saja diantara semua kenang-kenangan itu, yang kemudian akan kami serahkan kepada ayahanda untuk disimpan di kadipaten"
"Raden" berkata Ki Wiratenaya "Kami menyerahkan semuanya ini dengan ikhlas, kami juga sudah berbicara dengan Ki Demang sebelumnya, karena itu, kami mohon Raden dapat menerimanya"
"Kami menerima dengan senang hati, Ki Wiratenaya. tetapi kami titipkan semuanya itu di rumah Ki Demang Panjer, disini benda-benda itu akan selalu memperingatkan bagaimana rakyat kademangan itu telah bekerja sama dengan para prajurit untuk melindungi rakyatnya"
"Tetapi tanpa Raden Madyasta, para senapati dan para prajurit, maka kami tidak akan dapat berbuat apa-apa"
"Ki Wiratenaya dan saudara-saudaraku, bagi kami, pernyataan terima kasih kalian sangat membesarkan hati kami. Tetapi apa yang kami lakukan itu adalah memang tugas dan kewajiban kami. Sementara itu, rakyat Panjer sendiri dengan suka rela mempertaruhkan nyawa mereka. nah jika saudara-saudaraku sependapat, disamping kenang-kenangan yang kalian berikan kepada kami, maka alangkah baiknya jika kalian juga memberikan kenang-kenangan kepada rakyat Panjer sendiri. Ada diantara anak-anak muda kita yang gugur. Mungkin kalian dapat membangun sebuah tugu peringatan di depan banjar. Tetapi mungkin pula untuk mengenang anak muda terbaik yang telah gugur itu kalian membangun sebuah bendungan yang akan dapat mengairi beberapa ratus bahu sawah, atau membangun jembatan ya akan dapat menjadi penghubung antara lingkungan terpencil di kademangan ini dengan lingkungan di sekitarnya ya akan dapat memberikan arti bagi kesejahteraan mereka. jika air sungai menjadi besar karena hujan di lereng pegunungan, arus perdagangan dengan daerah terpencil itu tidak terputus, hasil bumi tidak tertahan dan bahkan membusuk karena tidak sempat dilemparkan ke pasar"
Orang-orang yang terhitung kaya dan berada, para pedagang dan para saudagar mendengarkan pesan Raden Madyasta itu sambil mengangguk-angguk, mereka menyadari, bahwa harta benda mereka tidak akan terlindungi, jika rakyat yang sehari-hari hidup dalam tataran kesejahteraan jauh berada di bawah kesejahteraan mereka tidak berbuat apa-apa.
Demikianlah, ketika malam menjadi semakin lama larut, maka Ki Demang telah menyarankan Raden Madyasta serta ketiga senapati dari Paranganom itu untuk beristirahat.
Yang sulit untuk dapat tidur adalah Raden Madyasta, bukan lagi karena kegagalannya menangkap pemimpin perampok yang bernama Sura Branggah itu, tetapi Raden Madyasta tidak segera dapat menyingkirkan wajah Rara Menur dari kepalanya.
"Ia hanya seorang gadis padesan" berkata Raden Madyasta.
Sekian lama Raden Madyasta gelisah, akhirnya ia dapat tertidur juga.
Pagi-pagi sekali, seperti yang direncanakan, Raden Madyasta serta ketiga orang senapati Paranganom itu sudah bersiap, Ki Demang dan keluarganya melepas mereka sampai ke regol halaman. Rara Menur berdiri disamping ibundanya, ia mencoba tersenyum, tetapi senyumnya nampak masam.
"Aku masih akan datang kembali, Ki Demang" berkata Raden Madyasta tiba-tiba saja.
"Kami sangat mengharapkan Raden" sahut Ki Demang.
"Aku masih harus menyelesaikan persoalan tawanan itu sampai tuntas"
"Ya, Raden" Tetapi diluar sadarnya, Raden Madyasta itu berpaling kepada Rara Menur yang sedang memandangnya, namun wajah gadis itupun segera menunduk dalam-dalam.
Sejenak kemudian, maka Raden Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya telah minta diri sekali lagi sebelum kuda-kuda mereka berlari meninggalkan regol halaman rumah Ki Demang Panjer.
Ketika keempat orang berkuda itu keluar dari gerbang padukuhan induk kademangan Panjer, butiran-butiran embun masih nampak melekat di ujung dedaunan seperti butir-butir mutiara yang bergayut di telinga seorang gadis.
Rerumputan masih basah, sementara langit yang cerah mulai membayangkan cahaya fajar yang merah.
Burung-burung liar terdengar bersiul bersahutan menyambut terbitnya matahari.
"Segarnya udara di padesan" gumam Raden Madyasta.
"Ya, Raden" sahut Wismaya.
Raden Madyasta benar-benar menikmati udara pagi, tidak terlalu jauh nampak sebagai pegunungan yang rendah membujur sejajar dengan jalan yang dilaluinya, hutan yang lebat nampak tumbuh dilerengnya yang memanjang.
Di belakang pegunungan itu terdapat perbatasan antara kadipaten Paranganom dan kadipaten Kateguhan. Dua kadipaten yang semula diperintah oleh dua orang bersauara, namun kemudian kadipaten Kateguhan sepeninggal Kangjeng Adipati Prawirayuda telah dipimpin oleh puteranya yang kemudian ditetapkan menjadi Adipati yang bergelar Kangjeng Adipati Yudapati.
Keempat orang berkuda yang melarikan kuda mereka semakin cepat, selagi masih pagi, mereka ingin menempuh jarak yang panjang.
Namun ketika mereka melalui sebuah padukuhan maka mereka harus memperlambatkan kuda mereka, pada saat matahari mulai membayang di langit, jalan-jalan di padukuhan mulai menjadi ramai pula, beberapa orang perempuan berjalan beriring pergi ke pasar dengan membawa bakul sayuran, ada yang berisi ubi dan hasil kebun lainnya, ada yang berisi daun pisang ada pula yang berisi pisang yang masih bertandan serta buah-buahan lainnya.
"Di padukuhan itu terdapat sebuah pasar yang cukup ramai" berkata Sasangka.
"Ya, kesibukannya sudah nampak sampai disini" sahut Raden Madyasta.
Raden Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya justru turun dari kuda mereka, mereka menuntun kuda mereka melintas di kerumunan orang-orang yang masih berada di depan pintu gerbang pasar.
Ketika mereka melintas di dekat beberapa orang yang berkerumunan, Sasangka sempat bertanya "Apakah pasar ini demikian ramainya setiap hari?"
"Hari ini hari pasaran, Ki Sanak" jawab orang itu.
"Disetiap hari pasaran, pasar ini tidak dapat memuat kesibukannya seperti hari ini?"
"Di setiap hari pasaran, pasar ini memang ramai sekali, tetapi tidak seperti hari ini. mungkin orang-orang yang berjualan dan berbelanja di pasar ini tidak lagi dihantui oleh orang-orang yang sering melakukan kejahatan"
dinos "Kenapa", apakah penjahatnya sudah tertangkap?"
"Ya" "Apakah penjahatnya hanya satu?"
"Banyak, tetapi gerombolan mereka telah dihancurkan di kademangan Panjer, sehingga orang-orang ini merasa tenang pergi ke pasar, kamipun jarang sekali pergi ke pasar. Tetapi hari ini kami memeerlukan pergi untuk melihat-lihat keadaan setelah gerombolan perampok itu dihancurkan"
"Apakah yang sering terjadi?"
"Mereka menyamun dan bahkan kadang-kadang merampas di tempat ramai"
"Apakah orang-orang yang sering menyamun dan merampas itu termasuk gerombolan yang dihancurkan di kademangan Panjer?"
"Tentu, orang-orang itu sering menyebut-nyebut nama Sura Branggah, sedangkan pemimpin gerombolan di Panjer itu juga bernama Sura Branggah"
Tiba-tiba Rembanapun ikut pula berbicara "Bagaimana ujud Sura Branggah itu menurut bayanganmu?"
Orang itu tidak ada yang berani menjawab, sementara Rembana sambil tertawa berkata "Kalian keliru, ternyata Ki Sura Branggah adalah seorang anak muda yang tampan. Nah kalian harus minta maaf, karena kalian telah menghinanya meskipun baru di dalam bayangan kalian"
Tetapi Wismaya tiba-tiba saja berkata "Marilah, matahari telah naik semakin tinggi"
Meskipun demikian Rembana masih saja berkata "Sudahlah, jangan pikirkan Sura Branggah, Sura Branggah sendiri akan melupakan kalian, demikian kami lepas dari kerumunan orang-orang yang tidak sempat masuk ke dalam pasar ini, kami sedang memburu seorang saudagar emas berlian"
Jantung orang-orang itu menjadi semakin cepat berdetak, sementara Sasangkapun berkata "Sudahlah beritahu aku jika kalian melihat atau bertemu orang-orang kaya yang berkeliaran. Tetapi para prajurit Paranganom itu telah merusak semua rencanaku, mereka tidak terkalahkan, gerombolanku telah dihancur lumatkan menjadi debu"
Rembana tidak berkata apa-apa lagi, namun iapun bergegas sambil menuntun kudanya. di belakangnya Sasangkapun mengikutinya menyusul Wismaya dan Raden Madyasta yang sudah semakin jauh.
Matahari memanjat langit semakin tinggi, sinarnya yang semakin panas terasa menusuk kulit. Selembar awan mengalir tertiup angin dari arah lautan terdorong kearah pegunungan.
Udara yang terbakar oleh panasnya matahari nampal mengeliat seperti uap air yang mendidih, mengambang diatas jalan yang akan mereka lalui.
Rembana yang kepanasan membuka bajunya dibagian dadanya.
Raden Madyasta yang berkuda di paling depanpun sambil bertanya "Bagaimana dengan kuda-kuda kita?"
"Sudah waktunya beristirahat, Raden"Sahut Sasangka.
"Kau tahu kudamu yang sudah waktunya beristirahat?" bertanya Rembana.
"Kuda-kudanya" jawab Sasangka.
Raden Madyasta dan Wismaya hanya tersenyum saja. Namun merekapun menyadari, bahwa setelah lewat tengah hari, maka sebaiknya merekapun berhenti untuk beristirahat, kuda-kuda merekapun nampak letih dan haus.
Karena itu, ketika mereka menjumpai sederet kedai di dekat sebuah pasar yang sudah mulai sepi, merekapun berhenti.
Kepada seorang yang memang bertugas untuk merawat kuda bagi mereka yang masuk dan makan serta minum di kedai itu, Wismaya berpesan "Tolong beri minum dan makan kuda-kuda kami"
Orang itu mengangguk hormat.
Setelah mereka beristirahat secukupnya, maka Raden Madyasta membayar harga makanan serta minuman mereka termasuk perawatan kuda mereka sekaligus minta diri untuk melanjutkan perjalanan.
"Terima kasih, Ki Sanak" berkata pemilik kedai itu sambil menerima uangnya.
Ketika keempat orang itu keluar dari pintu kedai itu, mereka melihat dua orang yang sedang mengamati kuda Raden Madyasta, kuda yang besar dan tegar, memang jarang terdapat kuda sebesar dan setegar kuda Raden Madyasta.
Raden Madyasta membiarkan kedua orang itu mengamati kudanya, ia tidak tergesa-gesa membawa kudanya pergi.
Namun beberapa saat kemudian, telah datang lagi empat orang berkuda, namun kuda-kuda mereka tidak ada yang sebaik kuda Raden Madyasta.
Seorang yang berwajah tampan, berkumis tipis dan bermata tajam, bertanya kepada Raden Madyasta "Apakah ini kudamu anak muda?"
"Ya, Ki Sanak" jawab Raden Madyasta sambil tersenyum.
"Kudamu bagus sekali, apakah kau blantik kuda?"
"Bukan, Ki Sanak. Jawab Raden Madyasta.
"Apakah kerjamu sehingga kau dapat membeli kuda sebagus ini. lebih bagus dari kuda kawan-kawanmu dan bahkan lebih bagus dari kudaku"
"Ayahku seorang petani, Ki Sanak"
"Tentu petani kaya"
"Bukan Ki Sanak, ayahku seorang petani kebanyakan, kuda ini kami miliki bukan karena orang tuaku kaya, tetapi karena kuda ini aku terima sebagai hadiah dari pamanku yang kebetulan juga calon mertuaku"
"Jadi, calon mertuamulah yang kaya?"
"Sebenarnya juga tidak kaya, Ki Sanak. Tetapi pamanku adalah penggemar kuda. Ketiga orang ini adalah calon iparku"
Orang itu memandang Wismaya, Sasangka dan Rembana berganti-ganti, diluar sadarnya iapun bertanya "Mereka bertiga?"
"Wajah mereka tidak mirip yang satu dengan yang lainnya?"
Raden Madyasta termenung-menung sejenak. Semula ia tidak berpikir sedemikian jauhnya, namun agaknya orang yang mengajaknya berbicara itu termasuk orang yang teliti mengamati sesuatu.
Namun Rembanalah yang menjawab "Kami berbeda ibu, Ki Sanak. Kami bertiga mempunyai tiga orang ibu yang berlainan"
Orang yang berwajah tampan itu mengerutkan keningnya, dengan nada dalam iapun berkata "Kalian tahu, aku adalah seorang yang mempunyai pengaruh yang luas di daerah Pasiraman Barat, daerah yang diperintah oleh Ki Panji Wirasentika"
"Pasiraman Barat, bukankah Pasiraman Barat itu termasuk wilayah Paranganom?"
"Ya, aku adalah orang yang dituakan disana, mungkin karena beberapa kelebihan daridaku, tetapi mungkin juga karena aku seorang saudagar yang berkecukupan, itulah sebabnya aku bertanya kepada kalian, apakah kalian blantik kua. Jika kalian blantik kuda, aku ingin membeli kuda ini"
"Maaf, Ki Sanak" berkata Raden Madyasta "Aku tidak menjual kudaku"
"Dimanakah rumah kalian?" bertanya kwb orang yang berwajah tampan itu.
"Kami tinggal di kaduwang"
"Kaduwang, tlatah Kateguhan"
"Ya" Kalian akan pergi kemana?"
"Kami akan pergi ke Paranganom, menengok seorang paman kami yang tinggal di Paranganom"
Orang itu mengangguk, namun tiba-tiba seorang lain yang baru datang kemudian, bertanya "Jadi kau orang Kateguhan?"
"Ya, kenapa?" "Banyak wilayah Paranganom yang telah didatangi perampok, banyak pula jalan-jalan di Paranganom yang menjadi daerah perburuan bagi para penyamun, semuanya itu terjadi di dekat perbatasan dengan kadipaten Kateguhan"
Raden Madyasta termenung-menung sejenak, jika pembicaraan itu berkepanjangan, maka Raden Madyasta terlanjur mengaku orang Kateguhan.
Karena itu, Raden Madyasta tidak ingin terlibat lebih dalam pembicaran yang sulit, maka iapun berkata "Mungkin Ki Sanak. Tetapi daerah perbatasan di tlatah Kateguhanpun banyak terjadi kejahatan pula sebagaimana di Paranganom. mudah-mudahan segera ada kerja sama antara kadipaten Kateguhan dan kadipaten Paranganom untuk mengatasi kejahatan itu. menurut pendengaranku, sudah ada usaha dari kedua belah pihak untuk menjepit daerah yang banyak dibayangi oleh kejahatan itu.
"Kau berlagak seperti seorang Tumenggung di Kateguhan" seorang yang lain menyela "Apa yang kau tahu tentang kejahatan itu?"
"Aku tidak tahu apa-apa, Ki Sanak. Yang aku tahu hanyalah kata orang"
Bab 12 " Jari Besi Orang yang berwajah tampan itu tersenyum, katanya "Sudahlah, sebaiknya kau jual saja kudamu kepadaku, maksudku, kita bertukar kuda, berapa aku harus menambah?"
"Tidak, Ki Sanak. Aku tidak akan menjual atau menukarkan kudaku. Kuda itu adalah kuda pemberian"
"Apalagi kuda itu adalah kuda pemberian"
"Aku harus menghargai pemberiannya"
Tiba-tiba saja seorang yang bertubuh tinggi mendekati Raden Madyasta sambil bertanya "Kau dapat darimana kudamu itu, He". Kuda yang baik tentu dapat dikenali asal usulnya, karena kudamu termasuk kuda yang baik, maka kau tentu mengerti asal usulnya."
"Sudahlah" berkata Raden Madyasta "Biarlah aku melanjutkan perjalanan"
"Nanti dulu" berkata orang yang bertubuh tinggi itu "Kau harus menyebut asal-usul dan keturunan dari kudamu itu, atau kau mengambil kuda itu dari orang lain"
"Aku curi maksudmu?" bertanya Raden Madyasta
"Ya" Tetapi orang yang bertubuh tinggi itu terkejut, sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba saja tubuhnya yang besar itu terdorong surut, dengan wajah merah Rembana berkata "Jangan asal membuka mulutmu Ki Sanak. Siapapun kami, tetapi kami tidak mau dihina. Jika sekali lagi kau menuduh saudaraku mencuri, maka aku akan menampar mulutmu"
Sikap Rembana itu memang mengejutkan, bahkan Raden Madyasta terkejut pula, karena itu, maka dengan serta merta iapun berkata "Sudahlah, marilah kita melanjutkan perjalanan"
Tetapi yang dilakukan oleh Rembana itu merupakan api yang sudah menyulut ujung obor belarak, sulit untuk segera dapat dipadamkan.
Orang yang bertubuh tinggi besar itu sudah menjadi marah pula. dengan geram iapun berkata "Kau telah melakukan satu tindakan yang bodoh, kau orang Kateguhan yang tidak tahu diri, aku akan melumatkan kepalamu. Tidak ada orang yang akan menyalahkan aku, banyak saksi yang akan dapat mkt, bw kau telah mendahului melakukan serangan"
"Tetapi juga banyak saksi yang dapat mkt bw kau sudah menghina kami dengan tuduhan mencuri"
"Aku hanya bertanya"
"Itu pertanyaan gila, karena itu kau harus minta maaf kepada saudaraku"
"Sudahlah, kakang" berkata Raden Madyasta. "Marilah kita meneruskan perjalanan, jarak perjalanan kita masih panjang"
"Tetapi aku tidak mau dihina seperti ini"
"Persetan" geram orang bertubuh tinggi besar itu "Aku akan mematahkan tanganmu"
"Jika kau ingin mencoba, aku tidak berkeberatan" suara Rembana bergetar oleh kemarahan yang bergejolak di jantungnya.
Orang yang berwajah tampan, yang ingin membeli kuda Raden Madyasta itu sama sekali tidak menahan kawannya itu, bahkan sambil tersenyum iapun berdesis "Nasibmu buruk orang Kateguhan, kau sudah berani bermain-main dengan Deriji Wesi"
Ternyata nama orang itu membuat hati Rembana semakin panas, dengan nada tinggi iapun bertanya "Deriji Wesi", kau kira nama yang bagaimanapun juga seramnya dapat membuat hatinya kuncup?"
"Bersiaplah" Deriji Wesi itupun menggeram "Aku akan melumatkan kepalamu dengan jari-jariku"
Raden Madyasta menggeleng-gelengkan kepalanya, ia sudah tidak mungkin dapat mencegah benturan kekerasan yang akan timbul.
Sementara itu, orang yang berwajah tampan yang mengaku saudagar kaya raya dari Pasiraman Barat itu berkata "Sentuhan jari-jarinya akan sama dengan sentuhan bindi baja, tulang-tulangmu dapat diremukkannya, kecuali jika kau minta maaf kepadanya. Ia bukan pendendam, tetapi ia juga bukan orang yang dapat membiarkan begitu saja orang-orang yang telah menyinggung perasaannya."
"Cukup" Rembana telah membentaknya "Aku sudah bersiap, kau mau apa?"
"Mereka belum mengenalmu Deriji Wesi" berkata saudagar itu "Tetapi harap kalian mengetahui, bw pasiraman Kulon sama sekali belum pernah dijamah tangan perampok yang manapun juga"
"Itu bukan karena kelebihan dan kemampuan orang ini, tetapi tentu saja karena pengaruh nama Ki Panji Wirasentika"
Saudagar itu tertawa, katanya "Wirasentika itu berada di bawah pengaruhku, aku ingin memperilahkan kalian berempat bersamaku menemui Ki Panji Wirasentika, kalian akan melihat, seberapa besar pengarhku atas dirinya"
Sasangkapun menjadi panas pula, katanya "Kenapa kalian membual di hadapanku", aku tidak peduli dengan pengaruhmu, aku tidak ada sangkut pautnya dengan orang-orang Paranganom serta para perampok itu"
"Sudahlah" meskipun Raden Madyasta menyadari, bw persoalan sudah terlalu jauh, namun ia masih berkata "Jika kalian tidak berkeberatan kami pergi, maka tidak akan ada persilisihan diantara kita"
"Tidak, kalian tidak boleh pergi begitu saja"
"Cukup" potong Rembana "Aku sudah bersiap"
Deriji Wesi itupun bergeser, kawan-kawannya berdiri berkelompok sambil berbicara yang satu dengan yang lain, ada diantara mereka yang tersenyum, ada yang justru menjadi tegang, sementara itu, saudagar yang berwajah tampan meskipun umurnya sudah merambat mendekati pertengahan abad, berkata sambil tertawa, "Buat anak itu jera"
Deriji Wesi itupun segera melangkah semakin dekat dengan Rembana, namun Rembana yang darahnya cepat mendidih itu tiba-tiba saja telah meloncat menyerangnya.
Deriji Wesi itu terkejut, Ia mencoba bergeser untuk menghindar serangan itu, tetapi Deriji Wesi itu tidak mampu lepas dari garis serangan Rembana.
Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan derasnya kaki Rembana telah mengenai pundak orang itu, sehingga Deriji Wesi itupun terhuyung-huyung beberapa langkah surut.
"Bocah edan" geram Deriji Wesi yang hampir saja kehilangan keseimbangannya, namun dengan cepat iapun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, keduanya telah bertempur dengan sengitnya, Deriji Wesi yang ternyata adalah pengawal saudagar itu, memang mempunyai kekuatan yang sangat besar, sesuai dengan nama sebutannya, maka jari-jari orang itu memang sangat berbahaya, sehingga karena itu, maka perhatian Rembana tertuju kepada jari-jari lawannya.
Namun dengan keyakinan yang besar atas kekuatan jari-jarinya itu, maka serangan-serangan Deriji Wesi itu yang paling berbahaya adalah serangan jari-jarinya yang selalu mengembang.
Tetapi dengan demikian, dengan cepat Rembana dapat menemukan kelemahan Deriji Wesi itu, bagian-bagian dari tubuhnya yang lain, sama sekali tidak berbahaya, orang itu kurang memanfaatkan kakinya,lututnya dan bahkan ada orang yang justru dahinya sangat berbahaya.
Karena tu, maka Rembana tinggal berusaha menjinakkan jari-jari tangan orang yang mendapat sebutan Deriji Wesi.
Rembana benar-benar tangkas, jari-jari Deriji Wesi tidak pernah menyentuh tubuhnya, bahkan sekali ketika Deriji Wesi mengayunkan tangannya dengan jari-jari terbuka yang menebas mengarah ke dadanya, Rembana telah membentur serangan itu, dengan kuda tangannya Rembana dengan sengaja menahan serangan itu pada pergelangan tangannya.
Ketika benturan itu terjadi, maka Deriji Wesi itu sempat mengaduh tertahan, namun kemudian sambil menggeliat ia menjulurkan tangannya dengan jari-jari terbuka untuk mencengkeram leher.
Rembana sempat mengelak dengan sedikit merendah dan bergeser kesamping, namun kemudian dengan cepat, Rembana menjulurkan kakinya mengarah ke lambung.
Deriji Wesi itu ternyata tidak sempat mengelak, dengan kerasnya kaki Rembana menghantam lambungnya, sehingga orang itu terpental beberapa langkah.
Deriji Wesi terhuyung-huyung, hampir saja ia terjatuh, tetapi ternyata ia masih mampu untuk tegak berdiri.
Deriji Wesi menggeram, nampak di wajahnya, bw serangan Rembana itu benar-benar menyakitinya, bahkan kemudian nafasnya terasa menjadi agak sesak, tetapi sejenak kemudian iapun sudah berdiri tegak siap untuk melanjutkan pertempuran.
Wajah Rembana menjadi tegang, serangan-serangannya memang dapat mengenai lawannya, tetapi daya tahan orang itu ternyata demikian tingginya, sehingga ia masih mampu bertahan.
Karena itu, maka Rembana yang sempat sedikit mengedepankan gejolak kemarahannya, justru karena ia dapat menemukan kelemahan lawannya, telah menjadi semakin panas. Beberapa kali ia berhasil mengenai lawannya di bagian tubuhnya yang lemah sekalipun, namun orang itu masih saja tetap berdiri sambil memberikan perlawanan dengan gigihnya.
Dalam pada itu, Deriji Wesi itu seakan-akan memang telah kehilangna kesempatan. serangan-serangannya menjadi jarang, bahkan semakin jauh dari sasaran, yang diandalkannya kemudian adalah daya tahan tubuhnya serta kemungkinan lawannya membuat kesalahan, sehingga raksasa itu dapat menangkap aggota badan anak muda itu.
Tetapi Rembana cekatan seperti burung sikatan menyambar bilalang, betapapun Deriji Wesi itu bergerak dengan cepatnya, namun ia tidak mampu menangkap anggota badan Rembana.
Malah pada kesempatan lain, Rembana meloncat sambil memutar tubuhnya dan mengayunkan kakinya dengan derasnya menghantam tubuh Deriji Wesi.
Deriji Wesi terhuyung-huyung selangkah surut, namun demikian ia berdiri tegak kembali, serangan Rembanapun telah meluncur pula dengan cepatnya, sekali lagi Rembana meloncat sambil berputar, sekali lagi kakinya terayun mengenai kening.
Deriji Wesi mencoba bertahan, tetapi Rembana bagaikan anak panah yang meluncur, menyerang orang itu dengan tendangan menyamping kearah dadanya.
Deriji Wesi ternyata tidak mampu bertahan tetap berdiri, iapun terdorong surut beberapa langkah, kemudian tubuhnya jatuh terguling di tanah.
Rembana yang marah itu siap meloncat memburu tubuh yang sudah tidak berdaya lagi, namun Raden Madyasta telah mendahuluinya, meloncat dan berdiri disisinya.
"Cukuo, sudah selesai sampai disini" desis Raden Madyasta
"Kesombongannya harus diakhiri"
"Sudah cukup, ini sudah berakhir" sahut Raden Madyasta
Rembana menggeram, ia ingin meloncat dan mematahkan jari-jari Deriji Wesi itu.
"Aku ingin membuktikan, bw jari-jarinya sama sekali tidak berarti bagiku, meskipun ia disebut Deriji Wesi"
"Sudahlah" berkata Raden Madyasta, lalu katanya kadipaten orang yang mengaku saudagar itu "Bawa kawanmu ini prgi, jangan mencoba menemui kami lagi"
Orang itu memandang Raden Madyasta dengan sorot mata menyala, beberapa orang kawannyapun agaknya menjadi marah, namun mereka memang ragu-ragu untuk bertindak, kawannya yang paling diandalkan itu ternyata tidak mampu melawan salah seorang dari keempat orang anak muda itu.
Karena orang-orang itu masih saja berdiri termenung-menung, maka Sasangkapun kemudian berkata "Apakah kalian ingin melibatkan diri?"
Orang-orang itu terdiam, namun Raden Madyastalah yang berkata selanjutnya "Pergilah selagi aku masih dapat mengendalikan saudara- saudaraku, sebaiknya kita tidak bertemu lagi agar kebencian tidak terungkit di hati kia masing-masing"
Saudagar itupun kemudian memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat itu.
Dua diantara merekapun mendekati Deriji Wesi yang berusaha untuk bangkit itu, kemudian menuntunnya ke kudanya.
"Naiklah" berkata salah seorang kawannya, kemudian membantunya naik ke punggung kuda.
Yang lainpun kemudian telah meloncat naik pula, demikian saudagar itu duduk di punggung kudanya, iapun berkata "Pertemuan ini memberi kesan buruk kepadaku anak-anak muda" berkata orang itu.
"Apakah ini merupakan ancaman?" bertanya Sasangka.
"Mudah-mudahan kalian tidak tidak berniat lewat Pasiraman Barat dalam perjalanan kalian ke Paranganom"
Rembanalah yang menyahut dengan lantangnya "Siapkan orang-orangmu, aku akan pergi ke Paranganom lewat Pasiraman Kulon"
"Suaramu seperti geludug mangsa ketiga, tetapi aku yakin, bw hujan tidak akan turun.
"Bukankah kau sengaja memancing agar kami benar-benar lewat Pasiraman Kulon", kau berusaha menyinggung perasaan kami, agar dengan hati yang panas kami benar-benar lewat Pasiraman Kulon, agaknya kau berhasil Ki Sanak, kami benar-benar merasa tersinggung, kami tidak mau dikatakan menjadi puas, karena pancinganmu berhasil, kau tentu mengira betapa dungunya kami."
Wajah saudagar itu menjadi tegang, tetapi pada sorot matanya nampak betapa kemarahan telah menyala di dadanya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, maka orang itupun memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk bergerak meninggalkan tempat itu.
Raden Madyasta serta ketiga senapati muda itupun memandang mereka sampai menghilang di tikungan.
"Sebaiknya kita mengambil jalan lain, kakang" berkata Raden Madyasta.
"Tidak Raden" jawab Rembana "Kita akan meneruskan perjalanan kita lewat Pasiraman Kulon"
"Agaknya orang-orang itu benar-benar tidak akan membiarkan kita lewat tanpa mengganggu, sementara itu, perjalanan kita masih cukup jauh, jika kita harus berhenti lagi di Pasiraman Kulon, maka kita akan kemalaman di jalan"
"Kita dapat bermalam dimana saja, Raden"
"Apakah kita merasa perlu melayani orang-orang itu?"
"Raden, ada dua alasan, kenapa aku mengusulkan meneruskan perjalanan lewat Pasiraman Kulon, sebenarnya bukan semata-mata karena kita tersinggung oleh ancamannya, tetapi kita akan dapat mengetahui apakah benar Ki Panji Wirasentika berada di bawah pengaruh orang itu, jika benar, maka Ki Panji Wirasentika sudah tidak lagi menjalankan tugasnya dengan baik, bukankah hal seperti itu harus diketahui oleh Kangjeng Adipati di Paranganom"
Raden Madyasta itupun mengangguk-angguk, katanya "Ya, kau benar kakang, dalam kedudukannya, Ki Panji Wirasentika tidak boleh berada di bawah pengaruh siapapun juga, ia harus berdiri tegak pada kedudukannya itu, jika ia sudah berada di bawah pengaruh seseorang, maka jalan pemerintahannyapun akan menjadi timpang"
"Karena itu, bukankah sebaiknya kita meneruskan perjalanan lewat Pasiraman Kulon?"
Raden Madyasta mengangguk-angguk, katanya "Ya, kita akan meneruskan perjalanan lewat Pasiraman Kulon"
Sejenak kemudian, maka Raden Madyasta dan ketiga senapati muda itupun sudah bersiap, tetapi mereka masih sempat minta diri kepada pemilik kedai yang masih saja gemetar itu.
"Maaf Ki Sanak" berkata Raden Madyasta "Kami sudah membuat keributan disini, tetapi itu bukan maksud kami. Kami sudah mencoba mengelak, tetapi kami tidak mempunyai pilihan"
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk sambil menjawab "Ya, Ki Sanak. Agaknya memang bukan salah kalian"
"Terima kasih atas pengertian Ki Sanak" desis Raden Madyasta kemudian.
Demikianlah, Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda itupun segera meninggalkan kedai itu, mereka benar-benar sengaja menempuh perjalanan lewat Pasiraman Kulon meskipun mereka tahu, bw saudagar tadi itu akan dapat mengganggu perjalanan mereka.
Dalam pada itu, saudagar itu telah memacu kudanya diikuti oleh orang-orangnya, mereka ingin segera sampai di Pasiraman Kulon untuk mempersiapkan penyambutan yang meriah terhadap keempat orang yang mengaku orang Kateguhan itu.
"Mereka harus ditangkap, kita akan minta Ki Panji Wirasentika untuk menangkap mereka, mereka dapat saja dicurigai menjadi perintis jalan bagi para perampok yang sering menimbulkan kerusuhan di Paranganom.
"Apakah kita dapat membuktikannya?"
"Biarlah mereka membuktikan bw mereka bukan petugas sandi dari para perampok. Biarlah mereka menyebutkan siapa mereka sebenarnyanya. Jika mereka akan menengok pamannya di Paranganom, siapa pula nama pamannya dan di padukuhan mana pamannya itu tinggal. Dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka, maka akan segera dapat diketahui apakah mereka berkata sebenarnya.
"Jika mereka berkata sebenarnya?"
"Tuduhannya adalah, mereka telah menyerang kita, jika perlu biarlah Ki Panji Wirasentika memanggil pemilik kedai itu serta orang-orang yang dapat menjadi saksi, bw mereka telah menyerang kita, pemilik kedai itu tentu akan mengiakannya, apalagi di depan Ki Panji Wirasentika"
Apakah Ki Panji Wirasentika bersedia melakukannya?"
"Kau tahu pengaruhku atas Ki Panji Wirasentika?"
"Ya. Aku tahu" Apakah kira-kira Ki Panji Wirasentika akan menolak?"
Orang itu menggeleng, katanya "Tidak"
"Nah, orang-orang itu tidak akan luput dari hukuman, aku tentu dapat mengusulkan hukuman yang pantas bagi mereka"
Demikianlah orang-orang berkuda itu memacu kuda mereka dengan kecepatan tinggi, mereka tidak ingin disusul oleh keempat anak muda yang akan mereka jerumuskan ke dalam tangan Ki Panji Wirasentika.
Ketika mereka memasuki lingkungan Pasiraman Kulon, maka merekapun langsung menuju kr rumah Ki Panji Wirasentika.
Dalam pada itu, saudagar tampan itu langsung dapat diterima oleh Ki Panji Wirasentika di pringgitan rumahnya.
"Silahkan duduk Ki Saudagar Kertaderma. Biarlah aku berbenah diri sebentar, aku baru memandikan ayam jago yang Ki Saudagar berikan itu"
"Ki Panji, aku tergesa-gesa"
"Ada apa?" "Ada yang penting, aku ingin Ki Panji menangkap empat orang anak muda dari Kateguhan yang sebentar lagi akan lewat jalan ini"
"Kenapa?" "Aku curiga, bw mereka adalah orang-orang yang di kirim oleh gerombolan perampok yang sedang berkeliaran di perbatasan untuk melihat-lihat keadaan lingkungan itu dan bahkan tempat kedudukan Kangjeng Adipati di Paranganom"
"Apakah mereka akan lewat jalan di rumah ini?"
"Ya, aku sudah bertemu dengan mereka, mereka justru telah menyerang kami, menurut kata mereka. mereka berempat akan pergi ke Paranganom."
"Maksud Ki Saudagar, mereka akan pergi ke pusat pemerintahan Paranganom?"
"Nanti kita akan tahu, tetapi aku minta Ki Panji Wirasentika menghentikan mereka dan menahannya. Nanti kita akan berbicara dengan mereka lebih mendalam"
"Tetapi apkan dasarnya aku menangkap mereka?"
"Sudahlah Ki Panji, aku minta Ki Panji menangkap mereka lebih dahulu, nanti kita akan berbicara dengan mereka"
"Baiklah, aku akan memerintahkan para pengawal menghentikan mereka dan membawanya kemari"
"Sudah ada empat orangku di depan regol halaman rumah ini"
Ki Panji Wirasentikapun segera memanggil pemimpin pengawal yang sedang bertugas di rumahnya, iapun segera memerintahkan untuk menghentikan empat orang anak muda dari Kateguhan.
"Bawa mereka ke pringgitan. Aku akan berbicara dengan mereka, di depan regol sudah ada empat orang pengawal Ki Saudagar Kertaderma, tetapi mereka bukan petugas yang dapat memaksa keempat orang itu berhenti"
"Baik, Ki Panji"
"Bawa kawan-kawanmu, mungkin orang itu akan menolak perintahmu dan akan melawan"
Dalam waktu yang singkat, enam orang pengawal Ki Panji Wirasentika telah berada di jalan di depan rumahnya. Mereka membawa pedang yang telanjang, seorang diantara mereka membawa tombak pendek dengan sebuah kelebet kecil yang diikat pada landeannya, sebagai pertanda, bw mereka adalah petugas yang sedang menjalankan tugas mereka, sementara itu empat orang pengawal Ki Saudagar masih juga berada di depan regol dan bahkan bergabung dengan para pengawal Ki Panji Wirasentika.
Sejenak kemudian, maka seorang dari keempat pengawal Ki Saudagar itupun berkata "Itulah mereka, mereka benar-benar lewat jalan ini"
"Sombongnya mereka" geram yang lain.
Pemimpin pengawal yang membawa tombak pendek dengan kelebet kecil itupun bertanya "Apakah orang-orang berkuda itu yang kalian maksud?"
"Ya" jawab salah seorang pengawal Ki Saudagar.
Pemimpin pengawal itupun segera berdiri di tengah jalan sambil mengangkat tombaknya.
Akhir Jilid 3 Jilid 04 Sebenarnyalah yang berkuda menuju kearah mereka itu adalah Raden Madyasta bersama ketiga senapati muda yang menyertainya.
"Kau lihat kelebet kecil itu, kakang" bertanya Raden Madyasta kepada Wismaya yang berkuda di sebelahnya.
"Ya, Raden" "Itu adalah pertanda bw mereka adalah para petugas yang sedang menjalankan tugas mereka"
"Ya" Raden"
"Kita harus berhenti"
"Ya" Sementara itu, Rembana justru menyahut "Kita memang akan berhenti Raden, tanpa pertanda itupun kita akan berhenti"
Raden Madyasta menarik nafas dalam-dalam.
Beberapa saat kemudian, keempat orang berkuda itu telah menjadi semakin dekat dengan regol halaman rumah Ki Panji Wirasentika, karena itu, maka Raden Madyasta yang berkuda di paling depan telah memberikan isyarat agar mereka berhenti.
Pemimpin pengawal yang membawa tombak pendek dengan kelebet kecil di landeannya itupun melangkah maju sambil bertanya "Apakah kalian anak-anak muda dari Kateguhan?"
Raden Madyasta meloncat turun dari kudanya, demikian pula ketiga senapati muda itu. sehingga dengan demikian, akan timbul kesan pada para pengawal Ki Panji Wirasentika bw keempat orang itu mengenal dan telah mengetrap unggah-ungguh. Mereka menghormati para petugas yang sedang menjalankan tugasnya.
Karena itu, maka pemimpin pengawal itu, diluar sadarnya telah mengangguk hormat pula.
"Ya, Ki Sanak" jawab Raden Madyasta ;kami datang dari Kateguhan"
"Maaf, Ki Sanak. Kami minta Ki Sanak singgah di rumah Ki Panji Wirasentika"
"Ada apa?" bertanya Raden Madyasta.
Ki Panji Wirasentika sendiri yang akan mengatakannya kepada Ki Sanak berempat"
"Baiklah" jawab Raden Madyasta "Kami akan singgah, kami tidak akan dapat menolak perintah itu"
Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda itupun kemudian telah menuntun kuda mereka, memasuki regol halaman rumah Ki Panji Wirasentika.
Ki Panji Wirasentika yang telah selesai berbenah diri, telah duduk di pringgitan bersama Ki Saudagar Kertaderma dan seorang pengawalnya.
Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda tidak terkejut melihat kehadiran Ki Saudagar Kertaderma itu.
"Biarlah mereka naik" berkata Ki Panji Wirasentika kepada pengawalnya.
"Silahkan naik, Ki Sanak" berkata pengawal yang membawa tombak pendek itu.
Setelah menambatkan kudanya, maka keempat orang anak muda yang mengaku datang dari Kateguhan itupun naik ke pendapa dan duduk di pringgitan pula menghadap Ki Panji Wirasentika.
"Anak-anak muda" berkata Ki Panji Wirasentika "Apakah kau sudah mengetahui alasannya, kenapa kalian harus singgah di rumahku"
"Sudah Ki Panji" jawab Raden Madyasta.
"Sudah", jadi kau sudah tahu alasannya?"
"Sudah Ki Panji, karena aku melihat orang itu berada disini"
"Orang itu adalah Ki Saudagar Kertaderma, ia seorang yang berpengaruh disini, seorang yang kaya raya dan banyak memberikan sumbangan bagi kesejahteraan rakyat Pasiraman Kulon"
"Sukurlah, kalau begitu"
"Nah, jika Ki Saudagar Kertaderma berada disini, kenapa kau langsung mengetahui alasannya, kenapa kalian dihadapkan kepadaku?"
"Ki Panji" berkata Raden Madyasta, "Ki Saudagar Kertaderma itu tentu sudah bercerita meskipun perlu dikaji kebenarannya, nah justru aku yang ingin tahu, apa yang telah dikatakan oleh Ki Saudagar Kertaderma itu kepada Ki Panji"
Wajah Ki Panji Wirasentika menjadi tegang, sikap anak muda itu menimbulkan kesan tersendiri, anak muda itu nampaknya terlalu percaya diri.
"Benar anak muda" berkata Ki Panji Wirasentika "Ki Saudagar Kertaderma memberitahukan kepadaku, bw kalian telah membuat Ki Saudagar Kertaderma itu curiga, selama ini telah banyak sekali terjadi tindak kejahatan di kadipaten Paranganom, kejahatan yang sebelumnya belum pernah ada"
"Kenapa hal itu terjadi di Paranganom", Ki Saudagar Kertaderma telah menyalahkan orang-orang Kateguhan, bukankah itu tidak adil", justru orang-orang Paranganom sendirilah yang harus bertanya kepada dirinya sendiri, kenapa akhir-akhir ini telah banyak sekali terjadi kejahatan", perampokan, penyamun di bulak-bulak yang sepi, pencurian dan kejahatan-kejahatan yang lain, bukankah itu membuktikan bw Paranganom tidak mampu menjaga ketenangan dan ketentraman hidup rakyatnya", bw para para petugas di Paranganom tidak mampu melindungi kawula yang tidak berdaya"
Darah Pembangkit Mayat 1 Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman Soccer Love 2
membawa anak buahnya untuk bergerak, Ki Sura Branggah telah bergerak ke
padukuhan induk kademangan Panjer.
Sebelum mereka mulai bergerak, Ki Sura Branggahpun telah berpesan kepada
anak buahnya untuk tidak berbuat apa-apa di padukuhan-padukuhan yang akan
mereka lewati. "Kenapa?" bertanya yang bertubuh raksasa
"Jika kita mengganggu padukuhan yang kita lewati, maka akan ada diantara para
penghuninya yang akan memukul kentongan"
"Apa salahnya", orang-orang padukuhan induk tentu sudah mengira bahwa kita
akan datang malam ini"
"Itulah bodohnya kedua orang yang menuruti gejolak perasaannya itu"
"Apakah kita akan menjadi ketakutan jika anak-anak muda itu bersiap-siap
menyongsong kdt kita?"
"Bukan ketakutan, tetapi sudah aku katakan, apakah kita harus membunuh anakanak
muda itu", sementara itu, orang-orang terkaya di Panjer itu sempat
menyembunyikan harta benda mereka"
Tetapi seorang perampok yang lain tertawa "Tidak akan ada yang berani
menyembunyikan harta bendanya, jika kita datang, dimanapun hartanya
disembunyikan, tentu akan mereka tunjukkan dan akan mereka serahkan kepada
kita, jika tidak, ujung pedang akan kita letakkan di lehernya"
Namun seorang perampok yang lain bertanya "Jika mereka pergi mengungsi?"
"Seluruh padukuhan induk akan kita bongkar, jika padukuhan induk itu menjadi
kosong, maka rumah-rumah merekalah yang akan kita bakar"
"Cukup" Ki Sura Branggah "Bagaimanapun juga, kita, kita akan melakukan
pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya, menurut perhitunganku, orang-orang
padukuhan induk itu tidak akan mengungsi, mereka tentu justru akan menyongsong
kehadiran kita, karena mereka memang sudah mempersiapkan diri sebelumnya,
seharusnya kita menghindari kemungkinan itu, kita tidak perlu memberikan isyarat
bahwa kita akan datang atau merangsang penghuni padukuhan yang lain untuk
membunyikan kentongan"
Para perampok itupun terdiam, sementara itu mereka berjalan semakin cepat
melintasi jalan-jalan padukuhan.
Padukuhan-padukuhan di lingkungan kademangan Panjer itu nampak sepi, tidak
ada seorangpun yang nampak diluar rumah, ketika mereka melewati gardu
perondaan, maka tidak seorangpun yang nampak di dalam gardu itu.
Tetapi ketika para perampok itu melihat rumah-rumah di pinggir jalan lewat pintu
regol yang terbuka, maka di dalam rumah itu nampak cahaya lampu minyak yang
menyala. "Mereka bersembunyi di balik dinding rumah mereka" berkata para perampok itu.
"Mereka menjadi ketakutan, nampaknya berita akan kehadiran kita sudah
merambat sampai ke padukuhan-padukuhan"
"Itu pantas mereka sesali" berkata perampok yang sudah lebih tua.
Dengan demikian, maka iring-iringan itupun bergerak semakin lama menjadi
semakin cepat, para perampok itu dihinggapi oleh keinginan untuk segera sampai di
rumah yang akan menjadi sasaran perampokan, mereka ingin segera mengetahui,
apakah harta benda yang tersimpan di rumah itu sudah disembunyikan, atau bahkan
pemilik rumah itu sudah pergi mengungsi sambil membawa semua harta bendanya
yang berharga. Tetapi mereka menduga, bahwa pemilik rumah itu tidak akan pergi, di rumah itu
ada sebuah pedati, beberapa ekor lembu, kambing dan bahkan kuda, tiang-tiang di
pendapa serta gebyok pringgitan yang berukir. Semuanya itu tentu mahal harganya,
mereka tentu tidak akan membiarkan semuanya itu dibakar dan menjadi abu.
Beberapa saat kemudian, iring-iringan itupun telah mendekati padukuhan induk,
para pengawas pada lapis pertama melihat kehadiran mereka, namun mereka sama
sekali tidak mengganggu. Dalam sepinya malam, tiba-tiba saja terdengar suara burung hantu yang
ngelangut, dihanyutkan oleh angin yang bertiup perlahan.
Sementara itu, dalam kegelapan malam, seorang pengawas yang duduk diatas
dahan pohon jambu yang tumbuh di belakang dinding padukuhan induk yang
mendengar suara burung hantu itu, memberi isyarat kepada dua aorang kawannya
yang duduk bersandar batang jambu itu.
Seorang diantara merekapun segera berlari ke banjar memberikan laporan,
bahwa para perampok yang mereka tunggu, benar-benar telah datang.
"Terima kasih" berkata Raden Madyasta "Sekarang semuanya pringgitan ke
tempat yang sudah ditetapkan, yang kita perhitungkan akan menjadi sasaran
pertama adalah Ki Wiratenaya, tetapi kita akan mengawasi mereka melintas di jalan
utama padukuhan induk ini"
Para prajurit dan anak-anak muda yang telah terlatih dibawah bimbingan para
prajurit itupun memencar, sebagian dari mereka berada di balik dinding halaman di
tepi jalan utama, sementara yang lain telah mendahului berada di halaman rumah Ki
Wiratenaya, namun beberapa dari mereka juga mengawasi rumah Ki Semanggi.
Namun dengan isyarat tentu, mereka akan segera berkumpul untuk melawan
para perampok itu, apakah di halaman rumah Ki Wiratenaya atau di halaman rumah
Ki Semanggi atau justru ti tempat yang lain.
Dalam pada itu, selain anak-anak muda yang telah berpencar itu, maka anakanak
muda yang lainpun telah menjaga semua pintu gerbang padukuhan selain pintu
gerbang yang akan dilewati oleh para perampok itu.
Sejenak kemudian, maka para perampok itupun telah memasuki padukuhan
induk kademangan Panjer, namun ternyata di padukuhan induk itupun mereka tidak
menjumpai anak-anak muda yang sebelumnya sudah sempat berlatih di halaman
banjar, di halaman rumah para Bebahu dan para Bekel.
Bab 09 " Ki Tumenggung Reksadrana
"Jangan-jangan seisi padukuhan ini sudah mengungsi?" seorang diantara
merekapun bertanya. "Jika padukuhan induk ini kosong, maka rumah di padukuhan induk ini akan kita
bakar" sahut yang lain.
Ki Sura Branggah sendiri, yang berjalan paling depan, masih belum berkata apaapa, tetapi ia berjalan semakin cepat, agaknya ia langsung pergi ke rumah Ki Wiratenaya.
Ketika mereka melewati sebuah gardu perondaan, maka seperti di padukuhanpadukuhan, gardu perondaan kosong, tidak seorangpun yang meronda malam ini, bahkan oncornyapun tidak menyala sama sekali.
Malam terasa demikian mencengkam, sepi dan tegang.
Para perampok itu menjadi gelisah bukan karena mereka akan mendapat perlawanan, tetapi mereka justru menjadi gelisah karena padukuhan induk itu terasa sepi sekali.
Namun ketika Ki Sura Branggah yang gelisah itu mendorong sebuah pintu regol halaman rumah di pinggir jalan utama itu, ia melihat lampu yang menyala, bahkan kemudian iapun mendengar suara bayi yang menangis.
Ki Sura Branggah menarik nafas dalam-dalam, padukuhan ini tidak kosong, penghuninya masih ada di rumah mereka masing-masing, jika mereka pergi mengungsi, maka tentu tidak akan terdengar suara bayi yang menangis di rumah sebelah.
Karena itu, maka Ki Sura Branggah melangkah semakin cepat. Namun Ki Sura Branggah itu berhenti di luar sebuah regol halaman rumah yang luas, halaman rumah Ki Wiratenaya, seorang saudagar yang kaya.
"Rumah ini adalah sasaran kita" berkata Ki Sura Branggah sambil mendorong pintu regol halaman itu perlahan-lahan, demikian regol itu terbuka, maka Ki Sura Branggah itupun melihat lampu pringgitan yang menyala, bahkan di dalam rumah itupun nampak pula cahaya lampu yang terang.
"Kita tidak kehilangan korban kita malam ini" berkata Ki Sura Branggah.
Iapun kemudian memberi isyarat kepada anak buahnya untuk bergerak masuk.
Para prajurit yang berada di halaman itupun kemudian mempersiakan diri, mereka membiarkan para perampok itu seluruhnya memasuki halaman.
Tetapi agaknya dua orang diantara mereka tetap berada di pintu regol untuk mengamati keadaan, mereka mengawasi jalan yang melintas di depan rumah Ki Wiratenaya.
"Memang sekitar dua puluh sampai tiga puluh orang" desis seorang prajurit ke telinga kawannya.
Kawannya mengangguk-angguk, namun merekapun melihat dua orang diantara para perampok yang berdiri di pintu regol.
Sejenak suasana benar-benar dicengkam oleh ketegangan, bahkan para perampok yang sudah terbiasa melakukan pekerjaan merekapun menjadi tegang pula.
Ternyata kademangan Panjer memang mempunyai kesan yang berbeda dari padukuhan yang lain.
Sejenak kemudian, maka Ki Sura Branggah dan beberapa orang diantara anak buahnya naik ke pendapa, sementara beberapa orang yang lain telah melingkari
rumah itu, berjaga-jaga di pintu butulan dan pintu dapur.
"Jangan ada yang sempat keluar" berkata Ki Sura Branggah.
Dalam pada itu, dibawah bayangan cahaya lampu minyak di pringgitan, Ki Sura Branggah itu mengetuk pintu rumah Ki Wiratenaya yang tertutup rapat.
Namun tidak terdengar jawaban sekali lagi Ki Sura Branggah memeninggalkanetuk lebih keras lagi, tetapi juga tidak terdengar jawaban.
"Ki Wiratenaya, buka pintunya atau aku yang akan membukanya sendiri dengan paksa"
Sepi, rumah itu masih saja tetap membisu.
"Ki Wiratenaya, jika kau tetap saja diam, aku akan menghancurkan pintu rumahmu"
Karena tidak ada jawaban, maka Ki Sura Branggah itupun berkata kepada kawankawannya
"Kita pecahkan saja pintunya"
Beberapa orangpun segera melangkah mendekati Ki Sura Branggah, merekapun segera bersiap untuk mendorong dan memecahkan pintu yang masih saja tertutup rapat.
Namun sebelum mereka bersama-sama mendorong dan memecahkan pintu itu, tiba-tiba saja terdengar seseorang berkata dari dalam kegelapan "Apa yang akan kau lakukan, Ki Sanak?"
Ki Sura Branggah terkejut, iapun segera berpaling, demikian pula kawankawannya yang berada di skatakanya.
"Siapa kau" berkata Ki Sura Branggah
"Aku pimpinan anak-anak muda Panjer"
"Pimpinan anak-anak muda Panjer", sayang sekali anak muda, kau telah terjun ke sarang singa yang lapar, apakah kau belum mengenal aku?"
Jilid 03 "Kau tentu pimpinan sekelompok brandal yang akan merampok rumah Ki
Wiratenaya" "Ya, namaku Ki Sura Branggah, nama yang ditakuti di daerah ini"
"Sayang, bahwa anak-anak muda Panjer tidak merasa takut mendengar nama Ki
Sura Brandal" "Ki Sura Branggah"
"Bukankah lebih tepat jika kau disebut Ki Sura Brandal"
"Persetan kau" "Sura Brandal, kami anak-anak muda Panjer memang sudah menunggumu, kami
sudah siap untuk menangkapmu, sudah hampir sebulan kami berlatih keras dibawah
pimpinan Ki Demang, sekarang adalah waktunya untuk mengetrapkan hasil kerja
keras kami" Seorang perampok yang perutnya buncit tertawa berkepanjangan, katanya "Apa
yang kau dapatkan dengan latihan sebulan itu", ternyata kalian adalah anak-anak
muda yang lebih dungu daru yang aku duga"
"Inilah yang kami dapatkan dari latihan-latihan yang pernah kami lakukan"
terdengar suara yang lain, orang-orang berjalan dari kegelapan sambil mendorong
seseorang pula, katanya kemudian "ini tentu kawanmu pula, seorang lagi telah kami
bunuh di depan regol, dan inilah yang seorang lagi"
Ki Sura Branggah memang sangat terkejut, orang itu adalah orangnya yang
ditugaskan mengawasi keadaan di depan regol, namun ternyata orang itu tidak
berdaya, bahkan seorang dari dua orang yang ditugaskannya itu sudah terbunuh.
Bahkan orang yang membawa seorang perampok mendekati pendapa itu
kemudian mendorongnya sambil berkata lantang "Kau telah membunuh dua orang di
padukuhan yang telah kau rampok sebelumnya, karena itu, maka dua orangmu
harus dibunuh pula" Sebelum Ki Sura Branggah sempat menjawab, maka tiba-tiba saja ujung keris
yang bagaikan menyala kebiru-biruan telah menghunjam lambung perampok yang
malang itu, terdengar teriakan yang menggelepar di malam yang gelap itu.
Orang yang berdiri di depan pendapa telah berteriak pula "Jangan Kakang
Rembana" Tetapi orang yang menusuk dengan keris itu menjawab "Kita tidak dapat
beramah tamah dengan perampok"
Keteganganpun segera mencengkam, perampok yang lambungnya tertusuk keris
itupun terjatuh di tanah, nafasnya yang terakhirpun telah dihembuskannya.
Orang yang berdiri di depan pendapa itu merasa jantungnya berdegup kencang,
sementara itu Rembanapun berkata "Tidak hanya kedua orangmu ini yang akan
mati" Orang yang berdiri di depan pendapa itu akhirnya harus bersikap, karena itu,
maka iapun kemudian berkata "Ki Sura Branggah, baiklah kami berterus terang,
diantara anak-anak muda kademangan Panjer sekarang ini, memang terdapat
beberapa orang prajurit dari Paranganom, karena itu, maka aku minta kau dan
orang-orangmu menyerah, maka kita akan dapat menghindari kematian, dua orang
yang terbunuh itu sudah cukup"
Ki Sura Branggahpun bergetar oleh kemarahan yang menghimpit jantungnya.
"Jadi kau adalah prajurit Paranganom?"
"Ya" Rembanalah yang menjawab "Yang ada diantara anak-anak muda
kademangan Panjer adalah Raden Madyasta sendiri, selain itu disini ada tiga orang
senapati yang namanya dikenal oleh semua orang, tidak hanya di Paranganom,
tetapi juga di Kadipaten Kateguhan. Di Kadipaten Paranganom dan bahkan di seluruh
tlatah Tegal Langkap, senapati yang telah memukul mundur pasukan yang sangat
besar yang datang dari seberang Bengawan Rahina"
Suara Rembana yang lantang itu bagaikan menggelegar di seluruh halaman dan
bahkan menggoyang rumah yang ditinggalkan penghuninya itu.
Tetapi Ki Sura Branggah adalah seorang pimpinan perampok yang mempunyai
pengalaman yang sangat luas, ia seorang yang berilmu tinggi dan sudah kenyang
makan pahit getirnya dunia kelamnya.
Karena itu, maka Ki Sura Branggah itupun menyahut "Persetan dengan
igauanmu, jika kalian benar dapat mengalahkan pasukan yang besar yang datang
dari seberang Bengawa Rahina itu, karena kalian membawa pasukan yang sangat
besar pula, bukan saja dari Paranganom, tetapi juga dari semua Kadipaten yang
berada dibawah naungan kuasa Tegal Langkap.
"Jadi kau mendengar juga berita tentang perang besar yang terjadi itu?"
"Ya" "Kalau demikian, kau tentu pernah mendengar nama-nama Rembana, Sasangka
dan Wismaya" "Aku tidak perduli dengan nama-nama itu, jika kau salah seorang diantara
mereka, maka aku akan menghancurkan namamu itu, bahkan kau akan menjadi
mayat di halaman rumah ini, sebagaimana kedua orang kawanku yang telah kau
bunuh" "Persetan, kita akan membuktikannya"
Ki Sura Branggahpun kemudian telah memberikan isyarat kepada kawankawannya
untuk menyerang orang-orang yang berada di halaman itu.
Namun sejenak kemudian, anak-anak muda kademangan Panjerpun berloncatan
di halaman, ada yang meloncat dari dahan-dahan pohon, ada yang meloncat dari
luar dinding halaman dan ada pula yang berlari-lari memasuki halaman lewat pintu
regol yang telah terbuka.
Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit di
sekitar rumah Ki Wiratenaya yang kosong itu, enam orang prajurit Paranganom, tiga
orang senapati muda yang pilih tanding telah melibatkan diri dalam pertempuran itu.
Ternyata Ki Sura Branggah adalah orang yang benar-benar berilmu tinggi, ia
tidak mau mengikat diri menghadapi seorang lawan, tetapi ia berloncatan diantara
orang-orangnya dengan parang yang besar berputaran mengerikan.
Anak-anak muda kademangan Panjer sempat bergetar jantungnya melihat cara
para perampok itu bertempur, namun para prajurit Paranganom itu berusaha
mengimbangi mereka, para prajurit itupun berloncatan di seluruh medan, apalagi
Raden Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya.
Namun Raden Madyasta menjadi cemas melihat sikap Rembana, ia sama sekali
tidak mengekang diri dalam pertempuran itu, it tidak pernah memberikan
kesempatan kepada lawan-lawannya, kerisnya terayun-ayun sangat mengerikan,
sehingga tanpa ampun, orang yang sempat menghadapinya akan terkapar mati
dengan luka-lukanya yang parah.
Sasangka dan Wismaya serta para prajurit yang lain masih berusaha untuk
mengendalikan diri, mereka tidak harus membunuh lawan yang datang kepada
mereka. Demikianlah, maka pertempuran itu menjadi semakin sengit, dengan dibayangi
oleh kemampuan para prajurit Paranganom, maka anak-anak muda Panjerpun
menjadi semakin berani, seperti pesar yang mereka terima, maka mereka tidak
bertempur seorang melawan seorang, tetapi mereka sudah mempunyai kelompokkelompok
kecil untuk menghadapi setiap perampok yang harus mereka hadapi.
Meskipun para perampok adalah orang-orang yang sudah terbiasa bertualang
diantara ujung-ujung senjata, tetapi menghadapi para prajurit Paranganom dibawah
para senapati pilihan, merekapun mengalami kesulitan.
Tetapi Ki Sura Branggah sendiri adalah orang yang sangat garang, beberapa
orang telah tersentuh tajam parangnya, namun setiap kali Ki Sura Branggah harus
menghadapi kemampuan para prajurit Paranganom.
Namun akhirnya Ki Sura Branggah tidak dapat mengingkari kenyataan yang
dihadapinya, satu persatu orang-orangnya jatuh terkapar di tanah. Disana sini
terdengar erangan kesakitan, desah yang tertahan, serta keluhan-keluhan panjang.
Ketika terdengar di kejauhan suara ayam jantan yang berkokok untuk ketiga kalinya di malam itu, maka pertempuran di rumah Ki Wiratenaya itupun sudah selesai, beberapa orang perampok terluka parah, ada juga diantara mereka yang terbunuh.
Namun ketika Raden Madyasta dan para senapati serta para prajurit berkumpul di depan pendapa dikelilingi oleh anak-anak muda kademangan Panjer, barulah ternyata bahwa pimpinan perampok yang bernama Ki Sura Branggah itu sempat meloloskan diri.
"Setan alasan" geram Rembana "Jika Ki Sura Branggah itu tidak tertangkap, maka kita akan membunuh semua perampok yang tertinggal dan yang menyerah.
"Kita tidak dapat melakukannya, Kakang" sahut Raden Madyasta.
"Sudah aku katakan, kita tidak dapat beramah-tamah dengan mereka, para perampok itu sudah membuat banyak sekali kerugian, bukan saja herta benda yang telah mereka rampok, tetapi mereka telah menimbulkan kegelisahan dan ketakutan, harga dari keresahan itu tidak akan dapat lunas dengan kematian mereka, sebelum Ki Sura Branggah sendiri digantung di alun-alun atau diketemukan mayatnya di pertempuran"
"Bukan wewenang kita untuk menghukum mereka"
"Di medan pertempuran, kita tidak bersalah jika kita membunuh lawan"
"Tetapi pertempuran sudah selesai" desis Raden Madyasta.
"Mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya, Raden, mereka tidak akan dapat menghentikan tingkah laku mereka, seandainya mereka dibawa menghadapi Kangjeng Adipati kemudian diadili dan dijatuhi hukuman, maka setelah mereka lepas dari hukuman, mereka akan mengulangi kejahatan yang pernah lakukan"
"Biarlah segala sesuatunya di putuskan kelak" jawab Raden Madyasta.
Rembana masih akan menjawab, tetapi Sasangkapun berkata "Bukankah yang dikatakan oleh Raden Madyasta itu benar?"
"Kita akan menjadi prajurit yang cengeng"
"Kita terikat pada paugeran, Rembana" berkata Wismaya.
Rembana tidak menjawab lagi, tetapi dari raut wajahnya nampak bahwa jantungnya justru menjadi semakin bergejolak.
Raden Madyastapun kemudian telah memerintahkan kepada anak-anak muda kademangan Panjer untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang telah menjadi korban dan gugur di pertempuran, bahkan bukan hanya kawankawan
mereka yang terluka dan menjadi korban saja yang harus dikumpulkan, tetapi juga para perampok yang terluka dan terbunuh d pertempuran, sedangkan yang menyerah, telah diikat dan dibawa ke banjar.
Menjelang fajar, Ki Demang, para Bebahu, Raden Madyasta dan para senapati masih berbincang di banjar, semuanya menyatakan kekecewaan mereka, bahwa pimpinan brandal yang bernama Ki Sura Branggah itu tidak dapat tertangkap.
"Para berandal itu harus di hukum mati" geram Rembana "Ada tiga orang prajurit Paranganom yang terluka, meskipun tidak terlalu parah, siapa yang melawan, apalagi melukai petugas, ia akan dihukum dengan hukuman yang paling berat, selain itu ada sebelas orang anak muda yang terluka, tiga diantaranya parah dan yang seorang telah gugur"
"Ada berapa orang perampok yang tertangkap?" bertanya Ki Demang.
"Yang menyerah ada enam belas orang Ki Demang. Ki Sura Branggah sendiri entah dengan berapa orang kawannya, berhasil meloloskan diri, yang terluka dan terbunuh"
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam, katanya "Kami mengucapkan terima kasih yang besar sekali, Raden Madyasta. bukankah dengan demikian, gerombolan perampok itu sudah dihancurkan, mereka tidak mempunyai kekuatan lagi untuk dapat melakukan kegiatan mereka dihari-hari mendatang. Setidak-tidaknya untuk waktu yang dekat ini"
Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi kami merasa kecewa, bahwa kami tidak dapat menangkap Ki Sura Branggah, pimpinan perampok itu, Ki Demang. kami sangat memerlukan keterangannya dalam hubungannya dengan gerakannya yang seakan-akan munculdari Kadipaten Kateguhan"
"Ya, Raden, tetapi apaboleh buat, namun yang sudah Raden lakukan bersamapara senapati dan para prajurit sudah merupakan satu keberhasilan, anak-anak muda kademangan Panjer, bukan saja mendapat pengalaman yang sangat berharga malam ini, tetapi mereka bukan lagi anak-anak muda yang gemetaran mendengar suara kentongan dalam irama titir, latihan-latihan yang sudah Raden berikan bersama para senapati dan para prajurit, akan dapat kita kembangkan, sehingga jika pimpinan perampok itu datang lagi dengan membawa dendam, maka anak-anak muda Panjer sudah tidak akan mengecewakan"
"Itulah yang kami harapkan, Ki Demang, mudah-mudahan anak-anak muda di kademangan tidak segera menjadi jemu justru karena mereka merasa sudah memiliki kemampuan yang cukup"
"Aku akan berusaha, Raden, sementara itu, kelak jika Raden akan meninggalkan kademangan ini, Raden dapat memberikan pesan kepada mereka"
Raden Madyasta mengangguk-anggguk sambil berdesis "Ya, Ki Demang"
Dalam pada itu, di tempat yang jauh, di perbatasan antara Kadipaten Paranganom dan Kadipaten Kateguhan, Ki Sura Branggah memapah seorang anak
muda yang terluka parah dibantu seorang anak buahnya.
"Kuatkan, angger. Sebentar lagi kita akan sampai di pondok itu. ayah angger Ki Tumenggung Reksadrana tentu menunggu kita di pondok itu"
Anak muda itu mengerang kesakitan, sementara langit menjadi semakin terang, cahaya fajar sudah membayang di pungung pebukitan di arah timur.
"Aku tidak kuat lagi, paman"
"Jangan berkata begitu, ngger. Kau adalah anak muda yang jarang ada duanya, kau mempunyai daya tahan yang sangat tinggi, kaupun menjadi harapan ayah angger di masa mendatang."
"Tetapi lukaku sangat parah, paman"
"Lihat, di depan kita adalah regol padukuhan, podnok kita terletak dekat pintu gerbang itu, sedikit berbelok ke kiri, di tempat yang kelihatan terpisah dari rumahrumah
yang lain karena halamannya yang luas serta kebun kosong di sebelahnya"
Anak muda itu tidak menjawab, yang terdengar adalah desah desah kesakitan.
Sebelum terang, mereka bertiga telah memasuki regol padukuhan yang masih sepi, merekapun dengan cepat menyelinap memasuki lorong kecil kearah kiri, sejenak kemudian merekapun telah memasuki sebuah halaman rumah sederhana yang terletak di tengah-tengah kebun yang luas serta di sebelahnya terdapat kebun kosong yang cukup luas pula.
Karena pintu rumah sederhana itu masih tertutup, maka Ki Sura Branggahpun mengetuk pintunya perlahan-lahan.
Sekali dua kali tidak terdengar jawaban, sementara itu anak muda yang terluka itu masih saja mengerang kesakitan.
Karena itulah, maka Ki Sura Branggahpun mengetuk lebih keras lagi.
Di dalam rumah itu, Ki Tumenggung Reksadrana dan Ki Lurah Patrawangsa ternyata baru saja terlelap, semalam suntuk mereka bertahan menunggu Ki Sura Branggah itu kembali, tetapi sampai dini hari, mereka masih belum memasuki rumah sederhana yang terletak di perbatasan itu.
Namun justru ketika mereka baru saja terlelap, pintu rumah itu telah diketuk orang.
Ki Tumenggung Reksadrana yang terkejut dengan gagap memanggil Ki Lurah Patrawangsa "Patrawangsa, kau dengar pintu diketuk orang?"
Ki Lurah Patrawangsa segera terbangun pula, sementara itu ketukan pintu itupun menjadi semakin keras.
"Siapa itu?" bertanya Ki Lurah Patrawangsa sambil memutar kerisnya di lambung.
"Aku Ki Lurah" "Sura Branggah?"
"Ya" "Buka pintu itu cepat" bentak Ki Tumenggung yang tidak sabar.
Ki Lurahpun segera meloncat ke pintu sambil memegangi ujung wiron kain panjangnya yang terlepas karena terinjak kakinya sendiri.
Demikian pintu dibuka, maka Ki Sura Branggahpun segera bergerak masuk sambil memapah anak muda yang terluka itu, di belakangnya seorang anak buahnya mengikuti pula.
"Tutup kembali pintu itu, dungu" bentak Ki Lurah Patrawangsa.
Anak buah Ki Sura Branggah itupun kemudian dengan tergesa-gesa menutup pintu yang masih terbuka.
Sementara itu, cahaya fajarpun menjadi semakin terang, ayam-ayampun mulai turun dari kandangnya, seekor induk ayam berkotek memanggil anak-anaknya, ketika ia menemukan seekor cacing tanah yang gemuk.
"Anak itu terluka?" bertanya Ki Tumenggung Reksadrana.
"Ya, Ki Tumenggung"
"Siapa?" Ki Sura Branggah menjadi ragu-ragu.
"Siapa?" bentak Ki Tumenggung Reksadrana.
Ki Sura Branggahpun kemudian membaringkan anak muda yang terluka itu di lantai.
"Prakosa" Ki Tumenggung Reksadrana hampir menjerit "Jadi yang terluka itu anakku?"
Ki Sura Branggah mdk wajahnya, dengan nada dalam iapun berdesis "Ya Ki
Tumenggung" Ki Tumenggung Reksadrana segera meloncat dan berjongkok disisinya.
"Prakosa, jadi kau yang terluka itu, ngger"
"Ayah" desis Prakosa.
"kenapa kau ngger?"
"Lukaku parah, ayah"
"Biarlah Ki Lurah Patrawangsa memanggil tabib terbaik di Kateguhan"
"Tidak ada gunanya lagi, ayah"
"Jangan berkata begitu, Prakosa"
Ki Tumenggung itupun kemudian mengangkat kepala anaknya dan diletakkannya
di pangkuannya. "Aku sudah tidak kuat lagi, ayah. Darahku terlalu banyak yang keluar"
"Siapa yang melukaimu, Prakosa", orang-orang Panjer?"
"Tidak ayah, bukan orang-orang Panjer"
"Jadi siapa?" "Ternyata di Panjer kami bertemu dengan sekelompok prajurit dari Paranganom,
ayah" "Prajurit dari Paranganom?"
"Ya, ayah, para prajurit yang dipimpin langsung oleh Raden Madyasta"
"Madyasta, Raden Madyasta anak Adipati Paranganom?"
"Ya, ayah" "Kau tidak salah lihat, Prakosa, bukankah Madyasta tidak berada di Paranganom?"
"Tidak, ayah. Aku tidak salah lihat. Selain aku memang sudah mengenalnya sejak lama, seorang senapatipun telah menyebut namanya pula, disamping Madyasta, tiga orang senapati muda yang namanya mulai dikenal sejak pertempuran di sebelah Bengawan Rahina, Rembana, Sasangka dan Wismaya"
"Gila orang-orang Paranganom, tetapi jangan cemas Prakosa, kau akan segera sembuh, kau akan segera mendapat kesempatan untuk membalas dendam.
"Ayah, aku tidak mampu lagi bertahan.
"Patrawangsa" teriak Ki Tumenggung.
"Ya, Ki Tumenggung"
"Kenapa kau begitu dungu, cepat pangil tabib terbaik di Kateguhan"
"Dibawa kemari?"
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, lalu katanya "Ya, bawa orang itu kemari"
"Tetapi, apakah tidak ada bahayanya jika tabib itu melihat rumah ini?"
"Aku tidak peduli, yang penting anakku dapat diselamatkan"
Namun terdengar suara Prakosa yang lemah "Tidak usah ayah, tidak akan ada artinya"
"Prakosa" Suara Prakosa menjadi semakin sendat "Ayah"
"Prakosa" Prpakosa memandang ayahnya dengan mata yang semakin sayu, wajahnya menjadi sangat pucat seakan-akan tidak berdarah lagi, sementara itu darah yang mengalir dari lukanya membasahi lantai rumah itu, menggenang di kaki ayahnya.
"Ayah" suara Prakosa hampir tidak terdengar.
"Prakosa, dengar. Aku akan mengundang tabib itu, Prakosa"
Mata Prakosa menjadi semakin redup, sehingga akhirnya mata itupun terpejam.
"Prakosa" Ki Tumenggung berteriak.
Namun Prakosa sudah tidak mendengarnya, nafasnya yang terakhirpun telah meluncur lewat lubang hidungnya.
Ki Tumenggung memeluk anaknya dan meletakkannya di dadanya, dengan suaranya yang bergetar iapun berkata "Prakosa, kenapa kau mendahului ayahmu, ngger. Aku ingin kau menjadi seorang besar, jauh lebih besar dari ayahmu. Aku ingin kau menjadi senapati yang selalu berada dkt dengan Kangjeng Adipati, tetapi kenapa kau justru mendahului aku"
Tetapi Prakosa sama sekali sudah tidak bergerak lagi. Perlahan-lahan Ki Tumenggung meletakkan anak laki-lakinya yang sudah meninggal itu, kemudian iapun bangkit dan bergeser mendekati Ki Sura Branggah, dengan sinar mata yang menyala, Ki Tumenggung mencengkam baju Ki Sura Branggah sambil membentak "Apa kerjamu setan alasan. untuk apa kau pergi ke Panjer", kenapa kau tidak dapat melindungi anakku, sehingga terbunuh di pertempuran melawan prajurit
Paranganom", ada berapa orang prajurit Paranganom yang berada di Panjer", segelar sepapan" Seratus, lima puluh?"
Ki Sura Branggah tidak segera menjawab, mulutnya justru bagaikan terbungkam.
"Kau sudah menjadi tuli, he", atau bisu?"
Ki Sura Branggah masih belum menjawab.
Namun tiba-tiba saja tangan Ki Tumenggung menyambar wajahnya sambil membentak "Berapa, He?"
"Ampun, Ki Tumenggung. Ki Sura Branggah menjadi gagap "Tidak jelas, kami tidak tahu ada berapa orang prajurit Paranganom di Panjer, mereka tidak mengenakan pakaian prajurit, agaknya mereka sengaja menjebak kami, sementara itu, anak-anak muda Panjerpun telah ikut pula bersama-sama mereka. Jumlahnya tidak terhitung, bahkan mereka sudah pandai pula menempatkan diri untuk melawan kami"
Ki Tumenggung mengguncang baju Ki Sura Branggah yang dicengkamnya sambil membentak "Jadi kau tidak dapat mengatasi anak-anak muda Panjer itu, He"
Mulutmu saja yang selalu sesumbar, tetapi apa yang terjadi", anakku telah mati"
Ki Sura Branggah tidak menjawab, Ki Tumenggung yang kehilangan anaknya tentu sulit untuk menahan perasaannya yang bergejolak, karena itu, maka Ki Sura Branggah memilih untuk diam.
Ki Tumenggung itupun kemudian melepaskan baju Ki Sura Branggah, kemudian ia mendekati pengikut Ki Sura Branggah yang membantunya membawa Prakosa pulang ke pondok itu.
Dengan kasar Ki Tumenggung mendorong pundak orang yang duduk di lantai itu dengan kakinya, sehingga orang itu jatuh terlentang.
"Kecoa pengecut, apa kerjamu di Panjer He", Kau biarkan anakku mati?"
Orang itupun tidak menjawab pula, ketika ia perlahan-lahan bangkit dan duduk kembali, maka Ki Tumenggung Reksadranapun berkata "Aku tidak mau menerima keadaan ini, orang-orang Paranganom telah terbutang nyawa, mereka harus membayar dengan nyawa pula, Madyasta, Rembana Sasangka dan Wismaya harus mati"
Suara Ki Tumenggung tergetar seakan-akan telah mengguncang dinding pondok kecil yang dipergunakannya itu.
:Kita akan membawa Prakosa pulang"
"Apa kata orang yang melihat keadaannya di sepanjang jalan?" desis Ki LurahPatrawangsa.
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, dengan nanda berat iapun bertanya "Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?"
"Ki Tumenggung" berkata Ki Lurah Patrawangsa "Jika tubuh angger Prakosa dibawa pulang, akan dapat menimbulkan masalah, bukan saja di perjalanan, tetapi juga di katumenggungan. Seandainya akan diaadakan upacara pemakaman, apa yang dapat kita katakan kepada orang-orang yang datang melayat", kecelakaan atau pembunuhan atau apa", seandainya demikian, masih akan timbul pertanyaan panjang yang tidak berkeputusan, kita akan semakin lama akan menjadi semakin sulit untuk menjawabnya"
Bab 10 " Gegayuhan :Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?"
"Untuk sementara kita kuburkan saja disini, di halaman rumah ini"
"Disini?" "Ya, tetapi kita akan memberinya tetenger yang tidak mudah hilang, bsk pada saatnya, jika kadaan menjadi bertambah baik, kita akan menggalinya kembali dan dimakamkan sebagaimana mestinya"
"Kau gila, Patrawangsa, kau berniat untuk menguburkan anakku, anak Ki Tumenggung Reksadrana seperti mengubur seorang perampok yang mati dikeroyok orang?"
Hampir saja Ki Lurah Patrawangsa mengatakan, bahwa Prakosa memang terbunuh sebagai seorang perampok, tetapi untunglah bahwa ia segera menyadarinya, sehingga kata-katanya itupun ditelanna kembali.
Yang kemudian diucapkan adalah justru sebuah pertanyaan "Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
"Aku akan membawa Prakosa pulang, aku akan mengatakan bahwa ia mengalami kecelakaan ketika Prakosa sedang mencoba seekor kuda yang bary saja aku beli, Prakosa terjerumus jurang sehingga terluka purah"
"Tetapi apakah angger Prakosa pantas mengenakan pakaian seperti itu?"
"Kita akan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang wajar"
"Apakah disini tersedia pakaian yang wajar itu?"
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, namun tiba-tiba saja iapun berkata "Aku memerlukan pakaianmu Ki Lurah"
"Pakaianku, lalu aku?"
"Kau tinggal disini untuk sementara sampai ada orang yang datang untuk mengantar pakaian bagimu"
Ki Lurah bersungut-sungut, ia harus menyerahkan pakaiannya yang akan dipakai oleh Prakosa yang sudah tidak bernyawa lagi, dengan demikian, maka ia tidak akan pernah mendapatkan pakaiannya spengadeg itu kembali.
Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung itupun berpaling kepada Ki Sura Branggah "Apakah ada orang-orangmu yang tertangkap hidup atau menyerah?"
"Mungkin ada, Ki Tumenggung"
"Apa kata mereka tentang Prakosa?"
"Mereka tidak tahu, bahwa anak muda ini adalah anak Ki Tumenggung, yang mereka ketahui anak ini bernama Lorop, kemanakanku, kecoa inipun baru tahu tadi, bahwa Lorop adalah putera Ki Tumenggung"
"Kau tidak berbohong?"
"Tidak Ki Tumenggung"
"Bagaimana dengan rumah ini?"
"Bukankah aku tidak pernah mengajak salah seorang dari pengikutku datang kemari", mereka tidak tahu hubunganku dengan Ki Tumenggung, baru hari inhi kecoa kecil ini mengetahuinya, tetapi ia tidak akan berbicara dengan siapapun, karena jika ia membuka mulutnya itu akan aku koyakkan sampai telinga."
"Kau jamin bahwa rahasiaku tidak akan terbongkar di hadapan para prajurit Paranganom", apalagi di hadapan Raden Madyasta, putera Kangjeng Adipati"
"Aku jamin, Ki Tumenggung. taruhannya adalah leherku"
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam, tetapi ketika ia memandang tubuh anaknya yang terbaring diam, maka iapun berkata lantang "Sekali lagi aku berjanji untuk membalas kematian anakku atas orang-orang Paranganom. Terutama Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya, meskipun mereka dikagumi dalam perang di dekat Bengawan Rahina, tetapi aku tidak akan gentar menghadapi mereka bersama-sama, tidak hanya seorang-seorang"
Tidak seorangpun yang menyahut, suara Ki Tumenggung Reksadrana itu bagaikan menggetarkan rumah sederhana itu seisinya.
Seperti yang dikatakan, maka setelah pakaian Prakosa yang disesuaikan dengan pakaian para perampok itu diganti, maka Ki Tumenggung Reksadranapun telah membawa tubuhnya yang mulai membeku diatas punggung kudanya. dengan wajah yang muram, Ki Tumenggung Reksadrana membawa anaknya pulang, beberapa orang yang menjumpainya di sepanjang jalan bertanya-tanya, apa yang telah terjadi dengan anak muda itu.
Ki Tumenggung Reksadrana telah menempuh perjalanan panjang, ketika ia memasuki pintu gerbang kota, sementara itu mataharipun telah condong ke barat.
Tubuh Ki Tumenggung menjadi basah kuyup oleh keringatnya, sementara itu kudanyapun nampak sangat letih.
"Apa yang terjadi atas Prakosa Ki Tumenggung?" bertanya seseorang yang sudah mengenalnya.
"Prakosa mengalami kecelakaan ketika ia mencoba kudaku yang baru. Anak ini terlempar dari punggung kuda dan ia terjerumus ke dalam jurang, sementara kudanya lari entah kemana"
"Kasihan anak muda itu, ia adalah anak muda yang mempunyai masa depan penuh harapan"
"Jangan katakan itu kepadaku dan kepada istriku, hatiku akan menjadi semakin tersayat"
"Maaf, Ki Tumenggung"
Namun dalam pada itu, berita tentang kecelakaan yang terjadi atas Prakosa itu telah tersebar, kawan-kawannya yang mendengarpun segera pergi menyusul ke rumah Ki Tumenggung Reksadrana.
Dalam pada itu, ketika Ki Tumenggung Reksadrana membawa anaknya masuk ke dalam rumahnya, Nyi Tumenggung yang melihatnya menjerit tinggi, setelah meletakkan Prakosa, Ki Tumenggung berusaha menenangkannya.
"Kenapa Kakang, kenapa?" teriak Nyi Tumenggung.
"Prakosa mengalami kecelakaan Nyi, apa yang terjadi tidak dapat dihindari, YangMaha Kuasa sudah berkenan memanggilnya"
"Tetapi kenapa begitu cepat, Kakang, ia masih sangat muda, kecelakaan apa yang terjadi atasnya?"
Seperti kepada orang lain, maka Ki Tumenggungpun berkata "Prakosa mencoba kuda yang baru aku beli, Nyi. tetapi agaknya ia belum begitu mengenal tabiat kuda itu, sehingga Prakosa telah terlempar dari punggungnya jatuh ke dalam jurang, sedangkan kudanya lari tanpa entah kemana"
"Anakku" Nyi Tumenggung memeeluk tubuh Prakosa yang sudah dingin dan beku, sejenak masih terdengar tangisnya, namun kemudian Nyi Tumenggung itupun pingsan.
Sejenak kemudian di rumah Ki Tumenggung itupun menjadi ramai, beberapa orang telah berdatangan, beberapa orang perempuan tua telah berusaha menghibur Nyi Tumenggung demikian ia sadar dari pingsannya.
Hari itu juga Prakosa dikuburkan dengan upacara yang seharusnya dilakuka.
Kangjeng Adipati Yudapati juga datang menghadiri upacara pemakaman putera Ki Tumenggung Reksadrana itu.
"Aku ikut sedih atas kematian Prakosa, Ki Tumenggung" berkata Kangjeng
Adipati "Ia adalah anak yang baik, aku mengenalnya sejak Prakosa masih kanakkanak, umurku dan umur Prakosa tidak bertaut banyak"
"Ya, Kangjeng" namun kemudian Ki Tumenggung itupun berbisik "Ia menjadi tumbal bagi gegayuhan Kangjeng Adipati"
Kangjeng Adipati kng, tetapi Kangjeng Adipati itupun kemudian menarik nafas dalam-dalam, dengan nada rendah iapun berkata "Aku sudah mencoba mencegahmu, Ki Tumenggung"
Pembicaraan merekapun terputus, ada beberapa orang yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa atas kematian Prakosa karena kecelakaan itu.
Hari itu di Panjer, anak-anak mudapun telah menjadi sibuk pula, ketika matahari bertengger di punggung bukit, maka segala sesuatunya telah selesai pula.
Mereka harus menguburkan beberapa orang diantara para perampok yang terbunuh, sementara itu merekapun telah mengadakan upacara pemakaman anak muda terbaik dari kademangan Panjer yang telah gugur.
Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya serta para prajurit Paranganommasih tetap bersama Ki Demang dan para Bebahu Panjer untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang kemudian timbul dengan para tawanan, apalagi para tawanan yang terluka.
Di Kateguhan, ketika senja mulai membayang, maka mereka yang mengantar tubuh Prakosa ke pemakaman, telah berangsur-angsur meninggalkan makam, ketika orang yang terakhir beranjak dari gundukan tanah yang merah, orang itu sempat berkata kepada Ki Tumenggung "Sudahlah, Ki Tumenggung, marilah kita pulang, ikhlaskan kepergian Prakosa yang memang sudah saatnya dipanggil oleh Yang Maha
Kuasa, sebentar lagi senja akan turun, kemudian makam ini akan menjadi gelap"
"Sebentar, kakang, silahkan dahulu"
Orang itupun kemudian meninggalkan makam Ki Tumenggung Reksadrana sendiri, bahkan orang-orang terdekat, sanak kadangnyapun telah seluruhnya mendahuluinya.
Ketika makam itu menjadi sepi, maka langitpun menjadi buram, senja yang merah bagaikan memanggang langit.
Dari balik gerumbulan sesosok tubuh bergerak mendekati Ki Tumenggung yang tinggal sendiri.
Ki Tumenggung berpaling ketika ua mendengar desir langkah kaki mendekat.
"Apa kerjamu disini, Ki Sura Branggah?" bertanya Ki Tumenggung.
"Aku juga ingin menyaksikan putera Ki Tumenggung yang harus dimakamkan hari ini, aku juga ingin memberikan penghormatanku yang terakhir"
"Tetapi jika ada yang melihat dan mengenalmu sebagai seorang benggolan perampok, maka kehadiranmu akan mengotori upacara pemakaman yang khidmat ini"
"Bukankah aku tahu diri, Ki Tumenggung"
"Apakah Ki Lurah Patrawangsa juga datang?"
"Tentu tidak, Ki Tumenggung. Ia masih berada di pondok itu"
Ki Tumenggung mengangguk-angguk, lalu katanya "Cari pakaian dan berikkan kepada Ki Lurah"
"Apakah aku harus ke katumenggungan?"
"Kau benar-benar dungu seperti kerbau, kehadiranmu akan memberikan kesan buruk padaku"
"Jadi?" "Pergi ke pondok di belakang pasar itu, aku akan kesana nanti malam sambil membawa pakaian itu"
"Ya, Ki Tumenggung, aku akan menunggu di pondok di belakang pasar"
"Kawanmu itu juga ada disana?"
"Ya, Ki Tumenggung"
"Bukankah ia tidak akan membuka rahasia kepada siapapun juga?"
"Aku jamin kesetiaannya, aku mengenalnya sejak ia masih kanak-kanak, aku selamatkan ayahnya dari kematian, kemudian aku entaskan anak itu dari kelaparan"
"Kenapa kelaparan?"
"Ayahnya seorang penjudi yang tidak sempat merawat keluarganya, ketika ibunya meninggal, maka aku bawa anak itu dan tingal bersamaku, beberapa bulan kemudian ayahnya benar-benar mati ketika ia menyamun iring-iringan yang lewat di bulak panjang yang ternyata dturunya terdapat orang-orang berilmu, aku tidak bersamanya waktu itu, sehingga aku tidak dapat menyelamatkannya lagi"
Ki Tumenggung merenung sejenak, namun tiba-tiba saja ie menggeram "Tetapi aku tetap tidak dapat menerima kenyataan ini, aku akan membalaskan dendam yang terkubur bersama tubuh anakku, tetapi selama aku masih hidup, maka aku akan berusaha untuk membunuh Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya, siapapun yang akan mati terdahulu"
Ki Tumenggung itupun kemudian berjongkok disamping kuburan anaknya, ditepuknya tanah yang merah itu sambil berkata "Aku berjanji Prakosa, aku akan membalas dendammu"
Suara Ki Tumenggung Reksadrana itu bagaikan menggetarkan pohon-pohon kamboja yang tumbuh menebar di makam itu, bunganya yang putih bersih menebarkan bau yang menusuk.
Baru sejenak kemudian, Ki Tumenggung Reksadrana itu bangkit berdiri dan melangkah ke regol makam.
"Jangan mengikuti aku, aku sendiri di makam ini, akupun akan pulang sendiri"
Ki Sura Branggah memang tidak mengikutinya, ia berdiri saja di tempatnya memandang Ki Tumenggung Reksadrana yang melangkah diantara nisan-nisan yang berserakkan, semakin lama semakin kabur ditelan gelap malam yang mulai turun.
Ki Sura Branggah berdiri termangu-mangu, sberaniyalah bahwa iapun mendendam orang-orang yang telah menghancurkan gerombolannya, terutama kepada para prajurit Paranganom yang dipimpin oleh Raden Madyasta.
"Akupun akan membalas sakit hatiku, gerombolanku hancur terkoyak-koyak menjadi debu, bersama Ki Tumenggung Reksadrana, aku akan menghancurkan senapati-senapati muda Paranganom yang sombong itu, mereka mengira bahwa tidak ada orang yang mlk keunggulan ilmu sebagaimana mereka itu"
Ketika bayangan Ki Tumenggung Reksadrana itu hilang dibalik regol makam, maka Ki Sura Branggahpun segera beringsut dari tempatnya, kulitnya mulai merasa gatal-gatal digigit nyamuk yang berterbangan di makam itu"
Malam itu Ki Tumenggung Reksadrana menemui Ki Sura Branggah di sebuah pondok kecil di belakang pasar untuk memberikan pakaian yang harus diberikannya kepada Ki Lurah Patrawangsa.
"Untuk sementara, jangan berbuat sesuatu" berkata Ki Tumenggung Reksadrana "Kita harus berpikir matang, apa yang selanjutnya harus kita lakukan"
"Apakah aku juga tidak diperkenankan mencari makan", isteriku tiga orang, Ki Tumenggung, anakku tujuh belas"
"Berapa anakmu?"
"Tujuh belas" "Tujuh belas apa", tujuh belas tahun?"
"Tujuh belas orang"
"Kau gila Sura Branggah, aku saja seorang tumenggung isterinya Cuma satu, anakku satu, laki-laki, tetapi anak itu telah dibunuh oleh orang-orang Paranganom"
"Isteri Tumenggung memang hanta satu orang itu yang tinggal di Katumenggungan, yang tinggal disana sini?"
"Edan, aku sumbat mulutmu"
Ki Sura Branggah terdiam.
"Awas jika kau langgar perintahku, Ki Sura Branggah. untuk sementara jangan lakukan apa-apa, bukankah pemberianku cukup banyak untuk memberi makan isteriisteri dan anak-anakmu itu", selama ini kau mendapat kesempatan untuk mengambil apa saja yang kau inginkan di Paranganomm, hasil kejahatanmu itu tentu masih cukup banyak"
Ki Sura Branggah mengangguk-angguk kecil, katanya "Aku memang menyimpan beberapa barang yang dapat dijual, tetapi semakin lama akan menjadi semakin menipis juga"
"Ajab aku beri kau uang setiap akhir pekan"
"Terima kasih, Ki Tumenggung"
"Nah, pergilah menemui Ki Lurah Patrawangsa, jangan menyamun di sepanjang jalan meskipun kau berpapasan dengan orang yang membawa sekampil uang emas"
"Ya, Ki Tumenggung"
Malam itu juga Ki Sura Branggah telah pergi ke rumah sederhana di perbatasan untuk memberikan pakaian bagi Ki Lurah Patrawangsa, baju dan kain panjangnyatelah dipinjam oleh Prakosa.
Namun seperti Ki Tumenggung Reksadrana, Ki Sura Branggah tidak berani melakukan kejahatan sampai ia menerima perintah baru.
Ketika Ki Sura Branggah sampai di pondok sederhana yang tersekat oleh kebun kosong dengan rumah sebelahnya, sehingga seolah-olah letaknya menjadi terpencil itu, Ki Lurah Patrawangsa sudah tertidur nyenyak berselimut tikar. Ia hanya mengenakan celananya yang berwarna kelabu sampai ke lutut, tetapi ia tidak mengenakan baju dan kain panjang.
Ki Lurah Patrawangsa terkejut ketika ia mendengar pintunya di ketuk lewat tengah malam, ketika ia bangkit berdiri, diraihnya pedangnya yang terletak di pembaringannya.
"Siapa?" bertanya Ki Lurah Patrawangsa.
"Aku" Ki Lurah Patrawangsa mengenal suara Ki Sura Branggah, karena itu, maka iapun segera mengangkat selarak pintu.
Demikian pintu terbuka dibawah cahaya lampu minyak yang redup, ia melihat Ki Sura Branggah berdiri termangu-mangu di depan pintu.
"Kau berkuda?" "Ya Ki Lurah" "Taruh kudamu di belakang"
"Ini pakaianmu, Ki Lurah" berkata Ki Sura Branggah sambil menyerahkan bungkusan kepada Ki Lurah.
"Kenapa baru sekarang, kenapa tidak sebelum malam, sehingga aku tidak kedinginan"
"Ki Tumenggung baru sibuk mengurus pemakaman anaknya, Ki Tumenggung tidak sempat memberikan pakaian kepadaku"
Ki Sura Branggah membawa kudanya ke belakang, iapun kemudian masuk pula ke rumah itu serta menyelarak pintunya.
Ki Lurah yang sudah mengenakan pakaian itupun bertanya "Apa yang dikatakan oleh Ki Tumenggung tentang anaknya?"
"Seperti yang direncanakan, anak itu terjatuh dari kudanya yang baru"
"Apakah orang-orang mempercayainya?"
"Nampaknya mereka percaya, tetapi entahlah, aku hanya sempat menjumpai Ki Tumenggung sebentar di makam ketika orang-orang yang ikut mengantar jenazah anak muda itu sudah meninggalkan makam, Ki Tumenggung tidak mau ada orang yang melihat bahwa aku telah berhubungan dengan kademangan, jika saja ada orang yang mengenalku, maka persoalannya tentu akan bergeser"
Ki Lurah itupun mengangguk-angguk, katanya "Ya, jika saja ada yang mengenalmu sebagai seorang gegedug brandal yang terkenal, tetapi sayang, bahwa kau justru terkenal pada sisi yang hitam"
"Tetapi aku ditakuti orang, Ki Lurah. Namaku akan menjadi bayangan maut bagi orang-orang yang mencoba menentangku"
"Kau berbangga karenanya?"
"Tentu, sebagai seorang lurah brandal, aku memerlukan kewibawaan, jika namaku tidak ditakuti, maka aku akan direndahkan, terutama oleh kelompokkelompok brandal yang lain. tetapi dengan pengaruh namaku sekarang, aku mampu menghimpun beberapa kelompok brandal sebagaimana dikehendakki oleh Ki Tumenggung Reksadrana"
"Namun yang kemudian dihancirkan oleh prajurit Paranganom"
"Bukankah wajar jika aku tidak mampu melawan Kangjeng Adipati", namaku masih akan tetap ditakuti kelak bila aku muncul lagi dengan sebuah kelompok yang baru, tetapi aku memang memerlukan waktu"
Ki Lurah Patrawangsa tiba-tiba berkata "Aku masih mengantuk, aku akan tidur lagi, kau akan tidur disini sempai esok, atau kau akan kembali ke Kateguhan?"
"Aku tidak tergesa-gesa kembali, aku akan tidur saja disini, esok aku akan pergi ke Kateguhan"
"Aku juga pergi ke Kateguhan, tetapi kita akan pergi sendiri-sendiri"
Ki Sura Branggah tertawa, katanya "Ki Lurah takut terpercik noda pada namaku seperti Ki Tumenggung Reksadrana", tetapi kalian tetapi memerlukan aku untuk mencapai gegayuhan kalian"
"Bukan aku yang punya gegayuhan, tetapi Ki Tumenggung"
"Ki Lurah tentu juga punya pamrih"
"Tentu, apa yang dilakukan oleh seseorang, tentu mengandung pamrih"
Ki Sura Branggah mengangguk-angguk, tetapi ia tidak sempat menjawab, Ki Lurah telah kembali berbaring dan memejamkan matanya.
Ki Sura Branggah termangu-mangu sejenak, namun kemudian iapun membaringkan tubuhnya pula diatas tikar yang dibentangkannya di lantai"
Ki Lurah Patrawangsa itu bersungut-sungut ketika ia mendengar Ki Sura Branggah mendengkur keras sekali sebelum Ki Lurah itu sendiri tertidur.
Malam itu Ki Tumenggung Reksadrana tidak dapat tidur nyenyak, di dini hari ia sempat terlelap beberapa saat, namun kemudian iapun telah terbangun kembali.
Ketika matahari terbit, Ki Tumenggung Reksadrana sudah selesai berbenah diri, satu-satu masih ada sanak kadangnya yang datang untuk menyatakan bela sungkawa atas meninggalnya Prakosa dalam kecelakaan.
Namun ketika matahari naik, Ki Tumenggung Reksadrana telah memberitahukan kepada Nyi Tumenggung bahwa ia akan menhadap Kangjeng Adipati.
"Apakah Kakang sudah harus menghadap" bukankah Kangjeng Adipati tahu, bahwa kita telah kehilangan anak kita?"
"Aku hanya sebentar Nyi, ada persoalan yang penting aku sampaikan, aku akan segera kembali, sementara aku pergi, temui sanak kadang yang datang untuk menyatakan keprihatinan mereka, kita sangat berterima kasih atas perhatian mereka"
"Tetapi aku minta Kakang segera kembali, jika Kakang pergi, maka rasa-rasanya aku sendiri di dunia ini"
Ki Tumenggung memandang isterinya dengan penuh iba, ia mengerti, betapa pedihnya perasaan perempuan itu, anaknya begitu saja meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika ia tahu, apa yang telah terjadi sebenarnyanya, perempuan itu akan dapat membunuh dirinya sendiri" berkata Ki Tumenggung di dalam hatinya.
"Nyi" suara Ki Tumenggung merendah "Aku hanya akan pergi sebentar, aku akan segera kembali, aku tahu, bahwa dalam keadaan yang berat ini, kau memerlukan aku selalu disisimu. Tetapi aku tidak dapat mengkesampingkan tugasku yang penting ini"
Nyi Tumenggung memang tidak menghalanginya, tetapi ketika Nyi Tumenggung melepasnya di tangga pendapa, ia masih berpesan "Jangan terlalu lama Kakang, sanak kadang yang datang akan kecewa jika tidak dapat menemuimu"
Sejenak kemudian, maka kuda kKi Tumenggung itu sudah berlari menuju ke dalem Kadipaten.
"Aku kira Ki Tumenggung tidak datang menghadap hari ini. Di rumah Ki Tumenggung tentu masih ada orang tamu yang datang"
"Ya, Kangjeng, masih saja ada orang yang ikut menyatakan ikut berduka, isteri hamba masih dibayangi oleh kepedihan yang sangat menekan jiwanya"
"Karena itu, sudahlah Ki Tumenggung, sejak semula aku sudah mengatakan, bahwa tidak akan ada gunanya. rencana yang kau sampaikan kpadukuhanu itu itu adalah rencana yang sangat berbahaya"
"Anak hamba telah terlanjur menjadi korban, anak hamba terbunuh oleh orangorang Paranganom. ia mati sebagai seorang perampok yang rendah, untunglah, bahwa hamba masih sempat membersihkan namanya"
"Hentikan permainan yang berbahaya itu, Ki Tumenggung. Jika paman Adipati di Paranganom mengetahuinya, maka namakupun akan senilai sampah yang hanya pantas untuk dibakar"
"Tetapi jika berhasil?"
"Apa yang berhasil"
"Seperti yang hamba sampaikan beberapa waktu yang lalu, Kangjeng Mahapatih di Tegallangkap telah wafat"
Kanjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam, katanya "Ki Tumenggung ingin aku menggantikan kedudukan itu?"
"Ya, Kangjeng, seperti yang sudah hamba katakan, di Tegallangkap hanya ada dua orang Adipati yang dipandang pantas untuk menjadi Mahapatih di Tegalangkap"
"Tentu tidak Ki Tumenggung. ada beberapa orang Adipati yang sudah mempunyai pengalaman jauh lebih banyak dari pengalamanku, sebagaimana paman Kanjeng Adipati Prangkusuma di Paranganom, sementara aku masih belum cukup lama menjabat"
"Tetapi Kangjeng Adipati sudah menunjukkan kelebihan, hamba mendengar dari pimpinan di Tegalangkap, bahwa ada dua orang terkuat, Kangjeng Sultan di Tegalangkap adalah seorang Sultan yang masih muda. yang membuat Kangjeng Sultan di Tegalangkap bimbang adalah manakah yang terbaik, apakah Mahapatih yang akan mendampinginya itu seorang Adipati yang sudah tua dan cukup berpengalaman atau seorang Adipati yang masih muda yang akan dapat mengimbangi gejolak jiwa Kangjeng Sultan yang masih muda itu"
"Aku mengenal Kangjeng Sultan itu dengan baik, Ki Tumenggung, menurut pendapatku, yang paling tepapt mendampingi Kangjeng Sultan yang masih muda itu adalah paman Kanjeng Adipati Prangkusuma"
"Tidak, Kangjeng jangan mengalah, Kangjeng harus berjuang merebut kedudukan itu, itulah sebabnya aku telah membuat rencana untuk mengacaukan tlatah Paranganom. jika Paranganom menjadi kacau, penduduknya menjadi resah, maka pilihan Kangjeng Sultan tentu akan condong kepada Kangjeng Adipati"
"Condong kepadaku?"
"Ya, Kangjeng" "Kau kira aku akan puas berada pada satu jabatan yang direbut dengan curang?"
"Tetapi gegayuhan, Kangjeng, seseorang mempunyai hak untuk nggayuh kemukten"
"Ki Tumenggung menganggap semua cara dapat ditempuh", dengan cara yang curang, licik dan bahkan mengorbankan orang lain?"
"Jangan banyak pertimbangan, Kangjeng, pokoknya di Paranganom telah terjadi kerusuhan, dengan demikian, maka pilihan Kangjeng Sultan untuk menggantikan kedudukan Sang Mahapatih yang wafat dan tidak berputera itu akan jatuh kepada Kangjeng Adipati dari Kateguhan"
"Ki Tumenggung, sudah aku katakan, bahwa aku tidak bermimpi menjabat Mahapatih di Tegalangkap, aku sudah puas dengan kedudukan sekarang, sebagai seorang Adipati, maka aku akan berada lebih dekat dengan rakyatku daripada seorang Mahapatih"
"Tetapi gelar kekuasaan seorang Mahapatih akan meliputi seluruh kerajaan Tegalangkap, bahkan kekuasaan yang sebenarnyanya atas pemerintahan terletak pada tangan Mahapatih"
"Ki Tumenggung, aku tidak mau mempergunakan caramu, aku adalah kemanakan paman Kanjeng Adipati Prangkusuma, akupun sudah merasa puas dengan kedudukan sekarang, aku wajib mensyukuri kurnia-Nya ini. tidak sepatutnya aku justru memfitnah pamanku sendiri"
"Kangjeng, ini adalah satu gegayuhan, Kangjeng tidak boleh berpuas-puas dengan kedudukan Kangjeng sekarang, jika Kangjeng Adipati melepaskan kesempatan ini, maka kesempatan seperti ini tidak akan pernah kembali lagi"
"Biarlah kesempatan itu berlalu, Ki Tumenggung"
"Kangjeng" "Dengar perintahku, Ki Tumenggung, hentikan"
Ki Tumenggung masih akan berbicara, tetapi Kangjeng Adipatipun berkata "Sudahlah, Ki Tumenggung, aku tidak ingin membicarakannya lagi"
Karena itu, maka Ki Tumenggungpun kemudian berkata "Kangjeng, hamba mohon diri, mungkin dalam dua hari ini hamba tidak datang menghadap, baru setelah lewat hati ketiga kematian Prakosa hamba akan menghadap lagi"
"Silahkan, Ki Tumenggung. Aku tahu bahwa kau tentu sangat sibuk lahir dan batinmu di rumah, salam buat Nyi Tumenggung"
"Hamba Kangjeng Adipati"
Ki Tumenggungpun kemudian telah meninggalkan dalem Kadipaten, disepanjang jalan Ki Tumenggung masih saja bersungut.
"Anak dungu, ia tidak mau mendengarkan pendapat orang tua, anak-anak muda sekarang merasa dirinya lebih pintar dari orang-orang tua yang sudah kenyang makan pahit manisnya kehidupan. Aku melihat jalan yang terbuka bagi Kangjeng Adipati. Tetapi agaknya anak itu memang tidak mempunyai gegayuhan, Ia menerima saja apa adanya. Jiwanya sama sekali tidak setegar ayahnya yang mempunyai citacita setinggi langit"
Ki Tumenggung kemudian melarikan kudanya di sepanjang jalan yang ramai.
Kekecewaan Ki Tumenggung masih juga dibawabya sampai kr rumahnya, namun ketika ia melihat beberapa orang yang duduk di pringgitan, maka Ki Tumenggung berusaha untuk mengekang perasaannya. Apalagi ketika ia melihat isterinya itu sedang mengangis dihadapan bibi dan pamannya yang agaknya baru datang.
Ki Tumenggung yang kemudian duduk di sebelah isterinya bertanya dengan nada rendah "Sudah lama paman dan bibi datang?"
"Belum Ki Tumenggung" jawab paman "Aku baru semalam mendengar kecelakaan yang menimpa angger Prakosa"
Bab 11 " Air Mata Rara Menur
"Maaf paman dan bibi, kemarin kami tidak mempunyai kesempatan, semuanya dilakukan dengan tergesa-gesa, kami tidak ingin jasad Prakosa itu harus menginap di rumah ini karena keadaannya, karena itu, kami tidak sempat memberitahukan kepada sanak kadang, apalagi yang agak jauh, yang dekatpun ada pula yang tidak mendengar musibah ini"
"Tabahkan hati kalian, jika saatnya datang, tidak ada yang akan dapat menghalanginya"
"Ya, paman. Aku sudah mencoba untuk mengikhlaskannya, tetapi kadang-kadang masih juga tersembul pertanyaan, kenapa bukan aku saja"
"Kita tidak dapat memilih, Ki Tumenggung"
"Ya, paman, tetapi sebenarnya akulah yang akan mencoba kuda yang baru aku beli itu, tetapi Prakosa berkeras untuk melakukannya, bahwa kuda itu kadang-kadang agak sulit dikuasai"
"Itulah yang disebut pepaten, Ki Tumenggung, kuda tidak dapat menghindarinya"
"Ya, paman" "Dimana kuda itu sekarang?"
"Aku tidak mengurusnya lagi paman, kuda itu berlari entah kemana. Biar saja kuda itu hilang dari pandangan mataku"
"Tetapi bukankah kuda itu harganya tinggi?"
"Aku ingin melupakan apa yang pernah terjadi atas Prakosa"
Pamannya mengangguk-angguk, namun ia tidak bertanya lagi tentang kuda yang hilang itu, yang dikatakan kemudian adalah beberapa nasehat baik bagi Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung, namun nasehat baik itu kadang-kadang justru bagaikan ujung duri yang menusuk jantung Ki Tumenggung Reksadrana yang tahu pasti, kenapa anaknya meninggal.
"Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya harus mati" geramnya di dalam hati.
Hari itu, Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung masih banyak menerima kunjungan dari kerabat dekat dan jauh, sanak kadang yang tidak mendengar kabar meninggalnya Prakosa menyatakan penyesalan mereka. Karena mereka tidak dapat ikut memberikan penghormatan terakhir.
"Segala sesuatunya sudah berlangsung dengan baik" berkata Ki Tumenggung, kami berdoa bagi Prakosa.
"Terima kasih, terima kasih"
keikhlasan sanak kadang yang berdatangan itu dapat sedikit menghibur kepedihan yang mencengkam Nyi Tumenggung, namun kehadiran mereka, apalagi sanak kadang yang membawa anaknya seusia Prakosa, kadang-kadang membuat luka hati Nyi Tumenggung justru semakin pedih, namun setiap kali Nyi Tumenggung mendengar nasehat orang-orang tua yang datang mengunjunginya, hatinya menjadi sedikit tenang.
"Tidak ada seorangpun yang dapat melawan pepaten, Nyi Tumenggung" berkata seorang perempuan tua.
Kata-kata itu pula yang diucapkan oleh banyak orang yang datang mengunjunginya.
Dalam pada itu, selagi Ki Tumenggung Reksadrana berkabung karena kehilangan seorang anak laki-lakinya, di kademangan Panjer, Raden Madyasta Rembana, Sasangka1 dan Wismayapun telah bersiap-siap untuk meninggalkan kademangan itu.
"Biarlah untuk sementara, mungkin sepekan dua pekan, enam orang prajurit Paranganom itu akan tetap berada disini, Ki Demang" berkata Raden Madyasta.
"Terima kasih, Raden. mereka akan melindungi kademangan ini, namun sekaligus meningkatkan kemampuan anak-anak muda yang telah berlatih olah kanuragan, sehingga jika pada suatu saat kami benar-benar ditinggalkan, maka kami dapat melindungi diri kami sendiri"
Raden Madyasta mengangguk-angguk, katanya "Ya, Ki Demang mudah-mudahan kelebihan dari anak-anak muda Panjer dapat dipercikkan ke kademangan-kademangan yang lain. setidak-tidaknya jika terjadi sesuatu, anak-anak muda Panjer dapat membantu mereka."
"Tentu, Raden. kami akan menyampaikan kepada para Demang tanpa memberikan kesan kesombongan.
"Itu sulitnya membina keseimbangan dalam pergaulan ini, Ki Demang. kita benar-benar berniat baik. orang lain akan dapat menganggap, betapa sombongnya kita ini. tetapi jika kita berdiam diri, maka kita dianggap tidak peduli terhadap kehidupan antara sesama"
"Tetapi kami akan mencari jalan yang terbaik, Raden. jika mereka sudah mendengar, bahwa perampok itu telah dihancurkan di kademangan Panjer, maka mereka akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru atas hubungan mereka dengan kademangan Panjer"
"Baiklah, Ki Demang" berkata Raden Madyasta kemudian, "Setelah beberapa hari kami berada di kademangan ii, maka kami, maksudku aku, kakang Rembana, kakang Sasangka, dan kakang Wismaya akan minta diri, besok kami akan kembali ke Paranganom untuk memberi laporan kepada ayahanda, bahwa gerombolan perampok itu telah kita hancurkan, sayang, bahwa pemimpin perampok yang bernama Sura Branggah itu tidak dapat kami tangkap"
"Tetapi bahwa gerombolan itu benar-benar telah lumat, berarti bahwa setidak-tidaknya dalam waktu singkat ini, mereka tidak akan dapat segera bangkit kembali, Sura Branggah memerlukan waktu untuk menyusun kekuatan. Sementara itu, anak-anak muda kademangan ini, bahkan semua laki-laki yang masih memiliki tenaga serta keberanian, sudah siap untuk menghadapi mereka. keberadaan Raden serta para prajurit di kademangan ini, apalagi beberapa orang diantara para prajurit itu akan tinggal, telah membentuk anak muda di kademangan ini menjadi lain"
"Ya, Ki Demang, mudah-mudahan mereka tetap berminat untuk meningkatkan ilmu mereka. sementara itu, aku titipkan beberapa orang gerombolan yang tertangkap dan menyerah itu disini. Para prajurit yang kami tinggalkan akan bertanggung jawab terhadap para tawanan itu. namun tentu saja mereka akan minta bantuan anak-anak muda di kademangan ini untuk ikut menjaga. Jika Sura Branggah masih ingat kepada mereka, mungkin ia akan berusaha mengambilnya. Tetapi dalam waktu dekat ini ia tidak mempunyai kekuatan untuk melakukannya, sementara itu, sekelompok prajurit dari Paranganom akan segera menjemput mereka"
"Baiklah, Raden, kami akan ikut mempertanggung-jawabkan para tawanan itu"
"Terima kasih, Ki Demang" Raden Madyasta mengangguk-angguk, namun kemudian iapun berkata "Ki Demang, besok kami bertiga akan berangkat pagi-pagi selagi matahari belum naik"
Sebenarnya kami ingin menahan untuk beberapa hari lagi, tetapi kami mengerti, bahwa Raden harus segera memberi laporan kepada Kangjeng Adipati di Paranganom"
"Ya, Ki Demang, karena itu, maka kami tidak dapat lebih lama lagi tinggal disini"
"Baiklah, Raden. sekali lagi, kami seisi kademangan ini mengucapkan terima kasih, biarlah aku beritahu para Bebahu agar agar nanti malam mereka datang menemui Raden dan ketiga orang senapati yang menyertai Raden. biarlah nanti malam angger Rembana, Sasangka dan Wismaya berada di rumah ini pula, agar esok pagi pada saatnya berangkat, Raden dan para senapati dapat mempersiapkan diri bersama-sama"
"Terima kasih, Ki Demang" sahut Wismaya pula.
Di hari terakhir Raden Madyasta berada di kademangan Panjer, diperlukannya untuk bertemu dan berbicara dengan Rara Menur,
"Besok aku akan meninggalkan kademangan ini, Menur."
Rara Menur menunduk, suaranya dalam sekali "Raden tidak akan pernah datang lagi ke kademangan Panjer?"
"Tentu aku akan datang lagi, Menur, ada beberapa orang berandal yang masih ditahan disini, enam orang prajurit akan tinggal disini pula"
"Tentu tidak harus Raden yang mengurus mereka, mungkin seorang diantara ketiga orang senapati itu, atau bahkan orang lain sama sekali"
"Aku akan berusaha datang kembali ke kademangan ini, Menur. Bukan hanya sekedar tugasku yang memanggil"
Rara Menur terdiam. Raden Madyastapun termenung sesaat, ia melihat wajah sendu gadis Panjer itu.
Agaknya perkenalan mereka setelah Raden Madyasta berada di Panjer beberapa hari telah menundukkan perasaan yang semula terasa asing di hati kedua insan itu, mereka mulai merasakan, tali yang menjerat batin mereka masing-masing. semakin lama terasa menjadi semakin kuat membelit sehingga keduanya akan merasa sangat sulit untuk mengurainya kembali.
Tetapi Raden Madyasta harus meninggalkan Panjer, ia adalah putera Kangjeng Adipati Prangkusuma yang datang ke Panjer untuk menjalankan tugas ayahandanya. Meredam kegiatan sekelompok brandal yang mempunyai kekuatan yang sangat besar.
"Aku hanyalah seorang perempuan padesan, Raden. aku hanya akan pasrah dalam ketidak berdayaan, apakah Raden masih akan datang lagi atau tidak" desis Rara Menur kemudian.
"Aku berjanji, Menur"
"Jika Raden kemudian tenggelam dalam kehangatan pergaulan gadis-gadis kota, maka aku tidak akan berarti apa-apa lagi bagi Raden"
"Menur" suara Raden Madyasta merendah. "Meskipun aku putera seorang Adipati, tetapi aku terbiasa hidup di sebuah padepokan, aku bergaul diantara para cantrik dan anak-anak muda di padukuhan-padukuhan sekitar padepokanku. Ketika aku tumbuh dewasa, sejak lebih dari empat tahun yang lalu. Aku terpisah dari pergaulan kota"
"Tetapi seorang anak muda, putera Kangjeng Adipati pula, akan dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya"
"Mungkin kau benar, Menur. Aku memang harus segera menyesuaikan diri, terutama yang berhubungan dengan kedudukan serta tugas-tugasku. Tetapi ada nilai-nilai yang lain di jalan kehidupan ini, Menur"
Hening sejenak. Rara Menur itu menundukkan wajahnya.
Madyasta menarik nafas dalam-dalam, ketika, ketika ia berpaling memandang wajah gadis itu, ia melihat jari-jari tangan Menur mengusap titik-titik air yang mengembun di pelupuknya.
Namun kemudian Rara Menur itu mengangkat wajahnya. Senyumnya yang hambar mengembang di bibirnya "Selamat jalan, Raden. aku berharap kita dapat bertemu lagi. Tetapi bukan aku yang menentukan, tetapi Raden. aku hanya dapat berharap, tidak lebih dari itu"
"Menur" desis Raden Madyasta.
"Maaf Raden. aku harus membantu ibu di dapur, kami harus menyiapkan makan siang bagi Raden dan para senapati yang berada disini hari ini. besok mereka akan meninggalkan kademangan ini bersama Raden"
Raden Madyasta tidak sempat menjawab, Rara Menur itupun segera pergi meninggalkannya.
Raden Madyasta itupun termenung-menung sejenak. Ia tahu, bahwa Rara Menur adalah seorang gadis padesan, anak seorang Demang. latar belakang kehidupannya diketahuinya pula, sawah, ladang, lumbung, lesung dan sekali-sekali mencuci pakaian ke sungai kecil yang tidak jauh dari rumah Ki Demang.
Tetapi Rara Menur itu telah menjerat hatinya, hari itu, para senapati yang semula berpencar di rumah beberapa orang di padukuhan induk untuk kepentingan penyelengaraan latihan-latihan yang tertutup, telah berada di kademangan. Esok mereka bersama-sama dengan Raden Madyasta akan meninggalkan kademangan Panjer.
Hari itu, Raden Madyasta dan para senapati yang berada di rumah Ki Demang itupun menerima banyak tamu, ketika para Bebahu dan para sesepuh kademangan mendengar bahwa esok Raden Madyasta akan meninggalkan kademangan itu telah memerlukan menemuinya untuk mengucapkan terima kasih serta selamat jalan.
"Kapan rencana Raden berangkat?"
"Esok pagi-pagi sekali" jawab Madyasta "Selagi matahari belum terbit, kami akan menempuh perjalanan panjang"
"Ya" sahut Ki Demang "Jarak dari panjer ke Paranganom dan Kateguhan tidak terpaut banyak"
"Bukankah kademangan ini dekat sekali dengan perbatasan?" sahut Ki Jagabaya.
"Ya, itulah sebabnya maka kita dapat saja menduga, bahwa sarang para perampok itu justru di Kateguhan. Tidak di Paranganom, meskipun daerah jelajah mereka justru di Paranganom" sahut Rembana.
"Tetapi ini hanya satu dugaan; sahut Raden Madyasta "Kami tidak dapat menuduh bahwa Kateguhan terlibat, karena dapat saja terjadi, bahwa sarang para perampok itu berada di Paranganom, sementara itu, mereka juga merampok di daerah Kateguhan, mungkin kita sajalah yang belum mendengar berita dari seberang perbatasan"
Ki Demang mengangguk-angguk, ia sadar, bahwa Raden Madyasta sebagai putera Kangjeng Adipati memang harus berhati-hati mengucapkan kata-kata, apalagi yang menyangkut kadipaten yang lain.
Tetapi Rembana menyahut, tidak mungkin mereka bersarang di Paranganom, Raden."
"Banyak, kemungkinan dapat terjadi, kakang. Dari mereka yang tertangkap, kita tidak memperoleh keterangan yang cukup. Mereka adalah kelompok-kelompok yang semula berdiri sendiri-sendiri. Tetapi kemudian telah dihimpun oleh Sura Branggah. mereka ada yang berasal dari Paranganom. ada yang berasal dari Kateguhan. Tetapi ada pula yang justru berasal dari jauh. Sedangkan mereka tidak tahu, sarang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, menurut mereka, mereka tidak dapat mengenalinya apakah mereka berada di tlatah Paranganom atau di Kateguhan. Mereka hanya tahu, bahwa mereka berada di satu tempat disekitar perbatasan"
"Kita harus memaksa mereka berbicara"
"Kita sudah mencoba, tetapi mereka benar-benar tidak tahu banyak tentang gerombolan mereka sendiri, sementara itu, cara-cara yang kita gunakan untuk memaksa mereka berbicara kadang-kadang telah melampaui batas kewajaran"
Rembana masih akan menjawab, tetapi Wismaya telah mendahuluinya "Kita sudah cukup berbicara dengan mereka, Raden. aku justru mempercayai mereka tidak tahu apa-apa selain melaksanakan perntah Lurah Brandal itu"
"Ya" Raden Madyasta mengangguk-angguk, "Kita tidak usah mempermasalahkan hal itu lagi. Pada suatu saat para brandal yang tertangkap dan menyerah itu akan dibawa menghadap ayahanda, mungkin ada keterangan yang tertinggal dapat diungkap oleh ayahanda sendiri."
Rembana terdiam meskipun berusaha untuk membawa pembicaraan kembali pada arah semula. Para Bebahu itu datang untuk menemuinya serta para senapati yang esok akan meninggalkan kademangan Panjer.
Ketika Rara Menur bersama seorang pembantunya menyampaikan hidangan bagi para tamu, maka Raden Madyasta melihat tangan gadis itu gemetar, tetapi Raden Madyasta tidak bertanya apapun kepadanya. Apalagi di hadapan banyak orang.
Sampai malam masih saja ada beberapa orang yang datang untuk menemui Raden Madyasta serta ketiga orang senapati yang berada di kademangan Panjer. Pada umumnya mereka menyampaikan terima kasih serta mengucapkan selamat jalan. Beberapa orang kaya telah datang untuk menyampaikan kenang-kenangan kadipaten Raden Madyasta beserta para senapati dan prajurit Paranganom yang telah menyelamatkan kademangan mereka. bahkan ada diantara mereka yang membawa barang-barang berharga.
"Terima kasih" berkata Raden Madyasta kepada mereka "Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tetapi kami minta maaf, bahwa kami tidak dapat membawa ke Paranganom. kami akan menitipkan semuanya itu kepada Ki Demang Panjer. Mungkin barang-barang itu lebih bermanfaat bagi rakyat Panjer sendiri. Kami hanya akan membawa satu saja diantara semua kenang-kenangan itu, yang kemudian akan kami serahkan kepada ayahanda untuk disimpan di kadipaten"
"Raden" berkata Ki Wiratenaya "Kami menyerahkan semuanya ini dengan ikhlas, kami juga sudah berbicara dengan Ki Demang sebelumnya, karena itu, kami mohon Raden dapat menerimanya"
"Kami menerima dengan senang hati, Ki Wiratenaya. tetapi kami titipkan semuanya itu di rumah Ki Demang Panjer, disini benda-benda itu akan selalu memperingatkan bagaimana rakyat kademangan itu telah bekerja sama dengan para prajurit untuk melindungi rakyatnya"
"Tetapi tanpa Raden Madyasta, para senapati dan para prajurit, maka kami tidak akan dapat berbuat apa-apa"
"Ki Wiratenaya dan saudara-saudaraku, bagi kami, pernyataan terima kasih kalian sangat membesarkan hati kami. Tetapi apa yang kami lakukan itu adalah memang tugas dan kewajiban kami. Sementara itu, rakyat Panjer sendiri dengan suka rela mempertaruhkan nyawa mereka. nah jika saudara-saudaraku sependapat, disamping kenang-kenangan yang kalian berikan kepada kami, maka alangkah baiknya jika kalian juga memberikan kenang-kenangan kepada rakyat Panjer sendiri. Ada diantara anak-anak muda kita yang gugur. Mungkin kalian dapat membangun sebuah tugu peringatan di depan banjar. Tetapi mungkin pula untuk mengenang anak muda terbaik yang telah gugur itu kalian membangun sebuah bendungan yang akan dapat mengairi beberapa ratus bahu sawah, atau membangun jembatan ya akan dapat menjadi penghubung antara lingkungan terpencil di kademangan ini dengan lingkungan di sekitarnya ya akan dapat memberikan arti bagi kesejahteraan mereka. jika air sungai menjadi besar karena hujan di lereng pegunungan, arus perdagangan dengan daerah terpencil itu tidak terputus, hasil bumi tidak tertahan dan bahkan membusuk karena tidak sempat dilemparkan ke pasar"
Orang-orang yang terhitung kaya dan berada, para pedagang dan para saudagar mendengarkan pesan Raden Madyasta itu sambil mengangguk-angguk, mereka menyadari, bahwa harta benda mereka tidak akan terlindungi, jika rakyat yang sehari-hari hidup dalam tataran kesejahteraan jauh berada di bawah kesejahteraan mereka tidak berbuat apa-apa.
Demikianlah, ketika malam menjadi semakin lama larut, maka Ki Demang telah menyarankan Raden Madyasta serta ketiga senapati dari Paranganom itu untuk beristirahat.
Yang sulit untuk dapat tidur adalah Raden Madyasta, bukan lagi karena kegagalannya menangkap pemimpin perampok yang bernama Sura Branggah itu, tetapi Raden Madyasta tidak segera dapat menyingkirkan wajah Rara Menur dari kepalanya.
"Ia hanya seorang gadis padesan" berkata Raden Madyasta.
Sekian lama Raden Madyasta gelisah, akhirnya ia dapat tertidur juga.
Pagi-pagi sekali, seperti yang direncanakan, Raden Madyasta serta ketiga orang senapati Paranganom itu sudah bersiap, Ki Demang dan keluarganya melepas mereka sampai ke regol halaman. Rara Menur berdiri disamping ibundanya, ia mencoba tersenyum, tetapi senyumnya nampak masam.
"Aku masih akan datang kembali, Ki Demang" berkata Raden Madyasta tiba-tiba saja.
"Kami sangat mengharapkan Raden" sahut Ki Demang.
"Aku masih harus menyelesaikan persoalan tawanan itu sampai tuntas"
"Ya, Raden" Tetapi diluar sadarnya, Raden Madyasta itu berpaling kepada Rara Menur yang sedang memandangnya, namun wajah gadis itupun segera menunduk dalam-dalam.
Sejenak kemudian, maka Raden Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya telah minta diri sekali lagi sebelum kuda-kuda mereka berlari meninggalkan regol halaman rumah Ki Demang Panjer.
Ketika keempat orang berkuda itu keluar dari gerbang padukuhan induk kademangan Panjer, butiran-butiran embun masih nampak melekat di ujung dedaunan seperti butir-butir mutiara yang bergayut di telinga seorang gadis.
Rerumputan masih basah, sementara langit yang cerah mulai membayangkan cahaya fajar yang merah.
Burung-burung liar terdengar bersiul bersahutan menyambut terbitnya matahari.
"Segarnya udara di padesan" gumam Raden Madyasta.
"Ya, Raden" sahut Wismaya.
Raden Madyasta benar-benar menikmati udara pagi, tidak terlalu jauh nampak sebagai pegunungan yang rendah membujur sejajar dengan jalan yang dilaluinya, hutan yang lebat nampak tumbuh dilerengnya yang memanjang.
Di belakang pegunungan itu terdapat perbatasan antara kadipaten Paranganom dan kadipaten Kateguhan. Dua kadipaten yang semula diperintah oleh dua orang bersauara, namun kemudian kadipaten Kateguhan sepeninggal Kangjeng Adipati Prawirayuda telah dipimpin oleh puteranya yang kemudian ditetapkan menjadi Adipati yang bergelar Kangjeng Adipati Yudapati.
Keempat orang berkuda yang melarikan kuda mereka semakin cepat, selagi masih pagi, mereka ingin menempuh jarak yang panjang.
Namun ketika mereka melalui sebuah padukuhan maka mereka harus memperlambatkan kuda mereka, pada saat matahari mulai membayang di langit, jalan-jalan di padukuhan mulai menjadi ramai pula, beberapa orang perempuan berjalan beriring pergi ke pasar dengan membawa bakul sayuran, ada yang berisi ubi dan hasil kebun lainnya, ada yang berisi daun pisang ada pula yang berisi pisang yang masih bertandan serta buah-buahan lainnya.
"Di padukuhan itu terdapat sebuah pasar yang cukup ramai" berkata Sasangka.
"Ya, kesibukannya sudah nampak sampai disini" sahut Raden Madyasta.
Raden Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya justru turun dari kuda mereka, mereka menuntun kuda mereka melintas di kerumunan orang-orang yang masih berada di depan pintu gerbang pasar.
Ketika mereka melintas di dekat beberapa orang yang berkerumunan, Sasangka sempat bertanya "Apakah pasar ini demikian ramainya setiap hari?"
"Hari ini hari pasaran, Ki Sanak" jawab orang itu.
"Disetiap hari pasaran, pasar ini tidak dapat memuat kesibukannya seperti hari ini?"
"Di setiap hari pasaran, pasar ini memang ramai sekali, tetapi tidak seperti hari ini. mungkin orang-orang yang berjualan dan berbelanja di pasar ini tidak lagi dihantui oleh orang-orang yang sering melakukan kejahatan"
dinos "Kenapa", apakah penjahatnya sudah tertangkap?"
"Ya" "Apakah penjahatnya hanya satu?"
"Banyak, tetapi gerombolan mereka telah dihancurkan di kademangan Panjer, sehingga orang-orang ini merasa tenang pergi ke pasar, kamipun jarang sekali pergi ke pasar. Tetapi hari ini kami memeerlukan pergi untuk melihat-lihat keadaan setelah gerombolan perampok itu dihancurkan"
"Apakah yang sering terjadi?"
"Mereka menyamun dan bahkan kadang-kadang merampas di tempat ramai"
"Apakah orang-orang yang sering menyamun dan merampas itu termasuk gerombolan yang dihancurkan di kademangan Panjer?"
"Tentu, orang-orang itu sering menyebut-nyebut nama Sura Branggah, sedangkan pemimpin gerombolan di Panjer itu juga bernama Sura Branggah"
Tiba-tiba Rembanapun ikut pula berbicara "Bagaimana ujud Sura Branggah itu menurut bayanganmu?"
Orang itu tidak ada yang berani menjawab, sementara Rembana sambil tertawa berkata "Kalian keliru, ternyata Ki Sura Branggah adalah seorang anak muda yang tampan. Nah kalian harus minta maaf, karena kalian telah menghinanya meskipun baru di dalam bayangan kalian"
Tetapi Wismaya tiba-tiba saja berkata "Marilah, matahari telah naik semakin tinggi"
Meskipun demikian Rembana masih saja berkata "Sudahlah, jangan pikirkan Sura Branggah, Sura Branggah sendiri akan melupakan kalian, demikian kami lepas dari kerumunan orang-orang yang tidak sempat masuk ke dalam pasar ini, kami sedang memburu seorang saudagar emas berlian"
Jantung orang-orang itu menjadi semakin cepat berdetak, sementara Sasangkapun berkata "Sudahlah beritahu aku jika kalian melihat atau bertemu orang-orang kaya yang berkeliaran. Tetapi para prajurit Paranganom itu telah merusak semua rencanaku, mereka tidak terkalahkan, gerombolanku telah dihancur lumatkan menjadi debu"
Rembana tidak berkata apa-apa lagi, namun iapun bergegas sambil menuntun kudanya. di belakangnya Sasangkapun mengikutinya menyusul Wismaya dan Raden Madyasta yang sudah semakin jauh.
Matahari memanjat langit semakin tinggi, sinarnya yang semakin panas terasa menusuk kulit. Selembar awan mengalir tertiup angin dari arah lautan terdorong kearah pegunungan.
Udara yang terbakar oleh panasnya matahari nampal mengeliat seperti uap air yang mendidih, mengambang diatas jalan yang akan mereka lalui.
Rembana yang kepanasan membuka bajunya dibagian dadanya.
Raden Madyasta yang berkuda di paling depanpun sambil bertanya "Bagaimana dengan kuda-kuda kita?"
"Sudah waktunya beristirahat, Raden"Sahut Sasangka.
"Kau tahu kudamu yang sudah waktunya beristirahat?" bertanya Rembana.
"Kuda-kudanya" jawab Sasangka.
Raden Madyasta dan Wismaya hanya tersenyum saja. Namun merekapun menyadari, bahwa setelah lewat tengah hari, maka sebaiknya merekapun berhenti untuk beristirahat, kuda-kuda merekapun nampak letih dan haus.
Karena itu, ketika mereka menjumpai sederet kedai di dekat sebuah pasar yang sudah mulai sepi, merekapun berhenti.
Kepada seorang yang memang bertugas untuk merawat kuda bagi mereka yang masuk dan makan serta minum di kedai itu, Wismaya berpesan "Tolong beri minum dan makan kuda-kuda kami"
Orang itu mengangguk hormat.
Setelah mereka beristirahat secukupnya, maka Raden Madyasta membayar harga makanan serta minuman mereka termasuk perawatan kuda mereka sekaligus minta diri untuk melanjutkan perjalanan.
"Terima kasih, Ki Sanak" berkata pemilik kedai itu sambil menerima uangnya.
Ketika keempat orang itu keluar dari pintu kedai itu, mereka melihat dua orang yang sedang mengamati kuda Raden Madyasta, kuda yang besar dan tegar, memang jarang terdapat kuda sebesar dan setegar kuda Raden Madyasta.
Raden Madyasta membiarkan kedua orang itu mengamati kudanya, ia tidak tergesa-gesa membawa kudanya pergi.
Namun beberapa saat kemudian, telah datang lagi empat orang berkuda, namun kuda-kuda mereka tidak ada yang sebaik kuda Raden Madyasta.
Seorang yang berwajah tampan, berkumis tipis dan bermata tajam, bertanya kepada Raden Madyasta "Apakah ini kudamu anak muda?"
"Ya, Ki Sanak" jawab Raden Madyasta sambil tersenyum.
"Kudamu bagus sekali, apakah kau blantik kuda?"
"Bukan, Ki Sanak. Jawab Raden Madyasta.
"Apakah kerjamu sehingga kau dapat membeli kuda sebagus ini. lebih bagus dari kuda kawan-kawanmu dan bahkan lebih bagus dari kudaku"
"Ayahku seorang petani, Ki Sanak"
"Tentu petani kaya"
"Bukan Ki Sanak, ayahku seorang petani kebanyakan, kuda ini kami miliki bukan karena orang tuaku kaya, tetapi karena kuda ini aku terima sebagai hadiah dari pamanku yang kebetulan juga calon mertuaku"
"Jadi, calon mertuamulah yang kaya?"
"Sebenarnya juga tidak kaya, Ki Sanak. Tetapi pamanku adalah penggemar kuda. Ketiga orang ini adalah calon iparku"
Orang itu memandang Wismaya, Sasangka dan Rembana berganti-ganti, diluar sadarnya iapun bertanya "Mereka bertiga?"
"Wajah mereka tidak mirip yang satu dengan yang lainnya?"
Raden Madyasta termenung-menung sejenak. Semula ia tidak berpikir sedemikian jauhnya, namun agaknya orang yang mengajaknya berbicara itu termasuk orang yang teliti mengamati sesuatu.
Namun Rembanalah yang menjawab "Kami berbeda ibu, Ki Sanak. Kami bertiga mempunyai tiga orang ibu yang berlainan"
Orang yang berwajah tampan itu mengerutkan keningnya, dengan nada dalam iapun berkata "Kalian tahu, aku adalah seorang yang mempunyai pengaruh yang luas di daerah Pasiraman Barat, daerah yang diperintah oleh Ki Panji Wirasentika"
"Pasiraman Barat, bukankah Pasiraman Barat itu termasuk wilayah Paranganom?"
"Ya, aku adalah orang yang dituakan disana, mungkin karena beberapa kelebihan daridaku, tetapi mungkin juga karena aku seorang saudagar yang berkecukupan, itulah sebabnya aku bertanya kepada kalian, apakah kalian blantik kua. Jika kalian blantik kuda, aku ingin membeli kuda ini"
"Maaf, Ki Sanak" berkata Raden Madyasta "Aku tidak menjual kudaku"
"Dimanakah rumah kalian?" bertanya kwb orang yang berwajah tampan itu.
"Kami tinggal di kaduwang"
"Kaduwang, tlatah Kateguhan"
"Ya" Kalian akan pergi kemana?"
"Kami akan pergi ke Paranganom, menengok seorang paman kami yang tinggal di Paranganom"
Orang itu mengangguk, namun tiba-tiba seorang lain yang baru datang kemudian, bertanya "Jadi kau orang Kateguhan?"
"Ya, kenapa?" "Banyak wilayah Paranganom yang telah didatangi perampok, banyak pula jalan-jalan di Paranganom yang menjadi daerah perburuan bagi para penyamun, semuanya itu terjadi di dekat perbatasan dengan kadipaten Kateguhan"
Raden Madyasta termenung-menung sejenak, jika pembicaraan itu berkepanjangan, maka Raden Madyasta terlanjur mengaku orang Kateguhan.
Karena itu, Raden Madyasta tidak ingin terlibat lebih dalam pembicaran yang sulit, maka iapun berkata "Mungkin Ki Sanak. Tetapi daerah perbatasan di tlatah Kateguhanpun banyak terjadi kejahatan pula sebagaimana di Paranganom. mudah-mudahan segera ada kerja sama antara kadipaten Kateguhan dan kadipaten Paranganom untuk mengatasi kejahatan itu. menurut pendengaranku, sudah ada usaha dari kedua belah pihak untuk menjepit daerah yang banyak dibayangi oleh kejahatan itu.
"Kau berlagak seperti seorang Tumenggung di Kateguhan" seorang yang lain menyela "Apa yang kau tahu tentang kejahatan itu?"
"Aku tidak tahu apa-apa, Ki Sanak. Yang aku tahu hanyalah kata orang"
Bab 12 " Jari Besi Orang yang berwajah tampan itu tersenyum, katanya "Sudahlah, sebaiknya kau jual saja kudamu kepadaku, maksudku, kita bertukar kuda, berapa aku harus menambah?"
"Tidak, Ki Sanak. Aku tidak akan menjual atau menukarkan kudaku. Kuda itu adalah kuda pemberian"
"Apalagi kuda itu adalah kuda pemberian"
"Aku harus menghargai pemberiannya"
Tiba-tiba saja seorang yang bertubuh tinggi mendekati Raden Madyasta sambil bertanya "Kau dapat darimana kudamu itu, He". Kuda yang baik tentu dapat dikenali asal usulnya, karena kudamu termasuk kuda yang baik, maka kau tentu mengerti asal usulnya."
"Sudahlah" berkata Raden Madyasta "Biarlah aku melanjutkan perjalanan"
"Nanti dulu" berkata orang yang bertubuh tinggi itu "Kau harus menyebut asal-usul dan keturunan dari kudamu itu, atau kau mengambil kuda itu dari orang lain"
"Aku curi maksudmu?" bertanya Raden Madyasta
"Ya" Tetapi orang yang bertubuh tinggi itu terkejut, sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba saja tubuhnya yang besar itu terdorong surut, dengan wajah merah Rembana berkata "Jangan asal membuka mulutmu Ki Sanak. Siapapun kami, tetapi kami tidak mau dihina. Jika sekali lagi kau menuduh saudaraku mencuri, maka aku akan menampar mulutmu"
Sikap Rembana itu memang mengejutkan, bahkan Raden Madyasta terkejut pula, karena itu, maka dengan serta merta iapun berkata "Sudahlah, marilah kita melanjutkan perjalanan"
Tetapi yang dilakukan oleh Rembana itu merupakan api yang sudah menyulut ujung obor belarak, sulit untuk segera dapat dipadamkan.
Orang yang bertubuh tinggi besar itu sudah menjadi marah pula. dengan geram iapun berkata "Kau telah melakukan satu tindakan yang bodoh, kau orang Kateguhan yang tidak tahu diri, aku akan melumatkan kepalamu. Tidak ada orang yang akan menyalahkan aku, banyak saksi yang akan dapat mkt, bw kau telah mendahului melakukan serangan"
"Tetapi juga banyak saksi yang dapat mkt bw kau sudah menghina kami dengan tuduhan mencuri"
"Aku hanya bertanya"
"Itu pertanyaan gila, karena itu kau harus minta maaf kepada saudaraku"
"Sudahlah, kakang" berkata Raden Madyasta. "Marilah kita meneruskan perjalanan, jarak perjalanan kita masih panjang"
"Tetapi aku tidak mau dihina seperti ini"
"Persetan" geram orang bertubuh tinggi besar itu "Aku akan mematahkan tanganmu"
"Jika kau ingin mencoba, aku tidak berkeberatan" suara Rembana bergetar oleh kemarahan yang bergejolak di jantungnya.
Orang yang berwajah tampan, yang ingin membeli kuda Raden Madyasta itu sama sekali tidak menahan kawannya itu, bahkan sambil tersenyum iapun berdesis "Nasibmu buruk orang Kateguhan, kau sudah berani bermain-main dengan Deriji Wesi"
Ternyata nama orang itu membuat hati Rembana semakin panas, dengan nada tinggi iapun bertanya "Deriji Wesi", kau kira nama yang bagaimanapun juga seramnya dapat membuat hatinya kuncup?"
"Bersiaplah" Deriji Wesi itupun menggeram "Aku akan melumatkan kepalamu dengan jari-jariku"
Raden Madyasta menggeleng-gelengkan kepalanya, ia sudah tidak mungkin dapat mencegah benturan kekerasan yang akan timbul.
Sementara itu, orang yang berwajah tampan yang mengaku saudagar kaya raya dari Pasiraman Barat itu berkata "Sentuhan jari-jarinya akan sama dengan sentuhan bindi baja, tulang-tulangmu dapat diremukkannya, kecuali jika kau minta maaf kepadanya. Ia bukan pendendam, tetapi ia juga bukan orang yang dapat membiarkan begitu saja orang-orang yang telah menyinggung perasaannya."
"Cukup" Rembana telah membentaknya "Aku sudah bersiap, kau mau apa?"
"Mereka belum mengenalmu Deriji Wesi" berkata saudagar itu "Tetapi harap kalian mengetahui, bw pasiraman Kulon sama sekali belum pernah dijamah tangan perampok yang manapun juga"
"Itu bukan karena kelebihan dan kemampuan orang ini, tetapi tentu saja karena pengaruh nama Ki Panji Wirasentika"
Saudagar itu tertawa, katanya "Wirasentika itu berada di bawah pengaruhku, aku ingin memperilahkan kalian berempat bersamaku menemui Ki Panji Wirasentika, kalian akan melihat, seberapa besar pengarhku atas dirinya"
Sasangkapun menjadi panas pula, katanya "Kenapa kalian membual di hadapanku", aku tidak peduli dengan pengaruhmu, aku tidak ada sangkut pautnya dengan orang-orang Paranganom serta para perampok itu"
"Sudahlah" meskipun Raden Madyasta menyadari, bw persoalan sudah terlalu jauh, namun ia masih berkata "Jika kalian tidak berkeberatan kami pergi, maka tidak akan ada persilisihan diantara kita"
"Tidak, kalian tidak boleh pergi begitu saja"
"Cukup" potong Rembana "Aku sudah bersiap"
Deriji Wesi itupun bergeser, kawan-kawannya berdiri berkelompok sambil berbicara yang satu dengan yang lain, ada diantara mereka yang tersenyum, ada yang justru menjadi tegang, sementara itu, saudagar yang berwajah tampan meskipun umurnya sudah merambat mendekati pertengahan abad, berkata sambil tertawa, "Buat anak itu jera"
Deriji Wesi itupun segera melangkah semakin dekat dengan Rembana, namun Rembana yang darahnya cepat mendidih itu tiba-tiba saja telah meloncat menyerangnya.
Deriji Wesi itu terkejut, Ia mencoba bergeser untuk menghindar serangan itu, tetapi Deriji Wesi itu tidak mampu lepas dari garis serangan Rembana.
Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan derasnya kaki Rembana telah mengenai pundak orang itu, sehingga Deriji Wesi itupun terhuyung-huyung beberapa langkah surut.
"Bocah edan" geram Deriji Wesi yang hampir saja kehilangan keseimbangannya, namun dengan cepat iapun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, keduanya telah bertempur dengan sengitnya, Deriji Wesi yang ternyata adalah pengawal saudagar itu, memang mempunyai kekuatan yang sangat besar, sesuai dengan nama sebutannya, maka jari-jari orang itu memang sangat berbahaya, sehingga karena itu, maka perhatian Rembana tertuju kepada jari-jari lawannya.
Namun dengan keyakinan yang besar atas kekuatan jari-jarinya itu, maka serangan-serangan Deriji Wesi itu yang paling berbahaya adalah serangan jari-jarinya yang selalu mengembang.
Tetapi dengan demikian, dengan cepat Rembana dapat menemukan kelemahan Deriji Wesi itu, bagian-bagian dari tubuhnya yang lain, sama sekali tidak berbahaya, orang itu kurang memanfaatkan kakinya,lututnya dan bahkan ada orang yang justru dahinya sangat berbahaya.
Karena tu, maka Rembana tinggal berusaha menjinakkan jari-jari tangan orang yang mendapat sebutan Deriji Wesi.
Rembana benar-benar tangkas, jari-jari Deriji Wesi tidak pernah menyentuh tubuhnya, bahkan sekali ketika Deriji Wesi mengayunkan tangannya dengan jari-jari terbuka yang menebas mengarah ke dadanya, Rembana telah membentur serangan itu, dengan kuda tangannya Rembana dengan sengaja menahan serangan itu pada pergelangan tangannya.
Ketika benturan itu terjadi, maka Deriji Wesi itu sempat mengaduh tertahan, namun kemudian sambil menggeliat ia menjulurkan tangannya dengan jari-jari terbuka untuk mencengkeram leher.
Rembana sempat mengelak dengan sedikit merendah dan bergeser kesamping, namun kemudian dengan cepat, Rembana menjulurkan kakinya mengarah ke lambung.
Deriji Wesi itu ternyata tidak sempat mengelak, dengan kerasnya kaki Rembana menghantam lambungnya, sehingga orang itu terpental beberapa langkah.
Deriji Wesi terhuyung-huyung, hampir saja ia terjatuh, tetapi ternyata ia masih mampu untuk tegak berdiri.
Deriji Wesi menggeram, nampak di wajahnya, bw serangan Rembana itu benar-benar menyakitinya, bahkan kemudian nafasnya terasa menjadi agak sesak, tetapi sejenak kemudian iapun sudah berdiri tegak siap untuk melanjutkan pertempuran.
Wajah Rembana menjadi tegang, serangan-serangannya memang dapat mengenai lawannya, tetapi daya tahan orang itu ternyata demikian tingginya, sehingga ia masih mampu bertahan.
Karena itu, maka Rembana yang sempat sedikit mengedepankan gejolak kemarahannya, justru karena ia dapat menemukan kelemahan lawannya, telah menjadi semakin panas. Beberapa kali ia berhasil mengenai lawannya di bagian tubuhnya yang lemah sekalipun, namun orang itu masih saja tetap berdiri sambil memberikan perlawanan dengan gigihnya.
Dalam pada itu, Deriji Wesi itu seakan-akan memang telah kehilangna kesempatan. serangan-serangannya menjadi jarang, bahkan semakin jauh dari sasaran, yang diandalkannya kemudian adalah daya tahan tubuhnya serta kemungkinan lawannya membuat kesalahan, sehingga raksasa itu dapat menangkap aggota badan anak muda itu.
Tetapi Rembana cekatan seperti burung sikatan menyambar bilalang, betapapun Deriji Wesi itu bergerak dengan cepatnya, namun ia tidak mampu menangkap anggota badan Rembana.
Malah pada kesempatan lain, Rembana meloncat sambil memutar tubuhnya dan mengayunkan kakinya dengan derasnya menghantam tubuh Deriji Wesi.
Deriji Wesi terhuyung-huyung selangkah surut, namun demikian ia berdiri tegak kembali, serangan Rembanapun telah meluncur pula dengan cepatnya, sekali lagi Rembana meloncat sambil berputar, sekali lagi kakinya terayun mengenai kening.
Deriji Wesi mencoba bertahan, tetapi Rembana bagaikan anak panah yang meluncur, menyerang orang itu dengan tendangan menyamping kearah dadanya.
Deriji Wesi ternyata tidak mampu bertahan tetap berdiri, iapun terdorong surut beberapa langkah, kemudian tubuhnya jatuh terguling di tanah.
Rembana yang marah itu siap meloncat memburu tubuh yang sudah tidak berdaya lagi, namun Raden Madyasta telah mendahuluinya, meloncat dan berdiri disisinya.
"Cukuo, sudah selesai sampai disini" desis Raden Madyasta
"Kesombongannya harus diakhiri"
"Sudah cukup, ini sudah berakhir" sahut Raden Madyasta
Rembana menggeram, ia ingin meloncat dan mematahkan jari-jari Deriji Wesi itu.
"Aku ingin membuktikan, bw jari-jarinya sama sekali tidak berarti bagiku, meskipun ia disebut Deriji Wesi"
"Sudahlah" berkata Raden Madyasta, lalu katanya kadipaten orang yang mengaku saudagar itu "Bawa kawanmu ini prgi, jangan mencoba menemui kami lagi"
Orang itu memandang Raden Madyasta dengan sorot mata menyala, beberapa orang kawannyapun agaknya menjadi marah, namun mereka memang ragu-ragu untuk bertindak, kawannya yang paling diandalkan itu ternyata tidak mampu melawan salah seorang dari keempat orang anak muda itu.
Karena orang-orang itu masih saja berdiri termenung-menung, maka Sasangkapun kemudian berkata "Apakah kalian ingin melibatkan diri?"
Orang-orang itu terdiam, namun Raden Madyastalah yang berkata selanjutnya "Pergilah selagi aku masih dapat mengendalikan saudara- saudaraku, sebaiknya kita tidak bertemu lagi agar kebencian tidak terungkit di hati kia masing-masing"
Saudagar itupun kemudian memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat itu.
Dua diantara merekapun mendekati Deriji Wesi yang berusaha untuk bangkit itu, kemudian menuntunnya ke kudanya.
"Naiklah" berkata salah seorang kawannya, kemudian membantunya naik ke punggung kuda.
Yang lainpun kemudian telah meloncat naik pula, demikian saudagar itu duduk di punggung kudanya, iapun berkata "Pertemuan ini memberi kesan buruk kepadaku anak-anak muda" berkata orang itu.
"Apakah ini merupakan ancaman?" bertanya Sasangka.
"Mudah-mudahan kalian tidak tidak berniat lewat Pasiraman Barat dalam perjalanan kalian ke Paranganom"
Rembanalah yang menyahut dengan lantangnya "Siapkan orang-orangmu, aku akan pergi ke Paranganom lewat Pasiraman Kulon"
"Suaramu seperti geludug mangsa ketiga, tetapi aku yakin, bw hujan tidak akan turun.
"Bukankah kau sengaja memancing agar kami benar-benar lewat Pasiraman Kulon", kau berusaha menyinggung perasaan kami, agar dengan hati yang panas kami benar-benar lewat Pasiraman Kulon, agaknya kau berhasil Ki Sanak, kami benar-benar merasa tersinggung, kami tidak mau dikatakan menjadi puas, karena pancinganmu berhasil, kau tentu mengira betapa dungunya kami."
Wajah saudagar itu menjadi tegang, tetapi pada sorot matanya nampak betapa kemarahan telah menyala di dadanya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, maka orang itupun memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk bergerak meninggalkan tempat itu.
Raden Madyasta serta ketiga senapati muda itupun memandang mereka sampai menghilang di tikungan.
"Sebaiknya kita mengambil jalan lain, kakang" berkata Raden Madyasta.
"Tidak Raden" jawab Rembana "Kita akan meneruskan perjalanan kita lewat Pasiraman Kulon"
"Agaknya orang-orang itu benar-benar tidak akan membiarkan kita lewat tanpa mengganggu, sementara itu, perjalanan kita masih cukup jauh, jika kita harus berhenti lagi di Pasiraman Kulon, maka kita akan kemalaman di jalan"
"Kita dapat bermalam dimana saja, Raden"
"Apakah kita merasa perlu melayani orang-orang itu?"
"Raden, ada dua alasan, kenapa aku mengusulkan meneruskan perjalanan lewat Pasiraman Kulon, sebenarnya bukan semata-mata karena kita tersinggung oleh ancamannya, tetapi kita akan dapat mengetahui apakah benar Ki Panji Wirasentika berada di bawah pengaruh orang itu, jika benar, maka Ki Panji Wirasentika sudah tidak lagi menjalankan tugasnya dengan baik, bukankah hal seperti itu harus diketahui oleh Kangjeng Adipati di Paranganom"
Raden Madyasta itupun mengangguk-angguk, katanya "Ya, kau benar kakang, dalam kedudukannya, Ki Panji Wirasentika tidak boleh berada di bawah pengaruh siapapun juga, ia harus berdiri tegak pada kedudukannya itu, jika ia sudah berada di bawah pengaruh seseorang, maka jalan pemerintahannyapun akan menjadi timpang"
"Karena itu, bukankah sebaiknya kita meneruskan perjalanan lewat Pasiraman Kulon?"
Raden Madyasta mengangguk-angguk, katanya "Ya, kita akan meneruskan perjalanan lewat Pasiraman Kulon"
Sejenak kemudian, maka Raden Madyasta dan ketiga senapati muda itupun sudah bersiap, tetapi mereka masih sempat minta diri kepada pemilik kedai yang masih saja gemetar itu.
"Maaf Ki Sanak" berkata Raden Madyasta "Kami sudah membuat keributan disini, tetapi itu bukan maksud kami. Kami sudah mencoba mengelak, tetapi kami tidak mempunyai pilihan"
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk sambil menjawab "Ya, Ki Sanak. Agaknya memang bukan salah kalian"
"Terima kasih atas pengertian Ki Sanak" desis Raden Madyasta kemudian.
Demikianlah, Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda itupun segera meninggalkan kedai itu, mereka benar-benar sengaja menempuh perjalanan lewat Pasiraman Kulon meskipun mereka tahu, bw saudagar tadi itu akan dapat mengganggu perjalanan mereka.
Dalam pada itu, saudagar itu telah memacu kudanya diikuti oleh orang-orangnya, mereka ingin segera sampai di Pasiraman Kulon untuk mempersiapkan penyambutan yang meriah terhadap keempat orang yang mengaku orang Kateguhan itu.
"Mereka harus ditangkap, kita akan minta Ki Panji Wirasentika untuk menangkap mereka, mereka dapat saja dicurigai menjadi perintis jalan bagi para perampok yang sering menimbulkan kerusuhan di Paranganom.
"Apakah kita dapat membuktikannya?"
"Biarlah mereka membuktikan bw mereka bukan petugas sandi dari para perampok. Biarlah mereka menyebutkan siapa mereka sebenarnyanya. Jika mereka akan menengok pamannya di Paranganom, siapa pula nama pamannya dan di padukuhan mana pamannya itu tinggal. Dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka, maka akan segera dapat diketahui apakah mereka berkata sebenarnya.
"Jika mereka berkata sebenarnya?"
"Tuduhannya adalah, mereka telah menyerang kita, jika perlu biarlah Ki Panji Wirasentika memanggil pemilik kedai itu serta orang-orang yang dapat menjadi saksi, bw mereka telah menyerang kita, pemilik kedai itu tentu akan mengiakannya, apalagi di depan Ki Panji Wirasentika"
Apakah Ki Panji Wirasentika bersedia melakukannya?"
"Kau tahu pengaruhku atas Ki Panji Wirasentika?"
"Ya. Aku tahu" Apakah kira-kira Ki Panji Wirasentika akan menolak?"
Orang itu menggeleng, katanya "Tidak"
"Nah, orang-orang itu tidak akan luput dari hukuman, aku tentu dapat mengusulkan hukuman yang pantas bagi mereka"
Demikianlah orang-orang berkuda itu memacu kuda mereka dengan kecepatan tinggi, mereka tidak ingin disusul oleh keempat anak muda yang akan mereka jerumuskan ke dalam tangan Ki Panji Wirasentika.
Ketika mereka memasuki lingkungan Pasiraman Kulon, maka merekapun langsung menuju kr rumah Ki Panji Wirasentika.
Dalam pada itu, saudagar tampan itu langsung dapat diterima oleh Ki Panji Wirasentika di pringgitan rumahnya.
"Silahkan duduk Ki Saudagar Kertaderma. Biarlah aku berbenah diri sebentar, aku baru memandikan ayam jago yang Ki Saudagar berikan itu"
"Ki Panji, aku tergesa-gesa"
"Ada apa?" "Ada yang penting, aku ingin Ki Panji menangkap empat orang anak muda dari Kateguhan yang sebentar lagi akan lewat jalan ini"
"Kenapa?" "Aku curiga, bw mereka adalah orang-orang yang di kirim oleh gerombolan perampok yang sedang berkeliaran di perbatasan untuk melihat-lihat keadaan lingkungan itu dan bahkan tempat kedudukan Kangjeng Adipati di Paranganom"
"Apakah mereka akan lewat jalan di rumah ini?"
"Ya, aku sudah bertemu dengan mereka, mereka justru telah menyerang kami, menurut kata mereka. mereka berempat akan pergi ke Paranganom."
"Maksud Ki Saudagar, mereka akan pergi ke pusat pemerintahan Paranganom?"
"Nanti kita akan tahu, tetapi aku minta Ki Panji Wirasentika menghentikan mereka dan menahannya. Nanti kita akan berbicara dengan mereka lebih mendalam"
"Tetapi apkan dasarnya aku menangkap mereka?"
"Sudahlah Ki Panji, aku minta Ki Panji menangkap mereka lebih dahulu, nanti kita akan berbicara dengan mereka"
"Baiklah, aku akan memerintahkan para pengawal menghentikan mereka dan membawanya kemari"
"Sudah ada empat orangku di depan regol halaman rumah ini"
Ki Panji Wirasentikapun segera memanggil pemimpin pengawal yang sedang bertugas di rumahnya, iapun segera memerintahkan untuk menghentikan empat orang anak muda dari Kateguhan.
"Bawa mereka ke pringgitan. Aku akan berbicara dengan mereka, di depan regol sudah ada empat orang pengawal Ki Saudagar Kertaderma, tetapi mereka bukan petugas yang dapat memaksa keempat orang itu berhenti"
"Baik, Ki Panji"
"Bawa kawan-kawanmu, mungkin orang itu akan menolak perintahmu dan akan melawan"
Dalam waktu yang singkat, enam orang pengawal Ki Panji Wirasentika telah berada di jalan di depan rumahnya. Mereka membawa pedang yang telanjang, seorang diantara mereka membawa tombak pendek dengan sebuah kelebet kecil yang diikat pada landeannya, sebagai pertanda, bw mereka adalah petugas yang sedang menjalankan tugas mereka, sementara itu empat orang pengawal Ki Saudagar masih juga berada di depan regol dan bahkan bergabung dengan para pengawal Ki Panji Wirasentika.
Sejenak kemudian, maka seorang dari keempat pengawal Ki Saudagar itupun berkata "Itulah mereka, mereka benar-benar lewat jalan ini"
"Sombongnya mereka" geram yang lain.
Pemimpin pengawal yang membawa tombak pendek dengan kelebet kecil itupun bertanya "Apakah orang-orang berkuda itu yang kalian maksud?"
"Ya" jawab salah seorang pengawal Ki Saudagar.
Pemimpin pengawal itupun segera berdiri di tengah jalan sambil mengangkat tombaknya.
Akhir Jilid 3 Jilid 04 Sebenarnyalah yang berkuda menuju kearah mereka itu adalah Raden Madyasta bersama ketiga senapati muda yang menyertainya.
"Kau lihat kelebet kecil itu, kakang" bertanya Raden Madyasta kepada Wismaya yang berkuda di sebelahnya.
"Ya, Raden" "Itu adalah pertanda bw mereka adalah para petugas yang sedang menjalankan tugas mereka"
"Ya" Raden"
"Kita harus berhenti"
"Ya" Sementara itu, Rembana justru menyahut "Kita memang akan berhenti Raden, tanpa pertanda itupun kita akan berhenti"
Raden Madyasta menarik nafas dalam-dalam.
Beberapa saat kemudian, keempat orang berkuda itu telah menjadi semakin dekat dengan regol halaman rumah Ki Panji Wirasentika, karena itu, maka Raden Madyasta yang berkuda di paling depan telah memberikan isyarat agar mereka berhenti.
Pemimpin pengawal yang membawa tombak pendek dengan kelebet kecil di landeannya itupun melangkah maju sambil bertanya "Apakah kalian anak-anak muda dari Kateguhan?"
Raden Madyasta meloncat turun dari kudanya, demikian pula ketiga senapati muda itu. sehingga dengan demikian, akan timbul kesan pada para pengawal Ki Panji Wirasentika bw keempat orang itu mengenal dan telah mengetrap unggah-ungguh. Mereka menghormati para petugas yang sedang menjalankan tugasnya.
Karena itu, maka pemimpin pengawal itu, diluar sadarnya telah mengangguk hormat pula.
"Ya, Ki Sanak" jawab Raden Madyasta ;kami datang dari Kateguhan"
"Maaf, Ki Sanak. Kami minta Ki Sanak singgah di rumah Ki Panji Wirasentika"
"Ada apa?" bertanya Raden Madyasta.
Ki Panji Wirasentika sendiri yang akan mengatakannya kepada Ki Sanak berempat"
"Baiklah" jawab Raden Madyasta "Kami akan singgah, kami tidak akan dapat menolak perintah itu"
Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda itupun kemudian telah menuntun kuda mereka, memasuki regol halaman rumah Ki Panji Wirasentika.
Ki Panji Wirasentika yang telah selesai berbenah diri, telah duduk di pringgitan bersama Ki Saudagar Kertaderma dan seorang pengawalnya.
Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda tidak terkejut melihat kehadiran Ki Saudagar Kertaderma itu.
"Biarlah mereka naik" berkata Ki Panji Wirasentika kepada pengawalnya.
"Silahkan naik, Ki Sanak" berkata pengawal yang membawa tombak pendek itu.
Setelah menambatkan kudanya, maka keempat orang anak muda yang mengaku datang dari Kateguhan itupun naik ke pendapa dan duduk di pringgitan pula menghadap Ki Panji Wirasentika.
"Anak-anak muda" berkata Ki Panji Wirasentika "Apakah kau sudah mengetahui alasannya, kenapa kalian harus singgah di rumahku"
"Sudah Ki Panji" jawab Raden Madyasta.
"Sudah", jadi kau sudah tahu alasannya?"
"Sudah Ki Panji, karena aku melihat orang itu berada disini"
"Orang itu adalah Ki Saudagar Kertaderma, ia seorang yang berpengaruh disini, seorang yang kaya raya dan banyak memberikan sumbangan bagi kesejahteraan rakyat Pasiraman Kulon"
"Sukurlah, kalau begitu"
"Nah, jika Ki Saudagar Kertaderma berada disini, kenapa kau langsung mengetahui alasannya, kenapa kalian dihadapkan kepadaku?"
"Ki Panji" berkata Raden Madyasta, "Ki Saudagar Kertaderma itu tentu sudah bercerita meskipun perlu dikaji kebenarannya, nah justru aku yang ingin tahu, apa yang telah dikatakan oleh Ki Saudagar Kertaderma itu kepada Ki Panji"
Wajah Ki Panji Wirasentika menjadi tegang, sikap anak muda itu menimbulkan kesan tersendiri, anak muda itu nampaknya terlalu percaya diri.
"Benar anak muda" berkata Ki Panji Wirasentika "Ki Saudagar Kertaderma memberitahukan kepadaku, bw kalian telah membuat Ki Saudagar Kertaderma itu curiga, selama ini telah banyak sekali terjadi tindak kejahatan di kadipaten Paranganom, kejahatan yang sebelumnya belum pernah ada"
"Kenapa hal itu terjadi di Paranganom", Ki Saudagar Kertaderma telah menyalahkan orang-orang Kateguhan, bukankah itu tidak adil", justru orang-orang Paranganom sendirilah yang harus bertanya kepada dirinya sendiri, kenapa akhir-akhir ini telah banyak sekali terjadi kejahatan", perampokan, penyamun di bulak-bulak yang sepi, pencurian dan kejahatan-kejahatan yang lain, bukankah itu membuktikan bw Paranganom tidak mampu menjaga ketenangan dan ketentraman hidup rakyatnya", bw para para petugas di Paranganom tidak mampu melindungi kawula yang tidak berdaya"
Darah Pembangkit Mayat 1 Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman Soccer Love 2