Pencarian

Darah Pembangkit Mayat 1

Pendekar Slebor 05 Darah Pembangkit Mayat Bagian 1


1 Buleleng. Suatu daerah yang cukup indah di Pulau Dewata-Bali.
Purnama mengambang di angkasa. Bisu dengan bias cahayanya yang lembut. Bintang-
bintang yang bertaburan mengintip dari celah awan tipis yang bergerak lamban.
Seakan, benda-benda langit itu mewarnai Hari Raya Galungan yang dirayakan hari
ini. Seluruh penduduk Buleleng pada hari keramat seperti ini selalu mempersembahkan
sesaji untuk para dewa, diiringi tarian gadis-gadis cantik dan para pemuda
tampan. Cokorde* Buleleng telah meninggalkan upacara.
Sementara acara terus dijalin oleh pergantian pasangan tari.
Di antara puluhan orang yang meramaikan
kemeriahan upacara, berdiri seorang pemuda tampan di sisi sebuah gapura.
Pakaiannya sederhana, terdiri dari baju hijau dan celana hijau pula. Pada
bahunya yang kekar tersampir sehelai kain bercorak catur.
Sementara tubuhnya bersender di gapura, angin malam nan dingin menjamah wajah
tampan serta rambut sepanjang bahu yang tak tertata itu. Matanya yang seperkasa
elang, menikmati gelora tari yang sedang dipergelarkan.
Sesekali pemuda itu terlihat menarik napas dalam-dalam. Entah apa yang
menyebabkannya begitu.
Mungkin sekadar ungkapan keterpesonaannya pada keindahan tari. Atau mungkin
hanya ingin menikmati
hawa malam. Atau bisa jadi ada sebab lain. Karena, matanya saat itu sedang
tertuju lekat pada dara penari di depan sana.
"Idayu Wayan Laksmi cantik bukan, Beli*?" usik seorang pemuda tanggung di
sebelahnya. "Apa?" pemuda berpakaian hijau itu malah balik bertanya, karena belum menangkap
arah ucapan pemuda tanggung ini.
"Itu, penari itu. Dia begitu menawan, bukan?"
tegas pemuda tanggung tadi.
"Ooo, ya, ya. Betul," kata pemuda berpakaian hijau-hijau membenarkan sambil
mengangguk-angguk.
"Namanya Idayu Wayan Laksmi."
"Apa?"
"Namanya Idayu Wayan Laskmi," ulang si Pemuda tanggung.
"Ooo...." lagi-lagi pemuda berpakaian hijau-hijau membulatkan bibirnya, "Dari
mana kau tahu?"
Pemuda tanggung bertelanjang dada dan
mengenakan penutup kain di pinggang hingga betis itu tersenyum bangga.
"Tentu saja aku kenal. Dia kan, Mbok* saya!"
cetusnya. Pemuda berpakaian hijau-hijau itu tertawa ringan.
"Kenapa Beli tertawa?"
"Rupanya kau punya tujuan tertentu membangga-banggakan kakakmu, ya?" ujar pemuda
berpakaian hijau-hijau menggoda.
"Ah, kata siapa?" sangkal pemuda tanggung dengan wajah asam.
"Kataku."
"Ah! Mbok-ku terlalu cantik untuk orang semacam Beli!" kilah pemuda tanggung itu
lagi. Tanpa sadar
telah dilontarkan sendiri tujuannya membangga-banggakan kakak perempuannya.
Pemuda berpakaian hijau-hijau itu mengangkat bahu.
"Ya sudah, kalau kau tak memerlukan aku," kata pemuda berpakaian hijau seraya
melangkah hendak pergi dari tempat itu.
"Beli tunggu!" tahan si Pemuda tanggung.
"Nan, kan?" goda pemuda yang penampilannya aneh itu. Langkahnya dihentikan.
"Kenapa?"
"Beli jadi kekasih Mbok-ku, ya?" kata si Pemuda tanggung ini. Jawaban itu
membuat lelaki muda yang diajak bicara tertawa kembali lebih keras.
"Sinting kau, ya?" gurau pemuda yang pada bahunya tersampir kain bercorak papan
catur itu. "Kenal pun belum, tahu-tahu saja kau sewenang-wenang menjodohkan
orang!" "Tolonglah, Beli..." pintanya memelas.
Pemuda tampan dan gagah di depannya meng-
garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bibirnya memperlihatkan senyum, seperti
seekor sapi tolol.
"Yaaa, aku sih mau saja. Siapa sih, yang sudi menolak gadis cantik seperti
kakakmu. Tapi kenapa kau begitu ngotot menjodohkan aku dengan kakakmu" Apa...,"
didekatinya pemuda tanggung itu.
"Kakakmu kakinya berbulu ya" Jadi, tidak ada pemuda yang mendekatinya?"
Pemuda tanggung itu langsung membelalak sewot.
Ingin rasanya menyemprot pemuda acuh yang mem-bisikinya itu.
"Aaah! Jangan cepat naik darah! Aku hanya bergurau, kok!" kata pemuda acuh itu,
sebelum pemuda tanggung di depannya berkata.
"Jadi Beli mau, bukan?" desak si Pemuda
tanggung. "Kalau mau, bagaimana?"
"Jangan nafsu dulu, Beli!"
Pemuda berambut gondrong di depannya mengumpat dalam hati.
"Bisa-bisanya anak ini menembakku dengan
ucapan itu!"
"Ada syaratnya, Beli!" kata pemuda tanggung itu.
"Apa?"
"Nama Beli siapa?"
"Andika," jawab pemuda berpakaian hijau yang ternyata Andika. Dialah pendekar
muda yang begitu terkenal sebagai Pendekar Slebor.
"Beli Andika seorang pendekar?" lanjut si Pemuda tanggung.
"Ngg..., orang bilang begitu."
"Pokoknya Beli harus seorang pendekar. Kalau tidak, ya tak jadi...."
Andika mengerutkan kening. Apa hubungannya kependekarannya dengan kakak
perempuan si Pemuda tanggung ini" Keingintahuannya membuat Andika jadi bertanya-
tanya. "Memangnya kenapa?" tanya Andika.
Pemuda tanggung itu segera menarik Andika ke balik gapura. Matanya melirik
takut-takut ke beberapa arah, seakan takut ada orang mengawasi.
Di balik gapura dibisikinya Andika dengan suara amat perlahan.
"I Made Raka, punya niat jahat sama Mbok..." jelas pemuda tanggung itu.
"Siapa I Made Raka?" tanya Andika sambil
menautkan sepasang alisnya.
"Dia amat ditakuti di banyak Banjar*" jelas pemuda tanggung. "Dia jatuh hati
pada Mbok. Tapi,
Mbok tidak mau karena tabiat dan prilakunya tidak senonoh dan kejam."
"Rupanya dia jawara, ya?" tanya Andika.
"Lagi pula, I Made Raka suka mempermainkan wanita, Beli. Sudah dipermainkan,
ditinggal begitu saja tanpa dinikahi. Banyak wanita yang bisulan gara-gara
dia...." "Bisulan?" Andika tak mengerti.
"Begini...."
Si Pemuda tanggung itu membusungkan perutnya sambil memberi isyarat dengan kedua
tangan. "Kini, Mbok-ku lah yang mulai diincarnya. Dan sebelum berangkat ke upacara tadi,
sempat kudengar dia berbicara dengan dua kaki tangan I Made Raka.
Kelihatannya, mereka berniat busuk pada Mbok Laksmi!" sambung si Pemuda
tanggung. "Beli mesti tolong dia!"
"Kenapa mesti aku?" tanya Andika. "Apa tidak ada orang yang berani menghadapi
kecoak-kecoak kudis macam mereka?"
Si Pemuda tanggung lebih mendekat ke telinga Andika. Sebentar kepalanya menoleh
ke kanan dan ke kiri.
"Sebab I Made Raka masih keluarga dekat
Cokorde..."
Andika mengangguk-angguk. Rupanya, orang yang bernama I Made Raka tergolong
manusia yang me-nerapkan aji mumpung, dengan memanfaatkan ke-kuasaan seorang
keluarganya untuk berbuat semena-mena. Manusia macam begini mesti dibuat kerak
bubur! "Bagaimana, Beli!" pancing si Pemuda tanggung itu, memenggal kata hati Andika.
"Bagaimana apanya?"
"Mau kan, jadi kekasih Mbok-ku?"
"Mmm. Kalau menolong kakakmu dari manusia itu, aku mau. Tapi tidak untuk
kekasihnya...," tutur Andika.
"Huh, sombong!" maki si Pemuda tanggung itu, merasa tersinggung.
Andika menyeringai bodoh. Tak terasa dia jadi menggerutu sendiri.
"Memangnya aku ini apa" Kambing congek yang gampang diamprok-amprokkan?"
"Kenapa Beli?"
"Ah, tidaaak...."
*** Malam terus beranjak makin larut. Tengah malam terlewati tanpa terasa. Upacara
Galungan telah selesai beberapa saat lalu. Sementara para pengunjung telah
kembali ke rumah masing-masing.
Begitu pula Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg, adiknya yang telah berbicara
dengan Andika beberapa saat lalu.
Pendekar Slebor sendiri tidak terlihat bersama mereka. Pendekar muda Tanah Jawa
Dwipa ini berada di sekitar lima belas kaki di belakang kedua kakak beradik itu.
Dia mengintai sambil berjalan di antara semak yang tumbuh di sisi jalan setapak.
"Ada pemuda asing yang ingin berkenalan dengan Mbok Laksmi," cetus I Ktut Regeg
seraya tetap melangkah di sisi kakaknya. "Waktu Mbok menari, kukatakan kalau
Mbok kembang Buleleng. Eee, tampaknya dia tertarik sama Mbok."
Idayu Wayan Laksmi di sampingnya membelalak-kan mata. Gadis ini amat tahu, siapa
I Ktut Regeg. Seorang adik yang begitu membanggakan kecantikan kakaknya secara berlebihan.
Sehingga, terkadang dia seperti seorang penjual patung yang sedang memuji-muji
dagangannya sendiri pada pembeli.
"Dia yang bertanya padaku kok, Mbok, " sergah I Ktut Regeg, berbohong.
Sementara, kakaknya terus memelototi. "Mbok pasti tidak akan melotot seperti
itu, kalau sudah melihat orangnya. Dia tampan, lho.
Biarpun yahhh..., penampilannya agak berantakan...."
Di semak-semak, kini giliran Andika melotot kesal.
"Setelah urusan ini selesai akan kusumpal mulut lancangmu dengan kotoran
kerbau!" ancam Andika dalam hati.
Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg terus me-lanjutkan langkah sambil berbincang
ringan. Di belakang mereka, Andika tetap menguntit tanpa diketahui. Sepanjang
perjalanan, berkali-kali matanya mengawasi wajah Idayu Wayan Laksmi ketika
menengok ke belakang.
Menurut Andika, wanita itu memang luar biasa.
Kecantikannya yang terpancar di wajahnya begitu mempesona. Matanya bulat
menggemaskan dengan bulu lentik bagai gapaian tangan bidadari. Apalagi dengan
tanda hitam yang diletakkan pada kedua pangkal hidungnya di bawah dahi. Makin
menggemaskan saja. Di atas mata itu, sepasang alis tipis namun hitam tumbuh
memikat. Hidungnya amat pas dengan bentuk bibir yang tipis memerah. Sementara
bagian bawah bibirnya, tampak bagai buah ranum menggoda.
Wanita itu mengenakan kain yang dibebatkan sebagai penutup tubuhnya. Pinggangnya
dililit selendang 'Tengkulang'.
Sedang rambutnya digelung gaya khas Bali, dihiasi
bebungaan. Berbeda dengan adiknya, yang bertubuh kurus dan agak hitam. Sedangkan Idayu
Wayan Laksmi berkulit kuning langsat. Tubuhnya pun sintal. Tak heran kalau
banyak pria yang jatuh hati padanya.
Tanpa terasa mereka telah berjalan cukup jauh.
Rumah kedua kakak beradik itu mungkin sudah dekat. Namun sepanjang perjalanan
belum ada tanda-tanda kalau I Made Raka muncul seperti cerita I Ktut Regeg.
Andika pun mulai berpikir kalau dirinya telah dibodohi seorang pembual kecil
bernama I Ktut Regeg.
Ketika kesabaran Andika sudah nyaris habis, mendadak tiga kelebat bayangan masuk
ke jalan setapak dari semak-semak. Mereka langsung menghadang Idayu Wayan Laksmi
dan I Ktut Regeg.
"I Made Raka," bisik Idayu Wayan Laksmi takut-takut, saat melihat siapa
penghadangnya. "Ya, aku. Kau terkejut, Geg*?" tegur I Made Raka dengan bibir mengumbar senyum
nakal. Lelaki itu berwajah cukup tampan. Tubuhnya agak kurus dan mengenakan bebatan
kain batik sutera.
Kepalanya yang berambut sepanjang bahu ditutup kain berujung lancip pada satu
sisinya. "Beli mau membiarkan aku lewat, bukan?" ucap Idayu Wayan Laksmi ragu-ragu.
"Aku membiarkanmu lewat?" I Made Raka tertawa berderai-derai, diikuti anak
buahnya yang berdiri di belakang.
Tawa ketiga lelaki itu membuat Idayu Wayan Laksmi menjadi kian takut.
Direngkuhnya tangan I Ktut Regeg kuat-kuat. Sementara, matanya menatap takut-
takut pada I Made Raka. I Ktut Regeg yang direngkuh malah seperti tidak
mempedulikan kedatangan ketiga lelaki di depannya. Matanya sibuk melirik ke sana kemari,
mencari Andika. Setelah matanya menemukan pendekar muda itu di satu semak, baru
ditatapnya I Made Raka bengis-bengis.
"Kami akan pulang, Beli, " kata I Ktut Regeg mantap. "Jangan coba-coba
mengganggu kami!"
Sekali lagi, tawa ketiga penghadang mereka meledak.
"Apa aku tak salah dengar" Cacing kecil ini berani mengancamku, ya?" kata I Made
Raka, setelah tawanya terhenti.
Dengan gaya seorang ksatria, I Ktut Regeg maju ke depan tubuh Idayu Wayan
Laksmi. Dadanya yang tipis dibusungkan dengan wajah terangkat menantang.
"Kau tak salah dengar, Beli, " tukas I Ktut Regeg sok pahlawan, dengan suara
lantang. "Biar bagai-manapun, aku orang Bali sejati yang siap mengorban-kan jiwa
demi keadilan dan kebenaran. 'Sepi ing pamrih rame inggawe'!"
I Ktut Regeg seakan-akan benar-benar memiliki keberanian. Padahal kalau Andika
tidak di dekat mereka, sudah pasti dia ikut merengkuh tubuh kakaknya kuat-kuat.
"Ha ha ha...!" I Made Raka tergelak nyaring. "Kau cukup punya nyali untuk
meminta dihajar."
"Cobalah!" tantang I Ktut Regeg.
Kata-kata I Ktut Regeg bagai menginjak-injak kepala I Made Raka. Yang makin
membuat jengkel, anak itu juga memukul dadanya sendiri seraya mengangkat wajah
tinggi-tinggi. "Regeg!" hardik Idayu Wayan Laksmi, mem-
peringati. "Biar, Mbok. Jangan dipisahkan!" seru I Ktut Regeg jumawa. Padahal, berkelahi
pun belum pernah.
"Akan kucincang kau, Bocah!" bentak I Made Raka, tak bisa menahan kegusaran.
Didekatinya I Ktut Regeg dengan langkah terbanting keras. Tangannya siap
menghajar wajah I Ktut Regeg.
Baru saja tangan I Made Raka terangkat tinggi-tinggi, mendadak satu desiran
halus terdengar.
Wesss...! Prot! Sesuatu yang lembek dan hangat tahu-tahu
mampir di telapak tangan lelaki itu. Tak hanya lembek dan hangat. Begitu I Made
Raka mengendus tangannya, ternyata benda lembek dan hangat itu juga bau...!
"Kotoran sapi sebagai hadiah perkenalan!" ucap seseorang tiba-tiba dari belakang
Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg.
Seketika I Made Raka melotot lebar-lebar. Diturun-kan tangannya cepat-cepat.
Bodohnya, tangannya yang tertiban ampas binatang itu kembali diciumnya.
Seolah hendak dibuktikan kalau itu benar-benar kotoran sapi. Maka, kontan saja
wajahnya jadi memerah serta cuping hidung terangkat tinggi-tinggi.
Sebentar kemudian....
"Khoeeek!"
*** 2 "Siapa orang yang berani kurang ajar pada I Made Raka"!" bentak I Made Raka
kalap sambil mengibas-ngibaskan tangan.
Andika melangkah ke depan. Dari kegelapan naungan pepohonan lebat, Pendekar
Slebor muncul. Wajah dan penampilannya kini jelas terlihat karena siraman sinar purnama.
"Kau bicara padaku?" tanya Andika pura-pura bodoh.


Pendekar Slebor 05 Darah Pembangkit Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

I Made Raka mengawasi Andika tajam. Bola matanya yang nyaris membulat penuh
seperti hendak menelan pemuda di depannya. Wajahnya tampak merah matang, seperti
kepiting rebus.
"Siapa kau"!" tanya lelaki itu menghardik. "Baru kali ini kulihat wajahmu!"
"Rasanya aku juga baru kali ini melihat tampang menjengkelkanmu itu," balas
Andika enteng. "Siapa namamu"!" ulang I Made Raka lebih keras.
"Kenapa tanya-tanya segala" Naksir ya?"
"Bangsat!"
"He he he...," Andika malah terkekeh, seperti tak merasa bersalah secuil pun.
"He he he...," timpal I Ktut Regeg mengikuti gaya Andika, membuat kemarahan I
Made Raka makin menjadi.
Lelaki itu lalu uring-uringan tak karuan. Dia mencak-mencak seperti kakek peot
kebakaran jenggot.
"Kalian telah mempermainkan keluarga Cokorde!
Kalian tahu itu"! Kalau kalian tak segera bersujud minta maaf padaku, akan
menyesal seumur hidup!"
maki I Made Raka panjang pendek.
"Wah, gerakanmu nyatanya lebih bagus daripada tarian di upacara tadi," cemooh
Andika seraya mengusap-usap dagu serta mengangkat satu alisnya.
"Cukup sudah! Hajar!" perintah I Made Raka pada kedua anak buahnya.
Lelaki bertubuh tinggi dan buntal maju ke muka.
Dihampirinya Andika dengan wajah dipasang garang.
Dia mengira orang akan ngeri melihat wajahnya.
Padahal, mimik mukanya lebih mirip orang dungu.
Sambil menggeram, tangan lelaki berbadan boros itu melayang di udara. Gerakannya
lamban, namun cukup bertenaga. Bagi Andika, lawannya sekarang ini tak lebih
cecunguk yang hanya modal tenaga.
Dengan bibir tetap menyeringai, Pendekar Slebor bergerak sedikit ke belakang.
Tanpa terlihat bergerak sedikit pun, tangannya langsung menjentik ke ikat kain
penutup tubuh tinggi dan gemuk itu.
Tes! Semuanya terjadi begitu cepat. Sampai-sampai, laki-laki itu sendiri tak
menyadari kalau kain penutup tubuhnya telah melorot. Maka bukan main blingsatan-
nya lelaki berbadan seperti kerbau itu, menyadari badannya yang seperti tumpukan
lemak terbuka bebas tanpa penutup, kecuali celana pendek hitamnya. Kedua
tangannya berusaha menutupi bagian perutnya yang buncit, tapi tetap terlihat
seperti kepala dedemit sedang mengintip.
Lalu tanpa mempedulikan Andika lagi, bergegas diangkatnya kain dari bawah
tubuhnya. Lalu, dia lari menuju tempat gelap.
"Awas ada kerbau hamil!" ledek Andika, diiringi tawa renyah.
Kaki-tangan I Made Raka yang lain langsung maju.
Penampilannya cukup meyakinkan. Kumisnya mem-bentang, tak beda tanduk kambing
buduk. Menilik pakaiannya yang berbentuk kemeja hitam tanpa kerah serta celana
pangsi bisa jadi dia bukan penduduk asli Bali.
Penuh lagak meyakinkan, lelaki itu meloloskan golok besar dari libatan kain di
pinggangnya. Sret!
Dia pun menggeram aneh. Barisan gigi kuningnya diperlihatkan lebar-lebar seperti
tak tahu malu. "Akan kubuat daging cincang kau, Anak Muda!"
ancam laki-laki itu berat.
"Monggo*..." kata Andika, seraya mengayun tangan ke depan untuk mempersilakan.
"Hiaaah!"
Laki-laki bertampang bengis ini mulai membuka serangan. Satu tebasan telengas
ditujukan ke batang leher Pendekar Slebor. Meski mata senjata itu nyaris mampir
di leher, namun Andika masih terlihat tenang-tenang saja.
Dan ketika tinggal seujung kuku lagi golok besar milik lelaki berkumis baplang
membabat lehernya, tubuh Pendekar Slebor tahu-tahu berkelebat secepat hantu.
Gerakan menghindarnya memang terlalu cepat, sehingga laki-laki berkumis itu
menyangka Andika menghilang begitu saja.
Mata orang itu mendadak melotot sebesar uang logam, tanpa berkedip sedikit pun.
Bibirnya langsung bergetar tergagap-gagap.
"Ded... ded... de...," laki-laki berkumis baplang itu, tergagap.
"Dedemit!" bentak Andika.
Seperti dikejar sekawanan setan, lelaki itu langsung lari tunggang langgang.
Malah kepalanya tak sempat lagi menoleh ke arah tuan besarnya yang juga ikut
melongo, menyaksikan pemuda yang mem-permainkannya yang tiba-tiba menghilang,
dan muncul tiba-tiba pula.
Sesaat kemudian, I Made Raka ikut tunggang langgang, mengekori kedua anak
buahnya. Masih bagus, tak terkencing-kencing.
"Nah! Sekarang kalian aman untuk meneruskan perjalanan pulang," ucap Andika,
setelah ketiga lelaki bejat tadi tak terlihat lagi.
"Oi, hebat! Beli betul-betul pendekar jempolan!"
puji I Ktut Regeg pada Andika.
"Ya, ya," sergah Andika. "Tapi kau juga menyebut berantakan tadi, bukan?"
I Ktut Regeg terkekeh.
"Ini orang yang kuceritakan tadi, Mbok," ujar I Ktut Regeg langsung menoleh ke
arah Idayu Wayan Laksmi. Diperkenalkannya Andika. Bahkan langsung disambarnya
lengan Andika untuk didekatkan pada kakaknya.
"Terima kasih atas pertolongan Beli."
Gadis jelita itu tersipu-sipu, meski masih ada sisa ketakutan di wajahnya.
"Aku Andika," kata Andika memperkenalkan.
"Laksmi," balas gadis itu disambutnya uluran tangan pemuda tampan di depannya
sungkan-sungkan.
"Ya, aku sudah tahu," kata Andika lagi.
"Dari aku dia tahu, lho Mbok!" sela I Ktut Regeg.
"Aku tak mau tahu," tukas Andika acuh. "Bagaimana kalau kuantar kalian sampai di
rumah?" "Ooo.... lebih baik begitu, Beli!" serobot I Ktut
Regeg, sambil mengerling pada kakaknya.
Idayu Wayan Laksmi tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menarik napas panjang-
panjang. Dan sebentar saja, ketiganya sudah nampak berjalan beriringan diselingi
obrolan ringan.
*** Idayu Wayan Laksmi mempersilakan Andika untuk masuk dulu. Mulanya pemuda itu
menolak, karena hari sudah larut malam. Tapi Idayu Wayan Laksmi terus memaksa.
Lebih-lebih I Ktut Regeg. Akhirnya Pendekar Slebor ikut juga masuk ke dalam
rumah berbentuk gubuk besar ini.
"Mana kedua orangtua kalian?" tanya Andika, setibanya di dalam ruang tengah.
"Kami hanya tinggal berdua," jawab Idayu Wayan Laksmi. "Kedua orangtua kami
telah meninggal beberapa tahun lalu."
Andika mengangguk-angguk. Dia ikut prihatin, walau tak ditampakkan secara
langsung. "Silakan duduk, Beli!"
Andika menggeser bangku kayu berukir, lalu duduk. Idayu Wayan Laksmi sendiri
pamit pada Andika untuk pergi ke belakang sebentar. Sedangkan I Ktut Regeg sudah
pergi entah ke mana. Anak muda tanggung itu tidak terlihat lagi di ruang depan.
Selang tak lama kemudian, Idayu Wayan Laksmi muncul lagi membawa secangkir kopi
hangat. Diletak-kannya cangkir tanah liat itu di meja di depan Andika.
Langsung dipersilakannya Andika.
Andika mengangkat cangkir, lalu menyeruputnya.
"Maafkan adikku, Beli," Idayu Wayan Laksmi mulai angkat bicara, begitu Andika
selesai meneguk kopi.
"Mungkin dia telah lancang berbicara pada Beli."
"Ah, biasa," sergah Andika. "Sekarang ke mana anak itu?"
"Di belakang. Entah apa yang dikerjakannya. Tapi dia membawa peti berukir dengan
golok. Aku tidak tahu lagi, apa yang akan dikerjakannya," ucap Idayu Wayan
Laksmi. "Peti" Peti apa?"
"Aku tidak tahu, Beli. Katanya, dia menemukannya di dekat pantai."
"Boleh aku melihatnya?" tanya Andika.
Idayu Wayan Laksmi mengangguk. Segera diantar-nya Andika ke halaman belakang
rumah mereka. Di sana, I Ktut Regeg tampak tengah berusaha mencongkel tutup peti
dengan golok. "Apa yang kau kerjakan, Regeg?"
I Ktut Regeg menoleh pada Andika.
"Ini, Beli. Aku hanya penasaran pada isi peti ini.
Tampaknya isinya menarik," sahut I Ktut Regeg tanpa berhenti mencongkel.
"Boleh kulihat?" pinta Andika, segera berjongkok di sisi I Ktut Regeg.
"Ini...."
Anak muda tanggung itu menyerahkan peti selebar lengan manusia itu. Andika
segera menerimanya, kemudian memandanginya beberapa saat.
Peti dari kayu jenis langka itu pada setiap sisinya diberi ukiran yang
menggambarkan perkelahian Kala* dengan seorang ksatria. Cukup berat juga.
Ketika diguncang-guncangkan, terdengar bunyi sesuatu yang bergulir. Jelas, peti
ini memiliki isi. Entah apa, Andika sendiri tak tahu.
"Beli bisa tolong membukakannya?"
"Kenapa harus dibuka" Mungkin ini milik se-
seorang. Bukankah lebih baik menunggu orang yang merasa kehilangan benda ini,
kemudian diserahkan kembali padanya?" cegah Andika.
"Tapi aku menemukannya dalam keadaan ter-
kubur ketika hendak...."
"Eee...," potong Andika cepat. "Kau lupa pada ucapanmu ketika I Made Raka
menghadang kalian"
Kau bilang, kau adalah orang Bali sejati yang sudi membela kebenaran dan
keadilan dengan
pengorbanan jiwa?"
I Ktut Regeg membuang napas.
"Bagaimana" Setuju?" tanya Andika.
"Tapi aku hanya ingin melihat isinya, Beli!"
Andika menggelengkan kepala, lalu bangkit membawa peti itu masuk ke rumah.
"Beli...."
"Aku tak dengar...."
"Huh, pendekar berantakan!" makinya mangkel.
*** Malam meringkus seluruh pelosok Buleleng.
Seusai upacara Galungan, desa menjadi sepi. Apalagi ketika hari bergulir ke
ambang pagi. Karena desakan Idayu Wayan Laksmi yang masih takut kalau-kalau I Made Raka
datang menyatroni kembali, Andika akhirnya bermalam di gubuk besar milik dua
kakak-beradik itu.
Tempat kediaman itu kini senyap. Baik Idayu Wayan Laksmi, I Ktut Regeg, maupun
Andika, semuanya tidur nyenyak. Rasa letih yang sarat membuat mereka begitu.
*** 3 Jauh di pinggir utara daerah Buleleng, tampak dua orang berjalan menelusuri
lembah. Ada sesuatu yang tengah dilakukan mereka. Keduanya tampak bersama-sama
menyeret sebuah peti besar dengan tambang yang diikatkan pada satu bagian peti.
Melihat bentuknya, cepat bisa diduga kalau benda itu sebuah peti jenazah.
Warna peti mati itu sudah begitu kusam. Namun karena terbuat dari kayu jenis
langka yang tahan rapuh, jadi tidak mengalami kerusakan meski terseret-seret di
jalan berbatu. Hanya saja tetap terdengar suara ribut, karena benturan-benturan.
Sementara debu beterbangan di sisi peti mati, membuat peti itu makin terlihat
kusam dan angker.
Buat orang-orang biasa, peti itu mungkin harus diseret empat atau lima orang
karena demikian besarnya. Namun tidak bagi kedua lelaki itu.
Sebenarnya, bukan karena badan mereka besar.
Malah bisa dibilang, perawakan keduanya tak seimbang dengan beban yang sedang
dibawa. Yang seorang berbadan kurus agak bungkuk.
Wajahnya buruk. Malah bisa dikatakan mengerikan, karena matanya yang membesar
seperti hendak melompat keluar dan hidung yang tak berbatang.
Rambutnya panjang dan kotor, berwarna kemerahan.
Dia mengenakan rompi sepanjang paha, serta kain hitam sebagai pengganti celana.
Sedang yang seorang lagi berbadan kurus, tapi lebih tinggi. Wajahnya tak bisa
digambarkan, karena
mengenakan caping yang menutupi seluruh kepalanya. Pakaiannya hanya berupa kain
merah panjang, yang diberi lubang di tengahnya sebagai kerah. Agar tidak terbuka
ke mana-mana, kain di bagian pinggang diikat kulit ular yang berguna juga untuk
meng-gantung pundi-pundi kecil dari tanah liat.
Mereka terus melangkah pasti ke sebuah padang ilalang. Tumbuhan setinggi manusia
itu diterabas tanpa kesulitan berarti. Setelah melewati padang ilalang, mereka
tiba di sebuah bukit kecil yang di atasnya berdiri satu gubuk panggung kecil.
"Kita sudah sampai, kakang Lalinggi," ucap lelaki berwajah buruk.
Lelaki yang dipanggil Lalinggi menoleh. Lalu diberinya isyarat kecil dengan
gerakan kepala, disambut anggukan oleh laki-laki berwajah buruk.
Segera laki-laki berwajah buruk itu melepas tambang penyeret peti. Mulai
dilakukannya gerakan pernapasan. Diawali komat-kamit dibibirnya, tangannya
membentuk paruh gagak dalam gerakan perlahan berbentuk putaran. Sesaat
berikutnya.... "Husss!"
Bfiiing! Bersama lengkingan tinggi, tiba-tiba dua rangkum pukulan tak berwujud dari laki-
laki berwajah buruk meluncur deras ke arah gubuk panggung.
Brak! Brak! Bagai dihantam dua bongkah batu besar dari dua sisi, gubuk naas itu kontan
porak-poranda. Dinding-nya yang terbuat dari papan berhamburan ke segala arah.
Begitu pula atapnya yang terbuat dari daun kelapa kering.
Di antara tebaran pecahan kayu dan serpihan atap, tampak sesosok tubuh menerobos
ringan laksana rajawali di udara. Kedua tangannya mem-bentang lebar, menjaga
keseimbangan agar tetap meluncur lurus ke atas. Pada ketinggian puncak, sosok
tubuh itu berputaran di udara. Dan kini tubuhnya meluncur lurus ke bawah dengan
kedua tangan terlebih dahulu. Sebelum benar-benar tiba di permukaan tanah,
kembali dilakukannya putaran, sehingga kakinya menjejak mantap tanpa cedera.
Tepat di depan puing-puing reruntuhan gubuk, orang itu berdiri tegak.
Melihat ketangkasannya di udara, bisa diduga kalau laki-laki itu berkepandaian
cukup tinggi. Usianya kira-kira delapan puluh tahun. Seperti layaknya penduduk
Bali, dia mengenakan babatan kain batik dari dada hingga ke batas lutut. Di
pinggangnya terlihat kain hitam sebagai tempat menyisipkan keris.
Rambutnya yang putih, panjangnya sampai ke punggung. Di wajahnya yang
berkeriput, tak ada selembar kumis atau jenggot pun. Mungkin karena itu pula
wajahnya terlihat bersih berwibawa.
"Siapa kalian berdua?" tanya orang tua itu dengan segumpal ketidakmengertian.
"Kami Sepasang Datuk Karang!" balas lelaki bercaping itu, memperkenalkan diri.
Wajah lelaki tua yang berdiri dua puluh tombak di depan mereka terlihat makin
mengerut. Sepertinya, sedang berusaha mengingat-ingat nama yang baru disebutkan
tadi. "Aku tak kenal kalian," kata laki-laki tua itu lebih lanjut.
"Tentu saja kau tidak tahu kami, karena selama ini selalu menyembunyikan diri
seperti seorang pecundang!" kata Lalinggi lagi, yang merupakan orang tertua dari
Sepasang Datuk Karang.
"Jadi, siapa sebenarnya kalian" Dan ada sangkut-paut apa denganku?"
"Kami menginginkan peti yang kau kubur di pulau ini, lima puluh tahun lalu!"
sambar lelaki yang berwajah buruk.
Si Lelaki tua itu memegangi dagunya. Wajahnya kembali memperlihatkan kerutan
lebih banyak. Sedang matanya menyipit, tertuju ke arah lain.
Sepertinya dia berusaha mengingat peristiwa lima puluh tahun lalu.
"Hm, peti itu," gumam laki-laki tua itu perlahan.
"Kenapa dengan peti itu" Dan kenapa kalian begitu menginginkannya?"
"Kau tak perlu tahu! Tunjukkan saja, di mana tempatnya!" bentak lelaki berwajah
buruk yang cepat naik darah.
"Tidak bisa." putus laki-laki tua itu tegas, sambil menggeleng.
"Perlu kau tahu, Pak Tua. Kami hanya ingin agar kau memberitahu di mana peti itu
dikuburkan. Kalau kau tak bersedia dengan cara yang baik ini, kami akan memaksa
mulutmu berbicara," ancam lelaki bercaping dingin dan datar.
"Cepat katakan!" bentak lelaki berwajah buruk sekali lagi.
Dan sekali lagi pula orang yang diminta bicara ini menggeleng mantap.
"Paksa dia, Gumbala!" perintah Lalinggi.


Pendekar Slebor 05 Darah Pembangkit Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lelaki kurus berwajah buruk yang bernama
Gumbala pun bersiap. Sambil maju dengan langkah membentuk kuda-kuda, tangannya
memainkan jurus kembangan. Sama seperti saat pertama menghancurkan gubuk, kedua
tangannya membentuk paruh gagak.
Empat tombak lagi jaraknya dengan lelaki tua itu, tangan seorang dari Sepasang
Datuk Karang ini bagai sedang mencabik-cabik udara di depannya.
"Hiaaah!"
Tiba-tiba kaki Gumbala melangkah cepat. Seretan kaki pada tanah kering itu
menyebabkan debu beterbangan ke udara, menutupi sehagian tubuhnya.
Bfing! Bunyi melengking tinggi tercipta, manakala tangan kanan laki-laki berwajah buruk
itu menyambar cepat ke dada lawan.
Tentu saja lelaki tua ini tak sudi dadanya ter-tembus jari Gumbala. Segera
dibentuknya benteng pertahanan dengan menyorongkan pergelangan tangan ke depan.
Des! Serangan pertama Gumbala dapat ditangkis laki-laki tua ini.
Bfing! Bfing! Dan belum juga laki-laki tua itu bersiap, Gumbala kembali meruntunkan dua
cabikan jari ke kening dan selangkangan. Benar-benar jurus kejam mematikan!
Jika sambaran angin pukulannya saja sudah terasa bagai sabetan cemeti, bagaimana
lagi kalau benar mengenai sasaran"
Lelaki tua menyadari keampuhan jurus seorang dari Sepasang Datuk Karang ini.
Bertindak gegabah berakibat maut. Apalagi setelah merasakan bagaimana perihnya
angin pukulan Gumbala. Maka serangan yang datang kali ini tidak dipapakinya. Dia
tahu, jika dicoba memapak berarti angin pukulan lawan akan jatuh tepat di
wajahnya. Hal itu bisa mengakibatkan penglihatannya hilang beberapa saat.
Dan jelas, itu sangat berbahaya.
Maka lelaki tua itu pun segera menyeret langkah ke belakang tiga tindak. Tak
urung, sambaran angin patukan jari Gumbala menyambar sebagian wajahnya.
Untunglah, tak begitu parah.
Dan ketika tangan Gumbala hanya memakan
angin di depan dada, lelaki tua melihat tempat kosong di bagian kepala. Dengan
sigap diangkatnya kaki tinggi-tinggi, lalu disentakkannya ke arah kepala.
Deb! Seorang dari Sepasang Datuk Karang ini rupanya cukup jeli membaca serangan
lelaki tua itu. Dengan cepat dia menjatuhkan diri ke tanah. Berbarengan dengan
itu, kaki kanannya diputar dari belakang ke depan, untuk membabat sebelah kaki
lawannya yang sedang menopang tubuh.
Srrrt! "Haih!"
Mau tak mau, lelaki tua itu harus mendorong kaki yang masih di udara kuat-kuat
ke atas. Dengan begitu, ayunan kakinya bisa dimanfaatkan untuk berjumpalitan ke
belakang. Wrrr! Bring! Sekejapan saja. di belakang suara geletar kain penutup tubuh lelaki tua itu
kembali menyusul lengkingan nyaring dari patukan jari Gumbala ke punggungnya
yang terbuka. Keberuntungan tampaknya masih mengikuti si Lelaki tua. Kecepatan sambaran tangan
Gumbala, tidak bisa mengimbangi putaran tubuhnya. Alhasil.
patukan tadi pun lolos begitu saja.
"Aku tak mengerti, apa gunanya peti itu bagi kalian?" kata lelaki tua setelah
membentuk kuda-kuda delapan langkah di depan lawannya.
"Kau tak perlu mengerti. Kau hanya perlu
mengatakan, di mana kau kubur peti itu. Dengan begitu, kau tak akan kehilangan
nyawa!" hardik Gumbala.
Baru saja kata-kata itu kering, tanpa mau menunggu lebih lama, Gumbala melabrak
lelaki tua itu.
"Hiiiah!"
Bfing... bfing... bfing!
Dengan maksud mencecar, Gumbala mengirim
tiga patukan bertubi-tubi ke arah laki-laki tua itu.
Patukan pertama mengarah ke biji mata kanan, yang kedua mengarah ke uluhati,
sedang yang ketiga ke daerah kematian di selangkangan.
"Haith... hiah... hih!"
Lelaki tua ini cepat memiringkan tubuh ke kiri dan kanan. Dengan cara itu, dia
tak lagi terganggu angin pukulan Gumbala yang menyerbu ke depan.
Kemudian.... "Khaaa!"
Beriring satu teriakan menggelegar, tangan laki-laki tua ini mengejang membentuk
kepalan. Secepat itu pula dua kepalan tadi dihantamkan ke dada tipis Gumbala di
sampingnya. Wuuubh! Namun, seorang dari Sepasang Datuk Karang ini cepat bertindak sambil menarik
dadanya ke belakang, telapak tangannya cepat disorongkan ke depan.
Gumbala mementahkan serangan lawannya, dan langsung melenting berputaran.
"Kau belum berbicara, Tua Bangka"!" seru
Gumbala, begitu mendarat di tanah.
"Aku tak akan sudi buka mulut pada manusia-
manusia macam kalian!" balas lelaki tua.
"Baik kalau memang begitu maumu!" geram
Gumbala. Selesai berkata penuh ancaman tadi, Gumbala membuka satu jurus baru. Kali ini
jurus-jurus andalannya hendak dikerahkan agar urusan cepat selesai.
Dalam lima tarikan napas, Gumbala terdengar menggeram bagai erangan naga. Dan
tangannya yang masih membentuk paruh gagak dibenamkan di dadanya yang mencekung.
Saat berikutnya, tubuh kurus-nya berguncang hebat. Perlahan, sepasang kakinya
meregang bagai ditarik kekuatan tak terlihat.
"Huaaa!"
Diawali satu teriakan ganjil, Gumbala meng-hempaskan tangannya ke muka dengan
punggung tangan lebih dahulu. Dorongan angin besar seketika pun tercipta,
menerpa lelaki tua itu hingga terseret beberapa kaki ke belakang.
Saat selanjutnya keanehan terjadi. Dari setiap ujung jari Gumbala, perlahan
menyembul kuku-kuku hitam lancip. Dan setiap kukunya, asap kekuningan terlihat
mengambang di sekitarnya. Tampaknya dia sedang memusatkan racun keji pada setiap
ujung jarinya. Pada saat lelaki tua itu terpana-pana dalam tatapan tak berkedip, Gumbala tiba-
tiba meluruk ke arahnya.
"Hwaaa!"
Teriakan berbau maut dari mulut Gumbala
menyentakkan lelaki tua itu, hingga tersadar.
Mengetahui lawan akan merangseknya dengan jurus-jurus andalan, lelaki tua itu
segera meloloskan keris dari lipatan kain di pinggang.
Sret! Wes! Baru sekejap keris pusaka diloloskan, tangan Gumbala menyambar deras ke
wajahnya. Seketika sebentuk cahaya kekuningan terbersit dalam bentuk melengkung
di ujung sambaran.
Lelaki tua itu terkesiap. Disadari benar kalau lengkungan sinar kuning itu akan
membuat tubuhnya mengejang biru, jika sedikit saja tersentuh. Karena itu, sebisa
mungkin wajahnya dijorokkan ke belakang.
Dengan kerisnya, dibabatnya tangan lawan yang menuju wajahnya.
Wesss! Trang! Luar biasa! Mata keris yang mampu membelah batu karang ini ternyata tidak
berdaya membentur ujung tangan lawan. Senjata itu bagai baru saja menghantam
baja murni, hingga menyebabkan timbulnya percikan bunga api. Bahkan tubuhnya
sampai terjajar beberapa langkah.
Untuk kedua kalinya lelaki tua itu terpana. Matanya terbelalak besar sebagai
ungkapan kekagetan sekaligus kekagumannya. Sayang, keterpanaannya kali ini
membuatnya tak ingat pada serangan lawan.
Maka kesempatan itu dimanfaatkan benar-benar oleh Gumbala. Seketika satu sodokan
mematikan dilancarkan ke depan. Dua tangannya yang berkuku panjang dan tajam
langsung dihujamkan ke bagian dada lelaki tua ini.
Cras! Cras! "Aaakh!"
Satu lengkingan panjang kontan terlontar dari si Lelaki Tua. Tubuhnya sendiri
tersentak tertahan dua langkah ke belakang. Kedua tangannya langsung
memegangi dadanya yang berlubang kehitaman.
Hangus dengan darah membeku.
Setelah berdiri limbung beberapa saat, tubuh tua itu tersungkur. Sekujur
badannya membiru. Yang lebih menggiriskan setiap lembar rambutnya ber-tebaran
disapu angin. "Kau memang bodoh, Tua Bangka!" sergah
Gumbala. Laki-laki berwajah buruk ini tiba-tiba meludahi mayat laki-laki tua itu. Lalu
langsung didekati kawannya.
"Kita harus mencari tahu dari yang lainnya, Kang.
Dia terlalu keras kepala untuk buka mulut," ujar Gumbala pada Lalinggi.
Yang diajak bicara hanya mengangguk pelan.
Tak lama kemudian, keduanya sudah meninggalkan bukit kecil itu bersama gemuruh
peti mati terseret.
*** 4 Tak terasa, telah dua malam Andika menginap di rumah Idayu Wayan Laksmi dan I
Ktut Regeg. Dan sore ini, Pendekar Slebor berpamitan untuk meneruskan
perjalanan. Padahal tujuannya saat ini belum bisa dipastikan. Ke mana kaki
melangkah, ke sana pula tujuannya.
Sebenarnya, jauh di lubuk hati, Idayu Wayan Laksmi tidak ingin Andika pergi. Di
samping merasa aman akan kehadiran seorang pendekar muda di rumahnya, dia juga
mulai merasakan tumbuhnya benih yang sulit dilukiskan.
"Bagaimana kalau I Made Raka kembali lagi ke sini, Beli?" tanya Idayu Wayan
Laksmi sebagai alasan keberatannya terhadap kepergian Andika, ketika mereka
berada di luar rumah.
"Kau bisa berdoa pada Tuhan untuk memohon perlindungan. Karena sebaik-baiknya
perlindungan, ada di tangan-Nya," sahut Andika.
"Biar saja dia pergi Mbok! Dikira hanya dia saja yang bisa menghadapi si Raka!"
I Ktut Regeg yang masih mangkel pada Andika yang melarangnya membuka peti,
dengan acuh bersuara dari dalam rumah gubuk.
"Regeg!" bentak Idayu Wayan Laksmi kesal.
Adiknya itu malah tidak membantunya sama sekali untuk menahan Andika.
Andika sendiri hanya tersenyum menahan tawa.
"Tapi Beli janji akan kembali lagi ke sini, bukan?"
mohon Idayu Wayan Laksmi, sepenuh hati. Wajah
ayunya menampakkan keberatan nan dalam.
"Akan kuusahakan," jawab Andika, lembut.
"Biarkan dia pergi, Mbok! Dia itu pemuda sombong!" sergah I Ktut Regeg lagi.
Anak muda tanggung itu kini sudah muncul di ambang pintu. Kepalanya dijulurkan
dengan wajah ditekuk.
"Waktu itu saja dia mengatakan, tak ingin menjadi kekasih Mbok. Padahal aku
sudah setengah mampus menawarkan Mbok jadi keka...."
I Ktut Regeg memenggal ocehannya, karena tiba-tiba saja kakaknya berbalik dengan
mata melotot. "Keterlaluan kamu, Geg!" hardik Idayu Wayan Laksmi.
I Ktut Regeg cepat menutup mulutnya dengan tangan.
"Eee, ketelepasan," gumam pemuda tanggung itu enteng.
"Maafkan adikku, Beli, " tutur Idayu Wayan Laksmi cepat pada Andika. "Mulutnya
memang suka seenaknya berbicara."
Tampak wajah gadis itu bersemu merah karena menahan malu.
"Tidak apa-apa," sahut Andika.
Dalam hati, pendekar muda itu ingin sekali menyumpal mulut I Ktut Regeg dengan
setumpuk telur busuk.
"Aku pamit, Laksmi," hatur Andika.
Setelah menjura pada Idayu Wayan Laksmi,
Pendekar Slebor pun berbalik dan melangkah pergi.
"Tunggu, Beli..." tahan Idayu Wayan Laksmi.
Gadis itu ingin sekali mengiringi kepergian Andika hingga ke batas desa. Tapi
rasa sungkan membuatnya tak jadi mengungkap keinginan, ketika
Andika menoleh.
"Ada apa, Laksmi?" tanya Andika, karena gadis ayu itu tidak juga bicara.
Idayu Wayan Laksmi tergagap, wajahnya kembali dirayapi warna merah merona.
"Tid... tidak apa-apa, Beli" jawab Idayu Wayan Laksmi cepat. "Aku hanya ingin
mengatakan, hati-hati."
"Terimakasih," kata Andika, lalu melangkah kembali.
Idayu Wayan Laksmi terus memandangi punggung pemuda itu sampai tertelan
kerimbunan semak di kejauhan. Entah disadari atau tidak, mata gadis itu tampak
berkaca-kaca. Mungkin merasa begitu kehilangan pada lelaki tampan yang baru
dikenalnya dua hari itu.
*** Matahari terus merangkak dalam garis edarnya.
Pada puncak siang, sinarnya memanggang garang wajah bumi. Suasana menjadi tidak
nyaman. Bahkan angin pun terasa panas berhembus.
Andika kini telah tiba di suatu daerah berhutan.
Berarti, Pendekar Slebor berjalan semalaman hingga siang ini. Panas yang sejak
tadi tak dipedulikannya, kini tidak bisa lagi menyengat karena lindungan daun
pepohonan tinggi.
Sambil bersiul mendendangkan lagu ceria, Andika menembus hutan yang tak begitu
lebat. Dan begitu memasuki pedalaman hutan, telinganya yang terlatih menangkap
suara erangan. Langkahnya dihentikan untuk memasang pendengaran lebih tajam.
"Hm.... Kira-kira tiga puluh depa dari sini," bisik
Pendekar Slebor menentukan asal suara itu.
Cepat Pendekar Slebor menggenjot tubuhnya.
Naluri kependekarannya langsung memerintah untuk segera tiba. Maka segera
dikerahkannya ilmu meringankan tubuh, sehingga sekejap saja tubuhnya sudah
berkelebatan dari satu pohon ke pohon lain.
Bahkan lebih cepat daripada macan kumbang, dan lebih tangkas dari seekor kera.
Tak lama Pendekar Slebor berkelebat, kini telah tiba di tempat kejadian. Tampak
di depan sana seorang wanita tua terkapar di tanah. Erangannya masih terdengar.
Hanya sudah demikian lirih. Tubuhnya berusaha merangkak, namun hanya sempat
menggapai-gapaikan tangan saja. Tubuhnya begitu lemah, akibat terlalu banyak
mengeluarkan darah dari luka menganga di bahu kirinya.
Andika cepat menghampiri. Diangkatnya tubuh lemah wanita tua itu, lalu
disandarkan ke pahanya.
"Kenapa Odah*" Apa yang terjadi?" tanya Andika.
"Me... mereka menginginkan peti itu...," gumam wanita tua itu lemah.
"Peti apa, Odah?" susul Andika, tak mengeri.
"Pe..."
Hembusan napas panjang terdengar. Seketika nyawa wanita malang itu telah
berakhir menyedihkan.
Andika meninju tanah geram. Bukan karena belum sempat mengetahui maksud yang
hendak disampai-kan wanita tua di pangkuannya, melainkan gundah tak sempat
memberi pertolongan.
"Manusia keparat mana lagi yang melakukan perbuatan biadab ini?" desis Pendekar
Slebor sambil meletakkan kepala si Wanita tua ke tanah.
Dan baru saja kepala wanita tua itu menyentuh tanah, di kejauhan terdengar
teriakan tinggi meng-
angkasa. Pendekar Slebor bergegas bangkit. Kembali matanya menatap mayat wanita tua itu.
"Aku akan kembali untuk menguburmu dengan layak, Odah, " kata Andika sebelum
menggenjot tubuhnya.
Setelah itu, Pendekar Slebor langsung melesat ke asal teriakan yang didengarnya
barusan. Tak memakan waktu lama, Andika sudah dapat menemukan tempat yang dituju. Tampak
dua lelaki sedang mengeroyok lelaki tua berusia tak berbeda dengan wanita tua
yang ditemui sebelumnya. Kira-kira sembilan puluh tahun.
Lelaki tua yang sedang habis-habisan dikeroyok itu berambut putih merata,
layaknya orang berusia lanjut. Tak seperti orang Bali pada umumnya, jubah yang
dikenakannya berwarna biru tua dengan pangsi hitam. Wajahnya berkesan keras,
namun sinar matanya sejuk. Kumisnya tebal memutih menghiasi wajahnya yang
berwibawa.

Pendekar Slebor 05 Darah Pembangkit Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara dua lelaki yang sedang bernafsu hendak menghabisinya, yang seorang
mengenakan caping dan seorang lagi berwajah buruk. Tak salah lagi, mereka adalah
Sepasang Datuk Karang yang selalu menyeret peti mati besar.
Keadaan gawat yang dialami si Lelaki tua itu membuat Andika secepatnya
memutuskan untuk campur tangan.
"Berhenti!" seru Pendekar Slebor lantang dari jarak dua puluh lima tombak.
Sepasang Datuk Karang langsung menghentikan tekanan mereka pada laki-laki tua
yang sudah di-basahi cucuran darah dari sudut bibirnya. Keduanya segera menoleh
berbarengan ke arah Andika.
"Mau apa kau"!" bentak orang yang bernama Gumbala kasar. Matanya berkilat
bengis, seakan siap menyantap pendekar muda itu.
"Ah, ah, ah! Bukan kau yang mesti bertanya, tapi aku! Mau apa kalian terhadap
lelaki tua itu"!" balas Pendekar Slebor, tak kalah kasar. Jangan tanya,
bagaimana bencinya Andika terhadap orang yang sok berkuasa seperti Gumbala.
"Bocah busuk!" maki Gumbala menggeram.
Kaki laki-laki berwajah buruk itu melangkah gusar hendak memberi sedikit
pelajaran pada pemuda yang dianggap hijau yang punya nyali mengusik mereka.
Lalinggi, lelaki yang bercaping segera mencegah.
Dibentangkannya sebelah tangan di depan Gumbala.
"Anak Muda! Kami harap kau tak ikut campur pada urusan kami. Kami hanya ingin
lelaki tua itu mengatakan sesuatu pada kami, tapi...."
"Tapi kenapa kalian memaksanya juga"!" serobot Pendekar Slebor, tak peduli.
"Banyak mulut kau...!" Gumbala kian tak sabar.
Sekali lagi, Lalinggi menahan kawannya.
"Sekali lagi kukatakan padamu, Anak Muda.
Jangan campuri urusan kami," ancam Lalinggi dingin.
"Hmmm...."
Andika mengangguk-angguk dengan wajah men-cemooh. Tangannya mengusap-usap dagu,
seolah seorang guru sedang menilai kedua muridnya yang nakal.
"Apa orangtua kalian tidak pernah memberitahu, kalau memaksa orang lain adalah
perbuatan yang tak se... no... nohhh!" hardik Pendekar Slebor dengan mata
membulat. Andika lantas mengalihkan pandangannya kearah laki-laki tua yang jadi korban
keroyokan Sepasang
Datuk Karang. "Pak Tua, izinkan aku sendiri mendidik dua bocah tak tahu adat ini! Mungkin aku
perlu memberi sedikit jeweran di telinga masing-masing...," kata Pendekar Slebor
dengan wajah dibuat judes.
Sampai di situ, Lalinggi pun terpancing.
Kemarahannya akhirnya pecah juga. Hanya tokoh persilatan yang tak memiliki harga
diri yang sudi diperlakukan seperti anak kecil.
"Kau boleh menghajarnya sekarang, Gumbala,"
ucap Lalinggi. "Biar kuurus lelaki tua itu."
Seperti diberi kesempatan untuk bersenang-senang, Gumbala maju bernafsu ke arah
Pendekar Slebor.
"Bersiaplah. Karena mulutmu akan segera
kurobek, Bocah Busuk!" geram Gumbala sambil membuka jurus 'Paruh Gagak'nya.
"Heeeaaa!"
Teriakan serak tercipta bersama terjangan tubuh kurus Gumbala. Diterkamnya
Pendekar Slebor dengan satu lompatan ke udara. Sepasang tangannya yang berbentuk
paruh gagak, membuat serentetan cabikan ke depan. Sasarannya, tentu saja wajah
pemuda di depannya.
Meski lawan sudah siap merobek-robek wajahnya, Pendekar Slebor masih sempat
tersenyum-senyum mengejek. Sewaktu wajah buruk Gumbala mengeras karena teriakan,
Andika pun menarik otot-otot wajahnya, hingga terlihat seperti orang telat buang
air. "Waaa! Ada setan laut ngamuk!" jerit Pendekar Slebor dibuat-buat.
Ketika tangan Gumbala nyaris tiba di wajahnya, barulah Andika berkelit secepat
kilat ke satu sisi.
Krak! Glarrr...!
Seketika dua batang pohon besar yang ber-
himpitan menjadi korban sasaran jurus kejam Gumbala. Setengah bagian kayu pohon
itu terkoyak sebesar kuali. Serat-seratnya berhamburan ke mana-mana, tersapu
angin yang bertiup cukup kencang.
Andika memang keterlaluan. Tak terlalu berlebihan kalau dijuluki Pendekar
Slebor, saat pemuda itu santai meniup-niup serat kayu yang terbang ke arahnya
seraya berjingkat-jingkat.
Tingkah urakan itu benar-benar dianggap sebagai sebuah penghinaan oleh Gumbala.
Malah keinginan-nya untuk mencabik-cabik Andika makin menggebu saja. Dengan
penuh nafsu, sekali lagi diterjangnya Pendekar Slebor.
"Khiiiah!"
Bfing! Bfing! Satu terkaman lagi dilakukan Gumbala. Kali ini, tangannya diayunkan bertubi-tubi
dari samping kanan.
Tapi, santai saja Pendekar Slebor memapaki satu persatu patukan tangan lawan.
Plak! Plak! Plak!
Angin pukulan kuat yang bisa melecut kulit tubuh milik Gumbala, seperti ditelan
begitu saja oleh tenaga papakan Andika. Tindakan itu sungguh membingung-kan
laki-laki berwajah buruk itu. Yang lebih mem-bingungkan ketika Gumbala merasakan
sesuatu yang tak beres di dada cekungnya.
Lelaki buruk rupa itu berjumpalitan ke belakang.
Ingin dibuktikan, bagaimana perasaannya tadi. Saat dadanya dilihat, ternyata
sudah ada tulisan dari serat kayu menembus kulit luarnya. Bunyinya 'Aku Hewan
Langka, Lestarikan'!
Mata Gumbala lantas saja terbelalak. Tulisan itu
terlalu panjang untuk dibuat dalam waktu demikian singkat. Untuk membuat serat
kayu tembus ke kulit saja, sudah cukup sulit. Bagaimana pemuda itu bisa
melakukannya demikian cepat"
Kini mata bulat Gumbala beralih ke arah Andika.
Ketercengangannya belum tuntas. Benaknya masih bertanya-tanya, siapa pemuda itu
sesungguhnya. Sementara Pendekar Slebor yang sedang diperhatikan, sibuk mengamati hasil
karyanya di tubuh Gumbala. Sebelah alisnya terangkat seraya mem-perdengarkan
gumaman panjang.
Ingin sekali saat itu Gumbala melontarkan pertanyaan, siapa lawan yang
dihadapinya kini. Tapi karena hatinya berbisik kalau sedang menghadapi lawan
tangguh yang mungkin tidak terkalahkan, dia malah berpikir untuk menyingkir
saja. "Kang Lalinggi! Lebih baik kita menyingkir!" teriak Gumbala seraya melayang ke
belakang. Saat itu, Lalinggi tampak telah berhasil membuat lelaki tua yang dihadapi
terluka lebih parah. Dan karena sudah memastikan kalau lawannya tidak akan
membuka mulut tentang peti yang dicari, maka usul Gumbala untuk menyingkir
disetujuinya. Seketika keduanya melesat pergi diiringi tawa terkekeh Andika. Tapi setelah itu,
tawanya terpenggal begitu saja kala menyadari satu kesalahan.
"Astaga! Kenapa kubiarkan saja bajingan bercaping itu menggasak Pak Tua," desah
Pendekar Slebor.
Dengan kekhawatiran menggelegak, Andika bergegas menoleh pada si Lelaki Tua.
Kekhawatirannya terbukti. Orang tua naas itu sedang terbaring lemas dengan napas
terengah-engah.
"Maafkan aku, Pak Tua. Mestinya aku tak mem-
biarkan seorang dari mereka membuatmu seperti ini," sesal Andika, di sampingnya.
Sambil memegangi dadanya yang terbakar telapak tangan Lalinggi, lelaki tua itu
megap-megap berusaha mengucapkan sesuatu.
"Jangan berkata apa-apa dulu, Pak Tua! Biar kucoba mengobati lukamu dulu!"
sergah Andika. "Ja... jang... an," tolak laki-laki tua itu, lirih tersendat. "Aku sudah tak
mungkin ditolong lagi.
Serbuk racun itu pasti sudah merasuki tubuhku.
Sebentar lagi, jantungku tentu akan dihanguskannya.
Aku hanya minta padamu... satu hal. Akhhh...."
"Katakanlah, Pak Tua! Aku akan berusaha
sebisanya memenuhi," ucap Andika.
Susah payah si Lelaki Tua menyeret napas satu-satu. Dikumpulkannya udara ke
paru-paru yang terasa tercabik-cabik.
"Tolong selamatkan peti berukir satria yang sedang bertarung dengan raksasa
'Kala'. Jangan sampai peti itu jatuh ke tangan kedua orang tadi...,"
pinta laki-laki tua itu nyaris tak kentara.
"Peti berukir satria...."
Tiba-tiba benak Andika kembali pada peristiwa dua malam lalu, saat I Ktut Regeg
sedang berusaha membongkar satu peti kecil. Peti yang ditemukan I Ktut Regeg pun
memiliki ukiran seperti digambarkan lelaki tua di dekatnya.
"Kalau peti itu sampai jatuh ke tangan mereka, dunia persilatan akan menghadapi
bahaya besar,"
lanjut si Lelaki Tua, membuyarkan lamunan Andika.
"Kenapa begitu, Pak Tua?" tanya Andika ingin tahu.
Tak ada jawaban. Kecuali suara hembusan napas terakhir. Sebuah napas kematian.
5 Rasa penasaran bergumpal dalam benak Pendekar Slebor. Ada apa sebenarnya dengan
peti itu, sehingga begitu diinginkan dua lelaki yang mengaku sebagai Sepasang
Datuk Karang" Geletar keingintahuannya pun meminta, untuk segera kembali ke
rumah Idayu Wayan Laksmi setelah dua jenazah orang tua malang yang didapat
Andika dikuburkan.
Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh
penuh, tidak terlalu lama Pendekar Slebor sudah sampai kembali ke pekarangan
rumah Idayu Wayan Laksmi dan adiknya, I Ktut Regeg. Kebetulan saat itu I Ktut
Regeg sedang bersila di depan pintu, menimang-nimang ayam sabungan
kesayangannya. "Geg! Kebetulan sekali kau tidak ke mana-mana,"
sapa Andika, mengejutkan anak muda tanggung itu.
I Ktut Regeg menatapnya acuh.
"Kenapa kembali?" tanya pemuda tanggung itu sedikit tak ramah.
Andika duduk di sampingnya. Maksudnya untuk sedikit melunakkan ambekan hati anak
kurus itu. Sambil tersenyum lebar, digandengkannya tangan ke belakang I Ktut Regeg.
"Kau masih kesal padaku karena soal peti itu, ya?"
rayu Andika. I Ktut Regeg bersikap bodoh sambil terus menimang-nimang ayam jantan di
tangannya. Mulutnya pun sengaja bersiul kencang-kencang, seakan tidak ingin
mendengar ucapan Andika.
"Kau marah, karena aku melarangmu membuka-
nya, bukan?" lanjut Andika.
Sambil berkata demikian, Pendekar Slebor meninju bahu kurus I Ktut Regeg
perlahan. "Biar si Setan Kurus ini bisa merasa lebih akrab," pikirnya.
I Ktut Regeg tetap acuh tak acuh.
"Hey" Bagaimana kalau kita membukanya
sekarang" Aku pikir boleh juga kita melihat isinya, bukan" Yang penting, kita
tidak berniat jahat. Hanya melihat isinya saja, toh?" bujuk Andika susah payah,
dengan mimik dibuat semanis mungkin. Padahal, hatinya mendongkol.
Si Anak Kurus itu mulai mau menoleh padanya.
"O, ya?" tanya I Ktut Regeg, masih tetap terdengar dingin.
"Ooo, iya.... Pasti itu!" sergah Andika cepat.
"Cari sana di laut!" sentak I Ktut Regeg.
Andika memiringkan kepala. Ditatapnya I Ktut Regeg tak mengerti.
"Apa kau bilang tadi?" tanya Pendekar Slebor dengan alis bertaut.
"Aku bilang, cari sana di laut!" ulang I Ktut Regeg satu-satu.
Andika terlonjak. Seperti kerasukan, dia berdiri cepat. Lalu dicengkeramnya bahu
I Ktut Regeg, sehingga terangkat.
"Apa maksudmu"!" teriak Pendekar Slebor
bersama beliakan mata.
"Peti itu baru saja kubuang ke laut. Apa tidak mengerti juga" Ah, pendekar sakti
kok bodoh...,"
gerutu pemuda tanggung itu tenang, tak peduli pada tubuhnya yang tergantung di
tangan kekar Andika.
"Apa kau sinting"!" maki Andika. "Peti itu amat berharga, tahu"! Bisa membuat
bencana, jika dua manusia busuk itu menemukannya!"
"Siapa suruh ' Beli' melarangku membukanya"!" I Ktut Regeg balik membentak,
"Kalau waktu itu kita membukanya, tentu sudah tahu apa isinya. Dan kita tahu
pula, peti itu berbahaya atau tidak"!"
Napas I Ktut Regeg turun naik. Dada kerempeng-nya kembang-kempis seperti orang
sekarat. Sementara Andika jadi jengkel. Dilepas begitu saja tubuh I Ktut Regeg.
Bruk! Tumpukan tulang hidup itu kontan mencium tanah.
Pantatnya pun terantuk batu sebesar kepalan centeng, membuatnya meringis-ringis
sambil memegangi pantat.
"Sekarang katakan, di mana kau buang benda itu?" tanya Andika mulai tenang
kembali. "Aku sudah bilang di laut!"
"Aku tidak tuli. Aku juga sudah dengar, kau tadi bilang di laut. Tapi di sebelah
mana" Apa di Lautan Cina?" desak Andika, langsung menjewer I Ktut Regeg kuat-
kuat. "Di Pantai Buleleng sebelah barat!" jawab I Ktut Regeg sembari meringis-ringis.
"Anak pintar," kata Andika, memuji. Tapi setelah itu dihadiahkannya tamparan
gemas ke kepala I Ktut Regeg.
Plak! "Adow! Heee. beraninya sama anak kecil!"
Andika tak mempedulikan lagi ejekan anak biang kerok itu. Yang ada dalam
pikirannya saat ini hanya secepatnya pergi ke Pantai Buleleng untuk
menyelamatkan peti yang dimaksud, sebelum didahului Sepasang Datuk Karang.
"Tak ada titip salam buat Mbok-ku. ' Beli'?" ledek I Ktut Regeg, belum puas.
"Kalau naksir, ya naksir!
Jangan pura-pura segala!"
Baru saja selesai ucapan I Ktut Regeg....
"Tolooong..."
Terdengar jeritan keras minta tolong. Jelas, itu suara Idayu Wayan Laksmi, kakak
I Ktut Regeg. "Ada apa, Geg?" tanya Andika.
Dengan sigap, tubuh Pendekar Slebor segera memburu ke pintu gubuk besar itu.
Dilewatinya I Ktut Regeg yang masih terlongong-longong karena kaget.
"Mana aku tahu?" kata I Ktut Regeg. Padahal tubuh pendekar muda itu sudah
menghilang di balik pintu.
Begitu berada di dalam gubuk, Andika menemukan sesuatu yang membuatnya gusar.
Dalam keadaan mendesak saat Pendekar Slebor harus menemukan secepatnya peti
berbahaya itu, seseorang ternyata telah menculik Idayu Wayan Laksmi. Kesimpulan
seperti itu bisa langsung diambil Andika, manakala matanya melihat dinding bilik
bambu di ruang tengah tampak jebol besar. Sementara kendi air minum berantakan
di lantai tanah.
Satu lagi kesimpulan yang bisa diambil. Jelas, penculik Idayu Wayan Laksmi
memiliki ilmu yang tak bisa dianggap remeh. Kalau ilmunya tanggung, sudah pasti
penculik itu bisa langsung dipergoki Andika sebelum bisa membawa lari Idayu
Wayan Laksmi. Waktu yang dibutuhkan si Penculik untuk menjalankan niat jahatnya, ternyata
lebih cepat daripada gerakan masuk si Pendekar Slebor!
Di satu sisi Pendekar Slebor tidak boleh didahului Sepasang Datuk Karang untuk
menemukan peti. Di sisi lain, Pendekar Slebor juga harus menyelamatkan Idayu
Wayan Laksmi, yang tentu saja harus menghadapi si Penculik. Kepandaian si
Penculik ini diperkirakan akan banyak membuang waktunya.
"Monyet buduk, kutu botak. bangsat norak...!"
Pendekar Slebor memaki-maki kalap. Kalau matanya tak tertumbuk pada sehelai daun
lontar di meja kayu, tentu akan terus menyumpah-nyumpah sampai kehabisan suara.
"Apalagi ini," gumam Pendekar Slebor. Diraihnya daun lontar itu, dan langsung
dibuka lipatannya.
Maaf, jika aku harus menculik Idayu Wayan Laksmi. Karena hanya dengan cara itu
aku bisa mengundangmu untuk sedikit berpesta di tepi desa dekat gapura masuk.
Ya! Berpesta menghadapi orang bayaranku. Aku ingin sekali melihatmu terkapar di
tangan orangku itu. Sekali lagi, aku minta maaf atas semua ini.
IMade Raka.

Pendekar Slebor 05 Darah Pembangkit Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf... maaf. Gonderuwo!"
Andika dongkol. Direjamnya daun lontar itu geram, sambil membayangkan kalau daun
itu adalah wajah manusia bernama I Made Raka.
Dari lubang besar di dinding gedek, Andika melompat keluar. Satu-satunya cara
terbaik adalah lari dengan kekuatan penuh, agar cepat tiba dibatas desa.
Sekejapan baginya bisa saja amat berharga, mengingat pesan lelaki tua tentang
peti berukir itu.
Pengerahan kemampuan ilmu meringankan tubuh yang tak tanggung, membuat jarak
cukup jauh ke tapal batas desa bisa ditempuh Pendekar Slebor hanya dalam waktu
singkat. *** Tapal batas desa saat itu lengang. Tak tampak ada orang melintas, karena hari
sudah begitu senja. Para petani yang biasanya lewat, sudah tak terlihat seorang
pun. Mereka mungkin sudah tiba di rumah masing-masing.
Dalam siraman warna jingga lembayung, dua orang berdiri bersandar pada gapura.
Yang seorang adalah wanita uzur berpakaian berbentuk piyama longgar warna hitam.
Tubuhnya yang renta, ditopang se-batang tongkat di tangan kanan. Rambutnya yang
putih merata dibiarkan terlepas ke mana-mana.
Sebagian besar wajahnya pun tertutup juluran rambut. Sehingga, wajahnya sulit
dikenali. Namun yang jelas, dia memiliki dagu panjang berkerut dengan bibir
berkesan kejam.
Sedang orang kedua tak lain dari I Made Raka.
Ketika Andika tiba di sana, lelaki itu menyambut bersemangat, penuh basa-basi
menyebalkan. Sambil merentangkan tangan lebar-lebar, disambutnya kedatangan
Pendekar Slebor.
"Ah, akhirnya kau datang juga! Kupikir kau agak ngeri dengan tantanganku," kata
I Made Raka seraya tersenyum lebar mengejek.
"Jangan banyak mulut, Raka! Mana Laksmi"!
Cepat serahkan padaku!" terabas Andika tak sabar.
"Ooo, jangan terburu nafsu. Aku tahu, wanita itu memang menggiurkan...."
"Di mana dia"!" bentak Andika geram. Wajah pemuda itu mulai memerah.
"Sesuai aturan, kau harus bertarung dulu dengan-nya."
I Made Raka mengerlingkan bola matanya ke arah perempuan tua di belakangnya.
"Aku tak ada waktu menuruti kemauan bodohmu!"
hardik Andika makin keras.
Pendekar Slebor segera mendekati lelaki itu dengan mata merah membara. Ingin
sekali dipatah-kannya batang leher I Made Raka. Namun baru dua langkah maju,
perempuan tua di belakang I Made Raka melompat ringan, lalu turun tepat di depan
tuannya. "Anak Muda! Kau harus menghadapi aku," ucap perempuan tua itu dingin.
"Kenapa harus"! Apa kau pikir aku sudi sepertimu, yang mau saja dijadikan kacung
oleh manusia sampah seperti dia"!" dengus Andika, sebal.
"Kau harus menghadapiku," ulang wanita itu penuh tekanan, seperti tidak peduli
perkataan pemuda di depannya. "Aku telah dibayar mahal oleh I Made Raka untuk
menjajal kehebatanmu, Bocah!"
Tak ada niat perempuan tua itu memberi
kesempatan Andika untuk menyanggah lagi. Seketika disambarnya leher Andika
dengan cakaran cepat.
Wesss! "Upfh!"
Andika tak menduga perempuan ini begitu bernafsu menghajarnya. Tapi untuk
disebut bernafsu, wajah perempuan tua yang dihadapinya tetap tak memperlihatkan
perubahan mimik. Masih saja dingin dan kaku. Kalau begitu, perempuan tua ini
mungkin semacam manusia budak uang! Siap membunuh dengan tangan dingin jika ada
yang bersedia mem-bayarnya.
Selaku pendekar berpengalaman menumpuk,
terjangan mendadak seperti ini dapat dihindari Pendekar Slebor dengan sedikit
mengegoskan badan ke belakang. Namun luputnya serangan pertama tidak berarti
bahaya terlewati. Karena dengan lebih
cepat dan panas, si Perempuan Tua mengayunkan tongkat ke kaki Andika yang masih
bertahan di tempat. Wuuut!
Pendekar Slebor yang sudah telanjur menyorongkan badan ke belakang, tidak bisa
lagi berbuat lain, kecuali meneruskan dorongan tubuhnya. Dia langsung
berjumpalitan ke belakang. Dan saat berikutnya, kakinya sudah membuat kuda-kuda
kembali. "Baik..., baik. Kau ternyata memaksa," ucap Andika.
Pendekar Slebor segera membuka bagian jurus awal yang diciptanya di Lembah
Kutukan dahulu.
Jurus-jurusnya yang semula ganjil dan agak lucu kini terbentang di depan mata
lawan. Kakinya berjingkat, sementara tangannya menggapai angkasa tinggi-tinggi,
seperti gerakan orang yang sedang menghindari sambaran petir.
"Ayo seranglah!" tantang Pendekar Slebor.
Berbareng satu erangan serak, perempuan tua itu meluruk ke arah Andika.
Tongkatnya berputar menderu-deru di atas kepala, samping kiri lalu samping
kanannya. Hendak diremukkannya tulang-belulang Pendekar Slebor dalam seruntun
hantaman kilat.
Wung... wung... wung! Prak, prak!
Suara berderak mendadak terdengar. Kejadiannya begitu cepat. Tahu-tahu saja,
tubuh Pendekar Slebor berpilin di udara. Mungkin salah satu bagian tubuhnya
telah membentur ujung senjata lawan, sehingga menyebabkannya terlempar seperti
gasing. Tak ada teriakan terdengar. Dan perempuan tua itu yakin benar kalau tongkatnya
tentu telah menghantam telak kepala pendekar gagah itu. Sehingga
mulutnya tak sempat lagi mengeluarkan suara.
Sementara tubuh Andika pun jatuh ke pangkuan bumi seperti sepotong pelepah
pisang, kaku tanpa gerak. Sungguh suatu hasil yang begitu meng-gembirakan bagi
si Perempuan Tua. Itu sebabnya, dia lantas terkikik nyaring.
"Hi hi hi...! Hanya sebegitu saja kemampuanmu, Bocah! Aku kira sebelumnya, aku
akan sedikit susah payah untuk merontokkanmu," ucap perempuan itu menggebu.
Sebagian cuping hidung wanita ini tampak
mengembang-kempis seperti kelinci.
"Kau lihat itu," ujar wanita tua itu lagi pada I Made Paka. "Orang yang kau
katakan memiliki ilmu dedemit, nyatanya tak ada apa-apanya melawan Nyi Ngurah
Tambi, dukun sakti di Tanah Bali!"
I Made Raka seperti tak percaya melihat kejadian yang dilihatnya. Mengapa
pendekar muda itu demikian cepat terkalahkan" Tapi mengingat Nyi Ngurah Tambi
memiliki ilmu hitam yang bisa saja membuat seseorang kehilangan kesadaran, dia
baru bisa tertawa mengiringi cekikikan perempuan tua itu.
"Hua ha ha...! Tak percuma aku membayar
sekantung uang emas padamu, Nyi Ngurah Tambi!"
puji I Made Raka.
"Hua ha ha...!"
Mendadak seseorang menyerobot keasyikan tawa I Made Raka. Entah dari mana
datangnya suara itu.
Dan ketika I Made Raka mengawasi sekelilingnya, tak ditemukan seorang pun di
sana. Nyi Ngurah Tambi pun melakukan hal yang sama.
Dan saat keduanya melempar pandang kembali pada tempat pendekar tadi terkapar,
pemuda itu sudah tidak ada lagi di tempatnya.
"Hua ha ha...!"
Terdengar lagi suara tawa meriah. Asalnya dari belakang tubuh I Made Raka.
Kontan saja lelaki mata keranjang itu berbalik.
"Waaa...!" I Made Raka memekik kaget, menyaksikan Pendekar Slebor sudah berdiri
bersidekap dalam keadaan sehat walatiat.
Terbirit-birit I Made Raka lari ke arah Nyi Ngurah Tambi. Lelaki bernyali kodok
itu langsung berlindung di belakang punggung si Perempuan Tua.
Nyi Ngurah Tambi merasa dipermainkan. Meski masih bingung kenapa lawan masih
tetap utuh. Padahal, telinganya tadi mendengar suara berderak sesuatu yang remuk. Seraya
menggeram hendak dilabraknya Pendekar Slebor kembali.
"Eit... eit!" cegah Andika sambil mengangkat tangan ke depan. "Tak usah terburu-
buru, Barangkali kau perlu meneliti tongkatmu dulu, sebelum menyerangku
kembali." Secepatnya, Nyi Ngurah Tambi melirik tongkatnya.
Matanya jadi mendelik tiba-tiba. Tongkat kayu itu ternyata sudah berubah bentuk!
Kedua ujungnya kini sudah seperti ujung kuas. Entah, bagaimana kayu yang
direndamnya bertahun-tahun dalam ramuan pengeras bisa hancur masai seperti itu"
Rupanya itulah yang tadi terdengar berderak di telinganya!
Dengan gusar dihempasnya tongkat dari tangan.
Sekali lagi, si Perempuan Tua menggeram penuh ancaman. Dan baru saja kakinya
maju selangkah, Pendekar Slebor untuk kedua kalinya menahan.
"Eit, jangan terburu-buru. Bagaimana kalau kita sedikit berdamai?"
Nyi Ngurah Tambi menatap pemuda yang berdiri empat tombak darinya di balik
juluran rambut.
Rupanya, dia terpancing dengan kata damai yang diajukan Andika.
"Ya! Tentu kau tahu apa maksudku," sergah Andika cepat.
Pendekar Slebor segera mengeluarkan dua buah kantung kecil dari balik baju.
"Kau tahu ini?" tanya Andika sambil mengguncang-guncang kantung-kantung itu di
depan wajahnya. "Ini adalah dua kantung uang emas. Kau tak perlu bersusah payah
mendapatkannya. Kau tahu, kalau aku cukup sulit dikalahkan. Perlu usaha yang
berat, tentunya. Nah! Kau akan dapatkan kantung uang ini, tanpa harus buang-
buang tenaga bertarung denganku. Kau cukup memberitahuku, di mana Idayu Wayan
Laksmi disembunyikan...."
"Jangan terima, Nyi!" sambar I Made Raka cepat.
"Aku akan membay...."
"Ah, diam kau!" bentak Andika.
Seketika tangan Andika menjentik satu keeping uang emas yang diambilnya dari
salah satu kantung ke arah I Made Raka. Tuk!
I Made Raka langsung bungkam seribu bahasa.
Tubuhnya yang melorot ke tanah langsung kaku matanya mendelik tak berkedip.
Andika memang telah menotok satu jalan darahnya.
"Bagaimana?" Andika mulai lagi pada Nyi Ngurah Tambi.
Untuk sesaat, dukun perempuan ini hanya
menimbang-nimbang. Tubuhnya diam bagai arca.
Sedang matanya menatap lurus-lurus pada Andika.
Sepertinya, dia hendak meyakinkan diri dengan tawaran pemuda di depannya.
"Hey" Kenapa masih menimbang-nimbang"
Berapa kau dibayar manusia mata keranjang itu"
Satu kantung, bukan" Nah" Kini kau bisa menerima dua kantung dengan bicara. Tak
sulit?" ucap Andika.
"Hmmm, baiklah," putus Nyi Ngurah Tambi. Uang toh lebih penting daripada
kehormatan baginya.
"Bagus! Sebelum kuberikan dua kantung ini, cepat katakan di mana wanita itu
disembunyikan?"
"Aku ingin uangnya dulu. Kau bisa saja lari dariku setelah kuberitahu!" kata Nyi
Ngurah Tambi, keras.
"Baik..., baik. Nih!"
Andika pun melempar dua kantung uang di
tangannya. Dan dengan tangkas, tangan Nyi Ngurah Tambi menyambar dua kantung
itu. Setelah puas meneliti isi kantung, baru perempuan itu menampakkan senyum
yang lebih mirip seringai.
"Perempuan itu disembunyikan Raka di sebuah gubuk dekat gapura, kira-kira
sepeminum teh ke utara," jelas perempuan tua itu.
"Kau tidak menipuku, bukan?" tanya Andika, ingin lebih yakin.
"Pemuda sundal!" maki Nyi Ngurah Tambi kesal.
"Baik, baik.... Aku percaya padamu," tukas Andika bergegas.
Bukannya Pendekar Slebor takut pada Nyi Ngurah Tambi, tapi hanya paling tidak
tahan kalau mulut peot nenek-nenek itu melantunkan makian menyakitkan telinga.
Dia bisa jadi sinting mendengarnya!
"Kalau begitu, terimakasih at...!"
"Pergi kau!" hardik Nyi Ngurah Tambi, memenggal kalimat basa-basi Andika.
"Ya, ya, ya...! Baik, baik!" Andika kelimpungan.
Lalu Pendekar Slebor bergegas pergi. Lagi pula, dia memang sedang mengejar waktu
agar tak kecolongan Sepasang Datuk Karang untuk mendapatkan peti berukir.
Belum begitu jauh meninggalkan tempat tadi, si Pemuda Urakan itu kontan menahan
geli. Sambil berlari cepat, dia masih juga memegangi perutnya.
Sementara dari kejauhan telinganya mendengar sumpah serapah Nyi Ngurah Tambi dan
I Made Raka yang telah terbebas dari pengaruh totokan di tubuhnya.
"Pencopet Busuuuk!" teriak mereka berbarengan di kejauhan.
Ternyata, dua kantung uang yang dipakainya untuk menyogok Nyi Ngurah Tambi
adalah uang perempuan tua itu sendiri yang didapat dari I Made Raka. Sedang yang
sekantung lagi milik I Made Raka yang berada di sakunya. Tak percuma Pendekar
Slebor pernah menjadi copet budiman sewaktu masih menjadi bocah kotapraja dulu.
"Dengan begitu, aku toh bisa lebih cepat
membebaskan Laksmi," ucap Andika tersedak-sedak tawa.
*** 6 Sejak kepergian Pendekar Slebor untuk menyelamatkan Idayu Wayan Laksmi. I Ktut
Regeg duduk menanti di anak tangga rumah seperti orang bodoh.
Sebelah tangannya menopang dagu, sedang tangan yang lain menjentik-jentik papan
anak tangga berirama. Sampai saat ini, dia belum mengetahui apa yang terjadi
terhadap kakaknya. Yang cuma diketahuinya, kakaknya sedang dalam bahaya dan
Andika, pendekar muda yang dikenalnya, sedang berusaha menyelamatkan.
Tanpa disadarinya, dua lelaki tiba di tempat itu sambil menyeret peti mati
besar. Siapa lagi kalau bukan Gumbala dan Lalinggi yang berjuluk Sepasang Datuk
Karang. Sebenarnya suara bergemuruh yang ditimbulkan gesekan peti mati dengan permukaan
tanah bisa ditangkap jelas telinga I Ktut Regeg. Tapi karena pikirannya saat itu
hanya tertuju pada nasib Idayu Wayan Laksmi, I Ktut Regeg jadi tidak begitu
mempedulikan. Sampai akhirnya, Lalinggi menepuk pundaknya.
"Apakah kau yang bernama Regeg, Bocah?" sapa laki-laki bercaping itu di sisi I
Ktut Regeg. I Ktut Regeg tersentak. Lamunannya seketika buyar. Kepalanya menoleh pada
Lalinggi. "Ya, kenapa?" sahut pemuda tanggung itu singkat tak bersemangat.
"Kudengar desas-desus dari beberapa orang desa,
kau menemukan peti kecil berukir. Apa benar?"
sambung Lalinggi.
I Ktut Regeg mendengus acuh. "Apa pedulimu?"
kata I Ktut Regeg masabodo.
"Lebih baik kau beritahukan padaku, di mana benda itu sekarang...," tandas
Lalinggi datar.
I Ktut Regeg mengadukan pandangan ke penutup wajah Lalinggi. Kedua bola matanya
tampak agak membesar.
"Kalau aku tak mau memberitahu, kenapa?"
tantang pemuda tanggung ini.
Lalinggi jadi tertawa sumbang.
"Kau anak yang bernyali besar, Bocah...."
Usai berkata, sebelah tangan Lalinggi merogoh sesuatu dari balik pakaian. I Ktut
Regeg menyangka, lelaki bercaping itu hendak bertindak kasar padanya.
Maka dia tersentak hendak bangkit menghindar.
Tangan Lalinggi cepat menahan pundak I Ktut Regeg.
"Tidak perlu takut. Aku tidak mengancammu, bukan" Ini...."
Dari balik pakaiannya, tangan Lalinggi tadi mengeluarkan kantung kecil.
"Kantung ini berisi uang yang cukup untuk hidupmu setahun," lanjut Lalinggi.
"Kalau kau memberitahu peti berukir itu, kantung uang ini akan menjadi milikmu.
Bagaimana?"
Sekali lagi I Ktut Regeg menoleh ke Lalinggi.
Dipandanginya caping penutup wajah lelaki di sampingnya tajam-tajam, seakan
hendak menerobos ke celah anyaman untuk mengenali wajahnya. Kalau tadi pantatnya
dibikin berdenyut-denyut oleh Andika karena peti berukir itu, kini ada orang
aneh yang menawarinya uang.
"Kau tak yakin dengan tawaranku ini?" tanya Lalinggi.
Maka laki-laki bercaping ini segera mengeluarkan keping-keping uang ke sebelah
telapak tangannya.
Setelah itu, dimasukkannya kembali.
"Sebenarnya aku bukan tidak yakin pada tawaran-mu. Tapi aku hanya jadi penasaran
pada isi peti berukir itu...," tutur I Ktut Regeg nyaris bergumam pada diri
sendiri. "Ah! Tidak ada benda berharga di dalamnya.
Kalaupun kau bisa melihat isinya, tentu kau akan segera membuang kembali,"


Pendekar Slebor 05 Darah Pembangkit Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sergah Lalinggi.
"Jadi, apa isinya?"
"Ooo, sudahlah. Kau bersedia menerima uang ini, atau tidak?"
I Ktut Regeg menimbang sesaat. Toh, dia mungkin tak bisa lagi mendapatkan peti
berukir yang telah dibuangnya di laut. Sedangkan uang sekantung kecil itu, bisa
dipastikan akan jadi miliknya. Syaratnya mudah pula. Hanya membuka mulut
sedikit, beres.
"Aku telah membuangnya di sekitar pantai barat Buleleng," jawab I Ktut Regeg
akhirnya. "Bagus, Bocah!" Lalinggi mengangguk-angguk kepala. "Terimalah ini...."
Laki-laki bercaping itu segera melepar kantung uang ke udara.
I Ktut Regeg bergegas mengasongkan tangan untuk menangkapnya. Tapi sebelum
sempat jatuh ke telapak tangan I Ktut Regeg, satu tangan menyambar-nya di udara.
Dan ternyata, tangan itu milik Gumbala.
"Tapi kalau kau membohongi kami, maka kepala-mu yang jadi penggantinya," ancam
lelaki buruk itu.
Setelah itu, Gumbala baru meletakkan kantung uang itu ke telapak tangan I Ktut
Regeg. Belum juga I Ktut Regeg mengucapkan terima kasih, kedua laki-laki itu pergi
begitu saja sambil menyeret peti mati besar seperti biasa. Tidak dipedulikan
lagi pemuda tanggung yang berjingkat-jingkat sambil melempar-lempar kantung uang
ke udara. Malam telah menjelang. Andika dan Idayu Wayan Laksmi pun tiba. Tapi mereka tak
menemukan I Ktut Regeg di pekarangan. Di dalam rumah panggung, barulah pemuda
tanggung itu ditemukan sedang berbaring sambil berongkang kaki. Tangannya masih
menggenggam kantung uang, sementara pikirannya melayang mengkhayalkan barang-
barang yang bisa dibeli dengan uang itu.
"Regeg...," isak Idayu Wayan Laksmi seraya meng-hambur ke arah I Ktut Regeg.
Dipeluknya sang Adik erat-erat, lega karena bisa selamat dari kejahatan I Made
Raka. "Mbok tidak apa-apa?" sambut I Ktut Regeg, ikut lega.
Idayu Wayan Laksmi menggeleng. Tangannya sibuk menghapus airmata di pipi.
"Untung Tuan Andika menolongku," tutur gadis itu.
"Sekarang mana dia?" tanya I Ktut Regeg, hendak melaporkan tentang kedatangan
dua lelaki sore tadi.
"Di luar," jawab Idayu Wayan Laksmi.
I Ktut Regeg bergegas keluar. Tapi di sana tak menemukan siapa-siapa lagi,
kecuali kelengangan malam yang diramaikan tembang hewan malam.
Andika sendiri sudah beranjak pergi sejak Idayu Wayan Laksmi masuk ke dalam
rumahnya. Tak ada waktu lagi baginya untuk mengantar masuk atau berbasa-basi.
Pendekar Slebor harus segera ke tepi pantai barat Buleleng, untuk mencari peti
berukir. Sungguh! Dia tidak mau kedahuluan Sepasang Datu Karang. Padahal tanpa
diketahuinya, dua lelaki aliran sesat itu memang sudah mendahuluinya sejak sore
tadi. Belum begitu jauh dia meninggalkan rumah Idayu Wayan Laksmi, di tengah jalan
menuju tepi desa Pendekar Slebor bertemu sepasukan prajurit kerajaan yang
berjumlah sekitar tiga puluhan orang, lengkap dengan tombak dan tameng. Seorang
di antaranya berpakaian seorang patih. Juga, ada seorang yang pernah dilihat
Andika sewaktu upacara malam purnama waktu itu. Dialah Corkode Ida Bagu Tanca
Raja Buleleng. "Ada apa gerangan ini, Gusti?" tanya Andika setelah dekat, dan langsung menjura
hormat. "Kau orang asing yang tinggal di kediaman Idayu Wayan Laksmi?" tanya Cokorde
berwibawa. "Benar."
"Tangkap dia!" perintah Cokorde tiba-tiba saja, benar-benar mengejutkan Andika.
"Tunggu dulu!" sergah Andika. "Bisakah Gusti jelaskan padaku, kenapa aku hendak
ditangkap?"
Cokorde tak segera menjawab karena patih di sebelahnya menyarankan agar tidak
perlu melayani pertanyaan Andika.
"Langsung tangkap saja, Paduka. Nanti setelah tiba di kerajaan, barulah disuruh
bicara," saran patih yang bernama I Wayan Rama.
Patih itu berusia sekitar empat puluh delapan tahun. Badannya kekar berotot.
Sikapnya semakin gagah dengan sebilah keris pusaka di pinggangnya.
Wajahnya tampak garang, meski tanpa kumis melintang atau cambang bauk. Apalagi
Pendekar Aneh Dari Kanglam 4 Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Kisah Membunuh Naga 14
^