Pencarian

Pelangi Dilangit Singosari 26

01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 26


Orang tua itu menjeringai menahan sakit. Tetapi betapa lemah tubuhnja, namun kemauannja jang menjala didalam dadanja telah menghangatkan darah nja Pcr-lahan-lahan orang tua itu berdiri bersandar pada tongkatnja. Sambil memusatkan segenap kekuatannja, serta menjrsuaikan jalan pernafasannja, maka Empu Sada itupun mendapatkan sebagian kecil dari ke kuatannja kembali. Namun dengan kekuatan jg kecil dibantu oleh tongkatnja, Empu jang tua itu berhasil menggerakkan ka kinja.
Mpu Sada tidak tahu benar, apakah jang telah terjadi dengan Kebo Sindet. Ia merasa, bahwa tongkatnja berhasil mengenai orang itu. Tetapi akibat dari padanja, Empu Sada tidak dapat mengetahuinja. Karena itu maka sekarang ia ha rus memperhitungkan setiap kemungkinan. Kalau Kebo Sin det tidak mengalami cedera, maka ia bersama adiknja jang meskipun telah terluka, pasti akan mencarinja. Dalam keada annja, mustahillah ia dapat menjelamatkan diri dari kejaran kedua orang-orang liar itu.
Dengan demikian, berdasarkan atas perhitungannja, Empu Sada segera meninggalkan tempat itu. Ia berjalan saja ke arah jang tidak diketahuinja, namun segera menjahui bukit gundul itu.
Ter-tatih2 orang tua itu berjalan. Sekali-sekali ia masih ha rus beristirahat mengatur pernafasaonja. Kadang-kadang matanja terasa se-akan-akan menjadi gelap dan pandangannja menjadi ke-kuning"an. Namun ia tidak mau mati. Ia harus berju ang untuk menjelamatkan dirinja. Kemauan jang kuat itulah jang telah membawanja meninggalkan tempat jang celaka itu.
Dikejauhan masih terdengar anjing2 liar menggong gong dan menjalak ber-sahut2an. Anjing2 itu akan sama ber bahajanja dengan kedua orang-orang liar jang memuakkan itu.
Tetapi alangkah terkejutnja Empu Sada ketika agak ja uh disisinja ia mendengar Tiba-tiba saja suara menjentak "Aku menandainja kakang. Disamping batu padas jaag menjorok itulah ia terpelanting jatuh. Pasti ia berada disekitar tem pat dibawah batu itu pula. Ia pasti terbaring disana, apakah ia mati atau pingsan. Bahkan seandainja ia masih hiduppun ia akan mati pula karena darahnja jang mengalir dari lukanja.
"Tetapi aku harus melihat bangkainja. Harus. Aku tidak puas dengan dugaan2 serupa itu.
Dada Empu Sada menjadi ber-debar-debar. Se-olah-olah luka di dadanja menjadi bertambah pedih.
"Setan itu masih mampu berjalan begitu cepatnja." desahnja dalam hati. Meskipun suara itu masih belum ter lampau dekat, namun ia harus memperhitungkan keadaan. Ia tahu, bahwa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat masih ber ada ditempat jang agak jauh. Dima"am hari, dilereng bukit pula, maka suara itu kedengarannja menjadi semakin jelas.
"Aku harus segera menjauhinja" katanja didalam hati pula.
Mpu Sada mencoba mempercepat langkahnja. Tetapi na fasnja dan sakit didada dan telinganja benar-benar telah menggang gunja, bahkan hampir-hampir ia tidak mampu lagi untuk bergerak. Meskipun darah tidak lagi mengalir dari luka didadanja ka rena reramuan obat-obatnja namun sakitnja masih juga me-nusuk2 sampai ke-pusat jantung.
Dikejauhan ia mendengar suara pula "Mudah-mudahan bau darahnja memanggil anjing2 liar kemari. Seandainja ia ma sih hidup, maka ia akan menjadi hidangan malam ini.
"Bagaimana ka"au ia lari"
"Tidak mungkin kakang. Tidak mungkin. Seandainja ia masih mampu berjalan, maka ia pasti hanja dapat me langkahkan beberapa langkah. Kemudian ia akan jatuh ter baring. Mati atau hanja menunggu saat untuk mati. Mati le mas karena kehabisan darah, atau mati karena anjing" Uar.
"Mungkin. Mungkin. Tetapi aku harus melihatnja, harus;
"Baik. Lihatlah bajangan batu padas jang mencorong itu. Kita lihat dibawahnja.
Suara itu semakin lama menjadi semakin dekat. Dada Empu Sadapun menjadi semakin ber-debar-debar. Dicoba meng"amati daerah sekitarnja. Gerumbul-gerumbul kecil dan ilalang liar jang bertebaran hampir disepanjang lereng itu.
"Aku tidak dapat bersembunji didalam gerumbul1 kecil katanja didalam hati " dan tidak pula melalui ilalang liar itu. Dengan demikian, maka jejakku akan segera dapat mereka ikuti.
Mpu Sada menjadi bingung sejenak. Kali ini ia masih terlindung dari beberapa gerumbul semak-semak dan ilalang liar. Tetapi kalau Kebo Sindet dapat menemukan bekas tempat ia terjatuh, maka mereka pasti akan dapat menemukan jejak nja di-alang2. Tetapi kalau ia keluar dari daerah alang2, maka ia akan berada ditempat terbuka. Kemungkinan akan menja di besar pula, kedua orang itu melihatnja, meskipun didalam gelap malam.
Da"am keragu-raguan, tiba" Empu Sada melihat dataran jang ber-ki"at disebelah gerumbul-gerumbul liar beberapa puluh langkah daripadanja memantulkan cahaja bintang jang bergajutan di langit. Dan Tiba-tiba pula mulutnja berdesis "Air. Air. Itu adalah sebuah sendang jang agak luar. Tetapi bagaimana aku dapat menjeberangi sendang itu" Kalau sendang itu cukup dalam, maka aku pasti akan tenggelam. Keadaanku tidak memung kinkan aku uatuk berenang sampai kesisi jang lain.
Kembali Empu Sada menjadi termangu-mangu. Se-akan-akan tidak ada jalan jang dapat ditempuhnja untuk menjingkirkan diri. Ilalang akan memberi jejak kepada kedua oiang jang me ngejarnja. Gerumbul-gerumbul jang bertebaran terlampau kecil untuk tempatnja bersembunji. Ditempat terbuka sama sekali tidak menguntungkannja. Dan salah satu arah jang lain adalah air sendang jang luas Sendang jang tidak akan mampu direna nginja karena keadaan tubuhnja. Bahkan sendang itu justru menjadi dinding jang mengungkungnja da"am satu lingkaran jang serasa terlampau sempat menempatkan tubuhnja jang kecil itu.
Kembali Empu Sada mendengar suara semakin dekat "k2. Mereka telah mengetahui bahwa sandang itu iju kap luas. Babkan ditengah-tengah sendang itu tumbuh semacam tumbuh"an air jang berbabaja. Ganggeng. Jang menurut ceritera ganggeng itu sering menelan binatang atau manusia sebagai makanannja. Tetapi Kebo Sindet dan Woag Sarimpat tidak menjakininja. Jang mereka ketahui adalah, bahwa gang geng itu berakar banjak dan panjang, sehingga apabila sese orang berenang melampaui sekelompok tumbuh2an ganggeng, maka tubuhnja pasti akan terbelit. Apabila seseorang menjadi binggung dan kehilangan akal, maka mus ahil ia dapat mele paskan d>ri dari belitan akar ganggeng jang sangat banjak dan panjang2.
"Ia meninggalkan gerumbul alang2 ini kakang. Ia per gi ketempat terbuka.
Kebo Sindet meng-anggukSkan kepalanja. Ia tahu benar bahwa lapangan rumput itu terlampau sempit. Diujung, le reng bukit gundul itu bertemu dengan sisi sendang, sehingga tak seorangpun jang akan mampu melampauinja. Jang dapat dilakukan adalah, terjun kedalam s-ndang atau mendaki te bing jang curam, jang keduanja sangat sulit. Tak seorangpun jaag dapat mendaki tebing jang sangat curam itu dan tak seorangpun jang akan dapat melampaui tebaran tumbuh"an ganggeng di-"engab2 sendang itu. Apabila seseorang masuk kedalam sendang, maka satu-satunja kemungkinan untuk hidup adalah kembali kesisi ini.
Apabila seseorang tidak mendaki tebing dan tidak terjun kedalam sendang, maka satu"nja jalan adalah kembali me ninggalkan tempat jang terbuka, masuk kedalam semak1 batang1 ilalang bertebaran memenuhi sisi bukit gundul itu.
Karena itu maka Kebo Sindet itu menggeram "Tidak ada kemungkinan lain.
Wong Sarimpat jang mengenal tempat itu sebaik kakak nja, tahu benar maksud kata1 itu, s-hingga dengan serta mer ta ia menjawab "Ja, tidak ada kemungkinan lain. Mari lah kita lihat batang-batang ilalang disekitar tempat ini. Kalau ti dak ada bekas kakinja meninggalkan tempat ini, maka orang itu pasti mencoba melarikan diri menjeberargt sendang itu.
Kebo Sindet tidak menjawab. Segera ia berjalan me njusur pinggiran semak-semak ilalang jang memagari tempat terbu ka itu. Dicobanja uatuk menemukan jejak apabila Empu Sada mencoba meninggalkan tempat itu. Wong Sarimpatpun kemudian berbuat serupa. Dengan saksama ia meneliti setiap langkah. Diamatinja dengan penuh kewaspadaan. Bukan sa ja jejak kaki, tetapi apabila Tiba-tiba dari ba ik semak-semak dan batang-batang ilalang itu mematuk sebatang tongkat panjang. Tong kat Empu Sada.
Tetapi sampat keujung, sampai semak-semak ilalang itu ber taut dengan sisi sendang disebe"ah jang lain, mereka sama se kali tidak menemukan jejak itu. Tak ada tanda2 pada se mak2 ilalang itu seperti jang pernah merrka libat. Tak ada batang-batang ilalang jaag roboh karena terinjak kaki-
Kebo Sindet itu menggeram. Dadanja se-akan-akan menjadi pepat karena kemarahannja.
"Setan itu telah ienjap" umpatnja "bagaimana mungkin ia bisa lari.
"Tidak mungkin" sabut Wong Sarimpat "tidak mungkin. Orang itu aku kira telah terjun kedalam Sendang. Ia tidak tahu sama sekali bahaja jang telah menunggunja. Selain tubuhnja jang lemah, maka ganggang itu pasti akan men elan nja.
"Aku belum jakin" sahut kakaknja "ia adalah orang jang sangat cerdik. Otaknja tajam tidak seperti otakmu. Mungkin ia masuk kedalam sendang disepanjang tepi semak-semak ini sekedar menghilangkan jejak. Kemudian ia masuk kem bali diantara batang ilalang beberapa langkah dari tempat ini.
Wong Sarimpat meng-angguk"kan kepalanja. Hal itupun memang mungkin terjadi. Tetapi Empu Sada tidak akan dapat terlampau jauh menjusur tepi sendang ini, sebab disebelah jang agak dalam, tepi sendang ini menjadi curam. Karena itu maka ia sependapat ketika kakaknja berkata "Kita te lusur tepi sendang ini. Apabila kita sampai ditempat jang curam itu, kita belum menemukan jejaknja, maka baru kita jakin bahwa orang tua itu terjun kedalam sendang.
Keduanjapun kemudian dengan hati-hati masuk kedalam pinggiran sendang jang landai dan tidak terlampau dalam. Per-laban2 mereka berjalan sambil mengamati semak-semak ilalang dipinggir sendang itu. Setiap ada tanda2 jang mencurigakan maka segera mereka berdua mengamatinja dengan seksama.
Tetapi kembali mereka menjadi kecewa. Mereka sama sekali tidak menemukan jejak apapun sehingga mereka sam pai kesisi sendang jang curam.
Kemarahan Kebo Sindet menjadi semakin memuncak. Dadanja serasa akan meledak karena kemarahannja itu. Wong Sarimpatpun mengumpat tidak habis-habisnja sehingga kakaknja membentaknja "He, tutup mulutmu. Sekarang terbnkti bah wa kau masih saja selalu menuruti angan-anganmu jang bodoh.
Coba katakan sekarang, dimana Empu Sada itu.
Wong Sarimpat tidak menjawab. Tetapi terdengar ia menggeram.
"Ajo, sekarang kita menjusur tepi sendang ini. Mung kin Empu Sada hanja sekedar masuk kedalam air merendam kan tubuhnja, untuk nanti menepi kembali.
"Marilah" sahut adiknja.
Kembali keduanja berjalan menjusur tepi sendang itu. Sekali-sekali mereka berhenti agak lama dan memperhatikan per mukaaa sendang itu, seandainja mereka melihat sesuatu. Te tapi permukaan air jang datar itu, sama sekali tidak dinodai oleh sesuatu apapun. Mereka sama sekali tidak melihat wajah air beriak, atau sebuah kepala jang muncul kepermukaan air.
"Tak ada orang jang mampu merendam diri sekian la ma bersama seluruh tubuhnja. Sekali-sekali ia harus muncul keatas permukaan air untuk mengambil nafas." gera-n Kebo Sindet.
"Mungkin ia telah berenang agak ketengah dan lenjap ditelan ganggeng.
"Kau masih juga ber-angan-angan. Mungkin dan mungkin
lagi. Wong Sarimpat terdiam. Tetapi hatinja bergumam " Lalu apakah orang itu dapat lenjap menjadi asap.
Beberapa lama mereka menunggui sendang itu. Bahkan kemudian Kebo Sindet melihat sesuatu ditepi sendang itu. Se potong kain kecil berwarna ungu.
"Kacu, kau lihat" teriak Kebo Sindet.
"Ja, kacu." sahut Wong Sarimpat dengan serta-merta
"Pasti seseorang telah datang kemari Lihat, apakah jang dibendeli dalam kacu itu.
Wong Sarimpat segera memungut sepotong kain berwar na ungu, jang ternjata didalamnja ada sesuatu benda jang terbalut. Ketika Kebo Siadet membuka sepotong kain berwarna ungu itu, maka Tiba-tiba ia berkata "Ini pasti milk Empu Sada.
Pasti. Kau libat bumbung kecil ini P Isinja adalah sebuah rs ramuan obat-obatan. Mungkin obat-obatan ini pulalah jang telah mem buatnja menjadi kuat dan dapat menempuh jarak ini.
Wong Sarimpat meng-angguk-anggukkan kepalanja. Tetapi ia mengumpat tak habis-habisnja. Sambil membanting potongan kain itu ditanah ia berkata lantang "la pasti terjun kedalam sendang ini. Pasti. Tetapi dengan demik an ia pasti menemui ajalnja pula, berkubur didalam perut pelus jang menunggui sendang ini.
Kebo Sindet jang ber wajah beku itu berdiri mematung ditepi sendang. Tetapi matanjalah jang memancarkan gejolak dida"atn dadanja. Apabila Empu Sada itu lepas dari tangannja, maka orang itu akan menjadi orang jang paling berbahaja baginja. dang itu pasti mendendamnja pula. Tetapi untuk sementara, Empu Sada pasti masih harus menjembuhkan luka-luka nja jang pasti lebih berat dari lukanja sendiri. Empu Sada itu pun pasti tidak akan segera dapat berhubungan dengan Ma hisa Agni atau Tunggul Ametung. Dengan demikian masih akan timbul salah paham diantara mereka karena hubungan mereka jang terlampau jelek di-masa-masa jang lampau.
Dalam pada itu Wong Sarimpat masih juga berteriak -He Empu jang gila. Jangan bersembunji didalam air. Kau akan mampus ditelan ganggeng. Ajo keluarlah.
Namun suaranja jang melontar itu hanja disaut oleh ge manja sendiri. Gema jang memantul dari lereng-lereng bukit gundul.
"Tak ada orang jang dapat hidup didalam air" ber kata Kebo Sindet kemudian. Kita tunggu disini untuk seje nak. Kalau kita sudah jakin, bahwa Empu Sada tidak sekedar merendam diri, maka kita akan mendapat kesiMpulan, hahwa orang itu telah mencoba melarikan diri, menjeberangi sendang ini.
"Dan ia akan mampus diantara ganggeng2 itu.
Kebo Sindet tidak menjawab. Tetapi ia berdiri dengan gelisah. Dengan dada jang meng-hentak2 ia berjalan mondar-mandir. Ia mengharap melibat sebuah kepala tersembul diper mukaan air. Tetapi ia tidak melibatnja, meskipun cukup lama ia berada dipinggir sendang itu. Ia tidak melihat sebuah ke pala jang muncul dipermukaan air.
"Kalau orang tua itu berada didalam air, maka sekali-sekali ia akan muncul dan akan segeia dapat kita litat.
"Ja" Sahut Wong Sarimpat keras2 "tetapi oratg itu sangat bodoh. Dan ia mencoba berenang menjeberacg.
Kebo Sindet tidak menjahut. Dibiarkannja adiknja ber"teriak memanggil nama Empu Sada dan sekali-sekali ia ter-tatuk2 karena dadanja serasa menjadi pepat. Namun demikian ia berhasil mengatur pernafasannja, maka dipuaskannja hatinja dengan ber-teriak-teriak untuk mengurangi himpitan kekecewaan nja atas hilangnja Empu Sada.
Akhirnja Kebo Sindet menjadi tidak sabar lagi. Menu rut perhitungannja, ia telah terlalu lama berdiri, dan kemu dian duduk, untuk sejenak lagi berdiri, ditepi sendang itu. Kalau benar Empu Sada masuk kedalam sendang itu, maka ia pasti sudah mati lemas, atau mati dibelit ganggang. Sedang kemungkinan jang laiu tidak ada.
"Aku harap orang itu sudah mampus" desis Kebo Sindet.
"Pasti. Pasti sudah mampus" teriak Wong Sarimpat. Kemudian keras2 ia berkata "Kalau belum ia pasti akan muncul dipermukaan air.
"Mari kita kembali. Kita libat Kuda-Sempana, apakah ia masih utuh atau tinggal Kerangkanja saja dirobek-robek anjing liar" berkata Kebo Sindet.
"Apakah keberatan kita kakang?" sahut Wong Sa rirapat "biar sajalah Kuda-Sempana itu mampus pula.
"Aku masih memerlukan anak itu. Mungkin masih ada keterangan-angan jang bisa diperas daripadanja. Bersikaplah baik terhadap anak itu.
Wong Sarimpat menggeram. Kepada Kuda"Sempana ia mempunjai tanggapan jang serupa seperti kepada gurunja dan kepada Cundaka jang telah dibunuhnja. Tetapi ka reaa kakaknja menghendaki, maka berapa berat perasaannja, ia harus memenuhinja.
Keduanjapun kemudian meninggalkan sendang itu. Kebo Sindetpun kini telah jakin, bahwa Empu Sada pasti akan mati ditengah-tengah sendang itu. Tak ada orang jang dapat menahan nafasnja sekian lama, sepaajang mereka berdua berada dite pi sendang itu. Dan tak adn orang jang akan dapat menje berangi sendang itu dengan selamat. Orang itu pasti akan ter.g gelam dibelit oleh ganggeng jang tumbuh lebat hampir disegenap sudut sendang itu. Sedangkan apabila Empu Sada tetap tinggal ditepi, maka setiap kali ia mengambil nafas ma ka pasti akan dilihatnja.
Ketika keduanja mulai melangkahkan kakinja, maka Tiba-tiba Wong Sarimpat membungkukkan badanrja. Diraih nja beberapa buah batu dan di-lempar2kannja ! .dalam sendang itu sambil berteriak "Mampuslah kau, mampuslah.
Tetapi batu-batu itu tidak terlampau besar, dan wajah sen dang itu terlampau luas. Tetapi Wong Sarimpat berbuat asal sekedar berbuat saja. Ia hanja ingin melepaskan kekecewaan, kemarahan dan dendam kerena luka didadanja.
Suara Wong Sarimpat jang meng-umpat-umpat semakin lama terdengar semakin jauh dari sendang itu. Ketika dadanja menjadi sakit, barulah ia terdiam dan ter-batuk2. Seterusnja orang itu tidak lagi berteriak dan meng-umpat8.
Dengan ter-tatih2 keduanja berjalan menerobos semak8 ilalang disekitar bukit gundul itu. Bahkan Kebo Sindetpun kemudian menjadi agak ter-gesa-gesa. Ia takut Kuda"Sempana jang ditinggalkannja akan dikerumuni oleh anjing1 hutan, menjadi makanan mereka jang menjenangkan.
Ia masih merasa perlu atas Kuda"Sempana. Banjak hal jang dapat dilakukan oleh anak itu. Meskipun apa jang akan dilakukan kelak atasnja, mungkin sama sekali tidak menjenang kan bagi Kuda"Sempana, tetapi Kebo Sindet masih merasa perlu untuk bersikap baik terhadapnja. Kebo Sindetpun memperhitungkan, bahwa Kuda-Sempana bukanlah seorangpe ngecut jang bcr-lebih"an. Mungkin ia akan mempertahankan harga dirinja, dan membiarkan dirinja mati apabila ia dicoba untuk diperas dengan kasar. Tetapi dengan cara lain, mungkin anak muda jang kehilangan gurunja itu akan menjadi lunak. Meskipun apabila terpaksa, maka segala cara akan ditempuh oleh kedua hantu lereng bukit gundul itu.
Demikianlah maka kedua orang itupun kemudian mengang gap bahwa Empu Sada telab berusaha melarikan dirinja de ngan raenjeberangi sendang. Dengan demikian maka mereka pun menganggap bahwa orang itu pasti sudah binasa ditengah-tengah sendang itu dibelit ganggeng.
"Tidak mungkin Empu Sada dapat melenjapkan diri se perti asap-berkata Kebo Sindet didalam hatinja dan tidak mungkin seseorang mampu ntenjeberangi sendang itu dengan selamat.
Meskipun demikian, Kebo Sindet itu berkata "Besok kita kembali ketempat ini untuk mejakinkan kematian Mpu
Sada. "Baik" sabut adiknja.
Kembali mereka berdiam diri sambil melangkah diantara batang ilalang menuju kelereng pendakian bukit gundul itu.
Sementara itu Empu Sada masih mencoba bersembunji didalam air. Baginja cara itu adalah satu-satunja jalan. Ia be lum mengenal daerah itu dengan baik, sehingga ia tidak tahu, kemana ia akan lari. Sedangkan pada saat itu, suara kedua orang liar itu sudah semakin dekat. Untunglah bahwa ia me rasa terlampau lemah untuk mencoba melarikan diri dengan merenangi sendang jang tidak dilihatnja tepi diujung lain karena malam jang pekat.
Maka tak ada pilihan lain baginja daripada terjun ke dalam air. Dengan menahan dingin dan pedih pada luka di dadanja, ia merendam dirinja. Hanja kepalanja sajalahjang semula masih berapa diatas air. Tetapi ketika didengarnja su ara Kebo Sindet dan Wong Sarimpat semakin dekat, dan ketika samar2 telah dilihatn jakedua orang itu mendekati tepi sendang maka segera dibenarakannja segenap tubuhnja.
Orang tua itu mempergunakan gelagah ilalang untuk me nahan supaja ia tetap dapat bernafas meskipun dengan mu lutnja. Satu ujung gelagah itu dimasukkannja kedalam mu lutnja, sedang ujungnja jang lain dicuatkannja keatas permu kaan air. Dengan demikian ia masih mampu melakukan per nafasan meskipun dengan mulutnja.
Namun usaha itu ternjata telah menjelamatkannja. Ter njata Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak memperhitung kan sedemikian jauh, sehingga ketika mereka berada ditepi sendang itu cukup lama, dan tidak dilibatnja sebuah kepala jang kadang-kadang tersembul keatas air untuk menarik nafas, maka mereka menganggap bahwa Empu Sada tidak berada ditempat itu. Tidak berada ditepian sendang jang dangkal.
Meskipun Empu Sada merendam seluruh tubuhnja, terma suk kepalanja didalam air, namun samar2 ia mendengar sua ra Wong Sarimpat meng-umpat-umpat. Me-manggil2nja dan ber"teriak- tidak menentu
Ketika Wong Sarimpat melemparkan batu kedalam sendang itu, maka hampir saja batu itu mengenainja, bahkan hampir saja mengenai kepalanja. Tetapi untunglah, bahwa kepalanja njaris terkena lemparan itu.
Akhirnja suara ribut Wong Sarimpat itupun lenjaplah. Tidak ada lagi umpatan-umpatan jang didengarnja. Tidak ada lemparan2 batu jang dirasakannja.
Meskipun demikian Empu Sada tidak segera berani mun cul kepermukaan air. Ia masih takut apabila kedua orang itu masih menunggui ditepi sendang. Dengan demikian, maka usahanja merendam diri semakin lama, sehingga ia menggigil kedinginan dan kesakitan jg sangat pada dadanja itu akan sta2.
Tetapi akhirnja Empu Sada itupun jakin bahwa kedua orang itu telah pergi. Per-"aVian2 ia mencoba menjengukkan matanja kepermultaan air. Dan kini tidak dilihatnja lagi se seorang dipinggir sendang itu. Dengan teliti diamatinja setiap bajangan jang betapapun samar2nja. Mungkin bajangan itu adalah kedua orang liar jang memuakkan itu. Namun akhirnja ia mendapat kesiMpulan bahwa kedua orang itu memang telah pergi.
Per-!ahan2 Empu Sada bangkit berdiri. Air tempatnja ber sembunji sebenarnja tidak terlampau dalam. Masih belum melampaui perut. Namun karena Empu Sada berhasil meren damkan stluruh tubuhnja, dan cahaja Lintang2 dilarg"n jar g sama sekali tidak membantu memeijahkan gelap malam itaka kedua orang liar itu tidak melihatnja.
Mpu Sada jang kedinginan itu kemudian rrfelargkah me nepi. Lut itnja gemetar dan darahnja serasa hampir membeku.
"Gila gumamrja" pengalaman ini adalah p-rgalarran jang paling menark s "panjang hidupku. Sepanojarg petua Jangan jang pernah aku lakukan. Telah berpuluh kali aku bet kelahi, berpuluh kali terluka dan berpuluh kali membunuh lawan. Namun belum pernah aku merendam dui selaba ini, hanja sekedar ini menghindari kedua setan bukit gundul ini.
Mpu Sada menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia meraba-raba ikat pinggangnja, diketahuinja bahwa kacu sepotong jang di pakainja untuk membalut obat-obat-nja terjatuh.
"Hem, pasti ketika aku membenahi diri sebelum aku terjun kemari.
Mpu Sadapun kemudian mencari sepotong kain ungunja. Ketika kemudian kain sepotong itu diketemukan, maka gu mamnja "Kedua orang itu pasti melihat potongan kain ini. Kalau demikian, maka mereka pasti sudah tahu bahwa aku masuk kedalam sendang ini.
Mpu Sada kini menjadari keadaan diri sepenuhnja. Ke dua orang jang mencarinja pasti menjangka, bahwa ia telah mencoba melarikan diri merenangi sendang itu. Namun Empu Sada kemudian tidak dapat mengambil kesiMpulan, bagaima nakah anggapan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat atas dirinja. Empu Sada tidak dapat segera mengetahui, bahwa Wong Sa rimpat dan Kebo Sindet telah menganggapnja mati ditelan ganggeng di tengah2 sendang itu.
Karena itu, maka Empu Sada itupun kemudian bergumam "Mungkin mereka masih berusaha untuk segera menemukan aku. Karena itu aku harus segera pergi.
Mpu Sada segera melangkahkan kakinja. Beberapa lang kah kemudian ia masih menemukan bumbungnja jang berisi reramuan obat.Van. Tetapi sebagian dari obat-obatannja telah ber-serak2 diatas rerumputan dan tak mungkin lagi dikumpul kan nja. Tetapi sebagian kecil jang masih berada didalam bumbungnja itupun masih dapat menghiburnja.
Malam semakin lama menjadi semakin dalam. Angin jang dingin berhembus menjusur bukit. Alangkah dinginnja.
Mpu Sada jang tua itu menggigil kedinginan. Pakaian dan tubuhnja basah kujup oleh air sendang tempatnja berdiam diri. Tetapi ia tidak mempunjai ganti, sehingga meskipun be tapa perasaan dingin menggigit sampai kctulang, maka terpaksa pakaian jang basah itupun tetap dipakainja
Kini ia dihadapkan pada persoalan, bagaimana ia d a-at keluar dari tempat ini. Ia harus mampu menghilangkan segala macam kesan, bahwa ia masih berada ditempat itu. Ia harus memelihara anggapan bahwa Empu Sada lenjapkcda"am sendang. Lari menjeberangi sendang itu, supaja Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak berusaha mengejarnja dengan mencari jejaknja. Sebab ia merasa bahwa ia masih belum rr.aMpu untuk meninggalkan tempat itu dengan cepat.
Ketika Empu Sada sampai ke-semak-semak ilalai.g. maka ia memperhitungkan keadaan. Ia harus berjalan tanpa mening galkan jejak. Karena itu, maka dicarinja jejak Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Dengan hati-hati Empu Sada bcrja lan disepanjang jejak mereka, diatas batar.g2 ila"ang jang telah roboh ter-injak2 kaki-kaki mereka. Namun disuatu tempat ia harus memisahkan diri dari jejak itu dan mencari ke sempatan jang baik tanpa menimbulkan kecurigaan.
Demikianlah dengan hati-hati Empu Sada berjalan ter-tatih2. Tubuhnja jang kedinginan, dan dadanja jang pedih merupakan penghambat jang mengganggunja. Tetapi ia menjadari kea daan sepenuhnja. Ia harus pergi se-jauh-jauhnja.
Akhirnja jejak kaki jang ditkutinja itupun keluar dari semak ilalang. Tetapi kedua orang Uar itu pasti menu ju kesisi bukit gundul jang landai, tempat mereka mendaki naik ketempat mereka berkelahi semula. Sendang Empu Sada pun kemudian memilih arah jang lain. Kalau masih kuat ia harus berjalan sampai pagi. Semakin jauh semakin baik. Ia masih belum berpikir kemana ia harus pergi.
Tetapi tanpa disengaja, Empu Sada telah memilih jalan kembali. Jalan jang berlawanan dengan jalan jang ditem puhnja pada saat ia datang kebukit gundul ini.
Sementara itu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat jg meng anggap bahwa Empu Sada telah mati, bahkan hampir dapat mereka pastikan, dengan tes-gesa-gesa menurut kemAmpun jang masih merekaa miliki, telah mendaki bukit gundul itu kem bali. Wong Sarimpat jang selalu diganggu oleh perasaan njeri didadanja. berkali2 terpaksa berhenti ter-batuk2, sehing ga kakaknja berjalan semakin jauh didepan.
Ketika mereka sampai keatas bukit gundul itu, mereka melihat Kuda-Sempana telah berbasil berdiri tegak. Bahkan dengan pedang ditangan ia menggeram "Ajo, kalau kalian telah berhasil membunuh guruku serta saudara seperguruanku, kenapa kalian tidak sanggup membunuh aku sama sekali"
Tetapi Kuda-Sempana menjadi heran ketika ia melihat wajah hantu jang membeku itu Tiba-tiba tersenjum. Betapapun ma"am diwarnai oleh kegelapan serta obor didekatnja telah padam, namun Kuda-Sempana dapat melihat senjum itu. Senjum pada wajah jang beku, sehingga karena itu, maka hatinja menjadi ngeri. Se-olah-olah ia melihat sesosok majat ang tersenjum kepadanja.
Ketika Kebo Sindet melangkah selangkah lagi mendekati nja Tiba-tiba Kuda-Sempana jang hatinja keras sekeras batu hitam itu melangkah surut sambil berteriak "Jangan, jangan dekati aku.
Tetapi wajah itu masih tersenjum. Senjum jang benar-benar telah menggetarkan dada Kuda-Sempana. Bukan karena Kebo Sindet adalah seorang sakti jang setingkat dengan gurunja.
Ia sebenarnja telah bersedia untuk mati sekalipun. Tetapi ketika ia melihat se-akan-akan sesosok majat tersenjum kepadanja, hatinja bergolak dahsjat sekali.
Tanpa dikehendakinja kembali ia berteriak "Pergi, pergi, atau pedangku akan memenggal lehermu itu.
Namun Kuda-Sempana terkejut pula ketika ia men dengar Kebo Sindet itu berkata dengan tenang "Kuda-Sem pana. Sadarilah keadaanmu, dan apakah kau mau mendengar keteranganku"
Suara itu sangat berbeda dengan wajah jang ditatapnja. Wajah itu benar-benar mengerikan, tetapi suara itu terasa tenang dan ber sungguh2.
"Aku ingin berkata sesuatu kepadamu. Aku harap kau dapat mendengarnja dengan tenang. Menimbang dengan bijaksana. Sebenarnja aku tidak mempunjai maksud jang jelck terhadapmu.
Kini Kuda-Sempana terdiam seperti patung. Ia sama sekali tidak melihat sikap pemusuhan dari Kebo Sindet jang mengerikan itu. Bahkan terasa sikapnja sejak semula tidak berubah, meskipun telah terjadi perkelahian antara orang itu dengan gurunja.
Sejenak kemudian Wong Sarimpatpun telah berdiri di sampingnja pula Sikap orang ini memang agak berbeda dengan sikap kakaknja- Tetapi meskipun demikian, iapun telah berusaha berbuat se-baik-baiknja. Ia ingin mencoba ber buat seperti kakaknja, menenangkan hati Kuda-Sempana. Katanja "Apakah kau masih merasa tubuhmu terlampau lemah Kuda-Sempana" Kalau demikian, aku akan berusaha menjembuhkanmu.
Kuda-Sempana memandangi orang kasar itu dengan penuh kecurigaan. Tetapi ia tidak menemukan kesan apapun pada wajah Wong Sarimpat. Namun ia terkejut ketika Tiba-tiba ia mendengar Wong Sarimpat tertawa ter- bahak2 "M a tamu masih memancarkan kecurigaan.
Kuda-Sempana tidak segera menjahut, namun terdengar giginja gemeretak.
Tetapi Wong Sarimpat masih saja tertawa berkepan jangan, sehingga akhirnja ia berhenti dengan sendirinja ka rena dadanja menjadi sakit. Sambil ter-bungkuk2 ia batuk2. Kedua tangannja menekan dadanja jang sakit itu.
Jang berkata kemudian adalah Kebo Sindet "Jangan bimbang lagi Kuda-Sempana. Aku masih tetap pada pendiri anku. Aku ingin menolongmu menangkap Mahisa Agni. Me njcrahkannja kepadamu.
Kuda-Sempana masih tetap berdiam diri. Ia masih be lum menemukan sikap jang se-baik-baiknja harus dilakukan. Da Iam pada itu Kebo Sindet itu berkata "Jangan hiraukan lagi gurumu. Aku terpaksa membunuhnja. Sekian lama aku menunggu kesempatan ini. Dendam jang tersimpan didalam dada ini se-akan-akan tidak tertahankan lagi. Mungkin kau be lum mengetahuinja, persoalan jang selama ini se~olah" ingin dilupakan oleh gurumu. Tetapi bagiku, sebelum gurumu berku bur dibukit gundul ini, hatiku masih belum puas. Tetapi mes kipuu kau adalah muridnja, namun kau tidak ikut campur dalam persoalan ini. Kau sama sekali tidak mengetahui ujung dan pangkalnja, sehingga kau kami bebaskan dari setiap tin dakan apapun.
Kuda-Sempana masih menggenggam pedang ditangannja. Ia masih juga belum dapat menentukan, sikap apakah jang sebaiknja dilakukan. Tetapi akhirnja Kuda-Sempana itu men coba untuk memilih kemungkinan jang paling panjang. Ka lau ia melawan, maka ia pasti akan mati. Tetapi kalau ia membiarkan dirinja menurut perintah kedua orang itu, ma ka ia akan tetap hidup. Selagi ia masih hidup, maka kemungkinan2 jang lain masih dapat terjadi. Berbeda sekali deagan apabila ia terbunuh malam ini.
Meskipun demikian Kuda-Sempana masih juga berdiam diri. Tanpa dikehendakinja, sekali ia berpaling memandangi majat saudara seperguruannja jang masih terbaring diatas b a tu2 padas diatas bukit gundul itu.
"Jangan hiraukan jahanam itu" teriak Wong Sa rimpat sehingga Kuda-Sempana terkejut karenanja. Oiang itu telah mendapat upahmu sendiri. Kalau ia tidak terlara pau sombong, maka ia tidak akan menemui nasib begitu je lek.
Kuda-Sempana masih belum menjawab.
"Kuda-Sempana" berkata Kebo Sindet "mari ikut lab. kami. Kau akan tinggal bersama kami sampai kau dapat berbuat sesuatu atas Mahisa Agni. Aku berjanji akan me nangkapnja hidup2 untukmu. Aku dapat menangkapnja pa da sebuah tonggak jang kuat. Dan kau akan dapat berbuat sesuka hatimu. Mungkin kau akan membunuhnja, atau mung kin kau akan membiarkannja tersiksa atau cacat untuk se umur hidupnja.
Kuda-Sempana tidak dapat segera mengetahui perasaan nja sendiri. Apakah ia menjadi bergembira mendengar ta waran itu, atau Tiba-tiba ia telah kehilangan nafsu untuk berbu at demikian. Goncangan-angan perasaannja masih saja menggang gunja. Kematian saudara seperguruannja dan mungkin guru nja sendiri, benar-benar telah mempengaruhi cara dan kejernih annja berpikir.
Namun ketika sekali lagi Kebo Sindet mengajaknja, maka sekali lagi Kuda"Sempana menjatuhkan pilihannja pada ke mungkinan jang paling jauh, Jaitu, ia ingin tetap hidup, se belum diketemukannja jalan jang se-baik-baiknja dilakukan.
"Mari ikut aku" ajak Kebo Sindet pula. Kuda"Sempana tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.
"Bagus" berkata Kebo Sindet. Kembali wajah jang beku itu tersenjum. Dan kembali Kuda-Sempana menjadi ngeri melihat senjum itu. Terbajang diwajahnja, sesosok majat jaag bangkit dari kuburnja dan tarsenjam kepadanja.
Tetapi Kebo Sindet sama sekali tidak memperhatikannja lagi. Segera ia berjalan kembali kegubugnja.
Kuda "Sempana jang masih saja ragu-ragu merasa punggung nja disentuh. Ketika ia berpaling Wong Sarimpat telah berdiri dibelakangaja. Terdengar kemudian suara tertawanja meme kakkan telinga. Diantara suara tertawanja itu ia berkata "Marilah Kuda-Sempana. Kau akan menemukan tempat ting gal jang baru diantara kami- Kau akan segera mengenal cara hidup orang8 kemunduagan. Orang" Kemundungan ter njata terlampau baik terhadap kami. Mereka merasa bahwa kami telah melindungi mereka dari setiap kejahatan jang dapat tcrjaii. Kini baik penjahat2 jang berkeliaran di-padukuhan2. Sejak Baginda di Kediri bertindak lebih keras terhadap ke jabataa dan agaknja diikuti pula oleh setiap Akuwu termasuk Ak"iwu Tunggul Ametung, maka penjahat2 lari bertebaran di-pa lukuhaa2 terpencil. Tetapi ternjata sampai saat ini Ke i n-n dongan masih tetap lepas dari pengaruh kejahatan itu.
Kuda-Sempana mengerutkan keningnja, tetapi ia tidak menjawab. Ketika sekali lagi ia merasa tangan Wong Sarim pat me>jentuhnja, maka kakinjapun terajun melangkah mengi kuti Kebo Sindet jang telah beberapa langkah dimuka. Ketika sekali lagi ia berpaling kearah tubuh Cundaka jang menjebut dirinja Bahu Reksa Kali Elo, terdengar Wong Sarimpat ber kata "Sebelum matahari bertengger diatas punggung bukit J i ujung Timur itu, maka jang tinggal disini adalah kerang kanja saja. Anjing2 liar segera akan menerkamnja dan me robek2nja.
Terasa bulu1 tengkuk Kuda-Sempana meremang. Bagai manapun juga orang itu adalah saudara seperguruannja jang telah lama bergaul dan bahkan orang itu telah berusaha membantunja pula untuk menyapai maksudnja, mesldpun ia tahu, bahwa Cundaka itupun mempunjai pamrih juga. Na mun ketika ia melihat tubuh itu terbaring diatas batu1 padas, maka hatinja berdesir pula.
Tetapi Kuda-Sempana tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Setiap kali ia tertegun, maka terasa Wong Sarimpat menjentuhnja. Sentuhan jang semakin lama terasa menjadi semakin kasar, meskipun orang itu masih juga ter"tawa-tawa.
Akhirnja Kuda"Sempana berjalan menurut irama lang kah Kebo Sindet meninggalkan bukit gundul itu. Meninggal kau tempat jang tidak akan pernah dilupakannja.
Ketika kemudian mereka menuruni bukit gundul itu, terasa dada Kuda-Sempana menjadi bergelora. Kemarin ia menuruni bukit ini pula bersama guru dan seorang saudara seperguruannja. Kini ia menuruni bukit itu bersama dua orang jang belum pernah dikenal sebelumnja.
Ber-hagai2 perasaan bergumul didalam hatinja. Kadang-kadang ia ingin melepaskan diri dari kedua orang itu, tetapi kadang-kadang apabila dilibatnja punggung Kebo Sindet, ingin ia menghun jamkan pedangaja kepunggung itu. Tetapi Tiba-tiba disadarinja, bahwa dibelakangnja berjalan ter-tatih2 Wong Sarimpat. Mes kipun orang itu tampaknja telah hampir mati, tetapi ia masih cukup berbahaja. Apalagi baginja, jaag kini tidak memiliki ke kuatannja sepeaubnja.
Kuda-Sempana terkejut ketika Tiba-tiba ia melihat Kebo Sindet berhenti dan berpaling. Dari sela-sela bibirnja jang beku terdengar orang itu berkata "He, Kuda-Sempana, apakah kau masih menggenggam pedang ditangan" Sarungkanlah. Se bentar lagi jalan akan menjadi semakin sulit. Pedarg itu akan berbahaja bagimu. Apabi a kau terpeleset jatuh, maka mungkin sekali tajam pedang itu akan menjobek kulitmu sen diri.
Kuda-Sempana memandangi wajah Kebo Sindet dengan tajamnja. Namun kemudian tanpa dikehendakinja sendiri, tangannja tergerak menjarungkan pedang itu pada wrangka dilambungnja.
"Bagus Hati"lah berjalan." berkata Kebo Sindet itu pula "Baru apabila kita bertemu dengan gerombolan anjing liar, mungkin kau perlukan pedangmu itu untuk menghalaunja.
Kuda-Sempana masih saja berdiam diri. Ketika Kebo Sindet berjalan kembali, maka Kuda-Sempanapun berjalan pula lewat jalan setapak jang kemarin pernah dilaluinja pula. Ber-belit1 diantara batu-batu padas jang menjorok tajam dan kadang-kadang se-akan-akan menghadang ditengah jalan.
Ditempat inilah ia kemarin melihat Wong Sarimpat di bawah jalan ini, kemudian diatas punggung kuda berlari mendaki lereng jang curam ini. Kemarin ia masih mengagumi orang jang kasar jang disaagkanja terlampau jujur itu. Tetapi ternjata orang itu telah membunuh guru dan saudara seperguruannja.
Kebo Sindet ternjata sengaja berjalan per-lahan-lahan supaja Kuda-Sempana dan Wong Sarimpat jang terluka itu tidak tertinggal terlampau jauh. Namun demikian, mereka semakin lama menjadi semakin dekat pula dengan gubug dilereng bukit gundul itu. Gubug jang berada dimulut goa.
Bulu kuduk Kuda-Sempana meremang ketika teringat kata-kata Kebo Sindet, bahwa didalam goa itu terdapat banjak kerangka manusia. Siapa jang masuk kedalam goa itu, tidak akan dapat keluar kembali.
"Apakah aku akan dimasukkan keda"am goa itu pula F" berkata Kuda-Sempana didalam hatinja. Tetapi kemudian ditenangkannja hatinja sendiri. Apapun jang akan terjadi akan dihadapinja, walau mati sekalipun. "Ini adalah akibat jang mungkin sekali terjadi" katanja didalam hati pula "-kalau aku berhasil, seMpurnalah hasilnja, kalau gagal, tebus annja maut.
Akhirnja mereka berhenti juga dimuka gubug Kebo Sindet. Dalam kegelapan Kuda"-Sempana masih dapat me ngenali gubug itu. Mulut gubug itu masih saja merganga seperti pada saat Kuda"Sempana meninggalkannja. Dan ru angan dida"am gubug itupun masih saja gelap pekat.
"Wong Sarimpat" berkata Kebo Sindet "buatlah api. Njalakan pelita. Apakah kau masih mempunjai minjak"
~- Masih kakang" sahut Wong Sarimpat jang kemudian berjalan memasuki gubugnja.
Kuda"Sempana merasa perbedaan penerimaan atas diri nja. Ketika ia datang bersama gurunja, maka se-olah-olah kedua orang itu acuh tak acuh saja. Tetapi kini terasa keduanja menjadi terlampau baik terhadapnja.
Anak muda itu bukanlah anak muda jang terlampau dungu. Betapapun juga ia dapat mengerti dan merasakan, bahwa ada sesuatu kepentingan atasnja dari kedua orang itu. Samar2 ia melihat kepada persoalan jang akan dibadapinja Kebo Sindet dan Wong Sarimpat akan memperalatnja.
Tetapi Kuda-Sempana sudah tidak akan dapat mele paskan diri lagi. Ia sekarang dan seterusnja pasti hanja akan menjadi alat mati. Alat jang tidak dapat menentukan sikapnja sendiri. Namun ia tidak akan menerima nasib itu tanpa per lawanan. Ia harus mempergunakan otaknja, bukan tenaganja. Sebab ia pasti tidak akan mampu melawan keduanja. Bahkan satupun tidak meskipun sudah terluka.
Ketika lampu telah menjala, maka Kebo Sindet segera mempersilahkan Kuda-Sempana itu masuk kedalam Ketika mereka sudah duduk diatas amben jang kemarin mereka pa kai pula, terdengar Kebo Sindet berkata "Kuda Sempana Lupakanlah gurumu dan saudara seperguruanmu. Tinggallah disini seperti dirumah sendiri. Aku dan Wong Sarimpat segera akan berusaha menjembuhkan luka-luka kami. Da"am waktu jang singkat kami akan memenuhi permintaanmu. Menangkap Ma hisa Agni hidup2 bagi kami sama sekali bukan pekerjaan jang sulit. Kami heran, kenapa gurumu tidak mampu mela kukannja apabila ia benar-benar bermaksud menangkapnja. Karena itu, bagi kami gurumu merupakan penghalang terbesar. Bah kan aku mempunjai perhitungan bahwa gurumu sengaja akan menjebak kami. Selain itu kami memang mempunjai per soalan jg. lama terpendam dengan gurumu. Lambat laun kau pasti akan mengetahuinja juga.
Tiba" Kuda"Sempana meng-angguk-anggukkan kepalanja Bah kaa kemudian ia bertanja "Apakah paman berkata sebenarnja"
Kebo Sindet memandang Kuda"Sempana dengan wa jahnja jang beku. Tetapi sorot matanja memancarkan pera saan Jang aneh. Kenapa Kuda"Sempana menjadi lunak hatinja dengan Tiba-tiba. Perubahan itu berlangsung terlampau cepat. Namun Kebo Sindet tidak segera dapat menarik ke siMpulan. Bahkan kemudian ia menjawab "Tentu. Aku ber kata sebenarnja.
Kuda"Sempana terdiam sesaat. Ia ingin segera ber-pura" bergembira mendengar jawaban itu, tetapi ia tidak dapat. Beruntunglah ia bahwa ia tidak mampu berbuat demikian karena kejutan perasaan jang baru saja dialami.
Kebo Sindet adalah seorang jang licin. Ia akan mampu melihat perobahan jang tidak wajar apabila Kuda-Sempana dengan Tiba-tiba menjalakan sikapnja jang berlawanan dengan rkapnja sebelumnja. Namun karena Kuda-Sempana masih dicengkam oleh perasaannja, maka justru sikapnja itu telah menghilangkan kecurigaan Kebo Sindet.
Sejak saat itu Kuda"Sempana terpaksa tinggal dida lam gubug itu pula. Gubug Kebo Sindet. Betapa hatinja ingin melepaskan diri dari lingkungan jang sama sekali tidak di kehendaki itu, tetapi ia tidak pernah mendapat kesempatan. Setiap kali ia selalu berada diantara kedua orang liar itu atau salah seorang daripadanja.
Namun setelah beberapa hari Kuda"Sempana berada ditempat itu, sikap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat sama sekali tidak berubah. Mereka masih bersikap baik dan ramah. Bahkan mereka agaknja sangat memperhatikan kebutuhannja.
Dalam beberapa hari itu Kuda"Sempana dapat menge tahui cara hidup Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Kedua mendapat makanan mereka dari orang-orang Kemundungan. Mes kipun orang-orang Kemundungan sendiri adalah orang-orang miskin, namun Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak akan pernah merasa kekurangan. Mereka mendapat makanan mereka dalam dua bentuk. Makanan masak, jang tinggal menjuapkan saja kedalam mulut, dan bahan1 mentah jang dikehendaki. Buah2 an, pala kependam dan pala gumantung. Kedua orang itu seolah1 menjadi raja kecil dalam pedukuhan jang terpencil itu.
Didalam gubug Kebo Sindet memang terdapat mulut goa. Tetapi Kuda Sempana sama sekali tidak berani mema suki goa itu. Setiap kali ia mendengar Kebo Sindet atau Wong Sarimpat berkata kepadanja. Setiap orang jang mencoba masuk ke dalamnja, maka orang itu tidak akan pernah keluar lagi. Babkan selama itu, Kuda Sempana belum pernah melibat Kebo Sindet atau Wong Sarimpat sendiri masuk keda iamnja.
Jang diketahui oleh Kuda"Sempana dengan pasti, selama ini Kebo Sindet dan Wong Sarimpat selalu mengobati diri mereka masing-masing. Ternjata Iuka2 jang mereka derita bukanlah luka-luka jang ringan. Hanja karena tubuh-tubuh mereka daja tahan jang luar biasa sajalah, maka mereka tidak hancur karenanja. Mereka bahkan masih tampak tetap segar.
(Bersambung Ke Jilid 21) (Jilid 28 bagian terakhir masih kurang)
Pelangi Di Langit Singasari
Karya SH. Mintarja Jilid : 21 " 25 ________________________________________
Jilid 21 DARI hari kehari, maka kedua orang itu mendjadi semakin sembuh. Tubuh-tubuh mereka kembali mendjadi sehat dan kuat seperti pada saat Kuda-Sempana pertama kali melihatnja. Setiap kali Kuda Sempana melihat keduanja mengudji tubuh masing-masing.
Sehingga pada suatu hari Kebo Sindet berkata kepada Kuda-Sempana "Kami telah memiliki keadaan tubuh kami seperti semula. Kami telah sehat kembali, seperti pada saat gurumu belum melukai kami dengan tjurang. Sebentar lagi kami akan mendjadi siap melakukan pekerdjaan jang kau pertjajakan kepada kami.
Kuda-Sempana masih sadja diliputi oleh kebimbangan dan bahkan kebingungan. Sesudah sekian hari ia berada di dalam gubug itu, namun ia masih belum menemukan djalan jang se-baik-baiknja ditempuh.
Kuda-Sempana itu terkedjut ketika Kebo Sindet kemudian berkata "Aku tahu, bahwa kau masih tetap berprasangka kepada kami. Perasaan itu tidak akan lenjap dari ke palamu selagi kami belum dapat membuktikan perkataan ka mi. Tetapi pertjajalah bahwa kami akan melakukannja untuk beberapa keping emas murni.
Kuda-Sempana menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tibaterlontjat dari bibirnja, "Paman, apabila aku masih tetap berada di sini, aku tidak akan berhasil mendapatkan emas murni itu,
"Bukankah kau sudah menjediakannja"
"Belum berupa emas murni "sahut Kuda-Sempana "aku masih harus berusaha mendapatkannya; Jang aku punja adalah timang emas teretes berlian. Pendok emas bermata intan dan perhiasan2 jang lain. Tetapi bukan emas murni.
Wadjah Kebo Sindet jang beku masih tetap membeku. Namun tanpa diketahui oleh seorangpun, ia tersenjum didalam hati. Jang diutjapkan kemudian adalah "Barang2 itu tjukup berharga bagi kami, Kau tidak perlu bersusah pajah menukarkannja dengan emas murni.
Kuda-Sempana terdiam. Tetapi hatinja bergolak. Barang2 itu telah dikumpulkannja ber-tahun-tahun, sedjak ia mengabdikan dirinja diistana, bahkan mendjadi kepertjajaan Akuwu dalam beberapa persoalan. Apakah barang2 jang telah dikumpulkan nja ber-tahun-tahun itu akan dilepaskannja"
Kembali ia menjesali kebodohannja. "kenapa aku me ngatakannja"
Tetapi penjesalan itu sama sekali sudah tidak berarti.Ia tidak dapat menjesali kematian gurunja karena kebodohan nja pula. Karena nafsunja untuk membalas dendam, sehingga ia telah kehilangan segenap pertimbangan jang bening.
"Tetapi kenapa guru selama ini membiarkan aku terdorong semakin djauh" "Kuda-Sempana menarik nafas dalam-dalam "Guru djuga ingin mendapatkan beberapa keping emas murni, atau timang tretes berlian atau pendok emas bermata intan atau apapun jang disenanginja.
Kembali Kuda-Sempana terkedjut ketika Kebo Sindet berkata "Memang kepuasan amat mahal harganja. Tetapi djangan takut. Aku tidak serakus gurumu Aku hanja akan menerima sebagian menurut keikhlasanmu. Aku tidak akan menjebut, berapa banjak jang aku kehendaki.
Kuda-Sempana menarik alisnja. Tetapi ia tidak pertjaja akan kata-kata itu. Namun demikian ia mendjawab "Terima kasih paman. Kapan paman memberi kesempatan kepadaku untuk mengambil barang2 itu.
"Tidak terlampau ter-gesa-gesa " sahut Kebo Sindet. " Aku akan menerimanja setelah pekerdjaanku selesai.
Kembali Kuda-Sempana terdiam. Dan kembali ia harus memutar otaknja untuk memetjabkan djalan keluar dari tempat jang menjesakkan nafas ini.
Tetapi dari hari kenari, keadaan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat mendjadi semakin baik. Dengan demikian maka kemungkinan Kuda Sempana untuk melepaskan diri dari tangan kedua orang itu mendjadi semakin sempit.
Namun bukan sadja kesempatan Kuda-Sempana mendjadi semakin sempit, tetapi karena nafsu Kuda-Sempana untuk pergi meninggalkan gubug itupun mendjadi ketjil pula.
Setelah beberapa hari ia berada digubug itu, dirasakannja bahwa sikap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat mendjadisemakin baik terhadapnja. Apalagi Kebo Sindet. Bahkan setelah orang itu mendjadi sembuh sama sekali, Kuda-Sempana sering dibawanja berburu dilereng bukit gundul itu, didalam hutan2 jang tidak begitu lebat dan di-padang2 ilalang.
Kuda-Sempanapun selalu berusaha untuk tidak menumbuhkan ketjurigaan kepada kedua orang itu. Semula anak muda itu berhasil ber-pura-pura menerima tawaran Kebo Sindet dan Wong Sarimpat itu. Namun kemudian batinja benar-benar terpengaruh oleh keadaan jang dialaminja.
Bahkan kemudian Kebo Sindet dan Wong Sarimpat itupun bersedia memberinja sedikit ilmu. Ilmu jang dimiliki oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Ilmu jang agak berbeda dengan ilmu jang diterimanja dari gurunja Empu Sada. Namun dengan pertolongan kedua orang itu Kuda-Sempana berhasil mentjoba mentjernakannja. Menjusun djenis-jenis ilmu jang ber beda itu dalam tata gerak jang serasi, jang dengan sendiri dapat menambah sedikit kemampuannja bertempur.
Hal inilah jang semula sama sekali tidak diduganja. Ternjata kedua orang itu bersikap baik kepadanja, bahkan terlalu baik. Lambat laun, maka Kuda-Sempana itu hampir melupakan gurunja sendiri dalam beberapa hari. Se-akan-akan ia telah menemukan guru jang baru.
Ketika kemudian Kebo Sindet dan Wong Sarimpat telah benar-benar sembuh, dan telah memiliki kekuatannja kembali eperti sedia kala, maka berkatalah Kebo Sindet kepada KudaSempana "Kuda-Sempana. Kami, aku dan pamanmu Wong Sarimpat telah berhasil menjembuhkan luka-luka didalam tubuh kami. Sebaiknja kami segera melakukan penangkapan itu. Menangkap Mahisa Agni.
Dada Kuda-Sempana terasa berdesir mendengar rentjana itu. Setelah sekian lama ia tinggal didalam gubug itu, maka nafsunja untuk melakukan pembalasan telah mendjadi semakin berkurang. Tetapi ia tidak dapat menolaknja. Kehadirannja kemari adalah karena dendam itu. Dan ia mentjoba membakar kembali dadanja dengan dendam jang hampir padam. Karena itu, maka didjawabnja "Baik paman. Aku bergembira bahwa paman akan melakukannja.
"Semakin tjepat semakin baik. Pamanmu Wong Sarimpat telah beberapa kali melihat kerdja Mahisa Agni bersama kawan-kawannja dipadang Karautan. Dan kesempatan untuk mengam bil Mahisa Agni terlampau luas. Kalau gurumu mempunjai otak jang sedikit tjerah, maka ia tidak perlu terlampau ber susah pajah. Anak itu selalu mondar mand i dari padang rumput Karautan ke Panawidjen. Kesempatan itu akan dapat dipergunakan se-baik-baiknja.
Kuda-Sempana terkedjut mendengarnja. Sehingga dengan serta-merta terlontjat pertanjaannja "Apakah paman wong Sarimpat pernah datang kepadang Karautan"
"Tidak hanja satu dua kali " sahut Kebo Sindet " pa man mu selalu datang melihat-lihat meskipun dari djarak jang tjukup djauh"
"Kapan paman Wong Sarimpat pergi ke padang Karautanraatan F
Lusa, sepekan jang lalu dan sepuluh hari jang lalu dan hari ini pula. Pamanmu adalah seorang penunggang kuda jang baik. Kuda-njapun baik pula, sehingga waktu jang diperlukan tidak terlampau banjak. Sendja ia berangkat, ma ka sebelum fadjar di malam berikutnja ia telah berada ditempat ini kembali. Hampir sehari ia mempunjai waktu untuk me lihat2 tempat itu. Pamanmu untuk menempuh per djaianan tanpa memintjingkan matanja sama sekali selama sepekan terus-menerus. Apalagi hanja dua tiga malam.
Kuda-Sempana menarik nafas dalam-dalam. "Bukan main"desis oj a didalam hati dan apakah guru mampu berbuat demikian pula"
"Tetapi "berkata Kebo Sindet pula "kami tidak akan pergi berdua sadja. 2 Sebaiknja kau ikut pula. Mungkin kami masih memerlukan beberapa keterangan dari padamu.
Kuda-Sempana mengerutkan keningnja. Ia mentjoba ber pikir, apakah sebabnja ia harus pergi pula ber-sama-sama dengan mereka berdua. Tetapi djawaban jang diketemukan adalah seperti jang dengan terus terang telah dikatakan oleh Kebo Sindet, bahwa mungkin kedua orang itu masih memerlukan beberapa keterangan dari padanja. Karena itu maka djawab nja "Baiklah paman. Apabila paman masih memerlukan aku.
Wadjah Kebo Sindet jang beku itu masih sadja tetap membeku. Namun kepalanja itu meng-angguk-angguk. Dan terdengar
"Bagus, dengan bantuanmu, maka pekerdjaan ini akan men djadi semakin tjepat. Aku tidak memerlukan waktu lebih da ri sepekan untuk menangkapnja. Sebab hampir setiap sepe kari sekali Mahisa Agni pergi ke Panawidjen untuk mengam bil beberapa keperluan bagi orang-orangnja bersama beberapa ka wan2nja. Kesempatan itu adalah kesempatan jang se-baik-baik nja bagiku untuk mengambilnja. Mahisa Agni akan hilang dari antara mereka. Bendungan itu akan gagal sebab orang-orang Panawidjen pasti akan kehilangan nafsu dan gairah untuk melandjutkannja. Bahkan mereka pasti akan teringat kembali kepada bendungan jang lama, dan mereka pasti akan mengu tuk kenapa bendungan itu petjah. Orang-orang Panawidjen akan mendjadi putus asa dan pergi berpentjaran mentjari hidup mereka masing-masing. Nah, keadaan itulah jang harus dilihat oleh Mabisa Agni. Karena itu ia harus tertangkap hidup. Orang itu harus disimpan ditempat ini beberapa lama untuk mera sakan kepahitan hidupnja. Mungkin ia tidak memikirkan na sibnja sendiri, tetapi kegagalaanja pasti akan menjiksanja.
Menjiksa perasaannja, sedang kau akan mendapat kesempat an untuk menjiksa tubuhnja. Bukankah kepahitan hidup jang kau alami sekarang ini bersumber pada perbuatan Mahisa Agni itu menurut katamu sendiri"
Kuda-Sempana meng-anggukSkan kepalanja. Kata-kata Kebo Sindet itu memang dapat mengungkat kembali dendamnja jang sudah mendjadi hambar. Apalagi ia sendiri memang be rusaha untuk menjalakan dendam itu.
Bahkan kemudian se-akan-akan terbajang kembali apa jang pernah terdjadi atas dirinja sedjak ia menemui Ken Dedes dibawah bendungan, ketika gadis itu sedang mentjutji pakaian. Kegagalannja jang pertama itu telah mendorongnja kedalam kegagalan2 jang terus menerus. Dan semuanja itu adalah ka rena Mahisa Agni..
Tiba-tibaKuda Sempana itu menggeretakkan giginja. Dida lam hati ia menggeram "Aku tidak peduli apa jang kelak akan terdjadi. Atas diriku atau atas Mahisa Agni apabila ia telah ditangkap oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat jang gila ini. Tetapi aku harus sempat melepaskan dendamku. Seandainja akupun akan dibunuh oleh kedua orang ini dan dimasukkan kedalam goa itu, maka aku akan mati dengan tenang, karena dendamku telah terlepaskan. Apalagi kalau benar kata mereka, bahwa mereka hanja memerlukan bebera pa matjam perhiasan dari padaku.
Kuda-Sempana itupun kemudian tersmjum didalam hati. Ia tidak mau lagi mempersulit otaknja sendiri. IJjalani hidup ini disaat ini. Apa jang akan terdjadi besok adalah persoalan besok. Kini ia harus menjiapkan diri bcr-saina2 menangkap Mahisa Agni. Dan ia ingin melakukannja sr-liaik2nja. sehingga anak muda itu dapat ditangkapnja. Disakiti tubuh dan pe rasaannja. Kemudian ia tidak akan mempedulikan lagi, apakah Mahisa Agni itu akan dibunuh dan dilemparkan kebendungan jang sedang dibuatnja, atau seperti kata gurunja, bahwa ke dua orang itu akan mempergunakan Mahisa Agni untuk tudjuan tertentu, dan bahkan seandainja dirinja sendiri akan di peria kukan serupa itu pula.
Anak muda itu tersedar ketika ia mendengar Kebo Sin det berkata "Bagaimana Kuda-Sempana, apakah kau sudah viap apabila kita setiap saat berangkat .
"Sudah paman. Sekarangpun aku sudah siap.
"Bagus. Tetapi kita masih menunggu pamanmu Wong Sarimpat.
Kuda-Sempana meng-angguk-anggukkan kepalanja pula. Gumam nja "Kapanpun aku sudah tiap.
Dalam pada itu, dipadang Karautan Mahisa Agni berada diantara kawan"nja dan hampir semua laki-laki Panawidjen, be kerdja memeras tenaga membuat bendungan jang akan dapat memberi harapan bagi kelangsungan hidup mereka dan anak tjutju mereka dalam satu lingkungan; Apabila bendungan itu, siap maka mereka tidak harus bertjerai-berai mentjari hidup masing-masing. Mereka masih akan tetap berada dalam satu ling kungan jang telah berpuluh tahun mereka djalani, sehingga mereka merasa bahwa setiap orang Panawidjen adalah keluar ga mereka sendiri. Tidak ubahnja keluarga sesaluran darah.
Tetapi kerdja itu adalah kerdja jang terlampau berat. Bendungan dan saluran2 air. Apa jang mereka kerdjakan se lama ini barulah sebagian ketjil dari kerdja mereka keseluruh an. Mereka belum dapat membajangkan, kapankah kerdja mereka itu akan dapat selesai. Sebulan lagi, dua bulan, tiga bulan atau satu tahun" Sementara itu sawah di Panawidjen mendjadi semakin kering dan kering. Hampir tak ada djenis tanaman jang dapat ditanamnja lagi. Ubi kaju mendjadi se makin kurus dan djagung tidak dapat tumbuh melampaui tinggi anak-anak jang baru dapat berdiri. Sedangkan setiap orang harus memeras keringat dipanas terik padang Karautan. Me reka mulai bckerdja sedjak matahari terbit dan mereka baru meletakkan alat-alat mereka apabila matahari djauh turun dikaki langit. Namun kerdja itu se-olah-olah hampir tidak ber-tambah2. Setiap hari mereka harus memetjah batu-batu, memasuk kan kedalam brundjung-brundjung bambu dan menimbunnja didasar sungai. Tetapi brundjung-brundjung bambu jang berisi batu-batu itu seolah-olah lenjap sadja ditelan pasir didasar sungai itu.
Apalagi saluran2 jang mereka rentjanakan. Mereka sem pat menanam patok2 bambu dan tali2 jang harus mereka pantjangkan untuk membuat garis-garis parit jang akan mereka gali. Tetapi selebihnja belum. Belum ada seratus langkah tanah jang sudah sempat mereka tjangkul. Tenaga mereka hampir seluruhnja dikerahkan untuk memetjah dan memasukkan batu-batu kedalam brundjung dan melemparkannja kedasar sungai.
Beberapa orang telah mendjadi tjemas akan persediaan lumbung-lumbung mereka. Lumbung-lumbung itu telah mendjadi semakin tipis. Tanaman palawidjen agaknja terlampau sedikit. Sawah-sawah mereka hanja dapat tertolong sementara ada hudjan turun. Sesudah itu akan kering kembali. Tetapi hudjan tidak djuga kundjung2 datang.
Namun merekapun tidak dapat mengharap hudjan segera datang. Dengan demikian air sungai akan bertambah besar dan bendungan jang belum siap itupun akan terantjam bahaja.
Orang-orang tua mulai mentjemaskan keadaan itu. Baiklah satu dua d i an tara mereka telah saling berbitjara sesamanja. Apabila malam jang kelam menjelubungi padang rumput jang luas itu, maka mulailah terdengar satu dua orang mengeluh. Mengeluh karena lelah, dan mengeluh karena harapan jang mereka pantjangkan bersama patok2 bambu itu agaknja ma sih terlampau djauh.
Dari hari kehari maka keluhan itupun mendjalar semakin luas. Dari mulut orang-orang tua jang merasa bahwa umurnja tidak akan lebih pandjang dari kerdja membuka tanah itu, merajap kepada mereka jang lebih muda. Kepada mereka jang sudah setengah umur. Kemudian merembet lagi kepada jang lebih muda pula. Kepada bapak2 jang baru beranak satu dua orang. Akhirnja keluh kesah itu sampai pula kepada anak-anak mudanja.
Tetapi mereka masih djuga bekerdja disiang hari. Mereka masih djuga mulai sedjak matahari terbit dan selesai men djelang matahari bertengger dipunggung bukit. Tetapi dima lam hari mereka tidak lagi berdendang dan bersenandung. Tidak lagi terdengar suara seruling dan gelak"tertawa. Dima la m hari mereka saling berbisik diantara mereka. Punggung jang sakit, pundak jang luka dan kaki jang bengkak.
Keluh kesah itu akhirnja terdengar oleh Ki Bujut Pa nawtdjen. Orang tua itu mendjadi ber-debar-debar. Kalau orang-orang nja nanti mendjadi djemu sebelum bendungan itu siap, maka pekerdjaan jang mengandung harapan itu akan terbengkelai seperti harapan mereka jang akan terbengkelai djuga. Ki Bu yutlah orang jang akan mendjadi paling bersedih hati, di samping Mahisa Agni, apabila mereka terpaksa berpisah ber tjerai berai mengungsikan hidup masing-masing kepedukuhan2 jang masih dapat menerima mereka.
"Angger Mahisa Agni harus segera msngetahuinja pu la "berkata orang tua itu didalam hatinja "tetapi aku harus ber-hati-hati mengatakan persoalan ini. Djangan sampai anak jang baik itu tersinggung hatinja. Ia telah bekerdja me lampaui orang lain. Dan karena itu, maka ia akan dapat mendjadi sangat kstjewa mendengar keluh kesah ini.
Tetapi keluhan itu mendjalar semakin lama mendjadi semakin luas. Dan Ki Bujut Panawidjen mendjadi semakin tjemas. Lebih baik ia sendiri menjampaikannja kepada Mahisa Agni dari pada anak itu pada suatu ketika mendengar langsung dari orang-orangnja, sehingga akan menimbulkan bekas jang dalam hatinja.
Maka ketika matahari telah terbenam, dan ketika orang-orang Panawidjen sudah beristirahat sambil me-midjat2 kaki-kaki me reka jang lelah, maka Ki Bujut Panawidjen berdjalan dian tara mereka mentjari Mahisa Agni.
"Apakah kau sudah tidur ngger" "sapa Ki Bujut itu didepan gubug ilalang jang dipergunakan Mahisa Agni untuk berteduh dari embun dimalam hari.
Mahisa Agni jang masih duduk2 didalam gubugnja itu terkedjut. Dengan ter-gopoh2 ia bangkit sambil mempersilah kan orang tua itu "Mari Ki Bujut. Marilah duduk disini.
"Ja, ja ngger "sahut Ki Bujut.
Kemudian merekapun duduk diatas sehelai tikar jang dibentangkan diatas setuMpuk rumput-rumput kering. Ki Bujut
Panawidjen, Mahisa Agni dan paman Mahisa Agni jang ma sih sadja berada di Padang Karautan, Empu Gandring.
Setelah pertjakapan mereka me-lingkar" dari satu soal ke soal lain, maka dengan dada ber-debar-debar Ki Bujut ingin menjampaikan keperluannja kepada Mahisa Agni. Tetapi ke tika ia melihat wadjah anak muda itu, maka hatinja men djadi ragu. Wadjah itu memantjar penuh harapan bahwa suatu saat mereka akan dapat berdiri disisi sungai itu sam bil memandangi bendungan mereka jang telah dapat mena ikkan air ke-parit-parit jang memandjang membelah padang jang kering. Mahisa Agni agaknja terlampau jakin bahwa kerdja nja akan berhasil.
Tetapi kalau ia tidak menjampaikan peadengarannja ten tang keluh kesah jang semakin merata itu, maka apabila Ma hisa Agni mendengarnja kelak, apabila kedjemuan itu benar-benar telah mentjengkam segenap orang-orang jang mengerdjakan ben dongan ini, alangkah parahnja hati anak muda itu. Alang kah ketjewanja. Se-olah-olah rakjat Panawidjen sama sekali tidak mengenal terima kasih atas segala djerih pajahnja.
Setelah dipertimbangkannja masak2, dan setelah dipikir kannja berulang kali, maka dengan ragu-ragu akhirnja Ki Bujut itupun berkata "Angger bagaimanakah dengan bendungan kita"
Mahisa Agni memandangi wadjah Ki Bujut Panawidjen dengan sorot mata jang aneh. Pertanjaan Ki Bujut itu telah mengherankan Mahisa Agni. Sehingga anak muda itu ganti bertanja "Bagaimana maksud Ki Bujut"
"Ah "Ki Bujut mendjadi semakin bimbang "maksudku, apakah tidak ada kesulitan apa-apa"
Mahisa Agni mendjadi semakin heran, djawabnja "Se perti jang Ki Bujut saksikan, bukankah pembuatan bendungan itu berdjalan lantjar" Bukankah orang-orang Panawidjen telah ber djuang dengan se-kuat2 tenaga mereka, tanpa menghiraukan panas, lelah dan djemu"
Ki Bujut menarik nafas dalam-dalam. Djalan jang sudah mulai dibukanja itu se-olah-olah kini telah tertutup rapat kembali. Apakah ia akan sampai hati mengatakan kepada Mahisa Agni, bahwa orang-orang Panawidjen itu kini telah mulai berkeluh kesah. Berkeluh-kesah tentang panas terik jang membakar punggung mereka, tentang lelah jang mendjalar kesegenap otot baju dan tentang kedjemuan jang mulai mcntjengkam perasaan" Ki Bujut itupun mendjadi termangu-mangu. Sehingga karena itu maka iapun terdiam. Ia telah kehilangan tjara jang2 se-baik-baiknja dapat ditempuh.
Bahkan orang tua itu mendjadi bingung ketika Mahisa Agni kemudian berkata "Ki Bujut, aku mengharap bahwa kita akan dapat bekerdja lebih keras lagi. Kita harus menje lesaikan bendungan itu sebelum hudjan turun dimusim basah jang akan datang. Apabila kemudian air naik, dan ternjata bendungan kita belum seMpurna, sehingga masih berbahaja apabila bandjir sekali-sekali datang, maka kita masih harus beker dja lagi, menjeMpurnakan bendungan itu. Namun setelah itu, kita akan menikmati hasilnja. Padang itu akan mendjadi tanah persawahan jang subur dan se-luas2 kita kehendaki. Sawah kita akan tidak terbatas, sebesar tenaga dapat kita be r ikan, seluas itu tanah jang kita garap.
"Ja, ja. "orang tua itu meng-angguk-anggukkan kepalanja.
Sedjenak kemudian mereka berdiam diri. Empu Gandring duduk ter-kantuk-kantuk disudut gubug itu sambil memeluk lututnja. Se-akan-akan ia sama sekali tidak mendengarkan pertjakapan ke manakannja dengan Ki Bujut itu. Namun sebenarnja ia men dengar scmuanja. Ia menangkap perasaan jang tidak wadjar jang melontar dari pertjakapan itu. Dari setiap kata-kata Ki Bujut Panawidjen. Namun Empu Gandring itu tidak tahu, apakah jang sebenarnja ingin dikatakan oleh Ki Bujut kepada kema nakannja.
Ketika angin malam berhembus semakin keras, terasa dingin semakin dalam menghundjam kedalam kulit. Beberapa orang telah membuat perapian dan tidur melingkarnja sambil berselimut kain pandjang. Dikedjauhan terdengar suara burung hantu mengeluh seperti orang jang kelelahan.
Ki Bujut Panawidjen masih sadja duduk tepekur.
Ia masih mengharap bahwa ia akan menemukan tjara untuk menjampaikan maksudnja.
Tidak djauh dari gubug itu, tampak api perapian me"njala seperti me-londjak2. Beberapa orang jang berttduran dis;k;tarnja telah benar-benar mendjadi lelap. Jang terdengar ke mudian adalah dengkur jang bersahut2an.
Ki Bujut Panawidjen masih sadja berdiam diri. Mahisa Agnipun se-olah-olah terbungkam. Dan dikedjauhan burung hantu masih sadja mengeluh ter-putus2.
"Alangkah sulitnja "desah Ki Bujut|didalam hatinja "bagaimana aku dapat mulai"
Namun tiba-tibaperhatian mereka terlempar kearah dua orang jang berdjalan per-lahan-lahan kegubug itu. Agaknja jang seorang memapah jang lain.


01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Bujut Panawidjen, Mahisa Agni dan bahkan Empu Gandring jang ter-kantuk-kantuk itupun terkedjut. Dengan serta-merta mereka berdiri dan menjongsong kedua orang itu.
"Siapa" "bertanja Ki Bujut Panawidjen.
"Aku, Ki Bujut. "Kenapa" Dan siapa kawanmu itu"
"Bitung. "Kenapa dengan Bitung"
"Tubuhnja tiba-tibamendjadi panas, tetapi ia menggigil seperti orang kedinginan.
"Bawalah kemari "minta Mahisa Agni jang mendjadi tjemas.
Kedua orang itupun kemudian memasuki gubug Mahisa Agni. Bitungpun kemudian duduk bersandar kawannja. Namun ia masih djuga menggigil seperti orang Jjang kedinginan. Ke tika Mahisa Agni dan Ki Bujut Panawidjen meraba tubuhnja ternjata tubuh itu terasa panas.
"Aneh "gumam Mahisa Agni.
"Ja aneh "sahut Ki Bujut Panawidjen.
Tetapi Empu Gandring jang lebih banjak menjimpan pe nga"aman dari mereka berkata "Tidak. Sama sekali tidak aneh. Memang ada sedjenis penjakit jang demikian.
"Apakah sakit Bitung ini bukan karena hantu2 "ber tanja kawannja.
Ki Bujut Panawidjen tidak dapat mendjawab, namun jang mendjawab adalah Empu Gandring "Tidak. Sama se kali tidak. Aku telah sering melihat orang jang terserang pe njakit jang demikian.
Kawan Bitung itu meng-angguk-anggukkan kepalanja. Katanja
"Aku mendjadi bingung ketika ia mulai menggigil. Karena itu maka ia aku bawa kemari. Apakah sakit jang demikian ini dapat diobati"
"Tentu "Mpu Gandringlah jang menjahut "besok usahakan daun kates grandel jang masih muda. Tumbuklah beserta kulit batangnja, buahnja jang masih muda pula, bunga nja dan akarnja. Mudah-mudahan ia dapat sembuh. Taruhlah garam sedikit.
"Tetapi bagaimana dengan malam ini"
"Biarlah ia tidur dan beristirahat.
Kawan Bitung itu memandangi wadjah Ki Bujut dengan Pandangan jang saju. Bibirnja tampak bergerak-gerak se-akan-akan ia ingin mengutjapkan sesuatu. Tetapi tak sepatah katapun jang terlontjat dari bibirnja. Namun Ki Bujut Panawidjen se-akan-akan dapat membatja kata hatinja. Se-akan-akan Ki Bujut Panawidjen mendengar kawan Bitung itu berkata "Siapakah jang ber tanggung djawab, standainja jang terdjadi sesuatu dengan kawanku ini" Apakah harus ada oracga lain jang mengalami penjakit serupa"
Tetapi Ki Bujutpun berdiam diri. Ia Kemudian mende n gar orang itu berkata "Baiklah. Besok aku mengharap Bitung dapat diobati. Dan aku mengharap mudab2an obat itu dapat menjembuhkannja.
"Batang kates grandel banjak terdapat di Panawidjen
"gumam Mahisa Agni. "Ja. Tetapi Bitung kini tidak berada di Panawidjen "djawab kawannja.
"Tetapi bukankah kita dapat mengambilnja"
Aku mengharap besok Bitung dapat diobati "berkata kawannja itu se-olah-olah tidak mendengar kata-kata Mahisa Agni "aku menunggu dan Bitungpun menunggu.
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar djawaban itu. Ia tahu benar maksud kata-kata itu. Obat itu harus tersedia. Djadi bukankah dengan demikian berarti bahwa ia harus mengam bil obat itu ke Panawidjen besok.
Meskipun demik"an Mahisa Agni itu berkata "Ja. Mu dah2ao ada srseorang jang akan dapat mengambilnja.
"Mudah"an "sahut orang itu.
Mahisa Agni menggigit bibirnja. Ia merasakan keanehan sikap dari orang itu. Sikap jang belum pernah dialaminja selama ini. Tetapi ketika Mahisa Agni menjalakan perasaan nja, terasa pamannja menggamitnja.
Mahisa Agni berpaling. Empu Gandring menggeleng le mah. Meskipun Mahisa Agni tidak tahu maksudnja, namun ia terdiam.
"Aku akan kembali kegubugku "beikata kawan Bi tung.
"Biarlah Bitung disini "sahut Mahisa Agni.
"Tidak. Ia bersamaku. Apapun jang akan terdjadi atas dirinja. "
Kembali Mahisa Agni menarik nafas. Tetapi ia tidak mentjegahnja lagi ketika Bitung kembali dipapah oleh ka wannja meninggalkan gubug itu. Bitung masih djuga meng gigil meskipun tubuhnja panas.
Sepeninggal mereka, Ki Bujut Panawidjen mendjadi semakin tjemas. Ia tahu benar apa jang bergolak didalam hati Bitung dan kawannja. Mereka pasti menimpakan segala kesalahan kepada Mahisa Agni dan kemudian kepada dirinja, Bujut Panawidjen.
"Hem "tiba-tibaMahisa Agni menggeram "apakah aku djuga jang harus pergi ke Panawidjen untuk mengambil obat itu" "
"Tak ada seorangpun jang berani melakukan Agni."Sahut pamannja.
"Terlalu "desah Mahisa Agni "semu an j a harus aku lakukan.
Apakah hal-hal sematjam itu tidak mengganggu pekerdjaan jang besar ini"
Besok aku harus meletakkan brundjung-brundjung dasar disisi seberang sebelum sisi jang sebelah ini selesai supaja ada keseimbangan. Kalau aku pergi, bagaimana dengan rentjana itu" "
Ki Bujut Panawidjen dapat memahami perasaan Mahisa Agni jang sepenuhnja diikat oleh persoalan bendungan jang sedang dikerdjakannja. Segala tenaga dan pikiraiuija kini sedang ditjurahkannja untuk kepentingan kerdja jang besar dan berat itu, sehingga hampir tak ada waktu bagijtja untuk berbuat hal-hal jang lain. Tetapi Ki Bujut itu merasakan pula kepin tjangan jang terdiri pada orang-orang-nja. Mahisa Agni jang sudah bekerdja melampaui setiap orang itu, masih harus mengurus persoalan-persoalan jang sebenarnja dapat dilakukan oleh orang lain. Namun sebenarnja seperti kata Empu Gandring bahwa tak ada seorangpun jang berani pergi ke Panawidjen tanpa Mahisa Agni. Kalau ada djuga jang harus pergi, maka mereka pasti akan membawa kawan dalam djumlah jang tjukup banjak.
Karena itu djustru Ki Bujut Panawidjen tak dapat ber kata sepatahpun djuga untuk menanggapi keluhan Mahisa Agni Orang tua Itupun bahkan menekurkan kepalanja sambil meng angguk-angguk ketjil.
"Paman "bertanja Mahisa Agni itu pula kepada pamannja "apakah penjakit jang demikian itu berbahaja" Maksudku, apabila obat itu tertunda satu hari sadja, apa kah akibatnja akan membahajakan sekali bagi Bitung" Apa bila tidak, maka aku ingin tetap melakukan rentjanaku besok, baru lusa aku akan pergi ke Panawidjen setelah dasar ben dungan disisi seberang dapat mapan. Dengan demikian, maka pekerdjaan jang barus dilakukan tinggal menambah dasar itu dengan menimbuni brundjung-brundjung. Apabila tidak demikan, maka air akan mengalir di satu sisi, sehingga sisi itu bahkan akan mcndjali semakin dalam.
Mpu Gandrirgpun mendjadi ragu-ragu untuk mendjawab perianjaan itu. Seperti Ki Bujut Panawidjen. ia dapat memahami setiap perasaan jang bergolak didalam dada anak muda itu. Tetapi Empu Gandring itu tahu pula, bahwa penjakit jang berbahaja. Meskipun penjakit itu tidak segera membunuh korbannja, tetapi apabila terlambat pengobatan nja, maka meskipun perlahan-lahan, pasti penjakit itu akan mendjadi semakin padam
Selagi Empu Gandring itu mr-nimbang2, terdengar Ma hisa Agni benarja "Bagaimana paman" Apakah aku da pat pergi lusa"
Mpu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Djawabnja kemu dian dengan meng anggukkkan kepalanja "Agni. Murgkin tidak terlambat, tetapi sebaiknja penjakit jang demikian se gera mendapat pengobatan.
Wadjah Mahisa Agni mendjadi tegang. Dilemparkannja pandangan matanja kepadarg iarg luas diluar gubug itu. Gelap, meskipun bintang-bintang gemerlapan di langit. Sudah tentu ia tidak akan sampai hati membiarkan salah seorang kawan nja mendjadi korban. Perasaannja tidak membenaikannja, apabila Bitung kelak menemui bentjana oleh penjakitnja ka reoa kelambatannja. Tetapi kalau ia menunda rentjananja besok meletakkan dasar bendungan disisi seberang, maka pa sir didasar sungai itu pasti akan mendjadi semakin larut di bawa air jang se-olah-olah menepi disisi itu Dasar itu pasti akan mendjadi semakin dalam. Apalagi apabila besok karena rentjana itu tidak diteruskan, maka orang-orang Panawidjen akan me nimbuni s"si jang lain dengan brundjung-brundjung baru. Dergaa de mikan maka ia akan mendjadi semakin terdorong kesisi se berang, dan sisi itu pasti akan mendjadi ber-tambah2 dalam.
Ki Bujut Panawidjen masih salja duduk tepekur. Ia men djadi tjemas memikirkan apa sadja akan dapat terdjadi. Ia tahu benar keberatan Mahisa Agni menirggalkan bendungan nja. Tetapi apabila Bitung mendjadi semakin patah, maka akan sangat sulitlah bagi Mahisa Agni dan dirinja untuk me ngendalikan perasaan anak-anak muda Panawidjen jang sudah mulai mendjadi djemu itu.
Namun mulutnja tidak dapat mengutjapkan dengan kata-kata. Ia tidak sampai hati melihat Mahisa Agni mendjadi mururg.
Tetapi baik Ki Bujut Panawidjen, maupun Empu Gandring terkedjut ketika tiba-tibaMahisa Agni beikata "Aku akan per gi sekarang ke Panawidjen.
"Agni "potong pamannja dan Ki Bujutpun dengan serta merta berkata "Tidak ngger. Tidak harus demikian"
"Tidak paman, aku harus menjeltsakan prkerdjaan2 ini tanpa merugikan satu dan jang lain Aku tidak boleh me nirggalkan bendungan itu besok dan aku djuga tidak boleh membiarkan Bitung dimakan oleh penjakitnja.
"Tetapi djangan sekarang Agni. Bukankah kau besok dapat memberi beberapa orang pesan, supaja mereka melaku kau rentjana itu" Baru setelah pekerdjaan itu dimulai dan sesuai dengan kehendakmu kau dapat meninggalkannja.
"Tidak paman, aku harus ada disini selama kita meletakkan dasar bendungan itu.
"Tetapi djangan sekarang ngger "tanpa disengadja nja Ki Bujut Panawidjen memandang padang rumput jang terhampar luas dthadapannja. Tetapi pandangan matanja tidak mampu untuk menembus gelap malam jang pekat.
Mahisa Agnipun memandangi gelap malam itu pula. Te tapi tiba-tibabahkan ia berdiri sambil berkata "Aku akan pergi.
"Agni "potong pamannja "kau pernah bertjerltera kepadaku tentang banjak hal jang dapat membahajakan diri mu. Kau pernah mengatakan kepadaku bahwa ada orang jang masih sadja menjimpau dendam didalam diri mereka. Apakah kau melupakannja" Bahkan aku telah melihat sendiri, apa jang terdjadi di padang ini sebelum kau mulai dengan peker djaanmu ini.
"Bahaja itu bagiku sama sadja paman, siang atau malam.
"Lain Agni. Kau berdjalan dipadang jang luas. Disiang hari kau akan dapat melihat bahaja itu djauh sebelum me njergapmu. Kudamu adalah kuda jang baik. Dengan kuda itu kau akan dapat menghindarinja. Bahkan seandainja orang jang mengantjammu itu berkuda pula, maka djarak jang ada pasti akan mampu menjelamatkanmu. Apalagi kalau kau pergi ber dua atau bertiga. Salah seorang dari mereka akan dapat mem beritahukan kepadaku, apa jang terdjadi diperdjalanan itu.
Mahisa Agni mengerutkan keningnja. Namun ia berdesis "Aku akan berangkat. Bagi Bitung, semakin tjepat, semakin baik. Mudah-mudahan aku tidak bertemu dengan bahaja jang paman katakan itu.
Tetapi Mahisa Agni tidak mejakini kata-katanja sendiri. Mungkin Empu Sada dan Kuda-Sempana telah siap menung gunja diluar perkemahan itu. Namun demikian, adalah tang gung djawabnja untuk melakukan pekerdjaan itu. Ke-dua2 nja. Memasang brundjung-brundjung dikali dan mengambil obat ke Panawidjen. Tak ada orang jang dapat dan berani melaku kannja. Karena itu, maka ia sendiri harus berangkat. Seper ti Empu Gandring, Mahisa Agni pertjaja kepada kudanja. Apabila ia bertemu dengan bahaja, seandainja bahaja itu sudah pasti tidak dapat diatasinja, misalnja Empu Sada, ma ka ia akan dapat mendjauhkan dirinja. Mudah-mudahan kudanja dapat membanturja. Apabila ia gagal, maka itu adalah aki bat dari tanggung djawab jang telah dipikulnja.
Namun Ki Bujut Panawidjen dan Empu Gandring ber pendapat lain. Dengan ter-bata2 Ki Bujut Panawidjen ber kata "Djangan ngger. Aku turut djuga prihatin atas Bitung, tetapi kepergianmu akan sangat menggelisahkan kami malam ini. Biarlah kau oergi besok siang setelah kau memberikan beberapa pesan mengenai pemasangan brundjung-brundjung itu seperti kata pamanmu"
"Kalau aku sudah mulai Ki Bujut, maka aku kira aku tidak akan dapat meninggalkannya satu sampai dua hari. Karena itu, biarlah aku pergi sekarang. Padang rumput itu tjukup luas untuk berpatju seandainja aku bertemu dengan Empu Sada misalnja.
"Agni "berkata Empu Gandring kemudian "dja ngan bcr-main2 dengan bahaja. Empu Sada bukan seorang jang dapat diadjak bertjanda. Dendam Kuda-Sempana kepa damu agaknja sudah terlampau dalam. Bukankah menurut anggapannja, segala kegagalan jang dialaminja kini, bukan aadja kegagalannja untuk mcmperisteri adikmu itu, tetapi djuga kegagalan dalam bidang" jang lain, bersumber darimu" Tak ada tjara baginja untuk melepaskan dendam itu selain meniadakanmu. Membunuhmu. Kalau kau temui bentjana itu, bagaimana dengan pekerdjaanmu disini" Bendungan ini akan terbengkelai dan Panawidjen benar-benar akan lenjap. Djuga semua jang pernah terdjadi akan dilupakan orang.
Mahisa Agni terdiam sedjenak. Tetapi ia tidak menipu njai tjara jang lain. Ia tidak mempunjai waktu lagi. Ke-dua2 nja tak dapat di-tunda2. Kalau sadja ada orang lain jang besok berani pergi ke Panawidjen, maka kepalanja tidak akan mendjadi pening seperti sekarang. Sandainja ada djuga jang mau berangkat, maka ber-bondong2 mereka pergi ber-sama-sama, sehingga pekerdjaan dipadang ini akan terganggu djuga. Ka rena itu, maka kemauannja telah bulat, sehingga katanja "Aku akan pergi paman. Empu Sada tidak akan berada di padang ini siang dan malam hanja untuk menurggu aku me ninggalkan pcrkcmahan ini peigi ke Panawidjen Kalau ia benar- memerlukan aku, maka ia akan datang kemari dan menjerang pcrkcmahan ini bcisaina dengan mutid2 orang jang menjebut dirinja Bahu Reksa Kali Elo dan saudara saudara seperguruannja jang lain seperti jang dilakukan atas rombongan Ken Dedes.
Mpu Gandring menggelengkan kepalanja, djawabnja "mereka ragu-ragu untuk berbuat demikian. Apakah laki-laki Pana"widjen jang sekian banjaknja tidak berbuat sesuatu, sedang Empu Sada tahu benar bahwa aku berada disini.-
Kembali Mahisa Agni terdiam. Namun ia tidak dapat menemukan djalan lain dari pada djalan jang akan ditempuh nja. Bitung dan bendungan. Terngiang kembali kata-kata kawan Bitung jang se-akan-akan menjerahkan segala persoa"an kepadanja. Obat itu ada atau tidak ada adalah tanggung djawabnja. Anak muda itu sama s:kali tidak mau berpikir apalagi berusaha untuk mendapatkannja.
"Hem "Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kembali persoalan itu me-lingkar2 dikepa=lanja. Sehingga kembali ia sampai pada suatu tekad untuk pergi malam ini djuga, se hingga besok pagi2, se-lambat2nja matahari sepenggalah, ia akan sampai ditempat ini kembali. Dan ia akan segera dapat mulai dengan rentjananja, sebelum air mengorek dasar sungai itu lebih dalam lagi.
Tetapi dalam penglihatan Ki Bujut Panawidjen dan Empu Gandring, keberangkatan Mahisa Agni itu tidak sadja didorong oleh kemauan dan tanggung djawabnja, namun djuga oleh keketjewaan dan krdjergkelan. Karera itu maka Empu Gandring berkata "Agni, djangan pergi menurutkan perasaanmu. Tjobalah kau sedikit nempergunakan pikiranmu.
Namun Empu Gaudring dan Ki Bujut Panawidjen tidak dapat mentjegahnja lagi. Mereka hanja dapat memandangi anak muda itu ber-kemas2. Menggantungkan pedang dilambungnja, kemudian berdjalan keluar dari gubug itu.
"Aku pergi paman, sudahlah Ki Bujut, mudah-mudahan aku selamat dan berhasil membawa obat itu pula. Bukankah obat itu hanja bagian2 dari Kates grandel"
Setelah Empu Gandring tidak berhasil roenahannja, maka iapun mendjawab "Ja. Semua bagian dari pohon Kates Grandel. Kalau kau sempat, bawalah daun munggur dan bidji2nja jang kering. Itupun akan mendjadi obat jang baik pula. Djangan membawa terlampau sedikit supaja kau tidak selalu mondar maudir ke Panawidjen.
"Baik paman "sahut Mahisa Agni.
Sedjenak kemudian anak muda itu telah melepaskan kudanja. Dikenakannja pakaian kuda itu, dan kemudian Mahisa Agnipun segera melontjat kepunggur/gnja,
Bitung dan kawannja mcndergar derap kuda berlari. Ke nka mereka mengangkat wadjah mereka, maka terdengar Ki Bujut jang telah berdiri dibelakang beikata "Mahisa Agni telah pergi ke Panawidjen untuk mencari obat itu.
Kawan Bitung terkejut. Dengan serta-merta ia bertanja.
"Kenapa malam ini"
"Kau meletakkan semua tanggung djawab kepadanja Kau tidak membantunja memetjahkan kesulitan karena Bituiig menderita sakit. Kau hanja be:kata bahwa obat itu harus datang sendiri kepadamu dan kau tidak mau tahu ke sulitan apakah jang dapat terdjadi dipcrdjalanan ilu.-
"Tidak Ki Bujut "sahut kawan Bitung tergagap"bukan maksudku demik:an.
"Tetapi Mahisa menangkap kata-katamu demikian dan akupun menangkap kata-kata itu seperti itu pula.- sahut Ki Bajut.
Dada kawan Bitung mendjadi ber-debar-debar. Ia tidak menjangka bahwa Mahisa Agni akan melakukan pekerdjaan itu sekarang. Malam ini. Ia tidak dapat mengingkari kata-kata Ki Bujut Panawidjen. Memang semula ia berpendirian serupa it d. Bahkan beberapa orang kawan-kawannjapun menganggapnja, bahwa tanggung djawab tentang sakitnja Bitung, seluruhnja terletak dipundak Mahisa Agni. Anak muda itu ber-sama-sama dengan Ki Buut Panawidjenlah jang memimpin pekerdjaan jang terlampau berat dipadang jang panas terik disiang hari, dan dingin membeku dirnalam liari ini. Tetapi tidak terlin tas didalam kepala anak-anak muda itu. bahwa ssgsra satelah itu Mahisa Agni telah pergi meninggalkan mereka .
"Kau tidak tahu, bahaja jang mergantjam arak muda itu setiap saat "berkata Ki Bujut Panawidjen pula diantaranja adalah Kuda-Sempana. Beberapa diantara kalian telah melihat sendiri, bagaimana Mahisa Agni terpaksa berkelahi dipadang ini melawan Kuda-Sempara bahkan kemudian guru Kuda-Sempana itu pula. Kalau Mahisa Agni dalam perdjalanannja ke Panawidjen kali ini bertemu dengan Kuda-Sempana dan gurunja, maka habislah tjeritera tentang dirinja. Habis pulalah tugasnja dipadang ini, dan habis pulalah harapan kita untuk mendapatkan tanah jang subur hidjau seperti jang pernah kita miliki dahulu.
Kawan Bitung itu mendjadi semakin ber-debar-debar. Bahkan terasa keringatnja mengalir membasahi seluruh tubuhnja mes kipun dingin malam sampai menggigit tulang.
Dengan nafas ter-sengaI2 ia berkata "Apakah kepergiannja itu tidak dapat ditjegah Ki Bujut"
"Bukankah kau melibat sendiri bahwa ia telah pergi" Bagaimana harus mentjegahnja kini" Nah, kalau kau ingin menjelamatkannja, pergilah, susul anak muda itu.
Kawan Bitung itu terdiam. Beberapa anak muda jang lain mendengar pula pertjakapan itu, dan merekapun mendjadi bcr-debar-debar pula seperti Bitung.
Bagaimana" Apakah kau mau menjusulnja dan memintanja agar ia mengurungkan niatnja, atau kau sendirilah jang pergi ke Panawidjen" Sebab Mahisa Agni tahu benar, bahwa obat itu tidak akan dapat melontjat dengan sendirinja kemari dari Panawidjen. Obat itu harus dibawa dengan tangan. Dan mu lutmu hanja dapat berkata mudah-mudahan, dan dapat menunggu obat itu datang.
Kawan Bitung itu menekurkan kepalanja. Ia tahu benar bahwa Ki Bujut Panawidjen jang sabar itu kini s-dang marah kepadanja. Apalagi ketika Ki Bujut kemudian bei kaia "Bukan sadja masalah sakit Bitung, tetapi masalah bendungan itupun kalian ternjata bersikap serupa. Kalian telah mulai djemu mengerdjakannja. Djangan ingkar. Aku pernah mendengarnja. Kalian mengeluh karena panas disianghari membakar punggung dan dirnalam hari dingin menusuk sampai kesungsum. Kalian mengeluh luka-luka ditangan dan kaki serta mendjadi bengkak pula. Apalagi ada diantara kalian jang mendjadi sakit. Apakah dengan demikian kalian mengharap bahwa bendungan itu akan siap dengan sendirinja, seperti kalian mengharap obat itu akan djatuh dari langit. Apakah kalian ingin melihat Ma hisa Agni mengerdjakannja tendiri, dan kilian menunggu sadja sambil berbaring2 sehingga bendungan itu terwudjud"
Kawan Bitung itu menundukkan kepalanja semakin dalam. Anak-anak muda jang lain, jang mendengar kata-kata itupun menundukkan kepala masing-masing. Bahkan mereka jang telah ber-baring2 dan bahkan telah tertidurpun mendjadi terbangun dan duduk sambil tepekur. Tak seorangpun dari mereka j.ing berani mendjawab. Bukan sadja anak" muda, tetapi orang-orang jang sudah setengah umurpun mendjadi tjemas pula. Ki Bujut adalah orang jang hampir tidak pernah marah. Kini mereka merasa betapa dalamnja penjesalan jang menghentak" hati orang tua itu.
"Kalau aku berani, dan kalau aku masih mampu me nunggang kuda setjepat angger Mahisa Agni, aku pasti akan menjusulnja, gumam Ki Bujut.
Kata-kata itu menjentuh setiap hati jang mendengarnja. Kata-kata itu se-akan-akan telah menggerakkan hati mereka untuk segera berlari ketambatan kuda. Tetapi tak ssorangpun jang berani berbuat demikian. Apalagi dirnalam hari. Disiang hari pun mereka tidak berani pergi seorang diri, meskipun mere ka telah mendengar bahwa hantu Karautan telah tidak ada lagi dipadang itu. Tetapi mereka masih djuga membajang kan bahaja jang ber-serak2 disepandjang perdjalanan ke Panawidjen.
Ki Bujut itupun kemudian pergi meninggalkan mereka. Hatinja mendjadi sangat gelisah. Bukan sadja mengenangkan kepergian Mahisa Agni, tetapi djuga oleh ketakutan jang mentjengkam hampir setiap laki-laki diperkemahan itu. Apabila ketakutan mereka terhadap keadaan dis:kelilingnja masih se lalu mem-bajang2i, maka apakah kelak, apabila padang itu berhasil mendjadi tanah jang subur, merekapun tidak akan berani berbuat sesuatu" Apakah mereka akan tetap bersem bunji dipadukuhan jang baru itu tanpa membuat hubungan dengan padukuhan2 jang lain karena takut"
Namun ketika terpandang oleh Ki Bujut, malam jang pekat terbentang se-akan-akan tidak berpangkal dan berudjung itupun ia bergumam "Padukuhan ini akan mendjadi padu kuhan jang sangat terpentjil. "Tetapi kemudian ia beikata pula "Meskipun demikian apakah bedanja djarak jang me misahkan padukuhan ini kelak dengan padukuhan2 Jang lain dengan bulak2 jang pandjang dan luas meskipun terdiii dari tanah-tanah persawahan dan patrgalan" Kalau ada hantu atau pendjahat sekalipun, maka kedjahatan itu akan dapat djuga dilakukan di-bulak2 peisawahan dan pategalan. Ketakutan kami adalah bersumber pada kepertjajaan kami, bahwa di padang rumput ini pernah tinggal hantu jang menakutkan setiap orang.
Dalam pada itu, Mahisa Agni telah berpatju dengan ku danja menembus gelapnja malam. Dingin angin malam me ngusap kulitnja dan se-olah-olah menusuk kesetiap lubang kulit. Tetapi Mahisa Agni tidak sen.pat metasakannja. Hatinja di tjengkam oleh peras .an jang sangat aneh. Ia tendiri kutang menjadari, kenapa ia merasa perlu untuk pergi ma"am ini. Tidak besok atau lusa stelah ia berhasil meletakkan brundjung-brundjung disisi seberang.
Sekali-sekali Mahisa Agni mengangkat waHIjahnja. la ruentjoba menatap keda"am ge"ap, se-djau"2 ncatanja c"apat mentjapai. Tetapi malam terlampau ketam.
Betapapun beraninja hati anak muda itu, tetapi ia tidak dapat melenjapkan setiap perasaan was2nja, bahwa ia akan bertemu dengan Empu Sada. Kalau jang berada diperdjalan annja itu adalah Kuda-Sempana, maka ia akan dengan senang hati melajaninja. Tetapi apabila jang didjumpainja MpuSada, maka ia pasti harus metujoba berpatju kuda mengelilingi pa dang ini.
"Benar djuga kata Empu Gandring "desisnja seorang diri "di siang hari, aku dapat melihat seseorang dalam dja rak jang masih agak djauh. Tetapi dimalam hari, orang itu baru dapat aku lihat setelah beberapa puluh langkah dimuka hidungku.
Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak ingin kembali. Ia harus berdjalan terus. Bahaja itu baru ada didalam angan-angan nja. "Apakah aku sekarang telah beruhah meudjadi seorang pengetjut: "katanja didalam hati.
Tiba-tibahati Mahisa Agni itupun ber-desir. Ia mendengar derap kuda dibdakacgnja. Ketika ia menoleh, remang-remang ia melihat bajangan seoiang penunggang kuda jang mengedjar nja, bahkan telah terlampau dekat.
"Siapa jang menjusulku" "pertanjaan itu tumbuh didalam hatinja "mungkin seseorang jang ingin mentjegah kepeigianku ma"am ini. Ah, tidak. Aku akan menjelesaikan pekerdjaanku malam ini.
Mahisa Agnipun kemudian menjentuh perut kudanja de ngan tumimja. Kuda itu memang kuda jang tegar. Lontjat annja mendjadi kian pandjarg dan tjepat. Dan kuda dibelakangnja itupun mendjadi semakin lama semakin djauh. Ia tidak mau diganggu. Mungkin orang itu Ki Bujut Panawidjen mungkin pamannja Empu Gandring jang masih akan mentjoba membawanja kembali keperkemahan.
Kuda Mahisa Agni berlari kentjang seperti angin. Ditem busnja gelap malam seperti anak panah jang menghundjam kedalam kelam. Semakin lama semakin tjepat. Meskipun dc mikian Mahisa Agni merasa, bahwa perdjalanannja itu ter lampau lambat.
"Malam ini aku harus mendapatkan batang kates grandel itu. Besok sebelum matahari terlampau tinggi aku harus sudah berada dibendungan itu kembali. Aku harus mu lai dengan kerdja jang sudah aku rentjanakan.
Derap kuda dibelakangnja telah tidak didengarnja lagi. Mungkin kuda itu telah kembali keperkemahan atau sudah tertinggal terlampau djauh. Ia tidak peduli, siapakah jang naik diatas punggung kuda itu. Ia ingin pekerdjaannja selesai tanpa seorangpun jang mentjaMpurinja. Besok pagi2 ia akan datang kepada Bitung dan memberikannja apa jang diperlu kan. Kalau sakit Btiung berkurang, bergembiralah ia dan ssmua orang diperkemahan itu. Tetapi apabila penjakit itu mengeras, maka ia sudah tjukup berusaha. Tak seorangpun jang akan dapat menjalahkannja lagi.
Dengan demikian maka hatinjapun mendjadi semakin mantap. Ia mentjoba mempertjepat lari kudanja, tetapi sajang, bahwa tenaga kudanjapun terbatas, sehingga kuda itu tidak dapat berpatju lebih tjepat lagi
Ketika Mahisa Agni melewati sebuah gerumbul jang agak lebat, terasa hatinja berdesir. Ia tidak tahu, kenapa ia tiba-tibasadja mendjadi ber-debar-debar. Dan ia tidak tahu, apakah jang telah memaksanja untuk berpaling.
Kini hatinja tidak sadja terkedjut, tetapi hampir ia tidak pertjaja. Tiba-tibasadja beberapa puluh langkah dibeiakangnja berpatju seekor kuda dengan penunggangnja. Tjepat seperti angin. Mahisa Agni tidak dapat mcmpci tjepat derap kudanja. Kudanja jang tegar itu telah mentjapai ketjepatan tertinggi. Namun kuda dibeiakangnja itu agaknja dapat melampaui ke tjepatan kudanja. Kalau semula kuda itu semakin lama men djadi semakin djauh, dan bahkan telah hilang dikegelapan, maka ttiba-tibakuda itu kini telah mendjadi semakin dekat.
"Kuda itu muntjul lagi "pikirnja "ia mengikuti aku sedjak aku keluar dari perkemahan. Mungkin Ki Bujut mungkin paman Empu Gandring- Mungkin seseorang jang di suruh oleh keduanja untuk menjusul aku. Tetapi tak ada se ekor kudapun di Panawidjen jang dapat menjamai kudaku, sedang kuda ini agaknja bahkan melampaui.
Mahisa Agni mentjoba meng-ingat2, apakah ada seseorang jang memiliki kemampuan berkuda menjamainja.
"Satu-satunja adalah paman Empu Gandring "desisnja "apakah paman akan memaksa aku kembali"
Tiba-tibaMahisa Agni tersenjum, gumamnja "Alangkah bodohnja aku. Biarlah paman mengedjarku. Aku akan biarkan paman mengikuti aku sampai ke Panawidjen. Bukan kah dengan demikian aku akan mendapat kawan diperdjalan an. Bahkan seandainja aku akan bertemu dengan Empu Sada sekalipun, aku tidak perlu gentar.
Tetapi kuda dibelakang Mahisa Agni itu mendjadi semakin lama semakin dekat. Betapapun Mahisa Agni mentjoba mempertjepat ladju kudanja.
"Hem "desisnja "kalau paman dapat mentjapai aku lebelum aku melampaui icparo djalan, maka aku pasti akan dipaksanja kembali. Ketjuali kalau aku dapat membudjuknja supaja paman sudi mengantarkanku. Tetapi mungkin djuga paman menjusul untuk mengawani aku ke Panawidjen.
Dugaan jang terakhir itu djustru telah mengendorkan hasrat Mahisa Agni berpatju terus. Sebab ia menjadari bahwa ia tidak akan mampu lebih lama lagi mendahuluinja. Sebab kuda jang dibeiakangnja itu terlampau tjepat, dan agaknja penunggangnja terlampau tangkas.
"Biarlah aku "katanja. Mahisa Agni itupun kemudian malahan memperlambat kudanja. Sc-kali2 ia berpaling untuk mentjoba mengenal orang jang mengedjarnja itu. Tetapi karena malam terlampau gelap, maka jang tampak hanjalab sebuah bajangan jang hitam.
Tetapi semakin dekat kuda itu, hati Mahisa Agni men djadi semakin tjuriga. Bentuk orang diatas punggung kuda itu sama sekali bukan bentuk tubuh pamannja.
Kembali dada Mahisa Agni mendjadi ber-debar-debar. Namun ia masih belum mendapat kepastian, apakah orang jang duduk diatas punggung kuda itu pamannja atau bukan.
Tetapi debar didadanja mendjadi semakin tjepat ketika ia melihat kuda itu se-olah-olah tidak berpelana.
"Gila "desisnja "apakah ada orang jang dapat me nunggang kuda setjepat itu tanpa pelana"
Darah Mahisa Agni serasa berhenti mengalir ketika tiba" ia mendengar suara tertawa. Suara tertawa jang mendirikan bulu2 kuduknja.
Namun dengan demikian Mahisa Agni kini mendjadi pasti bahwa orang itu sama sekali bukan pamannja, bukan Ki Bujut Panawedjen. tetapi djuga pasti bukan Empu Sada.
Mahisa Agnipun kemudian tidak mau ber-teka-teki lebih lama lagi. Ketika ia jakin bahwa orang itu bukan Empu Sada. serta tak ada kemungkinan baginja untuk menghindar karena kuda orang itu lebih tjepat dari kudanja, maka tiba ia me nekan kendali kudanja itu. Dengan serta merta kudanja mencoba tjoba untuk berhenti. Demikian tiba-tibasehingga kudanja itu meringkik dan berdiri diatas kedua kaki belakangnja:
- Bagus "terdengar suara orang jang raengedjarnja "Kau pandai djuga bermain-main dengan kuda.
Mahisa Agni menahan nafasnja. Diamatinja orang jang il mluk diatas kuda tanpa pelana itu. Apalagi ketika orang itupun segera menghentikan kudanja beberapa langkah sadja disampinpingnja.
Sekali lagi orang itu tertawa. Suaranja meninggi membelah padang rumput Karautan.
"Kaukah itu" "berkata orang itu di-sela-sela suara tertawanya.
"Siapa kau "bertanja Mahisa Agni.
"Hem, kaukah jang bernama Mahisa Agni, begitu"
Mahisa Agni tidak segera mendjawab. Dia mati wadjah orang jang belum pernah dilihatnja. Wadjah nja keras seperti batu-batu padas dan suara tertawanjapun sekeras suara guntur dilangit.
Sekali lagi bulu2 Mahisa Agni meremang. Anak muda itu bukan seorang penakut, namun wadjah itu benar-benar me ngerikan. Mahisa Agni pernah bertemu dengan hantu padang Karautan, pada masa hantu itu masih sering me-nakut2i orang l.ing lewat padang ini. Tetapi meskipun hantu itu tampak kusut dan liar, namun wadjahnja tidak mengerikan seperti wadjah orang ini.
"Siapakah kau" "sekali lagi Mahisa Agni bertanja.
"Aku penunggu padang ini "sahut orang itu.
?" Bohong "tiba-tibaMahisa Agnipun berteriak "aku kenal hantu Karautan.
Kembali orang itu tertawa ter-kekeh2. Katanja " Oh, hantu kerdil jang sering merampok orang lewat itu" Hem, orang-orang disekitar padang Karautan benar-benar pengetjut. Kenapa mereka takut akan hantu gila jang sering dikatakan orang" Sudah lama aku ingin menemuinja, tetapi aku tidak pernah mendapat kesempatan, dan memang aku tidak pernah ingin merendahkan diri bertemu dengan hantu tjengeng itu.
"Kalau kau penunggu padang rumput ini, apakah kau tidak pernah bertemu dengan hantu jang selalu beikeliaran dipadang ini pula "bertanja Mahisa Agni.
Orang itu mengerutkan keningnja. Namun suara tertawa nja meledak kembali mengguntur berkepandjangan.
"Tjukup " bentak Mahisa Agni " djawab pertanjaanku
"Baik. Baik "katanja "kau benar. Aku memang bukan penunggu padang ini. Aku mentjoha berbohong, tetapi kau tjukup tjerdik.
Kini Mahisa Agnilah jang tertegun mendengar djawaban Itu. Djawaban jang berterus-teraig Pengakuan jang demikian tiba-tibaitu semula sama sekali tidak diduganja. Namun kemu dian ia bertanja kembali "Djadi siapakah kau"
Orang itu tidak segera mendjawab. Diamatinja Mahisa Agni dari udjung ubun-ubun sampai keudjung kakinja. Dan sekali lagi orang itu bertanja "Hem. Kaukah Mahisa Agni"
"Apa kepentinganmu dengan orang jang bernama Mahisa Agni! sahut Mahisa Agni tjuriga.
"Aku kagum akan keberaniannja. Tak s"orangpun dari anak-anak muda Panawidjen jang berani berdjalan seoiang diri dari padang Karautan ke Panawidjen, selain Mahisa Agni.
"Kau salah. Hampir setiap anak muda Panawidjen berani melakukannja "- sahut Mahisa Agni.
Tetapi kemarahan Mahisa Agnipun terungkat ketika orang itu tertawa kembali.
"Kenapa kau tertawa" bertanja Mahisa Agni keras" untuk mengatasi suara tertawa itu.
"Tak ada orang jang berani berbuat demikian selain Mahisa Agni.
"Omong kosong "teriak Mahisa Agni semakin keras. Suaranja melontar memenuhi padang itu, menembus gelap pekat jang se-olah-olah menelungkup! padang Karautan.
Orang itu meng-angguk"kan kepalanja. Katanja "Seka rang aku jakin. Hanja ada dua orang jang dapat dibanggakan diseluruh Panawidjen. Jang pertama adalah Kuda-Sempana, seorang pelajan dalam jang berani, dan jang kedua adalah Mahisa Agni.
"Katakan siapakah kau dan apa keperluanmu" Mahisa Agni kehilangan kesabaran.
"Menangkap Mahisa Agni "djawab orang itu.
Sekali lagi Mahisa terkedjut. Orang itu berkata langsung tentang dirinja. Karena itu, maka djantung Mahisa Agni pun serasa menjala. Ia belum pernah mengenal orang itu. Jang ditjemaskannja adalah Empu Sada, namun tiba-tibaia bertemu dengan orang berwadjah keras sekeras batu karang jang akan menangkapnja djuga. Maka sekali ia bertanja de ngan penuh kemarahan "Siapa kau, siapa"
"Apa pedulimu tentang aku. Aku akan menangkap kau dan membawanja pulang kerumah. Kau akan dapat mendjadi permainan jang mengasjikkan.
Kata-kata orang jang berwadjah keras sekeras batu padas tu serasa api jang menjentuh telinga Mah"sa Agni. Alangkah panasnja. Namun karena itulah maka sedjenak Mahisa Agni tidak dapat mengatakan sesuatu karena kemarahannja serasa menjumbat kerongkonganaja. Jang terdengar adalah gemere tak giginja beradu.
Tetapi orang itu masih sadja tertawa seperti melihat le lutjon jang mengasjikkan "Apakah kau marah"
Mahisa Agni masih berdiam diri. Ditjobanja untuk me nenangkan perasaannja, supaja ia tidak tenggelam dalam ke marahannja sehingga tidak mampu lagi untuk melihat setiap keadaan dengan sewadjarnja. Ber-kali2 Mahisa Agni menarik nafas pandjang. Udara dingin dimalam jang kelam itu telah mengusap djalan pernafasannja. Namun terasa darabnja masih terlampau panas.
Dengan auara gemetar sekali lagi ia bertanja "Siapakah kau"
"Apakah kau perlu mengenal namaku" "bertanja orang itu.
"Sebutlah namamu, atau gelarmu.
"Aku tidak punja gelar. Aku hanja punja satu nama.
"Ja, sebutlah satu nama itu.
"Wong Sarimpat. Tanpa sesadarnja kembali bulu" Mahisa Agni meremang. Nama itu pernah didcngarnja dari pamannja dan dari mulut Empu Sada sendiri. Wong Sarimpat dan jang "eornng lagi ber nama Kebo Sindet.
Sekali lagi Mahisa Agni mcnggeretakkan giginja. Kini ia sadar bahwa ia benar-benar berhadapan dengan haliaja. Meskipun ia tidak bertemu dengan Empu Sada, namun orang ini adalah sama berbahajanja dengan Empu Sada. Tidak mustahil bahwa Empu Sada telah benar-benar" minta kedua orang itu untuk meru bantunja.
Sehingga dengan serta merta Mahisa Agni menggeram "Hem. Apakah kau diminta oleh Empu Sada berbuat demikian"
"Ja "sahut penunggang kuda jang ternjata Wong Sarimpat itu. "Mpu Sada minta bantuanku dan kakang Kebo Sindet. Mereka datang kerumahku bersama Kuda-Sem pana dan seorang saudara seperguruannja bernama Tjundaka-
Djantung Mahisa Agni serasa berdentang semakin keras. Orang itu selalu berkata terus terang, tanpa b anjak per tim bangan. Namun dengan demikian, maka Mahisa Agni men djadi semakin ber-debar-debar. Ia dapat meraba perasaan orang itu, jang merasa tidak perlu berbohong atau menjembunjikan sesuatu, karena sebentar lagi Mahisa Agni telah ditangkapnja.
Bahkan orang itu meneruskan "Kalau aku berhasil membawamu pulang, maka kau akan bertemu dengan Kuda Sempana. Ia ingin aku menangkapmu hidup2. Mungkin ia menjimpan dendam dihatinja. Adalah salahmu, bahwa kau tidak tjukup berhati-hati, sehingga kau melukai hatinja. Seka rang kau terpaksa membajar sakit bati itu dengan tebusan jang tjukup mahal. Kau harus membajar sakit hati itu dengan sakit dihati dan tubuhmu. Kuda-Sempana ingin melihat kau diikat pada sebatang pohon jang kuat. Kuda-Sempana akan dapat berbuat sekehendak hatinja atasmu. Mungkin mentjam buk, mungkin menjentuhmu dengan api atau pisau, atau apa pun jang akan dilakukan untuk menjakiti tubuhmu. Sedang untuk menjakiti hatimu Kuda-Sempana akan memetjah bendungan jang sedang kau kerdjakan. Kalau kau hilang dari an tara orang-orang Panawidjen itu, maka mereka pasti akan kehilang an gait ah. Mereka akan mendjadi djemu dan mungkin ber putus-asa. Dan kau akan melihat, bahwa padang rumput Karautan itu akan mendjadi sepi kembali. Sepi seperti sedia kala. Tidak ada orang jang mengotori kehidjauan rumput jang luas se-akan-akan tidak bertepi ini.
Wong Sarimpat berhenti sedjenak. Ketika dipandanginja wadjah Mahisa Agni, maka wadjah itu mendjadi sangat te gang. Beberapa titik keringat telah membasahi keningnja, meskipun malam sangat dinginnja.
"Djangan menjesal, bahwa kau bertemu dengan aku malam ini "berkata Wong Sarimpat kemudian sambil ttr tawa "sebenarnja tugasku tidak menangkap kau. Aku ha nja sekedar harus mengetahui dengan pasti djalan jang sering kau pergunakan hilir mudik ke Panawidjen. Sebenarnja malam ini aku harus sudah kembali kerumahku Tetapi tiba-tibaaku melihat seseorang berpatju dengan kudanja. Aku pernah melihat kau lewat djalan ini ke Panawidjen beberapa hari sebelumnja, sehingga aku jakin bahwa djalan inilah jang se lalu kau tempuh apabila kau kembali ke Panawidjen. Ternjata aku kini mengambil keputusan lain. Aku akan kembali dengan membawamu sama sekali.
Perasaan Mahisa Agni kini tak dapat dikuasainja lagi. Tiba-tibadengan sebuah gerakan kilat, ia menarik pedangnja sambil berdesis "Djangan membual. Aku bukan benda ma ti jang dapat kau perlakukan sekehendak hatimu. Mungkin kau akan mampu membunuhku, sebab kesakitanmu pernah aku dengar menjamai orang-orang jang aku kagumi. Tetapi itu adalah lebih baik bagiku dari pada kau akan berusaha me nangkap aku hidup2.
Suara tertawa Wong Sarimpat meledak seperti ledakan gunung jang petjah. Demikian kerasnja sehingga tubuhnja berguntjangan diatas punggung kudanja. Katanja kemudian di-sela-sela suara tertawanja "Djangan banjak tingkah. Kalau kau akan mentjoba melawan aku, maka setiap batang rumput dan ilalang akan mentertawakan kau. Setiap helai daun dan setiap tangkai bunga perdu pernah mendengar siapa Wong Sarimpat. Adalah mustahil kalau kau belum pernah mendengar namaku. Mungkin kau pernah mengenal Empu Sada. Apakah kau mampu melawan orang itu pula" Orang jang diakui memiliki ilmu setingkat dengan gurumu" Aku dengar bahwa Mahisa Agni adalah murid Padepokan Panawi djen Murid Empu Purwa jang oleh penduduk disekitarnja di kenal sebagai seorang tua pendiam jang hanja mampu ber doa dan bertani.
Petualangan Disirkus Asing 1 Dewa Arak 87 Setan Bongkok Tengkorak Maut 8
^