Pencarian

Pelangi Dilangit Singosari 27

01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 27


Sedjenak Mahisa Agni terdiam. Kata-kata itu memang mc ngandung kebenaran, la pasti tidak akan mampu melawan Wong Sarimpat. Tetapi ia tidak ingin menjerahkan kepala nja dengan suka rela. Karena itu, baginja, lebih baik mati dipadang Karautan sebagai tanah harapan jang sedang diolah nja, dari pada ditangkap hidup2 dan dibunuh oleh Kuda-Sempana sebagai suatu permainan jang bengis.
Dengan demikian maka hati Mahisa Agnipun mendjadi semakin bulat. Ia bertekad untuk melawannja, meskipun per lawanannja itu tidak akan berarti.
Ketika ia mendengar Wong Sarimpat itu tertawa lagi, maka tiba-tibaMahisa Agni menggerakkan kudanja menjambar orang jang berwadjah keras seperti batu padas itu. Pedangnja terajun deras sekali langsung mengarah kelehernja.
Suara tertawa itupun terputus. Namun Mahisa Agni harus melihat kenjataan, bahwa orang itu memang terlampau iiatjah. Pedangnja jang diajunkannja se~tjepat2 kemasapuaanja itu sama sekali tidak. berarti bagi lawannja. Babkan betapa terkedjut anak muda Panawidjen itu ketika terasa per gelangannja se-olah-olah digigit oleh perasaan njeri jang dahsjat. Ketika ia menjadari keadaan, maka pedangnja telah terlempar djauh dari padaoja.
Kembali suara tertawa itu mengumandang. Demikian kerasnja. Dan diantara suara tertawa itu terdengar kata-katanja "Kau memang anak muda jang luar biasa. Tenagamu me mang melampaui tenaga Kuda-Sempara. Dan sebenarnja kau pasti dapat mengalahkan anak muda itu seperti jaaka pasti akan dapat mengulangi kekuatan lawannja itu.
Kini Mahisa Agni mulai memusatkan segenap kekuatan nja. Ia mendengar Wong Sarimpat telah sampai kehitungan jang ke-tudjuh. Sekali lagi Mahisa Agni menggeram. Hitung an itu terdengar sangat memuakkan. Tetapi ia tidak akan menunggu sampai hitungan jang ke-sepuluh.
Tetapi tiba-tibakembali Mahisa Agni itu terkedjut sehingga ss-akan-akan darahnja membeku. Pada saat ia telah siap untuk berpatju dan siap pula melepaskan kekuatan pamungkasnja, maka terasa sebuah genggaman tangan jang kuat pada lengan nja. Demikian kuatnja sehingga Mahisa Agni hampir tertarik djatuh dari kudanja meskipun ia telah bersiap dengan puntjak kekuatannja. Dengan sekuat tenaga Mahisa Agni mentjoba merenggut dirinja, tetapi ia sama sekali tidak berhasil.
Ketika ia kemudian berpaling, maka nafsunjapun terhenti sesaat. Matanja terbalik dan mulutnja ternganga,
"Turunlah "terdengar sebuah perintah.
Perintah itu benar-benar seperti telah memukau dirinja tanpa disadarinja. Segera ia melontjat dari kudanja dan sebelum ia berbuat sesuatu orang jang mentjengkam lengannja itu telah melontjat naik.
Ketika Mahisa Agni akan mengutjapkan kata-kata, terdengar suara orang itu menggeram "Aku telah mendengar hitungan ke sembilan.
Sebelum Mahisa Agni sempat menjahut, maka kudanja telah bergerak membawa orang itu mendekati Wong Sarim pat. Mahisa Agni mendjadi bingung, matanja mendjadi seolah-olah melihat hantu berseliweran dipadang itu. Kehadiran Wong Sarimpat jang tiba-tibaitu telah menggontjangkan hatinja dan tiba-tibahadir pula orang lain seperti demikian sadja mun tjul dari padang rumput itu, atau tumbuh dari sela-sela rumput-rumputan dan gerumbut.
Tetapi kehadiran orang itu telah agak menenteramkam hati Mahisa Agni. Per-lahan-lahan ia mendjadi tenang kembali, sehingga ia kini dapat mempet gunakan otaknja dengan lebih baik.
Ternjata ketika ia meninggalkan perkemahannja, sese orang telah menjusulaja. Namun kudanja agaknja terlampau djelek, sehingga orang itu tertinggal terlampau djauh. Namun tanpa di-sangka-sangkanja, dari sebuah gerumbul muatjul pula kuda jang lain. Kuda Wong Sarimpat jang mengedjarnja. Tetapi agaknja Wong Sarimpat tidak menjadari bahwa ada seekar kuda djelek mengedjar dibeiakangnja. Meskipun kuda itu se makin djauh, namun ketika mereka berdua berhenti dan ber main2 dengan pedang, maka kuda jang djelek itu sempat menjusul mereka. Tetapi kenapa mereka sama sekali tidak mendengar suara derapnja. Kalau ia tidak mendengar mung kin karena hatinja jang katjau. Tetapi apakah Wong Sarimpat djuga tidak mendengarnja" Apakah orang itu telinganja hanja mampu mendengar suara tertawanja sendiri jang meng guntur2
Mahisa Agni tidak sempat ber-angan-angan terlampau lama la ingin melihat apa jang terdjadi. Adalah pertolongan dari Jang Maha Agung bahwa pamannja hadir pada saat ia di tjccgkam oleh bahaja. Dan kini pamannja telah mewakilinja, menemui orang jang berwadjah keras sekeras batu padas itu.
Mahisa Agni masih melihat kudanja bcrdjalan per-lahan-lahan mendekati arah suara Wong Sarimpat. Dengan hati-hati ia ber djalan mengikutlnja. Ia ingin melihat apakah jang terdjadi diantara mereka, la pertjaja bahwa pamannja menjadari si apakah jang dihadapinja, dan ia pertjaja bahwa pamannja tjukup mengerti perbandingan kekuatan antara mereka. Se bab pamannja telah pernah me-njebut2 nama itu pula, Wong Sarimpat.
Akhirnja Wong Sarimpat sampai kehilangan jang kese puluh. Setelah ia mengutjapkan bilangan itu, maka iapun segera berteriak "Mahisa Agni. Aku sudah sampai kebi langan jang kesepuluh. Ajo kemarilah, apakah pedangmu te lah kau ketemukan:"
Ia melibat pamannja telah semakin dekat, disamping se buah gerumbul. Beberapa langkah dihadapannja kudanja berhenti dan pamannja agaknja lebih senang menunggu Wong Sarimpat itu berteriak sekali lagi.
"Mahisa Agni, ajo, kemarilah.
Tanpa dikehendaki, Mahisa Agni berusaha berdiri diba lik lindungan sebuah gerumbul perdu. Sementara itu kuda nja bcrdjalan madju per-lahan-lahan.
"Ajo, kemarilah, teriak Wong Sarimpat pula "apa kah kau sudah menemukan pedangmu" Dan kenapa kau tidak lari sadja he"
Mahisa Agni jang berada dibelakang sebuah gerumbul itupun mengumpat didalam hatinja. Dugaannja ternjata benar, bahwa Wong Sarimpat ingin memper-main2kannja. Wong Sarimpat sengadja membcrinja kesempatan untuk lari. Orang itu akan segera raengedjarnja, Demikian sehingga nafas Ma hisa Agni akan habis dengan sendirinja. Tetapi rentjana itu harus berubah, sebab ada orang lain jang akan turut dalam permainan jang mengerikan itu.
Ketika Wong Sarimpat kemudian melihat kuda jang per lahan mendekatinja, maka terdengar suara tertawanja me ngumandang dipadang rumput jang luas itu. Perhatiannja sama sekait tidak tertarik kepada gerumbul disampingnja. Matanja terpaku pada kuda dengan penunggangnja itu, sehing ga Mahisa Agni sempat merangkak lebih mendekat lagi. Bah kau Mahisa Agni itupun telah melupakan dirinja sendiri pula. Keinginan untuk melihat apa jang akan terdjadi telah men dorongnja untuk mengintip dari balik dedaunan
"Agni "teriak Wong Sarimpat. Tetapi kuda itu tidak mendekat lagi.
"Kemari " "Kemari "teriak Wong Sarimpat lagi. Kuda itu masih tegak ditempatnja.
"Apakah kau takut Agni" " bertanja Wong Sarimpat "kalau kau menurut maka aku tidak akan menjentuhmu. Mari pulang kerumah. Urusanmu seharusnja kau selesaikan sesndiri dengan Kuda Sempana. Aku hanja sekedar meraba maksudmu.
Tetapi tiba-tibadada Wong Sarimpat itu seperti terhantam guruh ketika ia mendengar penunggang kuda itu mendjawab per lahan-lahan, namun dengan suara jang mantap "Baik Wong Sarimpat, aku akan datang.
Dan suara itu sama sekali bukan suara jang pernah di dengar nja diutjapkan oleh Mahisa Agni. Suara itu djauh berbeda. Nadanja dan getarannja.
Karena itu Wong Sarimpat djustru seakan-akan terpesona melihat sebuah bajangan hitam duduk diatas punggung seekor kuda. Ketika kuda itu mendjauhinja, maka orang jang duduk diatas punggungnja adalah Mahisa Agni. Tetapi ketika kuda itu datang kembali, maka orang itu sudah berganti bentuk dan suaranja.
Dalam pada itu terdengar kembali bajangan diatas pung gung kuda itu berkata "Wong Sarimpat, apakab kau me nanjakan pedangku"
Wong Sarimpat tidak segera mendjawab, Ditjobanja un tuk melihat dengan lebih saksama. Tetapi djarak itu belum terlampau dekat, dan hitam malam se-akan-akan mendjadi kian pekat.
"Siapakah kau" "teriak Wong Sarimpat.
"Mahiia Agni " djawab suara itu " apakah kau kini telah mendjadi seorang pelupa, baru sadja kau memberi ke sempatan kepadaku untuk mengambil pedangku. Bukankah kau menghitung sampai hitungan kesepuluh dan memanggilku untuk kembali.
Terdengar Wong Sarimpat menggeram. Sedjenak ia men djadi bingung. Apakah suara Mahisa Agni segera berubah" Mungkin anak muda itu mendjadi ketakutan sehingga sada suaranja berubah mendjadi terlampau rendah. Tetapi suara jang didengarnj" itu sama sekali tidak berkesan ketakutan.
Dengan demikian maka dada Wong Sarimpat itupun di amuk oleh kebimbangan dan kebingungan. Tetapi meskipun demikian, Wong Sarimpat adalah seorang jang mempunjai kepertjajaan jn"g kuat kepada kemampuan diri sendiri sehing ga bagaimanapun djuga, maka dihadapinja setiap persoalan dengan dada tengadah.
Sedjenak kemudian kembali terdengar suara tertawa orang itu menggelegar memenuhi padang Karautan. Bahkan Mahisa Agni jang her sein bunji itupun mendjadi terkedjut bukan buat an. Ia tidak tabu, mengapa tiba-tibasadja orang itu tertawa. Apakah kini Wong Sarimpat itu telah mengenal bahwa jang duduk diatas punggung kuda itu sama s-kali bukan Mahisa Agni"
Tetapi ketika ia rncntjoba memperhatikan pamannja, jang telah menggantikan nja, maka kembali ia mendjadi tenang. Pa mannja itu sama sekali tidak terpengaruh oleh suara jang mengguruh itu. Orang tua itu masih sadja duduk dengan te nangnja, dan membawa kudanja se-langkah demi selangkah madju
"Kemarilah "teriak orang itu.
"Aku sedang mendekat "sahut pamannja.
"Hem "Wong Sarimpat menggeram "apakah Mahisa Agni mampu adjur adjer mantjala putra mantjala putri" Ajo katakan siapa kau"
"Siapakah aku menurut anggapanmu" Apakah aku bukan Mahisa Agni"
Sekali lagi Wong Sarimpat tertawa berkepandjangan. Ketika suara tertawanja mendjadi semakin lirih, terdengar ia berkata "Bagus. Bagus. Suatu permainan jang bagus se kali. Ternjata aku telah tcrdjebak oleh permainan sendiri. Aku ingin melibat Mahisa Agni lari ter-birit-birit. ternjata kini ia telah datang kembali dengan wadjah dan keberanian ba ru. "Tiba-tibasuara tertawa kembali meninggi2 Kini Wong Sarimpat tidak sekedar menunggu kehadiran bajangan diatas punggung kuda itu- Per-lahan-lahan maka didorongnja kudanja untuk mendekat. Semakin dekat suara tertawanja mendjadi semakin keras, sehingga kemudian diantara derai tertawanja itu ia berkata "Oh. kau. Kau.
"Ja, ternjata kau mengenal aku Wong Sarimpat.
Wong Sarimpat itu meng-angguk-anggukkan kepalanja. Kini suara tertawanja te"ah berhenti. Dengan menundjuk kearah wadjah Empu Gandring ia berkata "Hem, bukankah kautu kang keris jang termahbur itu"
"Terlalu ber-lebih2an "djawab mP u Gandring "tidak banjak orang jang mengenal aku. Masih djauh lebih ba njak orang jang mengenal nama Wong Sarimpat.
Kembali Wong Sarimpat tertawa, katanja "Kau me maag djenaka. Kau masih sadja suka bergurau. Meiki pun aku belum mengenalmu terlalu dekat, tetapi aku BU dah banjak mendengar tentang kau. Empu Gandring. Pusa ka buatanmu adalah pusaka jang tak ternilai harganja.
Apakah kau sekarang membawa barang sehelai"
"Sajang Wong Sarimpat "djawab maju Gandring "aku tidak membawanja. Tetapi kalau kau memerlukan nja, aku dapat membuat untukmu sekarang.
_ He "Wong Sarimpat mengerutkan keningnja " dengan apa kau akan membuat keris disini"
"Aku dapat m e m bu at nja dari batu. Tanganku dapat menjala untuk meluluhkan batu jang betapapun kerasnja Tanganku pula dapat aku pakai untuk menempa diatas lutut.
Suara tertawa Wong Sarimpat se-akan-akan meledak men e tjahkan anak telinga. Tubuhnja jang kekar pendek itu ter-guntjang2, bahkan demikian kerasnja sehingga sebelah tangan nja menekan perut nja jang bergerak-gerak.
"Bagus, bagus. Kau memang Empu jang terlampau sakti. Tetapi kau tidak akan dapat menjalakan api disini, sebab aku dadat menghembuskan hudjan dari mulutku. Apimu pasti akan padam dan batumu tidak akan dapat luluh.
"Kalau demik"an, maka akupun mampu mempergusa kan batu itu untuk sendjataku. Batu ditarganku tidak akan kalah berbahnjanja dari sebuah keris jang bagaimanapun sak tinja.
"Ja. Aku pertjaja "potong Wong Sarimpat "teta pi sajang. Kau sekarang berhadapan dengan Wong Sarimpat.
"Apa bedanja, apabila aku berhadapan dengan Kebo Sindet atau Empu Sada"2
"Bagus, bagus Kau tahu benar siapa sadja kau hadapi. Kau tahu pula hubungan antara Worg Sarimpat dengan Empu Sada. Ternjata kau sengadja me-njebut2 namanja.
"Kau tidak perlu ingkar.
"Aku tidak akan ingkar. Bahkan aku kini membenar kaanja, bahwa seorang diri amat sulit untuk menangkap Ma hisa Agni, karena kau selalu membajanginja.
Mpu Gandring mengerutkan keningnja, sedang dada Mahisa Agni jang mendengar kata-kata itupun mendjadi berde bar-debar. Ternjata Empu Sada benar-benar berusaha untuk rce nangkapnja untuk kepentingan Kuda-Sempana.
Mahisa Agni menggeram, katanja didalam hati "Dendam Kuda-Sempana benar-benar telah meratjunj hidupnja. Ditinggalkannja istana dan mengembara tak menentu. Anak muda itu benar-benar mendjadi korban sikapnja jang terlampau keras.
Sedjenak kemudian terdengar Empu Gandring mendjawab "Nah, sekarang apakah jang akan kau lakukan" Bukankah Empu Sada sendiri mengakui, bahwa ia tidak dapat melaku kannja" Apakah kau sekarang datang bersama dengan Empu Sada"
"Tidak "djawab Wong Sarimpat "aku datang sendiri. Aku ingin menangkap Mahisa Agni dan membawanja pulang. Aku sangka Mahisa Agni hanja seorang diri, sebab aku tidak melihat orang lain pergi ber sama-sama dengan anak itu.
"Beruntunglah bahwa kuda jang aku pakai adalah kuda jang terlampau djelek, sehingga kuda itu tidak mampu lari mengedjar Mahisa Agni. Agaknja kau bertemu dengan anak muda itu tanpa menjadari bahwa aku berpatju dibelakangnja.
Wong Sarimpat mengerutkan keningnja. Kemudian kata nja "Aku tidak mendengar derap kudamu mendekat.
"Telingamu tersumbat oleh suara tertawamu sendiri. Masih djauh aku sudah mendengar suaramu. Lebih keras dari derap kudaku. Kemudian aku terpaksa menghentikan lari kuda itu. Per-lahan-lahan kudaku kemudian bcrdjalan mendekat.
"Setan "desis Wong Sarimpat "tetapi sekarang tjeritera tentang Empu Gandring pasti akan berbeda. Aku akan memaksamu untuk manjerahkan Mahisa Agni. Ia tidak akan dapat lari. Kudanja sekarang kau pergunakan. Sedang kudamu adalah kuda jang djelek. Kau tahu bahwa kudaku mampu berlari setjepat tatit jang melontjat dilangit- Dan kudaku ini memang kunamakan Tatit,
"Mahisa Agni adalah kerranakanku. Djangan mcngi gau. Kau tahu bahwa aku tidak akan mrrelakannja. Sekarang, bukankah kau akan mempergunakan kekerasan" Tjobalah pergunakan. Aku sudah siap melawan setiap kekerasan dengan kekerasan pula.
"Setan alasan "sekali lagi Wong Sarimpat mengumpat. Tatapi kata-katanja kemudian seperti tersumbat dikerongkorgan karena kemarahannja Dengan serta merta ia menggerakkan kudanja dan menjerang Empu Gandring.
Tetapi Empu Gandring te"ah sap menunggu. Karena itu, maka kendali kudanjapun digerakkan, sehingga kudanja segera madju pula.
Keduanja adalah orang" sakti jang pilih tanding. Itulah sebabnji maka keduanja tidak dapat meninggalkan kewaspa daan tertinggi.
Ketika kedua ekor kuda itu berpapasan, maka Wong Sarimpat segera mengajunkan tangannja. Dengan te"apak tangannja ia menjerang kerala Empu Gandring. Tetapi Empu Gandring segera melawan serangan itu. Empu Gandring se ngadja tidak mrnghindaikan dirinja. Meskipun ia pernah mendengar tentang Wong Sarimpat, tetapi ia belum perrah mengukur langsung, betapa besar k"kuatannja. Karena itu, ketika ia mWong. Sarimpat menggeram. Ia melihat tjara mFu Gan dring menjaiubtit serangannja. Orang tua itu sama sekali tidak mcntjoba menghindar. Namun agaknja Wong Sarimpat pun ingin tahu, simpai dimana keberatan kata orang, bahwa tangan Empu Gandring itu mampu dipakainja untuk menera pa keiis. Den p an stmgadja Wong Sarimpat tidak menarik serangannja. liaLkan dihentakkannja tangan itu sekuat te naganja.
Dengan dahsjatnja kedua kekuatan itu berbenturan. Ke dnanja menjeringai mrnaban gelaran jang merggigit tangan masing-masing. Kedua tangan itu terdorong kebelakang sehingga hampir-hampir mereka terlempar dari kuda masing-masing.
"Bukan main "dcs"s Empu Gandring. "Alangkah besar kekuatannja. "
Namun dalam pada itu Wong Sarimpat mengumpat keras2 "Anak demit. Ternjata bukan tjerita melulu, bahwa dengan tavga-iiou kau mampu menempa keris. Hampir aku hampir terdjatuh dari kudaku, dan hampir-hampir pula lenganku kau patahkan. Sekarang aku pertjaja bahwa kau menjimpan teraga raksasa didalam tubuhmu jang kering itu. Tenagamu tidak kalah dengan tenaga Empu Sada. Tetapi kau tidak tjurang seperti Empu Sada. "
Mpu Gandrirg mengerutkan kenirgnja. Tiba-tibatanpa dikehendakija sendiri ia bertanja "Hei, apa Empu Sada Tjurang" "-
Wong Sarimpatpun terdiam. Agakrja mulutnja telah ter landjur mengatakannja. Tetapi segera ia tertawa gemuruh memenuhi padarg Karautan. Katanja kita selesaikan "Djangau kau hiraukan Empu Sada. Aku telah mewakilinja. Ajo, sekaran kita selesaikan persoalan ini. Aku harus kembali membawa Mahisa Agni. Kalau kita berkelahi dengan tangan, menggunakan segala macam adji yang ada pada kita, maka kita tidak akan selesai. Mungkin k ia tidak akan dapat menentukan siapa jang menang dan siapa jang kalah dalam sepekan. Sekarang kita simpan adji kita untuk kepentingan lain. Kalau kulimu tidak kebal, maka tajam akan membelah dadamu.-
Wong Sa-impat tidak menunggu djawaban Empu Gan drirg. Tiba-tibasebuah golok yang besar telah tergenggam di tangannja. Golok jang dengan serta merta telah telah ditariknja dan sarung di lambungnja.
Sekali lagi lagi m Pu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Golok itu memang terlampau besar. Tetapi tidak terlampau pandjang. Tangkai golok itu terlalu lampau pendek.
"Ambil sendjatamu "teriak Worg Sarimpat "aku tidak mau membunuh orang jang tidak bersendjata. "
"Ba:k "sahut Empu Gaadring Tangannjapun segera begerak, meraih tangkai sendjatanja lewat diatas pundaknja.
Kerisnja jang khusus melekat dipunggurgnja. Keris jang sebesar pedang, sidang tangkanja mentjuat dibelakang kepalanja.
Wong Sarimpat mengerutkan keningnja melibat sendjata Empu Gandring itu. Sedjenak ia terdiam, namun sedjenk kemudian iapun tertawa pula berkepandjangan. Dengan suara jang menggelegar memenuhi padang rumput Karautan ia berkata "Lihat mPGandring. Mentang2 kau tukang membuat keris Kau buat keris untuk dirimu sendiri sebesar itu"
"Apakah kau baru sekali ini melihat keris sebesar ini Worg Sarimpat' bertanja Empu Gandring.
"Tidak. Tidak. Para bangsawan Kediri djuga mempunjai keris iang brsir sebesar kerismu. Apakah kau pula jang membuat keris2 itu"
"Bukan hanja seorang Empu keris di seluruh Kediri ini Wong Sarimpat.
Wong Sarimpat mengangguk-anggukkan. Kemudian katanja "Kalau keris bna'anmu terkenal diseenap pendjuru Kediri, maka keris yang kau buat untukmu sendiri, pastilah sebilah keris yang luar biasa. Mungkin kerismu sakti tiada taranya. Tersentuh kerismu berarti binasa. Bahkan mungkin gunung akan runtuh dan lautan akan menjadi kering. Begitu"
Mpu Gandring mengerutkankeningnja. Tetapi ia mendjawab "Ja. Gunung akan runtuh dan lautan akan menjadi kering.
Dan Wong Sarimpat itu mendjawab pula "Tetapi Wong Sarimpat teguh timbul melampaui gunung dan lautan.
"Kerisku mampu meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan. Kalau kau teguh timbul melampaui gunung dan lautan, maka kau harus memperhitungkan tenaga ajunan tangan Empu Purwa. Djangan membangah dahulu. Tak ada gunanya. Sebab tenaga kita telah beradu. Aku dapat mengukur kekuatanmu dan kau dapat menukur kekuatanku.
"Bagus Bagus. Kau benar Mpu. Kita tak usah mem bual. Mari kita bertempur, Setelah satu dari kita mati, maka bualan kita baru akan terbukti.
"Aku sudah menunggu "sahut Empu Gandring.
Wong Sarimpat terdiam. Wadjahnja tiba-tibamendjadi tegang. Sedjenak dipandanginja keris Empu Gandring jang besar, sebesar pedang. Namun udjungnja jang runtjing dan tadjam di kedua sisinja, serta luk pitu, memberikan tjiri, bahwa jang digenggam ditangan Empu Gandring itu adalah sebilah kiris. Bukan pedang dan bukan pula golok ssperti sendjatanja.
Kini Wong Sarimpat tidak ingin lebih lama lagi me nunggu. Disadarinja bahwa malam telah membenam lebih dalam lagi. Karena itu maka terdengar suaranja melengking mengedjutkan. Kudanja se-olah-olah melontjat menjergap Empu Gandring.
Namun Empu Gandring telah siap benar menunggu serangan itu. Dengan demikian maka orang itu sama sekali tidak gugup. Digerakkannja kendali kudanja dan dengan sigap pula disongongnja serangan Wong Sarimpat. Beruntung lah Empu Gandring bahwa kini ia berada di punggung kuda Mahisa Agni, sehingga dengan demikian ia dapat tjukup lintjah mengimbangi Wong Sarimpat.
Demikianlah maka segera mereka terlibat dalam sebuah perkelahian jang sengit. Wong Sarimpat memiliki keahlian jang mumpuni dalam hal menunggang kuda. Tetapi Empu Gandring pun tjukup tjakap mengendalikan kudanja. Apalagi ketrampil annja menggerakkan kerisnja adalah ngedap-edapi. Hampir setiap saat ia bergulat dengan keris. Mungkin ia sedang m cm buat, dan mungkin sedang berlatih seorang diri untuk me njeMpurnakan ilmunja. Sehingga dalam keadaan jang memak saoja benar-benar mempergunakan sendjata itu, Empu Gandring sa ma sekali tidak merger jewakan.
Namun Wong Sarimpatpun adalah seorang jang memiliki ilmu jang hampir seMpurna. Goioknja jang besar itu se-akan-akan hampir tidak menahan gerak tangannja. Sendjata itu berpu tar dan ter-ajun2 seperti sepotong lidi sadja.
Dengan demikian, maka kedua orang itu tidak segera dapat melihat, apakah jang akan terdjadi dalam perkelahian itu. Kedua ekor kuda jang tegar itupun me-njambar2 seperti burung garuda, sedang dipunggungnja se-olah-olah Wisnu sedang me-nari2 dengan gairahnja, menarikan tari maut.
Mahisa Agni melihat perteMpuran itu. Anak muda itu pun adalah anak muda jang menjimpan ilmu jatig tjukup di dalam dirinja. Tetapi orang-orang jang sedang bertempur itu adalah orang-orang jang mengagungkan. Pamannja dan Wong Sarim pat dapat disedjadjarkan dengan gurunja, Empu Purwa jang se-akan-akan kini telah lenjap dari pergaulan karena duka jang mentjengkam hatinja tiada tertanggungkan lagi.
Dengan dada jang bergelora Mahisa Agni mengikuti se tiap gerak dari kedua orang jang sedang bertempur itu. Ternjata Wong Sarimpat adalah berar2 seorang jang kasar. Dengan me-mekik2 dan ber-teriak-teriak ia menjerang dengan garangnja, Goloknja ter-ajun2 mengerikan, sekali-sekali menjambar kepala namun segera mematuk lambung.
Lawannja Empu Gandring, tjukup tenang menghadapi tata gerak jang kasar itu. Tetapi rnPu Gandring jang memiliki pe ngalaman jang tjukup segera melihat apa jang dilakukan oleh lawannja itu dengan tjermat Gerak Wong Sarimpat tampaknja kasar dan tidak teratur, namun dalam gerak jang kasar dan tampaknja tidak teratur itu tersembunji ilmu jacg dah sjat. Ilmu jang memang dalam ungkapannja herbentuk seru pa itu, kasar dan mengerikan. Namun Empu Gandring tidak membiarkan dirinja tenggelam dalam perasaannja. la tidak mau terseret dalam tingkah laku jang kasar pula. Sebab dengan demikian ia telah m:ndjerumuskan dirinja sendiri kedalam bahaja. Ia tidak dapat mengimbangi kekasaran itu dengan ke kasaran pula.
Itulah sebabnja maka kini Empu Gandring tidak lagi ingin melawan setiap serangan dengan serangan. Ia tahu, bahwa kekuatan Wong Sarimpat tidak mclainpauinja, namun ia akan terseret kedalam sikap jang tidak dipahaminja.
Maka untuk seterusnja Empu Gandring menghadapi de ngan sikap jang tenang. Tetapi setiap gerak tangannja, beriai2 menimbulkan desir didada lawannja.
Perkelahian dian'ara kedua irarig jarg sakti itu semakin lama mendjadi semakin seru. Masing-masing telah mcntjoba mengerahkan segenap kemampuan untuk dapat mengalasi lawannja. Namun ternjata bahwa mereka berdua benar-benar seperti srpa sang burung radjawali jang berlagu diudara. Tak ada tanda2 bahwa salah seorang dari mereka akan berhasil memenarg kan perkelahian itu. Silih ungkih desak mendesak.
Debu jang putih pun semakin lama mendjadi semakin banjak berhamburan dilontarkan oleh kaki-kaki kuda jang seakan-akan ikut serta berlaga. Kadang-kadang terdengar kuda-kuda itu meringkik dengan kerasnja apabila terasa penunggangnja menarik kendali terlampua keras, dan kadang-kadang kuda itupun saling berbenturan sementara penungangnja membenturkan sendjata2 mereka.
Namun keduanja adalah orang-orang jang pilih tanding Semakin banjak keringat membasahi tubuh-tubuh mereka, maka mereka mendjadi semakin trampil. Wong Sarimpat mendjadi semakin garang dan kasar, sedang Empu Gandring mendjadi semakin lintjah dan tjekatan.
Mahisa Agni masih sadja duduk dibelakang gerumbul. Tetapi ia sudah kehilangan nafsunja untuk betsembunji teri s Bahkan semakin lama ia bergeser semakin djauh dari tempat persembunjiannya, dan malahan kadang-kadang ia harus mendekat untukd apat melihat kuda-kuda itu berlari2an di padang Karautan.
Tetapi perkelahian itu masih berlangsung dalam keadaan jang serupa sadja. Mereka masing-masing mentjoba menunggu apa bila lawan-lawannja membuat kelalaian2 ketjil, sehingga salah seorang dari mereka akan mendapat kesempatan jang baik. Tetapi kesempatan itu tidak djuga kundjung datang. Sehingga dalam kedjemuan akhirnya Wong Sarimpat ber-teriak-teriak keras sekali.
Mpu Gandring sama sekali tidak menanggapinja. Ia bertempur dengan tjermat. Kerisnay jang besar itu bergetar dan mematuk dari segenap pendjuru. Namun setiap kali sendjata itu selalu membentur golok Wong Sarimpat jang besar itu, seakan-akan golik itupun melebar seluas perisai yang mengelilingi tubuh Wong Sarimpat.
Dilaigit bintang gemintang beredar dengan terangnja se akan-akan sama sekali tak dihiraukannja perteMpuran jang dahsjat jang terjadi dipadang Karautan. Angin jang dingin mengalir lambat mengusap tubuh-tubuh jang berkeringat itu. Tetapi mereka jang bertempur sama sekali tidak menghiraukannya betapa sedjuknya udara dimalam jang dingin itu.
Wong Sarimpat akhirnja benar-benar mendjadi djemu. Ia ter paksa melilat suatu kenjataan, bahwa Empu Gandring tidak dapat dikalahkannya, betapapun ia berusaha. Apapun jang dilakukannya, maka mPj Gandring pasti mampu menjelamatkan dirinja seperti apa jang terjadi sebaliknja.
Karena itu, tiba-tibaWong Sarimpat berpendirian lain. Lebih baik ditinggalkannya mereka kali ini. Ia akan menjampaikan semua peristiwa itu kepada kakaknya. Ia memang harus datang berdua sedikit-sedikitnja supaya dapat melepaskan Mahisa Agni dari pamannja jang selalu membajanginja itu.
Kini, dalam perkelahian ini, ia sama sekali tidak dapat melihat siapakah jang akan dapat memenangkannya. Ia tidak melihat kemungkinan untuk membawa Mahisa Agni.
Dengan demikian, maka Wong Sarimpat itupun kemudian mengambil keputusan untuk melepaskan lawannja dan kembali ke Kemundungan. Ia akan segera kembali bersama dengan Kebo Sindet untuk mengambil Mahisa Agni.
Ketika perkelahian itu masih berlangsung dengan sengitnya tiba-tibaWong Sarimpat menarik kendali kudanja jang kemudian berputar dan berlari mendjauh. Jang terdengar kemudian adalah suaranja mengguruh disertai rerai tertawanja"Maaf Empu Gandring, au terpaksa meninggalkanmu.
Mpu Gandring tertegun melibat lawannya menjingkir. Didalam remang-remang gelap malam ia melibat Wong Sarimpat itu berhenti beberapa langkah dari padanja sambil berkata tyerus "Aku tidak melihat titik akhir dari perkelahian ini, sehingga aku menganggap bahwa apa jang terdjadi seterusnja sama sekali tidak akan berarti. Karena itu, aku mohon diri, aku sudah rindu kepada kakakku Kebo Sindet. Mungkin ia ingin menemuimu. Lain kali aku akan membawanja kemari.
Mpu Gandring tidak mendjawab. Didorongnja kudanja madju mendekat, tetapi kuda Wong Sarimpatpun bcrdjalan mendjauh.
"Djauh mentjoba mengedjar aku. Kudamu lebih djelek dari kudaku, sehingga kau tidak akan berhaul. Meskipun se andainja kau mempunjai kesaktian ber-lipat-ganda dari pa dakupun kau masih harus tergantung kepada kaki-kaki kudamu. Kalau kau tidak pertjaja, buktikanlah.
Wong Sarimpat tidak menunggu Empu Gandring mendjawab. Ditariknja kekang kudanja sehingga kudanja berputar setengah lingkaran. Kemudian kuda itupun se-akan-akan melontjat dan terbang meninggalkan Empu Gandring jang memandangi nja dengan wadjah jang ketjut.
"Hem, hantu itu benar-benar berbahaja "gumamnja,
Mahisa Agnipun melihat betapa Wong Sarimpat mematju kudanja meningga'kan padang Karautan. Tetapi ia menjadari pula bahwa pamannja pasti tak akan dapat mengedjar nja karena kuda Wong Sarimpat jang bernama Tatit itu mampu berlari benar-benar seperti tatit.
"Agni "Mahisa Agni mendengar pamannja memanggil. Per-lahan" ia berdiri dan berdjalan mendekati Empu Gandring.
"Bukankah benar lja'aku bahwa dipadang ini tersem bunji seribu matjam bahaja"
Mahisa Agni menundukkan kepalanja. Sepatabpun ia tidak mendjawab.
"Kau melihat sendiri, betapa berbahajanja orang sekasar Wong Sarimpat. Bahkan menurut penilaianku, orang ini djauh lebih bcibahaja daripada Empu Sada sendiri. Dan kini mereka agaknja berdiri dipihak jang sama. Aneh. Untuk melawanmu Empu Sada harus bersusah pajah mentjari teman seliar Wong Sarimpat.
Mahisa Agni masih saja berdiam diri Bahkan kepala njapun masih djuga ditundukkunnja. Kalau diker.angkan at a jang baru sadja terdjadi, maka ia mendjadi ngeri sendiri. Mes kipun ia sana s:kali bukan s;orang pengetjut, tetapi men g ha lapi orang jang ganas seperti Wong Sarimpat, adalah su acu pekerdjaan jaog tidak menjer angkan.
Dalam pada itu terdengar Empu Gandring beikata "Semula aka djuga hanja ingin mengharap bahwa kau tidak ber temu dengan bahaja, tetapi akhirnja aku tidak sampai hati "i untuk melepaskan kau pergi seorang diri di malam jang terlampau gelap untuk menjeberangi padang Karautan jang garang ini.. Karena itu aku mentjob menjusulmu. Ketika kudaku mendjadi semakin dekat, agaknja kau telah mamatju kudamu. Padahal jang aku dapatkan hanja seekor kuda jang tidak terlampua baik, sehingga djarak diantara kita mendjadi semakin lama semakin djauh.
Mahisa Agni masih berdiri mematung. Dan Empu Gandring itupun akhirnja berkata- Sekarang bagaimana Agni. Kita sudah melampaui separo djalan. Apakah kau akan kembali aau kau ingin meneruskan perdjalanan ini.
Sedjenak Mahisa Agni mendjadi ragu-ragu. Tetapi ketika diingatnja bahwa diperkemahan seorang kawannja mengha-ap k da'angannja denga i membawa obar, maka djawabnja ke mudian "Akukan meneruskan perdjalanan ini paman
"Hm "Mpu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Namun ia berkata"Baiklah. Perdjalanan ini sudah tjukup djauh. Marilah aku antarkan kau ke Panawidjen. Mudah-mudahan kita akan segera kembali sebelum Wong Sarimpat sempat memanggil kakaknja jang bernama Kebo sindet itu.
"Apakah rumah mereka tidak terlampau djauh"
"Aki dengar mereka bersembunji di Kemundungan. Djarak tjukup djauh. Tetapi apabila kakaknja, Kebo Sidnet telah berada diperdjalanan ekmari, maka mereka akan segera kembali.
Mahisa Agni mengerutkan keningnja. Sekali lagi ia menjelesaikan Kuda Sempana. Persoalan jang ada sekarang sudah djauh berkisar dari persoalan jagn semula. Kuda Sempana kini sudah tidak lagi mempersoalkan Ken Dedes, karena ia menjadari, bahwa ia tidak akan mungkin lagi membuatnja dari Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi jang ada sekarang adalah dendam jang tiada akan padam menjala didada anak muda jang merasa dirinja diketjewakan an disakiti hatinja.
Tetapi Mahisa Agni tidak dapat terlampau lama berangan-angan. Sekali pagi pamannja berkata " Kalau akan meneruskan perdjalanan, marilah. Kudaku aku tambatkan dibelakang semak-semak tempat kau mentjari pedangmu.
Mahisa Agni tidak mendjawab. Perlahan-lahan ia melangkah kedalam gelap, mencari kuda Empu Gandring.
"Apakah kau akan memakai kudamu ini- bertanja Empu Gandi irg.
"Tidak paman "sahut Mah'sa Agni "sama sadja bagiku.. Bukankah kita akan berdjalan bcr-sama-sama.
Mpu Gandring tersenjum. Diikutinja Mahisa Agni berdjalan mengambil kuda pamannja.
Sedjenak kemudian mereka berdua telah berpatju kembali ke Panawidjen. Namun emreka sudah pasti tidak akan dapt berada kembali di bendungan jang sedang mereka kerdjakan terlampau pagi. Perdjalanan emreka telah terganggu, sehingga waktunjapun menjadi bertambah pandjang.
Sementara itu Wong Sarimpat berpatju pula tjepat2 kembali ke Kemundungan. Ia menjesal bukan kepalang atas kegagalannya, dan tanpa kesadarannya mulutnya telah mengumpat habis2an.
" Setan tua itu sepantasnya dipantjung kepalanja. Ia harus dibinasakan seperti Empu Sada. Aku ingin membenamkannja pula di dalam sendang tempat Empu Sada membunuh dirinya. Melibatkannja pada akar2 ganggang dan menggantungi lehernja dengan batu.
Dan Suara Wong Sarimpat itupun mengumandang berkeliling padang jang halus dan gelap. Namun padang itu terlampau sepi. Tak seorangpun mendengarkannja dan tak seorangpun jang melihatnja ia berpatju seperti dikedjar hantu.
Ketika orang itu kemudian memasuki sebuah hutan tiba' ia merasa djemu berpatju. Orang jang tidak pernah mengenal lelah itu, tiba-tibaingin berhenti dan beristirahat. Mungkin ku danja memang memerlukan waktu untuk beristirahat sedjenak.
Tetapi istirahat itupun terasa mendjemukan sekali. Wong Sarimpat mentjoba berbaring sedjenak. Begitu sadja diatas tanah jang lembab. Diijobanja untuk me-eka2, bagaimana mungkin ia membalas sakit hatinja. Tetapi ia tidak segera menemukannja.
Ketika per-lahan-lahan ia mendengar suara berdesir d'sisinja, tjepat ia melontjat bangkit. Dalam kegelapan malam, ia men dengar suara itu menjelusur mendjauhi kakinja.
"Ular gila itu ingin aku tjekk sampai mati teriak nja.
Tetapi malam didalam hutan itu tjukup kelam, sehingga betapapun tadjarn penglihaannja, namun ia tidak beiani me njerang ular itu, meskipun d isian g haii adalah pekerdjaan Wong Sarimpat menangkap dan membunuh ular hanja dengan tangannja. Kulitnja sangat digemarinja seperti ia merggemari berbagai matjam batu'an.
Dalam kedjengkelannja Wong Sarimpat itu kembali me lontjat kepunggung kudanja, dan kembali ia berpatju menem bus djalan-jalan sempit dihutan itu. Djalan jang biasa dilalui oleh para pedjalan dan para pentjari kaju bakar.
Ketika kudaija meluntjur diantara batang' jang agak djarang, maka dttengadahkannja. Sekali lagi ia mengumpat keras2 ketika ia melihat bajangan jang mewarnai langit.
Orang itu sampat di Kemundungan melampaui tengah hari. Langsung ia mentjari kakaknja untuk mentjeriterakan apa jang telah dilihatnja.
Kebo Sindet jang sedang mentjoba memberikan beberapa matjam ilmu kepada Kuda-Sempana tertegun mendengar adik nja ber teriak-teriak didepan gubugnja. Sambil ber-sungut2 ia men djawab "Aku disini Wong Sarimpat.
Kuda-Sempanapun tertegun pu'a. Bahkan ia teikedjut. Sebelum ia m-lihat Wong Sarimpat, ia telah mendengar suaranja meng-umpat-umpat tak habis2nja.
"Kita berhenti sebentar Kuda-Sempana "berkata Kebo Sindet.
Kuda-Sempana jang memang kurang mempunjai gairah untuk berlatih ilmu jang kasar itu, mendjadi gembira didalam hatinja, meskipun setiap kali diminta diminta untuk berlatih, ia tidak berani menolaknja.
Sedjenak kemudian Wong Sarimpat telah muntjul dari balik sudut gubug jang kotor itu. Dengan nafas ter-engah2 ia berdjalan mendekati kakakrja. Wadjahnja tampak tegang dan mulutnja masih sadja meng-umpat-umpat.
"Apa jang telah terdjadi" "bertanja Kebo Sindet. Tetapi wadjahnja sama sekali tidak bergerak. Beku.
"Hampir aku berhasil meskipun aku hanja seorang diri "berkata Wong Sarimpat dengan bertolak pinggang.
"Apa jang berhasil" bertanja kakaknja.
"Buruanmu. Se-akan-akan telah berada ditelapak tangan. Tetapi tiba-tibaberhasil lepas kembali.
"Mahisa Agni maksdumu" "bertanja Kebo Sindet.
"Ja- Wadjih jang beku itu tiba-tibabergerak. Tampak beberapa garis kerut merut didahinja. Namun hanja sesaat. Sesaat kemudian wa.ijah itu telah beku kembali.
"Aku telah berhasil menangkapnja "berkata Wong Sarimpat pula
" "Dimanakah anak itu sekarang,
"Sudah aku katakan, anak itu lepas kembali.
"Kenapa" "Setan tua iiu datang mengganggu.
"Siapa jang kau maksud" Empu Purwa, Bodjong Santi, atau Empu Sada sendiri"
"Kali ini Empu Gandring. Pamannja.
Terdengar mulut Kebo Sindet menggeram, Tiba-tibaia berkata tidak terlampau keras, tetapi mengcdjutkan Wong Sarimpat "Kaulah jang bodoh.
Wong Sarimpat mengerutkan dahinja. Katanja "Kenapa aku jang bodoh"
"Sudah dikatakan oleh Empu Sada bahwa anak itu tidak dapat ditangkap seorang diri. Kalau kau mampu mela kukannja. maka Empu Sada tidak akan ribut kemari memanggil kita.
Wong Sarimpat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjahut. Dan kakaknja berkata pula"Bukankah Empu Sada pernahmengatakan bahwa ada sadja jang selalu membajangi nja. Kali ini kau bertemu dengan Empu Gandring, mungkin kalau kau berbuat bodoh untuk kedua kalinja kau akan bertemu dengan Empu Purwa, guru arak itu sendiri. Dilain kali kau akan bertemu dengan Pandji kelantung dan Tumapel atau bahkan apabila masih hidup, Empu Sa da sendui alan menemuimu.
Wong Sarimpat meng-angguk-anggukkan. Tetapi ia mendjawab "Djangan kau sebut orang jang terakhir itu kakang. Aku pasri bahwa ia telah mampua ditelan ganggang.
"Mudah'an "- sahut kakaknja "tetapi meskipun mPa Sada telah mati. namun kebodohanmu tidak terhapus karenanja. Kau tahu akibat dari perbuatanmu"
Mata Wong Sarimpat meredup, se akan-akan ia mcntjoha berpikir. Tetapi akhirnja ia hanja menggelengkan kepalanja sambil mendjawab "Akibatnja adalah kita masih harus menangkapnja.
"Kau benar-benar bodoh. "suara Kebo Sindet datar, tetapi mengandung tekanan sehingga Wong Sarimpat terdiam. Dibiarkannja kakaknja beikata terus "Akibatnya adalah Mahisa Agni dan Empu Gandring itu menjadairi bahaja jang mengintainja. Kini ia tahu pasti siapa jang harus mereka hadapi. Bukan sekedar Empu Sada. Tetapi Empu Gandring itu sudah melihat tampangmu jang kasar seperti batu asahan.
Wong Sarimpat menggeram. Tetapi ia tidak mendjawab. Ketika dilihatnja Kuda-Sempana mengawasinya pula, tiba-tibamatanja terbelalak sehingga tjepat2 Kuda Sempana melemparkan pandangannja ketitik jang djauh.
"Djangan menjalahkannja "bentak kakakja "sudah sewadjarnja Kuda-Sempana keijewa terhadap s kapmu. Dergan dem k an maka usaha ini akan mendjadi semakin pandjarg. Ka'au kau tetap pada kuwadjiban jang aku bebankan pada mu, mengintai sadja anak muda itu, maka aku pasti akan segera berangkat ke Panawidjen. Aku dapat mengikat Empu Gandring dalam perkelahian dan kau dapat menangkap anak itu dengan mudah. Sekarang, setelah kegagalan jang bodoh itu, apa katamu"
Mulut Wong Sarimpat ber gerak2. Tetapi tak sepatah katapun melontjat dari sela-sela bibirnja.
Kemudan Kebo Sindet itu berkata kepada Kuda Sempana "Kita harus bersabar lagi beberapa lama karena kebodohan pamanmu.
Kuda Sempana tidak segera menjawab. Sekali lagi mentjoba memanangi wadjah Wong Sarimpat, tetapi sekali lagi ia melihat Wong sarimpat membelalakkinja, sehingga Kuda Sempana itu menundukkan kepalanja. Tetapi ketika Kebo Sindet berpaling, maka Wong Sarimpatpun menundukkan kepalanja pula setjepat2nya.
" Kuda Sempana"berkata Kebo Sindet"pekerjaanmu kemudian adalah berlatih sebaik-baiknja. Kita masih harus menunggu beberapa hari lagi. Kita mengharap mereka akan menjadi lenga. Tetapi aku mempunjai harapan jang lain pula. Mudah-mudahan aku segera mendjadi semakin seMpurna dalam olah kanuragan, sehingga suatu saat kau sendiri akan mamp menghadapi Mahisa Agni. Akan berbanggalah kau kiranja apabila kau datang dan mangadjukan tantangan djantan. Perang tanding dihadapan beberapa saksi.
Kuda Sempana tidak mendjawab. Sepertjik kebanggaan melondjak didalam dadanja. Tetapi kemudian disudut jang lain kembali memantjar perasaan sjaknya. Ia tetap berprasangka terhadap orang jang berwadjah beku sebeku majat itu.
Tetapi Kuda-Sempana tidak mau membebani kepalanja dengan segala matjam kebingungan. Kini ia menghadapikesem patan. Apapun jang akan terdjadi kemudian akan dihadapinja kemudian. Namun peningkatan ilmu baginja pasti akan ber guna. Untuk apapun. Sehingga Kuda-Sempanapun kemudian djustru berusaha untuk menambah ilmunja se-baik-baiknja. Ditjobanja untuk mengatasi perasaan segan jang hampir setiap kali mengganggunja.
Ketika Wong Sarimpat itupun kemudian dengan langkah jang tersendat2 meninggalkan kakaknja jang memarahinja, kembali Kebo Sindet dan Kuda-Sempana meneruskan latihan mereka disamping gubugnja dibawah bukit padas.
Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Empu Gandringpun telah berpatju kembali kepadang Karautan. Sekali-sekali Mahisa Agni menengadahkan wadjahnja. Hatinja mendjadi gelisah ketika matahari telah merambat semakin tinggi. Rentjana hari ini pasti akan tertunda.
"- Hanja tertunda satu hari bagi pekerdjaan sebesar itu
"ia mentjoba menghibur dirinja. Tetapi perasaannja seakan-akan selalu terganggu. Penundaan rentjananja kali ini se olah-olah tidak disebabkan oleh alasan jang wadjar.
Mahisa Agni berpaling ketika ia mendengar pamannja berkata "- Kau ketjewa atas rentjanamu jang tertunda itu Agni.
Mahisa Agni tidak dapat mendjawab lain. Pamannja itu seolah-olah dapat melihat isi hatinja seluruh nja. Maka djawabnja
"Ja paman. Sebenarnja aku sudah mantap untuk me mu lainja hari ini.
"Pekerdjaan itu hanja tertunda satu hari sadja Agni. Djangan kau risaukan. Seandainja air itu membawa pasir pada dasar sungai, maka perbedaan dalam hari ini dengan besok tidak akan lebih dari lima tjengkang.
Mahisa Agni tidak menjahut. Tetapi ia benar-benar ditjengkam oleh perasaan ketjewa. Meskipun demikian, hatinja terhibur pula ketika tersentuh olehnja bagian2 dari batang kates grandel jang dibawanja. Katanja didalam hati "Mudah-mudahan usahaku ini tidak sia2. Mudah'an penundaan rentjanaku itupun tidak sia2. Anak jang sakit itupun segera mendjadi sembuh.
Karena Mahisa Agni tidak mendjawab maka pamannja berkata seterusnja "Orang-orang Panawidjen termasuk orang-orang jang kurang gairah menghadapi kerdja. Tetapi kau harus me ngutjap sukur bahwa semakin lama menurut penglihatanku mereka mendjadi semakin sadar, bahwa apa jang dikerdjakan itu merupakan harapan bagi masa depan mereka sehingga tam paknja merekapun mendjadi semakin bernafsu. Tetapi ingat Agni. Pada dasarnja orang-orang Panawidjen sudah terlampau lama menikmati tanah jang subur, air jang berlimpah, sehingga se-akan-akan apapun jang dilemparkan ketanah, pasti akan tumbuh dan memberi hasil jang baik. Dengan demikian pada dasarnja, mereka tidak menghendaki bekerdja terlampau berat seperti Jang dilakukan kali ini. Kau harus memperhitungkan setiap keadaan. Djangan kau abaikan pemeliharaan nafsu bekerdja dan gairah akan harapkan mereka dimasa datang.
Mahisa Agni meng-angguk-anggukkan kepalanja. Ia menjadari sepenuhnja kata-kata pamannja itu.
Matahari jang memandjat langitpun mendjadi semakin tinggi. Sedjenak kemudian maka ditjapainja puntjak langit untuk seterusnja turun kembali kearah Barat.
Meskipun Mahisa Agni berusaha untuk menenteramkan ba tinja, tetapi ia tidak dapat melupakan keketjewaannja hari ini. Bahkan didalam hatinja ia masih sadja bergumam "Aku terlampau lama di Panawidjen. Tetapi ternjata bahwa pohon kates grandel itu tidak terlampau banjak, sehingga agak su lit djuga aku mentjari. Kalau sadja aku tidak uiah menung gu bibi Njai Bujut menanak nasi, mungkin aku sudah sam pai di bendungan sebelum tengah hari. Mungkin aku masih dapat memasukkan satu dua brundjung kedasar sungai itu. Tetapi kini tengah hari itu sudah lampau.
Keduanja kemudian tidak lagi ber-tjakap2. Keringat2 mereka bertjutjuran seperti diperas dari dalam tubuh-tubuh mereka. Panas jang terik terasa membakar kulit. Semak-semak jang djarang-jarang tumbuh di-sana-sini tidak banjak memberi kesegaran bagi mereka.
Se-lepas2 mata memandang, Mahisa Agni hanja melihat sinar matahari jang menjala diatas padang rumput jang luas itu. Bahkan kadang' se-akan-akan dilihatnja padang itu menguap dan mentjerminkan wadjah air. Tetapi Mahisa Agni menja dari, bahwa pcnglihatannja itu adalah karena udara jang ter lampau panas membakar.
Mahisa Agni terkedjut ketika tiba-tibasadja pamannja ber kata "Agni, setiap hari kalian bckerdja dibawah terik ma tahari seterik hari ini. Setiap hari kulit kalian telah dipanasi seperti padang ini:. Alangkah berat pekeradjaan itu.
Mahisa Agni meng-angguk-anggukkan kepalanja pula.
"Tetapi kalau kalian berhasil, maka kalian akan dapat menepuk dada dan berkata kepada anak tjutju "Inilah peninggalan kami. Peninggalan pada masa kami muda.
Mahisa Agni mengangguk dan mendjawab singkat "Ja paman.
"Tetapi bukan sadja kebanggaan. Namun djuga kepu asan melihat anak tjutju hidup dengan bahagia.
"Ja paman. Mudah-mudahan mereka menjadari pula.
"Mereka telah bekerdja dengan baik.
"Ja- "Meskipun rentjanamu tidak dapat kau lakukan hari ini, tetapi bukankah ada kerdja lain jang dapat mereka la kukan"
"Kerdja masih terlampau banjak paman. Aku kira me reka kali ini akan meneruskan menggali induk susukan jang akan membelah pedang ini, jang akan merupakan djalur2 air induk untuk segenap tanah persawahan jang kita rentja nakan. Kita mengharap, bahwa demikian air dapat naik, -bahwa demikian air dapat naik, maka djalur2 induk itupun sudah akan dapat menAmpungnja. Tetapi pekerdjaan itu ter lampau. Kami sebenarnja mengharap djandji Akuwu Tunggul Araetung jang akan memberikan bantuan bukan sadja tena ga tetapi djuga pedati, lembu dan alat-alat jang lain.
"Djangan terlampau mengharap bantuan orang lain Agni. Pertjajalah kepada tanganmu sendiri. Jang Maha Agung akan memberi tuntunan kepadamu.
Mahisa Agni tidak menjahut. Kepalanja tertunduk me mandangi rerumputan jang seperti berlari kearah jang ber lawanan. Ia dapat memahami kata-kata pamannja itu, dan iapun telah berpendirian serupa pula. Namun sebagai seoiang jang wadjar, ia memang mengharapkan bantuan itu segera datang. Tetapi seandainja djandji Tunggul Ametung itu tidak djuga dipenuhi, maka itu sama sekali bukanlah suatu alasan untuk mengurungkan reatjananja atau mengurangi gairah kerdjanja.
Dan pamannjapun ternjata berkata "Kalau bantuan itu datang Agni, mengutjaplah terima kasih. Kalau tidak, maka sedjak semula kau mulai pekerdjaanmu dengan kekuat an tenaga sendiri, tenaga orang" Panawidjen jang berdjuang untuk masa depannja.
Mahisa Agni meng-angguk-anggukkan kepalanja. Per-lahan-lahan ia mendjawab "Ja paman.
"Mudah-mudahan kau dapat berhasil.
"Mudah-mudahan paman.
Keduanja terdiam. Panas jang terik serasa mendjadi se makin panas. Keringat mereka telah membasahi segenap wa djah kulit. Sekali-sekali mereka terpaksa berhenti dan mentjari air untuk kuda-kuda mereka jang haus dan untuk mereka sendiri. Karena itu maka mereka berpatju sepandjang tebing sungai.
Akhirnja, dikedjauhan, se-akan-akan muntjul dari da'am pa dang rumput dan tjelah-tjelah gerumbul-gerumbul jang laju, tampaklah perkemahan mereka. Perkemahan ilalang, tempat mereka ber teduh dari panas matahari disiang hari dan tempat mereka menghindari embun dirnalam hari.
Ketika tampak oleh Mahisa Agni atap-atap ilalang itu, ma ka dengan serta-merta ia berkata "Mudah-mudahan mereka tidak berbuat sesuatu atas bendungan itu. Kalau mereka berbuat kesalahan, maka pekerdjaan kita akan mendjadi semakin sulit.
"Aku kira tidak terlampau sulit Agni. "sahut pamannja "apakah tidak scorangpun jang mengerti akan rentja namu"
"Kalau mereka terpaksa melakukannja tanpa menunggu aku, aku harap Ki Demang dapat memberi mereka petundjuk. Kalau tidak, sean dainja mereka meletakkan brundjung-brundjung itu disembarang tempat, maka sisi sungai itu akan melebar dan mungkin dapat mengakibatkan sisi seberang longsor.
Pamannja tidak menjahut lagi. Kalau terdjadi demikian maka Mahisa Agni pasti akan ketjewa. Tetapi scandainja de mikian sekalipun, itu bukan berarti suatu kegagalan. Mung kin pekerdjaan akan menjadi semakin sulit, tetapi bukan berarti tidak dapat diatasi.
Kcduaajapun kembali terdiam. Kuda-kuda mereka jang lelah bcrdjalan semakin perlahan. Agni dan Empu Gandringpun menjadari bahwa tidak sepantasnja ia meletjut kudanja untuk berpatju. Meskipun dada Mahisa Agni mendjadi ber-debar-debar oleh keinginannja segera sampai ketempat ia bekcrdja mem buat bendungan itu.
Betapapun lambatnja, namun mereka semakin lama mendjpadi semakin dekat. Gubug jang ber-deret2 mendjadi sem kin djelas.
Tetapi semakin dekat Mahisa Agni dengan perkemahan itu, maka hatinjapun mendjadi semakin ber-debar-debar. Disebelah gubug2 itu adalah susukan jang sedang mereka kerdjakan meskipun terlampau lambat karena hanja dikerdjakan oleh seba gian dari tenaga jang ada. Sebagian jang lain harus mengisi brundjung'- dengan batu dan sebagian jan lain harus memetjah batu-batu itu. Namun kali ini Mahisa Agni sama sekali tidak melihat sesuatu pada susukan itu. Tak ada selapis debupun jang mengepul ke-udara. Tak ada satu titikpun jang bcr-gerak2 disekitarnja.
Karena itu, dengan bimbang ia berkata"Paman, apakah penglihatanku jang salah" Aku tidak melihat sesuatu disusukan jang sedang dikerdjakan itu.
Mpu Gandring mengerutkan keningnja Per-lahan-lahan ia men djawab "Akupun tidak Agni.
"Apakah seluruh tenaga dikerahkan oleh Ki Bujut ke bendungan untuk meletakkan brundjung-brundjung disisi seberang"
"Satu kemungkinan Agni "desis pamannja.
"Semula aku menduga sebaliknja paman. Aku sangka djustru semua tenaga hari ini dikerahkan untuk menggali su sukan karena aku tidak ada.
Mpu Gandring berpaling. Dipandanginja wadjah kcmana kannja itu dengan sorot mata jang ragu pula. Namun ia ber kata "Kalau ada seseorang jang dapat melakukan Agni, maka kau seharusnja mendjadi bergembira, sebab tidak semua pekerdjaan dibebankan dipundakmu.
Mahisa Agni meng-angguk-anggukkan kepalanja. Tetapi ia tidak tahu kenapa ia tidak menaruh kepertjajaan kepada orang lain. Ia tahu benar, bahwa orang-orang Panawidjen bukan pekerdja2 jang baik. Itulah sebabnja ia ingin menunggui setiap kerdja jang dianggapnja penting.
Namun pamannja berkata lagi -Agni, kalau tidak kau adjari mereka melakukan sesuatu, maka semuanja pasti akan tergan tung kepadamu. Mereka tidak punja keberanian danketjakapan untuk berbuat. Mereka akan mendjadi tenaga jang mati, jang tidak punja gairah jang timbul dari dalam dirinja tentang sesuatu jang baru. Mereka hanja akan menunggu perintahmu.
Sekali lagi Mahisa Agni meng-anggnk2kan kepalanja. Memang, alangkah baiknja apabila demikian. Apabila ada seorang atau dua orang jang dapat diluntunnja untuk me m bantunja. Jang dapat berbuat agak banjak hanja Ki Bujut jang sudah agak landjut itu. Jang lain, masih perlu ditjarinja diantara anak-anak muda Panawidjen itu. Namun Mahisa Agni telah mendjadi agak puas bahwa rakjat Panawidjen itu telah dapat dibawanja untuk melakukan pekerdjaan jang tjukup besar.
Tetapi tiba-tibadada Mahisa Agni terguntjang ketika kemu dian ia mendjadi semakin dekat dengan perkemahan. Ia tidak melihat seseorang diiekitar udjung susukan jang sedang diker djakan, tetapi ia melihat orang.2 Panawidjen itu berada di sekitar peikemaban. Mereka duduk2 sadja dan bahkan ada pula jang ber-baring2 dengan malasnja.
Sedjenak Mahisa Agni mendjadi bingung. Apakah mereka sedang beristirahat:' Menurut kebiasaan, maka waktu istirahat ditengah hari telah lampau. Apakah jang terdjadi.
Kemudian per-lahan-lahan Mahisa Agni itupun berdesis "Me reka sama sekali tidak berbuat sesuatu paman"
Mpu Gandriag meng-ungguk'kan kepalanja. Djawabnja meskipun ia sendiri tahu bahwa djawaban itu tidak benar "Mereka sedang beristirahat.
"Waktu beristirahat telali lampau: Empu Gandring terdiam.
Tiba-tibaMahisa Agni tidak sabar lagi. Diletjutnja kudanja jang lelah supaja ia segera sampai keperkemahan itu Betapa pun djuga kudanja berlari agak lebih tjepat, tetapi nafas kuda itu telah mendjadi semakin deras.
Mpu Gandring segera mengikuti dibelakangnja. Kudanja pun telah mendjadi lelah pula, sehingga dengan malasnja kuda itu berlari ter-suruk2.
Ketika orang-orang Panawidjen melihat kedatangan Mahisa Agni. tiba-tibasedjenak mereka mendjadi ribut. Beberapa orang jang h-rbaring segera bangkit, namun mereka tidak berandjak dari tempat masing-masing. Sedjenak mereka saling berpandangan, namun kemudian mereka menunggu Mahisa Agni itu semakin dekat.
Demikian Mahisa Agni sampai diperkemahan itu, maka sebelum ia melontjat turun dari kudanja, jang terdengar adalah pertanjaannja "Kenapa kalian tidak bekerdja':'
Kembali orang-orang Panawidjen itu saling berpandangan. Tampaklah ketjimasan diwadjah mereka. Tetapi tidak seorang pun jn.g segera mendjawab, sehingga Mahisa Agni mengu langi lagi "Kenapa kalian tidak bekerdja apapun hari ini"
Tiba-tibaterdengar seseorang menjahut agak djauh daripada Mahisa Agni "Kami ingin beristirahat.
"Apakah waktu istirahat belum lampau" "bertanja Agni pula.
"Kami ingin beristirahat tidak hanja pada saat tergah hari. Tetapi kami ingin beristirahat beberapa bari. Kami sudah mendjadi sangat lelah dan lemah.
Terasa darah Mahisa Agni se-akan-akan membeku. Djawaban itu benar-benar tidak disangkanja. Karena itu, maka sedjenak mu!u"nja terbungkam oleh gelora didadanja.


01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mpu Gandring jang kini telah berada disisinja menggamitnja sambil berbisik "Turunlah Mahisa Agni.
Mahisa Agni berpaling. Ketika Empu Gandring melihat wadjah anak muda itu membara, maka katanja "Tenanglah Agni.
- Tetapi pekerdjaan tidak akan selesai dengan duduk2 dan ber-baring2 malas, paman "sahut Mahisa Agni.
"Aku tahu. "djawab pamannja "tetapi tenanglah. Turunkah dari kudamu. Bukankah kau mau mendengar kata-kataku"
Mah sa Agni menarik nafas dalam". Terasa dadanja ter-guntjang oleh keadaan itu. Tetapi tatapan mata paman telah mcmaksanja turun dari kudanja. Namun terdengar ia berka'a "Apakah artinja ini paman"
"Aku tidak tahu Agni, tetapi disini ada Ki Bujut Panawidjen. Sebaiknja kau minta keterangan kepadanja.
Mahisa Agni tidak mendjawab. Tjepat2 ia melangkah kegubug tempat Ki Bujut Panawidjen sering beristirahat. Di sepandjang langkahnja, hatinja tak habis bertanja, apakah sebabnja hal ini terdjadi" Sudah sering kali ia pergi meninggalkan pekerdjaan ini untuk beberapa keperluan. Bahkan sam pai dua tiga hari, seperti pada saat ia pergi ke Tumapel. Namun mereka jang ditinggalkannya bekerdja dengan penuh gairah seperti biasa. Tetapi kenapa kali ini mereka irgin beristirahat" Bahkan berapa hari.
Langkah Mahisa Agni demikian ter-gcsa2 sehingga ia tidak sempat memperhatikan orang-orang jang memandanginja dengan pandangan jang aneh. Orang-orang Panawidjen itu mendjadi tjemas melihat sikap Mahisa Agni.
Ki Bujut Panawidjen jang melihat kehadirannjapun de ngan ter-gesa-gesa menjongsongnja. Sebelum Mahisa Agni mende kat, orang tua itu telah bertanja hampir berteriak "Kau sudah datang ngger"
Tetapi Mahisa Agni tidak mendjawab pertanjaan itu. De ngan keras pula ia bertanja "Kenapa hari ini kita tidak berbuat sesuatu Ki Bujut"
Wadjah Ki Bujutpun mendjadi tegang. Dengan terbata2 ia mendjawab "Ja, ja ngger. Tetapi marilah silahkan duduk dahulu.
"Aku ingin berbuat sesuatu untuk mempertjepat pekerdjaan ini Ki Bujut, bukan dengan duduk2 dan berbaring.
"Ja, ja ngger, aku tahu. Tetapi marilah duduk dahulu
"Terima kasih "sahut Agni "aku ingin tahu, kenapa kita tidak bekerdja hari ini.
"Itulah jang akan aku katakan.
Mahisa Agni masih akan berteriak lagi ketika terasa tangan pamannja menggamitnja.. Terdengar pamannja itu berkata "Mendekatlah Agni. Djangan ber-teriak-teriak. Ki Bujut ingin mendjelaskan persoalannja.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam- Kini ia telah berada dekat dimuka guhsg Ki Bujut Panawidjen.
"Duduklah ngger, Mahisa Agni akan mendj.iw.ib lain, tetapi terdengar pamannja mendahului "Baik Ki Bujut. Duduklah Agni.
Kata-kata pamannjalah jang memaksanja duduk didalam gubug itu. Demikian mereka diteduhi oleh atap ilalang, maka terasa tubuh-tubuh mereka mendjadi segar setelah hampir sehari mereka dibakar oleh terik sinar matahari. Kini mereka dapat merasakan angin jaeg silir berhembus dari Selatan. Meskipun ketika mereka menatap padang jang terhampar dihadapan gu bug itu, mereka masih djuga melihat se-akan-akan padang itu menguap.
Dengan tidak sabar lagi Agnipun segera bertanja " Ki Bujut, kenapa kita hari ini tidak berbuat sesuatu" Waktu kita tidak terlampau banjak.
Ki Bujut tidak segera mendjawab. Ia berkisar setjerg kang madju. Ditatapoja wadjah Mahisa Agni dengan sorot mata jang memantjarkan ketjemasan dan kebimbangan. Apa lagi ketika dilihatnja wadjah Mahisa Agni jang tegang itu.
Mahisa Agni mendjadi semakin tidak sabar iagi. Kembali ia mendesak "Kenapa Ki Bujut"
Ki Bujut Panawidjen menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar bahwa Mahisa Agni mendjadi sangat terkedjut melihat mereka duduk2 sadja dan bahkan ada jang be -baringing2 dengan malasnja.
Dengan hati-hati Ki Bujut itupun berkata "Akan aku katakan sebabnja ngger. Tetapi apakah angger berdua dengan Empu Gandring tidak terlalu haus dan ingin minum air kendi jang dingin ini"
"Aku ingin tahu kenapa kita hari ini tidak berbuat resuatu Ki Bujut, sebab " "Agni tidak dapat menerus kan kata-katanja. Terdengar Empu Gandring memotong sambil beringsut meraih kendi berisi air dingin. Katanja "Agni. Minumlah. Akupun haus sekali. Air jang dingin ini akan mendinginkan hati dan kepala. Dengan demikian kau akan dapat mendengar tjeritera Ki Bujut dengan tenang. Sebelum hatimu mendjadi dingin Agni, maka kau tidak akan dapat berpikir bening. Nah, minumlah. Aku djuga akan minum.
Mpu Gandring segera mengangkatnja dan minum lewat paruh geadi itu. Alangkah segarnja. Sambil menarik nafas dalam-dalam siserahkanja kendi itu kepada Mahisa Agni. Kata nja "Minumlah. Dalam keadaan kita sekarang ini, ma ka adalah kenikmatan jang tiada taranja. Minum air dingin.
Mahisa Agni tidak dapat menolak uluran tangan pamannja. Kembali ia berbuat diluar kehendaknja. Seperti seorang jang kehilangan kesadaran diri. Diterimanja kendi itu, dan diangkatnja pula kemulutnja. Seperti pamannja iapun minum air jang dingin segar itu.
Kesegaran air kendi itu se olah-olah telah mendjalar kesegenap saluran darah Mahisa Agni. Ketika ia meletakkan kendi itu, terasa seluruh tubuhnja mendjadi segar. Dan kepalanja pun tidak lagi dikerumuni oleh gedjolak perasaan jang me londjak-londjak. Meskipun ia tetap berkeinginan untuk segera mengcahui sebab2 kenapa orang" Panawidjen itu tidak be kerdja hari ini, namun kini ia dapat menahan dirinja oleh kesegaran jang sedjuk.
"Nah "berkata pamannja "kalau kau sudah tidak haus lagi, sekarang bertanjalah kepada Ki Bujut. Tetapi kau pun wadjib mendengarkan keterangan dan alasannja.
Mahisa Agni menganggukkan kepalanja. Kini ia berkata per-lahan-lahan "Ja Ki Bujut. Aku ingin tahu kenapa hari ini kita tidak meneruskan pekerdjaan kita.
Ki Bujutlah kini jang meng-angguk-anggukkan kepalanja. Ke mudian katauja "Per-tama-tama aku minta maaf kepadamu ngger. Hal ini pasti membuatmu ketjewa Tetapi aku tidak dapat berbuat lain daripada menuruti kehendak mereka. Beristirahat. Hanja itu. Tidak ada maksud apapun. Meskipun ada pula alasan jang ber-beda-beda, namun kesiMpulan mereka, mereka ingin menghentikan kerdja barang sehari dua hari.
"Bagaimana mungkin K i Bujut "bantah Mahisa Agni. "Kita pasti akan kehabisan waktu. Djustru kita harus bekerdja lebih banjak. Kalau mungkin siang dan malam, supaja pekerdjaan ini segera selesai.
"Agni "potong pamannja "tjobalah kau mendengarkan alasan2 jang dikatakan oleh Ki Bujut. Alasan jang meskipun ber-beda'i, tetapi kesiMpulannja adalah, mereka ingin beristirahat. Tjobalah mendengarkan. Kalau kau sadja jang berbitjara, maka kau tidak akan mengerti.
Mahisa Agnipun terdiam. Dan Ki Bujut itu berkata "Alasan mereka ber-macam-macam ngger. Ada jang hanja karena lelah. Lelah dan tidak lagi mampu untuk bekerdja terus. Ada jang mendjadi sakit pegrl dan linu2 pada punggung me reka. Mereka perlu beristirahat supaja sakitnja mendjadi sembuh. Ada pula jang kakhija mendjadi bengkak. Sedang jang lain ingin menunggui anak jang sakit itu. Pagi ini ia mengigau tak henti2nja. Tubuhnja mendjadi sangat panas, dan kemudian ia menggigil kedinginan. "Ki Bujut itu berhenti sesaat. Ketika Mahisa Agni akan memotong kata'nja Empu Gandring menggumitnjn sehingga kembali Mahisa Agni terdiam. Sedjenak kemudian Ki Bujut itu berkata lagi "Se benarnja pagi2 tadi, ketika matahari terbit, kami sudah siap untuk bekerdja. Tetapi kami dikedjutkan oleh ingauan anak jang sakit itu. Beberapa orang segera mengerumuninja. Ketika satu diantara mereka berkata "Aku tidak bckecdja hari ini. Aku akan menunggui anak ini "maka tiba-tibaseperti me ledak kata-kata itu disahut ber-turut2 oleh kebanjakan dari me reka jang mengerumuni anak itu. "Aku djuga tidak. Kaki ku sakit, bengkak2 "jang lain lagi "punggungku akan patah "dan jang lain "kepalaku hampir petjah kepanasan.
Itulah ngger. Aku tidak dapat memaksa mereka. "kem bali Ki Bujut berhenti. Sedjenak ia mendjadi ragu-ragu, tetapi kemudian terpaksa ia berkata "Angger Mahisa Agni, sebenarnja telah agak lama aku mendengar keluh kesah ini. Keluh kesah jang kemudian meledak mendjadi alasan" jang menjebabkan kami hari ini tidak bekerdja. Tetapi aku harap angger dapat mengerti.
Wadjah Mahisa Agni kembali mendjadi merah membara. Alangkah ketjewa hatinja. la merasa bahwa apa jang dilaku kannja selama ini sama sekali tidak dihargai oleh orang-orang Panawidjen itu. Balikan mereka lelah berusaha untuk mem perlambat. Karena itu, maka dengan serta-merta ia menjahut "Djadi apakah kemauan mereka" Apakah kita hentikan sadja pekerdjaan ini"
"Agni "berkata pamannja per-lahan-lahan. Orang tua itu tahu benar, betapa sakit hati Mahisa Agni mendengar keadaan jang ada diperkemaban ini. Keadan jang sama sekali tidak di-duga2nja. Tetapi orang tua itupun dapat mengerti, kenapa orang-orang Panawidjen ingin berhenti bekerdja barang sehari dua hari. Maka katanja seterusnja "Berpikirlah de ngan kepala dingin. Tjobalah kau tjernakan dahulu apa jang kau dengar, baru kau membuat tanggapan. Djangan ter-gesa-gesa mengambil sikap Agni.
Kini wadjah Mahisa Agni jang merah itu mendjadi se makin tegang. Terasa dadanja bergelora seperti gunung jang akan meletus. Namun sorot mata pamannja telah menahan nja untuk tidak melepaskan luapan perasaannja. Karena itu maka kepala Mahisa Agni itu djustru mendjadi pening.
"Agni "berkata pamannja sareh "kau harus melihat keadaan ini setjara keseluruhan. Djangan kau melihat sepotong-sepotong daripadanja. Maka kau akan dapat mengurangi kepahitan jang harus kau hadapi kini.
Mahisa Agni menundukkan kepalanja. Tetapi pamannja mengetahuinja bahwa anak muda itu mengatupkan giginja rapat-rapat. Ia masih berusaha untuk menguasai perasaannja.
"Kau harus dapat mentjoba mengerti apa jang dikatakan oleh Ki Bujut Panawidjen "berkata pamannja pula.
"Tetapi paman "betapapun Mahisa Agni mentjoba menahan diri namun terlontjat pula dari bibirnja "keadaan ini tidak boleh dibiarkan terus. Memang lebih senang duduk2 dai ber-baring2 daripada bekerdja dipanas terik matahari. Tetapi apa jang kita dapatkan dengan duduk memeluk lutut"
"Kau benar Agni. Kau benar. Tetapi bagaimana kau menjampaikan hal itulah jang sulit bagimu.
Tiba-tibaMahisa Agni mengangkat wadjahnja. Dilihatnja disekeliling gubug itu banjak orang-orang Panawidjen jang ber kumpul- Agaknja mereka ingin tabu, apakah jang akan dikata kan oleh Mahisa Agni. Namun sebagian jang lain malah pergi mendjauh. Mereka duduk ber-kelompok-kelompok di-udjung2 perkemahan. Diudjung jang paling djauh dari gubug Ki Bu yut Panawidjen supaja seandainja Mahisa Agni marah, mereka tidak mendapatkan kemarahan itu jang per-tama-tama Se bab bagaimanapun djuga, tersembunji pula rasa takutnja ke pada anak muda itu. Sebagian dari setiap laki-laki Panawidjen telah mengetahui bahwa Mahisa Agni mampu berbuat dilu ar kemampuan mereka. Mereka telah mengetahui bahwa Ma hisa Agni mampu berkelahi dan memenangkan perkelahian melawan Kuda-Sempana.
"Aku akan mengatakan kepada mereka "nada suara Mahisa Agni datar namun penuh tekanan.
"Apa jang akan kau sampaikan "bertanja pamannja.
"Mereka harus bekerdja.
"Lihat Agni. Matahari telah mendjadi semakin tjondong. Kalau kau menjiapkan mereka untuk bekerdja, maka kau tidak akan mendapatkan apa-apa. Demikian mereka siap, demikian matahari tenggelam.
Mahisa Agni terdiam. Tetapi wadjahnja masih tetap tegang.
"Meskipun tidak hari ini "berkata Mahisa Agni ke mudian "besok misalnja, tetapi mereka harus tahu bahwa mereka lelah lierbuat suatu kesalahan. Kesalahan jang besar sekali. Musim hudjan jang akan datang tidak mengenal istira hat. Apapun alasan kita disini, tetapi musim itu akan datang pada waktunya.
"Apa jang akan dilakukan"
Sebelum mendjawab, Mahisa Agni telah melontjat berdiri. Tetapi ketika ia mengayunkan kakinja selangkah, terde ngar pamannja berkala pula "Apa jang akan kau lakukan Agni:'
"Aku akan berkata kepada mereka, bahwa apa jang mereka lakukan nama sekali tidak dapat dibenarkan.
"Tunggulah. "Aku akan berkala kepada mereka sekarang.
"Tunggulah. "Apa jang harus aku tunggu paman. Kini adalah saatnja. Mereka harus segera menjadari kemalasan mereka.
"Duduklah Agni. "Tak ada waktu. Aku bukan pemalas jang lebih serang duduk daripada bekerdja.
"Duduklah Agni. Duduklah.
Ketika Agni akan mendjawab, sekali lagi pamannja memotong "Duduklah. Kau dengar"
Mulut Agni terdiam. Meskipun dadanja mendjadi sesak, namun iapun melangkah kembali dan duduk dihadapan pamannja Ki; Bujut Panawidjen kini se-olah-olah mendjadi patung. Hatinja mendjadi kusut dan bingung. Bahkan terasa pula ketjemasan mentjengkam djantungnja.
Jilid-22 MPU Gandringpun tidak segera berkata sesuatu. Dibiar kannja Mahisa Agni duduk dengan nafas jang be-kedjar2an dari lubang hidungnja. Ditatapnja wadjah pamannja dengan penuh pertanjaan jang bergelut didalam dadanja. "Kenapa pamannja menghalanginja untuk berbuat sesuatu"
Sedjenak kemudian baru Empu Gandring berkata "Kau akan meng-umpat-umpat dihadapan mereka Agni" Agni tidak mendjawab.
"Kalau kau berbitjara sekarang, sedang hatimu masih dibakar oleh kemarahan dan keketjewaan, maka kalimat- jang akan melontjat dari mulutmu adalah kalimat-kalimat jang mentjer minkan kepahitan tanggapan perasaanmu atas peristiwa ini. Dengan demikian maka kau sama sekali tidak akan mendapatkan apa-apa, ketjuali menjinggung perasaan kawan-kawan seperdjuanganmu. Kau sangka bahwa mereka dapat kau perlakukan seperti badjak dan tjangkul itu" Tidak Agni.
Mpu Gandring berhenti sedjenak. Dipandanginja wadjah kemenakannja jang kini tertunduk. Sedjenak kemudian diteruskannja "Aku bangga melihat nafsu kerdjamu jang meluap-luap. Tenagamu tjukup tangkas dan kuat melawan terik matahari, melawan udara jang panas dan melawan kerdja jang berat. Tetapi tidak semua orang-orang Panawidjen memiliki ketahanan tubuh seperti kau. Kalau kau tidak pertjaja, ajo berlomba lari dengan aku. Meskipun aku sudah setua ini. Tetapi dengan djandji, kau tidak boleh berhenti" Kau tahu maksud ku" Aku hanja ingin mengatakan bahwa ketahanan tubuh seseorang tidak selalu sama. Kau dan aku. Dan kau dengan orang-orang lain. Kalau kau marah-marah kepada mereka hari ini, maka kau benar-benar akan kehilangan hari ini. Mereka sudah pasti bahwa hari ini tidak dapat dan sudah njata, tidak berbuat apa-apa. Mereka hari ini tidak bekerdja. Tetapi kalau kau marah-marah, maka istirahat jang sudah terlandjur didjalani ini akan tidak terasa nikmatnja. "Mpu Gandring berhenti sedjenak sambil menelan ludahnja.
Kepala Mahisa Agni jang tunduk mendjadi semakin tunduk. Dadanja jang bergedjolak itupun sedikit demi sedikit mereda. Pamannja telah memaksanja untuk mentjoba mengerti keadaan jang dihadapinja kini.
Dalam pada itu pamannja berkata pula "Agni. Manfaatkanlah keadaan ini. Hari ini adalah hari jang menjenangkan Djangan kau biarkan hari ini mendjadi hari jang benar-benar tidak berarti. Karena itu, senangkanlah hati mereka dengan istirahat ini, supaja terasa benar nikmatnja Besok mereka pasti akan dengan senang hati bekerdja kembali. Tetapi kalau hari ini kau djadikan hari jang gelap, maka besok mereka akan mengangkat alat-alat mereka dengan hati jang gelap pula.
Kini Mahisa Agni meng-angguk-anggukkan kepalanja. Hari ini memang sudah terdjadi dan hampir dilampaui. Ia tidak akan dapat memutar matahari untuk kembali kearah Timur. Ka rena itu, mau tidak mau ia harus menerimanja sebagai kenjataan, apa jang telah terdjadi. Dan sebenarnjalah kata pamannja, bahwa ia harus memanfaatkan jang ada untuk ke pentingan hari-hari mendatang.
Terdengar kemudian pamannja bertanja "Kau tahu maksudku Agni" ,
"Ja paman "Mahisa Agni meng-angguk-anggukkan kepalanja.
Ki Buyut Panawidjen jang sedjak tadi duduk mematung, tiba-tibamenarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia berdesah "Hem. Demikianlah ngger. Hatiku jang tinggal semenir dapat men djadi tegar kembali.
Mpu Gandring tersenjum. Katanja "Ki Buyut sudah berbuat se-baik-baiknja jang mungkin dapat Ki Buyut lakukan.
Orang tua itu meng-angguk-angguk, djawabnja "Ja, ja Mpu. Aku sudah mentjoba apa sadja jang dapat aku lakukan.
Tetapi kemampuanku memang terlampau djauh ketinggalan.
"Tidak Ki Buyut. Siapapun jang menghadapi persoalan ini, tidak akan dapat mengambil sikap jang lebih baik dari pada jang telah Ki Buyut lakukan.
Kembali orang tua itu meng-angguk-anggukkan kepalanja. Se kali2 tangannja mengusap dadanja sambil bergumam "O, rasa-rasanja dada ini hampir petjah.
Mpu Gandring tertawa per-lahan-lahan. Mahisa Agni masih menundukkan kepalanja. Tetapi dengan demikian ia dapat mengerti pula, betapa berat perasaan orang tua itu menghadapi orang-orangnja.
"Nah Agni "berkata Empu Gandring kemudian "se karang ambillah obat jang kau bawa itu. Obat itu harus di lumatkan, dan kemudian air perahannjalah jang harus dimi num sebagai obat.
Mahisa Agni mengangkat wadjahnja. Pamannja benar. Adalah lebih baik berbuat sesuatu jang dapat menjenangkan hati orang-orang Panawidjen dari pada mengumpati mereka itu. Karena itu maka Mahisa Agnipun mendjawab "Baik paman. Aku akan mentjoba mengobatinja.
Ketika Mahisa Agni kemudian berdiri dan melangkah meninggalkan pamannja dan Ki Buyut, sekali lagi pamannja berpesan "Djangan membuat hati orang-orang Panawidjen tersinggung. Tetapi usahakan mengatakan dengan baik, bahwa tidak seharusnja mereka bermalas-malas.
Mahisa Agni mengangguk, djawabnja "Ja paman. Akan aku usahakan.
Anak muda itupun kemudian melangkah meninggalkan gubug itu. Ketika ia sampai diluar, maka sikapnjapun men djadi tjanggung. Perasaannja sama sekali tidak senang melihat orang-orang Panawidjen duduk2 ber-malas-malasan. Tetapi ia tidak da pat melepaskan perasaannja itu. Pikirannja membenarkan pen dapat pamannja. Sehingga karena itu, maka Mahisa Agni harus mengekang sikapnja se-djauh-jauh dapat dilakukan.
Orang-orang jang berada disekitar gubug Ki Buyut itupun mendjadi ber-debar-debar ketika mereka melibat Mahisa Agni keluar seorang diri. Bermacam-macam tanggapan merajap didalam dada masing-masing.
Tetapi mereka mendjadi heran ketika mereka melihat Mahisa Agni itu tersenjum kepada mereka sambil berkata "Apakah kalian sudah tidak lelah lagi"
Sedjenak mereka mendjadi bingung. Senjum Mahisa Agni memang terasa agak hambar. Tetapi mereka tidak menjang ka bahwa Mahisa Agni tidak mendjadi ketjewa melihat ke adaan itu.
"Siapakah jang kakinja mendjadi bengkak" "bertanja Mahisa Agni sekenanja.
Orang-orang itupun mendjadi saling berpandangan. Tetapi belum ada seorangpun jang mendjawab.
"Siapa" "desak Mahisa Agni "aku dengar ada diantara kalian jang kaki-kakinja mendjadi bengkak karena pekerdjaan jang terlampau berat ini. Ada jang punggungnja hampir patah. Nah, aku ingin tahu, siapa jang telah menderita itu.
Orang-orang itupun mendjadi ragu-ragu. Apakah Mahisa Agni itu benar-benar bertanja tentang kaki jang bengkak dan punggung jang sakit, atau sekedar merupakan pendahuluan untuk me numpahkan kemarahannja.
Dalam ke-ragu-raguan itu terdengar Mahisa Agni berkata "Kalau demikian, memang sebaiknja kalian beristirahat hari ini. Matahari sebentar lagi akan turun ketjakrawala. Nikmatilah hari istirahat ini se-baik-baiknja supaja besok kita dapat mulai lagi dengan tenaga baru. "Mahisa Agni berhenti sedjenak, tetapi ia bertanja kembali Tetapi siapakah jang mendjadi sakit"
Tiba-tibaterdengar djawaban penuh ke-ragu-raguan "Aku Agni. Kakiku mendjadi bengkak.
Mahisa Agni mengerutkan keningnja. Terasa sesuatu berdesir didalam dadanja. Sedjenak kemudian ia melangkah mendekati orang itu sambil berkata "Lihat. Kenapa kakimu mendjadi bengkak"
Orang itu mendjulurkan kakinja dan memperlihatkan bagian jang bengkak.
Mahisa Agni terkedjut melihat kaki jang bengkak itu. Ia sama s-kali tidak menjangka, bahwa satu diantara kawan-kawan nja menderita sakit sematjam itu. Karena itu maka dengan serta-merta ia bertanja "Kenapa kakimu bengkak"
Orang itu mendjawab "Kakiku tertimpa petjahan batu, Agni.
Mahisa Agni mengerutkan keningnja. Tetapi ia tidak segera berkata apapun.
Diamatinja kaki jang bengkak itu seperti melihat sesuatu jang gandjil baginja. Tetapi kemudian ia meng-angguk-anggukkan kepalanja ketika dilihatnja sebuah luka hampir pada mata kakinja.
"Apakah luka itu sakit" "bertanja Mahisa Agni.
Orang itu memandang Mahisa Agni dengan sorot mata jang aneh. la tidak segera dapat mendjawab karena keheran annja atas pertanjaau itu. Sehingga Mahisa Agni mendesaknja "Sakit"
"Tentu Agni "djawab orang itu kemudian "kalau tidak sakit maka aku tidak akan menjeringai sepandjang hari.
Mahisa Agni meng-angguk-anggukkan kepalanja. Peristiwa-peristiwa sematjam ini berada diluar perhitungannja. Disangkanja bahwa setiap orang akan mampu bekerdja seperti dirinja, dan memiliki ketahanan tubuh seperti dirinja pula.
Dalam pada itu teringatlah ia akan pesan pamannja. Maka dengan ramahnja ia berkata "Baiklah. Beristirahatlah hari ini. Pergunakanlah hari ini sebaik-baiknja untuk menenangkan diri, besok kita akan mulai kemhali.
Mahisa Agnipun kemudian melangkah pergi. Tetapi ia tidak sempat melihat wadjah orang itu. Wadjah orang jang kakinja bengkak karena lukanja jang rnendjadi semakin parah.
Ketika Mahisa Agni sudah berdjalan beberapa langkah dari padanja terdengar ia bergumam " Bagaimana mungkin aku harus bekerdja besok. Apakah kakimu malam nanti sudah akan sembuh"
Beberapa kawan-kawannja mernandanginja dengan iba. Tetapi sebagian dari mereka mendjadi berlcga hati. Ternjata Mahisa Agni tidak mendjadi marah seperti jang mereka sangka. Meskipun scandainja demikian, mereka sudah terlandjur tidak bekerdja hari ini. Dan hari ini kini sudah hampir sampai keudjungnja.
Mahisa Agni berdjalan dengan berbagai angan-angan di kepa lanja. Apa jang dilihatnja telah meninggalkan bermatjam-macam ketjemasan. Beberapa orang jang sakit pasti akan benar-benar menghambat pekerdjaan itu. Orang-orang jang lain, jang sekedar karena malas, akan dapat ber-pura-pura sakit pada punggungnja atau pada tulang rusuknja atau sakit perutnja. Semakin banjak orang jang sakit dan ber-pura-pura sakit, maka pekerdjaannja akan mendjadi semakin lama. Musim hudjan sama sekali tidak dapat diadjaknja berbitjara tentang orang-orang jang sakit dan ber-pura-pura sakit.
Langkah Mahisa Agni terhenti diantara beberapa anak-anak muda jang duduk dibawah sebuah gubug. Ketika mereka melihat Mahisa Agni berhenti didepan gubug itu, maka anak-anak muda itupun menundukkan kepalanja. Dada merekapun mendjadi berdebar-debar. Meskipun mereka dengan sengadja tidak bskerdja hari ini, tetapi ketika mereka melihat Mahisa Agni berada dihadapan hidung mereka, maka djantung merekapun mendjadi semakin tjepat berdenjut.
Ketika Mahisa Agni melihat anak-anak muda jang sehat-sehat itu, hatinja mendjadi agak tenang. Anak-anak muda inilah jang harus membantunja sepenuh tenaga untuk membangun bendungan itu. Namun ketika diiihatnja anak-anak muda itu duduk ber-malas-malasan, maka hatinjapun mendjadi ketjewa. Sebenarnja mereka hari ini tidak perlu beristirahat seperti orang-orang jang su dah berumur agak landjut. Biarlah orang-orang tua dan mereka jang sakit beristirahat. Tetapi anak-anak muda ini seharusnja mempergunakan setiap waktu dengan se-baik-baiknja. Bahkan apabila ada diantara kawan-kawannja jang terpaksa tidak dapat bekerdja, maka mereka jang sehat-sehat itu harus melipat-ganda kan kerdja jang mungkin dilakukan.
Sedjenak Mahisa Agni berdiri sadja mematung diluar gu bug itu. Sedang anak-anak muda jang duduk didalAmpun tidak menegurnja, sehingga sedjenak mereka saling berdiam diri" Meskipun mereka setiap hari bertemu, kekerdja ber-sama-sama dan kadang-kadang bergurau pula, namun kali ini se-olah-olah mereka merupakan kawan jang baru sadja dikenalnja. Masing-masing men djadi tjanggung dan tidak segera menemukan kata-kata pertama untuk saling berbitjara.
Jang mula-mula mentjoba menegur adalah Mahisa Agni sekenanja ia bertanja "Apakah jang kalian kerdjakan"
Pertanjaan itu tidak segera terdjawab. Beherapa anak-anak muda saling berpandangan. Namun kemudian kembali mereka menundukkan kepala mereka.
"Baru apakah kalian kini" "bertanja Mahisa Agni kembali.
Sedjenak kemudian terdengar djawab per-lahan-lahan "Kami sedang beristirahat, Agni.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanja. Sinar matahari jang semakin tjondong masih djuga memanasi kulitnja jang berwarna tembaga oleh keringat jang membasahinja.
Tampaklah keningnja berkerut mendengar djawahan Itu. Dengan serta-merta pula ia bertanja "Apakah kalian sakit"
Kembali anak-anak muda didalam gubug itu mendjadi bingung. Kembali mereka saling berpandangan. Namun tak se orangpun jang dapat mendjawab pertanjaan itu, sehingga Ma hisa Agni terpaksa memperbaiki pertanjaannja "Apakah ada diantara kalian jang sakit"
Mahisa Agni melihat beberapa diantara mereka meng gelengkan kepalanja dan terdengar djawaban lirih "Tidak Agni. Kami tidak sakit. Tetapi ada diantara kami jang sakit. Tubuhnja mendjadi panas tetapi ia menggigil seperti orang kedinginan.
"Bitung jang kau maksud"
"Ja. "Aku sudah mengambil obat untuknja. "Bitung memang sakit, tetapi bukankah kalian tidak sakit"
Kembali Mahisa Agni melihat beberapa diantara mereka menggeleng.
"Mereka tidak sakit "berkata Mahisa Agni didalam hatinja " mereka hanja malas sadja. "Tetapi ditahannja hatinja. Diingatnja kata-kata pamannja. Biarlah mereka menikmati istirahat jang sudah tcrlandjur dilakukannja.
"Baiklah "berkata Mahisa Agni kemudian "beristirahatlah. Besok kita bekerdja kembali.
Mahisa Agni itu pun segera melangkah pergi. Kini ia akan mengambil obat jang masih terikat dikudanja. la ingin segera memberikannja kepada Bitung, supaja sakitnja segera mendjadi berkurang.
Tetapi betapapun Mahisa Agni berusaha, namun perasaannja masih djuga bergolak melihat orang-orang Panawidjen duduk dengan malasnja. Meskipun apabila Mahisa Agni lewat disamping mereka, tampak djuga mereka mendjadi seakan-akan malu. Tetapi Mahisa Agni selalu ingat akan kata-kata pamannja. Karena itu, ia sama sekali berusaha untuk menjembunjikan perasaannja jang sebenarnja. Bahkan setiap kali ia melewati kelompok-kelompok orang-orang Panawiijen, anak muda itu selalu mentjoba tersenjum dan beikata "Mudah-mudahan kalian, puas dengan istirahat ini. Namun tidak lupa ia selalu mengatakan "Besok kita segera mulai kembali. Mudah-mudahan pula kita mendapatkan tenaga baru.
Apabila Mahisa Agni telah lampau, maka merekapun saling berpandangan. Tetapi tanggapan mereka atas sikap Mahisa Agni itupun ber-beda-beda. Mereka jang masih mempunjai tanggung djawab atas pekerdjaan itu berkata didalam hatinja "Ja, besok aku akan bekerdja lebih baik setelah hari ini aku beristirahat.
Tetapi jang sama sekali tidak dikehendaki oleh Mahisa Agni adalah mereka jang memang tidak mempunjai nafsu untuk berdjuang. Mereka jang atjuh tak atjuh menghadapi masa-masa jang akan datang. Ketika mereka melihat sikap Ma hisa Agni jang lunak itu, mereka berkata didalam hati "Nah, lihat. Mahisa Agni tidak berani berbuat apa-apa. Kenapa kita terlampau bodoh pada masa-masa jang lewat. Bekerdja ter lampau banjak sehingga tubuh kita hampir remuk karenanja. Di-saat-saat jang akan datang, ia pasti akan berdiam diri pula apabila kita memaksa beristirahat seperti hari ini.
Alangkah sajangnja, bahwa djustru pikiran jang demikian itulah jang lebih banjak menguasai orang-orang Panawidjen jang sebagian dari mereka sudah mendjadi djemu menghadapi pekerdjaan jang berat itu.
Mahisa Agni tidak dapat membedakan wadjah-wadjah mereka jang menjimpan perasaan jang ber-beda-beda itu. Karena itu ia beidjalan terus kelambatan kudanja. Diambilnja obat jang dibawanja dari Panawidjen dan dimintarja kemudian petundjuk dari pamannja. Bagaimana ia harus membuatnja.
Dengan petundjuk pamannja Mahisa Agni menumbuk bagian2 dari pohon kates itu sendiri dengan tangannja, kemu dian memerasnja kedalam mangkuk dan membawanja kepada Bitung bersama dengan Empu Gandring dan Ki Buyut Pana widjen.
Bitung berbaring diatas anjaman ilalang. Dikerudunginja tubuhnja dengan selimut kain ber-lapis-lapis. Beberapa orang ka wan2nja memindjaminja kain kepadanja. Tetapi ia masih djuga menggigil kedinginan. Sekali-sekali terdengar mulutnja ber desah menahan perasaaan dingin panas dan njeri-njeri di-sendi2 tulangnja.
Ketika tangannja jang gemetar menerima semangkuk tjairan jang kehidjau-hijauan, maka anak itu mengerutkan keningnja,
"Minumlah " berkata Ki Buyut.
"Kalau kau tidak mau meminumnja, maka sakitmu tidak akan berkurang "berkata Empu Gandring.
Bitungpun kemudian terpaksa minum obat itu. Ketika ia hampir muntah karena obat jang pahit itu, Mahisa Agni ber kata "Bitung, aku ambil obat itu dengan taruhan jang mahal sekali. Aku hampir mati dipenggal leherku oleh iblis jang belum pernah aku kenal. Untunglah paman melindungi aku. Karena itu djangan kau muntahkan obat itu, supaja aku tidak perlu lagi pergi ke Panawidjen. Meskipun aku tidak hanja membawa untuk satu kali pengobatan, namun setiap teguk obat itu akan berarti bagimu.
Bitung menahan mulutnja dengan kedua belah tangannja. Namun ia berhasil untuk menelannja betapapun pahitnja.
Dalam pada itu, matahari kini sudah mendjadi semakin rendah. Setiap saat matahari itu bergeser turun. Sehingga akhirnja, matahari itupun tenggelam dibalik bukit diudjung Barat.
Mahisa Agni merasa, betapa lambatnja waktu merajap. Ia hacnpir2 tidak sabar menunggu malam itu berdjalan. Te rasa se-akan-akan waktu terhenti. "Waktupun mendjadi sangat malasnja berdjalan "gumamnja.
Anak muda itu ingin matahari segera terbit. Ia ingin segera berada kembali dibawah teriknja sambil bekerdja me meras segenap tenaga. Meskipun debu jang kotor melekat di kulitnja jang basah karena keringat, meskipun tubuhnja me djadi merah-merah hangus oleh sinar matahari, tetapi ia merasa mendapatkan kepuasan. Ia merasa bahagia berada ditengah-tengah derunja kerdja jang berat itu. Sebab anak muda itu berkeja kinan, bahwa hanja dengan kerdja, maka hari depan mereka dan anak tjutju mendjadi baik.
Oleh karena itu, maka djustru Mahisa Agni tidak dapat memedjamkan matanja. Hatinja mendjadi risau dan gelisah. Sekali-sekali terasa ia terlena sedjenak, tetapi seperti dikedjutkan oleh deru guguran batu-batu ditebing, ia tersentak bangun.
Akhirnja Mahisa Agni itu bangkit dari pembaringannja, sehelai tikar jang dibentangnja diatas tumpukan daun-daun ilalang. Perlahan-lahan ia berdjalan menjusuri gubug demi gubug. Ia masih melihat beberapa perapian jang masih membara. Tetapi ia tidak melihat seorangpun jang masih menunggui perapian itu.
Tetapi langkahnja kemudian tertegun ketika ia berdjalan disamping gubug Bitung. Ia mendengar anak itu merintih. Sekali-sekali terdengar suara kawannja menghibur. Tetapi agaknja sakit anak itu belum djuga susut.
Per-lahan-lahan Mahisa Agni mendekat. Kemudian iapun menjusup kedalam gubug itu pula.
Kawan Bitung agak terkedjut melihat kehadirannja. Tetapi kemudian matanja menjala, Se-akan-akan berkata kepadanja "Sakit Bitung adalah tanggung djawabmu Agni. "Tetapi anak muda, kawan Bitung tidak berkata sepatah katapun.
Mahisa Agnipun kemudian duduk disamping Bitung. Tangannja mentjoba meraba dahi anak muda itu. Tetapi ia mendjadi terkedjut. Terasa dahi itu panas sekali.
Mahisa Agni menggigit bibirnja. Tanpa disadarinja ia ber kata "Obat itu baru sadja diminumnja. Mudah-mudahan nanti akan berpengaruh. Besok pagi-pagi aku buat obat untuknja sebelum kita bekerdja.
"Apakah besok kita akan bekerdja lagi" "bertanja kawan Bitung.
Pertanjaan itu telah mengguntjang perasaan Mahisa Agni. Ia sama sekali tidak menjangka bahwa ia akan menghadapi pertanjaan seorang anak muda jang demikian. Meskipun ia dapat meraba bahwa anak-anak muda lebih senang beristirahat, duduk2 dan berbaring sambil mengunjah makanan, namun bahwa seseorang langsung mengutjapkan pertanjaan itu ada lah sangat mengetjewakan.
Tetapi Mahisa Agni segera berusaha menahan perasaan nja sendiri seperti pesan pamannja. Beruntunglah bahwa pamannja telah memberinja pesan, sehingga setiap kali pesan-pesan itu dapat mengekangnja.
Dengan menahan diri Mahisa Agni kemudian bertanja kepada anak muda itu "Djadi, bagaimana maksudmu"
"Kita perlu beristirahat " djawab kawan Bitung itu.
"Bukankah hari ini kita sudah beristirahat.
"Sehari tidak tjukup untuk menghilangkan lelah.
Mahisa Agni menarik nafas. Keketjtwaannja mendjadi kian bertambah. Tetapi ia mendjawab hati-hati "Kita tidak boleh terlampau lama beristirahat. Musim hudjan tidak akan dapat ditunda.
"Tetapi kita tidak akan dapat bekerdja terus-menerus. Bitung sakit Aku harus menunggui. Meskipun seandainja kita besok bekerdja kembali, aku tidak akan dapat ikut seria. Kasihan apabila tak ada jang mengawani anak jang sakit ini.
"Besok aku tjarikan kawan buat Bitung. Biarlah orang-orang tua atau orang jang lagi berhalangan bekerdja, karena sakit kakinja, misalnja. Dengan demikian kita tidak akan banjak kehilangan tenaga.
Anak muda itu tidak mendjawab. Tetapi wadjahnja tidak mejakinkan bahwa ia dapat mengerti kata-kata Mahiia Agni.
Namun ketika anak muda itu tidak menjahut, Mahisa Agnipun tidak berkata lagi.
Mereka kemudian terdorong dalam kesepian jang men tjengkam. Malam jang kelam mendjadi semakin djauh me najap. Dikedjauhan terdengar korek bilalang jang sedang ber-lari-larian, ber-lontjatlontjatan dipadang rumput.
Mereka berpaling ketika mereka mendengar Bitung me rintih per-lahan-lahan. Tetapi anak itu kini telah tertidur, Tubuh nja tidak lagi terlampau panas dan tidak lagi menggigil ke dinginan.
"Mudah"an obat jang diminumnja itu akan berarti baginja "gumam Mahisa Agni.
Tak ada djawaban. "Tidurlah. Kau pasti lelah pula Besok aku harap se seorang merawat Bitung. Kita jang muda-muda wadjib bekerdja
menjelcsaikan bendungan itu. Masih tak ada djawaban.
Mahisa Agnipun kemudian bergeser sambil berkata "Akupun akan beristirahat pula.
Anak muda jang sedang menunggui Bitung itu meng angguk "Silahkan "djawabnja hambar "aku akan tidur, selagi Bitung djuga sedang tidur.
Mahisa Agnipun meninggalkan gubug itu. Kembali ia berdjalan menjusuri tjelah-tjelah gubug jang bertebaran. Ia terhenti ketika ia mendengar seseorang merintih pula. Orang jang ka kinja sedang bengkak.
"Hem "Mahisa Agni menarik nafas pandjang-pandjang. Pan djang sekali.
Tetapi ia tidak singgah kegubug itu. Ia berdjalan terus dalam kegelapan, menudju kegubugnja sendiri.
Kembali anak muda itu berbaring diatas tikar jang di bentangkan pada tumpukan djerami. Tetapi kembali angan-angannja mengganggunja. Meskipun demikian, karena lelah, maka ac hirnja Mahisa Agni itupun tertidur pula.
Gubug-gubug itupun kini telah mendjadi sepi. Hampir tak se orangpun jang masih tinggal bangun ketjuali satu dua jang "elalu diganggu oleh berbagai perasaan sakit. Tetapi merekapun tidak berandjak dari pembarjngannja. Sekali-sekali terdengar suara mereka merintih diantara bunji tjengkerik dan bilalang jang ber-sahut-sahutan,
Tetapi Mahisa Agnipun tidak dapat tidur dengan njenjak. Belum djuga ia dapat tenang. Sekali-sekali ia terbangun. Gigitan njamuk benar-benar telah mengganggunja seperti perasaannja sendiri jang selalu mengganggunja pula.
Mendjelang fadjar, maka Mahisa Agni tidak lagi dapat berbaring diam, apalagi mentjoba kembali tidur. Nalurinja jang selalu membangunkannja, pagi itu agak terlampau tjepat membawanja bangkit dari pembaringannja. Ia mendjadi kian djemu menahan kesabarannja. Malam terasa terlampau pandjang, sehingga se-akan-akan waktunja telah ditoabiskannja untuk menunggu pagi.
Ketika kemudian warna-warna merah membajang diudjung Timur,jMahisa Agni telah berada diluar gubugnja. Pamannjapun ternjata bangun pula. Segera mereka pergi kesungai untuk mentjutji muka. Sebentar lagi, mereka harus menjiapkaa alat-alat mereka. Kerdja akan dimulai lagi. Kali ini Mahisa Agni tidak akan dapat menunda lagi rcntjananja, meletakkan dasar ben dungan disi2si seberang.
Tetapi terasa pagi ini agak asing bagi Mahisa Agni. Di lihatnja beberapa orang dengan malasnja keluar dari gubug masing-masing. Ada pula diantara mereka jang masih berselimut kain dan sebelum berbuat sesuatu, mereka itupun menguap dengan malasnja sambil berdjongkok didepan gubugnja.
Mahisa Agni mendjadi gelisah. Tetapi kemudian diiihatnja Ki Buyut Panawidjen telah siap pula diluar gubugnja. Orang itu meskipun usianja telah melampaui pertengahan abad, na mun rasa tanggung djawabnja telah mendorongnja untuk berbuat lebih banjak dari orang-orang lain.
"Kita akan bekerdja kembali Ki Bujut "berkata Mahisa Agai.
"Ja. Semuanja telah bangun.
Mahisa Agni mengangguk. Dilihatnja kemudian Ki Buyut se akan-akan mengguntjang perkemahan itu dengan suaranja. Di bangunkannja mereka jang masih tidur. Dan bajangan kemerahan ditimurpun mendjadi semakin njala.
Satu-satu orang-orang Panawidjenpun meninggalkan gubug masing-masing. Mereka jang tertidur disamping perapian2pun telah mengge liat pula sambil bardiri dengan malasnja.
Mahisa Agni memandangi mereka dengan dada jang berdebar. Ia melihat sikap jang lain dari pada sikap mereka dua tiga hari jang lalu. Mata mereka tidak lagi memantjarkan kegairahan bekerdja dan gerak merekapun kini mendjadi ke-malas-malasan.
Ketika kemudian matahari mendjenguk dari balik bukit dan menebarkan sinarnja jang masih ke-merahJan ktatas rumput itu, maka orang-orang Panawidjen sama sekali tidak mem perhatikannja lagi. Masih djuga ada satu dua orang jang tampak tergesa-gesa mengambil alat-alat mereka. Ada djuga jang dengan tes-gesa-gesa menjalakan api dan memanasi air minum seperti biasa. Tetapi sebagian brsar dari inerrka masih lebih senang berdiri menggeliat atau menguap sambil berkerudung kain.
Dengan wadjah jang berkerut-merut Mahisa Agni memandangi pamannja, seakan-akan ingin menumpahkan kedjengkelannja melihat suasana itu.
Mpu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar perasaan kemanakannja. Tetapi iatidak berkata sepatahkatapun.
Betapapun lambannja, namun orang-orang Panawidjen itupun akhirnja berkumpul pula. Mereka telah mendjindjing alat masing-masing. Tetapi mereka tidak segera bergerak ketempat kerdja mereka.
Hal jang demikian tidak pernah terdjadi sebelumnja. Orang-orang tua biasanja datang kepada Mah:sa Agni dan ber tanja apa jang akan dilakukan. Pagi-pagi mereka beramai-ramai berdjalan tanpa perintah menudju ketempat pekerdjaan mereka masing-masing. Tetapi kali ini dengan segannja mereka berdiri sadja menunggu, apa jang harus mereka lakukan.
Meskipun demikian, diantara mereka itu masih djuga ada orang-orang jang memahami tanggung djawab. Dua orang jang djustru telah agak landjut usianja mendekati Mahisa Agni sambil bertanja "Apa jang akan kita lakukan Agni"
Mahisa Agni berpaling memandangi wadjah Ki Buyut Pa nawidjen jang mendjadi tjemas pula. Katanja "Kita lakukan rentjana kita jang tertunda satu hari K i Buyut.
"Baiklah ngger "sahut Ki Buyut "maksud angger menurunkan brundjung-brundjung disisi seberang"
"Ja i"djawab Agni sambil mengangguk.
"Baiklah. Kita akan melakukan rentjana itu.
Mahisa Agnipun kemudian berkata kepada kedua orang jang bertanja kepadanja " kita turunkan brundjung-brundjung disisi seberang. Sebagian dari kita mengisi brundjung-brundjung baru.
Kedua orang itu mengangguk dan salah seorang dari m e reka mendjawab "Baik. Kita akan berangkat sekarang."
"Berangkatlah. Aku akan pergi djuga sekarang. "sahut Agni.
Kedua orang itupun kemudian berdjalan kembali kedalam kelompok orang-orang Panawidjen jang menunggunja dengan malas. Se-akan-akan mereka tidak mau pergi dahulu sebelum Mahisa Agnipun pergi pula. Dengan demikian maka Mahisa Agnipun raendjadi semakin tjanggung menghadapi orang-orang itu. Keadaan jang demikian tidak pernah terdjadi pula sebelumnja. Mereka segera berangkat setelah mereka mengerti apa jang mereka lakukan. Tetapi kali ini mereka tarmpaknja mendjadi sangat segan berandjak dari perkemahan itu.
"Kita pergi kesisi seberang "terdengar salah seorang jang datang kepada Mahisa Agni berkata.
Orang-orang itu masih berdiam diri. Bahkan kemudian ier dengar seseorang berteriak diantara mereka "Apakah kau dan Ki Buyut Panawidjen tidak pergi Agni"
Dada Mahisa Agni berdesir. Bahkan darah mudanja segera mendjadi panas. Tetapi ketika dilihatnja pamannja" (tak terbaca), anak muda itu berusaha se-keraskerasnja menahan diri.
"Tentu "jang mendjawab adalah Empu Gandring "bukankah kau djuga akan pergi Agni.
Mahisa Agni mengangguk kaku. Pertanjaan itu terasa rnenjinggung-njinggung perasaannja. Namun bukan sadja Empu Gandring tetapi djuga Ki Buyut Panawidjen tersenjum dan mendjawab "Kami akan pergi djuga sekarang.
Ki Buyut itupun segera melangkah madju diikuti oleh Mahisa Agni dibelakangnja. Disampingnja berdjalan pamannja.
Orang-orang Panavvidjenpun kemudian bergerak pula dengan malasnja. Didjindjingnja alat-alat mereka tanpa gairah dan nafsu, seakan-akan alat-alat itu mendjadi beban jang sangat memberati nya.
Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni tertegun ketika ia mendengar suara memanggilnja. Bukan sadja Mahisa Agni tetapi semua mangpun berhenti pula bersamanja.
"Agni, Agni "terdengar suara itu.
Mahisa Agni berpaling. Dilihatnja kawan Bitung berdiri dimuka gubugnja Dada Mahisa Agni berdesir. Ia lupa mengobati anak itu karena pikirannja dipenuhi oleh rentjana ben dungannja dan keketjewaan tentang sikap orang-orang Panawidjen.
"Bagaimana dengan Bitung" "bertanja Agni dengan serta-merta.
"Ia tidak menggigil lagi. Tetapi manakah obat jang kau djandjikan semalam. Sebelum kau berangkat, kau akan membuat obat buat Bitung. Kalau anak itu tidak kau obati maka sakitnja akan datang lagi.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanja
"Kemarilah. Aku adjari kau membuat obat itu.
"Aku tidak dapat."
"Tentu dapat. Kemarilah supaja kita tidak saling berteriak.
"Aku menunggu Bitung "sahut anak itu.
"Bukankah kau dapat meninggalkan sebentar kemari.
"Aku tidak sempat membuat obat itu.
Wadjah Agni segera memerah. Darahnja jang telah panas, serasa mendjadi semakin panas. Tetapi kembali pamannja tersenjum sambil berkata "Adalah terlampau mudah untuk membuatnja.
Tetapi kawan Bitung itu berteriak "Buatlah obat itu sebentar Agni. Kemudian pergilah kebendungan itu. Djangan kau anggap bahwa nilai anak ini kalah dengan nilai timbunan batu-batu dikali itu.
Telinga Mahisa Agni serasa tersentuh bara. Hampir ia kehilangan kesabarannja seandainja pamannja tidak menjahut
"Nah, baiklah aku membuat obat itu.
"Apakah kau dapat membuatnja paman" "bertanja kawan Bitung.
"Akulah jang memberitahukan obat itu kepada Mahisa Agni bukan" Aku pulalah jang mengatakan bahwa bagian-bagian tubuh kat"s grandel itu harus ditumbuk dan diperes alrnja untuk diminum. Akulah jang mengadjari Mahisa Agni mem buat obat itu. Karena itu, maka aku pasti lebih tjekatan untuk membuatnja. Mudah-mudahan obat itu mendjadi lebih mudjarab.
Orang tua itu melangkah kembali sambil ter-senjum-senjum. Wa djahnja sama sekali tidak berkesan sesuatu. Tetapi tiba-tibalang kahnja terhenti ketika ia mendengar salah seoran jang telah berada didalam kelompok orang-orang Panawidjen jang siap be rangkat itu berteriak "Agni. Rawatlah dahulu anak itu.
"Aku jang akan merawatnja "Mpu Gandringlah jang menjahut.
"Itu adalah kuwadjiban Mahisa Agni. Setiap orang didalam perkemahan ini adalah tanggung djawab Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawidjen. Bukan sadja Bitung jang sakit panas dan dingin, tetapi beberapa orang lain mendjadi sakit pula. Ada jang kakinja terluka, ada jang punggungnja ter kilir.
"Biarlah mereka beristirahat "Potong Empu Gandring.
"Tidak hanja beristirahat. Rawatlah mereka Agni. Obatilah supaja mereka sembuh. Bendungan itu tidak akan lari kau biarkan sehari dua hari tidak didjamah tangan. Ben dungan itu tidak akan mati. Tetapi anak-anak itu dapat mati.
"Ja "tiba-tiba terdengar suara jang lain "sebaiknja hari ini kita urungkan kerdja kita. Kita merawat kawan-kawan kita Jang sedang sakit.
"Pendapat jang baik "teriak jang lain "kita belum tjukup beristirahat sehari kemarin. Pegal-pegal punggungku belum sembuh.
Tiba-tiba suara-suara itu disusul oleh sebuah ledakan gemuruh "Kita beristirahat. Kita perpandjang istirahat kita.
Dada Empu Gandring dan Ki Buyut Panawidjen mendjadi ber-debar-debar. Apalagi ketika mereka berpaling memandangi wa djah Mahisa Agni jang seakan-akan membara. Darahnja kini telah mendidih memanasi s;genap tubuhnja. Giginja gemeretak dan matanja seakan-akan menjala.
"Inilah akibat kemalasan mereka kemarin "ia menggeram sehari mereka beristirahat, maka mereka segan untuk memulai pekerdjaan ini kembali.
Ki Buyut Panawidjen dan Empu Gadrirg tidak menjahut. Mereka tidak dapat mengingkari kenjataan itu. Empu Gan dringpun mentjoba mentjari djalan untuk mentjegah Mahisa Agni kehilangan pengamatan diri.
Suara-suara orang-orang Panawidjen itu masih djuga terdengar sa hut-menjahut. Bahkan beretapa orang diantara mereka kini telah mendjatuhkaa diri masing-masing duduk dengan malasnja me meluk lutut sanbil berteriak "Kita masih perlu beristira hat. Kita terlampau lelah.
Jang lain lagi "Aku tidak mau mati kehabisan tenaga. Siapa jang ingin mati lemas, biarlah mereka lakukan sendiri.
"Suara-suara itu terdengar ditelinga Mahisa Agni seperti ge muruhnja Gunung runtuh. Runtuh bersama harapan2 jarg selama ini disimpannja didalam hati. Harapan tentang tanah garapan jang subur karena air jang me-luap-luap dari bendungan itu mengalir disepandjang parit jang memandjang membelah padang Karaulan. Merubah warna padang jarg kekuning-kuningan karena rerumputan jang kering mendjadi hidjau segar oleh batang-batang padi jang terbentang.
Tetapi tiba-tiba ia dihadapkan pada keadaan jang sangat menjakitkan hati. Orang-orang jang dibawanja bekerdja untuk me wudjudkan tjitatjita bersama itu, tiba-tiba terganggu ditengah djalan.
Mata Mahisa Agni jang menjala, memandangi orang-orang dalam kelompok jang mendjadi semakin tidak keruan. De ngan sengadja mereka memperlihatkan kemalasan mereka. Ada jang duduk-duduk bahkan ada jang kemudian berbaring diba wah sinar matahari pagi.
"Gila "geram Mahisa Agni.
Tiba-tiba Mahisa Agni itu melontjat keatas sebuah pedati disamping orang-orang Panawidjen itu. Beberapa orang terkedjut karenanja sehingga merekapun berlontjatan mendjauh. Dibelakang Mahisa Agni itu menjusul pamannja jang metjemaskan kemanakannja.
Ternjata betapapun ketjewa hati Mahisa Agni, tetapi ia tidak lekas mendjadi berputus asa. Meskipun ia melihat ke runtuhan tekad dari orang-orang Panawidjen, tetapi ia tidak menjerah tertimbun oleh reruntuhan itu. Sekali lagi kembali ia mentjoba berusaha membawa orang-orang Panawidjen kedalam suatu gairah kerdja seperti jang diharapkannja.
Ketika orang-orang Panawidjen melibat Mahisa Agni berdiri tegak diatas sebuah pedati, maka teriakan-akan itupun terdiam. Mereka melihat anak muda itu merah biru menahan gedjolak perasaannja.
Ketika orang-orang itu terdiam, maka mulailah Mahisa Agni menebarkan pandangannja dari udjung kelompok itu keudjung jang lain. Ditatapnja setiap mata orang-orang Panawidjen jang diam mengawasinja. Anak-anak muda, orang-orang separo baja dan orang-orang jang telah mendjadi agak tua. Setiap orang jang ber temu pandang dengan anak itu, tiba-tibamenundukkan kepala nja. Mata Mahisa Agni terlampau tadjam menghundjam ke pusat djantung mereka.
Sedjenak kemudian terdengar suara Mahisa Agni geme tar "Aku sudah mendengar permintaan kalian. "Mahisa Agni berhenti sedjenak. Beberapa wadjah tampak menenga dah, tetapi ketika terpandang oleh mereka wadjah Mahisa Agni itu, maka kembali wadjah-wadjah itu tertunduk. Mata Mahisa Agni masih sadja menjala menembus djantung mereka.
Kelelawar Hantu 2 Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer Pedang Bengis Sutra Merah 3
^