Pencarian

Pelangi Dilangit Singosari 29

01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 29


Ki Buyut meng-angguk-anggukkan kepalanya " Banyak kejadian yang telah membuat kami terlampau berkecil hati.
"Ya, kami telah mendengarnya sebagian. Mungkin Kuda Sempana dan gurunya. Mungkin pula hantu Karautan.
"Itulah. Dan Patalan yang disuruh Mahisa Agni memberitahukan bahwa yang datang adalah anak-mas, ternyata mengganggu kami pula. meskipun ia baru saja sadar dari pingsannya.
"Apakah yang dikatakan?" bertanya Mahisa Agni.
"Katanya yang datang itu adalah hantu Karautan.
Mahisa Agni tersenyum. Ken Arokpun tersenyum pula, katanya "Ternyata yang datang adalah aku sebagai utusan Akuwu Tumapel.
"Itulah. Ingin aku mencabut beberapa helai rambut Patalan karena kenakalannya. Hampir-hampir kami semua disini mati ketakutan.
Kini Ken Arok tertawa. Dan yang menyahut adalah Ma hisa Agni "Patalan berkata sebenarnya Ki Buyut.
Wajah Ki Buyut menjadi berkerut-kerut, sedang Ken Arok sekali lagi berdesah "Ah, kau ini Agni.
"Aku menjadi bingung" gumam Ki Buyut.
"Salah Mahisa Agni, Ki Buyut" sahut Ken Arok "mungkin ia ingin orang lain menjadi ketakutan seperti dirinya sendiri.
Mahisa Agni tertawa, dan Ki Btiyutpun tertawa pula. Kepada Empu Gandring Ki Buyut kemudian bertanya "Bagaimana Mpu" Anak-anak muda sering mengganggu yang tua-tua.
Mpu Gandringpun tersenyum pula, katanya "Kalau aku tahu, maka lebih baik aku tidur saja didalam gubugku. Dinginnya bukan main ditengah padang.
Yang mendengarnya tertawa bersahutan. Bahkan orang-orang Panawijen yang masih pucat dan belum lagi dapat menghi langkan getar dijantung merekapun sempat tersenyum.
"Nah Agni" berkata Ki Buyut kemudian "jelas kan apa yang terjadi kepada orang-orang Panawijen, supaya mereka tidak selalu ber-tanya-tanya didalam hati.
"Baiklah Ki Buyut" sabut Mahisa Agni yang kemu dian melangkah maju mendekati orang-orang Panawijen yang ber kumpul disisi perkemahan itu,
Dengan singkat Mahisa Agni memberitahukan kepada me reka, bahwa yang datang itu adalah sumbangsih Akuwu Tung gul Ametung, Berupa pedati, kerbau, lembu, kuda dan alat-alat ang lain yang akan memperingan pekerjaan mereka, membuat bendungan dan parit-parit.
"Ternyata Akuwu Tunggul Ametung dapat mengerti betapa pentingnya bendungan itu bagi kita disini. Betapa bendungan itu tidak saja akan sangat berarti bagi kita, tetapi juga bagi anak cucu kita. Lebih daripada itu bendungan yang kecil ini akan merupakan setitik air yang ikut serta mem bantu kesejahteraan Tumapel seluruhnya.
Orang-orang yang mendengar keterangan Mahisa Agni itu meng-angguk-anggukkan kepalanya.
"Alangkah janggalnya" Mahisa Agni meneruskan "apabila Akuwu Tunggul Ametung dapat mengerti betapa pentingnya bendungan ini, meskipun tanpa bendungan inipun ke besarannya tidak akan terganggu. Sedang kita disini, yang langsung berkepentingan, se-akan-akan acuh tak acuh saja terhadapnya. Bahkan ada beberapa orang yang benar-benar telah menjadi jemu. Ternyata utusan Akuwu Tunggul Ametung datang tepat pada waktunya. Pada waktu orang-orang Panawijen hampir kehabisan gairah untuk melanjutkan kerja. Pada waktu orang-orang Panawijen telah mulai berputus-asa, bahkan ada yang sudah benar-benar kehilangan nafsu dan jemu berjemur diterik matahari dipadang ini, sehingga telah membenahi pakaian dan alat-alatnya untuk besok pagi pulang kembali ke Panawijen yang sudah mulai dibakar oleh kekeringan.
Kembali Mahisa Agni berhenti sejenak. Beberapa orang menundukkan kepalanya. Mereka benar-benar menyadari betapa lemah hati mereka. Betapa mereka sama sekali tidak belah menghadapi prihatin meskipun untuk suatu cita-cita yang tinggi.
Apalagi bagi mereka yang benar-benar telah membenahi pakaian dan alat-alat mereka. Terasa hati mereka bergejolak oleh perasan malu dan sesal.
Dalam pada itu Mahisa Agni kemudian berkata seterus nya " Sekarang, marilah kita lihat, apakah yang dibawa oleh Ken Arok sebagai utusan Akuwu Tunggul Ametung. " Ke mudian Mahisa Agni, itupun berpaling kepada Ken Arok sambil berkata "Ken Arok, apakah kau tidak berkeberatan apabila orang-orang Panawijen saat ini juga melihat-lihat apa saja yang kau bawa supaya hati mereka menjadi pulih kembali seperti saat mereka berangkat memasuki padang ini, bahkan menjadi lebih besar lagi, sehingga gairah kerja mereka menjadi berlipat-lipat.
"Silahkan" sahut Ken Arok "barang-barang ini memang dihadiahkan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepada kalian. Kepada orang-orang Panawijen.
"Terima kasih" berkata Mahisa Agni pula. Kepada orang-orang Panawijen ia berkata "Nah, sekarang kalian men dapat kesempatan melihat apa saja yang berada dalam iring-iring an itu, supaya kalian menjadi mantap. Menurut Ken Arok, utusan Akuwu Tunggul Ametung, semua itu akan dibadiah kan kepadamu sekalian. Bukankah begitu Ken Arok?"
"Ya" Ken Arok menganggukkan kepalanya.
"Termasuk para prajurit" menyela Empu Gandring sambil tersenyum.
Ken Arokpun tersenyum pula, jawabnya "Termasuk para prajurit. Tetapi mereka hanya sekedar dipinjamkan.
Ki Buyut Panawijenpun tersenyum pula. Ketika Mahisa Agni kemudian memberi kesempatan kepada orang-orang Panawi jen untuk melihat-lihat pedati-pedati itu, maka Ki Buyutlah yang per-tama-tama maju mendekat. "Ah, apa sajakah kiranya isi iring-iringan itu?" gumamnya.
"Silahkan. Silahkanlah menyaksikan" jawab Arok.
Dibelakang Ki Buyut, kemudian seakan-akan berebutan, orang Panawijen ber-jajar-jajar bahkan berdesak-desakan melihat-lihat isi pedati yang dibawa oleh Ken Arok Beberapa orang prajurit yang berdiri disekeliling pedati-pedati itupun terpaksa menyingkir memberi kesempatan kepada orang Panawijen untuk menyaksikan.
Dengan api-api obor mereka melihat-lihat pedati-pedati yang ditarik oleh pasangan-angan kerbau dan lembu yang besar-besar. Melihat lem bu dan kerbau itupun mereka telah menjadi kagum. Apalagi ketika mereka melihat itu pedati-pedati itu. Cangkul, kapak, wa luku, garu dan sagala macam alat-alat diperlukan.
Tetapi ternyata bukan itu saja, ketika mereka melihat pedati-pedati dibagian belakang, maka mereka melihat, pedati-pedati itu penuh bersisi bahan makan.
Mahisa Agni sendiri merasakan sesuatu yang berdesir di dalam dadanya, melihat betapa Akuwu Tunggul Ametung telah mengirimkan alat dan bahan makan itu untuk orang-orang Panawijen.
Ken Arok yang berdiri disampingnya agaknya melihat hati anak muda itu yang bergetar lewat perubahan wajahnya. Maka katanya "Kau tidak usah heran, mengapa Akuwu Tunggul Ametung menyertakan bahan-bahan makanan itu pula. Akuwu Tunggul Ametung memerintahkan agar para prajurit membantu menyeyesaikan bendunganmu. Bukankah mereka itu memerlukan makan" Nah, Akuwu tidak ingin mengurangi persediaan makan orang-orang Panawijen yang sudah pasti terlampau tipis. Karena itu, maka kami harus membawa bahan makanan itu untuk para prajurit dan untuk orang-orang Panawijen pula. Apabila ternyata kelak masih kurang, kami akan mengambilnya ke Tumapel.
"Terima kasih" suara Mahisa Agni menjadi datar dan bernada rendah.
Namun tiba-tiba merayaplah suatu perasaan yang asing di dalam dirinya. Ketika ia melibat pedati, alat-alat yang lengkap dan bahan-bahan makanan, maka seakan-akan ia merasa, bahwa semua nya itu merupakan sebuah tebusan dari luka dihatinya. Seakan-akan ia telah melepaskan sesuatu yang tertambat dihatinya untuk mendapatkan barang-barang itu. Untuk mendapat bantuan dari Akuwu Tunggul Ametung.
"Apakah aku telah menjual hatiku" Apakah aku telah menukarkan perasaan seorang laki-laki dengan semuanya ini?" -desisnya didalam hati.
Tiba-tiba Mahisa Agni mengatubkan mulutnya rapat-rapat. Di lawannya perasaannya itu sekuat tenaganya.
"Tidak" ia menggeram didalam hatinya "Akuwu tidak tahu perasaanku itu. Akuwu tidak pernah merasa membeli Ken Dedes dari padaku, atau menukarnya setelah ia me renggut gadis itu dari tambatannya dihatiku. Tidak. Tak se orangpun tahu, Ken Dedes juga tidak tahu. Akuwu memberikan bantuannya karena ia menyadari betapa pentingnya bendungan ini bagi kami. Kalau ada dorongan yang lain, tidak akan melampaui dorongan yang diberikan oleh Ken Dedes untuk membantu orang-orang sepedukuhannya. Tidak lebih dari itu.
Mahisa Agni itu terkejut ketika ia mendengar Ki Buyut Panawijen bergumam "Bukan main. Apakah semuanya ini akan dihadiahkan kepada kami?"
Mahisa Agni menjadi tergagap. Tetapi Ken Arok telah menyahut "Ya, Ki Buyut. Semuanya ini telah diserahkan kepada orang-orang Panawijen. Akuwu Tunggul Ametung akan bergembira apabila bendungan itu kelak akan terwujud. Padang Karautan yang kering ini akan menjadi hijau segar dialiri oleh air yang naik dari bendungan itu. Bahkan Akuwu telah memerintahkan kepada kami, apabila pekerjaan ini kelak selesai, maka kami masih mendapat tugas lain.
"Apa?" bertanya Mahisa Agni dengan serta merta.
"Kami harus membangun taman yang seindah-indahnya disekitar pedukuhan yang baru nanti. Taman yang akan dihadiahkan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepada Permaisuri nya yang cantik seperti Ratih, Ken Dedes.
"Hem" Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. "Sebuah taman" desisnya.
Sejenak Mahisa Agni terdiam. Betapa perasaan yang asing kembali merayapi dinding-dinding hatinya. Sukarlah bagi Mahisa Agni untuk menyebut, perasaan apa yang sebenarnya ki ni tersimpan didadanya itu. Namun anak muda itu bergumam didalam hatinya "Mudahsan Ken Dedes menemukan keba hagiaan. Agaknya Akuwu Tunggul Ametung benar-benar mencintai nya. Gadis itu tak akan dapat menikmati kesegaran hidup se perti kini apabila ia tidak menjadi seorang permaisuri. Ha nya seorang Akuwu dan seorang rajalah yang mampu meng hadiahkan sebuah taman kepada isterinya. Taman yang di bangun oleh para prajurit.
Dalam pada itu orang-orang Panawijen tak habis2nya me ngagumi iring-iringan yang datang membawa perlengkapan, per alatan dan makan bagi mereka. Salah seorang bergumam "Hem, alangkah murah hati Akuwu Tunggul Ametung.
Seorang tua yang lain menyahut "Hanya seorang yang berhati emaslah yang dapat berbuat seperti itu. Jarak Pana wijen Tumapel adalah jarak yang cukup jauh. Jarang sekali Akuwu Tunggul Ametung atau Akuwu-Akuwu sebelumnya da tang kepedukuhan kami. Tetapi Akuwu Tunggul Ametung da pat merasakan kesulitan kami, sehingga Akuwu itupun telah mengirimkan berbagai macam barang dan makanan kepada kami.
"Belum lama Akuwu datang ke Panawijen" sahut yang lain.
"Ya, belum lama" sela yang lain lagi.
"Ya, ketika Akuwu datang bersama Kuda -Sempana
Orang-orang yang mendengar kata-kata itu sejenak saling berpan dangan. Namun tak seorangpun yang berani menyahut dan meneruskannya. Tak seorangpun yang kemudian berkata bahwa Akuwu itu datang ke Panawijen bersama Kuda Sempana untuk mengambil Ken Dedes. Untuk merampas gadis itu dan melarikannya.
Tetapi bagaimanapun juga terselip pertanyaan didalam hati orang-orang Panawijen itu "alangkah jauh bedanya. Ke datangan Akuwu yang pertama ke Panawijen beriama para prajurit justru telah melukai hati orang-orang Panawijen. Te tapi kini Akuwu telah mengirimkan bantuan yang tiada tara nya bagi orang Panawijen.
Tak Seorangpun yang mengucapkan pertanyaan itu lewat bibirnya Bahkan hampir setiap orang telah berusaha menindas ingatannya tentang perbuatan Akuwu saat melindungi Kuda Sempana merampas Ken Dedes. Mereka tidak ingin memercikkan noda pada iring-iringan yang kini menggembirakan perasaan mereka itu. Mereka ingin tetap mengatakan, bahwa Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang berhati emas. Seorang yang luhur budi dan pengasih, tanpa setitik kesalahanpun pa da dirinya. Mereka ingin mengucapkan terima kasih dengan seutuh-utuhnya. Mereka akan melupakan, bahwa mereka pernah mengumpat-umpati Akuwu Tunggul Ametung itu dengan mulutnya
"Mahisa Agni sendiripun menerimanya dengan senang hati. Mahisa yang kehilangan adiknya itupun telah melupakan segala-galanya. Apalagi kami" desis mereka didalam hati-
Tetapi mereka tidak melihat hati Mahisa Agni. Hati yang bergejolak dengan dahsyatnya. Namun Mahisa Agni mampu mempergunakan akalnya untuk menindas perasaannya.
"Aku tidak boleh melihat persoalan ini berdasarkan kepentingan diri sendiri" berkata Mahisa Agni itu didalam hatinya "aku harus melihat kepentingan yang jauh lebih besar. Bendungan, yang akan memberi kesejahtcraan bagi seluruh rakyat Panawijen. Bukan sekedar memuaskan hati dan perasaanku saja.
Dengan demikian, maka Mahisa Agnipun kemudian dapat menerima keadaan itu dengan hati yang lapang. Bahkan ke mudian anak muda itupun menjadi gembira. Kini harapan nya yang hampir-hampir lenyap bersama kejemuan yang melanda perkemahannya, akan dapat disegarkannya kembali.
Ternyata harapan Mahisa Agni itupun terjadi. Ketika matahari dipagi yang cerah memancar diatas punggung bukit tampaklah betapa segarnya wajah perkemahan orang-orang Pana wijen itu. Meskipun hari itu mereka tidak bekerja, karena mereka masih sibuk menyambut para prajurit Tumapel dan mengatur segala macam peralatan dan lainnya, namun telah terbayang diwajah Mahisa Agni, apa yang besok akan dapat mereka kerjakan.
Hari itu perkemahan orang-orang Panawijen itu disibukkan dengan mengatur tempat penyimpanan bahan-bahan makanan, alat-alat dan membagi gubug-gubug bagi mereka dan para prajurit dari Tumapel. Mereka mencoba saling mengenal dan bercakap-cakap tentang banyak hal. Tetapi pembicaraan mereka pada umum nya tidak berkisar dari bendungan, padang Karautan yang keras, teriak matahari disiang hari dan dingin malam yang menggigit tulang.
Tetapi para prajurit itu memiliki tubuh yang terlatih dan banyak mengalami persoalan-persoalan yang keras dan berat. Itulah sebabnya maka tanggapan mereka terhadap terik matahari, dan dingin malam agak berbeda dengan orang-orang Panawijen.
Hal itu ternyata pada hari-hari berikutnya. Ketika orang-orang Panawijen telah mulai kembali dengan kerja mereka, dengan gairah dan nafsu yang kembali menyala didalam dada mereka, maka segera mereka melihat, bagaimana para prajurit Tu mapel itu bekerja. Para prajurit itu seakan-akan tidak mengenal lelah dan tidak mengenal gangguan-gangguan pada tubuhnya. Meskipun matahari menyala dilangit, meskipun keringat telah mem basahi segenap wajah kulit mereka, tetapi mereka masih juga tidak susut tenaganya. Bahkan masih juga ada diantara mereka yang mengangkat batu dan brunjung bambu sambil berdendang. Dikelompok lain, mereka masih saja bergurau sesamanya.
"Mereka baru sehari bekerja" gumam salah seorang dari orang-orang Panawijen "entahlah apabila mereka telah bekerja dua tiga hari dibawah panas terik ini.
Tetapi dihari-hari berikutnya, kerja para prajurit itu lama sekali tidak berubah. Mereka bekerja dengan wajah yang cerah. Mereka mengangkat brunjung, memecah batu, ine ngemudikan cikar-cikar dan gerobag-gerobag dengan senyum dan tawa. Mereka mengayunkan cangkul sambil berdendang dan ber gurau. Sehingga dengan demikian, kegembiraan kerja mereka itu telah memancari pula orang-orang Panawijen yang selama ini telah menjadi lesu.
Wajah-wajah orang-orang Panawijen yang bekerja membuat bcn dungan itu kini telah berubah sama sekali. Tidak ada kerut-merut, tidak ada kejemuan dan keragu-raguan. Semua bekerja dengan gairah dan gembira.
Mahisa Agnipun menjadi gembira pula. Bahkan ia adalah orang yang paling gembira melihat kerja, itu. Kadang-kadang anak muda itu bahkan berdiri saja diatas sebuah batu besar mengamati orang-orang yang sedang sibuk dan tekun bekerja itu. Dilihatnya brunjung-brunjung turun kesungai satu demi satu dikedua sisinya. Dilihatnya pedati hilir mudik mengangkut batu-batu dan tanah. Dilihatnya jsebelah lain, orang yang sedang membajak melunakkan tanah untuk membuat susukan yang akan mem belah padang Karautan, dan parit-parit. Dilihatnya pula orang-orang Panawijen dan para prajurit sedang mengayunkan cangkul-cangkul mereka untuk menaikkan tanah dari susukan yang sedang mereka buat Semua berlangsung dengan cepat dan menggembirakan.
Secengkang demi secengkang maka bendungan itupun naik. Air didalam sungai itupun naik pula. Lebih cepat dari dugaan Mahisa Agni karena para prajurit yang ikut mem bantunya.
Dengan bangga Mahisa Agni bergumam didalam hatinya "Alangkah menyenangkan. Harapan bagi masa datang kini menjadi semakin terang. Ternyata para prajurit itu tidak hanya pandai mengayunkan pedangnya, tetapi mereka pandai pula mengayunkan cangkul dan kapak. Bahkan mengemudi kan gerobak dan cikar. Memegang tangkai waluku dan garu.
Alangkah besar rasa terima kasihnya kepada Akuwu Tunggul Ametung kali ini tanpa mengingat kepedihan hatinya sendiri. Tetapi lebib dari itu, Mahisa Agnipun memanjatkan ucapan terima kasihnya kepada Yang Maha Agung. Hanya karena tuntunannya maka semua ini dapat terjadi.
"Lima kali lebih cepat dari perhitunganku" desis Mahisa- Agni. "Ternyata alat-alat itu sangat membantu dan mempercepat penyelesaian kerja ini. Tenaga berpasang-pasang lembu dan kerbau itu jauh lebih besar dari tenaga separo dari orang-orang Panawijen seluruhnya.
Bukan saja Mahisa Agni yang menjadi bangga dan gembira melibat kerja itu, tetapi Ki Buyut Panawijenpun tidak kalah pula menyimpan harapan yang melimpah-limpah dida lam dadanya. Sebagai seorang yang hampir selama hidupnya berada ditengah-tengah rakyat Panawijen, maka padukuhan yang baru itu nanti pasti akan tetap mengikat orang-orang Panawijen dalam satu lingkungan. Mereka tidak akan bercerai-berai dan berpisah-pisah.
Sedang Empu Gandring menjadi gembira melihat kema nakannya berbesar hati. Orang tua itu melihat kebanggaan Mahisa Agni sebagai suatu kebanggaan dihatinya pula.
Dalam pada itu, bukan saja dipadang Karautan terja di kesibukan yang luar biasa, tetapi didalam istanapun terjadi kesibukan yang luar biasa pula. Para hamba istana sibuk membersihkan segala sudut halaman. Para juru sungging sibuk memperbaharui sungging pada setiap ukiran yang me lekat pada tiang-tiang dan dinding-dinding istana.
Orang-orang tua didalam istana Tumapel telah menasehatkan kepada Akuwu Tunggul Ametung untuk segera meresmikan perkawinannya dengan gadis Panawijen apabila memang telah dikehendakinya. Karena itu, maka segala persiapapun telah dilakukan.
Meskipun demikian Akuwu Tunggul Ametung tidak melupakan janjinya kepada Mahisa Agni. Karena itu, maka ia telah mengirim sepasukan prajurit dan pelayan dalam untuk membantu Mahisa Agni membuat bendungan.
"Bendungan itu harus selesai tecepatnya. Secepat orang-orang diistana ini membersihkan dan memperbaharui segala bagian
Kemudian taman yang harus dibangun itupun harus selesai pula. Taman yang akan aku hadiahkan kepada permaisuriku. Taman yang akan menjadi tempat beristirahat, apabila kami pergi berburu. Akan aku tinggalkan Ken Dedes ditaman itu, ditempat yang pasti akan menyenangkan hatinya, sebab Ken Dedes akan dikelilingi oleh orang-orang yang telah dikenalnya dengan, baik sejak kanak-anaknya. "pesan Tunggul Ametung kepada Ken Arok yang diserahi pimpinan ketika pasukannya itu ber angkat.
Sementara itu, di Kemundungan terjadi pula kesibukan. Kuda Sempana telah bertekad untuk menempa dirinya. Perlahan-lahan ia tertarik pula akan ilmu yang kasar dan keras dari kedua orang liar kakak beradik. Wong Sarimpat dan Kebo Sindet. Meskipun kesempatan untuk berlatih itu tidak terlalu banyak, karena kedua orang itu hampir ber gantian selalu pergi meninggalkan rumahnya, namun Kuda Sempana mendapatkan beberapa kemajuan pula. Kuda Sempana kemudian tidak lagi mempertimbangkan apa saja yang akan dilakukan oleh Wong Sarimpat dan Kebo Sindet atasnya dan atas Mahisa Agni. Namun kini ia berpikir, selagi ia mendapat kesempatan, biarlah ia memanfaatkan kesempatan itu. Baginya kini tidak ada pilihan lain daripada meneguk setiap ilmu yang mungkin disadapnya.
Tetapi sejalan dengan usahanya untuk mempertinggi ilmunya tanpa mengingat sumber ilmu itu, Kuda Sempana sebenarnya perlahan-lahan telah kehilangan segala gairahnya menghadapi masa depannya. Kegagalan yang bertubi-tubi datang me landanya, telah membuat hatinya menjadi beku. Ia kini seakan-akan telah kehilangan segala macam cita-cita dan tujuan. Ia berlatih asal saja ia mampu menambah ilmunya. Ia tidak tahu, apakah yang akan dilakukan, kelak dengan ilmunya yang bercampur baur itu. Namun dengan demikian, karena ia te lah kehilangan segala macam cita-cita hari depannya, maka ia sama sekali tidak berusaha untuk mencari keserasian gerak dari macam-macam ilmu yang dimilikinya. Ia tidak berusaha meng endapkan ilmu-ilmu itu untuk menemukan sari-patinya. Ia me nerima menelan dan kemudian memuntahkannya kembali seperti apa yang ditelannya. Kasar dan keras, namun kadang-kadang muncul juga unsur-unsur gerak yang dipelajarinya dari Empu Sada, justru yang lebih lama terendam didalam dirinya.
Tetapi Kuda Sempana sendiri tidak menyadari, bahwa sebenarnya apa yang diterimanya dari Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, tidak banyak berpengaruh atas tingkat ilmunya. Yang didapatnya hanyalah sekedar macam-macam ilmu gerak yang tidak lebih baik dari yang pernah dimilikinya. Meskipun demikian, maka Kuda Sempana kini memiliki jenis-jenis unsur gerak yang lebih banyak dari yang dimilikinya semula.
Meskipun Kuda Sempana sudah beberapa waktu berada di Kemundungan, namun ia tidak tahu pasti, apakah yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Setiap kali salah seorang dari mereka pergi meninggalkan rumah mereka. Apabila orang yang pergi itu kembali, maka yang di dengarnya hanyalah Kebo Sindet atau Wong Sarimpat meng umpat-umpat.
Namun Kuda Sempana itupun merasakan, bahwa sampai saat ini kedua orang itu masih belum mempercayainya. Betapa Kuda Sempana tidak mempedulikan keadaan, tetapi sikap dan perkataan kedua orang itu dapat dirasakannya. Keduanya tidak pernah pergi bersama-sama. Salah seorang dari mereka te rasa selalu mengawasinya kemana ia pergi.
Hanya kadang-kadang Kebo Sindet mengajaknya berbicara me ngenai Mahisa Agni. Bahkan kini Kebo Sindetlah yang hampir tidak bersabar lagi untuk menangkap buruannya itu.
Kadang-kadang Kuda Sempanapun menjadi heran Apabila Kebo Sindet dan Wong Sarimpat itu hanya mengharap beberapa keping emas saja dari padanya, bahkan dengan segala miliknya, pendok emas, timang emas tretes berlian, maka apakah yang dilakukan oleh kedua orang itu cukup memadai.
Bahkan Kuda Sempana sendiri kini menjadi cemas, apakah barang-barang miliknya yang dititipkannya pada gurunya itu masih juga utuh dapat diambilnya kelak" Apabila terlalu lama ia tidak kembali sedang gurunya telah tidak ada lagi, maka barang-barang itupun pasti akan jatuh ketangan orang-orang lain yang berada dipadepokan gurunya.
Tetapi Kuda Sempana kini telah menjadi malas untuk memikirkan semuanya itu dengan sungguh-sungguh. Ia jalani apa yang dilakukannya hari ini tanpa berpikir tentang besok.
"Mungkin besok aku sudah mati dipancung oleh kedua orang ini " kadang-kadang pikiran itu membersit dikepalanya. Tetapi kadang-kadang ia merasa bahwa kedua orang itu sangat berbaik hati kepadanya, seperti kepada murid terkasih.
"Mungkin aku akan menjadi gila" desisnya didalam hati. "Keadaan ini benar-benar telah mengguncang-guncang keseimbangan perasaan dan pikiranku.
"Tetapi kesadaran tentang goncangan perasaan dan pikirannya itulah sebenarnya yang telah menahannya untuk tidak menjadi gila sebenarnya gila.
Dan kini hari-harinya diisinya dengan menirukan, mempelajari dan mencobakan unsur-unsur gerak yang kasar dan keras Kadang-kadang kini telah terlontar pula dari mulutnya sebuah teriakan yang keras untuk memberikan tekanan pada unsur geraknya. Tidak hanya keras, namun kadang-kadang berisi umpatan yang kotor dan memuakkan.
Tetapi Kuda Sempana sendiri tidak tahu apa yang dikerjakan, ia sama sekali tidak berpikir tentang itu. Ia berbuat seperti yang harus diperbuatnya.
Kosong. Kuda Sempana kini telah menjadi kosong.
Ketika suatu ketika Kebo Sindet membawanya berbincang tentang Mahisa Agni, maka jawabnya sama sekali tidak lagi membayangkan segala macam dendam dan keebenci an yang selama ini terpendam.
"Kuda-Sempana" berkata Kebo Sindet "Meskipur. aku banyak menemui kesulitan, tetapi aku yakin bahwa dalam saat yang pendek aku harus dapat membawa Mahisa Agni ke Kemundungan dan menyerahkannya kepadamu.
Dengan kepala yang hampa Kuda Sempana mengangguk "Ya paman."
"Bukankah kau masih menghendaki?" bertanya Kebo Sindet.
"Ya paman." "Apakah kau sudah memaafkannya?"
Kuda Sempana terdiam. Ditatapnya wajah Kebo Sindet yang beku sebeku wajah mayat. Namun Tiba-tiba mulutnya ber kala "Tidak paman, aku sama sekali tidak memaafkannya."
"Bagus," berkata Kebo Sindet "apakah kau sekarang sudah siap?"
Kuda Sempana menjadi heran "Apakah yang barus aku lakukan paman?"
"Kita bersama-sama mengambil Mahisa Agni. Aku tidak bersabar lagi. Kita bertiga pasti akan mampu melawan Mahisa Agni, Empu Gandring dan orang-orang Panawijen yang pengecut itu. Aku akan mengikat Empu Gandring dalam suatu perkelahian, Wong Sarimpat akan melumpuhkan Mahisa Agni sementara kau menghalau orang-orang Panawijen. Setelah itu, maka semuanya akan segera dapat diselesaikan. Empu Gandring tidak akan mampu melawan aku dan Wong Sarimpat sekaligus apabila kita masing-masing sudah saling menyiapkan diri."
Tetapi tanggapan Kuda Sempana kini sudah tidak segairah pada saat ia per-tama-tama datang ke Kemundungan. Meskipun demikian ia menjawab "Baik paman."
"Kita menunggu Wong Sarimpat. Sementara itu kita akan menyiapkan diri kita masing-masing.
Tetapi ketika pada sore harinya Wong Sarimpat datang, maka persoalannya kembali menjadi panjang. Kebo Sindet mengumpat tidak habis-habisnya.
"Kau lihat sendiri, Wong Sarimpat.
"Ya kakang. "Sepasukan prajurit dari Tumapel.
"Gila. Benar-benar gila. Apakah kerja prajurit-prajurit itu"
"Aku tidak tahu kakang. Tetapi mereka pasti akan lama tinggal dipadang Karautan menilik bekal yang mereka bawa. Lebih dari duapuluh pedati yang ditarik kerbau dan lembu mereka bawa serta.
Tiba-tiba tampak sebuah kerut didahi Kebo Sindet yang beku itu. Tetapi hanya sesaat. Sesaat kemudian kembali wajah itu tidak menunjukkan kesan apapun.
Namun orang itu menjadi heran pula ketika dilihatnya wajah Kuda Sempana tidak menunjukkan kesan sama sekali. Anak muda yang selama ini menahan dendam didalam dadanya, Tiba-tiba dendam itu seakan-akan telah menguap seperti asap.
Tetapi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak bertanya apapun kepadanya, bahkan mereka seakan-akan tidak melihat, perubahan itu. Namun Wong Sarimpat yang hampir setiap hari melihat kebekuan wajah kakaknya berkata didalam hati nya "-Apakah Kuda Sempana itu kini telah kejangkitan sikap seperti kakang Kebo Sindet" Ataukah anak muda itu memang berusaha untuk berlaku demikian karena ia merasa menjadi murid kakang Kebo Sindet" Alangkah bodohnya. Umurnya tidak akan lagi lebih panjang dari umur jagung. Begitu Mahisa Agni tertangkap, maka iapun akan menjadi orang tangkapan. Mungkin ia akan digantung di alun-alun Tu mapel setinggi pohon beringin.
Dalam pada itu terdengar Kebo Sindet bertanya "Apakah kau sangka bahwa sepasukan prajurit itu hanya sekedar lewat dipadang Karautan atau mereka datang keperkemahan orang-orang Panawijen itu"
Wong Sarimpat mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia menjawab "Mereka datang keperkemahan orang-orang Pana wijen.
"Tetapi ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Mereka datang untuk menyerahkan bantuan berupa baban-beban, tetapi sesudah itu mereka kembali ke Tumapel, atau mereka akan ikut serta dalam kerja membuat bendungan itu.
"Mereka datang keperkemahan itu.
"Gila kau Wong Sarimpat. Kau tidak pernah menyelesaikan kerja dengan baik. Tinggallah kau dirumah bersama Kuda-Sempana. Aku sendiri akan melihat dan membuat perhitungan-perhitungan baru. "kemudian kepada Kuda-Sem pana. Kau pernah berkata bahwa kau sendiri berasal dari Panawijen juga. Bukan begitu"
Wajah Kuda Sempana yang beku seperti wajah Kebo Sindet itu mengangguk "Ya.
"Dimana orang tuamu tinggal"
Kali ini Kuda Sempana menjadi ragu-ragu. Apakah kepentingan orang itu bertanya tentang orang tuanya"
"He, bagaimana"
Kuda Sempana tidak segera menjawab.
"Kau agaknya menjadi ragu-ragu. Aku berbuat semata-mata untuk kepentinganmu.
Meskipun dada anak muda itu diamuk oleh kebimbangan, namun ia menjawab juga "Ya. Orang tuaku tinggal di Panawijen. Tetapi mereka sudah tua.
"Itu tidak penting. Mungkin mereka akan berguna bagimu dan dapat membantu anaknya melepaskan sakit hatinya.
"Apa yang dapat mereka lakukan"
"Serahkan kepadaku. "Paman" berkata Kuda Sempana dengan nada yang rendah "jangan paman menyeretnya kedalam kesulitan. Biarlah aku sendiri yang bertanggung jawab atas segala ma cam persoalan. Sebaiknya paman melepaskannya dan mem biarkannya menghabiskan sisa2 hidupnya dengan tenteram.
"Jangan bodoh dan jangan menjadi cengeng. Aku tidak akan berbuat segila yang kau sangka. Aku hanya akan berbuat untuk kepentinganmu.
Kuda Sempana tidak menjawab. Tetapi kini ia bukan saja menjadi ragu-ragu. Kecemasan yang dalam telah menggores dinding jantungnya. Namun ia tidak mengucapkannya
Malam itu juga Kebo Sindet pergi meninggalkan Kemundungan. Dengan berbagai rnacam persoalan didalam dadanya, ia ingin menyaksikan sendiri, apakah benar para prajurit Tumapel itu untuk sementara menetap di padafig Karautan2. Sementara itu Wong Sarimpat tinggal dirumah bersama Kuda Sempana yang diamuk oleh berbagai perasaan. Ia kini justru berpikir tentang orang tuanya. Apakah kira-kira Yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet dengan kedua orang tuanya itu"
Tetapi ketika hatinya menjadi semakin pepat, Kuda-Sem pana itu berdesah "Persetan. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi dengan siapapun juga. Bahkan apa yang akan terjadi dengan diriku sendiri.
Dan kembali anak muda itu berusaha melupakan segala-galanya. Ia mencoba untuk tidak berpikir dan merasakan sesuatu. Ia tinggal menjalani apa yang terjadi hari ini. Besok biarlah dipikirkannya besok. Sedang apa yang pernah terjadi kemarin, diusahakannya untuk melupakan sama sekali.
Hidupnya kemudian menjadi sepotong. Se-olah-olah tak ada hubungan lagi antara apa yang pernah terjadi, apa yang sedang berlaku dan apa yang akan datang kemudian.
Ketika malam menjadi gelap, maka Kebo Sindet ber pacu dengan kudanya mendaki tebing bukit gundul. Suara berderak memecah sepi malam menyelusur dan memantul kembali meneriakkan gema yang me-lingkar-lingkar karena dinding-dinding batu pegunungan gundul itu. Dengan gigi yang terkatub rapat orang itu menggenggam kendali kudanya. Dikepalanya ber gelut berbagai rnacam persoalan. Sehingga tanpa seiadarnya ia berdesis "Gila orang-orang Tumapel itu. Kalau benar mereka berada diperkemahan, maka aku pasti akan menemui kesulitan. Aku harus segera dapat mengambil Mahisa Agni sebelum adiknya tenggelam dalam kehidupan yang bahagia didalam istana. Dengan demikian, maka adalah suatu kemungkinan bahwa Ken Dedes itu akan melupakan kakaknya dan tidak lagi mempedulikannya. Tetapi kini, hubungan mereka masih terlampau erat. Menurut ceritera Kuda-Sempana, maka Ken Dedes sangat mencintai kakaknya sehingga apapun telah dilakukannya untuk menjemput Mahisa Agni menghadap Akuwu Tunggul Ametung.
Kebo Sindet itu menggeretakkan giginya Kudanya segera dipacunya semakin cepat. Ia ingin segera melihat, apakah sebenarnya yang telah terjadi di padang Karautan.
Sementara itu otaknya masih juga berputar terus. Peria han-lahan ia bergumam kepada diri sendiri "Hem. Mungkin orang tua Kuda Sempana akan dapat membantuku apabila apa yang dikatakan oleh Wong Sarimpat itu benar telah ter jadi, Orang yang sudah tua itu pasti tidak berada dipadang Karautan. Mereka pasti tinggal dirumah mereka.
Dan suara derap kaki kuda itupun semakin keras mememecah sepi malam. Gemeretak beradu dengan batu-batu padas memencar disekitar bukit gundul yang kini telah mulai dituruninya.
Jauh dari padang Karautan, diluar kota Tumapel, seorang tua dengan tongkat yang panjang berjalan tersiuk-siuk. Selangkah demi selangkah ia maju. Namun begitu sering ia harus berhenti untuk mengatur pernafasannya. Berkali-kali ia bersandar pada pohon-pohon dipinggir jalan untuk menenangkan detak jantungnya yang se-akan-akan tidak teratur lagi.
Sekali ia menarik nafas dalam.
"Beberapa langkah lagi" desisnya "mudah-mudahan aku dapat mencapai padepokan itu.
Kembali orang tua itu berjalan ter-tatih2. Tangan kanan nya bertelekan pada tongkat pangjangnya, sedang tangan kiri nya se-akan-akan menahan punggungnya supaya tidak terlepas.
"Gila orang-orang liar itu" gumamnya "benar juga kata Empu Gandring dan Panji kurus itu, bahwa sukarlah untuk mendekati Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi aku da hulu mampu memperalatnya. Namun kini agaknya kepala Kebo Sindet menjadi semakin tajam. Berbeda dengan adiknya yang dungu itu.
Ketika angin malam berhembus mengusap tengkuknya, maka orang tua itu menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bintang-bintang berhamburan didataran langit yang biru pekat.
Melihat kebesaran alam yang terentang itu, orang tua itu menarik alisnya. Seakan-akan baru kali ini dilihatnya bintang gemintang yang berkeredipan diangkasa. Masing-masing dengan bentuk dan susunannya sendiri. Masing-masing beredar menurut irama yang berbeda. Tetapi penuh dengan keserasian.
Tiba-tiba orang tua itu seakan-akan melihat sebuah dunia yang asing. Dunia yang selama ini tidak pernah dilihatnya. Benda-benda yang gemerlapan berpijar dalam warna yang cemerlang.
Perlahan-lahanorang tua itu mengangguk-anggukan kepalanya. Punggungnya masih terasa sakit. Meskipun luka-lukanya telah ham pir sembuh, namun tenaga masih belum pulih sama sekali. Ternyata luka-luka kulit dan luka-luka dibagian dalamnya cukup berat. Meikipun luka-luka pada kulitnya telah tidak lagi meng ganggunya.
"Aku memerlukan waktu" desahnya "mudah-mudahan aku segera sembuh. Kalau aku dapat mencapai pedepokanku itu masih seperti keadaannya semula, maka aku akan dapat mengobati luka-luka dibagian dalam tubuhku dengan baik. Tidak akan terhitung minggu, aku pasti akan mendapat kekuatanku kembali. Empu Sada tetap memiliki namanya yang lama
"Orang itu, Empu Sada, telah hampir sampai kepade pokannya kembali, setelah ia bersembunyi berjalan berhari-hari dengan susah payah. Setelah ia berhasil menyelamatkan dirinya dari tangan kakak beradik Kebo Sindet dan Wong Sarimpat maka kini didalam hatinyapun menyala dendam kepada kedua orang itu. Apalagi ketika ia telah kehilangan muridnya yang di-bangga-banggakan. Keduanya hilang. Keduanyalah yang selama ini paling baryak memberinya berbagai rnacam barang dan perhiasan Saudagar keliling yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo, dan seorang hamba istana yang dekat dengan Akuwu Tunggul Ametung, Kuda-Sempana.
Mpu Sada saat itu tidak memikirkan dari mana orang yang menyebut dirinya Bahu Rekso Kali Elo itu mendapat barang"nya. Tetapi ternyata orang itu mampu memberinya ke senangan, sehingga kepada orang itu berdua dengan Kuda-Sempana, maka ilmunya paling banyak diberikan.
Tetapi kini Empu Sada menjadi kecewa. Kecewa akan cara yang ditempuhnya. Ternyata dengan demikian, ia tidak mendapatkan apapun juga. Barang-barang dan perhiasan2 yang ber-tuMpuk2 itu sama sekali tidak dapat membantunya meng hadapi orang-orang seliar Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
"Hanya kemampuan berkelahilah yang dapat membantu aku berurusan dengan kedua orang-orang liar itu" gurnamnya "tetapi aku kini telah terlambat. Aku tidak akan sempat membentuk beberapa orang yang cukup kuat untuk menghadapi mereka berdua, meskipun sepuluh atau dua puluh orang se kaligus.
Mpu Sada meng-geleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir kekecewaannya. Tetapi setiap kali kekecewaannya itu kembali merayapi hatinya.
"Hem" gumamnya seandainya aku mempunyai seorang murid seperti Mahisa Agni, Witantra dan saudara-saudara seperguru an murid Panji yang kurus itu. Aku akan mampu menempa mereka berempat dan menyiapkan mereka untuk berhadapan dengan salah seorang dari orang-orang liar itu.
Tetapi kemudian ia berdesah "Terlambat. Terlambat.
Mpu Sada itupun terdiam. Sunyi malam telah menyebab kan hatinya menjadi semakin pahit. Sekali lagi ia menatap bintang dilangit. Dan Tiba-tiba ia tersadar, betapa besr alam yang terbentang dihadapannya. Betapa besarnya. Lebih dari pada itu, alangkah Maha Besar penciptanya.
Sejalan dengan kesadarannya tentang kebesaran alam yang selama ini sama sekali tidak pernah dihiraukannya, maka terasa pula betapa kecil dirinya. Ya, betapa kecil dan lemahnya. Dikenangnya apa yang baru dialaminya. Bukit gundul, padang alang-alang, sebuah sendang yang luas. Alangkah sakitnya terbanting kedalam jurang ditebing gunung gundul yang ke cil dibandingkan dengan Gunung Kawi. Apalagi dibanding kan dengan Gunung Semeru. Dan alangkah sempitnya sendang itu dibandingkan dengan Samodra. Samodra Kidul yang luas. Lebih-lebih lagi betapa perbandingan itu ditrapkannya dengan dirinya.
"Apakah arti nama Empu Sada berhadapan dengan alam ini" Tiba-tiba terbersit pertanyaan didalam batinya.
Perasaan orang itu menjadi semakin dalam terbenam dalam kekecewaan dan penyesalan. Ternyata hidupnya yang sudah sekian lama itu, sama sekali tidak berarti apapun bagi hari tuanya. Tak ada yang dapat ditinggalkannya apabila ia kelak meninggalkan dunia ini. Tak ada yang dapat dibangga kannya. Perguruannya, muridnya dan bahkan dirinya sendiri. Tak ada yang dapat dibanggakannya, yang jasmaniah, apa lagi yang rokhaniah. Tidak ada yang akan mengatakan bahwa perguruan Empu Sada telah melahirkan anak-anak muda yang perkasa, yang pilih tanding, mumpuni saliring ilmu Jaya kawijayan guna kasantikan. Tidak. Tidak ada. Apalagi anak-anak muda yang berbudi, yang memancarkan cinta kasih sesama. Yang selalu siap mengulurkan tangan menolong setiap kelemahan di dalam kebenaran. Tidak ada. Yang ada adalah dendam dan permusuhan. Dendam Kuda Sempana yang meluap-luap yang selama ini dibenarkannya. Dendam yang kemudian tertanam di dalam hatinya sendiri kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Dendam yang akan menyala tanpa dapat dipadamkan.
Mpu Sada meng-geleng-gelengkan kepalanya. Ia ingin melupakan segala kepahitan itu. Ia ingin segera sampai dipadepokannya. Kemudian beristirahat dan mengambil reramuan obat-obatnya untuk menyembuhkan luka-luka dibagian dalam tubuhnya.
Tetapi setiap kali kekecewaan dan penyesalan itu muncul dipermukaan wajah hatinya.
"Hem" orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dan ia semakin terdorong dalam perasaan yang pahit. Orang tua itu merasa bahwa hidup yang pernah dijalaninya sama sekali tidak berarti apa-apa bagi dunia ini. Adanya seperti tidak ada, bagi kebajikan, dan apabila ia kelak mati, maka tidak ada jejak yang p ernah ditinggalkan dikulit bumi ini. Selain noda-noda yang hitam.
Perlahan-lahannamun akhirnya Empu Sada itupun menjadi semakin dekat dengan pedukubannya. Ia ingin sampai di padepokan itu sebelum fajar.
Ketika ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kali nya, inaka orang tua itu telah melangkahkan kakinya masuk krhalaman padepokannya. Terasa dadanya menjadi ber-debars Se-akan-akan ia merupakan orang asing dihalaman rumahnya udiri. Telah sering benar ia melakukan perjalanan dan pengembaraan. Telah sering benar ia meninggalkan padepok an itu lampai ber-hari-hari bahkan ber-bulan2. Tetapi ia selalu pulang dengan dada tengadah. Dengan kebanggaan didalam hatinya, bahwa isi rumah itu akan bertambah. Emas berkeping-keping didalam gledegnya akan bertambah banyak. Simpan annya harta benda akan menjadi semakin penuh. Apa bila ia membuka peti kayu cendana disisi pembaringannya, maka gemerlap intan, berlian, mirah dan jamrut menjadi kian cemerlang.
Tetapi kali ini ia membawa kesuraman dihatinya. Bukan karena tubuhnya terluka. Adalah menjadi kebiasaan pula baginya, pulang dengan luka diluar dan dalam tubuhnya itu. Tetapi lukanya kali ini terlampau parah. Jauh lebih parah dari luka pada tubuh dibagian luar maupun dibagian dalam. Kali ini luka yang dibawanya adalah luka dihatinya.
Setiap kali orang tua itu menarik nafas terlampau dalam Setiap kali terasa dadanya berdesir. Kadang-kadang ia merasa bahwa ada sesuatu yang belum dikerjakannya, tetapi ia tidak tahu, apakah yang sedang mengejarnya itu.
Akhirnya Empu Sada sampai pula dimuka rumah yang berada ditengah-tengah halaman yang cukup luas. Rumah itu tidak terlampau besar. Tidak terlampau baik, dan bahkan rumah itu adalah rumah yang sederhana. Tak banyak orang yang ta hu, siapakah yang tinggal didalam rumah itu. Tetapi bagi mereka yang mengetahuinya, maka rumah itu merupakan ru mah yang angker. Bahkan menyeramkan. Rumah yang halamannya terlampau rimbun. Rumah yang pintu-pintunya jarang-jarang terbuka. Hampir tak pernah tampak seorang dua berada dihalamannya. Apalagi suara anak-anak yang tertawa dan ber-teriak-teriak dalam sebuah permainan yang gembira. Rumah itu se-akan-akan diliputi oleh sebuah rahasia yang gelap. Tetapi didalam ru mah itu tertimbun ber-keping-keping emas. Bergumpal-gumpal intan dan berlian. Bahkan berbagai macam barang-barang berharga lainnya.
Tetapi ketika tangan Empu Sada telah terayun untuk mengetuk pintunya, ia menjadi ragu-ragu. Apakah tidak ada bahaya yang sedang menunggunya didalam rumah itu" Mungkin orang-orang Witantra bahkan mungkin Panji Bojong Santi sendiri, atau mungkin pula Wong Sarimpat, atau Kebo Sindet atau bahkan kedua-duanya, atau Empu Gandring atau Empu Purwa"
Sekali lagi Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Alangkah gelisah perjalanan hidupnya. Meskipun umurrya telah hampir sampai dua pertiga abad, tetapi ia masih -belum juga menemukan sesuatu. Bahkan ia sama sekali terjauh dari ketenteraman dan kedamaian hati. Alangkah banyak lawan-lawannya. Orang yang paling jahat seperti Kebo Sindet dan Wong Sa rimpat sampai orang yang cukup mengendap seperti Empu Purwa. Dan ini adalah buah yang harus dipetiknya dari benih yang pernah ditaburkannya.
Karena itu, maka Empu Sada mengurungkan niatnya. Perlahan ia berjalan bertelekan tongkatnya menyusur sisi rumah nya dengan hati-hati. Ia ingin melihat kebelakang dimana be berapa orang-orang nya berada. Ia harus bertemu dengan salah se orang dari mereka untuk mendapat keyakinan bahwa ia dapat memasuki rumahnya dengan aman.
Di sebuah bilik yang sempit Empu Sada masih melihat se buah pelita yang menyala. Dengan hati-hati maka didekatinya bi lik itu. Ketajaman telinganya mendengar bahwa didalam bi lik itu seseorang sedang tidur nyenyak.
Mpu Sada tahu benar, bahwa bilik itu adalah bilik salah seorang pelayannya. Dengan hati yang berdebar-debar perlahan-lahandiketuknya dinding bilik itu, tepat pada arah kepala pelayan itu tidur.
Dengan gugup pelayan itu bangun. Ia mendengar seseorang berada diluar biliknya. Karena itu maka per-lahans ia bertanya "Siapa"
"Aku, Empu Sada. "Oh, apakah Empu yang berada diluar itu?" terdengar pelayan itu bertanya lebih keras
Sesaat keadaan menjadi sunyi. Empu Sada yang sedang dibakar oleh ke-ragu-raguan dan prasangka tidak segera menja wab. Tetapi ketika ia mendengar suara itu kembali bertanya Empu Sada.Empu, adakah Empu yang datang itu" "Maka ia menjadi yakin bahwa suara itu benar-benar suara pelayannya.
Perlahan-lahan Empu Sadapun kemudian menjawab "Ya. Aku Empu Sada.
Kini Empu Sada mendengar orang itu bangun dengan ter-gesa-gesa. Bahkan kemudian kakinya telah menendang sebuah mangkuk tanah, dan hampir-hampir pula tangannya menyentuh pe lita ditiang.
Dengan ter-gopoh-gopoh pula orang itu membuka pintu sam bil bertanya "Mpu, kenapa Empu datang lewat pintu be lakang"
Mpu Sada tidak segera menjawab. Kembali ia menjadi curiga.
Siapakah yang berada didalam" " bertanya Empu itu.
Pelayannya itupun menggeleng "Tidak ada Empu, kecuali seorang juru panebah yang menunggui ruang dalam, sambil mengharap-harap Empu segera datang kembali.
"Hanya satu orang"
Pelayan itupun menjadi bingung. Tetapi kemudian ia menjawab "Tidak Empu. Ada dua orang yang berada di ruang dalam.
"Nah. Kenapa kau berkata hanya seorang"
"Aku lupa Empu. "Siapakah yang seorang itu" Bojong Santi, Empu Gandring atau siapa"
Pelayannya semakin heran. Ia belum mengenal nama-nama itu sama sekali.
"Siapa" Siapakah yang kau sembunyikan dirumah itu untuk menanti aku" Kebo Sindet atau Wong Sarimpat"
Pelayan itu menjadi semakin bingung. Nama" yang di sebut oleh Empu Sada benar-benar membingungkan. Pelayan itu telah mengenal beberapa orang murid-muris Empu Sada yang terdekat. Tetapi nama-nama itu tidak pernah disebutnya.
"Siapa?" bentak Empu Sada,
"Sumekar. Murid Empu yang Empu tugaskan untuk menjaga rumah ini.
"Oh" Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Terasa perasaan aneh berdesir didadanya. Ternyata anak yang berada didalam rumah itu adalah Sumekar.
"Kenapa tidak kau katakan sejak tadi?" bertanya Empu Sada.
"Aku terlupa Empu" javvab pelayan itu.
Mpu Sada menjadi malu sendiri. Seandainya pelayannya itu berani menatap wajah orang tua itu didalam terang, maka akan tampaklah bahwa muka yang telah mulai ber-kerut-merut oleh garis-garis umur itu menjadi kemerah-merahan"
"Alangkah cemasnya hati ini" desis Empu Sada itu di dalam hatinya. "Betapa gelisah dan goyahnya hidupku. Sama sekali tidak ada ketenteraman dan kedamaian.
Tiba-tiba Empu Sada tersentak ketika ia mendengar gerit per"lahan-lahan disampingnya. Dengan tanpa dikehendakinya sendiri, Tiba-tiba orang tua itu telah bersiap menghadapi sstiap kemung kinan. Tetapi kembali dadanya berdesir ketika ia melihat se orang anak muda yang keluar dari pintu rumah itu. Sumekar.
"Oh" sekali lagi Empu Sada menarik nafas dalam-dalam "Kau Sumekar.
"Ya Empu. Aku mendengar suara Empu bercakap-cakap. Mula-mula aku sangka orang lain. Empu Sada biasanya tidak melalui pintu ini.
"Ya, ya" sahut Empu Sada tergagap.
"Marilah Empu. Silabkanlah.
"Kau sendiri?" bertanya Empu Sada.
"Ya" sahut Sumekar.
Mpu Sadapun kemudian dengan hati-hati memasuki rumah nya, Rumah yang telah berpuluh tahun ditempatinya. Tetapi kini rasa-rasanya ia sedang memasuki sebuah goa rahasia yang penuh dengan bahaya yang sedang menantinya.
Tetapi akhirnya Empu Sada mengenali tempat itu kembali. Perlahan-lahan kekhawatirannyapun menjadi surut. Ia mengenal setiap pintu, tiang dan bahkan setiap jelujur kayu yang ada didalam ruangan itu. Lampu minyak yang meng-gapai2 ditlun dak yang melekat pada saka guru. Sebuah amben yang besar disebuah sisi, dan disekat oleh sebuah dinding, adalah bilik yang khusus dibuat untuknya, untuk menyimpan sebagian dari kekayaannya.
"Tak seorangpun masuk kedalam bilik itu"
"Tidak EMpu" sahut Sumekar.
"Kau" "Ya. Kadang-kadang untuk membawa para pelayan membersihkannya.
Empu Sada meng-angguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia ber tanya kembali "- Dimana orang-orang lain"
"Diluar Empu, Dua orang selalu tidur diatas gedogan kuda.
Mpu Sada meng-angguk-anggukkan kepalanya. Sejak ia belum berangkat bersama Kuda Sempana dua orang muridnya yang masih belum terlalu baik selalu tidur diatas kandang kuda.
Belum lagi Empu Sada sempat beristirahat, terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Terontong-terontong terbayang pada lubang-lubang dinding cahaya fajar yang menjadi semakin terang.
Empu Sada menggeliat sambil menyeringai. Tubuhnya masih terasa sakit-sakit.
"Siapakah yang datang ke rumah ini sepeninggalku untuk mencari aku"
Sumekar mengerutkan keningnya. Ia mencoba meng-ingat-ingat. Tetapi kemudian ia menjawab " Tidak ada Empu.
"Tidak ada?" jawaban itu tidak meyakinkannya.
"Tidak Empu. "Prajurit-prajutir Tumapel"
Sumekar menggeleng "Tidak Empu.
"Orang-orang yang liar seliar orang-orang hutan"
Kembali Sumekar mengerutkan keningnya. Kemudian kem bali ia menjawab "Tidak Empu.
Mpu Sada terdiam sejenak. Tetapi ia tidak yakin akan kebenaran kata-kata Sumekar. Mungkin Sumekar tidak ada dirumah waktu itu atau mungkin anak itu sudah tidak ingat lagu Tetapi apabila yang datang Witantra dengan pasukannya, maka mustahil bahwa Sumekar tidak tahu atau melupakannya.
"Jadi tidak ada seorangpun yang datang"
"Maksudku, tidak ada yang datang untuk suatu keperluan yang khusus Empu. Mungkin ada juga satu dua orang yang bertanya tentang Empu, tetapi mereka agaknya tidak mem punyai persoalan yang penting.
Mpu Sada meng-angguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Tiba-tiba alis nya berkerut "Coba katakan, apakah kau masih ingat yang satu dua orang itu"
"Aku tidak memperhatikannya Empu, sebab mereka agak nya juga tidak menganggap penting.
"Ya, mungkin. Tetapi siapa saja seingatmu"
Sumekar meng-ingat-ingat sejenak. Kemudian katanya "Yang aku ingat Empu. Saduki pernah datang kemari.
"Persetan dengan orang itu. Apa keperluannya"
"Isterinya ngidam Empu. Isterinya itu ingin sekali makan jeruk yang sedang berbuah dibalaman depan.
"Cukup, cukup tentang orang gila itu Sumekar terdiam.
"Ya lain. Sumekar mencoba mengingat-ingat. Ada juga satu dua orang yang menanyakan gurunya saat itu. Tetapi mereka pada umumnya adalah orang-orang yang sering datang untuk mengada kan jual beli dan tukar menukar barang-barang. Tetapi Tiba-tiba Sumekar itu ingat, bahwa pernah datang seseorang yang belum pernah dilihatnya. Tetapi agaknya orang itupun tidak mempunyai keperluan yang penting. Mungkin orang itu sahabat Empu Sada atau mungkin salah seorang keluarganya. Meskipun demikian Sumekar itupun berkata "Mpu, ada aku ingat seseorang yang belum pernah aku kenal. Kecuali para pedagang yang ingin berjual beli dan tukar menukar seperti yang sering ,rjadi, maka pernah datang seorang yang usianya sebaya dengan Empu.
Mpu Sada mengerutkan keningnya "Siapa"
"Tetapi orang itu tidak mempunyai apapun. Ia hanya sekedar ingin berkunjung kepada Empu Sada. Mungkin ia sahabat Empu yang sudah agak lama tidak bertemu.
"Ya siapa" "Orang itu tidak menyebut namanya.
"Kau katakanlah ciri2nya.
"Orang itu agak tinggi. Kurus.
"Ada ber-puluh2 orang yang tinggi kurus didunia ini
Sumekar mengerutkan keningnya. Tetapi Tiba-tiba ia berkata "Orang itu membawa sebuah kasa yang dibuatnya dari kulit harimau. Kasa itu telah menarik perhatianku saat itu.
"He" Empu Sada itu terkejut bukan buatan. Se hingga dengan serta-merta ia tegak berdiri seperti sebuah tonggak yang kokoh. "Orang itu membawa kasa dari kulit harimau"
Sumekarpun terkejut bukan main. Bukan karena kasa yang dibuat dari kulit harimau itu, tetapi justru karena sikap gurunya.
"Ya" sahutnya ter-bata2.
"Alangkah bodohnya kau. Jauh lebih bodoh dari orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu. Orang yang membawa kasa dari kulit harimau itu bernama Panji Bojong Santi.
"Oh" Sumekar meng-angguk-angguk "Aku belum tahu Empu. Empu belum pernah memberi tahukan kepadaku. Aku menyesal bahwa aku tidak mempersilahkannya untuk menunggu Empu atau menanyakan dimanakah rumahnya, sehingga aku akan dapat memberitahukan bahwa Empu telah kembali


01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gila, gila kau" Empu Sada itu hampir berteriak jangan kau suruh ia masuk rumah ini, apalagi menunggu aku pulang. Kini ia tidak boleh mendengar bahwa Empu Sada telah berada dipadepokannya kembali. Kau dengar"
Sumekar menjadi bertambah bingung. Ia tidak tahu ha gaimana ia harus menanggapi kata-kata gurunya. Bahkan sedemi kian bingungnya sehingga tanpa disadari ia berkata ?" Orang itu baik guru. Ramah dan menyenangkan
"Oh, Sumekar, Sumekar" Tiba-tiba Empu Sada menekan dadanya yang masih terasa sakit "alangkah bodohnya kau Panji Bojong Santi bagiku jauh lebih berbahaya dari sepasukan prajurit Tumapel meskipun dari kesatuan pengawal Akuwu yang dipimpin oleh Witantra itu sekalipun. Ternyata orang itu benar licin seperti iblis. Yang mencari aku kemari bukan sepasukan prajurit, tetapi seorang Panji Bojong Santi.
Kini Sumekar benar-benar terbungkam. Ia tahu kemungkinan-kemungkinan yang demikian, bahwa suatu ketika gurunya akan dicari oleh sepasukan prajurit karena berbagai macam persoalan Mung kin soal barang-barang yang diambilnya dari orang lain. meskipun tidak dengan tangannya sendiri. Mungkin soal2 lain yang se rupa dengan kejahatan. Meskipun salah seorang murid Empu Sada itu adalah seorang Pelayan Dalam Akuwu Tunggul Ametung yang dekat, Kuda-Sempana. Namun agaknya ada sesuatu yang tidak wajar pada muridnya yang seorang itu.
Mpu Sada itupun kemudian terduduk diamben bambu Terasa dadanya menjadi bertambah pedih.
"Oh " desahnya" untunglah orang ilu tidak kembali Ingat, tak seorangpun boleh tahu bahwa Empu Sada telah berada dipadepokannya. Aku harus menyembuhkan segenap luka-lukaku. Sesudah itu, ayo siapakah yang akan datang menemui aku. Panji Bojong Santi, Empu Gandring, Empu Purwa, Ke bo Sindet atau Wong Sarimpat"
Mpu Sada terdiam. Tetapi kata-katanya itu telah mendebar kan jantungnya. Balkan ia berdesah didalamati "Alangkah banyak .musuh yang harus aku hadapi:
Sebenarnya Empu Sada tidak ledang dilanda oleh kecemas an dan ketakutan. Sebagai seorang yang telah memilih jalan hidupnya didalam lingkungan para sakti, maka apa yang diha dapnnya itu sama sekali tidak mengejutkannya, apalagi mena kutkannya. Nama2 yang pernah disebutnya tidak akan mampu membuatnya berkecil hati. Apabila ia harus menghadapi bahaya yang betapapun besarnya, maka yang dilakukannya adalah men cari jalan untuk melawan bahaya itu.
Tetapi kali ini ada perasaan yang asing didalam dirinya. Perasaan yang selama ini belum pernah dikenalnya. Meskipun ia sama sekali tidak merasa takut, namun perasaan asing itu lah yang kini mendorongnya pada suatu keadaan yang asing pula baginya.
Tiba-tiba Empu Sada itu tanpa dikehendakinya mencofaa menilai dirinya. Ia melihat orang lain seperti Bojong Santi, Empu Purwa, Empu Gandring dan beberapa orang lain. Kenapa mereka dapat bidup tenteram dan damai" Se akan-akan mereka tidak diamuk oleh kegelisahan dunia Meskipun sekali-sekali mereka harus juga berkelahi, tetapi mereka merasa berdiri di atas landasan yang mantap.
Mereka berkelahi dan menghadapi lawan-lawannya dengan terbuka untuk kepentingan yang terbuka pula.
Tanpa sesadarnya orang tua itu berdiri dan melangkah kedalam biliknya. Dilihatnya sebuah peti terletak disudut ruangan itu diikat dengan kuatnya Tetapi sebenarnya tidak didalam petr itulah kekayaan Empu Sada yang sebenarnya. Ia menyimpan peti-peti ditempat yang dirahasiakannya. Satu diantara peti-peti itu dibuatnya dari kayu cendana. Peti yang tidak pernah terpisah dari samping pembaringannya. Telapi peti itu berada didalam dinding yang sebenarnya berlapis Sedang didalam peti yang terikat itu disimpannya beberapa macam benda yang kurang berharga dari benda-benda yang telah disembunyikannya.
Melihat benda itu terasa dada Empu Sada berdesir. Ia tahu benar bahwa dibelakang peti yang terikat itu, dibrlakang dinding yang berlapis itu, ia mempunyai kekayaan yang luar biasa banyaknya. Tetapi apakah artinya kekayaan itu baginya"
Mpu Sada terhenyak dalam suatu keadaan yang membingungkannya. Ternyata kekayaan yang tidak terhitung itu tidak dapat memberinya kedamaian. Kekayaan yang diterimanya dengan menjual ilmunya dengan harga yang cukup mahal, tanpa menghiraukan akibat daripadanya. Tanpa mengingat, apakah yang akan dilakukan oleh murid-muridnya itu kelak.
Perlahan-lahan Empu Sada duduk diamben pembaringannya. Kini dadanya benar bergolak. Apakah sebenarnya arti kekayaan itu baginya" Kekayaan itu tidak memberinya kenikmatan jas maniah. Rumahnya bukan rumah yang seindah istana. Ia tidak membiarkan dirinya makan dan minum se-puas hatinya. Ia tidak berbuat sesuatu dengan kekayaannya itu.
Belum pernah ia mempunyai seperti kini. Ia heran sendiri, buat apa sebenarnya ia menyimpan kekayaan itu" Buat apa" Dibiarkannya dirinya terlunta-lunta. Makan hanya se kedar untuk memelihara tubuhnya Pakaian hanya sekedar se lembar kain.
Kekayaan yang dikumpulkannya bahkan kadang-kadang dengan bertaruh nyawa itu sama sekali tidak berarti baginya, tidak memberinya kenikmatan jasmaniah.
Apalagi nilai rokhaniah. Nilai-nilai pengabdian dan kebaktian. Pengabdian kepada sesama dan kepada kemanusiaan, serta kebaktian yang bulat kepada Maha Penciptanya. Tidak. Sama sekali tidak. bahkan nilai-nilai itu telah seringkali dikorbankannya untuk mendapatkan kekayaan duniawi yang tidak bermanfaat yutru bagi keduniawiannya, apalagi kerokhaniaannya.
Mpu Sada masih melihat lewat lubang pintunya yang ma sih terbuka. Sumekar duduk termenung diluar biliknya. Se orang pelayannya yang terbangun itupun duduk pula sambil meng-angguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sama sekali tidak me ngetahui sesuatu. Apalagi pelayan itu, Sumekarpun menjadi bingung melihat sikap gurunya.
Namun Sumekar itu dapat merasakan bahwa terjadi se gala macam luka yang pernah dialaminya. Dengan demikian patti gurunya mendapat kesulitan yang lain. Kesulitan yang ti dak dapat dimengertinya.
Sejenak kemudian mereka telah mendengar . suara ayam yang turun dari kandang-kandang mereka. Mereka mendengar suara sapu dihalaman. Lamat-lamat kicau burung telah menyegarkan pa gi yang terang dan jernih. Tetapi tidak demikian dengan hati Empu Sada.
Pelayannya yang berada didalam rumah itupun segera ke luar. Namun sekali lagi ia mendapat pesan bahwa orang lain tidak boleh mendengar bahwa Empu Sada telah kembali.
Ketika pelayan itu telah pergi, maka dipanggilnya Sume kar masuk kedalam biliknya. Dengan cemas Sumekar melihat keadaan gurunya yang tampaknya terlampau lesu. "Apakah luka dalam yang diderita oleh guru terlampau berat" " Te tapi Sumekar tidak berani bertanya.
"Kau simpan obat-obat itu?" bertanya gurunya.
"Ya guru. "Baik. Bawa obat-obat itu kemari.
"Ya guru" sahut Sumekar sambil meninggalkan guru nya berbaring diamben bambu.
Sejenak kemudian Sumekar telah kembali sambil membawa semangkuk obat yang sudah dicairkannya dengan air dingin.
"Berikanlah" minta Empu Sada sambil bangkit duduk Dengan sekali teguk maka obat itupun telah dihabiskannya
"Mudah-mudahan aku akan segera sembuh." gumamnya. "Mudah-mudahan Empu" sahut muridnya itu,
Empu Sada itupun kemudian ditinggalkannya sendiri. Orang tua itu kemudian kembali berbaring. Tanpa dikehendakinya, maka berdatanganlah semua kenangan masa lampaunya yang suram.
Sekali-sekali terdengar Empu Sada itu berdesah. Kini bukan saja bagian dalam tubuhnya yang terasa sakit, tetapi Iebih2 lagi adalah batinya. Masa lampaunya bukanlah masa yang me nyenangkan untuk dikenang.
Tiba-tiba terdengar orang tua itu memanggil muridnya perlahan-lahan "Sumekar, Sumekar.
Sumekar yang sedang membantu membersihkan ruangan dalam itu ter-gopoh2 melangkah masuk kedalam bilik gurunya. Dilihatnya gurunya menjadi semakin lesu "Ya guru." jawabnya dengan gelisah.
"Kemarilah. Mendekatlah " berkata orang tua itu.
Sumekar itupun segera mendekatinya. Dan duduk bersimpuh disamping pembaringan gurunya.
"Sumekar" berkata Empu Sada "obatmu benar-benar baik. Terasa sakitku menjadi jauh berkurang.
"Ya Empu. Obat itu adalah obat yang guru buat sendiri beberapa bulan yang lalu.
"Ya, ya. Tetapi kau telah membuat takaran yang tepat.
"Ya guru. Empu Sada berhenti sejenak. Dipandanginya wajah muridnya yang satu ini. Murid ini baginya tidak begitu menarik hati di-saat-saat yang lampau, ketika masih ada muridnya yang paling dimanjakannya. Bukan karena sifat dan kemampuannya, tetapi justru karena mereka itu mampu memberi banyak imbalan kepada Empu Sada. Anak ini tidak seperti mereka itu. Tidak seperti Kuda Sempana dan pedagang keliling yang bernama Cundaka. Bahkan masih ada beberapa orang muridnya yang lain yang lebih menarik dari anak ini. Tetapi murid-muridnya itu kini tidak ada dirumah ini. Mereka berada ditempacang terpencar tanpa dapat diawasinya dengan baik, apakah yang telah mereka lakukan. Tetapi anak ini, anak yang bernama Sumekar ini selalu berada dipadepokannya. Tak banyak yang dilakukan selain dengan tekun berlatih. Tetapi Sumekar tidak banyak dapat memberinya imbalan. Meskipun ia anak seorang petani yang kaya, tetapi ternyata tidak dapat menyamai Kuda-Scmpana, seorang Pelayan-dalam yang waktu itu dekat dengan Akuwu Tunggul Ametung dan pedagang keliling yang kaya raya yang se-akan-akan barang-barangnya tidak pernah kering. Dan Empu Sada tidak pernah bertanya dari mana erang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu mendapatkan barang-barang berharga.
Karena itu, maka Sumekar tidak banyak mendapat ke sempatan dari gurunya. Bahkan setiap kali ia ditinggalkannya dipadepokan untuk menunggui rumah dan halaman. Kalau ada sesuatu yang tidak berkenan dihati Empu Sada pada saat ia kembali, maka Sumekarlah tempat yang per-tama-tama untuk menumpahkan segala kemarahannya. Tetapi kali ini Empu Sada berbuat lain. Meskipun terasa sesuatu yang kurang pada tempatnya, namun gurunya itu tidak memaki-makinya dan mengumpatnya. Bahkan kini gurunya itu agaknya berkenan dihati oleh obatnya yang kebetulan dianggap tepat takarannya.
Tetapi Sumekar hanya dapat menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat bertanya, apakah sebabnya maka perubahan itu terjadi.
Kini sejenak mereka saling berdiam diri. Nafas Empu Sada terdengar satu-satu meluncur dari lubang hidungnya. Ter-engah2 seperti orang sedang kelelahan.
Sumekar menjadi cemas mendengar tarikan nafas guru nya itu. Apalagi ketika kemudian ia menengadahkan wajah nya, dilihatnya gurunya terlampau pucat. Tetapi Sumekar ma sih juga belum berani bertanya sesuatu. Ia menunggu sampai gurunya sendiri mengatakannya kepadanya.
Barulah sejenak kemudian Empu Sada itu berkata "Sumekar. Apakah kau selalu tekun berlatih sepeninggalku"
"Ya guru" sahut Sumekar "aku telah mencobanya.
Mpu Sada menarik nafas dalam-dalam. Didalam batinya ia ber kata "Sayang, aku tidak terlalu banyak memberikan bahan-bahan kepadamu. Tetapi yang terloncat dari bibirnya adalah "Sukurlah. Mudah-mudahan kau cepat dapat mengikuti kakak-kakak seperguruanmu.
"Mudah-mudahan guru" salut Sumekar.
Namun dalam pada itu Sumekar melihat sesuatu diwajah gurunya. Kebimbangan atau kecemasan. Tetapi ia masih ju ga belum berani bertanya.
"Sumekar" berkata gurunya "beilatihlah se-baik-baik nya. Aku sudah cukup tua.
Sumekar terperanjat mendengar kata-kata gurunya itu.
"Orang setua aku ini" berkata gurunya seterusnya "pasti hanya tinggal menunggu saat dipanggil kembali oleh pemiliknya. Aku telah mendapat kesempatan hidup di dunia ini untuk waktu yang cukup lama.
"Guru" Tiba-tiba terloncat dari bibir Sumekar, namun kemudian iapun terdiam.
Mpu Sada tersenyum. Baru kali ini ia melihat, bahwa Sumekar memiliki kesetiaan yang terlalu baik bagi seorang murid. Murid menurut caranya. "Mungkin ia cemas karena ia belum mendapat ilmu yang cukup" berkata Empu Sada di dalam hatinya "bukan karena aku adalah gurunya. Kalau ia tidak memerlukan aku lagi, maka apapun yang akan terjadi atas diriku, ia tidak akan memperdulikannya.
Tetapi mata anak muda itu bagi Empu Sada tampak terlampau jujur.
Tiba-tiba Empu Sada itu tidak dapat menahan hatinya lagi untuk menceriterakan apa yang pernah dialaminya diperjalan an. Ia tidak mempunyai seorang sahabat yang dipercayanya. Karena itu, untuk mengurangi himpitan tekanan perasaan, maka diceriterakannya apa yang telah terjadi itu kepada mu ridnya. Muridnya yang selama ini tidak banyak mendapat per hatiannya.
"Anak ini adalah anak yang paling jujur yang pernah aku temui didalam perguruanku" desisnya didalam hati. "
Namun justru karena itu ia menjadi terasing. Seorang yang jujur akan merupakan duri bagi lingkungan yang sama sekali tidak menghargai lagi kejujuran.
Sumekar mendengarkan kata demi kata yang meluncur dari raut gurunya. Berbagai perasaan bergolak didalam dada nya. Kadang-kadang hatinya berdesir tajam. namun kadang-kadang menyala seperti bara.
"Akhirnya aku terluka" terdengar mara Empu Sada lemah "beruntunglah bahwa aku sempat menyembunyikan diriku didalam air. Kalau tidak maka hari ini aku tidak akan bertemu dengan kau lagi Sumekar.
Terdergar gigi anak muda itu gemeretak. Ingin ia me loncat dan berlari menemui orang-orang yang telah melukai guru nya untuk membuat perhitungan. Tetapi Tiba-tiba ia hanya menghela nafasnya dalam-dalam "Gurunya dan dua orang kakak seperguruannya tidak mampu melawan kedua orang yang diceritera kan oleh gurunya itu. Apalagi dirinya sendiri. Tetapi meskipun demikian terasa bahwa ia tidak mau menerima kekalahan itu tanpa pembalasan. Karena itu maka ia berkata didalam hati nya "Suatu ketika aku akan dapat menebus kekalahan ini.
Tetapi Sumekar itu terpcranjat ketika ia mendengar gurunya berkata, se-olah-olah melihat perasaan yang bergolak di dalam dadanya "Sumekar, diangan kau membayangkan, bahwa suatu ketika kau akan dapat menebus kekalahan ini. Kedua orang itu benar-benar orang yang luar biasa. Serahkanlah orang-orang itu kepada keadilan Yang Maha Agung.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ragu-ragu ia men coba menjawab "Tetapi apakah sifat-sifat yang bertentangan dengan adab dan kemanusiaan itu akan kita biarkan daja Empu"
Mpu Sadalah yang kini terperanjat. Jawaban Sumekar tanpa dikehendaki telah menusuk jantungnya pula. Bukan saja Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang telah berbuat bertentangan dengan adab dan kemanusiaan. Ia sendiri, Empu Sadapun pernah melakukannya.
Sejenak Empu Sada itupun terdiam. Terasa bagian dalam dadanya menjadi semakin sakit. Tetapi terlebih sakit lagi adalah hatinya.
Kembali mereka terlempar dalam kediaman. Ruangan yang tidak terlampau besar itu menyadi sunyi. Diluar terdengar gerit timba seperti menggores jantung.
Mataharipun menjadi semakin tinggi pula. Dari celah-celah dinding meloncatlah bayangan-angan yang bulat seolah-olah berpijar pada sisi yang lain. Bergetar oleh bayangan dedaunan yang hitam, yang bergerak-gerak karena angin pagi yang silir, menumbuhkan suara gemerisik. Di dahan-dahan pepohonan, burung-burung liar berkicau saling sambut-menyahut dengan riangnya.
Tetapi hati Empu Sada kian bertambah sakit.
"Sumekar" berkata orang tua itu kemudian "setiap penyimpangan dari kehendak Yang Maha Agung, pada saatnya pasti akan mendapat hukuman sewajarnya. "Empu Sada berhenti sejenak. Kemudian diteruskannya "tetapi pasti akan dipergunakan tangan yang sesuai untuk kepentingan itu. Tanganmu terlampau kecil untuk melakukannya, Sumekar.
Sumekar hanya dapat menundukkan wajabnya. Ia merasa betapa kecil arti dirinya dibandingkan dengan kedua orang yang dikatakan oleh gurunya itu. Tetapi satu hal yang tidak dapat dimengertinya. Kenapa gurunya harus berhubungan dengan kedua orang itu"
Semula Empu Sada ingin merahasiakan persoalan yang se benarnya dihadapi. Tetapi pandangan mata Sumekar yang ter lampau jujur itu terasa menghunjam ke p u sat jantungnya
Akhirnya Empu Sada tidak dapat bertahan lagi. Perlahan-lahan dipanggilnya Sumekar semakin dekat Katanya "Sumekar. Mungkin kau dapat pula mengerti, bahwa sebenarnya akupun bukanlah orang yang bersih. Akupun termasuk orang yang sering memperkosa peradaban dan kemanusiaan. Tetapi aku belum terjerumus terlalu jauh seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mungkin kau selalu ber--tanya-tanya di dalam hatimu, kenapa aku pergi mencari kedua orang itu. Itupun didorong pula oleh kekuasaan nafsu yang telah mencengkam dadaku. Aku terlampau menuruti kehendak Kuda-Sempana, meskipun aku mempunyai pamrih juga dari padanya. Kini kau libat, justru tangan kedua orang liar itulah yang dipergunakan untuk menghukumku. Hukuman badaniah yang aku alami sekarang tidakkah separah penyesalan dan kekecewaan hatiku. Cidera badaniah telah terlampau sering aku alami, tetapi lu ka yang separah ini pada hatiku, belum pernah aku rasakan. "Empu Sada itu terdiam sejenak. Kemudian diceriterakan nya pula hubungan antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni Hubungan antara Kuda Sempana dan Ken Dedes.
Sumekar menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak tahu, bagaimana ia harus menanggapi persoalan itu Memang pernah didengarnya persoalan yang terjadi antara kakak se perguruannya yang menjadi Pelayan dalam itu. Memang ia pernah mendengar pertentangan-angan yang timbul kemudian sehingga kakak seperguruannya itu harus menyingkir. Tetapi ia tidak tahu, bahwa persoalan itu telah terdorong semakin jauh. Kini kakak seperguruannya itu ternyata tertangkap oleh orang-orang yang dikatakan gurunya orang- liar itu. Bahkan kakak seperguruannya yang seorang lagi terbunuh.
Pada satu segi Sumekar menjadi marah didalam hati. Bahkan tumbuh pula dendam didadanya. Namun peda segi yang lain ia merasa se-akan apa yang terjadi itu adalah wa jar. Bahkan seharusnya.
Sekali lagi Sumekar itu terperanjat ketika ia mendengar gurunya Tiba-tiba bertanya "Sumekar, kenapa kau dahulu berguru kepadaku" Ternyata kau terperosok kedalam lingkungan yang bertentangan dengan sifat-sifatmu sendiii. Dan kau selama ini mencoba menyesua^kan dirimu. Aku kini merasa, bahwa kau telah memilih jalan yang salah.
Sumekar se-akan-akan terbungkam karenanya. Pertanyaan itu menjadi semakin keras berdentang didalam telinganya sendi ri. "Ya, mengapa aku dahulu berguru disini" Mengapa aku terlempar dalam lingkungan yang suram tanpa berusaha un tuk menghindar meskipun sebagian telah aku ketahuinya.
Tetapi semuanya telah terjadi. Dan Sumekar itu merasa bahwa ia telah pernah menerima berbagai ilmu dari gurunya itu. Karena itu, maka ia tidak akan dapat lagi meloncat surut, kemasa yang lampau.
Sedang gurunya itu berkata "Tetapi Sumekar, ada baik nya kau melihat segenap persoalan dan akhir dari peristiwa ini. Kau akan mendapatkan sebuah cermin yang baik untuk melihat, betapa kekuasaan yang Maha Agung telah menggerak kan alat-alatNya untuk menyelesaikan rencananya. Kau libat ba gaimana aku sekarang terluka parah dan bahkan hampir mati terbunuh. Murid-muridku kini lidak lagi dapat berbuat sesuatu. Malahan Cundaka itu telah terbunuh pula sedang Kuda-Sem pana tidak sempat aku selamatkan "Empu Sada berhenti sejenak, kemudian dilanjutkannya "Karena itu Sumekar, sebelum kau terlanjur terperosok dalam dunia yang gelap, kau dapat mengungkap kembali sifat-sifatmu yang sebenarnya. Ilmuku sebenarnya bukan sejenis ilmu yang nasar seperti ilmu yang dimiliki oleb Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi meskipun demikian, ilmu hanya sekedar kelengkapan hidup kita. Meskipun ilmu itu ilmu yang sekasar apapun, lebih kasar dari ilmu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, tetapi ilmu itu tidak dapat berbuat sendiri. Tergantung terlampau jauh ke pada pemiliknya. Orang yang memiliki sifat ilmu itu. Seperti sebilah pisau ditangan anak-anak. Pisau itu akan dapat bermanfaat baginya dan orang lain, untuk mengupas makanan dan buah2 an. Tetapi pisau itu juga akan dapat mendatangkan bencana bagi dirinya dan orang lain. Bagaimanapun bentuk daripada pisau itu.
Kepala Sumekar menjadi semakin tunduk. Selama ini gurunya tidak pernah memberinya petunjuk tentang jalan hidup yang harus dipilihnya. Selama ini gurunya hanya mem berinya petunjuk-petunjuk bagaimana ia harus melakukan berbagai macam unsur-unsur gerak. Dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit sekalipun. Gurunya selama ini hanya mem bentak-bentaknya apabila ia gagal melakukan sebuah latihan. Dan gurunya itu pula selalu mem-bentak-bentaknya apabila ia ter lambat sehari dua hari tidak menyerahkan imbalan setiap se lapan kepadanya. Tetapi kini gurunya bersikap lain. Gurunya itu mengatakan persoalan yang lain dari memperbodohkannya. Gurunya berkata tentang hidup dan kehidupan.
Tiba-tiba gurunya itu berkata "Aku sudah cukup tua Sumekar.
Sumekar mengangkat wajahnya. Ditatapnya kedua mata gurunya yang suram.
Tetapi gurunya tidak pernah berbuat demikian sebelumnya. Gurunya bukan banya sekali ini terluka. Bahkan jauh lebih parah. Namun gurunya itu tidak pernah menjadi lesu dan kehilangan gairahnya seperti sekarang.
"Sumekar" berkata gurunya "kau harus tekun berlatih.
Sumekar tidak tahu apa yang bergolak didalam dada gurunya, tetapi ia menjawab "Ya guru.
"Lupakanlah kakak seperguruanmu, Cundaka dan Kuda-Sempana. Lupakanlah apa yang pernah mereka lakukan. Meskipun aku mengetahuinya, bagaimana Cundaka itu mendapatkan berbagai macam barang-barang berharga, tetapi aku selalu berpura-pura tidak tahu. Aku selalu mengatakan, bahwa ia adalah seorang pedagang keliling yang kaya raya. Bukan sekedar seorang penggalas. Tetapi orang itu kini telah mati.
Mpu Sada berhenti sejenak. Yang terdengar adalah desah nafasnya yang semakin cepat, tetapi terpatah-patah.
"Guru" bertanya Sumekar kemudian "apakah aku dapat meramu macam obat-obatan yaag lain supaya guru tidak menjadi sesak nafas"
"Tidak. Tidak perlu Sumekar. Aku sudah sehat.
"Tetapi nafas Empu se-oah2 tidak berjalan dengan
wajar. "Pendengaranmu cukup baik Sumekar. Tetapi tidak apa-apa. Tidak berbahaya bagiku. " Empu Sada berhenti sejenak "tetapi aku memang sudah tua. Tak ada lagi yang dapat aku kerjakan. Hidupku yang tidak berarti apa-apa ini sudah tidak berguna lagi.
menyembuhkan luka-lukanya. Meskipun demikian keadaan gurunya itu cukup menggelisahkannya.
Hari itu Sumekar bekerja dengan penuh kegelisahan dan kecemasan. Setiap kali ia menengok gurunya yang ber baring diam. Namun setiap kali ia masih melihat gurunya itu tidur.
"Mudah-mudahan guru menjadi bertambah baik dengan is tirahatnya.
Disore hari Sumekar melihat gurunya itu berjalan ter,-tatih2 keluar biliknya. Dengan serta-merta Sumekar mendata nginya untuk menolongnya berjalan. Tetapi Empu Sada ber kata "Aku masih cukup kuat Sumekar.
Sumekar tertegun ditempatnya, namun kemudian ia ber tanya "Apakah Empu akan ber-jalaii2 kehalaman"
Mpu Sada menggeleng. Jawabnya "Tidak Sumekar. Aku ingin pergi kebilik belakang. Aku ingin melibat kau ber latih. Dimanakah kedua anak-anak adik seperguruanmu"
"Diluar Empu. Merekapun sedang berlatih bersama.
"Merekapun harus dipesan, bahwa tak seorangpun boleh tahu bahwa Empu Sada telah kembali.
"Ya Empu. Seluruh isi padepokan ini telah mendapat pesan itu.
Tetapi Empu Sada itupun kemudian berkata "Tetapi se bcnarnya itu tidak perlu Sumekar.
Sumekar menjadi heran Dan gurunya berkata terus "Biar sajalah orang-orang 2 yang ingin datang untuk membalas den dam itu kemari. Aku telah pasrah diri sebagai tebusan atas segala kesalahanku.
"Guru, apakah sebenarnya yang Empu kehendaki.
Mpu Sada menggeleng. "Tidak apa-apa" katanya "mari, aku ingin melihat kau berlatih. Ilmumu harus meningkat sebelum aku mati.
"Jangan Empu" sahut Sumekar ter-bata2.
Empu Sada tersenyum. "Apakah bukan sudah seharusnya bahwa suatu ketika seseorang akan mati" Ingat Sumekar. Betapa tinggi ilmu seseorang. Meskipun orang itu memiliki aji yang maha dahsyat. Dapat melebur gunung dan dapat me ngeringkan lautan dengan puliilan laugannya, tetapi ia tidak akan dapat hidup sepanjang janian. Suatu saat ia akan di hadapkan pada suatu keadaan dimana ilmunya tidak akan mampu melawan Maut. Ada seribu jalan menuju kekerajaan maut. Dan setiap orang pasti akan pergi kesana.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Kembali ia melihat so rot yang rnemancarkan keputus-asaan dari sepasang mata gu runya. Tetapi ia tidak dapat berkata sesuatu.
"Ayolah Berjalanlah dahulu.
Keduanyapun kemudian pergi kebilik belakang. Kebilik tempat murid-murid Empu Sada berlatih. Dilihatnya kedua muridnya yang. mudapun, sedang berlatih dibilik itu.
Ketika mereka melihat gurunya datang, maka dengan serta-merta mereka menghentikan latihan mereka. Dengan hormatnya mereka membungkukkan kepala mereka.
"Bagus" desis Empu Sada sambil ber-jalan ter-tatih2 bersandarkan tongkat panjangnya. Berlatihlah dengan baik, selagi masih ada kesempatan, dan selagi aku masih dapat memberimu petunjuk.
Kedua murid yang masih sangat muda itupun saling ber pandangan dan sekali-sekali mereka memandang wajah Sumekar. Tetapi mereka tidak berani bertanya.
"Sekarang beristiratlah. Tunggullah diluar. Aku ingin memberi latihan yang khusus kepada kakakmu.
Sekali lagi mereka berdua menganggukkan kepalanya. Ke mudian merekapun meninggalkan bilik itu.
Yang kemudian melatih dirinya adalah Sumekar. Meski pun Empu Sada tidak mampu untuk memberinya petunjuk dengan gerak, tetapi dengan kata-kata dituntunnya muridnya yang seorang ini dengan baik. Diberinya berbagai macam unsur ge rak yang belum pernah diterimanya. Bahkan kemudian gurunya itu berkata "Sumekar. Ternyata persiapanmu telah cukup untuk mulai dengan ilmu yang terakhir dari perguruan kita. Ilmu yang dapat aku berikan sebelum aku mati.
Dada Sumekar menjadi ber-debar!. Berbagai perasaan bercampur baur didalam dadanya. Disatu pibak ia merasa bangga dan bergembira bahwa gurunya telah menganggap cukup baginya untuk menerima ilmu yang tertinggi dari per guruan Empu Sada. Tetapi dilain pihak ia merasa sangat cemas, bahwa gurunya se-akan-akan telah kehilangan usaha untuk memperpanjang hidupnya. Sehari ini gurunya sama sekali tidak lagi mau berobat, selain pada saat ia datang.
"Sumekar" berkata Empu Sada "besok kita sudah akan dapat mulai dengan dasar-dasar permulaan dari ilmu itu. Ilmu yang telah dimiliki oleh kedua muridku yang hilang. Cundaka dan Kuda-Sempana. Karena itu, Sumekar, maka cobalah, persiapkan dirimu. Aku mengharap bahwa aku masih akan dapat bertahan sampai kau mengenal dasar-dasar yang paling sedikit dapat memberimu jalan untuk menerima ilmu itu.
Sumekar menganggukkan kepalanya sambil bergumam "Terima kasih Empu. Tetapi bagaimana dengan keadaan Empu sendiri"
"Jangan berpikir tentang aku. Aku sudah cukup me ngerti bagaimana aku mengatur diriku sendiri.
Sumekar terdiam. Bukan semestinya ia memberi gurunya petunyuk. Tetapi gurunya kali ini tidak berpikir sewajarnya. Agaknya gurunya sedang terganggu oleh sesuatu persoalan yang telah menggelapkan hatinya.
Ketika kemudian malam yang gelap turun kembali me nyelimuti padepokan yang sepi dan menyimpan berbagai macam rahasia itu, Empu Sada kembali masuk kedalam bi liknya. Kembali ia berbaring sambil menghitung dosa yang pernah dibuatnya. Nafasnya yang ter-sendat2 terdengar seperti saling memburu.
Sumekar tidak sampai hati meninggalkan gurunya seorang diri dalam keadaan itu. Meskipun tidak dikehendaki oleh gurunya, namun Sumekar itupun duduk diatas sehelai tikar disamping pembaringan gurunya.
"Sumekar" berkata gurunya "beristirahatlah.
"Nanti Empu, aku belum merasa mengantuk.
"Apakah kau sudah menyelesaikan semua pekerjaanmu, dan semuanya telah selesai pula dengan pekerjaan masing-masing.
"Sudah Empu. "Bagaimana dengan burung perkututku"
Sumekar menarik nafas. Empu Sada masih juga ingin kepada burung perkututnya. Burung yang sebenarnya tidak terlampau baik. "Burung itu baik-baik saja Empu.
Mpu Sada terdiam sejenak. Tetapi nafasnya masih belum teratur.
"Empu" Sumekar masih mencoba memberanikan di rinya "apakah Empu tidak ingin berobat lagi.
"Tidak Sumekar" jawab gurunya "sudah cukup. Aku sudah sehat kembali. Aku masih akan cukup kuat bertahan sampai kau menyelesaikan latihanmu dan menerima ilmu yang terakhir itu.
Sumekar banya dapat menundukkan kepalanya. Dan ia mendengar gurunya berkata lagi "Kalau kau sudah menerima ilmu itu Sumekar, tugasku telah selesai. Dadaku akan menjadi lapang. Dan apapun yang terjadi atas diriku, sama sekali bukan soal lagi bagiku.
Sumekar masih menundukkan kepalanya. Tetapi Tiba-tiba ia bertanya "Tetapi bagaimana dengan saudara seperguruanku Empu.
"Aku belum tahu benar sifat-sifat mereka. Aku tidak berani memberikan ilmu yang aku anggap paling baik dari perguruan ini tanpa mempertimbangkan siapakah yang akan menerimanya. Aku sudah mengalami masa-masa dimana aku kehilangan pertim bangan itu.
"Dan bagaimanakah dengan kakang Kuda-Sempana
"Tiba-tiba pula pertanyaan itu mcluncur dari mulut Sumekar
"Apakah guru tidak akan berusaha melepaskannya kelak"
Mpu Sada tersenyum. Ia tahu, bahwa sadar atau tidak sadar muridnya ingin memberinya nafsu untuk hidup dan berbuat. Karena itu maka katanya "Aku sudah memberinya bekal yang cukup Sumekar.
"Tetapi ia berada ditangan orang yang jauh melampaui kemampuannya untuk mencoba melepaskan diri tanpa pertolongan.
"Mudah-mudahan ia tidak mengalami bencana. Agaknya Kebo Sindet dan Wong Sarimpat akan mempergunakannya untuk menangkap Mahisa Agni. Aku tidak tahu, apa yang akan di lakukan oleh kedua orang- itu atas Kuda-Sempana. Tetapi Kuda Sempana itu tidak akan dibunuhnya.
"Bagaimana kalau kemudian kakang Kuda Sempana itu diperalat oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, dengan demikian maka mereka akan meninggalkan kesan bahwa Empu pasti turut serta dalam perbuatan itu, karena ada murid Empu bersama mereka. Apalagi Empulah yang sejak per-tama-tama mempunyai persoalan dengan Mahisa Agni.
Mpu Sada terdiam. Matanya masih menatap langit-iangit rumah nya.
Terdengar kemudian ia berdesah "Aku justru tidak lagi berpikir tentang Kuda-Sempana. Aku kini menyadari bahwa nafsunya terlampau dimanjakannya. Ia telah terseret oleh suatu keinginan yang tiada dapat dikendalikan lagi. Te tapi " "Empu Sada itu terhenti sejenak. Terdengar ia menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian orang tua itu ter batuk-batuk kecil
Sumekar memandangnya dengan cemas. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu.
Sejenak kemudian Empu Sada berkata kembali "Tetapi aku justru merasa kasihan kepada Mahisa Agni. Anak itu adalah anak yang baik. Sampai sekarang ia masih selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung. Tetapi bagaimanakah kalau suatu ketika orang-orang liar itu berusaba untuk menang kapnya" Apakah ia akan berhasil melepaskan diri" Ma bisa Agni akan dapat menjadi alat untuk memeras Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung. Hlem " orang tua itu ber desah. Namun Tiba-tiba ia berkata Perbuatan itu harus dicegah. Ia akan dapat memperalat namaku dan menjerumuskan aku kedalam keadaan yang lebih buruk lagi Perbuatan itu memang harus dicegah. " Tiba-tiba Empu Sada itu berkata lantang "Sumekar, beri aku obat itu. cepat.
Sumekar terkejut mendengar perintah gurunya. Sejenak justru ia terpaku ditempatnya. Perintah yang Tiba-tiba itu tidak segera dapat disadari artinya. Tetapi kembali Sumekar terkejut ketika gurunya membentaknya "Sumekar, kenapa kau duduk saja seperti patung. Apakah kau tidak melihat bahwa aku sedang sakit karena terluka dibagian dalam tubuhku. Apakah kau tidak mendengar bahwa nafasku hampir patah dikerong kongan. Ayo, lekas, ambilkan obat itu. Bukankah aku sudah mengajarimu sedikit tentang obat-obatan.
Sumekar itupun kemudian terloncat dari duduknya. Ia menjadi gembira karena gurunya ingin berobat. Tetapi ia menjadi bingung, Tiba-tiba saja sifat Empu Sada kambuh kembali. Mem-bentak-bentaknya.
Sejenak kemudian Sumekar itu telah kembali membawa semangkuk obat yang telah dicairkannya dengan air. Dengan serta-merta maka obat itupun diminum habis oleh Empu Sada.
"Hem" Empu Sada itu menarik nafas dalam-dalam "sekarang tinggalkan aku sendiri Sumekar. Aku ingin beristirahat. Cobalah, persiapkan dirimu, supaya aku dapat dengan baik memberimu petunjuk kepadamu untuk memasuki masa terakhir dari perguruan ini.
"Tetapi bukankah guru akan segera sembuh" " bertanya Sumekar dengan dada ber-debar-debar.
Mpu Sada tersenyum. Katanya "Hidup dan mati sama sekali tidak terletak ditanganku sendiri Sumekar. Kalau aku dapat menentukan hidup matiku sendiri, maka alangkah kuasanya aku atas diriku. Tetapi tidaklah demikian halnya. Namun adalah kuwajiban manusia untuk berusaha.
Sumekar terdiam. Tetapi dadanya tesak oleh kebimbangan dan kebingungan. Gurunya yang Tiba-tiba menjadi keras itupun kini agaknya telah lilih pula kembali. Silat yang ber-ubah2 itu telah membuatnya canggnng untuk berbual sesuatu.
"Sumekar " berkala Empu Sada "tinggalkan aku sen diri. Aku ingin beristirahat. Mudahkan aku menjadi segera baik kembali.
Sumekar membungkukkan badannya. Kemudian ditinggal kannya gurunya termenung seorang diri.
Ternyata -sejak itu Empu Sada benar-benar berusaha untuk menyembuhkan sakitnya. Ternyata ia menemukan kesadaran be tapa pentingnya ia berusaha untuk tetap bidup, meskipun ia tahu benar, bahwa basil usahanya itu sama sekali tidak tergantung kepadanya. Namun adalah menjadi kuwajibannya untuk berusaha.
Ditengah malam itu sekali lagi Empu Sada mengobati di rinya. Sehingga dengan demikian dipagi harinya, terasa tubuh nya menjadi kian segar. Ia tidak menoleh lagi ketika Sumekar mempersilahkannya makan.
Seperti yang dikatakannya, maka sejak bari itu Empu Sada mulai dengan beberapa petunjuk-petunjuk dasar bagi Sumekar untuk mempersiapkan dirinya menerima ilmu tertinggi dari perguru an Empu Sada. Tetapi sejak itu pula Empu Sada tidak saja memberikan petunjuk-petunjuk mengenai ilmu itu, tetapi juga petunjuk-petunjuk apa, yang seharusnya dilakukan oleh muridnya itu. Diberitahukannya kepada Sumekar segala macam pengalaman yang pernah terjadi atas dirinya. Pengalaman yang dipenuhi oleh noda-noda yang hitam.
"Sumekar " berkata Empu Sada suatu ketika "pelajarilah olehmu. Kau telah mendengar jalan hidupku, dan akupun pernah memberitahukan kepadamu, apa yang aku lihat pada Panji Bojong Santi, pada Empu Gandring dan pada Empu Purwa. Aku pernah pula menceriterakan kehidupan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Jadilah pertimbangan untuk menentukan jalan hidupmu. Meskipun kau seorang murid dari seorang guru yang cacad namanya, namun apa bila kau mampu membawa dirimu, maka namamu justru akan mengangkat dan memperbaiki nama perguruan ini.
Sumekar hanya menundukkan kepalanya. Tetapi ia ber janji didalam hati untuk berbuat seperti yang dinasebatkan oleh gurunya.
Kini Sumekar " berkata gurunya "tekuni persiapan yang telah aku berikan. Aku ingin menyelesaikan kewajibanku yang terakhir. Aku harus mencoba melepaskan Mahisa Agni dari tangan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mudah-mudahan aku belum terlambat. Tetapi sampai kini aku masih belum menemukan jalan yang sebaik-baiknya untuk melakukannya.
Sumekar memandangi wajah gurunya. Tampaklah kerut-merut didahinya Kerut-merut ketuaan dan kerut-merut kege lisahan. Tetapi Sumekar tidak dapat mengerti kenapa gurunya masih belum dapat menemukan cara untuk mencoba menyelamatkan Mahisa Agni.
"Guru " Sumekar itupun kemudian mencoba bertanya "apakah sulitnya bagi guru untuk menyelamatkan Mahisa Agni. Apakah guru tidak tahu dimanakah Mahisa Agni seka rang berada".
"Aku tahu tempat dimana ia sekarang berada Sumekar. Tetapi aku tidak dapat menemuinya dan memberitahukan ke padanya bahwa ia sedang diintai bahaya. Orang seperti aku ini Sumekar, terlampau sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari siapapun. Kalau aku mencoba menemui Mahisa Agni, maka aku pasti akan terlibat dalam perkelahian dengan pamannya yang selalu membayanginya. Apapun yang aku katakan, mereka pasti tidak akan dapat mempercayainya. Mereka pasti menyangka, bahwa aku akan menipu mereka.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Dan gurunya berkata "Inipun akan dapat menjadi cermin bagimu. Sekali seseorang kehilangan kepercayaan, maka akan sulitlah baginya untuk mendapatkannya kembali.
Sumekar meng-angguk-anggukkan kepalanya. ia dapat mengerti keterangan gurunya itu. Dan gurunya itupun berkata seterusnya
"Betapa baiknya hasrat yang terkandung didalam hati, ini tetapi orang melihat Empu Sada dengan penuh kecurigaan.
Mpu Sada itupun terdiam sejenak. Sehingga mereka untuk sesaat salig berdiam diri. Namun Tiba-tiba Sumekar itupun berkata "Apakah Empu ingin aku pergi menemuinya dan memberitahukannya apa yang sebenarnya telah terjadi"
Kembali dahi orang tua itupun berkerut-merut. Tampaklah ia berpikir sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab
"Sumekar, aku ingin kau mewarisi ilmu perguruan ini. Kalau kau mengalami sesuatu diperjalanan, maka aku pasti akan menyesal Karena itu kau harus tinggal disini sampai kau memahami ilmu terakhir itu.
Sumekar yang duduk tepekur itu menggigit bibirnya. Ia tenang mendengar gurunya menyayangkannya dan benar-benar ingin membentuknya menjadi seorang yang baik. Tetapi apabila mungkin ia ingin membantu gurunya mengalasi kesulitannya.
Maka kalanya kemudianEmpu, apabila ada yang dapat aku kerjakan, maka inginlah aku berbuat sesuatu. Adapun mengenai ilmu itu, akan aku terima dengan segala kesenangan sesudah aku dapat melakukan sesuatu untuk memperingan beban Empu saal ini. Apabila terjadi sesuatu dalam kewajib an itu, aku tidak akan menyesal. Aku menggagapnya sebagai suatu akibat dari tugas yang harus aku lakukan.
"Kau tidak akan menyesal, Sumekar " jawab gurunya "tetapi akulah yang menyesal. Karena itu, tinggallah disini Tekunilah dasar-dasar ilmu tertinggi itu dengan baik. Awasilah adik-adikmu, supaya mereka tidak terdorong dalam tabiat seperti kakak-kakakmu dahulu. Aku telah membuat kesalahan itu. Sekarang aku akan berusaha mengurangi kesalahan itu sebagai suatu pertanda, bahwa aku berusaha I lengan se-kuat2 tenagaku untuk menebusnya.
"Apakah yang akan guru lakukan"
Empu Sada termenung sejenak. Ia mencoba meyakinkan bahwa rcncananya akan bermanfaat. Maka katanya kemudian "Aku tidak berani menemui Mahisa Agni sekarang, Sumekar. Tetapi aku mempunyai jalan lain. Aku ingin menghadap Ken Dedes. Orang-orang diistana belum terlampau banyak menge nal Empu Sada. Aku akan merubah sedikit kebiasaanku ber pakaian dan meninggalkan tongkat ini. Aku akan menyebut diriku sebagai orang Panawijen yang ingin menghadap Ken Dedes untuk memberitahukan sesuatu dari kakaknya Mahisa Agni.
Sumekar meng-angguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya dengan cemas "Bagaimanakah kalau Empu bertemu dengan pengawal istana, apalagi Witantra itu sendiri"
Empu Sada menarik nafas. Katanya "Aku hanya meng harap supaya mereka tidak segera mengenal aku. Aku akan memberikan kesan yang lain dari keadaanku semula. Aku da pat menjadi seorang yang timpang atau bongkok atau (yacat2 yang lain. Aku dapat memakai pakaian sebagaimana orang-orang padesan memakainya. Sedikit menghitamkan alis dan rambut dipelipis.
Sumekar masih meng-anggukkan kepalanya meskipun ia tidak yakin bahwa usaha gurunya itu akan berhasil. Tetapi ia tidak berani menyatakan ke-ragu-raguannya itu. Sebarusnya ia per caya kepada gurunya.
Ternyata Empu Sada benar-benar ingin melakukan rencana nya. Ia ingin menghadap Ken Dedes. menyatakan penyesalan yang sedalam-dalamnya apabila ia benar-benar dapat bertemu. Kemudi an memberitahukan bahaya yang mengancam Mahisa Agni, supaya Ken Dedes mengirim utusan untuk memberitahukannya. Akan dikatakan pula kemungkinan" yang dapat terjadi, pemerasan dan sebagainya yang akan banyak merebutkan. Bah kaii mungkin banyak diperlukan harta dan benda untuk me nebus Mahisa Agni itu. Sudah tentu apabila hilangnya Mahisa Agni ilu menyangkiti namanya, Ken Dedes sudah dapat menge tahuinya bahwa hal itu tidak benar. Semuanya itu pasti akan didengar pula oleh Akuwu Tunggul Ametung. Mudah-mudahan Ken Dedes dapat menjadi lantaran baginya untuk mohon Ampun pula kepada Akuwu. Apalagi kalau Akuwu berkenan mengirimkan beberapa orang yang terpercaya untuk menang kap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Beberapa hari kemudian, setelah Empu Sada itu benar-benar sembuh, maka dilakukanlah rencana itu. Dicobanya untuk membuat perubahan se-baik-baiknya pada dirinya. Pada pakaiannya, pada solah tingkahnya dan menghitamkan alis, kumis dan janggutnya yang tidak terlampau lebat, yang selama ini tidak dapat dipeliharanya, serta rambut dipelipisnya.
"Sumekar " berkata orang tua itu "apakah kau melihat perbedaan padaku"
Mau tidak mau Sumekar terpaksa tersenyum. Gurunya memang pandai merubah diri, menyamar sebagai seorang cantrik tua dari padepokan Panawijen.
"Kalau aku tidak tahu bahwa yang berdiri dibadapan ku ini adalah Empu, maka aku tidak akan dapat mengenal.
Empu Sadapun tersenyum pula. Katanya "Aku tak akan melalukannya hal serupa ini di-saat-saat yang lampau. Tetapi aku telah melepaskan cara hidup yang lama itu. Aku ingin me neMpuh hidup yang lain. Ini adalah permulaan dari hidup yang baru itu. Kalau aku berhasil, maka Empu Sada seterusnya tidak harus selalu bersembunyi dan mengurung diri dalam ke cemasan dan ketakutan.
Demikianlah hari itu juga Empu Sada meninggalkan pa depokannya di-pagi buta supaya tidak seorangpun yang mc lihatnya Ter-tatih-tatih ia berjalan menuju kekota untuk men coba menghadap Tuan Puteri Ken Dedes yang sebentar lagi akan diangkat menjadi permaisuri Tumapel.
Ketika kemudian matahari terbit, timbullah kecemasan dihati orang tua itu. Apakah benar-benar orang-orang lain tidak dapat mengenalnya sebagai Empu Sada. Kalau ia sudah berhasil meng hadap Ken Dedes apalagi Akuwu Tunggul Amctung, dan mendengar kata-kata pengAmpunannya, maka ia tidak akan cemas lagi. Ia akan dapat menengadahkan dadanya sambil berkata "Ini adalah Empu Sada. Tetapi bukan Empu Sada yang dahulu.
"Tetapi apabila Akuwu Tunggul Ametung tetap menganggapnya bersalah, dan ingin juga menghukumnya, maka ia sudah akan pasrah diri, sebagai tebusan atas segala kesa lahan yang telah dilakukan. Namun dengan demikian maka Akuwu pasti akan dapat menilai, apa yang terjadi apabila Mahisa Agni benar-benar akan hilang dari padang Karautan. Aku akan dapat berbuat sesuatu apabila suatu ketika Kebo Sindet atau Wong Sarimpat datang sambil berkata bahwa mereka pasti berhasil membebaskan Mahisa Agni dari tangan Empu Sada dengan imbalan yang cukup banyak. Bahwa mereka telah mengetahui dimana Empu Sada bersembunyi
Dengan hati yang berdebar-debar Empu Sada itu berjalan se langkah demi selangkah maju mendekati is"ana Tumapel. Ia harus datang sebagai seorang cantrik yang tua untuk me nemui Ken Dedes membawa pesan dari Mahisa Agni.
Disepanjang jalan Empu Sada selalu mencoba melihat perhatian orang lain kepadanya. Sekali-sekali disilangnya orang yang sebenarnya telati dikenalnya. Tetapi ternyata orang itu tidak menegurnya. Dengan demikian maka Empu Sada merasa, bahwa samarannya agaknya dapat berhasil.
Tetapi kesulitan yang lain, yang harus diatasinya nanti adalah pertanyaan-pertanyaan para penjaga. Mungkin ia harus menja wab beberapa pertanyaan yang menyangkut gadis bakal per maisuri itu.
Empu Sada menarik nafas. Ia masih berjalan ter-suruk-suruk ditepi jalan yang berpohon-pohon rindang.
"Kalau aku telah berhasil bertemu dengan Ken Dedes, maka aku tidak perlu lagi menyembunyikan diri. Aku harus segera mengatakan yang sebenarnya. Mengatakan bahwa aku pernah mencegatnya dihutan. Pernah berusaha untuk menang kap dan bahkan membunuh Mahisa Agni. Pernah berbuat hal-hal lain yang terkutuk. Kemudian aku akan mohon supaya puteri sudi menyampaikannya kepada Akuwu Tunggul Ame tung permohonan maaf yang se-jauh-jauhnya. Kalau Akuwu me maafkan, maka aku akan kembali ke padepokan dengan hati yang tenteram. Kalau tidak, maka akupun akan melakukan semua hukuman dengan ikhlas. Adalah lebih baik mati di tiang gantungan dari pada mati ditangan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. " Empu Sada itu bergumam didalam hatinya. Tetapi ia heran sendiri, kenapa ia kini merasa bahwa mati ditiang gantungan itu memberinya ketenteraman. Kenapa ia tidak memilih mati dengan pedang ditangan. Mati tembus oleh ujung senjata dalam perkelahian.
Empu Sada menggelengkan kepalanya. Ia sendiri menjadi bingung. Namun lamat-lamat terdengar suara dari sudut hatinya yang paling dalam. "Harga diri dan kejantanan yang mapan, tidak pada tempatnya, sama sekali tidak berarti bagi hidupmu yang abadi. Keberanian dan ketabahan menghadapi maut dijalan yang salah, sama sekali tidak membuka jalan yang menuju kesisi Yang Maha Agung. Karena itu, maka hidup yang abadi itu bernilai berlipat tanpa batas dibanding dengan hidupku kini. Dan kini aku tidak mau menambah noda bagi hidup yang abadi itu.
Dengan demikian maka Empu Sada berjalan dengan langkah yang ringan meskipun disamarnya. Ternyata orang tua itu pandai membawa dirinya. Tak seorangpun yang berjumpa dijalan menyangka bahwa orang yang ditemuinya itu adalah seorang yang bernama Empu Sada.
Akhirnya Empu Sada itupun sampai ke alun-alun Tumapel. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Dilihatnya diregol istana beberapa orang prajurit sedang ber-jaga-jaga. Disisi lain, dibagian dalam halaman tampaklah pelayan-dalam mondar-mandir dalam ku wajibannya masing-masing. Namun pelayan dalam inipun ternyata mempunyai kemampuan seperti para prajurit itu pula.
Tetapi Empu Sada tidak akan memilih jalan depan. Ia harus masuk lewat regol belakang. Namun dalam pada itu ia selalu berharap agar wajahnya tidak dikenal sebelum ia bertemu dengan Ken Dedes. Adalah lebih baik baginya apa bila ia dapat menghadap Akuwu Tunggul Ametung sama sekali.
Ketika Empu Sada sampai dimuka regol belakang, kem bali ia menjadi ragu-ragu. Ter-tegun ia berjalan, dan bahkan sesekali timbullah keinginannya untuk membatalkan niatnya. Kalau salah seorang prajurit yang sedang berjaga itu me ngenalinya, maka ia pasti akan mendapat tuduhan yang sangat memberatkannya. Ia pasti akan dituduh menculik Ken Dedes dengan samarannya. Apakah ia akan dapat berdiam diri apa bila para prajurit itu be-ramai2 mengeroyoknya" Bahkan ke mudian akan hadir Witantra dan saudara-saudara seperguruannya"
Tetapi kadang-kadang niatnya menjadi bulat. Kalau aku harus ditangkap, biarlah aku ditangkap. Apapun yang akan dituduh kannya kepada aku tidak akan berkepentingan lagi. Yang penting bagiku adalah menyampaikan pemberitahuan, bahwa rencana Kebo Sindet dan Wong Sarimpat terlampau berba haya bagi Mahisa Agni. Serta ke-mungkinan2 pemerasan dan hal-hal yang serupa itu.
Dalam keragu-raguan itu Empu Sada terkejut, ketika ia men dengar salah seorang prajurit memanggilnya. Ketika ia ber paling dilihatnya prajurit itu melambaikan tangannya kepa danya.
"He, apa kerjamu disitu" " bertanya prajurit itu.
Empu Sada sadar, bahwa justru karena ia tertegun-tegun, maka kehadirannya telah menimbulkan kecurigaan pada prajurit-prajurit itu. Kini kembali ia diamuk oleh ke-ragu-raguan. Sehingga untuk sejenak Empu Sada masih saja berdiri ditempatnya.
"Kemari; " panggil prajurit itu.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah tidak akan dapat menghindari lagi. Dengan demikian, maka kini kembali ia membulatkan hatinya, bahwa ia harus pasrah diri. Namun kadang-kadang terbersit pula didalam batinnya pcnyesalan, bahwa ia tidak saja menyelesaikan sama sekali ajaran yang dapat diberikannya kepada Sumekar.
"Kalau otak anak itu cukup baik " katanya didalam hati ia sudah cukup menguasai dasar-dasar unsur gerak dari ilmu yang terakhir itu. Dengan melihat dan merasakan ilmu itu serta menghubungkannya dengan apa yang pernah dilihat, maka dengan tekun ia pasti akan sampai dengan sendirinya, meskipun mungkin ia akan mengalami kejutan yang dahsyat, namun tidak akan. berbahaya bagi jiwanya.
"He, kemari kaki. " terdengar kembali seorang prajurit memanggilnya.
Empu Sada itupun kemudian melangkah maju. Tetapi ternyata kadang-kadang masih juga tumbuh desir dijantungnya apabila ia melihat ujung tombak. Ia tahu benar, bahwa ujung tombak ditangan para prajurit itu sama sekali tidak akan dapat menahannya apabila ia akan berbuat sesuatu.
Ter-tatih2 Empu Sada itu mendekati para prajurit pe ngawal istana. Setiap langkah kakinya terasa se-olah-olah sebuah dentangan didalam dadanya.
Tetapi agaknya para prajurit itu menganggapnya sebagai seorang tua yang sedang kebingungan saja. Salah seorang pra jurit itu bertanya acuh tak acuh "He, kaki, kenapa kau ter-tegun2 disini" Apakah ada yang kau cari"
"Ya tuan " sahut Empu Sada dengan suara bergetar dalam nada yang tinggi aku memang sedang mencari.
"Apakah yang kau cari" Barangkali aku dapat menolong mu menunjukkannya"
"Terima kasih tuan " Empu Sada itu membongkok sampai hampir menyentuh lututnya "terima kasih.
"Apakah yang kau cari"
"Aku sedang mencari istana Akuwu Tumapel tuan.
"He " prajurit itu terperanjat "kau sedang mencari istana Tumapel.
"Ya tuan. Jawaban orang tua itu agaknya telah menarik perhatian para prajurit yang lain. Beberapa orang yang semula sama sekali tidak tertarik kepada orang itupun kemudian datang mengerumuninya.
"Apakah yang akan kau cari didalam istana Tumapel"
"Tetapi apakah tuan dapat menunjukkan istana Tu mapel itu
"Tentu, tentu " sahut seorang diantara para praju rit itu.
"Terima kasih tuan, terima kasih. Apakah aku sudah dekat dengan istana yang kucari.
"Inilah istana itu " sahut yang lain sambil menunjuk kearah istana Tunggul Ametung.
"Aku sudah menduga " sahut Empu Sada "rumah ini adalah rumah yang paling besar dan paling baik yang aku jumpai dikota ini. Menurut pesan yang aku terima, rumah itu mempunyai alun2, dan pasti dijaga oleh prajurit ber senjata disetiap regolnya. Dan ternyata dugaanku2 itu benar.
"Ya " sahut prajurit yang lain pula " dugaanmu benar. Lalu apakah yang ingin kau cari didalam istana ini.
"Tuan, aku akan mencari nini Ken Dedes.
"He " salah seorang prajurit menyahut "kau mencari Tuan Puteri Ken Dedes"
"Oh. Tuan Puteri" Ya maksudku Tuan Puteri Ken Dedes Bukankah gadis itu datang dari Panawijen"
"Ya. Kau benar kaki. Tuan Puteri datang dari Pana wijen. Tetapi apakah keperluanmu mencari Tuan Puteri Ken Dedes"
"Aku datang dari Panawijen tuan. Aku mendapat pesan dari anak-mas Mahisa Agni untuk menemui Tuan Puteri Ken Dedes.
"Oh, Mahisa Agni. Anak muda kakak Tuan Puteri itu"
"Ya. Tuan benar. "Apakah pesannya."
"Aku harus menyampaikannya sendiri tuan
Beberapa orang prajurit itu saling berpandangan. Kemudian seorang daripadanya, yang agaknya pemimpinnya bertanya "Apakah pesan itu terlampau penting"
Empu Sada harus memperhitungkan keadaan dengan baik. Pertanyaan itu harus dijawabnya dengan tepat. Ia tabu benar, bahwa para prajurit itu akan dapat menyuruhnya menunggu saja diluar, sedang pesan itu akan disampaikan oleh prajurit itu sendiri. Karena itu, maka Empu Sada itupun kemudian berusaha untuk menghindarkan kemungkinan itu.
Pengemis Tua Aneh 3 Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat Negara Kelima 2
^