Pencarian

Pelangi Dilangit Singosari 30

01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 30


Jawabnya "Oh, tidak. Tidak tuan. Pesan itu sama sekali tidak penting.
Para prajurit itu menarik nafas. Sejenak mereka saling berpandangan Baru kemudian salah seorang dari mereka ber kata "Kaki, jarak Panawijen Tumapel adalah jarak yang tidak terlampau dekat. Kalau pesan itu tidak terlampau penting kenapa kaki harus berjalan menempuh jarak itu" Dan kenapa orang setua kaki ini yang harus datang kemari, bukan seorang anak muda yang gagah diatas punggung kuda"
Orang, tua itu meng-angguk-anggukkan kepalanya. Dengan hati-hati ia menjawab "Tuan, setiap orang muda di Panawijen harus bekerja keras membuat bendungan. Itulah sebabnya maka tak ada seorang anak muda yang dapat datang kemari.
"Ah " sahut prajurit yang lain "aneh kaki. Ada berapa orang anak-anak muda di Panawijen" Bukankah dengan berkurang seorang dari mereka tidak akan mengganggu pe kerjaan itu"
Tuan benar. Tetapi maaf tuan, aku berkata sebenar nya, tak ada seorangpun anak-anak muda yang berani seorang diri menemiuh jarak Panawijen Tumapel. Apalagi sejak beberapa kali Mahisa Agni bertemu dengan bahaya diperjalanan, bahkan Ken Dedes yang dikawal kuatpun hampir-hampir mengalami bencana.
Prajurit-prajurit itu meng-anggukkan kepalanya. Namun kemu dian salah seorang dari mereka bertanya "Tetapi kenapa justru kau berani melakukannya kaki"
"Ada beberapa macam pertimbangan tuan " salut Empu Sada "aku sudah tua. Aku rasa tak seorangpun yang memerlukan aku lagi Jangankan orang-orang yang sakti, sedang oleh anak-anakpun aku dapat didorongnya jatuh. Itulah sebab nya maka perjalanankupun ternyata tak diganggu orang.
"Tetapi kau tahan berjalan se-jauh itu"
"Aku menempuh perjalanan ini selama dua hari dua malam tuan.
"He, dua hari dua malam" Apakah kau merangkak seperti siput"
"Ya tuan. Aku tidak dapat berjalan lebih cepat.
"Dan setelah kau berjalan dua hari dua malam, kau hanya sekedar membawa pesan yang tidak penting"
"Ya tuan. Pesan itu tidak penting, tetapi aku ingin me nyampaikannya sendiri.
Tiba-tiba seorang prajurit mengerutkan keningnya. Selangkah ia maju dan berkata "Apakah pesan itu"
Empu Sada tertegun sejenak. Ia melihat sorot mata yang aneh pada prajurit itu. Tetapi tidak mencemaskannya Prajurit itu agaknya merasa heran bahwa pesan yang tidak penting itu harus dibawanya merangkak seperti siput selama dua hari dua malam.
Meskipun demikian Empu Sada harus lebih ber-hati-hati. Setiap ktcurigaan akan dapat menyulitkannya. Ketika prajurit itu melangkah selangkah maju lagi, maka Empu Sadapun segera mundur sambil mem-bungkuk2 "Tuan. " kalanya ter-bata2 "pesan itu memang tidak penting tuan.
Prajurit itupun memandanginya semakin tajam "Ka lau tidak penting, kenapa kau harus berjalan sejauh itu. Coba katakan bagaimana bunyi pesan itu. Kami adalah para pengawal yang harus menjaga ketenteraman istana.
"Tetapi, tetapi Mahisa Agni mengharap aku dapat menyampaikannya sendiri.
"Tetapi kami harus tabu, apakah pesan itu.
Empu Sadapun kemudian me-runduk-runduk sambil berkata "Baik, baik tuan.
"Nah, katakanlah. "Baik, baik tuan. "Ya, katakanlah. Aku perlu mendengar pesan itu, bukan ingin mendengar kesediaanmu mengatakan. Telapi katakanlah.
"Tuan " berkata Empu Sada "Mahisa Agni pesan kepadaku supaya aku berkata kepadanya, kepada Tuan Puteri bahwa ia harus berusaha menyesuaikan dirinya disini. Ia tidak dapat ber-manja2 seperti dipadepokan dahulu. "Empu Sada berhenti sejenak. Diamatinya wajah prajurit itu untuk me nangkap kesan yang tersirat daripadanya.
Hati orang tua itu menjadi lapang ketika Tiba-tiba ia melibat prajurit itu tertawa.
"Hem " berkata prajurit itu sambil memilin kumis nya "pesan itu sama sekali bukan sebuah rahasia. Kenapa kau agaknya mempersulit untuk mengatakannya.
"Tidak tuan. Aku sama sekali tidak mempersulit. Tetapi aku ingin memenuhi permintaan Mahisa Agni. menyampaikan pesan itu langsung kepada Ken Pedes.
"Tuan Puteri maksudmu"
"Oh, ya, ya. Tuan Puteri Ken Dedes.
"Pesan itu terlampau sederhana. Keperluanmu bertemu dengan Tuan Puteri sama sekali tidak seimbang dengan tata-cara yang harus dilakukan. Kaki, biarlah kami saja yang menyampa:kan pesan itu.
"Oh, jangan tuan. Jangan. Mahisa Agni pesan ke padaku supaya aku menyampaikannya langsung.
"Tidak setiap orang dapat menghadap Tuan Puteri, dan tidak setiap keperluan harus dilayani.
"Tetapi, tetapi bukankah pesan itu datang dari keluarganya yang harus dengarnya.
Itulah sebabnya, kami akan menyampaikan pesan itu tanpa ditambah dan dikurangi. Meskipun pesan itu datang dari keluarganya. namun tak setiap orang diperbolehkan masuk ke dalam istana seperti masuk kedalam warung saja.
"Oh. " Empu Sada itupun kemudian me-rengek-rengek "Tuan, kasihanilah aku orarg tua ini tuan. Aku sudah berjalan sedemikian jauht ya untuk menghadap nini Ken Dedes, eh, Tuan Puteri Ken Dedes untuk menyampaikan pesan itu
Pesan itu pasli akan sampai, kaki " sahut prajurit yang lain.
"Tetapi, tetapi disamping itu masih ada pesan yang lain.
"He " prajurit itu terkejut "jadi masih ada yang kau rahasiakan.
"Ya tuan. "Oh " prajurit itu menjadi heran, kenapa orang itu dengan mudah nya menjawab bahwa masih ada sesuatu yang dirahasikan" Namun dengan demikian kesan yang didapat para prajurit itu adalah "Orang tua ini adalah orang tua yang bodoh dan jujur.
"Katakanlah rabasia itu.
"Tetapi apakah dengan demikian aku akan dapat menghadap"
"Tergantung kepada pertimbangan tentang rahasia itu.
"Tetapi Mahisa Agni pesan tuan, supaya rahasia iri tidak dikatakan kepada siapapun.
"Kalau begitu, kau tidak dapat masuk kedalam istana.
"Oh, jadi bagaimana"
"Rahasia itu harus kau sebut, kaki.
Para prajurit melihat orang tua yang berjalan ter-suruk-suruk itu menjadi ragu-ragu. Justru karena itu para prajurit itupun menjadi semakin ingin mengetahui, rahasia apakah yang te lah dibawanya.
"Kalau kau tidak mengatakannya, maka kau tidak akan dapat masuk.
"Baik, baik tuan. Aku akan mengatakan rahasia itu tetapi dengan janji.
"Janji apa Kaki"
"Tuan tidak boleh mengatakannya kepada orang lain.
Tiba-tiba beberapa diantara para prajurit itu tidak dapat menahan tertawanya. Meskipun demikian mereka berusaha untuk menyembunyikan wajah-wajah mereka dibelakang punggung kawan-kawannya.
"Ayo katakan " berkata salah seorang dari pada me reka.
"Tetapi rahasia ini sebenarnya sangat memalukan Aku mendapat pesan dari Mahisa Agni supaya disampaikan kepada adiknya. Bahwa kini Mahisa Agni sudah tidak lagi mempunyai rangkapan kain panjang. Itulah tuan.
Meledaklah suara tertawa diregol itu Para prajurit itu pun tidak lagi dapat menahan diri. Bagaimanapun juga me reka mencobanya, tetapi suara tertawa mereka telah menarik perhatian orang-orang yang kebetulan lewat dimuka regol. "Alang kah bodohnya orang tua ini "pikir mereka " dan alangkah kasihannya Mahisa Agni.
Tetapi mereka sama sekali tidak tahu, bahwa Empu Sada pun tertawa pula didalam hati. Ia telah berhasil memainkan peranannya hampir sempurna. Meskipun demikian para pra jurit itu masih belum menjawab dengan pasti prtmintaan nya untuk menghadap Ken Dedes.
Para prajurit itu masih saja tertawa, sedang Empu Sada masih juga berdiri ter-mangu-mangu. Orang tua itu berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan perasaan sendiri. Betapa ia ter tawa didalam hati, melampaui gelak para prajurit itu, namun wajahnya masih juga tampak alangkah bodohnya.
"O kaki " berkata salah seorang dari para prajurit itu "apakah Mahisa Agni sangat memerlukan sepotong kain panjang"
Empu Sada mengangguk "Ya tuan. Selembar yang dipakainya kini telah nrantang.
"Kalau kau katakan sejak tadi kaki, kau tidak perlu terlampau bernafsu untuk menghadap Tuan Puteri. Aku mempunyai kain panjang rangkap dirumah. Kau boleh membawa nya selembar buat Mahisa Agni dan selembar buat kau sendiri.
"Terima kasih tuan, terima kasih " sahut Empu Sada
"Nah, kalau demikian tunggulah sampai waktuku berjaga disini habis. Kau turut aku kerumah, dan kau akan mendapatkannya.
"Tetapi bagaimana dengan Tuan Puteri"
"Pesanmu akan disampaikan. Dan kau akan mendapat kain panjang dariku. Bukankah keperluanmu sudah selesai"
"Tegapi, tetapi aku harus menghadap tuan Tuan Puteri tidak hanya akan memberi selembar kain buat Agni dan selembar buat aku. Mungkin ada pesan pula dari Tuan Puteri yang harus aku sampaikan kepada kakaknya, atau barangkali selembar timang atau ikat kepala.
Kembali para prajurit itu tertawa. Mereka melihat orang tua itu dengan sorot mata yang lucu. Tetapi mereka mendapat kesan yang hampir pasti " Orang tua ilu adalah orang tua yang bodoh tetapi jujur.
Meskipun demikian, para prajurit itu tahu benar akan kuwajibannya. Karena itu, maka mereka tidak akan dengan mudah membiarkan orang-orang diluar istana memasuki halaman. Juga orang tua ini. Meskipun mereka sebenarnya telah tidak mempunyai kecurigaan apapun lagi, namun mereka tidak se gera dapat memberinya ijin untuk dengan demikian saja menghadap Tuan Puteri Ken Dedes.
"Bagaimana tuan" " desak orang tua itu "Apakah aku diijinkan masuk"
"Apakah kau mengenal jalan yang menuju ketempat Tuan Puteri itu.
Empu Sada mengerutkan keningnya, jawabnya sambil menggeleng "Tidak Tuan.
"Nah, kau memang tidak akan dapat memasuki halaman ini seorang diri. Tak seorangpun diijinkan. Seorang prajurit akan mengantarmu sampai keregol halaman dalam. Kau harus menunggu disana. Prajurit itulah yang akan menyam paikannya kepada emban terdekat, bahwa seseorang ingin meng hadap. Kalau Tuan Puteri ragu-ragu, maka Tuan Puteri pasti akan memintamu menunggu "ampai seseorang sempat menyam paikannya kepada Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi untuk menyampaikan permintaan i2u, kau masih harus menunggu. Mungkin sehari, mungkin besok kau baru mendapat jawaban.
"O " keluh Empu Sada "dahulu " aku tidak pernah mendapat kesukaran untuk bertemu dengan anak itu di Panawijen.
"Hus potong seorang prajurit. Tetapi mau tidak mau prajurit itupun harus tertawa " keadaannya dahulu dan ke adaannya tentu jauh berbeda.
"Jadi bagaimanakah tuan"
"Masuklah bersama salah srorang dari kami. Tunggu lah diluar regol dalam Kalau Tuan Puteri mendengar bahwa seseorang dari Panawijen akan menemuinya, maka aku kira kau tidak akan menunggu sampai malam.
"Terima kasih tuan. Terima kasib. Aku akan menunggu meskipun sehari penuh. Didalam kasa ini aku masih menyim pan sisa bekal yang aku bawa dari rumah.
"Sudah dua hari dua malam"
"Nasi jagung tuan. Sepekan masih juga baik.
"Nah, ikutilah kawanku ini " berkata pemimpin pen jaga itu sambil menunjuk salah seorang bawahannya.
Empu Sada menganggukkan kepalanya. Kemudian ia me langkah mengikuti prajurit yang membawanya masuk Tetapi kemudian ia tertegun ketika pemimpin prajurit itu masih bertanya kepadanya "Siapa namamu"
Empu Sada berpaling. Tetapi ia sama sekali tidak menjadi bingung menerima pertanyaan itu. Dari rumah ia telah bersedia, apabila seseorang menanyakan namanya "Makerti " jawab Empu Sada "namaku Makerti.
Tetapi Tiba-tiba hatinya menjadi ragu-ragu. Ia dapat menipu para penjaga itu. Ia dapat menyebut nama apa saja, bahkan seribu nama sekalipun tidak akan mencurigakan. Namun ia menyangka bahwa dengan demikian, ia akan segera dihadap kan langsung kepada Tuan Puteri Ken Dedes. Ternyata yang terjadi tidak demikian. Seorang prajurit akan menghadap dan mengatakan keperluannya. Apabila prajurit itu menyebut namanya, dan Ken Dedes tidak pernah mengenal nama Ma kerti, maka apakah kira-kira yang akan terjadi"
Empu Sada menjadi bimbang. Tetapi ia tidak sempat berpikir terlampau lama. Pemimpin prajurit itu telah berkata kepadanya "Baiklah kaki Makerli. Pergilah Mudah-mudahan kau tidak perlu terlampau lama menunggu.
Empu Sada menganggukkan kepalanya dalam-dalam, kemudian kembali ia btrjalan mengikuti prajurit yang membawanya keregol dalam. Tetapi kembali ia dirisaukan oleh nama itu. Makerli. Nama itu memang telah disiapkanuya. Ia mengang gap bahwa nama tidak akan banyak berpengaruh atas rencana itu. Namun sekarang baru ia menyadari, bahwa justru ka rena namanya itu akan dapat timbul kecurigaan yang mem bahayakannya. Kenapa ia tidak berusaha untuk mencari se buah nama yang memang pernah dimiliki oleh orang Pana wijen"
Angan-angan Empu Sada itu patah ketika mereka segera sampai keregol halaman dalam. Prajurit itu terhenti sejenak dan kemudian berkata "He, kaki Makerti, tunggulah disini. Aku akan mencoba menghadap. Apabila maksudmu diterima, maka kaupun akan aku bawa menghadap pula.
"Jadi bagaimana tuan. Apakah aku harus menunggu"
"Ya. Kau memang harus menunggu disini.
"Bagaimana kalau aku masuk bersama tuan. Kalau aku tidak diijinkan menghadap, maka aku akan pergi bersama tuan pula.
"Ah, jangan Demikianlah seharusnya. Kau harus ber ada disini.
"Aku takut tuan. Aku takut disini seorang diri.
"Kau tidak seorang diri " sahut prajurit itu " lihat, disisi regol dalam itu adalah sebuah gardu. Apakah kau tidak melihat dua orang yang berada didalamnya"
"Oh " Empu Sada menjengukkan kepalanya. Dilibatnya dua orang dukuk didalam sebuah gardu pendek. Tetapi disisi mereka itu tersandar dua batang tombak.
"Masih ada satu lagi. Lihat yang mondar-mandir itu.
"Oh " Empu Sada kini benar-benar menyadari bahwa penjagaan istana bukan sekedar sebuah upacara saja.
"Apakah bilik Tuan Puteri itu masih jauh"
"Tidak. Itulah. Kau nanti akan naik tangga itu. Dan kau akan sampai keserambi dibelakang ruang dalam. Kalau Tuan Puteri dapat menerimamu, maka kau akan diterima diruang itu. Sedang biiik Tuan Puteri adalah didalam istana. Sentong Tengen.
Empu Sada meng-angguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia me mandang berkeliling, maka yang dilihatr.ya adalah sebuah taman yang manis. Tetapi disekitar tempat itu ia tidak lagi melihat gardu2 penjagaan yang lain.
"Nah, tinggallah disini. " berkata prajurit itu "aku akan masuk. Aku akan menyampaikan permintaanmu lewat Pelayan Dalam yang bertugas disana. Dan aku akan menyam paikan pesan itu nanti kepadamu, apakah kaki akan diterima atau kaki harus menunggu saat yang lain.
"Oh " Empu Sada mengeluh. Ternyata tidak semudah yang disangkanya.
"Kenapa kaki" " bertanya prajurit itu.
"Alangkah sulitnya. Tuan, tolong, katakanlah kepada gadis itu, bahwa yang ingin menghadap adalah pamannya. Makerti. Aku adalah adik ibunya yang sudah lama meninggal. Mungkin anak itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kalau tuan menye butnya bahwa aku berasal dari Ngarang maka ia akan mengenal aku.
"Jadi kaki tidak berasal dari Panawijen"
"Ya, ya; Aku datang dari Panawijen. Tetapi aku temui Panawijen sudah lain dari dahulu. Aku hanya bertemu dengan Mahisa Agni. Mudah-mudahan nini, eh. Tuan Puteri menerima aku.
Prajurit itu memandanginya dengan ragu. Tetapi kemudian ia tersenyum. Katanya "Baiklah kaki. Tunggulah disini. Aku akan menyampaikannya lewat seorang Pelayan-dalam atau seorang emban. Tunggulah, jangan takut, digardu itu ada orang. Dan orang-orang itu tidak akan me-nakut2imu.
Siapakah orang itu" Tiba-tiba salah seorang prajurit di dalam gardu itu bertanya.
Bertanyalah sendiri kepadanya. " jawab prajurit itu "nah mendekatlah. Mungkin kau dapat menunggu disana pula.
"Baik, baik tuan. Empu Sada itupun kemudian melangkah ter-tatih2 mende kali gardu dan duduk didepannya. Sementara itu prajurit yang mernbawanya lelah berjalan meninggalkannya, untuk menyam paikan pesan dan permintaan orang tua itu.
Sementara ilu Empu Sada masih saja diliputi oleh kece masan. Di-saat-saat terakhir ia mcnlyoba membuat pesannya men jadi kabur dan membingungkan. Mudah-mudahan Ken Dedes tidak dapat lagi menelusurnya dan mcnjadi ingin tahu, sia pakah yang datang kepadanya.
"Tetapi bagaimanakah kalau gadis itu dengan tenang dapat menilai keterangannya"
Kembali Empu Sada menjadi ragu-ragu. Tetapi dalam pada itu tanpa disadarinya ditclusurinya halaman itu baik-baik. Dilihatnya beberapa orang hilir mudik. Ia tahu benar, bahwa diantar a mereka adalah Pelayan-dalam seperti Kuda Sempana dahulu.
Tetapisementara itu Empu Sada harus menjawab perta nyaan dari prajurit-prajurit yang berada didalam gardu itu.
Akhirnya prajurit-prajurit itupun berhenti bertanya dan berkata Nah, beristirahatlah kaki. Mungkin kau harus menunggu agak lama disitu.
"Terima kasih tuan " jawab Empu Sada.
Namun sementara itu kembali angan-angan Empu Sada beredar diseputar keadaannya. Kecemasannya semakin lama semakin mengganggunya, sehingga Tiba-tiba tanpa dikehendakinya ia mulai menilai dirinya kembali.
"Aku bermaksud baik " katanya didalam hati "tetapi kalau aku dianggap ingin berbuat jahat, maka apakah aku harus berdiam diri"
"Hem " pertanyaan itu dijawabnya sendiri "biarlah. Kalau seharusnya aku ditangkap, biarlah aku ditangkap. Kalau seharusnya aku digantung di-aluns, biarlah aku digantung.
Tetapi " kembali terdengar sebuah pertanyaan "dengan demikian, maka aku tidak akan sempat mengatakan keadaan yang sedang dihadapi oleh Mahisa Agni. Semua kata-kataku pasti ti dak akan dipercaya.
Dengan demikian, maka dada Empu Sada itupun segera. diamuk oleh kebimbangan, kebingungan dan kecemasan.
Tetapi sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang luas didalam dunianya yang penuh dengan pergulatan, maka tanpa dikehendakinya sendiri, Empu Sada mencoba menilai dirinya, apakah ia akan mampu meloncati dinding halaman yang tinggi itu".
Jilid 24 PRAJURIT-PRAJURIT yang berada didalam gardu itupun kini sama sekali sudah tidak lagi menaruh perhatian kepada orang tua itu. Dibiarkannya Empu Sada duduk ter-kantuk-kantuk.
Tetapi me reka sama sekali tidak melihat, bahwa didalam dada orang tua itu gedang bergolak berbagai perasaan yang ber-simpang-siur.
Tiba-tiba timbullah sesuatu yang aneh didalam dada Empu Sada itu. Sekali disambarnya prajurit-prajurit itu dengan sudut ma tanya. Sekilas menggelegak didalam dadanya "Hem. Kelinci-kelinci ini dapat aku bungkam dalam sekejap.
Empu Sada terkejut sendiri menyadari angan-angannya itu. Na mun angan-angannya itu masih juga menjalar terus "Kalau pra jurit ini sudah binasa, aku akan masuk kehalaman dalam. Aku kira tidak akan begitu sulit mencari tempat Ken Dedes tanpa diketahui oleh banyak orang.
Orang tua itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya kelangit. Matahari telah rendah diujung Barat.
"Kalau malam segera tiba." desisnya didalam hati. "Apakah kepentinganku atas Mahisa Agni itu. Kalau aku dapat mengambil Ken Dedes, maka Kebo Sindet dan Wong Sarimpat pasti akan mengumpat setinggi langit. Mahisa Agni tidak akan bermanfaat baginya. Sedang kini tak seorangpun yang tahu, siapakah yang telah masuk kedalam istana. Tak se orangpun tahu bahwa Empu Sadalah yang telah mengambil gadis itu. O, aku akan dapat menyebarkan desas-desus untuk melawan akal Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Aku harus berusaha melemparkan kesalahan tentang bilangnya Ken Dedes kepada kedua setan itu sebagai pembalasan dendam.
Kembali Empu Sada terbenyak oleh angan-angannya. Kembali ia menjadi sadar akan kehadirannya. Tetapi jalan hidup yang ditempuhnya selama ini tiba-tiba telah mengamuk kembali didalam dadanya. Maka terjadilah kini benturan yang dahsyat didalam dada orang tua itu. Baru sesaat ia menemukan ja2an yang terang. Apa yang dialaminya pada saal2 terakhir telah mendorongnya kedalam suatu kesadaran. Namun ketika ia di hadapkan kembali pada kesempatan-kesempatan seperti ini, maka kembali kebimbangan menggelegak didadanya.
Kebimbangan yang bersilang-melintang. Ia bimbang apa kah nama yang dipergunakannya akan dapat membawanya ke pada Ken Dedes" Tetapi iapun dicengkam oleh sebuah ke bimbangan yang lain. Apakah kesempatan ini akan dilewatkan nya" Sudah ber-puluh tahun ia menempuh cara hidup yang dipilihnya Dengan cara apapun ia pernah berusaha untuk mengambil Ken Dedes dan mempergunakannya untuk mendapatkan sesuatu yang cukup bernilai. Meskipun kini Kuda-Sempana tidak ada lagi padanya, namun Ken Dedes akan dapat dijadikannya barang tanggungan yang baik, jauh lebih baik dari Mahisa Agni.
Tetapi tiba-tiba terbayang didalam angan-angannya itu seorang anak muda yang bernama Sumekar. Anak muda yang memandanginya dengan sorot mata yang jujur dan jernih. Yang se-olah-olah tidak tahu bahwa tangan gurunya telah dilumuri oleh noda-noda yang kotor, meskipun sebenarnya dimengertinya juga.
Empu Sada itu menarik nafas dalam-dalam. Benturan-benturan yang semakin dahsyat kini terjadi didalam dirinya.
Dalam pada itu, prajurit yang membawanya masuk ke dalam halaman dalam, telah mencoba menghubungi Pelayan-dalam untuk menyampaikan maksudnya. Lewat seorang emban maka permintaan prajurit itupun telah disampaikannya kepada Ken Dedes.
"Seseorang ingin menemui aku?" bertanya Ken Dedes kepada emban itu.
"Ya Tuan Puteri, seseorang dari Panawijen.
"Siapa dia" "Seorang prajurit yang telah menerimanya Tuan Puteri,
"Dimana prajurit itu sekarang"
"Diserambi belakang.
"Aku ingin mendengar langsung dari padanya" berkata gadis itu.
"Baik Tuan Puteri. Emban itupun meninggalkan Ken Dedes yang kemudian pergi keruang belakang untuk menemui prajurit itu. Ia ingin mendengar langsung, siapakah yang ingin menemuinya.
Dengan kepala tunduk prajurit itu berkata "Tuan Pu teri, seseorang ingin menghadap Tuan Puteri.
"Dimana ia sekarang"
"Hamba menyuruhnya menunggu diregol dalam.
"Siapakah namanya"
"Makerti, Tuanku. "He" Ken Dedes mengerutkan keningnya. Nama Makerti belum pernah dikenalnya. Karena itu ia berkata. "Apa kah kau tidak salah" Berapa kira-kira usia orang itu"
"Orang itu sudah tua, Tuanku. Namun kaki Makerti pesan kepada hamba untuk mengatakan bahwa kaki Makerti adalah paman Tuan Puteri. Orang tua itu datang dari padukuhan Ngarang, dan ia adalah adik dari ibu Tuanku.
"He?" Ken Dedes menjadi semakin bingung. Dicobanya untuk mengingat-ingat. Tetapi ia sama sekali tidak pernah mendengar padukuban yang bernama Ngarang. Dan ia tidak pernah pula mendengar bahwa ia mempunyai seorang paman yang bernama Makerti. Karena itu sejenak Ken Dedes ber diam diri. Dalam kerut-kerut dikeningnya tampak betapa ia sedang mencoba mengingat kembali masa kanak-anaknya dipadukuhan Panawijen.
"Apakah aku sudah menjadi seorang pelupa" pikirnya "kalau aku menerimanya, maka aku meragukan maksud ke datangannya.
Tetapi kalau aku menolaknya dan orang itu benar-benar pamanku, apakah aku tidak menyakiti hatinya" Orang itu akan menganggap, bahwa setelah aku berada diistana, maka aku tidak mau lagi mengenal keluargaku. Apalagi keluarga dari ibuku.
Dengan demikian, maka Ken Dedes itu menjadi ragu-ragu untuk berbuat sesuatu, sehingga tidaklah mudah baginya untuk menentukan keputusan.
Maka sejenak mereka menjadi saling berdiam diri. Prajurit itu masih saja menundukkan wajahnya, sedang Ken Dedes masih juga ragu-ragu.
Untuk mencoba menumbuhkan kembali ingatannya maka Ken Dedes itupun bertanya "Apakah orang itu mengatakan bahwa namanya Makerti"
"Hamba tuan Puteri. "Apakah kau dapat menggambarkan bagaimana kira-kira bentuk orang itu"
Prajurit itu menggeser dirinya secengkang. Sejenak ia mencoba membayangkan kembali orang yang sedang menung gunya. Namun kemudian ia menjawab "Tak ada yang aneh pada orang tua itu Tuan Puteri. Tak ada tanda-tanda yang khusus. Seperti kebanyakan orang-orang tua maka ia menjadi agak bongkok. Kepalanya menunduk agak terlampau jauh. Dan ia berjalan tersuruk-suruk dengan sebuah tongkat kecil yang agaknya ditemukannya saja dijalan. Suaranya bernada rendab, namun kadang-kadang melengking tinggi.
"Oh" Ken Dedes justru menjadi bertambah bingung. Tetapi ia tidak mau mengambil sikap terlampau ter-gesa-gesa. Gadis itu selalu mengingat bahwa ia sendiri berasal dari sebuah padepokan jauh dari kota Tumapel. Bahwa ia sendiri hanyalah seorang gadis padesan. Adalah wajar kalau suatu ketika seseorang yang berasal dari padesan mencarinya dan memerlukan sebuah kesempatan untuk menemuinya.
Meskipun demikian, pengalamannya yang pahit selama ini telah memberinya beberapa petunjuk, bahwa dirinya selalu dibayangi oleh berbagai kemungkinan yang kadang-kadang tidak menyenangkan baginya. Selalu dikenangnya bagaimana Kuda-Sem pana mengejarnya tanpa mengenal jemu. Bahkan ternyata guru Kuda-Sempana yang bernama Empu Sada telah turut campur pula dengan mencegatnya dijalan pada saat ia akan mengunjungi Panawijen.
Semuanya itu telah membuat Ken Dedes menjadi semakin hati-hati.
Sekilas terlintas pula- dihatinya untuk memohon pertimbangan kepada Akuwu Tunggul Ametung. Mungkin akan lebih baik baginya. Apabila ternyata terjadi sesuatu, maka akan mudahlah baginya untuk segera mendapatkan perlindungan. Tetapi Ken Dedes mengurungkan niatnya. ia tidak ingin mengganggu Akuwu hanya dalam soal2 yang kecil itu. Bahkan seandainya orang itu bermaksud kurang baik sekalipun, apakah yang akan dapat dilakukannya" Dihalaman berkeliaran beberapa orang prajurit dan Pelayan-dalam dalam sikap ke prajuritan pula. Ia akan dapat memerintahkan prajurit itu menunggunya selama ia menerima orang itu.
Ken Dedes itupun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Pada dasarnya ia memang ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Makerti dan mengaku sebagai pamannya. Namun ketika ia melihat emban pemomongnya yang mengikuti nya dari Panawijen lewat maka dipanggilnyalah orang tua itu.
Pemomongnya itupun segera mendekatinya. Orang tua itu kini telah menyesuaikan dirinya dengan cara hidup didalam istana. Sambil duduk bersimpuh ia berkata "Hamba Tuan Puteri.
"Bibi" berkata Ken Dedes kemudian "seseorang telah membingungkan aku. Karena bibi adalah pemomongku sejak kanak-anak, maka aku kira bibi akan dapat memberi aku beberapa petunjuk.
Pemomong Ken Dedes itu mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
"Seorang tua menyebut dirinya bernama Makerti dan mengaku pamanku ingin datang menghadap. Orang itu me ngatakan bahwa dirinya adalah adik ibuku. Bibi, apakah selama ini bibi pernah mengenalnya"
Perempuan tua itupun mengerutkan keningnya. Tanpa di kehendakinya, maka dipandanginya wajah prajurit yang masih saja menunduk.
"Ya, prajurit itulah yang menyampaikan permintaannya "berkata Ken Dedes.
"Pemomong Ken Dedes itupun menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun iapun menjadi ragu-ragu pula. Jawabnya "Tuan Puteri. Seingat hamba, maka Tuan Puteri tidak pernah mempunyai seorang paman adik ibu Tuan Puteri. Hamba belum pernah mendengar nama Makerti dan selama hamba ber ada didekat Tuan Puteri, maka tak seorangpun yang pernah datang kepadepokan Panawijen dengan nama itu.
Ken Dedes menjadi semakin bimbang mendengar keterang an itu. Ia percaya benar kepada pemomongnya, bahwa perempuan itu tahu jauh lebih banyak tentang dirinya daripada di rinya sendiri.
"Seandainya demikian" berkata perempuan itu pula "maka setidak-tidaknya ayahanda Empu Purwa pasti pernah menyebut-nyebutnya atau suatu ketika hamba pernah melihat seorang tamu dari keluarga ibu Tuan Puteri itu.
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada prajurit yang duduk tepekur dihadapannya ia berkata "Apakah keperluan orang itu menghadap aku"
"Tuan Puteri" sahut prajurit itu "menurut keterangannya, ia mendapat pesan dari kakanda Tuan Puteri Mahisa Agni. Pesan itu ingin disampaikannya sendiri kepada Tuan Puteri apabila Tuan Puteri berkenan menerimanya.
"Dari kakang Mahisa Agni?" Ken Dedes mengulanginya. Tampaklah sesuatu kesan yang aneh tersirat diwajahnya.
"Apalagi angger Mahisa Agni" desis pemomong Ken Dedes itu.
"Orang tua yang bernama Makerti itu datang ke Panawijen untuk mencari kemanakannya yang ternyata adalah Tuan Puteri Ken Dedes. Tetapi yang ada hanyalah kakanda Tuan Puteri. Dari kakanda Tuan Puteri itulah kaki Makerti mendapat petunjuk bahwa Tuan Puteri berada diistana. Bah kan orang itu, yang barangkali terlampau ingin bertemu dengan kemanakannya, membawa pesan dari kakanda Tuan Puteri itu pula.
Kembali perempuan tua itu termenung. Namun tiba-tibaia berkata "Tuan Puteri, baiklah hamba lihat dahulu, apakah hamba sudah pernah mengenalnya.
Ken Dedes dengan serta merta menyetujuinya. Dengan meng-angguk-anggukkan kepalanya ia berkata "Baik, baik bibi. Pendapat bibi adalah pendapat yang baik sekali.
"Hamba Tuan Puteri. Hamba kira bahwa hamba telah mengenal semua orang Panawijen atau orang-orang yang sering berhubungan dengan ayahanda Tuan Puteri.
Kepada prajurit itu Ken Dedes kemudian bertanya "Menurut katamu orang itu datang dari suatu pedukuhan untuk mencariku ke Panawijen, dan bertemu dengan kakang Ma hisa Agni. Apakah ia bertemu dengan kakang Mahisa Agni di Panawijen ataukah ditempat ia membuat bendungan"
Prajurit itu termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata "Orang tua itu sama sekali tidak menyebutnya Tuan Puteri.
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Kecurigaanrya tiba-tiba menjadi semakin tebal. Sepengetabuannya Mahisa Agni kini sedang berada di Padang Karautan. Bahkan Akuwu Tunggul Ametung baru saja mengirim sepasukan prajurit dengan berbagai macam perbekalan untuk membantu membuat bendungan itu. Maka kepada pemomongnya Ken Dedes berkata "Nah, pergilah bibi. Lihatlah orang yang menyebut dirinya bernama Makerti dan datang dari padukuhan Ngarang ilu.
Tiba-tiba wajah pemomongnya itu menjadi tegang. Kerut merut didahinya menjadi semakin jelas. Tanpa sesadarnya ia mengulang kata-kata Ken Dedes "Orang itu datang dari desa Ngarang"
"Ya" sahut Ken Dedes "Kenapa"
Dada emban tua itu terasa berdesir. Dengan ragu-ragu ia berpaling keapda prajurit yang masih saja duduk tepekur disampingnya.
"Bertanyalah kepada prajurit itu" berkata Ken Dedes.
"Benarkah laki-laki tua itu datang dari desa Ngarang"
"Ya, bibi. Orang itu datang dari Ngarang menurut katanya sendiri.
Emban tua itu meng-angguk-angguk. Tetapi tampaklah sesuatu tersirat pada sorot matanya sehingga Ken Dedes bertanya "Ke napa bibi" Apakah kau pernah mendengar nama padukuhan Ngarang"
"Hamba Tuan Puteri. Hamba memang pernah mendengar nama itu.
"Dan kau pernah mendengar pula bahwa pamanku tinggal dipadukuban itu"
Emban tua itu menggeleng. Jawabnya "Tidak tuanku.
Ken Dedes menjadi ragu-ragu pula melihat wajah pemomongnya yang menjadi tegang itu. Namun lebih baik baginya apabila emban itu segera pergi keluar dan melihat siapakah laki-laki yang menyebut dirinya bernama Makerti.
Sejenak kemudian emban itupun minta diri, diantar oleh prajurit yang membawa pesan dari Makerti itu. Namun disepanjang langkahnya perempuan tua, pemomong Ken De des itu, kini dibebani oleh sebuah pertanyaan yang telah mem buatnya menjadi ber-debar-debar. Kenapa orang tua itu menyebut pedukuhan Ngarang" Kenapa tidak dari pedukuhan yang lain" Apakah benar orang itu paman gadis momongannya"
Dalam pada itu, disisi regol dalam, dimuka gardu penjaga, Empu Sada duduk dengan gelisah. Pergolakan yang terjadi didalam dadanya terasa semakin lama menjadi semakin riuh. Sekali-sekali ditatapnya gardu peronda itu. Dilihatnya dua di antara ketiga prajurit itu duduk terkantuk-kantuk. Sedang yang seorang lagi berjalan hilir mudik memandi tombaknya. Setiap kali mereka bergantian, duduk dan berjalan hilir mudik.
Tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak akan banyak berarti bagi Empu Sada. Dengan lemparan batu, ia mampu membunuhnya satu demi satu tanpa membuat suara apapun.
Tiba-tiba dada orang tua itu berdesir ketika dilihatnya prajurit yang membawanya, berjalan diantara tanaman-tanaman dihalaman bersama seorang perempuan tua.
"Hem" desis Empu Sada dihatinya "apa lagi kerja perempuan tua itu. Apakah perempuan tua itu emban terdekat dari Ken Dedes yang harus membawa aku menghadap. Dengan sentuhan jari saja, maka perempuan itu akan men jadi kejang. Kalau saja aku ingin melarikan Ken Dedes maka tiba-tibaaku mendapat kesempatan.
Sekali Empu Sada menengadahkan wajahnya. Warna-warna me rah telah membayang dilangit sebelah Barat. Warna-warna yang te lah mendorong hati Empu Sada mendekati kegelapan seperti senja yang menghadap malam.
"Dalam malam yang gelap, maka aku, pasti bahwa aku akan dapat melarikan gadis itu. Kalau terjadi demikian, ka lau Ken Dedes hilang dari istana ini, apakah artinya Mahisa Agni bagi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat" Siapakah yang harus memenuhi pemerasan yang akan dilakukan?" Empu Sada itu tersenyum didalam hati. Namun terasa kembali da danya berguncang. Kembali terjadi berbagai benturan yang dahsyat didalam dadanya.
"Tidak" katanya didalam hati "aku sudah pasrah.
Dan perempuan tua yang datang bersama prajurit itu pun sudah menjadi semakin dekat.
Ketika mereka kemudian berhenti beberapa langkah dari Empu Sada maka prajurit itupun berkata "Inilah bibi. Ini lah kaki Makerti.
Pemomong Ken Dedes itupun mengerutkan keningnya. Di coba untuk meng-amat-amati laki-laki tua itu dengan seksama. Namun kemudian kepala perempuan tua itupun menggeleng. Terdengar ia bergumam "Aku belum pernah mengenalnya.
Empu Sada yang masih duduk itupun menengadahkan wajahnya. Seperti perempuan itu, maka Empu Sadapun tidak pula mengenalnya.
"Apakah kaki yang bernama Makerti" "bertanya emban tua itu.
"Ya, akulah" sahut Empu Sada.
"Apakah kaki paman dari Tuan Puteri Ken Dedes"
Kembali dada Empu Sada dilanda oleh kebimbangan. Namun ia menjawab "Ya, ya, akulah.
Pemomong Ken Dedes itupun terdiam sejenak. Kembali ia mencoba mengamati wajah itu. Tetapi ia sama sekali belum mengenalnya.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Namun didalam dada masing-masing bergeletar berbagai macam persoalan. Apalagi didalam dada Empu Sada. Tetapi orang tua itu mencoba dengan sekuat tenaganya untuk tetap tenang
Sejenak kemudian terdengarlah emban tua, pemomong Ken Dedes itu berkata "Kaki Makerti, apakah kaki sering mengunjungi kemanakan kaki yang bernama Ken Dedes itu dahulu"
"O tentu, tentu" jawab Empu Sada dengan serta-merta "Ken Dedes adalah seorang kemanakan yang manis. Ia tahu benar akan dirinya. Setiap kali aku datang, maka segera ia menyambutku dengan girang. Dengan suara tertawanya yang renyah. Tertawa ke-kanak-anakan. Tetapi kini ia sudah berada diistana. Aku tidak tahu, apakah ia masih dapat menge nalku dan masih juga menyambut kedatanganku seperti da hulu di Panawijen, seperti masa kanak-anaknya.
Perempuan tua, pemomong Ken Dedes itu meng-argguk2 kan kepalanya. Dan iapun bertanya pula "Apakah kaki juga mengenal Mahisa Agni"
"Oh tentu. Aku mengenal anak itu seperti aku mengenal Ken Dedes. Meskipun Mahisa Agni bukan kakak sendiri, tetapi keduanya hampir-hampir seperti saudara kandung yang sangat rukun.
Kembali perempuan tua itu meng-angguk-anggukkan kepalanya, tetapi kecurigaan didalam hatinyapun ber-tambah2 pula. Ka lau laki-laki itu sering datang ke Panawijen, maka sudah pasti, sekali dua kali ia pernah melihatnya.
"Kaki" bertanya emban itu pula "apakah kata kakanda Tuan Puteri tentang adiknya ketika kaki pergi ke Pana wijen"
Empu Sada menyambar wajah emban itu sesaat, tetapi segera ia menunjukkan wajahnya, wajah yang telah dipulas nya menjadi bentuknya yang sekarang. Tetapi ia sadar bahwa ia sedang mendapat pertanyaan2 untuk meyakinkan bahwa Ma kerti adalah benar-benar paman Ken Dedes.
"Orang tua ini pastilah emban yang dipercaya oleh Ken Dedes " desis orang tua itu didalam hatinya.
Dalam pada itu ia menjawab dengan hati-hati "Tidak banyak yang dikatakan oleh Mahisa Agni. Ia hanya mengata kan bahwa Ken Dedes kini berada diistana Tumapel, bahkan menurut pendengarannya gadis itu akan menjadi seorang per maisuri. Namun Mahisa Agni itupun mempunyai beberapa pe san yang harus aku sampaikan kepada adiknya, Tuan Puteri Ken Dedes.
"Dimanakah kaki bertemu dengan Mahisa Agni"
Mendengar pertanyaan itu Empu Sada mengerutkan keningnya "Dimana?" orang tua itu mengulanginya didalam ha ti.
"Dimana" " emban tua itu mendesak.
"Di Panawijen" sahut Empu Sada. Namun terasa bahwa kata-katanya itu diucapkannya dalam kebimbangan.
Empu Sada menjadi berdebar-debar ketika kembali ia melihat emban tua itu meng-angguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian Empu Sadapun menyadari, bahwa emban tua itu menjadi semakin curiga kepadanya.
Dalam keadaan yang menegangkan itu, kembali dada Empu Sada diamuk oleh berbagai perasaan yang saling berbenturan
Ingin ia segera meloncat dan memberikan beberapa sentuban kepada emban tua itu sehingga ia menjadi pingsan. Kemu dian dengan beberapa gerakan ia akan mampu melumpuhkan prajurit-prajurit yang menontannya seperti sedang menonton pertun jukan yang mengasyikkan.
Apalagi ketika kemudian senja menjadi semakin lama semakin suram. Warna-warna merah dilangit menjadi semakin pudar. Seleret warna senja masih tergantung di-sisi mega putih yang mengalir dibawa angin.
"Kaki" berkata emban itu kemudian "apakah kaki datang langsung dari Panawijen kemari"
Empu Sada menjadi hampir kehilangan kesabarannya. Per tanyaan emban itu terlampau banyak baginya. Kalau pertanyaan-pertanyaan yang serupa itu tidak ada habis-habisnya, maka sudah pasti bahwa suatu ketika ia akan tidak lagi dapat menjawab. Namun kali ini Empu Sada masih juga menyabarkan hatinya "Ya. Aku datang dari Panawijen. Aku harus segera menghadap Tuan Puteri untuk menyampaikan pesan itu langsung kepa danya.
"Jangan tergesa-gesa kaki" berkata emban tua itu "aku masih ingin bertanya, apakah angger Mahisa Agni berada di Panawijen.
Kembali dada Empu Sada berdesir. Pertanyaan itu benar-benar mengejutkannya. Dan tiba-tiba pula ia sadar, bahwa Mahisa Agni kini sedang membuat bendungan di padang Karautan.
Wajah Empu Sada itupun tiba-tiba menjadi tengang. Tiba-tiba pula ia merasa, bahwa kecurigaan emban itu pasti akan me nyundukkannya kedalam keadaan yang tidak menguntungkan.
Dalam kebimbangan itu, maka Empu Sadapun kemudian mengambil suatu sikap. Katanya didalam bati "Kalau aku gagal menghadap Ken Dedes dalam suatu keinginan yang baik, dan apabila kemudian keadaanku sendiri terancam karenanya, maka adalah lebih baik bagiku untuk pasrah diri. Aku sudah kehilangan segala macam keinginanku. Mungkin dosaku telah terlampau banyak, sehingga keinginanku yang terakhir, yang berkehendak baikpun sudah tidak dapat terjadi.
"Bagaimana kaki?" desak emban tua itu.
"Tetapi kini Empu Sada justru telah menjadi tegang. Ia tidak lagi memandangi sisa2 senja yang tersangkut diujung pepohonan. Meskipun demikian ia masih mencoba menjawab "Ya. Aku bertemu Mahisa Agni di Panawijen. Tetapi tidak lama, sebab anak muda ttu harus segera kembali ke Padang Karautan. Menurut katanya, ia sedang membuat bendungan.
Emban tua itu mengerutkan keningnya. Jawaban itu memang masuk diakalnya. Mungkin Mahisa Agni sedang pulang sejenak untuk sesuatu keperluan. Tetapi meskipun demikian, jawaban itu sama sekali belum meyakinkannya. Se hingga kembali ia bertanya "Kaki. Aku dengar kaki berasal dari padukuhan Ngarang. Apakah benar demikian"
Empu Sada kini benar-benar menjadi jemu mendengar per-tanyaan-pertanyaan itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Ia harus menjawab satu demi satu. Namun apabila jawabnya kemu dian tidak lagi dapat sesuai dengan keadaan yang sewajarnya, maka perempuan tua itu pasti akan mencurigainya. Mungkin ia akan berteriak kepada para prajurit untuk menangkapnya. Tetapi Empu Sada telah pasrah.
"Kaki" desak perempuan tua itu "benarkah kaki berasal dari Ngarang"
Empu Sada menganggukkan kepalanya, jawabnya "Ya, aku berasal dari Ngarang.
"Apakah kau tahu benar tentang pedukuhan itu" Dan apakah kau memang berasal dari Ngarang sejak kecil"
"Ya" jawab Empu Sada. Tetapi kali ini ia tidak begitu cemas. Memang ia dahulu berasal dari Ngarang. Meskipun desa itu sudah lama sekali ditinggalkannya, tetapi ia pasti masih dapat menjawab satu dua pertanyaan tentang padesan itu meskipun ia sudah benar-benar menjadi jemu.
"Kaki Makerti" berkata perempuan tua itu "kalau kaki benar berasal dari Ngarang, maka sudah tentu kaki mengenal beberapa orang yang berasal dari desa itu pula.
"Tentu" sahut Empu Sada.
"Nah, aku ingin bertanya tentang keluargaku yang su dah lama sekali meninggalkan desa itu.
"Siapakah orang itu"
"Namanya Pranuntaka.
Mendengar nama itu wajah Empu Sada tiba-tiba menjadi tegang. Terasa darahnya se-akan-akan berhenti mengalir. Sejenak ia terbungkam dengan dada bergelora.


01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika ia mengadahkan wajahnya ditatapnya wajah perempuan tua itu. Wajah yang tidak dikenalnya. Tetapi bibir perempuan tua itu telah menyebut nama yang seperti Gunung Kawi yang runtuh menimpa dadanya.
Perempuan tua dan para prajurit itu sama sekali tidak melihat warna merah yang menyala diwajah Empu Sada, karena senja sudah menjadi semakin suram. Namun pereMpu an tua itu melihat bahwa Empu Sada tiba-tibamenjadi gelisah dan tidak segera dapat menjawab pertanyaannya. Karena itu maka kecurigaannyapun menjadi semakin tebal, sehingga menurut pendapatnya, tak ada gunanya lagi ia menanyakan berbagai macam soal. Orang itu pasti bukan paman Ken Dedes, dan pasti bukan orang Ngarang.
Sejenak terlintas dihati pemomong Ken Dedes itu tentang berbagai macam bahaya yang pernah mengitari momongannya. Karena itu, maka kecurigaannyapun menjadi semakin kuat. Laki-laki tua itu mungkin salah seorang dari mereka yang ingin berbuat jahat kepada momongannya.
Dengan demikian maka menjadi kuwajibannya untuk , menolak maksud orang yang menyebut dirinya Makerti itu menghadap momongannya. Bahkan adalah menjadi kuwajiban nya pula untuk menyampaikannya kepada orang yang berkewajiban untuk menelitinya lebih jauh.
"Kaki Makerti" berkata emban itu "tunggullah disini. Semuanya akan aku sampaikan kepada Tuan Puteri. Aku tidak tahu apakah kau akan diijinkan menghadap atau tidak.
Empu Sada tidak segera dapat menjawab. Ia masih di cengkam oleh gelora yang dahsyat didadanya. Nama yang disebut oleh perempuan itu benar telah membuatnya menjadi sangat gelisah.
Tetapi agaknya perempuan tua itu tidak lagi menunggu jawabannya. Agaknya emban itu ingin segera menyampaikan persoalan itu kepada momongannya dan kemudian kepada pemimpin Pelayan-dalam untuk berbuat sesuatu bersama para prajurit pengawal istana.
Namun ketika emban itu melangkah pergi, dengan ter bata-bata Empu Sada memanggilnya "Tunggu. Tunggu.
Emban tua itu berhenti. Sambil memutar dirinya ia ber tanya "Apalagi kaki" Bukankah aku harus menyampaikan permohonanmu kepada Tuan Puteri.
"Tunggu" minta Empu Sada yang tiba-tibaberdiri per lahan-lahan: Beberapa orang prajurit yang melihatnya berdiri menjadi semakin tertarik pada laki-laki tua itu. Dengan penuh perhatian mereka menyaksikan pembicaraan kedua orang-orang tua itu dengan saksama.
"Apalagi kaki" " bertanya emban itu pula.
"Akuingin tahu, kenapa kau bertanya tentang Pranuntaka.
Emban tua itu mengerutkan keningnya. Terasa pertanyaan yang menyebut dirinya Makerti itu menarik hatinya. Maka jawabnya "Tidak apa-apa kaki. Karena kau menyebut dirimu berasal dari padukuhan Ngarang, sedang aku mengenal seseorang dari padukuhan itu pula dan bernama Pranuntaka. Maka aku bertanya kepadamu, apakah kau sudah mengenalnya.
"Tidak. Pasti bukan hanya sekedar ingin tahu, apakah aku pernah mengenal orang yang bernama Panuntaka itu.
Sekarang emban tua ituah yang terkejut. Kata-kata orang yang menyebut dirinya Makerti itu terdengar aneh ditelinganya. Karena itu ia berkata "Kenapa kau kaki" Kenapa kau heran atas pertanyaanku dan bahkan kau tidak percaya bahwa aku hanya sekedar bertanya tentang Pranuntaka itu. Aku pernah mengenalnya, dan aku ingin tahu, kalau kau benar-benar orang Ngarang sejak kecil, kau pasti mengenalnya pula:
"Siapakah sebenarnya kau nini?" tiba-tiba orang tua itu bertanya.
Pertanyaan itu semakin mengejutkan bagi emban tua itu. Namun ia menjawab "Aku adalah emban kinasih, pemomopg Ken Dedes sejak kanak-anak. Itulah maka aku tahu, semua orang Panawijen dan semua orang yang pernah berhubungan dengan momongku itu.
Dada Empu Sada menjadi semakin ber-debar-debar. Ketika ia berkisar setapak, ia melihat prajurit yang duduk didalam gardu kini telah berdiri.
Empu Sada sama sekali tidak menjadi kecut melihat pra jurit-prajurit yang hanya berjumlah empat orang itu. Kalau ia mau, maka ia tidak memerlukan waktu banyak.
Tetapi yang dicemaskan Empu Sada adalah dirinya sendiri. Dengan sepenuh kesadaran ia berusaha untuk dapat mengekang perasaannya supaya ia tidak meloncat dan menyentuh para prajurit di tempat-tempat yang berbahaya, sehingga keempat prajurit itu menjadi tidak berdaya.
"Aku sudah bertekad untuk pasrah diri" katanya di dalam hati. Namun setiap kali kakinya menjadi gemetar, seolah-olah sepasang kakinya itu amat sulit dikendalikannya sendiri.
Kini ia mendengar bahwa perempuan tua itu adalah pe momong Ken Dedes sejak kecil. Ia mendengar bahwa emban tua itu bukanlah emban istana, tetapi adalah emban yang dibawa oleh Ken Dedes dari Panawijen. Dengan demikian maka Empu Sada sudah dapat membayangkan, bahwa emban itu tidak percaya sama sekali kepada semua ceriteranya. Emban itu pasti tahu, bahwa Ken Dedes tidak mempunyai seorang paman bernama Makerti dan datang dari padukuhan Ngarang. Tetapi yang lebih membingungkannya, bahkan menjadikanya sangat ber-debar-debar adalah pertanyaan emban tua itu. Kenapa emban tua itu bertanya tentang Pranuntaka"
Dalam pada itu terdengar emban Ken Dedes berkata "kaki. tunggullah disini. Tinggallah bersama para prajurit ini, Aku akan menghadap Tuan Puteri untuk menyampaikan pesanmu. Namun aku akan dapat memberitahukan kepada Tuan Puteri, bahwa aku belum pernah melihatmu.
Para prajurit yang mendengar kata-kata emban tua itu tiba-tiba menyadari keadaan. Se-olah-olah mereka mendapat perintah untuk menahan orang tua itu didalam gardunya.
"Apakah maksud nini sebenarnya?" bertanya Empu Sada dengan cemas. Sekali lagi ia tidak mencemaskan prajurit-prajurit itu, tetapi ia cemas pada dirinya sendiri. Kalau ia menjadi kehilangan keseimbangan, maka ia pasti akan lari dan meninggalkan keempat prajurit itu dalam keadaan tidak sa darkan diri.
"Tidak apa-apa" jawab emban tua pengasuh Ken Dedes "mungkin Tuan Puteri mempunyai pertimbangan lain. Mungkin Tuan Puteri perlu minta pertimbangan dari pemimpin pelayan-dalam yang sedang bertugas hari ini atau bahkan mohon pertimbangan kepada Akuwu Tunggul Ametung.
Kaki Empu Sada menjadi semakin gemetar ketika ia me lihat berapa prajurit itu mendekatinya.
"Tunggu nini" minta Empu Sada "ada suatu " ada sesuatu yang ingin aku jelaskan supaya nini melihat persoalan yang sebenarnya.
"Apakah masih ada yang belum jelas"
"Masih nini. "Apakah itu" "Pranuntaka. Nama itu.
"Apakah kau kenal nama itu"
"Ya nini, aku mengenal nama itu dengan baik.
Pemomong Ken Dedes itu tertegun sejenak. Diamatinya laki-laki tua itu dari ujung kaki keujung rambutnya. Namun malam menjadi semakin suram sehingga bayangan laki-laki tua itupun menjadi semakin kabur.
"Sudahlah kaki" berkata salah seorang prajurit yang telah berdiri disampingnya "duduklah digardu bersama kami. Kaki dapat beristirahat sesuka hati. Kaki dapat berbaring untuk melepaskan lelatu, sambil menunggu Tuan Puteri ber kenan menerima kaki.
"Ya, ya tuan" sahut Empu Sada "- tetapi aku ingin memberi penjelasan dahulu kepada nini emban. Sebenarnya lah aku mengenal orang yang ditanyakannya," Kemudian kepada pemomong Ken Dedes ia berkata "Nini, apakah benar nini mengenal orang yang bernama Pranuntaka"
"Tentu kaki" sahut emban itu "aku bertanya ke padamu justru aku mengenalnya dengan baik.
"Aku mengenal orang itu jauh lebih baik dari siapa pun juga" sahut Empu Sada.
Jawaban itu ternyata sangat menarik perhatian pemo mong Ken Dedes. Dengan nada yang tajam ia bertanya "Tidak. Tak ada orang yang mengenal orang itu lebih baik dari aku. Aku mengenalnya sejak ia muda sampai akhirnya ia meninggal dalam keadaan yang kurang wajar.
Emban itu terkejut ketika ia melihat Empu Sada menggeleng.
"Tidak" berkata laki-laki tua itu, namun tiba-tiba ia ber tanya -- Tetapi kenapa nini merasa sebagai orang yang paling mengenalnya"
"Kenapa kau tanyakan hal itu" Aku bertanya, sebutkan oranng itu, ciri-cirinya dan apapun yang kau ketahui. Kalau kau dapat mengatakannya, barulah aku percaya bahwa kau berasal dari Ngarang. Sehingga kau akan mendapat pelayanan yang lain disini nanti.
Keringat yang dingin mengalir hampir diseluruh tubuh Empu Seda. Per-lahan-lahan ia berkata "Pranuntaka bertubuh tinggi. Berambut panjaig ikal. Mempunyai beberapa cacat senjata ditubuhnya. Bermata hitam tetapi pudar. Berwajah jelek dan dibayangi oleh warna yang pucat.
"Sebagian benar" sahut perempuan tua itu "tetapi Pranuntaka tidak bermata pudar, wajahnya tidak dibayangi oleh warna yang pucat. Mata itu benar hitam mengkilat, di landai deh sorot kejantanan yang penuh cita-cita. Wajahnya keras namun tidak kasar.
"Tidak. Itu terlalu ber-lebih-lebihan. Pranuntaka adalah seorang yang tidak berarti. Tidak berarti bagi dirinya sendiri dan tidak berarti bagi dunia. Matinyapun tidak menimbulkan sesal bagi siapapun. Tak seorangpun mencari kuburnya untuk menaburkan bunga diatasnya. Tak seorangpun yang pernah menyebut namanya kemudian. Bagiku Pranuntaka adalah seorang yang tidak berarti apa-apa. Kematian adalah jalan yang se-baik-baiknya baginya.
"Bohong" tiba-tiba emban itu membantah lantang. Sikapnyapun tiba-tiba menjadi lain dari sikapnya semula.
Empu Sada terkejut melihat sikap emban tua itu. Bahkan kemudian ia terdiam sejenak. Dalam keremangan malam tampaklah wajah perempuan tua itu menjadi tegang.
Disana-sini beberapa orang juru petamanan telah me masang pelita-pelita minyak. Sinarnya manggapai-gapai disentuh angin yang lembut.
Para prajurit yang melihat pembicaraan kedus. orang tua itu menjadi bingung. Mereka kini tidak sedang mem bicarakan kemungkinan untuk menghadap Ken Dede, tetapi justru mereka berbicara tentang seseorang yang kali ini tidak ada hubungannya dengan permohonan orang, yang menyebut dirinya Makerti itu. Meskipun demikian para pradurit itu menjadi semakin curiga. Mereka melibat orang tua yang menamakan dirinya Makerti itu seperti seorang yang tiba-tibadiselubungi oleh sebuah kabut rahasia.
Dalam pada itu terdengar perempuan tua itu berkata "Kalau begitu, kau tidak mengenal Pranutaka dengan baik.
"Nini" sahut Empu Sada "aku bahkan menjadi heran. Kenapa nini menganggap Pranuntaka sebagai seorang yang baik. yang sorot matanya ditandai oleh kejantanan yang penuh dengan cita-cita, wajahnya keras namun tidak kasar. Semuanya itu tidak benar nini. Mungkin nini mengenal orang itu dengan baik, tetapi aku adalah orang yang tinggal sepedu kuhan dengan orang yang menyebut dirinya Pranuntaka. Bukan hanya sepedukuhan, tetapi aku tinggal serumah dengan orang yang saat itu masih seorang anak muda yang cengeng.
"Bohong, bohong" sahut emban tua itu "mungkin kau waktu itu masih juga seorang anak muda. Dan kau tidak dapat berbuat seperti apa yang dilakukannya sehingga kau menjadi iri hati kepadanya.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Betapa ia menjadi heran melihat sikap emban tua itu. Apakah hubungannya dengan orang yatig disebutnya bernama Praunntaka itu"
"Nah" berkata emban tua itu "kalau demikian, maka kau bukan seorang yang pantas untuk mendapat pela yanan yang baik. Sifat irimu sejak muda masih saja kau simpan sampai rambutmu hampir menjadi seputih kapas.
"Nini" potong Empu Sada "tunggulah. Apakah kalau aku ikut juga memuji anak muda, pada saat itu, yang bernama Pranuntaka itu aku dapat menghadap Tuan Puteri Ken Dedes"
Emban itu terkejut mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia terbungkam. Tetapi kemudian ia menyahut "Kaki, dengan menyebut namanya, Pranuntaka, aku hanya ingin membuktikan, apakah kau benar orang dari padukuhan Ngarang.
"Aku sudah menjawab nini -- jawab Empu Sada "Aku mengenalnya dengan baik. Aku telah menyebut ciri-cirinya dan ninipun sependapat. Yang kita sependapat adalah sifat-sifat orang itu. Itu adalah sangat bersifat pribadi Tetapi bahwa nini menganggap Pranuntaka seorang yang amat baik itu telah sangat menarik perhatianku.
"Aku tahu benar sifat-sifatnya itu.
"Nini, mungkin nini tadak tahu, bagaimana ia mati. Dalam keputus-asaan ia telah membunuh dirinya. Ia lari dari padukuhannya karena ia kehilangan seorang gadis pada waktu itu. Ia tidak berani merebut gadis itu dengan tajam pedangnya. Tetapi ia lebih baik lari dan menghabiskan sisa hidupnya dalam dunia yang gelap. Akhirnya ia mati dalam keputus-asaan
"Cukup" emban itu tiba-tiba memotong. Tetapi kemudian ia terbungkam. Terasa sesuatu menyesakkan nafasnya.
Para prajurit yang melihat mereka berdua menjadi semakin heran. Mereka tidak tahu ujung dan pangkal pem bicaraan itu. Yang mereka ketahui adalah bahwa emban tua itu tidak membenarkan orang yang menyebut dirinya Makerti itu menghadap langsung bersamanya. Karena itu maka seorang diantara merekapun segera menghampiri Empu Sada sambil berkata "Sudaalah kaki, duduklah didalam gardu. Ada beberapa kemungkinan yang dapat terjaui.
Agaknya kau tidak dapat meyakinkan emban itu, bahwa kau benar-benar paman Tuan Puteri. Meskipun demikian tidak mustahil bahwa, baik Tuan Puteri maupun Tuanku Akuwu Tunggul Ametung ingin mem buktikan melihat wajahmu yang berkerut-merut itu.
Dada Empu Sada menjadi ber-debar-debar karenanya. Kini ia menghadapi sebuah teka-teki yang tidak di-sangkax. Pranun taka adalah nama yang baginya telah mati. Dan kini perempuan tua itu tiba-tiba mengungkit-ungkitnya kembali.
Namun tiba-tiba darahnya serasa berhenti mengalir ketika perempuan tua itu kemudian berkata per-lahan-lahan "Kaki, ikutlah aku.
Para prajurit yang mendengar kata-kata itupun menjadi heran. Baru saja mereka melihat kedua orang tua itu ber bantah. Tetapi tiba-tiba emban pemomong Ken Dedes itu ingin membawanya.
Namun kemudian para prajurit itu mendengar emban tua itu berkata "Aku ingin mendapat jawaban2 yang lebih jelas. Aku tidak ingin persoalan ini membingungkan kalian para prajurit. Aku akan membawanya kesudut bilik itu. Kalau aku tetap tidak yakin bahwa ia paman momonganku, maka aku akan memanggil salah seorang dari kalian, dan kalian pasti akan mendengarnya.
Para prajurit itu tidak dapat berbuat lain daripada mengiakannya. Namun didalam dada mereka tersimpan ber bagai pertanyaan yang bersimpang siur.
Ketika emban tua itu kemudian melangkah pergi, maka orang tua itu mengikutinya dibelakang. Mereka sejenak saling berdiam diri, namun didalam hati mereka menggelora ber bagai macam perasaan yang berbenturan. Mereka menjadi heran melihat sikap masing-masing. Mereka tidak dapat segera mengerti kenapa mereka masing-masing mempunyai anggapan yang harus mereka pertahankan tentang orang yang bernama Pranuntaka itu.
Akhirnya merekapun berhenti disudut bilik ujung istana. Jarak itu memang tidak terlampau jauh dari para penjaga ilisisi regol halaman dalam itu.
Para prajurit disini regol itu menarik nafas dalam-dalam. Se jenak mereka saling berpandangan. Salah seorang dari me reka itupun berguman "Aneh-aneh saja orang-orang tua itu.. Apa saya yang mereka percakapan diujung istana itu" Kalau saja mereka anak-anak remaja maka aku akan menjadi iri.
Kawan-kawannya tertawa. Namun salah seorang lagi berkata -Tetapi mungkin sebentar lagi kau harus mempergunakan tom bakmu untuk me-nakut-nakuti laki-laki tua itu supaya tidak berlari. Agaknya mereka sedang berselisih pendapat tentang seseorang yang bernama Pranuntaka.
"Itulah anehnya orang-orang yang sudah hampir pikun " sahut yang lain. Mula-mula emban tua itu hanya ingin tahu, apa kah laki-laki itu benar-benar berasal dari tempat yang disebutkannya. Tetapi akhirnya perdebatan itu bergeser kepada soal yang lain. Soal orang itu sendiri.
Keempat prajurit itu tersenyum. Yang seorang, yang mem bawa Empu Sada masuk kehalaman dalam itu akhirnya ber kala "Ah, aku terlampau lama berada disini. Sebenarnya aku ingin segera kembali ke-empatku.
"Kembalilah, apa lagi yang akan kau tunggu disini,
Orang itu menjadi ragu-ragu, tetapi kemudian ia menggeleng "Tidak. Aku belum akan kembali sekarang. Aku ingin melihat akhir dari perdebatan orang tua itu.
Ketiga kawannya tertawa kecil. Kemudian mereka ber-sama-sama duduk didepan gardu, kecuali yang seorang, dengan tombak ditangannya, berdiri saja disisi regol halaman dalam itu.
Di sudut istana Empu Sada berdiri berhadapan dengan emban tua yang telah menumbuhkan teka-teki baginya, seperti juga dirinya ternyata telah membingungkan perempuan tua itu.
Diantara desau angin yang bertiup semakin kencang ter dengar emban tua itu berkata per-lahan-lahan sambil mencoba menguasai perasaannya sejauh mungkin "Kaki" katanya "sekarang, cobalah sebutkan hubunganmu dengan Pranuntaka" Kenapa kau dapat mengatakan bahwa Pranuntaka telah lari dan menghabiskan sidupnya dalam keputus-asaan sebelum ia meninggal" Kenapa kau katakan bahwa ia tidak berani me rebut gadisnya dengan tajam pedangnya"
"Demikianlah yang terjadi nini. Bagaimana aku akan mengatakan kepadamu apabila aku melihat sendiri bahwa demikianlah yang telah terjadi.
"Apakah kau tahu, siapakah gadis yang diperebutkan itu"
"Aku tahu nini. Tentu aku tahu.
"Coba sebutkanlah Empu Sada yang menyebut dirinya Makerti itu terdiam. Dipandanginya wajah perempuan tua itu dengan saksama. Teka-teki yang mencengkam hatinya menjadi semakin rumit. Apapula gunanya ia ingin mendengar nama gadis itu"
"Nah, kaki Makerti cobalah, sebutkanlah nama gadis itu.
"Nini. Kenapa kita terlampau dalam masuk kedalam persoalan orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepentinganku kini"
"Tentu tidak kaki. Aku ingin tahu benar, apakah kau kau berasal dari desa Ngarang.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Orang itu pasti tidak hanya sekedar ingin tahu, apakah ia benar-benar berasal dari desa Ngarang.
"Bagaimana kaki Makerti, apakah kau pernah mendengar namanya" Kalau kau benar-benar tahu tentang Pranuntaka, maka kau pasti akan dapat menyebutkan nama gadis itu.
Akhirnya Empu Sada tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Iapun ingin segera tahu, apakah hubungan perempuan itu dengan Pranuntaka. Karena itu maka katanya "Baiklah nini, kalau kau berkeras ingin tahu. siapakah aku dan hubungan apakah yang pernah ada antara aku dan Pranuntaka. Kalau ceriteraku ini akan memberimu kepuasan, maka aku hanya ingin kau membawa aku menghadap Tuan Puteri Ken Dedes. Aku membawa pesan yang teramat penting bagi Tuan Puteri dari kekaknya yang bernama Mahisa Agni yang kini telah kem bali kepadang Karautan itu.
"Ya sebutkanlah. Kalau kau dapat meyakinkan aku, bahwa kau benar-benar berasal dari pedukuhan Ngarang, maka akulah yang akan membawamu menghadap Tuan Puteri.
"Nini emban" berkata Empu Sada "menurut pendapatku, Pranuntaka tetap searang pengecut.
"Jangan kau sebut lagi" potong emban tua "katakan saja apa yang kau ketahui tentang dirinya.
"Maaf" sahut Empu Sada "menurut pengetahuanku, Pranuntaka telah melarikan dirinya dari seorang gadis yang dicintainya. Ketika ia ingin beristerikan gadis itu, maka ia telah pergi mengembara untuk mendapatkan bekal dihari-hari yang akan ditempuhnya bersama gadis yang dicintahinya itu. Tetapi ternyata gadis itu tidak setia. Ketika Pranuntaka kembali, gadis itu telah kawin dan mempuinyai seorang anak laki-laki. Semula, laki-laki yang bernama Pranuntaka itu telah menentukan sikapnya. Cintanya akan dibelanya dengan nyawanya. Tetapi ia ingat anak kecil didalam dukungan perempuan yang dicintainya itu,, yang sudah bukan lagi seorang gadis yang menunggunya. Karena itu, maka kecengengannya telah membawanya pergi meninggalkan semua harapan yang telah disusunnya sepanjang perantauannya.
"Cukup" potong emban tua itu. Namun kini suaranya terdengar bergetar. Terasa sesuatu menyumbat kerang kongannya. Patah2 ia bertanya "Aku ingin mendengar, apa kah kau tahu gadis itu"
"Kenapa kau nini?" bertanya Empu Sada.
"Sebutkanlah namanya" sahut emban tua itu "kalau kau benar-benar mengetahuinya. Kalau ceriteramu itu bukan sekedar ceritera yang kau dengar disepanjan jalan atau ce ritera lama yang berloncatan dari mulut ke mulut.
Empu Sada tertegun sejenak. Ia melihat perubahan pada sikap dan kata-kata perempuan itu maka kini dadanya sendiri pun berguncang seperti ujung pepohonan yang ditiup angin malam yang menjadi semakin kencang.
Justru mereka kini untuk sejenak saling berdiam diri. Empu Sada tidak segera menjawab pertanyaan emban tua itu. Per!ahan-lahan ia berusaha menenangkan hatinya yang menjadi tegang.
"Aneh perempuan ini" katanya didalam hati "pembicaraan ini telah terlampau jauh menyimpang dari maksud kedatanganku. Namun sikap perempuan yang aneh ini agaknya sangat menarik.
"Bagaimana kaki" terdengar suara perempuan itu semakin serak "Apakah kau juga dapat menyebut nama gadis yang kau katakan itu"
"Sudahlah nini" sahut Empu Sada "seandainya aku hanya mendengar dari ceritera yang berloncatan dari mulut kemulut, seandainya ini aku dengar disepanjang jalan, maka apakah nini dapat membedakannya dengan apabila ceritera ini benar-benar aku lihat dengan mata kepala sendiri, hanya dengan sekedar menyebut nama gadis itu"
"Tentu" berkata perempuan tua itu "kau mengatakan bahwa kau adalah orang yang paling tahu tentang dia. Tentang Pranuntaka.
"Baiklah nini" Empu Sada benar-benar tidak mempunyai pilihan lain. "Sebenarnya aku tidak lagi ingin menyebut namanama mereka baik Pranuntaka maupun gadis itu. Mereka telah mati dan tidak lagi mempunyai sangkut paut apapun dengan aku dan kau.
"Sebutkan, sebutkan kalau kau tahu" potong perempuan itu.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Per-lahan-lahan namun pe nuh dengan tekanan ia berkata "Menurut pendengaranku nini, gadis yang telah menghalau Pranuntaka dari dunia harapannya adalah seorang gadis yang bernama Jun Rumanti.
"Cukup, cukup - tiba-tiba perempuan tua itu memotong kata-kata orang yang menyebut dirinya Makerti, sehingga laki-laki tua itu terkejut karenanya.
Kini ia berdiri tegak seperti patung ketika ia melihat perempuan tua itu menundukkan kepalanya. Sekali-sekali diusapnya matanya dengan ujung kembennya. Tetapi perempuan tua itu tidak menangis. Ketika ia mengangkat wajahnya tampak lah wajah itu menjadi terlampau suram. Cahaya pelita yang kermerah-merahan dikejauhan tidak banyak menerangi wajah yang sudah berkerut-merut itu..
"Kau benar-benar mengetahuinya, bahwa Pranuntaka telah pernah mengenal seorang gadis yang bernama Jun Rumanti"
Terasa sesuatu berdesakan didalam dada Empu Sada. Meskipun perempuan tua itu tidak menangis, tetapi ia melibat sesuatu yang melengking dari dalam hatinya. Umur Empu Sada yang lanjut itu ternyata telah mempertajam perasaannya pula, sehingga tiba-tiba ia mempunyai suatu tanggapan yang lain atas emban tua itu.
"Ya nini" sahut Empu Sada dalam nada yang dalam "agaknya nama itu lelah mengejutkanmu. Apakah kau mengenal nama itu pula, Jun Rumanti"
Perempuan tua itu menggeleng "Tidak kaki. Aku tidak mengenal nama Rumanti".
Empu Sada mengerutkan keningnya. Kini bukan saja ia merasakan jerit yang melonjak dari dalam hati perempuan tua itu, tetapi seakan-akan ia kini dapat mendengarnya. Perlahan-lahan ia bertanya "Kalau kau tidak mengenal nama Rumanti itu nini, kenapa kau berkeras hati supaya aku menyebutkannya"
Perempuan tua itu terdiam. Ia tidak tahu bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Sehingga dengan demikian, maka Empu Sada menjadi semakin merasakan hubungan yang lebih rapat antara perempuan tua itu dengan gadis yang dahulu bernama Jun Rumanti.
Tanpa disengajanya maka tiba-tiba Empu Sada itu berkata "Nini, kalau gadis itu masih ada, maka ia kini pasti sudah tua pula. Mungkin gadis itu sudah setua nini.
Perempuan tua itu terkejut bukan buatan, sehingga ia terhenyak dan bergeser setapak surut. Ditatapnya wajah orang yang menyebut dirinya Makerti itu sejenak, namun sejenak kemudian ia berkata "Mungkin, mungkin kaki
Empu Sada meng-angguk-anggukkan kepalanya. Dari mulutnya kembali terlontar kata-kata "Tetapi nama itu telah lenyap sejak puluhan tabun yang lampau. Sesaat sejak Pranuntaka hilang dari Ngarang. maka Jun Rumanti itu pun hilang pula.
Kembali perempuan tua itu menundukkan wajahnya. Terasa nafasnya menjadi sesak. Betapapun ia bertahan, namun akhirnya setitik air meleleh dipipinya yang sudah menjadi berkerut-merut oleh garis-garis umurnya.
Sejenak mereka saling membisu. Namun didalam dada Empu Sada terjadi suatu pergolakan yang gemuruh. Ia melibat perempuan tua itu menjadi semakin sedih. Dan tiba-tiba ia ber kata "Nini, apakah kau saudara perempuan Jun Rumanti"
Perempuan itu menggeleng.
"Apakah kau sahabatnya"
Perempuan itu menggeleng lagi.
Tetapi ceritera itu telah menggali kepedihan dihatimu. Sudah aku katakan, sebaiknya kita tidak usah membicarakan orang-orang lain diluar kepentingan kita sekarang. Namun kau selalu mendesaknya. Agaknya kau ingin mengenang sesuatu lewat ceritera itu. Ceritera kanak-anak yang telah terlampau lambat untuk kita dengarkan. Tetapi nini, aku menjadi bercuriga melihat sikapmu. Nah, sebutkanlah, siapakah kau sebenarnya"
Perempuan itu kembali terperanjat mendengar pertanyaan Empu Sada. Sejenak ia terbungkam. Namun kemudian ia menggeleng "Aku adalah emban Tuan Puteri Ken Dedes.
"Tetapi kenapa kau berkeras hati memaksaku berceritera tentang pengecut itu. Tentang Pranuntaka yang lari dalam keputus-asaan dan tentang gadis yang telah mengkhianatinya.
"Tidak. Gadis itu tidak mengchianatinya. Ia terdorong oleh suatu keadaan yang tidak dapat dihindarinya lagi. Pranun taka telah meninggalkannya tanpa kabar berita untuk waktu yang tidak menentu.
Sekali lagi Empu Sada terkejut mendengar jawaban perempuan tua itu. Bahkan sejenak ia tidak mengucapkan kata-kata. Namun kini ia hampir-hampir dapat menebak siapakah perempuan itu. Justru dengan demikian maka hatinya sendiri menjadi bingung. Terasa darahnya seolah-olah hampir berhenti mengalir. Wajahnya terasa menjadi panas, namun keringat dinginnya seakan-akan diperas apuh dari dalam tubuhnya.
Dalam pada itu terdengar emban tua itu berkata "Kaki Makerti. Kalau kau benar-benar orang yang paling dekat dengan Pranuntaka, maka kau seharusnya mengetahui, bahwa gadis itu sama sekali tidak ingin mengkhianatinya. Kau harus tahu, dan Pranuntakapun harus tahu pula seandainya ia masih hidup. Bagi seorang laki-laki, maka waktu tidak begitu banyak berpengaruh pada dirinya. Tetapi bagi seorang gadis keadaannya jauh berbeda kaki. Kaki Makerti, apakah kaki mempunyai anak seorang gadis"
Empu Sada yang menyebut dirinya Makerti itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi perlahan-lahan ia menggeleng lemah "Tidak nini.
"Oh, kalau kau punyai gadis itu kaki" desak perempuan tua itu "maka kau akan merasakan, betapa seorang gadis tidak dapat membiarkan waktu lewat tanpa menggoreskan luka didadanya semakin banyak hari-hari yang dilewatinya untuk menunggu, maka kegelisahan dihatinya menjadi semakin menyala.
"Ya, ya aku tahu nini." potong Empu Sada "tetapi tidak demikian dengan gadis yang bernama Rumanti itu.
Mereka sebelumnya telah berjanji, dan Rumanti tahu, bahwa Pranuntaka sedang pergi merantau untuk mempersiapkan hari-hari yang bakal mereka jelang. Tetapi ketika Pranuntaka kem bali, maka gadis itu telah membawa seorang anak laki-laki di dalam dukungannya.
"Cukup. Cukup" tetapi suara perempuan itu seakan-akan tersumbat dikerongkongan.
"Kalau kau keluarga dari perempuan itu nini, maka dengarlah keluhan hati Pranuntaka yang meratapi kegagalannya. Laki-laki cengeng itu menganggap bahwa hidupnya sudah tidak akan berarti lagi.
"Tetapi perempuan itupun telah menyiksa dirinya sendiri kaki. Ia menyesal karena iapun akhirnya kehilangan segala-galanya.
"Bohong." sahut Empu Sada "itu hanya sebuah dongeng ngayawara. Ternyata kaulah yang hanya mendengar dongeng disepanjang jalan tentang Pranuntaka dan Jun Rumanti itu. Ternyata kaulah yang banya mendengar ceritera itu berdesah dari mulut-kemulut. Kau tidak melihat dari dekat, dan kau tidak turut serta merasakan betapa kepahitan dari peristiwa itu membekas sampai akhir hayatnya.
"Kau yang bohong" bantah perempuan itu. Namun kini mulai terdengar isak tangisnya "perempuan itupun telah menerima hukumannya.
"Kembali kau mengarang ceritera itu. Mungkin kau kenal keduanya, tetapi kau tidak mengenal perasaan mereka.
"Tentu, tentu kaki Makerti, aku tentu mengenal perasaan mereka seperti aku mengenal perasaan sendiri. Aku mengenal perasaan gadis itu melampaui setiap orang yang pernah mengenalnya.
"Nini emban" tiba-tiba suara Empu Sada menjadi datar dan berat. Serasa sesuatu mcnyumbat kerongkongannya. Na mun laki-laki itu memaksa mengucapkan kata-kata - Nini, kenapa kau mengenal perasaan gadis itu melampaui setiap orang" Nah, katakan kepadaku nini, apakah kau yang bernama Jun Rumanti"
Emban tua itu terkejut mendengar pertanyaan itu. Sekali lagi ia bergeser setapak menjauhi laki-laki yang berdiri di hadapannya. Dengan tajamnya ia memandangi wajah laki-laki tua itu, namun kemudian wajahnya tertunduk. Dengan ujung kembennya ia menyeka matanya. Dan tiba-tiba mata itu kini menjadi kering. Ketika perempuan itu mengangkat kepalanya, maka ia berkata "Tak ada gunanya air mata buatku. Buat orang tua-tua." kemudian dengan tegas ia berkata "Ya, aku lah Jun Rumanti itu.
Jawaban itu telah diduga oleh Empu Sada yang menyebut dirinya Makerti. Namun meskipun demikian terasa juga da danya berdesir, dan karenanya maka sejenak ia pun terdiam.
"Kaki Makerti, kini kau telah berhadapan dengan perempuan itu. Jun Rumanti. Nah, bertanyalah kepadanya, kenapa ia tidak setia menunggu Pranuntaka yang pergi tanpa sebuah pertanggungan jawabpun menghadapi gadis dan waktu.
EmpuSada tidak segera menjawab. Namun setelah ia mencoba menenangkan dirinya ia berkata "Maaf aku nini.
"Apa yang harus dimaafkan" Aku tidak menyesali kata-kata mu. Mungkin kau hanya mendengarnya dari Pranuntaka. Itu adalah haknya untuk menyatakan perasaannya. Dan keta huilah kaki, bahwa anak Jun Rumanti itu kini telah men jadi seorang anak laki-laki yang cukup memberinya kebanggaan.
"Dimana ayahnya sekarang"
"Huh, apakah kau ber-pura-pura. "Aku belum mengenalnya.
"Ayahnya telah mati seperti Pranuntakapun telah mati. Laki-laki itu lari tanpa meninggalkan pesan apapun.
"Pendengaranku tentang laki-laki suamimu itu ternyata benar.
"He, kau telah mengetahuinya pula" - bertanya emban tua itu, yang ternyata bernama Jun Rumanti dimasa gadis nya "kenapa kau mempunyai perhatian yang sedemikian besar atas Jun Rumanti itu dan suaminya pula"
"Tidak apa-apa. Aku mengetahuinya seperti aku mengetahui banyak tentang Pranuntaka.
Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam.
"Dimana anakmu sekarang nini" - bertanya Empu Sada.
"Anakku telah kau kenal. Kau telah mengakui menjadi paman Ken Dedes dan membawa pesan dari laki-laki itu.
"He" Kau maksud bahwa anakmu bernama Mahisa Agni?" wajah Empu Sada tiba-tiba menjadi semakin tegang sehingga jalur-jalur nadinya se-akan-akan ingin mencuat keluar dari wajah kulitnya yang berwarna tembaga.
Emban tua itupun terkejut mendengar pertanyaan Empu Sada dalam nada yang tinggi. Kini emban itulah yang melihat Empu Sada tiba-tiba menjadi sangat gelisah. Sekali lagi ia mene gaskan "Nini, apakah anak muda yang bernama Mahisa Agni itu anakmu"
Emban tua yang bernama Jun Rumanti dimasa gadisnya itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab "Ya, kaki. Mahisa Agni itu adalah anakku.
"Oh" tiba-tiba Empu Sada itu menundukkan wajahnya. Terasa dadanya se-akan-akan terhimpit batu yang terlontar dari lereng Gunung Kawi.
Dalam pada itu, emban tua itupun tertegun. Ia belum pernah mengatakan kepada siapapun, bahwa Mahisa Agni itu adalah anaknya. Namun tiba-tiba, kepada orang yang baru saja dikenalnya itu ia berterus terang, bahwa Mahisa Agni adalah anaknya.
Tetapi tanggapan laki-laki tua itupun sangat menarik perha tiannya. Didengarnya orang yang menyebut dirinya Makerti itu berdesah beberapa kali.
"Kenapa kaki" bertanya emban tua itu "kenapa kalau Mahisa Agni itu anakku"
"Tidak apa-apa Rumanti.
"Jangan panggil aku dengan nama itu. Panggil aku kini sebagai seorang emban Tuan Puteri Ken Dedes.
"Ya nini emban. "Tetapi kenapa dengan Mahisa Agni"
"Aku tidak inenyangka, bahwa Mahisa Agni itu adalah anakmu.
"Tak seorangpun tahu, bahwa Mahisa Agni itu anakku. Mungkin pamannya, Empu Gandring telah mendengar dari Agni, bahwa aku disini. Tetapi orang lain tidak. Ken Dedes, momonganku itupun tidak tahu, bahwa kakak angkatnya, Mahisa Agni adalah anakku, anak pemomongnya.
"Itukah akibat dari penyesalanmu atas peristiwa yang pernah terjadi dalam hidupmu itu!
"Ya, salah satu bentuk daripadanya.
"Kau membuang dirimu"
"Ya. "Tetapi apakah Mahisa Agni tahu bahwa kau adalah ibunya"
"Ya. Sekali lagi terdengar Empu Sada berdesah. Bahkan beberapa kali tangannya mengusap peluhhnya yang menitik dari dahinya. Dalam kesuraman iyahaya pelita dikejauhan, maka wajah yang tegang itu tampaknya menjadi bertambah tegang.
"Aku tidak menyangka." desis Empu Sada.
"Sekarang kau tahu, dan apakah yang akan kau lakukan atas anak itu" Anak itu adalah anakku. Anak Jun Rumanti yang telah melukai, bahkan menurut katamu mengehianati orang yang bernama Pranuntaka itu, yang mungkin adalah sahabatmu atau saudaramu atau apa saja. Ternyata kau benar-benar mengetahui keadaannya hampir sempurna.
Ternyata Empu Sada menjadi semakin gelisah mendengar kata-kata Jun Rumanti, emban pemomong Ken Dedes itu, se hingga ia tidak lagi berhasil menyembunyikan perasaannya. Kata-kata emban tua yang tidak disadari oleh perempuan itu sendiri seakan-akan telah menunjuk wajahnya, bahwa ia pernah berbuat sesuatu atas Mahisa Agni, bahkan pernah berusaha untuk membunuhnya.
Empu Sada itu memalingkan wajahnya ketika emban itu berkata "Bagaimana kaki. Apakah sekarang yang akan kau katakan" Apakah kau benar-benar mendapat pesan dari Mahisa Agni untuk kemanakanmu Ken Dedes"
"Maafkan Rumanti, aku tidak tahu bahwa Mahisa Agni adalah anakmu.
"Jangan panggil aku dengan nama itu. Rumanti telah tidak ada lagi. Yang ada adalah emban tua pemomong Tuan Puteri Ken Dedes ini." emban itu berhenti sejenak. Kemudian dilanjutkannya "Tetapi kenapa dengan Mahisa Agni setelah kau tahu bahwa Mahisa Agni adalah anakku.
Gelora didalam dada Empu Sada menjadi semakin gemu ruh. Terbayang didalam anganfnya, betapa ia me-ngejar-ngejar anak itu bersama muridnya Kuda Sempana.
Namun tiba-tiba Empu Sada itu bergumam "Tetapi nini, kali ini maksud kedatanganku adalah baik. Aku justru ingin menyelamatkan anak muda itu.
"Kaki Makerti" potong emban tua itu "kenapa kali ini" Apakah dikali lain kau mempunyai maksud yang lain pula"
Empu tua yang menyebut dirinya Makerti itu kini benar-benar tidak lagi dapat menahan arus perasaannya yang se-akan-akan ingin memecabkan dadanya. Tiba-tibaia tertunduk lemah sambil ber desis "Aku tidak tahu nini. Aku tidak tahu kalau anak muda itu anakmu"
"Kenapa kalau anakku" Kau tidak mempunyai sangkut paut dengan aku Kau tidak mempunyai sangkut-paut dengan Mahisa Agni. Tetapi apakah yang pernah kau lakukan ter hadap anak itu"
Empu Sada terdiam sejenak. Sekali ia memandang halaman yang luas itu. Satu dua berkeredipan lampu-lampu minyak yang melemparkan sorotnya bertebaran. Tetapi sorot lampu itu tidak mampu menerangi wajah Empu tua yang sedang gelap.
Ketika dikejauhan terdengar bunyi kentongan dara-muluk, maka hati orang tua itupun se-akan meledak karenanya. Per lahan-lahan ia berdesah seperti kepada diri sendiri "Anak itu anak baik. Untunglah bahwa segala sesuatunya belum terjadi. " Empu Sada berhenti sejenak. Kini ia memandangi wajah emban tua itu dengan saksama. Tampaklah bibir laki-laki tua itu ber-gerak-gerak. Namun baru kemudian ia berhasil meng ucapkan kata-kata "Maafkan aku Rumanti. Bukan maksudku menyakiti hatimu. Aku tidak tahu apakah yang sedang aku hadapi dan aku tidak menyadari apa yang aku lakukan. Rumanti. Kalau kau masih juga dapat mempercayai kata-kataku, akulah laki-laki pengecut itu. Akulah orang yang bernama Pranuntaka dan aku adalah orang yang tidak tahu diri.
Alangkah mengejutkan pengakuan itu, sehingga sejenak emban tua itu terpaku diam. Namun gemuruh didalam dada nya bergelora melampaui gelora kawah gunung berapi. Sorot matanya menghunjam se-olah-olah hendak menembus jantung orang yang menyebut dirinya Makerti. Tetapi sejenak mulut nya bagaikan terkunci.
Empu Sada kini menundukkan wajahnya. Pengakuan itu meluncur bagaikan lepasnya seekor burung yang selama ini disimpannya rapat-rapat didalam sangkar Tak seorangpun yang dapat mengetahuinya seperti tak seorangpun yang mengenal perempuan itu bernama Jun Rumanti
"Tetapi" terdengar kemudian suara perempuan tua itu ter-sendat-sendat "tetapi bukankah Pranuntaka itu telah mati"
"Ya. Kau benar. Pranuntaka memang telah mati, seperti Jun Rumanti yang demikian saja hilang dari lingkungannya. Pranuntaka telah mati. Yang ada kemudian adalah orang lain. Orang yang hidupnya tidak ada sangkut pautnya dengan orang yang bernama Pranuntaka itu. Hidup Pranuntaka telah diakhiri. Dan lahirlah orang baru, Empu Sada.
"He?" emban tua itu hampir-hampir berteriak mendengar pengakuan laki-laki itu lebih lanjut. "Kaukah orang yang bernama Empu Sada itu pula"
Kini Empu Sada sendiri terkejut bukan buatan. Pengakuan itu meluncur tanpa disadarinya. Ternyata ia telah terdorong menyebut dirinya Empu Sada.
Karena itu maka jantung Iaki-laki itu berdegup semakin keras. Dengan nanar dipandanginya perempuan tua yang tiba-tiba menjadi sangat tegang. Tetapi ucapan itu sudah terlanjur meloncat dari bibirnya.
Perempuan tua, emban pemomong Ken Dedes itu berdiri seperti sebuah patung. Tetapi patung itu telah membuat Empu Sada gemetar. Lebih baik baginya berhadapan dengan seorang yang bernama Kebo Sindet atau Wong Sarimpat, atau Panji Bojong Santi bahkan Empu Purwa sekalipun, daripada perem puan tua itu. Perempuan yang pernah bernama Jun Rumanti.
Dada Empu Sada terasa menjadi retak ketika ia mendengar perempuan tua itu berdesis penuh tekanan "Jadi kaukah laki-laki itu. Kaukah laki-laki yang bernama Pranuntaka, yang pernah kehilangan perhitungan tentang gadis dalam hubungannya dengan waktu, dan kaukah pula yang kini bernama Empu Sada, yang pernah berusaha membinasakan anak ku Mahisa Agni dan hampir-hampir pula mencelakakan momongan ku, Ken Dedes.
Tubuh Empu Sada menjadi semakin gemetar. Sejenak timbullah hasratnya untuk lari. Ia harus meninggalkan halaman itu sebelum para prajurit itu mengcnalnya, bahwa ialah orang yang bernama Empu Sada. Ia harus meloncat pagar dan lenyap dibalik dinding halaman. Tetapi tiba-tibahatinya serasa lumpuh. Perempuan tua itu adalah Jun Rumanti.
Dalam usianya yang telah lanjut itu, tanpa disadarinya telah terungkat kembali kenangan masa-masa lampaunya. Masa-masa puluhan tahun yang lampau.
Empu Sada, seorang laki-laki yang mampu menghadapi setiap bahaya yang mengancam dirinya, bahkan telah berhasil melepaskan diri dari tangan kakak beradik Kebo Sindet dan Wong Sarimpat itu, kini berdiri sambil menundukkan kepalanya da lam2 dihadapan seorang emban tua. Betapa kekuatan tangannya serta aji yang tersimpan didalam dirinya, namun Empu Sada tidak akan mampu melawan perasaannya. Terdengar didalam dadanya suatu keluhan "Kembali aku menjadi seorang laki-laki cengeng.
Empu Sada itu menjadi semakin ber-debar-debar ketika kemu dian perempuan yang berdiri didepannya itu berkata seper ti air yang membanjir "O, jadi kaukah yang bernama Empu Sada itu. Kini aku tahu. Kau ingin melepaskan sakit hatimu atas anak dan momonganku. Oh alangkah cupet bu dimu. Aku sangka kau dahulu dengan jujur berkata "Kembalilah kepada suamimu dan kepada anakmu. Mereka lebih memerlukan kau dari pada aku. Tetapi ternyata kau menyimpan dendam didalam hatimu. Apakah artinya kematian Pranuntaka dan lahirnya seorang yang bernama Empu Sada" Apakah arti katamu bahwa tak ada hubungan antara orang yang bernama Pranuntaka dan Empu Sada itu" Teryata kau adalah pembohong yang paling besar yang pernah aku temui. Empu Sada adalah nama yang kau pergunakan untuk menyem bunyikan dirimu. Dengan demikian kau akan menjadi lebih mudah untuk berbuat sesuatu. Melepaskan dendammu yang puluhan tabun mengeram didalam dadamu. Kini kau mema kai nama lain pula. Makerti, supaya kau dapat melepaskan sebagian dari dendammu.
Empu Sada menekan dadanya dengan telapak tangannya. Ditahankannya perasaannya sekuat tenaganya. Dibiarkannya pe rempuan tua itu berkata se-puas-puasnya. Baru ketika emban itu berhenti Empu Sada berkata "Rumanti, ternyata kau salah sangka.
"Apa yang salah?" bantah emban tua itu "bukankah yang terjadi memang demikian" Untunglah bahwa kau belum dibawa langsung menghadap Tuan Puteri. Apabila demikian, maka istana ini akan mendapat bencana. Memang adalah suatu kemungkinan bahwa seisi istana ini tidak akan mampu menangkapmu, apabila Tuanku Tunggul Ametung sendiri terlambat mendengar. Adalah tidak terlampau sukar bagimu untuk menembus penjagaan para prajurit yang ter-kantuk-kantuk itu.
"Rumanti" sahut Empu Sada dengan nada yang datar, Di-tahankannya hatinya. Dengan sareh ia berkata "Aku dapat mengerti perasaanmu itu. Tetapi ketahuilah bahwa sama sekali tidak tahu bahwa kau berada disini. Bahwa Mahisa Agni adalah anakmu dan Tuan Puteri adalah momonganmu,
"Apakah aku harus mempercayainya" Kau yang bernama Pranuntaka dan kemudian menyebut dirimu Empu Sada, apakah mungkin bahwa kau tidak mengerti bahwa akulah Jun Rumanti yang beranakkan Mahisa Agni" Pranuntaka, ternyata bencana yang mengancam anakku itu tidak sekedar datang dari Kuda Sempana yang aku dengar adalah murid Empu Sada, tetapi justru datang darimu sendiri.
Empu Sada masih mencoba menahan diri sekuat-kuatnya. Dengan dada yang bergetar ia mencoba mendengarkan luapan perasaan perempuan tua itu. Ia sendiri berusaha untuk tidak terseret kedalam arus perasaan seperti emban pemomong Ken Dedes itu.
Ketika perempuan yang dahulu bernama Jun Rumanti itu berhenti sesaat, maka berkatalah Empu Sada "Rumanti.
"Jangan sebut nama itu" potong perempuan tua itu.
"Baiklah" Empu Sada mencoba memperbaiki kata-katanya "nini, betapa jahatnya Empu Sada, namun kali ini aku masih ingin mendapat kepercayaanmu. Mungkin kalau aku berusaha nini, barangkali aku memang akan dapat menemukanmu dan mengetahui bahwa Mahisa Agni itu adalah anakmu.
"Bohong. Aku adalah seorang perempuan yang tidak mempunyai kecakapan apapun. Aku bukan seorang yang sakti yang memiliki aji didalam diriku. Aku bukan seorang perantau yang mengembara dari satu tempat kelain tempat. Namun aku berhasil menemukan anakku sepeninggal suamiku.
Sebenarnyalah demikian nini" sahut Empu Sada "sekali lagi aku katakan, bahwa aku memang tidak berusaha demikian. Aku tidak mencari seorang gadis yang bernama Jun Rumanti. Aku tidak mencari suaminya atau anaknya. Tidak. Justru aku selalu mencoba menjauhinya seperti aku mencoba men jauhi semua kenang2an yang pernah terjadi. Itulah bedanya. Kau mencari dan aku justru menghindari.
Emban itu terdiam sejenak. Kesabaran Empu Sada ternyata mempengaruhi tanggapannya atas peristiwa yang sedang dihadapnya, la kemudian dapat mengerti keterangan Empu Sada itu, bahwa Empu Sada yang dahulu bernama Pranuntaka, tidak mengetahui siapakah Mahisa Agni.
Keduanya sejenak terdiam. Masing-masing mencoba mencerna kan, apakah yang sedang mereka hadapi. Sedang angin malam berdesau semakin kencang. Dan nyala2 pelita meronta-ronta karena sentuhan angin itu.
Emban tua itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menangis. Sedang Empu Sada berdiri tegak seperti tonggak mati. Keduanya masih belum mengucapkan kata-kata. Tetapi dada mereka masih saja bergelora.
Dikejauhan para prajurit sudah mulai dihinggapi oleh kecurigaan. Apakah laki-laki tua itu masih juga memaksakan keinginannya untuk menghadap Ken Dedes" Pembicaraan mereka telah berlangsung terlampau lama. Tetapi agaknya mereka masih belum menemukan kesepakatan.
"Apakah laki-laki tua itu gila?" tiba-tiba terdengar salah seorang dari mereka berdesis.
Kawannya yang lain menggeliat sambil menguap "Per setan. Kalau perempuan tua itu memanggil, barulah aku akan datang. Huh. Masih berapa lama lagi kita mendapat ganti. Aku sudah mulai lapar.
Prajurit yang telah membawa Empu Sada masuk menyahut "Ternyata aku akhirnya tidak dapat menunggu lagi. Kalau mereka masih juga bertengkar terlampau lama, maka aku harus kembali ketempatku.
"Tunggullah sebentar. Kau yang membawanya kemari. Mungkin kau harus membawanya keluar pula sebentar lagi.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata "Baiklah. Aku lebih senang duduk disini daripada datang giliranku untuk berdiri hilir mudik disamping regol.
Kawannya yang bertugas diregol mendengar pula perca kapan mereka. Sekilas ia memandangi prajurit yang sebenarnya harus bertugas diregol luar. Tetapi kemudian ia tidak meng hiraukan nya lagi.
Sementara itu, Empu Sada masih juga berdiam diri. Di tatapnya wajah perempuan tua yang berdiri dihadapan sambil menunduk.
"Nini" berkata Empu Sada kemudian "apakah kau telah benar-benar behilangan segenap kepercayaanmu kepadaku.
"Bagaimana mungkin aku dapat mempercayaimu Empu.
Empu Sada menarik nafas dalam. Tetapi harapannya kini telah tumbuh kembali. Perempuan tua itu kini telah tidak ter lampau keras lagi.
"Nini" berkata Empu Sada lebih lanjut "- aku ingin menghadap Tuan Puteri.
Emban itu mengangkat wajahnya. Sambil mengerutkan keningnya ia beakata "Kau hampir-hampir mencelakakanya. Kini apakah kau masih juga berhasrat untuk menculiknya"
"Ada sebuah ceritera yang panjang nini." berkata Empu Sada "tetapi akhir daripada ceritera itu telah menuntun aku kemari dengan maksud yang baik. Mungkin aku seorang yang se-jahat-jahatnya, sehingga aku tidak akan mendapat jalan kembali tanpa menjadi putus-asa lebih dahulu. Aku kini mengalami keputus-asaan itu. Itulah sebabnya aku datang kemari. Aku ingin mematikan Empu Sada itu pula seperti aku ingin mematikan Pranuntaka dahulu- Aku ingin hidup dalam bentuk yang lain lagi. Keadaan telah membenturkan kesadaranku, bahwa jalan yang selama ini aku tempuh bukanlah jalan yang se-baik-baiknya.
"Apa lagi yang telah terjadi pada dirimu. Ternyata hidupmu dipenuhi oleh keputus-asaan. Seperti orang yang berjalan didalam kegelapan, kau me-raba-raba tanpa tujuan. Kalau ternyata jalan itu salah, dan kau telah terperosok dalam ke putus-asaan, maka kau mencoba mencari jalan yang lain. Tetapi kau tidak mempunyai suatu garis lurus yang harus kau perjuangkan.
"Kau benar nini. Kau benar. Aku hidup seperti kapuk yang diterbangkan angin. Kemana angin bertiup, kearah itulah aku terbang. Namun kini, meskipun mungkin aku akan hanyut lagi tanpa aku ketahui, tetapi aku ingin menyampaikan sesuatu kepada Tuan Puteri. Dan tentu saja kepadamu, setelah aku tahu bahwa Mahisa Agni adalah anakmu.
Emban pemomong Ken Dedes itu kini mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah orang yang menyebut dirinya Ma-kerti itu. Wajah itu sama sekali tidak dapat dikenalnya sebagai wajah seorang yang pernah bernama Pranuntaka. Puluhan tahun yang lampau., sejak Mahisa Agni masih di-dalam dukungan ia bertemu untuk yang terakhir kalinya. Karena itu, maka wajah laki-laki tua itu telah berubah sama sekali. Pengalaman yang pahit, yang pedih dan segala macam pengalaman yang lain telah mencetak muka laki-laki itu menjadi wajah Empu Sada yang hidup didalam dunia yang asing.
Tetapi wajah perempuan itupun telah berubah pula. Tak ada lagi sisa-sisa kecantikan wajah seorang gadis yang bernama Jun Rumanti. Tak ada lagi senyum yang cerah dan suara tawa yang renyah. Namun sorot mata itu masih setajam sorot mata Jun Rumanti.
"Kaki Makerti" berkata emban itu "apakah sebenamya yang akan kau sampaikan kepada Tuan Puteri".
Empu Sada ragu-ragu se.jenak. Tetapi ia harus mengatakan se- tidak-tidaknya sebagian dari seluruh keterangannya. Apabila tidak demikian, maka ia pasti tidak akan mendapat keper cayaan dari perempuan tua itu. Apalagi setelah diketahuinya bahwa Mahisa Agni adalah anaknya.
"Rumanti" desis Empu Sada.
"Sekali lagi, jangan sebut nama itu." potong perempuan itu.
"O, maafkan aku ini." Empu Sada menelan ludahnya, lalu ia meneruskan "ada yang akan aku sampaikan kepada Tuan Puteri justru dalam hubungannya dengan anakmu itu.
"Ya katakanlah. "Anakmu kini berada dalam bahaya nini.
"Sudah lama ia berada dalam bahaya, sejak ia mengurungkan niat Kuda-Sempana, muridmu, untuk mengambil Ken Dedes menjadi isteri dengan caranya yang kasar.
"Ya, ya. Kau benar. Tetapi kini bahaya itu menjadi semakin besar.
"Kaukah yang mengatakan itu" Kau salah seorang yang membahayakan baginya.
"Sudah aku katakan. Aku kembali terbentur pada suatu keadaan yang memaksaku menjadi sekali lagi berputus-asa. Bukan karena sisa-sisa kebaikan hatiku sehingga aku menya dari kejahatan serta kekeliruanku di-masa-masa yang lampau, te tapi aku kini sedang berputus-asa. Empu Sada bukan seorang yang pantas mendapat tempat dimanapun. Ia adalah seorang yang tidak akan berguna bagi siapapun, seperti Pranuntaka tidak akan berguna bagi siapapun juga. Tetapi nini, kali ini, aku mengharap kau mendengarkan kata-kataku, selagi aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku ker jakan Aku sendiri tidak yakin, apakah sikap ini akan berlaku seterusnya. Aku ragu-ragu terhadap diiiku sendiri. Dan orang seperti aku, yang sudah kehilangan kepercayaan kepada diri nya sendiri, adalah orang yang paling tidak berguna.
Emban tua itu mengernyitkan alisnya. Terasa kejujur an memaniyar dari setiap kata Empu Sada. Apalagi ketika Empu Sada itu berkata Nini, berilah aku kesempatan. Se lain tentang Mahisa Agni, aku ingin mohon maaf kepada Tuan Puteri atas segala kelakuanku di-masa-masa yang lewat. Aku tidak tahu, apakah aku tidak akan kambuh kembali. Tetapi sekarang, percayalah, bahwa batiku sedang gelap, sehingga tidak ada jalan lain daripada menyerahkan diri dalam kepu tus-asaan. Nini jangan menunggu aku menjadi gila. Keti ka aku masuk kcdalam halaman ini, memang terbersit ke hendak yang gila itu. Kenapa tidak saja lebih baik bagiku mengambil Ken Dedes untuk kepentingan yang ber-macam-macam Untunglah bahwa aku sedang berada dalam ketakutan. Aku tidak berani menghadapi lawan-lawanku yang kini mengelilingi aku. Empu Purwa, ayah gadis itu, Empu Gandring yang selalu berada didekat Mahisa Agni, Panji Bojong Santi yang pernah mengurungkan niatku menculik Tuan Puteri dijalan ke Panawijen dan yang paling gila adalah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Keduanya itulah yang paling berbahaya bagiku dan bagi Mahisa Agni. Muridku, Kuda-Sempana kini ada pada mereka. Adalah suatu bahaya yang tak terkirakan, bahwa kedua setan itu ingin menangkap Mahisa Agni tidak untuk Kuda-Sempana, tetapi justru untuk memeras Tuan Puteri Ken Dedes dan Tuanku Tunggul Ametung.
Dada perempuan tua itu berguncang mendengar kata-kata Empu Sada. Tiba-tiba tumbuhlah kepercayaan didalam hatinya, bahwa Empu Sada benar-benar sedang dalam keputus-asaan. Namun sejalan dengan itu, maka hatinyapun kini dicengkam oleh kecemasan tentang anaknya. Karena itu, maka emban itupun menjadi gelisah. Sejenak ia berdiam diri dalam ke bimbangan.
Tetapi perempuan tua itu terhenyak ketika ia mendengar seorang prajurit menegurnya, prajurit yang membawa Empu Sada masuk kedalaman dalam "Kaki, bagaimana dengan Kau" Apakah kau masih juga betah berdiri disitu sampai pagi untuk memaksa menghadap Tuan Puteri Ken Dedes.
Empu Sada tidak menjawab. Ditatapnya saja wajah perempuan tua dihadapannya, seolab-olah minta kepadanya untuk menjawab pertanyaan prajurit itu.
"Aku harus kembali ketempatku bertugas" berkata prajurit itu lebih lanjut "aku sudah mencoba menolongmu kaki. Tetapi keputusan terakhir memang tidak terletak ditanganku.
Empu Sada masih berdiam diri.
Karena Empu Sada tidak segera menjawab, maka kem bali prajurit itu berkata "Bagaimana kaki"
Dalam kebimbangan kemudian Empu Sada menjawab "Bukan aku yang menentukan tuan, tetapi emban pemomong Ken Dedes itu. Tergantung kepadanya, apakah aku diperbolehkan menghadap atau tidak.


01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prajurit itu berpaling, memandangi wajah emban tua yang kini menjadi tegang penuh kebimbangan,
Sejenak mereka saling berdiam diri. Empu Sada menung gu dengan hati yang ber-debar-debar, sedang prajurit itu menjadi heran. Ia melihat beberapa perubahan sikap pada laki-laki tua yang kini agaknya menjadi bertambah sigap.
Didalam pada itu emban tua itu masih juga dicengkam oleh kebimbangan. Tetapi ia dapat mengerti keterangan Empu Sada. Ia dapat mempercayainya, bahwa kali ini ia bermaksud baik. Kalau ia bermaksud jahat, maka ia tidak perlu berbantah lagi. Mungkin dengan sebuah sentuhan ia sudah menjadi pingsan. Prajurit-prajurit yang berjumlah empat orang yang sama sekali tidak bersiaga itu akan dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Dan adalah tidak mustahil, bahwa ia akan berhasil mengambil puteri itu tanpa dapat ditangkap oleh para penjaga. Hanya kalau Akuwu Tunggul Ametung mengetahuinya, maka pusakanya akan mungkin dapat melawan orang tua itu.
Dalam kebimbangan perempuan tua itu mendengar pra jurit itu bertanya kembali "Bagaimana Nyai. Apakah orang tua itu diperkenankan menghadap, ataukah ia harus keluar"
Perempuan tua itu menggigit bibirnya. Tampaklah kerut merut didahinya menjadi semakin dalam. Diawasinya Empu Sada dan prajurit itu ber-ganti-ganti.
Akhirnya terdengar ia bersuara lirih "Biarlah ngger, laki-laki tua ini menghadap Tuan Puteri. Kalau nanti ternyata Tuan puteri tidak berkenan, maka biarlah ia keluar halaman.
"Tetapi ia tidak boleh berkeliaran sendiri dihalaman ini Nyai" sahut prajurit itu "kalau Tuan Puteri tidak berkenan maka aku harus mengantarkannya keluar.
"Baiklah kalau demikian, marilah ikut aku. Kau dapat menunggu diluar sampai laki-laki ini meninggalkan istana.
"Sampai kapan aku harus menunggunya."
"Tidak akan sampai besok.
"Ah." prajurit itu mengeluh, tetapi kemudian ia berkata "apakah aku akan dibiarkan lapar" Sore tadi aku belum makan Nyai. Seharusnya sebentar lagi aku akan diganti oleh prajurit yang bertugas semalam sentuk nanti. Aku akan segera kembali pulang dan makan.
"Jangan takut" sahut perempuan tua itu "kau dapat pergi kedapur. Kau akan dapat memecahkan parutmu nanti, ngger.
Prajurit itu tersenyum. "Baiklah kalau demikian.
"Ikutlah kami" kata perempuan itu, dan kepada Empu Sada ia berkata "Marilah kita mencoba menghadap Tuan Puteri.
"Aku percaya kepadamu nini, untuk kepentingan anak mu pula.
"Sst. "O" laki-laki yang menyebut dirinya Makerti itupun terdiam. Mereka kini berjalan sepanjang dinding istana lewat halaman belakang. Dari tangga mereka memasuki serambi belakang untuk menghadap Tuan Puteri Ken Dedes yang hampir tidak sabar lagi menanti pemomongnya.
Ketika didengarnya suara pemomongnya itu diluar pintu biliknya, maka dengan ter-gesa-gesa ia keluar. Ia ingin segera mendengar tentang laki-laki yang menyebut dirinya pamannya dan bernama Makerti.
"Tuan Puteri" berkata pemomongnya ketika Ken Dedes sudah berada diluar pintu biliknya "seorang laki-laki tua kini menunggu Tuan Puteri diruang belakang.
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Kemudian ia ber tanya "Apakah benar, bahwa ia adalah pamanku bibi"
"Silahkanlah puteri. Tuan Puteri akan dapat bertanya kepadanya sendiri.
Tetapi Ken Dedes menangkap ke-ragu-raguan didalam kata-kata perempuan tua itu sehingga kemudian sambil mengerutkan keningnya ia bertanya "Apakah kau sudah pernah mengenalnya"
Emban pemomong Ken Dedes itu menjadi semakin bimbang. Ia tidak segera tahu, bagaimana ia harus menjawab. Karena itu maka sejenak emban tua itu berdiri saja me matung.
"Bagaimana bibi?" desak Ken Dedes.
"Tuan Puteri" jawab emban itu kemudian "hamba tidak dapat mengatakannya apakah hamba pernah mengenalnya atau belum dalam hubungannya dengan pengakuan laki-laki tua itu. Tetapi dalam persoalan yang lain, hamba memang pernah mengenalnya sebagai orang dari padukuhan Ngarang.
"Dalam hubungannya dengan aku"
"Hamba tidak tahu Tuan Puteri, tetapi sebaiknya Tuan Puteri menemuinya dan bertanya langsung kepadanya.
"Apakah orang itu tidak berbahaya"
"Ditangga belakang ada seorang prajurit yang menunggunya Tuan Puteri, disamping Pelayan Dalam yang sedang bertugas.
Ken Dedes meng-anggukkan kepalanya. Namun ia masih saja ragu-ragu untuk berbuat.
"Bagaimana nasehatmu bibi"
"Menurut pendapat hamba Tuan Puteri, Tuan Puteri dapat menemuinya dan bertanya langsung kepadanya.
"Baiklah. Aku percaya kepadamu.
Ken Dedes itupun segera melangkah keruang belakang diiringi oleh pemomongnya. Meskipun demikian sebenarnya didalam dada keduanya, masih menyala ke-ragu-raguan. Tetapi emban tua itu bergumam didalam hatinya "Aku mengharap bahwa laki-laki itu masih mempunyai sisa-sisa harga diri dan perasaan.
Ketika Ken Dedes memasuki ruangan belakang, dilihat nya seorang laki-laki duduk bersila sambil tumungkul. Kechidmat annya ternyata telah mengurangi perasaan bimbang dihati Ken Dedes.
Ken Dedes itupun kemudian duduk diatas sebuah batu hitam yang dialasi oleh selapis kulit kayu yang dihias dengan ukir2an benang berwarna emas. Ditatapnya laki-laki tua yang masih saja duduk tepekur seakan-akan tidak berani bergerak meskipun hanya ujung jari kakinya.
Ken Dedes itupun tidak segera bertanya sesuatu kepada laki-laki yang duduk sambil menundukkan kepalanya itu. Dicoba untuk meng-ingat2 apakah ia pernah mengenal seorang laki-laki seperti yang kini duduk dihadapannya.
Tetapi betapa gadis itu berusaha, namun ia tidak ber hasil menemukan ingatan tentang seorang laki-laki tua yang bernama Makerti.
Sekilas Ken Dedes memandangi pemomongnya yang duduk dekat disampingnya. Bagaimanapun juga, ternyata perempuan itu masih juga menyimpan ke-ragu-raguan didalam hatinya, apa lagi setelah diketahuinya, bahwa sebenarnya laki-laki tua itulah yang bernama Empu Sada. Karena itu, maka pemomong Ken Dedes itu duduk dekat disisi kaki Ken Dedes, bahkan se-olah-olah bersandar kepada gadis itu.
"Kaki, sapa Ken Dedes kemudian per-lahan-lahan "maaf kan aku Kaki, bahwa aku merasa belum mengenalmu. Baik namamu dan bahkan wajahmu. Adalah suatu kemungkinan bahwa aku telah lupa kepada seseorang yang pernah aku ke nal sebelumnya. Tetapi cobalah kau menjelaskan, bagaimana kah hubunganmu dahulu, aku pasti akan menjadi ingat kembali kepadamu.
Tetapi Empu Sada tidak segera dapat menjawab. Bahkan kepalanya yang tunduk itu se-akan-akan menjadi semakin tunduk.
"Kaki" berkata Ken Dedes pula "mungkin Kaki dapat berceritera tentang keluargaku, tentang ibuku semasa hidupnya dan tentang ayahku. Mungkin Kaki dapat berceritera tentang diriku dimasa kanak-anakku. Dengan demikian aku akan dapat memgingatnya kembali atau setidak-tidaknya dapat meyakin kan diriku bahwa kau adalah pamanku.
Empu Sada masih belum menjawab. Kepalanya masih menunduk dalam-dalam. Namun laki-laki tua itu menggigit bibirnya sendiri kuat-kuat. Ketika ia telah berhadapan dengan gadis itu, tiba-tiba terkenanglah kembali apa yang pernah dilakukannya. Ia pernah berusaha merebut gadis itu untuk muridnya Kuda-Sempana. Apakah dengan demikian tidak akan berarti merenggut gadis itu dari dunianya yang sekarang dan melempar kannya kedalam satu dunia yang gelap" Memang ia tidak mempunyai anak seorang gadis. Ia tidak dapat membayangkan betapa perasaan seorang gadis tentang dirinya, tentang dunia disekitarnya dan tentang masa depannya. Tetapi ketika ia ber hadapan dengan Ken Dedes, alangkah pedih hatinya. Seandai nya, ya, seandainya saat itu Panji Bojong Santi tidak meng balanginya, maka apakah jadinya gadis yang kini duduk diha dapannya itu" wajah yang cerah sumringah itu pasti akan menjadi suram dan muram. Kuda-Sempana pasti akan membawanya hidup dalam suatu dunia yang gelap yang tersembunyi.
"O" laki-laki tua itu menarik nafas dalam-dalam. Didalam hatinya ia bergumam "Ternyata Yang Maha Agung masih melindunginya.
Ken Dedes yang masih saja melihat orang tua itu ter diam, hatinya menjadi ber-debar-debar. Kenapa ia tidak men jawab sepatah katapun"
Kembali Ken Dedes berpaling kepada emban pemomong. Tetapi emban itupun menundukkan kepalanya pula.
Ken Dedes itu kemudian justru menjadi gelisah. Sekali lagi ia mencoba bertanya "Kaki, bukankah Kaki telah datang untuk bertemu dengan aku" Bukankah Kaki yang ber nama Makerti dan mengaku sebagai pamanku"
Ken Dedes itupun kemudian melihat laki-laki tua itu ber gerak. Setapak ia bergeser, namun justru ia bergeser mundur. Per-lahan-lahan ia mengangkat wajahnya.
"Ampun Tuan Puteri" desisnya perlahan. Tetapi kembali ia terdiam. Kembali kepalanya menunduk.
Tetapi dalam sekejap itu, Ken Dedes telah melihat wajahnya. Wajah itu benar-benar telah mengejutkannya. Ken Dedes melihat mata orang tua itu menjadi terlampau suram dan bahkan menjadi basah.
"Katakanlah Kaki" minta Ken Dedes, seperti seorang gadis kepada kakeknya yang tua.
"Ampun Tuan Puteri" berkata orang tua itu tersendat-sendat, se-akan-akan lehernya tersumbat oleh kata-katanya.
"Ya katakanlah. Ketika orang tua itu kembali mengangkat wajahnya, kini Ken Dedes benar-benar melihat setitik air menetes dari matanya.
"Kenapa kau Kaki?" bertanya Ken Dedes.
Emban tua yang mendengar pertanyaan itupun mengangkat wajahnya pula, dan dilihatnya pula titik air dimata laki-laki itu.
"Ampun tuanku" berkata Empu Sada patah2 "hamba telah berani membohongi Tuan Puteri. Tetapi percayalah Tuan Puteri, bahwa maksud hamba adalah baik.
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Ia tidak segera dapat menangkap maksud orang tua itu.
"Hamba belum pernah melihat tuanku sejelas saat ini. Hamba belum pernah melihat betapa cerah wajah Tuan Puteri. Hamba belum pernah mengetahui betapa bersih hati Tuan Puteri. Selama ini mata hambalah yang telah dibutakan oleh kegelapan hati.
"Kaki" potong Ken Dedes dengan heran "aku tidak mengerti apakah sebenarnya yang kau maksudkan.
Misteri Topeng Merah 3 Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir Natasha 1
^