Pencarian

Pohon Besi 1

The Spiderwick Chronicles 4 Pohon Besi Bagian 1


The Spiderwick Chronicles
Pohon Besi Buku Keempat Tony DiTerlizzi dan Holly Black
Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2004
Untuk nenekku, Melvina, yang mengatakan aku seharusnya menulis buku seperti ini
dan kepada siapa kukatakan aku takkan melakukannya
-H.B. Untuk Arthur Rackham, semoga kau terus memberi inspirasi kepada orang lain seperti yang kaulakukan kepadaku
-T. D. Dear Pembaca, Tony dan aku sudah, bersahabat bertahun-tahun, dan kami berbagi kekaguman masa kecil yang sama kepada makhluk-makhluk sejenis peri. Kami tidak menyadari pentingnya ikatan itu atau bagaimana kekuatannya teruji.
Suatu hari Tony dan aku-bersama beberapa penulis lainnya-sedang menandatangani buku di sebuah toko buku besar. Saat acara itu selesai, kami tetap tinggal, membantu mengatur buku-buku dan mengobrol, sampai seorang pelayan mendatangi kami. Dia berkata ada surat yang ditinggalkan untuk kami. Saat aku bertanya untuk siapa surat itu, kami kaget mendengar jawabannya.
"Kalian berdua," katanya.
Surat itu disalin tepat sama dan dicantumkan di halaman berikut. Tony menghabiskan waktu lama hanya menatap kertas fotokopi yang terselipkan bersama surat itu. Lalu dengan suara pelan, dia terus bertanya-tanya tentang isi naskah itu. Kami buru-buru menulis surat balasan, memasukkannya ke amplop, dan meminta si pelayan mengantarkannya kepada anak-anak keluarga Grace.
Tidak lama setelahnya, sebuah paket tiba di pintu rumahku, terikat pita merah. Beberapa hari berikutnya, tiga anak membunyikan bel pintu, dan menceritakan semua ini kepadaku.
Apa yang terjadi setelahnya sulit dilukiskan. Tony dan aku ditarik masuk ke dunia yang tidak benar-benar kami percayai. Sekarang kami melihat bahwa makhluk-makhluk sejenis peri lebih dari sekadar kisah masa kanak-kanak. Ada dunia tak terlihat di sekeliling kita dan kami harap kau, pembaca yang budiman, mau membuka mata untuk melihatnya.
-Holy Black Dear Mrs. Black dan Mr. DiTerlizzi:
Aku tahu banyak orang tidak percaya ada makhluk-makhluk seperti peri, tapi aku percaya dan kurasa kalian juga. setelah membaca buku-buku kalian, aku memberitahu saudara-saudaraku tentang kalian dan kami memutuskan untuk menulis. kami mengenal makhluk-makhluk seperti peri yang sebenarnya. malah, kami tahu banyak tentang mereka.
Halaman yang kami sertakan ini adalah fotokopi dari buku tua yang kami temukan di loteng rumah kami. fotokopinya tidak bagus, karena kami tidak pandai menggunakan mesinnya. Buku itu memberitahu orang cara mengenali makhlu-makhluk seperti peri dan bagaimana melindungi diri mereka sendiri.
Maukah kalian memberikan buku ini kepada penerbit kalian" kalau kalian bisa, tolong masukkan surat ke amplop ini dan kembalikan ke toko. kami akan mencari jalan untuk mengirimkan buku itu. pos biasa terlalu berbahaya.
Kami hanya ingin orang-orang tahu tentang ini. Apa yang terjadi pada kami bisa terjadi pada siapa pun.
Salam hormat, Malloy, Jared, dan Simon Grace
Bab Satu Ketika Ada Pertengkaran dan Duel
MESIN station wagon sudah menyala. Mallory bersandar di pintu, sepatu sehari-harinya tampak kusam dibandingkan warna putih kaus kaki anggarnya yang panjang. Rambutnya diberi gel dan diikat menjadi ekor kuda yang sangat erat sehingga membuat matanya tampak melotot. Mrs. Grace berdiri di sisi pengemudi sambil berkacak pinggang.
"Aku menemukannya!" Jared terengah-engah saat berlari menghampiri mereka.
"Simon," panggil ibu mereka. "Kau di mana" Kami sudah mencari di mana-mana!"
"Rumah kereta," kata Simon. "Mengurus... eh, seekor burung yang kutemukan." Simon tampak tidak nyaman. Dia tidak terbiasa berbohong. Biasanya itu tugas Jared.
Mallory memutar matanya. "Sayang sekali Mom tidak mau pergi tanpamu."
"Mallory," kata ibu mereka, menggeleng tidak setuju. "Kalian semua-masuk mobil. Kita sudah terlambat, dan aku masih harus mampir di suatu tempat."
Saat Mallory berbalik untuk memasukkan tasnya di bagasi, Jared melihat dada kakaknya tampak aneh. Kaku dan anehnya... besar.
"Kau memakai apa"" tanyanya, menunjuk.
"Diam," kata kakaknya.
Jared nyengir. "Kau kelihatan seper
ti mendapat- " "Diam!" kata Mallory lagi, masuk ke tempat duduk depan mobil sementara kedua anak laki-laki masuk ke tempat duduk belakang. "Ini untuk perlindungan, dan aku harus mengenakannya."
Jared tersenyum ke arah kaca jendela mobil dan memerhatikan hutan berlalu. Tidak ada kegiatan makhluk-makhluk peri dalam waktu lebih dari dua minggu - bahkan Thimbletack pun tidak melakukan apa-apa - dan kadang-kadang Jared harus mengingatkan dirinya bahwa makhluk-makhluk itu nyata. Kadang-kadang sepertinya semua bisa dijelaskan. Bahkan air yang membakar teng-gorokan diabaikan dan dianggap datang dari sumur yang terkontaminasi. Sampai saluran ledeng bisa dihubungkan dengan saluran air utama, mereka menggunakan air dari galon yang dibeli di supermarket, tanpa kecurigaan sama sekali dari ibu mereka. Tapi ada griffin milik Simon, dan itu tak bisa dijelaskan dengan apa pun kecuali Panduan Lapangan Arthur.
"Berhentilah mengunyah ekor kudamu," kata ibu mereka pada Mallory. "Apa yang membuatmu begitu gugup" Apakah tim baru ini benar-benar bagus""
"Aku baik-baik saja," kata Mallory.
Di New York dulu Mallory main anggar hanya dengan mengenakan celana olahraga dan jaket tim yang dipilih dari tumpukan. Ada pria yang mengangkat tangan pada sisimu kalau kau mencetak angka. Tapi di sekolah baru, para atlet anggar mengenakan seragam sung-guhan dan menggunakan anggar elektrik yang terhubung dengan mesin pencatat angka yang lampunya menyala kalau seseorang kena tusuk. Jared merasa itu sudah cukup untuk membuat seseorang gugup.
Ternyata ibu mereka punya penjelasan lain. "Cowok itu, kan" Cowok yang bicara denganmu hari Rabu saat aku menjemputmu."
"Cowok apa"" tanya Simon dari kursi belakang, dia sudah mulai tertawa.
"Diam," kata ibu mereka, tapi dia tetap menjawab. "Chris, kapten tim anggar. Dia kaptennya, kan""
Kakak mereka menggumam tidak jelas.
"Chris dan Mallory duduk di bawah pohon, B-E-R-C-I-U-M-A-N," nyanyi Simon. Jared tertawa, dan Mallory berbalik ke tempat duduk belakang, matanya disipitkan.
"Mau kehilangan semua gigi susu kalian sekaligus""
"Jangan dengarkan mereka," kata ibu mereka. "Dan jangan khawatir. Kau gadis cerdas yang cantik, dan atlet anggar yang hebat. Aku berani bertaruh dia menyukaimu."
"Mom!" Mallory mengeluh dan mengenyak-kan diri di tempat duduk depan.
Ibu mereka berhenti di perpustakaan tempatnya bekerja, mengantarkan beberapa kertas kerja, dan kembali ke mobil yang menunggu, sambil terengah-engah.
"Ayo! Aku tidak boleh terlambat," kata Mallory, mengelus merapikan rambutnya yang sebetulnya tidak perlu. "Ini pertandingan pertamaku!"
Ibu mereka mengeluh. "Kita hampir sam-pai.
Jared kembali menatap ke luar jendela tepat saatnya untuk melihat sesuatu yang tampak seperti kawah besar. Mereka sedang melalui jembatan batu. Bus sekolah tak pernah lewat jalan ini.
"Simon, lihat! Apa itu""
"Itu tambang tua," kata Mallory tak sabar. "Tempat orang-orang dulu menggali batu."
"Tambang," ulang Jared. Dia mengingat sesuatu dari peta yang mereka temukan pada ruang kerja paman buyut mereka, Arthur.
"Mereka menemukan fosil, nggak ya"" tanya Simon, setengah merangkak menindih Jared untuk melihat ke luar jendela. "Aku ingin tahu apakah dinosaurus tinggal di daerah ini."
Jared, Simon, dan ibu mereka mendaki barisan tempat duduk gimnasium sementara Mallory pergi duduk bersama timnya. Di sana sudah duduk beberapa keluarga lain dan orang-orang yang Jared kenal di sekolah. Alas persegi panjang dipasang di lantai dengan garis-garis tertempel padanya. Mallory menyebutnya piste, tapi Jared merasa alas itu hanya tampak seperti matras panjang berwarna hitam. Di belakangnya ada meja lipat tempat papan nilai berdiri, tombol-tombolnya yang besar dan warna-warni membuatnya tampak lebih mirip permainan daripada sesuatu yang penting. Pemimpin pertandingan sedang mengurus kabel-kabel, menyambungkan mereka pada anggar, dan menguji kekuatan yang dibutuhkan untuk membuat alarm berbunyi dan lampu menyala.
Mallory duduk di bangku besi di ujung piste dan mulai membongkar tasnya. Chris berjongkok untuk bicara dengan Mallory. Tim lawan berkumpul di ujung satunya. Semu
a seragam begitu putih, sehingga mata Jared sakit.
Akhirnya pemimpin pertandingan memberi tanda mulainya pertandingan pertama. Dia memanggil kedua atlet anggar dan menyuruh mereka memasang alat penerima kecil pada bagian belakang celana mereka, lalu menyambungkan kabel pada anggar mereka. Kelihatannya sangat profesional. Saat pertandingan mulai, Jared berusaha mengingat-ingat apa yang dikatakan Mallory tentang lampu yang menyala, tapi percuma.
"Ini bodoh. Aku lebih menyukai anggar tanpa segala tetek bengek ini," kata Jared tidak pada siapa-siapa.
Barulah setelah dua pertandingan berlangsung, Jared mengerti bahwa lampu warna-warni berarti pukulannya bagus, tapi lampu putih berarti pukulan tidak dihitung. Hanya tusukan ke dada yang dihitung. Yang sebenarnya sangat bodoh, pikir Jared. Terpukul di kaki terasa sangat sakit, dan Jared sudah cukup sering berlatih bersama Mallory untuk mengetahuinya.
Akhirnya Mallory dipanggil maju. Lawannya-cowok tinggi bernama Daniel-Nggak-Tahu-Deh-Nama-Belakangnya-menyeringai saat memakai topengnya. Dia jelas tidak tahu apa yang dihadapinya.
Jared menyiku Simon saat saudaranya memasukkan pretzel ke mulutnya. "Dia akan tahu rasa."
"Auw," kata Simon. "Sakit nih."
Ekor kuda Mallory bergerak-gerak saat dia maju. Anggarnya menusuk dada Daniel keras-keras sebelum cowok itu sempat menangkis. Pemimpin pertandingan mengangkat sebelah tangan, dan papan nilai menyala mencatat angka untuk Mallory. Jared menyeringai.
Ibu mereka menjulurkan tubuhnya ke depan sejauh mungkin seolah ada yang harus didengar selain suara benturan pedang besi tipis dalam pola menyerang, menangkis, dan serangan balasan. Daniel menyerang membabi buta, terlalu kesal untuk bisa mengontrol langkahnya. Mallory menangkis, mengubah pertahanannya menjadi serangan dan mencetak angka lagi.
Kakak mereka mengalahkan Daniel tanpa disentuh sekali pun. Mereka memberi salam secara formal, dan cowok itu melepaskan topengnya, wajahnya merah dan napasnya terengah-engah. Saat topeng Mallory lepas, dia tersenyum, matanya berbinar puas.
Saat kembali ke bangku besi, si kapten tim anggar memberi Mallory pelukan kaku. Jared tak bisa melihat dengan jelas, tapi dia berani bersumpah wajah Mallory menjadi lebih merah daripada saat dia turun dari piste.
Pertandingan terus berlanjut, dan tim Mallory mencetak angka cukup bagus. Saat giliran si kapten tim bertanding, Mallory berteriak-teriak memberi semangat. Sayangnya, itu sepertinya tidak menolong. Sang kapten kalah tipis. Kembali ke tempat duduknya, dia melewati Mallory tanpa bicara dan mengabaikan upaya gadis itu bicara padanya.
Saat Mallory dipanggil maju lagi, Chris bahkan tidak mendongak untuk melihat.
Jared melihat dari tempat duduk dan mengerutkan kening. Kerutannya semakin dalam saat melihat ada gadis pirang berpakaian seragam anggar sedang mengacak-acak tas kakaknya.
"Siapa itu"" tunjuk Jared.
Simon mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Dia belum bertanding."
Mungkinkah gadis itu teman kakaknya" Mungkin dia hanya akan meminjam sesuatu" Cara mencurigakan gadis itu berhenti saat siapa pun anggota tim menengok ke arahnya membuat Jared berpikir dia sedang mencuri. Tapi apa yang diinginkan orang dalam tas berisi kaus kaki kotor dan anggar cadangan Mallory"
Jared berdiri. Dia harus melakukan sesuatu. Tidakkah orang lain melihat apa yang terjadi"
"Kau mau ke mana"" tanya ibunya.
"Kamar mandi," Jared otomatis berbohong, meskipun ibunya bisa melihatnya berjalan menyeberangi gimnasium. Dia berharap bisa mengatakan yang sebenarnya, tapi ibunya pasti memberi alasan membela gadis itu. Ibunya selalu menganggap semua orang baik, kecuali Jared.
Jared menuruni tempat duduk dan, dengan berjalan merapat dinding, menyeberangi lapangan ke tempat gadis itu masih sibuk mengacak tas Mallory. Tapi saat Jared mendekati tempat duduk para atlet, pelatih menghentikannya.
Pelatih anggar itu kurus dan pendek, dengan jenggot putih pendek pada wajahnya. "Maaf, Nak, kau tak boleh ke sini saat pertandingan."
"Tapi cewek itu berusaha mencuri barang-barang kakakku!"
Si pelatih berbalik. "Siapa""
Tapi saat Jared bergeser untuk menunjuk ke ara
h gadis itu, dia sadar gadis itu sudah menghilang. Dia buru-buru memikirkan penjelasan. "Aku tidak tahu siapa dia. Dia belum bertanding."
"Semua sudah bertanding, Nak. Kupikir lebih baik kau kembali ke tempat duduk-mu.
Jared berjalan kembali ke tempat duduk, malu, lalu berpikir lagi. Dia pergi dulu ke kamar mandi, siapa tahu dengan begitu ibunya tidak bakal bertanya banyak saat dia kembali. Tepat sebelum dia melangkah keluar pintu biru gimnasium, dia berhenti dan menoleh. Sekarang Simon yang mengacak-acak tas Mallory. Tapi Simon mengenakan pakaian Jared! Semuanya akan berpikir itu dirinya. Jared menyipitkan mata, berharap apa yang dilihatnya masuk akal.
Lalu kecurigaan mengerikan muncul dalam pikirannya. Melirik ke arah tempat duduk,
dia melihat saudaranya duduk bersama ibunya, mengunyah pretzel. Siapa pun itu, dia bukan Simon.
Bab Dua Ketika Kembar Dua Grace Jadi Kembar Tiga
JARED tak bisa bergerak di ambang pintu. Dia mendengar suara benturan anggar dan teriakan-teriakan memberi semangat, tapi suara itu sepertinya datang dari tempat yang jauh. Dia menatap ketakutan saat pelatih menghampiri kembarannya. Wajah pelatih merah karena marah, dan beberapa pemain lain menatap kembaran Jared dengan terkejut.
"Bagus," Jared mengernyit. Tidak mungkin dia bisa menjelaskan hal ini.
Pelatih menunjuk ke arah pintu gimnasium yang besar, dan dia menatap Bukan-Jared berjalan ke arah pintu-dan ke arahnya. Saat mendekat ke arah Jared, Bukan-Jared menyeringai. Jared mengepalkan tangannya.
Bukan-Jared melewati Jared tanpa melirik sedikit pun, melangkah melewati pintu ganda itu. Jared ingin mencari jalan untuk menghapus senyum dari wajah makhluk tersebut. Dia mengikutinya ke lorong yang sisi-sisinya dipenuhi loker.
"Siapa kau"" tanya Jared. "Apa yang kauinginkan"
Bukan-Jared berbalik menghadapinya, dan sesuatu dalam tatapannya membuat Jared merasa sekujur tubuhnya dingin. "Tidakkah kau mengenaliku" Bukankah aku dirimu sendiri"" Bibirnya membentuk senyum mengejek.
Aneh sekali melihat makhluk itu bergerak dan bicara. Rasanya tidak seperti melihat Simon, dengan rambutnya yang rapi dan sisa pasta gigi pada bibir atasnya. Dan itu juga bukan Jared sendiri-rambutnya lebih berantakan, matanya lebih gelap, dan... berbeda. Makhluk itu maju selangkah ke arahnya.
Jared mundur selangkah, berharap punya pertahanan apa pun bagi makhluk sejenis peri, kemudian dia ingat pisau saku dalam saku jinsnya. Para peri benci metal, dan baja paling tidak termasuk metal. Jared membuka salah satu bilah nya. "Kenapa kalian tidak pergi saja""
Makhluk itu mendongak dan tertawa. "Kau takkan pernah bisa pergi dari dirimu sendiri."
"Diam! Kau bukan aku." Jared mengacungkan pisau itu kepada kembarannya.
"Singkirkan mainan itu," kata Bukan-Jared, suaranya rendah dan kasar.
"Aku tidak tahu siapa kau, atau siapa yang mengirimmu, tapi aku berani bertaruh aku tahu apa yang kaucari," kata Jared. "Panduan Lapangan. Well, kau takkan mendapatkannya. "
Seringai makhluk itu melebar menjadi sesuatu yang masih tidak terlalu mirip senyuman. Kemudian tiba-tiba dia mengerutkan tubuh seolah ketakutan. Jared menatap heran saat tubuh Bukan-Jared mengerut, rambutnya memucat menjadi pirang pasir, dan matanya yang sekarang berwarna biru melebar ketakutan.
Sebelum Jared benar-benar mengerti apa yang dilihatnya, dia mendengar suara wanita di belakangnya.
"Apa yang terjadi" Singkirkan pisau itu."
Wakil Kepala Sekolah buru-buru mendekat, mencengkeram pergelangan tangan Jared. Pisau saku itu terjatuh ke lantai linoleum. Jared menatap pisau tersebut saat anak laki-laki berambut pirang pasir itu lari menjauh, suara tangisannya lebih mirip suara tawa.
"Aku tak percaya kau membawa pisaumu ke sekolah," bisik Simon kepada Jared saat mereka duduk berdua di luar kantor Wakil Kepala Sekolah.
Jared memelototi saudaranya. Dia sudah menjelaskan beberapa kali-bahkan sekali kepada polisi-bahwa dia hanya memamerkan pisau tersebut pada anak itu, tapi mereka tidak bisa menemukan anak itu untuk memperkuat cerita tersebut. Kemudian Wakil Kepala Sekolah meminta Jared menunggu di luar. Ibu mereka sudah lama berada dalam
kantor Wakil Kepala Sekolah, tapi Jared tak bisa mendengar apa yang terjadi di dalam.
"Menurutmu peri jenis apa dia"" tanya Simon.
Jared mengangkat bahu. "Coba aku punya Panduan Lapangan supaya bisa mencari tahu."
"Kau tidak ingat apa pun yang bisa berubah bentuk seperti itu""
"Entahlah." Jared mengusap wajahnya.
"Dengar, aku sudah bilang pada Mom itu bukan salahmu. Kau hanya harus menjelaskan."
Jared tertawa pendek. "Yeah, kayak aku bisa bercerita apa yang sebenarnya terjadi saja."
"Aku bisa bilang anak itu mencuri sesuatu dari tas Mallory." Saat Jared tidak bereaksi, Simon mencoba lagi. "Aku bisa berpura-pura aku yang melakukannya. Kita bisa bertukar kaus dan sebagainya."
Jared hanya menggeleng. Akhirnya ibu mereka keluar dari kantor Wakil Kepala Sekolah. Dia tampak lelah.
"Aku minta maaf," kata Jared.
Dia kaget mendengar suara ibunya yang tenang. "Aku tidak ingin membicarakannya, Jared. Panggil kakakmu, kita pulang saja."
Jared mengangguk dan mengikuti Simon, menoleh tepat saat ibu mereka terduduk di kursi yang ditinggalkannya. Apa yang dipikirkan ibunya" Mengapa dia tidak marah-marah" Jared tersadar dia berharap ibunya marah-paling tidak dia mengerti itu. Kesedihannya yang tenang lebih menakutkan. Seolah hanya inilah yang bisa ibunya harapkan dari dirinya.
Simon dan Jared berjalan menelusuri sekolah, berhenti untuk bertanya pada para anggota tim anggar apakah mereka melihat Mallory. Tidak ada yang melihatnya. Mereka bahkan berhenti untuk bertanya pada Chris-si-kapten. Chris tampak tidak nyaman saat mereka bertanya tentang Mallory, tapi cowok itu menggeleng. Gimnasium kosong, satu-satunya suara adalah gema langkah mereka pada lantai kayu yang mengilap itu. Matras hitam telah digulung, dan segala sesuatu dari pertandingan telah dirapikan.
Akhirnya seorang cewek berambut cokelat panjang berkata dia melihat Mallory menangis dalam kamar mandi perempuan.
Simon menggeleng. "Mallory" Menangis" Tapi dia kan menang."
Cewek itu mengangkat bahu. "Aku bertanya apakah dia baik-baik saja, tapi dia bilang dia tidak apa-apa."
"Kaupikir itu benar-benar dia"" tanya Simon saat mereka berjalan ke arah kamar mandi.
"Maksudmu, apakah ada yang meniru wujudnya" Untuk apa peri berubah jadi Mallory lalu menangis dalam kamar mandi perem-puan""
"Aku tak tahu," kata Simon. "Aku menangis kalau tiba-tiba berubah jadi Mallory."
Jared mendengus. "Jadi, kau mau masuk dan mencarinya""
"Aku tidak mau masuk kamar mandi perempuan," kata Simon. "Lagi pulang, kau sudah terlibat begitu banyak masalah, tidak mungkin kau terlibat masalah lebih besar lagi."
"Aku selalu bisa terlibat masalah lebih besar lagi," kata Jared sambil mendesah. Dia membuka pintu. Dia terkejut melihat kamar mandi itu sangat mirip kamar mandi laki-laki, tapi tanpa urinal.
"Mallory"" panggilnya. Tidak ada jawaban. Dia mengintip ke bawah bilik-bilik tapi tidak melihat ada kaki. Dia mendorong salah satu pintu dengan sangat hati-hati. Meskipun tidak ada siapa pun di sana, dia merasa aneh, gugup, dan malu. Setelah beberapa saat dia kembali ke lorong.
"Dia tidak di sana"" tanya Simon.
"Kamar mandi itu kosong." Jared menatap barisan loker, berharap tidak ada yang melihatnya.
"Mungkin dia pergi ke kantor, mencari kita," kata Simon. "Aku tidak melihatnya di mana-mana."
Rasa takut merayap ke dalam perut Jared. Setelah Wakil Kepala Sekolah menangkapnya, dia belum memikirkan apa pun kecuali betapa besar masalah yang menimpanya kali ini. Tapi makhluk itu masih berkeliaran di sekolah. Jared ingat betapa makhluk itu mengacak-acak tas Mallory saat pertandingan.
"Bagaimana kalau dia keluar"" kata Jared, berharap mereka masih bisa menemukan kakak mereka sebelum makhluk itu. "Mallory bisa saja keluar untuk melihat apakah kita menunggunya di mobil."
"Kita bisa mencarinya ke sana," Simon mengangkat bahu. Jared tahu Simon tidak yakin, tapi mereka tetap berjalan ke luar.
Langit sudah menggelap menjadi semburat ungu dan emas. Dalam cahaya yang semakin menipis mereka berjalan melewati jalur atletik dan lapangan bisbol.
"Aku tidak melihatnya," kata Simon.
Jared mengangguk. Perutnya mulas karena gugup. Di mana dia
" tanyanya dalam hati.
"Hei," kata Simon. "Apa itu"" Dia melangkah maju beberapa meter dan membungkuk untuk mengambil sesuatu yang berkilau dari rumput.
"Medali anggar Mallory," kata Jared. "Dan lihat."
Di rumput bongkahan-bongkahan besar batu membentuk lingkaran di sekeliling tempat medali itu tadi berada. Jared berjongkok di sebelah batu terbesar. Terukir dalam pada batu itu terdapat kata: TUKAR.
"Batu-batu," kata Simon. "Seperti dalam tambang."
Jared mendongak, kaget. "Ingat peta yang kita temukan" Menurutnya dwarf tinggal dalam tambang--tapi kurasa dwarf tak bisa berubah wujud."
"Mallory bisa saja masih di dalam bersama Mom. Dia bisa saja di kantor menunggu kita."
Jared ingin memercayainya. "Lalu mengapa medalinya ada di luar sini""
"Mungkin dia menjatuhkannya. Mungkin ini jebakan." Simon mulai berjalan kembali ke arah sekolah. "Ayolah," katanya. "Aku kembali dan melihat apakah dia bersama Mom."
Jared mengangguk linglung.
Saat mereka kembali ke dalam, mereka menemukan ibu mereka di pintu masuk sekolah, sedang bicara menggunakan ponselnya. Dia membelakangi mereka, dan sendirian.
Meskipun ibu mereka bicara dengan suara pelan, suaranya terdengar jelas ke tempat Jared dan Simon berjongkok. "Yeah, aku juga pikir semuanya membaik. Tapi, kau tahu, Jared tak pernah mengakui apa yang terjadi saat kami baru pindah ke sini... dan well, ini akan terdengar aneh, tapi Mallory dan Simon sangat melindunginya."
Jared membeku, takut mendengar apa yang akan dikatakan ibunya dan tidak bisa membuat dirinya melakukan apa pun untuk menghentikannya.
"Tidak, tidak. Mereka tidak mengakui Jared pernah melakukan semua itu. Dan mereka menyembunyikan sesuatu dariku. Aku tahu dengan melihat cara mereka berhenti bicara saat masuk ruangan, cara mereka saling melindungi, terutama melindungi Jared. Kau seharusnya mendengar Simon malam ini, membuat alasan-alasan mengapa saudaranya mengacungkan pisau di depan anak kecil itu." Saat itu suara ibu mereka tercekik dan dia mulai menangis.
"Aku tidak tahu apakah aku bisa mengatasinya lagi. Jared begitu marah, Richard.
Mungkin dia seharusnya pergi dan tinggal bersamamu beberapa lama."
Dad. Mom bicara dengan ayah mereka.
Simon menyenggol lengan Jared. "Ayo. Mallory tidak di sini."
Jared berpaling dengan linglung dan mengikuti saudaranya keluar pintu. Dia tak bisa mengatakan bagaimana perasaannya saat itu-kecuali mungkin kosong.
Bab Tiga Ketika Simon Memecahkan Teka-Teki
APA yang akan kita lakukan"" tanya Simon saat mereka kembali menelusuri
lorong. "Mereka menawannya," kata Jared pelan. Dia harus menyingkirkan apa yang baru didengarnya, menyingkirkan semua dari pikirannya, kecuali Mallory. "Mereka ingin menukarnya dengan Panduan Lapangan."
"Tapi buku itu tidak ada pada kita."
"Shhh!" kata Jared. Dia punya ide, tapi tidak ingin mengatakannya keras-keras di tempat terbuka. "Ayo."
Jared pergi ke lokernya dan mengeluarkan handuk dari tas olahraganya. Dia mengeluarkan buku pelajaran-Matematika Lanjutan - yang kira-kira ukurannya sama dengan Panduan Lapangan dan membungkusnya dalam handuk.
"Apa yang kaulakukan""
"Ini," bisik Jared, memberikan bungkusan itu pada Simon. Dia meraih ranselnya dari loker. "Thimbletack menipu kita dengan trik ini. Mungkin kita bisa menipu siapa pun yang menculik Mallory."
Simon langsung mengangguk. "Oke, kurasa Mom menyimpan senter di mobil."
Mereka melompati pagar kawat di ujung sekolah dan menyeberangi jalan. Sisi lain jalan penuh ilalang. Sulit berjalan dalam gelap, dan senter hanya memberi penerangan remang-remang.
Mereka memanjat tumpukan batu yang tinggi, beberapa di antaranya tertutup lumut licin, beberapa yang lain terbelah-belah. Saat mereka berjalan, Jared tak bisa berhenti mengingat apa yang didengarnya. Dia memikirkan hal-hal mengerikan yang dipercayai ibunya dan bahkan hal-hal yang lebih mengerikan lagi yang sepertinya bakal Mom percayai sekarang karena Jared menghilang. Tak peduli apa yang dilakukannya, Jared selalu terlibat masalah yang semakin parah. Bagaimana kalau dia dikeluarkan" Bagaimana kalau ibunya mengirimnya untuk tinggal bersama ayahnya, yang tidak menginginkan
nya" "Jared, lihat," kata Simon. Mereka telah tiba di ujung tambang tua.
Batu-batu ditatah hingga bergerigi. Potongan-potongan batu membentuk birai sepanjang dinding curam hampir setinggi sembilan meter ke lembah tak rata di bawah. Rerumputan tumbuh di sepanjang dinding di bagian-bagian tanah cukup tebal. Jalan berada di sepanjang lubang besar ini, disangga semacam jembatan batu tebal.
"Menambang batu itu aneh, ya"" tanya Simon. "Maksudku, ini kan cuma batu.
"Mungkin granit," lanjutnya saat Jared tidak menjawab. Simon mengeratkan jaket tipis pada tubuhnya.
Jared menyorotkan senter pada dinding, melihat segaris cokelat karat dan nuansa kuning tua pada tempat yang disinarinya. Dia tidak tahu itu batu apa.
Simon mengangkat batu. "Jadi, eh, bagaimana kita bisa turun""
"Aku tak tahu. Bagaimana kalau kau yang memberitahu, kalau kau memang tahu banyak"" bentak Jared.
"Kita bisa...," Simon memulai, tapi dia terdiam dan Jared merasa bersalah.
"Ayo kita coba memanjat turun," kata Jared, menunjuk. "Kita bisa melompat ke birai itu kemudian berusaha mencapai yang satu lagi."
"Jaraknya cukup jauh. Seharusnya kita memakai tali atau semacamnya."
"Kita tidak punya waktu," kata Jared. "Ini, pegang senternya."
Sambil memberikan silinder besi itu ke tangan kembarannya, Jared duduk di ujung jurang. Tanpa senter, saat melihat ke bawah, dia hanya melihat kedalaman yang gelap. Menarik napas, dia melompat, membiarkan dirinya jatuh ke birai batu yang tak bisa dilihatnya.
Berbalik, dia mulai berdiri. Cahaya menyinari matanya, membutakannya. Jared tersandung dan terjatuh ke depan.
"Kau tidak apa-apa"" teriak Simon.
Jared mengangkat tangan menghalangi cahaya dari matanya dan berusaha menenangkan diri. "Yeah. Ayo. Giliranmu."
Dia mendengar gemeretak tanah di atasnya saat Simon bersiap-siap. Cepat-cepat Jared menyingkir, meraba-raba di depannya mencari ujung yang hanya sekilas diingatnya. Simon mendarat keras di sebelahnya sambil menjerit.
Senter terjatuh dari tangan Simon dan jatuh ke kegelapan, membentur dasar lembah dengan keras, memantul sekali, kemudian tergeletak diam, menerangi daerah tanah dan batu yang sempit.
"Bagaimana kau bisa sebodoh itu!" Jared merasakan kemarahan yang seolah menyala
di dalam dirinya, semakin besar setiap menitnya. Seolah hanya dengan membentaklah, dia bisa menahan kemarahan itu supaya tidak menelan dirinya. "Mengapa kau tidak melemparkannya padaku" Bagaimana kita bisa memanjat turun dalam kegelapan" Bagaimana kalau Mallory dalam bahaya" Bagaimana kalau dia meninggal karena kau sebodoh itu""
Simon mendongak, matanya berkilau karena air mata, tapi Jared sama terkejutnya dengan saudaranya.
"Aku tidak sungguh-sungguh, Simon," katanya buru-buru.
Simon mengangguk, tapi memalingkan wajahnya dari Jared.
"Kurasa ada birai lagi di sana. Lihat bentuk itu""
Simon masih diam saja. "Aku turun duluan," kata Jared. Dia menarik napas dalam-dalam dan melompat ke kegelapan. Dia jatuh di birai kedua dengan keras-pasti jaraknya lebih jauh daripada yang dibayangkannya. Napasnya tersentak ke luar, dan tangan serta kakinya terasa terbakar. Jinsnya robek besar di salah satu lutut, dan tangannya terluka serta mulai berdarah parah. Tapi dari sana hanya perlu lompatan pendek ke dasar tambang.
"Jared"" suara Simon terdengar pelan dari tempatnya masih duduk di birai pertama.
"Aku di sini," panggil Jared. "Jangan bergerak. Akan kuambil senternya."
Dia merangkak untuk mengambil senter dan mengarahkannya pada saudaranya, mencari tepian tempat Simon bisa berpijak atau ceruk yang bisa dicengkeramnya. Perlahan-lahan Simon merayap turun ke birai kedua. Tapi saat menunggu, Jared mendengar suara-suara bergema, ketukan dari suatu tempat yang jauh dan pukulan-pukulan yang sepertinya datang tidak dari mana pun sekaligus dari segala arah pada saat yang sama.
Mengarahkan senternya ke sekeliling tambang, Jared melihat lebih banyak batu bergerigi dengan alur-alur bekas bor. Sekarang dia bertanya-tanya bagaimana mereka bisa keluar. Tapi sebelum dia punya waktu untuk mengkhawatirkan itu, cahaya menyinari sesuatu pada batu yang berada di atas dinding. Saat cahaya meny
inari batu itu, segerombolan jamur berbinar biru redup.
"Bioluminescence," kata Simon.
"Hah"" Jared maju selangkah.
"Sesuatu yang bisa bercahaya sendiri."
Di bawah cahaya remang-remang itu, Jared melihat batu segitiga di bawah ambang yang diukir dengan pola cabang yang saling melilit. Saat melihat ke tengah batu, dia bisa melihat bagian atas huruf-huruf yang diukir ke batu. Dia menyorotkan senter tepat ke arah huruf-huruf itu.
SEEM TO TRIK HEN TOOK PENSEPERTI MENIPU AYAM BETINA AMBIL KANDANG
"Teka-teki," kata Jared.
"Tidak ada artinya," kata Simon.
"Siapa yang peduli" Bagaimana kita memecahkannya"" Mereka tidak bisa membuang waktu lagi. Mereka hampir berada di dalam, hampir bertemu Mallory.
"Kau kan berhasil menguraikan teka-teki yang di rumah," kata Simon, duduk membelakangi saudaranya. "Kau saja yang berpikir."
Jared menarik napas dalam-dalam. "Dengar, aku benar-benar menyesal tentang apa yang kukatakan tadi. Kau harus menolong," Jared memohon. "Semua orang tahu kau lebih pintar daripadaku."
Simon mengeluh. "Aku juga tidak mengerti teka-teki ini. Ayamnya betina, kan" Dan kandang itu mungkin tempat mereka memelihara ayam-ayam itu. Aku tidak tahu selebihnya."
Jared menatap kata-kata itu lagi. Dia tidak bisa berkonsentrasi. Memangnya ayam bisa apa" Mungkin mereka harus memberi telur di depan pintu" Apakah Panduan Lapangan menceritakan sesuatu tentang ayam dan peri" Dia berharap buku itu ada padanya saat itu....
"Hei, tunggu sebentar," kata Simon, ber-balik dan berlutut. "Berikan senter itu."
Jared memberikan senter dan memandang saat Simon menuliskan pesan itu pada tanah
dengan jarinya. Kemudian Simon mulai mencoreti huruf-huruf tertentu dan menuliskannya dengan pola yang berbeda.
MITES OPEN THREE TOCK KONSARUNG TANGAN BUKA TIGA TOCK KON
"Apa yang kaulakukan"" Jared duduk di sebelah saudara kembarnya.
"Kurasa kau harus menyusun ulang huruf-huruf ini supaya mendapat pesan yang sebenarnya. Seperti teka-teki dalam koran yang selalu dikerjakan Mom." Simon menuliskan kalimat ketiga di tanah.
KNOCK THREE TIMES TO OPENKETUK TIGA KALI SUPAYA TERBUKA
"Wow," kata Jared. Dia tak percaya Simon telah memecahkannya. Dia sendiri mungkin takkan pernah bisa memecahkannya.
Simon tersenyum. "Mudah," katanya, berjalan ke pintu dan mengetuk tiga kali pada permukaan batu yang keras.
Kemudian tanah bergetar di bawah mereka, dan kedua saudara kembar itu terjatuh ke lubang yang terbuka di bawah kaki mereka.
Bab Empat Ketika Si Kembar Menemukan Pohon yang Lain dari yang Lain
MEREKA terjatuh ke dalam jaring yang terbuat dari benang besi. Sambil berteriak dan menendang, Jared berusaha berdiri, tapi dia tak bisa mendapat pijakan. Tiba-tiba dia berhenti memberontak dan telinganya terkena siku saudaranya. "Simon, stop! Lihat!"
Jamur-jamur bercahaya menutupi berbagai tempat di dinding, menerangi wajah tiga pria kecil dengan kulit sekelabu batu. Pakaian mereka jelek dan dijahit dari bahan yang kasar, tapi gelang perak mereka, diukir berbentuk ular, begitu bagus sehingga sepertinya merayap di sekeliling tangan kurus pria-pria itu; kerah mereka dianyam dengan benang emas yang dibuat begitu halus sehingga bisa saja terbuat dari kain; dan cincin-cincin per-kiasan mereka begitu indah sehingga jari-jari mereka yang kotor berkilauan.
"Ada apa di sini" Tawanan!" kata salah satunya dengan suara kasar. "Jarang-jarang kita punya tawanan."
"Dwarf," bisik Jared pada saudaranya.
"Mereka sepertinya tidak terlalu mirip kurcacinya Putri Salju," Simon balas berbisik.
Dwarf kedua meraba beberapa helai rambut Jared di antara jarinya dan berpaling pada temannya yang bicara tadi. "Tidak terlalu kebat ya mereka" Warna rambut mereka membosankan dan biasa-biasa saja. Kulit mereka tidak halus atau sepucat marmer. Kurasa mereka jelek. Kita bisa membuat lebih bagus."
Jared mengernyitkan dahi, tidak yakin apa maksud dwarf itu. Sekali lagi, dia berharap Panduan Lapangan ada padanya. Dia hanya ingat para dwarf pandai bertukang, dan besi yang menyakiti makhluk-makhluk sejenis peri lainnya tidak berpengaruh apa-apa pada mereka. Pisaunya takkan berguna, kalaupun belum diambil pi
hak sekolah. "Kami datang menjemput kakak kami," kata Jared. "Kami mau mengadakan pertukaran."
Salah satu dwarf itu tertawa, tapi Jared tidak yakin yang mana. Dengan bunyi berderak, dwarf lain meletakkan kandang perak di bawah jaring.
"Korting bilang kau akan datang. Dia sangat ingin bertemu denganmu."
"Apakah dia Raja Dwarf atau semacamnya"" tanya Simon.
Para dwarf itu tidak menjawab. Salah satunya menarik tuas berukir dan jaring terbuka. Kedua anak terjatuh dengar keras ke dalam kandang. Tangan dan lutut Jared langsung terasa sakit lagi. Dia memukul lantai besi itu.
Jared dan Simon diam saat mereka didorong melalui gua-gua berudara lembap dan berdinding basab. Mereka bisa mendengar suara pukulan-pukulan palu, lebih keras dan jelas sekarang setelah mereka berada di bawah tanah, dan raungan sesuatu yang mungkin api besar. Di atas dalam keremangan, beberapa tempat yang diterangi sedikit fosfor menunjukkan ujung-ujung stalaktit besar, menggantung di atas mereka seperti hutan tiang es yang membeku.
Mereka melewati gua besar tempat kelelawar menjerit di atas, dan lantai tanah gelap dan berbau busuk karena kotoran mereka. Jared berusaha menahan diri supaya tidak gemetar. Semakin dalam mereka bergerak, gua semakin dingin. Kadang-kadang Jared melihat bayang-bayang bergerak di keremangan dan mendengar ketukan berulang.
Saat mereka bergerak melalui koridor sempit, melewati tiang-tiang yang basah, Jared mencium aroma mineral yang lembap dengan lega setelah lama sekali mencium bau busuk kelelawar. Ruang berikut sepertinya penuh barang berdebu yang terbuat dari metal. Tikus emas dengan mata safir keluar dari piala malachite-sejenis mineral berwarna hijau tua, dan menatap mereka lewat. Kelinci perak berbaring miring, lehernya dilingkari kunci, sementara sekuntum lili platinum terbuka, kemudian tertutup, kemudian terbuka lagi. Simon memandang tikus metal itu dengan tatapan ingin.


The Spiderwick Chronicles 4 Pohon Besi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian mereka bergerak ke dalam gua besar tempat mereka melihat para dwarf menatah patung dwarf lain dalam dinding-dinding granit. Cerahnya cahaya lentera yang tiba-tiba muncul menyakiti mata Jared, tapi saat dia melewati para dwarf, dia merasa melihat salah satu lengan yang ditatah itu bergerak.
Dari sana mereka bergerak ke dalam ruangan sangat besar tempat pohon raksasa tumbuh dalam tanah. Batangnya yang tebal begitu tinggi sampai tidak kelihatan di antara bayang-bayang, cabang-cabangnya membentuk kanopi di atas mereka. Udara penuh suara burung besi yang aneh.
"Ini tak mungkin pohon," kata Simon. "Tidak ada matahari. Tidak ada matahari artinya tidak ada fotomorfosa."
Jared memerhatikan cabang-cabangnya. "Ini pohon metal," katanya, sadar bahwa daun-daunnya semua dari perak yang dihalus-kan. Jauh di atas pohon itu seekor burung tembaga mengepakkan sayapnya dan melayang turun dengan tatapan dingin.
"Pohon besi yang pertama," kata salah satu dwarf. "Lihatlah, makhluk fana, keindahan yang takkan pernah pudar."
Jared menatap pohon itu dengan terpesona, kagum pada bagaimana satu jenis metal telah dibentuk sekasar batang potong dan dipilin menjadi cabang-cabang sementara jenis metal lain dibentuk sehalus benang. Setiap daun peraknya unik, berurat, dan melengkung seperti daun asli.
"Mengapa kalian menyebut kami makhluk fana"" tanya Jared.
"Kalian tidak mengerti bahasa kalian sendiri"" kata salah satu dwarf, lalu mendengus. "Itu artinya makhluk yang ditakdirkan mati. Dengan sebutan apa lagi kami harus memanggil kalian" Makhluk sejenis kalian lenyap dalam satu kedipan mata." Dia bersandar ke jeruji kandang dan mengedipkan mata.
Beberapa lorong membawa mereka keluar dari ruang gua itu ke koridor-koridor yang terlalu gelap bagi Jared untuk melihat ke mana mereka dibawa. Kandang itu didorong melalui lorong lebar berpilar yang masuk ke ruangan yang lebih kecil. Duduk di singgasana yang terbuat dari stalagmit raksasa, pria kecil berkulit abu-abu lagi, yang ini berjanggut hitam tebal. Matanya bersinar seperti perhiasan hijau. Anjing metal berbaring di atas permadani kulit rusa di depan singgasana, sisi tubuh anjing itu naik-turun seiring napas mekanis, seolah dia benar-be
nar tidur. Di punggungnya sebuah kunci berputar perlahan.
Di sekitar singgasana itu berdiri dwarf-dwarf lain, semuanya diam.
"Tuanku Korting," kata salah satu dwarf. "Semua terjadi seperti yang Tuanku katakan. Mereka datang mencari saudara mereka."
Sang Korting berdiri. "Mulgarath memberitahuku kalian akan datang. Kalian sangat beruntung berada di sini, kalian mendapat kehormatan melihat akhir zaman manusia."
"Terserah apa katamu deh," kata Jared. "Di mana Mallory""
Sang Korting mengerutkan kening. "Bawa dia," katanya, dan beberapa dwarf segera pergi. "Kau sebaiknya berhati-hati dengan kata-katamu. Mulgarath akan segera menguasai dunia, dan kami, para pelayan setianya, akan berada di sisinya. Dia akan mengosongkan lahan bagi kami, kemudian kami akan membangun kutan baru dari pokon-pokon besi yang megah. Kami akan membangun ulang dunia dengan perak, tembaga, dan besi."
Simon merangkak ke sudut kandang. "Itu tidak masuk akal. Apa yang akan kalian makan" Bagaimana kakan bisa bernapas tanpa ada tumbukan untuk membuat oksigen""
Jared tersenyum pada Simon. Kadang-kadang tidak terlalu jelek punya saudara kembar yang tahu segalanya.
Kerutan di kening sang Korting semakin dalam. "Apakah kalian tidak mau mengakui bakwa kami bangsa dwarf merupakan seniman paling andal yang pernah kalian lihat" Kalian hanya perlu melihat anjingku ini untuk melihat superioritas kami. Tubuh peraknya lebih cantik daripada bulu mana pun, dia lebih cepat, dia tak perlu makanan, dan dia tidak meneteskan liur atau mengibas-ngibaskan ekor." Sang Korting mengusik anjing itu dengan kakinya. Anjing itu menoleh dan meregangkan tubuh sebelum kembali tidur sambil bernapas keras-keras.
"Kurasa bukan itu yang ingin dikatakan Simon," kata Jared memulai, tapi kata-katanya terpotong kedatangan enam dwarf yang memasuki ruangan, sambil memanggul kotak kaca panjang.
"Mallory!" Jared menatap sambil merasa mulas. Kotak itu tampak seperti peti mati.
"Apa yang kaulakukan pada kakak kami"" tanya Simon. Kembaran Jared itu tampak pucat. "Dia tidak meninggal, kan""
"Malah kebalikannya," kata si penguasa dwarf sambil tersenyum. "Dia takkan pernah mati. Lihatlah lebih dekat."
Para dwarf meletakkan kotak kaca itu pada sandaran berhiaskan ukiran dan berdiri di sebelah kandang Jared serta Simon.
Rambut Mallory ditata dalam satu kepang panjang yang terurai melewati wajahnya yang pucat dan seperti lilin. Mahkota dedaunan metal menghiasi bagian atas
kepalanya. Bibir dan pipinya diberi pemerah semerah bibir dan pipi boneka, tapi tangannya memegang pedang perak. Dia didandani dengan gaun putih berenda. Matanya tertutup, dan Jared nyaris takut kalau Mallory membukanya, ternyata matanya terbuat dari gelas.
"Apa yang mereka lakukan padanya"" kata Simon. "Ini sama sekali bukan Mallory."
"Kecantikan dan kemudaannya takkan per-nah hilang," kata sang Korting. "Di luar kotak ini dia akan takluk pada usia, ke-matian, dan busuk-kutukan semua makhluk fana."
"Kurasa Mallory lebih suka terkutuk," kata Jared.
Penguasa dwarf itu mendengus. "Terserah kalian. Apa yang akan kalian pertukarkan untuknya""
Jared meraih ke dalam ranselnya dan mengeluarkan buku terbungkus kanduk itu. "Panduan Lapangan Arthur Spiderwick. " Dia merasa agak bersalah karena berbohong tapi langsung menindas perasaan itu.
Sang Korting menggosok-gosokkan kedua tangannya. "Bagus. Tepat seperti yang kami inginkan. Kemarikan buku itu."
"Kau akan mengembalikan kakakku kepadaku""
"Dia akan jadi milikmu."
Jared mengulurkan Panduan Lapangan palsu itu, dan salah satu dwarf mengambilnya melalui jeruji. Penguasa dwarf itu bahkan tak mau repot-repot melihatnya.
"Bawa kandang ini ke ruang harta dan letakkan kotak kaca itu di sebelahnya!"
"Apa"" kata Jared. "Tapi kau mau bertukar! "
"Kita sudah bertukar," kata sang Korting sambil menyeringai. "Kau meminta kakakmu, tapi kau tak pernah meminta kebebasanmu."
"Tidak! Kau tidak bisa melakukan ini!" Jared memukul-mukul jeruji, tapi tindakan itu tidak menghalangi para dwarf mendorong penjara berjalan mereka ke dalam koridor yang gelap. Dia tak bisa melibat Simon. Setelah membentak-bentak saudaranya tadi,
ternyata dialah yang bodoh, yang tidak bisa bertindak pintar. Dia merasa lelah dan putus asa, kecil dan menyedihkan. Dia kanya anak kecil. Bagaimana dia bisa menemukan jalan keluar dari situasi ini"
Bab Lima KETIKA Jared dan Simon Membangunkan si Putri Tidur
JARED nyaris tidak memerhatikan jalan yang mereka ikuti sampai ke ruang Dia menutup matanya mencegah turunnya air mata yang panas.
"Kita sudah sampai," kata dwarf yang mengantar mereka. Jenggotnya putih, dan ada serenceng kunci di pinggangnya. Dia berbalik ke arak kelompok yang membawa kotak berisi Mallory. "Letakkan saja di situ."
Ruang harta diterangi satu lentera, tapi tumpukan emas memantulkan cahayanya, jadi keadaannya tidak segelap tempat lain. Burung merak perak dengan ekor berdiri berbias lapislazuli dan koral mematuki tikus tembaga yang diam di atas vas dengan cara yang lebih seperti bosan dan bukannya jahat.
Dwarf berjenggot putih menatap mereka saat yang lain keluar. Dia menyeringai kepada mereka dengan gembira. "Aku akan mencari tahu apakak aku bisa menemukan sesuatu yang bisa kalian gunakan untuk bermain. Mungkin batu-batu kecil" Batu-batu itu bahkan bisa berdiri dan berputar sendiri."
"Aku lapar," kata Simon. "Kami bukan mesin. Kalau kalian mau menyekap kami di sini, kalian harus memberi makan kami."
Si dwarf menyipitkan mata. "Memang benar. Aku akan membawakan bubur labah-labah dan lobak. Itu akan langsung membuat kalian kenyang."
"Bagaimana kau akan memberikannya pada kami"" tanya Jared tiba-tiba. "Tidak ada pintu."
"Ok, tentu saja ada pintu," kata si dwarf.
"Aku sendiri yang membuat kandang itu. Kuat, kan""
"Yeak," kata Jared. "Benar-benar kuat." Dia memutar matanya. Belum cukup burukkah keadaan mereka yang tertipu dan terkurung dalam kandang" Apakah si dwarf harus membesar-besarkannya"
"Lihat, kuncinya dalam jeruji yang ini." Si dwarf mengetuk pelan salah satu jeruji dengan jarinya. "Aku harus membuat peralatannya benar-benar kecil-harus bekerja dengan palu seukuran jarum. Kalau kalian memerhatikan, kalian bisa melibat engsel pintu. Lihat" Di sini."
"Bisakah kau membukanya"" tanya Simon. Jared menatapnya dengan terkejut. Apakah Simon sudah membuat rencana selama ini, sementara Jared sibuk merasa kesal"
"Kau ingin melihatnya bekerja"" tanya si dwarf.
"Yeah," kata Jared, tidak terlalu percaya mereka bisa seberuntung ini.
"Well, oke, anak-anak. Mundur sebentar. Di sana. Sekali saja, kemudian aku akan mengambilkan makanan kalian. Senang sekali akhirnya bisa menggunakan semua hal ini."
Jared tersenyum memberi semangat. Si dwarf mengeluarkan rencengan kunci dari ikat pinggangnya dan memilih sebuah yang sangat kecil. Kunci itu seukuran dan ber-bentuk seperti peluit, dengan pola-pola ukiran yang rumit. Si dwarf memasukkan kunci itu pada salak satu jeruji, meskipun Jared tak bisa melihat lubangnya dari sisi kandang mereka. Dengan putaran pergelangan tangan si dwarf, suara klik, klak, putaran, dan desisan, terdengar dari seluruh jeruji.
"Nah." Si dwarf menarik jeruji, dan bagian depan kandang membuka pada engsel tersembunyi. Tapi tepat saat kedua anak bergerak maju, si dwarf cepat-cepat menutupnya. "Tidak terlalu menyenangkan kalau kalian mencoba melarikan diri," dia tertawa, bergerak untuk kembali mencantelkan rencengan kunci pada pinggangnya.
Jared menjangkau keluar dan pada saat yang sama meraih rencengan kunci itu. Kunci-kunci terserak di lantai.
Simon meraihnya sebelum si dwarf.
"Hei! Tidak adil!" kata si dwarf. "Kembalikan !"
Simon menggeleng. "Tapi kakan karus melakukannya. Kalian tawanan. Kalian tak boleh memiliki kunci-kuncinya."
"Kami tidak akan mengembalikannya," kata Jared.
Si dwarf tampak panik. Dia berjalan ke ujung lorong dan berteriak. "Cepat-siapa pun! Panggil penjaga! Para tawanan lepas!" Saat tidak ada yang datang, dia memelototi Jared dan Simon. "Kalian sebaiknya tetap di sana," katanya, dan berlari ke luar lorong, masih memanggil-manggil penjaga.
Simon memasukkan kunci pada pintu, dan mereka melompat keluar kandang. "Cepat, mereka datang!"
"Kita karus membawa Mallory!" Jared menunjuk ke arak kotak kakaknya.
"Tidak ada waktu," kata Sim
on. "Kita kembali nanti."
"Tunggu," kata Jared. "Ayo sembunyi di sini! Mereka pasti berpikir kita lari."
Simon tampak panik. "Di mana""
"Di atas kandang!" Jared menunjuk atap perak solid kandang itu. Dia merangkak ke atas tumpukan harta terdekat dan menggunakannya untuk memanjat. "Ayo!"
Simon memanjat setengah jalan, dan Jared menariknya ke atas. Mereka tepat waktu untuk bergelung rapat sebelum para dwarf masuk ruangan.
"Mereka juga tidak di sini," kata salak satu dwarf. "Tidak di lorong, tidak dalam ruangan-ruangan terdekat."
Jared tersenyum pada metal yang dingin.
"Ambil anjing-anjing. Mereka akan menemukan makhluk-makhluk itu."
"Anjing"" kata Simon tanpa suara pada Jared saat para dwarf keluar ruangan.
"Memangnya kenapa"" Jared tersenyum, senang karena rencana mereka sukses. "Kau kan suka anjing."
Simon memutar matanya dan melompat turun ke lantai, menyepak tempat lilin dan membuat beberapa keping hematite-mineral hitam kemerahan-terserak. Dia mengambil satu dan memasukkannya ke kantong.
"Berkentilah membuat keributan," kata Jared, berusaha merayap turun dengan hati-hati dan hampir terjatuh pada semak mawar dari tembaga.
Mereka berlutut di sebelak kotak kaca, dan Jared membukanya. Ada suara mendesis ketika tutupnya membuka, seolak keluar gas tak kasat mata. Di dalam, Mallory tak bergerak.
"Mallory," kata Jared. "Bangun." Dia menarik tangan kakaknya, tapi tangan itu lemas dan kembali jatuk ke dadanya saat dilepaskan Jared.
"Kau tidak merasa harus ada yang menciumnya, kan"" tanya Simon. "Seperti Putri Salju""
"Wak, jijik." Jared tak bisa mengingat apa pun tentang mencium dalam Panduan Lapangan, tapi dia juga tidak bisa mengingat apa pun tentang kotak kaca. Dia membungkuk dan cepat-cepat mencium pipi kakaknya. Tidak ada respons.
"Kita harus melakukan sesuatu," kata Simon. "Kita tidak punya banyak waktu."
Jared mencengkeram seuntai rambut Mallory dan menjambaknya keras-keras. Kakaknya bergerak sedikit dan setengah membuka matanya. Jared mengembuskan napas lega.
"Pergi," gumam Mallory, dan berusaha tidur menyamping.
"Bantu aku membangkitkannya," kata Jared, memindahkan pedang dari atas tubuh kakaknya ke lantai.
Dia menarik tubuh Mallory sedikit sebelum dia kembali jatuh ke dalam kotak.
"Ayo, Mal," kata Jared di telinga kakaknya. "Bangun!"
Simon menampar pipi Mallory. Kakaknya bergerak lagi, membuka matanya dengan lemas.
"Ap - " katanya.
"Kau harus keluar dari sini," kata Simon. "Berdiri."
"Gunakan pedang itu sebagai tongkat," usul Jared.
Dengan bantuan kedua adiknya Mallory berhasil berdiri dan tertatih-tatih ke lorong. Tempat itu kosong.
"Sekali ini," kata Simon, "keadaan sepertinya memihak kita."
Tepat saat itu mereka mendengar suara gonggongan metalik yang dalam.
Bab Enam KETIKA Batu-Batu Bicara JARED dan Simon lari, setengah menyeret Mallory, melalui serangkaian lorong dan ruangan sempit yang gelap. Mereka sempat melewati jalan tinggi di atas gua utama tempat sang Korting sedang mengawasi para dwarf bekerja memasukkan senjata ke kereta-kereta. Suara gonggongan, pertama-tama terdengar jauh, menjadi semakin dekat dan menggila. Mereka terus berjalan, melalui ruangan demi ruangan, merunduk di belakang stalagmit saat mendengar para dwarf di dekat mereka, kemudian merayap terus.
Jared berkenti pada gua tempat kolam-kolam tempat ikan-ikan putih buta berenang. Bebatuan kecil berdiri di atas titik tertinggi tiap stalagmit, dan suara tetesan air bergema ke seluruh ruangan, bersama suara ketukan yang aneh. "Di mana kita""
"Aku tidak yakin," kata Simon. "Aku pasti ingat ikan-ikan itu, tapi tidak. Kurasa kita tidak lewat sini saat dibawa masuk."
"Di mana kita"" gumam Mallory, berdiri dengan limbung.
"Kita tak bisa kembali," kata Jared gugup. "Kita karus terus."
Makhluk kecil dan pucat melompat dari bayangan gelap. Makhluk itu memiliki mata yang besar bersinar dalam keremangan. Di dakinya, dua kumis panjang bergetar.
"Ap-apa itu"" bisik Simon.
Makhluk itu mengetuk dinding dengan jarinya yang panjang berbuku-buku, kemudian menekan telinganya yang besar pada batu. Jared melihat kuku-kuku makhluk itu retak-retak dan patak-patah.
"Ba tu-batu. Batu-batu bicara. Mereka bicara pada-ku." Suara makhluk itu pelan seperti bisikan, dan Jared karus berusaha keras untuk mendengar setiap katanya. Makhluk itu mengetuk lagi. Suaranya seperti kode Morse yang aneh.
"Hei," kata Jared. "Mm, kau tahu jalan keluar dari sini""
"Shhhhh." Makhluk itu menutup matanya dan menganggukkan kepalanya menjawab sesuatu yang tak bisa didengar Jared. Kemudian dia melompat pada pelukan Jared, merangkul leher anak itu dengan sebelah tangannya yang kuat. Jared terdorong mundur.
"Ya! Ya! Batu-batu bilang merangkak lewat sini." Makhluk itu menunjuk ke kegelapan, melewati kolam ikan-ikan putih.
"Mm, bagus. Trims." Jared berusaha melepaskan makhluk itu. Akhirnya dia melepaskan diri, merangkak ke dinding, dan mulai mengetuk lagi.
"Apa itu"" bisik Simon kepada Jared. "Dwarf aneh""
"Nodder atau banger, kurasa," jawab Jared balas berbisik. "Mereka tinggal dalam tambang-tambang dan memperingatkan para penambang saat tambang runtuh dan sejenis-nya.
Simon mengerutkan daki. "Mereka semua gila, ya" Dia bahkan lebih parah daripada phooka."
"Untukmu, Jared Grace." Makhluk itu menekankan batu halus yang dingin ke tangan Jared. "Batu ini ingin pergi bersamamu."
"Eh, trims," kata Jared. "Kami harus pergi sekarang." Dia bergerak ke tempat gelap yang ditunjukkan makhluk-nodder-banger tadi. Saat mendekat, Jared merasa bisa melihat retakan.
"Tunggu. Bagaimana kau bisa tahu nama Jared"" tanya Mallory, bergerak perlakan di belakang adik-adiknya.
Jared berpaling, tiba-tiba bingung. "Yeah, bagaimana kau tahu namaku"" tanyanya.
Makhluk itu kembali mengetuk-ngetuk dinding, serangkaian ketukan yang tidak sama. "Batu-batu memberitahuku. Batu-batu tahu segala-nya."
"Begitu, ya"" Jared melanjutkan. Makhluk itu ternyata menunjukkan kepada mereka retakan pada dinding gua. Mereka tidak melihatnya sebelumnya. Lubang itu sangat rendah dan gelap. Jared bertumpu pada tangan dan kakinya lalu mulai merangkak. Lantai gua terasa lembap, dan kadang-kadang dia merasa bisa mendengar sesuatu merayap atau bergemeresik tepat di depannya. Simon dan Mallory mengikuti di belakangnya. Sekali atau dua kali dia mendengar salak satu dari mereka tersentak, tapi dia tidak memelankan gerakannya. Jared masih bisa mendengar gonggongan anjing bergema dalam gua-gua.
Mereka keluar pada gua tempat pokon besi.
"Kurasa jalannya ke sana," kata Jared, menunjuk salak satu lorong.
Mereka lari menyusuri lorong itu sampai tiba di retakan panjang di lantai, lebarnya hampir setinggi tubuh Jared. Dia menatap kegelapan. Retakan itu sangat gelap dan tak terduga dalamnya.
"Kita harus melompat!" kata Simon. "Ayo!"
"Apa"" kata Mallory.
Suara gonggongan terdengar dekat di belakang mereka. Jared melihat kilatan mata merak dalam kegelapan. Simon mundur, kemudian melompat, mendarat dengan keras.
"Kau harus!" kata Jared, dan memegang tangan kakaknya. Mereka melompat bersama. Mallory terjatuh saat kakinya tersandung batu di sisi seberang, tapi dia mendarat dengan aman di lantai gua. Mereka berlari, berharap anjing-anjing tidak bisa melompat sejauh mereka.
Tapi jalan ini memutar, dan mereka kembali berada di lorong utama, cabang-cabang besar tergantung di atas mereka, burung-burung metal berkicau.
"Kita ke mana"" keluh Mallory sambil bersandar pada pedang.
"Aku tidak taku," kata Jared, terengah-engah. "Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!"
"Kurasa mungkin ke sana," usul Simon.
"Kita sudak melalui jalan itu, dan berakhir di sini!" Suara gonggongan anjing sangat dekat sehingga Jared berpikir hewan-hewan itu akan segera masuk ruangan ini.
"Bagaimana kau bisa tidak tahu kita karus ke mana"" tanya Mallory. "Kau tidak ingat bagaimana kau masuk ke sini""
"Aku juga sedang berusaha mengingat nih! Keadaannya gelap, dan kami dalam kandang!
Kau ingin aku berbuat apa"" Jared menendang dasar pokon seolak mempertegas maksudnya.
Daun-daun bergetar, berbenturan seperti ribuan lonceng. Suaranya memekakkan telinga. Salak satu burung tembaga jatuh ke tanah, sayapnya masib berkepak dan paniknya membuka-menutup tanpa suara.
"Oh, sial," kata Mallory.
Anjing-anjing metal lari masuk ruangan dari beber
apa koridor, tubuh langsing mereka yang berbuku-buku tanpa susak payak berlari menjalani jarak antara pintu masuk dan ketiga saudara itu. Mata batu garnet mereka berbinar.
"Panjat!" teriak Jared, mengaitkan kakinya pada cabang terbawah dan meraih tangan kakaknya. Simon merayap pada batang besi yang kasar itu. Mallory mengangkat tubuhnya dengan linglung.
"Ayo, Mallory!" kata Simon memohon.
Mallory menaikkan kakinya pada sebuah cabang tepat saat seekor anjing menyerang. Giginya menggigit ujung gaun putih Mallory dan menyobeknya. Anjing-anjing lain berkumpul di sekitarnya, menyobek-nyobek kain itu.
Jared melempar batu yang dipegangnya sedari tadi. Batu itu terbang di atas kepala seekor anjing dan bergukr tak berguna di dinding gua.
Salak satu anjing mengejar batu itu. Pertama-tama Jared berpikir mungkin batu itu batu ajaib. Kemudian dia melihat anjing itu membawanya kembali dalam gigitannya, dengan ekor besi bergetar seperti cambuk.
"Simon," kata Jared. "Kurasa anjing itu mengajak main."
Simon menatap anjing itu sejenak kemudian mulai menuruni pokon.
"Apa yang kaulakukan"" tanya Mallory. "Anjing mekanik bukan binatang peliharaan!"
"Jangan khawatir," balas Simon.
Simon melompat ke tanah, dan tiba-tiba anjing-anjing itu berkenti menggonggong, menciuminya seolah berusaha memutuskan akan menggigit atau tidak. Simon berdiri sangat tenang. Saat memerhatikan saudaranya, Jared tak bisa bernapas.
"Anak baik," kata Simon menenangkan, suaranya hanya bergetar sedikit. "Mau main lempar-tangkap" Mau main"" Dia mengulurkan tangan dan dengan hati-hati mengambil batu itu dari antara gigi si anjing metal.
Semua anjing melompat serentak, menggonggong gembira. Simon mendongak menatap kedua saudaranya dan tersenyum.
"Kalian pasti bercanda," kata Mallory.
Simon melempar batu itu, dan kelima anjing mengejarnya. Salak satunya berhasil menangkapnya dan berjalan kembali dengan bangga, yang lain mengikutinya dengan penuh semangat. Simon membungkuk untuk mengelus kepala metal mereka. Lidah-lidah perak mereka keluar dari mulut mereka.
Simon melempar batu itu tiga kali lagi sebelum Jared memanggilnya.
"Kita harus pergi," katanya. "Para dwarf akan menemukan kita kalau kita menunggu lebih lama lagi."
Simon tampak kecewa. "Oke," teriaknya pada mereka. Kemudian dia mengambil batu itu dan melemparnya sejauh dia bisa ke ruang lain. Anjing-anjing mengejarnya. "Ayo!"
Jared dan Mallory melompat turun. Mereka bertiga lari ke retakan di dinding dan menyelipkan tubuh ke dalamnya, merangkak cepat-cepat dengan tangan dan kaki mereka. Jared meninggalkan ranselnya di belakang mereka, untuk merintangi jalan. Dia sudah bisa mendengar anjing-anjing itu mendengking dan mengais-ngais kain ranselnya.
Mereka meraba-raba dalam gelap, tapi pasti ada cabang pada terowongan itu yang tidak mereka sadari sebelumnya, karena kali ini ada cahaya lembut yang hangat di ujung koridor.
Mereka mendapati diri mereka berdiri di atas tambang pada rumput yang lembap karena embun. Fajar membuat ufuk timur memerah.
Bab Tujuh KETIKA Ada Pengkhianatan Tak Terduga
MALLORY menatap penampilannya sendiri dengan jijik. "Aku benci gaun ini. Apa yang terjadi" Kenapa aku bangun dalam kotak kaca""
Jared menggeleng. "Kami tidak taku pasti-kurasa para dwarf menculikmu entak bagaimana. Kau tidak ingat apa-apa""
"Aku sedang membereskan barang-barangku selesai pertandingan." Mallory mengangkat babu. "Ada anak yang bilang kau terkbat masalah."
"Shhh," kata Simon, menunjuk ke arak tambang. "Tiarap."
Mereka berlutut di rumput dan mengintip ke tambang. Sekelompok goblin keluar dari gua-gua. mereka menyebar dan berguling, memamerkan gigi mereka dan menggonggong sebelum berputar-putar dan mencium-cium udara. Di belakang mereka ada monster raksasa dengan ranting-ranting mati sebagai rambutnya. Dia mengenakan pakaian compang-camping yang sudah sangat tua, dan tanduk melingkar besar tumbuk pada alisnya.
Dari ambang gua sang Korting dan para dwarf pengikutnya muncul. Di belakang mereka lebih banyak goblin, yang menarik kereta penuh senjata berkilat. Seorang tawanan tertatih-tatih di depan kelompok terakhir itu. Tawana
n itu seukuran manusia dewasa, karung menutupi kepalanya, pergelangan tangan dan kakinya diikat kain kotor.
Ada sesuatu yang familier pada tawanan itu. Para goblin mendorong-dorong si tawanan ke dalam tambang, menusuk-nusuknya dengan tongkat tajam, jauh dari tempat si monster berdiri.
"Siapa itu"" bisik Mallory, menyipitkan mata.
"Aku tak bisa melibatnya," kata Jared. "Mengapa mereka butuh tawanan""
Sang Korting berdeham gugup saat kerumunan itu menjadi kening. "Lord Mulgaratk yang bebat, kami berterima kasih atas kehormatan boleh mengabdi padamu."
Mulgarath berhenti. Kepala bertanduk
si raksasa berputar menatap semua makhluk itu, kemudian dia kembali memandang para dwarf sambil menyeringai.
Jared menelan ludah. Mulgarath. Kata itu tak pernah berarti baginya sebelumnya, tapi sekarang dia takut. Meskipun tahu monster itu tak bisa melibatnya, dia merasakan mata hitam itu menatap ke tepi tambang dan ingin merunduk lebih rendah lagi.
"Ini semua senjata yang kuminta"" suara Mulgarath yang berdering bergema di seluruh tambang. Dia menunjuk kereta.
"Ya, tentu saja," kata si penguasa dwarf. "Untuk menunjukkan kesetiaan kami, dedikasi kami pada regim Anda yang baru. Anda takkan menemukan pisau yang lebih bagus lagi, tidak ada hasil seni yang lebih baik lagi. Aku berani mempertaruhkan hidupku demi itu!"
"Benarkah"" tanya si raksasa. Dia mengeluarkan Panduan Lapangan palsu Jared dari kantong besar. "Dan ini-apakah kau juga berani mempertaruhkan nyawamu bahwa buku inilah yang kuminta untuk kauambil""
Si penguasa dwarf ragu-ragu. "Aku... aku melakukan tepat yang Anda suruk..."
Si raksasa mengangkat buku lusuk itu sambil tertawa. Jared sadar tawanya sama seperti tawa Bukan-Jared di lorong sekolah.
Jared terkesiap dan Mallory menyikunya dengan keras.
"Kau tertipu, Penguasa Dwarf. Tidak apa. Aku punya Panduan Lapangan Arthur Spiderwick," kata Mulgaratk. "Hal terakhir yang kubutuhkan untuk memulai pemerintakanku."
Sang dwarf membungkuk dalam-dalam. "Anda memang kebat," kata Korting. "Majikan yang pantas."
"Aku mungkin majikan yang pantas, tapi aku tidak yakin kakan pelayan yang pantas." Dia mengangkat tangannya, dan para goblin berhenti bertengkar sendiri dan mencakar-cakar tanah. "Bunuh mereka!"
Semua terjadi begitu cepat sehingga Jared tak dapat mengikutinya. Para goblin seperti maju sebagai satu kesatuan, beberapa berhenti untuk mengambil senjata buatan para dwarf, kebanyakan menyerang kanya dengan cakar dan gigi mereka. Para dwarf ragu-ragu, berteriak, dan saat panik dan kebingungan itu sudah cukup bagi pada goblin untuk menyerang mereka.
Para goblin menggigit, mencakar, dan menusuk sampai tidak ada satu dwarf pun yang tetap berdiri.
Jared merasa mual dan mati rasa. Dia tak pernah melihat apa pun dibunuh sebelumnya. Menatap ke bawah, dia merasa bisa muntah. "Kita harus menghentikan mereka."
"Tidak mungkin kita bisa melakukan itu sendiri. Likat mereka semua," kata Mallory.
Jared melirik pedang yang masih dipegang Mallory, bilaknya yang indah berkilau di bawab sinar matahari, pedang itu takkan cukup untuk melawan mereka semua.
"Kita harus memberitahu Mom apa yang terjadi," kata Simon.
"Dia takkan percaya!" kata Jared. Dia menghapus air mata dengan lengan bajunya dan berusaha tidak melihat ke bawah pada tubuh-tubuh rusak di tambang. "Bagaimana kalau dia tidak memercayai kita""
"Kita harus mencoba," kata Mallory.
Jadi bersama teriakan para dwarf yang masih bergema di telinga mereka, ketiga anak keluarga Grace mulai berjalan pulang.
-END Baca Lanjutannya di Buku 5
Spiderwick Chronicles: Amarah Mulgarath Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Telapak Setan 2 The Name Of The Rose Karya Umberta Eco Golok Sakti 9
^