Bintang Bola Basket 1
Trio Detektif 55 Bintang Bola Basket Bagian 1
Trio Detektif Bintang Bola Basket Megan Stine & H. William Stine
Jupe otaknya. Pete jagoannya. Dan Bob yang paling tenang. Bertiga mereka dapat membongkar segala tindak kriminal di Rocky Beach, California.
Tapi, bisakah mereka mengungkapkan siapa yang menyuap atlet-atlet perguruan tinggi- tanpa mengandalkan data yang tak lengkap"
Kasus ini memerlukan penanganan cepat!
Daftar Isi 1. Kemenangan Selalu Menguntungkan
2. Mimpi Menjadi Kenyataan
3. Kesimpulan Awal 4. Kelly Menyusun Siasat 5. Bercucuran Keringat 6. Menunggu Peluang 7. Maskot Berani Mati 8. Bergelimang Uang 9. Kena Getahnya 10. Tuan Kantong Tebal 11. Sebuah Peringatan 12. Perkembangan Negatif 13. Foul Perorangan 14. Berkat Bantuan Pers 15. Permainan Telah Berakhir
16. PPB 1. Kemenangan Selalu Menguntungkan
BUNYI itu menyerupai gemuruh gempa bumi. Tetapi asalnya bukan dari dalam perut bumi, melainkan dari entakan kaki, entakan ratusan pasang kaki, yang membentur lantai di tribun penonton secara berbarengan. Kemudian seruan-seruan mulai membahana, semakin lama semakin cepat.
"Pertahanan! Pertahanan! Pertahanan!"
Pete Crenshaw berdiri di tengah lapangan. Napasnya tersengal-sengal, dan telinganya pekak karena kebisingan di sekitarnya. Pertandingan basket selalu menegangkan, tapi yang ini berbeda. Kedudukannya imbang, para pemain diliputi ketegangan, dan Pete tahu bahwa pelatihnya mengandalkan dirinya untuk mencegah regu Santa Monica menambah angka.
NGUUUNG! "Time-out-Rocky Beach!" si komentator pertandingan berkata lewat pengeras suara.
Pete dan para pemain lain mengelilingi Coach Tong, pelatih basket Rocky Beach
7 High School. Coach Tong menatap mata semua anggota timnya-terutama Pete.
Dengan tinggi 182,5 sentimeter dan berat badan 95 kilogram. Pete termasuk kecil untuk ukuran pemain basket. Ia tahu bahwa Coach Tong telah mengambil risiko dengan menempatkannya sebagai pemain jaga inti. Tetapi Pete memang berbakat, dan kini ia merupakan salah seorang pemain terbaik dalam timnya.
"Waktu tinggal dua puluh detik," kata si pelatih. Cepat-cepat ia menggambarkan sebuah diagram pertahanan pada papan pencatat seukuran buku catatan, lalu menghapusnya dengan lengan baju hangatnya. "Nah, apa yang akan kalian lakukan""
"Menang!" kelima pemain berseru serentak, saling menepuk tangan, dan kembali ke lapangan.
Sejenak, sebelum regu Santa Monica kembali, Pete memperhatikan rombongan cheerleader Rocky Beach. Mereka melompat-lompat, bersorak-sorai, dan mengajak para penonton untuk ikut memberikan semangat pada tim mereka. Cheerleader yang paling cantik menatap lurus ke arah Pete, sambil menyibakkan rambutnya yang cokelat dan lembut dari wajahnya. Kemudian ia tiba-tiba melemparkan ciuman jarak jauh.
Aduh, pikir Pete. Memalukan sekali!
Gadis itu Kelly Madigan. Ia dan Pete sudah berpacaran selama beberapa bulan, dan Pete tidak pernah bisa meramalkan apa yang akan
8 dikatakan atau diperbuat oleh Kelly. Mungkin justru karena itulah Pete begitu menyukainya.
"Hei, seseorang sedang berusaha menarik perhatianmu," ujar Bill Konkey, pemain jaga kedua dalam tim Pete.
"Yeah. Aku lihat ciuman jarak jauhnya." Pete tersipu-sipu.
"Jupiter Jones memberimu ciuman jarak jauh"" tanya Bill.
"Jupe ada di sini-di pertandingan basket"" Pete berkata sambil terheran-heran.
Mata Pete mengikuti jari Bill yang menunjuk ke arah tribun, sampai ia menemukan dua wajah yang amat dikenalnya. Kedua wajah itu milik Jupiter Jones dan Bob Andrews. Pete, Jupe, dan Bob sudah bersahabat sejak entah kapan. Mereka bertiga adalah Trio Detektif, trio penyelidik terkenal dari Rocky Beach.
Pete tidak mempercayai pandangannya. Jupiter Jones menonton pertandingan baket- dan berpegangan tangan dengan seorang gadis! Bukan sembarang gadis, tapi Amanda Blythe- salah satu gadis tercantik di sekolah mereka!
Ini merupakan berita besar, sebab Jupiter Jones adalah ahli dalam segala bidang, kecuali dalam dua hal-berdiet dan gadis-gadis cantik. Ia tidak pernah beruntung dengan keduanya. Tetapi sekarang ia duduk sambil menggenggam tangan Amanda Blythe dan tersenyum lebar. Diam-diam ia melambaikan tangannya yang satu lagi ke arah Pete.
Di sam ping Jupe duduk Bob Andrews, yang mendapat nilai A dalam bidang yang paling
9 tidak dikuasai Jupe. Bob tahu segala sesuatu mengenai cara menangani gadis-gadis cantik. Ketika mengganti kacamatanya dengan lensa kontak beberapa tahun lalu, ia seakan-akan juga mendapat kepribadian baru. Sejak itu Bob termasuk sepuluh murid paling populer di Rocky Beach High School.
Suara mendengung dari pengeras suara di atas papan pencatat nilai membuyarkan lamunan Pete.
"Waktu tinggal dua puluh detik," si komentator kembali berkata. "Kedudukan masih imbang, 70-70. Rocky Beach memegang bola."
Bill Konkey segera mengoper bola kepada Harold Dixon, yang bermain sebagai penyerang. Oke, tenang saja, kata Pete pada dirinya sendiri. Tinggal lima belas detik lagi. Tiba-tiba para penonton terdengar mengerang. Terry Nolan, pemain andalan regu Santa Monica, berhasil mencuri bola.
Nolan langsung berlari ke arah basket. Ia akan mencetak angka yang menentukan-dengan pertandingan yang hanya tersisa sepuluh detik lagi!
Pete melompat sepersekian detik sebelum Nolan menembakkan bola. Perhitungannya tepat. Pete berhasil menepis bola pada saat bolanya mulai terlepas dari tangan Nolan.
Bolanya memantul di lantai, dan kemudian Pete menguasainya. Para penonton berteriak Pete berlari ke ujung lapangan yang berlawanan.
Lima detik! Pete tahu bahwa semua pemain
10 Santa Monica sedang mengejarnya, tapi dengan tenang ia melompat tinggi untuk melakukan lay-up. Masuk! Dua angka, dan kemudian bel tanda akhir pertandingan berbunyi.
"Skor 72 lawan 70!" seru komentator. "Rocky Beach keluar sebagai pemenang!"
Musik mulai mengalun dan rombongan cheerleader berlari memasuki lapangan. Mereka bersorak-sorai dan menari-nari ketika para pemain berlari masuk ke ruang ganti.
"Tembakan maut!" ujar Bill Konkey, sambil menepuk punggung Pete. Pete mengangguk dan tersenyum. Ia membelitkan handuk pada tengkuknya yang basah kuyup. Kemudian ia membiarkan rekan-rekan yang lain melewatinya. Ia lelah sekali-bahkan terlalu lelah untuk berdiri di bawah pancuran air dingin yang bisa menyegarkan dirinya.
"Pete," seseorang memanggil.
Pete membalik dan melihat seorang pria yang tak dikenalnya berdiri di lorong di luar ruang ganti. Orang itu berusia empat puluhan dan bertubuh tegap. Ia mengenakan jaket ungu, dengan huruf "S" bergaya kuno pada sisi kiri. Matanya yang biru menatap Pete dari bawah topi pet berwarna sama dengan jaketnya.
"Pete, bisa bicara sebentar"" tanya pria itu.
Dia bukan orang California, pikir Pete. Naluri detektifnya langsung mulai bekerja. Pria itu berbicara dengan logat Boston. Perlahan-lahan Pete menghampirinya.
"Ross Duggan," pria itu memperkenalkan
11 diri sambil berjabatan tangan dengan Pete. "Saya pelatih basket di Shoremont College. Kau pernah mendengar tentang kami"" "Tentu," jawab Pete. "Kampus Shoremont kira-kira lima belas menit dari Rocky Beach. Musim kompetisi yang lalu Anda mengalahkan UCLA."
"Betul, itulah kami," balas Coach Duggan. "Begini, seorang kenalan menganjurkan saya untuk menonton permainanmu, dan karena itulah saya ada di sini. Terus terang, saya sangat puas dengan apa yang saya lihat malam ini, dan saya ingin mengusulkan sesuatu padamu. Daftarkan dirimu sebagai mahasiswa di Shoremont, dan saya akan mengusahakan agar kau memperoleh beasiswa penuh-semuanya akan ditanggung. Kau akan bermain sebagai mahasiswa tingkat pertama. Kami memang bukan sekolah terbesar, tapi setelah empat tahun di bawah bimbingan saya, Pete, saya jamin kau berpeluang untuk main dalam liga NBA-National Basketball Association."
Pete menarik handuk dan menggosok-gosok rambutnya yang berwarna cokelat kemerah-merahan. Apa ia tidak salah dengar" Pria itu muncul entah dari mana dan menawarkan beasiswa penuh untuk bermain basket dalam tim perguruan tinggi" Pete tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Pikirkan saja dulu," ujar Coach Duggan, lalu menyerahkan sehelai kartu nama. "Sekarang saja permainanmu sudah bagus, Pete. Saya bisa membantumu untuk menjadi pemain yang
12 lebih hebat lagi, dan kau bisa membantu saya untuk mengangkat prestasi tim saya. Oke, dalam waktu dekat kita akan berbincan
g-bincang lagi." Si pelatih berbalik dan melangkah pergi.
"Orang yang penuh percaya diri," sebuah suara berkata dari belakang Pete. "Kelihatannya dia orang yang terbiasa mendapatkan segala yang diinginkannya."
Pete langsung mengenali suara itu. Ia menoleh dan melihat Jupiter Jones. Bob Andrews berdiri di samping sahabatnya itu.
Dengan tinggi badan 172 senti, Jupe merupakan anggota Trio Detektif yang paling pendek. Ia mengenakan jeans biru tua yang masih baru-padahal semua murid di sekolah mereka memakai jeans stonewashed yang sudah belel. Ia juga memakai T-shirt yang terlalu sempit, dengan tulisan I EAT-THEREFORE I AM. Perutnya yang buncit membuktikan bahwa ia berpegang teguh pada semboyan itu. Seperti biasa, rambutnya yang hitam dan lurus tampak acak-acakan.
Bob, sebaliknya, berpenampilan trendy, kaus polo berwarna merah, yang cocok sekali dengan kulitnya yang kecokelatan dan rambutnya yang pirang, jeans belel, dan sepatu pantofel tanpa kaus kaki.
"Jupe," kata Pete sambil melihat berkeliling, "mana Amanda Blythe" Aku hampir kena serangan jantung tadi, waktu aku melihatmu di sebelah dia di tribun."
Jupe berdehem. "Aku memutuskan dia bu-
13 kan tipeku," ia berkata sambil pasang tampang cemberut.
"Hah"" tanya Pete. "Sejak kapan""
"Sebenarnya Amanda hanya mau membuat Carl Thames cemburu," Bob menjelaskan. "Dan karena Cari murid paling bodoh di sekolah, Amanda pikir cara terbaik adalah dengan mendekati murid paling pandai."
"Oh," ujar Pete, lalu ketawa. "Bagaimana, berhasil""
"Melebihi dugaan semula," jawab Jupe. Sambil meringis ia memegangi perutnya.
"Masih untung cuma perutmu yang dihajar Carl," Bob berkomentar. "Kupikir dia akan mencopot kepalamu dan memakainya untuk bermain boling."
Jupe mendesah dan mengalihkan pembicaraan. "Siapa pria berjaket ungu tadi""
"Coach Duggan, pelatih basket di Shoremont College."
"Dia pasti ke sini untuk memuji permainanmu yang luar biasa. Kau benar-benar hebat tadi," kata Bob, sambil melepaskan tembakan lompat tanpa bola. "Kau yang memenangkan pertandingan, dan kau sempat mempermalukan Terry Nolan dengan gebrakanmu itu."
Sambil tersenyum Pete mengenang detik-detik terakhir dalam pertandingan yang baru berlalu. "Yeah, lumayan juga, ya! Eh, kalian siap mendengar berita ini" Coach Duggan baru saja menawarkan beasiswa penuh kalau aku mau main untuk Shoremont College. Dia
14 bilang aku bisa main sebagai mahasiswa tingkat pertama."
"Wow!" Bob berseru. "Gila!"
Jupe menggigit bibir bawahnya sambil berpikir. "Beasiswa penuh hanya untuk main basket"" ia bertanya. "Aku memang bukan ahli dalam bidang olahraga, tapi aku tahu satu hal: jika satu sekolah menganggap permainanmu sedemikian hebat, Pete, sekolah-sekolah lain juga akan berpendapat begitu. Kusarankan agar kau tidak terburu-buru mengambil ke-putusan."
"Sekolah-sekolah lain"" Pete mengulangi. "Jupe, otakku tak sanggup mencerna semuanya ini. Aku mau mandi dulu, dan habis itu mau pergi dengan Kelly. Sampai besok, oke""
Seorang diri di ruang ganti, dengan sekujur tubuh tersiram air dingin, Pete mengingat-ingat pertandingan yang berhasil mereka menangkan. Ia juga memikirkan ucapan Jupe. Tim-tim lain bakal tertarik padanya" Berapa banyak" Lima" Sepuluh" Bagaimana kalau sampai terjadi perang tawar-menawar untuk memperebutkan Pete Crenshaw, si superstar bola basket"
Setelah kering, segar, dan berpakaian, Pete meninggalkan ruang ganti.
"Pete!" panggil Kelly Madigan. Ia bergegas mendekat dan melingkarkan kedua lengannya pada leher Pete.
"Hei, Sayang," ujar Pete sambil memeluk pacarnya.
"Kau tahu betapa hebatnya kau tadi, Pete"
15 Pada skala satu sampai sepuluh, kau mendapat nilai dua puluh!"
Pete tersenyum. "Ayo, Kelly. Kita jalan-jalan naik mobil. Ada sesuatu yang perlu kuceritakan padamu."
Pete ingin duduk di belakang kemudi, sebab di situlah ia selalu paling bahagia-di sekitar mobil. Kalau ia tidak sedang memecahkan misteri-misteri bersama Jupe dan Bob, Pete sering membeli mobil tua, memperbaikinya, lalu menjualnya kembali, biasanya dengan keuntungan yang lumayan besar.
Dalam perjalanan menuju lapangan parkir, Pete bercerita mengenai pelatih perguruan
tinggi yang mendatanginya seusai pertandingan. Ia baru selesai bercerita ketika mereka sampai di mobilnya yang terakhir, sebuah Cadillac Fleetwood berusia dua puluh tahun. Kelly menjulukinya si Perahu. Cadillac tua itu memang memerlukan segala macam perbaikan, tapi Pete belum punya uang. Ia membeli mobil itu dengan perjanjian "jika bisa menyalakan mesinnya, kau boleh membawanya pergi", dan hanya membayar tujuh ratus dolar.
Pete membukakan pintu untuk Kelly-bukan karena ia ingin bersikap sopan, melainkan karena hanya ia sendiri yang cukup kuat membuka pintu itu. Ketika ia menyelinap ke balik kemudi, Kelly menyerahkan sebuah amplop padanya.
"Hei, apa ini" Ulang tahunku bukan hari ini, Sayang," kata Pete.
16 Kelly menggelengkan kepala. "Aku menemukannya di atas jok."
Pete menyalakan lampu dalam, dan mengamati amplop itu. Amplop itu belum ada waktu ia datang sebelum pertandingan.
Pada bagian depannya tertulis PETE CRENSHAW dengan huruf-huruf besar. Pete menyobek salah satu ujungnya, lalu mengeluarkan isinya.
"Hah"" Pete dan Kelly sama-sama membelalakkan mata.
Lembaran-lembaran uang seratus dolar berhamburan keluar. Banyak sekali. Sementara Kelly mengumpulkan uang itu dan mulai menghitung, Pete membaca pesan yang jatuh ke pangkuannya. Pesan itu demikian:
Shoremont membutuhkanmu. Kalau mau bermain untuk Shoremont, kau akan mendapat imbalan yang melebihi semua mimpimu. Ini baru permulaan saja.
"Pete," ujar Kelly. Wajahnya tampak bingung dan agak ngeri. "Jumlahnya tiga ribu dolar!"
17 2. Mimpi Menjadi Kenyataan
SELAMA beberapa saat Pete dan Kelly duduk membisu di dalam Cadillac tua milik Pete. Mereka menatap uang tiga ribu dolar di tangan Kelly. Semuanya lembaran seratus dolar baru.
"Apa artinya ini"" Kelly akhirnya bertanya.
Sebagai jawaban, Pete menyalakan mesin mobilnya.
"Mau ke mana kita"" tanya Kelly.
"Aku harus memberitahu Jupe dan Bob," jawab Pete. Ia menginjak pedal gas sampai mengenai lantai mobil, dan sesaat kemudian si Perahu tiba-tiba maju dan sambil tersendat-sendat meninggalkan lapangan parkir.
Jupiter Jones tinggal bersama Paman Titus dan Bibi Mathilda di sebuah rumah yang berseberangan dengan tempat penampungan barang bekas milik mereka. Di salah satu sisi pekarangan yang luas ada sebuah karavan tua, yang beberapa tahun lalu diambil alih oleh Jupe dan dijadikan markas Trio Detektif. Kini, setelah ketiga anggota Trio Detektif du-
18 duk di bangku high school, mereka biasanya bertemu di bengkel elektronik Jupe, yang bersebelahan dengan karavan itu. Bob menjulukinya laboratorium Dr. Frankenstein, sebab di tempat itulah Jupe memberi kehidupan baru pada peralatan-peralatan elektronik yang telah mengembuskan napas terakhir.
Pete menggunakan remote-control untuk membuka gerbang besi di bagian depan pekarangan. Mobil tuanya menggelinding masuk dan berhenti tersendat-sendat. Mesinnya mati diiringi serangan batuk mendadak.
Pete dan Kelly membuka pintu bengkel, dan menemukan Bob duduk di kursi sambil mendengarkan musik mengentak-entak dan membaca majalah Billboard edisi terbaru. Jupe sedang sibuk di meja kerjanya.
"Hei! Coba dengarkan ini!" Bob berseru ketika melihat Pete dan Kelly. "Inilah band baru yang mungkin akan kutangani!" Bob pegawai Rock-Plus, perusahaan pemandu bakat milik Sax Sendler. Ia bekerja part-time, seusai sekolah dan pada akhir pekan. "Bagaimana pendapat kalian"" tanya Bob, sambil mengangguk ke arah pengeras suara.
Tapi sebelum Pete sempat menjawab, Jupe telanjur mematikan tape recorder. "Kedatangan mereka bukan untuk mendengarkan musik. Pasti ada sebab lain."
"Dari mana kau tahu"" tanya Kelly.
"Sebab Pete masuk sambil menggenggam tanganmu, sesuatu yang tidak biasa dilakukannya di sini, di kantor. Dan dari buku jarinya
19 yang kelihatan memutih, aku tahu dia menggenggam tanganmu dengan erat."
"Belakangan ini Jupe mendadak ahli dalam urusan berpegangan tangan." Bob berkelakar.
Pete tersenyum. Ia sudah merasa lebih lega. Jupe selalu bisa memecahkan setiap masalah. "Hei, coba lihat ini!" ujar Pete sambil melemparkan amplop, pesan yang ditulis dengan mesin tik, berikut uangnya ke atas meja.
Perhatian Bob da n Jupe segera tertuju pada uang itu.
"Wow!" Bob bersiul perlahan, sementara Jupe menjatuhkan obeng kecil yang sedang digenggamnya. Ia meraih pesan di atas meja itu, dan mengangkatnya sambil menjepit salah satu sudutnya.
"Sayang sekali kalian tidak memastikan apakah ada sidik jari sebelum kalian membuka amplop," ia berkata.
Kelly ketawa. "Jupe, hanya kau yang mungkin mencari sidik jari pada sebuah amplop yang belum dibuka."
Jupe tidak ketawa. Ia malah mengangkat pesan itu ke hadapan lampu, lalu memeriksa tanda air pada kertasnya.
"Kalian sadar apa saja yang bisa kulakukan dengan uang tiga ribu dolar ini"" tanya Pete. Ia mulai berjalan mondar-mandir. "Aku bisa memperbaiki mobilku dan mengembalikannya ke dalam kondisi seperti baru. Suspensi belakangnya sudah tak keruan, aku perlu meng-gerinda katup-katup..."
"Pete!" Kelly memotong sambil mendorong
20 pacarnya. "Ini uang suap! Kau tidak boleh menerimanya."
"Hei, aku tahu, Sayang," balas Pete. "Tapi tak ada yang bisa menghukumku karena aku memikirkan segala kemungkinan."
"Busyet," kata Bob. "Aku sering membaca berita tentang skandal penyuapan untuk menarik pelajar-pelajar berbakat olahraga ke perguruan tinggi tertentu, tapi aku tak menyangka kita akan mengalaminya di sini, di Rocky Beach, California."
"Menurutmu bagaimana, Jupe"" tanya Pete. "Ini pasti ulah Coach Duggan dari Shoremont, heh" Bayangkan saja, tiba-tiba dia mendatangiku dan berkata, 'Bergabunglah dengan tim saya,' dan dua puluh menit kemudian mobilku telah berubah menjadi mesin uang."
Jupe mengembalikan pesan itu ke atas meja. "Apakah Coach Duggan menyinggung soal memberi atau meninggalkan uang untukmu" Apakah dia kelihatan seperti orang yang ingin menyerahkan sejumlah uang padamu""
"Tidak, dan tidak."
"Kalau begitu, kita tidak bisa menyimpulkan uang suap ini berasal dari dia," Jupe berkata sambil mengangkat bahu. "Dia hanya menawarkan beasiswa padamu, dan itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku."
"Jadi apa langkah kita selanjutnya" Menghubungi NCAA"" tanya Bob.
"Tidak, Senin besok kita akan melaporkan usaha penyuapan ini kepada pimpinan Shoremont College," jawab Jupe. "Dan setelah itu,
21 kita tawarkan jasa untuk menyelidiki kasus ini. Pemberian uang kepada atlet-atlet memang tidak melanggar hukum, tapi perbuatan itu tidak etis dan sama sekali tak sesuai dengan peraturan NCAA. Aku jamin pimpinan Shore-mont College pasti ingin membongkar urusan ini sampai tuntas."
"Oke! Sepertinya kita mendapat kasus baru," ujar Pete.
"Yeah," Bob menimpali "Tapi ada satu masalah."
"Jangan bilang dulu," kata Jupe cepat-cepat. "Senin besok kau tidak bisa ikut, betul""
"Betul. Senin besok adalah awal liburan musim panas," balas Bob. "Tidak ada sekolah selama dua minggu. Karena itu Sax minta agar aku masuk kantor setiap hari. Tapi kalian tahu, kan, aku ikut mendukung""
"Yeah, dalam bentuk dorongan moril," Jupe mendesah,
*** Senin pagi Pete dan Jupe naik mobil ke Shoremont College, yang terletak sekitar dua mil di luar Rocky Beach. Kampusnya kecil, menyenangkan, dikelilingi pepohonan. Pete sengaja mengenakan jaket merah-kuningnya, jaket kebanggaan Rocky Beach High School. Menurutnya jaket itu membuktikan bahwa ia betul-betul pemain basket high school. Jupe
22 memakai T-shirt Plato, yang menampilkan wajah filsuf terkemuka itu pada dadanya.
Pete memarkir si Perahu di depan gedung administrasi, sebuah bangunan bata merah berlantai tiga. Bersama Jupe ia lalu menggunakan lift untuk mencapai tingkat paling atas.
"Ada yang bisa saya bantu"" petugas penerima tamu bertanya. Ia seorang wanita berambut kelabu, dengan kacamata bertengger di atas kepala.
"Kami ingin bertemu dengan pimpinan perguruan tinggi ini," Jupe menjelaskan. "Masalahnya sangat mendesak." Kalau mau Jupe bisa tampil dengan gaya yang sangat dewasa.
Si penerima tamu menghubungi atasannya lewat interkom, kemudian mengantarkan Jupe dan Pete ke sebuah ruang kerja, yang kedua sisinya dibatasi oleh jendela-jendela berukuran besar. Seorang pria menduduki pojok meja eksekutif yang mengilap. Usianya sekitar tiga puluh tahun, termasuk muda untuk pimpinan sebuah perguruan tinggi.
Ia memakai kemeja dan dasi, tapi sebagai pengganti jas, ia mengenakan sweter besar yang nyaman.
"Halo," ia menyapa. Sambil tersenyum lebar ia menghampiri Jupe dan Pete untuk berjabatan tangan. "Saya Chuck Harper. Bagaimana saya bisa membantu kalian""
Jupe meraih ke dalam dompet dan menyerahkan kartu namanya pada Harper.
"Trio Detektif"" Harper membaca. "Saya hanya melihat dua orang di sini. Tapi baiklah,
23 siapa kalian ini-sebuah grup rock" Maaf, saya menangani hampir segala sesuatu di sini, tapi saya tidak menyewa pemain musik."
Jupe berdehem. "Mr. Harper, nama saya Jupiter Jones. Ini Pete Crenshaw. Bob Andrews, rekan kami, sedang berhalangan. Kami bukan grup rock. Kami detektif."
Mr. Harper tampak kebingungan sampai Jupe menyodorkan pesan dan uang yang ditinggalkan di mobil Pete. Kemudian air muka Harper berubah menjadi sangat serius.
"Saya menemukannya di mobil saya, persis setelah saya didatangi Coach Duggan," Pete menjelaskan.
"Wah, gawat." Mr. -Harper mendesah, lalu menjatuhkan diri ke sofa besar berlapis kulit yang menghadap ke salah satu dinding kaca. Ia memandang ke luar, dan membisu untuk sesaat. "Saya sering duduk di sini sambil memperhatikan kampus saya," ia berkata kemudian, "dan saya pikir saya tahu segala sesuatu yang terjadi di bawah sana. Tapi tanpa diduga muncul masalah seperti ini." Ia kembali berdiri. "Sekarang dengar dulu, kalian tidak bisa masuk begitu saja lalu menuduh pelatih saya terlibat penyuapan. Buktikan dulu -buktikan Duggan mencoba menyuapmu."
"Kami tidak bisa membuktikannya," Jupe berkata dengan tegas, "dan kami tidak menuduh Coach Duggan. Kami bukan detektif amatiran."
"Hmm, saya takkan heran kalau memang
24 Duggan yang melakukannya," ujar Mr. Harper sambil duduk lagi.
Komentar itu sungguh mengejutkan-juga bagi Jupiter. Setelah terdiam beberapa saat, Mr. Harper melanjutkan,
"Sebenarnya-tapi ini tidak boleh keluar dari ruangan ini-memang pernah ada desas-desus bahwa di tempatnya terakhir melatih, Duggan menggunakan cara-cara ilegal untuk menahan pemain-pemain berbakat agar tetap bermain untuk timnya. Kabar burung itu tak pernah terbukti, tapi nama baik perguruan tinggi tersebut sudah sempat tercoreng. Saya sadar ahwa saya telah mengambil risiko dengan mempekerjakan Duggan, tapi semula saya percaya dia tidak bersalah. Sebagai pelatih dia istimewa."
Sekali lagi Mr. Harper memandang ke luar jendela. "Itu dia," katanya sambil menunjuk sosok dengan jaket dan topi pet ungu. Orang itu sedang melintasi salah satu jalan setapak yang melintasi kampus. "Itu Duggan."
Jupe dan Pete menghampiri jendela dan memperhatikan orang itu.
"Duggan memang punya uang untuk men-alankan rencana semacam ini," Mr. Harper meneruskan. "Duggan mendapatkan dana dalam jumlah besar, dan dia bebas menggunakannya. Mungkin saja dia membayar para pemain tanpa sepengetahuan saya. Tapi saya takkan membiarkan permainan kotor seperti itu berlangsung di Shoremont!"
25 Di bawah. Duggan menghilang dari pandangan.
"Oke," ujar Mr. Harper. "Andaikata Trio Detektif akan menyelidiki kasus ini, bagaimana kalian akan melakukannya tanpa menarik perhatian""
Jupe tidak perlu berpikir untuk menanggapi pertanyaan itu. "Kami akan menghadapi situasi ini dari dalam dan dari luar. Maksud saya, Pete akan membuka tabungan bank untuk menyimpan uang suapnya. Dan dia akan pura-pura tertarik apakah ia bakal dihubungi lagi."
"Dan dari dalam"" tanya Harper.
"Mudah." Jupe tersenyum gembira sebelum membeberkan rencananya. "Saya akan mendaftarkan diri di Shoremont, dan mengikuti kuliah bersama para pemain basket. Dengan demikian saya bisa berkenalan dengan mereka, dan mencari tahu siapa saja yang menerima uang. Mestinya tidak ada masalah. Semester musim dingin Anda baru mulai, dan sekolah saya di Rocky Beach libur dua selama minggu -jadi saya tidak perlu membolos. Mungkin saya bahkan bisa memberi les tambahan untuk beberapa pemain."
Mr. Harper menggelengkan kepala. "Terlalu berat, Jupiter. Untuk itu, kau harus menguasai materi perguruan tinggi."
Jupiter mengangkat sebelah alis.
"Mr. Harper," kata Pete, "hanya ada satu hal yang lebih bengkak dibandingkan IQ Jup
e- yaitu utang negara kita."
26 Mr. Harper tersenyum ketika menduduki kursi di balik mejanya. "Hmm, siapa tahu memang berhasil," ia bergumam. "Saya akan memberimu daftar mata kuliah yang diikuti para pemain basket, sehingga kau bisa menyesuaikan jadwalmu dengan mereka."
Jupiter mengangguk, dan Mr. Harper mengangkat gagang telepon. Ia berbicara dengan seseorang di bagian pendaftaran. "Saya akan mengirim seorang pemuda bernama Jupiter Jones ke tempat Anda," ia berkata. "Ini yang harus Anda berikan padanya."
Beberapa menit kemudian semuanya sudah beres.
"Tapi tak seorang pun boleh tahu tentang hal ini," Mr. Harper mengingatkan sambil meletakkan gagang telepon. "Dan saya tidak akan mengambil tindakan apa pun, sebelum kalian menemukan bukti kuat bahwa Duggan bersalah."
"Tentu saja," balas Jupe.
Tiba-tiba interkom di meja Mr. Harper mendengung, la mengangkat gagang telepon dan mendengarkan pesan si penerima tamu. "Tolong beritahu dia bahwa saya akan segera menemuinya, Ginny. Terima kasih."
Mr. Harper mengembalikan gagang telepon, dan mengusap-usap dagu sambil merenung. "John Hemingway Powers menunggu di luar," katanya. "Dia alumnus Shoremont, dan baru saja menyumbangkan uang yang cukup untuk membangun aula dan kompleks olahraga baru. Kalau dia sampai tahu kenapa kalian di sini,
27 kalau dia sampai curiga bahwa terjadi skandal olahraga di Shoremont, kami takkan mendapatkan sepeser pun dari dia."
"Jangan khawatir," kata Pete.
"Saya hanya ingin memastikan kalian memahami situasinya. Semuanya ini bersifat rahasia," ujar Mr. Harper. Ia kembali berjabatan tangan dengan mereka. "Silakan hubungi saya kalau kalian memerlukan sesuatu. Tapi jangan datang ke kantor saya lagi-penyamaran kalian bisa terbongkar. Dan sebaiknya sekarang kalian keluar lewat pintu belakang saja."
Jupe dan Pete menyelinap keluar, menuruni tangga, lalu menuju kantor pendaftaran di lantai pertama.
"Ini seperti mimpi yang jadi kenyataan," kata Jupe dengan wajah berseri-seri.
"Yeah, kasus ini memang menarik," Pete berkomentar.
"Bukan kasusnya yang kumaksud," balas Jupe. "Aku akan masuk perguruan tinggi!"
28 3. Kesimpulan Awal KETIKA Jupe sampai di kantor pendaftaran, ia berpaling pada Pete dan menatapnya dengan pandangan "kenapa kau ada di sini".
"Sebaiknya kita berpencar saja," Jupe mendesis.
"Berpencar""
Jupe mengerutkan kening. "Pete," ia berkata sambil berusaha untuk tidak menoleh ke arah sahabatnya itu, "aku akan menyamar sebagai mahasiswa perguruan tinggi. Tapi kau pelajar high school Orang lain tidak boleh tahu kita saling mengenal. Jadi silakan menyingkir, oke""
"Yeah, oke, tuan besar kepala. Tapi kau tidak berpikir ke depan, Jupe. Kalau aku pergi, bagaimana caranya kau pulang nanti" Kau tidak punya mobil."
"Aku tahu itu," balas Jupe. "Tapi sekarang aku sudah menjadi mahasiswa. Kami sudah terbiasa untuk mandiri dan memecahkan semua persoalan tanpa bantuan orang lain. Nanti malam aku menunggumu di markas untuk
29 melaporkan perkembangan di sini-kecuali kalau aku terlalu banyak pekerjaan rumah."
"Kau satu-satunya orang yang kukenal, yang membicarakan pekerjaan rumah sambil tersenyum," kata Pete. Ia menggelengkan kepala. "Sampai nanti."
Jupe menunggu sampai Pete tidak kelihatan lagi sebelum memasuki kantor pendaftaran. Beberapa menit kemudian ia telah mendapatkan segala yang diperlukannya untuk menjadi mahasiswa Shoremont, yaitu buku panduan mahasiswa, kartu identitas mahasiswa, serta peta kampus yang dibuat tanpa skala sehingga justru membingungkan. Tetapi ada satu hal lagi-sesuatu yang tidak dimiliki oleh mahasiswa mana pun di Shoremont: sebuah printout komputer berisi semua mata kuliah yang diikuti para pemain basket.
Jupe keluar dari kantor pendaftaran dan segera membaca printout itu. Ia melingkari semua mata kuliah yang perlu diikutinya. Sebagian besar tidak terlalu berat-Pengenalan Panahan, Psikologi Keluarga, Sejarah Pertelevisian. Kelihatannya para pemain basket tidak suka memeras otak, Jupe berkata dalam hati. Hmm, sebaiknya aku mulai dari mana"
Jam di puncak menara di tengah-tengah kampus menunjukkan pukul satu. Jupe kembali memeriksa daftarnya. Walt
Klinglesmith, seorang pemain jaga dalam tim Shoremont, mengambil kuliah Kimia 101 di Mars Hall, salah satu gedung ilmu alam. Nah, itu mata kuliah yang sesuai dengan minat Jupe.
30 Kampus mulai ramai dengan mahasiswa-mahasiswa yang berpindah dari satu gedung ke gedung lain. Ada yang berjalan kaki, ada juga yang naik sepeda. Rupanya saat pergantian mata kuliah. Jupe harus buru-buru.
Ia mencegat mahasiswa pertama yang melewatinya. "Permisi, di mana Mars Hall"" Jupe bertanya. "Aku harus segera ke sana."
"Mars Hall"" pemuda di hadapannya membalas. "Gedung ilmu alam" Tempat orang-orang sinting yang mau membuat lebih banyak bom" Sori, bukan bidangku, man" Dan ia berlalu dengan cepat.
Menyesuaikan diri dengan suasana kampus rupanya lebih sulit dari yang kuduga, pikir Jupe. Ia mengeluarkan peta kampus, dan berharap menemukan gedung yang tepat.
Mars Hall ternyata sebuah bangunan batu yang sudah tua, berbeda dengan gedung administrasi yang serba modern. Jupe menyusuri lorong-lorong gelap yang diterangi dengan sistem penerangan kuno sampai ia tiba di depan Ruang 377. Ruang itu merupakan laboratorium kimia berisi deretan meja lab, semuanya dilengkapi bak cuci, alat pemanas Bunsen, bahan-bahan kimia, dan puluhan tabung reaksi. Sekitar empat puluh mahasiswa duduk di balik meja masing-masing, sambil menunggu kedatangan profesor mereka.
Dengan waswas Jupe melangkah masuk. Ia membayangkan salah seorang mahasiswa berdiri dan menudingnya, "Hei! Ada anak high school kesasar!" Namun tak seorang pun ber-
31 diri. Tak ada yang berseru. Bahkan tak ada yang memperhatikannya.
Ia menyusuri tepi ruangan, sambil berlagak mencari tempat kosong. Tapi sebenarnya ia sengaja berkeliling untuk menemukan mahasiswa yang bernama Walt Klinglesmith.
Dia pemain basket, ujar Jupe dalam hati. Berarti dia seharusnya orang paling jangkung di sini.
Tapi teori itu kandas begitu saja. Orang paling jangkung di dalam lab ternyata seorang gadis. Tingginya sekitar 195 senti. Sepatu botnya yang terbuat dari kulit hitam hampir sama tingginya dengan Jupe.
Oke, sekarang bagaimana" Musim kompetisi bola basket sudah hampir berakhir, pikir Jupe. Sebagai pemain jaga, Walt mungkin mengalami cedera kecil.
Sekali lagi Jupe melihat berkeliling, dan bingo! Itu dia. Jupe mengambil tempat di samping seorang pemuda dengan pergelangan tangan terbalut.
Di hadapan pemuda itu ada buku catatan bersampul kulit, dan di sudut sampulnya terlihat inisial W.K. tertulis dengan huruf emas. Walt Klinglesmith. Sebuah bolpoin Mont Blanc yang supermahal tergeletak di atas buku catatan.
Kesimpulan: Walt banyak uang. Dari mana asalnya" Dari kantong Coach Duggan"
Trio Detektif 55 Bintang Bola Basket di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suasana di dalam laboratorium mendadak hening. Sang profesor telah datang. Seorang pria berambut putih menghampiri papan tulis
32 dan mulai menuliskan beberapa kata: MAKANAN ANJING, DAUN SELADA, CUKA, SABUN...
Jupe mengamati daftar itu. Semua butir yang dicantumkan pasti mengandung satu unsur kimia yang sama, tapi Jupe tidak bisa menebak apa. Belajar di perguruan tinggi ternyata lebih sukar dari yang dibayangkannya.
"Profesor Wevans," salah seorang mahasiswa berkata kebingungan.
Profesor tertawa dan membalik untuk menghadapi murid-muridnya. "Bukan, ini bukan kuis mengenai unsur-unsur kimia. Ini titipan istri saya yang harus saya beli dalam perjalanan pulang nanti malam. Saya terpaksa menuliskan semuanya sebelum lupa."
Seluruh kelas tertawa, dan Profesor menuliskan beberapa persamaan kimia. Kemudian ia mulai memanggil nama-nama para mahasiswa.
Tenang saja, Jupe berkata dalam hati. Tenang saja, dan jangan tonjolkan diri. Sebenarnya ia bisa menjawab pertanyaan Profesor, tapi ia tidak ingin menarik perhatian. Jika ia tidak mengangkat tangan, kemungkinan besar takkan ada yang memperhatikannya...
"Salah, Mr. Fankel. Salah sama sekali," Profesor Wevans sedang berkata. "Masa tak seorang pun dari kalian yang bisa menyelesaikan persamaan ini""
Jupe tak sanggup menahan diri lebih lama. Ia mengacungkan tangan dan menyerukan jawaban yang benar.
"Terima kasih," ujar Profesor. "Itu jawaban
33 paling menggembirakan yang saya dengar dalam waktu lama." Sesaat ia men
atap Jupe sambil membisu, lalu berkata, "Maaf, apakah Saudara tidak salah masuk ruang kelas" Seingat saya, saya belum pernah melihat Saudara di sini."
Aduh, pikir Jupe Belum apa-apa samaranku sudah terbongkar.
"Ehm, begini," ia tergagap-gagap. "Saya sering terlambat bangun sehingga tidak bisa mengikuti kuliah Bapak."
"Terlambat bangun"" si profesor mengulangi. "Kuliah saya mulai jam satu siang. Siapa nama Saudara""
"Jones. Jupiter Jones."
"Hmm, nama Saudara termasuk nama yang sukar dilupakan, Mr. Jupiter Jones," kata Profesor Wevans. "Saya sarankan agar Saudara membeli beker yang bersuara lebih keras."
"Baik, Pak," ujar Jupe.
"Mr. Klinglesmith, tolong selesaikan soal berikutnya," Profesor melanjutkan.
"Ehm, tentu," jawab Walt. Ia memelototi soal di papan tulis. Dan Jupe mengamati wajah Walt.
Aku tahu ekspresi itu, pikir Jupe. Sudah jutaan kali aku melihatnya. Panik, bingung, putus asa. Dia tidak tahu jawabannya, dan inilah kesempatanku untuk berkenalan dengannya.
Tanpa berkedip Jupe meraih bolpoin Walt yang mahal. Dengan tenang ia menuliskan -2 pada secarik kertas.
34 Walt berdehem. "Ehm, minus dua," katanya.
Bagus," Profesor Wevans memuji sebelum beralih ke topik berikutnya.
Seusai kuliah, Jupe keluar laboratorium satu langkah di depan Walt. Di lorong, ia mengeluarkan kertas bertulisan -2 dan menyerahkannya kepada si pemain basket.
"Nih, sebagai kenang-kenangan," Jupe menawarkan.
Walt ketawa. "Yeah, terima kasih," ia berkata sambil tersenyum. "Dan terima kasih atas bantuanmu tadi. Sebenarnya aku bisa menemukan jawabannya, tapi pikiranku selalu mendadak beku kalau seorang profesor memanggilku."
Jupe mengedip-ngedipkan mata. Walt menyodorkan bolpoin Mont Blanc sambil jalan.
"Ambil saja," desaknya.
"Ya, tapi...," Jupe mulai memprotes
"Aku masih punya banyak," Walt memotong sambil tersipu-sipu.
Menarik, pikir Jupe. Tetapi ia berusaha untuk tidak memperlihatkannya.
"Eh, Walt," Jupe berkata sambil lalu. "Kimia sebenarnya sangat logis. Barangkali aku bisa membimbingmu untuk menguasai dasar-dasarnya."
"Sebagai tutor, maksudmu"" tanya Walt. "Hei, ide bagus! Masalahnya, aku tidak banyak waktu. Tapi barangkali kita bisa menyelipkannya setelah latihan basket."
"Tapi aku terpaksa menarik bayaran," ujar
35 Jupe. "Dan seorang tutor dengan kualifikasi seperti aku tidak murah."
"Jangan khawatir, kawan. Berapa saja yang kauminta, uang tak jadi masalah bagiku. Oke""
Walt mengulurkan tangan untuk bersalaman. Pada jari manisnya melingkar sebuah cincin perak berukuran besar, dengan tulisan Walt dari emas murni.
Jupe berjabatan tangan. Bukan uangmu yang kuincar, Walt, pikir Jupe sambil tersenyum. Aku ingin tahu dari mana kau memperolehnya. Dan kau punya waktu dua ming-gu untuk menceritakannya padaku!
36 4. Kelly Menyusun Siasat GAGANG telepon diangkat pada deringan pertama. "Trio Detektif. Anda bicara dengan Pete Crenshaw."
"Pete," Jupe berkata pelan-pelan.
"Jupe" Jupe, di mana kau" Sekarang sudah jam enam. Kelly dan aku sudah satu jam menunggu di markas. Kami hampir mati kelaparan."
"Aku di toko buku di kampus Shoremont. Tapi bus ke Rocky Beach baru datang sejam lagi. Kalau menunggu terus, aku perlu dua jam sebelum sampai ke rumah." Jupe berusaha agar suaranya terdengar biasa-biasa saja.
"Oh, jadi kau baru tiba jam delapan," Pete menanggapinya. "Oke. Terima kasih 'atas pemberitahuannya."
"Pete, jangan tutup dulu!" ujar Jupe. "Baiklah, aku berterus terang. Aku perlu dijemput. Kalau tidak, aku terdampar di sini sepanjang malam."
"Tapi, Jupe," balas Pete, "kau kan sudah mahasiswa sekarang. Aku' cuma murid high
37 school. Kau sendiri yang bilang kita sebaiknya jangan kelihatan bersama-sama. Kau bilang akan menangani masalah-masalahmu sendiri, dan menemukan pemecahan gemilang tanpa bantuan orang lain."
Jupe mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai. "Well, itulah pemecahan yang kudapatkan," katanya. "Kau datang ke sini menjemputku. Oke""
"Jupe, yang kauperlukan adalah mobil sendiri," ujar Pete bersungguh-sungguh.
Ucapan itu membuat Jupe benar-benar uring-uringan. Tak ada yang lebih diinginkannya selain mobil-terutama sejak kedua mobilnya terdahulu h
ancur berantakan-dan Pete tahu itu.
"Pete," Jupe berkata dengan kesal, "kalau kau tidak segera ke sini menjemputku, aku takkan menceritakan kemajuan yang kuper-oleh!"
"Ada berita baik""
"Kasus penyuapan ini lebih pelik, jauh lebih pelik daripada yang kita duga. Hanya ini yang akan kukatakan sampai kau muncul di sini."
"Aku berangkat sekarang juga," jawab Pete.
*** Tak sampai sejam kemudian Pete dan Jupe sudah kembali ke markas Trio Detektif. Jupe mengenakan kaus Shoremont College, yang dibelinya di toko buku ketika menunggu Pete.
38 Dalam perjalanan pulang, sekadar untuk membalas dendam, Jupe tidak bercerita apa-apa mengenai kasus mereka. Beberapa menit setelah mereka tiba, Kelly datang naik mobil. Ia membawa dua kotak berisi pizza
"Apakah Pete sudah memberitahumu bagaimana pizza yang kuinginkan"" tanya Jupe.
"Sudah, Jupe," kata Kelly. "Pizza berukuran mini dalam kotak pizza berukuran besar. Apa sih pengaruhnya""
"Ini dietnya yang terbaru," Pete menjelaskan sambil meraih satu irisan dari pizza berukuran besar yang dibaginya bersama Kelly.
"Jupe, kau masih ingat berapa banyak diet aneh yang sudah pernah kaucoba""
"Untuk mendapat jawaban yang pasti, aku perlu berkonsultasi dulu dengan komputerku. Tapi kalau tidak salah, jumlahnya sekitar dua puluh," ujar Jupe.
"Hmm, ini yang paling aneh," Pete berkomentar.
"Diet ini yang paling logis," balas Jupe. "Namanya Diet Setengah Porsi. Kau boleh makan apa saja, tapi hanya setengah porsi." Jupe meraih sepotong pizza, membelahnya menjadi dua, dan meletakkan satu belahan ke atas piringnya. Setelah menghabiskan belahan itu, ia membelah potongan kedua, lalu mulai makan lagi.
"Aku tak kuat melihatnya," kata Kelly.
"Yeah, Jupe. Ini tidak masuk akal," Pete pun sependapat. "Kau sudah menghabiskan
39 dua belahan, kan" Kenapa kau tidak makan satu potong utuh saja""
"Psikologi," jawab Jupe. "Kau takkan mengerti."
"Oke, Jupe," Pete berkata di antara dua gigitan. "Bagaimana kemajuan di Shoremont hari ini""
"Aku menjadi pembimbing kimia untuk salah seorang pemain basket Shoremont-Walt Klinglesmith," Jupe bercerita. "Aku mendapat kesan dia bergelimang uang."
Pete dan Kelly mengangguk.
"Setelah kimia, aku mengikuti dua mata kuliah membosankan, dengan harapan bertemu dua pemain lagi. Tapi rupanya keduanya membolos. Kemudian aku pergi ke gedung olahraga untuk menyaksikan latihan tim Shoremont, tapi ternyata mereka tidak ada di sana. Yang ada hanya rombongan cheerleader."
"Terus, apa kata mereka"" tanya Kelly.
"Tidak banyak," jawab Jupe sambil tersipu-sipu. Ia tampak agak gelisah.
"Maksudnya, Jupe tidak tahu apa yang harus dikatakannya pada mereka," Pete menjelaskan. "Jadi dia pergi lagi."
"Itu tidak benar," kata Jupe sambil menatap pizza di hadapannya. "Aku hanya menyimpulkan para cheerleader takkan tahu banyak, dan aku harus memfokuskan perhatianku pada para pemain."
"Para cheerleader takkan tahu banyak"" Kelly melompat berdiri. "Hidup Jupiter Jones!
40 Siapa yang tahu lebih banyak tentang sebuah tim olahraga selain para cheerleader" Kaupikir kami hanya bisa melompat-lompat sambil bersorak-sorai" Enak saja! Kami mengamati setiap gerakan yang terjadi di lapangan. Kami membuat para penonton tetap tertarik pada pertandingan. Kami beramah-tamah dengan para pemain. Dan beberapa cheerleader bahkan berkencan dengan para pemain, terutama kalau mereka tampan dan gagah." Kelly nyengir lebar dan memeluk Pete.
Jupe bertanya-tanya apakah wajah Pete menjadi merah karena malu, atau karena peredaran darahnya terhambat akibat dipeluk terlalu keras oleh Kelly. "Baiklah, kalau kau memang ahli dalam hal ini, ehm, barangkali kau bisa memberi beberapa saran bagaimana caranya memulai percakapan dengan para cheerleader" kata Jupe.
"Tentu saja bisa," jawab Kelly. "Pertama-tama, kau harus memikat mereka. Pada umumnya, para cheerleader suka disanjung. Kau tahu kan apa yang dimaksud dengan sanjungan, Jupe""
"Aku bukan anak sekolah dasar," ujar Jupe tak sabar.
"Bagus," kata Kelly. Ia duduk sambil menunggu. "Ayo, silakan."
Pete dan Jupe terbengong-bengong. "Silakan apa"" tanya Pete.
"Silakan sanjung aku, Jupe," balas Kelly. "Lat
ihan." "Oke, ehm.-Jupe menggosokkan kedua ta-
41 ngan pada celana jeans-nya. "Ehm... Eh, Kelly, kau sekarang sudah tidak begitu sok mengatur seperti dulu."
"Benar-benar tanpa harapan!" Kelly mendesah sambil melirik ke arah Pete. "Sayang sekali aku akan pergi main ski besok."
"Main ski"" Jupe memotong. "Bagaimana kau bisa pergi main ski sementara tim basket Rocky Beach akan bertanding dalam liburan ini" Kau kapten regu cheerleader. Bukankah kau wajib hadir""
"Untuk apa aku punya wakil"" kata Kelly. "Kau lebih memerlukan aku daripada reguku."
Jupe menatapnya dengan ragu-ragu. "Oke, Kelly, apa cara yang paling ampuh untuk... ehm... memikat cheerleader""
"Kau harus merayu mereka," Kelly menjelaskan. "Beri pujian untuk lompatan mereka, katakan segala gerak-gerik mereka membuatmu berdebar-debar-hal-hal seperti itulah. Setelah itu mereka akan menceritakan apa saja yang ingin kauketahui. Oh, yang ini juga bagus! Katakan kau merasa seakan-akan mereka hanya menatap ke arahmu."
"Hei!" Pete berseru. "Itu yang kaukatakan padaku! Kau bilang kau merasa aku menoleh ke arahmu setiap kali aku mengambil lemparan bebas."
Kelly tersenyum simpul. "Nah, Jupe. Kaulihat sendiri kan bagaimana hasilnya""
*** 42 Keesokan paginya Jupe mengikuti kuliah, dan pada sore harinya ia pergi ke gedung olahraga. Ia membuka pintu dan segera melihat bahwa tim basket tidak ada lagi. Tapi para cheerleader hadir-lima orang-dengan seragam berupa rok mini dan sweter ungu-putih.
Hmm, kata Jupe dalam hati, mungkin Kelly memang benar. Barangkali ia bisa mengorek keterangan dari mereka. Ia menyelinap masuk, dan mengambil tempat duduk di tepi lapangan. Para cheerleader tengah berlatih, sehingga mereka tidak mengetahui kehadirannya.
"Ayo, Walt! Ayo, Cory! Sikat mereka sampai grogi! Maju Marty, Matt, dan Tim! Lawan kalian sudah pusing! Hore, Shoremont, hore!"
Pengarangnya pasti bukan mahasiswa jurusan sastra, Jupe berkata dalam hati. Kemudian ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghampiri dan menyapa para cheerleader. Tapi dalam sekejap saja ia sudah bermandikan keringat dingin. Untung saja para cheerleader sudah menghentikan latihan mereka, lalu mulai mengobrol. Jupe tinggal menguping saja.
"Hei, jangan sembarangan!" salah seorang dari mereka berseru. Rambutnya yang panjang dan gelap dibuntut kuda. "Kalian pikir aku kencan dengan Cory Brand hanya karena Corvette dan condo-nya""
43 "Ya!" keempat rekannya menjawab.
"Oke, apakah kalian bisa memikirkan alasan yang lebih baik"" balas gadis pertama sambil ketawa.
Radar Jupe langsung siap siaga. Inilah yang dicarinya-gosip mengenai para pemain basket! Cory Brand adalah salah satu dari mereka, dan rupanya ia memiliki mobil sport dan apartemen mewah.
"Hei, sedang apa kau di sini"" Tiba-tiba seorang cheerleader berambut merah melihat ke arah Jupe. Gadis itu berdiri sambil bertolak pinggang.
Jupe menelan ludah. Jangan panik, ia berusaha menenangkan diri sendiri. Tetap tenang, dan coba mengorek informasi sebanyak mungkin. Kau sudah puluhan kali menanyai orang dalam kasus-kasus sebelum ini, dan mestinya kali ini juga tidak terlalu sulit. Pokoknya, ingat saran-saran Kelly.
Ia berdiri, lalu perlahan-lahan menghampiri para cheerleader. Ketika mendekat, Jupe melihat bahwa nama-nama mereka tersulam pada sweter masing-masing.
"Ehm... Nora," Jupe berkata pada si rambut merah. "Waktu kalian sedang latihan, aku merasa seakan-akan kalian hanya melihat ke arahku."
"Memang," balas Nora. "Soalnya tak ada siapa-siapa di sini selain kau."
Wah, betul juga, pikir Jupe. Bodoh betul! "Ehm, maksudku..." Jupe tergagap-gagap,
44 "tatapan kalian luar biasa. Rasanya quasi-hypnotic."
"Wow, kalian dengar itu-quasi-hypnotic" Kapan terakhir kali seseorang menyebut kita quasi-hypnotic"" ujar seorang gadis cerewet yang mengenakan sweater bertulisan CATHY.
"Aku tahu siapa kau," kata gadis yang bernama Pat. "Kau Jupiter Jones. Aku melihatmu di kelas Pengenalan Shakespeare tadi pagi. Eh, kalian tahu apa yang dilakukannya" Dia menyitir sajak karangan Shakespeare di luar kepala."
"Sebenarnya itu sebuah soneta," Jupe meralat.
"Apa pun namanya, yang jelas caramu
membawakannya indah sekali," kata Pat sambil tersenyum lebar.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau ada di sini"" tanya Nora. Dari sikapnya kelihatan jelas bahwa dialah pemimpin regu cheerleader ini.
"Latihan kami tertutup untuk umum," ujar gadis berbuntut kuda yang berkencan dengan Cory. Pada sweternya tertulis nama JERRI.
"Well," kata Jupe sambil melirik jam tangannya. Ia tidak mungkin berterus terang sedang melakukan penyelidikan. "Aku ada janji untuk bertemu seseorang di sini. Tapi kelihatannya dia tidak datang. Maaf kalau aku mengganggu latihan kalian."
"Tidak apa-apa," jawab anggota regu cheerleader yang paling pendek-seorang gadis mungil dengan tinggi 150 senti, bermata biru, dan berambut hitam. Ia tersenyum malu-malu. Ber-
45 dasarkan logatnya, Jupe menyimpulkan bahwa ia berasal dari daerah Selatan. Nama yang tercantum pada sweternya adalah SARAH.
Jupe bergegas keluar. Sebenarnya ia berharap bisa tinggal lebih lama, untuk mengorek lebih banyak informasi. Selain itu, ia juga ingin berbincang-bincang lebih lama dengan Sarah. Gadis itu persis seperti yang diidam-idamkannya selama ini. Tetapi berbicara dengan gadis-gadis cantik merupakan sesuatu yang berada di luar kemampuan Jupe. Bagi Jupe, menghadapi penjahat-penjahat terasa jauh lebih mudah.
"Oke, kita mulai dari awal lagi," Jupe mendengar salah seorang dari mereka berkata ketika ia menuju ke pintu. "Dan jangan lupa- usahakan agar tatapan kalian terasa quasi-hypnotic."
Semenit kemudian Jupe sedang melintasi kampus untuk sekali lagi memakai telepon umum di dalam toko buku. Sambil berjalan, ia mengingat-ingat apa saja yang baru didengarnya.
Jerri berkencan dengan Cory Brand karena Cory memiliki uang, apartemen mewah, dan mobil sport. Apakah ini berarti bahwa Cory menerima uang suap" Pat sama-sama mengikuti kuliah mengenai Shakespeare. Mestinya tidak terlalu sulit untuk berbicara lagi dengannya. Sarah... cantik luar biasa, mungil, rambut gelap, mata biru, senyum menawan...
Jupe masih memikirkan Sarah ketika sampai di telepon umum. Ia memasukkan seke-
ping uang dan memutar nomor telepon kantor Bob.
"Bob, kau bisa dengar aku"" Jupe bertanya sewaktu sahabatnya menyahut.
"Sax sedang mendengarkan rekaman percobaan grup baru-dengan volume penuh!" Bob berseru. "Sudah ada kemajuan dengan kasus kita""
Suara Bob nyaris tenggelam dalam ingar-bingar musik heavy metal di latar belakang.
"Kelihatannya Duggan sibuk membagi-bagikan uang ke kiri-kanan!" ujar Jupe setengah berteriak. "Beberapa pemain bahkan punya mobil sport dan apartemen mewah."
"Masa" Siapa yang memberitahumu""
"Para cheerleader"
"Apa"!" Bob harus berteriak untuk mengalahkan kebisingan di sekitarnya.
"Kubilang," kata Jupe dengan lebih keras, hampir semua cheerleader di sini ramah sekali. Dan kurasa aku bisa mendapat keterangan lebih banyak dari salah seorang dari mereka. Namanya Pat. Dia mengingatku dari kelas Shakespeare yang sama-sama kami ikuti."
"Jupe, aku tidak bisa mendengarmu," kata Bob. "Telepon aku nanti malam." Dan kemudian ia meletakkan telepon.
Brengsek! umpat Jupe dalam hati.
Tiba-tiba sepasang tangan berukuran besar mencengkeram bahu Jupe dari belakang.
"Kalau aku sudah selesai denganmu," seseorang mengancam, "kau bakal bisa masuk ke kaleng sarden!"
47 5. Bercucuran Keringat SEMUA indra Jupe mendadak siap siaga. Jantungnya berdetak kencang, dadanya berdebar-debar. Tiba-tiba kedua tangan besar itu membalikkan tubuh Jupe dengan keras. Ia nyaris terangkat dari lantai. Kemudian kedua tangan itu mulai meremas leher Jupe.
Jupe hendak melawan. Tapi nalurinya mengatakan bahwa jika melawan ia bakal dicekik. Ia mendongakkan kepala agar bisa melihat wajah penyerangnya.
Wajah yang besar dan garang itu milik Marty Lauffer, si pemain tengah tim basket Shoremont. Rambutnya yang pirang dan berminyak dipotong pendek sekali.
"Ini pasti suatu kekeliruan," Jupe berkata sambil terengah-engah. Ia nyaris tidak bisa bernapas.
"Yeah-kekeliruan di pihakmu," balas Marty. Sejenak ia tersenyum mengejek, dan memperlihatkan sederetan gigi yang berantakan.
Tenaga Marty luar biasa. Cengkeraman tangannya perlahan-lahan mencekik Jupe. Jupe
48 melayangkan pukulan liar, yang mendarat telak di perut Marty. Tapi Marty tak bergeming sama sekali.
"Kudengar pembicaraanmu lewat telepon. Kudengar semua yang kaukatakan!" Marty membentak sambil mengguncang-guncangkan Jupe.
Celaka, pikir Jupe. Wajahnya menjadi merah padam karena kekurangan oksigen. Ia mulai beringat dingin. Marty akan membunuhku karena aku membongkar skandal uang suap.
Marty ketawa dan kembali menyentak-nyentakkan Jupe. "Kau akan merasa sakit selama setahun," ia berkata sambil mengepalkan tangan, siap memukul.
Jupe tak sanggup menahan diri. Ia memejamkan mata dan berteriak.
"Marty, berhenti!" seseorang tiba-tiba memerintah dengan tegas.
Marty segera melepaskan cengkeramannya, lalu mendorong Jupe ke belakang. Jupe merosot ke lantai, dan menarik napas dalam-dalam.
Perintah yang menyelamatkan Jupe berasal dari seorang pria yang berdiri di belakang si pemain basket. Ketika Marty melangkah ke samping, Jupe melihat bahwa orang itu Coach Duggan. Si pelatih segera menyelinap di antara Jupe dan Marty.
"Anak muda, jika kau bersikap agresif di lapangan, saya mendukungmu seribu persen. Tapi kalau ini caramu untuk membuktikan pada dunia bahwa kau seorang jagoan, kau
49 bukan hanya mempermalukan dirimu sendiri, kau juga mempermalukan seluruh tim, dan saya."
Suara Duggan bernada keras, dan Jupe menyadari bahwa kata-kata itu langsung berpengaruh. Marty menundukkan kepala dan menatap lantai toko buku.
"Ada apa sebenarnya"" si pelatih bertanya.
"Saya mendengar dia bicara lewat telepon." Marty menggeram sambil memelototi Jupe. "Dia bicara... ehm... dia bicara tentang pacar saya."
Pacar" pikir Jupe. Pat pacar Marty" Benarkah itu" Atau Marty hanya ingin menutup-nutupi masalah uang suap"
Sebelum Jupe sempat menarik napas untuk menjawab, Marty sudah komat-kamit minta maaf, lalu kabur. Ia menghilang di balik kerumunan mahasiswa yang menyaksikan kejadian di telepon umum itu.
Jupe dan Coach Duggan bertatapan.
"Dia cepat naik darah," si pelatih berkata.
"Yeah, saya sudah menyadari hal itu. Anda pasti repot sekali menghadapinya," jawab Jupe dengan suara serak. Ia menyelipkan T-shirt-nya ke dalam celana.
"Dia bakal sadar sendiri... dengan imbalan yang tepat," ujar Coach Duggan. "Ngomong-ngomong, sepertinya teleponmu tadi cukup penting. Kau bicara dengan seorang gadis""
"Sebenarnya sih tidak," jawab Jupe.
"Ah, kau bicara mengenai seorang gadis""
Jupe mengangguk malu-malu.
50 "Telepon lagi," kata si pelatih, seakan-akan memberi perintah
Sekarang" Di depan dia" pikir Jupe. No way!
"Saya kehabisan uang receh," ia berbohong.
"Ah." Coach Duggan merogoh kantong celana training ungunya, dan mengeluarkan sekeping uang logam. "Telepon dia," ia berkata sambil meletakkan keping itu ke tangan Jupe. "Jangan biarkan masalah sepele seperti uang menghalang-halangi keinginanmu."
Jupe memperhatikan Coach Duggan melangkah pergi. Orang itu mudah sekali membagi-bagikan uangnya. Berapa banyak dari pembicaraan Jupe yang sempat didengarnya" Jupe bahkan menyebut nama Duggan tadi.
Kini Jupe benar-benar cemas. Ia harus bersikap lebih hati-hati. Kalau tidak, samarannya akan terbongkar sebelum kasus itu diusut sampai tuntas.
*** Keesokan harinya, Rabu, jadwal kuliah Jupe berat sekali. Mulai pukul delapan pagi sampai pukul satu siang, ia mengikuti lima mata kuliah pendidikan jasmani yang berbeda-beda. Masing-masing juga diikuti oleh paling tidak seorang pemain basket yang hendak diamatinya. Angkat berat, boling, senam prestasi, atletik, gulat-latihannya benar-benar melelahkan. Bagian yang paling memprihatinkan adalah
51 bahwa peserta mata kuliah bersangkutan hanya terdiri atas pemuda-pemuda tampan-dan semuanya dalam kondisi puncak! Otot dada, perut, biseps, dan triseps-setiap otot terbentuk dengan sempurna. Dibandingkan dengan para peserta lain, Jupe kelihatan seperti karung beras.
Menjelang akhir mata kuliah kelima, Jupe telah belajar banyak. Pertama, sebaiknya ia tidak mengikuti lebih dari dua mata kuliah pendidikan jasmani per hari-biarpun dalam rangka mencari petunjuk untuk sebuah kasus. Ia juga telah mengetahui bahwa tidak semua pemain basket bergelimang ua
ng. Beberapa di antara mereka kelihatan kaya raya, tapi ada juga yang biasa-biasa saja. Jupe memutuskan untuk memusatkan perhatian pada pemain-pemain yang paling ramah dan mudah diajak bicara.
Pukul dua, ia memaksakan diri untuk mengikuti mata kuliah olahraga keenam. Mata kuliah itu berrtama Bicara Bersemangat. Nama itu mengusik rasa ingin tahu Jupe. Tapi yang lebih penting, mata kuliah itu memberinya kesempatan untuk bertemu dua pemain basket lagi-Cory Brand dan Matt Douglass. Berdasarkan keterangan yang diperoleh Jupe dari para pemain lain, mereka berdualah yang paling patut diamati secara lebih saksama.
Jupe tiba di ruang kelas, lalu menarik napas dalam-dalam-sekaligus menarik perutnya ke dalam agar kelihatan lebih kecil. Kemudian ia memasuki ruangan dengan penuh percaya diri.
52 Ia duduk di salah satu kursi di baris paling belakang.
Pemuda yang duduk di sampingnya bertubuh tegap dan berwajah tampan. Warna rambutnya menyerupai warna pasir. Ia mengenakan jeans belel, serta T-shirt hitam yang menempel ketat pada dadanya. Kacamatanya berbentuk bulat, dengan bingkai gelap. "Beres"" ia bertanya.
"Seribu persen," Jupe mengulangi istilah yang semalam digunakan oleh Coach Duggan.
"Kau baru di kelas ini""
"Yeah. Aku pindah dari sekolah lain," kata Jupe sambil tersenyum simpul.
"Matt Douglass," pemuda di sebelahnya memperkenalkan diri. "Apa olahragamu""
"Jupiter Jones. Aku pemain curling. Kau main basket""
"Dan tenis," Matt menambahkan.
Sepertinya dia cukup ramah, pikir Jupe. Coba lihat bagaimana sikapnya di bawah lampu sorot. "Aku dengar para pemain basket di sini gemar berpesta."
"Kami berusaha menikmati hidup," ujar Matt.
"Pesta liar di apartemenmu" Semua orang bilang pesta-pesta di tempatmu paling sip."
"Bukan di tempatku. Aku cuma mengontrak kamar kecil di dekat kampus. Mungkin Cory yang kaumaksud." Matt mengangguk ke arah Cory Brand-seorang pemuda jangkung, tegap, dan tampan yang duduk beberapa kursi dari mereka.
Tampaknya Cory Brand menjalani kehi-
53 dupan yang menjadi impian setiap remaja Amerika-apartemen mewah, mobil sport, gadis-gadis cantik. Jupe sangat tertarik, tetapi ia belum selesai dengan Matt.
"Kau ikut ke Tijuana pada liburan musim semi nanti" Ada yang bilang anak-anak Shoremont biasa berlibur di sana," ujar Jupe.
"Tidak. Pada liburan nanti aku pegang dua pekerjaan. Aku perlu cari uang untuk membayar uang kuliah semester berikut," Matt menjelaskan.
Bagus, pikir Jupe. Paling tidak ia telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Tapi jawaban Matt betul-betul di luar dugaan. Jupe kini telah mengumpulkan keterangan mengenai empat pemain inti dalam tim basket Shoremont. Walt Klinglesmith, Mr. Bolpoin Mont Blanc, rupanya banyak uang. Cory Brand, menurut para cheerleader dan rekan-rekannya, punya uang dan terkenal sebagai tukang pesta tanpa tandingan. Marty Lauffer merupakan orang yang menyebalkan, titik. Jupe tidak sempat menanyakan tabungan Marty di bank ketika ia dicekik oleh Marty. Dan sekarang ia bertemu Matt, yang kelihatannya tidak menerima uang suap. Ada pemain yang berenang dalam uang, ada juga yang tidak. Bagaimana polanya"
Jupe mulai memutar otak untuk mencari jawaban. Matt dan Marty sama-sama mahasiswa tingkat empat... Tim, pemain inti kelima, mahasiswa tingkat tiga... Cory dan Walt baru memasuki tahun kedua. Dalam hati, Jupe
54 mengingat-ingat semua pemain lain yang sempat ditemuinya. Kelihatannya hanya pemain-pemain muda yang menerima uang suap. Pola itu sepertinya tidak masuk akal, tapi tetap patut diusut lebih jauh. Jupe melirik ke arah Cory Brand. Ya, ia harus berbicara dengan dia-seusai kuliah.
Sesaat kemudian dosen mereka memasuki ruangan dan meletakkan tas kerjanya di meja. Orangnya tampan, dengan rambut lurus gelap, dan kondisi fisiknya prima-mungkin ia juga bekas atlet.
"Selamat sore, para hadirin! Anda kembali bergabung dengan Bicara Bersemangat! Saya instruktur Anda, Al Windsor!" Setiap kata diucapkannya dengan lantang dan sepertinya terlalu dibuat-buat.
Kenapa dia bicara begitu keras" Kenapa dia berusaha agar setiap ucapannya terdengar penting dan penuh semangat" Tiba-tiba Jupe menyad
ari apa yang diajarkan dalam mata kuliah ini. Semua peserta dilatih untuk menjadi penyiar olahraga, sebagai persiapan menghadapi masa seusai karier olahraga masing-masing.
"Ruang kelas berada dalam kondisi sempurna," Al Windsor mengumumkan. "Dan para pemain berada pada puncak masa latihan. Karena itu, saya percaya kuliah hari ini akan berlangsung seru, sesuai harapan Anda setiap kali Anda memasuki ruangan ini."
Pada saat Al Windsor selesai mengajar, Jupe merasa lelah akibat segala luapan se-
55 mangat itu. Ia menggoyangkan kepala untuk mengusir rasa pening, kemudian bergegas keluar dan menyusul Cory Brand. "Cory!" panggil Jupe.
Pemuda yang jangkung dan tegap itu menoleh ke belakang. Rambutnya yang pirang dipotong begitu pendek sehingga kulit kepalanya tampak berkilau-kilau terkena cahaya matahari.
"Temanku bilang kau orang yang harus kutemui jika aku ingin bergabung dengan Klub Vette," ujar Jupe.
"Sori, aku tidak tahu apa-apa tentang perkumpulan veteran. Aku pemain basket," balas Cory.
Ia kembali berjalan. Jupe terpaksa mengejarnya.
"Maksudku, Klub Cor-vette," kata Jupe.
"Hei, kau juga punya Corvette""
"Ehm... model 72, kondisi seperti baru, nol sampai seratus dalam lima detik, dan kau bisa merasakan setiap gelombang pada permukaan jalan," Jupe berkata sambil berusaha mengingat semua cerita tentang Chevrolet Corvette yang pernah didengarnya dari Pete.
"Yeah," Cory menanggapinya. "Dan kalau kau menginjak pedal gas sampai ke lantai, suaranya benar-benar menggelegar! Mana mobilmu" Di tempat parkir""
"Ehm... bukan. Aku meninggalkannya di rumah-di Alaska."
"Oh, rupanya kau ikut program pertukaran
56 mahasiswa asing, ya"" tanya Cory. "Ayo, kutunjukkan mobil kebanggaanku."
Sambil berjalan ke lapangan parkir di seberang kampus, Jupe mencoba mengorek keterangan dari Cory, tapi tanpa hasil. Cory memang bicara tanpa henti, tapi tak sekali pun menyinggung sesuatu yang patut didengarkan. Akhirnya Jupe terpaksa nekat dengan mengajukan pertanyaan yang menjurus.
"Cory, apakah Coach Duggan termasuk orang yang dermawan" Maksudku, apakah dia pernah memberimu sesuatu""
"Hmm, Coach Duggan pernah memberi nasihat gratis padaku. Dia bilang, aku sebaiknya ambil mata kuliah Bicara Bersemangat," ujar Cory sambil membuka pintu Corvette-nya.
Secara kebetulan Jupe melihat jam Rolex di pergelangan tangan Cory. "Oh, sial, aku terlambat nih. Aku punya janji jam tiga."
"Biar kuantar saja," Cory Brand menawarkan. "Hei, aku baru ingat. Ada satu hal lagi yang pernah Coach Duggan berikan padaku."
Jupe langsung berharap-harap. Mungkinkah Cory Brand akan mengaku Coach Duggan yang memberinya Corvette itu"
"Yeah, Coach Duggan pernah memberiku tumpangan, waktu 'Vette-ku masuk bengkel."
Trio Detektif 55 Bintang Bola Basket di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jupe hanya bisa menggerutu kecewa.
57 6. Menunggu Peluang PUKUL empat kurang seperempat Jupe bergegas memasuki gedung olahraga Shoremont untuk mencari Bob. Hari itu keduanya akan berusaha habis-habisan untuk belajar lebih banyak tentang Coach Duggan. Jupe berharap bahwa Bob sudah mulai dengan penyelidikan-nya-misalnya membongkar arsip di kantor Coach Duggan, atau menanyai salah seorang pemain.
Tetapi ketika Jupe muncul di gedung olahraga, ia menemukan Bob sedang menekuni kegiatan yang paling digemarinya belakangan ini-mengobrol dengan gadis-gadis cantik. Bob duduk di tribun sambil berbincang-bincang dengan para cheerleader.
"Hei, Jupe," kata Bob.
"Hei, lihat tuh! Jupiter Jones datang lagi!" salah satu cheerleader memekik. Yang lainnya segera menoleh ke arah Jupe, lalu ketawa cekikikan.
"Aku terlambat," Jupe berkata pada Bob. "Aku belum bosan kok," balas Bob. Ia me-
58 lemparkan senyum kepada gadis-gadis yang mengelilinginya, dan mereka membalas dengan cara yang sama.
Kemudian para cheerleader mulai latihan, sementara Jupe dan Bob naik ke puncak tribun.
"Aku ingin melihat-lihat kantor Duggan," Jupe menjelaskan rencananya. "Kurasa kau belum sempat pergi ke sana, kan""
"Siapa bilang," jawab Bob. "Waktu aku mencarimu, aku salah belok dan kesasar ke kantor Duggan. Aku sempat mengobrol dengan sekretarisnya-mahasiswi tingkat empat yang pirang dan cantik, dia bekerja part-time. Kantor Du
ggan cukup sibuk-teleponnya berdering terus, dan selalu ada orang keluar-masuk-jadi aku tidak mendapat banyak. Tapi ada satu hal yang menarik. Setiap minggu Duggan menyusun daftar berisi nama-nama pemain high school yang hendak ia tarik ke Shoremont. Semuanya ada dalam komputer di ruang kerja pribadinya. Aku sempat melihat daftar itu, dan coba tebak nama siapa yang berada di urutan paling atas""
"Namaku"" Jupe bertanya dengan sinis.
"Nama Pete. Duggan betul-betul ingin agar Pete bermain untuk Shoremont," ujar Bob.
"Kalau begitu, kenapa dia belum menghubungi Pete lagi sejak Jumat lalu""
"Entahlah," balas Bob sambil mengangkat bahu.
"Ini penting, Bob. Apakah kau melihat catatan atau tanda atau kode yang menunjuk-
59 kan pemain mana saja yang menerima uang dari Duggan""
Bob menggelengkan kepala.
"Aku mulai bisa menyusun teori," kata Jupe. "Aku telah menemukan sebuah pola. Hanya pemain-pemain yang lebih muda yang memperoleh uang suap, yang lebih tua tidak. Aku rasa ini karena Duggan masih baru di Shoremont. Salah seorang peserta mata kuliah gulat memberitahuku bahwa dia baru dua tahun melatih di sini. Berarti dia belum lama menarik pemain-pemain berbakat. Jadi, hanya pemain-pemain yang lebih muda-yang ditarik Duggan-yang menerima bayaran."
"Oke," ujar Bob. "Tapi ini tidak bisa dijadikan bukti bahwa Duggan yang bertanggung jawab, bukan""
"Yeah," Jupe mengakui. "Buktinya kurang kuat untuk meyakinkan Mr. Harper."
"Jangan khawatir, Jupe. Pasti ada peluang untuk mendapatkan bukti yang kita perlukan. Sampai sekarang selalu begitu, kan""
"Kita tidak bisa menunggu sampai ada peluang. Kita harus menciptakan peluang," kata Jupe. "Ayo, aku ingin lihat kantor Duggan."
Jupe berdiri dan hendak pergi, tapi pada saat bersamaan sebuah sosok menghambur keluar dari ruang ganti. Sosok itu mengenakan kostum burung nuri berwarna hijau, ungu, dan putih, yang tampak kedodoran. Penampilannya begitu menggelikan sehingga Jupe langsung duduk lagi.
Bentrok Di Kali Serang 1 Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An Pawang Jenazah 2
Trio Detektif Bintang Bola Basket Megan Stine & H. William Stine
Jupe otaknya. Pete jagoannya. Dan Bob yang paling tenang. Bertiga mereka dapat membongkar segala tindak kriminal di Rocky Beach, California.
Tapi, bisakah mereka mengungkapkan siapa yang menyuap atlet-atlet perguruan tinggi- tanpa mengandalkan data yang tak lengkap"
Kasus ini memerlukan penanganan cepat!
Daftar Isi 1. Kemenangan Selalu Menguntungkan
2. Mimpi Menjadi Kenyataan
3. Kesimpulan Awal 4. Kelly Menyusun Siasat 5. Bercucuran Keringat 6. Menunggu Peluang 7. Maskot Berani Mati 8. Bergelimang Uang 9. Kena Getahnya 10. Tuan Kantong Tebal 11. Sebuah Peringatan 12. Perkembangan Negatif 13. Foul Perorangan 14. Berkat Bantuan Pers 15. Permainan Telah Berakhir
16. PPB 1. Kemenangan Selalu Menguntungkan
BUNYI itu menyerupai gemuruh gempa bumi. Tetapi asalnya bukan dari dalam perut bumi, melainkan dari entakan kaki, entakan ratusan pasang kaki, yang membentur lantai di tribun penonton secara berbarengan. Kemudian seruan-seruan mulai membahana, semakin lama semakin cepat.
"Pertahanan! Pertahanan! Pertahanan!"
Pete Crenshaw berdiri di tengah lapangan. Napasnya tersengal-sengal, dan telinganya pekak karena kebisingan di sekitarnya. Pertandingan basket selalu menegangkan, tapi yang ini berbeda. Kedudukannya imbang, para pemain diliputi ketegangan, dan Pete tahu bahwa pelatihnya mengandalkan dirinya untuk mencegah regu Santa Monica menambah angka.
NGUUUNG! "Time-out-Rocky Beach!" si komentator pertandingan berkata lewat pengeras suara.
Pete dan para pemain lain mengelilingi Coach Tong, pelatih basket Rocky Beach
7 High School. Coach Tong menatap mata semua anggota timnya-terutama Pete.
Dengan tinggi 182,5 sentimeter dan berat badan 95 kilogram. Pete termasuk kecil untuk ukuran pemain basket. Ia tahu bahwa Coach Tong telah mengambil risiko dengan menempatkannya sebagai pemain jaga inti. Tetapi Pete memang berbakat, dan kini ia merupakan salah seorang pemain terbaik dalam timnya.
"Waktu tinggal dua puluh detik," kata si pelatih. Cepat-cepat ia menggambarkan sebuah diagram pertahanan pada papan pencatat seukuran buku catatan, lalu menghapusnya dengan lengan baju hangatnya. "Nah, apa yang akan kalian lakukan""
"Menang!" kelima pemain berseru serentak, saling menepuk tangan, dan kembali ke lapangan.
Sejenak, sebelum regu Santa Monica kembali, Pete memperhatikan rombongan cheerleader Rocky Beach. Mereka melompat-lompat, bersorak-sorai, dan mengajak para penonton untuk ikut memberikan semangat pada tim mereka. Cheerleader yang paling cantik menatap lurus ke arah Pete, sambil menyibakkan rambutnya yang cokelat dan lembut dari wajahnya. Kemudian ia tiba-tiba melemparkan ciuman jarak jauh.
Aduh, pikir Pete. Memalukan sekali!
Gadis itu Kelly Madigan. Ia dan Pete sudah berpacaran selama beberapa bulan, dan Pete tidak pernah bisa meramalkan apa yang akan
8 dikatakan atau diperbuat oleh Kelly. Mungkin justru karena itulah Pete begitu menyukainya.
"Hei, seseorang sedang berusaha menarik perhatianmu," ujar Bill Konkey, pemain jaga kedua dalam tim Pete.
"Yeah. Aku lihat ciuman jarak jauhnya." Pete tersipu-sipu.
"Jupiter Jones memberimu ciuman jarak jauh"" tanya Bill.
"Jupe ada di sini-di pertandingan basket"" Pete berkata sambil terheran-heran.
Mata Pete mengikuti jari Bill yang menunjuk ke arah tribun, sampai ia menemukan dua wajah yang amat dikenalnya. Kedua wajah itu milik Jupiter Jones dan Bob Andrews. Pete, Jupe, dan Bob sudah bersahabat sejak entah kapan. Mereka bertiga adalah Trio Detektif, trio penyelidik terkenal dari Rocky Beach.
Pete tidak mempercayai pandangannya. Jupiter Jones menonton pertandingan baket- dan berpegangan tangan dengan seorang gadis! Bukan sembarang gadis, tapi Amanda Blythe- salah satu gadis tercantik di sekolah mereka!
Ini merupakan berita besar, sebab Jupiter Jones adalah ahli dalam segala bidang, kecuali dalam dua hal-berdiet dan gadis-gadis cantik. Ia tidak pernah beruntung dengan keduanya. Tetapi sekarang ia duduk sambil menggenggam tangan Amanda Blythe dan tersenyum lebar. Diam-diam ia melambaikan tangannya yang satu lagi ke arah Pete.
Di sam ping Jupe duduk Bob Andrews, yang mendapat nilai A dalam bidang yang paling
9 tidak dikuasai Jupe. Bob tahu segala sesuatu mengenai cara menangani gadis-gadis cantik. Ketika mengganti kacamatanya dengan lensa kontak beberapa tahun lalu, ia seakan-akan juga mendapat kepribadian baru. Sejak itu Bob termasuk sepuluh murid paling populer di Rocky Beach High School.
Suara mendengung dari pengeras suara di atas papan pencatat nilai membuyarkan lamunan Pete.
"Waktu tinggal dua puluh detik," si komentator kembali berkata. "Kedudukan masih imbang, 70-70. Rocky Beach memegang bola."
Bill Konkey segera mengoper bola kepada Harold Dixon, yang bermain sebagai penyerang. Oke, tenang saja, kata Pete pada dirinya sendiri. Tinggal lima belas detik lagi. Tiba-tiba para penonton terdengar mengerang. Terry Nolan, pemain andalan regu Santa Monica, berhasil mencuri bola.
Nolan langsung berlari ke arah basket. Ia akan mencetak angka yang menentukan-dengan pertandingan yang hanya tersisa sepuluh detik lagi!
Pete melompat sepersekian detik sebelum Nolan menembakkan bola. Perhitungannya tepat. Pete berhasil menepis bola pada saat bolanya mulai terlepas dari tangan Nolan.
Bolanya memantul di lantai, dan kemudian Pete menguasainya. Para penonton berteriak Pete berlari ke ujung lapangan yang berlawanan.
Lima detik! Pete tahu bahwa semua pemain
10 Santa Monica sedang mengejarnya, tapi dengan tenang ia melompat tinggi untuk melakukan lay-up. Masuk! Dua angka, dan kemudian bel tanda akhir pertandingan berbunyi.
"Skor 72 lawan 70!" seru komentator. "Rocky Beach keluar sebagai pemenang!"
Musik mulai mengalun dan rombongan cheerleader berlari memasuki lapangan. Mereka bersorak-sorai dan menari-nari ketika para pemain berlari masuk ke ruang ganti.
"Tembakan maut!" ujar Bill Konkey, sambil menepuk punggung Pete. Pete mengangguk dan tersenyum. Ia membelitkan handuk pada tengkuknya yang basah kuyup. Kemudian ia membiarkan rekan-rekan yang lain melewatinya. Ia lelah sekali-bahkan terlalu lelah untuk berdiri di bawah pancuran air dingin yang bisa menyegarkan dirinya.
"Pete," seseorang memanggil.
Pete membalik dan melihat seorang pria yang tak dikenalnya berdiri di lorong di luar ruang ganti. Orang itu berusia empat puluhan dan bertubuh tegap. Ia mengenakan jaket ungu, dengan huruf "S" bergaya kuno pada sisi kiri. Matanya yang biru menatap Pete dari bawah topi pet berwarna sama dengan jaketnya.
"Pete, bisa bicara sebentar"" tanya pria itu.
Dia bukan orang California, pikir Pete. Naluri detektifnya langsung mulai bekerja. Pria itu berbicara dengan logat Boston. Perlahan-lahan Pete menghampirinya.
"Ross Duggan," pria itu memperkenalkan
11 diri sambil berjabatan tangan dengan Pete. "Saya pelatih basket di Shoremont College. Kau pernah mendengar tentang kami"" "Tentu," jawab Pete. "Kampus Shoremont kira-kira lima belas menit dari Rocky Beach. Musim kompetisi yang lalu Anda mengalahkan UCLA."
"Betul, itulah kami," balas Coach Duggan. "Begini, seorang kenalan menganjurkan saya untuk menonton permainanmu, dan karena itulah saya ada di sini. Terus terang, saya sangat puas dengan apa yang saya lihat malam ini, dan saya ingin mengusulkan sesuatu padamu. Daftarkan dirimu sebagai mahasiswa di Shoremont, dan saya akan mengusahakan agar kau memperoleh beasiswa penuh-semuanya akan ditanggung. Kau akan bermain sebagai mahasiswa tingkat pertama. Kami memang bukan sekolah terbesar, tapi setelah empat tahun di bawah bimbingan saya, Pete, saya jamin kau berpeluang untuk main dalam liga NBA-National Basketball Association."
Pete menarik handuk dan menggosok-gosok rambutnya yang berwarna cokelat kemerah-merahan. Apa ia tidak salah dengar" Pria itu muncul entah dari mana dan menawarkan beasiswa penuh untuk bermain basket dalam tim perguruan tinggi" Pete tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Pikirkan saja dulu," ujar Coach Duggan, lalu menyerahkan sehelai kartu nama. "Sekarang saja permainanmu sudah bagus, Pete. Saya bisa membantumu untuk menjadi pemain yang
12 lebih hebat lagi, dan kau bisa membantu saya untuk mengangkat prestasi tim saya. Oke, dalam waktu dekat kita akan berbincan
g-bincang lagi." Si pelatih berbalik dan melangkah pergi.
"Orang yang penuh percaya diri," sebuah suara berkata dari belakang Pete. "Kelihatannya dia orang yang terbiasa mendapatkan segala yang diinginkannya."
Pete langsung mengenali suara itu. Ia menoleh dan melihat Jupiter Jones. Bob Andrews berdiri di samping sahabatnya itu.
Dengan tinggi badan 172 senti, Jupe merupakan anggota Trio Detektif yang paling pendek. Ia mengenakan jeans biru tua yang masih baru-padahal semua murid di sekolah mereka memakai jeans stonewashed yang sudah belel. Ia juga memakai T-shirt yang terlalu sempit, dengan tulisan I EAT-THEREFORE I AM. Perutnya yang buncit membuktikan bahwa ia berpegang teguh pada semboyan itu. Seperti biasa, rambutnya yang hitam dan lurus tampak acak-acakan.
Bob, sebaliknya, berpenampilan trendy, kaus polo berwarna merah, yang cocok sekali dengan kulitnya yang kecokelatan dan rambutnya yang pirang, jeans belel, dan sepatu pantofel tanpa kaus kaki.
"Jupe," kata Pete sambil melihat berkeliling, "mana Amanda Blythe" Aku hampir kena serangan jantung tadi, waktu aku melihatmu di sebelah dia di tribun."
Jupe berdehem. "Aku memutuskan dia bu-
13 kan tipeku," ia berkata sambil pasang tampang cemberut.
"Hah"" tanya Pete. "Sejak kapan""
"Sebenarnya Amanda hanya mau membuat Carl Thames cemburu," Bob menjelaskan. "Dan karena Cari murid paling bodoh di sekolah, Amanda pikir cara terbaik adalah dengan mendekati murid paling pandai."
"Oh," ujar Pete, lalu ketawa. "Bagaimana, berhasil""
"Melebihi dugaan semula," jawab Jupe. Sambil meringis ia memegangi perutnya.
"Masih untung cuma perutmu yang dihajar Carl," Bob berkomentar. "Kupikir dia akan mencopot kepalamu dan memakainya untuk bermain boling."
Jupe mendesah dan mengalihkan pembicaraan. "Siapa pria berjaket ungu tadi""
"Coach Duggan, pelatih basket di Shoremont College."
"Dia pasti ke sini untuk memuji permainanmu yang luar biasa. Kau benar-benar hebat tadi," kata Bob, sambil melepaskan tembakan lompat tanpa bola. "Kau yang memenangkan pertandingan, dan kau sempat mempermalukan Terry Nolan dengan gebrakanmu itu."
Sambil tersenyum Pete mengenang detik-detik terakhir dalam pertandingan yang baru berlalu. "Yeah, lumayan juga, ya! Eh, kalian siap mendengar berita ini" Coach Duggan baru saja menawarkan beasiswa penuh kalau aku mau main untuk Shoremont College. Dia
14 bilang aku bisa main sebagai mahasiswa tingkat pertama."
"Wow!" Bob berseru. "Gila!"
Jupe menggigit bibir bawahnya sambil berpikir. "Beasiswa penuh hanya untuk main basket"" ia bertanya. "Aku memang bukan ahli dalam bidang olahraga, tapi aku tahu satu hal: jika satu sekolah menganggap permainanmu sedemikian hebat, Pete, sekolah-sekolah lain juga akan berpendapat begitu. Kusarankan agar kau tidak terburu-buru mengambil ke-putusan."
"Sekolah-sekolah lain"" Pete mengulangi. "Jupe, otakku tak sanggup mencerna semuanya ini. Aku mau mandi dulu, dan habis itu mau pergi dengan Kelly. Sampai besok, oke""
Seorang diri di ruang ganti, dengan sekujur tubuh tersiram air dingin, Pete mengingat-ingat pertandingan yang berhasil mereka menangkan. Ia juga memikirkan ucapan Jupe. Tim-tim lain bakal tertarik padanya" Berapa banyak" Lima" Sepuluh" Bagaimana kalau sampai terjadi perang tawar-menawar untuk memperebutkan Pete Crenshaw, si superstar bola basket"
Setelah kering, segar, dan berpakaian, Pete meninggalkan ruang ganti.
"Pete!" panggil Kelly Madigan. Ia bergegas mendekat dan melingkarkan kedua lengannya pada leher Pete.
"Hei, Sayang," ujar Pete sambil memeluk pacarnya.
"Kau tahu betapa hebatnya kau tadi, Pete"
15 Pada skala satu sampai sepuluh, kau mendapat nilai dua puluh!"
Pete tersenyum. "Ayo, Kelly. Kita jalan-jalan naik mobil. Ada sesuatu yang perlu kuceritakan padamu."
Pete ingin duduk di belakang kemudi, sebab di situlah ia selalu paling bahagia-di sekitar mobil. Kalau ia tidak sedang memecahkan misteri-misteri bersama Jupe dan Bob, Pete sering membeli mobil tua, memperbaikinya, lalu menjualnya kembali, biasanya dengan keuntungan yang lumayan besar.
Dalam perjalanan menuju lapangan parkir, Pete bercerita mengenai pelatih perguruan
tinggi yang mendatanginya seusai pertandingan. Ia baru selesai bercerita ketika mereka sampai di mobilnya yang terakhir, sebuah Cadillac Fleetwood berusia dua puluh tahun. Kelly menjulukinya si Perahu. Cadillac tua itu memang memerlukan segala macam perbaikan, tapi Pete belum punya uang. Ia membeli mobil itu dengan perjanjian "jika bisa menyalakan mesinnya, kau boleh membawanya pergi", dan hanya membayar tujuh ratus dolar.
Pete membukakan pintu untuk Kelly-bukan karena ia ingin bersikap sopan, melainkan karena hanya ia sendiri yang cukup kuat membuka pintu itu. Ketika ia menyelinap ke balik kemudi, Kelly menyerahkan sebuah amplop padanya.
"Hei, apa ini" Ulang tahunku bukan hari ini, Sayang," kata Pete.
16 Kelly menggelengkan kepala. "Aku menemukannya di atas jok."
Pete menyalakan lampu dalam, dan mengamati amplop itu. Amplop itu belum ada waktu ia datang sebelum pertandingan.
Pada bagian depannya tertulis PETE CRENSHAW dengan huruf-huruf besar. Pete menyobek salah satu ujungnya, lalu mengeluarkan isinya.
"Hah"" Pete dan Kelly sama-sama membelalakkan mata.
Lembaran-lembaran uang seratus dolar berhamburan keluar. Banyak sekali. Sementara Kelly mengumpulkan uang itu dan mulai menghitung, Pete membaca pesan yang jatuh ke pangkuannya. Pesan itu demikian:
Shoremont membutuhkanmu. Kalau mau bermain untuk Shoremont, kau akan mendapat imbalan yang melebihi semua mimpimu. Ini baru permulaan saja.
"Pete," ujar Kelly. Wajahnya tampak bingung dan agak ngeri. "Jumlahnya tiga ribu dolar!"
17 2. Mimpi Menjadi Kenyataan
SELAMA beberapa saat Pete dan Kelly duduk membisu di dalam Cadillac tua milik Pete. Mereka menatap uang tiga ribu dolar di tangan Kelly. Semuanya lembaran seratus dolar baru.
"Apa artinya ini"" Kelly akhirnya bertanya.
Sebagai jawaban, Pete menyalakan mesin mobilnya.
"Mau ke mana kita"" tanya Kelly.
"Aku harus memberitahu Jupe dan Bob," jawab Pete. Ia menginjak pedal gas sampai mengenai lantai mobil, dan sesaat kemudian si Perahu tiba-tiba maju dan sambil tersendat-sendat meninggalkan lapangan parkir.
Jupiter Jones tinggal bersama Paman Titus dan Bibi Mathilda di sebuah rumah yang berseberangan dengan tempat penampungan barang bekas milik mereka. Di salah satu sisi pekarangan yang luas ada sebuah karavan tua, yang beberapa tahun lalu diambil alih oleh Jupe dan dijadikan markas Trio Detektif. Kini, setelah ketiga anggota Trio Detektif du-
18 duk di bangku high school, mereka biasanya bertemu di bengkel elektronik Jupe, yang bersebelahan dengan karavan itu. Bob menjulukinya laboratorium Dr. Frankenstein, sebab di tempat itulah Jupe memberi kehidupan baru pada peralatan-peralatan elektronik yang telah mengembuskan napas terakhir.
Pete menggunakan remote-control untuk membuka gerbang besi di bagian depan pekarangan. Mobil tuanya menggelinding masuk dan berhenti tersendat-sendat. Mesinnya mati diiringi serangan batuk mendadak.
Pete dan Kelly membuka pintu bengkel, dan menemukan Bob duduk di kursi sambil mendengarkan musik mengentak-entak dan membaca majalah Billboard edisi terbaru. Jupe sedang sibuk di meja kerjanya.
"Hei! Coba dengarkan ini!" Bob berseru ketika melihat Pete dan Kelly. "Inilah band baru yang mungkin akan kutangani!" Bob pegawai Rock-Plus, perusahaan pemandu bakat milik Sax Sendler. Ia bekerja part-time, seusai sekolah dan pada akhir pekan. "Bagaimana pendapat kalian"" tanya Bob, sambil mengangguk ke arah pengeras suara.
Tapi sebelum Pete sempat menjawab, Jupe telanjur mematikan tape recorder. "Kedatangan mereka bukan untuk mendengarkan musik. Pasti ada sebab lain."
"Dari mana kau tahu"" tanya Kelly.
"Sebab Pete masuk sambil menggenggam tanganmu, sesuatu yang tidak biasa dilakukannya di sini, di kantor. Dan dari buku jarinya
19 yang kelihatan memutih, aku tahu dia menggenggam tanganmu dengan erat."
"Belakangan ini Jupe mendadak ahli dalam urusan berpegangan tangan." Bob berkelakar.
Pete tersenyum. Ia sudah merasa lebih lega. Jupe selalu bisa memecahkan setiap masalah. "Hei, coba lihat ini!" ujar Pete sambil melemparkan amplop, pesan yang ditulis dengan mesin tik, berikut uangnya ke atas meja.
Perhatian Bob da n Jupe segera tertuju pada uang itu.
"Wow!" Bob bersiul perlahan, sementara Jupe menjatuhkan obeng kecil yang sedang digenggamnya. Ia meraih pesan di atas meja itu, dan mengangkatnya sambil menjepit salah satu sudutnya.
"Sayang sekali kalian tidak memastikan apakah ada sidik jari sebelum kalian membuka amplop," ia berkata.
Kelly ketawa. "Jupe, hanya kau yang mungkin mencari sidik jari pada sebuah amplop yang belum dibuka."
Jupe tidak ketawa. Ia malah mengangkat pesan itu ke hadapan lampu, lalu memeriksa tanda air pada kertasnya.
"Kalian sadar apa saja yang bisa kulakukan dengan uang tiga ribu dolar ini"" tanya Pete. Ia mulai berjalan mondar-mandir. "Aku bisa memperbaiki mobilku dan mengembalikannya ke dalam kondisi seperti baru. Suspensi belakangnya sudah tak keruan, aku perlu meng-gerinda katup-katup..."
"Pete!" Kelly memotong sambil mendorong
20 pacarnya. "Ini uang suap! Kau tidak boleh menerimanya."
"Hei, aku tahu, Sayang," balas Pete. "Tapi tak ada yang bisa menghukumku karena aku memikirkan segala kemungkinan."
"Busyet," kata Bob. "Aku sering membaca berita tentang skandal penyuapan untuk menarik pelajar-pelajar berbakat olahraga ke perguruan tinggi tertentu, tapi aku tak menyangka kita akan mengalaminya di sini, di Rocky Beach, California."
"Menurutmu bagaimana, Jupe"" tanya Pete. "Ini pasti ulah Coach Duggan dari Shoremont, heh" Bayangkan saja, tiba-tiba dia mendatangiku dan berkata, 'Bergabunglah dengan tim saya,' dan dua puluh menit kemudian mobilku telah berubah menjadi mesin uang."
Jupe mengembalikan pesan itu ke atas meja. "Apakah Coach Duggan menyinggung soal memberi atau meninggalkan uang untukmu" Apakah dia kelihatan seperti orang yang ingin menyerahkan sejumlah uang padamu""
"Tidak, dan tidak."
"Kalau begitu, kita tidak bisa menyimpulkan uang suap ini berasal dari dia," Jupe berkata sambil mengangkat bahu. "Dia hanya menawarkan beasiswa padamu, dan itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku."
"Jadi apa langkah kita selanjutnya" Menghubungi NCAA"" tanya Bob.
"Tidak, Senin besok kita akan melaporkan usaha penyuapan ini kepada pimpinan Shoremont College," jawab Jupe. "Dan setelah itu,
21 kita tawarkan jasa untuk menyelidiki kasus ini. Pemberian uang kepada atlet-atlet memang tidak melanggar hukum, tapi perbuatan itu tidak etis dan sama sekali tak sesuai dengan peraturan NCAA. Aku jamin pimpinan Shore-mont College pasti ingin membongkar urusan ini sampai tuntas."
"Oke! Sepertinya kita mendapat kasus baru," ujar Pete.
"Yeah," Bob menimpali "Tapi ada satu masalah."
"Jangan bilang dulu," kata Jupe cepat-cepat. "Senin besok kau tidak bisa ikut, betul""
"Betul. Senin besok adalah awal liburan musim panas," balas Bob. "Tidak ada sekolah selama dua minggu. Karena itu Sax minta agar aku masuk kantor setiap hari. Tapi kalian tahu, kan, aku ikut mendukung""
"Yeah, dalam bentuk dorongan moril," Jupe mendesah,
*** Senin pagi Pete dan Jupe naik mobil ke Shoremont College, yang terletak sekitar dua mil di luar Rocky Beach. Kampusnya kecil, menyenangkan, dikelilingi pepohonan. Pete sengaja mengenakan jaket merah-kuningnya, jaket kebanggaan Rocky Beach High School. Menurutnya jaket itu membuktikan bahwa ia betul-betul pemain basket high school. Jupe
22 memakai T-shirt Plato, yang menampilkan wajah filsuf terkemuka itu pada dadanya.
Pete memarkir si Perahu di depan gedung administrasi, sebuah bangunan bata merah berlantai tiga. Bersama Jupe ia lalu menggunakan lift untuk mencapai tingkat paling atas.
"Ada yang bisa saya bantu"" petugas penerima tamu bertanya. Ia seorang wanita berambut kelabu, dengan kacamata bertengger di atas kepala.
"Kami ingin bertemu dengan pimpinan perguruan tinggi ini," Jupe menjelaskan. "Masalahnya sangat mendesak." Kalau mau Jupe bisa tampil dengan gaya yang sangat dewasa.
Si penerima tamu menghubungi atasannya lewat interkom, kemudian mengantarkan Jupe dan Pete ke sebuah ruang kerja, yang kedua sisinya dibatasi oleh jendela-jendela berukuran besar. Seorang pria menduduki pojok meja eksekutif yang mengilap. Usianya sekitar tiga puluh tahun, termasuk muda untuk pimpinan sebuah perguruan tinggi.
Ia memakai kemeja dan dasi, tapi sebagai pengganti jas, ia mengenakan sweter besar yang nyaman.
"Halo," ia menyapa. Sambil tersenyum lebar ia menghampiri Jupe dan Pete untuk berjabatan tangan. "Saya Chuck Harper. Bagaimana saya bisa membantu kalian""
Jupe meraih ke dalam dompet dan menyerahkan kartu namanya pada Harper.
"Trio Detektif"" Harper membaca. "Saya hanya melihat dua orang di sini. Tapi baiklah,
23 siapa kalian ini-sebuah grup rock" Maaf, saya menangani hampir segala sesuatu di sini, tapi saya tidak menyewa pemain musik."
Jupe berdehem. "Mr. Harper, nama saya Jupiter Jones. Ini Pete Crenshaw. Bob Andrews, rekan kami, sedang berhalangan. Kami bukan grup rock. Kami detektif."
Mr. Harper tampak kebingungan sampai Jupe menyodorkan pesan dan uang yang ditinggalkan di mobil Pete. Kemudian air muka Harper berubah menjadi sangat serius.
"Saya menemukannya di mobil saya, persis setelah saya didatangi Coach Duggan," Pete menjelaskan.
"Wah, gawat." Mr. -Harper mendesah, lalu menjatuhkan diri ke sofa besar berlapis kulit yang menghadap ke salah satu dinding kaca. Ia memandang ke luar, dan membisu untuk sesaat. "Saya sering duduk di sini sambil memperhatikan kampus saya," ia berkata kemudian, "dan saya pikir saya tahu segala sesuatu yang terjadi di bawah sana. Tapi tanpa diduga muncul masalah seperti ini." Ia kembali berdiri. "Sekarang dengar dulu, kalian tidak bisa masuk begitu saja lalu menuduh pelatih saya terlibat penyuapan. Buktikan dulu -buktikan Duggan mencoba menyuapmu."
"Kami tidak bisa membuktikannya," Jupe berkata dengan tegas, "dan kami tidak menuduh Coach Duggan. Kami bukan detektif amatiran."
"Hmm, saya takkan heran kalau memang
24 Duggan yang melakukannya," ujar Mr. Harper sambil duduk lagi.
Komentar itu sungguh mengejutkan-juga bagi Jupiter. Setelah terdiam beberapa saat, Mr. Harper melanjutkan,
"Sebenarnya-tapi ini tidak boleh keluar dari ruangan ini-memang pernah ada desas-desus bahwa di tempatnya terakhir melatih, Duggan menggunakan cara-cara ilegal untuk menahan pemain-pemain berbakat agar tetap bermain untuk timnya. Kabar burung itu tak pernah terbukti, tapi nama baik perguruan tinggi tersebut sudah sempat tercoreng. Saya sadar ahwa saya telah mengambil risiko dengan mempekerjakan Duggan, tapi semula saya percaya dia tidak bersalah. Sebagai pelatih dia istimewa."
Sekali lagi Mr. Harper memandang ke luar jendela. "Itu dia," katanya sambil menunjuk sosok dengan jaket dan topi pet ungu. Orang itu sedang melintasi salah satu jalan setapak yang melintasi kampus. "Itu Duggan."
Jupe dan Pete menghampiri jendela dan memperhatikan orang itu.
"Duggan memang punya uang untuk men-alankan rencana semacam ini," Mr. Harper meneruskan. "Duggan mendapatkan dana dalam jumlah besar, dan dia bebas menggunakannya. Mungkin saja dia membayar para pemain tanpa sepengetahuan saya. Tapi saya takkan membiarkan permainan kotor seperti itu berlangsung di Shoremont!"
25 Di bawah. Duggan menghilang dari pandangan.
"Oke," ujar Mr. Harper. "Andaikata Trio Detektif akan menyelidiki kasus ini, bagaimana kalian akan melakukannya tanpa menarik perhatian""
Jupe tidak perlu berpikir untuk menanggapi pertanyaan itu. "Kami akan menghadapi situasi ini dari dalam dan dari luar. Maksud saya, Pete akan membuka tabungan bank untuk menyimpan uang suapnya. Dan dia akan pura-pura tertarik apakah ia bakal dihubungi lagi."
"Dan dari dalam"" tanya Harper.
"Mudah." Jupe tersenyum gembira sebelum membeberkan rencananya. "Saya akan mendaftarkan diri di Shoremont, dan mengikuti kuliah bersama para pemain basket. Dengan demikian saya bisa berkenalan dengan mereka, dan mencari tahu siapa saja yang menerima uang. Mestinya tidak ada masalah. Semester musim dingin Anda baru mulai, dan sekolah saya di Rocky Beach libur dua selama minggu -jadi saya tidak perlu membolos. Mungkin saya bahkan bisa memberi les tambahan untuk beberapa pemain."
Mr. Harper menggelengkan kepala. "Terlalu berat, Jupiter. Untuk itu, kau harus menguasai materi perguruan tinggi."
Jupiter mengangkat sebelah alis.
"Mr. Harper," kata Pete, "hanya ada satu hal yang lebih bengkak dibandingkan IQ Jup
e- yaitu utang negara kita."
26 Mr. Harper tersenyum ketika menduduki kursi di balik mejanya. "Hmm, siapa tahu memang berhasil," ia bergumam. "Saya akan memberimu daftar mata kuliah yang diikuti para pemain basket, sehingga kau bisa menyesuaikan jadwalmu dengan mereka."
Jupiter mengangguk, dan Mr. Harper mengangkat gagang telepon. Ia berbicara dengan seseorang di bagian pendaftaran. "Saya akan mengirim seorang pemuda bernama Jupiter Jones ke tempat Anda," ia berkata. "Ini yang harus Anda berikan padanya."
Beberapa menit kemudian semuanya sudah beres.
"Tapi tak seorang pun boleh tahu tentang hal ini," Mr. Harper mengingatkan sambil meletakkan gagang telepon. "Dan saya tidak akan mengambil tindakan apa pun, sebelum kalian menemukan bukti kuat bahwa Duggan bersalah."
"Tentu saja," balas Jupe.
Tiba-tiba interkom di meja Mr. Harper mendengung, la mengangkat gagang telepon dan mendengarkan pesan si penerima tamu. "Tolong beritahu dia bahwa saya akan segera menemuinya, Ginny. Terima kasih."
Mr. Harper mengembalikan gagang telepon, dan mengusap-usap dagu sambil merenung. "John Hemingway Powers menunggu di luar," katanya. "Dia alumnus Shoremont, dan baru saja menyumbangkan uang yang cukup untuk membangun aula dan kompleks olahraga baru. Kalau dia sampai tahu kenapa kalian di sini,
27 kalau dia sampai curiga bahwa terjadi skandal olahraga di Shoremont, kami takkan mendapatkan sepeser pun dari dia."
"Jangan khawatir," kata Pete.
"Saya hanya ingin memastikan kalian memahami situasinya. Semuanya ini bersifat rahasia," ujar Mr. Harper. Ia kembali berjabatan tangan dengan mereka. "Silakan hubungi saya kalau kalian memerlukan sesuatu. Tapi jangan datang ke kantor saya lagi-penyamaran kalian bisa terbongkar. Dan sebaiknya sekarang kalian keluar lewat pintu belakang saja."
Jupe dan Pete menyelinap keluar, menuruni tangga, lalu menuju kantor pendaftaran di lantai pertama.
"Ini seperti mimpi yang jadi kenyataan," kata Jupe dengan wajah berseri-seri.
"Yeah, kasus ini memang menarik," Pete berkomentar.
"Bukan kasusnya yang kumaksud," balas Jupe. "Aku akan masuk perguruan tinggi!"
28 3. Kesimpulan Awal KETIKA Jupe sampai di kantor pendaftaran, ia berpaling pada Pete dan menatapnya dengan pandangan "kenapa kau ada di sini".
"Sebaiknya kita berpencar saja," Jupe mendesis.
"Berpencar""
Jupe mengerutkan kening. "Pete," ia berkata sambil berusaha untuk tidak menoleh ke arah sahabatnya itu, "aku akan menyamar sebagai mahasiswa perguruan tinggi. Tapi kau pelajar high school Orang lain tidak boleh tahu kita saling mengenal. Jadi silakan menyingkir, oke""
"Yeah, oke, tuan besar kepala. Tapi kau tidak berpikir ke depan, Jupe. Kalau aku pergi, bagaimana caranya kau pulang nanti" Kau tidak punya mobil."
"Aku tahu itu," balas Jupe. "Tapi sekarang aku sudah menjadi mahasiswa. Kami sudah terbiasa untuk mandiri dan memecahkan semua persoalan tanpa bantuan orang lain. Nanti malam aku menunggumu di markas untuk
29 melaporkan perkembangan di sini-kecuali kalau aku terlalu banyak pekerjaan rumah."
"Kau satu-satunya orang yang kukenal, yang membicarakan pekerjaan rumah sambil tersenyum," kata Pete. Ia menggelengkan kepala. "Sampai nanti."
Jupe menunggu sampai Pete tidak kelihatan lagi sebelum memasuki kantor pendaftaran. Beberapa menit kemudian ia telah mendapatkan segala yang diperlukannya untuk menjadi mahasiswa Shoremont, yaitu buku panduan mahasiswa, kartu identitas mahasiswa, serta peta kampus yang dibuat tanpa skala sehingga justru membingungkan. Tetapi ada satu hal lagi-sesuatu yang tidak dimiliki oleh mahasiswa mana pun di Shoremont: sebuah printout komputer berisi semua mata kuliah yang diikuti para pemain basket.
Jupe keluar dari kantor pendaftaran dan segera membaca printout itu. Ia melingkari semua mata kuliah yang perlu diikutinya. Sebagian besar tidak terlalu berat-Pengenalan Panahan, Psikologi Keluarga, Sejarah Pertelevisian. Kelihatannya para pemain basket tidak suka memeras otak, Jupe berkata dalam hati. Hmm, sebaiknya aku mulai dari mana"
Jam di puncak menara di tengah-tengah kampus menunjukkan pukul satu. Jupe kembali memeriksa daftarnya. Walt
Klinglesmith, seorang pemain jaga dalam tim Shoremont, mengambil kuliah Kimia 101 di Mars Hall, salah satu gedung ilmu alam. Nah, itu mata kuliah yang sesuai dengan minat Jupe.
30 Kampus mulai ramai dengan mahasiswa-mahasiswa yang berpindah dari satu gedung ke gedung lain. Ada yang berjalan kaki, ada juga yang naik sepeda. Rupanya saat pergantian mata kuliah. Jupe harus buru-buru.
Ia mencegat mahasiswa pertama yang melewatinya. "Permisi, di mana Mars Hall"" Jupe bertanya. "Aku harus segera ke sana."
"Mars Hall"" pemuda di hadapannya membalas. "Gedung ilmu alam" Tempat orang-orang sinting yang mau membuat lebih banyak bom" Sori, bukan bidangku, man" Dan ia berlalu dengan cepat.
Menyesuaikan diri dengan suasana kampus rupanya lebih sulit dari yang kuduga, pikir Jupe. Ia mengeluarkan peta kampus, dan berharap menemukan gedung yang tepat.
Mars Hall ternyata sebuah bangunan batu yang sudah tua, berbeda dengan gedung administrasi yang serba modern. Jupe menyusuri lorong-lorong gelap yang diterangi dengan sistem penerangan kuno sampai ia tiba di depan Ruang 377. Ruang itu merupakan laboratorium kimia berisi deretan meja lab, semuanya dilengkapi bak cuci, alat pemanas Bunsen, bahan-bahan kimia, dan puluhan tabung reaksi. Sekitar empat puluh mahasiswa duduk di balik meja masing-masing, sambil menunggu kedatangan profesor mereka.
Dengan waswas Jupe melangkah masuk. Ia membayangkan salah seorang mahasiswa berdiri dan menudingnya, "Hei! Ada anak high school kesasar!" Namun tak seorang pun ber-
31 diri. Tak ada yang berseru. Bahkan tak ada yang memperhatikannya.
Ia menyusuri tepi ruangan, sambil berlagak mencari tempat kosong. Tapi sebenarnya ia sengaja berkeliling untuk menemukan mahasiswa yang bernama Walt Klinglesmith.
Dia pemain basket, ujar Jupe dalam hati. Berarti dia seharusnya orang paling jangkung di sini.
Tapi teori itu kandas begitu saja. Orang paling jangkung di dalam lab ternyata seorang gadis. Tingginya sekitar 195 senti. Sepatu botnya yang terbuat dari kulit hitam hampir sama tingginya dengan Jupe.
Oke, sekarang bagaimana" Musim kompetisi bola basket sudah hampir berakhir, pikir Jupe. Sebagai pemain jaga, Walt mungkin mengalami cedera kecil.
Sekali lagi Jupe melihat berkeliling, dan bingo! Itu dia. Jupe mengambil tempat di samping seorang pemuda dengan pergelangan tangan terbalut.
Di hadapan pemuda itu ada buku catatan bersampul kulit, dan di sudut sampulnya terlihat inisial W.K. tertulis dengan huruf emas. Walt Klinglesmith. Sebuah bolpoin Mont Blanc yang supermahal tergeletak di atas buku catatan.
Kesimpulan: Walt banyak uang. Dari mana asalnya" Dari kantong Coach Duggan"
Trio Detektif 55 Bintang Bola Basket di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suasana di dalam laboratorium mendadak hening. Sang profesor telah datang. Seorang pria berambut putih menghampiri papan tulis
32 dan mulai menuliskan beberapa kata: MAKANAN ANJING, DAUN SELADA, CUKA, SABUN...
Jupe mengamati daftar itu. Semua butir yang dicantumkan pasti mengandung satu unsur kimia yang sama, tapi Jupe tidak bisa menebak apa. Belajar di perguruan tinggi ternyata lebih sukar dari yang dibayangkannya.
"Profesor Wevans," salah seorang mahasiswa berkata kebingungan.
Profesor tertawa dan membalik untuk menghadapi murid-muridnya. "Bukan, ini bukan kuis mengenai unsur-unsur kimia. Ini titipan istri saya yang harus saya beli dalam perjalanan pulang nanti malam. Saya terpaksa menuliskan semuanya sebelum lupa."
Seluruh kelas tertawa, dan Profesor menuliskan beberapa persamaan kimia. Kemudian ia mulai memanggil nama-nama para mahasiswa.
Tenang saja, Jupe berkata dalam hati. Tenang saja, dan jangan tonjolkan diri. Sebenarnya ia bisa menjawab pertanyaan Profesor, tapi ia tidak ingin menarik perhatian. Jika ia tidak mengangkat tangan, kemungkinan besar takkan ada yang memperhatikannya...
"Salah, Mr. Fankel. Salah sama sekali," Profesor Wevans sedang berkata. "Masa tak seorang pun dari kalian yang bisa menyelesaikan persamaan ini""
Jupe tak sanggup menahan diri lebih lama. Ia mengacungkan tangan dan menyerukan jawaban yang benar.
"Terima kasih," ujar Profesor. "Itu jawaban
33 paling menggembirakan yang saya dengar dalam waktu lama." Sesaat ia men
atap Jupe sambil membisu, lalu berkata, "Maaf, apakah Saudara tidak salah masuk ruang kelas" Seingat saya, saya belum pernah melihat Saudara di sini."
Aduh, pikir Jupe Belum apa-apa samaranku sudah terbongkar.
"Ehm, begini," ia tergagap-gagap. "Saya sering terlambat bangun sehingga tidak bisa mengikuti kuliah Bapak."
"Terlambat bangun"" si profesor mengulangi. "Kuliah saya mulai jam satu siang. Siapa nama Saudara""
"Jones. Jupiter Jones."
"Hmm, nama Saudara termasuk nama yang sukar dilupakan, Mr. Jupiter Jones," kata Profesor Wevans. "Saya sarankan agar Saudara membeli beker yang bersuara lebih keras."
"Baik, Pak," ujar Jupe.
"Mr. Klinglesmith, tolong selesaikan soal berikutnya," Profesor melanjutkan.
"Ehm, tentu," jawab Walt. Ia memelototi soal di papan tulis. Dan Jupe mengamati wajah Walt.
Aku tahu ekspresi itu, pikir Jupe. Sudah jutaan kali aku melihatnya. Panik, bingung, putus asa. Dia tidak tahu jawabannya, dan inilah kesempatanku untuk berkenalan dengannya.
Tanpa berkedip Jupe meraih bolpoin Walt yang mahal. Dengan tenang ia menuliskan -2 pada secarik kertas.
34 Walt berdehem. "Ehm, minus dua," katanya.
Bagus," Profesor Wevans memuji sebelum beralih ke topik berikutnya.
Seusai kuliah, Jupe keluar laboratorium satu langkah di depan Walt. Di lorong, ia mengeluarkan kertas bertulisan -2 dan menyerahkannya kepada si pemain basket.
"Nih, sebagai kenang-kenangan," Jupe menawarkan.
Walt ketawa. "Yeah, terima kasih," ia berkata sambil tersenyum. "Dan terima kasih atas bantuanmu tadi. Sebenarnya aku bisa menemukan jawabannya, tapi pikiranku selalu mendadak beku kalau seorang profesor memanggilku."
Jupe mengedip-ngedipkan mata. Walt menyodorkan bolpoin Mont Blanc sambil jalan.
"Ambil saja," desaknya.
"Ya, tapi...," Jupe mulai memprotes
"Aku masih punya banyak," Walt memotong sambil tersipu-sipu.
Menarik, pikir Jupe. Tetapi ia berusaha untuk tidak memperlihatkannya.
"Eh, Walt," Jupe berkata sambil lalu. "Kimia sebenarnya sangat logis. Barangkali aku bisa membimbingmu untuk menguasai dasar-dasarnya."
"Sebagai tutor, maksudmu"" tanya Walt. "Hei, ide bagus! Masalahnya, aku tidak banyak waktu. Tapi barangkali kita bisa menyelipkannya setelah latihan basket."
"Tapi aku terpaksa menarik bayaran," ujar
35 Jupe. "Dan seorang tutor dengan kualifikasi seperti aku tidak murah."
"Jangan khawatir, kawan. Berapa saja yang kauminta, uang tak jadi masalah bagiku. Oke""
Walt mengulurkan tangan untuk bersalaman. Pada jari manisnya melingkar sebuah cincin perak berukuran besar, dengan tulisan Walt dari emas murni.
Jupe berjabatan tangan. Bukan uangmu yang kuincar, Walt, pikir Jupe sambil tersenyum. Aku ingin tahu dari mana kau memperolehnya. Dan kau punya waktu dua ming-gu untuk menceritakannya padaku!
36 4. Kelly Menyusun Siasat GAGANG telepon diangkat pada deringan pertama. "Trio Detektif. Anda bicara dengan Pete Crenshaw."
"Pete," Jupe berkata pelan-pelan.
"Jupe" Jupe, di mana kau" Sekarang sudah jam enam. Kelly dan aku sudah satu jam menunggu di markas. Kami hampir mati kelaparan."
"Aku di toko buku di kampus Shoremont. Tapi bus ke Rocky Beach baru datang sejam lagi. Kalau menunggu terus, aku perlu dua jam sebelum sampai ke rumah." Jupe berusaha agar suaranya terdengar biasa-biasa saja.
"Oh, jadi kau baru tiba jam delapan," Pete menanggapinya. "Oke. Terima kasih 'atas pemberitahuannya."
"Pete, jangan tutup dulu!" ujar Jupe. "Baiklah, aku berterus terang. Aku perlu dijemput. Kalau tidak, aku terdampar di sini sepanjang malam."
"Tapi, Jupe," balas Pete, "kau kan sudah mahasiswa sekarang. Aku' cuma murid high
37 school. Kau sendiri yang bilang kita sebaiknya jangan kelihatan bersama-sama. Kau bilang akan menangani masalah-masalahmu sendiri, dan menemukan pemecahan gemilang tanpa bantuan orang lain."
Jupe mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai. "Well, itulah pemecahan yang kudapatkan," katanya. "Kau datang ke sini menjemputku. Oke""
"Jupe, yang kauperlukan adalah mobil sendiri," ujar Pete bersungguh-sungguh.
Ucapan itu membuat Jupe benar-benar uring-uringan. Tak ada yang lebih diinginkannya selain mobil-terutama sejak kedua mobilnya terdahulu h
ancur berantakan-dan Pete tahu itu.
"Pete," Jupe berkata dengan kesal, "kalau kau tidak segera ke sini menjemputku, aku takkan menceritakan kemajuan yang kuper-oleh!"
"Ada berita baik""
"Kasus penyuapan ini lebih pelik, jauh lebih pelik daripada yang kita duga. Hanya ini yang akan kukatakan sampai kau muncul di sini."
"Aku berangkat sekarang juga," jawab Pete.
*** Tak sampai sejam kemudian Pete dan Jupe sudah kembali ke markas Trio Detektif. Jupe mengenakan kaus Shoremont College, yang dibelinya di toko buku ketika menunggu Pete.
38 Dalam perjalanan pulang, sekadar untuk membalas dendam, Jupe tidak bercerita apa-apa mengenai kasus mereka. Beberapa menit setelah mereka tiba, Kelly datang naik mobil. Ia membawa dua kotak berisi pizza
"Apakah Pete sudah memberitahumu bagaimana pizza yang kuinginkan"" tanya Jupe.
"Sudah, Jupe," kata Kelly. "Pizza berukuran mini dalam kotak pizza berukuran besar. Apa sih pengaruhnya""
"Ini dietnya yang terbaru," Pete menjelaskan sambil meraih satu irisan dari pizza berukuran besar yang dibaginya bersama Kelly.
"Jupe, kau masih ingat berapa banyak diet aneh yang sudah pernah kaucoba""
"Untuk mendapat jawaban yang pasti, aku perlu berkonsultasi dulu dengan komputerku. Tapi kalau tidak salah, jumlahnya sekitar dua puluh," ujar Jupe.
"Hmm, ini yang paling aneh," Pete berkomentar.
"Diet ini yang paling logis," balas Jupe. "Namanya Diet Setengah Porsi. Kau boleh makan apa saja, tapi hanya setengah porsi." Jupe meraih sepotong pizza, membelahnya menjadi dua, dan meletakkan satu belahan ke atas piringnya. Setelah menghabiskan belahan itu, ia membelah potongan kedua, lalu mulai makan lagi.
"Aku tak kuat melihatnya," kata Kelly.
"Yeah, Jupe. Ini tidak masuk akal," Pete pun sependapat. "Kau sudah menghabiskan
39 dua belahan, kan" Kenapa kau tidak makan satu potong utuh saja""
"Psikologi," jawab Jupe. "Kau takkan mengerti."
"Oke, Jupe," Pete berkata di antara dua gigitan. "Bagaimana kemajuan di Shoremont hari ini""
"Aku menjadi pembimbing kimia untuk salah seorang pemain basket Shoremont-Walt Klinglesmith," Jupe bercerita. "Aku mendapat kesan dia bergelimang uang."
Pete dan Kelly mengangguk.
"Setelah kimia, aku mengikuti dua mata kuliah membosankan, dengan harapan bertemu dua pemain lagi. Tapi rupanya keduanya membolos. Kemudian aku pergi ke gedung olahraga untuk menyaksikan latihan tim Shoremont, tapi ternyata mereka tidak ada di sana. Yang ada hanya rombongan cheerleader."
"Terus, apa kata mereka"" tanya Kelly.
"Tidak banyak," jawab Jupe sambil tersipu-sipu. Ia tampak agak gelisah.
"Maksudnya, Jupe tidak tahu apa yang harus dikatakannya pada mereka," Pete menjelaskan. "Jadi dia pergi lagi."
"Itu tidak benar," kata Jupe sambil menatap pizza di hadapannya. "Aku hanya menyimpulkan para cheerleader takkan tahu banyak, dan aku harus memfokuskan perhatianku pada para pemain."
"Para cheerleader takkan tahu banyak"" Kelly melompat berdiri. "Hidup Jupiter Jones!
40 Siapa yang tahu lebih banyak tentang sebuah tim olahraga selain para cheerleader" Kaupikir kami hanya bisa melompat-lompat sambil bersorak-sorai" Enak saja! Kami mengamati setiap gerakan yang terjadi di lapangan. Kami membuat para penonton tetap tertarik pada pertandingan. Kami beramah-tamah dengan para pemain. Dan beberapa cheerleader bahkan berkencan dengan para pemain, terutama kalau mereka tampan dan gagah." Kelly nyengir lebar dan memeluk Pete.
Jupe bertanya-tanya apakah wajah Pete menjadi merah karena malu, atau karena peredaran darahnya terhambat akibat dipeluk terlalu keras oleh Kelly. "Baiklah, kalau kau memang ahli dalam hal ini, ehm, barangkali kau bisa memberi beberapa saran bagaimana caranya memulai percakapan dengan para cheerleader" kata Jupe.
"Tentu saja bisa," jawab Kelly. "Pertama-tama, kau harus memikat mereka. Pada umumnya, para cheerleader suka disanjung. Kau tahu kan apa yang dimaksud dengan sanjungan, Jupe""
"Aku bukan anak sekolah dasar," ujar Jupe tak sabar.
"Bagus," kata Kelly. Ia duduk sambil menunggu. "Ayo, silakan."
Pete dan Jupe terbengong-bengong. "Silakan apa"" tanya Pete.
"Silakan sanjung aku, Jupe," balas Kelly. "Lat
ihan." "Oke, ehm.-Jupe menggosokkan kedua ta-
41 ngan pada celana jeans-nya. "Ehm... Eh, Kelly, kau sekarang sudah tidak begitu sok mengatur seperti dulu."
"Benar-benar tanpa harapan!" Kelly mendesah sambil melirik ke arah Pete. "Sayang sekali aku akan pergi main ski besok."
"Main ski"" Jupe memotong. "Bagaimana kau bisa pergi main ski sementara tim basket Rocky Beach akan bertanding dalam liburan ini" Kau kapten regu cheerleader. Bukankah kau wajib hadir""
"Untuk apa aku punya wakil"" kata Kelly. "Kau lebih memerlukan aku daripada reguku."
Jupe menatapnya dengan ragu-ragu. "Oke, Kelly, apa cara yang paling ampuh untuk... ehm... memikat cheerleader""
"Kau harus merayu mereka," Kelly menjelaskan. "Beri pujian untuk lompatan mereka, katakan segala gerak-gerik mereka membuatmu berdebar-debar-hal-hal seperti itulah. Setelah itu mereka akan menceritakan apa saja yang ingin kauketahui. Oh, yang ini juga bagus! Katakan kau merasa seakan-akan mereka hanya menatap ke arahmu."
"Hei!" Pete berseru. "Itu yang kaukatakan padaku! Kau bilang kau merasa aku menoleh ke arahmu setiap kali aku mengambil lemparan bebas."
Kelly tersenyum simpul. "Nah, Jupe. Kaulihat sendiri kan bagaimana hasilnya""
*** 42 Keesokan paginya Jupe mengikuti kuliah, dan pada sore harinya ia pergi ke gedung olahraga. Ia membuka pintu dan segera melihat bahwa tim basket tidak ada lagi. Tapi para cheerleader hadir-lima orang-dengan seragam berupa rok mini dan sweter ungu-putih.
Hmm, kata Jupe dalam hati, mungkin Kelly memang benar. Barangkali ia bisa mengorek keterangan dari mereka. Ia menyelinap masuk, dan mengambil tempat duduk di tepi lapangan. Para cheerleader tengah berlatih, sehingga mereka tidak mengetahui kehadirannya.
"Ayo, Walt! Ayo, Cory! Sikat mereka sampai grogi! Maju Marty, Matt, dan Tim! Lawan kalian sudah pusing! Hore, Shoremont, hore!"
Pengarangnya pasti bukan mahasiswa jurusan sastra, Jupe berkata dalam hati. Kemudian ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghampiri dan menyapa para cheerleader. Tapi dalam sekejap saja ia sudah bermandikan keringat dingin. Untung saja para cheerleader sudah menghentikan latihan mereka, lalu mulai mengobrol. Jupe tinggal menguping saja.
"Hei, jangan sembarangan!" salah seorang dari mereka berseru. Rambutnya yang panjang dan gelap dibuntut kuda. "Kalian pikir aku kencan dengan Cory Brand hanya karena Corvette dan condo-nya""
43 "Ya!" keempat rekannya menjawab.
"Oke, apakah kalian bisa memikirkan alasan yang lebih baik"" balas gadis pertama sambil ketawa.
Radar Jupe langsung siap siaga. Inilah yang dicarinya-gosip mengenai para pemain basket! Cory Brand adalah salah satu dari mereka, dan rupanya ia memiliki mobil sport dan apartemen mewah.
"Hei, sedang apa kau di sini"" Tiba-tiba seorang cheerleader berambut merah melihat ke arah Jupe. Gadis itu berdiri sambil bertolak pinggang.
Jupe menelan ludah. Jangan panik, ia berusaha menenangkan diri sendiri. Tetap tenang, dan coba mengorek informasi sebanyak mungkin. Kau sudah puluhan kali menanyai orang dalam kasus-kasus sebelum ini, dan mestinya kali ini juga tidak terlalu sulit. Pokoknya, ingat saran-saran Kelly.
Ia berdiri, lalu perlahan-lahan menghampiri para cheerleader. Ketika mendekat, Jupe melihat bahwa nama-nama mereka tersulam pada sweter masing-masing.
"Ehm... Nora," Jupe berkata pada si rambut merah. "Waktu kalian sedang latihan, aku merasa seakan-akan kalian hanya melihat ke arahku."
"Memang," balas Nora. "Soalnya tak ada siapa-siapa di sini selain kau."
Wah, betul juga, pikir Jupe. Bodoh betul! "Ehm, maksudku..." Jupe tergagap-gagap,
44 "tatapan kalian luar biasa. Rasanya quasi-hypnotic."
"Wow, kalian dengar itu-quasi-hypnotic" Kapan terakhir kali seseorang menyebut kita quasi-hypnotic"" ujar seorang gadis cerewet yang mengenakan sweater bertulisan CATHY.
"Aku tahu siapa kau," kata gadis yang bernama Pat. "Kau Jupiter Jones. Aku melihatmu di kelas Pengenalan Shakespeare tadi pagi. Eh, kalian tahu apa yang dilakukannya" Dia menyitir sajak karangan Shakespeare di luar kepala."
"Sebenarnya itu sebuah soneta," Jupe meralat.
"Apa pun namanya, yang jelas caramu
membawakannya indah sekali," kata Pat sambil tersenyum lebar.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau ada di sini"" tanya Nora. Dari sikapnya kelihatan jelas bahwa dialah pemimpin regu cheerleader ini.
"Latihan kami tertutup untuk umum," ujar gadis berbuntut kuda yang berkencan dengan Cory. Pada sweternya tertulis nama JERRI.
"Well," kata Jupe sambil melirik jam tangannya. Ia tidak mungkin berterus terang sedang melakukan penyelidikan. "Aku ada janji untuk bertemu seseorang di sini. Tapi kelihatannya dia tidak datang. Maaf kalau aku mengganggu latihan kalian."
"Tidak apa-apa," jawab anggota regu cheerleader yang paling pendek-seorang gadis mungil dengan tinggi 150 senti, bermata biru, dan berambut hitam. Ia tersenyum malu-malu. Ber-
45 dasarkan logatnya, Jupe menyimpulkan bahwa ia berasal dari daerah Selatan. Nama yang tercantum pada sweternya adalah SARAH.
Jupe bergegas keluar. Sebenarnya ia berharap bisa tinggal lebih lama, untuk mengorek lebih banyak informasi. Selain itu, ia juga ingin berbincang-bincang lebih lama dengan Sarah. Gadis itu persis seperti yang diidam-idamkannya selama ini. Tetapi berbicara dengan gadis-gadis cantik merupakan sesuatu yang berada di luar kemampuan Jupe. Bagi Jupe, menghadapi penjahat-penjahat terasa jauh lebih mudah.
"Oke, kita mulai dari awal lagi," Jupe mendengar salah seorang dari mereka berkata ketika ia menuju ke pintu. "Dan jangan lupa- usahakan agar tatapan kalian terasa quasi-hypnotic."
Semenit kemudian Jupe sedang melintasi kampus untuk sekali lagi memakai telepon umum di dalam toko buku. Sambil berjalan, ia mengingat-ingat apa saja yang baru didengarnya.
Jerri berkencan dengan Cory Brand karena Cory memiliki uang, apartemen mewah, dan mobil sport. Apakah ini berarti bahwa Cory menerima uang suap" Pat sama-sama mengikuti kuliah mengenai Shakespeare. Mestinya tidak terlalu sulit untuk berbicara lagi dengannya. Sarah... cantik luar biasa, mungil, rambut gelap, mata biru, senyum menawan...
Jupe masih memikirkan Sarah ketika sampai di telepon umum. Ia memasukkan seke-
ping uang dan memutar nomor telepon kantor Bob.
"Bob, kau bisa dengar aku"" Jupe bertanya sewaktu sahabatnya menyahut.
"Sax sedang mendengarkan rekaman percobaan grup baru-dengan volume penuh!" Bob berseru. "Sudah ada kemajuan dengan kasus kita""
Suara Bob nyaris tenggelam dalam ingar-bingar musik heavy metal di latar belakang.
"Kelihatannya Duggan sibuk membagi-bagikan uang ke kiri-kanan!" ujar Jupe setengah berteriak. "Beberapa pemain bahkan punya mobil sport dan apartemen mewah."
"Masa" Siapa yang memberitahumu""
"Para cheerleader"
"Apa"!" Bob harus berteriak untuk mengalahkan kebisingan di sekitarnya.
"Kubilang," kata Jupe dengan lebih keras, hampir semua cheerleader di sini ramah sekali. Dan kurasa aku bisa mendapat keterangan lebih banyak dari salah seorang dari mereka. Namanya Pat. Dia mengingatku dari kelas Shakespeare yang sama-sama kami ikuti."
"Jupe, aku tidak bisa mendengarmu," kata Bob. "Telepon aku nanti malam." Dan kemudian ia meletakkan telepon.
Brengsek! umpat Jupe dalam hati.
Tiba-tiba sepasang tangan berukuran besar mencengkeram bahu Jupe dari belakang.
"Kalau aku sudah selesai denganmu," seseorang mengancam, "kau bakal bisa masuk ke kaleng sarden!"
47 5. Bercucuran Keringat SEMUA indra Jupe mendadak siap siaga. Jantungnya berdetak kencang, dadanya berdebar-debar. Tiba-tiba kedua tangan besar itu membalikkan tubuh Jupe dengan keras. Ia nyaris terangkat dari lantai. Kemudian kedua tangan itu mulai meremas leher Jupe.
Jupe hendak melawan. Tapi nalurinya mengatakan bahwa jika melawan ia bakal dicekik. Ia mendongakkan kepala agar bisa melihat wajah penyerangnya.
Wajah yang besar dan garang itu milik Marty Lauffer, si pemain tengah tim basket Shoremont. Rambutnya yang pirang dan berminyak dipotong pendek sekali.
"Ini pasti suatu kekeliruan," Jupe berkata sambil terengah-engah. Ia nyaris tidak bisa bernapas.
"Yeah-kekeliruan di pihakmu," balas Marty. Sejenak ia tersenyum mengejek, dan memperlihatkan sederetan gigi yang berantakan.
Tenaga Marty luar biasa. Cengkeraman tangannya perlahan-lahan mencekik Jupe. Jupe
48 melayangkan pukulan liar, yang mendarat telak di perut Marty. Tapi Marty tak bergeming sama sekali.
"Kudengar pembicaraanmu lewat telepon. Kudengar semua yang kaukatakan!" Marty membentak sambil mengguncang-guncangkan Jupe.
Celaka, pikir Jupe. Wajahnya menjadi merah padam karena kekurangan oksigen. Ia mulai beringat dingin. Marty akan membunuhku karena aku membongkar skandal uang suap.
Marty ketawa dan kembali menyentak-nyentakkan Jupe. "Kau akan merasa sakit selama setahun," ia berkata sambil mengepalkan tangan, siap memukul.
Jupe tak sanggup menahan diri. Ia memejamkan mata dan berteriak.
"Marty, berhenti!" seseorang tiba-tiba memerintah dengan tegas.
Marty segera melepaskan cengkeramannya, lalu mendorong Jupe ke belakang. Jupe merosot ke lantai, dan menarik napas dalam-dalam.
Perintah yang menyelamatkan Jupe berasal dari seorang pria yang berdiri di belakang si pemain basket. Ketika Marty melangkah ke samping, Jupe melihat bahwa orang itu Coach Duggan. Si pelatih segera menyelinap di antara Jupe dan Marty.
"Anak muda, jika kau bersikap agresif di lapangan, saya mendukungmu seribu persen. Tapi kalau ini caramu untuk membuktikan pada dunia bahwa kau seorang jagoan, kau
49 bukan hanya mempermalukan dirimu sendiri, kau juga mempermalukan seluruh tim, dan saya."
Suara Duggan bernada keras, dan Jupe menyadari bahwa kata-kata itu langsung berpengaruh. Marty menundukkan kepala dan menatap lantai toko buku.
"Ada apa sebenarnya"" si pelatih bertanya.
"Saya mendengar dia bicara lewat telepon." Marty menggeram sambil memelototi Jupe. "Dia bicara... ehm... dia bicara tentang pacar saya."
Pacar" pikir Jupe. Pat pacar Marty" Benarkah itu" Atau Marty hanya ingin menutup-nutupi masalah uang suap"
Sebelum Jupe sempat menarik napas untuk menjawab, Marty sudah komat-kamit minta maaf, lalu kabur. Ia menghilang di balik kerumunan mahasiswa yang menyaksikan kejadian di telepon umum itu.
Jupe dan Coach Duggan bertatapan.
"Dia cepat naik darah," si pelatih berkata.
"Yeah, saya sudah menyadari hal itu. Anda pasti repot sekali menghadapinya," jawab Jupe dengan suara serak. Ia menyelipkan T-shirt-nya ke dalam celana.
"Dia bakal sadar sendiri... dengan imbalan yang tepat," ujar Coach Duggan. "Ngomong-ngomong, sepertinya teleponmu tadi cukup penting. Kau bicara dengan seorang gadis""
"Sebenarnya sih tidak," jawab Jupe.
"Ah, kau bicara mengenai seorang gadis""
Jupe mengangguk malu-malu.
50 "Telepon lagi," kata si pelatih, seakan-akan memberi perintah
Sekarang" Di depan dia" pikir Jupe. No way!
"Saya kehabisan uang receh," ia berbohong.
"Ah." Coach Duggan merogoh kantong celana training ungunya, dan mengeluarkan sekeping uang logam. "Telepon dia," ia berkata sambil meletakkan keping itu ke tangan Jupe. "Jangan biarkan masalah sepele seperti uang menghalang-halangi keinginanmu."
Jupe memperhatikan Coach Duggan melangkah pergi. Orang itu mudah sekali membagi-bagikan uangnya. Berapa banyak dari pembicaraan Jupe yang sempat didengarnya" Jupe bahkan menyebut nama Duggan tadi.
Kini Jupe benar-benar cemas. Ia harus bersikap lebih hati-hati. Kalau tidak, samarannya akan terbongkar sebelum kasus itu diusut sampai tuntas.
*** Keesokan harinya, Rabu, jadwal kuliah Jupe berat sekali. Mulai pukul delapan pagi sampai pukul satu siang, ia mengikuti lima mata kuliah pendidikan jasmani yang berbeda-beda. Masing-masing juga diikuti oleh paling tidak seorang pemain basket yang hendak diamatinya. Angkat berat, boling, senam prestasi, atletik, gulat-latihannya benar-benar melelahkan. Bagian yang paling memprihatinkan adalah
51 bahwa peserta mata kuliah bersangkutan hanya terdiri atas pemuda-pemuda tampan-dan semuanya dalam kondisi puncak! Otot dada, perut, biseps, dan triseps-setiap otot terbentuk dengan sempurna. Dibandingkan dengan para peserta lain, Jupe kelihatan seperti karung beras.
Menjelang akhir mata kuliah kelima, Jupe telah belajar banyak. Pertama, sebaiknya ia tidak mengikuti lebih dari dua mata kuliah pendidikan jasmani per hari-biarpun dalam rangka mencari petunjuk untuk sebuah kasus. Ia juga telah mengetahui bahwa tidak semua pemain basket bergelimang ua
ng. Beberapa di antara mereka kelihatan kaya raya, tapi ada juga yang biasa-biasa saja. Jupe memutuskan untuk memusatkan perhatian pada pemain-pemain yang paling ramah dan mudah diajak bicara.
Pukul dua, ia memaksakan diri untuk mengikuti mata kuliah olahraga keenam. Mata kuliah itu berrtama Bicara Bersemangat. Nama itu mengusik rasa ingin tahu Jupe. Tapi yang lebih penting, mata kuliah itu memberinya kesempatan untuk bertemu dua pemain basket lagi-Cory Brand dan Matt Douglass. Berdasarkan keterangan yang diperoleh Jupe dari para pemain lain, mereka berdualah yang paling patut diamati secara lebih saksama.
Jupe tiba di ruang kelas, lalu menarik napas dalam-dalam-sekaligus menarik perutnya ke dalam agar kelihatan lebih kecil. Kemudian ia memasuki ruangan dengan penuh percaya diri.
52 Ia duduk di salah satu kursi di baris paling belakang.
Pemuda yang duduk di sampingnya bertubuh tegap dan berwajah tampan. Warna rambutnya menyerupai warna pasir. Ia mengenakan jeans belel, serta T-shirt hitam yang menempel ketat pada dadanya. Kacamatanya berbentuk bulat, dengan bingkai gelap. "Beres"" ia bertanya.
"Seribu persen," Jupe mengulangi istilah yang semalam digunakan oleh Coach Duggan.
"Kau baru di kelas ini""
"Yeah. Aku pindah dari sekolah lain," kata Jupe sambil tersenyum simpul.
"Matt Douglass," pemuda di sebelahnya memperkenalkan diri. "Apa olahragamu""
"Jupiter Jones. Aku pemain curling. Kau main basket""
"Dan tenis," Matt menambahkan.
Sepertinya dia cukup ramah, pikir Jupe. Coba lihat bagaimana sikapnya di bawah lampu sorot. "Aku dengar para pemain basket di sini gemar berpesta."
"Kami berusaha menikmati hidup," ujar Matt.
"Pesta liar di apartemenmu" Semua orang bilang pesta-pesta di tempatmu paling sip."
"Bukan di tempatku. Aku cuma mengontrak kamar kecil di dekat kampus. Mungkin Cory yang kaumaksud." Matt mengangguk ke arah Cory Brand-seorang pemuda jangkung, tegap, dan tampan yang duduk beberapa kursi dari mereka.
Tampaknya Cory Brand menjalani kehi-
53 dupan yang menjadi impian setiap remaja Amerika-apartemen mewah, mobil sport, gadis-gadis cantik. Jupe sangat tertarik, tetapi ia belum selesai dengan Matt.
"Kau ikut ke Tijuana pada liburan musim semi nanti" Ada yang bilang anak-anak Shoremont biasa berlibur di sana," ujar Jupe.
"Tidak. Pada liburan nanti aku pegang dua pekerjaan. Aku perlu cari uang untuk membayar uang kuliah semester berikut," Matt menjelaskan.
Bagus, pikir Jupe. Paling tidak ia telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Tapi jawaban Matt betul-betul di luar dugaan. Jupe kini telah mengumpulkan keterangan mengenai empat pemain inti dalam tim basket Shoremont. Walt Klinglesmith, Mr. Bolpoin Mont Blanc, rupanya banyak uang. Cory Brand, menurut para cheerleader dan rekan-rekannya, punya uang dan terkenal sebagai tukang pesta tanpa tandingan. Marty Lauffer merupakan orang yang menyebalkan, titik. Jupe tidak sempat menanyakan tabungan Marty di bank ketika ia dicekik oleh Marty. Dan sekarang ia bertemu Matt, yang kelihatannya tidak menerima uang suap. Ada pemain yang berenang dalam uang, ada juga yang tidak. Bagaimana polanya"
Jupe mulai memutar otak untuk mencari jawaban. Matt dan Marty sama-sama mahasiswa tingkat empat... Tim, pemain inti kelima, mahasiswa tingkat tiga... Cory dan Walt baru memasuki tahun kedua. Dalam hati, Jupe
54 mengingat-ingat semua pemain lain yang sempat ditemuinya. Kelihatannya hanya pemain-pemain muda yang menerima uang suap. Pola itu sepertinya tidak masuk akal, tapi tetap patut diusut lebih jauh. Jupe melirik ke arah Cory Brand. Ya, ia harus berbicara dengan dia-seusai kuliah.
Sesaat kemudian dosen mereka memasuki ruangan dan meletakkan tas kerjanya di meja. Orangnya tampan, dengan rambut lurus gelap, dan kondisi fisiknya prima-mungkin ia juga bekas atlet.
"Selamat sore, para hadirin! Anda kembali bergabung dengan Bicara Bersemangat! Saya instruktur Anda, Al Windsor!" Setiap kata diucapkannya dengan lantang dan sepertinya terlalu dibuat-buat.
Kenapa dia bicara begitu keras" Kenapa dia berusaha agar setiap ucapannya terdengar penting dan penuh semangat" Tiba-tiba Jupe menyad
ari apa yang diajarkan dalam mata kuliah ini. Semua peserta dilatih untuk menjadi penyiar olahraga, sebagai persiapan menghadapi masa seusai karier olahraga masing-masing.
"Ruang kelas berada dalam kondisi sempurna," Al Windsor mengumumkan. "Dan para pemain berada pada puncak masa latihan. Karena itu, saya percaya kuliah hari ini akan berlangsung seru, sesuai harapan Anda setiap kali Anda memasuki ruangan ini."
Pada saat Al Windsor selesai mengajar, Jupe merasa lelah akibat segala luapan se-
55 mangat itu. Ia menggoyangkan kepala untuk mengusir rasa pening, kemudian bergegas keluar dan menyusul Cory Brand. "Cory!" panggil Jupe.
Pemuda yang jangkung dan tegap itu menoleh ke belakang. Rambutnya yang pirang dipotong begitu pendek sehingga kulit kepalanya tampak berkilau-kilau terkena cahaya matahari.
"Temanku bilang kau orang yang harus kutemui jika aku ingin bergabung dengan Klub Vette," ujar Jupe.
"Sori, aku tidak tahu apa-apa tentang perkumpulan veteran. Aku pemain basket," balas Cory.
Ia kembali berjalan. Jupe terpaksa mengejarnya.
"Maksudku, Klub Cor-vette," kata Jupe.
"Hei, kau juga punya Corvette""
"Ehm... model 72, kondisi seperti baru, nol sampai seratus dalam lima detik, dan kau bisa merasakan setiap gelombang pada permukaan jalan," Jupe berkata sambil berusaha mengingat semua cerita tentang Chevrolet Corvette yang pernah didengarnya dari Pete.
"Yeah," Cory menanggapinya. "Dan kalau kau menginjak pedal gas sampai ke lantai, suaranya benar-benar menggelegar! Mana mobilmu" Di tempat parkir""
"Ehm... bukan. Aku meninggalkannya di rumah-di Alaska."
"Oh, rupanya kau ikut program pertukaran
56 mahasiswa asing, ya"" tanya Cory. "Ayo, kutunjukkan mobil kebanggaanku."
Sambil berjalan ke lapangan parkir di seberang kampus, Jupe mencoba mengorek keterangan dari Cory, tapi tanpa hasil. Cory memang bicara tanpa henti, tapi tak sekali pun menyinggung sesuatu yang patut didengarkan. Akhirnya Jupe terpaksa nekat dengan mengajukan pertanyaan yang menjurus.
"Cory, apakah Coach Duggan termasuk orang yang dermawan" Maksudku, apakah dia pernah memberimu sesuatu""
"Hmm, Coach Duggan pernah memberi nasihat gratis padaku. Dia bilang, aku sebaiknya ambil mata kuliah Bicara Bersemangat," ujar Cory sambil membuka pintu Corvette-nya.
Secara kebetulan Jupe melihat jam Rolex di pergelangan tangan Cory. "Oh, sial, aku terlambat nih. Aku punya janji jam tiga."
"Biar kuantar saja," Cory Brand menawarkan. "Hei, aku baru ingat. Ada satu hal lagi yang pernah Coach Duggan berikan padaku."
Jupe langsung berharap-harap. Mungkinkah Cory Brand akan mengaku Coach Duggan yang memberinya Corvette itu"
"Yeah, Coach Duggan pernah memberiku tumpangan, waktu 'Vette-ku masuk bengkel."
Trio Detektif 55 Bintang Bola Basket di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jupe hanya bisa menggerutu kecewa.
57 6. Menunggu Peluang PUKUL empat kurang seperempat Jupe bergegas memasuki gedung olahraga Shoremont untuk mencari Bob. Hari itu keduanya akan berusaha habis-habisan untuk belajar lebih banyak tentang Coach Duggan. Jupe berharap bahwa Bob sudah mulai dengan penyelidikan-nya-misalnya membongkar arsip di kantor Coach Duggan, atau menanyai salah seorang pemain.
Tetapi ketika Jupe muncul di gedung olahraga, ia menemukan Bob sedang menekuni kegiatan yang paling digemarinya belakangan ini-mengobrol dengan gadis-gadis cantik. Bob duduk di tribun sambil berbincang-bincang dengan para cheerleader.
"Hei, Jupe," kata Bob.
"Hei, lihat tuh! Jupiter Jones datang lagi!" salah satu cheerleader memekik. Yang lainnya segera menoleh ke arah Jupe, lalu ketawa cekikikan.
"Aku terlambat," Jupe berkata pada Bob. "Aku belum bosan kok," balas Bob. Ia me-
58 lemparkan senyum kepada gadis-gadis yang mengelilinginya, dan mereka membalas dengan cara yang sama.
Kemudian para cheerleader mulai latihan, sementara Jupe dan Bob naik ke puncak tribun.
"Aku ingin melihat-lihat kantor Duggan," Jupe menjelaskan rencananya. "Kurasa kau belum sempat pergi ke sana, kan""
"Siapa bilang," jawab Bob. "Waktu aku mencarimu, aku salah belok dan kesasar ke kantor Duggan. Aku sempat mengobrol dengan sekretarisnya-mahasiswi tingkat empat yang pirang dan cantik, dia bekerja part-time. Kantor Du
ggan cukup sibuk-teleponnya berdering terus, dan selalu ada orang keluar-masuk-jadi aku tidak mendapat banyak. Tapi ada satu hal yang menarik. Setiap minggu Duggan menyusun daftar berisi nama-nama pemain high school yang hendak ia tarik ke Shoremont. Semuanya ada dalam komputer di ruang kerja pribadinya. Aku sempat melihat daftar itu, dan coba tebak nama siapa yang berada di urutan paling atas""
"Namaku"" Jupe bertanya dengan sinis.
"Nama Pete. Duggan betul-betul ingin agar Pete bermain untuk Shoremont," ujar Bob.
"Kalau begitu, kenapa dia belum menghubungi Pete lagi sejak Jumat lalu""
"Entahlah," balas Bob sambil mengangkat bahu.
"Ini penting, Bob. Apakah kau melihat catatan atau tanda atau kode yang menunjuk-
59 kan pemain mana saja yang menerima uang dari Duggan""
Bob menggelengkan kepala.
"Aku mulai bisa menyusun teori," kata Jupe. "Aku telah menemukan sebuah pola. Hanya pemain-pemain yang lebih muda yang memperoleh uang suap, yang lebih tua tidak. Aku rasa ini karena Duggan masih baru di Shoremont. Salah seorang peserta mata kuliah gulat memberitahuku bahwa dia baru dua tahun melatih di sini. Berarti dia belum lama menarik pemain-pemain berbakat. Jadi, hanya pemain-pemain yang lebih muda-yang ditarik Duggan-yang menerima bayaran."
"Oke," ujar Bob. "Tapi ini tidak bisa dijadikan bukti bahwa Duggan yang bertanggung jawab, bukan""
"Yeah," Jupe mengakui. "Buktinya kurang kuat untuk meyakinkan Mr. Harper."
"Jangan khawatir, Jupe. Pasti ada peluang untuk mendapatkan bukti yang kita perlukan. Sampai sekarang selalu begitu, kan""
"Kita tidak bisa menunggu sampai ada peluang. Kita harus menciptakan peluang," kata Jupe. "Ayo, aku ingin lihat kantor Duggan."
Jupe berdiri dan hendak pergi, tapi pada saat bersamaan sebuah sosok menghambur keluar dari ruang ganti. Sosok itu mengenakan kostum burung nuri berwarna hijau, ungu, dan putih, yang tampak kedodoran. Penampilannya begitu menggelikan sehingga Jupe langsung duduk lagi.
Bentrok Di Kali Serang 1 Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An Pawang Jenazah 2