Bintang Bola Basket 2
Trio Detektif 55 Bintang Bola Basket Bagian 2
"Apa itu"" ia bertanya.
60 "Aku juga tidak tahu," kata Bob. "Kelihatannya sih seperti semacam maskot konyol."
Si burung nuri memeluk para cheerleader satu per satu. Kemudian ia mulai berlari mondar-mandir, sambil melompat-lompat dan berputar-putar. Ketika para cheerleader sedang membentuk piramida manusia, si maskot melakukan salto ke belakang, tapi pendaratannya tidak sempurna.
"Aduuuh!' ia berteriak kesakitan, sambil berguling-guling dan memegangi kaki. "Kakiku! Kakiku!"
"Ya ampun!" kata Jupe. Ia melompat berdiri, dan berlari menuruni tribun sekencang mungkin.
Para cheerleader segera mengerumuni si burung nuri. Ketika Jupe dan Bob sampai di lapangan, Nora telah melepaskan kepala kostum, dan berusaha membantu pemuda malang itu berdiri.
"Kurasa kakiku patah," pemuda itu mengerang.
"Kelihatannya tidak," Jupe berkata penuh wibawa. "Menurutku, pergelangan kakimu terkilir."
"Ayo, kita bawa Steve ke ruang P3K," Cathy mengusulkan. Bersama Pat ia lalu membantu si burung nuri keluar gedung olahraga.
"Kasihan si Steve," Sarah berkomentar dengan suaranya yang merdu. Tapi ia melihat tepat ke arah Jupe ketika mengatakannya.
"Kita yang perlu dikasihani," ujar Nora. "Se-
61 karang kita tidak punya maskot untuk mendampingi kita pada waktu pertandingan. Di mana kita bisa menemukan burung nuri lain sampai besok""
"Hei, jangan cepat putus asa!" kata Bob, sambil melangkah ke tengah kerumunan. "Tenang saja. Aku yakin kawan kita ini, Jupiter Jones, akan bangga sekali kalau dia boleh menggantikan tempat Steve."
Kedua mata Jupe tampak membara ketika ia menatap Bob. "Kau sudah gila" No way!'
Bob tidak memedulikan tatapan sahabatnya yang penuh dendam. "Biar aku bicara dulu dengannya," ia berkata pada para cheerleader. Langsung saja ia menarik Jupe menjauh.
Jupe bergumam dengan kesal, "Apa-apaan kau ini, Bob" Aku tidak mau melompat-lompat dan berputar-putar seperti orang gila. Dan aku lebih baik menghadiri acara wisuda hanya berpakaian dalam daripada harus mengenakan kostum nuri ungu dan hijau, yang penuh rumbai-rumbai!"
"Hei, sabar dulu dong!" balas Bob. "Kau masih berminat memecahkan kasus ini""
"Apa hubungannya"" tanya Jupe sambil
mendongkol. "Jupe, aku kan sudah bilang kita bakal mendapat peluang. Inilah kesempatan yang kautunggu-tunggu! Penyamaran yang sempurna! Si burung nuri berlatih bersama para cheerleader dan terus mengikuti tim basket. Kurang apa lagi, coba" Mana mungkin kau menolak peluang emas seperti ini""
62 Jupe memang tidak menolak. Ia hanya berkata, "Ini pengalaman paling memalukan sepanjang hidupku."
*** Dalam perjalanan ke rumah Bob, Jupe dan Bob tidak bicara sepatah kata pun. Begitu Bob menghentikan mobilnya, Jupe melompat keluar dan langsung menuju dapur. Ia sudah mulai mengobrak-abrik lemari es, ketika Bob menyusulnya.
"Di mana kotak es krim lapis karamel"" Jupe bertanya.
"Jupe, kau sendiri yang minta agar aku menyembunyikannya."
"Oke, sekarang aku minta agar kau menunjukkan di mana kau menyembunyikannya," Jupe membalas ketus. "Aha!" Ia meraih ke sudut paling belakang, mengeluarkan kotak berisi es krim yang dicarinya, lalu memasukkan dua porsi ke oven microwave untuk mencairkan lapisan karamelnya.
"Jupe, bagaimana dengan diet setengah porsimu""
"Tak ada masalah. Aku hanya akan menghabiskan satu porsi," jawab Jupe sambil menyeringai seperti orang kesurupan. Ia menyetel pengatur waktu pada oven dan menekan tombol start.
Bob mengangkat telepon dan memencet
nomor dua pada auto-dial "Pete, ini Bob. Kau harus segera ke sini. Ada krisis mendadak!"
Sebelum oven microwave sempat melumerkan lapisan karamel di atas es krim, Pete sudah tiba di rumah Bob.
"Bagaimana caranya kau bisa begitu cepat sampai di sini"" tanya Bob, ketika Pete muncul di dapur.
"Hei, biarpun jelek si Perahu tetap bermesin V-8," jawab Pete.
"Yeah, tapi larinya seperti memakai orange juice, bukan bensin."
Pete ketawa, lalu melihat kedua porsi es krim di dalam oven. "Wah, terima kasih ba-nyak." Ketika ia sampai di meja dan meng ayunkan kaki melewati sandaran kursi, es krimnya sudah tinggal setengah. "Sebenarnya ada apa sih""
Bob menjawab, "Aku mengusulkan agar Jupe berperan sebagai maskot Shoremont pada pertandingan basket besok malam. Un tuk itu dia harus memakai kostum buri nuri."
"Bob mengatakan aku bangga. Dia mengata kan aku bangga karena boleh memakai kos-tum itu," Jupe menggerutu.
"Jupe, sebenarnya usulku tidak terlalu buruk, kan"" ujar Bob. "Kaulihat sendiri bagaimana kita diusir waktu kita berkeliaran di sekitar kantor Duggan setelah Steve mendapat kecelakaan. Tapi kalau menggantikannya sebagai burung nuri, kau punya alasan untuk terus berada di sana. Takkan ada yang menegurmu. Dan pada saat itulah kita bergerak!"
64 "Oke," kata Jupe. "Penyamaran itu mungkin akan membantu penyelidikan kita. Tapi apa yang harus kulakukan pada waktu pertandingan berlangsung" Aku tidak bisa bersalto ke depan maupun ke belakang. Aku bukan, pemain sirkus! Apakah kalian punya saran untuk mengatasi masalah ini""
"Tentu, Jupe," kata Bob dengan air muka tak berubah. "Kenapa kau tidak meniru tingkah laku burung nuri sungguhan""
"Yaitu"" "Memberi komentar-komentar konyol sambil bersolek dan berganti bulu!"
65 7. Maskot Berani Mati "SELAMAT berjumpa kembali dalam acara Mari Bicara Olahraga. Sekarang pukul 07.20, dan saya Al Windsor," si penyiar radio berkata. "Saya tunggu telepon dari Anda setelah pesan-pesan ini."
Seketika sebuah iklan terdengar pada radio mobil Pete. Bob bernyanyi mengikuti jingle itu, tapi Jupe di bangku belakang mulai menggerutu. "Al Windsor" Dia dosenku di Shoremont. Dia pegang mata kuliah Bicara Bersemangat. Daripada mendengarkan dia, lebih baik pindah ke siaran berita saja." Ia meng-gelepar-geleparkan bulu kostum burung nuri di sebelahnya.
"Jangan mengomel saja, Jupe," kata Pete. "Ini acara radio yang paling kusukai. Lagi pula sebentar lagi kita sudah sampai di Shoremont."
"Oke," ujar Al Windsor ketika suaranya kembali mengudara. "Penelepon pertama adalah Sam di Hermosa Beach. Apa kabar, Sam" Mari Bicara Olahraga."
66 "Halo, Al. Saya baik-baik saja," si penelepon menjawab. "Saya ingin bertanya mengenai pertandingan basket antara Shoremont dan Costa Verde malam ini."
"Pertandingan penting, kedua tim sama-sama dalam posisi "harus menang," Al Windsor memberikan komen
tar. "Yeah, saya tahu," kata si penelepon. "Tapi apakah Anda sempat membaca koran tadi pagi" Maksud saya, komentar Bernie Mehl- pelatih Costa Verde-mengenai Coach Duggan dari Shoremont."
"Yeah, saya baca artikel itu," Al Windsor menjawab. "Yang Anda maksud adalah ucapan Bernie Mehl, saya mengutip, 'Coach Duggan akan melakukan saja untuk menang-apa saja."
"Betul," kata si penelepon. "Nah, kira-kira apa yang dimaksudnya""
"Begini, Sam, saya tidak bisa menyusup ke dalam kepala Bernie Mehl," Al Windsor mulai menjelaskan. "Tapi saya pikir dia ingin mengungkit-ungkit gosip lama itu-gosip yang mengatakan bahwa Coach Duggan membayar para pemainnya beberapa tahun lalu. Skandal itu sempat menggemparkan Boston, tapi kebenarannya tak pernah terbukti. Di pihak lain, Duggan memang pelatih hebat. Dugaan saya, Bernie ingin memancing di air keruh. Kita lihat saja apakah dia bisa menanggung akibatnya malam ini."
Pete menepuk dashboard dengan tangan kanan, dan radionya langsung mati. "Hei, Jupe, kasus ini semakin ramai saja. Apa
67 mungkin tuduhan Bernie Mehl memang beralasan" Barangkali dia tahu lebih banyak dari yang dikatakannya""
"Entahlah," kata Jupe. "Tapi tadi siang aku sempat mencari informasi mengenai skandal di Boston itu. Berdasarkan apa yang kubaca di koran-koran lama, sepertinya memang ada seseorang yang membayar para pemain waktu itu. Masalahnya, tak ada yang bisa membuktikan bahwa Duggan orangnya. Pokoknya, kuharap kalian buka mata lebar-lebar malam ini. Siapa tahu kita akan menemukan petunjuk baru."
"Oke," ujar Pete. "Tapi aku sudah beberapa kali menonton pertandingan antara Shoremont dan Costa Verde. Setiap pertandingan merupakan ajang balas dendam, dan para pemain selalu berjuang sampai titik darah penghabisan. Sebaiknya kau berhati-hati nanti."
"Pete benar," Bob sependapat. "Pertandingan ini sebenarnya bukan pertandingan yang tepat untuk pemunculan perdanamu sebagai maskot Shoremont. Kau masih mau meneruskan rencana ini""
"Oh, sekarang kau mulai memikirkan kese-lamatanku," jawab Jupe. "Tidak, mereka menginginkan burung nuri. Dan aku sudah siap memberi pertunjukan yang takkan pernah mereka lupakan," ia menambahkan dengan misterius. "Tunggu saja."
Pete membelok ke gedung parkir tiga lantai di belakang gedung olahraga Shoremont. Ia
68 menyusuri jalur landai yang memutar sampai ke lantai teratas, dan Jupe turun dari mobil.
"Sampai nanti setelah pertandingan," kata Jupe. Ia mengepit kostum burung nuri di bawah lengannya, dan menuju lift.
Beberapa menit kemudian, di ruang ganti kecil yang khusus disediakan bagi si burung nuri, Jupe mulai bersiap-siap. Di luar, sebuah marching band sedang bermain, sementara regu cheerleader berusaha mengobarkan semangat para penonton.
"Shoremont!" pendukung-pendukung tim tuan rumah berseru dengan lantang.
"Costa Verde!" suporter-suporter tim lawan membalas tak kalah keras.
Jupe mendengarkan perang mulut yang terjadi sambil menyambungkan beberapa kabel, memasukkan baterai baru, kemudian menempelkan mikrofon mini ke leher T-shirt-nya. Setelah itu ia memakai kostumnya.
"Testing, satu, dua, tiga," Jupe berkata ke dalam mikrofon. Suaranya terdengar jelas dari speaker-speaker kecil yang tersembunyi di bawah sayap.
Akhirnya Jupe memasang kepala burung nuri. Penyamaran itu merupakan salah satu upaya paling ganjil yang pernah ia tempuh selama karier detektifnya. Tapi Jupe tidak peduli. Terlindung di balik kostumnya, ia merasa kebal ketika meninggalkan ruang ganti dan menuju lapangan pertandingan.
Begitu si burung nuri muncul, para pendukung Shoremont langsung bersorak-sorai.
69 Jupe menyadari bahwa mata mereka memandang ke arahnya. Semuanya ingin melihat si burung nuri beraksi.
Keringat mulai membasahi keningnya. Apakah rencananya akan berjalan lancar" Ia berhenti di pinggir lapangan, karena tidak yakin bagaimana harus mulai. Sementara itu, kedua tim sedang melakukan pemanasan.
Akhirnya Jupe menarik napas dalam-dalam dan berlari ke tengah lapangan. Para penonton bertepuk tangan dengan meriah.
"Hei! Hei!" Jupe berseru sambil menirukan suara parau burung nuri. "Kalian kalah! Kalian kalah!" Ia melompat-lom
pat sambil menuding para pemain Costa Verde, yang segera menghentikan pemanasan untuk mencari sumber suara itu.
"Hei! Hei!" Jupe si burung nuri berteriak dengan suara melengking. "Pulang sajalah! Kalian pasti kalah!"
Para pendukung Shoremont tertawa dan bersorak-sorai. Kemudian mereka mulai meniru teriakan Jupe.
"Pulang sajalah! Kalian pasti kalah!" Sepertinya, seluruh gedung olahraga ikut berseru.
Tim Costa Verde tampak terbengong-bengong. Kemudian salah seorang pemain mulai mengejar Jupe. Tapi Jupe terus menghindar dengan gesit, sehingga tawa para penonton semakin membahana. Akhirnya Bernie Mehl, si pelatih Costa Verde, masuk ke lapangan untuk menyuruh para pemainnya tenang dan tidak memperhatikan si burung nuri.
70 Tetapi perhatian para penonton sepenuhnya tercurah pada Jupe. Mereka menikmati tingkahnya yang konyol. Jupe semakin berani. Apa pun yang dikatakan si burung nuri, para penonton segera mengulanginya. Jupe mendapat sambutan lebih hangat daripada regu cheerleader.
Ketika pertandingan dimulai, Jupe terpaksa menyingkir ke tepi lapangan. Tapi itu tidak mencegahnya untuk terus berkomentar.
"Awas, Nomor 32! Lompatanmu mirip kera!"
Para penonton tertawa terbahak-bahak.
"Hei, Nomor 52! Lebih baik kau pulang! Nanti kau kena marah!"
Nora, si kapten regu cheerleader Shoremont, menghampiri Jupe.
"Hati-hati, Jupe," ia mewanti-wanti. "Anak-anak Costa Verde sudah mulai memelototimu!"
"Biar saja!" balas Jupe. Ia begitu bersemangat sehingga tidak bisa direm lagi. Setiap kali lemparan pemain Costa Verde meleset, Jupe langsung bangkit dan berseru, "Otak udang! Hei! Otak udang!"
Ketika pertandingan berakhir, kedudukannya 64-60 untuk kemenangan Shoremont, tapi Jupe merasa seakan-akan dialah pemenang sesungguhnya. Semua cheerleader mengerumuninya untuk mengucapkan terima kasih, dan Sarah melemparkan senyumnya yang paling menawan. Jupe seolah-olah melayang di awang-awang.
Jupe cepat-cepat berganti pakaian dan bergegas menemui Bob dan Pete di gedung parkir.
71 Ia keluar dari lift dan melihat kedua sahabatnya berdiri di samping mobil orang lain.
Pete pasti lupa di mana dia memarkir mobilnya tadi, Jupe geli dalam hati.
"Hei,- bagaimana pertunjukanku tadi"" serunya. "Kalian dengar lelucon-leluconku""
"Yeah, setiap kata!"
Jupe tersentak kaget. Mereka bukan Pete dan Bob. Mereka dua pemain Costa Verde!
Kedua pemuda itu segera menuju ke arahnya. Tak ada jalan untuk kabur-dan tak seorang pun akan mendengar teriakannya.
Salah satu penyerang menangkap Jupe, lalu menjepit kedua lengannya di belakang punggung. Kostum burung nuri jatuh ke lantai beton. Penyerang yang satu lagi memegang kepala Jupe, dan memutarnya sampai wajah Jupe menghadap ke samping. Ketika Jupe berteriak, pemuda itu menyumpal mulut Jupe dengan kaus kaki olahraga yang bekas dipakai.
Bau yang melekat pada kain katun lembap itu benar-benar minta ampun. Dan rasanya lebih buruk lagi! Jupe merasa akan tercekik atau muntah.
"Nah, bagaimana komentarmu sekarang, Betet""
Di bawah cahaya lampu gedung parkir, Jupe melihat bahwa para penyerangnya adalah Nomor 32 dan Nomor 52-dua pemain Costa Verde yang paling sering dicelanya tadi.
Jupe berusaha melawan, tapi mereka terlalu kuat. Mereka mendorong dan menariknya ke sebuah tembok rendah di tepi gedung parkir.
72 "Ayo, sekarang kau boleh sok tahu!" si Nomor 52 mengejek Jupe. Kemudian, dengan satu gerakan cepat, mereka mengangkat Jupe dan mendorongnya melewati tembok.
Tiba-tiba saja Jupe tergantung-gantung di udara, dengan kedua kakinya ditahan di atas. Jalanan berada tiga tingkat di bawahnya. Tangan Jupe memukul-mukul, tapi suara yang keluar dari mulutnya hanya berupa seruan tertahan.
Aku akan mati, pikir Jupe. Mereka akan melemparkanku ke bawah Tamatlah riwayatku. Sebentar lagi aku akan mati.
"Ayo! Kenapa kau mendadak bisu" Siapa yang jadi otak udang sekarang"" si Nomor 52 bertanya sambil ketawa.
Beberapa saat kemudian, yang terasa bagai berjam-jam, kedua pemain Costa Verde itu akhirnya menarik Jupe ke atas. Mereka membiarkannya jatuh ke lantai, dan pergi.
"Hiiiyaaaa!' Pete muncul entah dari mana. Dengan sekali gebrak ia berhasil menjatuhka
n si Nomor 52. Pemain Costa Verde yang satu lagi tersentak kaget.
Kesempatan ini segera dimanfaatkan oleh Jupe. Ia melompat ke arah si Nomor 32, lalu membabat tengkuknya dengan pukulan judo.
"Awas, di belakangmu, Pete!" seru Jupe.
Si Nomor 52 sudah berdiri lagi, dan sedang mengendap-endap mendekati Pete. Namun tiba-tiba, di luar dugaan Jupe, Bob terbang dari atap salah satu mobil, dan menerjang pemuda itu dari samping.
73 Ketika kedua pemain Costa Verde menyadari bahwa mereka harus melawan tiga orang, mereka segera memutuskan untuk kabur. Mereka berlari menuruni jalur landai, lalu menghilang.
"Kau tidak apa-apa, Jupe"" tanya Bob. Jupe berdiri membungkuk, dengan tangan meng-" genggam lutut. Napasnya tersengal-sengal.
Ia menggeleng, dan menyeka keringat pada keningnya dengan lengan baju. "Mereka hanya memuji penampilanku sebagai burung nuri."
"Ayo, kita pergi," kata Pete. sambil membantu Jupe masuk ke mobil.
Pete membuka pintu pada sisi pengemudi, dan hendak menyelinap ke balik kemudi. "Hei, lihat ini!"
Sebuah amplop tergeletak di kursinya.
"Jangan disentuh!" ujar Jupe. "Sidik jarinya."
"Aku harus tahu apa yang ada di dalamnya," jawab Pete, sambil meraih ke dalam laci. Ia mengeluarkan sepasang sarung tangan untuk membuka amplop itu.
"Lagi-lagi uang," Bob berkomentar ketika melihat lembaran-lembaran seratus dolar di tangan Pete.
"Dan sebuah pesan," Pete menambahkan. Ia membuka lipatan kertasnya, dan Jupe mem bacanya keras-keras.
Bermainlah untuk Shoremont pada musim gugur mendatang, dan kau akan menikmati imbalan yang mengiringi kemenangan.
74 8. Bergelimang Uang "AKU suka kasus ini, Jupe," kata Pete keesokan paginya, sambil menaikkan kakinya yang panjang ke meja dapur. Ia mengiris-iris sebuah pisang, dan mencampur irisan-irisan itu dengan corn flakes dalam mangkuk di hadapannya. Sebelumnya ia sudah menghabiskan dua mangkuk.
Jupe menyingkirkan mangkuknya yang masih setengah penuh, lalu mulai menggigit sepotong roti yang dibelah dua. "Menurutku, kasus ini sama sekali tidak menyenangkan," katanya di antara dua gigitan. "Pertama, aku sudah muak mengikuti kuliah. Hasil yang kudapat tidak sebanding dengan tenaga yang harus kukerahkan. Untung saja mahasiswa yang membolos begitu banyak, sehingga tak seorang pun memperhatikan apakah aku hadir atau tidak.
"Tapi yang lebih menyebalkan lagi, sampai sekarang kita belum, mendapat kemajuan. Semalam aku memeriksa pesan dan uang yang kita temukan di mobilmu dengan segala ma-
75 cam peralatan selain mikroskop elektron. Usaha-seratus persen. Hasil-nol besar. Aku tidak menemukan petunjuk sama sekali mengenai pengirimnya.
"Langkah berikutnya adalah memeriksa mesin tik di kantor Duggan, untuk mencari tahu apakah huruf-hurufnya sama dengan huruf-huruf pada kedua pesan yang kauterima. Sampai sekarang kita baru bisa memastikan bahwa seseorang tahu kau menonton pertandingan semalam, dan dia juga tahu mobilmu."
Pete menyandarkan diri ke belakang, dan mengusap mulut. "Dalam waktu yang kau-butuhkan untuk menjawab sebuah pertanyaan, aku bisa menghabiskan semangkuk corn flakes," ia berkata sambil tersenyum. Jupe mengerutkan kening. "Apa yang menyebabkan kau begitu menyukai kasus ini""
"Aku suka ekspresi petugas bank waktu aku menyetor tiga ribu dolar Senin lalu. Nanti, kalau aku menyetor seribu dolar lagi, dia bakal semakin terbengong-bengong."
"Jangan senang dulu," kata Jupe, sambil membelah sepotong roti keju. "Kalau kasus ini sudah selesai, seluruh uangnya harus kaukem-balikan lagi."
"Jupe." Perhatian Pete tiba-tiba beralih pada sisa-sisa makanan di depan sahabatnya yang berbadan gempal itu. "Kurasa dietmu takkan berhasil."
"Pasti berhasil-meskipun agak lambat," Jupe berkeras. "Beratku sudah turun satu kilo dalam dua minggu terakhir ini."
76 "Ah, beratmu turun karena kau mandi keringat waktu dihajar kedua pemain Costa Verde semalam."
Jupe merinding, dan perutnya mendadak terasa tak keruan. Masih terbayang di kepalanya bagaimana ia melayang-layang di udara. "Seandainya aku tidak begitu kaget, perlawananku tentu lebih hebat. Kau dan Bob muncul pada saat yang..."
Kalimatnya terpotong oleh deringan te
lepon. "Biar aku saja yang terima!" Pete berseru pada ibunya di ruang sebelah. Ia mengangkat gagang telepon tanpa kabel di dapur. "Halo... Yeah, saya sendiri." Pete menjentikkan jari untuk menarik perhatian Jupe. Ia merendahkan suaranya, "Yeah, saya menemukan pesan dan uang itu semalam... Yeah""
Jupe betul-betul penasaran karena hanya mendengar setengah percakapan.
"Yeah, oke, tentu," kata Pete. "Saya juga ingin bertemu dengan Anda. Kapan dan di mana""
Pete kembali mendengarkan lawan bicaranya, lalu mengangguk. Jupe menahan napas.
"Yeah, saya tahu tempatnya," ujar Pete. "Sejam lagi""
Jupe menggelengkan kepala, lalu mengacungkan dua jari ke arah Pete.
"Bagaimana kalau dua jam lagi"" tanya Pete. "Oke, saya akan ke sana."
"Siapa itu" Duggan"" Jupe bertanya begitu Pete meletakkan telepon.
"Aku tidak tahu," jawab Pete. Wajahnya
77 tampak geram sekaligus waswas. "Kadang-kadang kedengarannya seperti dia, tapi kadang-kadang tidak. Orangnya ramah sekali, Jupe. Bajingan itu melanggar setiap peraturan yang berlaku dalam dunia olahraga perguruan tinggi, dan dia bersikap seakan-akan dia dan aku sudah bersahabat sejak entah kapan."
"Bagus," Jupe berkomentar. "Berarti dia menyangkamu tertarik. Sekarang ceritakan semua yang dikatakannya padamu."
"Dia tanya apakah aku menerima amplopnya semalam, dan dia bilang masih banyak lagi yang menungguku."
"Terus"" "Dia bilang -menurutnya sekarang sudah waktunya untuk bertemu dan membahas masa depanku, dan kemudian dia menentukan tempat pertemuannya-di Coast Highway, sepuluh menit ke utara dari sini. Kenapa kau minta waktu dua jam""
"Karena mikrofon yang kupakai di dalam kostum burung nuri merupakan mikrofon tanpa kabel. Kalau aku menghubungkannya dengan pemancar mini..."
"Kau bisa mendengar semua yang terjadi!" Pete menyambung. "Sip!"
"Ayo, kita ke bengkel untuk menyiapkan semua peralatan yang kita perlukan," kata Jupe.
*** 78 Dua jam setelah itu, Pete berhenti di suatu tempat berpemandangan indah di pinggir Pacific Coast Highway, la terus mengoceh ketika mobilnya memasuki lapangan parkir, menjelaskan semua yang dilihatnya pada Jupe. Jupe bersembunyi di tempat bagasi mobil Pete. Ia memegang radio yang bekerja pada frekuensi yang sama dengan pemancar yang digunakan Pete. Tutup bagasi si Perahu diikat dengan sepotong tali, seakan-akan tidak bisa menutup dengan rapat. Padahal, Pete sengaja mengikatnya agar Jupe bisa memperoleh udara segar.
"Jupe, mudah-mudahan kau bisa mendengarku. Gara-gara mikrofon dan alat pemancar yang kautempelkan di dadaku, aku nyaris tidak bisa bernapas. Di lapangan parkir ada beberapa mobil. Salah satunya sebuah Porsche 911 Targa. Warnanya biru. Gila, itu baru mobil! Beberapa orang mengerumuni mobil itu. Seorang pria berdiri sendiri tanpa kamera. Aku yakin dia orangnya. Tingginya sedang-sedang saja. Umurnya kira-kira tiga puluh tahun, memakai kacamata penerbang. Dia memakai kemeja kantor biru berikut dasi. Lengan bajunya digulung, dan sekarang dia melihat persis ke arahku. Aku akan berusaha agar dia yang lebih banyak bicara. Mobilku sudah berhenti. Dia menuju ke sini. Oke, siap-siap!"
Pete turun dari mobil, dan melemparkan kacamata hitamnya ke jok.
"Halo, Pete," pria itu menegurnya. Ia melepaskan kacamata hitam dan mengulurkan
79 tangan. Sambil bersalaman, Pete melihat bahwa orang di hadapannya bermata biru.
"Kau ingin mengobrol di dalam mobil atau sambil menikmati pemandangan"" lawan bicara Pete bertanya.
"Ehm, di luar saja," kata Pete.
"Baiklah." Pria itu memasang kacamatanya, dan menghampiri pagar pembatas yang menghadap ke Samudra Pasifik. "Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan padamu. Pertama, kami berpendapat bahwa kau memiliki potensi untuk menjadi pemain basket yang hebat."
"Anda pernah berbicara dengan Coach Duggan""
Pria itu tersenyum. "Mestinya yang pertama-tama saya katakan padamu adalah bahwa kau jangan menanyakan apa-apa, Pete. Saya akan memberitahumu segala sesuatu yang saya anggap perlu kauketahui."
Kenapa sikapnya begitu tenang" Pete bertanya dalam hati. Hmm, mungkin dia sudah ratusan kali melakukan hal serupa.
"Kalau kita bertemu atau kalau saya menelep
onmu-tapi ini takkan sering-sering-kau boleh memanggil saya dengan nama Michael Anthony." Ia tertawa. "Saya memakai nama itu karena Michael Anthony merupakan tokoh dalam film seri yang dulu pernah diputar di TV. Dia bekerja untuk seorang laki-laki kaya raya, yang suka membagi-bagikan cek senilai sejuta dolar. Anthony berperan sebagai pengantar, dan dia tidak diizinkan untuk menyebut nama orang yang mengirim uang itu."
80 "Oh, begitu," Pete bergumam.
"Saya juga bekerja untuk seseorang, Pete, dan saya takkan pernah memberitahukan namanya padamu, jadi jangan tanya, oke""
"Baiklah," kata Pete.
"Bagus." Michael Anthony mengeluarkan sebungkus permen karet. "Saya berhenti merokok," ia menjelaskan. "Kau mau""
Pete menggelengkan kepala-lalu mengangguk. Siapa tahu ia bisa mendapatkan sidik jari pria itu. Bahkan Jupe pun takkan berpikir sampai ke situ.
Sayangnya usaha Pete tidak berhasil. Michael Anthony menyodorkan bungkusnya agar Pete mengambil permen karet sendiri.
"Bos saya bersedia memberimu uang dalam jumlah besar kalau kau mau bermain basket untuk Shoremont. Pemain-pemain seperti kaulah yang mereka butuhkan. Kami tahu kau tertarik, sebab kau tidak mengembalikan uang yang kami kirim sebelum ini. Asal tahu saja, empat ribu dolar belum apa-apa."
Pete menelan ludah. Permen karetnya hampir ikut tertelan.
"Tapi kau takkan pernah tahu berapa jumlah pembayaran selanjutnya. Itu salah satu aturan bos saya. Pokoknya, semakin bagus permainanmu, semakin banyak uang yang kauterima."
"Cuma itu" Saya hanya perlu bermain basket"" tanya Pete.
"Peraturannya sederhana." Michael Anthony mengacungkan satu jari untuk setiap aturan
81 yang ia sebutkan. "Pertama, kau harus bermain sebaik mungkin-itu yang paling utama. Kedua, nilai-nilaimu harus bagus terus. Kami tidak selalu bisa membantumu dalam bidang ini. Tapi sesekali kami akan memberitahumu mata kuliah mana yang harus kauambil. Ketiga, kau tidak boleh membicarakan persetujuan kita dengan siapa pun juga-baik dengan keluargamu, teman-temanmu, maupun rekan-rekanmu dalam tim basket. Dan keempat, kau tidak boleh mencari tahu siapa saya atau siapa yang mengirim uang padamu. Bagaimana""
"Ehm, saya belum bisa memutuskannya," ujar Pete. Ia mengikuti petunjuk yang diberikan Jupe padanya. Jupe berpesan agar Pete mengulur-ulur waktu. Tapi Pete menyadari bahwa Michael Anthony mulai tidak sabar.
"Pete, kau sudah cukup diberi waktu untuk memikirkannya," ujar Anthony. Suaranya bertambah tegas, meski tetap tenang. "Oke, sekarang pikirkan ini: Setiap anak muda yang main basket pada level perguruan tinggi berangan-angan untuk masuk NBA. Itulah satu-satunya kesempatan bagi seorang pemain basket untuk mendapatkan uang banyak. Dan kau tahu berapa banyak dari sekian ribu pemain perguruan tinggi yang berhasil masuk NBA setiap tahun""
"Seratus"" Pete menebak.
"Lima puluh! Sedikit sekali, bukan" Kalau kau cerdik, kau mengeruk uang pada waktu kau bermain di perguruan tinggi. Dan saya
82 tahu kau termasuk orang yang cerdik, Pete. Nah, saya masih banyak tugas lain. Kau berminat atau tidak""
"Yeah, saya rasa saya berminat," jawab Pete. "Apakah saya bisa memberi kepastiannya dalam beberapa hari""
Selama beberapa saat Michael Anthony mengunyah permen karetnya sambil membisu. "Ini memang suatu langkah besar, sebuah ke-putusan penting." Ia merangkul Pete dan menariknya sampai mereka menghadap ke arah lapangan parkir. "Kaulihat Porsche itu""
"Maksud Anda, Porsche Targa itu""
"Ya. Mobilnya sudah tidak baru."
"Saya tahu. Model '86, bukan""
"Betul. Nah, Pete, ini kuncinya."
Pete melihat ke bawah. Sinar matahari memantul pada kunci perak di tangan Michael Anthony.
"Apa maksud Anda"" tanya Pete. Jantungnya mulai berdebar-debar.
"Kau boleh bawa Porsche itu, untuk sementara sebagai pinjaman. Tapi mobilnya bisa menjadi milikmu, dan saya kira kau tahu apa yang ingin saya dengar agar itu menjadi kenyataan," ujar Michael Anthony sambil bersalaman dengan Pete. "Besok saya akan menelepon untuk mendengar jawabanmu. Selamat bersenang-senang."
"Dia pergi, Jupe," Pete berbisik pelan-pelan. "Santai. Tidak terburu-buru. Seakan-akan tak ada yang pe
rlu dikhawatirkannya. Dia naik T-Bird yang masih baru. Aku tidak bisa me-
83 lihat pelat nomornya. Sekarang aku menuju ke Porsche itu. Eh, sori, aku lupa. Sebelumnya aku buka bagasi dulu."
Setelah Michael Anthony berangkat, Pete menghampiri si Perahu dan mengeluarkan Jupe dari bagasi.
"Aku mendengar setiap kata," ujar Jupe. Ia menghirup udara laut dalam-dalam.
"Ayo, Jupe," desak Pete. Ia sudah tak sabar untuk menghampiri mobil sport berwarna biru itu. "Ayo, cepat sedikit dong! Wow, ini baru mobil! Kau tahu sebutan apa yang pantas untuk Porsche ini""
"Tentu. Sogokan yang amat mahal."
"Oke, sekarang kau bilang begitu, tapi tunggu saja sampai kau sempat kubawa jalan-jalan," balas Pete sambil membuka pintu sisi sopir. "Oh, Jupe. Oh, Jupe. Ayo, naik. Kita jalan-jalan dulu!"
"Pete, kau sudah sinting"" tanya Jupe. "Dia akan lolos. "Kita harus mengikutinya."
"Mengikuti siapa"" Pete balik bertanya. Ucapan Jupe sama sekali tak bermakna baginya.
"Michael Anthony," kata Jupe. "Kita harus mencari tahu ke mana dia pergi."
"Oh, yeah, tentu, gampang, beres, oke, ayo naik," jawab Pete. Sekarang benar-benar ada alasan untuk menjalankan mobil impian itu. "Eh, tunggu dulu!"
"Tunggu" Tapi dia sudah jauh!" seru Jupe sambil bergegas ke pintu sisi penumpang.
Pete buru-buru menghampiri si Perahu, lalu
84 meraih kacamata hitam dan sarung tangannya. Oke, sekarang kita bisa berangkat." Penuh semangat ia menyalakan mesin berkekuatan 247 tenaga kuda itu.
"Bagaimana dengan si Perahu"" tanya Jupe.
"Biarkan saja berkarat di sini!" Pete bersorak.
9. Kena Getahnya DENGAN wajah berseri-seri Pete menggenggam kemudi. Seumur-umur baru sekali ini ia mendapat kesempatan menggenggam kemudi sebuah Porsche 911 Targa.
"Dia semakin jauh!" teriak Jupe. "Cepat, jalan!"
"Sabar," kata Pete. Ia menatap panil instrumen di hadapannya. "Aku harus mencari letak segala sesuatunya dulu."
Jupe menunjuk dengan tangan kanan. Gayanya seperti guru taman kanak-kanak. "Ini kemudi Itu tongkat persneling, dan yang di bawah itu disebut pedal gas Kusarankan agar kau mulai menggunakan semuanya!"
Pete tidak memperhatikan Jupe. Ia terlalu asyik mencoba setiap tombol dan kenop pada dasbor. "Jupe, kau tahu kenapa begitu banyak orang menabrak pohon dengan Porsche yang baru mereka beli" Mereka pikir mobil ini sama saja dengan mobil-mobil lain."
Jupe menggeleng sedih. "Sekarang aku tahu kenapa polisi tidak pernah membeli Porsche.
86 Kalau membeli Porsche, mereka takkan pergi ke mana-mana dan takkan pernah berhasil menyelesaikan satu kasus pun-persis seperti nasib kita sekarang ini."
Tiba-tiba mobil itu melesat maju. Tenaganya begitu besar sehingga Jupe merasa seperti terpatri ke jok kulit yang didudukinya. Keempat ban terdengar berdecit-decit, kemudian melontarkan Porsche itu bagaikan roket.
"Wow!" kata Pete. Ia menyetir dan memindahkan gigi dengan gerakan yang cepat dan teliti. "Aku baru menyentuh pedal gas."
Porsche biru itu menyusuri jalan yang berbelok-belok, dan terus menambah kecepatan. Jupe memperhatikan lalu lintas di depan. Mereka mulai mendekati sebuah sedan. Pada detik berikutnya sedan itu sudah tertinggal jauh di belakang.
"Kuminta agar kau mengikuti Michael Anthony-bukan sampai lebih dulu di tempat tujuannya!" ujar Jupe.
"Apa"" tanya Pete. Ia seakan-akan berada di dunia lain.
"Apa warna mobilnya"" tanya Jupe.
Trio Detektif 55 Bintang Bola Basket di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh, dia naik Thunderbird hitam. Masih baru," jawab Pete sambil mengurangi kecepatan sampai batas yang diizinkan.
Jupe mencondongkan badan ke depan, serta memeriksa laci, asbak, dan kantong untuk peta di pintu.
"STNK-nya tidak ada," ia melaporkan. "Tak ada petunjuk bahwa mobil ini mempunyai pemilik. Kita harus mengusut pelat nomornya.
87 Barangkali hasilnya akan mengungkapkan siapa Mr. Anthony sebenarnya-atau untuk siapa dia bekerja. Tapi kurasa nama orang itu takkan bisa kita lacak."
"Itu dia! Di depan sana!" kata Pete.
"Jaga jarak," Jupe memperingatkan ketika ia melihat mobil hitam itu. "Dia tidak boleh tahu kita mengikutinya."
"Yeah, jangan khawatir," ujar Pete. "Tapi semoga dia terus berputar-putar. Naik mobil ini rasanya seperti di surga!"
Untuk sesaat Jupe membayangkan
wajah teman-temannya di Rocky Beach pada saat ia dan Pete melewati mereka. Semuanya membelalakkan mata karena iri dan tak percaya.
"Hei... dia membelok," suara Pete membuyarkan lamunan sahabatnya. "Dia masuk ke Oceanside Country Club."
"Hmm, menarik' sekali," kata Jupe. "Klub paling ekslusif di sekitar sini."
"Jupe," ujar Pete, sambil menekan pedal rem di awal jalan panjang yang menuju klub itu, "apa yang akan kita lakukan sekarang" Mereka pasti mengusir kita."
"Biarkan dia jalan dulu. Kemudian kita menyusul, menanyakan siapa yang naik Thunder-bird hitam itu, lalu memutar, dan pergi," Jupe berkata penuh percaya diri.
Pete berhenti di depan sebuah bangunan besar yang terbuat dari batu bata dan dicat putih. Di balik bangunan itu ia melihat hamparan pepohonan dan rumput dengan be-
88 berapa lapangan tenis, kolam renang, dan lapangan golf delapan belas lubang.
Pete membuka jendela untuk menanyakan pengemudi Thunderbird hitam tadi pada salah seorang petugas parkir.
Tapi pemuda itu malah membukakan pintu untuk Pete. "Selamat sore, Sir!" ia menyapa dengan sopan.
Dengan heran Pete menatap Jupe.
"Apakah Anda bisa memberitahu kami siapa yang mengemudikan Thunderbird yang baru saja masuk"" tanya Jupe.
"Maaf," si petugas parkir berkata. "Saya baru mulai bekerja di sini. Siapa belum mengenal siapa-siapa."
"Hmm," kata Jupe, tiba-tiba ia bersikap seakan-akan sudah bertahun-tahun menjadi anggota klub, "tampangnya seperti teman lama ayah saya. Kami akan menemuinya sebentar."
"Silakan," ujar si petugas parkir sambil menyerahkan karcis parkir pada Pete. "Mobilnya bagus sekali."
"Terima kasih," balas Pete. "Mau lihat mesinnya""
"Jangan macam-macam, Pete," Jupe menegurnya. Langsung saja ia menuju pintu masuk.
Setelah berada di dalam, Jupe dan Pete melangkah ke lobi besar berisi kursi dan sofa nyaman, bunga-bunga wangi, dan alunan musik lembut.
Perlahan-lahan mereka berjalan melintasi karpet oriental yang empuk ke arah ruang makan, sambil berusaha untuk tidak menarik
89 perhatian. Ruang makan itu berupa teras luas yang dikelilingi kaca, dengan meja dan kursi kayu gelap.
Jupe dan Pete berhenti di ambang pintu.
"Kau melihatnya"" tanya Jupe.
"Yeah," kata Pete. Ia segera melangkah mundur, dan mengangguk ke arah meja kecil di dekat salah satu jendela.
Michael Anthony sedang makan siang dengan seorang wanita muda yang cantik. Wanita itu mengenakan gaun hijau terang, yang membuat kulitnya yang kecokelat-cokelatan karena sinar matahari dan rambutnya yang cokelat kemerah-merahan semakin menonjol.
"Barangkali dia bekerja untuk wanita itu," kata Pete.
Namun pada detik yang sama Michael Anthony meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya. "Kelihatannya hubungan mereka bukan sekadar teman bisnis," ujar Jupe. "Meski begitu, wanita itu mungkin saja terlibat dengan kasus ini."
"Hei," bisik Pete, sambil menyikut Jupe, "ada yang datang, tampangnya seperti manajer."
"Paling-paling kepala pelayan," Jupe meralat.
"Aku tidak peduli siapa dia. Yang jelas dia tidak gembira melihat kita di sini. Bagaimana sekarang""
Jupe mendesah. "Sayang kita tidak bisa ikut makan siang. Salad udangnya benar-benar mengundang selera."
Pete dan Jupe kembali ke mobil untuk menunggu Michael Anthony. Jupe terus me-
90 mandang pintu masuk, sementara Pete menekan tombol-tombol radio dan mengatur equalizer.
"Enam pengeras suara," katanya dengan bangga.
Namun Jupe tidak terkesan. "Coba cari di mana kau harus menancapkan kunci kontak. Michael Anthony baru saja keluar."
Pria itu masih menggenggam tangan wanita muda tadi. Tetapi masing-masing masuk ke mobil sendiri.
"Siapa yang harus kuikuti"" tanya Pete.
"Michael Anthony, tentu saja," jawab Jupe.
Mereke menuju selatan, melewati Rocky Beach, Santa Monica, dan El Porto Beach. Kemudian Anthony membelok dari jalan raya dan menyusuri beberapa jalan yang lebih kecil, sampai akhirnya berhenti di depan pagar batu dengan gerbang besi. Papan nama pada dinding batu berbunyi COSTA VERDE COLLEGE.
Otak Jupe langsung mulai bekerja. Rasanya seperti ia telah berjalan tanpa air selama beberapa hari, dan tiba-tiba berdiri di tepi samudra.
"Costa Verde-musuh bebu
yutan Shoremont!" Jupe bergumam ketika Pete mengikuti mobil hitam di depan mereka. "Ada kemungkinan menarik: Michael Anthony bekerja untuk Costa Verde College-barangkali untuk Coach Bernie Mehl. Karena tahu reputasi Duggan memang mencurigakan, mereka sengaja membayar pemain-pemain Shoremont untuk membuat skandal."
91 "Coach Duggan juga berpikiran begitu. Dia mengatakannya secara langsung dalam wawancara TV setelah pertandingan semalam," Pete bercerita.
"Betul"" tanya Jupe. "Aku tidak melihat wawancaranya. Apa yang dikatakannya""
"Dia bilang, 'Bernie Mehl ingin membuat skandal untuk menghancurkan saya.'"
"Hmm." Jupe terdiam sejenak. "Barangkali usaha penyuapan itu meliputi lebih dari satu perguruan tinggi. Michael Anthony mungkin bertindak sebagai pengantar untuk beberapa perguruan tinggi."
Pete langsung tampak lesu.
"Ini baru kemungkinan saja, Pete."
"Yeah, tapi kalau urusannya begitu besar, kita takkan sanggup mengumpulkan bukti yang cukup," balas Pete.
"Ayo," Jupe membujuk ketika Pete memasuki sebuah pelataran parkir. "Paling tidak kita sudah tahu dari mana kita harus mulai."
Untuk selanjutnya mereka terpaksa mengikuti Michael Anthony dengan berjalan kaki. Pria itu tampak berjalan dengan pasti ketika menyusuri jalan-jalan setapak di kampus kecil itu. Pete dan Jupe berlari kecil, agar tidak kehilangan jejak.
"Hei, kau! Betet gendut berotak udang!"
Nada suara itu begitu marah sehingga Jupe berhenti sambil terheran-heran. Ia melihat empat pemuda berdiri di bawah pohon. Seketika ia mengenali dua di antara mereka.
"Wah," kata Pete. "Kelihatannya seperti No-
921 mor 32 dan 52-kedua pemain basket yang menghajarmu semalam. Tenang saja. Kita bisa mengatasi mereka sekali lagi."
Keempat mahasiswa Costa Verde itu menjatuhkan buku masing-masing, lalu bergegas mendekati Jupe.
"Hei, rupanya si Betet belum puas sema-lam!
"Pete," ujar Jupe, "kurasa kita tidak bisa mengatasi keempat-empatnya. Saranku, lari!" Jupe langsung melesat.
Pete mengikuti contohnya. Dalam sekejap ia sudah melewati Jupe. Keempat pemuda itu terus mengejar-semakin lama semakin mendekat.
"Mereka akan membantaiku!" Jupe berseru sambil tersengal-sengal.
"Kita berpencar saja," balas Pete. "Aku akan berusaha memancing mereka ke arahku."
Jupe berlari dengan sekuat tenaga, tapi ia tidak bisa menemukan mobil Pete maupun pelataran parkir. Karena itu ia menuju sebuah lapangan rumput. Ia menoleh ke belakang, dan melihat hanya seorang pemain basket yang mengikuti Pete. Berarti masih ada tiga pemuda berotot yang harus dihadapi Jupe.
Ia mencapai sebuah jalan dan menyeberanginya tepat di depan hidung sebuah mobil, lalu menyusuri gang sempit di antara dua gedung kuliah. Tetapi ketika ia membelok di ujung gang, ia menabrak sekelompok mahasiswa Costa Verde.
"Kenny! Tangkap bajingan itu!" sebuah suara
93 dari belakang Jupe berseru. Jupe merasakan dua tangan menggenggam lengannya. Kedua tangan itu pasti milik Kenny, salah seorang dari kelompok yang ditabraknya.
Jupe berhasil membebaskan diri, tapi ketiga pemain basket itu sudah hampir menyusulnya. Sedetik kemudian ia kembali merasakan genggaman. Kali ini si Nomor 52, yang memakai T-shirt hijau Costa Verde. Ia tetap menggenggam Jupe dan menariknya ke belakang. Lalu, sebelum Jupe sadar apa yang sedang terjadi, ketiga lawannya mulai mendorong, memukul, dan menghajarnya.
Jupe meronta-ronta dan menggeliat-geliat, tapi sia-sia. Dengan tangan dan kaki dipegang oleh tiga pemuda berbadan raksasa, tendangan judonya hanya menghantam udara. Tiba-tiba Jupe merasa dirinya diangkat dan dibawa per-gi. Ke mana ia akan dibawa" Dalam sekejap ia telah menemukan jawabannya. Para penyerang menurunkannya dengan kasar, lalu memasukkannya ke keranjang sampah di pojok jalan.
"Ini tempat yang pantas untukmu!" kata si Nomor 52, sambil menendang bagian luar keranjang.
"Yeah-lain kali jangan keluar kandang, Betet. Dan jangan kotori koran di dasarnya!"
Ketiga-tiganya tertawa, lalu berbalik dan melangkah pergi.
Jupe betul-betul marah, malu, lecet-lecet, pegal-pegal-dan selain itu ada sesuatu di dasar keranjang sampah yang menempel pada cela-
94 nanya. Tapi sebelum ia sempat memeriksanya, Pete sudah muncul dengan Porsche-nya.
"Ayo, naik!" Pete berseru sambil menurunkan jendela. Perlahan-lahan Jupe memanjat keluar dari keranjang sampah, masuk ke Porsche, dan mengunci pintu. Sesaat ia duduk membisu, terengah-engah, dan bermandikan keringat. Kemudian ia menyadari bahwa bibir Pete pecah dan matanya bengkak.
"Lawanmu cukup merepotkan, ya""
Pete mengangguk tanpa berkata apa-apa.
"Tapi paling tidak kita berhasil lolos," ujar Jupe.
"Bukan kita saja," balas Pete sambil mengerutkan kening. "Waktu aku sampai di pelataran parkir, Thunderbird hitam itu sudah lenyap. Michael Anthony berhasil mengelabui kita."
95 10. Tuan Kantong Tebal "MICHAEL ANTHONY berpesan bahwa dia akan meneleponmu hari ini. Karena itu kita harus menunggu di sini sampai kita mendapat kabar darinya," ujar Jupe. Ia sedang sibuk menghubungkan tape recorder dengan telepon tanpa kabel di dapur Pete.
"Tapi, Jupe, ini Sabtu pagi," Pete membantah. "Aku tidak bisa menunggu di sini sepanjang hari." Ia melihat ke luar jendela. Pandangannya tertuju pada Porsche biru di depan garasi. "Mobil itu tidak aman di luar sana."
Jupe mengangkat alis. "Apa""
"Semalam aku terus ditelepon orang-orang yang memohon agar mereka boleh mengendarai Porsche itu-dan setengah dari mereka bahkan tidak kukenal." Pete rupanya mulai agak gelisah, sebab ia menyiram corn flakes-nya dengan orange juice, bukannya dengan susu. "Aku memberitahu orangtuaku bahwa mobil itu bagian dari kasus yang sedang kita tangani. Kalian tahu bagaimana tanggapan mereka""
96 "Bagaimana"" tanya Bob.
"Mereka tanya padaku apakah mereka boleh mengendarainya!" ujar Pete, sambil memasukkan satu sendok corn flakes ke mulut. "Semua orang ingin mengendarai mobil itu."
"Kalau kau tidak keberatan, aku juga mau berputar-putar sebentar sementara kalian tunggu di sini," kata Bob.
Pete memutar-mutar mata. "Kurasa mobil itu satu-satunya alasan kenapa kau di sini dan bukan di kantor."
"Oh, aku baru ingat," ujar Bob. "Sax juga ingin mencobanya."
Pete hampir saja melemparkan sesendok corn flakes ke arah Bob ketika telepon berdering.
"Aku kan sudah bilang dia akan menelepon," kata Jupe. Ia berdiri dan menghidupkan tape recorder. "Usahakan agar dia bicara selama mungkin, Pete. Dia satu-satunya petunjuk yang kita miliki."
Pete menyalakan pengeras suara pada pesawat telepon, agar semua bisa ikut mendengarkan percakapannya. Tapi yang menelepon ternyata Kelly.
"Main ski memang menyenangkan, tapi aku kangen, Pete," kata gadis itu. "Kau juga kangen""
"Ehm, tentu," jawab Pete. "Tapi tunggu dulu, Kel. Pengeras suaranya masih hidup."
"Oh. Halo, Bob. Halo, Jupe-maksudku, Tuan Mahasiswa," ia menambahkan sambil cekikikan.
Jupe memelototi pengeras suara.
97 "Apa saja kerjamu selama ini, Petey" Memperbaiki si Perahu""
"Tidak," balas Pete, sambil mengedipkan mata ke arah Jupe dan Bob. "Sebenarnya, aku malah tidak tahu di mana besi tua itu. Aku sudah punya kendaraan baru."
"Kau sudah menukarkan mobilmu" Hei, ini rekor baru. Apa yang kaudapat kali ini""
"Sebuah Porsche."
"Petey, mungkin salurannya agak terganggu. Kedengarannya kau mengatakan Porsche."
"Porsche 911 Targa. Model '86. Warna biru."
"Serius dong. Ada apa sebenarnya""
"Betul kok," ujar Bob. "Pete punya Porsche. Mobil itu merupakan pembayaran tahap ketiga dari orang yang berusaha menyogoknya."
Sesaat Kelly terdiam. "Pete, kalau memang sayang padaku, kau harus berjanji bahwa kalian takkan menyelesaikan kasus ini sampai aku pulang dan sempat mencoba mobil itu."
"Nah, apa kubilang"" Pete mendesah sambil menatap kedua sahabatnya.
"Kalau melihat perkembangan selama ini, Jupe berkomentar dengan murung, "Pete pasti bisa menepati janji itu."
Pukul 10.15 telepon kembali berdering. Bob mengangkatnya. Kali ini peneleponnya seorang gadis bernama Valerie. Ia dan Bob mengobrol selama lima menit, sebelum mereka sadar bahwa mereka tidak saling mengenal. Rupanya Valerie salah memutar nomor. Meski demikian mereka tetap membuat janji untuk pergi ke bioskop bersama-sama.
98 "Kalau aku terima telepon yang salah sambung, orangnya selalu mencoba membujukku untuk berlangganan majalah,"
Jupe mendesah. Pukul 11.00 tepat telepon berdering untuk ketiga kalinya. Jupe berdiri paling dekat, sehingga ia yang menyahut. Suara yang didengarnya sempat membuatnya terkejut. Suara itu milik Mr. Harper, pimpinan Shoremont College. Pesawat di markas mereka telah memindahkan sambungannya secara otomatis ke rumah Pete.
"Jupe, apakah kau dan teman-temanmu bisa datang ke kantor saya pukul empat sore ini"" Mr. Harper bertanya.
"Tentu saja," jawab Jupe. Kemudian ia melihat jam di dinding dapur. Mereka punya waktu lima jam untuk menduga-duga kenapa suara Mr. Harper terdengar begitu cemas, dan kenapa Michael Anthony tidak menelepon.
Sepanjang siang telepon tidak berdering lagi. Sekitar pukul dua Pete begitu resah sehingga Jupe dan Bob mulai jengkel.
"Sampai kapan kalian mau menunggu kabar dari Michael Anthony"" tanya Pete. Berulang kali ia melemparkan kunci Porsche ke udara, lalu menangkapnya kembali.
"Aku mulai curiga dia takkan menelepon," Jupe mengakui. "Rupanya dia sempat melihat kita kemarin, ketika kita mengikutinya ke Costa Verde."
"Sayang sekali," ujar Pete. Kemudian ia tersenyum lebar. "Oke, aku mau pergi dulu."
"Tolong antarkan aku ke tempat Sax, ya""
99 ujar Bob. "Aku tidak bisa ikut nanti sore. Nanti malam dan besok aku harus bekerja. Senin juga."
"Yeah," Jupe dan Pete menggerutu berbarengan.
Ketiga sahabat itu masuk ke Porsche, dan mengantarkan Bob ke tempat Sax. Setelah itu Pete dan Jupe berputar-putar sampai menjelang pukul empat, lalu menuju Shoremont.
Gedung administrasinya lengang dan tenang, seperti biasa pada Sabtu sore. Kali ini Pete dan Jupe menemui Mr. Harper duduk di balik meja, bukan di atasnya. Ia sedang meluruskan jepitan kertas, dan wajahnya kelihatan muram. Mr. Harper ditemani oleh pria lain, yang duduk di kursi kulit hitam.
"Jupiter Jones dan Pete Crenshaw, ini John Hemingway Powers," Mr. Harper memperkenalkan tamunya.
Oh ya, Jupe mengingat-ingat, si tuan kantong tebal yang hendak menyumbangkan uang untuk pembangunan gedung olahraga baru.
Pria itu berdiri. Tingginya sedang-sedang saja. Rambutnya berombak dan gelap. Kumis tipis melintang di atas bibirnya. Penampilannya sama dengan semua eksekutif sukses berjas biru-kecuali matanya. Matanya gelap, dan tatapannya seakan-akan menembus Pete dan Jupe ketika mereka bersalaman dengannya.
"Saya mendapat informasi dari Mr. Harper bahwa kau menerima uang suap untuk mendaftarkan diri di Shoremont," ia berkata pada
100 Pete. "Dan kau" ia melanjutkan ketika matanya berpaling ke arah Jupe, "menyamar sebagai mahasiswa untuk mengusut siapa yang mengirim uang itu."
Mr. Harper berdehem. "Tadi pagi Mr. Powers dan saya bermain tenis," ia menjelaskan. "Dan ketika kami bermain, dia menyinggung bahwa dia akan ingin memberi sumbangan tambahan- untuk memperbesar dana Coach Duggan. Saya memberitahunya bahwa saya kurang setuju, lalu berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Tetapi..."
Powers memotong dengan tegas, "Kalau seseorang mencegah saya untuk melakukan sesuatu, saya ingin tahu kenapa."
Mr. Harper meneruskan penjelasannya, "Akhirnya saya memutuskan bahwa John berhak mengetahui alasannya. Untung saja John bisa memahami dan menghargai cara kita mengatasi persoalan ini. Dia bahkan menawarkan diri untuk membantu penyelidikan kita. Tapi tentu saja John dan saya sama-sama ingin mencegah terjadinya skandal."
"Jadi bagaimana"" tanya Powers sambil menatap Jupe dan Pete dengan tajam. Jupe segera mengerti. John Hemingway Powers ingin tahu apa yang sedang terjadi-dan ingin mengetahuinya sekarang juga.
"Saya pikir dalam waktu singkat kita sudah bisa memastikan pemain mana saja yang menerima uang suap, dan siapa yang bertanggung jawab atas semuanya," ujar Jupe, sambil memasang tampang yakin. "Pete didatangi pria
101 bernama Michael Anthony. Dia memberi Pete sebuah mobil..."
"Sebuah Porsche," Pete memotong.
"Dan dia juga mengaku bekerja untuk orang lain. Tapi sejauh ini kami belum tahu untuk siapa."
"Dugaan kalian"" tuntut Powers.
"Coach Duggan," jawab Mr. Harper.
"Betul," kata Jupe. "Kemungkinan lain adalah Bernie Mehl berusaha menjebak Coach Duggan."
"Yeah. Kami sempat mengikuti Mi
chael Anthony ke kampus Costa Verde," Pete menambahkan.
"Begini, saya tidak peduli siapa orangnya," kata Mr. Harper. "Saya hanya minta kalian mendapatkan bukti yang kita perlukan agar masalah ini bisa dituntaskan secepatnya. Kita harus membereskan urusan ini sebelum pihak pers mencium ada yang tidak beres di Shoremont."
Powers berpaling pada Mr. Harper. "Chuck, saya percaya kau menangani masalah ini dengan cara tepat. Kelihatannya mereka bisa diandalkan."
Kemudian Powers menatap Pete. "Saya harap kau tidak mendapat gambaran yang keliru mengenai Shoremont. Hal-hal yang saya pel-ajari ketika masih menjadi mahasiswa di sinilah yang membantu saya mencapai posisi yang saya duduki sekarang ini. Dan kalau kau memang atlet yang menonjol, kami akan gem-
102 bira sekali jika kau mendaftarkan diri di Shoremont-tapi tanpa imbalan uang."
Ketika Jupe dan Pete meninggalkan gedung administrasi, Pete berkata, "Si Powers itu luar biasa. Kurasa gempa bumi pun akan menuruti perintahnya."
"Yang jelas, dia akan berusaha memaksakan kehendaknya," Jupe sependapat. "Sepertinya dia menuntut agar kita menyelesaikan kasus ini dalam satu hari."
"Besok Minggu. Bagaimana peluangnya""
"Semuanya tergantung pada keterangan yang bisa kukorek dari Walt Klinglesmith. Menurut rencana, sejam lagi aku harus mem-beri bimbingan kimia padanya. Sampai nanti."
Jupe menunggu Walt di student center, sambil menyusun strategi.
Strategi nomor satu adalah memancing Walt untuk buka mulut. Jupe akan mulai dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Pertanyaan seperti "Siapa yang menarikmu ke tim Shoremont"" dan "Apa yang membuatmu mengambil keputusan menerima tawaran itu"" Jika cara halus itu tidak berhasil, ia mungkin akan menanyakan masalah uang suap secara langsung pada Walt. Menurut Jupe, kalau di antara para pemain basket ada yang mau berterus terang, Walt-lah orangnya.
Strategi nomor dua adalah memeriksa kantor Coach Duggan dengan saksama. Duggan tetap merupakan tersangka utama, tapi sejauh ini Jupe belum berhasil mendekatinya untuk mengorek keterangan.
103 Strategi nomor tiga merupakan strategi cadangan. Pete-lah yang mengusulkannya-sebuah penyelidikan berskala penuh terhadap Bernie Mehl, pelatih basket Costa Verde. Jupe terpaksa mengakui bahwa usul itu memang masuk akal. Tapi ia juga sudah memberitahu Pete bahwa ia enggan pergi ke kampus Costa Verde untuk sementara waktu. Ia tidak berminat menjadi korban para pemain Costa Verde yang masih ingin mencicipi darah si burung nuri. Jupe lalu mengusulkan agar Pete menyelidiki Bernie Mehl seorang diri, yang dibalas oleh Pete, "Selama ini kita lebih sering bekerja sebagai duo detektif, karena Bob selalu sibuk. Itu saja sudah cukup menyebalkan. Tapi solo detektif" Nanti dulu!"
"Halo, Jupiter," suara seorang gadis membawa Jupe kembali ke dunia nyata.
Jupe berbalik dan melihat Cathy, si cheerleader yang selalu berbicara dengan terburu-buru. Ia menghampiri Jupe, yang sedang duduk di lobi student center.
"Halo" Apa kabar, Jupe" Penampilanmu di pertandingan lawan Costa Verde benar-benar luar biasa. Minggu ini kau bakal menjadi burung nuri lagi, kan" Soalnya Steve masih pincang."
"Ehm... ya... mungkin..." Jupe tergagap-gagap.
Cathy duduk di samping Jupe. "Jupiter, kau punya waktu untuk membantuku membuat tugas filsafat" Aku yakin kau pasti banyak ide. Kau mau, kan""
Aduh, sekarang ini lagi! Jupe mengeluh da-
104 lam hati. Pekerjaan rumah dan tugas kuliah sungguhan. Sejauh ini, dengan cara bolos kuliah Jupe berhasil menghindari tugas-tugas yang terlalu menyita waktu. Dan ia tidak ingin mengubah keadaan itu.
Jupe berusaha menjawab tanpa mengatakan apa-apa. Akhirnya Walt Klinglesmith muncul.
"Sori, aku terlambat, Jupe," kata Walt. "Halo, Cathy."
"Halo, Walt," balas Cathy.
"Wah, sori Jupe, aku benar-benar capek. Aku tidak bisa belajar hari ini. Coach Duggan memaksa kami berlatih sampai hampir pingsan. Aku mau pulang istirahat."
Jupe mengerutkan kening. Kesempatannya untuk mengetahui lebih banyak tentang usaha penyuapan telah lenyap.
"Hei, jangan serius begitu dong," ujar Walt. "Bagaimana kalau kau ikut kami ke pesta di apartemen Cory malam
Rabu besok" Pasti ramai sekali. Kalau mau, kau bisa ajak teman."
"Ide bagus, Jupe. Barangkali kita bisa membahas tugas filsafatku di sana," goda Cathy.
"Yeah, tentu," kata Jupe sambil tersenyum.
*** Pesta berlangsung di apartemen Cory-kedengarannya seperti tempat yang ideal untuk mencari informasi. Tapi kasus mereka tidak bisa menunggu sampai malam Rabu. Mereka sudah mulai kehabisan waktu, dan tekanannya
105 semakin besar-terutama sejak John Hemingway Powers, si tuan kantong tebal, mulai ikut campur. Jupe memutuskan untuk melewatkan Minggu pagi dengan memfokuskan diri pada tersangka utama: Coach Duggan. Seharusnya sudah dari dulu ia berkunjung ke kantor Duggan, dan pada jam segitu gedung olahraga mungkin kosong, pikir Jupe ketika ia bergegas melintasi kampus.
Salah. Bunyi bola basket membentur lantai terdengar menggema begitu Jupe membuka pintu. Ia mengintip ke dalam dan melihat seluruh tim telah berkumpul. Duggan memang pelatih bertangan besi, Jupe menyadari. Pantas saja para pemain begitu bersemangat untuk mengadakan pesta pada malam Rabu. Mereka tidak berani berpesta pada malam Minggu, karena keesokan paginya mereka harus latihan!
Jupe mengendap-endap ke kantor Duggan. Ia sengaja melewati lorong di belakang lapangan basket, agar tak ada yang melihatnya. Siapa tahu kali ini ia lebih beruntung.
Jantung Jupe berdebar-debar. Kalau Duggan tiba-tiba muncul... kalau Jupe sampai tertangkap basah... penyamarannya akan segera terbongkar.
Ia berhenti di lorong di luar kantor Duggan, melihat ke kiri-kanan, lalu mencoba membuka pintu. Ternyata pintunya tidak dikunci. Jupe segera menyelinap masuk dan berdiri di ruang tunggu. Ia harus bekerja cepat.
Dengan tangan agak berkeringat, Jupe me-
106 masukkan selembar kertas ke mesin tik di meja sekretaris dan mengetik beberapa kata. Kemudian ia mengangkat kertas itu ke depan lampu, dengan salah satu pesan yang diterima Pete menempel di baliknya. Apakah huruf-hurufnya cocok" Jupe membutuhkan beberapa detik untuk memutuskannya-tidak. Karena itu ia pindah ke ruang kerja si pelatih, dan menutup pintu.
Langsung saja ia menyalakan komputer, agar bisa membuat printout dan membandingkannya dengan pesan si penyuap. Tapi bunyi printer membuatnya gelisah. Apakah bunyinya bisa didengar dari luar" Mungkin. Yang lebih gawat lagi, akibat bunyi itu Jupe tidak bisa mendengar apakah ada orang masuk.
Sementara printer bekerja, Jupe memeriksa kertas-kertas di meja Duggan dengan hati-hati, agar letak masing-masing tidak berubah. Ia membaca berbagai catatan, laporan mengenai pemain-pemain berbakat, buku tentang strategi bertanding, dan daftar peralatan. Ia bahkan meneliti buku tabungan pribadi Coach Duggan, yang tergeletak begitu saja di meja.
Tiga perempat jam kemudian Jupe terpaksa menyerah. Ia tidak berhasil menemukan apa pun yang dapat memberatkan Duggan. Dan printout komputer pun tidak sama dengan tulisan pada pesan untuk Pete.
Bagaimana sekarang" Jupe bertanya dalam hati. Apakah ini berarti Duggan bersih" Ataukah Duggan terlalu cerdik untuk mereka"
107 Ataukah ada orang lain yang patut dicurigai- seseorang yang sejauh ini luput dari perhatian mereka"
Ada satu kemungkinan lagi, pikir Jupe, ketika pulang naik bus. Barangkali Michael Anthony yang misterius itu tidak bekerja untuk orang lain. Barangkali dia bekerja untuk dirinya sendiri!
108 11. Sebuah Peringatan PADA hari Senin penyelidikan mereka terhenti total. Hari itu hari libur, sehingga baik di Shoremont maupun di Costa Verde tidak ada kuliah. Dengan setengah hati Jupe menelepon Coach Bernie Mehl di rumahnya, karena berharap bisa mengajukan beberapa pertanyaan. Tapi rupanya Mehl tidak ada di rumah.
Karena itu Jupe dan Pete menghabiskan sepanjang hari di markas, bermain video game dan mengutak-atik peralatan elektronik. Hari itu hari paling santai sejak liburan mereka dimulai.
Hari Selasa berbeda sama sekali. Jupe mempunyai firasat mereka akan mengalami sesuatu yang sangat membantu penyelidikan mereka. Mungkin mereka akan menemukan petunjuk di pesta Cory Brand malam itu. Jupe melewatkan sore itu di bengkelnya, bersiap-siap pergi ke pesta.
Ketika Jup e mendengar pintu bengkel di belakangnya membuka, ia segera mematikan video recorder.
109 "Jupe, aku punya berita untukmu," kata Pete sambil bergegas masuk. "Hei, kau lagi nonton apa" Film tua""
"Tidak, aku tidak menonton apa-apa," jawab Jupe. Cepat-cepat ia berusaha mengalihkan pembicaraan. "Ada berita apa""
Pete menatap wajah Jupe. Sepertinya sahabatnya itu sedang menutup-nutupi sesuatu. "Kau lagi nonton apa""
"Aku tidak menonton apa-apa," balas Jupe lebih tegas.
"Kalau begitu kenapa monitornya hidup, dan kenapa kau menggenggam remote-controP Kau lupa, ya, aku juga anggota Trio Detektif""
Jupe berdehem. "Oke, aku memang nonton sesuatu."
"Coba kulihat."
Jupe berusaha mencegah Pete mendekati video recorder. Tapi Pete menghindar dan menekan tombol play.
Seketika gambar Jupe muncul di monitor. Ia tampak berdiri di tengah bengkel elektronik sambil mengenakan blue jeans dan T-shirt kuning dengan tulisan AKU MINTA KESEMPATAN KEDUA. Jupe terlihat berputar, dan merapikan pakaiannya di depan kamera. Tampak samping... tampak belakang... Kemudian gambarnya menjadi kabur. Adegan berikutnya menampilkan Jupe dengan celana pendek cerah dan T-shirt bertulisan KALAU HIDUP MEMANG SEPERTI PESTA, KENAPA AKU DIET" Setelah itu gambarnya berubah lagi. Kali ini Jupe memakai celana training dengan
110 T-shirt bertulisan OLAHRAGAWAN SEJATI: AKU LARI DARI KENYATAAN
"Apa ini-The Jupiter Jones Show"" tanya Pete.
"Ehm, bukan. Ehm, salah satu kamera kita perlu diperbaiki, jadi aku membetulkannya," jawab Jupe.
"Jangan bohong! Kau sedang memilih baju yang akan kaupakai ke pesta Cory Brand nanti malam," balas Pete.
"Yang benar saja!" ujar Jupe sambil mematikan video recorder.
"Menurutku, semuanya oke," Pete berkomentar. "Tapi mungkin kita takkan pergi ke pesta itu."
"Kenapa tidak"" Jupe ingin tahu.
"Aku kan sudah bilang aku punya berita untukmu, Jupe. Berita bagus, lagi," kata Pete. "Aku akhirnya berhasil menghubungi kenalan kita di kantor polisi. Komputer mereka ternyata mati sepanjang akhir pekan, dan baru tadi pagi berhasil diperbaiki. Jadi, dia membantuku melacak pelat nomor Porsche-ku."
"Siapa pemiliknya""
"Barry Norman, Lyle Street 45, Manhattan Beach, California," jawab Pete, lalu menarik printout komputer dari kantong belakang, dan menyerahkannya pada Jupe.
Jupe membaca printout itu beberapa kali, sebelum berkata, "Mari kita temui dia."
Kedua sahabat itu. naik ke Porsche, dan sekitar satu jam kemudian Pete berhenti di depan Lyle Street 45, sebuah bangunan kan-
111 tor berlantai empat yang terbuat dari beton dan kaca.
"Sebaiknya kau parkir agak jauh dari sini," Jupe menyarankan. "Jangan sampai Mr. Barry Norman melihat Porsche-nya, lalu memutuskan untuk kabur. Aku akan menunggumu di lobi."
Satu menit kemudian Pete membuka pintu lobi, dan menemukan Jupe sedang mengamati papan petunjuk berwarna hitam yang menempel di dinding. Nama semua penyewa gedung tercantum dengan huruf putih kecil-kecil.
"Barry Norman... Ruang 421. Ini terlalu mudah," kata Jupe, sambil berjalan ke lift.
Ruang 421 ternyata dikunci. Pada daun pintu terdapat papan nama emas.
"Barry Norman, advokat," Jupe membaca. "Dia pengacara."
"Dia akan memerlukan pengacara pada saat kita sudah selesai dengannya," Pete berkomentar sambil mengetuk pintu. Mula-mula pelan, lalu lebih keras, ketiga kalinya begitu keras sampai daun pintu nyaris copot dari engselnya. "Tidak ada siapa-siapa."
"Aku menarik kesimpulan itu pada waktu kau mengetuk untuk kedua kalinya," kata Jupe. Ia sudah hampir sampai di depan lift.
Setelah sampai di jalan, mereka masuk- ke Porsche. Namun dari tempat mereka parkir, gedung kantor Barry Norman tidak kelihatan. Karena itu Pete berputar ke Lyle Street, dan menyelip ke tempat parkir kosong di dekat sebuah telepon umum.
112
Trio Detektif 55 Bintang Bola Basket di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka menunggu. Setiap kali seorang pria memasuki bangunan itu, mereka memberinya beberapa menit untuk mencapai kantornya. Kemudian Pete bergegas ke telepon umum dan memutar nomor telepon Barry Norman. Tak sekali pun ia mendapatkan jawaban.
"Sudah jam tujuh, Jupe. Aku sudah muak menunggu di sini," kata Pete akhirnya. "Dia takkan kembali ke kantornya hari i
ni." "Penjelasan logis mengapa dia tidak kembali adalah karena dia sedang mengikuti sidang pengadilan, atau sedang menemui klien," ujar Jupe. "Tapi entah kenapa aku merasa ada alasan lain. Sayangnya aku tidak tahu apa alasannya. Hmm, rasanya kita takkan mendapatkan apa-apa lagi hari ini."
"Hore! Waktunya berpesta!" Pete berseru sambil menghidupkan mesin. "Mari kita berangkat ke apartemen Cory Brand."
"Tunggu! Aku harus pulang dan berganti pakaian dulu."
Pesta sudah berjalan dengan semarak ketika Pete dan Jupe tiba. Jupe memakai sweter Shoremont College ungu-putih-sweter yang minggu lalu dibelinya di toko buku kampus. Entakan musik mengguncang-guncang dinding apartemen Cory yang modern dan luas. Di mana-mana mahasiswa-mahasiswa terlihat asyik mengobrol atau berdansa-di ruang tamu, di dapur, di atas sofa. Jupe mengenali beberapa pemain basket dan cheerleader.
"Tempat ini boleh juga," Pete memuji sambil
113 melihat berkeliling. "Aku juga ingin punya apartemen seperti ini kalau sudah jadi mahasiswa."
"Bisa saja, asal kau mendaftar di Shoremont," kata Jupe dengan tajam. "Pasang telinga lebar-lebar. Ini kesempatan emas untuk mencari tahu pemain mana saja yang menerima uang suap. Dan jangan lupa, kau berkenalan denganku tahun lalu di Rocky Beach High School... tadi kita kebetulan bertemu, dan aku mengajakmu ke sini. Kauingat semuanya""
Tentu. "Hei, Jupiter!" Cory Brand memanggil. Ia menembus kerumunan orang untuk menemui Jupe di pintu.
"Halo, Cory! Kenalkan, ini temanku, Pete," kata Jupe.
"Halo, Pete!' Cory terpaksa berteriak agar suaranya kedengaran. "Hei, jangan bengong saja. Ambil minuman dan bersenang-senanglah sebelum polisi membubarkan pesta ini."
Cory tertawa dan melangkah pergi. Jupe dan Pete mengelilingi ruangan. Pete sesekali berhenti untuk mencomot makanan kecil yang disediakan, tapi Jupe terus berputar.
"Halo, Jupiter."
Jupe langsung mengenali suara merdu itu. Ia berbalik sambil memikirkan apa yang harus ia katakan. "Ehm, halo, Sarah," katanya. Seseorang menabraknya, sehingga ia terdorong mendekati cheerleader cantik itu.
Untuk sesaat keduanya membisu.
"Kau suka mata kuliah yang kauambil""
114 tanya Sarah. Ia memalingkan muka. "Wow, itu pertanyaan yang benar-benar konyol."
"Aku pernah mendengar pertanyaan yang lebih konyol dari itu," Jupe menanggapinya sambil tersenyum.
"Maksudku... maksudku... aku lebih suka mendengarkan orang daripada bercerita."
"Ehm, aku juga," ujar Jupe cepat-cepat.
Sarah tertawa. "Kurasa kau bukan tipe orang yang suka mendengarkan orang lain. Aku mendengar celotehmu di pertandingan basket. Kau lucu sekali sebagai burung nuri."
"Ehm," kata Jupe. Entah bagaimana orang dengan kosakata paling lengkap di seluruh kampus bisa melupakan semua kata selain "ehm""
Tiba-tiba Jupe merasakan bahunya digenggam dan didorong maju-mundur dengan lembut oleh sebuah tangan besar. Ia melihat bahu Sarah mengalami perlakuan yang sama.
"Apa kabar, kalian berdua"" tanya seorang pemuda berambut hitam yang menutupi kerah bajunya. Ia berlogat Texas, dan sedang berteriak ke telinga Jupe. Napasnya berbau bir.
Aduh, kenapa aku selalu sial" Jupe bertanya-tanya. Raksasa ini mau mendekati Sarah. Mana mungkin aku bisa bersaing dengan dia"
"Tim," kata Sarah, "kau terlalu banyak minum."
"Hei," jawab pemuda itu. "Aku yang membayar persediaan bir untuk pesta ini. Dan tak ada undang-undang yang melarangku me-
115 nenggak semuanya sampai habis! Jadi, siapa pacarmu ini""
Sarah dan Jupe sama-sama tersipu-sipu.
"Tim Frisch, ini Jupiter Jones."
"Halo. Kau punya saudara bernama Mars atau Venus" Hahahaha!"
Jupiter memaksakan diri untuk tersenyum. Akhirnya ia bertemu dengan pemain inti kelima. Sepanjang minggu lalu Tim membolos terus, sehingga Jupe tidak berhasil melacaknya. Sekarang Jupe mengamatinya dengan saksama. Tim mengenakan pakaian yang kelihatan mahal. Dia juga mengaku bahwa dialah yang membayar seluruh persediaan bir. Barangkali dia termasuk pemain yang dibayar oleh Michael Anthony.
Tombak Raja Akherat 2 Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan The Revelation 1
"Apa itu"" ia bertanya.
60 "Aku juga tidak tahu," kata Bob. "Kelihatannya sih seperti semacam maskot konyol."
Si burung nuri memeluk para cheerleader satu per satu. Kemudian ia mulai berlari mondar-mandir, sambil melompat-lompat dan berputar-putar. Ketika para cheerleader sedang membentuk piramida manusia, si maskot melakukan salto ke belakang, tapi pendaratannya tidak sempurna.
"Aduuuh!' ia berteriak kesakitan, sambil berguling-guling dan memegangi kaki. "Kakiku! Kakiku!"
"Ya ampun!" kata Jupe. Ia melompat berdiri, dan berlari menuruni tribun sekencang mungkin.
Para cheerleader segera mengerumuni si burung nuri. Ketika Jupe dan Bob sampai di lapangan, Nora telah melepaskan kepala kostum, dan berusaha membantu pemuda malang itu berdiri.
"Kurasa kakiku patah," pemuda itu mengerang.
"Kelihatannya tidak," Jupe berkata penuh wibawa. "Menurutku, pergelangan kakimu terkilir."
"Ayo, kita bawa Steve ke ruang P3K," Cathy mengusulkan. Bersama Pat ia lalu membantu si burung nuri keluar gedung olahraga.
"Kasihan si Steve," Sarah berkomentar dengan suaranya yang merdu. Tapi ia melihat tepat ke arah Jupe ketika mengatakannya.
"Kita yang perlu dikasihani," ujar Nora. "Se-
61 karang kita tidak punya maskot untuk mendampingi kita pada waktu pertandingan. Di mana kita bisa menemukan burung nuri lain sampai besok""
"Hei, jangan cepat putus asa!" kata Bob, sambil melangkah ke tengah kerumunan. "Tenang saja. Aku yakin kawan kita ini, Jupiter Jones, akan bangga sekali kalau dia boleh menggantikan tempat Steve."
Kedua mata Jupe tampak membara ketika ia menatap Bob. "Kau sudah gila" No way!'
Bob tidak memedulikan tatapan sahabatnya yang penuh dendam. "Biar aku bicara dulu dengannya," ia berkata pada para cheerleader. Langsung saja ia menarik Jupe menjauh.
Jupe bergumam dengan kesal, "Apa-apaan kau ini, Bob" Aku tidak mau melompat-lompat dan berputar-putar seperti orang gila. Dan aku lebih baik menghadiri acara wisuda hanya berpakaian dalam daripada harus mengenakan kostum nuri ungu dan hijau, yang penuh rumbai-rumbai!"
"Hei, sabar dulu dong!" balas Bob. "Kau masih berminat memecahkan kasus ini""
"Apa hubungannya"" tanya Jupe sambil
mendongkol. "Jupe, aku kan sudah bilang kita bakal mendapat peluang. Inilah kesempatan yang kautunggu-tunggu! Penyamaran yang sempurna! Si burung nuri berlatih bersama para cheerleader dan terus mengikuti tim basket. Kurang apa lagi, coba" Mana mungkin kau menolak peluang emas seperti ini""
62 Jupe memang tidak menolak. Ia hanya berkata, "Ini pengalaman paling memalukan sepanjang hidupku."
*** Dalam perjalanan ke rumah Bob, Jupe dan Bob tidak bicara sepatah kata pun. Begitu Bob menghentikan mobilnya, Jupe melompat keluar dan langsung menuju dapur. Ia sudah mulai mengobrak-abrik lemari es, ketika Bob menyusulnya.
"Di mana kotak es krim lapis karamel"" Jupe bertanya.
"Jupe, kau sendiri yang minta agar aku menyembunyikannya."
"Oke, sekarang aku minta agar kau menunjukkan di mana kau menyembunyikannya," Jupe membalas ketus. "Aha!" Ia meraih ke sudut paling belakang, mengeluarkan kotak berisi es krim yang dicarinya, lalu memasukkan dua porsi ke oven microwave untuk mencairkan lapisan karamelnya.
"Jupe, bagaimana dengan diet setengah porsimu""
"Tak ada masalah. Aku hanya akan menghabiskan satu porsi," jawab Jupe sambil menyeringai seperti orang kesurupan. Ia menyetel pengatur waktu pada oven dan menekan tombol start.
Bob mengangkat telepon dan memencet
nomor dua pada auto-dial "Pete, ini Bob. Kau harus segera ke sini. Ada krisis mendadak!"
Sebelum oven microwave sempat melumerkan lapisan karamel di atas es krim, Pete sudah tiba di rumah Bob.
"Bagaimana caranya kau bisa begitu cepat sampai di sini"" tanya Bob, ketika Pete muncul di dapur.
"Hei, biarpun jelek si Perahu tetap bermesin V-8," jawab Pete.
"Yeah, tapi larinya seperti memakai orange juice, bukan bensin."
Pete ketawa, lalu melihat kedua porsi es krim di dalam oven. "Wah, terima kasih ba-nyak." Ketika ia sampai di meja dan meng ayunkan kaki melewati sandaran kursi, es krimnya sudah tinggal setengah. "Sebenarnya ada apa sih""
Bob menjawab, "Aku mengusulkan agar Jupe berperan sebagai maskot Shoremont pada pertandingan basket besok malam. Un tuk itu dia harus memakai kostum buri nuri."
"Bob mengatakan aku bangga. Dia mengata kan aku bangga karena boleh memakai kos-tum itu," Jupe menggerutu.
"Jupe, sebenarnya usulku tidak terlalu buruk, kan"" ujar Bob. "Kaulihat sendiri bagaimana kita diusir waktu kita berkeliaran di sekitar kantor Duggan setelah Steve mendapat kecelakaan. Tapi kalau menggantikannya sebagai burung nuri, kau punya alasan untuk terus berada di sana. Takkan ada yang menegurmu. Dan pada saat itulah kita bergerak!"
64 "Oke," kata Jupe. "Penyamaran itu mungkin akan membantu penyelidikan kita. Tapi apa yang harus kulakukan pada waktu pertandingan berlangsung" Aku tidak bisa bersalto ke depan maupun ke belakang. Aku bukan, pemain sirkus! Apakah kalian punya saran untuk mengatasi masalah ini""
"Tentu, Jupe," kata Bob dengan air muka tak berubah. "Kenapa kau tidak meniru tingkah laku burung nuri sungguhan""
"Yaitu"" "Memberi komentar-komentar konyol sambil bersolek dan berganti bulu!"
65 7. Maskot Berani Mati "SELAMAT berjumpa kembali dalam acara Mari Bicara Olahraga. Sekarang pukul 07.20, dan saya Al Windsor," si penyiar radio berkata. "Saya tunggu telepon dari Anda setelah pesan-pesan ini."
Seketika sebuah iklan terdengar pada radio mobil Pete. Bob bernyanyi mengikuti jingle itu, tapi Jupe di bangku belakang mulai menggerutu. "Al Windsor" Dia dosenku di Shoremont. Dia pegang mata kuliah Bicara Bersemangat. Daripada mendengarkan dia, lebih baik pindah ke siaran berita saja." Ia meng-gelepar-geleparkan bulu kostum burung nuri di sebelahnya.
"Jangan mengomel saja, Jupe," kata Pete. "Ini acara radio yang paling kusukai. Lagi pula sebentar lagi kita sudah sampai di Shoremont."
"Oke," ujar Al Windsor ketika suaranya kembali mengudara. "Penelepon pertama adalah Sam di Hermosa Beach. Apa kabar, Sam" Mari Bicara Olahraga."
66 "Halo, Al. Saya baik-baik saja," si penelepon menjawab. "Saya ingin bertanya mengenai pertandingan basket antara Shoremont dan Costa Verde malam ini."
"Pertandingan penting, kedua tim sama-sama dalam posisi "harus menang," Al Windsor memberikan komen
tar. "Yeah, saya tahu," kata si penelepon. "Tapi apakah Anda sempat membaca koran tadi pagi" Maksud saya, komentar Bernie Mehl- pelatih Costa Verde-mengenai Coach Duggan dari Shoremont."
"Yeah, saya baca artikel itu," Al Windsor menjawab. "Yang Anda maksud adalah ucapan Bernie Mehl, saya mengutip, 'Coach Duggan akan melakukan saja untuk menang-apa saja."
"Betul," kata si penelepon. "Nah, kira-kira apa yang dimaksudnya""
"Begini, Sam, saya tidak bisa menyusup ke dalam kepala Bernie Mehl," Al Windsor mulai menjelaskan. "Tapi saya pikir dia ingin mengungkit-ungkit gosip lama itu-gosip yang mengatakan bahwa Coach Duggan membayar para pemainnya beberapa tahun lalu. Skandal itu sempat menggemparkan Boston, tapi kebenarannya tak pernah terbukti. Di pihak lain, Duggan memang pelatih hebat. Dugaan saya, Bernie ingin memancing di air keruh. Kita lihat saja apakah dia bisa menanggung akibatnya malam ini."
Pete menepuk dashboard dengan tangan kanan, dan radionya langsung mati. "Hei, Jupe, kasus ini semakin ramai saja. Apa
67 mungkin tuduhan Bernie Mehl memang beralasan" Barangkali dia tahu lebih banyak dari yang dikatakannya""
"Entahlah," kata Jupe. "Tapi tadi siang aku sempat mencari informasi mengenai skandal di Boston itu. Berdasarkan apa yang kubaca di koran-koran lama, sepertinya memang ada seseorang yang membayar para pemain waktu itu. Masalahnya, tak ada yang bisa membuktikan bahwa Duggan orangnya. Pokoknya, kuharap kalian buka mata lebar-lebar malam ini. Siapa tahu kita akan menemukan petunjuk baru."
"Oke," ujar Pete. "Tapi aku sudah beberapa kali menonton pertandingan antara Shoremont dan Costa Verde. Setiap pertandingan merupakan ajang balas dendam, dan para pemain selalu berjuang sampai titik darah penghabisan. Sebaiknya kau berhati-hati nanti."
"Pete benar," Bob sependapat. "Pertandingan ini sebenarnya bukan pertandingan yang tepat untuk pemunculan perdanamu sebagai maskot Shoremont. Kau masih mau meneruskan rencana ini""
"Oh, sekarang kau mulai memikirkan kese-lamatanku," jawab Jupe. "Tidak, mereka menginginkan burung nuri. Dan aku sudah siap memberi pertunjukan yang takkan pernah mereka lupakan," ia menambahkan dengan misterius. "Tunggu saja."
Pete membelok ke gedung parkir tiga lantai di belakang gedung olahraga Shoremont. Ia
68 menyusuri jalur landai yang memutar sampai ke lantai teratas, dan Jupe turun dari mobil.
"Sampai nanti setelah pertandingan," kata Jupe. Ia mengepit kostum burung nuri di bawah lengannya, dan menuju lift.
Beberapa menit kemudian, di ruang ganti kecil yang khusus disediakan bagi si burung nuri, Jupe mulai bersiap-siap. Di luar, sebuah marching band sedang bermain, sementara regu cheerleader berusaha mengobarkan semangat para penonton.
"Shoremont!" pendukung-pendukung tim tuan rumah berseru dengan lantang.
"Costa Verde!" suporter-suporter tim lawan membalas tak kalah keras.
Jupe mendengarkan perang mulut yang terjadi sambil menyambungkan beberapa kabel, memasukkan baterai baru, kemudian menempelkan mikrofon mini ke leher T-shirt-nya. Setelah itu ia memakai kostumnya.
"Testing, satu, dua, tiga," Jupe berkata ke dalam mikrofon. Suaranya terdengar jelas dari speaker-speaker kecil yang tersembunyi di bawah sayap.
Akhirnya Jupe memasang kepala burung nuri. Penyamaran itu merupakan salah satu upaya paling ganjil yang pernah ia tempuh selama karier detektifnya. Tapi Jupe tidak peduli. Terlindung di balik kostumnya, ia merasa kebal ketika meninggalkan ruang ganti dan menuju lapangan pertandingan.
Begitu si burung nuri muncul, para pendukung Shoremont langsung bersorak-sorai.
69 Jupe menyadari bahwa mata mereka memandang ke arahnya. Semuanya ingin melihat si burung nuri beraksi.
Keringat mulai membasahi keningnya. Apakah rencananya akan berjalan lancar" Ia berhenti di pinggir lapangan, karena tidak yakin bagaimana harus mulai. Sementara itu, kedua tim sedang melakukan pemanasan.
Akhirnya Jupe menarik napas dalam-dalam dan berlari ke tengah lapangan. Para penonton bertepuk tangan dengan meriah.
"Hei! Hei!" Jupe berseru sambil menirukan suara parau burung nuri. "Kalian kalah! Kalian kalah!" Ia melompat-lom
pat sambil menuding para pemain Costa Verde, yang segera menghentikan pemanasan untuk mencari sumber suara itu.
"Hei! Hei!" Jupe si burung nuri berteriak dengan suara melengking. "Pulang sajalah! Kalian pasti kalah!"
Para pendukung Shoremont tertawa dan bersorak-sorai. Kemudian mereka mulai meniru teriakan Jupe.
"Pulang sajalah! Kalian pasti kalah!" Sepertinya, seluruh gedung olahraga ikut berseru.
Tim Costa Verde tampak terbengong-bengong. Kemudian salah seorang pemain mulai mengejar Jupe. Tapi Jupe terus menghindar dengan gesit, sehingga tawa para penonton semakin membahana. Akhirnya Bernie Mehl, si pelatih Costa Verde, masuk ke lapangan untuk menyuruh para pemainnya tenang dan tidak memperhatikan si burung nuri.
70 Tetapi perhatian para penonton sepenuhnya tercurah pada Jupe. Mereka menikmati tingkahnya yang konyol. Jupe semakin berani. Apa pun yang dikatakan si burung nuri, para penonton segera mengulanginya. Jupe mendapat sambutan lebih hangat daripada regu cheerleader.
Ketika pertandingan dimulai, Jupe terpaksa menyingkir ke tepi lapangan. Tapi itu tidak mencegahnya untuk terus berkomentar.
"Awas, Nomor 32! Lompatanmu mirip kera!"
Para penonton tertawa terbahak-bahak.
"Hei, Nomor 52! Lebih baik kau pulang! Nanti kau kena marah!"
Nora, si kapten regu cheerleader Shoremont, menghampiri Jupe.
"Hati-hati, Jupe," ia mewanti-wanti. "Anak-anak Costa Verde sudah mulai memelototimu!"
"Biar saja!" balas Jupe. Ia begitu bersemangat sehingga tidak bisa direm lagi. Setiap kali lemparan pemain Costa Verde meleset, Jupe langsung bangkit dan berseru, "Otak udang! Hei! Otak udang!"
Ketika pertandingan berakhir, kedudukannya 64-60 untuk kemenangan Shoremont, tapi Jupe merasa seakan-akan dialah pemenang sesungguhnya. Semua cheerleader mengerumuninya untuk mengucapkan terima kasih, dan Sarah melemparkan senyumnya yang paling menawan. Jupe seolah-olah melayang di awang-awang.
Jupe cepat-cepat berganti pakaian dan bergegas menemui Bob dan Pete di gedung parkir.
71 Ia keluar dari lift dan melihat kedua sahabatnya berdiri di samping mobil orang lain.
Pete pasti lupa di mana dia memarkir mobilnya tadi, Jupe geli dalam hati.
"Hei,- bagaimana pertunjukanku tadi"" serunya. "Kalian dengar lelucon-leluconku""
"Yeah, setiap kata!"
Jupe tersentak kaget. Mereka bukan Pete dan Bob. Mereka dua pemain Costa Verde!
Kedua pemuda itu segera menuju ke arahnya. Tak ada jalan untuk kabur-dan tak seorang pun akan mendengar teriakannya.
Salah satu penyerang menangkap Jupe, lalu menjepit kedua lengannya di belakang punggung. Kostum burung nuri jatuh ke lantai beton. Penyerang yang satu lagi memegang kepala Jupe, dan memutarnya sampai wajah Jupe menghadap ke samping. Ketika Jupe berteriak, pemuda itu menyumpal mulut Jupe dengan kaus kaki olahraga yang bekas dipakai.
Bau yang melekat pada kain katun lembap itu benar-benar minta ampun. Dan rasanya lebih buruk lagi! Jupe merasa akan tercekik atau muntah.
"Nah, bagaimana komentarmu sekarang, Betet""
Di bawah cahaya lampu gedung parkir, Jupe melihat bahwa para penyerangnya adalah Nomor 32 dan Nomor 52-dua pemain Costa Verde yang paling sering dicelanya tadi.
Jupe berusaha melawan, tapi mereka terlalu kuat. Mereka mendorong dan menariknya ke sebuah tembok rendah di tepi gedung parkir.
72 "Ayo, sekarang kau boleh sok tahu!" si Nomor 52 mengejek Jupe. Kemudian, dengan satu gerakan cepat, mereka mengangkat Jupe dan mendorongnya melewati tembok.
Tiba-tiba saja Jupe tergantung-gantung di udara, dengan kedua kakinya ditahan di atas. Jalanan berada tiga tingkat di bawahnya. Tangan Jupe memukul-mukul, tapi suara yang keluar dari mulutnya hanya berupa seruan tertahan.
Aku akan mati, pikir Jupe. Mereka akan melemparkanku ke bawah Tamatlah riwayatku. Sebentar lagi aku akan mati.
"Ayo! Kenapa kau mendadak bisu" Siapa yang jadi otak udang sekarang"" si Nomor 52 bertanya sambil ketawa.
Beberapa saat kemudian, yang terasa bagai berjam-jam, kedua pemain Costa Verde itu akhirnya menarik Jupe ke atas. Mereka membiarkannya jatuh ke lantai, dan pergi.
"Hiiiyaaaa!' Pete muncul entah dari mana. Dengan sekali gebrak ia berhasil menjatuhka
n si Nomor 52. Pemain Costa Verde yang satu lagi tersentak kaget.
Kesempatan ini segera dimanfaatkan oleh Jupe. Ia melompat ke arah si Nomor 32, lalu membabat tengkuknya dengan pukulan judo.
"Awas, di belakangmu, Pete!" seru Jupe.
Si Nomor 52 sudah berdiri lagi, dan sedang mengendap-endap mendekati Pete. Namun tiba-tiba, di luar dugaan Jupe, Bob terbang dari atap salah satu mobil, dan menerjang pemuda itu dari samping.
73 Ketika kedua pemain Costa Verde menyadari bahwa mereka harus melawan tiga orang, mereka segera memutuskan untuk kabur. Mereka berlari menuruni jalur landai, lalu menghilang.
"Kau tidak apa-apa, Jupe"" tanya Bob. Jupe berdiri membungkuk, dengan tangan meng-" genggam lutut. Napasnya tersengal-sengal.
Ia menggeleng, dan menyeka keringat pada keningnya dengan lengan baju. "Mereka hanya memuji penampilanku sebagai burung nuri."
"Ayo, kita pergi," kata Pete. sambil membantu Jupe masuk ke mobil.
Pete membuka pintu pada sisi pengemudi, dan hendak menyelinap ke balik kemudi. "Hei, lihat ini!"
Sebuah amplop tergeletak di kursinya.
"Jangan disentuh!" ujar Jupe. "Sidik jarinya."
"Aku harus tahu apa yang ada di dalamnya," jawab Pete, sambil meraih ke dalam laci. Ia mengeluarkan sepasang sarung tangan untuk membuka amplop itu.
"Lagi-lagi uang," Bob berkomentar ketika melihat lembaran-lembaran seratus dolar di tangan Pete.
"Dan sebuah pesan," Pete menambahkan. Ia membuka lipatan kertasnya, dan Jupe mem bacanya keras-keras.
Bermainlah untuk Shoremont pada musim gugur mendatang, dan kau akan menikmati imbalan yang mengiringi kemenangan.
74 8. Bergelimang Uang "AKU suka kasus ini, Jupe," kata Pete keesokan paginya, sambil menaikkan kakinya yang panjang ke meja dapur. Ia mengiris-iris sebuah pisang, dan mencampur irisan-irisan itu dengan corn flakes dalam mangkuk di hadapannya. Sebelumnya ia sudah menghabiskan dua mangkuk.
Jupe menyingkirkan mangkuknya yang masih setengah penuh, lalu mulai menggigit sepotong roti yang dibelah dua. "Menurutku, kasus ini sama sekali tidak menyenangkan," katanya di antara dua gigitan. "Pertama, aku sudah muak mengikuti kuliah. Hasil yang kudapat tidak sebanding dengan tenaga yang harus kukerahkan. Untung saja mahasiswa yang membolos begitu banyak, sehingga tak seorang pun memperhatikan apakah aku hadir atau tidak.
"Tapi yang lebih menyebalkan lagi, sampai sekarang kita belum, mendapat kemajuan. Semalam aku memeriksa pesan dan uang yang kita temukan di mobilmu dengan segala ma-
75 cam peralatan selain mikroskop elektron. Usaha-seratus persen. Hasil-nol besar. Aku tidak menemukan petunjuk sama sekali mengenai pengirimnya.
"Langkah berikutnya adalah memeriksa mesin tik di kantor Duggan, untuk mencari tahu apakah huruf-hurufnya sama dengan huruf-huruf pada kedua pesan yang kauterima. Sampai sekarang kita baru bisa memastikan bahwa seseorang tahu kau menonton pertandingan semalam, dan dia juga tahu mobilmu."
Pete menyandarkan diri ke belakang, dan mengusap mulut. "Dalam waktu yang kau-butuhkan untuk menjawab sebuah pertanyaan, aku bisa menghabiskan semangkuk corn flakes," ia berkata sambil tersenyum. Jupe mengerutkan kening. "Apa yang menyebabkan kau begitu menyukai kasus ini""
"Aku suka ekspresi petugas bank waktu aku menyetor tiga ribu dolar Senin lalu. Nanti, kalau aku menyetor seribu dolar lagi, dia bakal semakin terbengong-bengong."
"Jangan senang dulu," kata Jupe, sambil membelah sepotong roti keju. "Kalau kasus ini sudah selesai, seluruh uangnya harus kaukem-balikan lagi."
"Jupe." Perhatian Pete tiba-tiba beralih pada sisa-sisa makanan di depan sahabatnya yang berbadan gempal itu. "Kurasa dietmu takkan berhasil."
"Pasti berhasil-meskipun agak lambat," Jupe berkeras. "Beratku sudah turun satu kilo dalam dua minggu terakhir ini."
76 "Ah, beratmu turun karena kau mandi keringat waktu dihajar kedua pemain Costa Verde semalam."
Jupe merinding, dan perutnya mendadak terasa tak keruan. Masih terbayang di kepalanya bagaimana ia melayang-layang di udara. "Seandainya aku tidak begitu kaget, perlawananku tentu lebih hebat. Kau dan Bob muncul pada saat yang..."
Kalimatnya terpotong oleh deringan te
lepon. "Biar aku saja yang terima!" Pete berseru pada ibunya di ruang sebelah. Ia mengangkat gagang telepon tanpa kabel di dapur. "Halo... Yeah, saya sendiri." Pete menjentikkan jari untuk menarik perhatian Jupe. Ia merendahkan suaranya, "Yeah, saya menemukan pesan dan uang itu semalam... Yeah""
Jupe betul-betul penasaran karena hanya mendengar setengah percakapan.
"Yeah, oke, tentu," kata Pete. "Saya juga ingin bertemu dengan Anda. Kapan dan di mana""
Pete kembali mendengarkan lawan bicaranya, lalu mengangguk. Jupe menahan napas.
"Yeah, saya tahu tempatnya," ujar Pete. "Sejam lagi""
Jupe menggelengkan kepala, lalu mengacungkan dua jari ke arah Pete.
"Bagaimana kalau dua jam lagi"" tanya Pete. "Oke, saya akan ke sana."
"Siapa itu" Duggan"" Jupe bertanya begitu Pete meletakkan telepon.
"Aku tidak tahu," jawab Pete. Wajahnya
77 tampak geram sekaligus waswas. "Kadang-kadang kedengarannya seperti dia, tapi kadang-kadang tidak. Orangnya ramah sekali, Jupe. Bajingan itu melanggar setiap peraturan yang berlaku dalam dunia olahraga perguruan tinggi, dan dia bersikap seakan-akan dia dan aku sudah bersahabat sejak entah kapan."
"Bagus," Jupe berkomentar. "Berarti dia menyangkamu tertarik. Sekarang ceritakan semua yang dikatakannya padamu."
"Dia tanya apakah aku menerima amplopnya semalam, dan dia bilang masih banyak lagi yang menungguku."
"Terus"" "Dia bilang -menurutnya sekarang sudah waktunya untuk bertemu dan membahas masa depanku, dan kemudian dia menentukan tempat pertemuannya-di Coast Highway, sepuluh menit ke utara dari sini. Kenapa kau minta waktu dua jam""
"Karena mikrofon yang kupakai di dalam kostum burung nuri merupakan mikrofon tanpa kabel. Kalau aku menghubungkannya dengan pemancar mini..."
"Kau bisa mendengar semua yang terjadi!" Pete menyambung. "Sip!"
"Ayo, kita ke bengkel untuk menyiapkan semua peralatan yang kita perlukan," kata Jupe.
*** 78 Dua jam setelah itu, Pete berhenti di suatu tempat berpemandangan indah di pinggir Pacific Coast Highway, la terus mengoceh ketika mobilnya memasuki lapangan parkir, menjelaskan semua yang dilihatnya pada Jupe. Jupe bersembunyi di tempat bagasi mobil Pete. Ia memegang radio yang bekerja pada frekuensi yang sama dengan pemancar yang digunakan Pete. Tutup bagasi si Perahu diikat dengan sepotong tali, seakan-akan tidak bisa menutup dengan rapat. Padahal, Pete sengaja mengikatnya agar Jupe bisa memperoleh udara segar.
"Jupe, mudah-mudahan kau bisa mendengarku. Gara-gara mikrofon dan alat pemancar yang kautempelkan di dadaku, aku nyaris tidak bisa bernapas. Di lapangan parkir ada beberapa mobil. Salah satunya sebuah Porsche 911 Targa. Warnanya biru. Gila, itu baru mobil! Beberapa orang mengerumuni mobil itu. Seorang pria berdiri sendiri tanpa kamera. Aku yakin dia orangnya. Tingginya sedang-sedang saja. Umurnya kira-kira tiga puluh tahun, memakai kacamata penerbang. Dia memakai kemeja kantor biru berikut dasi. Lengan bajunya digulung, dan sekarang dia melihat persis ke arahku. Aku akan berusaha agar dia yang lebih banyak bicara. Mobilku sudah berhenti. Dia menuju ke sini. Oke, siap-siap!"
Pete turun dari mobil, dan melemparkan kacamata hitamnya ke jok.
"Halo, Pete," pria itu menegurnya. Ia melepaskan kacamata hitam dan mengulurkan
79 tangan. Sambil bersalaman, Pete melihat bahwa orang di hadapannya bermata biru.
"Kau ingin mengobrol di dalam mobil atau sambil menikmati pemandangan"" lawan bicara Pete bertanya.
"Ehm, di luar saja," kata Pete.
"Baiklah." Pria itu memasang kacamatanya, dan menghampiri pagar pembatas yang menghadap ke Samudra Pasifik. "Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan padamu. Pertama, kami berpendapat bahwa kau memiliki potensi untuk menjadi pemain basket yang hebat."
"Anda pernah berbicara dengan Coach Duggan""
Pria itu tersenyum. "Mestinya yang pertama-tama saya katakan padamu adalah bahwa kau jangan menanyakan apa-apa, Pete. Saya akan memberitahumu segala sesuatu yang saya anggap perlu kauketahui."
Kenapa sikapnya begitu tenang" Pete bertanya dalam hati. Hmm, mungkin dia sudah ratusan kali melakukan hal serupa.
"Kalau kita bertemu atau kalau saya menelep
onmu-tapi ini takkan sering-sering-kau boleh memanggil saya dengan nama Michael Anthony." Ia tertawa. "Saya memakai nama itu karena Michael Anthony merupakan tokoh dalam film seri yang dulu pernah diputar di TV. Dia bekerja untuk seorang laki-laki kaya raya, yang suka membagi-bagikan cek senilai sejuta dolar. Anthony berperan sebagai pengantar, dan dia tidak diizinkan untuk menyebut nama orang yang mengirim uang itu."
80 "Oh, begitu," Pete bergumam.
"Saya juga bekerja untuk seseorang, Pete, dan saya takkan pernah memberitahukan namanya padamu, jadi jangan tanya, oke""
"Baiklah," kata Pete.
"Bagus." Michael Anthony mengeluarkan sebungkus permen karet. "Saya berhenti merokok," ia menjelaskan. "Kau mau""
Pete menggelengkan kepala-lalu mengangguk. Siapa tahu ia bisa mendapatkan sidik jari pria itu. Bahkan Jupe pun takkan berpikir sampai ke situ.
Sayangnya usaha Pete tidak berhasil. Michael Anthony menyodorkan bungkusnya agar Pete mengambil permen karet sendiri.
"Bos saya bersedia memberimu uang dalam jumlah besar kalau kau mau bermain basket untuk Shoremont. Pemain-pemain seperti kaulah yang mereka butuhkan. Kami tahu kau tertarik, sebab kau tidak mengembalikan uang yang kami kirim sebelum ini. Asal tahu saja, empat ribu dolar belum apa-apa."
Pete menelan ludah. Permen karetnya hampir ikut tertelan.
"Tapi kau takkan pernah tahu berapa jumlah pembayaran selanjutnya. Itu salah satu aturan bos saya. Pokoknya, semakin bagus permainanmu, semakin banyak uang yang kauterima."
"Cuma itu" Saya hanya perlu bermain basket"" tanya Pete.
"Peraturannya sederhana." Michael Anthony mengacungkan satu jari untuk setiap aturan
81 yang ia sebutkan. "Pertama, kau harus bermain sebaik mungkin-itu yang paling utama. Kedua, nilai-nilaimu harus bagus terus. Kami tidak selalu bisa membantumu dalam bidang ini. Tapi sesekali kami akan memberitahumu mata kuliah mana yang harus kauambil. Ketiga, kau tidak boleh membicarakan persetujuan kita dengan siapa pun juga-baik dengan keluargamu, teman-temanmu, maupun rekan-rekanmu dalam tim basket. Dan keempat, kau tidak boleh mencari tahu siapa saya atau siapa yang mengirim uang padamu. Bagaimana""
"Ehm, saya belum bisa memutuskannya," ujar Pete. Ia mengikuti petunjuk yang diberikan Jupe padanya. Jupe berpesan agar Pete mengulur-ulur waktu. Tapi Pete menyadari bahwa Michael Anthony mulai tidak sabar.
"Pete, kau sudah cukup diberi waktu untuk memikirkannya," ujar Anthony. Suaranya bertambah tegas, meski tetap tenang. "Oke, sekarang pikirkan ini: Setiap anak muda yang main basket pada level perguruan tinggi berangan-angan untuk masuk NBA. Itulah satu-satunya kesempatan bagi seorang pemain basket untuk mendapatkan uang banyak. Dan kau tahu berapa banyak dari sekian ribu pemain perguruan tinggi yang berhasil masuk NBA setiap tahun""
"Seratus"" Pete menebak.
"Lima puluh! Sedikit sekali, bukan" Kalau kau cerdik, kau mengeruk uang pada waktu kau bermain di perguruan tinggi. Dan saya
82 tahu kau termasuk orang yang cerdik, Pete. Nah, saya masih banyak tugas lain. Kau berminat atau tidak""
"Yeah, saya rasa saya berminat," jawab Pete. "Apakah saya bisa memberi kepastiannya dalam beberapa hari""
Selama beberapa saat Michael Anthony mengunyah permen karetnya sambil membisu. "Ini memang suatu langkah besar, sebuah ke-putusan penting." Ia merangkul Pete dan menariknya sampai mereka menghadap ke arah lapangan parkir. "Kaulihat Porsche itu""
"Maksud Anda, Porsche Targa itu""
"Ya. Mobilnya sudah tidak baru."
"Saya tahu. Model '86, bukan""
"Betul. Nah, Pete, ini kuncinya."
Pete melihat ke bawah. Sinar matahari memantul pada kunci perak di tangan Michael Anthony.
"Apa maksud Anda"" tanya Pete. Jantungnya mulai berdebar-debar.
"Kau boleh bawa Porsche itu, untuk sementara sebagai pinjaman. Tapi mobilnya bisa menjadi milikmu, dan saya kira kau tahu apa yang ingin saya dengar agar itu menjadi kenyataan," ujar Michael Anthony sambil bersalaman dengan Pete. "Besok saya akan menelepon untuk mendengar jawabanmu. Selamat bersenang-senang."
"Dia pergi, Jupe," Pete berbisik pelan-pelan. "Santai. Tidak terburu-buru. Seakan-akan tak ada yang pe
rlu dikhawatirkannya. Dia naik T-Bird yang masih baru. Aku tidak bisa me-
83 lihat pelat nomornya. Sekarang aku menuju ke Porsche itu. Eh, sori, aku lupa. Sebelumnya aku buka bagasi dulu."
Setelah Michael Anthony berangkat, Pete menghampiri si Perahu dan mengeluarkan Jupe dari bagasi.
"Aku mendengar setiap kata," ujar Jupe. Ia menghirup udara laut dalam-dalam.
"Ayo, Jupe," desak Pete. Ia sudah tak sabar untuk menghampiri mobil sport berwarna biru itu. "Ayo, cepat sedikit dong! Wow, ini baru mobil! Kau tahu sebutan apa yang pantas untuk Porsche ini""
"Tentu. Sogokan yang amat mahal."
"Oke, sekarang kau bilang begitu, tapi tunggu saja sampai kau sempat kubawa jalan-jalan," balas Pete sambil membuka pintu sisi sopir. "Oh, Jupe. Oh, Jupe. Ayo, naik. Kita jalan-jalan dulu!"
"Pete, kau sudah sinting"" tanya Jupe. "Dia akan lolos. "Kita harus mengikutinya."
"Mengikuti siapa"" Pete balik bertanya. Ucapan Jupe sama sekali tak bermakna baginya.
"Michael Anthony," kata Jupe. "Kita harus mencari tahu ke mana dia pergi."
"Oh, yeah, tentu, gampang, beres, oke, ayo naik," jawab Pete. Sekarang benar-benar ada alasan untuk menjalankan mobil impian itu. "Eh, tunggu dulu!"
"Tunggu" Tapi dia sudah jauh!" seru Jupe sambil bergegas ke pintu sisi penumpang.
Pete buru-buru menghampiri si Perahu, lalu
84 meraih kacamata hitam dan sarung tangannya. Oke, sekarang kita bisa berangkat." Penuh semangat ia menyalakan mesin berkekuatan 247 tenaga kuda itu.
"Bagaimana dengan si Perahu"" tanya Jupe.
"Biarkan saja berkarat di sini!" Pete bersorak.
9. Kena Getahnya DENGAN wajah berseri-seri Pete menggenggam kemudi. Seumur-umur baru sekali ini ia mendapat kesempatan menggenggam kemudi sebuah Porsche 911 Targa.
"Dia semakin jauh!" teriak Jupe. "Cepat, jalan!"
"Sabar," kata Pete. Ia menatap panil instrumen di hadapannya. "Aku harus mencari letak segala sesuatunya dulu."
Jupe menunjuk dengan tangan kanan. Gayanya seperti guru taman kanak-kanak. "Ini kemudi Itu tongkat persneling, dan yang di bawah itu disebut pedal gas Kusarankan agar kau mulai menggunakan semuanya!"
Pete tidak memperhatikan Jupe. Ia terlalu asyik mencoba setiap tombol dan kenop pada dasbor. "Jupe, kau tahu kenapa begitu banyak orang menabrak pohon dengan Porsche yang baru mereka beli" Mereka pikir mobil ini sama saja dengan mobil-mobil lain."
Jupe menggeleng sedih. "Sekarang aku tahu kenapa polisi tidak pernah membeli Porsche.
86 Kalau membeli Porsche, mereka takkan pergi ke mana-mana dan takkan pernah berhasil menyelesaikan satu kasus pun-persis seperti nasib kita sekarang ini."
Tiba-tiba mobil itu melesat maju. Tenaganya begitu besar sehingga Jupe merasa seperti terpatri ke jok kulit yang didudukinya. Keempat ban terdengar berdecit-decit, kemudian melontarkan Porsche itu bagaikan roket.
"Wow!" kata Pete. Ia menyetir dan memindahkan gigi dengan gerakan yang cepat dan teliti. "Aku baru menyentuh pedal gas."
Porsche biru itu menyusuri jalan yang berbelok-belok, dan terus menambah kecepatan. Jupe memperhatikan lalu lintas di depan. Mereka mulai mendekati sebuah sedan. Pada detik berikutnya sedan itu sudah tertinggal jauh di belakang.
"Kuminta agar kau mengikuti Michael Anthony-bukan sampai lebih dulu di tempat tujuannya!" ujar Jupe.
"Apa"" tanya Pete. Ia seakan-akan berada di dunia lain.
"Apa warna mobilnya"" tanya Jupe.
Trio Detektif 55 Bintang Bola Basket di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh, dia naik Thunderbird hitam. Masih baru," jawab Pete sambil mengurangi kecepatan sampai batas yang diizinkan.
Jupe mencondongkan badan ke depan, serta memeriksa laci, asbak, dan kantong untuk peta di pintu.
"STNK-nya tidak ada," ia melaporkan. "Tak ada petunjuk bahwa mobil ini mempunyai pemilik. Kita harus mengusut pelat nomornya.
87 Barangkali hasilnya akan mengungkapkan siapa Mr. Anthony sebenarnya-atau untuk siapa dia bekerja. Tapi kurasa nama orang itu takkan bisa kita lacak."
"Itu dia! Di depan sana!" kata Pete.
"Jaga jarak," Jupe memperingatkan ketika ia melihat mobil hitam itu. "Dia tidak boleh tahu kita mengikutinya."
"Yeah, jangan khawatir," ujar Pete. "Tapi semoga dia terus berputar-putar. Naik mobil ini rasanya seperti di surga!"
Untuk sesaat Jupe membayangkan
wajah teman-temannya di Rocky Beach pada saat ia dan Pete melewati mereka. Semuanya membelalakkan mata karena iri dan tak percaya.
"Hei... dia membelok," suara Pete membuyarkan lamunan sahabatnya. "Dia masuk ke Oceanside Country Club."
"Hmm, menarik' sekali," kata Jupe. "Klub paling ekslusif di sekitar sini."
"Jupe," ujar Pete, sambil menekan pedal rem di awal jalan panjang yang menuju klub itu, "apa yang akan kita lakukan sekarang" Mereka pasti mengusir kita."
"Biarkan dia jalan dulu. Kemudian kita menyusul, menanyakan siapa yang naik Thunder-bird hitam itu, lalu memutar, dan pergi," Jupe berkata penuh percaya diri.
Pete berhenti di depan sebuah bangunan besar yang terbuat dari batu bata dan dicat putih. Di balik bangunan itu ia melihat hamparan pepohonan dan rumput dengan be-
88 berapa lapangan tenis, kolam renang, dan lapangan golf delapan belas lubang.
Pete membuka jendela untuk menanyakan pengemudi Thunderbird hitam tadi pada salah seorang petugas parkir.
Tapi pemuda itu malah membukakan pintu untuk Pete. "Selamat sore, Sir!" ia menyapa dengan sopan.
Dengan heran Pete menatap Jupe.
"Apakah Anda bisa memberitahu kami siapa yang mengemudikan Thunderbird yang baru saja masuk"" tanya Jupe.
"Maaf," si petugas parkir berkata. "Saya baru mulai bekerja di sini. Siapa belum mengenal siapa-siapa."
"Hmm," kata Jupe, tiba-tiba ia bersikap seakan-akan sudah bertahun-tahun menjadi anggota klub, "tampangnya seperti teman lama ayah saya. Kami akan menemuinya sebentar."
"Silakan," ujar si petugas parkir sambil menyerahkan karcis parkir pada Pete. "Mobilnya bagus sekali."
"Terima kasih," balas Pete. "Mau lihat mesinnya""
"Jangan macam-macam, Pete," Jupe menegurnya. Langsung saja ia menuju pintu masuk.
Setelah berada di dalam, Jupe dan Pete melangkah ke lobi besar berisi kursi dan sofa nyaman, bunga-bunga wangi, dan alunan musik lembut.
Perlahan-lahan mereka berjalan melintasi karpet oriental yang empuk ke arah ruang makan, sambil berusaha untuk tidak menarik
89 perhatian. Ruang makan itu berupa teras luas yang dikelilingi kaca, dengan meja dan kursi kayu gelap.
Jupe dan Pete berhenti di ambang pintu.
"Kau melihatnya"" tanya Jupe.
"Yeah," kata Pete. Ia segera melangkah mundur, dan mengangguk ke arah meja kecil di dekat salah satu jendela.
Michael Anthony sedang makan siang dengan seorang wanita muda yang cantik. Wanita itu mengenakan gaun hijau terang, yang membuat kulitnya yang kecokelat-cokelatan karena sinar matahari dan rambutnya yang cokelat kemerah-merahan semakin menonjol.
"Barangkali dia bekerja untuk wanita itu," kata Pete.
Namun pada detik yang sama Michael Anthony meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya. "Kelihatannya hubungan mereka bukan sekadar teman bisnis," ujar Jupe. "Meski begitu, wanita itu mungkin saja terlibat dengan kasus ini."
"Hei," bisik Pete, sambil menyikut Jupe, "ada yang datang, tampangnya seperti manajer."
"Paling-paling kepala pelayan," Jupe meralat.
"Aku tidak peduli siapa dia. Yang jelas dia tidak gembira melihat kita di sini. Bagaimana sekarang""
Jupe mendesah. "Sayang kita tidak bisa ikut makan siang. Salad udangnya benar-benar mengundang selera."
Pete dan Jupe kembali ke mobil untuk menunggu Michael Anthony. Jupe terus me-
90 mandang pintu masuk, sementara Pete menekan tombol-tombol radio dan mengatur equalizer.
"Enam pengeras suara," katanya dengan bangga.
Namun Jupe tidak terkesan. "Coba cari di mana kau harus menancapkan kunci kontak. Michael Anthony baru saja keluar."
Pria itu masih menggenggam tangan wanita muda tadi. Tetapi masing-masing masuk ke mobil sendiri.
"Siapa yang harus kuikuti"" tanya Pete.
"Michael Anthony, tentu saja," jawab Jupe.
Mereke menuju selatan, melewati Rocky Beach, Santa Monica, dan El Porto Beach. Kemudian Anthony membelok dari jalan raya dan menyusuri beberapa jalan yang lebih kecil, sampai akhirnya berhenti di depan pagar batu dengan gerbang besi. Papan nama pada dinding batu berbunyi COSTA VERDE COLLEGE.
Otak Jupe langsung mulai bekerja. Rasanya seperti ia telah berjalan tanpa air selama beberapa hari, dan tiba-tiba berdiri di tepi samudra.
"Costa Verde-musuh bebu
yutan Shoremont!" Jupe bergumam ketika Pete mengikuti mobil hitam di depan mereka. "Ada kemungkinan menarik: Michael Anthony bekerja untuk Costa Verde College-barangkali untuk Coach Bernie Mehl. Karena tahu reputasi Duggan memang mencurigakan, mereka sengaja membayar pemain-pemain Shoremont untuk membuat skandal."
91 "Coach Duggan juga berpikiran begitu. Dia mengatakannya secara langsung dalam wawancara TV setelah pertandingan semalam," Pete bercerita.
"Betul"" tanya Jupe. "Aku tidak melihat wawancaranya. Apa yang dikatakannya""
"Dia bilang, 'Bernie Mehl ingin membuat skandal untuk menghancurkan saya.'"
"Hmm." Jupe terdiam sejenak. "Barangkali usaha penyuapan itu meliputi lebih dari satu perguruan tinggi. Michael Anthony mungkin bertindak sebagai pengantar untuk beberapa perguruan tinggi."
Pete langsung tampak lesu.
"Ini baru kemungkinan saja, Pete."
"Yeah, tapi kalau urusannya begitu besar, kita takkan sanggup mengumpulkan bukti yang cukup," balas Pete.
"Ayo," Jupe membujuk ketika Pete memasuki sebuah pelataran parkir. "Paling tidak kita sudah tahu dari mana kita harus mulai."
Untuk selanjutnya mereka terpaksa mengikuti Michael Anthony dengan berjalan kaki. Pria itu tampak berjalan dengan pasti ketika menyusuri jalan-jalan setapak di kampus kecil itu. Pete dan Jupe berlari kecil, agar tidak kehilangan jejak.
"Hei, kau! Betet gendut berotak udang!"
Nada suara itu begitu marah sehingga Jupe berhenti sambil terheran-heran. Ia melihat empat pemuda berdiri di bawah pohon. Seketika ia mengenali dua di antara mereka.
"Wah," kata Pete. "Kelihatannya seperti No-
921 mor 32 dan 52-kedua pemain basket yang menghajarmu semalam. Tenang saja. Kita bisa mengatasi mereka sekali lagi."
Keempat mahasiswa Costa Verde itu menjatuhkan buku masing-masing, lalu bergegas mendekati Jupe.
"Hei, rupanya si Betet belum puas sema-lam!
"Pete," ujar Jupe, "kurasa kita tidak bisa mengatasi keempat-empatnya. Saranku, lari!" Jupe langsung melesat.
Pete mengikuti contohnya. Dalam sekejap ia sudah melewati Jupe. Keempat pemuda itu terus mengejar-semakin lama semakin mendekat.
"Mereka akan membantaiku!" Jupe berseru sambil tersengal-sengal.
"Kita berpencar saja," balas Pete. "Aku akan berusaha memancing mereka ke arahku."
Jupe berlari dengan sekuat tenaga, tapi ia tidak bisa menemukan mobil Pete maupun pelataran parkir. Karena itu ia menuju sebuah lapangan rumput. Ia menoleh ke belakang, dan melihat hanya seorang pemain basket yang mengikuti Pete. Berarti masih ada tiga pemuda berotot yang harus dihadapi Jupe.
Ia mencapai sebuah jalan dan menyeberanginya tepat di depan hidung sebuah mobil, lalu menyusuri gang sempit di antara dua gedung kuliah. Tetapi ketika ia membelok di ujung gang, ia menabrak sekelompok mahasiswa Costa Verde.
"Kenny! Tangkap bajingan itu!" sebuah suara
93 dari belakang Jupe berseru. Jupe merasakan dua tangan menggenggam lengannya. Kedua tangan itu pasti milik Kenny, salah seorang dari kelompok yang ditabraknya.
Jupe berhasil membebaskan diri, tapi ketiga pemain basket itu sudah hampir menyusulnya. Sedetik kemudian ia kembali merasakan genggaman. Kali ini si Nomor 52, yang memakai T-shirt hijau Costa Verde. Ia tetap menggenggam Jupe dan menariknya ke belakang. Lalu, sebelum Jupe sadar apa yang sedang terjadi, ketiga lawannya mulai mendorong, memukul, dan menghajarnya.
Jupe meronta-ronta dan menggeliat-geliat, tapi sia-sia. Dengan tangan dan kaki dipegang oleh tiga pemuda berbadan raksasa, tendangan judonya hanya menghantam udara. Tiba-tiba Jupe merasa dirinya diangkat dan dibawa per-gi. Ke mana ia akan dibawa" Dalam sekejap ia telah menemukan jawabannya. Para penyerang menurunkannya dengan kasar, lalu memasukkannya ke keranjang sampah di pojok jalan.
"Ini tempat yang pantas untukmu!" kata si Nomor 52, sambil menendang bagian luar keranjang.
"Yeah-lain kali jangan keluar kandang, Betet. Dan jangan kotori koran di dasarnya!"
Ketiga-tiganya tertawa, lalu berbalik dan melangkah pergi.
Jupe betul-betul marah, malu, lecet-lecet, pegal-pegal-dan selain itu ada sesuatu di dasar keranjang sampah yang menempel pada cela-
94 nanya. Tapi sebelum ia sempat memeriksanya, Pete sudah muncul dengan Porsche-nya.
"Ayo, naik!" Pete berseru sambil menurunkan jendela. Perlahan-lahan Jupe memanjat keluar dari keranjang sampah, masuk ke Porsche, dan mengunci pintu. Sesaat ia duduk membisu, terengah-engah, dan bermandikan keringat. Kemudian ia menyadari bahwa bibir Pete pecah dan matanya bengkak.
"Lawanmu cukup merepotkan, ya""
Pete mengangguk tanpa berkata apa-apa.
"Tapi paling tidak kita berhasil lolos," ujar Jupe.
"Bukan kita saja," balas Pete sambil mengerutkan kening. "Waktu aku sampai di pelataran parkir, Thunderbird hitam itu sudah lenyap. Michael Anthony berhasil mengelabui kita."
95 10. Tuan Kantong Tebal "MICHAEL ANTHONY berpesan bahwa dia akan meneleponmu hari ini. Karena itu kita harus menunggu di sini sampai kita mendapat kabar darinya," ujar Jupe. Ia sedang sibuk menghubungkan tape recorder dengan telepon tanpa kabel di dapur Pete.
"Tapi, Jupe, ini Sabtu pagi," Pete membantah. "Aku tidak bisa menunggu di sini sepanjang hari." Ia melihat ke luar jendela. Pandangannya tertuju pada Porsche biru di depan garasi. "Mobil itu tidak aman di luar sana."
Jupe mengangkat alis. "Apa""
"Semalam aku terus ditelepon orang-orang yang memohon agar mereka boleh mengendarai Porsche itu-dan setengah dari mereka bahkan tidak kukenal." Pete rupanya mulai agak gelisah, sebab ia menyiram corn flakes-nya dengan orange juice, bukannya dengan susu. "Aku memberitahu orangtuaku bahwa mobil itu bagian dari kasus yang sedang kita tangani. Kalian tahu bagaimana tanggapan mereka""
96 "Bagaimana"" tanya Bob.
"Mereka tanya padaku apakah mereka boleh mengendarainya!" ujar Pete, sambil memasukkan satu sendok corn flakes ke mulut. "Semua orang ingin mengendarai mobil itu."
"Kalau kau tidak keberatan, aku juga mau berputar-putar sebentar sementara kalian tunggu di sini," kata Bob.
Pete memutar-mutar mata. "Kurasa mobil itu satu-satunya alasan kenapa kau di sini dan bukan di kantor."
"Oh, aku baru ingat," ujar Bob. "Sax juga ingin mencobanya."
Pete hampir saja melemparkan sesendok corn flakes ke arah Bob ketika telepon berdering.
"Aku kan sudah bilang dia akan menelepon," kata Jupe. Ia berdiri dan menghidupkan tape recorder. "Usahakan agar dia bicara selama mungkin, Pete. Dia satu-satunya petunjuk yang kita miliki."
Pete menyalakan pengeras suara pada pesawat telepon, agar semua bisa ikut mendengarkan percakapannya. Tapi yang menelepon ternyata Kelly.
"Main ski memang menyenangkan, tapi aku kangen, Pete," kata gadis itu. "Kau juga kangen""
"Ehm, tentu," jawab Pete. "Tapi tunggu dulu, Kel. Pengeras suaranya masih hidup."
"Oh. Halo, Bob. Halo, Jupe-maksudku, Tuan Mahasiswa," ia menambahkan sambil cekikikan.
Jupe memelototi pengeras suara.
97 "Apa saja kerjamu selama ini, Petey" Memperbaiki si Perahu""
"Tidak," balas Pete, sambil mengedipkan mata ke arah Jupe dan Bob. "Sebenarnya, aku malah tidak tahu di mana besi tua itu. Aku sudah punya kendaraan baru."
"Kau sudah menukarkan mobilmu" Hei, ini rekor baru. Apa yang kaudapat kali ini""
"Sebuah Porsche."
"Petey, mungkin salurannya agak terganggu. Kedengarannya kau mengatakan Porsche."
"Porsche 911 Targa. Model '86. Warna biru."
"Serius dong. Ada apa sebenarnya""
"Betul kok," ujar Bob. "Pete punya Porsche. Mobil itu merupakan pembayaran tahap ketiga dari orang yang berusaha menyogoknya."
Sesaat Kelly terdiam. "Pete, kalau memang sayang padaku, kau harus berjanji bahwa kalian takkan menyelesaikan kasus ini sampai aku pulang dan sempat mencoba mobil itu."
"Nah, apa kubilang"" Pete mendesah sambil menatap kedua sahabatnya.
"Kalau melihat perkembangan selama ini, Jupe berkomentar dengan murung, "Pete pasti bisa menepati janji itu."
Pukul 10.15 telepon kembali berdering. Bob mengangkatnya. Kali ini peneleponnya seorang gadis bernama Valerie. Ia dan Bob mengobrol selama lima menit, sebelum mereka sadar bahwa mereka tidak saling mengenal. Rupanya Valerie salah memutar nomor. Meski demikian mereka tetap membuat janji untuk pergi ke bioskop bersama-sama.
98 "Kalau aku terima telepon yang salah sambung, orangnya selalu mencoba membujukku untuk berlangganan majalah,"
Jupe mendesah. Pukul 11.00 tepat telepon berdering untuk ketiga kalinya. Jupe berdiri paling dekat, sehingga ia yang menyahut. Suara yang didengarnya sempat membuatnya terkejut. Suara itu milik Mr. Harper, pimpinan Shoremont College. Pesawat di markas mereka telah memindahkan sambungannya secara otomatis ke rumah Pete.
"Jupe, apakah kau dan teman-temanmu bisa datang ke kantor saya pukul empat sore ini"" Mr. Harper bertanya.
"Tentu saja," jawab Jupe. Kemudian ia melihat jam di dinding dapur. Mereka punya waktu lima jam untuk menduga-duga kenapa suara Mr. Harper terdengar begitu cemas, dan kenapa Michael Anthony tidak menelepon.
Sepanjang siang telepon tidak berdering lagi. Sekitar pukul dua Pete begitu resah sehingga Jupe dan Bob mulai jengkel.
"Sampai kapan kalian mau menunggu kabar dari Michael Anthony"" tanya Pete. Berulang kali ia melemparkan kunci Porsche ke udara, lalu menangkapnya kembali.
"Aku mulai curiga dia takkan menelepon," Jupe mengakui. "Rupanya dia sempat melihat kita kemarin, ketika kita mengikutinya ke Costa Verde."
"Sayang sekali," ujar Pete. Kemudian ia tersenyum lebar. "Oke, aku mau pergi dulu."
"Tolong antarkan aku ke tempat Sax, ya""
99 ujar Bob. "Aku tidak bisa ikut nanti sore. Nanti malam dan besok aku harus bekerja. Senin juga."
"Yeah," Jupe dan Pete menggerutu berbarengan.
Ketiga sahabat itu masuk ke Porsche, dan mengantarkan Bob ke tempat Sax. Setelah itu Pete dan Jupe berputar-putar sampai menjelang pukul empat, lalu menuju Shoremont.
Gedung administrasinya lengang dan tenang, seperti biasa pada Sabtu sore. Kali ini Pete dan Jupe menemui Mr. Harper duduk di balik meja, bukan di atasnya. Ia sedang meluruskan jepitan kertas, dan wajahnya kelihatan muram. Mr. Harper ditemani oleh pria lain, yang duduk di kursi kulit hitam.
"Jupiter Jones dan Pete Crenshaw, ini John Hemingway Powers," Mr. Harper memperkenalkan tamunya.
Oh ya, Jupe mengingat-ingat, si tuan kantong tebal yang hendak menyumbangkan uang untuk pembangunan gedung olahraga baru.
Pria itu berdiri. Tingginya sedang-sedang saja. Rambutnya berombak dan gelap. Kumis tipis melintang di atas bibirnya. Penampilannya sama dengan semua eksekutif sukses berjas biru-kecuali matanya. Matanya gelap, dan tatapannya seakan-akan menembus Pete dan Jupe ketika mereka bersalaman dengannya.
"Saya mendapat informasi dari Mr. Harper bahwa kau menerima uang suap untuk mendaftarkan diri di Shoremont," ia berkata pada
100 Pete. "Dan kau" ia melanjutkan ketika matanya berpaling ke arah Jupe, "menyamar sebagai mahasiswa untuk mengusut siapa yang mengirim uang itu."
Mr. Harper berdehem. "Tadi pagi Mr. Powers dan saya bermain tenis," ia menjelaskan. "Dan ketika kami bermain, dia menyinggung bahwa dia akan ingin memberi sumbangan tambahan- untuk memperbesar dana Coach Duggan. Saya memberitahunya bahwa saya kurang setuju, lalu berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Tetapi..."
Powers memotong dengan tegas, "Kalau seseorang mencegah saya untuk melakukan sesuatu, saya ingin tahu kenapa."
Mr. Harper meneruskan penjelasannya, "Akhirnya saya memutuskan bahwa John berhak mengetahui alasannya. Untung saja John bisa memahami dan menghargai cara kita mengatasi persoalan ini. Dia bahkan menawarkan diri untuk membantu penyelidikan kita. Tapi tentu saja John dan saya sama-sama ingin mencegah terjadinya skandal."
"Jadi bagaimana"" tanya Powers sambil menatap Jupe dan Pete dengan tajam. Jupe segera mengerti. John Hemingway Powers ingin tahu apa yang sedang terjadi-dan ingin mengetahuinya sekarang juga.
"Saya pikir dalam waktu singkat kita sudah bisa memastikan pemain mana saja yang menerima uang suap, dan siapa yang bertanggung jawab atas semuanya," ujar Jupe, sambil memasang tampang yakin. "Pete didatangi pria
101 bernama Michael Anthony. Dia memberi Pete sebuah mobil..."
"Sebuah Porsche," Pete memotong.
"Dan dia juga mengaku bekerja untuk orang lain. Tapi sejauh ini kami belum tahu untuk siapa."
"Dugaan kalian"" tuntut Powers.
"Coach Duggan," jawab Mr. Harper.
"Betul," kata Jupe. "Kemungkinan lain adalah Bernie Mehl berusaha menjebak Coach Duggan."
"Yeah. Kami sempat mengikuti Mi
chael Anthony ke kampus Costa Verde," Pete menambahkan.
"Begini, saya tidak peduli siapa orangnya," kata Mr. Harper. "Saya hanya minta kalian mendapatkan bukti yang kita perlukan agar masalah ini bisa dituntaskan secepatnya. Kita harus membereskan urusan ini sebelum pihak pers mencium ada yang tidak beres di Shoremont."
Powers berpaling pada Mr. Harper. "Chuck, saya percaya kau menangani masalah ini dengan cara tepat. Kelihatannya mereka bisa diandalkan."
Kemudian Powers menatap Pete. "Saya harap kau tidak mendapat gambaran yang keliru mengenai Shoremont. Hal-hal yang saya pel-ajari ketika masih menjadi mahasiswa di sinilah yang membantu saya mencapai posisi yang saya duduki sekarang ini. Dan kalau kau memang atlet yang menonjol, kami akan gem-
102 bira sekali jika kau mendaftarkan diri di Shoremont-tapi tanpa imbalan uang."
Ketika Jupe dan Pete meninggalkan gedung administrasi, Pete berkata, "Si Powers itu luar biasa. Kurasa gempa bumi pun akan menuruti perintahnya."
"Yang jelas, dia akan berusaha memaksakan kehendaknya," Jupe sependapat. "Sepertinya dia menuntut agar kita menyelesaikan kasus ini dalam satu hari."
"Besok Minggu. Bagaimana peluangnya""
"Semuanya tergantung pada keterangan yang bisa kukorek dari Walt Klinglesmith. Menurut rencana, sejam lagi aku harus mem-beri bimbingan kimia padanya. Sampai nanti."
Jupe menunggu Walt di student center, sambil menyusun strategi.
Strategi nomor satu adalah memancing Walt untuk buka mulut. Jupe akan mulai dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Pertanyaan seperti "Siapa yang menarikmu ke tim Shoremont"" dan "Apa yang membuatmu mengambil keputusan menerima tawaran itu"" Jika cara halus itu tidak berhasil, ia mungkin akan menanyakan masalah uang suap secara langsung pada Walt. Menurut Jupe, kalau di antara para pemain basket ada yang mau berterus terang, Walt-lah orangnya.
Strategi nomor dua adalah memeriksa kantor Coach Duggan dengan saksama. Duggan tetap merupakan tersangka utama, tapi sejauh ini Jupe belum berhasil mendekatinya untuk mengorek keterangan.
103 Strategi nomor tiga merupakan strategi cadangan. Pete-lah yang mengusulkannya-sebuah penyelidikan berskala penuh terhadap Bernie Mehl, pelatih basket Costa Verde. Jupe terpaksa mengakui bahwa usul itu memang masuk akal. Tapi ia juga sudah memberitahu Pete bahwa ia enggan pergi ke kampus Costa Verde untuk sementara waktu. Ia tidak berminat menjadi korban para pemain Costa Verde yang masih ingin mencicipi darah si burung nuri. Jupe lalu mengusulkan agar Pete menyelidiki Bernie Mehl seorang diri, yang dibalas oleh Pete, "Selama ini kita lebih sering bekerja sebagai duo detektif, karena Bob selalu sibuk. Itu saja sudah cukup menyebalkan. Tapi solo detektif" Nanti dulu!"
"Halo, Jupiter," suara seorang gadis membawa Jupe kembali ke dunia nyata.
Jupe berbalik dan melihat Cathy, si cheerleader yang selalu berbicara dengan terburu-buru. Ia menghampiri Jupe, yang sedang duduk di lobi student center.
"Halo" Apa kabar, Jupe" Penampilanmu di pertandingan lawan Costa Verde benar-benar luar biasa. Minggu ini kau bakal menjadi burung nuri lagi, kan" Soalnya Steve masih pincang."
"Ehm... ya... mungkin..." Jupe tergagap-gagap.
Cathy duduk di samping Jupe. "Jupiter, kau punya waktu untuk membantuku membuat tugas filsafat" Aku yakin kau pasti banyak ide. Kau mau, kan""
Aduh, sekarang ini lagi! Jupe mengeluh da-
104 lam hati. Pekerjaan rumah dan tugas kuliah sungguhan. Sejauh ini, dengan cara bolos kuliah Jupe berhasil menghindari tugas-tugas yang terlalu menyita waktu. Dan ia tidak ingin mengubah keadaan itu.
Jupe berusaha menjawab tanpa mengatakan apa-apa. Akhirnya Walt Klinglesmith muncul.
"Sori, aku terlambat, Jupe," kata Walt. "Halo, Cathy."
"Halo, Walt," balas Cathy.
"Wah, sori Jupe, aku benar-benar capek. Aku tidak bisa belajar hari ini. Coach Duggan memaksa kami berlatih sampai hampir pingsan. Aku mau pulang istirahat."
Jupe mengerutkan kening. Kesempatannya untuk mengetahui lebih banyak tentang usaha penyuapan telah lenyap.
"Hei, jangan serius begitu dong," ujar Walt. "Bagaimana kalau kau ikut kami ke pesta di apartemen Cory malam
Rabu besok" Pasti ramai sekali. Kalau mau, kau bisa ajak teman."
"Ide bagus, Jupe. Barangkali kita bisa membahas tugas filsafatku di sana," goda Cathy.
"Yeah, tentu," kata Jupe sambil tersenyum.
*** Pesta berlangsung di apartemen Cory-kedengarannya seperti tempat yang ideal untuk mencari informasi. Tapi kasus mereka tidak bisa menunggu sampai malam Rabu. Mereka sudah mulai kehabisan waktu, dan tekanannya
105 semakin besar-terutama sejak John Hemingway Powers, si tuan kantong tebal, mulai ikut campur. Jupe memutuskan untuk melewatkan Minggu pagi dengan memfokuskan diri pada tersangka utama: Coach Duggan. Seharusnya sudah dari dulu ia berkunjung ke kantor Duggan, dan pada jam segitu gedung olahraga mungkin kosong, pikir Jupe ketika ia bergegas melintasi kampus.
Salah. Bunyi bola basket membentur lantai terdengar menggema begitu Jupe membuka pintu. Ia mengintip ke dalam dan melihat seluruh tim telah berkumpul. Duggan memang pelatih bertangan besi, Jupe menyadari. Pantas saja para pemain begitu bersemangat untuk mengadakan pesta pada malam Rabu. Mereka tidak berani berpesta pada malam Minggu, karena keesokan paginya mereka harus latihan!
Jupe mengendap-endap ke kantor Duggan. Ia sengaja melewati lorong di belakang lapangan basket, agar tak ada yang melihatnya. Siapa tahu kali ini ia lebih beruntung.
Jantung Jupe berdebar-debar. Kalau Duggan tiba-tiba muncul... kalau Jupe sampai tertangkap basah... penyamarannya akan segera terbongkar.
Ia berhenti di lorong di luar kantor Duggan, melihat ke kiri-kanan, lalu mencoba membuka pintu. Ternyata pintunya tidak dikunci. Jupe segera menyelinap masuk dan berdiri di ruang tunggu. Ia harus bekerja cepat.
Dengan tangan agak berkeringat, Jupe me-
106 masukkan selembar kertas ke mesin tik di meja sekretaris dan mengetik beberapa kata. Kemudian ia mengangkat kertas itu ke depan lampu, dengan salah satu pesan yang diterima Pete menempel di baliknya. Apakah huruf-hurufnya cocok" Jupe membutuhkan beberapa detik untuk memutuskannya-tidak. Karena itu ia pindah ke ruang kerja si pelatih, dan menutup pintu.
Langsung saja ia menyalakan komputer, agar bisa membuat printout dan membandingkannya dengan pesan si penyuap. Tapi bunyi printer membuatnya gelisah. Apakah bunyinya bisa didengar dari luar" Mungkin. Yang lebih gawat lagi, akibat bunyi itu Jupe tidak bisa mendengar apakah ada orang masuk.
Sementara printer bekerja, Jupe memeriksa kertas-kertas di meja Duggan dengan hati-hati, agar letak masing-masing tidak berubah. Ia membaca berbagai catatan, laporan mengenai pemain-pemain berbakat, buku tentang strategi bertanding, dan daftar peralatan. Ia bahkan meneliti buku tabungan pribadi Coach Duggan, yang tergeletak begitu saja di meja.
Tiga perempat jam kemudian Jupe terpaksa menyerah. Ia tidak berhasil menemukan apa pun yang dapat memberatkan Duggan. Dan printout komputer pun tidak sama dengan tulisan pada pesan untuk Pete.
Bagaimana sekarang" Jupe bertanya dalam hati. Apakah ini berarti Duggan bersih" Ataukah Duggan terlalu cerdik untuk mereka"
107 Ataukah ada orang lain yang patut dicurigai- seseorang yang sejauh ini luput dari perhatian mereka"
Ada satu kemungkinan lagi, pikir Jupe, ketika pulang naik bus. Barangkali Michael Anthony yang misterius itu tidak bekerja untuk orang lain. Barangkali dia bekerja untuk dirinya sendiri!
108 11. Sebuah Peringatan PADA hari Senin penyelidikan mereka terhenti total. Hari itu hari libur, sehingga baik di Shoremont maupun di Costa Verde tidak ada kuliah. Dengan setengah hati Jupe menelepon Coach Bernie Mehl di rumahnya, karena berharap bisa mengajukan beberapa pertanyaan. Tapi rupanya Mehl tidak ada di rumah.
Karena itu Jupe dan Pete menghabiskan sepanjang hari di markas, bermain video game dan mengutak-atik peralatan elektronik. Hari itu hari paling santai sejak liburan mereka dimulai.
Hari Selasa berbeda sama sekali. Jupe mempunyai firasat mereka akan mengalami sesuatu yang sangat membantu penyelidikan mereka. Mungkin mereka akan menemukan petunjuk di pesta Cory Brand malam itu. Jupe melewatkan sore itu di bengkelnya, bersiap-siap pergi ke pesta.
Ketika Jup e mendengar pintu bengkel di belakangnya membuka, ia segera mematikan video recorder.
109 "Jupe, aku punya berita untukmu," kata Pete sambil bergegas masuk. "Hei, kau lagi nonton apa" Film tua""
"Tidak, aku tidak menonton apa-apa," jawab Jupe. Cepat-cepat ia berusaha mengalihkan pembicaraan. "Ada berita apa""
Pete menatap wajah Jupe. Sepertinya sahabatnya itu sedang menutup-nutupi sesuatu. "Kau lagi nonton apa""
"Aku tidak menonton apa-apa," balas Jupe lebih tegas.
"Kalau begitu kenapa monitornya hidup, dan kenapa kau menggenggam remote-controP Kau lupa, ya, aku juga anggota Trio Detektif""
Jupe berdehem. "Oke, aku memang nonton sesuatu."
"Coba kulihat."
Jupe berusaha mencegah Pete mendekati video recorder. Tapi Pete menghindar dan menekan tombol play.
Seketika gambar Jupe muncul di monitor. Ia tampak berdiri di tengah bengkel elektronik sambil mengenakan blue jeans dan T-shirt kuning dengan tulisan AKU MINTA KESEMPATAN KEDUA. Jupe terlihat berputar, dan merapikan pakaiannya di depan kamera. Tampak samping... tampak belakang... Kemudian gambarnya menjadi kabur. Adegan berikutnya menampilkan Jupe dengan celana pendek cerah dan T-shirt bertulisan KALAU HIDUP MEMANG SEPERTI PESTA, KENAPA AKU DIET" Setelah itu gambarnya berubah lagi. Kali ini Jupe memakai celana training dengan
110 T-shirt bertulisan OLAHRAGAWAN SEJATI: AKU LARI DARI KENYATAAN
"Apa ini-The Jupiter Jones Show"" tanya Pete.
"Ehm, bukan. Ehm, salah satu kamera kita perlu diperbaiki, jadi aku membetulkannya," jawab Jupe.
"Jangan bohong! Kau sedang memilih baju yang akan kaupakai ke pesta Cory Brand nanti malam," balas Pete.
"Yang benar saja!" ujar Jupe sambil mematikan video recorder.
"Menurutku, semuanya oke," Pete berkomentar. "Tapi mungkin kita takkan pergi ke pesta itu."
"Kenapa tidak"" Jupe ingin tahu.
"Aku kan sudah bilang aku punya berita untukmu, Jupe. Berita bagus, lagi," kata Pete. "Aku akhirnya berhasil menghubungi kenalan kita di kantor polisi. Komputer mereka ternyata mati sepanjang akhir pekan, dan baru tadi pagi berhasil diperbaiki. Jadi, dia membantuku melacak pelat nomor Porsche-ku."
"Siapa pemiliknya""
"Barry Norman, Lyle Street 45, Manhattan Beach, California," jawab Pete, lalu menarik printout komputer dari kantong belakang, dan menyerahkannya pada Jupe.
Jupe membaca printout itu beberapa kali, sebelum berkata, "Mari kita temui dia."
Kedua sahabat itu. naik ke Porsche, dan sekitar satu jam kemudian Pete berhenti di depan Lyle Street 45, sebuah bangunan kan-
111 tor berlantai empat yang terbuat dari beton dan kaca.
"Sebaiknya kau parkir agak jauh dari sini," Jupe menyarankan. "Jangan sampai Mr. Barry Norman melihat Porsche-nya, lalu memutuskan untuk kabur. Aku akan menunggumu di lobi."
Satu menit kemudian Pete membuka pintu lobi, dan menemukan Jupe sedang mengamati papan petunjuk berwarna hitam yang menempel di dinding. Nama semua penyewa gedung tercantum dengan huruf putih kecil-kecil.
"Barry Norman... Ruang 421. Ini terlalu mudah," kata Jupe, sambil berjalan ke lift.
Ruang 421 ternyata dikunci. Pada daun pintu terdapat papan nama emas.
"Barry Norman, advokat," Jupe membaca. "Dia pengacara."
"Dia akan memerlukan pengacara pada saat kita sudah selesai dengannya," Pete berkomentar sambil mengetuk pintu. Mula-mula pelan, lalu lebih keras, ketiga kalinya begitu keras sampai daun pintu nyaris copot dari engselnya. "Tidak ada siapa-siapa."
"Aku menarik kesimpulan itu pada waktu kau mengetuk untuk kedua kalinya," kata Jupe. Ia sudah hampir sampai di depan lift.
Setelah sampai di jalan, mereka masuk- ke Porsche. Namun dari tempat mereka parkir, gedung kantor Barry Norman tidak kelihatan. Karena itu Pete berputar ke Lyle Street, dan menyelip ke tempat parkir kosong di dekat sebuah telepon umum.
112
Trio Detektif 55 Bintang Bola Basket di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka menunggu. Setiap kali seorang pria memasuki bangunan itu, mereka memberinya beberapa menit untuk mencapai kantornya. Kemudian Pete bergegas ke telepon umum dan memutar nomor telepon Barry Norman. Tak sekali pun ia mendapatkan jawaban.
"Sudah jam tujuh, Jupe. Aku sudah muak menunggu di sini," kata Pete akhirnya. "Dia takkan kembali ke kantornya hari i
ni." "Penjelasan logis mengapa dia tidak kembali adalah karena dia sedang mengikuti sidang pengadilan, atau sedang menemui klien," ujar Jupe. "Tapi entah kenapa aku merasa ada alasan lain. Sayangnya aku tidak tahu apa alasannya. Hmm, rasanya kita takkan mendapatkan apa-apa lagi hari ini."
"Hore! Waktunya berpesta!" Pete berseru sambil menghidupkan mesin. "Mari kita berangkat ke apartemen Cory Brand."
"Tunggu! Aku harus pulang dan berganti pakaian dulu."
Pesta sudah berjalan dengan semarak ketika Pete dan Jupe tiba. Jupe memakai sweter Shoremont College ungu-putih-sweter yang minggu lalu dibelinya di toko buku kampus. Entakan musik mengguncang-guncang dinding apartemen Cory yang modern dan luas. Di mana-mana mahasiswa-mahasiswa terlihat asyik mengobrol atau berdansa-di ruang tamu, di dapur, di atas sofa. Jupe mengenali beberapa pemain basket dan cheerleader.
"Tempat ini boleh juga," Pete memuji sambil
113 melihat berkeliling. "Aku juga ingin punya apartemen seperti ini kalau sudah jadi mahasiswa."
"Bisa saja, asal kau mendaftar di Shoremont," kata Jupe dengan tajam. "Pasang telinga lebar-lebar. Ini kesempatan emas untuk mencari tahu pemain mana saja yang menerima uang suap. Dan jangan lupa, kau berkenalan denganku tahun lalu di Rocky Beach High School... tadi kita kebetulan bertemu, dan aku mengajakmu ke sini. Kauingat semuanya""
Tentu. "Hei, Jupiter!" Cory Brand memanggil. Ia menembus kerumunan orang untuk menemui Jupe di pintu.
"Halo, Cory! Kenalkan, ini temanku, Pete," kata Jupe.
"Halo, Pete!' Cory terpaksa berteriak agar suaranya kedengaran. "Hei, jangan bengong saja. Ambil minuman dan bersenang-senanglah sebelum polisi membubarkan pesta ini."
Cory tertawa dan melangkah pergi. Jupe dan Pete mengelilingi ruangan. Pete sesekali berhenti untuk mencomot makanan kecil yang disediakan, tapi Jupe terus berputar.
"Halo, Jupiter."
Jupe langsung mengenali suara merdu itu. Ia berbalik sambil memikirkan apa yang harus ia katakan. "Ehm, halo, Sarah," katanya. Seseorang menabraknya, sehingga ia terdorong mendekati cheerleader cantik itu.
Untuk sesaat keduanya membisu.
"Kau suka mata kuliah yang kauambil""
114 tanya Sarah. Ia memalingkan muka. "Wow, itu pertanyaan yang benar-benar konyol."
"Aku pernah mendengar pertanyaan yang lebih konyol dari itu," Jupe menanggapinya sambil tersenyum.
"Maksudku... maksudku... aku lebih suka mendengarkan orang daripada bercerita."
"Ehm, aku juga," ujar Jupe cepat-cepat.
Sarah tertawa. "Kurasa kau bukan tipe orang yang suka mendengarkan orang lain. Aku mendengar celotehmu di pertandingan basket. Kau lucu sekali sebagai burung nuri."
"Ehm," kata Jupe. Entah bagaimana orang dengan kosakata paling lengkap di seluruh kampus bisa melupakan semua kata selain "ehm""
Tiba-tiba Jupe merasakan bahunya digenggam dan didorong maju-mundur dengan lembut oleh sebuah tangan besar. Ia melihat bahu Sarah mengalami perlakuan yang sama.
"Apa kabar, kalian berdua"" tanya seorang pemuda berambut hitam yang menutupi kerah bajunya. Ia berlogat Texas, dan sedang berteriak ke telinga Jupe. Napasnya berbau bir.
Aduh, kenapa aku selalu sial" Jupe bertanya-tanya. Raksasa ini mau mendekati Sarah. Mana mungkin aku bisa bersaing dengan dia"
"Tim," kata Sarah, "kau terlalu banyak minum."
"Hei," jawab pemuda itu. "Aku yang membayar persediaan bir untuk pesta ini. Dan tak ada undang-undang yang melarangku me-
115 nenggak semuanya sampai habis! Jadi, siapa pacarmu ini""
Sarah dan Jupe sama-sama tersipu-sipu.
"Tim Frisch, ini Jupiter Jones."
"Halo. Kau punya saudara bernama Mars atau Venus" Hahahaha!"
Jupiter memaksakan diri untuk tersenyum. Akhirnya ia bertemu dengan pemain inti kelima. Sepanjang minggu lalu Tim membolos terus, sehingga Jupe tidak berhasil melacaknya. Sekarang Jupe mengamatinya dengan saksama. Tim mengenakan pakaian yang kelihatan mahal. Dia juga mengaku bahwa dialah yang membayar seluruh persediaan bir. Barangkali dia termasuk pemain yang dibayar oleh Michael Anthony.
Tombak Raja Akherat 2 Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan The Revelation 1