Misteri Bisikan Mumi 2
Trio Detektif 03 Misteri Bisikan Mumi Bagian 2
Dicondongkannya tubuh mendekati alat pengeras suara, lalu menekan sebuah tombol di situ. "Di sini Markas Besar," katanya, "memanggil Penyelidik Satu. Masuk, Penyelidik Satu!"
Letak tombol dipindahkan, disusul bunyi mendengung keluar dari alat pengeras suara. Kemudian terdengar suara Jupiter.
"Di sini Penyelidik Satu. Aku akan menggabungkan diri begitu aku bisa. Kelihatannya kalian tadi memakai periskop. Turunkan, jika sudah tidak dipakai lagi. Selesai."
"Oke, mengerti," kata Pete, lalu menekan tombol untuk mematikan pesawat. Sementara itu Bob pergi ke periskop.
"Sedikit sekali yang tidak diketahui oleh Jupe," katanya. "Sekarang mobil memasuki gerbang depan. Jupe turun. Ia menenteng tas kecil berkancing tarik. Ia menuju ke sini. Sebentar lagi pasti sudah masuk ke mari. Worthington menunggu di luar, dengan mobil."
Periskop diturunkan lagi, dan Bob kembali ke tempatnya.
"Aku ingin tahu, ke mana dia tadi," katanya, setengah pada diri sendiri. Beberapa menit kemudian, ketika ternyata rekan mereka itu belum masuk-masuk juga ia menambahkan, "Dan aku ingin tahu, ke mana lagi dia sekarang" Jangan-jangan macet dalam Lorong Dua!"
Tapi saat itu juga terdengar ketukan khusus di lantai trailer. Itu tanda salah seorang dari mereka datang. Tingkap di lantai terangkat ke atas, disusul kepala dan bahu seseorang tersembul masuk ke dalam ruangan.
Pete dan Bob memandang ke lantai dengan mata terbelalak. Mereka melihat tubuh bagian atas dari seorang laki-laki tua. Rambut gondrong beruban, berkaca mata dengan bingkai emas, serta janggut putih menghias dagu.
"Profesor Yarborough!" seru Pete kaget. "Bagaimana Anda bisa sampai di sini" Apa yang terjadi dengan Jupe""
"Dia terkena kutukan Ra-Orkon." Laki-laki tua itu mengangkat tubuhnya dengan kelincahan yang mengagumkan, masuk ke dalam ruangan Markas Besar yang sempit. "Ra-Orkon menjelmakan dirinya - menjadi aku."
Sambil berkata begitu dilepaskann
ya rambut palsu putih, kaca mata serta janggut yang menempel ke dagu. Di depan Bob dan Pete berdiri seorang remaja yang menatap mereka sambil nyengir.
"Jupe!" seru Bob.
"Jika kalian saja bisa tertipu," kata remaja itu, "kurasa aku pasti akan bisa mengelabui mumi. Apalagi mumi yang matanya terpejam."
"Astaga, Jupe!" kata Pete sambil melongo. "Kau memang sungguh-sungguh berhasil menipu kami tadi. Tapi untuk apa kau menyamar jadi Profesor Yarborough""
"Sebagai percobaan," kata Jupiter. Benda-benda yang dipakainya tadi untuk menyamar, dimasukkannya semua ke dalam tas kecil yang masih dijinjingnya. Diterangi lampu yang tergantung di atas meja, kini nampak bahwa di kening dan di sekeliling matanya dibuat guratan-guratan dengan pinsil rias, untuk membuat wajah remajanya nampak jauh lebih tua.
"Aku tadi pergi ke tempat Mr. Grant," katanya menjelaskan. "Ia yang merias mukaku, setelah kukatakan padanya bagaimana tampang Profesor Yarborough."
Orang yang disebutnya itu spesialis tata rias, dengan siapa mereka berkenalan dalam menangani suatu kasus. Mr. Grant benar-benar ahli dalam bidangnya. Dia sanggup mengubah wajah hampir setiap orang.
"Tapi untuk apa"" tanya Bob ingin tahu.
"Untuk mengelabui mumi," jawab Jupe.
"Mengelabui mumi"" seru Pete. "Apa maksudmu""
"Jika mumi itu mengira aku ini Profesor Yarborough, mungkin saja dia lantas mau berbisik padaku," kata Jupe menjelaskan maksudnya. "Karena rupa-rupanya ia tidak mau berbisik pada siapa pun juga, kecuali Profesor."
"Tunggu dulu!" Sekarang Pete berteriak. "Dari kata-katamu, seakan-akan kau beranggapan mumi itu bukan cuma bisa ngomong, tapi juga melihat dan mendengar. Itu kan cuma mumi, Jupe! Mayat kering, yang sudah sejak tiga ribu tahun mati. Kalau aku ikut menangani kasus di mana ada seseorang harus menyamar untuk menipu mumi yang sudah begitu lama mati - nah, aku tidak mau terlibat di dalamnya. Kuusulkan, kita lupakan saja urusan mumi, dan sebagai gantinya mencari kucing hilang."
Bob hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Ia cuma menelan ludah. Sementara itu Jupe merenung, sambil mencubit-cubit bibir.
"Kalau begitu kau tidak mau ikut dengan kami sekarang, untuk melihat bisa tidaknya aku memancing mumi supaya mau bicara"" tanyanya kemudian.
Pete nampak ragu. Ia menyesali ledakan perasaannya tadi. Tapi ia sudah terlanjur bicara. Karena dia keras kepala, malu rasanya menarik perkataan itu kembali. Akhirnya ia mengangguk dengan singkat.
"Begitulah kataku tadi," gerutunya. "Nanti jangan-jangan atap rumah yang ambruk. Kutukan itu tadi pagi sudah berusaha keras untuk mencelakakan kita."
"Baiklah," kata Jupiter. "Karena kita bertiga, tidak ada alasan yang melarang kita untuk menangani lebih dari satu kasus sekaligus. Pete - kau mendatangi Mrs. Banfry yang punya kucing yang hilang itu, untuk mengumpulkan informasi. Sementara itu aku dan Bob pergi untuk bicara dengan mumi, seperti rencana semula. Setuju, Bob""
Bob tahu, sebenarnya Pete menyangka Jupe takkan menanggapi omelannya dengan serius. Tapi Jupe kepala perusahaan. Dan seperti dikatakannya, tidak ada alasan yang melarang mereka menangani lebih dari satu kasus sekaligus. Karena itu Bob mengangguk.
"Baiklah," kata Jupe lagi. "Kau masih sempat mengadakan pembicaraan pertama sebelum gelap, Pete. Kami akan memakai Rolls-Royce, jadi minta saja pada Hans apakah dia mau mengantar ke Santa Monica dengan truk yang kecil."
Pete ragu-ragu sesaat. "Ya deh," katanya kemudian sambil cemberut. Ia pun mengangkat tutup tingkap, menyelusup ke bawah lalu merangkak lewat Lorong Dua menuju pintu rahasia yang terdapat di belakang mesin cetak dalam bengkel mereka. Sesampai di luar, ia berjalan di sela-sela tumpukan barang rombengan, menuju kantor perusahaan. Kebetulan saat itu Hans hendak pulang. Tapi pemuda itu mau saja, ketika diminta oleh Pete untuk mengantarkannya sebentar ke Santa Monica.
Ya deh, pikir Pete dengan geram. Akan ditunjukkannya kemampuannya pada Jupe. Ia akan berhasil menemukan kembali kucing yang hilang, sementara Jupe dan Bob mungkin akan terlindas kutukan Ra-Orkon dengan cara yang mengerikan. Kalau itu yang mereka inginkan, sil
akan! Bab 7 DEWA AJAK MUNCUL TAK sampai setengah jam kemudian, Pete sudah sibuk menanyai Mrs. Banfry di Santa Monica mengenai kucingnya yang hilang.
Kurang-lebih pada waktu sama, Jupiter Jones masuk seorang diri ke ruang museum di rumah Profesor Yarborough. Dinyalakannya lampu-lampu atas. Di luar saat itu masih terang. Tapi karena matahari sudah menghilang di balik punggung ngarai, rumah besar itu terselubung keremangan.
Jupiter masuk dengan langkah lambat, menirukan gerak-gerik laki-laki tua. Ia langsung menuju pintu-pintu angin, yang dipentangkannya lebar-lebar. Kemudian ia melangkah ke peti kayu yang berisi mumi Ra-Orkon. Diangkatnya tutup peti itu. Lalu ia membungkuk, menatap wajah mumi yang kaku.
"Ra-Orkon," sapa Jupiter dengan suara jelas. "Bicaralah! Aku mendengarkan, dan akan berusaha memahamimu."
Jupiter tidak bicara dengan suaranya yang biasa. Ia menirukan nada bicara Profesor Yarborough. Cukup mirip. Ia mengenakan rambut palsu, kaca mata, serta janggut yang dipinjamkan Mr. Grant padanya. Ia juga memakai jas panjang putih serta dasi kepunyaan Profesor Yarborough. Sang profesor berpotongan pendek gemuk, sedang Jupiter tidak begitu tinggi serta gempal. Jadi tidak begitu sulit bagi remaja itu untuk menjelmakan dirinya menjadi sarjana yang sudah tua itu.
Bob Andrews ada di kamar sebelah, bersama Profesor. Keduanya gelisah menunggu-nunggu hasil percobaan Jupiter. Sedang Wilkins ada di dapur. Ia tidak tahu-menahu tentang penyamaran itu.
"Ra-Orkon yang agung, bicaralah padaku," kata Jupiter sekali lagi. "Bikinlah supaya aku mengerti."
Eh! Rasa-rasanya ia seperti mendengar suara menggumam. Dimiringkannya kepala supaya bisa lebih jelas mendengar. Dan benarlah - kini didengarnya serentetan kata lirih. Kata-kata asing bernada tandas, dalam bahasa yang belum pernah didengar olehnya. Suara itu berbisik mendesis-desis.
Jupiter kaget, lalu mendongak. Ia memandang ke sekeliling ruangan. Tidak - ia benar-benar seorang diri saja di situ. Pintu menuju ruangan tempat Bob menunggu bersama sang profesor, tertutup rapat.
Jupiter merapatkan telinganya ke bibir mumi yang agak merenggang. Bisikan itu masih tetap terdengar. Bernada mendesak. Penuh wibawa. Seperti memerintah! Memerintah dirinya - tapi untuk berbuat apa"
Setidak-tidaknya Jupiter kini tahu, Profesor Yarborough ternyata tidak menjadi korban khayalannya sendiri. Mumi ternyata memang berbisik-bisik!
Saat itu Jupiter membawa sebuah tape-recorder. Alat perekam suara itu terpasang pada ikat pinggang, ditutupi jas panjang. Penyelidikan secara modern memerlukan peralatan ilmiah. Begitu kata Jupiter, ketika ia memulai biro detektifnya bersama kedua rekannya yang sama-sama remaja. Pelan-pelan mereka sudah berhasil memiliki peralatan yang cukup lengkap. Semua buatan sendiri. Atau kalau tidak, berasal dari tumpukan barang bekas yang kemudian mereka betulkan. Sedang tape-recorder itu sumbangan Pete, yang memperolehnya dari seorang teman sekolah sebagai penukar kumpulan perangkonya.
Sementara masih membungkuk di atas peti, sekarang Jupiter menjepitkan mikrofon alat perekam suara itu ke kain pembalut mumi, cuma beberapa senti saja dari bibir yang merenggang. Mikrofon itu biar kecil ukurannya, tapi sangat peka.
"Aku tidak mengerti, Ra-Orkon," ucap Jupiter dengan lantang. "Bicaralah lagi."
Bisikan yang terputus sebentar, mulai terdengar kembali. Serentetan kata yang panjang, diucapkan dengan suara berbisik-bisik. Dalam hati Jupiter cuma bisa berdoa, semoga mikrofon yang peka itu mampu menangkap suara yang begitu lirih.
Bisikan terdengar lebih dari satu menit. Tapi kemudian terjadi sesuatu yang tidak direncanakan. Jupiter memalingkan kepala. Maksudnya, supaya bisa mendengar lebih jelas. Tapi janggut palsunya tersangkut ke tepi peti yang agak pecah sedikit. Gerakan kepalanya menyebabkan janggut palsu terlepas.
"Aduh!" teriak Jupiter - dengan suaranya sendiri. Sakit juga rasanya, karena janggut palsu itu dilekatkan ke dagunya dengan perekat. Ia masih berusaha menahan janggut. Tapi karena geraknya mengejut, ia kehilangan keseimbangan lalu terjatuh. Kaca matanya terpental, sedang rambut palsun
ya merosot ke depan menutupi mata.
Jupiter buru-buru bangun lagi. Tangannya menggerapai-gerapai, berusaha mengembalikan segala perlengkapan samaran ke tempat semula. Saat itu juga terdengar pintu dibuka dengan keras. Profesor Yarborough bergegas-gegas masuk, diikuti oleh Bob.
"Ada apa, Jupe"" tanya Bob.
"Kami mendengar suaramu berteriak," kata Profesor menjelaskan. "Ada terjadi sesuatu di sini"" "Cuma saya saja yang ceroboh," jawab Jupiter agak malu. "Sekarang semuanya sia-sia. Padahal tadi mumi sudah berbisik-bisik pada saya...."
"Jadi kau berhasil mengelabuinya!" seru Bob.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Jupiter dengan nada jengkel. "Tapi kucoba saja lagi, barangkali dia masih mau berbisik padaku."
Dipungutnya mikrofon yang terenggut lepas ketika ia terpeleset lalu jatuh ke lantai di sampingnya. Lalu ia membungkuk kembali di atas peti mumi.
"Bicaralah, Ra-Orkon," pintanya. "Bicaralah lagi."
Semua menunggu sambil menahan napas. Tapi hanya kesunyian yang ada setelah itu.
"Ah, percuma," kata Jupiter kemudian, "dia tidak mau berbisik lagi. Coba kita periksa, barangkali saja tape-recorder kita menangkap bisikannya tadi."
Ia mendului masuk ke ruang sebelah. Di situ ia menanggalkan samarannya, termasuk jas panjang milik Profesor Yarborough. Diletakkannya tape-recorder di atas meja. Pita rekaman digulung kembali sampai awal. Kemudian ditekannya tombol 'Play'.
Sesaat hanya terdengar bunyi mendesis. Tapi jika disimak baik-baik, ternyata kedengaran bunyi yang menyerupai ucapan kata-kata. Kata-kata yang diucapkan mumi dengan berbisik-bisik, tertindih bunyi desisan yang berasal dari alat itu sendiri.
"Anda bisa memahaminya, Profesor"" tanya Jupiter, ketika rekaman itu berakhir dengan suara Jupiter yang meneriakkan kata 'Aduh!'
Profesor Yarborough menggeleng. Kelihatannya bingung sekali.
"Kadang-kadang aku merasa seperti menangkap makna salah-satu kata, tapi tidak jelas," katanya. "Jika yang diucapkan itu salah satu bahasa daerah Timur Tengah - baik bahasa modern atau kuno - di California sini cuma satu orang saja yang mungkin bisa memahaminya. Maksudku Profesor Freeman, rekanku yang pernah kusebut namanya pada kalian." Sambil berkata begitu, sang profesor melambaikan tangan ke arah pintu angin yang terbuka. Dari sini nampak sedikit rumah Profesor Freeman.
"Tinggalnya tidak sebegitu jauh dari sini," sambung Profesor Yarborough, "tapi kalau mau ke sana, kita terpaksa mengitari tepi ngarai. Naik mobil kalian, dalam waktu lima sampai sepuluh menit kita akan sudah bisa ada di sana. Kuusulkan, segera saja kita ke sana dan minta padanya agar mendengarkan rekaman ini. Aku sudah bercerita padanya bahwa mumi berbisik-bisik padaku. Dan dia juga menawarkan bantuannya, walau saat itu aku merasa sebetulnya dia tidak percaya pada omonganku."
Jupiter menyetujui usul itu. Profesor memanggil Wilkins.
"Wilkins," katanya, "aku akan pergi bersama kedua remaja ini, ke tempat Profesor Freeman. Anda tinggal di sini menjaga rumah. Kalau terjadi sesuatu, Anda menelepon aku dengan segera." "Baik, Sir, " kata Wilkins patuh.
Lima menit kemudian Profesor Yarborough sudah berangkat dengan Rolls-Royce, bersama Jupiter dan Bob. Sementara itu di luar sudah remang-remang gelap. Setelah mereka pergi, Wilkins kembali ke dapur meneruskan kesibukannya. Ia sedang menggosok beberapa benda kuningan yang berasal dari daerah Timur Tengah. Tapi beberapa saat kemudian ia tertegun. Ia merasa seperti mendengar bunyi pelan di luar.
Wilkins memasang telinga. Tapi bunyi itu tidak berulang. Wilkins mengambil sebuah pedang kuno yang termasuk koleksi sang profesor. Dengan senjata itu ia menuju ke ruang museum. Tapi di situ semuanya kelihatan beres. Peti mumi sudah tertutup kembali. Pintu-pintu angin semuanya tertutup. Ia sendiri yang menutup, setelah Profesor berangkat tadi.
Wilkins membuka salah satu pintu angin, lalu melangkah ke teras. Begitu ia keluar, didengarnya suara seseorang. Suara asing dan galak, menyuarakan suatu perintah tertentu. Wilkins yang memang sudah dari semula gugup, memandang berkeliling dengan mata jelalatan.
Dilihatnya ada sesuatu bergerak-g
erak di tengah semak. Cepat-cepat diangkatnya pedang, seperti hendak membela diri. Kemudian, di tengah keremangan senja nampak sesosok tubuh datang menghampiri. Sosok tubuh manusia - tapi berkepala ajak. Matanya kemilau menatap Wilkins.
Wilkins langsung pucat seperti mayat.
"Anubis!" serunya dengan suara seperti tercekik. "Dewa ajak!"
Anubis, dewa maut Mesir Purba maju selangkah lagi. Tangannya diangkat, menuding Wilkins dengan sikap garang. Pedang terlepas dari tangan pelayan itu, sedang dia sendiri roboh ke lantai teras. Pingsan, karena ketakutan!
Bab 8 TERJEBAK! WORTHINGTON memutar kendaraannya di depan garasi Profesor Freeman. Sebuah jembatan pendek menghubungkan garasi itu dengan jalan raya. Sedang rumah Profesor Freeman terletak agak di bawahnya, di lereng yang terjal. Baru saja Worthington menurunkan Profesor Yarborough beserta kedua remaja pengiringnya di situ.
"Jalan di sini terlalu sempit untuk dipakai memarkir mobil," kata Worthington pada Bob dan Jupiter. "Aku khawatir nanti ada mobil lain masuk tikungan itu dengan kecepatan terlalu tinggi, lalu menyerempet Rolls-Royce ini."
Worthington sangat bangga pada mobil antik itu, seolah-olah miliknya sendiri. Ia merawatnya dengan penuh kasih-sayang.
"Di sebelah sana ada tempat parkir," katanya lagi. "Di situ jalan agak diperlebar, supaya orang yang lewat bisa berhenti untuk menikmati pemandangan. Kutunggu kalian di sana."
Setelah itu ketiga penumpangnya menuruni tangga batu, melewati garasi dan menuju ke samping rumah Profesor Freeman yang terdapat di bawah. Profesor itu langsung membukakan pintu, begitu mereka membunyikan bel.
"Ah - Anda rupanya yang datang, Yarborough," sapa sarjana itu dengan ramah. "Sama sekali tak kuduga. Tapi masuklah! Aku sedang menyusun kamus kata-kata asal dari bahasa-bahasa Timur Tengah. Anda datang kemari, tentunya ada urusan tertentu""
Profesor Yarborough menjelaskan, ia membawa rekaman suara bisikan Ra-Orkon. Profesor Freeman nampak langsung bangkit semangatnya.
"Luar biasa!" katanya. "Kita harus memutarnya dengan segera. Nanti akan ketahuan, bisa atau tidak kita memahami kata-kata pak tua itu."
Ia mendului masuk ke kamar kerjanya. Sebuah ruangan, penuh dengan buku, alat pemutar piringan hitam serta tape-recorder beberapa buah. Dengan gerakan terlatih dipasangnya pita rekaman yang dibawa Profesor Yarborough ke salah satu tape-recorder, lalu dijalankan.
Semua mengikuti dengan penuh perhatian, sementara bisikan Ra-Orkon yang mendesis-desis mengisi seluruh ruangan, dipernyaring sampai beberapa kali lipat. Tapi semangat dan kegairahan Profesor Freeman yang semula nampak, dengan segera telah berubah menjadi sikap kecewa bercampur bingung.
"Sayang, Yarborough," katanya kemudian, "sepatah kata pun tak ada yang kumengerti. Tapi rekaman ini sangat terganggu bunyi desis. Tunggu - kuambilkan alat baruku yang baru saja kuterima. Dengannya bisa dikurangi gangguan bunyi-bunyi lain. Kita coba saja dengan tape-recorder yang lain. Mungkin nasib kita lebih baik dengannya."
Ia pergi sebentar. Lalu kembali membawa sebuah alat tambahan berukuran kecil. Pita rekaman dipasang ke tape-recorder lain beserta alat yang diambilnya. Mereka bersiap-siap untuk mendengarkan bisikan Ra-Orkon sekali lagi.
* * * Kurang-lebih pada saat itu juga, tapi di seberang ngarai, truk kecil dari perusahaan paman dan bibi Jupiter berhenti di depan rumah Profesor Yarborough. Rumah itu kelihatan gelap. Hanya dalam satu ruangan saja nampak lampu menyala.
"Kelihatannya tidak ada siapa-siapa di sini, Pete," kata Hans, pengemudi truk yang berasal dari Jerman, sementara Pete meloncat turun.
"Tapi Wilkins mestinya ada di sini," kata Pete. "Tadi ketika aku menelepon pesawat yang ada dalam Rolls-Royce, Worthington yang menerimanya mengatakan bahwa dia mengantarkan Profesor, Bob dan Jupe ke suatu alamat di seberang ngarai. Katanya, mereka hendak menanyakan sesuatu pada orang yang tinggal di situ. Mereka hanya sebentar saja ke sana. Setelah itu kembali lagi kemari. Lalu kukatakan, aku akan minta tolong pada Anda untuk mengantar aku ke sini. Aku menunggu saja di sini sambil menemani Wilkins, s
ampai mereka kembali."
"Oke," kata Hans, "tapi aku pulang sekarang. Aku mau nonton film di drive-in, dengan Konrad."
Setelah itu Hans pergi lagi. Pete berjalan menuju pintu depan rumah, lalu membunyikan bel. Ia menunggu pintu dibukakan. Sementara itu ia berpikir-pikir tentang kasus yang ditanganinya, serta pembicaraannya tadi dengan Mrs. Banfry.
Banyak sekali yang dikatakan oleh wanita itu, yang bicaranya seperti senapan mesin cepatnya. Tapi kalau kata-katanya disaring, sebetulnya tidak banyak informasi yang bisa didapat. Pokoknya, kucing piaraannya yang bagus, trah Abesinia yang jarang sekali ada di Amerika, sudah sejak seminggu tidak pulang. Menurut Mrs. Banfry, kucing Abesinia biasanya tidak jinak dan juga tidak ramah. Tapi kucingnya yang bagus, yang diberi nama Sphinx, dia lain! Sphinx wataknya lembut kayak domba, dan mau saja dibelai siapa pun juga. Mrs. Banfry khawatir, jangan-jangan ada orang yang mengambilnya lalu dibawa pergi. Atau, dia tersesat - tidak tahu jalan pulang!
Mrs. Banfry yakin sekali Trio Detektif akan sanggup mencarikan kucingnya itu. Bukankah mereka hebat sekali, berhasil menemukan kembali burung nuri sahabatnya Miss Waggoner yang hilang beberapa waktu yang lalu!
Pete agak kewalahan. Sulit sekali mengarahkan pembicaraan pada pokok persoalan saja. Tapi akhirnya ia berhasil juga mengetahui tanda-tanda pengenal kucing itu. Warnanya kuning coklat, dengan ujung kaki depan belang putih. Tapi Pete takkan bisa keliru apabila menjumpainya, kata Mrs. Banfry. Soalnya, kucing itu memiliki kekhasan yang sangat luar biasa. Warna kedua matanya tidak sama. Kucing Abesinia umumnya mempunyai mata berwarna kuning atau jingga. Tapi Sphinx, matanya yang satu jingga. Sedang yang satu lagi biru.
Hal begitu walau jarang terdapat, tapi bukannya tidak ada, kata Mrs. Banfry. Tentu saja dengan mata yang begitu Sphinx tidak mungkin bisa memenangkan hadiah dalam peragaan kucing. Tapi dengan begitu ia nampak aneh dan bijaksana. Seolah-olah bisa mengerti apa saja yang dikatakan orang. Dan kalau mau, juga bisa memberikan jawaban.
Gambar Sphinx sudah sering dimuat dalam koran dan majalah karena matanya itu. Mrs. Banfry menunjukkan foto berwarna seekor kucing pada Pete, yang enam bulan sebelumnya dimuat dalam suatu majalah setempat. Pete melihat
seekor kucing yang bagus berwarna kuning kecoklatan dengan ujung kaki berwarna putih, serta mata berlainan warna yang menyebabkannya kelihatan aneh.
Setelah mengumpulkan semua informasi yang bisa diperoleh di situ, Pete cepat-cepat minta diri. Ia ingin menggabungkan diri dengan kedua rekannya. Sementara sibuk menanyai Mrs. Banfry, dalam hatinya ia membulatkan tekat. Ia berkewajiban mendampingi Bob dan Jupiter, pada saat mereka berdua menghadapi kutukan mumi yang berbisik.
Ia masih menunggu terus di depan pintu rumah Profesor Yarborough. Tapi setelah beberapa saat tidak ada yang datang, akhirnya ia membuka sendiri pintu lalu masuk ke dalam. "Halo!" serunya. "Wilkins! Anda di mana" Ada orang di rumah""
Tapi tak ada yang menjawab. Pete memandang berkeliling. Semua kelihatan seperti biasa. Ia berseru-seru lagi. Lalu berjalan menyusur gang yang panjang, menuju ruang museum. Pintu ruangan itu ternganga. Lampu sebelah atas menyala. Kelihatannya semua beres di situ. Peti mumi tertutup. Dekat pintu angin, patung dewa Anubis tegak di tempatnya.
Walau begitu Pete gelisah. Ia mendapat firasat, ada sesuatu yang tidak beres di situ. Entah apa - tapi dirasakannya bulu tengkuknya meremang.
Dengan lambat, Pete menyelinap memasuki ruangan museum. Tangannya sudah gatal, ingin membuka peti mumi dan memandang Ra-Orkon yang terbaring di dalamnya. Tapi hati kecilnya melarang. Bagaimana jika mumi itu tiba-tiba berbisik padanya"
Kini ia menuju pintu angin yang terbuka, lalu memandang ke luar. Langit masih agak terang. Tapi kebun sudah gelap. Saat itu tak ada angin sedikit pun. Pete merasa bulu romanya semakin meremang. Sialan - kenapa Jupe dan yang lain-lainnya belum datang-datang juga"
Akhirnya Pete memutuskan untuk masuk lagi ke dalam. Maksudnya hendak menghubungi Worthington, lewat pesawat telepon yang ada dala
m Rolls-Royce. Tapi saat itu perhatiannya tertarik pada sesuatu yang ada di teras. Ia melangkah lagi ke luar, untuk bisa melihat benda itu dengan lebih jelas. Ternyata yang tergeletak di ubin teras sebilah pedang. Pete heran, lalu memungut senjata tajam itu. Pedang itu kelihatannya barang antik, terbuat dari tembaga. Ia menarik kesimpulan, pasti termasuk koleksi Profesor Yarborough. Sementara Pete masih memegang senjata itu, terdengar bunyi berkeresek di belakangnya. Dengan cepat ia berpaling.
Hatinya berdebar-debar. Dilihatnya semak bergerak-gerak. Kemudian muncul seekor binatang yang tidak besar, melompat ke luar lalu lari mendatanginya. Binatang itu berhenti, menghampirinya lambat-lambat lalu menggeser-geserkan punggung ke betisnya sambil mendengkur-dengkur.
"Aduh! Kucing!" Pete tertawa sendiri mengingat ketakutannya tadi. "Ternyata cuma kucing!"
Diletakkannya pedang ke lantai, lalu diangkatnya kucing itu. Seekor kucing jantan berbulu kuning kecoklatan. Kelihatannya ramah. Binatang itu mendengkur-dengkur terus dalam gendongannya. Pete memperhatikannya sesaat. Nyaris saja kucing itu terjatuh dari pegangan.
Mata kucing itu berlainan warnanya. Satu jingga, sedang yang satu lagi biru!
"Uahh!" seru Pete. "Ini kan Sphinx! Kucing Mrs. Banfry! Ternyata aku menemukannya di sini. Sekarang aku bisa menertawakan Jupe apabila ia kembali di sini dan melihat bahwa kasus kucing hilang berhasil kuselesaikan seorang diri!"
Pete senang sekali membayangkan betapa kagetnya Jupiter nanti. Sebagai akibatnya, ia tidak sempat heran, kenapa Sphinx tahu-tahu muncul di tempat itu. Kalau kebetulan - itu kebetulan yang aneh! Tapi saat itu Pete tidak memikirkan persoalan itu. Ia berpaling, hendak masuk ke rumah dengan membawa Sphinx.
Tapi tepat pada saat ia membalikkan tubuh, ada sesuatu yang menerpa kakinya dari belakang. Rasanya seperti seekor macan cilik. Pete jatuh tertelungkup di teras. Kucing terpental dari tangannya, lalu lari masuk ke semak.
Detik berikutnya Pete sudah berjuang mati-matian untuk membebaskan diri dari serangan makhluk yang tidak besar, tapi tangkas sekali.
Baru beberapa saat kemudian Pete sadar bahwa yang menyerang dari belakang itu seorang anak laki-laki. Pete memutar tubuh, memiting pinggang lawannya. Saat itu barulah dia bisa melihat tampang anak itu.
Ternyata remaja yang hendak dibekuknya dalam kebun tadi pagi. Pete begitu kaget, sehingga pitingannya mengendor. Nyaris saja lawannya berhasil membebaskan diri. Tapi Pete cepat-cepat memilin lengan anak itu dan menekannya ke ubin. Ia menduduki punggungnya, sehingga anak itu tidak bisa berkutik lagi.
"Kau siapa"" tanya Pete dengan galak. "Kenapa kau berkeliaran terus di sini" Dan kenapa aku kauserang""
Anak laki-laki yang menjadi lawannya, yang berkulit sawo matang dan bermata hitam legam, kelihatannya saat itu berusaha keras supaya jangan menangis.
"Kau mencuri Ra-Orkon moyangku!" teriaknya. "Lalu kau mau mencuri kucingku. Tapi aku, Hamid bani Hamid, aku akan menghalang-halangi tindakanmu."
Pete cuma bisa terkejap-kejap. Ia bingung.
"Apa maksudmu - aku mencuri moyangmu, Ra-Orkon"" tanyanya. "Dan juga kucingmu" Itu tadi bukan kucingmu, tapi milik Mrs. Banfry. Lalu aku bukan hendak mencurinya. Dia yang datang sendiri, ingin berteman dengan aku."
Anak yang diduduki oleh Pete menatapnya dengan muka masam.
"Kau tidak tahu apa-apa tentang Kakek Ra-Orkon"" tanya anak itu. "Bukan kau yang mengambilnya"" "Aku tidak mengerti apa maksudmu," balas Pete. "Jika kau bicara tentang mumi, kenapa kausebut dia kakek" Dia kan sudah mati sejak tiga ribu tahun yang lalu. Lagipula, mumi itu kan terbaring dalam petinya, di dalam." Anak asing itu masih bisa menggeleng.
"Sudah tidak ada lagi," katanya. "Tadi ketika di sini tidak ada siapa-siapa, datang dua orang laki-laki dan mencurinya."
"Ra-Orkon dicuri"!" seru Pete kaget. "Ah, masa!"
"Betul," kata anak asing itu. "Hamid bani Hamid dari Libia tidak berbohong."
Pete berpaling, memandang ke arah ruang museum. Peti mumi kelihatannya masih seperti biasa. Tapi jika anak yang menyebut dirinya Hamid ini mengatakan yang sebenarnya dan mumi itu sudah tidak
ada lagi dalam petinya - wah! Urusannya dengan tiba-tiba mengalami perkembangan yang mengejutkan.
"Sekarang dengar dulu," kata Pete pada anak yang masih diduduki olehnya. "Aku cuma tahu mumi itu pernah berbisik pada Profesor Yarborough, dan kami sedang membantu dia memecahkan teka-teki itu. Barangkali kau bisa menjelaskan, bagaimana dia bisa berbisik-bisik""
Tapi anak asing itu malah melongo.
"Kakek Ra-Orkon berbisik"" katanya heran. "Aku tidak mengerti. Teka-teki apa lagi ini""
"Justru itulah yang ingin kami ketahui," kata Pete dengan serius. "Kau kelihatannya banyak mengetahui tentang mumi itu. Tapi bisa saja aku tahu beberapa hal yang tidak kauketahui. Jika kau mau mengatakan kenapa kau tadi pagi berkeliaran di sini dan apa sebetulnya yang kaukehendaki, mungkin kita bersama-sama nanti bisa menemukan penjelasan misteri ini."
Dalam hati, Pete sudah mengatur rencana. Jika ia berhasil mengorek beberapa petunjuk penting lagi mengenai misteri mumi yang berbisik dari Hamid, ada kemungkinan dia bisa menyelesaikan kasus mumi dan kasus kucing Mrs. Banfry yang hilang, sebelum Jupe dan Bob kembali. Ia ingin sekali ini saja bisa membuat Jupe merasa kecil! Biasanya selalu rekannya itu yang menonjol.
Anak berkulit sawo matang itu ragu-ragu sesaat. Tapi kemudian ia mengangguk.
"Baiklah," katanya. "Hamid bani Hamid menyodorkan kepercayaannya ke tanganmu. Beri kesempatan aku bangun, supaya kita bisa berunding."
Pete berdiri, lalu membersihkan pakaiannya. Hamid melakukan hal yang serupa. Kemudian ia berpaling dan berseru ke arah kegelapan dalam bahasa asing.
"Aku memanggil kucingku," katanya menjelaskan. "Roh Ra-Orkon hidup dalam tubuhnya, dan karenanya dia akan membantu kita menemukan mumi itu."
Keduanya menunggu beberapa saat. Tapi kucing yang ditunggu-tunggu, tetap tidak mau datang lagi.
"Kan sudah kubilang tadi," kata Pete, "itu kucing Mrs. Banfry. Namanya Sphinx. Kedua matanya berlainan warna, bulu kuning kecoklatan, kaki depan berwarna putih. Cocok dengan keterangan yang diberikan pemiliknya."
"Tidak," bantah Hamid dengan tegas, "kaki depannya hitam, bukan putih. Hitam seperti kucing kesayangan Ra-Orkon, yang juga ikut dibalsem dan muminya dibaringkan di samping mumi tuannya dalam liang makam rahasia, berpuluh abad yang lampau."
Pete menggaruk-garuk kepala. Memang betul - tadi ia tidak sempat meneliti kaki depan kucing itu. Jadi mungkin saja ia keliru mengenainya. Tapi walau begitu, rasanya aneh berjumpa dengan kucing lain yang warna kedua matanya tidak sama, tepat pada saat ia sedang mencari-cari kucing hilang dengan tanda-tanda serupa.
"Nanti saja soal itu kita bereskan," kata Pete. "Sekarang kulihat dulu, betulkah mumi sudah tidak ada lagi di tempatnya."
Ia mendului masuk ke ruang museum. Bersama Hamid, dijunjungnya tutup peti mumi. Ternyata kata Hamid tadi benar. Peti itu kosong melompong.
"Hilang!" serunya. "Apa yang terjadi dengan dia""
"Kalian, anak-anak Amerika yang mengambilnya!" teriak Hamid. "Kalian mencuri kakekku!"
"Tunggu! Tunggu dulu, Hamid," kata Pete. Ia berpikir-pikir. "Aku tidak tahu apa-apa tentang soal ini. Begitu pula rekan-rekanku. Kami cuma berusaha menyelidiki misteri, apa sebabnya mumi itu bisa berbisik. Yah - seperti kukatakan tadi, kalau kau mau mengatakan apa yang kauketahui lalu aku menceritakan segala-galanya yang kuketahui, barangkali saja kita bisa mencapai salah satu hasil."
Anak asing itu mula-mula mengerutkan kening. Tapi kemudian mengangguk.
"Baiklah," katanya. "Apa yang ingin kauketahui""
"Pertama-tama, apa sebabnya Ra-Orkon kausebut Kakek" Umurnya kan sudah lebih dari tiga ribu tahun!"
"Ra-Orkon itu cikal-bakal bani Hamid," kata anak asing itu dengan sikap bangga. "Tiga ribu tahun yang lalu, raja-raja dari Libia datang ke Mesir untuk memerintah di sana. Ra-Orkon itu seorang bangsawan tinggi. Ia tewas terbunuh karena ingin bertindak adil dan bijaksana. Ia dimakamkan secara sembunyi-sembunyi, supaya muminya tidak ditemukan lawan-lawannya. Sedang sanak-keluarganya kembali ke Libia. Kamilah keturunan mereka. Bani Hamid!
"Semuanya ini didengar ayahku dari seorang pengemis yang juga dukun. Namanya
Sardon. Sardon dikaruniai kemampuan meramal. Ia bisa mengetahui kejadian masa silam, masa sekarang, dan masa depan. Katanya pada ayahku, Ra-Orkon dibawa pergi ke negeri bangsa biadab yang jauh dari Libia. Ra-Orkon takkan bisa tidur tenang, apabila tidak diambil kembali dan dimakamkan dengan cara sepatutnya. Ayahku waktu itu sedang sakit. Karenanya aku, Hamid, putranya yang tertua diutusnya untuk mengusahakan kembalinya Ra-Orkon, dengan ditemani Ahmed Bey. Dia ini tangan kanan ayahku."
Hamid berhenti sebentar untuk mengatur napas. Pada kesempatan lain, Pete pasti merasa tersinggung karena disebut bangsa biadab. Tapi saat itu ia sedang sibuk dengan urusan lain. Ia merasa sudah mulai mengerti sekarang. Profesor Yarborough pernah bercerita, ada seorang pedagang permadani dari Libia bernama Ahmed yang membujuk-bujuk agar dia mau menyerahkan Ra-Orkon padanya. Pedagang itu kemudian disuruh pergi oleh sang profesor. Rupanya karena siasat bujukan tidak berhasil, kini kelihatannya Ahmed bersama Hamid merencanakan untuk memperoleh mumi itu dengan jalan lain.
"Jadi begitu rupanya," kata Pete. "Kau berkeliaran di sini, menunggu-nunggu kesempatan baik untuk mencuri Ra-Orkon."
"Mahaguru biadab tidak mau mengembalikan moyangku," kata Hamid dengan mata menyala-nyala. "Karenanya aku bersama Ahmed bermaksud akan mencurinya jika ada kesempatan. Kami berkewajiban untuk memulihkan ketenangan arwahnya. Ahmed lantas menyamar jadi tukang kebun. Dibayarnya ketujuh saudara yang biasa merawat
tempat ini, asal dia bisa berbuat pura-pura jadi seorang di antara mereka. Dengan begitu, ia bisa selalu ada di dekat sini. Profesor sama sekali tidak menyadari penyamaran itu. Seperti dikatakan oleh Ahmed, tukang kebun tidak pernah diperhatikan orang. Kecuali itu, Ahmed kan menyamar!"
"Jadi yang memitingmu tadi pagi itu Ahmed, dan bukan tukang kebun yang asli!" seru Pete. "Pengawalmu sendiri menangkapmu!"
"Ya, betul," kata Hamid. "Ia berseru dalam bahasa Arab, menyuruh aku menggigitnya. Aku lantas menggigit, dan dia melepaskan pitingannya. Kalian semua dikelabui olehnya. Ahmed memang sangat cerdik!"
Pete memerlukan waktu sesaat untuk memahaminya. Ternyata tukang kebun yang setia itu sebenarnya bukan dia, tapi seorang Libia bernama Ahmed yang menirukannya. Sedang Ahmed bermaksud mencuri Ra-Orkon, untuk ayah Hamid. Sementara Pete sedang berusaha mengerti, tiba-tiba Hamid berpaling.
"Ada orang datang!" kata anak itu. "Kudengar truk berhenti di luar."
Hamid bergegas ke jendela yang menghadap ke jalan masuk menuju rumah. Pete datang ke sebelahnya. Mereka melihat sebuah truk bobrok berwarna biru diparkir dijalan masuk. Dua laki-laki bertubuh kekar turun dari kendaraan itu. Melihat gelagatnya, rupa-rupanya mereka hendak langsung menuju ke teras sebelah luar ruang museum.
"Itu orang-orang yang tadi!" desis Hamid. "Merekalah yang mencuri Ra-Orkon. Aku melihat mereka meletakkan sesuatu yang terbungkus ke dalam truk beberapa saat yang lalu. Kemudian kulihat di rumah ini tidak ada siapa-siapa. Aku masuk kemari. Peti mumi kutemukan, tapi Ra-Orkon sudah tidak ada lagi di dalamnya."
"Mereka kemari," gumam Pete. Kedua laki-laki itu, melihat potongan mereka tidak bisa diajak bercanda. "Mau apa mereka""
"Kita harus sembunyi," kata Hamid buru-buru. "Mungkin mereka datang karena hendak mencuri barang lain. Jika kita bersembunyi, nanti bisa kita dengar percakapan mereka. Barangkali saja akan kita ketahui, ke mana Ra-Orkon mereka bawa."
"Setuju - tapi kita bersembunyi di mana"" tanya Pete. Ia memandang berkeliling. "Tak ada tempat bersembunyi di sini. Dalam ruangan ini pasti tidak ada. Tapi jika kita lari ke luar, lalu bersembunyi dalam semak-"
"Di situ kita tidak bisa mendengar percakapan mereka!" bantah Hamid. "Cepat! Peti mumi! Tempat itu kan kosong. Kita pasti bisa muat di sini. Kedua laki-laki itu takkan menduga di situ ada orang."
"Betul juga," kata Pete. Tapi anak asing yang tubuhnya lebih kecil daripadanya itu sudah melesat melintasi ruangan, menuju peti mumi dan langsung merebahkan diri di dalamnya.
"Cepat!" panggilnya sambil berbisik. "Di sini masih ada tempat."
Anak i tu mengecilkan tubuhnya ke samping. Kedua laki-laki itu sudah terdengar di luar. Pete tidak ragu-ragu lagi, cepat-cepat ia merebahkan diri di sisi Hamid. Keduanya lantas menarik tutup peti sehingga tertutup. Pete masih sempat menyelipkan puntungan pinsil yang pendek ke satu sudut. Dengan begitu ada celah antara tutup dan peti, sehingga keduanya bisa bernapas dan juga mendengarkan percakapan kedua laki-laki tak dikenal itu.
Begitu peti tertutup, pintu ruang museum terbuka. Terdengar langkah-langkah berat mendekat.
"Kaubawa tali pengikat, Joe"" tanya seseorang.
"Ya," jawab temannya. Orang itu bersuara serak dan kasar, "Terus-terang, Harry - aku jengkel sekali pada orang yang memberi tugas ini! Kenapa tidak dari semula ia menegaskan apa yang diingininya" Masa kita disuruh kembali, hanya untuk mengambil peti tua ini! Aku kepingin menuntut pembayaran lebih tinggi sekarang."
"Niatku juga begitu, Joe," kata orang yang pertama. "Kita paksa dia membayar seperti yang kita minta. Kalau tidak mau, tahu sendiri akibatnya! Yah - belitkan saja tali itu ke peti."
Sementara Pete dan Hamid kaget dan cemas setengah mati, tiba-tiba terasa peti itu terangkat sedikit ujungnya yang satu. Rupanya saat itu tali pengikat sedang dibelitkan, lalu ditarik kencang-kencang supaya tutup peti tidak bisa terlepas. Untung Pete tadi sempat menyelipkan batang pinsil ke pojoknya. Coba kalau tidak! Pasti mereka akan lemas, tidak bisa bernapas.
"Rupanya mereka kembali untuk mencuri peti ini sekaligus!" bisik Hamid pada Pete dalam peti yang gelap-gulita. "Sekarang bagaimana""
"Aku tidak mau cari perkara dengan penjahat-penjahat itu," bisik Pete sebagai jawaban. "Sebaiknya kita diam-diam saja di sini dulu. Mungkin saja nanti kita bisa mengetahui, siapa sebenarnya yang menyuruh mereka kemari. Kedua laki-laki itu akan mengangkut kita ke tempat orang itu. Lalu begitu dia membuka tutup peti, kita meloncat ke luar dan langsung lari!"
"Hamid tidak takut," kata anak Libia dengan gagah.
"Aku juga tidak," balas Pete. Tapi ia toh merasa sangat gugup ketika tahu-tahu peti terangkat. Peti itu diangkut kedua laki-laki tadi ke luar.
"Peti sialan ini berat sekali," kata laki-laki yang bernama Joe menggerutu.
"Ya - kayak besi saja beratnya," jawab temannya, Harry. "Ayo, tolong aku menaikkannya ke atas truk." Terasa peti dijunjungkan, lalu dilemparkan naik ke atas bak di belakang truk.
"Beres," gerutu suara yang serak. "Kita berangkat saja sekarang. Aku kepingin tahu, untuk apa sebetulnya mumi dan peti kuno dari kayu""
"Ada orang yang kegemarannya mengumpulkan apa saja," jawab kawannya. "Pokoknya, dia harus bayar lebih, karena kita disuruhnya mondar-mandir dua kali. Sebelum membayar, dia takkan menerima barangnya. Kita taruh dulu di tempat penyembunyian yang biasa, sampai dia setuju menambah pembayaran. Yuk - kita berangkat!"
Terdengar bunyi pintu truk ditutup keras-keras. Sesaat kemudian kendaraan itu sudah mulai mendaki lereng, meninggalkan rumah Profesor Yarborough, membawa Hamid dan Pete yang terkurung dalam peti mumi. Tapi ke mana"
Bab 9 BEBERAPA HAL MENGEJUTKAN SEMENTARA itu Jupiter, Bob, dan Profesor Yarborough masih selalu menunggu di kamar kerja Profesor Freeman, sementara sarjana itu untuk kesekian kalinya menyimak bisikan mumi Ra-Orkon yang berhasil terekam pada pita.
"Saban kali aku merasa seperti bisa memahami bisikannya," kata Profesor Freeman. "Di sana-sini kutangkap beberapa patah kata yang rasanya seperti kumengerti maknanya."
Dihentikannya tape-recorder, lalu menawarkan sebatang cerutu pada rekannya.
"Tolong katakan," katanya, "bagaimana cara kalian sampai bisa memperoleh rekaman ini" Aku juga ingin mendengar bagaimana patung Anubis tadi nyaris menimpa Anda. Begitu pula tentang bola granit yang terlepas dari tempatnya."
Ia mendengarkan dengan penuh perhatian, sementara Profesor Yarborough menuturkan pengalamannya. Tiba-tiba ceritanya terputus, terganggu bunyi bel.
"Maaf sebentar," kata Profesor Freeman, "ada orang di atas, dijalan masuk lewat garasi. Kulihat saja dulu, siapa itu. Silakan bersantai-santai sejenak, sampai aku kembali lagi. Kita memang perlu ist
irahat sebentar. Nanti kita coba lagi."
Sementara Profesor Freeman pergi, Profesor Yarborough berhasil memulihkan sikapnya yang tenang. "Sudah kukatakan tadi, kalau ada yang bisa memahami bisikan Ra-Orkon, orang itu pasti sahabatku Freeman," katanya. "Ayahnya dulu sekretarisku, ketika aku menemukan makam Ra-Orkon." "Dia itu yang tewas terbunuh satu minggu setelah makam dibuka"" tanya Bob. Profesor Yarborough nampak gugup mendengar pertanyaan itu.
"Betul," jawabnya, "tapi jangan hubungkan kematiannya dengan kutukan yang mana pun juga. Aleph Freeman orangnya gemar bertualang. Kurasa ia mengalami bencana yang menyebabkan kematiannya ketika sedang keluyuran seorang diri malam-malam di daerah kota lama Kairo. Tapi kemudian putranya tertarik pada kebudayaan Mesir. Kini dia termasuk salah satu tokoh ilmuwan terkemuka mengenai bahasa-bahasa Timur Tengah."
Tak lama kemudian Profesor Freeman kembali, menenteng baki. Di atasnya beberapa gelas berisi ginger ale.
"Tadi itu cuma seorang tetangga yang mengumpulkan derma untuk keperluan sosial," katanya. "Saat ini panas sekali-jadi kurasa kalian pasti tidak menolak jika ditawari minuman segar. Nah - sekarang kita dengarkan rekaman itu lagi, sementara aku membuat beberapa catatan. Ini ada kamus khusus dari koleksiku. Mungkin bisa menolong kita nanti."
Diputarnya lagi pita rekaman. Sedang Profesor Freeman mengikuti dengan seksama, sambil sekali-sekali mencatat satu dua patah kata dengan bantuan kamusnya. Bob, dan bahkan juga Jupe sudah mulai gelisah. Keduanya tidak sabar, disuruh menunggu begitu lama. Tapi akhirnya Profesor Freeman menghentikan tape-recorder. Ia menggeliat, pergi ke jendela lalu menarik napas dalam-dalam. Kemudian kembali ke tempat semula.
"Kurasa sudah kulakukan apa yang bisa kubuat," katanya. "Terus-terang saja, Profesor, bisikan ini diucapkan dalam satu jenis bahasa Arab yang sudah tua sekali. Kata-katanya lain sekali pengucapannya, dibandingkan dengan bahasa Arab Modern. Tapi aku merasa mulai memahami maksudnya. Hanya aku segan mengulanginya -"
"Bilang saja," kata Profesor Yarborough memaksa. "Apa pun juga yang dikatakan, aku ingin mendengarnya."
"Yah -" Profesor Freeman kelihatan masih agak ragu, "jika penafsiranku memang tepat - ingat, aku cuma bisa menduga-duga saja - singkatnya bisikan itu artinya begini. 'Ra-Orkon jauh dari rumahnya. Ketenangan tidurnya diganggu. Malanglah semua yang mengganggu tidurnya. Mereka takkan mengalami ketenangan, selama Ra-Orkon masih belum bisa tenang. Mereka akan menyertainya ke dalam kematian, apabila Ra-Orkon tidak dikembalikan ke tempat asalnya'."
Bob Andrews merinding. Bahkan Jupiter pun agak memucat mukanya. Sedang Profesor Yarborough kelihatan merasa tidak enak.
"Kalian kan tahu, dari semula aku tidak mau percaya omong kosong mengenai kutukan itu," katanya. Dagunya didorong ke depan, menunjukkan kekerasan hatinya. "Sekarang pun aku tidak mau." "Ya, tentu saja," kata rekannya. "Itu kan tidak ilmiah." "Jelas tidak ilmiah," tukas Profesor Yarborough.
"Walau begitu, mungkin aku bisa membantu," kata Profesor Freeman mengusulkan. "Bagaimana jika Ra-Orkon dipindahkan ke sini untuk beberapa hari" Hanya untuk melihat, mau tidak dia berbisik padaku! Jika urusan bisik-bisik ini bisa kita selidiki lebih jauh, hal mana terus-terang saja terasa membingungkan dan juga menggelisahkan diriku -"
"Sama saja seperti yang kurasakan," sambung Profesor Yarborough. "Terima kasih atas usul Anda. Tapi aku tidak bersedia dibikin bingung oleh mumi. Para remaja ini sudah membantu aku." Ia melambaikan tangan ke arah Bob dan Jupiter. "Entah dengan cara bagaimana, tapi kami pasti akan berhasil menyibakkan teka-teki ini."
Mereka pamitan dari sarjana yang masih agak muda itu, lalu mendaki tangga yang menuju jalan raya di sebelah atas. Worthington masih menunggu dalam mobil Rolls-Royce antik, yang diparkir di tepi bagian jalan yang agak diperlebar, sekitar tiga puluh meter ke sebelah bawah jalan sempit itu.
"Kusangka Freeman yang paling besar kemungkinannya bisa menafsirkan pesan Ra-Orkon," kata Profesor Yarborough, ketika mereka sudah duduk dalam mobil yang melu
ncur ke arah rumahnya. "Bagaimana, Jupiter Jones" Kau sudah punya teori lagi sekarang, tentang bagaimana Ra-Orkon bisa berbisik-bisik" Terus-terang saja, soal itu lebih menarik bagiku, daripada segala macam ancaman ataupun kutukan."
"Belum ada, Sir, " kata Jupiter berterus-terang. "Sampai sekarang, perkara ini masih benar-benar gelap bagi saya."
"Pusing kepala dibuatnya," gumam Bob, meminjam istilah yang sering dipergunakan Pete.
"Kita sudah sampai," kata Worthington, sambil mengemudikan mobil besar itu ke depan rumah sang profesor.
"Aku tidak melihat truk kita, tapi Pete tentunya ada di sini," kata Jupiter, sementara mereka turun dari mobil. "Tadi ia menelepon Worthington untuk mengatakan dia akan menunggu kita di sini."
Mereka masuk ke rumah. Lampu-lampu menyala. Tapi tak ada orang yang kelihatan.
"Wilkins biasanya selalu menyambut aku," kata Profesor Yarborough. Keningnya berkerut. Kemudian ia memanggil-manggil. "Wilkins! Wilkins!"
"Pete!" Jupiter ikut memanggil. "Kau ada di sini"" Hanya kesunyian yang ada sebagai jawaban.
"Aneh sekali," gumam Profesor. Sedang Jupiter mulai nampak tidak enak. "Bagaimana jika kita cari saja, Sir, " katanya mengusulkan. "Ide bagus! Mungkin mereka sedang berada di museum."
Ia mendului berjalan menyusur gang menuju ruang museum. Sesaat mereka tidak melihat ada sesuatu yang lain di situ. Tapi kemudian disadari, peti mumi tidak ada di tempatnya. "Ra-Orkon hilang!" seru Bob kaget.
Profesor Yarborough bergegas menghampiri tempat di mana peti mumi semula terletak. Yang nampak kini cuma beberapa goresan saja di lantai, serta sehelai sapu tangan biru yang biasa dipakai terlilit ke leher. Dengan cepat Jupiter menyambar lembaran kain yang terletak di lantai, di belakang sebuah kotak kaca.
"Ra-Orkon dicuri orang!" kata Profesor dengan nada heran. "Dari goresan ini bisa dilihat bahwa peti itu tadi digeser-geser. Tapi siapa yang mau mencuri mumi Mesir Purba" Kan sama sekali tidak berharga untuk dijual."
Tapi kemudian keningnya berkerut.
"Pedagang permadani, si Ahmed Anu itu!" serunya. "Dia kan menginginkan Ra-Orkon. Pasti dia yang melakukan perbuatan ini! Akan kupanggil polisi untuk mengejarnya. Cuma -" Ia tertegun, lalu memandang berkeliling. "Kalau polisi kuhubungi, aku akan terpaksa melaporkan tentang mumi yang berbisik-bisik. Berita itu pasti akan sampai di telinga wartawan, lalu dimuat dalam koran. Nanti aku ditertawakan orang. Tidak! Kurasa aku lebih baik jangan menghubungi polisi."
Profesor Yarborough menggigit-gigit bibir. Kelihatannya bingung bercampur sedih.
"Apa yang harus kuperbuat sekarang"" keluhnya. "Bagiku, nama baikku selaku ilmuwan lebih penting daripada mumi itu."
Bob tidak punya usul apa-apa. Jupiter memperlihatkan sapu tangan biru yang ada dalam tangannya.
"Untuk mengangkat Ra-Orkon dengan petinya sekaligus, paling sedikit diperlukan tenaga dua orang, Sir, " katanya. "Jadi kalau betul orang bernama Ahmed itu yang mengambil, tidak mungkin ia melakukannya seorang diri. Sedang sapu tangan kayak begini, biasanya dipakai pekerja. Mungkin ini petunjuk bagi kita. Mungkin sapu tangan ini terjatuh dari saku salah seorang kawanannya. Atau mungkin juga orang yang bernama Ahmed itu sama sekali tidak bersalah. Mungkin orang lain yang mencuri Ra-Orkon."
Profesor Yarborough mengusap kening dengan tangannya.
"Semuanya serba membingungkan bagiku," katanya. "Mula-mula ada mumi yang berbisik-bisik padaku - lalu dia menghilang! Aku benar-benar tidak tahu -" Profesor Yarborough tertegun, lalu berseru kaget. "Wilkins! Kita sama sekali lupa tentang Wilkins! Dia tadi ada di sini. Jangan-jangan dia cedera diserang penjahat-penjahat itu. Kita harus mencarinya sampai ketemu."
"Tidak ada kemungkinan dia bersekongkol dengan mereka"" tanya Bob. Dia sering membaca kisah-kisah detektif, dalam mana pada akhirnya ternyata pelayan yang dikira setia sebenarnya melakukan kejahatan yang diselidiki. "Mustahil! Wilkins sudah sepuluh tahun bekerja padaku! Ayo - tolong aku mencari dia."
Profesor Yarborough bergegas menuju teras. Sesampai di luar, perhatiannya tertarik pada pedang yang tergeletak di lantai. Dipungutnya s
enjata tajam itu. "Ini pedang koleksiku!" katanya. "Rupanya Wilkins tadi mengambil senjata ini untuk membela diri. Ternyata dia juga ikut diculik. Sekarang kita terpaksa melapor pada polisi."
Ia sudah hendak berpaling untuk masuk ke rumah, ketika terdengar olehnya suara mengerang pelan. Datangnya dari balik semak yang tidak jauh dari teras. Jupiter juga mendengar erangan itu. Ia yang paling dulu tiba di tempat itu.
"Wilkins!" serunya.
Wilkins terbaring di atas rumput. Tangannya terdekap ke dada. Tempatnya itu terlindung di balik semak. Karena itulah Pete dan Hamid tidak melihatnya tadi.
"Ia tidak roboh di sini, tapi sengaja diletakkan," kata sang profesor sambil membungkuk dan memperhatikan pelayan pribadinya itu. "Kurasa sebentar lagi dia siuman." Ia memperkeras suaranya. Memanggil-manggil. "Wilkins! Bisa kaudengar tidak""
Kelopak mata Wilkins bergerak-gerak sebentar. Lalu terpejam kembali.
"Lihatlah!" seru Bob. Ia melihat bayangan binatang bertubuh kecil dalam gelap. "Ada kucing!" "Sini, Manis," panggilnya sambil mengulurkan tangan. "Sini, kemarilah!"
Kucing itu menghentikan kesibukannya menjilati tubuhnya sendiri, lalu mendatangi Bob yang langsung mengangkatnya.
"Lihatlah," katanya, "matanya yang satu biru, tapi satunya lagi jingga. Belum pernah kulihat kucing kayak begini." "Masya Allah!" Tahu-tahu Profesor Yarborough seperti disengat tawon. "Warna matanya tidak sama" Coba kulihat!"
Bob menyodorkan kucing itu, supaya bisa lebih jelas dilihat Profesor. Sarjana itu memandangnya dengan kening berkerut.
Trio Detektif 03 Misteri Bisikan Mumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kucing Abesinia, dengan mata yang tidak sama warnanya!" katanya. "Aku semakin bingung sekarang. Segala-galanya menjadi terlalu - terlalu ajaib! Tidak bisa diterima akal sehat! Kan sudah kuceritakan, ketika Ra-Orkon dimakamkan, satu-satunya yang disertakan cuma kucing kesayangannya saja. Nah, kucing itu termasuk jenis Abesinia.
Pada jaman dulu, di Mesir kucing jenis itu dianggap mulia. Mata kucing itu tidak sama warnanya, sedang ujung kedua kaki depannya berbulu hitam. Coba lihat kucing ini! Matanya juga tidak serupa warnanya - sedang ujung kaki depannya hitam!"
Jupe dan Bob mengamat-amati kucing itu. Astaga - betul! Ujung kaki depannya hitam kedua-duanya. "Wilkins mungkin bisa memberi keterangan, jika kita menyadarkannya kembali," kata Profesor. Digosok-gosoknya pergelangan tangan pelayannya.
"Wilkins, sahabatku - bicaralah," katanya. "Katakan padaku apa yang tadi terjadi di sini."
Wilkins membuka matanya. Ia menatap Profesor Yarborough, tapi seakan-akan tidak melihatnya. Matanya menatap kosong.
"Wilkins! Ada apa"" tanya Profesor Yarborough. "Siapa yang mencuri Ra-Orkon" Pedagang permadani, ya""
Wilkins berusaha bicara. "Anubis!" desisnya ketakutan. "Anubis!"
"Anubis"" tanya Profesor Yarborough kebingungan. "Maksud Anda, Anubis dewa ajak yang mencuri mumi Ra-Orkon""
"Anubis!" ulang Wilkins. Matanya dipejamkan kembali. Profesor Yarborough meraba kening pelayannya.
"Dia demam," katanya kemudian. "Anak-anak, dia harus segera kuangkut ke rumah sakit. Kurasa belum perlu kita hubungi polisi. Koran-koran nanti paling-paling akan membesar-besarkannya menjadi berita sensasi. Tadi Wilkins seolah-olah mengatakan ada dewa Mesir Purba yang mencuri mumi Ra-Orkon. Dan di sini ada kucing yang tampangnya seperti titisan kucing kesayangan Ra-Orkon tiga ribu tahun yang silam. Sekarang aku benar-benar bingung. Tapi keselamatan Wilkins harus didulukan. Kalau kalian tidak berkeberatan, kita membawanya ke rumah sakit dengan mobil kalian. Nanti jika dia sudah bisa menceritakan apa yang tadi terjadi di sini, kita akan bisa lebih tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya."
Jupe dan Bob mengangguk tanda setuju.
"Untuk sementara kalian sajalah yang memegang kucing ini," sambung sang profesor, "lalu besok hubungi aku lewat telepon. Kita lihat saat itu, apa yang kita hadapi. Sekarang tolong aku dulu mengangkat Wilkins. Kita harus menggotongnya ke mobil dengan segera."
Worthington membawa mereka ke sebuah rumah sakit swasta kecil, yang dipimpin seorang teman Profesor Yarborough. Setelah Wilkins diurus, Bob dan Jupiter kembali ke Markas Besar. Bob mem
angku kucing yang mendengkur-dengkur senang.
"Wah, Jupe," kata Bob, "menurut pendapatmu, mungkinkah kucing ini ada hubungan dengan lenyapnya Ra-Orkon""
Kening Jupiter Jones berkerut.
"Tentu saja ada," jawabnya, "tapi aku tak tahu, hubungan yang bagaimana."
Bob tahu, Jupiter paling tidak suka bingung. Tapi saat itu ia benar-benar bingung. Bob belum pernah melihat rekannya sebingung saat itu. Jupiter begitu bingung, sampai lupa bahwa mereka belum mendengar kabar dari Pete. Sampai Bob menanyakannya.
"He - di mana Pete sekarang, ya"" katanya. "Masa sampai sekarang belum menghubungi."
Jupiter kaget. "Betul katamu," ujarnya. "Coba kita telepon saja. Mungkin masih di tempat Mrs. Banfry."
Ia mengangkat gagang pesawat yang merupakan perlengkapan mobil mewah itu. Sementara mobil berjalan pun, pemakainya bisa berhubungan dengan pesawat telepon yang mana saja. Mula-mula ia menelepon Mrs. Banfry. Tapi wanita itu mengatakan, Pete sudah lama pergi lagi. Lalu diputarnya nomor pesawat yang ada di Markas Besar. Tapi tak ada yang mengangkat. Kemudian diteleponnya Paman Titus di rumah. Kata pamannya itu, Hans dan Konrad pergi nonton di teater drive-in, naik truk yang kecil. Setelah melihat sebentar ke luar, ia menambahkan bahwa sepeda Pete masih ada di pekarangan.
"Di mana anak itu"" tanya Bob. Ia merasa cemas.
"Aku juga tidak tahu," kata Jupiter sambil menggeleng. "Yang jelas dia tadi menuju ke rumah Profesor Yarborough. Tapi aku tidak bisa membayangkan, di mana dia sekarang. Kita terpaksa menunggu sampai dia muncul. Kalau tentang Pete, aku tidak khawatir."
Tapi ada kemungkinan sikap yakinnya itu goyah, apabila ia tahu bahwa saat itu Pete terkurung dalam peti mumi Ra-Orkon, bersama Hamid, remaja dari Libia. Sementara itu truk yang mengangkut peti meluncur ke suatu alamat yang tidak diketahui, di Los Angeles.
Bab 10 TAK ADA KEMUNGKINAN LARI JAUH juga perjalanan mereka. Tubuh truk tergoncang-goncang ketika melewati bagian jalan yang sangat buruk keadaannya. Tapi Pete dan Hamid tidak begitu merasakannya, karena mereka bersesak-sesak dalam peti.
Hawa di situ mulai pengap. Untung celah yang dibuat oleh Pete dengan jalan menyelipkan sebatang pinsil antara peti dengan tutupnya dekat letaknya ke kepala mereka. Dengan begitu mereka masih bisa menghirup udara yang lumayan segar.
Hamid sama sekali tidak menunjukkan sikap takut. Dalam hati, Pete harus mengakui bahwa anak itu memang tabah.
"Kita ini mau dibawa ke mana"" bisik Hamid. Padahal ia sama sekali tidak perlu berbisik. Biar mereka berteriak-teriak sekuat-kuatnya saat itu, takkan ada orang yang bisa mendengar. Mereka berada dalam peti tertutup, yang terletak di belakang truk yang sedang berjalan.
"Dari pembicaraan mereka tadi, kelihatannya peti ini tidak akan langsung diserahkan pada pemesannya, tapi disembunyikan dulu," jawab Pete. "Kalau benar itu yang mereka lakukan, ada kesempatan bagi kita untuk melarikan diri." Ia bicara dengan nada yakin. Padahal perasaannya saat itu tidak begitu! Bagaimana jika kedua orang tadi tidak melepaskan tali pengikat peti sebelum pergi"
"Mereka tadi bicara tentang mondar-mandir dua kali," bisik Hamid lagi, "dan juga jengkel pada seseorang. Apa maksudnya""
"Rupanya mereka disuruh seseorang untuk mencuri mumi Ra-Orkon," kata Pete menjelaskan. "Mumi mereka ambil, tapi tanpa peti karena terlalu berat. Lalu ketika mumi diserahkan, pemesannya marah-marah karena peti tidak diikutsertakan. Lalu ia menyuruh mereka mengambil peti ini. Ini menyebabkan mereka marah, lalu mengambil keputusan untuk menyembunyikan peti dan menuntut pembayaran tambahan sebagai imbalan penyerahannya."
"Ya, kurasa kau benar," kata Hamid sependapat. "Tapi aku masih tetap belum mengerti, siapa yang ingin mencuri mumi Ra-Orkon" Dia moyangku, dan bukan moyang orang lain."
"Soal itu memang misterius," kata Pete menyetujui. "Dan kurasa begitulah sebutan yang dipakai Bob Andrews untuk perkara ini. Misteri Bisikan Mumi."
"Bob Andrews"" tanya Hamid. "Siapa itu""
"Dia salah seorang anggota Trio Detektif," jawab Pete.
"Trio Detektif" Apa itu"" Remaja berkulit sawo matang malah bertambah bingung diberi penj
elasan. Pete lantas bercerita dari awal mula. Diceritakannya mengenai Trio Detektif. Hamid mengikuti penuturannya dengan penuh minat.
"Kalian, remaja Amerika - kalian begitu - ah, aku tak tahu sebutannya, pokoknya kalian gemar berbuat macam-macam," katanya kemudian dengan agak iri. "Kalau di Libia, lain sekali. Keluargaku berdagang permadani. Tentang barang itu banyak sekali yang kuketahui. Tapi aku tidak tahu apa-apa tentang sidik jari, tentang tape-recorder, periskop, tentang walkie-talkie."
"Walkie-talkie!" seru Pete bersemangat. "Kenapa tidak ke situ pikiranku selama ini! Kita bisa minta tolong dengannya!"
Pete sementara itu sudah memperbaiki kembali walkie-talkie yang rusak ketika ia bergulat dengan Hamid pagi itu. Dan Jupe menginstruksikan bahwa alat itu harus selalu dibawa ke mana pun mereka pergi.
Pete beringsut-ingsut, sampai akhirnya bisa mengambil walkie-talkie yang ada di kantongnya. Lalu dilepaskannya antena yang terlilit ke pinggang, dan disodorkannya ujungnya ke celah yang ada antara peti dengan tutupnya. Sedikit demi sedikit kawat tembaga itu didorongnya ke luar. Ketika semuanya sudah berada di luar, ditekannya tombol untuk bicara.
"Halo, Penyelidik Satu!" ucapnya ke alat komunikasi yang ada di tangannya. "Di sini Penyelidik Dua. Masuk, Penyelidik Satu. Penting. Over!"
Sekarang gilirannya mendengar. Setelah sunyi sesaat, didengarnya suara seseorang. Jantung Pete berdebar. "Halo, Tom," kata suara itu. "Kaudengar itu tadi" Ada yang memotong kita."
"Ya, Jack," jawab suara yang lain. "Kayaknya anak-anak. He, siapa itu! Jangan ganggu kami. Ini urusan bisnis. Nah, Jack - seperti kukatakan tadi, trukku macet dijalan raya. Ban kempis. Kalau kau bisa-"
"Tolong!" kata Pete dengan nada memelas. "Namaku Pete Crenshaw. Aku minta tolong Anda untuk menelepon Jupiter Jones, di Rocky Beach. Ini penting sekali!"
"Menelepon siapa"" tanya orang yang bernama Tom. "Apa katamu tadi""
"Tolong teleponkan Jupiter Jones, di Rocky Beach," kata Pete sekali lagi. "Bilang Pete sangat memerlukan bantuan. Keadaan gawat!"
"Apanya yang gawat, Nak"" tanya orang yang satu lagi, yang namanya Jack.
"Aku terkurung dalam peti mumi, yang kini sedang diangkut dengan truk oleh orang-orang yang mencuri mumi Ra-Orkon!" kata Pete. "Jupiter pasti mengerti. Tolong saja menelepon dia."
"Kaudengar itu"" kata orang yang bernama Jack sambil tertawa. "Ada anak yang mengatakan dia terkurung dalam peti mumi, dan kini diculik dengan mobil! Macam-macam saja remaja jaman sekarang! Apa lagi ide mereka yang berikut"!"
"Tolonglah - aku tidak main-main!" seru Pete. "Hubungi Jupiter Jones."
"He, Tom," kata orang yang satu lagi. "Kau sudah tahu sekarang aku di mana. Tolong panggilkan bantuan untukku. Dan kau, Nak -jangan ganggu kami lagi. Mestinya ada peraturan yang melarang anak-anak memakai jalur CB untuk iseng-iseng saja!"
Setelah itu hubungan terputus. Walkie-talkie bungkam. Berkali-kali Pete mencoba lagi, tapi sia-sia.
"Percuma, Hamid," katanya kemudian dengan lesu. "Sebetulnya aku tadi harus mengatakan, aku kehilangan uang. Atau apa saja. Soalnya begitu aku berterus-terang bahwa kita terkurung dalam peti mumi, mereka lantas beranggapan aku ini anak iseng yang hendak mengganggu pembicaraan mereka."
"Apa boleh buat! Pokoknya kau sudah berusaha. Memang bukan kejadian lumrah terkurung dalam peti mumi. Karena itu mereka sukar bisa percaya."
"Ya, kejadian begini ini mungkin cuma sekali saja dalam tiga ribu tahun. Dan begitu terjadi, justru aku yang harus mengalaminya," kata Pete menggerutu.
Setelah itu keduanya terdiam. Sementara truk berjalan terus sambil tergoncang-goncang. Pete mulai memikirkan hal-hal yang masih perlu diketahui. Kalau Jupe yang saat itu berada di situ, pasti dia akan memanfaatkan waktu yang ada. Karenanya Pete lantas mulai mengajukan pertanyaan.
"Hamid," katanya, "kalau kau memang dari Libia, dari mana kau sampai bisa berbahasa Inggris begitu baik""
"Aku senang mendengar bahwa bahasa Inggrisku baik," kata Hamid. Pete tidak bisa melihat tampangnya - dalam peti yang gelap. Tapi kedengarannya Hamid memang senang. "Aku punya pelatih bahasa, orang Amer
ika. Ayahku, kepala Keluarga Besar Hamid, menginginkan aku bisa pergi ke mana-mana untuk menjual permadani kami. Karenanya aku belajar bahasa-bahasa Inggris, Perancis dan Spanyol. Di Libia keluarga kami - Keluarga Besar Hamid - sudah sejak berabad-abad merupakan keluarga terpandang. Kami membuat permadani yang halus sekali. Kami juga memperdagangkannya. Tapi ayahku sekarang sakit-sakitan. Karena itu walau aku masih remaja, aku dibimbingnya untuk mengambil-alih kedudukan selaku kepala Keluarga Besar Hamid."
"Tapi semuanya itu, apa hubungannya dengan Ra-Orkon"" tanya Pete. "Katamu, dia itu moyangmu. Tapi menurut Profesor Yarborough, tidak ada yang diketahui mengenai dia kecuali namanya. Tidak ada yang tahu dia itu dulu siapa, dan apa kedudukannya. Pokoknya, tidak sedikit pun yang diketahui mengenai dirinya."
"Profesor itu cuma tahu apa yang ada dalam buku saja," kata Hamid dengan nada merendahkan. "Banyak pengetahuan yang tidak ada dalam buku! Cukup banyak orang pandai yang mengetahui hal-hal yang dirahasiakan."
Kemudian Hamid mulai bercerita.
"Enam bulan yang lewat, seorang peminta-minta bernama Sardon datang ke rumah kami. Ternyata dia itu dukun. Katanya pada ayahku, dia menerima wangsit. Ada suara gaib menyuruhnya datang ke rumah Keluarga Hamid. Ayahku memberi dia makan dan minum. Setelah itu Sardon kemasukan roh. Ia bicara dalam berbagai bahasa asing, dengan suara orang-orang lain. Kemudian arwah Ra-Orkon menyusup ke dalam tubuhnya.
"Ra-Orkon berbicara. Katanya, tak lama lagi dia akan dikirim ke negeri orang biadab berkulit bule. Ia takkan bisa tenang lagi, selama belum dikembalikan ke tanah asalnya. Ra Orkon mengatakan dia cikal-bakal Keluarga Besar Hamid. Diserukannya pada ayahku untuk menyelamatkan dirinya, dan memulihkan ketenangan arwahnya.
"Lalu Ra-Orkon mengatakan, jika ayahku mau pergi ke negeri orang biadab untuk mengambilnya kembali, maka dia - Ra-Orkon - kemudian akan muncul dalam wujud kucing bangsawan kesayangannya. Kucing yang warna kedua matanya tidak sama, serta ujung kaki depannya belang hitam. Itu akan menjadi tanda bahwa ia mengatakan yang sebenarnya, dengan mana ayahku akan yakin bahwa mumi Ra Orkon perlu diselamatkan dan dikembalikan ke Libia.
"Sehabis Ra-Orkon bicara, Sardon sadar kembali. Ia sama sekali tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Peminta-minta itu sudah tua-renta. Rambutnya putih tergerai. Matanya tinggal satu. Jalannya terpincang-pincang, ditopang tongkat. Sebelum pergi ia masih meramalkan berbagai hal dengan bantuan bola sihir. Macam-macam yang dikatakannya pada ayahku, baik tentang masa silam maupun masa depan."
"Wah!" kata Pete kagum. "Lalu, apa yang dilakukan ayahmu kemudian""
"Dia mengutus Ahmed, tangan kanannya, ke Kairo untuk menyelidik. Menurut Ahmed, kata-kata Ra-Orkon ternyata benar. Di museum purbakala di kota itu ada mumi Ra-Orkon. Mumi itu akan dikirim ke suatu negara yang jauh, ke Amerika Serikat. Ke alamat Profesor Yarborough di California.
"Ahmed melaporkan pada ayahku, Sardon si peminta-minta itu tidak bohong. Ayahku, karena dia sendiri sakit-sakitan, lantas mengutus aku kemari, sebagai putranya yang paling tua. Ahmed disuruh ikut, selaku pengawalku. Aku ditugaskan mengambil kembali mumi moyangku. Sebelum ini Ahmed sudah berusaha membujuk Profesor secara baik-baik agar mumi moyangku dikembalikan. Tapi sia-sia belaka."
"Ya, dia disuruh pergi oleh Profesor Yarborough," kata Pete mengomentari.
"Saat itulah Ahmed mendapat akal. Ia akan menyamar jadi salah seorang tukang kebun sarjana itu, supaya bisa terus ada di dekat mumi. Lalu begitu ada kesempatan baik, mengambilnya! Aku juga selalu ada di sekitar tempat itu, untuk membantunya. Tapi kemudian secara kebetulan kau memergoki aku tadi pagi. Kami orang asing di sini -jadi tidak berani bertindak cepat-cepat. Kami perlu mengatur rencana dengan hati-hati."
"Bukan main!" desah Pete yang terkesan mendengar penuturan Hamid. "Tapi kenapa harus dengan jalan mencuri" Ada kemungkinan Profesor mau menjualnya padamu, jika pembayaran kautawarkan cukup tinggi."
"Masa moyang sendiri harus dibeli!" tukas Hamid sengit. "Harapan kami satu-
satunya cuma itu. Mencurinya! Kami tahu kata-kata Sardon ternyata semuanya benar, karena pada suatu malam arwah Ra-Orkon dengan tiba-tiba muncul di kamarku. Persis seperti diramalkan oleh Sardon. Tentu saja bukan dia sendiri yang datang, tapi dalam penjelmaannya sebagai kucing Abesinia yang kedua matanya berlainan warna serta kaki depan belang hitam. Ternyata Ra-Orkon memang moyangku, sebab ramalan Sardon menjadi kenyataan semuanya. Tapi sekarang-" Hamid tertegun sejenak, "sekarang ada orang lain mencuri Ra-Orkon. Aku bingung jadinya."
Pete merasa haru-biru pikirannya. Tapi kemudian timbul dugaan tertentu dalam dirinya.
"Mungkin Ahmed yang menugaskan Joe dan Harry, kedua penjahat yang di depan itu untuk mencuri Ra-Orkon," katanya. "Mungkin ia melakukannya tanpa bilang lebih dulu padamu."
"Mustahil!" seru Hamid kaget. "Aku pasti tahu kalau begitu. Ahmed pasti selalu merundingkan segala-galanya dengan aku. Aku ini calon kepala Keluarga Besar Hamid."
"Yah, mungkin juga," kata Pete. Padahal dalam hati ia tidak begitu yakin, apakah Ahmed benar-benar akan melaporkan segala-galanya pada Hamid. Ahmed kelihatannya cerdik orangnya. Mungkin saja ia punya beberapa niat tertentu. "Tapi sekarang soal lain. Bagaimana sampai Ra-Orkon tahu-tahu bisa berbisik""
"Aku tidak tahu. Mungkin Ra-Orkon murka. Mungkin moyangku itu marah padaku dan pada Ahmed. Dan juga marah pada Profesor itu. Semuanya kayak teka-teki saja bagiku." Hamid kedengarannya seperti orang yang sedang susah.
"Aku sependapat dengan ucapanmu yang paling akhir," kata Pete. "He! Kayaknya kita berhenti sekarang."
Truk itu memang tidak berjalan lagi. Terdengar bunyi barang berat digeser. Kedengarannya seperti pintu garasi, atau gudang. Lalu truk maju lagi sedikit. Berhenti lagi. Sesaat kemudian terdengar bunyi pintu bergeser kembali. Kini Pete dan Hamid tahu, mereka sudah berada dalam sebuah gudang. Atau bisa juga garasi.
Tutup bak truk dibuka. Sesaat kemudian terasa peti mumi diangkat dengan kasar. Pete dan Hamid tergoncang-goncang di dalamnya, sementara peti itu dijunjung beberapa langkah, lalu dijatuhkan dengan begitu saja ke lantai.
"Yuk, Joe," terdengar suara orang yang bernama Harry. "Barang ini pasti aman di sini."
"Betul," jawab Joe. "Besok pagi kita menelepon pemesannya. Kita bilang padanya, kita minta pembayaran lipat dua sekarang. Sementara itu dia boleh bingung malam ini."
"Besok kita sibuk," kata temannya. "Rupanya kau lupa, kita sudah berjanji akan melakukan pekerjaan yang di Long Beach."
"O ya, betul juga! Kalau begitu, biar saja dia juga bingung sepanjang hari besok. Petangnya, keringat dinginnya pasti sudah mengucur terus. Nah - saat itu barulah kita menelepon dia, lalu mengatakan barang akan kita serahkan - asal dia mau membayar harga yang kita minta."
"Tidak ada salahnya jika kita minta pembayaran lipat tiga," usul Harry. "Habis, kelihatannya dia sangat ingin peti ini disertakan dengan muminya. Tapi itu nanti saja. Kita pergi sekarang!"
Terdengar lagi pintu terbuka, disusul bunyi mesin mobil dihidupkan. Truk mulai dimundurkan.
Dengan jantung berdebar-debar, kedua remaja yang ada dalam peti berusaha mendorong tutupnya ke atas. Tapi percuma, sedikit pun tak bergerak. Rupanya Joe dan Harry tadi mengikatnya erat sekali.
Bab 11 BOB DAN JUPITER GELISAH BOB ANDREWS sibuk mengetik di Markas Besar. Ia sedang menyusun catatan tentang kasus itu. Ia pandai mengetik, karena ayahnya - penulis untuk suatu surat kabar yang terbit di Los Angeles - menyuruhnya mengikuti kursus mengetik ketika ia berumur dua belas tahun.
Sedang Jupiter Jones duduk sambil memangku kucing tak dikenal yang tahu-tahu muncul di rumah Profesor Yarborough. Ia mengelus-elus kucing itu sambil mencubiti bibir bawahnya sendiri. Jupiter sedang memeras otak.
"Wah," kata Bob setelah beberapa saat, "sudah pukul sepuluh kurang lima. Tapi Pete masih belum muncul. Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya."
"Mungkin sedang menyelidiki petunjuk tertentu," tebak Jupiter.
"Tapi dia harus pulang paling lambat pukul sepuluh," kata Bob, "dan aku juga! Sebentar lagi aku harus pulang, supaya orang tuaku ti
dak khawatir." "Bagaimana jika kautelepon mereka, untuk mengatakan kau sekali ini pulang agak lambat," kata Jupiter mengusulkan. "Sementara itu mungkin Pete sudah kembali."
Dengan segera Bob menelepon. Yang menerima ibunya. Begitu Mrs. Andrews mendengar bahwa Bob ada di tempat Jupiter, ia langsung memberi ijin. Bob boleh pulang setengah jam lebih lambat dari biasa.
Jupiter meletakkan kucing Abesinia itu ke lantai. Dihampirinya periskop, lalu dipakainya alat itu untuk mengamat-amati keadaan di luar, yang sebagian diterangi lampu di gerbang masuk ke kompleks perusahaan dan juga oleh lampu jalan. Di luar tenang. Di rumah kecil dekat kompleks itu, di mana Jupiter tinggal bersama paman dan bibinya, ruang duduk masih kelihatan terang. Rupanya Titus dan Mathilda Jones masih nonton TV. Tapi pondok kecil di belakang rumah itu sudah gelap. Di situ tempat tinggal Hans dan Konrad, kedua bersaudara pembantu pamannya. Sebetulnya Jupiter ingin menanyakan pada Hans, kapan pemuda itu terakhir kalinya melihat Pete. Tapi ia tahu, saat itu Hans sedang nonton bersama saudaranya di teater drive-in.
Jupiter memutar arah periskop. Kini dilihatnya sebuah mobil meluncur di jalan raya, datang ke arah kompleks. Kendaraan itu melambat sebentar, lalu berjalan cepat lagi. Ketika lewat di bawah lampu jalan, dilihatnya kendaraan itu sebuah mobil sport biru yang menyolok. Pengemudinya seorang remaja bertubuh kurus jangkung.
Jupiter kembali lagi ke meja.
"Pete belum kelihatan," katanya. "Tapi baru saja Skinny Norris lewat dengan mobilnya." "O ya"" kata Bob. "Mau apa dia kemari""
"Mungkin karena ingin tahu saja," kata Jupiter menebak. "Mungkin ia bertanya-tanya, apa lagi yang kita lakukan sekarang. Barangkali ia menduga, pasti kita menangani kasus baru, lalu dia ingin mengacaukannya lagi."
"Bisa mengucur darah dari hidungnya nanti, kalau anak itu tidak hati-hati!" tukas Bob. "Dia itu selalu saja ingin campur tangan dalam urusan orang lain!"
Skinny Norris potongannya kurus tinggi, berhidung panjang. Umurnya sedikit lebih tua dari mereka. Ia kepingin sekali menunjukkan bahwa dia lebih pintar daripada Jupiter. Selama ini segala usahanya ke arah itu selalu gagal. Tapi itu bukan membuatnya jera. Tidak! Malah ia semakin ngotot, ingin mengalahkan Trio Detektif.
Tapi Jupiter tidak mau lama-lama menyibukkan diri dengan Skinny Norris. Ia lebih gelisah memikirkan Pete yang masih tetap belum kembali. Ia bahkan mulai berperasaan, jangan-jangan sekali ini misteri yang dihadapi ternyata terlalu berat untuk ditangani Trio Detektif. Mungkin ia nanti terpaksa menghubungi pihak berwenang untuk menyelesaikannya.
Tapi Jupiter anaknya keras kepala. Ia tidak mau mengaku kalah dengan gampang. Kecuali itu Profesor Yarborough juga segan kejadian itu masuk koran. Setelah mempertimbangkan berbagai faktor, akhirnya Jupiter mengambil keputusan.
"Kita beri waktu setengah jam lagi padanya untuk muncul," katanya. "Setelah itu kita harus bertindak."
Bob berhenti mengetik. Pikirannya dipenuhi bermacam-macam kejadian yang serba memusingkan kepala. Mumi yang berbisik lalu menghilang, patung yang hampir menimbulkan bencana, bola granit yang bisa lari sendiri, kucing yang matanya berlainan warna, kutukan yang berasal dari jaman Mesir Purba. Pusing kepala Bob memikirkan segala hal itu.
"Jupe," katanya, "aku pulang saja sekarang. Capek!" Jupiter mengangguk.
"Kita semua perlu tidur malam ini," katanya. "Tapi aku masih ingin menunggu sebentar lagi. Siapa tahu Pete muncul, atau menghubungi lewat telepon."
"Kenapa tidak kaucoba saja dengan walkie-talkie"" kata Bob menyarankan. "Mungkin Pete saat ini mencoba menghubungi kita dengan alat itu!"
"Kenapa waktu kubuat dulu, jarak jangkaunya tidak kuatur supaya bisa lebih jauh," kata Jupe menggerutu sendiri. "Nantilah kurombak lagi. Tapi sekarang kita coba saja."
Ditekannya tombol alat pengeras suara yang sekaligus merupakan pesawat walkie-talkie.
"Markas Besar memanggil Penyelidik Kedua," katanya. "Masuk, Kedua. Masuk, apabila bisa menangkapku."
Pengeras suara itu mendengung. Tapi tak ada jawaban masuk.
"Rupanya dia tidak menghubungi," kata Jupiter, "atau
mungkin pula jaraknya terlalu jauh dari sini. Kau pulang saja sekarang. Aku masih akan menunggu di sini."
Walau agak segan, akhirnya Bob pulang juga naik sepeda. Ia begitu sibuk dengan pikirannya sendiri, sehingga ketika masuk ke rumahnya ayahnya harus menyapa dua kali sebelum dijawab. Ayahnya bekerja malam hari, untuk sebuah surat kabar besar yang terbit pagi. Tapi malam itu ia pulang agak lebih cepat dari biasanya.
"Apa yang sedang kaupikirkan, Bob"" tanya ayahnya. "Sekolah kan libur -jadi pasti bukan soal ujian."
"Aku memikirkan kasus kami, Yah." Bob duduk di lengan kursi ayahnya. "Misterius sekali." "Coba ceritakan!"
"Yah - pokoknya ada urusannya dengan seekor kucing yang matanya satu biru dan satu lagi Jingga," kata Bob. "Hmm," kata ayahnya sambil memasukkan tembakau ke dalam pipanya yang sudah padam.
"Tapi urusannya terutama mengenai mumi yang bisa berbisik-bisik. Mana mungkin - mumi yang umurnya sudah tiga ribu tahun masih bisa bicara""
"Itu kan gampang saja." Ayahnya tertawa kecil. "Sama saja caranya, apabila hendak membuat boneka kayu bisa mengoceh."
"Dengan cara bagaimana, Yah"" tanya Bob penuh minat.
"Seorang ventrilokuis bisa melakukannya," kata ayahnya lagi sambil menyalakan pipa. "Maksudku, orang yang bisa bicara dengan suara perut. Kita hadapi saja persoalan ini secara logis. Mumi, mustahil bisa bicara - walau cuma berbisik-bisik. Jadi mesti ada orang yang membuatnya seperti berbisik. Ini dilakukan dengan suara perut. Kesimpulannya - jika ada mumi berumur 3.000 tahun berbisik, carilah ahli bicara dengan suara perut di daerah sekitar situ."
"Aduh, mungkin itu dia jawaban yang dicari-cari," kata Bob. "Sebentar, Yah - aku hendak menelepon Jupiter."
"Silakan," kata ayahnya. Mr. Andrews memandang anaknya yang pergi ke gang sambil tersenyum. Ia terkenang pada masa mudanya. Banyak sekali hal-hal aneh yang menarik perhatiannya waktu itu. Karenanya ia bisa memahami segala kegiatan anaknya. Ia sendiri juga begitu dulu. Kalau tidak, belum tentu pengertiannya bisa begitu besar.
Bob bergegas-gegas menelepon Markas Besar. Tapi ketika Jupiter menjawab, nada suaranya kecewa.
"Kukira Pete," kata Jupiter. "Ada apa, Bob""
"Aku baru saja membicarakan kasus kita dengan ayahku," kata Bob. "Kata Ayah, satu cara untuk membuat mumi berbisik yaitu dengan suara perut. Dia menyarankan agar kita menyelidiki ada tidaknya seorang ventrilokuis yang tinggal di dekat rumah Profesor Yarborough."
"Kemungkinan ini juga sudah kupikirkan," kata Jupiter. "Tapi ia toh harus memakai radio, jika hendak bekerja dari jarak jauh. Sedang kita sudah melihat sendiri, dalam peti tidak ada radio. Lalu ketika aku datang dengan samaran sebagai Profesor Yarborough, mumi berbisik padaku. Kau tentunya juga tahu, aku tidak memakai suara perut waktu itu. Jadi kurasa bukan itu penjelasannya."
"Pokoknya, itu kan satu kemungkinan," kata Bob. "Mungkin waktu itu ada seseorang yang bersembunyi di luar, dekat pintu. Dan dia yang bicara dengan suara perut, sehingga timbul kesan mumi yang berbisik-bisik. He - kau sudah menelepon rumah Profesor, untuk melihat mungkin Pete ada di sana""
"Akan kulakukan dengan segera," jawab Jupiter. "Sementara itu akan kupikirkan lebih lanjut kemungkinan digunakannya suara perut. Rasanya mustahil! Tapi Sherlock Holmes pernah berkata, begitu segala kemungkinan lain sudah terbukti keliru, maka yang tinggal itulah jawaban yang dicari."
Sehabis menelepon Jupiter, Bob langsung ke tempat tidur. Ia merasa gelisah memikirkan Pete. Tapi ia tidak sanggup lagi memikirkan tindakan yang bisa diambil. Sementara itu Jupiter sudah sibuk memutar nomor pesawat telepon di rumah Profesor Yarborough. Tapi di sana pesawat tidak diangkat-angkat. Rupanya Profesor Yarborough masih ada di rumah sakit, menemani pelayannya.
* * * Pete dan Hamid berusaha sekuat tenaga mendorong-dorong tutup peti yang mengurung mereka. Tapi dengan segera mereka berhenti, ketika terdengar bunyi di luar. Truk tadi datang lagi. Terdengar bunyi pintu digeser.
Mobil masuk ke dalam, dan kedua orang yang tadi turun.
"Baik juga idemu menutup peti ini," kata seorang di antaranya. "Memang yang k
emari cuma kita berdua. Tapi kalau toh ada orang lain muncul, tak perlu perhatiannya tertarik ke barang ini."
Pete dan Hamid mendengar suara menggeser, ketika kain terpal diselubungkan ke atas peti.
"Lubang udara tertutup!" desis Pete pada Hamid. "Aku mau berteriak sekarang! Jangan sampai kita terkurung lebih lama di sini."
Ia menarik napas dalam-dalam. Maksudnya hendak berteriak sekuat-kuatnya. Tapi tidak jadi, karena sempat mendengar ucapan kedua laki-laki yang di luar. Pete diam, sedikit pun tak terdengar suaranya.
Bab 12 LARI! "HE, JOE!" kata orang yang bernama Harry. "Mungkin besok kita memerlukan tali ini." "Betul juga," kata joe. "Kita bawa saja sekarang."
Pete dan Hamid menunggu sambil menahan napas. Terdengar bunyi terpal ditarik. Kemudian mereka tergoncang-goncang dalam peti, sementara kedua laki-laki yang di luar menarik tali yang tadi dipakai untuk mengikat. Sesaat kemudian terpal sudah diselubungkan kembali di atas peti. Terdengar bunyi mesin truk dihidupkan. Kendaraan itu mundur, disusul bunyi pintu tergeser menutup kembali.
Sejenak kemudian Pete dan Hamid sudah serempak mendesakkan tubuh mereka ke atas. Tutup peti sekarang terjunjung dengan mudah. Kedua remaja itu bergegas keluar, merangkak dari terpal yang menyelubungi.
Ruangan itu gelap. Jadi tidak banyak yang bisa dilihat. Tapi lewat jendela loteng, masuk sedikit cahaya dari lampu jalan di luar. Dan berkat sinar remang itu mereka bisa mengenali, saat itu mereka ada dalam sebuah ruangan gudang. Ruangan itu berlangit-langit tinggi dan berdinding beton. Tanpa jendela!
Keduanya mulai berkeliling memeriksa keadaan. Pertama-tama menuju ke pintu. Pintu itu besar, gerbangnya bisa dilewati truk. Tapi sayangnya terkunci dari luar. Mereka hanya bisa menggoyang-goyangnya sedikit. Tapi cuma itu saja. Pintu tetap tidak terbuka.
Kemudian mereka memeriksa isi gudang itu. Bermacam-macam benda ada di situ. Yang paling dulu menarik perhatian mereka adalah sebuah mobil antik. Dengan jalan meraba-raba serta dibantu cahaya remang-remang, ditarik kesimpulan bahwa kendaraan itu sebuah Pierce-Arrow kuno. Antik dan anggun.
"Mobil tua," kata Hamid agak heran. "Kenapa ada di sini""
"Ini mobil antik. Mungkin buatan tahun 1920. Mobil macam begini nilainya tinggi sekali bagi para penggemarnya," kata Pete menjelaskan.
Berikutnya mereka menemukan sejumlah mebel. Barang-barang itu berat dan penuh ukiran. Mereka mengetahuinya dengan jalan meraba-raba. Mebel itu semua ditaruh di atas landasan yang terbuat dari kayu.
"Supaya tetap kering," kata Pete. "Rupanya memang disimpan di sini. Tapi yang ini apa" Di sini ada tumpukan besar."
Hamid meraba-raba tumpukan itu, yang terdiri dari berlusin-lusin silinder panjang dan gemuk, yang ditumpukkan membentuk piramida.
"Ini permadani!" seru remaja itu bergairah. "Permadani daerah Timur Tengah. Halus sekali buatannya. Sangat berharga!"
"Dari mana kau bisa tahu, di tempat gelap begini"" tanya Pete heran. "Aku cuma mampu mengenali ini permadani yang ditumpuk-tumpuk. Cuma itu saja!"
"Jari-jariku sudah terlatih! Ketika aku berumur delapan tahun, aku diajari ayahku membeda-bedakan setiap jenis permadani dari kawasan Timur Tengah dengan jalan merabanya saja. Yang menentukan tenunannya, serta jenis wol yang dipakai. Serta macam-macam lagi - soal yang kecil-kecil. Di tumpukan ini tidak ada yang berasal dari Keluarga Hamid. Tapi jelas sangat berharga. Masing-masing dua -tiga ribu dollar!"
"Wah - mungkin ini barang curian," kata Pete. "Tanggung yang ada dalam ruangan ini semuanya barang curian! Dan kedua laki-laki tadi, Joe dan Harry, kedua-duanya pencuri profesional. Mungkin karena itu mereka disewa untuk mencurikan Ra-Orkon beserta petinya."
"Ya," kata Hamid. "kurasa kau benar. Tapi sekarang - bagaimana caranya kita keluar dari sini""
"Itu ada pintu," kata Pete. Samar-samar dilihatnya pintu kecil di tempat yang gelap. Pintu itu terpasang pada dinding bata tebal yang kelihatannya memisahkan ruangan gudang itu dari bangunan selebihnya.
Pete memegang kenop pintu dan berusaha memutarnya. Bisa. Tapi pintu tak bergerak sedikit pun. Kemudian mereka melihat satu p
intu lagi. Tapi ternyata cuma pintu ke kamar kecil.
"Kurasa ini tempat persembunyian rahasia untuk menyimpan barang-barang curian," kata Pete kemudian, "dan cuma Joe dan Harry tadi saja yang bisa masuk ke sini. Tapi bagi kita masih ada satu jalan ke luar."
"Lewat mana"" tanya Hamid. "Aku tak melihatnya. Yang ada cuma tembok kokoh, tanpa jendela."
"Itu - di atas," kata Pete sambil menuding. Hamid mendongak. Jendela loteng yang memasukkan cahaya remang dari luar, ternyata menganga sedikit. Tapi letaknya jauh di atas kepala mereka.
"Kalau kita bisa terbang," kata Hamid, "baru mungkin kita lari lewat situ."
"Kita lihat saja dulu," kata Pete. "Mobil antik itu, letaknya hampir persis di bawahnya."
"Betul," jawab Hamid bersemangat "Cepat, kita coba. Mungkin jika kita berdiri di atas kapnya, bisa tercapai jendela itu."
"Tenang, Hamid." Pete menyabarkan remaja yang lebih muda dari dirinya itu, yang sudah hendak cepat-cepat naik ke kap sedan Pierce-Arrow antik. "Sepatumu nanti menggores catnya. Kan sayang, jika mobil yang sepantasnya ditaruh dalam museum sampai rusak karenanya."
Kedua remaja itu membuka sepatu masing-masing, menyambung talinya lalu menggantungkannya melilit leher. Sesudah itu baru mereka naik ke atas kap mobil. Tapi ternyata walau Pete sudah menjulurkan tubuh setinggi-tingginya, jendela loteng masih terlalu jauh dari jangkauan. Sekitar tiga puluh senti dari ujung tangan, dan lebih dari itu ke samping.
"Aku akan mencoba melompat ke situ, Hamid," kata Pete. "Kita tidak bisa terus di sini!"
Pete meloncat. Jarinya mencengkeram ambang jendela. Dengan cepat didorongnya daun jendela sampai terpentang lebar. Lalu ia menjunjung dirinya sendiri, naik ke atap yang berlapis kerikil. Dengan segera ia berbalik. Dijulurkannya tubuh ke bawah lewat lubang jendela, sambil mengulurkan tangan.
"Hamid!" panggilnya. "Lompat saja, nanti kutangkap! Pegang pergelanganku."
Remaja yang lebih kecil itu ragu-ragu sesaat. Ditatapnya lantai yang terbuat dari beton. Tapi dengan segera ia membulatkan hati. Ia mendongak. Lengan dijulurkan ke atas, lalu melompat.
Nyaris saja tak terpegang olehnya pergelangan tangan Pete. Tapi Pete cukup sigap. Disambarnya pergelangan tangan Hamid, lalu ditarik ke atas. Sejenak kemudian remaja itu sudah ada di sisinya. Di atas atap.
"Kau bukan saja tabah, Pete," kata Hamid memuji, "tapi juga kuat sekali."
Hidung Pete mekar mendengarnya.
"Kami setiap hari di ruang senam berlatih lebih berat lagi," katanya seolah-olah sambil lalu. "Nah - sekarang sepatu kita pakai lagi. Lalu mencari jalan turun dari sini."
Pada bagian depannya, atap itu dibatasi tembok bata yang tinggi. Itu bagian depan bangunan. Mereka tidak bisa turun lewat situ. Tapi di sebelah belakang ada tangga besi. Tangga itu dipakai untuk naik ke atap, jika di situ ada yang perlu diperbaiki. Dengan cepat mereka menuruni tangga, sampai di lorong gelap yang ada di bawah. Mereka berhenti sejenak di situ. Mereka hendak mengetahui di mana mereka berada.
Sambil melihat-lihat berkeliling, Pete mengambil sepotong kapur biru dari kantongnya. Lalu dibuatnya beberapa tanda tanya yang besar-besar di pojok kiri bawah daun pintu tempat truk tadi keluar-masuk.
"Ini tanda rahasia kami," katanya menjelaskan pada Hamid. "Dengannya kita bisa menemukan kembali tempat ini. Sekarang kita keluar dari sini, ke jalan besar. Kita harus mengetahui alamat tempat - wah, ada orang datang! Mungkin gelandangan. Tapi bisa juga penjahat! Kita berbalik saja menuju jalan yang ada di belakang."
Keduanya bergegas menyusur lorong gelap, melewati pintu demi pintu yang tertutup semua. Akhirnya sampai di sebuah jalan yang tidak terawat baik. Penerangan di situ remang-remang. Pete tidak mengenali apa-apa di situ. Ia lantas tahu bahwa ia belum pernah datang ke daerah situ.
"Tapi kita perlu mengetahui di mana kita sekarang," katanya pada Hamid. "Yuk - kita ke pojok jalan berikut. Kita lihat papan nama jalan di situ. Kita perlu mencatatnya, supaya bisa kembali ke sini."
Tapi sesampai di pojok jalan, ternyata papan nama jalan yang terpasang di situ sudah rusak sekali. Jadi mereka tidak bisa membaca tulis
annya. Papan itu penyok-penyok, rupanya karena dilempari batu.
"Sialan!" cerca Pete. "Kenapa sih orang -"
Saat itu terdengar bunyi kaca pecah. Datangnya dari salah-satu jalan samping. Kemudian muncul dua orang laki-laki. Keduanya lari melewati Pete dan Hamid, menuju sebuah mobil yang langsung melesat pergi. Kedua remaja itu cuma bisa melongo saja memandang mereka. Mereka dikagetkan oleh suara yang berteriak-teriak dengan marah di belakang mereka.
"Tahan, maling!" seru seorang laki-laki. "He - kalian yang memecahkan jendela tokoku! Kalian mencuri arloji-arlojiku! Jangan lari!"
Seorang laki-laki bertubuh besar datang berlari-lari, sambil mengacung-acungkan kepalan tinju. Kelihatannya ia yakin, kedua remaja itulah yang baru saja melakukan kejahatan itu.
Tanpa berpikir lagi Pete langsung menyambar tangan Hamid, lalu diseretnya. "Lari!" serunya.
Keduanya lari. Masuk jalan yang satu, melintas jalan lain, memintas lewat lorong-lorong. Pengejar mereka bertambah banyak. Bukan itu saja - beberapa ekor anjing juga ikut memburu sambil menggonggong-gonggong. Pete dan Hamid lari terus, sampai kehabisan napas. Mereka sudah tak peduli arah lagi. Keduanya berhenti lari. Para pengejar tidak kelihatan lagi.
"Sebetulnya kita tadi harus mengatakan pada orang itu, bukan kita yang memecahkan kaca jendela tokonya," kata Pete tersengal-sengal. "Tapi terus-terang saja, aku tadi langsung lari tanpa sempat berpikir lagi."
"Kalau ada orang berteriak, 'Maling' sambil mengejar, wajar jika kita lari," kata Hamid. "Jangan persalahkan dirimu."
"Tapi konyolnya," kata Pete dengan masam, "tadi aku tidak tahu di mana kita berada, sebelum lari! Yang kuingat cuma tempat itu beberapa blok dari sini. Kita sama sekali tidak tahu di mana letak gudang itu." "Betul," kata Hamid serius. "Sekarang ada tambahan satu problem lagi. Ya kan, Pete""
"Ya," jawab Pete. "Bagaimana cara kita menemukannya kembali" Dan bagaimana kita sekarang pulang" Tempat ini letaknya pasti sekitar dua puluh sampai dua puluh lima kilo dari Rocky Beach, dan lima belas dari Hollywood. Di tengah kota Los Angeles."
"Kan bisa naik taksi," kata Hamid.
"Uangnya dari mana"" tukas Pete.
"Aku punya uang," jawab Hamid menenangkan. "Aku diberi oleh Ahmed, untuk keperluan-keperluan mendadak. Cukup banyak uang dollar Amerika di kantongku."
Ditunjukkannya sebuah dompet penuh berisi lembaran uang dollar.
"Syukur," kata Pete. "Itu - di depan ada cahaya terang. Mungkin di sana kita bisa menemukan taksi."
Mereka bergegas ke tempat itu. Di pojok jalan ada tempat perhentian taksi. Mereka menemukan taksi yang pengemudinya bersedia menempuh jarak yang jauh ke rumah mereka di Rocky Beach. Tentu saja setelah Hamid menunjukkan bahwa mereka punya uang untuk membayar ongkos perjalanan itu!
Sebelum berangkat, Pete cepat-cepat mencatat nama tempat itu. Setidak-tidaknya sekarang ia tahu, sekitar lima belas sampai dua puluh blok dari situ terletak gudang tempat peti Ra-Orkon disembunyikan. Pete juga sempat menelepon Jupiter sebentar, lewat telepon umum.
"Aku tidak apa-apa," katanya melaporkan, "dan sekarang dalam perjalanan pulang. Banyak yang perlu dilaporkan. Terlalu banyak untuk diceritakan lewat telepon sekarang! Sesampai di rumah nanti, aku akan langsung menelepon lagi."
"Pakai walkie-talkie saja," kata Jupe. "Aku menunggu di kamarku. Hah - lega rasanya menerima kabar darimu, Kedua!"
Nada suara Jupiter saat itu benar-benar lega. Karenanya Pete lantas mengetahui, tadi rekannya itu pasti sudah khawatir mengingat nasibnya. Tapi tunggu saja - sampai Jupe mendengar bahwa dia, Pete, tadi ada di tempat peti mumi disembunyikan - tapi sekarang jejak itu hilang lagi!
Taksi berangkat membawa mereka kembali ke Rocky Beach. Di tengah jalan tidak ada kejadian yang luar biasa. Hamid memaksa mengantar Pete terlebih dulu ke rumah. Setelah itu baru dia sendiri menuju ke rumah yang disewa Ahmed untuk mereka berdua, tidak jauh dari tempat tinggal Profesor Yarborough.
Sesampai di rumah Pete, remaja itu sudah hendak buru-buru turun. Tapi ditahan sebentar oleh Hamid.
"Pete," kata anak Libia itu, "maukah kau serta teman-temanmu membantu aku me
nemukan kembali Ra-Orkon serta petinya" Aku, Hamid bani Hamid ingin menyewa tenaga kalian."
Rahasia Dewi Purbosari 2 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Sepasang Racun Api 2
Dicondongkannya tubuh mendekati alat pengeras suara, lalu menekan sebuah tombol di situ. "Di sini Markas Besar," katanya, "memanggil Penyelidik Satu. Masuk, Penyelidik Satu!"
Letak tombol dipindahkan, disusul bunyi mendengung keluar dari alat pengeras suara. Kemudian terdengar suara Jupiter.
"Di sini Penyelidik Satu. Aku akan menggabungkan diri begitu aku bisa. Kelihatannya kalian tadi memakai periskop. Turunkan, jika sudah tidak dipakai lagi. Selesai."
"Oke, mengerti," kata Pete, lalu menekan tombol untuk mematikan pesawat. Sementara itu Bob pergi ke periskop.
"Sedikit sekali yang tidak diketahui oleh Jupe," katanya. "Sekarang mobil memasuki gerbang depan. Jupe turun. Ia menenteng tas kecil berkancing tarik. Ia menuju ke sini. Sebentar lagi pasti sudah masuk ke mari. Worthington menunggu di luar, dengan mobil."
Periskop diturunkan lagi, dan Bob kembali ke tempatnya.
"Aku ingin tahu, ke mana dia tadi," katanya, setengah pada diri sendiri. Beberapa menit kemudian, ketika ternyata rekan mereka itu belum masuk-masuk juga ia menambahkan, "Dan aku ingin tahu, ke mana lagi dia sekarang" Jangan-jangan macet dalam Lorong Dua!"
Tapi saat itu juga terdengar ketukan khusus di lantai trailer. Itu tanda salah seorang dari mereka datang. Tingkap di lantai terangkat ke atas, disusul kepala dan bahu seseorang tersembul masuk ke dalam ruangan.
Pete dan Bob memandang ke lantai dengan mata terbelalak. Mereka melihat tubuh bagian atas dari seorang laki-laki tua. Rambut gondrong beruban, berkaca mata dengan bingkai emas, serta janggut putih menghias dagu.
"Profesor Yarborough!" seru Pete kaget. "Bagaimana Anda bisa sampai di sini" Apa yang terjadi dengan Jupe""
"Dia terkena kutukan Ra-Orkon." Laki-laki tua itu mengangkat tubuhnya dengan kelincahan yang mengagumkan, masuk ke dalam ruangan Markas Besar yang sempit. "Ra-Orkon menjelmakan dirinya - menjadi aku."
Sambil berkata begitu dilepaskann
ya rambut palsu putih, kaca mata serta janggut yang menempel ke dagu. Di depan Bob dan Pete berdiri seorang remaja yang menatap mereka sambil nyengir.
"Jupe!" seru Bob.
"Jika kalian saja bisa tertipu," kata remaja itu, "kurasa aku pasti akan bisa mengelabui mumi. Apalagi mumi yang matanya terpejam."
"Astaga, Jupe!" kata Pete sambil melongo. "Kau memang sungguh-sungguh berhasil menipu kami tadi. Tapi untuk apa kau menyamar jadi Profesor Yarborough""
"Sebagai percobaan," kata Jupiter. Benda-benda yang dipakainya tadi untuk menyamar, dimasukkannya semua ke dalam tas kecil yang masih dijinjingnya. Diterangi lampu yang tergantung di atas meja, kini nampak bahwa di kening dan di sekeliling matanya dibuat guratan-guratan dengan pinsil rias, untuk membuat wajah remajanya nampak jauh lebih tua.
"Aku tadi pergi ke tempat Mr. Grant," katanya menjelaskan. "Ia yang merias mukaku, setelah kukatakan padanya bagaimana tampang Profesor Yarborough."
Orang yang disebutnya itu spesialis tata rias, dengan siapa mereka berkenalan dalam menangani suatu kasus. Mr. Grant benar-benar ahli dalam bidangnya. Dia sanggup mengubah wajah hampir setiap orang.
"Tapi untuk apa"" tanya Bob ingin tahu.
"Untuk mengelabui mumi," jawab Jupe.
"Mengelabui mumi"" seru Pete. "Apa maksudmu""
"Jika mumi itu mengira aku ini Profesor Yarborough, mungkin saja dia lantas mau berbisik padaku," kata Jupe menjelaskan maksudnya. "Karena rupa-rupanya ia tidak mau berbisik pada siapa pun juga, kecuali Profesor."
"Tunggu dulu!" Sekarang Pete berteriak. "Dari kata-katamu, seakan-akan kau beranggapan mumi itu bukan cuma bisa ngomong, tapi juga melihat dan mendengar. Itu kan cuma mumi, Jupe! Mayat kering, yang sudah sejak tiga ribu tahun mati. Kalau aku ikut menangani kasus di mana ada seseorang harus menyamar untuk menipu mumi yang sudah begitu lama mati - nah, aku tidak mau terlibat di dalamnya. Kuusulkan, kita lupakan saja urusan mumi, dan sebagai gantinya mencari kucing hilang."
Bob hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Ia cuma menelan ludah. Sementara itu Jupe merenung, sambil mencubit-cubit bibir.
"Kalau begitu kau tidak mau ikut dengan kami sekarang, untuk melihat bisa tidaknya aku memancing mumi supaya mau bicara"" tanyanya kemudian.
Pete nampak ragu. Ia menyesali ledakan perasaannya tadi. Tapi ia sudah terlanjur bicara. Karena dia keras kepala, malu rasanya menarik perkataan itu kembali. Akhirnya ia mengangguk dengan singkat.
"Begitulah kataku tadi," gerutunya. "Nanti jangan-jangan atap rumah yang ambruk. Kutukan itu tadi pagi sudah berusaha keras untuk mencelakakan kita."
"Baiklah," kata Jupiter. "Karena kita bertiga, tidak ada alasan yang melarang kita untuk menangani lebih dari satu kasus sekaligus. Pete - kau mendatangi Mrs. Banfry yang punya kucing yang hilang itu, untuk mengumpulkan informasi. Sementara itu aku dan Bob pergi untuk bicara dengan mumi, seperti rencana semula. Setuju, Bob""
Bob tahu, sebenarnya Pete menyangka Jupe takkan menanggapi omelannya dengan serius. Tapi Jupe kepala perusahaan. Dan seperti dikatakannya, tidak ada alasan yang melarang mereka menangani lebih dari satu kasus sekaligus. Karena itu Bob mengangguk.
"Baiklah," kata Jupe lagi. "Kau masih sempat mengadakan pembicaraan pertama sebelum gelap, Pete. Kami akan memakai Rolls-Royce, jadi minta saja pada Hans apakah dia mau mengantar ke Santa Monica dengan truk yang kecil."
Pete ragu-ragu sesaat. "Ya deh," katanya kemudian sambil cemberut. Ia pun mengangkat tutup tingkap, menyelusup ke bawah lalu merangkak lewat Lorong Dua menuju pintu rahasia yang terdapat di belakang mesin cetak dalam bengkel mereka. Sesampai di luar, ia berjalan di sela-sela tumpukan barang rombengan, menuju kantor perusahaan. Kebetulan saat itu Hans hendak pulang. Tapi pemuda itu mau saja, ketika diminta oleh Pete untuk mengantarkannya sebentar ke Santa Monica.
Ya deh, pikir Pete dengan geram. Akan ditunjukkannya kemampuannya pada Jupe. Ia akan berhasil menemukan kembali kucing yang hilang, sementara Jupe dan Bob mungkin akan terlindas kutukan Ra-Orkon dengan cara yang mengerikan. Kalau itu yang mereka inginkan, sil
akan! Bab 7 DEWA AJAK MUNCUL TAK sampai setengah jam kemudian, Pete sudah sibuk menanyai Mrs. Banfry di Santa Monica mengenai kucingnya yang hilang.
Kurang-lebih pada waktu sama, Jupiter Jones masuk seorang diri ke ruang museum di rumah Profesor Yarborough. Dinyalakannya lampu-lampu atas. Di luar saat itu masih terang. Tapi karena matahari sudah menghilang di balik punggung ngarai, rumah besar itu terselubung keremangan.
Jupiter masuk dengan langkah lambat, menirukan gerak-gerik laki-laki tua. Ia langsung menuju pintu-pintu angin, yang dipentangkannya lebar-lebar. Kemudian ia melangkah ke peti kayu yang berisi mumi Ra-Orkon. Diangkatnya tutup peti itu. Lalu ia membungkuk, menatap wajah mumi yang kaku.
"Ra-Orkon," sapa Jupiter dengan suara jelas. "Bicaralah! Aku mendengarkan, dan akan berusaha memahamimu."
Jupiter tidak bicara dengan suaranya yang biasa. Ia menirukan nada bicara Profesor Yarborough. Cukup mirip. Ia mengenakan rambut palsu, kaca mata, serta janggut yang dipinjamkan Mr. Grant padanya. Ia juga memakai jas panjang putih serta dasi kepunyaan Profesor Yarborough. Sang profesor berpotongan pendek gemuk, sedang Jupiter tidak begitu tinggi serta gempal. Jadi tidak begitu sulit bagi remaja itu untuk menjelmakan dirinya menjadi sarjana yang sudah tua itu.
Bob Andrews ada di kamar sebelah, bersama Profesor. Keduanya gelisah menunggu-nunggu hasil percobaan Jupiter. Sedang Wilkins ada di dapur. Ia tidak tahu-menahu tentang penyamaran itu.
"Ra-Orkon yang agung, bicaralah padaku," kata Jupiter sekali lagi. "Bikinlah supaya aku mengerti."
Eh! Rasa-rasanya ia seperti mendengar suara menggumam. Dimiringkannya kepala supaya bisa lebih jelas mendengar. Dan benarlah - kini didengarnya serentetan kata lirih. Kata-kata asing bernada tandas, dalam bahasa yang belum pernah didengar olehnya. Suara itu berbisik mendesis-desis.
Jupiter kaget, lalu mendongak. Ia memandang ke sekeliling ruangan. Tidak - ia benar-benar seorang diri saja di situ. Pintu menuju ruangan tempat Bob menunggu bersama sang profesor, tertutup rapat.
Jupiter merapatkan telinganya ke bibir mumi yang agak merenggang. Bisikan itu masih tetap terdengar. Bernada mendesak. Penuh wibawa. Seperti memerintah! Memerintah dirinya - tapi untuk berbuat apa"
Setidak-tidaknya Jupiter kini tahu, Profesor Yarborough ternyata tidak menjadi korban khayalannya sendiri. Mumi ternyata memang berbisik-bisik!
Saat itu Jupiter membawa sebuah tape-recorder. Alat perekam suara itu terpasang pada ikat pinggang, ditutupi jas panjang. Penyelidikan secara modern memerlukan peralatan ilmiah. Begitu kata Jupiter, ketika ia memulai biro detektifnya bersama kedua rekannya yang sama-sama remaja. Pelan-pelan mereka sudah berhasil memiliki peralatan yang cukup lengkap. Semua buatan sendiri. Atau kalau tidak, berasal dari tumpukan barang bekas yang kemudian mereka betulkan. Sedang tape-recorder itu sumbangan Pete, yang memperolehnya dari seorang teman sekolah sebagai penukar kumpulan perangkonya.
Sementara masih membungkuk di atas peti, sekarang Jupiter menjepitkan mikrofon alat perekam suara itu ke kain pembalut mumi, cuma beberapa senti saja dari bibir yang merenggang. Mikrofon itu biar kecil ukurannya, tapi sangat peka.
"Aku tidak mengerti, Ra-Orkon," ucap Jupiter dengan lantang. "Bicaralah lagi."
Bisikan yang terputus sebentar, mulai terdengar kembali. Serentetan kata yang panjang, diucapkan dengan suara berbisik-bisik. Dalam hati Jupiter cuma bisa berdoa, semoga mikrofon yang peka itu mampu menangkap suara yang begitu lirih.
Bisikan terdengar lebih dari satu menit. Tapi kemudian terjadi sesuatu yang tidak direncanakan. Jupiter memalingkan kepala. Maksudnya, supaya bisa mendengar lebih jelas. Tapi janggut palsunya tersangkut ke tepi peti yang agak pecah sedikit. Gerakan kepalanya menyebabkan janggut palsu terlepas.
"Aduh!" teriak Jupiter - dengan suaranya sendiri. Sakit juga rasanya, karena janggut palsu itu dilekatkan ke dagunya dengan perekat. Ia masih berusaha menahan janggut. Tapi karena geraknya mengejut, ia kehilangan keseimbangan lalu terjatuh. Kaca matanya terpental, sedang rambut palsun
ya merosot ke depan menutupi mata.
Jupiter buru-buru bangun lagi. Tangannya menggerapai-gerapai, berusaha mengembalikan segala perlengkapan samaran ke tempat semula. Saat itu juga terdengar pintu dibuka dengan keras. Profesor Yarborough bergegas-gegas masuk, diikuti oleh Bob.
"Ada apa, Jupe"" tanya Bob.
"Kami mendengar suaramu berteriak," kata Profesor menjelaskan. "Ada terjadi sesuatu di sini"" "Cuma saya saja yang ceroboh," jawab Jupiter agak malu. "Sekarang semuanya sia-sia. Padahal tadi mumi sudah berbisik-bisik pada saya...."
"Jadi kau berhasil mengelabuinya!" seru Bob.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Jupiter dengan nada jengkel. "Tapi kucoba saja lagi, barangkali dia masih mau berbisik padaku."
Dipungutnya mikrofon yang terenggut lepas ketika ia terpeleset lalu jatuh ke lantai di sampingnya. Lalu ia membungkuk kembali di atas peti mumi.
"Bicaralah, Ra-Orkon," pintanya. "Bicaralah lagi."
Semua menunggu sambil menahan napas. Tapi hanya kesunyian yang ada setelah itu.
"Ah, percuma," kata Jupiter kemudian, "dia tidak mau berbisik lagi. Coba kita periksa, barangkali saja tape-recorder kita menangkap bisikannya tadi."
Ia mendului masuk ke ruang sebelah. Di situ ia menanggalkan samarannya, termasuk jas panjang milik Profesor Yarborough. Diletakkannya tape-recorder di atas meja. Pita rekaman digulung kembali sampai awal. Kemudian ditekannya tombol 'Play'.
Sesaat hanya terdengar bunyi mendesis. Tapi jika disimak baik-baik, ternyata kedengaran bunyi yang menyerupai ucapan kata-kata. Kata-kata yang diucapkan mumi dengan berbisik-bisik, tertindih bunyi desisan yang berasal dari alat itu sendiri.
"Anda bisa memahaminya, Profesor"" tanya Jupiter, ketika rekaman itu berakhir dengan suara Jupiter yang meneriakkan kata 'Aduh!'
Profesor Yarborough menggeleng. Kelihatannya bingung sekali.
"Kadang-kadang aku merasa seperti menangkap makna salah-satu kata, tapi tidak jelas," katanya. "Jika yang diucapkan itu salah satu bahasa daerah Timur Tengah - baik bahasa modern atau kuno - di California sini cuma satu orang saja yang mungkin bisa memahaminya. Maksudku Profesor Freeman, rekanku yang pernah kusebut namanya pada kalian." Sambil berkata begitu, sang profesor melambaikan tangan ke arah pintu angin yang terbuka. Dari sini nampak sedikit rumah Profesor Freeman.
"Tinggalnya tidak sebegitu jauh dari sini," sambung Profesor Yarborough, "tapi kalau mau ke sana, kita terpaksa mengitari tepi ngarai. Naik mobil kalian, dalam waktu lima sampai sepuluh menit kita akan sudah bisa ada di sana. Kuusulkan, segera saja kita ke sana dan minta padanya agar mendengarkan rekaman ini. Aku sudah bercerita padanya bahwa mumi berbisik-bisik padaku. Dan dia juga menawarkan bantuannya, walau saat itu aku merasa sebetulnya dia tidak percaya pada omonganku."
Jupiter menyetujui usul itu. Profesor memanggil Wilkins.
"Wilkins," katanya, "aku akan pergi bersama kedua remaja ini, ke tempat Profesor Freeman. Anda tinggal di sini menjaga rumah. Kalau terjadi sesuatu, Anda menelepon aku dengan segera." "Baik, Sir, " kata Wilkins patuh.
Lima menit kemudian Profesor Yarborough sudah berangkat dengan Rolls-Royce, bersama Jupiter dan Bob. Sementara itu di luar sudah remang-remang gelap. Setelah mereka pergi, Wilkins kembali ke dapur meneruskan kesibukannya. Ia sedang menggosok beberapa benda kuningan yang berasal dari daerah Timur Tengah. Tapi beberapa saat kemudian ia tertegun. Ia merasa seperti mendengar bunyi pelan di luar.
Wilkins memasang telinga. Tapi bunyi itu tidak berulang. Wilkins mengambil sebuah pedang kuno yang termasuk koleksi sang profesor. Dengan senjata itu ia menuju ke ruang museum. Tapi di situ semuanya kelihatan beres. Peti mumi sudah tertutup kembali. Pintu-pintu angin semuanya tertutup. Ia sendiri yang menutup, setelah Profesor berangkat tadi.
Wilkins membuka salah satu pintu angin, lalu melangkah ke teras. Begitu ia keluar, didengarnya suara seseorang. Suara asing dan galak, menyuarakan suatu perintah tertentu. Wilkins yang memang sudah dari semula gugup, memandang berkeliling dengan mata jelalatan.
Dilihatnya ada sesuatu bergerak-g
erak di tengah semak. Cepat-cepat diangkatnya pedang, seperti hendak membela diri. Kemudian, di tengah keremangan senja nampak sesosok tubuh datang menghampiri. Sosok tubuh manusia - tapi berkepala ajak. Matanya kemilau menatap Wilkins.
Wilkins langsung pucat seperti mayat.
"Anubis!" serunya dengan suara seperti tercekik. "Dewa ajak!"
Anubis, dewa maut Mesir Purba maju selangkah lagi. Tangannya diangkat, menuding Wilkins dengan sikap garang. Pedang terlepas dari tangan pelayan itu, sedang dia sendiri roboh ke lantai teras. Pingsan, karena ketakutan!
Bab 8 TERJEBAK! WORTHINGTON memutar kendaraannya di depan garasi Profesor Freeman. Sebuah jembatan pendek menghubungkan garasi itu dengan jalan raya. Sedang rumah Profesor Freeman terletak agak di bawahnya, di lereng yang terjal. Baru saja Worthington menurunkan Profesor Yarborough beserta kedua remaja pengiringnya di situ.
"Jalan di sini terlalu sempit untuk dipakai memarkir mobil," kata Worthington pada Bob dan Jupiter. "Aku khawatir nanti ada mobil lain masuk tikungan itu dengan kecepatan terlalu tinggi, lalu menyerempet Rolls-Royce ini."
Worthington sangat bangga pada mobil antik itu, seolah-olah miliknya sendiri. Ia merawatnya dengan penuh kasih-sayang.
"Di sebelah sana ada tempat parkir," katanya lagi. "Di situ jalan agak diperlebar, supaya orang yang lewat bisa berhenti untuk menikmati pemandangan. Kutunggu kalian di sana."
Setelah itu ketiga penumpangnya menuruni tangga batu, melewati garasi dan menuju ke samping rumah Profesor Freeman yang terdapat di bawah. Profesor itu langsung membukakan pintu, begitu mereka membunyikan bel.
"Ah - Anda rupanya yang datang, Yarborough," sapa sarjana itu dengan ramah. "Sama sekali tak kuduga. Tapi masuklah! Aku sedang menyusun kamus kata-kata asal dari bahasa-bahasa Timur Tengah. Anda datang kemari, tentunya ada urusan tertentu""
Profesor Yarborough menjelaskan, ia membawa rekaman suara bisikan Ra-Orkon. Profesor Freeman nampak langsung bangkit semangatnya.
"Luar biasa!" katanya. "Kita harus memutarnya dengan segera. Nanti akan ketahuan, bisa atau tidak kita memahami kata-kata pak tua itu."
Ia mendului masuk ke kamar kerjanya. Sebuah ruangan, penuh dengan buku, alat pemutar piringan hitam serta tape-recorder beberapa buah. Dengan gerakan terlatih dipasangnya pita rekaman yang dibawa Profesor Yarborough ke salah satu tape-recorder, lalu dijalankan.
Semua mengikuti dengan penuh perhatian, sementara bisikan Ra-Orkon yang mendesis-desis mengisi seluruh ruangan, dipernyaring sampai beberapa kali lipat. Tapi semangat dan kegairahan Profesor Freeman yang semula nampak, dengan segera telah berubah menjadi sikap kecewa bercampur bingung.
"Sayang, Yarborough," katanya kemudian, "sepatah kata pun tak ada yang kumengerti. Tapi rekaman ini sangat terganggu bunyi desis. Tunggu - kuambilkan alat baruku yang baru saja kuterima. Dengannya bisa dikurangi gangguan bunyi-bunyi lain. Kita coba saja dengan tape-recorder yang lain. Mungkin nasib kita lebih baik dengannya."
Ia pergi sebentar. Lalu kembali membawa sebuah alat tambahan berukuran kecil. Pita rekaman dipasang ke tape-recorder lain beserta alat yang diambilnya. Mereka bersiap-siap untuk mendengarkan bisikan Ra-Orkon sekali lagi.
* * * Kurang-lebih pada saat itu juga, tapi di seberang ngarai, truk kecil dari perusahaan paman dan bibi Jupiter berhenti di depan rumah Profesor Yarborough. Rumah itu kelihatan gelap. Hanya dalam satu ruangan saja nampak lampu menyala.
"Kelihatannya tidak ada siapa-siapa di sini, Pete," kata Hans, pengemudi truk yang berasal dari Jerman, sementara Pete meloncat turun.
"Tapi Wilkins mestinya ada di sini," kata Pete. "Tadi ketika aku menelepon pesawat yang ada dalam Rolls-Royce, Worthington yang menerimanya mengatakan bahwa dia mengantarkan Profesor, Bob dan Jupe ke suatu alamat di seberang ngarai. Katanya, mereka hendak menanyakan sesuatu pada orang yang tinggal di situ. Mereka hanya sebentar saja ke sana. Setelah itu kembali lagi kemari. Lalu kukatakan, aku akan minta tolong pada Anda untuk mengantar aku ke sini. Aku menunggu saja di sini sambil menemani Wilkins, s
ampai mereka kembali."
"Oke," kata Hans, "tapi aku pulang sekarang. Aku mau nonton film di drive-in, dengan Konrad."
Setelah itu Hans pergi lagi. Pete berjalan menuju pintu depan rumah, lalu membunyikan bel. Ia menunggu pintu dibukakan. Sementara itu ia berpikir-pikir tentang kasus yang ditanganinya, serta pembicaraannya tadi dengan Mrs. Banfry.
Banyak sekali yang dikatakan oleh wanita itu, yang bicaranya seperti senapan mesin cepatnya. Tapi kalau kata-katanya disaring, sebetulnya tidak banyak informasi yang bisa didapat. Pokoknya, kucing piaraannya yang bagus, trah Abesinia yang jarang sekali ada di Amerika, sudah sejak seminggu tidak pulang. Menurut Mrs. Banfry, kucing Abesinia biasanya tidak jinak dan juga tidak ramah. Tapi kucingnya yang bagus, yang diberi nama Sphinx, dia lain! Sphinx wataknya lembut kayak domba, dan mau saja dibelai siapa pun juga. Mrs. Banfry khawatir, jangan-jangan ada orang yang mengambilnya lalu dibawa pergi. Atau, dia tersesat - tidak tahu jalan pulang!
Mrs. Banfry yakin sekali Trio Detektif akan sanggup mencarikan kucingnya itu. Bukankah mereka hebat sekali, berhasil menemukan kembali burung nuri sahabatnya Miss Waggoner yang hilang beberapa waktu yang lalu!
Pete agak kewalahan. Sulit sekali mengarahkan pembicaraan pada pokok persoalan saja. Tapi akhirnya ia berhasil juga mengetahui tanda-tanda pengenal kucing itu. Warnanya kuning coklat, dengan ujung kaki depan belang putih. Tapi Pete takkan bisa keliru apabila menjumpainya, kata Mrs. Banfry. Soalnya, kucing itu memiliki kekhasan yang sangat luar biasa. Warna kedua matanya tidak sama. Kucing Abesinia umumnya mempunyai mata berwarna kuning atau jingga. Tapi Sphinx, matanya yang satu jingga. Sedang yang satu lagi biru.
Hal begitu walau jarang terdapat, tapi bukannya tidak ada, kata Mrs. Banfry. Tentu saja dengan mata yang begitu Sphinx tidak mungkin bisa memenangkan hadiah dalam peragaan kucing. Tapi dengan begitu ia nampak aneh dan bijaksana. Seolah-olah bisa mengerti apa saja yang dikatakan orang. Dan kalau mau, juga bisa memberikan jawaban.
Gambar Sphinx sudah sering dimuat dalam koran dan majalah karena matanya itu. Mrs. Banfry menunjukkan foto berwarna seekor kucing pada Pete, yang enam bulan sebelumnya dimuat dalam suatu majalah setempat. Pete melihat
seekor kucing yang bagus berwarna kuning kecoklatan dengan ujung kaki berwarna putih, serta mata berlainan warna yang menyebabkannya kelihatan aneh.
Setelah mengumpulkan semua informasi yang bisa diperoleh di situ, Pete cepat-cepat minta diri. Ia ingin menggabungkan diri dengan kedua rekannya. Sementara sibuk menanyai Mrs. Banfry, dalam hatinya ia membulatkan tekat. Ia berkewajiban mendampingi Bob dan Jupiter, pada saat mereka berdua menghadapi kutukan mumi yang berbisik.
Ia masih menunggu terus di depan pintu rumah Profesor Yarborough. Tapi setelah beberapa saat tidak ada yang datang, akhirnya ia membuka sendiri pintu lalu masuk ke dalam. "Halo!" serunya. "Wilkins! Anda di mana" Ada orang di rumah""
Tapi tak ada yang menjawab. Pete memandang berkeliling. Semua kelihatan seperti biasa. Ia berseru-seru lagi. Lalu berjalan menyusur gang yang panjang, menuju ruang museum. Pintu ruangan itu ternganga. Lampu sebelah atas menyala. Kelihatannya semua beres di situ. Peti mumi tertutup. Dekat pintu angin, patung dewa Anubis tegak di tempatnya.
Walau begitu Pete gelisah. Ia mendapat firasat, ada sesuatu yang tidak beres di situ. Entah apa - tapi dirasakannya bulu tengkuknya meremang.
Dengan lambat, Pete menyelinap memasuki ruangan museum. Tangannya sudah gatal, ingin membuka peti mumi dan memandang Ra-Orkon yang terbaring di dalamnya. Tapi hati kecilnya melarang. Bagaimana jika mumi itu tiba-tiba berbisik padanya"
Kini ia menuju pintu angin yang terbuka, lalu memandang ke luar. Langit masih agak terang. Tapi kebun sudah gelap. Saat itu tak ada angin sedikit pun. Pete merasa bulu romanya semakin meremang. Sialan - kenapa Jupe dan yang lain-lainnya belum datang-datang juga"
Akhirnya Pete memutuskan untuk masuk lagi ke dalam. Maksudnya hendak menghubungi Worthington, lewat pesawat telepon yang ada dala
m Rolls-Royce. Tapi saat itu perhatiannya tertarik pada sesuatu yang ada di teras. Ia melangkah lagi ke luar, untuk bisa melihat benda itu dengan lebih jelas. Ternyata yang tergeletak di ubin teras sebilah pedang. Pete heran, lalu memungut senjata tajam itu. Pedang itu kelihatannya barang antik, terbuat dari tembaga. Ia menarik kesimpulan, pasti termasuk koleksi Profesor Yarborough. Sementara Pete masih memegang senjata itu, terdengar bunyi berkeresek di belakangnya. Dengan cepat ia berpaling.
Hatinya berdebar-debar. Dilihatnya semak bergerak-gerak. Kemudian muncul seekor binatang yang tidak besar, melompat ke luar lalu lari mendatanginya. Binatang itu berhenti, menghampirinya lambat-lambat lalu menggeser-geserkan punggung ke betisnya sambil mendengkur-dengkur.
"Aduh! Kucing!" Pete tertawa sendiri mengingat ketakutannya tadi. "Ternyata cuma kucing!"
Diletakkannya pedang ke lantai, lalu diangkatnya kucing itu. Seekor kucing jantan berbulu kuning kecoklatan. Kelihatannya ramah. Binatang itu mendengkur-dengkur terus dalam gendongannya. Pete memperhatikannya sesaat. Nyaris saja kucing itu terjatuh dari pegangan.
Mata kucing itu berlainan warnanya. Satu jingga, sedang yang satu lagi biru!
"Uahh!" seru Pete. "Ini kan Sphinx! Kucing Mrs. Banfry! Ternyata aku menemukannya di sini. Sekarang aku bisa menertawakan Jupe apabila ia kembali di sini dan melihat bahwa kasus kucing hilang berhasil kuselesaikan seorang diri!"
Pete senang sekali membayangkan betapa kagetnya Jupiter nanti. Sebagai akibatnya, ia tidak sempat heran, kenapa Sphinx tahu-tahu muncul di tempat itu. Kalau kebetulan - itu kebetulan yang aneh! Tapi saat itu Pete tidak memikirkan persoalan itu. Ia berpaling, hendak masuk ke rumah dengan membawa Sphinx.
Tapi tepat pada saat ia membalikkan tubuh, ada sesuatu yang menerpa kakinya dari belakang. Rasanya seperti seekor macan cilik. Pete jatuh tertelungkup di teras. Kucing terpental dari tangannya, lalu lari masuk ke semak.
Detik berikutnya Pete sudah berjuang mati-matian untuk membebaskan diri dari serangan makhluk yang tidak besar, tapi tangkas sekali.
Baru beberapa saat kemudian Pete sadar bahwa yang menyerang dari belakang itu seorang anak laki-laki. Pete memutar tubuh, memiting pinggang lawannya. Saat itu barulah dia bisa melihat tampang anak itu.
Ternyata remaja yang hendak dibekuknya dalam kebun tadi pagi. Pete begitu kaget, sehingga pitingannya mengendor. Nyaris saja lawannya berhasil membebaskan diri. Tapi Pete cepat-cepat memilin lengan anak itu dan menekannya ke ubin. Ia menduduki punggungnya, sehingga anak itu tidak bisa berkutik lagi.
"Kau siapa"" tanya Pete dengan galak. "Kenapa kau berkeliaran terus di sini" Dan kenapa aku kauserang""
Anak laki-laki yang menjadi lawannya, yang berkulit sawo matang dan bermata hitam legam, kelihatannya saat itu berusaha keras supaya jangan menangis.
"Kau mencuri Ra-Orkon moyangku!" teriaknya. "Lalu kau mau mencuri kucingku. Tapi aku, Hamid bani Hamid, aku akan menghalang-halangi tindakanmu."
Pete cuma bisa terkejap-kejap. Ia bingung.
"Apa maksudmu - aku mencuri moyangmu, Ra-Orkon"" tanyanya. "Dan juga kucingmu" Itu tadi bukan kucingmu, tapi milik Mrs. Banfry. Lalu aku bukan hendak mencurinya. Dia yang datang sendiri, ingin berteman dengan aku."
Anak yang diduduki oleh Pete menatapnya dengan muka masam.
"Kau tidak tahu apa-apa tentang Kakek Ra-Orkon"" tanya anak itu. "Bukan kau yang mengambilnya"" "Aku tidak mengerti apa maksudmu," balas Pete. "Jika kau bicara tentang mumi, kenapa kausebut dia kakek" Dia kan sudah mati sejak tiga ribu tahun yang lalu. Lagipula, mumi itu kan terbaring dalam petinya, di dalam." Anak asing itu masih bisa menggeleng.
"Sudah tidak ada lagi," katanya. "Tadi ketika di sini tidak ada siapa-siapa, datang dua orang laki-laki dan mencurinya."
"Ra-Orkon dicuri"!" seru Pete kaget. "Ah, masa!"
"Betul," kata anak asing itu. "Hamid bani Hamid dari Libia tidak berbohong."
Pete berpaling, memandang ke arah ruang museum. Peti mumi kelihatannya masih seperti biasa. Tapi jika anak yang menyebut dirinya Hamid ini mengatakan yang sebenarnya dan mumi itu sudah tidak
ada lagi dalam petinya - wah! Urusannya dengan tiba-tiba mengalami perkembangan yang mengejutkan.
"Sekarang dengar dulu," kata Pete pada anak yang masih diduduki olehnya. "Aku cuma tahu mumi itu pernah berbisik pada Profesor Yarborough, dan kami sedang membantu dia memecahkan teka-teki itu. Barangkali kau bisa menjelaskan, bagaimana dia bisa berbisik-bisik""
Tapi anak asing itu malah melongo.
"Kakek Ra-Orkon berbisik"" katanya heran. "Aku tidak mengerti. Teka-teki apa lagi ini""
"Justru itulah yang ingin kami ketahui," kata Pete dengan serius. "Kau kelihatannya banyak mengetahui tentang mumi itu. Tapi bisa saja aku tahu beberapa hal yang tidak kauketahui. Jika kau mau mengatakan kenapa kau tadi pagi berkeliaran di sini dan apa sebetulnya yang kaukehendaki, mungkin kita bersama-sama nanti bisa menemukan penjelasan misteri ini."
Dalam hati, Pete sudah mengatur rencana. Jika ia berhasil mengorek beberapa petunjuk penting lagi mengenai misteri mumi yang berbisik dari Hamid, ada kemungkinan dia bisa menyelesaikan kasus mumi dan kasus kucing Mrs. Banfry yang hilang, sebelum Jupe dan Bob kembali. Ia ingin sekali ini saja bisa membuat Jupe merasa kecil! Biasanya selalu rekannya itu yang menonjol.
Anak berkulit sawo matang itu ragu-ragu sesaat. Tapi kemudian ia mengangguk.
"Baiklah," katanya. "Hamid bani Hamid menyodorkan kepercayaannya ke tanganmu. Beri kesempatan aku bangun, supaya kita bisa berunding."
Pete berdiri, lalu membersihkan pakaiannya. Hamid melakukan hal yang serupa. Kemudian ia berpaling dan berseru ke arah kegelapan dalam bahasa asing.
"Aku memanggil kucingku," katanya menjelaskan. "Roh Ra-Orkon hidup dalam tubuhnya, dan karenanya dia akan membantu kita menemukan mumi itu."
Keduanya menunggu beberapa saat. Tapi kucing yang ditunggu-tunggu, tetap tidak mau datang lagi.
"Kan sudah kubilang tadi," kata Pete, "itu kucing Mrs. Banfry. Namanya Sphinx. Kedua matanya berlainan warna, bulu kuning kecoklatan, kaki depan berwarna putih. Cocok dengan keterangan yang diberikan pemiliknya."
"Tidak," bantah Hamid dengan tegas, "kaki depannya hitam, bukan putih. Hitam seperti kucing kesayangan Ra-Orkon, yang juga ikut dibalsem dan muminya dibaringkan di samping mumi tuannya dalam liang makam rahasia, berpuluh abad yang lampau."
Pete menggaruk-garuk kepala. Memang betul - tadi ia tidak sempat meneliti kaki depan kucing itu. Jadi mungkin saja ia keliru mengenainya. Tapi walau begitu, rasanya aneh berjumpa dengan kucing lain yang warna kedua matanya tidak sama, tepat pada saat ia sedang mencari-cari kucing hilang dengan tanda-tanda serupa.
"Nanti saja soal itu kita bereskan," kata Pete. "Sekarang kulihat dulu, betulkah mumi sudah tidak ada lagi di tempatnya."
Ia mendului masuk ke ruang museum. Bersama Hamid, dijunjungnya tutup peti mumi. Ternyata kata Hamid tadi benar. Peti itu kosong melompong.
"Hilang!" serunya. "Apa yang terjadi dengan dia""
"Kalian, anak-anak Amerika yang mengambilnya!" teriak Hamid. "Kalian mencuri kakekku!"
"Tunggu! Tunggu dulu, Hamid," kata Pete. Ia berpikir-pikir. "Aku tidak tahu apa-apa tentang soal ini. Begitu pula rekan-rekanku. Kami cuma berusaha menyelidiki misteri, apa sebabnya mumi itu bisa berbisik. Yah - seperti kukatakan tadi, kalau kau mau mengatakan apa yang kauketahui lalu aku menceritakan segala-galanya yang kuketahui, barangkali saja kita bisa mencapai salah satu hasil."
Anak asing itu mula-mula mengerutkan kening. Tapi kemudian mengangguk.
"Baiklah," katanya. "Apa yang ingin kauketahui""
"Pertama-tama, apa sebabnya Ra-Orkon kausebut Kakek" Umurnya kan sudah lebih dari tiga ribu tahun!"
"Ra-Orkon itu cikal-bakal bani Hamid," kata anak asing itu dengan sikap bangga. "Tiga ribu tahun yang lalu, raja-raja dari Libia datang ke Mesir untuk memerintah di sana. Ra-Orkon itu seorang bangsawan tinggi. Ia tewas terbunuh karena ingin bertindak adil dan bijaksana. Ia dimakamkan secara sembunyi-sembunyi, supaya muminya tidak ditemukan lawan-lawannya. Sedang sanak-keluarganya kembali ke Libia. Kamilah keturunan mereka. Bani Hamid!
"Semuanya ini didengar ayahku dari seorang pengemis yang juga dukun. Namanya
Sardon. Sardon dikaruniai kemampuan meramal. Ia bisa mengetahui kejadian masa silam, masa sekarang, dan masa depan. Katanya pada ayahku, Ra-Orkon dibawa pergi ke negeri bangsa biadab yang jauh dari Libia. Ra-Orkon takkan bisa tidur tenang, apabila tidak diambil kembali dan dimakamkan dengan cara sepatutnya. Ayahku waktu itu sedang sakit. Karenanya aku, Hamid, putranya yang tertua diutusnya untuk mengusahakan kembalinya Ra-Orkon, dengan ditemani Ahmed Bey. Dia ini tangan kanan ayahku."
Hamid berhenti sebentar untuk mengatur napas. Pada kesempatan lain, Pete pasti merasa tersinggung karena disebut bangsa biadab. Tapi saat itu ia sedang sibuk dengan urusan lain. Ia merasa sudah mulai mengerti sekarang. Profesor Yarborough pernah bercerita, ada seorang pedagang permadani dari Libia bernama Ahmed yang membujuk-bujuk agar dia mau menyerahkan Ra-Orkon padanya. Pedagang itu kemudian disuruh pergi oleh sang profesor. Rupanya karena siasat bujukan tidak berhasil, kini kelihatannya Ahmed bersama Hamid merencanakan untuk memperoleh mumi itu dengan jalan lain.
"Jadi begitu rupanya," kata Pete. "Kau berkeliaran di sini, menunggu-nunggu kesempatan baik untuk mencuri Ra-Orkon."
"Mahaguru biadab tidak mau mengembalikan moyangku," kata Hamid dengan mata menyala-nyala. "Karenanya aku bersama Ahmed bermaksud akan mencurinya jika ada kesempatan. Kami berkewajiban untuk memulihkan ketenangan arwahnya. Ahmed lantas menyamar jadi tukang kebun. Dibayarnya ketujuh saudara yang biasa merawat
tempat ini, asal dia bisa berbuat pura-pura jadi seorang di antara mereka. Dengan begitu, ia bisa selalu ada di dekat sini. Profesor sama sekali tidak menyadari penyamaran itu. Seperti dikatakan oleh Ahmed, tukang kebun tidak pernah diperhatikan orang. Kecuali itu, Ahmed kan menyamar!"
"Jadi yang memitingmu tadi pagi itu Ahmed, dan bukan tukang kebun yang asli!" seru Pete. "Pengawalmu sendiri menangkapmu!"
"Ya, betul," kata Hamid. "Ia berseru dalam bahasa Arab, menyuruh aku menggigitnya. Aku lantas menggigit, dan dia melepaskan pitingannya. Kalian semua dikelabui olehnya. Ahmed memang sangat cerdik!"
Pete memerlukan waktu sesaat untuk memahaminya. Ternyata tukang kebun yang setia itu sebenarnya bukan dia, tapi seorang Libia bernama Ahmed yang menirukannya. Sedang Ahmed bermaksud mencuri Ra-Orkon, untuk ayah Hamid. Sementara Pete sedang berusaha mengerti, tiba-tiba Hamid berpaling.
"Ada orang datang!" kata anak itu. "Kudengar truk berhenti di luar."
Hamid bergegas ke jendela yang menghadap ke jalan masuk menuju rumah. Pete datang ke sebelahnya. Mereka melihat sebuah truk bobrok berwarna biru diparkir dijalan masuk. Dua laki-laki bertubuh kekar turun dari kendaraan itu. Melihat gelagatnya, rupa-rupanya mereka hendak langsung menuju ke teras sebelah luar ruang museum.
"Itu orang-orang yang tadi!" desis Hamid. "Merekalah yang mencuri Ra-Orkon. Aku melihat mereka meletakkan sesuatu yang terbungkus ke dalam truk beberapa saat yang lalu. Kemudian kulihat di rumah ini tidak ada siapa-siapa. Aku masuk kemari. Peti mumi kutemukan, tapi Ra-Orkon sudah tidak ada lagi di dalamnya."
"Mereka kemari," gumam Pete. Kedua laki-laki itu, melihat potongan mereka tidak bisa diajak bercanda. "Mau apa mereka""
"Kita harus sembunyi," kata Hamid buru-buru. "Mungkin mereka datang karena hendak mencuri barang lain. Jika kita bersembunyi, nanti bisa kita dengar percakapan mereka. Barangkali saja akan kita ketahui, ke mana Ra-Orkon mereka bawa."
"Setuju - tapi kita bersembunyi di mana"" tanya Pete. Ia memandang berkeliling. "Tak ada tempat bersembunyi di sini. Dalam ruangan ini pasti tidak ada. Tapi jika kita lari ke luar, lalu bersembunyi dalam semak-"
"Di situ kita tidak bisa mendengar percakapan mereka!" bantah Hamid. "Cepat! Peti mumi! Tempat itu kan kosong. Kita pasti bisa muat di sini. Kedua laki-laki itu takkan menduga di situ ada orang."
"Betul juga," kata Pete. Tapi anak asing yang tubuhnya lebih kecil daripadanya itu sudah melesat melintasi ruangan, menuju peti mumi dan langsung merebahkan diri di dalamnya.
"Cepat!" panggilnya sambil berbisik. "Di sini masih ada tempat."
Anak i tu mengecilkan tubuhnya ke samping. Kedua laki-laki itu sudah terdengar di luar. Pete tidak ragu-ragu lagi, cepat-cepat ia merebahkan diri di sisi Hamid. Keduanya lantas menarik tutup peti sehingga tertutup. Pete masih sempat menyelipkan puntungan pinsil yang pendek ke satu sudut. Dengan begitu ada celah antara tutup dan peti, sehingga keduanya bisa bernapas dan juga mendengarkan percakapan kedua laki-laki tak dikenal itu.
Begitu peti tertutup, pintu ruang museum terbuka. Terdengar langkah-langkah berat mendekat.
"Kaubawa tali pengikat, Joe"" tanya seseorang.
"Ya," jawab temannya. Orang itu bersuara serak dan kasar, "Terus-terang, Harry - aku jengkel sekali pada orang yang memberi tugas ini! Kenapa tidak dari semula ia menegaskan apa yang diingininya" Masa kita disuruh kembali, hanya untuk mengambil peti tua ini! Aku kepingin menuntut pembayaran lebih tinggi sekarang."
"Niatku juga begitu, Joe," kata orang yang pertama. "Kita paksa dia membayar seperti yang kita minta. Kalau tidak mau, tahu sendiri akibatnya! Yah - belitkan saja tali itu ke peti."
Sementara Pete dan Hamid kaget dan cemas setengah mati, tiba-tiba terasa peti itu terangkat sedikit ujungnya yang satu. Rupanya saat itu tali pengikat sedang dibelitkan, lalu ditarik kencang-kencang supaya tutup peti tidak bisa terlepas. Untung Pete tadi sempat menyelipkan batang pinsil ke pojoknya. Coba kalau tidak! Pasti mereka akan lemas, tidak bisa bernapas.
"Rupanya mereka kembali untuk mencuri peti ini sekaligus!" bisik Hamid pada Pete dalam peti yang gelap-gulita. "Sekarang bagaimana""
"Aku tidak mau cari perkara dengan penjahat-penjahat itu," bisik Pete sebagai jawaban. "Sebaiknya kita diam-diam saja di sini dulu. Mungkin saja nanti kita bisa mengetahui, siapa sebenarnya yang menyuruh mereka kemari. Kedua laki-laki itu akan mengangkut kita ke tempat orang itu. Lalu begitu dia membuka tutup peti, kita meloncat ke luar dan langsung lari!"
"Hamid tidak takut," kata anak Libia dengan gagah.
"Aku juga tidak," balas Pete. Tapi ia toh merasa sangat gugup ketika tahu-tahu peti terangkat. Peti itu diangkut kedua laki-laki tadi ke luar.
"Peti sialan ini berat sekali," kata laki-laki yang bernama Joe menggerutu.
"Ya - kayak besi saja beratnya," jawab temannya, Harry. "Ayo, tolong aku menaikkannya ke atas truk." Terasa peti dijunjungkan, lalu dilemparkan naik ke atas bak di belakang truk.
"Beres," gerutu suara yang serak. "Kita berangkat saja sekarang. Aku kepingin tahu, untuk apa sebetulnya mumi dan peti kuno dari kayu""
"Ada orang yang kegemarannya mengumpulkan apa saja," jawab kawannya. "Pokoknya, dia harus bayar lebih, karena kita disuruhnya mondar-mandir dua kali. Sebelum membayar, dia takkan menerima barangnya. Kita taruh dulu di tempat penyembunyian yang biasa, sampai dia setuju menambah pembayaran. Yuk - kita berangkat!"
Terdengar bunyi pintu truk ditutup keras-keras. Sesaat kemudian kendaraan itu sudah mulai mendaki lereng, meninggalkan rumah Profesor Yarborough, membawa Hamid dan Pete yang terkurung dalam peti mumi. Tapi ke mana"
Bab 9 BEBERAPA HAL MENGEJUTKAN SEMENTARA itu Jupiter, Bob, dan Profesor Yarborough masih selalu menunggu di kamar kerja Profesor Freeman, sementara sarjana itu untuk kesekian kalinya menyimak bisikan mumi Ra-Orkon yang berhasil terekam pada pita.
"Saban kali aku merasa seperti bisa memahami bisikannya," kata Profesor Freeman. "Di sana-sini kutangkap beberapa patah kata yang rasanya seperti kumengerti maknanya."
Dihentikannya tape-recorder, lalu menawarkan sebatang cerutu pada rekannya.
"Tolong katakan," katanya, "bagaimana cara kalian sampai bisa memperoleh rekaman ini" Aku juga ingin mendengar bagaimana patung Anubis tadi nyaris menimpa Anda. Begitu pula tentang bola granit yang terlepas dari tempatnya."
Ia mendengarkan dengan penuh perhatian, sementara Profesor Yarborough menuturkan pengalamannya. Tiba-tiba ceritanya terputus, terganggu bunyi bel.
"Maaf sebentar," kata Profesor Freeman, "ada orang di atas, dijalan masuk lewat garasi. Kulihat saja dulu, siapa itu. Silakan bersantai-santai sejenak, sampai aku kembali lagi. Kita memang perlu ist
irahat sebentar. Nanti kita coba lagi."
Sementara Profesor Freeman pergi, Profesor Yarborough berhasil memulihkan sikapnya yang tenang. "Sudah kukatakan tadi, kalau ada yang bisa memahami bisikan Ra-Orkon, orang itu pasti sahabatku Freeman," katanya. "Ayahnya dulu sekretarisku, ketika aku menemukan makam Ra-Orkon." "Dia itu yang tewas terbunuh satu minggu setelah makam dibuka"" tanya Bob. Profesor Yarborough nampak gugup mendengar pertanyaan itu.
"Betul," jawabnya, "tapi jangan hubungkan kematiannya dengan kutukan yang mana pun juga. Aleph Freeman orangnya gemar bertualang. Kurasa ia mengalami bencana yang menyebabkan kematiannya ketika sedang keluyuran seorang diri malam-malam di daerah kota lama Kairo. Tapi kemudian putranya tertarik pada kebudayaan Mesir. Kini dia termasuk salah satu tokoh ilmuwan terkemuka mengenai bahasa-bahasa Timur Tengah."
Tak lama kemudian Profesor Freeman kembali, menenteng baki. Di atasnya beberapa gelas berisi ginger ale.
"Tadi itu cuma seorang tetangga yang mengumpulkan derma untuk keperluan sosial," katanya. "Saat ini panas sekali-jadi kurasa kalian pasti tidak menolak jika ditawari minuman segar. Nah - sekarang kita dengarkan rekaman itu lagi, sementara aku membuat beberapa catatan. Ini ada kamus khusus dari koleksiku. Mungkin bisa menolong kita nanti."
Diputarnya lagi pita rekaman. Sedang Profesor Freeman mengikuti dengan seksama, sambil sekali-sekali mencatat satu dua patah kata dengan bantuan kamusnya. Bob, dan bahkan juga Jupe sudah mulai gelisah. Keduanya tidak sabar, disuruh menunggu begitu lama. Tapi akhirnya Profesor Freeman menghentikan tape-recorder. Ia menggeliat, pergi ke jendela lalu menarik napas dalam-dalam. Kemudian kembali ke tempat semula.
"Kurasa sudah kulakukan apa yang bisa kubuat," katanya. "Terus-terang saja, Profesor, bisikan ini diucapkan dalam satu jenis bahasa Arab yang sudah tua sekali. Kata-katanya lain sekali pengucapannya, dibandingkan dengan bahasa Arab Modern. Tapi aku merasa mulai memahami maksudnya. Hanya aku segan mengulanginya -"
"Bilang saja," kata Profesor Yarborough memaksa. "Apa pun juga yang dikatakan, aku ingin mendengarnya."
"Yah -" Profesor Freeman kelihatan masih agak ragu, "jika penafsiranku memang tepat - ingat, aku cuma bisa menduga-duga saja - singkatnya bisikan itu artinya begini. 'Ra-Orkon jauh dari rumahnya. Ketenangan tidurnya diganggu. Malanglah semua yang mengganggu tidurnya. Mereka takkan mengalami ketenangan, selama Ra-Orkon masih belum bisa tenang. Mereka akan menyertainya ke dalam kematian, apabila Ra-Orkon tidak dikembalikan ke tempat asalnya'."
Bob Andrews merinding. Bahkan Jupiter pun agak memucat mukanya. Sedang Profesor Yarborough kelihatan merasa tidak enak.
"Kalian kan tahu, dari semula aku tidak mau percaya omong kosong mengenai kutukan itu," katanya. Dagunya didorong ke depan, menunjukkan kekerasan hatinya. "Sekarang pun aku tidak mau." "Ya, tentu saja," kata rekannya. "Itu kan tidak ilmiah." "Jelas tidak ilmiah," tukas Profesor Yarborough.
"Walau begitu, mungkin aku bisa membantu," kata Profesor Freeman mengusulkan. "Bagaimana jika Ra-Orkon dipindahkan ke sini untuk beberapa hari" Hanya untuk melihat, mau tidak dia berbisik padaku! Jika urusan bisik-bisik ini bisa kita selidiki lebih jauh, hal mana terus-terang saja terasa membingungkan dan juga menggelisahkan diriku -"
"Sama saja seperti yang kurasakan," sambung Profesor Yarborough. "Terima kasih atas usul Anda. Tapi aku tidak bersedia dibikin bingung oleh mumi. Para remaja ini sudah membantu aku." Ia melambaikan tangan ke arah Bob dan Jupiter. "Entah dengan cara bagaimana, tapi kami pasti akan berhasil menyibakkan teka-teki ini."
Mereka pamitan dari sarjana yang masih agak muda itu, lalu mendaki tangga yang menuju jalan raya di sebelah atas. Worthington masih menunggu dalam mobil Rolls-Royce antik, yang diparkir di tepi bagian jalan yang agak diperlebar, sekitar tiga puluh meter ke sebelah bawah jalan sempit itu.
"Kusangka Freeman yang paling besar kemungkinannya bisa menafsirkan pesan Ra-Orkon," kata Profesor Yarborough, ketika mereka sudah duduk dalam mobil yang melu
ncur ke arah rumahnya. "Bagaimana, Jupiter Jones" Kau sudah punya teori lagi sekarang, tentang bagaimana Ra-Orkon bisa berbisik-bisik" Terus-terang saja, soal itu lebih menarik bagiku, daripada segala macam ancaman ataupun kutukan."
"Belum ada, Sir, " kata Jupiter berterus-terang. "Sampai sekarang, perkara ini masih benar-benar gelap bagi saya."
"Pusing kepala dibuatnya," gumam Bob, meminjam istilah yang sering dipergunakan Pete.
"Kita sudah sampai," kata Worthington, sambil mengemudikan mobil besar itu ke depan rumah sang profesor.
"Aku tidak melihat truk kita, tapi Pete tentunya ada di sini," kata Jupiter, sementara mereka turun dari mobil. "Tadi ia menelepon Worthington untuk mengatakan dia akan menunggu kita di sini."
Mereka masuk ke rumah. Lampu-lampu menyala. Tapi tak ada orang yang kelihatan.
"Wilkins biasanya selalu menyambut aku," kata Profesor Yarborough. Keningnya berkerut. Kemudian ia memanggil-manggil. "Wilkins! Wilkins!"
"Pete!" Jupiter ikut memanggil. "Kau ada di sini"" Hanya kesunyian yang ada sebagai jawaban.
"Aneh sekali," gumam Profesor. Sedang Jupiter mulai nampak tidak enak. "Bagaimana jika kita cari saja, Sir, " katanya mengusulkan. "Ide bagus! Mungkin mereka sedang berada di museum."
Ia mendului berjalan menyusur gang menuju ruang museum. Sesaat mereka tidak melihat ada sesuatu yang lain di situ. Tapi kemudian disadari, peti mumi tidak ada di tempatnya. "Ra-Orkon hilang!" seru Bob kaget.
Profesor Yarborough bergegas menghampiri tempat di mana peti mumi semula terletak. Yang nampak kini cuma beberapa goresan saja di lantai, serta sehelai sapu tangan biru yang biasa dipakai terlilit ke leher. Dengan cepat Jupiter menyambar lembaran kain yang terletak di lantai, di belakang sebuah kotak kaca.
"Ra-Orkon dicuri orang!" kata Profesor dengan nada heran. "Dari goresan ini bisa dilihat bahwa peti itu tadi digeser-geser. Tapi siapa yang mau mencuri mumi Mesir Purba" Kan sama sekali tidak berharga untuk dijual."
Tapi kemudian keningnya berkerut.
"Pedagang permadani, si Ahmed Anu itu!" serunya. "Dia kan menginginkan Ra-Orkon. Pasti dia yang melakukan perbuatan ini! Akan kupanggil polisi untuk mengejarnya. Cuma -" Ia tertegun, lalu memandang berkeliling. "Kalau polisi kuhubungi, aku akan terpaksa melaporkan tentang mumi yang berbisik-bisik. Berita itu pasti akan sampai di telinga wartawan, lalu dimuat dalam koran. Nanti aku ditertawakan orang. Tidak! Kurasa aku lebih baik jangan menghubungi polisi."
Profesor Yarborough menggigit-gigit bibir. Kelihatannya bingung bercampur sedih.
"Apa yang harus kuperbuat sekarang"" keluhnya. "Bagiku, nama baikku selaku ilmuwan lebih penting daripada mumi itu."
Bob tidak punya usul apa-apa. Jupiter memperlihatkan sapu tangan biru yang ada dalam tangannya.
"Untuk mengangkat Ra-Orkon dengan petinya sekaligus, paling sedikit diperlukan tenaga dua orang, Sir, " katanya. "Jadi kalau betul orang bernama Ahmed itu yang mengambil, tidak mungkin ia melakukannya seorang diri. Sedang sapu tangan kayak begini, biasanya dipakai pekerja. Mungkin ini petunjuk bagi kita. Mungkin sapu tangan ini terjatuh dari saku salah seorang kawanannya. Atau mungkin juga orang yang bernama Ahmed itu sama sekali tidak bersalah. Mungkin orang lain yang mencuri Ra-Orkon."
Profesor Yarborough mengusap kening dengan tangannya.
"Semuanya serba membingungkan bagiku," katanya. "Mula-mula ada mumi yang berbisik-bisik padaku - lalu dia menghilang! Aku benar-benar tidak tahu -" Profesor Yarborough tertegun, lalu berseru kaget. "Wilkins! Kita sama sekali lupa tentang Wilkins! Dia tadi ada di sini. Jangan-jangan dia cedera diserang penjahat-penjahat itu. Kita harus mencarinya sampai ketemu."
"Tidak ada kemungkinan dia bersekongkol dengan mereka"" tanya Bob. Dia sering membaca kisah-kisah detektif, dalam mana pada akhirnya ternyata pelayan yang dikira setia sebenarnya melakukan kejahatan yang diselidiki. "Mustahil! Wilkins sudah sepuluh tahun bekerja padaku! Ayo - tolong aku mencari dia."
Profesor Yarborough bergegas menuju teras. Sesampai di luar, perhatiannya tertarik pada pedang yang tergeletak di lantai. Dipungutnya s
enjata tajam itu. "Ini pedang koleksiku!" katanya. "Rupanya Wilkins tadi mengambil senjata ini untuk membela diri. Ternyata dia juga ikut diculik. Sekarang kita terpaksa melapor pada polisi."
Ia sudah hendak berpaling untuk masuk ke rumah, ketika terdengar olehnya suara mengerang pelan. Datangnya dari balik semak yang tidak jauh dari teras. Jupiter juga mendengar erangan itu. Ia yang paling dulu tiba di tempat itu.
"Wilkins!" serunya.
Wilkins terbaring di atas rumput. Tangannya terdekap ke dada. Tempatnya itu terlindung di balik semak. Karena itulah Pete dan Hamid tidak melihatnya tadi.
"Ia tidak roboh di sini, tapi sengaja diletakkan," kata sang profesor sambil membungkuk dan memperhatikan pelayan pribadinya itu. "Kurasa sebentar lagi dia siuman." Ia memperkeras suaranya. Memanggil-manggil. "Wilkins! Bisa kaudengar tidak""
Kelopak mata Wilkins bergerak-gerak sebentar. Lalu terpejam kembali.
"Lihatlah!" seru Bob. Ia melihat bayangan binatang bertubuh kecil dalam gelap. "Ada kucing!" "Sini, Manis," panggilnya sambil mengulurkan tangan. "Sini, kemarilah!"
Kucing itu menghentikan kesibukannya menjilati tubuhnya sendiri, lalu mendatangi Bob yang langsung mengangkatnya.
"Lihatlah," katanya, "matanya yang satu biru, tapi satunya lagi jingga. Belum pernah kulihat kucing kayak begini." "Masya Allah!" Tahu-tahu Profesor Yarborough seperti disengat tawon. "Warna matanya tidak sama" Coba kulihat!"
Bob menyodorkan kucing itu, supaya bisa lebih jelas dilihat Profesor. Sarjana itu memandangnya dengan kening berkerut.
Trio Detektif 03 Misteri Bisikan Mumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kucing Abesinia, dengan mata yang tidak sama warnanya!" katanya. "Aku semakin bingung sekarang. Segala-galanya menjadi terlalu - terlalu ajaib! Tidak bisa diterima akal sehat! Kan sudah kuceritakan, ketika Ra-Orkon dimakamkan, satu-satunya yang disertakan cuma kucing kesayangannya saja. Nah, kucing itu termasuk jenis Abesinia.
Pada jaman dulu, di Mesir kucing jenis itu dianggap mulia. Mata kucing itu tidak sama warnanya, sedang ujung kedua kaki depannya berbulu hitam. Coba lihat kucing ini! Matanya juga tidak serupa warnanya - sedang ujung kaki depannya hitam!"
Jupe dan Bob mengamat-amati kucing itu. Astaga - betul! Ujung kaki depannya hitam kedua-duanya. "Wilkins mungkin bisa memberi keterangan, jika kita menyadarkannya kembali," kata Profesor. Digosok-gosoknya pergelangan tangan pelayannya.
"Wilkins, sahabatku - bicaralah," katanya. "Katakan padaku apa yang tadi terjadi di sini."
Wilkins membuka matanya. Ia menatap Profesor Yarborough, tapi seakan-akan tidak melihatnya. Matanya menatap kosong.
"Wilkins! Ada apa"" tanya Profesor Yarborough. "Siapa yang mencuri Ra-Orkon" Pedagang permadani, ya""
Wilkins berusaha bicara. "Anubis!" desisnya ketakutan. "Anubis!"
"Anubis"" tanya Profesor Yarborough kebingungan. "Maksud Anda, Anubis dewa ajak yang mencuri mumi Ra-Orkon""
"Anubis!" ulang Wilkins. Matanya dipejamkan kembali. Profesor Yarborough meraba kening pelayannya.
"Dia demam," katanya kemudian. "Anak-anak, dia harus segera kuangkut ke rumah sakit. Kurasa belum perlu kita hubungi polisi. Koran-koran nanti paling-paling akan membesar-besarkannya menjadi berita sensasi. Tadi Wilkins seolah-olah mengatakan ada dewa Mesir Purba yang mencuri mumi Ra-Orkon. Dan di sini ada kucing yang tampangnya seperti titisan kucing kesayangan Ra-Orkon tiga ribu tahun yang silam. Sekarang aku benar-benar bingung. Tapi keselamatan Wilkins harus didulukan. Kalau kalian tidak berkeberatan, kita membawanya ke rumah sakit dengan mobil kalian. Nanti jika dia sudah bisa menceritakan apa yang tadi terjadi di sini, kita akan bisa lebih tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya."
Jupe dan Bob mengangguk tanda setuju.
"Untuk sementara kalian sajalah yang memegang kucing ini," sambung sang profesor, "lalu besok hubungi aku lewat telepon. Kita lihat saat itu, apa yang kita hadapi. Sekarang tolong aku dulu mengangkat Wilkins. Kita harus menggotongnya ke mobil dengan segera."
Worthington membawa mereka ke sebuah rumah sakit swasta kecil, yang dipimpin seorang teman Profesor Yarborough. Setelah Wilkins diurus, Bob dan Jupiter kembali ke Markas Besar. Bob mem
angku kucing yang mendengkur-dengkur senang.
"Wah, Jupe," kata Bob, "menurut pendapatmu, mungkinkah kucing ini ada hubungan dengan lenyapnya Ra-Orkon""
Kening Jupiter Jones berkerut.
"Tentu saja ada," jawabnya, "tapi aku tak tahu, hubungan yang bagaimana."
Bob tahu, Jupiter paling tidak suka bingung. Tapi saat itu ia benar-benar bingung. Bob belum pernah melihat rekannya sebingung saat itu. Jupiter begitu bingung, sampai lupa bahwa mereka belum mendengar kabar dari Pete. Sampai Bob menanyakannya.
"He - di mana Pete sekarang, ya"" katanya. "Masa sampai sekarang belum menghubungi."
Jupiter kaget. "Betul katamu," ujarnya. "Coba kita telepon saja. Mungkin masih di tempat Mrs. Banfry."
Ia mengangkat gagang pesawat yang merupakan perlengkapan mobil mewah itu. Sementara mobil berjalan pun, pemakainya bisa berhubungan dengan pesawat telepon yang mana saja. Mula-mula ia menelepon Mrs. Banfry. Tapi wanita itu mengatakan, Pete sudah lama pergi lagi. Lalu diputarnya nomor pesawat yang ada di Markas Besar. Tapi tak ada yang mengangkat. Kemudian diteleponnya Paman Titus di rumah. Kata pamannya itu, Hans dan Konrad pergi nonton di teater drive-in, naik truk yang kecil. Setelah melihat sebentar ke luar, ia menambahkan bahwa sepeda Pete masih ada di pekarangan.
"Di mana anak itu"" tanya Bob. Ia merasa cemas.
"Aku juga tidak tahu," kata Jupiter sambil menggeleng. "Yang jelas dia tadi menuju ke rumah Profesor Yarborough. Tapi aku tidak bisa membayangkan, di mana dia sekarang. Kita terpaksa menunggu sampai dia muncul. Kalau tentang Pete, aku tidak khawatir."
Tapi ada kemungkinan sikap yakinnya itu goyah, apabila ia tahu bahwa saat itu Pete terkurung dalam peti mumi Ra-Orkon, bersama Hamid, remaja dari Libia. Sementara itu truk yang mengangkut peti meluncur ke suatu alamat yang tidak diketahui, di Los Angeles.
Bab 10 TAK ADA KEMUNGKINAN LARI JAUH juga perjalanan mereka. Tubuh truk tergoncang-goncang ketika melewati bagian jalan yang sangat buruk keadaannya. Tapi Pete dan Hamid tidak begitu merasakannya, karena mereka bersesak-sesak dalam peti.
Hawa di situ mulai pengap. Untung celah yang dibuat oleh Pete dengan jalan menyelipkan sebatang pinsil antara peti dengan tutupnya dekat letaknya ke kepala mereka. Dengan begitu mereka masih bisa menghirup udara yang lumayan segar.
Hamid sama sekali tidak menunjukkan sikap takut. Dalam hati, Pete harus mengakui bahwa anak itu memang tabah.
"Kita ini mau dibawa ke mana"" bisik Hamid. Padahal ia sama sekali tidak perlu berbisik. Biar mereka berteriak-teriak sekuat-kuatnya saat itu, takkan ada orang yang bisa mendengar. Mereka berada dalam peti tertutup, yang terletak di belakang truk yang sedang berjalan.
"Dari pembicaraan mereka tadi, kelihatannya peti ini tidak akan langsung diserahkan pada pemesannya, tapi disembunyikan dulu," jawab Pete. "Kalau benar itu yang mereka lakukan, ada kesempatan bagi kita untuk melarikan diri." Ia bicara dengan nada yakin. Padahal perasaannya saat itu tidak begitu! Bagaimana jika kedua orang tadi tidak melepaskan tali pengikat peti sebelum pergi"
"Mereka tadi bicara tentang mondar-mandir dua kali," bisik Hamid lagi, "dan juga jengkel pada seseorang. Apa maksudnya""
"Rupanya mereka disuruh seseorang untuk mencuri mumi Ra-Orkon," kata Pete menjelaskan. "Mumi mereka ambil, tapi tanpa peti karena terlalu berat. Lalu ketika mumi diserahkan, pemesannya marah-marah karena peti tidak diikutsertakan. Lalu ia menyuruh mereka mengambil peti ini. Ini menyebabkan mereka marah, lalu mengambil keputusan untuk menyembunyikan peti dan menuntut pembayaran tambahan sebagai imbalan penyerahannya."
"Ya, kurasa kau benar," kata Hamid sependapat. "Tapi aku masih tetap belum mengerti, siapa yang ingin mencuri mumi Ra-Orkon" Dia moyangku, dan bukan moyang orang lain."
"Soal itu memang misterius," kata Pete menyetujui. "Dan kurasa begitulah sebutan yang dipakai Bob Andrews untuk perkara ini. Misteri Bisikan Mumi."
"Bob Andrews"" tanya Hamid. "Siapa itu""
"Dia salah seorang anggota Trio Detektif," jawab Pete.
"Trio Detektif" Apa itu"" Remaja berkulit sawo matang malah bertambah bingung diberi penj
elasan. Pete lantas bercerita dari awal mula. Diceritakannya mengenai Trio Detektif. Hamid mengikuti penuturannya dengan penuh minat.
"Kalian, remaja Amerika - kalian begitu - ah, aku tak tahu sebutannya, pokoknya kalian gemar berbuat macam-macam," katanya kemudian dengan agak iri. "Kalau di Libia, lain sekali. Keluargaku berdagang permadani. Tentang barang itu banyak sekali yang kuketahui. Tapi aku tidak tahu apa-apa tentang sidik jari, tentang tape-recorder, periskop, tentang walkie-talkie."
"Walkie-talkie!" seru Pete bersemangat. "Kenapa tidak ke situ pikiranku selama ini! Kita bisa minta tolong dengannya!"
Pete sementara itu sudah memperbaiki kembali walkie-talkie yang rusak ketika ia bergulat dengan Hamid pagi itu. Dan Jupe menginstruksikan bahwa alat itu harus selalu dibawa ke mana pun mereka pergi.
Pete beringsut-ingsut, sampai akhirnya bisa mengambil walkie-talkie yang ada di kantongnya. Lalu dilepaskannya antena yang terlilit ke pinggang, dan disodorkannya ujungnya ke celah yang ada antara peti dengan tutupnya. Sedikit demi sedikit kawat tembaga itu didorongnya ke luar. Ketika semuanya sudah berada di luar, ditekannya tombol untuk bicara.
"Halo, Penyelidik Satu!" ucapnya ke alat komunikasi yang ada di tangannya. "Di sini Penyelidik Dua. Masuk, Penyelidik Satu. Penting. Over!"
Sekarang gilirannya mendengar. Setelah sunyi sesaat, didengarnya suara seseorang. Jantung Pete berdebar. "Halo, Tom," kata suara itu. "Kaudengar itu tadi" Ada yang memotong kita."
"Ya, Jack," jawab suara yang lain. "Kayaknya anak-anak. He, siapa itu! Jangan ganggu kami. Ini urusan bisnis. Nah, Jack - seperti kukatakan tadi, trukku macet dijalan raya. Ban kempis. Kalau kau bisa-"
"Tolong!" kata Pete dengan nada memelas. "Namaku Pete Crenshaw. Aku minta tolong Anda untuk menelepon Jupiter Jones, di Rocky Beach. Ini penting sekali!"
"Menelepon siapa"" tanya orang yang bernama Tom. "Apa katamu tadi""
"Tolong teleponkan Jupiter Jones, di Rocky Beach," kata Pete sekali lagi. "Bilang Pete sangat memerlukan bantuan. Keadaan gawat!"
"Apanya yang gawat, Nak"" tanya orang yang satu lagi, yang namanya Jack.
"Aku terkurung dalam peti mumi, yang kini sedang diangkut dengan truk oleh orang-orang yang mencuri mumi Ra-Orkon!" kata Pete. "Jupiter pasti mengerti. Tolong saja menelepon dia."
"Kaudengar itu"" kata orang yang bernama Jack sambil tertawa. "Ada anak yang mengatakan dia terkurung dalam peti mumi, dan kini diculik dengan mobil! Macam-macam saja remaja jaman sekarang! Apa lagi ide mereka yang berikut"!"
"Tolonglah - aku tidak main-main!" seru Pete. "Hubungi Jupiter Jones."
"He, Tom," kata orang yang satu lagi. "Kau sudah tahu sekarang aku di mana. Tolong panggilkan bantuan untukku. Dan kau, Nak -jangan ganggu kami lagi. Mestinya ada peraturan yang melarang anak-anak memakai jalur CB untuk iseng-iseng saja!"
Setelah itu hubungan terputus. Walkie-talkie bungkam. Berkali-kali Pete mencoba lagi, tapi sia-sia.
"Percuma, Hamid," katanya kemudian dengan lesu. "Sebetulnya aku tadi harus mengatakan, aku kehilangan uang. Atau apa saja. Soalnya begitu aku berterus-terang bahwa kita terkurung dalam peti mumi, mereka lantas beranggapan aku ini anak iseng yang hendak mengganggu pembicaraan mereka."
"Apa boleh buat! Pokoknya kau sudah berusaha. Memang bukan kejadian lumrah terkurung dalam peti mumi. Karena itu mereka sukar bisa percaya."
"Ya, kejadian begini ini mungkin cuma sekali saja dalam tiga ribu tahun. Dan begitu terjadi, justru aku yang harus mengalaminya," kata Pete menggerutu.
Setelah itu keduanya terdiam. Sementara truk berjalan terus sambil tergoncang-goncang. Pete mulai memikirkan hal-hal yang masih perlu diketahui. Kalau Jupe yang saat itu berada di situ, pasti dia akan memanfaatkan waktu yang ada. Karenanya Pete lantas mulai mengajukan pertanyaan.
"Hamid," katanya, "kalau kau memang dari Libia, dari mana kau sampai bisa berbahasa Inggris begitu baik""
"Aku senang mendengar bahwa bahasa Inggrisku baik," kata Hamid. Pete tidak bisa melihat tampangnya - dalam peti yang gelap. Tapi kedengarannya Hamid memang senang. "Aku punya pelatih bahasa, orang Amer
ika. Ayahku, kepala Keluarga Besar Hamid, menginginkan aku bisa pergi ke mana-mana untuk menjual permadani kami. Karenanya aku belajar bahasa-bahasa Inggris, Perancis dan Spanyol. Di Libia keluarga kami - Keluarga Besar Hamid - sudah sejak berabad-abad merupakan keluarga terpandang. Kami membuat permadani yang halus sekali. Kami juga memperdagangkannya. Tapi ayahku sekarang sakit-sakitan. Karena itu walau aku masih remaja, aku dibimbingnya untuk mengambil-alih kedudukan selaku kepala Keluarga Besar Hamid."
"Tapi semuanya itu, apa hubungannya dengan Ra-Orkon"" tanya Pete. "Katamu, dia itu moyangmu. Tapi menurut Profesor Yarborough, tidak ada yang diketahui mengenai dia kecuali namanya. Tidak ada yang tahu dia itu dulu siapa, dan apa kedudukannya. Pokoknya, tidak sedikit pun yang diketahui mengenai dirinya."
"Profesor itu cuma tahu apa yang ada dalam buku saja," kata Hamid dengan nada merendahkan. "Banyak pengetahuan yang tidak ada dalam buku! Cukup banyak orang pandai yang mengetahui hal-hal yang dirahasiakan."
Kemudian Hamid mulai bercerita.
"Enam bulan yang lewat, seorang peminta-minta bernama Sardon datang ke rumah kami. Ternyata dia itu dukun. Katanya pada ayahku, dia menerima wangsit. Ada suara gaib menyuruhnya datang ke rumah Keluarga Hamid. Ayahku memberi dia makan dan minum. Setelah itu Sardon kemasukan roh. Ia bicara dalam berbagai bahasa asing, dengan suara orang-orang lain. Kemudian arwah Ra-Orkon menyusup ke dalam tubuhnya.
"Ra-Orkon berbicara. Katanya, tak lama lagi dia akan dikirim ke negeri orang biadab berkulit bule. Ia takkan bisa tenang lagi, selama belum dikembalikan ke tanah asalnya. Ra Orkon mengatakan dia cikal-bakal Keluarga Besar Hamid. Diserukannya pada ayahku untuk menyelamatkan dirinya, dan memulihkan ketenangan arwahnya.
"Lalu Ra-Orkon mengatakan, jika ayahku mau pergi ke negeri orang biadab untuk mengambilnya kembali, maka dia - Ra-Orkon - kemudian akan muncul dalam wujud kucing bangsawan kesayangannya. Kucing yang warna kedua matanya tidak sama, serta ujung kaki depannya belang hitam. Itu akan menjadi tanda bahwa ia mengatakan yang sebenarnya, dengan mana ayahku akan yakin bahwa mumi Ra Orkon perlu diselamatkan dan dikembalikan ke Libia.
"Sehabis Ra-Orkon bicara, Sardon sadar kembali. Ia sama sekali tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Peminta-minta itu sudah tua-renta. Rambutnya putih tergerai. Matanya tinggal satu. Jalannya terpincang-pincang, ditopang tongkat. Sebelum pergi ia masih meramalkan berbagai hal dengan bantuan bola sihir. Macam-macam yang dikatakannya pada ayahku, baik tentang masa silam maupun masa depan."
"Wah!" kata Pete kagum. "Lalu, apa yang dilakukan ayahmu kemudian""
"Dia mengutus Ahmed, tangan kanannya, ke Kairo untuk menyelidik. Menurut Ahmed, kata-kata Ra-Orkon ternyata benar. Di museum purbakala di kota itu ada mumi Ra-Orkon. Mumi itu akan dikirim ke suatu negara yang jauh, ke Amerika Serikat. Ke alamat Profesor Yarborough di California.
"Ahmed melaporkan pada ayahku, Sardon si peminta-minta itu tidak bohong. Ayahku, karena dia sendiri sakit-sakitan, lantas mengutus aku kemari, sebagai putranya yang paling tua. Ahmed disuruh ikut, selaku pengawalku. Aku ditugaskan mengambil kembali mumi moyangku. Sebelum ini Ahmed sudah berusaha membujuk Profesor secara baik-baik agar mumi moyangku dikembalikan. Tapi sia-sia belaka."
"Ya, dia disuruh pergi oleh Profesor Yarborough," kata Pete mengomentari.
"Saat itulah Ahmed mendapat akal. Ia akan menyamar jadi salah seorang tukang kebun sarjana itu, supaya bisa terus ada di dekat mumi. Lalu begitu ada kesempatan baik, mengambilnya! Aku juga selalu ada di sekitar tempat itu, untuk membantunya. Tapi kemudian secara kebetulan kau memergoki aku tadi pagi. Kami orang asing di sini -jadi tidak berani bertindak cepat-cepat. Kami perlu mengatur rencana dengan hati-hati."
"Bukan main!" desah Pete yang terkesan mendengar penuturan Hamid. "Tapi kenapa harus dengan jalan mencuri" Ada kemungkinan Profesor mau menjualnya padamu, jika pembayaran kautawarkan cukup tinggi."
"Masa moyang sendiri harus dibeli!" tukas Hamid sengit. "Harapan kami satu-
satunya cuma itu. Mencurinya! Kami tahu kata-kata Sardon ternyata semuanya benar, karena pada suatu malam arwah Ra-Orkon dengan tiba-tiba muncul di kamarku. Persis seperti diramalkan oleh Sardon. Tentu saja bukan dia sendiri yang datang, tapi dalam penjelmaannya sebagai kucing Abesinia yang kedua matanya berlainan warna serta kaki depan belang hitam. Ternyata Ra-Orkon memang moyangku, sebab ramalan Sardon menjadi kenyataan semuanya. Tapi sekarang-" Hamid tertegun sejenak, "sekarang ada orang lain mencuri Ra-Orkon. Aku bingung jadinya."
Pete merasa haru-biru pikirannya. Tapi kemudian timbul dugaan tertentu dalam dirinya.
"Mungkin Ahmed yang menugaskan Joe dan Harry, kedua penjahat yang di depan itu untuk mencuri Ra-Orkon," katanya. "Mungkin ia melakukannya tanpa bilang lebih dulu padamu."
"Mustahil!" seru Hamid kaget. "Aku pasti tahu kalau begitu. Ahmed pasti selalu merundingkan segala-galanya dengan aku. Aku ini calon kepala Keluarga Besar Hamid."
"Yah, mungkin juga," kata Pete. Padahal dalam hati ia tidak begitu yakin, apakah Ahmed benar-benar akan melaporkan segala-galanya pada Hamid. Ahmed kelihatannya cerdik orangnya. Mungkin saja ia punya beberapa niat tertentu. "Tapi sekarang soal lain. Bagaimana sampai Ra-Orkon tahu-tahu bisa berbisik""
"Aku tidak tahu. Mungkin Ra-Orkon murka. Mungkin moyangku itu marah padaku dan pada Ahmed. Dan juga marah pada Profesor itu. Semuanya kayak teka-teki saja bagiku." Hamid kedengarannya seperti orang yang sedang susah.
"Aku sependapat dengan ucapanmu yang paling akhir," kata Pete. "He! Kayaknya kita berhenti sekarang."
Truk itu memang tidak berjalan lagi. Terdengar bunyi barang berat digeser. Kedengarannya seperti pintu garasi, atau gudang. Lalu truk maju lagi sedikit. Berhenti lagi. Sesaat kemudian terdengar bunyi pintu bergeser kembali. Kini Pete dan Hamid tahu, mereka sudah berada dalam sebuah gudang. Atau bisa juga garasi.
Tutup bak truk dibuka. Sesaat kemudian terasa peti mumi diangkat dengan kasar. Pete dan Hamid tergoncang-goncang di dalamnya, sementara peti itu dijunjung beberapa langkah, lalu dijatuhkan dengan begitu saja ke lantai.
"Yuk, Joe," terdengar suara orang yang bernama Harry. "Barang ini pasti aman di sini."
"Betul," jawab Joe. "Besok pagi kita menelepon pemesannya. Kita bilang padanya, kita minta pembayaran lipat dua sekarang. Sementara itu dia boleh bingung malam ini."
"Besok kita sibuk," kata temannya. "Rupanya kau lupa, kita sudah berjanji akan melakukan pekerjaan yang di Long Beach."
"O ya, betul juga! Kalau begitu, biar saja dia juga bingung sepanjang hari besok. Petangnya, keringat dinginnya pasti sudah mengucur terus. Nah - saat itu barulah kita menelepon dia, lalu mengatakan barang akan kita serahkan - asal dia mau membayar harga yang kita minta."
"Tidak ada salahnya jika kita minta pembayaran lipat tiga," usul Harry. "Habis, kelihatannya dia sangat ingin peti ini disertakan dengan muminya. Tapi itu nanti saja. Kita pergi sekarang!"
Terdengar lagi pintu terbuka, disusul bunyi mesin mobil dihidupkan. Truk mulai dimundurkan.
Dengan jantung berdebar-debar, kedua remaja yang ada dalam peti berusaha mendorong tutupnya ke atas. Tapi percuma, sedikit pun tak bergerak. Rupanya Joe dan Harry tadi mengikatnya erat sekali.
Bab 11 BOB DAN JUPITER GELISAH BOB ANDREWS sibuk mengetik di Markas Besar. Ia sedang menyusun catatan tentang kasus itu. Ia pandai mengetik, karena ayahnya - penulis untuk suatu surat kabar yang terbit di Los Angeles - menyuruhnya mengikuti kursus mengetik ketika ia berumur dua belas tahun.
Sedang Jupiter Jones duduk sambil memangku kucing tak dikenal yang tahu-tahu muncul di rumah Profesor Yarborough. Ia mengelus-elus kucing itu sambil mencubiti bibir bawahnya sendiri. Jupiter sedang memeras otak.
"Wah," kata Bob setelah beberapa saat, "sudah pukul sepuluh kurang lima. Tapi Pete masih belum muncul. Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya."
"Mungkin sedang menyelidiki petunjuk tertentu," tebak Jupiter.
"Tapi dia harus pulang paling lambat pukul sepuluh," kata Bob, "dan aku juga! Sebentar lagi aku harus pulang, supaya orang tuaku ti
dak khawatir." "Bagaimana jika kautelepon mereka, untuk mengatakan kau sekali ini pulang agak lambat," kata Jupiter mengusulkan. "Sementara itu mungkin Pete sudah kembali."
Dengan segera Bob menelepon. Yang menerima ibunya. Begitu Mrs. Andrews mendengar bahwa Bob ada di tempat Jupiter, ia langsung memberi ijin. Bob boleh pulang setengah jam lebih lambat dari biasa.
Jupiter meletakkan kucing Abesinia itu ke lantai. Dihampirinya periskop, lalu dipakainya alat itu untuk mengamat-amati keadaan di luar, yang sebagian diterangi lampu di gerbang masuk ke kompleks perusahaan dan juga oleh lampu jalan. Di luar tenang. Di rumah kecil dekat kompleks itu, di mana Jupiter tinggal bersama paman dan bibinya, ruang duduk masih kelihatan terang. Rupanya Titus dan Mathilda Jones masih nonton TV. Tapi pondok kecil di belakang rumah itu sudah gelap. Di situ tempat tinggal Hans dan Konrad, kedua bersaudara pembantu pamannya. Sebetulnya Jupiter ingin menanyakan pada Hans, kapan pemuda itu terakhir kalinya melihat Pete. Tapi ia tahu, saat itu Hans sedang nonton bersama saudaranya di teater drive-in.
Jupiter memutar arah periskop. Kini dilihatnya sebuah mobil meluncur di jalan raya, datang ke arah kompleks. Kendaraan itu melambat sebentar, lalu berjalan cepat lagi. Ketika lewat di bawah lampu jalan, dilihatnya kendaraan itu sebuah mobil sport biru yang menyolok. Pengemudinya seorang remaja bertubuh kurus jangkung.
Jupiter kembali lagi ke meja.
"Pete belum kelihatan," katanya. "Tapi baru saja Skinny Norris lewat dengan mobilnya." "O ya"" kata Bob. "Mau apa dia kemari""
"Mungkin karena ingin tahu saja," kata Jupiter menebak. "Mungkin ia bertanya-tanya, apa lagi yang kita lakukan sekarang. Barangkali ia menduga, pasti kita menangani kasus baru, lalu dia ingin mengacaukannya lagi."
"Bisa mengucur darah dari hidungnya nanti, kalau anak itu tidak hati-hati!" tukas Bob. "Dia itu selalu saja ingin campur tangan dalam urusan orang lain!"
Skinny Norris potongannya kurus tinggi, berhidung panjang. Umurnya sedikit lebih tua dari mereka. Ia kepingin sekali menunjukkan bahwa dia lebih pintar daripada Jupiter. Selama ini segala usahanya ke arah itu selalu gagal. Tapi itu bukan membuatnya jera. Tidak! Malah ia semakin ngotot, ingin mengalahkan Trio Detektif.
Tapi Jupiter tidak mau lama-lama menyibukkan diri dengan Skinny Norris. Ia lebih gelisah memikirkan Pete yang masih tetap belum kembali. Ia bahkan mulai berperasaan, jangan-jangan sekali ini misteri yang dihadapi ternyata terlalu berat untuk ditangani Trio Detektif. Mungkin ia nanti terpaksa menghubungi pihak berwenang untuk menyelesaikannya.
Tapi Jupiter anaknya keras kepala. Ia tidak mau mengaku kalah dengan gampang. Kecuali itu Profesor Yarborough juga segan kejadian itu masuk koran. Setelah mempertimbangkan berbagai faktor, akhirnya Jupiter mengambil keputusan.
"Kita beri waktu setengah jam lagi padanya untuk muncul," katanya. "Setelah itu kita harus bertindak."
Bob berhenti mengetik. Pikirannya dipenuhi bermacam-macam kejadian yang serba memusingkan kepala. Mumi yang berbisik lalu menghilang, patung yang hampir menimbulkan bencana, bola granit yang bisa lari sendiri, kucing yang matanya berlainan warna, kutukan yang berasal dari jaman Mesir Purba. Pusing kepala Bob memikirkan segala hal itu.
"Jupe," katanya, "aku pulang saja sekarang. Capek!" Jupiter mengangguk.
"Kita semua perlu tidur malam ini," katanya. "Tapi aku masih ingin menunggu sebentar lagi. Siapa tahu Pete muncul, atau menghubungi lewat telepon."
"Kenapa tidak kaucoba saja dengan walkie-talkie"" kata Bob menyarankan. "Mungkin Pete saat ini mencoba menghubungi kita dengan alat itu!"
"Kenapa waktu kubuat dulu, jarak jangkaunya tidak kuatur supaya bisa lebih jauh," kata Jupe menggerutu sendiri. "Nantilah kurombak lagi. Tapi sekarang kita coba saja."
Ditekannya tombol alat pengeras suara yang sekaligus merupakan pesawat walkie-talkie.
"Markas Besar memanggil Penyelidik Kedua," katanya. "Masuk, Kedua. Masuk, apabila bisa menangkapku."
Pengeras suara itu mendengung. Tapi tak ada jawaban masuk.
"Rupanya dia tidak menghubungi," kata Jupiter, "atau
mungkin pula jaraknya terlalu jauh dari sini. Kau pulang saja sekarang. Aku masih akan menunggu di sini."
Walau agak segan, akhirnya Bob pulang juga naik sepeda. Ia begitu sibuk dengan pikirannya sendiri, sehingga ketika masuk ke rumahnya ayahnya harus menyapa dua kali sebelum dijawab. Ayahnya bekerja malam hari, untuk sebuah surat kabar besar yang terbit pagi. Tapi malam itu ia pulang agak lebih cepat dari biasanya.
"Apa yang sedang kaupikirkan, Bob"" tanya ayahnya. "Sekolah kan libur -jadi pasti bukan soal ujian."
"Aku memikirkan kasus kami, Yah." Bob duduk di lengan kursi ayahnya. "Misterius sekali." "Coba ceritakan!"
"Yah - pokoknya ada urusannya dengan seekor kucing yang matanya satu biru dan satu lagi Jingga," kata Bob. "Hmm," kata ayahnya sambil memasukkan tembakau ke dalam pipanya yang sudah padam.
"Tapi urusannya terutama mengenai mumi yang bisa berbisik-bisik. Mana mungkin - mumi yang umurnya sudah tiga ribu tahun masih bisa bicara""
"Itu kan gampang saja." Ayahnya tertawa kecil. "Sama saja caranya, apabila hendak membuat boneka kayu bisa mengoceh."
"Dengan cara bagaimana, Yah"" tanya Bob penuh minat.
"Seorang ventrilokuis bisa melakukannya," kata ayahnya lagi sambil menyalakan pipa. "Maksudku, orang yang bisa bicara dengan suara perut. Kita hadapi saja persoalan ini secara logis. Mumi, mustahil bisa bicara - walau cuma berbisik-bisik. Jadi mesti ada orang yang membuatnya seperti berbisik. Ini dilakukan dengan suara perut. Kesimpulannya - jika ada mumi berumur 3.000 tahun berbisik, carilah ahli bicara dengan suara perut di daerah sekitar situ."
"Aduh, mungkin itu dia jawaban yang dicari-cari," kata Bob. "Sebentar, Yah - aku hendak menelepon Jupiter."
"Silakan," kata ayahnya. Mr. Andrews memandang anaknya yang pergi ke gang sambil tersenyum. Ia terkenang pada masa mudanya. Banyak sekali hal-hal aneh yang menarik perhatiannya waktu itu. Karenanya ia bisa memahami segala kegiatan anaknya. Ia sendiri juga begitu dulu. Kalau tidak, belum tentu pengertiannya bisa begitu besar.
Bob bergegas-gegas menelepon Markas Besar. Tapi ketika Jupiter menjawab, nada suaranya kecewa.
"Kukira Pete," kata Jupiter. "Ada apa, Bob""
"Aku baru saja membicarakan kasus kita dengan ayahku," kata Bob. "Kata Ayah, satu cara untuk membuat mumi berbisik yaitu dengan suara perut. Dia menyarankan agar kita menyelidiki ada tidaknya seorang ventrilokuis yang tinggal di dekat rumah Profesor Yarborough."
"Kemungkinan ini juga sudah kupikirkan," kata Jupiter. "Tapi ia toh harus memakai radio, jika hendak bekerja dari jarak jauh. Sedang kita sudah melihat sendiri, dalam peti tidak ada radio. Lalu ketika aku datang dengan samaran sebagai Profesor Yarborough, mumi berbisik padaku. Kau tentunya juga tahu, aku tidak memakai suara perut waktu itu. Jadi kurasa bukan itu penjelasannya."
"Pokoknya, itu kan satu kemungkinan," kata Bob. "Mungkin waktu itu ada seseorang yang bersembunyi di luar, dekat pintu. Dan dia yang bicara dengan suara perut, sehingga timbul kesan mumi yang berbisik-bisik. He - kau sudah menelepon rumah Profesor, untuk melihat mungkin Pete ada di sana""
"Akan kulakukan dengan segera," jawab Jupiter. "Sementara itu akan kupikirkan lebih lanjut kemungkinan digunakannya suara perut. Rasanya mustahil! Tapi Sherlock Holmes pernah berkata, begitu segala kemungkinan lain sudah terbukti keliru, maka yang tinggal itulah jawaban yang dicari."
Sehabis menelepon Jupiter, Bob langsung ke tempat tidur. Ia merasa gelisah memikirkan Pete. Tapi ia tidak sanggup lagi memikirkan tindakan yang bisa diambil. Sementara itu Jupiter sudah sibuk memutar nomor pesawat telepon di rumah Profesor Yarborough. Tapi di sana pesawat tidak diangkat-angkat. Rupanya Profesor Yarborough masih ada di rumah sakit, menemani pelayannya.
* * * Pete dan Hamid berusaha sekuat tenaga mendorong-dorong tutup peti yang mengurung mereka. Tapi dengan segera mereka berhenti, ketika terdengar bunyi di luar. Truk tadi datang lagi. Terdengar bunyi pintu digeser.
Mobil masuk ke dalam, dan kedua orang yang tadi turun.
"Baik juga idemu menutup peti ini," kata seorang di antaranya. "Memang yang k
emari cuma kita berdua. Tapi kalau toh ada orang lain muncul, tak perlu perhatiannya tertarik ke barang ini."
Pete dan Hamid mendengar suara menggeser, ketika kain terpal diselubungkan ke atas peti.
"Lubang udara tertutup!" desis Pete pada Hamid. "Aku mau berteriak sekarang! Jangan sampai kita terkurung lebih lama di sini."
Ia menarik napas dalam-dalam. Maksudnya hendak berteriak sekuat-kuatnya. Tapi tidak jadi, karena sempat mendengar ucapan kedua laki-laki yang di luar. Pete diam, sedikit pun tak terdengar suaranya.
Bab 12 LARI! "HE, JOE!" kata orang yang bernama Harry. "Mungkin besok kita memerlukan tali ini." "Betul juga," kata joe. "Kita bawa saja sekarang."
Pete dan Hamid menunggu sambil menahan napas. Terdengar bunyi terpal ditarik. Kemudian mereka tergoncang-goncang dalam peti, sementara kedua laki-laki yang di luar menarik tali yang tadi dipakai untuk mengikat. Sesaat kemudian terpal sudah diselubungkan kembali di atas peti. Terdengar bunyi mesin truk dihidupkan. Kendaraan itu mundur, disusul bunyi pintu tergeser menutup kembali.
Sejenak kemudian Pete dan Hamid sudah serempak mendesakkan tubuh mereka ke atas. Tutup peti sekarang terjunjung dengan mudah. Kedua remaja itu bergegas keluar, merangkak dari terpal yang menyelubungi.
Ruangan itu gelap. Jadi tidak banyak yang bisa dilihat. Tapi lewat jendela loteng, masuk sedikit cahaya dari lampu jalan di luar. Dan berkat sinar remang itu mereka bisa mengenali, saat itu mereka ada dalam sebuah ruangan gudang. Ruangan itu berlangit-langit tinggi dan berdinding beton. Tanpa jendela!
Keduanya mulai berkeliling memeriksa keadaan. Pertama-tama menuju ke pintu. Pintu itu besar, gerbangnya bisa dilewati truk. Tapi sayangnya terkunci dari luar. Mereka hanya bisa menggoyang-goyangnya sedikit. Tapi cuma itu saja. Pintu tetap tidak terbuka.
Kemudian mereka memeriksa isi gudang itu. Bermacam-macam benda ada di situ. Yang paling dulu menarik perhatian mereka adalah sebuah mobil antik. Dengan jalan meraba-raba serta dibantu cahaya remang-remang, ditarik kesimpulan bahwa kendaraan itu sebuah Pierce-Arrow kuno. Antik dan anggun.
"Mobil tua," kata Hamid agak heran. "Kenapa ada di sini""
"Ini mobil antik. Mungkin buatan tahun 1920. Mobil macam begini nilainya tinggi sekali bagi para penggemarnya," kata Pete menjelaskan.
Berikutnya mereka menemukan sejumlah mebel. Barang-barang itu berat dan penuh ukiran. Mereka mengetahuinya dengan jalan meraba-raba. Mebel itu semua ditaruh di atas landasan yang terbuat dari kayu.
"Supaya tetap kering," kata Pete. "Rupanya memang disimpan di sini. Tapi yang ini apa" Di sini ada tumpukan besar."
Hamid meraba-raba tumpukan itu, yang terdiri dari berlusin-lusin silinder panjang dan gemuk, yang ditumpukkan membentuk piramida.
"Ini permadani!" seru remaja itu bergairah. "Permadani daerah Timur Tengah. Halus sekali buatannya. Sangat berharga!"
"Dari mana kau bisa tahu, di tempat gelap begini"" tanya Pete heran. "Aku cuma mampu mengenali ini permadani yang ditumpuk-tumpuk. Cuma itu saja!"
"Jari-jariku sudah terlatih! Ketika aku berumur delapan tahun, aku diajari ayahku membeda-bedakan setiap jenis permadani dari kawasan Timur Tengah dengan jalan merabanya saja. Yang menentukan tenunannya, serta jenis wol yang dipakai. Serta macam-macam lagi - soal yang kecil-kecil. Di tumpukan ini tidak ada yang berasal dari Keluarga Hamid. Tapi jelas sangat berharga. Masing-masing dua -tiga ribu dollar!"
"Wah - mungkin ini barang curian," kata Pete. "Tanggung yang ada dalam ruangan ini semuanya barang curian! Dan kedua laki-laki tadi, Joe dan Harry, kedua-duanya pencuri profesional. Mungkin karena itu mereka disewa untuk mencurikan Ra-Orkon beserta petinya."
"Ya," kata Hamid. "kurasa kau benar. Tapi sekarang - bagaimana caranya kita keluar dari sini""
"Itu ada pintu," kata Pete. Samar-samar dilihatnya pintu kecil di tempat yang gelap. Pintu itu terpasang pada dinding bata tebal yang kelihatannya memisahkan ruangan gudang itu dari bangunan selebihnya.
Pete memegang kenop pintu dan berusaha memutarnya. Bisa. Tapi pintu tak bergerak sedikit pun. Kemudian mereka melihat satu p
intu lagi. Tapi ternyata cuma pintu ke kamar kecil.
"Kurasa ini tempat persembunyian rahasia untuk menyimpan barang-barang curian," kata Pete kemudian, "dan cuma Joe dan Harry tadi saja yang bisa masuk ke sini. Tapi bagi kita masih ada satu jalan ke luar."
"Lewat mana"" tanya Hamid. "Aku tak melihatnya. Yang ada cuma tembok kokoh, tanpa jendela."
"Itu - di atas," kata Pete sambil menuding. Hamid mendongak. Jendela loteng yang memasukkan cahaya remang dari luar, ternyata menganga sedikit. Tapi letaknya jauh di atas kepala mereka.
"Kalau kita bisa terbang," kata Hamid, "baru mungkin kita lari lewat situ."
"Kita lihat saja dulu," kata Pete. "Mobil antik itu, letaknya hampir persis di bawahnya."
"Betul," jawab Hamid bersemangat "Cepat, kita coba. Mungkin jika kita berdiri di atas kapnya, bisa tercapai jendela itu."
"Tenang, Hamid." Pete menyabarkan remaja yang lebih muda dari dirinya itu, yang sudah hendak cepat-cepat naik ke kap sedan Pierce-Arrow antik. "Sepatumu nanti menggores catnya. Kan sayang, jika mobil yang sepantasnya ditaruh dalam museum sampai rusak karenanya."
Kedua remaja itu membuka sepatu masing-masing, menyambung talinya lalu menggantungkannya melilit leher. Sesudah itu baru mereka naik ke atas kap mobil. Tapi ternyata walau Pete sudah menjulurkan tubuh setinggi-tingginya, jendela loteng masih terlalu jauh dari jangkauan. Sekitar tiga puluh senti dari ujung tangan, dan lebih dari itu ke samping.
"Aku akan mencoba melompat ke situ, Hamid," kata Pete. "Kita tidak bisa terus di sini!"
Pete meloncat. Jarinya mencengkeram ambang jendela. Dengan cepat didorongnya daun jendela sampai terpentang lebar. Lalu ia menjunjung dirinya sendiri, naik ke atap yang berlapis kerikil. Dengan segera ia berbalik. Dijulurkannya tubuh ke bawah lewat lubang jendela, sambil mengulurkan tangan.
"Hamid!" panggilnya. "Lompat saja, nanti kutangkap! Pegang pergelanganku."
Remaja yang lebih kecil itu ragu-ragu sesaat. Ditatapnya lantai yang terbuat dari beton. Tapi dengan segera ia membulatkan hati. Ia mendongak. Lengan dijulurkan ke atas, lalu melompat.
Nyaris saja tak terpegang olehnya pergelangan tangan Pete. Tapi Pete cukup sigap. Disambarnya pergelangan tangan Hamid, lalu ditarik ke atas. Sejenak kemudian remaja itu sudah ada di sisinya. Di atas atap.
"Kau bukan saja tabah, Pete," kata Hamid memuji, "tapi juga kuat sekali."
Hidung Pete mekar mendengarnya.
"Kami setiap hari di ruang senam berlatih lebih berat lagi," katanya seolah-olah sambil lalu. "Nah - sekarang sepatu kita pakai lagi. Lalu mencari jalan turun dari sini."
Pada bagian depannya, atap itu dibatasi tembok bata yang tinggi. Itu bagian depan bangunan. Mereka tidak bisa turun lewat situ. Tapi di sebelah belakang ada tangga besi. Tangga itu dipakai untuk naik ke atap, jika di situ ada yang perlu diperbaiki. Dengan cepat mereka menuruni tangga, sampai di lorong gelap yang ada di bawah. Mereka berhenti sejenak di situ. Mereka hendak mengetahui di mana mereka berada.
Sambil melihat-lihat berkeliling, Pete mengambil sepotong kapur biru dari kantongnya. Lalu dibuatnya beberapa tanda tanya yang besar-besar di pojok kiri bawah daun pintu tempat truk tadi keluar-masuk.
"Ini tanda rahasia kami," katanya menjelaskan pada Hamid. "Dengannya kita bisa menemukan kembali tempat ini. Sekarang kita keluar dari sini, ke jalan besar. Kita harus mengetahui alamat tempat - wah, ada orang datang! Mungkin gelandangan. Tapi bisa juga penjahat! Kita berbalik saja menuju jalan yang ada di belakang."
Keduanya bergegas menyusur lorong gelap, melewati pintu demi pintu yang tertutup semua. Akhirnya sampai di sebuah jalan yang tidak terawat baik. Penerangan di situ remang-remang. Pete tidak mengenali apa-apa di situ. Ia lantas tahu bahwa ia belum pernah datang ke daerah situ.
"Tapi kita perlu mengetahui di mana kita sekarang," katanya pada Hamid. "Yuk - kita ke pojok jalan berikut. Kita lihat papan nama jalan di situ. Kita perlu mencatatnya, supaya bisa kembali ke sini."
Tapi sesampai di pojok jalan, ternyata papan nama jalan yang terpasang di situ sudah rusak sekali. Jadi mereka tidak bisa membaca tulis
annya. Papan itu penyok-penyok, rupanya karena dilempari batu.
"Sialan!" cerca Pete. "Kenapa sih orang -"
Saat itu terdengar bunyi kaca pecah. Datangnya dari salah-satu jalan samping. Kemudian muncul dua orang laki-laki. Keduanya lari melewati Pete dan Hamid, menuju sebuah mobil yang langsung melesat pergi. Kedua remaja itu cuma bisa melongo saja memandang mereka. Mereka dikagetkan oleh suara yang berteriak-teriak dengan marah di belakang mereka.
"Tahan, maling!" seru seorang laki-laki. "He - kalian yang memecahkan jendela tokoku! Kalian mencuri arloji-arlojiku! Jangan lari!"
Seorang laki-laki bertubuh besar datang berlari-lari, sambil mengacung-acungkan kepalan tinju. Kelihatannya ia yakin, kedua remaja itulah yang baru saja melakukan kejahatan itu.
Tanpa berpikir lagi Pete langsung menyambar tangan Hamid, lalu diseretnya. "Lari!" serunya.
Keduanya lari. Masuk jalan yang satu, melintas jalan lain, memintas lewat lorong-lorong. Pengejar mereka bertambah banyak. Bukan itu saja - beberapa ekor anjing juga ikut memburu sambil menggonggong-gonggong. Pete dan Hamid lari terus, sampai kehabisan napas. Mereka sudah tak peduli arah lagi. Keduanya berhenti lari. Para pengejar tidak kelihatan lagi.
"Sebetulnya kita tadi harus mengatakan pada orang itu, bukan kita yang memecahkan kaca jendela tokonya," kata Pete tersengal-sengal. "Tapi terus-terang saja, aku tadi langsung lari tanpa sempat berpikir lagi."
"Kalau ada orang berteriak, 'Maling' sambil mengejar, wajar jika kita lari," kata Hamid. "Jangan persalahkan dirimu."
"Tapi konyolnya," kata Pete dengan masam, "tadi aku tidak tahu di mana kita berada, sebelum lari! Yang kuingat cuma tempat itu beberapa blok dari sini. Kita sama sekali tidak tahu di mana letak gudang itu." "Betul," kata Hamid serius. "Sekarang ada tambahan satu problem lagi. Ya kan, Pete""
"Ya," jawab Pete. "Bagaimana cara kita menemukannya kembali" Dan bagaimana kita sekarang pulang" Tempat ini letaknya pasti sekitar dua puluh sampai dua puluh lima kilo dari Rocky Beach, dan lima belas dari Hollywood. Di tengah kota Los Angeles."
"Kan bisa naik taksi," kata Hamid.
"Uangnya dari mana"" tukas Pete.
"Aku punya uang," jawab Hamid menenangkan. "Aku diberi oleh Ahmed, untuk keperluan-keperluan mendadak. Cukup banyak uang dollar Amerika di kantongku."
Ditunjukkannya sebuah dompet penuh berisi lembaran uang dollar.
"Syukur," kata Pete. "Itu - di depan ada cahaya terang. Mungkin di sana kita bisa menemukan taksi."
Mereka bergegas ke tempat itu. Di pojok jalan ada tempat perhentian taksi. Mereka menemukan taksi yang pengemudinya bersedia menempuh jarak yang jauh ke rumah mereka di Rocky Beach. Tentu saja setelah Hamid menunjukkan bahwa mereka punya uang untuk membayar ongkos perjalanan itu!
Sebelum berangkat, Pete cepat-cepat mencatat nama tempat itu. Setidak-tidaknya sekarang ia tahu, sekitar lima belas sampai dua puluh blok dari situ terletak gudang tempat peti Ra-Orkon disembunyikan. Pete juga sempat menelepon Jupiter sebentar, lewat telepon umum.
"Aku tidak apa-apa," katanya melaporkan, "dan sekarang dalam perjalanan pulang. Banyak yang perlu dilaporkan. Terlalu banyak untuk diceritakan lewat telepon sekarang! Sesampai di rumah nanti, aku akan langsung menelepon lagi."
"Pakai walkie-talkie saja," kata Jupe. "Aku menunggu di kamarku. Hah - lega rasanya menerima kabar darimu, Kedua!"
Nada suara Jupiter saat itu benar-benar lega. Karenanya Pete lantas mengetahui, tadi rekannya itu pasti sudah khawatir mengingat nasibnya. Tapi tunggu saja - sampai Jupe mendengar bahwa dia, Pete, tadi ada di tempat peti mumi disembunyikan - tapi sekarang jejak itu hilang lagi!
Taksi berangkat membawa mereka kembali ke Rocky Beach. Di tengah jalan tidak ada kejadian yang luar biasa. Hamid memaksa mengantar Pete terlebih dulu ke rumah. Setelah itu baru dia sendiri menuju ke rumah yang disewa Ahmed untuk mereka berdua, tidak jauh dari tempat tinggal Profesor Yarborough.
Sesampai di rumah Pete, remaja itu sudah hendak buru-buru turun. Tapi ditahan sebentar oleh Hamid.
"Pete," kata anak Libia itu, "maukah kau serta teman-temanmu membantu aku me
nemukan kembali Ra-Orkon serta petinya" Aku, Hamid bani Hamid ingin menyewa tenaga kalian."
Rahasia Dewi Purbosari 2 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Sepasang Racun Api 2