Misteri Nuri Gagap 1
Trio Detektif 02 Misteri Nuri Gagap Bagian 1
TRIO DETEKTIF MISTERI NURI GAGAP Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
PENDAHULUAN NAMA SAYA Alfred Hitchcock. Sutradara sekian banyak film petualangan dan misteri. Tanpa menyombongkan diri, banyak orang saya ini dianggap Bapak film-film begitu, yang selalu menarik para penonton untuk membanjiri gedung pertunjukan. Tapi kali ini saya tidak akan bicara tentang diri saya atau film-film yang saya buat. Sekali ini saya akan memperkenalkan tiga sekawan remaja. Tiga remaja yang menamakan diri:
Trio Detektif Mereka itu Bob Andrews, Pete Crenshaw- dan Jupiter Jones. Ketiga-tiganya tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di tepi Samudera Pasifik. Tidak begitu jauh dari Hollywood, kota pusat perfilman di pesisir barat Amerika Serikat.
Bob Andrews potongannya agak kecil, berambut pirang. Tingkah lakunya seperti cendekiawan, tapi kadang-kadang bisa kejangkitan 'penyakit' bertualang. Pete Crenshaw tinggi tegap, berambut coklat, suka gelisah sebelum ada kejadian apa-apa. Tapi bisa diandalkan dalam menghadapi kerumitan yang seperti apa pun jenisnya. Sedang Jupiter Jones -
Yah, sebetulnya banyak yang bisa saya katakan tentang remaja satu ini, yang biasa dipanggil 'Jupe' oleh orang-orang yang dekat padanya. Dan mungkin saja mereka itu tak setuju dengan ucapan saya mengenai dia. Jadi cukuplah apabila dikatakan Jupe anaknya agak pendek dan gempal. Wajahnya bulat. Bisa kelihatan tolol sekali, padahal di belakangnya tersembunyi otak yang cerdas dan sering kali tajam penalarannya.
Baik Bob maupun Pete tinggal dengan orang tua masing-masing. Sedang Jupiter Jones hidup bersama paman dan bibinya. Orang tuanya sendiri sudah meninggal ketika ia masih kecil.
Markas operasi Trio Detektif itu di kompleks tempat jual beli barang bekas, yang dikelola oleh suami isteri Titus dan Mathilda Jones, paman dan bibi Jupiter. Kantor mereka tersembunyi dalam sebuah trailer. Yang dinamakan trailer itu sebuah gerbong besar, mirip rumah mungil yang bisa berpindah tempat dengan ditarik mobil atau truk. Trailer itu juga diperlengkapi dengan laboratorium kecil serta kamar gelap untuk mencuci foto. Orang lain tidak mengenal markas itu, karena letaknya tersembunyi di balik tumpukan barang rombengan. Masuk ke situ harus melalui jalan-jalan rahasia yang dibuat oleh mereka.
Sekian saja mengenai mereka - kelanjutannya harus diikuti sendiri! Tapi saya tidak mau bertanggung jawab kalau jantung kalian nanti berdebar terlalu keras!
Alfred Hitchcock BAB 1 JERITAN MINTA TOLONG "TOLONG!" Kedengarannya aneh. Melengking tinggi, tapi seakan-akan tersumbat. "Tolong! Tolong!"
Bulu roma Pete Crenshaw merinding setiap kali jeritan itu memecah kesunyian. Datangnya seperti dari gedung tua yang tak terurus itu. Kemudian terhenti dengan tiba-tiba. Seperti tercekik. Dan justru semakin menyeramkan!
Remaja jangkung berambut coklat itu berlutut di balik sebatang pohon palem yang besar. Ia memberanikan diri mengintip ke arah rumah yang terletak di ujung jalan masuk yang berkerikil. Ia tadi sedang berjalan di situ bersama teman sejawatnya Jupiter Jones, ketika tiba-tiba terdengar ada yang menjerit. Keduanya cepat-cepat berlindung ke balik semak.
Di seberang tempat Pete, Jupiter juga mengintip ke arah rumah. Mereka menunggu kalau-kalau terdengar bunyi sesuatu lagi. Tapi kini rumah tua bergaya Spanyol itu yang letaknya agak di belakang kebun yang sudah merimba karena tak terawat diselubungi kesunyian lagi. Kesunyian yang mencekam.
"Jupe!" bisik Pete. "Tadi itu laki-laki atau perempuan""
Jupiter menggelengkan kepala.
"Entah," balasnya dengan berbisik pula. "Mungkin bukan kedua-duanya."
"Bukan kedua-duanya"" Pete meneguk air ludah. Yang jelas itu tadi bukan suara anak kecil. Lalu jika juga bukan laki-laki atau perempuan, kemungkinannya tinggal... Pete tidak mau membayangkan kemungkinan itu lebih jauh.
Kedua remaja itu masih tetap menunggu. Hawa musim panas di Hollywood terasa pengap dan menyesakkan. Mereka dikelilingi pohon-pohon palem, semak belukar, dan bunga-bunga yang tumbuh tanpa perawatan. Dulu kebun itu mestinya indah. Tapi karena lama terbengkalai,
kini kelihatannya lebih mirip hutan. Dan gedung tempat tinggal yang terletak di belakang nampaknya juga tak terurus.
Gedung itu tempat tinggal Malcolm Fentriss, seorang aktor yang biasa memainkan karya-karya William Shakespeare, pujangga Inggris dari Abad Pertengahan. Ia juga sahabat Alfred Hitchcock, sutradara kenamaan yang telah menciptakan sekian banyak film misteri yang menegangkan syaraf. Jupiter Jones dan Pete Crenshaw datang ke situ sebagai detektif. Maksud mereka hendak menawarkan jasa pada Mr. Fentriss, untuk menolongnya mencari seekor burung nuri piaraan aktor itu. Mr. Hitchcock bercerita pada mereka bahwa aktor itu gelisah karena burungnya hilang. Ia ingin mendapatkannya kembali.
Dan kini - tahu-tahu terdengar suara menjerit meminta tolong. Dan kedua remaja itu meringkuk di balik semak, menunggu perkembangan selanjutnya.
"Aduh, Jupe - kita ke sini kan untuk mencari nuri hilang," kata Pete. Ia bicara berbisik-bisik. "Tapi sebelum kita sempat menginjakkan kaki di rumah itu, tahu-tahu sudah ada yang menjerit-jerit minta tolong!"
"Tapi kelihatannya sekarang sudah tenang lagi," jawab kawannya yang bertubuh gempal. "Sebaiknya kita hampiri rumah itu, untuk menengok apa yang terjadi si sana."
"Aku tidak suka mendatangi rumah macam itu," kata Pete padanya, "karena kelihatannya penuh dengan kamar-kamar terkunci, yang lebih baik jangan dibuka."
"Gambaran yang sangat tepat," jawab Jupiter. "Jangan lupa menyampaikannya pada Bob, jika kita sudah kembali nanti di markas."
Setelah itu Jupiter mulai menyelinap di sela-sela semak, menuju ke gedung. Ia bergerak dengan sangat hati-hati. Di seberang jalan kerikil, Pete bergerak sejajar dengan dia. Ketika jarak ke gedung tinggal sekitar dua puluh lima meter lagi, tiba-tiba Pete jatuh terjerembab. Ada sesuatu menyambar pergelangan kakinya. Pete meronta, berusaha membebaskan diri. Tapi pergelangan kakinya tetap tidak bisa lepas. Ia tidak bisa melihat apa atau siapa yang memegangi, karena ia jatuh menelungkup.
"Jupe! Aku disambar!" kata Pete ketakutan.
Biar bertubuh gempal, tapi ternyata Jupiter bisa juga bergerak dengan cepat. Begitu mendengar suara temannya, ia langsung datang menghampiri.
"Apa itu"" kata Pete dengan nada ngeri, sementara matanya terbelalak melirik Jupiter. "Ada sesuatu yang menarikku dari belakang! Jangan-jangan ular sanca. Mungkin saja, dalam kebun kayak begini!"
Muka Jupiter yang bulat nampak sangat serius.
"Yah - memang sudah nasibmu, Pete," katanya, "kau kena jebakan sejenis vitis vinifera yang luar biasa ganas!" Napas Pete tersentak mendengarnya.
"Jangan diam saja dong!" pintanya pada Jupiter. "Tolong aku -jangan sampai menjadi mangsa vitis anu itu!"
"Akan kuusahakan - kebetulan aku membawa pisau," jawab Jupiter. Dikeluarkannya pisau lipat kesayangannya dari kantong. Lalu dipegangnya pergelangan kaki Pete. Terasa Jupiter mengayunkan pisau memotong-motong dengan gerakan cepat. Begitu terasa cengkeraman pada pergelangan kaki mengendur, dengan segera Pete berguling menjauh lalu meloncat bangkit.
Dilihatnya Jupiter berdiri di belakangnya. Sambil nyengir remaja bertumbuh gempal itu mengantongi pisau lipatnya kembali. Dekat ke tanah nampak terayun-ayun akar rambat yang terpotong bagian tengahnya.
"Kakimu tadi tersangkut pada tanaman ini," kata Jupiter. "Dan semakin kuat kau menyentakkan kakimu, semakin kuat pula tanaman itu memegang. Pertandingan yang sebanding! Dua-duanya tidak memakai otak. Tanaman memang tidak punya, sedang otakmu dilumpuhkan rasa takutmu sendiri."
Memang begitulah gaya bicara Jupiter Jones. Tapi Pete sudah biasa mendengarnya.
"Ya deh, ya deh," katanya agak malu. "Memang aku tadi panik. Rupanya karena terpengaruh jeritan minta tolong itu."
"Panik lebih berbahaya daripada bahaya yang dihadapi," kata Jupiter lagi. "Rasa takut menyebabkan kita tidak bisa mengambil keputusan tepat, dan menyebabkan - menyebabkan -"
Pete yang saat itu masih memandang Jupiter mendapat kesan bahwa kawannya itu memamerkan segala gelagat rasa takut yang sedang diceramahkan olehnya. Dengan tiba-tiba tampang Jupiter menjadi pucat pasi. Matanya melotot. Mulutnya melompong. Pa
ndangannya menatap sesuatu yang kelihatannya seperti terdapat tidak jauh di belakang punggung Pete.
"Aktingmu hebat, Jupe," kata Pete. "Tampangmu sungguh-sungguh memancarkan rasa takut! Tapi bagaimana jika kita sekarang -"
Saat itu ia berpaling. Kini baru dilihatnya apa yang menyebabkan Jupiter begitu. Dan kini berganti dia sendiri yang melongo.
Ternyata kawannya itu tidak melakukan akting. Ia memang sungguh-sungguh takut.
Seorang laki-laki bertubuh gendut berdiri menghadap mereka. Tangannya memegang pistol besar potongan kuno. Siapa pun menghadapi senjata api itu, pasti dia akan kaget.
Laki-laki gendut itu memakai kaca mata. Lensanya menyebabkan mata yang di belakangnya nampak membesar. Besar dan bundar, seperti mata ikan mas koki dalam akuarium. Cahaya matahari yang terpantul pada lensa, menimbulkan kesan seakan-akan mata yang ada di baliknya memancarkan kilatan sinar.
"Oke," kata si gendut sambil memberi isyarat dengan pistol, "sekarang kalian masuk ke dalam rumah! Nanti akan kita lihat, mau berbuat apa kalian di sini. Ayo cepat!"
Pete dan Jupiter berjalan di depan dengan langkah segan, menyusur jalan kerikil ke rumah tua yang suram. Kerongkongan mereka terasa kering.
"Jangan coba-coba melarikan diri," geram si gendut memperingatkan, "nanti menyesal sendiri!"
"Jangan lari, Pete," bisik Jupiter. "Itu berbahaya sekali! Kita harus meyakinkan Mr. Fentriss bahwa kita tidak bermaksud jahat kemari."
"Aku memang tidak berniat minggat," balas Pete sambil berbisik pula. "Lututku terasa lemas, kayak baru belajar berjalan rasanya."
Kerikil gemerisik terinjak kaki mereka. Sedang di belakang mereka terdengar bunyi lebih berisik, diakibatkan berat tubuh si gendut. Pete semakin merasa seram mendengarnya. Karenanya ia bisa dibilang lega ketika menginjakkan kaki di lantai batu beranda rumah. Di depan mereka terdapat pintu berukuran besar.
"Sekarang buka pintu," kata si gendut. "Dan langsung masuk. Ingat, jariku sudah gatal ingin menarik pelatuk pistolku. Kemudian belok ke kanan. Masuk kamar yang ada di situ, lalu duduk di kursi yang di dekat tembok sebelah sana pintu."
Jupiter membuka pintu. Di baliknya nampak serambi dalam yang gelap. Pete meneguhkan hati. Kedua remaja itu melangkah masuk, membalikkan tubuh ke kanan dan memasuki sebuah kamar yang besar. Kamar itu penuh dengan buku dan koran berserakan, serta perabot usang. Beberapa kursi besar berlapis kulit dijejerkan sepanjang dinding yang berhadapan dengan pintu. Mereka melintasi kamar lalu duduk seperti diperintahkan tadi.
Si gendut memperhatikan mereka. Kelihatannya puas. Ia meniup ujung laras pistolnya, seolah-olah menyingkirkan debu yang bisa mengganggu gerak peluru yang ditembakkan.
"Nah - sekarang sebaiknya kalian mengaku saja," katanya. "Katakan kalian mau berbuat apa tadi, menyelinap-nyelinap dalam kebun menuju ke rumahku."
"Kami sebetulnya bermaksud mendatangi Anda, Mr. Fentriss," kata Jupiter. "Soalnya -"
Tapi si gendut langsung memotong, sambil menggosok-gosokkan jari telunjuknya ke sisi hidung. Tatapan matanya mencemooh.
"Mau bertamu"" katanya. Kayak tadi - menyelinap dari pohon ke pohon" Kayak orang Indian" Atau pencuri"" "Soalnya, tadi tahu-tahu kami mendengar jeritan meminta tolong," kata Pete bergegas menjelaskan. "Jadi kami langsung bersembunyi di balik pohon, untuk melihat apa yang terjadi."
"Oh." Si gendut mengerucutkan bibir. "Jadi kalian mendengar jeritan minta tolong, ya""
"Begini, Mr. Fentriss," kata Jupiter. Kini dia yang berusaha menjelaskan, "Mr. Alfred Hitchcock yang menyuruh kami datang ke sini. Katanya Anda kehilangan seekor burung nuri. Sedang polisi tidak mau menolong mencarinya, Kami ini detektif. Dan kami datang untuk membantu Anda menemukan kembali burung piaraan Anda itu."
Sambil bicara Jupiter merogoh kantong, lalu menyodorkan selembar kartu nama di mana tertulis:
TRIO DETEKTIF "Kami Menyelidiki Apa Saja" " " "
Penyelidik Satu - Jupiter Jones Penyelidik Dua - Peter Crenshaw Catatan dan Penelitian - Bob Andrews
"Saya yang bernama Jupiter Jones," kata Jupiter memperkenalkan diri. "Dan ini teman sejagat saya, Peter Crenshaw."
"Oh." Si gendut menerim
a kartu nama yang disodorkan, lalu mengamat-amatinya. "Jadi kalian ini detektif, ya" Lalu beberapa tanda tanya ini, apa maksudnya" Kalian menyangsikan kemampuan sendiri""
Pete sudah mengira pertanyaan itu akan diajukan. Soalnya, hampir setiap orang mengajukan pertanyaan mengenainya. Jupiter yang menciptakan ketiga tanda tanya yang berderet itu, ketika pada suatu saat mendapat ilham. Ketiga tanda tanya itu dinilainya rangsangan yang bagus sekali untuk menarik minat.
"Tanda tanya itu lambang hal-hal yang tidak diketahui, pertanyaan yang tak terjawab, serta teka-teki yang tak terpecahkan. Dan tugas kami mencari jawaban atas pertanyaan, menguraikan teka-teki serta menyelidiki setiap misteri yang kami jumpai. Karena itulah ketiga tanda tanya itu menjadi lambang Trio Detektif."
"Ah, aku mengerti sekarang," kata Mr. Fentriss, sambil mengantongi kartu nama tadi. "Dan kalian datang untuk menyelidiki misteri burung nuriku yang hilang. Ya, aku mengerti."
Orang itu tersenyum pada mereka. Semangat Pete mulai bangkit. Tapi langsung merosot lagi, begitu mendengar kata-kata si gendut yang segera menyusul.
"Sayang aku tidak percaya. Sayang! Kalian kelihatannya anak-anak yang menyenangkan - keluarga kalian pasti akan merasa kehilangan," kata si gendut.
Dengan gerakan lambat orang itu mengambil sebatang cerutu dari kantong, lalu menyelipkannya ke mulut. Setelah itu pistol diangkat, sehingga larasnya terarah pada Jupiter dan Pete.
Pelatuk ditarik. Terdengar bunyi ketukan nyaring, diiringi semburan api biru dari mulut pistol. Mr. Fentriss mendekatkan nyala api ke ujung cerutunya. Ia menarik napas panjang untuk menghidupkan api cerutu. Setelah itu dihembusnya nyala api sampai padam, dan pistol ditaruhnya ke atas meja.
Ya ampun, pikir Pete. Rupanya pistol itu cuma korek api belaka! Darahnya mulai bisa mengalir kembali. Tadinya seperti membeku.
"Selamat!" kata Mr. Fentriss dengan nada riang. "Kalian lulus ujian dengan gemilang, karena tetap teguh menghadapi percobaanku tadi untuk menakut-nakuti!"
Ia mendekat dan mereka lantas berjabatan tangan. Genggamannya ternyata sangat teguh, walau tangannya nampak gemuk berlemak. Sambil terkekeh geli, dibantunya Pete dan Jupiter bangkit dari tempat duduk masing-masing.
"Aku bangga pada kalian," kata Mr. Fentriss. "Orang dewasa pasti tak sedikit yang ketakutan menghadapi sikap bermusuhan yang kupamerkan tadi. Aku harus menelpon Alfred untuk melaporkan, kalian ternyata bukan cuma anak-anak yang main-main menjadi detektif, tapi sungguh-sungguh melakukan pekerjaan yang kalian pilih."
"Maksud Anda -" kata Jupiter. Dari sikapnya saat itu, cuma Pete yang tahu bahwa kawannya itu agak mengalami kesulitan untuk bicara seperti biasa. Maklum, habis kaget. Jupiter melanjutkan, " - maksud Anda, Mr. Hitchcock sebelum ini sudah menelpon untuk memberitahukan kedatangan kami, dan Anda dimintanya untuk menguji ketahanan syaraf kami""
"Ya, memang begitu!" Mr. Fentriss menggosok-gosok telapak tangan. "Katanya kedatangan kalian harus kusambut dengan ujian keberanian. Ternyata kalian berdua benar-benar tabah. Cuma sayangnya, aku sama sekali tidak punya persoalan yang bisa kalian selidiki."
"Jadi kalau begitu, nuri Anda sama sekali tidak hilang"" tanya Pete. "Padahal kata Mr. Hitchcock, Anda sedih sekali karenanya."
"Ya, mulanya memang hilang," kata Mr. Fentriss, "dan aku juga sangat sedih. Tapi kemudian nuriku itu datang kembali. Baru pagi ini terbang masuk lewat jendela yang sengaja kubiarkan terbuka untuknya. Yah, si Billy itu benar-benar menyebabkan aku bingung selama ini."
"Billy"" tanya Jupiter. "Itu nama nuri Anda""
"Betul! Billy Shakespeare, singkatan dari William Shakespeare."
"Tapi jeritan minta tolong tadi"" tanya Pete. "Datangnya dari sini, dan - yah -"
"Kalian masih curiga. Bisa kumengerti," kata Mr. Fentriss dengan suaranya yang berat. "Yang kalian dengar itu Billy! Si bandel itu rupanya ketularan, suka bersandiwara. Aku dulu mengajarinya supaya dia pura-pura terkurung dalam penjara. Ya kan - terkurung di balik terali kandangnya. Dia suka iseng sekarang, berteriak-teriak minta tolong."
"Bisakah kami melihat Billy se
bentar"" tanya Jupiter. "Kami ingin tahu tampang burung yang sangat berbakat itu."
"Wah, sayang tidak bisa." Tampang Mr. Fentriss agak suram. "Billy tadi begitu berisik, lalu sesaat sebelum kalian datang kurungannya kuselubungi dengan kain. Dengan begitu ia menjadi tenang. Sekarang jika selubung itu kubuka, pasti dia akan berisik kembali."
"Yah, kalau begitu di sini tak ada kejadian yang perlu diselidiki," kata Jupiter. Terdengar suaranya agak menyesal. "Kami pergi saja sekarang, Mr. Fentriss. Saya ikut senang, burung nuri Anda sudah kembali."
"Terima kasih, Nak," kata laki-laki bertubuh gendut itu. "Tapi kartu kalian akan kusimpan. Siapa tahu nanti kalau ada misteri yang perlu diselidiki, aku pasti akan menghubungi Trio Detektif."
Diantarkannya Pete dan Jupiter sampai ke pintu.
"Terus terang saja, aku menyesal," kata Jupiter, sementara ia berjalan bersama Pete menyusur kebun menuju ke jalan raya. Padahal kelihatannya akan merupakan persoalan yang menarik. Rumah terpencil -jeritan minta tolong - seorang laki-laki gendut menyeramkan... aku tadi benar-benar sangat bersemangat menghadapi kasus ini."
"Pendapat itu tidak harus sama dengan yang ada pada diri Penyelidik Kedua," kata Pete menirukan gaya bicara Jupiter. "Aku sendiri akan sudah cukup puas dengan tugas menyelidiki seekor nuri yang hilang tanpa perlu ditambah jeritan minta tolong dan kemunculan orang gendut menyeramkan. Soal-soal yang begitu, lain kali sajalah!"
"Mungkin kau benar," kata Jupiter. Tapi nada suaranya tidak meyakinkan.
Sambil membisu, keduanya meneruskan langkah menuju ke jalan raya. Jalan itu berkelok-kelok. Letaknya di kawasan kota Hollywood yang tergolong tua dan agak terbengkalai. Sepanjang jalan itu berdiri gedung-gedung besar yang sudah tua. Letaknya terpisah-pisah. Semuanya nampak lusuh karena para pemilik sudah tak mampu merawat lagi.
Sebuah mobil Rolls-Royce mewah dengan bagian-bagian berlapis emas diparkir di tepi jalan itu. Jupiter berhak memakai kendaraan itu selama beberapa waktu, sebagai hadiah memenangkan suatu sayembara. Mobil itu tersedia untuk dipakai olehnya, lengkap dengan supirnya yang berbangsa Inggris. Nama supir itu Worthington.
"Kita pulang saja sekarang, Worthington," kata Jupiter dengan gaya jutawan. Ia masuk ke dalam mobil kuno tapi mewah itu. Pete menyusul di belakangnya. "Nuri itu sudah kembali sendiri ke pemiliknya."
"Baik, Master Jones," jawab Worthington dengan logat Inggris yang jelas. Di Inggris memang ada kebiasaan memanggil orang yang kedudukannya lebih tinggi dengan sebutan Master. Orang Inggris sangat menyukai hal-hal yang tradisional, walau sebetulnya sudah tidak cocok lagi dengan jaman.
Mesin dihidupkan. Worthington memutar setir untuk membalikkan arah mobil. Sementara itu Jupiter memandang ke luar, ke arah kebun rumah. Mr. Fentriss. Sedang rumah itu sendiri tidak nampak, terlindung di balik pohon-pohon palem serta semak bunga.
"Coba kauperhatikan dengan cermat," katanya dengan tiba-tiba. "Ada sesuatu yang tidak beres. Tapi entah apa!" "Memperhatikan apa"" tanya Pete "Maksudmu, kebun itu""
"Semuanya! Kebun, jalan, kerikil - segala-galanya! Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi penyebabnya aku tidak tahu."
"Maksudmu ada yang aneh, tapi kau tidak tahu apa yang aneh itu""
Jupiter mengangguk. Ia menekan bibir bawahnya, pertanda bahwa otaknya sedang berputar keras.
Pete mengamat-amati pekarangan rumah. Ia tidak melihat sesuatu yang tidak beres di situ. Cuma tempat itu memerlukan seorang tukang kebun yang bekerja siang malam selama sebulan, untuk merapikannya. Nampak jalan menuju ke rumah penuh dengan daun palem kering bertaburan. Rupanya belum lama berselang ada mobil lewat di situ, karena banyak daun palem pecah berserakan terlindas roda. Tapi itu kan tidak aneh!
"Aku tidak melihat apa-apa," katanya kemudian. Tapi Jupiter seolah-olah tak mendengar. Sementara mobil mulai bergerak pergi, kawan yang bertubuh pendek gempal itu masih tetap memandang ke luar, kini lewat jendela belakang. Ia masih mencubit-cubit bibir bawahnya.
Ketika mobil sudah meluncur hampir sepuluh blok lebih jauh, tiba-tiba Jupiter berpaling
dengan cepat. "Worthington!" serunya. "Cepat, kita harus kembali."
"Baik, Master Jones." Dengan tangkas mobil diputar kembali. "Kita kembali." "Aduh, kau ini kenapa sih, Jupe"" tanya Pete bingung. "Kenapa kita kembali lagi""
"Karena sekarang aku tahu apa yang tidak beres di sana," kata Jupiter. Tampangnya yang bulat nampak memerah karena semangatnya. "Aku tidak melihat kabel sambung telepon ke rumah Mr. Fentriss." "Tidak ada kabel telepon"" Pete berusaha menebak maksud kawannya itu.
"Kalau kabel listrik ada. Tapi telepon, tidak kulihat kabelnya," kata Jupiter. "Padahal Mr. Fentriss tadi jelas mengatakan, Mr. Hitchcock meneleponnya untuk memberitahukan kedatangan kita. Ternyata itu bohong! Dan kalau itu bohong, mungkin pula segala-galanya yang dikatakan pada kita tadi juga tidak benar."
"Tidak benar"" Pete menggelengkan kepala. Ia bingung. "Untuk apa dia berbohong""
"Karena dia bukan Mr. Fentriss!" kata Jupiter bersemangat. "Orang tadi pura-pura menjadi dia - sedang orang yang kita dengar suaranya berteriak meminta tolong, itulah Mr. Fentriss yang sebenarnya!"
BAB 2 NURI YANG GAGAP Rolls-Royce besar itu meluncur di jalan yang berkelok-kelok. Ketika sudah sembilan blok yang dilewati dalam perjalanan kembali ke tempat Mr. Fentriss, nampak sebuah mobil hitam dan kecil muncul dari suatu jalan masuk di depan dan membelok ke arah mereka. Nampak mobil itu bukan bikinan Amerika. Mobil itu melaju dengan cepat. Ketika berpapasan, Jupiter dan Pete cuma sempat melihat pengemudinya secara sekilas saja. Tapi masih bisa dikenali bahwa orang itu gendut, berkaca mata ukuran besar. Tampangnya tak kelihatan, karena orang itu membuang muka.
"Itu Mr. Fentriss!" seru Pete.
"Keliru! Dialah yang pura-pura menjadi Mr. Fentriss," kata Jupiter. "Susul dia, Worthington! Jangan sampai hilang. Kita harus tahu, ke mana dia pergi!"
"Baik, Master Jones," kata supir sambil menginjak pedal rem. Mobil besar itu diputar kembali, sementara Pete memandang mobil hitam yang menjauh dengan cepat. Ia nampak sangsi.
"Kalau berhasil disusul, lalu apa yang kita lakukan kemudian"" tanyanya. "Kita kan tidak punya bukti-bukti untuk menuduhnya. Kecuali itu Mr. Fentriss yang asli mungkin memerlukan pertolongan kita."
Jupiter ragu-ragu. Ia ingin mengejar penyamun yang melarikan diri. Tap juga ingin menolong seseorang yang mungkin memerlukan bantuan. Akhirnya ia mengangguk.
"Kau benar," katanya pada Pete, "mula-mula harus kita lihat dulu, apakah Mr. Fentriss dalam keadaan selamat. Kita terus ke rumah Mr. Fentriss," katanya pada Worthington.
Rolls-Royce meluncur terus, sampai di gerbang masuk dari mana mobil asing tadi muncul. Worthington membanting setir, dan mobil masuk dengan pelan-pelan. Menyusur jalan kerikil yang sempit, melewati pohon palem yang berjejer-jejer, serta semak belukar yang menggeser kedua sisi mobil. Akhirnya sampai di sebelah belakang rumah.
"Pete," ujar Jupiter, "mobil asing yang berpapasan dengan kita tadi - kau mengenalinya""
"Mobil sport dua pintu merek Ranger," kata Pete dengan segera. "Buatan Inggris. Merek terkenal. Masih baru. Berpelat nomor California. Aku cuma sempat melihat angka 13 di ujungnya." "Anda sempat melihat nomor mobil itu, Worthington"" tanya Jupiter pada supir.
"Maaf, Master Jones," kata orang itu. "Saya tadi memusatkan perhatian pada jalanan, sehingga tidak memperhatikan mobil tersebut. Tapi saya tahu mereknya Ranger, sedang tempat duduknya berlapis kulit warna merah."
"Yah, setidak-tidaknya ada juga yang kita ketahui mengenainya. Setelah ini akan kita lanjutkan mencari laki-laki gendut yang naik mobil itu," kata Jupiter, sambil meloncat ke luar dari Rolls-Royce. "Sekarang kita periksa dulu, apakah Mr. Fentriss yang asli ada di dalam atau tidak."
Sambil berjalan menyusulnya, Pete berpikir-pikir. Bagaimana cara Jupiter hendak menemukan mobil tadi, di antara sekian juta mobil yang ada di California Selatan" Tapi entah kenapa, Pete merasa Jupiter pasti akan bisa menemukan jalan.
Sekonyong-konyong keduanya tertegun. Dari dalam rumah suram itu terdengar suara orang berteriak. Teriakan minta tolong.
"Tolong!" Suara itu terdengar lema
h, seperti tercekik. "Cepat, tolong - sebelum aku -" Suara itu melemah, lalu hilang begitu saja. "Kedengarannya seperti mau mati!" seru Pete kaget "Yuk!"
Dibantu kakinya yang panjang, ia mendahului masuk lewat pintu belakang. Pintu itu agak ternganga sedikit, seakan-akan ditinggal orang gendut tadi dalam keadaan begitu ketika ia bergegas pergi Kedua remaja Itu masuk sambil mengejap-ngejapkan mata untuk membiasakan diri melihat dalam ruangan setengah gelap.
Sesaat mereka berdiri sambil memasang telinga. Tak ada bunyi apa pun yang memecah kesunyian tempat itu.
"Kita tadi dalam kamar itu," kata Jupiter, sambil menuding ke ruang sebelah depan. "Sekarang kita coba saja ke sebelah sana, ke sisi seberangnya."
Keduanya lantas bergegas menyusur gang, lalu mencoba membuka pintu yang sebelah kanan. Pintu terbuka. Di depan mereka terbentang sebuah kamar yang luas. Kamar duduk yang penuh dengan mebel gaya jaman dulu. dengan sebuah jendela besar yang menjorok ke luar.
"Siapa itu""
Terdengar suara lemah, datangnya seperti dari pot tanaman yang besar di depan jendela. Sekuntum bunga berwarna ungu bergerak terangguk-angguk. Pete merasa seolah-olah bunga itulah yang berbicara.
"Siapa yang datang"" tanya bunga itu. Setidak-tidaknya, demikian menurut perkiraan Pete. Tapi kemudian dilihatnya sesuatu meringkuk di balik pot tempat bunga tumbuh, nyaris tak nampak karena terlindung dedaunan yang tumbuh subur.
"Ke sini!" seru Pete. Dengan beberapa langkah saja ia sudah sampai, lalu berlutut di sisi sosok tubuh seorang laki-laki berbadan agak kurus. Orang itu meringkuk dalam posisi miring. Kaki dan tangannya terikat, sedang selembar kain dilintangkan di antara kedua rahang dan dekat ke belakang kepalanya.
"Jangan takut, Mr. Fentriss," kata Pete. "Kami akan membebaskan Anda dari ikatan."
Ternyata ikatannya tidak begitu erat, sehingga bisa dilepaskan dengan segera. Sedang Mr. Fentriss sendiri berhasil menyingkirkan sumpal mulutnya. Sambil bersandar pada Pete dan Jupiter, ia terhuyung-huyung menuju sebuah bangku berlapis kulit, lalu merebahkan diri ke situ.
"Terima kasih," ucapnya dengan suara lirih.
Dengan wajah serius Jupiter menarik sebuah kursi dan duduk di situ.
"Mr. Fentriss," katanya, "saya rasa dalam hal ini kita perlu menghubungi polisi."
Laki-laki kurus itu nampak kaget mendengarnya.
"Jangan! Jangan," katanya. "Lagipula, toh tidak bisa. Aku tidak punya telepon."
"Bisa kami teleponkan dari mobil, Sir. Mobil kami diperlengkapi dengan pesawat telepon."
"Tidak! Jangan," kata Mr. Fentriss berkeras. "Tapi -" Ia memiringkan tubuh, lalu menatap remaja bertubuh gempal itu sambil bertelekan siku. "Kalian siapa" Bagaimana sampai kebetulan ada di sini""
Jupiter menyodorkan kartu pengenal Trio Detektif, sambil menambahkan bahwa mereka datang atas suruhan Alfred Hitchcock.
"Alfred memang baik hati," kata Mr. Fentriss.
"Anda yakin tidak menghendaki kami menghubungi polisi"" tanya Jupiter. "Tentu saja apabila Anda ingin agar kami berusaha menemukan kembali burung nuri Anda yang hilang. Trio Detektif selalu siap. Tapi karena Anda diserang orang lalu diikat dan -"
"Jangan!" kata Mr. Fentriss lagi. "Aku akan senang sekali apabila kalian mau membantuku. Aku punya perasaan, kalian bisa kupercaya. Aku sebetulnya sudah menghubungi polisi. Mula-mula mereka bilang, nuriku itu mungkin minggat. Kemudian, ketika aku berkeras membantah, mereka lantas menyindir-nyindir. Aku ini kan aktor, jadi menurut mereka aku cuma ingin namaku masuk koran dan dibicarakan orang. Cari publisitas, kata mereka!"
"Saya mengerti, Sir, " kata Jupiter. "Ada kemungkinan mereka beranggapan kejadian ini merupakan usaha Anda lagi untuk mendapatkan publisitas."
"Ya, betul." Ketegangan Mr. Fentriss mengendor. "Karena itu - tanpa polisi. Kalian harus berjanji!"
Kedua remaja itu berjanji. Setelah itu Jupiter menanyakan segala hal yang berhubungan dengan burung nuri yang hilang.
"Aku sayang sekali pada Billy," kata Mr. Fentriss. "Nama lengkapnya Billy Shakespeare. Kalian tentunya tahu siapa William Shakespeare."
"Ya, Sir, "jawab Jupiter. "Dramawan terbesar di dunia. Dilahirkan tahun 1564 di Inggris d
an meninggal tahun 1616. Karya-karya dramanya masih tetap digemari di seluruh dunia. Hamlet merupakan salah satu karyanya, mungkin yang paling terkenal."
"Aku sudah sering memerankan Hamlet," kata Mr. Fentriss bersemangat. "Ya, aku dulu sangat sukses, selaku Hamlet."
Satu tangannya didekapkan ke dada, sedang yang lainnya dibentangkan. Dengan suara berat, ia berdeklamasi. "To be or not to be, thatis the Question. " Ia menoleh ke arah Pete dan Jupiter. "Itu kutipan dari Hamlet," katanya. "Kalimat ciptaan Shakespeare, mungkin yang paling terkenal sampai kini. Nuriku sering mengucapkannya." "Nuri Anda mengutip kalimat Shakespeare"" tanya Pete kagum. "Wah, kalau begitu ia sangat terpelajar." "Memang, itu sudah pasti. Billy mengucapkannya dengan logat Inggris asli. Cuma ada satu kekurangannya." "Kekurangan"" tanya Jupiter.
"Ya-burung malang itu gagap," jawab Mr. Fentriss. "Kalau ia sedang mengucapkan kalimat itu, ia mengatakan To-to-to be or not to-to-to-be, thatis the question. "
Mata Jupiter langsung bersinar, penanda minatnya bangkit
"Kaudengar tadi, Pete," katanya. "Kau pernah mendengar burung nuri yang bicaranya tergagap-gagap" Kurasa urusan yang kita hadapi kali ini akan ternyata sangat istimewa."
Pete juga merasakan sesuatu saat itu. Ia merasakan sesuatu yang aneh dan tidak enak. Ia merasa, Jupe akan terbukti benar.
Jupiter melanjutkan usahanya mengumpulkan keterangan dari Mr. Fentriss yang bertambah pulih keadaannya. Ternyata aktor itu baru tiga minggu memelihara nuri gagap itu. Ia membelinya dari pedagang keliling. Seorang laki-laki bertubuh kecil, dengan logat Meksiko yang jelas. Orang itu datang naik kereta keledai, yang biasa dilihat di jalan-jalan desa di Meksiko.
"Kami memerlukan segala keterangan yang bisa diperoleh, Sir, " kata Jupiter. "Bagaimana pedagang itu sampai bisa datang ke sini""
"Oh, itu - dia disuruh ke mari oleh Miss Irma Waggoner," kata aktor itu menjelaskan. "Miss Irma tinggal satu blok dan sini. Ia membeli seekor burung nuri dari pedagang itu. Lalu ketika mendengar Billy mendeklamasikan kalimat Shakespeare yang tadi, langsung timbul pikiran pada dirinya bahwa mungkin aku akan berminat membeli. Karena itu pedagangnya disuruh ke mari."
"Begitu." Jupiter memijit-mijit bibir bawahnya. "Dan pedagang itu memang biasa berjualan burung nuri""
"Wah, kalau itu aku tidak tahu," kata yang ditanya. Mr. Fentriss mengejap-ngejapkan mata dengan bingung. "Ketika ia kemari di gerobaknya cuma ada dua buah sangkar burung. Dalam satu di antaranya kulihat Billy. Sedang yang satu lagi berisi burung yang bulunya kehitam-hitaman. Kelihatannya aneh dan lusuh. Kata pedagang itu, burung itu jenis nuri hitam yang jarang terdapat. Tapi aku tahu pasti, tidak ada nuri yang berbulu hitam. Kata si pedagang, tak ada yang mau membelinya, karena kelihatan penyakitan."
"Pedagang itu menyebut namanya" Atau ada nama yang tertulis pada gerobaknya""
Aktor itu menggeleng. "Tidak. Pakaiannya lusuh, dan ia selalu batuk-batuk. Kelihatannya ingin sekali burung nuri itu bisa dijual. Aku membeli Billy seharga cuma lima belas dollar saja. Soalnya, orang lain tak ada yang berminat - karena gagapnya itu."
"Dan gerobak yang dipakai itu yang biasa, beroda dua dan ditarik seekor keledai"" tanya Jupiter. "Betul," kata Mr. Fentriss menegaskan. "Catnya sudah pada terkelupas. Keledai yang menarik dipanggil dengan nama Pablo. Yah - cuma itu saja yang bisa kuceritakan padamu."
"Menurut perkiraanmu, mungkin burung-burung itu hasil curian, Jupe"" tanya Pete.
"Kalau memang begitu, aku sangsi dia akan berani terang-terangan menjualnya di jalanan," kata Jupiter sambil berpikir-pikir. "Tapi di pihak lain, sudah jelas bukan dia pemiliknya yang pertama dan yang melatih Billy." "Dari mana kau tahu""
"Gampang saja! Kata Mr. Fentriss tadi, Billy kalau bicara terdengar jelas berlogat Inggris. Sedang laki-laki yang kemari untuk menjualnya berlogat Meksiko."
"O ya, betul juga." Dalam hati Pete memaki-maki dirinya sendiri. Masak begitu saja tidak bisa menebak.
"Sekarang, Mr. Fentriss, maukah Anda menceritakan segala-galanya yang bisa diceritakan, sehubungan dengan lenyap
nya burung nuri Anda"" kata Jupiter pada aktor bertubuh kurus tinggi itu, yang kini sudah duduk di bangku.
"Yah - ketika itu aku pergi berjalan-jalan," jawab Mr. Fentriss. "Kejadiannya tiga hari yang lalu. Pintu tak kukunci dan jendela kubiarkan terbuka. Ketika aku kembali, ternyata Billy hilang. Dijalan masuk ke rumah nampak bekas ban mobil. Padahal aku tidak punya mobil. Aku lantas menarik kesimpulan, ada orang datang naik mobil masuk ke rumah lalu mencuri Billy sewaktu aku sedang pergi." Nada suara aktor itu berubah menjadi sengit dan kesal, ketika melanjutkan. "Tapi polisi bilang nuriku minggat! Kalian pernah mendengar nuri bisa minggat dengan membawa sangkarnya sekaligus""
"Tidak, Sir, " kata Jupiter. "Setelah mendengar hal-hal yang terjadi saat hilangnya, sekarang Anda ceritakan tentang kejadian hari ini. Maksud saya tentang laki-laki yang gendut. Mau apa dia kemari dan apa sebabnya Anda kemudian diikat olehnya."
"Bandit itu!" seru si aktor dengan marah. "Mula-mula ia mengaku bernama Claudius. Katanya dia penyelidik dan kepolisian, yang ditugaskan membantu aku menemukan kembali nuriku yang hilang. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kurang lebih sama seperti yang kalian kemukakan. Dan jawaban yang kuberikan kira-kira juga seperti yang tadi. Kemudian dia bertanya, apakah aku tahu siapa lagi di sekitar sini yang membeli seekor nuri dari pedagang itu. Kusebutkan nama Miss Waggoner. Keterangan itu kelihatannya sangat menarik perhatiannya. Kemudian ia bertanya, apa yang disebutkan nuriku kalau ngomong. Kataku, itu sudah kulaporkan pada polisi. Sesaat ia nampak bingung. Tapi kemudian dikatakannya, ia cuma ingin mencari ketegasan. Lalu kukatakan apa yang selalu diucapkan Billy, yaitu 'Namaku Billy Shakespeare. To be or not to be thatis the question. "
Mr. Fentriss menarik napas sebentar lalu melanjutkan ceritanya.
"Mendengar itu dia semakin bergairah kelihatannya. Ucapan Billy dicatatnya dengan cermat." "Maaf, Mr. Fentriss," sela Pete. "Anda tidak menceritakan padanya, Billy kalau bicara tergagap-gagap"" "Tidak." Mr. Fentriss mengusapkan lengannya ke kening. "Aku khawatir akan ditertawakan polisi, jika mendengar ada burung nuri gagap."
"Tapi orang yang mengaku bernama Claudius itu tertarik sekali pada ucapan Billy," kata Jupiter. "Masih ada lagi,
Sir"" "Kurasa tidak," jawab aktor itu sambil menggeleng. "Nanti dulu - ya, masih ada sesuatu yang aneh! Orang itu, Mr. Claudius, dia bertanya apakah pedagang itu masih menjual burung nuri lainnya. Ketika kusebutkan burung hitam yang nampaknya penyakitan, dia lantas bergairah sekali. 'Itu pasti Blackbeard,' katanya. 'Ya, pasti Blackbeard!' Saat itu kecurigaanku timbul. Aku lantas merasa yakin, Mr. Claudius pasti bukan dari kepolisian."
"Maaf, Mr. Fentriss." Jupiter berhenti mencatat. "Saya tadi lupa menanyakan, kayak apa rupa burung nuri Anda"" katanya. "Maksud saya, termasuk jenis yang mana" Kan banyak sekali jenis-jenis burung nuri."
"Wah, aku tak tahu apa-apa kalau tentang hal itu," kata Mr. Fentriss. "Pokoknya bagian kepala dan dada Billy berbulu kuning. Indah sekali!"
"Sekarang, apa yang kemudian terjadi ketika laki-laki gendut yang mengaku bernama Claudius itu melihat bahwa Anda mulai curiga""
"Aku langsung mengatakan secara terang-terangan," kata Mr. Fentriss. Ia meluruskan sikap tegaknya. Tangannya diluruskan ke depan, persis seorang aktor yang sedang beraksi di atas pentas. '"Anda bukan dari polisi!'" katanya dengan suara berat dan penuh tekanan. '"Aku yakin, Andalah penjahat yang mencuri Billy-ku! Kembalikan dia dengan segera. Kalau tidak, tanggung sendiri akibatnya!' Begitu kukatakan padanya."
"Lalu"" sela Jupiter.
"Saat itu terdengar bunyi orang di luar," kata Mr. Fentriss melanjutkan ceritanya. "Mr. Claudius bergegas ke jendela. Rupanya ia melihat kalian berjalan menuju ke sini. Dan mungkin dia mengira kalian datang bersama polisi. Pokoknya, aku disergapnya dengan tiba-tiba. Aku masih sempat berseru minta tolong. Tapi kemudian aku diikat, mulutku disumpal. Dia sendiri bergegas ke luar. Sejak itu aku meringkuk di sini, sampai kalian datang menyelamatkan."
"Aku ben ar-benar tidak mengerti," katanya lagi setelah merenung sesaat. "Tapi pokoknya aku ingin mendapatkan Billy lagi. Bagaimana - kalian merasa mampu menemukannya kembali untukku""
"Trio Detektif akan berusaha sekuat tenaga," kata Jupiter. Setelah itu ia minta diri, lalu ke luar. Diiringi oleh Pete, ia berjalan menuju ke Rolls-Royce. Begitu mereka muncul, Worthington menghentikan kesibukannya mengelap bagian-bagian mobil yang sebelumnya pun sudah berkilauan.
"Pulang, Master Jones""' tanya Worthington, sementara mereka masuk ke dalam mobil.
"Baiklah," jawab Jupiter. Sementara mobil mulai meluncur lewat jalan kerikil menuju ke depan, ia berpaling pada Pete.
"Kurasa sudah hampir pasti orang yang mengaku bernama Claudius itulah yang mencuri Billy Shakespeare," katanya. "Kemudian ia kembali lagi, karena memerlukan informasi tambahan. Sekarang tugas kita, pertama-tama mencari Mr. Claudius."
"Aku segan," kata Pete. "Melihat tampangnya, dia itu bisa memakai pistol segampang menyalakan korek api tadi. Lagipula, bagaimana kau bisa menemukan dia, tanpa ada petunjuk sedikit pun""
"Akan kupikirkan soal itu nanti," jawab Jupiter. "Tentunya ada salah satu jalan - Awas, Worthington!"
Tapi sebetulnya Jupiter tidak perlu lagi berseru memberi peringatan. Worthington sendiri sudah melihat mobil sedan kelabu yang saat itu memasuki jalan kerikil. Dengan tangkas ia membanting setir Rolls-Royce menyeruduk tanaman bunga yang tak terpelihara. Sedang sedan kelabu yang masih baru direm dengan keras. Pengemudinya seorang laki-laki kecil bermata tajam.
BAB 3 LITTLE BO-PEEP KEDUA mobil itu nyaris saling membentur. Tinggal beberapa senti saja yang memisahkan bumper sedan kelabu dan badan Rolls-Royce yang berkilauan. Dengan cepat tapi tanpa melupakan martabat, Worthington keluar, menyongsong laki-laki kecil bermata tajam yang muncul bergegas-gegas dari belakang setir mobil sedan.
"Kalau jalan kenapa tidak lihat baik-baik. Kunyuk"" sergah laki-laki kecil itu. Worthington menegakkan diri. Pemandangan yang mengesankan, mengingat tingginya yang mendekati dua meter
"Bung," katanya dengan tenang, "saya tadi menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Anda yang masuk kemari secara gila-gilaan. Jika mobil ini tadi sampai rusak, Anda akan merasakan akibatnya."
Dari cara Worthington mengucapkan kata-kata itu diketahui bahwa ia tidak asal ngomong saja. Dan laki-laki kecil berpakaian baru tapi menyolok langsung mundur selangkah.
"Hati-hati kalau bicara!" gerutunya. "Aku tidak mau dikurangajari pelayan."
"Jangan sebut saya pelayan," kata Worthington. Ia masih tetap tenang. "Rupanya Anda perlu saya hajar."
Ia mengulurkan tangan, seolah-olah hendak menyentakkan kelepak jas lawan bicaranya. Orang itu buru-buru menyelipkan tangan ke balik jas. Tapi pada saat itu pintu belakang sedan terbuka. Seorang laki-laki bertubuh besar keluar. Pakaian yang dikenakannya nampak bermutu. Barang mahal!
"Adams!" katanya. "Masuk kembali ke mobil!"
Nada suaranya ketus. Ia berbahasa Inggris yang agak dipengaruhi logat Perancis. Kumis tipis menghias bibir atasnya, sedang di sudut bibir nampak tahi lalat kecil.
Supir sedan ragu-ragu sesaat. Mukanya cemberut tapi kemudian ia masuk kembali ke mobil, di mana masih ada seorang laki-laki lagi. Orang itu besar, bertampang jelek. Ia cuma melihat saja. Tanpa berbuat apa-apa, sedang laki-laki yang berpakaian mewah maju menghampiri Worthington.
"Maaf, supir saya tadi ceroboh," katanya. "Untung saja mobil indah ini tidak sampai kena tubruk. Kalau sampai terjadi, saya takkan bisa memaafkan diri saya. Nah, bisakah saya bicara sekarang dengan majikan Anda""
Sampai saat itu baik Jupiter maupun Pete tidak sempat berkutik, karena kejadian berlangsung begitu cepat. Tapi kini Jupiter keluar dari mobil.
"Anda hendak bicara dengan saya"" katanya.
Laki-laki berpakaian mewah itu kelihatan kaget.
"Anda - eh - kau pemilik mobil ini"" tanyanya.
"Untuk saat ini - ya," jawab Jupiter santai. Sewaktu kecil ia biasa tampil dalam acara-acara televisi. Karena itu sudah cukup pengalamannya dalam akting. Ini menolongnya dalam menghadapi hampir setiap situasi. Ia menyambung. "Mun
gkin pada suatu waktu akan saya ganti."
"O, begitu." Teman bicaranya nampak agak ragu. "Kalau saya boleh bertanya - Anda ini teman Mr. Fentriss" Saya hendak mengunjunginya saat ini."
"Ya - bisa dikatakan saya temannya," kata Jupiter lagi. Pete yang memperhatikan, mau tidak mau terpaksa juga mengagumi gaya santai yang dipamerkan kawannya. Jupiter memang tahu bagaimana caranya menghadapi orang dewasa. "Kami baru saja dari sana."
"Kalau begitu tentunya Anda bisa mengatakan bagaimana perkembangannya dengan urusan burung nurinya. Billy Shakespeare," kata orang itu lagi.
"Masih belum diketemukan," jawab Jupiter. "Mr. Fentriss sedih sekali karenanya."
"Lho - burung itu hilang"!" Tapi tampang orang itu tidak menunjukkan gerak perasaan. "Sayang! Dan sampai sekarang belum terdengar kabar mengenainya""
"Sama sekali tidak ada," kata Jupiter. "Kami sekarang dalam perjalanan ke polisi, untuk menanyakan perkembangan usaha penyidikan mereka. Bagaimana jika kami beritahukan pada mereka bahwa Anda berminat untuk membantu menemukannya kembali""
"Wah, jangan, jangan!" Laki-laki perlente itu bicara cepat-cepat. Nampaknya kaget dan takut mendengar polisi disebut-sebut. "Tidak perlu menyebut diri saya pada polisi. Saya cuma teman yang kebetulan mampir, untuk menanyakan keadaan Billy. Tapi karena ternyata masih hilang, saya tidak usah merepotkan Mr. Fentriss. Mudah-mudahan saja burung itu bisa diperolehnya kembali. Tapi untuk saat ini, lebih baik saya terus saja."
Laki-laki itu berbalik, lalu masuk kembali ke sedan. Ia sama sekali tidak memperkenalkan diri.
"Adams!" katanya dengan ketus, "Bawa aku kembali ke hotel."
"Yes, Sir, " gumam supir yang bermata tajam. Ditatapnya Worthington dengan masam, sambil menjalankan sedan mundur dijalan kerikil. Sesaat kemudian mereka sudah tidak kelihatan lagi.
"Anda menangani situasi dengan sangat baik, Sir, " puji Worthington, sementara Jupiter masuk kembali ke dalam mobil. "Ijinkan saya mengatakan, saya bangga pada Anda."
"Terima kasih, Worthington," jawab Jupiter dengan anggun.
"He - bolehkah aku bertanya sedikit"" sela Pete. "Apa-apaan tadi itu" Orang-orang dalam mobil tadi tidak bisa diajak main-main! Maksudku, aku tidak kepingin berjumpa dengan orang seperti mereka dalam lorong gelap. Bagaimana kau sampai berhasil membuat mereka mundur ketakutan""
Jupiter menghembuskan napas panjang. Sikapnya kembali seperti semula, kembali menjadi seorang remaja bertubuh gempal agak gemuk. Sama sekali tidak nampak mengesankan seperti tadi.
"Mereka kalah gertak," katanya. "Aku tadi untung-untungan, beranggapan bahwa mereka tentu akan kaget dan takut kalau mendengar kata polisi. Karena itu aku mengatakan kita akan ke sana - padahal tidak."
"Ya, aku juga melihatnya tadi," kata Pete, sementara Worthington meluruskan letak mobil dan dengan hati-hati menjalankannya ke depan. "Tapi -"
"Pengemudi tadi, yang dipanggil dengan nama Adams, mungkin membawa senjata," kata Jupiter. "Tersembunyi dalam sarung yang diselipkan di bawah ketiak. Kau tidak melihat dia merogohnya" Jelas orang itu sudah biasa melakukan kekerasan."
"Senjata" Dan dia tadi hendak mempergunakannya"" Pete terpaksa menelan ludah beberapa kali, saking kagetnya.
"Tapi dilarang majikannya," kata Jupiter. "Majikannya termasuk kelas yang jauh lebih tinggi. Aku ingin tahu, apa sebabnya ia memakai tukang tembak sebagai supir!"
Trio Detektif 02 Misteri Nuri Gagap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yang ingin kuketahui, kenapa kita harus berurusan dengan orang-orang macam begitu," kata Pete. "Padahal mulanya kita kan cuma hendak mencari burung nuri yang hilang."
"Memang betul," jawab Jupiter.
"Tapi sampai sekarang kita sudah berurusan dengan orang laki-laki gendut menyeramkan, lalu laki-laki berlogat asing yang memakai pembunuh bayaran sebagai supir. Kita juga mendapat keterangan tentang seorang pedagang keliling yang misterius, orang Meksiko. Dan semuanya menaruh minat pada burung yang itu-itu juga."
"Semua, kecuali si pedagang," kata Jupiter membetulkan. "Setelah burung itu dijual, ia tidak menaruh minat lagi padanya."
"Tapi apa sebabnya"" tanya Pete dengan bingung. "Apa sih keistimewaan seekor nuri gagap, sampai oknum-oknum kasar itu begitu
kepingin memilikinya" Kalau perlu bahkan dengan jalan mencurinya""
"Aku merasa yakin berkat penyelidikan kita lambat laun akan diketahui juga jawabannya. Namun saat ini aku benar-benar bingung."
"Yah - kalau begitu setidak-tidaknya keadaan kita sama," kata Pete sambil menggerutu. "Jika kau Ingin tahu pendapatku -"
"Ada apa, Worthington""' tanya Jupiter. Rolls-Royce baru saja melewati suatu tikungan ketika supir Inggris itu dengan tiba-tiba menginjak rem sehingga mobil terhenti.
"Ada orang dijalan, Master Jones," jawab Worthington. "Seorang nyonya, yang kelihatannya kehilangan sesuatu."
Jupiter memandang ke luar, begitu pula Pete. Nampak seorang wanita bertubuh pendek montok berdiri di tengah jalan. Tanpa mempedulikan keadaan lalu lintas ia menatap ke arah semak yang ada di pinggir jalan sambil berseru memanggil-manggil.
"Pretty! Sini, Pretty! Datang ke Irma. Ini, ada biji bunga matahari untukmu!"
"Ada yang sedang mengalami kesulitan," kata Jupiter. "Kita lihat saja, mungkin bisa kita bantu."
Mereka turun dari mobil lalu menghampiri wanita itu, yang masih saja mengintip-ngintip ke tengah semak lebat. Ia memegang biji bunga matahari yang diacungkan dengan sikap membujuk.
"Maaf," sapa Jupiter. " Anda kehilangan sesuatu""
"Ya, memang betul," jawab wanita itu. Ia bicara sambil menelengkan kepala. Sikapnya kayak burung dan suaranya juga kecil, seperti suara burung. "Little Bo-Peep hilang, dan aku tidak tahu di mana harus mencarinya."
"Kalian tidak melibatnya"" tanya wanita itu kemudian. "Kalian tidak melihat Little Bo-Peep""
"Tidak, Ma'am, "jawab Jupiter. Remaja itu selalu bersikap sopan. Wanita yang lebih tua, pasti disapanya dengan sebutan 'Ma 'am'. Ia melanjutkan, "Little Bo-Peep itu burung nuri""
"Ya, betul." Wanita itu memandangnya dengan heran. "Dari mana kau tahu""
Dengan cekatan Jupiter merogoh kantong, lalu menyodorkan kartu nama Trio Detektif.
"Kami ini penyelidik," katanya. "Saya menarik kesimpulan Anda mencari seekor burung nuri, karena sebuah sangkar burung tergeletak di rumput di tepi semak, dan karena Anda berusaha memanggil burung itu dengan pancingan biji bunga matahari. Nuri gemar makan biji bunga matahari."
Hal itu juga sudah terpikir oleh Pete. Tapi bagi wanita itu, penarikan kesimpulan demikian rupanya sangat mengagumkan. Setelah berseru-seru kagum beberapa kali, ia lantas mengajak kedua remaja itu ke rumahnya. Ia hendak menceritakan kejadian hilangnya Little Bo-Peep, yang dianggapnya aneh.
"Tunggu kami di sini, Worthington," kata Jupiter, lalu menyusul Pete yang sudah lebih dulu berjalan mengikuti wanita bertubuh kecil montok itu. Mereka menyusur jalan beralas batu bata menuju sebuah bungalow yang letaknya tersembunyi di belakang rumpun pohon pisang. Sesampai di sana, mereka dipersilakan duduk dalam kamar tamu yang sempit. Dengan segera Jupiter membuka percakapan.
"Little Bo-Peep Anda beli beberapa minggu yang lalu, dari seorang penjual yang logat Meksiko-nya sangat kentara, Miss Waggoner"" tanya Jupiter.
"Ya, betul," jawab Miss Waggoner. Matanya terbuka lebar, tanda heran. "Kau tahu itu" Dan kau juga mengenal namaku. Kalian mestinya sepasang detektif ulung!"
"Itu kan cuma soal menggabung-gabungkan keterangan saja, Miss Waggoner," kata Jupiter. "Mr. Fentriss tadi menyebut nama Miss Irma Waggoner. Dan tadi Anda berseru-seru memanggil Bo-Peep agar datang ke Irma. Anda lihat sendiri, dengan begitu saya sudah memperoleh semua informasi yang diperlukan."
"Rupanya Mr. Fentriss masih belum berhasil menemukan Billy"" tanya Miss Waggoner. "Kasihan!"
"Memang belum, Ma'am. Billy masih tetap hilang," kata Pete. "Kami saat ini sedang berusaha mencarinya. Bisakah Anda menceritakan bagaimana burung nuri Anda bisa sampai hilang""
"Tadi aku pergi sebentar ke toko," kata Miss Waggoner. "Kebetulan biji bunga matahari untuk Little Bo-Peep habis, sedang dia senang sekali memakannya. Baru saja aku menginjakkan kaki di jalan ketika sebuah mobil hitam kecil buatan luar negeri muncul dari balik tikungan. Nyaris saja aku kena tubruk. Orang jaman sekarang suka sembrono kalau menjalankan mobil!"
Pete dan Jupiter saling berpandangan
sekilas. Keduanya sempat menangkap keterangan mengenai mobil hitam kecil buatan luar negeri. Dan keduanya mendapat firasat yang sama. Ketika dilihat terakhir kalinya, orang yang menamakan diri Claudius naik mobil yang begitu ke arah sini.
"Yah," kata Miss Waggoner melanjutkan cerita, "setelah itu aku terus ke toko, membeli persediaan biji bunga matahari. Kemudian aku pulang sambil berjalan pelan-pelan menikmati kehangatan cahaya matahari. Tapi ketika aku masuk ke rumah, kulihat pintu sangkar Bo-Peep terbuka lebar. Kesayanganku itu lenyap! Kusangka aku sendiri yang lupa menutup pintu sangkar, sehingga Bo-Peep bisa terbang ke luar dan sekarang ada di pekarangan. Aku sedang mencari-cari dia di situ ketika kalian datang."
"Mengenai mobil yang nyaris menubruk Anda tadi, Anda kemudian melihatnya lagi atau tidak"" tanya Jupiter.
Wanita itu menggeleng. "Tidak! Soalnya langsung membelok di tikungan yang satu lagi, dan menghilang di balik pepohonan dan semak yang tumbuh lebat di sana. Astaga! Kalian kan tidak menduga laki-laki gendut yang mengemudikan mobil itu yang mencuri Little Bo-Peep""
"Saya rasa dialah pencurinya," kata Jupiter. "Menurut dugaan kami, juga dia yang mencuri Billy, nuri milik Mr. Fentriss."
"Aduh!" keluh Miss Waggoner. "Tak punya perasaan orang itu! Tapi untuk apa dia begitu repot, hanya untuk memperoleh beberapa ekor nuri" Kan dia juga bisa membeli."
Justru itulah yang juga ingin diketahui oleh Pete. Namun Jupiter tidak sanggup memberi jawaban.
"Sampai saat ini, hal itu merupakan teka-teki," katanya mengakui. "Little Bo-Peep bisa bicara, Miss Waggoner""
"O ya," jawab yang ditanya. "Ia selalu mengatakan 'Little Bo-Peep kehilangan domba dan tidak tahu ia harus dicari di mana. Hubungi Sherlock Holmes'. Begitu ucapannya. Aneh, ya" Masak kalimat begitu diajarkan pada burung nuri."
"Memang aneh," kata Jupiter. "Kalimat itu diucapkannya dengan logat Inggris""
"Ya, dengan logat Inggris yang sangat beradab," kata Miss Waggoner. "Seolah-olah diajarkan dengan cermat oleh seorang Inggris golongan terpelajar."
Jupiter sibuk mencatat segala keterangan itu, untuk Bob Andrews. Kawan itu yang bertugas mengurus catatan mengenai semua perkara penyelidikan mereka. Selesai mencatat, Jupiter melanjutkan bertanya, "Miss Waggoner - saya merasa yakin, laki-laki gendut yang menamakan dirinya Mr. Claudius itu menyelinap masuk kemari ketika Anda sedang tidak ada. Lalu mencuri Little Bo-Peep. Sebaiknya Anda menghubungi polisi."
"Polisi" Aduh, jangan!" seru Miss Waggoner. "Itu berarti aku harus jauh-jauh ke tengah kota untuk melaporkan, lalu - aduh, tidak - kalian saja yang menolong aku! Bilang kalian mau menolong," katanya meminta-minta. Nampaknya Miss Waggoner sangat bingung dan gelisah.
"Baiklah, Miss Waggoner," kata Jupiter. "Karena saya yakin Mr. Claudius yang mencuri kedua nuri itu, maka kedua penyidikan bisa kami lakukan secara serempak."
"Aduh. terima kasih banyak! Perasaanku menjadi jauh lebih enak sekarang."
"Masih ada satu pertanyaan lagi," kata Jupiter. "Anda dulu membeli Little Bob Peep dari seorang pedagang keliling bangsa Meksiko, yang naik gerobak keledai beroda dua""
"Ya, betul! Orang itu kelihatannya sakit. Batuk-batuk terus! Aku kasihan padanya." "Dia menyerahkan kuitansi tanda jual beli burung itu""
"Lho, tidak!" Miss Waggoner nampak heran. "Tak terpikir olehku untuk memintanya."
"Anda tidak melihat ada nama atau alamat tertulis di gerobaknya"" desak Jupiter. Tapi Miss Waggoner cuma bisa menggeleng. Tidak ada lagi keterangan lain yang masih bisa diberikan. Karena itu Pete dan Jupiter lantas meminta diri dengan sopan. Tapi begitu berada di luar rumah, Pete mencengkeram lengan kawannya.
"Jupe," katanya, "coba katakan padaku, bagaimana caramu hendak menemukan dua ekor nuri yang masing-masing bernama Billy Shakespeare dan Little Bo-Peep" Kan entah di mana mereka sekarang berada! Kuakui keduanya memang nuri peminat sastra, yang bisa mengutip kalimat dari Shakespeare dan syair Mother Goose. Tapi dalam rimba pasti ada berjuta-juta nuri yang memiliki kemampuan yang sebanding. Kita cuma buang-buang waktu saja."
Jupiter termenun g. Kata-kata Pete memang benar. Walau Little Bo-Peep mampu mengutip syair lagu anak-anak tradisional Inggris yang diciptakan oleh pengarang yang memakai nama samaran Mother Goose yang berarti Bu Angsa, namun pasti banyak sekali nuri lain yang memiliki kemampuan setanding.
"Menurut pendapatmu, apakah Mr. Claudius itu kelihatannya orang yang suka bercanda"" tanyanya kemudian.
"Ah, tidak," kata Pete. "Ketika ia mengacungkan laras pistol palsu pada kita, aku menganggap dirinya tergolong orang kasar."
"Nah, itulah. Tapi walau begitu ia mau repot-repot mencuri dua ekor nuri yang namanya aneh serta memiliki kemahiran yang tidak lazim. Saat ini kita belum bisa menebak alasan tindakan itu. Tapi di pihak lain, bukankah kita harus beranggapan bahwa pasti ada alasan yang sangat baik baginya""
"Kurasa memang begitu," gumam Pete. "Tapi berapa besar peluang yang ada pada kita untuk bisa menemukan dia kembali""
"Kita kan detektif, kita memiliki otak yang cerdas," kata Jupiter. Tampangnya yang penuh tekat saat itu menyebabkan Pete tahu bahwa Jupiter takkan berubah pikiran lagi. "Kecuali itu - Awas!"
Seketika itu juga ia menerpa Pete. Keduanya jatuh berguling-guling di tanah. Sesuatu benda berukuran agak besar melayang lewat tempat di mana kepala Pete sesaat yang lalu masih berada. Benda itu menghunjam di tanah yang empuk.
"Jangan tindih aku," kata Pete dengan napas tersengal-sengal, karena Jupiter jatuh tepat menindih perutnya. "Aku -tak bisa-napas! Tak bisa-gerak!"
Jupiter cepat-cepat berdiri lagi. Pete menarik napas panjang, lalu bangkit dengan lambat-lambat. Sementara itu Jupiter menarik benda yang jatuh tadi dari sela rerumputan. Ternyata sepotong genting berwarna merah. Persis seperti yang ada di atap bungalow Miss Waggoner.
"Kalau salah satu dari kita tadi kena benda ini, pasti akan tak berdaya untuk sementara waktu," kata Jupiter. "Untung saja aku sempat melihat sesuatu bergerak-gerak di tengah semak, sebelum pecahan genting ini melayang ke arah kita."
Pete mengucapkan terima kasih sambil terbata-bata. "Tapi siapa yang melempar"" tanyanya bingung. "Aku tidak sempat melihatnya," jawab Jupiter. "Tapi aku yakin, ini dimaksudkan sebagai peringatan. Ada orang yang tidak menghendaki kita mencari Billy Shakespeare atau Little Bo-Peep!"
BAB 4 KELANA GERBANG MERAH Bob Andrews sedang makan malam. Sekali-sekali matanya bergerak memandang ke arah pesawat telepon. Sejak kembali dari perpustakaan, ia sudah terus menunggu-nunggu bunyi deringnya. Pada waktu luangnya, Bob bekerja di situ, membantu-bantu membereskan buku-buku yang dipulangkan dan menaruhnya ke rak yang semestinya. Serta berbagai tugas bantu lainnya.
Kini ia sudah hampir selesai makan. Tapi telepon masih juga belum berdering.
Ketika sekali lagi ia melirik ke arah itu, ibunya sempat melihatnya. Ibunya nampak kaget, rupanya teringat lagi pada sesuatu hal.
"Astaga, ternyata aku kelupaan," kata Mrs. Andrews. "Tadi ada pesan untukmu. Dari kawanmu, Jupiter Jones. Dia menelpon tadi."
"Lalu, apa katanya"" kata Bob dengan segera.
Sehari sebelumnya, Bob sudah mengetahui garis-garis besar perkara penyelidikan mereka kali ini dari Jupiter. Juga sudah disepakatkan, Trio Detektif akan mengadakan rapat malam itu di Markas Besar. Itu juga apabila Jupiter tidak sedang sibuk. Soalnya, kadang-kadang ia harus membantu paman dan bibinya di tempat jual-beli barang bekas, dan karenanya tidak sempat mengadakan penyelidikan.
"Aku mencatatnya," kata ibunya, lalu merogoh-rogoh kantong, mencari-cari di antara sekian banyak kertas. "Soalnya, aku takkan sanggup mengingatnya. Jupiter kadang-kadang suka memakai bahasa yang aneh."
"Memang kebiasaannya, kalau bicara suka panjang kalimatnya," kata Bob menjelaskan. "Habis, dia kan kutu buku! Jadi secara otomatis kalau bicara pun kayak kalimat dalam buku, serba panjang! Pamannya, Paman Titus, juga sama saja kayak dia. Lama-lama bisa terbiasa juga."
"Yah - pokoknya inilah pesannya." Mrs. Andrews berhasil menemukan carik kertas yang dicari, lalu membaca tulisan yang tertera di situ. "Kelana Gerbang Merah, sekarang datanglah! Burung sudah terbang dan urusan sudah terbay
ang. Jalan tidak mudah, jadi ikuti anak panah. Pesan Jupiter selesai. Nah, coba - apa maksudnya dengan kalimat yang begitu"!" Ditatapnya Bob dengan pandangan menyelidik. "Pesan apa itu, kayak begitu" Atau kalian memakai bahasa sandi ya""
Saat itu Bob sudah bergerak menuju ke pintu. Tapi ia berhenti melangkah ketika ibunya bertanya. Dan kalau Mrs. Andrews mengajukan pertanyaan, dia juga mengharapkan jawaban. "Itu kan bahasa Inggris biasa, Bu," katanya.
"Ah - apanya yang bahasa Inggris biasa!" tukas ibunya. "Kedengarannya tidak biasa!"
"Itu bahasa Inggris biasa, cuma kedengarannya saja seperti bahasa sandi," ujar Bob menjelaskan. "Soalnya apabila ada orang lain kebetulan menangkap salah satu pesan kami, ia takkan bisa mengerti apa-apa." "Lalu aku ini orang lain, ya! Ibumu sendiri""
"Wah - bukan begitu, Bu," kata Bob buru-buru. "Kalau Ibu memang berminat, akan kujelaskan. Begini, Bu. Kami kan membentuk sebuah perusahaan detektif. Nah, saat ini kami mendapat tugas penyelidikan. Kami berusaha mencari seekor burung nuri yang lenyap."
"O, kalau begitu baiklah. Kedengarannya tak berbahaya." Wajah Mrs. Andrews yang semula mendung kini nampak cerah kembali. "Dan kurasa itulah yang dimaksudkan dengan kalimat 'Burung sudah terbang dan urusan sudah terbayang', ya""
"Betul, Bu. Lalu Kelana Gerbang Merah artinya -"
"Sudahlah. Kau boleh pergi sekarang! Tapi ingat, jangan sampai terlalu lambat pulang. Kau masih harus melakukan sesuatu untukku."
Bob bergegas keluar, mengambil sepedanya. Walau hari sudah malam, namun di luar masih terang. Saat itu sedang musim panas. Rocky Beach, kota kecil tempat ketiga remaja itu tinggal, letaknya di pesisir Samudera Pasifik, beberapa mil dari kota perfilman Hollywood. Di belakang kota terdapat perbukitan yang cukup tinggi. Bob pernah jatuh dari salah satu bukit itu. Tungkainya cedera, sehingga kini ia harus memakai alat penyangga. Kapan-kapan penyangga itu takkan diperlukannya lagi. Tapi sekarang pun ia bisa bergerak dengan cepat, apabila naik sepeda. Namun kalau jalan kaki. masih agak sulit.
Bob bersepeda lewat jalan-jalan belakang, menjauhi keramaian lalu lintas di tepi pantai. Akhirnya ia sampai di Tempat Timbunan Barang Bekas Jones, lewat belakang. Tempat itu bisa dibilang yang paling menarik di antara tempat-tempat sejenis di seluruh daerah. Suatu pagar kayu yang tinggi mengelilinginya. Dan pada pagar itu nampak berbagai pemandangan yang menarik, hasil ciptaan seniman-seniman setempat sebagai tanda terima kasih pada Mr. Jones atas kemurahan hatinya.
Pagar sebelah belakang, seluruhnya dihiasi lukisan peristiwa kebakaran besar tahun 1906 di San Francisco. Nampak pemandangan dramatis gedung-gedung terbakar, kereta-kereta pemadam kebakaran yang mondar-mandir ditarik kuda, serta kaum penduduk yang lari menyelamatkan diri sambil menggendong bungkusan barang-barang.
Bob bersepeda menghampiri pagar sebelah belakang, sambil berjaga-jaga jangan sampai ada yang memperhatikan. Sekitar lima belas meter dari pojok, ia turun dari sepeda. Di tempat itu nampak api berkobar-kobar dari sebuah gedung yang terbakar. Seekor anjing duduk dengan sedih sambil memandang ke arah api. Anjing itu sedih, karena yang terbakar itu tempat kediamannya. Oleh mereka bertiga, binatang yang tergambar di situ diberi nama 'Rover', yang berarti Kelana atau Pengembara. Salah satu mata anjing yang tergambar itu, sebenarnya mata kayu yang dijadikan papan pagar.
Bob mencongkel-congkel mata kayu itu, lalu meraihkan tangan ke dalam. Ia membuka sebuah kaitan yang ada di situ. Saat berikutnya tiga lembar papan terangkat, dan ia pun masuk sambil mendorong sepedanya. Itulah yang disebut 'Kelana Gerbang Merah'.
Untuk masuk ke tempat penimbunan barang-barang bekas itu ada empat jalan rahasia. Dengan begitu, kalau perlu Trio Detektif bisa pergi dan datang tanpa ketahuan orang lain.
Setelah menaruh sepeda, Bob mendatangi setumpuk bahan bangunan yang membentuk semacam gua. Di atas tumpukan itu ada sebuah papan tanda yang sudah tua, dengan gambar panah yang besar berwarna hitam serta tulisan 'Kantor'. Ini merupakan lelucon yang hanya diketahui oleh merek
a bertiga, karena panah itu memang benar-benar menunjuk ke Markas Besar mereka.
Bob merangkak ke bawah tumpukan bangunan yang membentuk gua. Ia sampai di suatu lorong sempit yang dibatasi tumpukan barang rombengan di kiri-kanannya. Lorong itu berkelok-kelok, sampai akhirnya Bob harus merangkak lagi ke bawah beberapa lembar papan tebal. Papan-papan itu menampakkan kesan seakan-akan kebetulan saja terserak di situ. Padahal sebenarnya itu merupakan atap Pintu Empat, salah satu jalan masuk ke Markas Besar.
Bob merangkak sejauh beberapa meter. Kemudian ia sampai di suatu tempat, di mana ia bisa berdiri tegak kembali. Ia mengetuk selembar papan. Tiga kali berturut-turut. Lalu disusul ketukan sekali. Lalu dua kali. Papan tergeser membuka, dan Bob membungkuk sedikit sambil melangkah masuk ke dalam Markas Besar.
Yang dinamakan Markas Besar itu suatu ruangan dalam sebuah trailer yang panjangnya sekitar sepuluh meter. Trailer itu sudah tidak dipakai lagi. Letaknya tersembunyi di balik berbagai macam barang bekas yang bertumpuk-tumpuk di sekitarnya. Bahkan paman Jupiter, Mr. Jones, pun tidak tahu bahwa ketiga remaja itu berhasil menjelmakan trailer tua itu menjadi markas besar yang serba modern. Lengkap dengan kamar gelap untuk mencuci film, sebuah laboratorium khusus serta ruangan kantor dengan mesin ketik, pesawat telepon, meja, serta tape recorder. Segala peralatan itu mereka buat sendiri, dengan bagian-bagiannya diambil dari barang-barang bekas yang diangkut ke tempat itu. Tentu saja kecuali pesawat telepon! Alat itu sewanya mereka bayar dengan uang yang diperoleh sebagai imbalan kerja mereka membantu di tempat timbunan barang bekas itu.
Begitu ketiga remaja sudah berkumpul di dalam markas besar mereka, segala pembicaraan mereka di situ takkan mungkin bisa diketahui orang lain.
Ketika Bob masuk, Jupiter sudah duduk di sebuah kursi putar, sambil menggigit-gigit sebatang pensil. Pete Crenshaw kelihatan iseng, berulang-ulang menggambar burung nuri.
"Halo, Bob," sapa Jupiter. "Kenapa agak terlambat""
"Ibuku lupa menyampaikan pesanmu," kata Bob menjelaskan. "Lagipula aku toh takkan diijinkannya pergi sebelum makan malam dulu. Pertemuan ini super rahasia ya"" Jupiter mengangguk.
"Soalnya karena Bibi Mathilda," katanya. "Ia sudah seharian membersihkan rumah, dan aku disuruhnya membantu. Sekarang ia ingin agar aku mencuci kaca semua jendela. Tentu saja aku akan melakukannya, tapi penting sekali bahwa kita juga mencapai kemajuan dalam usaha kita mencari Billy Shakespeare serta Little Bo-Peep. Aku sedang memikirkan salah satu cara penyelidikan yang bisa kalian berdua mulai sebelum aku beralih fungsi menjadi tukang cuci kaca jendela."
Memang begitulah gaya bicara Jupiter Jones. Dia nampaknya tidak bisa bicara dengan kalimat-kalimat singkat. Mungkin itu pengaruh berbagai jenis buku yang dibacanya sejak bertahun-tahun. Jupiter itu seorang kutu buku.
"Kita menghadapi jalan buntu," kata Pete. "Macet. Bingung. Kita tahu, laki-laki gendut yang menyebut diri Claudius itu mestinya yang mencuri Billy Shakespeare dan Little Bo-Peep. Tapi kita tidak tahu jalan bagaimana kita bisa mencari di mana dia berada. Kalau polisi, mungkin mereka bisa menemukan mobilnya - tapi urusan ini tidak mereka anggap serius. Bayangkan jika kita menghadap Chief Reynolds, kepala polisi kota ini, untuk minta dibantu menemukan Shakespeare dan Little Bo-Peep!"
"Pokoknya kita sudah berjanji pada Mr. Fentriss dan Miss Waggoner, untuk merahasiakan urusan ini," kata Jupiter. "Namun dengan cara bagaimana juga kita harus berhasil mengetahui di mana Mr. Claudius berada - atau mengakui kegagalan."
"Yah, aku punya akal," kata Bob. "Bagaimana jika kita tanyakan pada orang-orang, apakah mereka melihat mobil yang dipakai Mr. Claudius. Jika cukup banyak yang kita tanyai, pasti salah satu ada yang pernah melihat. Dan jika mobil sudah kita temukan, Mr. Claudius sendiri tentunya ada di salah satu tempat di dekat situ."
"Orang biasanya tidak teliti pengamatan mereka," kata Jupiter. "Saksi mata saja bisa saling bertentangan keterangannya."
"Tapi kalau anak-anak, tidak," kata Bob. "Anak-anak bi
asa sangat teliti terhadap hal-hal yang menarik perhatian mereka. Dan anak laki-laki, pada umumnya tertarik pada mobil. Jika kita bertanya pada sekian ribu anak laki-laki yang tinggal di sekitar Los Angeles dan Hollywood, pasti kita akan menjumpai seseorang di antara mereka yang ingat sekali pada mobil itu."
Dari tampang Jupiter saat itu nampak jelas bahwa otaknya sedang kerja lembur. Kemudian ia mengangguk-angguk. "Idemu hebat sekali, Bob."
"O ya"" kata Bob sambil melotot. "Maksudmu, benar-benar gemilang""
"Sangat sederhana, dan karenanya gemilang," kata Jupiter. "Seperti katamu tadi, anak laki-laki berumur berapa pun tentu akan tertarik pada mobil. Apalagi mobil yang tidak sering kelihatan berkeliaran di tempatnya. Kita harus bertanya pada anak-anak di seluruh kota, sampai berhasil menemukan seseorang yang melihat mobil yang kita cari. Dengan begitu kita akan tahu, orang yang menamakan diri Claudius itu ada di dekat situ. Tapi di pihak lain, jelas bahwa anak-anak itu tidak bisa kita tanyai satu persatu."
"Kalau begitu, bagaimana caranya"" tanya Pete bingung.
Jupiter mencondongkan tubuhnya ke depan. Ditatapnya kedua kawan sejawatnya. "Kita akan memakai hubungan hantu ke hantu," katanya.
BAB 5 HUBUNGAN HANTU KE HANTU Jupiter menatap mereka dengan sikap yakin. Sedang Pete dan Bob sama sekali tidak bisa menduga, apa yang dimaksudkan oleh kawan yang satu itu.
"Apa maksudmu, hubungan hantu ke hantu"" tanya keduanya serempak.
"Itu suatu metode untuk menghubungi sekian ribu anak laki-laki, dengan tujuan meminta informasi tanpa bicara secara langsung dengan mereka," kata Jupiter.
"Lalu apa hubungannya dengan hantu"" tanya Bob yang masih tetap bingung.
"Ah, kau ini - tentu saja bukan hantu sungguh-sungguhan," kata Jupiter. "Tapi anak-anak yang dihubungi itu kan tidak kenal dengan kita, dan kita juga tidak mengenal mereka. Maksudku sebagian besar dari anak-anak itu. Bagi kita, mereka cuma suara yang terdengar lewat telepon. Jadi cocok kan, jika mereka kita juluki hantu. Hantu katanya juga tidak kelihatan! Lagipula, julukan itu kan rasanya mengesankan."
"Betul juga katamu," kata Pete menyetujui.
"Tambahan lagi," sekarang Jupiter sudah semakin bersemangat, "apabila pemberi keterangan yang tak dikenal itu kita sebut dengan penamaan 'hantu', orang lain yang mendengar pembicaraan kita pasti akan cuma bisa melongo saja, karena tidak tahu apa maksud kita. Itu menjadi rahasia kita sendiri."
"Yah - masuk akal," kata Pete sekali lagi.
"Lalu pertimbangan terakhir," sambung Jupiter, "gagasanku ini bisa dipakai, kalau perlu untuk menghubungi anak laki-laki sampai ke pesisir timur. Sampai ke tepi Samudera Pasifik. Istilahnya lantas berubah menjadi hubungan pantai ke pantai. Tapi nama itu sudah pernah dipakai dalam salah satu siaran televisi. Jadi lebih baik pakai nama hubungan hantu ke hantu saja."
"Kan kau sendiri yang menciptakan! Jadi terserah padamu mau pakai nama yang mana," kata Pete.
"Betul," sambung Bob. "Tapi bagaimana cara kerjanya""
"Gampang saja! Bob, berapa jumlah kawanmu yang tinggal di sekitar sini""
"Kawan dengan siapa aku biasa bergaul, maksudmu" Begitulah, sekitar sepuluh sampai dua belas," kata Bob. "Mengapa""
"Nanti dulu. Sekarang kau, Pete. Berapa jumlah kawanmu, yang bukan juga kawan Bob"" "Enam atau tujuh," kata Pete setelah memikir sesaat. "Untuk apa kautanyakan""
"Nanti akan kujelaskan. Aku sendiri, ada empat atau lima kawanku yang bukan kawan kalian berdua. Nah, coba kausebutkan tanda-tanda mobil yang dipakai Mr. Claudius, Pete. Sedang kau, Bob, kaucatat keterangan Pete."
"Mobil berpintu dua, merek Ranger model sport, warna - hitam," kata Pete. "Tempat duduk beralas kulit warna merah. Bisa dibilang masih baru. Pelat nomor dan negara bagian California sini, sedang nomor serialnya berakhir dengan angka 13."
Bob mencatat data itu. Jupiter menambahkan, "Pengemudinya, yang memperkenalkan diri dengan nama Claudius, orangnya gendut dan memakai kaca mata berlensa tebal sekali. Kurasa keterangan itu sudah memadai. Sekarang kita mulai dengan hubungan yang kumaksudkan."
Kedua kawannya mendekat, supaya bisa mendengar lebih jela
s. "Cara kerjanya begini," kata Jupiter melanjutkan. "Mula-mula aku menelepon lima orang kawan dan menanyakan pada mereka, apakah mereka melihat mobil Ranger berwarna hitam itu. Katakanlah mereka tidak melihatnya semua. Aku lantas meminta pada mereka agar masing-masing menelepon lima kawan lagi sambil meneruskan keterangan yang sudah kita sebutkan tadi. Lalu kelima kawan itu diminta pula untuk menelepon lima kawan selanjutnya. Begitu terus sampai kita memperoleh hasil. Setiap anak yang dihubungi, diberi tahu nomor telepon kita. Dan barang siapa bisa memberi keterangan mengenai mobil itu, diminta agar menelepon kita besok pagi pukul sepuluh untuk menyampaikannya. Nah -jelas sekarang caranya""
"Huii!" seru Bob kagum. "Hebat, Jupe!"
"Wow!" sela Pete. "Besok pagi setiap anak laki-laki di wilayah California Selatan pasti akan sudah sibuk mencari Ranger hitam itu."
"Kalau memang ternyata perlu," kata Jupiter. "Bagaimana - ada di antara kalian yang melihat salah satu kekurangan dalam rencana ini, sebelum kita memulainya""
"Bagaimana jika menawarkan hadiah"" tanya Pete. "Biasanya pemberi informasi diberi hadiah." "Betul," kata Bob. "Dengan begitu minat akan bertambah besar."
"Gagasan baik sekali." Kemudian Jupiter berpikir-pikir. "Tapi apa yang bisa kita jadikan hadiah" Uang kita kan tidak banyak."
"Bagaimana jika menawarkan bahwa pemberi informasi boleh naik Rolls-Royce"" saran Pete. "Anak sini yang senang mobil pasti mau sekali jika diajak naik Rolls-Royce mewah yang bagian-bagiannya berlapis emas. Dan dia juga bisa kita pinjami pesawat telepon yang ada di mobil, supaya bisa memberi tahu kawan-kawannya, bahwa dia naik mobil hebat."
"Kurasa ide itu bagus," kata Jupiter. "Kau juga punya usul, Bob""
"Aku tadi hendak mengatakan, bagaimana jika anak pertama yang menyampaikan informasi pada kita diberi hak untuk memilih salah satu benda yang ada di tempat timbunan barang bekas ini. Anak laki-laki pada umumnya pasti senang jika boleh mencari-cari barang yang diperlukan di sini."
"Betul," kata Pete setuju. "Kurasa takkan ada yang tidak suka apabila diberi kesempatan memilih salah satu benda di antara sekian banyak barang bekas menarik yang biasa dibawa kemari oleh pamanmu, Jupe."
"Tapi tempat ini bukan milik kita," kata Jupiter. Keningnya berkerut. "Dan barang yang bukan kepunyaan kita tidak bisa kita hadiahkan."
Sesaat hal itu membuat perembukan mereka macet. Tapi kemudian Pete teringat, paman Jupiter masih berhutang pada mereka sebagai imbalan pekerjaan yang mereka lakukan ketika membetulkan beberapa benda yang kemudian bisa dijual kembali oleh Mr. Jones. Ketiga remaja itu lantas menjumlahkan imbalan yang masih harus dibayar. Mereka sampai pada jumlah 25,13 dollar. Ketiganya lantas sepakat. Sebagai hadiah bagi anak yang memberikan informasi yang diperlukan, mereka akan menawarkan kesempatan pesiar naik Rolls-Royce, serta hak memilih benda apa saja yang ada di tempat timbunan barang bekas. Asal nilainya tidak melebihi 25,13 dollar.
Setelah urusan itu beres, mereka lantas mulai menelepon ke sana-sini. Jupiter menelepon kelima kawannya. Tak seorang pun dari mereka melihat mobil hitam yang dimaksudkan. Tapi kelima-limanya berjanji masing-masing akan menelepon lima orang kawan sambil meneruskan pertanyaan.
Selesai menelepon, Jupiter bergegas ke luar lewat Lorong Dua, jalan utama untuk keluar-masuk. Ia masih mencuci kaca jendela-jendela rumah, untuk Bibi Mathilda. Pete mendapat giliran berikut untuk menelepon, dan sesudah itu Bob. Mereka tidak perlu lama-lama menjelaskan. Setiap anak yang dihubungi dengan segera memahami duduk perkara. Semua gembira, karena diikutsertakan dalam suatu penyelidikan penting.
Begitu Bob dan Pete selesai menghubungi kawan-kawan mereka, keduanya merasa yakin bahwa kawan masing-masing yang ditelepon paling dulu saat itu pasti sudah sibuk menyebarluaskan pesan Trio Detektif.
Bob masih tinggal beberapa saat di Markas Besar, karena harus mengetik catatannya mengenai perkembangan yang sudah terjadi sampai saat itu. Ketika ia pulang kira-kira sejam kemudian, dilihatnya ibunya sedang memegang gagang pesawat telepon de
ngan wajah bingung. "Aneh," kata ibunya. "Aku benar-benar tidak mengerti."
"Ada apa, Bu"" tanya Bob.
"Sedari tadi aku sudah mencoba untuk menelepon kaum ibu yang akan membantu aku dalam perjamuan makan yang akan diadakan tidak lama lagi. Sampai sekarang sudah dua belas yang coba kuhubungi. Boleh percaya atau tidak, tapi kenyataannya semua sambungan sedang bicara."
Bob kaget. Ia merasa tahu penyebabnya.
"Yang ibu hubungi itu, semuanya punya anak yang sebaya dengan aku"" tanyanya.
"Ya," jawab ibunya. "Karena itu aku takkan heran kalau tiga sampai empat hubungan sedang bicara. Tapi sekaligus dua belas! Nah, sekarang kucoba saja Mrs. Garrett."
"Kurasa kemungkinan mendapat hubungan akan lebih besar, jika Ibu mau menunggu beberapa saat sebelum mencoba lagi," kata Bob. "Maksudku, mungkin saja ada sesuatu yang tidak beres saat ini."
"Ya, mungkin juga," jawab ibunya. Tapi ketika Bob keluar lagi, ibunya masih tetap menatap pesawat telepon dengan sikap bingung.
Begitu masuk ke kamarnya sendiri, Bob lantas mulai menghitung-hitung. Tiga kali lima, lima belas. Jumlah itulah yang dihubungi langsung oleh mereka bertiga. Lalu jika kelima belas kawan itu masing-masing menghubungi lima kawan lagi, jumlahnya sudah tujuh puluh lima. Lima kali tujuh puluh lima, tiga ratus tujuh puluh lima - kali lima lagi menjadi seribu delapan ratus tujuh puluh lima. Kali lima -
Bob bersiul kagum, sambil menatap hasil hitungannya. Pantas semua sambungan sibuk. Jupiter kalau sudah mendapat gagasan, rupanya tidak membayangkan betapa besar akibatnya. Hubungan hantu ke hantu ternyata meledak!
Tapi karena pesan yang harus disampaikan singkat saja, maka takkan lama waktu yang diperlukan untuk menyebarluaskannya. Bob tahu bahwa sebentar lagi keadaan akan kembali seperti biasa. Karena itu ia lantas mengalihkan perhatian mempelajari catatan-catatan yang dibuatnya tentang urusan yang sedang diselidiki saat itu. Bob memberinya judul "Misteri Nuri Gagap".
Ada sesuatu yang agak terasa mengganjal perasaannya. Mungkin soalnya sepele saja, tapi ia saat itu tidak tahu apa. Bukan soal apa sebabnya laki-laki gendut ingin mencuri nuri. Bukan, bukan itu! Mereka sudah sepakat, teka-teki itu penyelesaiannya harus diundurkan dulu, sampai sudah terkumpul lebih banyak fakta mengenainya. Tapi masih ada lagi teka-teki lain. Apa perlunya seekor burung nuri diajar bicara tergagap-gagap" Soalnya, seperti dikemukakan oleh Jupiter, Billy Shakespeare pasti dengan sengaja diajar untuk mengatakan, 'To-to-to be or not to-to-to be'. Sebab mustahil ada nuri yang secara kebetulan gagap kalau bicara. Lalu -
Tapi saat itu Bob sudah terlena di tempat tidur. Namun sekitar tengah malam ia terbangun dengan tiba-tiba. Di tengah kesunyian, ia seakan-akan mendengar suara berbisik berulang-ulang di telinga. "Little Bo-Peep kehilangan domba dan tidak tahu ia harus cari di mana. Hubungi Sherlock Holmes." Kalimat itulah yang biasa diucapkan Little Bo-Peep seperti dilaporkan oleh Miss Waggoner.
Namun - dengan mengabaikan usul misterius, yakni hubungi Sherlock Holmes - kalimat itu sebenarnya keliru. Dalam syair yang sebenarnya, kalau Bob tidak salah ingat, dikatakan "Little Bo-Peep kehilangan domba dan tidak tahu mereka harus dicari di mana". Tapi nuri yang bernama Bo-Peep tidak mengatakan 'mereka'. Ia mengatakan 'ia'.
Timbul perasaan dalam diri Bob. Jupe pasti akan menganggap hal itu penting.
"Hmm." Tampang Jupiter menggerenyot, tanda bahwa ia sedang berpikir keras. "Kau benar, Bob. Miss Waggoner jelas mengatakan bahwa burung nuri kepunyaannya mengatakan '...tidak tahu ia harus dicari di mana'. Tapi sebetulnya kedua kalimat itu tidak ada yang salah, karena domba bisa tunggal - tapi juga bisa berarti banyak. Walau demikian
"Sudahlah, jangan sok profesor kalau ngomong!" keluh Pete. "Yang penting, apa artinya""
Saat itu sudah keesokan harinya. Trio Detektif mengadakan rapat lagi di Marka Besar. Sebentar lagi pukul sepuluh pagi, saat mana mereka berharap akan memperoleh hasil dari hubungan hantu ke hantu yang mereka lancarkan malam sebelumnya. Sementara itu mereka membicarakan hal yang disadari oleh Bob tengah mala
m. "Tapi tentu mungkin pula itu cuma kekeliruan biasa," kata Bob. "Maksudku, orang Inggris yang mengajari burung-burung nuri itu bicara, tidak begitu ingat kalimat yang sebenarnya."
"Nanti dulu, perlu kubetulkan," sela Jupiter. "Billy Shakespeare gagap kalau bicara. Itu satu kesalahan. Lalu Little Bo-Peep keliru mengucapkan kalimat dan syair Mother Goose. Jadi, dua kesalahan."
"Apalah artinya salah dua," kata Pete dengan tidak sabar. "Di sekolah setiap kali ada pelajaran mengarang, pasti kesalahanku jauh lebih banyak daripada cuma dua."
"Betul," kata Jupiter, "tapi dalam hal ini kita merasa yakin, kedua burung nuri itu diajari oleh seorang Inggris yang terpelajar. Satu kesalahan masih bisa terjadi secara kebetulan. Tapi dua kesalahan-sudah mengarah pada kesengajaan."
"Sengaja"" Tampang Pete saat itu kelihatan polos, tanda bahwa ia tidak mengerti sama sekali. Bob tidak heran, karena memang tidak selalu gampang mengikuti jalan pikiran Jupiter Jones. Kadang-kadang suka mengambil jalan memintas.
"Maksudmu dengannya, sebetulnya sama gampangnya mengajari seekor nuri untuk mengucapkan sesuatu yang keliru, seperti halnya mengajarinya berkata-kata dengan benar"" kata Bob. Ia berusaha mencari kejelasan. "Jadi kau lantas beranggapan, pasti ada alasan tertentu kenapa Billy Shakespeare tergagap-gagap dan Little Bo-Peep menyatakan ia dan bukan mereka""
"Tepat," kata Jupiter. Mula-mula kita menghadapi teka-teki aneh, yaitu apa sebabnya Mr. Claudius sampai sibuk mencuri burung nuri. Kemudian kita menemukan teka-teki baru, kenapa kedua burung nuri yang hilang sampai diajari mengucapkan kalimat-kalimat aneh, tapi secara keliru."
"Entahlah," kata Bob sambil menggaruk garuk kepala. "Untuk apa mengajarkan kalimat-kalimat begitu pada burung nuri" Kalau orang lain biasanya sudah puas jika punya nuri yang bisa bilang 'Polly minta kue'."
"Semakin kita selidiki, ternyata misteri ini menjadi semakin rumit," kata Jupiter. Tampangnya saat itu membayangkan kepuasan. Ia biasanya kelihatan begitu pada saat menghadapi teka-teki yang benar-benar memusingkan kepala. Teka-teki yang menantang minta dipecahkan!
"Mengajari burung nuri, memerlukan kesabaran yang luar biasa," katanya setelah itu. "Jadi barang siapa yang melakukannya, mempunyai niat tertentu. Kita tidak tahu apa niat itu. Tapi kurasa Mr. Claudius mengetahuinya, dan karena itu kedua nuri dicuri olehnya."
"Astaga!" kata Bob kaget. "Mungkin bukan cuma Billy dan Bo-Peep saja nuri yang terlibat dalam perkara ini. Ingat saja tentang Blackbeard yang saat itu belum bisa dijual oleh si pedagang - serta betapa bergairah Mr. Claudius ketika mendengar tentang burung itu""
"Aduh, ampun," keluh Pete. "Jika dua ekor nuri saja sudah membikin kita pusing tujuh keliling, bayangkan bagaimana kita jika menghadapi lebih banyak lagi!"
Biasanya mereka pasti akan tertawa mendengar kata-kata itu, tapi justru saat itu pula telepon berdering. Jupiter cepat-cepat menyambarnya, seolah-olah takut benda itu nanti terbang.
"Halo, di sini Jupiter Jones," katanya. "Ya, betul. Akulah yang mencari keterangan tentang... O ya, kau melihatnya" Tolong katakan dulu, apakah nomor mobil itu berakhir dengan angka tiga belas..." Tidak..." Wah, sayang-kalau begitu bukan mobil yang kami cari. Tapi bagaimanapun, terima kasih atas bantuanmu."
Gagang pesawat dikembalikannya dengan tampang kecewa.
"Seorang anak di Hollywood," katanya. "Tapi nomornya keliru."
Telepon berdering lagi. Sekali ini Jupiter ingat untuk mendekatkannya ke alat pengeras suara, supaya kedua kawannya bisa mengikuti pembicaraan. Ternyata yang menelepon seorang anak laki-laki di Santa Monica, yang mengatakan melihat sebuah mobil Ranger hitam kemarin malam. Diparkir di depan sebuah restoran. Tapi mobil itu sudah agak tua dan yang memakainya sepasang muda-mudi. Keliru lagi.
Keseluruhannya masih ada delapan anak lagi yang menelepon. Jupiter menanyai mereka dengan teliti. Tapi ternyata setiap kali bukan itu mobil yang dicari.
Hubungan hantu ke hantu tidak membawa hasil! Mereka masih tetap belum tahu apa-apa tentang di mana Mr. Claudius berada.
BAB 6 TAMU TAK TERDUGA SEMENTARA mereka masih berpandang-pandangan dengan perasaan kecewa, terdengar suara bibi Jupiter memanggil-manggil. Mathilda Jones, bibinya itu, memiliki suara nyaring, sebanding dengan tubuhnya yang besar.
"Jupiter!" Terdengar suara Mrs. Jones dengan jelas. "Ini, ada yang mencari! Di mana lagi kau sekarang, Jupiter" Astaga - sejam yang lalu masih kulihat di sekitar sini. Ada seorang anak laki-laki yang ingin bertemu. Anak Meksiko!"
Mendengar kata 'anak Meksiko', ketiga remaja yang berada dalam trailer langsung teringat pada hal yang sama. Pedagang yang berjualan burung nuri, bicaranya dengan logat Meksiko!
Mereka bergegas-gegas ke Lorong Dua. Di lantai trailer ada satu bagian berbentuk bujur sangkar, yang bisa dibuka. Di bawahnya melintang sebuah pipa besi yang besar. Mereka masuk ke situ, lalu merangkak sejauh kira-kira sepuluh meter dalam pipa, sampai ke belakang terali besi. Pete yang paling depan menggeser terali itu ke samping. Ketiganya lantas merangkak keluar dari Lorong Dua. Kini mereka berada di belakang mesin cetak yang sudah usang, tapi sudah diperbaiki kembali. Dengan mesin cetak itulah Trio Detektif membuat kartu-kartu nama serta kepala surat mereka.
Mereka berada di bengkel Jupiter yang sebelah luar. Letaknya di suatu pojok kompleks tempat timbunan barang bekas. Tak ada yang bisa melihat mereka di situ, karena terlindung di balik tumpukan barang-barang tua. Di bawah atap yang tingginya hampir dua meter dari tanah, dan terpasang menempel pada sisi dalam pagar yang mengelilingi kompleks itu. Jupiter menaruh gergaji listrik, mesin bor serta peralatan lainnya. Semua berasal dari tumpukan barang rombengan yang dibeli oleh Paman Titus, dan kemudian diperbaiki sendiri oleh Jupiter.
Iklim daerah California Selatan bisa dibilang kering sepanjang tahun. Oleh karena itu mereka bisa bekerja terus di luar. Tapi kalau sekali-sekali hujan turun, ada lembaran plastik yang bisa diselubungkan untuk melindungi peralatan.
Bibi masih memanggil-manggil terus. Ketiga remaja itu mengitari beberapa tumpukan barang dan, muncul di bagian pusat tempat timbunan, dekat gerbang depan di mana kantor perusahaan itu terletak.
"Bibi tadi memanggil"" tanya Jupiter. Bibinya berpaling, ketika mendengar suaranya. Di belakang wanita itu nampak seorang anak laki-laki berbangsa Meksiko. Tingginya hampir sama dengan Bob. Pakaiannya robek-robek. Ia memegang tali kendali seekor keledai kerdil, yang menarik sebuah gerobak tua beroda dua.
"Anak ini ingin bertemu denganmu, Jupiter," kata Mrs. Jones. "Hari ini kau bisa agak santai. Tentu kau senang mendengarnya. Tapi besok akan banyak pekerjaan yang harus dilakukan, karena Titus kembali dari perjalanan berbelanja."
"Baik, Bibi Mathilda," kata Jupiter.
Setelah itu bibinya masuk ke dalam kantor. Sementara itu anak Meksiko tadi jelalatan, memandang berkeliling. Setelah itu ia berpaling menatap Jupiter. Itu memang biasa, karena bentuk tubuh Jupiter yang pendek gempal memang menarik perhatian.
"Senor Jupiter"" sapa anak itu dengan sopan.
"Namaku Jupiter Jones," sahut Jupiter.
"Dan aku Carlos," kata anak itu. Gaya bicaranya kentara sekali berlogat Meksiko. Beralun, nyaris seperti menyanyi. "Di mana au-to" Boleh aku melihatnya""
"Au-to"" tanya Jupiter. Ia tidak mengerti. Tapi Pete tahu maksud anak Meksiko itu. "Ia bertanya, di mana Rolls-Royce," katanya. "Oh, Rolls-Royce! Ada di garasi," jawab Jupiter.
"Au-to emas!" kata Carlos. "Pasti sangat indah. Aku kepingin sekali melihatnya." Ia mulai nyengir. Tapi air mukanya dengan segera berubah lagi. Kelihatan takut. "Maaf, Senor Jupiter, tapi aku suka sekali pada mobil. Segala jenis mobil. Pada suatu hari nanti - kapan-kapan aku pun akan punya mobil!"
"Kau kemari untuk urusan mobil"" tanya Jupiter. Ia menoleh. Dilihatnya saat itu ada sebuah truk yang tidak begitu besar, masuk lewat gerbang depan. Hans dan Konrad, kedua pembantu pamannya baru datang. Mereka berasal dari Jerman. Tubuh mereka kekar.
"Ikut aku," kata Jupiter pada Carlos. Anak itu ragu-ragu sesaat. Kemudian diikatkannya tali kendali keledai ke sepotong pipa yang ada di situ. Sebelum menyusul Jupiter, Carlos menepuk
-nepuk keledainya dengan sikap sayang.
"Sebentar saja, Pablo," katanya pada keledai itu.
Tak lama kemudian keempat remaja itu sudah duduk di bengkel luar. Carlos memandang berkeliling dengan mata terbuka lebar. Kelihatannya kagum melihat berbagai peralatan yang ada di situ.
"Carlos - kau datang ini tujuannya untuk memberi laporan tentang sebuah mobil Ranger hitam model sport"" tanya Jupiter.
Carlos mengangguk beberapa kali. Begitu cepat gerakannya, sehingga kepalanya kelihatan seakan nyaris terlepas. "Si, si si, Senor Jupiter," katanya mengiyakan. "Kemarin malam temanku Esteban datang ke rumah. Kata dia, seorang Senor Jupiter Jones ingin tahu tentang sebuah mobil Ranger, yang nomornya berakhir dengan angka-angka satu - tiga."
Trio Detektif menahan napas, sementara Carlos memandang mereka dengan mata terbuka lebar penuh harapan. "Dan -" di sini ia berhenti sejenak, "katanya untuk itu disediakan hadiah."
"Hadiah!" seru Pete dengan begitu keras, sehingga Carlos berubah menjadi kecut tampangnya. "Tentu saja ada! Tapi kau melihat mobil itu" Kau tahu sekarang di mana""
"O ya, aku melihat mobil itu," kata Carlos. "Aku juga melihat laki-laki gendut. Tapi di mana dia sekarang, aku tidak tahu. Nanti dulu -" Carlos menghitung-hitung dengan jari, "satu - dua - tujuh hari yang lalu aku melihat laki-laki gendut dengan mobil itu."
"Tujuh hari yang lalu!" kata Pete dengan kecewa. "Itu kan tidak banyak gunanya. Bagaimana kau masih bisa ingat pada mobil yang kaulihat seminggu yang lalu""
"Soalnya, aku suka sekali pada mobil," jawab Carlos. "Bahkan sampai termimpi-mimpi! Mobil Ranger hitam itu bagus sekali. Bisa kusebutkan nomornya. AK empat lima - satu - tiga! Tempat duduk semua berlapis kulit warna merah. Bumper kanan depan ada goresan sedikit. Bumper belakang agak penyok."
Kini mereka memandang anak Meksiko itu dengan hormat. Banyak anak laki-laki yang sanggup mengenali merek dan tahun buatan hampir setiap mobil yang dilihat. Tapi tidak banyak yang bisa mengingat begitu banyak hal setelah satu minggu, seperti Carlos.
"Dengan keterangan itu, polisi pasti bisa menemukannya," kata Jupiter sambil mencubit-cubit bibir. "Tapi kita sudah berjanji takkan menghubungi polisi. Setelah itu mobil tadi tidak kaulihat lagi Carlos"" Anak Meksiko itu menggeleng dengan sedih.
"Aku tak mendapat hadiah"" tanyanya. Ia mengeluh. "Tidak bisa naik mobil emas""
"Mungkin masih bisa," jawab Jupiter. "Mula-mula aku ingin tahu dulu, bagaimana kau sampai bisa melihat mobil itu serta Mr. Claudius" Maksudku, laki-laki gendut itu""
"Dia mendatangi pamanku, Paman Ramos," kata Carlos, "untuk urusan burung nuri."
"Burung nuri"" seru Pete. "Kalau begitu orang yang menjual Billy Shakespeare dan Little Bob-Peep itu pamanmu""
Carlos mengangguk. "Ya, begitu pula nuri yang lain-lainnya," katanya. "Semua yang namanya aneh-aneh itu."
"Nuri dengan nama aneh"" tanya Jupiter sambil saling berpandangan dengan Bob. Ternyata firasat Bob benar! Lebih banyak lagi burung nuri yang terlibat dalam perkara ini. "Kau masih ingat nama-nama kesemuanya"" Carlos menggaruk-garuk rambutnya yang gondrong. Kemudian ia mengangguk. "Ya, aku ingat," katanya. "Billy Shakespeare dan Little Bo-Peep." Trio Detektif mengangguk serempak. "Yang itu sudah kami ketahui," kata Pete. "Lalu Sherlock Holmes dan Robin Hood," sambung Carlos. "Sherlock Holmes dan Robin Hood," ulang Bob sambil mencatat. "Captain Kidd dan Scarface," tambah Carlos. "Scarface, matanya tinggal satu." Bob mencatat terus.
Dendam Iblis Seribu Wajah 21 Goosebumps - 30 Makhluk Mungil Pembawa Bencana Kisah Sepasang Rajawali 32
TRIO DETEKTIF MISTERI NURI GAGAP Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
PENDAHULUAN NAMA SAYA Alfred Hitchcock. Sutradara sekian banyak film petualangan dan misteri. Tanpa menyombongkan diri, banyak orang saya ini dianggap Bapak film-film begitu, yang selalu menarik para penonton untuk membanjiri gedung pertunjukan. Tapi kali ini saya tidak akan bicara tentang diri saya atau film-film yang saya buat. Sekali ini saya akan memperkenalkan tiga sekawan remaja. Tiga remaja yang menamakan diri:
Trio Detektif Mereka itu Bob Andrews, Pete Crenshaw- dan Jupiter Jones. Ketiga-tiganya tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di tepi Samudera Pasifik. Tidak begitu jauh dari Hollywood, kota pusat perfilman di pesisir barat Amerika Serikat.
Bob Andrews potongannya agak kecil, berambut pirang. Tingkah lakunya seperti cendekiawan, tapi kadang-kadang bisa kejangkitan 'penyakit' bertualang. Pete Crenshaw tinggi tegap, berambut coklat, suka gelisah sebelum ada kejadian apa-apa. Tapi bisa diandalkan dalam menghadapi kerumitan yang seperti apa pun jenisnya. Sedang Jupiter Jones -
Yah, sebetulnya banyak yang bisa saya katakan tentang remaja satu ini, yang biasa dipanggil 'Jupe' oleh orang-orang yang dekat padanya. Dan mungkin saja mereka itu tak setuju dengan ucapan saya mengenai dia. Jadi cukuplah apabila dikatakan Jupe anaknya agak pendek dan gempal. Wajahnya bulat. Bisa kelihatan tolol sekali, padahal di belakangnya tersembunyi otak yang cerdas dan sering kali tajam penalarannya.
Baik Bob maupun Pete tinggal dengan orang tua masing-masing. Sedang Jupiter Jones hidup bersama paman dan bibinya. Orang tuanya sendiri sudah meninggal ketika ia masih kecil.
Markas operasi Trio Detektif itu di kompleks tempat jual beli barang bekas, yang dikelola oleh suami isteri Titus dan Mathilda Jones, paman dan bibi Jupiter. Kantor mereka tersembunyi dalam sebuah trailer. Yang dinamakan trailer itu sebuah gerbong besar, mirip rumah mungil yang bisa berpindah tempat dengan ditarik mobil atau truk. Trailer itu juga diperlengkapi dengan laboratorium kecil serta kamar gelap untuk mencuci foto. Orang lain tidak mengenal markas itu, karena letaknya tersembunyi di balik tumpukan barang rombengan. Masuk ke situ harus melalui jalan-jalan rahasia yang dibuat oleh mereka.
Sekian saja mengenai mereka - kelanjutannya harus diikuti sendiri! Tapi saya tidak mau bertanggung jawab kalau jantung kalian nanti berdebar terlalu keras!
Alfred Hitchcock BAB 1 JERITAN MINTA TOLONG "TOLONG!" Kedengarannya aneh. Melengking tinggi, tapi seakan-akan tersumbat. "Tolong! Tolong!"
Bulu roma Pete Crenshaw merinding setiap kali jeritan itu memecah kesunyian. Datangnya seperti dari gedung tua yang tak terurus itu. Kemudian terhenti dengan tiba-tiba. Seperti tercekik. Dan justru semakin menyeramkan!
Remaja jangkung berambut coklat itu berlutut di balik sebatang pohon palem yang besar. Ia memberanikan diri mengintip ke arah rumah yang terletak di ujung jalan masuk yang berkerikil. Ia tadi sedang berjalan di situ bersama teman sejawatnya Jupiter Jones, ketika tiba-tiba terdengar ada yang menjerit. Keduanya cepat-cepat berlindung ke balik semak.
Di seberang tempat Pete, Jupiter juga mengintip ke arah rumah. Mereka menunggu kalau-kalau terdengar bunyi sesuatu lagi. Tapi kini rumah tua bergaya Spanyol itu yang letaknya agak di belakang kebun yang sudah merimba karena tak terawat diselubungi kesunyian lagi. Kesunyian yang mencekam.
"Jupe!" bisik Pete. "Tadi itu laki-laki atau perempuan""
Jupiter menggelengkan kepala.
"Entah," balasnya dengan berbisik pula. "Mungkin bukan kedua-duanya."
"Bukan kedua-duanya"" Pete meneguk air ludah. Yang jelas itu tadi bukan suara anak kecil. Lalu jika juga bukan laki-laki atau perempuan, kemungkinannya tinggal... Pete tidak mau membayangkan kemungkinan itu lebih jauh.
Kedua remaja itu masih tetap menunggu. Hawa musim panas di Hollywood terasa pengap dan menyesakkan. Mereka dikelilingi pohon-pohon palem, semak belukar, dan bunga-bunga yang tumbuh tanpa perawatan. Dulu kebun itu mestinya indah. Tapi karena lama terbengkalai,
kini kelihatannya lebih mirip hutan. Dan gedung tempat tinggal yang terletak di belakang nampaknya juga tak terurus.
Gedung itu tempat tinggal Malcolm Fentriss, seorang aktor yang biasa memainkan karya-karya William Shakespeare, pujangga Inggris dari Abad Pertengahan. Ia juga sahabat Alfred Hitchcock, sutradara kenamaan yang telah menciptakan sekian banyak film misteri yang menegangkan syaraf. Jupiter Jones dan Pete Crenshaw datang ke situ sebagai detektif. Maksud mereka hendak menawarkan jasa pada Mr. Fentriss, untuk menolongnya mencari seekor burung nuri piaraan aktor itu. Mr. Hitchcock bercerita pada mereka bahwa aktor itu gelisah karena burungnya hilang. Ia ingin mendapatkannya kembali.
Dan kini - tahu-tahu terdengar suara menjerit meminta tolong. Dan kedua remaja itu meringkuk di balik semak, menunggu perkembangan selanjutnya.
"Aduh, Jupe - kita ke sini kan untuk mencari nuri hilang," kata Pete. Ia bicara berbisik-bisik. "Tapi sebelum kita sempat menginjakkan kaki di rumah itu, tahu-tahu sudah ada yang menjerit-jerit minta tolong!"
"Tapi kelihatannya sekarang sudah tenang lagi," jawab kawannya yang bertubuh gempal. "Sebaiknya kita hampiri rumah itu, untuk menengok apa yang terjadi si sana."
"Aku tidak suka mendatangi rumah macam itu," kata Pete padanya, "karena kelihatannya penuh dengan kamar-kamar terkunci, yang lebih baik jangan dibuka."
"Gambaran yang sangat tepat," jawab Jupiter. "Jangan lupa menyampaikannya pada Bob, jika kita sudah kembali nanti di markas."
Setelah itu Jupiter mulai menyelinap di sela-sela semak, menuju ke gedung. Ia bergerak dengan sangat hati-hati. Di seberang jalan kerikil, Pete bergerak sejajar dengan dia. Ketika jarak ke gedung tinggal sekitar dua puluh lima meter lagi, tiba-tiba Pete jatuh terjerembab. Ada sesuatu menyambar pergelangan kakinya. Pete meronta, berusaha membebaskan diri. Tapi pergelangan kakinya tetap tidak bisa lepas. Ia tidak bisa melihat apa atau siapa yang memegangi, karena ia jatuh menelungkup.
"Jupe! Aku disambar!" kata Pete ketakutan.
Biar bertubuh gempal, tapi ternyata Jupiter bisa juga bergerak dengan cepat. Begitu mendengar suara temannya, ia langsung datang menghampiri.
"Apa itu"" kata Pete dengan nada ngeri, sementara matanya terbelalak melirik Jupiter. "Ada sesuatu yang menarikku dari belakang! Jangan-jangan ular sanca. Mungkin saja, dalam kebun kayak begini!"
Muka Jupiter yang bulat nampak sangat serius.
"Yah - memang sudah nasibmu, Pete," katanya, "kau kena jebakan sejenis vitis vinifera yang luar biasa ganas!" Napas Pete tersentak mendengarnya.
"Jangan diam saja dong!" pintanya pada Jupiter. "Tolong aku -jangan sampai menjadi mangsa vitis anu itu!"
"Akan kuusahakan - kebetulan aku membawa pisau," jawab Jupiter. Dikeluarkannya pisau lipat kesayangannya dari kantong. Lalu dipegangnya pergelangan kaki Pete. Terasa Jupiter mengayunkan pisau memotong-motong dengan gerakan cepat. Begitu terasa cengkeraman pada pergelangan kaki mengendur, dengan segera Pete berguling menjauh lalu meloncat bangkit.
Dilihatnya Jupiter berdiri di belakangnya. Sambil nyengir remaja bertumbuh gempal itu mengantongi pisau lipatnya kembali. Dekat ke tanah nampak terayun-ayun akar rambat yang terpotong bagian tengahnya.
"Kakimu tadi tersangkut pada tanaman ini," kata Jupiter. "Dan semakin kuat kau menyentakkan kakimu, semakin kuat pula tanaman itu memegang. Pertandingan yang sebanding! Dua-duanya tidak memakai otak. Tanaman memang tidak punya, sedang otakmu dilumpuhkan rasa takutmu sendiri."
Memang begitulah gaya bicara Jupiter Jones. Tapi Pete sudah biasa mendengarnya.
"Ya deh, ya deh," katanya agak malu. "Memang aku tadi panik. Rupanya karena terpengaruh jeritan minta tolong itu."
"Panik lebih berbahaya daripada bahaya yang dihadapi," kata Jupiter lagi. "Rasa takut menyebabkan kita tidak bisa mengambil keputusan tepat, dan menyebabkan - menyebabkan -"
Pete yang saat itu masih memandang Jupiter mendapat kesan bahwa kawannya itu memamerkan segala gelagat rasa takut yang sedang diceramahkan olehnya. Dengan tiba-tiba tampang Jupiter menjadi pucat pasi. Matanya melotot. Mulutnya melompong. Pa
ndangannya menatap sesuatu yang kelihatannya seperti terdapat tidak jauh di belakang punggung Pete.
"Aktingmu hebat, Jupe," kata Pete. "Tampangmu sungguh-sungguh memancarkan rasa takut! Tapi bagaimana jika kita sekarang -"
Saat itu ia berpaling. Kini baru dilihatnya apa yang menyebabkan Jupiter begitu. Dan kini berganti dia sendiri yang melongo.
Ternyata kawannya itu tidak melakukan akting. Ia memang sungguh-sungguh takut.
Seorang laki-laki bertubuh gendut berdiri menghadap mereka. Tangannya memegang pistol besar potongan kuno. Siapa pun menghadapi senjata api itu, pasti dia akan kaget.
Laki-laki gendut itu memakai kaca mata. Lensanya menyebabkan mata yang di belakangnya nampak membesar. Besar dan bundar, seperti mata ikan mas koki dalam akuarium. Cahaya matahari yang terpantul pada lensa, menimbulkan kesan seakan-akan mata yang ada di baliknya memancarkan kilatan sinar.
"Oke," kata si gendut sambil memberi isyarat dengan pistol, "sekarang kalian masuk ke dalam rumah! Nanti akan kita lihat, mau berbuat apa kalian di sini. Ayo cepat!"
Pete dan Jupiter berjalan di depan dengan langkah segan, menyusur jalan kerikil ke rumah tua yang suram. Kerongkongan mereka terasa kering.
"Jangan coba-coba melarikan diri," geram si gendut memperingatkan, "nanti menyesal sendiri!"
"Jangan lari, Pete," bisik Jupiter. "Itu berbahaya sekali! Kita harus meyakinkan Mr. Fentriss bahwa kita tidak bermaksud jahat kemari."
"Aku memang tidak berniat minggat," balas Pete sambil berbisik pula. "Lututku terasa lemas, kayak baru belajar berjalan rasanya."
Kerikil gemerisik terinjak kaki mereka. Sedang di belakang mereka terdengar bunyi lebih berisik, diakibatkan berat tubuh si gendut. Pete semakin merasa seram mendengarnya. Karenanya ia bisa dibilang lega ketika menginjakkan kaki di lantai batu beranda rumah. Di depan mereka terdapat pintu berukuran besar.
"Sekarang buka pintu," kata si gendut. "Dan langsung masuk. Ingat, jariku sudah gatal ingin menarik pelatuk pistolku. Kemudian belok ke kanan. Masuk kamar yang ada di situ, lalu duduk di kursi yang di dekat tembok sebelah sana pintu."
Jupiter membuka pintu. Di baliknya nampak serambi dalam yang gelap. Pete meneguhkan hati. Kedua remaja itu melangkah masuk, membalikkan tubuh ke kanan dan memasuki sebuah kamar yang besar. Kamar itu penuh dengan buku dan koran berserakan, serta perabot usang. Beberapa kursi besar berlapis kulit dijejerkan sepanjang dinding yang berhadapan dengan pintu. Mereka melintasi kamar lalu duduk seperti diperintahkan tadi.
Si gendut memperhatikan mereka. Kelihatannya puas. Ia meniup ujung laras pistolnya, seolah-olah menyingkirkan debu yang bisa mengganggu gerak peluru yang ditembakkan.
"Nah - sekarang sebaiknya kalian mengaku saja," katanya. "Katakan kalian mau berbuat apa tadi, menyelinap-nyelinap dalam kebun menuju ke rumahku."
"Kami sebetulnya bermaksud mendatangi Anda, Mr. Fentriss," kata Jupiter. "Soalnya -"
Tapi si gendut langsung memotong, sambil menggosok-gosokkan jari telunjuknya ke sisi hidung. Tatapan matanya mencemooh.
"Mau bertamu"" katanya. Kayak tadi - menyelinap dari pohon ke pohon" Kayak orang Indian" Atau pencuri"" "Soalnya, tadi tahu-tahu kami mendengar jeritan meminta tolong," kata Pete bergegas menjelaskan. "Jadi kami langsung bersembunyi di balik pohon, untuk melihat apa yang terjadi."
"Oh." Si gendut mengerucutkan bibir. "Jadi kalian mendengar jeritan minta tolong, ya""
"Begini, Mr. Fentriss," kata Jupiter. Kini dia yang berusaha menjelaskan, "Mr. Alfred Hitchcock yang menyuruh kami datang ke sini. Katanya Anda kehilangan seekor burung nuri. Sedang polisi tidak mau menolong mencarinya, Kami ini detektif. Dan kami datang untuk membantu Anda menemukan kembali burung piaraan Anda itu."
Sambil bicara Jupiter merogoh kantong, lalu menyodorkan selembar kartu nama di mana tertulis:
TRIO DETEKTIF "Kami Menyelidiki Apa Saja" " " "
Penyelidik Satu - Jupiter Jones Penyelidik Dua - Peter Crenshaw Catatan dan Penelitian - Bob Andrews
"Saya yang bernama Jupiter Jones," kata Jupiter memperkenalkan diri. "Dan ini teman sejagat saya, Peter Crenshaw."
"Oh." Si gendut menerim
a kartu nama yang disodorkan, lalu mengamat-amatinya. "Jadi kalian ini detektif, ya" Lalu beberapa tanda tanya ini, apa maksudnya" Kalian menyangsikan kemampuan sendiri""
Pete sudah mengira pertanyaan itu akan diajukan. Soalnya, hampir setiap orang mengajukan pertanyaan mengenainya. Jupiter yang menciptakan ketiga tanda tanya yang berderet itu, ketika pada suatu saat mendapat ilham. Ketiga tanda tanya itu dinilainya rangsangan yang bagus sekali untuk menarik minat.
"Tanda tanya itu lambang hal-hal yang tidak diketahui, pertanyaan yang tak terjawab, serta teka-teki yang tak terpecahkan. Dan tugas kami mencari jawaban atas pertanyaan, menguraikan teka-teki serta menyelidiki setiap misteri yang kami jumpai. Karena itulah ketiga tanda tanya itu menjadi lambang Trio Detektif."
"Ah, aku mengerti sekarang," kata Mr. Fentriss, sambil mengantongi kartu nama tadi. "Dan kalian datang untuk menyelidiki misteri burung nuriku yang hilang. Ya, aku mengerti."
Orang itu tersenyum pada mereka. Semangat Pete mulai bangkit. Tapi langsung merosot lagi, begitu mendengar kata-kata si gendut yang segera menyusul.
"Sayang aku tidak percaya. Sayang! Kalian kelihatannya anak-anak yang menyenangkan - keluarga kalian pasti akan merasa kehilangan," kata si gendut.
Dengan gerakan lambat orang itu mengambil sebatang cerutu dari kantong, lalu menyelipkannya ke mulut. Setelah itu pistol diangkat, sehingga larasnya terarah pada Jupiter dan Pete.
Pelatuk ditarik. Terdengar bunyi ketukan nyaring, diiringi semburan api biru dari mulut pistol. Mr. Fentriss mendekatkan nyala api ke ujung cerutunya. Ia menarik napas panjang untuk menghidupkan api cerutu. Setelah itu dihembusnya nyala api sampai padam, dan pistol ditaruhnya ke atas meja.
Ya ampun, pikir Pete. Rupanya pistol itu cuma korek api belaka! Darahnya mulai bisa mengalir kembali. Tadinya seperti membeku.
"Selamat!" kata Mr. Fentriss dengan nada riang. "Kalian lulus ujian dengan gemilang, karena tetap teguh menghadapi percobaanku tadi untuk menakut-nakuti!"
Ia mendekat dan mereka lantas berjabatan tangan. Genggamannya ternyata sangat teguh, walau tangannya nampak gemuk berlemak. Sambil terkekeh geli, dibantunya Pete dan Jupiter bangkit dari tempat duduk masing-masing.
"Aku bangga pada kalian," kata Mr. Fentriss. "Orang dewasa pasti tak sedikit yang ketakutan menghadapi sikap bermusuhan yang kupamerkan tadi. Aku harus menelpon Alfred untuk melaporkan, kalian ternyata bukan cuma anak-anak yang main-main menjadi detektif, tapi sungguh-sungguh melakukan pekerjaan yang kalian pilih."
"Maksud Anda -" kata Jupiter. Dari sikapnya saat itu, cuma Pete yang tahu bahwa kawannya itu agak mengalami kesulitan untuk bicara seperti biasa. Maklum, habis kaget. Jupiter melanjutkan, " - maksud Anda, Mr. Hitchcock sebelum ini sudah menelpon untuk memberitahukan kedatangan kami, dan Anda dimintanya untuk menguji ketahanan syaraf kami""
"Ya, memang begitu!" Mr. Fentriss menggosok-gosok telapak tangan. "Katanya kedatangan kalian harus kusambut dengan ujian keberanian. Ternyata kalian berdua benar-benar tabah. Cuma sayangnya, aku sama sekali tidak punya persoalan yang bisa kalian selidiki."
"Jadi kalau begitu, nuri Anda sama sekali tidak hilang"" tanya Pete. "Padahal kata Mr. Hitchcock, Anda sedih sekali karenanya."
"Ya, mulanya memang hilang," kata Mr. Fentriss, "dan aku juga sangat sedih. Tapi kemudian nuriku itu datang kembali. Baru pagi ini terbang masuk lewat jendela yang sengaja kubiarkan terbuka untuknya. Yah, si Billy itu benar-benar menyebabkan aku bingung selama ini."
"Billy"" tanya Jupiter. "Itu nama nuri Anda""
"Betul! Billy Shakespeare, singkatan dari William Shakespeare."
"Tapi jeritan minta tolong tadi"" tanya Pete. "Datangnya dari sini, dan - yah -"
"Kalian masih curiga. Bisa kumengerti," kata Mr. Fentriss dengan suaranya yang berat. "Yang kalian dengar itu Billy! Si bandel itu rupanya ketularan, suka bersandiwara. Aku dulu mengajarinya supaya dia pura-pura terkurung dalam penjara. Ya kan - terkurung di balik terali kandangnya. Dia suka iseng sekarang, berteriak-teriak minta tolong."
"Bisakah kami melihat Billy se
bentar"" tanya Jupiter. "Kami ingin tahu tampang burung yang sangat berbakat itu."
"Wah, sayang tidak bisa." Tampang Mr. Fentriss agak suram. "Billy tadi begitu berisik, lalu sesaat sebelum kalian datang kurungannya kuselubungi dengan kain. Dengan begitu ia menjadi tenang. Sekarang jika selubung itu kubuka, pasti dia akan berisik kembali."
"Yah, kalau begitu di sini tak ada kejadian yang perlu diselidiki," kata Jupiter. Terdengar suaranya agak menyesal. "Kami pergi saja sekarang, Mr. Fentriss. Saya ikut senang, burung nuri Anda sudah kembali."
"Terima kasih, Nak," kata laki-laki bertubuh gendut itu. "Tapi kartu kalian akan kusimpan. Siapa tahu nanti kalau ada misteri yang perlu diselidiki, aku pasti akan menghubungi Trio Detektif."
Diantarkannya Pete dan Jupiter sampai ke pintu.
"Terus terang saja, aku menyesal," kata Jupiter, sementara ia berjalan bersama Pete menyusur kebun menuju ke jalan raya. Padahal kelihatannya akan merupakan persoalan yang menarik. Rumah terpencil -jeritan minta tolong - seorang laki-laki gendut menyeramkan... aku tadi benar-benar sangat bersemangat menghadapi kasus ini."
"Pendapat itu tidak harus sama dengan yang ada pada diri Penyelidik Kedua," kata Pete menirukan gaya bicara Jupiter. "Aku sendiri akan sudah cukup puas dengan tugas menyelidiki seekor nuri yang hilang tanpa perlu ditambah jeritan minta tolong dan kemunculan orang gendut menyeramkan. Soal-soal yang begitu, lain kali sajalah!"
"Mungkin kau benar," kata Jupiter. Tapi nada suaranya tidak meyakinkan.
Sambil membisu, keduanya meneruskan langkah menuju ke jalan raya. Jalan itu berkelok-kelok. Letaknya di kawasan kota Hollywood yang tergolong tua dan agak terbengkalai. Sepanjang jalan itu berdiri gedung-gedung besar yang sudah tua. Letaknya terpisah-pisah. Semuanya nampak lusuh karena para pemilik sudah tak mampu merawat lagi.
Sebuah mobil Rolls-Royce mewah dengan bagian-bagian berlapis emas diparkir di tepi jalan itu. Jupiter berhak memakai kendaraan itu selama beberapa waktu, sebagai hadiah memenangkan suatu sayembara. Mobil itu tersedia untuk dipakai olehnya, lengkap dengan supirnya yang berbangsa Inggris. Nama supir itu Worthington.
"Kita pulang saja sekarang, Worthington," kata Jupiter dengan gaya jutawan. Ia masuk ke dalam mobil kuno tapi mewah itu. Pete menyusul di belakangnya. "Nuri itu sudah kembali sendiri ke pemiliknya."
"Baik, Master Jones," jawab Worthington dengan logat Inggris yang jelas. Di Inggris memang ada kebiasaan memanggil orang yang kedudukannya lebih tinggi dengan sebutan Master. Orang Inggris sangat menyukai hal-hal yang tradisional, walau sebetulnya sudah tidak cocok lagi dengan jaman.
Mesin dihidupkan. Worthington memutar setir untuk membalikkan arah mobil. Sementara itu Jupiter memandang ke luar, ke arah kebun rumah. Mr. Fentriss. Sedang rumah itu sendiri tidak nampak, terlindung di balik pohon-pohon palem serta semak bunga.
"Coba kauperhatikan dengan cermat," katanya dengan tiba-tiba. "Ada sesuatu yang tidak beres. Tapi entah apa!" "Memperhatikan apa"" tanya Pete "Maksudmu, kebun itu""
"Semuanya! Kebun, jalan, kerikil - segala-galanya! Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi penyebabnya aku tidak tahu."
"Maksudmu ada yang aneh, tapi kau tidak tahu apa yang aneh itu""
Jupiter mengangguk. Ia menekan bibir bawahnya, pertanda bahwa otaknya sedang berputar keras.
Pete mengamat-amati pekarangan rumah. Ia tidak melihat sesuatu yang tidak beres di situ. Cuma tempat itu memerlukan seorang tukang kebun yang bekerja siang malam selama sebulan, untuk merapikannya. Nampak jalan menuju ke rumah penuh dengan daun palem kering bertaburan. Rupanya belum lama berselang ada mobil lewat di situ, karena banyak daun palem pecah berserakan terlindas roda. Tapi itu kan tidak aneh!
"Aku tidak melihat apa-apa," katanya kemudian. Tapi Jupiter seolah-olah tak mendengar. Sementara mobil mulai bergerak pergi, kawan yang bertubuh pendek gempal itu masih tetap memandang ke luar, kini lewat jendela belakang. Ia masih mencubit-cubit bibir bawahnya.
Ketika mobil sudah meluncur hampir sepuluh blok lebih jauh, tiba-tiba Jupiter berpaling
dengan cepat. "Worthington!" serunya. "Cepat, kita harus kembali."
"Baik, Master Jones." Dengan tangkas mobil diputar kembali. "Kita kembali." "Aduh, kau ini kenapa sih, Jupe"" tanya Pete bingung. "Kenapa kita kembali lagi""
"Karena sekarang aku tahu apa yang tidak beres di sana," kata Jupiter. Tampangnya yang bulat nampak memerah karena semangatnya. "Aku tidak melihat kabel sambung telepon ke rumah Mr. Fentriss." "Tidak ada kabel telepon"" Pete berusaha menebak maksud kawannya itu.
"Kalau kabel listrik ada. Tapi telepon, tidak kulihat kabelnya," kata Jupiter. "Padahal Mr. Fentriss tadi jelas mengatakan, Mr. Hitchcock meneleponnya untuk memberitahukan kedatangan kita. Ternyata itu bohong! Dan kalau itu bohong, mungkin pula segala-galanya yang dikatakan pada kita tadi juga tidak benar."
"Tidak benar"" Pete menggelengkan kepala. Ia bingung. "Untuk apa dia berbohong""
"Karena dia bukan Mr. Fentriss!" kata Jupiter bersemangat. "Orang tadi pura-pura menjadi dia - sedang orang yang kita dengar suaranya berteriak meminta tolong, itulah Mr. Fentriss yang sebenarnya!"
BAB 2 NURI YANG GAGAP Rolls-Royce besar itu meluncur di jalan yang berkelok-kelok. Ketika sudah sembilan blok yang dilewati dalam perjalanan kembali ke tempat Mr. Fentriss, nampak sebuah mobil hitam dan kecil muncul dari suatu jalan masuk di depan dan membelok ke arah mereka. Nampak mobil itu bukan bikinan Amerika. Mobil itu melaju dengan cepat. Ketika berpapasan, Jupiter dan Pete cuma sempat melihat pengemudinya secara sekilas saja. Tapi masih bisa dikenali bahwa orang itu gendut, berkaca mata ukuran besar. Tampangnya tak kelihatan, karena orang itu membuang muka.
"Itu Mr. Fentriss!" seru Pete.
"Keliru! Dialah yang pura-pura menjadi Mr. Fentriss," kata Jupiter. "Susul dia, Worthington! Jangan sampai hilang. Kita harus tahu, ke mana dia pergi!"
"Baik, Master Jones," kata supir sambil menginjak pedal rem. Mobil besar itu diputar kembali, sementara Pete memandang mobil hitam yang menjauh dengan cepat. Ia nampak sangsi.
"Kalau berhasil disusul, lalu apa yang kita lakukan kemudian"" tanyanya. "Kita kan tidak punya bukti-bukti untuk menuduhnya. Kecuali itu Mr. Fentriss yang asli mungkin memerlukan pertolongan kita."
Jupiter ragu-ragu. Ia ingin mengejar penyamun yang melarikan diri. Tap juga ingin menolong seseorang yang mungkin memerlukan bantuan. Akhirnya ia mengangguk.
"Kau benar," katanya pada Pete, "mula-mula harus kita lihat dulu, apakah Mr. Fentriss dalam keadaan selamat. Kita terus ke rumah Mr. Fentriss," katanya pada Worthington.
Rolls-Royce meluncur terus, sampai di gerbang masuk dari mana mobil asing tadi muncul. Worthington membanting setir, dan mobil masuk dengan pelan-pelan. Menyusur jalan kerikil yang sempit, melewati pohon palem yang berjejer-jejer, serta semak belukar yang menggeser kedua sisi mobil. Akhirnya sampai di sebelah belakang rumah.
"Pete," ujar Jupiter, "mobil asing yang berpapasan dengan kita tadi - kau mengenalinya""
"Mobil sport dua pintu merek Ranger," kata Pete dengan segera. "Buatan Inggris. Merek terkenal. Masih baru. Berpelat nomor California. Aku cuma sempat melihat angka 13 di ujungnya." "Anda sempat melihat nomor mobil itu, Worthington"" tanya Jupiter pada supir.
"Maaf, Master Jones," kata orang itu. "Saya tadi memusatkan perhatian pada jalanan, sehingga tidak memperhatikan mobil tersebut. Tapi saya tahu mereknya Ranger, sedang tempat duduknya berlapis kulit warna merah."
"Yah, setidak-tidaknya ada juga yang kita ketahui mengenainya. Setelah ini akan kita lanjutkan mencari laki-laki gendut yang naik mobil itu," kata Jupiter, sambil meloncat ke luar dari Rolls-Royce. "Sekarang kita periksa dulu, apakah Mr. Fentriss yang asli ada di dalam atau tidak."
Sambil berjalan menyusulnya, Pete berpikir-pikir. Bagaimana cara Jupiter hendak menemukan mobil tadi, di antara sekian juta mobil yang ada di California Selatan" Tapi entah kenapa, Pete merasa Jupiter pasti akan bisa menemukan jalan.
Sekonyong-konyong keduanya tertegun. Dari dalam rumah suram itu terdengar suara orang berteriak. Teriakan minta tolong.
"Tolong!" Suara itu terdengar lema
h, seperti tercekik. "Cepat, tolong - sebelum aku -" Suara itu melemah, lalu hilang begitu saja. "Kedengarannya seperti mau mati!" seru Pete kaget "Yuk!"
Dibantu kakinya yang panjang, ia mendahului masuk lewat pintu belakang. Pintu itu agak ternganga sedikit, seakan-akan ditinggal orang gendut tadi dalam keadaan begitu ketika ia bergegas pergi Kedua remaja Itu masuk sambil mengejap-ngejapkan mata untuk membiasakan diri melihat dalam ruangan setengah gelap.
Sesaat mereka berdiri sambil memasang telinga. Tak ada bunyi apa pun yang memecah kesunyian tempat itu.
"Kita tadi dalam kamar itu," kata Jupiter, sambil menuding ke ruang sebelah depan. "Sekarang kita coba saja ke sebelah sana, ke sisi seberangnya."
Keduanya lantas bergegas menyusur gang, lalu mencoba membuka pintu yang sebelah kanan. Pintu terbuka. Di depan mereka terbentang sebuah kamar yang luas. Kamar duduk yang penuh dengan mebel gaya jaman dulu. dengan sebuah jendela besar yang menjorok ke luar.
"Siapa itu""
Terdengar suara lemah, datangnya seperti dari pot tanaman yang besar di depan jendela. Sekuntum bunga berwarna ungu bergerak terangguk-angguk. Pete merasa seolah-olah bunga itulah yang berbicara.
"Siapa yang datang"" tanya bunga itu. Setidak-tidaknya, demikian menurut perkiraan Pete. Tapi kemudian dilihatnya sesuatu meringkuk di balik pot tempat bunga tumbuh, nyaris tak nampak karena terlindung dedaunan yang tumbuh subur.
"Ke sini!" seru Pete. Dengan beberapa langkah saja ia sudah sampai, lalu berlutut di sisi sosok tubuh seorang laki-laki berbadan agak kurus. Orang itu meringkuk dalam posisi miring. Kaki dan tangannya terikat, sedang selembar kain dilintangkan di antara kedua rahang dan dekat ke belakang kepalanya.
"Jangan takut, Mr. Fentriss," kata Pete. "Kami akan membebaskan Anda dari ikatan."
Ternyata ikatannya tidak begitu erat, sehingga bisa dilepaskan dengan segera. Sedang Mr. Fentriss sendiri berhasil menyingkirkan sumpal mulutnya. Sambil bersandar pada Pete dan Jupiter, ia terhuyung-huyung menuju sebuah bangku berlapis kulit, lalu merebahkan diri ke situ.
"Terima kasih," ucapnya dengan suara lirih.
Dengan wajah serius Jupiter menarik sebuah kursi dan duduk di situ.
"Mr. Fentriss," katanya, "saya rasa dalam hal ini kita perlu menghubungi polisi."
Laki-laki kurus itu nampak kaget mendengarnya.
"Jangan! Jangan," katanya. "Lagipula, toh tidak bisa. Aku tidak punya telepon."
"Bisa kami teleponkan dari mobil, Sir. Mobil kami diperlengkapi dengan pesawat telepon."
"Tidak! Jangan," kata Mr. Fentriss berkeras. "Tapi -" Ia memiringkan tubuh, lalu menatap remaja bertubuh gempal itu sambil bertelekan siku. "Kalian siapa" Bagaimana sampai kebetulan ada di sini""
Jupiter menyodorkan kartu pengenal Trio Detektif, sambil menambahkan bahwa mereka datang atas suruhan Alfred Hitchcock.
"Alfred memang baik hati," kata Mr. Fentriss.
"Anda yakin tidak menghendaki kami menghubungi polisi"" tanya Jupiter. "Tentu saja apabila Anda ingin agar kami berusaha menemukan kembali burung nuri Anda yang hilang. Trio Detektif selalu siap. Tapi karena Anda diserang orang lalu diikat dan -"
"Jangan!" kata Mr. Fentriss lagi. "Aku akan senang sekali apabila kalian mau membantuku. Aku punya perasaan, kalian bisa kupercaya. Aku sebetulnya sudah menghubungi polisi. Mula-mula mereka bilang, nuriku itu mungkin minggat. Kemudian, ketika aku berkeras membantah, mereka lantas menyindir-nyindir. Aku ini kan aktor, jadi menurut mereka aku cuma ingin namaku masuk koran dan dibicarakan orang. Cari publisitas, kata mereka!"
"Saya mengerti, Sir, " kata Jupiter. "Ada kemungkinan mereka beranggapan kejadian ini merupakan usaha Anda lagi untuk mendapatkan publisitas."
"Ya, betul." Ketegangan Mr. Fentriss mengendor. "Karena itu - tanpa polisi. Kalian harus berjanji!"
Kedua remaja itu berjanji. Setelah itu Jupiter menanyakan segala hal yang berhubungan dengan burung nuri yang hilang.
"Aku sayang sekali pada Billy," kata Mr. Fentriss. "Nama lengkapnya Billy Shakespeare. Kalian tentunya tahu siapa William Shakespeare."
"Ya, Sir, "jawab Jupiter. "Dramawan terbesar di dunia. Dilahirkan tahun 1564 di Inggris d
an meninggal tahun 1616. Karya-karya dramanya masih tetap digemari di seluruh dunia. Hamlet merupakan salah satu karyanya, mungkin yang paling terkenal."
"Aku sudah sering memerankan Hamlet," kata Mr. Fentriss bersemangat. "Ya, aku dulu sangat sukses, selaku Hamlet."
Satu tangannya didekapkan ke dada, sedang yang lainnya dibentangkan. Dengan suara berat, ia berdeklamasi. "To be or not to be, thatis the Question. " Ia menoleh ke arah Pete dan Jupiter. "Itu kutipan dari Hamlet," katanya. "Kalimat ciptaan Shakespeare, mungkin yang paling terkenal sampai kini. Nuriku sering mengucapkannya." "Nuri Anda mengutip kalimat Shakespeare"" tanya Pete kagum. "Wah, kalau begitu ia sangat terpelajar." "Memang, itu sudah pasti. Billy mengucapkannya dengan logat Inggris asli. Cuma ada satu kekurangannya." "Kekurangan"" tanya Jupiter.
"Ya-burung malang itu gagap," jawab Mr. Fentriss. "Kalau ia sedang mengucapkan kalimat itu, ia mengatakan To-to-to be or not to-to-to-be, thatis the question. "
Mata Jupiter langsung bersinar, penanda minatnya bangkit
"Kaudengar tadi, Pete," katanya. "Kau pernah mendengar burung nuri yang bicaranya tergagap-gagap" Kurasa urusan yang kita hadapi kali ini akan ternyata sangat istimewa."
Pete juga merasakan sesuatu saat itu. Ia merasakan sesuatu yang aneh dan tidak enak. Ia merasa, Jupe akan terbukti benar.
Jupiter melanjutkan usahanya mengumpulkan keterangan dari Mr. Fentriss yang bertambah pulih keadaannya. Ternyata aktor itu baru tiga minggu memelihara nuri gagap itu. Ia membelinya dari pedagang keliling. Seorang laki-laki bertubuh kecil, dengan logat Meksiko yang jelas. Orang itu datang naik kereta keledai, yang biasa dilihat di jalan-jalan desa di Meksiko.
"Kami memerlukan segala keterangan yang bisa diperoleh, Sir, " kata Jupiter. "Bagaimana pedagang itu sampai bisa datang ke sini""
"Oh, itu - dia disuruh ke mari oleh Miss Irma Waggoner," kata aktor itu menjelaskan. "Miss Irma tinggal satu blok dan sini. Ia membeli seekor burung nuri dari pedagang itu. Lalu ketika mendengar Billy mendeklamasikan kalimat Shakespeare yang tadi, langsung timbul pikiran pada dirinya bahwa mungkin aku akan berminat membeli. Karena itu pedagangnya disuruh ke mari."
"Begitu." Jupiter memijit-mijit bibir bawahnya. "Dan pedagang itu memang biasa berjualan burung nuri""
"Wah, kalau itu aku tidak tahu," kata yang ditanya. Mr. Fentriss mengejap-ngejapkan mata dengan bingung. "Ketika ia kemari di gerobaknya cuma ada dua buah sangkar burung. Dalam satu di antaranya kulihat Billy. Sedang yang satu lagi berisi burung yang bulunya kehitam-hitaman. Kelihatannya aneh dan lusuh. Kata pedagang itu, burung itu jenis nuri hitam yang jarang terdapat. Tapi aku tahu pasti, tidak ada nuri yang berbulu hitam. Kata si pedagang, tak ada yang mau membelinya, karena kelihatan penyakitan."
"Pedagang itu menyebut namanya" Atau ada nama yang tertulis pada gerobaknya""
Aktor itu menggeleng. "Tidak. Pakaiannya lusuh, dan ia selalu batuk-batuk. Kelihatannya ingin sekali burung nuri itu bisa dijual. Aku membeli Billy seharga cuma lima belas dollar saja. Soalnya, orang lain tak ada yang berminat - karena gagapnya itu."
"Dan gerobak yang dipakai itu yang biasa, beroda dua dan ditarik seekor keledai"" tanya Jupiter. "Betul," kata Mr. Fentriss menegaskan. "Catnya sudah pada terkelupas. Keledai yang menarik dipanggil dengan nama Pablo. Yah - cuma itu saja yang bisa kuceritakan padamu."
"Menurut perkiraanmu, mungkin burung-burung itu hasil curian, Jupe"" tanya Pete.
"Kalau memang begitu, aku sangsi dia akan berani terang-terangan menjualnya di jalanan," kata Jupiter sambil berpikir-pikir. "Tapi di pihak lain, sudah jelas bukan dia pemiliknya yang pertama dan yang melatih Billy." "Dari mana kau tahu""
"Gampang saja! Kata Mr. Fentriss tadi, Billy kalau bicara terdengar jelas berlogat Inggris. Sedang laki-laki yang kemari untuk menjualnya berlogat Meksiko."
"O ya, betul juga." Dalam hati Pete memaki-maki dirinya sendiri. Masak begitu saja tidak bisa menebak.
"Sekarang, Mr. Fentriss, maukah Anda menceritakan segala-galanya yang bisa diceritakan, sehubungan dengan lenyap
nya burung nuri Anda"" kata Jupiter pada aktor bertubuh kurus tinggi itu, yang kini sudah duduk di bangku.
"Yah - ketika itu aku pergi berjalan-jalan," jawab Mr. Fentriss. "Kejadiannya tiga hari yang lalu. Pintu tak kukunci dan jendela kubiarkan terbuka. Ketika aku kembali, ternyata Billy hilang. Dijalan masuk ke rumah nampak bekas ban mobil. Padahal aku tidak punya mobil. Aku lantas menarik kesimpulan, ada orang datang naik mobil masuk ke rumah lalu mencuri Billy sewaktu aku sedang pergi." Nada suara aktor itu berubah menjadi sengit dan kesal, ketika melanjutkan. "Tapi polisi bilang nuriku minggat! Kalian pernah mendengar nuri bisa minggat dengan membawa sangkarnya sekaligus""
"Tidak, Sir, " kata Jupiter. "Setelah mendengar hal-hal yang terjadi saat hilangnya, sekarang Anda ceritakan tentang kejadian hari ini. Maksud saya tentang laki-laki yang gendut. Mau apa dia kemari dan apa sebabnya Anda kemudian diikat olehnya."
"Bandit itu!" seru si aktor dengan marah. "Mula-mula ia mengaku bernama Claudius. Katanya dia penyelidik dan kepolisian, yang ditugaskan membantu aku menemukan kembali nuriku yang hilang. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kurang lebih sama seperti yang kalian kemukakan. Dan jawaban yang kuberikan kira-kira juga seperti yang tadi. Kemudian dia bertanya, apakah aku tahu siapa lagi di sekitar sini yang membeli seekor nuri dari pedagang itu. Kusebutkan nama Miss Waggoner. Keterangan itu kelihatannya sangat menarik perhatiannya. Kemudian ia bertanya, apa yang disebutkan nuriku kalau ngomong. Kataku, itu sudah kulaporkan pada polisi. Sesaat ia nampak bingung. Tapi kemudian dikatakannya, ia cuma ingin mencari ketegasan. Lalu kukatakan apa yang selalu diucapkan Billy, yaitu 'Namaku Billy Shakespeare. To be or not to be thatis the question. "
Mr. Fentriss menarik napas sebentar lalu melanjutkan ceritanya.
"Mendengar itu dia semakin bergairah kelihatannya. Ucapan Billy dicatatnya dengan cermat." "Maaf, Mr. Fentriss," sela Pete. "Anda tidak menceritakan padanya, Billy kalau bicara tergagap-gagap"" "Tidak." Mr. Fentriss mengusapkan lengannya ke kening. "Aku khawatir akan ditertawakan polisi, jika mendengar ada burung nuri gagap."
"Tapi orang yang mengaku bernama Claudius itu tertarik sekali pada ucapan Billy," kata Jupiter. "Masih ada lagi,
Sir"" "Kurasa tidak," jawab aktor itu sambil menggeleng. "Nanti dulu - ya, masih ada sesuatu yang aneh! Orang itu, Mr. Claudius, dia bertanya apakah pedagang itu masih menjual burung nuri lainnya. Ketika kusebutkan burung hitam yang nampaknya penyakitan, dia lantas bergairah sekali. 'Itu pasti Blackbeard,' katanya. 'Ya, pasti Blackbeard!' Saat itu kecurigaanku timbul. Aku lantas merasa yakin, Mr. Claudius pasti bukan dari kepolisian."
"Maaf, Mr. Fentriss." Jupiter berhenti mencatat. "Saya tadi lupa menanyakan, kayak apa rupa burung nuri Anda"" katanya. "Maksud saya, termasuk jenis yang mana" Kan banyak sekali jenis-jenis burung nuri."
"Wah, aku tak tahu apa-apa kalau tentang hal itu," kata Mr. Fentriss. "Pokoknya bagian kepala dan dada Billy berbulu kuning. Indah sekali!"
"Sekarang, apa yang kemudian terjadi ketika laki-laki gendut yang mengaku bernama Claudius itu melihat bahwa Anda mulai curiga""
"Aku langsung mengatakan secara terang-terangan," kata Mr. Fentriss. Ia meluruskan sikap tegaknya. Tangannya diluruskan ke depan, persis seorang aktor yang sedang beraksi di atas pentas. '"Anda bukan dari polisi!'" katanya dengan suara berat dan penuh tekanan. '"Aku yakin, Andalah penjahat yang mencuri Billy-ku! Kembalikan dia dengan segera. Kalau tidak, tanggung sendiri akibatnya!' Begitu kukatakan padanya."
"Lalu"" sela Jupiter.
"Saat itu terdengar bunyi orang di luar," kata Mr. Fentriss melanjutkan ceritanya. "Mr. Claudius bergegas ke jendela. Rupanya ia melihat kalian berjalan menuju ke sini. Dan mungkin dia mengira kalian datang bersama polisi. Pokoknya, aku disergapnya dengan tiba-tiba. Aku masih sempat berseru minta tolong. Tapi kemudian aku diikat, mulutku disumpal. Dia sendiri bergegas ke luar. Sejak itu aku meringkuk di sini, sampai kalian datang menyelamatkan."
"Aku ben ar-benar tidak mengerti," katanya lagi setelah merenung sesaat. "Tapi pokoknya aku ingin mendapatkan Billy lagi. Bagaimana - kalian merasa mampu menemukannya kembali untukku""
"Trio Detektif akan berusaha sekuat tenaga," kata Jupiter. Setelah itu ia minta diri, lalu ke luar. Diiringi oleh Pete, ia berjalan menuju ke Rolls-Royce. Begitu mereka muncul, Worthington menghentikan kesibukannya mengelap bagian-bagian mobil yang sebelumnya pun sudah berkilauan.
"Pulang, Master Jones""' tanya Worthington, sementara mereka masuk ke dalam mobil.
"Baiklah," jawab Jupiter. Sementara mobil mulai meluncur lewat jalan kerikil menuju ke depan, ia berpaling pada Pete.
"Kurasa sudah hampir pasti orang yang mengaku bernama Claudius itulah yang mencuri Billy Shakespeare," katanya. "Kemudian ia kembali lagi, karena memerlukan informasi tambahan. Sekarang tugas kita, pertama-tama mencari Mr. Claudius."
"Aku segan," kata Pete. "Melihat tampangnya, dia itu bisa memakai pistol segampang menyalakan korek api tadi. Lagipula, bagaimana kau bisa menemukan dia, tanpa ada petunjuk sedikit pun""
"Akan kupikirkan soal itu nanti," jawab Jupiter. "Tentunya ada salah satu jalan - Awas, Worthington!"
Tapi sebetulnya Jupiter tidak perlu lagi berseru memberi peringatan. Worthington sendiri sudah melihat mobil sedan kelabu yang saat itu memasuki jalan kerikil. Dengan tangkas ia membanting setir Rolls-Royce menyeruduk tanaman bunga yang tak terpelihara. Sedang sedan kelabu yang masih baru direm dengan keras. Pengemudinya seorang laki-laki kecil bermata tajam.
BAB 3 LITTLE BO-PEEP KEDUA mobil itu nyaris saling membentur. Tinggal beberapa senti saja yang memisahkan bumper sedan kelabu dan badan Rolls-Royce yang berkilauan. Dengan cepat tapi tanpa melupakan martabat, Worthington keluar, menyongsong laki-laki kecil bermata tajam yang muncul bergegas-gegas dari belakang setir mobil sedan.
"Kalau jalan kenapa tidak lihat baik-baik. Kunyuk"" sergah laki-laki kecil itu. Worthington menegakkan diri. Pemandangan yang mengesankan, mengingat tingginya yang mendekati dua meter
"Bung," katanya dengan tenang, "saya tadi menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Anda yang masuk kemari secara gila-gilaan. Jika mobil ini tadi sampai rusak, Anda akan merasakan akibatnya."
Dari cara Worthington mengucapkan kata-kata itu diketahui bahwa ia tidak asal ngomong saja. Dan laki-laki kecil berpakaian baru tapi menyolok langsung mundur selangkah.
"Hati-hati kalau bicara!" gerutunya. "Aku tidak mau dikurangajari pelayan."
"Jangan sebut saya pelayan," kata Worthington. Ia masih tetap tenang. "Rupanya Anda perlu saya hajar."
Ia mengulurkan tangan, seolah-olah hendak menyentakkan kelepak jas lawan bicaranya. Orang itu buru-buru menyelipkan tangan ke balik jas. Tapi pada saat itu pintu belakang sedan terbuka. Seorang laki-laki bertubuh besar keluar. Pakaian yang dikenakannya nampak bermutu. Barang mahal!
"Adams!" katanya. "Masuk kembali ke mobil!"
Nada suaranya ketus. Ia berbahasa Inggris yang agak dipengaruhi logat Perancis. Kumis tipis menghias bibir atasnya, sedang di sudut bibir nampak tahi lalat kecil.
Supir sedan ragu-ragu sesaat. Mukanya cemberut tapi kemudian ia masuk kembali ke mobil, di mana masih ada seorang laki-laki lagi. Orang itu besar, bertampang jelek. Ia cuma melihat saja. Tanpa berbuat apa-apa, sedang laki-laki yang berpakaian mewah maju menghampiri Worthington.
"Maaf, supir saya tadi ceroboh," katanya. "Untung saja mobil indah ini tidak sampai kena tubruk. Kalau sampai terjadi, saya takkan bisa memaafkan diri saya. Nah, bisakah saya bicara sekarang dengan majikan Anda""
Sampai saat itu baik Jupiter maupun Pete tidak sempat berkutik, karena kejadian berlangsung begitu cepat. Tapi kini Jupiter keluar dari mobil.
"Anda hendak bicara dengan saya"" katanya.
Laki-laki berpakaian mewah itu kelihatan kaget.
"Anda - eh - kau pemilik mobil ini"" tanyanya.
"Untuk saat ini - ya," jawab Jupiter santai. Sewaktu kecil ia biasa tampil dalam acara-acara televisi. Karena itu sudah cukup pengalamannya dalam akting. Ini menolongnya dalam menghadapi hampir setiap situasi. Ia menyambung. "Mun
gkin pada suatu waktu akan saya ganti."
"O, begitu." Teman bicaranya nampak agak ragu. "Kalau saya boleh bertanya - Anda ini teman Mr. Fentriss" Saya hendak mengunjunginya saat ini."
"Ya - bisa dikatakan saya temannya," kata Jupiter lagi. Pete yang memperhatikan, mau tidak mau terpaksa juga mengagumi gaya santai yang dipamerkan kawannya. Jupiter memang tahu bagaimana caranya menghadapi orang dewasa. "Kami baru saja dari sana."
"Kalau begitu tentunya Anda bisa mengatakan bagaimana perkembangannya dengan urusan burung nurinya. Billy Shakespeare," kata orang itu lagi.
"Masih belum diketemukan," jawab Jupiter. "Mr. Fentriss sedih sekali karenanya."
"Lho - burung itu hilang"!" Tapi tampang orang itu tidak menunjukkan gerak perasaan. "Sayang! Dan sampai sekarang belum terdengar kabar mengenainya""
"Sama sekali tidak ada," kata Jupiter. "Kami sekarang dalam perjalanan ke polisi, untuk menanyakan perkembangan usaha penyidikan mereka. Bagaimana jika kami beritahukan pada mereka bahwa Anda berminat untuk membantu menemukannya kembali""
"Wah, jangan, jangan!" Laki-laki perlente itu bicara cepat-cepat. Nampaknya kaget dan takut mendengar polisi disebut-sebut. "Tidak perlu menyebut diri saya pada polisi. Saya cuma teman yang kebetulan mampir, untuk menanyakan keadaan Billy. Tapi karena ternyata masih hilang, saya tidak usah merepotkan Mr. Fentriss. Mudah-mudahan saja burung itu bisa diperolehnya kembali. Tapi untuk saat ini, lebih baik saya terus saja."
Laki-laki itu berbalik, lalu masuk kembali ke sedan. Ia sama sekali tidak memperkenalkan diri.
"Adams!" katanya dengan ketus, "Bawa aku kembali ke hotel."
"Yes, Sir, " gumam supir yang bermata tajam. Ditatapnya Worthington dengan masam, sambil menjalankan sedan mundur dijalan kerikil. Sesaat kemudian mereka sudah tidak kelihatan lagi.
"Anda menangani situasi dengan sangat baik, Sir, " puji Worthington, sementara Jupiter masuk kembali ke dalam mobil. "Ijinkan saya mengatakan, saya bangga pada Anda."
"Terima kasih, Worthington," jawab Jupiter dengan anggun.
"He - bolehkah aku bertanya sedikit"" sela Pete. "Apa-apaan tadi itu" Orang-orang dalam mobil tadi tidak bisa diajak main-main! Maksudku, aku tidak kepingin berjumpa dengan orang seperti mereka dalam lorong gelap. Bagaimana kau sampai berhasil membuat mereka mundur ketakutan""
Jupiter menghembuskan napas panjang. Sikapnya kembali seperti semula, kembali menjadi seorang remaja bertubuh gempal agak gemuk. Sama sekali tidak nampak mengesankan seperti tadi.
"Mereka kalah gertak," katanya. "Aku tadi untung-untungan, beranggapan bahwa mereka tentu akan kaget dan takut kalau mendengar kata polisi. Karena itu aku mengatakan kita akan ke sana - padahal tidak."
"Ya, aku juga melihatnya tadi," kata Pete, sementara Worthington meluruskan letak mobil dan dengan hati-hati menjalankannya ke depan. "Tapi -"
"Pengemudi tadi, yang dipanggil dengan nama Adams, mungkin membawa senjata," kata Jupiter. "Tersembunyi dalam sarung yang diselipkan di bawah ketiak. Kau tidak melihat dia merogohnya" Jelas orang itu sudah biasa melakukan kekerasan."
"Senjata" Dan dia tadi hendak mempergunakannya"" Pete terpaksa menelan ludah beberapa kali, saking kagetnya.
"Tapi dilarang majikannya," kata Jupiter. "Majikannya termasuk kelas yang jauh lebih tinggi. Aku ingin tahu, apa sebabnya ia memakai tukang tembak sebagai supir!"
Trio Detektif 02 Misteri Nuri Gagap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yang ingin kuketahui, kenapa kita harus berurusan dengan orang-orang macam begitu," kata Pete. "Padahal mulanya kita kan cuma hendak mencari burung nuri yang hilang."
"Memang betul," jawab Jupiter.
"Tapi sampai sekarang kita sudah berurusan dengan orang laki-laki gendut menyeramkan, lalu laki-laki berlogat asing yang memakai pembunuh bayaran sebagai supir. Kita juga mendapat keterangan tentang seorang pedagang keliling yang misterius, orang Meksiko. Dan semuanya menaruh minat pada burung yang itu-itu juga."
"Semua, kecuali si pedagang," kata Jupiter membetulkan. "Setelah burung itu dijual, ia tidak menaruh minat lagi padanya."
"Tapi apa sebabnya"" tanya Pete dengan bingung. "Apa sih keistimewaan seekor nuri gagap, sampai oknum-oknum kasar itu begitu
kepingin memilikinya" Kalau perlu bahkan dengan jalan mencurinya""
"Aku merasa yakin berkat penyelidikan kita lambat laun akan diketahui juga jawabannya. Namun saat ini aku benar-benar bingung."
"Yah - kalau begitu setidak-tidaknya keadaan kita sama," kata Pete sambil menggerutu. "Jika kau Ingin tahu pendapatku -"
"Ada apa, Worthington""' tanya Jupiter. Rolls-Royce baru saja melewati suatu tikungan ketika supir Inggris itu dengan tiba-tiba menginjak rem sehingga mobil terhenti.
"Ada orang dijalan, Master Jones," jawab Worthington. "Seorang nyonya, yang kelihatannya kehilangan sesuatu."
Jupiter memandang ke luar, begitu pula Pete. Nampak seorang wanita bertubuh pendek montok berdiri di tengah jalan. Tanpa mempedulikan keadaan lalu lintas ia menatap ke arah semak yang ada di pinggir jalan sambil berseru memanggil-manggil.
"Pretty! Sini, Pretty! Datang ke Irma. Ini, ada biji bunga matahari untukmu!"
"Ada yang sedang mengalami kesulitan," kata Jupiter. "Kita lihat saja, mungkin bisa kita bantu."
Mereka turun dari mobil lalu menghampiri wanita itu, yang masih saja mengintip-ngintip ke tengah semak lebat. Ia memegang biji bunga matahari yang diacungkan dengan sikap membujuk.
"Maaf," sapa Jupiter. " Anda kehilangan sesuatu""
"Ya, memang betul," jawab wanita itu. Ia bicara sambil menelengkan kepala. Sikapnya kayak burung dan suaranya juga kecil, seperti suara burung. "Little Bo-Peep hilang, dan aku tidak tahu di mana harus mencarinya."
"Kalian tidak melibatnya"" tanya wanita itu kemudian. "Kalian tidak melihat Little Bo-Peep""
"Tidak, Ma'am, "jawab Jupiter. Remaja itu selalu bersikap sopan. Wanita yang lebih tua, pasti disapanya dengan sebutan 'Ma 'am'. Ia melanjutkan, "Little Bo-Peep itu burung nuri""
"Ya, betul." Wanita itu memandangnya dengan heran. "Dari mana kau tahu""
Dengan cekatan Jupiter merogoh kantong, lalu menyodorkan kartu nama Trio Detektif.
"Kami ini penyelidik," katanya. "Saya menarik kesimpulan Anda mencari seekor burung nuri, karena sebuah sangkar burung tergeletak di rumput di tepi semak, dan karena Anda berusaha memanggil burung itu dengan pancingan biji bunga matahari. Nuri gemar makan biji bunga matahari."
Hal itu juga sudah terpikir oleh Pete. Tapi bagi wanita itu, penarikan kesimpulan demikian rupanya sangat mengagumkan. Setelah berseru-seru kagum beberapa kali, ia lantas mengajak kedua remaja itu ke rumahnya. Ia hendak menceritakan kejadian hilangnya Little Bo-Peep, yang dianggapnya aneh.
"Tunggu kami di sini, Worthington," kata Jupiter, lalu menyusul Pete yang sudah lebih dulu berjalan mengikuti wanita bertubuh kecil montok itu. Mereka menyusur jalan beralas batu bata menuju sebuah bungalow yang letaknya tersembunyi di belakang rumpun pohon pisang. Sesampai di sana, mereka dipersilakan duduk dalam kamar tamu yang sempit. Dengan segera Jupiter membuka percakapan.
"Little Bo-Peep Anda beli beberapa minggu yang lalu, dari seorang penjual yang logat Meksiko-nya sangat kentara, Miss Waggoner"" tanya Jupiter.
"Ya, betul," jawab Miss Waggoner. Matanya terbuka lebar, tanda heran. "Kau tahu itu" Dan kau juga mengenal namaku. Kalian mestinya sepasang detektif ulung!"
"Itu kan cuma soal menggabung-gabungkan keterangan saja, Miss Waggoner," kata Jupiter. "Mr. Fentriss tadi menyebut nama Miss Irma Waggoner. Dan tadi Anda berseru-seru memanggil Bo-Peep agar datang ke Irma. Anda lihat sendiri, dengan begitu saya sudah memperoleh semua informasi yang diperlukan."
"Rupanya Mr. Fentriss masih belum berhasil menemukan Billy"" tanya Miss Waggoner. "Kasihan!"
"Memang belum, Ma'am. Billy masih tetap hilang," kata Pete. "Kami saat ini sedang berusaha mencarinya. Bisakah Anda menceritakan bagaimana burung nuri Anda bisa sampai hilang""
"Tadi aku pergi sebentar ke toko," kata Miss Waggoner. "Kebetulan biji bunga matahari untuk Little Bo-Peep habis, sedang dia senang sekali memakannya. Baru saja aku menginjakkan kaki di jalan ketika sebuah mobil hitam kecil buatan luar negeri muncul dari balik tikungan. Nyaris saja aku kena tubruk. Orang jaman sekarang suka sembrono kalau menjalankan mobil!"
Pete dan Jupiter saling berpandangan
sekilas. Keduanya sempat menangkap keterangan mengenai mobil hitam kecil buatan luar negeri. Dan keduanya mendapat firasat yang sama. Ketika dilihat terakhir kalinya, orang yang menamakan diri Claudius naik mobil yang begitu ke arah sini.
"Yah," kata Miss Waggoner melanjutkan cerita, "setelah itu aku terus ke toko, membeli persediaan biji bunga matahari. Kemudian aku pulang sambil berjalan pelan-pelan menikmati kehangatan cahaya matahari. Tapi ketika aku masuk ke rumah, kulihat pintu sangkar Bo-Peep terbuka lebar. Kesayanganku itu lenyap! Kusangka aku sendiri yang lupa menutup pintu sangkar, sehingga Bo-Peep bisa terbang ke luar dan sekarang ada di pekarangan. Aku sedang mencari-cari dia di situ ketika kalian datang."
"Mengenai mobil yang nyaris menubruk Anda tadi, Anda kemudian melihatnya lagi atau tidak"" tanya Jupiter.
Wanita itu menggeleng. "Tidak! Soalnya langsung membelok di tikungan yang satu lagi, dan menghilang di balik pepohonan dan semak yang tumbuh lebat di sana. Astaga! Kalian kan tidak menduga laki-laki gendut yang mengemudikan mobil itu yang mencuri Little Bo-Peep""
"Saya rasa dialah pencurinya," kata Jupiter. "Menurut dugaan kami, juga dia yang mencuri Billy, nuri milik Mr. Fentriss."
"Aduh!" keluh Miss Waggoner. "Tak punya perasaan orang itu! Tapi untuk apa dia begitu repot, hanya untuk memperoleh beberapa ekor nuri" Kan dia juga bisa membeli."
Justru itulah yang juga ingin diketahui oleh Pete. Namun Jupiter tidak sanggup memberi jawaban.
"Sampai saat ini, hal itu merupakan teka-teki," katanya mengakui. "Little Bo-Peep bisa bicara, Miss Waggoner""
"O ya," jawab yang ditanya. "Ia selalu mengatakan 'Little Bo-Peep kehilangan domba dan tidak tahu ia harus dicari di mana. Hubungi Sherlock Holmes'. Begitu ucapannya. Aneh, ya" Masak kalimat begitu diajarkan pada burung nuri."
"Memang aneh," kata Jupiter. "Kalimat itu diucapkannya dengan logat Inggris""
"Ya, dengan logat Inggris yang sangat beradab," kata Miss Waggoner. "Seolah-olah diajarkan dengan cermat oleh seorang Inggris golongan terpelajar."
Jupiter sibuk mencatat segala keterangan itu, untuk Bob Andrews. Kawan itu yang bertugas mengurus catatan mengenai semua perkara penyelidikan mereka. Selesai mencatat, Jupiter melanjutkan bertanya, "Miss Waggoner - saya merasa yakin, laki-laki gendut yang menamakan dirinya Mr. Claudius itu menyelinap masuk kemari ketika Anda sedang tidak ada. Lalu mencuri Little Bo-Peep. Sebaiknya Anda menghubungi polisi."
"Polisi" Aduh, jangan!" seru Miss Waggoner. "Itu berarti aku harus jauh-jauh ke tengah kota untuk melaporkan, lalu - aduh, tidak - kalian saja yang menolong aku! Bilang kalian mau menolong," katanya meminta-minta. Nampaknya Miss Waggoner sangat bingung dan gelisah.
"Baiklah, Miss Waggoner," kata Jupiter. "Karena saya yakin Mr. Claudius yang mencuri kedua nuri itu, maka kedua penyidikan bisa kami lakukan secara serempak."
"Aduh. terima kasih banyak! Perasaanku menjadi jauh lebih enak sekarang."
"Masih ada satu pertanyaan lagi," kata Jupiter. "Anda dulu membeli Little Bob Peep dari seorang pedagang keliling bangsa Meksiko, yang naik gerobak keledai beroda dua""
"Ya, betul! Orang itu kelihatannya sakit. Batuk-batuk terus! Aku kasihan padanya." "Dia menyerahkan kuitansi tanda jual beli burung itu""
"Lho, tidak!" Miss Waggoner nampak heran. "Tak terpikir olehku untuk memintanya."
"Anda tidak melihat ada nama atau alamat tertulis di gerobaknya"" desak Jupiter. Tapi Miss Waggoner cuma bisa menggeleng. Tidak ada lagi keterangan lain yang masih bisa diberikan. Karena itu Pete dan Jupiter lantas meminta diri dengan sopan. Tapi begitu berada di luar rumah, Pete mencengkeram lengan kawannya.
"Jupe," katanya, "coba katakan padaku, bagaimana caramu hendak menemukan dua ekor nuri yang masing-masing bernama Billy Shakespeare dan Little Bo-Peep" Kan entah di mana mereka sekarang berada! Kuakui keduanya memang nuri peminat sastra, yang bisa mengutip kalimat dari Shakespeare dan syair Mother Goose. Tapi dalam rimba pasti ada berjuta-juta nuri yang memiliki kemampuan yang sebanding. Kita cuma buang-buang waktu saja."
Jupiter termenun g. Kata-kata Pete memang benar. Walau Little Bo-Peep mampu mengutip syair lagu anak-anak tradisional Inggris yang diciptakan oleh pengarang yang memakai nama samaran Mother Goose yang berarti Bu Angsa, namun pasti banyak sekali nuri lain yang memiliki kemampuan setanding.
"Menurut pendapatmu, apakah Mr. Claudius itu kelihatannya orang yang suka bercanda"" tanyanya kemudian.
"Ah, tidak," kata Pete. "Ketika ia mengacungkan laras pistol palsu pada kita, aku menganggap dirinya tergolong orang kasar."
"Nah, itulah. Tapi walau begitu ia mau repot-repot mencuri dua ekor nuri yang namanya aneh serta memiliki kemahiran yang tidak lazim. Saat ini kita belum bisa menebak alasan tindakan itu. Tapi di pihak lain, bukankah kita harus beranggapan bahwa pasti ada alasan yang sangat baik baginya""
"Kurasa memang begitu," gumam Pete. "Tapi berapa besar peluang yang ada pada kita untuk bisa menemukan dia kembali""
"Kita kan detektif, kita memiliki otak yang cerdas," kata Jupiter. Tampangnya yang penuh tekat saat itu menyebabkan Pete tahu bahwa Jupiter takkan berubah pikiran lagi. "Kecuali itu - Awas!"
Seketika itu juga ia menerpa Pete. Keduanya jatuh berguling-guling di tanah. Sesuatu benda berukuran agak besar melayang lewat tempat di mana kepala Pete sesaat yang lalu masih berada. Benda itu menghunjam di tanah yang empuk.
"Jangan tindih aku," kata Pete dengan napas tersengal-sengal, karena Jupiter jatuh tepat menindih perutnya. "Aku -tak bisa-napas! Tak bisa-gerak!"
Jupiter cepat-cepat berdiri lagi. Pete menarik napas panjang, lalu bangkit dengan lambat-lambat. Sementara itu Jupiter menarik benda yang jatuh tadi dari sela rerumputan. Ternyata sepotong genting berwarna merah. Persis seperti yang ada di atap bungalow Miss Waggoner.
"Kalau salah satu dari kita tadi kena benda ini, pasti akan tak berdaya untuk sementara waktu," kata Jupiter. "Untung saja aku sempat melihat sesuatu bergerak-gerak di tengah semak, sebelum pecahan genting ini melayang ke arah kita."
Pete mengucapkan terima kasih sambil terbata-bata. "Tapi siapa yang melempar"" tanyanya bingung. "Aku tidak sempat melihatnya," jawab Jupiter. "Tapi aku yakin, ini dimaksudkan sebagai peringatan. Ada orang yang tidak menghendaki kita mencari Billy Shakespeare atau Little Bo-Peep!"
BAB 4 KELANA GERBANG MERAH Bob Andrews sedang makan malam. Sekali-sekali matanya bergerak memandang ke arah pesawat telepon. Sejak kembali dari perpustakaan, ia sudah terus menunggu-nunggu bunyi deringnya. Pada waktu luangnya, Bob bekerja di situ, membantu-bantu membereskan buku-buku yang dipulangkan dan menaruhnya ke rak yang semestinya. Serta berbagai tugas bantu lainnya.
Kini ia sudah hampir selesai makan. Tapi telepon masih juga belum berdering.
Ketika sekali lagi ia melirik ke arah itu, ibunya sempat melihatnya. Ibunya nampak kaget, rupanya teringat lagi pada sesuatu hal.
"Astaga, ternyata aku kelupaan," kata Mrs. Andrews. "Tadi ada pesan untukmu. Dari kawanmu, Jupiter Jones. Dia menelpon tadi."
"Lalu, apa katanya"" kata Bob dengan segera.
Sehari sebelumnya, Bob sudah mengetahui garis-garis besar perkara penyelidikan mereka kali ini dari Jupiter. Juga sudah disepakatkan, Trio Detektif akan mengadakan rapat malam itu di Markas Besar. Itu juga apabila Jupiter tidak sedang sibuk. Soalnya, kadang-kadang ia harus membantu paman dan bibinya di tempat jual-beli barang bekas, dan karenanya tidak sempat mengadakan penyelidikan.
"Aku mencatatnya," kata ibunya, lalu merogoh-rogoh kantong, mencari-cari di antara sekian banyak kertas. "Soalnya, aku takkan sanggup mengingatnya. Jupiter kadang-kadang suka memakai bahasa yang aneh."
"Memang kebiasaannya, kalau bicara suka panjang kalimatnya," kata Bob menjelaskan. "Habis, dia kan kutu buku! Jadi secara otomatis kalau bicara pun kayak kalimat dalam buku, serba panjang! Pamannya, Paman Titus, juga sama saja kayak dia. Lama-lama bisa terbiasa juga."
"Yah - pokoknya inilah pesannya." Mrs. Andrews berhasil menemukan carik kertas yang dicari, lalu membaca tulisan yang tertera di situ. "Kelana Gerbang Merah, sekarang datanglah! Burung sudah terbang dan urusan sudah terbay
ang. Jalan tidak mudah, jadi ikuti anak panah. Pesan Jupiter selesai. Nah, coba - apa maksudnya dengan kalimat yang begitu"!" Ditatapnya Bob dengan pandangan menyelidik. "Pesan apa itu, kayak begitu" Atau kalian memakai bahasa sandi ya""
Saat itu Bob sudah bergerak menuju ke pintu. Tapi ia berhenti melangkah ketika ibunya bertanya. Dan kalau Mrs. Andrews mengajukan pertanyaan, dia juga mengharapkan jawaban. "Itu kan bahasa Inggris biasa, Bu," katanya.
"Ah - apanya yang bahasa Inggris biasa!" tukas ibunya. "Kedengarannya tidak biasa!"
"Itu bahasa Inggris biasa, cuma kedengarannya saja seperti bahasa sandi," ujar Bob menjelaskan. "Soalnya apabila ada orang lain kebetulan menangkap salah satu pesan kami, ia takkan bisa mengerti apa-apa." "Lalu aku ini orang lain, ya! Ibumu sendiri""
"Wah - bukan begitu, Bu," kata Bob buru-buru. "Kalau Ibu memang berminat, akan kujelaskan. Begini, Bu. Kami kan membentuk sebuah perusahaan detektif. Nah, saat ini kami mendapat tugas penyelidikan. Kami berusaha mencari seekor burung nuri yang lenyap."
"O, kalau begitu baiklah. Kedengarannya tak berbahaya." Wajah Mrs. Andrews yang semula mendung kini nampak cerah kembali. "Dan kurasa itulah yang dimaksudkan dengan kalimat 'Burung sudah terbang dan urusan sudah terbayang', ya""
"Betul, Bu. Lalu Kelana Gerbang Merah artinya -"
"Sudahlah. Kau boleh pergi sekarang! Tapi ingat, jangan sampai terlalu lambat pulang. Kau masih harus melakukan sesuatu untukku."
Bob bergegas keluar, mengambil sepedanya. Walau hari sudah malam, namun di luar masih terang. Saat itu sedang musim panas. Rocky Beach, kota kecil tempat ketiga remaja itu tinggal, letaknya di pesisir Samudera Pasifik, beberapa mil dari kota perfilman Hollywood. Di belakang kota terdapat perbukitan yang cukup tinggi. Bob pernah jatuh dari salah satu bukit itu. Tungkainya cedera, sehingga kini ia harus memakai alat penyangga. Kapan-kapan penyangga itu takkan diperlukannya lagi. Tapi sekarang pun ia bisa bergerak dengan cepat, apabila naik sepeda. Namun kalau jalan kaki. masih agak sulit.
Bob bersepeda lewat jalan-jalan belakang, menjauhi keramaian lalu lintas di tepi pantai. Akhirnya ia sampai di Tempat Timbunan Barang Bekas Jones, lewat belakang. Tempat itu bisa dibilang yang paling menarik di antara tempat-tempat sejenis di seluruh daerah. Suatu pagar kayu yang tinggi mengelilinginya. Dan pada pagar itu nampak berbagai pemandangan yang menarik, hasil ciptaan seniman-seniman setempat sebagai tanda terima kasih pada Mr. Jones atas kemurahan hatinya.
Pagar sebelah belakang, seluruhnya dihiasi lukisan peristiwa kebakaran besar tahun 1906 di San Francisco. Nampak pemandangan dramatis gedung-gedung terbakar, kereta-kereta pemadam kebakaran yang mondar-mandir ditarik kuda, serta kaum penduduk yang lari menyelamatkan diri sambil menggendong bungkusan barang-barang.
Bob bersepeda menghampiri pagar sebelah belakang, sambil berjaga-jaga jangan sampai ada yang memperhatikan. Sekitar lima belas meter dari pojok, ia turun dari sepeda. Di tempat itu nampak api berkobar-kobar dari sebuah gedung yang terbakar. Seekor anjing duduk dengan sedih sambil memandang ke arah api. Anjing itu sedih, karena yang terbakar itu tempat kediamannya. Oleh mereka bertiga, binatang yang tergambar di situ diberi nama 'Rover', yang berarti Kelana atau Pengembara. Salah satu mata anjing yang tergambar itu, sebenarnya mata kayu yang dijadikan papan pagar.
Bob mencongkel-congkel mata kayu itu, lalu meraihkan tangan ke dalam. Ia membuka sebuah kaitan yang ada di situ. Saat berikutnya tiga lembar papan terangkat, dan ia pun masuk sambil mendorong sepedanya. Itulah yang disebut 'Kelana Gerbang Merah'.
Untuk masuk ke tempat penimbunan barang-barang bekas itu ada empat jalan rahasia. Dengan begitu, kalau perlu Trio Detektif bisa pergi dan datang tanpa ketahuan orang lain.
Setelah menaruh sepeda, Bob mendatangi setumpuk bahan bangunan yang membentuk semacam gua. Di atas tumpukan itu ada sebuah papan tanda yang sudah tua, dengan gambar panah yang besar berwarna hitam serta tulisan 'Kantor'. Ini merupakan lelucon yang hanya diketahui oleh merek
a bertiga, karena panah itu memang benar-benar menunjuk ke Markas Besar mereka.
Bob merangkak ke bawah tumpukan bangunan yang membentuk gua. Ia sampai di suatu lorong sempit yang dibatasi tumpukan barang rombengan di kiri-kanannya. Lorong itu berkelok-kelok, sampai akhirnya Bob harus merangkak lagi ke bawah beberapa lembar papan tebal. Papan-papan itu menampakkan kesan seakan-akan kebetulan saja terserak di situ. Padahal sebenarnya itu merupakan atap Pintu Empat, salah satu jalan masuk ke Markas Besar.
Bob merangkak sejauh beberapa meter. Kemudian ia sampai di suatu tempat, di mana ia bisa berdiri tegak kembali. Ia mengetuk selembar papan. Tiga kali berturut-turut. Lalu disusul ketukan sekali. Lalu dua kali. Papan tergeser membuka, dan Bob membungkuk sedikit sambil melangkah masuk ke dalam Markas Besar.
Yang dinamakan Markas Besar itu suatu ruangan dalam sebuah trailer yang panjangnya sekitar sepuluh meter. Trailer itu sudah tidak dipakai lagi. Letaknya tersembunyi di balik berbagai macam barang bekas yang bertumpuk-tumpuk di sekitarnya. Bahkan paman Jupiter, Mr. Jones, pun tidak tahu bahwa ketiga remaja itu berhasil menjelmakan trailer tua itu menjadi markas besar yang serba modern. Lengkap dengan kamar gelap untuk mencuci film, sebuah laboratorium khusus serta ruangan kantor dengan mesin ketik, pesawat telepon, meja, serta tape recorder. Segala peralatan itu mereka buat sendiri, dengan bagian-bagiannya diambil dari barang-barang bekas yang diangkut ke tempat itu. Tentu saja kecuali pesawat telepon! Alat itu sewanya mereka bayar dengan uang yang diperoleh sebagai imbalan kerja mereka membantu di tempat timbunan barang bekas itu.
Begitu ketiga remaja sudah berkumpul di dalam markas besar mereka, segala pembicaraan mereka di situ takkan mungkin bisa diketahui orang lain.
Ketika Bob masuk, Jupiter sudah duduk di sebuah kursi putar, sambil menggigit-gigit sebatang pensil. Pete Crenshaw kelihatan iseng, berulang-ulang menggambar burung nuri.
"Halo, Bob," sapa Jupiter. "Kenapa agak terlambat""
"Ibuku lupa menyampaikan pesanmu," kata Bob menjelaskan. "Lagipula aku toh takkan diijinkannya pergi sebelum makan malam dulu. Pertemuan ini super rahasia ya"" Jupiter mengangguk.
"Soalnya karena Bibi Mathilda," katanya. "Ia sudah seharian membersihkan rumah, dan aku disuruhnya membantu. Sekarang ia ingin agar aku mencuci kaca semua jendela. Tentu saja aku akan melakukannya, tapi penting sekali bahwa kita juga mencapai kemajuan dalam usaha kita mencari Billy Shakespeare serta Little Bo-Peep. Aku sedang memikirkan salah satu cara penyelidikan yang bisa kalian berdua mulai sebelum aku beralih fungsi menjadi tukang cuci kaca jendela."
Memang begitulah gaya bicara Jupiter Jones. Dia nampaknya tidak bisa bicara dengan kalimat-kalimat singkat. Mungkin itu pengaruh berbagai jenis buku yang dibacanya sejak bertahun-tahun. Jupiter itu seorang kutu buku.
"Kita menghadapi jalan buntu," kata Pete. "Macet. Bingung. Kita tahu, laki-laki gendut yang menyebut diri Claudius itu mestinya yang mencuri Billy Shakespeare dan Little Bo-Peep. Tapi kita tidak tahu jalan bagaimana kita bisa mencari di mana dia berada. Kalau polisi, mungkin mereka bisa menemukan mobilnya - tapi urusan ini tidak mereka anggap serius. Bayangkan jika kita menghadap Chief Reynolds, kepala polisi kota ini, untuk minta dibantu menemukan Shakespeare dan Little Bo-Peep!"
"Pokoknya kita sudah berjanji pada Mr. Fentriss dan Miss Waggoner, untuk merahasiakan urusan ini," kata Jupiter. "Namun dengan cara bagaimana juga kita harus berhasil mengetahui di mana Mr. Claudius berada - atau mengakui kegagalan."
"Yah, aku punya akal," kata Bob. "Bagaimana jika kita tanyakan pada orang-orang, apakah mereka melihat mobil yang dipakai Mr. Claudius. Jika cukup banyak yang kita tanyai, pasti salah satu ada yang pernah melihat. Dan jika mobil sudah kita temukan, Mr. Claudius sendiri tentunya ada di salah satu tempat di dekat situ."
"Orang biasanya tidak teliti pengamatan mereka," kata Jupiter. "Saksi mata saja bisa saling bertentangan keterangannya."
"Tapi kalau anak-anak, tidak," kata Bob. "Anak-anak bi
asa sangat teliti terhadap hal-hal yang menarik perhatian mereka. Dan anak laki-laki, pada umumnya tertarik pada mobil. Jika kita bertanya pada sekian ribu anak laki-laki yang tinggal di sekitar Los Angeles dan Hollywood, pasti kita akan menjumpai seseorang di antara mereka yang ingat sekali pada mobil itu."
Dari tampang Jupiter saat itu nampak jelas bahwa otaknya sedang kerja lembur. Kemudian ia mengangguk-angguk. "Idemu hebat sekali, Bob."
"O ya"" kata Bob sambil melotot. "Maksudmu, benar-benar gemilang""
"Sangat sederhana, dan karenanya gemilang," kata Jupiter. "Seperti katamu tadi, anak laki-laki berumur berapa pun tentu akan tertarik pada mobil. Apalagi mobil yang tidak sering kelihatan berkeliaran di tempatnya. Kita harus bertanya pada anak-anak di seluruh kota, sampai berhasil menemukan seseorang yang melihat mobil yang kita cari. Dengan begitu kita akan tahu, orang yang menamakan diri Claudius itu ada di dekat situ. Tapi di pihak lain, jelas bahwa anak-anak itu tidak bisa kita tanyai satu persatu."
"Kalau begitu, bagaimana caranya"" tanya Pete bingung.
Jupiter mencondongkan tubuhnya ke depan. Ditatapnya kedua kawan sejawatnya. "Kita akan memakai hubungan hantu ke hantu," katanya.
BAB 5 HUBUNGAN HANTU KE HANTU Jupiter menatap mereka dengan sikap yakin. Sedang Pete dan Bob sama sekali tidak bisa menduga, apa yang dimaksudkan oleh kawan yang satu itu.
"Apa maksudmu, hubungan hantu ke hantu"" tanya keduanya serempak.
"Itu suatu metode untuk menghubungi sekian ribu anak laki-laki, dengan tujuan meminta informasi tanpa bicara secara langsung dengan mereka," kata Jupiter.
"Lalu apa hubungannya dengan hantu"" tanya Bob yang masih tetap bingung.
"Ah, kau ini - tentu saja bukan hantu sungguh-sungguhan," kata Jupiter. "Tapi anak-anak yang dihubungi itu kan tidak kenal dengan kita, dan kita juga tidak mengenal mereka. Maksudku sebagian besar dari anak-anak itu. Bagi kita, mereka cuma suara yang terdengar lewat telepon. Jadi cocok kan, jika mereka kita juluki hantu. Hantu katanya juga tidak kelihatan! Lagipula, julukan itu kan rasanya mengesankan."
"Betul juga katamu," kata Pete menyetujui.
"Tambahan lagi," sekarang Jupiter sudah semakin bersemangat, "apabila pemberi keterangan yang tak dikenal itu kita sebut dengan penamaan 'hantu', orang lain yang mendengar pembicaraan kita pasti akan cuma bisa melongo saja, karena tidak tahu apa maksud kita. Itu menjadi rahasia kita sendiri."
"Yah - masuk akal," kata Pete sekali lagi.
"Lalu pertimbangan terakhir," sambung Jupiter, "gagasanku ini bisa dipakai, kalau perlu untuk menghubungi anak laki-laki sampai ke pesisir timur. Sampai ke tepi Samudera Pasifik. Istilahnya lantas berubah menjadi hubungan pantai ke pantai. Tapi nama itu sudah pernah dipakai dalam salah satu siaran televisi. Jadi lebih baik pakai nama hubungan hantu ke hantu saja."
"Kan kau sendiri yang menciptakan! Jadi terserah padamu mau pakai nama yang mana," kata Pete.
"Betul," sambung Bob. "Tapi bagaimana cara kerjanya""
"Gampang saja! Bob, berapa jumlah kawanmu yang tinggal di sekitar sini""
"Kawan dengan siapa aku biasa bergaul, maksudmu" Begitulah, sekitar sepuluh sampai dua belas," kata Bob. "Mengapa""
"Nanti dulu. Sekarang kau, Pete. Berapa jumlah kawanmu, yang bukan juga kawan Bob"" "Enam atau tujuh," kata Pete setelah memikir sesaat. "Untuk apa kautanyakan""
"Nanti akan kujelaskan. Aku sendiri, ada empat atau lima kawanku yang bukan kawan kalian berdua. Nah, coba kausebutkan tanda-tanda mobil yang dipakai Mr. Claudius, Pete. Sedang kau, Bob, kaucatat keterangan Pete."
"Mobil berpintu dua, merek Ranger model sport, warna - hitam," kata Pete. "Tempat duduk beralas kulit warna merah. Bisa dibilang masih baru. Pelat nomor dan negara bagian California sini, sedang nomor serialnya berakhir dengan angka 13."
Bob mencatat data itu. Jupiter menambahkan, "Pengemudinya, yang memperkenalkan diri dengan nama Claudius, orangnya gendut dan memakai kaca mata berlensa tebal sekali. Kurasa keterangan itu sudah memadai. Sekarang kita mulai dengan hubungan yang kumaksudkan."
Kedua kawannya mendekat, supaya bisa mendengar lebih jela
s. "Cara kerjanya begini," kata Jupiter melanjutkan. "Mula-mula aku menelepon lima orang kawan dan menanyakan pada mereka, apakah mereka melihat mobil Ranger berwarna hitam itu. Katakanlah mereka tidak melihatnya semua. Aku lantas meminta pada mereka agar masing-masing menelepon lima kawan lagi sambil meneruskan keterangan yang sudah kita sebutkan tadi. Lalu kelima kawan itu diminta pula untuk menelepon lima kawan selanjutnya. Begitu terus sampai kita memperoleh hasil. Setiap anak yang dihubungi, diberi tahu nomor telepon kita. Dan barang siapa bisa memberi keterangan mengenai mobil itu, diminta agar menelepon kita besok pagi pukul sepuluh untuk menyampaikannya. Nah -jelas sekarang caranya""
"Huii!" seru Bob kagum. "Hebat, Jupe!"
"Wow!" sela Pete. "Besok pagi setiap anak laki-laki di wilayah California Selatan pasti akan sudah sibuk mencari Ranger hitam itu."
"Kalau memang ternyata perlu," kata Jupiter. "Bagaimana - ada di antara kalian yang melihat salah satu kekurangan dalam rencana ini, sebelum kita memulainya""
"Bagaimana jika menawarkan hadiah"" tanya Pete. "Biasanya pemberi informasi diberi hadiah." "Betul," kata Bob. "Dengan begitu minat akan bertambah besar."
"Gagasan baik sekali." Kemudian Jupiter berpikir-pikir. "Tapi apa yang bisa kita jadikan hadiah" Uang kita kan tidak banyak."
"Bagaimana jika menawarkan bahwa pemberi informasi boleh naik Rolls-Royce"" saran Pete. "Anak sini yang senang mobil pasti mau sekali jika diajak naik Rolls-Royce mewah yang bagian-bagiannya berlapis emas. Dan dia juga bisa kita pinjami pesawat telepon yang ada di mobil, supaya bisa memberi tahu kawan-kawannya, bahwa dia naik mobil hebat."
"Kurasa ide itu bagus," kata Jupiter. "Kau juga punya usul, Bob""
"Aku tadi hendak mengatakan, bagaimana jika anak pertama yang menyampaikan informasi pada kita diberi hak untuk memilih salah satu benda yang ada di tempat timbunan barang bekas ini. Anak laki-laki pada umumnya pasti senang jika boleh mencari-cari barang yang diperlukan di sini."
"Betul," kata Pete setuju. "Kurasa takkan ada yang tidak suka apabila diberi kesempatan memilih salah satu benda di antara sekian banyak barang bekas menarik yang biasa dibawa kemari oleh pamanmu, Jupe."
"Tapi tempat ini bukan milik kita," kata Jupiter. Keningnya berkerut. "Dan barang yang bukan kepunyaan kita tidak bisa kita hadiahkan."
Sesaat hal itu membuat perembukan mereka macet. Tapi kemudian Pete teringat, paman Jupiter masih berhutang pada mereka sebagai imbalan pekerjaan yang mereka lakukan ketika membetulkan beberapa benda yang kemudian bisa dijual kembali oleh Mr. Jones. Ketiga remaja itu lantas menjumlahkan imbalan yang masih harus dibayar. Mereka sampai pada jumlah 25,13 dollar. Ketiganya lantas sepakat. Sebagai hadiah bagi anak yang memberikan informasi yang diperlukan, mereka akan menawarkan kesempatan pesiar naik Rolls-Royce, serta hak memilih benda apa saja yang ada di tempat timbunan barang bekas. Asal nilainya tidak melebihi 25,13 dollar.
Setelah urusan itu beres, mereka lantas mulai menelepon ke sana-sini. Jupiter menelepon kelima kawannya. Tak seorang pun dari mereka melihat mobil hitam yang dimaksudkan. Tapi kelima-limanya berjanji masing-masing akan menelepon lima orang kawan sambil meneruskan pertanyaan.
Selesai menelepon, Jupiter bergegas ke luar lewat Lorong Dua, jalan utama untuk keluar-masuk. Ia masih mencuci kaca jendela-jendela rumah, untuk Bibi Mathilda. Pete mendapat giliran berikut untuk menelepon, dan sesudah itu Bob. Mereka tidak perlu lama-lama menjelaskan. Setiap anak yang dihubungi dengan segera memahami duduk perkara. Semua gembira, karena diikutsertakan dalam suatu penyelidikan penting.
Begitu Bob dan Pete selesai menghubungi kawan-kawan mereka, keduanya merasa yakin bahwa kawan masing-masing yang ditelepon paling dulu saat itu pasti sudah sibuk menyebarluaskan pesan Trio Detektif.
Bob masih tinggal beberapa saat di Markas Besar, karena harus mengetik catatannya mengenai perkembangan yang sudah terjadi sampai saat itu. Ketika ia pulang kira-kira sejam kemudian, dilihatnya ibunya sedang memegang gagang pesawat telepon de
ngan wajah bingung. "Aneh," kata ibunya. "Aku benar-benar tidak mengerti."
"Ada apa, Bu"" tanya Bob.
"Sedari tadi aku sudah mencoba untuk menelepon kaum ibu yang akan membantu aku dalam perjamuan makan yang akan diadakan tidak lama lagi. Sampai sekarang sudah dua belas yang coba kuhubungi. Boleh percaya atau tidak, tapi kenyataannya semua sambungan sedang bicara."
Bob kaget. Ia merasa tahu penyebabnya.
"Yang ibu hubungi itu, semuanya punya anak yang sebaya dengan aku"" tanyanya.
"Ya," jawab ibunya. "Karena itu aku takkan heran kalau tiga sampai empat hubungan sedang bicara. Tapi sekaligus dua belas! Nah, sekarang kucoba saja Mrs. Garrett."
"Kurasa kemungkinan mendapat hubungan akan lebih besar, jika Ibu mau menunggu beberapa saat sebelum mencoba lagi," kata Bob. "Maksudku, mungkin saja ada sesuatu yang tidak beres saat ini."
"Ya, mungkin juga," jawab ibunya. Tapi ketika Bob keluar lagi, ibunya masih tetap menatap pesawat telepon dengan sikap bingung.
Begitu masuk ke kamarnya sendiri, Bob lantas mulai menghitung-hitung. Tiga kali lima, lima belas. Jumlah itulah yang dihubungi langsung oleh mereka bertiga. Lalu jika kelima belas kawan itu masing-masing menghubungi lima kawan lagi, jumlahnya sudah tujuh puluh lima. Lima kali tujuh puluh lima, tiga ratus tujuh puluh lima - kali lima lagi menjadi seribu delapan ratus tujuh puluh lima. Kali lima -
Bob bersiul kagum, sambil menatap hasil hitungannya. Pantas semua sambungan sibuk. Jupiter kalau sudah mendapat gagasan, rupanya tidak membayangkan betapa besar akibatnya. Hubungan hantu ke hantu ternyata meledak!
Tapi karena pesan yang harus disampaikan singkat saja, maka takkan lama waktu yang diperlukan untuk menyebarluaskannya. Bob tahu bahwa sebentar lagi keadaan akan kembali seperti biasa. Karena itu ia lantas mengalihkan perhatian mempelajari catatan-catatan yang dibuatnya tentang urusan yang sedang diselidiki saat itu. Bob memberinya judul "Misteri Nuri Gagap".
Ada sesuatu yang agak terasa mengganjal perasaannya. Mungkin soalnya sepele saja, tapi ia saat itu tidak tahu apa. Bukan soal apa sebabnya laki-laki gendut ingin mencuri nuri. Bukan, bukan itu! Mereka sudah sepakat, teka-teki itu penyelesaiannya harus diundurkan dulu, sampai sudah terkumpul lebih banyak fakta mengenainya. Tapi masih ada lagi teka-teki lain. Apa perlunya seekor burung nuri diajar bicara tergagap-gagap" Soalnya, seperti dikemukakan oleh Jupiter, Billy Shakespeare pasti dengan sengaja diajar untuk mengatakan, 'To-to-to be or not to-to-to be'. Sebab mustahil ada nuri yang secara kebetulan gagap kalau bicara. Lalu -
Tapi saat itu Bob sudah terlena di tempat tidur. Namun sekitar tengah malam ia terbangun dengan tiba-tiba. Di tengah kesunyian, ia seakan-akan mendengar suara berbisik berulang-ulang di telinga. "Little Bo-Peep kehilangan domba dan tidak tahu ia harus cari di mana. Hubungi Sherlock Holmes." Kalimat itulah yang biasa diucapkan Little Bo-Peep seperti dilaporkan oleh Miss Waggoner.
Namun - dengan mengabaikan usul misterius, yakni hubungi Sherlock Holmes - kalimat itu sebenarnya keliru. Dalam syair yang sebenarnya, kalau Bob tidak salah ingat, dikatakan "Little Bo-Peep kehilangan domba dan tidak tahu mereka harus dicari di mana". Tapi nuri yang bernama Bo-Peep tidak mengatakan 'mereka'. Ia mengatakan 'ia'.
Timbul perasaan dalam diri Bob. Jupe pasti akan menganggap hal itu penting.
"Hmm." Tampang Jupiter menggerenyot, tanda bahwa ia sedang berpikir keras. "Kau benar, Bob. Miss Waggoner jelas mengatakan bahwa burung nuri kepunyaannya mengatakan '...tidak tahu ia harus dicari di mana'. Tapi sebetulnya kedua kalimat itu tidak ada yang salah, karena domba bisa tunggal - tapi juga bisa berarti banyak. Walau demikian
"Sudahlah, jangan sok profesor kalau ngomong!" keluh Pete. "Yang penting, apa artinya""
Saat itu sudah keesokan harinya. Trio Detektif mengadakan rapat lagi di Marka Besar. Sebentar lagi pukul sepuluh pagi, saat mana mereka berharap akan memperoleh hasil dari hubungan hantu ke hantu yang mereka lancarkan malam sebelumnya. Sementara itu mereka membicarakan hal yang disadari oleh Bob tengah mala
m. "Tapi tentu mungkin pula itu cuma kekeliruan biasa," kata Bob. "Maksudku, orang Inggris yang mengajari burung-burung nuri itu bicara, tidak begitu ingat kalimat yang sebenarnya."
"Nanti dulu, perlu kubetulkan," sela Jupiter. "Billy Shakespeare gagap kalau bicara. Itu satu kesalahan. Lalu Little Bo-Peep keliru mengucapkan kalimat dan syair Mother Goose. Jadi, dua kesalahan."
"Apalah artinya salah dua," kata Pete dengan tidak sabar. "Di sekolah setiap kali ada pelajaran mengarang, pasti kesalahanku jauh lebih banyak daripada cuma dua."
"Betul," kata Jupiter, "tapi dalam hal ini kita merasa yakin, kedua burung nuri itu diajari oleh seorang Inggris yang terpelajar. Satu kesalahan masih bisa terjadi secara kebetulan. Tapi dua kesalahan-sudah mengarah pada kesengajaan."
"Sengaja"" Tampang Pete saat itu kelihatan polos, tanda bahwa ia tidak mengerti sama sekali. Bob tidak heran, karena memang tidak selalu gampang mengikuti jalan pikiran Jupiter Jones. Kadang-kadang suka mengambil jalan memintas.
"Maksudmu dengannya, sebetulnya sama gampangnya mengajari seekor nuri untuk mengucapkan sesuatu yang keliru, seperti halnya mengajarinya berkata-kata dengan benar"" kata Bob. Ia berusaha mencari kejelasan. "Jadi kau lantas beranggapan, pasti ada alasan tertentu kenapa Billy Shakespeare tergagap-gagap dan Little Bo-Peep menyatakan ia dan bukan mereka""
"Tepat," kata Jupiter. Mula-mula kita menghadapi teka-teki aneh, yaitu apa sebabnya Mr. Claudius sampai sibuk mencuri burung nuri. Kemudian kita menemukan teka-teki baru, kenapa kedua burung nuri yang hilang sampai diajari mengucapkan kalimat-kalimat aneh, tapi secara keliru."
"Entahlah," kata Bob sambil menggaruk garuk kepala. "Untuk apa mengajarkan kalimat-kalimat begitu pada burung nuri" Kalau orang lain biasanya sudah puas jika punya nuri yang bisa bilang 'Polly minta kue'."
"Semakin kita selidiki, ternyata misteri ini menjadi semakin rumit," kata Jupiter. Tampangnya saat itu membayangkan kepuasan. Ia biasanya kelihatan begitu pada saat menghadapi teka-teki yang benar-benar memusingkan kepala. Teka-teki yang menantang minta dipecahkan!
"Mengajari burung nuri, memerlukan kesabaran yang luar biasa," katanya setelah itu. "Jadi barang siapa yang melakukannya, mempunyai niat tertentu. Kita tidak tahu apa niat itu. Tapi kurasa Mr. Claudius mengetahuinya, dan karena itu kedua nuri dicuri olehnya."
"Astaga!" kata Bob kaget. "Mungkin bukan cuma Billy dan Bo-Peep saja nuri yang terlibat dalam perkara ini. Ingat saja tentang Blackbeard yang saat itu belum bisa dijual oleh si pedagang - serta betapa bergairah Mr. Claudius ketika mendengar tentang burung itu""
"Aduh, ampun," keluh Pete. "Jika dua ekor nuri saja sudah membikin kita pusing tujuh keliling, bayangkan bagaimana kita jika menghadapi lebih banyak lagi!"
Biasanya mereka pasti akan tertawa mendengar kata-kata itu, tapi justru saat itu pula telepon berdering. Jupiter cepat-cepat menyambarnya, seolah-olah takut benda itu nanti terbang.
"Halo, di sini Jupiter Jones," katanya. "Ya, betul. Akulah yang mencari keterangan tentang... O ya, kau melihatnya" Tolong katakan dulu, apakah nomor mobil itu berakhir dengan angka tiga belas..." Tidak..." Wah, sayang-kalau begitu bukan mobil yang kami cari. Tapi bagaimanapun, terima kasih atas bantuanmu."
Gagang pesawat dikembalikannya dengan tampang kecewa.
"Seorang anak di Hollywood," katanya. "Tapi nomornya keliru."
Telepon berdering lagi. Sekali ini Jupiter ingat untuk mendekatkannya ke alat pengeras suara, supaya kedua kawannya bisa mengikuti pembicaraan. Ternyata yang menelepon seorang anak laki-laki di Santa Monica, yang mengatakan melihat sebuah mobil Ranger hitam kemarin malam. Diparkir di depan sebuah restoran. Tapi mobil itu sudah agak tua dan yang memakainya sepasang muda-mudi. Keliru lagi.
Keseluruhannya masih ada delapan anak lagi yang menelepon. Jupiter menanyai mereka dengan teliti. Tapi ternyata setiap kali bukan itu mobil yang dicari.
Hubungan hantu ke hantu tidak membawa hasil! Mereka masih tetap belum tahu apa-apa tentang di mana Mr. Claudius berada.
BAB 6 TAMU TAK TERDUGA SEMENTARA mereka masih berpandang-pandangan dengan perasaan kecewa, terdengar suara bibi Jupiter memanggil-manggil. Mathilda Jones, bibinya itu, memiliki suara nyaring, sebanding dengan tubuhnya yang besar.
"Jupiter!" Terdengar suara Mrs. Jones dengan jelas. "Ini, ada yang mencari! Di mana lagi kau sekarang, Jupiter" Astaga - sejam yang lalu masih kulihat di sekitar sini. Ada seorang anak laki-laki yang ingin bertemu. Anak Meksiko!"
Mendengar kata 'anak Meksiko', ketiga remaja yang berada dalam trailer langsung teringat pada hal yang sama. Pedagang yang berjualan burung nuri, bicaranya dengan logat Meksiko!
Mereka bergegas-gegas ke Lorong Dua. Di lantai trailer ada satu bagian berbentuk bujur sangkar, yang bisa dibuka. Di bawahnya melintang sebuah pipa besi yang besar. Mereka masuk ke situ, lalu merangkak sejauh kira-kira sepuluh meter dalam pipa, sampai ke belakang terali besi. Pete yang paling depan menggeser terali itu ke samping. Ketiganya lantas merangkak keluar dari Lorong Dua. Kini mereka berada di belakang mesin cetak yang sudah usang, tapi sudah diperbaiki kembali. Dengan mesin cetak itulah Trio Detektif membuat kartu-kartu nama serta kepala surat mereka.
Mereka berada di bengkel Jupiter yang sebelah luar. Letaknya di suatu pojok kompleks tempat timbunan barang bekas. Tak ada yang bisa melihat mereka di situ, karena terlindung di balik tumpukan barang-barang tua. Di bawah atap yang tingginya hampir dua meter dari tanah, dan terpasang menempel pada sisi dalam pagar yang mengelilingi kompleks itu. Jupiter menaruh gergaji listrik, mesin bor serta peralatan lainnya. Semua berasal dari tumpukan barang rombengan yang dibeli oleh Paman Titus, dan kemudian diperbaiki sendiri oleh Jupiter.
Iklim daerah California Selatan bisa dibilang kering sepanjang tahun. Oleh karena itu mereka bisa bekerja terus di luar. Tapi kalau sekali-sekali hujan turun, ada lembaran plastik yang bisa diselubungkan untuk melindungi peralatan.
Bibi masih memanggil-manggil terus. Ketiga remaja itu mengitari beberapa tumpukan barang dan, muncul di bagian pusat tempat timbunan, dekat gerbang depan di mana kantor perusahaan itu terletak.
"Bibi tadi memanggil"" tanya Jupiter. Bibinya berpaling, ketika mendengar suaranya. Di belakang wanita itu nampak seorang anak laki-laki berbangsa Meksiko. Tingginya hampir sama dengan Bob. Pakaiannya robek-robek. Ia memegang tali kendali seekor keledai kerdil, yang menarik sebuah gerobak tua beroda dua.
"Anak ini ingin bertemu denganmu, Jupiter," kata Mrs. Jones. "Hari ini kau bisa agak santai. Tentu kau senang mendengarnya. Tapi besok akan banyak pekerjaan yang harus dilakukan, karena Titus kembali dari perjalanan berbelanja."
"Baik, Bibi Mathilda," kata Jupiter.
Setelah itu bibinya masuk ke dalam kantor. Sementara itu anak Meksiko tadi jelalatan, memandang berkeliling. Setelah itu ia berpaling menatap Jupiter. Itu memang biasa, karena bentuk tubuh Jupiter yang pendek gempal memang menarik perhatian.
"Senor Jupiter"" sapa anak itu dengan sopan.
"Namaku Jupiter Jones," sahut Jupiter.
"Dan aku Carlos," kata anak itu. Gaya bicaranya kentara sekali berlogat Meksiko. Beralun, nyaris seperti menyanyi. "Di mana au-to" Boleh aku melihatnya""
"Au-to"" tanya Jupiter. Ia tidak mengerti. Tapi Pete tahu maksud anak Meksiko itu. "Ia bertanya, di mana Rolls-Royce," katanya. "Oh, Rolls-Royce! Ada di garasi," jawab Jupiter.
"Au-to emas!" kata Carlos. "Pasti sangat indah. Aku kepingin sekali melihatnya." Ia mulai nyengir. Tapi air mukanya dengan segera berubah lagi. Kelihatan takut. "Maaf, Senor Jupiter, tapi aku suka sekali pada mobil. Segala jenis mobil. Pada suatu hari nanti - kapan-kapan aku pun akan punya mobil!"
"Kau kemari untuk urusan mobil"" tanya Jupiter. Ia menoleh. Dilihatnya saat itu ada sebuah truk yang tidak begitu besar, masuk lewat gerbang depan. Hans dan Konrad, kedua pembantu pamannya baru datang. Mereka berasal dari Jerman. Tubuh mereka kekar.
"Ikut aku," kata Jupiter pada Carlos. Anak itu ragu-ragu sesaat. Kemudian diikatkannya tali kendali keledai ke sepotong pipa yang ada di situ. Sebelum menyusul Jupiter, Carlos menepuk
-nepuk keledainya dengan sikap sayang.
"Sebentar saja, Pablo," katanya pada keledai itu.
Tak lama kemudian keempat remaja itu sudah duduk di bengkel luar. Carlos memandang berkeliling dengan mata terbuka lebar. Kelihatannya kagum melihat berbagai peralatan yang ada di situ.
"Carlos - kau datang ini tujuannya untuk memberi laporan tentang sebuah mobil Ranger hitam model sport"" tanya Jupiter.
Carlos mengangguk beberapa kali. Begitu cepat gerakannya, sehingga kepalanya kelihatan seakan nyaris terlepas. "Si, si si, Senor Jupiter," katanya mengiyakan. "Kemarin malam temanku Esteban datang ke rumah. Kata dia, seorang Senor Jupiter Jones ingin tahu tentang sebuah mobil Ranger, yang nomornya berakhir dengan angka-angka satu - tiga."
Trio Detektif menahan napas, sementara Carlos memandang mereka dengan mata terbuka lebar penuh harapan. "Dan -" di sini ia berhenti sejenak, "katanya untuk itu disediakan hadiah."
"Hadiah!" seru Pete dengan begitu keras, sehingga Carlos berubah menjadi kecut tampangnya. "Tentu saja ada! Tapi kau melihat mobil itu" Kau tahu sekarang di mana""
"O ya, aku melihat mobil itu," kata Carlos. "Aku juga melihat laki-laki gendut. Tapi di mana dia sekarang, aku tidak tahu. Nanti dulu -" Carlos menghitung-hitung dengan jari, "satu - dua - tujuh hari yang lalu aku melihat laki-laki gendut dengan mobil itu."
"Tujuh hari yang lalu!" kata Pete dengan kecewa. "Itu kan tidak banyak gunanya. Bagaimana kau masih bisa ingat pada mobil yang kaulihat seminggu yang lalu""
"Soalnya, aku suka sekali pada mobil," jawab Carlos. "Bahkan sampai termimpi-mimpi! Mobil Ranger hitam itu bagus sekali. Bisa kusebutkan nomornya. AK empat lima - satu - tiga! Tempat duduk semua berlapis kulit warna merah. Bumper kanan depan ada goresan sedikit. Bumper belakang agak penyok."
Kini mereka memandang anak Meksiko itu dengan hormat. Banyak anak laki-laki yang sanggup mengenali merek dan tahun buatan hampir setiap mobil yang dilihat. Tapi tidak banyak yang bisa mengingat begitu banyak hal setelah satu minggu, seperti Carlos.
"Dengan keterangan itu, polisi pasti bisa menemukannya," kata Jupiter sambil mencubit-cubit bibir. "Tapi kita sudah berjanji takkan menghubungi polisi. Setelah itu mobil tadi tidak kaulihat lagi Carlos"" Anak Meksiko itu menggeleng dengan sedih.
"Aku tak mendapat hadiah"" tanyanya. Ia mengeluh. "Tidak bisa naik mobil emas""
"Mungkin masih bisa," jawab Jupiter. "Mula-mula aku ingin tahu dulu, bagaimana kau sampai bisa melihat mobil itu serta Mr. Claudius" Maksudku, laki-laki gendut itu""
"Dia mendatangi pamanku, Paman Ramos," kata Carlos, "untuk urusan burung nuri."
"Burung nuri"" seru Pete. "Kalau begitu orang yang menjual Billy Shakespeare dan Little Bob-Peep itu pamanmu""
Carlos mengangguk. "Ya, begitu pula nuri yang lain-lainnya," katanya. "Semua yang namanya aneh-aneh itu."
"Nuri dengan nama aneh"" tanya Jupiter sambil saling berpandangan dengan Bob. Ternyata firasat Bob benar! Lebih banyak lagi burung nuri yang terlibat dalam perkara ini. "Kau masih ingat nama-nama kesemuanya"" Carlos menggaruk-garuk rambutnya yang gondrong. Kemudian ia mengangguk. "Ya, aku ingat," katanya. "Billy Shakespeare dan Little Bo-Peep." Trio Detektif mengangguk serempak. "Yang itu sudah kami ketahui," kata Pete. "Lalu Sherlock Holmes dan Robin Hood," sambung Carlos. "Sherlock Holmes dan Robin Hood," ulang Bob sambil mencatat. "Captain Kidd dan Scarface," tambah Carlos. "Scarface, matanya tinggal satu." Bob mencatat terus.
Dendam Iblis Seribu Wajah 21 Goosebumps - 30 Makhluk Mungil Pembawa Bencana Kisah Sepasang Rajawali 32