Pencarian

Reuni Berandal Cilik 1

Trio Detektif 40 Misteri Reuni Berandal Cilik Bagian 1


THE MYSTERI OF THE ROGUES' REUNION
by Alfred Hitchcock Text by Marc Brandel TRIO DETEKTIF MISTERI REUNI BERANDAL CILIK
Alihbahasa: Aryotomo Markam
Penerbit: PT Gramedia Cetakan kedua: November 1990
Scan & DJVU: tagdgn http://tag-dgn.blogspot.com
Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
"MATIKAN! Matikan!" pinta Jupiter Jones. "Matikan saja itu!"
Ia sedang menatap ke arah pesawat televisi. Di layar tampak seorang anak gemuk berumur tiga tahun yang dijuluki "Baby Fatso".
Jupe tidak dapat mempercayai pandangan matanya. Apakah itu memang dia" Apakah itu Jupiter Jones, Penyelidik Satu, yang sering membantu polisi memecahkan masalah-masalah rumit" Jawabnya tidak salah lagi. Itu memang Jupe.
Setelah bertahun-tahun terkubur, akhirnya Baby Fatso muncul kembali!
SEPATAH KATA DARI HECTOR SEBASTIAN
SEBENTAR, aku matikan dulu televisiku.
Nah, sekarang izinkan aku memperkenalkan diriku sendiri. Aku Hector Sebastian, penulis kisah misteri yang profesional. Beberapa karyaku telah diangkat ke layar putih.
Aku jarang menonton televisi, kecuali siaran berita. Tetapi kali ini aku punya alasan khusus mengapa aku menonton acara yang baru saja disiarkan. Teman mudaku tampil dalam acara tadi.
Aku harus mengakui bahwa aku hampir-hampir tidak mengenalinya. Di dalam film seri itu dia jauh lebih muda dari dia sekarang. Yah, bisa dikatakan dia masih bayi ketika bermain untuk film itu. Namun aku ingin sekali menyaksikannya, karena dari situlah Reuni Berandal Cilik dimulai.
Misteri ini merupakan kasus terbaru yang melibatkan teman-teman mudaku, Trio Detektif. Lebih baik kuperkenalkan mereka dulu sebelum aku menjelaskan bagaimana mereka sampai terlibat dalam kasus ini.
Mereka adalah Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews. Mereka tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di sebelah selatan California, tidak jauh dari rumahku di Malibu, dan hanya beberapa mil dari Hollywood.
Jupiter Jones-teman-temannya memanggilnya Jupe-adalah Penyelidik Satu. Ia memang dilahirkan sebagai detektif. Aku tahu benar hal ini, karena aku sendiri pernah menjadi detektif sebelum beralih profesi menjadi penulis. Ia punya tiga kelebihan yang mendukungnya sebagai detektif yang baik. Pertama, mata yang jeli yang siap menangkap setiap petunjuk di sekitarnya. Kedua, kemampuan untuk merangkai petunjuk-petunjuk itu menjadi sesuatu yang berarti. Dan ketiga, ini yang terpenting, dorongan kuat yang membuatnya tidak pernah berputus asa sebelum kasus yang dihadapinya terselesaikan dengan tuntas.
Aku tidak bilang bahwa Jupe tidak punya kelemahan. Dia mudah tersinggung mengenai satu hal-berat badannya. Ia tidak keberatan kalau teman-temannya menyebutnya si Gempal. Tetapi kalau kau ingin tetap menjadi kawan Jupe, jangan sekali-kali memanggilnya si Gendut, atau Fatso.
Pete Crenshaw, Penyelidik Dua, adalah atlet yang berbakat. Ia pelari, perenang ulung, dan pemain baseball yang baik. Ini berarti setiap kali dibutuhkan kecepatan dan kekuatan fisik dalam menghadapi risiko, Pete yang biasanya ditunjuk. Bukan karena ia suka mengambil risiko, sebaliknya, ia benci pada hal-hal yang menyerempet bahaya.
Bob Andrews mengurus soal Data dan Riset. Ia bekerja sambilan di perpustakaan Rocky Beach. Belajar dan membaca merupakan kesukaannya. Ia juga sangat cocok bekerja sama dengan Jupe, karena ia sering mengajukan pertanyaan yang tepat pada saat yang tepat pula.
Trio Detektif telah menyelesaikan berbagai kasus dan memecahkan bermacam misteri. Tetapi yang terbaru ini lain dari yang lain. Ini lain karena Penyelidik Satu sendiri terlibat dalam Misteri Reuni Berandal Cilik.
Jupiter Jones adalah aktor kanak-kanak yang baru saja aku tonton filmnya di televisi. Ia dulu termasuk salah satu anggota Berandal Cilik. Dan reuni mereka ternyata mengundang misteri!
HECTOR SEBASTIAN Bab 1 MASA LALU JUPITER "MATIKAN. Matikan," pinta Jupiter Jones. "Matikan saja itu."
Ia membenamkan dirinya dalam kursi putarnya sehingga hanya matanya yang terlihat di balik meja kayu kuno. Suaranya serak. Wajahnya yang biasanya memancarkan kecerdasan dan kesiagaan kini berkerut-kerut seperti orang kesakitan. Penyel
idik Satu nampak sangat tersiksa. Dan memang itulah yang sedang terjadi.
Ia sedang disiksa di hadapan kedua sahabat karibnya. Tidak seorang pun dari kedua sahabatnya itu tergerak untuk menolongnya. Kedua orang itu, Pete Crenshaw dan Bob Andrews, hanya tersenyum, terkekeh, dan kadang-kadang terbahak-bahak.
Mereka bertiga sedang berkumpul di kantor rahasia mereka di Pangkalan Jones, pangkalan yang menjual barang-barang bekas, di Rocky Beach, California-sebuah kota kecil beberapa mil jauhnya dari Hollywood. Pete berselonjor di kursi goyang, kedua kakinya diletakkan di atas laci kecil. Bob duduk di sebuah kursi kecil sambil menyandar ke dinding kantor. Mereka sedang menonton sebuah acara di televisi.
.. .Di layar tampak seorang anak kecil bertubuh bulat montok, berumur sekitar tiga tahun, duduk di atas meja dapur. Seorang anak bermata sayu berumur delapan atau sembilan tahun melipat kedua tangan anak montok tadi di punggungnya. Seorang anak lagi, mungkin umurnya sudah sebelas tahun, sibuk mengaduk sesuatu dalam sebuah mangkuk porselen Cina. Tubuhnya kurus tinggi, dan rambutnya yang pirang tercukur pendek-hampir-hampir botak. Sekilas kepala itu tampak seperti telur rebus matang. Ia menyeringai seraya menggoyang-goyangkan kepala panjulnya sambil terus mengaduk isi mangkuk di tangannya.
"Oh, jangan," kata anak montok itu dengan suara yang cadel namun berat. Jarang dijumpai anak kecil bersuara berat seperti itu. "Jangan, jangan. Aku tidak cuka, aku tidak mau kena cacal all..."
"Matikan TV itu," pinta Penyelidik Satu lagi. "Aku tidak tahan lagi melihat atau mendengarnya."
"Tapi aku ingin menontonnya sampai habis," tukas Pete. "Aku ingin tahu bagaimana akhir celita ini. Maksudku, cerita ini."
"Ayolah, Baby Fatso," kata salah seorang anak di layar. Ia berbadan kekar, kulitnya kecoklatan, rambutnya kaku dan tajam seperti duri landak. Dari penampilannya dapat ditebak bahwa umurnya sudah sekitar dua belas tahun. Ia menyeringai lebar seperti kawan-kawannya yang lain. Tapi ada sesuatu dalam senyumannya yang seolah mengatakan bahwa ia tidak akan tega menyakiti anak montok itu.
"Kalau mama dan papamu mengira kau kena cacar air," katanya dengan irama yang monoton, "maka semua orang akan kuatir kita ketularan. Dan kita tidak usah ke sekolah."
"Ya," sela seorang anak dengan telapak kaki yang luar biasa besarnya. "Mereka kira kita sudah tertular cacar air."
Anak dengan kepala panjul, yang dikenal sebagai Bonehead, sudah selesai mengaduk cairan di dalam mangkuk porselen Cina. Ia mulai melakukan adegan lawak yang sudah umum....
Jupe menutupi mukanya dengan kedua belah tangannya. Ia ingat betul adegan lawak rutin yang sangat dibencinya ini. Bonehead dapat menggerak-gerakkan daun telinganya yang lebar itu. Kalau ia melakukannya, kedua telinganya bisa tampak seperti bendera yang berkibar-kibar.
Jupe makin kuat menekan mukanya dengan kedua telapak tangannya. Sementara Bob dan Pete terpingkal-pingkal.
...Sambil menggerak-gerakkan telinganya, Bonehead mengambil sebuah kuas kecil. Dicelupkannya kuas itu ke dalam mangkuk porselen, lalu dilukisnya totol-totol merah di muka anak montok tadi. Baby Fatso melawan dan memberontak, tapi ia tidak menangis...
Namun tidak demikian halnya dengan Jupe. Perlahan-lahan ia membuka jari-jarinya, sehingga ia dapat mengintip dari sela-selanya. Kini ia melihat layar televisi dengan perasaan ngeri bercampur tidak percaya.
Diakah itu" Mungkinkah anak montok berpakaian coklat-yang membiarkan dirinya dicoreng-moreng oleh Bonehead di seluruh muka dan lehernya-adalah Jupiter Jones" Jupiter Jones, penyelidik pertama Trio Detektif, pemecah berbagai misteri yang tidak j arang membingungkan Chief Reynolds dan anak buahnya"
Tapi itu memang dia. Jupe tahu benar hal itu. Jupiter pernah memerankan Baby Fatso, salah satu pemeran utama dalam film komedi anak-anak yang dimainkan oleh kelompok Berandal Cilik.
Jupe selalu berusaha keras untuk melupakan masa-masa itu. Dan kalaupun ia teringat juga, ia berusaha menghibur dirinya dengan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa bukan dia yang memilih peran itu.
Ketika menjadi anggota Berandal Cil
ik pada usia tiga tahun, Jupiter masih terlalu muda untuk menentukan pilihannya. Bukannya Jupe menyalahkan orang tuanya atas pilihan peran itu. Bagi kedua orang tuanya, peran itu adalah kesempatan emas bagi Jupe. Mereka sendiri adalah penari profesional yang sering ikut dalam perlombaan tari di California. Sering kali mereka tampil sebagai peran pembantu dalam berbagai film-film bioskop dan dalam berbagai pertunjukan seni di studio-studio ternama.
Salah satu direktur studio kemudian menjadi teman baik mereka. Beberapa kali mereka saling berkunjung ke kediaman masing-masing. Pada salah satu kunjungan, pada suatu hari Minggu sore yang tidak dapat dilupakan, direktur studio itu diperkenalkan dengan anak kecil mereka, Jupiter.
Pada saat berkenalan itu direktur studio amat terkesan melihat penampilan Jupiter, khususnya pada gaya dan cara bicaranya. Belum pernah ia jumpai sebelumnya ada seorang anak berusia tiga tahun bersikap dan berbicara seperti Jupiter waktu itu.
Beberapa hari kemudian Jupiter dipanggil untuk diuji. Dengan mudah Jupiter lulus, dan dalam waktu sebulan saja ia sudah mendapat peran Baby Fatso dan menjadi anggota Berandal Cilik.
Dalam sekejap Jupe meraih sukses. Bukan saja dia berbakat dan sanggup melakukan apa yang diperintahkan sutradara dalam sesaat, tapi dia dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan anggota Berandal Cilik lainnya. Satu
halaman dialog dapat diingatnya dengan sekali baca saja. Dan selama penampilannya dalam film seri itu, ia tidak pernah lupa barang satu kalimat pun.
Kalau saja orang tuanya tidak mengalami kecelakaan mobil ketika Jupe baru berumur empat tahun, niscaya ia sudah menjadi aktor kenamaan. Tetapi kemudian Paman Titus dan Bibi Mathilda Jones mengangkat Jupe, yang kini yatim-piatu, sebagai anaknya. Mereka menanyakan bagaimana perasaan Jupe waktu berperan sebagai Baby Fatso. Dengan terus-terang Jupe menjawab bahwa ia tidak suka memainkan peran itu.
Sebenarnya ia tidak keberatan bangun pukul lima tiga puluh setiap pagi, pergi ke studio, duduk di kursi untuk dirias muka dan lehernya dengan warna oranye terang. Ia tidak keberatan untuk menunggu juru kamera mempersiapkan peralatan dan tata lampu di studio. Ia cukup gembira menunggu sambil membaca atau mengerjakan teka-teki. Dan ia juga tidak keberatan untuk melakukan apa saja yang diperintahkan sutradara: tersedak, berbicara gagap, tertawa, menangis. Yang tidak dapat diterima Jupe adalah perlakuan anggota Berandal Cilik lainnya.
Hampir semua anggota Berandal Cilik lainnya tidak mengerti bahwa itu cuma sandiwara belaka. Yang mereka perbuat pada Jupe-seperti melukis bercak-bercak merah pada muka Baby Fatso, atau menyiram kepala Baby Fatso dengan alat penyiram bunga-hanyalah akting. Mereka tidak bisa membedakan mana yang sandiwara dan mana yang sungguhan.
Anggota Berandal Cilik lainnya menganggap kedua hal itu sama saja. Di luar studio mereka memperlakukan Jupe seperti dalam film saja. Bagi mereka, Jupe dan Baby Fatso adalah sama saja. Dan karena Jupe paling kecil dan muda, mereka selalu mengolok-olok dan mempermainkan Jupe.
Mereka mencampuri es krim Jupe dengan merica ketika sedang makan siang. Mereka memoleskan perekat di bangku Jupe. Mereka mencopot kancing-kancing bajunya.
Dan yang paling dibenci Jupe, mereka tetap memanggilnya Baby Fatso. Setiap saat. Di kepala mereka tidak pernah terlintas bahwa Jupiter bukanlah Baby Fatso. Baby Fatso hanyalah tokoh dalam film, bukan tokoh sungguhan. Dia adalah Jupiter Jones.
Jadi ketika Bibi Mathilda menanyai Jupe apakah dia masih ingin terus menjadi anggota Berandal Cilik, dia tidak ragu barang sedikit pun. Ia merasa seperti terkurung dalam sangkar di sana. Pertanyaan Bibi Mathilda memberinya kesempatan untuk bebas.
Setelah tahun pertama berakhir, Jupe mengundurkan diri dari Berandal Cilik, untuk selamanya. Dan tanpa dia, film seri itu tidak dapat dilanjutkan.
Jupe lalu tinggal di Pangkalan Jones bersama paman dan bibinya. Di sekolahnya ia berkenalan dengan Pete Crenshaw dan Bob Andrews. Mereka menjadi sahabat dan tak lama kemudian membentuk Trio Detektif, kelompok detektif muda yang serius dan
profesional. Jupe berusaha melupakan masa-masa ketika ia menjadi Baby Fatso. Dan selama bertahun-tahun dia berhasil melupakan hal itu.
Tapi kini, hal yang mengerikan itu muncul kembali. Mengerikan bagi Jupe tentu saja. Studio yang memproduksi film seri itu menjualnya untuk diputar ulang pada sebuah perusahaan siaran televisi.
Jupe tidak menyadari siaran ulang film seri itu, sampai teman-teman sekolahnya ikut-ikutan memanggilnya Baby Fatso. Bahkan anak laki-laki dan perempuan yang tidak dikenalnya mendatanginya dan mengagumi kelucuan Jupe di film itu. Mereka meminta Jupe untuk berbicara gagap dan tersedak seperti di film. Selama tiga minggu terakhir ini tokoh Baby Fatso menjadi bahan pergunjingan di sekolah. Sekali lagi Jupe mengalami mimpi buruk dalam hidupnya.
Untunglah sekarang liburan musim panas sudah mulai. Untuk sementara Jupe kini aman dari gangguan itu. Ia dapat menghabiskan waktunya di kantor rahasia Trio Detektif di pangkalan barang bekas. Kantor itu berada di dalam sebuah karavan tua yang tersembunyi di bawah timbunan barang-barang rongsokan, diperlengkapi dengan sebuah televisi kecil, yang sekarang sedang disetel. Pete dan Bob memaksa untuk menonton siaran ulang Berandal Cilik. Kedua temannya itu benar-benar suka film seri tua itu. Bob dan Pete masih terbahak-bahak melihat adegan di layar televisi.
...Bonehead, yang kurus kering dengan tulang-tulang yang menonjol dan rambut pirang pendek, telah selesai melukis muka Baby Fatso dengan bercak-bercak merah. Ia berusaha melepas baju Baby Fatso untuk mencoreng-coreng punggungnya juga. Pintu dapur tiba-tiba tersibak. Seorang gadis kecil berumur sekitar sembilan tahun menyerbu masuk. Gadis itu bernama Pretty Peggy, pahlawan wanita dalam film seri ini. Dialah yang selalu menjadi penyelamat Baby Fatso.
"Lepaskan dia!" kata Pretty Peggy pada Bonehead.
"Ya, aku tidak cuka kena cacal all," pinta Baby Fatso dengan memelas.
Bonehead tidak peduli. Ia mencoba mengurung Pretty Peggy di lemari pakaian. Flapjack, anak laki-laki berambut bak duri landak, membela Pretty Peggy. Perkelahian antar Berandal Cilik tidak dapat dihindarkan lagi. Salah satu dari mereka mengambil sepiring kue tart dari bufet. Dilemparnya kue itu ke arah Peggy. Meleset. Namun kue itu melayang dan mendarat tepat di muka Baby Fatso.
"Oh," Baby Fatso menggumam. Ia menjilat-jilat bibirnya sambil mengusap-usap matanya. "Aku lebih cuka kue dalipada cacal all..."
"Jupiter. Di mana kau""
Suara Bibi Mathilda terdengar melalui pengeras suara. Jupe sengaja memasang mikrofon di luar kantor, sehingga dari dalam dia tetap dapat mendengar kalau bibinya memanggil. Biasanya kalau bibinya memanggil, itu cuma berarti satu- kerja. Pasti bibinya punya pekerjaan yang harus dilakukannya. Jupe tidak pernah menolak kalau ditawari pekerjaan. Dengan bekerja ia dapat membayar rekening telepon di kantornya. Namun Jupe sebenarnya lebih suka mengerjakan hal-hal yang menggunakan otaknya, bukan tenaganya.
Tetapi kali ini ia sangat gembira mendengar panggilan Bibi Mathilda. Daripada menyaksikan film yang menyiksa dirinya itu, lebih baik kerja, pikir Jupe. Ia melompat dari bangkunya. Dimatikannya televisi. Wajah Baby Fatso yang penuh bercak-bercak merah menghilang dari layar televisi.
Sesaat kemudian Trio Detektif sudah keluar dari kantornya dengan hati-hati, melalui pintu rahasia yang mereka namakan Pintu Empat. Berjingkat-jingkat mengitari tumpukan kayu, mereka mendatangi Bibi Mathilda.
"Oh, di situ kau rupanya," kata Bibi Mathilda.
Jupe membuka jaketnya. "Ada pekerjaan apa kali ini"" tanyanya.
Tapi kali ini Bibi Mathilda tidak meminta anak-anak untuk bekerja. Ada orang di pintu gerbang yang ingin berbicara dengan Jupe.
Jupe mendesah. Banyak orang bolak-balik datang ke pangkalan untuk berbicara dengannya. Mereka adalah wartawan-wartawan dari Los Angeles, bahkan dari San Fransisco, yang ingin membuat cerita tentang pemeran tokoh Baby Fatso ini.
"Katakan saja aku tidak ingin bicara dengannya," pinta Jupe pada Bibi Mathilda. "Tolong ya, Bibi."
"Aku sudah katakan padanya, Jupiter. Tapi dia tidak mau pergi. Dia bilang ini penting." Bibi Mathil
da tersenyum dengan penuh pengertian. Ia tahu perasaan Jupe. Kejadian ini bukan yang pertama kalinya dalam minggu ini. Sudah lusinan wartawan ditolaknya, baik wartawan koran maupun wartawan televisi.
"Ia bawa mobil besar dan bagus, Jupiter," lanjutnya. "Dan ia bilang ia tidak mau beranjak dari situ sebelum bertemu kau. Mobilnya diparkir menghalangi pintu gerbang. Jadi kurasa kau sebaiknya pergi menemuinya."
"Oke," Jupe menyetujui dengan enggan. "Aku akan ke sana untuk berbicara. Tapi aku tidak akan bicara soal Berandal Cilik."
Dan mobil yang dibawa orang itu memang besar dan menarik. Bagian belakang mobil kuning itu tampak seperti kepala ikan paus. Pria yang keluar dari mobil itu terlihat besar dan menarik pula. Ia berjalan menghampiri Trio Detektif ketika mereka muncul di pintu gerbang.
Sebagai seorang detektif, Jupe telah terbiasa mengamati muka, pakaian, bentuk telinga, dan hidung, serta tanda-tanda khusus lain dari orang yang dijumpainya. Yang pertama kali menarik perhatian Jupe adalah gigi orang itu. Besar dan putih bersih. Sebaris gigi berkilau-kilau setiap kali laki-laki itu tersenyum.
"Jupiter Jones," katanya sambil tersenyum lebih lebar lagi, "namaku Milton Glass. Aku kepala Biro Publikasi di studio."
Jupiter berdiri di antara Pete dan Bob. Ia menatap Milton Glass tanpa berkata apa-apa.
"Aku punya tawaran yang kurasa akan menarik bagimu, Jupiter." Suara laki-laki itu sangat ramah dan simpatik. "Aku mempunyai rencana mengumpulkan seluruh anggota Berandal Cilik untuk mengadakan reuni di studio. Dan setelah makan siang..."
"Tidak, terima kasih," potong Jupe tegas. Tawaran ini lebih buruk dari yang diperkirakannya semula. Wawancara saja ia tidak sudi, apalagi bertemu dengan anak-anak yang menyebalkan itu. Ia membalik dan melangkah masuk ke pangkalan.
"Apa kau tidak ingin bertemu dengan kawan-kawanmu"" Milton Glass meletakkan tangannya di pundak Jupiter. "Bonehead, Bloodhound, Footsie, dan..."
"Tidak, terima kasih." Jupe menepis tangan Milton Glass dari pundaknya. "Mengingat mereka saja sudah membuatku muak. Aku tidak ingin..."
"Ah, itu rupanya." Senyum Milton Glass semakin lebar dan semakin bersahabat. "Justru itulah yang ingin kudengar dari mulutmu."
"Apa"" tanya Jupe keheranan. Biasanya Jupe sudah dapat menduga apa yang bakal orang katakan. Tapi kali ini tidak. Ia tidak menyangka akan begitu jawaban yang diterimanya. Ia menunggu.
"Mereka mempermainkanmu, kan" Aku tahu, sebagian besar dari mereka selalu memperolokkanmu. Mereka membuat kau jadi bulan-bulanan. Mereka selalu memanggilmu Baby Fatso. Aku yakin kau benci pada mereka. Ya, kan""
"Bukan sifatku untuk membenci orang," sahut Jupe dingin. "Tapi aku benar-benar tidak suka pada mereka."
"Bagus." Sebaris gigi Milton Glass bersinar-sinar lagi. "Dan sekarang aku akan memberimu kesempatan untuk membalas perlakuan mereka. Akan kuberi kau kesempatan untuk menunjukkan siapa kau sebenarnya. Kau suka ideku ini""
"Bagaimana"" Wajah Jupe kosong, tapi matanya bersinar-sinar.
"Di hadapan seluruh pemirsa televisi. Dengan disiarkan langsung di televisi," kata Milton Glass. "Studio sedang merencanakan mini seri berupa dua paket acara berbentuk quiz. Seluruh anggota Berandal Cilik akan bertarung satu sama lain. Dan menurut dugaanku, kau pasti menang, Jupiter. Kau akan membuat mereka seperti orang dungu di hadapanmu."
Penyelidik Satu berseri-seri wajahnya. Ia teringat kembali orang-orang yang pernah membuatnya susah. Bonehead, si kepala panjul. Bonehead yang pernah mengunci tangannya di punggung. Bonehead yang pernah menaruh bangkai tikus di kotak makanannya.
Jupiter berpikir cepat seraya menatap wajah ramah Milton Glass.
"Dan hadiah pertama, Jupiter," kata Milton Glass lagi, "hadiah pertama quiz ini adalah dua puluh ribu dollar."
Bab 2 KEJUTAN DI PANGGUNG SEMBILAN
SEBUAH mobil Limousine berhenti ketika memasuki gerbang studio di Vine Street, Hollywood. Penjaga yang berseragam mengangguk sambil tersenyum pada sopir yang sudah dikenalnya itu. Ia lalu berjalan ke belakang untuk mengecek nama tiga anak pada daftarnya.
"Jupiter Jones," kata Jupe tegas. Ia telah bertekad untuk tidak
membiarkan siapa pun memanggil dirinya Baby Fatso.
"Jones, Jupiter." Penjaga melihat pada catatannya. "Sunrise Road 45, Rocky Beach. Benar""
"Benar," sahut Jupiter. Penjaga mengangguk. Kemudian kedua detektif lainnya menyebutkan nama mereka.
"Pete Crenshaw."
"Bob Andrews." Penjaga mencocokkan nama dan alamat mereka, lalu mengangguk. Ia menyelipkan sebuah kartu putih di kaca depan mobil. Jupiter mengenali kartu itu sebagai tanda masuk ke studio. "Panggung Sembilan," katanya seraya menyilakan.
Sopir Limousine menjalankan mobilnya perlahan-lahan, menyusuri jalan yang panjang. Di kiri-kanan jalan itu berdiri bangunan-bangunan terkenal. Mereka melewati Perpustakaan Besar New York. Gedung Opera Kuno San Fransisco. Menara Pisa yang miring.
Semua itu sudah sangat dikenal Jupe, tapi ia merasa aneh. Ini seperti mimpi yang terulang kembali. Bob dan Pete merapat ke jendela mobil untuk melihat pemandangan gedung dan bangunan terkenal yang mereka lalui. Namun Jupe tahu bahwa semua itu bukan bangunan sungguhan. Itu hanyalah dekorasi, yang terbuat dari kanvas dan plester. Kalau salah satu pintu dibuka, di belakangnya tidak akan dijumpai apa-apa.
Jupe duduk menyandar di belakang mobil hitam itu. Ia tidak peduli pada pemandangan di luar.
Milton Glass, ketua Biro Publikasi, telah mengirim Limousine hitam itu untuk menjemput Jupe di Pangkalan Jones. Mobil dan sopir itu khusus disiapkan untuk Jupiter yang akan mengikuti quiz yang dimulai besok.
Paman Titus dan Bibi Mathilda diundang untuk menghadiri makan siang pembukaan di studio. Tetapi mereka lebih suka untuk tinggal di rumah saja.
Mereka suka sekali menonton film, tetapi mereka tidak peduli bagaimana dan di mana film itu dibuat. Karena itu dengan sopan mereka menolak undangan makan siang di studio.
Tetapi sebaliknya dengan Bob dan Pete. Mereka bersemangat sekali untuk mengetahui apa yang terjadi di balik panggung studio. Mereka ingin tahu bagaimana proses pembuatan sebuah film. Dan ini suatu kebetulan bagi Jupe. Dengan kedua sahabat karibnya ia merasa lebih tenang menghadapi keadaan yang mengingatkannya pada masa lalu.
Limousine ini, yang dari tadi meluncur dengan kecepatan tidak lebih dari lima mil per jam, tiba-tiba berhenti. Jupe melongok ke luar. Ia mengira bahwa inilah tempat di mana makan siang diadakan. Mobil itu berhenti di depan sekumpulan wigwam-tenda orang Indian. Dua prajurit Romawi, membawa pedang dan tameng, keluar dari salah sebuah tenda.
Sopir tadi, Gordon Harker, menurunkan kaca jendelanya.
"Dapatkah Anda menunjukkan di mana letak Panggung Sembilan"" tanyanya pada salah seorang prajurit Romawi.
Jupe sebenarnya tahu letak panggung itu. Panggung Sembilan adalah tempat syuting film Berandal Cilik. Tetapi saat ini ia merasa enggan untuk memperlihatkan pengetahuannya itu. Ia tidak merasa terburu-buru untuk segera menemui dan bereuni dengan Bonehead, Footsie, dan lain-lainnya.
"Terus saja ke sana," kata prajurit Romawi itu sambil menunjuk dengan pedangnya.
"Ya, kau tidak akan kesasar," kata prajurit yang satu lagi menambahkan.
Si sopir mengucapkan terima kasih, lalu melajukan mobilnya. Prajurit-prajurit Romawi itu benar. Sebuah gedung putih besar, seperti hanggar pesawat terbang, muncul di hadapan mereka Angka sembilan terlukis besar-besar di salah satu sisinya.
Sopir itu melompat ke luar dan membukakan pintu belakang bagi Trio Detektif.
Jupiter mengucapkan terima kasih. Ia memandang Gordon Harker yang tinggi, tegap, dan memakai seragam sopir serta topi pet. Seperti biasanya, mata Jupe yang terlatih mengamati segala-galanya tentang Gordon Harker. Sepatunya yang mengkilat, matanya yang memancarkan kecerdasan, mukanya yang coklat tua, serta rambutnya yang lurus dan hitam.
Pada pintu masuk ke Panggung Sembilan terdapat sebuah gerendel dan sebuah gembok besar yang tergantung pada sebuah ring. Secara refleks, Jupe melihat pada dua buah lampu di atasnya. Lampu merah menyala. Berarti orang tidak boleh masuk dulu, Jupe ingat. Di dalam sedang ada syuting, kamera sedang bekerja. Semua itu terlintas kembali di benak Jupe. Peraturan di studio dan kebiasaan-kebiasaan semasa kecilnya sebag
ai aktor. Namun ia cepat-cepat mengalihkan pikirannya. Ia tidak ingin terkenang akan masa lalunya.
Lampu hijau menyala. Jupe mendorong pintu. Ia melangkah masuk diikuti Pete dan Bob.
Tetapi mau tidak mau masa lalu itu teringat lagi. Bukan hanya bau cat, besi, dan panasnya sorot lampu studio, namun juga suara serempak yang sangat tidak ia harapkan. Panggilan yang tidak ingin didengarnya lagi untuk selamanya. "Baby Fatso!" teriak suara-suara berbarengan.
Dalam sekejap Jupe dikerumuni wartawan-wartawan foto. Dua atau tiga menit lamanya ia berdiri dengan sabar untuk memberikan kesempatan para wartawan itu mengambil fotonya.
Dan selama itu ia benar-benar berusaha menahan diri.
"Senyum, Baby Fatso."
"Lihat ke sini, Baby Fatso."
"Sekali lagi, Baby Fatso."
Akhirnya mereka selesai. Milton Glass yang bersosok tinggi dan selalu tersenyum menghampiri Jupe. Ia merangkulkan tangannya di bahu Jupe.
"Jupiter," sapanya. "Jupiter Jones. Mari sekarang kita temui anggota Berandal Cilik lainnya."
Di seberang ruangan terdapat sebuah dapur yang terang-benderang. Jupe tahu bahwa itu bukanlah dapur sungguhan. Kompornya tidak dapat dinyalakan dan kerannya tidak akan mengeluarkan air. Hanya meja panjang yang bukan sekadar pajangan. Meja itu penuh dengan hidangan yang sudah disiapkan.
Milton Glass membimbing Jupe dan kedua temannya ke sisi meja tempat tiga anak muda dan seorang gadis sedang bercakap-cakap. Gadis itu menarik. Rambutnya panjang serta hitam berkilauan.
Mereka berhenti bercakap-cakap. Semua pandangan diarahkan pada Jupe ketika ia datang. Jupe balas menatap mereka. Ia hampir-hampir tidak percaya pada apa yang terlihat di hadapannya.
Bertahun-tahun ia tidak bertemu dengan anggota Berandal Cilik lainnya. Selama itu yang diingatnya adalah wajah-wajah mereka yang dulu. Bonehead, dengan kepalanya yang panjul dan cengirnya yang menyebalkan. Footsie, dengan wajah tembam seperti buah apel, serta kaki dan tangan yang besar. Bloodhound, dengan lidahnya yang sering kali terjulur dan matanya yang selalu sayu. Pretty Peggy, dengan poninya yang dipotong rata serta mukanya yang mungil.
Sekarang empat orang dewasa yang berada di hadapannya hampir-hampir seperti orang asing bagi Jupe.
Salah satu dari mereka-pemuda berpenampilan menawan, berambut pirang menutupi kupingnya, serta memakai jaket kulit-mengangkat tangannya menyambut Jupe.
"Hai," katanya. "Jadi, kau pun berhasil mereka seret pula, ha""
Jupe mengangguk. Ia melirik sepatu koboi yang dikenakan pemuda itu. Sepatu itu tampak kecil untuk orang setinggi dia, jadi dia pasti bukan Footsie. Dia juga bukan Bloodhound. Orang di sebelahnyalah-yang memiliki mata sayu, sekalipun lidahnya tidak lagi terjulur-yang diduga Jupe bahwa dialah Bloodhound.
Kalau begitu, pemuda berjaket kulit dan bersepatu koboi ini pasti Bonehead.
Jupe mengangguk pada kedua Berandal Cilik lainnya. Ia samar-samar masih mengenali mereka sebagai Footsie dan Bloodhound. Seperti halnya Bonehead, mereka pun telah berubah banyak sekali.
Tangan dan kaki Footsie masih nampak kebesaran, karena tubuhnya pendek dan agak kurus. Tapi wajahnya tidak lagi tembam seperti buah apel.
Bloodhound mengingatkan Jupiter pada seorang manajer perusahaan. Rambut coklatnya terpotong pendek dan tersisir rapi. Bajunya yang terkancing sampai ke leher dan jasnya yang apik membuat ia tampak necis. Sukar dipercaya bahwa ia dulunya aktor berwajah sayu yang memainkan tokoh Bloodhound.
Jupe berpaling. Ia memandang gadis yang berpenampilan menarik itu. Wajahnya masih mungil. Matanya biru dan bulu matanya lentik. Tapi Jupe tidak akan tahu bahwa dia Pretty Peggy kalau kebetulan berjumpa dijalan.
Gadis itu tersenyum pada Jupe. "Aku senang kau bisa datang, Jupe," ujarnya. "Kau tak keberatan kalau kupanggil Jupe, kan""
"Sama sekali tidak." Jupe senang sekali Pretty Peggy masih ingat namanya sebenarnya.
"Kaupanggil saja aku Peggy. Tidak usah pakai Pretty segala. Aku sudah terbiasa dipanggil begitu selama beberapa tahun terakhir ini. Peggy saja, oke""
"Oke," kata Jupe sambil menoleh pada Bob dan Pete untuk memperkenalkan mereka pada Peggy dan yang lainnya. Kemudian mereka men
inggalkan dapur untuk berbincang-bincang dengan Milton Glass dan seorang pria bertubuh kurus, berambut putih, yang sedang berdiri di samping kamera. Pria berambut putih itu tampaknya tidak asing lagi bagi Jupe. Tapi Jupe tidak dapat mengingat siapa namanya.
"Sekarang kita semua sudah berkumpul di sini," kata Bonehead, sambil meraih lengan Jupe dan menariknya supaya lebih mendekat. "Aku punya usul. Usul ini penting bagi kita semua."
"Tapi kita belum lengkap," Peggy mengingatkannya. "Flapjack belum datang."
"Flapjack tidak akan datang," kata Footsie memberi tahu.
"Oh, kenapa"" kata Peggy dengan nada kecewa.
Jupe juga kecewa. Di antara semua anggota Berandal Cilik, Jupe paling suka pada Flapjack. Anak berkulit coklat tua itu, di samping Peggy, tidak pernah menganggap Jupiter sebagai bayi yang bisa dipermainkan.
"Entah kenapa," sahut Bloodhound. "Mungkin mereka tidak bisa menemuinya, atau dia sendiri yang tidak bisa hadir."
"Jadi, sudah tidak ada yang ditunggu lagi," Bonehead melanjutkan. "Kita sudah berkumpul di sini untuk satu hal." Ia menepuk kantung jaket kulitnya. "Untuk uang. Benar"" "Benar," Bloodhound menyetujui dengan ragu-ragu. "Ya," kata Footsie. "Itu satu-satunya alasan mengapa kita berada di sini." Peggy mengangguk dengan serius. "Benar"" Bonehead menatap Jupiter.
Jupe bimbang. Meskipun dia akan senang kalau bisa memperoleh uang banyak-dia dapat menabungnya untuk membiayai sekolahnya nanti-dia datang ke situ bukan dengan tujuan mencari uang. Ia setuju untuk mengadakan reuni dan berlomba dalam acara quiz ini untuk satu hal: membalas perlakuan mereka ketika ia masih berumur tiga tahun. Tetapi Jupe enggan untuk mengemukakan pendapatnya saat ini.
"Oke," kata Jupe.
"Bagus," kata Bonehead meneruskan. "Sekarang kita berada di sini untuk duduk bersama dan menceritakan masa lalu yang indah itu. Setuju"" Peggy mengangguk lagi.
Apanya yang indah, pikir Jupe. Masa lalu itu mungkin indah bagi mereka, tapi sama sekali tidak bagi Jupe. Ia diam saja.
"Dan pengarah acara di sana-" Bonehead menunjuk dengan jempolnya ke arah pria berambut putih yang berdiri di samping Milton Glass- "akan merekam percakapan kita. Hasil rekaman ini akan disiarkan di televisi sebelum quiz dimulai."
Jupe menoleh ke arah pria berambut putih. Sekarang ia ingat siapa orang itu. Namanya Luther Lomax. Dia dulu sutradara setiap komedi Berandal Cilik. Tidak mengherankan kalau Jupe tidak mengenalinya tadi. Luther Lomax telah berubah banyak sekali, jauh lebih banyak dari para Berandal Cilik sendiri. Yang dapat diingat Jupe hanyalah sosoknya yang tinggi serta perintah-perintahnya yang tegas sebagai seorang sutradara. "Lampu, kamera, action!" begitulah biasanya ia berteriak pada mereka dulu. Kini ia tampak tua dan bungkuk.
"Jadi semua oke," lanjut Bonehead lagi. "Kalau mereka minta kita untuk tampil pada acara tatap muka ini di televisi, mereka harus membayar kita. Setuju""
Ia menatap anggota kelompok Berandal Cilik satu per satu, menunggu jawaban.
Semua mengangguk, kecuali Jupiter.
"Well"" Bonehead menunggu jawaban Jupiter. "Bagaimana menurutmu""
Jupe diam sejenak. Ia berpikir keras. Kalau dia ikuti saran Bonehead, itu berarti dia mengakui kepemimpinan Bonehead. Bonehead yang akan berperan sebagai juru bicara mereka semua. Ini mengingatkan Jupe pada masa silam, ketika Bonehead menjadi pimpinan anak-anak nakal yang mengolok-oloknya.
Ide ini sangat bertentangan dengan sifat Jupiter.
Ia merasa punya bakat untuk menjadi pemimpin. Sebagai penyelidik pertama Trio Detektif, dialah yang selalu memberi komando tentang apa yang harus dikerjakan oleh kedua kawannya, atau paling tidak, yang mengambil keputusan pada saat-saat yang genting.
Tetapi di lain pihak, ia menilai usul Bonehead itu masuk akal. Kalau pihak studio menginginkan mereka tampil dalam acara sebelum quiz, sudah sewajarnya kalau mereka mendapat imbalan atas itu.
Jupe mengangguk. Bonehead memasukkan telunjuk dan jempol ke mulutnya. Ia bersuit nyaring. "Glass," panggilnya.
Milton Glass datang mendekat dengan senyum lebar tersungging di bibirnya. Luther Lomax, sutradara itu, mengikutinya dengan kikuk.
"Ada yang bisa aku bantu"" tanya Glass dengan sopan.
Bonehead mengutarakan keinginannya. Ia mengatakannya secara gamblang dan tajam. Mereka masing-masing ingin seratus dollar untuk acara tatap muka itu. "Dan itu harus bersih, tanpa dipotong pajak," Bonehead menambahkan. "Kontan."
Senyum masih menghias bibir Milton Glass. Namun kini terdapat kerut di dahinya.
"Kukira ini tidak mungkin," katanya. "Studio sudah mengeluarkan biaya banyak sekali untuk acara makan siang ini. Dan selain itu aku sudah merencanakan akan memberi hadiah yang berharga bagi kalian masing-masing." "Hadiah apa"" tanya Peggy. "Berapa harganya"" tambah Footsie.
"Itu rahasia, Peggy." Milton Glass melemparkan senyum padanya. "Tapi hadiah itu sudah siap dan kini sedang menanti kalian di sana." Ia menunjuk ke arah pintu dapur. "Aku tahu kalian akan senang mendapatkannya." Ia diam sejenak. "Tapi tidak akan ada imbalan lainnya."
"Oke," kata Bonehead sambil mengangkat bahu. "Tidak ada uang, tidak ada pertunjukan."
Milton Glass berusaha bertukar pendapat dengannya. Tapi Bonehead seakan tidak peduli. "Kami tidak mau berunding, sebab tidak ada hal yang perlu dirundingkan," tukas Bonehead. Glass masih tetap tersenyum. Tapi suaranya mengeras.
"Ini pemerasan," sengitnya. "Kau memeras aku dengan mengancam akan memboikot acara ini."
"Tentu saja," balas Bonehead santai. Ia malah tersenyum. Jupe melihat bahwa Footsie, Bloodhound, dan bahkan Peggy turut tersenyum. "Karena itulah kau mau tidak mau harus membayar kami."
Milton Glass tidak segera setuju. Tapi Jupe dapat melihat bahwa akhirnya Glass akan kalah juga dalam tawar-menawar ini. Jupe cukup senang memperoleh seratus dollar. Uang ini akan digunakan untuk membiayai kegiatan Trio Detektif: untuk biaya perawatan peralatan laboratorium mininya di kantor, serta untuk membayar rekening telepon. Tapi bukan hal ini yang menyibukkan pikirannya.
Ia mulai melihat Berandal Cilik dari sisi yang lain. Mereka semua sudah tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Namun perkembangan ini berjalan ke arah yang tidak diharapkan.
Mereka sudah menjadi orang-orang yang keras dan penuh persaingan. Orang yang mau menggunakan segala cara untuk memperoleh apa yang diinginkannya-uang.
Dan kalau mereka sampai mau bersitegang untuk soal imbalan ini, mereka akan menghalalkan segala cara untuk bisa memenangkan quiz. Jupe harus mengerahkan segala kemampuan dan ingatannya untuk bisa mengalahkan mereka. Dan itu tidak akan semudah seperti yang dikatakan Milton Glass.
Jupe sadar bahwa ia kini tidak lagi membenci Berandal Cilik lainnya. Baginya, mereka sekarang bukanlah mereka yang dulu lagi. Ia tidak lagi ingin membalas dendam. Tapi bukan berarti ia tidak mau menang dalam quiz ini.
Jupiter tidak akan pernah menolak tantangan, itu sudah menjadi sifatnya. Namun ia tahu bahwa tantangan yang dihadapinya kali ini bukanlah tantangan yang ringan.
Bab 3 LIMA BERANDAL DAN SATU PENCURI
MEJA makan siang sudah dibersihkan dan disingkirkan. Di tempat itu bangku-bangku disusun membentuk setengah lingkaran-untuk pertunjukan.
Milton Glass akan menjadi tuan rumah acara pendahuluan ini. Ia duduk di tengah, diapit Peggy dan Bonehead. Jupe duduk di pinggir, di sebelah Bloodhound. Footsie duduk di pinggir yang satu lagi.
Lampu-lampu sorot menyala. Terangnya menyilaukan, bagai ribuan lilin dipasang sekaligus. Tetapi sorotan lampu-lampu itu juga menghangatkan ruangan studio yang dingin oleh AC.
Jupiter sama sekali tidak merasa gugup. Ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini sejak kecil. Di bawah putihnya sinar lampu yang menyorot, di hadapan tiga buah kamera televisi, ia merasa kemampuannya pulih kembali secara alamiah. Ia merasa bagai seorang perenang ulung yang menikmati segarnya air ketika melompat ke danau yang jernih.
Jupe mematangkan strategi untuk memenangkan quiz ini. Pikirannya berjalan menyusun langkah-langkah yang harus diambilnya. Dan ia sudah sampai pada suatu keputusan. Secara tidak sadar keputusan itu sudah dilakukannya sejak pertama kali ia melangkah ke dalam studio.
Berandal Cilik lainnya saling bergurau. Tapi Jupe tidak ikut campur. Ia cuma mendengarkan. Ia sudah m
endapatkan gambaran tentang bagaimana keadaan Bonehead, Footsie, Bloodhound, dan Peggy sekarang ini. Tapi sebaliknya, ia yakin, mereka tidak tahu bagaimana Jupiter saat ini.
"Selamat sore, Para pemirsa sekalian," kata Milton Glass membuka acara itu.
Tiga kamera televisi mulai bekerja. Luther Lomax sibuk mengamati layar pengontrol dari ruang kontrol. Ia mengatur pengambilan gambar dari satu kamera ke kamera lainnya, memilih dari sudut pandang yang paling disukainya.
"Aku ingin memperkenalkan beberapa kawan lama kalian," lanjut Glass. "Kalian sudah menonton mereka dalam acara yang disiarkan sejak beberapa minggu yang lalu. Ribuan surat kami terima sejak itu, menanyakan bagaimana keadaan mereka saat ini. Sekarang kalian dapat melihatnya sendiri. Karena mereka semua berada di sini."
Ia berhenti sesaat. Dipamerkannya gigi-giginya yang putih kemilau.
"Berandal Cilik!"
Usai berkata begitu sebuah gambar diproyeksikan pada dinding putih di belakang mereka.
Gambar itu melukiskan para Berandal Cilik ketika mereka masih kecil. Milton Glass memohon maaf karena salah seorang dari mereka, Flapjack, tidak bisa hadir. Pihak studio sudah berupaya keras untuk menemukannya, tetapi ternyata Flapjack tidak tinggal di California lagi, sehingga hampir tidak mungkin ditelusuri jejaknya.
"Mungkin dia dipenjara," Bonehead nyeletuk seenaknya.
Milton Glass tidak menanggapi komentar itu. Ia hanya tersenyum kecut sekilas. Kemudian satu demi satu dimintanya para Berandal Cilik memperkenalkan diri. Peggy yang pertama.
"Dulu aku dipanggil Pretty Peggy," katanya. "Tapi itu kan dulu. Sekarang aku biasa dipanggil Peggy saja. Lupakan saja embel-embel Pretty itu."
Glass melempar senyumnya pada Peggy. "Kau sangat rendah hati, Peggy. Panggilan Pretty Peggy masih cocok untukmu, karena kau masih tetap cantik sampai sekarang."
Peggy tidak membalas senyum itu. "Sekarang aku tidak ingin menonjolkan penampilanku. Aku lebih suka menunjukkan siapa diriku dengan menunjukkan kemampuan otakku."
Milton Glass tertawa kecil, yang terdengar hambar di telinga Jupiter. Penyelidik Satu bersandar di kursinya. Ia melihat ke belakang kamera-kamera, tempat beberapa penonton berkumpul. Dilihatnya Bob dan Pete di antara mereka. Jupe tahu bahwa kamera tidak sedang diarahkan padanya, karena berikutnya adalah giliran Bonehead. Ia mengangkat bahu sambil mengerdip pada Bob dan Pete.
Jupe memberi kode supaya kedua kawannya itu tidak terkejut bila gilirannya tiba untuk memperkenalkan diri. Kacamata Bob bergerak-gerak. Ia segera menangkap maksud Jupe. Dibalasnya kode Jupe dengan sebuah anggukan kecil.
Jupe melihat ke arah kanan. Ia mengenali seorang pria yang berdiri di sana. Gordon Harker, sopir berpostur tinggi dan berkulit coklat yang tadi mengantarnya ke studio. Gordon Harker kini berjalan menuju sekumpulan lampu sorot tak terpakai yang tergantung pada tiang-tiang besi.
"Aku yang dulu berkepala hampir botak," kata Bonehead. "Aku berperan sebagai orang dungu." Ia melihat pada Milton Glass dengan tatapan tajam. "Pasti kau akan mengatakan bahwa aku sudah berubah banyak sekarang."
Milton Glass tidak merasa tersinggung atas ucapan tajam Bonehead. Ia masih saja tersenyum simpatik pada Bonehead, seakan-akan Bonehead adalah tokoh yang paling disukainya di dunia.
"Kau dikenal sebagai Bonehead, kan"" tanya Glass tanpa melepaskan senyumnya.
"Benar. Tapi sebenarnya itu cuma julukan saja. Mungkin karena aku aktor yang lihai. Penuh bakat."
Bloodhound dan Footsie mendapat giliran berikutnya. Mereka hanya menyebutkan nama-nama julukan mereka di film seri itu, tanpa ekspresi.
"Bloodhound." "Footsie." Milton Glass mencoba mengorek penjelasan dari Footsie. "Kenapa Footsie"" tanyanya. "Mengapa kau dijuluki Footsie"" "Karena mereka memanggilku begitu." "Ya, tapi mengapa""
"Itulah yang terdapat pada naskah cerita."
Senyum Milton Glass menghilang dari wajahnya untuk beberapa saat. Kini giliran Jupe.
"Dan siapa Anda"" tanya Milton Glass dengan gembira. "Aku J-J-Jupiter Jones," sahut Jupe dengan terbata-bata. "Ya, itu kan kau sekarang. Tapi siapa kau dulunya dalam film seri ini""
"J-J-Jupiter Jones. Aku selalu di
panggil J-J-Jupiter Jones. Aku t-t-tidak pernah menjadi orang 1-1-lain."
Mulut Jupe agak ternganga. Ia tampak seperti orang kebingungan. Sebagai seorang detektif, ia sering kali mendapat keuntungan dengan berlaku dungu seperti itu. Ini adalah salah satu peran yang dikuasainya dengan baik. Tapi kali ini ia memainkannya dengan lebih baik lagi. Ia mengerahkan segala kemampuannya untuk berakting sedungu mungkin. Bahkan seakan-akan ia sukar sekali mengartikan pertanyaan yang diajukan padanya.
"Maksudku, peran apa yang kaumainkan dalam film seri Berandal Cilik dulu"" Milton Glass berusaha menjelaskan pertanyaannya.
"Aku dulu masih b-b-bayi," kata Jupe. "A-a-aku tidak ingat lagi."
Milton Glass akhirnya harus membantu memperkenalkan Jupiter pada para pemirsa.
"Jupiter Jones dulunya berperan sebagai Baby Fatso," katanya. "Banyak orang berpendapat bahwa dialah aktor yang terbaik di antara para Berandal Cilik."
Setelah perkenalan selesai, Milton Glass mulai menanyai apa pekerjaan mereka sekarang. "Aku jadi sekretaris," kata Peggy, "di San Fransisco."
"Itu bagus sekali. Kau cocok untuk pekerjaan itu. Orang akan senang meminta bantuanmu dan bekerja bersamamu. Kau pasti punya banyak kawan di sana."
"Tidak juga," sahut Peggy ketus. "Siapa yang sempat berkawan kalau kita sibuk terus."
Glass merasa tidak bisa meneruskan pertanyaan tentang pekerjaan Peggy. Ia mengalihkan pokok pembicaraan. "Jadi kau menghentikan kariermu di bidang perfilman." Alis matanya terangkat. "Kau memutuskan untuk tidak meneruskannya""
"Bukan aku yang tidak mau meneruskan," Peggy membalas dengan tajam. "Tidak ada perusahaan film yang menawarkan peran untukku lagi sejak aku berumur sepuluh tahun."


Trio Detektif 40 Misteri Reuni Berandal Cilik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin karena orang tuamu ingin kau meneruskan sekolah dulu sebelum..."
Peggy menggeleng. "Tidak. Mereka justru ingin agar aku berkarier sebagai bintang film. Tapi, rupanya memang tidak mungkin bagiku untuk meneruskan karier itu."
Sebelum Glass menanyakan sebabnya, Peggy sudah menjelaskan padanya.
"Bertahun-tahun orang mengenaliku sebagai Pretty Peggy. Mereka menyebut-nyebut nama itu ketika berpapasan denganku dijalan, di toko, di bis, di mana saja. Aku sampai jadi takut keluar rumah. Dan di sekolah lebih buruk lagi keadaannya. Kau ingin tahu pendapatku sekarang""
Milton Glass mengangguk. Ia masih tersenyum, meskipun hatinya bertanya-tanya tentang apa yang akan diucapkan Peggy"Kalau aku punya anak, lebih baik dia menjadi tukang gali kubur daripada menjadi aktor. Pekerjaan itu lebih membawa ketenangan dan kepastian."
"Bicara mengenai masa depan," Glass melanjutkan, berusaha mengalihkan lagi topik pembicaraan, "apa kau punya rencana khusus di masa depan, Peggy""
Kali ini Peggy tersenyum padanya.
"Ya," sahutnya. "Aku ingin meneruskan sekolahku kalau aku punya uang cukup. Aku tidak suka hanya mengandalkan parasku. Aku ingin menggali ilmu agar aku dapat melakukan sesuatu yang menarik dan berguna dalam hidupku."
"Aku turut mendoakan, Peggy."
Dengan perasaan lega, Glass memutar kursinya. Ia kini menghadap ke arah Bonehead.
Ia berharap pembicaraan dengan Bonehead lebih akrab dan hangat. Namun ternyata ia keliru. Bonehead kini bekerja sebagai montir mobil. Ia nyerocos saja menceritakan pekerjaannya.
"Aku masuk ke kolong-kolong mobil. Oli yang hitam-pekat mengotori kuku-kuku dan mukaku. Tanganku lelah membuka atau mengeraskan sekrup-sekrup itu...."
"Bagaimana pendapatmu kalau kau diberi kesempatan untuk tampil kembali di dunia film"" Glass mencoba membicarakan hal-hal yang lebih menyenangkan. "Tadi kaukatakan bahwa waktu kecil kau sangat berbakat menjadi aktor."
"Aktor"" Bonehead memandang dengan sinis. "Kau tahu berapa banyak aktor yang kehilangan pekerjaannya di kota ini""
Milton Glass tidak tahu. Kalaupun tahu, dia tidak akan mengatakannya.
"Apa kau pernah mengalami kesulitan seperti yang dialami Peggy"" tanyanya. "Apa kau pernah diganggu di tempat-tempat umum""
Bonehead mengakui ia tidak pernah mengalami kesulitan seperti itu. "Setelah studio berhenti mencukuri rambutku, aku biarkan rambutku tumbuh gondrong, supaya telingaku yang terkenal itu tidak terlihat. Kurasa aku sudah s
angat banyak berubah sekarang."
Milton Glass tidak menanyakan apa rencana Bonehead di masa depan. Jupe sudah dapat menebak jawaban Bonehead kalau ia ditanya seperti itu: memenangkan hadiah dua puluh ribu dollar, apa pun cara yang ditempuhnya.
Pertunjukan itu berlanjut dengan Footsie dan Bloodhound. Footsie hampir tidak pernah bekerja selama ini. Tapi Bloodhound mengejutkan Milton Glass. Ia sudah lulus dari sekolahnya dan sekarang sudah duduk di tingkat pertama universitas.
"Kurasa aku beruntung," katanya. "Ayahku seorang pengacara. Ia tidak ingin aku menjadi aktor. Ia punya kenalan seorang bintang film. Melihat gaya hidupnya seperti itu, ayahku melarangku untuk meneruskan karier sebagai aktor." "Bagaimana perlakuan teman-teman sekolahmu ketika itu"" tanya Milton Glass.
"Mereka kadang-kadang menggangguku," kata Bloodhound. "Mataku dulu sayu sekali. Bolak-balik kelopak mataku tertutup. Tapi ketika aku mencapai umur empat belas, aku tidak lagi begitu. Dan ketika itu orang sudah melupakan Berandal Cilik."
Sekarang giliran Jupe kembali.
"Apa yang kaukerjakan sekarang"" pancing Milton Glass. Jupe menatapnya dengan tatapan kosong.
"Aku tidak mengerjakan apa-apa. Aku cuma duduk di sini," katanya. "Maksudku, apa yang kaukerjakan selama ini""
"Oh," kata Jupe. "Aku tinggal di Rocky B-B-Beach bersama paman dan bibiku." "Tapi apa yang kaukerjakan di sana""
Pertanyaan itu seakan membingungkan Jupiter. Ia memperbaiki letak duduknya dengan gelisah. "Kadang-kadang a-a-aku berenang."
"Tetapi apa kau tidak bersekolah"" Suara Milton Glass meninggi. Ia tidak sabar menerima jawaban seperti ini. "T-t-tidak kalau sedang liburan," kata Jupe.
Milton Glass kehabisan akal. Ia tidak bertanya lebih jauh lagi pada Jupe. Bagian pertama pertunjukan telah selesai, tapi masih ada sisa waktu enam menit. Glass menghadap ke kamera sambil tetap melempar senyumnya.
"Sekarang, aku akan bertanya pada para tamu kita tentang masa lalu," ujarnya. "Aku yakin mereka punya cerita dan pengalaman menarik ketika masih menjadi Berandal Cilik. Pengalaman yang tidak akan mereka lupakan, yang akan terbawa sepanjang hidup mereka."
"Aku ingat pada penata rambutku," Peggy memulai. "Ia selalu menyisir rambutku dengan kasar sampai kepalaku sakit."
"Aku ingat kita biasa menerima uang pembayaran pada setiap Jumat malam," kata Bonehead. "Mereka membayar dengan uang tunai pada waktu itu. Terbungkus dalam amplop coklat dan diikat dengan seutas benang merah."
"Hmm, pasti Jumat malam selalu merupakan hari yang paling menyenangkan bagi kalian saat itu. Ya, kan"" Milton Glass mengomentari.
"Tidak bagiku," tukas Bonehead. "Tapi bagi orang tuaku. Hanya pada hari itu mereka datang ke studio. Mereka selalu merampas uang itu dariku."
Footsie ingat ia harus memakai sepatu besar. "Mereka menyumpal sepatu dengan kain supaya tidak terlepas dari kakiku," lanjutnya. "Namun tetap saja sepatu itu tidak pas, sehingga kakiku lecet-lecet."
"Akhir minggu aku selalu pergi bersama ayahku," ujar Bloodhound. "Sehabis belajar dan bermain film, aku bermain-main ke pantai atau berjalan-jalan untuk beristirahat."
Jupiter tampak tidak ingat apa-apa. "Aku waktu itu masih b-b-bayi," katanya. "Aku t-t-tidak ingat pernah main film. A-a-aku baru ingat Baby Fatso setelah aku menonton film itu lagi m-m-minggu lalu. Orang b-b-bilang itu adalah aku."
Waktu tinggal tiga menit lagi. Glass kembali menatap kamera.
"Dan sekarang-aku punya kejutan bagi kalian semua," katanya dengan mata bersinar-sinar. "Sebagai ucapan terima kasih pada Berandal Cilik atas kesediaan mereka untuk tampil dalam acara ini, aku akan mempersembahkan hadiah dari studio bagi mereka. Trixie, tolong ambilkan hadiahnya."
Ia menoleh. Seorang gadis berambut pirang mengenakan rok mini, muncul dari pintu dapur. Ia membawa kotak besar terbungkus kertas emas.
Ia memegangi kotak sewaktu Milton Glass membuka pita dan kertas pembungkusnya.
Ia berhenti sesaat sebelum membuka penutupnya.
"Masing-masing akan menerima sebuah tanda penghargaan," ia mengumumkan seraya tersenyum hangat, "yang kuharap akan kalian kenang sepanjang hidup kalian."
Ia berhenti lagi sebelum memb
eri tahu berupa apa tanda penghargaan itu.
"Sebuah piala perak berukir nama kalian dan judul film yang pernah kalian mainkan, yang sukses besar pada waktu itu-Berandal Cilik. "
Ia membuka penutup kotak dan menyerahkannya pada Trixie. Ia melongok ke dalam kotak, merogoh ke dalamnya. Dipegangnya kotak itu dengan kedua belah tangannya. Diguncang-guncangnya kotak itu. Kotak terlepas dari tangannya dan jatuh berguling-guling di lantai. Dan akhirnya berhenti dengan mulut kotak menghadap penonton. Semua orang melihat isi kotak itu.
Kosong. Tidak ada piala di dalam kotak tadi. Bahkan tidak ada apa-apa di dalamnya. Benar-benar kosong-melompong.
Penyelidik Satu memperhatikan wajah Milton Glass. Untuk pertama kalinya sejak ia berjumpa dengannya, wajah Milton Glass mengeras.
Bab 4 PENYELIDIKAN DI PANGGUNG SEMBILAN
"TIDAK ADA," kata Bob.
"Coba saluran yang lain. Mungkin kau salah pilih saluran," kata Pete.
Bob menggeleng. "Mereka seharusnya memutar acara itu pukul lima kurang seperempat, persis sebelum siaran berita. Aku lihat di koran tadi pagi. Tapi sekarang yang muncul malah film koboi."
Setelah diantar pulang ke Rocky Beach dengan Limousine yang sama, Trio Detektif langsung berkumpul di kantor mereka.
Pete duduk di kursi goyang, kakinya diselonjorkan santai. "Kurasa mereka membatalkan siaran setelah kasus pencurian piala itu," ujarnya. "Bagaimana menurutmu, Jupe""
Jupe tidak menyahut. Ia duduk di belakang meja sambil menarik bibir bawahnya. Itu sudah menjadi kebiasaannya. Menurutnya itu membantunya berpikir, dan ia sedang berpikir keras saat ini.
Bob mematikan televisi. Ia gagal mencari siaran yang dijanjikan akan diputar sore itu, siaran "Tatap Muka dengan Berandal Cilik". Dua koboi menunggang kuda hitam menghilang dari layar televisi.
"Pasti masih di sana," kata Jupe tiba-tiba.
"Siapa"" Bob tertegak di kursinya.
"Bukan siapa-apa," Penyelidik Satu mengoreksinya. "Kelima piala perak yang mereka ingin hadiahkan. Piala-piala itu masih berada di sana." "Di sana mana"" tanya Pete.
"Mereka memeriksa setiap orang yang keluar dari Panggung Sembilan," Jupe menjelaskan. "Dan mereka memeriksa Limousine sekali lagi di gerbang studio. Siapa saja yang mencuri piala-piala itu tidak akan bisa membawanya keluar. Jadi piala-piala itu masih ada di sana, tersembunyi di suatu tempat di panggung suara."
"Kenapa disebut panggung suara, Jupe"" tanya Pete.
"Karena," sahut Jupe, "beberapa tahun berselang ketika film bersuara baru mulai diproduksi, semua studio harus membuat peralatan mereka kedap suara."
"Kurasa kau benar, piala-piala hadiah itu mestinya masih tersembunyi di sana," kata Pete. Dari pengalaman ia tahu bahwa Penyelidik Satu hampir selalu benar kalau ia menyimpulkan sesuatu. "Tapi apa gunanya" Kau tidak ingin memiliki piala itu, kan" Buat apa piala perak itu bagimu""
"Apalagi piala itu akan membuatmu selalu teringat pada Berandal Cilik," tambah Bob. Ia tersenyum, ingat penampilan Jupe sebelumnya hari itu. "Kau benar-benar membingungkan Milton Glass dengan penampilanmu yang seperti itu."
"Aku tidak ingin membingungkan Milton Glass," tukas Jupe, "namun aku ingin mengelabui Bonehead dan Bloodhound."
"Mengelabui bagaimana"" Pete tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan temannya.
"Itu seperti permainan anggar," kata Jupe. "Kalau musuh yang kauhadapi tidak tahu bahwa ada pedang dalam sebuah sarung pedang, maka kau tidak perlu bersiaga."
"Hhh, apa lagi itu artinya"" desah Pete. Jupiter cenderung berbicara dengan cara yang rumit, sehingga sukar dipahami oleh kedua kawannya.
"Kalau peserta quiz itu berpikir bahwa aku ini dungu," Jupe menjelaskan dengan sabar, "mereka menganggapku sebagai lawan yang enteng."
"Oo," seru Pete. "Sekarang aku mengerti maksudmu."
Bob membersihkan kacamatanya. Ia mengangguk. Baginya segala sesuatu sudah jelas sekarang.
"Namun," lanjut Jupiter setelah beberapa saat, "pencuri piala-piala itu sudah mengubah situasi sekarang ini."
"Maksudmu, kita punya kasus untuk diselidiki sekarang," ujar Bob. "Apa itu yang kaumaksudkan, Jupe""
Ia tahu bahwa sekali Jupiter menjumpai suatu persoalan, apa saja, tidak ada yang dapat menghala
nginya sampai ia berhasil memecahkan persoalan itu. Bob sendiri merasakan hal itu, demikian pula Pete. Mereka menamakan diri Trio Detektif, dan tidak ada detektif sejati yang memalingkan muka dari suatu kasus. Kini ada kasus pencurian, berarti ada pekerjaan bagi Trio Detektif.
"Ada ide, Jupe"" tanya Pete.
Penyelidik Satu diam saja. Ia meraih telepon. Sambil melihat pada sebuah kartu, ia memutar nomor telepon. "Halo," katanya. "Easy-Ride Limos" Di sini Jupiter Jones. Salah satu dari pengemudi Anda bertugas mengantarku ke quiz Berandal Cilik. Namanya Gordon Harker. Dapatkah aku bicara dengannya"" Hening sejenak. Yang menerima telepon Jupe memanggil Harker.
"Halo, Mr. Harker," kata Jupe setelah beberapa saat menunggu. "Maaf, aku mengganggu Anda lagi. Aku baru dapat telepon dari studio dan mereka minta aku kembali ke sana.... Ya, sekarang juga.... Oke, terima kasih. Akan kami tunggu di pintu gerbang."
"Kita kembali ke studio lagi"" Pete bangkit dari kursi goyangnya. "Tapi bagaimana kita bisa masuk, Jupe" Maksudku, mereka kan tidak mengundang kita""
"Ya, aku menggunakan alasan itu supaya Gordon Harker bisa mengantar kita." Jupe merogoh kantongnya. Ia mengeluarkan secarik kertas. "Tapi mereka akan memperbolehkan kita masuk karena aku punya kartu tanda masuk studio. Aku mengambilnya dari kaca depan Limousine ketika mengantar kita pulang. Aku kuatir sopir itu, Gordon Harker, akan memanfaatkannya."
Ia tidak menjelaskan lebih lanjut apa niatnya. Sewaktu Pete dan Bob bertanya dalam perjalanan menuju studio, ia meletakkan telunjuknya di bibirnya, memberi tanda supaya tutup mulut.
Di gerbang studio Jupe menunjukkan kartu tanda masuknya pada penjaga. Penjaga mempersilakan mereka masuk tanpa bertanya-tanya lagi. Limousine berjalan melalui gedung-gedung terkenal dan berhenti tepat di depan Panggung Sembilan. Gordon membukakan pintu belakang bagi anak-anak.
"Kami hanya sebentar di sini, paling lama setengah jam," kata Jupiter pada sopir itu.
"Oke." Gordon Harker masuk kembali ke bangku pengemudi. "Aku akan berada di sini kembali dalam waktu singkat."
Jupe menunggu sampai mobil itu berlalu, sebelum berjalan ke pintu kecil bergembok. Ia tahu bahwa pintu itu tidak digembok. Panggung suara selalu dibiarkan terbuka. Dengan demikian para petugas studio yang bertugas malam hari dapat mempersiapkan peralatan untuk esok harinya.
Di dalam, panggung suara yang luas hampir seluruhnya gelap-gulita. Hanya beberapa lampu kecil menyala, tergantung pada kawat-kawat di balkon.
Jupe mengeluarkan senter dari kantongnya. Diteranginya beberapa tempat sambil mempelajari keadaan di sana.
Bob dan Pete mengikutinya ke dekorasi dapur di seberang ruangan. Penyelidik Satu berhenti di sana. Ia mengarahkan senternya ke sekitar dinding.
"Sekarang kita lihat," bisik Jupiter Jones perlahan. "Meja bufet tadinya di sini. Kemudian setelah makan siang mereka membawanya ke luar dan menggantinya dengan seperangkat kursi untuk acara tatap muka. Pada saat itu kotak berbungkus kertas emas berisi piala-piala itu mestinya berada di luar dapur ini...."
Ia berjalan ke pintu dapur. Melalui pintu inilah gadis bernama Trixie itu keluar ketika Milton Glass hendak menyerahkan hadiah.
Jupe membuka pintu. Ia melewatinya. Kedua kawannya mengikuti dari belakang.
"Mungkin di sana..." Senter Jupiter menyorot ke sebuah meja yang kokoh, beberapa meter darinya. "Tetapi pintu ini tidak pernah dibuka selama kita berada di dapur waktu itu, sampai kotak itu dibawa masuk. Para penjaga, juru kamera, dan orang-orang lain masuk ke dapur tidak melewati pintu ini, tetapi melalui bagian terbuka dari dekorasi ini. Dan orang-orang tidak pernah beranjak dari tempatnya di seberang dapur. Jadi..." Ia memandang Pete dan Bob. "Bagaimana menurut kalian""
"Jadi orang yang mencuri piala-piala itu tidak bisa menyelundupkan dan menyembunyikannya di dapur," kata Bob. "Sebab kalau dia berbuat begitu, dia harus mengeluarkan dulu piala-piala itu dari dalam kotak. Lalu dia harus berjalan melewati dapur tanpa melalui pintu itu. Jadi satu-satunya jalan yang mungkin ialah melewati bagian yang terbuka ini. Tidak mungkin dia terl
ihat." "Benar," kata Jupe sambil mengangguk. "Coba, misalkan saja aku malingnya." Ia berjalan ke arah kain kanvas. Kanvas itu dihias sehingga menjadi dinding dapur yang menghadap ke ruang terbuka, tempat juru kamera berkumpul selama makan siang waktu itu.
"Aku di sini, dan aku dikelilingi orang-orang," lanjutnya. "Tapi kalau aku menyelinap ke meja ini sambil membawa kotak itu, aku tidak terlihat." Ia menyenter ke depannya, lalu berjalan mendekati meja itu.
"Pintu dapur tertutup, dan tidak ada orang yang akan datang ke sini waktu itu," katanya sambil berpikir. "Jadi dengan memanfaatkan kesempatan itu, aku punya banyak waktu untuk membuka kotak, mengeluarkan piala-piala itu, dan membungkus kembali kotak tadi."
Dengan tangannya ia memperagakan gerak-gerik orang yang dibayangkannya.
"Aku kini berada di sini dengan lima piala," lanjutnya. "Mungkin aku punya karung atau sesuatu sebagai tempatnya. Tetapi orang-orang masih berada di sekitar sini, jadi..."
"Jadi kau harus menyembunyikannya di suatu tempat di sini," sela Pete. Ia mengarahkan senternya ke sekeliling situ. Dilihatnya gulungan kabel, beberapa kaleng cat, tumpukan kayu, dan, di salah satu sisi, lemari besar berlaci.
Jupe tetap berdiri di tempatnya semula. Ia hanya menggunakan senternya untuk menyelidiki tempat itu. Sementara kedua kawannya langsung menghampiri lemari besar tadi.
Ternyata tidak ada apa-apa di lemari, selain peralatan tukang kayu. Tidak ada apa-apa pula di bawah tumpukan kayu. Demikian pula di dalam kaleng-kaleng cat kosong.
Bob dan Pete menoleh. Mereka memandang Penyelidik Satu. Jupe tidak memandang mereka. Ia sedang berdiri di samping sebuah lampu sorot yang dapat dipindah-pindahkan. Ditelitinya sebuah sekrup pada tiang besi penyangga lampu itu.
Tiba-tiba Jupe seperti mendapat ilham. Matanya bersinar-sinar. Ia mendongak. Dua meter di atasnya terdapat sebuah kotak hitam besar yang dipakai sebagai penyimpan lampu sorot. "Bantu aku," kata Jupe.
Kedua detektif lainnya bergegas menghampiri Jupe. Mereka mengendorkan sekrup yang menahan tiang, lalu menurunkan tiang perlahan-lahan sampai Jupe dapat meraih kotak itu. Ia meraihnya. Lalu dibukanya kotak itu. Ia merogoh ke dalamnya.
Tiba-tiba ratusan lampu bersinar serempak.
Sinar itu berkumpul jadi satu bagaikan sebuah kilat menyambar.
Setiap sudut panggung suara, tempat dekorasi dapur berada, bagai dihujani cahaya. Terang-benderang bagai di siang hari bolong!
Bab 5 KECURIGAAN JUPE TRIO DETEKTIF berdiri tak bergerak dihujani sinar lampu-lampu sorot itu. Bob dan Pete masih memegangi tiang besi. Tangan Jupe masih berada di dalam kotak penyimpan lampu sorot. "Jangan bergerak!" seru sebuah suara. "Tetap diam di tempat kalian!"
Anak-anak patuh. Pengarah acara Berandal Cilik, Luther Lomax, datang dari ruang kontrol, melintasi panggung suara, ke arah mereka.
Ia berhenti beberapa meter dari anak-anak. Matanya menatap tajam pada Jupe. Tidak perlu senter lagi sekarang. Mereka semua dapat melihat apa isi kotak itu. Mereka dapat melihat tangan Jupe sedang merogoh isi kotak itu. Lima buah piala perak terdapat di dalamnya.
"Jadi di situ kalian sembunyikan hadiah itu," kata Luther Lomax. Siang tadi ia terlihat sangat tua dan lemah. Namun kini nada suaranya tegas dan tidak dapat dibantah. Ini mengingatkan Jupe pada masa ketika pria itu masih menyutradarai film seri Berandal Cilik.
"Piala-piala itu berharga dua ribu dollar," kata Lomax melanjutkan. "Dan kalian bertiga mencuri dan menyembunyikannya di dalam kotak penyimpan lampu sorot itu tadi siang. Kalian mencoreng muka studio ini di hadapan umum!"
"Tidak," tukas Jupiter Jones. "Kami tidak menyembunyikannya, Mr. Lomax, apalagi mencurinya. Kami hanya menemukannya di sini." Ia mengambil piala itu satu per satu, lalu menyerahkannya pada sutradara itu.
"Kau jangan mungkir," balas Lomax seraya meletakkan piala-piala itu di meja. "Kalian tertangkap basah di sini. Lagi pula siapa lagi yang tahu tempat disembunyikan benda-benda ini selain pencurinya sendiri""
"Kami tidak mencurinya." Penyelidik Satu membela diri dengan tegas. Ia merasa sangat tersinggung diperlakukan seperti itu. "Sa
ya hanya berusaha menduga, di mana si pencuri menyembunyikan benda-benda ini. Bob, Pete, dan aku mendiskusikannya matang-matang di kantor kami dan..."
"Kantor kalian"" potong sutradara itu dengan tajam. "Kalian punya kantor apa" Kalian jangan main-main, aku serius!"
"Itu tempat kami bekerja," Jupe menjelaskan. "Tempat kami memecahkan kasus-kasus yang kami hadapi." "Kasus"" Suara Luther Lomax meninggi. "Kasus apa lagi ini" Bualan apa lagi yang ingin kalian katakan"" "Kami bersungguh-sungguh," tegas Jupiter. "Kami detektif."
"Detektif"" Luther Lomax hampir tidak dapat menahan kesabarannya. "Kecil-kecil sudah pandai membual! Kaukira aku akan percaya pada karanganmu itu""
"Tidak, Mr. Lomax." Jupiter tetap tegar. "Ini buktinya."
Ia mengambil sebuah kartu dari saku bajunya. Disodorkannya kartu itu pada si sutradara. Ia mencetak sendiri kartu itu dengan mesin cetak tua yang dibeli Paman Titus. Pada kartu itu tertulis:
TRIO DETEKTIF "Kami Menyelidiki Apa Saja"
" " " Penyelidik Satu - Jupiter Jones
Penyelidik Dua - Peter Crenshaw
Data dan Riset - Bob Andrews
Di bawah kartu itu tertulis nomor telepon kantor mereka di Pangkalan Jones.
Orang sering bertanya apa arti tiga tanda tanya yang tertulis itu. Jawabnya ialah-misteri yang tidak terpecahkan, teka-teki yang tidak terjawab. Luther Lomax tidak bertanya apa-apa. Ia bahkan hanya melirik kartu itu sekilas saja, seakan-akan kartu itu hanyalah secarik kertas yang tidak berharga.
"Ini tidak membuktikan apa-apa," ujarnya. "Kau bisa saja membuat kartu ini. Mengapa tidak kaucetak sekalian bahwa kau adalah pemilik studio ini"" kata Lomax menyindir. "Sepotong kertas ini tidak menolong kalian. Bagiku kalian tetap saja pencuri!"
"Tidak, kami bukan pencuri," kata Bob ngotot. "Waktu kami masuk, kami bahkan tidak tahu di mana benda-benda ini disembunyikan."
"Mulanya kami kira ada di dalam kaleng-kaleng cat kosong itu," tambah Pete membantu Bob.
"Dan kemudian Jupe yang menemukan bahwa benda-benda itu ada di dalam kotak penyimpan lampu sorot ini," ujar Bob. "Bagaimana, Jupe" Maksudku bagaimana kau menemukan hal itu""
"Tiang ini terlalu tinggi," Penyelidik Satu menjelaskan. "Ini cuma satu-satunya tiang yang setinggi ini. Aku jadi curiga."
Ketika ia bicara, pikirannya seolah-olah berada di tempat lain. Ia menatap wajah sang sutradara sambil mengira-ngira. Yang ingin diusahakannya ialah meyakinkan Luther Lomax bahwa mereka bertiga bukan pencuri. Bahwa mereka memang detektif yang sedang berusaha menemukan piala-piala itu. Namun sang sutradara tampaknya tetap saja tidak akan percaya pada keterangan mereka. Tetapi mungkin ada seseorang yang bisa dipercayainya.
"Mr. Lomax, Anda kenal Hector Sebastian"" tanya Jupe.
"Penulis kisah misteri" Aku pernah dengar tentang dia. Mengapa""
"Dia kawan baik kami. Ia tahu segala sesuatu tentang kami, termasuk bahwa kami ini detektif. Mr. Sebastian sangat menaruh perhatian pada kasus-kasus yang kami pecahkan."
Sutradara itu masih memegang kartu Trio Detektif. Diremasnya kartu itu. Dibantingnya kartu itu ke lantai. "Apa yang kauinginkan dariku"" serunya marah. "Menanyakan pada Hector Sebastian tentang siapa kalian"" "Mengapa tidak""
Lomax bimbang. "Aku tidak pernah berjumpa dengannya dan aku tidak tahu nomor teleponnya."
"Aku tahu." Jupe mengambil sebatang pensil dan sebuah kartu lagi. Ditulisnya nomor itu di balik kartu. "Aku yakin ia tidak akan merasa terganggu jika Anda telepon."
Lomax masih ragu-ragu sejenak. Kemudian ia berjalan ke telepon di seberang panggung suara.
Trio Detektif mengamatinya mengangkat dan memutar nomor telepon. Sekalipun mereka tidak dapat mendengar pembicaraannya, mereka dapat melihat ia berbicara di telepon. Di luar perkiraan, ia berbicara lama sekali di telepon.
Akhirnya diletakkannya juga gagang telepon itu. Ia berjalan menghampiri anak-anak sambil tersenyum.
Pedang Berkarat Pena Beraksara 7 Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa Jala Pedang Jaring Sutra 6
^