Pelangi Dilangit Singosari 33
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 33
Panji Bojong Santi tersenyum, katanya kemudian, "Dan terima kasihku kepada pimpinan Tumapel. Kepada siapa saja."
Ken Arok pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia masih saja mengumpat-umpat di dalam hatinya. Kali ini ia gagal membunuh Witantra, dengan tangan Mahisa Agni maupun dengan tangannya sendiri. Dan ia sadar, bahwa hal ini pasti akan menjadi masalah di hari kemudian.
Dengan dada berdebar-debar Ken Arok kemudian menyaksikan Panji Bojong Santi memberikan sebutir reramuan obat kepada Witantra. Agaknya obat itu cukup tajam. Sejenak kemudian tampak Witantra sudah menjadi agak segar. Meskipun demikian, ketika Mahendra membantunya berdiri, wajahnya masih saja membayangkan penderitaan yang luar biasa di dadanya.
"Gundala Sasra yang sempurna," desis Ken Arok di dalam hatinya.
Dengan dada berdebar-debar Ken Arok menyaksikan Witantra dibantu oleh Mahendra berjalan di antara penonton yang tinggal beberapa orang. Namun mereka tanpa sadar telah mengerumuni Witantra dan bahkan ada yang berjalan mengikutinya beberapa langkah.
Dengan demikian maka Witantra sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Ia merasa, seolah-olah orang-orang itu mengikutinya sambil mencibirkan bibir mereka, menyorakinya, "Pengecut.Pengecut."
Namun sejenak kemudian mereka telah sampai ke pinggir alun-alun.Panji Bojong Santi dan Mahendra ternyata hanya membawa dua ekor kuda. Karena itu maka Witantra pun kemudian berdua bersama-sama dengan Mahendra, perlahan-lahan meninggalkan alun-alun diantar oleh tatapan mata orang-orang Tumapel yang masih berada di alun-alun dengan berbagai macam kesan yang tidak terbaca.
Dengan berakhirnya perang tanding itu, maka para pemimpin Tumapel menganggap bahwa persoalan Kebo Ijo telah selesai. Tidak ada lagi persoalan dalam masalah pembunuhan yang terjadi di istana. Kebo Ijo telah dinyatakan bersalah, membunuh Akuwu Tunggul Ametung dan bahkan telah lebih dahulu membunuh Empu Gandring. Selain bukti yang ditemukan, maka pembelaan Witantra di arena perang tanding pun telah gagal pula.
Dan kegagalan Witantra di arena telah melemparkan Witantra sekaligus dari istana. Ia tidak pernah lagi tampak di antara para pemimpin dan para prajurit. Hal itu telah diduga sejak semula oleh para pemimpin yang enam, sehingga dengan demikian maka kedudukan Witantra pun menjadi kosong karenanya.
Kekosongan kedudukan Witantra itu pun telah menjadi masalah pula bagi para pemimpin yang enam. Mereka harus segera menemukan seorang yang kuat untuk menjadi seorang pemimpin pasukan pengawal. Pasukan yang akan bertanggung jawab terutama atas pengawalan istana seisinya.
Untuk menemukan orang yang mampu menggantikan Witantra bukanlah pekerjaan yang mudah. Setiap perwira harus mendapat penilaian yang tepat. Sejak Akuwu masih hidup, maka siapakah yang mendapat kepercayaan daripadanya, mendapat perhatian sebaik-baiknya pula.
Namun yang telah melonjak di dalam perhatian keenam pemimpin itu adalah Mahisa Agni. Meskipun ia bukan seorang perwira prajurit yang manapun, namun ia ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa. Lebih daripada itu semua, ia adalah kakak dari Tuan Putri Ken Dedes yang kini telah menjadi janda.
"Pengangkatan Mahisa Agni akan menimbulkan persoalan baru di kalangan para prajurit," berkata salah seorang dari keenam pemimpin itu.
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menyadari, bahwa hal itu akan sulit dimengerti oleh para perwira. Mereka mengharap bahwa salah seorang dari merekalah yang akan menduduki kekosongan itu. Mereka yang sudah cukup lama mengabdikan dirinya, atau mereka telah nyata memberikan jasa-jasanya kepada Tumapel.
"Sebaliknya kita memikirkan calon yang lain, meskipun kemungkinan untuk memanggil Mahisa Agni masih ada," berkata pemimpin yang lain.
"Aku sangsi, apakah Mahisa Agni bersedia menerima jabatan itu.Sejak semula ia telah menolak untuk berada di dalam istana. Sejak adiknya diambil oleh akuwu. Pada saat itu Akuwu Tunggul Ametung telah menawarkan kedudukan kepadanya," berkata yang lain lagi.
Sekali lagi para pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sekali lagi salah seorang dari mereka berkata, "Kita mencari seorang lagi dari antara para perwira."
Keenam pemimpin itu mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk. Mereka sedang merenungkan beberapa orang yang mungkin dapat diangkat untuk menjadi seorang pemimpin pasukan pengawal.
Tetapi untuk mendapatkan seorang prajurit yang memenuhi syarat-syarat untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh Witantra memerlukan pertimbangan yang semasak-masaknya. Karena itu, maka belum seorang pun yang dapat menyebutkan sebuah nama untuk pencalonan itu.
"Kita kumpulkan beberapa nama," berkata salah seorang pemimpin itu, "mungkin setiap orang dari antara kita mempunyai nama yang dapat dibicarakan. Kemudian kita pertimbangkan bersama-sama. Mungkin kita akan mendapatkan sebuah nama yang paling baik dari antara nama-nama itu. Nama itulah yang akan kita jajarkan dengan nama Mahisa Agni."
Para pemimpin yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, "Bagaimanakah seandainya keputusan kita itu ditolak oleh Permaisuri."
"Oh," kawan-kawannya seolah-olah baru tersadar dari sebuah mimpi. Mereka hampir lupa mempertimbangkan kemungkinan itu, karena kedudukan Ken Dedes bukanlah sekedar seorang bekas permaisuri. Seorang janda dari Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi Tunggul Ametung sebagai seorang akuwu pernah mengucapkannya sendiri, bahwa semua miliknya, bahkan nyawanya, telah diserahkannya kepada Ken Dedes. Kekuasaannya dan jabatannya sebagai akuwu pula. Karena itu, sebenarnya kematian Akuwu Tunggul Ametung tidak menyebabkan kekosongan pimpinan di Tumapel.
Setelah mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka, maka salah seorang dari mereka berkata, "Ada dua jalan. Kita serahkan semuanya kepada Tuan Putri, atau kita membawa nama-nama yang sudah kita pertimbangan masak-masak itu kepadanya."
"Cara yang kedua." sahut yang lain, "bukan maksud kami menandingi kekuasaan Tuan Putri yang akan berhak bergelar sebagai Akuwu. Tetapi kita tahu, sebenarnyalah kita tahu dengan pasti, bahwa saat ini Tuan Putri Ken Dedes pasti belum dapat menyesuaikan dirinya dengan keharusan seorang pemimpin tertinggi."
"Ya, aku sependapat," sahut yang lain lagi, "selanjutnya terserah kepada Tuan Putri, apakah yang akan dilakukannya."
"Nah, akhirnya kita akan sampai juga pada menemukan sebuah nama," berkata salah seorang dari mereka pula.
Kembali keenam pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala. Mereka mencoba menilai setiap perwira yang namanya agak menonjol dari para perwira yang lain. Selain kemampuan mereka seorang demi seorang sebagai seorang prajurit, tetapi dipertimbangkan juga apakah yang pernah mereka lakukan.
"Baiklah, marilah kita mengumpulkan nama-nama. Mungkin untuk pertama kalinya kita akan mendapat lebih dari sepuluh atau dua puluh nama, kemudian kita pilih, sekali dua kali, sehingga kita hanya tinggal mempunyai sebuah nama."
"Sebutkan siapakah nama-nama yang ada padamu." berkata yang lain.
Pemimpin yang seorang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Ada lebih dari seribu nama perwira yang tersebar di seluruh Tumapel.Tetapi dalam keadaan serupa ini, kita terlampau sulit untuk menemukan seorang saja di antara mereka."
Orang itu berhenti sejenak, kemudian, "setelah mempertimbangkan segala kemungkinan, maka aku telah menemukan sebuah nama. Hanya satu. Aku kira aku tidak akan dapat menemukan yang lain lagi. Tetapi terserahlah kepada kalian."
"Ya, tetapi siapa yang satu itu?"
"Oh, apakah aku belum menyebutkannya?"
"Sebut namanya."
"Biarlah aku mengutarakan alasannya lebih dahulu, mengapa aku memilih nama itu. Ia mendapat banyak kepercayaan dari Akuwu Tunggul Ametung semasa hidupnya. Dan semasa ia terbunuh, orang ini pulalah yang telah berjasa paling banyak dari antara para prajurit, meskipun ia termasuk seorang perwira yang baru."
"Siapa" Ya, siapa?"
"Namanya Ken Arok.Hanya itulah yang akan aku ajukan. Tetapi mungkin kalian mempunyai sepuluh atau dua puluh nama yang lain, sebab pengamatan kita berbeda-beda. Aku tidak akan melihat daerah pengamatan kalian masing-masing, dan demikian berlaku di antara kita semuanya."
Tetapi pemimpin itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat para pemimpin yang lain, mengangguk-anggukkan kepala mereka, bahkan ada di antara mereka yang berdesah.
"Bagaimana?" "Aku adalah pemimpin prajurit Tumapel," berkata salah seorang dari mereka, "bukan pemimpin tertinggi dari pelayan dalam, lingkungan kesatuan Ken Arok. Tetapi adalah aneh sekali bahwa aku tidak melihat ke dalam lingkunganku. Ada beberapa orang perwira yang mengagumkan di dalam lingkunganku. Tetapi tidak ada yang dapat bertindak secepat Ken Arok. Apalagi Ken Arok memang pernah mendapat kepercayaan dari Akuwu Tunggul Ametung. Kenapa Akuwu menunjuk Ken Arok ketika Akuwu mengirimkan pasukan ke padang Karautan" Dan bahkan ketika Akuwu memerlukan sebuah taman di padang itu pula, Ken Arok pulalah yang diserahinya. Karena itu, adalah kebetulan sekali bahwa aku pun akan mengusulkan Ken Arok untuk menggantikan kedudukan Witantra. Justru bukan dari lingkungan sendiri, atau dari lingkungan pasukan pengawal itu sendiri."
Para pemimpin yang lain masih mengangguk-anggukkan kepala mereka. Pemimpin tertinggi Pelayan Dalam pun berkata. "Aku akan sependapat sekali. Ken Arok adalah seorang perwira yang luar biasa. Ia banyak berjasa dalam penyelesaian masalah pembunuhan ini. Ialah orang yang membawa Kebo Ijo sehingga ia dapat ditangkap dengan mudah. Ia pulalah yang berhasil menyelesaikannya ketika Kebo Ijo berusaha melarikan diri."
"Ternyata aku mempunyai persamaan pendapat dengan kalian," berkata pemimpin yang lain. "Aku setuju. Ken Arok adalah satu-satunya nama yang dapat kita ke tengahkan."
Agaknya keenam pemimpin itu sama sekali tidak menemui kesulitan apapun juga. Ternyata mereka sependirian, bahwa tidak ada orang lain yang lebih baik dari Ken Arok untuk menggantikan Witantra apabila Mahisa Agni menolak.
"Kita memang sependapat. Sebaiknya kita menghadap Tuan Putri untuk mengemukakan masalah ini," berkata salah seorang dari keenam pemimpin itu.
"Baik. Kekosongan ini tidak boleh berlarut-larut," sahut yang lain.
Maka bersepakatlah mereka untuk pergi menghadap Ken Dedes yang sudah menjadi semakin tenang setelah perasaannya diguncang oleh kematian suaminya.
"Apa yang baik bagi kalian, baik juga untukku," jawab Ken Dedes ketika keenam pemimpin Tumapel itu mengemukakan pendirian mereka.
"Hamba Tuan Putri," berkata yang tertua, "kami telah bersepakat untuk membicarakan calon pengganti itu. Namun keputusan terakhir berada di tangan Tuan Putri."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya masih tetap sayu. Matanya bendul dan kemerah-merahan.
"Kalian pasti lebih mengenal, siapakah yang sepantasnya menggantikan Witantra?" bertanya Ken Dedes.
"Hamba Tuan Putri. Dalam pembicaraan di antara kami berenam, maka kami telah menemukan dua buah nama yang akan kami kemukakan kepada Tuan Putri. Meskipun demikian, semuanya terserah kepada Tuan Putri."
"Siapakah nama-nama itu?"
"Yang pertama adalah seorang yang perkasa, yang telah Tuanku kenal baik-baik. Bahkan mungkin seorang yang tidak ada duanya di kalangan prajurit Tumapel meskipun ia sendiri bukan seorang prajurit."
"Siapa?" "Kakanda Tuan Putri. Mahisa Agni."
"Oh," Ken Dedes terperanjat mendengar nama itu. Ia tidak menyangka bahwa para pemimpin yang enam itu menaruh minat begitu besar terhadap kemampuan kakaknya. Namun, terasa sesuatu yang mengganggu perasaannya. Ken Dedes sendiri tidak segera dapat mengerti perasaannya itu.
Namun Putri itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Dan siapakah nama yang kedua?"
"Orang itu adalah orang yang paling berjasa di dalam keributan yang baru saja terjadi. Orang itulah yang sebagian terbesar telah berbuat sehingga Kebo Ijo tertangkap dan terbukti bersalah."
Terasa sesuatu berdesir tajam di dalam dada Ken Dedes. Dengan serta-merta ia bertanya. "Siapa?"
"Ken Arok." Tubuh Ken Dedes tiba-tiba saja menjadi gemetar mendengar nama itu. Sejenak ia tidak dapat berkata sepatah kata pun. Dalam sekejap, tubuhnya telah dibasahi oleh keringat yang seakan-akan terperas daripada tubuhnya.
"Nama itu," desisnya di dalam hati.
Berbagai tanggapan telah bergolak di dalam dirinya. Yang pertama-tama meloncat di hatinya adalah suatu harapan yang cerah bahwa anak muda itu akan semakin dekat dengan dirinya. Tetapi kemudian melonjaklah harga dirinya sebagai seorang permaisuri dan bahkan seorang yang sebenarnya memegang kekuasaan di Tumapel, sejak Akuwu Tunggul Ametung menyerahkannya kepadanya.
Bahkan kemudian pertimbangan-pertimbangan yang lebih jauh telah bergumul pula di hatinya. Apakah kata orang tentang dirinya, apabila pada suatu saat ia menjadi semakin dekat dengan anak muda itu.
Dalam keadaan yang demikian Ken Dedes telah berjuang sekuat tenaganya untuk tidak menimbulkan kesan yang dapat mengaburkan tanggapan keenam pemimpin itu atasnya.
Pemimpin yang enam itu masih duduk sambil menundukkan kepala mereka. Mereka menunggu apa yang akan dikatakan oleh Ken Dedes. Karena pemimpin yang enam itu tidak memandang wajah Ken Dedes, maka mereka tidak melihat apa yang kadang-kadang tampak membayang di wajah itu. Justru karena Ken Dedes adalah seorang putri. Memandangi wajahnya terlampau lama akan dapat menimbulkan kesan yang keliru. Dan mereka tidak usah berbuat demikian terhadap Akuwu Tunggul Ametung. Dan bahkan Akuwu kadang-kadang telah membawa keenam pemimpin itu, bertujuh dengan Witantra untuk berbicara, bergurau dan berbincang dengan bebas, sampai pada saat-saat terakhir Akuwu menjadi agak berubah dari kebiasaan itu.
Ternyata perubahan-perubahan yang tidak dapat dimengerti oleh sebagian dari orang-orang Tumapel itu sendiri, berakhir dengan suatu bencana yang dahsyat bagi Tumapel.
Karena Ken Dedes tidak segera menjawab, maka pemimpin yang enam itu menjadi gelisah. Sekali-kali mereka mencuri pandang, menatap wajah Putri itu. Namun mereka menjadi semakin gelisah karena mereka melihat wajah Ken Dedes seakan-akan menjadi beku karenanya.
Namun akhirnya, Ken Dedes itu berkata, "Apakah kalian telah mempertimbangkannya masak-masak."
"Hamba Tuan Putri," jawab yang tertua di antara mereka.
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berada dalam kesulitan untuk memilih. Mahisa Agni adalah kakaknya, yang justru ia akan berbuat terlampau hati-hati atasnya. Mungkin kakaknya itu akan membuat kekangan-kekangan yang sangat membatasinya. Seandainya ada perbedaan pendapat di antara mereka, maka akan sulitlah bagi Ken Dedes untuk bersikap sebagai seorang pemimpin tertinggi di Tumapel. Dan kakaknya itu pun pasti tidak akan dapat melepaskan kebiasaannya, kebiasaan seorang kakak terhadap adiknya.
Sedang Ken Arok" Dadanya berguncang apabila ia mengingat nama itu. Nama yang tidak dapat diingkarinya telah berkesan dalam-dalam di hatinya. Namun adalah terlampau pahit untuk mengakuinya.
Dalam kebimbangan Ken Dedes duduk merenung memandang ke kejauhan. Ia benar-benar berada di simpang jalan yang tidak segera dapat dipilihnya.
"Kami menunggu keputusan Tuan Putri," berkata salah seorang dari pemimpin yang enam itu.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Namun katanya kemudian, "Sudah tentu aku tidak akan dapat memutuskan saat ini. Tetapi sebaiknya kalian menghubungi kedua orang itu. Kalian dapat bertanya kepada mereka, apakah mereka bersedia menerima jabatan itu."
"Tuan Putri," berkata salah seorang dari keenam orang itu, "adalah menjadi idaman setiap prajurit untuk sampai kejahatan puncak di dalam tata pemerintahan Tumapel. Menurut dugaan hamba, tidak akan ada seorang prajurit pun yang menolak tawaran yang memang mereka impikan sebagai landasan pengabdian mereka."
"Tetapi Kakang Mahisa Agni bukan seorang prajurit."
Keenam pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Jawab salah seorang daripadanya, "Memang Mahisa Agni bukan seorang prajurit. Tetapi ia mempunyai syarat-syarat yang lengkap untuk jabatan itu."
"Maksudku," sahut Ken Dedes, "adalah kesediaan Kakang Mahisa Agni itu sendiri. Aku tidak meragukan kemampuannya, apalagi demikian juga menurut penilaian kalian."
"Baiklah." jawab yang tertua, "kami akan menghubungi keduanya."
"Aku minta keterangan kalian segera."
"Baiklah Tuan Putri. Sekarang perkenankan kami mengundurkan diri."
Keenam pemimpin Tumapel itu pun kemudian meninggalkan Ken Dedes seorang diri. Sejenak Putri itu termenung. Namun sejenak kemudian terasa dadanya mulai terguncang. Baru saja ia kematian suaminya, dan tiba-tiba saja ia telah disentuh oleh suatu pengharapan baru tentang seorang laki-laki.
"Oh, aku adalah perempuan yang paling hina," tiba-tiba ia menjerit di dalam hatinya. Dan hampir saja mulutnya pun menjerit pula.
Namun tiba-tiba ia terperanjat ketika ia mendengar seseorang yang duduk di belakangnya sambil berkata, "Apakah Tuan Putri sudah selesai?"
Ken Dedes berpaling. Dilihatnya emban pemomongnya duduk bersimpuh sambil menatapnya.
"Bibi," suara Ken Dedes terputus. Dan tiba-tiba Putri itu berdiri sambil berkata, "Kepalaku pening, Bibi."
"Tuanku," sahut emban itu, "Tuanku memang masih lelah sekali. Tetapi Tuanku memang sudah seharusnya mulai dengan tugas-tugas seorang pemimpin tertinggi Tanah Tumapel. Sudah beberapa lama Tuanku belajar dari Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Sedang Tuanku telah mempunyai bekal yang meskipun agak berbeda bentuknya, yang Tuanku terima dari ayahanda. Nah, sekarang adalah waktunya bagi Tuan Putri untuk berbuat sesuatu. Tuan Putri adalah putri seorang pendeta yang agung."
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, kata-kata emban pemomongnya itu justru telah membuat kepalanya menjadi semakin pening. Ketika terbayang wajah ayahnya, maka jantungnya serasa berhenti berdenyut.
Ken Dedes menundukkan kepalanya dalam-dalam. Namun seakan-akan wajah ayahnya masih tampak di pelupuk matanya, memandanginya dengan mata yang tajam sambil berkata, "Anakku, apakah kau sadari apa yang telah terjadi atasmu?"
"Oh," hampir saja Ken Dedes terpekik. Tetapi telapak tangannya telah menyumbat mulutnya itu sendiri. Meskipun demikian emban pemomongnya itu melihat sesuatu pada momongannya, sehingga ia pun berdiri pula sambil memegangi kedua lengan Ken Dedes.
"Kenapa Putri?"
"Kepalaku pening, Bibi.Pening sekali."
"Marilah, masuklah ke dalam bilik peraduan."
Ken Dedes pun kemudian dibimbing oleh pemomongnya masuk ke dalam biliknya. Perlahan-lahan ia berbaring ditunggui oleh pemomongnya. Namun betapapun juga, bayangan-bayangan yang mendebarkan jantungnya itu masih saja berkeliaran tidak henti-hentinya.
"Tuan Putri memang perlu banyak beristirahat ," berkata pemomongnya, "seandainya Tuanku memang masih belum merasa tenang, baiklah segala persoalan yang menyangkut tanah ini, diserahkan saja kepada pemimpin yang enam itu."
Ken Dedes hanya mengangguk-angguk kecil. Ia sama sekali tidak berminat untuk berbicara tentang apapun juga. Ia ingin tidur saja apabila mungkin.
"Bibi," berkata Ken Dedes kemudian, "aku ingin beristirahat. Tetapi aku selalu diganggu oleh bermacam-macam persoalan yang tidak dapat aku singkirkan. Karena itu, tolong, katakan kepada emban untuk membuat air pala. Aku ingin tidur sepanjang hari."
Pemomongnya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyanggah. Memang Putri itu harus beristirahat. Tetapi air pala itu sebenarnya tidak begitu perlu baginya.
Meskipun demikian emban pemomong Ken Dedes itu pun pergi juga ke dapur. Disuruhnya seorang emban untuk membuat air pala yang akan diminum oleh Tuan Putri Ken Dedes.
Dalam pada itu. pemimpin yang enam telah memerintahkan seorang perwira dengan dua orang prajurit untuk pergi ke padang Karautan menemui Mahisa Agni. Perwira itu bertugas untuk menanyakan, apakah Mahisa Agni bersedia untuk memangku sebuah jabatan di istana Tumapel.
"Kami menyangka, bahwa Mahisa Agni telah kembali ke padang Karautan setelah ia selesai dengan perang tanding itu," berkata salah seorang dari pemimpin yang enam, "sampaikan pesan kami. Dan agaknya lebih baik apabila ia bersedia datang ke Tumapel untuk membicarakannya."
Sejenak kemudian tiga ekor kuda telah berderap keluar kota Tumapel menuju ke padang Karautan. Semakin lama semakin cepat. Debu yang putih menghambur naik ke udara. kemudian pecah dihembus angin padang.
Demikianlah, maka ketiga utusan itu telah mengemban suatu tugas yang penting untuk mencari seorang perwira pengganti Witantra.
Ketika ketiga perwira itu memasuki padang Karautan, pakaian dan seluruh tubuh mereka telah basah oleh keringat, setelah mereka berkuda untuk waktu yang panjang.Sekali-kali mereka harus berhenti memberi kesempatan kuda-kuda mereka meneguk air dan sekedar beristirahat.
"He, apakah kira-kira jawab Mahisa Agni?" bertanya perwira itu.
Salah seorang kawannya menyahut, "Hanya orang-orang yang aneh yang menolak jabatan ini. Apalagi kalau orang itu memang memiliki kemampuan. Meskipun bagi Mahisa Agni jabatan itu terlampau melonjak.Tetapi karena ia adalah saudara tua Tuan Putri, maka hal itu mungkin saja terjadi."
"Dan Mahisa Agni memang seorang yang luar biasa," sahut kawannya yang lain, "ia berhasil mengalahkan Witantra di arena. Dan dengan demikian jabatan Witantra itu telah ditinggalkannya."
"Tetapi untuk menjadi seorang pemimpin ia harus memiliki beberapa kemampuan. Bukan keunggulan itulah satu-satunya syarat yang harus dimilikinya." berkata yang pertama.
"Tetapi itu adalah syarat yang terpenting bagi seorang perwira tertinggi."
Mereka pun kemudian berhasil berbicara ketika mereka melihat kehijauan yang terhampar di tengah-tengah padang yang kekuning-kuningan.
Kedatangan mereka telah mengejutkan Mahisa Agni yang memang telah berada di padukuhannya yang baru.
"Apakah kepergianku itu telah menimbulkan persoalan?" desisnya.
Karena itu, begitu perwira itu dipersilakan duduk di banjar padukuhannya, dan setelah saling bertanya tentang keselamatan sebagai lazimnya, maka Mahisa Agni pun bertanya, "Kedatangan kalian telah membuat aku berdebar-debar."
Tetapi perwira itu tersenyum sambil berkata, "Agaknya kau bermimpi terlampau baik. Mungkin memangku bulan atau naik seekor gajah putih bertaring emas."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Kenapa?" "Kedatangan kami telah mengemban suatu tugas dari pemimpin yang enam atas persetujuan Tuan Putri Ken Dedes untuk menemuimu."
"Ya?" "Kami mengemban pesan yang harus kami sampaikan, bahwa kau telah dicalonkan untuk menggantikan kedudukan Witantra."
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar tawaran itu. Sekilas ia merasa bahwa ia benar-benar telah menerima suatu kehormatan yang besar. Ia tahu bahwa apabila ia bersedia menerima jabatan itu, pasti akan berarti bahwa ia termasuk salah seorang dari pemimpin tertinggi Tumapel. Pemimpin yang Tujuh.
"Dari tempat itu aku akan mendapat kesempatan lebih banyak lagi untuk menegakkan segala macam peraturan dan ketentuan yang seharusnya berlaku di Tumapel," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Namun tiba-tiba wajahnya menjadi buram. Tanpa sesadarnya diedarkannya pandangan matanya berkeliling, keluar halaman dan sekitarnya. Kalau ia pergi meninggalkan padukuhan yang masih sangat muda itu, apakah padukuhan ini dapat berkembang seperti yang diharapkannya. Anak-anak muda yang dituntunnya menjadi tenaga-tenaga terpenting di padukuhan ini masih belum cukup masak. Dan lebih daripada itu, sekilas Mahisa Agni teringat kepada kedudukan Ken Dedes yang kini menentukan bagi pemerintahan Tumapel sepeninggal Akuwu Tunggul Ametung.
"Apakah tawaran ini didasarkan alas kemampuanku, atau sekedar karena aku kakak Ken Dedes dalam pengertian mereka?" ia bertanya di dalam hatinya.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.Kepalanya pun kemudian terangguk-angguk. Tetapi ia masih belum menjawab.
"Pemimpin yang enam mengharap kedatanganmu ke Tumapel untuk membicarakannya," berkata perwira itu pula.
Namun kemudian Mahisa Agni menjawab perlahan-lahan, "Aku sangat berterima kasih atas tawaran itu. Suatu kesempatan yang barangkali tidak akan terulang lagi sepanjang hidupku. Namun sayang sekali bahwa aku tidak dapat menerimanya."
Ketiga prajurit itu terperanjat.Sejenak mereka terbungkam sambil menatap wajah Mahisa Agni yang suram. Terngiang di telinga mereka kata-kata salah seorang dari mereka bertiga, "Hanya orang-orang yang aneh yang menolak jabatan ini."
Dan ternyata Mahisa Agni telah menolak.
"Kami tidak dapat mengerti," berkata perwira itu, "kenapa kau menolak tawaran yang barangkali tidak pernah kau impikan."
"Ada beberapa alasan," jawab Mahisa Agni, "padukuhan yang baru berkembang ini memerlukan aku setiap saat. Kemudian, apakah aku mampu melakukan tugas itu" Aku adalah seorang anak pedesaan. Adalah kebetulan saja bahwa aku mempunyai sangkutan keluarga dengan Tuan Putri Ken Dedes. tetapi itu bukan suatu jaminan akan kemampuanku. Bukan terjadi dengan sendirinya, bahwa keluarga seorang besar akan selalu mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk jabatan-jabatan tertinggi."
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Alasan itu cukup dimengertinya. Namun yang tidak dapat dimengerti, justru alasan itu diterangkan pada diri sendiri, jarang sekali ia menjumpai seseorang yang dengan jujur mengakui kekurangan pada dirinya. Pada kebanyakan orang maka kekurangan itu akan selalu disembunyikannya. Apa lagi untuk sebuah tawaran yang demikian.
Tetapi ternyata Mahisa Agni berbuat lain. Ia telah menolak sebuah tawaran untuk menjadi seorang perwira tertinggi di dalam pasukan pengawal.
Bagaimanapun juga perwira itu mencoba mendesak untuk meyakinkan pendirian Mahisa Agni, namun Mahisa Agni masih juga tetap menolak.
"Maaf," berkata Mahisa Agni, "aku sudah memutuskan."
"Kau terlampau tergesa-gesa," berkata perwira itu, "mungkin kau dapat merenungkannya."
Mahisa Agni menarik nafas. Tetapi ia tidak ingin terlampau mengecewakan utusan pemimpin yang enam itu, sehingga ia kemudian menjawab, "Baiklah. Aku akan berpikir tiga hari. Kalau dalam waktu tiga hari aku tidak datang ke Tumapel, maka aku tidak berubah pendirian. Aku menolak pencalonan itu."
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah," katanya, "aku akan menyampaikannya kepada pemimpin yang enam itu."
Demikianlah setelah mereka bermalam satu malam, perwira dan kedua kawan-kawannya itu pun meninggalkan padang Karautan. Mereka tidak berhasil membujuk Mahisa Agni untuk dicalonkan sebagai seorang pemimpin tertinggi sekaligus termasuk salah seorang dari pemimpin yang tujuh di Tumapel.
Tetapi jawaban Mahisa Agni itu tidak mengejutkan pemimpin yang enam di Tumapel. Mereka memang sudah menyangka bahwa Mahisa Agni tidak akan bersedia untuk menjadi seorang penjabat apapun di istana, tentu karena ia adalah kakak Tuan Putri Ken Dedes.
Maka satu-satunya calon untuk jabatan itu adalah Ken Arok.
Tidak ada orang lain yang dapat memenuhi banyak syarat seperti Ken Arok. meskipun tidak berarti bahwa Ken Arok adalah seorang yang sempurna.
Akhirnya keenam pemimpin itu pun menyampaikannya pula kepada Tuan Putri Ken Dedes, bahwa Mahisa Agni telah menolaknya. Sampai waktu yang tiga hari telah lampau, Mahisa Agni sama sekali tidak datang ke Tumapel.Dan itu berarti bahwa Mahisa Agni tetap berada dalam pendiriannya.
Mendengar laporan para pemimpin itu Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya, ia mencoba menemukan alasan buat dirinya sendiri, bahwa ia tidak dapat berbuat lain kecuali menerima pencalonan Ken Arok. Satu-satunya.
"Bukan aku yang telah menunjukkannya," ia berkata di dalam hatinya, "aku tidak dapat dituduh menyalah gunakan wewenangku untuk memilihnya. Namanya telah dicalonkan oleh pemimpin yang enam. Dan aku tidak mempunyai pilihan setelah Kakang Mahisa Agni menolak."
"Kami segera memerlukan keputusan," berkata salah seorang dari pemimpin yang enam itu.
"Aku memerlukan waktu sepekan," jawab Ken Dedes.
Para pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.Mereka menyadari, bahwa Ken Dedes harus mempertimbangkannya masak-masak. Jabatan ini langsung menyangkut lingkungan terdekat dengan dirinya, di samping para pelayan dalam.Namun pada umumnya, ke manapun ia pergi, maka pemimpin pengawal itu pun selalu mengikutinya. Apalagi apabila ia pergi keluar dari istana.
"Baiklah Tuan Putri, kami menunggu titah Tuan Putri. Semakin cepat semakin baik bagi kami. Dengan demikian maka lingkungan kami pun menjadi lengkap," berkata salah seorang pemimpin itu pula.
"Ya. Aku telah memberikan batas waktu. Mudah-mudahan aku dapat bekerja lebih cepat."
Sepeninggal pemimpin yang enam itu, mulailah dada Ken Dedes bergolak. Ia bersyukur bahwa pilihan pemimpin yang enam itu jatuh kepada Ken Arok. Tidak kepada yang lain. Namun kadang-kadang ia merasa, bahwa ia telah berbuat sesuatu yang sangat tercela. Seolah-olah ia telah berkhianat kepada Akuwu Tunggul Ametung. Apalagi sebenarnyalah bahwa Ken Dedes telah mulai mengandung. Dan putra yang akan lahir itu adalah putra Akuwu Tunggul Ametung.
Namun akhirnya Ken Dedes tidak dapat menghindarkan dirinya lagi. Betapapun pergolakan terjadi di dalam dirinya, namun akhirnya ia memutuskan, untuk menerima usul pemimpin yang enam itu dan dijadikannya sebuah penetaran, bahwa Ken Aroklah yang akan menggantikan pemimpi tertinggi pasukan pengawal Tumapel.
Namun sebelum waktu yang sepekan itu habis Ken Dedes masih belum menyatakan keputusannya itu. Ia masih menyimpannya, dan masih meragukannya, apakah pendiriannya tidak akan berubah lagi.
"Adalah hakku untuk tetap hidup meskipun Akuwu telah meninggal. Tidak seharusnya aku pun ikut membeku di dalam hidupku. Kehadiranku di istana bukan maksudku. Dan kini apa yang terjadi pun sama sekali tidak pernah aku rencanakan lebih dahulu. Usul nama itu pun bukan dari aku. Aku hanya tinggal menerima, karena tidak ada nama yang lain."
Setiap kali Ken Dedes berusaha membela dirinya, apabila dari dalam dirinya pula terlontar berbagai macam tuduhan dan sebutan.
Maka pada pekan berikutnya, pemimpin yang enam telah menghadapnya lagi. Mereka berharap agar Tuan Putri Ken Dedes mengabulkan permohonan mereka. Apalagi Ken Arok yang telah dihubungi menyatakan, apabila tidak ada orang lain, apa boleh buat.
"Apakah Ken Arok sendiri bersedia?" bertanya Ken Dedes.
Para pemimpin itu menyampaikan apa yang pernah mereka dengar dari Ken Arok.
"Pada dasarnya ia tidak menolak Tuan Putri."
Sampai saat yang terakhir Ken Dedes masih tetap ragu-ragu.Namun kemudian dihentakkannya perasaannya untuk menemukan kekuatan.Dan terlontarlah dari sela-sela bibirnya yang tipis, "Aku menerimanya. Karena memang tidak ada orang lain yang lebih baik daripadanya."
Para pemimpin yang enam itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka merasa bahwa pekerjaan mereka yang terberat telah selesai. Seandainya Ken Dedes tidak menerima Ken Arok untuk menggantikan Witantra, maka mereka masih harus bekerja lagi untuk mencari orang lain. Dan pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sulit.
Tetapi ternyata kini bahwa Ken Dedes telah menerimanya. Sehingga yang perlu mereka kerjakan adalah saat-saat meresmikan pengangkatan Ken Arok, untuk menggantikan kedudukan Witantra.
Keputusan itu pun segera tersebar ke seluruh Tumapel. Mahisa Agni di padang Karautan pun kemudian diberi tahu pula oleh dua orang prajurit yang memang diutus menyampaikan berita itu. Bahkan kemudian Panji Bojong Santi, Mahendra dan Witantra pun mendengarnya pula.
"Ken Arok?" desis Witantra.
"Ya, anak muda itu," sahut Mahendra.
Witantra yang masih belum sembuh benar dari luka-luka di dalam dadanya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Ia anak muda yang baik, cerdas dan mempunyai kemampuan yang kuat. Ia telah berhasil memimpin sepasukan prajurit di padang Karautan. Dan kita dapat melihat hasil kerja itu."
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mudah-mudahan ia dapat menunaikan tugasnya yang baru. Mudah-mudahan tidak ada perwira-perwira yang lebih tua daripadanya, baik umurnya maupun pengalamannya, yang merasa tersinggung karenanya."
"Tetapi ia telah banyak membuktikan kemampuannya."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Kini ia telah benar-benar tersisih dari istana. itu adalah akibat wajar dari kekalahannya. Ia sudah harus dianggap mati.
"Aku tidak mengerti, kenapa Mahisa Agni menolak tawaran itu," desis Mahendra kemudian.
Witantra mengerutkan keningnya. ia pun mendengar pula penolakan itu.
"Tidak mengejutkan," berkata Witantra, "Mahisa Agni bukan seorang yang menginginkan segala macam jabatan. ia pun orang yang baik. Terlalu baik, sehingga perasaannya mudah sekali tergerak apabila rasa keadilannya tersinggung."
"Aku tidak dapat memperbandingkan keduanya," berkata Mahendra kemudian, "manakah yang lebih baik di antara mereka."
"Kita akan melihat," jawab Witantra.
Mahendra pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Sekilas terkenang olehnya, bagaimana Mahisa Agni menyebut dirinya Wiraprana dan mewakilinya berkelahi. Memang benar kata-kata kakaknya. Anak muda itu mudah sekali tergerak apabila perasaan keadilannya tersinggung. Namun dengan demikian, orang lain mungkin akan dapat menyalahgunakannya.
Keputusan pemimpin Tumapel untuk mengangkat Ken Arok menggantikan Witantra, telah mendorong Witantra untuk mengambil keputusan pula. Bersama keluarganya ia akan membuang diri jauh-jauh dari kota Tumapel.
"Apakah itu kau anggap pemecahan yang paling baik Witantra?" bertanya gurunya.
"Aku sudah mati guru."
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti, betapa parah luka di dada Witantra, tetapi betapa lebih parah luka di hatinya. Hati mudanya.
"Mungkin aku akan dapat mempergunakan kelebihan umur yang sudah seharusnya tidak aku miliki ini untuk semakin mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung."
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia berkata, "Tetapi tidak seorang pun yang mengusir kau dari kota ini Witantra.Bukan saja pemimpin yang enam itu, Tuan Putri Ken Dedes pun tidak."
"Mereka memang tidak perlu mengusir aku, Guru. Karena bagi mereka aku sudah tidak ada lagi."
Panji Bojong Santi tidak dapat menahannya lagi.Betapa pahit perasaan orang tua itu. Ia merasa kehilangan muridnya, dua orang sekaligus. Tetapi ia masih mengharap, bahwa pada suatu ketika Witantra akan bangkit kembali, setelah luka hatinya itu berkurang.
Demikianlah maka menjelang peresmian Ken Arok yang diangkat untuk menggantikannya, Witantra pergi meninggalkan Tumapel. Dari gurunya ia mendapat petunjuk, untuk pergi saja ke utara, sehingga pada suatu ketika ia menemukan sebuah hutan yang rindang.
"Kau dapat membuka hutan itu Witantra. Daerah itu didiami oleh orang-orang yang masih jauh terkebelakang. Mungkin kau akan mendapat sedikit kesulitan dengan mereka, tetapi kau akan segera dapat mengatasinya. Orang-orang itu jarang-jarang sekali berhubungan dengan lingkungan yang lain."
"Baik Guru. Aku akan mencoba bergaul dengan mereka."
Namun agaknya Mahendra tidak sampai hati melepaskan mereka. Karena itu, katanya, "Kakang Witantra. Aku akan ikut bersama Kakang. Bukan maksudku untuk melepaskan diri dari lingkunganku.Aku hanya akan melihat di mana Kakang akan menetap. Kemudian aku akan kembali lagi ke tempatku dan pekerjaanku.Dengan demikian setiap kali kami memerlukan, aku dapat segera menemuimu."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepercik keharuan telah melonjak di dada Witantra.
"Terima Kasih," jawabnya, "aku tidak akan dapat menolak kemurahan hatimu yang tulus ini."
Maka sebelum matahari muncul dibalik perbukitan. Witantra telah menyiapkan sebuah pedati berisi alat-alat untuk membuka hutan. Sebuah pedati untuk bekal, dan sebuah pedati lagi untuk ditumpanginya. Beberapa orang pelayannya yang setia telah bertekad untuk mengikutinya meninggalkan Tumapel. Mereka telah menyerahkan diri mereka untuk hidup bersama-sama dengan Witantra.
"Kami telah merasakan manisnya, maka pahitnya pun harus kami telan bersama-sama."
Bagaimanapun juga, istri Witantra tidak dapat menahan titik air matanya ketika pedati-pedati itu keluar dari halaman rumah yang sudah sekian lama dihuninya. Batang-batang pohon buah-buahan, pohon bunga-bungaan dan taman serta belumbang ikan yang selama ini dipeliharanya.
Dan kini semuanya itu harus ditinggalkannya.
Witantra menarik nafas ketika ia melihat titik air mata jatuh di pangkuan istrinya. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun juga. Ia mengerti perasaan apa yang bergolak di dalam dada istrinya itu.
Di belakang pedati yang ditumpangi oleh suami istri itu, Mahendra berada di punggung kuda sambil menundukkan kepalanya. Terasa sesuatu bergetar di dadanya. Seperti Witantra ia pun yakin bahwa Kebo Ijo tidak akan melakukan pembunuhan atas Akuwu. betapapun bengalnya anak itu. Tetapi tanpa dapat membuktikan ia tidak akan dapat menolak keputusan yang telah jatuh, dan apalagi seakan-akan seluruh rakyat Tumapel telah membenarkannya.
Di belakang Mahendra berderik-derik suara pedati-pedati yang lain, dan kemudian beberapa ekor kuda pelayan-pelayan Witantra yang setia kepadanya.
Ketika ayam jantan mulai berkokok bersahut-sahutan. dan ketika di langit sebelah timur membayang warna kemerah-merahan Witantra telah meninggalkan kota. Dilaluinya jalan berbatu-batu di bulak-bulak sawah yang panjang, seakan-akan tidak berujung. Batang-batang padi yang hijau segar dialiri oleh air yang jernih lewat parit yang menelusuri di sepanjang tepi jalan.
Nyai Witantra memandangi sawah yang terhampar itu dengan hati yang ngelangut. Daun-daun padi yang kemerah-merahan disentuh oleh cahaya fajar, membuat jantungnya semakin cepat berdenyut.
Tetapi ia adalah seorang istri yang setia. Ke manapun suaminya pergi, ia tidak dapat tinggal, meskipun suaminya akan pergi ke daerah yang dipenuhi oleh kesulitan dan bahaya.
Sementara itu. Tumapel pun sedang sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut hari pengangkatan Ken Arok menjadi pemimpin tertinggi pasukan pengawal. Memang ada satu dua orang yang merasa tersinggung karenanya, namun kemudian mereka menyadari, bahwa Ken Arok memang telah menunjukkan kelebihan-kelebihannya.
Pada saat kesibukan sedang mencengkam istana, Ken Arok sendiri memerlukan memacu kudanya pergi ke rumah Witantra. Ia ingin minta restu kepadanya, bahwa ia telah ditunjuk untuk mengganti kedudukannya.Ken Arok ingin mengatakan, bahwa sama sekali bukan maksudnya untuk merebut kedudukan itu.
Tetapi Ken Arok menjadi kecewa. Ketika ia memasuki halaman rumah Witantra, rumah itu telah kosong. Pintu-pintu tertutup rapat dan bahkan regol-regol samping pun tertutup pula.
"Ke manakah isi rumah ini?" katanya di dalam hati.
Ken Arok pun kemudian meloncat turun dari kudanya. Dengan hati-hati ia melangkahkan kakinya naik ke tangga pendapa. Dirabanya pintu pringgitan yang tertutup rapat itu. Kemudian selangkah demi selangkah ia menelusur dinding dan turun lagi ke halaman di samping pendapa itu. Ketika terlihat olehnya pintu regol samping, tiba-tiba saja ia tertarik untuk melihat halaman belakang rumah itu. Apakah benar-benar telah kosong sama sekali.
Dengan hati-hati pula ia mendorong pintu yang tertutup itu.Dan ternyata ia berhasil membukanya. Kemudian perlahan-lahan ia berjalan ke halaman belakang.
Ken Arok menjadi berdebar-debar. Rumah itu benar-benar telah kosong. Semua pintu telah tertutup, dan bahkan pintu-pintu longkangan belakang yang menuju ke dapur.
Tanpa sesadarnya ia menjengukkan kepalanya ketika ia berhasil membuka sebuah pintu longkangan. Sepi.
Namun tiba-tiba ia terperanjat ketika ia mendengar sebuah sapa halus dari dalam dapur yang disangkanya kosong itu.
"Marilah anak muda."
Sejenak Ken Arok justru membuka di tempatnya. Dicobanya melihat langsung ke dalam dapur yang masih agak gelap karena pintunya yang belum terbuka sepenuhnya.
"Marilah, jangan takut. Aku bukan wewe yang sedang mencari anak."
Ken Arok ragu-ragu sejenak.Kemudian ia pun melangkah maju. Dengan satu hentakan ia telah berhasil membuka pintu dapur itu selebar-lebarnya.
Ken Arok berdiri tegak di tempatnya seperti tiang yang mati.Matanya terbelalak ketika ia melihat seorang gadis yang sedang berbaring justru di amben dapur.
Tanpa bangkit dari pembaringannya gadis itu tersenyum sambil berkata, "Apakah kau mencari aku?"
Dada Ken Arok menjadi terguncang-guncang. Agaknya dari tempatnya berbaring gadis itu dapat melihat langsung ke pintu longkangan, sehingga ia melihat kedatangannya.
"Kemarilah Ken Arok," desis gadis itu.
"Apa kerjamu di sini Ken Umang?" bertanya Ken Arok.
Ken Umang tertawa, "Tidak apa-apa."
"Ke manakah seisi rumah ini?"
"Pergi. Semuanya pergi karena putus asa. Tetapi aku tidak. Aku mau hidup dan menikmati hidup ini. Kenapa aku harus ikut melarikan diri dari kenyataan" Betapa bodohnya. Aku menolak untuk ikut pergi Kakang Witantra, jauh ke tempat yang paling sepi. Sebagai seorang petapa yang sama sekali tidak ikut membangun masa depan lagi."
Ken Arok mengerutkan keningnya.
"Aku mengucapkan selamat," berkata gadis itu, "bukankah kau akan menjadi pemimpin tertinggi pasukan pengawal menggantikan Kakang Witantra" Ha, kau akan menjadi terlampau dekat dengan janda yang baru saja kematian suaminya itu."
Terasa dada Ken Arok berdesir. Ditatapnya mata Ken Umang tajam-tajam.
Sementara itu Ken Umang pun bangkit sambil mengibaskan rambutnya yang terurai. Kemudian duduk sambil tersenyum. Dijulurkannya kakinya di atas amben sambil berdesah, "Kenapa kau masih berdiri di situ?"
Seperti orang yang kehilangan, akal Ken Arok melangkah maju. Ia pernah menjadi seorang yang paling liar di sekitar padang Karautan. Sebagai seorang hantu ia pernah berbuat apa saja terhadap setiap orang, setiap perempuan dan gadis-gadis yang ditemuinya.
Dalam keadaannya kini. terasa darah Ken Arok itu telah mendidih. Selangkah demi selangkah ia maju, dan Ken Umang itu masih saja tersenyum.
Ketika Ken Arok berada beberapa langkah daripadanya, maka tiba-tiba gadis itu menangkap tangannya dan menariknya sambil berdesis, "Kau adalah seorang senapati yang menggemparkan. Kau masih muda dalam kedudukan yang begitu tinggi, sehingga kau pasti akan menjadi sorotan gadis-gadis."
Ken Arok yang memiliki segala jenis pengalaman di dalam dirinya itu sama sekali tidak dapat melawan senyum Ken Umang yang serasa membakar jantung. Seperti seorang anak yang dungu ia duduk di amben itu sambil mengusap keringat yang mengalir dari keningnya.
Ken Arok tidak berbuat apapun ketika gadis itu membelai pundaknya sambil berkata, "Aku tidak mau pergi dari kota ini. Aku masih mempunyai beberapa orang keluarga. Karena itu, maka aku tetap tinggal di sini. Aku bermaksud untuk tinggal pada keluargaku yang lain. Sebelum aku berangkat kau tiba-tiba datang kemari. Dan kau telah memberikan harapan baru bagi hidupku di kota ini."
Ken Arok yang telah berhasil membunuh Akuwu Tunggul Ametung, membunuh Empu Gandring dan membuat istana Tumapel gempar karena Kebo Ijo yang terbunuh pula itu, kini duduk diam, seolah-olah tidak mempunyai kekuasaan apapun atas dirinya sendiri.
"Hari ini kau akan diwisuda," desis Ken Umang, "dan kau tidak sebodoh Mahisa Agni itu."
Ken Arok tidak menjawab. Namun tiba-tiba tengkuknya meremang ketika ia mendengar Ken Umang tertawa sambil berdesis, "Kau tidak boleh lepas dari tanganku. Kau adalah seorang anak muda yang paling memenuhi unsur idamanku."
Ken Arok masih terdiam. "Setelah kau menjadi seorang pemimpin tertinggi pasukan pengawal, maka kau harus segera beristri. Kau dengar?"
Ken Arok mengangguk. "Dengan demikian barulah kau menjadi lengkap."
Ken Arok mengangguk pula. Tanpa dapat melawan lagi Ken Umang menariknya semakin dekat.
Namun tiba-tiba Ken Arok itu menyentakkan dirinya. Ia adalah seorang yang telah berhasil membuat lakon yang dahsyat. Dan ia telah berhasil mendalanginya. Karena itu, ia tidak boleh kehilangan dirinya sendiri. Betapa lunak dan mesra sentuhan tangan gadis itu, namun Ken Arok pun kemudian meloncat berdiri sambil menggeretakkan giginya. Sambil menunjuk gadis itu ia menggeram, "Apakah yang kau lakukan he anak gila?"
Ken Umang terkejut. Namun ia pun kemudian tertawa, "Jangan marah. Demikianlah hasrat hati nuranimu. Tetapi kau masih tetap dapat dikuasai oleh akalmu. Nah. mudah-mudahan kau berhasil menjadi seorang pemimpin yang baik. Tetapi setiap saat kau akan tetap teringat kepadaku. Dan aku pun akan menunggu kau datang kepadaku dan menjemputku."
"Persetan!" Ken Umang masih tetap tertawa ketika ia melihat Ken Arok berlari meninggalkan dapur itu. Katanya, "Jangan takut, aku tidak akan mengejarmu.Kaulah yang akan mencari aku kelak."
Ken Arok tidak berpaling lagi. Ia kemudian berlari ke kudanya di halaman depan dan segera meloncat ke punggungnya.
Seperti seseorang yang ketakutan dikejar oleh hantu yang akan menghisap darahnya, Ken Arok segera memacu kudanya meninggalkan halaman rumah Witantra. Namun tanpa dapat ditahan-tahankannya lagi, ia masih juga berpaling.
Ken Umang masih berada di dalam dapur sambil tertawa berkepanjangan. Seperti orang yang kehilangan ingatan ia berbicara kepada dirinya sendiri, "Ternyata Ken Arok adalah seorang anak muda yang lemah hati. Jauh lebih lemah dari Mahisa Agni. Aku bersumpah pada suatu saat aku akan mengikatnya di bawah kakiku."
Dan suara tertawa, Ken Umang pun menjadi semakin tinggi.
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mahisa Agni pasti akan terkejut melihat pada suatu saat aku menjadi seorang istri dari pemimpin yang tujuh di Tumapel."
Namun wajahnya tiba-tiba berkerut. Terlintas di kepalanya terbayang tentang seorang perempuan yang cantik, janda Akuwu Tunggul Ametung.
"Huh, masih juga ada perempuan yang lebih tinggi dari istri salah seorang pemimpin yang tujuh di Tumapel."
Ken Arok yang berpacu itu pun berpacu semakin cepat. Tetapi ia tidak dapat melarikan dirinya dari bayangan-bayangan tentang gadis yang telah membelai kulitnya. Sentuhan tangannya serasa telah menggetarkan darahnya sehingga jantungnya pun serasa telah terbakar.
Tetapi Ken Arok harus tetap berpegangan pada nalarnya. Ia ingin tidak saja menjadi seorang pemimpin tertinggi pasukan pengawal, sekaligus menjadi salah seorang dari pemimpin yang tujuh. Apabila Akuwu, siapa pun orangnya telah melakukan tugasnya, maka kekuasaan dari pemimpin yang tujuh itu sangat terbatas.
Karena itu, maka Ken Arok telah mulai membayangkan betapa Ken Dedes kini menjadi seorang yang paling berkuasa di Tumapel. Apalagi perempuan itu adalah perempuan yang memiliki kelihaian yang mengagumkan.
Ken Arok menghentak-hentakkan kendali kudanya. Hari ini ia akan menerima pengangkatannya sebagai seorang pemimpin tertinggi pasukan pengawal. Tetapi yang membayang di kepalanya adalah kesempatan-kesempatan yang akan terbuka karenanya.
Ken Arok memejamkan matanya sejenak. Terkilas di kepalanya cahaya yang kemilau memancar dari tubuh Ken Dedes. Pancaran cahaya itu adalah pertanda bahwa Ken Dedes adalah seorang perempuan yang lain dari perempuan kebanyakan.
"Sepanjang pendengaranku, perempuan itu akan menurunkan orang-orang besar yang kelak akan memiliki kekuasaan dan kewibawaan," desis Ken Arok.
"Persetan dengan gadis yang gila di rumah Witantra itu," gumamnya.
Namun kehangatan gadis itu masih terasa seakan-akan merayapi kulitnya.
Memang keduanya berbeda, Ken Dedes yang lembut, dan Ken Umang yang panas.
Tiba-tiba tebersit sepercik nafsu di kepalanya, "Kenapa tidak keduanya?"
"Ah," ia berdesah.
Ken Arok ternyata kini sedang terombang-ambing antara dua dunia yang berlawanan. Dunianya yang hitam dan dunia lain yang pernah ditemukannya. Dan keduanya kini sedang bergolak berebut pengaruh di dalam hatinya.
Tetapi kuda Ken Arok berpacu terus. Semakin lama semakin dekat dengan istana.
Ken Arok akhirnya sampai juga pada saatnya, ia menerima pengangkatan itu.
Ketika matahari telah mulai condong ke barat, maka terdengarlah suara yang menggelegar dari dalam istana, suara sebuah gong yang besar, yang tergantung di paseban depan.
Sejenak kemudian Ken Dedes sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Tumapel atas dasar penyerahan kekuasaan dari Akuwu Tunggul Ametung sejak semasa hidupnya, menyerahkan sebilah keris pimpinan kepada Ken Arok dan mengalungkan seutas tali yang berwarna kekuning-kuningan di lehernya, sebagai pertanda bahwa Ken Arok dengan demikian telah diangkat menjadi seorang pemimpin tertinggi dari pasukan pengawal.
Tidak seorang pun yang mempunyai alasan yang cukup untuk menentang keputusan itu. Sehingga dengan demikian tidak ada lagi persoalan di antara para pemimpin tertinggi Tumapel, para senapati, para manggala dan pandega serta seluruh rakyat.
Namun persoalan yang tumbuh justru di dalam dada Ken Dedes itu sendiri. Betapa tangannya menjadi gemetar ketika ia meletakkan tali yang berwarna kekuning-kuningan itu di leher Ken Arok, serta ketika ia menyerahkan keris kepada anak muda itu. Dalam pakaian kebesaran Ken Arok menjadi semakin mengagumkan di dalam pandangan mata Ken Dedes.
Dan getar itu ternyata dapat ditangkap oleh perasaan Ken Arok yang tajam. Sentuhan tangan Ken Dedes pada saat mengalungkan tali yang kekuning-kuningan itu, serta ketika tangan Ken Arok menerima keris pimpinan, terasa bahwa jantung Putri yang memegang pimpinan tertinggi di Tumapel itu bergetar.
Tanpa sesadarnya Ken Arok memandang wajah Tuan Putri yang sedang berpakaian kebesaran itu pula. Pada saat yang bersamaan Ken Dedes pun sedang memandanginya pula.
Benturan pandangan itu telah mengguncangkan hati keduanya.Hati Ken Dedes serasa meledak berkeping-keping. Hampir saja ia kehilangan kekuatan untuk menahan dirinya sendiri. Untunglah bahwa ia masih berhasil menguasai perasaannya, sehingga ia tidak meloncat dan berlari ke dalam biliknya.
Sementara itu Ken Arok pun segera menundukkan kepalanya. Namun tangannya yang memegang keris itu pun menjadi gemetar pula.
Ketika Ken Arok telah kembali ke tempatnya, maka ia sama sekali tidak berani lagi mengangkat wajahnya. Ia menunduk dalam-dalam dengan jantung yang serasa mengembang.
Demikianlah maka untuk hari-hari seterusnya. Ken Arok adalah seorang pengawal yang mengagumkan. Ternyata ia tidak hanya pandai memanjakan nafsunya, tetapi ia benar-benar mampu melakukan tugasnya.
Namun dengan demikian, ia menjadi selalu dekat dengan Ken Dedes sebagai pemegang pimpinan tertinggi di Tumapel. Sebagai minyak yang selalu dekat dengan api. maka akhirnya menyalalah hati keduanya tanpa dapat ditahan-tahankan lagi.
Sementara Mahisa Agni bekerja keras membangun padukuhannya yang baru, terbetiklah berita, bahwa hubungan antara Ken Dedes dan Ken Arok sama sekali sudah tidak dapat dicegah lagi.
Namun Mahisa Agni telah belajar banyak dan pengalaman hidupnya. Ia tidak lagi dapat diterkam oleh kehilangan akal dan kebingungan. Ia menanggapi masalah hidup dengan sepenuh kedewasaan.
Karena itu, maka hatinya kini benar-benar telah lekat dengan kerjanya, seperti Witantra yang semakin mencintai kesepian yang ditanggapinya sebagai suatu kedamaian di dalam hati setelah ia berhasil menyesuaikan hidupnya dengan alam di sekitarnya.
Namun semuanya ternyata tidak berhenti di tempatnya. Semua masih bergerak dalam lingkaran yang saling bersinggungan.
Maka seperti tersebut di dalam Kitab Pararaton, "Selanjutnya Dewa memang telah menghendaki, bahwasanya Ken Arok memang sungguh-sungguh menjadi jodoh Ken Dedes, lamalah sudah mereka saling hendak-menghendaki, tak ada orang Tumapel yang berani membicarakan semua tingkah-laku Ken Arok, demikian juga semua keluarga Tunggul Ametung diam, tak ada yang berani mengucap apa-apa, akhirnya Ken Arok kawin dengan Ken Dedes (terjemahan: Ki J. Padmapuspita).
Tetapi ternyata yang terjadi belumlah akhir yang terakhir.
Pada saat perkawinan itu berlangsung, maka kekuasaan pun seakan-akan telah berpindah pula ke tangan Ken Arok. Tetapi Ken Arok bukanlah seorang yang lekas puas. Ia kemudian mengangkat kepalanya, dan memandang kepada kekuasaan Kerajaan Kediri.
Namun persoalan di dalam dirinya masih akan berjalan. Di dalam diri Ken Dedes telah terkandung putra Tunggul Ametung. Bayi itu kelak akan dilahirkan, berbareng dengan lahirnya masalah-masalah baru.
Demikianlah, seperti matahari yang mengelilingi bumi, maka yang pernah tenggelam akan terbit pada saatnya. Dan cerita tentang keluarga ini masih akan berkepanjangan, dalam sangkutannya dengan nama-nama yang pernah tersebut di dalam kisah ini."
Yogyakarta, 21 Desember 1971
BARA DI ATAS SINGGASANA Bagian I " Putra Mahkota
Yang pernah terjadi di Tumapel sudah hampir dilupakan. Rakyat Tumapel sendiri sudah tidak pernah menyebut nama Akuwu Tunggul Ametung yang sudah tidak ada lagi. Mereka tidak pernah mempersoalkan perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes. Semuanya seolah-olah sewajarnya dan seharusnya terjadi. Para pemimpin yang tujuh, para perwira dan manggala, tidak ada yang membicarakannya lagi. Seperti juga tidak ada lagi yang membicarakan kematian Kebo Ijo.
Apalagi setelah rakyat Tumapel melihat kemampuan Ken Arok memerintah. Tumapel tidak lagi Tumapel yang sudah puas dengan dirinya seperti pada saat Akuwu Tunggul Ametung memerintah. Tumapel kini seakan-akan selalu bergolak. Tanah-tanah kering harus menjadi basah, dan anak-anak muda yang duduk termenung harus bangkit mesu diri, membentuk kekuatan yang setiap saat dapat digerakkan untuk tujuan apapun.
Demikianlah Ken Arok menjadikan Tumapel semakin lama menjadi semakin kuat dan makmur. Hidup rakyatnya menjadi kian baik, penghasilan pun bertambah-tambah.
Ken Dedes yang menyerahkan kekuasaannya dengan diam-diam kepada Ken Arak sama sekali tidak menyesal. Ia melihat perkembangan Tumapel dengan dada tengadah.
Bukan saja sebagai seorang permaisuri, tetapi sebagai seorang istri pun Ken Dedes menemukan yang tidak pernah didapatkannya sebelumnya. Meskipun Ken Arok lebih sering keluar istana, tetapi Ken Arok tidak pernah melupakannya. Apalagi Ken Dedes mengerti, bahwa setiap kali Ken Arok meninggalkan istana, maka sesuatu telah dilakukannya untuk mengembangkan Tumapel.
Hanya sekali-sekali saja Ken Arok melupakan kesibukan itu.Ada sesuatu yang masih kadang-kadang dirindukannya. Berburu di hutan-hutan seperti yang dilakukan oleh Akuwu Tunggul Ametung.Tetapi Ken Arok telah digerakkan oleh kenangannya pada masa-masa mudanya. Hutan-hutan rindang di sekitar padang Karautan sangat menarik perhatiannya. Apabila ia sedang berburu di hutan itu dibawanya Ken Dedes serta, dan ditinggalkannya itu di taman yang pernah dibuatnya dahulu, di dekat padukuhan baru bagi orang-orang Panawijen.
Hari-hari yang demikian terasa sangat menyenangkan. Juga bagi Ken Dedes. Hijaunya padukuhan yang baru itu memberi kesegaran kepadanya. Ia merasa bahwa ia telah memberikan arti dari Hidupnya kepada kampung halamannya.
Tetapi ada juga orang yang menjadi sangat kecewa. Perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes telah membuatnya hampir berputus asa. Namun kekerasan hatinya kemudian telah mendorongnya ke dalam tindakan yang kurang bijaksana. Namun ia sama sekali tidak mau memikirkan kepentingan orang lain. Bahkan ia berkata di dalam hatinya,"Mereka harus tahu, bahwa aku pun mampu menundukkan hati rajawali yang liar itu."
Demikianlah maka semua usaha dilakukannya.Dua kali lipat dendam yang tersimpan di dadanya harus dituntutnya. Mahisa Agnilah yang mula-mula menyakitkan hatinya, dan kemudian Adik perempuannya, Ken Dedes.
Masa-masa berburu yang dilakukan oleh Ken Arok menjadi salah satu kesempatan baginya. Dan ia telah mencoba untuk mempergunakannya sebaik-baiknya.
Maka ketika sepasukan kecil orang-orang berkuda berderap menuju ke hutan-hutan perburuan di sekitar padang Karautan dari padukuhan baru orang-orang Panawijen setelah meninggalkan Ken Dedes di taman yang melingkari sendang, maka seekor kuda yang datang dari jurusan lain pun berlari pula menuju ke tempat yang sama.
"Terima kasih,"berkata penunggang kuda itu kepada pesuruhnya,"tetapi apabila kau keliru, maka kupotong lehermu."
"Aku tidak akan keliru. Aku tahu pasti, bahwa hari ini Ken Arok pergi berburu."
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya maka ia pun segera memacu kudanya untuk menjumpai Ken Arok dengan beberapa orang pengiringnya.
Sudah menjadi kebiasaannya, bahwa Ken Arok selalu membuat sebuah tempat peristirahatan di pinggir hutan. Sebuah gubuk kecil yang dikelilingi oleh beberapa gubuk yang lain. Dari gubuk-gubuk itulah mereka pergi mengintai binatang-binatang buruan mereka, sebelum binatang-binatang itu mereka tangkap hidup atau mati.
Tetapi musim berburu kali ini ternyata agak berbeda dengan saat-saat yang pernah terjadi. Ketika Ken Arok sedang mengintai di pinggir sebuah mata air, yang sering dikunjungi oleh binatang-binatang buruan yang sedang haus, tiba-tiba ia melihat seekor kuda lewat dengan cepatnya. Segera ia dapat membedakan, bahwa orang berkuda itu sama sekali bukan orangnya.
"He. kau lihat orang berkuda itu?"Ken Arek berdesis.
Seorang, pengawal mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk ia menjawab,"ya, hamba melihat."
"Siapa?" Kini orang itu menggeleng,"Hamba tidak tahu."
Ken Arok mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba timbullah keinginannya untuk mengetahui orang itu. Karena itu maka katanya, "Aku akan melihatnya."
"Orang itu berkuda. Sedang kita sama sekali tidak membawa seekor kuda pun, karena kuda-kuda kita berada di perkemahan."
Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi ia bukanlah orang yang mudah menyerah karena keadaan. Karena itu maka katanya,"Kau tinggal di sini. Kalau para pengawal mencari aku, suruhlah mereka tinggal di sini menunggu."
"Tetapi, sebaiknya hamba pergi bersama."
Sejenak Ken Arok mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa pengawalnya itu menjadi cemas. Mereka tidak tahu sama sekali, siapakah penunggang kuda yang lewat itu.
Tetapi Ken Arok menjawab, "Tidak apa-apa. Aku hanya sekedar ingin tahu. Kalau aku menganggap orang berkuda itu berbahaya, maka aku akan memanggil para pengawal."
Pengawal itu tidak segera menjawab. Tetapi kecemasan masih membayang di wajahnya.
Namun dalam pada itu Ken Arok tersenyum sambil menepuk bahunya, "Aku dapat menjaga diriku sendiri,"
Pengawal itu tidak menjawab, selain menganggukkan kepalanya.
"Nah, tetaplah di sini. Jangan cemas."
Sebelum pengawal itu berbuat sesuatu, Ken Arok telah meloncat dengan sigapnya. Sekejap saja kemudian, Ken Arok itu seakan-akan telah lenyap ditelan rimbunnya dedaunan.
Sementara itu Ken Arok sedang menyusup di bawah gerumbul-gerumbul perdu ke arah hilangnya kuda yang mencurigakannya. Ada sesuatu yang tampak aneh oleh Ken Arok pada penunggang kuda itu. Sesuatu yang tidak dikatakan oleh Ken Arok kepada pengawalnya. Tetapi ketajaman matanya dapat menangkap apa yang tidak dilihatnya oleh pengawalnya itu.
Sejenak Ken Arok harus merunduk di bawah gerumbul-gerumbul sebelum ia dapat menangkap derap kaki-kaki kuda. Kini kuda itu tidak lagi berlari-lari. Sekali ia mendengar kuda itu meringkik, kemudian berputar di tempatnya.
"Tidak jauh lagi," berkata Ken Arok di dalam hatinya.
Dan perhitungan Ken Arok itu memang tepat. Kini ia melihat penunggang kuda itu sedang termangu-mangu. Menilik sikapnya, Ken Arok menduga bahwa penunggang kuda itu akan berbalik menempuh jalan yang baru saja dilaluinya.
"Hem," desis Ken Arok,"aku mencurigainya."
Ken Arok pun beringsut semakin dekat. Tetapi ia masih belum melihat wajah penunggang kuda itu.
Tiba-tiba sebelum penunggang kuda itu menyadari kehadiran Ken Arok di sisinya, ia merasa kendali kudanya telah ditangkap oleh seseorang.
Bukan saja penunggang kuda itulah yang terkejut, tetapi kudanya pun terkejut pula sehingga kuda itu meringkik dan berkisar pada kaki belakangnya.
Karena penunggang kuda itu sama sekali tidak menyangka, bahwa kudanya akan bergeser, betapapun kuatnya tangan yang memegangi kendali itu, namun ia tidak dapat menghindarkan dirinya lagi dari kesulitan. Guncangan itu telah melontarkannya dari punggung kudanya. Hampir saja ia terbanting di tanah, kalau tangan yang menggenggam kendali itu tidak cepat bertindak.
Begitu kendali kuda itu dilepaskan, maka tangan itu pun segera menangkap penunggang yang terlempar itu.
Semuanya itu hanya berlangsung dalam waktu yang singkat sekali, sehingga ketika mereka menyadari keadaan diri masing-masing, penunggang kuda itu telah berpegangan pundak Ken Arok erat-erat. Sedang Ken Arok pun berusaha untuk menahannya agar ia tidak terjatuh.
Tanpa mereka sadari, maka sejenak kemudian mereka pun saling berpandangan. Dan sekali lagi mereka terkejut karenanya.
Perlahan-lahan Ken Arok melepaskan penunggang kuda yang kini tersenyum kepadanya sambil berkata, "Terima kasih Tuanku. Bukankah Tuanku Akuwu Tumapel yang bijaksana?"
Ken Arok mundur selangkah. Dipandanginya orang itu dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip.
"Apakah Tuanku sudah lupa kepada hamba yang hina ini?"
"Hem,"Ken Arok menarik nafas dalam-dalam, "kau Ken Umang."
Ken Umang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,"Bukankah hamba masih yang dahulu" Yang berbeda adalah justru Tuanku. Tuanku sekarang bukan sekedar salah satu dari pemimpin yang tujuh di Tumapel. Tetapi Tuanku adalah seorang Akuwu, meskipun kekuasaan itu Tuanku dapat dari Tuan Putri Ken Dedes yang. cantik tiada taranya."
Ken Arok tidak segera menjawab. Ia masih terpaku memandang Ken Umang dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya.
"Kenapa kau berbuat seperti ini" Berpakaian laki-laki dan sengaja mengganggu masa berburu kami?"
"Siapa yang mengganggu Tuanku" Hamba sama sekali tidak berbuat apapun di sini. Hamba hanya lewat, dan tidak ada peraturan yang melarang seseorang lewat di hutan ini."
"Bohong!| bentak Ken Arok, "kau pasti sengaja melakukannya justru kau tahu aku sedang berada di sini."
Ken Umang mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa sambil melangkah maju, "Tuanku sekarang menjadi pemarah. Apakah seorang Akuwu harus seorang pemarah seperti Akuwu Tunggul Ametung?"
Ken Arok tidak menyahut. "Tetapi Tuanku lain sekali dengan Akuwu yang terdahulu. Persamaannya, keduanya adalah suami Ken Dedes. Tetapi masih juga ada perbedaannya. Tuan tidak mendapatkan seorang gadis lagi."
"Diam!" Ken Arok hampir berteriak. Terdengar ia menggeram,"Kalau saja kau bukan seorang gadis, maka aku tampar mulutmu."
Tetapi Ken Umang masih saja tertawa. Bahkan ia berkata,"Memang Tuan. Aku masih seorang gadis, Kenapa Tuanku tidak menginginkan seorang gadis" Tuanku dapat berbuat apa saja menurut kehendak Tuanku setelah Tuanku merampas kekuasaan itu dari tangan Ken Dedes."
"Diam! Diam kau!"
Tetapi Ken Umang tidak terdiam karenanya. Ia masih tertawa.Perlahan-lahan ia mendekati Ken Arok. Ketika Ken Umang meraba ikat pinggang kulit yang membelit di perutnya, Ken Arok sama sekali tidak beringsut dari tempatnya. Bahkan ia berdiri saja seperti patung.
Dengan jari-jarinya yang lentik Ken Umang seakan-akan menghitung butiran-butiran berlian yang terpahat pada timang ikat pinggang Ken Arok. Kemudian disentuhnya pula ukiran keris yang terselip pada ikat pinggang di punggungnya.
Perlahan-lahan Ken Umang berdesis, "Tuanku memang gagah sekali."
Ken Arok masih tetap mematung.
Dan Ken Umang bertanya seterusnya, "Apakah Tuanku hanya seorang diri?"
Ken Arok menggeleng, seperti anak-anak yang dituduh melempari buah-buahan di halaman,"Tidak. Aku tidak seorang diri,"
"Di manakah kawan-kawan Tuanku sekarang?"
"Di gubuk-gubuk itu."
Ken Umang tersenyum manis sekali.Dirabanya janggut dan jambang Ken Arok yang pendek dan teratur rapi.
"Maaf Tuanku. Ternyata bukan Tuanku yang mencari hamba seperti pernah hamba katakan. Tetapi hambalah yang mencari Tuanku."
Sentuhan tangan Ken Umang, benar-benar serasa seperti api yang menyentuh minyak yang tersimpan di dadanya. Adalah jauh berbeda sekali dengan Ken Dedes. Ken Dedes adalah titik-titik embun di teriknya matahari. Sejuk sekali.
Apabila hatinya sedang membara, maka sentuhan tangan Ken Dedes adalah sentuhan ketenteraman yang damai.
Tetapi sentuhan tangan Ken Umang telah mendidihkan darahnya, sehingga Ken Arok sama sekali tidak dapat mendinginkannya dengan usaha yang bagaimanapun juga, ketika kemudian seluruh isi dadanya terbakar.
Semua pengawalnya menjadi gelisah karena Ken Arok tidak segera kembali ke tempatnya. Seorang pengawal yang menunggu Ken Arok di tempat mereka melihat seekor kuda melintas, hampir-hampir tidak dapat menahan diri lagi untuk menyusul Akuwu. Tetapi ia masih bertahan. Kalau ia pergi menyusul, itu berarti ia telah melanggar perintah. Bahkan kepada pengawal-pengawal yang lain pun ia telah memberitahukan, bahwa Ken Arok tidak ingin seorang pun mengikutinya.
"Apakah kau tidak berusaha mencegahnya," bertanya seorang kawannya.
"Aku sudah berusaha. Tetapi Akuwu tetap pada pendiriannya."
"Bagaimana kalau terjadi sesuatu atasnya?"
Pengawal itu tidak menyahut. Tetapi yang lain bergumam, "Tetapi kalau Akuwu tidak mampu mengelakkan bahaya itu, apakah kemampuan kita dapat menolongnya."
"Setidak-tidaknya kita dapat membantunya. Kalau bahaya datang beradu dada, aku kira Akuwu benar-benar dapat menjaga diri. Tetapi bagaimanakah halnya apabila ada jebakan yang tidak disangka-sangka,"
Semuanya diam sejenak. Kemudian seorang yang sudah berusia agak lanjut berkata,"Kita tunggu sebentar lagi. Kalau Akuwu tidak segera datang, kita mencarinya."
Semuanya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka pun kemudian kembali ke gubuk masing-masing, kecuali seorang pengawal yang diharuskan menunggu di tempat mereka berpisah dengan Ken Arok.
Pengawal itu sama sekali tidak memperhatikan lagi kepada binatang-binatang buruan yang minum di genangan air yang ditungguinya, karena hatinya semakin lama menjadi semakin gelisah.
Sementara itu Ken Arok sedang dibakar oleh api yang telah menyentuh perasaannya.
Di masa-masa ia masih berkeliaran di hutan-hutan di sekitar padang Karautan ini, apapun pernah dilakukannya. Merampas, merampok dan juga memerkosa. Tetapi kini sebagai seorang Akuwu ia tidak berdaya melawan lembutnya tangan-tangan Ken Umang yang menyeretnya ke dalam lembah yang berbahaya.
Ken Arok menyadari dirinya, ketika ia sudah hangus terbakar. Dengan wajah merah padam ia memandang dirinya sendiri, kemudian gadis yang masih saja tersenyum di hadapannya.
"Apakah Tuanku menyesal?" bertanya Ken Umang. Ken Arok berdiri gemetar.
"Kalau Tuanku menyesal, Tuanku masih mempunyai jalan keluar."
Ken Arok tidak menjawab. "Tuanku dapat membunuh hamba sekarang.Kemudian Tuan dapat terlepas dari semua akibat perbuatan Tuan."
Wajah Ken Arok menjadi semakin tegang. Ditatapnya wajah Ken Umang yang cerah oleh senyum yang selalu menghiasi bibirnya. Namun Ken Arok seakan-akan telah benar-benar membeku, sehingga ia tidak mampu berbuat apapun juga.
Perlahan-lahan Ken Umang berdiri dan mendekatinya. Sekali lagi ia meraba janggut dan jambang Ken Arok, yang pendek itu.
"Tuanku dapat membunuh hamba. Bukankah Tuanku membawa keris dan pedang" Mudah sekali. Inilah dada hamba."
Tiba-tiba Ken Arok menggelengkan kepalanya. Dengan nada yang berat ia berkata, "Tidak.Aku bukan pengecut. Aku adalah seorang laki-laki."
"Maksud Tuanku?"Ken Umang mengerutkan keningnya. Tetapi hatinya melonjak kegirangan. Kalau ia berhasil, maka ia akan dapat duduk di samping anak pedesaan Panawijen itu. Setidak-tidaknya ia akan mendapat sebagian dari kekuasaan atas Tumapel, yang akan melimpah kepada anak-anaknya kelak.
"Pergilah. Kembalilah ke Tumapel,"desis Ken Arok. Ken Umang berdiri termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah Ken Arok yang masih tegang.
"Sudah aku katakan, aku bukan pengecut. Apakah kau masih tinggal di rumah Witantra?"
"Tidak Tuanku. Hamba tidak berada di rumah yang kosong itu lagi. Tetapi hamba berada di rumah bibi hamba.
"Utusanku akan mencarimu. Sekarang, pergilah. Pengawal-pengawalku sudah terlampau lama menunggu."
Ken Umang tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,"Hamba akan kembali mendahului Tuanku. Hamba selalu menunggu titah Tuanku, apapun yang harus hamba jalani,"
Ken Arok tidak menjawab. Dipandanginya saja Ken Umang yang membenahi pakaian laki-lakinya, kemudian naik ke atas punggung kudanya yang sedang enak-enak makan rerumputan yang muda.
(bersambung ke jilid 51) Makam Bunga Mawar 15 Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy Empress Orchid 4
Panji Bojong Santi tersenyum, katanya kemudian, "Dan terima kasihku kepada pimpinan Tumapel. Kepada siapa saja."
Ken Arok pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia masih saja mengumpat-umpat di dalam hatinya. Kali ini ia gagal membunuh Witantra, dengan tangan Mahisa Agni maupun dengan tangannya sendiri. Dan ia sadar, bahwa hal ini pasti akan menjadi masalah di hari kemudian.
Dengan dada berdebar-debar Ken Arok kemudian menyaksikan Panji Bojong Santi memberikan sebutir reramuan obat kepada Witantra. Agaknya obat itu cukup tajam. Sejenak kemudian tampak Witantra sudah menjadi agak segar. Meskipun demikian, ketika Mahendra membantunya berdiri, wajahnya masih saja membayangkan penderitaan yang luar biasa di dadanya.
"Gundala Sasra yang sempurna," desis Ken Arok di dalam hatinya.
Dengan dada berdebar-debar Ken Arok menyaksikan Witantra dibantu oleh Mahendra berjalan di antara penonton yang tinggal beberapa orang. Namun mereka tanpa sadar telah mengerumuni Witantra dan bahkan ada yang berjalan mengikutinya beberapa langkah.
Dengan demikian maka Witantra sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Ia merasa, seolah-olah orang-orang itu mengikutinya sambil mencibirkan bibir mereka, menyorakinya, "Pengecut.Pengecut."
Namun sejenak kemudian mereka telah sampai ke pinggir alun-alun.Panji Bojong Santi dan Mahendra ternyata hanya membawa dua ekor kuda. Karena itu maka Witantra pun kemudian berdua bersama-sama dengan Mahendra, perlahan-lahan meninggalkan alun-alun diantar oleh tatapan mata orang-orang Tumapel yang masih berada di alun-alun dengan berbagai macam kesan yang tidak terbaca.
Dengan berakhirnya perang tanding itu, maka para pemimpin Tumapel menganggap bahwa persoalan Kebo Ijo telah selesai. Tidak ada lagi persoalan dalam masalah pembunuhan yang terjadi di istana. Kebo Ijo telah dinyatakan bersalah, membunuh Akuwu Tunggul Ametung dan bahkan telah lebih dahulu membunuh Empu Gandring. Selain bukti yang ditemukan, maka pembelaan Witantra di arena perang tanding pun telah gagal pula.
Dan kegagalan Witantra di arena telah melemparkan Witantra sekaligus dari istana. Ia tidak pernah lagi tampak di antara para pemimpin dan para prajurit. Hal itu telah diduga sejak semula oleh para pemimpin yang enam, sehingga dengan demikian maka kedudukan Witantra pun menjadi kosong karenanya.
Kekosongan kedudukan Witantra itu pun telah menjadi masalah pula bagi para pemimpin yang enam. Mereka harus segera menemukan seorang yang kuat untuk menjadi seorang pemimpin pasukan pengawal. Pasukan yang akan bertanggung jawab terutama atas pengawalan istana seisinya.
Untuk menemukan orang yang mampu menggantikan Witantra bukanlah pekerjaan yang mudah. Setiap perwira harus mendapat penilaian yang tepat. Sejak Akuwu masih hidup, maka siapakah yang mendapat kepercayaan daripadanya, mendapat perhatian sebaik-baiknya pula.
Namun yang telah melonjak di dalam perhatian keenam pemimpin itu adalah Mahisa Agni. Meskipun ia bukan seorang perwira prajurit yang manapun, namun ia ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa. Lebih daripada itu semua, ia adalah kakak dari Tuan Putri Ken Dedes yang kini telah menjadi janda.
"Pengangkatan Mahisa Agni akan menimbulkan persoalan baru di kalangan para prajurit," berkata salah seorang dari keenam pemimpin itu.
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menyadari, bahwa hal itu akan sulit dimengerti oleh para perwira. Mereka mengharap bahwa salah seorang dari merekalah yang akan menduduki kekosongan itu. Mereka yang sudah cukup lama mengabdikan dirinya, atau mereka telah nyata memberikan jasa-jasanya kepada Tumapel.
"Sebaliknya kita memikirkan calon yang lain, meskipun kemungkinan untuk memanggil Mahisa Agni masih ada," berkata pemimpin yang lain.
"Aku sangsi, apakah Mahisa Agni bersedia menerima jabatan itu.Sejak semula ia telah menolak untuk berada di dalam istana. Sejak adiknya diambil oleh akuwu. Pada saat itu Akuwu Tunggul Ametung telah menawarkan kedudukan kepadanya," berkata yang lain lagi.
Sekali lagi para pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sekali lagi salah seorang dari mereka berkata, "Kita mencari seorang lagi dari antara para perwira."
Keenam pemimpin itu mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk. Mereka sedang merenungkan beberapa orang yang mungkin dapat diangkat untuk menjadi seorang pemimpin pasukan pengawal.
Tetapi untuk mendapatkan seorang prajurit yang memenuhi syarat-syarat untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh Witantra memerlukan pertimbangan yang semasak-masaknya. Karena itu, maka belum seorang pun yang dapat menyebutkan sebuah nama untuk pencalonan itu.
"Kita kumpulkan beberapa nama," berkata salah seorang pemimpin itu, "mungkin setiap orang dari antara kita mempunyai nama yang dapat dibicarakan. Kemudian kita pertimbangkan bersama-sama. Mungkin kita akan mendapatkan sebuah nama yang paling baik dari antara nama-nama itu. Nama itulah yang akan kita jajarkan dengan nama Mahisa Agni."
Para pemimpin yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, "Bagaimanakah seandainya keputusan kita itu ditolak oleh Permaisuri."
"Oh," kawan-kawannya seolah-olah baru tersadar dari sebuah mimpi. Mereka hampir lupa mempertimbangkan kemungkinan itu, karena kedudukan Ken Dedes bukanlah sekedar seorang bekas permaisuri. Seorang janda dari Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi Tunggul Ametung sebagai seorang akuwu pernah mengucapkannya sendiri, bahwa semua miliknya, bahkan nyawanya, telah diserahkannya kepada Ken Dedes. Kekuasaannya dan jabatannya sebagai akuwu pula. Karena itu, sebenarnya kematian Akuwu Tunggul Ametung tidak menyebabkan kekosongan pimpinan di Tumapel.
Setelah mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka, maka salah seorang dari mereka berkata, "Ada dua jalan. Kita serahkan semuanya kepada Tuan Putri, atau kita membawa nama-nama yang sudah kita pertimbangan masak-masak itu kepadanya."
"Cara yang kedua." sahut yang lain, "bukan maksud kami menandingi kekuasaan Tuan Putri yang akan berhak bergelar sebagai Akuwu. Tetapi kita tahu, sebenarnyalah kita tahu dengan pasti, bahwa saat ini Tuan Putri Ken Dedes pasti belum dapat menyesuaikan dirinya dengan keharusan seorang pemimpin tertinggi."
"Ya, aku sependapat," sahut yang lain lagi, "selanjutnya terserah kepada Tuan Putri, apakah yang akan dilakukannya."
"Nah, akhirnya kita akan sampai juga pada menemukan sebuah nama," berkata salah seorang dari mereka pula.
Kembali keenam pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala. Mereka mencoba menilai setiap perwira yang namanya agak menonjol dari para perwira yang lain. Selain kemampuan mereka seorang demi seorang sebagai seorang prajurit, tetapi dipertimbangkan juga apakah yang pernah mereka lakukan.
"Baiklah, marilah kita mengumpulkan nama-nama. Mungkin untuk pertama kalinya kita akan mendapat lebih dari sepuluh atau dua puluh nama, kemudian kita pilih, sekali dua kali, sehingga kita hanya tinggal mempunyai sebuah nama."
"Sebutkan siapakah nama-nama yang ada padamu." berkata yang lain.
Pemimpin yang seorang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Ada lebih dari seribu nama perwira yang tersebar di seluruh Tumapel.Tetapi dalam keadaan serupa ini, kita terlampau sulit untuk menemukan seorang saja di antara mereka."
Orang itu berhenti sejenak, kemudian, "setelah mempertimbangkan segala kemungkinan, maka aku telah menemukan sebuah nama. Hanya satu. Aku kira aku tidak akan dapat menemukan yang lain lagi. Tetapi terserahlah kepada kalian."
"Ya, tetapi siapa yang satu itu?"
"Oh, apakah aku belum menyebutkannya?"
"Sebut namanya."
"Biarlah aku mengutarakan alasannya lebih dahulu, mengapa aku memilih nama itu. Ia mendapat banyak kepercayaan dari Akuwu Tunggul Ametung semasa hidupnya. Dan semasa ia terbunuh, orang ini pulalah yang telah berjasa paling banyak dari antara para prajurit, meskipun ia termasuk seorang perwira yang baru."
"Siapa" Ya, siapa?"
"Namanya Ken Arok.Hanya itulah yang akan aku ajukan. Tetapi mungkin kalian mempunyai sepuluh atau dua puluh nama yang lain, sebab pengamatan kita berbeda-beda. Aku tidak akan melihat daerah pengamatan kalian masing-masing, dan demikian berlaku di antara kita semuanya."
Tetapi pemimpin itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat para pemimpin yang lain, mengangguk-anggukkan kepala mereka, bahkan ada di antara mereka yang berdesah.
"Bagaimana?" "Aku adalah pemimpin prajurit Tumapel," berkata salah seorang dari mereka, "bukan pemimpin tertinggi dari pelayan dalam, lingkungan kesatuan Ken Arok. Tetapi adalah aneh sekali bahwa aku tidak melihat ke dalam lingkunganku. Ada beberapa orang perwira yang mengagumkan di dalam lingkunganku. Tetapi tidak ada yang dapat bertindak secepat Ken Arok. Apalagi Ken Arok memang pernah mendapat kepercayaan dari Akuwu Tunggul Ametung. Kenapa Akuwu menunjuk Ken Arok ketika Akuwu mengirimkan pasukan ke padang Karautan" Dan bahkan ketika Akuwu memerlukan sebuah taman di padang itu pula, Ken Arok pulalah yang diserahinya. Karena itu, adalah kebetulan sekali bahwa aku pun akan mengusulkan Ken Arok untuk menggantikan kedudukan Witantra. Justru bukan dari lingkungan sendiri, atau dari lingkungan pasukan pengawal itu sendiri."
Para pemimpin yang lain masih mengangguk-anggukkan kepala mereka. Pemimpin tertinggi Pelayan Dalam pun berkata. "Aku akan sependapat sekali. Ken Arok adalah seorang perwira yang luar biasa. Ia banyak berjasa dalam penyelesaian masalah pembunuhan ini. Ialah orang yang membawa Kebo Ijo sehingga ia dapat ditangkap dengan mudah. Ia pulalah yang berhasil menyelesaikannya ketika Kebo Ijo berusaha melarikan diri."
"Ternyata aku mempunyai persamaan pendapat dengan kalian," berkata pemimpin yang lain. "Aku setuju. Ken Arok adalah satu-satunya nama yang dapat kita ke tengahkan."
Agaknya keenam pemimpin itu sama sekali tidak menemui kesulitan apapun juga. Ternyata mereka sependirian, bahwa tidak ada orang lain yang lebih baik dari Ken Arok untuk menggantikan Witantra apabila Mahisa Agni menolak.
"Kita memang sependapat. Sebaiknya kita menghadap Tuan Putri untuk mengemukakan masalah ini," berkata salah seorang dari keenam pemimpin itu.
"Baik. Kekosongan ini tidak boleh berlarut-larut," sahut yang lain.
Maka bersepakatlah mereka untuk pergi menghadap Ken Dedes yang sudah menjadi semakin tenang setelah perasaannya diguncang oleh kematian suaminya.
"Apa yang baik bagi kalian, baik juga untukku," jawab Ken Dedes ketika keenam pemimpin Tumapel itu mengemukakan pendirian mereka.
"Hamba Tuan Putri," berkata yang tertua, "kami telah bersepakat untuk membicarakan calon pengganti itu. Namun keputusan terakhir berada di tangan Tuan Putri."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya masih tetap sayu. Matanya bendul dan kemerah-merahan.
"Kalian pasti lebih mengenal, siapakah yang sepantasnya menggantikan Witantra?" bertanya Ken Dedes.
"Hamba Tuan Putri. Dalam pembicaraan di antara kami berenam, maka kami telah menemukan dua buah nama yang akan kami kemukakan kepada Tuan Putri. Meskipun demikian, semuanya terserah kepada Tuan Putri."
"Siapakah nama-nama itu?"
"Yang pertama adalah seorang yang perkasa, yang telah Tuanku kenal baik-baik. Bahkan mungkin seorang yang tidak ada duanya di kalangan prajurit Tumapel meskipun ia sendiri bukan seorang prajurit."
"Siapa?" "Kakanda Tuan Putri. Mahisa Agni."
"Oh," Ken Dedes terperanjat mendengar nama itu. Ia tidak menyangka bahwa para pemimpin yang enam itu menaruh minat begitu besar terhadap kemampuan kakaknya. Namun, terasa sesuatu yang mengganggu perasaannya. Ken Dedes sendiri tidak segera dapat mengerti perasaannya itu.
Namun Putri itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Dan siapakah nama yang kedua?"
"Orang itu adalah orang yang paling berjasa di dalam keributan yang baru saja terjadi. Orang itulah yang sebagian terbesar telah berbuat sehingga Kebo Ijo tertangkap dan terbukti bersalah."
Terasa sesuatu berdesir tajam di dalam dada Ken Dedes. Dengan serta-merta ia bertanya. "Siapa?"
"Ken Arok." Tubuh Ken Dedes tiba-tiba saja menjadi gemetar mendengar nama itu. Sejenak ia tidak dapat berkata sepatah kata pun. Dalam sekejap, tubuhnya telah dibasahi oleh keringat yang seakan-akan terperas daripada tubuhnya.
"Nama itu," desisnya di dalam hati.
Berbagai tanggapan telah bergolak di dalam dirinya. Yang pertama-tama meloncat di hatinya adalah suatu harapan yang cerah bahwa anak muda itu akan semakin dekat dengan dirinya. Tetapi kemudian melonjaklah harga dirinya sebagai seorang permaisuri dan bahkan seorang yang sebenarnya memegang kekuasaan di Tumapel, sejak Akuwu Tunggul Ametung menyerahkannya kepadanya.
Bahkan kemudian pertimbangan-pertimbangan yang lebih jauh telah bergumul pula di hatinya. Apakah kata orang tentang dirinya, apabila pada suatu saat ia menjadi semakin dekat dengan anak muda itu.
Dalam keadaan yang demikian Ken Dedes telah berjuang sekuat tenaganya untuk tidak menimbulkan kesan yang dapat mengaburkan tanggapan keenam pemimpin itu atasnya.
Pemimpin yang enam itu masih duduk sambil menundukkan kepala mereka. Mereka menunggu apa yang akan dikatakan oleh Ken Dedes. Karena pemimpin yang enam itu tidak memandang wajah Ken Dedes, maka mereka tidak melihat apa yang kadang-kadang tampak membayang di wajah itu. Justru karena Ken Dedes adalah seorang putri. Memandangi wajahnya terlampau lama akan dapat menimbulkan kesan yang keliru. Dan mereka tidak usah berbuat demikian terhadap Akuwu Tunggul Ametung. Dan bahkan Akuwu kadang-kadang telah membawa keenam pemimpin itu, bertujuh dengan Witantra untuk berbicara, bergurau dan berbincang dengan bebas, sampai pada saat-saat terakhir Akuwu menjadi agak berubah dari kebiasaan itu.
Ternyata perubahan-perubahan yang tidak dapat dimengerti oleh sebagian dari orang-orang Tumapel itu sendiri, berakhir dengan suatu bencana yang dahsyat bagi Tumapel.
Karena Ken Dedes tidak segera menjawab, maka pemimpin yang enam itu menjadi gelisah. Sekali-kali mereka mencuri pandang, menatap wajah Putri itu. Namun mereka menjadi semakin gelisah karena mereka melihat wajah Ken Dedes seakan-akan menjadi beku karenanya.
Namun akhirnya, Ken Dedes itu berkata, "Apakah kalian telah mempertimbangkannya masak-masak."
"Hamba Tuan Putri," jawab yang tertua di antara mereka.
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berada dalam kesulitan untuk memilih. Mahisa Agni adalah kakaknya, yang justru ia akan berbuat terlampau hati-hati atasnya. Mungkin kakaknya itu akan membuat kekangan-kekangan yang sangat membatasinya. Seandainya ada perbedaan pendapat di antara mereka, maka akan sulitlah bagi Ken Dedes untuk bersikap sebagai seorang pemimpin tertinggi di Tumapel. Dan kakaknya itu pun pasti tidak akan dapat melepaskan kebiasaannya, kebiasaan seorang kakak terhadap adiknya.
Sedang Ken Arok" Dadanya berguncang apabila ia mengingat nama itu. Nama yang tidak dapat diingkarinya telah berkesan dalam-dalam di hatinya. Namun adalah terlampau pahit untuk mengakuinya.
Dalam kebimbangan Ken Dedes duduk merenung memandang ke kejauhan. Ia benar-benar berada di simpang jalan yang tidak segera dapat dipilihnya.
"Kami menunggu keputusan Tuan Putri," berkata salah seorang dari pemimpin yang enam itu.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Namun katanya kemudian, "Sudah tentu aku tidak akan dapat memutuskan saat ini. Tetapi sebaiknya kalian menghubungi kedua orang itu. Kalian dapat bertanya kepada mereka, apakah mereka bersedia menerima jabatan itu."
"Tuan Putri," berkata salah seorang dari keenam orang itu, "adalah menjadi idaman setiap prajurit untuk sampai kejahatan puncak di dalam tata pemerintahan Tumapel. Menurut dugaan hamba, tidak akan ada seorang prajurit pun yang menolak tawaran yang memang mereka impikan sebagai landasan pengabdian mereka."
"Tetapi Kakang Mahisa Agni bukan seorang prajurit."
Keenam pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Jawab salah seorang daripadanya, "Memang Mahisa Agni bukan seorang prajurit. Tetapi ia mempunyai syarat-syarat yang lengkap untuk jabatan itu."
"Maksudku," sahut Ken Dedes, "adalah kesediaan Kakang Mahisa Agni itu sendiri. Aku tidak meragukan kemampuannya, apalagi demikian juga menurut penilaian kalian."
"Baiklah." jawab yang tertua, "kami akan menghubungi keduanya."
"Aku minta keterangan kalian segera."
"Baiklah Tuan Putri. Sekarang perkenankan kami mengundurkan diri."
Keenam pemimpin Tumapel itu pun kemudian meninggalkan Ken Dedes seorang diri. Sejenak Putri itu termenung. Namun sejenak kemudian terasa dadanya mulai terguncang. Baru saja ia kematian suaminya, dan tiba-tiba saja ia telah disentuh oleh suatu pengharapan baru tentang seorang laki-laki.
"Oh, aku adalah perempuan yang paling hina," tiba-tiba ia menjerit di dalam hatinya. Dan hampir saja mulutnya pun menjerit pula.
Namun tiba-tiba ia terperanjat ketika ia mendengar seseorang yang duduk di belakangnya sambil berkata, "Apakah Tuan Putri sudah selesai?"
Ken Dedes berpaling. Dilihatnya emban pemomongnya duduk bersimpuh sambil menatapnya.
"Bibi," suara Ken Dedes terputus. Dan tiba-tiba Putri itu berdiri sambil berkata, "Kepalaku pening, Bibi."
"Tuanku," sahut emban itu, "Tuanku memang masih lelah sekali. Tetapi Tuanku memang sudah seharusnya mulai dengan tugas-tugas seorang pemimpin tertinggi Tanah Tumapel. Sudah beberapa lama Tuanku belajar dari Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Sedang Tuanku telah mempunyai bekal yang meskipun agak berbeda bentuknya, yang Tuanku terima dari ayahanda. Nah, sekarang adalah waktunya bagi Tuan Putri untuk berbuat sesuatu. Tuan Putri adalah putri seorang pendeta yang agung."
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, kata-kata emban pemomongnya itu justru telah membuat kepalanya menjadi semakin pening. Ketika terbayang wajah ayahnya, maka jantungnya serasa berhenti berdenyut.
Ken Dedes menundukkan kepalanya dalam-dalam. Namun seakan-akan wajah ayahnya masih tampak di pelupuk matanya, memandanginya dengan mata yang tajam sambil berkata, "Anakku, apakah kau sadari apa yang telah terjadi atasmu?"
"Oh," hampir saja Ken Dedes terpekik. Tetapi telapak tangannya telah menyumbat mulutnya itu sendiri. Meskipun demikian emban pemomongnya itu melihat sesuatu pada momongannya, sehingga ia pun berdiri pula sambil memegangi kedua lengan Ken Dedes.
"Kenapa Putri?"
"Kepalaku pening, Bibi.Pening sekali."
"Marilah, masuklah ke dalam bilik peraduan."
Ken Dedes pun kemudian dibimbing oleh pemomongnya masuk ke dalam biliknya. Perlahan-lahan ia berbaring ditunggui oleh pemomongnya. Namun betapapun juga, bayangan-bayangan yang mendebarkan jantungnya itu masih saja berkeliaran tidak henti-hentinya.
"Tuan Putri memang perlu banyak beristirahat ," berkata pemomongnya, "seandainya Tuanku memang masih belum merasa tenang, baiklah segala persoalan yang menyangkut tanah ini, diserahkan saja kepada pemimpin yang enam itu."
Ken Dedes hanya mengangguk-angguk kecil. Ia sama sekali tidak berminat untuk berbicara tentang apapun juga. Ia ingin tidur saja apabila mungkin.
"Bibi," berkata Ken Dedes kemudian, "aku ingin beristirahat. Tetapi aku selalu diganggu oleh bermacam-macam persoalan yang tidak dapat aku singkirkan. Karena itu, tolong, katakan kepada emban untuk membuat air pala. Aku ingin tidur sepanjang hari."
Pemomongnya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyanggah. Memang Putri itu harus beristirahat. Tetapi air pala itu sebenarnya tidak begitu perlu baginya.
Meskipun demikian emban pemomong Ken Dedes itu pun pergi juga ke dapur. Disuruhnya seorang emban untuk membuat air pala yang akan diminum oleh Tuan Putri Ken Dedes.
Dalam pada itu. pemimpin yang enam telah memerintahkan seorang perwira dengan dua orang prajurit untuk pergi ke padang Karautan menemui Mahisa Agni. Perwira itu bertugas untuk menanyakan, apakah Mahisa Agni bersedia untuk memangku sebuah jabatan di istana Tumapel.
"Kami menyangka, bahwa Mahisa Agni telah kembali ke padang Karautan setelah ia selesai dengan perang tanding itu," berkata salah seorang dari pemimpin yang enam, "sampaikan pesan kami. Dan agaknya lebih baik apabila ia bersedia datang ke Tumapel untuk membicarakannya."
Sejenak kemudian tiga ekor kuda telah berderap keluar kota Tumapel menuju ke padang Karautan. Semakin lama semakin cepat. Debu yang putih menghambur naik ke udara. kemudian pecah dihembus angin padang.
Demikianlah, maka ketiga utusan itu telah mengemban suatu tugas yang penting untuk mencari seorang perwira pengganti Witantra.
Ketika ketiga perwira itu memasuki padang Karautan, pakaian dan seluruh tubuh mereka telah basah oleh keringat, setelah mereka berkuda untuk waktu yang panjang.Sekali-kali mereka harus berhenti memberi kesempatan kuda-kuda mereka meneguk air dan sekedar beristirahat.
"He, apakah kira-kira jawab Mahisa Agni?" bertanya perwira itu.
Salah seorang kawannya menyahut, "Hanya orang-orang yang aneh yang menolak jabatan ini. Apalagi kalau orang itu memang memiliki kemampuan. Meskipun bagi Mahisa Agni jabatan itu terlampau melonjak.Tetapi karena ia adalah saudara tua Tuan Putri, maka hal itu mungkin saja terjadi."
"Dan Mahisa Agni memang seorang yang luar biasa," sahut kawannya yang lain, "ia berhasil mengalahkan Witantra di arena. Dan dengan demikian jabatan Witantra itu telah ditinggalkannya."
"Tetapi untuk menjadi seorang pemimpin ia harus memiliki beberapa kemampuan. Bukan keunggulan itulah satu-satunya syarat yang harus dimilikinya." berkata yang pertama.
"Tetapi itu adalah syarat yang terpenting bagi seorang perwira tertinggi."
Mereka pun kemudian berhasil berbicara ketika mereka melihat kehijauan yang terhampar di tengah-tengah padang yang kekuning-kuningan.
Kedatangan mereka telah mengejutkan Mahisa Agni yang memang telah berada di padukuhannya yang baru.
"Apakah kepergianku itu telah menimbulkan persoalan?" desisnya.
Karena itu, begitu perwira itu dipersilakan duduk di banjar padukuhannya, dan setelah saling bertanya tentang keselamatan sebagai lazimnya, maka Mahisa Agni pun bertanya, "Kedatangan kalian telah membuat aku berdebar-debar."
Tetapi perwira itu tersenyum sambil berkata, "Agaknya kau bermimpi terlampau baik. Mungkin memangku bulan atau naik seekor gajah putih bertaring emas."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Kenapa?" "Kedatangan kami telah mengemban suatu tugas dari pemimpin yang enam atas persetujuan Tuan Putri Ken Dedes untuk menemuimu."
"Ya?" "Kami mengemban pesan yang harus kami sampaikan, bahwa kau telah dicalonkan untuk menggantikan kedudukan Witantra."
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar tawaran itu. Sekilas ia merasa bahwa ia benar-benar telah menerima suatu kehormatan yang besar. Ia tahu bahwa apabila ia bersedia menerima jabatan itu, pasti akan berarti bahwa ia termasuk salah seorang dari pemimpin tertinggi Tumapel. Pemimpin yang Tujuh.
"Dari tempat itu aku akan mendapat kesempatan lebih banyak lagi untuk menegakkan segala macam peraturan dan ketentuan yang seharusnya berlaku di Tumapel," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Namun tiba-tiba wajahnya menjadi buram. Tanpa sesadarnya diedarkannya pandangan matanya berkeliling, keluar halaman dan sekitarnya. Kalau ia pergi meninggalkan padukuhan yang masih sangat muda itu, apakah padukuhan ini dapat berkembang seperti yang diharapkannya. Anak-anak muda yang dituntunnya menjadi tenaga-tenaga terpenting di padukuhan ini masih belum cukup masak. Dan lebih daripada itu, sekilas Mahisa Agni teringat kepada kedudukan Ken Dedes yang kini menentukan bagi pemerintahan Tumapel sepeninggal Akuwu Tunggul Ametung.
"Apakah tawaran ini didasarkan alas kemampuanku, atau sekedar karena aku kakak Ken Dedes dalam pengertian mereka?" ia bertanya di dalam hatinya.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.Kepalanya pun kemudian terangguk-angguk. Tetapi ia masih belum menjawab.
"Pemimpin yang enam mengharap kedatanganmu ke Tumapel untuk membicarakannya," berkata perwira itu pula.
Namun kemudian Mahisa Agni menjawab perlahan-lahan, "Aku sangat berterima kasih atas tawaran itu. Suatu kesempatan yang barangkali tidak akan terulang lagi sepanjang hidupku. Namun sayang sekali bahwa aku tidak dapat menerimanya."
Ketiga prajurit itu terperanjat.Sejenak mereka terbungkam sambil menatap wajah Mahisa Agni yang suram. Terngiang di telinga mereka kata-kata salah seorang dari mereka bertiga, "Hanya orang-orang yang aneh yang menolak jabatan ini."
Dan ternyata Mahisa Agni telah menolak.
"Kami tidak dapat mengerti," berkata perwira itu, "kenapa kau menolak tawaran yang barangkali tidak pernah kau impikan."
"Ada beberapa alasan," jawab Mahisa Agni, "padukuhan yang baru berkembang ini memerlukan aku setiap saat. Kemudian, apakah aku mampu melakukan tugas itu" Aku adalah seorang anak pedesaan. Adalah kebetulan saja bahwa aku mempunyai sangkutan keluarga dengan Tuan Putri Ken Dedes. tetapi itu bukan suatu jaminan akan kemampuanku. Bukan terjadi dengan sendirinya, bahwa keluarga seorang besar akan selalu mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk jabatan-jabatan tertinggi."
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Alasan itu cukup dimengertinya. Namun yang tidak dapat dimengerti, justru alasan itu diterangkan pada diri sendiri, jarang sekali ia menjumpai seseorang yang dengan jujur mengakui kekurangan pada dirinya. Pada kebanyakan orang maka kekurangan itu akan selalu disembunyikannya. Apa lagi untuk sebuah tawaran yang demikian.
Tetapi ternyata Mahisa Agni berbuat lain. Ia telah menolak sebuah tawaran untuk menjadi seorang perwira tertinggi di dalam pasukan pengawal.
Bagaimanapun juga perwira itu mencoba mendesak untuk meyakinkan pendirian Mahisa Agni, namun Mahisa Agni masih juga tetap menolak.
"Maaf," berkata Mahisa Agni, "aku sudah memutuskan."
"Kau terlampau tergesa-gesa," berkata perwira itu, "mungkin kau dapat merenungkannya."
Mahisa Agni menarik nafas. Tetapi ia tidak ingin terlampau mengecewakan utusan pemimpin yang enam itu, sehingga ia kemudian menjawab, "Baiklah. Aku akan berpikir tiga hari. Kalau dalam waktu tiga hari aku tidak datang ke Tumapel, maka aku tidak berubah pendirian. Aku menolak pencalonan itu."
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah," katanya, "aku akan menyampaikannya kepada pemimpin yang enam itu."
Demikianlah setelah mereka bermalam satu malam, perwira dan kedua kawan-kawannya itu pun meninggalkan padang Karautan. Mereka tidak berhasil membujuk Mahisa Agni untuk dicalonkan sebagai seorang pemimpin tertinggi sekaligus termasuk salah seorang dari pemimpin yang tujuh di Tumapel.
Tetapi jawaban Mahisa Agni itu tidak mengejutkan pemimpin yang enam di Tumapel. Mereka memang sudah menyangka bahwa Mahisa Agni tidak akan bersedia untuk menjadi seorang penjabat apapun di istana, tentu karena ia adalah kakak Tuan Putri Ken Dedes.
Maka satu-satunya calon untuk jabatan itu adalah Ken Arok.
Tidak ada orang lain yang dapat memenuhi banyak syarat seperti Ken Arok. meskipun tidak berarti bahwa Ken Arok adalah seorang yang sempurna.
Akhirnya keenam pemimpin itu pun menyampaikannya pula kepada Tuan Putri Ken Dedes, bahwa Mahisa Agni telah menolaknya. Sampai waktu yang tiga hari telah lampau, Mahisa Agni sama sekali tidak datang ke Tumapel.Dan itu berarti bahwa Mahisa Agni tetap berada dalam pendiriannya.
Mendengar laporan para pemimpin itu Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya, ia mencoba menemukan alasan buat dirinya sendiri, bahwa ia tidak dapat berbuat lain kecuali menerima pencalonan Ken Arok. Satu-satunya.
"Bukan aku yang telah menunjukkannya," ia berkata di dalam hatinya, "aku tidak dapat dituduh menyalah gunakan wewenangku untuk memilihnya. Namanya telah dicalonkan oleh pemimpin yang enam. Dan aku tidak mempunyai pilihan setelah Kakang Mahisa Agni menolak."
"Kami segera memerlukan keputusan," berkata salah seorang dari pemimpin yang enam itu.
"Aku memerlukan waktu sepekan," jawab Ken Dedes.
Para pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.Mereka menyadari, bahwa Ken Dedes harus mempertimbangkannya masak-masak. Jabatan ini langsung menyangkut lingkungan terdekat dengan dirinya, di samping para pelayan dalam.Namun pada umumnya, ke manapun ia pergi, maka pemimpin pengawal itu pun selalu mengikutinya. Apalagi apabila ia pergi keluar dari istana.
"Baiklah Tuan Putri, kami menunggu titah Tuan Putri. Semakin cepat semakin baik bagi kami. Dengan demikian maka lingkungan kami pun menjadi lengkap," berkata salah seorang pemimpin itu pula.
"Ya. Aku telah memberikan batas waktu. Mudah-mudahan aku dapat bekerja lebih cepat."
Sepeninggal pemimpin yang enam itu, mulailah dada Ken Dedes bergolak. Ia bersyukur bahwa pilihan pemimpin yang enam itu jatuh kepada Ken Arok. Tidak kepada yang lain. Namun kadang-kadang ia merasa, bahwa ia telah berbuat sesuatu yang sangat tercela. Seolah-olah ia telah berkhianat kepada Akuwu Tunggul Ametung. Apalagi sebenarnyalah bahwa Ken Dedes telah mulai mengandung. Dan putra yang akan lahir itu adalah putra Akuwu Tunggul Ametung.
Namun akhirnya Ken Dedes tidak dapat menghindarkan dirinya lagi. Betapapun pergolakan terjadi di dalam dirinya, namun akhirnya ia memutuskan, untuk menerima usul pemimpin yang enam itu dan dijadikannya sebuah penetaran, bahwa Ken Aroklah yang akan menggantikan pemimpi tertinggi pasukan pengawal Tumapel.
Namun sebelum waktu yang sepekan itu habis Ken Dedes masih belum menyatakan keputusannya itu. Ia masih menyimpannya, dan masih meragukannya, apakah pendiriannya tidak akan berubah lagi.
"Adalah hakku untuk tetap hidup meskipun Akuwu telah meninggal. Tidak seharusnya aku pun ikut membeku di dalam hidupku. Kehadiranku di istana bukan maksudku. Dan kini apa yang terjadi pun sama sekali tidak pernah aku rencanakan lebih dahulu. Usul nama itu pun bukan dari aku. Aku hanya tinggal menerima, karena tidak ada nama yang lain."
Setiap kali Ken Dedes berusaha membela dirinya, apabila dari dalam dirinya pula terlontar berbagai macam tuduhan dan sebutan.
Maka pada pekan berikutnya, pemimpin yang enam telah menghadapnya lagi. Mereka berharap agar Tuan Putri Ken Dedes mengabulkan permohonan mereka. Apalagi Ken Arok yang telah dihubungi menyatakan, apabila tidak ada orang lain, apa boleh buat.
"Apakah Ken Arok sendiri bersedia?" bertanya Ken Dedes.
Para pemimpin itu menyampaikan apa yang pernah mereka dengar dari Ken Arok.
"Pada dasarnya ia tidak menolak Tuan Putri."
Sampai saat yang terakhir Ken Dedes masih tetap ragu-ragu.Namun kemudian dihentakkannya perasaannya untuk menemukan kekuatan.Dan terlontarlah dari sela-sela bibirnya yang tipis, "Aku menerimanya. Karena memang tidak ada orang lain yang lebih baik daripadanya."
Para pemimpin yang enam itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka merasa bahwa pekerjaan mereka yang terberat telah selesai. Seandainya Ken Dedes tidak menerima Ken Arok untuk menggantikan Witantra, maka mereka masih harus bekerja lagi untuk mencari orang lain. Dan pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sulit.
Tetapi ternyata kini bahwa Ken Dedes telah menerimanya. Sehingga yang perlu mereka kerjakan adalah saat-saat meresmikan pengangkatan Ken Arok, untuk menggantikan kedudukan Witantra.
Keputusan itu pun segera tersebar ke seluruh Tumapel. Mahisa Agni di padang Karautan pun kemudian diberi tahu pula oleh dua orang prajurit yang memang diutus menyampaikan berita itu. Bahkan kemudian Panji Bojong Santi, Mahendra dan Witantra pun mendengarnya pula.
"Ken Arok?" desis Witantra.
"Ya, anak muda itu," sahut Mahendra.
Witantra yang masih belum sembuh benar dari luka-luka di dalam dadanya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Ia anak muda yang baik, cerdas dan mempunyai kemampuan yang kuat. Ia telah berhasil memimpin sepasukan prajurit di padang Karautan. Dan kita dapat melihat hasil kerja itu."
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mudah-mudahan ia dapat menunaikan tugasnya yang baru. Mudah-mudahan tidak ada perwira-perwira yang lebih tua daripadanya, baik umurnya maupun pengalamannya, yang merasa tersinggung karenanya."
"Tetapi ia telah banyak membuktikan kemampuannya."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Kini ia telah benar-benar tersisih dari istana. itu adalah akibat wajar dari kekalahannya. Ia sudah harus dianggap mati.
"Aku tidak mengerti, kenapa Mahisa Agni menolak tawaran itu," desis Mahendra kemudian.
Witantra mengerutkan keningnya. ia pun mendengar pula penolakan itu.
"Tidak mengejutkan," berkata Witantra, "Mahisa Agni bukan seorang yang menginginkan segala macam jabatan. ia pun orang yang baik. Terlalu baik, sehingga perasaannya mudah sekali tergerak apabila rasa keadilannya tersinggung."
"Aku tidak dapat memperbandingkan keduanya," berkata Mahendra kemudian, "manakah yang lebih baik di antara mereka."
"Kita akan melihat," jawab Witantra.
Mahendra pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Sekilas terkenang olehnya, bagaimana Mahisa Agni menyebut dirinya Wiraprana dan mewakilinya berkelahi. Memang benar kata-kata kakaknya. Anak muda itu mudah sekali tergerak apabila perasaan keadilannya tersinggung. Namun dengan demikian, orang lain mungkin akan dapat menyalahgunakannya.
Keputusan pemimpin Tumapel untuk mengangkat Ken Arok menggantikan Witantra, telah mendorong Witantra untuk mengambil keputusan pula. Bersama keluarganya ia akan membuang diri jauh-jauh dari kota Tumapel.
"Apakah itu kau anggap pemecahan yang paling baik Witantra?" bertanya gurunya.
"Aku sudah mati guru."
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti, betapa parah luka di dada Witantra, tetapi betapa lebih parah luka di hatinya. Hati mudanya.
"Mungkin aku akan dapat mempergunakan kelebihan umur yang sudah seharusnya tidak aku miliki ini untuk semakin mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung."
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia berkata, "Tetapi tidak seorang pun yang mengusir kau dari kota ini Witantra.Bukan saja pemimpin yang enam itu, Tuan Putri Ken Dedes pun tidak."
"Mereka memang tidak perlu mengusir aku, Guru. Karena bagi mereka aku sudah tidak ada lagi."
Panji Bojong Santi tidak dapat menahannya lagi.Betapa pahit perasaan orang tua itu. Ia merasa kehilangan muridnya, dua orang sekaligus. Tetapi ia masih mengharap, bahwa pada suatu ketika Witantra akan bangkit kembali, setelah luka hatinya itu berkurang.
Demikianlah maka menjelang peresmian Ken Arok yang diangkat untuk menggantikannya, Witantra pergi meninggalkan Tumapel. Dari gurunya ia mendapat petunjuk, untuk pergi saja ke utara, sehingga pada suatu ketika ia menemukan sebuah hutan yang rindang.
"Kau dapat membuka hutan itu Witantra. Daerah itu didiami oleh orang-orang yang masih jauh terkebelakang. Mungkin kau akan mendapat sedikit kesulitan dengan mereka, tetapi kau akan segera dapat mengatasinya. Orang-orang itu jarang-jarang sekali berhubungan dengan lingkungan yang lain."
"Baik Guru. Aku akan mencoba bergaul dengan mereka."
Namun agaknya Mahendra tidak sampai hati melepaskan mereka. Karena itu, katanya, "Kakang Witantra. Aku akan ikut bersama Kakang. Bukan maksudku untuk melepaskan diri dari lingkunganku.Aku hanya akan melihat di mana Kakang akan menetap. Kemudian aku akan kembali lagi ke tempatku dan pekerjaanku.Dengan demikian setiap kali kami memerlukan, aku dapat segera menemuimu."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepercik keharuan telah melonjak di dada Witantra.
"Terima Kasih," jawabnya, "aku tidak akan dapat menolak kemurahan hatimu yang tulus ini."
Maka sebelum matahari muncul dibalik perbukitan. Witantra telah menyiapkan sebuah pedati berisi alat-alat untuk membuka hutan. Sebuah pedati untuk bekal, dan sebuah pedati lagi untuk ditumpanginya. Beberapa orang pelayannya yang setia telah bertekad untuk mengikutinya meninggalkan Tumapel. Mereka telah menyerahkan diri mereka untuk hidup bersama-sama dengan Witantra.
"Kami telah merasakan manisnya, maka pahitnya pun harus kami telan bersama-sama."
Bagaimanapun juga, istri Witantra tidak dapat menahan titik air matanya ketika pedati-pedati itu keluar dari halaman rumah yang sudah sekian lama dihuninya. Batang-batang pohon buah-buahan, pohon bunga-bungaan dan taman serta belumbang ikan yang selama ini dipeliharanya.
Dan kini semuanya itu harus ditinggalkannya.
Witantra menarik nafas ketika ia melihat titik air mata jatuh di pangkuan istrinya. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun juga. Ia mengerti perasaan apa yang bergolak di dalam dada istrinya itu.
Di belakang pedati yang ditumpangi oleh suami istri itu, Mahendra berada di punggung kuda sambil menundukkan kepalanya. Terasa sesuatu bergetar di dadanya. Seperti Witantra ia pun yakin bahwa Kebo Ijo tidak akan melakukan pembunuhan atas Akuwu. betapapun bengalnya anak itu. Tetapi tanpa dapat membuktikan ia tidak akan dapat menolak keputusan yang telah jatuh, dan apalagi seakan-akan seluruh rakyat Tumapel telah membenarkannya.
Di belakang Mahendra berderik-derik suara pedati-pedati yang lain, dan kemudian beberapa ekor kuda pelayan-pelayan Witantra yang setia kepadanya.
Ketika ayam jantan mulai berkokok bersahut-sahutan. dan ketika di langit sebelah timur membayang warna kemerah-merahan Witantra telah meninggalkan kota. Dilaluinya jalan berbatu-batu di bulak-bulak sawah yang panjang, seakan-akan tidak berujung. Batang-batang padi yang hijau segar dialiri oleh air yang jernih lewat parit yang menelusuri di sepanjang tepi jalan.
Nyai Witantra memandangi sawah yang terhampar itu dengan hati yang ngelangut. Daun-daun padi yang kemerah-merahan disentuh oleh cahaya fajar, membuat jantungnya semakin cepat berdenyut.
Tetapi ia adalah seorang istri yang setia. Ke manapun suaminya pergi, ia tidak dapat tinggal, meskipun suaminya akan pergi ke daerah yang dipenuhi oleh kesulitan dan bahaya.
Sementara itu. Tumapel pun sedang sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut hari pengangkatan Ken Arok menjadi pemimpin tertinggi pasukan pengawal. Memang ada satu dua orang yang merasa tersinggung karenanya, namun kemudian mereka menyadari, bahwa Ken Arok memang telah menunjukkan kelebihan-kelebihannya.
Pada saat kesibukan sedang mencengkam istana, Ken Arok sendiri memerlukan memacu kudanya pergi ke rumah Witantra. Ia ingin minta restu kepadanya, bahwa ia telah ditunjuk untuk mengganti kedudukannya.Ken Arok ingin mengatakan, bahwa sama sekali bukan maksudnya untuk merebut kedudukan itu.
Tetapi Ken Arok menjadi kecewa. Ketika ia memasuki halaman rumah Witantra, rumah itu telah kosong. Pintu-pintu tertutup rapat dan bahkan regol-regol samping pun tertutup pula.
"Ke manakah isi rumah ini?" katanya di dalam hati.
Ken Arok pun kemudian meloncat turun dari kudanya. Dengan hati-hati ia melangkahkan kakinya naik ke tangga pendapa. Dirabanya pintu pringgitan yang tertutup rapat itu. Kemudian selangkah demi selangkah ia menelusur dinding dan turun lagi ke halaman di samping pendapa itu. Ketika terlihat olehnya pintu regol samping, tiba-tiba saja ia tertarik untuk melihat halaman belakang rumah itu. Apakah benar-benar telah kosong sama sekali.
Dengan hati-hati pula ia mendorong pintu yang tertutup itu.Dan ternyata ia berhasil membukanya. Kemudian perlahan-lahan ia berjalan ke halaman belakang.
Ken Arok menjadi berdebar-debar. Rumah itu benar-benar telah kosong. Semua pintu telah tertutup, dan bahkan pintu-pintu longkangan belakang yang menuju ke dapur.
Tanpa sesadarnya ia menjengukkan kepalanya ketika ia berhasil membuka sebuah pintu longkangan. Sepi.
Namun tiba-tiba ia terperanjat ketika ia mendengar sebuah sapa halus dari dalam dapur yang disangkanya kosong itu.
"Marilah anak muda."
Sejenak Ken Arok justru membuka di tempatnya. Dicobanya melihat langsung ke dalam dapur yang masih agak gelap karena pintunya yang belum terbuka sepenuhnya.
"Marilah, jangan takut. Aku bukan wewe yang sedang mencari anak."
Ken Arok ragu-ragu sejenak.Kemudian ia pun melangkah maju. Dengan satu hentakan ia telah berhasil membuka pintu dapur itu selebar-lebarnya.
Ken Arok berdiri tegak di tempatnya seperti tiang yang mati.Matanya terbelalak ketika ia melihat seorang gadis yang sedang berbaring justru di amben dapur.
Tanpa bangkit dari pembaringannya gadis itu tersenyum sambil berkata, "Apakah kau mencari aku?"
Dada Ken Arok menjadi terguncang-guncang. Agaknya dari tempatnya berbaring gadis itu dapat melihat langsung ke pintu longkangan, sehingga ia melihat kedatangannya.
"Kemarilah Ken Arok," desis gadis itu.
"Apa kerjamu di sini Ken Umang?" bertanya Ken Arok.
Ken Umang tertawa, "Tidak apa-apa."
"Ke manakah seisi rumah ini?"
"Pergi. Semuanya pergi karena putus asa. Tetapi aku tidak. Aku mau hidup dan menikmati hidup ini. Kenapa aku harus ikut melarikan diri dari kenyataan" Betapa bodohnya. Aku menolak untuk ikut pergi Kakang Witantra, jauh ke tempat yang paling sepi. Sebagai seorang petapa yang sama sekali tidak ikut membangun masa depan lagi."
Ken Arok mengerutkan keningnya.
"Aku mengucapkan selamat," berkata gadis itu, "bukankah kau akan menjadi pemimpin tertinggi pasukan pengawal menggantikan Kakang Witantra" Ha, kau akan menjadi terlampau dekat dengan janda yang baru saja kematian suaminya itu."
Terasa dada Ken Arok berdesir. Ditatapnya mata Ken Umang tajam-tajam.
Sementara itu Ken Umang pun bangkit sambil mengibaskan rambutnya yang terurai. Kemudian duduk sambil tersenyum. Dijulurkannya kakinya di atas amben sambil berdesah, "Kenapa kau masih berdiri di situ?"
Seperti orang yang kehilangan, akal Ken Arok melangkah maju. Ia pernah menjadi seorang yang paling liar di sekitar padang Karautan. Sebagai seorang hantu ia pernah berbuat apa saja terhadap setiap orang, setiap perempuan dan gadis-gadis yang ditemuinya.
Dalam keadaannya kini. terasa darah Ken Arok itu telah mendidih. Selangkah demi selangkah ia maju, dan Ken Umang itu masih saja tersenyum.
Ketika Ken Arok berada beberapa langkah daripadanya, maka tiba-tiba gadis itu menangkap tangannya dan menariknya sambil berdesis, "Kau adalah seorang senapati yang menggemparkan. Kau masih muda dalam kedudukan yang begitu tinggi, sehingga kau pasti akan menjadi sorotan gadis-gadis."
Ken Arok yang memiliki segala jenis pengalaman di dalam dirinya itu sama sekali tidak dapat melawan senyum Ken Umang yang serasa membakar jantung. Seperti seorang anak yang dungu ia duduk di amben itu sambil mengusap keringat yang mengalir dari keningnya.
Ken Arok tidak berbuat apapun ketika gadis itu membelai pundaknya sambil berkata, "Aku tidak mau pergi dari kota ini. Aku masih mempunyai beberapa orang keluarga. Karena itu, maka aku tetap tinggal di sini. Aku bermaksud untuk tinggal pada keluargaku yang lain. Sebelum aku berangkat kau tiba-tiba datang kemari. Dan kau telah memberikan harapan baru bagi hidupku di kota ini."
Ken Arok yang telah berhasil membunuh Akuwu Tunggul Ametung, membunuh Empu Gandring dan membuat istana Tumapel gempar karena Kebo Ijo yang terbunuh pula itu, kini duduk diam, seolah-olah tidak mempunyai kekuasaan apapun atas dirinya sendiri.
"Hari ini kau akan diwisuda," desis Ken Umang, "dan kau tidak sebodoh Mahisa Agni itu."
Ken Arok tidak menjawab. Namun tiba-tiba tengkuknya meremang ketika ia mendengar Ken Umang tertawa sambil berdesis, "Kau tidak boleh lepas dari tanganku. Kau adalah seorang anak muda yang paling memenuhi unsur idamanku."
Ken Arok masih terdiam. "Setelah kau menjadi seorang pemimpin tertinggi pasukan pengawal, maka kau harus segera beristri. Kau dengar?"
Ken Arok mengangguk. "Dengan demikian barulah kau menjadi lengkap."
Ken Arok mengangguk pula. Tanpa dapat melawan lagi Ken Umang menariknya semakin dekat.
Namun tiba-tiba Ken Arok itu menyentakkan dirinya. Ia adalah seorang yang telah berhasil membuat lakon yang dahsyat. Dan ia telah berhasil mendalanginya. Karena itu, ia tidak boleh kehilangan dirinya sendiri. Betapa lunak dan mesra sentuhan tangan gadis itu, namun Ken Arok pun kemudian meloncat berdiri sambil menggeretakkan giginya. Sambil menunjuk gadis itu ia menggeram, "Apakah yang kau lakukan he anak gila?"
Ken Umang terkejut. Namun ia pun kemudian tertawa, "Jangan marah. Demikianlah hasrat hati nuranimu. Tetapi kau masih tetap dapat dikuasai oleh akalmu. Nah. mudah-mudahan kau berhasil menjadi seorang pemimpin yang baik. Tetapi setiap saat kau akan tetap teringat kepadaku. Dan aku pun akan menunggu kau datang kepadaku dan menjemputku."
"Persetan!" Ken Umang masih tetap tertawa ketika ia melihat Ken Arok berlari meninggalkan dapur itu. Katanya, "Jangan takut, aku tidak akan mengejarmu.Kaulah yang akan mencari aku kelak."
Ken Arok tidak berpaling lagi. Ia kemudian berlari ke kudanya di halaman depan dan segera meloncat ke punggungnya.
Seperti seseorang yang ketakutan dikejar oleh hantu yang akan menghisap darahnya, Ken Arok segera memacu kudanya meninggalkan halaman rumah Witantra. Namun tanpa dapat ditahan-tahankannya lagi, ia masih juga berpaling.
Ken Umang masih berada di dalam dapur sambil tertawa berkepanjangan. Seperti orang yang kehilangan ingatan ia berbicara kepada dirinya sendiri, "Ternyata Ken Arok adalah seorang anak muda yang lemah hati. Jauh lebih lemah dari Mahisa Agni. Aku bersumpah pada suatu saat aku akan mengikatnya di bawah kakiku."
Dan suara tertawa, Ken Umang pun menjadi semakin tinggi.
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mahisa Agni pasti akan terkejut melihat pada suatu saat aku menjadi seorang istri dari pemimpin yang tujuh di Tumapel."
Namun wajahnya tiba-tiba berkerut. Terlintas di kepalanya terbayang tentang seorang perempuan yang cantik, janda Akuwu Tunggul Ametung.
"Huh, masih juga ada perempuan yang lebih tinggi dari istri salah seorang pemimpin yang tujuh di Tumapel."
Ken Arok yang berpacu itu pun berpacu semakin cepat. Tetapi ia tidak dapat melarikan dirinya dari bayangan-bayangan tentang gadis yang telah membelai kulitnya. Sentuhan tangannya serasa telah menggetarkan darahnya sehingga jantungnya pun serasa telah terbakar.
Tetapi Ken Arok harus tetap berpegangan pada nalarnya. Ia ingin tidak saja menjadi seorang pemimpin tertinggi pasukan pengawal, sekaligus menjadi salah seorang dari pemimpin yang tujuh. Apabila Akuwu, siapa pun orangnya telah melakukan tugasnya, maka kekuasaan dari pemimpin yang tujuh itu sangat terbatas.
Karena itu, maka Ken Arok telah mulai membayangkan betapa Ken Dedes kini menjadi seorang yang paling berkuasa di Tumapel. Apalagi perempuan itu adalah perempuan yang memiliki kelihaian yang mengagumkan.
Ken Arok menghentak-hentakkan kendali kudanya. Hari ini ia akan menerima pengangkatannya sebagai seorang pemimpin tertinggi pasukan pengawal. Tetapi yang membayang di kepalanya adalah kesempatan-kesempatan yang akan terbuka karenanya.
Ken Arok memejamkan matanya sejenak. Terkilas di kepalanya cahaya yang kemilau memancar dari tubuh Ken Dedes. Pancaran cahaya itu adalah pertanda bahwa Ken Dedes adalah seorang perempuan yang lain dari perempuan kebanyakan.
"Sepanjang pendengaranku, perempuan itu akan menurunkan orang-orang besar yang kelak akan memiliki kekuasaan dan kewibawaan," desis Ken Arok.
"Persetan dengan gadis yang gila di rumah Witantra itu," gumamnya.
Namun kehangatan gadis itu masih terasa seakan-akan merayapi kulitnya.
Memang keduanya berbeda, Ken Dedes yang lembut, dan Ken Umang yang panas.
Tiba-tiba tebersit sepercik nafsu di kepalanya, "Kenapa tidak keduanya?"
"Ah," ia berdesah.
Ken Arok ternyata kini sedang terombang-ambing antara dua dunia yang berlawanan. Dunianya yang hitam dan dunia lain yang pernah ditemukannya. Dan keduanya kini sedang bergolak berebut pengaruh di dalam hatinya.
Tetapi kuda Ken Arok berpacu terus. Semakin lama semakin dekat dengan istana.
Ken Arok akhirnya sampai juga pada saatnya, ia menerima pengangkatan itu.
Ketika matahari telah mulai condong ke barat, maka terdengarlah suara yang menggelegar dari dalam istana, suara sebuah gong yang besar, yang tergantung di paseban depan.
Sejenak kemudian Ken Dedes sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Tumapel atas dasar penyerahan kekuasaan dari Akuwu Tunggul Ametung sejak semasa hidupnya, menyerahkan sebilah keris pimpinan kepada Ken Arok dan mengalungkan seutas tali yang berwarna kekuning-kuningan di lehernya, sebagai pertanda bahwa Ken Arok dengan demikian telah diangkat menjadi seorang pemimpin tertinggi dari pasukan pengawal.
Tidak seorang pun yang mempunyai alasan yang cukup untuk menentang keputusan itu. Sehingga dengan demikian tidak ada lagi persoalan di antara para pemimpin tertinggi Tumapel, para senapati, para manggala dan pandega serta seluruh rakyat.
Namun persoalan yang tumbuh justru di dalam dada Ken Dedes itu sendiri. Betapa tangannya menjadi gemetar ketika ia meletakkan tali yang berwarna kekuning-kuningan itu di leher Ken Arok, serta ketika ia menyerahkan keris kepada anak muda itu. Dalam pakaian kebesaran Ken Arok menjadi semakin mengagumkan di dalam pandangan mata Ken Dedes.
Dan getar itu ternyata dapat ditangkap oleh perasaan Ken Arok yang tajam. Sentuhan tangan Ken Dedes pada saat mengalungkan tali yang kekuning-kuningan itu, serta ketika tangan Ken Arok menerima keris pimpinan, terasa bahwa jantung Putri yang memegang pimpinan tertinggi di Tumapel itu bergetar.
Tanpa sesadarnya Ken Arok memandang wajah Tuan Putri yang sedang berpakaian kebesaran itu pula. Pada saat yang bersamaan Ken Dedes pun sedang memandanginya pula.
Benturan pandangan itu telah mengguncangkan hati keduanya.Hati Ken Dedes serasa meledak berkeping-keping. Hampir saja ia kehilangan kekuatan untuk menahan dirinya sendiri. Untunglah bahwa ia masih berhasil menguasai perasaannya, sehingga ia tidak meloncat dan berlari ke dalam biliknya.
Sementara itu Ken Arok pun segera menundukkan kepalanya. Namun tangannya yang memegang keris itu pun menjadi gemetar pula.
Ketika Ken Arok telah kembali ke tempatnya, maka ia sama sekali tidak berani lagi mengangkat wajahnya. Ia menunduk dalam-dalam dengan jantung yang serasa mengembang.
Demikianlah maka untuk hari-hari seterusnya. Ken Arok adalah seorang pengawal yang mengagumkan. Ternyata ia tidak hanya pandai memanjakan nafsunya, tetapi ia benar-benar mampu melakukan tugasnya.
Namun dengan demikian, ia menjadi selalu dekat dengan Ken Dedes sebagai pemegang pimpinan tertinggi di Tumapel. Sebagai minyak yang selalu dekat dengan api. maka akhirnya menyalalah hati keduanya tanpa dapat ditahan-tahankan lagi.
Sementara Mahisa Agni bekerja keras membangun padukuhannya yang baru, terbetiklah berita, bahwa hubungan antara Ken Dedes dan Ken Arok sama sekali sudah tidak dapat dicegah lagi.
Namun Mahisa Agni telah belajar banyak dan pengalaman hidupnya. Ia tidak lagi dapat diterkam oleh kehilangan akal dan kebingungan. Ia menanggapi masalah hidup dengan sepenuh kedewasaan.
Karena itu, maka hatinya kini benar-benar telah lekat dengan kerjanya, seperti Witantra yang semakin mencintai kesepian yang ditanggapinya sebagai suatu kedamaian di dalam hati setelah ia berhasil menyesuaikan hidupnya dengan alam di sekitarnya.
Namun semuanya ternyata tidak berhenti di tempatnya. Semua masih bergerak dalam lingkaran yang saling bersinggungan.
Maka seperti tersebut di dalam Kitab Pararaton, "Selanjutnya Dewa memang telah menghendaki, bahwasanya Ken Arok memang sungguh-sungguh menjadi jodoh Ken Dedes, lamalah sudah mereka saling hendak-menghendaki, tak ada orang Tumapel yang berani membicarakan semua tingkah-laku Ken Arok, demikian juga semua keluarga Tunggul Ametung diam, tak ada yang berani mengucap apa-apa, akhirnya Ken Arok kawin dengan Ken Dedes (terjemahan: Ki J. Padmapuspita).
Tetapi ternyata yang terjadi belumlah akhir yang terakhir.
Pada saat perkawinan itu berlangsung, maka kekuasaan pun seakan-akan telah berpindah pula ke tangan Ken Arok. Tetapi Ken Arok bukanlah seorang yang lekas puas. Ia kemudian mengangkat kepalanya, dan memandang kepada kekuasaan Kerajaan Kediri.
Namun persoalan di dalam dirinya masih akan berjalan. Di dalam diri Ken Dedes telah terkandung putra Tunggul Ametung. Bayi itu kelak akan dilahirkan, berbareng dengan lahirnya masalah-masalah baru.
Demikianlah, seperti matahari yang mengelilingi bumi, maka yang pernah tenggelam akan terbit pada saatnya. Dan cerita tentang keluarga ini masih akan berkepanjangan, dalam sangkutannya dengan nama-nama yang pernah tersebut di dalam kisah ini."
Yogyakarta, 21 Desember 1971
BARA DI ATAS SINGGASANA Bagian I " Putra Mahkota
Yang pernah terjadi di Tumapel sudah hampir dilupakan. Rakyat Tumapel sendiri sudah tidak pernah menyebut nama Akuwu Tunggul Ametung yang sudah tidak ada lagi. Mereka tidak pernah mempersoalkan perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes. Semuanya seolah-olah sewajarnya dan seharusnya terjadi. Para pemimpin yang tujuh, para perwira dan manggala, tidak ada yang membicarakannya lagi. Seperti juga tidak ada lagi yang membicarakan kematian Kebo Ijo.
Apalagi setelah rakyat Tumapel melihat kemampuan Ken Arok memerintah. Tumapel tidak lagi Tumapel yang sudah puas dengan dirinya seperti pada saat Akuwu Tunggul Ametung memerintah. Tumapel kini seakan-akan selalu bergolak. Tanah-tanah kering harus menjadi basah, dan anak-anak muda yang duduk termenung harus bangkit mesu diri, membentuk kekuatan yang setiap saat dapat digerakkan untuk tujuan apapun.
Demikianlah Ken Arok menjadikan Tumapel semakin lama menjadi semakin kuat dan makmur. Hidup rakyatnya menjadi kian baik, penghasilan pun bertambah-tambah.
Ken Dedes yang menyerahkan kekuasaannya dengan diam-diam kepada Ken Arak sama sekali tidak menyesal. Ia melihat perkembangan Tumapel dengan dada tengadah.
Bukan saja sebagai seorang permaisuri, tetapi sebagai seorang istri pun Ken Dedes menemukan yang tidak pernah didapatkannya sebelumnya. Meskipun Ken Arok lebih sering keluar istana, tetapi Ken Arok tidak pernah melupakannya. Apalagi Ken Dedes mengerti, bahwa setiap kali Ken Arok meninggalkan istana, maka sesuatu telah dilakukannya untuk mengembangkan Tumapel.
Hanya sekali-sekali saja Ken Arok melupakan kesibukan itu.Ada sesuatu yang masih kadang-kadang dirindukannya. Berburu di hutan-hutan seperti yang dilakukan oleh Akuwu Tunggul Ametung.Tetapi Ken Arok telah digerakkan oleh kenangannya pada masa-masa mudanya. Hutan-hutan rindang di sekitar padang Karautan sangat menarik perhatiannya. Apabila ia sedang berburu di hutan itu dibawanya Ken Dedes serta, dan ditinggalkannya itu di taman yang pernah dibuatnya dahulu, di dekat padukuhan baru bagi orang-orang Panawijen.
Hari-hari yang demikian terasa sangat menyenangkan. Juga bagi Ken Dedes. Hijaunya padukuhan yang baru itu memberi kesegaran kepadanya. Ia merasa bahwa ia telah memberikan arti dari Hidupnya kepada kampung halamannya.
Tetapi ada juga orang yang menjadi sangat kecewa. Perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes telah membuatnya hampir berputus asa. Namun kekerasan hatinya kemudian telah mendorongnya ke dalam tindakan yang kurang bijaksana. Namun ia sama sekali tidak mau memikirkan kepentingan orang lain. Bahkan ia berkata di dalam hatinya,"Mereka harus tahu, bahwa aku pun mampu menundukkan hati rajawali yang liar itu."
Demikianlah maka semua usaha dilakukannya.Dua kali lipat dendam yang tersimpan di dadanya harus dituntutnya. Mahisa Agnilah yang mula-mula menyakitkan hatinya, dan kemudian Adik perempuannya, Ken Dedes.
Masa-masa berburu yang dilakukan oleh Ken Arok menjadi salah satu kesempatan baginya. Dan ia telah mencoba untuk mempergunakannya sebaik-baiknya.
Maka ketika sepasukan kecil orang-orang berkuda berderap menuju ke hutan-hutan perburuan di sekitar padang Karautan dari padukuhan baru orang-orang Panawijen setelah meninggalkan Ken Dedes di taman yang melingkari sendang, maka seekor kuda yang datang dari jurusan lain pun berlari pula menuju ke tempat yang sama.
"Terima kasih,"berkata penunggang kuda itu kepada pesuruhnya,"tetapi apabila kau keliru, maka kupotong lehermu."
"Aku tidak akan keliru. Aku tahu pasti, bahwa hari ini Ken Arok pergi berburu."
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya maka ia pun segera memacu kudanya untuk menjumpai Ken Arok dengan beberapa orang pengiringnya.
Sudah menjadi kebiasaannya, bahwa Ken Arok selalu membuat sebuah tempat peristirahatan di pinggir hutan. Sebuah gubuk kecil yang dikelilingi oleh beberapa gubuk yang lain. Dari gubuk-gubuk itulah mereka pergi mengintai binatang-binatang buruan mereka, sebelum binatang-binatang itu mereka tangkap hidup atau mati.
Tetapi musim berburu kali ini ternyata agak berbeda dengan saat-saat yang pernah terjadi. Ketika Ken Arok sedang mengintai di pinggir sebuah mata air, yang sering dikunjungi oleh binatang-binatang buruan yang sedang haus, tiba-tiba ia melihat seekor kuda lewat dengan cepatnya. Segera ia dapat membedakan, bahwa orang berkuda itu sama sekali bukan orangnya.
"He. kau lihat orang berkuda itu?"Ken Arek berdesis.
Seorang, pengawal mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk ia menjawab,"ya, hamba melihat."
"Siapa?" Kini orang itu menggeleng,"Hamba tidak tahu."
Ken Arok mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba timbullah keinginannya untuk mengetahui orang itu. Karena itu maka katanya, "Aku akan melihatnya."
"Orang itu berkuda. Sedang kita sama sekali tidak membawa seekor kuda pun, karena kuda-kuda kita berada di perkemahan."
Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi ia bukanlah orang yang mudah menyerah karena keadaan. Karena itu maka katanya,"Kau tinggal di sini. Kalau para pengawal mencari aku, suruhlah mereka tinggal di sini menunggu."
"Tetapi, sebaiknya hamba pergi bersama."
Sejenak Ken Arok mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa pengawalnya itu menjadi cemas. Mereka tidak tahu sama sekali, siapakah penunggang kuda yang lewat itu.
Tetapi Ken Arok menjawab, "Tidak apa-apa. Aku hanya sekedar ingin tahu. Kalau aku menganggap orang berkuda itu berbahaya, maka aku akan memanggil para pengawal."
Pengawal itu tidak segera menjawab. Tetapi kecemasan masih membayang di wajahnya.
Namun dalam pada itu Ken Arok tersenyum sambil menepuk bahunya, "Aku dapat menjaga diriku sendiri,"
Pengawal itu tidak menjawab, selain menganggukkan kepalanya.
"Nah, tetaplah di sini. Jangan cemas."
Sebelum pengawal itu berbuat sesuatu, Ken Arok telah meloncat dengan sigapnya. Sekejap saja kemudian, Ken Arok itu seakan-akan telah lenyap ditelan rimbunnya dedaunan.
Sementara itu Ken Arok sedang menyusup di bawah gerumbul-gerumbul perdu ke arah hilangnya kuda yang mencurigakannya. Ada sesuatu yang tampak aneh oleh Ken Arok pada penunggang kuda itu. Sesuatu yang tidak dikatakan oleh Ken Arok kepada pengawalnya. Tetapi ketajaman matanya dapat menangkap apa yang tidak dilihatnya oleh pengawalnya itu.
Sejenak Ken Arok harus merunduk di bawah gerumbul-gerumbul sebelum ia dapat menangkap derap kaki-kaki kuda. Kini kuda itu tidak lagi berlari-lari. Sekali ia mendengar kuda itu meringkik, kemudian berputar di tempatnya.
"Tidak jauh lagi," berkata Ken Arok di dalam hatinya.
Dan perhitungan Ken Arok itu memang tepat. Kini ia melihat penunggang kuda itu sedang termangu-mangu. Menilik sikapnya, Ken Arok menduga bahwa penunggang kuda itu akan berbalik menempuh jalan yang baru saja dilaluinya.
"Hem," desis Ken Arok,"aku mencurigainya."
Ken Arok pun beringsut semakin dekat. Tetapi ia masih belum melihat wajah penunggang kuda itu.
Tiba-tiba sebelum penunggang kuda itu menyadari kehadiran Ken Arok di sisinya, ia merasa kendali kudanya telah ditangkap oleh seseorang.
Bukan saja penunggang kuda itulah yang terkejut, tetapi kudanya pun terkejut pula sehingga kuda itu meringkik dan berkisar pada kaki belakangnya.
Karena penunggang kuda itu sama sekali tidak menyangka, bahwa kudanya akan bergeser, betapapun kuatnya tangan yang memegangi kendali itu, namun ia tidak dapat menghindarkan dirinya lagi dari kesulitan. Guncangan itu telah melontarkannya dari punggung kudanya. Hampir saja ia terbanting di tanah, kalau tangan yang menggenggam kendali itu tidak cepat bertindak.
Begitu kendali kuda itu dilepaskan, maka tangan itu pun segera menangkap penunggang yang terlempar itu.
Semuanya itu hanya berlangsung dalam waktu yang singkat sekali, sehingga ketika mereka menyadari keadaan diri masing-masing, penunggang kuda itu telah berpegangan pundak Ken Arok erat-erat. Sedang Ken Arok pun berusaha untuk menahannya agar ia tidak terjatuh.
Tanpa mereka sadari, maka sejenak kemudian mereka pun saling berpandangan. Dan sekali lagi mereka terkejut karenanya.
Perlahan-lahan Ken Arok melepaskan penunggang kuda yang kini tersenyum kepadanya sambil berkata, "Terima kasih Tuanku. Bukankah Tuanku Akuwu Tumapel yang bijaksana?"
Ken Arok mundur selangkah. Dipandanginya orang itu dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip.
"Apakah Tuanku sudah lupa kepada hamba yang hina ini?"
"Hem,"Ken Arok menarik nafas dalam-dalam, "kau Ken Umang."
Ken Umang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,"Bukankah hamba masih yang dahulu" Yang berbeda adalah justru Tuanku. Tuanku sekarang bukan sekedar salah satu dari pemimpin yang tujuh di Tumapel. Tetapi Tuanku adalah seorang Akuwu, meskipun kekuasaan itu Tuanku dapat dari Tuan Putri Ken Dedes yang. cantik tiada taranya."
Ken Arok tidak segera menjawab. Ia masih terpaku memandang Ken Umang dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya.
"Kenapa kau berbuat seperti ini" Berpakaian laki-laki dan sengaja mengganggu masa berburu kami?"
"Siapa yang mengganggu Tuanku" Hamba sama sekali tidak berbuat apapun di sini. Hamba hanya lewat, dan tidak ada peraturan yang melarang seseorang lewat di hutan ini."
"Bohong!| bentak Ken Arok, "kau pasti sengaja melakukannya justru kau tahu aku sedang berada di sini."
Ken Umang mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa sambil melangkah maju, "Tuanku sekarang menjadi pemarah. Apakah seorang Akuwu harus seorang pemarah seperti Akuwu Tunggul Ametung?"
Ken Arok tidak menyahut. "Tetapi Tuanku lain sekali dengan Akuwu yang terdahulu. Persamaannya, keduanya adalah suami Ken Dedes. Tetapi masih juga ada perbedaannya. Tuan tidak mendapatkan seorang gadis lagi."
"Diam!" Ken Arok hampir berteriak. Terdengar ia menggeram,"Kalau saja kau bukan seorang gadis, maka aku tampar mulutmu."
Tetapi Ken Umang masih saja tertawa. Bahkan ia berkata,"Memang Tuan. Aku masih seorang gadis, Kenapa Tuanku tidak menginginkan seorang gadis" Tuanku dapat berbuat apa saja menurut kehendak Tuanku setelah Tuanku merampas kekuasaan itu dari tangan Ken Dedes."
"Diam! Diam kau!"
Tetapi Ken Umang tidak terdiam karenanya. Ia masih tertawa.Perlahan-lahan ia mendekati Ken Arok. Ketika Ken Umang meraba ikat pinggang kulit yang membelit di perutnya, Ken Arok sama sekali tidak beringsut dari tempatnya. Bahkan ia berdiri saja seperti patung.
Dengan jari-jarinya yang lentik Ken Umang seakan-akan menghitung butiran-butiran berlian yang terpahat pada timang ikat pinggang Ken Arok. Kemudian disentuhnya pula ukiran keris yang terselip pada ikat pinggang di punggungnya.
Perlahan-lahan Ken Umang berdesis, "Tuanku memang gagah sekali."
Ken Arok masih tetap mematung.
Dan Ken Umang bertanya seterusnya, "Apakah Tuanku hanya seorang diri?"
Ken Arok menggeleng, seperti anak-anak yang dituduh melempari buah-buahan di halaman,"Tidak. Aku tidak seorang diri,"
"Di manakah kawan-kawan Tuanku sekarang?"
"Di gubuk-gubuk itu."
Ken Umang tersenyum manis sekali.Dirabanya janggut dan jambang Ken Arok yang pendek dan teratur rapi.
"Maaf Tuanku. Ternyata bukan Tuanku yang mencari hamba seperti pernah hamba katakan. Tetapi hambalah yang mencari Tuanku."
Sentuhan tangan Ken Umang, benar-benar serasa seperti api yang menyentuh minyak yang tersimpan di dadanya. Adalah jauh berbeda sekali dengan Ken Dedes. Ken Dedes adalah titik-titik embun di teriknya matahari. Sejuk sekali.
Apabila hatinya sedang membara, maka sentuhan tangan Ken Dedes adalah sentuhan ketenteraman yang damai.
Tetapi sentuhan tangan Ken Umang telah mendidihkan darahnya, sehingga Ken Arok sama sekali tidak dapat mendinginkannya dengan usaha yang bagaimanapun juga, ketika kemudian seluruh isi dadanya terbakar.
Semua pengawalnya menjadi gelisah karena Ken Arok tidak segera kembali ke tempatnya. Seorang pengawal yang menunggu Ken Arok di tempat mereka melihat seekor kuda melintas, hampir-hampir tidak dapat menahan diri lagi untuk menyusul Akuwu. Tetapi ia masih bertahan. Kalau ia pergi menyusul, itu berarti ia telah melanggar perintah. Bahkan kepada pengawal-pengawal yang lain pun ia telah memberitahukan, bahwa Ken Arok tidak ingin seorang pun mengikutinya.
"Apakah kau tidak berusaha mencegahnya," bertanya seorang kawannya.
"Aku sudah berusaha. Tetapi Akuwu tetap pada pendiriannya."
"Bagaimana kalau terjadi sesuatu atasnya?"
Pengawal itu tidak menyahut. Tetapi yang lain bergumam, "Tetapi kalau Akuwu tidak mampu mengelakkan bahaya itu, apakah kemampuan kita dapat menolongnya."
"Setidak-tidaknya kita dapat membantunya. Kalau bahaya datang beradu dada, aku kira Akuwu benar-benar dapat menjaga diri. Tetapi bagaimanakah halnya apabila ada jebakan yang tidak disangka-sangka,"
Semuanya diam sejenak. Kemudian seorang yang sudah berusia agak lanjut berkata,"Kita tunggu sebentar lagi. Kalau Akuwu tidak segera datang, kita mencarinya."
Semuanya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka pun kemudian kembali ke gubuk masing-masing, kecuali seorang pengawal yang diharuskan menunggu di tempat mereka berpisah dengan Ken Arok.
Pengawal itu sama sekali tidak memperhatikan lagi kepada binatang-binatang buruan yang minum di genangan air yang ditungguinya, karena hatinya semakin lama menjadi semakin gelisah.
Sementara itu Ken Arok sedang dibakar oleh api yang telah menyentuh perasaannya.
Di masa-masa ia masih berkeliaran di hutan-hutan di sekitar padang Karautan ini, apapun pernah dilakukannya. Merampas, merampok dan juga memerkosa. Tetapi kini sebagai seorang Akuwu ia tidak berdaya melawan lembutnya tangan-tangan Ken Umang yang menyeretnya ke dalam lembah yang berbahaya.
Ken Arok menyadari dirinya, ketika ia sudah hangus terbakar. Dengan wajah merah padam ia memandang dirinya sendiri, kemudian gadis yang masih saja tersenyum di hadapannya.
"Apakah Tuanku menyesal?" bertanya Ken Umang. Ken Arok berdiri gemetar.
"Kalau Tuanku menyesal, Tuanku masih mempunyai jalan keluar."
Ken Arok tidak menjawab. "Tuanku dapat membunuh hamba sekarang.Kemudian Tuan dapat terlepas dari semua akibat perbuatan Tuan."
Wajah Ken Arok menjadi semakin tegang. Ditatapnya wajah Ken Umang yang cerah oleh senyum yang selalu menghiasi bibirnya. Namun Ken Arok seakan-akan telah benar-benar membeku, sehingga ia tidak mampu berbuat apapun juga.
Perlahan-lahan Ken Umang berdiri dan mendekatinya. Sekali lagi ia meraba janggut dan jambang Ken Arok, yang pendek itu.
"Tuanku dapat membunuh hamba. Bukankah Tuanku membawa keris dan pedang" Mudah sekali. Inilah dada hamba."
Tiba-tiba Ken Arok menggelengkan kepalanya. Dengan nada yang berat ia berkata, "Tidak.Aku bukan pengecut. Aku adalah seorang laki-laki."
"Maksud Tuanku?"Ken Umang mengerutkan keningnya. Tetapi hatinya melonjak kegirangan. Kalau ia berhasil, maka ia akan dapat duduk di samping anak pedesaan Panawijen itu. Setidak-tidaknya ia akan mendapat sebagian dari kekuasaan atas Tumapel, yang akan melimpah kepada anak-anaknya kelak.
"Pergilah. Kembalilah ke Tumapel,"desis Ken Arok. Ken Umang berdiri termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah Ken Arok yang masih tegang.
"Sudah aku katakan, aku bukan pengecut. Apakah kau masih tinggal di rumah Witantra?"
"Tidak Tuanku. Hamba tidak berada di rumah yang kosong itu lagi. Tetapi hamba berada di rumah bibi hamba.
"Utusanku akan mencarimu. Sekarang, pergilah. Pengawal-pengawalku sudah terlampau lama menunggu."
Ken Umang tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,"Hamba akan kembali mendahului Tuanku. Hamba selalu menunggu titah Tuanku, apapun yang harus hamba jalani,"
Ken Arok tidak menjawab. Dipandanginya saja Ken Umang yang membenahi pakaian laki-lakinya, kemudian naik ke atas punggung kudanya yang sedang enak-enak makan rerumputan yang muda.
(bersambung ke jilid 51) Makam Bunga Mawar 15 Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy Empress Orchid 4