Pelangi Dilangit Singosari 5
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 5
Tetapi Empu Gundring tidak mendapat kesempatan untuk menjawab Buyut Panawijen yang tua itu ternyata telah dicengkam oleh kegelisahan dan kecemasan yang amat sangat sehingga tanpa sesadarnya telah mempergunakan segala ke sempatan untuk berbicara sendiri.
Namun akhirnya Ki Buyut itu berhenti juga bertanya ketika ia melihat Ken Arok dengan tergesa-gesa memasuki ruang itu pula. Sebelum ia duduk, maka ia telah bertanya "Bagaimana dengan usaha Empu untuk menebaskan Mahisa Agni"
"Duduklah ngger" Empu Gandring mempersilahkannya. Sambil menarik nafas dalam-dalam maka Ken Arok itupun kemudian duduk di sampingnya. Dipandanginya wajah Empu Gandring yang tenang, namun mengandung seribu macam teka-teki yang tidak segera dapat ditebaknya.
"Apakah usaha Empu berhasil?" bertanya Ken Arok itu kemudian.
Kali ini Empu Gandringlah yang menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya "Sebagian ngger. Sebagian berhasil tetapi hasil selengkapnya masih belum dapat kita pastikan.
Ken Arok mengerutkan keningnya, sedang Ki Buyut Panawijen memandangi wajah Empu Gandring dengan gelisah nya.
"Aku tidak meneruskan usaha itu dengan tenagaku sendiri." berkata Empu Gandring seterusnya:
"Jadi?" bertanya Ken Arok.
Empu Gandring menggeser duduknya sejengkal. Kemudian diangkatnya wajahnya memandangi pelita yang tersangkut pa da tiang bambu gubug itu. Per-lahan-lahan ia mulai mengisahkan perjalanannya, sejak ia berpisah dengan Ken Arok, meng ikuti jejak Kebo Sindet, sehingga ia memerlukan singgah ke Kemundungan. Akhirnya diceriterakannya bahwa ia mempercayakan usaha melepaskan Mahisa Agni kepada orang lain, orang yang mempunyai kewajiban pula seperti dirinya sendiri.
"Oh" Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Ki Buyut Panawijen diam terpekur. di luar gubug itu bebe rapa orang telah berkerumun untuk mendengarkan keterang an itu pula. Beberapa orang saling berbisik, sedang yang lain menjadi sedih. Mereka menyesalkan betapa Mabisa Agni itu mengalami berbagai macam kejadian yang pahit. Sedang kan tenaganya sebenarnya sangat diperlukan saat ini oleh orang-orang Panawijen yang sedang membangun bendungan itu. Untunglah bahwa di antara mereka telah hadir seorang yang bernama Ken Arok, menggantikan kedudukan Mahisa Agni yang dapat selalu membakar niat orang- Panawijen untuk menyelesaikan bendungannya.
Sesaat kemudian ceritera tentang Mahisa Agni itu telah menjalar keseluruh sudut perkemahan itu. Setiap orang kemudian mendengarnya. Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel. Beberapa orang menjadi terharu dan iba, sedang beberapa orang lain menyimpan dendam di dalam hatinya. "Terlalu. Kuda Sempana ternyata telah memperalat ayahnya yang tua untuk mencelakai Mahisa Agni. Dosa anak itu ternyata memercik kepada ayahnya pula, yang seharusnya berusaha mencegahnya.
Tetapi semuanya sudah tcrlanjur. Semuanya sudah terjadi, sehingga mereka hanya dapat berdesah di antara mereka sendiri.
Didalam gubug Ki Buyut, Ken Arok menekurkan kepalanya. Keningnya tampak berkerut-merut. Wajah anak muda itu benar-benar menjadi tegang.
Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya sambil menggeram "Aku akan mengambil pasukan ke Tumapel. Prajurit segelar sepapan. Aku kepung daerah be-rawa-rawa itu. Mustahil kalau kita tidak akan dapat menyeberang. Aku mengenal beberapa macam rawa-rawa. Mungkin aku akan dapat mengenal lenipat2 yang gembur berlumpur dan tempat2 yang keras. Hampir se panjang umurku aku hidup di -daerab2 yang tidak keruan. Hutan, padang Karautan ini dan rawa-rawa.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Sareh ia berkata
"Terima kasih ngger. Tetapi sebaiknya maksud itu jangan tergesa-gesa dilakukan. Biarlah usaha membebaskan Mahisa Agni dengan cara yang lain itu dilakukan. Tidak dengan kekeras an, justru untuk menjaga keselamatan Mahisa Agni itu sen diri. Sebab kini Mahisa Agni telah tcrlanjur dikuasai oleh Kebo Sindet. Aku sependapat dengan cara ini ngger.
Kening Ken Arok menjadi semakin berkerut. Tetapi kemudian ia menggigit bibirnya sambil kemudian bergumam
"Apa boleh buat apabila Empu tidak sependapat.
"Aku berterima kasih kepadamu ngger." sahut Empu Gandring "tetapi biarlah tiara itu dicobanya dahulu. Apa bila tidak berhasil, maka kita akan mencari jalan lain.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah Empu. Tetapi setiap saat apabila Empu memerlukan aku, aku akan selalu menyediakan diri. Akuwu Turnapel pasti ti dak akan berkeberatan aku membawa sepasukan prajurit dan pelayan-pelayan dalam untuk membebaskannya apabila diperlukan. Sebab Mahisa Agni adalah kakak terkasih dari bakal permai suri.
Empu Gandring meng-angguk pula "Terima kasih" ulangnya "Aku akan selalu menghubungi angger dalam setiap keperluan. Terutama ter.tang Mahisa Agni,
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia samasekali tidak bersabar menunggu cara yang dianggapnya terlampau lamban itu. Tetapi Empu Gandring adalah orang yang lebih berhak menentukan apa yang sebaiknya dilakukan atas Mahisa Agni itu.
Sejenak kemudian mereka yang berada di ruang itu sa ling berdiam diri. Mereka membiarkan angan-angan masing-masing menyelusuri sepinya.
Ketika dikejauhan terdengar gonggong anjing liar yang lamat-lamat, maka kulit Empu Gandring serasa berkuit. anjing-anjing itu sedang bertengkar berebut tubuh Mahisa Agni yang telah dilemparkan oleh Kebo Sindet kepada gerombolan anjing-anjing itu.
"Mudah-mudahan tidak terjadi" desis Empu Gandring" Kebo Sindet masih memerlukannya.
Kesepian itupun kemudian dipecahkan oleh suara Ken Arok ~ Empu, aku masih belum mengirimkan laporan yang lengkap tentang hilangnya Mahisa Agni ke Tumapel. Aku takut apabila berita itu dapat mengejutkan Tuan Puteri Ken Dedes, dan dapat berakibat mengganggu persiapan2 per kawinannya dengan Akuwu Tunggul Ametung. Aku mengharap bahwa Mahisa Agni segera dapat dibebaskan. Tetapi apa bila ternyata keadaan menjadi demikian, maka sebaiknya aku mengirimkan orang untuk menyampaikannya kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, supaya aku tidak dipersalahkannya karena aku seakan-akan mengabaikan persoalan keselamatannya. Sebab Mahisa Agni itu pasti akan segera dipanggil pula menghadap sebelum semua persiapan perkawinan yang akan segera diselenggarakan itu selesai.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia tidak menjawab. Ia menjadi cemas apabila dalam pembicaraan selanjutnya Ken Arok dan Akuwu Tunggul Ametung sependapat untuk mengepung Kebo Sindet dengan sepasukan prajurit, karena mereka tergesa-gesa untuk segera menemukan Mabisa Agni untuk kepentingan persiapan perkawinan itu. Tetapi dengan demikian, maka justru Mahisa Agni berada dalam bahaya.
"Apakah Empu sependapat?" bertanya Ken Arok.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia masih ragu-ragu. Dipandanginya wajah Ki Buyut Panawijen yang suram. Tetapi ia tidak menemukan apapun pada wajah itu.
"Angger Ken Arok" berkata Empu Gandring kemu dian per-lahan-lahan "mungkin kau tidak akan dapat berbuat lain dari pada itu. Bagaimanapun juga maka peristiwa ini selurubnya pasti akan didengar oleh kalangan istana, juga oleh Tuan Puteri Ken Dedes. Tetapi meskipun demikian, aku masih tetap mengharap, bahwa baik angger sendiri, maupun Tuanku Akuwu Tunggul Ametung tidak melakukan tindakan yang tergesa-gesa yang akan dapat membahayakan Mahisa Agni sendiri.
Ken Arok mengangguk kecil sambil menggigit bibirnya. Anak muda itu dapat mengerti kenapa Empu Gandring ber pendirian demikian menurut nalarnya, tetapi rasa-rasanya cara itu terlampau lambat baginya, sehingga perasaannya berpenda pat lain. Namun kali ini Ken Arok dapat menguasai perasaannya dengan nalarnya.
"Baiklah EMpu" jawabnya "aku akan memberi penjelasan kepada orang yang akan pergi ke Tumapel, bahwa tindakan yang demikian akan sangat berbahaya. Aku akan mengharap bahwa segala tindakan harus dipertimbangkan ber sama Empu Gandring, paman Mabisa Agni. Bukankah begitu"
Empu Gandring tidak segera menyahut. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia harus menunggu persoalan ini sampai selesai di padang Karautan ini" Lalu bagaimana dengan padepokannya sendiri Lulumbang" Berapa lama ia harus menunggu" Berbedalah halnya apa bila ia sendiri yang berusaha membebaskan Mahisa Agni. Maka ia akan disibukkan oleh usahanya itu. Tetapi usaha itu sudah dilakukan oleh orang lain. Ia tidak akan dapat duduk saja bertopang dagu sambil menunggu tanpa bekerja apapun di padang Karautan. Seandainya ia turut membantu membuat bendungan, maka tenaganya akan tidak seimbang dibandingkan dengan kerjanya sendiri yang memang telah menunggu. Tenaganya seorang itu tidak akan banyak berpengaruh bagi bendungan ini. Apa lagi setelah Ken Arok dan prajurit-prajurit Tumapel berada di padang Karautan ini pula.
Karena itu maka yang paling baik baginya adalah menunggu persoalan itu di padepokannya sendiri sambil melaku kan pekerjaannya se-hari-hari. Membuat keris.
"Angger Ken Arok" jawab Empu Gandring itu kemudian "baiklah aku selalu ikut serta dalam penyelesaian ini, karena itu adalah kewdayibanku. Tetapi aku sudah mempercayakannya kepada seseorang, sehingga kerjaku seolah-olah hanya tinggal menunggu hasil dari usaha itu. Untuk itu aku akan menunggu di padepokanku sendiri, di Lulumbang, sementara itu aku dapat bekerja seperti biasa sehari-hari. Untuk itu aku minta tolong kepadamu ngger, apa bila ada perkembangan baru, sukalah angger menyuruh seorang dua orang ke Lulumbang. Aku akan berbuat sesuai dengan kemampuanku"
Ken Arok mengerutkan keningnya, sedang Ki Buyut Panawijen dengan serta merta bertanya "Apakah Empu akan meninggalkan kami di sini?"
"Aku harus melihat padepokan yang sudah agak lama aku tinggalkan Ki Buyut.
"Lalu bagaimakah dengan kami seandainya ada babaya yang mendatangi. -
"Ah" Empu Gandring tersenyum "bukankah Ki Buyut berada di -tengah2 sepasukan prajurit yang tangguh. Jangan kan prajurit yang sekian banyaknya, sedangkan angger Ken Arok sendiri akan dapat berbuat banyak melindungi Ki Buyut dan orang-orang Panawijen. -
"Oh" Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Ken Arok berdesah sambil bergumam "Hem, Empu terlalu memuji. -
"Tidak, tidak ngger. Aku tidak memuji. Tetapi angger supaya menyadari bahwa angger mempunyai ciri2 yang aneh. Aku tidak dapat mengatakan apa aneh itu. Namun anggrr mempunyai kelebihan dari orang-orang lain. -
"Ah" sekali lagi Ken Arok berdesah "apakah yang aneh padaku" Aku sama sekali tidak berdaya menghadapi iblis dari Kemundungan itu. -
"Tetapi akan datang saatnya angger dapat mengalah kan Kebo Sindet. v
"Bagaimana mungkin hal itu terjadi Empu. Aku tidak per nah berusaha dengan sungguh2 untuk mempelajari ilmu tata bela diri. -
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Guniainnya "Itulah salah satu keanehan angger. Tanpa mempelajari dengan sungguh2 angger telah mampu bertahan tanpa cidera yang berarti atas aji yang nggegirisi yang dilepaskan oleh iblis dari Kemundungan itu atas angger.
"Dadaku serasa remuk Empu.
"Tetapi angger tidak apa-apa sampai sekarang.
"Aku masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung" sahut Ken Arok.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi keajaiban yang ada dalam diri Ken Arok masih tetap merupa kan teka-teki bagi Empu Gandring.
Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Terasa angin padang menyentuh tubuh-tubuh mereka. Silir, namun semakin lama semakin dingin meresap kedalam kulit daging.
Gubug2 kini telah menjadi semakin sepi. Beberapa orang telah jatuh tertidur karena kelelahan, sedang beberapa orang lagi sedang bercakap-cakap tentang Mahisa Agni yang belum berhasil dibebaskan dari tangan Kebo Sindet. di luar gubug Ki Buyut Panawijenpun telah menjadi sepi pula.
Orang-orang yang semula berkerumun mendengarkan ceritera Empu Gandring telah pergi meninggalkan gubug itu kembali ketempat masing-masing.
Sejenak kemudian Ken Arok berdiri sambil berkata "Aku akan memanggil dua orang prajurit yang besok harus menghadap Akuwu ke Tumapel. Mungkin Empu dapat memberi mereka itu pesan langsung. Mungkin ada hal-hal yang perlu Empu beritahukan supaya semuanya dapat berjalan dengan baik, tanpa membahayakan Mahisa Agni dan tidak terlampau mengejutkan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung dan Tuan Puteri Ken Dedes.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya "Baiklah ngger.
Ken Arokpun kemudian pergi meninggalkan Empu Gan dring dan Ki Buyut Panawijen untuk memanggil dua orang prajurit yang akan diperintahkannya ke Tumapel.
Sejenak kemudian Ken Arok telah datang kembali ber sama prajurit yang dimaksudkannya.
"Dengarlah baik-baik" desis Ken Arok "supaya kau tidak membuat kesalahan. Dengan demikian kau akan langsung mendengar dari Empu Gandring dan dari aku sendiri. Bukan hanya sekedar desas-desus yang sudah bertambah atau berkurang dari peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Dan kedua prajurit itu kemudian mendengarkan penjelasan Empu Gandring dengan cermatnya. Beberapa kali Ken Arok memberinya pesan tentang ceritera itu. Dan Empu Gandring pun mengatakan semuanya yang diketahuinya. Dikatakannya pula beberapa hal tentang Empu Sada. Bahwa orang itu sama sekali tidak bertanggung jawab lagi tentang hilangnya Mahi sa Agni.
"Tetapi hati-hati2ah" pesan Ken Arok "jangan mengejutkan Tuan Puteri Ken Dedes.
Kedua prajurit Tumapel itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka mendengarkan keterangan Empu Gandring dengan saksama, dan mereka mendengarkan pesan Ken Arok baik-baik, supaya mereka nanti tidak salah menyampaikan keterangan tentang Mahisa Agni dan pesan2 yang harus dilakukan nya.
"Jangan lupa sampaikan kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung bahwa segala usaha untuk menghindari peristiwa itu sudah dilakukan, bahkan paman Mahisa Agni Empu Gandring sendiri telah ikut serta mencoba melepaskan Mahisa Agni. Tetapi kami tidak berhasil. Meskipun demikian sampai saat ini usaha untuk melepaskan Mahisa Agni masih dilakukan." pesan Ken Arok seterusnya kepada kedua prajurit itu "Sampaikan pula bahwa usaha dengan kekerasan untuk sementara sebaiknya tidak dilakukan, mengingat kese lamatan Mahisa Agni sendiri. Sedang kerja di padang Karautan sama sekali tidak terganggu karenanya. Kami di sini berusaha untuk segera menyelesaikannya beserta taman yang dikehendaki oleh Tuanku Akuwu Tunggul Ametung yang akan dihadiahkan kepada Tuan Puteri Ken Dedes nanti.
Sekali lagi kedua prajurit itu meng-engguk2.
"Kau mengerti?" bertanya Ken Arok kemudian.
"Ya" jawab kedua prajurit itu hampir bersamaan.
"Baiklah." berkata Ken Arok selanjutnya" besok pagi2 kalian berangkat. Usahakan supaya kau dapat menghadapi secepatnya dan segera kembali.
"Baik" sahut keduanya.
Sekarang kalian boleh pergi tidur, supaya kalian besok tidak terlampau malas berangkat.
Kedua prajurit itupun segera meninggalkan ruangan itu. Kemudian Ken Arok dan Empu Gandringpun pergi pula ketempat masing-masing untuk beristirahat.
Didalam gubugnya Empu Gandring masih juga selalu di-kejar2 oleh kecemasan dan ke-ragu-raguan tentang kepastian nasib Mahisa Agni, sehingga dengan demikian maka dengan gelisahnya ia duduk di atas sehelai tikar pandan yang kumal. Sekali-sekali ia berdiri dan berjalan mondar-mandir. Sejenak kemudian kembali ia duduk. Ketika seseorang dalang kepadanya dan meletakkan sebungkus makanan dan minuman hangat, maka Empu Gandring tidak segera beranjak dari tempatnya.
"Letakanlah di situ" katanya.
"Baik Empu" jawab orang itu yang kemudian segera pergi meninggalkannya.
Tetapi ketika dilihatnya uap air yang panas itu mengepul timbul pulalah selera Empu Gandring untuk meminumnya. Apa lagi ketika kemudian terasa bahwa perutnyapun mulai disentuh oleh rasa lapar;
Namun akhirnya Empu Gandring itu hanya dapat menyerahkan segala persoalan kepada Yang Maha Agung. Disertai doa dan puji semoga kemanakannya itu dilepaskan dari segala macam bencana.
Ketika kemudian fajar pecah di Timur, maka langit di atas padang Karautan seolah-olahjadi membara. Warna me rah yang tersirat dari cakrawala memancar menyelubungi se uruh padang yang luai, semakin lama menjadi semakin cerah.
Dalam kesibukan persiapan untuk melakukan kerja me nyelesaikan bendungan, orang Panawijen dan para prajurit Tumapel melihat dua ekar kuda dan kedua penunggangnya berlari meninggalkan perkemahan itu. Debu yang tipis dan kerikil2 yang lembut berloncatan dari kaki-kaki kuda itu.
Ken Arok, Ki Buyut Panawijen dan Empu Gandring berdiri tegak seperti patung memandangi kedua ekor kuda yang semakin lama menjadi semakin kecil menuju keujung padang.
"Mudah-mudahan tidak ffiengejutkan Tuan Puteri" gumam Ken Arok.
"Mudah-mudahan" sahut Ki Buyut Panawijen "gadis itu sangat mengasihi kakaknya, seperti juga sebaliknya." Orang tua itu berhenti sesaat. Tiba-tiba ia berdesah "Kalau anakku masih ada.
"Ken Arok yang mendengar desah itu menarik nafas dalam. Ia tahu benar apa yang telah terjadi dengan putera Ki Buyut Panawijen itu. Sekilas ia berpaling memandangi wajah Ki Buyut yang tua, yang sudah dipenuhi oleh kerut-merut garis-garis umur. Tapi Ken Arok tidak berkata sepatah katapun.
Empu Gandring hanya berdiam diri, iapun pernah mendengar jua apa yang telah terjadi atas anak laki-laki Ki Buyut Panawijen.
"Tetapi beruntunglah bahwa Ken Dedes kemudian terlepas dari Kuda-Semana, bahkan kepahitan yang dialami itu dapat menjadi pupuk bagi kesuburan jalan hidupnya. Apa bila tidak demikian, maka ia tidak akan sampai keistana Turnapel. Akupun menjadi ikut berbahagia dengan kebahagiaan gadis itu. Aku juga pasti tidak akan rela melihat apa bila gadis itu benar-benar menjadi isteri pelarian dari Kuda-Sem pana" Ki Buyut melanjutkan desabnya dalam nada yang dalam.
Ken Arok dan Empu Gandring masih saja berdiam diri. Terasa seolah-olahpedih hati .orang tua itu terungkat kembali dengan tiba-tiba. Apalagi bila kemudian Mahisa Agni tidak dapat diselamatkan maka iapun akan merasa kehilangan, sebab bagi Ki Buyut Panawijen, Mahisa Agni seakan-akan telah men jadi ganti anaknya yang hilang.
Dan dengan tiba-tiba saja ia bertanya "Empu, apakah Empu yakin bahwa Mahisa Agni akan selamat"
Empu Gandring menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi dipaksa kannya mulutnya menjawab "Aku yakin Ki Buyut.
Ki Buyut itupun kini terdiam pula. Ia masih memandang kuda yang kini menjadi semakin kecil. Sekecil sebuah noktah di wajah langit yang luas.
Untuk sesaat kini ketiganya "aling berdiam diri. di belakang mereka orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel telah menjadi sibuk dengan segala macam persiapan. Alat-alat dan keperluan2 yang akan dikerjakan hari ini telah mereka kumpulkan dan mereka bawa be-ramai2 ketepi sunga dimana bendungan itu dibuat.
Bintik2 dicakrawala yang menjadi semakin kecil itupun kemudian hilang bersama dengan pancaran sinar matahari yang pertama, menyiram wajah padang Karautan yang ke- kuning2an. Warna fajarpun kemudian menjadi semakin terdesak oleh cerahnya sinar matahari. Kuning ke-putih2an.
Ketika wajah Ki Buyut yang berkeriput itu merasa ter sentuh oleh hangatnya matahari pagi, maka orang tua itupun menarik nafas dalam-dalam. Dipalingkan wajahnya, dan dilihatnya orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel telah sibuk mempersiapkan diri untuk mulai bekerja.
"Kita hampir mulai" gumam Ki Buyut itu kemudian.
Ken Arokpun kemudian berpaling. Terdengar ia berdesis
"Mereka sudah siap Ki Buyut.
"Marilah, aku akan minum wedang-jaheku dahulu.
"sahut Ki Buyut. Kepada Empu Gandring Ki Buyut itu mempersilahkan "Marilah Empu. Minumlah dahulu.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya pelahan. Namun kemudian ia berkata "Ki Buyut, terima kasih. Te tapi hari ini aku terpaksa mohon diri,
Ki Buyut terkejut dan bahkan Ken Arokpun terkejut pula "Begitu tergesa-gesa" hampir bersamaan mereka ber dua bertanya.
"Ya. Aku kira lebih baik bagiku. Aku akan segera tenggelam dalam kerja yang sudah lama aku tinggalkan. Aku sudah terlampau rindu kepada padepokanku. -
Ki Buyut dan Ken Arok saling berpandangan sejenak. Kemudian berkatalah Ki Buyut Panawijen "Apakah Empu tidak ingin melihat air sungai itu naik ke-parit-parit yang sudah disiapkan menerima limpahannya itu?"
"Memang, melihat air itu turun ke-parit-parit untuk pertama kalinya adalah suatu kebanggaan yang mengharukan. Te tapi aku terlampau rindu kepada kAmpung halaman. Biarlah aku akan kemari lagi beberapa minggu yang uakand datang. Mudah-mudahan aku dapat turut melihat bendungan itu mengangkat air.
"Kami disini menunggu Empu" berkata Ken Arok ka mi merasa Empu ikut serta menyiapkan bendungan ini. Sejak Mahisa Agni sedang mencari tempat ini, bukankah Empu telah membantunya seperti yang sering disebut-sebut Mahisa Agni.
"Ah. Adalah kebetulan bahwa Agni itu kemenakanku Tetapi baiklah, aku akan mencoba melihat air dari sungai itu melimpah keparit-parit untuk yang pertama kalinya.
Kemudian Empu akan melihat aku membangun sebuah taman yang indah sekali." berkata Ken Arok "indah sekali menurut keinginan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi aku tidak tahu, apakah selera keindahanku akan serupa dengan keinginan Akuwu.
"Ya, ya. Aku akan melihat taman itu kelak. Mudah2 an akun berkesempatan.
"Tentu. Empu tentu berkesempatan.
"Begitulah yang aku inginkan. Tetapi kadang-kadang yang terjadi bukanlah keinginan kita masing-masing.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ia tahu benar arti kata2 itu. Tetapi ia tidak mengerti kenapa Empu Gandring mengucapkannya.
"Empu" perkata Ken Arok kemudian "taman itu ti dak akan terlalu lama siap. Lihat, diujung dari parit induk ini, yang kelak akan terletak diluar daerah persawahan yang akan dibuat oleh orang-orang Panawijen, telah aku gali sebuah sendang buatan. Beberapa macam pepohonan telah aku tanam sejak kini, meskipun setiap sore masih harus disiram dan masih harus dilindungi dari terik matahari sampai air ini mengalir kesana. Disekitar sendang itulah nanti akan dibu at sebuah taman dengan kebun bunga yang indah. Beberapa jenis pohon pelindung telah pula aku tanam sejak sekarang.
Empu Gandring meng-angguk-angguk kepalanya "Ya, aku ingin sekali melihat taman itu kelak.
"Empu Gandring harus melihatnya dan memujinya. Biar orang lain, Tuanku Akuwu sendiri nanti mencelanya,
Empu Gandring tersenyum "Akuwu akan memuji bukan sekedar untuk menyenangkan hati angger. Tetapi aku yakin sejak sakarang, bahwa taman itu akan menjadi taman yang paling indah diseluruh Tumapel dan bahkan seluruh Kediri. Sebab taman itu dipersiapkan pada tanah yang masih kosong, yang dapat dibuat benar-benar menurut rencana.
"Tetapi rencananyalah yang jelek Empu.
Empu Gandring, Ki Buyut Panawijen dan bahkan Ken Arok sendiri tertawa.
"Empu" berkata Ken Arok tiba-tiba "aku telah mendengar bahwa Empu adalah seorang pembuat keris yang jarang ada duanya. Mungkin suatu ketika aku akan datang kepada Empu, untuk mendapatkan sebuah kanang2an. Seperti Empu lihat, sampai kini aku belum mempunyai sebuah keris yang belum berarti bagiku. Apa lagi sebuah keris yang disebut pusa ka. Karena itu, pada suatu saat aku mengharap, bahwa Empu akan memberi aku sipat kandel.
"Ah" Empu Gandring berdesah "Aku tidak lebih dari seorang pande besi biasa ngger. Tetapi aku mengharap ang ger datang kepadepokanku. Lulumbang. Mungkin aku dapat membuat sesuatu untuk angger. Tetapi sama sekali bukan se buah pusaka. Apa bila angger menghendaki sekedar pisau un tuk menebas alang2, nah, aku akan bersedia.
"Empu terlampau merendahkan diri.
"- Tidak ngger. Supaya angger tidak kecewa kelak.
Ken Arok tersenyum. Katanya "Baiklah. Suatu ketika aku. pasti datang ke Lulumbang. Tetapi sebaiknya EMpulah yang datang lebih dahulu kemari, melihat taman yang akan aku persembahkan kepada Tuanku Tunggul Ametung yang akan dijadikannya hadiah untuk permaisurinya tercinta. Tu nku putri Ken Dedes.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Sambil meng- angguk-angguk lemah ia memandangi padang yangluasitu. jauhdi atas pandangan matanya ia melihat langit seolah-olahbertemu dengan padang rumput yang kering itu. Terpercik didadanya serasa ia tidak akan dapat melihat padang itu lagi kelak.
Empu Gandring terkejut ketika ia kemudian mendengar Ken Arok berkata kepadanya "Kalau Empu tidak lagi dapat kami tahan, baiklah aku mengucapkan selamat jalan. Tetapi sebaiknya Empu menyiapkan dahulu bekal diperjalanan. Barangkali Ki Buyut dapat membantunya. Sekarang, maaf Empu, aku harus mulai bekerja bersama para prajurit Tumapel yang sudah memencar diri.
"O, silahkan, silahkan ngger. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi dikesempatan lain.
"Kami disini selalu menunggu kedatangan Empu. Kalau Empu tidak juga datang, maka aku akan datang ke Lulumbang.
Empu Gandring tersenyum "Akupun selalu menunggu ke datanganmu ngger. Dan aku juga selalu menunggu setiap berita tentang Mahisa Agni.
"Baik Empu. Aku akan selalu mengirimkan orangku ke Lulumbang apabila terjadi perkembangan keadaan. Nah, sekarang, maaf, aku harus mulai.
"Silahkan ngger" sahut Empu Gandring.
Ken Arok itupun kemudian meninggalkan Empu Gandring dan Ki Buyut Panawijen. Sejenak ia mengawasi para pra jurit Tumapel yang berpencaran. Sebagian dari mereka telah membawa pedati keujung induk susukan, untuk menyiapkan sebuah sendang buatan. Sebagian lagi menaikkan batu-batu bersama orang-orang Panawijen yang berani melintasinya karena ceritera tentang hantu Karautan yang menakutkan. Tetapi kini, disisi padang ini, berkeliaran orang-orang Panawijen, prajurit-prajurit dan pelayan dalam dari Tuma pel yang sedang sibuk bekerja menyelesaikan bendungan dan sebuah taman buatan.
Tetapi sebentar kemudian Ken Arok itupun berjalan cepat2 kebendungan yang sudah mulai dikerjakan. Ternyata ia tahu benar maksud Mahisa Agni. Se-olahs Ken Arok itu turut serta merencanakan pembuata.nnya, sehingga meskipun Mahisa Agni tidak ada, namun pembuatan bendungan itu sama sekali tidak terganggu dan berjalan seperti yang di kehendakinya.
Dalam pada itu Ki Buyut masih belum meninggalkan Empu Gandring yang segera akan meninggalkan padang Kara utan. Dipersilahkannya Empu Gandring untuk menyiapkan beberapa macam bekal makanan dan bumbung2 air.
Aku akan menyusur sungai ini Ki Buyut, sehingga aku tidak perlu membawa terlampau banyak persedian air.
"O" Ki Buyut meng-a.ngguk2kan kepalanya.
Ketika matahari merambat semakin tinggi, maka Empu Gandringpun telah siap di atas punggung kudanya. Sekali lagi ia minta diri kepada Ki Buyut Panawijen yang menungguinya. "Salamku buat ora.ng2 Panawijen dan para prajurit" katanya.
"Terima kasih dan Selamat jalan EMpu" desis Ki Bu yut Panawijen.
"Terima kasih" jawab Empu Gandring "semoga kita masing-masing mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.
Sesaat kemudian maka kuda Empu Gandringpun mulai bergerak. Ditinggalkannya perkemahan yang sedang sibuk dengan kerja. Beberapa pasang mata masih sempat melihat kuda itu menaburkan debu yang tipis. Semakin lama semakin jauh.
Sekali-sekali Empu Gandringpun berpaling pula. Dilihatnya be tapa kerja yang dimulai oleh Mahisa Agni itu menjadi se makin sibuk. Orang-orang Panawijen dan para prajurit berpencaran dalam kerja masing-masing. Bendungan, parit-parit dan sebuah taman seperti yang dihendaki oleh Tuanku Tunggul Ametung, agak jauh ketengah padang.
"Beberapa tahun lagi maka daerah ini akan menjadi sebuah padukuhan yang ramai. Panawijen sendiri akan segera dilupakan orang. Mereka akan meninggalkan padesan yang semakin lama menjadi kering, sedang daerah disepanjang sungai ini adalah daerah yang masih sedang berkembang." gumam Empu Gandring kepada diri sendiri.
Terbayang di matanya, induk susukan yang membelah daerah persawahan yang subur. Kemudian sebuah pategalan dan yang kelak akan menjadi padesan. Disebelah padukuhan itu dibangun sebuah taman yang indah. Bukan saja untuk kepentingan padukuhan atau padepokan yang akan lahir nanti, tetapi taman itu adalah taman Akuwu Tumapel. Bukankah dengan demi kian jalan antara Karautan dan Tumapel akan menjadi ramai pula" Jalan yang menghubungkan istana dengan se buah kenangan tentang tempat asal Ken Dedes, meskipun bukan yang sebenarnya, karena tempat yang sebenarnya Idah menjadi kering.
Empu Gandring menarik nafas dalam!".
"Tetapi apakah orang yang telah meletakkan hasrat yang pertama kali membuat bendungan dipadang Karautan itu kelak akan dapat melihatnya pula"
Sebuah desir yang lembut telah menggores jantung Empu Gandring. Namun kemudian, sekali lagi ia mencoba menguasai perasaannya. "Semuanya berada ditangan Yang Maha Agung. Apalagi nasib Mahisa. Agni, sedang nasibku sendiri pun tidak aku ketahui. Apakah aku masih juga diberi kesempatan untuk bertemu dengan kemanakanku itu atau tidak, aku tidak tahu.
Ketika Empu Gandring sekali lagi berpaling, maka per kemahan ditepi sungai itu seolah-olahtelah menjadi bintik2 yang sangat kecil. Ia sudah tidak lagi dapat melihat orang-orang yang sedang berpencaran bekerja dibawah sinar matahari yang sudah mulai menggatalkan kulit.
"Mudah-mudahan semuanya terjadi seperti yang dikehendaki "desisnya" semoga Yang Maha Agung memperkenankan.
Sekali Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Kemudian disentuhnya perut kudanya dengan sebuah ranting kecil yang dipakainya sebagai cemeti.
Kuda itupun kemudian berlari semakin kencang membelah padang Karautan yang sepi.
Sementara itu inataharipun merayap per-lahan-lahan menyusuri jalannya dilangit. Semakin lama semakin tinggi. Ketika di capainya puncak ketinggian, maka ditempuhnya jalannya di belahan langit disebelah Barat. Semakin lama semakin rendah.
Selembar2 awan hanyut dipermukaan wajah yang biru. Dan burung-burung berkeliaran menyambar makanannya.
Dalam pada itu, dua ekor kuda sedang berpacu memasuki jalan kota di Tumapel. Derap kakinya meng-hentak2 di atas tanah ber-batu-batu. Segumpal-segumpal debu yang putih melontar diudara.
Dua orang penunggang kuda yang tubuhnya basah oleh keringat telah memasuki gerbang kota. Keduanya adalah prajurit yang mendapat perintah dari Ken Arok, menyampaikan laporan kepada Akuwu Tunggul Ametung.
Di regol pertama istana Tumapel keduanya berhenti. Para penjaga yang melihat kedua prajurit yang tubuhnya menjadi kelabu karena debu yang melekat, tersenyum sambil ber tanya. "He, apakah kau baru saja ber-guling2 di atas pasir"
"Uh" sahut salah seorang dari mereka "panasnya bukan/nain. He, apakah masih ada sisa makanan disini",
Prajurit-prajurit yang berada di regol itu tertawa. "Apakah kau tidak membawa bekal apapun dari Panawijen.
"Aku tidak datang dari Panawijen, aku datang dari padang Karautan.
"Ya, begitulah maksudku.
"Yang ada dipadang itu hanyalah rumput-rumput kering dan batu-batu padas ber-gumpal-gumpal.
"Bohong" sahut salah seorang prajurit yang bertugas di regol halaman luar "kau sangka aku tidak tahu, berapa pedati penuh dengan beras dan j agung yang kalian bawa ke padang itu"
"Tetapi aku tidak sempat membawa barang segumpal pun. Sekarang beri aku makan.
Para penjaga regol itu tertawa. Dibawanya kedua kawan nya kegardu mereka.
"Aku masih mempunyai sebungkus meniran jagung.
"Jadilah. Sementara itu sampaikan lewat pelayan da lam yang bertugas, bahwa kami berdua ingin menghadap Akuwu Tunggul Ametung. Kami membawa pesan dari Ken Arok yang memimpin kami dipadang Karautan.
Telanlah makanan itu dahulu. Kalau tiba-tiba Akuwu memanggilmu saat ini juga, kau tidak akan menghadap sambil mengunyah meniran jagung.
"Akuwu tidak akan menerima aku segera. Aku masih akan sempat mandi dahulu.
"Pantas. "Apa yang pantas. "Kalau kau memang bermaksud mandi dahulu, seharus nya kau mandi sebelum makan.
"Sama saja. Mandi lalu makan atau makan lalu mandi.
Para prajurit itupun tertawa. Mereka membiarkan kedua kawannya makan se-kenyang2nya. Sementara itu salah se orang dari mereka pergi kehalaman dalam. Menyampaikau permohonan kedua prajurit itu untuk menghadap lewat me reka yang bertugas didalam.
Ternyata dugaan kedua prajurit yang datang dari padang Karautan itu meleset. Ternyata begitu Akuwu mendengar permohonan itu, segera befkata "Bawa mereka kemari.
Prajurit yang sedang makan itupun menjadi tergesa.2. Ketika mereka menelan gumpalan meniran jagung yang ter akhir, maka mereka memerlukan hampir segendi air untuk mendorong gumpalan itu masuk kedalam perut mereka.
Dengan tergesa-gesa mereka menyeka badan mereka yang kotor, membenahi pakaian mereka dan dengan tergesa-gesa pula mereka berjalan masuk lewat pintu regol halaman dalam.
"Akuwu hampir tidak sabar menunggu kalian" berkata prajurit yang berada di regol halaman dalam.
"Aku baru makan" sahut kedua prajurit itu sambil berjalan cepat.
Sejenak kemudian kedua prajurit itu telah duduk tu mungkul dihadapan Akuwu Tunggul Ametung diruang belakang. Sekali-sekali mereka menekan perut mereka yang terasa sakit diarah lambung karena mereka baru saja makan kenyang2.
"Apakah kalian membawa pesan dari Ken Arok" bertanya Akuwu Tunggul Ametung.
"Hamba tuanku" sahut kedua prajurit itu.
"Tentang bendungan dan taman"
"Hamba tuanku, tetapi juga tentang yang lain.
"Yang lain itulah yang pasti akan menarik perhatian. Tentang bendungan dan taman, bukankah kau akan berkata bahwa keduanya telah dikerjakan dengan lancar"
"Hamba tuanku. "Nah, kalau begitu, tentang yang lain itulah yang aku ingin mendengar. Coba katakan, tentang apa" Kekurangan makan" Penyakit"
"Tidak tuanku. "Kalau begitu tentang apa"
"Tentang kakanda Tuan Puteri Ken Dedes.
"Mahisa Agni "Ya. "Kenapa Mahisa Agni" Apakah Ken Dedes perlu mendengarnya juga"
"Hamba tuanku. Tetapi hamba tidak tahu, apakah Tuan Puteri Ken Dedes dapat langsung mendengarnya dari mulutku.
Tunggul Ametung mengerutkan alisnya. Terasa sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Dan tiba-tiba ia teringat kepa da permintaan Ken Dedes beberapa saat yang lalu. Gadis itu mengatakan bahwa kakaknya sedang terancam oleh kedua orang yang mengerikan, Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Gadis itu pernah berkata kepadanya dan minta perlindungan bagi kakaknya dari kedua iblis dari Kemundungan itu.
Dengan demikian maka Akuwu Tunggul Ametung itu menjadi berdebar-debar. Wajahnya yang keras tampak menjadi tegang. Sedang kedua prajurit yang menghadapnya, duduk tumungkul dalam-dalam.
Tetapi kedua prajurit itu terkejut dan hampir saja mereka terlonjak ketika tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung membentaknya "Kenapa kalian diam saja he" Soal yang lain itu soal apa"
"Oh" sahut salah seorang dari kedua prajurit itu
"Ampun tuanku. Maksud hamba, apakah hamba harus menyampaikan sekarang, atau hamba masih harus menunggu Tuan Puteri Ken Dedes.
Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpikir. Lalu katanya "Katakan Katakan sekarang.
Sejenak kedua prajurit itu saling berpandangan. Namun sekali lagi mereka terkejut ketika Akuwu itu berteriak
"Sekarang. Kau dengar.
"Ya, ya tuanku" berkata prajurit itu. Meskipun ia sudah biasa melihat sikap Tunggul Ametung, namun terasa tangannya masin juga gemetar "hamba mendapat pesan dari kakang Ken Arok untuk hamba persembahkan kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, berita tentang kakanda Tuan Puteri Ken Dedes.
"Sudah kau katakan. Sudah kau katakan" potong Tunggul Ametung "tentang Mahisa Agni. Kenapa Mahisa Agni itu"
Prajurit itu menggigit bibirnya. Namun kawannya cepat2 menyambung "Hamba tuanku. Sebenarnyalah memang soal kakanda Tuan Puteri yang sedang berada dalam bahaya.
"Aku sudah mengerti. Kalau tidak demikian kalian tidak akan datang kemari. Tetapi bahaya itu bahaya apa"
"Tuanku" sahut prajurit yang seorang "Telah lama kakanda Tuan Puteri Ken Dedes dibayangi oleh dua orang yang berbahaya baginya, yang selama ini berusaha untuk menangkap Mahisa Agni.
"Maksudmu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat"
Kedua prajurit itu saling berpandangan sejenak. Ternyata Akuwu Tunggul Ametung telah mendengar nama itu.
"Benar" "Hamba tuanku" hampir bersamaan kedua prajurit itu menyahut "Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
"Dan kini Mahisa Agni berhasil ditangkapnya"
"Hamba tuanku. "Setan alas" Akuwu Tunggul Ametung itu mengum pat keras2 sambil meloncat berdiri. Tangannya mengepal dan giginya gemeretak. Sambil meng-ayun2kan tangannya dekat se kali di atas kepala kedua prajurit yang tunduk itu Akuwu Tunggul Ametung berteriak "Bukankah dipadang Karau tan ada sepasukan prajurit Tumapel di bawah pimpinan Ken Arok" Prajurit macam kalian ini" Lalu apakah genuanya kalian berada di padang itu, he" Apakah kalian tidur saja atau kalian berlari ketakutan hanya karana mendengar nama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat" O, alangkah malunya aku mempunyai prajurit "eperti kalian. Kalian yang hanya dapat makan dan tidur, tetapi tid^k berani menengadahkan dada di badapan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat"
Kedua prajurit itu tidak legera menjawab. Mereka telah mengerti benar-benar sifat Akuwunya. Apa bila mereka berani memotong kata-kata itu, maka kepala mereka pasti akan di sentuh oleh tinju yang sedang terayun2. Karena itu maka mereka membiarkan saja Akuwu Tunggul Ametung itu ber bicara terus.
Akhirnya Akuwu Tunggul Ametung itu terdiam juga.
"Ampun tuanku" berkata seorang dari kedua praju rit itu setelah Akuwu Tunggul Ametung terdiam diri "yang terjadi itu benar-benar di luar kemungkinan pertolongan kami.
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. "Kenapa?" desisnya.
"Kebo Sindet berhasil menangkap Mahisa Agni tidak di padang Karautan, tetapi di padepokan Panawijen. -
"Apakah Mahisa Agni berada di padepokan Panawijen"
"Hamba tuanku" jawab prajurit itu.
"Bagaimana hal itu bisa terjadi" -
Maka prajurit itupun kemudian menyampaikan pesan Ken Arok dan Empu Gandring kepada Akuwu Tunggul Ametung. Dengan hati-hati dikatakannya peristiwa itu berurutan seperti yang mereka dengar. Dikatakannya pula bahwa Wong Sarimpat kini telah terbunuh, dalam perkelahian melawan Empu Sada, guru Kuda Sempana yang ingin juga membebaskan Mahisa Agni.
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kini telah duduk kembali. Dengan wajah yang tegang ia mencoba membayangkan apa yang telah terjadi atas Mahisa Agni.
"Ah" desahnya "anak itu kurang hati-hati. Kenapa ia tidak membawa beberapa orang prajurit bersamanya ketika ia pergi ke Panawijen"
Sekali lagi Akuwu berdiri dengan gelisahnya. Sambil berpaut tangan di punggungnya ia berjalan hilir mudik di dalam ruangan itu. Kepalanya ditundukkannya, seolah-olahsedang memandangi ujung2 kakinya berganti-ganti.
Tiba-tiba Akuwu itu berhenti, berputar menghadap kearah kedua prajurit itu "Sst" desisnya "jangan terlampau keras. Nanti Ken Dedes mendengarnya. Ia tidak boleh menjadi gelisah karenanya. Aku sendirilah yang akan menyampai kan berita ini kepadanya dengan hati-hati, supaya ia tidak menjadi bingung dan cemas. Rencana yang sudah aku susun selama ini tidak boleh terganggu karenanya.
Kedua prajurit itu tersenyum di dalam hati. Bukankah Akuwu Tunggul Ametung sendiri yang berteriak-teriak demikian kerasnya" Tetapi kedua prajurit itu menjawab hampir bersamaan "Hamba tuanku.
"Bagus. Para tetua Tumapel sudah sibuk menentukan hari perkawinanku dengan gadis itu. Hilangnya Mahisa Agni, jangan mcnjadi sebab tertundanya perkawinan itu. "Akuwu itu terdiam sejenak. Alisnya menjadi berkerut-merut. Dan tiba-tiba ia berteriak "He, aku akan menyiapkan pasukan segelar sepapan. Mahisa Agni harus diketemukan segera. Witantra sendiri harus memimpin pasukan itu.
Kedua prajurit itu sama sekali tidak terkejut. Mereka sudah menyangka bahwa Akuwu akan mengambil sikap itu dengan serta merta.
Dan kedua prajurit itu mendengar Akuwu melanjutkan
"Ah, tidak, tidak perlu segelar sepapan. Bukankah yang di hadapi hanyalah seorang Kebo Sindet. Sebenarnya prajurit-prajurit yang ada di padang Karautan saja telah cukup untuk me nangkapnya. Apalagi di sana ada pula Empu Gandring.
Kedua prajurit itu tidak segera menjawab. Mareka masih menundukkan kepala mereka.
"He, kenapa kalian diam saja" Bagaimana pendapatmu"
"Ampun tuanku" sahut salah seorang dari mereka.
"Sebenarnya kami di padang Karautanpun akan mampu me nangkapnya bersama kakang Ken Arok dan Empu Gandring apabila persembunyiannya telah kami ketemukan.
"Jadi persembunyian itu belum kalian temukan" Jadi bagaimana katamu tadi" Bukankah kau berkata bahwa persembunyian Kebo Sindet itu telah diketahui, diputari sebuah rawa-rawa yang berlumpur"
"Hamba tuanku. Maksud hamba, bahwa sebenarnya tuanku tidak perlu menyiapkan sepasukan yang lain.
Tetapi bagaimana yang terjadi. Apakah kalian berbuat sesuatu atas Mahisa Agni" Kalau kalian dapat mengatasi per soalan itu sendiri, kalian tiadak akan ber-lari2 datang kemari melaporkan hal itu kepadaku. Kalian pasti akan bertindak dahulu, baru setelah semuanya selesai, kalian mempertanggung jawabkannya kepadaku. Tetapi sekarang kalian berlari ke padaku mengadukan persoalan itu. Nah, apa katamu"
"Ampun tuanku." jawab salah seorang prajurit itu "hamba telah menyampaikan pesan dari kakang Ken Arok dan Empu Gandring, bahwa saat ini kekerasan tidak akan menguntungkan bagi Mahisa Agni itu sendiri.
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Sambil meng-anggukskan kepalanya ia berkata "Ya, ya. Aku mendengar. Tetapi apakah Mahisa Agni itu akan dibiarkan saja dalam keadaannya. Sedang orang yang akan berusaha membebaskannya itu akan dapat melakukan pekerjaannya berapa bulan, berapa tahun lagi" Itu akan terlampau lama. Sebentar lagi aku akan melangsungkan upacara kenegaraan. Apabila saat itu Mahisa Agni masih belum diketemiikan, maka aku menjadi cemas, Bahwa Ken Dedes akan tergang gu perasaan dan kegembiraannya.
Kedua prajurit itu meng-anggukskan kepalanya. Namun salah seorang dari mereka mencoba berkata "Tetapi tuan ku, apabila terjadi sesuatu yang lebih dahsyat pada Mabisa Agni itu, maka 2 Tuan Puteri akan menjadi lebih berduka.
"Ya, ya. Kau benar." Akuwu Tunggul Ametung itu berhenti sejenak. Ia kini berdiri di muka kedua prajurit yang duduk menunduk dalam-dalam "peristiwa ini adalah peristi wa yang pahit bagiku. Tetapi upacara kenegaraan dari per kawinan Akuwu Tumapel tidak boleh tertunda. Sebagian da ri persiapan telah dilakukan dan para tetua Tumapelpun telah menentukan waktunya.
Kedua prajurit itu tidak menyahut.
"Lalu bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya Akuwu itu tiba-tiba.
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Mereka sama sekali tidak mengerti bagaimana mereka menjawab perta. nyaan itu.
Mereka mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mereka men dengar Akuwu itu berkata "Ya, ya. Tidak seharusnya aku bertanya mengenai hal-hal yang sulit kepada kalian. Nah, seka rang kalian boleh beristirahat. Laporan kalian telah aku te rima dan pesan Empu Gandring dan Ken Arok dapat aku me ngerti. Aku tidak akan segera mempergunakan kekerasan. Tetapi aku perintahkan kepada Ken Arok untuk berusaha menurut jalan yang se-baik-baiknya, agar Mahisa Agni dapat segera diselamatkan. Dan, sesuai dengan perintahku yang dahu lu, taman yang sedang kalian kerjakan itupun harus segera selesai pula.
"Hamba tuanku" sembah kedua orang prajurit itu "taman itu telah kami kerjakan. Beberapa jenis pohon-pohonan yang akan menjadi pelindung telah tumbuh subur.
"Bagus. Bagus. Aku percaya kepada kalian dan Ken Arok. Sekarang pergilah. Sore ini aku harus bertemu dengan Ken Dedes. Ia tidak boleh terkejut Aku akan mencoba mengatakan kepadanya.
"Hamba tuanku." berkata salah seorang prajurit itu "perkenankanlah hamba mohon diri.
"Pergilah. Kau harus segera kembali ke padang Karautan. Kau tidak perlu menghadap aku lagi kecuali apa bila aku memanggil kalian.
"Hamba tanku. "Kebutuhan kalian tidak pernah dilupakan. Kalau kali an memerlukan orang-orang baru, maka segera aku akan mengirimkan.
"Kakang Ken Arok tidak berpesan demikian tuanku.
"Baik. Pergilah. Taman itu tidak boleh terlambat.
Kedua prajurit itupun kemudian meninggalkan istana. di halaman luar mereka mengambil kuda-kuda mereka.
"Terima kasih atas makanan yang kalian berikan" berkata prajurit itu kepada penjaga.
Kau tidak mandi dahulu" bertanya salalah seorang prajurit yang berjaga-jaga di rogol itu.
"Buat apa aku mandi sekarang. Aku sudah menghadap Akuwu meskipun tubuhku seperti gadung yang dilumuri abu.
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu sekarang kau mau apa"
"Kembali" sahut kedua prajurit itu hampir bersamaan.
"Kembali kepadang Karautan"
"Oh, aku masih belum gila" sahut salah seorang prajurit itu" kembali pulang. Menemui anak isteri. Mandi, Makan yang baik tidak tergesa-gesa dengan lauk yang lezat. Minum wedang jae, lalu tidur nyenyak. Besuk aku baru kempali ke padang yang kering dan panas itu.
Sesaat kemudian prajurit-prajurit itupun meninggalkan regol istana menyusur jalan-jalan kota pulang kerumah masing-masing. Mereka mempergunakan malam untuk berkumpul di antara keluar ga mereka yang selama ini mereka tinggalkan, berjemur di si ang hari dan berembun di malam hari di padang Karautan.
Diistana, Akuwu Tunggul Ametung berjalan hilir mudik dengan gelisahnya di biliknya. Hilangnya Mahisa Agni akan dapat mengganggu rencana perkawinan yang telah dipersiapkan oleh orang-orang tua istana Tumapel.
Sebenarnya apa bila Akuwu menghendaki, maka perubahan itu tidak akan dapat dihalangi oleh siapapun. Namun Akuwu sendiri sama sekali tidak ingin perkawinannya tertunda. Karena itu maka ia harus mencari akal, supaya semua rencananya dapat berlangsung.
Tanpa sesadarnya maka Akuwu Tunggul Ametung itu telah mengumpat di dalam hatinya. Mengumpati Kuda-Sempana, Kebo Sindet, Wong Sarimpat dan orang-orang yang telah mereka peralat untuk memancing Mahisa Agni.
"Tetapi ternyata Mahisa Agni itu terlampau bodoh desisnya "ia mau saja dituntun seperti seekor kerbau yang telah dicocok hidungnya, masuk kedalam perangkap. O, alangkah bodohnya. Dan tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung itu mengepalkan tangannya dan ditinjunya telapak tangan kirinya sendiri kuat-kuat. "Bodoh, bodoh" desisnya pula "bukan saja Mahisa Agni, tetapi Ken Arok juga bodoh. Dan Empu Gandring itu juga bodoh. Mereka bertiga bersama-sama masuk ke dalam perangkap yang telah dipasang oleh Kebo Sindet. Hanya orang-orang sebodah Mahisa Agni, Empu Gandring dan Ken Arok sajalah yang dapat dipancing seperti itu.
Nafas Akuwu Tunggul Ametung itu menjadi semakin cepat mengalir.
"Persetan. Persetan" dan Akuwu Tunggul Ametung itu mencoba merebahkan dirinya di atas pembaringannya. Tetapi sejenak kemudian ia sudah berdiri lagi dan berjalan mondar-mandir.
Tiba-tiba ia tidak tahan lagi. Terdengar suaranya menggelegar memanggil pelayan yang sedang berjaga-jaga di bawah tangga serambi istana. "He, siapa yang berada di situ"
Ber-hari-hari pelayan itu naik dan duduk di depan pintu bilik Akuwu Tunggul Ametung.
Tetapi pelayan itu terkejut ketika ia mendengar Akuwu itu berteriak lagi "He, apakah pelayan-pelayan itu sudah tuli"
Tanpa sesadarnya, maka dengan serta merta pelayan itu menyafaut cukup keras "Hamba tuanku. Hamba telah menghadap.
Maka Akuwu Tunggul Ametunglah yang terkejut. Tidak disangka-sangkanya bahwa di belakang pintu itu sudah duduk seorang pelayan yang menjawab panggilannya dengan keras pula.
"Apa" teriak Akuwu itu tiba-tiba" kau berani membentak aku"
"Ampun, Ampun tuanku" pelayan itu tergagap "Hamba tidak sengaja. Hamba terkejut dan karena itu maka suara hamba menjadi agak terlampau keras -
"Masuklah" suara Akuwu Tunggul Ametungpun menjadi rendah dan lambat.
Perlahan-lahan pelayan itu mendorong pintu bilik Akuwu Tunggul Ametung, kemudian duduk bersimpuh sambil menundukkan kepalanya.
"Katakanlah kepada emban pemomong Ken Dedes, aku ingin bertemu.
Pelayan itu menyembah, katanya "Hamba tuanku. Apakah Tuan Puteri Ken Dedes harus menghadap.
Akuwu Tunggul Ametung berpikir sejenak.
"Tidak" katanya sambil menggelengkan kepalanya "aku akan datang kepadanya sebentar lagi.
"Hamba tuanku." sembah pelayan itu, yang kemudian meninggalkan ruangan itu untuk menyampaikan pesan Akuwu Tunggul Ametung kepada Ken Dedes.
Ketika pelita dan lampu-lampu di dalam istana Tumapel sudah mulai dinyalakan, serta para pelayan sudah selesai membenahi bilik-bilik dan ruangan-angan di dalam istana itu, maka Akuwu Tunggul Ametung berjalan menyusur ruang dalam pergi ke bilik Ken Dedes. Dengan hati yang gelisah Akuwu melangkah se tapak demi setapak. Di-reka-rekanya kalimat-kalimat yang akan disampaikannya kepada Ken Dedes supaya berita tentang hilangnya Mahisa Agni bagi Ken Dedes tidak mengejutkan dan seakan-akan hanya merupakan sesuatu peristiwa kecil saja.
Debar di dada Akuwu Tunggul Ametung menjadi semakin cepat ketika ia melihat Ken Dedes telah menunggunya di ruang tengah di depan biliknya.
Dengan hormatnya gadis itu duduk bersimpuh di atas sehelai tikar pandan yang dianyam ber-bunga-bunga di belakangnya duduk emban tua pemomongnya yang setia, yang hampir tidak pernah terpisah dari padanya.
"Silahkan tuanku" Ken Dedes mempersilahkan Akuwu yang masih saja berdiri. Debar jantungnya hampir-hampir tidak dapat disembunyikannya lagi.
Namun dicobanya untuk tetap tenang. Perlahan-lahan diletakkannya tubuhnya di atas sebuah tempat duduk rendah persegi empat yang terbuat dari kayu berukir. Namun sejenak Akuwu itu sama sekali tidak mengucapkan kata-kata. Mulutnya serasa menjadi berat, dan darahnya menjadi seolah-olahsemakin cepat mengalir.
Ken Dedes dan emban tua pemomongnya merasa aneh melihat sikap Akuwu Tunggul Ametung itu. Sikap yang tidak biasa dalam hidupnya se-hari-hari. Namun justru karena itu Ken Dedes menjadi segan dan takut untuk bertanya lebih dahulu.
Baru sejenak kemudian, setelah jantung Akuwu Tunggul Ametung menjadi agak tenang ia berkata "Ken Dedes, kedatanganku ini sama sekali tidak membawa suatu persoalan yang penting. Aku masih belum mengambil keputusan-keputusan baru.
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Ia tidak segera tahu arah pembicaraan Akuwu Tunggul Ametung yang tidak tentu ujung dan pangkalnya itu.
Karena itu maka untuk sejenak Ken Dedes masih saja berdiam diri sambil menunggu Akuwu Tunggul Ametung menjelaskan maksudnya. Tetapi Akuwu Tunggul Ametung itupun kemudian berdiam diri sambil duduk tepekur. Ia sedang men cari kata-kata yang se-baik-baiknya untuk memberitahukan kepada Ken Dedes tentang kakak yang hilang.
Dengan demikian maka ruangan itu menjadi sepi. Ha nya desah nafas mereka sajalah yang terdengar seolah-olahsaling bersahutan. Betapa debar jantung Ken Dedes menjadi semakin cepat, tetapi ia tidak bereni bertanya sesuatu" pada Akuwu yang agaknya sedang disaput oleh kekalutan pi kiran.
Baru sejenak kemudian Akuwu itu berkata "Ken De des. Aku hanya ingin memberitahukan kepadamu, bahwa persiapan hari perkawinan itu berjalan dengan lancar.
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi terasa bahwa bukan itu yang ingin dikatakan oleh Akuwu Tunggul Ametung. Meskipun demikian ia menjawab "Hamba tuanku.
"Apakah kau bergembira karenanya"
"Hamba tuanku. Tentu hamba bergembira karenanya.
"Aku sudah menyangka" gumam Akuwu seolah-olahh pada diri sendiri.
Tetapi Akuwu itu sekali lagi terdiam. Dengan kaku ia duduk menundukkan kepalanya. Ia masih belum juga menemukan kata-kata yang dianggapnya baik untuk memberitahukan kepada Ken Dedes tentang Mahisa Agni.
Dalam pada itu Ken Dedespun menjadi semakin tegang. Terasa sesuatu yang baginya paiti cukup penting.
"Ken Dedes" tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung berdesis "hari perkawinan itu sudah ditentukan oleh tetua "Tumapel. Kira-kira setengah bulan lagi akan dilakukan upacara kenegaraan. Aku sama sekali tidak ingin saat-saat yang kita tunggu-tunggu itu terganggu oleh apapun juga. Bukankah begitu" Kau akan segera menjadi seorang permaisuri, bukan sekedar calon permaisuri. Kedudukanmu di dalam istana ini menjadi jelas. Tidak seperti sekarang. Kau masih seorang bakal permaisuri yang tidak mempunyai kekuasaan sepenuhnya. Para emban dan pelayan masih saja menganggapmu orang asing di sini.
"Ken Dedes mengangguk hormat sambil menjawab "Hamba tuanku. Hamba akan berterima kasih sekali atas per hatian tuanku. Tetapi sebenarnyalah bahwa para emban dan pelayan bersikap sangat baik kepadaku.
"Ya., ya" Akuwu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian ia berkata "Aku memang mengharap demikian, tetapi kau akan menjadi lebih mantap berada di istana ini sebagai seorang permaisuri. Seorang yang berhak sepenuh nya atas istana Tumapel. Dan tak seorangpun yang akan berani membantah perintahmu. Sebab kekuasaanmu. Sebab kekuasa anmu tidak ada bedanya dengan kekuasaanku sendiri di dalam istana ini. Apakah kau dapat mengerti Ken Dedes"
"Ken Dedes menjadi heran mendengar pernyaan itu. Hampir-hampir ia tidak dapat menahan perasaannya. Ia mencari semakin yakin bahwa ada sesuatu yang masih belum diucapkan oleh Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk mendesaknya.
"Akuwu Tunggul Ametung itu berkata pula dengan nada yang datar "Karena itu semuanya harus berlangsung tepat pada waktunya. Apapun yang terjadi." Tiba-tiba suaranya meninggi "Bukankah begitu Ken Dedes".
"Ken Dedes yang menjadi semakin gelisah menyahut- Hamba tuanku. Hamba menjunjung segala titah tuanku.
"Akuwu Tunggul Ametung mengangangguk anggukkan kepalanya "Bagus, bagus Ken Dedes. Tetapi ?" kata-kata Akuwu Tunggul Ametung terputus.
"Namun dengan demikian Ken Dedes benar-benar tidak dapat menahan diri lagi. Betapa ia dicengkam oleh keseganan dan ketakutan, namun terdorong juga pertanyaan dari mulutnya Tuanku, apakah sebenarnya yang ingin tuanku katakan"
"Hem" Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas dalam dalam. Tiba-tiba ia berdiri dan berjalan hilir mudik di ruangan itu. Sekali-sekali dipandanginya wajah Ken Dedes dan sekali-sekali wajah emban pemomongnya. Mula-mula ia ingin menyuruh emban itu pergi, tetapi niat itu diurungkannya. Mungkin Ken Dedes memerlukannya untuk menghiburnya apabila ia menjadi terkejut karenanya
Namun dalam pada itu, terasa dada Akuwu Tunggul Ametung sendiri menjadi pepat. Ia ingin segera mengatakan nya kepada Ken Dedes, tetapi ia tidak segera menemukan ca ra yang baik.
Tetapi dalam pada itu Ken Dedes telah mendesaknya lagi "Tuanku, apakah tuanku akan mengatakan sesuatu"
"Ya, ya" jawab Tunggul Ametung "ada yang akan aku katakan kepadamu.
"Hamba telah bersedia menerima titah tuanku.
"Baik, baik" jawab Tunggul Ametung.
Tetapi Tunggul Ametung tidak segera mengatakan sesua tu. Tunggul Ametung masih saja berjalan mondar mandir sambil mempermainkan jari2 tangannya.
Demikianlah maka ruangan itu menjadi sepi tegang. Wajah2 mereka yang berada dalam ruangan itu menjadi tegang pula. Bahkan dada Akuwu Tunggul Ametung serasa hampir meledak.
Kini Ken Dedes menjadi yakin bahwa ada sesuatu iang penting baginya. Karena Akuwu Tunggul Ametung tidak se gera mengatakannya, maka dicobanya untuk menyelusur setiap persoalan yang ada padanya. Persoalan-persoalan tentang dirinya, ten tang hubungannya dengan Akuwu Tunggul Ametung, dan tentang setiap orang yang ada di sekitarnya. Bahkan Ken Dedes itu menyangka, bahwa ada orang-orang yang tidak menyukai kehadirannya di dalam istana ini. Mungkin para emban dan mungkin para pelayan. Sekilas teringatlah ia kepada seorang dukun tua, Nyai Puroni. Apakah ada hubungannya dengan orang itu"
Namun tiba-tiba seperti petir yang meledak di atas kepalanya ia mendengar suara Akuwu yang sendat, namun seakan akan begitu saja meloncat dari mulutnya "Ken Dedes, soal itu adalah soal Mahisa Agni,
Justru sejenak Ken Dedes terbungkam. Segera ia menghubungkan persoalan Mahisa Agni itu dengan kecemasan dan ketakutan yang selama ini membayanginya. Padang Karautan yang ganas dan orang-orang yang selalu mengancamnya.
Namun bukan saja Ken Dedes yang menjadi cemas dan gemetar. Tetapi emban tua pemomong Ken Dedes itu pun menjadi gemetar pula. Terasa dadanya bergolak dan seluruh tubuhnya menjadi dingin. Hampir saja terloncat dari mulutnya, pertanyaan tentang keadaan anak muda itu selanjutnya. Untunglah bahwa ia masih mampu menguasai dirinya, sehingga betapapun juga ia masih tetap berdiam diri.
Kesenyapan sekali lagi mencengkam ruangan itu. Akuwu Tunggul Ametung kini duduk mematung, dan sedang Ken Dedes dan emban pemomonya dengan gelisah dan cemas, menuggu apa yang akan dikatakan oleh Akuwu itu lebih lanjut.
"Ken Dedes" suara Akuwu itu kemudian memecah sepi meskipun belum dapat disusunnya dengan baik "tetapi jangan menjadi cemas dan takut. Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang tangguh tanggon, sehingga ia pasti akan mampu menolong dirinya sendiri. Apalagi apabila ada orang lain yang membantunya, maka ia pasti akan segera melepaskan diri.
Meskipun Akuwu Tunggul Ametung belum mengatakannya, namun segera Ken Dedes dapat menangkap maksudnya. Karena itu maka dengan gemetar Ken Dedes berkata "Tuanku, apakah maksud tuanku, bahwa kakang Mahisa Agni telah jatuh ketangan orang-orang yang selama ini memusuhinya.
Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia ragu-ragu, tetapi kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil bergumam "Benar Ken Dedes.
"O .- Sekali lagi Ken Dedes terbungkam.
Wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang. Dan tiba-tiba saja terasa setitik air mengambang dimatanya.
"Jadi" katanya "sekarang kakang Mahisa Agni tidak berada diantara orang-orang Panawijen"
Akuwu Tunggul Ametung menganggukkan kepalanya pula. Jawabnya "Ken Dedes. Ternyata orang-orang yang ingin mencelakainya mempunyai seribu macam cara. Tetapi jangan takut. di padang Karautan terdapat sepasukan prajurit Tumapel. Empu Gandring, paman kakakmu itu ada di sana pula. Sebentar lagi mereka pasti akan berhasil melepaskan Mahisa Agni dari tangan para penjahat itu.
"Tetapi ternyata para prajurit dan Empu Gandring tidak dapat melindunginya.
"Jangan takut. Empu Sada, Empu Purwa, Panji Bo jong Santi akan membantu melepaskannya. Aku akan minta kepada Witantra untuk menghubungi gurunya itu berkata Akuwu tanpa dipertimbangkannya dalam-dalam. Seandainya mereka tidak berhasil, maka aku sendiri akan mencarinya Tetapi .. .
"Tetapi" Ken Dedes mengulangi.
- Ken Dedes" berkata Akuwu Tunggul Ametung "hilangnya Mahisa Agni jangan menjadi sebab terganggunya upacara yang telah ditentukan oleh para tertua Tumapel.
Dengan serta-merta Ken Dedes mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu segera tunduk kembali. Namun betapa perasaan kecewa menyala di dadanya. Dalam kekalutan perasaan itu ia masih juga mendengar Akuwu Tunggul Ametung ber kata tentang diri sendiri. Tentang kepentingannya sendiri. Apakah ia akan dapat berbuat seperti itu. Duduk bersanding dalam upacara kebesaran, di hadap oleh para tetua, para pemimpin pemerintahan, para Senopati dan kemudian di elu-elukan oleh rakyat Tumapel, sedang saat itu nyawa kakaknya terancam" Meskipun Mahisa Agni bukan kakaknya sendiri, tetapi keadaannya sama sekali tidak berbeda. Apalagi telah beberapa kali Mahisa Agni langsung menyelamatkannya dari bencana yang pada saat-saat itu selalu membayanginya. Bukankah bahaya yang selalu mengikuti kemana Mahisa Agni pergi se karang ini adalah akibat dari keadaan pada waktu itu" Akibat dari nafsu yang gila dari Kuda-Sempana"
Terasa betapa dadanya menjadi pepat. Kekecewaan, ke cemasan dan ketakutan bergulat di dalam dadanya. Ketika ia mencoba sekali lagi mengangkat wajahnya memandangi Aku wu Tunggul Ametung, maka dilihatnya Akuwu itu kini telah berdiri di muka pintu, memandangi titik-titik di kejauhan. Seolah-olah belum pernah dilihatnya ukiran pada tiang-tiang istana dan dinding-dinding sentong-sentongnya. Dalam sorot lampu yang ke merah-merahan, wa jah Akuwu yang tegang itu tampak membeku seperti sebuah patung tembaga.
Dan Ken Dedespun telah dapat menyelesaikan sendiri kalimat Akuwu Tunggul Ametung yang terputus "Tetapi, hal itu akan aku lakukan setelah upacara kebesaran.
Tetapi waktu itu masih cukup lama. Hampir sebulan.
Apakah dalam waktu yang selama itu, tidak terjadi kemungkinan2 yang berbahaya bagi Mahisa Agni"
Dalam kekalutan perasaan Ken Dedes mendengar Akuwu Tunggul Ametung berkata "Ken Dedes. Sebcnarnya aku dapat mengerahkan segenap pasukanku untuk mencari Mahisa Agni. Tetapi Empu Gandring berpendapat lain. Hal itu akan dapat membahayakan nasib Mahisa Agni sendiri.
Tunggul Ametung berhenti sejenak. Kini ia berputar dan berjalan mendekati Ken Dedes "Ken Dedes. Kau tahu apakah maksud Kebo Sindet mengambil Mahisa Agni" Orang itu sama sekali tidak mempunyai persoalan dengan kakakmu. Ia mengambil Mahisa Agni untuk memerasmu. Kebo Sindet pasti akan menukarkan Mahisa Agni dengan harta benda yang akan disebutkannya kelak. Karena itu jangan takut bahwa Mahisa Agni akan terbunuh, Ia pasti akan tetap hidup. Kebo Sindet pasti sedang sibuk mencari jalan untuk dapat menghubungimu. Mungkin ia akan mempergunakan Kuda- Sempana atau orang Kemundungan yang lain.
Ken Dedes tidak menjawab. Terasa titik-titik air di matanya menjadi semakin deras. Betapa ia mencoba menahannya, namun terasa beberapa tetes jatuh di tangannya yang gemetar.
"Kau dapat mengulur waktu. Kalau permintaannya tidak terlampau gila, maka kita akan segera dapat memenuhi tanpa banyak persoalan. Tetapi kalau perlu pasukanku siap untuk berbuat.
Terasa dada Ken Dedes menjadi semakin tergetar. Ia dapat mengerti dengan se-baik-baiknya maksud Akuwu Tunggul Ametung, meskipun cara mengatakannya tidak berurutan dan kurang teratur karena jantung Akuwu Tunggul Ametung sendiri berdentangan tidak henti-hentinya.
Ken Dedes tahu benar, bahwa ia harus mengulur waktu supaya Mahisa Agni selamat sampai upacara perkawinannya selesai. Sesudah itu barulah dipikirkan, cara untuk membebaskannya. Tetapi Akuwu Tunggul Ametung tidak memikirkannya, bagaimanakah akibatnya apabila Kebo Sindet berbuat sesuatu sebelum waktu itu tiba. Kebo Sindet tidak mau menunggu sampai hari perkawinan itu selesai. Bahkan seandainya Kebo Sindet dapat dipaksanya untuk membiarkan persoaln itu sampai sesudah upacara perkawinannya, maka apakah ia dapat duduk bersanding sebagai seorang mempelai yang paling terhormat di seluruh Tumapel, sedang kakaknya, Mahisa Agni berada di ujung maut"
Dalam keheningan itu, yang terdengar hanyalah desah nafas Ken Dedes yang semakin cepat. Ketika ia berpaling dilihatnya emban pemomongnya duduk seperti sebuah patung yang beku. Tetapi yang kemudian dengan tergesa-gesa menyeka matanya yang basah.
"Emban itu menangis juga" desis Ken Dedes di dalam hatinya "iapun pasti merasa iba. Ia mengenal Mahisa Agni sejak kanak-anak. Karena itu, maka iapun pasti merasa kehilangan.
Namun Ken Dedes tidak berani terlampau banyak berbuat. Akuwu Tunggul Ametung mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas di Tumapel.
Meskipun demikian ia beranikan dirinya untuk sekedar bertanya "Tuanku. Bagaimanakah seandainya terjadi sesuatu atas kakang Mahisa Agni sebelum perkawinan dan upacara kenegaraan itu berlangsung"
"Tidak. Tidak akan terjadi" sahut Tunggul Ametung.
"Tetapi apakah aku akan menjadi seorang mempelai tanpa seorang anggauta keluargaku yang masih tersisa menunggui aku"
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Teta pi kemudian ia menggeleng "Itu tidak penting Ken Dedes Kau akan menjadi seorang permaisuri. Tak ada persoalan yang dapat mengganggu gugat kedudukanmu. Aku memegang seluruh kekuasaan di Tumapel.
"Hamba tuanku, namun perasaan hamba selalu terganggu, sehingga hamba tidak merasa tenteram.
"Lupakan semuanya. Hari-harimu sendiri lebih penting dari segalanya.
Dada Ken Dedes berdesir. Sekali lagi Akuwu berpikir tentang dirinya sendiri tanpa mengingat keadaan orang lain.
"Tuanku" Ken Dedes kini mencoba untuk mencari jalan lain untuk menyelamatkan Mahisa Agni" tak ada orang lain tempat hamba mengadu kecuali kepada tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Kepada tuanku pula hamba mohon perlindungan atas kakakku itu seperti yang pernah hamba katakan sebelumnya. Karena itu tuanku, apakah tuanku tidak dapat mengusahakan agar kakang Mahisa Agni dapat terlepas dari tangan orang-orang yang memusuhinya itu sebelum hari perkawinan itu tiba.
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Ja wabnya "Aku pasti akan berusaha. Tetapi aku tidak tahu apakah usahaku itu berhasil. Aku telah memerintahkan kepada para prajurit di padang Karautan, supaya mereka berusaha se-cepatanya membebaskan Mahisa Agni. Tetapi Empu Gandring menolak kekerasan. Lain nada suara Akuwu itu merendah "Dan aku belum menemukan cara lain yang sebaik-baiknya.
"Bagaimanakah kalau kakang Mahisa Agni itu tidak dapat dibebaskan tuanku.
"Ken Dedes, aku sudah mengatakan" berkata Akuwu kemudian "pikirkan dirimu lebih dahulu. Perkawinan di antara kita adalah persoalan seluruh tanah Tumapel. Kau harus dapat menilai persoalan ini menurut pertimbangan yang wajar. Sedang Mahisa Agni bukanlah persoalan Tumapel. Karena itu maka persoalan yang besar tidak akan dapat diganggu oleh persoalan-persoalan yang kecil, yang tidak mempengaruhi keadaan Tumapel keseluruhan.
Betapa kecewa Ken Dedes mendengar jawaban itu. Tanpa sesadarnya maka air matanya menjadi semakin deras mengalir. Ia tidak dapat mengesampingkan begitu saja satu-satu nya sisa keluarganya. Mahisa Agni. Betapa kebahagiaan dan keluhuran yang akan diterima karena perkawinan itu, namun Mahisa Agni adalah seorang yang cukup penting di dalam hidupnya.
Dalam pada itu Akuwu yang gelisah menjadi semakin gelisah. Ia memang sudah menyangka bahwa Ken Dedes akan bersedih karenanya. Tetapi baginya tidaklah sewajarnya bahwa upacara kenegaraan itu akan terganggu karena hilangnya Mahisa Agni. Karena itu ketika ia melihat Ken Dedes menangis maka ia berkata pula "Ken Dedes, aku minta kau mengerti. Aku tidak memperkecil arti Mahisa Agni bagi hidupmu, tetapi kaupun harus tidak memperkecil arti upacara kenegaraan yang telah menjadi keputusan Akuwu Tunggul Ametung atas nasehat dan saran para tetua di Tumapel.
Kini harapan Ken Dedes menjadi kian tipis. Akuwu Tunggul Ametung tidak dapat mencurahkan perhatiannya kepada Mahisa Agni. Seandainya Mahisa Agni itu tidak segera diketemukan, bahkan apabila bencana yang sebenarnya menimpanya, maka tak ada harapan bagi Ken Dedes untuk menunda hari perkawinan yang sudah ditentukan itu. Namun ia tidak berani untuk bertanya dan menyatakan pendatnya terlampau banyak. Ia tahu benar bahwa Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang memegang segenap kekuasaan di Tumapel. Apa bila Akuwu itu merasa dirinya terganggu, maka ia pasti akan mempergunakan kekuasaan untuk memaksanya. Itulah sebabnya maka Ken Dedes merasa bah/wa tak ada gunaya untuk me-rengek2 lebih lanjut. Sehingga dengan demikian maka gadis itupun kini duduk temungkul dalam-dalam. Dicobanya untuk menahan air matanya sekuat tenaganya
"Bagaimana Ken Dedes?" bertanya Akuwu Tunggul Ametung "Apakah kau dapat mengerti"
Tak ada jawaban lain yang dapat diucapkan kecuali
"Hamba tuanku, hamba mengerti.
Mendengar jawaban Ken Dedes itu, Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia menyadari bahwa Ken Dedes tidak berkata dengan segenap hatinya, tetapi ia mengharap bahwa lambat laun gadis akan dapat mengerti sepenuhnya. Karena itu maka Akuwu Tunggul Ametung itupun menganggap bahwa tidak ada gunanya lagi untuk berbicara lebih lama. Ia akan memberi kesempatan kepada Ken Dedes untuk mempertimbangkannya sendiri dan mengerti maksudnya.
Maka sejenak kemudian Akuwu itupun berkata "Ken Dedes, timbangkanlah baik-baik. Tetapi jangan kau sangka bahwa aku hanya akan berdiam diri selama ini. Seandainya ada jalan bagiku untuk membebaskannya dalam waktu yang pendek, itu akan aku lakukan. Namun apabila aku gagal, maka kau sudah dapat mengatur perasaanmu dan tidak terlampau banyak terpengaruh olehnya.
Sekali lagi Ken Dedes menyembah sambil menjawab "Hamba tuanku.
Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah, aku akan kembali kebilikku. Pikirkanlah baik-baik. Jangan terlampau terbenam di dalam perasaan.
"Hamba tuanku. Kemudian kepada emban tua yang duduk di belakang Ken Dedes, Akuwu Tunggul Ametung berkata "Emban, kau sudah cukup mampu untuk mengendapkan perasaanmu. Meskipun kau agaknya bersedih juga atas hilangnya Mahisa Agni, tetapi aku harap kau dapat menenangkan hati momonganmu.
Emban tua itu menyembah sambil membungkuk dalam-dalam
"Hamba tuanku. Akan hamba lakukan titah tuanku.
"Baiklah" gumam Akuwu Tunggul Ametung meskipun ia tidak yakin bahwa hal itu akan terjadi sebaik-baiknya "beristirahatlah. Aku akan kembali kebilikku. Kau akan menghadapi saat-saat yang berat sebelum menghadapi perkawinan. Tiga orang dukun pengantin akan merawatmu menjelang perkawinanmu.
Tak ada lain yang diucapkan oleh Ken Dedes, katanya
"Hamba tuanku. Hamba selalu menjunjung titah tuanku.
Sejenak kemudian maka Akuwu Tunggul Ametung meninggalkan ruangan itu. Sekali ia berpaling, namun kemudian iapun hilang di balik pintu.
Begitu Akuwu Tunggul Ametung tidak tampak lagi di mata Ken Dedes, maka tiba-tiba gadis itu memutar tubuhnya, dan dengan serta merta dipeluknya emban tua pemomongnya. Betapapun ia mencoba menahan diri, tetapi air matanya tercurah tanpa dapat dibendungnya. Dibenamkannya kepalanya di dalam emban tua itu, seperti pada masa kanak-anaknya. Terdengar di-sela-sela isaknya ia berkata "Bibi, bagaimanakah dengan kakang Mahisa Agni.
Kini emban tualah yang harus berjuang melawan perasaannya sendiri. Betapa dadanya seperti terbelah oleh kecemasan dan kegelisahan atas hilangnya Mahisa Agni, tetapi ia harus tabah dan mampu menahan dirinya. Ia harus menghibur momongannya supaya gadis itu tidak menjadi semakin dalam tenggelam dalam duka. Sudah tentu emban tua itu tidak dapat berkata kepada Ken Dedes, bahwa ia sendiri sedang bersusah hati, sebab Mahisa Agni adalah anaknya. Satu-satunya anaknya.
Emban itu menggeleng lemah. Sekuat tenaga ia berjuang untuk tidak hanyut dalam arus perasaannya. Meskipun demikian setetes2 air matanya jatuh membasahi rambut Ken Dedes yang hitam lebat. Namun emban tua itu berusaha untuk berkata "Sudahlah nini. Jangan terlampau bersedih. Aku tahu, bahwa kau merasa kehilangan. Angger Mahisa Agni adalah tidak ubahnya seperti kakak kandungmu sendiri, pengganti orang tuamu. Tetapi dengan demikian kau akan kehilangan gairah menyambyut hari-harimu yang cerah.
"Apakah artinya kebahagiaan yang semu ini bibi" jawab Ken Dedes tiba-tiba.
Emban tua itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berkata "Tidak nini. Kebahagiaan yang sudah berada di ambang pintu adalah suatu kenyataan. Bukan sekedar semu. Apa bila kau dapat menghayatinya, maka kau akan merasakannya sebagai suatu kurnia tiada taranya. Kau harus lebih banyak mempergunakan pertimbangan nalar daripada tekanan perasaan.
"Bibi, apakah aku dapat berbuat demikian" Berpikir tentang diriku sendiri, sedang kakang Mahisa Agni yang selama ini selalu melindungi aku berada dalam bahaya.
Emban tua itu mengerutkan keningnya. Kata-kata Ken Dedes itu langsung menyentuh perasaan sendiri. Mahisa Agni berada di dalam bahaya.
Namun darisela-sela bibir yang tipis, terdengar kata-katanya bergetar "Nini, serahkanlah semuanya kepada Yang Maha Agung. Dari padaNya dunia ini terbentang. Maka kepadaNya pula kita menyerahkan nasib. Kita hanya dapat berusaha, tetapi yang terakhir adalah kehendakNyalah yang terjadi.
Kata emban tua itu menjadi semakin lirih. Sebenarnyalah kata-kata itu lebih banyak ditujukan kepada diri sendiri daripada kepada orang lain.
Tetapi Ken Dedes mendengar pula kata-kata itu. Ternyata kata-kata itu dapat memberinya sekedar ketenteraman. Sedikit demi sedikit tangisnya mereda.
"Marilah nini" berkata emban tua itu "masuklah kedalam bilikmu. Mungkin seorang emban atau pelayan atau juru panebah akan lewat di ruangan ini. Mereka akan melihat kau menangis dan mereka akan ber-tanya2 di dalam hati, apakah kiranya yang telah terjadi.
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Kemudian iapun berdiri. Dibimbing oleh emban pemomongnya, Ken Dedes melangkah masuk kedalam biliknya, langsung merebahkan diri di pembaringannya.
Sejenak emban tua pemomongnya duduk di samping pembaringannya sambil mengucapkan kata-kata yang dapat membesar kan hati momongannya. Ketika hati gadis itu sudah menjadi agak lilih, maka ditinggalkannya Ken Dedes seorang diri. Dengan tergesa-gesa emban itu pergi kebiliknya sendiri. Ternyata ia tidak dapat lebih lama menahan desakan kepahitan yang tersimpan di dalam dadanya.
Ketika emban tua itu memasuki biliknya sendiri, maka masih dicobanya untuk bertahan. Untuk tidak tenggelam dalam genangan duka. Tetapi ia tidak berhasil. Dadanya yang selama ini selalu mencoba bertahan atas segala macam keadaan, maka kini seolah-olahmeledak dengan dahsyatnya.
Emban tua itupun menelungkup dibaringannya. Air matanya lepas seperti bendungan pecah.
"Anakku" desisnya.
Emban tua ini menangisi satu-satunya anaknya. Anak yang hilang pada masa kecilnya dibawa oleh ayahnya tanpa setahunya. Dengan segala macam cara ia berbasil menemukan anak itu kembali. Tetapi ia tidak dapat menyatakan dirinya sebagai seorang ibu. Meskipun demikian ia berhasil menunggui anaknya setiap hari. Betapa ia berbangga hati ketika ia melihat anaknya tumbuh subur seperti sebatang pohon beringin di-tenga-tengah padukuhan Panawijen. Ternyata anaknya seperti juga gurunya, mampu memberi pangayoman kepada orang-orang di sekelilingnya, kepada padukuhan Panawijen.
Tetapi anak itu kini hilang lagi. Hilang dalam kabut yang kelam. Tak seorangpun yang mengetahui, apakah yang berada dibalik kabut hitam itu, seolah-olah kabut itu sendiri merupakan rahasia yang penuh menyimpan bahaya.
Dengan sekuat tenaga ia bertahan di hadapan Ken Dedes, bahkan ia dapat menghibur hati gadis yang duka itu. Tetapi ia tidak mampu menghibur dirinya sendiri. Ia dapat menerima segala pengaduan gadis itu, sehingga hati Ken Dedes menjadi agak lapang. Dan emban tua itu dapat memberinya ketenteraman.
Tetapi emban tua itu tidak mempunyai tempat untuk menumpahkan himpitan perasaan. Ia tidak mempunyai kawan untuk membagi duka. Tak seorangpun yang dapat diajaknya berbicara tentang anaknya yang hilang. Tentang anaknyayang ditangkap oleh seorang yang mengerikan, iblis dari Kemundungan.
Dengan demikian ia harus menelan kepahitan itu seorang diri. Menanggungnya sendiri dan menahankannya seorang diri pula.
Sememtara itu malAmpun menjadi semakin malam. di kejauhan terdengar suara cengkerik ber-derik-derik di antara gemersik daun-daun kering yang terbang oleh sentuhan angin malam yang basah. Dingin malam merayap menembus dinding-dinding kayu istana Tumapel, menyentuh kulit.
Tetapi emban tua itu tidak juga dapat memejamkan matanya yang masih saja dibasahi air mata. Bahkan masih juga terdengar isak tangisnya ter-tahan2.
Tetapi ternyata bukan emban tua itu saja yang malam itu tidak dapat tidur. Ken Dedes malam itu sama sekali juga tidak dapat tidur. Bahkan Akuwu Tunggul Ametungpun selalu dibayangi oleh kegelisahan. Meskipun Ken Dedes tidak menyangkal tentang saat-saat perkawinan yang sudah ditentukan, tetapi agaknya bukan karena ia menerima hal itu dengan ikhlas. Agaknya Ken Dedes hanya menuruti kemauannya karena takut. Meskipun demikian, Akuwu tetap pada keinginannya. Upacara itu tidak dapat tertunda. Mungkin Ken Dedes akan bersedih untuk beberapa lama. Tetapi apabila kelak Mahisa Agni telah dapat dibebaskan, maka kesedhian itupun akan berangsur hilang.
"Tetapi bagaimana kalau Mahisa Agni itu terbunuh?" tiba-tiba tumbuh pertanyaan di dalam hatinya "apakah ia tidak akan menyesal sepanjang hidupnya"
Akuwu menggigit bibirnya. Tiba-tiba ia bangkit dari pembaringannya dan berjalan mondar-mandir di dalam biliknya.
"Tetapi aku tidak sempat memikirnya sekarang" desis nya "semua orang sudah sibuk dengan persiapan hari perka winan itu.
Akhirnya Akuwu mencoba menenangkan dirinya sendiri. Betapa ia kesal atas peristiwa-peristiwa yang sebenarnya tidak bersangkut paut langsung dengan kepentingannya, tetapi akan dapat mengganggunya.
"Soal itu adalah soal kecil bagi seorang Akuwu Tumapel." gumamnya "kalau aku harus mengurusi rakyatku seorang demi seorang maka aku akan mati kelelahan dan kebingungan. Mahisa Agni memang harus mendapat perlindungan. Tetapi jangan memecahkan otakku.
Namun kemudian ia berdesis "Tetapi Mahisa Agni mempunyai kekhususan. Ia langsung berhubungan dengan bakal permaisuriku.
Akuwu Tunggul Ametung terhenyak di pembaringannya. Ia sekali lagi mencoba berbaring dan memejamkan matanya. Tetapi ia tidak segera dapat tertidur.
Di Lulumbang, Empu Gandringpun tidak juga dapat tidur Meskipun ia sudah berada di tengah2 keluarganya, namun ia masih belum dapat melupakan kemanakannya. Empu Gandring sendiri mempunyai beberapa ikatan yang tidak dapat selalu ditinggalkannya. Ia harus mengerjakan pekerjaan sebagai seorang Empu keris. Ia harus mengurusi padepokannya dan beberapa orang cantriknya. Karena itu maka ia tidak dapat meninggalkan padepokannya terlampau lama. Namun untuk melupakan Mahisa Agni, agaknya terlampau sulit bagi nya Karena itulah maka ia selalu saja merasa gelisah. Setiap ia berbaring dan memejamkan matanya, maka wajah kemanakannya itu justru terbayang terlampau jelas. Wajah yang pucat pasi. Wajah yang diam dan beku.
"Kasihan" desisnya "mudah-mudahan usaha untuk membebaskannya itu berhasil. Ia pasti akan lebih dari pada aku sendiri. Menurut keterangannya, maka rawa-rawa itu sudah dikenalnya dengan baik.
Ternyata Mahisa Agni malam itu telah menimbulkan kegelisahan dimana-mana. Ken Dedes, Emban tua pemomongnya, Akuwu Tunggul Ametung, Empu Gandring dan Ken Arok yang berdiri tegang di padang Karautan. Sambil menatap bintang yang bergayutan di langit, ia menghirup udara malam yang dingin. Tetapi ia tidak ingin segera masuk kedalam kemahnya. Terasa udara di dalam gubugnya terlampau panas. Seperti hatinya yang terbakar oleh kekecewaan. Kenapa ia tidak mampu berbuat apa-apa dengan pasukannya itu untuk melindungi Mahisa Agni" Ia menyesal bahwa ketika Mahisa Agni pergi ke Panawijen, ia tidak berkeras untuk membawa beberapa orang prajurit bersamanya. Tetapi semua itu sudah terlanjur. Semua sudah terjadi.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Udara malam yang dingin menyentuh seluruh isi dadanya yang gelisah. Sedang dihadapannya terbentang kuwajiban yang tidak dapat diabai kan. Bendungan yang ditinggalkan oleh Mahisa Agni, susukan induk, parit-parit, sawah dan pategalan yang baru mulai ditanami dengan pohon-pohon pelindung dan pohon buah-buahan, kemudian yang tidak kalah pentingnya bagi Ken Arok sendiri adalah taman yang pada saatnya harus dipersembahkan kepada Akuwu Tunggul Ametung. Taman yang kelak akan dihadiahkan kepada permaisurinya, Ken Dedes.
"Hari perkawinan itu menjadi semakin dekat" desis Ken Arok "Sebelum enam bulan dari hari perkawinan itu, taman itu harus sudah siap. Harus sudah berwujud.
Ken Arok menggigit bibirnya. Ia akan banyak kehilangan waktu apa bila ia tenggelam dalam persoalan Mahisa Agni saja. Karena itu maka ke-dua2nya harus mendapat perhatiannya.
"Aku harus bekerja siang dan malam" kalau tidak, maka semuanya tidak akan selesai dalam waktu enam bulan lagi. Tapi apakah orang-orang Panawijen mampu bekerja secara demikian" Aku yakin bahwa prajurit Tumapel akan dapat melakukannya. Sebaiknya aku minta beberapa orang baru dengan perbekalan dan peralatan baru. Mudah-mudahan enam bulan lagi pohon-pohon yang sudah mulai tumbuh itu sudah menjadi cukup rimbun, pategalan sudah mulai tampak hijau, dan tanah-tanah yang akan disiapkan menjadi tanah persawahan sudah dapat mulai digenangi air.
Ken Arok itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis "Orang-orang baru itu akan dapat melakukannya di dalam hari bergiliran. Dengan demikian waktu yang singkat ini seolah-olah akan menjadi berlipat.
Terasa dada Ken Arok menjadi agak lapang dengan keputusannya itu. Ia mengharap tidak mengecewakan Akuwu Tunggul Ametung. Ia tidak ingin mengundur waktu yang sudah ditetapkan. Enam bulan sesudah hari perkawinan, Akuwu akan membawa permaisurinya ketaman yang sedang dibuatnya itu.
Mudah-mudahan daerah ini telah menjadi daerah yang hijau" desisnya kemudian. -
Tetapi angan-angan Ken Arok itu tiba-tiba menjadi terganggu. Ia melihat bayangan tiga sosok tubuh mendekatinya. Ia segera mengenal, bahwa dua orang di antara mereka pasti para pengawal yang bertugas berjaga-jaga malam ini. Tetapi siapakah yang seorang"
Ken Arok masih berdiri di tempatnya, di sisi gubugnya. Dibiarkannya orang-orang itu menjadi semakin dekat.
Ketika jarak mereka menjadi semakin pendek, maka bertanyalah Ken Arok itu "Siapa"
"Kami para peronda" sahut salah seorang dari mereka.
"Ya, aku mengenal kau berdua, tetapi yang seorang"
"Seorang tamu. "Tamu" Siapakah yang dicarinya" Aku"
"Ya. Ken Arok menjadi ber-debara sejenak. Tetapi Kemu dian ia terperanjat ketika ia mendengar orang itu berkata
"Aku Ken Arok. Apakah kau sudah lupa kepadaku. Kepada ayahmu.
Terasa darah Ken Arok menjadi semakin cepat mengalir. Ia mengenal suara itu. Suara yang telah lama tidak didengarnya, namun yang kini tiba-tiba telah menyentuh telinganya.
Tanpa sesadarnya ia berdesis "Ayah, Bango Samparan.
Orang itu tertawa "Ha, kau masih mengenal aku dengan baik. Ya, aku ayahmu Bango Samparan.
Wajah Ken Arok tiba-tiba menjadi tegang. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa ia akan bertemu dengan ayah angkatnya di-saat-saat seperti ini. Namun lebih dari pada itu, ada perasaan ganjil yang melonjak-lonjak di dalam dadanya. Sebenarnya lebih baik baginya apa bila ia tidak pernah lagi bertemu dengan orang itu, dengan Bango Samparan. Tetapi orang itu telah berdiri di hadapannya, dan ia tidak lagi dapat menolak.
"Aku senang sekali dapat menemuimu di sini Ken Arok" berkata Bango Samparan.
"Ya ayah" begitu saja meluncur jawaban dari mu lut Ken Arok.
Kini ketiga orang itu telah berdiri benar-benar di hadapannya. Ia melihat kedua peronda dan Bango Samparan berhenti sejenak. Namun kemudian ayah angkatnya itu melangkah maju, mendekap pundaknya dan berkata "Kau gagah benar anakku. Aku tidak menyangka bahwa kau akan menjadi seorang pelayan-dalam yang baik.Bahkan seorang prajurit yang mumpuni.
"Terima kasih ayah." sahut Ken Arok,
"Lama sekali aku mencari. Hampir seluruh negeri aku jelajahi. Tetapi aku baru menemukan di sini, setelah namamu dikenal oleh hampir setiap orang. Sebelum ini Ken Arok, aku sudah menyangka, bahwa aku tinggal di padang Karautan ini pula. Tetapi tidak sebagai seorang prajurit" Benarkah begitu" Apakah benar bahwa yang ditakuti . . . . . .
"Ayah" potong Ken Arok tiba-tiba "marilah, aku persilahkan ayah masuk kedalam gubugku." kemudian kepada kedua peronda yang mengantar Bango Samparan itu KenArok berkata "Tinggalkanlah tamuku di sini.
Kedua peronda itupun kemudian pergi meninggalkan Bango Samparan yang segera dibawa masuk kedalam gubug Ken Arok.
Mereka duduk di atas tikar pandan kasar yang dibentangkan di atas setuMpuk rumput-rumput kering.
"Aku gmbira sekali dapat menemukan kau kembali, Ken Arok.
"Ya ayah" jawab Kon Arok" aku juga gembira bertemu ayah kembali.
Terdengar Bango Samparan tertawa. Suaranya menggelegar di kesunyian padang, sehingga beberapa orang yang sedang tertidur di gubug-gubug sebelah terbangun karenanya;
"Eh, apakah dugaanku benar, bahwa kau yang pernah menghantui padang Karautan ini dahulu"
"Ah desah Ken Arok "mungkin ayah salah. Tetapi seandainya benar, karena aku pernah juga berada di sini, sebaiknya semuanya itu sudah harus dilupakan.
Sekali lagi Bango Samparan tertawa sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Beberapa kali ia menyeka air matanya yang meleleh di pipinya yang gembung.
"Kenapa Ken Arok?" ia bertanya "Kenapa hal itu harus dilupakan.
"Sebuah kenangan yang menyakitkan hati." jawab Ken Arok.
"Tidak. Kau tidak boleh melupakan semuanya. Kau harus tetap mengingat dan mengenang semua yang pernah kau alami. Dengan demikian kau akan mendapat kebanggaan diri. Ken Arok, anak Gajah Para dan Ken Endog yang di pelihara oleh seorang pencuri yang bernama Lembong, yang kemudian menjadi anak angkat dari seorang penjudi besar bernama Bango Samparan.
"Sudah ayah, sudah" potong Ken Arok.
"He, jangan memotong kata-kataku. Aku sedang membangkitkan kenanganmu atas dirimu supaya kau tahu apa yang harus kau lakukan. Nah, dengarlah anak Pangkur, bahwa kau ternyata memiliki nasib yang baik sekali. Seorang anak yang lahir di padesan yang kecil, kini menjadi seorang Pelayan-dalam yang dekat dengan seorang Akuwu.
"Ya, ya ayah. Aku berterima kasih kepada Yang Maha Agung, bahwa aku mendapat nasib yang baik.
"Apakah kau puas dengan keadaanmu sekarang"
"Tentu ayah. Aku puas sekali dengan keadaanku sekarang. Seperti ayah katakan bahwa aku adalah seorang anak yang terbuang di masa kecilku. Aku tidak pernah mengetahui siapakah ayabku, karer.a ayah meninggal di masa aku belumdilahirkan.
"Belum cukup. Harus kau lanjutkan, yang ketika masih bayi dibuang di kuburan. Ditemukan oleh seorang pencuri ulung yang bernama Lembong. Dipelihara, tetapi kemudian menghancurkan hidup mereka karena kau menghilangkan beberapa ekor lembu milik Buyut ing Lebak. Lembong suami isteri harus mengganti. Karena kekayaannya tidak cukup, maka mereka berdua harus melunasinya dengan menggadaikan diri mereka.
"Ayah benar. Ayah pernah menceriterakan semua itu kepadaku. Aku memang anak yang ditemukan di pekuburan. Dan aku telah berbuat hal yang kurang baik di-masa-masa lalu. Tetapi apakah maksud ayah mengatakan hal itu"
Bango Samparan itu tertawa lagi. Suaranya benar-benar membangunkan orang-orang yang sedang tertidur nyenyak. Bahkan satu dua orang keluar dari gubugnya dan memerlukan melihat, siapakah yang sedang tertawa di gubug Ken Arok.
"Siapakah tamu itu" bertanya salah seorang dari me reka.
Yang lain menggelengkan kepalanya "Aku tidak tehu.
Merekapun kemudian pergi sambil menggerutu. Mereka ingin tidur untuk beristirahat, sebab besok mereka harus turun lagi kebendungan atau kesendang buatan agak jauh ke tengah padang Karautan.
"Ken Arok" berkata Bango Samparan kemudian "sudah aku katakan bahwa aku sedang membangkitkan kenanganmu atas masa-masa lampaumu.
"Ya ayah, tetapi sesudah aku mengenang kembali semuanya itu, lalu apa yang akan terjadi"
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya "Aku hanya ingin ikut mengenyam kepuasanmu Ken Arok. Sebagai orang tua yang tidak dapat berbuat apa-apa untuk kemajuanmu, aku hanya dapat berdoa supaya segala cita-citamu dapat kau capai.
"Terima kasih ayah" sahut Ken Arok. Namun anak muda itu dapat merasakan, bahwa masih ada sesuatu yang tersembunyi. Karena itu, maka hatinya menjadi kian ber"debar-debar.
Sebenarnya ia tidak senang mendengarkan ayah angkatnya itu berceritera tentang masa lampaunya. Masa-masa yang pahit dan menyakitkan hati. Dunianya yang pada saat itu hitam kelam, sama sekali tidak ada secercah sinar pun yang dapat menerangi jalannya. Ia mendengar kalimat-kalimat yang aneh, yang menyentuh hatinya seperti embun di malam yang panas, adalah dari mulut guru Mahisa Agni. Kemudian pertemuannya dengan seorang Brahmana telah membawanya kejalan yang terang, yang sekarang ini sedang dilaluinya. Tiba-tiba ayahnya, ayah yang memeliharanya di dunia yang kelam itu, kini datang lagi kepadanya.
Tiba-tiba Ken Arok melihat Bango Samparan menggeser duduknya setapak maju. Terdengar orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian patah2 ia berkata "Eh, Arok. Setelah kau menjadi orang yang terhormat sekarang ini, apakah kau sudah benar-benar menjadi puas.
"Tentu ayah. Sudah aku katakan.
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ken Arok. Aku kira tidak ada seorangpun di dunia yang nasibnya sebaik nasib yang kau bawa itu. Kau ingat pada saat aku menemukanmu"
Ken Arok menganggukkan kepalanya "Ya" jawabnya singkat. Bagaimanapun ia tidak senang mendengar kata-kata ayah angkatnya itu, tetapi ia tidak dapat mencegahnya.
"Pada waktu itu" Bango Samparan meneruskan "aku sedang prihatin. Harta bendaku habis ditelan oleh permainan judi, sehingga aku lari dari Karuman karena aku tidak dapat membayar kekalahanku. Pada waktu itu aku hampir-hampir membunuh diriku dalam persembunyianku di Rabut Jalu. Ketika aku menemukanmu pada saat itu Arok, tiba-tiba timbul kembali gairahku untuk menebus kekalahanku. Ternyata, dengan membawamu kembali kemedan perjudian, aku mendapatkan kembali semua kekalahanku. Kau ingat.
Ken Arok mengangguk, tetapi wajahnya menjadi semakin buram.
"Kemudian keadaanmu sendiri. Setelah kau meninggalkan ibu angkatmu Genuk Buntu, maka kau hilang dari keluargaku. Jangan kau sangka bahwa aku tidak mencarimu Arok. Sebab aku masih memerlukanmu.
"Hanya supaya ayah selalu menang berjudi.
Bango Samparan tertawa. "Sebagian, tetapi ibu angkatmu sangat merindukanmu. Mungkin kau tidak dapat hidup bersama-sama dengan anak-anak isteriku yang muda itu. Tetapi apa bila kau sekali menjenguk ibu angkatmu, ia pasti akan bergembira sekali.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Bukan karena ia tidak mengenal terima kasih, tetapi ia tahu benar sifat-sifat ayah angkatnya. Kini ia berada di jalan yang terang. Yang tidak dibayangi oleh perasaan cemas, gelisah dan perasaan bersalah.
Kalau ia tidak ingin bertemu lagi dengan ayah angkatnya, karena ia tidak mau lagi dipengaruhi oleh keadaannya.
"Aku masih belum dapat mempercayai keteguhan hatiku sendiri" desis Ken Arok di dalam hatinya.
"Ken Arok" berkata Bango Samparan itu kemudian "apakah kau benar-benar sudah melupakan ibu angkatmu"
"Tidak ayah" sahut Ken Arok "aku tidak pernah melupakannya.
"Kenapa kau tidak pernah mengunjunginya"
"Aku belum sempat ayah."
Bango Samparan tertawa. Katanya "Apakah kau terlampau sibuk sehingga kau tidak dapat menyisihkan waktu seminggu atau dua minggu saja"
"Bendungan ini tidak dapat aku tinggalkan.
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian "Sebelum ini kau juga tidak pernah kerumah. Apalagi setelah kau menjadi seorang pemimpin Pelayan-dalam istana Tumapel, yang kali ini dipercaya untuk memimpin sepasukan prajurit, bukan saja Pelayan-dalam dan prajurit-prajurit pengawal Istana.
Ken Arok menggigit bibirnya. Tetapi ia masih berdiam diri.
"Sebarusnya ibumu melihat kau dalam keadaanmu sekarang. Gagah dan tampan. Sepantasnya kau bukan anak angkatku, tetapi kau lebih pantas menjadi anak kandungku. Keperkasaanmu, ketampananmu lebih mirip aku dari pada orang tuamu sendiri.
Ken Arok masih berdiam diri.
"Arok" berkata Bango Samparan seterusnya "apakah kau dapat mengunjungi aku beberapa hari saja"
"Lain kali ayah" akhirnya Ken Arok menjawab. Bango Samparan mengerutkan alisnya "Keadaanku sudah terlampau parah.
"Kenapa" "Seperti pada saat aku menemukan kau. Nah, apabila kau berada bersamaku kemedan perjudian, maka aku mengharap kekalahanku itu akan dapat aku ambil kembali.
"Ah" desah Ken Arok "ayah terlampau mempercayai keajaiban. Pada waktu itu aku kira hanya suatu kebetulan saja, bahwa ayah memenangkan kembali kekalahan itu. Sama sekali bukan karena ayah pergi bersamaku.
"Tidak Arok, tidak. Kaulah yang telah menyebabkan aku memenangkan perjudian itu. Aku yakin. Seolah-olahaku mendengar suara dari tempat yang tidak aku mengerti, yang mengatakan bahwa kau memang mempunyai nasib yang baik.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia menjawab "Seandainya demikian, maka akupun tidak akan pergi.
Bango Samparan membelalakkan matanya. "Kenapa" O, ngger. Aku sudah menempuh jalan yang sulit untuk menemukanmu. Sekarang apakah tanggapanmu itu cukup sepadan.
"Maaf ayah" sahut Ken Arok "aku sama sekali tidak mengabaikan kedatangan ayah. Tetapi aku tidak dapat memenuhi permintaan itu, apabila ayah hanya membutuhkan aku sekedar untuk memenangkan perjudian.
"O, itulah kenyataan yang aku hadapi sekarang. Ken Arok, memang jauh berbeda kasih seorang ayah dan ibu kepada anaknya dibanding dengan keadaan sebaliknya. Seorang ayah dan ibu kadang-kadang mengorbankan apa saja yang dimiliki nya untuk kepentingan anaknya. Tetapi anak kadang-kadang acuh tak acuh saja kepada orang tuanya.
Ken Arok mengerutkan dahinya. Sejenak ia berdiam diri sambil merenungi wajah ayahnya. Bango Samparan kini sudah tidak tertawa dan tidak tersenyum lagi.
"Ayah" berkata Ken Arok "ayah jangan salah mengerti. Aku memang tidak dapat memenuhi permintaan ayah. Kalau aku pergi juga dan justru karena kehadiranku itu ayah dapat memenangkan perjudian, maka akulah yang berdosa. Aku telah mendorong ayah semakin dalam masuk kearena perjudian. Ayah menjadi semakin lekat dengan kesenangan ayah yang tercela itu.
"O, ngger ngger" potong Bango Samparan "kau dapat berkata demikian setelah kau mengenakan pakaian seorang Pelayan dalam. Apakah yang dahulu pernah kau lakukan" Judi, merampas, merampok, memperkosa dan segala macam kejabatan yang lain.
"Ya ayah" sahut Ken Arok. Terasa dadanya bergolak, namun ia masih cukup menguasai dirinya sendiri "aku memang pernah melakukannya. Namun pada suatu saat aku sampai pada suatu batas dimana aku aku menyesali semuanya itu. Aku menyesal dan bertobat. Itulah yang terjadi ayah. Sehingga dengan demikian aku berusaha untuk tidak lagi terjerumus kedalamnya.
"Hem" Bango Samparan berdesah sambil menghela nafas dalam sekali "jadi kau benar-benar tidak mau menolongku.
"Bukan maksudku ayah" sahut Ken Arok "aku selalu bersedia menolong ayah dalam batas kemampuan. Baiklah aku akan berusaba menolong ayah sesuai dengan kekuatanku untuk meringankan beban hidup ayah sehari-hari, ayah dan adik-adik di Karuman. Tetapi tidak untuk berjudi. Tak ada judi yang dapat membahagiakan hidup seseorang. Seandainya seseorang memenangkan perjudian, maka yang didapatnya itu adalah perasan milik orang lain. Yang didapatnya itu adalah karena kerugian orang lain. Meskipun yang terjadi ituseolah-olahatas persetujuan bersama, tetapi tak seorangpun yang ikhlas atas setiap kekalahan. Ketidak ikhlasan akan ikut serta pada setiap kemenangan yang didapat di medan perjudian. Nah, milik yang didapat dengan cara demikian, tanpa keikhlasan, tidak akan membahagiakan hidup kita.
Wajah Bango Samparan menjadi semakin berkerut-merut. Dengan tajamnya dipandanginya wajah anak angkatnya itu. Namun betapa ia menahan rasa kecewa yang berkecamuk di dadanya.
Untuk sesaat penjudi dari Karuman itu berdiam diri.
Tetapi bibirnya ber kumat-kamit tidak henti2nya. Seolah-olahada yang masih tersimpan di dalam mulut itu, tetapi tidak dapat dikatakannya.
Ken Arokpun kini duduk sambil merenungi kegelapan dibiar gubuknya. Sejenak kenangannya berlari-larian di masa lampaunya. di masa kecilnya yang pahit. Hidup di dalam lingkungan kejahatan. Pencuri dan perampas. Ayah angkatnya yang lain, Lembong adalah seorang pencuri. Bahkan ia kadang-kadang harus ikut serta dengan ayah angkatnya itu. Kemudian, lepas dari seorang pencuri, ia jatuh ketangan Bango Samparan, seorang penjudi dan seorang perampok pula. Kemudian dijelajahinya hidup dalam kegelapan. Ditelusurinya padang Karautan, setelah ia tidak dapat menyembunyikan diri lagi di padesan, karena hampir setiap orang mencarinya. Mencarinya sebagai seorang penjahat yang harus ditangkap dan bahkan dibunuh. Ternyata kejahatan yang dilakukan telah melampaui kejahatan kedua ayah angkatnya, bahkan digabung sama sekali. Pencuri Lembong dan penjudi Bango Samparan.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. "Untunglah, aku bertemu dengan orang-orang yang berhasil menarik aku keluar dari dunia yang hitam pekat itu.
Anak muda itu terkejut ketika ia mendengar ayah angkatnya bergumam lirih "Aku tidak mengerti.
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ken Arok berpaling "Apa yang tidak ayah mengerti"
"Kau - "Kenapa aku" "Kau benar-benar melupakan aku dan ibumu. Apa lagi adik-adikmu.
"Sudah aku katakan ayah, aku akan menmberi ayah bantuan sesuai dengan kekuatanku.
"Huh, apa yang dapat kau berikan" Kau tidak lebih dari seorang Pelayan-dalam. Kedudukanmu masih belum cukup tinggi. Seorang perwira rendahan. Coba apa yang akan kau berikan kepadaku. Uang setiap selapan" Atau mungkin akan membeli sawah untuk aku" Atau apa" Bango Samparan berhenti sejenak "tidak ada gunanya. Berapa banyak kau akan memberikan uang kepadaku, apa bila kau tidak ikut serta keperjudian, maka uang itu akan habis tidak sampai satu malam. Sawah" tidak biasa bekerja di sawah. Yang selalu kulakukan adalah duduk di medan judi. Atau, kalau aku sudah kehabisan akal aku akan dapat merampas milik orang lain. Merampok di jalan-jalan sunyi atau di rumah-rumah orang kaya, seperti yang pernah kau lakukan
Ken Arok sekali lagi menggigit bibirnya sampai pedih. Tetapi tidak sepedih hatinya.
"Ayah" berkata Ken Arok "kalau ayah mau mendengar kata-kataku, semuanya jangan ayah lakukan. Ayah akan berhadapan dengan prajurit Tumapel. Sedang aku adalah satu di antara mereka. Seandainya tidak demikian, seandainya tidak berhadapan dengan prajurit Tumapel sekalipun, maka hidup ayah akan meujadi semakin kisruh. Ayah tidak akan dapat lagi merasakan kehidupan keluarga.
"Kalau kau salah seorang dari prajurit Tumapel, kau mau apa" "desis Bango Samparan "apakah kau akan menangkap aku"
Ken Arok menggelengkan kepalanya "Tidak ayah. Tetapi ayah menempatkan aku pada keadaan yang sulit.
"Huh" sahut Bango Samparan "kau hanya memikirkan dirimu sendiri. Kau tidak memikirkan aku dan keluargaku. Adik-adikmu dan ibu angkatmu yang telah memeliharamu pada saat kau hampir mati kelaparan.
"Apakah dengan demikian ayah juga tidak hanya memikirkan diri ayah sendiri. Coba, seperti ceritera ayah sendiri, seandainya ayah tidak seolah-olah mendengar suara dari langit bahwa seorang anak yang hampir mati kelaparan yang ayah temui itu akan dapat memberikan nasib yang baik bagi ayah, apakah kira-kira ayah akan mau memeliharanya" Sedang ayah sendiri pada waktu itu hampir membunuh diri karena ke kalahan ayah yang tidak tertanggungkan. Dan sekarang, bukankah ayah juga hanya memikirkan diri ayah sendiri tanpa memperhitungkan bagaimanakah aku, dan sedang dalam kewajiban apakah aku sekarang" Ayah hanya ingin, supaya aku datang ke Karuman, menunggui ayah berjudi seperti pada saat aku masih terlampau muda untuk mengerti tentang diri sendiri, pada saat aku masih kanak-anak" Sedang aku sekarang adalah seorang Pelayan-dalam istana Tumapel. Coba ayah bayangkan, apakah aku akan dapat duduk diam di belakang ayah yang lagi berjudi" Pada hal di lambungku tersangkut pedang seorang Pelayan-dalam.
Bango Samparan mengerutkan dabinya. Sekali lagi ia terdiam meskipun bibirnya selalu bergerak-gerak. Ia tidak dapat mengatasi kata-kata anak angkatnya itu. Karena itu maka harapannya untuk membawa Ken Arok kearena perjudian menjadi semakin kabur. Ternyata Ken Arok telah benar-benar meninggalkan cara hidupnya yang lama.
Tiba-tiba Bango Samparan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian per-lahan-lahan "Jadi aku sudah tidak akan dapat mengharapkan kau lagi, Ken Arok"
"Untuk kepentingan yang ayah maksudku, sayang ayah, aku kira ayah memang sudah tidak dapat mengharapkan aku lagi.
"Kalau begitu baiklah Ken Arok. Aku akan mencari jalan untuk melepaskan diri dari kesulitanku kali ini.
"Apakah yang akan ayah lakukan"
"Entahlah" "Melakukan kejahatan"
"Tidak. Bukankah kau tidak sependapat"
"Lalu apa" "Mungkin aku akan pergi ke Rabut Jalu.
"Untuk apa" Apakah ayah akan bertapa lagi di sana"
"Aku sudah tidak mempunyai harapan. Dahulu aku bertapa di Rabut Jalu, bahkan hampir aku membunuh diri dengan caraku. Tetapi waktu itu aku menemukan seorang anak yang bernama Ken Arok. Sekarang aku tidak akan dapat menemukannya lagi.
"Lalu, untuk apa ayah pergi ke Rabut Jalu"
"Aku akan melakukan yang dahulu tidak sempat aku lakukan. Lebih baik aku mati dari pada melihat keluargaku yang akan mati kelaparan.
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata ayah angkatnya itu. Sejenak ia berdiam diri memandangi wajah Bango Samparan yang menjadi buram. Namun dalam pada itu Ken Arok masih sempat menangkap kesan-kesan tentang wajah itu. Kasar dan bahkan keras. Sehingga timbull kebimbang an didalam hati "Apakah orang sekasar dan sekeras itu benar-benar akan membunuh diri"
Ken Arok menggeleng-geleng. "Tidak" dijawabnya pertanyaan itu sendiri di dalam hatinya "ia tidak bersungguh-sungguh. Ia hanya ingin menekankan kehendaknya. Aku kira dahulupun ia tidak akan membunuh dirinya di Rabut Jalu. Mungkin ia hanya menjadi bingung dan bertapa di tempat itu.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Wajah Bango Samparan yang keras dan kasar itu tampak sedih. Mulutnya masih saja berkumat-kamit, tetapi tidak sepatah katapun yang terloncat dari mulutnya itu.
Baru sejenak kemudian ia berkata "Baiklah Ken Arok. Pertemuan ini adalah pertemuan yang terakhir. Mungkin besok atau lusa kau akan mendengar kabar bahwa seorang laki-laki yang bernama Bango Samparan telah membunuh dirinya karena anaknya yang dikasihinya sama sekali tidak mau lagi memperhatikannya. Anak itu bernama Ken Arok.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan hatinya. Namun demikian kata-katanya meloncat juga dari mulutnya "Ayah, apakah ayah ingin mencoba memaksa aku dengan cara itu" Seandainya ayah ingin membunuh diri, apakah itu juga bukan salah satu bentuk dari suatu sikap mementingkan diri sendiri. Ayah tidak mau memperhatikan keluarga ayah. Dan ini berlangsung sejak dahulu, sejak aku berada di rumah ayah. Sekarang ayah akan membunuh diri. Itupun suatu cara ayah menghindari tanggung jawab ayah terhadap keluarga. Kemudian sesudah itu, ayah jangan mengharapkan orang percaya bahwa ayah mati karena ayah tidak memperhatikannya lagi. Setiap orang, apa lagi orang Karuman dan sekitarnya, pernah mendengar nama Bango Samparan, seorang penjudi. Apa kata orang apabila mereka menemukan mayat ayah di pinggir jurang di Rabut Jalu"
"Cukup, cukup" potong Bango Samparan. Wajahnya menjadi merah membara. Ia benar-benar menjadi marah. Hampir-hampir ia meloncat dan menampar wajah Ken Arok. Tetapi ia sempat mengurungkan niatnya. Ken Arok sekarang bukan kanak-anak lagi. Ia adalah seorang prajurit. Dengan demikian maka Bango Samparan itu hanya dapat menggeretak kan giginya sambil menggigil seperti orang kedinginan.
"Maaf ayah" berkata Ken Arok "aku tidak bermaksud untuk membuat ayah marah. Aku ingin memberikan beberapa pendapat tentang diri ayah. Jangan marah ayah. Hanya seorang anak yang mengerti tentang dirinya, mau mengatakan hal itu kepada ayahnya yang dikasihinya supaya ayahnya tidak terlanjur tersesat semakin jauh. Alangkah sakitnya melihat cacat sendiri. Tetapi dengan demikian ayah akan mendapat kesempatan untuk mengobatinya.
Badik Buntung 19 Pendekar Rajawali Sakti 214 Setan Gembel Si Kumbang Merah 7
Tetapi Empu Gundring tidak mendapat kesempatan untuk menjawab Buyut Panawijen yang tua itu ternyata telah dicengkam oleh kegelisahan dan kecemasan yang amat sangat sehingga tanpa sesadarnya telah mempergunakan segala ke sempatan untuk berbicara sendiri.
Namun akhirnya Ki Buyut itu berhenti juga bertanya ketika ia melihat Ken Arok dengan tergesa-gesa memasuki ruang itu pula. Sebelum ia duduk, maka ia telah bertanya "Bagaimana dengan usaha Empu untuk menebaskan Mahisa Agni"
"Duduklah ngger" Empu Gandring mempersilahkannya. Sambil menarik nafas dalam-dalam maka Ken Arok itupun kemudian duduk di sampingnya. Dipandanginya wajah Empu Gandring yang tenang, namun mengandung seribu macam teka-teki yang tidak segera dapat ditebaknya.
"Apakah usaha Empu berhasil?" bertanya Ken Arok itu kemudian.
Kali ini Empu Gandringlah yang menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya "Sebagian ngger. Sebagian berhasil tetapi hasil selengkapnya masih belum dapat kita pastikan.
Ken Arok mengerutkan keningnya, sedang Ki Buyut Panawijen memandangi wajah Empu Gandring dengan gelisah nya.
"Aku tidak meneruskan usaha itu dengan tenagaku sendiri." berkata Empu Gandring seterusnya:
"Jadi?" bertanya Ken Arok.
Empu Gandring menggeser duduknya sejengkal. Kemudian diangkatnya wajahnya memandangi pelita yang tersangkut pa da tiang bambu gubug itu. Per-lahan-lahan ia mulai mengisahkan perjalanannya, sejak ia berpisah dengan Ken Arok, meng ikuti jejak Kebo Sindet, sehingga ia memerlukan singgah ke Kemundungan. Akhirnya diceriterakannya bahwa ia mempercayakan usaha melepaskan Mahisa Agni kepada orang lain, orang yang mempunyai kewajiban pula seperti dirinya sendiri.
"Oh" Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Ki Buyut Panawijen diam terpekur. di luar gubug itu bebe rapa orang telah berkerumun untuk mendengarkan keterang an itu pula. Beberapa orang saling berbisik, sedang yang lain menjadi sedih. Mereka menyesalkan betapa Mabisa Agni itu mengalami berbagai macam kejadian yang pahit. Sedang kan tenaganya sebenarnya sangat diperlukan saat ini oleh orang-orang Panawijen yang sedang membangun bendungan itu. Untunglah bahwa di antara mereka telah hadir seorang yang bernama Ken Arok, menggantikan kedudukan Mahisa Agni yang dapat selalu membakar niat orang- Panawijen untuk menyelesaikan bendungannya.
Sesaat kemudian ceritera tentang Mahisa Agni itu telah menjalar keseluruh sudut perkemahan itu. Setiap orang kemudian mendengarnya. Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel. Beberapa orang menjadi terharu dan iba, sedang beberapa orang lain menyimpan dendam di dalam hatinya. "Terlalu. Kuda Sempana ternyata telah memperalat ayahnya yang tua untuk mencelakai Mahisa Agni. Dosa anak itu ternyata memercik kepada ayahnya pula, yang seharusnya berusaha mencegahnya.
Tetapi semuanya sudah tcrlanjur. Semuanya sudah terjadi, sehingga mereka hanya dapat berdesah di antara mereka sendiri.
Didalam gubug Ki Buyut, Ken Arok menekurkan kepalanya. Keningnya tampak berkerut-merut. Wajah anak muda itu benar-benar menjadi tegang.
Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya sambil menggeram "Aku akan mengambil pasukan ke Tumapel. Prajurit segelar sepapan. Aku kepung daerah be-rawa-rawa itu. Mustahil kalau kita tidak akan dapat menyeberang. Aku mengenal beberapa macam rawa-rawa. Mungkin aku akan dapat mengenal lenipat2 yang gembur berlumpur dan tempat2 yang keras. Hampir se panjang umurku aku hidup di -daerab2 yang tidak keruan. Hutan, padang Karautan ini dan rawa-rawa.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Sareh ia berkata
"Terima kasih ngger. Tetapi sebaiknya maksud itu jangan tergesa-gesa dilakukan. Biarlah usaha membebaskan Mahisa Agni dengan cara yang lain itu dilakukan. Tidak dengan kekeras an, justru untuk menjaga keselamatan Mahisa Agni itu sen diri. Sebab kini Mahisa Agni telah tcrlanjur dikuasai oleh Kebo Sindet. Aku sependapat dengan cara ini ngger.
Kening Ken Arok menjadi semakin berkerut. Tetapi kemudian ia menggigit bibirnya sambil kemudian bergumam
"Apa boleh buat apabila Empu tidak sependapat.
"Aku berterima kasih kepadamu ngger." sahut Empu Gandring "tetapi biarlah tiara itu dicobanya dahulu. Apa bila tidak berhasil, maka kita akan mencari jalan lain.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah Empu. Tetapi setiap saat apabila Empu memerlukan aku, aku akan selalu menyediakan diri. Akuwu Turnapel pasti ti dak akan berkeberatan aku membawa sepasukan prajurit dan pelayan-pelayan dalam untuk membebaskannya apabila diperlukan. Sebab Mahisa Agni adalah kakak terkasih dari bakal permai suri.
Empu Gandring meng-angguk pula "Terima kasih" ulangnya "Aku akan selalu menghubungi angger dalam setiap keperluan. Terutama ter.tang Mahisa Agni,
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia samasekali tidak bersabar menunggu cara yang dianggapnya terlampau lamban itu. Tetapi Empu Gandring adalah orang yang lebih berhak menentukan apa yang sebaiknya dilakukan atas Mahisa Agni itu.
Sejenak kemudian mereka yang berada di ruang itu sa ling berdiam diri. Mereka membiarkan angan-angan masing-masing menyelusuri sepinya.
Ketika dikejauhan terdengar gonggong anjing liar yang lamat-lamat, maka kulit Empu Gandring serasa berkuit. anjing-anjing itu sedang bertengkar berebut tubuh Mahisa Agni yang telah dilemparkan oleh Kebo Sindet kepada gerombolan anjing-anjing itu.
"Mudah-mudahan tidak terjadi" desis Empu Gandring" Kebo Sindet masih memerlukannya.
Kesepian itupun kemudian dipecahkan oleh suara Ken Arok ~ Empu, aku masih belum mengirimkan laporan yang lengkap tentang hilangnya Mahisa Agni ke Tumapel. Aku takut apabila berita itu dapat mengejutkan Tuan Puteri Ken Dedes, dan dapat berakibat mengganggu persiapan2 per kawinannya dengan Akuwu Tunggul Ametung. Aku mengharap bahwa Mahisa Agni segera dapat dibebaskan. Tetapi apa bila ternyata keadaan menjadi demikian, maka sebaiknya aku mengirimkan orang untuk menyampaikannya kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, supaya aku tidak dipersalahkannya karena aku seakan-akan mengabaikan persoalan keselamatannya. Sebab Mahisa Agni itu pasti akan segera dipanggil pula menghadap sebelum semua persiapan perkawinan yang akan segera diselenggarakan itu selesai.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia tidak menjawab. Ia menjadi cemas apabila dalam pembicaraan selanjutnya Ken Arok dan Akuwu Tunggul Ametung sependapat untuk mengepung Kebo Sindet dengan sepasukan prajurit, karena mereka tergesa-gesa untuk segera menemukan Mabisa Agni untuk kepentingan persiapan perkawinan itu. Tetapi dengan demikian, maka justru Mahisa Agni berada dalam bahaya.
"Apakah Empu sependapat?" bertanya Ken Arok.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia masih ragu-ragu. Dipandanginya wajah Ki Buyut Panawijen yang suram. Tetapi ia tidak menemukan apapun pada wajah itu.
"Angger Ken Arok" berkata Empu Gandring kemu dian per-lahan-lahan "mungkin kau tidak akan dapat berbuat lain dari pada itu. Bagaimanapun juga maka peristiwa ini selurubnya pasti akan didengar oleh kalangan istana, juga oleh Tuan Puteri Ken Dedes. Tetapi meskipun demikian, aku masih tetap mengharap, bahwa baik angger sendiri, maupun Tuanku Akuwu Tunggul Ametung tidak melakukan tindakan yang tergesa-gesa yang akan dapat membahayakan Mahisa Agni sendiri.
Ken Arok mengangguk kecil sambil menggigit bibirnya. Anak muda itu dapat mengerti kenapa Empu Gandring ber pendirian demikian menurut nalarnya, tetapi rasa-rasanya cara itu terlampau lambat baginya, sehingga perasaannya berpenda pat lain. Namun kali ini Ken Arok dapat menguasai perasaannya dengan nalarnya.
"Baiklah EMpu" jawabnya "aku akan memberi penjelasan kepada orang yang akan pergi ke Tumapel, bahwa tindakan yang demikian akan sangat berbahaya. Aku akan mengharap bahwa segala tindakan harus dipertimbangkan ber sama Empu Gandring, paman Mabisa Agni. Bukankah begitu"
Empu Gandring tidak segera menyahut. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia harus menunggu persoalan ini sampai selesai di padang Karautan ini" Lalu bagaimana dengan padepokannya sendiri Lulumbang" Berapa lama ia harus menunggu" Berbedalah halnya apa bila ia sendiri yang berusaha membebaskan Mahisa Agni. Maka ia akan disibukkan oleh usahanya itu. Tetapi usaha itu sudah dilakukan oleh orang lain. Ia tidak akan dapat duduk saja bertopang dagu sambil menunggu tanpa bekerja apapun di padang Karautan. Seandainya ia turut membantu membuat bendungan, maka tenaganya akan tidak seimbang dibandingkan dengan kerjanya sendiri yang memang telah menunggu. Tenaganya seorang itu tidak akan banyak berpengaruh bagi bendungan ini. Apa lagi setelah Ken Arok dan prajurit-prajurit Tumapel berada di padang Karautan ini pula.
Karena itu maka yang paling baik baginya adalah menunggu persoalan itu di padepokannya sendiri sambil melaku kan pekerjaannya se-hari-hari. Membuat keris.
"Angger Ken Arok" jawab Empu Gandring itu kemudian "baiklah aku selalu ikut serta dalam penyelesaian ini, karena itu adalah kewdayibanku. Tetapi aku sudah mempercayakannya kepada seseorang, sehingga kerjaku seolah-olah hanya tinggal menunggu hasil dari usaha itu. Untuk itu aku akan menunggu di padepokanku sendiri, di Lulumbang, sementara itu aku dapat bekerja seperti biasa sehari-hari. Untuk itu aku minta tolong kepadamu ngger, apa bila ada perkembangan baru, sukalah angger menyuruh seorang dua orang ke Lulumbang. Aku akan berbuat sesuai dengan kemampuanku"
Ken Arok mengerutkan keningnya, sedang Ki Buyut Panawijen dengan serta merta bertanya "Apakah Empu akan meninggalkan kami di sini?"
"Aku harus melihat padepokan yang sudah agak lama aku tinggalkan Ki Buyut.
"Lalu bagaimakah dengan kami seandainya ada babaya yang mendatangi. -
"Ah" Empu Gandring tersenyum "bukankah Ki Buyut berada di -tengah2 sepasukan prajurit yang tangguh. Jangan kan prajurit yang sekian banyaknya, sedangkan angger Ken Arok sendiri akan dapat berbuat banyak melindungi Ki Buyut dan orang-orang Panawijen. -
"Oh" Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Ken Arok berdesah sambil bergumam "Hem, Empu terlalu memuji. -
"Tidak, tidak ngger. Aku tidak memuji. Tetapi angger supaya menyadari bahwa angger mempunyai ciri2 yang aneh. Aku tidak dapat mengatakan apa aneh itu. Namun anggrr mempunyai kelebihan dari orang-orang lain. -
"Ah" sekali lagi Ken Arok berdesah "apakah yang aneh padaku" Aku sama sekali tidak berdaya menghadapi iblis dari Kemundungan itu. -
"Tetapi akan datang saatnya angger dapat mengalah kan Kebo Sindet. v
"Bagaimana mungkin hal itu terjadi Empu. Aku tidak per nah berusaha dengan sungguh2 untuk mempelajari ilmu tata bela diri. -
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Guniainnya "Itulah salah satu keanehan angger. Tanpa mempelajari dengan sungguh2 angger telah mampu bertahan tanpa cidera yang berarti atas aji yang nggegirisi yang dilepaskan oleh iblis dari Kemundungan itu atas angger.
"Dadaku serasa remuk Empu.
"Tetapi angger tidak apa-apa sampai sekarang.
"Aku masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung" sahut Ken Arok.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi keajaiban yang ada dalam diri Ken Arok masih tetap merupa kan teka-teki bagi Empu Gandring.
Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Terasa angin padang menyentuh tubuh-tubuh mereka. Silir, namun semakin lama semakin dingin meresap kedalam kulit daging.
Gubug2 kini telah menjadi semakin sepi. Beberapa orang telah jatuh tertidur karena kelelahan, sedang beberapa orang lagi sedang bercakap-cakap tentang Mahisa Agni yang belum berhasil dibebaskan dari tangan Kebo Sindet. di luar gubug Ki Buyut Panawijenpun telah menjadi sepi pula.
Orang-orang yang semula berkerumun mendengarkan ceritera Empu Gandring telah pergi meninggalkan gubug itu kembali ketempat masing-masing.
Sejenak kemudian Ken Arok berdiri sambil berkata "Aku akan memanggil dua orang prajurit yang besok harus menghadap Akuwu ke Tumapel. Mungkin Empu dapat memberi mereka itu pesan langsung. Mungkin ada hal-hal yang perlu Empu beritahukan supaya semuanya dapat berjalan dengan baik, tanpa membahayakan Mahisa Agni dan tidak terlampau mengejutkan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung dan Tuan Puteri Ken Dedes.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya "Baiklah ngger.
Ken Arokpun kemudian pergi meninggalkan Empu Gan dring dan Ki Buyut Panawijen untuk memanggil dua orang prajurit yang akan diperintahkannya ke Tumapel.
Sejenak kemudian Ken Arok telah datang kembali ber sama prajurit yang dimaksudkannya.
"Dengarlah baik-baik" desis Ken Arok "supaya kau tidak membuat kesalahan. Dengan demikian kau akan langsung mendengar dari Empu Gandring dan dari aku sendiri. Bukan hanya sekedar desas-desus yang sudah bertambah atau berkurang dari peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Dan kedua prajurit itu kemudian mendengarkan penjelasan Empu Gandring dengan cermatnya. Beberapa kali Ken Arok memberinya pesan tentang ceritera itu. Dan Empu Gandring pun mengatakan semuanya yang diketahuinya. Dikatakannya pula beberapa hal tentang Empu Sada. Bahwa orang itu sama sekali tidak bertanggung jawab lagi tentang hilangnya Mahi sa Agni.
"Tetapi hati-hati2ah" pesan Ken Arok "jangan mengejutkan Tuan Puteri Ken Dedes.
Kedua prajurit Tumapel itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka mendengarkan keterangan Empu Gandring dengan saksama, dan mereka mendengarkan pesan Ken Arok baik-baik, supaya mereka nanti tidak salah menyampaikan keterangan tentang Mahisa Agni dan pesan2 yang harus dilakukan nya.
"Jangan lupa sampaikan kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung bahwa segala usaha untuk menghindari peristiwa itu sudah dilakukan, bahkan paman Mahisa Agni Empu Gandring sendiri telah ikut serta mencoba melepaskan Mahisa Agni. Tetapi kami tidak berhasil. Meskipun demikian sampai saat ini usaha untuk melepaskan Mahisa Agni masih dilakukan." pesan Ken Arok seterusnya kepada kedua prajurit itu "Sampaikan pula bahwa usaha dengan kekerasan untuk sementara sebaiknya tidak dilakukan, mengingat kese lamatan Mahisa Agni sendiri. Sedang kerja di padang Karautan sama sekali tidak terganggu karenanya. Kami di sini berusaha untuk segera menyelesaikannya beserta taman yang dikehendaki oleh Tuanku Akuwu Tunggul Ametung yang akan dihadiahkan kepada Tuan Puteri Ken Dedes nanti.
Sekali lagi kedua prajurit itu meng-engguk2.
"Kau mengerti?" bertanya Ken Arok kemudian.
"Ya" jawab kedua prajurit itu hampir bersamaan.
"Baiklah." berkata Ken Arok selanjutnya" besok pagi2 kalian berangkat. Usahakan supaya kau dapat menghadapi secepatnya dan segera kembali.
"Baik" sahut keduanya.
Sekarang kalian boleh pergi tidur, supaya kalian besok tidak terlampau malas berangkat.
Kedua prajurit itupun segera meninggalkan ruangan itu. Kemudian Ken Arok dan Empu Gandringpun pergi pula ketempat masing-masing untuk beristirahat.
Didalam gubugnya Empu Gandring masih juga selalu di-kejar2 oleh kecemasan dan ke-ragu-raguan tentang kepastian nasib Mahisa Agni, sehingga dengan demikian maka dengan gelisahnya ia duduk di atas sehelai tikar pandan yang kumal. Sekali-sekali ia berdiri dan berjalan mondar-mandir. Sejenak kemudian kembali ia duduk. Ketika seseorang dalang kepadanya dan meletakkan sebungkus makanan dan minuman hangat, maka Empu Gandring tidak segera beranjak dari tempatnya.
"Letakanlah di situ" katanya.
"Baik Empu" jawab orang itu yang kemudian segera pergi meninggalkannya.
Tetapi ketika dilihatnya uap air yang panas itu mengepul timbul pulalah selera Empu Gandring untuk meminumnya. Apa lagi ketika kemudian terasa bahwa perutnyapun mulai disentuh oleh rasa lapar;
Namun akhirnya Empu Gandring itu hanya dapat menyerahkan segala persoalan kepada Yang Maha Agung. Disertai doa dan puji semoga kemanakannya itu dilepaskan dari segala macam bencana.
Ketika kemudian fajar pecah di Timur, maka langit di atas padang Karautan seolah-olahjadi membara. Warna me rah yang tersirat dari cakrawala memancar menyelubungi se uruh padang yang luai, semakin lama menjadi semakin cerah.
Dalam kesibukan persiapan untuk melakukan kerja me nyelesaikan bendungan, orang Panawijen dan para prajurit Tumapel melihat dua ekar kuda dan kedua penunggangnya berlari meninggalkan perkemahan itu. Debu yang tipis dan kerikil2 yang lembut berloncatan dari kaki-kaki kuda itu.
Ken Arok, Ki Buyut Panawijen dan Empu Gandring berdiri tegak seperti patung memandangi kedua ekor kuda yang semakin lama menjadi semakin kecil menuju keujung padang.
"Mudah-mudahan tidak ffiengejutkan Tuan Puteri" gumam Ken Arok.
"Mudah-mudahan" sahut Ki Buyut Panawijen "gadis itu sangat mengasihi kakaknya, seperti juga sebaliknya." Orang tua itu berhenti sesaat. Tiba-tiba ia berdesah "Kalau anakku masih ada.
"Ken Arok yang mendengar desah itu menarik nafas dalam. Ia tahu benar apa yang telah terjadi dengan putera Ki Buyut Panawijen itu. Sekilas ia berpaling memandangi wajah Ki Buyut yang tua, yang sudah dipenuhi oleh kerut-merut garis-garis umur. Tapi Ken Arok tidak berkata sepatah katapun.
Empu Gandring hanya berdiam diri, iapun pernah mendengar jua apa yang telah terjadi atas anak laki-laki Ki Buyut Panawijen.
"Tetapi beruntunglah bahwa Ken Dedes kemudian terlepas dari Kuda-Semana, bahkan kepahitan yang dialami itu dapat menjadi pupuk bagi kesuburan jalan hidupnya. Apa bila tidak demikian, maka ia tidak akan sampai keistana Turnapel. Akupun menjadi ikut berbahagia dengan kebahagiaan gadis itu. Aku juga pasti tidak akan rela melihat apa bila gadis itu benar-benar menjadi isteri pelarian dari Kuda-Sem pana" Ki Buyut melanjutkan desabnya dalam nada yang dalam.
Ken Arok dan Empu Gandring masih saja berdiam diri. Terasa seolah-olahpedih hati .orang tua itu terungkat kembali dengan tiba-tiba. Apalagi bila kemudian Mahisa Agni tidak dapat diselamatkan maka iapun akan merasa kehilangan, sebab bagi Ki Buyut Panawijen, Mahisa Agni seakan-akan telah men jadi ganti anaknya yang hilang.
Dan dengan tiba-tiba saja ia bertanya "Empu, apakah Empu yakin bahwa Mahisa Agni akan selamat"
Empu Gandring menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi dipaksa kannya mulutnya menjawab "Aku yakin Ki Buyut.
Ki Buyut itupun kini terdiam pula. Ia masih memandang kuda yang kini menjadi semakin kecil. Sekecil sebuah noktah di wajah langit yang luas.
Untuk sesaat kini ketiganya "aling berdiam diri. di belakang mereka orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel telah menjadi sibuk dengan segala macam persiapan. Alat-alat dan keperluan2 yang akan dikerjakan hari ini telah mereka kumpulkan dan mereka bawa be-ramai2 ketepi sunga dimana bendungan itu dibuat.
Bintik2 dicakrawala yang menjadi semakin kecil itupun kemudian hilang bersama dengan pancaran sinar matahari yang pertama, menyiram wajah padang Karautan yang ke- kuning2an. Warna fajarpun kemudian menjadi semakin terdesak oleh cerahnya sinar matahari. Kuning ke-putih2an.
Ketika wajah Ki Buyut yang berkeriput itu merasa ter sentuh oleh hangatnya matahari pagi, maka orang tua itupun menarik nafas dalam-dalam. Dipalingkan wajahnya, dan dilihatnya orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel telah sibuk mempersiapkan diri untuk mulai bekerja.
"Kita hampir mulai" gumam Ki Buyut itu kemudian.
Ken Arokpun kemudian berpaling. Terdengar ia berdesis
"Mereka sudah siap Ki Buyut.
"Marilah, aku akan minum wedang-jaheku dahulu.
"sahut Ki Buyut. Kepada Empu Gandring Ki Buyut itu mempersilahkan "Marilah Empu. Minumlah dahulu.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya pelahan. Namun kemudian ia berkata "Ki Buyut, terima kasih. Te tapi hari ini aku terpaksa mohon diri,
Ki Buyut terkejut dan bahkan Ken Arokpun terkejut pula "Begitu tergesa-gesa" hampir bersamaan mereka ber dua bertanya.
"Ya. Aku kira lebih baik bagiku. Aku akan segera tenggelam dalam kerja yang sudah lama aku tinggalkan. Aku sudah terlampau rindu kepada padepokanku. -
Ki Buyut dan Ken Arok saling berpandangan sejenak. Kemudian berkatalah Ki Buyut Panawijen "Apakah Empu tidak ingin melihat air sungai itu naik ke-parit-parit yang sudah disiapkan menerima limpahannya itu?"
"Memang, melihat air itu turun ke-parit-parit untuk pertama kalinya adalah suatu kebanggaan yang mengharukan. Te tapi aku terlampau rindu kepada kAmpung halaman. Biarlah aku akan kemari lagi beberapa minggu yang uakand datang. Mudah-mudahan aku dapat turut melihat bendungan itu mengangkat air.
"Kami disini menunggu Empu" berkata Ken Arok ka mi merasa Empu ikut serta menyiapkan bendungan ini. Sejak Mahisa Agni sedang mencari tempat ini, bukankah Empu telah membantunya seperti yang sering disebut-sebut Mahisa Agni.
"Ah. Adalah kebetulan bahwa Agni itu kemenakanku Tetapi baiklah, aku akan mencoba melihat air dari sungai itu melimpah keparit-parit untuk yang pertama kalinya.
Kemudian Empu akan melihat aku membangun sebuah taman yang indah sekali." berkata Ken Arok "indah sekali menurut keinginan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi aku tidak tahu, apakah selera keindahanku akan serupa dengan keinginan Akuwu.
"Ya, ya. Aku akan melihat taman itu kelak. Mudah2 an akun berkesempatan.
"Tentu. Empu tentu berkesempatan.
"Begitulah yang aku inginkan. Tetapi kadang-kadang yang terjadi bukanlah keinginan kita masing-masing.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ia tahu benar arti kata2 itu. Tetapi ia tidak mengerti kenapa Empu Gandring mengucapkannya.
"Empu" perkata Ken Arok kemudian "taman itu ti dak akan terlalu lama siap. Lihat, diujung dari parit induk ini, yang kelak akan terletak diluar daerah persawahan yang akan dibuat oleh orang-orang Panawijen, telah aku gali sebuah sendang buatan. Beberapa macam pepohonan telah aku tanam sejak kini, meskipun setiap sore masih harus disiram dan masih harus dilindungi dari terik matahari sampai air ini mengalir kesana. Disekitar sendang itulah nanti akan dibu at sebuah taman dengan kebun bunga yang indah. Beberapa jenis pohon pelindung telah pula aku tanam sejak sekarang.
Empu Gandring meng-angguk-angguk kepalanya "Ya, aku ingin sekali melihat taman itu kelak.
"Empu Gandring harus melihatnya dan memujinya. Biar orang lain, Tuanku Akuwu sendiri nanti mencelanya,
Empu Gandring tersenyum "Akuwu akan memuji bukan sekedar untuk menyenangkan hati angger. Tetapi aku yakin sejak sakarang, bahwa taman itu akan menjadi taman yang paling indah diseluruh Tumapel dan bahkan seluruh Kediri. Sebab taman itu dipersiapkan pada tanah yang masih kosong, yang dapat dibuat benar-benar menurut rencana.
"Tetapi rencananyalah yang jelek Empu.
Empu Gandring, Ki Buyut Panawijen dan bahkan Ken Arok sendiri tertawa.
"Empu" berkata Ken Arok tiba-tiba "aku telah mendengar bahwa Empu adalah seorang pembuat keris yang jarang ada duanya. Mungkin suatu ketika aku akan datang kepada Empu, untuk mendapatkan sebuah kanang2an. Seperti Empu lihat, sampai kini aku belum mempunyai sebuah keris yang belum berarti bagiku. Apa lagi sebuah keris yang disebut pusa ka. Karena itu, pada suatu saat aku mengharap, bahwa Empu akan memberi aku sipat kandel.
"Ah" Empu Gandring berdesah "Aku tidak lebih dari seorang pande besi biasa ngger. Tetapi aku mengharap ang ger datang kepadepokanku. Lulumbang. Mungkin aku dapat membuat sesuatu untuk angger. Tetapi sama sekali bukan se buah pusaka. Apa bila angger menghendaki sekedar pisau un tuk menebas alang2, nah, aku akan bersedia.
"Empu terlampau merendahkan diri.
"- Tidak ngger. Supaya angger tidak kecewa kelak.
Ken Arok tersenyum. Katanya "Baiklah. Suatu ketika aku. pasti datang ke Lulumbang. Tetapi sebaiknya EMpulah yang datang lebih dahulu kemari, melihat taman yang akan aku persembahkan kepada Tuanku Tunggul Ametung yang akan dijadikannya hadiah untuk permaisurinya tercinta. Tu nku putri Ken Dedes.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Sambil meng- angguk-angguk lemah ia memandangi padang yangluasitu. jauhdi atas pandangan matanya ia melihat langit seolah-olahbertemu dengan padang rumput yang kering itu. Terpercik didadanya serasa ia tidak akan dapat melihat padang itu lagi kelak.
Empu Gandring terkejut ketika ia kemudian mendengar Ken Arok berkata kepadanya "Kalau Empu tidak lagi dapat kami tahan, baiklah aku mengucapkan selamat jalan. Tetapi sebaiknya Empu menyiapkan dahulu bekal diperjalanan. Barangkali Ki Buyut dapat membantunya. Sekarang, maaf Empu, aku harus mulai bekerja bersama para prajurit Tumapel yang sudah memencar diri.
"O, silahkan, silahkan ngger. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi dikesempatan lain.
"Kami disini selalu menunggu kedatangan Empu. Kalau Empu tidak juga datang, maka aku akan datang ke Lulumbang.
Empu Gandring tersenyum "Akupun selalu menunggu ke datanganmu ngger. Dan aku juga selalu menunggu setiap berita tentang Mahisa Agni.
"Baik Empu. Aku akan selalu mengirimkan orangku ke Lulumbang apabila terjadi perkembangan keadaan. Nah, sekarang, maaf, aku harus mulai.
"Silahkan ngger" sahut Empu Gandring.
Ken Arok itupun kemudian meninggalkan Empu Gandring dan Ki Buyut Panawijen. Sejenak ia mengawasi para pra jurit Tumapel yang berpencaran. Sebagian dari mereka telah membawa pedati keujung induk susukan, untuk menyiapkan sebuah sendang buatan. Sebagian lagi menaikkan batu-batu bersama orang-orang Panawijen yang berani melintasinya karena ceritera tentang hantu Karautan yang menakutkan. Tetapi kini, disisi padang ini, berkeliaran orang-orang Panawijen, prajurit-prajurit dan pelayan dalam dari Tuma pel yang sedang sibuk bekerja menyelesaikan bendungan dan sebuah taman buatan.
Tetapi sebentar kemudian Ken Arok itupun berjalan cepat2 kebendungan yang sudah mulai dikerjakan. Ternyata ia tahu benar maksud Mahisa Agni. Se-olahs Ken Arok itu turut serta merencanakan pembuata.nnya, sehingga meskipun Mahisa Agni tidak ada, namun pembuatan bendungan itu sama sekali tidak terganggu dan berjalan seperti yang di kehendakinya.
Dalam pada itu Ki Buyut masih belum meninggalkan Empu Gandring yang segera akan meninggalkan padang Kara utan. Dipersilahkannya Empu Gandring untuk menyiapkan beberapa macam bekal makanan dan bumbung2 air.
Aku akan menyusur sungai ini Ki Buyut, sehingga aku tidak perlu membawa terlampau banyak persedian air.
"O" Ki Buyut meng-a.ngguk2kan kepalanya.
Ketika matahari merambat semakin tinggi, maka Empu Gandringpun telah siap di atas punggung kudanya. Sekali lagi ia minta diri kepada Ki Buyut Panawijen yang menungguinya. "Salamku buat ora.ng2 Panawijen dan para prajurit" katanya.
"Terima kasih dan Selamat jalan EMpu" desis Ki Bu yut Panawijen.
"Terima kasih" jawab Empu Gandring "semoga kita masing-masing mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.
Sesaat kemudian maka kuda Empu Gandringpun mulai bergerak. Ditinggalkannya perkemahan yang sedang sibuk dengan kerja. Beberapa pasang mata masih sempat melihat kuda itu menaburkan debu yang tipis. Semakin lama semakin jauh.
Sekali-sekali Empu Gandringpun berpaling pula. Dilihatnya be tapa kerja yang dimulai oleh Mahisa Agni itu menjadi se makin sibuk. Orang-orang Panawijen dan para prajurit berpencaran dalam kerja masing-masing. Bendungan, parit-parit dan sebuah taman seperti yang dihendaki oleh Tuanku Tunggul Ametung, agak jauh ketengah padang.
"Beberapa tahun lagi maka daerah ini akan menjadi sebuah padukuhan yang ramai. Panawijen sendiri akan segera dilupakan orang. Mereka akan meninggalkan padesan yang semakin lama menjadi kering, sedang daerah disepanjang sungai ini adalah daerah yang masih sedang berkembang." gumam Empu Gandring kepada diri sendiri.
Terbayang di matanya, induk susukan yang membelah daerah persawahan yang subur. Kemudian sebuah pategalan dan yang kelak akan menjadi padesan. Disebelah padukuhan itu dibangun sebuah taman yang indah. Bukan saja untuk kepentingan padukuhan atau padepokan yang akan lahir nanti, tetapi taman itu adalah taman Akuwu Tumapel. Bukankah dengan demi kian jalan antara Karautan dan Tumapel akan menjadi ramai pula" Jalan yang menghubungkan istana dengan se buah kenangan tentang tempat asal Ken Dedes, meskipun bukan yang sebenarnya, karena tempat yang sebenarnya Idah menjadi kering.
Empu Gandring menarik nafas dalam!".
"Tetapi apakah orang yang telah meletakkan hasrat yang pertama kali membuat bendungan dipadang Karautan itu kelak akan dapat melihatnya pula"
Sebuah desir yang lembut telah menggores jantung Empu Gandring. Namun kemudian, sekali lagi ia mencoba menguasai perasaannya. "Semuanya berada ditangan Yang Maha Agung. Apalagi nasib Mahisa. Agni, sedang nasibku sendiri pun tidak aku ketahui. Apakah aku masih juga diberi kesempatan untuk bertemu dengan kemanakanku itu atau tidak, aku tidak tahu.
Ketika Empu Gandring sekali lagi berpaling, maka per kemahan ditepi sungai itu seolah-olahtelah menjadi bintik2 yang sangat kecil. Ia sudah tidak lagi dapat melihat orang-orang yang sedang berpencaran bekerja dibawah sinar matahari yang sudah mulai menggatalkan kulit.
"Mudah-mudahan semuanya terjadi seperti yang dikehendaki "desisnya" semoga Yang Maha Agung memperkenankan.
Sekali Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Kemudian disentuhnya perut kudanya dengan sebuah ranting kecil yang dipakainya sebagai cemeti.
Kuda itupun kemudian berlari semakin kencang membelah padang Karautan yang sepi.
Sementara itu inataharipun merayap per-lahan-lahan menyusuri jalannya dilangit. Semakin lama semakin tinggi. Ketika di capainya puncak ketinggian, maka ditempuhnya jalannya di belahan langit disebelah Barat. Semakin lama semakin rendah.
Selembar2 awan hanyut dipermukaan wajah yang biru. Dan burung-burung berkeliaran menyambar makanannya.
Dalam pada itu, dua ekor kuda sedang berpacu memasuki jalan kota di Tumapel. Derap kakinya meng-hentak2 di atas tanah ber-batu-batu. Segumpal-segumpal debu yang putih melontar diudara.
Dua orang penunggang kuda yang tubuhnya basah oleh keringat telah memasuki gerbang kota. Keduanya adalah prajurit yang mendapat perintah dari Ken Arok, menyampaikan laporan kepada Akuwu Tunggul Ametung.
Di regol pertama istana Tumapel keduanya berhenti. Para penjaga yang melihat kedua prajurit yang tubuhnya menjadi kelabu karena debu yang melekat, tersenyum sambil ber tanya. "He, apakah kau baru saja ber-guling2 di atas pasir"
"Uh" sahut salah seorang dari mereka "panasnya bukan/nain. He, apakah masih ada sisa makanan disini",
Prajurit-prajurit yang berada di regol itu tertawa. "Apakah kau tidak membawa bekal apapun dari Panawijen.
"Aku tidak datang dari Panawijen, aku datang dari padang Karautan.
"Ya, begitulah maksudku.
"Yang ada dipadang itu hanyalah rumput-rumput kering dan batu-batu padas ber-gumpal-gumpal.
"Bohong" sahut salah seorang prajurit yang bertugas di regol halaman luar "kau sangka aku tidak tahu, berapa pedati penuh dengan beras dan j agung yang kalian bawa ke padang itu"
"Tetapi aku tidak sempat membawa barang segumpal pun. Sekarang beri aku makan.
Para penjaga regol itu tertawa. Dibawanya kedua kawan nya kegardu mereka.
"Aku masih mempunyai sebungkus meniran jagung.
"Jadilah. Sementara itu sampaikan lewat pelayan da lam yang bertugas, bahwa kami berdua ingin menghadap Akuwu Tunggul Ametung. Kami membawa pesan dari Ken Arok yang memimpin kami dipadang Karautan.
Telanlah makanan itu dahulu. Kalau tiba-tiba Akuwu memanggilmu saat ini juga, kau tidak akan menghadap sambil mengunyah meniran jagung.
"Akuwu tidak akan menerima aku segera. Aku masih akan sempat mandi dahulu.
"Pantas. "Apa yang pantas. "Kalau kau memang bermaksud mandi dahulu, seharus nya kau mandi sebelum makan.
"Sama saja. Mandi lalu makan atau makan lalu mandi.
Para prajurit itupun tertawa. Mereka membiarkan kedua kawannya makan se-kenyang2nya. Sementara itu salah se orang dari mereka pergi kehalaman dalam. Menyampaikau permohonan kedua prajurit itu untuk menghadap lewat me reka yang bertugas didalam.
Ternyata dugaan kedua prajurit yang datang dari padang Karautan itu meleset. Ternyata begitu Akuwu mendengar permohonan itu, segera befkata "Bawa mereka kemari.
Prajurit yang sedang makan itupun menjadi tergesa.2. Ketika mereka menelan gumpalan meniran jagung yang ter akhir, maka mereka memerlukan hampir segendi air untuk mendorong gumpalan itu masuk kedalam perut mereka.
Dengan tergesa-gesa mereka menyeka badan mereka yang kotor, membenahi pakaian mereka dan dengan tergesa-gesa pula mereka berjalan masuk lewat pintu regol halaman dalam.
"Akuwu hampir tidak sabar menunggu kalian" berkata prajurit yang berada di regol halaman dalam.
"Aku baru makan" sahut kedua prajurit itu sambil berjalan cepat.
Sejenak kemudian kedua prajurit itu telah duduk tu mungkul dihadapan Akuwu Tunggul Ametung diruang belakang. Sekali-sekali mereka menekan perut mereka yang terasa sakit diarah lambung karena mereka baru saja makan kenyang2.
"Apakah kalian membawa pesan dari Ken Arok" bertanya Akuwu Tunggul Ametung.
"Hamba tuanku" sahut kedua prajurit itu.
"Tentang bendungan dan taman"
"Hamba tuanku, tetapi juga tentang yang lain.
"Yang lain itulah yang pasti akan menarik perhatian. Tentang bendungan dan taman, bukankah kau akan berkata bahwa keduanya telah dikerjakan dengan lancar"
"Hamba tuanku. "Nah, kalau begitu, tentang yang lain itulah yang aku ingin mendengar. Coba katakan, tentang apa" Kekurangan makan" Penyakit"
"Tidak tuanku. "Kalau begitu tentang apa"
"Tentang kakanda Tuan Puteri Ken Dedes.
"Mahisa Agni "Ya. "Kenapa Mahisa Agni" Apakah Ken Dedes perlu mendengarnya juga"
"Hamba tuanku. Tetapi hamba tidak tahu, apakah Tuan Puteri Ken Dedes dapat langsung mendengarnya dari mulutku.
Tunggul Ametung mengerutkan alisnya. Terasa sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Dan tiba-tiba ia teringat kepa da permintaan Ken Dedes beberapa saat yang lalu. Gadis itu mengatakan bahwa kakaknya sedang terancam oleh kedua orang yang mengerikan, Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Gadis itu pernah berkata kepadanya dan minta perlindungan bagi kakaknya dari kedua iblis dari Kemundungan itu.
Dengan demikian maka Akuwu Tunggul Ametung itu menjadi berdebar-debar. Wajahnya yang keras tampak menjadi tegang. Sedang kedua prajurit yang menghadapnya, duduk tumungkul dalam-dalam.
Tetapi kedua prajurit itu terkejut dan hampir saja mereka terlonjak ketika tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung membentaknya "Kenapa kalian diam saja he" Soal yang lain itu soal apa"
"Oh" sahut salah seorang dari kedua prajurit itu
"Ampun tuanku. Maksud hamba, apakah hamba harus menyampaikan sekarang, atau hamba masih harus menunggu Tuan Puteri Ken Dedes.
Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpikir. Lalu katanya "Katakan Katakan sekarang.
Sejenak kedua prajurit itu saling berpandangan. Namun sekali lagi mereka terkejut ketika Akuwu itu berteriak
"Sekarang. Kau dengar.
"Ya, ya tuanku" berkata prajurit itu. Meskipun ia sudah biasa melihat sikap Tunggul Ametung, namun terasa tangannya masin juga gemetar "hamba mendapat pesan dari kakang Ken Arok untuk hamba persembahkan kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, berita tentang kakanda Tuan Puteri Ken Dedes.
"Sudah kau katakan. Sudah kau katakan" potong Tunggul Ametung "tentang Mahisa Agni. Kenapa Mahisa Agni itu"
Prajurit itu menggigit bibirnya. Namun kawannya cepat2 menyambung "Hamba tuanku. Sebenarnyalah memang soal kakanda Tuan Puteri yang sedang berada dalam bahaya.
"Aku sudah mengerti. Kalau tidak demikian kalian tidak akan datang kemari. Tetapi bahaya itu bahaya apa"
"Tuanku" sahut prajurit yang seorang "Telah lama kakanda Tuan Puteri Ken Dedes dibayangi oleh dua orang yang berbahaya baginya, yang selama ini berusaha untuk menangkap Mahisa Agni.
"Maksudmu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat"
Kedua prajurit itu saling berpandangan sejenak. Ternyata Akuwu Tunggul Ametung telah mendengar nama itu.
"Benar" "Hamba tuanku" hampir bersamaan kedua prajurit itu menyahut "Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
"Dan kini Mahisa Agni berhasil ditangkapnya"
"Hamba tuanku. "Setan alas" Akuwu Tunggul Ametung itu mengum pat keras2 sambil meloncat berdiri. Tangannya mengepal dan giginya gemeretak. Sambil meng-ayun2kan tangannya dekat se kali di atas kepala kedua prajurit yang tunduk itu Akuwu Tunggul Ametung berteriak "Bukankah dipadang Karau tan ada sepasukan prajurit Tumapel di bawah pimpinan Ken Arok" Prajurit macam kalian ini" Lalu apakah genuanya kalian berada di padang itu, he" Apakah kalian tidur saja atau kalian berlari ketakutan hanya karana mendengar nama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat" O, alangkah malunya aku mempunyai prajurit "eperti kalian. Kalian yang hanya dapat makan dan tidur, tetapi tid^k berani menengadahkan dada di badapan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat"
Kedua prajurit itu tidak legera menjawab. Mereka telah mengerti benar-benar sifat Akuwunya. Apa bila mereka berani memotong kata-kata itu, maka kepala mereka pasti akan di sentuh oleh tinju yang sedang terayun2. Karena itu maka mereka membiarkan saja Akuwu Tunggul Ametung itu ber bicara terus.
Akhirnya Akuwu Tunggul Ametung itu terdiam juga.
"Ampun tuanku" berkata seorang dari kedua praju rit itu setelah Akuwu Tunggul Ametung terdiam diri "yang terjadi itu benar-benar di luar kemungkinan pertolongan kami.
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. "Kenapa?" desisnya.
"Kebo Sindet berhasil menangkap Mahisa Agni tidak di padang Karautan, tetapi di padepokan Panawijen. -
"Apakah Mahisa Agni berada di padepokan Panawijen"
"Hamba tuanku" jawab prajurit itu.
"Bagaimana hal itu bisa terjadi" -
Maka prajurit itupun kemudian menyampaikan pesan Ken Arok dan Empu Gandring kepada Akuwu Tunggul Ametung. Dengan hati-hati dikatakannya peristiwa itu berurutan seperti yang mereka dengar. Dikatakannya pula bahwa Wong Sarimpat kini telah terbunuh, dalam perkelahian melawan Empu Sada, guru Kuda Sempana yang ingin juga membebaskan Mahisa Agni.
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kini telah duduk kembali. Dengan wajah yang tegang ia mencoba membayangkan apa yang telah terjadi atas Mahisa Agni.
"Ah" desahnya "anak itu kurang hati-hati. Kenapa ia tidak membawa beberapa orang prajurit bersamanya ketika ia pergi ke Panawijen"
Sekali lagi Akuwu berdiri dengan gelisahnya. Sambil berpaut tangan di punggungnya ia berjalan hilir mudik di dalam ruangan itu. Kepalanya ditundukkannya, seolah-olahsedang memandangi ujung2 kakinya berganti-ganti.
Tiba-tiba Akuwu itu berhenti, berputar menghadap kearah kedua prajurit itu "Sst" desisnya "jangan terlampau keras. Nanti Ken Dedes mendengarnya. Ia tidak boleh menjadi gelisah karenanya. Aku sendirilah yang akan menyampai kan berita ini kepadanya dengan hati-hati, supaya ia tidak menjadi bingung dan cemas. Rencana yang sudah aku susun selama ini tidak boleh terganggu karenanya.
Kedua prajurit itu tersenyum di dalam hati. Bukankah Akuwu Tunggul Ametung sendiri yang berteriak-teriak demikian kerasnya" Tetapi kedua prajurit itu menjawab hampir bersamaan "Hamba tuanku.
"Bagus. Para tetua Tumapel sudah sibuk menentukan hari perkawinanku dengan gadis itu. Hilangnya Mahisa Agni, jangan mcnjadi sebab tertundanya perkawinan itu. "Akuwu itu terdiam sejenak. Alisnya menjadi berkerut-merut. Dan tiba-tiba ia berteriak "He, aku akan menyiapkan pasukan segelar sepapan. Mahisa Agni harus diketemukan segera. Witantra sendiri harus memimpin pasukan itu.
Kedua prajurit itu sama sekali tidak terkejut. Mereka sudah menyangka bahwa Akuwu akan mengambil sikap itu dengan serta merta.
Dan kedua prajurit itu mendengar Akuwu melanjutkan
"Ah, tidak, tidak perlu segelar sepapan. Bukankah yang di hadapi hanyalah seorang Kebo Sindet. Sebenarnya prajurit-prajurit yang ada di padang Karautan saja telah cukup untuk me nangkapnya. Apalagi di sana ada pula Empu Gandring.
Kedua prajurit itu tidak segera menjawab. Mareka masih menundukkan kepala mereka.
"He, kenapa kalian diam saja" Bagaimana pendapatmu"
"Ampun tuanku" sahut salah seorang dari mereka.
"Sebenarnya kami di padang Karautanpun akan mampu me nangkapnya bersama kakang Ken Arok dan Empu Gandring apabila persembunyiannya telah kami ketemukan.
"Jadi persembunyian itu belum kalian temukan" Jadi bagaimana katamu tadi" Bukankah kau berkata bahwa persembunyian Kebo Sindet itu telah diketahui, diputari sebuah rawa-rawa yang berlumpur"
"Hamba tuanku. Maksud hamba, bahwa sebenarnya tuanku tidak perlu menyiapkan sepasukan yang lain.
Tetapi bagaimana yang terjadi. Apakah kalian berbuat sesuatu atas Mahisa Agni" Kalau kalian dapat mengatasi per soalan itu sendiri, kalian tiadak akan ber-lari2 datang kemari melaporkan hal itu kepadaku. Kalian pasti akan bertindak dahulu, baru setelah semuanya selesai, kalian mempertanggung jawabkannya kepadaku. Tetapi sekarang kalian berlari ke padaku mengadukan persoalan itu. Nah, apa katamu"
"Ampun tuanku." jawab salah seorang prajurit itu "hamba telah menyampaikan pesan dari kakang Ken Arok dan Empu Gandring, bahwa saat ini kekerasan tidak akan menguntungkan bagi Mahisa Agni itu sendiri.
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Sambil meng-anggukskan kepalanya ia berkata "Ya, ya. Aku mendengar. Tetapi apakah Mahisa Agni itu akan dibiarkan saja dalam keadaannya. Sedang orang yang akan berusaha membebaskannya itu akan dapat melakukan pekerjaannya berapa bulan, berapa tahun lagi" Itu akan terlampau lama. Sebentar lagi aku akan melangsungkan upacara kenegaraan. Apabila saat itu Mahisa Agni masih belum diketemiikan, maka aku menjadi cemas, Bahwa Ken Dedes akan tergang gu perasaan dan kegembiraannya.
Kedua prajurit itu meng-anggukskan kepalanya. Namun salah seorang dari mereka mencoba berkata "Tetapi tuan ku, apabila terjadi sesuatu yang lebih dahsyat pada Mabisa Agni itu, maka 2 Tuan Puteri akan menjadi lebih berduka.
"Ya, ya. Kau benar." Akuwu Tunggul Ametung itu berhenti sejenak. Ia kini berdiri di muka kedua prajurit yang duduk menunduk dalam-dalam "peristiwa ini adalah peristi wa yang pahit bagiku. Tetapi upacara kenegaraan dari per kawinan Akuwu Tumapel tidak boleh tertunda. Sebagian da ri persiapan telah dilakukan dan para tetua Tumapelpun telah menentukan waktunya.
Kedua prajurit itu tidak menyahut.
"Lalu bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya Akuwu itu tiba-tiba.
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Mereka sama sekali tidak mengerti bagaimana mereka menjawab perta. nyaan itu.
Mereka mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mereka men dengar Akuwu itu berkata "Ya, ya. Tidak seharusnya aku bertanya mengenai hal-hal yang sulit kepada kalian. Nah, seka rang kalian boleh beristirahat. Laporan kalian telah aku te rima dan pesan Empu Gandring dan Ken Arok dapat aku me ngerti. Aku tidak akan segera mempergunakan kekerasan. Tetapi aku perintahkan kepada Ken Arok untuk berusaha menurut jalan yang se-baik-baiknya, agar Mahisa Agni dapat segera diselamatkan. Dan, sesuai dengan perintahku yang dahu lu, taman yang sedang kalian kerjakan itupun harus segera selesai pula.
"Hamba tuanku" sembah kedua orang prajurit itu "taman itu telah kami kerjakan. Beberapa jenis pohon-pohonan yang akan menjadi pelindung telah tumbuh subur.
"Bagus. Bagus. Aku percaya kepada kalian dan Ken Arok. Sekarang pergilah. Sore ini aku harus bertemu dengan Ken Dedes. Ia tidak boleh terkejut Aku akan mencoba mengatakan kepadanya.
"Hamba tuanku." berkata salah seorang prajurit itu "perkenankanlah hamba mohon diri.
"Pergilah. Kau harus segera kembali ke padang Karautan. Kau tidak perlu menghadap aku lagi kecuali apa bila aku memanggil kalian.
"Hamba tanku. "Kebutuhan kalian tidak pernah dilupakan. Kalau kali an memerlukan orang-orang baru, maka segera aku akan mengirimkan.
"Kakang Ken Arok tidak berpesan demikian tuanku.
"Baik. Pergilah. Taman itu tidak boleh terlambat.
Kedua prajurit itupun kemudian meninggalkan istana. di halaman luar mereka mengambil kuda-kuda mereka.
"Terima kasih atas makanan yang kalian berikan" berkata prajurit itu kepada penjaga.
Kau tidak mandi dahulu" bertanya salalah seorang prajurit yang berjaga-jaga di rogol itu.
"Buat apa aku mandi sekarang. Aku sudah menghadap Akuwu meskipun tubuhku seperti gadung yang dilumuri abu.
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu sekarang kau mau apa"
"Kembali" sahut kedua prajurit itu hampir bersamaan.
"Kembali kepadang Karautan"
"Oh, aku masih belum gila" sahut salah seorang prajurit itu" kembali pulang. Menemui anak isteri. Mandi, Makan yang baik tidak tergesa-gesa dengan lauk yang lezat. Minum wedang jae, lalu tidur nyenyak. Besuk aku baru kempali ke padang yang kering dan panas itu.
Sesaat kemudian prajurit-prajurit itupun meninggalkan regol istana menyusur jalan-jalan kota pulang kerumah masing-masing. Mereka mempergunakan malam untuk berkumpul di antara keluar ga mereka yang selama ini mereka tinggalkan, berjemur di si ang hari dan berembun di malam hari di padang Karautan.
Diistana, Akuwu Tunggul Ametung berjalan hilir mudik dengan gelisahnya di biliknya. Hilangnya Mahisa Agni akan dapat mengganggu rencana perkawinan yang telah dipersiapkan oleh orang-orang tua istana Tumapel.
Sebenarnya apa bila Akuwu menghendaki, maka perubahan itu tidak akan dapat dihalangi oleh siapapun. Namun Akuwu sendiri sama sekali tidak ingin perkawinannya tertunda. Karena itu maka ia harus mencari akal, supaya semua rencananya dapat berlangsung.
Tanpa sesadarnya maka Akuwu Tunggul Ametung itu telah mengumpat di dalam hatinya. Mengumpati Kuda-Sempana, Kebo Sindet, Wong Sarimpat dan orang-orang yang telah mereka peralat untuk memancing Mahisa Agni.
"Tetapi ternyata Mahisa Agni itu terlampau bodoh desisnya "ia mau saja dituntun seperti seekor kerbau yang telah dicocok hidungnya, masuk kedalam perangkap. O, alangkah bodohnya. Dan tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung itu mengepalkan tangannya dan ditinjunya telapak tangan kirinya sendiri kuat-kuat. "Bodoh, bodoh" desisnya pula "bukan saja Mahisa Agni, tetapi Ken Arok juga bodoh. Dan Empu Gandring itu juga bodoh. Mereka bertiga bersama-sama masuk ke dalam perangkap yang telah dipasang oleh Kebo Sindet. Hanya orang-orang sebodah Mahisa Agni, Empu Gandring dan Ken Arok sajalah yang dapat dipancing seperti itu.
Nafas Akuwu Tunggul Ametung itu menjadi semakin cepat mengalir.
"Persetan. Persetan" dan Akuwu Tunggul Ametung itu mencoba merebahkan dirinya di atas pembaringannya. Tetapi sejenak kemudian ia sudah berdiri lagi dan berjalan mondar-mandir.
Tiba-tiba ia tidak tahan lagi. Terdengar suaranya menggelegar memanggil pelayan yang sedang berjaga-jaga di bawah tangga serambi istana. "He, siapa yang berada di situ"
Ber-hari-hari pelayan itu naik dan duduk di depan pintu bilik Akuwu Tunggul Ametung.
Tetapi pelayan itu terkejut ketika ia mendengar Akuwu itu berteriak lagi "He, apakah pelayan-pelayan itu sudah tuli"
Tanpa sesadarnya, maka dengan serta merta pelayan itu menyafaut cukup keras "Hamba tuanku. Hamba telah menghadap.
Maka Akuwu Tunggul Ametunglah yang terkejut. Tidak disangka-sangkanya bahwa di belakang pintu itu sudah duduk seorang pelayan yang menjawab panggilannya dengan keras pula.
"Apa" teriak Akuwu itu tiba-tiba" kau berani membentak aku"
"Ampun, Ampun tuanku" pelayan itu tergagap "Hamba tidak sengaja. Hamba terkejut dan karena itu maka suara hamba menjadi agak terlampau keras -
"Masuklah" suara Akuwu Tunggul Ametungpun menjadi rendah dan lambat.
Perlahan-lahan pelayan itu mendorong pintu bilik Akuwu Tunggul Ametung, kemudian duduk bersimpuh sambil menundukkan kepalanya.
"Katakanlah kepada emban pemomong Ken Dedes, aku ingin bertemu.
Pelayan itu menyembah, katanya "Hamba tuanku. Apakah Tuan Puteri Ken Dedes harus menghadap.
Akuwu Tunggul Ametung berpikir sejenak.
"Tidak" katanya sambil menggelengkan kepalanya "aku akan datang kepadanya sebentar lagi.
"Hamba tuanku." sembah pelayan itu, yang kemudian meninggalkan ruangan itu untuk menyampaikan pesan Akuwu Tunggul Ametung kepada Ken Dedes.
Ketika pelita dan lampu-lampu di dalam istana Tumapel sudah mulai dinyalakan, serta para pelayan sudah selesai membenahi bilik-bilik dan ruangan-angan di dalam istana itu, maka Akuwu Tunggul Ametung berjalan menyusur ruang dalam pergi ke bilik Ken Dedes. Dengan hati yang gelisah Akuwu melangkah se tapak demi setapak. Di-reka-rekanya kalimat-kalimat yang akan disampaikannya kepada Ken Dedes supaya berita tentang hilangnya Mahisa Agni bagi Ken Dedes tidak mengejutkan dan seakan-akan hanya merupakan sesuatu peristiwa kecil saja.
Debar di dada Akuwu Tunggul Ametung menjadi semakin cepat ketika ia melihat Ken Dedes telah menunggunya di ruang tengah di depan biliknya.
Dengan hormatnya gadis itu duduk bersimpuh di atas sehelai tikar pandan yang dianyam ber-bunga-bunga di belakangnya duduk emban tua pemomongnya yang setia, yang hampir tidak pernah terpisah dari padanya.
"Silahkan tuanku" Ken Dedes mempersilahkan Akuwu yang masih saja berdiri. Debar jantungnya hampir-hampir tidak dapat disembunyikannya lagi.
Namun dicobanya untuk tetap tenang. Perlahan-lahan diletakkannya tubuhnya di atas sebuah tempat duduk rendah persegi empat yang terbuat dari kayu berukir. Namun sejenak Akuwu itu sama sekali tidak mengucapkan kata-kata. Mulutnya serasa menjadi berat, dan darahnya menjadi seolah-olahsemakin cepat mengalir.
Ken Dedes dan emban tua pemomongnya merasa aneh melihat sikap Akuwu Tunggul Ametung itu. Sikap yang tidak biasa dalam hidupnya se-hari-hari. Namun justru karena itu Ken Dedes menjadi segan dan takut untuk bertanya lebih dahulu.
Baru sejenak kemudian, setelah jantung Akuwu Tunggul Ametung menjadi agak tenang ia berkata "Ken Dedes, kedatanganku ini sama sekali tidak membawa suatu persoalan yang penting. Aku masih belum mengambil keputusan-keputusan baru.
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Ia tidak segera tahu arah pembicaraan Akuwu Tunggul Ametung yang tidak tentu ujung dan pangkalnya itu.
Karena itu maka untuk sejenak Ken Dedes masih saja berdiam diri sambil menunggu Akuwu Tunggul Ametung menjelaskan maksudnya. Tetapi Akuwu Tunggul Ametung itupun kemudian berdiam diri sambil duduk tepekur. Ia sedang men cari kata-kata yang se-baik-baiknya untuk memberitahukan kepada Ken Dedes tentang kakak yang hilang.
Dengan demikian maka ruangan itu menjadi sepi. Ha nya desah nafas mereka sajalah yang terdengar seolah-olahsaling bersahutan. Betapa debar jantung Ken Dedes menjadi semakin cepat, tetapi ia tidak bereni bertanya sesuatu" pada Akuwu yang agaknya sedang disaput oleh kekalutan pi kiran.
Baru sejenak kemudian Akuwu itu berkata "Ken De des. Aku hanya ingin memberitahukan kepadamu, bahwa persiapan hari perkawinan itu berjalan dengan lancar.
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi terasa bahwa bukan itu yang ingin dikatakan oleh Akuwu Tunggul Ametung. Meskipun demikian ia menjawab "Hamba tuanku.
"Apakah kau bergembira karenanya"
"Hamba tuanku. Tentu hamba bergembira karenanya.
"Aku sudah menyangka" gumam Akuwu seolah-olahh pada diri sendiri.
Tetapi Akuwu itu sekali lagi terdiam. Dengan kaku ia duduk menundukkan kepalanya. Ia masih belum juga menemukan kata-kata yang dianggapnya baik untuk memberitahukan kepada Ken Dedes tentang Mahisa Agni.
Dalam pada itu Ken Dedespun menjadi semakin tegang. Terasa sesuatu yang baginya paiti cukup penting.
"Ken Dedes" tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung berdesis "hari perkawinan itu sudah ditentukan oleh tetua "Tumapel. Kira-kira setengah bulan lagi akan dilakukan upacara kenegaraan. Aku sama sekali tidak ingin saat-saat yang kita tunggu-tunggu itu terganggu oleh apapun juga. Bukankah begitu" Kau akan segera menjadi seorang permaisuri, bukan sekedar calon permaisuri. Kedudukanmu di dalam istana ini menjadi jelas. Tidak seperti sekarang. Kau masih seorang bakal permaisuri yang tidak mempunyai kekuasaan sepenuhnya. Para emban dan pelayan masih saja menganggapmu orang asing di sini.
"Ken Dedes mengangguk hormat sambil menjawab "Hamba tuanku. Hamba akan berterima kasih sekali atas per hatian tuanku. Tetapi sebenarnyalah bahwa para emban dan pelayan bersikap sangat baik kepadaku.
"Ya., ya" Akuwu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian ia berkata "Aku memang mengharap demikian, tetapi kau akan menjadi lebih mantap berada di istana ini sebagai seorang permaisuri. Seorang yang berhak sepenuh nya atas istana Tumapel. Dan tak seorangpun yang akan berani membantah perintahmu. Sebab kekuasaanmu. Sebab kekuasa anmu tidak ada bedanya dengan kekuasaanku sendiri di dalam istana ini. Apakah kau dapat mengerti Ken Dedes"
"Ken Dedes menjadi heran mendengar pernyaan itu. Hampir-hampir ia tidak dapat menahan perasaannya. Ia mencari semakin yakin bahwa ada sesuatu yang masih belum diucapkan oleh Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk mendesaknya.
"Akuwu Tunggul Ametung itu berkata pula dengan nada yang datar "Karena itu semuanya harus berlangsung tepat pada waktunya. Apapun yang terjadi." Tiba-tiba suaranya meninggi "Bukankah begitu Ken Dedes".
"Ken Dedes yang menjadi semakin gelisah menyahut- Hamba tuanku. Hamba menjunjung segala titah tuanku.
"Akuwu Tunggul Ametung mengangangguk anggukkan kepalanya "Bagus, bagus Ken Dedes. Tetapi ?" kata-kata Akuwu Tunggul Ametung terputus.
"Namun dengan demikian Ken Dedes benar-benar tidak dapat menahan diri lagi. Betapa ia dicengkam oleh keseganan dan ketakutan, namun terdorong juga pertanyaan dari mulutnya Tuanku, apakah sebenarnya yang ingin tuanku katakan"
"Hem" Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas dalam dalam. Tiba-tiba ia berdiri dan berjalan hilir mudik di ruangan itu. Sekali-sekali dipandanginya wajah Ken Dedes dan sekali-sekali wajah emban pemomongnya. Mula-mula ia ingin menyuruh emban itu pergi, tetapi niat itu diurungkannya. Mungkin Ken Dedes memerlukannya untuk menghiburnya apabila ia menjadi terkejut karenanya
Namun dalam pada itu, terasa dada Akuwu Tunggul Ametung sendiri menjadi pepat. Ia ingin segera mengatakan nya kepada Ken Dedes, tetapi ia tidak segera menemukan ca ra yang baik.
Tetapi dalam pada itu Ken Dedes telah mendesaknya lagi "Tuanku, apakah tuanku akan mengatakan sesuatu"
"Ya, ya" jawab Tunggul Ametung "ada yang akan aku katakan kepadamu.
"Hamba telah bersedia menerima titah tuanku.
"Baik, baik" jawab Tunggul Ametung.
Tetapi Tunggul Ametung tidak segera mengatakan sesua tu. Tunggul Ametung masih saja berjalan mondar mandir sambil mempermainkan jari2 tangannya.
Demikianlah maka ruangan itu menjadi sepi tegang. Wajah2 mereka yang berada dalam ruangan itu menjadi tegang pula. Bahkan dada Akuwu Tunggul Ametung serasa hampir meledak.
Kini Ken Dedes menjadi yakin bahwa ada sesuatu iang penting baginya. Karena Akuwu Tunggul Ametung tidak se gera mengatakannya, maka dicobanya untuk menyelusur setiap persoalan yang ada padanya. Persoalan-persoalan tentang dirinya, ten tang hubungannya dengan Akuwu Tunggul Ametung, dan tentang setiap orang yang ada di sekitarnya. Bahkan Ken Dedes itu menyangka, bahwa ada orang-orang yang tidak menyukai kehadirannya di dalam istana ini. Mungkin para emban dan mungkin para pelayan. Sekilas teringatlah ia kepada seorang dukun tua, Nyai Puroni. Apakah ada hubungannya dengan orang itu"
Namun tiba-tiba seperti petir yang meledak di atas kepalanya ia mendengar suara Akuwu yang sendat, namun seakan akan begitu saja meloncat dari mulutnya "Ken Dedes, soal itu adalah soal Mahisa Agni,
Justru sejenak Ken Dedes terbungkam. Segera ia menghubungkan persoalan Mahisa Agni itu dengan kecemasan dan ketakutan yang selama ini membayanginya. Padang Karautan yang ganas dan orang-orang yang selalu mengancamnya.
Namun bukan saja Ken Dedes yang menjadi cemas dan gemetar. Tetapi emban tua pemomong Ken Dedes itu pun menjadi gemetar pula. Terasa dadanya bergolak dan seluruh tubuhnya menjadi dingin. Hampir saja terloncat dari mulutnya, pertanyaan tentang keadaan anak muda itu selanjutnya. Untunglah bahwa ia masih mampu menguasai dirinya, sehingga betapapun juga ia masih tetap berdiam diri.
Kesenyapan sekali lagi mencengkam ruangan itu. Akuwu Tunggul Ametung kini duduk mematung, dan sedang Ken Dedes dan emban pemomonya dengan gelisah dan cemas, menuggu apa yang akan dikatakan oleh Akuwu itu lebih lanjut.
"Ken Dedes" suara Akuwu itu kemudian memecah sepi meskipun belum dapat disusunnya dengan baik "tetapi jangan menjadi cemas dan takut. Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang tangguh tanggon, sehingga ia pasti akan mampu menolong dirinya sendiri. Apalagi apabila ada orang lain yang membantunya, maka ia pasti akan segera melepaskan diri.
Meskipun Akuwu Tunggul Ametung belum mengatakannya, namun segera Ken Dedes dapat menangkap maksudnya. Karena itu maka dengan gemetar Ken Dedes berkata "Tuanku, apakah maksud tuanku, bahwa kakang Mahisa Agni telah jatuh ketangan orang-orang yang selama ini memusuhinya.
Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia ragu-ragu, tetapi kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil bergumam "Benar Ken Dedes.
"O .- Sekali lagi Ken Dedes terbungkam.
Wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang. Dan tiba-tiba saja terasa setitik air mengambang dimatanya.
"Jadi" katanya "sekarang kakang Mahisa Agni tidak berada diantara orang-orang Panawijen"
Akuwu Tunggul Ametung menganggukkan kepalanya pula. Jawabnya "Ken Dedes. Ternyata orang-orang yang ingin mencelakainya mempunyai seribu macam cara. Tetapi jangan takut. di padang Karautan terdapat sepasukan prajurit Tumapel. Empu Gandring, paman kakakmu itu ada di sana pula. Sebentar lagi mereka pasti akan berhasil melepaskan Mahisa Agni dari tangan para penjahat itu.
"Tetapi ternyata para prajurit dan Empu Gandring tidak dapat melindunginya.
"Jangan takut. Empu Sada, Empu Purwa, Panji Bo jong Santi akan membantu melepaskannya. Aku akan minta kepada Witantra untuk menghubungi gurunya itu berkata Akuwu tanpa dipertimbangkannya dalam-dalam. Seandainya mereka tidak berhasil, maka aku sendiri akan mencarinya Tetapi .. .
"Tetapi" Ken Dedes mengulangi.
- Ken Dedes" berkata Akuwu Tunggul Ametung "hilangnya Mahisa Agni jangan menjadi sebab terganggunya upacara yang telah ditentukan oleh para tertua Tumapel.
Dengan serta-merta Ken Dedes mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu segera tunduk kembali. Namun betapa perasaan kecewa menyala di dadanya. Dalam kekalutan perasaan itu ia masih juga mendengar Akuwu Tunggul Ametung ber kata tentang diri sendiri. Tentang kepentingannya sendiri. Apakah ia akan dapat berbuat seperti itu. Duduk bersanding dalam upacara kebesaran, di hadap oleh para tetua, para pemimpin pemerintahan, para Senopati dan kemudian di elu-elukan oleh rakyat Tumapel, sedang saat itu nyawa kakaknya terancam" Meskipun Mahisa Agni bukan kakaknya sendiri, tetapi keadaannya sama sekali tidak berbeda. Apalagi telah beberapa kali Mahisa Agni langsung menyelamatkannya dari bencana yang pada saat-saat itu selalu membayanginya. Bukankah bahaya yang selalu mengikuti kemana Mahisa Agni pergi se karang ini adalah akibat dari keadaan pada waktu itu" Akibat dari nafsu yang gila dari Kuda-Sempana"
Terasa betapa dadanya menjadi pepat. Kekecewaan, ke cemasan dan ketakutan bergulat di dalam dadanya. Ketika ia mencoba sekali lagi mengangkat wajahnya memandangi Aku wu Tunggul Ametung, maka dilihatnya Akuwu itu kini telah berdiri di muka pintu, memandangi titik-titik di kejauhan. Seolah-olah belum pernah dilihatnya ukiran pada tiang-tiang istana dan dinding-dinding sentong-sentongnya. Dalam sorot lampu yang ke merah-merahan, wa jah Akuwu yang tegang itu tampak membeku seperti sebuah patung tembaga.
Dan Ken Dedespun telah dapat menyelesaikan sendiri kalimat Akuwu Tunggul Ametung yang terputus "Tetapi, hal itu akan aku lakukan setelah upacara kebesaran.
Tetapi waktu itu masih cukup lama. Hampir sebulan.
Apakah dalam waktu yang selama itu, tidak terjadi kemungkinan2 yang berbahaya bagi Mahisa Agni"
Dalam kekalutan perasaan Ken Dedes mendengar Akuwu Tunggul Ametung berkata "Ken Dedes. Sebcnarnya aku dapat mengerahkan segenap pasukanku untuk mencari Mahisa Agni. Tetapi Empu Gandring berpendapat lain. Hal itu akan dapat membahayakan nasib Mahisa Agni sendiri.
Tunggul Ametung berhenti sejenak. Kini ia berputar dan berjalan mendekati Ken Dedes "Ken Dedes. Kau tahu apakah maksud Kebo Sindet mengambil Mahisa Agni" Orang itu sama sekali tidak mempunyai persoalan dengan kakakmu. Ia mengambil Mahisa Agni untuk memerasmu. Kebo Sindet pasti akan menukarkan Mahisa Agni dengan harta benda yang akan disebutkannya kelak. Karena itu jangan takut bahwa Mahisa Agni akan terbunuh, Ia pasti akan tetap hidup. Kebo Sindet pasti sedang sibuk mencari jalan untuk dapat menghubungimu. Mungkin ia akan mempergunakan Kuda- Sempana atau orang Kemundungan yang lain.
Ken Dedes tidak menjawab. Terasa titik-titik air di matanya menjadi semakin deras. Betapa ia mencoba menahannya, namun terasa beberapa tetes jatuh di tangannya yang gemetar.
"Kau dapat mengulur waktu. Kalau permintaannya tidak terlampau gila, maka kita akan segera dapat memenuhi tanpa banyak persoalan. Tetapi kalau perlu pasukanku siap untuk berbuat.
Terasa dada Ken Dedes menjadi semakin tergetar. Ia dapat mengerti dengan se-baik-baiknya maksud Akuwu Tunggul Ametung, meskipun cara mengatakannya tidak berurutan dan kurang teratur karena jantung Akuwu Tunggul Ametung sendiri berdentangan tidak henti-hentinya.
Ken Dedes tahu benar, bahwa ia harus mengulur waktu supaya Mahisa Agni selamat sampai upacara perkawinannya selesai. Sesudah itu barulah dipikirkan, cara untuk membebaskannya. Tetapi Akuwu Tunggul Ametung tidak memikirkannya, bagaimanakah akibatnya apabila Kebo Sindet berbuat sesuatu sebelum waktu itu tiba. Kebo Sindet tidak mau menunggu sampai hari perkawinan itu selesai. Bahkan seandainya Kebo Sindet dapat dipaksanya untuk membiarkan persoaln itu sampai sesudah upacara perkawinannya, maka apakah ia dapat duduk bersanding sebagai seorang mempelai yang paling terhormat di seluruh Tumapel, sedang kakaknya, Mahisa Agni berada di ujung maut"
Dalam keheningan itu, yang terdengar hanyalah desah nafas Ken Dedes yang semakin cepat. Ketika ia berpaling dilihatnya emban pemomongnya duduk seperti sebuah patung yang beku. Tetapi yang kemudian dengan tergesa-gesa menyeka matanya yang basah.
"Emban itu menangis juga" desis Ken Dedes di dalam hatinya "iapun pasti merasa iba. Ia mengenal Mahisa Agni sejak kanak-anak. Karena itu, maka iapun pasti merasa kehilangan.
Namun Ken Dedes tidak berani terlampau banyak berbuat. Akuwu Tunggul Ametung mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas di Tumapel.
Meskipun demikian ia beranikan dirinya untuk sekedar bertanya "Tuanku. Bagaimanakah seandainya terjadi sesuatu atas kakang Mahisa Agni sebelum perkawinan dan upacara kenegaraan itu berlangsung"
"Tidak. Tidak akan terjadi" sahut Tunggul Ametung.
"Tetapi apakah aku akan menjadi seorang mempelai tanpa seorang anggauta keluargaku yang masih tersisa menunggui aku"
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Teta pi kemudian ia menggeleng "Itu tidak penting Ken Dedes Kau akan menjadi seorang permaisuri. Tak ada persoalan yang dapat mengganggu gugat kedudukanmu. Aku memegang seluruh kekuasaan di Tumapel.
"Hamba tuanku, namun perasaan hamba selalu terganggu, sehingga hamba tidak merasa tenteram.
"Lupakan semuanya. Hari-harimu sendiri lebih penting dari segalanya.
Dada Ken Dedes berdesir. Sekali lagi Akuwu berpikir tentang dirinya sendiri tanpa mengingat keadaan orang lain.
"Tuanku" Ken Dedes kini mencoba untuk mencari jalan lain untuk menyelamatkan Mahisa Agni" tak ada orang lain tempat hamba mengadu kecuali kepada tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Kepada tuanku pula hamba mohon perlindungan atas kakakku itu seperti yang pernah hamba katakan sebelumnya. Karena itu tuanku, apakah tuanku tidak dapat mengusahakan agar kakang Mahisa Agni dapat terlepas dari tangan orang-orang yang memusuhinya itu sebelum hari perkawinan itu tiba.
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Ja wabnya "Aku pasti akan berusaha. Tetapi aku tidak tahu apakah usahaku itu berhasil. Aku telah memerintahkan kepada para prajurit di padang Karautan, supaya mereka berusaha se-cepatanya membebaskan Mahisa Agni. Tetapi Empu Gandring menolak kekerasan. Lain nada suara Akuwu itu merendah "Dan aku belum menemukan cara lain yang sebaik-baiknya.
"Bagaimanakah kalau kakang Mahisa Agni itu tidak dapat dibebaskan tuanku.
"Ken Dedes, aku sudah mengatakan" berkata Akuwu kemudian "pikirkan dirimu lebih dahulu. Perkawinan di antara kita adalah persoalan seluruh tanah Tumapel. Kau harus dapat menilai persoalan ini menurut pertimbangan yang wajar. Sedang Mahisa Agni bukanlah persoalan Tumapel. Karena itu maka persoalan yang besar tidak akan dapat diganggu oleh persoalan-persoalan yang kecil, yang tidak mempengaruhi keadaan Tumapel keseluruhan.
Betapa kecewa Ken Dedes mendengar jawaban itu. Tanpa sesadarnya maka air matanya menjadi semakin deras mengalir. Ia tidak dapat mengesampingkan begitu saja satu-satu nya sisa keluarganya. Mahisa Agni. Betapa kebahagiaan dan keluhuran yang akan diterima karena perkawinan itu, namun Mahisa Agni adalah seorang yang cukup penting di dalam hidupnya.
Dalam pada itu Akuwu yang gelisah menjadi semakin gelisah. Ia memang sudah menyangka bahwa Ken Dedes akan bersedih karenanya. Tetapi baginya tidaklah sewajarnya bahwa upacara kenegaraan itu akan terganggu karena hilangnya Mahisa Agni. Karena itu ketika ia melihat Ken Dedes menangis maka ia berkata pula "Ken Dedes, aku minta kau mengerti. Aku tidak memperkecil arti Mahisa Agni bagi hidupmu, tetapi kaupun harus tidak memperkecil arti upacara kenegaraan yang telah menjadi keputusan Akuwu Tunggul Ametung atas nasehat dan saran para tetua di Tumapel.
Kini harapan Ken Dedes menjadi kian tipis. Akuwu Tunggul Ametung tidak dapat mencurahkan perhatiannya kepada Mahisa Agni. Seandainya Mahisa Agni itu tidak segera diketemukan, bahkan apabila bencana yang sebenarnya menimpanya, maka tak ada harapan bagi Ken Dedes untuk menunda hari perkawinan yang sudah ditentukan itu. Namun ia tidak berani untuk bertanya dan menyatakan pendatnya terlampau banyak. Ia tahu benar bahwa Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang memegang segenap kekuasaan di Tumapel. Apa bila Akuwu itu merasa dirinya terganggu, maka ia pasti akan mempergunakan kekuasaan untuk memaksanya. Itulah sebabnya maka Ken Dedes merasa bah/wa tak ada gunaya untuk me-rengek2 lebih lanjut. Sehingga dengan demikian maka gadis itupun kini duduk temungkul dalam-dalam. Dicobanya untuk menahan air matanya sekuat tenaganya
"Bagaimana Ken Dedes?" bertanya Akuwu Tunggul Ametung "Apakah kau dapat mengerti"
Tak ada jawaban lain yang dapat diucapkan kecuali
"Hamba tuanku, hamba mengerti.
Mendengar jawaban Ken Dedes itu, Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia menyadari bahwa Ken Dedes tidak berkata dengan segenap hatinya, tetapi ia mengharap bahwa lambat laun gadis akan dapat mengerti sepenuhnya. Karena itu maka Akuwu Tunggul Ametung itupun menganggap bahwa tidak ada gunanya lagi untuk berbicara lebih lama. Ia akan memberi kesempatan kepada Ken Dedes untuk mempertimbangkannya sendiri dan mengerti maksudnya.
Maka sejenak kemudian Akuwu itupun berkata "Ken Dedes, timbangkanlah baik-baik. Tetapi jangan kau sangka bahwa aku hanya akan berdiam diri selama ini. Seandainya ada jalan bagiku untuk membebaskannya dalam waktu yang pendek, itu akan aku lakukan. Namun apabila aku gagal, maka kau sudah dapat mengatur perasaanmu dan tidak terlampau banyak terpengaruh olehnya.
Sekali lagi Ken Dedes menyembah sambil menjawab "Hamba tuanku.
Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah, aku akan kembali kebilikku. Pikirkanlah baik-baik. Jangan terlampau terbenam di dalam perasaan.
"Hamba tuanku. Kemudian kepada emban tua yang duduk di belakang Ken Dedes, Akuwu Tunggul Ametung berkata "Emban, kau sudah cukup mampu untuk mengendapkan perasaanmu. Meskipun kau agaknya bersedih juga atas hilangnya Mahisa Agni, tetapi aku harap kau dapat menenangkan hati momonganmu.
Emban tua itu menyembah sambil membungkuk dalam-dalam
"Hamba tuanku. Akan hamba lakukan titah tuanku.
"Baiklah" gumam Akuwu Tunggul Ametung meskipun ia tidak yakin bahwa hal itu akan terjadi sebaik-baiknya "beristirahatlah. Aku akan kembali kebilikku. Kau akan menghadapi saat-saat yang berat sebelum menghadapi perkawinan. Tiga orang dukun pengantin akan merawatmu menjelang perkawinanmu.
Tak ada lain yang diucapkan oleh Ken Dedes, katanya
"Hamba tuanku. Hamba selalu menjunjung titah tuanku.
Sejenak kemudian maka Akuwu Tunggul Ametung meninggalkan ruangan itu. Sekali ia berpaling, namun kemudian iapun hilang di balik pintu.
Begitu Akuwu Tunggul Ametung tidak tampak lagi di mata Ken Dedes, maka tiba-tiba gadis itu memutar tubuhnya, dan dengan serta merta dipeluknya emban tua pemomongnya. Betapapun ia mencoba menahan diri, tetapi air matanya tercurah tanpa dapat dibendungnya. Dibenamkannya kepalanya di dalam emban tua itu, seperti pada masa kanak-anaknya. Terdengar di-sela-sela isaknya ia berkata "Bibi, bagaimanakah dengan kakang Mahisa Agni.
Kini emban tualah yang harus berjuang melawan perasaannya sendiri. Betapa dadanya seperti terbelah oleh kecemasan dan kegelisahan atas hilangnya Mahisa Agni, tetapi ia harus tabah dan mampu menahan dirinya. Ia harus menghibur momongannya supaya gadis itu tidak menjadi semakin dalam tenggelam dalam duka. Sudah tentu emban tua itu tidak dapat berkata kepada Ken Dedes, bahwa ia sendiri sedang bersusah hati, sebab Mahisa Agni adalah anaknya. Satu-satunya anaknya.
Emban itu menggeleng lemah. Sekuat tenaga ia berjuang untuk tidak hanyut dalam arus perasaannya. Meskipun demikian setetes2 air matanya jatuh membasahi rambut Ken Dedes yang hitam lebat. Namun emban tua itu berusaha untuk berkata "Sudahlah nini. Jangan terlampau bersedih. Aku tahu, bahwa kau merasa kehilangan. Angger Mahisa Agni adalah tidak ubahnya seperti kakak kandungmu sendiri, pengganti orang tuamu. Tetapi dengan demikian kau akan kehilangan gairah menyambyut hari-harimu yang cerah.
"Apakah artinya kebahagiaan yang semu ini bibi" jawab Ken Dedes tiba-tiba.
Emban tua itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berkata "Tidak nini. Kebahagiaan yang sudah berada di ambang pintu adalah suatu kenyataan. Bukan sekedar semu. Apa bila kau dapat menghayatinya, maka kau akan merasakannya sebagai suatu kurnia tiada taranya. Kau harus lebih banyak mempergunakan pertimbangan nalar daripada tekanan perasaan.
"Bibi, apakah aku dapat berbuat demikian" Berpikir tentang diriku sendiri, sedang kakang Mahisa Agni yang selama ini selalu melindungi aku berada dalam bahaya.
Emban tua itu mengerutkan keningnya. Kata-kata Ken Dedes itu langsung menyentuh perasaan sendiri. Mahisa Agni berada di dalam bahaya.
Namun darisela-sela bibir yang tipis, terdengar kata-katanya bergetar "Nini, serahkanlah semuanya kepada Yang Maha Agung. Dari padaNya dunia ini terbentang. Maka kepadaNya pula kita menyerahkan nasib. Kita hanya dapat berusaha, tetapi yang terakhir adalah kehendakNyalah yang terjadi.
Kata emban tua itu menjadi semakin lirih. Sebenarnyalah kata-kata itu lebih banyak ditujukan kepada diri sendiri daripada kepada orang lain.
Tetapi Ken Dedes mendengar pula kata-kata itu. Ternyata kata-kata itu dapat memberinya sekedar ketenteraman. Sedikit demi sedikit tangisnya mereda.
"Marilah nini" berkata emban tua itu "masuklah kedalam bilikmu. Mungkin seorang emban atau pelayan atau juru panebah akan lewat di ruangan ini. Mereka akan melihat kau menangis dan mereka akan ber-tanya2 di dalam hati, apakah kiranya yang telah terjadi.
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Kemudian iapun berdiri. Dibimbing oleh emban pemomongnya, Ken Dedes melangkah masuk kedalam biliknya, langsung merebahkan diri di pembaringannya.
Sejenak emban tua pemomongnya duduk di samping pembaringannya sambil mengucapkan kata-kata yang dapat membesar kan hati momongannya. Ketika hati gadis itu sudah menjadi agak lilih, maka ditinggalkannya Ken Dedes seorang diri. Dengan tergesa-gesa emban itu pergi kebiliknya sendiri. Ternyata ia tidak dapat lebih lama menahan desakan kepahitan yang tersimpan di dalam dadanya.
Ketika emban tua itu memasuki biliknya sendiri, maka masih dicobanya untuk bertahan. Untuk tidak tenggelam dalam genangan duka. Tetapi ia tidak berhasil. Dadanya yang selama ini selalu mencoba bertahan atas segala macam keadaan, maka kini seolah-olahmeledak dengan dahsyatnya.
Emban tua itupun menelungkup dibaringannya. Air matanya lepas seperti bendungan pecah.
"Anakku" desisnya.
Emban tua ini menangisi satu-satunya anaknya. Anak yang hilang pada masa kecilnya dibawa oleh ayahnya tanpa setahunya. Dengan segala macam cara ia berbasil menemukan anak itu kembali. Tetapi ia tidak dapat menyatakan dirinya sebagai seorang ibu. Meskipun demikian ia berhasil menunggui anaknya setiap hari. Betapa ia berbangga hati ketika ia melihat anaknya tumbuh subur seperti sebatang pohon beringin di-tenga-tengah padukuhan Panawijen. Ternyata anaknya seperti juga gurunya, mampu memberi pangayoman kepada orang-orang di sekelilingnya, kepada padukuhan Panawijen.
Tetapi anak itu kini hilang lagi. Hilang dalam kabut yang kelam. Tak seorangpun yang mengetahui, apakah yang berada dibalik kabut hitam itu, seolah-olah kabut itu sendiri merupakan rahasia yang penuh menyimpan bahaya.
Dengan sekuat tenaga ia bertahan di hadapan Ken Dedes, bahkan ia dapat menghibur hati gadis yang duka itu. Tetapi ia tidak mampu menghibur dirinya sendiri. Ia dapat menerima segala pengaduan gadis itu, sehingga hati Ken Dedes menjadi agak lapang. Dan emban tua itu dapat memberinya ketenteraman.
Tetapi emban tua itu tidak mempunyai tempat untuk menumpahkan himpitan perasaan. Ia tidak mempunyai kawan untuk membagi duka. Tak seorangpun yang dapat diajaknya berbicara tentang anaknya yang hilang. Tentang anaknyayang ditangkap oleh seorang yang mengerikan, iblis dari Kemundungan.
Dengan demikian ia harus menelan kepahitan itu seorang diri. Menanggungnya sendiri dan menahankannya seorang diri pula.
Sememtara itu malAmpun menjadi semakin malam. di kejauhan terdengar suara cengkerik ber-derik-derik di antara gemersik daun-daun kering yang terbang oleh sentuhan angin malam yang basah. Dingin malam merayap menembus dinding-dinding kayu istana Tumapel, menyentuh kulit.
Tetapi emban tua itu tidak juga dapat memejamkan matanya yang masih saja dibasahi air mata. Bahkan masih juga terdengar isak tangisnya ter-tahan2.
Tetapi ternyata bukan emban tua itu saja yang malam itu tidak dapat tidur. Ken Dedes malam itu sama sekali juga tidak dapat tidur. Bahkan Akuwu Tunggul Ametungpun selalu dibayangi oleh kegelisahan. Meskipun Ken Dedes tidak menyangkal tentang saat-saat perkawinan yang sudah ditentukan, tetapi agaknya bukan karena ia menerima hal itu dengan ikhlas. Agaknya Ken Dedes hanya menuruti kemauannya karena takut. Meskipun demikian, Akuwu tetap pada keinginannya. Upacara itu tidak dapat tertunda. Mungkin Ken Dedes akan bersedih untuk beberapa lama. Tetapi apabila kelak Mahisa Agni telah dapat dibebaskan, maka kesedhian itupun akan berangsur hilang.
"Tetapi bagaimana kalau Mahisa Agni itu terbunuh?" tiba-tiba tumbuh pertanyaan di dalam hatinya "apakah ia tidak akan menyesal sepanjang hidupnya"
Akuwu menggigit bibirnya. Tiba-tiba ia bangkit dari pembaringannya dan berjalan mondar-mandir di dalam biliknya.
"Tetapi aku tidak sempat memikirnya sekarang" desis nya "semua orang sudah sibuk dengan persiapan hari perka winan itu.
Akhirnya Akuwu mencoba menenangkan dirinya sendiri. Betapa ia kesal atas peristiwa-peristiwa yang sebenarnya tidak bersangkut paut langsung dengan kepentingannya, tetapi akan dapat mengganggunya.
"Soal itu adalah soal kecil bagi seorang Akuwu Tumapel." gumamnya "kalau aku harus mengurusi rakyatku seorang demi seorang maka aku akan mati kelelahan dan kebingungan. Mahisa Agni memang harus mendapat perlindungan. Tetapi jangan memecahkan otakku.
Namun kemudian ia berdesis "Tetapi Mahisa Agni mempunyai kekhususan. Ia langsung berhubungan dengan bakal permaisuriku.
Akuwu Tunggul Ametung terhenyak di pembaringannya. Ia sekali lagi mencoba berbaring dan memejamkan matanya. Tetapi ia tidak segera dapat tertidur.
Di Lulumbang, Empu Gandringpun tidak juga dapat tidur Meskipun ia sudah berada di tengah2 keluarganya, namun ia masih belum dapat melupakan kemanakannya. Empu Gandring sendiri mempunyai beberapa ikatan yang tidak dapat selalu ditinggalkannya. Ia harus mengerjakan pekerjaan sebagai seorang Empu keris. Ia harus mengurusi padepokannya dan beberapa orang cantriknya. Karena itu maka ia tidak dapat meninggalkan padepokannya terlampau lama. Namun untuk melupakan Mahisa Agni, agaknya terlampau sulit bagi nya Karena itulah maka ia selalu saja merasa gelisah. Setiap ia berbaring dan memejamkan matanya, maka wajah kemanakannya itu justru terbayang terlampau jelas. Wajah yang pucat pasi. Wajah yang diam dan beku.
"Kasihan" desisnya "mudah-mudahan usaha untuk membebaskannya itu berhasil. Ia pasti akan lebih dari pada aku sendiri. Menurut keterangannya, maka rawa-rawa itu sudah dikenalnya dengan baik.
Ternyata Mahisa Agni malam itu telah menimbulkan kegelisahan dimana-mana. Ken Dedes, Emban tua pemomongnya, Akuwu Tunggul Ametung, Empu Gandring dan Ken Arok yang berdiri tegang di padang Karautan. Sambil menatap bintang yang bergayutan di langit, ia menghirup udara malam yang dingin. Tetapi ia tidak ingin segera masuk kedalam kemahnya. Terasa udara di dalam gubugnya terlampau panas. Seperti hatinya yang terbakar oleh kekecewaan. Kenapa ia tidak mampu berbuat apa-apa dengan pasukannya itu untuk melindungi Mahisa Agni" Ia menyesal bahwa ketika Mahisa Agni pergi ke Panawijen, ia tidak berkeras untuk membawa beberapa orang prajurit bersamanya. Tetapi semua itu sudah terlanjur. Semua sudah terjadi.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Udara malam yang dingin menyentuh seluruh isi dadanya yang gelisah. Sedang dihadapannya terbentang kuwajiban yang tidak dapat diabai kan. Bendungan yang ditinggalkan oleh Mahisa Agni, susukan induk, parit-parit, sawah dan pategalan yang baru mulai ditanami dengan pohon-pohon pelindung dan pohon buah-buahan, kemudian yang tidak kalah pentingnya bagi Ken Arok sendiri adalah taman yang pada saatnya harus dipersembahkan kepada Akuwu Tunggul Ametung. Taman yang kelak akan dihadiahkan kepada permaisurinya, Ken Dedes.
"Hari perkawinan itu menjadi semakin dekat" desis Ken Arok "Sebelum enam bulan dari hari perkawinan itu, taman itu harus sudah siap. Harus sudah berwujud.
Ken Arok menggigit bibirnya. Ia akan banyak kehilangan waktu apa bila ia tenggelam dalam persoalan Mahisa Agni saja. Karena itu maka ke-dua2nya harus mendapat perhatiannya.
"Aku harus bekerja siang dan malam" kalau tidak, maka semuanya tidak akan selesai dalam waktu enam bulan lagi. Tapi apakah orang-orang Panawijen mampu bekerja secara demikian" Aku yakin bahwa prajurit Tumapel akan dapat melakukannya. Sebaiknya aku minta beberapa orang baru dengan perbekalan dan peralatan baru. Mudah-mudahan enam bulan lagi pohon-pohon yang sudah mulai tumbuh itu sudah menjadi cukup rimbun, pategalan sudah mulai tampak hijau, dan tanah-tanah yang akan disiapkan menjadi tanah persawahan sudah dapat mulai digenangi air.
Ken Arok itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis "Orang-orang baru itu akan dapat melakukannya di dalam hari bergiliran. Dengan demikian waktu yang singkat ini seolah-olah akan menjadi berlipat.
Terasa dada Ken Arok menjadi agak lapang dengan keputusannya itu. Ia mengharap tidak mengecewakan Akuwu Tunggul Ametung. Ia tidak ingin mengundur waktu yang sudah ditetapkan. Enam bulan sesudah hari perkawinan, Akuwu akan membawa permaisurinya ketaman yang sedang dibuatnya itu.
Mudah-mudahan daerah ini telah menjadi daerah yang hijau" desisnya kemudian. -
Tetapi angan-angan Ken Arok itu tiba-tiba menjadi terganggu. Ia melihat bayangan tiga sosok tubuh mendekatinya. Ia segera mengenal, bahwa dua orang di antara mereka pasti para pengawal yang bertugas berjaga-jaga malam ini. Tetapi siapakah yang seorang"
Ken Arok masih berdiri di tempatnya, di sisi gubugnya. Dibiarkannya orang-orang itu menjadi semakin dekat.
Ketika jarak mereka menjadi semakin pendek, maka bertanyalah Ken Arok itu "Siapa"
"Kami para peronda" sahut salah seorang dari mereka.
"Ya, aku mengenal kau berdua, tetapi yang seorang"
"Seorang tamu. "Tamu" Siapakah yang dicarinya" Aku"
"Ya. Ken Arok menjadi ber-debara sejenak. Tetapi Kemu dian ia terperanjat ketika ia mendengar orang itu berkata
"Aku Ken Arok. Apakah kau sudah lupa kepadaku. Kepada ayahmu.
Terasa darah Ken Arok menjadi semakin cepat mengalir. Ia mengenal suara itu. Suara yang telah lama tidak didengarnya, namun yang kini tiba-tiba telah menyentuh telinganya.
Tanpa sesadarnya ia berdesis "Ayah, Bango Samparan.
Orang itu tertawa "Ha, kau masih mengenal aku dengan baik. Ya, aku ayahmu Bango Samparan.
Wajah Ken Arok tiba-tiba menjadi tegang. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa ia akan bertemu dengan ayah angkatnya di-saat-saat seperti ini. Namun lebih dari pada itu, ada perasaan ganjil yang melonjak-lonjak di dalam dadanya. Sebenarnya lebih baik baginya apa bila ia tidak pernah lagi bertemu dengan orang itu, dengan Bango Samparan. Tetapi orang itu telah berdiri di hadapannya, dan ia tidak lagi dapat menolak.
"Aku senang sekali dapat menemuimu di sini Ken Arok" berkata Bango Samparan.
"Ya ayah" begitu saja meluncur jawaban dari mu lut Ken Arok.
Kini ketiga orang itu telah berdiri benar-benar di hadapannya. Ia melihat kedua peronda dan Bango Samparan berhenti sejenak. Namun kemudian ayah angkatnya itu melangkah maju, mendekap pundaknya dan berkata "Kau gagah benar anakku. Aku tidak menyangka bahwa kau akan menjadi seorang pelayan-dalam yang baik.Bahkan seorang prajurit yang mumpuni.
"Terima kasih ayah." sahut Ken Arok,
"Lama sekali aku mencari. Hampir seluruh negeri aku jelajahi. Tetapi aku baru menemukan di sini, setelah namamu dikenal oleh hampir setiap orang. Sebelum ini Ken Arok, aku sudah menyangka, bahwa aku tinggal di padang Karautan ini pula. Tetapi tidak sebagai seorang prajurit" Benarkah begitu" Apakah benar bahwa yang ditakuti . . . . . .
"Ayah" potong Ken Arok tiba-tiba "marilah, aku persilahkan ayah masuk kedalam gubugku." kemudian kepada kedua peronda yang mengantar Bango Samparan itu KenArok berkata "Tinggalkanlah tamuku di sini.
Kedua peronda itupun kemudian pergi meninggalkan Bango Samparan yang segera dibawa masuk kedalam gubug Ken Arok.
Mereka duduk di atas tikar pandan kasar yang dibentangkan di atas setuMpuk rumput-rumput kering.
"Aku gmbira sekali dapat menemukan kau kembali, Ken Arok.
"Ya ayah" jawab Kon Arok" aku juga gembira bertemu ayah kembali.
Terdengar Bango Samparan tertawa. Suaranya menggelegar di kesunyian padang, sehingga beberapa orang yang sedang tertidur di gubug-gubug sebelah terbangun karenanya;
"Eh, apakah dugaanku benar, bahwa kau yang pernah menghantui padang Karautan ini dahulu"
"Ah desah Ken Arok "mungkin ayah salah. Tetapi seandainya benar, karena aku pernah juga berada di sini, sebaiknya semuanya itu sudah harus dilupakan.
Sekali lagi Bango Samparan tertawa sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Beberapa kali ia menyeka air matanya yang meleleh di pipinya yang gembung.
"Kenapa Ken Arok?" ia bertanya "Kenapa hal itu harus dilupakan.
"Sebuah kenangan yang menyakitkan hati." jawab Ken Arok.
"Tidak. Kau tidak boleh melupakan semuanya. Kau harus tetap mengingat dan mengenang semua yang pernah kau alami. Dengan demikian kau akan mendapat kebanggaan diri. Ken Arok, anak Gajah Para dan Ken Endog yang di pelihara oleh seorang pencuri yang bernama Lembong, yang kemudian menjadi anak angkat dari seorang penjudi besar bernama Bango Samparan.
"Sudah ayah, sudah" potong Ken Arok.
"He, jangan memotong kata-kataku. Aku sedang membangkitkan kenanganmu atas dirimu supaya kau tahu apa yang harus kau lakukan. Nah, dengarlah anak Pangkur, bahwa kau ternyata memiliki nasib yang baik sekali. Seorang anak yang lahir di padesan yang kecil, kini menjadi seorang Pelayan-dalam yang dekat dengan seorang Akuwu.
"Ya, ya ayah. Aku berterima kasih kepada Yang Maha Agung, bahwa aku mendapat nasib yang baik.
"Apakah kau puas dengan keadaanmu sekarang"
"Tentu ayah. Aku puas sekali dengan keadaanku sekarang. Seperti ayah katakan bahwa aku adalah seorang anak yang terbuang di masa kecilku. Aku tidak pernah mengetahui siapakah ayabku, karer.a ayah meninggal di masa aku belumdilahirkan.
"Belum cukup. Harus kau lanjutkan, yang ketika masih bayi dibuang di kuburan. Ditemukan oleh seorang pencuri ulung yang bernama Lembong. Dipelihara, tetapi kemudian menghancurkan hidup mereka karena kau menghilangkan beberapa ekor lembu milik Buyut ing Lebak. Lembong suami isteri harus mengganti. Karena kekayaannya tidak cukup, maka mereka berdua harus melunasinya dengan menggadaikan diri mereka.
"Ayah benar. Ayah pernah menceriterakan semua itu kepadaku. Aku memang anak yang ditemukan di pekuburan. Dan aku telah berbuat hal yang kurang baik di-masa-masa lalu. Tetapi apakah maksud ayah mengatakan hal itu"
Bango Samparan itu tertawa lagi. Suaranya benar-benar membangunkan orang-orang yang sedang tertidur nyenyak. Bahkan satu dua orang keluar dari gubugnya dan memerlukan melihat, siapakah yang sedang tertawa di gubug Ken Arok.
"Siapakah tamu itu" bertanya salah seorang dari me reka.
Yang lain menggelengkan kepalanya "Aku tidak tehu.
Merekapun kemudian pergi sambil menggerutu. Mereka ingin tidur untuk beristirahat, sebab besok mereka harus turun lagi kebendungan atau kesendang buatan agak jauh ke tengah padang Karautan.
"Ken Arok" berkata Bango Samparan kemudian "sudah aku katakan bahwa aku sedang membangkitkan kenanganmu atas masa-masa lampaumu.
"Ya ayah, tetapi sesudah aku mengenang kembali semuanya itu, lalu apa yang akan terjadi"
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya "Aku hanya ingin ikut mengenyam kepuasanmu Ken Arok. Sebagai orang tua yang tidak dapat berbuat apa-apa untuk kemajuanmu, aku hanya dapat berdoa supaya segala cita-citamu dapat kau capai.
"Terima kasih ayah" sahut Ken Arok. Namun anak muda itu dapat merasakan, bahwa masih ada sesuatu yang tersembunyi. Karena itu, maka hatinya menjadi kian ber"debar-debar.
Sebenarnya ia tidak senang mendengarkan ayah angkatnya itu berceritera tentang masa lampaunya. Masa-masa yang pahit dan menyakitkan hati. Dunianya yang pada saat itu hitam kelam, sama sekali tidak ada secercah sinar pun yang dapat menerangi jalannya. Ia mendengar kalimat-kalimat yang aneh, yang menyentuh hatinya seperti embun di malam yang panas, adalah dari mulut guru Mahisa Agni. Kemudian pertemuannya dengan seorang Brahmana telah membawanya kejalan yang terang, yang sekarang ini sedang dilaluinya. Tiba-tiba ayahnya, ayah yang memeliharanya di dunia yang kelam itu, kini datang lagi kepadanya.
Tiba-tiba Ken Arok melihat Bango Samparan menggeser duduknya setapak maju. Terdengar orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian patah2 ia berkata "Eh, Arok. Setelah kau menjadi orang yang terhormat sekarang ini, apakah kau sudah benar-benar menjadi puas.
"Tentu ayah. Sudah aku katakan.
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ken Arok. Aku kira tidak ada seorangpun di dunia yang nasibnya sebaik nasib yang kau bawa itu. Kau ingat pada saat aku menemukanmu"
Ken Arok menganggukkan kepalanya "Ya" jawabnya singkat. Bagaimanapun ia tidak senang mendengar kata-kata ayah angkatnya itu, tetapi ia tidak dapat mencegahnya.
"Pada waktu itu" Bango Samparan meneruskan "aku sedang prihatin. Harta bendaku habis ditelan oleh permainan judi, sehingga aku lari dari Karuman karena aku tidak dapat membayar kekalahanku. Pada waktu itu aku hampir-hampir membunuh diriku dalam persembunyianku di Rabut Jalu. Ketika aku menemukanmu pada saat itu Arok, tiba-tiba timbul kembali gairahku untuk menebus kekalahanku. Ternyata, dengan membawamu kembali kemedan perjudian, aku mendapatkan kembali semua kekalahanku. Kau ingat.
Ken Arok mengangguk, tetapi wajahnya menjadi semakin buram.
"Kemudian keadaanmu sendiri. Setelah kau meninggalkan ibu angkatmu Genuk Buntu, maka kau hilang dari keluargaku. Jangan kau sangka bahwa aku tidak mencarimu Arok. Sebab aku masih memerlukanmu.
"Hanya supaya ayah selalu menang berjudi.
Bango Samparan tertawa. "Sebagian, tetapi ibu angkatmu sangat merindukanmu. Mungkin kau tidak dapat hidup bersama-sama dengan anak-anak isteriku yang muda itu. Tetapi apa bila kau sekali menjenguk ibu angkatmu, ia pasti akan bergembira sekali.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Bukan karena ia tidak mengenal terima kasih, tetapi ia tahu benar sifat-sifat ayah angkatnya. Kini ia berada di jalan yang terang. Yang tidak dibayangi oleh perasaan cemas, gelisah dan perasaan bersalah.
Kalau ia tidak ingin bertemu lagi dengan ayah angkatnya, karena ia tidak mau lagi dipengaruhi oleh keadaannya.
"Aku masih belum dapat mempercayai keteguhan hatiku sendiri" desis Ken Arok di dalam hatinya.
"Ken Arok" berkata Bango Samparan itu kemudian "apakah kau benar-benar sudah melupakan ibu angkatmu"
"Tidak ayah" sahut Ken Arok "aku tidak pernah melupakannya.
"Kenapa kau tidak pernah mengunjunginya"
"Aku belum sempat ayah."
Bango Samparan tertawa. Katanya "Apakah kau terlampau sibuk sehingga kau tidak dapat menyisihkan waktu seminggu atau dua minggu saja"
"Bendungan ini tidak dapat aku tinggalkan.
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian "Sebelum ini kau juga tidak pernah kerumah. Apalagi setelah kau menjadi seorang pemimpin Pelayan-dalam istana Tumapel, yang kali ini dipercaya untuk memimpin sepasukan prajurit, bukan saja Pelayan-dalam dan prajurit-prajurit pengawal Istana.
Ken Arok menggigit bibirnya. Tetapi ia masih berdiam diri.
"Sebarusnya ibumu melihat kau dalam keadaanmu sekarang. Gagah dan tampan. Sepantasnya kau bukan anak angkatku, tetapi kau lebih pantas menjadi anak kandungku. Keperkasaanmu, ketampananmu lebih mirip aku dari pada orang tuamu sendiri.
Ken Arok masih berdiam diri.
"Arok" berkata Bango Samparan seterusnya "apakah kau dapat mengunjungi aku beberapa hari saja"
"Lain kali ayah" akhirnya Ken Arok menjawab. Bango Samparan mengerutkan alisnya "Keadaanku sudah terlampau parah.
"Kenapa" "Seperti pada saat aku menemukan kau. Nah, apabila kau berada bersamaku kemedan perjudian, maka aku mengharap kekalahanku itu akan dapat aku ambil kembali.
"Ah" desah Ken Arok "ayah terlampau mempercayai keajaiban. Pada waktu itu aku kira hanya suatu kebetulan saja, bahwa ayah memenangkan kembali kekalahan itu. Sama sekali bukan karena ayah pergi bersamaku.
"Tidak Arok, tidak. Kaulah yang telah menyebabkan aku memenangkan perjudian itu. Aku yakin. Seolah-olahaku mendengar suara dari tempat yang tidak aku mengerti, yang mengatakan bahwa kau memang mempunyai nasib yang baik.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia menjawab "Seandainya demikian, maka akupun tidak akan pergi.
Bango Samparan membelalakkan matanya. "Kenapa" O, ngger. Aku sudah menempuh jalan yang sulit untuk menemukanmu. Sekarang apakah tanggapanmu itu cukup sepadan.
"Maaf ayah" sahut Ken Arok "aku sama sekali tidak mengabaikan kedatangan ayah. Tetapi aku tidak dapat memenuhi permintaan itu, apabila ayah hanya membutuhkan aku sekedar untuk memenangkan perjudian.
"O, itulah kenyataan yang aku hadapi sekarang. Ken Arok, memang jauh berbeda kasih seorang ayah dan ibu kepada anaknya dibanding dengan keadaan sebaliknya. Seorang ayah dan ibu kadang-kadang mengorbankan apa saja yang dimiliki nya untuk kepentingan anaknya. Tetapi anak kadang-kadang acuh tak acuh saja kepada orang tuanya.
Ken Arok mengerutkan dahinya. Sejenak ia berdiam diri sambil merenungi wajah ayahnya. Bango Samparan kini sudah tidak tertawa dan tidak tersenyum lagi.
"Ayah" berkata Ken Arok "ayah jangan salah mengerti. Aku memang tidak dapat memenuhi permintaan ayah. Kalau aku pergi juga dan justru karena kehadiranku itu ayah dapat memenangkan perjudian, maka akulah yang berdosa. Aku telah mendorong ayah semakin dalam masuk kearena perjudian. Ayah menjadi semakin lekat dengan kesenangan ayah yang tercela itu.
"O, ngger ngger" potong Bango Samparan "kau dapat berkata demikian setelah kau mengenakan pakaian seorang Pelayan dalam. Apakah yang dahulu pernah kau lakukan" Judi, merampas, merampok, memperkosa dan segala macam kejabatan yang lain.
"Ya ayah" sahut Ken Arok. Terasa dadanya bergolak, namun ia masih cukup menguasai dirinya sendiri "aku memang pernah melakukannya. Namun pada suatu saat aku sampai pada suatu batas dimana aku aku menyesali semuanya itu. Aku menyesal dan bertobat. Itulah yang terjadi ayah. Sehingga dengan demikian aku berusaha untuk tidak lagi terjerumus kedalamnya.
"Hem" Bango Samparan berdesah sambil menghela nafas dalam sekali "jadi kau benar-benar tidak mau menolongku.
"Bukan maksudku ayah" sahut Ken Arok "aku selalu bersedia menolong ayah dalam batas kemampuan. Baiklah aku akan berusaba menolong ayah sesuai dengan kekuatanku untuk meringankan beban hidup ayah sehari-hari, ayah dan adik-adik di Karuman. Tetapi tidak untuk berjudi. Tak ada judi yang dapat membahagiakan hidup seseorang. Seandainya seseorang memenangkan perjudian, maka yang didapatnya itu adalah perasan milik orang lain. Yang didapatnya itu adalah karena kerugian orang lain. Meskipun yang terjadi ituseolah-olahatas persetujuan bersama, tetapi tak seorangpun yang ikhlas atas setiap kekalahan. Ketidak ikhlasan akan ikut serta pada setiap kemenangan yang didapat di medan perjudian. Nah, milik yang didapat dengan cara demikian, tanpa keikhlasan, tidak akan membahagiakan hidup kita.
Wajah Bango Samparan menjadi semakin berkerut-merut. Dengan tajamnya dipandanginya wajah anak angkatnya itu. Namun betapa ia menahan rasa kecewa yang berkecamuk di dadanya.
Untuk sesaat penjudi dari Karuman itu berdiam diri.
Tetapi bibirnya ber kumat-kamit tidak henti2nya. Seolah-olahada yang masih tersimpan di dalam mulut itu, tetapi tidak dapat dikatakannya.
Ken Arokpun kini duduk sambil merenungi kegelapan dibiar gubuknya. Sejenak kenangannya berlari-larian di masa lampaunya. di masa kecilnya yang pahit. Hidup di dalam lingkungan kejahatan. Pencuri dan perampas. Ayah angkatnya yang lain, Lembong adalah seorang pencuri. Bahkan ia kadang-kadang harus ikut serta dengan ayah angkatnya itu. Kemudian, lepas dari seorang pencuri, ia jatuh ketangan Bango Samparan, seorang penjudi dan seorang perampok pula. Kemudian dijelajahinya hidup dalam kegelapan. Ditelusurinya padang Karautan, setelah ia tidak dapat menyembunyikan diri lagi di padesan, karena hampir setiap orang mencarinya. Mencarinya sebagai seorang penjahat yang harus ditangkap dan bahkan dibunuh. Ternyata kejahatan yang dilakukan telah melampaui kejahatan kedua ayah angkatnya, bahkan digabung sama sekali. Pencuri Lembong dan penjudi Bango Samparan.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. "Untunglah, aku bertemu dengan orang-orang yang berhasil menarik aku keluar dari dunia yang hitam pekat itu.
Anak muda itu terkejut ketika ia mendengar ayah angkatnya bergumam lirih "Aku tidak mengerti.
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ken Arok berpaling "Apa yang tidak ayah mengerti"
"Kau - "Kenapa aku" "Kau benar-benar melupakan aku dan ibumu. Apa lagi adik-adikmu.
"Sudah aku katakan ayah, aku akan menmberi ayah bantuan sesuai dengan kekuatanku.
"Huh, apa yang dapat kau berikan" Kau tidak lebih dari seorang Pelayan-dalam. Kedudukanmu masih belum cukup tinggi. Seorang perwira rendahan. Coba apa yang akan kau berikan kepadaku. Uang setiap selapan" Atau mungkin akan membeli sawah untuk aku" Atau apa" Bango Samparan berhenti sejenak "tidak ada gunanya. Berapa banyak kau akan memberikan uang kepadaku, apa bila kau tidak ikut serta keperjudian, maka uang itu akan habis tidak sampai satu malam. Sawah" tidak biasa bekerja di sawah. Yang selalu kulakukan adalah duduk di medan judi. Atau, kalau aku sudah kehabisan akal aku akan dapat merampas milik orang lain. Merampok di jalan-jalan sunyi atau di rumah-rumah orang kaya, seperti yang pernah kau lakukan
Ken Arok sekali lagi menggigit bibirnya sampai pedih. Tetapi tidak sepedih hatinya.
"Ayah" berkata Ken Arok "kalau ayah mau mendengar kata-kataku, semuanya jangan ayah lakukan. Ayah akan berhadapan dengan prajurit Tumapel. Sedang aku adalah satu di antara mereka. Seandainya tidak demikian, seandainya tidak berhadapan dengan prajurit Tumapel sekalipun, maka hidup ayah akan meujadi semakin kisruh. Ayah tidak akan dapat lagi merasakan kehidupan keluarga.
"Kalau kau salah seorang dari prajurit Tumapel, kau mau apa" "desis Bango Samparan "apakah kau akan menangkap aku"
Ken Arok menggelengkan kepalanya "Tidak ayah. Tetapi ayah menempatkan aku pada keadaan yang sulit.
"Huh" sahut Bango Samparan "kau hanya memikirkan dirimu sendiri. Kau tidak memikirkan aku dan keluargaku. Adik-adikmu dan ibu angkatmu yang telah memeliharamu pada saat kau hampir mati kelaparan.
"Apakah dengan demikian ayah juga tidak hanya memikirkan diri ayah sendiri. Coba, seperti ceritera ayah sendiri, seandainya ayah tidak seolah-olah mendengar suara dari langit bahwa seorang anak yang hampir mati kelaparan yang ayah temui itu akan dapat memberikan nasib yang baik bagi ayah, apakah kira-kira ayah akan mau memeliharanya" Sedang ayah sendiri pada waktu itu hampir membunuh diri karena ke kalahan ayah yang tidak tertanggungkan. Dan sekarang, bukankah ayah juga hanya memikirkan diri ayah sendiri tanpa memperhitungkan bagaimanakah aku, dan sedang dalam kewajiban apakah aku sekarang" Ayah hanya ingin, supaya aku datang ke Karuman, menunggui ayah berjudi seperti pada saat aku masih terlampau muda untuk mengerti tentang diri sendiri, pada saat aku masih kanak-anak" Sedang aku sekarang adalah seorang Pelayan-dalam istana Tumapel. Coba ayah bayangkan, apakah aku akan dapat duduk diam di belakang ayah yang lagi berjudi" Pada hal di lambungku tersangkut pedang seorang Pelayan-dalam.
Bango Samparan mengerutkan dabinya. Sekali lagi ia terdiam meskipun bibirnya selalu bergerak-gerak. Ia tidak dapat mengatasi kata-kata anak angkatnya itu. Karena itu maka harapannya untuk membawa Ken Arok kearena perjudian menjadi semakin kabur. Ternyata Ken Arok telah benar-benar meninggalkan cara hidupnya yang lama.
Tiba-tiba Bango Samparan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian per-lahan-lahan "Jadi aku sudah tidak akan dapat mengharapkan kau lagi, Ken Arok"
"Untuk kepentingan yang ayah maksudku, sayang ayah, aku kira ayah memang sudah tidak dapat mengharapkan aku lagi.
"Kalau begitu baiklah Ken Arok. Aku akan mencari jalan untuk melepaskan diri dari kesulitanku kali ini.
"Apakah yang akan ayah lakukan"
"Entahlah" "Melakukan kejahatan"
"Tidak. Bukankah kau tidak sependapat"
"Lalu apa" "Mungkin aku akan pergi ke Rabut Jalu.
"Untuk apa" Apakah ayah akan bertapa lagi di sana"
"Aku sudah tidak mempunyai harapan. Dahulu aku bertapa di Rabut Jalu, bahkan hampir aku membunuh diri dengan caraku. Tetapi waktu itu aku menemukan seorang anak yang bernama Ken Arok. Sekarang aku tidak akan dapat menemukannya lagi.
"Lalu, untuk apa ayah pergi ke Rabut Jalu"
"Aku akan melakukan yang dahulu tidak sempat aku lakukan. Lebih baik aku mati dari pada melihat keluargaku yang akan mati kelaparan.
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata ayah angkatnya itu. Sejenak ia berdiam diri memandangi wajah Bango Samparan yang menjadi buram. Namun dalam pada itu Ken Arok masih sempat menangkap kesan-kesan tentang wajah itu. Kasar dan bahkan keras. Sehingga timbull kebimbang an didalam hati "Apakah orang sekasar dan sekeras itu benar-benar akan membunuh diri"
Ken Arok menggeleng-geleng. "Tidak" dijawabnya pertanyaan itu sendiri di dalam hatinya "ia tidak bersungguh-sungguh. Ia hanya ingin menekankan kehendaknya. Aku kira dahulupun ia tidak akan membunuh dirinya di Rabut Jalu. Mungkin ia hanya menjadi bingung dan bertapa di tempat itu.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Wajah Bango Samparan yang keras dan kasar itu tampak sedih. Mulutnya masih saja berkumat-kamit, tetapi tidak sepatah katapun yang terloncat dari mulutnya itu.
Baru sejenak kemudian ia berkata "Baiklah Ken Arok. Pertemuan ini adalah pertemuan yang terakhir. Mungkin besok atau lusa kau akan mendengar kabar bahwa seorang laki-laki yang bernama Bango Samparan telah membunuh dirinya karena anaknya yang dikasihinya sama sekali tidak mau lagi memperhatikannya. Anak itu bernama Ken Arok.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan hatinya. Namun demikian kata-katanya meloncat juga dari mulutnya "Ayah, apakah ayah ingin mencoba memaksa aku dengan cara itu" Seandainya ayah ingin membunuh diri, apakah itu juga bukan salah satu bentuk dari suatu sikap mementingkan diri sendiri. Ayah tidak mau memperhatikan keluarga ayah. Dan ini berlangsung sejak dahulu, sejak aku berada di rumah ayah. Sekarang ayah akan membunuh diri. Itupun suatu cara ayah menghindari tanggung jawab ayah terhadap keluarga. Kemudian sesudah itu, ayah jangan mengharapkan orang percaya bahwa ayah mati karena ayah tidak memperhatikannya lagi. Setiap orang, apa lagi orang Karuman dan sekitarnya, pernah mendengar nama Bango Samparan, seorang penjudi. Apa kata orang apabila mereka menemukan mayat ayah di pinggir jurang di Rabut Jalu"
"Cukup, cukup" potong Bango Samparan. Wajahnya menjadi merah membara. Ia benar-benar menjadi marah. Hampir-hampir ia meloncat dan menampar wajah Ken Arok. Tetapi ia sempat mengurungkan niatnya. Ken Arok sekarang bukan kanak-anak lagi. Ia adalah seorang prajurit. Dengan demikian maka Bango Samparan itu hanya dapat menggeretak kan giginya sambil menggigil seperti orang kedinginan.
"Maaf ayah" berkata Ken Arok "aku tidak bermaksud untuk membuat ayah marah. Aku ingin memberikan beberapa pendapat tentang diri ayah. Jangan marah ayah. Hanya seorang anak yang mengerti tentang dirinya, mau mengatakan hal itu kepada ayahnya yang dikasihinya supaya ayahnya tidak terlanjur tersesat semakin jauh. Alangkah sakitnya melihat cacat sendiri. Tetapi dengan demikian ayah akan mendapat kesempatan untuk mengobatinya.
Badik Buntung 19 Pendekar Rajawali Sakti 214 Setan Gembel Si Kumbang Merah 7