Pencarian

Pendekar Seratus Hari 10

Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong Bagian 10


kesakitan tetapi beberapa saat kemudian mulai tenang kembali. Dia pejamkan mata mengembalikan
semangat. Beberapa saat kemudian ia membuka mata lalu menggeliat duduk memandang Tay Hui Sin-ni dan Siau Loseng dengan terlongong-longong.
Atas pertanyaan Siau Lo-seng, orang itu terkejut dan balas bertanya, "Siapakah kalian ini?"
Siau Lo Seng memperkenalkan diri sebagai sahabat dari perkumpulan Naga Hijau lalu memperkenalkan
Tay Hui Sin-ni. "Oh, maaf," orang itu berseru lalu menghaturkan terima kasih karena telah ditolong. Dia mengatakan
bernama Go Cui-coan, murid dari Liat Hwe Thancu, kepala bagian dari perkumpulan Naga Hijau.
Diam-diam Tay Hui Sin-ni menghela napas sedih. Ia membayangkan betapa dalam beberapa saat lagi
orang itu tentu akan menderita siksaan hebat akibat darahnya yang binal dan menyerang uluhati. Akibatnya,
pembuluh darah akan pecah dan matilah dia seketika.
"Harap lekas saja menceritakan apa yang telah terjadi," kata rahib itu.
"Kemanakah perginya beratus-ratus anak buah Naga Hijau?" buru-buru Siau Lo-seng mendesak.
"Kemarin petang, tiba-tiba datang seorang anak buah Naga Hijau yang memberi laporan bahwa pangcu
(ketua) dan Cong-thancu (ketua kepala bagian) sedang mendapat kesulitan di tempat tak jauh dari markas.
Dia minta supaya markas segera mengirim bala bantuan. Hian-kim Thancu segera membawa empatratus
anak buah menuju ke tempat itu...... tetapi siapa tahu?""
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang itu berhenti sejenak memandang Siau Lo-seng dan Tay Hui Sin-ni dengan rawan, lalu berkata pula,
"Kemarin malam, tiba-tiba Nyo Cong-thancu bergegas datang?""
"Ah, tak mungkin tengah malam, coba engkau ingat yang jelas," tukas Siau Lo-seng.
"Memang benar tengah malam," kata Go Cui-coan dengan yakin, "begitu Nyo Cong-thancu datang terus
memerintahkan aku supaya menjaga bagian selatan. Dan akulah yang mengantar Nyo Cong-thancu masuk
ke dalam ruang." "Aneh, dia menyuruh engkau menjaga di selatan lalu engkau mengantar dia masuk ke dalam ruang. Apakah
ada dua orang Nyo Cong-thancu yang datang ke markas?" tanya Siau Lo-seng.
"Benar, memang mengherankan sekali seperti dalam impian," kata Go Cui-coan.
"Yang kesatu, bagaimana caranya datang?"
"Dia datang dengan pakaian berlumuran darah seperti orang yang habis bertempur. Ketika aku hendak
menghampiri, dia membentak dan suruh memanggil kedua Thancu. Ang Cui dan Liat Hwe Thancu datang.
Habis berkata dia terus masuk ke dalam ruangan dan akupun karena gugup. terus memanggil Ang Cui
Thancu dan Liat Hwe Thancu."
Berkata sampai di situ Go Cui-coan tampak terengah-engah napasnya dan berhenti berkata-kata.
Sisu Lo-seng cepat salurkan tenaga dalam untuk mengendapkan darahnya yang bergolak lalu bertanya:
"Bukankah Nyo Cong-thancu itu menghendaki supaya Ang Cui dan Liat Hwe berdua Thancu mengerahkan
anak buah Naga Hijau dan pergi bersama dengan Nyo Cong-thancu?"
"Ya, tetapi mungkin karena kedua Thancu itu tak saling akur, maka Liat Hwe Thancu menolak."
"Hai, dia berani menolak perintah Cong-thancu?" Siau Lo-seng terkejut.
Go Cui-coan menjawab dengan tersendat-sendat: "Saat itu Nyo Cong-thancu tampak bergegas-gegas
sekali. Dia hanya memanggil secara lisan tak memberi surat kepadaku. Maka Liat Hwe Thancu berani
menolak dengan alasan bahwa menurut peraturan lima Thancu dari Naga Hijau tak boleh serempak keluar
dari markas. Harus ada seorang yang menjaga markas. Maka Nyo Cong-thancu pun hanya bersama Ang
Cui Thancu dan anak buahnya yang pergi untuk menolong ketua."
"Huh, siasat mereka memang lihay. Anak buah Naga Hijau yang pergi itu tentu celaka semua," Siau Loseng menggeram.
"Ya, mengapa Cu-ing sampai begitu limbung. Tetapi jelas dia baru pergi lewat tengah malam, mengapa
menjelang tengah malam dia sudah tiba di sini?" kata Tay Hui Sin-ni.
"Dia tentu termakan siasat musuh," kata Siau Lo-seng, lalu bertanya kepada Go Cui-coan lagi: "Lalu
bagaimana dengan Nyo Cong-thancu yang kedua itu
"Lewat tengah malam dia baru datang. Sekalian anak buah Naga Hijau heran. Setelah meminta bukti bahwa
yang datang itu benar Nyo Cong-thancu yang sesungguhnya, barulah kami mengetahui kalau tadi telah
termakan siasat lawan. Saat itu Nyo Cong-thancu segera akan mengejar dan karena kuatir Nyo Congthancu hanya seorang diri maka Liat Hwe Thancu menyatakan ikut. Ia hanya meninggalkan duapuluhan
anak buah untuk menjaga markas. Belum lama mereka pergi aku segera mendapat laporan bahwa markas
telah dimasuki oleh orang yang mencurigakan?""
"Mereka orang Ban-jin-kiong atau Lembah Kumandang?" tanya Siau Lo-seng gopoh.
"Bukan orang Ban-jin-kiong juga bukan orang Lembah Kumandang tetapi duabelas jago pedang dari
perguruan Bu-tong-pay dan Ceng-sia-pay. Di bawah pimpinan ketua Bu-tong-pay Ceng-hi-cu yang
membawa enam-tujuhpuluh anak murid kedua perguruan, datang menyerang kemari?""
13.63. Siapa Pembunuh Murid-murid Naga Hijau!!?"
Siau Lo-seng dan Tay Hui Sin-ni serempak berseru kaget. Mereka tak percaya akan keterangan orang itu.
"Sudah berpuluh-puluh tahun aku berkecimpung dalam dunia persilatan dan sudah beberapa kali bertemu
muka dengan Ceng-hi-cu ketua Bu-tong-pay. Tak mungkin salah lihat?"," Go Cui-coan berkata dengan
yakin. dunia-kangouw.blogspot.com
"Mendapat laporan aku segera keluar untuk menyambut," kata pula Go Cui-coan dengan mengertak gigi,
"ah, tak kira kalau manusia-manusia yang menamakan diri sebagai pemuka aliran Ceng-pay itu ternyata
juga sama seperti kaum durjana. Mereka mengganas dan menyerbu markas. Segera kuperintahkan
seorang anak buah untuk memberi portolongan kepada para korban dan disamping itu kuminta lima orang
jago-jago kami yang sakit menyelamatkan keluarga-keluarga para anak murid......."
Berkata sampai di sini tampak Go Cui-coan tegang sekali wajahnya, penuh dengan dendam kemarahan
sehingga matanya merah seperti bara.
Kemudian dengan geram ia melanjutkan:
"Kawanan manusia yang melebihi binatang buas itu telah menyerbu dan melakukan pembunuhan biadab.
Tua muda, laki perempuan, besar kecil telah disembelih?" secara mengerikan?" hek, hek, hek."
Ia batuk-batuk lalu muntah darah dan menangis tersedu pilu.
Siau Lo-seng seperti terbayang akan pembunuhan ngeri di desa Hay-hong-cung lagi. Ia teringat pula akan
pemandangan yang mengerikan ketika seluruh keluarga dan penghuni Huy-hong-cung dijagal habishabisan.
"Darah?" jiwa?" hutang darah harus bayar darah?" hutang jiwa harus kembalikan jiwa?" aku
hendak menuntut balas," tiba-tiba ia mengingau kalap.
Melihat itu bergidiklah hati Tay Hui Sin-ni. Ia meresa bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi.
Serentak ia pejamkan mata dan melantangkan doa mantra.
Tiba-tiba Go Cui-coan mendekap dada dan jatuh terduduk lalu merintih seperti menahan kesakitan yang
hebat. "Siau sauhiap, engkau harus menuntut balas atas kematian saudara-saudara dari Naga Hijau?"
dendam?" huak......."
Kembali orang itu muntah darah. Siau Lo-seng tersayat hatinya menyaksikan keadaan anak buah Naga
Hijau itu. Apabila sadah dikuasai oleh sifat kejam, manusia itu lebih kejam dari binatang buas. Terutama dalam dunia
persilatan. Segala budi perilaku hanya kosong belaka. Yang ada dan dikenal dalam dunia persilatan itu
hanya Hukum Rimba, yang kuat menang, yang lemah binasa. Siasat dilawan siasat, kekejaman dibalas
kekejaman. Itulah bahasa yang dikenal oleh kaum persilatan.
Tay Hui terkejut melihat sikap dan perobahan wajah Siau Lo-seng. Ia kuatir apabila Siau Lo-seng dihinggapi
oleh kesan buruk terhadap dunia persilatan, maka dunia persilatan pasti akan mengalami kehancuran dan
masa-masa yang gelap. Buru-buru rahib itu gunakan ilmu tenaga dalam sakti untuk menyadarkan pikiran Siau Lo-seng.
"Dendam kesumat, bunuh membunuh, bagaikan api yang membakar jiwa manusia. Apabila kita tak
berusaha untuk memadamkan, hanguslah jiwa raga kita terbakar oleh kejahatan berdarah itu. Apabila dapat
menyadari bahwa alam itu mempunyai hukum Sebab dan Akibat, bahwa segala kehidupan itu akan pulang
ke asal masing-masing, maka kitapun harus menyadari agar jangan sampai terlibat dalam jerat Karma yang
tiada berkeputusan."
Siau Lo-seng mengangkat muka dan memandang rahib itu dengan terlongong-longong.
?"" segala kehidupan itu dari satu sumber dan akan pulang ke asalnya?" ha, ha, ha"..." tiba-tiba
pemuda itu tertawa. Nadanya penuh kerawanan dan kehampaan.
Dia seperti seorang panglima yang habis memenangkan pertempuran. Suatu pertempuran batin yang
dahsyat dimana hampir saja dia bertekuk lutut menambahkan pembunuhan dan kekejaman.
"Ah," tiba-tiba ia menghela napas longgar, "terima kasih cianpwe telah menyadarkan kekeruhan batinku.
Jika tidak, aku pasti akan hilap dan terjerumus dalam kesesatan yang kejam dan ganas......."
Tay Hui Sin-ni longgar perasaannya karena pemuda itu telah menemukan kesadarannya pula. Ia memberi
nasehat apabila pada suatu saat menghadapi persoalan yang menekan batin, ia harus dapat menggunakan
pikiran yang jernih dan batin yang terang untuk memecahkan persoalan itu. Sekali-kali jangan sampai kalah
dan jatuh ke dalam cengkeraman nafsu yang jahat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Go Cui-coan yang terkapar di tanah itu mengerang-erang menahan derita kesakitan yang bebat.
Darahnya yang keracunan itu mulai membinal menerjang ke arah uluhati.
Siau Lo-seng menyadari bahwa keadaan anak buah Naga Hijau itu sudah tak dapat ditolong lagi. Lebih
lekas dibebaskan, lebih berkurang penderitaannya. Segera Siau Lo-seng bertindak.
Tetapi pada saat ia hendak menutuk dada Go Cui-coan. tiba-tiba terdengar lengking bentakan yang
dahsyat: "Anjing buduk, jangan main bunuh!"
Seketika itu Siau Lo-seng merasa setiup angin menyambar punggungnya. Cepat ia tamparkan kedua
tangannya ke belakang. "Plak, plak?""
Dua buah senjata rahasia yang akan melanda punggung pemuda itu tertampar ke udara. Tetapi penyerang
dari belakang itu menyusuli pula dengan pukulan dari jauh. Pemuda itupun cepat-cepat berputar-putar
sampai tiga kali seraya silangkan kedua tangan untuk melindungi diri. Lalu dengan gerak kecepatan yang
luar biasa, ia ulurkan tangan kanan untuk menyambar pergelangan tangan orang dan tangan kiri
menghantam. Tetapi penyerang itu hebat juga. Setelah lepaskan dua kali pukulan, dengan meminjam tenaga pukulan itu,
ia melambung dan berjumpalitan di udara, melayang di atas kepala Siau Lo-seng lalu menghantam kepala
pemuda itu?" "Sik Thancu tahan?"!" tiba-tiba terdengar seseorang menggembor dan menyusul belasan sosok tubuh
manusia pun melayang tiba.
Serangannya gagal, orang tua jenggot merah itu marah sekali sampai jenggotnya meregang tegak.
"Bangsat, kalau berani membunuh orang mengapa takut adu jiwa dengan aku?" teriaknya. Ia memutar
senjatanya dan hendak menyerang lagi.
Tiba-tiba seorang baju hitam menghadangnya.
"Sik Thancu, jangan salah paham," katanya. "cobalah engkau lihat, dia kan Siau sauhiap teman baik dari
pangcu kita." Siau Lo-seng memandang ke sekeliling. Ternyata orang-orang yang datang itu adalah para ko-jiu atau jago
sakti dari Naga Hijau. "Adakah anda ini Liat Hwe Thancu?" tegurnya kepada orang tua yang menyerangnya itu.
Tetapi orang tua jenggot merah itu berteriak marah: "Aku adalah Sik Hwe-san. Sekalipun engkau teman
baik dari pangcu tetapi engkau hendak membunuh anak buah kami. Mengapa?"
Habis berkata Sik Hwe-san atau Gunung berapi itu segera lontarkan dua buah pukulan lagi.
Tetapi Siau Lo-seng tak mau menangkis melainkan menyurut mundur lagi: "Sik Thancu, dengarkan katakataku!"
"Sik Thancu, harap sabar dulu, ini hanya salah paham," orang baju hitam tadipun ikut berseru.
Saat itu Siau Lo-seng pun sudah songsongkan kedua tangannya ke atas tetapi Tay Hui Sin-ni cepat
meneriakinya: "Sauhiap, jangan menangkis pukulannya!"
Habis berkata rahib itu kebutkan lengan jubahnya ke arah kedua orang itu.
Terdengar letupan yang menusuk telinga. Angin pukulan penyerang itu memancarkan sinar api. Siau Loseng terkejut. Cepat ia menyelinap dua tombak ke samping untuk menghindari hujan percikan api itu.
Ternyata penyerang itu menggunakan suatu senjata rahasia untuk menyerang kepala Siau Lo-seng. Untung
Tay Hui Sin-ni amat waspada. Dan kebutan lengan jubahnya dapat pula melemparkan penyerang itu
sampai tiga-empat tombak jauhnya.
Ternyata dia seorang tua bertubuh pendek gemuk, memelihara jenggot merah yang menjulai sampai ke
dada. "Pembunuh kejam, serahkan jiwamu " teriak orang tua pendek itu. Dan sekali bergerak, ia sudah mencekal
sebatang senjata aneh dan tiba di hadapan Siau Lo-seng lalu menyerang lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng tahu bahwa senjata aneh dari orang itu tentu berbahaya maka cepat-cepat ia lepaskan
delapan buah pukulan untuk menahan, lalu cepat loncat mundur sampai tiga tombak.
"Menyingkirlah," bentak orang tua jenggot merah itu. "salah paham, huh, kentut! Kalau hari ini aku tak
menuntut balas atas kematian saudara-saudara kita, aku Sik Hwe-san bersumpah tak mau jadi orang
lagi......" Ia mendorong orang baju hitam itu ke samping lalu melangkah maju.
Melihat keliaran orang, marahlah Siau Lo-seng: "Bagaimana engkau membuktikan aku seorang
pembunuh?" Liat Hwe Thancu tertawa hina.
"Kalau tak ingin dilihat orang janganlah melakukan sesuatu. Apakah engkau kira tipu muslihatmu
"memancing harimau tinggalkan sarang" itu sudah hebat" Nyo Cong-thancu telah menduga engkau akan
datang, tetapi sudah terlambat, darah telah menumpah. Namun Thian tetap bermurah hati sehingga engkau
mengantarkan jiwa lagi ke sini!"
Habis berkata ia terus loncat ke muka Siau Lo-seng. Tangan kanan menghantam kepala, tangan kiri
menaburkan berpuluh butir pelor bik-lik-tan.
Siau Lo-seng tak mau melayani. Ia loncat mundur lalu dorongkan kedua tangannya untuk menampar pelor
itu. "Jangan ditangkis, lekas tiarap!" cepat-cepat Tay Hui Sin-ni berteriak.
Tetapi terlambat. Tenaga tamparan Siau Lo-seng telah membentur pelor itu. Terdengar letupan keras dan
bunga apipun berhamburan di udara.
Siau Lo-seng menjerit kaget dan cepat-cepat tutupkan tangannya ke dada. Pakaiannya penuh lubang bekas
terbakar bercampur bintik-bintik darah yang mengucur dari tubuhnya. Dia terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang. Tetapi Liat Hwe Thancu pun terkejut sekali. Dia bergelar Hwe-mo-sin atau Setan Api. Memiliki senjata
rahasia dari bahan peledak yang ganas. Terutama pelor Bik-lik-tan, sudah termasyhur di dunia persilatan.
Jarang dia menggunakan senjata pelor itu kalau tak perlu. Kali ini dia taburkan berpuluh-puluh butir pelor
tetapi ternyata pemuda itu tak mati melainkan pakaiannya saja yang terbakar.
"Dimana saat ini Nyo Cong-thancu?" serunya dengan nada dingin.
"Nyo Cong-thancu mengejar anak buah kawanan anjing itu. Tetapi jangan kira engkau mampu lolos dari
sini, beberapa kawan kita di sini akan mencingcang tubuhmu!"
Habis berkata orang tua jenggot merah itu terus hendak turun tangan. Rupanya sebelum dapat membunuh
Siau Lo-seng, ia tak puas.
Saat itu beberapa ko-jiu Naga Hijau pun segera mencabut senjata dan mengepung Siau Lo-seng.
Serempak mereka memaki dengan marah. "Penghianat, engkau mempunyai dendam permusuhan apa
dengan Naga Hijau sehingga engkau sampai bertindak sedemikian ganasnya kepada kawan-kawan kami?"
Melihat suasana makin panas, Siau Lo-seng tak mau bertindak gegabah melainkan mencurah pandang ke
arah Tay Hui Sin-ni. Tetapi ternyata rahib itu tengah pejamkan mata seenaknya saja. Seolah-olah urusan di situ tak ada sangkut
pautnya dengan dia. Sudah tentu Siau Lo-seng tak habis ngerti.
Liat Hwe Thancu Sik Hwe-san maju dua langkah lagi dan membentak, "Bagaimana" Bukankah engkau tak
dapat menjawab?" "Jangan kalian mendesak aku keliwat batas," sahut Siau Lo-seng, "siapa yang membunuh kawan-kawanmu
itu. Hm, sungguh manusia yang tak tahu kebaikan orang! Mereka telah dibunuh oleh anak buah perguruan
Bu-tong pay dan Ceng-sia-pay yang dipimpin oleh Ceng-hi-cu dan duabelas jago pedang Ceng-sia-pay.
Kami baru saja tiba di sini. Terserah kalian mau percaya atau tidak!"
"Tutup mulutmu!" bentak orang tua jenggot merah pula, "bukti sudah jelas, masih engkau berani
menyangkal dan hendak timpahkan kesalahan pada lain orang. Apakah engkau kira Sik Hwe-san ini
seorang anak kecil" Ha, ha, ha?", dengan mata kepala sendiri kusaksikan engkau membunuh muridku
dunia-kangouw.blogspot.com
Go Cui-coan dan badanmu berlumuran darah....... masakan engkau masih berani menyangkal. Serahkan
jiwamu......" Kilat menyambar puncak. Ribuan kenangan lenyap dan Menelan Sembilan laut, adalah tiga jurus yang
segera dilancarkan oleh orang tua jenggot merah itu untak menyerang Siau Lo-seng. Sedang tangan kirinya
pun menaburkan pasir beracun yang disebut Sip-hun-yan-tok-sat.
Ketika bertempur dengan puluhan anak buah Ban-jin-kiong, pakaian dan tubuh Siau Lo-seng berlumuran
noda darah sehingga saat itu dia memang menyerupai seorang pembunuh yarg habis menjagal korbannya.
Karena menduga orang tua jenggot merah itu tentu akan menyerangnya lagi maka diam-diam Siau Lo-seng
pun sudah bersiap. Cepat ia loncat menyingkir ke samping.
"Sik Thancu, engkau salah paham. Harap dengarkan penjelasanku"..." serunya tetapi cepat dibentak orang
tua jenggot merah itu: "Apa yang perlu dijelaskan" Apakah engkau membunuh muridku itu, bukan terjadi sesungguhnya?"
Siau Lo-seng memang berotak cerdas. Dalam sekejap saja ia sudah mempunyai penilaian. Jika dia bukan
seorang yang berwatak berangasan, tentulah ada sesuatu yang mencurigakan pada dirinya.
Karena sejak dia muncul membawa anak buahnya, dia tetap tak mau menerima penjelasannya dan
beberapa kali melancarkan serangan maut kepadanya. Bukankah hal itu dapat menimbulkan kesan, seolaholah Liat Hwe Thancu itu berkeras hendak melenyapkan dirinya (Siau Lo-seng) karena ia tahu akan latar
belakang pembunuhan ngeri di markas Naga Hijau"
Setelah mempunyai bayangan penilaian semacam itu, Siau Lo-seng pun segera mendapat akal. Dengan
nyaring ia berseru kepada Tay Hui Sin-ni.
"Locianpwe tolong locianpwe membereskan urasan di sini. Aku bendak mengurus suatu hal yang penting
dan terpaksa aku pergi!"
Siau Lo-seng menutup kata-katanya dengan enjot tubuhnya ke udara, melayang melampaui kepala jagojago Naga Hijau itu dan dengan beberapa loncatan segera menghilang dalam kegelapan.
Sekalian jago-jago itu gempar tetapi tiada seorangpun yang berusaha untuk mengejar. Dan andai mengejar,
merekapun tak mungkin mampu menyusul Siau Lo-seng. Kecepatan gerak pemuda itu memang
mengagumkan sekali. Ketika tiba di luar kota Lok-yang, haripun menjelang terang tanah. Siau Lo-seng menghela napas longgar.
Peristiwa berdarah di markas Naga Hijau memang masih merupakan teka teki baginya. Menurut keterangan
dari Go Cui-coan, benar hampir tak dapat dipercaya bahwa perguruan Bu-tong-pay yang tergolong
perguruan yang harum namanya, akan melakukan tindakan yang sedemikian di luar peri kemanusiaan.
Memang jelas bahwa ada seseorang yang telah menyaru sebagai Nyo Cu-ing yang mengajak beratus-ratus
anak buah Naga Hijau menolong ketua Naga Hijau yang katanya mendapat bahaya di lain tempat. Jelas hal
itu, suatu siasat untuk "memancing harimau tinggalkan gunung". Markas Naga Hijau kosong karenanya.
Tetapi sungguh aneh sekali bahwa yang datang ke markas Naga Hijau itu adalah ketua Bu-tong-pay sendiri
bersama ke duabelas jago pedang partai Ceng-sia-pay yang termasyhur.
Sekalipun kedua partai persilatan itu mempunyai dendam permusuhan dengan Naga Hijau tetapi sebagai
partai aliran Ceng-pay, masakan mereka akan melakukan pembunuhan yang sedemikian kelewat batas
ganasnya. Lalu siapakah sebenarnya pembunuh ganas itu" Adakah mereka itu orang Lembah Kumandang atau Banjin- kiong"
Ah, memang kedua gerombolan itu, licin, licik dan luar biasa kejamnya. Mudah sekali bagi mereka untuk
menyaru jadi tokoh-tokoh pimpinan Naga Hijau.
Ya, benar. Li Giok-hou pernah mengatakan bahwa Ban-jin-kiong itu terdiri dari tokoh-tokoh ternama dari
segala aliran partai persilatan. Sekalipun seorang ketua dari sebuah partai persilatan yang termasyhur, pun
juga menjadi budak dari Ban-jin-kiong!
dunia-kangouw.blogspot.com
Teringat akan hal itu, terbaliklah pikiran Siau Lo-seng. Segera ia mempunyai kesan bahwa bukan mustahil


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang melakukan pembunuhan besar-besaran di markas besar Naga Hijau itu memang benar orang Butong-pay.
13.64. Bu-tong-pay Tetapi Siau Lo-seng tak habis herannya. Dengan cara bagaimanakah Ban-jin-kiong dapat menguasai
sekian banyak tokoh-tokoh persilatan yang ternama itu. Mengapa sebagai ketua Bu-tong-pay yang
termasyhur, Ceng-hi-cu mudah diperintah oleh Ban-jin-kiong"
Akhirnya Siau Lo-seng menarik kesimpulan bahwa sumber dari teka teki itu terletak pada partai Bu-tongpay. Bukankah Pek Wan Taysu dan barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari Siau-lim-si juga menuju ke gunung Butong-san untuk memberi bantuan pada partai itu"
Dengan kesimpulan itu akhirnya Siau Lo-seng memutuskan untuk menuju ke Bu-tong-san. Dia segera
berangkat menempuh perjalanan ke markas Bu-tong-pay yang jauh jaraknya itu"..
******************** Ketika menyusur lereng gunung Bu-tong-san, ia tak tertarik akan alam pemandangan yang permai dari
pegunungan itu. Dia hanya mempercepat langkah untuk mencapai jalan yang menuju ke Ceng-cin-kiong,
markas besar partai Bu-tong-pay.
Ceng-cin-kiong, sebuah biara yang megah bangunannya. Puncaknya menjulang tinggi di antara rindangnya
pohon-pohon yang mengelilingi tempat itu. Pagar temboknya amat tebal dan kokoh. Pintu biara itu tertutup
rapat dan tak tampak barang seorang penjaga sama sekali.
Siau Lo-seng mondar mandir di luar pintu. Ia heran sekali mengapa sebuah markas besar dari perguruan
yang termasyhur dalam dunia persilatan tampak begitu sunyi senyap. Ribuan lie telah ia tempuh siang dan
malam. Adakah ia akan menemui suatu markas yang sudah kosong"
Tiba-tiba dari jalan kecil sebuah hutan, muncul seorang imam yang memikul dua buah tahang air. Tetapi
begitu melihat Siau Lo-seng imam itu cepat-cepat masuk ke dalam hutan lagi.
Sudah tentu Siau Lo-seng heran. Cepat-cepat ia loncat mengejar. Tetapi ketika masuk ke dalam hutan, ia
terlongong-longong. Hutan itu lebat dengan pohon dan imam itu lenyap entah kemana. Diam-diam ia
terkejut mengapa imam itu dapat bergerak lebih cepat dari dirinya.
Tiba-tiba ia merasa setiup angin melanda punggungnya. Cepat ia gunakan gerak Naga sakti keluar laut,
loncat ke udara dan melayang beberapa tombak jauhnya.
"Bum"..." tiga batang pohon rubuh, menimbulkan suara yang dahsyat.
Belum sempat Siau Lo-seng mengetahui siapa penyerang gelap itu, tiba-tiba sebatang senjata yang
panjang telah menyapu dirinya. Cepat dia loncat mundur sampai setombak.
"Bum......" kembali tiga batang pohon terhantam rubuh.
Tetapi pada saat itu ia dapat melihat jelas siapakah penyerang itu. Ternyata imam muda yang memikul
tahang air tadi. Dia menggunakan pikulan besi untuk menyerang.
Serangannya gagal, imam muda itu menggembor keras dan menghantamkan pikulan besinya ke dada Siau
Lo-seng dengan jurus Menyiak awan melihat matahari.
"Tunggu dulu sebentar?"" teriak Siau Lo-seng. Ia mengisar dua langkah ke samping seraya menabaskan
tangan kiri ke arah pikulan besi.
"Plak?"" pikulan besi terlepas tetapi di luar dugaan, imam muda itu dengan cepat segera menampar dada
Siau Lo-seng. Serangan imam muda itu memang tak terduga-duga dan amat ganas sekali. Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia
loncat menghindar sampai setombak jauhnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Entah bagaimana tampaknya imam muda itu mendendam sekali kepada Siau Lo-seng. Ia loncat dan
menyerang gencar. Tak kurang dari sebelas jurus serangan telah dilancarkan imam muda itu. Selain cepat pun setiap gerak
pukulannya mengandung tenaga dalam yang dahsyat sehingga Siau Lo-seng terpaksa harus sibuk
menghindar kian kemari dan loncat mundur sampai empat-lima langkah.
Karena melihat kekalapan imam muda itu, marahlah Siau Lo-seng. Segera ia balas menghantam.
"Bum.."." Imam muda itu mengerang tertahan. Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak dan membentur sebatang
pohon besar. Siau Lo-seng cepat menghampiri dan hendak mencekal pergelangan tangan imam itu.
Siau Lo-seng mendengus. Tangan kanan menebas paha dan tangan kiri menyambar siku lengan imam itu.
Secepat kilat, imam itu sudah dapat dikuasainya. Tulang pahanya patah.
Sebenarnya Siau Lo-seng memang tak mau melukainya tetapi kerena imam itu keliwat tak dapat diajak
bicara, terpaksa dia lakukan hal itu.
Sambil melepaskan cengkeramannya pada siku lengan si imam, Siau Lo-seng bertanya,
"Mengapa engkau begitu bernafsu sekali menyerang aku secara ganas. Nah, engkau sampai menderita
luka begitu." "Aku sudah jatuh ke tanganmu, kalau mau bunuh, bunuhlah. Tak usah pura-pura bermurah hati," teriak
imam itu dengan geram. Karena perlu mencari keterangan terpaksa Siau Lo-seng menahan kesabaran,
"Bukankah engkau ini murid Bu-tong-pay?" tanyanya.
"Bangsat, perlu ada bertanya begitu?" damprat imam itu.
"Plak, plak?"" karena marah, Siau Lo-seng menampar muka imam itu.
"Apakah engkau benar-benar menghendaki aku membunuhmu" Jawab pertanyaanku, kalau tak mau
memberi keterangan sejujurnya, terpaksa akan kucabut nyawamu!" bentak Siau Lo-seng.
Tiba-tiba imam muda itu muntah darah lalu tertawa garang, "Sekalipun mau, jangan harap engkau mampu
mendapat keterangan dari mulutku!"
Karena tak menduga, darah dari mulut imam itu hampir menyembur muka Siau Lo-seng. Cepat ia surutkan
kepala ke belakang. Tetapi bajunya yang berwarna hijau kena tertumpah darah imam itu.
"Plak, plak, plak?"" karena marah, Siau Lo-seng menampar muka imam itu dan membentaknya, "Apakah
engkau minta mati?" Muka imam itu bengap dan giginya rompal. Mulutnyapun berlumuran darah tetapi dia tetap memaki-maki,
"Hai, kawanan bangsat jahanam! Ketahuilah, perbuatanmu yang kejam itu kelak tentu akan mendapat balas
yang setimpal sehingga tubuhnya hancur lebur?""
Siau Lo-seng terkejut. Ia duga tentu ada sesuatu dalam peristiwa itu. Cepat ia menyambar tangan si imam
dan berseru: "Apa katamu" Tahukah engkau siapa aku ini?"
Rupanya imam itu menderita kesakitan karena tangannya dicengkeram. Tetapi dia tak mau mengerang.
Sapasang matanya tampak merah membara lalu membentak, "Bangsat, kukatakan bahwa hari kematianmu
sudah dekat!" Tiba-tiba biji matanya terbeliak membalik dan tubuhnya segera terkapar lunglai. Siau Lo-seng terkejut dan
buru-buru lepaskan cekalannya. Ah, ternyata imam itu sudah mati. Dia bunuh diri dengan menggigit putus
lidahnya. Diam-diam Siau Lo-seng menyesal karena tak dapat menahan kesabaran. Walaupun bukan dia yang
membunuh tetapi imam itu mati karena marah kepadanya. Dan celakanya, ia tak dapat mencari keterangan
apa-apa. dunia-kangouw.blogspot.com
Adakah markas Bu-tong-pay sudah diobrak-abrik musuh sehingga imam itu menyangka dia tentu salah
seorang dari kawanan pembunuh itu"
Akhirnya ia kembali menuju ke biara Ceng-kiong. Loncat ke pagar tembok ia melayang turun ke halaman
biara itu. "Aneh, mengapa tak tampak barang seorang manusia dalam biara ini" Apakah telah terjadi peristiwa ngeri?"
pikirnya. Setelah menunggu sampai beberapa saat tetap tak tampak suatu perobahan akhirnya ia nekad masuk.
Dengan pedang Ular Emas ia mengungkit pintu yang tertutup rapat lalu masuk ke dalam ruangan. Ah,
kosong melompong. Keheranannya makin meningkat. Kalau partai Bu-tong-pay benar telah mengalami peristiwa, juga tak
mungkin biara itu penuh dengan debu seperti tempat yang sudah lama tak dihuni orang. Namun kalau biara
itu memang tak dihuni orang lalu dari manakah imam muda yang mengambil air dari hutan tadi"
Setelah melintasi sebuah pendapa, Siau Lo-seng tiba di sebuah ruangan yang besar. Di atas ruangan itu
tergantung sebuah papan berbunyi,
"Ceng-cin-ceng-tian"
atau ruang besar biara Ceng-cin-kiong
Pintunya terbuka. Di muka bangunan itu terdapat halaman yang ditumbuhi beberapa pohon besar.
Siau Lo-seng masuk ke dalam gedung itu dan tiba di paseban Siu-cin-tong. Di situ tampak imam tua
berjubah kelabu tangah memasang dupa di muka sebuah meja sembahyang. Asap dupa berkepul-kepul
membubung ke atas dan tampaknya imam tua itu tenang sekali menyelesaikan pekerjaannya.
Tiba-tiba timbul pikiran Siau Lo-seng untuk menguasai imam tua itu. Kemungkinan dia akan dapat mencari
keterangan dari imam tua itu. Cepat ia menghampiri dan menutuk punggung imam tua itu. Tetapi imam tua
tetap diam saja dan tenang-tenang hendak menancapkan dupa ke meja.
"Celaka," Siau Lo-seng mengeluh kaget ketika jarinya serasa menyentuh kulit yang keras. Buru-buru ia
menyurut mundur. Memandang ke muka, ternyata imam tua itu masih tenang-tenang menancapkan dupa ke meja.
Sejenak termangu, Siau Lo-seng mencabut Pedang Ular Emas lalu maju menusuk punggung imam tua itu.
Tetapi kali ini imam itu mengisar selangkah ke samping dan sekonyong konyong berputar tubuh
songsongkan dupa menahan pedang.
Seketika itu Siau Lo-seng rasakan batang pedangnya tergetar karena dilanda suatu tenaga yang aneh.
Cepat ia menyurut mundur tiga langkah dan memberi hormat:
"Totiang amat sakti, maafkan kelancanganku."
"Bu-liang-siu-hud! Sudah lama menunggumu," tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang berseru.
Siau Lo-seng terkejut sekali dan cepat berputar tubuh, lintangkan pedang dan memandang ke muka. Entah
kapan, tampak dua imam tua berambut putih yang dandanannya sama dengan imam tua yang melakukan
sembahyangan tadi. Saat itu imam tua yang bersembahyang tadi pun berputar ke muka Siau Lo-seng. Setelah beberapa saat
memandang ke muka itu, dia berkata:
"Kepandaian sicu ternyata hebat sekali. Ditilik dari jurus Kiam-hay-biau-hoa yang engkau mainkan tadi,
entah berapa banyak orang persilatan yang telah kehilangan jiwanya di tangan sicu."
Siau Lo-seng mendapat firasat bahwa saat itu ia bakal menghadapi peristiwa lagi. Ia memperhatikan bahwa
sinar mata ketiga imam yang sudah berusia tinggi itu memancar suatu sikap yang tak bersahabat.
"Totiang sekalian, tolong tanya siapakah gelaran totiang yang mulia ini," seru Siau Lo-seng, "aku belum
pernah bertemu muka dengan totiang bertiga. Mengapa mengatakan kalau sudah lama menunggu
kedatanganku." "Bu-liang-siu-hud," seru imam yang bersembahyang tadi. "pinto bergelar It Ceng dan kedua suteku ini It
Bing dan It Tim. Dahulu disebut sebagai Bu-tong Sam-siu (Tiga serangkai dari Bu-tong-pay). Sudah sejak
dunia-kangouw.blogspot.com
empatpuluh tahun mengasingkan diri dan tak mengurus soal-soal perguruan lagi maka tak heran kalau sicu
tak kenal pada kami."
Mendengar keterangan itu diam-diam terkejutlah hati Siau Lo-seng. Ia tak sangka bahwa ketiga imam tua itu
adalah Bu-tong Sam-siu yang termasyhur pada empatpuluh tahun berselang. Konon menurut ceritera orang
persilatan, Bu-tong Sam-siu itu telah mencapai penerangan dalam ilmu agama dan mengasingkan diri.
Tetapi mengapa mereka muncul di paseban Ceng-cin-ceng-tian" Adakah sesuatu yang telah menimpah
pada Bu-tong-pay" Siau Lo-seng membungkukkan tubuh memberi hormat: "Sudah lama aku mendengar keharuman nama
totiang bertiga. Hari ini sungguh merasa beruntung sekali karena dapat berjumpa."
Salah seorang Bu-tong Sam-siu yang umurnya paling muda tertawa dingin.
"Sayang hari ini pinto terpaksa barus membuka pantangan yang sudah pinto lakukan selama empatpuluh
tahun. Pinto hendak menghukummu, budak yang tak kenal adat berani sembarangan mengaduk tempat ini!"
serunya. "Tetapi aku tak bersalah kepada totiang. Mengapa totiang hendak menghukum aku?" seru Siau Lo-seng.
It Tim Totiang maju tiga langkah dan membentak dengan bengis:
"Seorang lelaki berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Tetapi mengapa sekarang engkau hendak
menyangkal" Apakah cukup dengan beberapa patah kata saja engkau hendak menghapus tindakanmu?"
Siau Lo-seng benar-benar tak mengerti.
"Totiang," serunya lantang, "bagaimana kesalahanku, mohon totiang memberi keterangan. Kalau memang
bersalah, aku pasti mau mengakui."
Tampak rambut It Tim meregang karena marah sekali.
"Siau sicu, kami memang hendak menunggu engkau bicara. Karena sekarang engkau menyatakan
bertanggung jawab atas perbuatanmu, maka harap ikut kami menuju ke Ceng-gi-tong menerima
keputusan," serunya.
"Bagaimana engkau tahu kalau aku orang she Siau?" Siau Lo-seng berseru kaget, "paseban Ceng-gi-tong
itu untuk mengadili anak murid Bu-tong-pay yang bersalah. Tetapi aku bukan murid Bu-tong-pay, mengapa
aku harus ikut kalian ke Ceng-gi-tong?"
Tiba-tiba It Bing Totiang berseru: "Sam-sute perlu apa banyak bicara dengan budak yang seliar itu?"
Tahu-tahu imam tua itu sudah meluncur maju terus hendak menyambar pergelangan tangan Siau Lo-seng.
Pemuda itu terkejut. Ia endapkan tangannya ke bawah lalu dibalikkan untuk menusuk. Tangan kirinya pun
juga menampar seraya menyurut mundur.
Karena Siau Lo-seng dapat meronta lepas dari cengkeramannya. It Bing Totiang mengisar ke samping
untuk menghindari tamparan lalu maju menyerang.
Siau Lo-seng menghindar dan loncat mundur lagi seraya berseru marah: "Jika kalian tetap mendesak,
jangan salahkan kalau aku bertindak keras. Aku mau mengalah bukan karena takut kepada kalian!"
"Sudah empatpuluh tahun aku tak bertempur dengan orang. Hari ini akan kulihat sampai berapa jurus
engkau mampu melayani seranganku," seru It Bing Totiang.
Imam tua itu maju pula, dan lancarkan serangan dahsyat bertubi-tubi. Siau Lo-seng terkejut. Serangan
imam tua itu menghamburkan tenaga dalam yang dahsyat sekali.
"Jika demikian akupun terpaksa melayani totiang," seru Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng pun segera mainkan jurus-jurus ilmu pukulan yang indah dan sukar diduga. Keduanya
bertempur dengan seru dan dahsyat.
Diam-diam It Bing Totiang terkejut sekali. Setitikpun ia tak menyangka bahwa pemuda itu ternyata mampu
melayaninya sampai belasan jurus.
It Bing penasaran. Ia mendesak maju. Kedua tangannya bergerak cepat sekali sehingga dalam beberapa
kejap saja sudah enam jurus serangan yang dilancarkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
13.65. Tuduhan Pembunuh Ketua Bu-tong-pay
Siau Lo-seng terdesak mundur sampai setombak jauhnya. Tiba-tiba ia hentikan pukulannya.
"Ah, hawa iblis makin merajalela. Kemungkinan makin berat beban untuk memberantas mereka," ia
menghela napas. Tiba-tiba berpuluh-puluh imam tua dan muda berhamburan masuk memenuhi ruangan itu. Siau Lo-seng
terkejut. Bukankah tadi biara itu kosong melompong" Mengapa sekarang mendadak muncul sekian banyak
imam" "Ceng Hi, apa maksud kalian datang kemari?" tiba-tiba It Tim Totiang menegur.
Seorang imam pertengahan umur, tampil ke hadapan It Tim Totiang, berlutut dan berseru dengan nada
getar: "Hatur beri tahu kepada susiok. Sekalipun dijatuhi hukuman perguruan yang berat tetapi para murid tetap
hendak menyaksikan matinya pembunuh yang telah membinasakan ciang-bun-jin suheng dan ketigapuluh
dua anak murid paseban Ik-seng-tong. Murid Ceng Hi, akan bunuh diri sebagai hukuman karena tak mampu
melindungi mereka tetapi murid mohon agar supeh dan susiok dapat menangkap pembunuh itu dan
membalaskan sakit hati ciang-bun-jin suheng dan para murid-murid paseban Ik-seng-tong."
Habis berkata Ceng Hi mencabut pedang hendak ditabaskan ke lehernya. Tetapi tiba-tiba empat orang
imam loncat menghampiri. Yang dua menyekap tangan Ceng Hi dan yang dua berlutut di hadapannya.
"Suhu, jika suhu hendak bunuh diri, harap bunuh semua murid-murid dulu," seru kedua imam itu.
Sekalian imam yang memenuhi ruangan itu serempak menundukkan kepala dan mengucurkan air mata.
Bahkan ada yang terisak-isak.
Siau Lo-seng terkejut. Diam-diam ia menyadari apa yang telah terjadi. Ternyata anak murid Bu-tong-pay itu
telah menuduh bahwa dialah pembunuh dari ciang-bun-jin (ketua) Bu-tong-pay dan ketigapuluh dua muridmurid paseban Ik-seng-tong.
Apakah yang telah terjadi di markas Bu-tong-pay" Ah, sebelum jelas akan persoalannya ia akan membatasi
diri untuk tidak bertindak gegabah agar jangan sampai terulang lagi peristiwa seperti dengan Liat Hwe
Thancu dari perkumpulan Naga Hijau itu.
Jelas sudah bahwa Bu-tong-pay sudah menduga bahwa dia tentu akan datang ke markas mereka. Maka
sebelumnya mereka sudah mengadakan persiapan untuk menyambut.
Karena tak kuat menahan ketegangan hatinya, Siau Lo-seng segera berseru lantang,
"Hai, harap jangan percaya pada orang yang memfitnah diriku sebagai pembunuh. Aku baru pertama kali ini
datang ke sini. Aku tak tahu peristiwa apa yang terjadi di markas Bu-tong-san ini."
Tiba-tiba imam muda yang mendekap lengan Ceng Hi membentak: "Bangsat, terimalah pedangku ini!"
Seiring dengan bentakannya, ia terus loncat ke udara dan taburkan pedang dalam jurus Ribuan tawon
keluar sarang. Berpuluh-puluh percikan sinar pedang segera mencurah ke arah kepala Siau Lo-seng.
Tahu bahwa imam muda itu memainkan jurus ilmu pedang Bu-tong-pay yang hebat, Siau Lo-seng pun tak
berani memandang rendah. Ia menyurut mundur beberapa langkah lalu mencabut Pedang Ular Emas dan
digerak-gerakkan untuk menangkis.
"Tring, tring......"
Ketika kedua pedang itu saling beradu, Siau Lo-seng tetap tegak di tempatnya tetapi imam muda itu
terhuyung-huyung sampai tujuh-delapan langkah baru berdiri tegak lagi.
Dari hasil adu senjata itu dapatlah diketahui bagaimana ukuran kepandaian kedua orang itu.
Ilmu kepandaian Siau Lo-seng berasal dari Cian-li-tui-cong Ban Li-hong. Dan Ban Li-hong menguasai
segala ilmu silat maupun ilmu pedang segenap aliran perguruan dalam dunia persilatan. Sudah tentu ilmu
pedang Bu-tong-pay yang dimainkan imam muda itu takkan terlepas dari penguasaan Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sudah tentu imam muda itu tak tahu. Dia hanya merasa kalah tingkat kepandaiannya tetapi dia telah
bertekad bulat dan berteriak keras: "Bangsat, aku akan mengadu jiwa dengan engkau!"
Tok-coa-jut-tong atau Ular berbisa keluar guha, Gin-u-hui-say atau Hujan perak mencurah berhamburan
dan Thian-ho-to-lo atau Bintang langit berjungkir arah, adalah tiga buah serangan pedang yang dilancarkan
imam muda itu kepada Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng terpaksa mengangkat Pedang Ular Emas untuk melayani. "Tring, tring," dalam dering
benturan pedang, pedang imam muda itupun terlepas dan orangnya pun terlempar sampai setumbak lebih
jauhnya. Ceng Hi dan beberapa anak muridnya terkejut. Mereka berhamburan loncat hendak menolong. Tetapi
sebelum mereka bergerak ternyata imam muda itu sudah meluncur di tanah tak kurang suatu apa.
Melihat muridnya tak kurang suatu apa, legahlah hati Ceng Hi. Saat itu, tujuh imam jubah kuning sudah
mengepung Siau Lo-seng. "Hat Ceng, mundurlah!" teriak It Tim Totiang.
Mendengar itu, ketujuh imam jubah kuning serempak berseru: "Memberi tahu kepada susiok-cou?""
"Mundur, serahkan urusan di sini pada kami!" seru It Bing Totiang.
"Susiok," seru Ceng Hi Totiang. "aku malu menjabat ketua perguruan kita. Ijinkan aku adu jiwa dengan dia."
Saat itu berpuluh murid Bu-tong-pay sudah maju menghampiri Siau Lo-seng. Tiba-tiba It Ceng Totiang
berseru: "Berhenti! Suruh dia mengatakan alasannya!"
Mendengar perintah suhunya, Ceng Hi pun segera memerintahkan sekalian anak murid Bu-tong-pay itu
mundur. Dan karena ketuanya yang memberi perintah, murid-murid Bu-tong-pay itupun segera mundur.
Melihat itu, Siau Lo-seng meminta kepada Ceng Hi supaya murid-murid Bu-tong-pay itu disuruh tinggalkan
ruangan situ. "Ah, engkau memang banyak tingkah," gerutu Ceng Hi, "mengapa murid Bu-tong-pay tak boleh
mendengarkan urusan perguruannya" Tanyakan sendiri apakah mereka mau meninggalkan ruangan ini
atau tidak?"

Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau Lo-seng mendengus. "Hm, engkau sebagai seorang ketua masakan tak dapat memberi perintah kepada mereka. Kalau engkau
tak mau, maaf, akupun tak dapat memberi keterangan apa-apa," serunya.
"Ceng Hi, perintahkan mereka," seru It Ceng.
"Suhu......" Ceng Hi pucat wajahnya.
Ternyata baru-baru saja Ceng Hi menerima jabatan ketua Bu-tong-pay itu. Adalah karena usianya masih
muda maka banyaklah anak murid Bu-tong-pay yang tak puas.
"Ceng Hi, suruh engkau melakukan hal itu mengapa tak lekas mengerjakannya," seru It Bing Totiang,
"adakah setelah menjabat ketua partai engkau merasa dapat menolak perintah suhumu?"
"Ah, murid tak berani, tetapi, tetapi?""
"Tetapi bagaimana?"
Ceng Hi terpaksa mengangkat Giok-leng atau lambang kekuasaan Bu-tong-pay ke atas kepala dan berseru
kepada sekalian anak murid.
"Sekalian murid Bu-tong-pay, dengarkanlah! Aku menerima titah Tiang-lo, menyuruh kalian tinggalkan
ruangan ini, harap diindahkan!"
Dari kalangan murid-murid Bu-tong-pay segera timbul kehirukan. Setiap murid yang tinggalkan tempat itu
tentu memandang Siau Lo-seng dengan penuh kemarahan. Tetapi Siau Lo-seng tak menghiraukan mereka.
Setelah ruangan itu tiada orangnya, barulah Ceng Hi berkata: "Harap Siau sicu segera mengutarakan
persoalan itu." dunia-kangouw.blogspot.com
"Bila, dimana dan dalam keadaan bagaimanakah ketua dan ke tigapuluh dua anak murid Ik-seng-tong dari
perkumpulan Bu-tong-pay itu menderita kecelakaan?" Siau Lo-seng membuka pembicaraan dengan sebuah
pertanyaan. "Ah, sudah tahu mengapa masih bertanya pula?" dengus Ceng Hi.
"Aku hanya minta engkau supaya menjawab pertanyaanku itu," seru Siau Lo-seng dengan tegas.
"Saat ini engkau sudah terkepung rapat. Lebih baik engkau tahu diri dan dapat berpikir yang tepat," Ceng Hi
Tojin marah. "Ceng Hi, jawablah pertanyaannya," tiba-tiba It Ceng Totiang, guru dari Ceng Hi, ikut campur.
"Perlu apa engkau menanyakan tentang kematian ciang-bun-jin suheng dan ke tigapuluh dua murid
paseban Ik-seng-tong itu" Kalau tiada sangkut pautnya, janganlah terlalu mencampuri urusan perguruan
kami," Ceng Hi melengking marah.
"Bukan saja mempunyai hubungan dengan peristiwa berdarah dalam perguruan Bu-tong-pay tetapi pun
menyangkut keselamatan dari segenap kaum persilatan," sahut Siau Lo-seng, "jika engkau tak mau
menerangkan sejujurnya, seluruh kaum persilatan tentu akan mengalami malapetaka hebat dan engkaupun
tentu akan memikul tanggung jawab yang besar."
Sejenak berhenti memandang keempat tokoh tua dari Bu-tong-pay, Siau Lo-seng melanjutkan pula.
"Dewasa ini seluruh kaum persilatan sudah terancam bahaya, bahkan ada yang sudah tertimpah
malapetaka itu. Dua-tigapuluh anak murid Bu-tong-pay yang binasa dan berpuluh jiwa anak buah
perkumpulan Naga Hijau yang mati hanyalah merupakan permulaan dari tibanya malapetaka itu. Kalau
kalian tak lekas menyadari hal itu dan tetap gelap pikiran, dikuatirkan, beratus-ratus tahun keharuman nama
Bu-tong-pay akan hancur lebur dalam sehari saja."
"Sebelum engkau membuktikan dirimu bukan pembunuh, janganlah engkau mengumbar suara besar
menilai keadaan perguruan kami," seru Ceng Hi Totiang.
"Hm, coba jawablah," balas Siau Lo-seng. "perlu apa aku minta engkau memerintahkan anak murid Butong-pay keluar dari ruangan ini. Apakah hal itu hanya karena aku hendak bicara yang tak penting artinya?"
"Lalu untuk apa?" teriak Ceng Hi Tojin makin marah.
"Untuk manusia ini......" teriak Siau Lo-seng lalu melambung dan lepaskan beberapa kali ilmu Han-sim-cikang atau tutukan jarak jauh dengan jari, ke arah empat imam jubah kuning tadi.
Dari baju keempat orang itu berhamburan jatuh beberapa senjata rahasia beracun. Dan karena tutukan jari
Han-sim-ci dari Siau Lo-seng tadi, keempat imam jubah kuningpun jatuh dan tepat menimpah pada
senjatanya sendiri yang beracun itu.
Mereka berguling-guling menahan kesakitan yang hebat sekali.
Tiba-tiba Ceng Hi Tojin menggembor keras terus menyerang Siau Lo-seng: "Binatang, engkau berani
membunuh?"" Siau Lo-seng tak mengira sama sekali bahwa Ceng Hi Tojin akan menyerangnya dengan pedang. Karena
jaraknya amat dekat, pedang ketua Bu-tong-pay itu tentu akan menusuk tubuh Siau Lo-seng.
"Tring"..."
Tiba-tiba terdengar dering pedang jatuh ke lantai dan tubuh Ceng Hi pun terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang. Wajahnya terkejut sekali ketika mengetahui apa yang terjadi.
"Suhu, engkau bagaimana......?"
Ternyata It Ceng Totianglah yang kebutkan lengan jubahnya untuk menampar jatuh pedang Ceng Hi,
kemudian imam tua itu loncat menghampiri ke empat imam jubah kuning. Tetapi terlambat. Mulut ke empat
imam jubah kuning itu berlumuran darah. Ternyata mereka telah menggigit putus lidahnya sendiri sehingga
mati. It Ceng menghela napas dan tegak termangu-mangu.
Siau Lo-seng segera menghampiri dan memberi hormat: "Terima kasih atas bantuan cianpwe. Kalau tidak,
aku tentu menderita celaka tadi."
dunia-kangouw.blogspot.com
Mata It Ceng Totiang berkilat-kilat menatap Siau Lo-seng, serunya dingin: "Tak perlu engkau berterima
kasih kepadaku. Aku memberi pertolongan agar engkau melanjutkan keteranganmu."
Kemudian imam tua itu berpaling dan menegur Ceng Hi: "Keempat imam jubah kuning termasuk anak murid
paseban mana?" "Paseban Ik-seng-tong dan imam golongan Hoa," sahut Ceng Hi.
"Lekas panggil ketua Ik-seng-tong kemari," perintah It Tim.
"Ah, hatur beritahu kepada susiok bahwa kepala paseban Ik-seng-tong, Thian It Totiang karena tujuh hari
yang lalu telah menghilangkan sebuah benda pusaka dari perguruan Bu-tong-pay, dia bunuh diri sebagai
penebus dosa." "Jelas itu suatu pembunuhan yang direncanakan," seru Siau Lo-seng.
"Tutup mulutmu!" bentak Ceng Hi, "jangan lupa, engkau masih tersangka sebagai pembunuh!"
Siau Lo-seng tertawa nyaring,
"Ketua, engkau sendiri juga tak terluput dari tuduhan sebagai pembunuh!" serunya.
Gemetar tubuh Ceng Hi mendengar kata-kata anak muda itu. Dengan mengertek gigi, ia berseru geram:
"Bagaimana engkau hendak mempertanggung jawabkan atas kematian keempat imam perguruan kami ini?"
Tiba-tiba Siau Lo-seng bahkan malah tertawa makin keras. Setelah itu ia menjawab dengan nada dingin.
"Ternyata perguruan anda terdapat anak murid yang berani sembarangan melanggar perintan ketuanya,
berani masuk ke ruang terlarang. He, kurasa kewibawaanmu memang hebat benar!"
Kata-kata itu benar-benar menampar muka Ceng Hi. Wajahnya merah padam dan ubun-ubun kepalanya
seperti mengeluarkan asap.
"Itu urusan perguruan kami sendiri," serunya, "tak perlu engkau ikut campur. Betapapun engkau hendak
putar lidah tetapi jangan harap engkau dapat lolos dari dosamu membunuh orang!"
"Kalau ada murid yang secara menggelap hendak membunuh orang-orang yang berada di ruang haruskah
dia dibunuh?" Siau Lo-seng balas bertanya,
"Murid kami yang melakukan kesalahan sudah diatur dalam hukum peraturan perguruan kami sendiri.
Engkau berani lancang membunuh mereka berarti engkau tak mengindahkan kepada perguruan Bu-tongpay. Kesalahanmu itu tak mungkin diampuni lagi," jawab Ceng Hi.
"Kalau mereka hendak membunuh engkau" Lalu bagaimana keputusanmu?"
"Tak mungkin mereka berani melakukan hal semacam itu!" bentak Ceng Hi marah sekali.
Jawab Siau Lo-seng tenang-tenang,
"Tak peduli siapa yang hendak dibunuh, tetapi mereka telah mempersiapkan rencana yang keji dan harus
dibasmi. Apakah engkau yakin dapat terhindar dari taburan senjata beracun yang serempak dilakukan oleh
keempat imam itu" Kalau, engkau tak percaya mereka akan membunuh engkau maka hanya dua
kemungkinan. Kalau engkau bukan komplotan mereka, tentulah engkau ini seorang musuh dalam selimut."
"Engkau maksudkan bahwa kematian dari anak murid Bu-tong-pay itu disebabkan karena di dalam partai
terdapat musuh dalam selimut yang telah bersekongkol dengan musuh luar?"
"Bermula aku memang menduga-duga saja," kata Siau Lo-seng, "tetapi sekarang aku berani memastikan
bahwa dalam perguruan Bu-tong-pay memang terdapat komplotan penghianat."
Tiba-tiba It Tim Totiang mengerat kata-kata Siau Lo-seng: "Siau sicu, harap jangan omong yang tak penting.
Apakah maksudmu datang kemari?"
"Atas terjadinya peristiwa menyedihkan dalam perguruan Bu-tong-pay, aku ikut perihatin," kata Siau Loseng, "kedatanganku kemari karena hendak menyelidiki suatu peristiwa berdarah. Tetapi tak kira kalau Butong-pay juga sudah dilanda oleh peristiwa berdarah itu. Karena dalam peristiwa ini tentu ada sebab dan
penggeraknya maka kupercaya atas kebijaksanaan locianpwe untuk menyimpulkan keputusan."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kami bertiga sejak empatpuluh tahun yang lalu sudah tak mengurusi lagi persoalan perguruan," kata It Tim
Totiang, "sungguh tak kira pada hari ini, perguruan kami akan tertimpah bencana macam begini. Kalau kami
orang-orang tua ini tak bertindak untuk membersihkan perguruan, kemungkinan Bu-tong-pay tentu akan
hancur berantakan......"
Ia mengakhiri kata-katanya dengan sebuah helaan napas yang dalam dan panjang.
"Locianpwe sungguh bijak dan cerdas, aku menaruh kekaguman yang tak terhingga......"
Tiba-tiba It Tim Totiang deliki sepasang matanya dan berseru dingin,
"Siau sicu, jangan mengira kami sudah terpengaruh oleh sikap dan kata-katamu itu. Aku memang kagum
atas tingkah laku yang engkau mainkan di hadapanku ini. Tetapi akupun heran mengapa tingkah laku dan
ucapanmu itu tidak sesuai dengan berita-berita dalam dunia persilatan yang menyohorkan engkau sebagai
seorang pembunuh ganas yang berdarah dingin.
"Apa?" Siau Lo-seng terbelalak. "apakah engkau juga menuduh aku sebagai pembunuh" Adakah engkau
tahu nama yang diberikan kaum persilatan kepada diriku?"
Tiba-tiba Ceng Hi tertawa mengejek.
14.66. Bunuh Diri karena Gagal
Puas tertawa, Ceng Hi Tojin, ketua Bu-tong-pay berseru nyaring: "Aha, sungguh menggelikan sekali katakatamu itu. Siapakah kaum persilatan yang tak tahu bahwa Pedang Ular emas Siau Mo itu seorang momok
pembunuh yang ganas?"
Diam-diam Siau Lo-seng terkejut. Belum sampai setahun dia muncul di dunia persilatan mengapa orangorang Bu-tong-pay yang bermarkas di daerah sejauh Oupak, dapat mengetahui dan mengenali dirinya"
"Hm, aneh sekali. Mungkin ada sesuatu dalam hal itu," diam-diam ia merangkai dugaan.
"Bagaimana engkau memastikan aku ini Siau Mo?" serunya.
"Wajah dan pakaianmu boleh berganti seribu macam tetapi engkau sulit untuk menyembunyikan ciri-ciri
khusus dari senjata pembunuh yang ganas yakni pedang Ular Emas!"
"Engkau menuduh pedang Ular Emas ini?" tanya Siau Lo-seng.
"Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau kebetulan saja menemukan senjata itu atau Siau Mo
telah memberikan kepadamu?" desak Ceng Hi Tojin.
Saat itu Siau Lo-seng seperti orang gagu yang ketulangan. Mulut sakit tetapi tak dapat mengatakan. Ia tak
menyangka bahwa penyaruannya sebagai Siau Mo, walaupun hanya berjalan beberapa waktu saja ternyata
telah termasyhur di seluruh dunia persilatan.
Melihat Siau Lo-seng tak dapat menjawab. Ceng Hi makin mendesak dengan kata-kata bengis:
"Tuhan Maha Pemurah," serunya, "perbuatan jahat akhirnya tentu akan tumpas seperti yang engkau alami
hari ini." "Kalau engkau berkeras menuduh aku sebagai Siau Mo akupun tak dapat memberi keterangan suatu apa,"
kata Siau Lo-seng. "hanya kuminta engkau suka menerangkan bila dan bagaimana ketua dan anak murid
Bu-tong-pay sampai menderita kematian itu?"
"Apakah engkau sungguh-sungguh hendak bertanya?"
"Kalau tidak untuk menyelidiki, perlu apa aku harus banyak mulut?" balas Siau Lo-seng.
Tampak ketiga tokoh tua Bu-tong Sam-siu sedang berunding. Tetapi mereka tak terdengar mengeluarkan
suara. Hanya ujung bibirnya yang bergerak-gerak. Berulang kali menganggukkan kepala seperti memberi
persetujuan. Ternyata mereka menggunakan ilmu Menyusup suara untuk berunding.
Cahaya wajah Ceng Hi tampak berobah ketika mendengar penyahutan Siau Lo-seng.
"Tujuh hari yang lalu, mereka telah terbunuh di puncak Thou-ban-hong," kata Ceng Hi. "sejak berdirinya Butong-pay, baru pertama kali itu mengalami peristiwa yang sedemikian mengerikan. Tiada seorangpun dari
dunia-kangouw.blogspot.com
pembunuh itu yang dapat dibekuk sehingga kalian dapat pergi dengan bebas. Tak terduga, apa yang diduga
Hun Hay sutit ternyata benar. Kami terpaksa mengundang para Tiang-lo Bu-tong-pay supaya melindung
biara kami. Rencana itu memang benar dapat menjebak kedatanganmu kemari."
"Ah, ternyata memang benar......" tiba-tiba Siau Lo-seng menghela napas.
Ceng Hi tertegun. "Pada waktu itu ada orang yang melihat engkau menggunakan pedang Ular Emas untuk membunuh anak
buah kami. Walaupun tak kenal engkau tetapi setiap orang persilatan tentu mengetahui bahwa hanya Siau
Mo lah yang menggunakan pedang Ular Emas!"
"Benarkah ketua Bu-tong-pay yang lalu telah mati terbunuh?" tegur Siau Lo-seng.
"Masakan pura-pura mati!" bentak Ceng Hi Tojin yang sekarang menggantikan kedudukan sebagai ketua
Bu-tong-pay, "saat ini jenasahnya masih berada di belakang ruang."
"Bukan, aku bukan bermaksud begitu," seru Siau Lo-seng, "maksudku hendak bertanya, apa jenasah Giok
Hi ciang-bun-jin itu masih utuh sehingga dapat kita kenali orangnya?"
"Masakan aku tak dapat mengenali suheng sendiri," Ceng Hi Tojin makin marah, "hm, kalau engkau mau
lihat, akan kuberi kesempatan kepadamu."
Habis berkata ketua Bu-tong-pay itupun segera berputar tubuh dan melangkah menuju ruang samping lalu
menyingkap kain tirai yang menutup pintu.
Ternyata dalam ruang itu terdapat dua deret peti mati warna merah. Entah berapa jumlahnya. Di tengahnya
sebuah peti mati yang besar dan indah, mungkin berisi jenasah Giok Hi Tojin, ketua Bu-tong-pay yang
terbunuh itu. Di depan peti terdapat meja sembahyangan. Asap dupa masih berkepul-kepul. Ruang jenasah
itu diterangi dengan lilin besar.
Suasana yang menyeramkan itu, amat menyentuh perasaan Siau Lo-seng sehingga ia mundur selangkah
terlongong-longong. Dalam pada itu terdengarlah mulut Ceng Hi Tojin berkemak-kemik mengucapkan doa:
"Ciang-bun suheng, mohon suheng suka memberi bantuan agar aku yang ditunjuk menggantikan
kedudukan sebagai ketua perguruan kita dapat menuntut balas atas kematian keempatpuluh jiwa anak
murid kita." Sehabis berdoa dia lantas berputar tubuh dan melangkah maju menghampiri Siau Lo-seng dengan mata
berkilat-kilat penuh dendam pembunuhan.
Entah bagaimana, Siau Lo-seng setapak demi setapak mundur ke belakang.
"Setelah menyaksikan, segeralah engkau berikan nyawamu!" teriak ketua Bu-tong-pay itu seraya menabas
dengan pedang. Siau Lo-seng cepat menghantam dan loncat menghindar ke samping. Tetapi Ceng Hi tak mau memberi
kesempatan lagi. Ia loncat seraya menabas.
"Aduh......!" tiba-tiba terdengar lolong jeritan ngeri.
Bahu Siau Lo-seng tergurat ujung pedang dan tubuhnya terhuyung mundur sampai tujuh-delapan langkah.
Tetapi serempak dengan itu terdengar suara bentakan dan erang tertahan. Tahu-tahu Ceng Hi Tojin
menderita hebat. Dadanya termakan tiga buah pukulan, sebuah tutukan jari dan sebuah tendangan kaki.
Mulutnya menyembur darah dan orangnya pun terlempar jauh. "Bluk," dia jatuh terduduk di tanah.
Ceng Hi Tojin mengekeh. Dengan muka berlumuran darah ia paksakan diri bangun dan maju menghampiri
Siau Lo-seng. Melihat gerak gerik ketua Bu-tong-pay itu, Siau Lo-seng merasa seram juga. Jelas Ceng Hi Tojin seperti
orang kalap yang tak menghiraukan jiwanya lagi.
Pemuda itu berpaling memandang ke arah ketiga tokoh tua Bu-tong-pay dengan pandang mengharap
bantuan. Tetapi tampak wajah ketiga tokoh tua itu tegang sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat terpisah lima langkah dari tempat Siau Lo-seng. Ceng Hi Tojin taburkan pedangnya dalam
sebuah jurus yang luar biasa dahsyatnya. Beratus-ratus sinar pedang berhamburan mencurah ke tubuh
Siau Lo-seng. Siau Lo-seng tegak dengan tenang. Pada lain saat dia agak condongkan tubuh ke samping dan mengendap
ke bawah. Sesaat kemudian pedang Ular Emas segera melancar.
Tiba-tiba Ceng Hi Tojin menggigil dan wajahnya berubah seram, mulut menjerit ngeri. Serangkum darah
segera mencurah ke muka Siau Lo-seng. Itulah akibat dari guratan ujung Pedang Ular Emas yang melukai
dagu sampai ke dada. "Jang-kiong-coat-beng-in!" seru ketiga Bu-tong Sam-siu dengan terkejut.
Memang karena terpaksa Siau Lo-seng menggunakan jurus ilmu pedang itu. Pada hal itu belum pernah
menggunakannya dan belum tahu bagaimana akibatnya.
Tampak sepasang mata Ceng Hi Tojin melotot seperti mau keluar. Tubuhnya menggigil, dagunya
bercucuran darah, dadanya berlumuran juga. Sepintas keadaannya amat menyeramkan.
Dia berkeras hendak maju menghampiri Siau Lo-seng, tetapi langkahnya terhuyung-huyung jatuh?"
Dia bangun lagi dan berusaha untuk berdiri walaupun wajahnya mengeriput kesakitan. Keringat bercucuran
membasahi mukanya. Sejumlah besar jago-jago Bu-tong-pay segera berhamburan masuk ke dalam ruang. Tetapi mereka segera
tertegun menyaksikan pemandangan saat itu.
Sepasang mata Ceng Hi merah membara, memandang ke arah rombongan jago-jago Bu-tong-pay. Tibatiba dia menghamburkan tertawa yang bernada rawan penuh kepiluan.
Nada tertawa itu jauh lebih berpengaruh dari segala perintah. Tiada seorang anak murid Bu-tong-pay yang
berani mendengus napas. Mereka merasa nada tawa Ceng Hi Tojin itu bagaikan sembilu yang menyayat
hati mereka. Mereka tundukkan kepala tak berani memandang ketua mereka!
Habis tertawa. Ceng Hi muntahkan segumpal darah. Tubuhnya menggigil keras. Tiba-tiba dia mengeluarkan
sebuah Giok-ji-ih atau lencana kumala, diangkat tinggi-tinggi ke atas kepala dan berseru nyaring,
"Sekalian anak murid Bu-tong pay, dengarkanlah! Apakah benda yang berada di tanganku ini?"
Terdengar suara berderap-derap memberisik ketika berpuluh-puluh anak murid Bu- tong-pay yang berada
dalam ruang itu serempak jatuhkan diri berlutut. Bahkan ketiga tokoh tua Bu-tong Sam-siu pun ikut berlutut
juga. Siau Lo-seng merasa bahwa keadaan sudah berkembang sedemikian rupa. Iapun merasa akan
menghadapi suatu bencana yang tak dapat dihindari.
Setelah mengeluarkan pandang ke arah murid-murid Bu-tong-pay maka dengan suara tegang-tegang
gemetar, Ceng Hi Tojin berseru:
"Aku telah menderita nasib yang tak beruntung?" saat ini berada dalam detik-detik akhir hayatku...... sejak
beratus-ratus tahun berdirinya perguruan Bu-tong-pay, peristiwa ini merupakan bencana yang paling
besar"... suatu hinaan yang paling memalukan"... setiap anak murid Bu-tong-pay harus memiliki rasa
tanggung jawab dan melaksanakannya dengan sepenuh tenaga...... peristiwa ini merupakan pelajaran
berdarah...... kenyataan berdarah...... kalian semua telah menyaksikan sendiri!"
Berkata sampai di situ, nada suara Ceng Hi mulai berobah parau. Darah dan keringat bercucuran
membasahi tubuhnya. "Ceng Hi memang tiada berguna dan tidak cakap. Sejak menerima pengangkatan sebagai ketua bahkan
hanya membawa keributan dalam perguruan Bu-tong-pay. Bukan saja tak mampu membalaskan sakit hati
atas kematian Ciang-bun suheng?" pun bahkan menimbulkan kegelisahan di kalangan anak murid.
Berulang kali terbit pertengkaran, bahkan menjerumuskan anak murid dan saudara-saudara seperguruan ke
dalam lembah kejahatan dan penghianatan terhadap perguruan...... dosa ini tiada ampun bagiku karena
perbuatan itu telah melumurkan hinaan besar kepada perguruan...... aku, Ceng Hi, akan menebus dosa itu
sendiri?"" Kata-kata yang panjang lebar dari ketua Bu-tong-pay itu telah menggemakan rasa sesal dan malu dalam
hati setiap anak murid. Bahkan ada beberapa yang mencucurkan airmata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Ceng Hi Tojin berteriak nyaring pula:
"Suhu dan para susiok. Dalam keadaan begini, aku rela menerima dosa sebagai seorang penghianat.
Semoga angkatan Bu-tong-pay dikelak kemudian hari dapat mengetahui dan memberi ampun
kepadaku....... Dengan benda lambang kekuasaan Bu-tong-pay yang tertinggi ini aku hendak mohon kepada
suhu dan para susiok sekalian untuk menghapus pantangan dan membalaskan sakit hati murid.......


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membersihkan hinaan yang diderita para leluhur perguruan kita....... menangkap pembunuh itu......."
"Bu-liang-siu-hud, Ceng Hi, engkau......." baru It Ceng Totiang hendak berseru, Ceng Hi pun sudah
menukas: "Suhu, jangan bicara apa-apa lagi" Betapa pun halnya, aku mohon suhu sekalian turun tangan. Masakan
suhu dan susiok sampai hati melihat perguruan kita hancur berantakan......."
Kembali Ceng Hi muntah darah lalu berkata makin sunyi,
"Sekalian murid Bu-tong-pay, dengarkanlah! Kata-kata telah kuucapkan, terserah kepada kalian sendiri.......
aku merasa hina diri terhadap kalian dan para leluhur perguruan kita, aku......."
"Suhu, engkau......" tiba-tiba terdengar suara teriakan yang melengking kejut-kejut sedih. Ternyata itulah
imam Hwat Hian yang berbangkit dari duduknya, menjerit dan terus loncat memeluk tubuh Ceng Hi.
Ternyata mulut Ceng Hi telah berlumuran darah. Dia telah bunuh diri......
Serentak terdengarlah tangis yang mengalun tinggi rendah. Sesaat kemudian tiba-tiba terdengar suara
orang berteriak nyaring: "Hai, pembunuh, serahkan jiwamu......"
Pertama-tama adalah Hwat Hian yang menerjang dengan jurus Beng-kui-kiu-im. Laksana kilat menyambar,
pedangnya telah menyabet ke arah Siau Lo-seng.
Menyusul dengan itu, maka berhamburanlah teriak kemarahan yang diserempaki dengan serangan pedang,
golok dan pukulan. Siau Lo-seng memang sudah menduga akan menghadapi peristiwa semacam itu. Dengan jurus Heng-sohcian-kun ia menyongsong mereka. Tangan kiri melepaskan dua belas pukulan, kaki mengirim delapan buah
tendangan. Tetapi tiap pukulan maupun tendangan itu pada setiap setengah jalan tentu segera ditarik
kembali. Dia tak mau melukai orang.
Setelah dapat mendesak mereka mundur, Siau Lo-seng pun cepat lolos dari kepungan. Tiba-tiba terdengar
suara bentakan yang bernada lain. Mantap dan penuh wibawa. Lain dari yang lain.
Memang suara itu berasal dari It Tim Totiang, salah seorang dari Bu-tong Sam-siu atau tetua Bu-tong-pay.
Bagaikan sesosok bayangan, dia maju, gerakkan kedua tangannya untuk menghantam ke arah Siau Loseng yang saat itu sedang melambung ke udara hendak meloloskan diri.
Terasa dirinya dilanda oleh segelombang angin dahsyat, buru-buru Siau Lo-seng melayang turun ke
samping untuk menghindari.
Tetapi sebelum kakinya sempat menginjak bumi, It Tim Totiang secepat kilat sudah loncat ke samping dan
dengan sebuah gerakan yang indah, menyambar siku lengan kanan pemuda itu.
Siau Lo-seng terkejut. Buru-buru ia ayunkan kaki menendang dalam jurus Gan-yang coat-beng-thui, sedang
ujung pedang Ular Emas ditutukkan ke ulu dada It Tim.
Pada saat It Tim terpaksa harus menyurut mundur, Siau Lo-seng pun cepat melambung ke udara, melayang
melampaui kepala murid-murid Bu-tong-pay.
Hardik, gembor dan teriakan keras berhamburan serempak dengan beratus ratus benda bergemerlapan ke
arah tubuh pemuda itu. Anak murid Bu-tong-pay telah menaburkan berbagai senjata rahasia ke arah Siau Lo-seng.
Namun Siau Lo-seng masih dapat memutar pedang Ular Emas untuk melingkari tubuhnya dari serangan
senjata-senjata maut itu. Dengan meminjam tenaga gerakan pedang itu, tubuhnya melayang ke paseban
Ceng-gi-tian. Tetapi selekas kakinya menginjak lantai, kejutnya pun segera merangsang hebat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Entah kapan, tahu-tahu It Ceng Totiang, suhu dari Ceng Hi Tojin, sudah menghadang di hadapan.
Jenggotnya yang panjang menjulai di dada tampak bertebaran. Tenang sekali sikap tokoh Bu-tong Sam-siu
itu. "Bu-liang-siu-hud!" serunya, "hendak lari kemanakah Siau sicu" Saat ini seluruh penjuru gunung Bu-tongsan telah dijaga ketat. Sekalipun engkau mempunyai sayap, juga sukar untuk keluar dari sini......"
Setelah tenangkan hati, Siau Lo-seng berseru: "Totiang, apakah engkau hendak mendesak aku turun
tangan?" Dalam berkata-kata itu, Siau Lo-seng pun sudah menyerang bertubi-tubi. Tiga buah tusukan pedang,
delapan buah pukulan dan enam buah tendangan.
Apabila jago sakti bertempur, maka setiap gerak tangan mereka tentu merupakan serangan maut.
Selama itu It Ceng Totiang tak mau balas menyerang melainkan berlincahan menghindar kian kemari dan
menyurut mundur. "Penjahat engkau berani?"" tiba-tiba terdengar It Tim Totiang melantang teriakan dan secepat kilat loncat
menghantam punggung Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng tahu siapa It Tim Totiang itu. Cepat berputar tubuh ke belakang dan songsongkan kedua
tangannya untuk menangkis pukulan Bu-seng-kong-gi yang dilepaskan It Tim Totiang.
"Bum......" Terdengar letupan ketika dua buah pukulan tenaga sakti itu saling beradu.
Kedua bahu It Tim Totiang tergetar dan terhuyung mundur sampai tiga langkah. Sedang tubuh Siau Lo-seng
terlempar ke udara, berputar-putar lalu melayang turun di luar paseban.
"Hai, hendak lari kemana engkau!" ketiga Bu-tong Sam-siu yakni It Ceng, It Bing dan It Tim serempak
berteriak dan mengejar ke luar paseban.
14.67. Kawan Lama Begitu menginjak tanah, Siau Lo-seng sudah harus menyambut enam buah pedang. Sedang dari belakang
tampak serombongan jago-jago Bu-tong-pay berlarian menyerbunya.
Siau Lo-seng terpaksa mainkan pedang Ular Emas segencar hujan mencurah.
"Tring, tring," terdengar dering benturan senjata yang tajam, menyusul bunga api memercik berhamburan,
maka putuslah keenam batang pedang yang menyerang Siau Lo-seng itu.
Sesaat kemudian terdengar beberapa erang ngeri dan darah menyembur. Empat orang anak murid Butong-pay yang hendak menyerang dari belakang, telah rubuh dalam kubangan darah.
Tetapi serempak dengan itu, Siau Lo-seng pun mengerang tertahan karena tenaga pukulan yang tak
tampak dari Bu-tong Sam-siu telah melanda tubuhnya. Dia terhuyung-huyung jatuh sampai tujuh-delapan
langkah dan muntah darah.
Seiring dengan rubuhnya pemuda itu maka mencurahlah hujan sinar pedang ke tubuh pemuda itu.
Sekonyong-konyong Siau Lo-seng bersuit nyaring. Nadanya segempar naga meringkik. Pedang Ular Emas
pun berhamburan sederas air terjun.
Jerit lolong sambung menyambung mengerikan hati. Daging dan anggauta badan manusia berhamburan ke
udara, darah muncrat ke empat penjuru.
Duabelas jago Bu-tong-pay yang tergolong kelas satu, rubuh mandi darah.
Dalam beberapa kejap dapat merobohkan duabelas jago kelas satu dari Bu-tong-pay, benar-benar
mengejutkan sekali sehingga anak murid Bu-tong-pay lainnya merasa ngeri dan berbondong-bondong
menyurut mundur. "Kepung dengan barisan Jit-sing-pak-tou-kiam-tin?"" tiba-tiba terdengar seseorang berseru.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar itu gelisahlah Siau Lo-seng. Bu-tong-pay memang termasyhur dengan ilmu pedangnya yang
sakti, Barisan pedang Jit-seng-pak-tou-kiam itu, merupakan barisan yang sesakti dengan Tat-mo-coat-ci-tin
dari perguruan Siau-lim. Sebelum barisan sempat terbentuk maka Siau Lo-seng pun segera menyerang ke arah dua lapis jago-jago
Bu-tong-pay yang hendak mempersiapkan barisan itu.
Serangan yang dahsyat dan cepat itu, membuat keempatbelas jago-jago Bu-tong-pay kelabakan. Bagai
daun kering tertiup angin maka berjatuhan keempatbelas jago-jago Bu-tong-pay itu ke tanah.
Tetapi anak murid Bu-tong-pay selain berjumlah banyak, pun nekad sekali. Empatbelas orang jatuh,
empatbelas orang lain maju lagi.
Mereka bergerak-gerak dengan rapi dan tangkas. Dalam sekejap saja barisan pun sudah terbentuk.
Sekonyong-konyong genta biara Bu-tong-san bertalu keras dan tak henti-hentinya.
Seketika berobahlah cahaya muka ketiga Bu-tong Sam-siu.
"Siau sicu, engkau sudah dikepung barisan pedang. Mengapa engkau tak menyerah saja?" seru It Tim
Totiang. Memang Siau Lo-seng menyadari bahwa menembus barisan pedang dari Bu-tong-pay tidak mudah. Masih
muda naik tangga ke langit.
"He, kiranya kamu bertiga Bu-tong Sam-siu juga bangsa yang suka main kerubut dan limbung pikirannya.
Kalianlah yang mendesak aku untuk membuka pembunuhan besar," serunya untuk menutupi kegelisahan
hati. Dia terus hendak mengangkat pedang untuk menghadapi barisan pedang Bu-tong-pay. Tetapi sekonyongkonyong seorang imam muda memaksa dia mundur dari serangan pedang.
Saat itu suara gentapun makin deras dan nyaring.
"Siau sicu," teriak It Tim Totiang, "berapa banyak kawan-kawanmu yang engkau ajak kemari?"
Siau Lo-seng terkejut. Ia menyadari bahwa suara genta itu adalah pertandaan bahaya dari Bu-tong-pay.
"Siau sicu, berapa banyak rombongan yang engkau bawa kemari?" tegur It Tim Totiang.
Kini Siau Lo-seng menyadari bahwa genta itu bukan dibunyikan anak murid Bu-tong-pay, tetapi orang lain,
entah siapa. Dan pada lain kejap terdengar kumandang suara seruling yang aneh nadanya, mengalun nyaring di udara.
Mendengar itu seketika berobahlah cahaya wajah Siau Lo-seng, serunya: "Apakah itu Gi-hu......."
Tetapi secepat itu iapun segera hentikan kata-katanya. Ia merasa telah salah bicara. Bukankah Gi-hu atau
ayah angkatnya itu seorang tua yang cacat tak punya kaki" Dan pula jelas kalau nada suara seruling itu
bukan seruling dari Gi-hunya. Memang hampir saja ia keliru menyangka suara seruling itu seperti suara
seruling Gi-hunya. Anehnya, dalam alunan kumandang seruling itu, semangat Siau Lo-seng pun memancar lebih giat.
Tenaganya meluap-luap makin hebat sehingga setiap gerak pedangnya, menimbulkan deru angin tenaga
yang dahsyat. Barisan pedang Jit-sing-pak-tou-kiam-tin memang bukan olah-olah hebatnya. Tetapi serangan pedang Siau
Lo-seng itu juga tak kalah hebatnya sehingga dapat menimbulkan lubang bobolan pada barisan itu.
Genta masih tetap bertalu-talu tak henti-hentinya. Sedang suara serulingpun meraung-raung bagai
menembus awan. Melengking tinggi, jauh membubung ke udara sehingga setiap orang yang berada di
tempat itu merasa terbuai semangatnya.
Beberapa saat kemudian ada beberapa jago Bu-tong-pay yang kurang tinggi ilmunya, segera menutup
kedua telinganya dan melakukan pernapasan untuk melancarkan darah dalam tubuhnya.
Tiba-tiba cahaya muka ketiga Bu-tong Sam-siu berobah dan serempak berseru: "Irama musik iblis dari
gedung Sian-hu!" dunia-kangouw.blogspot.com
Tanpa mempedulikan Siau Lo-seng lagi, ketiga tokoh tua dari Bu-tong-pay itu segera loncat dan lari
mengejar ke arah datangnya suara seruling itu. Dan tak berapa kejap merekapun sudah lenyap dari
pandang mata. Selepas kepergian ketiga tokoh tua Bu-tong-pay itu, dari belakang Siau Lo-seng mendengar seorang
berseru dalam nada yang tak asing baginya.
"Jangan takut, kubantu engkau keluar dari barisan mereka."
Dari puncak wuwungan paseban Ceng-gi-tian melayang turun sesosok tubuh. Ketika masih berada di udara
kedua tangannya menampar sehingga barisan pedang yang menghadang di tempat yang ditujunya itu
tersiak ke samping, Dan ketika terdengar bentakan menggeledek, dua orang jago pedang Bu-tong-pay pun
terpental sampai dua tombak jauhnya. Lima orang jago lainnya terhuyung jatuh sampai tujuh-delapan
langkah. Saat itu Siau Lo-seng dapat melihat jelas bahwa pendatang itu bukan lain yalah Kakek wajah dingin Leng
Tiong-siang. Siau Lo-seng tak mau menyia-nyiakan kesempatan lagi. Setelah berhasil melukai tiga jago
pedang, dengan menggembor keras ia melambung ke udara dan meluncur ke luar dari kepungan barisan.
Tetapi setelah melayang turun ke tanah, dia tak mau melarikan diri melainkan menegur pendatang itu
dengan dingin: "He, Leng Tiong-siang apa maksudmu?"
Leng Tiong-siang tertegun. Setelah merentang kedua tangan untuk mengundurkan jago-jago pedang Butong-pay, ia menjawab keras: "Siau Lo-seng, mengapa engkau hendak cari mati?"
Siau Lo-seng sudah mengandung prasangka bahwa Leng Tiong-siang yang di hadapannya itu bukan Leng
Tiong-siang yang aseli. Tetapi Leng Tiong-siang palsu yang sudah berulang kali berternu dengan dia. Itulah
sebabnya Siau Lo-seng menduga tentulah Leng Tiong-siang yang muncul pada tempat dan saat seperti itu,
mempunyai rencana tertentu kepadanya.
"Jangan kira dengan berbuat begitu aku akan masuk ke dalam perangkapmu," seru Siau Lo-seng,
"ketahuilah kedok mukamu itu sudah tak dapat mengelabuhi aku lagi."
Leng Tiong-siang lepaskan sebuah pukulan kepada barisan pedang Bu-tong-pay, lalu loncat ke arah Siau
Lo-seng. "Engkau menduga bagaimana terhadap diriku, aku tak peduli. Asal engkau tinggalkan tempat ini. Kalau
tidak, apabila ketiga Bu-tong Sam-siu itu kembali ke sini, jangan harap engkau mampu lolos lagi."
Sebelum menjawab, Siau Lo-seng taburkan pedangnya untuk menghalau serangan jago-jago Bu-tong-pay,
lalu berseru kepada Leng Tiong-siang lagi: "Apakah engkau sudah datang lama di sini?"
"Benar, dan lagi memang demi kepentinganmu," sahut Leng Tiong-siang.
Berpuluh-puluh jago pedang Bu-tong-pay segera menyerbu dari empat penjuru. Siau Lo-seng taburkan
Pedang Ular Emas seraya berseru,
"Siapa menghadang tentu mati, siapa menyingkir akan selamat......"
Pedang Ular Emas berhamburan memancarkan sinar yang berhawa dingin.
Leng Tiong-siang pun menghantam dengan kedua tangannya. Seketika terdengar erang jeritan ngeri dan
hamburan darah dari anggauta barisan pedang Bu-tong-pay.
Patah tumbuh hilang berganti. Selapis rubuh selapis pula berhamburan datang. Anak murid Bu-tong-pay itu
seperti orang kalap. Mereka tak mempedulikan jiwanya lagi.
Melihat itu Siau Lo-seng gentar sendiri. Bukan karena takut tapi ia tak sampai hati membunuh sekian
banyak anak murid Bu-tong-pay yang tak berdosa.
Ia menghela napas. Demikian pula Leng Tiong-siang. Keduanya saling bertukar pandang dan saling
menanggapi maksud masing-masing. Setelah mendesak dengan serangan dahsyat, tiba-tiba keduanya
melambung ke udara, melayang turun beberapa tombak jauhnya terus berloncatan lari menuju ke bawah
gunung sebelah barat. Anak murid Bu-tong-pay berteriak-teriak gempar. Merekapun memburu. Tetapi lari kedua orang itu luar
biasa pesatnya. Setelah mengejar sampai tiga-empat lie jauhnya, kedua orang yang dikejarnya itupun
sudah lenyap dari pandang mata.
dunia-kangouw.blogspot.com
******************** Berpuluh lie kemudian, barulah Siau Lo-seng dan Leng Tiong-siang lepas dari daerah kekuasaan Bu-tongpay. Tiba-tiba Siau Lo-seng berhenti.
"Leng-bin-sin-kun, mari kita berunding sampai selesai," serunya.
"Berunding soal apa?" kakek berwajah dingin Leng Tiong-siang heran.
"Mengapa engkau masih pura-pura main sandiwara saja?" seru Siau Lo-seng geram, "aku sudah tahu
bahwa engkau bukanlah Leng Tiong-siang yang pada empatpuluh tahun berselang termasuk sebagai salah
seorang tokoh Su-ki."
"O, apakah ada perbedaannya?" masih Leng Tiong-siang merasa heran, "bagaimana engkau dapat
memastikan bahwa aku bukan Leng-bin-sin-kun pada empatpuluh tahun yang lalu" Pada waktu aku
tinggalkan dunia persilatan dan mengasingkan diri, engkau masih menyusu atau mungkin belum lahir."
"Hm, mungkin engkau belum mengetahui bahwa Leng-bin-sin-kun yang aseli saat ini sudah muncul lagi ke
dunia persilatan. Apabila engkau berjumpa dengan dia, entah hendak engkau sembunyikan kemanakah
ekormu nanti!" "Apa yang harus kutakutkan kalau bertemu dengan dia. Akupun bisa memberi tahu kepadanya bahwa
akulah sebenarnya Leng-bin-sin-kun yang aneh itu."
"Huh, tak tahu malu benar," damprat Siau Lo-seng. "kalau engkau bukan Leng Tiong-siang mengapa
engkau harus menyamar sebagai dirinya."
"Hati-hati sedikit kalau bicara," dengus Leng Tiong-siang, "dalam dunia seluas ini, memang banyak terdapat
peristiwa-peristiwa yang mengherankan. Orang yang kembar pakaian dan wajahnya. Bukan hanya dua
tetapi dapat juga sampai beberapa orang......"
Siau Lo-seng tertawa dingin:
"Suatu jawaban yang tepat benar. Memang hal itu dapat terjadi juga," serunya.
"Mengapa tidak?" sahut Leng Tiong-siang. "bahkan, kemarin akupun telah bertemu dengan seorang yang
wajahnya menyerupai engkau dan bahkan diapun membawa juga pedang serupa seperti yang engkau
bawa itu." "Hai, apa katamu?" Siau Lo-seng berteriak kaget sekali.
"Sepanjang hidup, aku tak pernah mengulang perkataan yang telah kukatakan satu kali," dengus Leng
Tiong-siang lalu berputar tubuh.
Seketika teringatlah Siau Lo-seng akan sikap seluruh anak murid Bu-tong-pay yang menuduh dia sebagai
pembunuh dari ketua Bu-tong-pay (Giok Hi Tojin.) dan anak murid paseban Ik-seng-tong. Dan teringat pula
ia akan peristiwa pemalsuan diri Nyo Cu-ing di markas perkumpulan Naga Hijau. Ah, jika demikian jelas ada
orang yang memalsu dirinya lalu melakukan pembunuhan di markas besar Bu-tong-pay!
"Dimana engkau berjumpa dengan orang itu?" seketika ia bertanya kepada Leng Tiong-siang.
Tetapi kakek baju putih itu tak mau memberi jawaban melainkan memandang ke sekeliling seperti hendak
menyelidiki sesuatu. "Hm, mengapa engkau tak mau menjawab?" tegur Siau Lo-seng.
Sambil masih keliarkan pandang matanya ke sekeliling penjuru, Leng Tiong-siang menyahut: "Orang bebas
untuk bicara. Mengapa engkau hendak mengurus aku mau bicara atau tidak?"
"He, engkau harus bicara!" teriak Siau Lo-seng marah lalu memukul.
Tanpa berpaling muka, Leng Tiong-siang tahu kalau anak muda itu memukulnya dari belakang. Sambil
berkisar ke samping, tiba-tiba ia ayunkan tangannya ke belakang untuk menyambar pergelangan tangan
Siau Lo-seng. dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng terkejut sekali. Ia turunkan lengannya ke bawah dan menekuknya lalu membenturkan siku
lengannya ke pinggang orang.
"Bagus!" seru Leng Tiong-siang yang secepat kilat memutar tubuhnya seraya menyambar siku Siau Loseng.
Siau Lo-seng tertawa hina. Tangan kirinya cepat dibalikkan untuk menampar tiga kali ke punggung orang
tua itu. Tetapi memang tak kecewa bila Leng Tiong-siang diagungkan sebagai seorang tokoh persilatan yang sakti.
Tiba-tiba jubahnya menggelembung karena diam-diam telah disaluri dengan tenaga dalam. Dan secepat
berputar tubuh ia menyongsong tangan Siau Lo-seng.
"Bum"..." Terdengar letupan keras ketika kedua pasang tangan mereka saling beradu. Siau Lo-seng tersurut mundur
tiga-empat langkah. Leng Tiong-siang loncat ke muka sampai tiga tombak jauhnya.
"Hm, ilmu kepandaianmu maju pesat sekali," seru Leng Tiong.-siang, "tetapi masih jauh kalau hendak
engkau gunakan menempur aku."
Sudah tentu Siau Lo-seng yang masih berdarah muda, panas sekali hatinya. Secepat mencabut pedang
Ular Emas ia segera maju menyerang.
"Bagus sekali!" teriak Lang Tiong-siang seraya bergerak untuk menyambut. Diapun tahu-tahu sudah
mencekal sebatang pedang pandak.
Demikian keduanya segera terlibat. Yang tampak hanya dua gulung sinar putih yang menyilaukan mata.
"Tring......" dering melengking tajam dan keduanya pun tercerai. Leng Tiong-siang loncat dua tombak, tegak
mematung. Siau Lo-seng juga terlongong-longong.
Ternyata saat itu keduanya saling menyadari kekuatan lawan. Dalam beberapa kejap itu Siau Lo-seng telah
melancarkan tujuh buah serangan. Tetapi kesemuanya dapat dihapus dengan mudah oleh Leng Tiongsiang. Bahkan kalau mau, tokoh tua itu tentu dapat melukainya dengan mudah.
Setitikpun Siau Lo-seng tak pernah menyangka bahwa tokoh yang selamanya tak pernah menggunakan
pedang sebagai Leng Tiong-siang itu, ternyata memiliki ilmu pedang yang luar biasa hebatnya. Diam-diam
ia mengakui bahwa ilmu pedang yang dimilikinya masih kalah jauh dengan orang tua itu.
Seketika nafsu ingin menang, berhamburan lenyap dalam hati Siau Lo-seng.
Melihat pemuda itu diam saja, Leng Tiong-siang berseru mengejek: "Hai, mengapa engkau tak menyerang
lagi?" Dengan lesu Siau Lo-seng menyahut: "Aku tak dapat mengalahkan engkau. Tetapi mengapa engkau tak
mau melukai aku?" Leng Tiong-siang kerutkan dahi. "Caramu melakukan serangan tadi, sungguh menghabiskan tenaga dalam,
hilang ketenanganmu. Selama tak mampu mengumpulkan hawa murni, tak mungkin engkau dapat
mencapai ilmu pedang tingkat tinggi?""


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

14.68. Ajaran Ilmu Pedang Sakti dari Musuh
"Kalau bertemu dengan ahli pedang, engkau tentu sudah menderita luka," menambahkan orang tua baju
putih itu pula. Merah padam selebar wajah Siau Lo-seng menerima kritikan itu. Diam-diam diapun malu dalam hati,
pikirnya, "Sekali ngoceh, dia telah membongkar kelemahanku. Hm, tetapi jelas dia bukan hendak membakar
hatiku melainkan hendak memberi petunjuk."
Baru ia hendak membuka mulut, Leng Tiong-siang pun sudah mendahului:
"Kepandaianmu masih begitu lemah masakan engkau layak akan mengajak orang merundingkan soal
menegakkan keadilan dalam dunia persilatan. Apalagi hendak menuntut balas kematian berdarah dari
orang-orang di Hay-hong-cung. Dan lagi pula, akupun sudah engkau anggap sebagai salah seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
musuhmu. Apakah setelah kalah, engkau tak berani bertempur lagi" Huh, manusia takut mati semacam
engkau, tak perlu menepuk dada mengumbar omong besar!"
Mendengar ejekan itu, meluap pulalah kemarahan Siau Lo-seng. Dia merasa bahwa Kakek wajah dingin
Leng Tiong-siang yang berada di hadapannya saat itu, penuh dengan selubung rahasia dan keanehan.
Kepandaiannya sukar diduga. Demikian sikapnya. Sebentar bermusuhan sebentar bersahabat.
"Ah, tanpa menderita, tentu takkan memperoleh pelajaran," pikir Siau Lo-seng. Maka segera ia tertawa
dingin. "Apa maksudmu berkata begitu?" serunya.
"Kalau aku sungguh-sungguh menghendaki jiwamu, mungkin engkau takkan hidup sampai saat ini," kata
orang tua itu menghela napas.
"Tetapi tidak semudah itu engkau hendak mengambil jiwaku. Harus mengambil dari tubuhku," seru Siau Loseng.
"Kalau aku hendak mengambil jiwamu, perlu apa aku menolongmu dari Bu-tong-san lalu baru
membunuhmu di sini?"
"He, jangan bersikap seperti tikus yang menangisi kematian kucing. Tak mungkin aku akan berterima kasih
kepadamu......." dengus Siau Lo-seng, "pada saat aku tak sadar, engkau mengambil pedangku Ular Emas
dan menyuruh seorang menyaru sebagai diriku untuk melakukan pembunuhan di Bu-tong-san. Kemudian
pada saat aku sedang dalam bahaya dikepung barisan pedang Bu-tong-pay, engkau muncul lagi untuk
menolongku. Dengan begitu aku tentu tak dapat menuduhmu mencelakai diriku. Tetapi apa engkau kira aku
tak tahu akal busukmu itu" Jika engkau kira tindakanmu itu dapat mengelabuhi mata orang di dunia
persilatan, engkau mengimpi atau memang pikiranmu itu seperti anak kecil."
Mendengar itu Leng Tiong-siang terbeliak dan tertegun sampai beberapa saat.
"Taruh kata hal itu memang benar tipu muslihatku," katanya beberapa jenak kemudian, "lalu apakah
dayamu supaya engkau dapat lolos dari kedosaan itu?"
Sebenarnya Siau Lo-seng hanya merangkai dugaan dan menuduhnya begitu. Tak kira kalau Leng Tiongsiang mengaku semuanya. Jika demikian jelas Leng Tiong-siang inilah biang keladi pembunuhan di Butong-san!
Tetapi apakah gerangan tujuannya untuk melakukan pembunuhan itu" Apakah dia memang hendak
mencelakai Siau Lo-seng" Tetapi apa sebab dia memfitnah anak muda itu"
Seketika berobahlah wajah Siau Lo-seng. Dia menduga musuh besarnya, pembunuh ganas yang telah
menghancurkan seluruh keluarganya pada delapanbelas tahun yang lalu, ternyata orang tua yang berdiri di
hadapannya itu. Dada Siau Lo-seng serasa terbakar api dendam kesumat yang menyala-nyala.
"Kucari ke seluruh penjuru dunia tak berjumpa, kiranya tanpa banyak membuang tenaga sudah muncul
sendiri. Engkau tak menghendaki jiwaku tetapi akulah yang menghendaki jiwamu!"
Siau Lo-seng menutup kata-katanya dengan tabaskan Pedang Ular Emas ke kepala Leng Tiong-siang.
Tetapi orang tua itn tenang-tenang saja mengawasi luncur pedang Siau Lo-seng. Begitu pedang hampir
menyentuh kepalanya, tiba-tiba ia mengangkat pedangnya untuk melidungi kepala.
"Tring?"" Terdengar beberapa kali dering yang tajam dan tiga buah serangan pedang Siau Lo-seng telah dihalau
semua. Kemudian Leng Tiong-siang mengisar kaki setengah langkah ke samping lalu berseru dingin.
"Penyakit lama," serunya, "cara memainkan pedang seperti engkau ini, walaupun duapuluh tahun lagi tentu
tak mungkin dapat melukai aku. Dendam darah yang hendak engkau tuntut itu tak mungkin dapat
terlaksana." Bukan kepalang kejut Siau Lo-seng. Perasaannya seperti ditusuk beribu jarum. Hatinya lebih tersiksa
sehingga tubuhnya gemetar keras.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sekarang cobalah engkau terima sebuah serangan pedangku ini!" tiba-tiba Leng Tiong-siang berseru.
Habis berkata, pedangnya secepat kilat menusuk lurus ke muka.
Melihat gerakan pedang orang tua itu, seketika tergetarlah hati Siau Lo-seng.
"Inilah ilmu pedang yang tiada tandingnya di dunia," pikirnya. "mengapa baru saat ini dia menggunakannya
untuk membunuh aku!"
Siau Lo-seng tak berdaya untuk menangkis serangan itu. Dan iapun segera pejamkan mata menunggu ajal.
Tetapi tiba-tiba Leng Tiong-siang menarik pulang pedangnya dan menyurut mundur, lalu menyerang lagi.
Dalam pada itu diam-diam Siau Lo-seng memperhatikan bahwa gerakan pedang Leng Tiong-siang itu
hanya terdiri dari beberapa jurus. Diulang dan diulang lagi sampai beberapa kali. Dan jelas bahwa orang tua
itu tak mau melukainya. Lima-enampuluh jurus kemudian, pelahan-lahan pikiran Siau Lo-seng pun tenang kembali dan
mencurahkan seluruh perhatiannya ke arah pedang Leng Tiong-siang. Sambil mengingat-ingat diapun
mencari bagian-bagian kelemahannya agar dapat dipecahkan.
Siau Lo-seng memang memiliki otak yang sangat cerdas sekali. Pada saat Leng Tiong-siang mengulangi
serangannya sampai yang kesepuluh kali, diapun segera tahu cara untuk memecahkannya.
Dengan menggembor keras ia hendak balas menyerang, tetapi tiba-tiba Leng Tiong-siang luruskan ujung
pedang ke muka dan menyurut mundur, serunya,
"Dengan pedang Leng-hong-kiam mengalahkan engkau, engkau tentu masih penasaran. Sekarang aku
hendak menyambut tiga buah seranganmu dengan tangan kosong!"
"Hai!" Siau Lo-seng menjerit kaget. "engkau menggunakan pedang Leng-hong-kiam?"
"Benar, memang pedang ini Leng-hong-kiam, Pedang pusaka yang termasuk salah sebuah pusaka dalam
dunia persilatan," sahut Leng Tiong-siang.
Siau Lo-seng tertegun. "Jika demikian, engkau tentulah merampas pedang itu dari tangan Leng Tiong-siang ketika menghadapi
rapat besar di gunung Thian-san pada empatpuluh tahun yang lalu!" teriak Siau Lo-seng.
Leng Tiong-siang kerutkan alis.
"Mengapa engkau tahu peristiwa itu," katanya, "setelah selesai rapat Thian-san, diam-diam kuajak Leng
Tiong-siang bertempur. Dia kalah dan menyerahkan pedang Leng-hong-kiam itu kepadaku dan lagi dia
harus mentaati perjanjian bahwa selama empatpuluh tahun tak boleh muncul di dunia persilatan. Mengapa
engkau menuduh aku merampas pedangnya?"
Kejut Siau Lo-seng pada saat itu sukar dilukiskan. Dia tak menyangka sama sekali bahwa musuh besarnya
itu ternyata tokoh yang mengalahkan Leng Tiong-siang pada empatpuluh tahun berselang. Kepandaian
orang itu memang sakti sekali dan ia merasa putus asa untuk dapat mengalahkannya.
Tetapi apakah ia harus melepaskan tujuannya untuk menuntut balas" Belasan tahun ia menyiksa diri untuk
mencari ilmu kesaktian, tak lain tak bukan hanyalah untuk menuntut balas. Sekarang setelah berjumpa
dengan musuhnya itu mengapa ia harus mundur"
Tidak, tidak! Biar dia mati tetapi tetap akan menuntut balas kepada orang itu. Darahnya mendidih dan
dendamnya menyala kembali.
"Tak peduli engkau ini siapa dan betapapun kesaktianmu?", tetapi engkau harus serahkan jiwamu!" tibatiba ia berteriak lalu melangkah maju lima tindak. Tetapi tak mau tergesa-gesa menyerang melainkan
berkilat-kilat memandang wajah Leng Tiong-siang.
Leng Tiong-siang tertegun. Walanpun kerut wajahnya yang dingin itu tak memperlihatkan suatu perobahan,
tetapi biji matanya tampak bersinar cerah memancar kejut-kejut girang?"
Demikian keduanya tegak mematung saling beradu pedang. Masing-masing menunggu suatu kesempatan
dan harus menekan kesabaran. Karena barang siapa lebih dahulu menyerang secara gegabah dia pasti
akan menderita serangan lawan yang tak mungkin dielakkan lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Walaupun sikapnya berbeda tetapi dalam hati mereka sama-sama tegang dan serius. Dan tak lama
kemudian kaki mereka pun mulai bergerak pelahan sekali.
Matahari makin naik, sekeliling tempat mereka berada, sunyi senyap. Walaupun matahari musim Jiu
(rontok) tidak begitu panas, tetapi kedua orang itu mandi keringat. Mata merentang memandang lawan
tanpa berkedip. Saat itu Siau Lo-seng tenang sekali sehingga tak ingat apa-apa bahkan ilmu permainan pedang sekalipun.
Tetapi dalam keadaan demikian, pikirannya mulai mengendap dan mulai menyadari akan kesaktian ilmu
pedang, menyingkap intisari ilmu itu.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba dia menggembor keras dan pedang Ular Emas pun segera melancar.
Cepatnya bukan kepalang. Dalam sekejap saja dia sudah menyerang sampai tiga jurus.
Setelah merapat, keduanya lalu terpisah lagi, Siau Lo-seng mundur tiga langkah. Ujung pedangnya
menitikkan tetesan darah.
Leng Tiong-siang mundur sampai tujuh-delapan langkah. Tangan kirinya mendekap bahunya yang
mengucurkan darah sehingga bajunya yang berwarna putih, berlumuran merah.
Tokoh tua itu menengadahkan kepala, menghembuskan napas. Entah napas penyalur kemarahan,
kesedihan atau kegembiraan. Sukar diketahui isi hatinya. Hanya dia sendiri yang tahu.
Kemudian dia tertawa. Tetapi dalam tertawa itu, matanya menitikkan airmata. Dan pada saat jubahnya
tampak berkibar, diapun sudah loncat tujuh tombak jauhnya......
Siau Lo-seng tak mau mengejar dan memang tak berani mengejar. Karena ia tahu bahwa dalam serangan
tiga jurus tadi, sebenarnya Leng Tiong-siang sudah menyentuh punggungnya pada bagian jalan darah Simjiau. Apabila jarinya menekan pastilah Siau Lo-seng akan hilang nyawanya. Tetapi ternyata orang tua itu tak
mau dan melainkan hanya mendorongnya saja ke samping.
"Mengapa dia tak mau melukai aku" Ha, ha, dia mengajarkan ilmu pedang kepadaku untuk melukainya.
Siapakah dia" Ya, siapakah sebenarnya orang itu......?" diam-diam Siau Lo-seng menimang-nimang dalam
hati. Dia merasa tak mampu menghancurkan musuh besarnya bahkan malah menerima ajaran ilmu pedang.
Bukankah hal itu hina sekali" Ia tak tahu mengapa tanpa disadari, ia melakukan perintah orang itu.
Mengapa......" Tiba-tiba ia merasa, seseorang telah menghampiri di belakangnya. Cepat ia berputar tubuh dan bersiap.
Hai...... ternyata tanpa diketahui entah kapan datangnya, tahu-tahu telah muncul rombongan tandu yang
dipikul oleh delapan lelaki baju merah dan dikawal oleh delapan lelaki baju putih. Dan tandu itu berisi si
Buddha Emas Ang Siong-pik.
Siau Lo-seng tak habis mengerti. Mengapa kedatangan rombongan sekian banyak orang tak menimbulkan
suara berisik sama sekali. Ah, dia tak berani membayangkan lebih lanjut. Apabila rombongan Ang Siong-pik
itu hendak mencelakai dirinya, bukankah amat mudah sekali"
"Bagaimana?" tiba-tiba Ang Siong-pik berseru, "mengapa engkau tampak begitu tegang" Heh, heh apakah
engkau sudah mempertimbangkannya?"
"Mempertimbangkan apa?" Siau Lo-seng terkejut.
"He, he," teriak Buddha Emas Ang Siong-pik, "dengan usaha keras baru dapat menolong engkau lobos dari
Bu-tong-san, masakan sia-sia saja jerih payahku itu?"
Seketika Siau Lo-seng teringat akan suara seruling aneh dan talu genta yang gencar sehingga wajah Butong Sam-siu berobah kaget itu. Segera ia menyadari apa yang dikatakan Ang Siong-pik.
"Hm, kiranya engkau bersekongkol dengan dia," teriaknya sesaat kemudian.
"Sekongkol bagaimana?" Ang Siong-pik deliki mata, "selama hidup belum pernah aku bersekongkol dengan
orang." Siau Lo-seng tertegun. "Suara seruling yang terdengar di Bu-tong-san itu, apa bukan engkau yang meniup?" serunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ang Siong-pik tiba-tiba tertawa,
"Di seluruh dunia persilatan ini siapakah yang mampu menggunakan lima suara Cian-li-coan-im untuk
mengendapkan semangat orang yang sedang bertempur".?" tiba-tiba Ang Siong-pik hentikan kata-kata
dan deliki mata kepada Siau Lo-seng, "bilang, engkau mau melaksanakan perjanjian yang sudah engkau
setujui itu atau tidak?"
"Perjanjian apa?" Siau Lo-seng makin heran.
"Apa" Engkau hendak ingkar janji?" teriak Ang Siong-pik makin marah, "engkau telah menyanggupi
kepadaku. Setelah kutolong keluar dari Bu-tong-san, engkau segera membawa aku menemui peniup
seruling itu. Apakah sekarang engkau hendak menjilat ludahmu?"
Siau Lo-seng kerutkan alis lalu tertawa:
"Aneh benar, kapankah aku minta pertolongan kepadamu?"
"Leng Tiong-siang minta tolong kepadaku supaya menggoda Bu-tong Sam-siu agar dapat menolongmu.
Apakah dia tidak meminta persetujuanmu tentang hal itu?"
"Lucu benar," Siau Lo-seng mendengus, "tak kira engkaupun kena diselomoti orang."
Seketika gemetarlah Ang Siong-pik karena marahnya.
"Tutup mulutmu!" bentaknya, "tak peduli engkau mau mengakui atau tidak, engkau tak dapat gampanggampang pergi. Sekarang jawablah, dimana orang tua peniup seruling itu?"
Sebenarnya Siau Lo-seng sendiri juga gelisah memikirkan ayah-angkatnya itu. Namun ia menolak untuk
mengatakan kepada Ang Siong-pik, serunya: "Tiada suatu keharusan bagiku untuk memberitahu
kepadamu." "Hm," Ang Siong-pik mendengus geram. "arak wangi tak mau minum kebalikannya engkau minum arak
beracun. Lebih baik engkau bilang saja agar aku tak perlu turun tangan sehingga dapat merusakkan
hubungan kita." Tiba-tiba Siau Lo-seng mendapat pikiran, katanya: "Perlu apa engkau mencari dia" Apakah engkau
mempunyai hubungan dengan dia?"
Buddha Emas Ang Siong-pik menyeringai.
"Sudah lebih dari empatpuluh tahun lamanya aku bersembunyi dalam guha pertapaan. Sekarang baru
setengah tahun keluar ke dunia persilatan, sedang bertemu muka saja belum masakan sudah mempunyai
hubungan!" Seketika cahaya wajah Siau Lo-seng pun berobah. Ia berkata seorang diri,
"Adakah sesuatu yang tak beres pada suara serulingnya......"
Ang Siong-pik tertawa panjang.
"Sungguh pintar," serunya, "aku datang karena suara serulingnya itu. Thian-siau-sian-im, Cian-li-sian-im dan
Sang-goan-sam-jiok, adalah ilmu suara seruling penting dari guha Thian-siau-sian-tong. Karena ilmu pusaka
dari guha Thian-siau-sian-tong telah merembes keluar maka aku perlukan keluar untuk menyelidikinya."
Kini baru Siau Lo-seng manyadari bahwa ilmu seruling ketiga irama itu, berasal dari satu sumber. Maka tak
heran kalau suara seruling dari Buddha Emas Ang Siong-pik hampir menyerupai dengan tiupan seruling dari
ayah angkatnya atau orang tua peniup seruling.
"Sekarang sudah kuterangkan semua dan engkau harus memberitahu dimana beradanya," seru Ang Siongpik pula.
Siau Lo-seng bingung. Dia sendiri belum tahu dimana dan bagaimana keadaan ayah angkatnya itu.
Sesaat timbul pikirannya untuk menggunakan tenaga Ang Siok-pik mencari jejak ayah angkatnya itu.
Pertama, ia ingin tahu bagai?mana keadaannya apabila Ang Siong-pik berhadapan dengan ayah
angkatnya. Dan kedua, walaupun sekarang ia tahu dari mana sumber irama seruling dari ayah angkatnya
itu namun dia sesungguhnya belum tahu benar-benar, siapakah sebenarnya ayah angkatnya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
14.69. Siapa Kim Coa Long-kun Palsu!!?"
Yang diketahuinya ayah angkatnya seorang tua yang cacat tubuh dan menderita luka hati. Tetapi
bagaimana asal usulnya, dia tetap tak tahu.
Ah, perlu apa banyak pikir" Selekas bertemu dengan ayah angkatnya, bukankah ia segera tahu
kesemuanya itu" Akhirnya ia memutuskan.
"Dia telah ditawan orang. Tetapi tempat itu sukar diselidiki," serunya.
Ang Siong-pik tertawa gelak-gelak.
"Tempat manakah di dunia ini yang tak dapat kudatangi" Sekalipun sarang harimau kubangan naga, aku
tentu dapat mencarinya. Katakan, siapa yang menawannya?" eh, tetapi aku merasa curiga. Dalam dunia
persilatan dewasa ini, partai perguruan maupun tokoh persilatan manakah yang mampu mengalahkan dia"
Mungkin hanya mengundangnya bukan menangkap dia!"
Siau Lo-seng terperanjat.
"Kalau meuurut bicaramu, ilmu pelajaran dari Thian-siau-sian-tong itu tiada lawan di dunia?" serunya.
"Ah, aku tak berani mengatakan begitu," kata Ang Siong-pik, "hanya saja, sejak aku turun ke dunia
persilatan, belum pernah aku bertemu dengan lawan yang setanding."
"Ban Jin-hoan ketua Ban-jin-kiong, Jin Kian Pah-cu Ui Siu-bwe dan Puteri Neraka serta Te-gak Kui-ong,
apakah mereka kalah dengan engkau?" Siau Lo-seng tak puas.
Buddha Emas Ang Siong-pik tertawa nyaring.
"Ban Jin-hoan dan Ui Siu-bwe itu masih tergolong angkatan lebih muda dari aku. Masakan engkau
sejajarkan diriku dengan mereka" Ha, ha, tentang Puteri Neraka dan Te-gak Kui-ong (Raja Akhirat),
walaupun mereka menggunakan ilmu pelajaran dari kitab pusaka guha Thian-siau-siau-tong untuk melatih
mumi, tetapi cukup dengan kutiupkan irama Thian-siau-mo-im saja mereka pasti akan rubuh terkapar.
Bahkan mungkin nyawanyapun terkuasai?""
"Engkau katakan ilmu membuat mumi itu juga berasal dari guha Thian-siau-sian- tong?" Siau Lo-seng
berteriak kaget. Dia teringat akan keterangan ayah angkatnya bahwa ilmu menempa nyawa itu berasal dari Kiu-thian-sianhu. Bermula Siau Lo-seng tak percaya, tetapi sekarang dia tak ragu lagi.
"Kitab Lian-hun-cin-keng (menempa nyawa) telah dicuri oleh Cian-li-tui-cong Ban Li-hong dari Kiu-thiansian-hu baru tersebar ke dunia persilatan. Tentang hal itu, masakan aku perlu berbohong!"
Siau Lo-seng menghela napas. "Kalau begitu, locianpwe benar-benar tokoh sakti yang tiada lawannya
dalam dunia persilatan."
Jawab Buddha Emas Ang Siong-pik: "Hanya ada seorang manusia yang menjadi sainganku yang
berat?"" Berkata sampai di situ tiba-tiba dia berhenti lalu beralih pada lain persoalan: "Sudahlah, jangan bicara yang
tak berguna. Lekas katakan, siapakah yang menangkap orang tua peniup seruling itu?"
Tiba-tiba Siau Lo-seng mendapat lain pikiran pula. Kalau Ang Siong-pik itu tak takut kepada Ban Jin-hoan
dan Jin Kian Pah-cu, jelas ayah angkatnya tentu juga tak takut. Tetapi dia hanya seorang diri, mungkin......
"Dia bersama nona Ui Hun-ing telah dibawa Jin Kian Pah-cu Ui Siu-bwe ke Lembah Kumandang!" serunya
serentak. "Benarkah itu?" Ang Siong-pik menegas.
"Aku sudah mengatakan, terserah percaya atau tidak," sahut Siau Lo-seng.
"Jalan!" teriak Buddha Emas Ang Siong-pik memberi perintah kepada anak buahnya, "menuju ke Lembah
Kumandang!" Tandupun segera diangkat dan dengan kepesatan langkah yang mengagumkan, rombongan pengawal baju
merah dan putih itupun segera lenyap di ujung jalan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kepergian rombongan Ang Siong-pik itu telah meninggalkan berbagai kesan pada Siau Lo-seng. Dia masih
tak habis mengerti mengapa Leng Tiong-siang telah menolongnya. Dan bagaimana pendirian Buddha Emas
Ang Siong-pik itu, kawan atau lawan" Siapa pula orang tua peniup seruling yang menjadi ayah angkatnya
itu" Dia mengatakan ilmu kepandaiannya berasal dari Kiu-thian-sian-hu. Tetapi aliran apakah Kiu-thiansian-hu itu"
Terakhir Siau Lo-seng masih bingung juga. Kemanakah sekarang ia harus pergi?""
Ia tak tahu kemana perginya barisan paderi dan bagaimana keadaan perkumpulan Naga Hijau.
Saat itu sudah senja. Cuacapun mulai gelap. Tiba-tiba ia merasa lapar. Ah, memang sehari itu belum
makan. Segera ia tinggalkan tempat itu dan tiba di sebuah kota. Ia mencari sebuah rumah makan agak
besar. Ternyata rumah makan itu laris sekali penuh dengan tetamu. Siau Lo-seng terpaksa duduk bersama tiga
orang yang tak dikenal. Setelah hidangan yang dipesan datang, maka diapun terus makan dengan lahap
sekali. Tengah enak-enak makan, tiba-tiba dia mendengar suara orang ramai membicarakan tentang seseorang.
?"" Kim-coa-long-kun Siau Mo?" sungguh ganas?", jika bukan Hun-liong-jit-gan, Kwan-gwa Suhiong?" Hoa-san Ngo-hou......"


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sudah tentu Siau Lo-seng terkejut dan pasang telinga. Seorang tetamu yang duduk pada meja lain berkata:
"Memang begitu! Kabarnya Lutung seribu tangan Ban Li-coan telah mengalami bencana hebat. Dalam
semalam saja, enampuluh jiwa dari desa tempat tinggalnya telah dibunuh habis. Wanitanya diperkosa baru
dibunuh. Kasihan adalah puteri tunggal dari Ban lo-enghiong, setelah diperkosa oleh Siau Mo lalu dibunuh.
Mayatnya yang masih telanjang, digantung di atas pintu gedungnya!"
Orang itu berhenti sebentar lalu melanjutkan ceriteranya lagi.
?""diapun menulis sebuah syair yang kotor dan cabul pada tembok pintu."
Diam-diam Siau Lo-seng mengerling pandang untuk mengamati orang itu dengan cermat.
Tak kurang dari belasan lelaki berpakaian ringkas seperti kaum persilatan, membawa senjata tengah duduk
mengelilingi sebuah meja. Rata-rata mereka berperawakan gagah, kecuali orang yang mengoceh tadi yang
bertubuh pendek kecil. Tiba-tiba seorang lelaki tua yang bermuka brewok tertawa nyaring.
"He, tuh lihatlah, Ma lo-ngo sudah ketakutan setengah mati," serunya, "sepertinya Siau Mo itu sudah berada
di sini saja!" Si pendek kecil menyelutuk: "Tan Siu-lam, jangan terlalu menganggap sepi orang. Sekalipun Siau Mo begitu
ganas tetapi aku Ma Tong tak takut kepadanya. Kalau ada kesempatan bertemu, kalian boleh lihat saja
bagaimana tindakanku."
Orang brewok yang dipanggil Tan Siu-lam tertawa nyaring.
"Ma Lo-ngo, lebih baik jangan jual suara besar dulu," serunya. "kelak apabila bertemu orangnya, mungkin
engkau tentu seperti anjing mengepit ekor."
"Siu-lam!" teriak Ma Tong, "jangan menghina aku. Duapuluh tahun lamanya Ma Tong berkecimpung dalam
dunia persilatan dan bekerja sampai begitu lama di kantor antaran barang Ban-seng Piau-kiok. Tiap kali
leherku selalu terancam golok dan tombak. Dalam pertempuran apa saja aku pernah menghadiri. Hm,
mungkin lain orang takut kepada Siau Mo tetapi aku Ma Tong ini tidak takut, kalau memang berani?""
"Jangan berkentut!" Tan Siu-lam menukas, "kalau engkau......"
"Sudah, sudahlah!" tiba-tiba terdengar seorang lelaki mengerat kata-kata Siu-lam dalam nada yang
memancar tenaga dalam kuat, "jangan berbantah terus. Ma Tong coba engkau katakan apa saja syair yang
ditulis Kim-coa-long-kun Siau Mo pada tembok taman Jui-hoa-wan itu?"
"Saat itu banyak orang berkerumun dan membicarakan peristiwa itu tetapi tak ada seorangpun yang tahu
kecuali aku. Kulihat jelas huruf itu ditulis dengan darah dan berbunyi begini: dunia-kangouw.blogspot.com
Salah benar Mati hidup Manusia hidup dalam dunia
itu hanya hanya Gembira tetapi O, kesenangan, Kesenangan memuncak. timbul kesedihan
Jiwapun Yang memutuskan Apakah si Kim-coa-long"
pikiran peristiwa bukan kesenangan kesenangan harus Hidup sesaat. sekejap. dan berkorban Mati "Entah digurat dengan apa sehingga huruf-huruf itu menyusup ke dalam dinding sampai lebih dari satu dim.
Menilik coraknya, huruf-huruf itu ditulis dengan jari dan darah. Di bawah syair diberi tanda lukisan Ular
Emas dan dibubuhi tanda tangan Siau Lo-seng. Congkak dan ganas, setiap kaum persilatan tentu marah
melihat syair itu. Bukan aku, Ma Tong, omong besar tetapi apabila bertemu dengan durjana ganas itu, tentu
akan kucincang untuk membalaskan dendam kematian mereka yang tak berdosa."
Ma Tong menutup kata-katanya yang panjang lebar dengan mengertek geraham penuh menahan
kemarahan. "Ma lo-ngo," tanya Tan Siu-lam, "sungguh aku tak mengerti omonganmu itu, Kim-coa- long-kun itu bernama
Siau Mo atau Siau Lo-seng?"
"Keduanya sama," sahut Ma Tong, "Siau Mo juga Siau Lo-seng, Siau Lo-seng juga Siau Mo. Yang
mengadakan pembunuhan besar-besaran di taman Jui-hoa-wan itu memakai nama Siau Lo-seng."
Hampir meledak dada Siau Lo-seng mendengar cerita orang itu. Ia tak pernah menduga bahwa dirinya akan
difitnah orang. Dengan begitu jelas bahwa yang melakukan pembunuhan di markas Bu-tong-pay itu juga
orang yang memalsu dirinya.
Tetapi mengapa orang hendak memfitnah sedemikian keji" Ia mengeluh dalam hati. Jika tak secara
kebetulan makan di rumah makan itu tentu ia takkan tahu tentang peristiwa dirinya difitnah.
Saat itu ia bergidik dalam hati melihat cara-cara keji yang dilakukan orang terhadap dirinya.
Tiba-tiba seorang lelaki yang duduk di sebelah kiri dari rombongan orang-orang persilatan itu, berkata: "Ma
lo-ngo, lebih hati-hati sedikit kalau bicara. Ingat, tembok itu bertelinga. Apalagi Siau Mo itu dapat muncul
tanpa diduga-duga. Siapa tahu kalau saat ini dia juga sudah berada di sekeliling tempat ini?"
"Mengapa tidak?" sambut seorang lain, "kabarnya Siau Mo itu akan lewat di sini. Kalau dia singgah di rumah
makan ini, tentu akan terjadi pertunjukan yang ramai."
Setelah orang itu berkata maka suasanapun sepi. Siau Lo-seng heran dan mengangkat muka hendak
melihat keadaan mereka. Saat itu pandang matanya terbentur dengan mereka. Wajah mereka pun serentak
berobah hebat lalu serempak berdiri. Ada beberapa yang malah sudah menyingkir.
"Kim-coa-long-kun?"!"
"Siau Lo-seng?"!"
Susul menyusul terdengar teriakan bernada kejut dan gentar dari mulut orang-orang itu.
Rupanya Siau Lo-seng menyadari bahwa dirinya salah diduga orang. Buru-buru ia berbangkit dan dengan
tertawa ia menghampiri ke tempat mereka.
"Saudara-saudara kaum persilatan?"" ia berusaha mengucapkan kata-kata dengan nada ramah. Tetapi
orang-orang itu malah makin menyurut mundur. Wajah mereka pun menampilkan ketakutan hebat.
Tiba-tiba salah seorang terus lari keluar. Kawan-kawannya pun segera mengikuti jejaknya. Suasana pun
kacau. Bahkan tetamu-tetamu yang tak tahu duduk perkaranya, ikut-ikutan melarikan diri.
Petualang Asmara 20 Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek Filosofi Kopi 2
^