Pencarian

Pendekar Seratus Hari 9

Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong Bagian 9


jangan harap engkau mampu lolos dari tanganku lagi!"
Siau Lo-seng mendengus. "Seorang jenderal yang sudah kalah, mengapa masih segarang itu bicaramu" Apakah engkau sudah tak
punya malu lagi" Baiklah, ayo keluarkan kepandaianmu yang lain pula!"
Li Giok-hou tertawa. "Jika belum melihat peti mati, engkau memang masih tak mau menangis. Akan kubuka matamu supaya
dapat mengenal sampai dimana ilmu kepandaian dari istana Ban-jin-kiong itu."
Besar kata, garang suara, sikap Li Giok-hou benar-benar congkak sekali. Seolah-olah tak memandang mata
kepada Siau Lo-seng. Seketika wajah Siau Lo-seng agak berobah. Sepasang alisnya berkerut dan pada lain saat ia loncat
menerjang: "Li Giok-hou, serahkan jiwamu!"
Li Giok-hou tertawa dingin lalu gerakkan pusaka Keng-hun-pit dalam bentuk setengah lingkar.
"Hm, budak yang sombong, mau cari mati?" Siau Lo-seng tertawa dingin. Pedang Ular Emas tiba-tiba makin
ditekan keras untuk menutuk lengan Li Giok-hou.
Di luar dugaan ternyata Li Giok-hou amat cerdik. Pada saat ujung pedang hampir menyentuh lengan, tibatiba ia memutar kaki dan menggelincir ke samping Siau Lo-seng seraya sapukan pusaka Keng-hun-pit.
Tetapi Siau Lo-seng bukanlah seorang jago yang lemah. Pada saat tutukan ujung pedangnya mengenai
angin kosong, dia cepat dapat menduga bahwa musuh telah menyiasatinya. Tetapi karena ia menutukkan
pedang dengan cepat dan tenaga penuh maka, tubuhnyapun ikut menjorok ke muka. Dan pada saat itulah
ujung pit Keng-hun-pit memagutnya.
Betapapun lihay Siau Lo-seng tetapi dia tetap tak mampu untuk menghindarkan diri dari serangan tiba-tiba
itu. Untung ia sudah mempunyai banyak pengalaman. Walaupun terancam bahaya namun ia tak sampai
gugup. Ia mengisar pedang ke samping lalu lanjutkan tubuhnya yang condong ke muka untuk menubruk ke tanah
lalu berguling-guling. "Jangan mengadu senjata!" tiba-tiba terdengar Cu-ing melengking dan terus melayang ke belakang Li Giokhou untuk menusuk punggung pemuda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi terlambat. Pedang Ular Emas telah berbentur dengan pusaka Keng-hun-pit yang termasyhur.
Seketika Siau Lo-seng rasakan sekujur tubuhnya kesemutan seperti terbentur aliran listrik yang keras. Dan
tenaganyapun mendadak lenyap. Lengan bergetar, "tring?" pedang Ular Emas segera jatuh ke tanah.
Dan orangnya pun sampai jungkir balik tiga kali.
"Budak hina, engkau minta mati?" bentak Li Giok-hou seraya taburkan Keng-hun-pit ke arah pedang, "Tring,
tring, tring," pedang dara itu seketika kutung jadi tiga. Tenaganya hilang sehingga ia tak dapat mengusai
tubuhnya yang menerjang ke arah Li Giok-hou.
Setelah berguling-guling sampai beberapa langkah, Siau Lo-seng melenting bangun. Sejenak ia berdiri
merenung. "Heran, ilmu kepandaian apakah yang digunakan Li Giok-hou sehingga dapat membuyarkan tenaga
dalamku?" pikirnya. Memang dia tak tahu bahwa sesungguhnya Keng-hun-pit sebuah senjata yang khusus untuk menghapus
tenaga dalam musuh. Melihat tubuh Cu-ing menjorok ke arah dadanya. Li Giok-hou tertawa iblis: "He, bagus, memang sudah lama
kita suheng dan sumoay tak pernah bermesra-mesraan......"
Cepat ia ulurkan tangan untuk menutuk jalan darah dara itu lalu memeluknya.
Bukan kepalang marah Siau Lo-seng menyaksikan peristiwa itu. Segera ia memungut pedang Ular Emas
lalu dengan meraung keras ia menghajar kepala Li Giok-hou dengan jurus Hujan bunga dan air.
Li Giok-hou tak gugup. Menyurut mundur dua tiga langkah ia segera mencengkeram kepala Cu-ing lalu
berseru: "selangkah saja engkau berani maju anak perempuan ini tentu akan kubunuh dulu."
Siau Lo-seng mati kutu terpaksa ia hentikan serangan.
"Li Giok-hou, kalau engkau kesatria lepaskan dia dan majulah kemari untuk bertempur lawan aku," serunya.
Namun Li Giok-hou hanya tertawa menyeringai, serunya: "Karena engkau berkata begitu, aku justeru malah
tak mau melepaskannya. Mau apa engkau?"
"Manusia pengecut yang tak tahu malu!" teriak Siau Lo-seng marah sekali.
"Silahkan memaki sepuasmu," sahut Li Giok-hou seenaknya, "sebagai seorang tokoh durjana, masa aku
sudi mendengarkan ocehanmu. Pertunjukan yang lebih seram, lebih ganas, akan menyusul lagi."
Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri. Ketika kedua pemuda itu berpaling, tampak seorang baju hitam yang
menyerang Hun-ing, terhuyung-huyung lima-enam langkah karena bahunya merekah luka yang besar.
Ang Piau marah sekali. Ia menyerang nona itu dengan jurus Laut marah naga muncul. Serangan itu
dilancarkan dengan golok gergaji yang dilambari tenaga penuh.
Namun tubuh Hun-ing berlincahan dalam gaya mirip seekor kupu-kupu hinggap pada bunga. Sukar diduga
oleh musuh. Dalam beberapa kejap dapatlah nona itu terlepas dari ancaman golok maut.
Setelah lolos, Hun-ing berputar-putar tubuh loncat sampai dua tombak. "Cret?"" ia menusuk seorang baju
hitam yang mengepungnya. Serangannya gagal, Ang Piau makin marah. Dengan buas ia menyerang Hun-ing lagi. Jurus Menyapu
ribuan pasukan dilancarkan tetapi tiba-tiba dirobah dalam jurus Angin menyapu daun gugur. Habis
membabat, ia menabas. Tubuh si nona yang semampai, bergeliatan indah sekali dalam gerak penghindaran yang aneh. Seiring
dengan gerakan golok, tubuh nona itupun mencelat ke udara, berjumpalitan menukik ke bawah untuk
membacok kepala dua orang baju hitam.
Karena tak sempat berjaga, kedua algojo baju hitam itu gelagapan. Untung mereka masih dapat
menyurutkan kepala mengisar bahu untuk mundur ke belakang lalu balikkan goloknya menangkis.
Hun-ing rentangkan sebelah tangannya untuk menghentikan tubuh yang masih melayang di udara. Ia
menarik pedang, segera setelah golok lewat secepat kilat ia menusuk lagi ke bawah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kedua algojo baju hitam itu terkejut dan cepat-cepat hendak menghindar. Namun tak urung bahu mereka
telah termakan ujung pedang. Darah bercucuran membasahi lengan baju.
Dan ketika meluncur turun ke bumi, kembali Hun-ing menghadapi Ang Piau. Gerak permainan silat nona itu
memang aneh sekali. Tubuhnya berlincahan segesit burung sikatan. Jelas nona itu menitik beratkan pada
ilmu gin-kang atau ilmu Meringankan tubuh.
Bergantian nona itu menggunakan pukulan dan pedang untuk menghadapi Ang Piau dan tiga algjo baju
hitam. Dan pertempuran itu berjalan dengan seru dan menegangkan sekali.
Dalam pada itu pada saat Li Giok-hou terkesiap, sekonyong-konyong Siau Lo-seng taburkan pedang Ular
Emas dalam jurus Angin musim rontok menderu-deru. Dikala pedang telah membentuk lingkaran sinar yang
deras Siau Lo-seng pun menyusuli pula dengan dua buah hantaman tangan kiri.
Tetapi Li Giok-hou memang teramat licin. Dia tak mau menangkis atau menghindar. Cepat-cepat ia
mengisar tubuh Cu-ing untuk mengaling di mukanya.
"Bagus, kalau engkau tak takut melukai anak perempuan ini, silahkan engkau melanjutkan seranganmu," ia
tertawa mengejek. Dengan mendesuh geram, terpaksa Siau Lo-seng hentikan serangannya. Kemarahannya memancar pada
kedua biji matanya yang merah membara. Ia acungkan ujung Pedang Ular Emas ke muka lalu dengan
pelahan, ia melangkah maju......
Bertatapan pandang dengan mata Siau Lo-seng yang berkilat-kilat itu, mau tak mau menggigillah hati Li
Gok-hou. Ia menyurut mundur selangkah.
Tangan kiri tetap mencengkeram pergelangan lengan Cu-ing, sedang tangan kanan yang mencekal Kenghun-pit, melekatkan ujung pit itu ke perut si dara, lalu membentak:
"Berhenti! Apabila engkau tetap maju, akan kuhancurkan isi perut nona ini!"
Tetapi biji mata Siau Lo-seng yang sudah membara hendak memancar api itu, agaknya tak mendengar
ancaman itu dan tetap ayunkan langkah.
Li Gok-hou tergetar hatinya dan mundur lagi tiga langkah. Ia tutukan ujung Keng-hun-pit ke lengan Cu-ing
yang terluka tadi. Seketika dara itu menjerit ngeri?".
12.56. Wanita Cantik, Jin Kian Pah-cu
Karena lengannya ditutuk ujung Keng-hun-pit, menjeritlah Cu-ing kesakitan. Sedemikian kesakitan sampai
tubuhnya gemetar. Melihat itu barulah Siau Lo-seng hentikan langkah. Dia mengertek gigi tetapi tak berani turun tangan. Hanya
sepasang biji matanya yang makin menyala merah.
"Berani menyerang lagi, jangan sesalkan kalau aku bertindak kejam?"," Li Giok-hou tertawa mengekeh.
Baru ia berkata begitu tiba-tiba dari belakang terdengar orang memakinya dengan nada sedingin es.
"Budak keparat, masih begitu muda umurmu mengapa sudah belajar menjadi manusia buas yang
kejam?"" Mendengar nada suara itu, segera Siau Lo-seng berseru: "Apakah Leng Locianpwe"..."
Cepat Li Giok-hou berpaling dan setombak dari tempatnya, entah kapan datangnya, tegak seorang tua baju
putih, jenggot putih dan bertubuh tinggi besar.
Wajah orang tua baju putih sedemikian dingin sekali. Dan saat itu dia alihkan pandang mata kepada Siau
Lo-seng, Begitu beradu pandang dengan mata orang tua baju putih itu, gemetarlah tubuh Siau Lo-seng. Mengapa"
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng dapat memperhatikan dan mendapat kesan bahwa sinar mata Leng Tiong-siang itu tidaklah
memancarkan sinar kasih sayang seperti beberapa waktu yang lalu. Tetapi suatu pancaran mata orang
asing tak kenal pada Siau Lo-seng.
Jaga Li Giok-hou tak kalah kejutnya. Serentak ia berteriak: "Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang?""
Cepat kakek itu memandang Li Giok-hou. Beberapa saat kemudian baru berkata dengan nada dingin:
"Kalau kenal padaku, mengapa engkau tak lekas berlutut dan memberitahukan perguruanmu serta nama
suhumu. Apakah harus menunggu sampai aku turun tangan?"
Nadanya angkuh sekali, sebagai seorang cianpwe yang memberi perintah kepada seorang yang lebih
muda. Li Giok-hou kerutkan alis lalu tertawa jumawa, serunya:
"Mungkin orang lain tentu akan takut setengah mati kepadamu. Tetapi jangan engkau kira aku sudi bertekuk
lutut di hadapanmu. Kalau engkau mempunyai kepandaian, ayo kita coba-coba adu kepandaian!"
Leng Tiong-siang terkesiap kemudian tertawa dingin. Nadanya mirip dengan burung hantu yang berbunyi di
tengah malam. "Ah, tak kira selama empatpuluh tahun malang melintang di dunia persilatan, ternyata baru hari ini aku
berjumpa dengan seorang budak ingusan yang sombongnya bukan kepalang, ganasnya luar biasa. Ah
ternyata di bawah sinar matahari ini, orang masih berhati angkara murka."
Habis berkata ia terus maju menghampiri Li Giok-hou.
Li Giok-hou mundur tiga langkah lalu membentak keras-keras: "Berhenti, kalau tak mau berhenti, aku
akan......" "Biar dia engkau bunuh, akupun tak ada sangkut pautnya," tukas Leng Tiong-siang.
Sinar putih melayang dan tahu-tahu Leng Tiong-siang pun sudah meluncur untuk melontarkan hantaman.
Li Giok-hou terkejut ketika merasa telah dilanda oleh gelombang angin yang amat dahsyat ia menggembor
keras lalu balas memukul dan membawa Cu-ing loncat mundur beberapa langkah.
Tetapi sebelum kakinya menginjak tanah, bayangan Leng Tiong-siang sudah memburu dengan taburkan
dua buah pukulan. Kejut Li Giok-hou bukan kepalang. Namun dia seorang pemuda yang cerdik dan licik. Keng-hun-pit
ditaburkan untuk menyongsong pukulan lawan, sedang Cu-ing ditarik di mukanya sebagai perisai.
Melihat itu Siau Lo-seng berteriak: "Leng locianpwe, hentikan tanganmu?""
"Bum?"" Dua arus tenaga kuat, melanda tubuh nona itu. Cu-ing mengerang tertahan, mulutnya mengumur darah
segar. Dan seketika dara itupun pingsan.
Tetapi arus tenaga pukulan Leng Tiong-siang itupun melemparkan Li Giok-hou sampai setombak jauhnya
dan jatuhlah pemuda itu terduduk di tanah.
Rupanya Leng Tiong-siang tak mengacuhkan seruan Siau Lo-seng tadi. Ia berteriak,
"Ho, kiranya murid jahat dari Ban-jin-kiong. Terimalah sebuah pukulanku lagi."
Sesosok bayangan putih melayang bagai kilat menyambar dan sebuah pukulan yang mengeluarkan deru
angin segera berhamburan.
Saat itu pikiran dan semangat Li Giok-hou masih kabur. Menyadari bahaya maut yang mengancam dirinya,
tiba-tiba ia mendapat pikiran. Sambil memeluk tubuh Cu-ing, ia berjumpalitan loncat ke belakang sampai
beberapa langkah. "Siau Lo-seng, lekas cegah dia atau aku tak dapat menanggung keselamatan jiwa Cu-ing ini," ia berteriak.
Seiring dengan seruan itu, Siau Lo-seng pun lintangkan pedang menghadang Leng Tiong-siang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Leng locianpwe, jika engkau tak mau berhenti menyerang, jangan salahkan kalau aku akan merintangi
engkau," serunya dengan nada sarat.
Lang Tiong-siang membentak: "Celaka! Engkau juga berani merintangi aku!"
Tiba-tiba ia menghantam lagi lalu dengan sebuah gerak yang aneh menyelinap dari samping Siau Lo-seng
terus menyerbu Li Giok-hou.
Siau Lo-seng terkejut sekali. Segera ia mainkan jurus Thian-ong-wi-wi, sebuah jurus dalam kitab ilmu
pedang Thian-to-kiam-keng yang dipelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Melihat gerak ilmu pedang yang sedemikian hebatnya mau tak mau Leng Tiong-siang terkesiap juga. Diamdiam ia memuji Siau Lo-seng seorang pemuda yang berisi. Diam-diam ia kerahkan hawa murni. Tanpa kaki
dan tubuh bergerak, tahu-tahu ia sudah berkisar ke samping untuk melepaskan diri dari hamburan sinar
pedang Ular Emas. Melihat cara Leng Tiong-siang menghindar serangan pedangnya, kejut Siau Lo-seng bukan kepalang. Ia
kagum sekali. Siau Lo-seng tetap memburu karena bagaimanapun serangan Leng Tiong-siang itu tentu akan
membahayakan jiwa Cu-ing.
Kali ini Leng Tiong-siang tak mau menghindar lagi. Selekas ujung pedang hampir mengenai dirinya, tiba-tiba
ia membentak keras seraya menutukkan jari kirinya ke batang pedang.
Terdengar suara erang tertahan. Siau Lo-seng telah terpental sampai beberapa langkah ke belakang.
Walaupun pedang tak sampai terlepas jatuh tetapi ia rasakan lengan kanannya kesemutan. Bahkan
separoh tubuhnya terasa kaku juga.
"Hai, hendak lari kemana engkau budak?" Leng Tiong-siang berteriak.
Ternyata pada saat Siau Lo-seng menyerang Leng Tiong-siang diam-diam Li Giok-hou membawa Cu-ing
lari. Tetapi Leng Tiong-siang tahu.
Leng Tiong-siang lentikkan ilmu tutukan jari ke arah punggung Li Giok-hou. Ia hendak menutuk dua buah
jalan darah thian-in dan Ko-wi di punggung pemuda itu. Kemudian masih disusuli lagi dengan sebuah
pukulan. Saat itu kaki Li Giok-hou masih terangkat ke atas atau tiba-tiba punggungnya terasa disambar angin tajam.
Walaupun tahu bahwa pukulan lawan segera akan tiba namun ia tak berani menangkis. Cepat ia kisarkan
tubuh lalu menyerempaki dengan gerak lompatan jungkir balik dan melayang turun beberapa langkah. Lalu
hendak gerakkan Keng-hun-pit.
"Bum?"" Ternyata pukulan Leng Tiong-siang itu tepat sekali mendarat di punggung Li Giok-hou. Pemuda itu muntah
darah dan tubuhnya terhuyung menjorok ke muka sampai dua tombak jauhnya.
Tetapi Cu-ing pun menderita juga. Karena punggung Li Giok-hou termakan pukulan, maka tubuh gadis
itupun mencelat ke udara.
Cepat sekali Siau Lo-seng loncat untuk menyanggapi tubuh si dara.
Rupanya Leng Tiong-siang benci setengah mati kepada Giok-hou yang dianggapnya amat kejam. Tanpa
memberi kesempatan lagi, orang tua baju putih itu dorongkan kedua tangan ke arah tubuh Giok-hou yang
masih belum sempat berdiri tegak.
Pada detik-detik pukulan maut Leng Tiong-siang headak merenggut jiwa Giok-hou, sekonyong-konyong
sesosok tubuh kecil meluncur bagai sebuah bintang jatuh.
"Bum?"" terdengar letupan keras.
Bahu kakek wajah dingin itu terhuyung sehingga tubuhnya mundur selangkah. Wajahnya menampilkan rasa
kejut yang tak terperikan.
Dan saat itu di tengah gelanggang telah muncul seorang wanita pertengahan umur yang amat cantik.
Wanita cantik itu kerutkan dahi dan berseru melengking: "Leng-heng, empatpuluh tahun berpisah rupanya
watakmu masih sepanas dahulu."
dunia-kangouw.blogspot.com
Sejenak terkejut, Leng Tiong-siang pun tenang kembali serunya: "Ho, kiranya Dewi Mega Ui Siu-bwe. Ah,
walaupun sudah berselang empatpuluh tahun namun engkau masih tetap awet muda dan cantik. Sungguh
tak kira bahwa setelah muncul kembali setelah bersembunyi selama empatpuluh tahun, Leng Tiong-siang
masih mempunyai kesempatan untuk melihat keagungan Dewi Mega."
Wanita cantik yang disebut dengan nama Dewi Mega Ui Siu-bwe itu, tampak agak berobah cahaya
mukanya. Sepasang matanya agak memancar kilat tajam tetapi pada lain saat tenang kembali.
"Ah, Leng-heng pandai berolok-olok. Empatpuluh tahun banyak sekali terjadi perobahan dalam kehidupan
manusia. Yang tua makin tua yang muda bertambah besar. Dan kitapun semakin tua."
Tiba-tiba Li Giok-hou yang terpukau akan kemunculan Dewi Mega Ui Siu-bwe, sesaat setelah pulih
ketenangannya, segera menghampiri dan memberi hormat.
"Terima kasih atas pertolongan locianpwe, Li Giok-hou akan mengingat budi itu selama-lamanya," katanya.
Dewi Mega Ui Siu-bwe menyahut dengan dingin: "Ih, jangan kira kalau aku hendak menolongmu. Nanti
apabila engkau mengetahui siapa diriku, mungkin engkau tak sempat lagi melarikan diri."
"Suhu, engkau?"" tiba-tiba Hun-ing berteriak tetapi ia segera terkejut ketika pedangnya dihantam golok
Ang Piau hingga terlempar ke udara.
Telapak tangan nona itu serasa pecah, darahpun mengucur dan wajahnya pucat. Tetapi rasa kejut yang
tampil pada kerut wajahnya itu bukan dikarenakan luka pada tangannya.
Melihat itu Siau Lo-seng cepat loncat menghampiri, "Adik Hun-ing, engkau kenapa?"
Tetapi pada saat tangan Siau Lo-seng menjamah dara itu, serangkum gelombang tenaga yang tiada
bersuara telah melanda punggung Siau Lo-seng.
Pemuda itu terkejut dan cepat loncat beberapa langkah ke samping. Ketika berpaling, tampak baik Leng
Tiong-siang maupun Dewi Mega Ui Siu-bwe masih tegak di tempatnya masing-masing, seperti tak terjadi
suatu apa. Siau Lo-seng marah. Ia tahu bahwa Li Giok-hou tak mungkin memiliki tenaga sakti semacam itu. Tentulah
Leng Tiong-siang yang melancarkannya.
"Orang tua celaka," serunya dengan murka, "Siau Lo-seng tak merasa mempunyai permusuhan kepadamu,
tetapi mengapa engkau menyerang secara gelap. Engkau menyaru jadi Leng Tiong-siang, hm, aku akan
melucuti kedokmu......"
Mendengar itu seketika berobah cahaya muka Leng Tiong-siang, bentaknya,
"Budak gila, jangan memfitnah orang seenakmu sendiri. Siapa yang menyerangmu secara gelap. Aku Leng
Tiong-siang, juga seorang tokoh yang dikenal orang. Masakan tak malu melakukan perbuatan serendah itu.
Kita tak saling kenal mengenal bagaimana engkau menuduh aku seorang Leng Tiong-siang palsu. Hm,
budak liar, kalau tak kuberimu hajaran, engkau tentu belum tahu rasa."
Siau Lo-seng terkesiap mendengar kata-kata Leng Tiong-siang bahwa orang itu tak pernah kenal
kepadanya. Seketika ia teringat akan peringatan orang tua peniup seruling bahwa Leng Tiong-siang yang
muncul dewasa ini, walaupun nada gerak-geriknya memang menyerupai, tetapi bukan Leng Tiong-siang
yang sesungguhnya. "Hm, kalau tidak mau membuka kedokmu, terpaksa aku akan?"" berkata sampai di situ Siau Lo-seng
terus mainkan pedang Ular Emas dalam jurus yang maut. Tiga jurus berturut-turut telah dilancarkan kepada
Leng Tiong-siang. Yang diserang Leng Tiong-siang, tetapi entah bagaimana tiba-tiba Dewi Mega gerakkan tangannya untuk
membuat gerakan setengah lingkaran dan dua gulung tenaga sakti yang lunak telah meluncur.
Seketika Siau Lo-seng rasakan taburan pedangnya itu seperti terbenam ke dalam lumpur dan karena
terlambat untuk menghindar, diapun terdorong sampai tiga-empat langkah ke belakang.


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukan saja Siau Lo-seng bahkan Leng Tiong-siang sendiri terkejut sekali. Setitikpun ia tak menyangka
bahwa setelah empatpuluh tahun berpisah, kini Dewi Mega Ui Siu-bwe telah memiliki tenaga sakti lunak
yang sedemikian sakti. Tampak Dewi Mega berpaling ke arah Siau Lo-seng, serunya dengan tertawa:
dunia-kangouw.blogspot.com
"Yang melancarkan tenaga tiada suara untuk menghalangi engkau tadi adalah aku. Bukan Leng Tiongsiang. Harap jangan salah paham kepada Leng Tiong-siang."
Nadanya lembut dan merdu bagaikan burung kenari berkicau.
Siau Lo-seng terkejut dan terlongong-longong.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah jeritan mengaduh dari mulut Hun-ing. Ketika berpaling, dilihatnya nona
itu berjungkir balik beberapa kali di udara dan terus jatuh di tanah. Seorang algojo baju hitam segera
ayunkan tangannya uutuk memukul punggung nona itu.
Hun-ing menjerit, mulutnya muntah darah dan lunglailah ia ke tanah. Dari empat penjuru empat orang algojo
baju hitam segera berhamburan menyerbu dan ayunkan golok gergajinya untuk membunuh Hun-ing.
Siau Lo-seng terkejut sekali. Tetapi ia terpisah pada jarak yang jauh. Tak mungkin dapat menolong, nona
itu. Pada saat Hun-ing terancam maut, sesosok bayangan kecil segera meluncur ke udara.
Dan serempak terdengarlah jeritan ngeri dari dua orang algojo baju hitam yang terlempar beberapa tombak
jauhnya. Ang Piau dan seorang algojo baju hitam telah terlepas senjatanya dan mundur sampai tujuh-delapan
langkah. Keduanya tercengang seperti terbang semangatnya.
Dalam keremangan cuaca malam, tampak seorang wanita baju biru tegak di tengah gelanggang. Ang Piau
ternganga melihat kecantikan wanita itu. Ya, wanita itu memang terlalu cantik sekali. Setiap mata yang
memandang, pasti akan terlongong-longong kehilangan semangat.
"Im-kian-li!" tiba-tiba Siau Lo-seng dan Li Giok-hou serempak berteriak menyebut wanita yang muncul itu.
Ya, memang pendatang itu bukan lain yalah Im-kian-li atau Puteri Neraka, kakak seperguruan dari Hun-ing.
Tiba-tiba Dewi Mega tertawa gelak-gelak lalu berseru, "Lekas tangkap murid hianat itu!"
Im-kian-li segera mencengkeram tubuh Hun-ing yang rebah di tanah lalu dengan sebuah loncatan yang
mengagumkan, ia sudah berada di samping suhunya, Dewi Mega Ui Siu-bwe.
Li Giok-hou menyurut mundur dua langkah dan barteriak kaget: "Engkau?" engkau ini Jin Kian Pahcu?""
Hampir Siau Lo-seng tak percaya pada dirinya sendiri bahwa wanita cantik Dewi Mega Ui Siu-bwe itu
ternyata suhu dari Hun-ing kepala dari Lembah Kumandang yang bergelar Jin Kian Pah-cu.
12.57. Momok Ban Jin Kiong-cu
Dalam alam pikiran Siau Lo-seng, Jin Kian Pah-cu itu tentu seorang momok yang ganas, seorang durjana
yang berwajah seram. Sama sekali tak pernah terlintas dalam benaknya, bahwa ketua Lembah Kumandang
yang termasyhur ganas itu ternyata seorang wanita yang secantik bidadari.
Saat itu tampak Jin Kian Pah-cu masih tetap tenang seolah-olah tiada terjadi suatu apa. Pelahan-lahan ia
menghampiri Im-kian-li yang masih mengurut Hun-ing.
Cepat sekali Jin Kian Pah-cu telah memeriksa dengan teliti, tulang, urat-urat di tubuh Hun-ing. Dan saat itu
juga Jin Kian Pah-cu pun sudah memutuskan sesuatu yang penting. Hal itu memang sudah terkandung
dalam hatinya selama duapuluh tahun?"
Sesaat kemudian tambah cahaya muka Jin Kian Pah-cu berseri girang. Ia mengeluarkan sebuah kotak
kumala dan menuang sebutir pil yang terbungkus lilin. Selekas lilin dipecah maka berhamburan hawa yang
luar biasa harumnya. Pil berwarna biru itu lalu dimasukkan ke mulut Hun-ing.
Lo-seng memperhatikan wajah Leng Tiong-siang menampil kerut keheranan. Mulutnya hendak bergerak
membuka suara tetapi tak jadi.
Sekonyong-konyong Siau Lo-seng teringat sesuatu yang terjadi pada diri Puteri Neraka. Bukankah Im-kian-li
itu telah berobah menjadi seorang manusia yang hilang kesadaran pikirannya dan tak ubah seperti mayat
hidup" dunia-kangouw.blogspot.com
"Jin Kian Pah-cu," cepat Siau Lo-seng berteriak keras-keras, "apakah engkau hendak menjadikan dia
seorang mumi?""
Siau Lo-seng terus loncat menerjang dengan pedang Ular Emas.
Namun Jin Kian Pah-cu hanya tertawa dingin dan menyurut mundur. Serempak dengan itu empat dayang
baju biru pengawal Jin Kian Pah-cu, serentak maju menyongsong Siau Lo-seng.
Walaupun tidak sesakti kepandaian Im-kian-li tetapi karena mereka maju berempat, terpaksa Siau Lo-seng
harus waspada. Cepat pemuda itu memutar pedangnya untuk melindungi dirinya yang terpaksa harus
mundur beberapa langkah. Tiba-tiba Leng Tiong-siang meluncur ke dekat Im-kian-li dan mengawasinya dengan cermat.
"Wanita ini bukankah Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li yang telah menghilang sejak empatpuluh tahun yang lalu"
Mengapa sekarang dia menjadi seperti begini?"" tiba-tiba Leng Tiong-siang berkata.
Jin Kian Pah-cu mendengus,
"Ah, kiranya engkau masih mengenalinya. Sayang dia sudah tak kenal lagi padamu"..."
Seketika cahaya muka Leng Tiong-siang berobah, serunya dengan nada gemetar.
"Hm, engkau seorang wanita beracun. Wajahmu secantik bidadari tetapi hatimu seganas ular berbisa.
Sungguh tak kukira, bahwa engkau sampai hati untuk menurunkan tangan ganas kepada sumoaymu
sendiri?"" Siau Lo-seng terbeliak kaget. Pikirnya. "O, kiranya Im-kian-li ini wanita yang diagungkan oleh dunia
persilatan sebagai Jelita nomor satu dalam dunia?""
Tetapi pada lain kilas menggigillah hati Lo-seng demi teringat akan perbuatan ganas dari Jin Kian Pah-cu
yang amat kejam sampai hati menjadikan sumoaynya sendiri seorang mumi atau mayat hidup.
Jin Kian Pah-cu mengerut dahi tetapi sesaat kemudian ia tertawa hambar.
"Itu urusan antara aku dan sumoayku sendiri. Lebih baik engkau jangan ikut campur. Dan lekaslah engkau
mengejar Keng-hun-pit itu saja. Karena kalau terlambat, mungkin pusaka itu sukar engkau dapatkan lagi!"
Mendengar itu Siau Lo-seng cepat berpaling. Dilihatnya saat itu diam-diam Li Giok-hou sudah menyelinap
tiga-empat tombak jauhnya. Rupanya sudah bersiap-siap hendak kabur.
Ketika mendengar kata-kata Jin Kian Pah-cu, kejut Giok-hou bukan kepalang. Dan karena jejaknya sudah
diketahui, iapun segera enjot tubuh melarikan diri.
"Berhenti!" bentak sesosok tubuh baju putih yang bagaikan bintang jatuh, sudah meluncur ke muka Giokhou lalu mendorongkan kedua tangannya.
Giok-hou masih belum jelas siapa yang menghadang jalannya itu. Bahwa tahu-tahu ia rasakan
segelombang tenaga sakti melanda dengan gugup ia terus memutar Keng-hun-pit untuk melindungi diri.
Ternyata langkah yang diambil Giok-hou itu memang tepat. Sesaat penghadang baju putih itu atau yang
ternyata Leng Tiong-siang, lupa bahwa Keng-hun-pit itu sebuah pusaka yang khusus diciptakan untuk
menghapus tenaga dalam lawan.
Begitu pukulan beradu dengan ujung pit. Leng Tiong-siang mengerang tertahan dan terhuyung mundur
sampai tiga langkah. Sedangkan Giok-hou juga menggigil bahunya karena pukulan lawan, tetapi ia cepat mengetahui bahwa
Keng-hun-pit nya itu dapat mengatasi lawan. Kesempatan itu sudah tentu tak dia sia-siakannya. Cepat ia
menerjang maju sambil taburkan Keng-hun-pit.
Tetapi ternyata Giok-hou telah salah hitung. Leng Tiong-siang bukan tokoh sembarangan. Sesaat
menyadari kalau salah langkah, segera ia kerahkan tenaga dalam ke arah lengan kirinya. Ia menduga Giokhou tentu akan menyerang lagi.
Dan ternyata dugaan itu memang tepat. Pada saat Giok-hou menerjang. Leng Tiong-siang segera
menyongsong dengan sebuah pukulan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar jeritan ngeri ketika Giok-hou terlempar sampai jungkir balik tiga kali di udara. Ketika jatuh pada
jarak tiga tombak jauhnya, pemuda itu sampai dua kali muntah darah. Jelas dia menderita luka yang tidak
ringan. Rupanya Leng Tiong-siang benci sekali kepada Giok-hou yang dianggapnya kejam dan ganas. Segera ia
loncat ke muka pemuda itu dan lepaskan sebuah tendangan ke arah kepala Giok-hou. Apabila kena
tendangan maut itu tentu akan memberantakan benak pemuda itu.
Tetapi lagi-lagi terjadi rintangan. Kali ini datangnya dari empat dayang baju biru yang berhamburan loncat
ke muka Giok-hou lalu serempak menghantam.
Leng Tiong-siang terkejut. Buru-buru ia lepaskan sebuah pukulan Biat-gong-ciang untuk menyongsong.
Walaupun tidak sesakti Im-kian-li, namun ke empat dayang itupun tergolong jago silat yang tinggi
kepandaiannya. Tetapi karena mereka menyerang berempat, tenaganya pun bukan kepalang dahsyatnya.
Benturan adu pukulan itu hanya menyebabkan mereka berempat terpental ke udara tetapi dapat melayang
turun pula dengan selamat.
Leng Tiong-siang marah. Dengan diantar gemboran keras, ia ayunkan tangan kanannya.
Tiba-tiba Jin Kian Pah-cu loncat menghampiri, mencengkeram tubuh Li Giok-hou seraya membentak
keempat dayang itu: "Mundur, jangan berani menyambuti pukulannya."
Keempat dayang itupun cepat loncat menghindar.
Makin marah Leng Tiong-siang karena pukulannya mengenai angin kosong. Serunya kepada Jin Kian Pahcu:
"Ui Siu-bwe, apakah engkau hendak cari perkara dengan aku?"
Jin Kian Pah-cu tertawa melengking.
"Ah, mana aku berani cari gara-gara dengan kau," sahutnya. "aku hanya ingin membantu kepada Leng
Tiong-siang yang berwajah dingin tetapi berhati panas, supaya jangan mengadakan pembunuhanpembunuhan yang berdosa."
"Lepaskan budak itu!" seru Leng Tiong-siang dengan wajah makin membeku.
Jin Kian Pah-cu lepaskan tangan dan jatuhlah Giok-hou terkulai di tanah.
"Budak ini sudah kulepas," Jin Kian Pah-cu tertawa.
Tetapi rupanya Leng Tiong-siang masih kurang puas karena Giok-hou masih berada di muka wanita itu.
"Hai, mengapa engkau tak mau lekas menyerahkan Keng-hun-pit" Apakah harus menunggu aku turun
tangan?" serunya kepada Giok-hou.
Tiba-tiba Jin Kian Pah-cu tertawa mengikik.
"O, kiranya Leng Tiong-siang hanya menghendaki pit itu. Kukira engkau suka pada budak busuk ini. Kalau
begitu, terimalah benda ini!"
Menyambar Keng-hun-pit di tangan Giok-hou, Jin Kian Pah-cu segera melemparkan ke arah Leng Tiongsiang.
Setitikpun Leng Tiong-siang tak mengira bahwa begitu mudah sekali Jin Kian Pah-cu mau menyerahkan
pusaka yang menjadi idam-idaman kaum persilatan kepadanya. Dengan tersipu-sipu merah, Leng Tiongsiang menyambuti benda itu.
Siau Lo-seng terkejut. Ia mempunyai kesan tak baik terhadap Leng Tiong-siang karena orang tua itu sudah
tak mempedulikan keselamatan jiwa Cu-ing. Dia teringat pula akan keterangan orang tua peniup seruling
bahwa Leng Tiong-siang yang muncul sekarang ini bukanlah Leng Tiong-siang yang aseli.
Kini Jin Kian Pah-cu telah memberikan pusaka sakti semacam Keng-hun-pit kepada Leng Tiong-siang.
Walaupun Lo-seng tidak mempunyai keinginan untuk memilikinya, tetapi ia tak rela kalau pusaka itu sampai
jatuh ke tangan seorang seperti Leng Tiong-siang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Serentak timbul keputusannya untuk menggagalkan peristiwa itu. Siau Lo-seng segera loncat menyambar
Keng-hun-pit. Sudah tentu Leng Tiong-siang marah sekali. Serentak ia lepaskan sebuah pukulan Biat-gong-ciang ke arah
anak muda itu, sedang tangan kirinya berusaha untuk menyambar Keng-hun-pit.
Siau Lo-seng memang tak menginginkan pit pusaka itu. Cepat ia menghindar ke samping lalu menghantam
Keng-hun-pit. Terkena hantaman Siau Lo-seng, Keng-hun-pit mencelat ke samping.
Karena tangan kirinya menyambar angin, cepat Leng Tiong-siang berputar sembilanpuluh derajat lalu
melayang ke arah Keng-hun-pit.
Seorang albojo baju hitam dari Ban-jin-kiong yang kebetulan berdiri disamping, cepat geliatkan tubuh untuk
menyambar pit itu. Tetapi dia terhuyung-huyung sampai setombak jauhnya akibat hebatnya tenaga luncur
Keng-hun-pit. Keempat dayang baju biru, bagaikan kupu-kupu serentak berhamburan menyerang. Baru algojo baju hitam
itu berdiri tegak, ia sudah dikurung oleh keempat dayang dan diserang.
Melihat itu Leng Tiong-siang menggembor dan menghantam keempat dayang itu. Kala ini ia gunakan
tenaga penuh untuk menghantam sehingga sampai mengeluarkan deru angin yang keras.
Tetapi ketika angin pukulan tiba, keempat dayang itu serempak melambung ke udara sampai dua tombak
tingginya. Bagaikan dua pasang kupu-kupu berterbangan meluncur dari udara, mereka meluncur turun dan
menyerang algojo baju hitam lagi.
Sudah tentu algojo baju hitam itu amat kaget. Cepat ia mainkan golok gergajinya untuk melindungi diri
seraya menyurut mundur sampai setombak jauhnya.
Sekonyong konyong Jin Kian Pah-cu meluncur ke belakang algojo baju hitam itu lalu menghantam
punggungnya. Tindakan Jin Kian Pah-cu itu mengejutkan orang. Mereka tak menyangka bahwa seorang tokoh, setingkat
kedudukannya seperti Jin Kian Pah-cu, ternyata mau menyerang dari belakang pada seorang anak buah
barisan dari Ban-jin-kiong.
Tetapi peristiwa yang tak terduga-duga telah terjadi. Algojo baju hitam yang mengenakan kerudung muka
hitam itu menggembor keras. Tangan kiri memainkan golok ke arah keempat dayang. Tangan kanan tibatiba mengarahkan Keng-hun-pit pada Jin Kian Pah-cu yang menyerang dari belakang. Kemudian masih
menyusuli dengan tendangan berantai.
Terdengar jerit melengking tajam dan lambung Jin Kian Pah-cu pun termakan sebuah tendangan sehingga
tersurut mundur sampai tiga langkah.
Jin Kian Pah-cu tercengang kejut seolah-olah tak percaya apa yang dialaminya saat itu.
Siau Lo-seng pun terkejut. Ia tak menyangka bahwa dalam barisan algojo Ban-jin-kiong yang terdiri dari
empatpuluh tujuh orang itu ternyata masih terdapat seorang jago yang berkepandaian sedemikian
hebatnya. Sejenak memandang orang baju hitam itu, meluaplah hawa pembunuhan pada dahi Jin Kian Pah-cu. Ia
tertawa mengikik. "Sungguh tak kira. Kalau parit hampir dapat menterbalikkan perahu. Hampir saja aku kena engkau kelabuhi.
Setengah hari berada di sini, kiranya baru kuketahui kalau cu-jin (ketua) bersembunyi di dalam barisan
Algojo. Sungguh pintar sekali?""
Tiba-tiba algojo baju dan berkerudung muka hitam itu menengadahkan kepala tertawa panjang. Tiba-tiba ia
mencabut kain kerudung muka dan segera tampaklah sebuah wajah yang berlainan. Rambutnya mirip
seperti seorang imam tetapi wajahnya masih tetap tertutup oleh sebuah kain sutera hitam.
Melihat orang itu serentak Siau Lo-seng pun berseru: "Ketua Ban-jin-kiong, Ban Jin-hoan."
"Ayah?"" serentak Li Giok-hou pun berteriak kaget. Dia sendiri juga tak pernah menyangka bahwa ketua
Ban-jin-kiong itu akan menyelundup ke dalam barisan Algojo baju hitam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bagai seorang anak yang menderita dilukai orang, serta merta Li Giok-hou lari menghampiri ketua Ban-jinkiong itu.
"Plak, plak?"!"
Bukan tegur sapa yang mesra tetapi dua buah tamparan ke pipi yang diperoleh Li Giok-hou dari ketua Banjin-kiong itu. Karena tak menyangka, pipi Giok-hou pun begap dan mengucurkan darah.
Tamparan itu aneh sekali. Tiada seorangpun yang tahu cara ketua Ban-jin-kiong menampar. Yang diketahui
orang hanya dia gerakkan tangan dan tahu-tahu Giok-hou sudah begap pipinya.
"Ayah?"," Giok-hou menjerit.
Ketua Ban-jin-kiong tak menghiraukan. Ia mengangkat tangan dan menampar lagi.
Tamparan itu memang aneh Giok-hou tahu tangan ayahnya melayang tetapi dia tak berani menghindar.
Dan andaikata ia berani pun tak mungkin dapat menghindar. Seketika ia rasakan kepalanya pening dan
darah menyembur dari mulutnya.
Dua buah tamparan yang belakangan itu, rupanya lebih berat dari yang tadi. Telinga Giok-hou sampai
tergiang-ngiang dan tubuhnya menggigil keras.
"Hou-ji, tahukah engkau kesalahanmu?" tegur ketua Ban-jin-kiong.
Wajah Giok-hou berobah. "Bluk," seketika ia jatuhkan diri dan berseru dengan nada gemetar: "Ya, aku
merasa bersalah, mohon dihukum."
Tiba-tiba Jin Kian Pah-cu tertawa mengekeh, "Ban Jin-hoan, kalau mau mengurus urusan rumah tangga,
silahkan pulang dulu, hi, hi?""
Wanita itu berseru pula, "Ban Jin-hoan, sekarang aku hendak membuat perhitungan dengan engkau.
Beberapa hari yang lalu engkau telah menyelundup masuk ke dalam Lembah Kumandang dan membunuh
tujuhbelas anak buahku. Sebenarnya hendak kuberi tanda mata kepada anakmu yang manis itu supaya
melapor kepadamu. Tetapi tak kira engkau sudah datang sendiri."
Tampak ketua Ban-jin-kiong berputar diri dan berkata tenang,
"Aku, Ban Jin-hoan, selalu menarik garis antara budi dan dendam. Setiap budi tentu kubalas, setiap dendam
kuhimpaskan. Karena aku sudah tiba kemari, tentu akan menyelesaikan urusan ini dengan engkau. Tetapi
harap tunggu setelah kubereskan beberapa persoalan."
Dia kebutkan lengan baju dan berseru kepada Li Giok-hou: "Hou-ji mengapa tak lekas bangun?"
Dengan beringsut-ingsut Giok-hou bangun lalu berkata dengan gemetar: "Terima kasih atas budi ayah yang
telah memberi keringanan hukuman atas kesalahanku mencemarkan nama ayah."
Siau Lo-seng terkejut, pikirnya "Huh, mengapa karena kepandaiannya kalah dengan orang dia dianggap
mencemar nama baik Ban Jin-hoan" Lucu benar?""
Saat itu cuaca sudah gelap. Suasana di gelangang pun sunyi senyap. Tiada seorangpun yang berani buka
suara. Juga tiada yang berani bergerak.
Sapasang mata Ban Jin-hoan berkilat-kilat memandang ke sekeliling penjuru, ke setiap orang yang berada
di tempat itu. Seolah-olah hendak membaca hati setiap orang.
Terakhir ia mencurahkan pandang matanya ke arah Leng Tiong-siang.
"Leng Tiong-siang!" serunya pelahan-lahan. "apakah engkau masih ingat akan janji pada delapanbelas
tahun berselang?" 12.58. Pendeta Sakti, Tay Hui Sin-ni
Sahut Leng Tiong-siang dengan dingin,
"Mengapa tidak?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bagus!" seru Ban Jin-hoan dengan nada sarat, "Sekarang aku hendak bertanya kepadamu. Menurut
perjanjian itu cara bagaimanakah aku akan mengembalikan Keng hun-pit"
"Setelah delapanbelas tahun, akan minta kepadamu," sahut Leng Tiong-siang,
"Kalau sudah tahu harus minta kembali kepadaku, mengapa engkau menggunakan kekerasan untuk
merebut dari tangan Giok-hou" Apakah engkau hendak menelan janjimu lagi?"
Pertanyaan itu membuat Leng Tiong-siang tak dapat menjawab. Beberapa saat kemudian baru tiba-tiba ia
berteriak marah: "Ngaco belo! Sekarang sudah delapanbelas tahun lewat beberapa bulan. Mengapa aku tak
boleh mengambil kembali milikku?"
Mendengar pembicaraan itu, seketika timbul kesan dalam hati Siau Lo-seng. Makin jelas bahwa Leng
Tiong-siang yang berada di tempat itu seorang Leng Tiong-siang palsu.
Buktinya, mengapa Leng Tiong-siang tersebut tak mau terang-terangan meminta pusakanya kepada ketua
Ban-jin-kiong" Bukankah sudah beberapa kali dia bertemu dengan ketua Ban-jin-kiong itu. Mengapa begitu
melihat Keng-hun-pit berada di tangan Giok-hou. Leng Tiong-siang itu terus berkeras hendak merebutnya"
Tengah Siau Lo-seng, terbenam dalam penilaian-penilaian mengenai diri Leng Tiong-siang itu sekonyongkonyong dari arah belakang terdengar seseorang berseru dengan nada yang lembut:
"Ban Jin-hoan, apabila Leng Tiong-siang dapat merebut Keng-hun-pit, yang salah adalah orang sendiri
mengapa tak mau menjaganya. Mengapa engkau mengatakan Leng Tiong-siang melanggar janji?"
Suara itu datangnya sangat tiba-tiba sehingga mengejutkan sekalian orang dan cepat-cepat mereka
berpaling ke arah suara itu.
"Tay Hui Sin-ni?"" serempak berteriaklah Leng Tiong-siang dan Ban Jin-hoan demi melihat pendatang itu.
Ketika Siau Lo-seng berpaling, diapun terkejut. Cu-ing yang menderita luka dan ditidurkan di atas rumput
tadi, entah kapan, tahu-tahu saat itu sudah duduk bersila menyalurkan pernapasan.
Dan di belakang dara itu tegak berdiri seorang rahib tua yang berwajah ramah. Rahib tua itu bukan lain
yalah Tay Hui Sin-ni, suhu dari Cu-ing.
Bahwa Tay Hui Sin-ni muncul tanpa diketahui sama sekali telah mengejutkan sekalian tokoh yang hadir di
tempat itu. Jelas rahib tua itu telah mencapai kesempurnaan dalam ilmu gin-kang
Kejut ketua Ban-jin-kiong tak terkira. Namun ia cepat menutupi rasa resah hatinya dengan tertawa meloroh.
"Pertemuan hari ini benar-benar menggembirakan sekali. Karena tak kuduga akan bertemu kembali dengan
para sahabat lama dari empatpuluh tahun yang lalu. Karena Tay Hui Sin-ni mengatakan begitu, akupun tak


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

boleh tidak akan menurut saja untuk mengembalikan pusaka itu kepada Leng-heng."
"Memang sepantasnya begitu," Jin Kian Pah-cu tertawa.
Ban Jin-hoan mengangkat Keng-hun-pit tinggi-tinggi ke atas kepala dan berseru:
"Saat ini aku Ban Jin-hoan hendak melaksanakan perjanjian pada delapanbelas tahun yang lalu dengan ini
hendak mengembalikan benda pusaka kepada pemiliknya?""
Tiba-tiba Siau Lo-seng loncat ke muka dan berseru: "Tidak, jangan mengembalikan pusaka itu kepadanya.
Dia tak layak memiliki Keng-hun-pit!"
Saat itu Leng Tiong-siang sudah tampil ke muka hendak menyambut Keng-hun-pit. Sudah tentu dia marah
sekali karena Siau Lo-seng merintangi.
"Hai, budak semacam engkau berani mencampuri urusan ini" Keng-hun-pit adalah milikku mengapa engkau
berani mengatakan aku tak layak menerimanya?"
Siau Lo-seng mendengus dingin:
"Engkau sendiri tentu dapat mengetahui, apakah engkau layak menerima pusaka itu?"
Marah Leng Tiong-siang bukan kepalang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hm, budak liar, rupanya engkau telah makan hati macan sehingga berani mengurus aku. Apabila engkau
tak dapat memberi keterangan yang benar, terpaksa aku akan melanggar pantangan membunuh untuk
menghancurkan tubuhmu."
Siau Lo-seng menengadahkan kepala tertawa keras. Kemudian berseru dingin:
"Apakah engkau masih mempunyai muka untuk mengatakan bahwa engkau ini Leng Tiong-siang yang
sesungguhnya" Sungguh tak punya malu! Apakah engkau kira penyamaranmu tiada orang yang tahu?"
Kata-kata Siau Lo-seng itu telah menimbulkan kegemparan besar di kalangan tokoh-tokoh yang hadir di
tempat itu. Sekalian orang sama, mencurah pandang ke arah Leng Tiong-siang. Tetapi anehnya, ketua Banjin-kiong tetap tenang-tenang saja.
Tampak Leng Tiong-siang tertegun. Cahaya wajahnya berobah. Sebentar merah sebentar pucat.
Melihat perobahan warna muka makin teballah kecurigaan Siau Lo-seng bahwa dia itu memang Leng
Tiong-siang palsu. "Bagaimana, bukankah engkau sudah tak menyangkal lagi?" serunya gembira.
Berpuluh mata yang mencurah ke arah Leng Tiong-siang itu, penuh dengan keheranan, kaget dan
bermacam-macam penilaian kepada orang itu.
Sesungguhnya Leng Tiong-siang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Tetapi ia menyadari bahwa
perhatian sekalian tokoh tengah tertumpah kepada dirinya. Maka cepat-cepat ia membersihkan wajah dan
bersikap dingin lagi, "Jika engkau menuduh aku bukan Leng Tiong-siang, jelas engkau menghamburkan fitnah beracun. Kalau
engkau tak dapat mengemukakan bukti-bukti tuduhanmu, aku tentu akan mencabut nyawamu!" serunya
dalam nada sedingin es. Kini mata sekalian orang beralih memandang ke arah Siau Lo-seng.
Tenang-tenang Siau Lo-seng berseru: "Apakah engkau hendak mendesak supaya aku membuka
rahasiamu?"" "Budak, katakanlah rahasiaku itu," teriak Leng Tiong-siang malah.
Siau Lo-seng tertawa dingin. Saat itu ia hendak mengatakan tentang keterangan dari orang tua peniup
seruling tetapi pada lain kilas ia teringat bahwa dengan berbuat begitu berarti ia memberitahu kepada
sekalian orang tentang rahasia orang tua peniup seruling itu. Ah?"
"Baiklah sekatang engkau boleh memberi keterangan. Bagaimana engkau dapat membuktikan kalau
engkau ini Leng Tiong-siang yang sesungguhnya," cepat Siau Lo-Seng beralih dengan pertanyaan.
"Aku tetap aku!" seru Leng Tiong-siang murka, "Dewi Mega Ui Siu-bwe, Ban Jin-hoan dan Tay Hui Sin-ni
adalah kawan-kawan lama pada empatpuluh tahun yang lampau. Mereka dapat membuktikan bahwa aku ini
Leng Tiong-siang. Pada masa aku mengangkat nama di dunia persilatan empatpuluh tahun yang lalu,
engkau masih belum keluar dari rahim ibumu. Mengapa engkau berani mengoceh tak keruan, huh, budak
hina, engkau harus dilenyapkan?"!"
Leng Tiong-siang menutup kata-katanya dengan dorongkan kedua tangannya menghantam. Karena marah,
dia sudah menggunakan tenaga sepenuhnya untuk menyerang. Dapat dibayangkan betapa kedahsyatan
dari pukulannya itu. Siau Lo-seng memang diam-diam sudah berjaga-jaga sudah menduga Leng Tiong-siang tentu akan marah
dan menyerangnya. Maka begitu Leng Tiong-siang bergerak, iapun menyerempaki memutar pedang Ular Emas untuk
melindungi diri lalu ayunkan tangan kiri untuk menghantam.
"Bum?"" Terdengar letupan keras. Tubuh Siau Lo-seng bersama pedangnya mencelat sampai dua tombak tingginya.
Dia berjumpalitan di udara dan melayang turun ke bumi dengan gerak yang indah sekali.
"Bagus?"!" serempak terdengar seruan memuji dari orang-orang yang berada di gelanggang itu.
Siau Lo-seng tegak berdiri dengan wajah tenang dan tenang-tenang pula ia berseru:
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bukankah tindakanmu itu membuktikan bahwa karena rahasiamu terbongkar engkau lalu marah?"
Gemetar sekujur tubuh Leng Tiong-siang karena menahan kemarahannya. Namun dengan nada dingin ia
berseru pula: "Tutup mulutmu, budak! Aku sudah menunjuk tiga orang sebagai saksi. Apabila engkau masih tak bisa
mengunjukkan bukti, saat ini juga engkau tentu kubunuh!"
Masih Siau Lo-seng tertawa dingin.
"Wajahmu engkau tutupi dengan sebuah kedok muka Leng Tiong-siang dan engkaupun dapat menirukan
sikap dan tingkah lakunya dengan bagus sekali. Siapakah yang tepat mengatakan engkau ini palsu atau
tulen?" "Mereka dapat mengenali nada suaraku ini tulen atau palsu!" teriak Leng Tiong-siang.
"Sudah berselang empatpuluh tahun dan pula jarang bertemu muka. Sudah tentu sukar untuk mengenali
nada suara orang. Bagaimana bisa disuruh membedakan yang palsu dari yang aseli?"
Tiba-tiba Leng Tiong-siang menengadahkan muka dan tertawa panjang, sampai tubuhnya bergetar-getar.
Selekas berhenti tertawa, dia terus berseru dengan bengis:
"Dengan Tay Hui Sin-ni, Ban Jin-hoan dan Dewi Mega Ui Siu-bwe, bukan empatpuluh tahun lalu aku tak
ketemu. Yang terakhir aku bertemu mereka pada delapanbelas tahun yang lalu. Sudah tentu mereka masih
iugat pada diriku. Sekarang aku hendak mempersilahkan mereka untuk mengenali diriku."
Siau Lo-seng anggap saran itu memang benar. Dia setuju dan mempersilahkan ketiga tokoh itu untuk
memeriksa. Maka pandang mata sekalian orang kini beralih pada ketiga tokoh besar itu.
Pertama-tama adalah ketua Ban-jin-kiong yang membuka suara.
"Walaupun hanya berpisah delapanbelas tahun, tetapi perobahan-perobahan memang banyak terjadi.
Misalnya, yang kecil akan bertambah dewasa. Terus terang aku memang tak dapat mengenali dengan
tepat." Sehabis ketua Ban-jin-kiong menyatakan pendapat maka kini mata sekalian orang memandang ke arah Jin
Kian Pah-cu. "Walaupun selama delapanbelas tahun terjadi banyak perobahan, tetapi dia tetap Leng Tiong-siang, salah
seorang dari Empat tokoh aneh yang termasyhur pada empatpuluh tahun berselang."
Mendengar itu berseri gembiralah wajah Leng Tiong-siang. K.emudian dia berpaling ke arah Tay Hui Sin-ni.
Saat itu Cu-ing sudah berdiri dan sandarkan kepala ke bahu Tay Hui Sin-ni. Mata dara itu memandang Siau
Lo-seng dengan mesra lalu memandang wajah suhunya.
Keterangan dari rahib itu merupakan keputusan yang penting. Karena dari tiga tokoh, yang satu yakni ketua
Ban-jin-kiong meragukan tetapi yang seorang yakni Jin Kian Pah-cu membenarkan keaselian Leng Tiongsiang.
Suasana hening lelap menanti keputusan dari mulut Tay Hui Sin-ni.
Sejenak rahib itu sapukan pandang mata ke arah sekalian orang lalu pelahan-lahan membuka mulut dan
berkata dengan serius: "Kurasa dia memang benar Leng Tiong-siang?""
Mendengar itu longgarlah kesesakan dada sekalian orang. Demikian Leng Tiong-siang. Wajahnya berseriseri dan berpaling memandang Siau Lo-seng.
Tampak Siau Lo-seng seperti orang yang berdiri di atas bara. Ia menyeringai menghadapi pandang mata
sekalian orang. "Bagaimana, apakah engkau masih membela diri lagi?" tegur Leng Tiong-siang
dunia-kangouw.blogspot.com
Keadaan Siau Lo-seng benar-benar bagai seorang pesakitan yang menghadapi para hakim. Mendengar
tegur Leng Tiong-siang yang bernada mengejek itu, marahlah dia.
"Keterangan orang banyak, belum tentu pasti benar. Mungkin mereka kurang cermat sehingga tak dapat
meneliti jelas dirimu," serunya.
Mendengar itu Leng Tiong-siang hendak marah tetapi tiba-tiba ketua Ban-jin-kiong berseru.
"Leng Tiong-siang, mengapa tak engkau unjukkan barang sebuah dua buah ilmu kepandaianmu yang
istimewa untuk membuktikan dirimu itu aseli?"
Ucapan itu telah menyadarkan sekalian tokoh dari kelupaannya. Dan Leng Tiong-siang pun segera tertawa
dingin, serunya: "Ya, ya, mengapa aku lupa hal itu. Sekarang akan kupersilahkan engkau menikmati sebuah ilmu pukulan
Peng-thian-jo-kut-ciang (pukulan dingin) untuk membuktikan diriku ini Leng Tiong-siang atau bukan."
Kata-kata itu penuh mengandung luap kemarahan dan dendam pembunuhan. Dengan langkah sarat, ia
maju menghampiri Siau Lo-seng.
Saat itu pikiran Siau Lo-seng kacau balau. Setitikpun ia tak mengira bahwa Tay Hui Sin-ni yang
dianggapnya seorang rahib suci yang menjunjung keadilan, ternyata mengakui bahwa orang yang berada di
tempat itu memang benar Leng Tiong-siang yang aseli.
"Adakah pengamatan orang tua peniup seruling itu salah?" pikirnya. "Ah, tidak," ia membantah pikirannya
sendiri. Bukan karena ia percaya secara membabi buta kepada orang tua peniup seruling itu. Tetapi
memang kecerdasan otaknya juga mempunyai penilaian begitu. Dan ia yakin akan penilaiannya itu.
Adalah karena terbenam dalam renungan, ia sampai lupa akan keadaan dirinya dan suasana tempat itu.
Melihat itu Cu-ing gugup dan terus memeluk suhunya seraya berseru: "Siau koko?""
Jeritan dara itu telah menyadarkan lamunan Siau Lo-seng. Begitu pula, saat itu ia telah memperoleh
keputusan yang pasti. Dia tetap yakin bahwa Leng Tiong-siang yang berada di hadapannya itu adalah
palsu. Cepat ia kerahkan tenaga dalam ke seluruh tubuh lalu mengambil sikap. Tegak sekokoh batu karang sambil
siapkan pedang Ular Emas.
"Baik, aku akan menyambut pukulan Peng-thian-joh-kut-ciang," serunya.
Tay Hui Sin-ni yang bermata tajam sudah tentu mengetahui juga ulah tingkah muridnya itu. Ia tahu bahwa
muridnya itu telah menaruh hati pada Siau Lo-seng, pemuda yang tampak bersikap angkuh dan yakin itu.
Dan sebagai suhu, ia kenal baik akan perangai Cu-ing. Demikian pula, dalam kedudukan sebagai seorang
guru pula, iapun wajib memikirkan kepentingan muridnya.
Tay Hui Sin-ni cukup tahu betapa kesaktian pukulan Peng-thian-jo-kut-ciang dari Leng Tiong-siang itu.
Dengan pukulan itu pada empatpuluh tahun yang lalu, Leng Tiong-siang telah mengangkat nama dan
disanjung sebagai salah seorang Empat Serangkai tokoh sakti dalam dunia persilatan.
Sekali terkena pukulan sakti itu, jalan darah di seluruh tubuh orang akan membeku dan tubuh menjadi
sedingin es. Tetapi tulang terasa panas seperti dibakar. Dalam keadaan tulang terbakar tetapi daging
membeku dingin, orang tentu akan mengalami derita siksaan yang paling mengerikan. Itulah sebabnya
maka pukulan tersebut dinamakan Peng-thian-joh-kut-ciang atau pukulan Dingin yang membakar tulang.
Leng Tiong-siang jarang menggunakan pukulan maut itu. Selama hidup, ia baru menggunakan dua kali.
Sebagai seekor anak kambing yang tak takut pada harimau, demikianlah keadaan Siau Lo-seng pada saat
menghadapi Leng Tiong-siang. Namun betapapun tinggi kepandaian anak muda itu tetap dia sukar untuk
menghadapi ilmu pukulan istimewa yang telah diyakinkan selama berpuluh tahun.
12.59. Pembuktian Kakek Berwajah Dingin
Melihat Cu-ing gelisah, Tay Hui Sin-ni tak sampai hati. Pada saat Siau Lo-seng hendak menghadapi bahaya
maut, cepat rahib itu loncat ke tengah mereka dan berseru:
dunia-kangouw.blogspot.com
"Omitohud! Salah dan benar, tulen dan aseli, hanya selintas angan-angan belaka. Keng-hun-pit memang
sebuah benda pusaka yang jarang terdapat di dunia, tetapi benda itu dapat dikata merupakan sebuah
benda yang tidak membawa kebahagiaan. Duaratus tahun yang lalu benda itu telah menimbulkan
pertumpahan darah besar. Dan sejak empatpuluh tahun yang lalu telah dimiliki oleh Leng Tiong-siang.
Tetapi seratus tahun kemudian, siapakah yang tahu benda itu akan jatuh di tangan siapa" Demi benda itu
Leng Tiong-siang pun telah melakukan pembunuhan-pembunuhan berdarah. Adakah tak menyadari akan
kodrat Kebenaran Manusia Hidup?"
Berhenti sejenak, rahib itu melanjutkan pula:
"Sang Buddha bersabda: pohon Bodi itu sesungguhnya bukan pohon. Cermin itu tiada bayangan dan Asal
itu sebenarnya Hampa. Mengapa harus melumurkan diri dengan debu kekotoran"
"Siau sauhiap tiada mengandung rasa hendak memiliki dan Leng Tiong-siang pun telah menunggu dengan
sabar sampai empatpuluh tahun. Mengapa harus menghilangkan kesabaran itu dan hendak berebut?"
Ucapan rahib yang mengandung falsafah hidup yang baik itu membuat Siau Lo-seng kagum dan
mengindahkan. Tetapi dalam pada itu iapun tahu bahwa rahib itu telah salah menilai bahwa ia hendak
menginginkan Keng-hun-pit sehingga menimbulkan perebutan dengan Leng Tiong-siang.
Siau Lo-seng hendak memberi penjelasan tetapi Leng Tiong-siang telah mendahului.
"Ucapan Sin-ni penuh mengandung nasehat yang baik sehingga orang tersadar dan mendapat penerangan
hidup. Aku bukan seorang manusia yang liar. Hanya karena sikap budak itu keliwat batas dan keliwat
mendesak orang maka aku sampai lupa diri. Kalau tidak masakan seorang tua semacam diriku mau
meladeni seorang budak yang tak ternama semacam dia?"
Mendengar kata-kata Leng Tiong-siang itu. Siau Lo-seng hendak membantah tetapi Tay Hui Sin-ni
mencegahnya dengan kedipan mata.
Berkatalah pula rahib itu,
"Setiap jengkal tanah setiap orang tentu menginginkan. Leng sicu memang pandai dan cerdas sehingga
dalam waktu sekejap dapat menilai sesuatu yang menguntungkan. Tetapi seratus tahun hidup manusia itu,
dalam sekejap tentu sudah lewat. Hanya sekejap mata, selintas angan-angan. Demikian sabda sang
Buddha. Kiranya Leng sicu tentu menyadari hal itu pula."
Tay Hui Sin-ni berhenti sekejap memandang Siau Lo-seng lalu melanjutkan lagi,
"Tetapi mencari kebenaran memang sudah menjadi kodrat manusia. Maksud Siau sauhiap mendesak Leng
sicu untuk membuktikan keaselian diri sicu itu, tak lain maksudnya untuk menjaga agar pusaka itu tak jatuh
di tangan orang yang tak baik. Dalam hal itu, Leng sicu tak perlu harus mengunjukkan bukti pukulan yang
dapat membahayakan jiwa orang. Cukuplah apabila Leng sicu mengunjukkan pedang yang termasyhur
pada empatpuluh tahun yang lalu yakni Leng-hong-kiam."
Suasana yang tegang regang penuh bertebaran hawa pembunuban, hanya dengan beberapa patah
perkataan saja dapatlah ditenangkan oleh Tay Hui Sin-ni.
Diam-diam Siau Lo-seng pun mengagumi dan menaruh perindahan tinggi kepada Tay Hui Sin-ni yang
memiliki peribadi dan wibawa kuat. Memang dengan cara penyelesaian itu, dapatlah persoalan dapat
diselesaikan tanpa membawa korban jiwa manusia.
Di luar dugaan, penyelesaian sederhana sekali seperti yang diajukan Tay Hui Sin-ni itu telah menimbulkan
reaksi besar pada Leng Tiong-siang.
Seketika wajah Leng Tiong-siang menyeringai dan sepasang matanya memancarkan kilat dendam
kemarahan dan bara permusuhan yang membuat tubuhnya sampai menggigil?".
Beberapa saat kemudian baru dia tampak tenang kembali dan berseru dengan dingin:
"Pedang Leng-hong-kiam itu telah hilang empatpuluh tahun yang lalu. Maaf, aku tak dapat melakukan
permintaan Sin-ni." Tiba-tiba Tay Hui Sin-ni menghela napas.
"Peristiwa hilangnya pedang Leng-hong-kiam itu tiada seorang kaum persilatan yang tahu. Demi
menyelesaikan persoalan hari ini, harap Leng sicu suka menuturkan tentang peristiwa itu, dimana tempat
hilangnya dan jatuh ke tangan siapa."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hanya sedikit yang dapat kuterangkan," kata Leng Tiong-siang, "pada waktu aku mengunjungi pertemuan
besar di gunung Thian-san, pedang itu telah direbut orang. Berpuluh-puluh tahun aku menyiksa diri
menyakinkan ilmu kepandaian adalah demi hendak mencari balas kepada orang itu."
Keterangan itu telah menimbulkan kegemparan hati sekalian orang. Jika pedang seorang tokoh sesakti
Leng Tiong-siang sampai dapat direbut orang, orang itu tentu seorang tokoh silat yang luar biasa saktinya.
Siapakah gerangan orang itu"
Tiba-tiba Tay Hui Sin-ni membungkukkan tubuh meminta maaf: "Maafkan kalau aku sampai membangkitkan
peristiwa lampau yang menyakitkan hati sicu. Kalau sicu tak mau mengatakan nama orang itu, baiklah,
akupun takkan memaksa. Dan aku dapat menjamin bahwa Leng sicu ini memang?""
"Keterangan dengan mulut, tidak dapat dipercaya penuh. Kaum durjana dalam dunia persilatan,
mengadakan cara apa saja untuk melakukan kejahatan. Keterangan lisan tanpa bukti, bukan suatu jaminan
kalau ucapannya itu benar," tiba-tiba Siau Lo-seng berseru menukas.
Marahlah Leng Tiong siang seketika.
"Kukatakan, aku ini kakek moyangmu tiga angkatan yang terdahulu, bagaimana, apa engkau tidak puas?"
serunya. "Itu hanya suatu penyelimutan untuk menghindarkan diri dari keadaan yang sebenarnya!" teriak Siau Loseng.
Cu-ing terkejut dan menjerit: "Siau toako, apakah engkau gila?""
Karena marahnya, Leng Tiong-siang sampai berbuih mulutnya.
"Budak, hari ini engkau harus mati!" teriaknya.
Tetapi Siau Lo-seng yang kukuh bahwa Leng Tiong-siang itu palsu, segera berseru lan-tang:
"Kalau engkau memang mempunyai kepandaian, tak apalah, biar aku mati sampai beberapa kali."
Melihat keadaan sudah tak dapat diredakan diam-diam Cu-ing mengerahkan tenaga dalam. Apabila Siau
Lo-seng terancam, ia tentu akan mengadu jiwa dengan orang tua itu.
"Siau sauhiap, jangan bertindak sekehendakmu sendiri?"," cepat Tay Hui Sin-ni berseru mencegah.
Saat itu Leng Tiong-siang sudah mempersiapkan pukulannya Peng-thian-joh-kut-ciang. Wajahnya yang
putih tampak putih mayat. Telapak tangan kirinya yang putih pun berobah merah warnanya. Sedangkan
telapak tangan kanannya seperti mengeluarkan asap.
Pada saat Tay Hui Sin-ni berseru tadi, Leng Tiong-siang pun sudah mendorongkan kedua tangannya ke
muka. Tiada suara apa-apa pada gerak pukulan itu,
Siau Lo-seng menggembor keras. Kelima jari tangan kiri agak ditekuk lalu melentik kan ilmu jari Ngo-louhan-sim-ci-keng atau Lima sinar jari pembeku hati. Sedang tangan kanannya memancarkan tenaga dalam
melalui pedang Ular Emas.
Tenaga sakti yang dipancarkan kedua orang itu sama-sama berlawanan sifatnya. Ilmu tangan sakti jari Hansin-ci dan Kam-kong atau pancaran tenaga sakti dari pedang, termasuk tenaga keras.
Sedangkan tenaga pukulan Leng Tiong-siang itu termasuk jenis Im dan Ji, lunak dan halus sehingga sukar
untuk diketahui ukuran kesaktiannya.
Demikian kedua tenaga sakti itupun saling berbentur. Sarentak terdengar letupan yang disusul dengan deru
angin keras. Secepat kilat Leng Tiong-siang menghindar ke samping. Bahu kanannya telah pecah dan menghamburkan
darah. Siau Lo-seng mengerang, bersama pedangnya terlempar sampai dua tombak jauhnya. "Bum"..," dia
terkapar di tanah tak berkutik lagi.
Cu-ing menjerit lalu lari menubruk tubuh pemuda itu. Dirasakannya tubuh Lo-seng amat dingin sekali, napas
lemah dan menggigil. dunia-kangouw.blogspot.com
Peristiwa itu terjadi terlampau cepat sekali sehingga orang tak sempat berbuat apa-apa.
Tiba-tiba Cu-ing melengking: "Aku akan mengadu jiwa dengan engkau?""
Dara itu terus menyerang Leng Tiong-siang dengan pedang.
"Cu-ing, engkau gila, lekas berhenti!" Tay Hui Sin-ni terkejut dan cepat-cepat berteriak. Rahib itu memang
kuatir kalau Leng Tiong-siang sampai marah dan memukul. Cu-ing tentu melayang jiwanya. Maka iapun
terus loncat untuk mencegah.
Tetapi suatu hal yang aneh telah terjadi. Entah karena kehabisan tenaga atau bagaimana, Leng Tiong-siang


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak bergerak walaupun ujung pedang Cu-ing sudah hampir menusuk ke tubuhnya.
Tiba-tiba ia terkejut dan cepat menggeliat untuk menghindari. Tetapi Cu-ing sudah kalap. Ia terus memburu.
Rupanya Leng Tiong-siang tak mau melukai Si nona maka dia hanya menghindar mundur tak mau balas
menyerang. Melihat itu Tay Hui Sin-ni serba sukar. Ia heran mengapa Cu-ing sedemikian nekad hendak membela Siau
Lo-seng. Kalau ia membantu, berarti ia mengerubuti Leng Tiong-siang. Namun kalau diam saja ia kuatir Cuing akan celaka.
Sesaat rahib itu kehilangan paham, tak tahu harus berbuat bagaimana.
"Adik Ing, mundurlah!" sekonyong-konyong terdengar Siau Lo-seng meraung sedahsyat harimau marah.
Mendengar itu Cu-ing gemetar kejut dan hentikan serangannya. Dilihatnya pemuda yang dicintainya itu
sudah berdiri dengan semangat yang perkasa. Hanya wajahnya yang menampil kedukaan dan sesal.
"Siau koko, engkau?" engkau......" Cu ing cepat lari menghampiri dan memegang bahu pemuda itu. "Tak
menderita luka?" Siau Lo-seng gelengkan kepala:
"Jangan kuatir, tak takkan mati. Hanya aku telah kehilangan kepercayaan pada diriku sendiri. Aku telah
menduga salah"..."
Sekalian tokoh-tokoh yang berada di tempat itu memang terkejut dan heran bahwa Siau Lo-seng dapat
berdiri pula tak kurang suatu apa.
Rembulan susut menerangi cakrawala malam. Sunyi senyap di bumi yang remang.
Tiba-tiba ketua Ban-jin-kiong tertawa memecah kesunyian.
"Empatpuluh tahun tak berjumpa, ilmu pukuluan Peng-thian-joh-kut-ciang Leng-heng sudah sedemikian
sempurna. Aku orang she Ban baru terbuka mataku dan makin jelas. Aku harus menepati janjiku pada
delapanbelas tahun yang lalu untuk mengembalikan pusaka Keng-hun-pit kepada Leng-heng?""
Sepintas dengar memang ucapan ketua Ban-jin-kiong itu amat nalar sekali. Tetapi bagi pendengaran Leng
Tiong-siang tak ubah seperti ujung pedang yang menusuk ulu hatinya.
Leng Tiong-siang gemetar menahan kesedihan dan kemarahan.
Saat itu Tay Hui Sin-ni segera mengetahui mengapa Siau Lo-seng dapat bangun lagi tak kurang suatu apa.
"Omitohud," serunya bersama sebuah helaan napas panjang dan dalam.
Leng Tiong-siang cepat kembali pada sikapnya yang dingin pula, serunya:
"Sekarang aku hendak memberi keterangan kepada kalian. Keng-hun-pit dan pedang Leng-hong-kiam itu
karena tipu siasat orang, telah jatuh di tangan orang lain. Walaupun bukan aku sendiri yang menyerahkan
kepada Ban Jin-hoan tetapi hari ini aku harus meminta kembali benda pusaka itu. Karena memang milikku.
Empatpuluh tahun lamanya aku sudah menunggu dan menderita, tiada lain tujuan lagi......"
Berhenti sejenak, sepasang matanya memancar sinar keganasan dan kemarahan.
"Karena itu, peristiwa hari ini bukanlah sebagai tak hendak menagih janji pada delapanbelas tahun yang lalu
dengan orang yang menyaru sebagai diriku. Kali ini kemunculanku ke dunia persilatan, yalah bertujuan
dunia-kangouw.blogspot.com
hendak mencari orang itu dan menyelesaikan hutang piutang pada empatpuluh tahun yang lalu. Tiada
sangkut pautnya dengan urusan delapanbelas tahun yang lalu itu."
Mendengar itu jelaslah kini Siau Lo-seng akan persoalannya. Leng Tiong-siang yang berada di tempat itu
sekarang ini, bukanlah Leng Tiong-siang yang muncul delapanbelas tahun yang lalu.
Lalu siapakah yang menyamar jadi Leng Tiong-siang pada delapanbelas tahun yang lalu itu"
Tiba pada pemikiran itu, Siau Lo-seng lalu menatap pada Leng Tiong-siang lagi.
Ban Jin-hoan tiba-tiba tertawa nyaring:
"Leng-heng sungguh seorang yang penuh kesabaran sehingga kuat menunggu sampai empatpuluh tahun.
Tak peduli bagaimana akibatnya nanti tetapi aku tentu akan mengembalikan Keng-hun-pit itu kepada Lengheng. Dan maafkan atas kesalahanku. Kelak apabila Leng-heng memerlukan tenagaku, aku tentu siap
membantu." Mendengar angsuran persahabatan dari ketua Ban-jin-kiong itu, terharulah Leng Tiong-siang.
"Terima kasih, Ban-heng. Apabila saudara tak menolak, akupun ingin bersahabat dengan saudara Ban."
Sekonyong-konyong Jin Kian Pah-cu tertawa mengikik. Nadanya penuh ejek dan sinis.
"Sejak saat ini dunia tentu akan berkabut mendung. Kalau tidak, masakan seorang ketua Ban-jin-kiong yang
berkecimpung dalam alam kekejaman, keganasan dan tipu muslihat, begitu mudah mengulurkan tangan
persahabatan kepada orang" Mungkin berita-berita dalam dunia persilatan itu benar atau omong kosong.
Tetapi apa yang tampak saat ini, Ban Jin-hoan itu ternyata seorang tokoh yang penuh semangat keluhuran
dan perwira." Ban Jin-hoan tertawa gelak-gelak:
"Memang beraneka ragam cerita-cerita dalam dunia persilatan itu. Orang yang suka, tentu mengatakan
baik. Tetapi yang benci tentu mengatakan jelek. Apapun yang orang mengatakan tentang Ban-jin-kiong,
akupun menerimanya saja. Karena kuanggap nama itu tidak penting. Pendirianku yalah, apa yang
kulakukan tentu takkan mengecewakan hatiku."
"Saudara Ban seorang yang berhati lapang dan terbuka. Sifat seorang kesatria yang aku orang she Leng
merasa kalah," seru Leng Tiong-siang.
Mendengar Leng Tiong-siang masih belum menyadari ucapan Jin Kian Pah-cu, Tay Hui Sin-ni hanya
menghela napas. "Apabila demikian kelapangan hati Ban sicu, silahkan di hadapan orang banyak. Ban sicu menyerahkan
kembali Keng-hun-pit itu kepada Leng Tiong-siang. Kupanjatkan kepada sang Buddha, semoga Leng sicu
mendapat penerangan agar dunia persilatan bebas dari pergolakan dan pertumpahan darah."
Ban Jin-hoan tertawa gelak-gelak:
"Ah, harap Sin-ni jangan terlalu mengandalkan pada doa saja. Siapakah yang dapat menduga bahwa dalam
ketenangan dunia persilatan dewasa ini mengandung bara yang akan mengobarkan pergolakan" Sin-ni
memang seorang rahib yang hidup di luar alam keduniawian, dan hampir mencapai tingkat kedewaan
tentulah dapat mengetahui apa yang akan terjadi. Hukum sebab dan akibat, tentu akan menimbulkan
peristiwa-peristiwa yang panjang?""
Ban Jin-hoan hentikan kata-kata dengan tertawa yang mengandung tenaga pancaran hawa pembunuhan.
Seketika berobahlah cahaya wajah sekalian orang. Leng Tiong-siang, Jin Kian Pah-cu dan Siau Lo-seng
pun ikut tertawa panjang.
Karena beberapa tokoh sakti itu ikut serempak tertawa maka gemparlah tempat itu dengan kumandang
tertawa yang menggemuruh bagai guruh diangkasa.
Tiba-tiba gemuruh tawa itu berhenti.
"Bluk, bluk?""
Beberapa orang telah rubuh ke tanah akibat suara sakti Aum Singa yang berhamburan dari tokoh-tokoh
yang tertawa itu. dunia-kangouw.blogspot.com
"Omitohud!" seru Tay Hui Sin-ni.
Ketua Ban-jin-kiong tertawa menyeringai.
"Berpisah empatpuluh tahun, ternyata kepandaian saudara Leng telah maju pesat dalam mencapai
kesempurnaan. Demikian pula dengan ilmu Ing-hun-kang (Melayangkan jiwa) dari Dewi Mega Ui Siu-bwe,
sungguh menakjubkan sekali. Aku Ban Jin-hoan, sungguh beruntung hari ini dapat menyaksikan?""
Habis berkata pandang mata ketua Ban-jin-kiong itu beralih ke arah Siau Lo-seng. Sekalian mata tokohtokoh yang berada di gelanggang itupun segera tercurah pada pemuda aneh itu. Ingin mereka mengetahui
dengan jelas apakah pemuda itu benar-benar tak kurang suatu apa menerima pukulan Peng-thian-joh-kutciang dari Leng Tiong-siang tadi.
Saat itu Siau Lo-seng tengah duduk bersila pejamkan mata, menyalurkan napas. Dia tak tahu kalau
sekalian tokoh sedang memperhatikan dirinya.
Tampak pemuda itu tenang sekali. Tak mengunjukkan tanda-tanda orang yang menderita luka.
Tiba-tiba ketua Ban-jin-kiong kebutkan lengan baju dan berseru nyaring,
"Saudara Leng, saat ini aku hendak minta Tay Hui Sin-ni menjadi saksi," serunya. "untuk menyerahkan
Keng-hun-pit kepada pemiliknya. Harap saudara Leng suka menerima dan maafkan kesalahanku
menyimpan pusaka itu sampai sekian lama."
Habis berkata ketua Ban-jin-kiong itu dengan kedua tangan dan sikap menghormat, maju menyerahkan
Keng-hun-pit ke hadapan Leng Tiong-siang.
Baik ucapan dan sikap ketua Ban-jin-kiong memang aneh dan lain dari sikap biasanya. Cu-ing heran sekali.
Setelah bersangsi sejenak, Leng Tiong-siang berkata, "Terima kasih sekali atas budi kebaikan saudara
Ban?"" Ia terus ulurkan tangan hendak menerima Keng-hun-pit. Tetapi sekonyong-konyong sebuah tangan yang
halus dengan kecepatan macam kilat, telah mendahului menyambar pusaka itu.
Peristiwa itu mendadak sekali datang dan tak pernah diduga-duga oleh sekalian orang. Karena Ban Jinhoan dan Leng Tiong-siang tak siaga, Keng-hun-pit pun telah direbut orang.
Kedua tokoh terkejut bukan kepalang.
Tanpa melihat lebih dulu siapa orang itu, ketua Ban-jin-kiong terus gerakkan tangan kiri untuk
mencengkeram tangan orang dan serentak tangan kanannya pun segera menampar.
Leng Tiong-siang pun endapkan tubuh lalu gerakkan kedua tangannya. Berturut-turut dia telah lancarkan
tujuh pukulan, enam buah tusukan jari ke arah perampasnya itu.
12.60. Tiga Jurus Jin Kian Pah-cu
Dua tokoh serempak melancarkan serangan, sudah tentu bukan kepalang dahsyatnya. Angin menderu
menghamburkan tenaga yang mampu merobohkan bukit.
Tetapi orang yang merampas Keng-hun-pit itu bagaikan segumpal kapas yang mengikuti damparan tenaga
pukulan dahsyat, melayang sampai lima-enam tombak lalu dengan gerak yang amat indah, bergeliatan
meluncur turun ke bumi. "Im-kian-li?""
"Siang-hoa-liong-li?""
"Pui Siu-li?""
Berbagai nama itu meluncur dari mulut beberapa tokoh yang segera mengenali siapa perampas Keng-hunpit itu.
Tetapi sebelum orang-orang itu sempat melanjutkan kata-katanya lebih lanjut, dengan kecepatan yang luar
biasa. Im-kian-li atau Puteri Neraka sudah lari ke arah barat?""
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketua Ban-jin-kiong dan Leng Tiong-siang berturut-turut enjot tubuh untuk mengejar. Dalam sekejap mata,
tokoh-tokoh itu sudah lenyap ditelan kegelapan.
Suasana sepi pula. Melihat anak buah barisan Algojo yang bergelimpangan di tanah, tanpa banyak bicara, Li Giok-hou diamdiam menyelinap pergi.
Tetapi Dewi Mega Ui Siu-bwe atau yang terkenal dengan gelar Jin Kian Pah-cu segera melayang ke
hadapan Li Giok-hou. "Li Giok-hou apakah begitu saja engkau hendak tinggalkan tempat ini?" tegurnya tertawa.
Berobahlah seketika cahaya muka Giok-hou, serunya: "Lalu apa maksudmu?""
"Ayah yang berdosa, anak yang mewakili," kata Jin Kian Pah-cu, "peristiwa ayahmu membawa jago-jago
Ban-jin-kiong menyelundup ke dalam Lembah Kumandang dan bunga dari tindakanku menyelamatkan
jiwamu tadi, seharusnya engkau memberi imbalan."
Mendengar itu semangat Li Giok-hou serasa terbang. Karena gametar, ia sampai mundur selangkah.
"Huh, engkau?""
Dengan senyum yang menawan Jin Kian Pah-cu maju menghampiri Giok-hou?""
Senyum dari wajah wanita cantik itu mampu menggoyahkan imam seorang paderi. Tetapi dalam pandang
mata Giok-hou saat itu, senyum itu bagai senyum iblis yang menyeramkan. Ia terhuyung-huyung ke
belakang kakinya terasa lunglai.
Tiba-tiba Jin Kian Pah-cu menampar dan terdengarlah jeritan ngeri. Tubuh Giok-hou terlempar jungkir balik
sampai tiga kali. Wajah pemuda itu pucat lesi.
Melihat tangan Jin Kian Pah-cu tak mengenai Giok-hou tetapi anak muda itu sudah jungkir balik sendiri,
bertanyalah Cu-ing kepada Tay Hui Sin-ni:
"Suhu, apakah Li Giok-hou itu terkena pukulan Bu-ing-heng-ciang?"
"Tidak," sahut Tay Hui Sin-ni, "Jin Kian Pah-cu tak melukainya!"
Terdengar Jin Kian Pah-cu berseru:
"Ih, mengapa engkau takut setengah mati" Bukankah ia tadi menyebut dirimu sebagai seorang durjana"
Mengapa sekarang engkau ketakutan begitu rupa" Mengapa engkau tak berani mengadu pukulan dengan
aku" Kalau ayahmu datang, dia tentu akan marah dan memberi hadiah tamparan lagi kepadamu."
Mendengar itu wajah Giok-hou yang pucat tampak berobah merah. Darahnyapun menggelora, nyalinya
bangkit kembali. "Ya, aku hendak mengadu jiwa dengan engkau!"
Habis berkata ia terus maju menerjang.
"Hm, begitu baru layak," Jin Kian Pah-cu tertawa.
Sambil berkata. ia bergeliatan maju menyongsong seraya gerakkan jarinya.
Li Giok-hou rasakan pandang matanya nanar dan tubuhnya seperti dilanda oleh angin dingin, sehingga ia
sampai gemetar. Seranganpun hanya mengenai tempat kosong sehingga tubuhnya menjorok jatuh sampai
empat-lima langkah ke muka.
"Suhu. apakah kali ini Jin Kian Pah-cu tidak melukainya?" tanya Cu-ing pula,
Wajah Tay Hui Sin-ni agak berobah dan menyebut Omitohud dan berseru kepada Jin Kian Pah-cu.
"Delapan tahun berpisah, pukulan Bu-heng-soh-jiu-ciang Ui sicu benar-benar bertambah sempurna.
Walaupun dia memang penuh dosa tetapi bukan dia yang menyalahi Ui sicu Harap Ui sicu suka memberi
kemurahan sedikit!" Jin Kian Pah-cu tertawa, dunia-kangouw.blogspot.com
"Budak itu takkan mati. Kecuali apabila ayahnya tak mau mendengar perintahku. Tetapi sesungguhnya aku
memang ingin membunuhnya untuk melenyapkan seorang manusia bebodoran di dunia persilatan, heh,
heh?"" Habis berkata wanita itu ayunkan tubuh, menjinjing tubuh Ui Hun-ing lalu loncat sampai tiga tombak jaubnya
dan turun di atas tandu. "Berangkat," serunya.
Keempat dayang baju biru segera mengangkat tandu dan terus lari ke arah tenggara.
Tiba-tiba Siau Lo-seng loncat bangun dan lintangkan pedang Ular Emas menghadang tandu dari Jin Kian
Pah-cu. "Ih, mau apa engkau menghadang jalanku" Apakah engkau juga ingin merasakan pukulanku Bu-eng sohjiu-ciang" Kurasa lebih baik engkau beristirahat saja dulu."
Sahut Siau Lo-seng dengan lantang:
"Apanya yang harus ditakuti dengan pukulan Bu-eng-soh-jiu-ciang itu" Kalau mau pergi, tinggalkan gadis
itu." Bermula Jin Kian Pah-cu terkesiap lalu tundukkan kepala memandang Hun-ing yang berada di
pangkuannya. Kemudian tersenyum,
"Ai, sungguh aneh," serunya," sejak kecil Hun-ing ini aku yang membesarkan dan mengajarkan ilmu silat.
Duapuluh tahun lamanya aku merawat dan memeliharanya, mengapa sekarang engkau larang kubawanya
pulang" Siapakah engkau" Mengapa engkau hendak merampasnya?"
Merah wajah Siau Lo-seng mendengar teguran Jin Kian Pah-cu. Tetapi sesaat kemudian ia berseru keras:
"Setelah tinggalkan gadis itu, kupersilahkan engkau pergi. Tetapi kalau tak mau melepaskannya, jangan
harap kalian akan pergi. Nona Hun-ing sudah lepaskan hubungan guru dan murid dengan engkau. Apabila
tak percaya, silahkan engkau tanya kepadanya sendiri."
Jin Kian Pah-cu tertawa keras. Tiba-tiba wajahnya membeku, serunya:
"Hm, kiranya engkaulah yang merayu muridku supaya berhianat. Tidak kuurus soal itu, sudah baik bagimu,
tetapi sekarang engkau malah cari perkara sendiri. Ketahuilah, Hun-ing seorang murid yang berhianat. Dia
akan kubawa pulang ke Lembah Kumandang untuk menerima hukuman perguruan. Apabila engkau
mempunyai kepandaian, boleh saja kalau mau merebutnya"..."
Tanpa menunggu orang selesai bicara, Siau Lo-seng pun sudah menggembor keras dan menyerang
dengan jurus Burung walet menerobos hutan.
Tiba-tiba keempat dayang itu serempak memukul lalu cepat-cepat mengangkat mundur tandu sampai
beberapa langkah. Serangannya gagal, Siau Lo-seng bersuit panjang dan terus memburu. Sambil lancarkan empat serangan
pedang, diapun menyusul juga dengan delapan buah pukulan dan duabelas tendangan.
Sambil meletakkan tandu pada bahu, keempat dayang itu serempak melepaskan pukulan dahsyat ke arah
Siau Lo-seng. Terdengar letupan keras disusul dengan lengking jeritan ngeri. Keempat dayang itu terhuyung-huyung
mundur beberapa langkah sehingga tandu pun hampir jatuh ke tanah.
Dua dari keempat dayang itu jelas telah menderita luka yang tak ringan.
Siau Lo-seng tak mau menyusuli pukulan lagi melainkan loncat mundur. Tegak berdiri siapkan pedang dan
memandang mereka. Tampak sinar mata Jin Kian Pah-cu memancar keheranan. Tiba-tiba ia tertawa:
"Ah, ternyata kepandaianmu lebih tinggi setingkat dari yang kuduga. Rupanya engkau memang mempunyai
kepandaian yang berisi?""
"Engkau mau melepaskan gadis itu atau tidak?" seru Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Jika engkau mampu bertahan pada tiga buah pukulanku, tentu akan kuberikan anak perempuan ini supaya
mengangkat engkau sebagai ibunya. Tetapi kalau engkau tak mampu, engkau harus mengaku kalah dan
jangan merintangi perjalananku lagi."
"Sekalipun sampai tigaratus jurus juga aku sanggup menerima," seru Siau Lo-seng dengan garang.
"Bagus jangan ingkar janji," seru Jin Kian Pah-cu, "hati-hatilah karena setiap saat aku segera akan
menyerang!" Jin Kian Pah-cu maju menghampiri dan tiba-tiba mengangkat tangannya dengan gaya yang aneh. Seketika
sebuah arus tenaga dahsyat melanda dadanya.
Dalam waktu bertukar bicara, diam-diam Lo-seng memang sudah sedia. Begitu wanita itu gerakkan
tangannya secara aneh, ia tertegun. Tetapi di kala ia tertegun itulah dadanya telah terlanda gelombang
tenaga keras. Kejutnya bukan kepalang.
Cepat pedang Ular Emas ditaburkan seraya diiringi dengan empat buah pukulan tangan kiri lalu iapun
menyurut mundur beberapa langkah.
Tampak tubuh Jin Kian Pah-cu bergetar dan tiba-tiba meluncur maju menyambar pergelangan tangan
pemuda itu. Baru kaki tegak di tanah, Jin Kian Pah-cu sudah tiba. Siau Lo-seng benar-benar kaget setengah mati. Cepat
ia mengisar ke samping lalu bergerak maju tetapi tiba-tiba ia menyurut mundur sampai lima-enam langkah.
Gerak tipuan yang aneh itu telah mempedayakan lawan dan loloskan pemuda itu dari ancaman tangan Jin
Kian Pah-cu. Jin Kian Pah-cu tertegun, pikirnya: "Ih, ilmu apakah yang dilakukannya itu" Benar-benar luar biasa sekali
karena mampu lolos dari sambaranku. Anak ini memang hebat kepandaiannya."
"Sudah dua jurus engkau menyerang," seru Siau Lo-seng sembari lintangkan pedang, apakah engkau
melaksanakan janjimu?"
Jin Kian Pah-cu tertawa. "Aku bukan manusia yang suka menjilat ludah lagi. Kedudukan diriku melarang aku membohongi anak
muda semacam engkau."
"Jika begitu, lepaskanlah gadis itu dan berikan kepada Tay Hui Sin-ni locianpwe," seru Lo-seng.
Jin Kian Pah-cu perdengarkan tertawa yang merdu sekali. Dalam tawa itu mengandung tenaga pesona
yang mengikat jiwa orang.
Dan seketika Siau Lo-seng rasakan darahnya bergolak, semangatnya menggelora. Ia terkejut dan cepatcepat tenangkan hatinya lalu salurkan hawa murni untuk bersiap-siap.
Jin Kian Pah-cu hentikan tertawanya dan berseru: "Apakah engkau jakin dapat terhindar dari pukulanku
yang terakhir?" Siau Lo-seng denguskan hidung. "Demi membasmi kejahatan dan menegakkan kebenaran, biar tubuhku
hancur lebur, aku tetap akan menyambut pukulanmu."
Kelantangan Siau Lo-seng mengucap kata-kata itu telah mengetuk hati sekalian orang. Terutama Tay Hui
Sin-ni, diam-diam ia memuji anak muda itu.
"Penuh daya tarik dan memikat, tak heran kalau beberapa muridku telah terpesona kepadamu," Jin Kian
Pah-cu tertawa dingin. "Apa katamu?" teriak Siau Lo-seng.
"Sudahlah, jangan banyak bicara, segera engkau bersiap untuk menyambut pukulanku yang ketiga ini!"


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengus Jin Kian Pah-cu. "Silahkan!" Jin Kian Pah-cu mendengus pula.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hm, budak, rupanya engkau sudah bosan hidup karena mempersilahkan aku menyerang dulu. Pada hal
engkaulah yang harus menyerang dulu. Hanya ingat, kali ini aku takkan memberi ampun lagi. Engkau harus
tanggung segala akibatnya sendiri.
Walaupun tahu bahwa jurus yang ketiga dari Jin Kian Pah-cu itu tentu luar biasa ganas dan hebatnya, dan
kemungkinan ia tak sanggup bertahan. Namun karena orang terlalu memandang rendah kepadanya,
marahlah Siau Lo-seng. "Silahkan engkau menumpahkan seluruh kepandaianmu," seru pemuda itu sambil tertawa dingin.
Dalam pada berkata itu, iapun cepat maju ke muka, tangan kirinya menjulur untuk menutuk tiga buah jalan
darah di dada wanita itu.
"Bagus," seru Jin Kian Pah-cu seraya mengisar ke samping.
Tutukannya luput, Siau Lo-seng segera taburkan pedang dan tangan kirinya pun menyerempaki memukul
beberapa kali. Jin Kian Pah-cu tertawa hina, serunya:
"Aku hendak turun menyerangmu, hati-hatilah!"
Entah bagaimana caranya bergerak. Jin Kian Pah-cu sudah menyurut mundur untuk menghindari pedang
dan pukulan lawan. Kemudian tubuhnya berputar dalam bentuk setengah lingkaran, menggelincir sepanjang
batang pedang dan berada di samping Siau Lo-seng.
Gerakannya aneh, cepatnya bukan alang kepalang. Siau Lo-seng terkejut dan cepat lintangkan pedang ke
muka dada seraya mundur tiga langkah.
Tetapi Jin Kian Pah-cu tetap bergerak-gerak menerobos ke dalam sinar pedang dan secepat kilat jarinya
menyulur ke dada Siau Lo-seng.
Melihat itu Cu-ing menjerit keras lalu loncat menusuk punggung Jin Kian Pah-cu.
Siau Lo-seng terkejut sekali. Serentak ia hantamkan tangan kirinya ke lawan.
"Heh?"" terdengar orang tertahan dan tahu-tahu tubuh pemuda ittu mencelat sampai dua tombak jauhnya.
Pedang Ular Emasnya jatuh ke tanah.
Dalam pada itu Cu-ing pun menjerit nyaring dan terhuyung-huyung sampai tujuh langkah. Pedangnyapun
telah berpindah ke tangan Jin Kian Pah-cu.
Jurus yang dimainkan Jin Kian Pah-cu itu benar-benar luar biasa sekali indahnya. Tiada seorangpun yang
tahu bagaimana cara ia bergerak untuk melemparkan Siau Lo-seng dan merampas pedang Cu-ing.
Tiba-tiba Jin Kian Pah-cu berpaling dan memandang ke arah Siau Lo-seng, menghela napas dan berseru,
"Ombak sungai Tiang-kang, yang belakang tentu mendorong yang di muka. Boleh kuanggap, engkau
adalah seorang tunas muda paling cemerlang yang pernah kujumpahi?" jangan berkeras kepala dan
jangan bicara. Duduklah menyalurkan tenaga murni, mungkin tenagamu akan pulih kembali. Kalau tidak,
ilmu kepandaianmu tentu hilang selama-lamanya?""
13.61. Misteri Pembunuhan di Hay-hong-cung
Habis berkata, Jin Kian Pah-cu melayang ke atas tandu. Gerakannya indah gemulai seperti tak terjadi suatu
apa. Keempat dayang baju birupun segera mengangkat tandu dan lari ke arah tenggara.
"Tunggu?"!" tiba-tiba Siau Lo-seng berseru.
Tetapi habis berseru, mulutnya mengucur darah dan tubuhnya rubuh berguling-guling sampai tiga kali baru
ia paksakan diri untuk berdiri lagi. Tetapi rupanya tak mampu dan jatuh terduduk.
"Engkoh Seng, engkau?"" teriak Cu-ing seraya lari menghampiri tetapi dicegah oleh Tay Hui Sin-ni.
"Jangan menganggunya, biar dia beristirahat," seru rahib itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Saat itu hati Siau Lo-seng terasa hampa. Pikirannya gelisah seperti kehilangan sesuatu?"
Peristiwa mengerikan muncul dalam bayang-bayang pikirannya. Seratus jiwa besar kecil, telah dibasmi di
desa Hay-hong-cung. Dan peristiwa itu terjadi pada suatu malam sunyi delapanbelas tahun berselang.
Ia terbangun mendengar jerit teriakan. Lalu berseru memanggil ayah bundanya dan saudara-saudaranya.
Tetapi betapa keras ia memanggil, mereka tiada yang muncul. Bahkan beberapa bujang perempuan yang
tiap hari mengasuhnya, pun tak kelihatan.
Ketika ia keluar ke pintu, kejutnya bukan kepalang. Seluruh desanya telah menjadi lautan api. Di sana sini
terdengar jerit pekikan yang menyayat hati. Mayat-mayat tumpah tindih memenuhi halaman. Ada yang
hilang kepalanya, hilang kaki tangan, tubuhnya terkutung dua, ususnya berhamburan keluar.
Melihat pemandangan sengeri itu, ia tak mau menangis lagi. Perasaan takut pun lenyap seketika. Ia
mencatat peristiwa itu dalam lubuk hatinya. Suatu peristiwa yang takkan dilupakannya seumur hidup.
Dilihatnya anak buah Hay-hong-chung melawan dengan mati-matian. Tetapi susul menyusul mereka
bergelimpangan dalam kubangan darah.
Di sebelah ujung kebakaran itu, tampak empat orang berkerudung muka tengah mengepung seorang
wanita yang rambutnya terurai lepas dan tubuhnya mandi darah. Hai, wanita itu bukan lain mamahnya
sendiri. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa mamahnya telah dirubuhkan oleh ke empat orang
berkerudung itu. Mamahnya rubuh bergelimpangan dalam kubangan darah?"
Dalam peristiwa pembunuhan besar-besaran itu ia telah dibawa lari oleh seorang wanita yang tubuhnya
penuh luka-luka berdarah, menuju ke sebuah hutan di belakang gunung.
Setelah melintasi hutan lebat dan pegunungan yang berliku-liku, akhirnya ia dibawa ke dalam sebuah guha.
Saat itu ia baru tahu bahwa wanita yang menyelamatkan dirinya itu bukan lain yalah guru wanita Kui Lan
yang biasanya tampak lemah dan tak kuat mengangkat pedang.
Tetapi sebelum guru wanita Kui Lan sempat menceritakan peristiwa yang terjadi, tiba-tiba muncullah
seorang lelaki tua. Lelaki yang dikenalnya baik sehingga saat ia lari menghampiri dengan gembira. Ia
anggap, orang itu tentu akan girang karena ia selamat.
Tetapi alangkah kejutnya ketika melihat betapa mengerikan wajah lelaki itu sehingga ia tertegun.
Pada hal jelas lelaki yang datang itu adalah pamannya sendiri yang bernama Siau Mo. Tetapi saat itu
pamannya tak lagi menampakkan wajahnya yang ramah senyum melainkan berobah menjadi seorang yang
berwajah bengis menakutkan.
Guru wanita Kui Lan terkejut sekali, sehingga gemetar. Segera guru wanita berlutut dan meratap minta
supaya suka membari ampun kepada Siau Lo-seng.
Ngiang suara rintih dan ratapan dari guru wanita itu masih sering mengiang di telinga Siau Lo-seng.
Dilihatnya mulut pamannya itu tertawa menyeringai laIu mengangkat pedang dan pelahan-lahan menusuk
dada guru wanita yang berlutut di hadapannya.
Pada saat guru wanita itu rubuh mandi darah, dalam detik-detik terakhir masih sempat berteriak menyuruh
Siau Lo-seng untuk menuntut balas atas pembunuhan biadab yang terjadi di desa Hay-hong-cung
Tetapi pada lain saat ia telah diangkat oleh pamannya lalu dilemparkan ke bawah jurang yang terjal.......
?"?"?"?"?"?""..
Teringat akan peristiwa itu, berkobarlah api dendam kesumat dalam dada Siau Lo-seng.
"Aku harus menuntut balas?"!" sekonyong-konyong ia menggembor sekuat-kuatnya.
Sudah tentu Cu-ing terkejut, serunya: "Engkoh Seng, engkau kenapa?"?"
Dara itu lepaskan diri dari tangan suhunya lalu memburu ke tempat Siau Lo-seng, lalu memeluk tubuh
pemuda itu. Tetapi cepat Siau Lo-seng menyiak dara itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cu-ing terkejut dan sedih. Airmatanya berlinang-linang.
"Siau toako, engkau?"," seru dara itu tersendat-sendat.
Siau Lo-seng menghela napas rawan lalu membuka mata dan memandang ke arah awan yang berarakarak di langit malam itu.
Ada suatu perasaan yang mencengkam hatinya. Ia merasa kepandaiannya masih dangkal. Tak mungkin
dengan kepandaian yang dimiliki itu ia dapat menegakkan keadilan dalam dunia persilatan. Tak mungkin
pula ia akan menuntut balas atas kematian ayah bundanya.
Demi untuk menuntut balas, berpuluh tahun ia menyiksa diri untuk belajar silat. Tetapi hasilnya ternyata jauh
dari yang diharapkan. Hanya dalam tiga jurus serangan Jin Kian Pah-cu, dia sudah rubuh. Ah?"
Seluruh semangat dan harapannya, dalam sekejap itu sudah hancur berantakan.
Tengah ia tenggelam dalam lamunan duka, tiba-tiba dari belakang terdengar suara seseorang yang
dikenalnya, "Siau Lo-seng, berdirilah!"
Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia melenting bangun. Sambil lintangkan pedang untuk menjaga diri, ia berputar
tubuh. Setombak jauhnya tampak seorang berpakaian dan mengenakan kain kerudung muka warna hitam. Persis
seperti dandanan dari barisan Algojo Ban-jin-kiong.
Empat penjuru sunyi senyap. Yang ada hanya Tay Hui Sin-ni, Cu-ing entah kemana.
"Apakah engkau yang memanggil aku?" seru Siau Lo-seng.
"Benar," sahut orang berkerudung hitam seraya tabaskan goloknya.
Siau Lo-seng terkejut sekali. Tahu-tahu ujung golok sudah hampir mendarat di dadanya. Cepat ia gunakan
jurus Ikan le-hi melenting untuk loncat ke belakang sampai setombak.
Tetapi orang berkerudung hitam itu tetap membayangi. Begitu kaki Lo-seng menginjak tanah, golokpun
sudah menyambarnya lagi. Untung Siau Lo-seng masih dapat menginjakkan ujung kakinya ke tanah melambung ke udara sampai
beberapa meter lalu berjumpalitan menukik ke bawah seraya menabas dengan pedang Ular Emas.
"Tring?"" Terdengar lengking yang nyaring disertai dengan percikan bunga api. Orang berkerudung hitam itu
terhuyung-huyung sampai tujuh-delapan langkah baru dapat berdiri tegak.
Sedang Siau Lo-seng pun terpental sampai dua tombak, jungkir balik meluncur turun ke bumi.
Siau Lo-seng makin rawan hatinya. Berturut-turut ia telah menderita kekalahan dari Kakek wajah dingin
Leng Tiong-siang, Jin Kian Pah-cu dan sekarang dengan seorang anggauta barisan algojo dari Ban-jinkiong.
"Mengapa engkau tak lari" Apakah tunggu sampai kubunuh?" serunya.
Mendengar itu orang berkerudung hitam itupun melenting bangun dan acungkan golok lurus ke muka dada
lalu lancarkan lima buah serangan. Ia menggunakan ilmu permainan pedang dan menjadikan golok sebagai
pedang. Kelima jurus serangan pedang itu cepat dan luar biasa dahsyatnya.
Siau Lo-seng menjerit kaget dan mundur beberapa langkah. Ia tegak terlongong-longong memandang
orang itu. Bukan karena kedahsyatan kelima jurus serangan lawan melainkan ia merasa bahwa ke lima jurus itu sama
dengan pelajaran ilmu pedang yang pernah dipelajarinya dalam sebuah kitab ilmu pedang. Ia heran
mengapa orang itu dapat memainkan sedemikian indah dan sempurna"
Tiba-tiba telinganya terngiang suara yang lembut sekali: "Markas besar Ceng-liong-pang di Lok-yang terjadi
peristiwa, lekas ke sana......."
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng terkesiap. Jelas lawanlah yang menggunakan ilmu Menyusup suara kepadanya.
"Engkau?" siapa.......?" serunya.
Sebagai penyahutan, orang berkerudung itu lancarkan serangan yang dahsyat. Siau Lo-seng terpaksa
harus menghadapi dengan loncat mundur beberapa langkah.
Tiba-tiba telinganya terngiang suara halus tadi: "Pada saat kuserang dengan jurus Ban-li-hui-hong, engkau
harus mundur sampai tiga tombak lagi dari sini."
Habis berkata orang berkerudung hitam itupun menyerang lagi.
Jarak keduanya hanya terpisah beberapa meter. Apabila sebelumnya tidak memberi peringatan atau tak
kenal jurus yang dimainkan, tak mungkin Siau Lo-seng mampu menghindar.
Dengan gunakan jurus Thian-ma-heng-gong atau Kuda sembrani terbang dilangit, Siau Lo-seng melambung
ke udara dan melayang sampai tiga tombak jauhnya.
Tampaknya orang berkerudung itu marah sekali karena serangannya gagal. Dengan menggembor keras ia
mengejar. Baru kaki Siau Lo-seng menginjak tanah, ia sudah merasakan sambaran golok yang melanda hebat.
Terpaksa ia loncat ke belakang lagi.
Setelah berulang kali mundur, diam-diam Siau Lo-seng berpikir: "Saat ini tiada lain orang kecuali Tay Hui
Sin-ni. Jika dia bukan musuh, mengapa dia berlaku sedemikian aneh?"
Pada saat ini hendak menegur, kembali orang itu menggunakan ilmu menyusup suara,
"Saat ini, aku tak dapat menjelaskan kepadamu. Pada saat aku menyerang lagi, gunakanlah tangan kirimu
untuk menyambuti senjata rahasia dan gunakan tangan kananmu untuk menangkis?""
Habis berkata orang bekerudung hitam itu kembali menerjang maju dengan jurus Gelombang laut
mendampar dan tangan kirinya mengayunkan senjata rahasia ke arah dada Siau Lo-seng.
Tetapi karena Siau Lo-seng sudah bersedia maka dia segera berkisar ke samping, tangan kiri menutuk
senjata rahasia lawan lalu pedang Ular Emas di tangan kanannya segera ditaburkan untuk menyongsong
lawan. Terdengar jeritan ngeri dan bahu orang orang berkerudung itu berlumuran darah. Dia membuang tubuh
sampai dua tombak ke belakang dan terhuyung-huyung beberapa langkah.
Sekonyong-konyong orang itu loncat dan lari ke arah tenggara. Seiring dengan itu, empat sosok tubuh atau
kawan dari orang berkerudung itupun segera mengikuti jejaknya. Dalam beberapa kejap, kelima orang
itupun lenyap dalam kegelapan.
Siau Lo-seng tegak terlongong-longong memandang ke arah larinya ke lima orang itu. Dia benar-benar
heran dan tak mengerti. Jelas tubuh orang itu masih terpisah beberapa inci tetapi mengapa tiba-tiba malah
membenturkan diri ke arah pedang Ular Emas sehingga bahunya terluka.
Siapakah gerangan orang itu"
Setitik pun ia tak menduga bahwa di kalangan algojo dari Ban-jin-kiong ternyata masih terdapat tokoh dari
aliran Ceng-pay! Liku-liku dunia persilatan benar-benar aneh sekali dan sukar diduga-duga.
"Dewasa ini kaum durjana malang melintang uujuk gigi. Kemungkinan besar dunia persilatan akan
menderita pertumpahan darah besar," tiba-tiba kedengaran Tay Hui Sin-ni menghela napas rawan.
Siau Lo-seng cepat berpaling.
"Locianpwe hendak memberi petunjuk apa aku bersedia mendengarkan," katanya dengan hormat.
"Siau sauhiap memang hebat sekali," kata Tay Hui Sin-ni, "dapat mematahkan serangan lawan yang lihay.
Ya, memang aku hendak bertanya sebuah hal?""
"Ah, Sin-ni keliwat memuji," Siau Lo-seng tersipu-sipu malu, "kepandaianku masih jauh dari memuaskan.
Apabila cianpwe hendak memberi petunjuk, mohon memberi tahu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, seorang muda yang tak membanggakan diri seperti sauhiap, memang sukar dicari keduanya," kata Tay
Hui Sin-ni pula, "Kepandaian yang sauhiap miliki saat ini walaupun belum dapat menjagoi dunia, tapi sudah
sukar dicari tandingannya. Berapa tahun kemudian, sauhiap tentu akan mencapai kemajuan yang
menakjubkan sehingga tiada yang dapat melawan. Walaupun dunia persilatan akan dilanda oleh banjir
darah tetapi seperti telah digariskan oleh Yang Kuasa, kaum yang jujur tentu akan menang. Dalam hal itu,
tugas berat untuk mengatasi kekacauan itu memang terletak pada bahu tunas-tunas muda seperti sauhiap."
"Walaupun kepandaianku masih dangkal, tapi untuk tugas memberantas kaum durjana itu, tentulah aku
akan membaktikan diri sekuat tenaga. Hanya saja, mohon cianpwe sudi memberi petunjuk kepada kami
anak-anak muda yang masih kurang pengalaman.
"Apabila terdapat pula beberapa pemuda seperti sauhiap ini, dapat dipastikan bahwa kaum durjana dalam
dunia persilatan itu tentu akan dapat terbasmi. Tetapi selama dunia masih berputar, manusia masih terikat
dengan karma Sebab dan Akibat, maka kekacauan dan kekeruhan tentu masih silih berganti muncul. Setiap
orang yang tak kuat imannya dan tak sadar pikirannya, mungkin dapat menjadi seorang momok durjana
yang ganas?"" Tay Hui Sin-ni berhenti sejenak lalu melanjutkan pula.
"Misalnya seperti Dewi Mega Ui Siu-bwe, Ban Jin-hoan dan lain-lain?" empatpuluh tahun yang lalu
mereka merupakan pendekar-pendekar muda yang harum namanya. Tetapi karena tergelincir dalam soal
Asmara, mereka telah menghapuskan keharuman nama mereka dan berobah menjadi momok-momok yang
mengerikan. Hendaknya Siau sauhiap dapat menarik pelajaran dari peristiwa itu. Pasti akan menjadi
kebahagiaan kaum persilatan apabila Siau sauhiap tetap berpijak pada pendirian kesatria yang luhur budi."
"Terima kasih atas nasehat cianpwe," kata Siau Lo-seng. "Akan kuingat dalam hati. Setelah nanti selesai
menuntut balas atas kematian ayah-bunda dan membasmi kaum durjana, aku tentu takkan sembarangan
membunuh jiwa manusia."
Tay Hui Sin-ni mengangguk.
"Sungguh menggirangkan sekali bahwa sauhiap mudah menyadari hal itu. Tetapi telah kukatakan,
kehidupan manusia itu memang aneh, sering tak dapat melakukan apa yang telah dikatakan. Berpijaklah
pada Keadilan, Kebenaran dan Kesucian. Dengan bekal itu, apapun yang akan engkau derita, tentu
akhirnya akan dapat teratasi."
Siau Lo-seng menyatakan rasa terima kasih yang tak terhingga atas penerangan dan petunjuk yang telah
diberikan oleh rahib itu.
"Tadi sauhiap mengatakan hendak menuntut balas dendam keluarga," kata Tay Hui Sin-ni pula. "apakah hal
itu bukan menyangkut peristiwa yang terjadi pada delapanbelas tahun di desa Hay-hong-cung itu?"
"Benar, Sin-ni," kata Siau Lo-seng dengan nada gemetar, "memang Naga sakti tanpa bayangan Siau Hankwan itu adalah ayahku. Berpuluh tahun aku menyiksa diri untuk menuntut ilmu kepandaian, tak lain adalah
karena hendak membalas sakit hati berdarah dari keluargaku itu."
"Peristiwa berdarah di Hay-hong-chung, walaupun tak tahu jelas bagaimana duduk perkaranya tetapi
menurut dugaan adalah dikarenakan ayah sauhiap Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan. Peristiwa itu
telah melibatkan kalangan yang amat luas. Walaupun pin-ni tak berani mengatakan siapa yang benar dan
siapa yang salah, tetapi menilik keganasan yang dilakukan pembunuh itu, jelas dia tentu mempunyai
dendam kesumat besar dengan ayah sauhiap," kata rahib itu pula.
13.62. Memancing Harimau "Sudah bertahun-tahun aku mencari jejak peristiwa itu, tetapi belum juga kuketemukan sumber yang
sesungguhnya. Tetapi memang pamankulah yang melemparkan diriku ke dalam jurang pada waktu itu.
Sampai detik ini aku masih ingat akan wajahnya yang menyeramkan," kata Siau Lo-seng.
"Apa" Kim-coa-mo-kiam Siau Mo yang melakukan perbuatan terkutuk itu" Ah, sungguh di luar dugaan
sama sekali. Tidak, tidak mungkin. Apakah engkau benar-benar melihat jelas dia yang melemparkan
engkau......." Siau Lo-seng tertegun. Baru pertama kali itu ia mendengar bahwa pamannya Siau Mo ternyata bergelar
Kim-coa-mo-kiam atau Iblis pedang ular emas.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bukan saja melempar diriku ke bawah jurang, pun kulihat sendiri dia telah membunuh guruku wanita Kui
Lan. Masakan aku tak dapat mengenali seorang paman yang tiap hari berada bersama keluargaku?" seru
Siau Lo-seng kurang puas.
Tampak rahib menegang wajahnya.
"Omitohud!" serunya, "Dosa, dosa sungguh di luar persangkaan orang bahwa Siau Mo akan melakukan
perbuatan sehina itu."
Diam-diam Siau Lo-seng heran mengapa ketika membicarakan diri Siau Mo, mendadak wajah Tay Hui Sinni berobah sedemikian tegang.
Ia hendak menanyakan hal itu tetapi tiba-tiba wajah rahib itu tampak tenang kembali.
"Siau sauhiap, kenalkah engkau pada seorang peniup seruling?" tanyanya.
Bukan main kejut Siau Lo-seng mendapat pertanyaan itu. Seketika iapun teringat bahwa ke empat orang
baju hitam tadi seperti lari ke luar dari loteng tempat Gi-hunya si orang tua peniup seruling. Ya. mengapa
sampai saat itu belum juga ia melihat suatu tanda-tanda dari Gi-hunya itu?"
Seketika menyahutlah Siau Lo-seng: "Dia adalah Gi-hu ku?""
Habis berkata ia terus berputar tubuh lalu bergegas lari ke arah loteng, Sudah tentu Tay Hui Sin-ni terkesiap
lalu menyusul anak muda itu.
Selekas masuk ke dalam ruang loteng, tergetarlah hati Siau Lo-seng ia mendapat firasat tak baik tentang
diri Gi-hu nya. Ruangan tampak kacau balau. Lantai penuh berserakan belasan mayat orang-orang baju hitam. Rupanya di
ruang itu telah terjadi suatu pertempuran dahsyat.


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi kemanakah gerangan perginya orang tua peniup seruling itu"
Bergegas-gegas Siau Lo-seng lari ke dalam lagi. Keadaan di situpun mengejutkan hati. Berpuluh-puluh
kawanan Baju Hitam terkapar malang melintang memenuhi ruang.
Tay Hui Sin-ni berjongkok dan meraba pernapasan seorang mayat lalu memeriksa pergelangan tangannya.
Beberapa saat kemudian ia berpaling dan geleng-geleng kepala: "Mereka sudah mati semua......"
Siau Lo-seng pun memeriksa sebuah mayat, serunya: "Ah, mereka telah terkena ilmu tutukan istimewa.
Karena tak dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk itu akhirnya darah mereka membeku dan
orangnyapun mati." "Bagaimanakah ini?" tanya Tay Hui Sin-ni.
Siau Lo-seng merenung. "Saat ini aku tak dapat memberi penjelasan apa-apa kepada Sin-ni," katanya sesaat kemudian, "Gi-hu ku
yalah orang tua peniup seruling itu memang tinggal di loteng ini. Dia seorang tua yang cacad, tak punya kaki
dan tangan. Tetapi mengapa tiba-tiba ia lenyap?"
"Bagaimanakah perwujutan Gi-hu mu itu?" tanya Tay Hui Sin-ni.
"Rambutnya terurai sampai ke bahu, kedua kakinya sebatas lutut telah kutung dan kedua tangannya pun
telah dihancurkan urat nadinya oleh orang. Tak mungkin ia dapat berjalan keluar sendiri. Kumungkinan
tentu ditangkap orang."
Tay Hui Sin-ni menghela napas.
"Ah, sudah tahu dia seorang diri di sini, mengapa engkau tak berusaha untuk melindunginya?"
"Gi-hu sudah lama tinggal di sini mengasingkan diri dari keramaian dunia. Siapakah yang telah
mengganggunya" Sekali pun kawanan baju hitam itu ditambah lagi jumlahnya, tetap tak dapat melawan Gihu," kata Siau Lo-seng.
"Kawanan baju hitam itu telah dirubuhkan oleh Gi-hu mu. Tahukah engkau dari golongan manakah kawanan
baju hitam itu?" Siau Lo-seng gelengkan kepala,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Walaupun sudah berpuluh tahun berkelana di dalam dunia persilatan tetapi aku tak pernah melihat
kawanan manusia semacam itu. Dandanan mereka menyerupai dengan kawanan algojo dari Ban-jin-kiong."
"Menilik tubuh-tubuh mayat yang sudah kaku itu kemungkinan mereka sudah mati lima-enam jam yang lalu.
Mereka terkena tutukan kira-kira pada siang tadi," kata Tay Hui Sin-ni pula.
Diam-diam Siau Lo-seng menimang. Apabila dugaan Tay Hui Sin-ni itu benar, saat itu ia sedang menantang
Ang Piau keluar. Saat itu dia melihat yang keluar dari loteng yalah Jin Kian Pah-cu dan keempat dayang
baju biru. Jika demikian apakah kawanan mayat-mayat baju hitam itu anak buah dari Lembah Kumandang"
Berbagai dugaan dan rangkaian telah melalu lalang pada benak Siau Lo-seng. Tetapi di antara sekian
banyak hanyalah pihak Lembah Kumandang yang besar kemungkinannya.
Tetapi apakah maksud Jin Kian Pah-cu menawan Gi-hu nya"
"Locianpwe. kemanakah adik Cu-ing?" tiba-tiba Siau Lo-seng teringat.
"Dia mengatakan hendak ke markas besar Naga Hijau di Lok-yang."
"Celaka!" Siau Lo-seng mengeluh. Kalau begitu kita harus cepat-cepat ke Lok-yang. Kalau tidak
kemungkinan adik Ing tentu terancam bahaya."
Habis berkata Siau Lo-seng terus loncat dan lari menuju ke Lok-yang.
Tay Hui Sin-ni terpaksa mengikuti.
Dengan menggunakan ilmu lari cepat, menjelang fajar mereka sudah tiba di kota itu. Mereka langsung
menuju ke tempat kediaman keluarga Nyo yang sudah menjadi runtuhan puing.
Tiba-tiba Siau Lo-seng terkejut. Saat itu dia sudah berada di daerah markas besar Naga Hijau. Tetapi
mengapa sampai sekian lama belum melihat barang seorang penjaga pos rahasia" Apakah markas besar
Naga Hijau sudah pindah ke lain tempat"
Tiba-tiba telinga Siau Lo-seng yang tajam segera menangkap suatu suara erang dari seorang yang tengah
meregang jiwa. Cuaca masih remang belum terlepas dari selimut malam. Ketika mendengar erang rintihan lagi segera Siau
Lo-seng dapat menentukan bahwa suara erang itu berasal dari arah kanan. Lebih kurang sepuluh tombak
jauhnya. Cepat Siau Lo-seng menuju ke arah tempat itu. Tetapi makin dekat suara itu makin tak kedengaran.
Menyapukan pandang mata ke sekeliling empat penjuru tampak sunyi senyap. Tetapi pada saat itu iapun
dapat melihat sederet rumah yang telah hancur. Serambi depan penuh dengan galagasi dan daun
jendelanya pun sudah rusak tak keruan keadaannya.
Tetapi ia cukup paham akan tempat itu. Keadaan tempat yang menyeramkan itu memang sengaja dibuat
oleh perkumpulan Naga Hijau untuk menyelimuti markasnya.
Tetapi yang aneh, mengapa sampai saat itu tak tampak barang seorang pun yang muncul. Kemanakah
orang-orang itu" Siau Lo-seng menghampiri deretan rumah rusak itu lalu memandang ke sebelah dalam. Ia terkejut ketika
melihat bagian dapur diterangi lampu. Sayur mayur dan bahan-bahan masakan penuh lengkap dan nasi
yang masih hangatpun mengepulkan asap yang harum. Tetapi mengapa sepi sekali keadaannya"
Sekonyong-konyong dari arah satu lie jauhnya, terdengar suara orang tertawa yang nadanya mirip dengan
iblis meringkik. Menyusul terdengar bentak makian dan dering senjata beradu.
Suara itu memang samar-samar kedengarannya. Apabila tak memiliki telinga setajam Siau Lo-seng tentu
sukar untuk menangkapnya.
Tiba-tiba pula erang rintihan yang menyeramkan terdengar lagi. Bahkan kali ini terdengar jelas. Nadanya tak
ubah seperti orang yang akan menghembuskan napas terakhir.
Siau Lo-seng pun cepat dapat menentukan bahwa suara itu berasal dari taman bunga di belakang dapur.
Cepat ia menghampiri tempat itu.
Tetapi apa yang disaksikan di situ benar-benar membuat bulu roma berdiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Berpuluh-puluh mayat yang tak utuh tubuhnya malang melintang memenuhi kebun bunga itu.
Di antaranya terdapat seorang ko-jiu atau jago sakti dari perkumpulan Naga Hijau yang biji matanya telah
dikorek keluar, batang lehernya dipenggal putus. Demikian keadaan setiap mayat, mengerikan semua.
Ada seorang korban yang masih belum mati dan mengerang-erang. Suara erang tadi tentu berasal dari
orang itu. Pakaiannya berlumuran cairan racun berwarna hitam. Dia mengerang dan menggigil karena
menahan kesakitan yang hebat.
Siau Lo-seng sampai menitikkan airmata melihat keadaan tempat itu. Pada saat ia hendak menghabisi jiwa
orang itu agar jangan terlalu lama menderita kesakitan, tiba-tiba dari belakang terdengar suara helaan
napas sarat. "Omitohud! Dosa, dosa, sungguh suatu pembunuhan yang mengerikan sekali. Ah, hanya terlambat
selangkah saja, telah mengakibatkan dendam pembunuhan yang ngeri sekali. Ah, takdir, takdir?""
Ternyata entah kapan, Tay Hui Sin-ni sudah berada di belakang Siau Lo-seng.
"Locianpwe, harap segera membantu aku untuk menyadarkan orang ini."
Siau Lo-seng pun segera membuka jalan darah orang itu. Juga Tay Hui Sin-ni menutuk beberapa jalan
darah orang itu. "Racun telah menyusup ke dalam urat-urat nadinya. Kalau jalan darahnya engkau buka, dia tentu segera
mati," kata rahib itu.
"Apakah cianpwe dapat menyadarkannya?" Siau Lo-seng terkejut.
"Pembunuhnya memang ganas sekali. Dia tak memberi ampun lagi."
"Kalau begitu apakah kita mengawasi saja dia mati tersiksa?"
"Masih ada sebuah daya," kata rahib itu.
"Harap cianpwe suka memberi petunjuk."
"Lebih dulu lindungi jantungnya lalu mendesak racun itu ke dalam aliran darah. Dia tentu dapat sadarkan diri
dalam beberapa saat. Tetapi akibatnya tentu lebih hebat lagi."
"Saat ini yang penting dia sadar agar dapat memberi keterangan," kata Siau Lo-seng lalu lekatkan
tangannya di bawah perut orang itu, menyalurkan tenaga dalam untuk melindungi jantungnya.
Tay Hui Sin-ni pun segera menutuki beberapa jalan darah orang itu. Bermula orang itu mengerang
Api Di Bukit Menoreh 3 Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa Pendekar Elang Salju 11
^