Pencarian

Pendekar Seratus Hari 6

Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong Bagian 6


menderita kekalahan begini memalukan. Bagaimana aku mempunyai muka untuk menghadap Kiong-cu
lagi?" Giok-hou tertawa meloroh: "Kalah menang itu sudah jamak dalam pertempuran. Mengapa Long Tian-cu
berkecil hati?" "Selama Im-kian-li itu belum terbasmi, kita tentu selalu mengalami gangguan di kota Lok-yang," sahut Long
Wi. "Long Tian-cu, bilakah ayah mengatakan akan datang kemari?" tanya Giok-hou.
Sejenak Long Wi memandang ke luar kuil, katanya: "Kiong-cu pesan kepadaku, sebelum fajar akan tiba
kemari. Rupanya saat ini sudah hampir tiba waktunya. Mari kita bersiap-siap menyambut kedatangan
beliau." Ia terus berdiri dan memberi perintah kepada rombongan orang berkerudung muka supaya berkemaskemas menyambut kedatangan Kiong-cu atau kepala istana Ban-jin-kiong.
Ketigabelas orang berkerudung itupun segera tegak berjajar di kedua samping pintu.
Lo-seng kerutkan dahi lalu gunakan ilmu Menyusup suara berkata kepada Hun-ing, "Ui Pangcu, ketua Banjin-kiong segera datang. Harap perhatikan saja siapakah dia itu. Giok-hou memanggilnya ayah, entah
bagaimana hubungannya."
Tepat pada saat Lo-seng berkata, tiba-tiba si orang tua bungkuk berseru: "Kiong-cu datang!"
07.35. Penguasa Istana Ban-jin-kiong
Dari jauh terdengar bunyi tambur dan seruling memecah kesunyian malam.
"Ah, suara itu masih berada beberapa lie jauhnya," pikir Hun-ing.
Tiba-tiba bunyi-bunyian itu berhenti.
Giok-hou dan si Bungkuk serempak berlutut di depan pintu dan berseru: "Giok-hou dan Long Wi menyambut
dengan hormat!" Sesaat kemudian muncullah seorang lelaki bertubuh tinggi besar ke dalam ruang kuil. Dia mengenakan
pakaian seorang imam warna hitam, memakai kopiah dan dadanya mengenakan sebuah benda bundar
yang berkilat-kilat memancar warna emas.
Tetapi bagaimana wajahnya tak dapat diketahui karena diapun mengenakan kain kerudung warna hitam.
Diam-diam Lo-seng, Hun-ing dan Pek Wan Taysu terkejut. Mereka sangsi apakah kepala istana Ban-jinkiong itu seorang manusia biasa. Karena waktu datang, sama sekali tak terdengar langkah kakinya. Dan
dalam sekejap mata saja dia sudah tiba dari tempat beberapa lie.
Kebutkan lengan jubahnya, kepala istana Ban-jing-kiong berkata: "Hou-ji, Long Tian-cu, bangunlah."
Kakek bungkuk dan Giok-hou pun segera bangun. Dan serentak Giok-hou terus berseru: "Ayah......"
"Ya, kutahu," tukas kepala istana Ban-jin-kiong itu sambil lambaikan tangan.
"Hm, dia memang sudah tahu apakah hanya berlagak tahu apa yang hendak dikatakan Li Giok-hou," diamdiam Hun-ing menimang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Barisan Sip-hun-jin kita memang belum sempurna sekali," kata kepala Ban-jin-kiong pula," nanti Long Tiancu boleh membawa pulang mereka ke istana."
"Anak hendak memberitahu bahwa musuh dari Ban-jin-kiong itu, selain orang Lembah Kumandang, pun
masih......:" "Bukankah engkau hendak mengatakan Siau Lo-seng?" tukas kepala Ban-jin-kiong.
"Benar," sahut Giok-hou, "dia memiliki ilmu kepandaian sakti yang aneh. Anak merasa dialah musuh yang
sesungguhnya dari Ban-jin-kiong. Apakah ayah dapat memberi kekuasaan kepadaku untuk
membunuhnya?" Kepala istana Ba-jin-kiong merenung sejenak lalu berkata: "Memang ayah tahu bahwa kalau Siau Lo-seng
itu tak dibasmi, kelak tentu akan lebih berbahaya dari Im-kian-li. Maka telah kuperintahkan kepada Te Gak
Kui-ong untuk menangkap orang itu dan membawa ke Ban-jin-kiong.
Te Gak Kui-ong artinya Raja iblis dari Neraka.
Baik Lo-seng maupun Hun-ing dan Pek Wan Taysu kerutkan kening. Siapakah kepala istana Ban-jin-kiong
itu" Menilik bicaranya, agaknya ia tahu semua gerak gerik dalam dunia persilatan.
"Ayah, lalu tugas apakah yang ayah berikan kepadaku di Lok-yang?" tanya Giok-hou.
Tiba-tiba kepala istana Ban-jin-kiong itu mendengus, serunya: "Giok-hou, selesaikan dulu dua orang yang
bersembunyi di atas tiang penglari ruangan ini. Ayah segera akan memberimu petunjuk cara memberi
perintah kepada Te Gak Kui-ong itu. Setelah itu ringkus dan bawalah Siau Lo-seng ke istana Ban-jin- kiong."
Mendengar perintah itu bukan saja Lo-seng bertiga terkejut, pun si kakek bungkuk dan Giok-hou sendiripun
terperanjat juga. Ternyata mereka tak tahu bahwa di atas tiang penglari ruang itu terdapat orang yang
bersembunyi. Tahu kalau dirinya sudah diketahui maka Lo-seng memutuskan untuk unjuk diri. Serentak iapun berseru:
"Hm, bukan dua orang tetapi tiga......"
Belum habis ia mengucap, tiba-tiba terdengar bunyi tambur menggema. Lo-seng terkejut dan cepat berseru:
"Ui Pangcu, lekas menghindar"..."
Dari ambang pintu meluncur selarik sinar emas yang mirip dengan panah berapi. Secepat kilat benda
bersinar emas itupun meluncur ke arah tiang penglari.
Mendengar seruan Lo-seng, Pek Wan Taysu dan Hun-ing pun cepat melentangkan tubuh dan meluncur
turun. Benda bersinar emas itupun meluncur turun lagi keluar ruang dan tepat disanggapi oleh tangan kepala Banjin-kiong. Suara tambur pun sirap seketika.
Setelah menenangkan hati, Lo-seng memandang pemuda dan baru mengetahui bahwa benda bersinar
emas tadi bukan lain yalah benda bulat yang melekat di dada kepala istana Ban-jin-kiong.
Dengan mata berkilat kilat memancar sinar kejut, kepala istana Ban-jin-kiong itu memandang Lo-seng
bertiga. "Di bawah kolong langit, baru yang pertama ini orang dapat lolos dari sambaran Kupu-kupu terbang ke
langit," serunya pelahan.
Hun-ing terkesiap. Kiranya benda bersinar emas yang menyambar ke atas penglari tadi bukan lain emas
bundar yang menghias pada dada kepala istana Ban-jin-kiong itu. Menurut kata pemiliknya, benda itu
sebuah senjata rahasia maut yang disebut Ki-im-suan-thian-hui-tiap atau Kupu-kupu berbunyi aneh di langit.
Pun Lo-seng juga terkejut mendengar ucapan kepala istana Ban-jin-kiong itu.
"Ho, kiranya kalian bertigalah," seru Giok-hou demi mengetahui siapa ketiga orang itu, "kalian mampu lolos
dari Im-kian-li tetapi jangan harap dapat lolos dari ruangan ini."
Walaupun menyadari bahwa yang di hadapannya itu kepala istana Ban-jin-kiong yang sakti dan mungkin
dirinya tak dapat melawan, namun Hun-ing tak mau unjuk kelemahan, ia tertawa dingin.
"Huh, siapa yang dapat membatasi kebebasanku. Mau pergi, aku pergi dengan bebas. Kalau tak percaya,
lihat saja," serunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kepala istana Ban-jin-kiong memasang pula senjata rahasia Kupu-kupu Emas itu di dadanya lalu berseru
dengan tenang, "Kalau tak salah engkau tentulah Mo-seng-li Ui Hun-ing, murid yang telah menghianati Jin Kian Pah-cu itu,
bukan?" Nada suaranya masih tetap ramah, sedikitpun tak mengunjuk kemarahan. Tetapi Hun-ing cukup tahu siapa
kepala istana Ban-jin-kiong itu. Dia seorang momok yang ganas bukan buatan.
Diam-diam Lo-seng mengeluh dalam hati. Ia merasa dengan kekuatan tiga orang tak mungkin dapat
menghadapi rombongan orang-orang istana Ban-jin-kiong.
"Omitohud," tiba-tiba Pek Wan Taysu berseru, "sepanjang pengetahuan Lo-ni, di dunia persilatan ini tiada
terdapat seorang tokoh seperti anda. Siapakah sesungguhnya anda ini?"
"Pek Wan Taysu," seru kepala istana Ban-jin-kiong, "hari ini jangan harap kalian bertiga masih dapat melihat
matahari esok pagi. Perlu apa engkau tanyakan siapa diriku?"
Lo-seng tertawa dingin. "Aku merasa kagum karena engkau dapat mendirikan suatu perkumpulan rahasia yang besar pengaruh
seperti Ban-jin-kiong. Tetapi hanya dengan beberapa patah kata engkau suruh kami bertiga menyerah,
benar-benar suatu lelucon yang tak lucu!" serunya.
Dengan kata itu jelas Lo-seng telah bertekad untuk menghadapi ketua Ban-jin-kiong dengan kekerasan.
Pemuda itu telah merenungkan dengan seksama. Walaupun ia menyadari bahwa kemungkinan
kepandaiannya sukar untuk mengalahkan kepala istana Ban-jin-kiong itu tetapi ia mendapat kesan. Bahwa
tadi kepala Ban-jin-kiong itu lambat untuk mengetahui ia bersembunyi di atas tiang penglari, ia percaya
kesaktian kepala Ban-jin-kiong itu tidaklah berlipat ganda dari dirinya.
"Hm, jika kutelan semua sisa pil beracun yang kusimpan itu, tentulah dalam waktu singkat tenagaku akan
bertambah lipat beberapa kali. Mungkin aku dapat menghadapinya," demikian perhitungan Lo-seng.
"Siau Lo-seng, apakah engkau yakin hari ini engkau mampu lolos dari sini?" seru ketua Ban-jin-kiong.
"Mungkin dapat," sahut Lo-seng.
Sikap dan nada Lo-seng yang begitu tenang dan penuh kepercayaan, terpaksa membuat ketua Ban-jinkiong meragu dalam hati.
"Hm, adakah kepandaian budak itu lebih hebat dari yang kusangka?" katanya dalam hati.
"Giok-hou, cobalah engkau main-main dengan ia barang beberapa jurus," serunya kepada Giok-hou.
Beberapa kali menderita kekalahan, memang Giok-hou benci sekali kepada Lo-seng. Mendapat perintah
dari ketua Ban-jin-kiong, cepat ia menghunus pedang dan loncat maju.
Giok-hou menerjang dengan penuh semangat. Pikirnya, apabila ia kalah, ketua istana Ban-jin-kiong tentu
akan membantunya untuk membunuh Lo-seng. Dengan demikian jadilah dia tokoh muda yang paling sakti
dalam dunia persilatan dewasa itu.
Hun-ing cepat maju ke muka Lo-seng: "Siau toako, engkau adalah pemimpin kami. Berikan orang itu aku
yang menghadapi!" Lo-seng cepat menyelinap ke sisi si nona. "Ui Pangcu, jelas kepandaianku memang kalah dengan ketua
Ban-jin-kiong itu. Tetapi saat ini keadaan sudah begini gawat. Tiada lain pilihan lagi kecuali aku harus
menelan habis pil beracun untuk mengembangkan daya tenagaku. Agar racun itu cepat dapat bekerja,
perlulah darahku harus bergolak keras. Maka lebih baik aku saja yang menghadapi pemuda itu agar
darahku lekas panas......" katanya kepada Hun-ing dengan menggunakan ilmu Menyusup suara.
Tujuan Giok-hou yalah hendak bertempur dengan Lo-seng. Melihat Lo-seng berdiri di samping si nona
dengan bibir bergetaran tetapi tak terdengar bicara, tahulah Giok-hou bahwa pemuda itu sedang
menggunakan ilmu menyusup suara untuk memberi petunjuk kepada Hun-ing bagaimana cara untuk
mengalahkan dirinya. "Siau Lo-seng," Gok-hou segera tertawa mengejek, "walaupun sudah beberapa kali bertempur tetapi selalu
belum ada kesudahannya. Maka kali ini marilah kira bertempur sampai ada salah seorang yang mati."
dunia-kangouw.blogspot.com
Giok-hou menutup tantangannya dengan tusukkan ujung pedang kepada Lo-seng.
Tiba-tiba Lo-seng mengangkat tangan menampar pedang lawan. Giok-hou terkejut. Tamparan Lo-seng itu
telah menimbulkan gelombang tenaga dahsyat yang melanda pedangnya. Buru-buru ia menarik pulang
pedangnya. Maju dua langkah ke muka, berserulah Lo-seng dengan dingin: "Hem, kepandaianmu semacam itu, masih
belum layak menjadi lawanku. Kalau tak percaya, silahkan coba!"
Hun-ing terkejut mendengar ucapan Lo-seng itu. Seketika hatinyapun seperti disayat sembilu. Ia tahu
bahwa pemuda yang dicintainya itu telah nekad menelan habis pil beracun.
Walaupun dia akan bertambah besar tenaganya tetapi hal itu berarti suatu penyelesaian bagi jiwanya.......
Kebalikannya, Giok-hou marah sekali mendengar ejekan lawan. Segera ia taburkan pedang melancarkan
dua buah serangan. Sambil beringsut menghindar ke samping, Lo-seng maju dua langkah pula dan ayunkan tangan kirinya:
"Hati-hatilah, aku akan balas menyerang!"
Diejek begitu rupa, berkobarlah amarah Giok-hou. Ia loncat mundur untuk menghindari pukulan lalu loncat
menyerang dari samping. Gerak penghindaran dan penyerangan itu dilakukan dengan luar biasa cepatnya.
Namun Lo-seng tetap menghalaunya dengan sebuah tamparan.
Tampaknya hanya menampar tetapi ternyata pedang Giok-hou hampir terlepas dari tangan. Kejut Giok-hou
bukan alang kepalang. "He, walaupun ilmu serangan pedangmu itu hebat sekali, tetapi jangan mimpi dapat melukai aku," Lo-seng
tertawa mengejek. Di hadapan ayahnya, menerima hinaan yang begitu memalukan, Gok-hou benar-benar seperti hendak
meledak dadanya. Tiga buah serangan dahsyat segera ia lancarkan berturut-turut. Jurus penyerangan
itupun amat maut dan ganas sekali.
Memang Lo-seng sengaja hendak membakar kemarahan lawan, tetapi begitu Giok-hou melancarkan tiga
buah serangan yang istimewa, diam-diam Lo-seng terkejut juga. Ia tak berani berlaku ayal lagi. Dengan
gunakan gerakan yang aneh, ia berusaha untuk meloloskan diri dari kepungan pedang maut.
Kini Giok-hou lah yang balas mengejek:
"He, mengapa engkau tak balas menyerang lagi?"
Tiba-tiba ia menusuk dada lawan. Tampaknya suatu gerak yang bersahaja tetapi sesungguhnya
mengandung tiga jurus perobahan. Ataukah Lo-seng hendak menangkis ataukah hendak menghindar tentu
tak mungkin lagi. Tiga jurus dalam sebuah gerak itu memang merupakan kepungan yang ketat sekali.
Memang benar, baru saja tubuh Lo-seng beringsut, ujung pedang Giok-hou pun sudah menusuk dua kali.
Tetapi ketika dua buah tusukan itu melancar Lo-seng pun bagaikan seekor ikan, sudah menyelinap ke
belakang lawan. "Sret......." dengan gerak cepat yang tak terduga-duga tiba-tiba Giok-hou balikkan tangannya ke belakang.
Lengan tangan kiri Lo-seng telah terbabat dan pedang yang dingin itu sudah melekat di kulit orang. Untung
tak sampai melukai. Serangan itu benar-benar membuat Lo-seng terkejut. Ia menyurut mundur lima langkah dan cepat
mengambil botol pil dari dalam baju dan menelan tujuh belas butir sekali gus.
Melihat itu bercucuranlah airmata Hun-ing dan Pek Wan Taysu. Sebuah botol pil telah habis, kini pemuda itu
hanya mempunyai tiga botol lagi. Isinya lebih kurang tujuh puluh butir pil,
"Lihat pedangku!" dengan tertawa gembira
Giok-hou menyerang lagi. Kali ini dengan jurus Bunga heng dilanda hujan. Begitu bertebar, pedangpun
segera mengembangkan beribu sinar pedang yang mencurah deras.
Tampak sepasang mata Lo-seng berkilat-kilat tajam dan sesaat kemudian iapun melontarkan sebuah
hantaman. Angin menderu mengantar gelombang tenaga yang dahsyat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tergetarlah hati Giok-hou. Cepat ia merobah gerakan pedang dalam bentuk mirip dengan bianglala
melingkar untuk melindungi dirinya.
Tetapi serempak dengan menghantam tadi Lo-seng pun segera melangkah maju dan melancarkan
serangan sampai tujuh-delapan jurus.
Berulang kali pukulan dan pedang saling berbentur dan akibatnya beberapa kali pedang Giok-hou tentu
tertampar mundur. Giok-hou rasakan pedangnya tersambar oleh gelombang tenaga dalam yang dahsyat
sehingga tangannya pun ikut kesemutan.
Tetapi Giok-hou bukanlah seorang jago lemah. Dia tetap pertahankan pedangnya dan bahkan
memainkannya lebih gencar untuk melindungi dirinya.
Saat itu Lo-seng seperti orang kalap. Dia menyerang dengan hebat dan cepat. Setiap pukulan dan
tendangan tentu dilambari dengan tenaga dalam yang dahsyat.
Hun-ing dan Pek Wan Taysu tahu bahwa pemuda itu sedang mengerahkan seluruh tenaganya agar racun
lekas bekerja untuk mengembangkan kekuatannya.
Dalam beberapa kejap saja, Lo-seng sudah melancarkan duapuluh tujuh pukulan. tigapuluh enam tamparan
dan tujuhpuluh tendangan.
Tiba-tiba terdengar Giok-hou mendesuh pelahan. Sinar pedang yang melindungi tubuhnya pun tiba-tiba
menyurut dan serentak menjadi satu lalu bergerak dalam jurus Naga sakti keluar dari awan, ujung pedang
segera menusuk lawan. Jurus itu memang hebat sekali. Luncuran batang pedang menimbulkan angin yang deras sekali. Dan
gerakannyapun sukar diduga, seperti hendak menusuk pun seperti hendak menabas.
Saat itu wajah Lo-seng mulai menampilkan hawa pembunuhan. Dengan menggembor keras, ia julur
surutkan tangan kanan macam gerak ular memagut. Dan begitu merapat pada batang pedang, secepat kilat
ia mencengkeram siku lengan Giok-hou.
Jurus yang luar biasa itu membuat Giok-hou serasa terbang semangatnya. Ia hendak merobah gerak
pedangnya tetapi terlambat. Siku lengannya sudah dicengkeram oleh Lo-seng.
Dalam keadaan seperti itu apa boleh buat Giok-hou terpaksa lepaskan pedangnya dan cepat-cepat
menggelincir mundur. Setelah berhasil merebut pedang, Lo-seng loncat menerjang, melingkar-lingkar dan menyerang sampai
enam kali. Seketika tampaklah suatu pemandangan yang mempesonakan. Bagaikan bunga api berhamburan di udara,
sinar pedang bertaburan mengimbangi gerak tubuhnya yang luar biasa anehnya.
Giok-hou terkejut dan berulang-ulang harus menyurut mundur. Pada saat Lo-seng melancarkan serangan
yang ketujuh, Giok-hou pun menyadari bahwa ia takkan mampu melawan lagi. Maka secepat kilat iapun
terus meluncur lari keluar kuil.
Lo-seng tertawa dingin: "Hem, engkau telah membunuh gurumu sendiri, Nyo Jong-ho. Biarlah dendam
darah itu kuserahkan pada nona Cu-ing untuk membalasnya sendiri. Sekarang aku hanya akan membabat
kutung sebuah lenganmu dulu!"
Dalam pada berkata-kata itu, bayangan Lo-seng pun sudah mengejar dan terus menabas.
"Aduh?"" Terdengar Giok-hou menjerit ngeri dan lengan kirinyapun segera terkutung jatuh ke tanah.
Giok-hou terhuyung-huyung jatuh sampai tiga langkah. Pakaiannya bersimbah darah. Ia mengangkat muka
memandang kepala istana Ban-jin-kiong dan berteriak: "Ayah....... lenganku kutung!"
Kepala istana Ban-jin-kiong memapah Giok-hou bangun lalu menutuk jalan darah pada bahu kirinya agar
darah berhenti mengalir. Setelah itu berkatalah orang aneh itu dengan tenang: "Giok-hou, jangan engkau bersedih karena kehilangan
sebuah lengan. Ayah masih dapat memberimu ilmu kepandaian yang lebih sakti?""
Habis berkata ia menutuk lagi jalan darah supaya anak muda itu pingsan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Baik Lo-seng maupun Pek Wan Taysu atau Hun-ing sama kerutkan dahi. Masakan seorang ayah yang
melihat anaknya kehilangan sebuah lengan, masih bersikap sedemikian tenang dan sedikitpun tak marah
atau bersedih. "Long Tian-cu, rawatlah Giok-hou," sesaat terdengar kepala istana Ban-jin-kiong itu berkata kepada orang
tua bungkuk atau Long Wi.
Long Wi cepat-cepat menghampiri ke tempat Giok-hou. Sekonyong-konyong kepala istana Ban-jin-kiong
menutuk bahu kiri si bungkuk
"Uh?"" si bungkuk mengerang dan terhuyung-huyung. Lengan kirinya menjulai tak bertenaga lagi.
"Long Tian-cu," kata kepala istana Ban-jin-kiong dengan tenang. "tahukah apa sebabnya kulumpuhkan
sebelah lenganmu?" Dengan sikap menghormat, si bungkuk menjawab: "Long Wi merasa bersalah karena tak dapat menjaga
Sau-kiongcu sehingga sampai kehilangan sebelah lengannya. Dosa ini harus dihukum berat. Atas
kemurahan Kiong-cu hanya melumpuhkan sebelah lenganku. Long Wi menghaturkan banyak terima kasih."
Adegan itu menyebabkan Lo-seng bertiga terlongong heran.
Dalam dunia persilatan, kepandaian yang dimiliki Long Wi itu sudah dapat digolongkan sebagai seorang
ketua partai persilatan. Tetapi ternyata dia begitu takut dan patuh kepada kepala Ban-jin-kiong.
Tetapi dari tindakan kepala Ban-jin-kiong terhadap Long Wi itu, dapatlah Lo-seng menduga bahwa kepala
Ban-jin-kiong itu sesungguhnya marah sekali atas malapetaka yang diderita puteranya.
Dan Lo-seng pun menyadari bahwa dalam seberapa jenak lagi, kepala istana Ban-jin-kiong itu tentu akan
menuntut balas kepadanya. Diam-diam Lo-seng pun bersiap-siap,
"Tetapi walaupun engkau kehilangan sebelah lengan, akupun takkan mengecewakan engkau," kata kepala
Ban-jin-kiong pula, "sekarang bawalah Sau-kiongcu dan rombongan Sip-hun-jin pulang ke Ban-jin-kiong
dulu." "Long Wi akan melakukan perintah," seru orang bungkuk itu dengan hormat lalu memanggul tubuh Giok-hou
dan setelah bersuit aneh ia terus meluncur pergi.
Saat itu malam hampir pudar. Suasana di dalam dan di luar kuil sunyi senyap seperti kuburan. Tetapi dalam
kesunyian itu, ketegangan dan hawa pembunuhan berhamburan memenuhi ruang kuil. Bayang-bayang
melaekat Maut sudah melalu lalang untuk menyambut nyawa setiap korban yang terbunuh.
Tiba-tiba kepala istana Ban-jin-kiong berseru pelahan kepada Lo-seng.


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siau Lo-seng, mengapa engkau tak lekas berlutut minta ampun kepadaku?"
Lo-seng tertawa gelak-gelak........
08.36. Misteri Hilangnya Mayat Siau Lo-seng
Orang berkerudung itu membiarkan Siau Lo-seng bermanja tawa. Sesaat kemudian baru ia berseru.
"Apa yang engkau tertawakan" Dalam beberapa bulan kemudian, akan kujadikan engkau seorang manusia
yang selalu bersedih."
Kata-kata itu ditutup dengan sebuah loncatan ke muka Lo-seng dan secepat kilat tangan kirinya sudah
melepaskan tiga buah pukulan.
Lo-seng hentikan tawa dan cepat menghindari serangan itu lalu balas mengirim sebuah tusukan.
Tetapi dengan sebuah gerak yang luar biasa anehnya orang itu membalikkan siku lengan dan menyiak
pedang ke samping lalu tutukkan ujung jarinya ke dada si pemuda.
Lo-seng terkejut sekali. Cepat ia menekuk kedua lutut mengendapkan tubuh ke bawah seraya menyurut
mundur bebetapa langkah. Kali ini, orang berkerudung itulah yang terperanjat. Tetapi pada lain kejap, sepasang matanya bahkan lebih
berapi-api memancarkan nafsu pembunuhan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba orang itu memutar tubuhnya, sederas angin puyuh dan tahu-tahu menghampiri ke tempat Lo-seng.
Mendengar kata-kata orang itu tahulah Lo-seng bahwa ia hendak ditangkap hidup-hidupan untuk dijadikan
mumi (mayat hidup) dalam istana Ban-jin-kiong. Ia menyadari betapa akibatnya apabila hal itu sampai
terjadi. Ketika orang itu hampir tiba dihadapannya Lo-seng segera menusuknya. Tetapi orang itu tak mau
menangkis ataupun menghindar. Sesaat ujung pedang sudah hampir mengenai dadanya, tiba-tiba ia
tamparkan tangan kanannya,
"Uh......" terdengar suara mulut mendesuh tertahan. Pedang Lo-seng terlempar keluar dari ruangan
bersama dengan orangnya. "Bum......" Hun-ing dan Pek Wan Taysu berteriak kaget dan cepat-cepat memburu keluar. Tetapi gerak orang
berkerudung itu jauh lebih gesit. Ia sudah mendahului ayunkan tubuh kehadapan Lo-seng.
Selekas jatuh di tanah. Lo-seng cepat bergeliatan bangun dan berseru nyaring: "Ui Pang-cu, paman Pek
Wan, lekas kalian menyingkir!"
Dalam pada berseru itu, Lo-seng pun sudah menerjang kepada orang berkerudung. Gerakannya mirip
dengan seekor harimau terluka.
Orang berkerudung pun tak mau banyak bicara, Lo-seng kalap, iapun segera menyambutnya dengan
sebuah pukulan. Tampaknya pukulan orang berkerudung itu lemah gemulai tiada bertenaga. Tetapi entah bagaimana tibatiba Lo-seng rasakan kaki kanannya lunglai dan "bluk"..." jatuhlah ia ke tanah macam pohon ditabas.
Kiranya pukulan orang berkerudung tadi, tepat meremukkan isi rongga dada Lo-seng, sehingga dia
menderita luka-dalam yang amat parah.
Lo-seng tahu akan hal itu tetapi ia nekad hendak berjuang sampai napas yang terakhir. Ia tak mau
ditangkap hidup-hidupan untuk dijadikan mayat hidup. Maka dengan kerahkan seluruh sisa tenaganya, ia
meraung dan menerjang lawan. Ia sudah bertekad hendak mati bersama-sama.
Tetapi orang berkerudung itu tahu akan maksud Lo-seng. Ia tak mau melayani tindakan lawan dan
melainkan gunakan ilmu menutuk dari jauh, merubuhkan kaki orang.
Saat itu kecuali hanya sebelah kaki kirinya dapat dikata Lo-seng sudah tak dapat berkutik lagi, Namun
melihat Hun-ing dan Pek Wan Taysu tetap tak mau pergi, ia memekik sekuat-kuatnya: "Lekas kalian pergi
jangan sampai mati semua di tempat ini."
Kemauan hati memang merupakan suatu tenaga gaib pada manusia. Walaupun dalam keadaan tertutuk,
namun karena sedemikian keras kemauan hati Lo-seng untuk menyelamatkan Hun-ing dan Pek Wan
Taysu, maka dengan kerahkan seluruh tenaga ia enjot tubuhya melintas ke sisi orang berkerudung. Dengan
jurus Tui-ciok-tiam-hay atau Mendorong batu menimbun laut, dia hantam orang itu sekuat-kuatnya.
Lo-seng sebenarnya sudah menyadari bahwa apabila mau, lawan dengan mudah saat itu dapat
menghantamnya mati. Tetapi ia tak takut dan memang sudah mengambil keputusan untuk mati. Ia
mengharap agar lawan marah karena serangan itu lalu menurunkan Tangan Ganas untuk membunuhnya.
Tetapi rupanya orang aneh itu tak menghiraukan serangan Lo-seng. Bahkan ketika angin pukulan anak
muda itu melandanya, iapun seolah membiarkan tubuhnya ikut dilayangkan ke udara.
Karena tubuh orang melayang ke atas udara pukulan Lo-seng pun mengenai angin kosong. Dan karena ia
terlalu bernafsu sekali menghantam maka tubuhnyapun ikut menjorok ke muka. Karena kaki kanannya telah
tertutuk jalan darahnya sehingga kaku, sudah tentu ia tak mampu menguasai keseimbangan tubuhnya lagi.
"Uh......" mulut mendesis dan orangnyapun seperti sebuah peluru roket yang akan membentur batu titian.
"Uh?"." kembali mulut pemuda itu mendesis tertahan ketika ia rasakan tubuhnya seperti tersedot oleh
suatu tenaga yang lunak. Tindakan mencegah Lo-seng terbentur titian itu memang dilakukan oleh orang berkerudung, Tetapi karena
ia sedang menyalurkan tenaga untuk menjaga keseimbangan tubuhnya di udara maka tamparannya berisi
dunia-kangouw.blogspot.com
tenaga dalam penyedot itu pun kurang keras. Walaupun dapat mengurangkan kecepatan tubuh Lo-seng
meluncur ke muka, namun tetap kepala pemuda itu membentur batu titian juga.
"Darrrr"... seketika pingsanlah Lo-seng tak sadarkan diri lagi.
"Engkoh Siau......" Hun-ing menjerit kaget. Cepat ia menerjang dan menghantam punggung orang
berkerudung itu. Seperti punggungnya mempunyai mata, orang berkerudung itu tenang-tenang membalikkan tangan kanan
untuk menyongsong serangan si nona.
"Celaka," Pek Wan Taysu mengeluh. Ia tahu bahwa kepandaian nona itu bukan tandingan orang
berkerudung. Tetapi ternyata suatu peristiwa aneh yang tak terduga-duga telah terjadi. Terdengarlah letupan keras ketika
kedua tenaga pukulan mereka saling beradu. Hun-ing terkulai duduk di tanah tetapi orang berkerudung
itupun tersurut mundur selangkah?"
"Hm, orang sakti siapakah yang bersembunyi dalam ruang ini?" seru orang berkerudung sesaat kemudian.
Sebagai penyahutan sesosok tubuh orang tua berjenggot panjang muncul dari ruangan yang gelap itu.
Wajah orang tua itu dingin dan hambar
Melihat kehadiran orang tua berwajah dingin itu seketika Pek Wan Taysu berseru kejut: "Hai, Leng-bin-sinkun Leng Tiong-siang......"
Memang kakek jenggot panjang dan berwajah dingin itu bukan lain yalah Leng-bin-sin-kun atau Kakek
berwajah dingin Leng Tiong-siang yang pernah bertemu muka dengan Pek Wan Taysu dan Lo-seng di
sebelah luar hutan. Tampak wajah orang berkerudung itu mengerut kejut, lalu berseru dengan pelahan: "Leng Tiong-siang,
ternyata engkau sudah berada di Lok-yang."
Namun dengan tenang dan sedingin es, Leng Tiong-siang mendengus: "Ah, tak perlu berlaku sungkan.
Bukankah engkau sendiri juga sudah berada di Lok-yang?"
Kata-kata itu diucapkan pelahan, tandas dan bergema panjang.
Orang berkerudung menengadahkan kepala, merenung dan berseru: "Larangan selama delapanbelas
tahun, hari ini sudah habis. Mengapa aku tak boleh keluar ke dunia persilatan."
Kakek berwajah dingin Leng Tiong-siang menyahut tawar: "Masih kurang seperempat jam lagi maka
matahari yang terbit dari sebelah timur selama delapanbelas tahun itu akan lenyap. Tetapi soal perjanjian itu
sampai saat ini masih ada. Engkau dan aku sama-sama telah melanggar fatsal kesatu dari perjanjian itu.
Maka janganlah sampai melanggar fatsal yang kedua lagi. Dihadapan kita berempat yang telah bersepakat
membuat perjanjian itu, telah dikatakan bahwa siapapun di antara kita berempat tak boleh membunuh orang
di hadapan seorang dari kita berempat ini."
"Uh, ingatanmu sunggah tajam sekali. Baiklah, kalau begitu aku akan pergi saja," kata orang berkerudung.
Habis berkata orang itu terus berputar tubuh. Dia berayun, lenyaplah dia dalam keremangan cuaca
menjelang fajar. Singkat percakapan yang diadakan orang berkerudung dengan Kakek berwajah dingin. Tetapi jelas di situ
mengandung suatu peristiwa budi dan dendam dalam dunia persilatan. Sudah tentu orang luar, tak mengerti
apa yang mereka bicarakan.
Setelah orang berkerudung pergi, tanpa memandang barang sekejap pun kepada Lo-seng, Pek Wan Taysu
maupun Hun-ing, kakek jenggot panjang itu terus menuruni titian.
Peristiwa itu memang tak pernah diduga-duga. Tetapi secara tak sengaja Kakek berwajah dingin Leng
Tiong-siang telah menyelamatkan jiwa Hun-ing. Dan secara tak disadari pula, apa yang terjadi pada saat itu
telah menyelamatkan pula dunia persilatan dari malapetaka, di kelak kernudian hari.
Hun-ing tak mengacuhkan mereka. Cepat ia lari menghampiri ke tempat Lo-seng, serunya: "Siau toako,
Siau toako......." dunia-kangouw.blogspot.com
Pelahan-lahan Lo-seng membuka mata dan berseru dengan gemetar: Ui?" Ui Pang-cu?" lekas
minumkan semua pil ke mulutku. Setelah menelan semua pil itu dalam duabelas jam aku tak terjaga, berarti
aku sudah mati?" tetapi kalau dalam duabelas jam itu aku tersadar, kuminta engkau melakukan apa yang
kupesan tadi. Nasib dunia persilatan hanya tergantung pada diriku. Apakah aku akan menjadi mayat hidup
atau tidak?". Lekas minumkan pil itu?" napasku sudah makin habis?" aku segera mati?""
"Siau toako?"." Hun-ing menjerit seraya cepat mengambil simpanan pil dari dalam baju Lo-seng. Seluruh
pil, diminumkan ke mulut Lo-seng.
Lo-seng pun pingsan. Melihat itu Hun-ing lalu mengangkat tubuh pemuda itu dan berbangkit: "Pek Wan
locianpwe, dimana kita akan melindunginya?"
"Di ruang belakang dari kuil tua ini sajalah," seru Pek Wan Taysu.
Hun-ing meletakkan tubuh Lo-seng di ruang belakang dari kuil tua itu. Ia menjaga dengan tekun.
Cepat sekali sehari telah lalu dan saat itu, malam pun tiba kembali. Sudah berlangsung duabelas jam, tetapi
Lo-seng yang rebah di pangkuan Hun-ing masih tetap belum sadar. Bahkan dadanya pun tak kelihatan
bergerak, tubuhnya dingin dan kaku seperti orang mati.
Sayup-sayup seperti terngiang pesan Lo-seng tadi?" "jika dalam waktu duabelas jam aku tak sadar,
berarti aku tentu sudah mati?""
Terkenang akan hal itu berderai-derailah airmata Hun-ing membanjir dari kelopak matanya. Ah, pemuda
yang dikasihinya itu telah pergi jauh ke alam baka.
"Tidak, tidak," Hun-ing meratap dalam hati, "Siau toako takkan mati, takkan mati."
Nona itu mempunyai keyakinan bahwa Lo-seng tak mungkin mati. Maka ia membiarkan saja tubuh Lo-seng
berada di pangkuannya. Ia telah bertekad bulat untuk menjaganya sampai tujuh hari tujuh malam.
Haripun berlalu dengan cepat. Hari kedua?" ketiga?" keempat?" keenam?"
Pada malam yang keenam, tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang mengejutkan sekali. Memang setiap
malam, Hun-ing selalu bermimpi buruk. Demikian juga pada malam yang keenam itu sehingga ia terjaga.
Seperti yang telah dilakukan, setiap saat ia membuka mata ataupun terjaga dari tidur, pertama-tama
pandang matanya tentu menumpah ke arah tubuh Lo-seng yang terbaring di ruang belakang kuil tua itu.
Demikian pada malam itu. Selekas ia terjaga dari mimpinya yang buruk, ia segera berpaling dan
memandang ke tempat Lo-seng. Tetapi?"
"Hai?"" serentak Hun-ing menjerit dan melenting bangun, "kemana Siau toako" Apakah dia sudah bangun
atau?"" Pek Wan Taysu juga terkejut. Cepat keduanya mencari ke ruang belakang, bahkan ke segenap sudut dari
kuil tua itu. Tetapi sia-sia.
Lo-seng hilang lenyap. Pemuda yang setelah minum pil beracun dan pingsan beberapa hari, secara
misterius telah hilang di bawah penjagaan Ui Hun-ing, nona yang menjabat ketua perkumpulan Naga Hijau
dan Pek Wan Taysu, seorang paderi sakti dari Siau-lim-si.
Benar-benar sukar untuk dipercaya tetapi memang suatu kenyataan bahwa tubuh Lo-seng telah hilang dari
ruang belakang kuil tua itu.
Siapakah yang mencuri tubuh Lo-seng" Apakah pemuda itu telah sadarkan diri lalu secara diam-diam
pergi" Apabila benar dicuri orang, untuk apakah sesosok mayat itu" Ah, jika dicuri, pencurinya kemungkinan besar
tentulah pihak istana Ban-jin-kiong. Gerombolan itu tentu hendak menjadikan mayat Lo-seng menjadi
seorang mayat hidup dan nantinya akan dijadikan barisan Mayat Hidup yang ganas.
Bila tidak dicuri orang, kemungkinan tentulah Lo-seng telah sadarkan diri lalu ngacir pergi. Mungkin karena
menyadari dirinya telah cacad atau kepandaiannya rusak akibat racun yang diminumnya maka pemuda itu
putus asa dan lolos. dunia-kangouw.blogspot.com
Ah, tetapi kesemuanya itu hanya merupakan dugaan. Misteri hilangnya mayat Lo-seng tetap belum
terpecahkan, walaupun Hun-ing dalam kedudukannya sebagai ketua Naga Hijau telah memerintahkan
kepada anak buahnya dan tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi untuk menyelidikinya.
Segenap penjuru kota Lok-yang dan sepuluh lie sekeliling luar kota itu telah diselidiki namun sama sekali
tiada bekas-bekas dapat diketemukan.
Hun-ing dan Pek Wan Taysu telah berusaha mati-matian namun tiada berhasil.
Ada suatu hal yang agak mengherankan. Sejak Lo-seng lenyap, ketegangan dalam kota Lok-yang pun
malah mereda. Tampaknya pihak Lembah Kumandang dan istana Ban-jm-kiong telah menghentikan
gerakannya. Dengan begitu hanya anak buah Naga Hijau, yang giat bergerak untuk menyelidiki jejak Lo-seng.
Hun-ing juga merasa heran atas redanya ketegangan kota Lok-yang. Ia tahu bahwa keredaan itu tidak
sewajarnya. Mungkin masing-masing sedang menyusun rencana sehingga sekali meletus pertempuran
tentu akan menimbulkan pertumpahan darah yang dahsyat.
Hun-ing memerintahkan anak buahnya supaya waspada dan berjaga-jaga"..
******************** Malam kelam. Bulan remang-remang bintang pun jarang. Kota Lok-yang seolah dicengkam kelelapan.
Tiba-tiba terdengar guruh mendegup-degup memberi peringatan kepada rakyat Lok-yang bahwa kota itu
akan dilanda hujan. Suasana malam itu makin seram.
Pada detik-detik yang sunyi seram itu, tiba-tiba tigabelas sosok tubuh manusia berpakaian hitam muncul di
halaman rumah keluarga Nyo. Mereka menyerbu masuk dan serentak terdengarlah dering senjata, pekik
jeritan disusul dengan sosok-sosok tubuh manusia yang rubuh.
Saat itu di halaman tengah gedung keluarga Nyo, tigabelas manusia aneh berkerudung kain hitam tegak
berjajar-jajar membentuk diri jadi tiga deret. Dihadapan mereka tujuh atau delapan anak murid perkumpulan
Naga Hijau rubuh terkapar di tanah.
Sesaat kemudian, seorang tua baju hitam berumur lebih kurang limapuluh tahun. melayang turun dari
wuwungan rumah. Dia serempak dengan itu pula, berpuluh-puluh anak buah Naga Hijau pun berhamburan
keluar. "Siapakah kalian ini" Apa maksud kalian datang kemari pada waktu malam begini?" teriak orang tua baju
hitam itu kepada rombongan Kerudung Hitam.
Tetapi ke tigabelas rombongan Kerudung Hitam itu tak menyahut melainkan saling bertukar pandang.
"Nyo Cong-thancu datang!" tiba-tiba seorang anak buah Naga Hijau berseru.
Seiring dengan teriakan itu, Nyo Cu-ing bersama Ko-tok Siu dan beberapa anak buah Naga Hijau muncul.
Sejenak memandang keadaan halaman itu, Cu-ing segera bertanya kepada orang tua baju hitam: "Hian-kim
Thancu, apakah artinya ini?"
Orang tua baju hitam itu bernama Hian Kim dan menjabat sebagai than-cu atau ketua bagian dari
perkumpulan Naga Hijau, Hian Kim memberi hormat, "Ketigabelas orang aneh Berkerudung Hitam ini telah menyerang ke sini,
menghancurkan empat pos penjagaan dan lima buah pos besar kita. Mereka tak mau memberi keterangan
apa-apa." "Nyo Cong-thancu," kata Ko-tok Siu yang menjabat sebagai ketua bagian Sin-bok, "ijinkan aku menguji
mereka barang beberapa jurus."
Habis berkata tanpa menunggu jawaban Cu-ing, dia terus taburkan tongkatnya menyerang tiga orang
Berkerudung Hitam. dunia-kangouw.blogspot.com
Perkumpulan Naga Hijau yang diketuai nona Ui Hun-ing itu, dibantu oleh beberapa than-cu (kepala bagian).
Beberapa than-cu itu diketuai oleh seorang Cong-thancu atau pemimpin kepala bagian. Kedudukan Congthancu ini di pegang oleh Nyo Cui-ing, puteri dari jago tua Nyo Jong-ho yang mati terbunuh oleh muridnya
sendiri, Li Giok-hou. 08.37. Malam Naas Perkumpulan Naga Hijau
Ketiga orang Berkerudung Hitam itu tidak menangkis maupun menghindar. Hanya setelah tongkat Ko-tok
Siu hampir tiba di dada mereka, serempak mereka balikkan tangannya menampar.
Seketika Ko-tok Siu rasakan dilanda oleh gelombang tenaga yang dahsyat. Dan gelombang tenaga itu
bukan lain yalah tenaga hantaman tongkatnya sendiri yang dipentalkan balik.
Ko-tok Siu terkejut dan cepat-cepat loncat mundur. Sekalipun demikian ia masih tetap mendengus pelahan
karena gelombang tenaga itu masih menyerempet juga bahunya, memaksanya terhuyung mundur tigaempat langkah dan tongkatnya pun hampir terlepas.
Gemparlah sekalian anak buah Naga Hijau ketika melihat Ko-tok Siu salah seorang dari pemimpin mereka
yang terkenal sakti, harus menelan kekalahan dalam gebrak permulaan saja.
Cu-ing juga tak terluput dari rasa kejut. Diam-diam ia menimang: "Ah, manusia manusia aneh ini entah dari
golongan mana" Menilik dalam satu gebrak saja Ko-tok Siu sudah dikalahkan, malam ini kita tentu akan
mengalami pertempuran dahsyat."
Menderita kekalahan yang begitu memalukan, Ko-tok Siu marah dan malu. Dengan kerahkan seluruh
tenaga ia hendak maju menyerang lagi. Tetapi Cu-ing cepat mencegahnya, "Sin-bok Thancu, silahkan
mundur." Habis berseru, nona itu maju selangkah dan berseru dengan nada sarat: "Dari golongan manakah kalian
ini" Apakah kalian mempunyai dendam permusuhan dengan Naga Hijau?"
Tetapi ketigabelas manusia aneh Kerudung Hitam itu hanya tegak seperti patung dan sepatahpun tak mau
menyahut. Cu-ing kerutkan alis, berpaling kepada orang tua baju hitam, serunya: "Hian-kim Thancu, undanglah Li
pangcu kemari!" "Nyo Cong-thancu," sahut orang tua itu, "sejak masih pagi tadi, Ui Pang-cu telah pergi bersama dua orang
than-cu serta Pek Wan Taysu untuk menyelidiki keadaan musuh. Sampai saat ini belum kembali."
"Jika begitu, lekas engkau kumpulkan anak buah kita yang berkepandaian tinggi untuk menangkap
gerombolan manusia Kerudung Hitam ini," seru Cu-ing pula.
Hian-kim Thancu atau yang nama sebenarnya Lim Tay-som mengiakan dan terus melangkah keluar.
Cu-ing pun serentak mencabut pedang dan membentak: "Hai, siapakah kalian ini" Kalau tetap berlagak bisu
jangan sesalkan aku berlaku kejam."
Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa mengekeh: "Heh, heh. Sekalipun engkau bertanya sampai
pecah kerongkonganmu, mereka tidak nanti akan menjawab......"
Sekalian orang terkejut dan serempak berpaling memandang keluar. Dari balik sebatang pohon Pek-yang
muncullah seorang lelaki tua yang bertubuh kekar, tangan kanannya mencekal sebatang ruyung panjang
warna emas. Itulah Lian-hun-tian-cu atau kepala bagian Paseban penempa jiwa yang bernama Long Wi.
Cu-ing terkejut. Ia tak menduga sama sekali bahwa si tua Long Wi yang bungkuk itu sudah bersembunyi di
balik pohon Pek-yang yang tumbuh di halaman. Diam-diam ia gentar juga karena jelas si bungkuk Long Wi
itu tentu memiliki kepandaian yang amat sakti.
"Ah, kepandaianmu sungguh hebat sekali," seru Cu-ing. "ketigabelas manusia aneh ini tentu engkau yang
membawanya kemari, bukan?"
Si bungkuk Long Wi tertawa mengekeh lagi, "Benar, benar. Dan engkau tentulah Nyo Cu-ing, bukan?"
Cu-ing tak memberi keterangan melainkan berkata lagi: "Engkau dan aku tak kenal mengenal. Mengapa
engkau membawa manusia-manusia aneh itu kemari?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Long Wi tertawa. Kali ini nada tertawanya dingin, "Bukankah Nyo Jong-ho itu ayahmu?"
Cu-ing mendapat kesan bahwa orang bungkuk itu tahu jelas akan keluarga Nyo. Tetapi masih bertanya lagi.
"Sudah tahu mengapa engkau masih bertanya lagi?" tegurnya.
Long Wi tertawa dingin. "Nona Nyo," serunya, "apakah pusaka Keng-hun-pit dari ayahmu itu berada padamu?"
Wajah Cu-ing serentak berobah. Diam-diam dia berkata dalam hati: "Memang pusaka milik ayah itu berada


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padaku. Hm, coba saja apakah engkau mampu mengambil benda itu dari tanganku."
Ternyata waktu masih hidup Nyo Jong-ho sudah mempunyai firasat tajam bahwa keluarganya akan
tertimpah bencana besar. Maka sebelumnya ia telah memberitahu kepada puterinya segala sesuatu tentang
senjata Keng-hun-pit itu. Baik mengenai rahasia pada pusaka itu maupun tentang cara untuk
menyembunyikannya. Karena menyadari bahwa senjata pusaka itu mempunyai sangkut paut yang penting bagi dunia persilatan,
maka Cu-ing pun tak mau membocorkan rahasia itu.
Tetapi alangkah kejut nona itu ketika mendengar pertanyaan si bungkuk Long Wi. Jelas orang itu sudah
tahu tentang rahasia penyerahan pusaka Keng-hun-pit kepada dirinya.
Cu-ing merenung sejenak lalu menyahut dengan nada dingin: "Pusaka Keng-hun-pit itu telah dirampas oleh
pembunuh mendiang ayahku. Sayang engkau datang terlambat."
Tiba-tiba Long Wi tertawa nyaring.
"Nona Nyo, kami bukan anak kemarin sore. Mataku masih terang, telingaku masih tajam. Jelas kuketahui
bahwa senjata Keng-hun-pit itu tidak berada pada ayahmu. Lebih baik nona mengaku terus terang saja."
Mendengar kata-kata si bungkuk, berobahlah seketika walah Cu-ing, bentaknya: "Kalau begitu, engkaulah
pembunuh ayahku itu!"
"Nona Nyo," jawab si bungkuk tenang-tenang, "baik nona jangan bicara yang tidak berguna. Kalau engkau
tak mau menyerahkan senjata Keng-hun-pit itu, terpaksa akan kuperintahkan kepada ketigabelas mayat
hidup itu untuk mengganas. Nah, pada saat itu, janganlah nona menyesal lagi."
Saat itu Cu-ing sudah jelas mengetahui bahwa si bungkuk Long Wi itu adalah orang istana Ban-jin-kiong.
Sebelumnya, Hun-ing pun telah memberitahukan kepadanya tentang orang-orang gerombolan istana Banjin-kiong, begitu pula tentang perbuatan terkutuk dari Li Giok-hou yang telah membunuh ayah Cu-ing.
Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Suara guruh dan halilintar sahut menyahut membelah angkasa.
Sejenak Cu-ing mengerling pandang dan memperhatikan bahwa Hian-kim Thancu pun sudah
mempersiapkan jago-jago lihay dari Naga Hijau bersiap di empat penjuru.
Setelah persiapan selesai maka Cu-ing segera berteriak nyaring: "Anak buah Naga Hijau, jangan biarkan
seorangpun dari manusia-manusia aneh itu lolos!"
Perintah itu segera disambut dengan munculnya berpuluh anak buah Naga Hijau. Bagaikan tawon dionggok
dari sarang, mereka berhamburan keluar menyerang musuh.
Si bungkuk Long Wi tertawa dingin. Segera ia gentakkan ruyung emasnya, "tar, tar, tar?"" menyabet tiga
kali ke udara. Rupanya itulah tanda perintah maka bergeraklah tiga orang mayat hidup menerjang anak buah Naga Hijau.
Cepat sekali segera terdengar tiga buah lengking jeritan dari tiga anak buah Naga Hijau yang rubuh.
Cu-ing terkejut sekali. Dilihatnya ketiga mayat hidup itu menerjang dengan jurus serangan yang aneh.
Menghantam, menabas, menendang, menampar dan mencengkeram dengan gerak yang luar biasa
tangkasnya, Dan setiap kali mereka bergerak, tentulah ada anak buah Naga Hijau yang menjerit rubuh.
Dalam beberapa kejap saja sudah tujuh-delapan anak buah Naga Hijau yang hancur.
Cu-ing tak dapat tinggal diam lagi. Dengan melengking nyaring, ia taburkan pedang menyerang ketiga
mayat hidup itu. Ko-tok Siu pun juga memutar tongkatnya menyerang maju.
dunia-kangouw.blogspot.com
Rupanya ketiga manusia yang sudah hilang kesadaran pikirannya itu tahu juga akan kelihayan ilmu pedang
Cu-ing dan tongkat Ko-tok Siu. Mulut mereka bercuit-cuit aneh dan cepat menghindar ke samping.
Sudah tentu Cu-ing tak mau memberi kesempatan lagi. Cepat ia menyusup maju dan dengan jurus
Gelombang pasang di laut selatan, ia tusukkan ujung pedangnya.
Jurus itu merupakan ajaran istimewa dari rahib sakti Tay Hui Sin-ni. Cepatnya bukan alang kepalang.
Karena tak sempat menghindar, punggung manusia aneh itu terkena tusukan. Darah mengucur, campur jadi
satu dengan air hujan yang menggenangi tanah.
Manusia aneh itu mendengus geram lalu menyerang Cu-ing.
"Engkau cari mati!" bentak Ko-tok Siu yang berada di samping seraya menyabetkan tongkat ke pinggang
lawan dengan jurus Menyapu ribuan lasykar.
"Bluk?" krak?""
Terdengar dua buah suara. Yang satu yalah suara putusnya tongkat Ko-tok Siu. Pada hal tongkat itu
kerasnya seperti baja tetapi ketika menyabet pinggang manusia aneh, tongkatpun putus jadi dua. Tangan
Ko-tok Siu sakit seperti pecah tulangnya.
Suara yang kedua tak lain dari tubuh si manusia aneh yang termakan tongkat. Dia terhuyung-huyung
sampai dua kali, menjerit-jerit keras dan terus menerkam bahu Ko-tok Siu.
Melihat itu Cu-ing cepat menabas dan menjeritlah manusia aneh itu ngeri sekali karena kedua tangannya
kutung. Tetapi walaupun kedua tangannya kutung, manusia aneh itu tetap tak mau menghentikan serangannya.
Tangannya yang kutung itu tetap diteruskan untuk menusuk punggung Ko-tok Siu.
"Huak?"" Ko-tok Siu muntah darah, dia terhuyung-huyung mundur sampai tujuh-delapan langkah.
Setelah melukai Ko-tok Siu, manusia aneh itu lalu menyerang Cu-ing.
Cu-ing benar-benar gentar melihat sepak-terjang seorang manusia yang begitu aneh. Dia tak berani
menyambut serangan orang itu melainkan menghindar ke samping.
Manusia aneh itu marah dan hendak mengejar tetapi sekonyong-konyong terdengar Long Wi memberi
perintah: "Sip-hun-jin nomor dua, mundurlah?""
Walaupun manusia aneh itu menurut perintah tetapi dia masih melengking-lengking dan meraung-raung
seperti masih penasaran. "Tar?".." Long Wi segera mencambukkan ruyung emasnya ke tubuh orang itu. Rupanya orang itu takut
sekali akan ruyung emas. Dengan mengerang tertahan ia segera mundur dan kembali ke tempat barisan
kawan-kawannya. "Nona Nyo," seru Long Wi pula. "sekarang tentu engkau sudah mengetahui betapa dahsyatnya Sip-hun-jin
itu. Jika engkau tetap menolak menyerahkan pusaka Keng-hun-pit, apabila kuperintahkan ketigabelas Siphun-jin itu bergerak, coba saja, apakah kalian sanggup melawan mereka?"
Cu-ing seorang nona yang cerdik. Dalam menghadapi keadaan seperti pada saat itu ia menyadari bahwa
kekuatan pihak Naga Hijau tak mungkin dapat melawan mereka.
Tetapi belum ia mengambil keputusan, tiba-tiba Hian-kim Thancu sudah menyelutuk: "He, engkau hendak
menggertak kami" Lihatlah dahulu keadaan di sekeliling tempat ini, barulah engkau boleh buka mulut!"
Menggunakan kesempatan kilat mencerah cuaca, Long Wi cepat dapat mengetahui bahwa empat penjuru
sekeliling tempat itu memang telah penuh dengan barisan panah dari anak buah Naga Hijau. Mereka sudah
siap dengan busur terentang setiap saat siap melepaskan beratus-ratus batang anak panah ke arah
gerombolan manusia aneh itu.
Long Wi tertawa. "Ha, ha, kalau ditujukan pada orang lain, memang barisan panah itu menakutkan sekali. Tetapi terhadap
diriku dan ketigabelas Sip-hun-jin itu jangan harap kalian dapat mencelakai."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Anak buah Naga Hijau sekalian, lekas mundur keluar dari tempat ini. Barisan panah supaya melindungi,"
tiba-tiba Cu-ing berseru memberi perintah.
Serentak dari atas rumah berhamburanlah hujan anak panah ke arah Long Wi dan ketigabelas Sip-hun-jin
itu. Long Wi membentak keras seraya taburkan ruyung emas untuk menyapu hujan anak panah.
Sedang ketigabelas manusia aneh itu segera berpencaran untuk menyerbu barisan anak panah Naga Hijau.
Merebut dan menghancurkan busur mereka.
Setelah berhasil menghampiri ke bawah serambi, rombongan manusia aneh itupun dapat terhindar dari
serangan anak panah yang dilepas dari atas wuwungan.
Di halaman gedung keluarga Nyo saat itu pecah pertempuran yang dahsyat. Lolong jeritan muncratan darah
dan anggauta badan manusia, berhamburan ke empat penjuru. Dalam beberapa kejap saja sudah duapuluh
tukang panah anak buah Naga Hijau yang mati di tangan gerombolan manusia aneh.
Cu-ing makin marah. Segera ia kembangkan ilmu pedang Giok-li-kiam (Pedang Bidadari), menyerang Long
Wi. Ilmu pedang Giok-li-kiam itu merupakan ilmu pedang ciptaan rahib Tay Hui Sin-ni sendiri. Sekali dimainkan
maka Long Wi pun segera terkurung dalam lingkaran sinar pedang.
"Jika tak lekas memerintahkan kawanan Sip-hun-jin itu berhenti, jangan harap engkau dapat tinggalkan
tempat ini dengan masih bernyawa," bentak Cu-ing.
Long Wi hanya tertawa hina dan terus menggerakkan ruyung emas. Setelah menahan pedang Cu-ing, ia
meluncur mundur beberapa langkah.
"Nona Nyo," serunya, "engkau harus dapat melihat kenyataan. Pertempuran hari ini. tidak sama dengan
waktu yang lalu. Apabila engkau tak mau menyerahkan pusaka Keng-hun-pit itu, seluruh anak buah Naga
Hijau akan hancur semua!"
Sejenak memperhatikan keadaan sekeliling, Cu-ing melihat jago-jago sakti dari Naga Hijau sudah
bertempur dengan ketigabelas Sip-hun-jin. Jeritan ngeri berselang-selang terdengar di sana sini.
Diperhatikannya pula bahwa tubuh-tubuh yang rubuh terluka atau mati itu, kebanyakan tentu anak buah
Naga Hijau. Sedangkan gerombolan Sip-hun-jin itu makin lama bahkan makin garang dan dahsyat. Mereka
seperti bukan manusia. Tiba-tiba nona itu melihat tujuh anak buah Naga Hijau telah ditangkap dan dipeluk oleh tujuh Sip-hun-jin.
"Krak, krak, krak......," sesaat kedengaran jeritan ngeri ketika tubuh ketujuh anak buah Naga Hijau itu putus
menjadi dua. Dan begitu dilepas ketujuh anak buah Naga Hijau itupun berguling-guling dan menjerit-jerit
ngeri di tanah. Gemetarlah tubuh Cu-ing karena marah. Dengan melengking keras, ia terus hendak menyerang tetapi
secepat itu juga Long Wi getarkan ruyungnya uutuk menahan.
Hoan-sim-hiat-long atau Membalik tubuh menghantam ombak adalah jurus yang digerakkan Cu-ing untuk
membabat si bungkuk. Tetapi orang bungkuk itu segera memutar ruyungnya yang lemas, melilit batang
pedang si nona lalu ditariknya.
Hampir saja pedang Cu-ing terlepas. Untung ia cepat-cepat mengerahkan tenaga untuk menahan.
Demikian keduanya segera kerahkan tenaga masing-masing untuk adu kekuatan saling tarik.
"Nona Nyo," seru Long Wi, "kalau engkau mau menyerahkan pusaka Keng-hun-pit, urusan dapat kita
anggap selesai sampai di sini saja. Tetapi kalau engkau berkeras tak mau menyerahkan, tentulah engkau
sendiri yang akan rugi. Cobalah nona pikir masak-masak!"
Walanpun marah tetapi Cu-ing seorang gadis yang cerdas. Tahu bahwa apabila ia berkeras menolak
permintaan orang, malam itu pihak Naga Hijau tentu akan menderita kerusakan besar.
"Hentikan gerakan Sip-hun-jin dulu, baru kita berunding lagi," akhirnya ia berseru.
Tepat pada saat itu, tiba-tiba terdengar suitan panjang yang nyaring. Cepat sekali suara itu segera tiba di
tempat itu. dunia-kangouw.blogspot.com
Seketika itu juga baik Long Wi maupun Cu-ing tergetar hatinya. Suitan itu bagaikan halilintar meletus.
Sebelum tahu apa yang terjadi, di udara berkilat dua buah sinar emas. Yang satu begitu tiba terus lenyap
sedang yang satu meluncur ke bawah. "Bum?""
Ledakan keras diiring jeritan ngeri segera memecah suasana dalam ruang pertempuran. Menyusul tiga
sosok tubuh manusia Sip-hun-jin segera rubuh.
Sekalian orang terlongong-longong menyaksikan kejadian yang luar biasa itu. Tahu-tahu di gelanggang
telah bertambah dengan seorang pendatang baru. Dia berdiri tegak sambil lintangkan pedang ke muka
dada. "Siau Lo-seng!" tiba-tiba Long Wi menjerit kaget.
Dan ketika Cu-ing memandang ke muka, memang pendatang itu bukan lain adalah Siau Lo-seng, pemuda
yang mati karena minum pil beracun dan mayatnya hilang tak berbekas itu.
08.38. Mumi Setengah Jadi . . . . . .
Dan yang lebih menggetarkan hati Cu-ing, pemuda itu memegang Pedang Ular Emas. Setelah termangu
sejenak, Cu-ing lalu menghampiri dan menegurnya: "Siau losu?""
Karena sudah biasa memanggil dengan sebutan 'losu' (guru), maka Cu-ing pun menggunakan panggilan itu.
Siau Lo-seng tenang-tenang berpaling muka. Wajahnya dingin sekali. Ia deliki mata kepada Cu-ing. Begitu
beradu pandang dengan sinar mata pemuda itu, menggigillah hati Cu-ing.
Sejenak memandang si nona, Lo-seng gelengkan kepala dan berkata seorang diri: "Bu?kan?" bukan?""
Ia hanya mengatakan sepatah kata lalu tegak mematung lagi.
Cu-ing terkejut, serunya: "Siau sian-seng, apakah engkau tak kenal padaku" Aku ini Nyo Cu-ing."
Namun pemuda itu tetap gelengkan kepala. Ia mengangkat muka menengadah ke atas, membiarkan air
hujan mencurah ke mukanya.
Tiba-tiba wajah pemuda itu mengembang sinar pembunuhan yang ngeri. Serentak pedang pusaka Ular
Emas digentakkan menuding ke arah sembilan gerombolan Sip-hun-jin lalu berkata seorang diri: "Yang
hendak kubunuh yalah mereka. Ya, benar, kawanan manusia itu?""
Kesembilan Sip-hun-jin tampak ketakutan dan berbondong-bondong mundur. Pedang Ular Emas tetap
diarahkan Siau Lo-seng ke tempat kawanan Sip-hun-jin itu.
"Tar, tar, tar?"."
Long Wi segera getarkan ruyung emasnya. Ia marah karena kawanan Sip-hun-jin ketakutan mundur.
"Sip-hun-jin, kamu sekalian adalah jago nomor satu di dunia, lekas serang musuh itu!" teriaknya.
Mendengar itu, kesembilan Sip-hun-jin itupun segera meraung-raung lalu berhamburan menyerbu Siau Loseng.
Sip-hun-jin itu adalah tokoh-tokoh silat sakti yang telah ditundukkan oleh orang istana Ban-jin-kiong. Dengan
ilmu Menempa Jiwa, mereka telah dibius hingga hilang kesadaran pikirannya. Mereka tak takut kepada
siapapun juga. Tetapi aneh. Ketika pandang mata mereka terbentur dengan sinar mata Lo-seng yang memancarkan
pembunuhan itu, patahlah nyali kawanan Sip-hun-jin itu. Bermula setelah mendengar perintah si bungkuk
Long Wi, mereka memberingas dan maju menyerang. Tetapi ketika beradu pandang dengan mata Lo-seng,
mereka berputar tubuh dan lari.
Siau Lo-seng tak memberi ampun lagi. Dengan bersuit nyaring ia segera loncat membabat mereka.
Terdengar jeritan ngeri dan dua butir kepala orang Sip-hun-jin segera terlempar ke udara dan tubuhnya
melayang dua tombak jauhnya. Tiga orang Sip-hun-jin yang lain, terbabat kutung pinggangnya......
Air hujan yang menggenangi bumi, berwarna merah darah menyeramkan mata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Serangan Siau Lo-seng itu cepatnya bukan alang kepalang sehingga tokoh-tokoh yang berada di halaman
itu tak tahu ilmu pedang apakah yang digunakan anak muda itu.
Tetapi sekalian orang tak sempat untuk memikirkan hal itu. Dilihatnya Lo-seng seperti seorang gila yang
mengamuk. Dia mengejar sisa Sip-hun-jin yang masih empat orang itu.
Sekali loncat ia membabat dan terdengarlah jeritan ngeri. Seorang Sip-hun-jin terbelah menjadi dua, dua
orang lagi terbabat kutung pahanya......
Pemandangan ngeri itu benar-benar membuat bulu tengkuk orang meregang tegang. Siau Lo-seng tak ubah
seperti seekor harimau yang tengah berpesta pora dengan darah.
"Ah, agaknya dia juga sudah menjadi Sip-hun-jin......" tiba-tiba timbullah suatu kesan dalam hati Cu-ing.
Setelah membasmi delapan Sip-hun-jin. wajah Lo-seng tampak membeku dingin. Matanya berkilat-kilat
menyapu ke arah orang yang masih berada di sekeliling tempat itu.
Tiba-tiba matanya mencurah kepada Long Wi dan seorang Sip-hun-jin yang masih hidup.
Si bungkuk Long Wi gemetar sehingga mulutnya bergemerutukan. Sikapnya yang garang tadi, seketika
lenyap ditelan rasa ketakutannya. Ia mundur dua langkah ke belakang,
Tiba-tiba Cu-ing tertegun melihat Sip-hun-jin yang masih hidup itu. Rasanya ia kenal dengan orang itu.
"Mengapa dia mirip sekali dengan ketua partai Bu-tong-pay imam Hun Ho?"," diam-diam ia menimang
dalam hati. Dalam pada itu, Siau Lo-seng pun sudah ayunkan langkah menghampiri ke tempat kedua orang itu.
Long Wi pucat dan terus menerus menyurut mundur. Sedangkan Sip-hun-jin itupun gemetar tubuhnya tetapi
dia tetap tegak di tempatnya.
Saat itu hujanpun mulai reda. Angin dingin menambah keseraman suasana.
Setelah mundur sampai tiga tombak jauhnya si bungkuk Long Wi berteriak memberi perintah: "Hai, nomor
tigabelas, lekas serang musuhmu!"
Sip-hun-jin itu gemetar keras, mau maju tetapi tak jadi. Ia geleng-geleng kepala dan merintih-rintih.
Saat itu Siau Lo-seng pun sudah maju dan gerakkan ujung pedang ke arah dada Sip-hun-jin itu.
Sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar lengking teriakan yang memanggil-manggil: "Siau Loseng?" Siau Lo-seng toako?" Siau Lo-seng toako?"."
Mendengar itu ujung Pedang Ular Emas yang sudah hampir terbenam di dada Sip-hun-jin, dihentikan.
Rupanya dia mendengar juga teriakan orang itu dan tertegun.
"Siau Lo-seng?" Siau Lo-seng?"," suara orang berteriak memanggil nama pemuda itupun terdengar
lagi. Aneh untuk dikata. Tangan Siau Lo-seng gemetar mendengar suara itu. Setiap kali ia hendak menusuk
dada Sip-hun-jin, tiba-tiba ia hentikan apabila mendengar teriakan itu.
"Tar, tar?"," si bungkuk Long Wi cepat sabetkan ruyungnya ke udara. Tetapi agaknya Sip-hun-jin nomor
tigabelas itu sudah patah nyalinya. Walaupun ia mendengar perintah Long Wi tetapi tak berani menyerang
Siau Lo-seng. Melihat Sip-hun-jin nomor tigabelas itu takut kepada Siau Lo-seng, Long Wi pun bersuit nyaring dan
berseru: "Nomor tigabelas, mundur dan lekas pergilah!"
Habis memberi perintah Long Wi terus melarikan diri. Demikian Sip-hun-jin yang sebelum diperintah Long
Wi, ternyata sudah mendahului lari lebih dulu.
Siau Lo-seng masih tertegun. Ia berpaling ke arah suara yang memanggil namanya tadi.
"Siau toako......" sekonyong-konyong terdengar teriakan gembira dan susul menyusul dua sosok tubuh
segera menerobos masuk ke dalam dan lari ke tempat Siau Lo-seng.
"Huh......" tiba-tiba Siau Lo-seng mendesuh dan loncat menghindar.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Siau toako...... Siau toako...... berhentilah dulu......" teriak pendatang itu.
Cu-ing segera mengenali siapa kedua pendatang itu, teriaknya: "Ui Pang-cu?""
Ternyata kedua pendatang itu yalah Ui Hun-ing dan Pek Wan Taysu. Setelah memandang ke sekeliling
tempat yang penuh dengan mayat, berserulah paderi Siau-lim-si itu: "Omitohud......"
Ia ngeri melihat pemandangan di tempat itu. Belasan mayat anak buah Naga Hijau dan duabelas mayat Siphun-jin malang melintang dalam kubangan air darah.
Hun-ing menggentakkan kaki dan menghela napas: "Ah kita terlambat. Pembunuhan ngeri telah terjadi. Ai.
kemanakah kita harus mencarinya lagi?"
"Ui Pang-cu, agaknya Siau toako telah kehilangan kesadaran pikirannya. Dia telah menjadi......"
Belum selesai Cu-ing berkata, Hun-ing sudah cepat menukas: "Benar dia memang telah menjadi seorang
yang hilang kesadaran pikirannya. Tetapi belum lenyap sama sekali......"
Rupanya Cu-ing tak mengerti apa yang dimaksud Hun-ing, tanyanya: "Ui Pang-cu. bagaimanakah artinya?"
Hun-ing menghela napas. "Jika dia sudah lenyap pikirannya, tak mungkin dia hanya membasmi kawanan Sip-hun-jin itu saja. Mungkin
diapun tentu akan membunuh kita semua!"
"Ya, benar," kata Cu-ing, "tetapi dia sudah tak kenal lagi padaku."
Hun-ing menghela napas lagi: "Aku sendiri juga heran. Entah dia memang sungguh begitu atau hanya purapura saja."
"Menilik sikapnya tadi, mungkin ia memang tak pura-pura," kata Cu-ing, "sejak kukenal padanya, dia
memang aneh sekali sikapnya. Apabila Pek Wan Taysu tidak menjelaskan dia itu putera dari Naga tanpa
bayangan Siau Han-kwan, tentu aku akan tetap menganggapnya sebagai pembunuh ayahku."
"Nyo Cong-thancu," tiba-tiba Pek Wan Taysu bertanya kepada Cu-ing, "aku hendak minta tanya kepadamu.
Apakah semasa hidupnya. Nyo lo-enghiong pernah meninggalkan pesan mengenai diri Siau Han-kwan?"
"O, benar," seru Cu-ing. "memang ayah telah meninggalkan beberapa pesan kepadaku. Di antaranya juga
mengenai Siau Han-kwan tayhiap. Tetapi ayah pesan wanti-wanti agar aku jangan mengatakan hal itu
kepada siapa saja, kecuali pada Siau toako sendiri?", ah......"
Berhenti sejenak, Cu-ing melanjutkan pula dengan nada rawan.
"Sayang sekali, riwayat hidup Siau Han-kwan tayhiap itu baru kuketahui setelah terlambat sekali sehingga
sekarang ini tak dapat kuberitahukan kepada Siau Lo-seng toako tentang hal itu."
Mendengar keterangan itu Pek Wan Taysu dan Hun-ing kerutkan alis. Diam-diam keduanya merenung:
"Apakah yang hendak dikatakan kepada Siau Lo-seng?"
Walaupun keduanya ingin tahu tetapi mereka sungkan untuk meminta Cu-ing memberitahukan.
Sambil memandang ke langit, Hun-ing berkata: "Sekarang, hujan sudah berhenti. Mari kita mencarinya!"


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian ia memberi pesan kepada Hian-kim Thancu supaya mengurus mayat anak buah Naga Hijau.
Mayat kawanan Sip-hun-jin supaya dimasukkan dalam peti dulu.
"Ui Pang-cu," kata Cu-ing. "kalau tak salah, seorang Sip-hun-jin itu, mirip seperti Hun-Ho Totiang ketua Butong-pay. Apakah kita tak perlu memeriksa dulu?"
"Ah, kurang perlu," suhut Pek Wan Taysu, "memang mereka adalah tokoh-tokoh sakti dalam dunia
persilatan. Maka nanti akan kuberitahukan kepada partai-partai persilatan supaya datang mengenali orangorang mereka."
"Benarkah itu?" Cu-ing terkejut.
"Ya, memang peristiwa itu amat menyedihkan sekali Mereka telah ditangkap dan dijadikan mayat hidup oleh
pemimpin istana Ban-jin-kiong tetapi akhirnya dibunuh oleh Siau toako," kata Hun-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ui Pang-cu," kata Pek Wan Taysu, "baiklah engkau lekas melakukan penyelidikan pada Lo-seng. Aku
hendak pulang ke gereja Siau-lim-si untuk minta bantuan barisan Lo-han-tin."
"Terima kasih, taysu," kata Hun-ing dengan nada rawan, "dengan kehilangan sekian banyak anak buah,
memang Naga Hijau menjadi lemah dan tak kuasa menghadapi pihak Ban-jin-kiong maupun Lembah
Kumandang. Perjuangan memberantas kaum durjana itu, terpaksa harus meminta bantuan gereja Siau-lim."
Pek Wan Taysu menghela napas: "Tetapi aku sendiri masih kuatir kalau-kalau barisan Lo-han-tin dari Siaulim-si tak mampu menghadapi mereka."
"Ah, Lo-han-tin merupakan barisan yang termasyhur dari gereja Siau-lim-si. Apabila taysu dapat
mengundang mereka, kupercaya tentu dapat menyapu kawanan durjana itu."
Pek Wan Taysu menyatakan hendak berusaha sekuat tenaga agar Siau-lim-si mau membantu. Demikian
ketiga orang itu segera berangkat menuju ke luar kota Lok-yang. Pek Wan Taysu hendak menuju ke Kosan, kedua nona itu hendak mencari Siau Lo-seng.
Tiba-tiba mereka melihat sesosok bayangan muncul dari tempat gelap tembok kota. Serentak Cu-ing pun
berteriak: "Siau toako......"
Memang bayangan yang muncul bukan lain adalah Siau Lo-seng. Punggungnya menyanggul pedang
pusaka Ular Emas. Wajahnya dingin sekali.
Tampaknya dia terkesiap ketika mendengar dipanggil namanya. Ia berhenti dan memandang ketiga orang
itu. "Lo-seng, apakah engkau tak kenal aku" Aku adalah pamanmu Pek Wan," seru Pek Wan Taysu
Lo-seng gelengkan kepala.
"Pek Wan?" Pek Wan"... aku tak kenal engkau dan takkan membunuhmu," katanya.
Dengan kata-kata itu jelas sudah bahwa Lo-seng memang sudah kehilangan kesadaran pikirannya. Dia lupa
apa yang telah terjadi dulu. Dia tak kenal lagi pada Pek Wan Taysu, demikian tentu lupa juga kepada Huning dan Cu-ing.
Tetapi Hun-ing masih ingin mencoba: "Siau toako, apakah engkau masih ingat ketika engkau dilukai oleh
orang Ban-jing-kiong."
Belum selesai mendengar pertanyaan si nona, Siau Lo-seng sudah kerutkan dan menukas: "Apa" ketua
Ban-jin-kiong" Dimanakah dia sekarang?"
Melihat itu serentak timbullah suatu pikiran pada benak Hun-ing, cepat ia berseru: "Apakah maksudmu
hendak mencarinya?" Siau Lo-seng mendengus dingin, "Sudah tentu hendak kubunuhnya."
Hun-ing berpaling ke arah Cu-ing dengan wajah gembira, kemudian melanjutkan lagi: "Baiklah, memang kita
juga hendak membunuh kepala Ban-jin-kiong itu. Kalau engkau mau bersama kita, nanti apabila bertemu
dengan ketua Ban-jin-kiong, tentu akan kuberitahu kepadamu."
Siau Lo-seng gelengkan kepala: "Tidak, tidak, aku tak dapat mengikuti kalian."
"Mengapa" Apakah engkau tak dapat bersama-sama kita" Mengapa?" Hun-ing heran.
Pek Wan Taysu dan Cu-ing tahu bahwa Hun-ing sedang menyelidiki diri Lo-seng maka merekapun diam
saja. "Engkau hendak menyelidiki diriku?" seru Lo-seng.
Hun-ing tertawa: "Kalau engkau tak mau pergi bersama kita, engkau tentu tak dapat melaksanakan
keinginanmu membunuh ketua Ban-jin-kiong."
Siau Lo-seng mendengus: "Mengapa kalau tak bersama kalian aku tak dapat membunuh orang itu?"
Mendengar itu rawanlah hati Hun-ing. Seorang pemuda yang cerdas seperti Lo-seng, saat itu benar-benar
telah menjadi seorang tolol.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Karena engkau tentu tak dapat mengenali ketua Ban-jin-kiong itu," Hun-ing paksakan tersenyum,
"sekalipun bertemu mungkin engkau tentu tak tahu."
"Siapa bilang aku tak kenal" Hm.......," dengus Siau Lo-seng.
"Kalau begitu apakah engkau kenal juga pada Ui Hun-ing, Nyo Cu-ing, Bok-yong Kang dan Siau Lo-seng?"
cepat Hun-ing menyelinapkan pertanyaan. Ia hendak menguji sampai dimana ingatan yang masih dimiliki
Lo-seng. Ternyata waktu mendengar nama-nama itu, Lo-seng kerutkan dahi dan berkata seorang diri: "Siau Lo-seng,
Bok-yong Kang, Ui Hun-ing, Nyo Cu-ing?" siapakah mereka" Ya, rasanya pernah kudengar nama-nama
itu?" tetapi ah, mengapa aku tak ingat sama sekali?""
Habis berkata Lo-seng menengadah memandang ke langit. Rupanya dia tengah menggali ingatannya akan
masa yang lalu. Melihat keadaan anak muda itu, diam-diam Hun-ing, Cu-ing dan Pek Wan Taysu girang dalam hati.
Ternyata ingatan Lo-seng sama sekali belum hilang seluruhnya. Penyakit yang dideritanya, apabila diobati
dengan tekun, tentu dapat disembuhkan. Umumnya penyakit begitu disebabkan karena mendarita suatu
ketegangan dan kekagetan yang hebat.
Tetapi menurut dugaan Hun-ing, penyakit Lo-seng itu tentu disebabkan karena bekerjanya pil beracun yang
menyerang sel-sel otaknya sehingga ia lupa akan peristiwa yang telah lalu.
Beberapa saat kemudian, Lo-seng pun gelengkan kepala.
"Apakah engkau tahu siapa namamu sendiri?" tanya Hun-ing.
Dahi Lo-seng mengerut gelap. Jelas ia pun lupa akan namanya sendiri.
08.39. Kesadaran Melalui Suara Seruling Aneh
Hun-ing menghela napas: "Siau toako, apakah engkau lupa bahwa engkau ini orang she Siau dan namamu
Lo-seng?" Waktu mengatakan nama itu, sengaja Hun-ing gunakan tenaga dalam agar suaranya dapat menggetarkan
hati Lo-seng. Terapi di luar dugaan pemuda itu. hanya termangu-mangu saja memandang langit.
Kira-kira sepeminum teh lamanya, tanpa berkata apa-apa, Siau Lo-seng terus berputar tubuh dan ayunkan
langkah pergi. "Siau toako, tunggu sebentar!" teriak Cu-ing.
Siau Lo-seng tak menghiraukan. Dia berjalan dengan kepala menunduk.
"Adik Ing," kata Hun-ing, "jangan mencegahnya. Cukup kita ikuti dia dari belakang. Entah kemana dia
hendak menuju nanti."
"Ui Pang-cu," kata Pek Wan Taysu dengan rawan, "ternyata dia memang sudah kehilangan kesadaran
pikirannya. Ah sungguh tak kira bahwa seorang pemuda yang begitu gagah dan diharapkan akan menjadi
penyelamat dunia persilatan, akhirnya menjadi sedemikian mengenaskan nasibnya."
"Pek Wan locianpwe," kata Hun-ing, "yang kita kuatirkan dia itu dikuasai orang. Kalau hanya kehilangan
ingatan sendiri, itu tak mengapa."
"Kurasa dia tidak di bawah kekuasaan orang," kata Cu-ing
"Ya, benar," sahut Pek Wan Taysu, "rasanya dia telah menderita penyakit itu karena obat racun yang
diminumnya itu." "Taysu," tiba-tiba Hun-ing gelengkan kepala, "tahukah taysu bahwa Pedang Ular Emas yang dibawanya itu,
pernah ditanam di sebuah tempat sepi di luar kota Lok-yang" Kalau dia kehilangan ingatan karena obat
beracun itu, tentulah dia takkan dapat mencari tempat pedang itu dan menggalinya lagi?"
Pek Wan Taysu termenung beberapa saat katanya: "Benar, memang dia pernah memberitahu kepadaku
bahwa dia hendak melenyapkan pedang Ular Emas itu. Tetapi apakah yang terjadi pada dirinya di kuil tua
dunia-kangouw.blogspot.com
itu" Mengapa dia hilang" Apakah dia bangun lalu pergi ataukah dibawa orang" Kalau menilik keadaannya
saat ini, rasanya dia memang bangun sendiri lalu lolos dan berkelana kemana-mana."
Hun-ing mengangguk. "Pendapat taysu memang sama dengan pendapatku," kata Hun-ing, "tetapi hendaknya dalam mengupas
persoalan, harus kita pandang dari segi baik dan buruknya. Taysu, bagaimana pun dapat taysu mengenal
Pedang Ular Emas yang dipakai oleh Siau toako lagi itu?"
"Hal itu dapat diterangkan menurut beberapa tafsiran," kata Pek Wan Taysu. "menilik tadi dia dapat
mengingau seorang diri, jelas kesadaran pikirannya masih belum lenyap sama sekali. Berdasarkan hal itu
maka dapatlah kita membuat tafsiran begini. Dia mungkin masih teringat akan pedang pusaka Ular Emas,
lalu dia mencarinya lagi. Kemungkinan lain, ada orang yang mencuri Pedang Ular Emas dan kebetulan
berpapasan dengan Lo-seng. Lo-seng lalu merebutnya. Kita tahu bahwa sebelum dia kehilangan
ingatannya, pedang Ular Emas itu merupakan senjata yang paling disayanginya Maka dia tentu kenal sekali
dengan pedang itu." Uraian Pek Wan Taysu itu walaupun agak dipaksakan tetapi beralasan juga.
Kemudian Hun-ing pun mengemukakan pendapatnya: "Akupun hendak membuat pengandaian. Bahwa
mayat Siau toako telah dicuri orang lalu orang itu menggunakan dia sebagai alat pun bukan suatu hal yang
mustahil, bukan?" Pek Wan Taysu mengangguk: "Ui Pang-cu, harap suka melanjutkan tafsiran pangcu!"
Hun-ing merenung sejenak lalu berkata:
"Pada waktu Siau toako menderita luka parah ia berkata: "apabila dalam duabelas jam dia tidak terjaga,
berarti dia mati". Tetapi ternyata kita telah menjaganya sampai enam hari enam malam dan dia masih belum
meninggal?"" Berhenti sebentar, Hun-ing melanjutkan lagi, "Mengapa Siau toako perlu memberitahu kepada kita, tentulah
dikarenakan dia sudah mengetahui khasiat obat itu. Dia kuatir, obat racun itu akan menyerang jantungnya
sehingga dia meninggal."
"Benar, memang begitulah pesan Lo-seng waktu itu," Pek Wan Taysu mengiakan.
"Tetapi kenyatannya tidak seperti yang dikatakan itu. Selama enam hari enam malam dia masih hidup.
Mampukah dia bangun sendiri dan terus pergi" Siau toako pun pernah menceritakan tentang ilmu membuat
mayat hidup. Maka aku berani mengatakan bahwa dia tentu dicuri orang dan dijadikan alat."
Pek Wan Taysu tertawa: "Tetapi Ui Pang-cu dapatkah engkau mengatakan siapakah kiranya yang mampu
mencuri tubuhnya" Bukankah siang malam kita menjaganya dengan keras.
Hun-ing merenung sejenak.
"Memang dunia persilatan penuh dengan hal-hal yang aneh dan tak terduga-duga. Cobalah taysu
renungkan. Bukankah suatu hal yang tak dapat kita duga sebelumnya. mengapa tiba-tiba Kakek wajah
dingin Leng Tiong-siang muncul di kuil tua itu?"
Seketika berobahlah wajah Pek Wan Taysu, serunya "Ui Pang-cu, apakah engkau maksudkan Kakek wajah
dingin Leng Tiong-siang itu yang mencuri mayat Lo-seng?"
"Aku memang mempunyai firasat begitu," kata Hun-ing, "mohon tanya taysu, bagaimanakah peribadi Leng
Tiong-siang itu?" "Jika begitu, Lo-seng tentu diperalat oleh Leng Tiong-siang......" Pek Wan Taysu menghela napas.
"Bagaimana mungkin hal itu terjadi?" tanya Hun-ing.
"Sukar kukatakan," sahut Pek Wan Taysu. "mengapa begitu. Tetapi kupercaya Leng Tiong-siang tentu
memiliki ilmu kepandaian yang tak dilihat orang......"
Tiba-tiba terdengar suara seseorang menyelutuk dengan nada dingin: "Hm, kalian hanya ngotot main duga
saja sehingga tak tahu kalau orang yang kalian hendak ikuti itu telah lenyap jejaknya."
Hun-ing dan Pek Wan Taysu terkejut. Cepat mereka berputar tubuh dan ah...... ternyata Kakek wajah dingin
Leng Tiong-siang sudah mengikuti di belakang mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ui Pang-cu, mana Siau toako?" seru Cu-ing.
Ternyata Siau Lo-seng yang berjalan di sebelah muka saat itu sudah tak tampak bayangannya lagi.
Hun-ing terbeliak dan cepat meminta Cu-ing supaya mengejar jejak Lo-seng.
"Tak perlu," kata Leng Tiong-siang.
Tetapi Cu-ing tak peduli. Ia terus lari ke muka.
"Adik Ing, jika bertemu Siau toako kasihlah api pertandaan kepada kita," seru Hun-ing.
Setelah nona itu pergi, Pek Wan Taysu beralih kata kepada Leng Tiong-siang: "Leng sicu, engkau tentu
mendengar apa yang kita bicarakan tadi, bukan?"
Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang menjawab dingin-dingin, "Terus terang, sejak berpisah di tanah
pekuburan, aku memang secara diam-diam mengikuti kalian. Akupun tahu bagaimana Siau Lo-seng
membunuh keduabelas orang Sip-hun-jin itu dan lain-lain. Lalu bagaimanakah kehendak kalian ini?"
"Jika demikian, tentulah Leng sicu yang menggunakan Lo-seng," kata Pek Wan Taysu.
"Mengapa engkau berlagak pintar sendiri?" seru Leng Tiong-siang, "jika aku dapat menggunakan orang,
tentulah dunia persilatan ini sudah kukuasai."
Pek Wan Taysu kerutkan dahi. Sementara Hun-ing segera bertanya: "Leng locianpwe, mengapa engkau
mengatakan begitu" Apakah engkau anggap kesaktian Siau Lo-seng itu tiada tandingnya di dunia
persilatan?" Berobahlah wajah Kakek wajah dingin seketika, serunya: "Budak perempuan, bagaimana kau dapat
menduga kalau aku yang mencuri mayat Siau Lo-seng?"
Tergetar hati Hun-ing, pikirnya: "Ah, ternyata memang dia yang mencuri mayat Siau toako"... aku hanya
menduga-duga ternyata tepat juga......"
"Mudah saja," katanya kepada Kakek wajah dingin. "cukup mengandalkan perasaan hati."
"Perasaan dalam hati" Ngaco!" teriak Kakek wajah dingin.
"Tidak percaya?" sahut Hun-ing. "sebenarnya aku tahu juga peristiwa bagaimana setelah Siau Lo-seng
tersadar, engkau harus bertempur seru dengan dia. Tetapi engkau tetap kalah."
Seketika marahlah Kakek wajah dingin, serunya: "Benar, memang aku kalah. Bagaimana engkau tahu hal
itu?" Mendengar itu. diam-diam Hun-ing mengeluh sendiri: "Celaka, mengapa aku ngelantur bicara" Kalau dia
dapat mencuri tubuh Siau toako masakan dia kalah bertempur?"
Memang sebenarnya kata-katanya tadi hanya menduga-duga saja Tak pernah disangkanya kalau hal itu
benar. "Ah, locianpwe" akhirnya ia terpaksa tersenyum, masakan engkau tak tahu kalau aku hanya sembarangan
menduga saja?" "Apa?" "Locianpwe, sebenarnya aku tak tahu kalau engkau mencuri tubuh Siau toako, begitu pula locianpwe telah
berkelahi dengan dia. Maka kumohon locianpwe suka menerangkan apa yang telah terjadi dengan Siau
toako!" "Budak perempuan, engkau memang cerdik," kata Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang, "aku si orang tua
ini sampai terpancing memberi pengakuan kepadamu!"
"Locianpwe, pedang pusaka Ular Emas itu kiranya tentu locianpwe yang mengambil lagi dari tempatnya "
kata Hun-ing pula. "Budak perempuan," kata Kakek wajah dingin. "tak usah engkau menggunakan kata-kata tuduh untuk
menggali keterangan dari mulutku. Kalau aku tak mau mengatakan. engkau tentu hanya mengoceh sendiri."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Leng locianpwe" kata Hun-ing. "ternyata engkau adalah seorang yang berhati panas tetapi berwajah dingin.
Dunia persilatan mengatakan engkau seorang yang sukar diajak bersahabat. Tetapi kurasa tidak."
Pek Wan Taysu menghela napas: "I.eng sicu kumohon dengan sangat sukalah engkau memberitahu,
benarkah tubuh Siau Lo-seng itu engkau yang mengambilnya?"
"Bukankah tadi sudah jelas, mengapa aku aku harus banyak bicara lagi" Memang tubuh Siau Lo-seng aku
yang mengambil, begitu juga pedang Ular Emas yang ditanamnya di tanah itu, juga kuambil?" dengan
pedang itu hendak kukuasainya tetapi gagal, dia dapat merebut pedang itu."
Ternyata setelah bertempur beberapa jurus dengan Siau Lo-seng di kuburan diam-diam kakek itu mengikuti
gerak gerik Lo-seng. Juga ia dapat mencuri dengar tentang uraian Lo-seng mengenai ilmu membuat mayat
hidup. Tetapi ia tak dapat mendengar keterangan kalau anak muda itu menderita luka parah.
Pada hari keenam setelah Siau Lo-seng "mati", dia datang dan mencuri mayatnya. Tetapi ketika ia dapat
menyadarkan Siau Lo-seng ternyata ia tak dapat menguasainya. Terjadi pertempuran, dia kalah dan
pedang Ular Emas dapat direbut pemuda itu.
Setelah mendengar keterangan itu, Hun-ing gembira: "Kalau begitu, dia tidak dikuasai oleh orang lain?"
"Ceritaku belum habis, mengapa engkau buru-buru bergirang"' kata Kakek wajah dingin.
Hun-ing tertegun, "Masih belum selesai" Apakah masih ada kelanjutannya?"
Dengan nada sarat, kakek itu berkata pula: "Dunia ini memang penuh dengan peristiwa yang tak terdugaduga. Setelah sadar dari dari "mati" selama enam hari, kepandaiannya malah bertambah hebat berlipat
ganda sehingga aku pun tak sanggup melawannya. Pada saat dia dapat merebut pedang Ular Emas itu,
kulihat sinar matanya berkilat-kilat menyeramkan sekali."
"Mungkin dia hendak membunuhmu," kata Hun-ing.
"Benar, memang dia hendak membunuh aku. Tetapi pada saat yang berbahaya itu tiba-tiba terdengar suara
seruling...... entah bagaimana tiba-tiba dia tenang kembali...... dalam kesempatan itu segera kulancarkan
sebuah pukulan kepadanya. Tetapi tampaknya dia tak menderita luka. Setelah berteriak memanggil
namaku, dia terus melarikan diri."
"Apa" Dia memanggil namamu?" Hun-ing terkejut.
"Memang, aku sendiri juga terkejut," kata Kakek wajah dingin, "jelas kuperhatikan pada saat dia memanggil
namaku itu, dia tampak seperti seorang yang sadar pikirannya. Maka segera kukejarnya...... Dia lari
melintasi beberapa puncak gunung uutuk mengejar suara seruling itu. Tiba-tiba suara seruling itu lenyap.
Dia kembali dan menempur aku lagi."
"Siapakah yang meniup seruling itu?" tanya Hun-ing.
"Bermula aku tidak memperhatikan suara seruling itu. Tetapi karena setiap kali dia bertempur dengan aku
lalu terdengar suara seruling itu berbunyi dan dia terus pulih kesadarannya, dia pun heran. Dia bertanya
kepadaku siapakah yang membunyikan seruling itu?"
Pek Wan Taysu terkejut mendengar keterangan itu.
"Sejak saat itu barulah aku mulai menaruh perhatian pada bunyi seruling yang aneh itu. Berapa bulan aku
mengejarnya, dengan begitu, aku dan Siau Lo-seng seolah-olah telah dibawa suara seruling itu untuk
menjelajah beberapa puncak gunung," kata Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang.
Rupanya Hun-ing juga heran dan terkejut mendengar keterangan itu. Ia menegas: "Apakah hal itu sungguhsungguh?"
"Mengapa aku harus berbohong?" sahut Kakek wajah dingin, "kalau kalian tak percaya, orang yang meniup
seruling itu saat ini berada di sekitar kota Lok-yang. Apabila kalian mengikuti Siau Lo-seng tentu kalian akan
mendengar bunyi seruling aneh itu."
Tepat pada saat si kakek mengatakan soal itu, tiba-tiba dari kejauhan seperti terdengar suara seruling yang
beralun perlahan. "Dengarkanlah," serentak Kakek wajah dingin berseru, "suara seruling itulah."
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang Pek Wan Taysu dan Hun-ing pun mendengar alunan suara seruling. Iramanya sesyahdu nyanyian
dewa, halus tenang dan damai sehingga hati orangpun merasa tenteram.
Tetapi suara seruling seolah berkumandang di udara sehingga sukar untuk menentukan arah tempat orang
yang meniupnya. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara Cu-ing berseru memanggil-manggil, "Siau toako, Siau toako......"
"Pek Wan Taysu, mari kita ke sana!" kata Hun-ing.
Tepat pada saat itu dari arah tenggara, meluncur sebatang panah api ke udara. Cepat Hun-ing lari ke arah
itu. Pek Wan Taysu dan Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang pun segera mengikuti.
Suara seruling masih terdengar dan tiba-tiba I.eng Tong-siang pun berseru: "Hm, Siau Lo-seng datang."
Dari berpuluh tombak jauhnya, sesosok tubuh bergerak menghampiri dengan cepat sekali. Dan pendatang
itu bukan lain adalah Siau Lo-seng
Melihat itu Hun-ing bergegas menyongsong tetapi cepat-cepat Pek Wan Taysu berseru: "Ui Pang-cu, hatihatilah. Dia belum sadar pikirannya?""
Paderi itu memperhatikan bagaimana luar biasa sekali gerak Siau Lo-seng. Apabila membentur Hun-ing,
nona itu tentu celaka. Tetapi peringatan itu sudah terlambat. Benar-benar bagaikan kilat menyambar, tahu-tahu Siau Lo-seng
sudah tiba dihadapan nona itu. Untuk menghindar Hun-ing sudah tak sempat lagi.
Dalam keadaan itu Hun-ing tak gentar sama sekali. Sambil pejamkan mata ia pasrah dalam hati: "Kalau


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus mati, aku puas mati di tangannya."
Tetapi di luar dugaan, tiba-tiba Siau Lo-seng berseru kaget: "Ui Pang-cu, engkau!"
Dengan gerak yang sukar dipercaya, anak muda itu berputar-putar dan berhenti sehingga benturan maut itu
dapat dicegah. Hun-ing membuka mata dan dapatkan pemuda itu tegak merapat dihadapannya. Hampir dia tak percaya
pada pandang matanya. "Siau toako?" engkau?" kenal padaku?"," berderai-derailah airmata Hun-ing dan serta merta, ia
rebahkan diri ke dada Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng menjamah kedua bahu si nona lalu menyurut mundur selangkah kemudian berpaling ke arah
Pek Wan Taysu dan Leng Tiong-siang.
"Paman Pek Wan, Leng locianpwe, kalian juga berada di sini."
Bukan kepalang kejut Pek Wan Taysu saat itu. Jelas Siau Lo-seng sudah pulih kesadarannya. "Lo-seng,
engkau?" engkau?" sudah sembuh," serunya tegang.
Siau Lo-seng menghela napas rawan: "Paman Pek Wan, aku tak sempat untuk memberi penjelasan kepada
kalian. Singkatnya, jiwaku saat ini hanya tergantung pada suara seruling aneh itu....... hanya suara seruling
itu yang dapat mengembalikan kesadaran pikiranku."
Tiba-tiba Cu-ing lari mendatangi dan melengking: "Siau toako, mengapa engkau tak menghiraukan
diriku......." Siau Lo-seng berpaling memandangnya, "Nona Nyo, harap engkau dapat memaafkan kesukaran
hatiku?", oh, ya, ada sebuah hal yang perlu kuberitahukan kepadamu. Li Giok-hou itu......."
"Siau toako, engkau?" tidak kehilangan ingatanmu?"." karena gembira, Cu-ing cepat menukas. Nona
itu mengucurkan airmata. Hun-ing menyadari bahwa sehatnya pikiran Siau Lo-seng itu hanya tergantung dari suara seruling. Kalau
seruling itu berhenti, anak muda itu tentu akan berobah menjadi harimau yang buas lagi.
Kenyataan itu harus digunakan sebaik-baiknya oleh Hun-ing. Cepat nona itu menyeletuk: "Adik Ing, pulihnya
ingatan Siau toako itu karena mengandalkan suara seruling aneh itu. Nanti akan kujelaskan hal itu
kepadamu." dunia-kangouw.blogspot.com
08.40. Ungkapan Hati Dua Dara Jelita
Rupanya Cu-ing juga menyadari hal itu bahwa sembuhnya pikiran Siau Lo-seng itu memang tidak
sewajarnya. Selama kedua nona berbicara dengan Siau Lo-seng, hanya Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang yang
pejamkan mata, kerahkan perhatian untuk memperkirakan arah datangnya suara seruling itu.
"Ui Pang-cu, apakah kalian sudah mengetahui hal itu?" tanya Siau Lo-seng,
"Ya, Leng locianpwe sudah menerangkan kepada kami," jawab Hun-ing.
"Leng locianpwe," tiba-tiba Lo-seng menegur, "kali ini seruling berbunyi lama sekali. Apakah engkau sudah
dapat memperkirakan arah tempat peniupnya?"
Mendengar itu Leng Tiong-siang membuka mata.
"Hanya dua kemungkinan, dari arah tenggara atau dari barat daya. Mari kita berpencar mencarinya. Engkau
ke tenggara dan aku menuju ke barat daya," kata kakek itu. Dan habis berkata ia terus loncat lari menuju ke
barat daya. "Ui Pang-cu," kata Lo-seng, "kalau kalian hendak mengejar aku, apabila tidak kedengaran seruling itu
berbunyi, harap jangan menyongsong aku, perihal diriku, silahkan bertanya kepada Leng locianpwe."
Habis memberi pesan, pemuda itu terus ayunkan tubuh dan lari sekencang angin.
Hun-ing, Pek Wan Taysu dan Cu-ing tercengang heran menyaksikan kehebatan ilmu meringankan tubuh
dari Lo-seng saat itu. "Ilmu ginkang itu termasuk ilmu yang paling tinggi dalam dunia persilatan," kata Pek Wan Taysu.
"Pek Wan Taysu, mari kita kejar Siau toako," ajak Hun-ing.
"Ah, sia sia," sahut Pek Wan, "saat ini dia sudah berada beberapa lie jauhnya."
Sekalipun mengatakan begitu, tetapi paderi Siau-lim-si itu mau juga bersama kedua nona lari menuju ke
tenggara. "Pek Wan Taysu," kata Hun-ing sembari berlari, "mengapa Siau toako mengejar peniup seruling itu karena
tahu bahwa orang itu akan dapat menyembuhkan kesadaran pikirannya."
"Benar," jawab Pek Wan, "rupanya Lo-seng tahu kalau dia kehilangan ingatan. Ah, sungguh suatu peristiwa
yang aneh sekali." "Ah, alangkah senangnya kalau aku dapat meniup seruling itu," kata Cu-ing.
Hun-ing tersenyum, ujarnya: "Adik Ing, apakah engkau kuat untuk meniup seruling setiap hari dan malam
tanpa berhenti?" Mendengar itu merahlah wajah Cu-ing, sahutnya: "Kalau aku bisa meniup, tentu akan kuajarkan juga
kepada cici Hun. Dengan demikian kita dapat bergiliran meniupnya."
Ucapan itu merupakan curahan hati Cu-ing. Ia cinta kepada Siau Lo-seng tetapi iapun rela membagi cinta
anak muda itu kepada Hun-ing.
"Ah, apabila Lo-seng beruntung mendapat jodoh kedua nona itu, alangkah bahagia hidupnya. Tetapi ah,
rupanya nasib anak itu memang malang?"" diam-diam Pek Wan Taysu merenung dalam hati.
"Adik Ing, apakah ucapanmu keluar dari hatimu yang tulus?" kata Hun-ing yang dapat menangkap maksud
hati Cu-ing. "Ai, cici Hun, masakan engkau masih meragukan kecintaanku terhadapmu," kata Cu-ing.
Hun-ing tertawa bersemangat: "Baiklah, adik Ing, mari kita kejar peniup seruling. Sampai ke ujung langit pun
kita tetap harus mencarinya dan minta kepadanya supaya mengajarkan ilmu meniup seruling itu."
Tiba-tiba suara seruling lenyap.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, seruling berhenti," Cu-ing terkejut.
"Dan berhenti juga kesadaran pikiran Siau toako," sambut Hun-ing dengan rawan.
Pek Wan Taysu, menghela napas, ujarnya: "Aku akan segera pulang ke Siau-lim-si dan secepatnya akan
mengirim jago-jago Siau-lim-si yang lihay untuk bantu mencari peniup seruling itu. Akan kuminta supaya
orang itu suka mengajarkan cara meniup seruling kepada kalian berdua."
"Locianpwe, apakah engkau segera hendak pulang ke Siau-lim-si?" tanya Hun-ing.
Menurut keterangan Leng Tiong-siang sicu tadi, dia dan Lo-seng sudah beberapa bulan berkelana mencari
peniup seruling itu. Dengan begitu jelas menandakan bahwa orang itu tentu seorang tokoh yang sakti.
Untuk menemukan orang itu, tiada lain jalan kecuali harus mengerahkan tokoh-tokoh yang sakti. Oleh
karena itu, aku akan pulang ke Siau-lim-si untuk mengirim seratus delapanpuluh murid-murid yang
berkepandaian tinggi ke Lok-yang."
Menengadah ke langit, Hun-ing mengatakan bahwa agaknya hujan akan turun lagi. Ia minta agar Pek Wan
Taysu suka menunda perjalanan sampai besok pagi saja.
Tetapi paderi itu berkeras hendak berangkat saat itu. Iapun segera mengucap selamat tinggal kepada
kedua nona dan terus berangkat.
Malam gelap sekali. "Cici Hun, kemanakah kita akan menuju?" tanya Cu-ing.
"Sudah hampir sejam lamanya mencari, tetap kita belum bertemu Siau toako," kata Hun-ing
Tiba-tiba kilat memancar dan menyusul terdengar halilintar menggelegar. Dalam kilatan sinar kilat yang
walaupun hanya sekejap itu, mata Hun-ing yang tajam dapat melihat bahwa di bawah sebatang pohon siong
tua yang tumbuh di lembah kaki puncak gunung, terdapat sesosok tubuh orang tengah berdiri. Dan
perawakan orang itu rasanya tak asing lagi.
"Hai, dia...... Siau toako!" teriak Cu-ing.
"St, adik Ing, lebih baik kita jangan mendekati dia dulu," kata Hun-ing setengah berbisik.
Angin menderu keras. Batu dan pasir berhamburan terbang. Kilat dan halilintar sahut menyahut tiada
berkeputusan. "Siapakah orang-orang itu?" tiba-tiba Cu-ing berseru pelahan pula.
Ternyata pancaran sinar dari kilat tadi memberi kesempatan pada Hun-ing dan Cu-ing untuk mencurahkan
pandang matanya lebih seksama. Dilihatnya dalam lembah itu bukan hanya Lo-seng seorang saja,
melainkan masih terdapat belasan orang yang berpencaran di dalam lembah. Terutama di sekeliling pohon
siong tempat Lo-seng berdiri.
Hai"... tiba-tiba tersiraplah darah Hun-ing dan Cu-ing di kala memperhatikan bahwa tubuh-tubuh yang
berserakan di sekeliling pohon siong itu ternyata merupakan mayat-mayat yang terkapar malang melintang.
Berkurangnya amukan kilat dan halilintar segera disusul dengan hujan yang mencurah deras. Dan di antara
lebatnya hujan itu terdengarlah berulang kali suara tertawa nyaring, pekik bentakan dan lengking jeritan
yang ngeri dan menyeramkan.
Tetapi jeritan-jeritan ngeri itu seolah-olah lenyap ditelan oleh ledakan halilintar yang dahsyat.
Saat itu Hun-ing dan Cu-ing terpaksa meneduh di sebuah batu cekung. Mereka berdua tak dapat melihat
apa yang telah terjadi. Malam gelap tertutup hujan deras. Tetapi mereka dapat menduga bahwa Siau Loseng telah bertempur dan membunuh berpuluh musuh.
Menurut dugaan kedua nona itu, musuh-musuh yang bertempur dengan Lo-seng itu kalau bukan anak buah
Lembah Kumandang tentulah anak buah istana Ban-jin-kiong.
Untunglah hujan lebat itu tak berlangsung lama. Sepeminum teh lamanya, hujanpun berhenti. Angin reda
pula. Di cakrawala muncul rembulan yang memancarkan sinar terang.
"Hai, Siau toako dan orang-orang itu......?" tiba-tiba Cu-ing berseru kaget.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lembah yang terletak di sebelah bawah dari tempat meneduh kedua nona itu. merupakan sebuah lembah
yang liar, penuh ditumbuhi rumput dan belukar. Saat itu di tengah lembah, penuh dengan tebaran senjata
dan mayat-mayat yang berserakan memenuhi empat penjuru.
Yang mengherankan kedua nona yalah saat itu Lo-seng tak tampak berdiri di bawah pohon siong tua lagi.
Apakah pemuda itu juga binasa"
"Cici Hun, mari kita turun memeriksanya," Cu-ing tak sabar lagi.
Tetapi Hun-ing mencegahnya: "Tunggu dulu, rupanya dalam rumah gubuk di tengah lembah itu seperti ada
orangnya." Ketika Cu-ing memandang ke arah rumah gubuk yang berdiri di tengah lembah, dilihatnya delapan orang
lelaki muncul keluar dengan membawa tombak. Mereka mengenakan pakaian warna merah seperti kaum
bu-su atau pengawal istana.
Kemudian keluar pula sebuah tandu yang indah sekali bentuknya. Tandu itu dipikul oleh delapan lelaki
perkasa baju putih. Karena kain penutup tandu tidak ditutup maka dapatlah kedua nona itu melihat isi tandu itu.
Seorang lelaki tua. Tetapi kerena gelap kedua nona itu tak dapat melihat jelas bagaimana raut wajahnya.
Saat itu tandupun berjalan maju dengan diiring oleh kedelapan pengawal baju merah dan pada lain kejap
merekapun sudah lenyap dalam kegelapan malam.
"Adik Ing, betapalah pesat langkah kaki mereka," seru Hun-ing.
Cu-ing mengiakan. "Lekas mari kita turun," seru Hun-ing pula. Nona itu tak ingat untuk memeriksa apakah dalam tumpukan
mayat-mayat itu terdapat juga mayat Lo-seng. Perhatiannya hanya tertuju pada rombongan tandu yang
aneh itu. Ia seperti mendapat firasat yang tak baik.
Setelah menuruni lembah, mereka dapatkan mayat-mayat yang malang melintang di tanah itu adalah anak
murid Lembah Kumandang. Siau Lo-seng tak ada di antara mereka.
"Adik Ing, mari kita kejar tandu itu," kata Hun-ing.
"Cici Hun, bukankah kita hendak mencari Siau toako" Mengapa harus mengejar tandu itu?" batas Cu-ing.
"Adik Ing, apakah engkau sudah melihat jelas orang di dalam tandu itu?"
Cu-ing gelengkan kepala: "Tidak! Tetapi apakah Siau toako?"
"Bukan hanya seorang lelaki tua."
"Lalu mengapa kita harus mengejarnya?" tanya Cu-ing.
"Adik Ing, engkau tentu tahu mengapa Siau toako berada di sini. Bukankah dia hendak mengejar orang
yang meniup seruling itu?"
"Cici," seru Cu-ing. "engkau maksudkan orang tua dalam tandu itu yang meniup seruling."
"Aku belum berani memastikan," jawab Hun-ing. "tetapi kurasa orang tua itu memang mencurigakan sekali
gerak geriknya. Menilik kepandaian enambelas orang pengawal tandu itu, jelas mereka tentu tokoh-tokoh
silat kelas satu. Kepandaian mereka tak di bawah kita berdua Dengan begitu jelas kalau orang tua dalam
tandu itu tentu seorang yang teramat sakti. Kuduga dia tentu orang yang meniup seruling."
"Mudah-mudahan dugaan cici itu benar, hayo, kita kejar!" seru Cu-ing gembira.
Tepat pada saat itu dari lembah terdengar alun suara seruling pula.
"Itulah!" seru Cu-ing.
"Benar, benar orang tua dalam tandu itu tentu yang meniup seruling," Hun-ing terkejut girang.
Tetapi serempak pada saat itu, terdengarlah pekik bentakan yang diantar oleh angin. Menyusul lalu gelak
tertawa nyaring dan makian kemarahan?".
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing dan Cu-ing cepat lari menuju ke arah suara itu. Setelah melintasi beberapa puncak bukit, suara
gaduh itu makin terdengar jelas. Bahkan terdengar pula dering senjata beradu.
"Ha, ternyata mereka di sini," seru Hun-ing girang.
Tampak tandu tadi berhenti di sebuah anak bukit yang tingginya duapuluhan tombak. Kedelapan pengawal
baju putih sedang meniup seruling besi. Sedang kedelapan pengiring baju merah saat itu sedang bertempur
dengan orang-orang yang hendak mendaki ke atas bukit.
"Adik Ing, kita lihat dari samping saja, untuk sementara jangan ikut campur pertempuran mereka," bisik Huning
Kedua nona itu segera mencari sebuah tepat di lereng bukit. Dari tempat itu mereka dapat menyaksikan
jalannya pertempuran. Kedelapan baju merah itu tegak menjaga di bawah puncak. Setiap terlihat musuh akan naik sampai dua-tiga
tombak, mereka tentu dibabat oleh kawanan baju merah itu. Bertubi-tubi sosok tubuh jatuh bergelundungan
ke kaki bukit. Dalam beberapa kejap saja tak kurang dari tujuhbelas-delapanbelas orang yang rubuh.
Tetapi musuh yang berada di kaki bukit, tak terhitung banyaknya. Satu mati, yang lain naik. Patah tumbuh,
hilang berganti. "Cici Hun, siapakah orang-orang yang nekad itu?" tanya Cu-ing.
"Jelas mereka bukan orang Lembah Kumandang. Hai, lihatlah, bukankah itu Li Giok-hou?" seru Hun-ing.
Ternyata saat itu dari bawah bukit terdengar suitan panjang dan beberapa sosok tubuh berhamburan lari
mendatangi dengan pesat sekali. Yang paling depan bukan lain yalah Pedang berbisa pembasmi iblis Li
Giok-hou. Dan yang lain adalah si bungkuk Long Wi serta tiga orang tua baju hitam.
"Hayo. kalian mundur semua!" setiba di tempat pertempuran Li Giok-hou terus berseru nyaring.
Sambil berkata dia terus mendahului enjot tubuhnya ke atas puncak. Dalam beberapa lompatan saja dia
sudah tiba di muka ke delapan pengawal baju merah.
Saat itu ke delapan pengawal baju merahpun sudah mempersiapkan diri. Mereka bersikap garang. Tegak
berdiri berjajar untuk melindungi tandu yang berada tujuh tombak di belakang mereka.
Melihat Li Giok-hou, serentak meluaplah darah Cu-ing. Tanpa menghiraukan pesan Hun-ing lagi, nona itu
terus loncat ke luar dan menghampiri ke arah pemuda itu.
Giok-hou terkejut ketika melihat Cu-ing muncul. Serunya dengan wajah tertawa: "Adik Ing, mengapa engkau
di sini......." Tiba-tiba ia melihat di belakang Cu-ing itu, menyusul Hun-ing. Maka ia tak mau melanjutkan kata-katanya.
Dengan wajah merah membara, Cu-ing tertawa nyaring: "Li Giok-hou, mengapa tak engkau lanjutkan
perkataanmu?" heh, heh, heh?". sungguh tak kira, sungguh tak nyana. Seorang murid kesayangan dari
Go-bi Sam-hiap, ternyata menjadi pemimpin muda dari istana Ban-jin-kiong. Ayahku telah mati di tanganmu
secara licik sekali. Engkau benar-benar seorang manusia berhati binatang!"
Saat itu berdatangan Long Wi dan ketiga orang tua baju hitam.
Giok-hou tertawa sinis. "Bagus," serunya, "engkau sudah tahu hal itu sehingga aku tak perlu memberi penjelasan. Sekarang
silahkan engkau menyingkir ke samping dulu. Setelah urusan di sini kuselesaikan, nanti kita selesaikan
urusan kita itu." Habis berkata Gok-hou terus berpaling ke arah kedelapan pengawal baju merah, serunya: "Tandu yang
berani melanggar daerah terlarang dari istana Ban-jin-kiong itu, bukankah berisi?" Bu Beng Lojin?"
Sebenarnya Cu-ing hendak bertindak tetapi Hun-ing yang sudah berada di belakangnya segera menarik
lengan nona itu diajak menyingkir ke samping.
"Adik Ing," bisik Hun-ing, "murid hianat itu tinggi sekali kepandaiannya. Mungkin kita tak mampu
melawannya. Apalagi saat ini kita hanya dua orang. Untuk membalas dendam masih ada waktu cukup, tak
perlu engkau harus melakukan sekarang."
dunia-kangouw.blogspot.com
Walaupun Cu-ing ingin sekali mencincang tubuh Giok-hou tetapi dia seorang nona yang berpikiran panjang.
Ia tahu kekuatan pihaknya dengan kekuatan lawan. Maka diapun menurut nasehat Hun-ing.
Ke delapan pengawal baju merah itu tak mau menjawab pertanyaan Giok-hou.
Tiba-tiba dari dalam tandu terdengar sebuah suara yang parau: "Ya, memang aku inilah Bu Beng Lojin.
Bulan yang lalu aku telah pesiar ke istana Ban-jin-kiong. Apakah hal itu suatu kesalahan yang harus
dihukum mati?" Kini Hun-ing baru mengetahui bahwa di antara Bu Beng Lojin atau Orang tua tak bernama dengan pihak
orang Ban-jin-kiong telah bentrok. Ketika mendengar nada suara orang tua itu, Hun-ing kerutkan dahi lalu
mencurah pandang untuk memandang ke dalam tandu dengan tajam.
Kiranya yang berada dalam tandu itu seorang lelaki tua yang rambutnya terurai lepas, menutupi tubuhnya.
Mukanyapun penuh dengan kumis dan brewok yang lebat tak terurus sehingga sampai menutupi kedua
matanya, hidung dan mulut. Jika tak bicara mungkin orang tak percaya kalau dia itu seorang manusia.
"Tempat suci istana Ban-jin-kiong merupakan daerah terlarang bagi setiap orang. Penjagaannya sekuat
dinding baja. Bagaimana engkau mampu masuk ke dalam istana itu?" seru Giok-hou sambil tertawa hina.
"Dengan naik tandu dan diiring oleh keenambelas pengawal, aku masuk dari pintu besar dan keluarpun dari
pintu besar itu," sahut Bu Beng Lojin dengan nada dingin.
Giok-hou terbeliak: "Benarkah itu!"
Ia hampir tak percaya keterangan Bu Beng Lojin itu karena jelas bahwa pintu gerbang Ban-jin-kiong dijaga
ketat oleh berpuluh jago-jago silat sakti. Bahkan anak buah Ban-jin-kiong sendiri juga diperiksa keras
apabila melalui pintu gerbang itu.
"Bagi lain orang memang istana Ban-jin-kiong merupakan rawa naga sarang harimau. Tetapi bagiku tak lain
seperti rumahku sendiri. Saat itu rupanya Giok-hou sudah menyadari bahwa orang tua itu seorang sakti yang aneh. Mungkin dia
sudah mengetahui susunan istana Ban-jin-kiong lalu menggunakan surat jalan palsu untuk masuk keluar
dari pintu gerbang. Kalau tidak begitu, tentu tak mungkin dia mampu melewati penjagaan pintu gerbang
istana. Giok-hou tertawa meloroh, serunya:
"Maaf, maaf, karena terlambat memberi hormat kepada anda. Tetapi entah siapakah gerangan nama anda
yang mulia itu?" Bu Beng Lojin tertawa. "Bukankah engkau sudah tahu gelaranku Bu Beng Lojin atau Kakek tanpa nama" Mengapa masih bertanya
lagi?" 09.41. Barisan Sakti. Saat itu tampak si bungkuk Long Wi dan ketiga orang tua kurus baju hitam, sudah siap bergerak. Mereka
pelahan-lahan mengisar tubuhnya.
"Tadi tuan mengatakan bahwa Ban-jin-kiong itu seperti rumah sendiri, dapat bergerak bebas ke luar masuk.
Apakah tuan berani melakukan hal itu sekali lagi?" tiba-tiba Giok-hou berseru.
"Budak licin, engkau memang selicin belut, secerdik kancil," seru orang tua dalam tandu itu, "tetapi di
hadapanku, janganlah engkau jual tingkah. Tak perlu engkau undang, lain kali aku tentu akan datang pula
ke Ban-jin-kiong. Sekarang lekaslah engkau pulang dan perkuatlah penjagaan Ban-jin-kiong. Ketahuilah,
untuk yang kedua kalinya masuk ke dalam Ban-jin-kiong nanti, aku takkan ke luar dengan tangan hampa."
Merahlah muka Giok-hou seketika.
"Apakah dengan beberapa patah kata yang engkau ucapkan terus hendak tinggalkan tempat ini?" serunya
dengan nada hina, "Hm, ketika engkau masuk ke dalam istana Ban-jin-kiong andaikata Kiong-cu dan


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpuluh jago-jago sakti berada dalam istana, tak mungkin engkau mampu keluar secara begitu mudah."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Pengawal Merah Putih, kita jalan!" tiba-tiba orang tua itu berseru memberi perintah. Dia tak mau
menggubris Giok-hou lagi.
"Ho, tak mudah untuk pergi, kawan!" seru Giok-hou seraya ayunkan tubuh menerjang ke atas puncak.
Seorang pengawal baju Merah segera menyambut dengan menusukkan tombak dalam jurus Membabat
lima gunung. Giok-hou tertawa dingin. Sekali getarkan lengan tubuhnya tiba-tiba melambung ke atas. Setelah
menghindar tombak, ia segera meluncur ke samping penyerangnya.
Pengawal Baju Merah itu marah. Cepat ia hantamkan tangan kirinya. Sebelum Giok- hou menginjak tanah,
iapun sudah mendahului membalikkan tangan kanannya untuk manyambut serangan lawan. Dan dalam
pada itu ia lanjutkan melayang turun ke tanah.
Pengawal baju merah itu seketika merasa bahwa pukulannya telah tersiak ke samping.
Diam-diam dia terkejut sekali. Cepat ia kerahkan tenaga dalam untuk menahan tubuhnya yang akan
terdorong ke samping seraya menyerempaki berkisar tiga langkah.
"Cobalah engkau terima sebuah pukulan lagi?" seru Giok-hou dingin. Tangan kanan menampar dengan
pelahan. Melihat kepandaian Giok-hou, seketika berobahlah wajah Hun-ing. Ia membisiki Cu-ing "Adik Ing, lihatlah,
luar biasa sekali kepandaian Li Giok-hou itu sekarang."
Cu-ing pun mengetahui hal itu. Dia menyadari betapa jauh sekarang terpautnya kepandaiannya dengan
anak muda itu. Tetapi sekalipun begitu, ia tetap tak gentar. Kalau dapat, saat itu juga ia ingin menghancur
leburkan tulang belulang Giok-hou.
"Cici Hun," katanya, "apakah kita tak membantu pengawal baju merah itu?"
"Ah, lihatlah, adik Ing," bisik Hun-ing pula, "kawanan baju merah itu hebat sekali kepandaiannya?""
Ternyata pengawal baju merah itu kisarkan kaki dan menghindari tamparan Giok-hou. Daa serempak pada
saat itu, seorang pengawal baju merah cepat tampil maju dan berturut-turut melancarkan lima buah
serangan kepada Giok-hou.
Permainan tombak orang itu sungguh mengagumkan sekali. Tombak itu seakan-akan berobah menjadi
sinar memanjang yang mengurung tubuh Giok-hou, sehingga pemuda itu terpancing gerak serangannya.
"Huh," tiba-tiba pula seorang pengawal baju merah lain menusuk dari samping dan memaksa Giok-hou
mundur sampai setombak jauhnya.
Setelah memaksa Giok-hou mundur kawanan pengawal baju merah itu tegak pula di atas puncak. Mereka
tak mau mengejar Giok-hou. Dan kedelapan pengawal baju putih pun segera menyelipkan seruling besi ke
pinggang masing-masing lalu mengangkat tandu dan terus dibawa berjalan dengan pesat sekali.
Ke delapan pengawal baju merah, pecah diri menjaga di kanan kiri tandu. Dalam beberapa kejap, mereka
sudah belasan tombak jauhnya.
Giok-hou terlongong-longong menyaksikan sepak terjang orang-orang itu sehingga sesaat ia lupa untuk
mengejarnya. "Adik Ing, mari kita kejar," seru Hun-ing. Ia menarik tangan Cu-ing diajak lari menuruni bukit.
Pada saat rombongan tandu itu tiba di kaki bukit, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang nyaring.
"Itulah Siau toako," Cu-ing berteriak kaget.
Memang suara tertawa nyaring yang cepat disusul dengan datangnya orang, ternyata memang Siau Loseng.
Kemunculan Siau Lo-seng itu mengejutkan kawanan pengawal baju merah dan baju putih. Cepat mereka
hentikan tandu dan lalu berbaris rapi di muka tandu.
Melihat Lo-seng, Cu-ing terus hendak menyongsong tetapi cepat ditahan Hun-ing: "Adik Ing, pikirannya
belum sadar, jangan sembarangan bergerak."
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang tampak mata Lo-seng berkilat-kilat tajam memandang tandu. Dan pelahan-lahan tangannyapun
mulai mencabut pedang pusaka Ular Emas yang tersanggul di bahunya.
Sikap Lo-seng itu persis seperti dia menghadapi dan membasmi tigabelas Sip-hun-jin beberapa waktu yang
lalu. "Ih, cici Hun, dia hendak membunuh mereka," bisik Cu-ing.
"Kalau orang tua aneh dalam tandu itu memang benar peniup seruling, dia tentu dapat menguasai Siau
toako," kata Hun-ing.
Sengaja Hun-ing memperkeras suaranya agar didengar orang tua dalam tandu itu.
Pada saat itu Li Giok-hou pun membawa anak buahnya mendatangi tempat itu. Begitu melihat Siau Loseng, Giok-hou tertegun kaget.
Si bungkuk Long Wi pun pucat, katanya: "Sau-kiongcu, jangan cari perkara kepadanya."
Giok-hou kerutkan alis. "Long Tian-cu, benarkah keduabelas Sip-hun-jin kita itu dibunuh olehnya?" tanyanya.
"Kecuali aku dan seorang Sip-hun-jin memang seluruhnya telah dihancurkan dengan Pedang Ular Emas
itu," sahut Long Wi.
Giok-hou mendesuh pelahan,
"Hm, jerih payah Kiong-cu untuk menciptakan tigabelas Sip-hun-jin, begitu muncul di dunia persilatan, terus
dihancurkan oleh pemuda itu. Bagaimanakah Long Tian-cu hendak memberi pertanggungan jawab kepada
Kiong-cu kita nanti?"
"Apapun yang Kiong-cu hendak menjatuhkan hukuman kepadaku, aku rela menerima," kata si bungkuk
dengan nada rawan. Giok-hou tertawa dingin. "Lebih baik kita melihat di samping dulu," katanya, "karena aku memang tak percaya sepenuhnya akan
keterangan Long Tian-cu bahwa dia begitu sakti dapat membinasakan kawanan Sip-hun-jin dari istana Banjin-kiong.
"Sau-kiongcu," kata si bungkuk Long Wi, "cobalah perhatikan sikap dan wajahnya itu. Bukankah dia seperti
seorang yang kehilangan pikiran. Kalau dugaanku tak salah, dia memang menyerupai Raja Iblis dari istana
Ban-jin-kiong kita, seorang......"
Tiba-tiba Long Wi hentikan kata-katanya.
Giok-hou mendengus: "Hm, aku tak percaya di dunia ini, kecuali ayahku dan Jin Kian Pah-cu, ada orang
ketiga lagi yang mampu menciptakan mumi. Sudahlah, jangan ngelantur."
"Memang yang kucemaskan kalau Sau-kiongcu tak percaya hal itu," kata si bungkuk Long Wi, "aku
mempunyai kesan bahwa kesaktian pemuda itu, tak dapat kita lawan...... kalau Sau-kiongcu tak membawa
Raja Akhirat itu, lebih baik kita cepat-cepat tinggalkan tempat ini."
Saat itu Siau Lo-seng masih belum bergerak sedang ke delapan pengawal baju merah itupun hanya
bersiap-siap. Hun-ing dan Cu-ing pun heran juga mengapa Siau Lo-seng tetap belum bergerak. Kedua nona itu mencurah
perhatian ke arah Lo-seng.
Tampak Siau Lo-seng termangu-mangu memandang kawanan baju merah itu.
"Adik Ing, apakah engkau memperhatikan cara ke delapan baju merah itu berbaris?" tiba-tiba Hun-ing
berkata. Memang sepintas pandang tampaknya ke delapan baju merah itu secara tak teratur berdiri menghadang di
muka Siau Lo-seng. Tetapi sebenarnya mereka sedang membentuk diri dalam sebuah barisan yang aneh.
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 5 Pendekar Rajawali Sakti 124 Penghuni Telaga Iblis Patung Dewi Kwan Im 5
^