Pendekar Seratus Hari 7
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong Bagian 7
dunia-kangouw.blogspot.com
Posisi dan sikap mereka berdiri itupun tidak sama. Dua orang yang berada paling depan, berdiri saling
berhadapan di kanan dan kiri. Kedua kaki mereka direntang seperti orang naik kuda. Sepasang tangan
mencekal tombak diacungkan ke atas.
Kemudian tiga orang yang berada di belakang, membentuk diri dalam formasi segitiga. Mereka memegang
tombak dengan tangan kiri. Lalu yang dua orang lagi, berdiri di sayap kanan dan kiri dari barisan. Terakhir,
yang seorang mencekal tombaknya, siap menyerang.
Barisan aneh itu memang angker dan berwibawa tampaknya.
Hun-ing pun terkejut. "Adik Ing," bisiknya, "barisan itu benar-benar istimewa sekali. Sekokoh dinding baja, sedahsyat kekuatan
ribuan lasykar berkuda. Rupanya Siau toako juga menyadari hal itu maka dia tak segera bertindak."
"Cici Hun," kata Cu-ing, "apabila Siau toako nekad menyerbu, apakah dia akan terluka?"
Pikiran gadis itu tak lain hanya tertuju pada keselamatan Lo-seng saja.
Hun-ing gelengkan kepala.
"Walaupun kepandaian Siau toako sakti sekali tetapi kurasa barisan itu mampu menghadapi serangan yang
bagaimanapun ganasnya."
Baru Hun-ing memberi keterangan begitu, dari dalam tandu terdengarlah orang tua itu berseru.
"Hai, budak perempuan, siapakah engkau ini?" serunya.
Mendengar itu, Hun-ing maju dua langkah dan menyahut: "Locianpwe, aku ini adalah ketua perkumpulan
Naga Hijau yang sekarang. Namaku Ui Hun-ing. Mohon locianpwe suka memberi petunjuk."
Mendengar keterangan itu tiba-tiba si orang tua berseru dengan nada dingin: "Ngaco belo! Umurmu masih
begitu muda apalagi engkau seorang budak perempuan. Bagaimana mungkin engkau dapat memimpin
sekian banyak orang gagah dalam dunia persilatan."
Hun-ing tersenyum. "Locianpwe mendamprat tepat sekali. Memang aku seorang anak perempuan yang kurang pengetahuan
dan miskin pengalaman. Tak layak menjabat seorang ketua dari perkumpulan orang gagah. Tetapi aku
hanya menjabat sebagai pejabat ketua untuk sementara waktu."
"Engkau maksudkan, engkau rela menyerahkan kepada orang yang lebih cakap, bukan?" seru orang tua itu
pula. "Benar," sahut Hun-ing, "mengapa agaknya locianpwe menaruh perhatian akan soal itu?"
Memang Hun-ing maupun Cu-ing merasa heran mengapa orang tua dalam tandu itu bertanyakan urusan
Naga Hijau. "Kalau kalian berdua tak takut kepadaku, ikutlah aku ke guha pertapaanku Thian-siau-sian-tong. Disana
engkau boleh memberi keterangan."
Mendengar nama guha Thian-siau-sin-tong seketika berobahlah wajah Cu-ing, serunya terbata-bata:
"Thian-siau-sian-tong" Jika begitu engkau ini?""
Rupanya ia dicengkam perasaan takut yang hebat sehingga tak melanjutkan kata-katanya.
Memperhatikan kerut wajah Cu-ing, Hun-ing segera bertanya bisik-bisik: "Adik Ing, dimanakah guha Thiansiau-sian-tong itu?"
"Entahlah," Cu-ing gelengkan kepala. "tetapi kutahu di guha pertapaan itu terdapat seorang penghuni yang
aneh." "Siapakah orang itu?" tanya Hun-ing pula.
Belum Cu-ing menyahut, orang tua dalam tandu itu sudah berseru: "Apabila kalian ikut aku ke sana,
tentulah akan tahu orang itu."
Hun-ing merenung sejenak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Baik, apabila tak keberatan kami akan ikut ke guha itu," sesaat kemudian nona itu berkata.
Nona itu mempunyai rencana. Apabila orang tua itu memang, Si peniup seruling ajaib ia hendak berunding
dengan dia cara untuk menolong Siau Lo-seng. Tetapi apabila bukan, iapun ingin mengetahui siapakah
sebenarnya orang tua dalam tandu itu.
Tiba-tiba Cu-ing menunjuk pada Siau Lo-seng dan berkata: "Lo-cianpwe, apakah dia boleh ikut dibawa ke
sana?" "Siapakah dia itu?" orang tua aneh balas bertanya.
Mendengar pertanyaan itu tergetarlah hati Hun-ing, pikirnya: "Ah, kiranya orang tua ini tak kenal kepada
Siau toako......" Cu-ing menghela napas. "Dia adalah toako kami," katanya, "yalah calon ketua dari perkumpulan Naga Hijau!"
"Tetapi rupanya dia sakit," seru orang tua dalam tandu itu.
"Benar, dia memang menderita sakit lupa ingatan," kata Hun-ing dengan rawan.
Berkata pula orang tua dalam tandu itu: "Dia memiliki kepandaian yang mengejutkan orang. Menurut
penilaianku dalam dunia persilatan dewasa ini, hanya barisan Gun-hap-ki-bun-tin dari pengawal baju merah
dan baju putih tadi, yang mampu melawan serangannya."
"Gun-hap-ki-bun-tin?" ulang Cu-ing heran, "apakah artinya barisan itu?"
"Gun-hap-ki-bun-tin artinya barisan istimewa yang terdiri dari gabungan beberapa macam barisan. Yalah
barisan Thay-kek, barisan Liang-gi dan barisan Su-giong."
"Jika anak buah locianpwe dapat membentuk barisan sehebat itu, locianpwe tentu seorang sakti yang
terpendam," seru Hun-ing.
Orang tua Tanpa Nama atau Bu Beng Lojin itu berkata, "Ketika di dalam lembah apabila tiada barisan
gabungan itu, aku dan anak buahku tentu sudah binasa semua. Mana dapat disebut orang sakti terpendam,
Ha, ha?" aku ini sebenarnya hanya seorang tua yang cacat badan."
"Menurut hematku," kata Hun-ing pula. "walaupun barisan gabungan itu dahsyat sekali tetapi mereka tak
memiliki daya untuk menyerang musuh. Dengan begitu entah sampai berapa lama lagi mereka harus
berhadapan menunggu serangan orang."
Hun-ing memang cerdas sekali otaknya. Dalam beberapa saat saja ia sudah dapat menilai keadaan barisan
ke delapan baju merah itu. Mereka hebat tetapi hanya bersikap membentuk pertahanan. Musuh tak
menyerang, merekapun tak dapat menyerang dulu.
Orang tua itu tertawa panjang.
"Pintar, pintar benar engkau," serunya. "sungguh tak kira engkau mampu mengetahui kelihayan dan
kelemahan barisan itu. Tetapi engkau tentu belum tahu kegunaan dari barisan itu yang sesungguhnya maka
cobalah engkau perhatikan lagi dengan seksama. Engkau tentu akan mengerti."
Ketika Hun-ing berpaling ke arah gelanggang dilihatnya Siau Lo-seng sudah beralih tempat. Kedua
tangannya menggentakkan pedang dan sepasang matanya tercurah pada seorang pengawal baju merah.
Tumit kaki Siau Lo-seng pun mulai diangkat. Tampaknya dia hendak melakukan serangan yang dahsyat.
Tiba-tiba Siau Lo-seng bersuit nyaring dan terus serempak menyelinap pada pengawal baju merah di sayap
barisan sebelah kanan. Pedang pusaka ular Emas berhamburan laksana bunga api mencurah, pemuda itu
terus menyerbu ke dalam barisan.
Seketika keadaan barisan gabungan itu tampak kacau. Seorang pengawal baju merah harus berlincahan
tukar tempat sampai beberapa kali.
Tiba-tiba Siau Lo-seng bersuit nyaring lagi lalu loncat keluar sampai tiga tombak jauhnya dan tegak berdiri
dalam sikap yang berbeda lagi.
Melihat itu heranlah Cu-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Cici Hun," tanyanya, "pada waktu Siau toako menyerbu tadi bukankah barisan itu tampak kacau" Tetapi
mengapa Siau toako loncat keluar dari barisan lagi" Apakah mungkin di dalam barisan itu terdapat bagianbagian yang sulit?"
"Jangan engkau memandang rendah barisan itu," kata Hun-ing, "memang tampaknya tadi barisan itu kacau
tetapi langkah kaki mereka merupakan gerakan yang luar biasa hebatnya. Memang dari sini kita tak tahu
bagaimana hal yang sebenarnya tetapi menilik Siau toako harus loncat keluar lagi, jelas dia tentu kewalahan
tak dapat menerjang masuk."
Tiba-tiba orang tua dalam tandu itu tertawa meloroh.
"Benar, benar," serunya, "memang tadi dia benar-benar berhasil mendobrak masuk tetapi dengan cepat
barisan itu segera membaiki kedudukannya lagi sehingga tertutup rapat...... he, he, he......"
09.42. Nyanyian iblis dari Rumah Dewa
Mendengar percakapan itu, Li Giok-hou dan anak buahnya tergetar dalam hati. Terutama Giok-hou terkejut
sekali atas kesaktian Siau Lo-seng.
Setelah barisan itu menyusun pertahanan, memang diam-diam Giok-hou mengamat-amati keadaannya.
Tetapi belum lagi ia mengetahui apa nama barisan itu dan bagaimana keadaannya yang sebenarnya, tahutahu Siau Lo-seng sudah dapat mendobraknya.
Saat itu timbul pada pikiran Giok-hou, bahwa Siau Lo-seng itu sesungguhnya jauh lebih cerdik dan lihay dari
dirinya. Dalam pada itu Siau Lo-seng pun tampak mengitari barisan. Rupanya ia sedang mencari lubang kelemahan
dari barisan itu, untuk diserbunya.
Gerak gerik Siau Lo-seng tak ubah seperti seekor harimau yang tengah melingkari sekelompok korbannya.
Tiba-tiba dia menggembor keras. Tubuh melambung ke udara, dengan gerak semacam kuda terbang di
udara, ia taburkan pedang Ular Emas mencurah ke atas kepala seorang pengawal baju merah yang
mengacungkan tombak ke atas dan menduduki posisi di pusar barisan itu.
Cepat sekali gerak layang dari Siau Lo-seng, secepat itu pula pedangnya berhamburan laksana hujan
mencurah dari langit. "Tring, tring......."
Terdengar dering suara yang melengking tajam sekali ketika delapan batang tombak serempak menangkis
Pedang Ular Emas. Dengan kepala menukik ke bawah dan kaki menjulang ke atas, Siau Lo-seng menyelinapkan tangan kirinya
untuk menampar kepala pemimpin barisan baju merah itu.
Tetapi orang itu tanpa mengangkat kepala ke atas segera songsongkan tangannya, "bum?""
Siau Lo-seng terlempar jungkir balik melayang-layang ke tanah sampai tiga tombak jauhnya dan masih pula
terhuyung-huyung tujuh-delapan langkah baru ia dapat berdiri tegak. Pedang Ular Emas menjulai ke bawah.
"Huak, huak".." dia muntah darah sampai dua kali.
"Siau toako!" Cu-ing menjerit kaget, terus hendak memburu ke tempat pemuda itu tetapi cepat dicegah Huning.
"Adik Ing, jangan bertindak sembarangan. Saat ini Siau toako masih belum sadar pikirannya......."
Walaupun Hun-ing mengucapkan kata-kata itu dengan berbisik namun tertangkap juga oleh telinga jagojago Ban-jin-kiong.
Giok-hou dan Long Wi saling bertukar pandang. Keduanya saling menjajagi pikiran dan kesan masingmasing.
Wajah Giok-hou berseri girang. Cepat ia berpaling ke arah Siau Lo-seng lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Rambut Siau Lo-seng terurai lepas menutup kedua bahunya. Mulutnya masih bercucuran darah tetapi
tangan kirinya masih membentuk sikap bersilat. Pedang pusaka di tangan kanannya menjulai tanah.
Sepasang matanya merah membara. Sepintas pandang dia menyerupai seekor binatang buas yang tengah
menderita luka. Sekonyong-konyong sinar emas memancar.
Tiada seorang yang berada di gelanggang itu tahu bagaimana caranya bergerak tahu-tahu Siau Lo-seng
dengan kecepatan seperti kilat, sudah menyerbu lagi ke dalam barisan.
"Tring, tring, plak, plak"..."
Terdengar beberapa kali benturan senjata tajam dan pukulan yang dahsyat. Tiba-tiba sesosok tubuh
terlempar keluar sampai lima tombak. "Bum"... rubuhlah dia ke tanah.
Peristiwa itu berlangsung amat cepatnya. Seolah-olah hanya dalam beberapa kejap mata saja sehingga
orang tak sempat lagi untuk melihat apa yang terjadi. Tahu-tahu Siau Lo-seng terlempar dari barisan dan
rubuh di tanah. Pemuda itu memang gila. Dia melenting bangun dari tempat berlumpur dimana ia telah terlempar jatuh.
Dengan menggigit gigi kencang-kencang ia segera tegak berdiri lagi.
Rambutnya terurai, menutup separoh dari mukanya. Dari celah-celah rambut itu, tampak sepasang matanya
berkilat-kilat buas sekali. Wajahnya pucat seperti mayat, mulut berlumuran darah dan pakaiannya kotor
penuh lumpur. Suasana di gelanggang itu tampak seram sekali, tegang dan mencengkam hati.
Siau Lo-seng terhuyung-huyung mundur dua langkah, bibirnya mengatup kencang, mata melotot.
Tiba-tiba kilat menyambar dan halilintarpun meletus dahsyat. Bumi tergetar dan serasa pecahlah anak
telinga orang-orang yang berada di tempat itu Setelah gemuruh halilintar lenyap hujan gerimispun turun.
Tubuh Siau Lo-seng bergoncang-goncang lalu rubuh ke tanah.
Sekonyong-konyong terdengar suara seruling berkumandang.
"Suara seruling yang aneh?"" seru Cu-ing.
Tetapi kebalikannya, pucatlah seketika wajah orang tua dalam tandu itu. Ia mengingau seorang diri,
"Nyanyian iblis dari Rumah Dewa?" dia?" apakah belum meninggal......."
Alunan suara seruling yang aneh itu bagai aliran anak sungai, bunga-bunga gugur. Sedemikian halus dan
lembut tetapi jelas. Membuat orang terbuai melayang-layang dalam alam kedewaan.
Mendengar suara seruling itu, menggigillah tubuh Siau Lo-seng lalu pelahan-lahan bangkit berdiri.
Sepasang matanya memancarkan sinar yang aneh. Dari perut dan dadanya menghambur arus hawa
hangat yang terus mengalir ke atas, lalu ke seluruh badannya.
Tiba-tiba kepalanya bergetar dan serentak pikirannya pun terang. Semangatnya pulih lagi,
"Jalan! Lekas jalan!" seru orang tua dalam tandu memberi perintah kepada pengawalnya.
Ke delapan pengawal baju putih cepat mengangkut tandu mewah itu dan dalam beberapa kejap sudah tiba
di lereng sebelah tenggara.
Melihat itu Siau Lo-seng hendak mengejar tetapi Cu-ing meneriakinya: "Siau toako?""
Siau Lo-seng berhenti dan berpaling, "Oh, adik Ing, kalian?""
Cu-ing terus lari menubruk tubuh pemuda itu, serunya: "Apakah engkau tak kurang suatu apa" Ah, aku
hampir terkejut pingsan."
Li Giok-hou dan si bungkuk Long Wi pun membawa anak buahnya mengejar tandu itu, Dalam beberapa
kejap. sunyilah tempat itu.
"Mereka?"" teriak Siau Lo-seng gopoh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing tertawa mengikik: "Sudahlah Siau toako, tak perlu bingung. Orang itu bukanlah peniup seruling
yang hendak engkau cari itu......"
Cu-ing gelagapan ketika menyadari bahwa ia masih memeluk tubuh Siau Lo-seng. Buru-buru dia menyiak
tubuh pemuda itu dan bersungut-sungut penasaran: "Cici Hun, engkau sungguh bikin malu orang."
Hun-ing tertawa terkial-kial.
"Hai, apa-apaan ini?" Siau Lo-seng makin bingung. Ia heran melihat gerak gerik kedua nona itu.
Mendengar kata-kata Siau Lo-seng, Cu-ing pun ikut tertawa.
Suasana yang tegang regang segera berganti dengan gelak tawa yang gembira. Tetapi kalau kedua nona
itu bersuka tawa, adalah karena mengetahui apa yang ditertawakan, Siau Lo-seng makin kebingungan
sampai mengucurkan keringat dingin.
Tiba-tiba Hun-ing berhenti tertawa dan berseru: "Sudahlah, jangan ribut-ribut, dengarkan suara seruling itu."
Nyanyian seruling itu memang tidak lagi lemah lembut tetapi berobah gencar dan deras seperti derap
berpuluh kuda berpacu. Rupanya Siau Lo-seng pun menyadari bahwa kesadaran pikirannya tergantung dari suara seruling itu. Maka
cepat-cepat ia minta kepada kedua nona untuk memberitahu apakah yang telah terjadi tadi.
Hun-ing dengan ringkas menuturkan peristiwa tadi.
"Jika begitu orang tua dalam tandu itu bukan orang yang meniup seruling?" seru Siau Lo-seng.
"Memang bukan," jawab Cu-ing, "kalau tak salah, dia adalah tokoh yang pada limapuluh tahun berselang
pernah menggetarkan dunia persilatan. Namanya Ang Siong-pik bergelar Buddha Emas."
"Hai, kalau begitu dia bersama Leng Tiong-siang dan Tay Hui Sin-ni merupakan tiga serangkai tokoh sakti
yang disebut orang sebagai Tiga Buddha Emas," seru Hun-ing
"Ah, tak mungkin," seru Lo-seng, bukankah Buddha Emas Ang Siong-pik sudah tewas ketika pada
limapuluh tahun yang lalu bertempur selama lima hari lima malam melawan paderi sakti Ko Bok dari gereja
Siau-lim-si" Kemudian karena Ko Bok juga putus urat jantungnya, dia pulang ke gereja Siau-lim-si dan
akhirnya menutup mata. Peristiwa itu diketahui seluruh kaum persilatan dan merupakan suatu peristiwa
yang menggemparkan. Bagaimana engkau menduga kalau orang tua itu si Buddha Emas Ang Siong-pik?"
"Karena dia menyebut tempat tinggalnya di guha Thian-siau-sian-tong maka dugaanku jatuh pada Buddha
Emas Ang Siong-pik," kata Cu-ing.
"Tetapi atas dasar apa engkau memastikan dugaanmu itu?" tanya Hun-ing pula.
"Karena guruku Tay Hui Sin-ni pernah menceritakan peristiwa itu kepadaku," jawab Cu-ing, "ketika suhu
berkelana sampai ke sebuah lembah di pedalaman gunung belantara, tiba-tiba ia menemukan senjata
tongkat pertapaan emas milik Ang Siong-pik. Tongkat itu berukir sebuah syair yang menyatakan kalau
pemilik tongkat hendak mengasingkan diri mencari kesucian batin di guha Thian-siau-sian-tong."
"Lalu apakah Tay Hui Sin-ni tak mencari jejak Ang Siong-pik?" tanya Hun-ing.
"Walaupun sudah menjelajah seluruh pegunungan belantara namun suhu tak juga dapat menemukan guha
yang disebut Thian-siau-sian-tong itu," kata Cu-ing. "Tetapi suhupun tak mau menceriterakan hal itu kepada
orang persilatan. Hanya diam-diam suhu selalu memperhatikan kabar-kabar, apakah Ang Siong-pik muncul
lagi di dunia persilatan. Ah, tak kira setelah berselang limapuluh tahun, aku bertemu dengan seorang tua
yang mengaku tinggal di guha Thian-siau-sian-tong. Maka ku duga ia tentu si Buddha Emas Ang Siong-pik."
Hun-ing dan Siau Lo-seng terpikat perhatiannya mendengar cerita itu sehingga mereka tak merasa bahwa
suara seruling itu sudah lenyap sejak tadi.
Hun-ing lebih dulu dapat menyadari hal itu buru-buru dia memandang Siau Lo-seng dan berseru:
"Engkau?""
"Aku?"" Siau Lo-seng terlongong heran. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang berseru:
"Benar, memang orang tua itu adalah Buddha Emas Ang Siong-pik. Tetapi taraf dugaanmu tadi masih
salah. Dan memang kalian tak tahu hal itu."
"Ah, Leng locianpwekah itu?" cepat Hun-ing berseru.
dunia-kangouw.blogspot.com
Entah kapan waktunya, tahu-tahu memang Leng Tiong-siang si Kakek wajah dingin sudah berada di
belakang ketiga anak muda itu.
"Leng locianpwe, apakah pembicaraan kita tadi engkau dengar semua?" tegur Hun-ing.
Leng Tiong-siang mengiakan: "Ya, memang sudah lama aku berada di sini."
Tiba-tiba Siau Lo-seng menatap wajah kakek itu serunya "Leng locianpwe, tadi engkau mengejar peniup
seruling itu atau tidak?"
"Bukankah pikiranmu sekarang sudah sadar?" kakek berwajah dingin balas bertanya.
"Ya, pikiranku terang."
"Kalau begitu engkau sudah sembuh," seru Cu-ing tegang sekali.
"Ah, bagaimanakah sesungguhnya ini?" Hun-ing benar-benar heran.
"Mungkin hal itu ada hubungan dengan luka yang diderita Siau Lo-seng dalam pertempuran dahsyat dengan
barisan baju merah tadi. Kalau ingin tahu bagaimana keadaan yang sesungguhnya silahkan tanya pada
orang yang meniup seruling itu," kata Leng Tiong-siang.
"Kalau begitu, akan kucarinya sekarang!" habis berkata Siau Lo-seng terus hendak pergi.
"Ah, tak perlu mencarinya," Leng Tiong-siang menghela napas.
"Mengapa?" "Bukankah selama berbulan-bulan ini kita selalu mencarinya" Dan apakah engkau pernah berhasil
mendapatkannya?" Siau Lo-seng terkesiap. Diam-diam ia mengakui kebenaran kata-kata kakek berwajah dingin. Memang luar
biasa anehnya peniup seruling itu. Suaranya berada di sebelah timur, apabila diburu ke timur, tiba-tiba
suara itu beralih ke sebelah barat. Dan suara seruling itu hanya selalu kedengaran pada waktu ia
menghadapi bahaya saja. Seolah-olah peniup seruling itu diam-diam telah memberi bantuan kepadanya.
"Cobalah engkau renungkan," Leng Tiong-siang berkata pula "Cobalah engkau gerakkan tenagamu," tibatiba Leng Tiong-siang berkata pula, "apakah masih tetap hebat?"
Siau Lo-seng segera kerahkan tenaga dalam. Ia rasakan darahnya berjalan lancar, tenaga dalamnya
penuh. Segera ia menghampiri segunduk batu besar yang berada di dekat hutan. Sekali dorong batu besar
itupun terlempar beberapa belas langkah.
"Bagus, untuk sementara waktu ini ingatanmu masih belum hilang. Mari kita lanjutkan perjalanan," kata
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Leng Tiong-siang dengan wajah berseri girang.
"Ke mana?" tanya Siau Lo-seng.
"Istana Ban-jin-kiong."
"Hai! Ke Ban-jin-kiong?" teriak Hun-ing dan Cu-ing serempak.
"Lekas kita jalan," kata Leng Tiong-siang. "sambil berjalan sambil kuterangkan. Kalau tidak kita tentu
terlambat." Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang sekali bergerak sudah berada tiga tombak jauhnya. Siau Lo-seng dan
kedua nonapun mengikuti. Sambil berlari Leng Tiong-siang bercerita: "Pada waktu kita berpisah dan aku memburu ke tenggara untuk
menyergap peniup seruling itu, tanpa sengaja aku telah kesasar masuk ke dalam istana Ban-jin-kiong."
"Apa" Engkau masuk ke Ban-jin-kiong?" teriak Siau Lo-seng.
"Bukan melainkan aku saja pun peniup seruling itu juga masuk ke istana Ban-jin-kiong dan berada tak jauh
dari sini." Kedua nona itu menggunakan seluruh kepandaiannya berlari baru dapat mengimbangi ilmu berlari dari Siau
Lo-seng dan Leng Tiong-siang.
"Hah, istana Ban-jin-kiong tak jauh di sekitar tempat ini?" teriak Hun-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Benar, memang berada di gunung ini," sahut Leng Tiong-siang.
"Bukankah Buddha Emas Bu Beng Lojin itu juga pernah masuk ke dalam istana Ban-jin-kiong," tiba-tiba Cuing berseru.
Siau Lo-seng pun ikut bertanya: "Leng locianpwe, bukankah tadi engkau mengatakan bahwa tingkat
penafsiran adik Ing itu masih kurang sempurna" Cobalah engkau terangkan."
"Pertanyaan yang baik," kata Leng Tiong-siang "tahukah kalian bahwa sebenarnya Buddha Emas Ang
Siong-pik itu sebenarnya delapanbelas tahun yang lalu sudah muncul lagi di dunia persilatan?"
"Tidak tahu," sahut Hun-ing, "dan rasanya dunia persilatan pun tak pernah mengetahui hal itu."
Wajah Leng Tiong siang makin dingin dan sepasang matanyapun berkilat-kilat tajam.
"Disitulah letak kuncinya," kata kakek berwajah dingin itu, "memang kemunculan yang kedua kali dari Ang
Siong-pik pada delapanbelas tahun berselang sangat dirahasiakan sekali. Dan pada masa itu bukankah
dunia persilatan penuh dengan peristiwa-peristiwa yang aneh" Misalnya seperti terbunuhnya seluruh
keluarga Siau Han-kwan, ketua perkumpulan Naga Hijau. Begitu pula lenyapnya beberapa tokoh persilatan
ternama?"" Mendengar disebutnya peristiwa pembunuhan ayahnya, seketika teganglah perasaan Lo-seng. Peristiwa
berdarah itu terbayang kembali dalam benaknya. Sepasang matanya membara merah dan serentak ia
hentikan larinya. "Apakah pembunuhan itu mempunyai sangkut paut dengan hilangnya beberapa tokoh itu?" serunya,
Leng Tiong-siang terkejut dan hentikan langkah juga: "Eh, mengapa?"
"Siau Han-kwan si Naga sakti tanpa bayangan itu adalah ayahku!" seru Lo-seng dengan penuh keharuan.
"Engkau putera Siau Han-kwan?" Leng Tiong-siang terkejut, "peristiwa berdarah pada keluarga Siau
rupanya mulai tampak titik-titik terang."
"Harap Leng locianpwe jangan main menyembunyikan rahasia dan lekas memberi tahu," Cu-ing
menyeletuk. Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang segera menuturkan sebuah rahasia dunia persilatan yang terjadi pada
empatpuluh tahun berselang.
09.43. Raja Akhirat dari Ban-jin-kiong
Empatpuluh tahun yang lalu, dunia persilatan tenteram dan damai. Tetapi ternyata suasana itu hanya
seperti 'api dalam sekam' di luar, tenang, di dalam menyala. Tiap-tiap partai persilatan sedang kasak kusuk
untuk merencanakan langkah merebut kedudukan sebagai pemimpin dunia persilatan.
Pada waktu itu diam-diam telah timbul sebuah persekutuan yang menamakan diri sebagai Ho-ping-beng
atau persekutuan Cinta Damai.
Persekutuan itu bertujuan untuk mengadu kesaktian dengan para pimpinan partai-partai persilatan. Adu
kesaktian itu disertai dengan sebuah syarat. Apabila pimpinan partai persilatan tersangkut dapat menang
maka dia berhak mencrima pusaka, baik senjata maupun kitab, menurut apa yang dikehendaki. Begitu pula
wakil persekutuan Cinta Damai yang kalah itu akan menurut dan tunduk pada perintah ketua partai
persilatan yang menang itu.
Tetapi apabila ketua partai persilatan tersebut kalah, dia harus mengundurkan diri dari dunia persilatan.
Oleh karena hadiah pusaka yang akan diberikan oleh persekutuan Cinta Damai itu memang sungguhsungguh luar biasa nilainya maka banyak jago-jago silat sakti yang datang dan minta diadu dengan wakil
persekutuan Cinta Damai. Ternyata selama itu, tiada seorangpun tokoh silat yang menang. Jago dari persekutuan Cinta Damai itu
memang luar biasa saktinya.
Sejak itu dunia persilatan berangsur-angsur tenang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Menutur sampai di situ, Leng Tiong-siang berhenti. Sejenak ia memandang Siau Lo-seng. Dilihatnya anak
muda itu termangu-mangu mendengarkannya.
"Bukankah pimpinan persekutan Cinta Damai itu hanya terdiri dari empat orang?" tiba-tiba Cu-ing
menyeletuk. "Rupanya engkau tahu hal itu," serunya.
"Tidak, aku hanya tahu sedikit sekali," sahut nona itu.
"Tetapi kemudian, persekutuan Cinta Damai itu kalah di tangan seorang jago pedang," kata Leng Tiongsiang pula.
"Siapa?" tanya Cu-ing.
Leng Tiong-siang tak lekas menyahut melainkan termenung beberapa jenak.
"Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan," kata Leng Tiong-siang sesaat kemudian.
Serempak ketiga orang itupun memandang ke arah Siau Lo-seng. Tetapi alangkah kejut mereka!
Ternyata saat itu Siau Lo-seng sudah tak ada di tempatnya. Dan sebagai gantinya, di tempat itu telah berdiri
seorang baju hitam yang mengenakan kerudung muka.
Peristiwa itu berlangsung pada waktu Leng Tiong-siang bicara dengan kedua nona tanpa diketahui sama
sekali oleh mereka bertiga.
Dapat dibayangkan betapa kejut Leng Tiong-siang dan kedua nona itu.
"Hai, engkau manusia atau setan!" bentak Hun-ing.
Tetapi orang bertubuh tinggi kurus yang mengenakan kerudung muka hitam itu tak bergerak. Kedua
tangannya menjulur ke lutut.
Diam-diam Leng Tiong-siang tergetar hatinya. Dengan kepandaian yang dimiliki toh ia masih tak dapat
mengetahui kemunculan orang itu.
Dalam pada itu Hun-ing dan Cu-ing tak dapat menahan sabar lagi. Kedua nona itu serempak membentak
dan lepaskan pukulan. Tetapi orang aneh itu seolah-olah tak mengacuhkan pukulan dahsyat dari kedua nona. Dia tetap tegak,
tidak menghindar maupun menangkis.
"Bum, bum".."
Pukulan itu tepat mendarat di dada orang berkerudung. Tetapi suara mengerang tertahan malah terdengar
dari mulut Hun-ing dan Cu-ing. Kedua nona itu terhuyung mundur dua langkah. Tangan mereka terasa sakit.
Sedang orang berkerudung hitam itu tetap tegak seperti patung.
"Siu-lo-sin-kang!" teriak Leng Tiong-siang seketika.
"Apa" Siu-lo-sin-kang?" Hun-ing yang saat itu sudah berdiri tenang, pun terkejut.
Siu-lo-sin-kang merupakan ilmu simpanan yang istimewa dari gereja Siau-lim-si. Sejak Siau-lim-si berdiri
hanya beberapa tokoh yang mampu menguasai ilmu sakti itu. Sejak seratus tahun yang lalu Liau Liau
Siansu dapat menguasai ilmu itu. kemudian dalam tiga angkatan murid-murid Siau-lim-si tidak ada
seorangpun yang berhasil memahami ilmu sakti itu.
Menurut ceritanya, seorang yang dapat melatih ilmu sakti sin-kang itu, dia akan kebal dengan segala racun,
air, api dan segala macam senjata tajam. Tubuhnya akan menjadi lindung atau kebal.
Siapakah orang aneh itu" Mengapa dia juga memiliki ilmu sakti Siu-lo-sin-kang"
Tiba-tiba Leng Tiong-siang membentak keras dan menghantam: "Cobalah engkau terima pukulanku ini!"
Serangkum arus gelombang tenaga yang dahsyat segera berhamburan ke arah orang aneh itu.
Tampak orang aneh itu mengangkat tangannya dan tenaga pukulan Leng Tiong-siang pun bukan saja
lenyap tetapi orangnya juga tersurut mundur tiga langkah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing mempunyai pengalaman yang luas dan otak yang cerdas sekali. Dia segera tahu bagaimana kedua
tokoh itu telah saling adu tenaga dalam. Dan ternyata tenaga dalam dari Kakek wajah dingin Leng Tiongsiang masih kalah dengan orang aneh itu.
Leng Tiong-siang sendiri memang bukan kepalang kejutnya. Setitikpun tak pernah ia duga bahwa hanya
dengan gerakkan kedua tangannya ke muka, orang aneh itu telah mampu menghapus pukulan yang disaluri
dengan lima bagian tenaga dalam Coat-im-liang-gi-cin-gi.
Karena penasaran kakek wajah dingin itu segera menghantam dengan kedua tangannya. Kali ini ia
menyalurkan sepuluh bagian dari tenaga dalam Coat-im-liang-gi-cin-gi.
Tampak orang aneh itu tetap tegak di tempatnya. Tidak menangkis, pun tidak menghindar.
"Uh, apakah dia benar-benar sudah menguasai ilmu sakti Siu-lo-sin-kang dan sengaja memancing aku
supaya memukul lebih hebat lalu hendak menggunakan tenaga balik untuk melukai aku?" diam-diam Leng
Tiong-siang menimang dalam hati demi melihat orang aneh itu diam saja.
Cepat ia mengurangi dua bagian dari tenaga dalam Coat-im-liang-gi-cin-gi pada pukulannya itu. Setelah
tenaga pukulan Leng Tiong-siang hampir mengenai tubuhnya, barulah orang aneh itu condongkan tubuh ke
samping lalu ajukan kaki kiri maju setengah langkah, tangan kanan membalik ke atas, dengan jurus No-haypok-liong atau Laut marah menangkap naga, ia menerkam pergelangan tangan kanan Leng Tiong-siang.
Tetapi Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang bukan seorang yang lemah. Dengan gerak yang istimewa ia
berputar tubuh dan maju menyerang lagi dengan kedua tangannya.
Saat itu segera pecah pertempuran yang dahsyat dari dua tokoh yang sakti.
Tampaknya Leng Tiong-siang benar-benar menumpahkan perhatiannya pada pertempuran itu. Ia
menyerang dengan hebat, pukulan dan tendangan bertubi-tubi dilancarkan. Dahsyat dan cepatnya bukan
alang kepalang. Jurus-jurus serangannyapun aneh dan sukar diduga lawan.
Dahulu Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang itu merupakan datuk dari Kwan-ga-sam-ki atau Tiga Datuk
dari Tibet. Sudah tentu kepandaiannya amat sakti. Dan apa yang diunjukkan dalam pertempuran itu
memang membuktikan betapa kesaktian yang dimiliki oleh tokoh itu.
Hun-ing dan Cu-ing termasuk pendekar wanita kelas satu dalam dunia persilatan. Tetapi mereka harus
terbelalak kaget ketika menyaksikan pertempuran itu. Diam-diam mereka malu dalam hati dan menyadari
bahwa ilmu silat itu memang tiada batasnya. Dibanding dengan dirinya, kedua tokoh itu jauh lebih sakti
berlipat ganda. Tetapi ternyata kepandaian dari orang berkerudung hitam lebih hebat lagi. Setiap kali ia gerakan tangan
tentu selalu dapat menghapus serangan maut dari lawan. Begitu pula gerak tubuhnya, serba cepat dan tak
terduga-duga arahnya. Karena berpakaian serba hitam dan mukanyapun ditutup dengan kain hitam, maka
sepintas pandang dia benar-benar menyerupai sesosok hantu yang menari-nari di tengah malam.
Sudah tigapuluh lima jurus serangan dahsyat dan cepat dilancarkan Leng Tiong-siang. Namun jangankan
mengenai bahkan menyentuh ujung pakaian lawanpun tak mampu.
Leng Tiong-siang makin marah. Dia memperhebat serangan sedemikian rupa dan memperlipat gandakan
kecepatannya. "Kena!" tiba-tiba Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang berseru. Ia menyelonong maju dan secepat kilat
menyelinapkan tangan kanannya memukul dada lawan yang dilindungi dengan bayangan kedua tangannya.
Tetapi pada saat tangannya menyentuh dada lawan, tiba-tiba tangan kanannya telah dicengkeram musuh.
Seketika ia rasakan kesemutan dan tenaganyapun lunglai. Yang berhasil mendarat di dada lawan hanyalah
sebelah tangan kirinya. "Duk?"" Terdengar benda berat macam palu besi jatuh di tanah. Dan seketika itu kedua tubuh merekapun
berpencar. Karena terseret tangannya, Leng Tiong-siang terlempar sampai tujuh-delapan langkah baru dapat berdiri
tegak. "Huak"..." dia muntah darah.
Sedangkan orang aneh itu mengerang aneh dan menyurut mundur sampai beberapa langkah. Sepasang
matanya berkilat-kilat memandang ke arah Leng Tiong-siang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing dan Cu-ing benar-benar terpesona mengikuti jalannya pertempuran itu sehingga mereka tegak
termangu-mangu seperti patung. Lupa untuk berseru menegur Leng Tiong-siang, lupa untuk menjerit kaget
karena kakek wajah dingin telah muntah darah.
Dengan wajah terkejut, Leng Tiong-siang memandang orang aneh itu. Dia benar-benar kagum akan
kepandaian orang itu. Ilmu sambaran Kin-na-jiu yang digunakan orang aneh itu, betul-betul luar biasa.
Mungkin dalam dunia persilatan tiada sebuah ilmu silat yang mampu menghindari cengkeraman itu.
Tiba-tiba orang aneh itu berputar tubuh dan tanpa berkata apa-apa terus lari pergi.
"Hai, betapa hebat ilmu larinya itu......" teriak Hun-ing ketika melihat dalam sekejap mata si orang aneh
sudah lenyap. Leng Tiong-siang menghela napas rawan. Ia mengangkat muka memandang ke langit. Ada suatu pikiran
melintas pada benaknya Ah, betapa luas dunia, betapa kecil dirinya dan betapa masih rendah ilmu
silatnya?" Pelahan-lahan ia berputar tubuh memandang ke arah kedua nona yang termangu-mangu.
Tiba-tiba matanya tertumbuk pula akan sesosok bayangan orang yang berada di tempat gelap kira-kira dua
tombak jauhnya. Ah, lagi-lagi muncul seorang sakti yang kedatangannya sama sekali tak diketahui oleh
mereka bertiga. "Ban-jin Kiong-cu, bagus engkau sudah datang sendiri. Aku memang hendak mencarimu," tiba Leng Tiongsiang berseru.
Di bawah sinar rembulan remang, tampak seorang imam yang mukanya tertutup kerudung hitam, tengah
berdiri pada jarak dua tombak. Cepat Hun-ing dapat mengenali orang itu sebagai yang memapas kutung
sebelah lengan si bungkuk Long Wi ketika di kuil tua tempo hari.
Ban-jin Kiong-cu atau yang dipertuan dari istana Ban-jin-kiong tertawa ringan.
"Sahabat Leng, perlu apa engkau hendak mengindari aku?" serunya.
Berhadapan dengan musuh, seketika merahlah mata Leng Tiong-siang.
"Ketahuilah bahwa larangan yang kita buat pada delapanbelas tahun yang lalu, sekarang sudah ada lima
buah yang hapus. Akupun boleh menempur engkau," seru kakek wajah dingin itu.
Kepala Ban-jin-kiong tertawa mengekeh.
"Heh, heh, setelah berpisah selama delapanbelas tahun, kepandaian Leng-bin-sin-kun tentu maju pesat.
Tetapi apakah engkau lupa akan perjanjian yang nomor tujuh itu?"
Leng-bin-sin-kun Leng Tiong-siang berseru dingin: "Tetapi janganlah engkau lekas bergembira dulu.
Larangan ke tujuh itu pun segera akan hapus."
Rapanya kepala dari Ban-jin-kiong itu paham akan perangai Leng Tiong-siang. Semakin marah, Leng
Tiong-siang semakin diam dan dingin.
"Heh, heh," kepala Ban-jin-kiong itu tertawa mengekeh pula, "mengapa Leng-bin-sin-kun marah-marah
begitu rupa" Di antara kita masakan tak ada yang tak dapat dirundingkan?"
Leng Tiong-siang berseru dingin: "Cepat atau lambat, aku pasti dapat membuka kedok kejahatanmu.
Sekarang aku hendak bertanya, siapakah orang aneh tadi" Bukankah dia salah sebuah mayat hidup yang
engkau ciptakan" Kalau tak salah, kepandaian orang itu tak di bawah aku dan engkau."
Kepala Ban-jin-kiong tertawa meloroh.
"Engkau menanyakan orang itu?" serunya gembira, "adalah Raja Akhirat dari Ban-jin-kiong bukan mumi
bukan pula orang-orangan kayu. Kalau engkau tahu asal usulnya, engkau tentu takkan penasaran kalau
dikalahkannya." "Huh, Leng Tiong-siang tak pernah mengagumi manusia yang manapun juga," seru Kakek wajah dingin,
"bukankah telah engkau bius kesadaran pikirannya supaya dia mati-matian menjual jiwa untukmu?""
"Terserah bagaimana engkau hendak mengatakan saja, ha, ha, ha?""
"Hm, ketahuilah," seru Leng Tiong-siang, "bahwa malam ini Ban-jin-kiong tentu akan timbul peristiwa."
dunia-kangouw.blogspot.com
Ban-jin Kiong-cu tersenyum: "Terima kasih atas peringatan saudara Leng. Apakah alasanmu mengatakan
begitu?" "Soal itu engkau tak perlu tahu."
Kepala Ban-jin-kiong tertawa keras, serunya: "Ah, kalau begitu aku telah mengukur baju orang dengan
ukuran badanku. Mengukur hati seorang siau-jin (orang rendah) dengan ukuran hati seorang kesatria."
"Ban-jin Kiong-cu, bagaimana Siau toako kami!" tiba-tiba Hun-ing membentak.
Kepala Ban-jin-kiong terkesiap lalu tertawa keras: "Aneh, aneh, engkau sendiri yang menyebabkan dia
pergi, sekarang engkau minta."
Menggigillah Hun-ing karena marah, serunya: "Jika engkau berani mengganggu selembar rambutnya, aku
tentu akan mengadu jiwa dengan engkau?"."
Walaupun mulut mengancam tetapi Hun-ing menyadari kelihayan kepala Ban-jin-kiong itu maka ia tak
berani gegabah bertindak.
Tetapi Cu-ing sudah tak dapat menahan diri lagi. Dengan melengking keras ia segera menerjang kepala
Ban-jin-kiong dengan pedangnya seraya memaki: "Imam busuk, terimalah seranganku!"
Kepala Ban-jin-kiong terkesiap tetapi cepat-cepat iapun menghindar ke samping.
"O, kiranya engkau Nyo Cu-ing anak murid Tay Hui Sin-ni, maaf, maaf!" serunya, "kali ini Ban-jin-kiong akan
mengadakan perjamuan besar untuk menyambut sahabat-sahabat lama. Bukankah begitu saudara
Leng......." Karena tusukannya luput, Cu-ing segera kembangkan ilmu pedang Tay-hui-kiam-hwat. Pedang segera
berhamburan memancarkan sinar dingin. Pedang menyambar naik turun, menusuk, menabas, membabat
dan memagut jalan darah berbahaya di seluruh tubuh lawan.
Kepala Ban-jin-kiong berayun menghindari diri sampai setombak jauhnya.
"Bagus, budak perempuan," ia tertawa gelak-gelak, walaupun engkau sudah mendapat pelajaran seluruh
ilmu pedang dari Tay Hui Sin-ni tetapi untuk melawan aku, masih jauh dari kurang?"
Cu-ing penasaran kerena dengan mudah lawan dapat lolos dari pedangnya, serunya: "Imam jahat, cobalah
engkau terima serangan pedangku lagi!"
Nona itu maju dan tiba-tiba pedangnya telah berganti gaya. Angin menderu keras, empat penjuru dilingkupi
sinar dingin. Dalam sekejap saja, kepala Ban-jin-kiong itu sudah terkurung dalam sinar pedang.
Tiba-tiba ketua Ban-jin-kiong itu tertawa panjang, serunya: "Hebat, hebat benar ilmu pedang Tay-hui-kiamhwat itu...... ha, ha, ha!"
Dalam pada tertawa itu bagaikan sesosok setan, ia sudah berlincahan menerobos keluar dari kepungan
sinar pedang. Sekali ulurkan tangan ia sudah dapat mencengkeram tangan si nona dan terus merebut
pedangnya. Cu-ing benar-benar terkejut sekali. Cepat ia ayunkan tangan kirinya untuk menghantam dada orang.
Ketua Ban-jin-kiong menghindar ke samping, sesaat tinju Cu-ing melayang, segera ia tutukkan jarinya ke
lengan si nona dan terus menarik lalu mengepitnya.
Peristiwa itu berlangsung hanya dalam sekejap mata saja sehingga Hun-ing masih tertegun dan Leng
Tiong-siang pun tak sempat memberi pertolongan lagi.
Sesaat kemudian tanpa menghiraukan bagaimana akibatnya lagi, Hun-ing terus menyerang dengan
pedangnya. Sesosok tubuh berayun dan tahu-tahu tangan ketua Ban-jin-kiong itu sudah bertambah lagi dengan
sebatang pedang dan Hun-ing pun sudah berada dalam pelukannya.
Jika tak melihat sendiri tentu Leng Tiong-siang tak percaya bahwa hanya dalam sekejap mata saja kedua
nona itu sudah dapat dikuasai ketua Ban-jin-kiong.
Kakek wajah dingin itu berobah wajahnya lalu berseru dengan dingin sekali, "Ban-jin Kiong-cu, lepaskan
kedua orang itu." dunia-kangouw.blogspot.com
Kepala Ban-jin-kiong tertegun malihat sikap Leng Tiong-siang yang begitu dingin menyeramkan. Tetapi
sesaat kemudian ia berseru: "Jika tak kulepaskan?"
09.44. Tempat Rahasia Istana Ban-jin-kiong
Dengan dingin dan tegas, Leng Tiong-siang pun berkata, "Jika tidak aku tentu engkau yang akan mati di
sini." Ketua Ban-jin-kiong tertawa gelak-gelak.
"Leng Tiong-siang, sekarang bukanlah seperti tempo dahulu. Memang empatpuluh tahun yang lalu aku
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
agak takut kepadamu. Delapan tahun berselang, masih gentar juga kepadamu. Tetapi sekarang, ha, ha, aku
Ban Jin-hoan boleh menepuk dada mengatakan bahwa engkau Leng Tiong-siang, belum tentu dapat
mengalahkan aku. Apalagi aku mempunyai anak buah yang banyak jumlah. Engkau Leng Tiong-siang
sudah tak berarti apa-apa bagi Ban-jin-kiong."
Ternyata kepala Ban-jin-kiong itu bernama Ban Jin-hoan.
"Hm, silahkan coba," seru Leng Tiong-siang dingin.
Tiba-tiba Ban Jin-hoan tersenyum sinis, serunya, "Leng Tiong-siang, tampaknya engkau masih
mengenangkan wanita busuk itu tetapi belum tentu dia masih mau mengenalmu."
Mendengar kata-kata itu gemetarlah Leng Tiong-siang, serunya, "Ban Jin-hoan, jangan terlalu menghina
orang. Mengungkat peristiwa delapanbelas tahun yang lalu, berarti membuka borok yang tak sedap dilihat.
He, jangan kira aku dapat engkau bikin panas hati dengan ejekanmu itu. Jangan kuatir soal itu!"
Tiba-tiba kepala Ban-jin-kiong menengadahkan kepala dan tertawa nyaring. Nadanya penuh kerawanan,
dendam, marah dan kebencian.
"Ban Jin-hoan," seru Leng Tiong-siang dengan nada agak iba. "jika engkau mau menghapus dendam lama
itu, aku Leng Tiong-siang pun akan menurut untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan dan takkan
menuntut perbuatanmu, apa yang engkau lakukan selama delapanbelas tahun ini."
Tubuh ketua Ban-jin-kiong itu agak gemetar. Walaupun mukanya ditutup kain kerudung tetapi jelas dia
tegang sekali wajahnya. Suasana hening, dunia seolah tenggelam dalam kepekatan.
"Ban Jin-hoan, apakah engkau setuju?" tiba-tiba Leng Tiong-siang memecah kesunyian.
"Tidak," sahut Ban Jin-hoan dengan nada dingin, "aku tak pernah menyesal. Dengan memandang mukamu,
kedua budak perempuan ini kulepaskan. Tetapi ketahuilah, bahwa sejak saat ini, himpaslah sudah budi
yang engkau berikan kepadaku. Lain kali kalau bertemu lagi, kita akan menyelesaikan dengan kepandaian
masing-masing. Cukup sekian dan sampai jumpa lagi!"
Setelah lepaskan Cu-ing dan Hun-ing, ketua Ban-jin-kiong itu terus berputar tubuh dan pergi.
"Tunggu!" tiba-tiba Leng Tiong-siang berseru.
"Masih ada urusan apalagi?" ketua Ban-jin-kiong berpaling.
"Tentang diri Siau Lo-seng anak itu. "Jika engkau tak mau memandang mukaku, baiklah engkau mengingat
ibunya dan jangan terlalu menyusahkannya!"
Ketua Ban-jin-kiong tertawa dingin, serunya: "Sebelum aku sekali lagi bertemu muka dengan ibunya, aku
takkan mencelakainya."
"Kalau begitu, bebaskanlah dia!" kata Leng Tiong-siang.
Ban Jin-hoan tertawa meloroh.
"He, bahkan engkaupun tak percaya kepada Ban Jin-hoan. Walaupun aku Ban Jin-hoan itu seorang
manusia yang ganas, licin dan licik, tetapi aku masih dapat pegang janji. Kalau tidak masakan saat ini aku
mau berhadapan dengan engkau."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Baik," seru Leng Tiong-siang, "dalam hal itu aku percaya kepadamu. Ang Siong-pik si Buddha Emas dan
peniup seruling yang belum diketahui orangnya, tak lama lagi akan menyerbu istana Ban-jin-kiong. Kalau
perhitunganku tak meleset, Tay Hui Sin-ni dan dia...... pun segera akan datang. Engkau harus lekas pulang
untuk bersiap sedia."
"Hm, jangan lupa," kata Ban Jin-hoan dengan nada dingin, "sekarang di antara kita berdua sudah tiada
ikatan bahkan sudah menjadi lawan. Tak perlu engkau cari muka."
Hahis berkata kepala Ban-jin-kiong itu sudah meluncur lenyap dalam kegelapan malam.
Leng Tiong-siang menghela napas. Sambil memandang bayangan Ban Jin-hoan yang lenyap dalam
kegelapan, dia masih terkesan akan kata-kata yang terakhir dari kepala Ban-jin-kiong itu. Walaupun
diucapkan dengan nada dingin tetapi jelas mengandung percikan nada yang lembut.
Ah, masa beredar, jaman berganti dan manusiapun berganti. Hanya dia seorang dan ketua Ban-jin-kiong itu
masih tak berobah keadaannya.
Walaupun sudah dilepas tetapi karena jalan darahnya ditutuk oleh Ban-jin Kiong-cu maka kedua nona Huning dan Cu-ing tak dapat berkutik dan bicara. Tetapi pikiran mereka masih sadar.
Apa yang telah terjadi antara Leng Tiong-siang dengan kepala Ban-jin-kiong itu dapat dilihat dan
didengarkan mereka. Segera mereka mendapat kesan bahwa di antara Leng Tiong-siang dengan kepala
Ban-jin-kiong itu terdapat suatu jalinan hubungan yang tidak biasa. Dan hubungan itu menyangkut dirinya
serta Siau Lo-seng. Betapapun cerdasnya kedua nona itu namun karena peristiwa itu mempunyai liku-liku yang ruwet dan
berbelit-belit, kedua nona itupun tak dapat merangkai dugaan.
Hanya ketika melihat bagaimana Leng Tiong-siang seperti orang yang kehilangan semangat, kedua nona
itupun menitik airmata ikut terharu.
Tetapi mereka tak tahu mengapa ikut menitikkan airmata dan mengapa mereka harus menaruh simpathi
terhadap orang yang diserangnya tadi?"
Tiba-tiba Leng Tiong-siang kedengaran berkata seorang diri: "Empatpuluh tahun telah berlalu seperti air
mengalir. Awan berarak angin berhembus dan langitpun membekas dendam"..."
Pada wajah Leng Tiong-siang kakek yang dingin itu, menitik dua butir airmata.
Alam sekeliling makin senyap dan rawan.
Tiba-tiba terdengarlah Kakek wajah dingin itu bersenandung sebuah lagu yang mengharukan:
Air beriak Sungai mengalir Bertemu laut Langkahpun Hatimu Tetapi siapa yang tahu Hatiku Bagai Hanyut di jauh musim ke kembali remuk guguran dibawa bunga air semi muara asal. tertatih-tatih rendam...... patah...... Tho mengalir...... Nada yang haru, mencurahkan hati yang patah dan tubuh Leng Tiong-siang pun diayun langkah tertatihtatih lenyap dalam kegelapan malam.
Duniapun sunyi senyap"..
******************** "Adik Ing, hutan ini aneh sekali," tiba-tiba terdengar lengking suara seorang nona memecah kesunyian
suasana. dunia-kangouw.blogspot.com
"Ya, memang benar, sudah hampir tiga jam kita tak dapat keluar dari sini dan tak berjumpa dengan seorang
manusiapun juga. Adakah istana Ban-jin-kiong ini memang tiada penghuninya?" seru seorang nona lain.
Ternyata kedua nona itu adalah Hun-ing dan Cu-ing. Setengah jam setelah Leng Tiong-siang pergi barulah
keduanya dapat terbuka jalan darahnya.
Walaupun sudah mendengar janji dari kepala Ban-jin-kiong akan membebaskan Siau Lo-seng tetapi kedua
nona itu tetap cemas. Mereka menuju ke bagian belakang gunung dan masuk ke hutan itu.
"Adik Ing, rasanya hutan ini memang diatur menurut susunan barisan yang aneh," kata Hun-ing pula, "tetapi
segala macam barisan kita sudah pernah masuk mengapa yang ini tak dapat keluar. Rasanya rumah gubuk
itu mempunyai rahasia. Mari kita periksa kesana."
"Aku sudah masuk ke situ," sahut Cu-ing. "kecuali setumpuk rumput kering, di situ tak terdapat lain-lain
barang lagi." "Tetapi aku hendak memeriksanya," kata Hun-ing.
Dan kedua nona itupun terus ayunkan tubuh lari menyusup ke dalam hutan. Tak lama tampaklah sebuah
rumah gubuk yang hampir roboh.
"Hutan di empat penjuru yang mengelilingi pondok itu jelas diatur seperti susunan barisan Su-giong-ngoheng-tin. Tetapi yang sebelah sana sungguh aneh sekali. Walaupun kita menyusup menurut susunan
barisan Thay-kek, Su-giong-ngo-heng, Kiu-kiong-pat-kwa dan Jit-jing-pak-tou, tetap tak dapat keluar," kata
Hun-ing. "Tak usah menghiraukannya," kata Cu-ing, "hayo kita beristirahat sebentar dalam gubuk itu."
"Hai, waktu engkau pergi tadi, bukankah pintu gubuk itu engkau buka" Mengapa sekarang tertutup sendiri?"
tiba-tiba Hun-ing berseru heran.
Cu-ing pun melonjak kaget.
"Benar, waktu aku keluar, pintu itu memang kubuka tetapi mengapa sekarang tertutup lagi?" kata Cu-ing,
"jelas pintu itu tak mungkin dapat menutup sendiri. Apakah di dalam gubuk itu terdapat orangnya?"
"Hayo, kita 1ihat ke sana," kata Cu-ing.
"Jangan gegabah bertindak," cegah Hun-ing.
"Takut apa" Kalau ada orangnya, lebih baik. Kita seret dia keluar."
"Ah, adik Ing, mengapa engkau masih suka mengumbar nafsu?"
"Tetapi kita tak bisa hanya menunggu di sini saja?" bantah Cu-ing.
"Baiklah," akhirnya Hun-ing mengalah, "aku yang masuk dan engkau jaga di luar."
"Tidak," seru Cu-ing. "lebih baik aku saja yang masuk."
Diam-diam Hun-ing tertawa dan menganggap Cu-ing itu masih berhati kekanak-kanakan.
"Baiklah, engkau ikut di belakangku tetapi jangan sembarangan bergerak."
Demikian kedua nona itu segera ayunkan langkah menuju ke pondok, tertutup rapat dan tak kedengaran
suara apa-apa. "Hai, apakah di dalam ada orang?" teriak Hun-ing seraya mempersiapkan pedang. Tetapi sampai diulang
beberapa kali, tetap tiada jawaban.
Rupanya Cu-ing tak sabar lagi. Mendorong pintu ia terus menerjang masuk.
Ternyata pintu memang tidak dikancing sehingga sekali dorong, terbuka.
Hun-ing terkejut dan cepat-cepat memberi peringatan: "Hati-hati, adik Ing." Iapun segera ikut masuk.
Dalam pondok itu ternyata penuh dengan sarang labah dan debu. Daun jendela sudah rusak. Keadaan itu
memberi kesan bahwa memang sudah lama pondok tersebut tak didiami orang. Suasana yang suram dan
sepi membuat bulu roma Cu-ing meremang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba terdengar suara bercuit-cuit. Cu-ing menjerit kaget dan mundur tiga langkah, memeluk Hun-ing.
Ternyata pada waktu Hun-ing masuk telah mengejutkan seekor tikus. Tikus ketakutan dan mencicit lari ke
ujung pondok. "Ah, hanya seekor tikus, mengapa engkau ketakutan setengah mati?" Hun-ing tertawa.
"Apa?" teriak Cu-ing, "kurang ajar, tikus itu tentu kubunuh."
"Sudahlah adik Ing, jangan garang-garang. Apa tidak ingat tadi?" Hun-ing menertawakan.
"Apa" Aku tidak takut!" merah muka Cu-ing lalu melangkah masuk ke sebelah dalam.
"Tunggu!" seru Hun-ing, "apakah engkau tak heran kalau di sini terdapat tikus?"
Cu-ing seorang dari yang cerdas. Segera dapat menangkap maksud pertanyaan Hun-ing.
"Benar, cici Hun," serunya tersadar, "di sekitar tempat ini tiada terdapat rumah orang dan pondok ini sudah
lama kosong. Tak ada sedikitpun makanan di sini. Tetapi mengapa kawanan tikus itu tinggal di sini" Apakah
masih ada tempat rahasia lain?"
Kedua nona itu mulai memeriksa ujung pondok yang gelap.
"Adik Ing, lihatlah," tiba-tiba Hun-ing berbisik, "bukankah daun pintu itu agak aneh?"
Sesaat Cu-ing memandang seksama, iapun merasa heran. Sebuah daun pintu yang tingginya dua meter,
saat itu tampak bersih tiada debunya. Dan ketika pertama masuk ke situ, ia tak sempat melihat daun pintu
itu. "Benar, cici Hun," kata Cu-ing, "rupanya daun pintu itu telah dipegang orang."
Cu-ing segera songsongkan ujung pedang mencongkel daun pintu, "brak?"" daun pintu itupun terbuka.
Suaranya menambah keseraman suasana rumah pondok itu.
Dengan lintangkan pedang melindungi dada, Hun-ing melongok ke dalam ruang. Dalam keremangan, ia
melihat sebuah tangga batu yang menuju ke bawah. Ah, ternyata sebuah tangga batu dari suatu ruangan di
bawah tanah. Teganglah perasaan Hun-ing.
"Adik Ing," serunya, "ternyata rumah pondok itu mempunyai ruang di bawah tanah. Penghuni rumah ini tentu
seorang yang menyangsikan."
"Apa lagi!" gerutu Cu-ing, "karena tempat ini berada dalam lingkungan istana Ban-jin-kiong, sudah tentu
orang-orangnya jahat. Kalau tidak masakan mereka akan membuat tempat yang begini menyeramkan."
Tanpa disengaja ucapan Cu-ing itu telah membuat muka Hun-ing merah. Karena bukankah ia juga menyaru
menjadi Mo-seng-li yang serba misterius gerak geriknya"
"Ya, memang bukan orang baik semua," serunya dengan menyeringai.
Cu-ing tak memikirkan hal itu lagi. Dan memang ia tak bermaksud hendak menyindir Hun-ing.
"Cici Hun, lekaslah cari obor dan mari kita masuk," kata dara itu.
Hun-ing menjemput sebatang dahan kayu dan segenggam rumput kering lalu menyalakan korek api dan
menyulutnya. Demikianlah kedua nona itu dengan tangan kiri mencekal obor dan tangan kanan memegang pedang,
pelahan-lahan mulai menuruni tangga batu ke bawah.
"Aku akan turun dulu," kata Cu-ing terus loncat melayang ke bawah.
Hun-ing terpaksa menyusul.
Begitu tiba di tanah dengan langkah lebar Cu-ing terus menuju ke sebelah dalam dan Hun-ing bergegas
menyusulnya. Tiba-tiba hidung mereka terlanda serangkum hawa busuk dan serempak pada saat itu Cu-ing pun menjerit
kaget dan menyurut mundur.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing songsongkan obor ke muka dan mementang mata. Astaga?" ternyata dalam ruang itu terdapat
belasan peti mati. Walaupun bernyali besar tetapi mau tak mau, Hun-ing menggigil juga hatinya. Sampai beberapa saat baru
ia dapat bicara. "Apakah artinya itu?" katanya, "hayo, kita periksa."
Cu-ing tegakkan semangat lalu menghampiri sebuah peti mati: "Cici Hun, bagaimana kalau kubuka peti mati
ini?" "Boleh tetapi harus hati-hati," kata Hun-ing.
Cu-ing menurut. Setelah mundur dua langkah dan lintangkan sebelah tangan melindungi dada, ia mulai
mencongkel peti mati itu dengan pedang.
"Tunggu," tiba-tiba Hun-ing berseru.
Cu-ing hentikan gerakannya dan mundur tiga langkah.
Hun-ing mengangkat obor tinggi-tinggi dan memandang ke sekeliling ruang itu. Empat sudut ruang itu
tergantung dua buah lentera. Yang lain-lain sudah padam. Hun-ing lalu menyalakan sebuah lentera di
sebelah kanan. Demikianpun Cu-ing. Kedua nona itu sibuk menyulut lentera-lentera yang berjumlah
delapan buah. Kini setelah terang barulah dapat diketahui bahwa peti mati yang berada dalam ruang itu berjumlah
delapanbelas buah. "Kita buka sebuah peti mati dan lihat apa isinya," kata Cu-ing pula.
"Hati-hatilah," kata Hun-ing seraya kerahkan tenaga dalam untuk bersiap-siap.
Cu-ing tertawa hambar, "Rasanya isi peti itu tentu hanya sesosok tulang kerangka. Perlu apa kita takut?"
"Dunia persilatan itu penuh dengan kelicikan dan tipu muslihat. Baiklah engkau berhati-hati," Hun-ing
memberi peringatan. Hun-ing mulai ayunkan langkah menghampiri peti mati tadi. Ia tusukkan ujung pedang pada tutup peti lalu
sekali mecongkel, terus menyurut mundur.
"Brak"..."
Tutup peti terlempar jatuh ke lantai dan dari dalam peti itu muncullah sebuah benda.
Cu-ing menjerit dan Hun-ing pun terkejut bukan kepalang.
Tanpa melihat jelas apa sesungguhnya benda itu Cu-ing terus taburkan pedangnya. Dalam pada itu Hun-ing
pun lepaskan sebuah hantaman.
"Bum, bum?"."
Pedang tepat menyusup ke dada benda itu dan karena pukulan Hun-ing, pedang makin menembus sampai
ke punggung. Tetapi ketika kedua nona itu memandang dengan seksama, menjeritlah Cu-ing: "Hai, hanya sesosok mayat.
Tetapi mengapa mayat itu dapat duduk?"
Memang yang dikatakan Cu-ing itu benar. Benda yang muncul dari dalam peti mati, sesosok mayat yang
terbungkus kain putih. Hun-ing yang bermata tajam cepat dapat mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Ternyata mayat itu diikat
dengan seutas tali halus pada tutup peti. Begitu tutup peti terbuka, mayat itupun ikut terangkat naik.
"O, kiranya diikat dengan tali," setelah mengetahui, Cu-ing pun berseru.
Dengan siapkan tenaga dalam, Hun-ing maju menghampiri untuk memeriksa keadaan peti mati itu.
Ia mencabut pedang dan diserahkan kepada Cu-ing seraya memberi pesan, lain kali jangan sembarangan
melontarkan senjatamu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Apakah artinya benda itu?" tanya Cu-ing.
09.45. Mayat Hidup "Hanya sesosok mayat yang dibalut dengan kain putih. Sudah tentu dia tak menderita luka apa-apa," jawab
Hun-ing. "Kita buka lagi sebuah peti lain," kata Cu-ing. Ia segera menghampiri ke sebuah peti lagi dan mendorong
tutupnya. "Brak?"" tutup peti terbuka tetapi mayat tetap rebah dan tidak duduk seperti yang tadi.
Cu-ing mengusulkan untuk membuka semua peti mati. Hun-ing setuju. Keduanya lalu bersama membuka
peti mati. Ketika Hun-ing membuka sebuah peti mati, di dalamnya terdapat sesosok mayat yang dibalut dengan
sutera putih. "Hai, peti mati ini juga terdapat mayat yang dibalut sutera putih," seru Cu-ing ketika membuka sebuah peti
mati. Dengan cepat kedua nona itu telah membuka duabelas buah peti mati yang berisi duabelas mayat dibalut
sutera putih. Yang belum dibuka tinggal enam buah.
"Astaga!" tiba-tiba Cu-ing menjerit kaget.
"Mengapa?" tegur Hun-ing,
"Lihatlah kemari, mayat ini mati atau masih hidup?"
Ketika Hun-ing menghampiri ia melihat dalam peti mati itu berisi seorang lelaki bertubuh besar, muka
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
brewok dan mengenakan pakaian pertapa. Dia rebah membujur dalam peti dengan kedua mata merentang
lebar seperti orang hidup.
Dalam sebuah ruang di bawah tanah, belasan peti mati berisi mayat itu sudah cukup menyeramkan. Dan
apabila ditambah pula dengan seorang mayat yang menyerupai orang masih hidup, sudah tentu Cu-ing
menjerit kaget. "Cici Hun, kenalkan engkau pada orang ini?" tanya Cu-ing.
Sejenak Hun-ing memandang dengan teliti dan berobahlah wajahnya: "Ketua partai persilatan Ceng-siapay, Pedang seribu bayangan Lim Tay-som!"
"Ya, benar, memang dia," kata Cu-ing.
"Ah, sungguh tak terduga bahwa ketua partai Ceng-sia-pay yang menghilang sejak enambelas tahun yang
lalu ternyata mayatnya berada di sini," kata Hun-ing pula.
Tiba-tiba Cu-ing gelengkan kepala: "Aneh sekali!"
"Tentu saja mengherankan," sambut Hun-ing.
"Bukan," sahut Cu-ing pula. "bukan soal itu."
"Soal apa?" "Menilik tutup peti penuh dengan debu, jelas peti itu tentu sudah beberapa tahun berada di sini. Mengapa
mayat di dalamnya tidak rusak?" kata Cu-ing.
Memandang pula keadaan mayat dalam sebuah peti mati, berkatalah Hun-ing: "Mungkin mayat itu telah
direndam dengan obat, sehingga?""
Tiba-tiba Hun-ing menjerit kaget dan hentikan kata-katanya.
"Mengapa?" seru Cu-ing ikut terkejut.
"Mayat ini adalah mumi!" teriak Hun-ing.
"Mumi?" dunia-kangouw.blogspot.com
"Ya, mayat-mayat ini jelas mumi ciptaan orang Ban-jin-kiong," seru Hun-ing pula, "masih ingatkah engkau
akan keduabelas mayat hidup yang menyerang dengan tiba-tiba ke markas perkumpulan kita tempo hari"
Wanita Im-kian-li, Raja Akhirat dan Siau toako sendiri waktu kehilangan kesadaran pikirannya. Bukankah
mereka memiliki kekuatan yang luar biasa hebatnya" Jelas kesemuanya itu adalah ciptaan dari ketua Banjin-kiong yang rupanya paham akan ilmu membuat mayat hidup!"
"Kalau begitu mayat-mayat yang berada dalam peti mati ini terdiri dari tokoh-tokoh persilatan ternama. Lalu
bagaimana tindakan kita?" kata Cu-ing.
"Bagaimana kalau kita buka sama sekali beberapa peti mati yang masih tertutup itu?" tanya Hun-ing.
Nona itu bahkan terus menghampiri sebuah peti dan terus mendorong tutupnya.
"Hai......!" kedua nona itu menjerit dan menyurut dua langkah. Wajah keduanya berobah pucat.
Beberapa saat kemudian barulah Cu-ing bertanya: "Cici Hun, apakah yang kita lihat itu suatu kenyataan?"
Kiranya yang rebah dalam peti mati itu adalah sebuah mayat yang dikenal mereka. Ya, tak lain adalah Han
Ceng-jiang, ketua perguruan Thay-kek-bun.
"Adik Ing, pada waktu Han ciang-bun meninggal, bukankah engkau sudah memeriksa bahwa dia benarbenar sudah putus nyawanya?" seru Hun-ing
Belum Cu-ing menyahut tiba-tiba terdengar suara jawaban: "Pada waktu itu bukankah Han Ceng-jiang
sudah mati dan mayatnya pun sudah dingin.
Cu-ing dan Hun-ing seperti disambar kilat kejutnya. Suara itu jelas dari Siau Lo-seng. Cepat kedua nona itu
berpaling. Disamping sebuah peti mati lebih kurang tujuh tombak jauhnya, tampak tegak seorang pemuda...... Siau Loseng.
"Siau toako, engkau?" engkau di sini!" seru Cu-ing.
Siau Lo-seng menghela napas pelahan, sahutnya: "Harap kalian lekas kemari untuk memeriksa siapakah
orang ini?" Kedua nona itu terkejut dan cepat-cepat maju menghampiri.
"Ayah......" serentak menjeritlah Cu-ing ketika mengetahui bahwa mayat yang berada dalam peti mati itu
bukan lain adalah ayahnya, Pit penyanggah langit Nyo Jong-ho.
Airmata Cu-ing berderai-derai membanjir turun.
"Siau toako, apakah kesadaran ingatanmu tidak lenyap?" tanya Hun-ing.
"Saat ini aku sedang memikirkan sebuah persoalan yang aneh," jawab Lo-seng.
"Lalu bagaimana pendapat Siau toako mengenai mayat Han ciang-bun dan paman Nyo ini," tanya Hun-ing
pula. Hun-ing memang cerdas. Setelah melihat jenazah kedua tokoh tua itu, serentak ia sudah membayangkan
suatu dugaan. Dan jelas pada waktu itu jenazah kedua tokoh sakti itu telah dibawa anak buah Naga Hijau pulang ke Lokyang. Tetapi mengapa tahu-tahu berada di tempat ini"
Mendapat pertanyaan Hun-ing, Siau Lo-seng merenung sejenak lalu berkata: "Apakah mayat yang kita lihat
tempo hari bukan mayat dari Nyo bengcu dan Han ciang-bun?"
"Tak mungkin," seru Cu-ing. "Siau toako, masakan kita semua tak kenal pada mendiang ayahku dan Han
ciang-bun?" "Memang hal itu tak mungkin," seru Hun-ing.
"Peristiwa dalam dunia, sebelum terjadi memang sering dianggap mustahil oleh orang," kata Siau Lo-seng.
"tetapi bagaimana kita harus berkata kalau kenyataannya seperti yang kita hadapi saat ini?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekali lagi Cu-ing memandang mayat dalam peti mati itu. Ingin ia memeriksa dengan jelas apakah mayat itu
benar mayat ayahnya atau bukan.
Dapatkah dalam waktu yang begitu singkat, orang-orang Ban-jin-kiong mengambil jenazah ayahnya dari
Lok-yang dibawa kemari" Dan mengapa jenazah ayahnya sudah meninggal beberapa bulan itu masih tetap
tak rusak" Cu-ing yang biasanya cerdik, kali ini benar-benar bingung.
"Siau toako bagaimana sesungguhnya hal ini?" akhirnya ia berseru kepada Lo-seng.
Siau Lo-seng menghela napas kecil.
"Menurut dugaanku, jauh beberapa bulan yang lalu paman Nyo dan Han ciang-bun telah dibunuh oleh
orang Ban-jin-kiong lalu dibawa ke mari hendak dijadikan mumi?""
"Lalu mayat siapakah yang kita lihat dalam pondok dahulu itu?" tanya Cu-ing.
"Sebuah mayat palsu!" seru Lo-seng.
"Aku tak percaya di dunia terdapat orang yang mampu menciptakan seorang manusia yang mirip satu sama
lain." "Justeru hal itulah yang membuat aku merasa kagum kepada Ban-jin-kiong," kata Siau Lo-seng.
Akhirnya berkatalah Hun-ing, "Apa yang dikemukakan Siau toako itu memang benar. Sekarang tinggal
bagaimana langkah kita terhadap mayat-mayat yang belum ditempa jadi mumi ini."
"Sekali pihak Ban-jin-kiong dapat menjadikan tokoh-tokoh itu sebagai mumi, dunia persilatan pasti akan
kiamat?"" kata Lo-seng.
Tanpa berkata apa-apa, Cu-ing terus membacok mayat ayahnya itu.
"Adik Ing, jangan......" teriak Hun-ing. Tetapi sudah tak keburu lagi. Untunglah saat itu Lo-seng cepat
melentikkan jari tangan kirinya untuk menyiak tangan Cu-ing. Pedang nona itupun menyasar ke samping
dan menusuk pada dasar peti mati.
"Siau toako...... mengapa engkau menghalangi aku......" teriak Cu-ing seraya bercucuran airmata.
Cu-ing mengakui kebenaran ucapan Siau Lo-seng tadi. Ia tahu bagaimana peribadi ayahnya sewaktu masih
hidup. Maka ia tak rela ayahnya akan dijadikan mumi yang ganas. Lebih baik ia lenyapkan saja.
Rupanya Hun-ing dan Siau Lo-seng tahu isi hati Cu-ing.
"Adik Ing, maksud kita bukan hendak menghancurkan mayat-mayat ini," kata Siau Lo-seng.
"Walaupun ayahku tidak mati tetapi kalau dijadikan seorang mumi, bukankah tak beda seperti orang mati?"
seru Cu-ing, "kalau sekarang kita hancurkan mayat-mayat ini, bukan saja arwah mereka akan dapat
mengasoh dengan tenteram di alam baka. Pun terhadap dunia persilatan akan terbebas dari musibah
besar. Dan mayat-mayat itupun tak sampai melakukan dosa berdarah yang hebat."
Diam-diam Hun-ing memuji alasan yang dikemukakan dara itu.
"Adik Ing," kata Hun-ing sesaat kemudian, "Harap jangan gelisah. Kalau Siau toako mencegahmu, dia tentu
sudah mempunyai cara yang baik."
"Kecuali dapat menghidupkan mereka, tiada langkah yang lebih baik daripada menghancurkan mumi-mumi
itu agar jangan sampai menimbulkan malapetaka di dunia persilatan," kata Cu-ing.
"Benar," sahut Siau Lo-seng, "kalau tak dapat menghidupkan memang lebih baik kita hancurkan saja."
"Siau toako," seru Hun-ing, "dapatkah engkau mengembalikan kesadaran pikiran mereka?"
Siau Lo-seng tertawa hambar dan gelengkan kepala: "Kalau bisa, mengapa aku tak mau melakukan?"
"Kalau begitu, lebih baik kita hancurkan saja," kata Cu-ing terus hendak menusuk pada peti mati.
"Nanti dulu," seru Hun-ing. "walaupun Siau toako tak dapat tetapi kurasa di dunia ini masih terdapat
seseorang yang mampu menyembuhkan mereka."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Siapa" Apakah ketua Ban-jin-kiong?" teriak Cu-ing tegang.
"Walaupun ketua Ban-jin-kiong mampu tetapi jelas dia tentu tak mau," kata Hun-ing, hm...... yang
kumaksudkan yalah orang yang meniup seruling itu.
Siau Lo-seng mengangguk dan diam-diam memuji kecerdikan nona itu.
"Hai, betul," seru Cu-ing gembira, "mengapa aku sampai lupa kepada orang itu. Tetapi dalam dunia yang
begini luas kemanakah kita akan mencarinya?"
Kemudian Hun-ing berkata kepada Lo-seng:
"Siau toako, tak perlu kita hiraukan orang itu dulu," katanya, "yang penting apakah suara seruling itu dapat
menyadarkan pikiran mayat-mayat ini?"
"Adik Hun," jawab Siau Lo-seng, "engkau benar. Suara seruling itu belum tentu dapat menyembuhkan
ingatan seorang mumi. Tetapi tiada jeleknya untuk dicoba karena hal itu merupakan satu-satunya harapan
kita." Hun-ing menghela napas panjang.
"Kalau begitu, nasib dunia persilatan kelak hanya tergantung dari sebatang seruling ajaib itu, ah, locianpwe,
kalau engkau memang golongan pihak kita, mengapa tak mau unjuk diri untuk menolong......"
Siau Lo-seng dan Cu-ing termangu heran melihat Hun-ing berkata seorang diri itu.
"Ah, suara seruling...... adik Hun, bagaimana engkau tahu?" tiba Siau Lo-seng seperti menyadari sesuatu.
Ternyata saat itu ia memang mendengar sealun suara seruling yang lembut, antara terdengar dan hilang.
Ia tak tahu bilakah suara seruling itu berbunyi. Dan apakah ia dapat sadar pikirannya karena seruling itu
terus menerus berbunyi sejak tadi.
"Siau toako, apakah engkau mendengar suara seruling?" tanya Hun-ing.
"Masih," Siau Lo-seng mengangguk, "adakah kalian tidak mendengar apa-apa?"
"Aku tidak mendengar apa-apa," kata Cu-ing heran lalu berpaling kepada Hun-ing, "Cici Hun apakah engkau
mendengar?" Hun-ing gelengkan kepala.
"Suara seruling dewa itu, kecuali Siau toako, kita tentu tak dapat menangkapnya," katanya.
"Adik Hun, mengapa engkau tahu kalau seruling itu masih berbunyi?" Siau Lo-seng mengulang
pertanyaannya. "Ah, bukan karena aku pandai menduga atau dapat mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. Tetapi aku
hanya menduga-duga saja dan ternyata dapat menduga benar."
"Cici Hun, engkau dapat menduga benar apa saja?" tanya Cu-ing.
"Kuduga peniup seruling itu tentu terus menerus mengikuti Siau toako. Dia hendak mengobati ingatan Siau
toako dengan seruling itu," kata Hun-ing.
"Hai, mengapa kita tak dapat menemukan orang itu?" Cu-ing terkejut.
"Peniup seruling itu sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu meringankan tubuh."
"Apakah saat ini dia masih berada di sekitar Siau toako?" tanya Cu-ing pula.
"Suara seruling tetap mengiang, jelas dia tentu tak meninggalkan Siau toako."
Cu-ing membelalakkan mata. Ia heran tetapi tak berani tak percaya karena ia tahu babwa Hun-ing seorang
nona yang cerdas sekali. Hun-ing menghela napas, ujarnya: "Bermula aku heran mengapa Siau toako dapat sembuh ingatannya. Aku
masih tak percaya tanpa suara seruling kesadaran Siau toako sudah pulih kembali. Maka ketika Siau toako
muncul, aku selalu memperhatikan kerut wajahnya. Kulihat tiap kali wajahnya mengerut tegang seperti ada
sesuatu yang menguasai pikirannya. Oleh karena itu aku segera menduga kalau Suara seruling itu masih
dunia-kangouw.blogspot.com
mengiang di telinganya secara rahasia. Dan ternyata Siau toako memang mengakui kalau masih
mendengar suara seruling itu sehingga makin memperkuat dugaanku."
"Adik Hun, engkau sungguh cerdas," Siau Lo-seng memuji.
"Tetapi cici Hun," Cu-ing menyelutuk, "bagaimana engkau tahu kalau orang itu tengah meniup seruling
untuk mengobati Siau toako?"
"Kalau tidak untuk mengobati Siau toako, perlu apa seruling itu berbunyi berkepanjangan?" kata Hun-ing.
"Kalau begitu orang itu tentu kenal pada Siau toako?" seru Cu-ing.
Seketika berobahlah kerut wajah Hun-ing serunya: "Siau toako, mari kita cari orang itu!"
"Eh, bukankah cici mengatakan orang itu berada di sekitar tempat ini?" tanya Cu-ing.
Hun-ing tertawa: "Adik Ing, mengapa engkau makin lama makin tolol" Masakan di dunia ini terdapat ilmu
menghilang" Yang kumaksudkan suara serulingnya yang selalu dekat pada Siau toako."
"Apakah engkau tahu tempat bersembunyinya peniup seruling itu?" tanya Siau Lo-seng.
Hun-ing mengangguk: "Adik Ing mengatakan peniup seruling itu tentu sudah kenal pada Siau toako karena
itu aku minta waktu untuk merenungkan orang itu dan mungkin dapat kita ketahui tempat
persembunyiannya." "Dimana?" tanya Siau Lo-seng.
"Di sini bukan tempat yang sesuai untuk bicara. Ingat pohon-pohon bisa tumbuh telinga. Mari kita-lekas
berangkat saja," kata Hun-ing.
"Cici Hun, bagaimana dengan mayat-mayat ini?" tanya Cu-ing.
"Untuk sementara waktu, biarkan saja," jawab Hun-ing, "mereka belum sempat ditempa maka belum
berbahaya. Sekarang yang penting, kita cari peniup seruling itu untuk mengobati penyakit Siau toako."
"Ah, hampir saja lupa," tiba-tiba Siau Lo-seng berkata, "bagaimana kalian bisa datang kemari
"Ketika tiba-tiba Siau toako lenyap, kami kira Siau toako telah diculik orang Ban-jin-kiong, maka aku
bersama cici Hun segera menyusup ke dalam hutan dan akhirnya dapat menemukan rumah pondok ini,"
menuturkan Cu-ing. "Ah, mereka begitu memperhatikan diriku. Bagaimana kelak aku dapat membalas budi kebaikan mereka?"
diam-diam Siau Lo-seng mengeluh dalam hati.
"Siau toako, bagaimana tiba-tiba engkau muncul di sini?" tiba-tiba Hun-ing bertanya.
"Pada saat pikiranku limbung, aku gentayangan ke mana-mana. Ada kalanya otakku dapat berpikir
adakalanya tidak. Aku tak tahu apa yang kulakukan."
"Kalau begitu, ingatanmu itu hanya tergantung pada suara seruling itu?" tanya Hun-ing.
Siau Lo-seng mengangguk. "Benar, pada saat kutinggalkan kalian itu mungkin suara seruling itu berhenti untuk beberapa waktu."
Tiba-tiba Cu-ing melengking: "Tempat ini sebuah tempat penting dalam istana Ban-jin kiong. Mengapa tiada
dijaga sama sekali?"
Hun-ing tertawa. 10.46. Panggilan Suara Seruling Aneh
Keadaan yang sunyi senyap di pos yang penting dari istana Ban-jin-kiong, menyebabkan Cu-ing dan Huning heran.
"Karena Siau toako sudah datang lebih dulu ke sini, kemungkinan para penjaga tentu sudah dibasmi,"
akhirnya Hun-ing menarik kesimpulan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar itu Siau Lo-seng terkejut. Diam-diam ia kagum atas kecerdasan Hun-ing yang dapat menduga
sesuatu dengan tepat. "Ya, memang mereka telah kuhancurkan semua, kita boleh keluar dengan aman," akhirnya Lo-seng
memberi keterangan. Selekas keluar dari rumah pondok aneh itu, Lo-seng dan kedua gadis berada dalam lingkungan hutan lebat.
"Tampaknya hutan itu sunyi senyap tetapi sesungguhnya merupakan sebuah barisan yang hebat. Kita harus
hati-hati," kata Hun-ing.
"Tahukah kalian dimana sesungguhnya letak istana Ban-jin-kiong itu?" tiba-tiba Lo-seng bertanya.
"Memang mengherankan sekali," kata Cu-ing, "tempat ini sudah termasuk lingkungan Ban-jin-kiong, tetapi
mengapa tak tampak sebuah bangunan rumah" Apakah istana Ban-jin-kiong itu masih jauh dari sini?"
Kebalikannya Hun-ing memberi jawaban, "Dalam dunia persilatan tiada seorangpun yang tahu dimana letak
istana Ban-jin-kiong itu. Dengan begitu jelas, istana itu merupakan sebuah tempat yang sangat rahasia.
Tetapi menurut dugaanku, Ban-jin-kiong memang berada di sekeliling tempat ini. Bukankah demikian, Siau
toako?" Lo-seng tersenyum: "Benar, istana Ban-jin-kiong memang dibangun dalam hutan itu."
"Ah, tak percaya," Cu-ing gelengkan kepala, "kecuali istana itu dibangun di bawah tanah, barulah kita tak
dapat melihatnya." "Bagus, adik Ing," seru Hun-ing, "engkau memang cerdik benar."
"Apa?" teriak Cu-ing terkejut, "benarkah istana itu berada di bawah tanah?"
"Sst, ada seseorang akan keluar," bisik Lo-seng tiba-tiba, "jangan bicara."
Dengan cepat pemuda itupun sudah menyelinap ke bawah sebatang pohon. Kedua nona itupun mengikuti.
Saat itu terdengar derap langkah orang memberisik di tengah hutan. Sampai beberapa saat baru suara
derap kaki itu berhenti. Tetapi anehnya dalam hutan tetap tak tampak sesuatu.
Baru setelah berselang lama sekali, terdengar suara orang berseru:
"Apakah keempatpuluh tujuh To-su sudah hadir semua?"
To-su di sini Algojo. Tetapi hal itu tidak mengejutkan Lo-seng bertiga. Mereka lebih terkejut ketika
mendengar suara orang itu yang nadanya mereka kenal sebagai Li Giok-hou.
"Laporan kepada Sau-kiongcu bahwa keempatpuluh tujuh to-su sudah hadir lengkap," seru seseorang
dengan nada lantang. "Jangan bergerak sembarangan. Hutan penuh dengan perangkap rahasia. Lebih baik kita tunggu saja di
sini," Lo-seng cepat menggunakan ilmu Menyusup suara untuk memberi peringatan kepada kedua nona.
Kembali terdengar Giok-hou berseru bengis.
"Ang Piu, selama ini Kiong-cu (kepala istana) selalu menghargai engkau. Bahkan keempatpuluh tujuh orang
yang tergabung dalam regu Algojo telah dipercayakan kepada pimpinanmu. Bertahun-tahun lamanya,
engkau memang telah melakukan kewajiban dengan bagus. Tetapi beberapa hari yang lalu ketika istana ini
diterobos Bu Beng Lojin, boleh dikata seluruh anggauta algojo telah mendapat hukuman, kecuali engkau
seorang. Dengan demikian engkau tentu tahu betapa besar rasa sayang Kiong-cu kepadamu."
"Sau-kiongcu," seru Ang Piu dengan nada parau," sekalipun tubuh Ang Piu hancur lebur, tetap belum dapat
menghimpaskan budi yang dilimpahkan Kiong-cu kepada diriku."
Mendengar pengakuan orang yang bernama Ang Piu itu, diam-diam Lo-seng kerutkan dahi. Ia heran dan
tak mengerti apakah yang menyebabkan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi banyak yang tunduk
dan patuh kepada istana Ban-jin-kiong.
"Tetapi hari ini Kiong-cu memerintahkan supaya engkau bersama keempatpuluh tujuh algojo itu mendengar
perintahku. Ingin kuketahui, apakah engkau juga akan menumpahkan kepercayaan sepenuh yang engkau
berikan kepada Kiong-cu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ang Piu dan segenap anak buah barisan Algojo akan setia sampai mati kepada Sau-kiongcu!" seru kepala
barisan Algojo "Bagus, bagus! Li Giok-ho pun takkan mengecewakan harapanmu?"" berhenti sebentar, ia melanjutkan
pula, "Ang Piu, tahukah engkau apa maksudku mengumpulkan kalian di tempat ini?"
"Mohon Sau-kiongcu suka menjelaskan."
Tiba-tiba suara Li Giok-hou berobah sarat, serunya:
"Kiongcu menitahkan supaya kita membunuh seorang yang dianggap sebagai musuh berbahaya dari istana
Ban-jin-kiong. Asal orang itu sudah mati, Ban-jin-kiong pasti segera menjadi penguasa dunia persilatan.
Maka keberangkatan kita kali ini, harus berhasil tak boleh gagal....... Apabila gagal, engkau, aku dan seluruh
barisan Algojo tentu akan dihukum berat oleh Kiong-cu. Mengingat tugas yang kita lakukan kali ini, amat
berat sekali maka perlulah kujelaskan kepada kalian semua."
Mendengar itu kembali Siau Lo-seng bertanya dalam hati: "Siapakah yang hendak mereka bunuh itu?"
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hari sudah malam mari kita berangkat," seru Giok-hou pula.
Segera terdengar derap orang berbaris menuju ke arah barat hutan.
"Cici Hun, siapakah yang hendak mereka bunuh?" tanya Cu-ing sesaat kemudian.
"Bagaimana aku tahu?" sahut Hun-ing.
"Apakah bukan Siau toako?" masih Cu-ing menegas.
"Sudah tentu mereka juga ingin membunuh Siau toako, kalau mampu," sahut Hun-ing. Tiba-tiba nona itu
berobah tegang, serunya: "Cepat kita kejar, mereka hendak membunuh peniup seruling itu!"
Hun-ing cepat mendahului lari keluar.
Lo-seng mencekal tangan Cu-ing, mengejar Hun-ing, serunya pelahan: "Adik Hun, aku saja yang berjalan di
muka. Hutan ini merupakan sebuah barisan yang berbahaya."
Dengan menggandeng kedua nona, Lo-seng gunakan ilmu lari cepat menerobos hutan. Tak berapa lama
mereka tiba di sebuah lereng gunung.
Saat itu matahari sudah hampir terbenam. Diam-diam Hun-ing menghela napas. Kiranya sudah sehari
penuh ia bersama Cu-ing terkurung dalam hutan. Apabila tidak bertemu Siau Lo-seng, tentu mereka berdua
tak dapat keluar. "Adik Hun," tanya Lo-seng kepada Hun-ing, "dimanakah peniup seruling itu" Bagaimana engkau menduga
kalau Li Giok-hou dan barisan Algojo itu hendak membunuhnya?"
"Benar, memang yang hendak mereka bunuh tentulah si peniup seruling," jawab Hun-ing, "dalam kolong
dunia hanya irama seruling itu mampu menyadarkan kembali orang yang telah kehilangan kesadaran
pikirannya. Dengan begitu jelas menjadi momok dari pihak Ban-jin-kiong yang mempunyai ilmu Pelenyap
kesadaran......" Lo-seng dapat menerima penjelasan Hun-ing
"Oleh karena ketua Ban-jin-kiong itu hendak membunuh si peniup seruling maka jelas pihak Ban-jin-kiong
terang tahu akan rahasia Siau toako kehilangan kesadaran pikiran," Hun-ing menambahkan pula.
"Kalau begitu kita harus lekas-lekas membantu peniup seruling itu," Lo-seng terkejut.
"Bila dugaanku tak salah, peniup seruling itu tentu berada di sekitar kuil tua sebelah luar kota Lok-yang,
Karena disitulah Siau toako pertama kali berjumpa dan mendengar suara serulingnya," kata Hun-ing.
Dalam pada bicara itu mereka bertigapun sudah berada di luar kota Lok-yang dan terus menuju ke arah
timur. Hun-ing memang seorang yang cerdas otaknya. Ia dapat menganalisa sesuatu dengan tepat dan atas
dasar-dasar yang beralasan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Jauh di atas cakrawala yang raya, seperti berkumandang suara seruling beralun dalam irama yang lembut
dan syahdu. Sehingga dapat mengetuk dan menggetar urat-urat hati yang lembut. Menghapus hati yang
jahat menuju ke jalan yang benar.
Tiba-tiba suara kumandang seruling itu lenyap bersama hembusan angin.
"Siau toako, suara seruling lenyap," teriak seorang dara baju hijau yang tengah berlari bersama seorang
pemuda yang cakap. Mereka bertiga hentikan larinya.
"Tidak adik Ing," sahut pemuda yang tak lain adalah Siau Lo-seng, "seruling itu masih berbunyi dan seperti
tengah memanggil aku."
"Benarkah itu?" seru gadis cantik baju hitam atau Hun-ing dengan gembira, "kalau begitu dugaanku tak
salah. Peniup seruling itu berada dalam kuil tua. Hayo, kita lekas ke sana!"
Tetapi Siau Lo-seng malah meragu. Mengapa peniup seruling itu hendak memanggilnya" Siapakah orang
itu" "Siau toako, mengapa engkau diam saja?" melihat Lo-seng tegak terlongong-longong, Cu-ing menegurnya.
Lo-seng menghela napas: "Adik Hun, dapatkah engkau memberi penjelasan, apa sebab peniup seruling
hendak membantu aku?"
Hun-ing tertawa kecil. "Itu sederhana sekali," katanya, "kemungkinan dia tidak rela hati melihat seorang pemuda yang berbakat
seperti engkau harus menderita nasib yang begitu mengenaskan. Dan kemungkinan kedua, mungkin dan
hendak memperalat engkau."
Sian Lo-seng kerutkan dahi.
"Kalau begitu, masih suatu pertanyaan apakah dia itu akan membawa bahagia atau mencelakai diriku.
Bukankah begitu?" tanya Lo-seng.
Hun-ing mengangguk, katanya pula: "Tetapi betapapun halnya, kita tetap harus menemuinya."
"Baik," sahut Lo-seng, "sudah tiga kali suara seruling itu memanggil aku. Mari kita ke sana."
Mereka segera lari menuju ke kuil tua.
"Orang itu mungkin bersembunyi di atas loteng ruang belakang dari kuil tua itu," kata Hun-ing dengan
berbisik. Kiranya waktu mencari mayat Lo-seng yang hilang tempo hari, dia pernah masuk dan menyelidiki keadaan
kuil itu. Hanya bagian loteng saja yang belum dimasukinya. Maka ia segera menduga bahwa peniup
seruling itu tentu bersembunyi di atas loteng.
"Benar, memang suara seruling itu berhembus dari atas loteng," kata Lo-seng terus ayunkan tubuh ke
udara, berulang menggeliat ke atas dan akhirnya dapat mencapai lankan (pagar besi) dari loteng atas.
Tetapi begitu kakinya menginjak lankan, tubuhnyapun gemetar dan setelah mulut mendesus ngeri, ia terus
rubuh ke dalam ruang. "Siau toako," Hun-ing dan Cu-ing serempak menjerit kaget dan terus enjot tubuhnya melayang ke atas
lankan. Untuk menjaga serangan gelap dari orang yang berada dalam ruang loteng, lebih dulu Hun-ing melontarkan
sebuah hantaman. Sementara Cu-ing melayang ke samping tubuh Siau Lo-seng.
Tetapi alangkah kejut Hun-ing ketika merasakan pukulannya seperti terbenam dalam lautan kapas. Ia tahu
bahwa pukulannya itu telah dihapus oleh tenaga dalam sakti dari orang yang belum diketahuinya itu. Dan
untuk menjaga orang itu hendak balas menyerang maka buru-buru Hun-ing pun menghindar ke sisi lankan.
Tetapi ternyata dalam ruang loteng itu tak tampak barang seorangpun juga.
"Cici Hun, urat nadi jantung Siau toako sudah putus...... dia sudah meninggal......" teriak Cu-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing terkejut sekali dan cepat menghampiri. Kaki dan tangan Siau Lo-seng memang sudah kaku.
Mulutnya mengumur darah, wajah pucat lesi. Buru-buru Hun-ing memeriksa pergelangan tangannya.
Ternyata urat pergelangan tangan pemuda itu sudah berhenti berdenyut. Hun-ing lekatkan telinga pada
dada Lo-seng untuk mendengarkan debar jantungnya.
Pada saat itu tiba-tiba dari ruang loteng terdengar suara orang menghela napas rawan.
"Ah tak kira kalau ilmu kepandaiannya begitu tinggi. Hampir saja aku putus asa," tiba-tiba terdengar suara
orang tua berkata. Hun-ing cepat berbangkit dan menghadap ke arah suara orang itu: "Locianpwe, apakah dia tak kurang
suatu apa?" Suara parau dari seorang tua yang berada dalam ruang loteng itu kembali berkata: "Tolol, masakan aku
akan mencelakai dirinya" Dia hanya pingsan karena terkena ilmu Siang-goan-sin-im (suara yang dapat
melukai tenaga dalam). Bawalah dia masuk!"
"Locianpwe, apakah engkau bukan orang yang meniup seruling itu?" tanya Hun-ing pula.
Dalam pada bertanya itu, Hun-ing dan Cu-ing mencurahkan pandang mata ke arah orang tua itu. Di muka
sebuah lonceng besar yang tersandar pada dinding, tampak menggunduk sesosok bayangan hitam.
Orang tua itu tertawa meloroh: "He, benar memang akulah yang meniup seruling itu."
Dengan pelahan Hun-ing segera melangkah masuk dan memberi hormat kepada orang tua itu.
"Wanpwe Ui Hun-ing menghaturkan hormat kepada Cianpwe," serunya. Tetapi ketika memandang kepada
orang tua itu, seketika tergetarlah hatinya dan tanpa terasa ia menyurut mundur tiga langkah.
"Engkau....... engkau Bu Beng Lojin ini?" Kim-pou-sat......." serunya gemetar.
Saat itu Cu-ing sudah mengangkat tubuh Lo-seng dan hendak dibawa masuk. Tetapi demi mendengar
teriakan Hun-ing, iapun menghentikan langkahnya.
Orang tua itu sendiripun tampaknya juga terkejut, serunya: "Apa" Kim-pou-sat" Apakah kalian telah
bertemu dengan Kim-pou-sat?"
Rambut orang tua itu luar biasa panjangnya hingga sampai menutup kedua bahunya. Tubuh dan mukanya
pun penuh ditumbuhi rambut yang lebat. Hun-ing segera menyangkanya sebagai Bu Beng Lojin yang
bergelar Kim-pou-sat (Dewa Emas) karena amat mirip sekali.
Setelah menenangkan hatinya, Hun-ing memandang orang tua itu pula dengan seksama Dilihatnya tangan
kiri orang tua tengah memegang sebatang seruling besi yang berwarna kehitam-hitaman.
"Ih, kalau menurut kata-katanya, dia bukan Kim-pou-sat. Entah benar entah tidak. Dan akupun tahu
bagaimana maksudnya, Tetapi dia amat sakti. Dengan mudah sekali dia dapat merubuhkan Siau toako......"
Hun-ing menimang-nimang dalam hati.
"Ya, kami memang pernah bertemu dengan Kim-pou-sat," akhirnya Hun-ing menyahut, "adakah cianpwe
kenal kepadanya?" Tampak tubuh orang tua aneh itu menggigil. Seberapa saat kemudian baru ia berkata lagi: "Ya, aku kenal
dengannya." Saat itu Cu-ing membawa masuk tubuh Siau Lo-seng.
"Locianpwee," seru Hun-ing seraya mencurahkan pandang mata ke arah tubuh Lo-seng, "apakah
locianpwce kenal kepadanya?"
Orang tua aneh itu tertawa pelahan.
10.47. Orang Tua Cacad Peniup Seruling
"Berpaling dan pandanglah ke belakang agar engkau segera tahu mengapa dengan kumandang irama
seruling, aku mengejar jejak Siau Lo-seng," katanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Locianpwe tentu mendengar bahwa Siau Lo Seng; memiliki ilmu untuk menciptakan mayat hidup. Dan
locianpwe tentu tak sampai hati melihat seorang pemuda yang begitu berbakat bagus sampai mati secara
mengenaskan. Maka dengan ilmu Cian-li-siang-seng (Kumandang seruling seribu lie) lalu membantunya
untuk memulihkan kesadaran......"
Habis berkata nona itupun berpaling ke belakang dan ternganga mulutnya karena terkejut sekali.
"Sejak kedatanganmu bersama Siau Lo-seng di kuil tua ini. Apapun yang terjadi dan siapapun yang datang,
telah kuketahui semua. Sampai akhirnya pemimpin Ban-jin-kiong melukai Siau Lo-seng, Kakek wajah dingin
Leng Tiong-siang muncul dan pergi lagi?", kemudian Siau Lo-seng minum persediaan pil beracunnya lalu
memberi pesan kepadamu. Semua telah kudengar......."
Sambil berkata orang tua aneh itu tiba-tiba menarik seutas tali. Jendela di sebelah barat pun segera
terbuka. "Lihatlah jendela itu," katanya pula, "di belakang jendela itu merupakan ruang belakang di mana engkau
bersama Pak-wan Taysu tengah menjaga mayat Siau Lo-seng. Semua gerak gerik kalian berdua selama
enam hari menjaga mayat Siau Lo-seng, dapat kulihat melalui jendela itu?"."
Apa yang dikatakan orang tua itu memang diakui Hun-ing kebenarannya. Diam-diam ia merasa heran
mengapa kuil tua yang tampaknya tak terurus, ternyata mempunyai bangunan yang aneh. Setiap jendela
dari ruang loteng itu tentu menghadap ke arah setiap ruang dari kuil bagian bawah. Dengan bersembunyi di
atas loteng, sudah tentu orang tua aneh itu dapat melihat siapa saja yang datang ke kuil.
Orang tua peniup seruling itu melanjutkan pula: "Sudah tentu pada hari keenam ketika Kakek wajah dingin
Leng Tiong-siang mencuri mayat Siau Lo-seng, akupun dapat mengetahuinya...... coba, engkau lihat
jendela di sebelah timur itu?""
Habis berkata dia terus menarik tali dan terbukalah jendela bagian sebelah timur.
Jendela itu menghadap ke arah lereng gunung di belakang kuil. Dari jendela itu dapat memandang jelas
tumbuh-tumbuhan seluas tiga lie pada lereng gunung.
Menunjuk ke arah luar jendela, berkatalah orang tua aneh itu: "Leng Tiong-siang, setelah mencuri mayat
Siau Lo-seng lalu berusaha meletakkan tubuh pemuda itu di gerumbul rumput lalu berusaha untuk
membangunkan. Siau Lo-seng memang bangun tetapi dengan buas ia terus menyerang Leng Tiongsiang......"
"Locianpwe," tiba-tiba Hun-ing bertanya, "mengapa engkau tahu bahwa Siau Lo-seng sedang
mempersiapkan diri untuk menjadi sebuah mumi?"
"Dari pembicaraanmu dengan Pek Wan Taysu tentu saja dapat kuketahui tentang soal itu," sahut orang tua
aneh. "Jika demikian tentulah locianpwe juga tahu cara untuk menciptakan mumi itu," kata Hun-ing.
Orang tua aneh itu merenung sejenak.
"Walaupun aku tak tahu cara membuat mayat hidup," kata orang tua aneh itu, "tetapi aku mengerti akan
sumber-sumber dari aliran ilmu hitam yang terdapat dalam dunia persilatan. Ban-jin-kiong dan Lembah
Kumandang serta Siau Lo-seng mendapatkan ilmu hitam itu dari sebuah kitab pusaka Lian-hun-cinkeng......"
Orang tua aneh itu berhenti sejenak untuk merenungkan sesuatu. Memandang ke atas wuwungan, ia
menghela napas panjang. "Kitab, pusaka Lian-hun-cin-keng itu," katanya seorang diri. "pada empatpuluh tahun yang lalu telah dicuri
oleh Pencuri sakti Ban Li-hong dari gedung Kiu-thian-sian-hu. Sejak itu entah berapa banyak kaum
persilatan yang nekad dan kalap mengadu jiwa uutuk memperebutkan kitab itu, ah?""
Orang tua itu menghela napas lagi.
"Hai, apakah kitab itu berasal dari gedung Kiu-thian-sian-hu?" teriak Cu-ing.
Orang tua peniup seruling sejenak memandang Cu-ing lalu berkata: "Kalian tahu nama Kiu-thian-sian-hu
tetapi tentu tak tahu partai persilatan apakah itu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Benar, locianpwe," sambut Hun-ing, "memang sedikit sekali yang kami ketahui tentang peristiwa aneh
dalam dunia persilatan. Apabila tak keberatan, sukalah locianpwe memberi petunjuk kepada kami."
Tiba-tiba orang tua aneh itu tertawa gelak-gelak.
"Banyak sekali hal-hal dalam dunia persilatan yang kalian belum pernah mendengar. Untuk
menceritakannya, belum dalam tujuh hari tujuh malam dapat selesai. Karena kita masih dapat berkumpul
lama, maka lain kali akan kubawakan cerita itu kepada kalian," katanya.
"Sekarang ini," katanya pula. "lebih dulu akan kujelaskan bagaimana caraku hendak menolong Siau Loseng. Agar kalian jangan curiga dan mengira aku bermaksud tak baik terhadap anak itu."
Merah wajah Hun-ing karena isi hatinya dibongkar.
"Terima kasih atas dampratan locianpwe," katanya dengan hati terbuka. "memang tadi aku mencurigai
locianpwe. Tetapi kini setelah mengadakan pembicaraan singkat dengan locianpwe, kutahu locianpwe ini
seorang budiman yang memperhatikan nasib dunia persilatan."
"Engkau tak salah," jawab orang tua peniup seruling. "memang dunia persilatan penuh dengan keculasan
dan keganasan. Jangan mudah percaya pada setiap orang persilatan?""
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan,
"Pada saat Siau Lo-seng bertempur dengan Leng Tiong-siang, kuperhatikan sinar mata anak muda itu
sudah berobah, menandakan bahwa pikirannya sudah lenyap dibius racun. Kalau dulunya dia seorang jahat
dan kejam, dia tentu akan mengganas kepada siapa saja yang dijumpainya......"
"Karena tak sampai hati melihat dia akan mengganas dalam dunia persilatan maka locianpwe lalu
menggunakan Irama Seruling sakti untuk mengembalikan kesadaran pikiran Siau Lo-seng," Hun-ing
menghela napas. "Telah kukatakan," kata orang tua aneh itu. "bahwa sesungguhnya Siau Lo-seng itu seorang pemuda yang
berhati luhur dan berbudi. Kalau dia sampai menjadi seorang momok ganas, tentu harus disayangkan. Dan
kuyakin, apabila aku berhasil menolongnya, kelak dia tentu akan menjadi bintang penolong bagi dunia
persilatan. Karena itu aku tak sayang kehilangan tenaga dalam untuk menghamburkan irama Cian-li-sian-im
(suara dewa dari seribu lie). Sebuah irama sakti dari ilmu nyanyian Kiu-thian-sian-yok (Nyanyian dewa di
nirwana), untuk mengikuti dan menyembuhkan syarafnya yang telah rusak. Sesungguhnya aku sendiripun
belum yakin kalau dapat menolongnya. Tetapi rupanya nasib seseorang itu sudah digariskan oleh Thian.
Siau Lo-seng benar-benar dapat mengikuti suara irama serulingku dan mencari ke sini. Aku sendiripun
heran." "Locianpwe, mengapa locianpwe tak mau langsung mengejar jejaknya saja?" tanya Hun-ing.
Orang tua itu tertawa hambar.
"Kalau andaikata aku dapat tinggalkan tempat ini, alangkah senangnya hatiku......"
"Apa" Locianpwe......."
Orang tua aneh itu segera menyingkap rambutnya yang terurai ke tanah dan......
"Ih......" serentak kedua nona itupun menjerit tertahan.
Kiranya sepasang kaki sampai sebatas paha orang tua itu telah hilang. Dia seorang manusia yang hanya
mempunyai gembung tubuh. Diam-diam Hun-ing menimang: "Dia seorang sakti. Walaupun tiada mempunyai kaki tetapi masih dapat
berjalan dengan kedua tangannya."
Rupanya orang tua aneh itu dapat mengetahui hati Hun-ing, katanya: "Mungkin kalian tentu tak tahu bahwa
urat nadi kedua tanganku ini juga telah diputuskan orang. Aku hanya mampu mengangkat benda yang
ringan-ringan saja. Tetapi tak mampu menggunakan tanganku untuk berjalan."
"Apa" Kedua tangan locianpwe juga lumpuh?" teriak Cu-ing terkejut.
Jawab orang tua aneh itu: "Kalau aku masih dapat berjalan seperti orang biasa, tentulah suasana dunia
persilatan takkan begini gelisah, ah?""
Nada elahan napas orang tua itu penuh dengan tumpahkan rasa sesal dan kesedihan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Hun-ing menimang: "Kedua kaki dan tangannya lumpuh. Lalu siapakah yang melayani makan
dan pakaiannya. Dia tentu sudah lama sekali menetap di tempat ini......"
Kalau Hun-ing hanya membatin, tidaklah demikian dengan Cu-ing. Dara itu masih bersifat kekanakkanakan. Apa yang dipikirkan terus saja dikatakan.
"Locianpwe," katanya. "tadi engkau mengatakan tak pernah pergi dari sini. Tetapi kuil ini berada di tempat
belantara yang tak pernah didatangi orang. Lalu siapakah yang menyediakan makanan untukmu?""
"Kecuali kalian bertiga, siapa lagikah yang tahu aku berada di sini?" tiba-tiba orang tua itu terkejut.
"Tidak ada lagi, locianpwe?" jawab Hun-ing
Tetapi walaupun mulut mengatakan begitu. dalam hati diam-diam Hun-ing meragu: Hm, tadi Li Giok-hou
telah menggerakkan anak buah barisan Algojo. Apakah mereka tidak akan datang kemari mencari orang tua
peniup seruling ini?"
Tiba-tiba orang tua itu tertawa dingin dan berkata seorang diri, "Walaupun seluruh kaum persilatan di dunia
hendak mencari aku si orang tua, tetapi hari ini baru kalian yang dapat kemari. Aku tak takut lagi kepada
kalian......" "Cici Hun, musuh datang!" tiba-tiba Cu-ing berseru terkejut.
Hun-ing cepat berpaling. Tampak di ruang muka muncul sesosok bayangan putih dan secepat sambaran
kilat, bayangan itupun sudah menyelinap masuk ke bawah loteng. Dan terus enjot tubuh melayang ke atas
lankan loteng. Hun-ing terperanjat sekali. Ilmu meringankan tubuh dari orang itu luar biasa hebatnya. Karena gugup, ia
melengking dan menghantam.
"Hun-ing jangan turun tangan," tiba-tiba orang tua aneh itu berseru.
Hun-ing buru-buru menarik pulang tangannya.
Dalam pada itu bayangan putih tadipun sudah menerobos ke atas loteng. Dan ketika memandang dengan
seksama, Hun-ing dan Cu-ing menjerit kaget.
Ternyata benda putih itu bukan manusia melainkan seekor anjing bulu putih. Badannya kecil langsing,
sepasang matanya merah emas dan bulunya lebat panjang sekali. Seekor anjing yang cantik rupanya.
Mulut anjing itu menggondol sebuah rantang bambu, berisi nasi dan masakan yang lezat, paha ayam serta
buah-buahan segar. Segera orang tua kaki buntung itu ulurkan tangan mengelus-elus kepala anjing putih.
"Sembilan tahun lamanya aku tinggal di sini dengan selamat tak kurang suatu apa. Adalah berkat bantuan
anjing putih ini. Dialah yang setiap hari mengirim makanan untukku."
Anjing putih kecil saat itu mendekam pada dada orang tua buntung dan menggonggong pelahan.
"Salju, engkau tadi terkejut, ya, kutahu," kata orang tua buntung itu tertawa, "sekarang keluarlah meronda di
sekeliling kuil ini. Bila ada orang yang masuk dalam lingkungan satu lie sekeliling kuil ini, lekaslah engkau
memberi pertandaan."
Agaknya anjing putih yang diberi nama Salju itu mengerti bahasa orang. Segera ia menyurut mundur dan
sekali ayun, ia melayang turun ke bawah loteng. Pada lain kejap sudah hilang dari pandang mata.
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hun-ing dan Cu-ing tak henti-hentinya merasa heran dan kagum.
"Sungguh tak kira kalau di dunia terdapat bangsa anjing yang mengerti bahasa manusia," kata mereka.
Sesaat kemudian orang tua buntung segera memerintahkan Cu-ing untuk membawa Siau Lo-seng
kepadanya. "Sebelum musuh datang, aku hendak berusaha untuk mengembalikan kesadarannya. Karena kalau
dibiarkan berlarut-larut terlalu lama, mungkin akan mengganggu urat syarafnya," kata orang tua buntung.
Cu-ing cepat-cepat meletakkan tubuh Siau Lo-seng dihadapan orang tua itu. Dan Hun-ing pun menyatakan
akan melakukan apa saja yang hendak diperintahkan orang tua itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Baik," kata orang tua buntung itu. "aku hendak gunakan ilmu suara sakti Sam-goan-sin-im untuk
mengembalikan kesadaran pikirannya yang lenyap. Dalam pengobatan itu, akan memakan waktu cukup
lama. Selama itu apabila musuh datang tentu akan mengganggu ketenangan pikiranku. Maka kuminta
kalian menjaga tempat ini jangan sampai musuh dapat masuk."
"Menilik kepandaianku yang rendah, aku kuatir tak mampu menghadapi musuh-musuh yang tangguh," kata
Hun-ing sejujurnya, "entah harus memakan waktu berapa lamakah locianpwe mengobati Siau toako nanti?"
"Setengah jam saja sudah cukup?""
Belum selesai berkata, tiba-tiba dari jauh terdengar anjing putih tadi menggonggong keras.
"Lekas kalian bantu si Salju. Rupanya musuh yang datang kali ini lihay sekali," orang tua buntung terkejut.
Hun-ing dan Cu-ing cepat loncat keluar dari jendela dan melayang turun ke bawah loteng. Dan sesaat
kedua nona itu pergi, ketiga jendela ruang loteng yang terbuka tadi pun serempak menutup sendiri.
Terdengar pula orang tua buntung itu mengantarkan suara perintahnya kepada Hun-ing dan Cu-ing,
"Sebelum jendela tengah dari loteng ini terbuka, apabila terdapat musuh yang bagaimanapun saktinya
hendak naik ke atas loteng, kalian jangan sekali-kali mengejar ke loteng. Karena di dalam dan luar ruang
loteng ini, aku telah mempersiapkan alat-alat rahasia yang pasti akan mampu menahan musuh. Kalau
kalian ikut naik ke loteng, tentu akan menderita akibat yang berbahaya."
Hun-ing dan Cu-ing terkejut. Tanpa memberi jawaban, kedua nona itu terus lari menuju ke arah selatan.
Di tengah suasana malam yang sunyi, tiba-tiba terdengar suara gonggong anjing yang melolong ngeri.
"Anjing putih tentu menderita luka......" kata Hun-ing.
Tiba-tiba terdengar suara suitan panjang dan sesaat kemudian sesosok bayangan pun secepat kilat
melayang tiba. "Ciong Pek-to!" teriak Hun-ing sesaat melihat siapa pendatang itu.
Orang itu rupanya terkejut juga. Tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak.
"O, Kukira siapa" Ternyata engkau Mo-seng-li...... ha, ha, ha......"
Ditingkah sinar rembulan, tampak orang itu memiliki bentuk kepala besar, muka tertutup brewok lebat tetapi
kumisnya dipelihara tipis. Dia tak lain adalah Ciong Pek-to, murid murtad dari perguruan Siau-lim-si yang
telah bernaung di bawah Jin-kian Pah-cu, pemimpin Lembah Kumandang. Ciong Pek-to diangkat menjadi
salah seorang dari Su-tay-thian-ong atau Empat Raja dari Lembah Kumandang. Di antara keempat Thianong yang di bawahi Jin Kian Pah-cu. Ciong Pek-to lah yang paling tinggi kepandaiannya.
Sejak Siau Lo-seng menolong Hun-ing di luar kota Lok-yang yang lalu, selama beberapa bulan ini, orangorang Lembah Kumandang tak menampakkan kegiatan lagi.
Bahwa dalam saat dan tempat seperti itu, tiba-tiba Ciong Pek-to muncul, diam-diam Hun-ing gentar hatinya.
"Mau apakah dia datang kemari" Ah, kiranya tak mungkin dia hendak mencari orang tua peniup seruling
itu," pikirnya. Cepat Hun-ing menghapus kerisauan hatinya dengan tertawa melengking:
"Kedatangan Tong-seng-thian-ong kemari tentulah mengemban titah Jin Kian Pah-cu untuk menangkap
aku, bukan?" serunya.
Ciong Pek-to tertawa dingin.
"Budak setan, nyalimu sungguh besar sekali karena berani menghianati Pah-cu ha, ha".., jika mau,
semudah orang membalikkan tangan saja aku dapat menangkapmu." sahut Ciong Pek-to. "tetapi aku
menyayangkan bakatmu yang luar biasa hebatnya itu. Jika engkau sampai dihukum mati oleh Pah-cu,
bukankah sayang sekali" Maka kunasehatkan, lebih baik engkau insyaf dan mau ikut pulang ke Lembah
Kumandang. Aku berjanji akan memohonkan pengampunan untuk dirimu."
Pertanyaan Hun-ing tadi hanyalah untuk menyelidiki maksud kedatangan Ciong Pek-to. Setelah mendengar
keterangan Ciong Pek-to, tahulah sudah nona itu bahwa Ciong Pek-to bukan bermaksud mencari orang tua
buntung peniup seruling. dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing tertawa mengikik, serunya,
"Ciong Pek-to! Kuingat engkau adalah seorang tokoh Lembah Kumandang yang paling ganas sendiri.
Mengapa kali ini engkau begitu murah hati, hi. hi,...... kalau dugaanku tak salah, engkau tentu bermaksud
hendak memperalat aku, bukan?"
Belum Ciong Pek-to menjawab, terdengar gelombang suara anjing menggonggong. Mendengar itu serentak
wajah Ciong Pek-to pun berobah tegang. Tetapi sesaat kemudian tenang kembali dan berpaling ke arah
Hun-ing seraya tertawa gelak-gelak.
"Budak setan," serunya, "aku sungguh kagum atas kepandaianmu yang seperti setan itu. Benar, aku
memang hendak menggunakan tenagamu. Dengan begitu engkaupun dapat menebus dosa dengan
pahala." Mendengar lolong anjing putih, diam-diam legahlah hati Hun-ing. Anjing itu tentu tak terluka. Tetapi tak
diketahuinya, mengapa anjing itu menggonggong. Siapakah yang datang"
Ciong Pek-to memperhatikan gerak gerik si nona yang berpaling ke barat, arah suara anjing putih
menggonggong. Tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak,
"Budak setan, jika engkau masih tetap tak mau sadar, kelak engkau tentu menyesal. Aku tak punya tempo
bicara panjang lebar dengan engkau. Terserah kepadamu, mau menerima nasehatku atau tidak!"
Habis berkata Ciong Pek-to terus berputar tubuh dan melangkah pergi.
10.48. Barisan Tat-mo-coat-ci-tin Siau-lim-pay
"Hai, hendak kemana engkau!" bentak Cu-ing seraya lintangkan pedangnya menghadang.
Ciong Pek-to tertawa hina.
"Apakah harimau yang datang ke Lok-yang akan digigit oleh kawanan anjing kecil" Masakan budak-budak
perempuan macam kalian berani menghadang aku?" serunya. Tiba-tiba ia ayunkan tangannya
menghantam. Cu-ing pernah bertempur dengan Ciong Pek-to dan tahu bagaimana kelihayan orang itu. Ia tak berani
menyambut melainkan menghindar ke samping lalu tusukkan ujung pedangnya ke lambung orang.
Saat itu suara anjing putih makin mendekat. Dan Hun-ing pun mendengar derap langkah orang dari arah
barat. Suaranya yang gemuruh menandakan kalau berjumlah banyak.
Rupanya Ciong Pek-to tak bernafsu untuk bertempur. Ia loncat mundur sampai tiga tombak jauhnya.
"Murid penghianat itu berada di sebelah muka, hayo, kita kejar!" tiba-tiba terdengar suara orang berseru
sarat. Di bawah sinar rembulan remang. Hun-ing seperti melihat beberapa sosok bayangan orang berlarian
mendatangi. Anjing putih si Salju pun tetap mengejar dan menggonggong.
"Anjing itu sungguh menjengkelkan sekali. Lebih baik dibunuh," tiba-tiba terdengar salah seorang berseru.
"Goan Ti sutit jangan melukai anjing itu!" kembali terdengar lain orang membentak.
Mendengar itu girang Hun-ing bukan buatan. Serentak ia berseru gembira: "Bukankah yang datang itu Pek
Wan locianpwe?" Selepas seruannya, dari empat penjuru berhamburan muncul delapan paderi berjubah kelabu.
Menyusul tampak seorang paderi jubah putih diiring oleh beberapa paderi. Paderi jubah putih itu bukan lain
adalah Pek Wan Taysu. "Omitohud!" seru Pek Wan Taysu demi melihat kedua nona, "Ui Pang-cu, Nyo Than-cu, bagaimana
kabarnya?" Saat itu delapanpuluh paderi Siau-lim-si tampak memenuhi sekeliling tempat itu. Mereka tegak dengan
pejamkan mata. dunia-kangouw.blogspot.com
"Pek Wan Taysu, sungguh tepat sekali kedatangan taysu. Mengapa taysu cepat sekali sudah kembali dari
gereja Siau-lim-si?" kata Hun-ing.
"Di tengah jalan kebetulan aku bertemu dengan Pek Hui sute yang tengah membawa anak murid dari Tatmo-tong menuju ke Lok-yang. Segera kuberi keterangan tentang keadaan kota Lok-yang yang penuh
bahaya itu. Lalu kuajak mereka untuk mencari nona berdua dan kebetulan bertemu dengan Ciong Pek-to si
murid penghianat itu."
Selesai mendengar keterangan dari Pek Wan Taysu, Hun-ing lalu berseru kepada anjing putih, "Salju, di sini
aman, lekas engkau kembali ke tempat penjagaanmu. Kalau musuh datang, berilah pertandaan!"
Begitu mendengar perintah, anjing putih itu terus loncat pergi.
"Ui Pang-cu, darimana engkau memperoleh anjing yang begitu cerdik?" tanya Pek Wan Taysu karena heran
anjing itu mengerti bahasa manusia.
"Bukan anjingku," Hun-ing tertawa.
"Menilik kelihayan anjing itu, pemiliknya tentu seorang sakti," kata Pek Wan pula.
Hun-ing tahu kalau paderi itu ingin menanyakan pengalaman si nona selama ini. Tetapi di depan sekian
banyak anak murid Siau-lim-si, Hun-ing tak mau menceritakan tentang diri orang tua buntung.
"Entah bagaimana tindakan taysu hendak menindak murid penghianat Ciong Pek-to itu?" Cepat ia alihkan
pembicaraan. Pek Wan Taysu menyadari bahwa saat itu berpuluh anak murid Siau-lim-si tengah menunggu perintahnya
untuk menangkap Ciong Pek-to. Maka iapun segera melangkah ke dalam kepungan menghampiri Ciong
Pek-to. "Ciong Pek-to, saat ini engkau sudah terkepung oleh barisan anak murid dari bagian Tat-mo-tong,
Delapanpuluh satu jurus ilmu sakti dari Tat-mo, merupakan penunduk dari ilmu Hwat-lun-it-coan. Apakah
engkau masih berani membangkang?"
Seruan Pek Wan Taysu itu dilontarkan dengan nada yang tegas dan bengis, penuh wibawa.
Ciong Pek-to menengadahkan kepala tertawa,
"Pek Wan suheng," serunya lantang. "jika puluhan tahun yang lalu engkau mengucapkan begitu, mungkin
aku sudah rontok nyaliku menghadapi kedelapanpuluh satu barisan Tat-mo-tin. Tetapi ha, ha...... sekarang
Ciong Pek-to tak gentar!"
Hun-ing dan Cu-ing terkejut. Kiranya kawanan paderi yang muncul itu adalah anak buah barisan Tat-mocoat-ci-tin dari perguruan Siau-lim-si yang termasyhur. Walaupun dalam dunia persilatan dewasa itu para
paderi Siau-lim-si dianggap golongan yang amat lemah kepandaiannya tetapi barisan mereka masih tetap
menjagoi di kalangan persilatan.
Saat itu ke delapanpuluh satu paderi Siau-lim-si tegak berdiri dengan mengangkat sebelah tangan untuk
melindungi dada. Mereka pejamkan mata, pusatkan perhatian. mengikuti semua gerak gerik yang terjadi di
tempat itu. "Apa yang dikatakan oleh kaum persilatan bahwa gereja Siau-lim-si itu merupakan sumber dari ilmu silat di
dunia persilatan kiranya memang bukan cerita kosong......" diam-diam Hun-ing menimang dalam hati.
"Ciong Pek-to?"!" tiba-tiba Pek Wan Taysu berseru sarat.
"Ya, mengapa?" sahut Ciong Pek-to.
"Ciong sute, apakah engkau benar-benar tak mau insyaf?" seru Pek Wan Taysu dengan nada rawan,
"engkau pasti sudah tahu bahwa sekali barisan Tat-mo-coat-ci-tin bergerak, kedahsyatannya dapat
merobohkan sebuah gunung. Andai sekalipun mendiang guru besar Tat Mo Cousu hidup, kiranya tak
mudah bagi beliau untuk keluar dari kepungan barisan itu."
Hun-ing dan Cu-ing heran mengapa Pek Wan masih begitu sayang kepada Ciong Pek-to. Memang kedua
nona itu tak tahu bahwa sesungguhnya Pek Wan dan Ciong Pek-to itu dahulu suheng dan sute. Hubungan
mereka berdua amat baik sekali. Maka sekalipun Ciong Pek-to telah tersesat ke jalan gelap, namun
terdapat setitik cinta kasih persaudaraan dalam hati Pek Wan Taysu. Dan itu pula sebabnya mengapa Pek
Wan Taysu masih berusaha untuk menasehati bekas sutenya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ciong Pek-to tertawa congkak.
"Pek Wan Taysu, silahkan engkau menggerakkan barisanmu itu. Ciong Pek-to memang ingin tahu sampai
dimanakah kedahsyatan dari barisan Tat-mo-coat-ci-tin yang termashur di kolong dunia itu!"
Benarkah Ciong Pek-to tak gentar" Ah, sesungguhnya dalam hati kecil, dia juga gemetar terhadap barisan
itu. Sebagai bekas murid Siau-lim-si, ia tahu jelas akan kelihayan barisan itu.
Iapun tahu pula bahwa dalam beberapa puluh tahun mengapa perguruan Siau-lim-si tak pernah
memunculkan tokoh yang menonjol, bukan karena sumber ilmu kepandaian perguruan itu lemah. Tetapi
Memburu Iblis 1 Abarat Karya Clive Barker Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 4
dunia-kangouw.blogspot.com
Posisi dan sikap mereka berdiri itupun tidak sama. Dua orang yang berada paling depan, berdiri saling
berhadapan di kanan dan kiri. Kedua kaki mereka direntang seperti orang naik kuda. Sepasang tangan
mencekal tombak diacungkan ke atas.
Kemudian tiga orang yang berada di belakang, membentuk diri dalam formasi segitiga. Mereka memegang
tombak dengan tangan kiri. Lalu yang dua orang lagi, berdiri di sayap kanan dan kiri dari barisan. Terakhir,
yang seorang mencekal tombaknya, siap menyerang.
Barisan aneh itu memang angker dan berwibawa tampaknya.
Hun-ing pun terkejut. "Adik Ing," bisiknya, "barisan itu benar-benar istimewa sekali. Sekokoh dinding baja, sedahsyat kekuatan
ribuan lasykar berkuda. Rupanya Siau toako juga menyadari hal itu maka dia tak segera bertindak."
"Cici Hun," kata Cu-ing, "apabila Siau toako nekad menyerbu, apakah dia akan terluka?"
Pikiran gadis itu tak lain hanya tertuju pada keselamatan Lo-seng saja.
Hun-ing gelengkan kepala.
"Walaupun kepandaian Siau toako sakti sekali tetapi kurasa barisan itu mampu menghadapi serangan yang
bagaimanapun ganasnya."
Baru Hun-ing memberi keterangan begitu, dari dalam tandu terdengarlah orang tua itu berseru.
"Hai, budak perempuan, siapakah engkau ini?" serunya.
Mendengar itu, Hun-ing maju dua langkah dan menyahut: "Locianpwe, aku ini adalah ketua perkumpulan
Naga Hijau yang sekarang. Namaku Ui Hun-ing. Mohon locianpwe suka memberi petunjuk."
Mendengar keterangan itu tiba-tiba si orang tua berseru dengan nada dingin: "Ngaco belo! Umurmu masih
begitu muda apalagi engkau seorang budak perempuan. Bagaimana mungkin engkau dapat memimpin
sekian banyak orang gagah dalam dunia persilatan."
Hun-ing tersenyum. "Locianpwe mendamprat tepat sekali. Memang aku seorang anak perempuan yang kurang pengetahuan
dan miskin pengalaman. Tak layak menjabat seorang ketua dari perkumpulan orang gagah. Tetapi aku
hanya menjabat sebagai pejabat ketua untuk sementara waktu."
"Engkau maksudkan, engkau rela menyerahkan kepada orang yang lebih cakap, bukan?" seru orang tua itu
pula. "Benar," sahut Hun-ing, "mengapa agaknya locianpwe menaruh perhatian akan soal itu?"
Memang Hun-ing maupun Cu-ing merasa heran mengapa orang tua dalam tandu itu bertanyakan urusan
Naga Hijau. "Kalau kalian berdua tak takut kepadaku, ikutlah aku ke guha pertapaanku Thian-siau-sian-tong. Disana
engkau boleh memberi keterangan."
Mendengar nama guha Thian-siau-sin-tong seketika berobahlah wajah Cu-ing, serunya terbata-bata:
"Thian-siau-sian-tong" Jika begitu engkau ini?""
Rupanya ia dicengkam perasaan takut yang hebat sehingga tak melanjutkan kata-katanya.
Memperhatikan kerut wajah Cu-ing, Hun-ing segera bertanya bisik-bisik: "Adik Ing, dimanakah guha Thiansiau-sian-tong itu?"
"Entahlah," Cu-ing gelengkan kepala. "tetapi kutahu di guha pertapaan itu terdapat seorang penghuni yang
aneh." "Siapakah orang itu?" tanya Hun-ing pula.
Belum Cu-ing menyahut, orang tua dalam tandu itu sudah berseru: "Apabila kalian ikut aku ke sana,
tentulah akan tahu orang itu."
Hun-ing merenung sejenak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Baik, apabila tak keberatan kami akan ikut ke guha itu," sesaat kemudian nona itu berkata.
Nona itu mempunyai rencana. Apabila orang tua itu memang, Si peniup seruling ajaib ia hendak berunding
dengan dia cara untuk menolong Siau Lo-seng. Tetapi apabila bukan, iapun ingin mengetahui siapakah
sebenarnya orang tua dalam tandu itu.
Tiba-tiba Cu-ing menunjuk pada Siau Lo-seng dan berkata: "Lo-cianpwe, apakah dia boleh ikut dibawa ke
sana?" "Siapakah dia itu?" orang tua aneh balas bertanya.
Mendengar pertanyaan itu tergetarlah hati Hun-ing, pikirnya: "Ah, kiranya orang tua ini tak kenal kepada
Siau toako......" Cu-ing menghela napas. "Dia adalah toako kami," katanya, "yalah calon ketua dari perkumpulan Naga Hijau!"
"Tetapi rupanya dia sakit," seru orang tua dalam tandu itu.
"Benar, dia memang menderita sakit lupa ingatan," kata Hun-ing dengan rawan.
Berkata pula orang tua dalam tandu itu: "Dia memiliki kepandaian yang mengejutkan orang. Menurut
penilaianku dalam dunia persilatan dewasa ini, hanya barisan Gun-hap-ki-bun-tin dari pengawal baju merah
dan baju putih tadi, yang mampu melawan serangannya."
"Gun-hap-ki-bun-tin?" ulang Cu-ing heran, "apakah artinya barisan itu?"
"Gun-hap-ki-bun-tin artinya barisan istimewa yang terdiri dari gabungan beberapa macam barisan. Yalah
barisan Thay-kek, barisan Liang-gi dan barisan Su-giong."
"Jika anak buah locianpwe dapat membentuk barisan sehebat itu, locianpwe tentu seorang sakti yang
terpendam," seru Hun-ing.
Orang tua Tanpa Nama atau Bu Beng Lojin itu berkata, "Ketika di dalam lembah apabila tiada barisan
gabungan itu, aku dan anak buahku tentu sudah binasa semua. Mana dapat disebut orang sakti terpendam,
Ha, ha?" aku ini sebenarnya hanya seorang tua yang cacat badan."
"Menurut hematku," kata Hun-ing pula. "walaupun barisan gabungan itu dahsyat sekali tetapi mereka tak
memiliki daya untuk menyerang musuh. Dengan begitu entah sampai berapa lama lagi mereka harus
berhadapan menunggu serangan orang."
Hun-ing memang cerdas sekali otaknya. Dalam beberapa saat saja ia sudah dapat menilai keadaan barisan
ke delapan baju merah itu. Mereka hebat tetapi hanya bersikap membentuk pertahanan. Musuh tak
menyerang, merekapun tak dapat menyerang dulu.
Orang tua itu tertawa panjang.
"Pintar, pintar benar engkau," serunya. "sungguh tak kira engkau mampu mengetahui kelihayan dan
kelemahan barisan itu. Tetapi engkau tentu belum tahu kegunaan dari barisan itu yang sesungguhnya maka
cobalah engkau perhatikan lagi dengan seksama. Engkau tentu akan mengerti."
Ketika Hun-ing berpaling ke arah gelanggang dilihatnya Siau Lo-seng sudah beralih tempat. Kedua
tangannya menggentakkan pedang dan sepasang matanya tercurah pada seorang pengawal baju merah.
Tumit kaki Siau Lo-seng pun mulai diangkat. Tampaknya dia hendak melakukan serangan yang dahsyat.
Tiba-tiba Siau Lo-seng bersuit nyaring dan terus serempak menyelinap pada pengawal baju merah di sayap
barisan sebelah kanan. Pedang pusaka ular Emas berhamburan laksana bunga api mencurah, pemuda itu
terus menyerbu ke dalam barisan.
Seketika keadaan barisan gabungan itu tampak kacau. Seorang pengawal baju merah harus berlincahan
tukar tempat sampai beberapa kali.
Tiba-tiba Siau Lo-seng bersuit nyaring lagi lalu loncat keluar sampai tiga tombak jauhnya dan tegak berdiri
dalam sikap yang berbeda lagi.
Melihat itu heranlah Cu-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Cici Hun," tanyanya, "pada waktu Siau toako menyerbu tadi bukankah barisan itu tampak kacau" Tetapi
mengapa Siau toako loncat keluar dari barisan lagi" Apakah mungkin di dalam barisan itu terdapat bagianbagian yang sulit?"
"Jangan engkau memandang rendah barisan itu," kata Hun-ing, "memang tampaknya tadi barisan itu kacau
tetapi langkah kaki mereka merupakan gerakan yang luar biasa hebatnya. Memang dari sini kita tak tahu
bagaimana hal yang sebenarnya tetapi menilik Siau toako harus loncat keluar lagi, jelas dia tentu kewalahan
tak dapat menerjang masuk."
Tiba-tiba orang tua dalam tandu itu tertawa meloroh.
"Benar, benar," serunya, "memang tadi dia benar-benar berhasil mendobrak masuk tetapi dengan cepat
barisan itu segera membaiki kedudukannya lagi sehingga tertutup rapat...... he, he, he......"
09.42. Nyanyian iblis dari Rumah Dewa
Mendengar percakapan itu, Li Giok-hou dan anak buahnya tergetar dalam hati. Terutama Giok-hou terkejut
sekali atas kesaktian Siau Lo-seng.
Setelah barisan itu menyusun pertahanan, memang diam-diam Giok-hou mengamat-amati keadaannya.
Tetapi belum lagi ia mengetahui apa nama barisan itu dan bagaimana keadaannya yang sebenarnya, tahutahu Siau Lo-seng sudah dapat mendobraknya.
Saat itu timbul pada pikiran Giok-hou, bahwa Siau Lo-seng itu sesungguhnya jauh lebih cerdik dan lihay dari
dirinya. Dalam pada itu Siau Lo-seng pun tampak mengitari barisan. Rupanya ia sedang mencari lubang kelemahan
dari barisan itu, untuk diserbunya.
Gerak gerik Siau Lo-seng tak ubah seperti seekor harimau yang tengah melingkari sekelompok korbannya.
Tiba-tiba dia menggembor keras. Tubuh melambung ke udara, dengan gerak semacam kuda terbang di
udara, ia taburkan pedang Ular Emas mencurah ke atas kepala seorang pengawal baju merah yang
mengacungkan tombak ke atas dan menduduki posisi di pusar barisan itu.
Cepat sekali gerak layang dari Siau Lo-seng, secepat itu pula pedangnya berhamburan laksana hujan
mencurah dari langit. "Tring, tring......."
Terdengar dering suara yang melengking tajam sekali ketika delapan batang tombak serempak menangkis
Pedang Ular Emas. Dengan kepala menukik ke bawah dan kaki menjulang ke atas, Siau Lo-seng menyelinapkan tangan kirinya
untuk menampar kepala pemimpin barisan baju merah itu.
Tetapi orang itu tanpa mengangkat kepala ke atas segera songsongkan tangannya, "bum?""
Siau Lo-seng terlempar jungkir balik melayang-layang ke tanah sampai tiga tombak jauhnya dan masih pula
terhuyung-huyung tujuh-delapan langkah baru ia dapat berdiri tegak. Pedang Ular Emas menjulai ke bawah.
"Huak, huak".." dia muntah darah sampai dua kali.
"Siau toako!" Cu-ing menjerit kaget, terus hendak memburu ke tempat pemuda itu tetapi cepat dicegah Huning.
"Adik Ing, jangan bertindak sembarangan. Saat ini Siau toako masih belum sadar pikirannya......."
Walaupun Hun-ing mengucapkan kata-kata itu dengan berbisik namun tertangkap juga oleh telinga jagojago Ban-jin-kiong.
Giok-hou dan Long Wi saling bertukar pandang. Keduanya saling menjajagi pikiran dan kesan masingmasing.
Wajah Giok-hou berseri girang. Cepat ia berpaling ke arah Siau Lo-seng lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Rambut Siau Lo-seng terurai lepas menutup kedua bahunya. Mulutnya masih bercucuran darah tetapi
tangan kirinya masih membentuk sikap bersilat. Pedang pusaka di tangan kanannya menjulai tanah.
Sepasang matanya merah membara. Sepintas pandang dia menyerupai seekor binatang buas yang tengah
menderita luka. Sekonyong-konyong sinar emas memancar.
Tiada seorang yang berada di gelanggang itu tahu bagaimana caranya bergerak tahu-tahu Siau Lo-seng
dengan kecepatan seperti kilat, sudah menyerbu lagi ke dalam barisan.
"Tring, tring, plak, plak"..."
Terdengar beberapa kali benturan senjata tajam dan pukulan yang dahsyat. Tiba-tiba sesosok tubuh
terlempar keluar sampai lima tombak. "Bum"... rubuhlah dia ke tanah.
Peristiwa itu berlangsung amat cepatnya. Seolah-olah hanya dalam beberapa kejap mata saja sehingga
orang tak sempat lagi untuk melihat apa yang terjadi. Tahu-tahu Siau Lo-seng terlempar dari barisan dan
rubuh di tanah. Pemuda itu memang gila. Dia melenting bangun dari tempat berlumpur dimana ia telah terlempar jatuh.
Dengan menggigit gigi kencang-kencang ia segera tegak berdiri lagi.
Rambutnya terurai, menutup separoh dari mukanya. Dari celah-celah rambut itu, tampak sepasang matanya
berkilat-kilat buas sekali. Wajahnya pucat seperti mayat, mulut berlumuran darah dan pakaiannya kotor
penuh lumpur. Suasana di gelanggang itu tampak seram sekali, tegang dan mencengkam hati.
Siau Lo-seng terhuyung-huyung mundur dua langkah, bibirnya mengatup kencang, mata melotot.
Tiba-tiba kilat menyambar dan halilintarpun meletus dahsyat. Bumi tergetar dan serasa pecahlah anak
telinga orang-orang yang berada di tempat itu Setelah gemuruh halilintar lenyap hujan gerimispun turun.
Tubuh Siau Lo-seng bergoncang-goncang lalu rubuh ke tanah.
Sekonyong-konyong terdengar suara seruling berkumandang.
"Suara seruling yang aneh?"" seru Cu-ing.
Tetapi kebalikannya, pucatlah seketika wajah orang tua dalam tandu itu. Ia mengingau seorang diri,
"Nyanyian iblis dari Rumah Dewa?" dia?" apakah belum meninggal......."
Alunan suara seruling yang aneh itu bagai aliran anak sungai, bunga-bunga gugur. Sedemikian halus dan
lembut tetapi jelas. Membuat orang terbuai melayang-layang dalam alam kedewaan.
Mendengar suara seruling itu, menggigillah tubuh Siau Lo-seng lalu pelahan-lahan bangkit berdiri.
Sepasang matanya memancarkan sinar yang aneh. Dari perut dan dadanya menghambur arus hawa
hangat yang terus mengalir ke atas, lalu ke seluruh badannya.
Tiba-tiba kepalanya bergetar dan serentak pikirannya pun terang. Semangatnya pulih lagi,
"Jalan! Lekas jalan!" seru orang tua dalam tandu memberi perintah kepada pengawalnya.
Ke delapan pengawal baju putih cepat mengangkut tandu mewah itu dan dalam beberapa kejap sudah tiba
di lereng sebelah tenggara.
Melihat itu Siau Lo-seng hendak mengejar tetapi Cu-ing meneriakinya: "Siau toako?""
Siau Lo-seng berhenti dan berpaling, "Oh, adik Ing, kalian?""
Cu-ing terus lari menubruk tubuh pemuda itu, serunya: "Apakah engkau tak kurang suatu apa" Ah, aku
hampir terkejut pingsan."
Li Giok-hou dan si bungkuk Long Wi pun membawa anak buahnya mengejar tandu itu, Dalam beberapa
kejap. sunyilah tempat itu.
"Mereka?"" teriak Siau Lo-seng gopoh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing tertawa mengikik: "Sudahlah Siau toako, tak perlu bingung. Orang itu bukanlah peniup seruling
yang hendak engkau cari itu......"
Cu-ing gelagapan ketika menyadari bahwa ia masih memeluk tubuh Siau Lo-seng. Buru-buru dia menyiak
tubuh pemuda itu dan bersungut-sungut penasaran: "Cici Hun, engkau sungguh bikin malu orang."
Hun-ing tertawa terkial-kial.
"Hai, apa-apaan ini?" Siau Lo-seng makin bingung. Ia heran melihat gerak gerik kedua nona itu.
Mendengar kata-kata Siau Lo-seng, Cu-ing pun ikut tertawa.
Suasana yang tegang regang segera berganti dengan gelak tawa yang gembira. Tetapi kalau kedua nona
itu bersuka tawa, adalah karena mengetahui apa yang ditertawakan, Siau Lo-seng makin kebingungan
sampai mengucurkan keringat dingin.
Tiba-tiba Hun-ing berhenti tertawa dan berseru: "Sudahlah, jangan ribut-ribut, dengarkan suara seruling itu."
Nyanyian seruling itu memang tidak lagi lemah lembut tetapi berobah gencar dan deras seperti derap
berpuluh kuda berpacu. Rupanya Siau Lo-seng pun menyadari bahwa kesadaran pikirannya tergantung dari suara seruling itu. Maka
cepat-cepat ia minta kepada kedua nona untuk memberitahu apakah yang telah terjadi tadi.
Hun-ing dengan ringkas menuturkan peristiwa tadi.
"Jika begitu orang tua dalam tandu itu bukan orang yang meniup seruling?" seru Siau Lo-seng.
"Memang bukan," jawab Cu-ing, "kalau tak salah, dia adalah tokoh yang pada limapuluh tahun berselang
pernah menggetarkan dunia persilatan. Namanya Ang Siong-pik bergelar Buddha Emas."
"Hai, kalau begitu dia bersama Leng Tiong-siang dan Tay Hui Sin-ni merupakan tiga serangkai tokoh sakti
yang disebut orang sebagai Tiga Buddha Emas," seru Hun-ing
"Ah, tak mungkin," seru Lo-seng, bukankah Buddha Emas Ang Siong-pik sudah tewas ketika pada
limapuluh tahun yang lalu bertempur selama lima hari lima malam melawan paderi sakti Ko Bok dari gereja
Siau-lim-si" Kemudian karena Ko Bok juga putus urat jantungnya, dia pulang ke gereja Siau-lim-si dan
akhirnya menutup mata. Peristiwa itu diketahui seluruh kaum persilatan dan merupakan suatu peristiwa
yang menggemparkan. Bagaimana engkau menduga kalau orang tua itu si Buddha Emas Ang Siong-pik?"
"Karena dia menyebut tempat tinggalnya di guha Thian-siau-sian-tong maka dugaanku jatuh pada Buddha
Emas Ang Siong-pik," kata Cu-ing.
"Tetapi atas dasar apa engkau memastikan dugaanmu itu?" tanya Hun-ing pula.
"Karena guruku Tay Hui Sin-ni pernah menceritakan peristiwa itu kepadaku," jawab Cu-ing, "ketika suhu
berkelana sampai ke sebuah lembah di pedalaman gunung belantara, tiba-tiba ia menemukan senjata
tongkat pertapaan emas milik Ang Siong-pik. Tongkat itu berukir sebuah syair yang menyatakan kalau
pemilik tongkat hendak mengasingkan diri mencari kesucian batin di guha Thian-siau-sian-tong."
"Lalu apakah Tay Hui Sin-ni tak mencari jejak Ang Siong-pik?" tanya Hun-ing.
"Walaupun sudah menjelajah seluruh pegunungan belantara namun suhu tak juga dapat menemukan guha
yang disebut Thian-siau-sian-tong itu," kata Cu-ing. "Tetapi suhupun tak mau menceriterakan hal itu kepada
orang persilatan. Hanya diam-diam suhu selalu memperhatikan kabar-kabar, apakah Ang Siong-pik muncul
lagi di dunia persilatan. Ah, tak kira setelah berselang limapuluh tahun, aku bertemu dengan seorang tua
yang mengaku tinggal di guha Thian-siau-sian-tong. Maka ku duga ia tentu si Buddha Emas Ang Siong-pik."
Hun-ing dan Siau Lo-seng terpikat perhatiannya mendengar cerita itu sehingga mereka tak merasa bahwa
suara seruling itu sudah lenyap sejak tadi.
Hun-ing lebih dulu dapat menyadari hal itu buru-buru dia memandang Siau Lo-seng dan berseru:
"Engkau?""
"Aku?"" Siau Lo-seng terlongong heran. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang berseru:
"Benar, memang orang tua itu adalah Buddha Emas Ang Siong-pik. Tetapi taraf dugaanmu tadi masih
salah. Dan memang kalian tak tahu hal itu."
"Ah, Leng locianpwekah itu?" cepat Hun-ing berseru.
dunia-kangouw.blogspot.com
Entah kapan waktunya, tahu-tahu memang Leng Tiong-siang si Kakek wajah dingin sudah berada di
belakang ketiga anak muda itu.
"Leng locianpwe, apakah pembicaraan kita tadi engkau dengar semua?" tegur Hun-ing.
Leng Tiong-siang mengiakan: "Ya, memang sudah lama aku berada di sini."
Tiba-tiba Siau Lo-seng menatap wajah kakek itu serunya "Leng locianpwe, tadi engkau mengejar peniup
seruling itu atau tidak?"
"Bukankah pikiranmu sekarang sudah sadar?" kakek berwajah dingin balas bertanya.
"Ya, pikiranku terang."
"Kalau begitu engkau sudah sembuh," seru Cu-ing tegang sekali.
"Ah, bagaimanakah sesungguhnya ini?" Hun-ing benar-benar heran.
"Mungkin hal itu ada hubungan dengan luka yang diderita Siau Lo-seng dalam pertempuran dahsyat dengan
barisan baju merah tadi. Kalau ingin tahu bagaimana keadaan yang sesungguhnya silahkan tanya pada
orang yang meniup seruling itu," kata Leng Tiong-siang.
"Kalau begitu, akan kucarinya sekarang!" habis berkata Siau Lo-seng terus hendak pergi.
"Ah, tak perlu mencarinya," Leng Tiong-siang menghela napas.
"Mengapa?" "Bukankah selama berbulan-bulan ini kita selalu mencarinya" Dan apakah engkau pernah berhasil
mendapatkannya?" Siau Lo-seng terkesiap. Diam-diam ia mengakui kebenaran kata-kata kakek berwajah dingin. Memang luar
biasa anehnya peniup seruling itu. Suaranya berada di sebelah timur, apabila diburu ke timur, tiba-tiba
suara itu beralih ke sebelah barat. Dan suara seruling itu hanya selalu kedengaran pada waktu ia
menghadapi bahaya saja. Seolah-olah peniup seruling itu diam-diam telah memberi bantuan kepadanya.
"Cobalah engkau renungkan," Leng Tiong-siang berkata pula "Cobalah engkau gerakkan tenagamu," tibatiba Leng Tiong-siang berkata pula, "apakah masih tetap hebat?"
Siau Lo-seng segera kerahkan tenaga dalam. Ia rasakan darahnya berjalan lancar, tenaga dalamnya
penuh. Segera ia menghampiri segunduk batu besar yang berada di dekat hutan. Sekali dorong batu besar
itupun terlempar beberapa belas langkah.
"Bagus, untuk sementara waktu ini ingatanmu masih belum hilang. Mari kita lanjutkan perjalanan," kata
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Leng Tiong-siang dengan wajah berseri girang.
"Ke mana?" tanya Siau Lo-seng.
"Istana Ban-jin-kiong."
"Hai! Ke Ban-jin-kiong?" teriak Hun-ing dan Cu-ing serempak.
"Lekas kita jalan," kata Leng Tiong-siang. "sambil berjalan sambil kuterangkan. Kalau tidak kita tentu
terlambat." Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang sekali bergerak sudah berada tiga tombak jauhnya. Siau Lo-seng dan
kedua nonapun mengikuti. Sambil berlari Leng Tiong-siang bercerita: "Pada waktu kita berpisah dan aku memburu ke tenggara untuk
menyergap peniup seruling itu, tanpa sengaja aku telah kesasar masuk ke dalam istana Ban-jin-kiong."
"Apa" Engkau masuk ke Ban-jin-kiong?" teriak Siau Lo-seng.
"Bukan melainkan aku saja pun peniup seruling itu juga masuk ke istana Ban-jin-kiong dan berada tak jauh
dari sini." Kedua nona itu menggunakan seluruh kepandaiannya berlari baru dapat mengimbangi ilmu berlari dari Siau
Lo-seng dan Leng Tiong-siang.
"Hah, istana Ban-jin-kiong tak jauh di sekitar tempat ini?" teriak Hun-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Benar, memang berada di gunung ini," sahut Leng Tiong-siang.
"Bukankah Buddha Emas Bu Beng Lojin itu juga pernah masuk ke dalam istana Ban-jin-kiong," tiba-tiba Cuing berseru.
Siau Lo-seng pun ikut bertanya: "Leng locianpwe, bukankah tadi engkau mengatakan bahwa tingkat
penafsiran adik Ing itu masih kurang sempurna" Cobalah engkau terangkan."
"Pertanyaan yang baik," kata Leng Tiong-siang "tahukah kalian bahwa sebenarnya Buddha Emas Ang
Siong-pik itu sebenarnya delapanbelas tahun yang lalu sudah muncul lagi di dunia persilatan?"
"Tidak tahu," sahut Hun-ing, "dan rasanya dunia persilatan pun tak pernah mengetahui hal itu."
Wajah Leng Tiong siang makin dingin dan sepasang matanyapun berkilat-kilat tajam.
"Disitulah letak kuncinya," kata kakek berwajah dingin itu, "memang kemunculan yang kedua kali dari Ang
Siong-pik pada delapanbelas tahun berselang sangat dirahasiakan sekali. Dan pada masa itu bukankah
dunia persilatan penuh dengan peristiwa-peristiwa yang aneh" Misalnya seperti terbunuhnya seluruh
keluarga Siau Han-kwan, ketua perkumpulan Naga Hijau. Begitu pula lenyapnya beberapa tokoh persilatan
ternama?"" Mendengar disebutnya peristiwa pembunuhan ayahnya, seketika teganglah perasaan Lo-seng. Peristiwa
berdarah itu terbayang kembali dalam benaknya. Sepasang matanya membara merah dan serentak ia
hentikan larinya. "Apakah pembunuhan itu mempunyai sangkut paut dengan hilangnya beberapa tokoh itu?" serunya,
Leng Tiong-siang terkejut dan hentikan langkah juga: "Eh, mengapa?"
"Siau Han-kwan si Naga sakti tanpa bayangan itu adalah ayahku!" seru Lo-seng dengan penuh keharuan.
"Engkau putera Siau Han-kwan?" Leng Tiong-siang terkejut, "peristiwa berdarah pada keluarga Siau
rupanya mulai tampak titik-titik terang."
"Harap Leng locianpwe jangan main menyembunyikan rahasia dan lekas memberi tahu," Cu-ing
menyeletuk. Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang segera menuturkan sebuah rahasia dunia persilatan yang terjadi pada
empatpuluh tahun berselang.
09.43. Raja Akhirat dari Ban-jin-kiong
Empatpuluh tahun yang lalu, dunia persilatan tenteram dan damai. Tetapi ternyata suasana itu hanya
seperti 'api dalam sekam' di luar, tenang, di dalam menyala. Tiap-tiap partai persilatan sedang kasak kusuk
untuk merencanakan langkah merebut kedudukan sebagai pemimpin dunia persilatan.
Pada waktu itu diam-diam telah timbul sebuah persekutuan yang menamakan diri sebagai Ho-ping-beng
atau persekutuan Cinta Damai.
Persekutuan itu bertujuan untuk mengadu kesaktian dengan para pimpinan partai-partai persilatan. Adu
kesaktian itu disertai dengan sebuah syarat. Apabila pimpinan partai persilatan tersangkut dapat menang
maka dia berhak mencrima pusaka, baik senjata maupun kitab, menurut apa yang dikehendaki. Begitu pula
wakil persekutuan Cinta Damai yang kalah itu akan menurut dan tunduk pada perintah ketua partai
persilatan yang menang itu.
Tetapi apabila ketua partai persilatan tersebut kalah, dia harus mengundurkan diri dari dunia persilatan.
Oleh karena hadiah pusaka yang akan diberikan oleh persekutuan Cinta Damai itu memang sungguhsungguh luar biasa nilainya maka banyak jago-jago silat sakti yang datang dan minta diadu dengan wakil
persekutuan Cinta Damai. Ternyata selama itu, tiada seorangpun tokoh silat yang menang. Jago dari persekutuan Cinta Damai itu
memang luar biasa saktinya.
Sejak itu dunia persilatan berangsur-angsur tenang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Menutur sampai di situ, Leng Tiong-siang berhenti. Sejenak ia memandang Siau Lo-seng. Dilihatnya anak
muda itu termangu-mangu mendengarkannya.
"Bukankah pimpinan persekutan Cinta Damai itu hanya terdiri dari empat orang?" tiba-tiba Cu-ing
menyeletuk. "Rupanya engkau tahu hal itu," serunya.
"Tidak, aku hanya tahu sedikit sekali," sahut nona itu.
"Tetapi kemudian, persekutuan Cinta Damai itu kalah di tangan seorang jago pedang," kata Leng Tiongsiang pula.
"Siapa?" tanya Cu-ing.
Leng Tiong-siang tak lekas menyahut melainkan termenung beberapa jenak.
"Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan," kata Leng Tiong-siang sesaat kemudian.
Serempak ketiga orang itupun memandang ke arah Siau Lo-seng. Tetapi alangkah kejut mereka!
Ternyata saat itu Siau Lo-seng sudah tak ada di tempatnya. Dan sebagai gantinya, di tempat itu telah berdiri
seorang baju hitam yang mengenakan kerudung muka.
Peristiwa itu berlangsung pada waktu Leng Tiong-siang bicara dengan kedua nona tanpa diketahui sama
sekali oleh mereka bertiga.
Dapat dibayangkan betapa kejut Leng Tiong-siang dan kedua nona itu.
"Hai, engkau manusia atau setan!" bentak Hun-ing.
Tetapi orang bertubuh tinggi kurus yang mengenakan kerudung muka hitam itu tak bergerak. Kedua
tangannya menjulur ke lutut.
Diam-diam Leng Tiong-siang tergetar hatinya. Dengan kepandaian yang dimiliki toh ia masih tak dapat
mengetahui kemunculan orang itu.
Dalam pada itu Hun-ing dan Cu-ing tak dapat menahan sabar lagi. Kedua nona itu serempak membentak
dan lepaskan pukulan. Tetapi orang aneh itu seolah-olah tak mengacuhkan pukulan dahsyat dari kedua nona. Dia tetap tegak,
tidak menghindar maupun menangkis.
"Bum, bum".."
Pukulan itu tepat mendarat di dada orang berkerudung. Tetapi suara mengerang tertahan malah terdengar
dari mulut Hun-ing dan Cu-ing. Kedua nona itu terhuyung mundur dua langkah. Tangan mereka terasa sakit.
Sedang orang berkerudung hitam itu tetap tegak seperti patung.
"Siu-lo-sin-kang!" teriak Leng Tiong-siang seketika.
"Apa" Siu-lo-sin-kang?" Hun-ing yang saat itu sudah berdiri tenang, pun terkejut.
Siu-lo-sin-kang merupakan ilmu simpanan yang istimewa dari gereja Siau-lim-si. Sejak Siau-lim-si berdiri
hanya beberapa tokoh yang mampu menguasai ilmu sakti itu. Sejak seratus tahun yang lalu Liau Liau
Siansu dapat menguasai ilmu itu. kemudian dalam tiga angkatan murid-murid Siau-lim-si tidak ada
seorangpun yang berhasil memahami ilmu sakti itu.
Menurut ceritanya, seorang yang dapat melatih ilmu sakti sin-kang itu, dia akan kebal dengan segala racun,
air, api dan segala macam senjata tajam. Tubuhnya akan menjadi lindung atau kebal.
Siapakah orang aneh itu" Mengapa dia juga memiliki ilmu sakti Siu-lo-sin-kang"
Tiba-tiba Leng Tiong-siang membentak keras dan menghantam: "Cobalah engkau terima pukulanku ini!"
Serangkum arus gelombang tenaga yang dahsyat segera berhamburan ke arah orang aneh itu.
Tampak orang aneh itu mengangkat tangannya dan tenaga pukulan Leng Tiong-siang pun bukan saja
lenyap tetapi orangnya juga tersurut mundur tiga langkah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing mempunyai pengalaman yang luas dan otak yang cerdas sekali. Dia segera tahu bagaimana kedua
tokoh itu telah saling adu tenaga dalam. Dan ternyata tenaga dalam dari Kakek wajah dingin Leng Tiongsiang masih kalah dengan orang aneh itu.
Leng Tiong-siang sendiri memang bukan kepalang kejutnya. Setitikpun tak pernah ia duga bahwa hanya
dengan gerakkan kedua tangannya ke muka, orang aneh itu telah mampu menghapus pukulan yang disaluri
dengan lima bagian tenaga dalam Coat-im-liang-gi-cin-gi.
Karena penasaran kakek wajah dingin itu segera menghantam dengan kedua tangannya. Kali ini ia
menyalurkan sepuluh bagian dari tenaga dalam Coat-im-liang-gi-cin-gi.
Tampak orang aneh itu tetap tegak di tempatnya. Tidak menangkis, pun tidak menghindar.
"Uh, apakah dia benar-benar sudah menguasai ilmu sakti Siu-lo-sin-kang dan sengaja memancing aku
supaya memukul lebih hebat lalu hendak menggunakan tenaga balik untuk melukai aku?" diam-diam Leng
Tiong-siang menimang dalam hati demi melihat orang aneh itu diam saja.
Cepat ia mengurangi dua bagian dari tenaga dalam Coat-im-liang-gi-cin-gi pada pukulannya itu. Setelah
tenaga pukulan Leng Tiong-siang hampir mengenai tubuhnya, barulah orang aneh itu condongkan tubuh ke
samping lalu ajukan kaki kiri maju setengah langkah, tangan kanan membalik ke atas, dengan jurus No-haypok-liong atau Laut marah menangkap naga, ia menerkam pergelangan tangan kanan Leng Tiong-siang.
Tetapi Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang bukan seorang yang lemah. Dengan gerak yang istimewa ia
berputar tubuh dan maju menyerang lagi dengan kedua tangannya.
Saat itu segera pecah pertempuran yang dahsyat dari dua tokoh yang sakti.
Tampaknya Leng Tiong-siang benar-benar menumpahkan perhatiannya pada pertempuran itu. Ia
menyerang dengan hebat, pukulan dan tendangan bertubi-tubi dilancarkan. Dahsyat dan cepatnya bukan
alang kepalang. Jurus-jurus serangannyapun aneh dan sukar diduga lawan.
Dahulu Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang itu merupakan datuk dari Kwan-ga-sam-ki atau Tiga Datuk
dari Tibet. Sudah tentu kepandaiannya amat sakti. Dan apa yang diunjukkan dalam pertempuran itu
memang membuktikan betapa kesaktian yang dimiliki oleh tokoh itu.
Hun-ing dan Cu-ing termasuk pendekar wanita kelas satu dalam dunia persilatan. Tetapi mereka harus
terbelalak kaget ketika menyaksikan pertempuran itu. Diam-diam mereka malu dalam hati dan menyadari
bahwa ilmu silat itu memang tiada batasnya. Dibanding dengan dirinya, kedua tokoh itu jauh lebih sakti
berlipat ganda. Tetapi ternyata kepandaian dari orang berkerudung hitam lebih hebat lagi. Setiap kali ia gerakan tangan
tentu selalu dapat menghapus serangan maut dari lawan. Begitu pula gerak tubuhnya, serba cepat dan tak
terduga-duga arahnya. Karena berpakaian serba hitam dan mukanyapun ditutup dengan kain hitam, maka
sepintas pandang dia benar-benar menyerupai sesosok hantu yang menari-nari di tengah malam.
Sudah tigapuluh lima jurus serangan dahsyat dan cepat dilancarkan Leng Tiong-siang. Namun jangankan
mengenai bahkan menyentuh ujung pakaian lawanpun tak mampu.
Leng Tiong-siang makin marah. Dia memperhebat serangan sedemikian rupa dan memperlipat gandakan
kecepatannya. "Kena!" tiba-tiba Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang berseru. Ia menyelonong maju dan secepat kilat
menyelinapkan tangan kanannya memukul dada lawan yang dilindungi dengan bayangan kedua tangannya.
Tetapi pada saat tangannya menyentuh dada lawan, tiba-tiba tangan kanannya telah dicengkeram musuh.
Seketika ia rasakan kesemutan dan tenaganyapun lunglai. Yang berhasil mendarat di dada lawan hanyalah
sebelah tangan kirinya. "Duk?"" Terdengar benda berat macam palu besi jatuh di tanah. Dan seketika itu kedua tubuh merekapun
berpencar. Karena terseret tangannya, Leng Tiong-siang terlempar sampai tujuh-delapan langkah baru dapat berdiri
tegak. "Huak"..." dia muntah darah.
Sedangkan orang aneh itu mengerang aneh dan menyurut mundur sampai beberapa langkah. Sepasang
matanya berkilat-kilat memandang ke arah Leng Tiong-siang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing dan Cu-ing benar-benar terpesona mengikuti jalannya pertempuran itu sehingga mereka tegak
termangu-mangu seperti patung. Lupa untuk berseru menegur Leng Tiong-siang, lupa untuk menjerit kaget
karena kakek wajah dingin telah muntah darah.
Dengan wajah terkejut, Leng Tiong-siang memandang orang aneh itu. Dia benar-benar kagum akan
kepandaian orang itu. Ilmu sambaran Kin-na-jiu yang digunakan orang aneh itu, betul-betul luar biasa.
Mungkin dalam dunia persilatan tiada sebuah ilmu silat yang mampu menghindari cengkeraman itu.
Tiba-tiba orang aneh itu berputar tubuh dan tanpa berkata apa-apa terus lari pergi.
"Hai, betapa hebat ilmu larinya itu......" teriak Hun-ing ketika melihat dalam sekejap mata si orang aneh
sudah lenyap. Leng Tiong-siang menghela napas rawan. Ia mengangkat muka memandang ke langit. Ada suatu pikiran
melintas pada benaknya Ah, betapa luas dunia, betapa kecil dirinya dan betapa masih rendah ilmu
silatnya?" Pelahan-lahan ia berputar tubuh memandang ke arah kedua nona yang termangu-mangu.
Tiba-tiba matanya tertumbuk pula akan sesosok bayangan orang yang berada di tempat gelap kira-kira dua
tombak jauhnya. Ah, lagi-lagi muncul seorang sakti yang kedatangannya sama sekali tak diketahui oleh
mereka bertiga. "Ban-jin Kiong-cu, bagus engkau sudah datang sendiri. Aku memang hendak mencarimu," tiba Leng Tiongsiang berseru.
Di bawah sinar rembulan remang, tampak seorang imam yang mukanya tertutup kerudung hitam, tengah
berdiri pada jarak dua tombak. Cepat Hun-ing dapat mengenali orang itu sebagai yang memapas kutung
sebelah lengan si bungkuk Long Wi ketika di kuil tua tempo hari.
Ban-jin Kiong-cu atau yang dipertuan dari istana Ban-jin-kiong tertawa ringan.
"Sahabat Leng, perlu apa engkau hendak mengindari aku?" serunya.
Berhadapan dengan musuh, seketika merahlah mata Leng Tiong-siang.
"Ketahuilah bahwa larangan yang kita buat pada delapanbelas tahun yang lalu, sekarang sudah ada lima
buah yang hapus. Akupun boleh menempur engkau," seru kakek wajah dingin itu.
Kepala Ban-jin-kiong tertawa mengekeh.
"Heh, heh, setelah berpisah selama delapanbelas tahun, kepandaian Leng-bin-sin-kun tentu maju pesat.
Tetapi apakah engkau lupa akan perjanjian yang nomor tujuh itu?"
Leng-bin-sin-kun Leng Tiong-siang berseru dingin: "Tetapi janganlah engkau lekas bergembira dulu.
Larangan ke tujuh itu pun segera akan hapus."
Rapanya kepala dari Ban-jin-kiong itu paham akan perangai Leng Tiong-siang. Semakin marah, Leng
Tiong-siang semakin diam dan dingin.
"Heh, heh," kepala Ban-jin-kiong itu tertawa mengekeh pula, "mengapa Leng-bin-sin-kun marah-marah
begitu rupa" Di antara kita masakan tak ada yang tak dapat dirundingkan?"
Leng Tiong-siang berseru dingin: "Cepat atau lambat, aku pasti dapat membuka kedok kejahatanmu.
Sekarang aku hendak bertanya, siapakah orang aneh tadi" Bukankah dia salah sebuah mayat hidup yang
engkau ciptakan" Kalau tak salah, kepandaian orang itu tak di bawah aku dan engkau."
Kepala Ban-jin-kiong tertawa meloroh.
"Engkau menanyakan orang itu?" serunya gembira, "adalah Raja Akhirat dari Ban-jin-kiong bukan mumi
bukan pula orang-orangan kayu. Kalau engkau tahu asal usulnya, engkau tentu takkan penasaran kalau
dikalahkannya." "Huh, Leng Tiong-siang tak pernah mengagumi manusia yang manapun juga," seru Kakek wajah dingin,
"bukankah telah engkau bius kesadaran pikirannya supaya dia mati-matian menjual jiwa untukmu?""
"Terserah bagaimana engkau hendak mengatakan saja, ha, ha, ha?""
"Hm, ketahuilah," seru Leng Tiong-siang, "bahwa malam ini Ban-jin-kiong tentu akan timbul peristiwa."
dunia-kangouw.blogspot.com
Ban-jin Kiong-cu tersenyum: "Terima kasih atas peringatan saudara Leng. Apakah alasanmu mengatakan
begitu?" "Soal itu engkau tak perlu tahu."
Kepala Ban-jin-kiong tertawa keras, serunya: "Ah, kalau begitu aku telah mengukur baju orang dengan
ukuran badanku. Mengukur hati seorang siau-jin (orang rendah) dengan ukuran hati seorang kesatria."
"Ban-jin Kiong-cu, bagaimana Siau toako kami!" tiba-tiba Hun-ing membentak.
Kepala Ban-jin-kiong terkesiap lalu tertawa keras: "Aneh, aneh, engkau sendiri yang menyebabkan dia
pergi, sekarang engkau minta."
Menggigillah Hun-ing karena marah, serunya: "Jika engkau berani mengganggu selembar rambutnya, aku
tentu akan mengadu jiwa dengan engkau?"."
Walaupun mulut mengancam tetapi Hun-ing menyadari kelihayan kepala Ban-jin-kiong itu maka ia tak
berani gegabah bertindak.
Tetapi Cu-ing sudah tak dapat menahan diri lagi. Dengan melengking keras ia segera menerjang kepala
Ban-jin-kiong dengan pedangnya seraya memaki: "Imam busuk, terimalah seranganku!"
Kepala Ban-jin-kiong terkesiap tetapi cepat-cepat iapun menghindar ke samping.
"O, kiranya engkau Nyo Cu-ing anak murid Tay Hui Sin-ni, maaf, maaf!" serunya, "kali ini Ban-jin-kiong akan
mengadakan perjamuan besar untuk menyambut sahabat-sahabat lama. Bukankah begitu saudara
Leng......." Karena tusukannya luput, Cu-ing segera kembangkan ilmu pedang Tay-hui-kiam-hwat. Pedang segera
berhamburan memancarkan sinar dingin. Pedang menyambar naik turun, menusuk, menabas, membabat
dan memagut jalan darah berbahaya di seluruh tubuh lawan.
Kepala Ban-jin-kiong berayun menghindari diri sampai setombak jauhnya.
"Bagus, budak perempuan," ia tertawa gelak-gelak, walaupun engkau sudah mendapat pelajaran seluruh
ilmu pedang dari Tay Hui Sin-ni tetapi untuk melawan aku, masih jauh dari kurang?"
Cu-ing penasaran kerena dengan mudah lawan dapat lolos dari pedangnya, serunya: "Imam jahat, cobalah
engkau terima serangan pedangku lagi!"
Nona itu maju dan tiba-tiba pedangnya telah berganti gaya. Angin menderu keras, empat penjuru dilingkupi
sinar dingin. Dalam sekejap saja, kepala Ban-jin-kiong itu sudah terkurung dalam sinar pedang.
Tiba-tiba ketua Ban-jin-kiong itu tertawa panjang, serunya: "Hebat, hebat benar ilmu pedang Tay-hui-kiamhwat itu...... ha, ha, ha!"
Dalam pada tertawa itu bagaikan sesosok setan, ia sudah berlincahan menerobos keluar dari kepungan
sinar pedang. Sekali ulurkan tangan ia sudah dapat mencengkeram tangan si nona dan terus merebut
pedangnya. Cu-ing benar-benar terkejut sekali. Cepat ia ayunkan tangan kirinya untuk menghantam dada orang.
Ketua Ban-jin-kiong menghindar ke samping, sesaat tinju Cu-ing melayang, segera ia tutukkan jarinya ke
lengan si nona dan terus menarik lalu mengepitnya.
Peristiwa itu berlangsung hanya dalam sekejap mata saja sehingga Hun-ing masih tertegun dan Leng
Tiong-siang pun tak sempat memberi pertolongan lagi.
Sesaat kemudian tanpa menghiraukan bagaimana akibatnya lagi, Hun-ing terus menyerang dengan
pedangnya. Sesosok tubuh berayun dan tahu-tahu tangan ketua Ban-jin-kiong itu sudah bertambah lagi dengan
sebatang pedang dan Hun-ing pun sudah berada dalam pelukannya.
Jika tak melihat sendiri tentu Leng Tiong-siang tak percaya bahwa hanya dalam sekejap mata saja kedua
nona itu sudah dapat dikuasai ketua Ban-jin-kiong.
Kakek wajah dingin itu berobah wajahnya lalu berseru dengan dingin sekali, "Ban-jin Kiong-cu, lepaskan
kedua orang itu." dunia-kangouw.blogspot.com
Kepala Ban-jin-kiong tertegun malihat sikap Leng Tiong-siang yang begitu dingin menyeramkan. Tetapi
sesaat kemudian ia berseru: "Jika tak kulepaskan?"
09.44. Tempat Rahasia Istana Ban-jin-kiong
Dengan dingin dan tegas, Leng Tiong-siang pun berkata, "Jika tidak aku tentu engkau yang akan mati di
sini." Ketua Ban-jin-kiong tertawa gelak-gelak.
"Leng Tiong-siang, sekarang bukanlah seperti tempo dahulu. Memang empatpuluh tahun yang lalu aku
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
agak takut kepadamu. Delapan tahun berselang, masih gentar juga kepadamu. Tetapi sekarang, ha, ha, aku
Ban Jin-hoan boleh menepuk dada mengatakan bahwa engkau Leng Tiong-siang, belum tentu dapat
mengalahkan aku. Apalagi aku mempunyai anak buah yang banyak jumlah. Engkau Leng Tiong-siang
sudah tak berarti apa-apa bagi Ban-jin-kiong."
Ternyata kepala Ban-jin-kiong itu bernama Ban Jin-hoan.
"Hm, silahkan coba," seru Leng Tiong-siang dingin.
Tiba-tiba Ban Jin-hoan tersenyum sinis, serunya, "Leng Tiong-siang, tampaknya engkau masih
mengenangkan wanita busuk itu tetapi belum tentu dia masih mau mengenalmu."
Mendengar kata-kata itu gemetarlah Leng Tiong-siang, serunya, "Ban Jin-hoan, jangan terlalu menghina
orang. Mengungkat peristiwa delapanbelas tahun yang lalu, berarti membuka borok yang tak sedap dilihat.
He, jangan kira aku dapat engkau bikin panas hati dengan ejekanmu itu. Jangan kuatir soal itu!"
Tiba-tiba kepala Ban-jin-kiong menengadahkan kepala dan tertawa nyaring. Nadanya penuh kerawanan,
dendam, marah dan kebencian.
"Ban Jin-hoan," seru Leng Tiong-siang dengan nada agak iba. "jika engkau mau menghapus dendam lama
itu, aku Leng Tiong-siang pun akan menurut untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan dan takkan
menuntut perbuatanmu, apa yang engkau lakukan selama delapanbelas tahun ini."
Tubuh ketua Ban-jin-kiong itu agak gemetar. Walaupun mukanya ditutup kain kerudung tetapi jelas dia
tegang sekali wajahnya. Suasana hening, dunia seolah tenggelam dalam kepekatan.
"Ban Jin-hoan, apakah engkau setuju?" tiba-tiba Leng Tiong-siang memecah kesunyian.
"Tidak," sahut Ban Jin-hoan dengan nada dingin, "aku tak pernah menyesal. Dengan memandang mukamu,
kedua budak perempuan ini kulepaskan. Tetapi ketahuilah, bahwa sejak saat ini, himpaslah sudah budi
yang engkau berikan kepadaku. Lain kali kalau bertemu lagi, kita akan menyelesaikan dengan kepandaian
masing-masing. Cukup sekian dan sampai jumpa lagi!"
Setelah lepaskan Cu-ing dan Hun-ing, ketua Ban-jin-kiong itu terus berputar tubuh dan pergi.
"Tunggu!" tiba-tiba Leng Tiong-siang berseru.
"Masih ada urusan apalagi?" ketua Ban-jin-kiong berpaling.
"Tentang diri Siau Lo-seng anak itu. "Jika engkau tak mau memandang mukaku, baiklah engkau mengingat
ibunya dan jangan terlalu menyusahkannya!"
Ketua Ban-jin-kiong tertawa dingin, serunya: "Sebelum aku sekali lagi bertemu muka dengan ibunya, aku
takkan mencelakainya."
"Kalau begitu, bebaskanlah dia!" kata Leng Tiong-siang.
Ban Jin-hoan tertawa meloroh.
"He, bahkan engkaupun tak percaya kepada Ban Jin-hoan. Walaupun aku Ban Jin-hoan itu seorang
manusia yang ganas, licin dan licik, tetapi aku masih dapat pegang janji. Kalau tidak masakan saat ini aku
mau berhadapan dengan engkau."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Baik," seru Leng Tiong-siang, "dalam hal itu aku percaya kepadamu. Ang Siong-pik si Buddha Emas dan
peniup seruling yang belum diketahui orangnya, tak lama lagi akan menyerbu istana Ban-jin-kiong. Kalau
perhitunganku tak meleset, Tay Hui Sin-ni dan dia...... pun segera akan datang. Engkau harus lekas pulang
untuk bersiap sedia."
"Hm, jangan lupa," kata Ban Jin-hoan dengan nada dingin, "sekarang di antara kita berdua sudah tiada
ikatan bahkan sudah menjadi lawan. Tak perlu engkau cari muka."
Hahis berkata kepala Ban-jin-kiong itu sudah meluncur lenyap dalam kegelapan malam.
Leng Tiong-siang menghela napas. Sambil memandang bayangan Ban Jin-hoan yang lenyap dalam
kegelapan, dia masih terkesan akan kata-kata yang terakhir dari kepala Ban-jin-kiong itu. Walaupun
diucapkan dengan nada dingin tetapi jelas mengandung percikan nada yang lembut.
Ah, masa beredar, jaman berganti dan manusiapun berganti. Hanya dia seorang dan ketua Ban-jin-kiong itu
masih tak berobah keadaannya.
Walaupun sudah dilepas tetapi karena jalan darahnya ditutuk oleh Ban-jin Kiong-cu maka kedua nona Huning dan Cu-ing tak dapat berkutik dan bicara. Tetapi pikiran mereka masih sadar.
Apa yang telah terjadi antara Leng Tiong-siang dengan kepala Ban-jin-kiong itu dapat dilihat dan
didengarkan mereka. Segera mereka mendapat kesan bahwa di antara Leng Tiong-siang dengan kepala
Ban-jin-kiong itu terdapat suatu jalinan hubungan yang tidak biasa. Dan hubungan itu menyangkut dirinya
serta Siau Lo-seng. Betapapun cerdasnya kedua nona itu namun karena peristiwa itu mempunyai liku-liku yang ruwet dan
berbelit-belit, kedua nona itupun tak dapat merangkai dugaan.
Hanya ketika melihat bagaimana Leng Tiong-siang seperti orang yang kehilangan semangat, kedua nona
itupun menitik airmata ikut terharu.
Tetapi mereka tak tahu mengapa ikut menitikkan airmata dan mengapa mereka harus menaruh simpathi
terhadap orang yang diserangnya tadi?"
Tiba-tiba Leng Tiong-siang kedengaran berkata seorang diri: "Empatpuluh tahun telah berlalu seperti air
mengalir. Awan berarak angin berhembus dan langitpun membekas dendam"..."
Pada wajah Leng Tiong-siang kakek yang dingin itu, menitik dua butir airmata.
Alam sekeliling makin senyap dan rawan.
Tiba-tiba terdengarlah Kakek wajah dingin itu bersenandung sebuah lagu yang mengharukan:
Air beriak Sungai mengalir Bertemu laut Langkahpun Hatimu Tetapi siapa yang tahu Hatiku Bagai Hanyut di jauh musim ke kembali remuk guguran dibawa bunga air semi muara asal. tertatih-tatih rendam...... patah...... Tho mengalir...... Nada yang haru, mencurahkan hati yang patah dan tubuh Leng Tiong-siang pun diayun langkah tertatihtatih lenyap dalam kegelapan malam.
Duniapun sunyi senyap"..
******************** "Adik Ing, hutan ini aneh sekali," tiba-tiba terdengar lengking suara seorang nona memecah kesunyian
suasana. dunia-kangouw.blogspot.com
"Ya, memang benar, sudah hampir tiga jam kita tak dapat keluar dari sini dan tak berjumpa dengan seorang
manusiapun juga. Adakah istana Ban-jin-kiong ini memang tiada penghuninya?" seru seorang nona lain.
Ternyata kedua nona itu adalah Hun-ing dan Cu-ing. Setengah jam setelah Leng Tiong-siang pergi barulah
keduanya dapat terbuka jalan darahnya.
Walaupun sudah mendengar janji dari kepala Ban-jin-kiong akan membebaskan Siau Lo-seng tetapi kedua
nona itu tetap cemas. Mereka menuju ke bagian belakang gunung dan masuk ke hutan itu.
"Adik Ing, rasanya hutan ini memang diatur menurut susunan barisan yang aneh," kata Hun-ing pula, "tetapi
segala macam barisan kita sudah pernah masuk mengapa yang ini tak dapat keluar. Rasanya rumah gubuk
itu mempunyai rahasia. Mari kita periksa kesana."
"Aku sudah masuk ke situ," sahut Cu-ing. "kecuali setumpuk rumput kering, di situ tak terdapat lain-lain
barang lagi." "Tetapi aku hendak memeriksanya," kata Hun-ing.
Dan kedua nona itupun terus ayunkan tubuh lari menyusup ke dalam hutan. Tak lama tampaklah sebuah
rumah gubuk yang hampir roboh.
"Hutan di empat penjuru yang mengelilingi pondok itu jelas diatur seperti susunan barisan Su-giong-ngoheng-tin. Tetapi yang sebelah sana sungguh aneh sekali. Walaupun kita menyusup menurut susunan
barisan Thay-kek, Su-giong-ngo-heng, Kiu-kiong-pat-kwa dan Jit-jing-pak-tou, tetap tak dapat keluar," kata
Hun-ing. "Tak usah menghiraukannya," kata Cu-ing, "hayo kita beristirahat sebentar dalam gubuk itu."
"Hai, waktu engkau pergi tadi, bukankah pintu gubuk itu engkau buka" Mengapa sekarang tertutup sendiri?"
tiba-tiba Hun-ing berseru heran.
Cu-ing pun melonjak kaget.
"Benar, waktu aku keluar, pintu itu memang kubuka tetapi mengapa sekarang tertutup lagi?" kata Cu-ing,
"jelas pintu itu tak mungkin dapat menutup sendiri. Apakah di dalam gubuk itu terdapat orangnya?"
"Hayo, kita 1ihat ke sana," kata Cu-ing.
"Jangan gegabah bertindak," cegah Hun-ing.
"Takut apa" Kalau ada orangnya, lebih baik. Kita seret dia keluar."
"Ah, adik Ing, mengapa engkau masih suka mengumbar nafsu?"
"Tetapi kita tak bisa hanya menunggu di sini saja?" bantah Cu-ing.
"Baiklah," akhirnya Hun-ing mengalah, "aku yang masuk dan engkau jaga di luar."
"Tidak," seru Cu-ing. "lebih baik aku saja yang masuk."
Diam-diam Hun-ing tertawa dan menganggap Cu-ing itu masih berhati kekanak-kanakan.
"Baiklah, engkau ikut di belakangku tetapi jangan sembarangan bergerak."
Demikian kedua nona itu segera ayunkan langkah menuju ke pondok, tertutup rapat dan tak kedengaran
suara apa-apa. "Hai, apakah di dalam ada orang?" teriak Hun-ing seraya mempersiapkan pedang. Tetapi sampai diulang
beberapa kali, tetap tiada jawaban.
Rupanya Cu-ing tak sabar lagi. Mendorong pintu ia terus menerjang masuk.
Ternyata pintu memang tidak dikancing sehingga sekali dorong, terbuka.
Hun-ing terkejut dan cepat-cepat memberi peringatan: "Hati-hati, adik Ing." Iapun segera ikut masuk.
Dalam pondok itu ternyata penuh dengan sarang labah dan debu. Daun jendela sudah rusak. Keadaan itu
memberi kesan bahwa memang sudah lama pondok tersebut tak didiami orang. Suasana yang suram dan
sepi membuat bulu roma Cu-ing meremang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba terdengar suara bercuit-cuit. Cu-ing menjerit kaget dan mundur tiga langkah, memeluk Hun-ing.
Ternyata pada waktu Hun-ing masuk telah mengejutkan seekor tikus. Tikus ketakutan dan mencicit lari ke
ujung pondok. "Ah, hanya seekor tikus, mengapa engkau ketakutan setengah mati?" Hun-ing tertawa.
"Apa?" teriak Cu-ing, "kurang ajar, tikus itu tentu kubunuh."
"Sudahlah adik Ing, jangan garang-garang. Apa tidak ingat tadi?" Hun-ing menertawakan.
"Apa" Aku tidak takut!" merah muka Cu-ing lalu melangkah masuk ke sebelah dalam.
"Tunggu!" seru Hun-ing, "apakah engkau tak heran kalau di sini terdapat tikus?"
Cu-ing seorang dari yang cerdas. Segera dapat menangkap maksud pertanyaan Hun-ing.
"Benar, cici Hun," serunya tersadar, "di sekitar tempat ini tiada terdapat rumah orang dan pondok ini sudah
lama kosong. Tak ada sedikitpun makanan di sini. Tetapi mengapa kawanan tikus itu tinggal di sini" Apakah
masih ada tempat rahasia lain?"
Kedua nona itu mulai memeriksa ujung pondok yang gelap.
"Adik Ing, lihatlah," tiba-tiba Hun-ing berbisik, "bukankah daun pintu itu agak aneh?"
Sesaat Cu-ing memandang seksama, iapun merasa heran. Sebuah daun pintu yang tingginya dua meter,
saat itu tampak bersih tiada debunya. Dan ketika pertama masuk ke situ, ia tak sempat melihat daun pintu
itu. "Benar, cici Hun," kata Cu-ing, "rupanya daun pintu itu telah dipegang orang."
Cu-ing segera songsongkan ujung pedang mencongkel daun pintu, "brak?"" daun pintu itupun terbuka.
Suaranya menambah keseraman suasana rumah pondok itu.
Dengan lintangkan pedang melindungi dada, Hun-ing melongok ke dalam ruang. Dalam keremangan, ia
melihat sebuah tangga batu yang menuju ke bawah. Ah, ternyata sebuah tangga batu dari suatu ruangan di
bawah tanah. Teganglah perasaan Hun-ing.
"Adik Ing," serunya, "ternyata rumah pondok itu mempunyai ruang di bawah tanah. Penghuni rumah ini tentu
seorang yang menyangsikan."
"Apa lagi!" gerutu Cu-ing, "karena tempat ini berada dalam lingkungan istana Ban-jin-kiong, sudah tentu
orang-orangnya jahat. Kalau tidak masakan mereka akan membuat tempat yang begini menyeramkan."
Tanpa disengaja ucapan Cu-ing itu telah membuat muka Hun-ing merah. Karena bukankah ia juga menyaru
menjadi Mo-seng-li yang serba misterius gerak geriknya"
"Ya, memang bukan orang baik semua," serunya dengan menyeringai.
Cu-ing tak memikirkan hal itu lagi. Dan memang ia tak bermaksud hendak menyindir Hun-ing.
"Cici Hun, lekaslah cari obor dan mari kita masuk," kata dara itu.
Hun-ing menjemput sebatang dahan kayu dan segenggam rumput kering lalu menyalakan korek api dan
menyulutnya. Demikianlah kedua nona itu dengan tangan kiri mencekal obor dan tangan kanan memegang pedang,
pelahan-lahan mulai menuruni tangga batu ke bawah.
"Aku akan turun dulu," kata Cu-ing terus loncat melayang ke bawah.
Hun-ing terpaksa menyusul.
Begitu tiba di tanah dengan langkah lebar Cu-ing terus menuju ke sebelah dalam dan Hun-ing bergegas
menyusulnya. Tiba-tiba hidung mereka terlanda serangkum hawa busuk dan serempak pada saat itu Cu-ing pun menjerit
kaget dan menyurut mundur.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing songsongkan obor ke muka dan mementang mata. Astaga?" ternyata dalam ruang itu terdapat
belasan peti mati. Walaupun bernyali besar tetapi mau tak mau, Hun-ing menggigil juga hatinya. Sampai beberapa saat baru
ia dapat bicara. "Apakah artinya itu?" katanya, "hayo, kita periksa."
Cu-ing tegakkan semangat lalu menghampiri sebuah peti mati: "Cici Hun, bagaimana kalau kubuka peti mati
ini?" "Boleh tetapi harus hati-hati," kata Hun-ing.
Cu-ing menurut. Setelah mundur dua langkah dan lintangkan sebelah tangan melindungi dada, ia mulai
mencongkel peti mati itu dengan pedang.
"Tunggu," tiba-tiba Hun-ing berseru.
Cu-ing hentikan gerakannya dan mundur tiga langkah.
Hun-ing mengangkat obor tinggi-tinggi dan memandang ke sekeliling ruang itu. Empat sudut ruang itu
tergantung dua buah lentera. Yang lain-lain sudah padam. Hun-ing lalu menyalakan sebuah lentera di
sebelah kanan. Demikianpun Cu-ing. Kedua nona itu sibuk menyulut lentera-lentera yang berjumlah
delapan buah. Kini setelah terang barulah dapat diketahui bahwa peti mati yang berada dalam ruang itu berjumlah
delapanbelas buah. "Kita buka sebuah peti mati dan lihat apa isinya," kata Cu-ing pula.
"Hati-hatilah," kata Hun-ing seraya kerahkan tenaga dalam untuk bersiap-siap.
Cu-ing tertawa hambar, "Rasanya isi peti itu tentu hanya sesosok tulang kerangka. Perlu apa kita takut?"
"Dunia persilatan itu penuh dengan kelicikan dan tipu muslihat. Baiklah engkau berhati-hati," Hun-ing
memberi peringatan. Hun-ing mulai ayunkan langkah menghampiri peti mati tadi. Ia tusukkan ujung pedang pada tutup peti lalu
sekali mecongkel, terus menyurut mundur.
"Brak"..."
Tutup peti terlempar jatuh ke lantai dan dari dalam peti itu muncullah sebuah benda.
Cu-ing menjerit dan Hun-ing pun terkejut bukan kepalang.
Tanpa melihat jelas apa sesungguhnya benda itu Cu-ing terus taburkan pedangnya. Dalam pada itu Hun-ing
pun lepaskan sebuah hantaman.
"Bum, bum?"."
Pedang tepat menyusup ke dada benda itu dan karena pukulan Hun-ing, pedang makin menembus sampai
ke punggung. Tetapi ketika kedua nona itu memandang dengan seksama, menjeritlah Cu-ing: "Hai, hanya sesosok mayat.
Tetapi mengapa mayat itu dapat duduk?"
Memang yang dikatakan Cu-ing itu benar. Benda yang muncul dari dalam peti mati, sesosok mayat yang
terbungkus kain putih. Hun-ing yang bermata tajam cepat dapat mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Ternyata mayat itu diikat
dengan seutas tali halus pada tutup peti. Begitu tutup peti terbuka, mayat itupun ikut terangkat naik.
"O, kiranya diikat dengan tali," setelah mengetahui, Cu-ing pun berseru.
Dengan siapkan tenaga dalam, Hun-ing maju menghampiri untuk memeriksa keadaan peti mati itu.
Ia mencabut pedang dan diserahkan kepada Cu-ing seraya memberi pesan, lain kali jangan sembarangan
melontarkan senjatamu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Apakah artinya benda itu?" tanya Cu-ing.
09.45. Mayat Hidup "Hanya sesosok mayat yang dibalut dengan kain putih. Sudah tentu dia tak menderita luka apa-apa," jawab
Hun-ing. "Kita buka lagi sebuah peti lain," kata Cu-ing. Ia segera menghampiri ke sebuah peti lagi dan mendorong
tutupnya. "Brak?"" tutup peti terbuka tetapi mayat tetap rebah dan tidak duduk seperti yang tadi.
Cu-ing mengusulkan untuk membuka semua peti mati. Hun-ing setuju. Keduanya lalu bersama membuka
peti mati. Ketika Hun-ing membuka sebuah peti mati, di dalamnya terdapat sesosok mayat yang dibalut dengan
sutera putih. "Hai, peti mati ini juga terdapat mayat yang dibalut sutera putih," seru Cu-ing ketika membuka sebuah peti
mati. Dengan cepat kedua nona itu telah membuka duabelas buah peti mati yang berisi duabelas mayat dibalut
sutera putih. Yang belum dibuka tinggal enam buah.
"Astaga!" tiba-tiba Cu-ing menjerit kaget.
"Mengapa?" tegur Hun-ing,
"Lihatlah kemari, mayat ini mati atau masih hidup?"
Ketika Hun-ing menghampiri ia melihat dalam peti mati itu berisi seorang lelaki bertubuh besar, muka
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
brewok dan mengenakan pakaian pertapa. Dia rebah membujur dalam peti dengan kedua mata merentang
lebar seperti orang hidup.
Dalam sebuah ruang di bawah tanah, belasan peti mati berisi mayat itu sudah cukup menyeramkan. Dan
apabila ditambah pula dengan seorang mayat yang menyerupai orang masih hidup, sudah tentu Cu-ing
menjerit kaget. "Cici Hun, kenalkan engkau pada orang ini?" tanya Cu-ing.
Sejenak Hun-ing memandang dengan teliti dan berobahlah wajahnya: "Ketua partai persilatan Ceng-siapay, Pedang seribu bayangan Lim Tay-som!"
"Ya, benar, memang dia," kata Cu-ing.
"Ah, sungguh tak terduga bahwa ketua partai Ceng-sia-pay yang menghilang sejak enambelas tahun yang
lalu ternyata mayatnya berada di sini," kata Hun-ing pula.
Tiba-tiba Cu-ing gelengkan kepala: "Aneh sekali!"
"Tentu saja mengherankan," sambut Hun-ing.
"Bukan," sahut Cu-ing pula. "bukan soal itu."
"Soal apa?" "Menilik tutup peti penuh dengan debu, jelas peti itu tentu sudah beberapa tahun berada di sini. Mengapa
mayat di dalamnya tidak rusak?" kata Cu-ing.
Memandang pula keadaan mayat dalam sebuah peti mati, berkatalah Hun-ing: "Mungkin mayat itu telah
direndam dengan obat, sehingga?""
Tiba-tiba Hun-ing menjerit kaget dan hentikan kata-katanya.
"Mengapa?" seru Cu-ing ikut terkejut.
"Mayat ini adalah mumi!" teriak Hun-ing.
"Mumi?" dunia-kangouw.blogspot.com
"Ya, mayat-mayat ini jelas mumi ciptaan orang Ban-jin-kiong," seru Hun-ing pula, "masih ingatkah engkau
akan keduabelas mayat hidup yang menyerang dengan tiba-tiba ke markas perkumpulan kita tempo hari"
Wanita Im-kian-li, Raja Akhirat dan Siau toako sendiri waktu kehilangan kesadaran pikirannya. Bukankah
mereka memiliki kekuatan yang luar biasa hebatnya" Jelas kesemuanya itu adalah ciptaan dari ketua Banjin-kiong yang rupanya paham akan ilmu membuat mayat hidup!"
"Kalau begitu mayat-mayat yang berada dalam peti mati ini terdiri dari tokoh-tokoh persilatan ternama. Lalu
bagaimana tindakan kita?" kata Cu-ing.
"Bagaimana kalau kita buka sama sekali beberapa peti mati yang masih tertutup itu?" tanya Hun-ing.
Nona itu bahkan terus menghampiri sebuah peti dan terus mendorong tutupnya.
"Hai......!" kedua nona itu menjerit dan menyurut dua langkah. Wajah keduanya berobah pucat.
Beberapa saat kemudian barulah Cu-ing bertanya: "Cici Hun, apakah yang kita lihat itu suatu kenyataan?"
Kiranya yang rebah dalam peti mati itu adalah sebuah mayat yang dikenal mereka. Ya, tak lain adalah Han
Ceng-jiang, ketua perguruan Thay-kek-bun.
"Adik Ing, pada waktu Han ciang-bun meninggal, bukankah engkau sudah memeriksa bahwa dia benarbenar sudah putus nyawanya?" seru Hun-ing
Belum Cu-ing menyahut tiba-tiba terdengar suara jawaban: "Pada waktu itu bukankah Han Ceng-jiang
sudah mati dan mayatnya pun sudah dingin.
Cu-ing dan Hun-ing seperti disambar kilat kejutnya. Suara itu jelas dari Siau Lo-seng. Cepat kedua nona itu
berpaling. Disamping sebuah peti mati lebih kurang tujuh tombak jauhnya, tampak tegak seorang pemuda...... Siau Loseng.
"Siau toako, engkau?" engkau di sini!" seru Cu-ing.
Siau Lo-seng menghela napas pelahan, sahutnya: "Harap kalian lekas kemari untuk memeriksa siapakah
orang ini?" Kedua nona itu terkejut dan cepat-cepat maju menghampiri.
"Ayah......" serentak menjeritlah Cu-ing ketika mengetahui bahwa mayat yang berada dalam peti mati itu
bukan lain adalah ayahnya, Pit penyanggah langit Nyo Jong-ho.
Airmata Cu-ing berderai-derai membanjir turun.
"Siau toako, apakah kesadaran ingatanmu tidak lenyap?" tanya Hun-ing.
"Saat ini aku sedang memikirkan sebuah persoalan yang aneh," jawab Lo-seng.
"Lalu bagaimana pendapat Siau toako mengenai mayat Han ciang-bun dan paman Nyo ini," tanya Hun-ing
pula. Hun-ing memang cerdas. Setelah melihat jenazah kedua tokoh tua itu, serentak ia sudah membayangkan
suatu dugaan. Dan jelas pada waktu itu jenazah kedua tokoh sakti itu telah dibawa anak buah Naga Hijau pulang ke Lokyang. Tetapi mengapa tahu-tahu berada di tempat ini"
Mendapat pertanyaan Hun-ing, Siau Lo-seng merenung sejenak lalu berkata: "Apakah mayat yang kita lihat
tempo hari bukan mayat dari Nyo bengcu dan Han ciang-bun?"
"Tak mungkin," seru Cu-ing. "Siau toako, masakan kita semua tak kenal pada mendiang ayahku dan Han
ciang-bun?" "Memang hal itu tak mungkin," seru Hun-ing.
"Peristiwa dalam dunia, sebelum terjadi memang sering dianggap mustahil oleh orang," kata Siau Lo-seng.
"tetapi bagaimana kita harus berkata kalau kenyataannya seperti yang kita hadapi saat ini?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekali lagi Cu-ing memandang mayat dalam peti mati itu. Ingin ia memeriksa dengan jelas apakah mayat itu
benar mayat ayahnya atau bukan.
Dapatkah dalam waktu yang begitu singkat, orang-orang Ban-jin-kiong mengambil jenazah ayahnya dari
Lok-yang dibawa kemari" Dan mengapa jenazah ayahnya sudah meninggal beberapa bulan itu masih tetap
tak rusak" Cu-ing yang biasanya cerdik, kali ini benar-benar bingung.
"Siau toako bagaimana sesungguhnya hal ini?" akhirnya ia berseru kepada Lo-seng.
Siau Lo-seng menghela napas kecil.
"Menurut dugaanku, jauh beberapa bulan yang lalu paman Nyo dan Han ciang-bun telah dibunuh oleh
orang Ban-jin-kiong lalu dibawa ke mari hendak dijadikan mumi?""
"Lalu mayat siapakah yang kita lihat dalam pondok dahulu itu?" tanya Cu-ing.
"Sebuah mayat palsu!" seru Lo-seng.
"Aku tak percaya di dunia terdapat orang yang mampu menciptakan seorang manusia yang mirip satu sama
lain." "Justeru hal itulah yang membuat aku merasa kagum kepada Ban-jin-kiong," kata Siau Lo-seng.
Akhirnya berkatalah Hun-ing, "Apa yang dikemukakan Siau toako itu memang benar. Sekarang tinggal
bagaimana langkah kita terhadap mayat-mayat yang belum ditempa jadi mumi ini."
"Sekali pihak Ban-jin-kiong dapat menjadikan tokoh-tokoh itu sebagai mumi, dunia persilatan pasti akan
kiamat?"" kata Lo-seng.
Tanpa berkata apa-apa, Cu-ing terus membacok mayat ayahnya itu.
"Adik Ing, jangan......" teriak Hun-ing. Tetapi sudah tak keburu lagi. Untunglah saat itu Lo-seng cepat
melentikkan jari tangan kirinya untuk menyiak tangan Cu-ing. Pedang nona itupun menyasar ke samping
dan menusuk pada dasar peti mati.
"Siau toako...... mengapa engkau menghalangi aku......" teriak Cu-ing seraya bercucuran airmata.
Cu-ing mengakui kebenaran ucapan Siau Lo-seng tadi. Ia tahu bagaimana peribadi ayahnya sewaktu masih
hidup. Maka ia tak rela ayahnya akan dijadikan mumi yang ganas. Lebih baik ia lenyapkan saja.
Rupanya Hun-ing dan Siau Lo-seng tahu isi hati Cu-ing.
"Adik Ing, maksud kita bukan hendak menghancurkan mayat-mayat ini," kata Siau Lo-seng.
"Walaupun ayahku tidak mati tetapi kalau dijadikan seorang mumi, bukankah tak beda seperti orang mati?"
seru Cu-ing, "kalau sekarang kita hancurkan mayat-mayat ini, bukan saja arwah mereka akan dapat
mengasoh dengan tenteram di alam baka. Pun terhadap dunia persilatan akan terbebas dari musibah
besar. Dan mayat-mayat itupun tak sampai melakukan dosa berdarah yang hebat."
Diam-diam Hun-ing memuji alasan yang dikemukakan dara itu.
"Adik Ing," kata Hun-ing sesaat kemudian, "Harap jangan gelisah. Kalau Siau toako mencegahmu, dia tentu
sudah mempunyai cara yang baik."
"Kecuali dapat menghidupkan mereka, tiada langkah yang lebih baik daripada menghancurkan mumi-mumi
itu agar jangan sampai menimbulkan malapetaka di dunia persilatan," kata Cu-ing.
"Benar," sahut Siau Lo-seng, "kalau tak dapat menghidupkan memang lebih baik kita hancurkan saja."
"Siau toako," seru Hun-ing, "dapatkah engkau mengembalikan kesadaran pikiran mereka?"
Siau Lo-seng tertawa hambar dan gelengkan kepala: "Kalau bisa, mengapa aku tak mau melakukan?"
"Kalau begitu, lebih baik kita hancurkan saja," kata Cu-ing terus hendak menusuk pada peti mati.
"Nanti dulu," seru Hun-ing. "walaupun Siau toako tak dapat tetapi kurasa di dunia ini masih terdapat
seseorang yang mampu menyembuhkan mereka."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Siapa" Apakah ketua Ban-jin-kiong?" teriak Cu-ing tegang.
"Walaupun ketua Ban-jin-kiong mampu tetapi jelas dia tentu tak mau," kata Hun-ing, hm...... yang
kumaksudkan yalah orang yang meniup seruling itu.
Siau Lo-seng mengangguk dan diam-diam memuji kecerdikan nona itu.
"Hai, betul," seru Cu-ing gembira, "mengapa aku sampai lupa kepada orang itu. Tetapi dalam dunia yang
begini luas kemanakah kita akan mencarinya?"
Kemudian Hun-ing berkata kepada Lo-seng:
"Siau toako, tak perlu kita hiraukan orang itu dulu," katanya, "yang penting apakah suara seruling itu dapat
menyadarkan pikiran mayat-mayat ini?"
"Adik Hun," jawab Siau Lo-seng, "engkau benar. Suara seruling itu belum tentu dapat menyembuhkan
ingatan seorang mumi. Tetapi tiada jeleknya untuk dicoba karena hal itu merupakan satu-satunya harapan
kita." Hun-ing menghela napas panjang.
"Kalau begitu, nasib dunia persilatan kelak hanya tergantung dari sebatang seruling ajaib itu, ah, locianpwe,
kalau engkau memang golongan pihak kita, mengapa tak mau unjuk diri untuk menolong......"
Siau Lo-seng dan Cu-ing termangu heran melihat Hun-ing berkata seorang diri itu.
"Ah, suara seruling...... adik Hun, bagaimana engkau tahu?" tiba Siau Lo-seng seperti menyadari sesuatu.
Ternyata saat itu ia memang mendengar sealun suara seruling yang lembut, antara terdengar dan hilang.
Ia tak tahu bilakah suara seruling itu berbunyi. Dan apakah ia dapat sadar pikirannya karena seruling itu
terus menerus berbunyi sejak tadi.
"Siau toako, apakah engkau mendengar suara seruling?" tanya Hun-ing.
"Masih," Siau Lo-seng mengangguk, "adakah kalian tidak mendengar apa-apa?"
"Aku tidak mendengar apa-apa," kata Cu-ing heran lalu berpaling kepada Hun-ing, "Cici Hun apakah engkau
mendengar?" Hun-ing gelengkan kepala.
"Suara seruling dewa itu, kecuali Siau toako, kita tentu tak dapat menangkapnya," katanya.
"Adik Hun, mengapa engkau tahu kalau seruling itu masih berbunyi?" Siau Lo-seng mengulang
pertanyaannya. "Ah, bukan karena aku pandai menduga atau dapat mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. Tetapi aku
hanya menduga-duga saja dan ternyata dapat menduga benar."
"Cici Hun, engkau dapat menduga benar apa saja?" tanya Cu-ing.
"Kuduga peniup seruling itu tentu terus menerus mengikuti Siau toako. Dia hendak mengobati ingatan Siau
toako dengan seruling itu," kata Hun-ing.
"Hai, mengapa kita tak dapat menemukan orang itu?" Cu-ing terkejut.
"Peniup seruling itu sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu meringankan tubuh."
"Apakah saat ini dia masih berada di sekitar Siau toako?" tanya Cu-ing pula.
"Suara seruling tetap mengiang, jelas dia tentu tak meninggalkan Siau toako."
Cu-ing membelalakkan mata. Ia heran tetapi tak berani tak percaya karena ia tahu babwa Hun-ing seorang
nona yang cerdas sekali. Hun-ing menghela napas, ujarnya: "Bermula aku heran mengapa Siau toako dapat sembuh ingatannya. Aku
masih tak percaya tanpa suara seruling kesadaran Siau toako sudah pulih kembali. Maka ketika Siau toako
muncul, aku selalu memperhatikan kerut wajahnya. Kulihat tiap kali wajahnya mengerut tegang seperti ada
sesuatu yang menguasai pikirannya. Oleh karena itu aku segera menduga kalau Suara seruling itu masih
dunia-kangouw.blogspot.com
mengiang di telinganya secara rahasia. Dan ternyata Siau toako memang mengakui kalau masih
mendengar suara seruling itu sehingga makin memperkuat dugaanku."
"Adik Hun, engkau sungguh cerdas," Siau Lo-seng memuji.
"Tetapi cici Hun," Cu-ing menyelutuk, "bagaimana engkau tahu kalau orang itu tengah meniup seruling
untuk mengobati Siau toako?"
"Kalau tidak untuk mengobati Siau toako, perlu apa seruling itu berbunyi berkepanjangan?" kata Hun-ing.
"Kalau begitu orang itu tentu kenal pada Siau toako?" seru Cu-ing.
Seketika berobahlah kerut wajah Hun-ing serunya: "Siau toako, mari kita cari orang itu!"
"Eh, bukankah cici mengatakan orang itu berada di sekitar tempat ini?" tanya Cu-ing.
Hun-ing tertawa: "Adik Ing, mengapa engkau makin lama makin tolol" Masakan di dunia ini terdapat ilmu
menghilang" Yang kumaksudkan suara serulingnya yang selalu dekat pada Siau toako."
"Apakah engkau tahu tempat bersembunyinya peniup seruling itu?" tanya Siau Lo-seng.
Hun-ing mengangguk: "Adik Ing mengatakan peniup seruling itu tentu sudah kenal pada Siau toako karena
itu aku minta waktu untuk merenungkan orang itu dan mungkin dapat kita ketahui tempat
persembunyiannya." "Dimana?" tanya Siau Lo-seng.
"Di sini bukan tempat yang sesuai untuk bicara. Ingat pohon-pohon bisa tumbuh telinga. Mari kita-lekas
berangkat saja," kata Hun-ing.
"Cici Hun, bagaimana dengan mayat-mayat ini?" tanya Cu-ing.
"Untuk sementara waktu, biarkan saja," jawab Hun-ing, "mereka belum sempat ditempa maka belum
berbahaya. Sekarang yang penting, kita cari peniup seruling itu untuk mengobati penyakit Siau toako."
"Ah, hampir saja lupa," tiba-tiba Siau Lo-seng berkata, "bagaimana kalian bisa datang kemari
"Ketika tiba-tiba Siau toako lenyap, kami kira Siau toako telah diculik orang Ban-jin-kiong, maka aku
bersama cici Hun segera menyusup ke dalam hutan dan akhirnya dapat menemukan rumah pondok ini,"
menuturkan Cu-ing. "Ah, mereka begitu memperhatikan diriku. Bagaimana kelak aku dapat membalas budi kebaikan mereka?"
diam-diam Siau Lo-seng mengeluh dalam hati.
"Siau toako, bagaimana tiba-tiba engkau muncul di sini?" tiba-tiba Hun-ing bertanya.
"Pada saat pikiranku limbung, aku gentayangan ke mana-mana. Ada kalanya otakku dapat berpikir
adakalanya tidak. Aku tak tahu apa yang kulakukan."
"Kalau begitu, ingatanmu itu hanya tergantung pada suara seruling itu?" tanya Hun-ing.
Siau Lo-seng mengangguk. "Benar, pada saat kutinggalkan kalian itu mungkin suara seruling itu berhenti untuk beberapa waktu."
Tiba-tiba Cu-ing melengking: "Tempat ini sebuah tempat penting dalam istana Ban-jin kiong. Mengapa tiada
dijaga sama sekali?"
Hun-ing tertawa. 10.46. Panggilan Suara Seruling Aneh
Keadaan yang sunyi senyap di pos yang penting dari istana Ban-jin-kiong, menyebabkan Cu-ing dan Huning heran.
"Karena Siau toako sudah datang lebih dulu ke sini, kemungkinan para penjaga tentu sudah dibasmi,"
akhirnya Hun-ing menarik kesimpulan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar itu Siau Lo-seng terkejut. Diam-diam ia kagum atas kecerdasan Hun-ing yang dapat menduga
sesuatu dengan tepat. "Ya, memang mereka telah kuhancurkan semua, kita boleh keluar dengan aman," akhirnya Lo-seng
memberi keterangan. Selekas keluar dari rumah pondok aneh itu, Lo-seng dan kedua gadis berada dalam lingkungan hutan lebat.
"Tampaknya hutan itu sunyi senyap tetapi sesungguhnya merupakan sebuah barisan yang hebat. Kita harus
hati-hati," kata Hun-ing.
"Tahukah kalian dimana sesungguhnya letak istana Ban-jin-kiong itu?" tiba-tiba Lo-seng bertanya.
"Memang mengherankan sekali," kata Cu-ing, "tempat ini sudah termasuk lingkungan Ban-jin-kiong, tetapi
mengapa tak tampak sebuah bangunan rumah" Apakah istana Ban-jin-kiong itu masih jauh dari sini?"
Kebalikannya Hun-ing memberi jawaban, "Dalam dunia persilatan tiada seorangpun yang tahu dimana letak
istana Ban-jin-kiong itu. Dengan begitu jelas, istana itu merupakan sebuah tempat yang sangat rahasia.
Tetapi menurut dugaanku, Ban-jin-kiong memang berada di sekeliling tempat ini. Bukankah demikian, Siau
toako?" Lo-seng tersenyum: "Benar, istana Ban-jin-kiong memang dibangun dalam hutan itu."
"Ah, tak percaya," Cu-ing gelengkan kepala, "kecuali istana itu dibangun di bawah tanah, barulah kita tak
dapat melihatnya." "Bagus, adik Ing," seru Hun-ing, "engkau memang cerdik benar."
"Apa?" teriak Cu-ing terkejut, "benarkah istana itu berada di bawah tanah?"
"Sst, ada seseorang akan keluar," bisik Lo-seng tiba-tiba, "jangan bicara."
Dengan cepat pemuda itupun sudah menyelinap ke bawah sebatang pohon. Kedua nona itupun mengikuti.
Saat itu terdengar derap langkah orang memberisik di tengah hutan. Sampai beberapa saat baru suara
derap kaki itu berhenti. Tetapi anehnya dalam hutan tetap tak tampak sesuatu.
Baru setelah berselang lama sekali, terdengar suara orang berseru:
"Apakah keempatpuluh tujuh To-su sudah hadir semua?"
To-su di sini Algojo. Tetapi hal itu tidak mengejutkan Lo-seng bertiga. Mereka lebih terkejut ketika
mendengar suara orang itu yang nadanya mereka kenal sebagai Li Giok-hou.
"Laporan kepada Sau-kiongcu bahwa keempatpuluh tujuh to-su sudah hadir lengkap," seru seseorang
dengan nada lantang. "Jangan bergerak sembarangan. Hutan penuh dengan perangkap rahasia. Lebih baik kita tunggu saja di
sini," Lo-seng cepat menggunakan ilmu Menyusup suara untuk memberi peringatan kepada kedua nona.
Kembali terdengar Giok-hou berseru bengis.
"Ang Piu, selama ini Kiong-cu (kepala istana) selalu menghargai engkau. Bahkan keempatpuluh tujuh orang
yang tergabung dalam regu Algojo telah dipercayakan kepada pimpinanmu. Bertahun-tahun lamanya,
engkau memang telah melakukan kewajiban dengan bagus. Tetapi beberapa hari yang lalu ketika istana ini
diterobos Bu Beng Lojin, boleh dikata seluruh anggauta algojo telah mendapat hukuman, kecuali engkau
seorang. Dengan demikian engkau tentu tahu betapa besar rasa sayang Kiong-cu kepadamu."
"Sau-kiongcu," seru Ang Piu dengan nada parau," sekalipun tubuh Ang Piu hancur lebur, tetap belum dapat
menghimpaskan budi yang dilimpahkan Kiong-cu kepada diriku."
Mendengar pengakuan orang yang bernama Ang Piu itu, diam-diam Lo-seng kerutkan dahi. Ia heran dan
tak mengerti apakah yang menyebabkan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi banyak yang tunduk
dan patuh kepada istana Ban-jin-kiong.
"Tetapi hari ini Kiong-cu memerintahkan supaya engkau bersama keempatpuluh tujuh algojo itu mendengar
perintahku. Ingin kuketahui, apakah engkau juga akan menumpahkan kepercayaan sepenuh yang engkau
berikan kepada Kiong-cu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ang Piu dan segenap anak buah barisan Algojo akan setia sampai mati kepada Sau-kiongcu!" seru kepala
barisan Algojo "Bagus, bagus! Li Giok-ho pun takkan mengecewakan harapanmu?"" berhenti sebentar, ia melanjutkan
pula, "Ang Piu, tahukah engkau apa maksudku mengumpulkan kalian di tempat ini?"
"Mohon Sau-kiongcu suka menjelaskan."
Tiba-tiba suara Li Giok-hou berobah sarat, serunya:
"Kiongcu menitahkan supaya kita membunuh seorang yang dianggap sebagai musuh berbahaya dari istana
Ban-jin-kiong. Asal orang itu sudah mati, Ban-jin-kiong pasti segera menjadi penguasa dunia persilatan.
Maka keberangkatan kita kali ini, harus berhasil tak boleh gagal....... Apabila gagal, engkau, aku dan seluruh
barisan Algojo tentu akan dihukum berat oleh Kiong-cu. Mengingat tugas yang kita lakukan kali ini, amat
berat sekali maka perlulah kujelaskan kepada kalian semua."
Mendengar itu kembali Siau Lo-seng bertanya dalam hati: "Siapakah yang hendak mereka bunuh itu?"
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hari sudah malam mari kita berangkat," seru Giok-hou pula.
Segera terdengar derap orang berbaris menuju ke arah barat hutan.
"Cici Hun, siapakah yang hendak mereka bunuh?" tanya Cu-ing sesaat kemudian.
"Bagaimana aku tahu?" sahut Hun-ing.
"Apakah bukan Siau toako?" masih Cu-ing menegas.
"Sudah tentu mereka juga ingin membunuh Siau toako, kalau mampu," sahut Hun-ing. Tiba-tiba nona itu
berobah tegang, serunya: "Cepat kita kejar, mereka hendak membunuh peniup seruling itu!"
Hun-ing cepat mendahului lari keluar.
Lo-seng mencekal tangan Cu-ing, mengejar Hun-ing, serunya pelahan: "Adik Hun, aku saja yang berjalan di
muka. Hutan ini merupakan sebuah barisan yang berbahaya."
Dengan menggandeng kedua nona, Lo-seng gunakan ilmu lari cepat menerobos hutan. Tak berapa lama
mereka tiba di sebuah lereng gunung.
Saat itu matahari sudah hampir terbenam. Diam-diam Hun-ing menghela napas. Kiranya sudah sehari
penuh ia bersama Cu-ing terkurung dalam hutan. Apabila tidak bertemu Siau Lo-seng, tentu mereka berdua
tak dapat keluar. "Adik Hun," tanya Lo-seng kepada Hun-ing, "dimanakah peniup seruling itu" Bagaimana engkau menduga
kalau Li Giok-hou dan barisan Algojo itu hendak membunuhnya?"
"Benar, memang yang hendak mereka bunuh tentulah si peniup seruling," jawab Hun-ing, "dalam kolong
dunia hanya irama seruling itu mampu menyadarkan kembali orang yang telah kehilangan kesadaran
pikirannya. Dengan begitu jelas menjadi momok dari pihak Ban-jin-kiong yang mempunyai ilmu Pelenyap
kesadaran......" Lo-seng dapat menerima penjelasan Hun-ing
"Oleh karena ketua Ban-jin-kiong itu hendak membunuh si peniup seruling maka jelas pihak Ban-jin-kiong
terang tahu akan rahasia Siau toako kehilangan kesadaran pikiran," Hun-ing menambahkan pula.
"Kalau begitu kita harus lekas-lekas membantu peniup seruling itu," Lo-seng terkejut.
"Bila dugaanku tak salah, peniup seruling itu tentu berada di sekitar kuil tua sebelah luar kota Lok-yang,
Karena disitulah Siau toako pertama kali berjumpa dan mendengar suara serulingnya," kata Hun-ing.
Dalam pada bicara itu mereka bertigapun sudah berada di luar kota Lok-yang dan terus menuju ke arah
timur. Hun-ing memang seorang yang cerdas otaknya. Ia dapat menganalisa sesuatu dengan tepat dan atas
dasar-dasar yang beralasan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Jauh di atas cakrawala yang raya, seperti berkumandang suara seruling beralun dalam irama yang lembut
dan syahdu. Sehingga dapat mengetuk dan menggetar urat-urat hati yang lembut. Menghapus hati yang
jahat menuju ke jalan yang benar.
Tiba-tiba suara kumandang seruling itu lenyap bersama hembusan angin.
"Siau toako, suara seruling lenyap," teriak seorang dara baju hijau yang tengah berlari bersama seorang
pemuda yang cakap. Mereka bertiga hentikan larinya.
"Tidak adik Ing," sahut pemuda yang tak lain adalah Siau Lo-seng, "seruling itu masih berbunyi dan seperti
tengah memanggil aku."
"Benarkah itu?" seru gadis cantik baju hitam atau Hun-ing dengan gembira, "kalau begitu dugaanku tak
salah. Peniup seruling itu berada dalam kuil tua. Hayo, kita lekas ke sana!"
Tetapi Siau Lo-seng malah meragu. Mengapa peniup seruling itu hendak memanggilnya" Siapakah orang
itu" "Siau toako, mengapa engkau diam saja?" melihat Lo-seng tegak terlongong-longong, Cu-ing menegurnya.
Lo-seng menghela napas: "Adik Hun, dapatkah engkau memberi penjelasan, apa sebab peniup seruling
hendak membantu aku?"
Hun-ing tertawa kecil. "Itu sederhana sekali," katanya, "kemungkinan dia tidak rela hati melihat seorang pemuda yang berbakat
seperti engkau harus menderita nasib yang begitu mengenaskan. Dan kemungkinan kedua, mungkin dan
hendak memperalat engkau."
Sian Lo-seng kerutkan dahi.
"Kalau begitu, masih suatu pertanyaan apakah dia itu akan membawa bahagia atau mencelakai diriku.
Bukankah begitu?" tanya Lo-seng.
Hun-ing mengangguk, katanya pula: "Tetapi betapapun halnya, kita tetap harus menemuinya."
"Baik," sahut Lo-seng, "sudah tiga kali suara seruling itu memanggil aku. Mari kita ke sana."
Mereka segera lari menuju ke kuil tua.
"Orang itu mungkin bersembunyi di atas loteng ruang belakang dari kuil tua itu," kata Hun-ing dengan
berbisik. Kiranya waktu mencari mayat Lo-seng yang hilang tempo hari, dia pernah masuk dan menyelidiki keadaan
kuil itu. Hanya bagian loteng saja yang belum dimasukinya. Maka ia segera menduga bahwa peniup
seruling itu tentu bersembunyi di atas loteng.
"Benar, memang suara seruling itu berhembus dari atas loteng," kata Lo-seng terus ayunkan tubuh ke
udara, berulang menggeliat ke atas dan akhirnya dapat mencapai lankan (pagar besi) dari loteng atas.
Tetapi begitu kakinya menginjak lankan, tubuhnyapun gemetar dan setelah mulut mendesus ngeri, ia terus
rubuh ke dalam ruang. "Siau toako," Hun-ing dan Cu-ing serempak menjerit kaget dan terus enjot tubuhnya melayang ke atas
lankan. Untuk menjaga serangan gelap dari orang yang berada dalam ruang loteng, lebih dulu Hun-ing melontarkan
sebuah hantaman. Sementara Cu-ing melayang ke samping tubuh Siau Lo-seng.
Tetapi alangkah kejut Hun-ing ketika merasakan pukulannya seperti terbenam dalam lautan kapas. Ia tahu
bahwa pukulannya itu telah dihapus oleh tenaga dalam sakti dari orang yang belum diketahuinya itu. Dan
untuk menjaga orang itu hendak balas menyerang maka buru-buru Hun-ing pun menghindar ke sisi lankan.
Tetapi ternyata dalam ruang loteng itu tak tampak barang seorangpun juga.
"Cici Hun, urat nadi jantung Siau toako sudah putus...... dia sudah meninggal......" teriak Cu-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing terkejut sekali dan cepat menghampiri. Kaki dan tangan Siau Lo-seng memang sudah kaku.
Mulutnya mengumur darah, wajah pucat lesi. Buru-buru Hun-ing memeriksa pergelangan tangannya.
Ternyata urat pergelangan tangan pemuda itu sudah berhenti berdenyut. Hun-ing lekatkan telinga pada
dada Lo-seng untuk mendengarkan debar jantungnya.
Pada saat itu tiba-tiba dari ruang loteng terdengar suara orang menghela napas rawan.
"Ah tak kira kalau ilmu kepandaiannya begitu tinggi. Hampir saja aku putus asa," tiba-tiba terdengar suara
orang tua berkata. Hun-ing cepat berbangkit dan menghadap ke arah suara orang itu: "Locianpwe, apakah dia tak kurang
suatu apa?" Suara parau dari seorang tua yang berada dalam ruang loteng itu kembali berkata: "Tolol, masakan aku
akan mencelakai dirinya" Dia hanya pingsan karena terkena ilmu Siang-goan-sin-im (suara yang dapat
melukai tenaga dalam). Bawalah dia masuk!"
"Locianpwe, apakah engkau bukan orang yang meniup seruling itu?" tanya Hun-ing pula.
Dalam pada bertanya itu, Hun-ing dan Cu-ing mencurahkan pandang mata ke arah orang tua itu. Di muka
sebuah lonceng besar yang tersandar pada dinding, tampak menggunduk sesosok bayangan hitam.
Orang tua itu tertawa meloroh: "He, benar memang akulah yang meniup seruling itu."
Dengan pelahan Hun-ing segera melangkah masuk dan memberi hormat kepada orang tua itu.
"Wanpwe Ui Hun-ing menghaturkan hormat kepada Cianpwe," serunya. Tetapi ketika memandang kepada
orang tua itu, seketika tergetarlah hatinya dan tanpa terasa ia menyurut mundur tiga langkah.
"Engkau....... engkau Bu Beng Lojin ini?" Kim-pou-sat......." serunya gemetar.
Saat itu Cu-ing sudah mengangkat tubuh Lo-seng dan hendak dibawa masuk. Tetapi demi mendengar
teriakan Hun-ing, iapun menghentikan langkahnya.
Orang tua itu sendiripun tampaknya juga terkejut, serunya: "Apa" Kim-pou-sat" Apakah kalian telah
bertemu dengan Kim-pou-sat?"
Rambut orang tua itu luar biasa panjangnya hingga sampai menutup kedua bahunya. Tubuh dan mukanya
pun penuh ditumbuhi rambut yang lebat. Hun-ing segera menyangkanya sebagai Bu Beng Lojin yang
bergelar Kim-pou-sat (Dewa Emas) karena amat mirip sekali.
Setelah menenangkan hatinya, Hun-ing memandang orang tua itu pula dengan seksama Dilihatnya tangan
kiri orang tua tengah memegang sebatang seruling besi yang berwarna kehitam-hitaman.
"Ih, kalau menurut kata-katanya, dia bukan Kim-pou-sat. Entah benar entah tidak. Dan akupun tahu
bagaimana maksudnya, Tetapi dia amat sakti. Dengan mudah sekali dia dapat merubuhkan Siau toako......"
Hun-ing menimang-nimang dalam hati.
"Ya, kami memang pernah bertemu dengan Kim-pou-sat," akhirnya Hun-ing menyahut, "adakah cianpwe
kenal kepadanya?" Tampak tubuh orang tua aneh itu menggigil. Seberapa saat kemudian baru ia berkata lagi: "Ya, aku kenal
dengannya." Saat itu Cu-ing membawa masuk tubuh Siau Lo-seng.
"Locianpwee," seru Hun-ing seraya mencurahkan pandang mata ke arah tubuh Lo-seng, "apakah
locianpwce kenal kepadanya?"
Orang tua aneh itu tertawa pelahan.
10.47. Orang Tua Cacad Peniup Seruling
"Berpaling dan pandanglah ke belakang agar engkau segera tahu mengapa dengan kumandang irama
seruling, aku mengejar jejak Siau Lo-seng," katanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Locianpwe tentu mendengar bahwa Siau Lo Seng; memiliki ilmu untuk menciptakan mayat hidup. Dan
locianpwe tentu tak sampai hati melihat seorang pemuda yang begitu berbakat bagus sampai mati secara
mengenaskan. Maka dengan ilmu Cian-li-siang-seng (Kumandang seruling seribu lie) lalu membantunya
untuk memulihkan kesadaran......"
Habis berkata nona itupun berpaling ke belakang dan ternganga mulutnya karena terkejut sekali.
"Sejak kedatanganmu bersama Siau Lo-seng di kuil tua ini. Apapun yang terjadi dan siapapun yang datang,
telah kuketahui semua. Sampai akhirnya pemimpin Ban-jin-kiong melukai Siau Lo-seng, Kakek wajah dingin
Leng Tiong-siang muncul dan pergi lagi?", kemudian Siau Lo-seng minum persediaan pil beracunnya lalu
memberi pesan kepadamu. Semua telah kudengar......."
Sambil berkata orang tua aneh itu tiba-tiba menarik seutas tali. Jendela di sebelah barat pun segera
terbuka. "Lihatlah jendela itu," katanya pula, "di belakang jendela itu merupakan ruang belakang di mana engkau
bersama Pak-wan Taysu tengah menjaga mayat Siau Lo-seng. Semua gerak gerik kalian berdua selama
enam hari menjaga mayat Siau Lo-seng, dapat kulihat melalui jendela itu?"."
Apa yang dikatakan orang tua itu memang diakui Hun-ing kebenarannya. Diam-diam ia merasa heran
mengapa kuil tua yang tampaknya tak terurus, ternyata mempunyai bangunan yang aneh. Setiap jendela
dari ruang loteng itu tentu menghadap ke arah setiap ruang dari kuil bagian bawah. Dengan bersembunyi di
atas loteng, sudah tentu orang tua aneh itu dapat melihat siapa saja yang datang ke kuil.
Orang tua peniup seruling itu melanjutkan pula: "Sudah tentu pada hari keenam ketika Kakek wajah dingin
Leng Tiong-siang mencuri mayat Siau Lo-seng, akupun dapat mengetahuinya...... coba, engkau lihat
jendela di sebelah timur itu?""
Habis berkata dia terus menarik tali dan terbukalah jendela bagian sebelah timur.
Jendela itu menghadap ke arah lereng gunung di belakang kuil. Dari jendela itu dapat memandang jelas
tumbuh-tumbuhan seluas tiga lie pada lereng gunung.
Menunjuk ke arah luar jendela, berkatalah orang tua aneh itu: "Leng Tiong-siang, setelah mencuri mayat
Siau Lo-seng lalu berusaha meletakkan tubuh pemuda itu di gerumbul rumput lalu berusaha untuk
membangunkan. Siau Lo-seng memang bangun tetapi dengan buas ia terus menyerang Leng Tiongsiang......"
"Locianpwe," tiba-tiba Hun-ing bertanya, "mengapa engkau tahu bahwa Siau Lo-seng sedang
mempersiapkan diri untuk menjadi sebuah mumi?"
"Dari pembicaraanmu dengan Pek Wan Taysu tentu saja dapat kuketahui tentang soal itu," sahut orang tua
aneh. "Jika demikian tentulah locianpwe juga tahu cara untuk menciptakan mumi itu," kata Hun-ing.
Orang tua aneh itu merenung sejenak.
"Walaupun aku tak tahu cara membuat mayat hidup," kata orang tua aneh itu, "tetapi aku mengerti akan
sumber-sumber dari aliran ilmu hitam yang terdapat dalam dunia persilatan. Ban-jin-kiong dan Lembah
Kumandang serta Siau Lo-seng mendapatkan ilmu hitam itu dari sebuah kitab pusaka Lian-hun-cinkeng......"
Orang tua aneh itu berhenti sejenak untuk merenungkan sesuatu. Memandang ke atas wuwungan, ia
menghela napas panjang. "Kitab, pusaka Lian-hun-cin-keng itu," katanya seorang diri. "pada empatpuluh tahun yang lalu telah dicuri
oleh Pencuri sakti Ban Li-hong dari gedung Kiu-thian-sian-hu. Sejak itu entah berapa banyak kaum
persilatan yang nekad dan kalap mengadu jiwa uutuk memperebutkan kitab itu, ah?""
Orang tua itu menghela napas lagi.
"Hai, apakah kitab itu berasal dari gedung Kiu-thian-sian-hu?" teriak Cu-ing.
Orang tua peniup seruling sejenak memandang Cu-ing lalu berkata: "Kalian tahu nama Kiu-thian-sian-hu
tetapi tentu tak tahu partai persilatan apakah itu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Benar, locianpwe," sambut Hun-ing, "memang sedikit sekali yang kami ketahui tentang peristiwa aneh
dalam dunia persilatan. Apabila tak keberatan, sukalah locianpwe memberi petunjuk kepada kami."
Tiba-tiba orang tua aneh itu tertawa gelak-gelak.
"Banyak sekali hal-hal dalam dunia persilatan yang kalian belum pernah mendengar. Untuk
menceritakannya, belum dalam tujuh hari tujuh malam dapat selesai. Karena kita masih dapat berkumpul
lama, maka lain kali akan kubawakan cerita itu kepada kalian," katanya.
"Sekarang ini," katanya pula. "lebih dulu akan kujelaskan bagaimana caraku hendak menolong Siau Loseng. Agar kalian jangan curiga dan mengira aku bermaksud tak baik terhadap anak itu."
Merah wajah Hun-ing karena isi hatinya dibongkar.
"Terima kasih atas dampratan locianpwe," katanya dengan hati terbuka. "memang tadi aku mencurigai
locianpwe. Tetapi kini setelah mengadakan pembicaraan singkat dengan locianpwe, kutahu locianpwe ini
seorang budiman yang memperhatikan nasib dunia persilatan."
"Engkau tak salah," jawab orang tua peniup seruling. "memang dunia persilatan penuh dengan keculasan
dan keganasan. Jangan mudah percaya pada setiap orang persilatan?""
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan,
"Pada saat Siau Lo-seng bertempur dengan Leng Tiong-siang, kuperhatikan sinar mata anak muda itu
sudah berobah, menandakan bahwa pikirannya sudah lenyap dibius racun. Kalau dulunya dia seorang jahat
dan kejam, dia tentu akan mengganas kepada siapa saja yang dijumpainya......"
"Karena tak sampai hati melihat dia akan mengganas dalam dunia persilatan maka locianpwe lalu
menggunakan Irama Seruling sakti untuk mengembalikan kesadaran pikiran Siau Lo-seng," Hun-ing
menghela napas. "Telah kukatakan," kata orang tua aneh itu. "bahwa sesungguhnya Siau Lo-seng itu seorang pemuda yang
berhati luhur dan berbudi. Kalau dia sampai menjadi seorang momok ganas, tentu harus disayangkan. Dan
kuyakin, apabila aku berhasil menolongnya, kelak dia tentu akan menjadi bintang penolong bagi dunia
persilatan. Karena itu aku tak sayang kehilangan tenaga dalam untuk menghamburkan irama Cian-li-sian-im
(suara dewa dari seribu lie). Sebuah irama sakti dari ilmu nyanyian Kiu-thian-sian-yok (Nyanyian dewa di
nirwana), untuk mengikuti dan menyembuhkan syarafnya yang telah rusak. Sesungguhnya aku sendiripun
belum yakin kalau dapat menolongnya. Tetapi rupanya nasib seseorang itu sudah digariskan oleh Thian.
Siau Lo-seng benar-benar dapat mengikuti suara irama serulingku dan mencari ke sini. Aku sendiripun
heran." "Locianpwe, mengapa locianpwe tak mau langsung mengejar jejaknya saja?" tanya Hun-ing.
Orang tua itu tertawa hambar.
"Kalau andaikata aku dapat tinggalkan tempat ini, alangkah senangnya hatiku......"
"Apa" Locianpwe......."
Orang tua aneh itu segera menyingkap rambutnya yang terurai ke tanah dan......
"Ih......" serentak kedua nona itupun menjerit tertahan.
Kiranya sepasang kaki sampai sebatas paha orang tua itu telah hilang. Dia seorang manusia yang hanya
mempunyai gembung tubuh. Diam-diam Hun-ing menimang: "Dia seorang sakti. Walaupun tiada mempunyai kaki tetapi masih dapat
berjalan dengan kedua tangannya."
Rupanya orang tua aneh itu dapat mengetahui hati Hun-ing, katanya: "Mungkin kalian tentu tak tahu bahwa
urat nadi kedua tanganku ini juga telah diputuskan orang. Aku hanya mampu mengangkat benda yang
ringan-ringan saja. Tetapi tak mampu menggunakan tanganku untuk berjalan."
"Apa" Kedua tangan locianpwe juga lumpuh?" teriak Cu-ing terkejut.
Jawab orang tua aneh itu: "Kalau aku masih dapat berjalan seperti orang biasa, tentulah suasana dunia
persilatan takkan begini gelisah, ah?""
Nada elahan napas orang tua itu penuh dengan tumpahkan rasa sesal dan kesedihan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Hun-ing menimang: "Kedua kaki dan tangannya lumpuh. Lalu siapakah yang melayani makan
dan pakaiannya. Dia tentu sudah lama sekali menetap di tempat ini......"
Kalau Hun-ing hanya membatin, tidaklah demikian dengan Cu-ing. Dara itu masih bersifat kekanakkanakan. Apa yang dipikirkan terus saja dikatakan.
"Locianpwe," katanya. "tadi engkau mengatakan tak pernah pergi dari sini. Tetapi kuil ini berada di tempat
belantara yang tak pernah didatangi orang. Lalu siapakah yang menyediakan makanan untukmu?""
"Kecuali kalian bertiga, siapa lagikah yang tahu aku berada di sini?" tiba-tiba orang tua itu terkejut.
"Tidak ada lagi, locianpwe?" jawab Hun-ing
Tetapi walaupun mulut mengatakan begitu. dalam hati diam-diam Hun-ing meragu: Hm, tadi Li Giok-hou
telah menggerakkan anak buah barisan Algojo. Apakah mereka tidak akan datang kemari mencari orang tua
peniup seruling ini?"
Tiba-tiba orang tua itu tertawa dingin dan berkata seorang diri, "Walaupun seluruh kaum persilatan di dunia
hendak mencari aku si orang tua, tetapi hari ini baru kalian yang dapat kemari. Aku tak takut lagi kepada
kalian......" "Cici Hun, musuh datang!" tiba-tiba Cu-ing berseru terkejut.
Hun-ing cepat berpaling. Tampak di ruang muka muncul sesosok bayangan putih dan secepat sambaran
kilat, bayangan itupun sudah menyelinap masuk ke bawah loteng. Dan terus enjot tubuh melayang ke atas
lankan loteng. Hun-ing terperanjat sekali. Ilmu meringankan tubuh dari orang itu luar biasa hebatnya. Karena gugup, ia
melengking dan menghantam.
"Hun-ing jangan turun tangan," tiba-tiba orang tua aneh itu berseru.
Hun-ing buru-buru menarik pulang tangannya.
Dalam pada itu bayangan putih tadipun sudah menerobos ke atas loteng. Dan ketika memandang dengan
seksama, Hun-ing dan Cu-ing menjerit kaget.
Ternyata benda putih itu bukan manusia melainkan seekor anjing bulu putih. Badannya kecil langsing,
sepasang matanya merah emas dan bulunya lebat panjang sekali. Seekor anjing yang cantik rupanya.
Mulut anjing itu menggondol sebuah rantang bambu, berisi nasi dan masakan yang lezat, paha ayam serta
buah-buahan segar. Segera orang tua kaki buntung itu ulurkan tangan mengelus-elus kepala anjing putih.
"Sembilan tahun lamanya aku tinggal di sini dengan selamat tak kurang suatu apa. Adalah berkat bantuan
anjing putih ini. Dialah yang setiap hari mengirim makanan untukku."
Anjing putih kecil saat itu mendekam pada dada orang tua buntung dan menggonggong pelahan.
"Salju, engkau tadi terkejut, ya, kutahu," kata orang tua buntung itu tertawa, "sekarang keluarlah meronda di
sekeliling kuil ini. Bila ada orang yang masuk dalam lingkungan satu lie sekeliling kuil ini, lekaslah engkau
memberi pertandaan."
Agaknya anjing putih yang diberi nama Salju itu mengerti bahasa orang. Segera ia menyurut mundur dan
sekali ayun, ia melayang turun ke bawah loteng. Pada lain kejap sudah hilang dari pandang mata.
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hun-ing dan Cu-ing tak henti-hentinya merasa heran dan kagum.
"Sungguh tak kira kalau di dunia terdapat bangsa anjing yang mengerti bahasa manusia," kata mereka.
Sesaat kemudian orang tua buntung segera memerintahkan Cu-ing untuk membawa Siau Lo-seng
kepadanya. "Sebelum musuh datang, aku hendak berusaha untuk mengembalikan kesadarannya. Karena kalau
dibiarkan berlarut-larut terlalu lama, mungkin akan mengganggu urat syarafnya," kata orang tua buntung.
Cu-ing cepat-cepat meletakkan tubuh Siau Lo-seng dihadapan orang tua itu. Dan Hun-ing pun menyatakan
akan melakukan apa saja yang hendak diperintahkan orang tua itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Baik," kata orang tua buntung itu. "aku hendak gunakan ilmu suara sakti Sam-goan-sin-im untuk
mengembalikan kesadaran pikirannya yang lenyap. Dalam pengobatan itu, akan memakan waktu cukup
lama. Selama itu apabila musuh datang tentu akan mengganggu ketenangan pikiranku. Maka kuminta
kalian menjaga tempat ini jangan sampai musuh dapat masuk."
"Menilik kepandaianku yang rendah, aku kuatir tak mampu menghadapi musuh-musuh yang tangguh," kata
Hun-ing sejujurnya, "entah harus memakan waktu berapa lamakah locianpwe mengobati Siau toako nanti?"
"Setengah jam saja sudah cukup?""
Belum selesai berkata, tiba-tiba dari jauh terdengar anjing putih tadi menggonggong keras.
"Lekas kalian bantu si Salju. Rupanya musuh yang datang kali ini lihay sekali," orang tua buntung terkejut.
Hun-ing dan Cu-ing cepat loncat keluar dari jendela dan melayang turun ke bawah loteng. Dan sesaat
kedua nona itu pergi, ketiga jendela ruang loteng yang terbuka tadi pun serempak menutup sendiri.
Terdengar pula orang tua buntung itu mengantarkan suara perintahnya kepada Hun-ing dan Cu-ing,
"Sebelum jendela tengah dari loteng ini terbuka, apabila terdapat musuh yang bagaimanapun saktinya
hendak naik ke atas loteng, kalian jangan sekali-kali mengejar ke loteng. Karena di dalam dan luar ruang
loteng ini, aku telah mempersiapkan alat-alat rahasia yang pasti akan mampu menahan musuh. Kalau
kalian ikut naik ke loteng, tentu akan menderita akibat yang berbahaya."
Hun-ing dan Cu-ing terkejut. Tanpa memberi jawaban, kedua nona itu terus lari menuju ke arah selatan.
Di tengah suasana malam yang sunyi, tiba-tiba terdengar suara gonggong anjing yang melolong ngeri.
"Anjing putih tentu menderita luka......" kata Hun-ing.
Tiba-tiba terdengar suara suitan panjang dan sesaat kemudian sesosok bayangan pun secepat kilat
melayang tiba. "Ciong Pek-to!" teriak Hun-ing sesaat melihat siapa pendatang itu.
Orang itu rupanya terkejut juga. Tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak.
"O, Kukira siapa" Ternyata engkau Mo-seng-li...... ha, ha, ha......"
Ditingkah sinar rembulan, tampak orang itu memiliki bentuk kepala besar, muka tertutup brewok lebat tetapi
kumisnya dipelihara tipis. Dia tak lain adalah Ciong Pek-to, murid murtad dari perguruan Siau-lim-si yang
telah bernaung di bawah Jin-kian Pah-cu, pemimpin Lembah Kumandang. Ciong Pek-to diangkat menjadi
salah seorang dari Su-tay-thian-ong atau Empat Raja dari Lembah Kumandang. Di antara keempat Thianong yang di bawahi Jin Kian Pah-cu. Ciong Pek-to lah yang paling tinggi kepandaiannya.
Sejak Siau Lo-seng menolong Hun-ing di luar kota Lok-yang yang lalu, selama beberapa bulan ini, orangorang Lembah Kumandang tak menampakkan kegiatan lagi.
Bahwa dalam saat dan tempat seperti itu, tiba-tiba Ciong Pek-to muncul, diam-diam Hun-ing gentar hatinya.
"Mau apakah dia datang kemari" Ah, kiranya tak mungkin dia hendak mencari orang tua peniup seruling
itu," pikirnya. Cepat Hun-ing menghapus kerisauan hatinya dengan tertawa melengking:
"Kedatangan Tong-seng-thian-ong kemari tentulah mengemban titah Jin Kian Pah-cu untuk menangkap
aku, bukan?" serunya.
Ciong Pek-to tertawa dingin.
"Budak setan, nyalimu sungguh besar sekali karena berani menghianati Pah-cu ha, ha".., jika mau,
semudah orang membalikkan tangan saja aku dapat menangkapmu." sahut Ciong Pek-to. "tetapi aku
menyayangkan bakatmu yang luar biasa hebatnya itu. Jika engkau sampai dihukum mati oleh Pah-cu,
bukankah sayang sekali" Maka kunasehatkan, lebih baik engkau insyaf dan mau ikut pulang ke Lembah
Kumandang. Aku berjanji akan memohonkan pengampunan untuk dirimu."
Pertanyaan Hun-ing tadi hanyalah untuk menyelidiki maksud kedatangan Ciong Pek-to. Setelah mendengar
keterangan Ciong Pek-to, tahulah sudah nona itu bahwa Ciong Pek-to bukan bermaksud mencari orang tua
buntung peniup seruling. dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing tertawa mengikik, serunya,
"Ciong Pek-to! Kuingat engkau adalah seorang tokoh Lembah Kumandang yang paling ganas sendiri.
Mengapa kali ini engkau begitu murah hati, hi. hi,...... kalau dugaanku tak salah, engkau tentu bermaksud
hendak memperalat aku, bukan?"
Belum Ciong Pek-to menjawab, terdengar gelombang suara anjing menggonggong. Mendengar itu serentak
wajah Ciong Pek-to pun berobah tegang. Tetapi sesaat kemudian tenang kembali dan berpaling ke arah
Hun-ing seraya tertawa gelak-gelak.
"Budak setan," serunya, "aku sungguh kagum atas kepandaianmu yang seperti setan itu. Benar, aku
memang hendak menggunakan tenagamu. Dengan begitu engkaupun dapat menebus dosa dengan
pahala." Mendengar lolong anjing putih, diam-diam legahlah hati Hun-ing. Anjing itu tentu tak terluka. Tetapi tak
diketahuinya, mengapa anjing itu menggonggong. Siapakah yang datang"
Ciong Pek-to memperhatikan gerak gerik si nona yang berpaling ke barat, arah suara anjing putih
menggonggong. Tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak,
"Budak setan, jika engkau masih tetap tak mau sadar, kelak engkau tentu menyesal. Aku tak punya tempo
bicara panjang lebar dengan engkau. Terserah kepadamu, mau menerima nasehatku atau tidak!"
Habis berkata Ciong Pek-to terus berputar tubuh dan melangkah pergi.
10.48. Barisan Tat-mo-coat-ci-tin Siau-lim-pay
"Hai, hendak kemana engkau!" bentak Cu-ing seraya lintangkan pedangnya menghadang.
Ciong Pek-to tertawa hina.
"Apakah harimau yang datang ke Lok-yang akan digigit oleh kawanan anjing kecil" Masakan budak-budak
perempuan macam kalian berani menghadang aku?" serunya. Tiba-tiba ia ayunkan tangannya
menghantam. Cu-ing pernah bertempur dengan Ciong Pek-to dan tahu bagaimana kelihayan orang itu. Ia tak berani
menyambut melainkan menghindar ke samping lalu tusukkan ujung pedangnya ke lambung orang.
Saat itu suara anjing putih makin mendekat. Dan Hun-ing pun mendengar derap langkah orang dari arah
barat. Suaranya yang gemuruh menandakan kalau berjumlah banyak.
Rupanya Ciong Pek-to tak bernafsu untuk bertempur. Ia loncat mundur sampai tiga tombak jauhnya.
"Murid penghianat itu berada di sebelah muka, hayo, kita kejar!" tiba-tiba terdengar suara orang berseru
sarat. Di bawah sinar rembulan remang. Hun-ing seperti melihat beberapa sosok bayangan orang berlarian
mendatangi. Anjing putih si Salju pun tetap mengejar dan menggonggong.
"Anjing itu sungguh menjengkelkan sekali. Lebih baik dibunuh," tiba-tiba terdengar salah seorang berseru.
"Goan Ti sutit jangan melukai anjing itu!" kembali terdengar lain orang membentak.
Mendengar itu girang Hun-ing bukan buatan. Serentak ia berseru gembira: "Bukankah yang datang itu Pek
Wan locianpwe?" Selepas seruannya, dari empat penjuru berhamburan muncul delapan paderi berjubah kelabu.
Menyusul tampak seorang paderi jubah putih diiring oleh beberapa paderi. Paderi jubah putih itu bukan lain
adalah Pek Wan Taysu. "Omitohud!" seru Pek Wan Taysu demi melihat kedua nona, "Ui Pang-cu, Nyo Than-cu, bagaimana
kabarnya?" Saat itu delapanpuluh paderi Siau-lim-si tampak memenuhi sekeliling tempat itu. Mereka tegak dengan
pejamkan mata. dunia-kangouw.blogspot.com
"Pek Wan Taysu, sungguh tepat sekali kedatangan taysu. Mengapa taysu cepat sekali sudah kembali dari
gereja Siau-lim-si?" kata Hun-ing.
"Di tengah jalan kebetulan aku bertemu dengan Pek Hui sute yang tengah membawa anak murid dari Tatmo-tong menuju ke Lok-yang. Segera kuberi keterangan tentang keadaan kota Lok-yang yang penuh
bahaya itu. Lalu kuajak mereka untuk mencari nona berdua dan kebetulan bertemu dengan Ciong Pek-to si
murid penghianat itu."
Selesai mendengar keterangan dari Pek Wan Taysu, Hun-ing lalu berseru kepada anjing putih, "Salju, di sini
aman, lekas engkau kembali ke tempat penjagaanmu. Kalau musuh datang, berilah pertandaan!"
Begitu mendengar perintah, anjing putih itu terus loncat pergi.
"Ui Pang-cu, darimana engkau memperoleh anjing yang begitu cerdik?" tanya Pek Wan Taysu karena heran
anjing itu mengerti bahasa manusia.
"Bukan anjingku," Hun-ing tertawa.
"Menilik kelihayan anjing itu, pemiliknya tentu seorang sakti," kata Pek Wan pula.
Hun-ing tahu kalau paderi itu ingin menanyakan pengalaman si nona selama ini. Tetapi di depan sekian
banyak anak murid Siau-lim-si, Hun-ing tak mau menceritakan tentang diri orang tua buntung.
"Entah bagaimana tindakan taysu hendak menindak murid penghianat Ciong Pek-to itu?" Cepat ia alihkan
pembicaraan. Pek Wan Taysu menyadari bahwa saat itu berpuluh anak murid Siau-lim-si tengah menunggu perintahnya
untuk menangkap Ciong Pek-to. Maka iapun segera melangkah ke dalam kepungan menghampiri Ciong
Pek-to. "Ciong Pek-to, saat ini engkau sudah terkepung oleh barisan anak murid dari bagian Tat-mo-tong,
Delapanpuluh satu jurus ilmu sakti dari Tat-mo, merupakan penunduk dari ilmu Hwat-lun-it-coan. Apakah
engkau masih berani membangkang?"
Seruan Pek Wan Taysu itu dilontarkan dengan nada yang tegas dan bengis, penuh wibawa.
Ciong Pek-to menengadahkan kepala tertawa,
"Pek Wan suheng," serunya lantang. "jika puluhan tahun yang lalu engkau mengucapkan begitu, mungkin
aku sudah rontok nyaliku menghadapi kedelapanpuluh satu barisan Tat-mo-tin. Tetapi ha, ha...... sekarang
Ciong Pek-to tak gentar!"
Hun-ing dan Cu-ing terkejut. Kiranya kawanan paderi yang muncul itu adalah anak buah barisan Tat-mocoat-ci-tin dari perguruan Siau-lim-si yang termasyhur. Walaupun dalam dunia persilatan dewasa itu para
paderi Siau-lim-si dianggap golongan yang amat lemah kepandaiannya tetapi barisan mereka masih tetap
menjagoi di kalangan persilatan.
Saat itu ke delapanpuluh satu paderi Siau-lim-si tegak berdiri dengan mengangkat sebelah tangan untuk
melindungi dada. Mereka pejamkan mata, pusatkan perhatian. mengikuti semua gerak gerik yang terjadi di
tempat itu. "Apa yang dikatakan oleh kaum persilatan bahwa gereja Siau-lim-si itu merupakan sumber dari ilmu silat di
dunia persilatan kiranya memang bukan cerita kosong......" diam-diam Hun-ing menimang dalam hati.
"Ciong Pek-to?"!" tiba-tiba Pek Wan Taysu berseru sarat.
"Ya, mengapa?" sahut Ciong Pek-to.
"Ciong sute, apakah engkau benar-benar tak mau insyaf?" seru Pek Wan Taysu dengan nada rawan,
"engkau pasti sudah tahu bahwa sekali barisan Tat-mo-coat-ci-tin bergerak, kedahsyatannya dapat
merobohkan sebuah gunung. Andai sekalipun mendiang guru besar Tat Mo Cousu hidup, kiranya tak
mudah bagi beliau untuk keluar dari kepungan barisan itu."
Hun-ing dan Cu-ing heran mengapa Pek Wan masih begitu sayang kepada Ciong Pek-to. Memang kedua
nona itu tak tahu bahwa sesungguhnya Pek Wan dan Ciong Pek-to itu dahulu suheng dan sute. Hubungan
mereka berdua amat baik sekali. Maka sekalipun Ciong Pek-to telah tersesat ke jalan gelap, namun
terdapat setitik cinta kasih persaudaraan dalam hati Pek Wan Taysu. Dan itu pula sebabnya mengapa Pek
Wan Taysu masih berusaha untuk menasehati bekas sutenya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ciong Pek-to tertawa congkak.
"Pek Wan Taysu, silahkan engkau menggerakkan barisanmu itu. Ciong Pek-to memang ingin tahu sampai
dimanakah kedahsyatan dari barisan Tat-mo-coat-ci-tin yang termashur di kolong dunia itu!"
Benarkah Ciong Pek-to tak gentar" Ah, sesungguhnya dalam hati kecil, dia juga gemetar terhadap barisan
itu. Sebagai bekas murid Siau-lim-si, ia tahu jelas akan kelihayan barisan itu.
Iapun tahu pula bahwa dalam beberapa puluh tahun mengapa perguruan Siau-lim-si tak pernah
memunculkan tokoh yang menonjol, bukan karena sumber ilmu kepandaian perguruan itu lemah. Tetapi
Memburu Iblis 1 Abarat Karya Clive Barker Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 4