Pendekar Seratus Hari 8
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong Bagian 8
karena kesalahan dari para guru-guru perguruan itu yang setiap kali tentu menyimpan sebuah dua buah
ilmu sakti. Dengan demikian, apabila seorang ketua merahasiakan atau tidak mengajarkan, dua buah ilmu
silat sakti, maka apabila berlangsung pergantian sampai beberapa ketua, tentulah makin lama makin
berkurang ilmu kepandaian dari perguruan Siau-lim-si itu.
Barisan Tat-mo-coat-ci-tin dan Lo-han-tin, merupakan barisan Siau-lim-si yang paling tangguh, Sejak Siaulim-si berdiri ratusan tahun yang lalu, barisan itu tak pernah mengalami perobahan ataupun dikurangi jurusjurusnya sehingga masih tetap utuh. Dengan begitu barisan itu masih tetap merupakan barisan yang paling
ditakuti oleh seluruh kaum persilatan. Dan sejak ratusan tahun, belum pernah terdapat tokoh yang mampu
membobolkan barisan itu. Mendengar Ciong Pek-to tetap membangkang bahkan bersikap congkak, dengan sedih Pek Wan Taysu
berseru: "Murid hianat! Sudah berpuluh tahun yang lalu, Siau-lim-si telah mencap engkau sebagai murid
hianat yang tak dapat diberi ampun. Setiap murid Siau-lim-si, boleh membunuhmu tanpa urusan. Akupun
juga tak dapat membuat pengecualian......"
Sehabis menumpahkan kemarahan, Pek Wan Taysu mulai memberi perintah kepada anak buah Tat-motong supaya segera mengepung dan menghancurkan Ciong Pek-to.
Ke delapanpuluh satu paderi anak buah barisan sakti itu segera membuka mata dan mencurah pandang ke
arah Ciong Pek-to. Pada saat barisan itu bendak bergerak tiba-tiba terdengar anjing putih Salju menggonggong keras. Arahnya
tak jauh dari kuil. "Pek Wan Taysu, hentikan dulu barisan Tat-mo-coat-ci-tin!" cepat-cepat Hun-ing berseru.
"Mengapa?" Pek Wan Taysu terkejut.
"Musuh telah tiba di ruang kuil?" dapat membahayakan jiwa Siau toako?"" seru Cu ing terus lari.
"Sekarang tiada waktu untuk memberi penjelasan...... Harap taysu suka menghentikan barisan dan ajak
mereka menjaga kuil saja".." habis berkata Hun-ing pun terus berputar tubuh dan lari.
Saat itu anak buah Tat-mo-tong sudah berhamburan mengambil tempat masing-masing. Sedang Ciong
Pek-to tampak tegang. "Anak murid Tat-mo-tong, hentikan gerakan barisan Tat-mo-coat-ci-tin!"
Walaupun heran tetapi anak murid Siau-lim-si itu amat patuh pada perintah. Mereka segera berhenti dan
mundur ke tempat semula. Sekalian anak murid, ikutlah aku ke kuil tua itu," seru Pek Wan Taysu pula, lalu mendahului melangkah.
Kedelapan puluh satu paderi Siau-lim-si itu pun segera membentuk diri dalam tiga kelompok dan mengikuti
di belakang Pek Wan. Yang masih tinggal di tempat itu hanya Ciong Pek-to seorang. Dia heran melihat perobahan itu. Tetapi
secepat itu dia dapat menerka apa yang terjadi. Segera diapun mengikuti rombongan Pek Wan Taysu.
Setiba di muka pintu kuil, Pek Wan Taysu segera melihat bahwa di dalam ruang kuil yang bobrok itu,
tampak sebuah tandu besar. Delapan pengawal baju putih berdiri di kedua samping tandu itu. Sedang
delapan pengawal lain yang mengenakan baju merah, tegak berjajar menghadapi Hun-ing dan Cu-ing.
Kedua nona itu menghunus pedang.
Di belakang kedua nona itu, anjing putih Salju siap menerjang musuh.
Segera Pek Wan Taysu membawa rombongan anak murid masuk ke dalam ruangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demi melihat rombongan Pek Wan muncul, Hun-ing menghela napas longgar.
"Kim-pou-sat," seru Hun-ing. "tengah malam datang ke kuil ini, apakah tujuanmu?"
Mendengar nama Kim-pou-sat seketika berobah cahaya muka Pek Wan Taysu. Serentak ia memandang ke
arah orang yang berada dalam tandu itu. Hampir ia tak percaya bahwa orang berwajah aneh dalam tandu
itu adalah Kim-pou-sat, salah seorang tokoh dari Empat Serangkai yang pernah menggetarkan dunia
persilatan pada empatpuluh tahun yang lampau!
Yang berada dalam tandu itu bukan lain yalah si kakek tua yang menyebut dirinya sebagai Bu Beng Lojin.
"Budak setan," seru Bu Beng Lojin, "siapakah yang mengatakan kepadamu bahwa aku ini Kim-pou-sat?"
Cu-ing tertawa mengikik, serunya: "Kim-pou-sat, sudahlah, tak perlu engkau main sembunyi kepala. Lain
orang mungkin tak tahu engkau siapa, tetapi kami tahu dengan jelas. Tongkatmu Hok-mo-poh-sat-ciang
tempo hari, masih disimpan di tempat guruku."
Mendengar itu terkesiaplah Bu Beng Lojin.
"Siapakah gurumu?" beberapa saat kemudian ia baru menegur.
Belum Cu-ing menyahut, Hun-ing sudah mendahului, "Suhu dari adikku itu yalah salah seorang tokoh dari
Empat Serangkai?". rahib sakti Tay Hui Sin-ni."
Empat Serangkai yang pernah menggetarkan dunia persilatan pada empatpuluh tahun berselang yalah: Ko
Bok Taysu dari Siau-lim-si, Tay Hui Sin-ni dari perguruan Ko-bok-pay, Kim-pou-sat atau Dewa Emas Ang
Siong-pik dan Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang.
"Bagus, bagus," seru Dewa emas Ang Siong-pik serta mendengar keterangan Hun-ing. "kiranya tongkatku
itu telah ditemukan Tay Hui Sin-ni. Itulah sebabnya sampai tiga kali aku kembali ke lembah, tetap tak dapat
menemukan." "Kim-pou-sat," seru Cu-ing pula, "kalau engkau menghendaki tongkatmu, silahkan datang ke tempat
suhuku. Beliau tentu akan mengembalikan kepadamu."
Cu-ing bermaksud hendak mengulur. Karena ia ingat bahwa orang tua buntung tadi memerlukan waktu
setengah jam untuk menyembuhkan luka Siau Lo-seng.
"Sudah tentu aku menghendakinya," Bu Beng Lojin tertawa dingin. "tetapi saat ini aku tak mungkin dapat
engkau kelabuhi." "Locianpwe," cepat Hun-ing berseru, "mengapa engkau bilang begitu" Hm, adikku dengan sejujurnya telah
memberitahu kabar baik mengapa engkau malah salah paham."
"Budak setan," damprat Bu Beng Lojin atau Dewa emas Ang Siong-pik, "setiap hari aku berburu burung
Gan, masakan biji mataku dapat dipatuk burung itu" Cobalah jawab, mengapa engkau menghadang
jalanku?" "Tempat ini sebuah kuil tua yang tak terurus, bukan jalan besar," sahut Hun-ing dengan nada mengejek,
"mengapa engkau datang kemari" Hendak mencari siapakah engkau ini?"
"Hm, kalau tak mau menyingkir, akan kusuruh pengawalku baju merah untuk mengusir engkau!" Bu Beng
Lojin, menggeram. "Kim-pou-sat, jangan menggertak orang," seru Hun-ing, "ruangan kuil ini sudah menjadi milik dari partai
Naga Hijau. Jawablah mengapa tengah malam buta engkau masuk kemari?"
Bu Beng Lojin tak mau berbantah dengan nona itu. Ia segera memberi perintah kepada barisan pengawal:
"Baju Putih, angkatlah aku ke dalam dan suruh Baju Merah membuka jalan."
Dengan cepat ke delapan pengawal Baju Putih itupun mengangkut tandu.
Hun-ing menyadari bahwa pertempuran dahsyat tak dapat dihindari lagi. Jelas Kim-pou-sat Ang Siong-pik
hendak mengganggu orang tua peniup seruling.
Cepat nona itu meminta kepada Pek Wan Taysu: "Pek Wan Taysu, mohon taysu mencegah mereka masuk.
Siau toako sedang menerima pengobatan"..."
dunia-kangouw.blogspot.com
Habis berkata Hun-ing dan Cu-ing segera tebarkan pedangnya menyerang kawanan pengawal Baju merah.
Keduanya telah melancarkan ilmu pedang yang paling diandalkan.
Tetapi kawanan pengawal Baju Merah itu bukanlah tokoh-tokoh biasa. Salah seorang Baju Merah segera
mainkan tombaknya dalam jurus Hun-hun-pang-gwat atau Menyiak awan memetik bulan, untuk menangkis
serangan Hun-ing dan Cu-ing.
Hun-ing lebih lincah ilmu pedangnya. Sekali memutar tangan, pedangnya, menusuk ke kiri menabas ke
kanan. Sekali gus ia menyerang empat anggauta pengawal Baju Merah.
Keempat pengawal Baju Merah terpaksa menangkis dengan tombaknya.
"Budak perempuan hina, matamu sungguh buta," teriak salah seorang pengawal itu seraya luncurkan ujung
tombak menusuk dada si nona.
Hun-ing menyadari bahwa ke delapan pengawal Baju merah itu bukan tokoh biasa. Mereka masing-masing
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka ia tak berani menangkis melainkan menyurut mundur.
Tetapi tombak pengawal Baju Merah itu laksana bayangan tetap mengikutinya. Ujung tombak pun sudah
hampir mengenai dada Hun-ing.
Kejut Hun-ing bukan kepalang. Hendak menghindar sudah tak kuburu lagi. Untunglah pada detik-detik yang
berbahaya itu, serentak terdengar seruan Pek Wan Taysu.
"Ui Pang-cu mundurlah. Biar mereka dilayani anak muridku!"
Ketika memperhatikan, tahulah Hun-ing bahwa saat itu anak buah Tat-mo-tong telah bersiap di seluruh
sudut ruang kuil, mengepung tandu dan ke enambelas pengawalnya.
Diketahui pula oleh Hun-ing bahwa sembilan orang paderi Tat-mo-tong telah berhamburan datang. Salah
seorang yang paling depan sendiri pun menghantam pengawal Baju Merah yang menyerang Hun-ing.
Pengawal baju merah itu terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, tubuhnya bergetar dan tombaknya
pun hampir terlepas. Untunglah ke sembilan paderi Tat-mo-tong tak mau menyerang serempak. Kalau tidak, tentulah pengawal
baju merah itu tentu menderita luka dalam.
Seorang pengawal baju merah terus hendak menerjang tetapi Kim-pou-sat Ang Siong pik cepat
mencegahnya: "Berhenti! Engkau seorang tak mungkin mampu melawan delapan puluh satu paderi itu!"
Pengawal Baju merah itupun mundur.
"Ang sicu, Buddha benar-benar bermurah hati sehingga saat ini aku dapat berjumpa dengan sicu," seru Pek
Wan Taysu. Kim-pou-sat tertawa dingin: "Hal, rupanya engkau hendak mencari aku?"
Pek Wan Taysu geleng-geleng kepala,
10.49. Pertempuran Dua Barisan Sakti
"Aku ingin bertanya tentang kabar dan tempat dari suhuku Ko Bok Siansu," seru paderi itu.
Ternyata setelah bertempur dengan Kim-pou-sat Ang Siong-pik, Ko Bok Siansu menghilang tiada kabar
beritanya. "Jika begitu engkau ini murid pewaris dari Ko Bok?"tanya Kim-pou-sat.
"Benar," sahut Pek Wan Taysu, "berpuluh tahun aku telah berusaha untuk mencari jejak suhu dan Ang sicu,
Tak sangka kalau hari ini dapat berjumpa di sini. Ingin kutanyakan keadaan dari suhuku itu."
Belum Kim-pou-sat menyahut Cu-ing sudah mendahului melengking: "Pek Wan Taysu dahulu Ko Bok
Siansu telah melemparkan Kim-pou-sat ke bawah jurang yang dalam sekali."
"Nyo sicu, benarkah itu?" Pek Wan Taysu terkejut. "Lalu bagaimana dengan suhuku?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ko Bok Siansu merupakan tokoh yang paling cemerlang dari Empat Serangkai. Ilmu kepandaiannya jauh
melebihi Kim-pou-sat, bagaimana peristiwa itu tak sungguh-sungguh terjadi" Tetapi bagaimana keadaan Ko
Bok Siansu setelah pertempuran itu, aku tak tahu," jawab Cu-ing.
Melihat Kim-pou-sat diam saja atas keterangan Cu-ing, diam-diam Pek Wan Taysu menimang dalam hati:
"Ah, hal itu tentu benar. Jika demikian tentulah suhu masih hidup di dunia......"
Semula Pek Wan Taysu mengira kalau dalam pertempuran itu keduanya sama-sama binasa. Kini demi
berjumpa dengan Kim-pou-sat, makin besarlah kecemasan hati Pek Wan Taysu bahwa suhunya (Ko Bok
Siansu) telah mati di tangan lawan.
Selagi kedua orang itu berbicara, diam-diam Hun-ing mencuri pandang ke arah loteng. Tampak jendela
loteng itu tertutup rapat. Diam-diam ia gelisah.
"Tadi orang tua peniup seruling itu mengatakan kalau memerlukan waktu setengah jam untuk mengobati
Siau toako. Rasanya sekarang sudah lebih dari waktu itu. Tetapi mengapa jendela tetap tertutup" Adakah
sesuatu yang terjadi pikirnya.
Dan makin gelisah pula hati nona itu ketika teringat akan pesan orang tua peniup seruling bahwa selama
jendela belum terbuka, jangan sekali-kali naik ke loteng.
Hun-ing segera menunduk tak berani memandang loteng itu lagi.
Tiba-tiba Kim-pou-sat tertawa dingin dan berseru: "Budak setan, mengapa engkau melihat ke arah loteng
itu?" Hun-ing terkejut. "Apa katamu?" cepat ia menyelimuti ketegangan hatinya dengan tertawa melengking.
"Budak setan, jangan coba-coba main gila dihadapanku. Hm, memang sejak tadi telah kuperhatikan loteng
itu aneh. Bilanglah sejujurnya. Peniup seruling yang bersembunyi dalam loteng itu sebenarnya orang yang
bagaimana?" "Lihay sekali," diam-diam Hun-ing mengeluh dalam hati.
Pek Wan Taysu cepat menyadari bahwa kedua nona itu sedang merisaukan peniup seruling yang tengah
mengobati luka Siau Lo-seng.
"Engkau menanyakan bagaimana bentuk orang itu?" Hun-ing tersenyum, "perjalanan dosa itu sempit sekali.
Mungkin dia adalah orang yang paling engkau takuti. Maka lebih baik sekarang engkau lekas-lekas
tinggalkan tempat ini."
Nona itu memang tajam pikirannya. Ia teringat tempo hari, ketika mendengar suara seruling, Kim-pou-sat
terus tergopoh-gopoh melarikan diri. Dan menilik ucapan Kim-pou-sat saat itu, dapat Hun-ing menarik
kesimpulan bahwa Kim-pou-sat itu memang gentar terhadap orang tua peniup seruling.
"Pengawal Merah dan Putih lekas serbu loteng itu!" tiba-tiba Kim-pou-sat memberi perintah.
Selekas mendengar perintah itu, dengan membawa tandu, ke delapan pengawal Baju Putih itupun terus
loncat sampai tiga-empat tombak.
"Hadang mereka!" teriak Hun-ing.
"Anak murid Tat-mo-tong, lekas hadang mereka dengan barisan Tat-mo-coat-ci-tin!"
Karena sudah terlatih baik, maka cepat sekali anak buah barisan itu sudah bergerak.
Pada saat ke delapan pengawal Baju Putih itu hendak ayunkan tubuhnya yang kedua kali, atau tiba-tiba tiga
orang paderi Siau-lim sudah menyerang mereka.
Tetapi ke delapan pengawal Baju Merah itupun lihay sekali. Begitu ketiga paderi itu menghantam, ke
delapan pengawal itupun sudah berbaris melindungi di muka tandu. Mereka serempak ayunkan tangan
untuk menyongsong serangan lawan.
Tetapi barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu memang luar biasa. Gerak perobahan mereka cepat dan sukar diduga.
Begitu ke delapan pengawal Baju Merah menghantam, ketiga paderi itupun segera bergerak dan duapuluh
tujuh anak buah barisan cepat menyurut mundur.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebagai ganti dari kemunduran kelompok itu, tiga kelompok paderi serempak menyerang dari timur, selatan
dan utara. Kim-pou-sat tertawa dingin: "Barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari Siau-lim-si walaupun hebat bukan kepalang
tetapi belum tentu mampu melawan barisan Thay-kek-sam-cay-su-giong-ki-bun-tin dari ke delapan
pengawal Baju Merah."
Baru dia berkata begitu, ke delapan pengawal Baju Merah itu tiba-tiba berlincahan memainkan tombak dan
melepaskan hantaman. Dengan cara yang sukar diketahui, ke delapan pengawal mampu menahan
gelombang serangan tiga kelompok paderi yang menyerang dari tiga jurusan.
Melihat itu Pek Wan Taysu terkejut sekali. Setitikpun ia tak menyangka bahwa ke delapan pengawal Baju
Merah itu sedemikian lihaynya.
Sesaat kemudian ke delapan pengawal Baju Merah itupun telah menempatkan diri dalam kedudukan yang
bagus sehingga terbentuklah sebuah rantai barisan yang kokoh.
Setelah barisan Tat-mo-coat-ci-tin bergerak maka ke delapanpuluh satu paderi itupun mulai meluncur,
bergerak-gerak kian kemari. Sambil bergerak, mulut merekapun bernyanyi kecil doa-doa keagamaan
sehingga menimbulkan suatu suasana yang keramat.
Cu-ing, Hun-ing dan bahkan Pek Wan Taysu sendiripun ikut terkurung dalam kepungan barisan Tat-mocoat-ci-tin. Apabila mereka tak lekas lolos tentulah akan ikut terlanda oleh barisan itu.
"Ui Pang-cu dan nona Nyo, ikutlah aku ke luar!" segera Pek Wan Taysu berbisik. Segera ia menyelinap di
tengah kelompok paderi yang menghampiri maju.
Tindakan Pek Wan Taysu itu tak lepas dari pengamatan Kim-pou-sat. Cepat ia dapat mengetahui lubang
kelemahan itu lalu berseru: "Baju Putih, lekas bawa tandu menerjang ujung barat!"
Dengan dilindungi oleh ke delapan pengawal baju merah, tandupun bergerak melakukan perintah. Tetapi
barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu memang luar biasa. Dari empat penjuru, anak buah barisan itu segera
menyerbu untuk merintangi.
Melihat itu marahlah Kim-pou-sat. Serentak berdiri dan berseru: "Pengawal Merah dan Putih, aku hendak
turun tangan sendiri."
Tiba-tiba tubuhnya melambung ke udara dan melayang turun di luar barisan.
Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing cepat loncat menghadangnya. Pek Wan Taysu lepaskan dua buah
pukulan Biat-gong-ciang. Hun-ing dan Cu-ing menyerang dengan pedang.
Tetapi Kim-pou-sat tak gentar menghadapi serangan ke tiga orang itu. Sekali bergeliat, ia menghindari
pukulan Pek Wan Taysu lalu secepat kilat kedua tangannya direntang untuk menyambut pedang Hun-ing
dan Cu-ing. Seketika kedua nona itu rasakan pedangnya seperti tersedot oleh magnit (besi sembrani). Cepat-cepat
mereka lepaskan pedang dan menyurut mundur. Pedang beralih di tangan Kim-pou-sat.
"Ah, dia terlalu tangguh bagi kita......" diam-diam Pek Wan Taysu menghela napas.
Kim-pou-sat tertawa gelak-gelak.
"Ang Siong-pik muncul kembali ke dunia persilatan tentu sudah membawa bekal keyakinan bahwa dunia
persilatan akan dapat dikuasainya. Di kolong langit ini, siapakah yang mampu melawan aku, ha, ha, ha......"
Memang sejak bertemu dengan Kim-pou-sat, tahulah Hun-ing bahwa tokoh itu memang sakti sekali
kepandaiannya. Tetapi ia tak dapat membayangkan bahwa tokoh itu ternyata berlipat ganda saktinya dari
dirinya. Dan saat itu Kim-pou-sat telah berhasil menerobos loteng. Karena gugup, Hun-ing pun nekad. Tibatiba ia loncat menerjang Kim-pou-sat.
"Budak setan, apakah engkau benar-benar cari mati!" teriak Kim-pou-sat dengan bengis, lalu tabaskan
pedangnya. "Ui Pang-cu?" cici Hun?"," karena tak menyangka Hun-ing akan sekalap itu, Pek Wan Taysu dan Cuing serentak berteriak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang siapapun akan mengatakan bahwa kepandaian Hun-ing tentu kalah jauh dengan Kim-pou-sat.
Tetapi tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang aneh.
Pada saat Kim-pou-sat tabaskan pedang, entah bagaimana, tiba-tiba pedang itu berhenti dan terlepas jatuh
ke tanah. "Irama maut?"" Kim-pou-sat menjerit tetapi ia tak dapat melanjutkau kata-katanya, pukulan Hun-ing telah
mendarat di tubuhnya. Hun-ing telah mengerahkan seluruh tenaga dalam pukulannya hingga pukulan itu dahsyatnya bukan alang
kepalang. Ibarat mampu untuk menghancurkan bukit.
Tetapi alangkah kejutnya ketika ia merasa pukulannya itu seperti jatuh ke dalam lautan kapas yang lunak
sekali. "Celaka.......!" diam-diam ia mengeluh dan hendak menarik tangannya. Tetapi serempak pada saat itu
sebuah arus tenaga yang sedahsyat gelombang laut telah mendampar tangannya lalu melemparkan
tubuhnya sampai dua tombak jauhnya.
"Bum......" Tubuh nona itu terbanting di tanah, mulutnya menyembur darah segar......
Melihat itu, Cu-ing menjerit ngeri. Dengan menumpahkan seluruh tenaga, ia segera hantamkan kedua
tangannya kepada Kim-pou-sat.
"Cisss......." dalam pada itu Pek Wan Taysu pun memgembor keras dan tusukkan jarinya dengan ilmu jari
Kim-kong-ci, ajaran Siau-lim-si yang lihay.
Tampak Kim-pou-sat Ang Siong-pik tengah memandang terlongong-longong ke arah loteng. Sekujur bulu
romanya tegak meregang dan tubuhnyapun agak menggigil. Tampaknya tidak menghiraukan sama sekali
atas serangan kedua orang itu.
"Bum, bum?" cess, cess?"."
Susul meuyusul terdengar suara mendesis ketika pukulan dan tusukan jari mengenai tubuh Kim-pou-sat.
Tetapi menyusul kemudian terdengar pula erang tertahan.......
Tenaga dalam yang dipancarkan dalam ilmu jari Kim-kong-ci dan tenaga dalam pada pukulan yang
dilancarkan Cu-ing memang dengan tepat telah menemui sasarannya. Tetapi kedua orang itu telah dilanda
oleh tenaga mental yang dahsyat sehingga keduanya terpental mundur sampai tujuh-delapan langkah,
"Huak......." Cu-ing muntah darah. Wajahnya pucat seperti mayat dan tubuh terhuyung-huyung hendak
rubuh. Sedangkan Kim-pou-sat hanya tergetar dua-tiga kali saja tetapi tetap berdiri tegak sambil terus memandang
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke arah loteng. Sedikitpun ia tak merasakan suatu kejadian apa-apa.
Kali ini Pek Wan Taysu benar-benar tak terperikan kejutnya. Dia adalah salah seorang paderi Siau-lim-si
angkatan tua. Memiliki kepandaian silat yang sakti dan tenaga dalam yang tinggi. Apalagi ilmu jari Kimkong-ci itu termasuk salah sebuah ilmu pusaka dari perguruan Siau-lim-si.
Kim-kong-ci digerakkan oleh seorang tokoh semacam Pek Wan Taysu, tentulah hebatnya bukan kepalang.
Tetapi ternyata bukan saja Kim-pou-sat tak mau menghindar, pun bahkan dia diam saja menerimanya.
Hampir Pek Wan Taysu tak percaya apa yang dilihatnya saat itu. Sesaat kemudian ia menghela napas
rawan?" Saat itu barisan Thay-kek-liang-gi-su-giong-ki-bun-tin dari ke delapan pengawal Baju Merah telah terkepung
oleh barisan Tat-mo-coat-ci-tin yang terdiri dari delapanpuluh satu paderi Siau-lim-si. Tetapi sekalipun
begitu masih belum tampak, mereka berhantam. Masing-masing masih bersiap-siap menunggu.
Dengan memegang tombak, ke delapan pengawal Baju Merah itu berdiri berpencaran. Sepintas pandang
seperti tak teratur. Tetapi bagi pandang mata seorang ahli silat, jelas dapat diketahui bahwa mereka itu
masing-masing menduduki tempat yang paling menguntungkan dan paling strategis.
Tempat-tempat yang dijaga oleh ke delapan pengawal Baju Merah itu merupakan mata rantai pertahanan
sebuah barisan yang amat ketat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sedangkan barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari paderi Siau-lim-si itupun juga merupakan barisan baja yang
kokoh. Dengan wajah serius, kedua tangan dilintangkan untuk melindungi dada, mereka membentuk diri
dalam tiga kelompok dan mengepung musuh rapat sekali.
Saat itu kedua belah pihak sama-sama siap. Tetapi hal itu menghamburkan semangat dan ketegangan
syaraf. Jauh lebih menyiksa daripada pertempuran dengan pukulan atau senjata. Siapa yang tak kuat urat
syarafnya dan lengah perhatian tentu akan hancur.
Demikian pada saat suasana diliputi oleh ketegangan dan kegentingan, sekonyong-konyong terdengar
suara tawa yang meledak keras. Suara tertawa itu berasal dari mulut Ang Siong-pik. Nadanya sedemikian
tajam hingga memekakkan telinga sekalian orang......
Walaupun Pek Wan Taysu sudah berjaga-jaga namun tak urung darahnya masih bergejolak keras.
"Tenaga dalam yang hebat sekali," diam-diam ia menghela napas.
Selesai tertawa, Kim-pou-sat berseru pelahan-lahan:
"Barisan Thay-kek-jiang-gi-su-giong-ki-bun-tin hari ini benar-benar telah bertemu tandingannya......, kalau
terus menerus begitu walaupun sampai sepuluh hari sepuluh malam tentu takkan ada kesudahannya.
Mungkin aku akan kehilangan muka yang tua ini......"
Walaupun ucapan itu seperti orang berkata seorang diri, tetapi setiap patah kata terngiang jelas pada
telinga setiap pengawal Baju Merah. Serentak barisan baju merah itu dapat menangkap maksud tuannya.
Serempak mereka menggembor keras lalu menyerang dengan tombak. Sambil menyerang mereka
berpindah-pindah tempat beberapa kali.
Karena lawan bergerak maka barisan Tat-mo-coat-ci-tin pun mulai bergerak. Berpuluh gelombang tenaga
pukulan bergulung-gulung melanda musuh.
"Bum, bum......"
Terdengar letupan keras disusul oleh hamburan pecahan batu dan pasir yang bertebaran ke empat penjuru.
Bumipun seolah bergoncang.
Adu tenaga itu segera memberi hasil. Ke delapan pengawal Baju Merah tak kuat menahan gelombang
pukulan anak buah barisan Tat-mo-coat-ci-tin. Barisan mereka kacau.
Suatu ciri istimewa dari barisan Tat-mo-coat-ci-tin yang termasyhur itu yalah sekali bergerak, tentu akan
terus bergerak tak henti-hentinya.
Demikianpun saat itu. Setelah membuka penyerangan, barisan Tat-mo-coat-ci-tin pun terus bergerak-gerak.
Makin lama barisan makin menyempit kecil dan langkah kaki anak buah barisanpun makin deras.
Rupanya ke delapan pengawal Baju Merah itu kehilangan pimpinan. Mereka mengikuti gerakan barisan
lawan. Melihat itu diam-diam Pek Wan Taysu gembira sekali.
"Ang sicu," serunya kepada Kim-pou-sat, "Buddha bersifat kasih sayang. Apabila engkau suka tinggalkan
tempat ini, akupun segera akan menghentikan barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu dan melepaskan anak buahmu.
Apabila tidak......"
"Apakah engkau hendak membaca khotbah kepadaku?" tukas Kim-pou-sat dengan tertawa mengejek,
"apakah engkau sudah yakin bahwa barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu akan dapat mengalahkan mereka?"
Pek Wan Taysu kerutkan alis,
"Ang sicu, rupanya engkau tetap tak sadar. Ketahuilah bahwa sejak Siau-lim-si berdiri ratusan tahun yang
lalu, belum pernah terdapat orang yang mampu lolos dari barisan itu. Adakah sicu anggap dengan
kelompok barisan kecil Thay-kek-jiang-gi-su-giong-tin itu akan mampu memecahkannya" Apakah tidak
seperti telur membentur tanduk?"
Tiba-tiba Kim-pou-sat berseru memberi perintah kepada barisan pengawal Baju Merah itu: "Melangkah ke
Tiong-kiong, serang Li-bun, terjang Gan-wi?" akan kubantu kalian?""
Habis berkata, dia terus melayang ke sayap kanan barisan Tat-mo-coat-ci-tin lalu serentak mengangkat
tangan kanannya, segelombang arus tenaga dahsyat segera melanda tiga orang paderi.
dunia-kangouw.blogspot.com
10.50. Elahan Napas Panglima Kalah Perang
Melihat itu Pek Wan Taysu terkejut dan cepat-cepat gerakkan kedua tangannya untuk melepaskan ilmu jari
Lo-han-ci-keng. "Dar?"." Terdengar letupan keras dan ketiga paderi itupun muntah darah, tubuhnya terlempar sampai tiga tombak
jauhnya. "Bum......" jatuhlah mereka terbanting ke tanah untuk tak bangun selama-lamanya.
Terbukanya sebuah lubang pada barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu cepat-cepat ditutup oleh anak buah barisan.
Tetapi karena lubang kelemahan itu maka pengawal Baju Merahpun mendapat angin. Dari diserang kini
balas menyerang. Ke delapan pengawal Baju Merah itu mainkan tombaknya dengan deras dan dahsyat. Tampaknya gerakan
mereka hanya biasa saja tetapi ujung tombak mereka selalu menusuk pada ulu hati lawan.
Serangan gencar itu telah membuyarkan konsentrasi pikiran anak buah Tat-mo-coat-ci-tin. Ke tujuhpuluh
delapan paderi serempak mundur sampai lima-enam langkah lalu menyusun barisan jadi dua lapis.
Ke delapan pengawal Baju Merah itu tiba-tiba bergerak menyerang. Kedua Lapis barisan Tat-mo-coat-ci-tin
itu segera memencar. Berpuluh hantaman berhamburan melanda ke arah delapan pengawal Baju Merah.
Barisan baju merah berputar-putar dan memecah diri dalam dua deret. Deret yang kiri mencekal tombak
dengan tangan kiri. Deret kanan mencekal tombak dengan tangan kanan. Dua orang yang berada paling
depan, mengacungkan tombaknya lurus ke muka. Dalam bentuk barisan yang aneh itu, mereka lalu
menyerbu. Gerak perobahan barisan itu dilakukan dengan serba cepat sekali.
"Bum, bum, bum......."
Dari empat penjuru, angin pukulan dahsyat menderu dan ke delapan pengawal Baju Merah itupun tersurut
mundur tiga langkah lagi.
Barisan Tat-mo-coat-ci-tin memang tak bernama kosong. Dalam sekejap saja, mereka telah mengurung
lawan lagi. Ketujuhpuluh delapan paderi itu segera bergerak berputar-putar sambil mengucapkan doa nyanyian dengan
pelahan. Nyanyian itu menimbulkan semangat keberanian menyala-nyala.
Tiba-tiba nyanyian itu makin cepat dan gerak barisan paderi itupun bertambah cepat pula. Lingkaran
mereka makin lamapun makin menyempit kecil.
Melihat itu berobahlah cahaya muka Kim-pou-sat. Ia tertawa nyaring dan panjang.
"He, hebat benar nyanyian doa puji itu," serunya, "tetapi cobalah dengarkan nyanyian Rintihan lblis. Lihat
saja siapa yang lebih unggul."
Habis berkata ia terus memberi komando, "Mulailah!"
Kedelapan barisan Baju Putih itu segera mengambil seruling besi dari pinggang masing-masing lalu mulai
meniupnya. Serentak melengkinglah di udara suara seruling yang nyaring tinggi. Iramanya terpecah menjadi dua.
Membubung seperti asap dan bernada tinggi seperti kumandang guruh menggema di udara.
Kedua nada itu bersatu dalam suatu paduan yang serasi.
Beberapa saat kemudian, suara seruling dapat mengatasi doa nyanyian dari barisan paderi.
Sekalian orang seperti terbawa ke alam yang hampa, sunyi. Dan tubuhpun ikut lemas lunglai, kaki melentuk.
Demikian yang dirasakan oleh barisan paderi dari Tat-mo-coat-ci-tin. Semangat tempur mereka yang
menyala-nyala tadi, seketika padam seperti tersiram air dingin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam detik-detik yang gawat itu, sekonyong-konyong melengkinglah sebuah suara seruling lagi. Tetapi
bukan berirama seperti seruling pengawal Baju Putih, melainkan melantangkan irama tersendiri yang aneh.
Sayup-sayup...... halus lembut...... hilang-hilang terdengar...... menyusup lemah ke dalam telinga.
Seketika Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing rasakan semangatnya segar kembali. Buru-buru mereka
pusatkan tenaga dalam, tenangkan diri lalu memandang ke tengah gelanggang.
Ternyata pada saat barisan paderi itu kehilangan semangat, ke delapan pengawal Baju Merah serentak
berhamburan loncat melampaui kepala barisan lawan dan lolos dari kepungan mereka.
Serempak pada saat itu, suara seruling yang berirama aneh itupun lenyap. Menyusul irama seruling dari
pengawal Baju Putih lalu nyanyian doa dari barisan paderi pun berhenti.
"Bluk, bluk"..."
Dalam barisan Tat-mo-coat-ci-tin telah terjadi beberapa perobahan. Sebagian besar anak buahnya
berhamburan rubuh ke tanah.
Tetapi di lain pihak, ke delapan pengawal Baju Putih itupun muntah darah. Wajah mereka pucat lesi seperti
orang yang menderita luka.
Seketika berobahlah warna muka Kim-pou-sat melihat peristiwa itu. Dia tahu bahwa anak buahnya telah
menderita serangan ilmu suara sakti yang disebut Siang-goan-sam-jiok atau Tiga nada penghancur tenaga
murni. Tiba-tiba Kim-pou-sat tertawa dingin.
"Hm, memang sudah kuduga tentu berada di loteng. Sekalipun engkau gunakan ilmu Cian-li-coan-im untuk
menutupi tempatmu, tetapi jangan harap dapat mengelabuhi aku......."
Cian-li-coan-im artinya Menyusupkan suara sampai seluas satu lie.
Habis berkata Kim-pou-sat terus apungkam tubuhnya ke udara. Laksana seekor burung garuda ia melayang
ke atas loteng. Pek Wan Taysu dan Cu-ing berhamburan melepaskan pukulan dan tutukan jari. Tetapi gerak layang Kimpou-sat jauh lebih cepat. Kedua orang itu tak mampu menghalanginya.
Kim-pou-sat melayang ke arah jendela di bagian tengah.
"Bum?"" Tiba-tiba daun jendela itu terbuka sendiri dan selarik sinar emas segera meluncur keluar.
Kim-pou-sat Ang Siong-pik menjerit kaget dan dengan gerak Ikan le-hi berjumpalitan, ia buang tubuhnya ke
atas dan berjumpalitan melayang turun ke bumi lagi.
"Siau toako?". dia sudah sembuh!" tiba-tiba Cu-ing berteriak.
Sejak menderita luka dalam dari Kim-pou-sat, Hun-ing hanya tegak mengawasi pertempuran seraya
mengatur pernapasan untuk mengobati lukanya. Ketika mendengar teriakan Cu-ing, ia terkejut dan
mengangkat muka memandang ke arah loteng.
Ah, memang benar. Jendela di tengah loteng itu terbuka lebar dan Siau Lo-seng tegak berdiri di belakang
pagar lankan. Wajahnya merah segar, sepasang matanya berkilat-kilat tajam. Sambil mencekal pedang,
pemuda itu berdiri dengan gagahnya.
"Apakah Siang-goan-sam-jiok itu engkau yang melancarkan?" seru Kim-pou-sat kaget-kaget heran.
Tetapi Siau Lo-seng tidak menjawab melainkan balas bertanya: "Ang locianpwe, apa maksudmu membuat
gaduh di tempat markas cabang Naga Hijau sini?"
"Aku bertanya kepadamu, dengar tidak!" bentak Ang Siong-pik murka.
"Ang locianpwe," seru Siau Lo-seng, "jangan keliwat unjuk kegarangan untuk menggertak. Sebenarnya aku
menghormati engkau tetapi janganlah engkau terlalu menekan orang. Walaupun kepandaianku rendah
tetapi aku tak gentar meminta pelajaran dari locianpwe."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kemarahan Kim-pou-sat makin meluap-luap. Matanya merentang lebar seolah mencurah api yang ingin
menghanguskan tubuh Lo-seng.
"Baru pertama kali ini ada orang yang berani menantang aku," serunya sesaat kemudian, "apabila hal ini
terjadi pada empatpuluh tahun yang lalu, aku tentu segera membunuhmu...... ah, beritahukanlah kepadaku
darimana engkau mempelajari ilmu Suara Siang-goan-sam-jiok itu dan aku takkan menyusahkan engkau
lagi." Siau Lo-seng agak terkesiap lalu balas bertanya: "Siang-goan-sam-jiok" Apakah ilmu itu?"
"Apa" Suara seruling itu bukan engkau?"."
"Masakan aku bohong," tukas Lo-seng.
Kim-pou-sat bersangsi sejenak lalu berkata pula: "Memang aku tak percaya. Suara seruling itu jelas berasal
dari dalam loteng...... Siau Lo-seng, apakah engkau mengijinkan aku menjenguk dalam ruang loteng itu?"
"Tidak!" sahut Lo-seng, "tempat rahasia dari Naga Hijau masakan boleh dimasuki sembarang orang-"
Kim-pou-sat mendengus dingin.
"Ngaco," bentaknya. "engkau memang hendak mempermainkan aku."
Saat itu Hun-ing menghampiri ke sisi Pek Wan Taysu dan berbisik: "Paman, rupanya Kim-pou-sat berkeras
hendak menyerbu ke dalam ruang loteng itu. Adakah Siau toako mampu menghadangnya?"
Pek Wan Taysu kerutkan alis, ujarnya: "Dalam ilmu kepandaian, rasanya Lo-seng masih kalah. Tetapi saat
ini dia berada di atas loteng sedang Kim-pou-sat di bawah. Tentu tak mudah bagi iblis itu untuk melayang ke
atas." Tepat pada saat itu, Kim-pou-sat pun menggembor keras dan terus melambung ke udara. Pada saat
melayang itu diapun gerakkan kedua tangan untuk melepas pukulan.
Siau Lo-seng kerutkan dahi lalu membentak kuat-kuat, Pedang Ular Emas segera ditaburkan untuk
menyongsong angin pukulan lawan.
Tetapi Kim-pou-sat tak gentar. Dia maju terus dan ulurkan tangannya untuk menyambar pedang.
Seketika Lo-seng terkejut sekali karena pedangnya serasa disedot oleh suatu tenaga penyedot yang amat
kuat. Hampir saja pedang itu terlepas dari tangannya.
"Hebat, ilmu apakah ini?" diam-diam ia bertanya dalam hati.
Pada saat Lo-seng termangu, tubuh Kim-pou-sat pun meluncur maju dan kakinya sudah menginjak lankang.
Lo-seng gelagapan tersadar. Dengan menggembor keras ia menarik mundur pedang lalu menusukkannya
ke muka. Kim-pou-sat tak berani berayal. Cepat ia injakkan kaki untuk mengantar tubuh melambung ke atas sampai
tiga tombak tingginya. Setelah menghindari tusukan pedang ia bergeliatan di udara lalu dengan gerak
Harimau lapar menerkam kambing, ia meluncur turun menerkam lawan.
Lo-seng mendengus dingin. Cepat ia balikkan pedang Ular Emas ke atas, memutar-mutarkan tiga lingkaran
lalu berhamburan menusuk tiga buah jalan darah penting di tubuh Kim-pou-sat.
Jurus permainan pedang itu, bukan saja aneh dan luar biasa, pun jarang tampak dalam dunia persilatan.
Dan serangannya rapat sekali sehingga jalan penghindaran lawan terhadang semua.
Tetapi Kim-pou-sat itu memang seorang iblis tua yang lihay. Dalam ancaman bahaya yang begitu tajam, dia
masih dapat bersuit keras lalu bergeliatan melambung tiga tombak lagi ke atas. Tiba-tiba ia merentang
kedua tangan untuk menghentikan gerak luncurannya dan sekali kedua tangan menekan ke bawah maka
iapun menukik turun untuk menerkam Lo-seng lagi.
Gerakan Kim-pou-sat Ang Siong-pik itu benar-benar hebat sekali. Selagi masih melayang di udara ia dapat
pula bergeliatan naik dan meluncur turun, benar-benar suatu ilmu kepandaian yang jarang terdapat di
kalangan kaum persilatan.
Tokoh berilmu tinggi macam Pek Wan Taysu, sampai terlongong kesima?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar suitan nyaring dan dering melengking dari kedua orang yang beradu kesaktian itu.
Siau Lo-seng mengerang tertahan. Sinar pedangnya lenyap, kaki terhuyung-huyung mundur sampai limaenam langkah.
Kim-pou-sat Ang Siong-pik pun mendesuh tertahan juga. Tubuhnya yang tinggi besar terlempar sampai tiga
tombak dan meluncur jatuh ke tanah.
Peristiwa itu telah berlangsung terlampau cepat sekali sehingga tiada seorangpun yang tahu jelas apa yang
telah terjadi sebenarnya.
Segera ia mengangkat muka memandang ke atas.
Ah, Siau Lo-seng tegak di ambang jendela. Mencekal pedang dan memandang ke arahnya.
Tiba-tiba Kim-pou-sat Ang Siong-pik menghela napas panjang. Elahan napas dari seorang panglima yang
kalah perang...... Ternyata dia telah salah menafsir kepandaian si anak muda itu. Setitikpun ia tak menyangka bahwa
lawannya yang masih muda itu akan mampu menangkis ilmu pukulan sakti Jong-kiong-sam-si atau tiga
jurus pukulan cakrawala. Renungan seorang pahlawan tua akan masa kejayaannya, merupakan suatu kenangan yang memilukan.
Demikian keadaan Ang Siong-pik saat itu. Dan hanya dalam beberapa kejap saja, ia sudah merasa
bertambah tua beberapa tahun. Dia pun menyadari bahwa masa itu bukanlah jamannya.
Suasana hening lelap meliputi kedua tokoh yang tengah saling pandang itu. Seorang tokoh tua yang
menyadari kedudukannya dan seorang tokoh muda yang tengah menjulang naik semangat remajanya.
Entah berselang beberapa lama keadaan itu berlangsung, tiba-tiba di udara berkumandang suara seruling
dalam irama yang aneh. Nadanya bening jernih, merdu menyedapkan telinga. Seolah-olah seperti gemercik
air mengalir. "Suara seruling yang luar biasa anehnya," seru Cu-ing.
"Seperti berasal dari sebelah tenggara," sahut Hun-ing.
"Benar," kata Pek Wan Taysu, "memang berasal dari arah tenggara...... tiga lie jauhnya, aneh?"
mengapa?"?" Rupanya Pek Wan Taysu seperti menyadari sesuatu hal maka tiba-tiba ia hentikan kata-katanya.
Siau Lo-seng masih tegak memandang Kim-pou-sat dengan pandang terkejut dan kagum.
Sedangkan Kim-pou-sat Ang Siong-pik tampak berobah-robah cahaya mukanya ketika mendengar irama
seruling aneh itu. Sejenak menumpahkan perhatiannya, kedengaran ia berkata seorang diri.
"Adakah aku salah menduga lagi......?"
Suara seruling itu memang jelas diketahui berasal dari arah tenggara, kira-kira dua lie jauhnya. Tetapi makin
lama suara itu makin melayang jauh dan makin jauh......
Sejenak menyapukan pandang mata ke sekeliling, tiba-tiba Kim-pou-sat berteriak: "Jalan......!"
Begitu berkata, tubuhnyapun sudah melayang ke atas tandu. Ke delapan pengawal Baju putih segera
mengangkat tandu dan terus membawanya lari. Ke delapan pengawal Baju Merah tetap mengawal di kedua
samping tandu itu. Tiada seorangpun yang membuka suara atau merintangi kepergian rombongan Kim-pou-sat yang dalam
beberapa kejappun sudah menghilang di ujung jalan.
Selepas kepergian rombongan Kim-pou-sat, tiba-tiba tubuh Siau Lo-seng terhuyung-huyung dan pelahanlahan rubuh kelantai. Pedang Ular Emas pun terlepas dari tangannya.
Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing terkejut sekali. Mereka serempak berhamburan loncat ke atas loteng.
Hun-ing cepat mencekal tubuh Lo-seng. Tangan pemuda itu dingin seperti es. Untunglah ia masih
merasakan denyut nadi pergelangan tangan Siau Lo-seng masih berjalan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dia kenapa?" seru Pek Wan Taysu dan Cu-ing cemas.
Hun-ing menghela napas. "Siau toako baru sembuh dari sakit. Karena bertempur melawan Kim-pou-sat, mungkin dia kehilangan
tenaga sehingga tenaga murni dalam tubuhnya habis......."
"Apa" Tidak.......," seru Pek Wan Taysu terkejut, "kalau anak itu sampai celaka, bagaimana aku harus
mengatakan kepada arwah mendiang ayahnya di alam?"?"
Cu-ing menjerit lalu memeluk tubuh Sian Lo-seng dan menangis gerung-gerung?"
11.51. Kesaktian Ilmu Siang-goan-sam-jiok
Melihat Cu-ing menangis seperti orang kalap, Hun-ing pun menghiburnya:
"Adik Ing, Siau toako takkan mati. Asal masih mempunyai setitik napas, dia tentu tak dapat mati......"
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba dari atas loteng terdengar suara helaan napas panjang. Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing
serempak berpaling ke arah loteng.
Ternyata orang tua peniup seruling itu sudah tak berada di sudut ruang loteng. Sebagai gantinya, di ruang
itu terdapat sebuah genta raksasa yang tingginya hampir setombak dan terbuat dari tembaga kuno.
"Locianpwe, engkau berada dimana?" seru Hun-ing.
Suara orang yang menghela napas tadi kembali terdengar, "Aku berada dalam genta ini. Bawalah anak itu
kemari, biar kuperiksanya."
Ketiga orang itu terkejut. Bagaimana mungkin seseorang dapat menutup dirinya sendiri dalam sebuah genta
raksasa. Genta raksasa itu paling tidak tentu beribu-ribu kati beratnya.
"Siapa sicu?" seru Pek Wan Taysu.
Buru-buru Hun-ing memperkenalkan siapa kakek yang berada dalam genta raksasa itu: "Beliau adalah
peniup seruling yang telah menyelamatkan jiwa Siau toako."
Serta merta Pek Wan Taysu menghaturkan terima kasih kepada kakek aneh itu.
"Siapakah nama yang mulia dari sicu" Dapatkah aku bertemu muka?" kata paderi itu pula.
"Locianpwe, bagaimana engkau hendak memeriksa keadaan Siau toako?" cepat Cu-ing menukas.
Orang tua itu menghela napas sarat. Tiba-tiba genta itu terangkat ke atas dan puncaknya yang
berlubangpun tergantung pada tiang cantelan.
Kini dapatlah Pek Wan Taysu melihat jelas bagaimana keadaan kakek itu. Serta merta ia membungkukkan
tubuh dan minta maaf karena menyebabkan orang tua itu menderita.
"Ah, aku hanya seorang manusia yang sudah kehilangan daya hidup. Bukan karena tak mau menuturkan
kisah hidupku kepada taysu, tetapi memang ada sesuatu hal yang memaksa aku harus begitu. Harap taysu
memaafkan." Dalam pada itu Cu-ing dan Hun-ing pun sudah membawa Siau Lo-seng ke hadapan kakek buntung. Dan
kakek itupun segera memeriksa pergelangan tangan Siau Lo-seng. Kemudian menghela napas.
"Ah, anak ini memang setia, melakukan kewajiban. Kusuruhnya mencegah Kim-pou-sat, ternyata dia telah
mengadu jiwa benar-benar sehingga sampai menderita luka parah."
"Ah," Pek Wan Taysu mendesah.
"Kalau anak ini sampai kena apa-apa, sungguh Thian tak adil," seru kakek peniup seruling seraya
mengeluarkan sebuah botol kumala dan menuang tiga butir pil merah lalu dimasukkan ke mulut Siau Loseng. Sesaat kemudian wajah Siau Lo-seng yang pucat lesi, berobah agak merah.
Setelah wajah anak muda itu makin merah, tiba-tiba kakek peniup seruling menutuk beberapa jalan darah di
tubuhya. Melepaskan baju Siau Lo-seng, melekat tangan kiri ke punggung pemuda itu dan tangan kanan
mengambil serulingnya. dunia-kangouw.blogspot.com
"Harap kalian bertiga melindungi tempat ini. Aku hendak menggunakan tenaga murni untuk memulihkan
tenaganya," kata kakek itu.
Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing segera berpencar menjaga tempat itu.
Sesaat kemudian Wajah Siau Lo-seng yang merah pelahan-lahan, mulai menyurut dan akhirnya berobah
segar. Napasnyapun mulai teratur seperti orang yang tidur nyenyak.
Tetapi keadaan orang tua itu mengejutkan. Dari rambutnya bercucuran keringat, demikian sekujur badannya
seperti orang mandi. Tiba-tiba ia menarik pulang tangan kirinya dan menghela napas panjang, "Mungkin setelah beristirahat
beberapa saat, dia tentu sudah sembuh."
Pek Wan Taysu seorang ahli lwekang atau tenaga dalam yang hebat. Tetapi ketika melihat cara kakek
buntung itu mengobati Siau Lo-seng dengan jalan menyalurkan tenaga dalam melalui tiupan seruling, paderi
itu terkejut bukan kepalang.
"Taysu beberapa murid taysu yang terkena Siang-goan-sam-jiok dari serulingku, harap taysu memberikan
pil Po-goan-siok-beng-wan ini agar tenaga murni mereka tak sampai merana," kata kakek aneh itu seraya
menyerahkan pil. Tetapi Pek Wan Taysu menolak, "Terima kasih atas kebaikan sicu. Tetapi baiklah sicu simpan sendiri untuk
dipakai apabila perlu. Tentang murid-murid Siau-lim-si itu, mereka mungkin dapat menjaga diri."
Gereja Siau-lim-si telah berdiri ratusan tahun dan dianggap sebagai sumber dari ilmu silat daerah Tionggoan. Barisan Tat-mo-coat-ci-tin merupakan salah satu dari barisan Siau-lim-si yang termasyhur. Anggauta
dari barisan itu sudah tentu terdiri dari paderi-paderi pilihan yang telah tinggi ilmu kepandaiannya. Maka
tidaklah suatu kesombongan kalau Pek Wan Taysu memberi keterangan begitu kepada kakek buntung.
"Memang benar taysu," kata kakek buntung, "tetapi hendaknya janganlah meremehkan ilmu suara tenaga
dalam Siang-goan-sam-jiok itu. Apabila tak kuhembuskan ilmu itu, tentulah Kim-pou-sat Ang Siong-pik tak
mau pergi. Dia memiliki ilmu suara Thian-siau-mo-im yang tak boleh dipandang enteng. Kemunculannya
yang ketiga kalinya di dunia persilatan ternyata dia makin sakti."
Rupanya Hu-ing dan Cu-ing tak enak mendengar kakek buntung itu memuji kesaktian Kim-pou-sat Ang
Siong-pik. Tetapi Pek Wan Taysu dapat menerima. Ketika ia hendak membuka suara kakek buntung itu
sudah mendahului lagi. "Walaupun berhasil kuhalau dia pergi, tetapi kemungkinan dia tentu akan kembali lagi. Karena musuh
tangguh masih membayangi, baiklah taysu memberikan pil ini kepada anak buah barisan itu!"
Pek Wan Taysu kerutkan dahi hendak berkata tetapi lagi-lagi kakek buntung itu sudah mendahului berseru
pula. "Apakah taysu tak percaya omonganku" Silahkan taysu memeriksa anak buah taysu, tentulah taysu segera
mengetahui," kata kakek itu.
Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing serempak berpaling memandang ke luar jendela. Apa yang mereka
lihat saat itu, benar-benar mengejutkan sekali. Bahkan Hun-ing dan Cu-ing sampai ternganga.
Kecuali tiga orang paderi yang telah binasa, tujuhpuluh delapan anak buah barisan Tat-mo-coat-ci-tin saat
itu rebah di tanah. Benar-benar hampir tak dapat dipercaya.
Ilmu suara tenaga dalam Siang-goan-sam-jiok dari kakek buntung itu, ternyata mempunyai daya kekuatan
yang sedemikian hebatnya. Dalam beberapa kejap saja sudah mampu melukai sekian banyak paderi-paderi
Siau-lim-si yang sakti. Disamping itu masih mampu pula untuk mengalahkan ilmu suara Thian-siau-mo-im
dari Kim-pou-sat Ang Siong-pik, melukai kawanan pengawal baju putih pula.
Wajah Pek Wan Taysu merah karena malu. Kemudian ia meminta maaf kepada kakek buntung karena telah
salah menafsir ilmu Siang-goan-sam-jiok yang sedemikian saktinya.
Paderi sakti dari Siau-lim-si itupun serta merta membungkukkan tubuh memberi hormat sedalam-dalamnya.
Kakek buntung ulurkan kedua tangannya untuk mengangkat tubuh Pek Wan Taysu, "Ah, harap jangan
merendah begitu. Aku merasa tak enak hati!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikian orang tua kaki buntung itu segera menyerahkan botol pil kepada Pek Wan Taysu yang
menyambutnya dengan penuh perasaan terima kasih. Dengan gerak Burung walet terbang melayang ia
melayang turun ke halaman.
Hun-ing memberi hormat kepada orang tua aneh itu, serunya: "Locianpwe dapat menduga dengan tepat.
Aku mempunyai sedikit pertanyaan, entah apakah......."
Orang tua aneh itu tertawa: "Silahkan bertanya."
"Kalau tak salah tafsir, kurasa locianpwe tak suka bertemu dengan Pek Wan Taysu. Dengan memberanikan
diri aku hendak menduga, apakah kiranya locianpwe mempunyai kaitan kisah dengan Pek Wan Taysu?"
Orang tua aneh itu terkesiap. Kemudian tertawa.
"Engkau sungguh cerdik. Memang aku mempunyai hubungan dengan Pek Wan Taysu, bahkan erat sekali
hubungan itu," katanya.
"Tetapi mengapa locianpwe tak suka bertemu muka dengan Pek Wan Taysu?" tukas Cu-ing.
Orang tua itu tertawa aneh,
"Mengapa aku tak mau bertemu muka dengan Pek Wan Taysu adalah pertama karena kuatir dia akan
mengenal diriku ini siapa. Kedua, memang belum tiba waktunya dia tahu hal itu. Ketiga, tembok sering
bertelinga, aku tak mau orang mengetahui asal usulku. Apakah kalian mengerti?"
"Apakah di ruang loteng itu terdapat orang lain lagi?" Hun-ing terkejut lalu sapukan pandang mata ke
sekeliling. Orang tua itu tertawa gelak-gelak. Sedemikian kuat nada tawanya sehingga hati kedua nona itu seperti
debur keras. Hun-ing heran mengapa orang tua itu terus menerus tertawa keras.
Tiba-tiba orang tua itu berhenti tertawa, serunya: "Kawanan tikus, apakah kalian hendak menyelinap keluar"
Hayo, keluar, sebelum aku turun tangan!"
Terdengar suara tertawa seram dan tiba-tiba muncullah seseorang di atas tiang penglari ruang
"Engkau?" Ciong Pek-to!" seru Hun-ing terkejut.
Ciong Pek-to tertawa sinis.
"Benar, memang aku. Pah-cu memberi perintah kepadamu agar dalam tiga hari engkau harus kembali ke
Lembah Kumandang. Atau akan dijatuhkan hukuman kepadamu. Kalau engkau tahu gelagat, lekaslah
engkau ikut aku kembali ke lembah."
Cahaya muka Hun-ing berobah.
"Tiap manusia mempunyai cita-cita sendiri," katanya, "aku Ui Hun-ing memang sudah tak tahan lagi hidup
dalam lingkungan Lembah Kumandang. Tindakannya yang ganas dan kejam dari Pah-cu, telah
membangkitkan kebencianku. Nah, engkaupun jangan mimpi akan menggertak aku dengan ancamanancaman yang ngeri."
Ciong Pek-to tertawa, "Terserah," serunya, "tak lama lagi Pah-cu tentu akan datang kemari sendiri. Dan pada saat itu engkau
boleh mengatakan isi hatimu kepadanya, heh, heh, heh?""
Hun-ing marah dan cepat menghantam.
"Huh, engkau masih terpaut jauh sekali?"" seru Ciong Pek-to seraya kebutkan tangan jubahnya.
Terdengar suara orang tertahan dan Hun-ing pun tersurut mundur tiga-empat langkah. Tubuhnya
terhuyung-huyung hendak rubuh.
Dengan tertawa iblis, Ciong Pek-to loncat maju terus hendak mencengkeram pergelangan tangan kanan
Hun-ing. dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Ciong Pek-to berteriak aneh dan terhuyung-huyung sampai beberapa langkah. Wajahnya
menampilkan kerut ketakutan yang hebat.
"Ciong Pek-to berdiri ke sini," seru orang tua peniup seruling.
Tergetar hati Ciong Pek-to, pikirnya "Siapakah dia" Mengapa tak dapat kuketahui sama sekali aliran
kepandaiannya itu" Bahwa dia tahu namaku dan mengatakan kalau dia memang mempunyai hubungan
dengan Pek Wan suheng, apakah mungkin dia seorang tokoh Siau-lim" Tetapi sepanjang ingatanku, tak
ada seorang tokoh Siau-lim-si yang sesakti itu. Siapakah gerangan orang itu?"
Walaupun dalam hati resah gelisah bukan kepalang namun Ciong Pek-to masih menghias mulutnya dengan
tertawa. "Setan tua," serunya, "jangan terlalu memandang rendah orang. Memang lain orang jeri terhadap ilmumu
Siang-goan-sam-jiok, tetapi aku tak memandang mata kepada ilmumu itu."
Orang tua itu tertawa gelak-gelak,
"Itulah yang dinamakan perasaan seorang maling yang tak takut pada tuan rumah. Baik, cobalah engkau
rasakan Siang-goan-sam-jiok itu."
Berobahlah wajah Ciong Pek-to, serunya,
"Setan tua kalau engkau memang sakti mengapa engkau tak berani berhadapan dengan Pah-cu kami" Aku
masih ada urusan lain, tak dapat melayanimu."
Habis berkata ia terus berputar tubuh hendak pergi.
"He, Ciong Pek-to," orang tua peniup seruling tertawa meloroh, "engkau takut, bukan" Bebodoran macam
engkau, biasanya selalu garang dan congkak. Suka melakukan kejahatan dan menindas yang lemah. Lebih
baik engkau lekas enyah agar orang tidak muak melihat tampangmu. Kalau sampai terlihat oleh suhengmu
Pek Wan Taysu, betapalah sedihnya."
Berobah-robah cahaya muka Ciong Pek-to di damprat habis-habisan oleh orang tua Peniup seruling itu.
Sikapnya yang garang dan jumawa, saat itu benar-benar hilang bagai anjing bercawat ekor.
"Mengapa tak lekas enyah" Apakah engkau hendak tunggu sampai Pek Wan Taysu datang kemari dan
menampar mukamu?" bentak orang tua itu pula.
Ciong Pek-to memang seorang durjana yang licik dan licin. Tahu bahwa dirinya tak mampu melawan orang
tua itu, terpaksa ia harus menelan hinaan itu.
"Tua bangka," serunya sambil menatap orang tua peniup seruling dengan pandang berkilat-kilat, "akan
kucatat apa yang engkau lakukan terhadap diriku hari ini. Kelak pada suatu hari tentu akan kutagih
kepadamu." Habis berkata ia terus meluncur pergi.
"Cici Hun, tadi dia begitu garang tetapi sekarang berobah seperti anjing melihat gebuk. Bahkan waktu pergi
dia tak berani bernapas sama sekali," Cu-ing tertawa.
Hun-ing mengerut dahi, "Adik Ing, Ciong Pek-to itu seorang manusia yang selicin belut. Kalau dia tak tahu keadaan yang tak
menguntungkan dirinya, masakan dia mau menelan hinaan begitu. Dan kemunculannya di tempat ini, tentu
bukan tak ada sebab-sebabnya. Adakah Lembah Kumandang akan mengadakan pembunuhan besarbesaran?"
"Pembunuhan besar-besaran?"," tiba-tiba Cu-ing teringat akan pembunuhan yang telah menimpah
keluarganya serta gerak gerik orang Ban-jin-kiong dan peristiwa rumah pondok aneh di tengah hutan.
"O, engkau sudah siuman?"" tiba-tiba orang tua peniup seruling berseru dengan nada ramah.
Memang saat itu Siau Lo-seng sudah bangun dan duduk. Dia menguap seperti orang yang baru bangun
tidur. "Siau toako, lekas haturkan terima kasih kepada locianpwe ini," seru Cu-ing.
Serta merta Siau Lo-seng terus jatuhkan diri memberi hormat di hadapan orang tua itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sudah berulang kali locianpwe telah menolong jiwaku. Apabila aku, Siau Lo-seng, masih hidup, tentu
takkan melupakan budi locianpwe."
Orang tua peniup seruling itu tertawa,
"Tubuhku cacat dan mengasingkan diri dari dunia keramaian. Aku sudah tak mempunyai keinginan pada
dunia. Entah bagaimanakah cara engkau hendak membalas aku?"
"Ini....... ini?"" Lo-seng tak dapat mengatakan apa-apa.
Orang tua itu tertawa pula.
"Jika tak kecewa terhadap seorang tua cacat semacam diriku, aku ingin memungut anak angkat. Entah
engkau mau atau tidak?"
Girang Siau Lo-seng bukan alang kepalang. Serentak ia berlutut lagi dan berseru: "Gi-hu, terima hormat
sujud Lo-seng"..."
Sampai empat kali Lo-seng memberi hormat kepada orang tua aneh itu sebagai tanda seorang putera
terhadap Gi-hu atau ayah angkat.
Cu-ing dan Hun-ing pun jang serempak memberi hormat: "Ui Hun-ing dan Nyo Cu-ing menghaturkan
selamat kepada paman."
Sambil mengusap-usap jenggot, orang tua itu tertawa, "Bangunlah, bangun semua. Hari ini aku sungguh
gembira sekali." 11.52. Rahasia Seruling Tiba-tiba dari luar terdengar suara Pek Wan Taysu berseru gembira: "Selamat, selamat. Kalian ayah dan
anak sungguh bahagia sekali dapat berkumpul di sini. Aku tak mempunyai rejeki seperti kalian."
Serentak masuklah Pek Wan Taysu ke dalam ruangan. Tiba-tiba cahaya muka orang tua buntung itu
berobah dan tubuhnya agak gemetar. Tetapi cepat pula ia tertawa gelak-gelak.
"Ah, taysu telah masuk dalam dunia kesucian. Tidak seperti kita yang masih dilekati debu-debu kedosaan
dan kegelisahan. Taysu lebih bahagia."
Perobahan airmuka orang tua buntung itu, tiada seorangpun yang memperhatikan kecuali Lo-seng. Hal itu
makin menimbulkan keresahan hati pemuda itu.
Sesaat kemudian wajah Pek Wan Taysu berobah serius, katanya:
"Kita berkumpul di sini dengan gembira dan selamat. Tetapi dewasa ini kawanan durjana telah muncul
mengadu biru di dunia persilatan. Setiap saat keselamatan jiwa kaum persilatan tentu terancam. Tadi aku
telah menerima laporan dari anak murid Siau-lim-si dan anak murid partai Bu-tong-pay, mengatakan bahwa
partai Bu-tong-pay telah menghadapi bahaya besar. Beratus-ratus musuh telah menyerang Bu-tong-san.
Sudah beberapa pimpinan partai itu yang binasa. Mereka minta bantuan kepada ciang-bun-hong-tiang
{Ketua). Siau-lim-si telah memerintahkan aku supaya segera membawa barisan Tat-mo-coat-ci-tin untuk
memberi bantuan. Oleh karena peristiwa itu amat gawat maka akupun harus lekas-lekas ke Bu tong-san
dan akan minta diri kepada kalian."
Sekalian terkejut mendengar berita itu.
"Paman, setiap orang merasa wajib untuk membela keadilan dan kebenaran. Sukalah paman meluluskan
aku juga ikut membantu ke sana."
Pek Wan Taysu gelengkan kepala.
"Engkau baru saja sembuh. Dan kepergianku kali ini, mungkin takkan kembali?" apalagi engkau
mempunyai dendam darah yang belum terhimpas. Engkau harus jaga diri baik-baik. Ah, lebih baik engkau
jangan ikut!" Dengan diiring oleh helaan napas panjang, Pek Wan Taysu pun sudah berputar tubuh dan sekali ayun
tubuh, dia sudah lenyap di antara puluhan paderi yang berada di bawah loteng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lo-seng hanya berlinang-linang airmata mengantarkan pandang matanya. Ucapan Pek Wan Taysu amat
menyentuh sanubarinya. Siau Lo-seng sudah sebatang kara. Hanya tinggal seorang paman yalah Pek Wan Taysu itu. Paderi itu telah
memperlakukannya dengan penuh kasih sayang seperti orang tuanya sendiri. Mendengar kata-kata Pek
Wan Taysu bahwa mungkin paderi itu akan binasa menghadapi gerombolan durjana, sudah tentu hati Siau
Lo-seng berduka. Tidak terduga, jika Siau Lo-seng hanya mengucurkan airmata, tidak demikian dengan orang tua buntung itu.
Dia menangis keras. Walaupun tak tahu jelas duduk persoalannya, karena melihat orang menangis, kedua nona ikut menangis.
Tangis orang tua buntung itu amat menyedih sekali. Entah mengapa dia tiba-tiba begitu sedih.
Bahwa seorang berilmu sakti sampai tak menguasai diri, tentulah suatu hal yang mengherankan sekali.
"Maaf, karena gara-garaku, kalian sampai ikut bersedih?"," kata Siau Lo-seng seraya mengusap
airmatanya. Orang tua buntung itupun mengusap airmatanya dan berkata tersekat: "Ah?" ah?" Seng-ji maaf, karena
teringat akan peristiwa yang lampau, aku sampai tak dapat menguasai diri."
Ji, artinya anak. Seng-ji berarti anak Seng.
Makin besar rasa hati Lo Seng terhadap orang tua itu. Dia makin yakin tentulah orang tua itu mempunyai
kisah hidup yang menyedihkan.
"Gi-hu, maukah Gi-hu membagikan kedukaan hati Gi-hu kepadaku?" dengan lemah lembut Lo-seng
berkata. "Peristiwa yang lampau bagaikan gumpalan asap. Ah, tak perlu membicarakan hal itu lagi," sahut orang tua
buntung. Lo-seng tahu orang tua itu tentu mempunyai kisah yang hebat. Tetapi karena orang tak mau mengatakan,
diapun tak berani memaksa.
"Baik, tak perlu membicarakan hal itu," kata Lo-seng tertawa, "bukankah hari ini kita berdua ayah dan anak
telah berkumpul di sini" Seyogyanya kita rayakan peristiwa saat ini dengan gembira. Peristiwa sedih yang
lampau biarlah lalu."
"Benar," Hun-ing tertawa cerah, "paman, aku. mempunyai sedikit soal yang belum jelas. Boleh aku
bertanya, kepada paman?"
Orang tua peniup seruling itu tertawa. "Silahkan."
"Bukan suatu hal yang penting melainkan hanya sekedar ingin tahu," kata Hun-ing, "aku merasa heran
mengapa paman yang menderita cacat sehingga sukar untuk berjalan, mengapa dapat menduga dengan
tepat segala peristiwa yang terjadi di dunia persilatan?"
Orang tua itu tertawa. "Pertanyaan yang bagus," serunya, "tetapi apakah engkau pernah mengenal sebuah pepatah yang
mengatakan 'seorang perdana menteri tak pernah keluar dari rumah tetapi dapat mengetahui peristiwaperistiwa di dunia'."
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hun-ing kerutkan alis. "Walaupun perdana menteri itu tak pernah melangkah keluar dari rumah tetapi dia mempunyai pembesarbesar militer dan sipil yang memberi laporan sehingga dia tahu semua peristiwa itu," sanggah Hun-ing,
"adakah paman memiliki ilmu nujum yang sakti?"
Orang tua peniup seruling itu tertawa gelak-gelak.
"Menghitung dan menujum, hanyalah suatu dongeng aneh dalam dunia persilatan," katanya, "walaupun
dalam aliran Buddha dan Tao terdapat semacam ilmu itu serta ilmu perbintangan tetapi pun hanya bersifat
dugaan garis besarnya saja. Tak mungkin akan tahu sejelas-jelasnya keadaan dalam dunia persilatan ini.
Apalagi aku memang tak pernah belajar ilmu nujum semacam itu."
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing makin heran, tanyanya: "Lalu bagaimana paman dapat menduga tepat keadaan dunia persilatan
itu?" Orang tua peniup seruling ganda tertawa. "Bukankah bangunan kuil dan puncak loteng itu amat tinggi?"
tanyanya. Ketika anak muda itu serempak memandang ke atas. Memang kuil dan loteng itu didirikan di atas sebuah
lereng gunung. Dari tempat itu dapat memandang jauh ke sekeliling penjuru.
"Benar, paman," seru Hun-ing.
"Engkau masih ingat akan anjing kecilku si Salju itu?"
"O, anjing putih yang cantik itu?" seru Cu-ing.
"Paman," seru Hun-ing, "mengapa paman hendak alihkan pembicaraan pada loteng dan anjing kecil?"
Namun orang tua peniup seruling itu tetap tersenyum.
"Sama sekali aku takkan mengalihkan pembicaraan," katanya, "persoalan itu memang terletak pada kedua
hal itu. Dengan berada di loteng yang tinggi ini, aku dapat memandang jauh sampai berpuluh-puluh lie
jauhnya. Dan jangan lupa, anjing Salju itu dapat menyampaikan laporan apa yang terjadi di luaran."
"Paman, engkau mampu melihat sampai berpuluh lie jauhnya" Apakah engkau memiliki ilmu?" Hun-ing
terkejut. Orang tua peniup seruling tertawa gelak-gelak.
"Betapapun tajam mataku, namun tak mungkin aku mampu melihat sampai berpuluh lie jauhnya. Aku
mengandalkan bantuan serulingku ini."
Dengan setengah meragu, Hun-ing menyambuti seruling itu. Ia rasakan seruling itu berhawa dingin dan
berat sekali. Paling tidak limapuluhan kati beratnya.
"Seruling Kiu-sian-cing-ing-sin-siau ini, terbuat dari besi yang telah terbenam dalam laut Pak-hay selama
seribu tahun. Kegunaannya memang banyak sekali dan nilainya tak kalah dengan pedang pusaka.
Siau Lo-seng dan Cu-ing pun ikut melihat benda pusaka itu.
Seruling itu berwarna hitam, dibuat dengan bagus sekali. Batang seruling berhias dengan gurat-gurat
kembangan yang berbentuk kuno. Jika tidak dilihat dengan seksama tentu tak kelihatan.
"Cobalah engkau lihat dari lubang seruling itu," kata orang tua itu pula.
Hun-ing menurut. Tiba-tiba ia mendesis kaget. Ternyata pada lubang seruling itu, tampak sebuah
pemandangan aneh. Sebuah aliran sungai yang jernih airnya. Di tengah sungai tampak sebuah perahu
sedang berlayar menyongsong ombak. Di buritan perahu dua orang tukang perahu tengah berdiri bercakapcakap.
Berganti melihat pada lubang ujung seruling, tampak sebuah jalan merentang tak jauh dari sungai itu.
Sebuah kereta berkuda empat dan dikusiri oleh seorang lelaki baju hitam, tengah meluncur pesat di
sepanjang jalan itu. Kusir baju hitam itu tak henti-hentinya mengayunkan cambuk. Rupanya dia bergegasgegas hendak mempercepat perjalanan.
Kesemuanya tampak jelas pada seruling Kiu-siau-cing-ing-sin-siau itu.
Ketika Hun-ing lepaskan seruling, sungai dan kereta itu tak tampak. Ia berusaha untuk memandang ke
sekeliling penjuru tetapi tetap tak melihat suatu apa.
Kini Siau Lo-seng pun mencobanya. Pada lubang seruling itu tampak hutan derah istana Ban-jin-kiong, kota
Lok-yang tempat kediaman keluarga Nyo, pun tampak dengan jelas.
Ketika giliran Cu-ing yang mencoba, tak henti-hentinya dara itu berseru memuji.
Sambil menyambuti seruling, orang tua aneh itu tertawa: "Bagaimana" Bukankah aku tak bohong?"
"Benar, paman, tetapi seruling ini memang ajaib sekali," kata Hun-ing, "tetapi bagaimana mungkin anjing
putih itu dapat memberi laporan kepada paman?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali orang tua itu tertawa.
"Kecuali cerdas, si Salju itu mengerti juga bahasa manusia dan pula diapun dapat memiliki ilmu silat. Dia
sering berkeliaran keluar. Apabila perlu aku dapat menyuruhnya mencari orang yang kukehendaki, supaya
datang kemari. Ada kalanya anjing itu dapat menggigit jalan darah orang untuk dibawa kemari. Dengan
begitu, aku selalu memperoleh tentang keadaan dalam dunia persilatan."
"Benarkah anjing itu sedemikian saktinya?" seru Cu-ing."
"Ah, engkau tak percaya hal itu bukan?" orang tua peniup seruling tersenyum, "apabila ada kesempatan,
engkau boleh adu kepandaian dengan si Salju."
"Ai, mana kami tak percaya keterangan paman," buru-buru Hun-ing menyusuli, "karena hal itu luar biasa
sekali maka kamipun heran."
"Masih ingatkah kalian setengah tahun yang lalu dimana Seng-ji, Pek Wan Taysu dan engkau sendiri
bersembunyi, di atas tiang penglari tetapi hampir saja dapat ditangkap oleh orang-orang Ban-jin-kiong?"
Lo-seng terkesiap. Memang ia teringat dirinya yang hampir tertangkap hendak dijadikan mumi oleh ketua
Ban-jin-kiong yang lalu. Diam-diam ia menggigil.
"Kalau saat itu Kakek berwajah dingin Leng Tiong-siang tak muncul, mungkin entah bagaimana jadinya
dengan diriku," pikirnya.
Berkata orang tua peniup seruling itu. "Kala itu tak pernah kuduga bahwa kepala Ban-jin-kiong akan mucul.
Melihat keadaan begitu gawat, aku segera suruh si Salju untuk mencari seorang jago silat yang sakti. Ai,
tahu-tahu anjing itu membawa Leng-bin-sin-kun Leng Tiong-siang......"
Orang tua itu berhenti sejenak untuk memandang ketiga anak muda di hadapannya.
"Kalian tentu menduga bahwa, orang itu tentulah tokoh Leng Tiong-siang yang pernah menggetarkan dunia
persilatan pada empatpuluh tahun berselang?""
"Paman maksudkan Leng Tiong-siang palsu?" tukas Hun-ing.
Mata orang tua berkilat-kilat lalu berkata dengan nada serius:
"Beberapa kali aku pernah bertemu dengan Leng Tiong-siang. Walaupun wajahnya ganas, sikap dan
ucapannya juga begitu, tetapi aku tetap mengenalinya bukanlah Leng Tiong-siang, salah seorang Empat
Serangkai yang dulu."
Siau Lo-seng terbelalak kaget.
"Lalu siapakah dia?"
Orang tua peniup seruling gelengkan kepala. "Siapakah orang itu" Aku juga belum tahu. Apabila dugaanku
tak meleset, dia tentu seorang yang mengenakan kedok muka seperti Leng Tiong-siang dan menyaru
sebagai dia. Apakah maksudnya, mungkin sedikit-sedikit aku dapat menduga."
"Apakah maksudnya?" tanya Cu-ing.
"Dengan menyaru sebagai Leng Tiong-siang kemungkinan dia hendak merebut pusaka Keng-hun-pit dari
ketua Ban-jin-kiong."
"Apa?" Hun-ing terkejut, "dia hendak merebut salah satu dari Tiga Pusaka dunia persilatan itu?"
"Paman kali ini mungkin engkau salah duga," kata Cu-ing, "belum berapa lama ini salah seorang kepala
bagian dari istana Ban-jin-kiong yang bernama Long Wi telah membawa duabelas orang yang hilang
kesadaran pikirannya, menuju ke rumah keluarga Nyo untuk merebut......."
Tiba-tiba nona itu hentikan kata-katanya. Ia teringat akan kamar rahasia di bawah tanah dari Ban-jin-kiong
dan tahu bahwa ayahnya telah ditangkap oleh orang Ban-jin-kiong. Dengan begitu orang yang tinggal di
rumahnya sebagai Nyo Jong-ho dan memiliki pit pusaka Keng-hun-pit itu bukanlah ayahnya.
"Ah, bagaimana mungkin" Ayah jauh hari telah memberitahukan kepadaku tempat penyimpanan pit pusaka
itu. Rasanya tiada lain orang yang tahu tempat itu, kecuali orang itu memang bukan ayahku yang aseli!"
"Kalian memang tak tahu akan tipu muslihat dunia persilatan," kata orang tua peniup seruling, "hal itu
memang muslihat dari ketua Ban-jin-kiong. Benar, ayahmu telah ditawan oleh ketua Ban-?jin-kiong. Yang
dunia-kangouw.blogspot.com
berada di rumah keluarga Nyo itu bukan ayahmu yang sesungguhnya. Apa yang dia beritahukan kepadamu
tentang tempat penyimpanan pit pusaka itu, memang bukan Keng-hun-pit yang asli."
Cu-ing seperti orang bermimpi. Jika dia tak menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya telah menjadi seorang
mumi yang ditaruh dalam sebuah peti mati di kamar rahasia Ban-jin-kiong, dia tak percaya hal itu.
"Jika begitu Keng-hun-pit dan orang yang menyaru menjadi Nyo Jong-ho itu palsu semua?" tanya Siau Loseng.
"Sudah tentu tidak aseli," kata orang tua peniup seruling, "bahkan mungkin orang yang menyaru sebagai
Nyo Jong-ho itu sendiri tak tahu akan hal itu."
11.53. Rasa Sayang Seorang Kesatria
Kata Lo-seng, "Orang yang menyaru sebagai Nyo Jong-ho itu tentulah orang Ban-jin-kiong. Mengapa Banjin-kiong mengirim orang untuk menyaru sebagai Nyo Jong-ho, sudah tentu tujuannya hendak merampas
Keng-hun-pit yang asli."
"Ah, tidaklah sesederhana seperti yang engkau duga," kata orang tua buntung, "tindakan pihak Ban-jinkiong itu jelas suatu siasat untuk membuang bekas. Agar dunia persilatan menyangka bahwa pusaka Kenghun-pit itu jatuh di tangan orang Naga Hijau. Dengan begitu perhatian orang tentu akan tertumpah pada
pihak Naga Hijau. Tindakan itu sama dengan "pinjam tangan membunuh orang"."
Pit Keng-hun-pit merupakan salah sebuah dari Tiga Pusaka dunia persilatan. Setiap orang persilatan tentu
sangat menginginkan sekali benda itu. Sekalipun Ban-jin-kiong berpengaruh besar tetapi mereka masih jeri
untuk menghadapi serbuan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan.
"Siasat yang licik sekali!" seru Siau Lo-seng dan kedua nona.
Dengan seri muka yang berobah, berkatalah Hun-ing: "Dengan begitu bukankah Naga Hijau akan menjadi
sasaran kaum persilatan" Mungkin saat ini Naga Hijau pun sudah terancam bahaya."
"Ya memang Naga Hijau saat ini terancam bahaya, ah?"," orang tua itu menghela napas.
Tiba-tiba Hun-ing memberi hormat kepada orang tua itu, katanya: "Paman, banyak terima kasih atas
bantuan dan petunjuk paman yang berharga. Tetapi aku masih mempunyai sedikit permintaan, entah
paman?"." "Ai, mengapa tiba-tiba engkau menyanjung aku" Bukankah engkau minta aku masuk menjadi anggauta
Naga Hijau?" "Aku memang hendak mohon paman supaya memimpin kaum persilatan golong Putih untuk membasmi
para durjana yang jahat. Bukan hanya menjadi anggauta saja tetapi kumohon paman suka menjabat
sebagat ketua Naga Hijau."
Orang tua aneh itu tertawa.
"Memimpin kaum penegak Kebenaran, pembela Keadilan, memang setiap kaum persilatan yang murni
harus merasa mempunyai kewajiban semacam itu. Tetapi jika minta aku orang tua cacat ini menjadi ketua
Naga Hijau, benar-benar suatu hal yang tak berani kuterima. Namun bilamana Naga Hijau memerlukan
tenagaku si orang tua cacat ini, aku tentu bersedia membantu."
"Ketahuilah," orang tua aneh itu melanjutkan, "cita-cita luhur itu, adalah terletak pada bahu kalian para anak
muda. Dengan kepandaian, kesaktian kalian bertiga, ditambah pula dengan bantuanku si orang tua cacat
ini, tentulah dapat mengembangkan perkumpulan Naga Hijau. Yang penting yalah seluruh anggauta Naga
Hijau harus bersatu padu dalam satu tujuan yang mulia. Jangan kuatir, istana Ban-jin-kiong maupun
Lembah Kumandang, pada satu hari akhirnya tentu akan dapat dihancurkan juga."
Betapa girang hati Lo-seng dan kedua nona itu sukar dilukiskan.
Serta merta Hun-ing berlutut untuk merghaturkan terima kasih kepada orang tua itu.
Orang tua buntung juga tampak berseri gembira lalu menyuruh Hun-ing bangun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kata Hun-ing: "Paman, nyata-nyata Naga Hijau sedang terancam bahaya. Maka pikirku, akan kembali ke
Lok-yang untuk memindahkan markas besar kami ke sini. Dengan demikian kita lebih dapat bekerja dengan
tenang dan teratur."
Ketiga anak muda itu terus mohon diri.
"Tunggu," seru orang tua itu, "saat ini kita sudah dikepung musuh. Kepergian kalian ini mungkin akan
menderita gangguan mereka."
Terkejutlah Siau Lo-seng bertiga demi mendengar peringatan itu. Pikir mereka: "Mengapa orang tua ini
sedemikian tajam indera pendengarannya" Mengapa kita sama sekali tak mendengar suatu apa"
Bagaimana dia tahu kalau musuh sudah siap mengepung kita di luar"..?"
Tetapi ketiga anak muda itu memang sudah patuh dan tunduk pada orang tua peniup seruling. Mereka
percaya penuh. Dan ternyata entah kapan datangnya, memang tahu-tahu di luar halaman telah muncul empatpuluh lebih
orang yang berkerudung kain hitam. Jelas mereka tentu jago-jago sakti.
"Ai, barisan Tujuh Lapis dari Ban-jin-kiong," bisik Cu-ing.
"Lihatlah, Li Gok-hou juga datang!" Seru Cu-ing.
Menurut arah yang ditunjuk nona itu, Siau Lo-seng melihat seorang pemuda berpakaian biru, mukanya
mengenakan kerudung muka merah dan tangannya memegang sebatang panji hitam. Dia memang Li Giokhou.
Pada saat Li Giok-hou gerakkan panji, keempatpuluh tujuh pengiringnya itu segera hentikan langkah.
Seorang lelaki tinggi besar dan bertubuh gagah segera tampil ke luar.
Siau Lo-seng memandang si tinggi itu dengan seksama.
Orang tinggi besar itu berumur lebih kurang tigapuluh tahun, hidungnya besar, dan sepasang matanya
berkilat-kilat tajam. Punggungnya menyanggul sebuah kantong. Entah apa isinya.
"Hai, siluman tua, mengapa tak lekas keluar" Apakah harus tunggu sampai Ang toaya menyeretmu?" teriak
si tinggi besar itu. Nadanya menggeledek nyaring sekali.
"Menilik sikap dan suaranya yang begitu hebat, dia kemungkinan tentulah pemimpin barisan algojo yang
disebut Ang Piau. "Anjing buduk, jangan menggonggong terus menerus, sebentar nonamu tentu akan menyuruh engkau
menangis sampai tiga hari tiga malam," tiba-tiba Cu-ing berteriak mendamprat.
Ang Piau tertawa gelak-gelak.
"Oh kiranya bukan hanya siluman tua itu tetapi juga ada beberapa anjing kecil, ha, ha, ha?""
Cu-ing hendak balas memaki lagi tetapi dicegah Siau Lo-seng: "Sudahlah tak perlu melayani manusia itu.
Kita di tempat posisi yang lebih baik, jangan sampai terpancing oleh ocehan mereka."
Benar juga karena tiada orang yang membalas makiannya, Ang Piau pun berhenti. Beberapa saat
kemudian, rupanya dia tak sabar dan berteriak lagi: "Kalau kalian tetap tak mau keluar, terpaksa kami akan
menyerbu dan mengobrak abrik sarangmu!"
Hun-ing geram sekali dan hendak turun tangan tetapi kembali dicegah Siau Lo-seng: "Tak perlu menggubris
manusia itu. Dia tak nanti berani naik kemari."
"Tetapi kalau terus menerus menjaga di sini saja, juga tidak tepat," bantah Hun-ing.
"Tahu kekuatan diri dan kekuatan musuh, seratus kali perang tentu seratus kali menang," kata Lo-seng,
"bahkan di sini terdapat berapa orang, pun mereka tak tahu. Untuk sementara ini mereka tentu tak berani
sembarangan bergerak. Lalu apakah siasat adik Hun untuk menghadapi mereka?"
Hun-ing tertawa. dunia-kangouw.blogspot.com
"Walaupun tak takut kepada mereka, tetapi kita tak dapat terus menerus bertahan dengan cara begini saja.
Mengapa kita tak melakukan sedikit siasat untuk meloloskan diri dari kepungan mereka dan cepat menuju
ke markas di Lok-yang?"
Orang tua peniup seruling tiba-tiba tertawa, ujarnya: "Yang penting mereka hendak mencari aku. Sekalipun
kalian menerobos dari kepungan merekapun takkan terlalu mendesak."
"Kalau kita pergi, bukankah Gi-hu akan seorang diri saja" " tanya Siau Lo-seng.
"Jangan kuatir, masakan aku takut kepada mereka?" kata orang tua itu.
Tiba-tiba terdengar Li Giok-hou tertawa: "Kalau kalian tetap tak mau keluar, segera akan kusuruh orang
untuk melepas api." Siau Lo-seng terkejut. Memang dengan api, loteng itu tentu akan musnah. Cepat ia loncat di muka jendela
dan berteriak. "Li Giok-hou, sudah berulang kali engkau berjumpa dengan aku dan engkau tentu menerima pelajaran yang
pahit. Tetapi rupanya engkau tetap belum jera. Maka hari ini takkan kuberimu ampun lagi.
"Kalau tempo hari sebelah lenganmu yang kupotong, kali ini aku akan kupotong sebelah kakimu."
Melihat Siau Lo-seng, diam-diam Li Giok-hou terkejut, pikirnya, "Hm, rupanya pikirannya sudah terang.
Adakah dia sudah tidak lagi menjadi manusia yang kehilangan pikiran seperti si Raja Akhirat itu" Mengapa
Siau Lo-seng dan Hun-ing bersama-sama berada di situ" Apakah orang tua peniup seruling yang ditakuti
ketua Ban-jin-kiong, mempunyai hubungan dengan kedua orang itu?"
Demikian benak Li Giok-hou melayang-layang lalu tertawa menyeringai,
"Siau Lo-seng, siapakah yang akan mati hari ini, masih belum diketahui pasti. Ha, ha, ha?" kuberitahu
kepadamu sebuah hal. Hapuskanlah harapanmu untuk mengharap Pek Wan Taysu akan datang
membantumu!" Siau Lo-seng terkejut. Adakah Pek Wan Taysu telah dicelakai mereka"
"Untuk membereskan kawanan tikus semacam kalian tak perlu harus minta bantuan barisan Tat-mo-coat-citin. Hm, aku seorang diri sudah lebih dari cukup untuk membasmi kalian," seru Siau Lo-seng.
Li Giok-hou juga tertawa angkuh.
"Barisan Tat-mo-coat-ci-tin" Ha, ha, ha...... ketahuilah wahai Siau Lo-seng. Pek Wan Taysu telah termakan
siasatku memancing harimau tinggalkan sarangnya."
Siau Lo-seng terkejut dan cepat menegur:
"Bagaimana mereka dapat termakan siasatmu semacam itu?"
Li Giok-hou tertawa jumawa.
"Engkau kira Pek Wan Taysu dan ke tujuhpuluh delapan kepala gundul itu benar-benar minta bantuan ke
Bu-tong-san" Ha, ha?" saat ini mungkin mereka sudah berkelana di akhirat!"
Siau Lo-seng terkejut, tegurnya:
"Apakah yang memberi laporan kemari itu anak murid Siau-lim dan Bu-tong-pay palsu?"
Giok-hou tertawa iblis. "Mereka memang anak murid Siau-lim-si dan Bu-tong-pay yang sesungguhnya. Masakan hal itu Pek Wan
Taysu tak mengenalnya?"
Siau Lo-seng makin terkejut serunya,
"Li Giok-hou, jangan berolok-olok semaumu sendiri! Apakah kedua murid itu sudah menjadi kaki tangan
Ban-jin-kiong?" Kembali Li Giok-hou tertawa,
"Goblok! Sudah terlambat pengetahuanmu. Engkau juga tak mau meneliti. Dari manakah nama Ban-jinkiong itu asalnya?""
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena marah, hidung Siau Lo-seng sampai menghembuskan asap dan sepasang matanya seperti
terbakar. Melihat itu Li Giok-hou makin gembira,
"Disebut Ban-jin itu artinya selaksa orang, terdiri dari seluruh aliran persilatan dan tokoh-tokoh partai
persilatan yang ternama. Dari pucuk pimpinan, termasuk ketua dan para penasehat tianglo, sampai ke
kerucuknya......" "Kini barisan Ban-jin-kiong sudah tersusun rapi. Dalam beberapa waktu lagi seluruh dunia persilatan ini
bakal menjadi milik Ban-jin-kiong, ha, ha, ha......"
"Jahanam?"" Siau Lo-seng berteriak dan serentak menyerang Li Giok-hou.
Kecepatan dan kedahsyatan pedang Siau Lo-seng yang tahu-tahu sudah akan menimpah kepala itu
membuat Li Giok-hou hentikan tertawanya dan cepat menghantam seraya enjot tubuh mencelat ke
belakang. Tetapi Siau Lo-seng yang masih melayang di udara itu segera bergeliatan lalu menukik untuk menusuk
jalan darah maut dari tubuh Li Giok-hou.
Baru Li Giok-hou tegak atau sinar Pedang Ular Emas sudah berhamburan mendera tubuhnya. Dan setiap
hamburan ujung pedang itu mengarah pada jalan darah yang berbahaya.
Kejut Li Giok-hou bukan alang kepalang. Cepat ia rebahkan tubuhnya mendatar tanah lalu membuang diri
berguling-guling beberapa langkah ke samping.
Sekalian orang tak tahu dengan cara bagaimana Li Giok-hou dapat menghindari serangan maut dari Siau
Lo-seng tadi. Yang jelas, walaupun pontang panting tetapi Li Giok-hou masih dapat menyelamatkan diri dari
pedang Ular Emas yang hendak mencabut jiwanya.
Empatputuh tujuh anak buah barisan Ban-jin-kiong yang menyaksikan pertempuran itu, serentak berseru
memuji.
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baik Siau Lo-seng maupun Li Giok-hou masing-masing terkejut dalam hati. Mereka terkejut karena
kepandaian lawan ternyata di luar dari dugaan mereka.
Keduanya dapat dikata merupakan tokoh muda yang hebat pada masa itu. Kini setelah mengetahui
kepandaian lawan, merekapun tak berani memandang rendah satu sama lain.
Siau Lo-seng tegak bagai karang. Ujung Pedang Ular Emas mengacung sedikit condong ke muka. Tangan
kiri membentuk sikap pengimbangan. Sepasang matanya mencurah memandang ke ujung pedang.
Li Giok-hou pun mencabut pedang dari belakang bahunya. Tiba-tiba ia menggembor keras lalu secepat kilat
loncat menerjang, sinar pedang berhamburan mencurah ke tubuh Siau Lo-seng. Gerakan pedang itu aneh
sekali, seperti menabas, seperti menusuk, seperti membabat dan seperti pula membacok.
Dalam sekejap saja ia sudah lancarkan tujuh buah serangan.
"Tring?"" Pedang Ular Emas bergerak menyongsong dan terdengarlah dering benturan pedang yang disusul dengan
percikan bunga api. Terdengar Siau Lo-seng membentak keras dan pedangnya agak mengendap ke bawah lalu memagut
lawan. Li Giok-hou pun menggembor keras juga seraya menangkis. Benturan kedua segera terjadi lagi.
Tetapi di antara dering benturan pedang terdengar juga sebuah jerit melengking dan pada lain kejap,
sebatang sinar berkilau melayang ke samping.
Apakah yang telah terjadi"
Kiranya pedang Li Giok-hou telah kutung menjadi dua dan tubuhnya terhuyung-huyung sampai tujuhdelapan langkah ke belakang. Baju pecah, darah bercucuran!
"Ilmu pedang yang hebat sekali!" serunya tertawa rawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cepat ia membuang kutungan tangkai pedang lalu mengeluarkan sebuab benda yang kerkilat-kilat
memancarkan sinar perak. "Keng-hun-pit.......!" serentak Cu-ing dan Hun-ing berteriak kaget.
Siau Lo-seng terkesiap, memandang benda yang dicekal lawan.
Benda itu panjangnya lebih kurang hanya seperempat meter, batangnya berwarna putih perak. Sebatang pit
(pena) semacam poan-koan-pit atau pit yang digunakan oleh pembesar yang mengadili sidang perkara.
"Ah, keterangan Gi-hu (orang tua peniup seruling) itu memang benar. Keng-hun-pit memang merupakan
salah sebuah dari Tiga Pusaka dunia persilatan yang luar biasa. Tetapi sampai dimanakah keluar biasaan
dari pusaka itu?" diam-diam Siau Lo-seng menimang.
Tengah Siau Lo-seng menimang, tiba-tiba terdengar suara menggeledek, "Harap Ji-hun Kiongcu suka
mundur. Menyembelih ayam mengapa harus menggunakan pisau penjagal kerbau" Biarlah aku saja yang
menghadapinya!" Sesosok tubuh melayang ke tengah gelanggang dan berdirilah Ang Piau pemimpin barisan Ban-jin-kiong, di
hadapan Siau Lo-seng. Seketika berobahlah cahaya muka Siau Lo-seng. Menilik suara teriakan orang yang begitu menggeledek,
tahulah Siau Lo-seng bahwa Ang Piau itu seorang jago yang memiliki ilmu tenaga dalam hebat. Memiliki
bentakan yang disebut Singa Mengaum untuk melukai orang.
Serentak timbullah dua buah kesimpulan dalam hati Lo-seng.
Pertama, ternyata Ban-jin-kiong masih mempunyai seorang tokoh selihay itu. Keempatpuluh tujuh anggauta
barisan lapis tujuh itu tampaknya bukan jago sembarangan. Jelas, pertempuran saat itu akan merupakan
pertumpahan darah yang hebat.
Kedua, apa sebab Ang Piau memanggil Li Giok-hou sebagai Ji-hun Kiongcu (kepala istana kedua). Apakah
Ban-jin-kiong memang dibagi atas beberapa bagian. Siapakah yang menjadi ketua istana pertama" Apakah
masih ada istana ketiga dan keempat?"
Teringat juga Lo-seng, bahwa tempo hari si bungkuk Long Wi menyebut Li Giok-hou sebagai Sau-kiongcu
(ketua muda). Tetapi mengapa sekarang Ang Piau menyebutnya sebagai Ji-hun Kiongcu"
Demikian pikiran yang menggelut benak Lo-seng saat itu. Sementara setelah Ang Piau tampil, Li Giok-hou
segera mengundurkan diri. Dengan hati-hati, pusaka Keng-hun-pit itu dimasukkan ke dalam bajunya lagi,
"Siau Lo-seng!" Ang Piau tertawa gelak-gelak, "telah kudengar kemasyuran namamu yang besar. Sayang
selama ini aku belum mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan engkau. Sekarang aku hendak
menantangmu bertempur sampai tigaratus jurus."
Siau Lo-seng menyahut dingin:
"Bagus, tetapi mungkin engkau tak dapat bertahan sampai begitu lama!"
Ang Piau deliki mata, "Siapa yang tak kuat bertahan. Engkau atau aku?" serunya. Ia segera maju selangkah dan terus menyerang
dengan jurus Kim-liong-cau atau Naga emas mengulurkan cakar.
Sekali tangannya bergerak maka timbullah hamburan angin keras.
11.54. Keng-hun-pit Siau Lo-seng mencodongkan ujung pedang mengarah pergelangan tangan orang. Maksudnya hendak
memaksa lawan mundur, setelah itu baru ia akan susuli dengan serangan.
Memang rencana Siau Lo-seng itu tepat. Terapi Ang Piau itu seorang jago yang nekad dan kaya akan
pengalaman bertempur. Cepat ia geliatkan tangan kanannya menghindar ke samping lalu secepat kilat jarinya ditebarkan untuk
mencengkeram siku lengan Lo Seng. Sedang tangan kirinya pun serentak menjulur untuk menusuk jalan
darah marah di tenggorokan lawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dari dua jurus gerakan itu saja, dapatlah diketahui sampai di mana kesaktian orang itu.
Siau Lo-seng terkejut sekali. Cepat ia menyurut mundur tiga langkah seraya hamburkan sinar pedang untuk
melindungi tubuh. Mau tak mau, Siau Lo-seng kucurkan keringat dingin juga.
Teriakan gegap gempita memuji dari barisan tujuh lapis, segera menggema keras.
Ang Piau tak mau memberi kesempatan lagi. Ia loncat menerjang dan mendera lawan dengan pukulan yang
bertubi-tubi. Sepuluh jurus kemudian, Siau Lo-seng jago muda yang gagah perkasa itu, dipaksa harus mundur sampai
setombak jauhnya. Bahkan pedang Ular Emas hampir saja terlepas karena desau hamburan angin yang
melandanya. Dari atas loteng Hun-ing dan Cu-ing menyaksikan pertempuran dengan hati gelisah. Kedua nona itu segera
mempersiapkan diri untuk turun tangan apabila perlu.
Tetapi sebenarnya ilmu silat Siau Lo-seng itu tidak di bawah Ang Piau. Walaupun sepintas pandang Ang
Piau menang kuat dan menang angin, tapi dengan berbagai aliran ilmu silat yang dimiliki Siau Lo-seng,
pemuda itu takkan kalah. Memang apabila dua jago sakti bertempur seujung rambut kesempatan yang diperoleh lawan, tentu akan
merobah jalannya pertempuran.
Dalam babak permulaan karena salah perhitungan, hampir saja Siau Lo-seng menderita kekalahan total.
Dia didesak kalang kabut oleh lawan sehingga hampir tak dapat bernapas.
Tiba-tiba Siau Lo-seng berteriak keras lalu mengisar langkah dan memainkan pedang disertai gerak
langkah yang aneh. Betapapun halnya, kepandaian Ang Piau tetap kalah setingkat dari Siau Lo-seng. Berulang kali Ang Piau
melancarkan serangan dahsyat, tapi setiap kali ia mendapatkan gerakan lawannya itu memang luar biasa
anehnya, sukar untuk diduga.
Sesaat pemuda itu berada di sebelah barat tetapi pada lain saat sudah beralih ke timur. Walaupun Ang Piau
sudah menumpahkan seluruh kepandaiannya, tetap ia tak mampu memukul lawan.
Mau tak mau kepala dari barisan Ban-jin-kiong itu tercengang-cengang.
Kesempatan itu sudah tentu tak dilewatkan Siau Lo-seng. Diiringi sebuah gemboran keras, Pedang Ular
Emas pun segera berhamburan laksana bunga api pecah di udara.
Ang Piau terpaksa harus mundur sampai tiga langkah untuk menyelamatkan jiwanya.
Sejenak Siau Lo-seng dapat bernapas untuk melonggarkan ketegangannya lalu lepaskan tiga buah
tabasan. "Auuhhh?""
Terdengar jeritan ngeri. Karena lambat menghindar, bahu Ang Piau termakan ujung pedang, tiga buah jari
tangan kirinyapun terbabat kutung. Dengan terhuyung-huyung menahan kesakitan, Ang Piau mundur
sampai lima langkah?"
Dengan mata berkilat-kilat memancarkan dendam kemarahan, ia menetap Siau Lo-seng dengan penuh
kebencian. Tiga buah serangan pedang Siau Lo-seng tadi telah dilancarkan dengan kemarahan. Cepat dan dahsyatnya
bukan alang kepalang. Apabila mau, sebenarnya ia dapat mengambil jiwa lawan. Tetapi karena melihat
lawan bertempur dengan tangan kosong, maka tak maulah Siau Lo-seng hendak mencari kemenangan
dengan cara tidak adil. Saat itu Ang Piau pun mengeluarkan bungkusan senjata yang berada di belakang bahunya. Sebuah senjata
aneh, matanya seperti golok tetapi punggungnya seperti gergaji.
Sesaat kemudian ia menggembor keras lalu mainkan senjatanya yang aneh itu. Dering senyaring halilintar
memekik dan hamburan bunga api yang mencurah seperti hujan, segera menimpah ke arah Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setitikpun Siau Lo-seng tak mengira bahwa dalam keadaan terluka, Ang Piau masih sedemikian
perkasanya. Ia tak berani memandang rendah lawan. Setelah mengisar ke samping dan tegak lurus untuk
menghindari serangan, segera ia balas menusuk.
Tiba-tiba Ang Piau merobah gaya permainannya. Segera ia mengeluarkan jurus ilmu permainan pedang.
Juga dalam ilmu pedang ternyata Ang Piau memiliki permainan yang luar biasa dahsyatnya.
Siau Lo-seng diam-diam terkejut dan tak berani lengah. Segera ia menjalankan siasat untuk bertahan.
Melihat lawan bersikap mempertahankan diri, Ang Piau mengira kalau Siau Lo-seng sudah kuncup nyalinya.
Bagai harimau tumbuh sayap, Ang Piau makin buas dan ganas. Senjatanya yang aneh itu makin
melancarkan serangan yang maut.
Setengah jam kemudian, keduanya telah bertempur sampai duaratus jurus. Dan setiap jurus yang
ditempurkan itu, merupakan jurus-jurus yang mengandung maut. Lengah atau lambat sedikit saja, tentu
ngeri akibatnya. Kalau tidak kehilangan sebuah anggauta badannya tentu jiwanya amblas.
Semua orang yang menyaksikan pertempuran itu sama letetkan lidah.
Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri!
Mata sebelah kiri, pipi, dada dan kaki sebelah kiri dari Ang Piau telah berhias dengan lumuran darah merah.
Senjatanyapun terdampar ke tanah dan orangnya terhuyung-huyung hendak rubuh.
Peristiwa itu berlangsung terlampau amat cepatnya sehingga orang tak tahu apa yang telah terjadi.
Siau Lo-seng tak mau memberi kelonggaran lagi. Ia meluncur turun, ujung pedang Ular Emas segera
mengarah jalan darah ulu hati di dada lawan.
Sekalian orang menjerit ketika menyaksikan peristiwa yang tak terduga-duga itu.
"Kiam-gi......!" teriak Li Giok-hou ketika menyaksikan permainan ilmu pedang Siau Lo-seng yang sedemikian
hebatnya. Kiam-gi artinya hawa pedang. Dengan kiam-gi itu dimaksudkan, si pemilik pedang itu telah menyalurkan
tenaga sakti melalui ujung pedang untuk menutuk jalan darah lawan.
Hanya seorang jago pedang sakti yang mampu melakukan hal semacam itu.
Sabagai seorang jago kelas satu, Ang Piau pun tahu apa artinya seruan Li Giok-hou itu. Serentak ia
mengeluh dalam hati: "Celaka, aku sekarang......"
Ia pejamkan mata dan tenang-tenang menunggu ajalnya.
Di luar dugaan. tiba-tiba timbullah rasa sayang dalam hati Siau Lo-seng. Rasa sayang yang dimiliki seorang
kesatria terhadap lain kesatria. Serentak pedang dihentikan dan ujungnya tepat melekat pada kulit orang.
Tindakan itu menyebabkan Ang Piau terhindar dari kematian. Dengan demikian sudah dua kali Siau Loseng memberi ampun kepada lawannya.
Tetapi serempak dengan itu, sekonyong-konyong Hun-ing dan Cu-ing melengking keras dan berhamburan
melayang ke bawah. Kiranya pada saat Siau Lo-seng hentikan pedangnya, dari empat penjuru berhamburanlah batang golok dari
orang Ban-jin-kiong. Karena melihat pemimpinnya akan celaka di tangan Siau Lo-seng maka mereka itupun
serempak taburkan golok algojo ke arah Siau Lo-seng.
Hun-ing dan Cu-ing menjerit dan terus hendak menolong Siau Lo-seng. Tetapi ternyata pemuda itu sudah
bergerak untuk menyelamatkan jiwanya.
Dengan sebuah gerak loncatan yang secepat kilat, Siau Lo-seng pun sudah berada setombak dari tengah
gelanggang dan tahu-tahu pula ujung pedangnya sudah mengucurkan tetesan darah.
Keempat algojo Ban-jin-kiong yang mengenakan kain kerudung hitam pada mukanya dari menyerang Siau
Lo-seng dari belakang, tahu-tahu sudah terhuyung-huyung dan terkapar di tanah.
Dalam pada itu Ang Piau pun cepat loncat mundur beberapa langkah. Matanya memandang Siau Lo-seng
dengan penuh kesangsian. Kemudian menunduk mengamati guratan luka yang menghias dadanya. Ia
tertawa rawan. dunia-kangouw.blogspot.com
"Orang she Siau benar-benar tak bernama kosong. Ilmu kepandaianmu memang hebat. Dua kali aku, Ang
Piau, telah menerima budi kemurahan hatimu, sudah tentu akan kuingat dan kelak apabila ada kesempatan
tentu akan kubalas."
"Seorang jantan yang kasar tetapi jujur. Tak kecewa sebagai seorang tokoh silat yang perwira," diam-diam
Siau Lo-seng membatin. Demikian perobahan telah terjadi secara cepat dan tak terduga-duga. Siau Lo-seng telah berhasil lolos dari
golok maut tetapi Hun-ing dan Cu-ing yang hendak menolongnya saat itu malah diserang oleh dua
anggauta barisan Algojo dari Ban-jin-kiong.
Cu-ing keluarkan ilmu pedang Giok-li-kiam-hwat ajaran Tay Hui Sin-ni. Pedang segera berhamburan
laksana gelombang mendampar dahsyatnya.
Tetapi lawannya juga bukan tokoh yang lemah. Ilmu permainan goloknya, laksana angin puyuh menyambarnyambar.
Hun-ing mainkan pedang serempak dengan pukulan tangan kiri. Dengan gaya permainan yang dahsyat dan
cepat, ia berhasil mendesak lawannya
Setelah melihat kedua nona itu dapat menjaga diri, semangat Siau Lo-seng pun bertambah menyala.
Dengan jurus Rembulan berwajah setengah lingkar, ia sapukan pedangnya kepada lima orang anggauta
barisan Algojo yang coba hendak merapat kepadanya?".
Kelanjutan dari sinar emas yang memancar dari Pedang Ular Emas telah menimbulkan sebuah jeritan ngeri
dan seorang anggauta barisan Algojo yang goloknya mencelat ke udara dan orangnya pun terdampar
beberapa langkah, menggeletak dalam kubangan darah.
Siau Lo-seng pindahkan pedang ke tangan kiri. Pandang matanya mengarahkan ujung pedang ke arah
enam orang anggauta barisan Algojo Ban-jin-kiong yang dapat menghindar dari serangannya tadi.
Sikap dan perbawa anak muda itu, benar-benar menggetarkan nyali lawan-lawannya. Mereka yang semula
garang dan bengis, saat itu mulai menggigil semangatnya. Cepat mereka membentuk diri dalam sebuah
lingkaran, segenap perhatian tercurah pada gerak gerik Siau Lo-seng.
Dalam detik-detik yang penuh ketegangan itu, tiba-tiba terdengar jerit melengking tinggi. Siau Lo-seng cepat
berpaling. Ah, ternyata Cu-ing telah menderita luka. Lengan kanan dara itu berdarah dan terhuyung-huyung
ke belakang. Sedangkan di tanah terbaring dua sosok tubuh lawan yang jelas tentu si dara yang
merubuhkannya. Saat itu Cu-ing masih diserang oleh empat orang algojo baju hitam. Keadaannya pontang panting payah
sekali. Siau Lo-seng terkejut tapi belum sempat ia hendak bertindak, dia sudah diserang lagi oleh lawannya.
Cepat pemuda itu pusatkan perhatian. Sambil bersuit nyaring ia putar Pedang Ular Emas untuk
menyongsong hujan golok yang melandanya.
"Tring, tring, tring?""
Dering gemerincing melengking nyaring dan pada lain saat gumpalan sinar golok itupun lenyap. Beberapa
anggauta barisan Algojo Ban-jin-kiong tersiak mundur.
Kesempatan itu segera digunakan Siau Lo-seng untuk loncat keluar dari kepungan. Sambil meluncur dari
udara ia putar pedangnya ke arah keempat baju hitam yang sedang menyerang Cu-ing.
Terdengar jeritan ngeri, diiring dengan hamburan darah merah. Dua orang baju hitam rubuh berlumuran
darah. Sedang yang dua orang, dengan menderita luka parah, pontang panting menyurut mundur.
Siau Lo-seng menggeliatkan tubuh, meluncur turun di samping Cu-ing. Secepat menginjak tanah, ia
lintangkan pedang ke muka dada, mata memandang ke sekeliling sembari bertanya bisik-bisik: "Adik Ing,
bagaimana lukamu?" Selekas mengetahui Siau Lo-seng berada di samping, semangat Cu-ing segera bangkit kembali. Dengan
menahan rasa sakit ia berkisar ke dekat Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku tak apa-apa, bagaimana dengan cici Hun?" serunya.
Saat itu matahari sudah terbenam di ufuk barat. Malampun mulai menebarkan kabut hitam. Burung-burung
berterbangan pulang ke sarang.
Jurus ilmu pedang yang dilancarkan Siau Lo-seng dan berhasil melukai keempat algojo baju hitam yang
mengepung Cu-ing itu, benar-benar menggetarkan hati setiap orang. Keempatpuluh tujuh barisan algojo,
itu, terkesiap sehingga untuk beberapa saat mereka tak berani bertindak apa-apa.
Selang beberapa jenak kemudian barulah mereka tampak bergerak memencarkan diri untuk mengepung
lawan. Suasana petang hari makin dicengkam oleh bawa pembunuhan yang menyeramkan.
Ketika Siau Lo-seng sapukan pandang ke sekeliling, ia terkejut. Ternyata saat itu Hun?ing sedang
bertempur lawan Ang Piau. Empat algojo baju hitam berjajar di sekelilingnya dan mengikuti jalannya
pertempuran. Tampak Hun-ing mainkan pedangnya dengan gencar. Tubuhnya yang langsing berloncatan amat tangkas,
tak ubah seperti seekor ular naga yang bercengkerama di laut.
Ilmu pedang nona itu memang sakti dan tenaga dalamnya pun tinggi. Tetapi Ang Piau pun seorang jago
kelas satu yang berkepandaian tinggi juga. Walaupun dia sudah menderita luka dari pedang Siau Lo-seng,
tetapi kegagahannya tak berkurang.
Pedang lawan golok berpunggung gergaji. Sepintas pandang menyerupai dua ekor ular dan buaya yang
saling bertempur dahsyat.
Sepuluh jurus cepat berlalu tetapi masih belum tampak siapa yang lebih unggul.
Walaupun perhatian Siau Lo-seng tengah mencurah pada pertempuran Hun-ing lawan Ang Piau tetapi
naluri pemuda itu memang tajam. Seketika matanya tertarik akan sebuah tandu yang tengah dijaga oleh
empat orang dayang baju biru. Tandu itu berhenti di serambi bawah dari loteng tempat persembunyian
orang tua peniup seruling.
Dalam tandu itu duduk seorang wanita cantik berpakaian indah macam puteri keraton. Sayang wajahnya
teraling oleh bayangan kain tenda penghias tandu sehingga tak tampak jelas. Tetapi tentulah amat cantik.
Tampak berulang kali wanita itu menganggukkan kepala dan menunduk dan merenung. Rupanya seperti
tengah bergelut dengan soal yang sukar diputuskan.
Karena perhatian semua orang tercurah pada pertempuran, tiada seorangpun yang memperhatikan
munculnya tandu aneh itu.
"Kelima wanita dan dayang itu, muncul tanpa diketahui orang. Menandakan bahwa mereka tentu
kepandaian yang tinggi," pikir Lo-seng.
Seketika timbul dua buah dugaan dalam benak Siau Lo-seng:
Pertama, kemungkinan kelima wanita itu orang persilatan yang kebetulan lalu di tempat ini. Karena
mendengar hiruk pikuk pertempuran mereka menghampiri. Tetapi setelah tahu yang bertempur itu orangorang Ban-jin-kiong mereka berlima tak mau ikut campur karena takut terlibat bentrokan dengan orang Banjin-kiong.
Kedua, mereka hendak menunggu saja pertempuran itu selesai lalu turun tangan menggempur yang
menang. Dengan demikian mereka tanpa mengeluar banyak tenaga akan memperoleh keuntungan.
Setelah mengalami peristiwa yang pahit, kini dalam cara berpikir, Siau Lo-seng sudah makin hati-hati dan
cermat. Sejenak merenung, ia lebih cenderung pada dugaan yang pertama. Untuk membuktikan kebenarannya, dia
tak mau gegabah bertindak melainkan hanya diam-diam memperhatikan gerak gerik mereka.
"Adik Ing, ikutlah aku untuk membantu Hun-ing menerobos dari kepungan," serunya berbisik kepada Cu-ing.
Tetapi seruan itu segera bersambut dengan lengking jeritan yang nyaring. Cepat-cepat Siau Lo-seng
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpaling. dunia-kangouw.blogspot.com
Dilihatnya Hun-ing telah meluncurkan serangan, menusuk tubuh lawan. Tetapi Ang Piau diam saja. Selekas
ujung pedang si nona hampir menyentuh badannya, tiba-tiba ia kempiskan dadanya lalu melambung ke
udara dengan gerak Burung hong menerobos langit, melayang melampaui kepala Hun-ing, meluncur turun
di belakang dan secepat kilat mengirim tendangan berantai kepada nona itu.
Sebuah jurus serangan yang luar biasa ganasnya!
Setitikpun Hun-ing tak pernah menduga bahwa lawan ternyata masih mempunyai simpanan ilmu
kepandaian yang istimewa. Apabila Hun-ing sampai terkena tendangan, jiwanya tentu berbahaya.
Pada detik-detik maut hendak merenggut jiwanya dengan ketangkasan yang tak terduga-duga, Hun-ing
rebah telentang di tanah, "Wut?""
Kaki Ang Piau hampir dikata hanya seujung rambut terpisah dari kepala si nona. Turun sedikit saja, kepala
Hun-ing tentu akan hancur mumur.
Menyaksikan adegan itu, baik kawan maupun lawan sama menghela napas longgar. Entab apa sebabnya,
mereka bersyukur karena si nona terlepas dari bahaya maut.
Memang di dalam menyaksikan pertempuran yang menegangkan, sering orang lupa siapa kawan siapa
pihak lawan. Mereka akan bersorak sorai gembira apabila menyaksikan salah seorang telah mengunjukkan
kepandaian yang mempesonakan.
Walaupun terlepas dari maut, namun Hun-ing tak berani menarik napas. Segera ia gerakkan pedangnya
sampai tiga-empat lingkaran. Sedang tangan kiri diam-diam telah siap untuk memberi pukulan kepada
lawan pada saat-saat yang baik.
Dalam sekejap saja nona itu telah memperbaiki posisinya dalam pertempuran itu.
Keadaan Hun-ing membuat Siau Lo-seng dan Cu-ing menghela napas longgar. Tetapi keadaan di
tempatnya sendiri tiba-tiba berobah tegang. Bahkan tak kalah gentingnya dengan di tempat Hun-ing.
Kawanan algojo baju hitam yang mengepung dari empat penjuru itu, lancarkan serangan golok mereka
dengan gencar dan mendesak kedua muda mudi itu sampai beberapa langkah ke belakang.
11.55. Rahasia Kesaktian Pit Sakti
Siau Lo-seng mendesuh geram. Dengan menggembor keras ia taburkan pedangnya, dan berturut-turut
telah melancarkan tiga buah serangan yang dahsyat.
Heng-ka-kim-liang atau Menyanggah melintang tiang emas, Hang-soh-ciang-kun atau Menyapu ribuan
pasukan, Ngo-gak-ya-ting atau Lima gunung menindih puncak. Tiga jurus serangan itu merupakan ilmu
pedang yang keras untuk menangkis atau adu senjata dengan musuh.
"Tring, tring, tring?""
Terdengar beberapa kali suara dering senjata dan senjata dari beberapa algojo baju hitam itupun mencelat
ke udara. Dan terbukalah sebuah lubang dari kepungan mereka.
Siau Lo-Seng pun segera menerjang seraya memutar pedang Ular Emas. Jeritan ngeri terdengar, disusul
dengan semburan darah segar yang berhamburan ke udara.
Dengan menahan rasa sakit, Cu-ing pun mainkan pedang untuk mengikuti jejak Siau Lo-seng. Walaupun
telah kehilangan darah cukup banyak, tetapi setelah menyelinapkan kesempatan untuk beristirahat,
semangat Cu-ing sudah bertambah baik.
Dara itu mainkan ilmu pedang Tay-hui-kiam-hwat, ilmu pedang ciptaan dari suhunya, Tay Hui Sin-ni.
Tay-hui-kiam-hwat cepat dan hebat sekali sehingga pada beberapa kejap, dua algojo baju hitam menjerit
rubuh bermandi darah. Bormula Cu-ing hanya ingin menerobos keluar dari kepungan. Ia merasa tenaganya tentu berkurang akibat
luka yang dideritanya. Tetapi tiada disangkanya sama sekali bahwa dengan mudah ia telah dapat
merubuhkan dua orang musuh. Seketika bangkitlah semangat dara itu. Ilmu pedang Tay-hui-kiam-hwat
segera dimainkan dengan gairah. Empat orang algojo baju hitampun segera menjerit rubuh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kekalahan barisan algojo itu bukan karena mereka jago-jago yang lemah. Mereka tergolong ko-jiu atau jago
sakti yang jarang terdapat dalam dunia persilatan. Tetapi ilmu ciptaan rahib sakti Tay Hui Sin-ni itu memang
luar biasa hebatnya. Sebenarnya ilmu pedang itu memiliki jurus-jurus permainan yang ganas dan maut. Tetapi karena Cu-ing
seorang dara yang berhati baik, tak suka mencelakai orang maka dia jarang sekali menggunakan ilmu
pedang itu. Tetapi saat itu memang lain. Ia sendiri menderita luka. Siau Lo-seng dan Hun-ing terancam bahaya.
Terpaksa ia gunakan ilmu pedang itu. Dan hasilnya memang mengejutkan sekali.
Setelah beberapa kawannya terluka, barulah kawanan algojo baju hitam itu tak berani mendesak.
Li Giok-hou yang selama itu hanya mengawasi pertempuran di samping gelanggang, diam-diam mendapat
kesan bahwa kepandaian dari Siau Lo-seng, Hun-ing dan Cu-ing memang mengagumkan sekali. Jauh
sekali bedanya dengan beberapa waktu yang lalu. Diam-diam ia heran apakah selama ini mereka telah
mendapat rejeki yang luar biasa.
Kesan yang diperoleh Li Giok-hou segera memantulkan hawa pembunuhan yang ganas pada cahaya
wajahnya. Segera pemuda itu maju kehadapan Siau Lo-seng, mengacungkan bendera kecil dan mengebutkan dua kali
lalu membentak: "Mundurlah kalian semua, biarlah kuselesaikan sendiri pemuda liar ini!"
Barisan Algojo tujuh lapis, dari Ban-jin-kiong saat itu hampir separoh yang terluka dan, mati. Belasan
kawanan baju hitam itu segera mundur setelah menerima perintah dari Li Giok-hou.
Sambil tertawa iblis, berserulah Li Giok-hou, "Siau Lo-seng. ganas benar engkau!"
Siau Lo-seng cukup waspada. Bahwa Li Giok-hou berani tampil ke muka dan memerintahkan orangorangnya menyingkir, tentulah karena kepandaian yang istimewa. Namun Lo-seng tak tahu jelas apa yang
menjadi pegangan Li Giok-hou.
Serentak ia tertawa nyaring, serunya: "Ah engkau terlalu memuji. Dalam dunia persilatan banyak sekali
kaum durjana, kaum bebodoran yang hidup dalam alam tipu muslihat dan bergelimpangan dalam dosa.
Berbicara tentang kekejaman, aku masih kalah jauh dengan mereka!"
Li Giok-hou tertawa seram:
"Ah, tidak, engkau terlalu merendah diri saja?""
Dalam pada berkata-kata itu Li Giok-hou sudah majukan langkah dan secepat kilat hantamkan tangannya
yang tinggal sebelah itu.
Siau Lo-seng terkejut atas serangan mendadak itu. Tahu-tahu angin pukulan sudah melanda dadanya.
Untunglah sebelumnya ia memang tak berani memandang rendah lawan. Sambil menyalurkan tenaga
dalam untuk melindungi dadanya, iapun segera enjot kakinya melambung ke udara.
Siau Lo-seng bergerak amat cepat sekali. Sambil melambung ke udara ia masih bergeliatan ke kanan kiri
untuk menghindari pukulan lawan. Tetapi tak urung masih punggungnya termakan sebuah pukulan lawan.
Dia terhuyung-huyung sampai tujuh-delapan langkah baru dapat berdiri tegak.
Tetapi Li Giok-hou juga termakan oleh tenaga dalam Siau Lo-seng sehingga terpental sampai tiga langkah
ke belakang. Setelah melancarkan tujuh buah pukulan berantai, Li Giok-hou pun menarik pulang tangannya. Ia tertawa
gembira, "Ilmu kepandaianmu sungguh hebat sekali sehingga mampu menerima ilmu simpanan dari Ban-jin-kiong
yang disebut Keng-hun-jit-ciang (tujuh pukulan pengejut jiwa). Dalam dunia persilatan, tiada orang kedua
yang dapat berbuat seperti engkau. heh, heh, heh?""
Diam-diam timbul keheranan dalam hati Siau Lo-seng. Sudah berulang kaki ia bertempur dengan Li Giokhou dan setiap kali kepandaian lawan tentu masih kalah jauh.
"Hm, kalau orang ini tak dilenyapkan, dunia persilatan tentu akan menderita kekacauan," diam-diam Siau
Lo-seng menimang dalam hati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Segera ia kerahkan tenaga dalam dan berseru marah, "Cara engkau menyerang secara licik tadi, bukanlah
laku seorang kesatria!"
Siau Lo-seng sudah merencanakan, pada saat Li Giok-hou terpecah perhatian karena harus menjawab
dampratannya, ia terus akan menghantamnya dengan tiba-tiba. Ada ubi ada tales. Ada budi tentu dibalas.
Li Giok-hou tertawa gelak-gelak.
"Dalam memimpin barisan, kita boleh meng gunakan siasat apa saja untuk menyerang. Menga?""
Belum selesai ia berkata, tiba-tiba tubuh Siau Lo-seng sudah bersatu ke dalam sinar pedang Ular Emas dan
langsung menusuknya. Tetapi Li Giok-hou memang sudah menjaga kemungkinan itu. Dia tak mau berkisar dan menghindar
melainkan mencabut pusaka Keng-hun-pit lalu diputar dalam setengah lingkaran sinar putih untuk
menangkis serangan orang. Kemudian ia mengisar tubuh menurutkan gerak serangan pedang untuk maju
merapat pada lawan. Berbahaya sekali gerak yang dilakukan Li Giok-hou itu tetapi memang tak dapat diduga Siau Lo-seng.
Tahu-tahu titik sinar putih dari ujung Keng-hun-pit hendak menutuk lengan kanannya.
Siau Lo-seng terkejut dan terpaksa mundur lagi.
Li Gok-hou tak mau mendesak. Sambil menarik Keng-hun-pit ia tertawa dingin.
"Eengkau hendak membalas menyerang secara tiba-tiba" He, jangan engkau gunakan cara itu di
hadapanku. Ketahuilah, orang itu dinilai dari perbuatannya. Karena pihakku sudah digolongkan sebagai
golongan jahat, maka segala cara dan siasat yang kejam dan licik akan kami gunakan semua. Maka kali ini
Kilau Bintang Menerangi Bumi 2 Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan Api Di Bukit Menoreh 32
karena kesalahan dari para guru-guru perguruan itu yang setiap kali tentu menyimpan sebuah dua buah
ilmu sakti. Dengan demikian, apabila seorang ketua merahasiakan atau tidak mengajarkan, dua buah ilmu
silat sakti, maka apabila berlangsung pergantian sampai beberapa ketua, tentulah makin lama makin
berkurang ilmu kepandaian dari perguruan Siau-lim-si itu.
Barisan Tat-mo-coat-ci-tin dan Lo-han-tin, merupakan barisan Siau-lim-si yang paling tangguh, Sejak Siaulim-si berdiri ratusan tahun yang lalu, barisan itu tak pernah mengalami perobahan ataupun dikurangi jurusjurusnya sehingga masih tetap utuh. Dengan begitu barisan itu masih tetap merupakan barisan yang paling
ditakuti oleh seluruh kaum persilatan. Dan sejak ratusan tahun, belum pernah terdapat tokoh yang mampu
membobolkan barisan itu. Mendengar Ciong Pek-to tetap membangkang bahkan bersikap congkak, dengan sedih Pek Wan Taysu
berseru: "Murid hianat! Sudah berpuluh tahun yang lalu, Siau-lim-si telah mencap engkau sebagai murid
hianat yang tak dapat diberi ampun. Setiap murid Siau-lim-si, boleh membunuhmu tanpa urusan. Akupun
juga tak dapat membuat pengecualian......"
Sehabis menumpahkan kemarahan, Pek Wan Taysu mulai memberi perintah kepada anak buah Tat-motong supaya segera mengepung dan menghancurkan Ciong Pek-to.
Ke delapanpuluh satu paderi anak buah barisan sakti itu segera membuka mata dan mencurah pandang ke
arah Ciong Pek-to. Pada saat barisan itu bendak bergerak tiba-tiba terdengar anjing putih Salju menggonggong keras. Arahnya
tak jauh dari kuil. "Pek Wan Taysu, hentikan dulu barisan Tat-mo-coat-ci-tin!" cepat-cepat Hun-ing berseru.
"Mengapa?" Pek Wan Taysu terkejut.
"Musuh telah tiba di ruang kuil?" dapat membahayakan jiwa Siau toako?"" seru Cu ing terus lari.
"Sekarang tiada waktu untuk memberi penjelasan...... Harap taysu suka menghentikan barisan dan ajak
mereka menjaga kuil saja".." habis berkata Hun-ing pun terus berputar tubuh dan lari.
Saat itu anak buah Tat-mo-tong sudah berhamburan mengambil tempat masing-masing. Sedang Ciong
Pek-to tampak tegang. "Anak murid Tat-mo-tong, hentikan gerakan barisan Tat-mo-coat-ci-tin!"
Walaupun heran tetapi anak murid Siau-lim-si itu amat patuh pada perintah. Mereka segera berhenti dan
mundur ke tempat semula. Sekalian anak murid, ikutlah aku ke kuil tua itu," seru Pek Wan Taysu pula, lalu mendahului melangkah.
Kedelapan puluh satu paderi Siau-lim-si itu pun segera membentuk diri dalam tiga kelompok dan mengikuti
di belakang Pek Wan. Yang masih tinggal di tempat itu hanya Ciong Pek-to seorang. Dia heran melihat perobahan itu. Tetapi
secepat itu dia dapat menerka apa yang terjadi. Segera diapun mengikuti rombongan Pek Wan Taysu.
Setiba di muka pintu kuil, Pek Wan Taysu segera melihat bahwa di dalam ruang kuil yang bobrok itu,
tampak sebuah tandu besar. Delapan pengawal baju putih berdiri di kedua samping tandu itu. Sedang
delapan pengawal lain yang mengenakan baju merah, tegak berjajar menghadapi Hun-ing dan Cu-ing.
Kedua nona itu menghunus pedang.
Di belakang kedua nona itu, anjing putih Salju siap menerjang musuh.
Segera Pek Wan Taysu membawa rombongan anak murid masuk ke dalam ruangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demi melihat rombongan Pek Wan muncul, Hun-ing menghela napas longgar.
"Kim-pou-sat," seru Hun-ing. "tengah malam datang ke kuil ini, apakah tujuanmu?"
Mendengar nama Kim-pou-sat seketika berobah cahaya muka Pek Wan Taysu. Serentak ia memandang ke
arah orang yang berada dalam tandu itu. Hampir ia tak percaya bahwa orang berwajah aneh dalam tandu
itu adalah Kim-pou-sat, salah seorang tokoh dari Empat Serangkai yang pernah menggetarkan dunia
persilatan pada empatpuluh tahun yang lampau!
Yang berada dalam tandu itu bukan lain yalah si kakek tua yang menyebut dirinya sebagai Bu Beng Lojin.
"Budak setan," seru Bu Beng Lojin, "siapakah yang mengatakan kepadamu bahwa aku ini Kim-pou-sat?"
Cu-ing tertawa mengikik, serunya: "Kim-pou-sat, sudahlah, tak perlu engkau main sembunyi kepala. Lain
orang mungkin tak tahu engkau siapa, tetapi kami tahu dengan jelas. Tongkatmu Hok-mo-poh-sat-ciang
tempo hari, masih disimpan di tempat guruku."
Mendengar itu terkesiaplah Bu Beng Lojin.
"Siapakah gurumu?" beberapa saat kemudian ia baru menegur.
Belum Cu-ing menyahut, Hun-ing sudah mendahului, "Suhu dari adikku itu yalah salah seorang tokoh dari
Empat Serangkai?". rahib sakti Tay Hui Sin-ni."
Empat Serangkai yang pernah menggetarkan dunia persilatan pada empatpuluh tahun berselang yalah: Ko
Bok Taysu dari Siau-lim-si, Tay Hui Sin-ni dari perguruan Ko-bok-pay, Kim-pou-sat atau Dewa Emas Ang
Siong-pik dan Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang.
"Bagus, bagus," seru Dewa emas Ang Siong-pik serta mendengar keterangan Hun-ing. "kiranya tongkatku
itu telah ditemukan Tay Hui Sin-ni. Itulah sebabnya sampai tiga kali aku kembali ke lembah, tetap tak dapat
menemukan." "Kim-pou-sat," seru Cu-ing pula, "kalau engkau menghendaki tongkatmu, silahkan datang ke tempat
suhuku. Beliau tentu akan mengembalikan kepadamu."
Cu-ing bermaksud hendak mengulur. Karena ia ingat bahwa orang tua buntung tadi memerlukan waktu
setengah jam untuk menyembuhkan luka Siau Lo-seng.
"Sudah tentu aku menghendakinya," Bu Beng Lojin tertawa dingin. "tetapi saat ini aku tak mungkin dapat
engkau kelabuhi." "Locianpwe," cepat Hun-ing berseru, "mengapa engkau bilang begitu" Hm, adikku dengan sejujurnya telah
memberitahu kabar baik mengapa engkau malah salah paham."
"Budak setan," damprat Bu Beng Lojin atau Dewa emas Ang Siong-pik, "setiap hari aku berburu burung
Gan, masakan biji mataku dapat dipatuk burung itu" Cobalah jawab, mengapa engkau menghadang
jalanku?" "Tempat ini sebuah kuil tua yang tak terurus, bukan jalan besar," sahut Hun-ing dengan nada mengejek,
"mengapa engkau datang kemari" Hendak mencari siapakah engkau ini?"
"Hm, kalau tak mau menyingkir, akan kusuruh pengawalku baju merah untuk mengusir engkau!" Bu Beng
Lojin, menggeram. "Kim-pou-sat, jangan menggertak orang," seru Hun-ing, "ruangan kuil ini sudah menjadi milik dari partai
Naga Hijau. Jawablah mengapa tengah malam buta engkau masuk kemari?"
Bu Beng Lojin tak mau berbantah dengan nona itu. Ia segera memberi perintah kepada barisan pengawal:
"Baju Putih, angkatlah aku ke dalam dan suruh Baju Merah membuka jalan."
Dengan cepat ke delapan pengawal Baju Putih itupun mengangkut tandu.
Hun-ing menyadari bahwa pertempuran dahsyat tak dapat dihindari lagi. Jelas Kim-pou-sat Ang Siong-pik
hendak mengganggu orang tua peniup seruling.
Cepat nona itu meminta kepada Pek Wan Taysu: "Pek Wan Taysu, mohon taysu mencegah mereka masuk.
Siau toako sedang menerima pengobatan"..."
dunia-kangouw.blogspot.com
Habis berkata Hun-ing dan Cu-ing segera tebarkan pedangnya menyerang kawanan pengawal Baju merah.
Keduanya telah melancarkan ilmu pedang yang paling diandalkan.
Tetapi kawanan pengawal Baju Merah itu bukanlah tokoh-tokoh biasa. Salah seorang Baju Merah segera
mainkan tombaknya dalam jurus Hun-hun-pang-gwat atau Menyiak awan memetik bulan, untuk menangkis
serangan Hun-ing dan Cu-ing.
Hun-ing lebih lincah ilmu pedangnya. Sekali memutar tangan, pedangnya, menusuk ke kiri menabas ke
kanan. Sekali gus ia menyerang empat anggauta pengawal Baju Merah.
Keempat pengawal Baju Merah terpaksa menangkis dengan tombaknya.
"Budak perempuan hina, matamu sungguh buta," teriak salah seorang pengawal itu seraya luncurkan ujung
tombak menusuk dada si nona.
Hun-ing menyadari bahwa ke delapan pengawal Baju merah itu bukan tokoh biasa. Mereka masing-masing
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka ia tak berani menangkis melainkan menyurut mundur.
Tetapi tombak pengawal Baju Merah itu laksana bayangan tetap mengikutinya. Ujung tombak pun sudah
hampir mengenai dada Hun-ing.
Kejut Hun-ing bukan kepalang. Hendak menghindar sudah tak kuburu lagi. Untunglah pada detik-detik yang
berbahaya itu, serentak terdengar seruan Pek Wan Taysu.
"Ui Pang-cu mundurlah. Biar mereka dilayani anak muridku!"
Ketika memperhatikan, tahulah Hun-ing bahwa saat itu anak buah Tat-mo-tong telah bersiap di seluruh
sudut ruang kuil, mengepung tandu dan ke enambelas pengawalnya.
Diketahui pula oleh Hun-ing bahwa sembilan orang paderi Tat-mo-tong telah berhamburan datang. Salah
seorang yang paling depan sendiri pun menghantam pengawal Baju Merah yang menyerang Hun-ing.
Pengawal baju merah itu terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, tubuhnya bergetar dan tombaknya
pun hampir terlepas. Untunglah ke sembilan paderi Tat-mo-tong tak mau menyerang serempak. Kalau tidak, tentulah pengawal
baju merah itu tentu menderita luka dalam.
Seorang pengawal baju merah terus hendak menerjang tetapi Kim-pou-sat Ang Siong pik cepat
mencegahnya: "Berhenti! Engkau seorang tak mungkin mampu melawan delapan puluh satu paderi itu!"
Pengawal Baju merah itupun mundur.
"Ang sicu, Buddha benar-benar bermurah hati sehingga saat ini aku dapat berjumpa dengan sicu," seru Pek
Wan Taysu. Kim-pou-sat tertawa dingin: "Hal, rupanya engkau hendak mencari aku?"
Pek Wan Taysu geleng-geleng kepala,
10.49. Pertempuran Dua Barisan Sakti
"Aku ingin bertanya tentang kabar dan tempat dari suhuku Ko Bok Siansu," seru paderi itu.
Ternyata setelah bertempur dengan Kim-pou-sat Ang Siong-pik, Ko Bok Siansu menghilang tiada kabar
beritanya. "Jika begitu engkau ini murid pewaris dari Ko Bok?"tanya Kim-pou-sat.
"Benar," sahut Pek Wan Taysu, "berpuluh tahun aku telah berusaha untuk mencari jejak suhu dan Ang sicu,
Tak sangka kalau hari ini dapat berjumpa di sini. Ingin kutanyakan keadaan dari suhuku itu."
Belum Kim-pou-sat menyahut Cu-ing sudah mendahului melengking: "Pek Wan Taysu dahulu Ko Bok
Siansu telah melemparkan Kim-pou-sat ke bawah jurang yang dalam sekali."
"Nyo sicu, benarkah itu?" Pek Wan Taysu terkejut. "Lalu bagaimana dengan suhuku?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ko Bok Siansu merupakan tokoh yang paling cemerlang dari Empat Serangkai. Ilmu kepandaiannya jauh
melebihi Kim-pou-sat, bagaimana peristiwa itu tak sungguh-sungguh terjadi" Tetapi bagaimana keadaan Ko
Bok Siansu setelah pertempuran itu, aku tak tahu," jawab Cu-ing.
Melihat Kim-pou-sat diam saja atas keterangan Cu-ing, diam-diam Pek Wan Taysu menimang dalam hati:
"Ah, hal itu tentu benar. Jika demikian tentulah suhu masih hidup di dunia......"
Semula Pek Wan Taysu mengira kalau dalam pertempuran itu keduanya sama-sama binasa. Kini demi
berjumpa dengan Kim-pou-sat, makin besarlah kecemasan hati Pek Wan Taysu bahwa suhunya (Ko Bok
Siansu) telah mati di tangan lawan.
Selagi kedua orang itu berbicara, diam-diam Hun-ing mencuri pandang ke arah loteng. Tampak jendela
loteng itu tertutup rapat. Diam-diam ia gelisah.
"Tadi orang tua peniup seruling itu mengatakan kalau memerlukan waktu setengah jam untuk mengobati
Siau toako. Rasanya sekarang sudah lebih dari waktu itu. Tetapi mengapa jendela tetap tertutup" Adakah
sesuatu yang terjadi pikirnya.
Dan makin gelisah pula hati nona itu ketika teringat akan pesan orang tua peniup seruling bahwa selama
jendela belum terbuka, jangan sekali-kali naik ke loteng.
Hun-ing segera menunduk tak berani memandang loteng itu lagi.
Tiba-tiba Kim-pou-sat tertawa dingin dan berseru: "Budak setan, mengapa engkau melihat ke arah loteng
itu?" Hun-ing terkejut. "Apa katamu?" cepat ia menyelimuti ketegangan hatinya dengan tertawa melengking.
"Budak setan, jangan coba-coba main gila dihadapanku. Hm, memang sejak tadi telah kuperhatikan loteng
itu aneh. Bilanglah sejujurnya. Peniup seruling yang bersembunyi dalam loteng itu sebenarnya orang yang
bagaimana?" "Lihay sekali," diam-diam Hun-ing mengeluh dalam hati.
Pek Wan Taysu cepat menyadari bahwa kedua nona itu sedang merisaukan peniup seruling yang tengah
mengobati luka Siau Lo-seng.
"Engkau menanyakan bagaimana bentuk orang itu?" Hun-ing tersenyum, "perjalanan dosa itu sempit sekali.
Mungkin dia adalah orang yang paling engkau takuti. Maka lebih baik sekarang engkau lekas-lekas
tinggalkan tempat ini."
Nona itu memang tajam pikirannya. Ia teringat tempo hari, ketika mendengar suara seruling, Kim-pou-sat
terus tergopoh-gopoh melarikan diri. Dan menilik ucapan Kim-pou-sat saat itu, dapat Hun-ing menarik
kesimpulan bahwa Kim-pou-sat itu memang gentar terhadap orang tua peniup seruling.
"Pengawal Merah dan Putih lekas serbu loteng itu!" tiba-tiba Kim-pou-sat memberi perintah.
Selekas mendengar perintah itu, dengan membawa tandu, ke delapan pengawal Baju Putih itupun terus
loncat sampai tiga-empat tombak.
"Hadang mereka!" teriak Hun-ing.
"Anak murid Tat-mo-tong, lekas hadang mereka dengan barisan Tat-mo-coat-ci-tin!"
Karena sudah terlatih baik, maka cepat sekali anak buah barisan itu sudah bergerak.
Pada saat ke delapan pengawal Baju Putih itu hendak ayunkan tubuhnya yang kedua kali, atau tiba-tiba tiga
orang paderi Siau-lim sudah menyerang mereka.
Tetapi ke delapan pengawal Baju Merah itupun lihay sekali. Begitu ketiga paderi itu menghantam, ke
delapan pengawal itupun sudah berbaris melindungi di muka tandu. Mereka serempak ayunkan tangan
untuk menyongsong serangan lawan.
Tetapi barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu memang luar biasa. Gerak perobahan mereka cepat dan sukar diduga.
Begitu ke delapan pengawal Baju Merah menghantam, ketiga paderi itupun segera bergerak dan duapuluh
tujuh anak buah barisan cepat menyurut mundur.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebagai ganti dari kemunduran kelompok itu, tiga kelompok paderi serempak menyerang dari timur, selatan
dan utara. Kim-pou-sat tertawa dingin: "Barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari Siau-lim-si walaupun hebat bukan kepalang
tetapi belum tentu mampu melawan barisan Thay-kek-sam-cay-su-giong-ki-bun-tin dari ke delapan
pengawal Baju Merah."
Baru dia berkata begitu, ke delapan pengawal Baju Merah itu tiba-tiba berlincahan memainkan tombak dan
melepaskan hantaman. Dengan cara yang sukar diketahui, ke delapan pengawal mampu menahan
gelombang serangan tiga kelompok paderi yang menyerang dari tiga jurusan.
Melihat itu Pek Wan Taysu terkejut sekali. Setitikpun ia tak menyangka bahwa ke delapan pengawal Baju
Merah itu sedemikian lihaynya.
Sesaat kemudian ke delapan pengawal Baju Merah itupun telah menempatkan diri dalam kedudukan yang
bagus sehingga terbentuklah sebuah rantai barisan yang kokoh.
Setelah barisan Tat-mo-coat-ci-tin bergerak maka ke delapanpuluh satu paderi itupun mulai meluncur,
bergerak-gerak kian kemari. Sambil bergerak, mulut merekapun bernyanyi kecil doa-doa keagamaan
sehingga menimbulkan suatu suasana yang keramat.
Cu-ing, Hun-ing dan bahkan Pek Wan Taysu sendiripun ikut terkurung dalam kepungan barisan Tat-mocoat-ci-tin. Apabila mereka tak lekas lolos tentulah akan ikut terlanda oleh barisan itu.
"Ui Pang-cu dan nona Nyo, ikutlah aku ke luar!" segera Pek Wan Taysu berbisik. Segera ia menyelinap di
tengah kelompok paderi yang menghampiri maju.
Tindakan Pek Wan Taysu itu tak lepas dari pengamatan Kim-pou-sat. Cepat ia dapat mengetahui lubang
kelemahan itu lalu berseru: "Baju Putih, lekas bawa tandu menerjang ujung barat!"
Dengan dilindungi oleh ke delapan pengawal baju merah, tandupun bergerak melakukan perintah. Tetapi
barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu memang luar biasa. Dari empat penjuru, anak buah barisan itu segera
menyerbu untuk merintangi.
Melihat itu marahlah Kim-pou-sat. Serentak berdiri dan berseru: "Pengawal Merah dan Putih, aku hendak
turun tangan sendiri."
Tiba-tiba tubuhnya melambung ke udara dan melayang turun di luar barisan.
Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing cepat loncat menghadangnya. Pek Wan Taysu lepaskan dua buah
pukulan Biat-gong-ciang. Hun-ing dan Cu-ing menyerang dengan pedang.
Tetapi Kim-pou-sat tak gentar menghadapi serangan ke tiga orang itu. Sekali bergeliat, ia menghindari
pukulan Pek Wan Taysu lalu secepat kilat kedua tangannya direntang untuk menyambut pedang Hun-ing
dan Cu-ing. Seketika kedua nona itu rasakan pedangnya seperti tersedot oleh magnit (besi sembrani). Cepat-cepat
mereka lepaskan pedang dan menyurut mundur. Pedang beralih di tangan Kim-pou-sat.
"Ah, dia terlalu tangguh bagi kita......" diam-diam Pek Wan Taysu menghela napas.
Kim-pou-sat tertawa gelak-gelak.
"Ang Siong-pik muncul kembali ke dunia persilatan tentu sudah membawa bekal keyakinan bahwa dunia
persilatan akan dapat dikuasainya. Di kolong langit ini, siapakah yang mampu melawan aku, ha, ha, ha......"
Memang sejak bertemu dengan Kim-pou-sat, tahulah Hun-ing bahwa tokoh itu memang sakti sekali
kepandaiannya. Tetapi ia tak dapat membayangkan bahwa tokoh itu ternyata berlipat ganda saktinya dari
dirinya. Dan saat itu Kim-pou-sat telah berhasil menerobos loteng. Karena gugup, Hun-ing pun nekad. Tibatiba ia loncat menerjang Kim-pou-sat.
"Budak setan, apakah engkau benar-benar cari mati!" teriak Kim-pou-sat dengan bengis, lalu tabaskan
pedangnya. "Ui Pang-cu?" cici Hun?"," karena tak menyangka Hun-ing akan sekalap itu, Pek Wan Taysu dan Cuing serentak berteriak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang siapapun akan mengatakan bahwa kepandaian Hun-ing tentu kalah jauh dengan Kim-pou-sat.
Tetapi tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang aneh.
Pada saat Kim-pou-sat tabaskan pedang, entah bagaimana, tiba-tiba pedang itu berhenti dan terlepas jatuh
ke tanah. "Irama maut?"" Kim-pou-sat menjerit tetapi ia tak dapat melanjutkau kata-katanya, pukulan Hun-ing telah
mendarat di tubuhnya. Hun-ing telah mengerahkan seluruh tenaga dalam pukulannya hingga pukulan itu dahsyatnya bukan alang
kepalang. Ibarat mampu untuk menghancurkan bukit.
Tetapi alangkah kejutnya ketika ia merasa pukulannya itu seperti jatuh ke dalam lautan kapas yang lunak
sekali. "Celaka.......!" diam-diam ia mengeluh dan hendak menarik tangannya. Tetapi serempak pada saat itu
sebuah arus tenaga yang sedahsyat gelombang laut telah mendampar tangannya lalu melemparkan
tubuhnya sampai dua tombak jauhnya.
"Bum......" Tubuh nona itu terbanting di tanah, mulutnya menyembur darah segar......
Melihat itu, Cu-ing menjerit ngeri. Dengan menumpahkan seluruh tenaga, ia segera hantamkan kedua
tangannya kepada Kim-pou-sat.
"Cisss......." dalam pada itu Pek Wan Taysu pun memgembor keras dan tusukkan jarinya dengan ilmu jari
Kim-kong-ci, ajaran Siau-lim-si yang lihay.
Tampak Kim-pou-sat Ang Siong-pik tengah memandang terlongong-longong ke arah loteng. Sekujur bulu
romanya tegak meregang dan tubuhnyapun agak menggigil. Tampaknya tidak menghiraukan sama sekali
atas serangan kedua orang itu.
"Bum, bum?" cess, cess?"."
Susul meuyusul terdengar suara mendesis ketika pukulan dan tusukan jari mengenai tubuh Kim-pou-sat.
Tetapi menyusul kemudian terdengar pula erang tertahan.......
Tenaga dalam yang dipancarkan dalam ilmu jari Kim-kong-ci dan tenaga dalam pada pukulan yang
dilancarkan Cu-ing memang dengan tepat telah menemui sasarannya. Tetapi kedua orang itu telah dilanda
oleh tenaga mental yang dahsyat sehingga keduanya terpental mundur sampai tujuh-delapan langkah,
"Huak......." Cu-ing muntah darah. Wajahnya pucat seperti mayat dan tubuh terhuyung-huyung hendak
rubuh. Sedangkan Kim-pou-sat hanya tergetar dua-tiga kali saja tetapi tetap berdiri tegak sambil terus memandang
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke arah loteng. Sedikitpun ia tak merasakan suatu kejadian apa-apa.
Kali ini Pek Wan Taysu benar-benar tak terperikan kejutnya. Dia adalah salah seorang paderi Siau-lim-si
angkatan tua. Memiliki kepandaian silat yang sakti dan tenaga dalam yang tinggi. Apalagi ilmu jari Kimkong-ci itu termasuk salah sebuah ilmu pusaka dari perguruan Siau-lim-si.
Kim-kong-ci digerakkan oleh seorang tokoh semacam Pek Wan Taysu, tentulah hebatnya bukan kepalang.
Tetapi ternyata bukan saja Kim-pou-sat tak mau menghindar, pun bahkan dia diam saja menerimanya.
Hampir Pek Wan Taysu tak percaya apa yang dilihatnya saat itu. Sesaat kemudian ia menghela napas
rawan?" Saat itu barisan Thay-kek-liang-gi-su-giong-ki-bun-tin dari ke delapan pengawal Baju Merah telah terkepung
oleh barisan Tat-mo-coat-ci-tin yang terdiri dari delapanpuluh satu paderi Siau-lim-si. Tetapi sekalipun
begitu masih belum tampak, mereka berhantam. Masing-masing masih bersiap-siap menunggu.
Dengan memegang tombak, ke delapan pengawal Baju Merah itu berdiri berpencaran. Sepintas pandang
seperti tak teratur. Tetapi bagi pandang mata seorang ahli silat, jelas dapat diketahui bahwa mereka itu
masing-masing menduduki tempat yang paling menguntungkan dan paling strategis.
Tempat-tempat yang dijaga oleh ke delapan pengawal Baju Merah itu merupakan mata rantai pertahanan
sebuah barisan yang amat ketat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sedangkan barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari paderi Siau-lim-si itupun juga merupakan barisan baja yang
kokoh. Dengan wajah serius, kedua tangan dilintangkan untuk melindungi dada, mereka membentuk diri
dalam tiga kelompok dan mengepung musuh rapat sekali.
Saat itu kedua belah pihak sama-sama siap. Tetapi hal itu menghamburkan semangat dan ketegangan
syaraf. Jauh lebih menyiksa daripada pertempuran dengan pukulan atau senjata. Siapa yang tak kuat urat
syarafnya dan lengah perhatian tentu akan hancur.
Demikian pada saat suasana diliputi oleh ketegangan dan kegentingan, sekonyong-konyong terdengar
suara tawa yang meledak keras. Suara tertawa itu berasal dari mulut Ang Siong-pik. Nadanya sedemikian
tajam hingga memekakkan telinga sekalian orang......
Walaupun Pek Wan Taysu sudah berjaga-jaga namun tak urung darahnya masih bergejolak keras.
"Tenaga dalam yang hebat sekali," diam-diam ia menghela napas.
Selesai tertawa, Kim-pou-sat berseru pelahan-lahan:
"Barisan Thay-kek-jiang-gi-su-giong-ki-bun-tin hari ini benar-benar telah bertemu tandingannya......, kalau
terus menerus begitu walaupun sampai sepuluh hari sepuluh malam tentu takkan ada kesudahannya.
Mungkin aku akan kehilangan muka yang tua ini......"
Walaupun ucapan itu seperti orang berkata seorang diri, tetapi setiap patah kata terngiang jelas pada
telinga setiap pengawal Baju Merah. Serentak barisan baju merah itu dapat menangkap maksud tuannya.
Serempak mereka menggembor keras lalu menyerang dengan tombak. Sambil menyerang mereka
berpindah-pindah tempat beberapa kali.
Karena lawan bergerak maka barisan Tat-mo-coat-ci-tin pun mulai bergerak. Berpuluh gelombang tenaga
pukulan bergulung-gulung melanda musuh.
"Bum, bum......"
Terdengar letupan keras disusul oleh hamburan pecahan batu dan pasir yang bertebaran ke empat penjuru.
Bumipun seolah bergoncang.
Adu tenaga itu segera memberi hasil. Ke delapan pengawal Baju Merah tak kuat menahan gelombang
pukulan anak buah barisan Tat-mo-coat-ci-tin. Barisan mereka kacau.
Suatu ciri istimewa dari barisan Tat-mo-coat-ci-tin yang termasyhur itu yalah sekali bergerak, tentu akan
terus bergerak tak henti-hentinya.
Demikianpun saat itu. Setelah membuka penyerangan, barisan Tat-mo-coat-ci-tin pun terus bergerak-gerak.
Makin lama barisan makin menyempit kecil dan langkah kaki anak buah barisanpun makin deras.
Rupanya ke delapan pengawal Baju Merah itu kehilangan pimpinan. Mereka mengikuti gerakan barisan
lawan. Melihat itu diam-diam Pek Wan Taysu gembira sekali.
"Ang sicu," serunya kepada Kim-pou-sat, "Buddha bersifat kasih sayang. Apabila engkau suka tinggalkan
tempat ini, akupun segera akan menghentikan barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu dan melepaskan anak buahmu.
Apabila tidak......"
"Apakah engkau hendak membaca khotbah kepadaku?" tukas Kim-pou-sat dengan tertawa mengejek,
"apakah engkau sudah yakin bahwa barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu akan dapat mengalahkan mereka?"
Pek Wan Taysu kerutkan alis,
"Ang sicu, rupanya engkau tetap tak sadar. Ketahuilah bahwa sejak Siau-lim-si berdiri ratusan tahun yang
lalu, belum pernah terdapat orang yang mampu lolos dari barisan itu. Adakah sicu anggap dengan
kelompok barisan kecil Thay-kek-jiang-gi-su-giong-tin itu akan mampu memecahkannya" Apakah tidak
seperti telur membentur tanduk?"
Tiba-tiba Kim-pou-sat berseru memberi perintah kepada barisan pengawal Baju Merah itu: "Melangkah ke
Tiong-kiong, serang Li-bun, terjang Gan-wi?" akan kubantu kalian?""
Habis berkata, dia terus melayang ke sayap kanan barisan Tat-mo-coat-ci-tin lalu serentak mengangkat
tangan kanannya, segelombang arus tenaga dahsyat segera melanda tiga orang paderi.
dunia-kangouw.blogspot.com
10.50. Elahan Napas Panglima Kalah Perang
Melihat itu Pek Wan Taysu terkejut dan cepat-cepat gerakkan kedua tangannya untuk melepaskan ilmu jari
Lo-han-ci-keng. "Dar?"." Terdengar letupan keras dan ketiga paderi itupun muntah darah, tubuhnya terlempar sampai tiga tombak
jauhnya. "Bum......" jatuhlah mereka terbanting ke tanah untuk tak bangun selama-lamanya.
Terbukanya sebuah lubang pada barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu cepat-cepat ditutup oleh anak buah barisan.
Tetapi karena lubang kelemahan itu maka pengawal Baju Merahpun mendapat angin. Dari diserang kini
balas menyerang. Ke delapan pengawal Baju Merah itu mainkan tombaknya dengan deras dan dahsyat. Tampaknya gerakan
mereka hanya biasa saja tetapi ujung tombak mereka selalu menusuk pada ulu hati lawan.
Serangan gencar itu telah membuyarkan konsentrasi pikiran anak buah Tat-mo-coat-ci-tin. Ke tujuhpuluh
delapan paderi serempak mundur sampai lima-enam langkah lalu menyusun barisan jadi dua lapis.
Ke delapan pengawal Baju Merah itu tiba-tiba bergerak menyerang. Kedua Lapis barisan Tat-mo-coat-ci-tin
itu segera memencar. Berpuluh hantaman berhamburan melanda ke arah delapan pengawal Baju Merah.
Barisan baju merah berputar-putar dan memecah diri dalam dua deret. Deret yang kiri mencekal tombak
dengan tangan kiri. Deret kanan mencekal tombak dengan tangan kanan. Dua orang yang berada paling
depan, mengacungkan tombaknya lurus ke muka. Dalam bentuk barisan yang aneh itu, mereka lalu
menyerbu. Gerak perobahan barisan itu dilakukan dengan serba cepat sekali.
"Bum, bum, bum......."
Dari empat penjuru, angin pukulan dahsyat menderu dan ke delapan pengawal Baju Merah itupun tersurut
mundur tiga langkah lagi.
Barisan Tat-mo-coat-ci-tin memang tak bernama kosong. Dalam sekejap saja, mereka telah mengurung
lawan lagi. Ketujuhpuluh delapan paderi itu segera bergerak berputar-putar sambil mengucapkan doa nyanyian dengan
pelahan. Nyanyian itu menimbulkan semangat keberanian menyala-nyala.
Tiba-tiba nyanyian itu makin cepat dan gerak barisan paderi itupun bertambah cepat pula. Lingkaran
mereka makin lamapun makin menyempit kecil.
Melihat itu berobahlah cahaya muka Kim-pou-sat. Ia tertawa nyaring dan panjang.
"He, hebat benar nyanyian doa puji itu," serunya, "tetapi cobalah dengarkan nyanyian Rintihan lblis. Lihat
saja siapa yang lebih unggul."
Habis berkata ia terus memberi komando, "Mulailah!"
Kedelapan barisan Baju Putih itu segera mengambil seruling besi dari pinggang masing-masing lalu mulai
meniupnya. Serentak melengkinglah di udara suara seruling yang nyaring tinggi. Iramanya terpecah menjadi dua.
Membubung seperti asap dan bernada tinggi seperti kumandang guruh menggema di udara.
Kedua nada itu bersatu dalam suatu paduan yang serasi.
Beberapa saat kemudian, suara seruling dapat mengatasi doa nyanyian dari barisan paderi.
Sekalian orang seperti terbawa ke alam yang hampa, sunyi. Dan tubuhpun ikut lemas lunglai, kaki melentuk.
Demikian yang dirasakan oleh barisan paderi dari Tat-mo-coat-ci-tin. Semangat tempur mereka yang
menyala-nyala tadi, seketika padam seperti tersiram air dingin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam detik-detik yang gawat itu, sekonyong-konyong melengkinglah sebuah suara seruling lagi. Tetapi
bukan berirama seperti seruling pengawal Baju Putih, melainkan melantangkan irama tersendiri yang aneh.
Sayup-sayup...... halus lembut...... hilang-hilang terdengar...... menyusup lemah ke dalam telinga.
Seketika Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing rasakan semangatnya segar kembali. Buru-buru mereka
pusatkan tenaga dalam, tenangkan diri lalu memandang ke tengah gelanggang.
Ternyata pada saat barisan paderi itu kehilangan semangat, ke delapan pengawal Baju Merah serentak
berhamburan loncat melampaui kepala barisan lawan dan lolos dari kepungan mereka.
Serempak pada saat itu, suara seruling yang berirama aneh itupun lenyap. Menyusul irama seruling dari
pengawal Baju Putih lalu nyanyian doa dari barisan paderi pun berhenti.
"Bluk, bluk"..."
Dalam barisan Tat-mo-coat-ci-tin telah terjadi beberapa perobahan. Sebagian besar anak buahnya
berhamburan rubuh ke tanah.
Tetapi di lain pihak, ke delapan pengawal Baju Putih itupun muntah darah. Wajah mereka pucat lesi seperti
orang yang menderita luka.
Seketika berobahlah warna muka Kim-pou-sat melihat peristiwa itu. Dia tahu bahwa anak buahnya telah
menderita serangan ilmu suara sakti yang disebut Siang-goan-sam-jiok atau Tiga nada penghancur tenaga
murni. Tiba-tiba Kim-pou-sat tertawa dingin.
"Hm, memang sudah kuduga tentu berada di loteng. Sekalipun engkau gunakan ilmu Cian-li-coan-im untuk
menutupi tempatmu, tetapi jangan harap dapat mengelabuhi aku......."
Cian-li-coan-im artinya Menyusupkan suara sampai seluas satu lie.
Habis berkata Kim-pou-sat terus apungkam tubuhnya ke udara. Laksana seekor burung garuda ia melayang
ke atas loteng. Pek Wan Taysu dan Cu-ing berhamburan melepaskan pukulan dan tutukan jari. Tetapi gerak layang Kimpou-sat jauh lebih cepat. Kedua orang itu tak mampu menghalanginya.
Kim-pou-sat melayang ke arah jendela di bagian tengah.
"Bum?"" Tiba-tiba daun jendela itu terbuka sendiri dan selarik sinar emas segera meluncur keluar.
Kim-pou-sat Ang Siong-pik menjerit kaget dan dengan gerak Ikan le-hi berjumpalitan, ia buang tubuhnya ke
atas dan berjumpalitan melayang turun ke bumi lagi.
"Siau toako?". dia sudah sembuh!" tiba-tiba Cu-ing berteriak.
Sejak menderita luka dalam dari Kim-pou-sat, Hun-ing hanya tegak mengawasi pertempuran seraya
mengatur pernapasan untuk mengobati lukanya. Ketika mendengar teriakan Cu-ing, ia terkejut dan
mengangkat muka memandang ke arah loteng.
Ah, memang benar. Jendela di tengah loteng itu terbuka lebar dan Siau Lo-seng tegak berdiri di belakang
pagar lankan. Wajahnya merah segar, sepasang matanya berkilat-kilat tajam. Sambil mencekal pedang,
pemuda itu berdiri dengan gagahnya.
"Apakah Siang-goan-sam-jiok itu engkau yang melancarkan?" seru Kim-pou-sat kaget-kaget heran.
Tetapi Siau Lo-seng tidak menjawab melainkan balas bertanya: "Ang locianpwe, apa maksudmu membuat
gaduh di tempat markas cabang Naga Hijau sini?"
"Aku bertanya kepadamu, dengar tidak!" bentak Ang Siong-pik murka.
"Ang locianpwe," seru Siau Lo-seng, "jangan keliwat unjuk kegarangan untuk menggertak. Sebenarnya aku
menghormati engkau tetapi janganlah engkau terlalu menekan orang. Walaupun kepandaianku rendah
tetapi aku tak gentar meminta pelajaran dari locianpwe."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kemarahan Kim-pou-sat makin meluap-luap. Matanya merentang lebar seolah mencurah api yang ingin
menghanguskan tubuh Lo-seng.
"Baru pertama kali ini ada orang yang berani menantang aku," serunya sesaat kemudian, "apabila hal ini
terjadi pada empatpuluh tahun yang lalu, aku tentu segera membunuhmu...... ah, beritahukanlah kepadaku
darimana engkau mempelajari ilmu Suara Siang-goan-sam-jiok itu dan aku takkan menyusahkan engkau
lagi." Siau Lo-seng agak terkesiap lalu balas bertanya: "Siang-goan-sam-jiok" Apakah ilmu itu?"
"Apa" Suara seruling itu bukan engkau?"."
"Masakan aku bohong," tukas Lo-seng.
Kim-pou-sat bersangsi sejenak lalu berkata pula: "Memang aku tak percaya. Suara seruling itu jelas berasal
dari dalam loteng...... Siau Lo-seng, apakah engkau mengijinkan aku menjenguk dalam ruang loteng itu?"
"Tidak!" sahut Lo-seng, "tempat rahasia dari Naga Hijau masakan boleh dimasuki sembarang orang-"
Kim-pou-sat mendengus dingin.
"Ngaco," bentaknya. "engkau memang hendak mempermainkan aku."
Saat itu Hun-ing menghampiri ke sisi Pek Wan Taysu dan berbisik: "Paman, rupanya Kim-pou-sat berkeras
hendak menyerbu ke dalam ruang loteng itu. Adakah Siau toako mampu menghadangnya?"
Pek Wan Taysu kerutkan alis, ujarnya: "Dalam ilmu kepandaian, rasanya Lo-seng masih kalah. Tetapi saat
ini dia berada di atas loteng sedang Kim-pou-sat di bawah. Tentu tak mudah bagi iblis itu untuk melayang ke
atas." Tepat pada saat itu, Kim-pou-sat pun menggembor keras dan terus melambung ke udara. Pada saat
melayang itu diapun gerakkan kedua tangan untuk melepas pukulan.
Siau Lo-seng kerutkan dahi lalu membentak kuat-kuat, Pedang Ular Emas segera ditaburkan untuk
menyongsong angin pukulan lawan.
Tetapi Kim-pou-sat tak gentar. Dia maju terus dan ulurkan tangannya untuk menyambar pedang.
Seketika Lo-seng terkejut sekali karena pedangnya serasa disedot oleh suatu tenaga penyedot yang amat
kuat. Hampir saja pedang itu terlepas dari tangannya.
"Hebat, ilmu apakah ini?" diam-diam ia bertanya dalam hati.
Pada saat Lo-seng termangu, tubuh Kim-pou-sat pun meluncur maju dan kakinya sudah menginjak lankang.
Lo-seng gelagapan tersadar. Dengan menggembor keras ia menarik mundur pedang lalu menusukkannya
ke muka. Kim-pou-sat tak berani berayal. Cepat ia injakkan kaki untuk mengantar tubuh melambung ke atas sampai
tiga tombak tingginya. Setelah menghindari tusukan pedang ia bergeliatan di udara lalu dengan gerak
Harimau lapar menerkam kambing, ia meluncur turun menerkam lawan.
Lo-seng mendengus dingin. Cepat ia balikkan pedang Ular Emas ke atas, memutar-mutarkan tiga lingkaran
lalu berhamburan menusuk tiga buah jalan darah penting di tubuh Kim-pou-sat.
Jurus permainan pedang itu, bukan saja aneh dan luar biasa, pun jarang tampak dalam dunia persilatan.
Dan serangannya rapat sekali sehingga jalan penghindaran lawan terhadang semua.
Tetapi Kim-pou-sat itu memang seorang iblis tua yang lihay. Dalam ancaman bahaya yang begitu tajam, dia
masih dapat bersuit keras lalu bergeliatan melambung tiga tombak lagi ke atas. Tiba-tiba ia merentang
kedua tangan untuk menghentikan gerak luncurannya dan sekali kedua tangan menekan ke bawah maka
iapun menukik turun untuk menerkam Lo-seng lagi.
Gerakan Kim-pou-sat Ang Siong-pik itu benar-benar hebat sekali. Selagi masih melayang di udara ia dapat
pula bergeliatan naik dan meluncur turun, benar-benar suatu ilmu kepandaian yang jarang terdapat di
kalangan kaum persilatan.
Tokoh berilmu tinggi macam Pek Wan Taysu, sampai terlongong kesima?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar suitan nyaring dan dering melengking dari kedua orang yang beradu kesaktian itu.
Siau Lo-seng mengerang tertahan. Sinar pedangnya lenyap, kaki terhuyung-huyung mundur sampai limaenam langkah.
Kim-pou-sat Ang Siong-pik pun mendesuh tertahan juga. Tubuhnya yang tinggi besar terlempar sampai tiga
tombak dan meluncur jatuh ke tanah.
Peristiwa itu telah berlangsung terlampau cepat sekali sehingga tiada seorangpun yang tahu jelas apa yang
telah terjadi sebenarnya.
Segera ia mengangkat muka memandang ke atas.
Ah, Siau Lo-seng tegak di ambang jendela. Mencekal pedang dan memandang ke arahnya.
Tiba-tiba Kim-pou-sat Ang Siong-pik menghela napas panjang. Elahan napas dari seorang panglima yang
kalah perang...... Ternyata dia telah salah menafsir kepandaian si anak muda itu. Setitikpun ia tak menyangka bahwa
lawannya yang masih muda itu akan mampu menangkis ilmu pukulan sakti Jong-kiong-sam-si atau tiga
jurus pukulan cakrawala. Renungan seorang pahlawan tua akan masa kejayaannya, merupakan suatu kenangan yang memilukan.
Demikian keadaan Ang Siong-pik saat itu. Dan hanya dalam beberapa kejap saja, ia sudah merasa
bertambah tua beberapa tahun. Dia pun menyadari bahwa masa itu bukanlah jamannya.
Suasana hening lelap meliputi kedua tokoh yang tengah saling pandang itu. Seorang tokoh tua yang
menyadari kedudukannya dan seorang tokoh muda yang tengah menjulang naik semangat remajanya.
Entah berselang beberapa lama keadaan itu berlangsung, tiba-tiba di udara berkumandang suara seruling
dalam irama yang aneh. Nadanya bening jernih, merdu menyedapkan telinga. Seolah-olah seperti gemercik
air mengalir. "Suara seruling yang luar biasa anehnya," seru Cu-ing.
"Seperti berasal dari sebelah tenggara," sahut Hun-ing.
"Benar," kata Pek Wan Taysu, "memang berasal dari arah tenggara...... tiga lie jauhnya, aneh?"
mengapa?"?" Rupanya Pek Wan Taysu seperti menyadari sesuatu hal maka tiba-tiba ia hentikan kata-katanya.
Siau Lo-seng masih tegak memandang Kim-pou-sat dengan pandang terkejut dan kagum.
Sedangkan Kim-pou-sat Ang Siong-pik tampak berobah-robah cahaya mukanya ketika mendengar irama
seruling aneh itu. Sejenak menumpahkan perhatiannya, kedengaran ia berkata seorang diri.
"Adakah aku salah menduga lagi......?"
Suara seruling itu memang jelas diketahui berasal dari arah tenggara, kira-kira dua lie jauhnya. Tetapi makin
lama suara itu makin melayang jauh dan makin jauh......
Sejenak menyapukan pandang mata ke sekeliling, tiba-tiba Kim-pou-sat berteriak: "Jalan......!"
Begitu berkata, tubuhnyapun sudah melayang ke atas tandu. Ke delapan pengawal Baju putih segera
mengangkat tandu dan terus membawanya lari. Ke delapan pengawal Baju Merah tetap mengawal di kedua
samping tandu itu. Tiada seorangpun yang membuka suara atau merintangi kepergian rombongan Kim-pou-sat yang dalam
beberapa kejappun sudah menghilang di ujung jalan.
Selepas kepergian rombongan Kim-pou-sat, tiba-tiba tubuh Siau Lo-seng terhuyung-huyung dan pelahanlahan rubuh kelantai. Pedang Ular Emas pun terlepas dari tangannya.
Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing terkejut sekali. Mereka serempak berhamburan loncat ke atas loteng.
Hun-ing cepat mencekal tubuh Lo-seng. Tangan pemuda itu dingin seperti es. Untunglah ia masih
merasakan denyut nadi pergelangan tangan Siau Lo-seng masih berjalan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dia kenapa?" seru Pek Wan Taysu dan Cu-ing cemas.
Hun-ing menghela napas. "Siau toako baru sembuh dari sakit. Karena bertempur melawan Kim-pou-sat, mungkin dia kehilangan
tenaga sehingga tenaga murni dalam tubuhnya habis......."
"Apa" Tidak.......," seru Pek Wan Taysu terkejut, "kalau anak itu sampai celaka, bagaimana aku harus
mengatakan kepada arwah mendiang ayahnya di alam?"?"
Cu-ing menjerit lalu memeluk tubuh Sian Lo-seng dan menangis gerung-gerung?"
11.51. Kesaktian Ilmu Siang-goan-sam-jiok
Melihat Cu-ing menangis seperti orang kalap, Hun-ing pun menghiburnya:
"Adik Ing, Siau toako takkan mati. Asal masih mempunyai setitik napas, dia tentu tak dapat mati......"
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba dari atas loteng terdengar suara helaan napas panjang. Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing
serempak berpaling ke arah loteng.
Ternyata orang tua peniup seruling itu sudah tak berada di sudut ruang loteng. Sebagai gantinya, di ruang
itu terdapat sebuah genta raksasa yang tingginya hampir setombak dan terbuat dari tembaga kuno.
"Locianpwe, engkau berada dimana?" seru Hun-ing.
Suara orang yang menghela napas tadi kembali terdengar, "Aku berada dalam genta ini. Bawalah anak itu
kemari, biar kuperiksanya."
Ketiga orang itu terkejut. Bagaimana mungkin seseorang dapat menutup dirinya sendiri dalam sebuah genta
raksasa. Genta raksasa itu paling tidak tentu beribu-ribu kati beratnya.
"Siapa sicu?" seru Pek Wan Taysu.
Buru-buru Hun-ing memperkenalkan siapa kakek yang berada dalam genta raksasa itu: "Beliau adalah
peniup seruling yang telah menyelamatkan jiwa Siau toako."
Serta merta Pek Wan Taysu menghaturkan terima kasih kepada kakek aneh itu.
"Siapakah nama yang mulia dari sicu" Dapatkah aku bertemu muka?" kata paderi itu pula.
"Locianpwe, bagaimana engkau hendak memeriksa keadaan Siau toako?" cepat Cu-ing menukas.
Orang tua itu menghela napas sarat. Tiba-tiba genta itu terangkat ke atas dan puncaknya yang
berlubangpun tergantung pada tiang cantelan.
Kini dapatlah Pek Wan Taysu melihat jelas bagaimana keadaan kakek itu. Serta merta ia membungkukkan
tubuh dan minta maaf karena menyebabkan orang tua itu menderita.
"Ah, aku hanya seorang manusia yang sudah kehilangan daya hidup. Bukan karena tak mau menuturkan
kisah hidupku kepada taysu, tetapi memang ada sesuatu hal yang memaksa aku harus begitu. Harap taysu
memaafkan." Dalam pada itu Cu-ing dan Hun-ing pun sudah membawa Siau Lo-seng ke hadapan kakek buntung. Dan
kakek itupun segera memeriksa pergelangan tangan Siau Lo-seng. Kemudian menghela napas.
"Ah, anak ini memang setia, melakukan kewajiban. Kusuruhnya mencegah Kim-pou-sat, ternyata dia telah
mengadu jiwa benar-benar sehingga sampai menderita luka parah."
"Ah," Pek Wan Taysu mendesah.
"Kalau anak ini sampai kena apa-apa, sungguh Thian tak adil," seru kakek peniup seruling seraya
mengeluarkan sebuah botol kumala dan menuang tiga butir pil merah lalu dimasukkan ke mulut Siau Loseng. Sesaat kemudian wajah Siau Lo-seng yang pucat lesi, berobah agak merah.
Setelah wajah anak muda itu makin merah, tiba-tiba kakek peniup seruling menutuk beberapa jalan darah di
tubuhya. Melepaskan baju Siau Lo-seng, melekat tangan kiri ke punggung pemuda itu dan tangan kanan
mengambil serulingnya. dunia-kangouw.blogspot.com
"Harap kalian bertiga melindungi tempat ini. Aku hendak menggunakan tenaga murni untuk memulihkan
tenaganya," kata kakek itu.
Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing segera berpencar menjaga tempat itu.
Sesaat kemudian Wajah Siau Lo-seng yang merah pelahan-lahan, mulai menyurut dan akhirnya berobah
segar. Napasnyapun mulai teratur seperti orang yang tidur nyenyak.
Tetapi keadaan orang tua itu mengejutkan. Dari rambutnya bercucuran keringat, demikian sekujur badannya
seperti orang mandi. Tiba-tiba ia menarik pulang tangan kirinya dan menghela napas panjang, "Mungkin setelah beristirahat
beberapa saat, dia tentu sudah sembuh."
Pek Wan Taysu seorang ahli lwekang atau tenaga dalam yang hebat. Tetapi ketika melihat cara kakek
buntung itu mengobati Siau Lo-seng dengan jalan menyalurkan tenaga dalam melalui tiupan seruling, paderi
itu terkejut bukan kepalang.
"Taysu beberapa murid taysu yang terkena Siang-goan-sam-jiok dari serulingku, harap taysu memberikan
pil Po-goan-siok-beng-wan ini agar tenaga murni mereka tak sampai merana," kata kakek aneh itu seraya
menyerahkan pil. Tetapi Pek Wan Taysu menolak, "Terima kasih atas kebaikan sicu. Tetapi baiklah sicu simpan sendiri untuk
dipakai apabila perlu. Tentang murid-murid Siau-lim-si itu, mereka mungkin dapat menjaga diri."
Gereja Siau-lim-si telah berdiri ratusan tahun dan dianggap sebagai sumber dari ilmu silat daerah Tionggoan. Barisan Tat-mo-coat-ci-tin merupakan salah satu dari barisan Siau-lim-si yang termasyhur. Anggauta
dari barisan itu sudah tentu terdiri dari paderi-paderi pilihan yang telah tinggi ilmu kepandaiannya. Maka
tidaklah suatu kesombongan kalau Pek Wan Taysu memberi keterangan begitu kepada kakek buntung.
"Memang benar taysu," kata kakek buntung, "tetapi hendaknya janganlah meremehkan ilmu suara tenaga
dalam Siang-goan-sam-jiok itu. Apabila tak kuhembuskan ilmu itu, tentulah Kim-pou-sat Ang Siong-pik tak
mau pergi. Dia memiliki ilmu suara Thian-siau-mo-im yang tak boleh dipandang enteng. Kemunculannya
yang ketiga kalinya di dunia persilatan ternyata dia makin sakti."
Rupanya Hu-ing dan Cu-ing tak enak mendengar kakek buntung itu memuji kesaktian Kim-pou-sat Ang
Siong-pik. Tetapi Pek Wan Taysu dapat menerima. Ketika ia hendak membuka suara kakek buntung itu
sudah mendahului lagi. "Walaupun berhasil kuhalau dia pergi, tetapi kemungkinan dia tentu akan kembali lagi. Karena musuh
tangguh masih membayangi, baiklah taysu memberikan pil ini kepada anak buah barisan itu!"
Pek Wan Taysu kerutkan dahi hendak berkata tetapi lagi-lagi kakek buntung itu sudah mendahului berseru
pula. "Apakah taysu tak percaya omonganku" Silahkan taysu memeriksa anak buah taysu, tentulah taysu segera
mengetahui," kata kakek itu.
Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing serempak berpaling memandang ke luar jendela. Apa yang mereka
lihat saat itu, benar-benar mengejutkan sekali. Bahkan Hun-ing dan Cu-ing sampai ternganga.
Kecuali tiga orang paderi yang telah binasa, tujuhpuluh delapan anak buah barisan Tat-mo-coat-ci-tin saat
itu rebah di tanah. Benar-benar hampir tak dapat dipercaya.
Ilmu suara tenaga dalam Siang-goan-sam-jiok dari kakek buntung itu, ternyata mempunyai daya kekuatan
yang sedemikian hebatnya. Dalam beberapa kejap saja sudah mampu melukai sekian banyak paderi-paderi
Siau-lim-si yang sakti. Disamping itu masih mampu pula untuk mengalahkan ilmu suara Thian-siau-mo-im
dari Kim-pou-sat Ang Siong-pik, melukai kawanan pengawal baju putih pula.
Wajah Pek Wan Taysu merah karena malu. Kemudian ia meminta maaf kepada kakek buntung karena telah
salah menafsir ilmu Siang-goan-sam-jiok yang sedemikian saktinya.
Paderi sakti dari Siau-lim-si itupun serta merta membungkukkan tubuh memberi hormat sedalam-dalamnya.
Kakek buntung ulurkan kedua tangannya untuk mengangkat tubuh Pek Wan Taysu, "Ah, harap jangan
merendah begitu. Aku merasa tak enak hati!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikian orang tua kaki buntung itu segera menyerahkan botol pil kepada Pek Wan Taysu yang
menyambutnya dengan penuh perasaan terima kasih. Dengan gerak Burung walet terbang melayang ia
melayang turun ke halaman.
Hun-ing memberi hormat kepada orang tua aneh itu, serunya: "Locianpwe dapat menduga dengan tepat.
Aku mempunyai sedikit pertanyaan, entah apakah......."
Orang tua aneh itu tertawa: "Silahkan bertanya."
"Kalau tak salah tafsir, kurasa locianpwe tak suka bertemu dengan Pek Wan Taysu. Dengan memberanikan
diri aku hendak menduga, apakah kiranya locianpwe mempunyai kaitan kisah dengan Pek Wan Taysu?"
Orang tua aneh itu terkesiap. Kemudian tertawa.
"Engkau sungguh cerdik. Memang aku mempunyai hubungan dengan Pek Wan Taysu, bahkan erat sekali
hubungan itu," katanya.
"Tetapi mengapa locianpwe tak suka bertemu muka dengan Pek Wan Taysu?" tukas Cu-ing.
Orang tua itu tertawa aneh,
"Mengapa aku tak mau bertemu muka dengan Pek Wan Taysu adalah pertama karena kuatir dia akan
mengenal diriku ini siapa. Kedua, memang belum tiba waktunya dia tahu hal itu. Ketiga, tembok sering
bertelinga, aku tak mau orang mengetahui asal usulku. Apakah kalian mengerti?"
"Apakah di ruang loteng itu terdapat orang lain lagi?" Hun-ing terkejut lalu sapukan pandang mata ke
sekeliling. Orang tua itu tertawa gelak-gelak. Sedemikian kuat nada tawanya sehingga hati kedua nona itu seperti
debur keras. Hun-ing heran mengapa orang tua itu terus menerus tertawa keras.
Tiba-tiba orang tua itu berhenti tertawa, serunya: "Kawanan tikus, apakah kalian hendak menyelinap keluar"
Hayo, keluar, sebelum aku turun tangan!"
Terdengar suara tertawa seram dan tiba-tiba muncullah seseorang di atas tiang penglari ruang
"Engkau?" Ciong Pek-to!" seru Hun-ing terkejut.
Ciong Pek-to tertawa sinis.
"Benar, memang aku. Pah-cu memberi perintah kepadamu agar dalam tiga hari engkau harus kembali ke
Lembah Kumandang. Atau akan dijatuhkan hukuman kepadamu. Kalau engkau tahu gelagat, lekaslah
engkau ikut aku kembali ke lembah."
Cahaya muka Hun-ing berobah.
"Tiap manusia mempunyai cita-cita sendiri," katanya, "aku Ui Hun-ing memang sudah tak tahan lagi hidup
dalam lingkungan Lembah Kumandang. Tindakannya yang ganas dan kejam dari Pah-cu, telah
membangkitkan kebencianku. Nah, engkaupun jangan mimpi akan menggertak aku dengan ancamanancaman yang ngeri."
Ciong Pek-to tertawa, "Terserah," serunya, "tak lama lagi Pah-cu tentu akan datang kemari sendiri. Dan pada saat itu engkau
boleh mengatakan isi hatimu kepadanya, heh, heh, heh?""
Hun-ing marah dan cepat menghantam.
"Huh, engkau masih terpaut jauh sekali?"" seru Ciong Pek-to seraya kebutkan tangan jubahnya.
Terdengar suara orang tertahan dan Hun-ing pun tersurut mundur tiga-empat langkah. Tubuhnya
terhuyung-huyung hendak rubuh.
Dengan tertawa iblis, Ciong Pek-to loncat maju terus hendak mencengkeram pergelangan tangan kanan
Hun-ing. dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Ciong Pek-to berteriak aneh dan terhuyung-huyung sampai beberapa langkah. Wajahnya
menampilkan kerut ketakutan yang hebat.
"Ciong Pek-to berdiri ke sini," seru orang tua peniup seruling.
Tergetar hati Ciong Pek-to, pikirnya "Siapakah dia" Mengapa tak dapat kuketahui sama sekali aliran
kepandaiannya itu" Bahwa dia tahu namaku dan mengatakan kalau dia memang mempunyai hubungan
dengan Pek Wan suheng, apakah mungkin dia seorang tokoh Siau-lim" Tetapi sepanjang ingatanku, tak
ada seorang tokoh Siau-lim-si yang sesakti itu. Siapakah gerangan orang itu?"
Walaupun dalam hati resah gelisah bukan kepalang namun Ciong Pek-to masih menghias mulutnya dengan
tertawa. "Setan tua," serunya, "jangan terlalu memandang rendah orang. Memang lain orang jeri terhadap ilmumu
Siang-goan-sam-jiok, tetapi aku tak memandang mata kepada ilmumu itu."
Orang tua itu tertawa gelak-gelak,
"Itulah yang dinamakan perasaan seorang maling yang tak takut pada tuan rumah. Baik, cobalah engkau
rasakan Siang-goan-sam-jiok itu."
Berobahlah wajah Ciong Pek-to, serunya,
"Setan tua kalau engkau memang sakti mengapa engkau tak berani berhadapan dengan Pah-cu kami" Aku
masih ada urusan lain, tak dapat melayanimu."
Habis berkata ia terus berputar tubuh hendak pergi.
"He, Ciong Pek-to," orang tua peniup seruling tertawa meloroh, "engkau takut, bukan" Bebodoran macam
engkau, biasanya selalu garang dan congkak. Suka melakukan kejahatan dan menindas yang lemah. Lebih
baik engkau lekas enyah agar orang tidak muak melihat tampangmu. Kalau sampai terlihat oleh suhengmu
Pek Wan Taysu, betapalah sedihnya."
Berobah-robah cahaya muka Ciong Pek-to di damprat habis-habisan oleh orang tua Peniup seruling itu.
Sikapnya yang garang dan jumawa, saat itu benar-benar hilang bagai anjing bercawat ekor.
"Mengapa tak lekas enyah" Apakah engkau hendak tunggu sampai Pek Wan Taysu datang kemari dan
menampar mukamu?" bentak orang tua itu pula.
Ciong Pek-to memang seorang durjana yang licik dan licin. Tahu bahwa dirinya tak mampu melawan orang
tua itu, terpaksa ia harus menelan hinaan itu.
"Tua bangka," serunya sambil menatap orang tua peniup seruling dengan pandang berkilat-kilat, "akan
kucatat apa yang engkau lakukan terhadap diriku hari ini. Kelak pada suatu hari tentu akan kutagih
kepadamu." Habis berkata ia terus meluncur pergi.
"Cici Hun, tadi dia begitu garang tetapi sekarang berobah seperti anjing melihat gebuk. Bahkan waktu pergi
dia tak berani bernapas sama sekali," Cu-ing tertawa.
Hun-ing mengerut dahi, "Adik Ing, Ciong Pek-to itu seorang manusia yang selicin belut. Kalau dia tak tahu keadaan yang tak
menguntungkan dirinya, masakan dia mau menelan hinaan begitu. Dan kemunculannya di tempat ini, tentu
bukan tak ada sebab-sebabnya. Adakah Lembah Kumandang akan mengadakan pembunuhan besarbesaran?"
"Pembunuhan besar-besaran?"," tiba-tiba Cu-ing teringat akan pembunuhan yang telah menimpah
keluarganya serta gerak gerik orang Ban-jin-kiong dan peristiwa rumah pondok aneh di tengah hutan.
"O, engkau sudah siuman?"" tiba-tiba orang tua peniup seruling berseru dengan nada ramah.
Memang saat itu Siau Lo-seng sudah bangun dan duduk. Dia menguap seperti orang yang baru bangun
tidur. "Siau toako, lekas haturkan terima kasih kepada locianpwe ini," seru Cu-ing.
Serta merta Siau Lo-seng terus jatuhkan diri memberi hormat di hadapan orang tua itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sudah berulang kali locianpwe telah menolong jiwaku. Apabila aku, Siau Lo-seng, masih hidup, tentu
takkan melupakan budi locianpwe."
Orang tua peniup seruling itu tertawa,
"Tubuhku cacat dan mengasingkan diri dari dunia keramaian. Aku sudah tak mempunyai keinginan pada
dunia. Entah bagaimanakah cara engkau hendak membalas aku?"
"Ini....... ini?"" Lo-seng tak dapat mengatakan apa-apa.
Orang tua itu tertawa pula.
"Jika tak kecewa terhadap seorang tua cacat semacam diriku, aku ingin memungut anak angkat. Entah
engkau mau atau tidak?"
Girang Siau Lo-seng bukan alang kepalang. Serentak ia berlutut lagi dan berseru: "Gi-hu, terima hormat
sujud Lo-seng"..."
Sampai empat kali Lo-seng memberi hormat kepada orang tua aneh itu sebagai tanda seorang putera
terhadap Gi-hu atau ayah angkat.
Cu-ing dan Hun-ing pun jang serempak memberi hormat: "Ui Hun-ing dan Nyo Cu-ing menghaturkan
selamat kepada paman."
Sambil mengusap-usap jenggot, orang tua itu tertawa, "Bangunlah, bangun semua. Hari ini aku sungguh
gembira sekali." 11.52. Rahasia Seruling Tiba-tiba dari luar terdengar suara Pek Wan Taysu berseru gembira: "Selamat, selamat. Kalian ayah dan
anak sungguh bahagia sekali dapat berkumpul di sini. Aku tak mempunyai rejeki seperti kalian."
Serentak masuklah Pek Wan Taysu ke dalam ruangan. Tiba-tiba cahaya muka orang tua buntung itu
berobah dan tubuhnya agak gemetar. Tetapi cepat pula ia tertawa gelak-gelak.
"Ah, taysu telah masuk dalam dunia kesucian. Tidak seperti kita yang masih dilekati debu-debu kedosaan
dan kegelisahan. Taysu lebih bahagia."
Perobahan airmuka orang tua buntung itu, tiada seorangpun yang memperhatikan kecuali Lo-seng. Hal itu
makin menimbulkan keresahan hati pemuda itu.
Sesaat kemudian wajah Pek Wan Taysu berobah serius, katanya:
"Kita berkumpul di sini dengan gembira dan selamat. Tetapi dewasa ini kawanan durjana telah muncul
mengadu biru di dunia persilatan. Setiap saat keselamatan jiwa kaum persilatan tentu terancam. Tadi aku
telah menerima laporan dari anak murid Siau-lim-si dan anak murid partai Bu-tong-pay, mengatakan bahwa
partai Bu-tong-pay telah menghadapi bahaya besar. Beratus-ratus musuh telah menyerang Bu-tong-san.
Sudah beberapa pimpinan partai itu yang binasa. Mereka minta bantuan kepada ciang-bun-hong-tiang
{Ketua). Siau-lim-si telah memerintahkan aku supaya segera membawa barisan Tat-mo-coat-ci-tin untuk
memberi bantuan. Oleh karena peristiwa itu amat gawat maka akupun harus lekas-lekas ke Bu tong-san
dan akan minta diri kepada kalian."
Sekalian terkejut mendengar berita itu.
"Paman, setiap orang merasa wajib untuk membela keadilan dan kebenaran. Sukalah paman meluluskan
aku juga ikut membantu ke sana."
Pek Wan Taysu gelengkan kepala.
"Engkau baru saja sembuh. Dan kepergianku kali ini, mungkin takkan kembali?" apalagi engkau
mempunyai dendam darah yang belum terhimpas. Engkau harus jaga diri baik-baik. Ah, lebih baik engkau
jangan ikut!" Dengan diiring oleh helaan napas panjang, Pek Wan Taysu pun sudah berputar tubuh dan sekali ayun
tubuh, dia sudah lenyap di antara puluhan paderi yang berada di bawah loteng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lo-seng hanya berlinang-linang airmata mengantarkan pandang matanya. Ucapan Pek Wan Taysu amat
menyentuh sanubarinya. Siau Lo-seng sudah sebatang kara. Hanya tinggal seorang paman yalah Pek Wan Taysu itu. Paderi itu telah
memperlakukannya dengan penuh kasih sayang seperti orang tuanya sendiri. Mendengar kata-kata Pek
Wan Taysu bahwa mungkin paderi itu akan binasa menghadapi gerombolan durjana, sudah tentu hati Siau
Lo-seng berduka. Tidak terduga, jika Siau Lo-seng hanya mengucurkan airmata, tidak demikian dengan orang tua buntung itu.
Dia menangis keras. Walaupun tak tahu jelas duduk persoalannya, karena melihat orang menangis, kedua nona ikut menangis.
Tangis orang tua buntung itu amat menyedih sekali. Entah mengapa dia tiba-tiba begitu sedih.
Bahwa seorang berilmu sakti sampai tak menguasai diri, tentulah suatu hal yang mengherankan sekali.
"Maaf, karena gara-garaku, kalian sampai ikut bersedih?"," kata Siau Lo-seng seraya mengusap
airmatanya. Orang tua buntung itupun mengusap airmatanya dan berkata tersekat: "Ah?" ah?" Seng-ji maaf, karena
teringat akan peristiwa yang lampau, aku sampai tak dapat menguasai diri."
Ji, artinya anak. Seng-ji berarti anak Seng.
Makin besar rasa hati Lo Seng terhadap orang tua itu. Dia makin yakin tentulah orang tua itu mempunyai
kisah hidup yang menyedihkan.
"Gi-hu, maukah Gi-hu membagikan kedukaan hati Gi-hu kepadaku?" dengan lemah lembut Lo-seng
berkata. "Peristiwa yang lampau bagaikan gumpalan asap. Ah, tak perlu membicarakan hal itu lagi," sahut orang tua
buntung. Lo-seng tahu orang tua itu tentu mempunyai kisah yang hebat. Tetapi karena orang tak mau mengatakan,
diapun tak berani memaksa.
"Baik, tak perlu membicarakan hal itu," kata Lo-seng tertawa, "bukankah hari ini kita berdua ayah dan anak
telah berkumpul di sini" Seyogyanya kita rayakan peristiwa saat ini dengan gembira. Peristiwa sedih yang
lampau biarlah lalu."
"Benar," Hun-ing tertawa cerah, "paman, aku. mempunyai sedikit soal yang belum jelas. Boleh aku
bertanya, kepada paman?"
Orang tua peniup seruling itu tertawa. "Silahkan."
"Bukan suatu hal yang penting melainkan hanya sekedar ingin tahu," kata Hun-ing, "aku merasa heran
mengapa paman yang menderita cacat sehingga sukar untuk berjalan, mengapa dapat menduga dengan
tepat segala peristiwa yang terjadi di dunia persilatan?"
Orang tua itu tertawa. "Pertanyaan yang bagus," serunya, "tetapi apakah engkau pernah mengenal sebuah pepatah yang
mengatakan 'seorang perdana menteri tak pernah keluar dari rumah tetapi dapat mengetahui peristiwaperistiwa di dunia'."
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hun-ing kerutkan alis. "Walaupun perdana menteri itu tak pernah melangkah keluar dari rumah tetapi dia mempunyai pembesarbesar militer dan sipil yang memberi laporan sehingga dia tahu semua peristiwa itu," sanggah Hun-ing,
"adakah paman memiliki ilmu nujum yang sakti?"
Orang tua peniup seruling itu tertawa gelak-gelak.
"Menghitung dan menujum, hanyalah suatu dongeng aneh dalam dunia persilatan," katanya, "walaupun
dalam aliran Buddha dan Tao terdapat semacam ilmu itu serta ilmu perbintangan tetapi pun hanya bersifat
dugaan garis besarnya saja. Tak mungkin akan tahu sejelas-jelasnya keadaan dalam dunia persilatan ini.
Apalagi aku memang tak pernah belajar ilmu nujum semacam itu."
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing makin heran, tanyanya: "Lalu bagaimana paman dapat menduga tepat keadaan dunia persilatan
itu?" Orang tua peniup seruling ganda tertawa. "Bukankah bangunan kuil dan puncak loteng itu amat tinggi?"
tanyanya. Ketika anak muda itu serempak memandang ke atas. Memang kuil dan loteng itu didirikan di atas sebuah
lereng gunung. Dari tempat itu dapat memandang jauh ke sekeliling penjuru.
"Benar, paman," seru Hun-ing.
"Engkau masih ingat akan anjing kecilku si Salju itu?"
"O, anjing putih yang cantik itu?" seru Cu-ing.
"Paman," seru Hun-ing, "mengapa paman hendak alihkan pembicaraan pada loteng dan anjing kecil?"
Namun orang tua peniup seruling itu tetap tersenyum.
"Sama sekali aku takkan mengalihkan pembicaraan," katanya, "persoalan itu memang terletak pada kedua
hal itu. Dengan berada di loteng yang tinggi ini, aku dapat memandang jauh sampai berpuluh-puluh lie
jauhnya. Dan jangan lupa, anjing Salju itu dapat menyampaikan laporan apa yang terjadi di luaran."
"Paman, engkau mampu melihat sampai berpuluh lie jauhnya" Apakah engkau memiliki ilmu?" Hun-ing
terkejut. Orang tua peniup seruling tertawa gelak-gelak.
"Betapapun tajam mataku, namun tak mungkin aku mampu melihat sampai berpuluh lie jauhnya. Aku
mengandalkan bantuan serulingku ini."
Dengan setengah meragu, Hun-ing menyambuti seruling itu. Ia rasakan seruling itu berhawa dingin dan
berat sekali. Paling tidak limapuluhan kati beratnya.
"Seruling Kiu-sian-cing-ing-sin-siau ini, terbuat dari besi yang telah terbenam dalam laut Pak-hay selama
seribu tahun. Kegunaannya memang banyak sekali dan nilainya tak kalah dengan pedang pusaka.
Siau Lo-seng dan Cu-ing pun ikut melihat benda pusaka itu.
Seruling itu berwarna hitam, dibuat dengan bagus sekali. Batang seruling berhias dengan gurat-gurat
kembangan yang berbentuk kuno. Jika tidak dilihat dengan seksama tentu tak kelihatan.
"Cobalah engkau lihat dari lubang seruling itu," kata orang tua itu pula.
Hun-ing menurut. Tiba-tiba ia mendesis kaget. Ternyata pada lubang seruling itu, tampak sebuah
pemandangan aneh. Sebuah aliran sungai yang jernih airnya. Di tengah sungai tampak sebuah perahu
sedang berlayar menyongsong ombak. Di buritan perahu dua orang tukang perahu tengah berdiri bercakapcakap.
Berganti melihat pada lubang ujung seruling, tampak sebuah jalan merentang tak jauh dari sungai itu.
Sebuah kereta berkuda empat dan dikusiri oleh seorang lelaki baju hitam, tengah meluncur pesat di
sepanjang jalan itu. Kusir baju hitam itu tak henti-hentinya mengayunkan cambuk. Rupanya dia bergegasgegas hendak mempercepat perjalanan.
Kesemuanya tampak jelas pada seruling Kiu-siau-cing-ing-sin-siau itu.
Ketika Hun-ing lepaskan seruling, sungai dan kereta itu tak tampak. Ia berusaha untuk memandang ke
sekeliling penjuru tetapi tetap tak melihat suatu apa.
Kini Siau Lo-seng pun mencobanya. Pada lubang seruling itu tampak hutan derah istana Ban-jin-kiong, kota
Lok-yang tempat kediaman keluarga Nyo, pun tampak dengan jelas.
Ketika giliran Cu-ing yang mencoba, tak henti-hentinya dara itu berseru memuji.
Sambil menyambuti seruling, orang tua aneh itu tertawa: "Bagaimana" Bukankah aku tak bohong?"
"Benar, paman, tetapi seruling ini memang ajaib sekali," kata Hun-ing, "tetapi bagaimana mungkin anjing
putih itu dapat memberi laporan kepada paman?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali orang tua itu tertawa.
"Kecuali cerdas, si Salju itu mengerti juga bahasa manusia dan pula diapun dapat memiliki ilmu silat. Dia
sering berkeliaran keluar. Apabila perlu aku dapat menyuruhnya mencari orang yang kukehendaki, supaya
datang kemari. Ada kalanya anjing itu dapat menggigit jalan darah orang untuk dibawa kemari. Dengan
begitu, aku selalu memperoleh tentang keadaan dalam dunia persilatan."
"Benarkah anjing itu sedemikian saktinya?" seru Cu-ing."
"Ah, engkau tak percaya hal itu bukan?" orang tua peniup seruling tersenyum, "apabila ada kesempatan,
engkau boleh adu kepandaian dengan si Salju."
"Ai, mana kami tak percaya keterangan paman," buru-buru Hun-ing menyusuli, "karena hal itu luar biasa
sekali maka kamipun heran."
"Masih ingatkah kalian setengah tahun yang lalu dimana Seng-ji, Pek Wan Taysu dan engkau sendiri
bersembunyi, di atas tiang penglari tetapi hampir saja dapat ditangkap oleh orang-orang Ban-jin-kiong?"
Lo-seng terkesiap. Memang ia teringat dirinya yang hampir tertangkap hendak dijadikan mumi oleh ketua
Ban-jin-kiong yang lalu. Diam-diam ia menggigil.
"Kalau saat itu Kakek berwajah dingin Leng Tiong-siang tak muncul, mungkin entah bagaimana jadinya
dengan diriku," pikirnya.
Berkata orang tua peniup seruling itu. "Kala itu tak pernah kuduga bahwa kepala Ban-jin-kiong akan mucul.
Melihat keadaan begitu gawat, aku segera suruh si Salju untuk mencari seorang jago silat yang sakti. Ai,
tahu-tahu anjing itu membawa Leng-bin-sin-kun Leng Tiong-siang......"
Orang tua itu berhenti sejenak untuk memandang ketiga anak muda di hadapannya.
"Kalian tentu menduga bahwa, orang itu tentulah tokoh Leng Tiong-siang yang pernah menggetarkan dunia
persilatan pada empatpuluh tahun berselang?""
"Paman maksudkan Leng Tiong-siang palsu?" tukas Hun-ing.
Mata orang tua berkilat-kilat lalu berkata dengan nada serius:
"Beberapa kali aku pernah bertemu dengan Leng Tiong-siang. Walaupun wajahnya ganas, sikap dan
ucapannya juga begitu, tetapi aku tetap mengenalinya bukanlah Leng Tiong-siang, salah seorang Empat
Serangkai yang dulu."
Siau Lo-seng terbelalak kaget.
"Lalu siapakah dia?"
Orang tua peniup seruling gelengkan kepala. "Siapakah orang itu" Aku juga belum tahu. Apabila dugaanku
tak meleset, dia tentu seorang yang mengenakan kedok muka seperti Leng Tiong-siang dan menyaru
sebagai dia. Apakah maksudnya, mungkin sedikit-sedikit aku dapat menduga."
"Apakah maksudnya?" tanya Cu-ing.
"Dengan menyaru sebagai Leng Tiong-siang kemungkinan dia hendak merebut pusaka Keng-hun-pit dari
ketua Ban-jin-kiong."
"Apa?" Hun-ing terkejut, "dia hendak merebut salah satu dari Tiga Pusaka dunia persilatan itu?"
"Paman kali ini mungkin engkau salah duga," kata Cu-ing, "belum berapa lama ini salah seorang kepala
bagian dari istana Ban-jin-kiong yang bernama Long Wi telah membawa duabelas orang yang hilang
kesadaran pikirannya, menuju ke rumah keluarga Nyo untuk merebut......."
Tiba-tiba nona itu hentikan kata-katanya. Ia teringat akan kamar rahasia di bawah tanah dari Ban-jin-kiong
dan tahu bahwa ayahnya telah ditangkap oleh orang Ban-jin-kiong. Dengan begitu orang yang tinggal di
rumahnya sebagai Nyo Jong-ho dan memiliki pit pusaka Keng-hun-pit itu bukanlah ayahnya.
"Ah, bagaimana mungkin" Ayah jauh hari telah memberitahukan kepadaku tempat penyimpanan pit pusaka
itu. Rasanya tiada lain orang yang tahu tempat itu, kecuali orang itu memang bukan ayahku yang aseli!"
"Kalian memang tak tahu akan tipu muslihat dunia persilatan," kata orang tua peniup seruling, "hal itu
memang muslihat dari ketua Ban-jin-kiong. Benar, ayahmu telah ditawan oleh ketua Ban-?jin-kiong. Yang
dunia-kangouw.blogspot.com
berada di rumah keluarga Nyo itu bukan ayahmu yang sesungguhnya. Apa yang dia beritahukan kepadamu
tentang tempat penyimpanan pit pusaka itu, memang bukan Keng-hun-pit yang asli."
Cu-ing seperti orang bermimpi. Jika dia tak menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya telah menjadi seorang
mumi yang ditaruh dalam sebuah peti mati di kamar rahasia Ban-jin-kiong, dia tak percaya hal itu.
"Jika begitu Keng-hun-pit dan orang yang menyaru menjadi Nyo Jong-ho itu palsu semua?" tanya Siau Loseng.
"Sudah tentu tidak aseli," kata orang tua peniup seruling, "bahkan mungkin orang yang menyaru sebagai
Nyo Jong-ho itu sendiri tak tahu akan hal itu."
11.53. Rasa Sayang Seorang Kesatria
Kata Lo-seng, "Orang yang menyaru sebagai Nyo Jong-ho itu tentulah orang Ban-jin-kiong. Mengapa Banjin-kiong mengirim orang untuk menyaru sebagai Nyo Jong-ho, sudah tentu tujuannya hendak merampas
Keng-hun-pit yang asli."
"Ah, tidaklah sesederhana seperti yang engkau duga," kata orang tua buntung, "tindakan pihak Ban-jinkiong itu jelas suatu siasat untuk membuang bekas. Agar dunia persilatan menyangka bahwa pusaka Kenghun-pit itu jatuh di tangan orang Naga Hijau. Dengan begitu perhatian orang tentu akan tertumpah pada
pihak Naga Hijau. Tindakan itu sama dengan "pinjam tangan membunuh orang"."
Pit Keng-hun-pit merupakan salah sebuah dari Tiga Pusaka dunia persilatan. Setiap orang persilatan tentu
sangat menginginkan sekali benda itu. Sekalipun Ban-jin-kiong berpengaruh besar tetapi mereka masih jeri
untuk menghadapi serbuan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan.
"Siasat yang licik sekali!" seru Siau Lo-seng dan kedua nona.
Dengan seri muka yang berobah, berkatalah Hun-ing: "Dengan begitu bukankah Naga Hijau akan menjadi
sasaran kaum persilatan" Mungkin saat ini Naga Hijau pun sudah terancam bahaya."
"Ya memang Naga Hijau saat ini terancam bahaya, ah?"," orang tua itu menghela napas.
Tiba-tiba Hun-ing memberi hormat kepada orang tua itu, katanya: "Paman, banyak terima kasih atas
bantuan dan petunjuk paman yang berharga. Tetapi aku masih mempunyai sedikit permintaan, entah
paman?"." "Ai, mengapa tiba-tiba engkau menyanjung aku" Bukankah engkau minta aku masuk menjadi anggauta
Naga Hijau?" "Aku memang hendak mohon paman supaya memimpin kaum persilatan golong Putih untuk membasmi
para durjana yang jahat. Bukan hanya menjadi anggauta saja tetapi kumohon paman suka menjabat
sebagat ketua Naga Hijau."
Orang tua aneh itu tertawa.
"Memimpin kaum penegak Kebenaran, pembela Keadilan, memang setiap kaum persilatan yang murni
harus merasa mempunyai kewajiban semacam itu. Tetapi jika minta aku orang tua cacat ini menjadi ketua
Naga Hijau, benar-benar suatu hal yang tak berani kuterima. Namun bilamana Naga Hijau memerlukan
tenagaku si orang tua cacat ini, aku tentu bersedia membantu."
"Ketahuilah," orang tua aneh itu melanjutkan, "cita-cita luhur itu, adalah terletak pada bahu kalian para anak
muda. Dengan kepandaian, kesaktian kalian bertiga, ditambah pula dengan bantuanku si orang tua cacat
ini, tentulah dapat mengembangkan perkumpulan Naga Hijau. Yang penting yalah seluruh anggauta Naga
Hijau harus bersatu padu dalam satu tujuan yang mulia. Jangan kuatir, istana Ban-jin-kiong maupun
Lembah Kumandang, pada satu hari akhirnya tentu akan dapat dihancurkan juga."
Betapa girang hati Lo-seng dan kedua nona itu sukar dilukiskan.
Serta merta Hun-ing berlutut untuk merghaturkan terima kasih kepada orang tua itu.
Orang tua buntung juga tampak berseri gembira lalu menyuruh Hun-ing bangun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kata Hun-ing: "Paman, nyata-nyata Naga Hijau sedang terancam bahaya. Maka pikirku, akan kembali ke
Lok-yang untuk memindahkan markas besar kami ke sini. Dengan demikian kita lebih dapat bekerja dengan
tenang dan teratur."
Ketiga anak muda itu terus mohon diri.
"Tunggu," seru orang tua itu, "saat ini kita sudah dikepung musuh. Kepergian kalian ini mungkin akan
menderita gangguan mereka."
Terkejutlah Siau Lo-seng bertiga demi mendengar peringatan itu. Pikir mereka: "Mengapa orang tua ini
sedemikian tajam indera pendengarannya" Mengapa kita sama sekali tak mendengar suatu apa"
Bagaimana dia tahu kalau musuh sudah siap mengepung kita di luar"..?"
Tetapi ketiga anak muda itu memang sudah patuh dan tunduk pada orang tua peniup seruling. Mereka
percaya penuh. Dan ternyata entah kapan datangnya, memang tahu-tahu di luar halaman telah muncul empatpuluh lebih
orang yang berkerudung kain hitam. Jelas mereka tentu jago-jago sakti.
"Ai, barisan Tujuh Lapis dari Ban-jin-kiong," bisik Cu-ing.
"Lihatlah, Li Gok-hou juga datang!" Seru Cu-ing.
Menurut arah yang ditunjuk nona itu, Siau Lo-seng melihat seorang pemuda berpakaian biru, mukanya
mengenakan kerudung muka merah dan tangannya memegang sebatang panji hitam. Dia memang Li Giokhou.
Pada saat Li Giok-hou gerakkan panji, keempatpuluh tujuh pengiringnya itu segera hentikan langkah.
Seorang lelaki tinggi besar dan bertubuh gagah segera tampil ke luar.
Siau Lo-seng memandang si tinggi itu dengan seksama.
Orang tinggi besar itu berumur lebih kurang tigapuluh tahun, hidungnya besar, dan sepasang matanya
berkilat-kilat tajam. Punggungnya menyanggul sebuah kantong. Entah apa isinya.
"Hai, siluman tua, mengapa tak lekas keluar" Apakah harus tunggu sampai Ang toaya menyeretmu?" teriak
si tinggi besar itu. Nadanya menggeledek nyaring sekali.
"Menilik sikap dan suaranya yang begitu hebat, dia kemungkinan tentulah pemimpin barisan algojo yang
disebut Ang Piau. "Anjing buduk, jangan menggonggong terus menerus, sebentar nonamu tentu akan menyuruh engkau
menangis sampai tiga hari tiga malam," tiba-tiba Cu-ing berteriak mendamprat.
Ang Piau tertawa gelak-gelak.
"Oh kiranya bukan hanya siluman tua itu tetapi juga ada beberapa anjing kecil, ha, ha, ha?""
Cu-ing hendak balas memaki lagi tetapi dicegah Siau Lo-seng: "Sudahlah tak perlu melayani manusia itu.
Kita di tempat posisi yang lebih baik, jangan sampai terpancing oleh ocehan mereka."
Benar juga karena tiada orang yang membalas makiannya, Ang Piau pun berhenti. Beberapa saat
kemudian, rupanya dia tak sabar dan berteriak lagi: "Kalau kalian tetap tak mau keluar, terpaksa kami akan
menyerbu dan mengobrak abrik sarangmu!"
Hun-ing geram sekali dan hendak turun tangan tetapi kembali dicegah Siau Lo-seng: "Tak perlu menggubris
manusia itu. Dia tak nanti berani naik kemari."
"Tetapi kalau terus menerus menjaga di sini saja, juga tidak tepat," bantah Hun-ing.
"Tahu kekuatan diri dan kekuatan musuh, seratus kali perang tentu seratus kali menang," kata Lo-seng,
"bahkan di sini terdapat berapa orang, pun mereka tak tahu. Untuk sementara ini mereka tentu tak berani
sembarangan bergerak. Lalu apakah siasat adik Hun untuk menghadapi mereka?"
Hun-ing tertawa. dunia-kangouw.blogspot.com
"Walaupun tak takut kepada mereka, tetapi kita tak dapat terus menerus bertahan dengan cara begini saja.
Mengapa kita tak melakukan sedikit siasat untuk meloloskan diri dari kepungan mereka dan cepat menuju
ke markas di Lok-yang?"
Orang tua peniup seruling tiba-tiba tertawa, ujarnya: "Yang penting mereka hendak mencari aku. Sekalipun
kalian menerobos dari kepungan merekapun takkan terlalu mendesak."
"Kalau kita pergi, bukankah Gi-hu akan seorang diri saja" " tanya Siau Lo-seng.
"Jangan kuatir, masakan aku takut kepada mereka?" kata orang tua itu.
Tiba-tiba terdengar Li Giok-hou tertawa: "Kalau kalian tetap tak mau keluar, segera akan kusuruh orang
untuk melepas api." Siau Lo-seng terkejut. Memang dengan api, loteng itu tentu akan musnah. Cepat ia loncat di muka jendela
dan berteriak. "Li Giok-hou, sudah berulang kali engkau berjumpa dengan aku dan engkau tentu menerima pelajaran yang
pahit. Tetapi rupanya engkau tetap belum jera. Maka hari ini takkan kuberimu ampun lagi.
"Kalau tempo hari sebelah lenganmu yang kupotong, kali ini aku akan kupotong sebelah kakimu."
Melihat Siau Lo-seng, diam-diam Li Giok-hou terkejut, pikirnya, "Hm, rupanya pikirannya sudah terang.
Adakah dia sudah tidak lagi menjadi manusia yang kehilangan pikiran seperti si Raja Akhirat itu" Mengapa
Siau Lo-seng dan Hun-ing bersama-sama berada di situ" Apakah orang tua peniup seruling yang ditakuti
ketua Ban-jin-kiong, mempunyai hubungan dengan kedua orang itu?"
Demikian benak Li Giok-hou melayang-layang lalu tertawa menyeringai,
"Siau Lo-seng, siapakah yang akan mati hari ini, masih belum diketahui pasti. Ha, ha, ha?" kuberitahu
kepadamu sebuah hal. Hapuskanlah harapanmu untuk mengharap Pek Wan Taysu akan datang
membantumu!" Siau Lo-seng terkejut. Adakah Pek Wan Taysu telah dicelakai mereka"
"Untuk membereskan kawanan tikus semacam kalian tak perlu harus minta bantuan barisan Tat-mo-coat-citin. Hm, aku seorang diri sudah lebih dari cukup untuk membasmi kalian," seru Siau Lo-seng.
Li Giok-hou juga tertawa angkuh.
"Barisan Tat-mo-coat-ci-tin" Ha, ha, ha...... ketahuilah wahai Siau Lo-seng. Pek Wan Taysu telah termakan
siasatku memancing harimau tinggalkan sarangnya."
Siau Lo-seng terkejut dan cepat menegur:
"Bagaimana mereka dapat termakan siasatmu semacam itu?"
Li Giok-hou tertawa jumawa.
"Engkau kira Pek Wan Taysu dan ke tujuhpuluh delapan kepala gundul itu benar-benar minta bantuan ke
Bu-tong-san" Ha, ha?" saat ini mungkin mereka sudah berkelana di akhirat!"
Siau Lo-seng terkejut, tegurnya:
"Apakah yang memberi laporan kemari itu anak murid Siau-lim dan Bu-tong-pay palsu?"
Giok-hou tertawa iblis. "Mereka memang anak murid Siau-lim-si dan Bu-tong-pay yang sesungguhnya. Masakan hal itu Pek Wan
Taysu tak mengenalnya?"
Siau Lo-seng makin terkejut serunya,
"Li Giok-hou, jangan berolok-olok semaumu sendiri! Apakah kedua murid itu sudah menjadi kaki tangan
Ban-jin-kiong?" Kembali Li Giok-hou tertawa,
"Goblok! Sudah terlambat pengetahuanmu. Engkau juga tak mau meneliti. Dari manakah nama Ban-jinkiong itu asalnya?""
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena marah, hidung Siau Lo-seng sampai menghembuskan asap dan sepasang matanya seperti
terbakar. Melihat itu Li Giok-hou makin gembira,
"Disebut Ban-jin itu artinya selaksa orang, terdiri dari seluruh aliran persilatan dan tokoh-tokoh partai
persilatan yang ternama. Dari pucuk pimpinan, termasuk ketua dan para penasehat tianglo, sampai ke
kerucuknya......" "Kini barisan Ban-jin-kiong sudah tersusun rapi. Dalam beberapa waktu lagi seluruh dunia persilatan ini
bakal menjadi milik Ban-jin-kiong, ha, ha, ha......"
"Jahanam?"" Siau Lo-seng berteriak dan serentak menyerang Li Giok-hou.
Kecepatan dan kedahsyatan pedang Siau Lo-seng yang tahu-tahu sudah akan menimpah kepala itu
membuat Li Giok-hou hentikan tertawanya dan cepat menghantam seraya enjot tubuh mencelat ke
belakang. Tetapi Siau Lo-seng yang masih melayang di udara itu segera bergeliatan lalu menukik untuk menusuk
jalan darah maut dari tubuh Li Giok-hou.
Baru Li Giok-hou tegak atau sinar Pedang Ular Emas sudah berhamburan mendera tubuhnya. Dan setiap
hamburan ujung pedang itu mengarah pada jalan darah yang berbahaya.
Kejut Li Giok-hou bukan alang kepalang. Cepat ia rebahkan tubuhnya mendatar tanah lalu membuang diri
berguling-guling beberapa langkah ke samping.
Sekalian orang tak tahu dengan cara bagaimana Li Giok-hou dapat menghindari serangan maut dari Siau
Lo-seng tadi. Yang jelas, walaupun pontang panting tetapi Li Giok-hou masih dapat menyelamatkan diri dari
pedang Ular Emas yang hendak mencabut jiwanya.
Empatputuh tujuh anak buah barisan Ban-jin-kiong yang menyaksikan pertempuran itu, serentak berseru
memuji.
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baik Siau Lo-seng maupun Li Giok-hou masing-masing terkejut dalam hati. Mereka terkejut karena
kepandaian lawan ternyata di luar dari dugaan mereka.
Keduanya dapat dikata merupakan tokoh muda yang hebat pada masa itu. Kini setelah mengetahui
kepandaian lawan, merekapun tak berani memandang rendah satu sama lain.
Siau Lo-seng tegak bagai karang. Ujung Pedang Ular Emas mengacung sedikit condong ke muka. Tangan
kiri membentuk sikap pengimbangan. Sepasang matanya mencurah memandang ke ujung pedang.
Li Giok-hou pun mencabut pedang dari belakang bahunya. Tiba-tiba ia menggembor keras lalu secepat kilat
loncat menerjang, sinar pedang berhamburan mencurah ke tubuh Siau Lo-seng. Gerakan pedang itu aneh
sekali, seperti menabas, seperti menusuk, seperti membabat dan seperti pula membacok.
Dalam sekejap saja ia sudah lancarkan tujuh buah serangan.
"Tring?"" Pedang Ular Emas bergerak menyongsong dan terdengarlah dering benturan pedang yang disusul dengan
percikan bunga api. Terdengar Siau Lo-seng membentak keras dan pedangnya agak mengendap ke bawah lalu memagut
lawan. Li Giok-hou pun menggembor keras juga seraya menangkis. Benturan kedua segera terjadi lagi.
Tetapi di antara dering benturan pedang terdengar juga sebuah jerit melengking dan pada lain kejap,
sebatang sinar berkilau melayang ke samping.
Apakah yang telah terjadi"
Kiranya pedang Li Giok-hou telah kutung menjadi dua dan tubuhnya terhuyung-huyung sampai tujuhdelapan langkah ke belakang. Baju pecah, darah bercucuran!
"Ilmu pedang yang hebat sekali!" serunya tertawa rawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cepat ia membuang kutungan tangkai pedang lalu mengeluarkan sebuab benda yang kerkilat-kilat
memancarkan sinar perak. "Keng-hun-pit.......!" serentak Cu-ing dan Hun-ing berteriak kaget.
Siau Lo-seng terkesiap, memandang benda yang dicekal lawan.
Benda itu panjangnya lebih kurang hanya seperempat meter, batangnya berwarna putih perak. Sebatang pit
(pena) semacam poan-koan-pit atau pit yang digunakan oleh pembesar yang mengadili sidang perkara.
"Ah, keterangan Gi-hu (orang tua peniup seruling) itu memang benar. Keng-hun-pit memang merupakan
salah sebuah dari Tiga Pusaka dunia persilatan yang luar biasa. Tetapi sampai dimanakah keluar biasaan
dari pusaka itu?" diam-diam Siau Lo-seng menimang.
Tengah Siau Lo-seng menimang, tiba-tiba terdengar suara menggeledek, "Harap Ji-hun Kiongcu suka
mundur. Menyembelih ayam mengapa harus menggunakan pisau penjagal kerbau" Biarlah aku saja yang
menghadapinya!" Sesosok tubuh melayang ke tengah gelanggang dan berdirilah Ang Piau pemimpin barisan Ban-jin-kiong, di
hadapan Siau Lo-seng. Seketika berobahlah cahaya muka Siau Lo-seng. Menilik suara teriakan orang yang begitu menggeledek,
tahulah Siau Lo-seng bahwa Ang Piau itu seorang jago yang memiliki ilmu tenaga dalam hebat. Memiliki
bentakan yang disebut Singa Mengaum untuk melukai orang.
Serentak timbullah dua buah kesimpulan dalam hati Lo-seng.
Pertama, ternyata Ban-jin-kiong masih mempunyai seorang tokoh selihay itu. Keempatpuluh tujuh anggauta
barisan lapis tujuh itu tampaknya bukan jago sembarangan. Jelas, pertempuran saat itu akan merupakan
pertumpahan darah yang hebat.
Kedua, apa sebab Ang Piau memanggil Li Giok-hou sebagai Ji-hun Kiongcu (kepala istana kedua). Apakah
Ban-jin-kiong memang dibagi atas beberapa bagian. Siapakah yang menjadi ketua istana pertama" Apakah
masih ada istana ketiga dan keempat?"
Teringat juga Lo-seng, bahwa tempo hari si bungkuk Long Wi menyebut Li Giok-hou sebagai Sau-kiongcu
(ketua muda). Tetapi mengapa sekarang Ang Piau menyebutnya sebagai Ji-hun Kiongcu"
Demikian pikiran yang menggelut benak Lo-seng saat itu. Sementara setelah Ang Piau tampil, Li Giok-hou
segera mengundurkan diri. Dengan hati-hati, pusaka Keng-hun-pit itu dimasukkan ke dalam bajunya lagi,
"Siau Lo-seng!" Ang Piau tertawa gelak-gelak, "telah kudengar kemasyuran namamu yang besar. Sayang
selama ini aku belum mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan engkau. Sekarang aku hendak
menantangmu bertempur sampai tigaratus jurus."
Siau Lo-seng menyahut dingin:
"Bagus, tetapi mungkin engkau tak dapat bertahan sampai begitu lama!"
Ang Piau deliki mata, "Siapa yang tak kuat bertahan. Engkau atau aku?" serunya. Ia segera maju selangkah dan terus menyerang
dengan jurus Kim-liong-cau atau Naga emas mengulurkan cakar.
Sekali tangannya bergerak maka timbullah hamburan angin keras.
11.54. Keng-hun-pit Siau Lo-seng mencodongkan ujung pedang mengarah pergelangan tangan orang. Maksudnya hendak
memaksa lawan mundur, setelah itu baru ia akan susuli dengan serangan.
Memang rencana Siau Lo-seng itu tepat. Terapi Ang Piau itu seorang jago yang nekad dan kaya akan
pengalaman bertempur. Cepat ia geliatkan tangan kanannya menghindar ke samping lalu secepat kilat jarinya ditebarkan untuk
mencengkeram siku lengan Lo Seng. Sedang tangan kirinya pun serentak menjulur untuk menusuk jalan
darah marah di tenggorokan lawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dari dua jurus gerakan itu saja, dapatlah diketahui sampai di mana kesaktian orang itu.
Siau Lo-seng terkejut sekali. Cepat ia menyurut mundur tiga langkah seraya hamburkan sinar pedang untuk
melindungi tubuh. Mau tak mau, Siau Lo-seng kucurkan keringat dingin juga.
Teriakan gegap gempita memuji dari barisan tujuh lapis, segera menggema keras.
Ang Piau tak mau memberi kesempatan lagi. Ia loncat menerjang dan mendera lawan dengan pukulan yang
bertubi-tubi. Sepuluh jurus kemudian, Siau Lo-seng jago muda yang gagah perkasa itu, dipaksa harus mundur sampai
setombak jauhnya. Bahkan pedang Ular Emas hampir saja terlepas karena desau hamburan angin yang
melandanya. Dari atas loteng Hun-ing dan Cu-ing menyaksikan pertempuran dengan hati gelisah. Kedua nona itu segera
mempersiapkan diri untuk turun tangan apabila perlu.
Tetapi sebenarnya ilmu silat Siau Lo-seng itu tidak di bawah Ang Piau. Walaupun sepintas pandang Ang
Piau menang kuat dan menang angin, tapi dengan berbagai aliran ilmu silat yang dimiliki Siau Lo-seng,
pemuda itu takkan kalah. Memang apabila dua jago sakti bertempur seujung rambut kesempatan yang diperoleh lawan, tentu akan
merobah jalannya pertempuran.
Dalam babak permulaan karena salah perhitungan, hampir saja Siau Lo-seng menderita kekalahan total.
Dia didesak kalang kabut oleh lawan sehingga hampir tak dapat bernapas.
Tiba-tiba Siau Lo-seng berteriak keras lalu mengisar langkah dan memainkan pedang disertai gerak
langkah yang aneh. Betapapun halnya, kepandaian Ang Piau tetap kalah setingkat dari Siau Lo-seng. Berulang kali Ang Piau
melancarkan serangan dahsyat, tapi setiap kali ia mendapatkan gerakan lawannya itu memang luar biasa
anehnya, sukar untuk diduga.
Sesaat pemuda itu berada di sebelah barat tetapi pada lain saat sudah beralih ke timur. Walaupun Ang Piau
sudah menumpahkan seluruh kepandaiannya, tetap ia tak mampu memukul lawan.
Mau tak mau kepala dari barisan Ban-jin-kiong itu tercengang-cengang.
Kesempatan itu sudah tentu tak dilewatkan Siau Lo-seng. Diiringi sebuah gemboran keras, Pedang Ular
Emas pun segera berhamburan laksana bunga api pecah di udara.
Ang Piau terpaksa harus mundur sampai tiga langkah untuk menyelamatkan jiwanya.
Sejenak Siau Lo-seng dapat bernapas untuk melonggarkan ketegangannya lalu lepaskan tiga buah
tabasan. "Auuhhh?""
Terdengar jeritan ngeri. Karena lambat menghindar, bahu Ang Piau termakan ujung pedang, tiga buah jari
tangan kirinyapun terbabat kutung. Dengan terhuyung-huyung menahan kesakitan, Ang Piau mundur
sampai lima langkah?"
Dengan mata berkilat-kilat memancarkan dendam kemarahan, ia menetap Siau Lo-seng dengan penuh
kebencian. Tiga buah serangan pedang Siau Lo-seng tadi telah dilancarkan dengan kemarahan. Cepat dan dahsyatnya
bukan alang kepalang. Apabila mau, sebenarnya ia dapat mengambil jiwa lawan. Tetapi karena melihat
lawan bertempur dengan tangan kosong, maka tak maulah Siau Lo-seng hendak mencari kemenangan
dengan cara tidak adil. Saat itu Ang Piau pun mengeluarkan bungkusan senjata yang berada di belakang bahunya. Sebuah senjata
aneh, matanya seperti golok tetapi punggungnya seperti gergaji.
Sesaat kemudian ia menggembor keras lalu mainkan senjatanya yang aneh itu. Dering senyaring halilintar
memekik dan hamburan bunga api yang mencurah seperti hujan, segera menimpah ke arah Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setitikpun Siau Lo-seng tak mengira bahwa dalam keadaan terluka, Ang Piau masih sedemikian
perkasanya. Ia tak berani memandang rendah lawan. Setelah mengisar ke samping dan tegak lurus untuk
menghindari serangan, segera ia balas menusuk.
Tiba-tiba Ang Piau merobah gaya permainannya. Segera ia mengeluarkan jurus ilmu permainan pedang.
Juga dalam ilmu pedang ternyata Ang Piau memiliki permainan yang luar biasa dahsyatnya.
Siau Lo-seng diam-diam terkejut dan tak berani lengah. Segera ia menjalankan siasat untuk bertahan.
Melihat lawan bersikap mempertahankan diri, Ang Piau mengira kalau Siau Lo-seng sudah kuncup nyalinya.
Bagai harimau tumbuh sayap, Ang Piau makin buas dan ganas. Senjatanya yang aneh itu makin
melancarkan serangan yang maut.
Setengah jam kemudian, keduanya telah bertempur sampai duaratus jurus. Dan setiap jurus yang
ditempurkan itu, merupakan jurus-jurus yang mengandung maut. Lengah atau lambat sedikit saja, tentu
ngeri akibatnya. Kalau tidak kehilangan sebuah anggauta badannya tentu jiwanya amblas.
Semua orang yang menyaksikan pertempuran itu sama letetkan lidah.
Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri!
Mata sebelah kiri, pipi, dada dan kaki sebelah kiri dari Ang Piau telah berhias dengan lumuran darah merah.
Senjatanyapun terdampar ke tanah dan orangnya terhuyung-huyung hendak rubuh.
Peristiwa itu berlangsung terlampau amat cepatnya sehingga orang tak tahu apa yang telah terjadi.
Siau Lo-seng tak mau memberi kelonggaran lagi. Ia meluncur turun, ujung pedang Ular Emas segera
mengarah jalan darah ulu hati di dada lawan.
Sekalian orang menjerit ketika menyaksikan peristiwa yang tak terduga-duga itu.
"Kiam-gi......!" teriak Li Giok-hou ketika menyaksikan permainan ilmu pedang Siau Lo-seng yang sedemikian
hebatnya. Kiam-gi artinya hawa pedang. Dengan kiam-gi itu dimaksudkan, si pemilik pedang itu telah menyalurkan
tenaga sakti melalui ujung pedang untuk menutuk jalan darah lawan.
Hanya seorang jago pedang sakti yang mampu melakukan hal semacam itu.
Sabagai seorang jago kelas satu, Ang Piau pun tahu apa artinya seruan Li Giok-hou itu. Serentak ia
mengeluh dalam hati: "Celaka, aku sekarang......"
Ia pejamkan mata dan tenang-tenang menunggu ajalnya.
Di luar dugaan. tiba-tiba timbullah rasa sayang dalam hati Siau Lo-seng. Rasa sayang yang dimiliki seorang
kesatria terhadap lain kesatria. Serentak pedang dihentikan dan ujungnya tepat melekat pada kulit orang.
Tindakan itu menyebabkan Ang Piau terhindar dari kematian. Dengan demikian sudah dua kali Siau Loseng memberi ampun kepada lawannya.
Tetapi serempak dengan itu, sekonyong-konyong Hun-ing dan Cu-ing melengking keras dan berhamburan
melayang ke bawah. Kiranya pada saat Siau Lo-seng hentikan pedangnya, dari empat penjuru berhamburanlah batang golok dari
orang Ban-jin-kiong. Karena melihat pemimpinnya akan celaka di tangan Siau Lo-seng maka mereka itupun
serempak taburkan golok algojo ke arah Siau Lo-seng.
Hun-ing dan Cu-ing menjerit dan terus hendak menolong Siau Lo-seng. Tetapi ternyata pemuda itu sudah
bergerak untuk menyelamatkan jiwanya.
Dengan sebuah gerak loncatan yang secepat kilat, Siau Lo-seng pun sudah berada setombak dari tengah
gelanggang dan tahu-tahu pula ujung pedangnya sudah mengucurkan tetesan darah.
Keempat algojo Ban-jin-kiong yang mengenakan kain kerudung hitam pada mukanya dari menyerang Siau
Lo-seng dari belakang, tahu-tahu sudah terhuyung-huyung dan terkapar di tanah.
Dalam pada itu Ang Piau pun cepat loncat mundur beberapa langkah. Matanya memandang Siau Lo-seng
dengan penuh kesangsian. Kemudian menunduk mengamati guratan luka yang menghias dadanya. Ia
tertawa rawan. dunia-kangouw.blogspot.com
"Orang she Siau benar-benar tak bernama kosong. Ilmu kepandaianmu memang hebat. Dua kali aku, Ang
Piau, telah menerima budi kemurahan hatimu, sudah tentu akan kuingat dan kelak apabila ada kesempatan
tentu akan kubalas."
"Seorang jantan yang kasar tetapi jujur. Tak kecewa sebagai seorang tokoh silat yang perwira," diam-diam
Siau Lo-seng membatin. Demikian perobahan telah terjadi secara cepat dan tak terduga-duga. Siau Lo-seng telah berhasil lolos dari
golok maut tetapi Hun-ing dan Cu-ing yang hendak menolongnya saat itu malah diserang oleh dua
anggauta barisan Algojo dari Ban-jin-kiong.
Cu-ing keluarkan ilmu pedang Giok-li-kiam-hwat ajaran Tay Hui Sin-ni. Pedang segera berhamburan
laksana gelombang mendampar dahsyatnya.
Tetapi lawannya juga bukan tokoh yang lemah. Ilmu permainan goloknya, laksana angin puyuh menyambarnyambar.
Hun-ing mainkan pedang serempak dengan pukulan tangan kiri. Dengan gaya permainan yang dahsyat dan
cepat, ia berhasil mendesak lawannya
Setelah melihat kedua nona itu dapat menjaga diri, semangat Siau Lo-seng pun bertambah menyala.
Dengan jurus Rembulan berwajah setengah lingkar, ia sapukan pedangnya kepada lima orang anggauta
barisan Algojo yang coba hendak merapat kepadanya?".
Kelanjutan dari sinar emas yang memancar dari Pedang Ular Emas telah menimbulkan sebuah jeritan ngeri
dan seorang anggauta barisan Algojo yang goloknya mencelat ke udara dan orangnya pun terdampar
beberapa langkah, menggeletak dalam kubangan darah.
Siau Lo-seng pindahkan pedang ke tangan kiri. Pandang matanya mengarahkan ujung pedang ke arah
enam orang anggauta barisan Algojo Ban-jin-kiong yang dapat menghindar dari serangannya tadi.
Sikap dan perbawa anak muda itu, benar-benar menggetarkan nyali lawan-lawannya. Mereka yang semula
garang dan bengis, saat itu mulai menggigil semangatnya. Cepat mereka membentuk diri dalam sebuah
lingkaran, segenap perhatian tercurah pada gerak gerik Siau Lo-seng.
Dalam detik-detik yang penuh ketegangan itu, tiba-tiba terdengar jerit melengking tinggi. Siau Lo-seng cepat
berpaling. Ah, ternyata Cu-ing telah menderita luka. Lengan kanan dara itu berdarah dan terhuyung-huyung
ke belakang. Sedangkan di tanah terbaring dua sosok tubuh lawan yang jelas tentu si dara yang
merubuhkannya. Saat itu Cu-ing masih diserang oleh empat orang algojo baju hitam. Keadaannya pontang panting payah
sekali. Siau Lo-seng terkejut tapi belum sempat ia hendak bertindak, dia sudah diserang lagi oleh lawannya.
Cepat pemuda itu pusatkan perhatian. Sambil bersuit nyaring ia putar Pedang Ular Emas untuk
menyongsong hujan golok yang melandanya.
"Tring, tring, tring?""
Dering gemerincing melengking nyaring dan pada lain saat gumpalan sinar golok itupun lenyap. Beberapa
anggauta barisan Algojo Ban-jin-kiong tersiak mundur.
Kesempatan itu segera digunakan Siau Lo-seng untuk loncat keluar dari kepungan. Sambil meluncur dari
udara ia putar pedangnya ke arah keempat baju hitam yang sedang menyerang Cu-ing.
Terdengar jeritan ngeri, diiring dengan hamburan darah merah. Dua orang baju hitam rubuh berlumuran
darah. Sedang yang dua orang, dengan menderita luka parah, pontang panting menyurut mundur.
Siau Lo-seng menggeliatkan tubuh, meluncur turun di samping Cu-ing. Secepat menginjak tanah, ia
lintangkan pedang ke muka dada, mata memandang ke sekeliling sembari bertanya bisik-bisik: "Adik Ing,
bagaimana lukamu?" Selekas mengetahui Siau Lo-seng berada di samping, semangat Cu-ing segera bangkit kembali. Dengan
menahan rasa sakit ia berkisar ke dekat Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku tak apa-apa, bagaimana dengan cici Hun?" serunya.
Saat itu matahari sudah terbenam di ufuk barat. Malampun mulai menebarkan kabut hitam. Burung-burung
berterbangan pulang ke sarang.
Jurus ilmu pedang yang dilancarkan Siau Lo-seng dan berhasil melukai keempat algojo baju hitam yang
mengepung Cu-ing itu, benar-benar menggetarkan hati setiap orang. Keempatpuluh tujuh barisan algojo,
itu, terkesiap sehingga untuk beberapa saat mereka tak berani bertindak apa-apa.
Selang beberapa jenak kemudian barulah mereka tampak bergerak memencarkan diri untuk mengepung
lawan. Suasana petang hari makin dicengkam oleh bawa pembunuhan yang menyeramkan.
Ketika Siau Lo-seng sapukan pandang ke sekeliling, ia terkejut. Ternyata saat itu Hun?ing sedang
bertempur lawan Ang Piau. Empat algojo baju hitam berjajar di sekelilingnya dan mengikuti jalannya
pertempuran. Tampak Hun-ing mainkan pedangnya dengan gencar. Tubuhnya yang langsing berloncatan amat tangkas,
tak ubah seperti seekor ular naga yang bercengkerama di laut.
Ilmu pedang nona itu memang sakti dan tenaga dalamnya pun tinggi. Tetapi Ang Piau pun seorang jago
kelas satu yang berkepandaian tinggi juga. Walaupun dia sudah menderita luka dari pedang Siau Lo-seng,
tetapi kegagahannya tak berkurang.
Pedang lawan golok berpunggung gergaji. Sepintas pandang menyerupai dua ekor ular dan buaya yang
saling bertempur dahsyat.
Sepuluh jurus cepat berlalu tetapi masih belum tampak siapa yang lebih unggul.
Walaupun perhatian Siau Lo-seng tengah mencurah pada pertempuran Hun-ing lawan Ang Piau tetapi
naluri pemuda itu memang tajam. Seketika matanya tertarik akan sebuah tandu yang tengah dijaga oleh
empat orang dayang baju biru. Tandu itu berhenti di serambi bawah dari loteng tempat persembunyian
orang tua peniup seruling.
Dalam tandu itu duduk seorang wanita cantik berpakaian indah macam puteri keraton. Sayang wajahnya
teraling oleh bayangan kain tenda penghias tandu sehingga tak tampak jelas. Tetapi tentulah amat cantik.
Tampak berulang kali wanita itu menganggukkan kepala dan menunduk dan merenung. Rupanya seperti
tengah bergelut dengan soal yang sukar diputuskan.
Karena perhatian semua orang tercurah pada pertempuran, tiada seorangpun yang memperhatikan
munculnya tandu aneh itu.
"Kelima wanita dan dayang itu, muncul tanpa diketahui orang. Menandakan bahwa mereka tentu
kepandaian yang tinggi," pikir Lo-seng.
Seketika timbul dua buah dugaan dalam benak Siau Lo-seng:
Pertama, kemungkinan kelima wanita itu orang persilatan yang kebetulan lalu di tempat ini. Karena
mendengar hiruk pikuk pertempuran mereka menghampiri. Tetapi setelah tahu yang bertempur itu orangorang Ban-jin-kiong mereka berlima tak mau ikut campur karena takut terlibat bentrokan dengan orang Banjin-kiong.
Kedua, mereka hendak menunggu saja pertempuran itu selesai lalu turun tangan menggempur yang
menang. Dengan demikian mereka tanpa mengeluar banyak tenaga akan memperoleh keuntungan.
Setelah mengalami peristiwa yang pahit, kini dalam cara berpikir, Siau Lo-seng sudah makin hati-hati dan
cermat. Sejenak merenung, ia lebih cenderung pada dugaan yang pertama. Untuk membuktikan kebenarannya, dia
tak mau gegabah bertindak melainkan hanya diam-diam memperhatikan gerak gerik mereka.
"Adik Ing, ikutlah aku untuk membantu Hun-ing menerobos dari kepungan," serunya berbisik kepada Cu-ing.
Tetapi seruan itu segera bersambut dengan lengking jeritan yang nyaring. Cepat-cepat Siau Lo-seng
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpaling. dunia-kangouw.blogspot.com
Dilihatnya Hun-ing telah meluncurkan serangan, menusuk tubuh lawan. Tetapi Ang Piau diam saja. Selekas
ujung pedang si nona hampir menyentuh badannya, tiba-tiba ia kempiskan dadanya lalu melambung ke
udara dengan gerak Burung hong menerobos langit, melayang melampaui kepala Hun-ing, meluncur turun
di belakang dan secepat kilat mengirim tendangan berantai kepada nona itu.
Sebuah jurus serangan yang luar biasa ganasnya!
Setitikpun Hun-ing tak pernah menduga bahwa lawan ternyata masih mempunyai simpanan ilmu
kepandaian yang istimewa. Apabila Hun-ing sampai terkena tendangan, jiwanya tentu berbahaya.
Pada detik-detik maut hendak merenggut jiwanya dengan ketangkasan yang tak terduga-duga, Hun-ing
rebah telentang di tanah, "Wut?""
Kaki Ang Piau hampir dikata hanya seujung rambut terpisah dari kepala si nona. Turun sedikit saja, kepala
Hun-ing tentu akan hancur mumur.
Menyaksikan adegan itu, baik kawan maupun lawan sama menghela napas longgar. Entab apa sebabnya,
mereka bersyukur karena si nona terlepas dari bahaya maut.
Memang di dalam menyaksikan pertempuran yang menegangkan, sering orang lupa siapa kawan siapa
pihak lawan. Mereka akan bersorak sorai gembira apabila menyaksikan salah seorang telah mengunjukkan
kepandaian yang mempesonakan.
Walaupun terlepas dari maut, namun Hun-ing tak berani menarik napas. Segera ia gerakkan pedangnya
sampai tiga-empat lingkaran. Sedang tangan kiri diam-diam telah siap untuk memberi pukulan kepada
lawan pada saat-saat yang baik.
Dalam sekejap saja nona itu telah memperbaiki posisinya dalam pertempuran itu.
Keadaan Hun-ing membuat Siau Lo-seng dan Cu-ing menghela napas longgar. Tetapi keadaan di
tempatnya sendiri tiba-tiba berobah tegang. Bahkan tak kalah gentingnya dengan di tempat Hun-ing.
Kawanan algojo baju hitam yang mengepung dari empat penjuru itu, lancarkan serangan golok mereka
dengan gencar dan mendesak kedua muda mudi itu sampai beberapa langkah ke belakang.
11.55. Rahasia Kesaktian Pit Sakti
Siau Lo-seng mendesuh geram. Dengan menggembor keras ia taburkan pedangnya, dan berturut-turut
telah melancarkan tiga buah serangan yang dahsyat.
Heng-ka-kim-liang atau Menyanggah melintang tiang emas, Hang-soh-ciang-kun atau Menyapu ribuan
pasukan, Ngo-gak-ya-ting atau Lima gunung menindih puncak. Tiga jurus serangan itu merupakan ilmu
pedang yang keras untuk menangkis atau adu senjata dengan musuh.
"Tring, tring, tring?""
Terdengar beberapa kali suara dering senjata dan senjata dari beberapa algojo baju hitam itupun mencelat
ke udara. Dan terbukalah sebuah lubang dari kepungan mereka.
Siau Lo-Seng pun segera menerjang seraya memutar pedang Ular Emas. Jeritan ngeri terdengar, disusul
dengan semburan darah segar yang berhamburan ke udara.
Dengan menahan rasa sakit, Cu-ing pun mainkan pedang untuk mengikuti jejak Siau Lo-seng. Walaupun
telah kehilangan darah cukup banyak, tetapi setelah menyelinapkan kesempatan untuk beristirahat,
semangat Cu-ing sudah bertambah baik.
Dara itu mainkan ilmu pedang Tay-hui-kiam-hwat, ilmu pedang ciptaan dari suhunya, Tay Hui Sin-ni.
Tay-hui-kiam-hwat cepat dan hebat sekali sehingga pada beberapa kejap, dua algojo baju hitam menjerit
rubuh bermandi darah. Bormula Cu-ing hanya ingin menerobos keluar dari kepungan. Ia merasa tenaganya tentu berkurang akibat
luka yang dideritanya. Tetapi tiada disangkanya sama sekali bahwa dengan mudah ia telah dapat
merubuhkan dua orang musuh. Seketika bangkitlah semangat dara itu. Ilmu pedang Tay-hui-kiam-hwat
segera dimainkan dengan gairah. Empat orang algojo baju hitampun segera menjerit rubuh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kekalahan barisan algojo itu bukan karena mereka jago-jago yang lemah. Mereka tergolong ko-jiu atau jago
sakti yang jarang terdapat dalam dunia persilatan. Tetapi ilmu ciptaan rahib sakti Tay Hui Sin-ni itu memang
luar biasa hebatnya. Sebenarnya ilmu pedang itu memiliki jurus-jurus permainan yang ganas dan maut. Tetapi karena Cu-ing
seorang dara yang berhati baik, tak suka mencelakai orang maka dia jarang sekali menggunakan ilmu
pedang itu. Tetapi saat itu memang lain. Ia sendiri menderita luka. Siau Lo-seng dan Hun-ing terancam bahaya.
Terpaksa ia gunakan ilmu pedang itu. Dan hasilnya memang mengejutkan sekali.
Setelah beberapa kawannya terluka, barulah kawanan algojo baju hitam itu tak berani mendesak.
Li Giok-hou yang selama itu hanya mengawasi pertempuran di samping gelanggang, diam-diam mendapat
kesan bahwa kepandaian dari Siau Lo-seng, Hun-ing dan Cu-ing memang mengagumkan sekali. Jauh
sekali bedanya dengan beberapa waktu yang lalu. Diam-diam ia heran apakah selama ini mereka telah
mendapat rejeki yang luar biasa.
Kesan yang diperoleh Li Giok-hou segera memantulkan hawa pembunuhan yang ganas pada cahaya
wajahnya. Segera pemuda itu maju kehadapan Siau Lo-seng, mengacungkan bendera kecil dan mengebutkan dua kali
lalu membentak: "Mundurlah kalian semua, biarlah kuselesaikan sendiri pemuda liar ini!"
Barisan Algojo tujuh lapis, dari Ban-jin-kiong saat itu hampir separoh yang terluka dan, mati. Belasan
kawanan baju hitam itu segera mundur setelah menerima perintah dari Li Giok-hou.
Sambil tertawa iblis, berserulah Li Giok-hou, "Siau Lo-seng. ganas benar engkau!"
Siau Lo-seng cukup waspada. Bahwa Li Giok-hou berani tampil ke muka dan memerintahkan orangorangnya menyingkir, tentulah karena kepandaian yang istimewa. Namun Lo-seng tak tahu jelas apa yang
menjadi pegangan Li Giok-hou.
Serentak ia tertawa nyaring, serunya: "Ah engkau terlalu memuji. Dalam dunia persilatan banyak sekali
kaum durjana, kaum bebodoran yang hidup dalam alam tipu muslihat dan bergelimpangan dalam dosa.
Berbicara tentang kekejaman, aku masih kalah jauh dengan mereka!"
Li Giok-hou tertawa seram:
"Ah, tidak, engkau terlalu merendah diri saja?""
Dalam pada berkata-kata itu Li Giok-hou sudah majukan langkah dan secepat kilat hantamkan tangannya
yang tinggal sebelah itu.
Siau Lo-seng terkejut atas serangan mendadak itu. Tahu-tahu angin pukulan sudah melanda dadanya.
Untunglah sebelumnya ia memang tak berani memandang rendah lawan. Sambil menyalurkan tenaga
dalam untuk melindungi dadanya, iapun segera enjot kakinya melambung ke udara.
Siau Lo-seng bergerak amat cepat sekali. Sambil melambung ke udara ia masih bergeliatan ke kanan kiri
untuk menghindari pukulan lawan. Tetapi tak urung masih punggungnya termakan sebuah pukulan lawan.
Dia terhuyung-huyung sampai tujuh-delapan langkah baru dapat berdiri tegak.
Tetapi Li Giok-hou juga termakan oleh tenaga dalam Siau Lo-seng sehingga terpental sampai tiga langkah
ke belakang. Setelah melancarkan tujuh buah pukulan berantai, Li Giok-hou pun menarik pulang tangannya. Ia tertawa
gembira, "Ilmu kepandaianmu sungguh hebat sekali sehingga mampu menerima ilmu simpanan dari Ban-jin-kiong
yang disebut Keng-hun-jit-ciang (tujuh pukulan pengejut jiwa). Dalam dunia persilatan, tiada orang kedua
yang dapat berbuat seperti engkau. heh, heh, heh?""
Diam-diam timbul keheranan dalam hati Siau Lo-seng. Sudah berulang kaki ia bertempur dengan Li Giokhou dan setiap kali kepandaian lawan tentu masih kalah jauh.
"Hm, kalau orang ini tak dilenyapkan, dunia persilatan tentu akan menderita kekacauan," diam-diam Siau
Lo-seng menimang dalam hati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Segera ia kerahkan tenaga dalam dan berseru marah, "Cara engkau menyerang secara licik tadi, bukanlah
laku seorang kesatria!"
Siau Lo-seng sudah merencanakan, pada saat Li Giok-hou terpecah perhatian karena harus menjawab
dampratannya, ia terus akan menghantamnya dengan tiba-tiba. Ada ubi ada tales. Ada budi tentu dibalas.
Li Giok-hou tertawa gelak-gelak.
"Dalam memimpin barisan, kita boleh meng gunakan siasat apa saja untuk menyerang. Menga?""
Belum selesai ia berkata, tiba-tiba tubuh Siau Lo-seng sudah bersatu ke dalam sinar pedang Ular Emas dan
langsung menusuknya. Tetapi Li Giok-hou memang sudah menjaga kemungkinan itu. Dia tak mau berkisar dan menghindar
melainkan mencabut pusaka Keng-hun-pit lalu diputar dalam setengah lingkaran sinar putih untuk
menangkis serangan orang. Kemudian ia mengisar tubuh menurutkan gerak serangan pedang untuk maju
merapat pada lawan. Berbahaya sekali gerak yang dilakukan Li Giok-hou itu tetapi memang tak dapat diduga Siau Lo-seng.
Tahu-tahu titik sinar putih dari ujung Keng-hun-pit hendak menutuk lengan kanannya.
Siau Lo-seng terkejut dan terpaksa mundur lagi.
Li Gok-hou tak mau mendesak. Sambil menarik Keng-hun-pit ia tertawa dingin.
"Eengkau hendak membalas menyerang secara tiba-tiba" He, jangan engkau gunakan cara itu di
hadapanku. Ketahuilah, orang itu dinilai dari perbuatannya. Karena pihakku sudah digolongkan sebagai
golongan jahat, maka segala cara dan siasat yang kejam dan licik akan kami gunakan semua. Maka kali ini
Kilau Bintang Menerangi Bumi 2 Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan Api Di Bukit Menoreh 32