Pencarian

Mustang Hitam 1

Mustang Hitam Karya Dr. Karl May Bagian 1


Dr. KARL MAY MUSTANG HITAM jilid 1 I PERTEMUAN DI FIREWOOD Badai sedang mengamuk di hutan pegunungan di atas lereng lembah. Puncak pohon-
pohon den diombang-ambingkan oleh angin kencang. Hujan turun dengan lebatnya.
Air sebagai dicurahkan dari atas, mengalir melalui batang pohon, lalu berkumpul
di bawah menjadi batang air kecil-kecil yang akhirnya bermuara melimpah-limpah
di sungai yang mengalir di dasar lembah. Malam itu gelap sekali. Hanya kadang-
kadang lereng lembah itu diterangi oleh cahaya halilintar yang seakan-akan
kejar-mengejar. Petir yang seakan-akan membelah angkasa menimbulkan bunyi
gemuruh yang mengejutkan seluruh isi hutan.
Di bagian atas pegunungan itu seluruh alam seakan-akan melepaskan tenaganya,
akan tetapi jatuh di bawah, di dalam lembah, semuanya tenang belaka. Angin tidak
berembus, pohon-pohonan tidak bergerak, hanya air sungai saja menggelegar dan
mendesis-desis sedemikian kerasnya sehingga hanya telinga yang tajam saja dapat
mendengar bunyi dua orang berkuda yang berjalan menyusur tepi sungai ke arah
hilir. Karena hari gelap, maka mereka tidak dapat dilihat.
Sekiranya hari siang maka setiap orang yang bertemu dengan mereka akan
tercengang-cengang, bukan oleh pakaian mereka yang ganjil, melainkan oleh karena
kedua orang yang menunggang kuda itu badannya sangat tinggi.
Yang seorang rambutnya pirang: dibandingkan dengan tinggi badannya maka
kepalanya tampaknya kecil sekali. Matanya memandang dengan ramah-tamah;
hidungnya melengkung ke atas pada ujungnya, sehingga dengan demikian maka muka
orang itu menjadi lebih serasi bagi seorang kanak-kanak yang berumur empat
tahun. Mulutnya lebar sekali sehingga ujung dan pangkalnya hampir sampai kepada
telinganya apabila ia tertawa. Pipi dan dagunya tidak berambut, suatu hal yang
jarang terdapat pada orang kulit putih. Ia memakai baju kulit dan celana dari
kulit pula. Kakinya dan betisnya tertutup oleh sepatu lars yang tinggi;
kepalanya dilindungi oleh topi jerami yang pinggirnya melengkung ke bawah,
sehingga air hujan tidak membasahi mukanya. Pada punggungnya ia menyandang bedil
dengan larasnya ke arah bawah. Kuda yang ditungganginya kelihatannya sangat
kuat; umurnya sudah kira-kira lima belas tahun.
Penunggang kuda yang seorang lagi rambutnya kehitam-hitaman, sebagian tertutupi
oleh sebuah peci yang terbuat daripada kulit binatang yang berbulu tebal.
Mukanya sempit dan panjang bentuknya; hidungnyapun sempit dan panjang juga. Dagu
dan sebagian dari pipinya tertutupi oleh janggut yang lebat. Ia menyandang bedil
berlaras dua. Ia mengendarai seekor mustang* (*Kuda prairi setengah liar) yang
sudah terlatih, yang umurnya kira-kira sudah lima belas tahun juga.
Lain daripada bedil, mereka masih membawa pisau dan pistol. Itu tidak
mengherankan, sebab daerah Wild West ini terkenal sebagai daerah yang sangat
berbahaya Kedua orang penunggang kuda itu sedikitpun tidak menghiraukan hujan
yang turun dengan lebatnya.
Walaupun hari amat gelap, tetapi mereka tidak merasa khawatir akan jalan yang
ditempuh oleh kuda mereka, sebab kedua binatang itu sudah terlatih baik dan
mempunyai bakat serta pancaindera yang tajam sehingga mereka mengetahui di mana
mereka harus berjalan. Mereka bercakap-cakap dengan tenang sekali, akan tetapi sekiranya hari agak
terang maka mereka akan melihat bahwa kedua orang itu saling pandang-memandang,
sebab mereka baru saja berkenalan. Belum ada sejam yang lalu mereka bertemu
secara kebetulan dan oleh karena mereka mempunyai tujuan yang sama, yakni
perkemahan di Firewood, maka mereka memutuskan untuk berjalan bersama-sama.
Mereka tidak tanya-menanyakan nama dan keadaan mereka. Percakapan mereka
hanyalah terbatas pada soal-soal yang umum saja. Tiba-tiba mereka mendengar
bunyi guntur menggelegar; sesaat itu juga lembah itu menjadi terang oleh cahaya
halilintar. Orang yang pirang rambutnya berseru: "Astaga! Guntur sudah turun
sampai ke lembah. Hebat sekali bunyinya. Rindu saya mengenangkan betapa enak dan
hangatnya kamar saya di rumah ahli waris Timpe!"
Mendengar dua perkataan yang terakhir itu, teman seperjalanannya dengan tidak
disengajanya menahan tali kekang kudanya dan ia sudah membuka mulutnya untuk
mengucapkan pertanyaan, akan tetapi maksudnya itu diurungkan dan kudanya
disuruhnya berjalan terus. Ia sadar bahwa di daerah di sebelah Barat sungai
Mississippi orang harus bersikap hati-hati, lebih-lebih terhadap perkataan yang
diucapkannya. Mereka bercakap-cakap terus, akan tetapi hanya singkat saja, sebab kini mereka
harus lebih memperhatikan tempat di mana mereka berjalan. Sekonyong-konyong
sungai membelok ke arah tepi mereka dan di tempat itu tanah di pinggir sungai
sudah dilalui air pula. Kuda tunggangan orang yang pirang rambutnya itu tergelincir jatuh ke dalam air.
Untung tempat itu dangkal, sehingga dengan sekali lompat kuda itu sudah sampai
ke tanah lagi. "Keparat," seru penunggangnya. "Pakaian saya sudah basah kuyup oleh air hujan.
Apa gunanya saya lebih basah lagi oleh air sungai! Hampir saja saya jatuh ke
dalam banjir, seperti tempo hari di kampung ahli waris Timpe."
Ia lebih menepi lagi, lalu berjalan terus. Temannya menyusulnya dengan berdiam
diri, akan tetapi sebentar kemudian ia berkata:
"Ahli waris Timpe" Nama apakah itu, Sir?"
"Anda tidak tahu?" jawabnya.
"Tidak." "Hra! Ajaib! Kenalan dan teman saya semuanya mengetahui."
"Anda lupa bahwa kita baru saja berkenalan. Baru sejam yang lalu kita bertemu
pertama kali." "Itu benar. Sebab itu Anda tak dapat mengetahui siapa atau apa
ahli waris Timpe itu. Akan tetapi barangkali Anda akan mengetahuinya."
"Barangkali?" "Ya."
"Bilamana?" "Jikalau kita berjalan lebih lama."
"Tidak bolehkah saya mengetahuinya sekarang, Sir?"
"Sekarang" Mengapa?" "Sebab nama saya Timpe." "Apa" Nama Anda Timpe?" "Ya."
"Betulkah itu?"
"Apa gunanya saya mengaku mempunyai nama yang bukan nama saya?"
"Ajaib! Sudah bertahun-tahun saya mencari orang yang bernama Timpe, di
pegunungan-pegunungan dan lembah-lembah di sebelah Timur dan di sebelah Barat,
pada siang hari dan malam hari, pada cuaca baik dan cuaca buruk dan kini,
setelah saya sudah putus asa, dengan tiba-tiba saja orang itu berjalan di sisi
saya tanpa mengatakan kepada saya siapa namanya."
"Anda mencari saya?" tanya temannya itu dengan keheran-heranan. "Ya."
"Sebab apa?" "Sebab warisan! Sebab apa lagi?"
"Warisan" Hm! Siapakah Anda, Sir?"
"Nama saya Timpe juga."
"Timpe dari daerah mana?"
"Dari seberang."
"Jerman?" "Tentu saja! Bukankah itu sudah sewajarnya" Di mana lagi seorang Timpe dapat
dilahirkan kalau tidak di Jerman?" "Di benua lain" Sebab saya dilahirkan di
Amerika." "Tetapi orang tua Anda tentu orang Jerman!" "Ayah saya seorang
Jerman." "Kalau begitu Anda tentu pandai berbahasa Jerman?" "Ya."
"Mengapa Anda tidak berbahasa Jerman apabila Anda bertemu dengan seorang
Jerman?" "Sabar, Sir! Tadi saya belum tahu bahwa Anda seorang Jerman."
"Tetapi kini Anda tahu! Saya seorang Jerman, bahkan seorang Timpe. Tentu saja
saya menghendaki bahwa setiap orang Jerman akan berbicara dengan saya dalam
bahasa Jerman." "Di tempat mana Anda dilahirkan?" "Di Hof, di tanah Beieren."
"Kalau begitu kita tidak ada bersangkut-paut, sebab ayah saya berasal dari
Plauen di Voigtland."
"O, tidak ada bersangkut-paut kata Anda. Ayah saya pun berasal dari Plauen, akan
tetapi pindah dari sana ke Hof."
Orang yang hitam rambutnya itu segera menahan kudanya. Hujan sudah berhenti dan
awan gelap sudah tersapu oleh angin badai. Karena itu maka bintang sudah mulai
gemerlapan di langit, sehingga kedua orang itu dapat melihat muka masing-masing.
"Pindah dari Plauen ke Hof?" tanyanya. "Kalau begitu tidak saja mungkin,
melainkan sangat boleh jadi kita masih famili, sebab nama Timpe itu tidak
seberapa umum sebagai nama Muller, Schmidt, Schulz dan lain-lain. Apa pekerjaan
ayah Anda?" "Tukang bedil, dan itupun pekerjaan saya juga."
"Cocok, cocok! Ganjil benar nasib kita. Berasal dari satu daerah, bahkan masih
famili, akan tetapi bertemu pertama kali di rantau orang. Tetapi jangan kita
berhenti di sini; hujan dan badai mungkin akan balik kembali dan jalan yang akan
kita tempuh barangkali masih sukar sekali. Marilah kita berjalan cepat-cepat.
Nanti, apabila kita sampai ke tujuan kita, dapat kita melanjutkan percakapan
kita." Mereka berjalan terus. Lembah itu makin lama makin menjadi sempit dan tempat
antara sungai dan dinding lembah yang sangat curam itu hanyalah sempit sekali.
Lagi pula tempat itu ditumbuhi oleh semak-semak. Sekiranya hari masih gelap
seperti tadi, maka tak mungkin mereka melanjutkan perjalanannya.
Kemudian lembah menjadi agak lebar dan setengah jam sesudah itu mereka melintasi
sebuah jalan pegunungan dan tidak lama kemudian sampailah mereka ke sebuah
tempat yang datar, yang ditumbuhi oleh hutan pohon den raksasa. Di situlah letak
perkemahan Firewood. Tempat yang datar itu sesungguhnya merupakan pertemuan dua buah lembah: yang
satu ialah lembah sungai yang ditempuh oleh kedua Timpe itu, yang lain, yang
hampir tegak lurus arahnya pada lembah yang pertama, ialah lembah yang dilalui
oleh jalan kereta api yang sedang didirikan oleh penghuni perkemahan Firewood.
Di tempat itu berserakan berpuluh-puluh batang pohon den yang sudah ditebang.
Batangnya digergaji menjadi papan dan dahan-dahannya yang besar dipotong-potong
menjadi balok yang akan dipergunakan sebagai bantalan untuk jalan kereta api.
Dahan-dahan yang kecil serta ranting dipergunakan orang sebagai kayu api. Para
penghuni perkemahan itu sedang membuat jembatan di atas sungai. Jembatan itu
rupa-rupanya sudah hampir selesai. Sebuah mesin penggergajian yang besar
mengolah kayu yang sudah terkumpulkan. Di tepi lembah terdapat beberapa buah gua
buatan orang, yaitu tempat di mana para pekerja menggali batu yang
dipergunakannya sebagai bahan untuk membuat bagian bawah jembatan. Di sebelah
kiri ada beberapa barak yang diperbuat daripada balok dan papan. Barak-barak itu
ialah tempat tinggal bagi para pekerja, gudang tempat mereka menyimpan bekal
bahan makanan dan ada pula yang dipergunakan untuk menyimpan alat perkakas.
Sebuah daripada barak-barak itu sangat besar dan mempunyai empat buah cerobong
api. Dari beberapa buah jendela memancarlah cahaya api. Rupa-rupanya itulah
barak tempat tinggal para pekerja. Kedua orang yang baru datang itu segera
menuju ke barak yang diterangi lampu itu.
Sudah dari jauh mereka mendengar suara orang bercakap-cakap dan bersenda gurau.
Rupa-rupanya banyak sekali penghuninya. Demi mereka melalui jendela-jendela
barak itu maka mereka sudah dapat mencium bau brandy. Mereka
turun, lalu menambatkan kuda mereka pada tonggak yang rupa-rupanya memang
disediakan untuk menambatkan kuda. Baru saja mereka hendak masuk, maka kebetulan
ada orang keluar. Orang itu sedang berseru ke arah kamar:
"Kereta api akan segera datang. Barangkali akan membawa surat dan koran bagi
Anda sekalian." Kemudian orang itu memalingkan kepalanya, lalu melihat dua orang asing yang baru
datang. Ia berhenti di muka pintu seraya mengamat-amati mereka.
"Good evening, Sir," demikianlah Timpe yang pirang rambutnya memberi salam.
"Kami basah kuyup kehujanan. Adakah di sini tempat di mana kami dapat berdiang
agar pakaian kami menjadi kering?"
"Ya," jawabnya. "Bahkan di sini ada tempat juga di mana Anda dapat bermalam,
itupun sekiranya Anda tidak termasuk orang yang mempunyai maksud yang tidak
baik." "Anda tak usah khawatir, Sir! Kami adalah orang yang jujur, yang tak hendak
merugikan Anda, melainkan bersedia membayar untuk apa yang kami peroleh di
sini." "Silakan masuk. Di sebelah kiri ada sebuah kamar di mana Anda dapat membeli apa-
apa yang Anda perlukan. Katakanlah kepada penjaga kantin bahwa Anda sudah
mendapat izin dari insinyur untuk tinggal di sini. Sebentar lagi saya akan
kembali." Insinyur itu berjalan terus dan merekapun masuk.
Barak itu sesungguhnya hanya mempunyai sebuah ruang besar. Di sana ada sejumlah
meja, kursi dan bangku yang dibuat daripada papan kasar. Di sebelah dinding ada
beberapa tempat tidur dari papan juga yang hanya diisi dengan rumput kering.
Untuk penerangan dan untuk memanaskan ruang besar itu ada tersedia empat buah
tungku api yang dewasa itu sedang dinyalakan besar-besar. Cahaya yang mereka
lihat dari luar tadi dan yang mereka sangka cahaya lampu, ternyata berasal dari
api unggun tersebut. Di ruang besar itu ada kira-kira dua ratus orang, semuanya
pekerja kereta api. Rambut mereka berkuncit, warna kulit mereka kuning dan mata
mereka sipit. Dengan keheran-heranan mereka berpaling ke arah dua orang yang
baru datang itu. "Astaga! Orang Tionghoa," kata Timpe yang hitam rambutnya.
"Marilah kita masuk ke kamar kecil itu."
Yang disebutnya kamar kecil itu sebenarnya tak lain daripada sebagian dari ruang
besar yang terpisah oleh dinding papan setinggi orang. Di kamar itu ada pula
beberapa buah meja, kursi dan bangku. Di sana ada terkumpul beberapa pekerja
kulit putih yang riuh bercakap-cakap sambil merokok dan minum. Demi kedua orang
tamu itu masuk, maka mereka berhenti bercakap-cakap seraya menoleh ke arah dua
orang tamu yang menuju ke bupet.
"Rail-roaders*?" (*Pekerja kereta api) tanya penjaga kantin sambil menjawab
salam tamu-tamu itu dengan menganggukkan kepalanya.
"Bukan, Sir," jawab yang berambut pirang. "Kami bukan saingan daripada tuan-tuan
yang duduk di sini. Kedatangan kami ini hanyalah untuk mencari tempat di mana
kami dapat menjemur pakaian kami yang basah ini Tuan insinyur mengizinkan kami
masuk." "Anda dapat membayar?" tanya penjaga kantin itu sambil mengamat-amati kedua
orang tamu. "Ya." "Kalau begitu Anda boleh membeli segala yang Anda perlukan dan Anda boleh juga
menyewa tempat tidur apabila Anda hendak bermalam di sini. Silakan duduk pada
meja di dekat api sebelah sana itu; di sana pakaian Anda akan segera kering.
Meja yang sebelah sini disediakan untuk para pegawai dan mereka yang lebih
tinggi pangkatnya." "O, jadi kami ini Anda golongkan orang yang rendah pangkatnya. Saya kira badan
kami cukup tinggi. Akan tetapi tidak mengapa. Bawakanlah kami air panas, gula
dan rum. Perut kami sudah kedinginan juga."
Mereka pergi duduk pada meja yang ditunjuk oleh penjaga bupet tadi. Karena
tempat itu dekat benar pada api unggun, maka pakaian mereka sebentar saja sudah
kering. Penjaga kantin segera mengantarkan pesanan mereka. Pekerja-pekerja kulit
putih segera melanjutkan percakapan mereka dengan ramai sekali.
Pada meja yang disediakan untuk pegawai dan mereka yang lebih tinggi pangkatnya
hanya duduk seorang saja: orang muda yang usianya belum ada tiga puluh tahun,
yang berpakaian sebagai seorang pemburu kulit putih, akan tetapi menilik warna
kulitnya dan bentuk mukanya pasti bukan sebenarnya orang kulit putih. Ia seorang
Mestis, peranakan kulit putih dan orang Indian. Badannya kuat; lengan dan
kakinya lemah lembut, rautan mukanya cerdik, akan tetapi pandang matanya
mengingatkan pada seekor kucing liar yang sedang mengintai mangsanya. Tampaknya
ia sama sekali tidak mengindahkan kedua orang asing itu, walaupun beberapa kali
ia mengerling ke arah mereka sambil memasang telinganya untuk mendengarkan apa
yang dipercakapkan itu, sebab kedua orang yang baru datang itu berbicara dalam
bahasa yang tidak dipahaminya, yaitu bahasa Jerman.
Orang yang hitam rambutnya itu mengangkat gelasnya seraya mengajak temannya
minum bersama demi kesehatan mereka. Sesudah itu ia berkata:
"Demikianlah kita sudah bersalam-salaman secara kebiasaan kita sebagai orang
Jerman. Marilah kini kita melanjutkan percakapan kita yang terputus tadi. Jadi Anda
adalah tukang bedil, begitu juga ayah Anda. Menilik pekerjaan Anda maka sudah
tentu Anda pandai sekali menembak. Andaikata kita sungguh-sungguh famili, maka
saya mau berterus-terang bahwa masih saya sangsikan adakah saya boleh memandang
Anda sebagai famili."
"Sebab apa?" "Sebab warisan."
"Saya tidak mengerti."


Mustang Hitam Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dalam hal warisan itu saya sudah tertipu."
"Saya begitu juga!"
"Betulkah" Anda tidak ada menerima bagian Anda?" "Tidak sepeserpun."
"Akan tetapi saya mendengar bahwa para ahli waris di Jerman sudah menerima
sejumlah uang yang besar sekali." "Ya, itu ahli waris Timpe yang tinggal di
Plauen, tetapi saya tidak ada menerima apa-apa, walaupun saya seorang Timpe yang
sejati." "Perkenankanlah saya menyelidiki adakah Anda benar-benar seorang Timpe yang
sejati. Bagaimana nama lengkap Anda?"
"Casimir Obadja Timpe."
"Dan ayah Anda?"
"Rehabeam Zacharias Timpe."
"Berapa orang saudara laki-laki ayah Anda?"
"Lima orang. Tiga orang yang paling muda pergi ke Amerika. Mereka menyangka
bahwa di dunia baru mereka akan menjadi kaya raya dalam waktu yang singkat,
sebab mereka menyangka bahwa orang Amerika memesan banyak bedil. Ketiga orang
bersaudara itu semuanya tukang bedil."
"Siapa nama saudara ayah Anda yang tinggal di Plauen?"
"Johannes Daniel. Ia sudah meninggal dan meninggalkan dua orang anak laki-laki:
Petrus Micha dan Markus Absalom. Kedua orang anak laki-laki inilah yang sudah
menerima warisan sebanyak seratus ribu thaler, yang dikirimkan orang dari kota
Fayette di Alabama."
"Cocok, cocok sekali! Pengetahuan Anda tentang nama tempat dan nama orang itu
membuktikan bahwa Anda benar-benar saudara sepupu saya."
"O, saya ada juga mempunyai surat bukti yang lengkap, semuanya saya simpan di
bawah baju kulit saya. Anda boleh melihatnya..."
"Jangan sekarang, jangan sekarang," demikian Hasael menyela. "Saya percaya.
Tahukah Anda apa sebabnya maka kelima orang bersaudara itu beserta keturunannya
semuanya mempunyai nama yang dikutip dari kitab suci?"
"Ya, itu kebiasaan nenek moyang kita. Tidak seorangpun kemudian menyimpang dari
kebiasaan itu." "Benar, di sini pun ketiga bersaudara itu tidak menyimpang dari kebiasaan yang
Anda sebut tadi. Ayah saya ialah yang ketiga dari kelima saudara tadi. Namanya
ialah David Makkabeus. Ia menetap di New York. Nama saya Hasael Benyamin. Kedua
adik ayah saya pergi mengadu untungnya ke daerah Barat, lalu menetap di Fayette
di negara-bagian Alabama. Yang paling muda bernama Jozef Habakuk. Ia meninggal
tanpa mempunyai anak. Paman Jozef inilah yang meninggalkan warisan besar itu. Yang nomor empat, Tobias
Holofernes, meninggal di Fayette juga. Ia mempunyai seorang anak laki-laki,
Nahum Samuel namanya. Dialah yang menipu kita."
"Bagaimana letak soal itu?"
"Anda tidak mengetahuinya" Mula-mula ayah saya seringkah berkirim-kiriman surat
dengan kedua saudaranya yang tinggal di Fayette, akan tetapi lambat-laun surat-
menyurat itu menjadi jarang sekali dan akhirnya berhenti sama sekali. Maklumlah,
Amerika ini luas sekali, sedemikian luasnya sehingga saudara kandungpun akhirnya
menjadi asing. Sepeninggal ayah saya, saya melanjutkan perusahaan ayah, akan tetapi pendapatan
saya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tiba-tiba di Hoboken saya bertemu
dengan seorang Jerman, imigran dari Plauen di Voigtland. Tentu saja saya minta
keterangan tentang keadaan famili saya yang tinggal di Jerman. Alangkah heran
saya demi saya mendengar bahwa mereka telah menerima warisan dari paman Habakuk
sebesar lebih daripada seratus ribu thaler. Anda dapat membayangkan betapa marah
saya bahwa saya tidak menerima bagian saya. Bukankah saya mempunyai hak juga
atas warisan itu" Lebih daripada sepuluh kali saya berkirim surat ke Fayette,
tetapi tidak sekali juga mendapat jawab. Kemudian saya menjual perusahaan saya,
sebab saya sudah membulatkan hati saya untuk pergi ke Fayette guna menyelidiki
soal warisan itu." "Tepat benar tindakan Anda. Bagaimana kesudahannya?"
"Sial, burung itu sudah terbang, sudah menghilang tanpa meninggalkan jejak."
"Burung yang mana?"
"Bodoh sekali Anda! Bukan burung sebenar burung, melainkan saudara sepupu kita
Nahum Samuel, yang sudah melarikan warisan itu. Di Fayette saya mendengar bahwa
paman Habakuk bukan orang miskin, akan tetapi tidak seorangpun mengetahui atau
menduga bahwa ia kaya-raya. Rupa-rupanya ia sangat kikir serta selalu
menyembunyikan kekayaannya. Kakaknya, Tobias Holofernes, meninggal dalam
kemiskinan. Ia, meninggalkan seorang anak laki-laki, saudara sepupu kita Nahum
Samuel. Nahum dipungut oleh paman Habakuk serta diajak mengelola perusahaannya.
Demi paman Habakuk meninggal, maka ia mengirimkan seratus ribu thaler Plauen,
akan tetapi bagian saya telah dilarikannya."
"Barangkali bagian saya juga."
"Pasti!" "Bangsat! Ayah saya meninggalkan Plauen oleh karena ia bertengkar dengan
saudaranya yang menyaingi perusahaannya. Permusuhan itu makin lama makin
menjadi-jadi. Akhirnya mereka tak mau tahu-menahu. Ayah saya meninggal, demikian
juga saudaranya di Plauen.
Kemudian saya mendapat surat dari seorang anak paman saya di Plauen bahwa mereka
telah mendapat warisan sebanyak seratus ribu thaler dari paman Habakuk di
Amerika. Segera saya pergi ke Plauen untuk mendapat keterangan lebih lanjut.
Segenap penduduk Plauen rupa-rupanya sudah mengetahui bahwa saudara-saudara
sepupu saya telah mendapat warisan besar, sebab mereka oleh setiap orang disebut
ahli waris Timpe. Mereka sudah tidak bekerja lagi dan kini hidup sebagai
milioner. Saya diterima dengan baik sekali dan dimintanya tinggal pada mereka
beberapa pekan lamanya. Mereka tidak menyebut-nyebut adanya permusuhan antara
ayah mereka dan ayah saya. Saya dijamu dengan berlimpah-limpahan, akan tetapi
apabila saya bertanya tentang warisan paman Habakuk, maka jawab mereka hanyalah
bahwa mereka menerima kiriman dari Amerika untuk sekalian anak ayahnya.
Tentang bagian saya mereka tidak mengetahui sedikitpun. Maka saya mengambil
keputusan untuk menyelidiki soal itu pada pangkalnya. Saya menjual perusahaan
saya, lalu pergi ke Amerika. Dengan langsung saya menuju ke Fayette."
"Apa yang Anda dapati di sana?"
"Saya ditertawakan orang. Kata orang kedua Timpe itu tidak pernah kaya." "Bohong
belaka! Dewasa itu Anda sudah mengerti bahasa Inggeris?" "Belum."
"Karena itulah maka Anda diperolok-olok. Apa yang Anda perbuat kemudian?"
"Saya pergi ke St. Louis di mana saya hendak bekerja pada Mr. Henry tukang bedil
yang sangat masyhur itu. Akan tetapi di kota Napoleon, yaitu kota yang terletak
pada pertemuan sungai Arkansas dan sungai Mississippi, saya berkenalan dengan
beberapa orang pemburu prairi. Karena mereka memerlukan kecakapan saya sebagai
tukang bedil, maka diajaknya saya pergi ke Rocky Mountains. Dengan demikian maka
saya menjadi seorang pemburu juga."
"Anda merasa menyesal?"
"Sekali-kali tidak! Tentu saja saya akan merasa lebih puas sekiranya saya
memperoleh bagian saya seratus ribu thaler dan dapat hidup bermalas-malasan
sebagai para ahli waris Timpe." "Hra! Siapa tahu, saat itu barangkali masih akan
tiba juga." "Kemudian terpikir juga oleh saya bahwa paman Habakuk itu benar-benar kaya-raya,
akan tetapi harta kekayaannya telah dilarikan oleh Nahum Samuel. Itulah sebabnya
maka saya beberapa tahun berturut-turut mencari jejak Nahum, akan tetapi sia-sia
saja." "Begitu juga saya, akan tetapi kini saya sudah mendapatkan jejaknya."
"Betul" Anda sudah mendapatkan jejaknya?" seru Casimir yang segera melompat dari
tempat duduknya sehingga semua orang menoleh ke arahnya.
"Tenang, tenang!" kata Hasael. "Anda ini rupanya pemarah benar. Dengarkanlah!
Dari seorang yang dapat saya percayai saya mendengar bahwa seseorang bernama
Nahum Samuel Timpe, yang dahulu pekerjaannya tukang bedil, kini sudah menjadi
kaya-raya dan tinggal di Santa-Fe."
"Aha, Santa-Fe! Kita harus segera pergi ke sana, kita berdua, Anda dan saya."
"Saya setuju sekali. Tentu saja segera saya berusaha mencari dia. Ia akan saya
paksa memberikan kembali bagian saya beserta bunganya. Betapa girang hati saya
kini sudah bertemu dengan Anda, sebab bersama-sama usaha kita tentu akan lebih
ringan. Kita berdua adalah pemburu prairi, jadi apabila kita ancam dengan
undang-undang prairi tentu dia akan menjadi takut dan mau memberikan bagian
kita. Bukankah begitu?"
"Tentu!" kata Casimir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Untung benar saya bertemu dengan Anda. Anda... Anda... ah, saudara sepupuku,
bukankah ganjil benar bahwa kita selalu bercakap-cakap seakan-akan kita ini
orang asing, padahal kita adalah famili yang akrab?" "Ya, benar."
"Kalau begitu, marilah kita segera mempergunakan kata engkau dan aku. Mufakat?"
"Mufakat sekali. Angkatlah gelasmu, biar kita minum bersama sekali lagi demi
persaudaraan kita." "Demi kesehatanmu, saudaraku Hasael!"
"Atas kesehatanmu juga! Tetapi... mengapa Hasael" Tiadakah engkau tahu bahwa
nama orang umumnya disingkat di Amerika ini" Orang biasa memanggil sahabatnya
Tim, Jim, Ben atau Bob; tidak biasa orang di sini melafalkan nama orang
selengkapnya. Ayah saya selalu memanggil saya Has, bukan Hasael. Karena itu saya
harap engkau akan memanggil saya Has juga."
"Has" Hm! Kalau begitu engkau hendaknya memanggil aku Cas, bukan Casimir!"
"Bagus sekali!"
"Bagus" Nama itu tidak janggal bagimu?"
"Sebaliknya! Nama itu singkat dan enak kedengarannya."
"Jadi kita harus pergi ke Santa-Fe!" demikian Has melanjutkan perkataannya.
"Tetapi itu tidak mudah, sebab kita harus mengambil jalan yang mengeliling."
"Sebab apa?" tanya Has.
"Sebab, apabila kita mengambil jalan yang memintas, maka kita harus melalui
daerah orang Comanche. Saya tidak ada mendengar bahwa orang-orang kulit merah
itu sudah menggali kapak peperangan."
"Saya tidak juga, akan tetapi orang-orang Comanche itu terkenal sebagai orang
yang tidak dapat dipercayai. Mereka itu sangat benci kepada orang kulit putih.
Kemarin saya bertemu dengan seorang penjaja yang baru saja datang dari daerah
orang Comanche. Anda tahu bahwa orang kulit merah tidak pernah mengganggu
seorang penjaja, oleh karena mereka sangat memerlukan barang dagangannya.
Penjaja itu mengatakan kepada saya bahwa Tokvi-Kava* (*Mustang Hitam) sudah
meninggalkan kampung halamannya dengan sejumlah besar prajuritnya. Ke mana
mereka pergi tidak diketahuinya."
"Tokvi-Kava, Mustang Hitam yang terkenal sebagai pembunuh pemburu itu" Dan ia
disertai oleh prajurit-prajuritnya" Dan ia tidak mengatakan ke mana ia pergi"
Itu suatu tanda bahwa ia mempunyai maksud yang tidak baik. Saya tidak takut akan
orang kulit merah akan tetapi seberapa mungkin saya lebih suka menjauhi ketua
suku sebengis Mustang Hitam.
Kalau begitu saya setuju sekali bahwa kita akan mengambil jalan yang
mengeliling. Apa ruginya sekiranya kita datang terlambat barang seminggu. Nahum
Samuel kabarnya menetap di sana, jadi ia tentu tidak akan meninggalkan Santa-
Fe." "Dan sekiranya ia sudah pergi, maka bagi kita tidaklah sukar untuk menemukan
kembali jejaknya, sebab..."
Percakapan mereka terhenti, sebab pada saat itu insinyur telah kembali serta
membawa dua orang tamu lagi.
Karena asyik sekali bercakap-cakap maka Cas dan Has tidak mendengar bunyi kereta
api yang datang. Setelah selesai urusannya maka insinyur itu kembali ke barak,
ditemani oleh opseter dan kepala gudang. Ia menganggukkan kepalanya ke arah
kedua pemburu prairi, lalu pergi duduk dengan dua orang temannya di meja yang
disediakan untuk pegawai dan mereka yang lebih tinggi pangkatnya. Orang Mestis
yang sudah dari tadi duduk di sana, segera bertanya:
"Sir, Anda ada membawa koran?"
"Tidak, koran baru datang besok, akan tetapi saya ada membawa kabar lain."
"Kabar baik?" "Sayang tidak. Kita harus hati-hati." "Sebab apa?"
"Orang sudah menemukan jejak orang kulit merah."
Orang peranakan itu mengangkat kepalanya. Dalam pada itu matanya berkilat-kilat
menunjukkan kemarahan, akan tetapi suaranya tetap tenang ketika ia berkata: "Itu
bukan alasan untuk bersikap hati-hati?" "Tentu saja kita harus waspada."
"Ah, Anda lekas benar menjadi cemas. Kita tahu bahwa tidak ada suku Indian yang
sudah menggali kapak peperangan. Bahkan sekiranya begitu, maka tidak boleh
segera menduga bahwa kita menghadapi musuh apabila kita melihat beberapa jejak
orang kulit merah." "Jikalau mereka bukan musuh, maka tidak ada gunanya mereka menyembunyikan diri.
Barangsiapa bersembunyi, tentu tidak mempunyai maksud baik, itu sudah jelas bagi
saya, walaupun saya bukan pandu atau pemburu prairi."
"Justru karena Anda bukan pandu atau pemburu prairi, maka Anda tidak dapat
mengetahui adakah orang kulit merah musuh atau sahabat kita. Saya tahu bahwa
orang-orang kulit merah tidak bersikap bermusuhan terhadap kita. Barangkali
orang-orang Indian yang Anda lihat jejaknya itu melalui perkemahan kita dan
tidak sempat untuk singgah di sini."
"Tidak sempat" Orang kulit merah selalu mempunyai waktu untuk datang kepada
orang kulit putih, walaupun hanya untuk minta-minta saja. Apabila mereka
menyembunyikan diri maka mereka tidak mempunyai maksud yang baik. Anda ialah
seorang pandu yang cakap sekali mencari jejak dan Anda kenal baik daerah ini.
Anda sudah saya angkat sebagai pandu; kewajiban Anda ialah menjaga keamanan
kita. Karena itu maka Anda saya minta besok pagi menyelidiki seluruh daerah ini,
kalau-kalau ada bahaya mengancam."
Muka orang Mestis itu menjadi merah. Rupa-rupanya ia sudah marah, akan tetapi
segera ia dapat menguasai diri dan dengan suara yang tenang ia berkata:
"Baik, itu akan saya kerjakan, Sir, walaupun saya tahu bahwa itu tidak perlu.
Jejak orang Indian hanya membahayakan dalam masa perang. Saya tahu bahwa orang
kulit merah kadang-kadang merupakan sahabat yang lebih baik dan lebih setia
daripada kebanyakan orang kulit putih."
"Pendapat Anda itu membuktikan bahwa Anda orang yang baik hati, akan tetapi saya
sudah seringkah mengalami dan saya dapat membuktikan bahwa pendapat Anda itu
salah." "Dan saya mempunyai bukti lebih banyak lagi bahwa pendapat saya benar. Adakah
orang yang lebih setia kepada Old Shatterhand daripada sahabatnya orang kulit
merah yang bernama Winnetou?"
"Itu suatu perkecualian. Anda mengenal mereka?"
"Saya belum pernah bertemu dengan Winnetou."
"Old Shatterhand?"
"Belum pernah juga, akan tetapi saya tahu segala perbuatannya."
"Anda sudah pernah mendengar nama Tangua, ketua suku orang Kiowa?"
"Ya." "Adakah pengkhianat, penjahat yang lebih besar daripada Tangua itu" Ketika Old
Shatterhand masih menjadi opseter, maka Tangua menjanjikan perlindungannya, akan
tetapi buktinya ialah bahwa ia hendak membunuh Old Shatterhand*. (*Bacalah Kisah
Pengembaraan Dr. Kari May: Winnetou Ketua Suku Apache) Old Shatterhand niscaya
akan dibunuh oleh Tangua sekiranya orang kulit putih itu bukan orang yang
cerdik, tidak bersikap hati-hati dan sekiranya ia bukan orang yang gagah berani
dan kuat. Mana kesetiaan orang kulit merah yang Anda puji-puji itu" Kata Anda
jejak orang kulit merah hanya berbahaya dalam masa perang. Bukankah orang Sioux-
Ogallala sering sekali menyerang kereta api dalam masa damai" Bukankah mereka
sudah membunuh laki-laki dan merampas wanita-wanita dalam masa damai" Mereka
sudah mendapat hukuman yang selayaknya, bukan dari pasukan pemburu atau dari
tentara, melainkan dari dua orang belaka, yakni dari Winnetou dan Old
Shatterhand. Ya, sekiranya seorang dari mereka berdua ada di tengah-tengah kita,
maka seratus pasang jejak orang Indian tidak akan membuat saya khawatir."
"Sir, Anda berlebih-lebihan. Kedua orang itu selalu beruntung. Lain daripada
Winnetou dan Old Shatterhand masih ada beberapa orang yang lebih cakap dari
mereka." "Di mana?" Orang Mestis itu menegakkan badannya sambil memandang insinyur dengan pandang
yang menantang, lalu menjawab:
"Jangan Anda bertanya, melainkan lihatlah sekeliling Anda." "Yang Anda maksud
Anda sendiri?" "Dan sekiranya begitu?"
Insinyur itu hendak memarahi pandunya, akan tetapi tidak sempat ia berbuat
begitu, sebab pada saat itu Cas sudah berjalan ke arah mereka, lalu berdiri di
muka Mestis itu sambil berkata: "Anda ialah orang yang paling tolol di dunia
ini, anakku." Mestis itu segera bangkit, lalu mencabut pisaunya, akan tetapi Cas lebih cepat
lagi mencabut pistolnya. Pistol itu dibidikkan ke arah Mestis dan iapun berkata:
"Jangan tergesa-gesa, my boy! Peluru saya biasanya mengenai sasarannya."
Melihat pistol terbidikkan ke arahnya maka Mestis itu tidak berani mempergunakan
pisaunya. Dengan marah ia berseru:
"Apa urusan Anda dengan saya" Siapa memberi Anda izin mencampuri percakapan


Mustang Hitam Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami?" "Saya sendiri, my boy. Jikalau saya sudah memberi izin, maka saya ingin
mengetahui siapa yang berani menghalang-halanginya. Engkau barangkali?" "Anda
tidak tahu adat, Sir!"
"Nah, engkau memberi alasan kepada saya untuk bersikap begitu. Jagalah agar
engkau tidak akan memberi alasan serupa itu lagi, sebab mungkin juga sikap saya
lebih tidak mengenakkan lagi bagi engkau seperti tempo hari pada ahli waris
Timpe." "Ahli waris Timpe" Siapakah Anda ini sebenarnya, Sir?"
"Saya adalah orang yang tidak mau membiarkan orang memandang rendah kepada
Winnetou atau Shatterhand. Lebih daripada itu tak perlu engkau mengetahui.
Masukkan lagi pisaumu ke dalam ikat pinggangmu agar jangan engkau melukai dirimu
sendiri, my boy." Cas kembali ke tempat duduknya. Mestis itu mengikuti gerak-gerik Cas dengan mata
yang berkilat-kilat; ia mengepalkan tinjunya; mau rasanya ia mengajar orang yang
menghina dia itu serta menikamkan pisaunya ke perutnya, akan tetapi ia tidak
berani berbuat begitu. Orang yang panjang kurus itu mempunyai kewibawaan yang
menyebabkan Mestis itu mengurungkan maksudnya. Orang peranakan itu menyarungkan
kembali pisaunya, lalu duduk kembali di antara teman-temannya seraya berkata:
"Orang gila! Siapa akan merasa terhina oleh perkataan orang yang tidak waras
otaknya. Biarkanlah ia membual."
"Membual?" sahut insinyur. "Sebaliknya, rupa-rupanya ia bukan orang yang dapat
diajak berolok-olok. Ia sudah membela Winnetou dan Old Shatterhand; itu
menyenangkan hati saya, sebab perbuatan dan petualangan kedua orang pahlawan
Wild West itu sangat saya gemari. Tetapi saya akan menyelidiki adakah ia benar-
benar mengenal mereka."
Insinyur itu pergi ke tempat duduk Timpe lalu bertanya:
"Anda kenal Winnetou atau Old Shatterhand?"
Mata Cas bersinar-sinar kegirangan.
"Bukan hanya mengenal saja, melainkan saya pernah menemani mereka dua minggu
lamanya." "He!" seru Has keheranan. "Engkau sudah menemani kedua orang yang masyhur itu
dan tidak mengatakannya kepada saya?"
"Bilamana saya harus mengatakannya" Kita belum lagi sempat untuk menceriterakan
pengalaman kita." "O, Anda baru saja berkenalan?" tanya insinyur.
"Ya, kami bertemu pertama kali hari ini sebelum malam," jawab Cas.
"Anda sudah mengalami sesuatu dengan Winnetou dan Old Shatterhand?"
"Itu tak usah Anda tanyakan, Sir! Barangsiapa bergaul dengan mereka berdua,
tentu mengalami barang sesuatu, bahkan pada satu hari saja lebih banyak daripada
orang lain dalam satu bulan atau satu tahun." "Tidak maukah Anda
menceriterakannya?" "Tidak."
"Mengapa tidak?"
"Sebab saya tidak pandai berceritera, Sir! Berceritera ialah suatu kesenian yang
tidak mudah. Saya sudah acapkali mencobanya, akan tetapi hasilnya tidak pernah
memuaskan. Kadang-kadang saya mulai di tengah-tengah atau pada akhirnya dan kadang-kadang
saya mengakhiri ceritera dengan bagian tengah atau dengan awal ceritera. Hanya
saya dapat mengatakan kepada Anda bahwa pada suatu ketika saya dengan tujuh
orang kulit putih lain tertawan oleh suku Upzaroka yang hendak mengikat kami
pada tiang siksaan. Itu diketahui oleh Old Shatterhand dan Winnetou. Mereka
mengikuti jejak kami serta mengintai orang Upzaroka. Pada malam hari, tanpa
pertolongan atau bantuan orang lain, mereka membebaskan kami... suatu perbuatan
gagah berani yang tidak akan dapat dilakukan oleh orang lain, bahkan tidak oleh
peranakan yang duduk menemani Anda itu dan menjengkelkan sekalian orang yang
mendengar lagak bualnya."
Orang Mestis itu sudah hendak bangkit lagi, akan tetapi dihalang-halangi oleh
insinyur yang dengan cepat-cepat bertanya kepada Cas:
"Tahukah Anda di mana kedua orang pahlawan itu sekarang, Sir?"
"Sedikitpun tidak tahu. Kata orang, Old Shatterhand sedang mengunjungi tanah
jauh, Mesir atau Parsi, akan tetapi ia akan segera pulang kembali."
"Ingin sekali saya bertemu dengan dia. Betulkah ia sehebat yang diceriterakan
orang" Betul-betulkah Old Shatterhand mempunyai kekuatan yang luarbiasa dalam tinjunya"
Ada pula orang yang mengatakan bahwa tangannya biasa saja, bahkan sekecil tangan
perempuan." "Itu betul. Sungguhpun begitu dengan sekali tinju saja ia dapat merebahkan orang
yang paling kuat. Badannya tidak seberapa tinggi dan tidak seberapa lebar, akan
tetapi urat dagingnya sekuat besi dan urat syarafnya sekuat baja. Winnetou
seperti dia juga." "Congkakkah mereka?"
"Sama sekali tidak. Mereka itu halus, lemah-lembut dan ramah-tamah seperti anak
kecil saja. Lain daripada itu sanubari mereka tak pernah goyah oleh bahaya yang
sebesar-besarnya. Anda hendaknya melihat mereka jikalau sedang beraksi! Pandang
matanya, langkahnya dan gerak-geriknya! Sikap mereka apabila sedang menunggangi
kuda. Kecakapan mereka melihat ke masa depan, mengetahui apa-apa yang akan
terjadi atau yang akan datang dan... cara perhitungan mereka yang tidak pernah
salah. Tidak seorangpun, baik orang kulit merah maupun orang kulit putih, biar
bagaimana cerdiknya, sudah pernah berhasil menipu kedua orang ini lebih daripada
satu saat belaka." "Menilik kisah Anda mereka itu hampir-hampir setengah dewa, Sir! Saya akan
merasa beruntung sekali sekiranya saya bertemu dengan dia. Barangkali saya sudah
pernah bersua dengan mereka, tanpa mengetahuinya."
"Itu hampir tidak mungkin, Sir! Sekiranya mereka pada saat ini datang kemari,
maka Anda akan segera mengetahui bahwa itu Old Shatterhand dan Winnetou."
"Bagaimana?" "Setiap orang dapat mengenal mereka pada senjatanya. Peluru yang ditembakkan
Winnetou dari bedil peraknya belum pernah menyimpang dari sasarannya. Bedil
pembunuh beruang milik Old Shatterhand ialah seakan-akan singa mengaum yang
tidak pernah melepaskan mangsanya, betapa cepat juga mangsa itu. Belum lagi
bedil Henrynya! Saya adalah tukang bedil dan saya tahu adakah sesuatu bedil baik
atau buruk. Saya kira Henry hanya membuat sepuluh atau
duabelas buah bedil serupa itu. Tetapi tak ada bedil Henry yang semasyhur milik
Old Shatterhand. Di tangan sembarang orang bedil itu tak lain daripada benda
yang mati, tetapi di tangan Old Shatterhand ia menjadi benda yang hidup, yang
dapat berpikir, dapat membuat perhitungan dan dapat mematuhi perintah. Betul Old
Shatterhand dapat menembak dengan saksama dengan setiap bedil, akan tetapi
apabila ia memegang bedil Henrynya, lebih baik orang menyembunyikan diri saja.
Old Shatterhand dan bedil Henrynya seolah-olah hanya mempunyai jiwa yang satu,
pikiran yang satu dan kehendak yang satu.
Dapatkah Anda memahaminya?"
"Itu karena Anda bukan pemburu, bukan orang yang gemar sekali menembak. Ketiga
buah bedil yang saya sebut tadi tidak ternilai harganya. Sukar orang dapat
mengatakan bedil yang mana yang terbaik di antara tiga buah itu, akan tetapi
jikalau saya harus mengatakannya, maka tidak sangsi lagi saya akan mengatakan
bahwa bedil Henry itulah yang paling baik. Sekiranya orang mau menawar sepuluh
atau duapuluh ribu dollar atau lebih lagi, maka saya yakin bahwa Old Shatterhand
tidak akan mau melepaskannya. Sebelum ia meninggal, tak seorangpun akan dapat
memiliki bedil itu, bahkan seorangpun tidak akan boleh menyelidiki
konstruksinya, sebab di tangan orang biasa bedil itu akan menjadi bedil biasa
juga, bedil yang mati, yang tidak berjiwa, yang tidak mematuhi perintah."
"Astaga! Pura-pura saja Anda tidak pandai berceritera, Sir! Belum pernah saya
menjumpai orang yang sepandai Anda menceriterakan khasiat senjata itu."
"Sebabnya ialah karena saya dahulu tukang bedil. Kini saya sudah menjadi
pemburu. Barangsiapa tidak ahli, tidak akan dapat memahaminya, ia hanya pandai
menertawakannya saja. Sekiranya Anda hendak menertawakan ceritera saya, maka
sedikitpun saya tidak akan marah, saya tidak menaruh keberatan."
"Sama sekali tidak. Pendapat Anda memang istimewa, akan tetapi gemar saya
mendengarnya." "Nah, kalau begitu perkenankanlah saya memajukan permintaan. Berilah kuda kami
tempat yang baik. Saya ingin sekali menyimpan tunggangan saya baik-baik, lebih-
lebih karena Anda telah melihat jejak orang Indian."
"Jadi Andapun berpendapat juga bahwa jejak itu dapat membahayakan kita."
"Tentu saja! Peranakan yang cerdik itu boleh mempunyai pendapat yang lain, akan
tetapi saya tahu menjaga keamanan saya sendiri."
"Kalau begitu boleh Anda mempergunakan barak kerja yang mempunyai kunci baik.
Opseter saya akan menemani Anda ke sana serta menyediakan makanan dan minuman
untuk kuda Anda." Opseter itu segera bangkit dari tempat duduknya. Cas dan Has mengikuti dia ke
luar, ke kuda mereka. Pekerja-pekerja kereta api kulit putih semuanya,
mendengarkan percakapan itu dengan penuh perhatian. Demi kedua pemburu itu sudah
pergi, maka mereka mengecam sikap Mestis, tetapi Mestis itu tinggal tenang saja,
sungguhpun di dalam hati ia marah sekali.
II OLD SHATTERHAND DAN WINNETOU
Beberapa lamanya setelah kedua orang pemburu kulit putih itu mengikuti opseter
pergi mengurus kuda mereka, maka di luar barak itu kedengaran bunyi depak kuda.
"He, apa itu?" tanya insinyur dengan heran. "Mereka membawa kudanya kembali,
padahal barak kerja itu cukup luas untuk memuat lebih daripada sepuluh ekor
kuda." Dia menoleh ke arah pintu dan melihat dua orang masuk. Mereka itu ialah seorang
kulit putih beserta seorang kulit merah. Orang yang pertama itu badannya tidak
tinggi dan tidak gemuk. Mukanya dikelilingi oleh janggut merah. Pakaiannya sudah
tua, bahkan bajunya di sana-sini sudah lepas jahitannya. Sepatu larsnya tinggi
sehingga menutupi lututnya. Kepalanya tertutupi oleh topi yang lebar pinggirnya.
Topi itu terikat pada bajunya dengan sebuah tali dan pada tali itu terikat
sepasang telinga beruang grizzly.
Dalam ikat pinggangnya ia membawa dua buah pistol dan sebuah pisau perburuan.
Lagi pula ikat pinggang itu penuh dengan peluru dan di sana-sini ada tergantung
beberapa saku untuk menyimpan pelbagai keperluan orang yang mengembara di tanah
prairi. Pada bahu kirinya ia menyandang sebuah lasso yang tersimpulkan dan pada
lehernya tergantung sebuah pipa perdamaian yang indah sekali. Pada punggungnya
ia menyandang sebuah bedil besar yang berlaras dua dan dengan tangan kanannya ia
memegang bedil berlaras satu yang tidak seberapa besar. Bedil itu tersimpan
dalam sebuah selubung kulit.
Temannya orang kulit merah sama pakaiannya. Hanya ia tidak memakai lars tinggi,
melainkan memakai moccasin yang dihiasi dengan beberapa duri landak. Ia tidak
bertopi; jambulnya yang hitam dan panjang terikat sebagai sanggul dengan kulit
cobra. Pada lehernya tergantung kantong jimatnya, sebuah pipa perdamaian dan
sebuah kalung yang dihiasi dengan gigi beruang grizzly. Itu tanda keberanian,
sebab seorang Indian hanya boleh memakai tanda-tanda kemenangan, apabila tanda-
tanda itu diperolehnya sendiri. Ia membawa lasso, dua buah pistol, sebuah pisau
perburuan dan beberapa buah kantong dari kulit. Dengan tangan kanannya ia
memegang sebuah bedil berlaras dua, yang tangkainya bertatahkan perak. Wajahnya
menunjukkan bahwa ia tergolong bangsawan kulit merah.
Kedua orang itu masuk dengan perlahan-lahan, dengan sikap yang menunjukkan
rendah hati. Tidak ada satu gerakpun yang dapat menunjukkan bahwa mereka menghendaki
perlakuan yang istimewa, walaupun pribadi serta sikap mereka segera menimbulkan
rasa hormat pada sekalian orang yang ada di dalam barak itu.
Orang-orang Tionghoa serentak berhenti membuat bising. Pekerja-pekerja orang
kulit putih yang ada di kamar kecil dengan tidak sengaja bangkit dari tempat
duduknya. Kedua orang yang baru masuk itu tampaknya tidak mengetahui bahwa
mereka disambut dengan rasa hormat. Orang Indian itu menganggukkan kepalanya
sebagai tanda memberi salam dan hormat. Temannya orang kulit putih segera
berkata dengan ramah tamah:
"Good evening, gentlemen. Silakan duduk, kami tak hendak mengganggu Anda,"
kemudian ia berpaling kepada penjaga kantin lalu berkata: "Kami lapar dan haus,
Sir. Adakah Anda mempunyai obatnya?"
"Ada Sir!" jawabnya. "Perkenankanlah saya mengucapkan selamat datang kepada Anda
berdua. Semuanya yang ada di sini tersedia bagi Anda. Silakan duduk di dekat
api. Betul dua buah kursi itu telah ditempati oleh dua orang pemburu prairi yang
baru saja ke luar, akan tetapi apabila mereka kembali mereka niscaya mau memberi
Anda duduk bersama-sama dengan mereka."
"Mereka datang lebih dahulu; jadi kami harus menunggu kedatangan mereka. Nanti
akan kami tanyakan adakah mereka mau kami temani. Akan tetapi kami akan merasa
gembira apabila Anda mau menyediakan bir jahe yang panas serta mau menyiapkan
bagi kami makanan malam."
Sambil menunggu kedatangan Cas dan Has mereka duduk di kursi yang berhadapan
dengan kursi kedua saudara Timpe itu.
"Tampan benar," demikian insinyur berbisik kepada kedua orang yang duduk di
sampingnya. "Orang kulit merah itu tampaknya sebagai seorang raja dan temannya orang kulit
putih itu tidak kurang tampannya."
"Lihatlah bedil-bedil orang kulit merah itu," jawab opseter dengan berbisik.
"Tangkainya bertatahkan perak. Adakah..."
"Thunderstorm! Bedil perak! Winnetou! Dan lihatlah bedil besar berlaras dua
milik temannya! Adakah itu bedil pembunuh beruang" Dan bedil kecil yang
terbungkus itu, mungkinkah itu bedil Henry?" "Kalau begitu ia Old Shatterhand!"
"Old Shatterhand dan Winnetou! Sekarang terkabullah permintaan saya!" Tiba-tiba
orang mendengar suara Casimir dari sebelah pintu: "AU devils! Kuda apakah ini"
Siapakah yang datang ke mari?"
"Saya tidak tahu," jawab opseter yang datang kembali menemani kedua orang
pemburu prairi itu. "Dua ekor kuda hitam yang merah lubang hidungnya! Kedua ekor ini saya kenal,
demikian juga penunggangnya. Tak sangsi lagi! Betapa senang hati saya, tepat
seperti pada ahli waris Timpe! He, Has, mari kita masuk, Anda akan bertemu
dengan dua orang pemburu prairi yang paling masyhur."
Ia berlari-lari masuk ke dalam ruang besar. Has dan opseter mengikuti dari
belakang. Muka Casimir berseri-seri kegirangan. Demi ia berhadapan dengan ketua suku
Apache dan temannya orang kulit putih, maka ia mengangkat kedua belah tangannya
seraya berseru: "Ya, betul, saya tidak salah. Beruntung benar saya hari ini. Gentlemen,
perkenankanlah saya menjabat tangan Anda agar..."
Sekonyong-konyong ia berhenti, tidak menyelesaikan kalimatnya, menurunkan
tangannya serta mundur selangkah. Kemudian ia berkata lagi dengan suara yang
tidak seberapa keras: "Saya minta maaf, Mr. Shatterhand dan Mr. Winnetou. Kegirangan hati saya membuat
hati saya lupa daratan. Tidak patut orang berseru kepada Anda, melainkan orang
harus menunggu sampai Anda berkenan menyapa saya."
Old Shatterhand mengangkat tangan kanannya seraya menjawab dengan ramah:
"Tidak selayaknya Anda menyanjung-nyanjung kami, Mr. Timpe. Di daerah Barat ini
semua orang yang jujur berdiri sama tegak. Inilah tangan saya: jikalau Anda mau
menjabatnya, silakanlah."
Cas segera menjabat tangan itu seraya berseru kegirangan: "Sir! Anda masih ingat
nama saya. Anda belum lupa akan saya?"
"Saya tidak akan lekas melupakan seseorang dengan siapa saya bersama-sama
mengalami pelbagai petualangan sebagai tempo hari bersama-sama dengan Anda dan
teman-teman Anda." "Ya, Anda masih ingat" Kami akan dibinasakan orang. Anda telah menyelamatkan
jiwa kami. Itu tidak akan saya lupakan seumur hidup. Maukah Winnetou, ketua suku Apache
yang masyhur itu, memperkenankan saya memberi salam kepadanya?"
Ketua suku Apache menjabat tangannya seraya berkata dengan suara yang lemah-
lembut dan bersungguh-sungguh: "Winnetou mengucapkan selamat datang kepada
saudaranya orang kulit putih dan mempersilakan dia duduk di sebelahnya."
Sekonyong-konyong insinyur mendekati mereka, menundukkan badannya, lalu berkata:
"Perkenankanlah saya menyela sebentar, gentlemen. Janganlah tuan-tuan duduk di
sini, melainkan saya persilakan Anda semuanya duduk pada meja saya yang sengaja
disediakan untuk pegawai dan mereka yang lebih tinggi pangkatnya."
"Pegawai dan mereka yang lebih tinggi pangkatnya?" jawab Old Shatterhand. "Kami
bukan pegawai dan tidak merasa lebih tinggi kedudukan kami daripada yang lain.
Tadi Anda sudah mendengar bahwa di daerah Wild West ini semua orang yang jujur
berdiri sama tegak, duduk sama rendah. Kami minta terima kasih banyak-banyak
atas sambutan Anda yang memberi kami kehormatan sebesar itu, akan tetapi
sekiranya Anda perkenankan, kami lebih suka duduk di sini saja."
"Silakan, apabila itu Anda kehendaki, Sir. Sesungguhnya kami sendiri ingin


Mustang Hitam Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapat kehormatan ditemani oleh pemburu-pemburu prairi yang masyhur ini. Kami
akan merasa berbahagia sekiranya kami diperkenankan menjamu mereka serta
bercakap-cakap dengan mereka."
"Dengan segala senang hati kami bersedia bercakap-cakap dengan Anda. Anda
pegawai pada seksi jalan kereta api ini?"
"Saya insinyurnya. Ini opseter dan kepala gudang saya dan yang duduk di sana itu
ialah pandu (penyelidik) kami, yang kami beri tugas menjaga keamanan kami."
Ia menunjuk dengan tangannya ke arah orang-orang yang diperkenalkannya itu. Old
Shatterhand mengerling ke arah orang Mestis, lalu bertanya:
"Seorang pandu untuk menjaga keamanan Anda" Siapa namanya?"
"Yato Inda (orang baik). Ia mempunyai nama Indian, oleh karena ibunya seorang
wanita kulit merah."
Pemburu prairi orang kulit putih itu memandang Mestis itu dengan pandang yang
agak saksama, lalu berpaling sambil mengucapkan "Hm!" dengan perlahan-lahan
sekali, sehingga hanya dapat didengar oleh ketua suku Apache. Apa yang dimaksud
dengan ucapannya itu tiadalah dapat dibaca dari air mukanya. Tetapi Winnetou
rupa-rupanya mempunyai alasan untuk tidak tinggal berdiam diri saja. Ia
berpaling kepada pandu dengan kata-kata:
"Perkenankanlah kiranya saya menyampaikan pertanyaan kepada saudara saya. Setiap
orang yang mengembara di daerah Barat ini harus bersikap hati-hati dan apabila
sudah dipandang perlu untuk mengangkat seorang pandu guna menjaga keamanan
perkemahan ini, tentu ada musuh yang mengancam. Siapakah musuh itu?"
Mestis itu menjawab dengan sopan, walaupun tidak dengan hormat seperti yang
sudah selayaknya terhadap orang yang masyhur seperti Winnetou:
"Rupa-rupanya orang Comanche tidak dapat dipercayai." Winnetou mendengarkan
jawab itu dengan segala minat. Ia berdiam diri sebentar seakan-akan berpikir,
akan tetapi kemudian berkata lagi:
"Adakah saudara saya mempunyai alasan untuk mencurigai mereka?"
"Alasan yang kuat tidak ada, itu hanya dugaan belaka."
"Nama saudara saya ialah Yato Inda. Yato ialah bahasa Navayo, artinya 'baik';
Inda ialah bahasa Apache dan artinya ialah 'orang'. Orang Navayo ialah orang
Apache juga; karena itu saya menduga bahwa ibu Anda ialah seorang wanita
Apache." Kata-kata Winnetou itu rupa-rupanya tidak menyenangkan hati si pandu. Ia
berusaha mengelaki pertanyaan tadi dengan berkata:
"Saya belum pernah mendengar bahwa Winnetou, ketua suku yang masyhur itu,
bersifat ingin sekali mengetahui segala-galanya. Apakah sebabnya maka kini ia
bertanya-tanya tentang seorang squaw (wanita Indian) Indian yang tidak
dikenalnya?" "Oleh karena wanita itu ibu Anda," jawab ketua suku itu dengan suara yang
mengandung kecaman. "Karena saya di sini, maka saya ingin mengetahui siapa yang
mempunyai tugas menjaga keamanan tempat ini. Dari suku manakah ibu Anda?"
Demi pandu itu mendengar pertanyaan Winnetou dan melihat bahwa ketua suku itu
memandang dia dengan mata yang terbelalak, maka ia tak dapat mengelak lagi. Ia
menjawab: "Suku Apache Pinal." "Jadi Anda mengenal bahasa ibu Anda?" "Tentu
saja." "Saya mengenal segenap bahasa dan segenap logat orang Apache. Mereka melafalkan
bunyi kata-kata serentak dengan lidah dan tenggorokan, akan tetapi Anda hanya
mempergunakan lidah belaka, justru seperti kebiasaan orang Comanche."
Orang Mestis itu melompat bangkit.
"Maksud Anda hendak mengatakan bahwa saya anak seorang Comanche?"
"Dan sekiranya itu benar-benar maksud saya?"
"Anda sudah melemparkan tuduhan tanpa memberi bukti. Sekiranya ibu saya betul-
betul orang Comanche, maka itu belum lagi berarti bahwa saya seia-sekata dengan
orang-orang Comanche."
"Tentu saja tidak, akan tetapi Anda niscaya kenal Tokvi-Kava, "Mustang Hitam".
Ia ketua suku Comanche yang paling bengis."
"Saya hanya pernah mendengar namanya."
"Ia mempunyai seorang anak perempuan yang menjadi isteri seorang kulit putih.
Kedua suami-isteri itu sudah meninggal, akan tetapi mempunyai anak yang dipungut
dan dipelihara oleh "Mustang Hitam" serta dididik dalam suasana permusuhan
terhadap orang-orang kulit putih. Anak ini pernah mendapat tikaman pada telinga
kanannya ketika ia bermain-main dengan temannya. Apakah sebabnya maka Anda
berbicara dengan lafal orang Comanche dan Anda mempunyai bekas luka pada telinga
kanan Anda?" Dengan tiba-tiba pandu itu bangkit lagi seraya berseru marah:
"Bekas luka itu justru ditimbulkan oleh permusuhan saya dengan orang-orang
Comanche. Saya kena tikam ketika saya berkelahi dengan mereka. Jikalau Anda meragu-
ragukannya maka Anda saya tantang berkelahi dengan saya." "Pshaw!"
Kata itu diucapkan Winnetou dengan lagu yang menunjukkan sikap masa bodoh.
Kemudian ia berpaling lalu menyambut gelas berisi bir yang diantarkan oleh
penjaga kantin. Dengan berdiam diri saja sekalian orang yang ada di kamar itu menyaksikan
pertengkaran mulut tadi. Lama sesudah itu barulah orang mulai bercakap-cakap
lagi. Insinyur bertanya kepada Old Shatterhand dan Winnetou adakah mereka
bermaksud hendak bermalam. Kedua orang pemburu prairi itu menjawab bahwa
demikianlah maksud mereka. Maka insinyur itu berkata lagi:
"Tadi penjaga kantin menawarkan kepada dua orang tuan yang datang lebih dahulu
daripada Anda, tempat tidur di dekat tempat tidurnya. Di sana sudah tidak ada
tempat lagi. Anda tentu saja tidak menghendaki tidur di bawah langit" Dan saya
tidak akan membiarkan Anda berdua tidur bersama-sama dengan pekerja-pekerja saya
orang Tionghoa. Karena itu saya persilakan Anda mempergunakan tempat tidur di
kamar saya. Maukah Anda menerima tawaran saya?"
Old Shatterhand berpaling ke arah Winnetou dan demi ia melihat bahwa ketua suku
itu menganggukkan kepalanya, maka ia menjawab:
"Tawaran Anda kami terima dengan rasa terima kasih, itupun apabila Anda
mempunyai tempat yang baik buat kuda kami."
"Itu mudah. Kuda kedua orang tuan yang lain itu telah kami beri tempat yang baik
juga. Di sana masih ada tempat bagi tunggangan Anda. Saya persilakan Anda melihat
rumah saya." "Ya, itu baik. Kami sudah biasa meninjau baik-baik tempat di mana kami akan
bermalam." Winnetou dan Old Shatterhand memungut senjatanya, lalu mengikuti insinyur pergi
ke sebuah bangunan kecil yang tidak seberapa jauh letaknya. Rumah insinyur itu
terbuat daripada batu oleh karena tidak bersifat sementara seperti barak-barak
yang lain, melainkan dimaksud untuk menjadi rumah penjaga jembatan kereta api
kelak. Insinyur itu segera membuka pintu rumahnya dan setelah semuanya masuk
maka ia memasang lampu. Kedua orang tamu itu merasa sangat puas melihat keadaan
kamar di mana mereka bersama-sama akan bermalam.
Insinyur itu berkata: "Barang-barang Anda dapat Anda tinggalkan di sini. Apa gunanya selimut dan
senjata-senjata itu Anda bawa kian-kemari. Tempat ini aman."
Apa yang dikatakan oleh insinyur itu memang benar. Dinding kamar itu sangat
kuat, jendelanya sangat kecil sehingga tak dapat dimasuki orang. Pintunya
terbuat daripada jenis kayu yang kuat sekali, lagipula mempunyai kunci yang
baik. Karena itu maka tanpa ragu-ragu mereka meninggalkan bedil mereka dan
selimut mereka di dalam kamar. Sesudah itu mereka membawa kudanya ke barak di
mana tunggangan kedua Timpe sudah ditempatkan lebih dahulu. Setelah kuda mereka
mendapat air minum dan makanan, maka Old Shatterhand bertanya tiadakah mungkin
menempatkan seorang penjaga di depan pintu barak yang dipergunakan sebagai
kandang kuda itu. Insinyur menjanjikan akan memasang penjagaan.
Maka mereka ke kantin. Sambil berjalan, insinyur berkata:
"Malam ini Anda berdua akan menjadi tamu saya dan akan makan bersama-sama dengan
saya di rumah saya, lebih-lebih oleh karena Anda rupa-rupanya tidak menaruh
simpati kepada pandu saya. Mr. Winnetou, perkenankanlah saya bertanya adakah
Anda mempunyai alasan yang kuat untuk mencurigai peranakan Indian itu?"
"Winnetou tidak pernah berbuat sesuatu atau mengatakan sesuatu tanpa mempunyai
alasan yang kuat," jawab ketua suku itu.
"Akan tetapi pandu itu selalu setia kepada kami dan selanjutnya kami tidak
pernah mempunyai alasan untuk tidak mempercayainya."
"Winnetou tidak percaya bahwa orang itu setia. Saudara saya akan mengalami bahwa
kesetiaan itu tidak akan berlangsung lama. Ia menyebut dirinya Yato Inda, 'orang
baik', akan tetapi saya yakin bahwa nama sesungguhnya ialah 'Ik Senanda', yang
dalam bahasa Comanche kira-kira berarti 'Ular Curang'."
"Adakah sungguh-sungguh orang Comanche yang bernama demikian?"
"Orang peranakan yang disebut oleh Winnetou tadi, demikian namanya, ia cucu
Mustang Hitam." "Mr. Winnetou, kecerdikan dan perasaan Anda sangat saya hormati akan tetapi
sekali ini saya rasa Anda salah sangka. Selama ini pandu itu sudah sekian banyak
memberi bukti kesetiaannya, sehingga saya harus mempercayainya."
"Saudara saya orang kulit putih tentu saja dapat berbuat sekehendak hatinya,
akan tetapi apabila Old Shatterhand dan Winnetou nanti akan berbicara sedemikian
kerasnya sehingga dapat didengarkan oleh pandu Anda, maka segala yang
dikatakannya bukanlah yang sesungguhnya dimaksudnya. Hendaknya itu Anda
perhatikan!" Dengan kata yang terakhir itu Winnetou hendak menyatakan bahwa soal itu sudah
dipandangnya selesai. Ia tidak mau lagi melanjutkan percakapan tentang soal
tersebut. III BEDIL DAN KUDA OLD SHATTERHAND DAN WINNETOU DICURI ORANG
Insinyur, Old Shatterhand dan Winnetou telah balik kembali di kantin. Sebelum
mereka duduk kembali di tempat di mana mereka meninggalkan kedua orang Timpe,
maka lebih dahulu insinyur memesan makan untuk lima orang, sebab kedua Timpe pun
dipandangnya sebagai tamu pribadinya. Old Shatterhand bertanya kepada Cas urusan
apa membawa dia datang ke mari dan ke mana ia hendak pergi. Dengan kata-kata
singkat Cas menceriterakan perihal warisan yang dikejarnya serta bagaimana ia
secara kebetulan sekali bertemu dengan orang yang ternyata adalah saudara
sepupunya sendiri. "Kami harus pergi ke Santa-Fe," katanya selanjutnya, "akan tetapi sayang sekali
kami tidak dapat mengambil jalan langsung."
"Mengapa tidak?"
"Karena orang-orang Comanche. Dari sini kami hendak pergi ke arah Timur dahulu,
sesudah itu baru akan membelok ke arah Selatan."
"Hra! Tahukah Anda jalan itu?"
"Tidak, akan tetapi seorang pemburu prairi tidak usah takut akan sesat.
Barangkali Anda mau memberi kami nasihat."
"Dengan segala senang hati. Dapatkah Anda menerka bagaimana bunyi nasihat itu?"
"Bagaimana saya dapat menerkanya?"
"Nasihat saya hanya terjadi daripada empat buah perkataan: Bawalah kami
menyertai Anda!" "AU devils! Kami akan membawa serta Anda dan Winnetou?"
"Ya." "Anda bersungguh-sungguh?"
"Ya. Kita tidak mempunyai alasan sedikit juga untuk berolok-olok." "Adakah Anda
memang hendak pergi ke arah itu juga?"
"Betul. Kami harus pergi ke Santa-Fe juga, walaupun tidak untuk mengejar
warisan." Segera Cas bertepuk-tangan kegirangan, sehingga orang-orang yang ada di kantin
itu semuanya bangkit dengan terkejut. Cas berseru:
"Untung besar, untung besar! Has, Has, adalah engkau mendengar juga" Kita boleh
menyertai Old Shatterhand dan Winnetou. Kini saya tak usah merasa khawatir akan
berjumpa dengan orang-orang Comanche. Kita tidak usah mengambil jalan yang
mengeliling, melainkan akan berjalan langsung melalui tempat orang-orang kulit
merah itu. Dan setiba di Santa-Fe, dengan mudah sekali kita akan mencapai tujuan
kita. Nahum Samuel Timpe tidak akan berani menipu kita atau mencoba meloloskan
diri. Bukankah kita disertai orang-orang yang dalam sekejap mata saja dapat
menghapuskan mereka dari muka bumi ini!"
"Jangan Anda berteriak-teriak!" kata Old Shatterhand dengan tertawa. "Tidak ada
alasan sama sekali untuk bersorak-sorak. Kami tidak bermaksud untuk menerjang
barisan orang-orang Comanche. Seperti halnya dengan Anda, kamipun bermaksud
hendak pergi ke arah Timur dahulu. Jadi Anda mufakat berjalan bersama-sama
dengan kami?" "Tak usah Anda tanyakan lagi! Di seluruh daerah Barat ini tidak ada teman
seperti Anda. Bilamana Anda hendak berangkat, Sir?"
"Besok pagi; segera setelah kita bangun. Dengan demikian sore hari kita akan
sampai ke Aider-Spring, di mana kita dapat bermalam sampai keesokan harinya."
Nama tempat itu disebutnya dengan tekanan istimewa, sebab dalam bercakap-cakap
itu dengan sembunyi-sembunyi ia telah mengamat-amati orang Mestis dan ia melihat
bahwa peranakan itu ikut mendengarkan segala percakapan dengan perhatian yang
besar sekali, sungguhpun ia pura-pura berbuat seakan-akan ia tidak mengacuhkan
percakapan mereka. Akan tetapi bukan pandu seorang itu saja yang menaruh minat terhadap percakapan
kedua orang pemburu prairi itu. Di balik dinding papan yang memisahkan kantin
itu dari ruang besar tempat orang-orang Tionghoa, ada dua orang berkuncit yang
memisahkan diri dari teman-temannya dan duduk di dekat dinding papan sambil
merokok dan minum. Rupa-rupanya mereka itu adalah mandor orang-orang Tionghoa.
Dari tempat duduk mereka, mereka dapat mendengarkan segala yang dibicarakan di
kamar kantin. Mula-mula mereka bersikap acuh tak acuh, akan tetapi demi orang
membicarakan bedil Old Shatterhand dan Winnetou serta mendengar betapa besar
nilai senjata-senjata itu, maka segera mereka memasang telinganya. Kemudian
datanglah dengan tiba-tiba kedua orang pemburu prairi yang dipercakapkan tadi.
Kedua orang Tionghoa itu mengintai dari celah dinding, serta mengamat-amati
bedil kedua orang yang baru datang tadi.
Ketika insinyur beserta kedua orang tamunya balik kembali dari rumahnya dan
kedua orang Tionghoa itu melihat bahwa Old Shatterhand dan Winnetou tidak ada
membawa bedilnya, maka mereka tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Tak tenang
lagi mereka duduk; keduanya mempunyai pikiran dan perasaan yang sama, akan
tetapi masing-masing menunggu sampai temannya mau memulai berbicara. Akhirnya
seorang dari mereka tidak sabar lagi.
Dengan berbisik-bisik ia bertanya:
"Engkau mendengar segala-galanya?"
"Ya," jawab yang lain.
"Saya melihat!"
"Yang saya maksud bedil kedua orang itu?" "Ya, saya mengerti."
"Indah benar! Tentu mahal sekali harganya." "Ya, paling sedikit beberapa ribu
dollar." "Ah, sekiranya benda-benda itu kita miliki! Kita tidak usah lagi bekerja berat,
tidak usah lagi kita membanting tulang. Bahkan kita akan mempunyai cukup uang
untuk pulang ke tanah air kita!"
Demikian mereka berbisik-bisik; mereka merundingkan sesuatu. Sebentar kemudian
yang seorang mengejapkan matanya seraya berkata:
"Dapatkah engkau menduga di mana bedil mereka itu ditinggalkan?"
"Saya tahu," jawab yang lain.
"Di mana?" "Di rumah insinyur. Jikalau kita dapat mengambilnya, maka bedil-bedil itu
sebaiknya kita pendam supaya tidak seorangpun akan mengetahuinya."
"Ya, kelak dapat kita jual di San Francisco. Kita akan menjadi kaya, kita dapat
pulang ke Tionghoa dan di sana hidup bermalas-malas."
"Ya, pasti. Kalau kita mau, niscaya tiadalah sukar untuk mengambil benda-benda
itu." "Rumah insinyur itu terbuat daripada batu dan jendelanya terlalu sempit."
"Ya, pintunyapun kuat sekali buatannya serta terkunci baik-baik."
"Betul, akan tetapi jikalau kita mempergunakan tangga, maka kita dapat masuk
dari atas." "Di luar tidak kurang tangga."
"Tetapi akan kita pendam di mana bedil-bedil itu" Di dalam tanah tentu akan
berkarat." "Tidak, jikalau terbungkus baik-baik. Kita dapat mengambil tikar di gudang."
Mula-mula mereka berbisik-bisik; kemudian mereka beringsut sampai berdekatan
sekali, sehingga tak seorangpun akan dapat mendengarkan percakapan mereka.
Sebentar kemudian mereka meninggalkan tempat duduknya. Mereka pergi ke luar.
Pada saat itu juga ada seorang tamu baru masuk. Orang itu ialah seorang Indian
yang berbaju kemeja biru dan memakai moccasin dari kulit. Ia tidak ada membawa
senjata lain daripada sebuah pisau pada ikat pinggangnya. Rambutnya panjang
seperti rambut perempuan dan pada lehernya bergantung sebuah kalung dengan
kantong jimat. Ia berhenti di dekat pintu, melayangkan pandangannya ke arah ruang besar, lalu
berjalan perlahan-lahan ke arah kantin.


Mustang Hitam Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tempat itu sudah sering dikunjungi oleh orang kulit merah, karena itu maka
kedatangan tamu itu tidak seberapa menarik perhatian orang-orang Tionghoa. Di
kantinpun kedatangan orang kulit merah itu tidak menarik perhatian benar. Ia
berjalan melalui meja dan kursi, berjongkok di sebelah api.
Demi orang Mestis melihat Indian itu masuk, maka segera berubah air mukanya,
akan tetapi hanya sebentar saja, sehingga tidak diketahui orang. Pandu dan orang
kulit merah itu berbuat seakan-akan mereka tidak kenal-mengenal, akan tetapi
sekali-kali mereka bertukar pandang dengan sembunyi-sembunyi. Kemudian pandu itu
bangkit dari tempat duduknya dan dengan sikap acuh tak acuh ia berjalan ke arah
pintu dengan perlahan-lahan.
Akan tetapi ada dua orang yang dari tadi memperhatikan segala gerak-geriknya,
yaitu Winnetou dan Old Shatterhand. Mereka melihat ke arah yang berlainan, akan
tetapi sebagai seorang pemburu prairi yang berpengalaman dan yang sudah terlatih
baik pancainderanya, mereka dapat melihat apa-apa yang terjadi di tempat ke mana
justru mereka tidak melihat.
Setiba di pintu maka pandu itu menoleh sebentar. Ia melihat bahwa tidak
seorangpun berpaling ke arahnya dan dalam sekejap mata saja ia sudah memberi
isyarat kepada orang kulit merah yang baru datang tadi, isyarat yang hanya dapat
dipahami oleh orang kulit merah itu dan yang rupa-rupanya mempunyai arti yang
sudah ditetapkan bersama lebih dahulu. Kemudian pandu itu menghilang di dalam
gelap-gulita malam. Tetapi Winnetou dan Old Shatterhand ada melihat isyarat tadi. Kedua orang
pemburu prairi itu saling bertukar pandang dan tanpa berkata sepatah juapun
mereka sudah sepakat tentang apa yang akan diperbuatnya. Apa yang diduganya dan
apa yang akan diperbuatnya ialah yang berikut: orang kulit merah yang baru masuk
tadi rupa-rupanya mempunyai hubungan rahasia dengan pandu, sebab orang peranakan
itu sudah memberi tanda. Tindak-tanduk mereka yang bersikap rahasia itu menimbulkan dugaan bahwa mereka
mempunyai maksud yang jahat. Maksud itu harus diketahui. Karena itulah maka
salah seorang dari kedua pemburu prairi itu harus mengikuti pandu untuk
menyelidiki tindak-tanduknya di luar. Oleh karena sudah pasti bahwa soal itu
bersangkut-paut dengan orang Indian, maka Winnetou sendiri telah memutuskan
untuk menjalankan pekerjaan penyelidikan itu. Sayang sekali ia tidak
mempergunakan pintu, oleh karena pintu itu disinari oleh cahaya api, sehingga
apabila pandu menyembunyikan diri untuk mengintai maka dapatlah ia melihat siapa
yang ke luar atau masuk barak. Untung ketua suku Apache itu tadi telah melihat
bahwa di belakang timbunan tong dan peti ada sebuah pintu kecil yang rupa-
rupanya dipergunakan orang untuk memasukkan atau mengeluarkan benda-benda itu.
Pintu kecil itulah yang akan dipergunakan oleh Winnetou. Agar tidak menarik
perhatian orang maka ia menunggu sampai seluruh perhatian tertarik oleh Old
Shatterhand dan itu pasti akan terjadi segera setelah ia mulai bercakap-cakap
dengan orang kulit merah yang baru datang tadi. Old Shatterhand merasa perlu
menanyai orang Indian itu untuk mengetahui dapatkah ia memperoleh keterangan
yang dapat membuka rahasia antara orang Indian dan pandu.
Old Shatterhand segera memulai percakapannya dan demi semua mata terarahkan
kepada Old Shatterhand, maka Winnetou dengan perlahan-lahan meninggalkan tempat
duduknya, lalu menghilang di belakang timbunan tong dan peti.
"Saudara saya orang kulit merah duduk jauh-jauh dari kami. Tidakkah ia mau minum
bersama dengan kami?" demikian Old Shatterhand mengucapkan pertanyaannya yang
pertama. Orang kulit merah itu menggelengkan kepalanya. "Mengapa ia tidak mau" Tidak
hauskah ia?" "Juwaruwa haus juga, akan tetapi ia tidak beruang," jawab orang kulit merah itu.
"Nama Anda Juwaruwa?" "Demikianlah orang menyebut saya."
"Itu bahasa Upsaroka. Anda dari suku itu?"
"Ya, saya seorang prajurit Upsaroka."
"Di mana letak padang penggembalaan kuda mereka?"
"Di Wyoming." "Siapa nama ketua suku Anda?" "Ia disebut orang Bison Kuat."
Kebetulan sekali Old Shatterhand pernah mengunjungi perkampungan orang Upsaroka
yang termasuk suku Dakota. Dengan demikian maka ia dapat mengetahui adakah orang
Indian itu membohongi dia. Jawab orang kulit merah itu semuanya mengandung
kebenaran. "Jikalau saudara saya tidak beruang, maka ia boleh duduk menemani kami dan minum
bersama-sama dengan kami," demikian Old Shatterhand melanjutkan percakapannya.
Orang Indian itu memandang Old Shatterhand dengan pandang yang mengandung
kewaspadaan serta menjawab:
"Juwaruwa adalah prajurit yang jantan. Ia hanya mau minum dengan orang yang
dikenalnya dan yang sama jantannya dengan dia. Adakah Anda mempunyai nama dan
sekiranya begitu, siapa nama Anda?"
"Biasanya saya disebut Old Shatterhand."
"Old... Shat...!"
Ia tidak dapat mengakhiri kalimat yang dimulainya. Sesaat lamanya ia tidak dapat
menguasai dirinya. Dengan demikian maka ia menunjukkan bahwa ia terkejut.
Sebentar kemudian ia tenang kembali dan dengan sikap acuh tak acuh ia berkata:
"Old Shatterhand" Uf! Jadi Anda orang kulit putih yang masyhur itu?"
"Kalau itu pendapat Anda, maka tentu Anda tidak akan menaruh keberatan minum
bersama-sama dengan saya. Silakan duduk pada meja kami."
Ia tidak memenuhi permintaan Old Shatterhand, melainkan melayangkan pandangan ke
sekelilingnya, lalu bertanya:
"Saya tidak ada meliat orang kulit merah yang tadi duduk di sebelah Anda.
Kemanakah ia?" "Barangkali di kamar di sebelah ini."
"Saya tidak melihat ia meninggalkan tempatnya. Jikalau Anda Old Shatterhand,
maka niscaya ia Winnetou, ketua suku Apache!"
"Ya, itu betul. Di mana kuda Anda?" "Saya tidak berkuda."
"Mungkinkah itu" Anda seorang prajurit Upsaroka yang mengembara di tempat yang
letaknya beberapa hari perjalanan di sebelah Selatan perkampungannya dan Anda
tidak berkuda! Anda kehilangan kuda Anda di tengah jalan?"
"Tidak, saya tidak ada membawa kuda."
"Dan tidak ada membawa senjata kecuali pisau?"
"Ya." "Kalau begitu Anda pasti mempunyai alasan yang penting sekali."
"Saya sudah bersumpah tidak akan berkuda dan hanya akan membawa pisau belaka
dalam perjalanan saya." "Sebab apa?"
"Oleh karena orang-orang Comanche pun tidak berkuda dan tidak ada membawa
senjata-senjata lain kecuali pisau." "Orang Comanche" Di mana mereka?"
"Di sebelah hulu, dekat pada bekas padang perburuan kami di Dakota." "Orang-
orang Comanche mengembara sejauh itu di sebelah Utara?"
Old Shatterhand sudah tidak mempercayai orang kulit merah ini dan suaranyapun
mengandung kesangsian. Dengan lagak mengejek orang kulit merah itu menjawab:
"Tidakkah Old Shatterhand tahu bahwa setiap prajurit Indian harus pernah,
walaupun sekali juga, pergi ke Dakota untuk mengambil tanah liat suci untuk
membuat pipa perdamaiannya?"
"Saya tahu bahwa tidak setiap orang Indian berbuat begitu."
"Tetapi itu sudah menjadi adat-kebiasaan orang Comanche. Mereka bersua dengan
kami, yaitu saya dan saudara saya. Saudara saya mati terbunuh, tetapi saya dapat
melarikan diri. Kemudian saya bersumpah bahwa saya akan mengejar mereka tanpa
berkuda dan tanpa bersenjata kecuali pisau belaka. Saya tidak akan berhenti
sebelum saya membunuh mereka."
"Jikalau Anda tahu tentang adat-istiadat suci itu, maka Anda tentu tahu juga
bahwa seorang Indian yang pergi ke tempat suci tadi tidak boleh membunuh orang
Indian lain?" "Ya, tetapi orang-orang Comanche itu sudah melakukan pembunuhan!"
"Hra! Tetapi apa gunanya Anda bersumpah" Bersumpah tidak akan berkuda dan hanya
akan mempergunakan pisau belaka! Bagaimana Anda dapat berburu" Dan apa yang
menjadi nafkah Anda dijalan?"
"Tidak tahukah Anda?" jawab orang Indian itu dengan congkak. Ia mengira bahwa ia sudah dapat menipu Old Shatterhand.
"Tidak," jawab Old Shatterhand dengan tenang. "Hanya saya tidak mengerti bahwa
Anda sudah dapat menempuh jarak sejauh itu tanpa mempergunakan tunggangan."
"Ya, saya sudah bersumpah dan sumpah itu tidak saya ingkari." "Hra! Saya tahu
bahwa Anda telah mengingkarinya." "Buktikanlah!"
"Hari ini juga Anda duduk di atas pelana." "Uf! Uf!"
"Ya, dan ketika itu hari hujan."
"Uf! Uf!" demikian orang yang menyebut dirinya prajurit Upsaroka itu menjawab.
Suaranya sebagian mengandung kesal, sebagian menyatakan bahwa ia terkejut.
Ketika ia bercakap-cakap dengan Old Shatterhand, ia sudah bangkit dari tempat
duduknya dan kini ia berdiri berhadapan muka dengan pemburu prairi orang kulit
putih itu. Old Shatterhand membungkuk dan dengan kedua tangannya ia mengusap-
usap kaki orang Indian itu seraya berkata:
"Moccasin Anda basah di sebelah luar, tetapi kering di sebelah dalam. Sebelah
dalam itu bersandar pada perut kuda dan dengan demikian tidak dibasahi oleh air
hujan." Walaupun orang Indian itu tidak menduga bahwa Old Shatterhand sedemikian
cerdiknya, akan tetapi dengan segera ia mendapatkan dalih yang menyatakan
kecerdikan juga. Ia berkata:
"Kata orang, Old Shatterhand ialah orang kulit putih yang paling cerdik, akan
tetapi namun begitu ia tidak dapat menerangkan barang sesuatu yang mudah sekali.
Setiap anak kecil mengetahui bahwa bagian dalam celana selalu lebih cepat
menjadi kering daripada sebelah luar. Rupa-rupanya Old Shatterhand masih harus
banyak belajar!" Jawab itu sebenarnya dimaksud sebagai penghinaan, akan tetapi pemburu prairi itu
tinggal tenang saja. Hingga kini Old Shatterhand mempergunakan bahasa Inggeris
yang dikuasai juga oleh orang kulit merah itu. Akan tetapi kini pemburu prairi
orang kulit putih itu beralih kepada logat Upsaroka, maka kini ia tidak mendapat
jawab. Pertanyaan itu disusulnya dengan beberapa pertanyaan yang lain, akan
tetapi hasilnya tetap nihil saja. Maka Old Shatterhand meletakkan tangannya di
atas bahu orang Indian seraya berkata:
"Mengapa Anda tidak menjawab" Anda tidak mengerti bahasa Anda sendiri?"
"Saya sudah bersumpah tidak akan mempergunakan bahasa saya sendiri sebelum saya
membalas kematian saudara saya."
"Sumpah Anda rupa-rupanya bukan main luasnya. Itu ganjil benar, akan tetapi
lebih ganjil lagi ialah kebodohan Anda yang menyangka dapat menipu saya. Justru
bahasa Anda itulah yang membuka rahasia Anda. Saya tahu bagaimana seorang
Upsaroka dan seorang dari suku yang lain mengucapkan bahasa orang kulit putih.
Anda bukan orang Upsaroka, melainkan orang Comanche. Beranikah Anda
mengakuinya?" "Orang-orang Comanche ialah musuh saya. Itu sudah saya katakan tadi!"
"Justru karena mereka Anda sebut musuh Anda, maka itulah bukti bagi saya bahwa
Anda seorang Comanche." "Jadi Anda mendakwa saya berbohong" Itu ialah kebiasaan
orang kulit putih untuk menghina tamu mereka orang kulit merah. Saya tidak mau
tinggal lebih lama lagi di sini. Saya akan pergi." Ia sudah bergerak ke arah
pintu. "Jangan pergi!" demikian Old Shatterhand berseru dengan suara memerintah, sambil
memegang lengannya. Orang Indian itu mencabut pisaunya seraya berseru:
"Siapa memberi Anda hak untuk menahan saya di sini" Anda" Apa yang sudah saya
perbuat" Saya tidak bersalah! Saya hendak pergi atas kehendak saya sendiri. Barangsiapa
hendak menghalang-halanginya akan saya tikam dengan pisau ini!"
Sungguhpun begitu Old Shatterhand tetap memegang lengannya dengan tangan kiri
dan secepat kilat dicabutnya pisau itu dengan tangan kanannya, lalu mengulang
perintahnya: "Jangan Anda pergi, Anda tinggal di sini sampai Winnetou datang. Sesudah itu
baru akan diputuskan bolehkah Anda pergi atau haruskah Anda tinggal di sini.
Kembalilah ke tempat Anda berjongkok tadi. Jikalau Anda mencoba melarikan diri,
maka peluru pistol saya akan menembusi kepala Anda!"
Maka dilemparkannya orang kulit merah itu ke tempatnya tadi. Indian itu jatuh
terlentang. Ia hendak bangkit kembali, akan tetapi setelah berpikir sebentar ia
cepat-cepat berjongkok di tempatnya. Old Shatterhand duduk kembali serta
meletakkan pistolnya di atas meja, untuk menyatakan bahwa ancamannya sekali-kali
bukan olok-olok. Sejak itu percakapan tidak dilanjutkan lagi. Beberapa saat kemudian pandu
kembali lagi, lalu duduk di tempatnya. Oleh karena ia melihat bahwa orang Indian
itu masih duduk dalam sikapnya semula, maka ia tidak menduga bahwa ada sesuatu
yang telah terjadi. Kepala gudang dan opseter duduk menemani dia serta menceritakan kejadian itu. Ia
mendengarkan dengan tenang, walaupun barangkali di dalam batinnya ia merasa
cemas. Walaupun ia mengira bahwa Winnetou tidak melihat dia, akan tetapi dugaan masih
belum lagi merupakan kepastian.
Ketika Winnetou tadi meninggalkan kamar melalui pintu belakang, maka ia
menyangka bahwa pandu itu ada di sebelah depan. Karena itulah maka ia menyuruk-
nyuruk dan mengelilingi ke arah depan. Pintu barak terbuka lebar-lebar serta
diterangi cahaya api dan apabila pintu itu selalu diamat-amati, maka setiap
orang yang melintasinya tentu akan dapat dilihat.
Winnetou makin berjalan mengeliling, setiap kali ia berhenti serta memasang
telinganya, akan tetapi sia-sia belaka. Ia kembali lagi, lalu memulai lagi
perjalanannya mengeliling, akan tetapi usahanya tidak pernah berhasil. Akhirnya
ia melihat sosok tubuh menghampiri pintu barak. Kemudian ia melihat siapa yang
mendekati pintu itu. "Uf, itu si pandu," katanya di dalam hati. "Rupa-rupanya ia sudah mempunyai
maksud yang mengandung rahasia. Karena itulah maka sia-sia saja saya mencari
dia. Sekali ini salah dugaan saya. Old Shatterhand tentu akan merasa heran."
Kini ia tidak berusaha lagi untuk kembali secara diam-diam, melainkan
mempergunakan pintu masuk yang diterangi cahaya api itu. Ketika pandu itu
melihat Winnetou masuk, maka ia merasa berdebar-debar. Segera akan ternyata
adakah ketua suku Apache itu telah mendengarkan percakapannya atau tidak. Dengan
tenang saja Winnetou duduk di sebelah Old Shatterhand, yang segera melaporkan
hasil percakapannya dengan orang kulit merah yang mengaku prajurit Upsaroka itu.
Kemudian dengan perlahan-lahan sekali ia bertanya:
"Saudara saya berhasil atau tidak?"
"Winnetou sudah salah sangka. Ia tidak mendapati sesuatu yang mencurigakan."
"Akan tetapi tadi si pandu sudah memberi tanda kepada orang kulit merah itu."
"Bukan tanda, barangkali hanya gerak tangan yang kebetulan saja."
"Kalau begitu dugaan saya tentu salah juga. Akan tetapi saya tahu, bahwa orang
Indian ini bukan orang Upsaroka, melainkan orang Comanche."
"Adakah ia berbuat jahat terhadap Anda, saya atau orang lain?" "Sampai sekarang
tidak." "Kalau begitu ia tidak boleh diperlakukan sebagai seorang musuh. Saudara saya
Shatterhand hendaknya membiarkan ia pergi."
"Apa boleh buat, jikalau itu Anda kehendaki. Akan tetapi sesungguhnya agak
enggan saya berbuat begitu."
Maka ia memberitahukan pada orang kulit merah bahwa ia boleh pergi. Orang Indian
itu bangkit dengan perlahan-lahan, lalu meminta pisaunya kembali. Pisau itu
dikembalikannya ke dalam ikat pinggangnya, lalu ia berkata:
"Pisau ini mempunyai tugas yang baru, sebab saya sudah mengucapkan sumpah yang
baru pula. Old Shatterhand akan segera mengetahui apa yang saya maksud."
Setelah mengucapkan ancaman itu, ia meninggalkan kantin dengan tergesa-gesa.
Wajah orang Mestis menunjukkan perasaan cemas, akan tetapi air muka itu kini
berubah, menyatakan cemooh. Old Shatterhand dan Winnetou sama-sama melihatnya.
Winnetou berbisik: "Saudara saya hendaknya melihat wajah orang Mestis itu."
"Itu sudah saya perhatikan."
"Ia menertawakan kita."
"Rupa-rupanya ia mempunyai alasan yang tepat untuk berbuat begitu."
"Ya, kini saya makin condong pada dugaan Anda bahwa gerak tangannya tadi ialah
suatu tanda bagi orang Indian yang Anda katakan orang Comanche itu."
"Anda tidak bertemu dengan dia di luar tadi" Siapa tahu muslihat apa yang sudah
dijalankannya di luar. Kita harus lebih mengamat-amati orang peranakan itu. Saya
yakin bahwa ia membahayakan."
Pendapat Old Shatterhand itu sesungguhnya benar. Orang Mestis itu benar-benar
orang yang membahayakan dan di luar ia sudah memasang muslihat yang dapat
menimbulkan bencana. Ketika pandu itu tadi meninggalkan barak, perbuatannya yang pertama-tama ialah
menghindari cahaya api yang bersinar ke luar. Ia berjalan lurus-lurus, kira-kira
tigaratus langkah. Maka ia mendengar orang menyapa dia dengan perlahan-lahan. Ia
dipanggil dengan nama yang lain daripada nama yang dipakainya di dalam barak
tadi, sebab suara itu berbisik:
"Kemari, Ik Senanda. Kami ada di sini."
Maka terbuktilah sekarang bahwa ia betul-betul orang yang disangka Winnetou,


Mustang Hitam Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yakni cucu "Mustang Hitam", ketua suku Comanche yang bengis.
Ketika ia mendekati tempat darimana suara itu datang, maka segera ia melihat
tiga orang Indian, seorang dari mereka tinggi dan kuat tubuhnya. Itu ialah ketua
suku yang menyambut Mestis itu dengan perkataan:
"Selamat datang, cucuku! Saya telah menyuruh Kita Homascha*, prajurit saya yang
paling cerdik, masuk ke rumah orang kulit putih agar Anda mengetahui bahwa saya
ada di sini serta menunggu kedatangan Anda. Anda sudah berbicara dengan dia?"
(*Dua bulu) "Tidak sepatah katapun. Kedatangannya sudah cukup bagi saya."
"Anda cerdik sekali. Dengan demikian orang-orang itu tidak akan menaruh curiga.
Di sini kita tidak akan dapat dilihat orang, sebaliknya kami dapat melihat
dengan jelas pintu yang diterangi oleh cahaya api itu. Setiap orang yang
meninggalkan rumah dapat kita lihat. Lain daripada itu mereka hanyalah orang
yang tidak tahu-menahu tentang kehidupan di daerah Barat."
"Itu salah. Di situ ada beberapa orang yang lebih banyak pengalamannya daripada
Anda atau saya." "Itu tidak mungkin. Siapakah yang Anda maksud?"
"Pertama-tama tadi ada dua orang kulit putih yang tinggi kurus badannya, yang
akan bermalam di situ. Yang seorang menyebut dirinya Timpe dan yang seorang lagi
rupa-rupanya mempunyai nama yang sama." "Timpe" Pshaw! Tidak ada seorang
prajurit gagah berani yang pernah mendengar nama itu." "Kemudian datang dua
orang lagi yang namanya mengejutkan saya."
"Uf! Hingga kini saya tidak pernah mengetahui bahwa putera anak saya dapat
terkejut. Barangkali kedua orang itu bukan manusia, melainkan hantu savanna, atau hantu
Rocky Mountains!" "Bukan, mereka itu manusia akan tetapi manusia yang istimewa! Yang seorang ialah
orang kulit merah dan yang seorang ialah prajurit orang kulit putih yang paling
masyhur." "Uf! Uf! Yang Anda maksud itu Winnetou dan Old Shatterhand?"
"Ya, betul." "Mereka dibawa ke mari oleh Manitou yang jahat."
"Bukan Manitou yang jahat, melainkan Manitou yang baik. Mula-mula saya terkejut,
akan tetapi kemudian, setelah saya mendengar percakapan mereka, saya bergirang
hati bahwa mereka datang ke mari." "Itu hendaknya Anda ceritakan, akan tetapi
jangan di sini. Kita harus mundur lagi." "Mundur" Mengapa?"
"Oleh karena saya tahu bagaimana cara kedua orang itu berpikir dan bagaimana
biasanya mereka bertindak. Tiadakah mereka bercakap-cakap dengan Anda?"
"Saya ditanyai oleh Winnetou. Ia tidak mau percaya bahwa nama saya Yato Inda.
Saya disangkanya putera anak Anda. Kekurang-ajarannya itu nanti harus
ditebusnya!" "Tajam sekali hidung orang Apache itu. Kini tentu saja ia sudah menaruh syak-
wasangka. Sudah pasti ia mengikuti Anda untuk mengintai."
"Saya kira tidak, ia tidak mempunyai alasan untuk berbuat begitu."
"Winnetou selalu lekas menaruh curiga. Ia musuh terbesar bagi orang Comanche,
tetapi kita belum pernah dapat menangkap dia. Awas, kalau ia jatuh ke tangan
kita!" "Kalau begitu bukalah tangan Anda, sebab ia akan masuk ke dalamnya. Saya hendak
mengatakan bahwa..."
"Jangan sekarang dan jangan di sini!" sela ketua suku itu. "Kita harus mencari
tempat lain, sebab Winnetou tentu akan berusaha mengintai kita."
"Bukankah kita akan melihat dia, sekiranya ia melintasi pintu yang terang itu?"
"Anda belum mengenal dia. Segala tindakannya selalu diperhitungkannya lebih
dahulu. Ia tahu bahwa musuh yang mendekati tempat ini tentu akan berdiri di muka
pintu, agar ia dapat melihat segala-galanya. Jadi Winnetou tentu akan datang ke
mari, tetapi tidak melewati pintu. Tidak adakah tempat yang lain untuk
meninggalkan ruang itu?"
"Ada pintu kecil di sebelah belakang."
"Ia akan mempergunakan pintu kecil itu. Kita harus menyeberang. Ayo!"
Mereka menyuruk-nyuruk dengan mengeliling, tepat seperti yang diperbuat oleh
Winnetou, akan tetapi mereka berputar ke arah yang sama sehingga tidak bersua.
Akhirnya mereka berhenti di bawah sebuah pohon. Di sini pandu menceriterakan apa
yang sudah didengarnya. Ketua suku itu mendengarkan laporannya dengan segala
ketegangan dan setelah kisah itu habis, maka ia berseru kegirangan:
"Mereka hendak pergi ke Aider-Spring" Besok malam akan ada di sana" Nah, kini
dapat kita menangkap mereka! Mereka tidak akan dapat meloloskan diri. Alangkah
girang hati kita semuanya, apabila kita dapat menyeret mereka ke kampung kita
serta mengikat mereka di tiang siksaan. Mereka akan meraung-raung sebagai
coyote*. (*Anjing prairi) Scalp kedua orang itu jauh lebih besar nilainya
daripada kuncit orang-orang kulit kuning yang akan menjadi sasaran kita itu!"
Karena kegirangan maka ia berbicara terus, akan tetapi cucunya segera menyela:
"Ya, mereka akan kita tangkap dan akan kita siksa sampai mati, akan tetapi
mengapa Anda akan melepaskan orang-orang Tionghoa yang hendak saya serahkan
kepada Anda itu?" "O, mereka tidak akan saya lepaskan. Justru dengan maksud itu Anda sudah
mengubah nama Anda dan sudah bekerja pada orang-orang kulit putih yang sedang
membuat jalan kereta api itu. Kamipun datang ke mari hari ini justru untuk
bertanya tiada dapatkah kita menyergap mereka dengan selekas-lekasnya."
"Saya sudah bersiap-siap akan tetapi Anda hendaknya j angan lupa, apa yang sudah
Anda janjikan!" "Jangan khawatir. Janji itu akan saya penuhi. Adakah kamu mengira bahwa saya
akan menipu putera anak saya" Semua uang, emas dan perak adalah bagian Anda.
Selainnya, pakaian, alat perkakas, bahan makanan dan lebih-lebih lagi kuncit
orang-orang kulit kuning itu adalah milik kami. Kita sudah biasa dirampok dan
dirampas milik kita oleh orang-orang kulit putih. Kita selalu terpaksa
menyingkir oleh karena mereka lebih kuat daripada kita. Akan tetapi kini sudah
datang pula orang kulit kuning membantu orang-orang kulit putih mendirikan
jembatan dan jalan kereta api di atas tanah milik kita.
Karena itu mereka harus menebus perbuatannya dengan nyawa dan prajurit-prajurit
orang Comanche akan menjadi masyhur namanya bahwa mereka adalah orang kulit
merah yang pertama yang akan memiliki scalp yang berkuncit. Tidak, kami tidak
akan melepaskan mereka. Karena itu Anda harus memberi kami segala keterangan
yang kami perlukan untuk menyergap mereka."
Kemudian mereka merundingkan keadaan perkemahan itu serta memasang siasat
bagaimana mereka akan menyerang para penghuni kemah Firewood itu. Kemudian
Mustang Hitam memberi tanda kepada kedua pengikutnya supaya mendekat, sebab
mereka sudah memencar untuk menjaga agar nenek dan cucu yang sedang berunding
itu tidak akan diserang orang dengan sekonyong-konyong. Hasil perundingan itu
ialah bahwa besok malam Old Shatterhand, Winnetou, Cas dan Has akan ditangkap di
Aider-Spring. Saat orang-orang Comanche itu akan menyerang Firewood, akan
diberitahukan kepada pandu oleh seorang utusan.
Kemudian orang Mestis itu meminta diri lalu kembali ke barak.
Mustang Hitam beserta dua orang pengikutnya kini pergi ke tempat di mana utusan
mereka menurut perjanjian akan dapat menjumpainya. Sebentar kemudian utusan itu
sudah ke luar dari barak, lalu memberitahukan dengan segala kemarahan betapa Old
Shatterhand telah memperlakukan dia. Demi ia mendengar bahwa Old Shatterhand dan
Winnetou bersama-sama dengan kedua orang Timpe akan ditangkap, maka ia berkata
dengan girang hati: "Ia akan menyesali dirinya bahwa ia sudah berani memperlakukan saya secara tidak
layak, saya akan membalas perbuatannya itu dengan sekejam-kejamnya."
Baru saja orang-orang kulit merah itu hendak meninggalkan tempat mereka serta
hendak pergi mengambil kudanya, maka mereka mendengar bunyi langkah orang.
Segera mereka berbaring. Yang datang itu ialah dua orang dan mereka menuju ke
arah tempat orang-orang kulit merah itu berbaring. Berturut-turut mereka
tersandung pada tubuh orang-orang Indian yang berbaring di tanah, lalu dalam
sekejap mata saja mereka sudah tertangkap serta terikat.
"Jangan berteriak, kalau Anda tak mau kami bunuh!" demikian perintah ketua suku.
"Siapakah Anda?"
"Kami pekerja," jawab seorang dari mereka.
"Bangkitlah, akan tetapi jikalau Anda ingin hidup terus, janganlah melangkah.
Dengan maksud apa Anda menyuruk-nyuruk di sini dengan diam-diam" Jikalau Anda
pekerja, maka seharusnya Anda ada di dalam." "Kami tidak menyuruk-nyuruk."
"Bohong. Anda berjalan perlahan-lahan dengan sikap membungkuk. Apa yang Anda
pegang itu?" "Bedil."
"Bedil" Untuk apa pekerja membawa bedil" Berikan kepada kami; saya ingin
melihatnya!" Bedil itu dirampasnya, diraba-rabanya, lalu diangkatnya satu demi satu, agar
dapat dilihatnya dalam cahaya yang bersinar dari barak itu.
"Uf! Uf! Uf!" serunya, walaupun perlahan-lahan akan tetapi dengan kegirangan.
"Bedil ini ketiga-tiganya saya kenal; setiap orang kulit merah dan orang kulit
putih yang mengembara di daerah Barat mengenalnya juga. Bedil yang bertatahkan
perak ini ialah bedil perak Winnetou, musuh kami yang terbesar. Kedua bedil yang
lain ini tentu milik orang kulit putih yang disebut Old Shatterhand. Yang kecil
ini ialah bedil Henry dan yang besar ialah pembunuh-beruang. Betulkah dugaan
saya itu?" Kedua orang Tionghoa itu tidak memberi jawab. Mereka mengetahui bahwa mereka
berhadapan dengan orang Indian. Mereka menggigil ketakutan. Bahkan mereka tidak
berani mencoba melarikan diri.
"Jawablah pertanyaan saya!" gertak ketua suku itu. "Adakah ini bedil Old
Shatterhand dan Winnetou?"
"Ya," jawab orang Tionghoa itu akhirnya.
"Bedil-bedil ini Anda curi?"
Orang Tionghoa itu bungkam lagi.
"Anda ialah Wagare-Saritches*, (*Anjing kuning) kepada siapa pemburu-pemburu
prairi itu tidak akan mau mempercayakan bedilnya. Jikalau Anda tidak mau
mengaku, maka perut Anda akan segera saya tikam. Bukalah mulutmu!"
Orang Tionghoa itu lekas-lekas menjawab: "Bedil-bedil itu kami ambil dengan
diam-diam." "Uf! Winnetou dan Old Shatterhand rupa-rupanya merasa aman sekali bahwa mereka
tidak memegang bedil mereka. Kamu adalah pencuri. Sudah sepatutnya kamu mendapat
hukuman mati." Orang-orang Tionghoa itu segera berlutut minta ampun: "Ampun!
Jangan kami Anda bunuh."
"Sesungguhnya kamu harus saya bunuh, akan tetapi oleh karena kamu pengecut,
sayang kami mengotori pisau kami dengan darahmu. Kamu akan kami biarkan hidup
kalau kamu menuruti segala perintah saya." "Katakanlah apa yang Anda kehendaki.
Segala perintah Anda akan kami patuhi."
"Nah, katakanlah apa sebabnya kamu mencuri bedil-bedil ini" Kamu bukan pemburu.
Untuk apa bedil itu?" "Akan kami jual, sebab kami mendengar bahwa bedil-bedil
itu sangat mahal harganya." "Biarlah kami beli." "Bersungguh-sungguhkah Anda?"
"Saya ketua suku orang Comanche. Nama saya Tokvi Kava, dalam bahasa orang kulit
putih "Mustang Hitam." Sudah pernahkah engkau mendengar nama saya?"
Ya, nama itu sudah sering disebut-sebut oleh orang-orang kulit putih pegawai
kereta api. Apa yang pernah didengarnya tentang ketua suku itu selalu mengandung
kejahatan dan bahaya, sehingga kedua orang Tionghoa itu terkejut sekali. Maka
mereka menjawab: "Mustang Hitam" Ya, kami kenal Anda."
"Jadi kamu tahu bahwa saya seorang ketua suku yang besar dan masyhur. Segala
yang saya katakan adalah benar. Bedil-bedil itu akan saya beli dari kamu."
"Berapa kami akan mendapat dari Anda?" "Lebih banyak daripada orang lain akan
memberi Anda." "Lebih banyak?"
"Ya, bedil-bedil itu akan saya bayar dengan nyawamu. Pencurian harus dihukum
dengan hukuman mati menurut Undang-undang prairi. Akan tetapi saya bersedia
menyerahkan jiwamu sebagai pembayaran untuk bedil-bedil ini." "Jiwa saja, tidak
lebih?" tanya orang Tionghoa itu dengan sangat kecewa.
"Belum cukupkah itu?" demikian orang kulit merah itu menggertak. "Dapatkah
penjahat-penjahat seperti engkau ini menuntut lebih daripada jiwamu" Apa yang
engkau kehendaki?" "Uang." "Uang" Jadi logam! Kalau engkau menghendaki logam, itu dapat saya berikan juga,
yaitu logam pisau saya. Pisau itu tajam dan runcing. Betul-betul itukah yang
engkau kehendaki?" "Bukan, bukan! Jangan kami Anda bunuh!" seru orang Tionghoa itu. "Kami ingin
hidup terus. Ambillah bedil-bedil itu!"
"Nah, kini engkau baru mengerti. Lain daripada itu masih ada perintah saya yang
harus engkau jalankan. Old Shatterhand dan Winnetou akan segera mengetahui bahwa
bedilnya hilang. Mereka akan menjadi gempar serta akan mencari dan bertanya-
tanya. Apa yang hendak kau perbuat?"
"Kami akan bungkam."
"Itu baik. Jangan engkau berani mengatakan dengan sepatah kata juapun apa yang
sudah terjadi di sini, apabila engkau ingin hidup terus. Jangan pula engkau
mengatakan bahwa engkau telah bertemu dengan kami. Jikalau mereka tahu bahwa
engkau telah mencuri bedil mereka, celakalah engkau berdua. Kamu berdua akan
mematuhi perintah saya?"
"Kami tidak akan membuka mulut kami."
"Satu pertanyaan lagi: sudah pernahkah engkau mendengar nama Iltschie dan
Hatatitla?" "Belum." "Itu nama kuda Winnetou dan Old Shatterhand. Tahukah kamu adakah kuda-kuda itu
di sini?" "Itu kami tidak tahu. Yang Anda maksud itu dua kuda hitam yang lubang hidungnya
berwarna merah?" "Betul. Engkau sudah melihatnya?"
"Tidak, akan tetapi seorang pemburu ada menyebut-nyebutnya ketika ia sedang
berdiri di muka pintu." "Di manakah kuda itu?"
"Di gudang, di belakang barak kami. Kami ada mendengar bahwa kuda itu dibawa ke
sana." "Nah, percakapan kita sudah selesai. Awas, tutup mulutmu; jadi Anda tidak ada
melihat atau mendengar apa-apa. Pergilah sekarang."
Kedua orang Tionghoa itu disepak oleh ketua suku Comanche, lalu berlari-lari
pergi menyelamatkan dirinya ke arah barak.
Eng Djiauw Ong 28 Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Alap Alap Laut Kidul 10
^