Senja Jatuh Di Pajajaran 4
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 4
agama baru. Banyak desa yang ada di bawah kekuasaan
Karatuan Sumedanglarang, asalkan desa itu jauh dari
jangkauan pengawasan pusat pemerintahannya, hasil
buminya dikutip anak buah Ki Banaspati. Demikian juga
beberapa wilayah yang berada di bawah kekuasaan
Karatuan Talaga, Ki Banaspati tidak membiarkannya.
Asalkan wilayah itu terasa susah dijangkau pemerintahan
pusat, pasukannya rajin sekali mengutip hasil bumi wilayah
tersebut. Ki Banaspati juga pandai memanfaatkan situasi.
Dia tahu, Sumedanglarang dan Talaga belum utuh sebagai
kerajaan yang memiliki kesatuan dalam memilih agama
baru. Banyak juga di antara wilayah Kandagalante, atau
bahkan hanya setingkat wilayah cutak dan desa secara
diam-diam masih setia terhadap agama lama. Bila masih
terjadi hal demikian, mudah diduga mereka masih setia
juga terhadap Pakuan. Wilayah-wilayah seperti inilah yang menjadi santapan Ki
Banaspati. Kandagalante Sunda Sembawa setuju saja dengan
kebijaksanaan ini. Ki Banaspati adalah aparat muhara
(petugas penarik pajak) yang katanya berurusan dengan
keputusan pusat. Artinya, kedudukan Kandalante Sunda
Sembawa masih lebih rendah ketimbang utusan pusat. Lain
dari pada itu, kebijaksanaan Ki Banaspati yang berani
mengutip seba sampai jauh ke wilayah timur, hanya berarti
menambah wibawa saja bagi keberadaan Kandagalante
Sunda Sembawa. Wilayah Sagaraherang disegani oleh
lawan dari utara dan mereka tak berani sembarangan
menyerang ke pusat kekuasaan. Jadi, kalau pun terjadi
penyerangan, itu dilakukan pasukan agama baru terhadap
rombongan seba dari timur yang akan memasuki wilayah
Sagaraherang saja. Soal adanya penyerangan terhadap rombongan seba,
sebetulnya masih simpang siur dan diragukan
kebenarannya. Siapa yang melakukannya, apakah benar
dari pasukan agama baru, atau kaum perampok semata"
Beberapa Jagabaya Sagaraherang kerap kali
mengabarkan perihal adanya macam-macam perampok.
"Sekarang ini zaman kacau. Di daerah-daerah di mana
pengaruh Pakuan amat lemah dan pengaruh kekuasaan
kerajaan agama baru belum begitu kuat, terdapat kekuatan-
kekuatan baru yang tidak jelas tujuannya. Mereka tidak
bersetia lagi kepada Pakuan tapi juga tidak menyukai
kehadiran kekuasaan pemerintahan agama baru. Maka
jadilah mereka pasukan-pasukan tak bertuan. Untuk
mempertahankan keberadaannya, mereka menjarah
kampung atau juga mencegat rombongan seba yang
sekiranya kurang mendapat pengawalan kuat," tutur
seorang jagabaya yang berusia tua.
"Apakah kekuatan tak bertuan itu termasuk juga yang
mencegat rombongan seba di bawah pimpinan Raden Suji
Angkara, Paman?" tanya Ginggi di suatu senja.
"Mungkin juga," tutur jagabaya tua ini.
Mendengar penjelasan ini, Ginggi termenung. Tapi
bagaimana dengan pengakuan Ki Banaspati sendiri yang
memang mengaku "merampok" rombongan tersebut"
Mendengar bunyi jawaban jagabaya tua ini, timbul kesan
bahwa tidak seluruh gerakan Ki Banaspati diketahui seisi
wilayah Sagaraherang. Kalau tidak begitu, tak mungkin
pertanyaan pancingan Ginggi dijawab seperti itu.
Sampai di situ, terpaksa pemuda ini harus berpikir keras.
Ki Banaspati benar-benar misterius. Tempo hari dia
mengaku secara gelap menghimpun kekuatan untuk
merampok pejabat Pajajaran yang korup dan menindas
rakyat. Namun di lain fihak dia menjadi pejabat utama
muhara langsung dari pusat guna menarik pajak.
Bagaimana hal ini bisa terjadi" Mungkinkah selama ini dia
memiliki "dua wajah" dan tak pernah tercium baunya oleh
pemerintahan di Pakuan"
"Aku tetap setia terhadap amanat Ki guru, bahwa aku
harus menolong rakyat Pajajaran dari penindasan raja yang
tak tahu diuntung itu!" kata Ki Banaspati kepada Ginggi
tempo hari. Kata Ki Banaspati, dia memang merampok pejabat
korup dan mencegat rombongan pembawa hasil bumi atau
kekayaan lainnya dari para saudagar yang bekerja tak halal.
Hasil-hasil jarahannya sebagian dia berikan kembali kepada
rakyat dan sebagian dihimpun untuk menciptakan kekuatan
baru. Bila dia sudah memiliki kekuatan, akan dia
pergunakan untuk menyerang Pakuan dan merebut
kekuasaan. "Ratu Sakti harus disingkirkan karena dia tak becus
mempertahankan kebesaran Pajajaran. Kemudian, akulah
kelak yang akan memegang tampuk pemerintahan di
Pakuan. Akan kukembalikan kebesaran Pajajaran seperti
ketika dipimpin oleh Kangjang Prabu Sri Baduga
Maharaja!" kata pula Ki Banaspati.
Ginggi merenung keras. Begitukah cara melaksanakan
amanat Ki Guru Darma dalam upaya membela rakyat"
Cukup pantaskah Ki Banaspati mencuatkan dirinya untuk
menjadi raja menggantikan Ratu Sakti"
"Sejauh mana keberadaan seseorang untuk diakui
sebagai raja yang kelak harus mampu memayungi nasib
sejumlah besar manusia di sebuah wilayah bernama
negara?" pikir Ginggi. Ginggi memang mengetahui, Ki
Banaspati orangnya tegas, suaranya berwibawa,
perintahnya tak pernah diabaikan dan selalu melihat darah
mengalir sambil tanpa mempengaruhi perasaannya. Bagi Ki
Banaspati, darah dan kematian sepertinya sesuatu hal yang
biasa. Ginggi masih teringat peristiwa sebulan lalu. Ki
Banaspati dengan enteng saja memerintahkan anak
buahnya membunuh Suji Angkara dengan cara dibenamkan
ke kolam. Ki Banaspati juga tidak melihat kendati hanya
sebelah mata, ketika mendengar Ki Joglo tewas dengan
leher hampir putus, padahal orang itu adalah anak buah
yang amat dipercayanya dan padahal kematian orang itu
karena berupaya melaksanakan perintahnya.
"Betulkah seorang calon raja yang bercita-cita ingin
membela rakyat dan ingin mengembalikan kejayaan
Pajajaran harus memiliki watak keras dan tega melihat
kematian?" pikir Ginggi lagi.
Lantas pemuda ini menerawang ke arah Prabu Ratu
Sakti, Raja Pajajaran yang tengah berkuasa sekarang.
Khabarnya raja ini selalu menyinggung perasaan rakyat
karena tindakan-tindakannya yang keras, kurang bijaksana
dan selalu doyan perempuan. Bila Ki Banaspati punya cita-
cita ingin meruntuhkan kekuasaan Sang Prabu Ratu Sakti
dan menggantikannya sebagai raja, apakah Ki Banaspati
sudah merasa bahwa dirinya jauh lebih baik dari raja
sekarang" Ginggi menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras
sepertinya dia hendak mengusir rasa penting yang
membebani benaknya. Banyak orang mengatakan bahwa Prabu Ratu Sakti
memerintah dengan sewenang-wenang. Tapi sudah hampir
tujuh tahun dia memimpin negara tanpa tergoyahkan.
Menurut Ki Darma, selama dia memerintah, kekacauan
terjadi di mana-mana dan berbagai pemberontakan pun
banyak meletus. Akan tetapi raja ini tetap sanggup bertahan
duduk di atas singgasananya. Sanggup bertahan dari
serangan pemberontak, bahkan berani memadamkannya,
hanya punya arti bahwa raja ini memiliki kekuatan dan
banyak dilindungi oleh pembantu-pembantu pandai. Kalau
dia masih dikelilingi orang-orang pandai, hanya
menandakan bahwa dia berwibawa dan dipercaya
aparatnya. Perlukah orang yang masih mendapatkan
kepercayaan diusir pergi dari percaturan kekuasaan"
(O-anikz-O) Jilid 08 Sekarang pikiran pemuda itu beralih kembali kepada
keberadaan Ki Banaspati. Orang ini keras kepala dan tinggi
hati dan perintahnya musti selalu ditaati. Selama Ginggi
tinggal di pusat pemerintahan Sagaraherang ini, dia melihat
orang-orang patuh terhadap Ki Banaspati. Mereka
sepertinya tak pernah punya rasa sakit hati atau
sebangsanya. Yang ada bahkan sebaliknya. Banyak anak
buah pasukan atau petugas jagabaya tinggal di
Sagaraherang dengan suka cita. Semakin dekat hubungan
orang-orang dengan Ki Banaspati atau Kandagalante Sunda
Sembawa, semakin nampak orang-orang itu ceria.
Di kompleks pusat pemerintahan Kandagalante ini,
hampir setiap malam ada semacam kegembiraan. Di kedai-
kedai tuak, jagabaya yang tidak sedang bertugas kerjanya
mencari hiburan. Kalau tak minum tuak sampai mabuk,
mereka menggelar judi, atau bercanda dengan perempuan-
perempuan yang berada di sana. Setiap malam, selalu saja
ada tawa ceria dari kaum perempuan dengan mulut terbuka
lebar, suara genit dan tindak-tanduk mengundang birahi.
Di wilayah Kandagalante Sunda Sembawa ini,
sepertinya semua orang punya kesenangan yang sama.
Hiburan malam yang sering ditampilkan adalah minuman
tuak, judi dan main perempuan. Ki Banaspati istrinya lebih
dari satu. Begitu juga Kandagalante Sunda Sembawa. Dan,
kebanyakan dari orang-orang Sagaraherang ini juga
memilih peranan sebagai suami yang punya istri lebih dari
satu. Orang-orang yang tinggal di pusat pemerintahan
Kandagalante ini sanggup menampilkan sebagai orang yang
memiliki kesenangan sempurna. Tak terjadi kejahatan di
sana. Yang kalah judi, pulang ke rumah dengan tubuh
gontai karena terlalu banyak tuak dan jauh dari perasaan
putus asa atau dendam. Sebaliknya yang menang judi bisa
bergembira dengan buih di mulut karena tuak juga. Dia
pulang ke rumah sambil gontai dan bersenandung tanpa
khawatir harta hasil judinya dirampas orang di tengah jalan.
Orang-orang yang tinggal di seputar pusat pemerintahan
Kandagalante ini semuanya mengabdi kepada Ki Sunda
Sembawa dan Ki Banaspati. Semua menjadi jagabaya atau
punggawa. Bertugas hanya menjaga keamanan wilayah
Sagaraherang atau mengawal perjalanan seba yang banyak
dikirim dari desa-desa seputarnya.
Sagaraherang, yaitu daerah kandagalante ini memang
sanggup menampilkan kehidupan rakyat yang makmur,
jauh dari gambaran rakyat tertindak karena kekeliruan raja.
Ini memang sungguh ajaib. Bagaimana mungkin di tengah-
tengah suasana penderitaan banyak orang, masyarakat
Sagaraherang bisa menampilkan sosok sejahtera"
"Ini berkat kepemimpinan Kandagalante Sunda
Sembawa yang dibimbing Ki Banaspati," tutur seorang
punggawa setia. Menurutnya, kendati pemimpin mereka
keras wataknya, namun tahu akan keperluan orang. Baik Ki
Banaspati maupun Ki Sunda Sembawa sehari-harinya
melakukan kehidupan royal. Mereka selalu makan
makanan enak dan senang macam-macam hiburan. Dan hal
yang sama juga diberikan ke semua orang. Artinya, kalau
para pemimpinnya mampu mendapatkan kegembiraan,
maka para anak buahnya pun mesti bisa mendapatkannya.
"Dari hasil mengabdi kepada kedua pemimpin ini, selain
kami mendapatkan jatah hasil bumi juga kami
mendapatkan penghargaan bulanan berupa uang logam,"
kata para jagabaya. Belakangan Ginggi baru menyadari, bahwa benda-benda
kepingan logam yang dia simpan di buntalan kain hasil
pemberian Kuwu Wado adalah logam bernama uang.
Benda itu bisa ditukarkan dengan barang-barang keperluan
di kedai atau di pasar, dari mulai tuak hingga beras, dari
mulai ikat kepala hingga baju dan terumpah. Bagaimana
cara menakar dan membandingkannya, Ginggi tak tahu.
Barang apa saja yang bisa ditukarkan dengan uang logam
yang dimiliki Ginggi, pemuda itu pun sendiri tidak pernah
tahu sebab tidak pernah menggunakannya. Selama sebulan
hidup di Sagaraherang, makan dan pakaian sudah
disediakan oleh Kandagalante Sunda Sembawa atas
perintah Ki Banaspati. Yang pemuda itu tahu, bahwa uang
logam yang dipunyainya berasal dari negri Campa, seperti
apa kata pemberinya, yaitu Ki Kuwu Wado.
Barangkali inilah kiat-kiat tokoh Sagaraherang. Agar
kewibawaannya tetap diakui, harus mampu memperhatikan
kesenangan dan keperluan hidup para pendukungnya. Dan
barangkali kiat Sang Ratu Sakti pun tak beda dengan itu.
Bahwa untuk mempertahankan keberadaannya, dia harus
bisa menyenangkan para pembantu dekatnya. Bahwa raja
itu tidak berhasil mensejahterakan rakyat banyak, itu hanya
perkara lain. Ketika Ginggi mengobrol dengan beberapa jagabaya
itulah dia mendapat kabar dai seorang jagabaya lain bahwa
dirinya dipanggil Kandagalante Sunda Sembawa.
Sudah hampir dua minggu sebetulnya Ki Banaspati
meninggalkan Sagaraherang. Kata orang-orang terdekatnya,
kerap kali Ki Banaspati memang pergi. Semua
kepergiannya karena tugas-tugas semata sebagai
utusanmuhara, yaitu menguruskan pajak-pajak. Bahkan
menurut mereka, Sagaraherang ini sebenarnya hanya
kampung halamannya saja, sedangkan tempatnya
"berkantor" adalah Pakuan.
"Barangkali Ki Banaspati selama dua minggu ini sedang
berada di Pakuan. Biasanya berselang dua tiga bulan beliau
baru kembali ke Sagalaherang," kata orang-orang
terdekatnya. Katanya perlu perjalanan empat hari dari Sagaraherang
ke Pakuan. Kandagalante Sunda Sembawa nampak sudah
menunggu di bale gede, duduk bersila sambil makan sirih.
Seperti biasa, Kandagalante Sunda Sembawa berpakaian
rapih, mewah dan gagah bila tengah berada di bale gede.
Dia memakai bendo citak kain batik dengan ornamen emas
murni di depannya. Bajunya bedahan sisi dengan enam
kancing logam mengkilap di sisinya. Dia juga berkain batik
corak turuk ata disamping memakai celana komprang
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beludru hitam dengan hiasan ornamen emas pula.
"Kau masuklah Ginggi!" kata Kandagalante memerintah.
Ginggi menanggalkan terompahnya, berjalan dengan
menggunakan sepasang lutut, bersila dan menyembah
takzim. "Adakah suatu keperluan yang membuat hamba
dipanggil ke sini, Juragan?" tanya Ginggi sudah bisa
berbasa-basi bicara halus.
Kandagalante manggut-manggut, bergembira melihat
pemuda itu sudah mulai punya peradaban seperti layaknya
masyarakat umum. "Sudah kulihat penampilanmu selama ini dan membuat
hatiku senang," kata Sunda Sembawa.
"Hamba juga gembira mendengar Juragan selalu
memperhatikan hamba," kata Ginggi lagi, kembali
menyembah takzim. "Memang selama ini aku perhatikan kau. Ternyata kau
orang baik. Tidak pernah berbuat keributan, padahal aku
dengar kau sering digoda orang. Kau juga tidak pernah
memperlihatkan kepandaianmu kepada sembarangan
orang, padahal menurut Ki Banaspati kepandaianmu tidak
terlalu jauh di bawah Ki Banaspati. Ini hanya menandakan
bahwa kau bukan orang sombong, kendati orang yang tak
berani sombong bisa juga pengecut," tutur Kandagalante
Sunda Sembawa sambil masih tetap mengunyah sirih.
Sejenak Ginggi menatap tajam Sunda Sembawa. Namun
kemudian dia ingat bahwa tak baik menatap pejabat dengan
kepala tegak dan mata tajam menyorot.
Kembali Ginggi menundukkan muka dan mata menatap
lantai kayu. "Aku katakan begitu, sebab orang yang tidak sombong
kendati punya kepandaian hanya memiliki arti takut
menghadapi segala macam tantangan. Kepandaian tanpa
diperlihatkan dengan kesombongan juga hanya
menandakan orang itu menjauhkan diri dari ambisi dan
keinginan untuk maju. Padahal sekarang ini di dunia
banyak tantangan hidup. Hanya yang berani
memperlihatkan kepandaian dia akan dihargai dan ditakuti.
Sedangkan bagi yang selalu menyembunyikannya, sepandai
apa pun dia, akan tetap dicemooh dan direndahkan orang,"
kata Ki Sunda Sembawa lagi.
Percakapan berhenti karena ada seorang wanita
beringsut menyodorkan penganan. Wanita itu berpakaian
sederhana saja. Mungkin hanya sekadar petugas dapur.
Namun Ginggi melihat wanita itu berparas cukup cantik.
Kandagalante ini pandai memilih wanita cantik. Kendati
hanya untuk pembantu di dapur, dia pilihkan berparas
cantik juga, pikir Ginggi.
"Hampir sebulan kau bekerja di sini, belum ada jenis
pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanmu. Oleh
jagabaya kau disuruh membelah kayu, padahal
kemampuanmu lebih dari itu. Aku juga lihat kau disuruh
mencuci pakaian di kali, atau mengambil air dengan
pikulan, padahal kau bukan pekerja kasar," kata Sunda
Sembawa. "Hamba tak pernah memilih-milih pekerjaan, Juragan.
Asal jenis pekerjaan itu bermanfaat, akan selalu hamba
kerjakan," kata Ginggi.
Sunda Sembawa mengangguk-angguk.
"Bagus kalau begitu," kata Sunda Sembawa tersenyum.
"Ki Banaspati dalam dua minggu ini sedang bertugas di
Pakuan. pertama dia menguruskan perkara pajak dan kedua
tentang penyelidikan. Kau disuruh ke Pakuan untuk
membantunya. Ini surat darinya untukmu!" Ki Sunda
menyodorkan seikat daun nipah yang diisi tulisan palawa,
Dengan hati-hati Ginggi menerima lembaran nipah yang
diikat benang kapas itu. Ditatapnya lama-lama. Dan
benaknya langsung teringat Ki Darma.
"Kau harus belajar membaca sebab kelak kepandaian
membaca akan amat diperlukan. Tapi hati-hati, jangan
perlihatkan kepandaian membacamu itu. Pada suatu saat-
saat tertentu, siasat kepura-puraan akan diperlukan sekali,"
kata Ki Darma di saat-saat melatih membaca kepada
pemuda itu. "Hamba tak pernah belajar membaca, Juragan," kata
Ginggi pada akhirnya. Sunda Sembawa segera mengambil daun nipah tersebut
dan segera membacanya. Tidak keras namun bisa didengar
pemuda itu. "Ginggi, kau cari Suji Angkara di Pakuan. Kau bunuh
dia!" demikian isi bacaan tersebut.
Ginggi sendiri sudah sejak tadi merasa terkejut dengan isi
surat itu. Tapi baru setelah Sunda Sembawa selesai
membacanya dia perlihatkan mimik terkejutnya itu.
"Mengapa hamba harus membunuh pemuda itu,
Juragan?" "Orang itu misterius. Dia mengaku anak Kuwu Suntara
dari Desa Cae, tapi nampaknya terlalu dekat berhubungan
dengan Pakuan. Entahlah, dengan siapa pemuda itu
mengadakan hubungan. Yang jelas, kalau dia
membocorkan kegiatan kita, bisa merugikan perjuangan
kita semua," kata Sunda Sembawa. "Ketika Suji Angkara
meninggalkan tempat ini secara diam-diam bersama empat
orang pembantunya, sudah ada petugas kita yang mencari
jejak pada esok harinya. Petugas kita menemukan
keterangan bahwa mereka bahwa mereka tidak kembali
pulang ke Cae, melainkan pergi ke arah barat. Kami
khawatir, mereka melanjutkan perjalanan ke Pakuan dan
melaporkan apa yang terjadi di sini," kata Sunda Sembawa.
"Begitu berbahayakah kegiatan di sini untuk Pakuan,
Juragan?" tanya Ginggi mencoba meneliti sikap Sunda
Sembawa. "Hm" Ini hanya kau yang boleh tahu. Bahwa kekuatan
pasukan di Sagaraherang dibelah dua. Satu bertindak
seolah-olah sebagai pasukan Kandagalante Sagaraherang
yang legal dan diketahui oleh fihak Pakuan. Tapi satunya
lagi pasukan khusus yang melakukan tugas-tugas khusus.
Tugas-tugas ini banyak macam ragamnya, termasuk di
antaranya menyamar sebagai perampok dan menjarah harta
pejabat atau saudagar yang mencari kekayaan tidak melalui
cara-cara yang benar. Kami jarah hartanya, kami himpun
untuk membangun kekuatan. Dan kelak, bila sang kekuatan
telah datang, Pakuan akan kurebut dan tahta kerajaan akan
kududuki. Ginggi, kau yang paling dahulu mendengarnya.
Akulah kelak yang akan menjadi raja di sana! Hahaha!"
Sunda Sembawa terbahak-bahak.
"Dan kedudukan Ki Banaspati di mana kelak?" tanya
Ginggi dengan penuh minat.
"Dialah yang paling berjasa memberi semangat padaku
untuk berjuang mencari keadilan. Maka bila perjuanganku
berhasil, dia akan menjadi penasihat utamaku di Pajajaran.
Hahaha!" Pemuda itu pun ikut tertawa namun dengan perasaan
lain di hatinya. Ternyata benar seperti apa kata Ki Darma tempo dulu.
Pajajaran sekarang telah tercerai-berai. Kalau pun masih
terdapat bentuk kesatuan, hanyalah kesatuan semu. Tidak
pula yang terjadi di sini, di Sagaraherang. Siapa yang
menyangka, persekutuan kuat antara Ki Banaspati dengan
Ki Sunda Sembawa sebetulnya pada akhirnya hanya untuk
mencoba membuka jalan masing-masing" Entahlah, siapa
di sini yang paling berperan. Apakah Sunda Sembawa yang
mengendalikan Ki Banaspati, atau Ki Banaspati sendiri
yang memanfaatkan keberadaan Sunda Sembawa. Entahlah
siapa di sini yang memanfaatkan siapa. Yang jelas, dari
mulut kedua orang ini telah keluar ucapan yang sama dan
kesemuanya disampaikan kepada Ginggi, bahwa masing-
masing mengaku sebagai calon raja yang berjuang
menggantikan penguasa yang sekarang!
Gila! (O-anikz-O) Berita Pembunuhan Pikiran Ginggi terus berputar menerka-nerka sambil
mimik wajah tetap tersenyum manis sebagaai tanda
gembira melihat khayalan Sunda Sembawa. Namun tawa
pemuda itu dibarengi kerutan dahi ketika dilihatnya ada
lelehan air mata di pipi lelaki gagah itu.
"Aku sedih dengan peristiwa ini. Aku sedih! Aku
sedih!!!" kata Sunda Sembawa menutupi wajahnya dengan
kedua belah tangannya. Sandiwarakah ini, pikir Ginggi.
"Ginggi, engkau harus tahu! Kendati tinggal jauh dari
Pakuan, sebenarnya aku paling mencintai Pakuan, sebab itu
adalah negri ayahandaku. Engkau pasti tahu Sang Prabu
Ratu Dewata. Dialah ayahandaku. Dan aku pulalah yang
seharusnya paling berhak mewarisi tahta kerajaan. Hanya
karena persekongkolan jahat saja yang menyebabkan aku
terlempar ke sini?" Sunda Sembawa menyumpah-
nyumpah marah tapi kemudian merunduk sedih. Kulit
putih di wajah bulat telur nampak pucat. Dan kesedihan ini
sungguh tak sesuai dengan kumis hitam tebal yang ada di
bawah hidungnya yang mancung itu.
Ki Sunda Sembawa menerawang ke arah beranda.
Menatap senja yang tengah menarik matahari menyuruk
bumi. Langit merah dibayangi rimbunan pohon nun jauh di
sana. Ada ribuan kalong melintas di atasnya, mencari
makan entah kemana. "Aku ini dibiarkan seperti kalong-kalong itu. Mau pergi,
mau tinggal, terserah kamu. Begitu mungkin mereka
padaku. Mereka tak sengaja membuangku. Tapi
membiarkan aku terbuang. Tapi memang itulah hukuman
bagi orang yang tak mempunyai ambisi dan kesombongan.
Kau dengar itu Ginggi!" kata Sunda Sembawa berpaling
menatap wajah yang bersimpuh di depannya.
"Kata orang, anak dari istri tertua Sang Prabu Ratu
Dewata ini mewarisi tabiat ayahandanya. Suka menyepi di
kuil bersama para wiku dan bersahabat dengan dupa dan
kemenyan. Katanya aku sungguh tepat untuk bertindak
sebagai Purohita, pendeta tertinggi di keraton. Tapi kata
mereka juga, negara sedang ada dalam bahaya peperangan.
Baik peperangan melawan musuh dari luar, mau pun
musuh dari dalam negri sendiri. Dan mereka berkilah, di
saat situasi seperti itu, bukan Purohita yang sanggup
mengembalikan kejayaan negara, melainkan seorang
pemimpin berhati besi bercita-cita baja. Dan kilah mereka,
Sang Ratu Sakti amat memenuhi syarat mengemban itu
semua. Ya, dia adikku lain ibu. Sejak masih remaja dia laki-
laki romantis, menyenangi keindahan dan kemolekan
wanita. Akan tetapi dia juga keras dan ambisius. Dan
memang dia berhasil tampil di saat yang tepat. Hanya orang
yang ambisius, keras dan banyak omong yang akan dipilih
dalam suasana genting. Orang yang tak pernah
menampilkan kepandaian akan tersisih. Itulah aku. Itulah
kebodohanku masa lalu. Hanya karena aku tak mau disebut
sombong, hanya karena aku menghargai sikap ayahanda
yang senang menyepi dan membaca kitab serta mendalami
filsafat, maka aku pun menyesuaikan diri. Tapi tentu, bukan
berarti aku tak bisa memimpin negara. Bukan berarti aku
tak bisa melawan musuh dengan keras dan gagah. Ya,
itulah kesalahanku masa lalu. Aku tak suka penonjolan dan
kesombongan diri. Sayangnya, sikap-sikapku dianggap tak
memiliki kekuatan. Sekarang malah terbukti, bahwa
memilih orang keras seperti Ratu Sakti hanya akan
membuat kekeliruan saja. Negara semakin kacau.
Pemberontakan terjadi di sana-sini hanya karena tak senang
dengan cara kerja ratu sekarang. Amat beruntung, bahwa
Pangeran Fadillah dari Cirebon dan Sultan Hasanudin dari
Banten perhatiannya sedang tertumpu melawan Pasuruan
dan Panarukan. Kalau tak begitu nasib Pakuan benar-benar
di ujung tanduk. Pakuan tak akan memiliki kekuatan berarti
bila terjadi penyerbuan total dari Banten dan Cirebon," kata
Sunda Sembawa. Lelaki gagah ini kemudian berdiri dari duduknya.
Melangkah mendekati beranda dan mematung di sana
sambil menggandong tangan di belakang.
"Beruntung aku punya pembantu yang bisa diandalkan.
Ki Banaspati orang yang pandai mencari celah-celah
keuntungan. Ilmunya tinggi dan gagasan-gagasannya
banyak. Tetapi yang lebih beruntung dari itu, dia sanggup
memilah-milah, di mana keadilan harus ditempatkan.
Bayangkan Ginggi, sekarang Ki Banaspati menjadi
pembantu muhara urusan pajak yang dipimpin Bangsawan
Soka. Kalau dia penjilat, seharusnya dia mendekati
Bangsawan Soka yang begitu berkuasa mengatur kekayaan
negara. Tetapi Ki Banaspati lebih menitikberatkan
memperjuangkan keadilan ketimbang kekayaan dan
kemuliaan. Kalau tak begitu, tak nanti dia mau
mendukungku. Cobalah, aku yang terbuang hanya sebagai
Kandagalante Sagaraherang, tapi dia hargai, dia bangkitkan
semangatku. Dia kobarkan cita-citaku. Dialah yang
memberi dorongan agar aku menghimpun kekuatan dan
kelak harus kugunakan untuk merebut tahta kerajaan. Aku
pernah menolak sebab ini kejahatan. Tapi Ki Banaspari
berkata, akan lebih jahat lagi kalau kita membiarkan rakyat
menderita oleh tekanan yang keras dan orang yang
ambisius. Kata Ki Banaspati, kita merebut tahta bukan
untuk diri pribadi tapi untuk rakyat. Jangan biarkan
Pajajaran dipimpin oleh kekeliruan. Dan Ki Banaspati
mendorongku untuk mengusir sikap-sikap keliru dan
menggantinya dengan sikap bijaksana. Ki Banaspatilah
yang mengobarkan semangatku. Ki Banaspatilah yang
memberiku kepercayaan diri. Dan Ki Banaspati pulalah
yang mengerjakan segalanya agar kepercayaanku timbul. Ki
Banaspati pandai membuat reka perdaya, untuk menyusun
kekuatan, Ki Banaspati mengusulkan kepada Pakuan agar
Kandagalante yang jauh dari pusat pemerintahan diberi
wewenang menambah pasukan guna mempertahankannya
dari serangan dan pengaruh musuh. Usul ini diterima dan
dianggap wajar. Disangkanya, kita membangun pasukan
untuk membantu mereka, padahal akan kita gunakan
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebaliknya. Sudah ada beberapa Kandagalante yang faham
dengan cita-cita kita dan sama-sama menghimpun
kekuatan. Dan Ki Banaspati terus berjuang mencari
pengaruh sekaligus mempengaruhi kandagalante lainnya.
Semuanya akan menghimpun kekuatan dan semuanya
bersatu untuk mengembalikan kejayaan masa lalu
Pajajaran. Dan sekali lagi, engkau harus tahu Ginggi,
akulah yang akan menjadi ratunya!" kata Sunda Sembawa
tersenyum renyah. Dipandangnya lagi langit merah di ufuk
barat. Ditatapnya lagi puluhan atau ratusan atau bahkan
ribuan kalong yang keluar dari sarangnya itu. Nampak
Sunda Sembawa menyunging senyum penuh arti.
Beberapa lama dia menatap tajam ke arah tenggelamnya
matahari. Tersenyum lagi sendirian. Sesudah itu baru dia
mengalihkan tatapnya kepada Ginggi.
"Aku hanya tahu, kau dibawa kesini oleh Ki Banaspati.
Karena Ki Banaspati mempercayaimu, maka aku pun
percaya padamu. Oleh sebab itu kerjakanlah apa yang
menjadi tanggungjawabmu kini ," katanya.
"Membunuh Suji Angkara?" tanya Ginggi.
Ki Sunda Sembawa memalingkan muka dan berdesis,
"Ya!" katanya. Ginggi menyembah takzim. "Akan hamba cari Suji
Angkara!" katanya. "Bagus!" desis Sunda Sembawa lagi.
Ya, hanya akan kucari saja sebab tak ada alasan untuk
membunuhnya, kata pemuda itu di dalam hatinya. Namun
mencari Suji Angkara pun Ginggi merasa perlu. Kalau
memang pemuda itu berangkat ke Pakuan, akan lebih
menarik perhatian dirinya, sebab Suji Angkara benar-benar
kumplit menjadi orang yang misterius. Keterangan pertama
yang didapatnya di Desa Cae, pemuda itu hanya dikenal
sebagai anak Kuwu Suntara yang pulang ke desa empat
bulan sekali sambil membawa kekayaan melimpah karena
berdagang dengan bangsa asing. Belakangan didengar kabar
lagi bahwa pemuda tampan berpakaian mewah ini pun
menjadi pembantu Ki Banaspati sebagai pengurus pajak
negara. Tapi terbukti, hubungan keduanya tidak benar-
benar erat. Kalau tak begitu tak mungkin mereka saling
bercuriga dan saling menuduh. Upaya pembunuhan yang
dilakukan Ki Banaspati terhadap pemuda angkuh itu hanya
menandakan bahwa Ki Banaspati telah menganggap
pemuda itu membahayakan gerakannya.
Sekarang kecurigaan kian bertambah sesudah ada
dugaan Suji Angkara menuju Pakuan. Kalau benar pemuda
itu menuju Pakuan, hanya punya arti dia memiliki
hubungan dengan orang Pakuan.
Itu menarik untuk disimak, pikir Ginggi.
(O-ani-kz-O) Ginggi tak menunggu kepulangan Ki Banaspati ke
Sagaraherang. Apalagi surat di daun nipah untuknya hanya
mengatakan bahwa dia harus mencari Suji Angkara ke
Pakuan dan membunuh pemuda itu.
Maka sesudah dibekali pakaian baru dan uang cukup
banyak, Ginggi segera pergi meninggalkan tempat itu. Dia
menolak untuk ditemani satu atau dua orang pandai,
dengan alasan penyelidikan secara diam-diam hanya bisa
dilakukan seorang diri. Ginggi pun menolak ketika akan
dibekali seekor kuda Sumba yang tinggi besar dengan
alasan naik kuda gagah hanya akan menarik perhatian
orang belaka. "Melakukan perjalanan dengan berjalan kaki akan
terkesan sebagai orang kebanyakan dan tak akan menarik
perhatian siapa pun," kata pemuda itu.
Alasan-alasan ini dapat diterima oleh Ki Sunda
Sembawa dan dia mengabulkan permintaan pemuda itu.
"Yang penting kau pulang dengan membawa
keberhasilan," kata Sunda Sembawa. Ginggi mengangguk
pasti. Menurut petunjuk, Ginggi perlu waktu dua hari untuk
menuju wilayah Kandagalante Tanjungpura, sebuah
wilayah yang boleh dikata bersinggungan dengan batas
utara. Kata Sunda Sembawa, Ginggi harus lebih hati-hati
memasuki wilayah ini. Pengaruh dari kerajaan agama baru
cukup kuat di sini. Ini karena Pasukan Cirebon yang telah
menguasai Pelabuhan Kalapa (Sunda Kalapa) kerapkali
lewat ke wilayah Tanjungpura untuk menuju Kalapa atau
sebaliknya bila kembali ke Cirebon.
"Banyak juga di antara anggota Pasukan Cirebon tercecer
tinggal di beberapa kampung wilayah Tanjungpura dan
bahkan beristrikan wanita-wanita di sana," kata Sunda
Sembawa. Ginggi tersenyum mendengar penjelasan ini. Jadi benar
kata Ki Darma, rakyat sebetulnya tak mau tahu urusan
politik. Hanya apa kata pemerintah saja orang-orang dari
negara agama baru itu merupakan musuh, sedangkan
rakyat sendiri tidak. Buktinya, mereka tidak
memisah-misahkan arti agama. Orang Pajajaran secara
alamiah bisa bersatu dengan orang-orang Cirebon
membentuk sebuah keluarga.
Namun di lain fihak, pemuda itu pun membenarkan bila
ada orang Pajajaran yang berusaha ingin mempertahankan
negaranya. Seperti apa kata Sang Prabu Sri Baduga
Maharaja yang pernah disampaikan melalui mulut Rama
Dongdo dan Ki Banen serta Ki Ogel, bahwa Pajajaran tidak
memusuhi agama baru. Namun tentu saja yang dimaksud
di sini sambil Kerajaan Pajajaran tetap diakui oleh siapa
pun. Perjalanan memang dilakukan dua hari untuk mencapai
Tanjungpura. Tidak terlalu sulit sebab tak ada bukit apalagi
ngarai. Hanya saja perjalanan banyak dilakukan melalui
hutan jati yang udaranya terasa panas.
Ginggi memasuki wilayah Kandagalante Tanjungpura
sesudah matahari condong ke barat. Dia segera menuju
kediaman kepala jagabaya dan mengaku sebagai
pengembara yang ingin menumpang tidur di wilayah
Kandagalante ini. Namun kepala jagabaya tak seramah dugaannya. Lelaki
gemuk dengan baju kampret dibiarkan terbuka ini
melihatnya dengan pandangan selidik dan penuh curiga.
"Aku tak begitu saja membiarkan orang asing memasuki
Tanjungpura ini. Sudah dua kali kami menerima kehadiran
pengembara. Dan sudah dua kali itu pula kami mengalami
kejadian yang tidak mengenakkan!" tutur kepala jagabaya
yang diketahui Ginggi bernama Ki Aliman.
"Ada terjadi dua kematian bersamaan dengan kehadiran
dua pendatang asing," tutur kepala jagabaya.
"Pembunuhan?" "Tidak. Kedua penduduk kami mati bunuh diri!"
"Ada penduduk mati bunuh diri, mengapa pendatang
asing yang disalahkan?" tanya Ginggi.
Kepala jagabaya bernama Aliman ini tak bisa
mengemukakan alasan dengan segera. Dia nampak hanya
memilin-milin ujung kumisnya yang tebal saja. "Aku juga
tak punya alasan tepat, mengapa harus begitu. Kecurigaan
kami terhadap orang asing, hanya karena peristiwa itu
terjadi selalu secara bersamaan," katanya.
Hampir sebulan lalu, ke Tanjungpura datang empat
orang asing. Mereka bertamu ke Juragan Ilun Rosa.
"Tapi malam sebelum kepergian mereka, anak gadis
Juragan Ilun mati bunuh diri," kata Ki Aliman.
Ginggi hanya mendengarkan saja tanpa berniat
memotong omongan jagabaya ini.
"Itu terjadi sebulan yang lalu," kata Ki Aliman, "Tiga
hari lalu ada lagi pendatang asing dan mengaku
pengembara. Sifatnya kasar dan berlaku seenaknya. Dia
main perempuan di rumah tuak sampai jauh malam. Di
tengah malam buta anak seorang perempuan penghibur,
yaitu gadis kecil berusia belasan tahun meraung dan
menjerit ngeri. Ketika orang-orang mendobrak kamarnya,
didapatnya si gadis kecil itu sudah mati berlumuran darah."
"Lantas, apa hubungannya dengan kehadiran orang
asing itu" Apakah karena kematian kedua orang gadis
bersamaan waktunya dengan kehadiran mereka semata?"
tanya Ginggi. "Tidak ada bukti mereka terlibat urusan bunuh diri. Tapi
kedua gadis yang nekad bunuh diri semuanya karena
merasa aib kehormatan dirinya terganggu," kata Ki Aliman
sambil mengucapkan sumpah serapah.
"Paman bercuriga para pendatang itu yang melakukan
kejahatan berahi?" tanya Ginggi.
"Sulit aku bicara tanpa bukti. Tapi selama aku hidup di
Tanjungpura, aku kenal tabiat lelaki di sini. Mereka
memang senang minum tuak dan bercanda dengan
perempuan penghibur. Tapi kendati begitu, pantang untuk
lelaki di sini melakukan tindakan seperti itu. Untuk
menghadapi kaum wanita, lelaki Tanjungpura tidak
bertindak pengecut. Kalau kami menyenangi seseorang
wanita, kami datangi dan kami bicara terus-terang.
Mungkin ada di antara kami yang merayu bahkan
memaksa. Tapi itu tetap dilakukan dengan terang-terangan
tidak main sembunyi. Banyak perkelahian sesama lelaki
karena memperebutkan wanita. Tapi dalam
mendapatkannya, tetap saja dilakukan secara ksatria," kata
Ki Aliman. Ginggi hanya tersenyum mendengar kepala
jagabaya ini memuji-muji kaum lelaki di wilayahnya.
"Apakah menurutmu orang asing yang memasuki
wilayah Tanjungpura hanya mereka saja?"
"Tanjungpura ini wilayah yang ramai dikunjungi orang
setiap saat. Bahkan orang-orang dari agama baru suka lewat
dan bermalam di sini," kata Ki Aliman.
"Nah, mengapa kalian tak mencurigai kehadiran mereka
juga?" tanya Ginggi.
"Kepada mereka kami tidak mencurigainya. Agama
mereka keras terhadap dosa yang melibatkan
penyelewengan berahi. Jangankan melakukan pemaksaan
berahi, berkencan di rumah tuak dengan perempuan
penghibur yang sifatnya suka sama suka saja, mereka
menganggapnya sebuah dosa besar," kata Ki Aliman.
"Engkau pengikut agama baru, Paman?" tanya Ginggi.
"Tidak. Aku pemeluk agama lama!"
"Dan pendatang yang paman curigai itu, apakah juga
pemeluk agama lama?"
"Ya, kurasa demikian. Pemeluk agama baru mudah
dilihat, sebab hampir setiap saat mereka melakukan
sembahyang menghadap ke barat, sedangkan pemeluk
agama lama tidak. Para pendatang yang kami lihat
sepertinya bukan pemeluk agama baru," kata Ki Aliman.
"Kalau mereka juga pemeluk agama lama yang sama
seperti yang dipeluk Paman, apakah kalian akan curiga juga
pada mereka?" tanya Ginggi.
"Kenapa kau tanya begitu?" tanya Ki Aliman.
"Sebab ada terkesan, agama kalian membenarkan adanya
kejahatan berahi!" Ki Aliman matanya melotot marah kepada Ginggi yang
dianggapnya mengajukan pertanyaan sembrono.
"Engkau jangan merendahkan agamaku! Dalam
agamaku juga ada peraturan untuk memelihara tindak-
tanduk agar tak terjerumus dalam dosa. Mahayu dora
sepuluh adalah memelihara dan berusaha memperoleh
kebajikan dari gerbang yang sepuluh. Salah satu di
antaranya menyebutkan bahwa manusia diharuskan
menjaga dan memelihara baga purusa (baga=kelamin
wanita, purusa=kelamin laki-laki )," kata Ki Aliman.
"Kalau begitu, kau tak adil mencurigai orang-orang
pemeluk agama lama melakukan kejahatan, sebab agama
apa pun sebetulnya tetap melarang orang berbuat jahat,"
tutur Ginggi. Ki Aliman memerah wajahnya. "Aku mungkin keliru.
Atau, aku sebenarnya tak menyebutkan bahwa aku
bercuriga kepada orang-orang selain pemeluk agama
baru?" kata Ki Aliman terbata-bata.
Ginggi kembali tersenyum.
"Tapi kita memang salah. Dalam hal ini seharusnya kita
tak memperbincangkan perihal agama. Mereka melakukan
kejahatan tidak mengatasnamakan agama. Yang penting,
Paman, sebagai kepala jagabaya harus berusaha menjaga
dan kalau mungkin menangkap penjahatnya, kalau
memang kedua gadis yang bunuh diri itu karena kejahatan
berahi," kata Ginggi pada akhirnya.
Ki Aliman mengangguk-angguk tanda setuju dengan
ucapan pemuda itu. "Hai, engkau mau kemana anak muda?" tanya Ki
Aliman, heran melihat Ginggi seperti mau berlalu dan
nampaknya akan keluar melalui pintu lawang kori yang
akan segera ditutup karena hari telah kelam.
"Aku akan melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan
berjalan kaki di malam hari tidak menemukan gangguan
berarti di tengah jalan," kata Ginggi dan kembali akan
berlalu meninggalkan tempat itu.
"Bukankah engkau akan menumpang tidur di sini?"
"Bukankah Paman tadi melarang orang asing
menumpang tidur di sini?" Ginggi balik bertanya.
Ki Aliman tersenyum. "Aku tak membuat peraturan kaku. Asalkan aku yakin
orang itu tak melakukan kejahatan, aku izinkan siapa pun
masuk. Dan kau nampaknya bukan orang jahat, anak
muda," kata Ki Aliman.
Ginggi tersenyum dibuatnya. Selama beberapa bulan
banyak bergaul dengan orang-orang, Ginggi pun sudah tahu
bagaimana tata caranya, termasuk dalam bertutur kata.
Dengan nada bicara yang teratur serta dibumbui basa-basi
sopan-santun ternyata sanggup menggoda orang lain untuk
langsung menilai dirinya sebagai orang baik. Padahal
sampai saat ini pemuda itu tetap beranggapan bahwa nilai
seseorang bukan terletak pada tindak-tanduknya atau pun
tutur-sapanya. Sebab tabiat sebenar-benarnya hanya ada di
lubuk hatinya. Mungkin juga orang bertutur-sapa dan
bertindak-tanduk sopan karena begitu yang ada di dalam
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hatinya, tapi mungkin juga tidak. Sekarang, Ki Aliman
langsung mengubah kecurigaan menjadi kepercayaan
terhadapnya hanya karena Ginggi sanggup bicara sopan.
Mungkingkah aku orang baik" Tak seorang pun tahu,
tidak juga aku, pikirnya. Sampai detik ini Ginggi memang
tak sanggup menilai dirinya sendiri. Mungkin saja dia
mengaku orang baik karena selama ini dia benci
pembunuhan. Tapi sekali waktu dia mengatakan dirinya
orang jahat kalau mengingat peristiwa aib yang
dilakukannya bersama Nyi Santimi di hutan Desa Cae
beberapa waktu lalu. Dia sembrono menuding orang lain
jahat karena melakukan pemerkosaan terhadap wanita
lemah. Padahal dia sendiri tak ubahnya dengan pemerkosa.
Si pemerkosa melakukan nafsu berahinya dengan jalan
paksa sementara dirinya melakukannya dengan alasan suka
sama suka. Tapi baik berahi yang dilakukan dengan cara
paksa mau pun suka sama suka, bila segalanya
dilaksanakan berdasarkan naluri nafsu, Ginggi
menganggapnya sebagai tindak kejahatan juga.
"Aku juga penjahat berahi," umpatnya sambil menggetok
ubun-ubunnya sendiri. "Hai, kau pukul kepalamu sendiri, anak muda?" Ki
Aliman terheran-heran dibuatnya.
Dan pemuda itu tertawa terkekeh-kekeh setelah sadar
apa yang dilakukannya. "Saking gembiranya dipercaya olehmu, Paman," kata
Ginggi. "Jadi, bolehkah aku menginap semalam di
wilayahmu?" tanyanya lagi.
Kepala jagabaya itu mengangguk dan Ginggi
mengucapkan terima kasih untuk yang kesekian kalinya.
"Ya, engkau boleh menumpang bermalam di wilayah ini.
Carilah kedai yang cukup besar. Biasanya mereka
menerima pengembara yang kemalaman, asalkan keperluan
makan dan minum, kau beli di sana," kata Ki Aliman.
Obrolan di Kedai Ketika kepala jagabaya itu
mempersilakan Ginggi mencari tempat menginap, hari
sudah berangkat senja. Ada terdengar suara kentongan
ditabuh dengan penuh irama, kemudian disambut pukulan
beduk. Sayup-sayup pemuda itu pun mendengar ada suara
lantunan merdu mendayu-dayu tapi dengan bahasa yang
tak dimengerti olehnya. Namun kendati begitu, Ginggi
sudah mengenalnya. Itulah seruan panggilan sembahyang
bagi orang-orang yang telah memeluk agama baru. Ginggi
hafal benar, lantunan merdu seperti itu terjadi lima kali
dalam sehari semalam. Ada beberapa orang bergegas pergi ketika mendengar
panggilan merdu itu. Namun kebanyakan orang tak acuh
mendengarnya. Kalau pun ada yang bergegas ke rumahnya
masing-masing, itu karena hari sudah mulai gelap saja. Ini
semua hanya menandakan bahwa kendati agama baru
sudah merasuk ke Tanjungpura, namun penduduk asli
sebagian besar masih memeluk agama lama.
Sambil berjalan mencari kedai yang cukup besar, Ginggi
beberapa kali menjumpai bangunan pura yang diletakkan di
halaman rumah. Bau dupa terasa tajam semerbak melalui
asap tipis mengelun dari anglo kecil. Sedangkan suara
lantunan panggilan sembahyang dari agama baru terdengar
sayup-sayup jauh di sudut perkampungan.
Akhirnya sebuah kedai cukup besar ditemukan juga, dan
pemuda itu masuk ke sana, disambut pemiliknya sambil
mempersilakan duduk dan secara beruntun langsung
menanyakan dan menawarkan beberapa jenis makanan
yang sekiranya Ginggi akan tertarik untuk memesannya.
Ginggi sejenak berkeliling meneliti ruangan kedai itu.
Ada bangku dan meja panjang tempat orang makan-makan.
Namun di ruangan tengah, ada dipan bambu amat luas.
Mungkin tempat orang makan sambil duduk bersila, atau
juga tempat orang numpang menginap.
Belum ada pengunjung yang datang, kecuali seorang
gadis kecil barangkali anak pemilik kedai, tengah
menyalakan beberapa lampu teplok di sudut-sudut ruangan
kedai. "Saya mau makan di sini tapi sekalian juga menumpang
tidur barang semalam," kata Ginggi mencoba mendayu-
dayukan suara sopan dan halus. Tapi si pemilik kedai
berpakaian kampret putih dengan kain sarung diikatkan di
pinggangnya hanya menatap penuh selidik. Gadis kecil
yang tengah menyalakan lampu pun sejenak menghentikan
tugasnya untuk ikut menatap wajah pemuda itu.
Ditatap oleh kedua orang itu dengan penuh selidik,
membuat Ginggi jadi kikuk. Dia menggosok-gosok ujung
hidungnya beberapa kali seolah-olah di sana ada asap
belanga mengotorinya. Dia juga menepis-nepiskan ujung
tangannya ke arah pakaiannya, kalau-kalau debu jalanan
membuat pakaiannya dekil. Namun pemuda itu akhirnya
yakin, kedua orang itu menatapnya bukan karena kondisi
tubuhnya yang dianggap kotor.
"Engkau orang asing. Kami takut dengan orang asing,"
gumam pemilik warung bertubuh pendek kurus ini,
menatap pada anaknya. "Saya sudah mendapatkan izin kepala jagabaya Aliman,"
kata Ginggi. "Betulkah?" "Untuk apa berbohong. Kami bahkan mengobrol lama.
Dan saya tahu, apa penyebab kalian takut terhadap orang
asing. Karena di sini ada kejadian yang tak kalian sukai
bukan?" kata Ginggi lagi. Pemilik kedai itu mengangguk.
"Ya, dua malam lalu ada gadis terbunuh. Katanya bunuh
diri. Tapi banyak orang mengatakan, gadis anak perempuan
penghibur itu bunuh diri setelah kegadisannya dirambah
manusia laknat tak bertanggung jawab!" kata pemilik
warung marah dan kesal. Dia mendengus dan melotot ke
arah Ginggi. Sesudah itu gadis kecil itu pergi dengan
tergesa-gesa. "Lihatlah, karena peristiwa-peristiwa yang menyangkut
mereka, banyak anak gadis tak suka dan selalu bercuriga
terhadap kaum pendatang. Lihatlah kesan anakku
kepadamu barusan. Dia sangka setiap laki-laki yang
pendatang gemar melakukan kejahatan berahi," kata
pemilik warung menuding dengan hidungnya ke arah mana
gadis itu berlalu. "Kalau saya tahu, akan saya kejar penjahat itu!" kata
Ginggi. "Semua orang juga berkata begitu. Tapi siapa yang bisa
menduga hati orang. Mulutnya berkata begitu, padahal
mungkin hatinya berkata lain," kata pemilik kedai seperti
menyindir. "Ya, memang bisa juga begitu. Tapi aku berkata menurut
apa kata hatiku. Lihat saja nanti, kalau ada terdengar
peristiwa macam itu lagi, aku pasti turun tangan," kata
Ginggi menegaskan. Si pemilik warung tidak mengiyakan
tapi juga tidak menentang perkataan pemuda itu.
Dan karena sudah mendapatkan izin kepala jagabaya,
pemilik kedai pun akhirnya mengizinkan Ginggi
menumpang tidur. "Tapi tentu dengan beberapa persyaratan. Di antaranya
saja engkau tidak boleh berbuat onar, termasuk minum
tuak." "Saya tidak mau minum tuak," jawab Ginggi.
"Ya, bagus!" sambut pemilik kedai.
Dua hari melakukan perjalanan, pemuda ini tidak
mandi. Oleh sebab itulah pertama yang diburunya di tempat
pondokannya adalah jamban untuk mandi. Pakaian yang
barusan ditanggalkan sudah demikian dekil dan langsung
saja dia cuci bersih. Sekarang Ginggi perlu menggantinya dengan bekal
pakaian yang didapatnya dari Kandagalante Sunda
Sembawa. Ada sekitar tiga stel pakaian yang didapat di
dalam buntalannya. Tapi amboi, mana yang harus dia
kenakan sebab ketiga stel pakaian itu semuanya terbuat dari
bahan mewah. Ginggi sudah mengenal beberapa jenis kain, mana
buatan Pajajaran dan mana yang didatangkan dari negri
sebrang atau pun negri-negri jauh. Dan ketiga stel pakaian
itu semuanya dibuat dari bahan-bahan pilihan hasil
pertukaran dengan negri jauh.
Jenis pakaiannya masih berupa kampret juga. Tapi
kainnya tipis halus dan mengkilat. Kalau kena cahaya
lentera, kain baju itu memantulkan kembali cahayanya dan
warna biru tuanya semakin indah.
Pemuda itu bingung memikirkan jenis pakaiannya ini.
Ginggi suka melihat jenis pakaian halus mengkilat ini ketika
para remaja anak-anak golongan santana (kalangan
menengah, saudagar dan pedagang) memakainya ketika
mereka berjalan-jalan menghirup udara sore atau bila
mereka bercanda bersama kaum remaja putri. Hanya anak-
anak orang kaya dan yang berjiwa pesolek saja yang gemar
memakai pakaian halus dengan warna mencolok seperti ini.
Ketiga pakaian di buntalan itu indah-indah belaka.
Barusan yang dipegangnya adalah kampret warna biru tua.
Dua lagi berwarna kuning dan merah darah, amat
mencolok. Ketiganya aku tak suka, pikirnya. Tapi kalau dia
tak gunakan, habis mau pakai yang mana"
Terdesak oleh keadaan, akhirnya pemuda itu terpaksa
memilih salah satu pakaian. Dipilihnya warna biru tua. Ikat
kepalanya pun berwarna sama hanya saja terbuat dari jenis
kain yang agak tebal walau pun masih sama halus.
Ketika pemuda itu selesai berdandan dan mulai masuk
ke kedai, si pemilik kedai melongo heran. Anak gadisnya
pun hampir-hampir tak berkedip menatapnya.
Menerima tatapan demikian tajam dari mereka, kembali
Ginggi meraba hidungnya dan menepis-nepis pakaiannya.
"Pakaianku sudah tak kotor dan badanku pun sudah tak
dekil. Tapi mengapa kalian masih menatapku seperti itu?"
tanyanya heran. Si gadis kecil tersipu-sipu ditegur demikian. Ayahnya
yang kurus dan kecil pun malah nampak membungkukkan
badan dengan penuh hormat.
"Saya tak menyangka Raden berkenan singgah di kedai
reyot macam begini ?" kata pemilik kedai masih
membungkuk-bungkuk. Senyum hambar bergayut di bibir pemuda itu. Ternyata
penyakit manusia tak pernah sirna, pikirnya. Selama Ginggi
turun gunung dan mengenal tipe-tipe manusia, selalu ada
kesamaan, bahwa orang cenderung melihat sesamanya
hanya dari luar belaka. Mulut manis dan pakaian bagus
akan selalu disambut hangat dan ramah. Padahal tadi
sebelum mandi dan berpakaian dekil dengan jenis kasar,
orang-orang ini melirik dengan sebelah mata.
"Seharusnya Raden memilih tempat peristirahatan yang
lebih bagus. Barangkali Kuwu Marsonah atau bahkan
Juragan Ilun Rosa pun akan berkenan menerima kehadiran
Raden," kata pemilik kedai hormat.
"Aku mungkin akan bertamu kepada mereka. Tapi untuk
menumpang tidur, aku memilih di sini saja," kata Ginggi.
Dan karena sudah terlanjur mendapatkan penghormatan,
akhirnya Ginggi pun tak ragu-ragu untuk meminta
pelayanan mereka. "Aku sekarang lapar. Coba sediakan makanan yang
paling enak. Kau juga gadis kecil, ambilkan aku minuman
yang sekiranya bisa menyegarkan tubuhku," kata pemuda
itu yang segera memilih tempat duduk agak di sudut.
Pemilik kedai tergopoh-gopoh mempersiapkan berbagai
penganan. Si gadis kecil disuruhnya menghangatkan lauk-
pauk yang ada di kedai itu.
Ginggi bersenandung kecil merasakan nikmatnya
dilayani orang. Sambil senyum simpul dia menyaksikan
anak beranak sibuk kesana-kemari menyiapkan makanan.
Ada yang membawa baki kayu, ada juga mengambil piring
terbuat dari tanah liat. Ginggi menghitung, ada tiga orang
lagi yang bekerja di kedai besar itu. Mereka laki-laki
setengah baya semua. Oh, tidak! Ternyata masih ada seorang lagi pekerja
kedai. Dan yang ini jelas gadis muda. Usianya barangkali
dua atau tiga tahun di atas gadis kecil tadi. Gadis ini tidak
tergopoh-gopoh. Dia melangkah biasa saja. Tapi Ginggi
tahu, gadis itu datang untuk menghampiri dan
melayaninya, sebab dia datang mendekat membawa baki
yang di atasnya terdapat poci dan cangkir.
Gadis itu tepat berdiri di samping Ginggi sehingga
pemuda itu bisa melihat wajahnya dari sudut matanya.
Walau pun hanya terbatas dari samping tapi pemuda itu
dapat menduga, gadis ini pasti anak pemilik kedai. Ginggi
menduga demikian karena raut wajah gadis ini hampir
serupa dengan gadis kecil yang lebih dahulu sudah
dikenalnya. Ginggi merasa kurang puas hanya menatap raut wajah
gadis itu melalui sudut matanya. Dan rasa penasaran ini tak
dapat ditahannya. Dia segera berpaling untuk bisa menatap
langsung wajah gadis itu. Hanya sekejap saja menatap raut
wajah itu secara utuh sebab gadis itu segera memalingkan
wajah dengan mulut cemberut. Selesai meletakkan poci dan
cangkir, gadis itu berlalu tanpa menoleh lagi barang sedikit,
seolah-olah di sana tak ada orang. Atau seolah-olah gadis
itu bukan melayani pengunjung, melainkan hanya
menyimpan begitu saja poci dan cangkir di meja.
Kini Ginggi yang balik cemberut. Gadis itu parasnya
cukup manis. Kulitnya putih bersih, bibirnya tipis merekah
merah. Dan ada tahi lalat kecil di sudut dagunya. Tapi
apalah kecantikan bila tidak dilengkapi perangai yang
ramah. Tuk! Pemuda itu menggetok ubun-ubunnya. Satu
kebiasaan bila dia menyalahkan dirinya. Sekian lama dia
bergaul dengan orang banyak, sedikit banyaknya telah
terpengaruhi tradisi dan kebiasaan mereka. Dulu dia
mengacuhkan tabiat orang, sebab dia sendiri pun tak mau
tahu tabiat dirinya. Dulu dia bicara seenaknya kepada
setiap orang dan penampilan serta sikap pun diperlihatkan
seenaknya tanpa perduli apakah orang lain senang atau
tidak melihat tampang dan penampilannya. Sekarang dia
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru tahu rasa, dilayani dengan mulut cemberut tanpa
ucapan barang sepatah sambil mata tidak melirik barang
secuil, membuat hatinya tersinggung dan harga dirinya
dilecehkan. Harga diri" Sejak kapan dia mengenal harga diri" Tentu
sejak dia mengenal banyak orang. Dia melihat orang lain
suka tersinggung bila dilecehkan. Dan sekarang dirinya
ikut-ikutan merasa tersinggung karena dilecehkan. Kalau
begitu, aku sudah terpengaruh oleh kebiasaan orang lain,
pikirnya. Padahal ketika aku hidup berdua saja dengan Ki
Darma, tak ada perasaan seperti itu.
Tuk! Ginggi kembali menggetok ubun-ubunnya. Kalau
begitu, semenjak dia banyak melihat tata pergaulan, dia
menjadi orang yang mudah goyah dan rapuh terbawa arus
kebiasaan orang lain. "Mari Raden, semua masakan telah terhidang. Tapi
maafkan bila segalanya kurang berkenan di hati," kata
pemilik kedai mengembalikan kesadarannya.
Ginggi meneliti apa yang ada di hadapannya. Ternyata
meja sudah penuh diisi berbagai penganan. Ada ikan lele
ditaburi bumbu menyengat. Ada juga paha ayam yang
baunya wangi menggoda hidung dan air liur. Makanan-
makanan lain pun tidak kalah menariknya. Semua masih
mengepulkan asap yang harum dan merangsang selera
makan. Tanpa basa-basi, pemuda itu segera melahap semua
makanan. Dan semuanya terasa enak, sehingga malam itu
Ginggi makan banyak sekali.
Waktu semakin merengkuh malam. Dan ke dalam kedai
besar ini, tidak terasa telah banyak orang. Semuanya punya
maksud yang sama yaitu hendak makan. Tapi beberapa
pengunjung nampak heran melihat Ginggi memborong satu
meja penuh. Beberapa orang bahkan merasa ragu
menumpang duduk di bangku di mana Ginggi asyik
mengunyah makanan. Rupanya pemuda itu pun merasakan kecanggungan
pengunjung lainnya. Agar mereka tidak ragu-ragu, Ginggi
mempersilakan mereka duduk di sampingnya. Ginggi
menggeser duduknya kian ke sudut untuk memberi tempat
kepada pengunjung baru. Tapi mana bisa mereka duduk
bersama padahal di atas meja semua makanan milik
pemuda itu. Mereka barangkali baru bisa makan bersama
kalau semuanya ikut serta mencicipi makanan yang
dikuasai Ginggi. Rupanya pemuda itu pun tahu apa yang dipikirkan para
pengunjung. Dan untuk yang kesekian kalinya, Ginggi
mempersilakan mereka ikut duduk.
"Ayo kita makan bersama. Makanan ini enak-enak dan
jumlahnya banyak. Tak mungkin aku habiskan sendirian
saja. Ayo, makanlah kalian. Jangan khawatir tidak cukup.
Kalau habis, biar aku pesankan lagi!" kata Ginggi.
Mulanya pengunjung ragu-ragu menerima ajakan ini.
Tapi karena pemuda itu selalu mendesak, akhirnya ada satu
dua orang yang berani duduk. Dan akhirnya yang duduk di
sana kian bertambah. Mungkin enam orang mereka
berhimpitan di bangku panjang sehingga Ginggi duduk kian
mepet ke sudut. Namun ini membuat kegembiraan buatnya.
Apalagi ketika dilihatnya semua orang mulai berani makan
dengan ramai dan gembira.
"Hey, Pak Tua! Ayo tambah lagi makanannya!" seru
Ginggi. Sebelum pemilik kedai meluluskannya, dengan
agak ragu dia bertanya tentang bagaimana cara
pembayarannya. "Bayar" Maksudmu kau minta sejumlah makanan ini
ditukar dengan benda logam macam ini?" kata Ginggi
merogoh ke dalam buntalannya. Pemuda itu mengeluarkan
beberapa pundi-pundi besar. Dibukanya talinya,
dikeluarkanya isinya. Dia menyodorkan kepingan uang
logam satu genggam. "Cukupkah semua makanan ini aku tukar dengan
segenggam kepingan logam ini?" tanya pemuda itu.
"Hah" Kau bayar segitu?" mata pemilik warung yang
kecil itu mendadak terbelalak lebar.
"Kalau kurang biar kutambah lagi!" kata Ginggi yang
merasa bahwa pemilik warung kurang puas diberi satu
genggam. Tapi pemilik kedai semakin membelalakkan
matanya. Ginggi menoleh ke kiri dan ke kanan. Ternyata
semua orang menatapnya dengan cara membelalakan mata.
Ginggi menggaruk-garuk kepalanya.
"Kalau lebih dari ini, aku tak sanggup sebab keperluanku
masih banyak dan perjalananku masih jauh!" kata Ginggi
lagi. "Engkau salah mengerti Raden. Ki Alpi bukan
menganggap bayaranmu kurang tapi uang itu kelebihan,
terlalu banyak. Itu uang kepingan perak dari negri Cina.
Nilainya amat tinggi. Kau berikan hanya dua keping saja,
maka sekali pun Ki Alpi menambah makanan sebanyak dua
meja lagi, masih terlalu mahal. Artinya, uang logam dua
keping itu masih bisa kau tukar dengan makanan lebih dari
empat meja penuh," kata seorang tua di sampingnya.
Ginggi mengerutkan keningnya. Dia menoleh kepada Ki
Alpi, pemilik kedai ini. "Betulkah begitu, Pak?" tanyanya ingin meyakinkan.
Dan ternyata Ki Alpi mengangguk. Ginggi lega hatinya
sekali pun merasa heran. Di Kandagalante Sagaraherang
pemuda ini memang sudah mengenal jenis kepingan uang
yang bisa digunakan sebagai alat penukar keperluan hidup
seperti barang dan makanan. Tapi bagaimana cara
menggunakannya dan berapa perbandingannya dengan
berbagai barang yang ada di pasar, Ginggi sendiri tidak
tahu. Masuk ke kedai untuk berbelanja baru kali inilah dia
lakukan dan hasilnya sungguh mencengangkan. Ternyata
kepingan logam yang diberikan oleh Kandagalante Sunda
Sembawa demikian berharganya.
"Bila demikian caranya, aku bisa makan enak tanpa
harus bekerja dengan keras," pikirnya sambil meremas-
remas kepingan logam yang ada di genggamannya.
"Baiklah kalau begitu, aku serahkan saja dua keping,"
katanya menyodorkan kepingan logam sebanyak dua
keping. Ki Alpi mengangguk-angguk dan berjanji akan
menambah jumlah makanan bila masih diperlukan. Namun
nyatanya, makanan satu meja penuh ini tak habis dimakan
bertujuh. Semuanya sudah kalah sebelum pemilik warung
menambah makanan baru. "Wah, terima kasih sekali Raden. Baru kali ini ada orang
kaya raya murah hati mau membagi makanan kepada setiap
orang," kata orang tua di sampingnya sambil membuka
kancing bajunya dan mengusap-usap perutnya yang sedikit
buncit karena makanan. "Kau pasti anak orang kaya Raden tapi belum
pengalaman menggunakan uang," kata yang lain.
"Uangmu berharga untuk apa saja, untuk kesenangan
apa saja. Mari aku antar kau ke tempat hiburan. Di sana
kau bisa main dadu. Kalau kalah, kau bisa dihibur oleh
perempuan cantik-cantik dan genit-genit!" tutur yang
lainnya. "Huh! Aku tak suka perempuan! Perempuan itu racun,
tahu!" bentak Ginggi tak senang, membuat si pembicara
bengong sejenak. "Kalau begitu, untuk apa uang sebanyak itu, Raden"
Anak-anak orang kaya di sini selalu membawa uang untuk
keperluan di rumah hiburan!"
"Ah! Persetan dengan itu!" bentak Ginggi lagi. Tapi
kemudian pemuda itu termenung. Dia heran sendiri dengan
sikapnya. Di kedai ini, ketika dia berpakaian necis, ketika
orang-orang memuji karena uangnya, dengan enaknya dia
bisa bicara sambil membentak-bentak. Dengan seenaknya
pula dia memperlihatkan sikap suka dan tidak suka akan
pendapat dan gagasan orang lain. Karena apakah ini"
(O-anikz-O) Benarkah Ki Rangga Guna"
Pemuda itu meraba-raba uang logam yang masih banyak
terdapat di dalam pundi-pundi kainnya. Ya, dia bertindak
jumawa ini karena uangnya. Di kedai ini dia dipandang
orang karena uangnya. Dia menampik gagasan orang dan
mereka tunduk karena uang juga. Ah, ternyata uang ini bisa
amat menguntungkan tapi juga bisa amat membahayakan.
Coba kalau aku menuruti saran mereka untuk main dadu
dan perempuan. Dengan uang ini mudah tapi
membahayakan diriku, pikirnya.
Ginggi mulai mengerti, pantas saja banyak orang
berupaya memiliki kepingan logam seperti ini. Suji Angkara
dikhabarkan senang berniaga dengan kaum pedagang
bangsa asing dan bila pulang membawa banyak pundi-
pundi seperti miliknya kini. Kandagalante Sunda Sembawa
dikhabarkan sebagai seorang kaya di Sagaraherang dan
dihormati semua orang karena banyak memiliki logam ini.
Kemudian ada perampok dan orang jahat lainnya, berupaya
merampas bahkan membunuh hanya karena kepingan
logam ini pula. "Betul-betul berbahaya benda-benda ini," pikir pemuda
itu. Ginggi melepaskan genggaman tangannya dari pundi-
pundi uangnya dan disembunyikan kembali ke dalam
buntalan pakaiannya. Dia harus hati-hati menggunakan
kepingan uang logam ini dan jangan sampai dirinya
dikendalikan oleh benda-benda seperti itu.
Orang-orang di sekelilingnya masih ramai. Mereka
mengobrol kesana-kemari tapi percakapan yang paling
menyita dia adalah tentang kematian dua anak gadis yang
terjadi dalam selang waktu sebulan ini. Hanya saja
pembicaraan ini nampaknya simpang siur. Tak ada yang
mengatakan pasti bagaimana dua anak gadis belia itu bisa
mati. "Aku kira mereka memang mati bunuh diri," kata yang
seorang. "Ya memang, semua orang juga tahu mereka mati bunuh
diri. Yang seorang menusuk perutnya dengan patrem,
satunya lagi gantung diri. Tapi ada kesamaan dari
keduanya. Mereka bunuh diri karena mempunyai sebab
yang sama, yaitu merasa kesucian dirinya sebagai perawan
tercemar. Kau dengar bukan, tubuh mereka ditemukan
dalam keadaan mengibakan" Pakaiannya koyak-koyak,
kulit tubuhnya pun lecet-lecet. Sepertinya terjadi
pergumulan dulu sebelum gadis itu bunuh diri," kata yang
lainnya lagi. "Kalau benar kedua gadis itu mati karena kejahatan
lelaki, ingin kukoyak-koyak isi dada si jahat itu!" teriak
seorang pemuda geram. "Ya, benar! Dia harus dibunuh sebab telah merusak
nama baik lelaki di sini!" teriak yang lainnya.
"Cobalah lihat, sesudah ada kejadian seperti itu, susah
sekali kita melihat gadis-gadis molek bertandang di senja
hari, pergi ke mata air pun mesti dikawal ketat ayahnya."
"Bahkan lebih rugi dari itu, gadis-gadis di sini sekarang
tidak menyukai para pemuda. Kalau kita tatap, dia
palingkan mukanya. Dia lari dan dia sembunyi. Rugi kita!"
kata pemuda yang duduk di sudut sana. Semuanya
mengangguk-angguk tapi sambil tawa berderai.
Ginggi yang hanya mendengar saja juga ikut tertawa.
Ternyata pada akhirnya mereka benci si pemerkosa
karena tindakan lelaki biadab merugikan mereka dalam
berhubungan dengan para gadis yang dilanda ketakutan dan
kecurigaan. Pantas saja anak pemilik warung demikian
ketus terhadapku, pikir pemuda itu.
"Siapa yang pernah tahu, kira-kira seperti apakah lelaki
jahat itu?" tanya seseorang.
"Kita semua rata-rata mencurigai kaum pendatang. Tapi
sulit meraba-raba, siapa mereka, sebab ke Tanjungpura
banyak orang yang datang dan pergi," kata seorang pemuda
sambil menatap ke arah Ginggi. Yang lain pun ikut
menatapnya sehingga pemuda itu menjadi pusat perhatian
walau barang sejenak. "Aku yakin, yang berbuat kejahatan bukan anak muda
seperti Raden berpakaian biru ini," tutur lelaki tua yang
duduk di samping Ginggi sepertinya membela kehadiran
pemuda itu. "Bahkan aku amat mencurigai, pelakunya adalah orang
yang sudah berumur. Tubuhnya agak tinggi, mukanya agak
bulat, hidungnya melengkung seperti burung ekek dan
matanya sipit seperti ?" lelaki tua yang bicara tadi tidak
melanjutkan kata-katanya ketika ke dalam kedai itu masuk
seorang lelaki setengah baya. Pak tua yang barusan
menghentikan kata-katanya malah melotot kaget
memandang pendatang baru itu. Bibirnya gemetar,
telunjuknya mengarah kepada pendatang baru itu sambil
ikut gemetar pula. Semua orang sama-sama menatap
pendatang itu tidak terkecuali Ginggi.
Orang itu agak jangkung, mukanya bulat, hidungnya
melengkung dan matanya sipit.
"Diakah orangnya?" teriak yang lain.
"Ya " dia! Benar dia! Dialah si jahat itu!" teriak lelaki
tua itu. Semua orang sigap berdiri. Ada juga yang menghunus
golok. "Serbuuu!!!" "Bunuuuh!!!" Semua orang serentak menghambur ke arah pendatang
baru itu yang nampak amat terkejut dengan sambutan aneh
ini. Dia hanya sempat bengong sejenak. Namun pada
akhirnya tak memiliki kesempatan untuk diam mematung
seperti itu bila tak ingin tubuhnya lumat oleh berbagai
serbuan yang datang. Orang berhidung bengkok bermata sipit itu nampak tak
ingin melayani serangan. Dengan gerakan kaki teratur dia
melangkah satu dua tindak ke belakang. Ketika serangan
datang kian gencar, ujung kakinya menotol tanah dan
jumpalitan ke belakang. "Hm, dia punya kepandaian," gumam Ginggi masih
tetap duduk di tempatnya Di pekarangan yang agak luas,
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lelaki setengah baya itu baru berdiri lagi. Tapi pengepung
terus mengejar dan menyerang dan nampaknya orang-orang
itu bersiap akan membunuhnya.
Namun dari tempat duduknya Ginggi menyaksikan,
kepandaian orang asing itu sungguh hebat. Dia bisa berkelit
kesana-kemari menghindari berbagai serangan dengan amat
lincah dan tepat. Sebuah bacokan golok yang menghambur
ke arah jidatnya, dengan enteng saja dia tepiskan hingga si
penyerang terjerembab ke samping. Bila dia mau,
sebetulnya orang asing itu bisa membalas serangan dengan
telak bahkan bisa membunuh si penyerang. Tapi tubuh si
penyerang dibiarkan begitu saja terjerembab di bawah
kakinya tanpa berusaha untuk menyerang tengkuk si
penyerang dengan pijakan kaki misalnya.
Dalam waktu yang singkat terdengar jerit dan pekik
kesakitan. Bukan karena orang asing itu melancarkan
serangan balasan, tapi teriakan kesakitan itu keluar dari
mulut si penyerang yang serangan pukulan tangannya
berbenturan dengan tangkisan tangan orang asing itu.
Mereka meringis-ringis dan tak berani melanjutkan
serangannya. Sebaliknya, lelaki bermata sipit itu pun
nampaknya tak berniat melanjutkan keributan. Terbukti,
ketika tahu penyerangnya menghentikan gerakan, dia pun
segera membalikkan badan hendak berlalu pergi.
"Tangkap pemerkosa!" teriak lelaki tua penyulut
keributan ini. Ginggi tahu, lelaki ini yang tadi menuduh si hidung
bengkok bermata sipit melakukan perbuatan biadab
terhadap gadis di kampung ini.
"Raden, bukankah engkau tadi sore bilang akan
menangkap pelaku perkosaan" Itulah orangnya seperti apa
kata Mang Suepi!" kata pemilik kedai menagih janji.
Ginggi memang ingat, tadi dia berkoar hendak
menangkap tukang perkosa. Tak dinyana, sekarang "tugas"
itu menunggunya. Tapi benarkah lelaki berwajah bulat itu
pelaku pemerkosa" "Apakah kau tidak salah lihat, Mang?" tanya Ginggi
kepada si lelaki tua. "Mataku memang lamur, tapi masih bisa melihat wajah
orang itu. Ya, dialah yang tiga malam lalu datang ke rumah
hiburan dan mengganggu banyak wanita penghibur. Karena
orang itu tabiatnya kasar, tak ada wanita yang mau
padanya. Namun di tengah malam, terdengar jeritan pilu di
rumah hiburan itu. Ternyata anak gadis salah satu wanita
penghibur yang sebetulnya masih bau kencur sudah bunuh
diri. Pakaiannya koyak-koyak dan seluruh tubuhnya penuh
dengan cakaran-cakaran. Uh, biadab! Biadab!" kata lelaki
tua itu mengepal-ngepalkan tinjunya.
"Pak, titip buntalanku, akan aku kejar orang itu!" kata
Ginggi. Sesudah menyerahkan titipan barangnya, Ginggi
segera pergi ke arah mana orang tadi menghilang.
Pemuda itu berlari cepat sambil sesekali melongok ke
arah lorong-lorong kuta atau benteng tanah liat. Tapi
sampai keempat sudut tembok benteng dia datangi, orang
yang diburunya tidak ditemukan sepertinya menyusup ke
dalam bumi. (O-anikz-O) Jilid 09 "Betulkah orang itu pemerkosa?" gumamnya. Kalau
benar begitu, maka sungguh berani dia, berkeliaran
menampakkan diri di muka umum padahal kelakuan
jahtnya sudah diketahui. Mengapa dia berani mati seperti
itu" Apakah karena memiliki kepandaian tinggi seperti apa
yang ditampilkannya tadi"
Karena yang dicari tak juga ketemu, akhirnya pemuda
itu berniat kembali ke kedai. Namun sebelum melangkah
pergi, ada terbesit pikiran untuk singgah dulu di rumah
hiburan yang ada di wilayah tersebut.
Tapi rumah hiburan itu nampak sepi pengunjung.
Padahal bangku dan meja telah terpasang di beberapa
sudut. Dan di atas meja kayu kasar itu ditaruh beberapa
kendi berisi tuak. Tak ada wanita di sana. Padahal menurut
banyak orang, yang namanya tempat hiburan selalu saja
berderet wanita cantik dan genit-genit.
Ginggi disambut seorang laki-laki berpakaian kampret
dengan sarung terselendang di bahu. Ada senjata tajam
terselip di sela-sela ikat pinggang kulit dan sepertinya siap
kapan saja dicabut dari sarungnya.
"Maaf, malam ini tak ada hiburan di sini. Anak-anak
kami masih takut akan peristiwa tiga malam lalu," katanya
dingin. "Saya tidak sedang cari hiburan ?" jawab Ginggi.
"Apalagi sedang tidak cari hiburan, maka sebaiknya kau
cepat pergi!" katanya lagi diselingi suara batuk seperti
terserang gangguan angin malam.
"Saya akan menanyai perempuan yang anak gadisnya
bunuh diri itu," Ginggi menerangkan.
"Engkau petugas jagabaya, anak muda?" Ginggi
menggelengkan kepala. "Kalau begitu pulanglah!"
"Baru saja aku memergoki orang yang di curigai.
Tubuhnya sedikit jangkung, wajahnya bulat telur,
hidungnya melengkung seperti burung beo ?"
"Ya " ya " Aku tahu. Tapi dimana dia" Jauhkah dari
sini?" si baju kampret dengan hulu senjata tajam di
pinggang ini mendadak gemetar tubuhnya. Kalau tak ada
bangku di belakangnya mungkin dia jauh terkulai. Matanya
melotot ke pekarangan. "Kau ada apakah Paman?" tanya Ginggi heran. Dia ikut
menengok ke luar beranda di mana pekarangan amat gelap
gulita. Tapi di pekarangan tak dilihat seorang pun."Di mana
bedebah itu?" tanya orang itu gemetar.
"Dia melarikan diri entah ke mana sebab dikejar-kejar
banyak orang." "Syukurlah! Mudah-mudahan terus dikejar ke mana pun
dia pergi. Semakin jauh dia pergi, semakin bagus pula,"
kata pemilik warung hiburan sedikit lega.
"Kau amat takutkah kepadanya?"
"Ah, masih terasa dinginnya mata golok menyentuh kulit
leherku. Masih terasa ngilunya pergelangan tanganku
karena jari-jarinya yang sekuat capit baja menjepit keras
sampai kulit tanganku lecet-lecet. Dia mungkin orang gila.
Tawanya membuat merinding bulu kuduk dan bentakannya
menggetarkan ulu hati. Kalau aku panjang umur tak ku
inginkan sepasang mataku melihat orang itu lagi seumur
hidupku," tutur pemilik warung hiburan dengan nada masih
diliputi kekhawatiran. "Betulkah dia mengganggu keamanan di sini?"
"Dengan tak sopan dan kurang ajar dia mengganggu
semua perempuan asuhanku. Dia main colek kesana-kemari
dengan seenaknya. Dengan kasar dan penuh paksaan, dia
pondong perempuan paling molek dan mencoba menggoda
dengan binal. Tak ada perempuan yang mau padanya.
Kemudian satu-persatu anak-anak asuhanku dia tempeleng
hingga terlontar kesana-kemari. Mereka melarikan diri.
Akhirnya orang gila itu sambil hahah-heheh menyeretku
dan mengancamku," pemilik warung menutup mukanya
dengan kedua belah tangannya.
"Lantas hubungannya dengan kematian anak gadis itu
bagaimana?" "Entahlah. Sesudah dia mengancamku, sesudah
dilihatnya semua perempuan pada ngumpet, dia seperti
mencari-cari sesuatu. Dan di sebuah ruangan kamar
belakang, aku dengar suara ribut-ribut. Pintu ditutup dari
dalam. Hiruk-pikuk sekali kedengarannya. Lantas ada suara
perempuan menjerit tertahan. Aku tak berani memeriksa,
hanya ngumpet saja di bawah meja?"
Ginggi menatap sebal kepada lelaki yang ada di
hadapannya ini. "Sesudah suasana mulai sepi, aku periksa kamar
belakang. Ya, anak gadis dari seorang perempuan
penghibur kami mati bunuh diri. Dia gantung diri," kata
lagi pemilik rumah hiburan ini.
"Pasti bunuh diri karena diganggu kehormatannya,"
desisnya lemah. "Kau yakin begitu?"
"Ya, dia jahat terhadap perempuan. Sementara di depan
orang banyak saja berani berbuat tak senonoh, apalagi di
kamar tertutup itu ?"
"Lantas kau simpan di mana senjata tajammu itu?" tanya
Ginggi melirik ke arah hulu senjata yang tersembul di
pinggang pemilik rumah hiburan itu. Orang itu pun sama
melihat senjatanya. Lalu dipegangnya erat.
"Senjataku tak pernah jauh dari pinggangku,"
gumamnya. "Dan tak pernah kau cabut, termasuk ketika anak
asuhanmu dalam bahaya!" desis Ginggi sebal.
Lelaki berikat pinggang kulit tebal ini mengeluh pendek.
Lalu dengan lesu dicabutnya senjata tajamnya dan
diletakkan di atas meja. "Bagaimana aku bisa melawan. Orang itu nampaknya
punya kepandaian tinggi. Tenaganya pun amat besar.
Jangankan menolong anak asuhku, sedangkan untuk
menyelamatkan diri sendiri saja, bila tak pandai-pandai
merengek minta dikasihani, aku pasti mampus," katanya.
Ginggi menghela nafas panjang. Kejahatan rupanya
sedang terjadi di mana-mana, dan banyak orang yang tak
mampu mencegahnya. "Mungkin kau tahu, siapa nama penjahat itu!" kata
Ginggi dengan nada seolah tak memerlukan jawab. Dan
memang benar, orang itu tak menjawabnya. Ginggi berbalik
dan berniat meninggalkan rumah hiburan yang kini sepi itu.
"Anak muda ?" lanjutnya dengan nada ragu-ragu.
"Engkau tahu tetapi tak berani kau katakan kepada siapa
pun, termasuk kepada para jagabaya," kata Ginggi pasti.
"Aku diancamnya. Tapi itulah anehnya. Dengan
sombongnya orang itu memperkenalkan diri. Tetapi dia
mengancamku, bila berani mengabarkan namanya kepada
orang lain, aku akan digorok," kata lelaki pengecut ini.
"Aneh kan" Kalau dia penakut, mengapa membuka
kartu. Tapi kalau dia pemberani, mengapa namanya takut
diketahui umum?" lanjut orang itu. Ginggi pun punya
pikiran sama. Mengapa orang itu bertindak aneh"
"Kau katakan orang itu punya kesaktian?" tanya Ginggi.
"Ya!" "Coba bandingkan dengan ini," kata Ginggi mencabut
senjata tajam milik orang itu. Senjatanya berupa pisau
besar. Satu sisinya amat tipis dan mungkin amat tajam.
Dengan telapak tangannya, Ginggi menekan bagian
ramping dari pisau itu. Ditekannya keras-keras. Dan si
pemilik rumah hiburan ini membelalakkan sepasang
matanya lebar-lebar. Kalau sisi ramping pisau itu ditekan
keras ke telapak tangan, mestinya akan melesak dan
melukai kulit serta daging si pemuda itu. Tapi ini aneh,
pisau itu sepertinya hanya selembar daun nipah. Ketika
ditekan, sisi pipihnya melipat, melengkung dan penyok-
penyok, sedangkan telapak tangan itu sendiri tidak terluka
barang segores pun. "Engkau hebat anak muda. Kalau penjahat tengik itu kau
hadapi, pasti dia tak akan kuat melawannya," kata orang itu
yakin sekali. "Bagus kalau begitu. Nah, sekarang coba katakan, siapa
begundal yang telah membuat onar di sini?"
"Dia mengaku bernama " Rangga Guna! Ya, Rangga
Guna!" "Apa?" "Rangga Guna, anak muda!" kata pemilik rumah hiburan
mengulang apa yang disebutnya barusan.
Tercekat hati pemuda itu mendengarnya. Betulkah
perkataan orang ini" Rangga Guna adalah salah seorang
murid dari Ki Darma yang harus segera ditemuinya. Tapi
mengapa murid Ki Darma melakukan kejahatan hina
seperti ini" "Cepat, kau bantu kami. Tangkaplah penjahat itu.
Bunuhlah untuk kami!" kata orang itu penuh harap dan
membuat goncangan di hati pemuda itu.
Dengan pikiran tak karuan, Ginggi membalikkan
badannya dan akan berlalu dari tempat itu.
"Jangan kau katakan kehadiranku di sini. Awas, kalau
kau bilang barusan aku membengkokkan senjatamu kepada
siapa saja, maka bukan pisau itu yang akan ku bengkokkan
melainkan lehermu itulah!" pemuda itu menakut-nakuti
membuat si pemilik rumah hiburan meringis memegangi
lehernya. Ginggi meloncat ke pekarangan dan menghilang di
kegelapan. (O-anikz-O) Gadis Pemilik Kedai Esok harinya, Ginggi bangun agak siang. Itu pun sambil
mata pedih karena kurang tidur.
Kejadian tadi malam membuat hatinya gundah-gulana.
Mula-mula di kampung itu ada berita perihal dua wanita
bunuh diri dan diduga korban perkosaan. Kemudian hadir
seorang lelaki agak jangkung, muka bulat dan hidung
melengkung serta bermata sipit. Salah seorang penduduk
menuduhnya sebagai pelaku perkosaan. Lelaki sipit itu
dikepung dan dikeroyok. Anehnya, kendati nampak
memiliki ilmu kepandaian, tapi orang asing itu tak mau
melawan apalagi melukai. Ini amat bertolak belakang
dengan penjelasan pemilik rumah hiburan. Walau pun ciri-
ciri lelaki jahat itu sama seperti apa yang dilihat Ginggi, tapi
penjahat yang digambarkan pemilik rumah hiburan
mengatakan bahwa pemerkosa bernama Rangga Guna.
Betulkah dia" Kurang tidur, pikiran ruwet, membuat pemuda itu tak
bergairah melakukan apa pun. Pakaian kampretnya yang
terbuat dari kain halus mengkilat warna biru muda nampak
kusut masai. Ikat kepalanya berjuntai di bahunya. Dan
Ginggi hanya duduk saja menyandar di dinding kayu.
Pemilik warung di mana rumahnya dia tumpangi
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menginap datang menghampiri dan mengatakan makanan
sudah siap bila Ginggi ingin sarapan.
"Aku tak biasa makan pagi-pagi, Pak ?" gumam
pemuda itu sambil duduk memeluk lutut.
"Kalau begitu, barangkali kau perlu minum kopi jagung.
Biar si Asih membuatnya," kata pemilik warung lagi tanpa
ditolak atau diiyakan oleh Ginggi.
Pemilik warung berteriak menyuruh wanita bernama
Asih membuat kopi panas harus diberikan kepada Ginggi.
Seorang gadis bertubuh semampai datang membawa baki
berisi cangkir tanah liat. Ginggi menatapnya. Ternyata yang
namanya Asih adalah gadis cantik anak pemilik warung itu.
Namun pemuda itu hanya menatap selintas saja. Sesudah
itu dia pura-pura tak melihat gadis itu.
Gadis berparas cantik ini ternyata sombong sekali.
Biarlah, aku tak akan menatapnya, apalagi menyapanya.
Biar dia merasakan bahwa wajah cantiknya itu tak berarti
apa-apa buatku., kata hati Ginggi sambil berpangku tangan
mulut cemberut dan mata mendelik ke arah lain.
Entah dapat dirasakan entah tidak sikap Ginggi ini. Yang
jelas, gadis itu pun bertindak acuh tak acuh saja. Tidak
menatap pemuda itu dan apalagi menyapanya. Sialan, kata
Ginggi masih dalam hatinya.
Ginggi agak sedikit kecele karena upayanya untuk
membuat gadis itu tersinggung oleh sikapnya ternyata tak
kesampaian. Gadis itu seusai meletakkan cangkir berisi air
kopi dengan kepulan asapnya, berlalu begitu saja.
Sialan, omel pemuda itu tetap dalam hati.
Ginggi akan pergi mandi. Tapi untuk menuju pancuran
mesti lewat dapur. Di ruangan itu Ginggi berpapasan
dengan gadis bernama Asih itu. Di sini akan kubalas dia,
pikir Ginggi. Yang dimaksud akan dibalas seperti apa kata
hatinya hanyalah akan memperlihatkan sikap acuh tak acuh
terhadap gadis itu. Pemuda itu ingin memperlihatkan
bahwa dia tak memerlukan gadis itu, apalagi berusaha
untuk menggodanya. Ginggi memang tersinggung hatinya. Hanya karena di
kampung itu terjadi penganiayaan berahi terhadap kaum
wanita, maka gadis itu sepertinya menyamaratakan semua
lelaki. Dia seperti membenci aku karena disangkanya aku
pun tukang ganggu wanita, pikir pemuda itu.
Meraka berpapasan. Gingi acuh tak acuh. Matanya
menatap ke mana saja, yang penting tidak menjilat wajah
molek tapi angkuh itu. Dan berhasil. Rupanya gadis itu
merasakan sikap Ginggi walau sedikit. Ada kerlingan mata
walau selintas dan alis gadis itu berkerut.
Nah, silahkan kau tersinggung gadis sombong, kata
Ginggi. Ginggi tahu, gadis itu baru pulang dari pancuran sebab
sebelum berpapasan di dapur, gadis itu ada terlihat
menyimpan air dilodong (buluh bambu tempat membawa
air dari pancuran) di sudut. Dan ketika pemuda itu sudah
tiba di pancuran serta sudah mulai menanggalkan semua
bajunya, semakin yakin bahwa benar gadis itu baru keluar
dari pancuran. Tapi ketika Ginggi sudah menanggalkan pakaian, dia
amat terkejut, sebab di pancuran ada setumpuk pakaian.
Pemuda itu segera memalingkan muka, sebab tatapannya
mengarah kepada benda-benda milik wanita yang
sebetulnya tak pantas dia tatap. Ginggi akan berdiri
menjauh. Namun alangkah terkejutnya dia ketika dari arah
beberapa langkah dari tempat di mana dia jongkok,
terdengar suara jeritan kecil ditahan. Ginggi tak jadi berdiri
bahkan jongkoknya mepet ke pinggir rimbunan semak
manakala tahu gadis sombong itulah yang mengeluarkan
jerit tertahan. Mau apa gadis angkuh itu mendekati pancuran" Ada
perlukah dengannya" Wah, masa iya. Gadis itu seperti tak
suka padanya, masa dengan tiba-tiba saja mengejarnya
sampai ke pancuran sini" Tapi belakangan pemuda itu bisa
menduga, mengapa gadis itu seperti tergopoh-gopoh
menuju pancuran kembali. Pasti ada yang tertinggal. Pasti
dia terkejut dan pasti dia malu, sebab barang yang tertinggal
adalah sesuatu yang seharusnya mesti disembunyikan dari
pandangan kaum lelaki. Menduga ke arah ini, Ginggi tersenyum kecil dan
kepalanya mengangguk-angguk. Rasakan kali ini, kau pasti
tersiksa oleh rasa malu, hai gadis angkuh, kata pemuda itu
dalam hatinya. Ginggi mencoba mengintip dari balik rimbunan pohon.
Walau terhalang oleh semak dan hanya melihat wajah gadis
itu sepotong-sepotong, tapi pemuda itu mendapatkan
bahwa ada rasa malu dan khawatir membayang di wajah
gadis itu. Hahaha, pasti kau malu dan khawatir benda-
benda milikmu aku tatap, kata Ginggi dalam hatinya sambil
mulut senyum dikulum. Gadis itu nampak melangkah setindak dengan ragu-ragu.
Namun sesudah itu dia merandeg diam. Matanya menatap
ke arah pancuran, berkerut dan khawatir. Melangkah lagi
setindak. Namun ketika ada gerakan semak bergoyang,
gadis iti mundur beberapa tindak dan memalingkan wajah.
Pasti dia ingin ke sini atau dia pasti ingin minta tolong.
Ha, beranikah dia" Ginggi mendongakkan kepalanya untuk
melihat gadis itu lebih jelas. Secara kebetulan gadis itu pun
mendongakkan kepala untuk melihat ke arah pancuran.
Serentak mata bertemu mata dan keduanya berteriak kaget
"Mengapa kau mengintipku?" teriak gadis itu setengah
menjerit. Ginggi tertawa kecil mendengar umpatan ini.
"Hai, mengapa kau tertawa" Dasar lelaki mata
keranjang!" umpat gadis itu. Dan kembali pemuda itu
tertawa. Sekarang tawanya kian keras.
"Kau kurang ajar padaku, ya?" tanya gadis itu, bicara
sambil memalingkan muka. "Kau yang kurang ajar! Kau yang mengintip. Kau yang
marah-marah! Dasar gadis aneh!" kata Ginggi mendongak
dan kakinya berjingkat sedikit.
"Kau laki-laki kurang ajar!" teriak gadis itu.
"Lho, siapa yang mengintip, kau atau aku" Siapa yang
sedang mandi" Kau atau aku" Ayo kau menjauh dari sini.
Kalau tak mau pergi, aku akan teriak minta tolong. Biar kau
dikepung semua penduduk, dipukuli sampai babak belur
sebab mengganggu orang mandi!" teriak Ginggi. Terdengar
suara ditahan sebab celoteh pemuda itu dianggapnya lucu.
Tapi tawa itu hanya sebentar saja, sebab secara tiba-tiba
suara gadis itu terdengar ketus.
"Enak saja bicara! Maumu ya, diganggu dan digoda
perempuan! Hai, lelaki licik, lelaki bawel dan sombong serta
tolol! Dengarkan, tak ada dalam sejarah atau riwayat mana
pun bahwa perempuan menggoda dan mengganggu
kehormatan lelaki! Dasar lelaki dungu!" umpat lagi gadis
itu. Ginggi masih tertawa-tawa. Sehari semalam dia kenal
gadis itu, tapi baru kali ini terdengar suaranya. Tapi begitu
keluar suaranya, semua perkataan menghambur
mencercanya. "Betul! Dan aku juga baru tahu sekarang, bahwa sejarah
perempuan mendekati lelaki mandi dimulai di kampung ini
dan pertama kali dilakukan olehmu!" Ginggi memanas-
manasi agar gadis itu semakin jengkel padanya.
"Sialan kau lelaki tengik!" jerit gadis itu kesal.
"Kau yang tengik. Kalau tidak, untuk apa berindap-indap
mendekati lelaki mandi?"
"Aku tidak berindap-indap. Aku melangkah biasa saja!"
"Nah, apalagi! Biar sekalian aku laporkan kepada
jagabaya!" "Kurang ajar kau!"
"Hahaha! Hai, gadis pikun, mau apa kau ke sini?"
"Sialan aku tidak pikun. Aku masih muda. Usiaku baru
tujuhbelas tahu!" "Hahaha! Gadis malang, baru usia semuda itu sudah
pikun!" "Pikun kentutmu!"
"Kalau tak pikun, tak nanti barang-barangmu kau tinggal
begitu saja di sini!" teriak Ginggi.
"Hai, kau lihat barang-barangku, kau pegang-pegang
kepunyaanku?" gadis itu berteriak setengah menjerit.
Tawa Ginggi semakin menjadi-jadi.
Dari arah rumah ada lelaki tergopoh-gopoh. Ternyata
ayah gadis itu yang datang bersama gadis bau kencur yang
pasti adik dari gadis yang marah-marah di tepi pancuran
itu. "Asih, ada apa" Siapa yang kau katakan pegang-pegang
barang kepunyaanmu itu?" tanya pemilik warung kaget.
Ginggi kembali tertawa terkekeh-kekeh.
"Anak muda, kau ganggu anakku?" tanya pemilik
warung tak senang. "Siapa mengganggu siapa" Kau lihat sendiri, anak
gadismu yang datang menyatroni lelaki mandi!" kata
Ginggi enteng saja. "Asih, untuk apa mengintip orang mandi?" giliran gadis
itu diperiksa ayahnya. "Saya tak mendekati orang mandi,
tapi mau mengambil barang-barangku. Ternyata di
pancuran ada pemuda cerewet yang bawel dan tengik serta
tukang fitnah itu, ayah!" kata Asih nyerocos. Kalau
ayahnya tak menyetopnya, rupanya masih ada segudang
cercaan yang akan ditimpukkan ke wajah pemuda itu.
"Aku tanya, mengapa kau mendekati pancuran padahal
di sana ada orang mandi?"
"Sudah saya jawab tadi, ada barang-barang saya
tertinggal," jawab gadis itu cemberut.
"Tak bisakah kau ambil nanti setelah dia selesai mandi?"
"Tidak bisa ayah!"
"Mengapa?" "Takut barang-barang itu dilihat pemuda culas itu. Dan
nampaknya lelaki bermata bundar terselubung keranjang itu
benar-benar mata keranjang. Dia pasti lihat-lihat barangku
dan barangkali juga pegang-pegang! Ih, menjijikkan
kelakuan si pongah itu!" Asih membanting-bantingkan
kakinya ke tanah nampaknya gemas sekali.
Tapi melihat kegemasan Asih, ayahnya tersenyum
simpul. Adiknya bahkan tak tertahankan lagi untuk tertawa
cekikikan sambil menutup mulutnya. Hanya ketika sang
kakak mendelik saja gadis cilik itu mendadak menghentikan
tawanya dan bersembunyi di balik badan ayahnya.
"Aku kira benar-benar ada bahaya mengancam
keperwananmu. Dasar anak bawel ?" kata ayahnya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Anak muda, tolong sodorkan cucian si Asih itu!" kata
ayahnya lagi menyuruh Ginggi.
"Hai jangan! Biarkan aku yang bawa sendiri!" teriak
Asih. "Ayo, ambillah ke sini!" teriak Ginggi sambil
membiarkan ubun-ubun kepalanya diguyur air pancuran.
"Sialan! Dasar lelaki tak bermalu!" cerca Asih lagi.
"Cepat kau selesaikan mandimu. Sesudah itu kau cepat-
cepat pula pergi dari tempat itu. Dan awas, jangan sekali-
sekali berani menatap pakaianku!" ancam gadis itu,
matanya berbinar. Kini yang menunggu Ginggi mandi hanya gadis itu saja
sendirian. Pemuda itu sengaja memperlambatnya. Sambil
bersiul-siul dia hanya mempermainkan air seperti anak kecil
dan membuat gadis itu semakin kesal.
Tapi sesudah puas mempermainkannya, Ginggi segera
berpakaian dan keluar dari tempat mandi yang ditutup
gedeg bambu itu. Kembali berpapasan dengan gadis itu
sambil bersiul-siul. Asih hanya mendengus kesal.
"Pertengkaran" dengan gadis itu menimbulkan
kegembiraan dan sedikit mengurangi kekesalan hatinya bila
mengingat peristiwa semalam. Namun ketika teringat lagi
akan hal itu, kembali alis pemuda itu berkerut. Ini sebuah
misteri yang harus dipecahkan.
Sejak dari Desa Cae dia sudah diperkenalkan kepada
bentuk-bentuk kejahatan berahi. Pertama-tama dia
menyaksikan percobaan perkosaan oleh orang misterius.
Bila tak sempat dia gagalkan, maka Nyi Santimi akan
menjadi korban perkosaan. Siapa pelakunya" Di dalam gua
ketika itu suasana cukup gelap, kecuali cahaya remang-
remang dari cahaya bulan di luar gua. Yang jelas, pelaku
pemerkosa mempunyai kepandaian lumayan.
Ketika Ginggi tiba di Desa Wado, pemuda itu pun
mendapatkan peristiwa sama. Ada gadis bunuh diri di desa
itu. Penduduk hanya menduga, gadis itu bunuh diri karena
bekal untuk perkawinannya berkurang banyak karena
dikuras paksa untuk kepentingan seba. Padahal
penyelidikan pemuda itu, sebelum mati, kesucian gadis itu
sudah ternoda. Ginggi menduga, gadis itu bunuh diri
karena rasa malu, atau juga dibunuh oleh pelaku pemerkosa
untuk menutupi jejaknya. Sekarang di wilayah Kandagalante Tanjungpura pemuda
itu mendapatkan dua peristiwa perkosaan dalam selang
waktu satu bulan. Siapa pelaku perkosaan sebulan lalu,
Ginggi tak bisa menduga. Tapi, pemerkosa tiga hari lalu
sudah ada sedikit petunjuk. Setidaknya ada orang yang
dicurigai. Ki Rangga Gunakah"
Kalau benar begitu, dia amat kecewa. Sudah dua orang
murid Ki Darma dia temukan dan keduanya
mengecewakaan dirinya. Betapa tidak. Ki Banaspati sudah
berhasil dia temukan. Dia memang menjadi orang
terpandai, disegani banyak orang dan nampaknya kaya
raya. Dia pun mengaku berjuang membela rakyat seperti
apa yang dibebankan gurunya, Ki Darma. Tapi apa pun
kilah Ki Banaspati, Ginggi menilai lain. Ki Banaspati
terlalu jauh dalam mengejar cita-cita membela rakyat. Dia
ingin menggantikan kedudukan raja. Ki Banaspati
sepertinya tengah bermain api. Di Pakuan dia bertindak
sebagai abdi negara, bertugas menjadi aparatmuhara
(petugas penarik pajak), sedangkan jauh dari pusat
pemerintahan dia menghimpun kekuatan untuk
meruntuhkan raja kelak. Di Sagaraherang, dia bersekutu
dengan Kandagalante Sunda Sembawa dan seolah-olah
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendukung cita-cita keturunan Raja Pajajaran ini untuk
merebut tahta dari saudaranya. Tapi di sini kembali Ki
Banaspati bermain api, sebab dukungan terhadap Sunda
Sembawa menurut perkiraan Ginggi hanya sebagai taktik
belaka. Kandagaalante Sunda Sembawa yang memiliki
kekuatan tentara sebetulnya hanya akan dimanfaatkan
untuk kepentingan ambisi Ki Banaspati belaka.
Ya, Ginggi amat menduga demikian, sebab Ki Sunda
Sembawa mengaku kepada pemuda itu bahwa semangat
dan ambisinya untuk merebut haknya sebagai raja terpompa
oleh dukungan Ki Banaspati.
"Ki Banaspati orang hebat. Dia berhasil membangunkan
semangatku untuk menghimpun kekuatan dalam upaya
merebut hakku sebagai penguasa Pakuan yang sah!" kata
Sunda Sembawa ketika itu.
Ucapan Sunda Sembawa yang memuji-muji Ki
Banaspati ini hanya menjelaskan bahwa pejabat
Sagaraherang ini timbul ambisinya hanya karena dipanas-
panasi dan dikipasi oleh Ki Banaspati. Berlindung kepada
cita-cita Sunda Sembawa, Ki Banaspati diperkirakan akan
terus bergerak dan berupaya melaksanakan cita-citanya
sendiri. Menjadi raja! Tapi, betulkah cita-cita menjadi raja merupakan bagian
penting dari misi yang dibebankan Ki Darma" Ki Darma
hanya mengatakan, semua muridnya dilepas untuk
berjuang menjaga nama baik Pajajaran dan bekerja untuk
kepentingan rakyat semata. Merangkul cita-cita membela
rakyat, apakah juga sambil harus menguasai segalanya"
Menjadi orang pertama di negri ini" Ginggi bingung
memikirkannya. Apakah betul Ki Banaspati bekerja untuk
kepentingan rakyat atau bukan, yang jelas Ginggi tidak
menyenangi gaya siasatnya. Cara kerjanya kasar dan penuh
tipu muslihat. Untuk menghimpun kekayaan yang katanya
akan dipergunakan sebagai dana perjuangan, Ki Banaspati
membentuk pasukan khusus dan tak segan-segan
melakukan perampokan, baik kepada kaum pedagang, para
bangsawan bahkan kepada para pejabat yang katanya
korup. Ginggi menduga, bisa saja rombongan seba yang
dipimpin Suji Angkara dicegat "perampok" di hutan jati
bukan sekadar kekeliruan belaka tapi sudah merupakan
"santapan" rutin bagi perampok bermisi ini. Seperti apa kata
beberapa pejabat desa yang pernah Ginggi ajak bicara.
Sekarang ketika suasana sedang kacau, banyak kelompok
memanfaatkan situasi. Ada kelompok pura-pura menagih
seba, padahal sesudah hasilnya terkumpul, entah dibawa ke
mana, yang jelas bukan untuk kepentingan Pakuan. Atau
bahkan juga terjadi pemberontakan kecil di mana-mana.
Berdalih membela kepentingan rakyat dari tindakan raja,
namun sambil mengutip dana dari rakyat. Akhirnya takyat
yang tersedot kesana-kemari. Sementara harkat dan
kesejahteraannya belum pulih, kesengsaraannya sendiri
terus bertambah karena punya kewajiban menyumbang
perjuangan. Di wilayah Kandagalante Tanjungpura ini, Ginggi
hampir bertemu murid kedua Ki Darma. Kalau benar orang
yang dikeroyok di depan kedai itu Ki Rangga Guna,
pemuda itu setindak telah berhasil melaksanakaan perintah
Ki Darma. Tapi akan benar-benar sempurnakah apa yang
menjadi kehendak penghuni puncak Cakrabuana itu"
Ginggi disuruhnya meminta petunjuk terhadap orang itu
dalam upaya menjalankan misinya. Petunjuk apa" Mencari
tahu tata cara berbuat mesum"
Kalau benar Ki Rangga Guna dikejar-kejar karena gemar
berlaku mesum, Ginggi betul-betul malu dan kecewa.
Barangkali Ki Darma pun akan berperasaan yang sama.
Aku akan kejar Ki Rangga Guna. Dia harus bertanggung
jawab atas tindak-tanduknya yang membuat cemar Ki
Darma ini, pikir pemuda itu.
Ingat ini, Ginggi segera berkemas. Mengganti
pakaiannya dengan yang baru dan mohon diri kepada
pemilik kedai. "Tapi anak muda, uang yang kau berikan tadi malam
jumlahnya terlalu besar, sedangkan aku tak punya
pengembalian atas kelebihannya," kata pemilik warung
yang membantu mengikat tali buntalan pemuda itu.
"Tak mengapa Pak, aku tak begitu meributkan soal
uang," kata Ginggi. Pemilik warung mengucapkan terima
kasih berkali-kali. "Sekarang kau hendak kemana, anak muda?" tanyanya
kemudian. Ginggi termenung. Mau kemana setelah ini" Ki
Banaspati memberinya tugas, yaitu membunuh Suji
Angkara yang khabarnya berangkat ke Pakuan. Ginggi tak
memperhatikan benar tugas gila ini. Tapi keinginan untuk
melacak Suji Angkara memang ada dalam benaknya.
Barangkali dia harus terus menuju Pakuan tapi sambil tetap
berupaya mengemban misi Ki Darma, yaitu menghubungi
orang-orang yang diharap bisa memberi bimbingan dalam
mengemban misi membela rakyat Pajajaran.
"Tinggal dua orang yang harus kutemukan di mana
mereka berada, yaitu Ki Rangga Wisesa dan Ki Bagus
Seta," kata Ginggi di dalam hatinya.
Oh, sekarang banyak tugas yang harus dikerjakannya.
Mencari kedua orang itu yang entah berada di mana serta
berusaha mengejar Ki Rangga Guna untuk diminta
pertanggunganjawabnya. Begitu banyaknya tugas yang
harus diemban sebelum melaksanakan misi yang
sebenarnya yaitu membela rakyat.
"Aku akan melacak penjahat yang mengacau
Kandagalante Tanjungpura ini. Bukankah engkau
mengharapkan wilayahmu aman Pak Tua?" kata Ginggi,
dianggukkan oleh pemilik warung itu.
"Terima kasih kau mau berjuang untuk kedamaian kami.
Tapi hati-hati, penjahat itu bengis dan berangasan. Jangan
hanya karena membela orang lain kau mengalami
marabahaya," pesannya.
Ginggi tersenyum. Orang ini baik, mau memikirkan
nasib orang lain. "Aku pergi sekarang juga, Pak Tua. Oh, ya " sampaikan
permohonan maafku kepada putrimu yang bernama ?"
"Ah, si Asih anak cerewet. Akulah yang mesti minta
maaf padamu," sergah pemilik warung tersipu-sipu. "Kalau
engkau kembali dalam keadaan selamat, sebetulnya aku
menginginkan kau tinggal di sini. Kalau kau mau tentunya
?" orang tua itu menunduk penuh rahasia dan ucapannya
seperti mengandung makna tertentu. Namun hal ini tak
dirasakan pemuda itu. "Aku juga senang dengan wilayah Kandagalante ini.
Orang-orangnya bila berbicara tak punya tedeng aling-aling
tapi penuh persaudaraan," kata Ginggi, teringat keakraban
penduduk manakala dia disuguhi makanan, juga teringat
cerewetnya gadis anak pemilik warung ini.
(O-anikz-O) Surat Misterius Karena hari sudah demikian siang, Ginggi terpaksa
mohon diri dan dilepas oleh pemilik warung dengan
perasaan suka-cita. Untuk menahan panasnya matahari, Ginggi dibekali topi
jenis toroktok, yaitu topi anyaman bambu dengan caping
lebar dan bulat. Topi ini biasa digunakan pengembala itik
dan aman melindungi seluruh kepala dari sergapan sinar
matahari. Ginggi senang menerimanya. Kendati topi jenis ini
disediakan untuk pengembala itik, tapi nampaknya ini topi
khusus dan dibuat dengan menonjolkan keindahan.
Anyaman bambunya menggunakan dua warna, gading dan
coklat, serta dianyam teratur sehingga menghasilkan
paduan warna yang indah. Topi itu pun nampak halus
mengkilap sebab dipoles dengan cairan tertentu yang
membuat benda itu mengeluarkan warna khusus pula.
Ginggi berjalan sambil mencari alamat rumah Juragan
Ilun Rosa yang katanya masih saudara dekat Kandagalante
ini. Ginggi akan memenuhi janjinya kepada Ki Aliman,
kepala jagabaya di sini, bahwa akan ikut membantu
menyelidiki peristiwa aib yang terjadi di wilayah ini.
Seperti apa yang dikhabarkan kepala jagabaya, di
Kandagalante Tanjungpura ini terjadi dua peristiwa yang
melibatkan kematian dua orang gadis. Salah satu korban
adalah putri Juragan Ilun Rosa itulah. Anak gadisnya
dikhabarkan mati bunuh diri dengan jalan menusuk
lehernya denganpatrem (tusuk konde). Mengenaskan, sebab
tindakan bunuh diri diduga karena kehormatannya dirusak.
Tapi di kelokan jalan yang agak sunyi, pemuda itu
terpaksa menghentikan langkahnya. Ada yang mencegatnya
di tepi jalan berdebu itu. Gadis pemilik warung!
Ginggi tertegun sejenak. Ada apa lagi dengan gadis
bawel ini" "Bukankah aku tak mengganggumu lagi" Mengapa kau
tiba-tiba mencegatku?" tanya Ginggi berusahaa pura-pura
ketus. Namun pemuda itu kecele kalau mengharapkan ucapan
ketusnya dibalas dengan keketusan yang sama. Gadis itu
malah diam saja. Sebentar menatapnya dengan mata
berbinar, sebentar kemudian menunduk dengan rona merah
di pipinya. Ginggi jadi malu sendiri. Ternyata gadis itu
datang bukan untuk bersilat lidah. Entah apa keinginan
gadis cerewet ini. Karena gadis itu tak menjawab pertanyaannya, Ginggi
melangkah mendekati beberapa tindak.
"Ada apa Asih" Asih bukan, namamu?" tanya Ginggi
menjadi gagap. Gadis itu mengangguk. Menatap lagi dengan berbinar,
kemudian menunduk lagi dengan tetap masih
meninggalkan rona merah di pipinya.
"Oh, ya " Kalau-kalau ayahmu tak menyampaikannya.
Aku mengajukan permohonan maaf atas kejadian tadi pagi.
Tak seyogianya aku mempermainkanmu sehingga
membuatmu marah," kata Ginggi setulusnya.
Gadis itu hanya mengangguk dan menunduk.
"Lalu, apalagi ?"" tanya Ginggi gugup.
Pemuda itu baru tahu, bahwa sejak tadi di tangan gadis
itu ada sebuah bungkusan dari daun jati. Sambil tetap
menunduk dia menyerahkan bingkisan itu kepada Ginggi.
"Untuk bekal di jalan kalau-kalau kau lapar ?" gumam
gadis itu menunduk. Pemuda itu menerima pemberian ini sambil menatap
wajah gadis itu. "Kata ayah, bila kau kembali kelak, akan menetap di
sini. Betulkah itu?" tanya gadis itu penuh harap.
Ginggi menatap tajam mata gadis itu. Berbinar, bening
dan masih suci. Dan gadis ini aneh sekali. Pertama kali
bertemu diawali dengan sikap angkuh dan seperti
membenci lelaki. Sekarang di saat akan berpisah
memperlihatkan wajah ramah dan " dan penuh harap.
Berdesir darah pemuda itu. Entah benar entah salah.
Tapi pemuda itu sudah punya pengalaman melihat perangai
Cumbuan Menjelang Ajal 2 Pendekar Dari Hoa San Karya Kho Ping Hoo Pendekar Setia 8
agama baru. Banyak desa yang ada di bawah kekuasaan
Karatuan Sumedanglarang, asalkan desa itu jauh dari
jangkauan pengawasan pusat pemerintahannya, hasil
buminya dikutip anak buah Ki Banaspati. Demikian juga
beberapa wilayah yang berada di bawah kekuasaan
Karatuan Talaga, Ki Banaspati tidak membiarkannya.
Asalkan wilayah itu terasa susah dijangkau pemerintahan
pusat, pasukannya rajin sekali mengutip hasil bumi wilayah
tersebut. Ki Banaspati juga pandai memanfaatkan situasi.
Dia tahu, Sumedanglarang dan Talaga belum utuh sebagai
kerajaan yang memiliki kesatuan dalam memilih agama
baru. Banyak juga di antara wilayah Kandagalante, atau
bahkan hanya setingkat wilayah cutak dan desa secara
diam-diam masih setia terhadap agama lama. Bila masih
terjadi hal demikian, mudah diduga mereka masih setia
juga terhadap Pakuan. Wilayah-wilayah seperti inilah yang menjadi santapan Ki
Banaspati. Kandagalante Sunda Sembawa setuju saja dengan
kebijaksanaan ini. Ki Banaspati adalah aparat muhara
(petugas penarik pajak) yang katanya berurusan dengan
keputusan pusat. Artinya, kedudukan Kandalante Sunda
Sembawa masih lebih rendah ketimbang utusan pusat. Lain
dari pada itu, kebijaksanaan Ki Banaspati yang berani
mengutip seba sampai jauh ke wilayah timur, hanya berarti
menambah wibawa saja bagi keberadaan Kandagalante
Sunda Sembawa. Wilayah Sagaraherang disegani oleh
lawan dari utara dan mereka tak berani sembarangan
menyerang ke pusat kekuasaan. Jadi, kalau pun terjadi
penyerangan, itu dilakukan pasukan agama baru terhadap
rombongan seba dari timur yang akan memasuki wilayah
Sagaraherang saja. Soal adanya penyerangan terhadap rombongan seba,
sebetulnya masih simpang siur dan diragukan
kebenarannya. Siapa yang melakukannya, apakah benar
dari pasukan agama baru, atau kaum perampok semata"
Beberapa Jagabaya Sagaraherang kerap kali
mengabarkan perihal adanya macam-macam perampok.
"Sekarang ini zaman kacau. Di daerah-daerah di mana
pengaruh Pakuan amat lemah dan pengaruh kekuasaan
kerajaan agama baru belum begitu kuat, terdapat kekuatan-
kekuatan baru yang tidak jelas tujuannya. Mereka tidak
bersetia lagi kepada Pakuan tapi juga tidak menyukai
kehadiran kekuasaan pemerintahan agama baru. Maka
jadilah mereka pasukan-pasukan tak bertuan. Untuk
mempertahankan keberadaannya, mereka menjarah
kampung atau juga mencegat rombongan seba yang
sekiranya kurang mendapat pengawalan kuat," tutur
seorang jagabaya yang berusia tua.
"Apakah kekuatan tak bertuan itu termasuk juga yang
mencegat rombongan seba di bawah pimpinan Raden Suji
Angkara, Paman?" tanya Ginggi di suatu senja.
"Mungkin juga," tutur jagabaya tua ini.
Mendengar penjelasan ini, Ginggi termenung. Tapi
bagaimana dengan pengakuan Ki Banaspati sendiri yang
memang mengaku "merampok" rombongan tersebut"
Mendengar bunyi jawaban jagabaya tua ini, timbul kesan
bahwa tidak seluruh gerakan Ki Banaspati diketahui seisi
wilayah Sagaraherang. Kalau tidak begitu, tak mungkin
pertanyaan pancingan Ginggi dijawab seperti itu.
Sampai di situ, terpaksa pemuda ini harus berpikir keras.
Ki Banaspati benar-benar misterius. Tempo hari dia
mengaku secara gelap menghimpun kekuatan untuk
merampok pejabat Pajajaran yang korup dan menindas
rakyat. Namun di lain fihak dia menjadi pejabat utama
muhara langsung dari pusat guna menarik pajak.
Bagaimana hal ini bisa terjadi" Mungkinkah selama ini dia
memiliki "dua wajah" dan tak pernah tercium baunya oleh
pemerintahan di Pakuan"
"Aku tetap setia terhadap amanat Ki guru, bahwa aku
harus menolong rakyat Pajajaran dari penindasan raja yang
tak tahu diuntung itu!" kata Ki Banaspati kepada Ginggi
tempo hari. Kata Ki Banaspati, dia memang merampok pejabat
korup dan mencegat rombongan pembawa hasil bumi atau
kekayaan lainnya dari para saudagar yang bekerja tak halal.
Hasil-hasil jarahannya sebagian dia berikan kembali kepada
rakyat dan sebagian dihimpun untuk menciptakan kekuatan
baru. Bila dia sudah memiliki kekuatan, akan dia
pergunakan untuk menyerang Pakuan dan merebut
kekuasaan. "Ratu Sakti harus disingkirkan karena dia tak becus
mempertahankan kebesaran Pajajaran. Kemudian, akulah
kelak yang akan memegang tampuk pemerintahan di
Pakuan. Akan kukembalikan kebesaran Pajajaran seperti
ketika dipimpin oleh Kangjang Prabu Sri Baduga
Maharaja!" kata pula Ki Banaspati.
Ginggi merenung keras. Begitukah cara melaksanakan
amanat Ki Guru Darma dalam upaya membela rakyat"
Cukup pantaskah Ki Banaspati mencuatkan dirinya untuk
menjadi raja menggantikan Ratu Sakti"
"Sejauh mana keberadaan seseorang untuk diakui
sebagai raja yang kelak harus mampu memayungi nasib
sejumlah besar manusia di sebuah wilayah bernama
negara?" pikir Ginggi. Ginggi memang mengetahui, Ki
Banaspati orangnya tegas, suaranya berwibawa,
perintahnya tak pernah diabaikan dan selalu melihat darah
mengalir sambil tanpa mempengaruhi perasaannya. Bagi Ki
Banaspati, darah dan kematian sepertinya sesuatu hal yang
biasa. Ginggi masih teringat peristiwa sebulan lalu. Ki
Banaspati dengan enteng saja memerintahkan anak
buahnya membunuh Suji Angkara dengan cara dibenamkan
ke kolam. Ki Banaspati juga tidak melihat kendati hanya
sebelah mata, ketika mendengar Ki Joglo tewas dengan
leher hampir putus, padahal orang itu adalah anak buah
yang amat dipercayanya dan padahal kematian orang itu
karena berupaya melaksanakan perintahnya.
"Betulkah seorang calon raja yang bercita-cita ingin
membela rakyat dan ingin mengembalikan kejayaan
Pajajaran harus memiliki watak keras dan tega melihat
kematian?" pikir Ginggi lagi.
Lantas pemuda ini menerawang ke arah Prabu Ratu
Sakti, Raja Pajajaran yang tengah berkuasa sekarang.
Khabarnya raja ini selalu menyinggung perasaan rakyat
karena tindakan-tindakannya yang keras, kurang bijaksana
dan selalu doyan perempuan. Bila Ki Banaspati punya cita-
cita ingin meruntuhkan kekuasaan Sang Prabu Ratu Sakti
dan menggantikannya sebagai raja, apakah Ki Banaspati
sudah merasa bahwa dirinya jauh lebih baik dari raja
sekarang" Ginggi menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras
sepertinya dia hendak mengusir rasa penting yang
membebani benaknya. Banyak orang mengatakan bahwa Prabu Ratu Sakti
memerintah dengan sewenang-wenang. Tapi sudah hampir
tujuh tahun dia memimpin negara tanpa tergoyahkan.
Menurut Ki Darma, selama dia memerintah, kekacauan
terjadi di mana-mana dan berbagai pemberontakan pun
banyak meletus. Akan tetapi raja ini tetap sanggup bertahan
duduk di atas singgasananya. Sanggup bertahan dari
serangan pemberontak, bahkan berani memadamkannya,
hanya punya arti bahwa raja ini memiliki kekuatan dan
banyak dilindungi oleh pembantu-pembantu pandai. Kalau
dia masih dikelilingi orang-orang pandai, hanya
menandakan bahwa dia berwibawa dan dipercaya
aparatnya. Perlukah orang yang masih mendapatkan
kepercayaan diusir pergi dari percaturan kekuasaan"
(O-anikz-O) Jilid 08 Sekarang pikiran pemuda itu beralih kembali kepada
keberadaan Ki Banaspati. Orang ini keras kepala dan tinggi
hati dan perintahnya musti selalu ditaati. Selama Ginggi
tinggal di pusat pemerintahan Sagaraherang ini, dia melihat
orang-orang patuh terhadap Ki Banaspati. Mereka
sepertinya tak pernah punya rasa sakit hati atau
sebangsanya. Yang ada bahkan sebaliknya. Banyak anak
buah pasukan atau petugas jagabaya tinggal di
Sagaraherang dengan suka cita. Semakin dekat hubungan
orang-orang dengan Ki Banaspati atau Kandagalante Sunda
Sembawa, semakin nampak orang-orang itu ceria.
Di kompleks pusat pemerintahan Kandagalante ini,
hampir setiap malam ada semacam kegembiraan. Di kedai-
kedai tuak, jagabaya yang tidak sedang bertugas kerjanya
mencari hiburan. Kalau tak minum tuak sampai mabuk,
mereka menggelar judi, atau bercanda dengan perempuan-
perempuan yang berada di sana. Setiap malam, selalu saja
ada tawa ceria dari kaum perempuan dengan mulut terbuka
lebar, suara genit dan tindak-tanduk mengundang birahi.
Di wilayah Kandagalante Sunda Sembawa ini,
sepertinya semua orang punya kesenangan yang sama.
Hiburan malam yang sering ditampilkan adalah minuman
tuak, judi dan main perempuan. Ki Banaspati istrinya lebih
dari satu. Begitu juga Kandagalante Sunda Sembawa. Dan,
kebanyakan dari orang-orang Sagaraherang ini juga
memilih peranan sebagai suami yang punya istri lebih dari
satu. Orang-orang yang tinggal di pusat pemerintahan
Kandagalante ini sanggup menampilkan sebagai orang yang
memiliki kesenangan sempurna. Tak terjadi kejahatan di
sana. Yang kalah judi, pulang ke rumah dengan tubuh
gontai karena terlalu banyak tuak dan jauh dari perasaan
putus asa atau dendam. Sebaliknya yang menang judi bisa
bergembira dengan buih di mulut karena tuak juga. Dia
pulang ke rumah sambil gontai dan bersenandung tanpa
khawatir harta hasil judinya dirampas orang di tengah jalan.
Orang-orang yang tinggal di seputar pusat pemerintahan
Kandagalante ini semuanya mengabdi kepada Ki Sunda
Sembawa dan Ki Banaspati. Semua menjadi jagabaya atau
punggawa. Bertugas hanya menjaga keamanan wilayah
Sagaraherang atau mengawal perjalanan seba yang banyak
dikirim dari desa-desa seputarnya.
Sagaraherang, yaitu daerah kandagalante ini memang
sanggup menampilkan kehidupan rakyat yang makmur,
jauh dari gambaran rakyat tertindak karena kekeliruan raja.
Ini memang sungguh ajaib. Bagaimana mungkin di tengah-
tengah suasana penderitaan banyak orang, masyarakat
Sagaraherang bisa menampilkan sosok sejahtera"
"Ini berkat kepemimpinan Kandagalante Sunda
Sembawa yang dibimbing Ki Banaspati," tutur seorang
punggawa setia. Menurutnya, kendati pemimpin mereka
keras wataknya, namun tahu akan keperluan orang. Baik Ki
Banaspati maupun Ki Sunda Sembawa sehari-harinya
melakukan kehidupan royal. Mereka selalu makan
makanan enak dan senang macam-macam hiburan. Dan hal
yang sama juga diberikan ke semua orang. Artinya, kalau
para pemimpinnya mampu mendapatkan kegembiraan,
maka para anak buahnya pun mesti bisa mendapatkannya.
"Dari hasil mengabdi kepada kedua pemimpin ini, selain
kami mendapatkan jatah hasil bumi juga kami
mendapatkan penghargaan bulanan berupa uang logam,"
kata para jagabaya. Belakangan Ginggi baru menyadari, bahwa benda-benda
kepingan logam yang dia simpan di buntalan kain hasil
pemberian Kuwu Wado adalah logam bernama uang.
Benda itu bisa ditukarkan dengan barang-barang keperluan
di kedai atau di pasar, dari mulai tuak hingga beras, dari
mulai ikat kepala hingga baju dan terumpah. Bagaimana
cara menakar dan membandingkannya, Ginggi tak tahu.
Barang apa saja yang bisa ditukarkan dengan uang logam
yang dimiliki Ginggi, pemuda itu pun sendiri tidak pernah
tahu sebab tidak pernah menggunakannya. Selama sebulan
hidup di Sagaraherang, makan dan pakaian sudah
disediakan oleh Kandagalante Sunda Sembawa atas
perintah Ki Banaspati. Yang pemuda itu tahu, bahwa uang
logam yang dipunyainya berasal dari negri Campa, seperti
apa kata pemberinya, yaitu Ki Kuwu Wado.
Barangkali inilah kiat-kiat tokoh Sagaraherang. Agar
kewibawaannya tetap diakui, harus mampu memperhatikan
kesenangan dan keperluan hidup para pendukungnya. Dan
barangkali kiat Sang Ratu Sakti pun tak beda dengan itu.
Bahwa untuk mempertahankan keberadaannya, dia harus
bisa menyenangkan para pembantu dekatnya. Bahwa raja
itu tidak berhasil mensejahterakan rakyat banyak, itu hanya
perkara lain. Ketika Ginggi mengobrol dengan beberapa jagabaya
itulah dia mendapat kabar dai seorang jagabaya lain bahwa
dirinya dipanggil Kandagalante Sunda Sembawa.
Sudah hampir dua minggu sebetulnya Ki Banaspati
meninggalkan Sagaraherang. Kata orang-orang terdekatnya,
kerap kali Ki Banaspati memang pergi. Semua
kepergiannya karena tugas-tugas semata sebagai
utusanmuhara, yaitu menguruskan pajak-pajak. Bahkan
menurut mereka, Sagaraherang ini sebenarnya hanya
kampung halamannya saja, sedangkan tempatnya
"berkantor" adalah Pakuan.
"Barangkali Ki Banaspati selama dua minggu ini sedang
berada di Pakuan. Biasanya berselang dua tiga bulan beliau
baru kembali ke Sagalaherang," kata orang-orang
terdekatnya. Katanya perlu perjalanan empat hari dari Sagaraherang
ke Pakuan. Kandagalante Sunda Sembawa nampak sudah
menunggu di bale gede, duduk bersila sambil makan sirih.
Seperti biasa, Kandagalante Sunda Sembawa berpakaian
rapih, mewah dan gagah bila tengah berada di bale gede.
Dia memakai bendo citak kain batik dengan ornamen emas
murni di depannya. Bajunya bedahan sisi dengan enam
kancing logam mengkilap di sisinya. Dia juga berkain batik
corak turuk ata disamping memakai celana komprang
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beludru hitam dengan hiasan ornamen emas pula.
"Kau masuklah Ginggi!" kata Kandagalante memerintah.
Ginggi menanggalkan terompahnya, berjalan dengan
menggunakan sepasang lutut, bersila dan menyembah
takzim. "Adakah suatu keperluan yang membuat hamba
dipanggil ke sini, Juragan?" tanya Ginggi sudah bisa
berbasa-basi bicara halus.
Kandagalante manggut-manggut, bergembira melihat
pemuda itu sudah mulai punya peradaban seperti layaknya
masyarakat umum. "Sudah kulihat penampilanmu selama ini dan membuat
hatiku senang," kata Sunda Sembawa.
"Hamba juga gembira mendengar Juragan selalu
memperhatikan hamba," kata Ginggi lagi, kembali
menyembah takzim. "Memang selama ini aku perhatikan kau. Ternyata kau
orang baik. Tidak pernah berbuat keributan, padahal aku
dengar kau sering digoda orang. Kau juga tidak pernah
memperlihatkan kepandaianmu kepada sembarangan
orang, padahal menurut Ki Banaspati kepandaianmu tidak
terlalu jauh di bawah Ki Banaspati. Ini hanya menandakan
bahwa kau bukan orang sombong, kendati orang yang tak
berani sombong bisa juga pengecut," tutur Kandagalante
Sunda Sembawa sambil masih tetap mengunyah sirih.
Sejenak Ginggi menatap tajam Sunda Sembawa. Namun
kemudian dia ingat bahwa tak baik menatap pejabat dengan
kepala tegak dan mata tajam menyorot.
Kembali Ginggi menundukkan muka dan mata menatap
lantai kayu. "Aku katakan begitu, sebab orang yang tidak sombong
kendati punya kepandaian hanya memiliki arti takut
menghadapi segala macam tantangan. Kepandaian tanpa
diperlihatkan dengan kesombongan juga hanya
menandakan orang itu menjauhkan diri dari ambisi dan
keinginan untuk maju. Padahal sekarang ini di dunia
banyak tantangan hidup. Hanya yang berani
memperlihatkan kepandaian dia akan dihargai dan ditakuti.
Sedangkan bagi yang selalu menyembunyikannya, sepandai
apa pun dia, akan tetap dicemooh dan direndahkan orang,"
kata Ki Sunda Sembawa lagi.
Percakapan berhenti karena ada seorang wanita
beringsut menyodorkan penganan. Wanita itu berpakaian
sederhana saja. Mungkin hanya sekadar petugas dapur.
Namun Ginggi melihat wanita itu berparas cukup cantik.
Kandagalante ini pandai memilih wanita cantik. Kendati
hanya untuk pembantu di dapur, dia pilihkan berparas
cantik juga, pikir Ginggi.
"Hampir sebulan kau bekerja di sini, belum ada jenis
pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanmu. Oleh
jagabaya kau disuruh membelah kayu, padahal
kemampuanmu lebih dari itu. Aku juga lihat kau disuruh
mencuci pakaian di kali, atau mengambil air dengan
pikulan, padahal kau bukan pekerja kasar," kata Sunda
Sembawa. "Hamba tak pernah memilih-milih pekerjaan, Juragan.
Asal jenis pekerjaan itu bermanfaat, akan selalu hamba
kerjakan," kata Ginggi.
Sunda Sembawa mengangguk-angguk.
"Bagus kalau begitu," kata Sunda Sembawa tersenyum.
"Ki Banaspati dalam dua minggu ini sedang bertugas di
Pakuan. pertama dia menguruskan perkara pajak dan kedua
tentang penyelidikan. Kau disuruh ke Pakuan untuk
membantunya. Ini surat darinya untukmu!" Ki Sunda
menyodorkan seikat daun nipah yang diisi tulisan palawa,
Dengan hati-hati Ginggi menerima lembaran nipah yang
diikat benang kapas itu. Ditatapnya lama-lama. Dan
benaknya langsung teringat Ki Darma.
"Kau harus belajar membaca sebab kelak kepandaian
membaca akan amat diperlukan. Tapi hati-hati, jangan
perlihatkan kepandaian membacamu itu. Pada suatu saat-
saat tertentu, siasat kepura-puraan akan diperlukan sekali,"
kata Ki Darma di saat-saat melatih membaca kepada
pemuda itu. "Hamba tak pernah belajar membaca, Juragan," kata
Ginggi pada akhirnya. Sunda Sembawa segera mengambil daun nipah tersebut
dan segera membacanya. Tidak keras namun bisa didengar
pemuda itu. "Ginggi, kau cari Suji Angkara di Pakuan. Kau bunuh
dia!" demikian isi bacaan tersebut.
Ginggi sendiri sudah sejak tadi merasa terkejut dengan isi
surat itu. Tapi baru setelah Sunda Sembawa selesai
membacanya dia perlihatkan mimik terkejutnya itu.
"Mengapa hamba harus membunuh pemuda itu,
Juragan?" "Orang itu misterius. Dia mengaku anak Kuwu Suntara
dari Desa Cae, tapi nampaknya terlalu dekat berhubungan
dengan Pakuan. Entahlah, dengan siapa pemuda itu
mengadakan hubungan. Yang jelas, kalau dia
membocorkan kegiatan kita, bisa merugikan perjuangan
kita semua," kata Sunda Sembawa. "Ketika Suji Angkara
meninggalkan tempat ini secara diam-diam bersama empat
orang pembantunya, sudah ada petugas kita yang mencari
jejak pada esok harinya. Petugas kita menemukan
keterangan bahwa mereka bahwa mereka tidak kembali
pulang ke Cae, melainkan pergi ke arah barat. Kami
khawatir, mereka melanjutkan perjalanan ke Pakuan dan
melaporkan apa yang terjadi di sini," kata Sunda Sembawa.
"Begitu berbahayakah kegiatan di sini untuk Pakuan,
Juragan?" tanya Ginggi mencoba meneliti sikap Sunda
Sembawa. "Hm" Ini hanya kau yang boleh tahu. Bahwa kekuatan
pasukan di Sagaraherang dibelah dua. Satu bertindak
seolah-olah sebagai pasukan Kandagalante Sagaraherang
yang legal dan diketahui oleh fihak Pakuan. Tapi satunya
lagi pasukan khusus yang melakukan tugas-tugas khusus.
Tugas-tugas ini banyak macam ragamnya, termasuk di
antaranya menyamar sebagai perampok dan menjarah harta
pejabat atau saudagar yang mencari kekayaan tidak melalui
cara-cara yang benar. Kami jarah hartanya, kami himpun
untuk membangun kekuatan. Dan kelak, bila sang kekuatan
telah datang, Pakuan akan kurebut dan tahta kerajaan akan
kududuki. Ginggi, kau yang paling dahulu mendengarnya.
Akulah kelak yang akan menjadi raja di sana! Hahaha!"
Sunda Sembawa terbahak-bahak.
"Dan kedudukan Ki Banaspati di mana kelak?" tanya
Ginggi dengan penuh minat.
"Dialah yang paling berjasa memberi semangat padaku
untuk berjuang mencari keadilan. Maka bila perjuanganku
berhasil, dia akan menjadi penasihat utamaku di Pajajaran.
Hahaha!" Pemuda itu pun ikut tertawa namun dengan perasaan
lain di hatinya. Ternyata benar seperti apa kata Ki Darma tempo dulu.
Pajajaran sekarang telah tercerai-berai. Kalau pun masih
terdapat bentuk kesatuan, hanyalah kesatuan semu. Tidak
pula yang terjadi di sini, di Sagaraherang. Siapa yang
menyangka, persekutuan kuat antara Ki Banaspati dengan
Ki Sunda Sembawa sebetulnya pada akhirnya hanya untuk
mencoba membuka jalan masing-masing" Entahlah, siapa
di sini yang paling berperan. Apakah Sunda Sembawa yang
mengendalikan Ki Banaspati, atau Ki Banaspati sendiri
yang memanfaatkan keberadaan Sunda Sembawa. Entahlah
siapa di sini yang memanfaatkan siapa. Yang jelas, dari
mulut kedua orang ini telah keluar ucapan yang sama dan
kesemuanya disampaikan kepada Ginggi, bahwa masing-
masing mengaku sebagai calon raja yang berjuang
menggantikan penguasa yang sekarang!
Gila! (O-anikz-O) Berita Pembunuhan Pikiran Ginggi terus berputar menerka-nerka sambil
mimik wajah tetap tersenyum manis sebagaai tanda
gembira melihat khayalan Sunda Sembawa. Namun tawa
pemuda itu dibarengi kerutan dahi ketika dilihatnya ada
lelehan air mata di pipi lelaki gagah itu.
"Aku sedih dengan peristiwa ini. Aku sedih! Aku
sedih!!!" kata Sunda Sembawa menutupi wajahnya dengan
kedua belah tangannya. Sandiwarakah ini, pikir Ginggi.
"Ginggi, engkau harus tahu! Kendati tinggal jauh dari
Pakuan, sebenarnya aku paling mencintai Pakuan, sebab itu
adalah negri ayahandaku. Engkau pasti tahu Sang Prabu
Ratu Dewata. Dialah ayahandaku. Dan aku pulalah yang
seharusnya paling berhak mewarisi tahta kerajaan. Hanya
karena persekongkolan jahat saja yang menyebabkan aku
terlempar ke sini?" Sunda Sembawa menyumpah-
nyumpah marah tapi kemudian merunduk sedih. Kulit
putih di wajah bulat telur nampak pucat. Dan kesedihan ini
sungguh tak sesuai dengan kumis hitam tebal yang ada di
bawah hidungnya yang mancung itu.
Ki Sunda Sembawa menerawang ke arah beranda.
Menatap senja yang tengah menarik matahari menyuruk
bumi. Langit merah dibayangi rimbunan pohon nun jauh di
sana. Ada ribuan kalong melintas di atasnya, mencari
makan entah kemana. "Aku ini dibiarkan seperti kalong-kalong itu. Mau pergi,
mau tinggal, terserah kamu. Begitu mungkin mereka
padaku. Mereka tak sengaja membuangku. Tapi
membiarkan aku terbuang. Tapi memang itulah hukuman
bagi orang yang tak mempunyai ambisi dan kesombongan.
Kau dengar itu Ginggi!" kata Sunda Sembawa berpaling
menatap wajah yang bersimpuh di depannya.
"Kata orang, anak dari istri tertua Sang Prabu Ratu
Dewata ini mewarisi tabiat ayahandanya. Suka menyepi di
kuil bersama para wiku dan bersahabat dengan dupa dan
kemenyan. Katanya aku sungguh tepat untuk bertindak
sebagai Purohita, pendeta tertinggi di keraton. Tapi kata
mereka juga, negara sedang ada dalam bahaya peperangan.
Baik peperangan melawan musuh dari luar, mau pun
musuh dari dalam negri sendiri. Dan mereka berkilah, di
saat situasi seperti itu, bukan Purohita yang sanggup
mengembalikan kejayaan negara, melainkan seorang
pemimpin berhati besi bercita-cita baja. Dan kilah mereka,
Sang Ratu Sakti amat memenuhi syarat mengemban itu
semua. Ya, dia adikku lain ibu. Sejak masih remaja dia laki-
laki romantis, menyenangi keindahan dan kemolekan
wanita. Akan tetapi dia juga keras dan ambisius. Dan
memang dia berhasil tampil di saat yang tepat. Hanya orang
yang ambisius, keras dan banyak omong yang akan dipilih
dalam suasana genting. Orang yang tak pernah
menampilkan kepandaian akan tersisih. Itulah aku. Itulah
kebodohanku masa lalu. Hanya karena aku tak mau disebut
sombong, hanya karena aku menghargai sikap ayahanda
yang senang menyepi dan membaca kitab serta mendalami
filsafat, maka aku pun menyesuaikan diri. Tapi tentu, bukan
berarti aku tak bisa memimpin negara. Bukan berarti aku
tak bisa melawan musuh dengan keras dan gagah. Ya,
itulah kesalahanku masa lalu. Aku tak suka penonjolan dan
kesombongan diri. Sayangnya, sikap-sikapku dianggap tak
memiliki kekuatan. Sekarang malah terbukti, bahwa
memilih orang keras seperti Ratu Sakti hanya akan
membuat kekeliruan saja. Negara semakin kacau.
Pemberontakan terjadi di sana-sini hanya karena tak senang
dengan cara kerja ratu sekarang. Amat beruntung, bahwa
Pangeran Fadillah dari Cirebon dan Sultan Hasanudin dari
Banten perhatiannya sedang tertumpu melawan Pasuruan
dan Panarukan. Kalau tak begitu nasib Pakuan benar-benar
di ujung tanduk. Pakuan tak akan memiliki kekuatan berarti
bila terjadi penyerbuan total dari Banten dan Cirebon," kata
Sunda Sembawa. Lelaki gagah ini kemudian berdiri dari duduknya.
Melangkah mendekati beranda dan mematung di sana
sambil menggandong tangan di belakang.
"Beruntung aku punya pembantu yang bisa diandalkan.
Ki Banaspati orang yang pandai mencari celah-celah
keuntungan. Ilmunya tinggi dan gagasan-gagasannya
banyak. Tetapi yang lebih beruntung dari itu, dia sanggup
memilah-milah, di mana keadilan harus ditempatkan.
Bayangkan Ginggi, sekarang Ki Banaspati menjadi
pembantu muhara urusan pajak yang dipimpin Bangsawan
Soka. Kalau dia penjilat, seharusnya dia mendekati
Bangsawan Soka yang begitu berkuasa mengatur kekayaan
negara. Tetapi Ki Banaspati lebih menitikberatkan
memperjuangkan keadilan ketimbang kekayaan dan
kemuliaan. Kalau tak begitu, tak nanti dia mau
mendukungku. Cobalah, aku yang terbuang hanya sebagai
Kandagalante Sagaraherang, tapi dia hargai, dia bangkitkan
semangatku. Dia kobarkan cita-citaku. Dialah yang
memberi dorongan agar aku menghimpun kekuatan dan
kelak harus kugunakan untuk merebut tahta kerajaan. Aku
pernah menolak sebab ini kejahatan. Tapi Ki Banaspari
berkata, akan lebih jahat lagi kalau kita membiarkan rakyat
menderita oleh tekanan yang keras dan orang yang
ambisius. Kata Ki Banaspati, kita merebut tahta bukan
untuk diri pribadi tapi untuk rakyat. Jangan biarkan
Pajajaran dipimpin oleh kekeliruan. Dan Ki Banaspati
mendorongku untuk mengusir sikap-sikap keliru dan
menggantinya dengan sikap bijaksana. Ki Banaspatilah
yang mengobarkan semangatku. Ki Banaspatilah yang
memberiku kepercayaan diri. Dan Ki Banaspati pulalah
yang mengerjakan segalanya agar kepercayaanku timbul. Ki
Banaspati pandai membuat reka perdaya, untuk menyusun
kekuatan, Ki Banaspati mengusulkan kepada Pakuan agar
Kandagalante yang jauh dari pusat pemerintahan diberi
wewenang menambah pasukan guna mempertahankannya
dari serangan dan pengaruh musuh. Usul ini diterima dan
dianggap wajar. Disangkanya, kita membangun pasukan
untuk membantu mereka, padahal akan kita gunakan
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebaliknya. Sudah ada beberapa Kandagalante yang faham
dengan cita-cita kita dan sama-sama menghimpun
kekuatan. Dan Ki Banaspati terus berjuang mencari
pengaruh sekaligus mempengaruhi kandagalante lainnya.
Semuanya akan menghimpun kekuatan dan semuanya
bersatu untuk mengembalikan kejayaan masa lalu
Pajajaran. Dan sekali lagi, engkau harus tahu Ginggi,
akulah yang akan menjadi ratunya!" kata Sunda Sembawa
tersenyum renyah. Dipandangnya lagi langit merah di ufuk
barat. Ditatapnya lagi puluhan atau ratusan atau bahkan
ribuan kalong yang keluar dari sarangnya itu. Nampak
Sunda Sembawa menyunging senyum penuh arti.
Beberapa lama dia menatap tajam ke arah tenggelamnya
matahari. Tersenyum lagi sendirian. Sesudah itu baru dia
mengalihkan tatapnya kepada Ginggi.
"Aku hanya tahu, kau dibawa kesini oleh Ki Banaspati.
Karena Ki Banaspati mempercayaimu, maka aku pun
percaya padamu. Oleh sebab itu kerjakanlah apa yang
menjadi tanggungjawabmu kini ," katanya.
"Membunuh Suji Angkara?" tanya Ginggi.
Ki Sunda Sembawa memalingkan muka dan berdesis,
"Ya!" katanya. Ginggi menyembah takzim. "Akan hamba cari Suji
Angkara!" katanya. "Bagus!" desis Sunda Sembawa lagi.
Ya, hanya akan kucari saja sebab tak ada alasan untuk
membunuhnya, kata pemuda itu di dalam hatinya. Namun
mencari Suji Angkara pun Ginggi merasa perlu. Kalau
memang pemuda itu berangkat ke Pakuan, akan lebih
menarik perhatian dirinya, sebab Suji Angkara benar-benar
kumplit menjadi orang yang misterius. Keterangan pertama
yang didapatnya di Desa Cae, pemuda itu hanya dikenal
sebagai anak Kuwu Suntara yang pulang ke desa empat
bulan sekali sambil membawa kekayaan melimpah karena
berdagang dengan bangsa asing. Belakangan didengar kabar
lagi bahwa pemuda tampan berpakaian mewah ini pun
menjadi pembantu Ki Banaspati sebagai pengurus pajak
negara. Tapi terbukti, hubungan keduanya tidak benar-
benar erat. Kalau tak begitu tak mungkin mereka saling
bercuriga dan saling menuduh. Upaya pembunuhan yang
dilakukan Ki Banaspati terhadap pemuda angkuh itu hanya
menandakan bahwa Ki Banaspati telah menganggap
pemuda itu membahayakan gerakannya.
Sekarang kecurigaan kian bertambah sesudah ada
dugaan Suji Angkara menuju Pakuan. Kalau benar pemuda
itu menuju Pakuan, hanya punya arti dia memiliki
hubungan dengan orang Pakuan.
Itu menarik untuk disimak, pikir Ginggi.
(O-ani-kz-O) Ginggi tak menunggu kepulangan Ki Banaspati ke
Sagaraherang. Apalagi surat di daun nipah untuknya hanya
mengatakan bahwa dia harus mencari Suji Angkara ke
Pakuan dan membunuh pemuda itu.
Maka sesudah dibekali pakaian baru dan uang cukup
banyak, Ginggi segera pergi meninggalkan tempat itu. Dia
menolak untuk ditemani satu atau dua orang pandai,
dengan alasan penyelidikan secara diam-diam hanya bisa
dilakukan seorang diri. Ginggi pun menolak ketika akan
dibekali seekor kuda Sumba yang tinggi besar dengan
alasan naik kuda gagah hanya akan menarik perhatian
orang belaka. "Melakukan perjalanan dengan berjalan kaki akan
terkesan sebagai orang kebanyakan dan tak akan menarik
perhatian siapa pun," kata pemuda itu.
Alasan-alasan ini dapat diterima oleh Ki Sunda
Sembawa dan dia mengabulkan permintaan pemuda itu.
"Yang penting kau pulang dengan membawa
keberhasilan," kata Sunda Sembawa. Ginggi mengangguk
pasti. Menurut petunjuk, Ginggi perlu waktu dua hari untuk
menuju wilayah Kandagalante Tanjungpura, sebuah
wilayah yang boleh dikata bersinggungan dengan batas
utara. Kata Sunda Sembawa, Ginggi harus lebih hati-hati
memasuki wilayah ini. Pengaruh dari kerajaan agama baru
cukup kuat di sini. Ini karena Pasukan Cirebon yang telah
menguasai Pelabuhan Kalapa (Sunda Kalapa) kerapkali
lewat ke wilayah Tanjungpura untuk menuju Kalapa atau
sebaliknya bila kembali ke Cirebon.
"Banyak juga di antara anggota Pasukan Cirebon tercecer
tinggal di beberapa kampung wilayah Tanjungpura dan
bahkan beristrikan wanita-wanita di sana," kata Sunda
Sembawa. Ginggi tersenyum mendengar penjelasan ini. Jadi benar
kata Ki Darma, rakyat sebetulnya tak mau tahu urusan
politik. Hanya apa kata pemerintah saja orang-orang dari
negara agama baru itu merupakan musuh, sedangkan
rakyat sendiri tidak. Buktinya, mereka tidak
memisah-misahkan arti agama. Orang Pajajaran secara
alamiah bisa bersatu dengan orang-orang Cirebon
membentuk sebuah keluarga.
Namun di lain fihak, pemuda itu pun membenarkan bila
ada orang Pajajaran yang berusaha ingin mempertahankan
negaranya. Seperti apa kata Sang Prabu Sri Baduga
Maharaja yang pernah disampaikan melalui mulut Rama
Dongdo dan Ki Banen serta Ki Ogel, bahwa Pajajaran tidak
memusuhi agama baru. Namun tentu saja yang dimaksud
di sini sambil Kerajaan Pajajaran tetap diakui oleh siapa
pun. Perjalanan memang dilakukan dua hari untuk mencapai
Tanjungpura. Tidak terlalu sulit sebab tak ada bukit apalagi
ngarai. Hanya saja perjalanan banyak dilakukan melalui
hutan jati yang udaranya terasa panas.
Ginggi memasuki wilayah Kandagalante Tanjungpura
sesudah matahari condong ke barat. Dia segera menuju
kediaman kepala jagabaya dan mengaku sebagai
pengembara yang ingin menumpang tidur di wilayah
Kandagalante ini. Namun kepala jagabaya tak seramah dugaannya. Lelaki
gemuk dengan baju kampret dibiarkan terbuka ini
melihatnya dengan pandangan selidik dan penuh curiga.
"Aku tak begitu saja membiarkan orang asing memasuki
Tanjungpura ini. Sudah dua kali kami menerima kehadiran
pengembara. Dan sudah dua kali itu pula kami mengalami
kejadian yang tidak mengenakkan!" tutur kepala jagabaya
yang diketahui Ginggi bernama Ki Aliman.
"Ada terjadi dua kematian bersamaan dengan kehadiran
dua pendatang asing," tutur kepala jagabaya.
"Pembunuhan?" "Tidak. Kedua penduduk kami mati bunuh diri!"
"Ada penduduk mati bunuh diri, mengapa pendatang
asing yang disalahkan?" tanya Ginggi.
Kepala jagabaya bernama Aliman ini tak bisa
mengemukakan alasan dengan segera. Dia nampak hanya
memilin-milin ujung kumisnya yang tebal saja. "Aku juga
tak punya alasan tepat, mengapa harus begitu. Kecurigaan
kami terhadap orang asing, hanya karena peristiwa itu
terjadi selalu secara bersamaan," katanya.
Hampir sebulan lalu, ke Tanjungpura datang empat
orang asing. Mereka bertamu ke Juragan Ilun Rosa.
"Tapi malam sebelum kepergian mereka, anak gadis
Juragan Ilun mati bunuh diri," kata Ki Aliman.
Ginggi hanya mendengarkan saja tanpa berniat
memotong omongan jagabaya ini.
"Itu terjadi sebulan yang lalu," kata Ki Aliman, "Tiga
hari lalu ada lagi pendatang asing dan mengaku
pengembara. Sifatnya kasar dan berlaku seenaknya. Dia
main perempuan di rumah tuak sampai jauh malam. Di
tengah malam buta anak seorang perempuan penghibur,
yaitu gadis kecil berusia belasan tahun meraung dan
menjerit ngeri. Ketika orang-orang mendobrak kamarnya,
didapatnya si gadis kecil itu sudah mati berlumuran darah."
"Lantas, apa hubungannya dengan kehadiran orang
asing itu" Apakah karena kematian kedua orang gadis
bersamaan waktunya dengan kehadiran mereka semata?"
tanya Ginggi. "Tidak ada bukti mereka terlibat urusan bunuh diri. Tapi
kedua gadis yang nekad bunuh diri semuanya karena
merasa aib kehormatan dirinya terganggu," kata Ki Aliman
sambil mengucapkan sumpah serapah.
"Paman bercuriga para pendatang itu yang melakukan
kejahatan berahi?" tanya Ginggi.
"Sulit aku bicara tanpa bukti. Tapi selama aku hidup di
Tanjungpura, aku kenal tabiat lelaki di sini. Mereka
memang senang minum tuak dan bercanda dengan
perempuan penghibur. Tapi kendati begitu, pantang untuk
lelaki di sini melakukan tindakan seperti itu. Untuk
menghadapi kaum wanita, lelaki Tanjungpura tidak
bertindak pengecut. Kalau kami menyenangi seseorang
wanita, kami datangi dan kami bicara terus-terang.
Mungkin ada di antara kami yang merayu bahkan
memaksa. Tapi itu tetap dilakukan dengan terang-terangan
tidak main sembunyi. Banyak perkelahian sesama lelaki
karena memperebutkan wanita. Tapi dalam
mendapatkannya, tetap saja dilakukan secara ksatria," kata
Ki Aliman. Ginggi hanya tersenyum mendengar kepala
jagabaya ini memuji-muji kaum lelaki di wilayahnya.
"Apakah menurutmu orang asing yang memasuki
wilayah Tanjungpura hanya mereka saja?"
"Tanjungpura ini wilayah yang ramai dikunjungi orang
setiap saat. Bahkan orang-orang dari agama baru suka lewat
dan bermalam di sini," kata Ki Aliman.
"Nah, mengapa kalian tak mencurigai kehadiran mereka
juga?" tanya Ginggi.
"Kepada mereka kami tidak mencurigainya. Agama
mereka keras terhadap dosa yang melibatkan
penyelewengan berahi. Jangankan melakukan pemaksaan
berahi, berkencan di rumah tuak dengan perempuan
penghibur yang sifatnya suka sama suka saja, mereka
menganggapnya sebuah dosa besar," kata Ki Aliman.
"Engkau pengikut agama baru, Paman?" tanya Ginggi.
"Tidak. Aku pemeluk agama lama!"
"Dan pendatang yang paman curigai itu, apakah juga
pemeluk agama lama?"
"Ya, kurasa demikian. Pemeluk agama baru mudah
dilihat, sebab hampir setiap saat mereka melakukan
sembahyang menghadap ke barat, sedangkan pemeluk
agama lama tidak. Para pendatang yang kami lihat
sepertinya bukan pemeluk agama baru," kata Ki Aliman.
"Kalau mereka juga pemeluk agama lama yang sama
seperti yang dipeluk Paman, apakah kalian akan curiga juga
pada mereka?" tanya Ginggi.
"Kenapa kau tanya begitu?" tanya Ki Aliman.
"Sebab ada terkesan, agama kalian membenarkan adanya
kejahatan berahi!" Ki Aliman matanya melotot marah kepada Ginggi yang
dianggapnya mengajukan pertanyaan sembrono.
"Engkau jangan merendahkan agamaku! Dalam
agamaku juga ada peraturan untuk memelihara tindak-
tanduk agar tak terjerumus dalam dosa. Mahayu dora
sepuluh adalah memelihara dan berusaha memperoleh
kebajikan dari gerbang yang sepuluh. Salah satu di
antaranya menyebutkan bahwa manusia diharuskan
menjaga dan memelihara baga purusa (baga=kelamin
wanita, purusa=kelamin laki-laki )," kata Ki Aliman.
"Kalau begitu, kau tak adil mencurigai orang-orang
pemeluk agama lama melakukan kejahatan, sebab agama
apa pun sebetulnya tetap melarang orang berbuat jahat,"
tutur Ginggi. Ki Aliman memerah wajahnya. "Aku mungkin keliru.
Atau, aku sebenarnya tak menyebutkan bahwa aku
bercuriga kepada orang-orang selain pemeluk agama
baru?" kata Ki Aliman terbata-bata.
Ginggi kembali tersenyum.
"Tapi kita memang salah. Dalam hal ini seharusnya kita
tak memperbincangkan perihal agama. Mereka melakukan
kejahatan tidak mengatasnamakan agama. Yang penting,
Paman, sebagai kepala jagabaya harus berusaha menjaga
dan kalau mungkin menangkap penjahatnya, kalau
memang kedua gadis yang bunuh diri itu karena kejahatan
berahi," kata Ginggi pada akhirnya.
Ki Aliman mengangguk-angguk tanda setuju dengan
ucapan pemuda itu. "Hai, engkau mau kemana anak muda?" tanya Ki
Aliman, heran melihat Ginggi seperti mau berlalu dan
nampaknya akan keluar melalui pintu lawang kori yang
akan segera ditutup karena hari telah kelam.
"Aku akan melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan
berjalan kaki di malam hari tidak menemukan gangguan
berarti di tengah jalan," kata Ginggi dan kembali akan
berlalu meninggalkan tempat itu.
"Bukankah engkau akan menumpang tidur di sini?"
"Bukankah Paman tadi melarang orang asing
menumpang tidur di sini?" Ginggi balik bertanya.
Ki Aliman tersenyum. "Aku tak membuat peraturan kaku. Asalkan aku yakin
orang itu tak melakukan kejahatan, aku izinkan siapa pun
masuk. Dan kau nampaknya bukan orang jahat, anak
muda," kata Ki Aliman.
Ginggi tersenyum dibuatnya. Selama beberapa bulan
banyak bergaul dengan orang-orang, Ginggi pun sudah tahu
bagaimana tata caranya, termasuk dalam bertutur kata.
Dengan nada bicara yang teratur serta dibumbui basa-basi
sopan-santun ternyata sanggup menggoda orang lain untuk
langsung menilai dirinya sebagai orang baik. Padahal
sampai saat ini pemuda itu tetap beranggapan bahwa nilai
seseorang bukan terletak pada tindak-tanduknya atau pun
tutur-sapanya. Sebab tabiat sebenar-benarnya hanya ada di
lubuk hatinya. Mungkin juga orang bertutur-sapa dan
bertindak-tanduk sopan karena begitu yang ada di dalam
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hatinya, tapi mungkin juga tidak. Sekarang, Ki Aliman
langsung mengubah kecurigaan menjadi kepercayaan
terhadapnya hanya karena Ginggi sanggup bicara sopan.
Mungkingkah aku orang baik" Tak seorang pun tahu,
tidak juga aku, pikirnya. Sampai detik ini Ginggi memang
tak sanggup menilai dirinya sendiri. Mungkin saja dia
mengaku orang baik karena selama ini dia benci
pembunuhan. Tapi sekali waktu dia mengatakan dirinya
orang jahat kalau mengingat peristiwa aib yang
dilakukannya bersama Nyi Santimi di hutan Desa Cae
beberapa waktu lalu. Dia sembrono menuding orang lain
jahat karena melakukan pemerkosaan terhadap wanita
lemah. Padahal dia sendiri tak ubahnya dengan pemerkosa.
Si pemerkosa melakukan nafsu berahinya dengan jalan
paksa sementara dirinya melakukannya dengan alasan suka
sama suka. Tapi baik berahi yang dilakukan dengan cara
paksa mau pun suka sama suka, bila segalanya
dilaksanakan berdasarkan naluri nafsu, Ginggi
menganggapnya sebagai tindak kejahatan juga.
"Aku juga penjahat berahi," umpatnya sambil menggetok
ubun-ubunnya sendiri. "Hai, kau pukul kepalamu sendiri, anak muda?" Ki
Aliman terheran-heran dibuatnya.
Dan pemuda itu tertawa terkekeh-kekeh setelah sadar
apa yang dilakukannya. "Saking gembiranya dipercaya olehmu, Paman," kata
Ginggi. "Jadi, bolehkah aku menginap semalam di
wilayahmu?" tanyanya lagi.
Kepala jagabaya itu mengangguk dan Ginggi
mengucapkan terima kasih untuk yang kesekian kalinya.
"Ya, engkau boleh menumpang bermalam di wilayah ini.
Carilah kedai yang cukup besar. Biasanya mereka
menerima pengembara yang kemalaman, asalkan keperluan
makan dan minum, kau beli di sana," kata Ki Aliman.
Obrolan di Kedai Ketika kepala jagabaya itu
mempersilakan Ginggi mencari tempat menginap, hari
sudah berangkat senja. Ada terdengar suara kentongan
ditabuh dengan penuh irama, kemudian disambut pukulan
beduk. Sayup-sayup pemuda itu pun mendengar ada suara
lantunan merdu mendayu-dayu tapi dengan bahasa yang
tak dimengerti olehnya. Namun kendati begitu, Ginggi
sudah mengenalnya. Itulah seruan panggilan sembahyang
bagi orang-orang yang telah memeluk agama baru. Ginggi
hafal benar, lantunan merdu seperti itu terjadi lima kali
dalam sehari semalam. Ada beberapa orang bergegas pergi ketika mendengar
panggilan merdu itu. Namun kebanyakan orang tak acuh
mendengarnya. Kalau pun ada yang bergegas ke rumahnya
masing-masing, itu karena hari sudah mulai gelap saja. Ini
semua hanya menandakan bahwa kendati agama baru
sudah merasuk ke Tanjungpura, namun penduduk asli
sebagian besar masih memeluk agama lama.
Sambil berjalan mencari kedai yang cukup besar, Ginggi
beberapa kali menjumpai bangunan pura yang diletakkan di
halaman rumah. Bau dupa terasa tajam semerbak melalui
asap tipis mengelun dari anglo kecil. Sedangkan suara
lantunan panggilan sembahyang dari agama baru terdengar
sayup-sayup jauh di sudut perkampungan.
Akhirnya sebuah kedai cukup besar ditemukan juga, dan
pemuda itu masuk ke sana, disambut pemiliknya sambil
mempersilakan duduk dan secara beruntun langsung
menanyakan dan menawarkan beberapa jenis makanan
yang sekiranya Ginggi akan tertarik untuk memesannya.
Ginggi sejenak berkeliling meneliti ruangan kedai itu.
Ada bangku dan meja panjang tempat orang makan-makan.
Namun di ruangan tengah, ada dipan bambu amat luas.
Mungkin tempat orang makan sambil duduk bersila, atau
juga tempat orang numpang menginap.
Belum ada pengunjung yang datang, kecuali seorang
gadis kecil barangkali anak pemilik kedai, tengah
menyalakan beberapa lampu teplok di sudut-sudut ruangan
kedai. "Saya mau makan di sini tapi sekalian juga menumpang
tidur barang semalam," kata Ginggi mencoba mendayu-
dayukan suara sopan dan halus. Tapi si pemilik kedai
berpakaian kampret putih dengan kain sarung diikatkan di
pinggangnya hanya menatap penuh selidik. Gadis kecil
yang tengah menyalakan lampu pun sejenak menghentikan
tugasnya untuk ikut menatap wajah pemuda itu.
Ditatap oleh kedua orang itu dengan penuh selidik,
membuat Ginggi jadi kikuk. Dia menggosok-gosok ujung
hidungnya beberapa kali seolah-olah di sana ada asap
belanga mengotorinya. Dia juga menepis-nepiskan ujung
tangannya ke arah pakaiannya, kalau-kalau debu jalanan
membuat pakaiannya dekil. Namun pemuda itu akhirnya
yakin, kedua orang itu menatapnya bukan karena kondisi
tubuhnya yang dianggap kotor.
"Engkau orang asing. Kami takut dengan orang asing,"
gumam pemilik warung bertubuh pendek kurus ini,
menatap pada anaknya. "Saya sudah mendapatkan izin kepala jagabaya Aliman,"
kata Ginggi. "Betulkah?" "Untuk apa berbohong. Kami bahkan mengobrol lama.
Dan saya tahu, apa penyebab kalian takut terhadap orang
asing. Karena di sini ada kejadian yang tak kalian sukai
bukan?" kata Ginggi lagi. Pemilik kedai itu mengangguk.
"Ya, dua malam lalu ada gadis terbunuh. Katanya bunuh
diri. Tapi banyak orang mengatakan, gadis anak perempuan
penghibur itu bunuh diri setelah kegadisannya dirambah
manusia laknat tak bertanggung jawab!" kata pemilik
warung marah dan kesal. Dia mendengus dan melotot ke
arah Ginggi. Sesudah itu gadis kecil itu pergi dengan
tergesa-gesa. "Lihatlah, karena peristiwa-peristiwa yang menyangkut
mereka, banyak anak gadis tak suka dan selalu bercuriga
terhadap kaum pendatang. Lihatlah kesan anakku
kepadamu barusan. Dia sangka setiap laki-laki yang
pendatang gemar melakukan kejahatan berahi," kata
pemilik warung menuding dengan hidungnya ke arah mana
gadis itu berlalu. "Kalau saya tahu, akan saya kejar penjahat itu!" kata
Ginggi. "Semua orang juga berkata begitu. Tapi siapa yang bisa
menduga hati orang. Mulutnya berkata begitu, padahal
mungkin hatinya berkata lain," kata pemilik kedai seperti
menyindir. "Ya, memang bisa juga begitu. Tapi aku berkata menurut
apa kata hatiku. Lihat saja nanti, kalau ada terdengar
peristiwa macam itu lagi, aku pasti turun tangan," kata
Ginggi menegaskan. Si pemilik warung tidak mengiyakan
tapi juga tidak menentang perkataan pemuda itu.
Dan karena sudah mendapatkan izin kepala jagabaya,
pemilik kedai pun akhirnya mengizinkan Ginggi
menumpang tidur. "Tapi tentu dengan beberapa persyaratan. Di antaranya
saja engkau tidak boleh berbuat onar, termasuk minum
tuak." "Saya tidak mau minum tuak," jawab Ginggi.
"Ya, bagus!" sambut pemilik kedai.
Dua hari melakukan perjalanan, pemuda ini tidak
mandi. Oleh sebab itulah pertama yang diburunya di tempat
pondokannya adalah jamban untuk mandi. Pakaian yang
barusan ditanggalkan sudah demikian dekil dan langsung
saja dia cuci bersih. Sekarang Ginggi perlu menggantinya dengan bekal
pakaian yang didapatnya dari Kandagalante Sunda
Sembawa. Ada sekitar tiga stel pakaian yang didapat di
dalam buntalannya. Tapi amboi, mana yang harus dia
kenakan sebab ketiga stel pakaian itu semuanya terbuat dari
bahan mewah. Ginggi sudah mengenal beberapa jenis kain, mana
buatan Pajajaran dan mana yang didatangkan dari negri
sebrang atau pun negri-negri jauh. Dan ketiga stel pakaian
itu semuanya dibuat dari bahan-bahan pilihan hasil
pertukaran dengan negri jauh.
Jenis pakaiannya masih berupa kampret juga. Tapi
kainnya tipis halus dan mengkilat. Kalau kena cahaya
lentera, kain baju itu memantulkan kembali cahayanya dan
warna biru tuanya semakin indah.
Pemuda itu bingung memikirkan jenis pakaiannya ini.
Ginggi suka melihat jenis pakaian halus mengkilat ini ketika
para remaja anak-anak golongan santana (kalangan
menengah, saudagar dan pedagang) memakainya ketika
mereka berjalan-jalan menghirup udara sore atau bila
mereka bercanda bersama kaum remaja putri. Hanya anak-
anak orang kaya dan yang berjiwa pesolek saja yang gemar
memakai pakaian halus dengan warna mencolok seperti ini.
Ketiga pakaian di buntalan itu indah-indah belaka.
Barusan yang dipegangnya adalah kampret warna biru tua.
Dua lagi berwarna kuning dan merah darah, amat
mencolok. Ketiganya aku tak suka, pikirnya. Tapi kalau dia
tak gunakan, habis mau pakai yang mana"
Terdesak oleh keadaan, akhirnya pemuda itu terpaksa
memilih salah satu pakaian. Dipilihnya warna biru tua. Ikat
kepalanya pun berwarna sama hanya saja terbuat dari jenis
kain yang agak tebal walau pun masih sama halus.
Ketika pemuda itu selesai berdandan dan mulai masuk
ke kedai, si pemilik kedai melongo heran. Anak gadisnya
pun hampir-hampir tak berkedip menatapnya.
Menerima tatapan demikian tajam dari mereka, kembali
Ginggi meraba hidungnya dan menepis-nepis pakaiannya.
"Pakaianku sudah tak kotor dan badanku pun sudah tak
dekil. Tapi mengapa kalian masih menatapku seperti itu?"
tanyanya heran. Si gadis kecil tersipu-sipu ditegur demikian. Ayahnya
yang kurus dan kecil pun malah nampak membungkukkan
badan dengan penuh hormat.
"Saya tak menyangka Raden berkenan singgah di kedai
reyot macam begini ?" kata pemilik kedai masih
membungkuk-bungkuk. Senyum hambar bergayut di bibir pemuda itu. Ternyata
penyakit manusia tak pernah sirna, pikirnya. Selama Ginggi
turun gunung dan mengenal tipe-tipe manusia, selalu ada
kesamaan, bahwa orang cenderung melihat sesamanya
hanya dari luar belaka. Mulut manis dan pakaian bagus
akan selalu disambut hangat dan ramah. Padahal tadi
sebelum mandi dan berpakaian dekil dengan jenis kasar,
orang-orang ini melirik dengan sebelah mata.
"Seharusnya Raden memilih tempat peristirahatan yang
lebih bagus. Barangkali Kuwu Marsonah atau bahkan
Juragan Ilun Rosa pun akan berkenan menerima kehadiran
Raden," kata pemilik kedai hormat.
"Aku mungkin akan bertamu kepada mereka. Tapi untuk
menumpang tidur, aku memilih di sini saja," kata Ginggi.
Dan karena sudah terlanjur mendapatkan penghormatan,
akhirnya Ginggi pun tak ragu-ragu untuk meminta
pelayanan mereka. "Aku sekarang lapar. Coba sediakan makanan yang
paling enak. Kau juga gadis kecil, ambilkan aku minuman
yang sekiranya bisa menyegarkan tubuhku," kata pemuda
itu yang segera memilih tempat duduk agak di sudut.
Pemilik kedai tergopoh-gopoh mempersiapkan berbagai
penganan. Si gadis kecil disuruhnya menghangatkan lauk-
pauk yang ada di kedai itu.
Ginggi bersenandung kecil merasakan nikmatnya
dilayani orang. Sambil senyum simpul dia menyaksikan
anak beranak sibuk kesana-kemari menyiapkan makanan.
Ada yang membawa baki kayu, ada juga mengambil piring
terbuat dari tanah liat. Ginggi menghitung, ada tiga orang
lagi yang bekerja di kedai besar itu. Mereka laki-laki
setengah baya semua. Oh, tidak! Ternyata masih ada seorang lagi pekerja
kedai. Dan yang ini jelas gadis muda. Usianya barangkali
dua atau tiga tahun di atas gadis kecil tadi. Gadis ini tidak
tergopoh-gopoh. Dia melangkah biasa saja. Tapi Ginggi
tahu, gadis itu datang untuk menghampiri dan
melayaninya, sebab dia datang mendekat membawa baki
yang di atasnya terdapat poci dan cangkir.
Gadis itu tepat berdiri di samping Ginggi sehingga
pemuda itu bisa melihat wajahnya dari sudut matanya.
Walau pun hanya terbatas dari samping tapi pemuda itu
dapat menduga, gadis ini pasti anak pemilik kedai. Ginggi
menduga demikian karena raut wajah gadis ini hampir
serupa dengan gadis kecil yang lebih dahulu sudah
dikenalnya. Ginggi merasa kurang puas hanya menatap raut wajah
gadis itu melalui sudut matanya. Dan rasa penasaran ini tak
dapat ditahannya. Dia segera berpaling untuk bisa menatap
langsung wajah gadis itu. Hanya sekejap saja menatap raut
wajah itu secara utuh sebab gadis itu segera memalingkan
wajah dengan mulut cemberut. Selesai meletakkan poci dan
cangkir, gadis itu berlalu tanpa menoleh lagi barang sedikit,
seolah-olah di sana tak ada orang. Atau seolah-olah gadis
itu bukan melayani pengunjung, melainkan hanya
menyimpan begitu saja poci dan cangkir di meja.
Kini Ginggi yang balik cemberut. Gadis itu parasnya
cukup manis. Kulitnya putih bersih, bibirnya tipis merekah
merah. Dan ada tahi lalat kecil di sudut dagunya. Tapi
apalah kecantikan bila tidak dilengkapi perangai yang
ramah. Tuk! Pemuda itu menggetok ubun-ubunnya. Satu
kebiasaan bila dia menyalahkan dirinya. Sekian lama dia
bergaul dengan orang banyak, sedikit banyaknya telah
terpengaruhi tradisi dan kebiasaan mereka. Dulu dia
mengacuhkan tabiat orang, sebab dia sendiri pun tak mau
tahu tabiat dirinya. Dulu dia bicara seenaknya kepada
setiap orang dan penampilan serta sikap pun diperlihatkan
seenaknya tanpa perduli apakah orang lain senang atau
tidak melihat tampang dan penampilannya. Sekarang dia
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru tahu rasa, dilayani dengan mulut cemberut tanpa
ucapan barang sepatah sambil mata tidak melirik barang
secuil, membuat hatinya tersinggung dan harga dirinya
dilecehkan. Harga diri" Sejak kapan dia mengenal harga diri" Tentu
sejak dia mengenal banyak orang. Dia melihat orang lain
suka tersinggung bila dilecehkan. Dan sekarang dirinya
ikut-ikutan merasa tersinggung karena dilecehkan. Kalau
begitu, aku sudah terpengaruh oleh kebiasaan orang lain,
pikirnya. Padahal ketika aku hidup berdua saja dengan Ki
Darma, tak ada perasaan seperti itu.
Tuk! Ginggi kembali menggetok ubun-ubunnya. Kalau
begitu, semenjak dia banyak melihat tata pergaulan, dia
menjadi orang yang mudah goyah dan rapuh terbawa arus
kebiasaan orang lain. "Mari Raden, semua masakan telah terhidang. Tapi
maafkan bila segalanya kurang berkenan di hati," kata
pemilik kedai mengembalikan kesadarannya.
Ginggi meneliti apa yang ada di hadapannya. Ternyata
meja sudah penuh diisi berbagai penganan. Ada ikan lele
ditaburi bumbu menyengat. Ada juga paha ayam yang
baunya wangi menggoda hidung dan air liur. Makanan-
makanan lain pun tidak kalah menariknya. Semua masih
mengepulkan asap yang harum dan merangsang selera
makan. Tanpa basa-basi, pemuda itu segera melahap semua
makanan. Dan semuanya terasa enak, sehingga malam itu
Ginggi makan banyak sekali.
Waktu semakin merengkuh malam. Dan ke dalam kedai
besar ini, tidak terasa telah banyak orang. Semuanya punya
maksud yang sama yaitu hendak makan. Tapi beberapa
pengunjung nampak heran melihat Ginggi memborong satu
meja penuh. Beberapa orang bahkan merasa ragu
menumpang duduk di bangku di mana Ginggi asyik
mengunyah makanan. Rupanya pemuda itu pun merasakan kecanggungan
pengunjung lainnya. Agar mereka tidak ragu-ragu, Ginggi
mempersilakan mereka duduk di sampingnya. Ginggi
menggeser duduknya kian ke sudut untuk memberi tempat
kepada pengunjung baru. Tapi mana bisa mereka duduk
bersama padahal di atas meja semua makanan milik
pemuda itu. Mereka barangkali baru bisa makan bersama
kalau semuanya ikut serta mencicipi makanan yang
dikuasai Ginggi. Rupanya pemuda itu pun tahu apa yang dipikirkan para
pengunjung. Dan untuk yang kesekian kalinya, Ginggi
mempersilakan mereka ikut duduk.
"Ayo kita makan bersama. Makanan ini enak-enak dan
jumlahnya banyak. Tak mungkin aku habiskan sendirian
saja. Ayo, makanlah kalian. Jangan khawatir tidak cukup.
Kalau habis, biar aku pesankan lagi!" kata Ginggi.
Mulanya pengunjung ragu-ragu menerima ajakan ini.
Tapi karena pemuda itu selalu mendesak, akhirnya ada satu
dua orang yang berani duduk. Dan akhirnya yang duduk di
sana kian bertambah. Mungkin enam orang mereka
berhimpitan di bangku panjang sehingga Ginggi duduk kian
mepet ke sudut. Namun ini membuat kegembiraan buatnya.
Apalagi ketika dilihatnya semua orang mulai berani makan
dengan ramai dan gembira.
"Hey, Pak Tua! Ayo tambah lagi makanannya!" seru
Ginggi. Sebelum pemilik kedai meluluskannya, dengan
agak ragu dia bertanya tentang bagaimana cara
pembayarannya. "Bayar" Maksudmu kau minta sejumlah makanan ini
ditukar dengan benda logam macam ini?" kata Ginggi
merogoh ke dalam buntalannya. Pemuda itu mengeluarkan
beberapa pundi-pundi besar. Dibukanya talinya,
dikeluarkanya isinya. Dia menyodorkan kepingan uang
logam satu genggam. "Cukupkah semua makanan ini aku tukar dengan
segenggam kepingan logam ini?" tanya pemuda itu.
"Hah" Kau bayar segitu?" mata pemilik warung yang
kecil itu mendadak terbelalak lebar.
"Kalau kurang biar kutambah lagi!" kata Ginggi yang
merasa bahwa pemilik warung kurang puas diberi satu
genggam. Tapi pemilik kedai semakin membelalakkan
matanya. Ginggi menoleh ke kiri dan ke kanan. Ternyata
semua orang menatapnya dengan cara membelalakan mata.
Ginggi menggaruk-garuk kepalanya.
"Kalau lebih dari ini, aku tak sanggup sebab keperluanku
masih banyak dan perjalananku masih jauh!" kata Ginggi
lagi. "Engkau salah mengerti Raden. Ki Alpi bukan
menganggap bayaranmu kurang tapi uang itu kelebihan,
terlalu banyak. Itu uang kepingan perak dari negri Cina.
Nilainya amat tinggi. Kau berikan hanya dua keping saja,
maka sekali pun Ki Alpi menambah makanan sebanyak dua
meja lagi, masih terlalu mahal. Artinya, uang logam dua
keping itu masih bisa kau tukar dengan makanan lebih dari
empat meja penuh," kata seorang tua di sampingnya.
Ginggi mengerutkan keningnya. Dia menoleh kepada Ki
Alpi, pemilik kedai ini. "Betulkah begitu, Pak?" tanyanya ingin meyakinkan.
Dan ternyata Ki Alpi mengangguk. Ginggi lega hatinya
sekali pun merasa heran. Di Kandagalante Sagaraherang
pemuda ini memang sudah mengenal jenis kepingan uang
yang bisa digunakan sebagai alat penukar keperluan hidup
seperti barang dan makanan. Tapi bagaimana cara
menggunakannya dan berapa perbandingannya dengan
berbagai barang yang ada di pasar, Ginggi sendiri tidak
tahu. Masuk ke kedai untuk berbelanja baru kali inilah dia
lakukan dan hasilnya sungguh mencengangkan. Ternyata
kepingan logam yang diberikan oleh Kandagalante Sunda
Sembawa demikian berharganya.
"Bila demikian caranya, aku bisa makan enak tanpa
harus bekerja dengan keras," pikirnya sambil meremas-
remas kepingan logam yang ada di genggamannya.
"Baiklah kalau begitu, aku serahkan saja dua keping,"
katanya menyodorkan kepingan logam sebanyak dua
keping. Ki Alpi mengangguk-angguk dan berjanji akan
menambah jumlah makanan bila masih diperlukan. Namun
nyatanya, makanan satu meja penuh ini tak habis dimakan
bertujuh. Semuanya sudah kalah sebelum pemilik warung
menambah makanan baru. "Wah, terima kasih sekali Raden. Baru kali ini ada orang
kaya raya murah hati mau membagi makanan kepada setiap
orang," kata orang tua di sampingnya sambil membuka
kancing bajunya dan mengusap-usap perutnya yang sedikit
buncit karena makanan. "Kau pasti anak orang kaya Raden tapi belum
pengalaman menggunakan uang," kata yang lain.
"Uangmu berharga untuk apa saja, untuk kesenangan
apa saja. Mari aku antar kau ke tempat hiburan. Di sana
kau bisa main dadu. Kalau kalah, kau bisa dihibur oleh
perempuan cantik-cantik dan genit-genit!" tutur yang
lainnya. "Huh! Aku tak suka perempuan! Perempuan itu racun,
tahu!" bentak Ginggi tak senang, membuat si pembicara
bengong sejenak. "Kalau begitu, untuk apa uang sebanyak itu, Raden"
Anak-anak orang kaya di sini selalu membawa uang untuk
keperluan di rumah hiburan!"
"Ah! Persetan dengan itu!" bentak Ginggi lagi. Tapi
kemudian pemuda itu termenung. Dia heran sendiri dengan
sikapnya. Di kedai ini, ketika dia berpakaian necis, ketika
orang-orang memuji karena uangnya, dengan enaknya dia
bisa bicara sambil membentak-bentak. Dengan seenaknya
pula dia memperlihatkan sikap suka dan tidak suka akan
pendapat dan gagasan orang lain. Karena apakah ini"
(O-anikz-O) Benarkah Ki Rangga Guna"
Pemuda itu meraba-raba uang logam yang masih banyak
terdapat di dalam pundi-pundi kainnya. Ya, dia bertindak
jumawa ini karena uangnya. Di kedai ini dia dipandang
orang karena uangnya. Dia menampik gagasan orang dan
mereka tunduk karena uang juga. Ah, ternyata uang ini bisa
amat menguntungkan tapi juga bisa amat membahayakan.
Coba kalau aku menuruti saran mereka untuk main dadu
dan perempuan. Dengan uang ini mudah tapi
membahayakan diriku, pikirnya.
Ginggi mulai mengerti, pantas saja banyak orang
berupaya memiliki kepingan logam seperti ini. Suji Angkara
dikhabarkan senang berniaga dengan kaum pedagang
bangsa asing dan bila pulang membawa banyak pundi-
pundi seperti miliknya kini. Kandagalante Sunda Sembawa
dikhabarkan sebagai seorang kaya di Sagaraherang dan
dihormati semua orang karena banyak memiliki logam ini.
Kemudian ada perampok dan orang jahat lainnya, berupaya
merampas bahkan membunuh hanya karena kepingan
logam ini pula. "Betul-betul berbahaya benda-benda ini," pikir pemuda
itu. Ginggi melepaskan genggaman tangannya dari pundi-
pundi uangnya dan disembunyikan kembali ke dalam
buntalan pakaiannya. Dia harus hati-hati menggunakan
kepingan uang logam ini dan jangan sampai dirinya
dikendalikan oleh benda-benda seperti itu.
Orang-orang di sekelilingnya masih ramai. Mereka
mengobrol kesana-kemari tapi percakapan yang paling
menyita dia adalah tentang kematian dua anak gadis yang
terjadi dalam selang waktu sebulan ini. Hanya saja
pembicaraan ini nampaknya simpang siur. Tak ada yang
mengatakan pasti bagaimana dua anak gadis belia itu bisa
mati. "Aku kira mereka memang mati bunuh diri," kata yang
seorang. "Ya memang, semua orang juga tahu mereka mati bunuh
diri. Yang seorang menusuk perutnya dengan patrem,
satunya lagi gantung diri. Tapi ada kesamaan dari
keduanya. Mereka bunuh diri karena mempunyai sebab
yang sama, yaitu merasa kesucian dirinya sebagai perawan
tercemar. Kau dengar bukan, tubuh mereka ditemukan
dalam keadaan mengibakan" Pakaiannya koyak-koyak,
kulit tubuhnya pun lecet-lecet. Sepertinya terjadi
pergumulan dulu sebelum gadis itu bunuh diri," kata yang
lainnya lagi. "Kalau benar kedua gadis itu mati karena kejahatan
lelaki, ingin kukoyak-koyak isi dada si jahat itu!" teriak
seorang pemuda geram. "Ya, benar! Dia harus dibunuh sebab telah merusak
nama baik lelaki di sini!" teriak yang lainnya.
"Cobalah lihat, sesudah ada kejadian seperti itu, susah
sekali kita melihat gadis-gadis molek bertandang di senja
hari, pergi ke mata air pun mesti dikawal ketat ayahnya."
"Bahkan lebih rugi dari itu, gadis-gadis di sini sekarang
tidak menyukai para pemuda. Kalau kita tatap, dia
palingkan mukanya. Dia lari dan dia sembunyi. Rugi kita!"
kata pemuda yang duduk di sudut sana. Semuanya
mengangguk-angguk tapi sambil tawa berderai.
Ginggi yang hanya mendengar saja juga ikut tertawa.
Ternyata pada akhirnya mereka benci si pemerkosa
karena tindakan lelaki biadab merugikan mereka dalam
berhubungan dengan para gadis yang dilanda ketakutan dan
kecurigaan. Pantas saja anak pemilik warung demikian
ketus terhadapku, pikir pemuda itu.
"Siapa yang pernah tahu, kira-kira seperti apakah lelaki
jahat itu?" tanya seseorang.
"Kita semua rata-rata mencurigai kaum pendatang. Tapi
sulit meraba-raba, siapa mereka, sebab ke Tanjungpura
banyak orang yang datang dan pergi," kata seorang pemuda
sambil menatap ke arah Ginggi. Yang lain pun ikut
menatapnya sehingga pemuda itu menjadi pusat perhatian
walau barang sejenak. "Aku yakin, yang berbuat kejahatan bukan anak muda
seperti Raden berpakaian biru ini," tutur lelaki tua yang
duduk di samping Ginggi sepertinya membela kehadiran
pemuda itu. "Bahkan aku amat mencurigai, pelakunya adalah orang
yang sudah berumur. Tubuhnya agak tinggi, mukanya agak
bulat, hidungnya melengkung seperti burung ekek dan
matanya sipit seperti ?" lelaki tua yang bicara tadi tidak
melanjutkan kata-katanya ketika ke dalam kedai itu masuk
seorang lelaki setengah baya. Pak tua yang barusan
menghentikan kata-katanya malah melotot kaget
memandang pendatang baru itu. Bibirnya gemetar,
telunjuknya mengarah kepada pendatang baru itu sambil
ikut gemetar pula. Semua orang sama-sama menatap
pendatang itu tidak terkecuali Ginggi.
Orang itu agak jangkung, mukanya bulat, hidungnya
melengkung dan matanya sipit.
"Diakah orangnya?" teriak yang lain.
"Ya " dia! Benar dia! Dialah si jahat itu!" teriak lelaki
tua itu. Semua orang sigap berdiri. Ada juga yang menghunus
golok. "Serbuuu!!!" "Bunuuuh!!!" Semua orang serentak menghambur ke arah pendatang
baru itu yang nampak amat terkejut dengan sambutan aneh
ini. Dia hanya sempat bengong sejenak. Namun pada
akhirnya tak memiliki kesempatan untuk diam mematung
seperti itu bila tak ingin tubuhnya lumat oleh berbagai
serbuan yang datang. Orang berhidung bengkok bermata sipit itu nampak tak
ingin melayani serangan. Dengan gerakan kaki teratur dia
melangkah satu dua tindak ke belakang. Ketika serangan
datang kian gencar, ujung kakinya menotol tanah dan
jumpalitan ke belakang. "Hm, dia punya kepandaian," gumam Ginggi masih
tetap duduk di tempatnya Di pekarangan yang agak luas,
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lelaki setengah baya itu baru berdiri lagi. Tapi pengepung
terus mengejar dan menyerang dan nampaknya orang-orang
itu bersiap akan membunuhnya.
Namun dari tempat duduknya Ginggi menyaksikan,
kepandaian orang asing itu sungguh hebat. Dia bisa berkelit
kesana-kemari menghindari berbagai serangan dengan amat
lincah dan tepat. Sebuah bacokan golok yang menghambur
ke arah jidatnya, dengan enteng saja dia tepiskan hingga si
penyerang terjerembab ke samping. Bila dia mau,
sebetulnya orang asing itu bisa membalas serangan dengan
telak bahkan bisa membunuh si penyerang. Tapi tubuh si
penyerang dibiarkan begitu saja terjerembab di bawah
kakinya tanpa berusaha untuk menyerang tengkuk si
penyerang dengan pijakan kaki misalnya.
Dalam waktu yang singkat terdengar jerit dan pekik
kesakitan. Bukan karena orang asing itu melancarkan
serangan balasan, tapi teriakan kesakitan itu keluar dari
mulut si penyerang yang serangan pukulan tangannya
berbenturan dengan tangkisan tangan orang asing itu.
Mereka meringis-ringis dan tak berani melanjutkan
serangannya. Sebaliknya, lelaki bermata sipit itu pun
nampaknya tak berniat melanjutkan keributan. Terbukti,
ketika tahu penyerangnya menghentikan gerakan, dia pun
segera membalikkan badan hendak berlalu pergi.
"Tangkap pemerkosa!" teriak lelaki tua penyulut
keributan ini. Ginggi tahu, lelaki ini yang tadi menuduh si hidung
bengkok bermata sipit melakukan perbuatan biadab
terhadap gadis di kampung ini.
"Raden, bukankah engkau tadi sore bilang akan
menangkap pelaku perkosaan" Itulah orangnya seperti apa
kata Mang Suepi!" kata pemilik kedai menagih janji.
Ginggi memang ingat, tadi dia berkoar hendak
menangkap tukang perkosa. Tak dinyana, sekarang "tugas"
itu menunggunya. Tapi benarkah lelaki berwajah bulat itu
pelaku pemerkosa" "Apakah kau tidak salah lihat, Mang?" tanya Ginggi
kepada si lelaki tua. "Mataku memang lamur, tapi masih bisa melihat wajah
orang itu. Ya, dialah yang tiga malam lalu datang ke rumah
hiburan dan mengganggu banyak wanita penghibur. Karena
orang itu tabiatnya kasar, tak ada wanita yang mau
padanya. Namun di tengah malam, terdengar jeritan pilu di
rumah hiburan itu. Ternyata anak gadis salah satu wanita
penghibur yang sebetulnya masih bau kencur sudah bunuh
diri. Pakaiannya koyak-koyak dan seluruh tubuhnya penuh
dengan cakaran-cakaran. Uh, biadab! Biadab!" kata lelaki
tua itu mengepal-ngepalkan tinjunya.
"Pak, titip buntalanku, akan aku kejar orang itu!" kata
Ginggi. Sesudah menyerahkan titipan barangnya, Ginggi
segera pergi ke arah mana orang tadi menghilang.
Pemuda itu berlari cepat sambil sesekali melongok ke
arah lorong-lorong kuta atau benteng tanah liat. Tapi
sampai keempat sudut tembok benteng dia datangi, orang
yang diburunya tidak ditemukan sepertinya menyusup ke
dalam bumi. (O-anikz-O) Jilid 09 "Betulkah orang itu pemerkosa?" gumamnya. Kalau
benar begitu, maka sungguh berani dia, berkeliaran
menampakkan diri di muka umum padahal kelakuan
jahtnya sudah diketahui. Mengapa dia berani mati seperti
itu" Apakah karena memiliki kepandaian tinggi seperti apa
yang ditampilkannya tadi"
Karena yang dicari tak juga ketemu, akhirnya pemuda
itu berniat kembali ke kedai. Namun sebelum melangkah
pergi, ada terbesit pikiran untuk singgah dulu di rumah
hiburan yang ada di wilayah tersebut.
Tapi rumah hiburan itu nampak sepi pengunjung.
Padahal bangku dan meja telah terpasang di beberapa
sudut. Dan di atas meja kayu kasar itu ditaruh beberapa
kendi berisi tuak. Tak ada wanita di sana. Padahal menurut
banyak orang, yang namanya tempat hiburan selalu saja
berderet wanita cantik dan genit-genit.
Ginggi disambut seorang laki-laki berpakaian kampret
dengan sarung terselendang di bahu. Ada senjata tajam
terselip di sela-sela ikat pinggang kulit dan sepertinya siap
kapan saja dicabut dari sarungnya.
"Maaf, malam ini tak ada hiburan di sini. Anak-anak
kami masih takut akan peristiwa tiga malam lalu," katanya
dingin. "Saya tidak sedang cari hiburan ?" jawab Ginggi.
"Apalagi sedang tidak cari hiburan, maka sebaiknya kau
cepat pergi!" katanya lagi diselingi suara batuk seperti
terserang gangguan angin malam.
"Saya akan menanyai perempuan yang anak gadisnya
bunuh diri itu," Ginggi menerangkan.
"Engkau petugas jagabaya, anak muda?" Ginggi
menggelengkan kepala. "Kalau begitu pulanglah!"
"Baru saja aku memergoki orang yang di curigai.
Tubuhnya sedikit jangkung, wajahnya bulat telur,
hidungnya melengkung seperti burung beo ?"
"Ya " ya " Aku tahu. Tapi dimana dia" Jauhkah dari
sini?" si baju kampret dengan hulu senjata tajam di
pinggang ini mendadak gemetar tubuhnya. Kalau tak ada
bangku di belakangnya mungkin dia jauh terkulai. Matanya
melotot ke pekarangan. "Kau ada apakah Paman?" tanya Ginggi heran. Dia ikut
menengok ke luar beranda di mana pekarangan amat gelap
gulita. Tapi di pekarangan tak dilihat seorang pun."Di mana
bedebah itu?" tanya orang itu gemetar.
"Dia melarikan diri entah ke mana sebab dikejar-kejar
banyak orang." "Syukurlah! Mudah-mudahan terus dikejar ke mana pun
dia pergi. Semakin jauh dia pergi, semakin bagus pula,"
kata pemilik warung hiburan sedikit lega.
"Kau amat takutkah kepadanya?"
"Ah, masih terasa dinginnya mata golok menyentuh kulit
leherku. Masih terasa ngilunya pergelangan tanganku
karena jari-jarinya yang sekuat capit baja menjepit keras
sampai kulit tanganku lecet-lecet. Dia mungkin orang gila.
Tawanya membuat merinding bulu kuduk dan bentakannya
menggetarkan ulu hati. Kalau aku panjang umur tak ku
inginkan sepasang mataku melihat orang itu lagi seumur
hidupku," tutur pemilik warung hiburan dengan nada masih
diliputi kekhawatiran. "Betulkah dia mengganggu keamanan di sini?"
"Dengan tak sopan dan kurang ajar dia mengganggu
semua perempuan asuhanku. Dia main colek kesana-kemari
dengan seenaknya. Dengan kasar dan penuh paksaan, dia
pondong perempuan paling molek dan mencoba menggoda
dengan binal. Tak ada perempuan yang mau padanya.
Kemudian satu-persatu anak-anak asuhanku dia tempeleng
hingga terlontar kesana-kemari. Mereka melarikan diri.
Akhirnya orang gila itu sambil hahah-heheh menyeretku
dan mengancamku," pemilik warung menutup mukanya
dengan kedua belah tangannya.
"Lantas hubungannya dengan kematian anak gadis itu
bagaimana?" "Entahlah. Sesudah dia mengancamku, sesudah
dilihatnya semua perempuan pada ngumpet, dia seperti
mencari-cari sesuatu. Dan di sebuah ruangan kamar
belakang, aku dengar suara ribut-ribut. Pintu ditutup dari
dalam. Hiruk-pikuk sekali kedengarannya. Lantas ada suara
perempuan menjerit tertahan. Aku tak berani memeriksa,
hanya ngumpet saja di bawah meja?"
Ginggi menatap sebal kepada lelaki yang ada di
hadapannya ini. "Sesudah suasana mulai sepi, aku periksa kamar
belakang. Ya, anak gadis dari seorang perempuan
penghibur kami mati bunuh diri. Dia gantung diri," kata
lagi pemilik rumah hiburan ini.
"Pasti bunuh diri karena diganggu kehormatannya,"
desisnya lemah. "Kau yakin begitu?"
"Ya, dia jahat terhadap perempuan. Sementara di depan
orang banyak saja berani berbuat tak senonoh, apalagi di
kamar tertutup itu ?"
"Lantas kau simpan di mana senjata tajammu itu?" tanya
Ginggi melirik ke arah hulu senjata yang tersembul di
pinggang pemilik rumah hiburan itu. Orang itu pun sama
melihat senjatanya. Lalu dipegangnya erat.
"Senjataku tak pernah jauh dari pinggangku,"
gumamnya. "Dan tak pernah kau cabut, termasuk ketika anak
asuhanmu dalam bahaya!" desis Ginggi sebal.
Lelaki berikat pinggang kulit tebal ini mengeluh pendek.
Lalu dengan lesu dicabutnya senjata tajamnya dan
diletakkan di atas meja. "Bagaimana aku bisa melawan. Orang itu nampaknya
punya kepandaian tinggi. Tenaganya pun amat besar.
Jangankan menolong anak asuhku, sedangkan untuk
menyelamatkan diri sendiri saja, bila tak pandai-pandai
merengek minta dikasihani, aku pasti mampus," katanya.
Ginggi menghela nafas panjang. Kejahatan rupanya
sedang terjadi di mana-mana, dan banyak orang yang tak
mampu mencegahnya. "Mungkin kau tahu, siapa nama penjahat itu!" kata
Ginggi dengan nada seolah tak memerlukan jawab. Dan
memang benar, orang itu tak menjawabnya. Ginggi berbalik
dan berniat meninggalkan rumah hiburan yang kini sepi itu.
"Anak muda ?" lanjutnya dengan nada ragu-ragu.
"Engkau tahu tetapi tak berani kau katakan kepada siapa
pun, termasuk kepada para jagabaya," kata Ginggi pasti.
"Aku diancamnya. Tapi itulah anehnya. Dengan
sombongnya orang itu memperkenalkan diri. Tetapi dia
mengancamku, bila berani mengabarkan namanya kepada
orang lain, aku akan digorok," kata lelaki pengecut ini.
"Aneh kan" Kalau dia penakut, mengapa membuka
kartu. Tapi kalau dia pemberani, mengapa namanya takut
diketahui umum?" lanjut orang itu. Ginggi pun punya
pikiran sama. Mengapa orang itu bertindak aneh"
"Kau katakan orang itu punya kesaktian?" tanya Ginggi.
"Ya!" "Coba bandingkan dengan ini," kata Ginggi mencabut
senjata tajam milik orang itu. Senjatanya berupa pisau
besar. Satu sisinya amat tipis dan mungkin amat tajam.
Dengan telapak tangannya, Ginggi menekan bagian
ramping dari pisau itu. Ditekannya keras-keras. Dan si
pemilik rumah hiburan ini membelalakkan sepasang
matanya lebar-lebar. Kalau sisi ramping pisau itu ditekan
keras ke telapak tangan, mestinya akan melesak dan
melukai kulit serta daging si pemuda itu. Tapi ini aneh,
pisau itu sepertinya hanya selembar daun nipah. Ketika
ditekan, sisi pipihnya melipat, melengkung dan penyok-
penyok, sedangkan telapak tangan itu sendiri tidak terluka
barang segores pun. "Engkau hebat anak muda. Kalau penjahat tengik itu kau
hadapi, pasti dia tak akan kuat melawannya," kata orang itu
yakin sekali. "Bagus kalau begitu. Nah, sekarang coba katakan, siapa
begundal yang telah membuat onar di sini?"
"Dia mengaku bernama " Rangga Guna! Ya, Rangga
Guna!" "Apa?" "Rangga Guna, anak muda!" kata pemilik rumah hiburan
mengulang apa yang disebutnya barusan.
Tercekat hati pemuda itu mendengarnya. Betulkah
perkataan orang ini" Rangga Guna adalah salah seorang
murid dari Ki Darma yang harus segera ditemuinya. Tapi
mengapa murid Ki Darma melakukan kejahatan hina
seperti ini" "Cepat, kau bantu kami. Tangkaplah penjahat itu.
Bunuhlah untuk kami!" kata orang itu penuh harap dan
membuat goncangan di hati pemuda itu.
Dengan pikiran tak karuan, Ginggi membalikkan
badannya dan akan berlalu dari tempat itu.
"Jangan kau katakan kehadiranku di sini. Awas, kalau
kau bilang barusan aku membengkokkan senjatamu kepada
siapa saja, maka bukan pisau itu yang akan ku bengkokkan
melainkan lehermu itulah!" pemuda itu menakut-nakuti
membuat si pemilik rumah hiburan meringis memegangi
lehernya. Ginggi meloncat ke pekarangan dan menghilang di
kegelapan. (O-anikz-O) Gadis Pemilik Kedai Esok harinya, Ginggi bangun agak siang. Itu pun sambil
mata pedih karena kurang tidur.
Kejadian tadi malam membuat hatinya gundah-gulana.
Mula-mula di kampung itu ada berita perihal dua wanita
bunuh diri dan diduga korban perkosaan. Kemudian hadir
seorang lelaki agak jangkung, muka bulat dan hidung
melengkung serta bermata sipit. Salah seorang penduduk
menuduhnya sebagai pelaku perkosaan. Lelaki sipit itu
dikepung dan dikeroyok. Anehnya, kendati nampak
memiliki ilmu kepandaian, tapi orang asing itu tak mau
melawan apalagi melukai. Ini amat bertolak belakang
dengan penjelasan pemilik rumah hiburan. Walau pun ciri-
ciri lelaki jahat itu sama seperti apa yang dilihat Ginggi, tapi
penjahat yang digambarkan pemilik rumah hiburan
mengatakan bahwa pemerkosa bernama Rangga Guna.
Betulkah dia" Kurang tidur, pikiran ruwet, membuat pemuda itu tak
bergairah melakukan apa pun. Pakaian kampretnya yang
terbuat dari kain halus mengkilat warna biru muda nampak
kusut masai. Ikat kepalanya berjuntai di bahunya. Dan
Ginggi hanya duduk saja menyandar di dinding kayu.
Pemilik warung di mana rumahnya dia tumpangi
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menginap datang menghampiri dan mengatakan makanan
sudah siap bila Ginggi ingin sarapan.
"Aku tak biasa makan pagi-pagi, Pak ?" gumam
pemuda itu sambil duduk memeluk lutut.
"Kalau begitu, barangkali kau perlu minum kopi jagung.
Biar si Asih membuatnya," kata pemilik warung lagi tanpa
ditolak atau diiyakan oleh Ginggi.
Pemilik warung berteriak menyuruh wanita bernama
Asih membuat kopi panas harus diberikan kepada Ginggi.
Seorang gadis bertubuh semampai datang membawa baki
berisi cangkir tanah liat. Ginggi menatapnya. Ternyata yang
namanya Asih adalah gadis cantik anak pemilik warung itu.
Namun pemuda itu hanya menatap selintas saja. Sesudah
itu dia pura-pura tak melihat gadis itu.
Gadis berparas cantik ini ternyata sombong sekali.
Biarlah, aku tak akan menatapnya, apalagi menyapanya.
Biar dia merasakan bahwa wajah cantiknya itu tak berarti
apa-apa buatku., kata hati Ginggi sambil berpangku tangan
mulut cemberut dan mata mendelik ke arah lain.
Entah dapat dirasakan entah tidak sikap Ginggi ini. Yang
jelas, gadis itu pun bertindak acuh tak acuh saja. Tidak
menatap pemuda itu dan apalagi menyapanya. Sialan, kata
Ginggi masih dalam hatinya.
Ginggi agak sedikit kecele karena upayanya untuk
membuat gadis itu tersinggung oleh sikapnya ternyata tak
kesampaian. Gadis itu seusai meletakkan cangkir berisi air
kopi dengan kepulan asapnya, berlalu begitu saja.
Sialan, omel pemuda itu tetap dalam hati.
Ginggi akan pergi mandi. Tapi untuk menuju pancuran
mesti lewat dapur. Di ruangan itu Ginggi berpapasan
dengan gadis bernama Asih itu. Di sini akan kubalas dia,
pikir Ginggi. Yang dimaksud akan dibalas seperti apa kata
hatinya hanyalah akan memperlihatkan sikap acuh tak acuh
terhadap gadis itu. Pemuda itu ingin memperlihatkan
bahwa dia tak memerlukan gadis itu, apalagi berusaha
untuk menggodanya. Ginggi memang tersinggung hatinya. Hanya karena di
kampung itu terjadi penganiayaan berahi terhadap kaum
wanita, maka gadis itu sepertinya menyamaratakan semua
lelaki. Dia seperti membenci aku karena disangkanya aku
pun tukang ganggu wanita, pikir pemuda itu.
Meraka berpapasan. Gingi acuh tak acuh. Matanya
menatap ke mana saja, yang penting tidak menjilat wajah
molek tapi angkuh itu. Dan berhasil. Rupanya gadis itu
merasakan sikap Ginggi walau sedikit. Ada kerlingan mata
walau selintas dan alis gadis itu berkerut.
Nah, silahkan kau tersinggung gadis sombong, kata
Ginggi. Ginggi tahu, gadis itu baru pulang dari pancuran sebab
sebelum berpapasan di dapur, gadis itu ada terlihat
menyimpan air dilodong (buluh bambu tempat membawa
air dari pancuran) di sudut. Dan ketika pemuda itu sudah
tiba di pancuran serta sudah mulai menanggalkan semua
bajunya, semakin yakin bahwa benar gadis itu baru keluar
dari pancuran. Tapi ketika Ginggi sudah menanggalkan pakaian, dia
amat terkejut, sebab di pancuran ada setumpuk pakaian.
Pemuda itu segera memalingkan muka, sebab tatapannya
mengarah kepada benda-benda milik wanita yang
sebetulnya tak pantas dia tatap. Ginggi akan berdiri
menjauh. Namun alangkah terkejutnya dia ketika dari arah
beberapa langkah dari tempat di mana dia jongkok,
terdengar suara jeritan kecil ditahan. Ginggi tak jadi berdiri
bahkan jongkoknya mepet ke pinggir rimbunan semak
manakala tahu gadis sombong itulah yang mengeluarkan
jerit tertahan. Mau apa gadis angkuh itu mendekati pancuran" Ada
perlukah dengannya" Wah, masa iya. Gadis itu seperti tak
suka padanya, masa dengan tiba-tiba saja mengejarnya
sampai ke pancuran sini" Tapi belakangan pemuda itu bisa
menduga, mengapa gadis itu seperti tergopoh-gopoh
menuju pancuran kembali. Pasti ada yang tertinggal. Pasti
dia terkejut dan pasti dia malu, sebab barang yang tertinggal
adalah sesuatu yang seharusnya mesti disembunyikan dari
pandangan kaum lelaki. Menduga ke arah ini, Ginggi tersenyum kecil dan
kepalanya mengangguk-angguk. Rasakan kali ini, kau pasti
tersiksa oleh rasa malu, hai gadis angkuh, kata pemuda itu
dalam hatinya. Ginggi mencoba mengintip dari balik rimbunan pohon.
Walau terhalang oleh semak dan hanya melihat wajah gadis
itu sepotong-sepotong, tapi pemuda itu mendapatkan
bahwa ada rasa malu dan khawatir membayang di wajah
gadis itu. Hahaha, pasti kau malu dan khawatir benda-
benda milikmu aku tatap, kata Ginggi dalam hatinya sambil
mulut senyum dikulum. Gadis itu nampak melangkah setindak dengan ragu-ragu.
Namun sesudah itu dia merandeg diam. Matanya menatap
ke arah pancuran, berkerut dan khawatir. Melangkah lagi
setindak. Namun ketika ada gerakan semak bergoyang,
gadis iti mundur beberapa tindak dan memalingkan wajah.
Pasti dia ingin ke sini atau dia pasti ingin minta tolong.
Ha, beranikah dia" Ginggi mendongakkan kepalanya untuk
melihat gadis itu lebih jelas. Secara kebetulan gadis itu pun
mendongakkan kepala untuk melihat ke arah pancuran.
Serentak mata bertemu mata dan keduanya berteriak kaget
"Mengapa kau mengintipku?" teriak gadis itu setengah
menjerit. Ginggi tertawa kecil mendengar umpatan ini.
"Hai, mengapa kau tertawa" Dasar lelaki mata
keranjang!" umpat gadis itu. Dan kembali pemuda itu
tertawa. Sekarang tawanya kian keras.
"Kau kurang ajar padaku, ya?" tanya gadis itu, bicara
sambil memalingkan muka. "Kau yang kurang ajar! Kau yang mengintip. Kau yang
marah-marah! Dasar gadis aneh!" kata Ginggi mendongak
dan kakinya berjingkat sedikit.
"Kau laki-laki kurang ajar!" teriak gadis itu.
"Lho, siapa yang mengintip, kau atau aku" Siapa yang
sedang mandi" Kau atau aku" Ayo kau menjauh dari sini.
Kalau tak mau pergi, aku akan teriak minta tolong. Biar kau
dikepung semua penduduk, dipukuli sampai babak belur
sebab mengganggu orang mandi!" teriak Ginggi. Terdengar
suara ditahan sebab celoteh pemuda itu dianggapnya lucu.
Tapi tawa itu hanya sebentar saja, sebab secara tiba-tiba
suara gadis itu terdengar ketus.
"Enak saja bicara! Maumu ya, diganggu dan digoda
perempuan! Hai, lelaki licik, lelaki bawel dan sombong serta
tolol! Dengarkan, tak ada dalam sejarah atau riwayat mana
pun bahwa perempuan menggoda dan mengganggu
kehormatan lelaki! Dasar lelaki dungu!" umpat lagi gadis
itu. Ginggi masih tertawa-tawa. Sehari semalam dia kenal
gadis itu, tapi baru kali ini terdengar suaranya. Tapi begitu
keluar suaranya, semua perkataan menghambur
mencercanya. "Betul! Dan aku juga baru tahu sekarang, bahwa sejarah
perempuan mendekati lelaki mandi dimulai di kampung ini
dan pertama kali dilakukan olehmu!" Ginggi memanas-
manasi agar gadis itu semakin jengkel padanya.
"Sialan kau lelaki tengik!" jerit gadis itu kesal.
"Kau yang tengik. Kalau tidak, untuk apa berindap-indap
mendekati lelaki mandi?"
"Aku tidak berindap-indap. Aku melangkah biasa saja!"
"Nah, apalagi! Biar sekalian aku laporkan kepada
jagabaya!" "Kurang ajar kau!"
"Hahaha! Hai, gadis pikun, mau apa kau ke sini?"
"Sialan aku tidak pikun. Aku masih muda. Usiaku baru
tujuhbelas tahu!" "Hahaha! Gadis malang, baru usia semuda itu sudah
pikun!" "Pikun kentutmu!"
"Kalau tak pikun, tak nanti barang-barangmu kau tinggal
begitu saja di sini!" teriak Ginggi.
"Hai, kau lihat barang-barangku, kau pegang-pegang
kepunyaanku?" gadis itu berteriak setengah menjerit.
Tawa Ginggi semakin menjadi-jadi.
Dari arah rumah ada lelaki tergopoh-gopoh. Ternyata
ayah gadis itu yang datang bersama gadis bau kencur yang
pasti adik dari gadis yang marah-marah di tepi pancuran
itu. "Asih, ada apa" Siapa yang kau katakan pegang-pegang
barang kepunyaanmu itu?" tanya pemilik warung kaget.
Ginggi kembali tertawa terkekeh-kekeh.
"Anak muda, kau ganggu anakku?" tanya pemilik
warung tak senang. "Siapa mengganggu siapa" Kau lihat sendiri, anak
gadismu yang datang menyatroni lelaki mandi!" kata
Ginggi enteng saja. "Asih, untuk apa mengintip orang mandi?" giliran gadis
itu diperiksa ayahnya. "Saya tak mendekati orang mandi,
tapi mau mengambil barang-barangku. Ternyata di
pancuran ada pemuda cerewet yang bawel dan tengik serta
tukang fitnah itu, ayah!" kata Asih nyerocos. Kalau
ayahnya tak menyetopnya, rupanya masih ada segudang
cercaan yang akan ditimpukkan ke wajah pemuda itu.
"Aku tanya, mengapa kau mendekati pancuran padahal
di sana ada orang mandi?"
"Sudah saya jawab tadi, ada barang-barang saya
tertinggal," jawab gadis itu cemberut.
"Tak bisakah kau ambil nanti setelah dia selesai mandi?"
"Tidak bisa ayah!"
"Mengapa?" "Takut barang-barang itu dilihat pemuda culas itu. Dan
nampaknya lelaki bermata bundar terselubung keranjang itu
benar-benar mata keranjang. Dia pasti lihat-lihat barangku
dan barangkali juga pegang-pegang! Ih, menjijikkan
kelakuan si pongah itu!" Asih membanting-bantingkan
kakinya ke tanah nampaknya gemas sekali.
Tapi melihat kegemasan Asih, ayahnya tersenyum
simpul. Adiknya bahkan tak tertahankan lagi untuk tertawa
cekikikan sambil menutup mulutnya. Hanya ketika sang
kakak mendelik saja gadis cilik itu mendadak menghentikan
tawanya dan bersembunyi di balik badan ayahnya.
"Aku kira benar-benar ada bahaya mengancam
keperwananmu. Dasar anak bawel ?" kata ayahnya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Anak muda, tolong sodorkan cucian si Asih itu!" kata
ayahnya lagi menyuruh Ginggi.
"Hai jangan! Biarkan aku yang bawa sendiri!" teriak
Asih. "Ayo, ambillah ke sini!" teriak Ginggi sambil
membiarkan ubun-ubun kepalanya diguyur air pancuran.
"Sialan! Dasar lelaki tak bermalu!" cerca Asih lagi.
"Cepat kau selesaikan mandimu. Sesudah itu kau cepat-
cepat pula pergi dari tempat itu. Dan awas, jangan sekali-
sekali berani menatap pakaianku!" ancam gadis itu,
matanya berbinar. Kini yang menunggu Ginggi mandi hanya gadis itu saja
sendirian. Pemuda itu sengaja memperlambatnya. Sambil
bersiul-siul dia hanya mempermainkan air seperti anak kecil
dan membuat gadis itu semakin kesal.
Tapi sesudah puas mempermainkannya, Ginggi segera
berpakaian dan keluar dari tempat mandi yang ditutup
gedeg bambu itu. Kembali berpapasan dengan gadis itu
sambil bersiul-siul. Asih hanya mendengus kesal.
"Pertengkaran" dengan gadis itu menimbulkan
kegembiraan dan sedikit mengurangi kekesalan hatinya bila
mengingat peristiwa semalam. Namun ketika teringat lagi
akan hal itu, kembali alis pemuda itu berkerut. Ini sebuah
misteri yang harus dipecahkan.
Sejak dari Desa Cae dia sudah diperkenalkan kepada
bentuk-bentuk kejahatan berahi. Pertama-tama dia
menyaksikan percobaan perkosaan oleh orang misterius.
Bila tak sempat dia gagalkan, maka Nyi Santimi akan
menjadi korban perkosaan. Siapa pelakunya" Di dalam gua
ketika itu suasana cukup gelap, kecuali cahaya remang-
remang dari cahaya bulan di luar gua. Yang jelas, pelaku
pemerkosa mempunyai kepandaian lumayan.
Ketika Ginggi tiba di Desa Wado, pemuda itu pun
mendapatkan peristiwa sama. Ada gadis bunuh diri di desa
itu. Penduduk hanya menduga, gadis itu bunuh diri karena
bekal untuk perkawinannya berkurang banyak karena
dikuras paksa untuk kepentingan seba. Padahal
penyelidikan pemuda itu, sebelum mati, kesucian gadis itu
sudah ternoda. Ginggi menduga, gadis itu bunuh diri
karena rasa malu, atau juga dibunuh oleh pelaku pemerkosa
untuk menutupi jejaknya. Sekarang di wilayah Kandagalante Tanjungpura pemuda
itu mendapatkan dua peristiwa perkosaan dalam selang
waktu satu bulan. Siapa pelaku perkosaan sebulan lalu,
Ginggi tak bisa menduga. Tapi, pemerkosa tiga hari lalu
sudah ada sedikit petunjuk. Setidaknya ada orang yang
dicurigai. Ki Rangga Gunakah"
Kalau benar begitu, dia amat kecewa. Sudah dua orang
murid Ki Darma dia temukan dan keduanya
mengecewakaan dirinya. Betapa tidak. Ki Banaspati sudah
berhasil dia temukan. Dia memang menjadi orang
terpandai, disegani banyak orang dan nampaknya kaya
raya. Dia pun mengaku berjuang membela rakyat seperti
apa yang dibebankan gurunya, Ki Darma. Tapi apa pun
kilah Ki Banaspati, Ginggi menilai lain. Ki Banaspati
terlalu jauh dalam mengejar cita-cita membela rakyat. Dia
ingin menggantikan kedudukan raja. Ki Banaspati
sepertinya tengah bermain api. Di Pakuan dia bertindak
sebagai abdi negara, bertugas menjadi aparatmuhara
(petugas penarik pajak), sedangkan jauh dari pusat
pemerintahan dia menghimpun kekuatan untuk
meruntuhkan raja kelak. Di Sagaraherang, dia bersekutu
dengan Kandagalante Sunda Sembawa dan seolah-olah
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendukung cita-cita keturunan Raja Pajajaran ini untuk
merebut tahta dari saudaranya. Tapi di sini kembali Ki
Banaspati bermain api, sebab dukungan terhadap Sunda
Sembawa menurut perkiraan Ginggi hanya sebagai taktik
belaka. Kandagaalante Sunda Sembawa yang memiliki
kekuatan tentara sebetulnya hanya akan dimanfaatkan
untuk kepentingan ambisi Ki Banaspati belaka.
Ya, Ginggi amat menduga demikian, sebab Ki Sunda
Sembawa mengaku kepada pemuda itu bahwa semangat
dan ambisinya untuk merebut haknya sebagai raja terpompa
oleh dukungan Ki Banaspati.
"Ki Banaspati orang hebat. Dia berhasil membangunkan
semangatku untuk menghimpun kekuatan dalam upaya
merebut hakku sebagai penguasa Pakuan yang sah!" kata
Sunda Sembawa ketika itu.
Ucapan Sunda Sembawa yang memuji-muji Ki
Banaspati ini hanya menjelaskan bahwa pejabat
Sagaraherang ini timbul ambisinya hanya karena dipanas-
panasi dan dikipasi oleh Ki Banaspati. Berlindung kepada
cita-cita Sunda Sembawa, Ki Banaspati diperkirakan akan
terus bergerak dan berupaya melaksanakan cita-citanya
sendiri. Menjadi raja! Tapi, betulkah cita-cita menjadi raja merupakan bagian
penting dari misi yang dibebankan Ki Darma" Ki Darma
hanya mengatakan, semua muridnya dilepas untuk
berjuang menjaga nama baik Pajajaran dan bekerja untuk
kepentingan rakyat semata. Merangkul cita-cita membela
rakyat, apakah juga sambil harus menguasai segalanya"
Menjadi orang pertama di negri ini" Ginggi bingung
memikirkannya. Apakah betul Ki Banaspati bekerja untuk
kepentingan rakyat atau bukan, yang jelas Ginggi tidak
menyenangi gaya siasatnya. Cara kerjanya kasar dan penuh
tipu muslihat. Untuk menghimpun kekayaan yang katanya
akan dipergunakan sebagai dana perjuangan, Ki Banaspati
membentuk pasukan khusus dan tak segan-segan
melakukan perampokan, baik kepada kaum pedagang, para
bangsawan bahkan kepada para pejabat yang katanya
korup. Ginggi menduga, bisa saja rombongan seba yang
dipimpin Suji Angkara dicegat "perampok" di hutan jati
bukan sekadar kekeliruan belaka tapi sudah merupakan
"santapan" rutin bagi perampok bermisi ini. Seperti apa kata
beberapa pejabat desa yang pernah Ginggi ajak bicara.
Sekarang ketika suasana sedang kacau, banyak kelompok
memanfaatkan situasi. Ada kelompok pura-pura menagih
seba, padahal sesudah hasilnya terkumpul, entah dibawa ke
mana, yang jelas bukan untuk kepentingan Pakuan. Atau
bahkan juga terjadi pemberontakan kecil di mana-mana.
Berdalih membela kepentingan rakyat dari tindakan raja,
namun sambil mengutip dana dari rakyat. Akhirnya takyat
yang tersedot kesana-kemari. Sementara harkat dan
kesejahteraannya belum pulih, kesengsaraannya sendiri
terus bertambah karena punya kewajiban menyumbang
perjuangan. Di wilayah Kandagalante Tanjungpura ini, Ginggi
hampir bertemu murid kedua Ki Darma. Kalau benar orang
yang dikeroyok di depan kedai itu Ki Rangga Guna,
pemuda itu setindak telah berhasil melaksanakaan perintah
Ki Darma. Tapi akan benar-benar sempurnakah apa yang
menjadi kehendak penghuni puncak Cakrabuana itu"
Ginggi disuruhnya meminta petunjuk terhadap orang itu
dalam upaya menjalankan misinya. Petunjuk apa" Mencari
tahu tata cara berbuat mesum"
Kalau benar Ki Rangga Guna dikejar-kejar karena gemar
berlaku mesum, Ginggi betul-betul malu dan kecewa.
Barangkali Ki Darma pun akan berperasaan yang sama.
Aku akan kejar Ki Rangga Guna. Dia harus bertanggung
jawab atas tindak-tanduknya yang membuat cemar Ki
Darma ini, pikir pemuda itu.
Ingat ini, Ginggi segera berkemas. Mengganti
pakaiannya dengan yang baru dan mohon diri kepada
pemilik kedai. "Tapi anak muda, uang yang kau berikan tadi malam
jumlahnya terlalu besar, sedangkan aku tak punya
pengembalian atas kelebihannya," kata pemilik warung
yang membantu mengikat tali buntalan pemuda itu.
"Tak mengapa Pak, aku tak begitu meributkan soal
uang," kata Ginggi. Pemilik warung mengucapkan terima
kasih berkali-kali. "Sekarang kau hendak kemana, anak muda?" tanyanya
kemudian. Ginggi termenung. Mau kemana setelah ini" Ki
Banaspati memberinya tugas, yaitu membunuh Suji
Angkara yang khabarnya berangkat ke Pakuan. Ginggi tak
memperhatikan benar tugas gila ini. Tapi keinginan untuk
melacak Suji Angkara memang ada dalam benaknya.
Barangkali dia harus terus menuju Pakuan tapi sambil tetap
berupaya mengemban misi Ki Darma, yaitu menghubungi
orang-orang yang diharap bisa memberi bimbingan dalam
mengemban misi membela rakyat Pajajaran.
"Tinggal dua orang yang harus kutemukan di mana
mereka berada, yaitu Ki Rangga Wisesa dan Ki Bagus
Seta," kata Ginggi di dalam hatinya.
Oh, sekarang banyak tugas yang harus dikerjakannya.
Mencari kedua orang itu yang entah berada di mana serta
berusaha mengejar Ki Rangga Guna untuk diminta
pertanggunganjawabnya. Begitu banyaknya tugas yang
harus diemban sebelum melaksanakan misi yang
sebenarnya yaitu membela rakyat.
"Aku akan melacak penjahat yang mengacau
Kandagalante Tanjungpura ini. Bukankah engkau
mengharapkan wilayahmu aman Pak Tua?" kata Ginggi,
dianggukkan oleh pemilik warung itu.
"Terima kasih kau mau berjuang untuk kedamaian kami.
Tapi hati-hati, penjahat itu bengis dan berangasan. Jangan
hanya karena membela orang lain kau mengalami
marabahaya," pesannya.
Ginggi tersenyum. Orang ini baik, mau memikirkan
nasib orang lain. "Aku pergi sekarang juga, Pak Tua. Oh, ya " sampaikan
permohonan maafku kepada putrimu yang bernama ?"
"Ah, si Asih anak cerewet. Akulah yang mesti minta
maaf padamu," sergah pemilik warung tersipu-sipu. "Kalau
engkau kembali dalam keadaan selamat, sebetulnya aku
menginginkan kau tinggal di sini. Kalau kau mau tentunya
?" orang tua itu menunduk penuh rahasia dan ucapannya
seperti mengandung makna tertentu. Namun hal ini tak
dirasakan pemuda itu. "Aku juga senang dengan wilayah Kandagalante ini.
Orang-orangnya bila berbicara tak punya tedeng aling-aling
tapi penuh persaudaraan," kata Ginggi, teringat keakraban
penduduk manakala dia disuguhi makanan, juga teringat
cerewetnya gadis anak pemilik warung ini.
(O-anikz-O) Surat Misterius Karena hari sudah demikian siang, Ginggi terpaksa
mohon diri dan dilepas oleh pemilik warung dengan
perasaan suka-cita. Untuk menahan panasnya matahari, Ginggi dibekali topi
jenis toroktok, yaitu topi anyaman bambu dengan caping
lebar dan bulat. Topi ini biasa digunakan pengembala itik
dan aman melindungi seluruh kepala dari sergapan sinar
matahari. Ginggi senang menerimanya. Kendati topi jenis ini
disediakan untuk pengembala itik, tapi nampaknya ini topi
khusus dan dibuat dengan menonjolkan keindahan.
Anyaman bambunya menggunakan dua warna, gading dan
coklat, serta dianyam teratur sehingga menghasilkan
paduan warna yang indah. Topi itu pun nampak halus
mengkilap sebab dipoles dengan cairan tertentu yang
membuat benda itu mengeluarkan warna khusus pula.
Ginggi berjalan sambil mencari alamat rumah Juragan
Ilun Rosa yang katanya masih saudara dekat Kandagalante
ini. Ginggi akan memenuhi janjinya kepada Ki Aliman,
kepala jagabaya di sini, bahwa akan ikut membantu
menyelidiki peristiwa aib yang terjadi di wilayah ini.
Seperti apa yang dikhabarkan kepala jagabaya, di
Kandagalante Tanjungpura ini terjadi dua peristiwa yang
melibatkan kematian dua orang gadis. Salah satu korban
adalah putri Juragan Ilun Rosa itulah. Anak gadisnya
dikhabarkan mati bunuh diri dengan jalan menusuk
lehernya denganpatrem (tusuk konde). Mengenaskan, sebab
tindakan bunuh diri diduga karena kehormatannya dirusak.
Tapi di kelokan jalan yang agak sunyi, pemuda itu
terpaksa menghentikan langkahnya. Ada yang mencegatnya
di tepi jalan berdebu itu. Gadis pemilik warung!
Ginggi tertegun sejenak. Ada apa lagi dengan gadis
bawel ini" "Bukankah aku tak mengganggumu lagi" Mengapa kau
tiba-tiba mencegatku?" tanya Ginggi berusahaa pura-pura
ketus. Namun pemuda itu kecele kalau mengharapkan ucapan
ketusnya dibalas dengan keketusan yang sama. Gadis itu
malah diam saja. Sebentar menatapnya dengan mata
berbinar, sebentar kemudian menunduk dengan rona merah
di pipinya. Ginggi jadi malu sendiri. Ternyata gadis itu
datang bukan untuk bersilat lidah. Entah apa keinginan
gadis cerewet ini. Karena gadis itu tak menjawab pertanyaannya, Ginggi
melangkah mendekati beberapa tindak.
"Ada apa Asih" Asih bukan, namamu?" tanya Ginggi
menjadi gagap. Gadis itu mengangguk. Menatap lagi dengan berbinar,
kemudian menunduk lagi dengan tetap masih
meninggalkan rona merah di pipinya.
"Oh, ya " Kalau-kalau ayahmu tak menyampaikannya.
Aku mengajukan permohonan maaf atas kejadian tadi pagi.
Tak seyogianya aku mempermainkanmu sehingga
membuatmu marah," kata Ginggi setulusnya.
Gadis itu hanya mengangguk dan menunduk.
"Lalu, apalagi ?"" tanya Ginggi gugup.
Pemuda itu baru tahu, bahwa sejak tadi di tangan gadis
itu ada sebuah bungkusan dari daun jati. Sambil tetap
menunduk dia menyerahkan bingkisan itu kepada Ginggi.
"Untuk bekal di jalan kalau-kalau kau lapar ?" gumam
gadis itu menunduk. Pemuda itu menerima pemberian ini sambil menatap
wajah gadis itu. "Kata ayah, bila kau kembali kelak, akan menetap di
sini. Betulkah itu?" tanya gadis itu penuh harap.
Ginggi menatap tajam mata gadis itu. Berbinar, bening
dan masih suci. Dan gadis ini aneh sekali. Pertama kali
bertemu diawali dengan sikap angkuh dan seperti
membenci lelaki. Sekarang di saat akan berpisah
memperlihatkan wajah ramah dan " dan penuh harap.
Berdesir darah pemuda itu. Entah benar entah salah.
Tapi pemuda itu sudah punya pengalaman melihat perangai
Cumbuan Menjelang Ajal 2 Pendekar Dari Hoa San Karya Kho Ping Hoo Pendekar Setia 8