Pencarian

Senja Jatuh Di Pajajaran 5

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 5


wanita. Kalau suaranya sudah mulai halus, nada bicaranya
serius dan menatap dengan sorotan nanar, ini hanya
membuktikan bahwa hati dan perasaan kewanitaannya ikut
bicara. Benarkah ini"
Ginggi membayangkan pertengkaran dengan gadis itu
tadi pagi di pancuran. Dan ini mengingatkannya kepada
pertengkaran kecil di Desa Cae dengan Nyi Santimi, juga di
pancuran. Dari pancuran juga ada pertemuan hati antara
dia dan Nyi Santimi. Sekarang pancuran telah
menggodanya pula. Oh, ya! Tidak! Hal itu jangan terulang
lagi. Cinta itu menyesakkan. Bahkan hampir-hampir
membuat penyiksaan. Paling tidak terhadap batin ini.
Ginggi memalingkan muka ketika mata gadis itu
berbinar menatapnya. "Aku kelak akan pulang ke Cakrabuana. Sudah barang
tentu akan lewat ke sini ?" tutur Ginggi.
"Terima kasih. Aku akan setia menunggumu?" kata
gadis itu pelan. Ginggi menerimanya dengan pandangan
lesu. "Ya, cepatlah pulang! Orangtuamu pasti khawatir bila
kau berlama-lama di sini!" memerintahkan gadis itu segera
berlalu. Gadis itu sebelum pergi menatap tajam, seperti
mengharapkan sesuatu dilakukan oleh pemuda itu. Tapi
Ginggi tak melakukan apa-apa sehingga gadis itu nampak
kecewa. Dia berlalu pergi. Berlari kecil dan menghilang di
kelokan jalan. Barangkali benar gadis itu kecewa. Tapi
Ginggi bernafas lega, bahaya sudah dilewatinya. Hhh,
wanita! Begitulah bila kepercayaan terhadap lelaki mulai
timbul, pikir Ginggi. (O-ani-kz-O) Ginggi berhasil menemukan rumah Juragan Ilun Rosa.
Rumah panggung terbuat dari kayu jati pilihan cukup besar
dan megah. Menandakan bahwa pemiliknya orang berada.
Cukup wajar, sebab orang ini masih saudara Kandagalante
Subangwara, penguasa wilayah Tanjungpura. Namun
ketika Ginggi uluk salam (berteriak mengucapkan salam
tanda akan bertamu), rumah besar itu sunyi-sunyi saja.
Beberapa kali pemuda itu berteriak mengucapkan salam.
Dan dari samping rumah tergopoh-gopoh lelaki tua gendut
dan bundar. Pakaiannya sederhana saja, jauh dibandingkan
dengan pakaian Ginggi yang terbuat dari kain halus
mengkilat. "Siapakah Raden, dari mana asal dan mau apa datang
kemari?" tanya si gendut ramah tapi mengandung curiga.
"Hanya mau bertemu dengan Juragan Ilun Rosa, adakah
dia?" tanya Ginggi. "Juragan sudah sebulan ini tinggal bersama saudaranya,
yaitu Kandagalante Subangwara.,"tutur lelaki itu.
"Sudah sebulan?"
"Ya, semenjak terjadi peristiwa memilukan di rumah
ini," jawab lagi si gendut bundar memberikan penjelasan.
"Engkau di sini ketika peristiwa itu terjadi, Paman?"
tanya Ginggi. "Sayabadega (pembantu) di sini. Bahkan sayalah yang
menemukan mayat Nden Wulan terbujur dengan mandi
darah di kamarnya," kata si gendut sambil mengusap bulu
kuduknya. "Tapi Raden siapa, tanya-tanya peristiwa itu?"
"Hanya ingin tahu saja, mengapa peristiwa menyedihkan
itu sampai terjadi ?" jawab Ginggi.
"Oh, ya " Saya dengar tadi malam ada penjahat
dikepung. Seorang pemuda ikut membantu. Kata kepala
jagabaya orang muda itu akan berusaha menangkap
penjahat yang dicurigai berbuat onar di wilayah kami ini.
Kalau begitu, saya yakin, engkaulah yang dimaksud kepala
jagabaya. Benar, kan?"
Ginggi tersenyum dan menganguk.
"Terima kasih bila engkau sudah tahu siapa aku.
Sekarang coba katakan dari awal perisiwa sebulan lalu yang
menewaskan anak gadis majikanmu itu," kata Ginggi.
Tanpa ragu-ragu badega ini membeberkan kembali
peristiwa sebulan lalu. Ketika itu, ke rumah Juragan Ilun Rosa datang lima
orang tamu. Semuanya laki-laki. Dari kelima orang tamu
itu, hanya satu orang yang berpenampilan menonjol. Semua
menaruh hormat padanya. "Coba kau sebutkan ciri-ciri orang yang satu itu," kata
Ginggi "Dia seorang pemuda tampan. Usianya barangkali
delapanbelas, atau sembilanbelas tahun. Berwajah putih
bersih dan tutur katanya sopan. Dia pasti dari keluarga
santana, atau bahkan bangsawan," kata badega itu memuji-
muji tamunya. "Dan yang lainnya bagaimana?"
"Empat orang lainnya saya kira hanya bawahan pemuda
tampan itu saja. Wajah dan perangainya macam-macam.
Ada yang sedikit tampan tapi perangainya seperti angkuh.
Bila bicara mulutnya selalu tertarik seperti orang yang
mengejek dan melecehkan. Pemuda satunya lagi bertubuh
kurus dan bergigi tonghor. Dua orang lagi lelaki setengah
baya. Yang seorang pendek gemuk dan seorang dan seorang
lagi jangkung dengan pundak melengkung seperti onta,"
kata pegawai di rumah ini secara rinci.
Tak salah dugaan Ginggi. Mereka adalah Suji Angkara
bersama Ki Ogel, Ki Banen, Seta dan Madi. Mereka
meloloskan diri dari marabahaya di wilayah Sagaraherang.
Tapi benar perkiran Ki Banaspati, Suji tidak kembali ke
Desa Cae, melainkan terus menuju ke barat yang kemudian
diperkirakan akan terus menuju ke Pakuan.
"Apa hubungannya antara kehadiran tamu-tamu itu
dengan peristiwa kematian gadis majikannya, Paman?"
tanya Ginggi penuh perhatian.
"Entahlah sulit untuk menghubung-hubungkannya.
Hanya saja saya mencuri dengar percakapan Nden Wulan
dengan wanita tampan itu malam-malam di halaman
depan." "Percakapan apakah itu?"
"Hanya percakapan sepasang muda-mudi belaka.
Namun nampaknya ada semacam beda pendapat antara
keduanya dalam urusan" Entahlah. Mungkin urusan
asmara. Pemuda tampan itu dengan halus dan lemah-
lembut menggoda Nden Wulan, tapi Nden menolak ajakan-
ajakan pemuda itu dengan berbagai alasan. Nden Wulan
beralasan untuk menolak, sebab sebetulnya sudah ada
pemuda bangsawan yang menaruh minat padanya walau
pun dilakukan secara rahasia. Hanya saya yang tahu
rahasia mereka berdua, Raden?" kata badega.
"Sudah berapa kali pemuda tampan itu bertemu kemari,
Paman?" "Seingat saya, tamu tampan itu baru pertama kali
bertamu ke rumah Juragan Ilun. Tapi ke Kandagalante
Subangwara sudah beberapa kali. Khabarnya, Nden Wulan
pun mengenal pemuda tampan itu di kediaman
Kandagalante Subangwara," kata badega lagi.
"Tak ada lagi percakapan khusus selain yang tadi Paman
katakan?" kata Ginggi.
"Rasanya tak ada lagi ?"
"Coba terangkan peristiwa ketika anak gadis majikanmu
Paman temukan sudah terbunuh,"
"Ya, malam itu saya dengar suara jeritan kecil. Saya
dengar persis sebab saya tengah tugur (ronda). Saya tahu
jeritan kecil itu datang dari kamar Nden Wulan. Saya
ketuk-ketuk pintunya tak ada sahutan. Saya dobrak dan
pintu terbuka. Nampak Nden Wulan sudah terbujur dengan
leher terluka karena tusukan patrem (tusuk konde). Nden
Wulan bunuh diri ?" keluh pegawai itu murung dan penuh
sesal. "Kau yakin?" "Tangan kanannya berlumuran darah dan masih
memegang erat benda tajam itu," kata badega pasti.
"Kira-kira apa penyebab dia bunuh diri?"
"Patah hati ?" "Patah hati" Mengapa kau menduga demikian?"
"Di peraduan Nden Putri yang acak-acakan terdapat
sebuah surat daun nipah. Kata Juragan Ilun, isinya
permintaan maaf dari Raden Purbajaya bahwa dirinya akan
pergi ke Pakuan dan di sana direncanakan pernikahannya
dengan sesama anak bangsawan lainnya," jawab badega.
"Kau maksudkan Purbajaya itu kekasih anak gadis
majikanmu, Paman?" Badega bertubuh bundar itu mengangguk membenarkan.
"Mulanya Juragan Ilun bingung, siapa Raden Purbajaya.
Namun setelah saya paparkan bahwa pemuda bangsawan
itu secara diam-diam menjalin hubungan dengan Nden
Wulan, Juragan mulai mengerti kendati tetap masih
bingung sebab Juragan belum kenal betul dengan pemuda
itu. Tanjungpura ini luas wilayahnya, terutama ke wilayah
barat hampir berbatasan dengan Sungai Citarum. Di
wilayah ini memang banyak kaum bangsawan," kata
badega. "Juragan mencari tahu siapa pemuda bangsawan
itu. Juragan minta tolong kepada Kandagalante
Subangwara dan berhasil mendapatkan keterangan perihal
pemuda bangsawan bernama Raden Purbajaya itu."
"Bagaimana penjelasan dari Kandagalante?"
"Pemuda itu bangsawan dari daerah utara. Putra
Bangsawan Jayasena. Ayahandanya ketika ditemui
membenarkan bahwa Raden Purbajaya berangkat ke
Pakuan, tapi bukan berniat untuk menikah dengan Putri
Bangsawan Pakuan, melainkan akan mengabdi sebagai
puhawang ," kata badega lagi.
"Puhawang, apakah itu?" tanya Ginggi mengerutkan
kening. "Puhawang adalah seseorang yang akhli dalam ilmu
kelautan, ilmu mengenai pantai, gua-gua serta teluk," kata
badega lagi. Katanya lagi, ayahanda Raden Purbajaya tak
tahu menahu bahwa putranya punya hubungan batin
dengan anak Juragan Ilun Rosa. Hanya pernah mengatakan
bila lamaran kerjanya diterima di Pakuan, maka pemuda
tampan itu akan segera kembali ke Tanjungpura untuk
minta bantuan ayahandanya meminang seorang gadis yang
belum disebutkan siapa gerangan.
"Tapi Kandagalante Subangwara amat marah
mendengar berita kematian kemenakannya. Dia akan
mencari penjelasan langsung kepada Raden Purbajaya di
Pakuan. Pemuda tampan tamu Juragan Ilun bersedia
membantu menemui Raden Purbajaya, sebab kebetulan dia
pun akan menuju Pakuan," kata badega lagi.
"Begitu akrabkah Kandagalante dengan pemuda tampan
tamu Juragan Ilun, Paman?"
Yang ditanya mengerutkan alis sejenak seolah-olah
mengingat-ingat sesuatu. "Tidak begitu akrab. Tapi nampaknya Kandagalante
tahu betul, siapa pemuda itu. Ini nampak sekali, sebab
Kandagalante begitu hormat kepadanya," jawab badega.
Ginggi termenung sejenak. Penelitiannya serasa berbelit-
belit dan kian melebar. Bila ingin menguak tabir rahasia
kematian gadis itu, sungguh sulit.
"Coba kau terangkan, kalau-kalau masih ada lagi
pengetahuanmu perihal kejadian ini," kata Ginggi terus
mengorek keterangan. "Rasanya tak ada lagi?" gumam badega tapi masih
mengingat-ingat. "Oh,ya?" sambungnya memejamkan
mata sebentar. "Apakah itu?" Ginggi menatap tajam lelaki bulat ini
dengan tak sabar. "Istri Juragan Ilun yang memiliki pikiran ganjil itu."
"Ya?" "Dia malah menduga yang bukan-bukan. Katanya anak
gadisnya mati bunuh diri bukan sekadar patah hati belaka,
tapi juga karena diganggu kehormatannya!"
"Begitukah" Bagaimana dia mempekirakan demikian?"
tanya Ginggi. "Kata Juragan Istri, peraduan anaknya acak-acakan.
Pakaian gadis itu pun tak karuan. Di beberapa bagian
malah terkesan dibuka paksa sebab ada bagian-bagian kain
yang sobek," kata badega.
"Bagaimana pendapat yang lain?"
"Sejenak yang lain pun percaya dengan itu. Tapi surat
daun nipah lebih meyakinkan lagi. Juragan Ilun bahkan tak
mau pusing memikirkan bukti ini. Sebab katanya, bila harus
mempercayai dugaan ini artinya harus mencurigai orang
lain berbuat jahat. Juragan Ilun menganggap dosa bila
bercuriga terhadap sesama," katabadega,
"Juragan Ilun Rosa hanya mengatakan, banyak
kemungkinan mengapa pakaian putrinya tak keruan.
Perempuan katanya di mana-mana sama, bila sampai pada
puncak kemarahan dan kekecewaan suka menjambak-
jambak dirinya sendiri. Demikian halnya dengan Nden
Wulan. Dan saya memang pernah menyaksikan. Nden
Wulan menjambak-jambaki rambutnya, menangis
melolong-lolong ketika dulu dipaksa kawin dengan pemuda
yang bukan pilihannya," kata badega.
Ginggi mengangguk-angguk. Anggukan ini samar-samar
belaka. Apakah karena mengerti persoalan sebenarnya, atau
merasa puas dengan penjelasan barusan.
"Terima kasih atas uraian ini, Paman?" katanya sambil
mohon diri. (O-anikz-O) Jilid 10 "Bukankah akan mencari Juragan Ilun, Raden" Biarlah
saya mengabarinya. Raden hanya cukup menunggu
setengah hari saja," kata badega.
"Tidak usah, Paman. Aku tak punya waktu, sebab hari
ini juga harus segera melanjutkan perjalanan," kata Ginggi.
"Baiklah kalau begitu. Tapi siapa nama Raden ini, kalau-
kalau Juragan menanyakannya," kata badega menatap agak
heran karena Ginggi seperti mau buru-buru.
Ginggi hanya tersenyum, "Tanyalah kepada kepala
jagabaya Ki Aliman," tukasnya sambil beri salam dan pergi
dari tempat itu.

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Masih penuh misteri, pikir Ginggi. Tapi walau pun
begitu, pemuda ini sudah punya gambaran. Menyimak
berbagai kejadian yang melibatkan korban wanita
kecurigaan Ginggi terpusat kepada pemuda anggun
bernama Suji Angkara. Benar, sejauh ini Ginggi belum bisa
membuktikan kecurigaannya. Tapi paling tidak, berbagai
kejadian bisa menyudutkan Suji Angkara. Di mana ada
peristiwa yang melibatkan korban wanita, maka di situ ada
Suji Angkara! Di Desa Cae, di mana Nyi Santimi hampir
menjadi korban perkosaan, khabarnya Suji Angkara berada
di situ dan baru pulang berniaga. Rama Dongdo
mempercepat hari pertunangan Nyi Santimi dengan Seta
katanya hanya karena kehadiran Suji Angkara. Rama
Dongdo, kakek Nyi Santimi seolah-olah bercuriga cucunya
akan diganggu pemuda tampan berpenampilan sopan itu.
Ketika Suji Angkara memasuki Desa Wado juga terjadi
peristiwa di mana seorang gadis bunuh diri. Kini yang
terakhir di Tanjungpura, peristiwa bunuh dirinya seorang
gadis pun diawali dengan kehadiran Suji Angkara. Ketika
Suji Angkara memasuki wilayah Sagaraherang tidak terjadi
kasus wanita bunuh diri. Ginggi menduga, hal ini tidak
terjadi karena di daerah itu mereka dijamu berbagai
kesenangan termasuk hiburan wanita.
Ya, kalau Ginggi mencurigai Suji Angkara, maka semua
kebetulan ini pas adanya dan bisa dijadikan pegangan untuk
bahan penyelidikan. Sambil berjalan seorang diri menyusuri jalan pedati yang
berdebu dan berudara panas, Ginggi berpikir tentang
kemungkinan-kemungkinan peristiwa itu bisa terjadi.
Suji angkara itu misterius dan membahayakan. Dia
pesolek, dia tampan dan sopan bila berbicara. Namun
tindakannya kadang-kadang ganas. Sudah Ginggi saksikan
dengan mata kepala sendiri, bagaimana kejamnya Suji
Angkara ketika terjadi pertempuran sengit di hutan jati
melawan perampok. Gerakan perkelahiannya selalu
diarahkan untuk membunuh lawan. Ki Joglo, anak buah Ki
Banaspati yang ditemukan tewas di tepi kolam di wilayah
Sagaraherang, amat dipastikan Ginggi sebagai korban
pembunuhan Suji Angkara. Pemuda itu membunuh lawan
yang tak berdaya dengan amat kejam, digorok lehernya.
Kuwu Wado pun amat takut terhadapnya, sebab pemuda
sopan itu bila marah sanggup membengkokkan batang
tombak dan daun pintu jati ketika penarikan seba di Desa
Wado ditolak Kuwu. Banyak laporan yang masuk ke telinga Ginggi mengenai
keanehan-keanehan sikap pemuda yang senang berpakaian
gagah meniru-niru kaum bangsawan tinggi ini.
"Pemuda itu ramah dan halus tutur sapanya. Tapi ketika
kami hanya berduaan saja, sinar matanya lain seperti
mengandung maksud-maksud tertentu. Bicaranyapun
menjadi mendesis seperti mewakili sesuatu perasaan. Saya
takut sebab naluri saya sebagai wanita seolah mengabarkan
sesuatu bahaya," kata Nyi Santimi tempo hari di Desa Cae.
Ya, Suji Angkara banyak misteri. Belum lagi tentang
peranannya dalam keseharian. Sebagai apakah sebenarnya
dia" Apakah hanya bertindak sebagai anak Kuwu Desa Cae
yang gemar mengembara atau sebagai bawahan Ki
Banaspati dalam upaya pengumpulan seba" Ternyata tak
juga demikian. Buktinya kini Ki Banaspati menyuruh
Ginggi untuk membunuh pemuda itu sebab dicurigai punya
hubungan dengan Pakuan. Dengan siapa dia punya
hubungan di Pakuan, bukankah Ki Banaspati sendiri oleh
sementara orang disebut-sebut sebagai orang Pakuan juga
karena jadi petugas penting urusan penarikan seba"
Ya, semua misterius dan menarik untuk diselidiki. Tapi
ingat ini, akhirnya Ginggi cuma mengeluh pendek.
Pekerjaannya benar-benar berat. Belum lagi dia mengejar
penjahat berahi yang lainnya yang orang lain
menudingkannya kepada Ki Rangga Guna.
"Biarlah akan aku selesaikan satu-persatu," gumam
pemuda itu sambil terus berjalan.
Hari semakin panas dan semakin menyengat juga.
(O-ani-kz-O) Ginggi tiba senja hari di sebuah dusun kecil.
Penduduknya nampaknya miskin-miskin. Pekerjaan sehari-
harinya mungkin berladang. Tapi karena kini tengah musim
kemarau tanah mereka kering dan tak bisa ditanami.
Barangkali keperluan makan mereka sehari-hari hanya
mengandalkan simpanan hasil panen tahun lalu belaka.
Namun penduduk itu biar pun miskin mereka ramah
menghadapi tamu. Terbukti ketika Ginggi ingin
menumpang tidur, mereka ceria menyambutnya. Tikar
rombeng barang sehelai mereka gelarkan dan dengan
tergopoh-gopoh menyediakan air putih hangat di cangkir
tanah liat. Mereka menyodorkan juga nasi jagung tapi yang
ditolak Ginggi karena dia sudah makan hasil pemberian
gadis anak pemilik warung di Tanjungpura sana.
Sayang sekali, kehadiran pemuda itu di kampung kecil
ini kurang tepat adanya. Ini karena seisi kampung sedang
dilanda kesedihan, sekaligus juga kemarahan.
Dua hari lalu istri kepala kampung melahirkan seorang
bayi. Sayang usia bayi laki-laki itu tidak lama, sebab hanya
selang beberapa waktu sang bayi yang belum mengenal
indahnya dunia ini meninggal pada malam harinya.
"Kami semua bersedih sebab bapak kepala dusun amat
mengharapkan seorang anak. Sesuai dengan kebiasaan
kami, bila ada yang meninggal dunia, maka saat itu pun si
mati harus segera dikuburkan. Malam jum"at kemarin bayi
itu kami kuburkan," kata penduduk yang rumahnya
ditumpangi tidur oleh Ginggi.
"Malam jum"at" Malam apakah itu?" tanya Ginggi
mengerutkan dahi sehingga alisnya melengkung
membentuk sepasang golok.
(O-anikz-O) Sesaji Ilmu Hitam "OH, barangkali engkau masih beragama lama, anak
muda. Jum"at adalah nama salah sebuah hari dari hitungan
minggu. Kalian menyebutnya sebagai hari Sukra, Hitungan
hari dalam seminggu buat kalian mungkin Soma untuk hari
kesatu dan kami menyebutnya Senin. Anggara untuk hari
kedua dan kami menyebutnya sebagai Selasa. Buda untuk
hari ketiga dan kami menyebutnya sebagai Rabu. Respati,
Sukra, Sanaiscara dan Aditya, kami menyebutnya sebagai
Kamis, Jum"at, Sabtu dan Ahad, anak muda," kata pemilik
rumah sambil menyulut rokok kelobot, yaitu tembakau
yang dilinting oleh kulit jagung.
"Sebetulnya ada kepercayaan penduduk, bayi yang mati
di malam Jum"at harus diwaspadai sebab kadang-kadang
timbul gangguan. Kami berniat menjaga kuburan bayi itu
sampai habis hitungan malam Jum"at. Tapi bapak kepala
dusun tidak percaya akan kepercayaan yang ada sejak lama
ini. Dan akibatnya ?"
"Dan akibatnya bagaimana, Paman?" Ginggi tak sabar
menanti kelanjutan cerita pemilik rumah ini.
Pemilik rumah yang giginya sudah hitam karena terlalu
banyak merokok ini batuk-batuk sejenak karena asap
rokoknya. Dia letakkan rokok kelobotnya dan meraih
cangkir tanah liat. Lelaki tua berkulit kering ini segera
meneguk air putih di cangkir itu.
"Mayat bayi itu hilang karena kuburannya dibongkar
orang!" cetus orang itu.
"Dibongkar orang?" Ginggi kaget mendengarnya sampai
matanya yang bundar semakin bulat karena terbelalak.
"Kau yakin kuburan itu dibongkar orang?" tanya Ginggi.
"Di kampung kami kadang-kadang terdapat binatangaul
yaitu sebangsa anjing tapi wajahnya seperti kera. Kadang-
kadang ada terdengar binatang itu mencakar-cakar kuburan.
Tapi kuburan bayi yang dibongkar itu jelas tindakan
manusia. Tak ada cakaran, kecuali cungkilan sebuah alat.
Lagi pula kalau dilakukan oleh binatang, mengapa meski
selalu malam Jum"at?"
txt oleh : http//www.mardias.mywapblog.com
Ginggi menggesek-gesekkan telunjuknya ke ujung
hidungnya sendiri. Matanya menerawang ke langit-langit
atap rumbia. "Untuk keperluan apa orang menggali kuburan bayi?"
gumam Ginggi masih menggesek-gesekan hidung dengan
telunjuknya. "Banyak keperluannya, anak muda. Orang jahat yang
ingin memiliki sihir selalu menggunakan mayat bayi sebagai
persyaratan mendalami ilmu hitam tersebut. Orang-orang
daerah timur percaya akan adanya mujizat dari makhluk
aneh bernamakemamang, Makhluk itu berupa kendi yang
bisa terbang, diperintahkan majikannya untuk mencuri
kekayaan orang lain, atau disuruh membunuh atau
mencederai musuh majikannya," kata pemilik rumah sambil
melinting kembali rokok kelobotnya, padahal rokok yang
lama baru habis setengahnya.
"Aneh, masa ada kendi bisa terbang sendiri?" potong
Ginggi sambil terkekeh lucu.
"Bukan sembarang kendi, sebab benda itu sudah diisi
mayat bayi yang sudah dikeringkan. Mayat bayi itu dicuri
dari kuburnya. Selama empatpuluh hari empatpuluh malam
diganggang di atas perapian. Kian lama tubuh bayi itu kian
kerempeng dan mengering bagaikan dendeng. Selama
proses pengeringan itu, ada tetesan minyak keluar dari
tubuh mayat bayi itu. Oleh penjahat yang sedang
mendalami ilmu hitam, tetesan minyak itu ditadah dan
diserap dengan kapas. Kapas yang sudah berisi minyak itu
disimpan di buli-buli kecil. Dia amat berguna untuk
kejahatan lainnya. Sedangkan mayat bayi yang sudah
kering mengecil itu dia masukkan ke dalam kendi."
"Jahat sekali ?" gumam Ginggi.
"Memang jahat dan biadab. Makanya kami semua
marah melihat kejadian ini," kata lelaki tua ini.
"Lalu bagaimana tindakan kalian?"
Ditanya demikian lelaki yang bertelanjang dada karena
udara panasnya ini hanya tercenung.
"Bagaimana, ya" Habis, kami sendiri pun sebetulnya
bingung, siapa yang melakukan kebiadaban ini," keluhnya
sambil menghela nafas. "Apakah sudah kalian coba untuk diselidiki?"
"Ya, sudah tapi kami tak bisa menemukan jejaknya,
apalagi pelakunya ?"
"Sayang, ya ?" "Ya, memang sayang. Dan ini membuat kami selalu
penasaran," kata lelaki tua ini.
Ginggi menguap beberapa kali.
Rupanya tuan rumah tahu Ginggi menderita kelelahan
karena habis melakukan perjalanan jauh. Ginggi
dipersilakan tidur apa adanya, sebab memang rumah yang
dia tumpangi amat sederhana.
Ginggi pun tidur. Dan serasa belum pulas benar, ketika
di halaman rumah terdengar orang berbicara. Ginggi diam-
diam menyimak pembicaraan itu. Tapi ternyata hanya
sesuatu yang tak begitu penting. Ada seorang pengelana
seperti dirinya yang rupanya kemalaman dan minta izin
kepada tugur (ronda) untuk numpang tidur di dusun ini.
"Nanti akan kami carikan penduduk yang memiliki balai-
balai cukup. Maklumlah Paman, ini dusun kecil dan tak ada
rumah besar di sini. Tapi kalau boleh kami bertanya,
siapakah Paman ini dan mau pergi ke mana sampai malam-
malam terdampar di dusun ini?" tanya tugur kepada
pengembara kemalaman itu.
"Namaku Rangga Guna, sobat!" kata suara pengembara
itu. Ginggi serentak bangun karena kaget mendengar nama
itu. Sambil dada berdebar keras dia turun dari pembaringan
dan membuka pintu. Halaman rumah itu cukup luas dan agak gelap. Ada dua
orangtugur, satu membawa obor, satunya lagi berbekal
tongtong. Keduanya tengah berhadapan dengan lelaki
setengah baya bertubuh cukup tinggi dan berwajah bulat.
Dan yang lebih khas dari itu, hidungnya melengkung seperti
patuk burung beo serta sepasang matanya sipit. Ini nampak
nyata dari cahaya obor yang bergoyang-goyang tertiup
hembusan angin malam. Dan siapa lagi yang memiliki
potongan wajah seperti itu kalau bukan Ki Rangga Guna,
murid Ki Darma yang murtad dan menghianati tugas yang
dibebankan gurunya. "Hai! Rangga Guna!!!" teriak Ginggi membuat yang
bersangkutan mengereyitkan dahi sehingga kedua matanya
semakin menyipit. Ada kemarahan menyesak di dada pemuda itu, sebab
kelakuan durjana orang ini akan membawa aib Ki Darma
dan mungkin juga nama baik Ginggi sendiri.
Sebelum Ki Rangga Guna sadar akan apa yang terjadi,
aku harus segera melakukan serangan, pikir pemuda itu
sambil menggerak-gerakkan ujung kakinya untuk menotol
tanah. Tubuh pemuda itu meloncat hampir menyerupai
terjangan harimau. Terjangannya mengarah ke tempat di
mana Ki Rangga Guna berdiri.
Kedua tugur nampak kaget melihat ada orang bisa
terbang. Barangkali saking kagetnya, keduanya hanya
berdiri mematung sambil mulut melongo menyaksikan
tubuh manusia meluncur deras seperti mengarah pada
mereka. Kedua orang itu memang berdiri membelakangi Ginggi.
Hanya ketika ada bentakan pemuda itu saja kedua orang
tugur membalikkan badan. Kedua orang itu menjerit ngeri tapi tak mampu bergerak.
Barangkali keduanya menyangka terjangan itu mengarah
pada mereka berdua. Gerakan Ginggi sebetulnya agak terganggu oleh posisi
kedua tugur tersebut. Padahal jurus yang dilakukannya ini
seharusnya menerjang lurus meniru loncatan harimau.
Kalau Ginggi harus mengikuti jurus yang sudah ditetapkan
oleh Ki Darma barangkali sebelum terjangan mencapai
sasaran yang dimaksud maka hanya kedua tugur itu saja
yang menerima akibatnya. Oleh sebab itu, pemuda itu perlu


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengubah sedikit gerakannya. Terjangan yang seharusnya
lurus mengarah sasaran, dia ubah menjadi gerakan salto
sehingga tubuhnya sedikit mumbul ke atas dan melewati
ubun-ubun para tugur. Ketiga orang itu mendongak ke atas
menyaksikan demontrasi salto yang dilakukan Ginggi.
Hanya bedanya bila kedua orang tugur menyaksikan
adegan ini dengan mulut melongo dan gemetar, Ki Rangga
Guna menatapnya dengan pandangan tenang walau pun
selintas Ginggi melihat ada kerutan heran di dahi orang itu.
Ki Rangga Guna nampak sudah siap menerima
serangan. Tangan kiri lurus ke atas sambil seluruh jari-jari
tangan terbuka lebar seperti orang menyangga sesuatu
benda berat. Sedangkan kepalan tangan kanan melintang
tepat di sikut kiri. Ginggi hafal betul gerakan ini. Jari-jari
terkembang lebar akan digunakan sebagai perisai untuk
menghadapi serangan lawan dari atas, sedangkan kepalan
tangan kanan dipersiapkan untuk membalas serangan.
Bentuk serbuan dari atas bila taat mengikuti ajaran Ki
Darma sebetulnya harus melancarkan serangan berbentuk
pukulan kepalan tangan. Namun Ginggi mengerti, bila
fihak lawan menerima serbuan kepalan tangan dengan jari-
jari tangan melebar, pukulan sekuat apa pun tak akan ada
gunanya, sebab Ginggi bisa menduga, tangkisan lawan tak
akan menerimanya dengan kekerasan. Ginggi tahu betul
gerakan tangan melebar ini. Dia akan digunakan untuk
memunahkan tolakan tenaga kasar dari serangan kepalan
tangan itu. Maka, tahu akan siasat lawannya, Ginggi
mengubah bentuk serangan. Hanya ketika meluncur di
perjalanan saja serangan Ginggi berbentuk kepalan tangan.
Akan tetapi ketika kepalan tangannya hampir setengah
jengkal "mendarat" di telapak tangan Ki Rangga Guna yang
jari-jari tangannya terbuka lebar itu, Ginggi mengerahkan
pusat tenaga ke arah jari-jari tangannya. Kepalan tangan
secepat kilat berubah mengembang dan "menjeprit"
serentak. Jepritan ini sungguh kuat sebab semua tenaga
dialirkan ke jari-jari tangan. Kalau Ki Rangga Guna tidak
cepat-cepat menurunkan tangannya, jelas akan
membahayakan telapaknya. Tubuh Ki Ranga Guna melorot
hingga jatuh terduduk dan jumpalitan ke belakang seperti
trenggiling. Ginggi pun jumpalitan untuk mengubah kedudukan.
Dan di saat tubuhnya turun ke bumi, sepasang kakinyalah
yang mendahului turun. Ginggi berdiri dengan kaki terpentang lebar dan kedua
tangan bertolak pinggang memperhatikan tubuh Ki Rangga
Guna yang terus menggelinding menjauh.
"Hahaha! Jangan terlalu jauh menggelinding, aku tak
melanjutkan serangan!" teriak Ginggi dengan nada
mengejek. Kedua tugur sudah terbiri-birit entah kemana dan Ki
Rangga Guna meloncat berdiri pada jarak tujuh depa lebih.
Dia berdiri dengan kaki sama terpentang dan tangan
membentuk pasangan kuda-kuda silang.
"Apa hubunganmu dengan Ki Darma, anak muda?"
tanya Ki Rangga Guna berkata lembut namun menyelidik
penuh rasa heran. "Aku petugas Ki Darma yang diutus membasmi
kejahatan. Dan penjahat pertama yang harus kubasmi
adalah engkau!" kata Ginggi tenang.
"Kejahatan apa yang aku buat, anak muda?"
"Kejahatanmu membawa aib bagi semua orang. Kau
memperkosa wanita! Terimalah seranganku!!" teriak Ginggi
melesat kembali. "Tunggu dulu!" teriak Ki Rangga Guna. Tapi Ginggi
sudah terlanjur menerjang dengan satu pukulan kepalan
tangan. Plak! Tubuh Ki Rangga Guna mundur tiga tindak,
sedangkan tubuh Ginggi serasa tertahan dinding baja ketika
kepalan tangannya ditahan telapak terbuka Ki Rangga
Guna. Ginggi kembali melakukan serangan. Tapi Ki Rangga
Guna hanya main kelit dan mundur. Sedikit pun tak
melakukan pembalasan. Dan serangan yang dibalas kelitan
ini sepertinya tak akan menghasilkan keputusan, sebab dua-
duanya saling mengenal gerakan lawan. Sampai pada suatu
saat, Ki Rangga Guna punya kesempatan untuk meloloskan
diri dari serangan-serangan Ginggi. Ki Rangga Guna
meloncat menjauh dan melarikan diri. Ginggi berteriak agar
lawannya tak bertindak pengecut. Namun suara pemuda itu
tak digubris Ki Rangga Guna.
Ginggi penasaran. Orang itu terus dia kejar. Masuk ke
hutan jati, keluar lagi. Berlari di padang semak-semak.
Sampai pada suatu saat jauh di ufuk timur seberkas cahaya
sudah terlihat, buronan pemuda itu tak pernah ditemukan
lagi. Hari sudah mulai terang tanah. Ginggi penasaran dan
bertekad menemukan Ki Rangga Guna. Dia naiki beberapa
pohon jati, dengan harapan bisa melihat di atas pohon. Tapi
yang terlihat hanya pohon dan padang semak belaka.
Akhirnya hanya kelelahan yang didapat. Ginggi terpaksa
kembali ke dusun kecil itu. Orang-orang sibuk bertanya
tentang kejadian semalam. Dan Ginggi hanya mengabarkan
bahwa buronannya itu seorang penjahat besar.
"Tidakkah dia yang mencuri mayat anakku, anak
muda?" tanya kepala dusun yang dikabari perihal peristiwa
semalam. "Entahlah yang jelas orang itu harus kutangkap," gumam
Ginggi. Sepagi itu, Ginggi sudah menjadi bahan pembicaraan
penduduk dusun. Kedua tugur itulah yaang menyebarkan
berita, betapa saktinya pemuda berpakaian kain halus
mengkilat itu katanya. "Raden, bagaimana kalau kau tinggal menjadi penduduk
di sini?" kata kepala dusun penuh harap. "Kami
membutuhkan orang pandai sepertimu. Dan kalau kau
mau, kami semua akan mengabdi padamu. Biarlah kau
menjadi kepala dusun, sebab hanya itu yang patut
kuberikan padamu sebagai imbalannya," tutur kepala dusun
sejujurnya. "Paman, bila engkau menganggapku orang pandai yang
dibutuhkan, maka sebenarnya banyak yang memerlukan
tenagaku di saat-saat seperti ini. Aku memang perlu
menunaikan kewajiban menjaga keamanan dan
memberantas kejahatan. Tapi tentu bukan sekadar di dusun
ini saja," kata Ginggi. Dan kepala dusun nampaknya sadar
akan keadaan. Dia tak berani lagi mengajukan
kehendaknya pada pemuda itu.
Ginggi hanya perlu beristirahat sejenak dan makan
seadanya. Sesudah itu, dia pun segera mohon diri. Tak lupa
sambil mengucapkan terima kasih atas perhatian dan
penghargaan yang diberikan penduduk dusun tersebut.
Ginggi kembali melakukan perjalanan panjang. Dia
keluar masuk hutan jati atau hutan karet yang banyak
terdapat di wilayah perbatasan utara ini. Bila memasuki
sebuah dusun, Ginggi pun berupaya melakukan
penyelidikan, atau pun penyelidikan dalam mencari tahu Ki
Rangga Guna, dan tidak terasa, perjalanan pemuda itu
sudah memakan waktu berminggu-minggu lamanya. Atau
bisa juga waktu berbulan sudah dia habiskan hanya untuk
penyelidikan. Ginggi menghabiskan waktu berbulan karena
dia bisa menelitinya dari perjalanan peredaran purnama.
Menurut perhitunganya, sudah tiga bulan purnama dia
jalani. Ke mana sebetulnya dia berjalan, pemuda itu pun
sudah tak tahu lagi. Hanya saja yang menyebabkan dia
sanggup melakukan perjalanan panjang, karena yang
tengah dikuntitnya serasa benar-benar ada di depannya.
Dengan perkataan lain, perjalanannya selama ini tidaklah
keliru. Sebab di beberapa kampung yang dilalui, Ginggi
juga menemukan kasus-kasus perkosaan terhadap gadis
muda tak berdaya. Tidak semua korban perkosaan berakhir
dengan kematian. Dan yang kebetulan selamat dari
kematian selalu mengabarkan bahwa yang mengganggu
kehormatan dirinya adalah seorang lelaki setengah baya
dengan wajah bulat, hidung melengkung dan mata sipit.
"Ki Rangga Guna "." desis Ginggi kesal dan geram.
Ginggi bahkan semakin marah, sebab di beberapa kampung
terjadi beberapa kejadian seperti yang membuktikan bahwa
tindakan perkosaan terhadap anak gadis ada kaitan erat
dengan pencurian mayat bayi yang mati di
malamsukra(Jumat). Ada satu dua kampung yang menjadi
geger sebab dalam selang beberapa hari saja terjadi dua
peristiwa menggemparkan. Pertama peristiwa pemerkosaan
terhadap gadis muda dan beberapa hari kemudian ketika
kebetulan ada bayi di malamSukra, kuburnya ada yang
membongkar dan mayat bayinya hilang. Bila tindak
kejahatan ini dilakukan oleh seseorang yang sama, maka
tudingan Ginggi hanya terarah kepada Ki Rangga Guna
seorang. Dan bila benar begitu, betapa jahatnya murid Ki
Darma yang satu ini. Ginggi tak suka terhadap Ki
Banaspati yang ambisi politiknya demikian gila. Namun,
terhadap Ki Rangga Guna ini malah lebih membencinya
lagi. Ki Rangga Guna menyakitkan sebab
tindakan-tindakannya hina, biadab dan tak manusiawi. Ki
Rangga Guna jiwanya barangkali sudah dirasuki setan atau
sudah menjadi gila dan kehilangan kesadarannya sebagai
manusia. Kalau tidak demikian, mana mungkin tindak
kejahatannya melebihi takaran manusia jahatan lainnya.
Pada suatu hari, Ginggi tiba di sebuah wilayah
perbukitan kapur. Bukit-bukit ini tidak terlalu besar apalagi
tinggi, namun amat banyak dan bertebaran. Beberapa bukit
terasa gersang tanpa tumbuhan berarti. Namun beberapa
bukit ditumbuhi pohon-pohon jati kendati terlihat tak begitu
subur. Hari sudah demikian senja dan sebentar kemudian
kegelapan akan merajai malam. Ginggi perlu mencari
tempat untuk berlindung dari dinginnya angin malam atau
sebuah tempat aman untuk menghindar dari pertemuan
dengan binatang buas yang sekiranya membahayakan
dirinya. Berdasarkan pengalaman, di bukit kapur biasanya
terdapat gua alam. Ginggi harus mencari gua-gua itu
sekadar untuk menghabiskan malam.
Ginggi menaiki sebuah bukit. Bukit itu tak terlalu terjal,
tapi juga tak begitu mudah untuk didaki. Ginggi memilih
bukit itu sebab selain tak begitu terjal tapi tak begitu
mudahnya untuk didaki. Maksudnya, didaki oleh jenis
binatang yang dirasa akan membahayakan dirinya. Macan
kumbang selalu hidup di bukit karang, tapi dalam hal-hal
tertentu binatang itu tak suka tinggal di bukit yang memiliki
kemiringan melengkung dan rata. Biasanya macan
kumbang menyenangi bukit dengan tonjolan-tonjolan khas
agar dia bisa berloncatan kesana-kemari dengan mudah dan
ringan. Ginggi coba mendaki bukit yang melengkung dan rata.
Agak sulit memang. Tapi pekerjaannya itu dia lakukan
terus. Ginggi bersemangat menaiki bukit itu karena dia
memastikan di balik punggung bukit terdapat cekungan
gua. Bagaimana dia tahu disana ada cekungan gua"
"Aku melihat seberkas cahaya. Disana pasti ada gua dan
dihuni manusia," kata Ginggi di dalam hatinya. Namun
sudah barang tentu pemuda itu harus hati-hati. Dia tidak
boleh sembarangan memasuki gua. Tak akan menjadi
masalah bila yang melewatkan malam di dalam gua itu
hanyalah seorang pengembara sepertinya, atau sekelompok
pemburu. Tapi bila yang di dalam sana orang jahat, akan
menyulitkannya. Ginggi perlu mengeceknya. Maka dengan berindap-
indap mendekati mulut gua.
Melalui tonjolan-tonjolan batu di sudut lubang gua,
Ginggi mengintip ke arah datangnya cahaya. Cahaya itu
berupa api unggun. Kayu-kayu kering gelondongan
digunakan sebagai bahan bakar, sehingga api berkobar
tinggi. Ginggi terkesiap wajahnya. Kembali dadanya berdebar
keras dan giginya berkerutuk karena menahan kemarahan.
Siapa yang tak marah bila yang dilihatnya adalah suatu
pemandangan yang membuat bulu kuduk berdiri saking
kagetnya melihat pemandangan ini.
Api unggun itu bukan saja hanya digunakan sebagai
penerangan dan pengusir dinginnya malam. Melainkan
dipergunakan juga untuk mengganggang tubuh mayat
seorang bayi. Mayat bayi itu sudah mulai mengering
sebagai tanda sudah lama diganggang di atas api unggun.
Namun ada lemak-lemak menetes dari tubuh kering seperti
dendeng itu. Tetesannya jatuh ke atas jilatan api dan
membentuk suara-suara desisan-desisan khas sebagaimana
api yang tertimpa tetesan benda cair.
Di sudut gua kapur pemandangan tak kalah hebatnya. Di
sana terbaring tubuh seorang gadis amat muda dengan
pakaian tak keruan bahkan boleh disebut hampir telanjang.
Gadis muda itu nampak tak sadarkan diri, atau barangkali
sudah mati, sebab selain wajahnya sudah pucat-pasi, di
beberapa bagian tubuhnya banyak didapat luka memar dan
sebagian mengucurkan darah.
Yang membuat darah Ginggi semakin menggelegak
karena marah, pelaku dari kesemua ini tak lain dan tak
bukan adalah Ki Rangga Guna. Orang ini nampak tengah
duduk bersila menghadap ke arah api unggun. Tangannya
bersidakap dan mulutnya komat-kamit seperti tengah
mengucapkan mantra. Kulit wajah Ki Rangga Guna
nampak pucat seperti jarang terkena sinar matahari.
Hampir-hampir tak menyerupai Ki Rangga Guna saking
pucatnya, dan apalagi kain kepalanya diikat kain putih.
Yang menandakan bahwa dia Ki Rangga Guna, karena raut
wajahnya yang khas, yaitu muka bulat, hidung melengkung
seperti paruh burung ekek dan matanya sipit. Sekarang Ki
Rangga Guna tengah memakai pakaian serba putih. Bukan
berbentuk kampret atau salontreng, tapi lebih menyerupai
baju kurung. Celananya juga menggunakan warna putih
modelsontog, yaitu celana panjang sebatas betis.


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedang melakukan upacara apakah ini, pikir Ginggi.
Jelas sekali, Ki Rangga Guna tengah melakukan sesuatu
upacara. Ginggi pernah melihat beberapa upacara dari
beberapa jenis agama yang ada di Negri Pajajaran ini. Tapi
yang dilakukan Ki Rangga Guna seperti baru pertama
kalinya dilihat Ginggi. Upacara itu aneh dan menakutkan.
Ki Rangga Guna bersidakap menghadap api yang di
atasnya diganggang mayat bayi, hanya membuat kesan
bahwa upacara yang dilakukannya bukan untuk
melaksanakan upacara kebaikan. Beberapa bulan lalu
bahkan dia pernah mendapat tahu dari seorang penduduk
yang kampungnya pernah geger karena kehilangan mayat
bayi di kuburannya, tepat di malam Sukra (Jum"at). Ginggi
dikabari, kemungkinan mayat bayi dicuri di malam Sukra
untuk kepentingan ilmu hitam.
Ginggi menghitung, kalau tak salah ini malamSukra,
Upacara yang erat kaitannya dengan ilmu sihir kata orang
selalu dilakukan di malam Sukra, Benarkah Ki Rangga
Guna tengah melakukan upacara ilmu hitam"
Ginggi terus mengintip untuk lebih mengetahui apa saja
yang akan dilakukan orang sesat ini.
Sekarang Ki Rangga Guna menurunkan kedua belah
tangannya. Sesudah itu dia membentuk posisi seolah-olah
kedua tangannya akan melakukan sembah. Sepasang
telapak tangan dia lekatkan satu sama lain. Namun gerakan
menyembah segera diubahnya. Sedikit demi sedikit telapak
tangan dipisah dan merenggang. Sesudah itu kedua telapak
tangan bersatu kembali. Begitu seterusnya berulang-ulang.
Menurut penglihatan Ginggi, ini gerakan yang biasa
dilatihnya semasa masih bersama Ki Darma. Gerakan
telapak tangan terbuka dan kemudian menyatu, adalah
gerakan tepukan untuk memperkuat telapak tangan itu
sendiri. Tepukan akan dimulai pelan. Namun lama
kelamaan akan semakin keras dan meningkat. Ginggi
melakukan latihan seperti itu empatpuluh hari empatpuluh
malam tanpa henti. Ini untuk melatih kekuatan telapak
tangan. Kata Ki Darma, bila telapak tangan sudah benar-
benar kuat, kalau digunakan untuk menghantam batang
pohon, maka akan membuat tumbang pohon itu sendiri
karena batangnya hancur. Kalau yang dihantam adalah
sebuah batu, maka batu itu akan berubah hancur menjadi
kerikil-kerikil kecil. "Bisa kau bayangkan kalau telapak tanganmu kau
pergunakan untuk menempeleng pipi lawan. Maka mulut
lawanmu akan dower, rahangnya akan hancur dan gigi-
giginya akan tanggal berantakan," kata Ki Darma waktu
itu. Namun sudah hampir enam bulan Ginggi melakukan
perjalanan, belum satu kali pun tangannya dia layangkan
untuk menyakiti orang, kendati harus diakuinya selama dia
turun gunung sudah beberapa kali melakukan perkelahian.
(O-anikz-O) Kekalahan Ginggi memang sudah menduga cara latihan seperti ini
beserta kegunaannya kelak. Namun yang membuat pemuda
ini merasa kaget, tingkat latihan Ki Rangga Guna lebih
tinggi dan lebih hebat hasilnya. Gerakan tepukan semakin
lama semakin keras karena dilakukan pengerahan tenaga
sepenuhnya. Saking kerasnya, tepukan itu menghasilkan
suara yang membahana dan menyakitkan anak telinga.
Ginggi hampir-hampir tak kuat menahannya. Tepukan
tangan ini menghasilkan pemandangan yang amat
menakjubkan. Setiap kali sepasang tangan Ki Rangga Guna
bertemu keras, setiap itu pula membersit seberkas cahaya
kilat. Ada hawa panas memancar dari mayat bayi yang
tergantung di atas lidah api bergoyang-goyang seperti didera
hembusan angin keras. Begitu pun lidah api melenggang-
lenggok keras sebagaimana layaknya dierpa hembusan
angin. Ginggi berusaha menulikan telinga, sebab setiap lubang
telinga menerima suara tepukan, setiap kali itu pula
dadanya bergetar keras. Pemuda itu hampir meloncat pergi saking tak kuatnya
menahan getaran itu, kalau saja Ki Rangga Guna tidak
menghentikan latihannya. Suara tepukan berhenti dan suasana mendadak hening.
Lidah api berhenti bergoyang, kecuali tubuh mayat bayi
yang tergantung di atas masih bergoyang kesana-kemari.
Sekarang Ki Rangga Guna berdiri dari duduknya.
Memandang sejenak ke arah mayat bayi yang tergantung
kering di atas langit-langit gua. Secepat kilat Ki Rangga
Guna meloncat memburu mayat bayi yang kering-
kerontang itu. Turun dan hinggap seperti burung hantu di
tonjolan batu di seberang lidah api sambil tangan kanan
sudah memegang tubuh mayat bayi tepat di bagian
sepasang kakinya. Secepat kilat Ki Rangga Guna
mengeluarkan sebuah pisau yang terselip di pinggangnya.
Dan srat! Tangan mayat bayi itu dia kutungi sebatas
pergelangannya, kiri dan kanan bagian tangan bayi itu dua-
duanya dia bungkus dengan kain putih. Dilipatnya
beberapa kali. Dan sesudah itu, bungkusan telapak tangan
mayat bayi itu dia belitkan di pinggangnya seperti layaknya
memakai sabuk. "Biadab!" desis Ginggi perlahan.
Ki Rangga Guna melemparkan bagian tubuh mayat bayi
ke atas kobaran api dan senter kemudian mayat bayi kering-
kerontang itu sudah luluh-lantak dimakan api.
Terdengar suara Ki Rangga Guna terkekeh-kekeh seperti
puas atas hasil kerjanya.
Perhatian Ki Rangga Guna sekarang beralih ke tubuh
gadis muda yang tergeletak diam di sudut gua. Sambil
hahah-heheh menyeramkan, Ki Rangga Guna mendekati
tubuh tak bergerak itu. Pisaunya yang tipis mengkilat dia
angkat dan sepertinya akan segera dihunjamkan ke bagian
dada gadis tak berdaya itu.
"Hentikan!" teriak Ginggi tak sanggup lagi menahan
gelora hatinya. Sejenak Ki Rangga Guna terkejut mendengar suara ini.
Barangkali dia tak menyangka ada orang lain mengintip
perbuatannya. Hanya sejenak saja dia terkejut, sebab sesudah itu raut
wajahnya lebih menggambarkan rasa heran ketimbang
kemarahan. "Siapa di situ" Ayo masuk ke sini!" teriaknya.
Ginggi meloncat masuk dan berdiri berhadapan dengan
Ki Rangga Guna. Tapi, benarkah ini Ki Rangga guna"
Ginggi menatap tajam wajah orang ini. Sudah dua kali
dia bertemu Ki Rangga Guna. Dan ini yang ketiga. Tapi
wajah Ki Rangga Guna seperti lain dengan wajah orang ini
beberapa bulan berselang. Beberapa bulan yang lalu Ki
Rangga Guna berkulit kecoklat-coklatan karena seperti
sering terkena sinar matahari. Sedangkan raut mukanya kini
amat kebalikan dengan beberapa bulan lalu. Berkulit putih
tapi terkesan pucat karena kekurangan sinar matahari. Yang
membuat bulu kuduk Ginggi merinding, mulut Ki Rangga
Guna selalu menyeringai memperlihatkan giginya yang
kuning. Matanya pun berputar liar dan bila menatap
sorotannya tajam beringas. Beda sekali dengan penampilan
beberapa bulan yang lalu.
"Hikhikhikhik! Kebetulan ada sesuatu yang bisa aku
pakai sebagai latihan. Tiga kali empatpuluh hari
empatpuluh malam aku tuntaskan latihanku. Sepuluh bayi
sudah kugunakan, sepuluh gadis pun sudah aku
manfaatkan. Ayo bocah dungu, pukullah aku!" kata Ki
Rangga Guna melengking tinggi menyakitkan telinga dan
isi dada. Untuk yang kesekian kalinya Ginggi bergidik.
Suara dan tawa Ki Rangga Guna kini bahkan
menyeramkan. Dulu besar dan berat. Bernada datar dan
seperti tak gemar bicara berpanjang-panjang. Sekarang kecil
melengking dan sesekali seperti suara ringkik kuda.
"Ayo anak kecil, pukullah aku! Ayo cepat!" ringkiknya
lagi. "Bukan saja aku akan sekadar memukul, tapi pun aku
akan bunuh kamu!" teriak Ginggi. "Engkau jahat dan
biadab, maka harus aku enyahkan engkau dari muka bumi
ini!" teriak Ginggi melesat ke depan. Begitu langkah kaki
kanan maju setindak, begitu pula kepalan tangan kanan
bergerak seperti per membuat pukulan keras mengarah
dada. Ginggi terkejut, menurut logika, bila orang diserbu
pukulan, maka dia akan segera bergerak menyambut. Kalau
tidak berkelit pasti akan menangkis. Tapi Ki Rangga Guna
sungguh berani. Pukulan Ginggi dibiarkannya menerobos
menyerang dada. Ginggi berteriak keras mencoba menahan gerakan.
Sebesar apa pun kemarahannya terhadap Ki Rangga Guna
yang jahat ini, tapi dia tak mau bertindak kejam melakukan
serangan kepada orang yang tak melakukan perlawanan.
Luncuran tenaganya yang telanjur dia keluarkan hanya bisa
ditahan setengah bagian saja. Yang setengahnya menerobos
dada Ki Rangga Guna. Bleg! Ginggi menyeringai kesakitan. Kepalannya seolah
memukul karung goni berisi pasir besi saja saking kerasnya
dada Ki Rangga Guna. Ki Rangga Guna terkekeh-kekeh. Nampaknya dia
gembira dengan kejadian ini.
"Ayo pukul lagi lebih keras anak muda!" teriaknya
melengking. Tubuh orang ini kuat, pikir Ginggi. Maka
pemuda itu pun tak ragu-ragu melakukan pukulan kedua.
Kali ini kepalan tangan kiri yang digunakan untuk
menyerang. Takaran tenaganya dia tambah lagi hingga
mencapai tigaperempat bagian.
Blug! Dada yang terselubung baju kurung warna putih
itu hanya bergeming sedikit dan Ginggi tetap menyeringai
kesakitan kendati inti tenaga sudah dia salurkan ke tangan
kiri. Ginggi penasaran, ayunan kepalan tangan kanan kini dia
isi dengan seluruh inti tenaganya. Dia memusatkan pikiran
di antara kedua alis mata. Dia tahan nafas dalam-dalam.
Sesudah semua hawa murni dia sedot, lalu dia keluarkan
suara bentakan nyaring sambil dibarengi hentakan tangan
kanannya. Blag! Tubuh Ki Rangga Guna bergoyang dan
langkahnya mundur tiga tindak. Ginggi melongo. Ini
pukulan yang sepenuhnya diisi inti tenaga. Kalau
digunakan memukul pohon jati, maka seluruh kepalan akan
melesak masuk ke batang pohon. Kalau kepalan itu
menyerang batu karang, maka akan hancur berkeping. Tapi
dada Ki Ranga Guna yang hanya terbuat dari tulang dan
daging tipis hanya membuat kakinya mundur tiga tindak
saja. Tidak terkesan rasa sakit yang tercermin di wajahnya.
Ki Rangga Guna bahkan terkekeh-kekeh lucu melihat
Ginggi melongo seperti itu.
"Sekarang giliranku yang memukul anak muda. Ingin
aku buktikan bahwa latihan telapak tanganku selama
seratus duapuluh hari tak henti ini akan melumerkan
bongkahan baja dan membuat batu karang menjadi debu!
Terimalah ini!" teriak Ki Rangga Guna dengan suara
melengking tinggi. Tubuh orang itu doyong dan
melengkung ke depan seperti akan terjerembab. Namun
akhirnya dia membuat gerakan seperti kodok meloncat dan
tangan melesat ke depan. Yang kanan terbuka mengarah
wajah Ginggi dan tangan kiri menyodok dengan kepalan
mengarah ke pusar. Ginggi bergidik menerima serangan ini sebab begitu
tangan kiri menyodok dari bawah ada hawa panas
menerjang pusarnya. Begitu pun serangan tangan kanan
terbuka mengarah wajah, terasa sekali ada dorongan hawa
yang sama menuju arah serangan itu.
Serangan ganda yang mengarah ke atas dan ke bawah
secara bersamaan ini sebetulnya mudah untuk ditangkis.
Caranya adalah mengibaskan sepasang tangan secara
berbareng tapi dengan arah berlainan. Untuk menolak
serangan ke wajah, Ginggi harus mengibaskan tangan
kanan secara silang ke samping. Sedangkan untuk
memunahkan serangan ke bawah pusar dia harus
mengibaskan tangan kiri ke bawah.
Namun Ginggi tak berani mengambil resiko mengadu
kekuatan tangan dengan lawannya. Ki Rangga Guna seperti
memiliki kekuatan ajaib tapi yang bisa membahayakan
lawannya. Tadi Ginggi sudah menyaksikan latihan tepukan Ki
Rangga Guna. Betapa hebat pengerahan tenaganya
sehingga dua telapak tangan beradu mengeluarkan
burcakan bunga api. Ini hanya menandakan bahwa latihan
pengerahan tenaga Ki Rangga Guna sudah mencapai
puncak kesempurnaan. Tempo hari Ki Darma pernah mengatakan bahwa
manusia memiliki inti tenaga yang bersembunyi di
badannya. Siapa pun adanya, dilatih atau pun tidak dilatih.
Hanya bedanya, orang yang gemar berlatih kelak akan
mampu menjinakkan, mengendalikan dan mengatur kapan
inti tenaga bisa dikeluarkan. Sedangkan yang tak pernah
berlatih, dia tidak akan bisa mengendalikan kekuatan
tersembunyi itu menurut kehendaknya sendiri.
"Ambillah contoh. Seseorang yang tak pernah melatih
ilmu kepandaian dalam keadaan biasa dia tak mungkin
sanggup meloncat menyebrangi sungai yang lebar,
misalnya. Tapi tenaga besar yang tersembunyi di badannya
sebenarnya dia punya. Buktinya, bila dia merasa takut
dikejar anjing, dia akan lari secepatnya dan secara nekad
sungai yang lebar akan diloncati dan berhasil. Kau lihat
juga contoh lain. Bila dalam keadaan biasa seseorang tidak
dalam keadaan panik, manakala dia terkurung api di dalam
rumah terkunci rapat, untuk menyelamatkan diri dia nekad
menubruk pintu terkunci dan tak sadar berhasil
membobolnya. Itu satu tanda bahwa dalam dirinya ada
tenaga maha besar yang tersembunyi," kata Ki Darma
beberapa waktu lalu ketika Ginggi belajar di puncak
Cakrabuana.

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata Ki Darma, bagi yang ingin mengendalikan tenaga
maha besar yang ada di dalam tubuhnya maka dia harus
mau berlatih keras. Kian keras latihan akan kian pandai
mengendalikan kekuataan maha besar tersembunyi ini.
Sebagai bukti, betapa hebatnya tenaga pukulan yang
dikeluarkan Ki Rangga Guna. Puncak kekuatan ini akan
menciptakan tenaga dahsyat sampai mengeluarkan tekanan
udara dan menghasilkan sumber api.
"Tenaga dahsyat yang dikeluarkan dari tubuh kita juga
bisa mendorong udara dan menghasilkan tekanan luar
biasa. Itulah sebabnya, kerapkali kita dengar ada orang
sanggup memukul lawan tanpa menyentuhnya. Itu karena
telapak tangan orang tersebut telah sanggup mendorong
udara di hadapannya sehingga menimbulkan tekanan. Kian
kuat dia mendorong udara, maka akan kian kuat pula
hasilnya. Ada orang yang sanggup memukul roboh sebuah
pohon besar dari jarak jauh. Pohon itu tumbang dan
terbakar karena tekanan udara yang besar juga akan
menghasilkan kilatan api," kata Ki Darma.
Waktu itu Ginggi disuruh berlatih dari hal-hal yang kecil
dulu. Pertama-tama dia berdiri menghadap api pelita jarak
satu depa saja di sebuah ruangan tertutup. Ginggi membuka
telapak tangan dan seolah-olah memukul atau mendorong
cahaya api itu dengan telapak tangan sejauh satu depa.
"Kau lihat bukan, lidah api itu bergoyang-goyang karena
tenaga tolakan telapak tanganmu itu. Kian kuat kau berlatih
memukul jarak jauh, maka akan kuat pula hasilnya. Api
bukan sekadar bergoyang tapi akan padam. Latihan lebih
kau tingkatkan lagi, maka bukan hanya menggoyangkan
lidah api, melainkan sanggup merobohkan sesuatu yang
lebih besar lagi, misalnya saja menumbangkan sebuah
batang pohon dengan pukulan jarak jauh," kata Ki Darma.
Menurut Ki Darma, ilmu berkelahi tiada batasnya. Siapa
yang paling pandai di dunia, tak ada orang yang tahu.
"Sudah berapa jauh tingkat ilmu yang kau miliki, engkau
tidak akan tahu, tidak juga aku yang melatihmu. Oleh sebab
itulah aku ingatkan engkau harus hati-hati hidup di dunia.
Jangan sombong dan takabur. Kalau bisa, sembunyikan
ilmumu itu. Biarkan orang lain menganggapmu tak bisa
apa-apa agar perhatian orang lain padamu terlena," kata Ki
Darma. Amanat terakhir Ki Darma bahwa dia harus mau
menyembunyikan ilmu kepandaiannya, tak selamanya bisa
dijalankan. Buktinya hari ini saja dia memperlihatkan
kepandaian tanpa dipaksa orang.
"Tapi yang ini mesti kulakukan karena tujuanku ingin
membasmi kejahatan," kata Ginggi dalam hatinya.
Seperti tadi diutarakan, pemuda itu terlalu berisiko bila
dia mencoba menangkis pukulan Ki Rangga Guna. Dia tak
mau saling berbenturan tangan. Oleh sebab itu, tak ada cara
terbaik meloloskan diri dari terjangan lawan selain mundur
tiga tindak ke belakang dan kemudian meloncat jauh ke
samping. Sudah barang tentu terjangan Ki Rangga Guna
dengan lompatan kodoknya hanya berhasil menerjang
angin belaka. Tapi lompatan itu terlalu kuat. Tubuh Ki
Rangga Guna yang dihindarkan oleh kelitan ke samping,
sepertinya hendak menubruk dinding karang. Tapi orang itu
benar-benar pandai membuat gerakan. Sepasang tangan
yang sedianya akan digunakan menyerang Ginggi sekarang
dia gunakan untuk menotol dinding sehingga tubuhnya
kembali mumbul ke udara. Di atas udara Ki Rangga Guna
bersalto. Dan saat tubuhnya ada dalam keadaan terbalik, Ki
Rangga Guna menggerak-gerakkan sepasang tangannya.
Ginggi terkejut. Ini adalah pukulan jarak jauh seperti apa
yang dikatakan Ki Darma. Dan benar saja, suara angin berciutan mengiringi udara
panas yang mempengaruhi ruangan gua itu. Ginggi yang
tepat berada di bawah lawannya segera membuat gerakan
trenggiling hindarkan api. Dia berguling-guling beberapa
kali ketika Ki Rangga Guna menggerak sepasang tangannya
lurus ke bawah dengan telapak tangan terbuka lebar.
Blaaar!!! Ada suara dentuman menggelegar. Ruangan
gua seperti bergetar. Dari langit-langit ada bebatuan yang
runtuh. Beberapa menimpa gundukan api dan beberapa lagi
menimpa tubuh gadis yang tergolek di sudut. Sebuah batu
besar pas menimpa dadanya. Tidak terdengar jerit kesakitan
atau erangan kecil. Tidak juga berkelojotan atau sekadar
menggerak-gerakan ujung jari kaki sebagai tanda sakit. Ini
hanya membuktikan bahwa gadis itu mungkin sejak dari
tadi tak bernyawa lagi kalau tadi Ginggi melihat Ki Rangga
Guna hendak menikam dada gadis itu. Siapa tahu.
Bukankah terhadap tubuh mayat bayi pun dia potong
bagian tangannya" Ginggi tak sempat berpikir panjang lagi sebab serangan
angin pukulan terus memberondongi dirinya. Pemuda itu
pun terpaksa melompat kesana-kemari dan jumpalitan
beberapa kali. Batu-batu kapur berguguran dari sana-sini.
Dan langit-langit gua seperti mau runtuh rasanya.
Ginggi agak kewalahan menerima serangan yang ganas
dan berubi-tubi ini. Sementara Ki Rangga Guna sambil
melepaskan angin pukulan kerjanya hahah-heheh, atau
sesekali meringkik seperti kuda. Mulutnya menyeringai dan
matanya liar. Sambil terus berkelit dan menghindar, Ginggi
merasakan keganjilan-keganjilan, terutama yang
menyangkut tindakan-tindakan aneh orang ini.
Sudah dua kali Ginggi bertemu Ki Rangga Guna ini.
Pertama kali ketika orang ini dikeroyok di depan kedai
wilayah Kandagalante Tanjungpura. Dan yang kedua di
sebuah dusun kecil ketika baik Ginggi mau pun orang ini
sama-sama kemalaman dan hendak menumpang tidur.
Dari pertemuan itu Ginggi menyaksikan perilaku Ki
Rangga Guna yang tenang dan terkesan acuh tak acuh.
Ketika dia dikeroyok banyak orang, tidak sedikit pun dia
mau membalas atau melayani keroyokan itu. Padahal kalau
dia mau, Ginggi merasa yakin, Ki Rangga Guna dengan
mudah saja melumpuhkan para pengeroyoknya. Ketika Ki
Rangga Guna diserbu olehnya, juga terjadi hal yang sama.
Dia tak mau membalas serangan, bahkan selalu
menghindar dan akhirnya melarikan diri. Hanya kali ini di
pertemuan yang ketiga, Ki Rangga Guna membalas
serangan. Bahkan dia membalas jauh lebih kejam dan
ganas, seperti punya maksud untuk membunuhnya. Ganjil
sekali orang ini. Dalam beberapa pertemuan sanggup
menampilkan dua perilaku yang bertolak belakang.
Sekarang Ki Rangga Guna seperti gila dan bagaikan orang
kerasukan setan. Apalagi bila melihat matanya yang liar
dan suaranya yang meringkik-ringkik menyeramkan.
Gilakah orang ini sesudah hampir tiga atau empat bulan tak
bertemu dengannya" Tapi kemudian Ginggi berpikir. Dia
teringat pengakuan pemilik rumah hiburan di Tanjungpura
yang mengatakan bahwa ketika Ki Rangga Guna mengacau
tempat hiburan, perilakunya hampir menyerupai orang gila
dan kekejamannya seperti iblis. Jadi kalau begitu, sudah
sejak pertemuan dengannya Ki Rangga Guna sudah
berpenampilan aneh seperti ini.
Kembali Ki Rangga Guna mendoyongkan tubuhnya ke
depan sehingga saking doyongnya, perutnya hampir
menyentuh permukaan gua. Sepasang tangannya kini
ditarik ke belakang. Pelan-pelan dari berbentuk kepalan berubah menjadi
terbuka. Ginggi bersikap hati-hati. Serangan yang meniru
gerakan kodok hendak meloncat ini amat berbahaya seperti
yang dipertunjukan pertama kali tadi. Dari gerakan telapak
tangannya yang didorongkan ke depan kelak akan terpancar
hawa panas. Hanya dengan mundur tiga tindak dan berkelit
ke samping yang membuat serangan itu bisa dihindarkan.
Kalau serangan yang sama akan kembali dilakukan, Ginggi
perlu merubah gerakan menghindar, sebab bila jurus hindar
hanya yang itu-itu saja sudah diketahui dengan baik oleh Ki
Rangga Guna. Ginggi mengingat-ingat, gerakan hindar
yang mana lagi yang pernah diajarkan Ki Darma dalam
upaya meloloskan serangan lawan seperti itu.
Ginggi bingung sekali dalam memilih jurus yang terbaik.
Ki Darma banyak memberikan jurus-jurus hindar.
Jumlahnya tak terhitung sampai-sampai Ginggi pun tak
hafal lagi. Tapi faktor atau penyebab tak hafalnya semua
jurus yang diberikan Ki Darma bukan karena terlalu banyak
macamnya jurus, melainkan karena keengganan dirinya
mendalami semua yang diberikan Ki Darma. Ginggi dulu
memang jenuh sebab selama sepuluh tahun pekerjaannya
hanya berlatih sesuatu yang sebenarnya dia tak suka
melakukannya. "Ini gerakan berkelahi. Dan semua ditujukan untuk
membunuh. Apakah kelak pekerjaanku hanya berkelahi dan
membunuh, Aki?" tanya Ginggi ketika itu. Ki Darma hanya
mendelik marah bila Ginggi sudah membangkang seperti
itu. Hanya tak mau didamprat Ki Darma saja Ginggi
akhirnya mau berlatih. Itu pun kalau Ki Darma sedang turun gunung, Ginggi
hanya berlatih asal-asalan saja. "Aku tak senang berkelahi.
Untuk apa setiap hari harus berlatih ilmu kasar macam
begini?" pikirnya ketika itu.
Namun sekarang terbukti, bahwa pendapat Ki Darma
benar dan pilihannyalah yang keliru. Paling tidak dalam
menghadapi gempuran-gempuran maut dari orang gila ini,
Ginggi memendam rasa sesal yang dalam. Kalau saja dulu
tidak asal-asalan, kalau saja dulu gigih berlatih, tak nanti
aku menderita kewalahan seperti ini, keluhnya dalam hati.
(O-anikz-O) Ki Rangga Wisesa Ginggi tak ada waktu lagi memilih-milih jurus mana
yang paling baik sebab tak ada lagi waktu. Sekarang Ki
Rangga Guna mendorong-dorongkan sepasang telapak
tangannya yang terbuka lebar. Orang ini cerdik. Tadi
serangan gaya kodok itu dilakukan sambil meloncat.
Karena Ginggi mundur tiga tindak dan berkelit ke samping,
serangannya gagal. Sekarang, dia menyerang hanya dengan
angin pukulannya saja yang menderu-deru tanpa beranjak
dari kedudukannya semula. Cerdik sekali, sebab dengan
melakukan serangan dari jarak jauh, Ki Rangga Guna
hanya mengamati saja, ke mana pemuda itu menghindar.
Kalau ada gerakan ke samping kiri, Ki Rangga Guna
tinggal mengarahkan pukulannya ke samping kiri, begitu
pun sebaliknya. Ginggi sampai sejauh ini bisa lolos dari
serangan maut, hanya karena tertolong oleh bongkahan-
bongkahan batu yang runtuh saja. Bila dia tak sempat
menghindar, maka satu-satunya jalan berlindung di balik
bongkahan batu. Tapi cara itu pun sebenarnya hanya
sementara saja. Setiap bongkahan batu terkena serangan,
batu besar itu hancur berantakan. Lambat laun tentu
pemuda itu akan kehilangan bongkahan batu untuk
berlindung. Pemuda itu pun menyadari akan perkiraan itu. Si
bedebah itu hanya mengulur-ulur waktu saja. Persis seperti
kucing hendak memangsa tikus. Sebelum tikus kecil digerus
habis oleh gigi-gigi runcingnya, sang tikus yang ketakutan
seengah mati hanya dipermainkan saja.
Ginggi merasakan, Ki Rangga Guna seperti punya rasa
optimis untuk mengalahkan dirinya. Maka sebelum
membunuhnya, Ginggi seperti disiksa dengan permainan-
permainan maut. Ginggi mengeluh. Barangkali di sinilah akhir hayatnya.
Tak disangka, jauh sebelum tugasnya selesai dia keburu
mati. Mati bukan oleh musuh yang lebih besar, tapi oleh
orang yang sebelumnya harus dia pintakan saran dan
petunjuk seperti apa kata Ki Darma.
Sadar nasibnya akan berakhir di gua kapur ini, pemuda
itu mengeraskan hatinya. Kalau hanya sekadar memburu
mati, buat apa harus berhati-hati" Lebih baik aku mencoba
balik menyerang. Kalau berhasil syukur, kalau tidak, ya
hanya mempercepat proses kematian saja. Yang penting
aku berusaha menyerang dan berusaha membunuhnya pula,
pikirnya dalam hati. Putusannya sudah bulat. Maka ketika Ki Rangga Guna
menarik sepasang tangannya ke belakang untuk membuat
ancang-ancang penyerangan baru, maka serentak itu pula
dia menghimpun inti tenaga. Ujung kakinya menotol
dinding gua dan tubuhnya melesat memburu di mana Ki
Rangga Guna berada. Dia harus adu cepat. Sebelum
sepasang tangan lawannya kembali mendorong ke depan,
maka dia harus melayangkan sebuah serangan dahsyat.
Sambil tubuh melesat di udara, sepasang tangan Ginggi
bersilang di depan wajahnya. Tangan kanan berbentuk
kepalan, sedangkan tangan kiri membentuk capit gunting.
Ki Rangga Guna nampak terkejut dengan bentuk
serangan ini. Barangkali dia tak menduga bahwa Ginggi
akan nekad balik membalas serangan. Atau barangkali juga
Ki Rangga Guna terkesiap karena hafal akan jurus ini.
Namun apa pun yang ada di benak Ki Rangga Guna, rasa
terkejutnya ini amat menguntungkan Ginggi, sebab dengan
demikian, gerakan Ki Rangga Guna agak terhenti sejenak.
Dan kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh
pemuda itu. Kepalan tangan kanan pemuda itu segera
melayangkan pukulan. Ginggi sebetulnya tahu betul, Ki
Rangga Guna akan menduga bahwa serangan yang asli
terletak pada capit gunting tangan kiri. Dua jari tengah dan
telunjuk sudah diisi inti tenaga. Sedang kepalan tangan
kanan sebenarnya kosong melompong dari tenaga apa pun.
Ginggi memastikan, begitulah yang tengah dipikirkan Ki
Rangga Guna yang kenal betul akan gerakan khas milik Ki
Darma. Dan karena Ki Rangga Guna berpikirnya begitu,
pemuda itu harus mengubah siasat. Dia harus mengecoh
jalan pikiran yang sudah baku itu. Maka pemuda itu
serentak menarik inti tenaga yang sudah dia salurkan ke
capit gunting tangan kiri dan serentak dialirkannya ke
kepalan tangan kanannya sepenuh tenaga.
Wuuttt " Plak! Ki Rangga Guna berteriak keras dan
tubuhnya terbanting menumbuk dinding gua.
"Yihuyyyy !!!" seru Ginggi berteriak girang.
Ki Rangga Guna duduk meloso bersandar di dinding


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gua. Dia pijit-pijit keningnya yang bersemu hijau dan agak
bengkak. Dan sesudah beberapa kali menggoyang kepala
seperti hendak mengusir rasa pening, dia pelahan bangkit
kembali dan menatap nanar campur heran kepada Ginggi.
Tangan kanannya kemudian menunjuk kepada pemuda itu.
"Engkau " mengapa engaku gunakan jurus Ki Guru
Darma?" katanya heran.
"Aku pergunakan jurus kepunyaan Ki Darma karena dia
memberikannya padaku!" kata ginggi.
"Kau murid Ki Darma?"
Ginggi menggelengkan kepala. Dia tak bohong, sebab
selama ini Ki Darma tak pernah menyebutnya murid pada
dirinya. "Kau bukan muridnya tapi kau pergunakan jurus itu,
berarti kau curi ilmu Ki Guru, jahanam!" Ki Rangga Guna
mendelikkan matanya. "Aku tidak curi, aku dilatihnya!" sanggah Ginggi.
"Hehehe, tikus kecil! Hanya murid yang menerima
pelajaran guru. Kalau guru tak ambil murid, maka tak
mungkin memberi ilmu. Jadi, engkau pasti curi ilmu guru,
hei kecoa!" Sambil kembali hahah-heheh, Ki Rangga Guna
mendekati pemuda itu dan akan balik menyerang.
Ginggi amat terkejut melihat Ki Rangga Guna begitu
kuatnya menerima pukulan. Padahal ketika latihan di
puncak Cakrabuana, sebongkah batu hancur lebur dan
pohon jati tumbang karena batangnya patah. Tapi sekarang,
jidat Ki Rangga Guna begitu kuatnya menerima pukulan
inti tenaga. Pukulan keras kepunyaan pemuda itu hanya
membuat Ki Rangga Guna nanar sebentar. Kalau pun boleh
disebut melukai, hanya membuat jidat orang itu bersemu
hijau saja. Sebuah luka memar tak berarti.
Ginggi mundur beberapa tindak ketika Ki Rangga Guna
maju mendekat. "Kau pencuri, tikus kecil " kau pencuri ?" gumamnya
menyeringai serta matanya liar. Nampak sekali kegeraman
Ki Rangga Guna ini. "Kau curi ilmu Ki Guru, kau harus mati!" desisnya.
"Engkau yang harus mati dan bukan aku! Kau jahat! Kau
buat malu Ki Darma! Padahal kau harus ingat, apa
keinginan Ki Darma ketika ia lepas engkau turun gunung ?"
kata Ginggi balik mencerca. Wajah pucat Ki Rangga Guna
semakin pucat mendengar omongan pemuda itu. Nampak
Ki Rangga Guna seperti terhenyak dan terpojok.
"Aku " aku " aku tak tahu! Aku tak mau tahu!" teriak
Ki Rangga Guna mencak-mencak. "Aku harus bunuh
semuanya! Semuanya!" teriak Ki Rangga Guna berteriak-
teriak tak keruan. Dia menghambur menerjang Ginggi.
Pukulannya berciut-ciut mengerikan. Dan angin panas
menerjang ke arah pemuda itu.
Ginggi semakin terdesak dan semakin mepet ke pojok
gua. Sekarang tak ada lagi tempat berlindung. Yang dia
kerjakan hanya menghindar dan berkelit saja namun pada
suatu saat Ginggi terpojok juga. Dia hanya mepet di sebuah
cekungan batu kapur. Kalau ada serangan ke arahnya,
sudah tak mungkin berkelit lagi karena tubuhnya seolah-
olah di kurung dinding kapur. Namun gerakan Ki Rangga
Guna yang sudah bersiap mengirimkan pukulan maut
mendadak berhenti ketika tiba-tiba terdengar suara orang
mencegahnya. "Ki Adi, hentikan kekeliruanmu itu!"
Ginggi terhenyak mendengar suara ini. Serasa dia pernah
dengar sebelumnya. Ki Rangga Guna mundur beberapa tindak dan dia
membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang berkata.
Karena Ki Rangga Guna sudah tak memperhatikan
tubuhnya lagi, Ginggi pun segera keluar dari cekungan
dinding gua itu. Dia ikut memperhatikan siapa yang berkata
tadi. "Hah?" mulut pemuda itu menganga memandang siapa
yang berdiri tenang di mulut gua. Baik Ginggi mau pun Ki
Rangga Guna sama-sama kaget melihat siapa yang datang.
Ginggi benar-benar kaget. Sekarang ada "dua" Ki
Rangga Guna. Satu orang berwajah tanpa ekspresi dan
seorang lagi dengan perangai garang. Namun dua-duanya
memiliki persamaan wajah. Muka bulat. Hidung
melengkung dan bermata sipit. Mata sipit yang seorang
benar-benar sipit sehingga bola mata hampir terlindung,
sedangkan si wajah garang sesekali sanggup membelalakkan
mata dengan sorot liar. Ginggi menepuk jidatnya sendiri. Mengapa dia begitu
bodoh dan pelupa" Bukankah Ki Darma dulu pernah bilang
ada dua orang muridnya yang kembar, yaitu Ki Rangga
Guna dan Ki Rangga Wisesa. Hanya saja sejauh ini Ginggi
belum melihat yang mana Rangga Guna dan yang mana
Rangga Wisesa. Benarkah si jahat bernama Rangga Guna
atau malah sebaliknya"
"Ki Adi sadarlah. Hidupmu sudah semakin jauh dari
kebenaran," gumam yang berdiri di mulut gua.
"Tak ada bedanya benar atau salah buatku, Kakang!"
teriak si hidung bengkok bersuara garang.
"Ada bedanya Ki Adi. Orang yang berbuat salah selalu
merugikan orang yang sedang berjuang demi kebenaran!"
"Ya, begitulah! Makanya tak ada untungnya aku menjadi
orang yang benar. Orang benar selalu akrab dengan
kerugian. Menjadi orang jujur suka ditipu, dipermainkan
dan dikucilkan. Menjadi orang yang benar dan jujur pun
selalu ditekan agar taat kepada peraturan hidup. Sedangkan
menjadi orang salah segalanya bisa menjadi bebas, tidak
diringkus berbagai peraturan atau pun harga diri! Aku benci
jadi orang baik! Benci!" teriak si garang.
"Ki Adi, menjadi orang jahat juga tak memiliki
kebebasan. Karena banyak dibenci, maka banyak dimusuhi.
Kau tak bebas berkeliaran. Dan kau takut jadi orang jahat.
Saking takutnya, saking bosannya kau dikejar dan diburu,
untuk membebaskannya kau berlindung di balik namaku.
Kau mengaku sebagai aku setiap melakukan kejahatan. Itu
karena kau takut menerima akibat. Dan kau timpakan
padaku, Ki Adi!" Ginggi terhenyak mendengarnya. Kalau begitu dia
terkecoh. Yang dia anggap Ki Rangga Guna sebagai pelaku
kejahatan, sebenarnya adalah saudara kembarnya, Ki
Rangga Wisesa. "Aku tidak berlindung dan aku tidak takut! Aku gunakan
namamu agar kita berdua sama dianggap orang lain jahat
dan tukang merugikan! Aku benci kau. Dulu kau disayang
Guru dan aku tidak. Kau diberi ilmu berlebih dan aku tidak.
Tapi ketika Ki Guru perlu dengan ambisinya, aku
menerima tugas sama beratnya denganmu! Tidak adil maka
aku benci engkau. Aku juga benci Ki guru! Aku harus balas
dendam. Dan aku puas. Barangkali Ki Guru sekarang
sudah mati!" teriak si garang yang Ginggi yakin bernama Ki
Rangga Wisesa. Ginggi terkejut setengah mati mendengar omongan Ki
Rangga Wisesa. Begitu pun Ki Rangga Guna terlihat
wajahnya seperti memendam rasa terkejut.
"Apa maksudmu Ki Darma sekarang sudah mati, hei
orang gila!" teriak Ginggi tak sabar.
Siuuut, blarrr !!! Ki Rangga Wisesa menyerang Ginggi
dengan pukulan jarak jauh yang dahsyat. Ginggi meloncat
ke samping dan pukulan itu menghantam dinding sehingga
menjadi runtuh. "Hik-hik-hik ! Coba lihat tikus kecil itu! Dia tak mengaku
menjadi murid Ki Guru tapi bisa memainkan jurus milik
kita. Kalau benar begitu betapa lemahnya Ki Guru. Dia
sembrono dan tak menghargai ilmunya sendiri. Kepada
siapa saja dia berikan ilmunya. Padahal ketika aku minta
diajarinya, aku menyembah-nyembah padanya. Ki Guru
menghina aku. Barangkali juga menghina kamu, Kakang.
Kita serasa dapat anugrah dan menghargai pemberiannya,
sedangkan Ki Guru sendiri menganggap ilmunya seperti
sampah, dia buang atau dia tebarkan kepada siapa saja.
Contohnya kepada si tikus kecil itulah!" kata Ki Rangga
Wisesa marah dan sesal. Namun nada bicaranya disertai
ringkikan-ringkikan kecil.
"Kau jawab dulu, apa artinya perkataanmu tadi, bahwa
Ki Guru barangkali sudah mati?" kata Ki Rangga Guna
dengan alis berkerut. "Aku laporkan kepada semua orang. Kepada orang-
orang Pakuan dan kepada orang-orang Cirebon, bahwa Ki
Darma, musuh besar mereka, bersembunyi di Cakrabuana.
Hik-hik-hik! Aku dengar orang Pakuan beberapa perwira
kerajaan untuk memburu Ki Guru. Dan aku gembira,
orang-orang Cirebon melalui Talaga akan menyerbu
Cakrabuana juga, tepat di malam keduabelas bulan keenam.
Hik-hik-hik! Kalau orang Cirebon sepulang membunuh Ki
Guru di tengah jalan berpapasan dengan perwira kerajaan,
maka akan terjadi bentrok dan dua-duanya akan saling
bunuh! Hik-hik-hik seru sekali di puncak Cakrabuana lima
bulan lalu. Di sana ada sekelompok anjing berebut tulang!
Hik-hik-hik!" Dukk! Plak! Dukk! Plakk!!! Ginggi melakukan serangan
mendadak kepada Ki Rangga Wisesa.
Mendengar berita ini, hati Ginggi amat marah dan
khawatir. Ki Darma dalam bahaya. Dan yang membuat
nyawa Ki Darma terancam adalah karena penghianatan Ki
Rangga Wisesa, murid gila yang tak tahu diuntung ini.
Mendapat serangan mendadak yang sedikit tak terduga
ini membuat tubuh Ki Rangga Wisesa terlempar
membentur dinding gua. Sebelum Ki Rangga Wisesa
bangun berdiri, Ginggi melakukan tendangan telak ke arah
dagu orang itu hingga kembali terpental. Ginggi hendak
memburu lagi namun Ki Rangga Guna meloncat
menghalangi. Ginggi akan tetap menyerang. Ki Rangga
Guna segera menangkap pergelangan tangan Ginggi.
Cekalannya kuat sekali membuat Ginggi menyeringai
kesakitan. Ngilu dan kiut-miut rasanya, seperti tulang
tangannya akan remuk saja. Tubuh pemuda itu mendadak
lemah tak bertenaga. Dia hanya berusaha menahaan
kakinya agar tak jatuh dengan lutut tertekuk.
"Kau lihatlah anak muda yang kau sebut tikus kecil ini,
Ki Adi. Kau sebut dia bukan murid Ki Guru, tapi kasih
sayang terhadap Ki Guru demikian tingginya. Amat
bertolak belakang denganmu yang masih mau menyebut
beliau sebagai guru kita," kata Ki Rangga Guna masih
memegang pergelangan tangan Ginggi.
Ki Rangga Wisesa terengah-engah mendapat pukulan
bertubi-tubi dari Ginggi. Namun tetap saja tak ada luka
sedikit pun. Dan demi mendengar ucapan Ki Rangga Guna
barusan, Ki Rangga Wisesa seperti marah. Matanya
kembali liar. Sambil meringkik seperti kuda, dia bangkit
serentak dan menghambur menyerang Ginggi. Pemuda itu
hanya mengatupkan kedua belah matanya. Dia tak
memiliki daya apa pun untuk bergerak, apa lagi melompat
menghindari serangan. Namun sebelum Ginggi merasakan
pukulan lawan, ada suara benturan keras yang
menimbulkan hawa yang sangat panas.
Ginggi membuka matanya. Nampak Ki Rangga Wisesa
sudah jatuh terduduk di sudut gua. Sebagian tubuhnya
tertutup timbunan bebatuan yang rupanya runtuh dari
langit-langit gua. Ginggi bisa menduga, serangan Ki Rangga
Wisesa yang sedianya mengarah kepadanya segera
ditangkis Ki Rangga Guna.
Ki Rangga Wisesa menggoyang tubuhnya, reruntuhan
batu terlontar kesana-kemari. Dia segera bangun tapi
dengan agak tertatih-tatih. Dia doyongkan tubuhnya ke
depan. Dia tarik sepasang tangannya ke belakang. Lalu
dengan kekuatan penuh dia dorong telapak tangan terbuka
ke arah Ki Rangga Guna. Yang diserang segera memutar
tangan kanannya sambil membuka jari-jarinya. Sambil
tangan kiri tetap memegang pergelangan tangan Ginggi, dia
mencoba menahan gempuran adik kembarnya.
Blarrr !!! Dua pasang tangan saling beradu dan
menimbulkan getaran hebat. Kilat menyambar-nyambar
dari kedua pertemuan tenaga itu, membuat langit-langit gua
kembali runtuh. Tubuh Ki Rangga Wisesa sendiri terlontar ke belakang
dan untuk kesekian kalinya membentur dinding gua.
Ketika Ki Rangga Wisesa berdiri sempoyongan, kali ini
ada darah meleleh dari mulut dan hidungnya. Menetes-
netes turun ke baju kurung putihnya di bagian dada.
"Sadarlah Ki Adi! Kau harus bertobat untuk mencuci
dosamu!" kata Ki Rangga Guna yang juga mengeluarkan
darah dari mulutnya. "Aku tak mau bertobat. Aku hanya ingin mati saja! Aku
ingin mati saja ?" gumam Ki Rangga Wisesa. Dia
menyeringai. Mungkin merasakan sakit, mungkin juga
menahan kemarahan dan kekesalan.
Sambil tetap sempoyongan, Ki Rangga Wisesa terus
mendekati dan berniat melakukan serangan. Sekali lagi dia
menghantamkan sepasang tangannya. Udara panas
memancar, ruangan gua seperti dipenuhi pijaran api.
Ginggi menjerit tak kuat karena panasnya ruangan. Udara
terasa sesak dan mata pun terasa pedih.
Ki Rangga Wisesa seperti putus asa serangannya selalu
bisa ditahan. Akhirnya dia melolong-lolong dan menjerit
histeris. Sesekali ada terdengar juga ringkik kudanya.
Namun kali ini bukan ringkik penuh ejekan, melainkan
lebih kedengaran sebagai suara tangisan. Dan tangan Ki
Rangga Wisesa akhirnya memukul kesana-kemari.
Suaranya bersiutan. Ruangan gua bergetar hebat. Banyak
bebatuan kembali runtuh. Beberapa batu menimpa
tubuhnya. Namun dia seperti tak mengacuhkannya. Kedua
tangannya terus saja melakukan pukulan jarak jauh yang
melahirkan udara panas. Sekarang dari seluruh lubang-
lubang tubuhnya mengeluarkan darah. Dari telinganya,
hidungnya dan juga mulutnya. Ki Rangga Wisesa terus saja
menggerak-gerakkan sepasang tangannya yng kini
mengeluarkan bintik-bintik darah dari pori-pori kulitnya.
Langit-langit gua terus berguguran mengeluarkan suara


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hiruk-pikuk. Rupanya Ki Rangga Guna sadar akan bahaya.
Dia segera mengapit tubuh Ginggi. Dibawanya meloncat
keluar gua. Dan benar perkiraan Ki Rangga Guna. Begitu keluar dari
mulut gua, terdengar gemuruh dahsyat. Rupanya semua
dinding gua runtuh ke bawah, mengubur segala apa yang
ada di dalamnya. Mulut gua itu sendiri akhirnya hilang dari
pandangan, tertimbun oleh berbagai reruntuhan. Sudah tak
ada ringkik suara kuda, kecuali runtuhan bebatuan kapur
itu sendiri. "Paman, di sana ada mayat gadis muda dan mayat
seorang bayi," gumam Ginggi.
"Ya, dan jangan lupa, di sana pun ada tubuh adikku. Dia
jahat, tapi tetap saja dia manusia. Apalagi setelah kini
menjadi mayat. Tak ada bedanya dengan mayat orang baik.
Sama-sama hanya berupa onggokan tulang terbungkus
daging dan kulit ?" gumam Ki Rangga Guna sendu.
Ginggi menunduk lesu, duduk di tanah kapur tanpa daya.
Sampai ada segaris cahaya putih di ufuk timur, mereka
berdua masih berada di tepi bongkahan-bongkahan
reruntuhan. Sunyi, sepi dan dingin oleh udara subuh.
Ginggi masih terduduk lesu dan Ki Rangga Guna berdiri
termangu sambil menatap bongkahan dan reruntuhan batu
kapur. Begitu hingga matahari menampakkan wajahnya dari
bukit sana. Tapi, tewaskah Ki Rangga Wisesa" Tak pernah ada yang
membuktikannya. Tidak pula Ginggi dan Ki Rangga Guna.
Mereka hanya menduga-duga saja. Bahwa melihat gua
runtuh begitu dahsyat, nasib Ki Rangga Wisesa mungkin
tidak akan tertolong. (O-anikz-O) Kisah dari Ki Rangga Guna
"Malam keduabelas perjalanan bulan keenam ?"
gumam Ginggi kembali mengingat-ingat ucapan Ki Rangga
Wisesa. Dia tengah melangkah lesu menuruni bukit kapur
dan di belakangnya Ki Rangga Guna mengikuti.
Ginggi menghentikan langkahnya karena dia terus
mengingat-ingat ucapan Ki Rangga Wisesa.
"Ya, aku ingat sekarang ?" gumamnya. "Aku turun dari
puncak Cakrabuana hari kesebelas dari peredaran bulan
keenam. Artinya, ketika aku tengah berada di Desa Caelah
penyerbuan ke puncak Cakrabuana itu terjadi ?" kata
Ginggi seperti bicara seorang sendiri.
"Begitu, bila ucapan adikku bisa dipercaya," kata Ki
Rangga Guna. "Aku yakin, peristiwa itu benar ?"
"Dari mana kau tahu?"
"Aku yang seharusnya bertanya seperti itu. Dari mana Ki
Darma tahu akan ada peristiwa di puncak Cakrabuana"
Secara tiba-tiba, hari itu dia memanggilku. Aku disuruhnya
turun gunung hari itu juga. Aku dipaksa berlatih ilmu
berkelahi hampir sepuluh tahun lebih. Dan memang
kerapkali Ki Darma mengatakan, aku disuruh latihan keras
karena kelak akan dibebani tugas membela rakyat
Pajajaran. Aku sadar akan hal itu. Tapi yang membuat
heran, mengapa begitu secara tiba-tiba seperti itu" Waktu
itu aku minta diulur sampai esok harinya, sebab aku tak
mau berpisah secara tiba-tiba dengannya. Tapi tetap Ki
Darma bersikeras, aku harus pergi hari itu juga. Aku diusir
pergi karena barangkali dia tahu, esok harinya akan terjadi
sesuatu. Tapi, mengapa dia tahu suatu peristiwa akan
terjadi?" kata Ginggi dengan wajah bingung dan sedih.
Langkah Ginggi berhenti sejenak untuk kembali
mengingat suatu. "Hari itu aku melihat serombongan orang tergopoh-
gopoh menuju puncak. Tidakkah mereka adalah anggota
pasukan dari Pakuan seperti yang disebutkan Ki Rangga
Wisesa?" gumam Ginggi mengerutkan dahi.
Ki Rangga Guna terdengar menghela nafas dalam-
dalam. Sesudah itu dia duduk di sebuah tonjolan batu.
"Kalau begitu, aku pun percaya. Peristiwa penyerbuan
itu benar terjadi," kata Ki Rangga Guna mengangguk-
angguk. Ginggi menoleh kepada Ki Rangga Guna dengan
kekhawatiran yang semakin memuncak.
"Ki Guru itu orang pandai. Nalurinya kuat untuk meraba
kejadian yang bakal terjadi. Dia sudah bekerja di Pakuan
sejak kepemimpinan Sang Prabu Surawisesa, bahkan ketika
Kangjeng Prabu Sri Baduga. Dia salah satu perwira tangguh
dari seribu orang perwira pengawal raja. Beberapa
pertempuran suka dimenangkan Pakuan, atau ibukota bisa
lolos dari serbuan musuh, karena sebelumnya naluri Ki
Guru telah sanggup merasakan adanya mara-bahaya. Tapi
karena kepandaian ini pula Ki Guru menghadapi bencana
?" kata Ki Rangga Guna, menghela nafas beberapa kali.
(O-anikz-O) Jilid 11 "Ki Darma seorang perwira kerajaan?" tanya Ginggi
mengerutkan dahi. "Ya, tidakkah dia mengatakannya padamu?"
Ginggi menggelengkan kepala. Kata pemuda ini, bahwa
Ki Darma bukan orang sembarangan, hanya didapatnya
melalui cerita pantun. Itu pun menyangkut hal-hal buruk.
"Selama bersamaku, tidak secuil pun dia mengatakan
siapa sebenarnya dia. Yang aku tahu, dia hanyalah seorang
tua yang cepat marah tapi terkesan juga sebagai orang yang
kecewa terhadap sesuatu. Dia kerap kali mengeluh terhadap
situasi negara dan aku disuruhnya ikut memikirkan hal itu.
Aku disuruh mencari keempat muridnya agar aku bisa
bergabung dan minta nasihat apa-apa yang harus aku
kerjakan. Tapi kenyataannya ?" Ginggi menghentikan
perkataannya sebab dia teringat peristiwa tadi malam.
Ki Rangga Guna terlihat wajahnya kuyu dan nampak
memendam kesedihan amat dalam. Barangkali dia terpukul
oleh peristiwa tadi malam. Saudara kembarnya terkurung
oleh reruntuhan gua. Mungkin Ki Rangga Wisesa tela mati
karena reruntuhan itu. "Ki Guru dulu benar seorang perwira kerajaan yang
tangguh. Namanya dikenal sebagai Ki Darma Tunggara.
Pandai menguasai ilmu pertempuran. Dia seorang akhli
siasat perang. Duabelas ilmu siasat perang yaitumakara-
bihwa, lisang-bihwa, cakra-bihwa, suci-muka, bajra-panjara,
asu-maliput, merak-simpir, gagak-sangkur, luwak-maturun,
kidang-sumeka, babah-buhaya dan ngaliga-manik, dia
kuasai dengan sempurna. Semua orang memerlukannya.
Tapi Ki Darma dikenal memiliki satu penyakit menurut
anggapan para bangsawan. Ki Darma selalu bicara apa
adanya. Kalau baik dibilang baik dan kalau jelek dibilang
jelek. Terhadap kaum bangsawan dan raja, Ki Guru Darma
kerap kali melontarkan kritik. Beberapa orang menganggap
kritik Ki Guru Darma itu sebagai panca-parisuda (lima obat
penawar), yaitu sebagai alat untuk menghilangkan segala
kekurangan yang melekat di tubuh seseorang. Tapi
kebanyakan lainnya beranggapan bahwa bila kritik itu
dilontarkan terhadap raja maka itu berarti penghinaan. Kata
orang, sejak zamannya Sang Prabu Surawisesa, Ki Guru
suka mengeritik. Kepada Sang Prabu Surawisesa,
dikatakannya sebagai pipit mencari padi. Pipit tak akan
berhenti mematuk sebelum padi di huma habis dipatuknya.
Itu dimaksudkan sebagai tudingan kepada sang Prabu
Surawisesa yang gemar berperang. Sebelum musuh dibabat
habis tak nanti perang diselesaikan. Ketika pemerintahan
beralih kepada Sang Prabu Ratu Dewata, dikatakannya
sebagai zaman wiku tertidur di tengah ribuan cicit suara
tikus kelaparan. Bila sang wiku tengah bertapa, bisa saja
mengacuhkan situasi sekeliling karena pikiran terpusat
dalam tapa. Tapi yang ini, hanya berupa tindakan diamnya
seorang wiku karena lagi tidur. Ribuan tikus mencicit
karena lapar adalah bahaya, sebab bisa-bisa mengeroyok
dan memakan orang yang lagi tidur. Begitulah memang
ketika Pakuan diperintah Sang Prabu Ratu Dewata. Di saat
Pakuan dikelilingi musuh-musuh, Sang Ratu Dewata malah
lebih menitikberatkan mengurus kehidupan agama dan
keyakinan. Sang Ratu Dewata kerap kali mengurung diri di
kuil karena melakukan tapabrata. Padahal menurut Ki
Guru Drama, tapanya seorang raja adalah berjuang
mengurus negri ?" kata Ki Rangga Guna menceritakan
kisah Ki Darma. Ginggi hanya termangu-mangu, duduk di samping Ki
Rangga Guna. "Ki Guru Darma selama jadi perwira hampir-hampir
dianggap duri dalam daging. Banyak kalangan bangsawan
tak menyukainya karena Ki Darma blak-blakan mengoreksi
mereka yang keliru. Bahkan kepada pejabat yang kerjanya
mempermainkan kekayaan negara, Ki Guru selalu
membencinya. Itulah sebabnya, walau pun tenaga Ki Guru
terus dimanfaatkan, tapi kedudukannya tak pernah beranjak
naik. Tak pernah ada orang mengusulkan agar dia menjadi
mangkubumi misalnya. Padahal Ki Darma sudah lebih dari
cukup untuk memegang jabatan seperti itu. Atau kalau
benar Ki Guru Darma tetap diperlukan di keprajuritan,
mengapa selama ini tak pernah dipercaya sebagai kepala
perwira, padahal Ki Guru Darmalah yang paling tua dan
paling luas pengalamannya. Beruntung sekali Ki Guru
Darma tidak penuh ambisi. Menurutnya, puluhan tahun
menjadi bagian dari seribu perwira pengawal raja, puluhan
kali pula terlibat pertempuran besar, tidak secuil pun
mengharap jasa. Ki Guru katakan, dia bukan mengabdi
kepada pangkat atau pun harta, tidak pula mengabdi
kepada seorang raja. Kalau pun benar disebut mengabdi,
maka dia mengabdi kepada kerajaan, kepada Pajajaran,"
kata lagi Ki Rangga Guna.
"Aku mengerti, mengapa Ki Darma tak disukai di
pemerintahan. Itu karena dia memberi kasih sayang
terhadap negri tidak melulu karena pujian atau jilatan kata-
kata muluk. Namun hal-hal seperti itu tidak membuat
terusir pergi dari jajaran seribu perwira pengawal raja.
Hanya saja mengapa Ki Rangga Wisesa mengabarkan Ki
Darma diburu dan dikejar oleh perwira kerajaan bahkan
oleh pasukan Cirebon dan masing-masing menganggap Ki
Darma sebagai musuh besarnya?" tanya Ginggi heran.
Ditanya seperti itu, kembali Ki Ranga Guna menghela
nafas. Dia menunduk sejenak dan memijit-mijit jidatnya.
"Yah, akhirnya memang Ki Guru Darma dimusuhi oleh
dua kekuatan besar. Sudah jelas bila Pasukan Banten,
Cirebon bahkan Demak menganggap Ki Guru sebagai
musuh besar, sebab beberapa kali penyerangan mereka ke
Pakuan bisa ditepis. Dan itu kesemuanya karena taktik dan
siasat perang yang dibangun Ki Guru," kata Ki Rangga
Guna. "Tapi, mengapa akhirnya Ki Darma dimusuhi oleh satu
kekuatan besar lainnya yang padahal telah dengan susah
payah dia bela dan dia pertahankan" Mengapa Ki Darma
yang begitu berjasa malah dikejar-kejar?" Ginggi penasaran
dan memotong ucapan Ki Rangga Guna secara tak sabar.
"Yah, itulah. Ki Guru Darma akhirnya menjadi korban
pendiriannya sendiri ?" gumam Ki Rangga Guna.
Ginggi ingin mendapatkan penerangan lebih jelas. Untuk
itu dia meminta Ki Rangga Guna membeberkan kembali
dengan sejelas-jelasnya. Ki Rangga Guna akhirnya
meriwayatkan perihal apa sebabnya Ki Darma menjadi
buronan. "Ki Darma Tunggara sejak muda belia telah
mengabdikan ke Pakuan sebagai prajurit. Jadi sudah barang
tentu pembelaan dirinya terhadap negara melalui upaya
menjaga keberadaan negara dari gangguan musuh. Yang
dimaksud bekerja untuk negara bagi Ki Darma adalah
mempetaruhkan badan dan nyawa dalam setiap
peperangan. Namun kendati begitu, Ki Darma bukanlah
perwira yang gila perang. Kejayaan negri menurut Ki
Darma adalah bagaikan harimau. Sifat harimau menurut Ki
Darma tidak serakah. Dia hanya makan selagi lapar. Kalau
tak lapar dia tak makan dan tak membunuh mangsa.
Harimau pantang berkelahi. Dia akan selalu menghindari
lawan. Tapi kalau harimau diganggu, maka dia pantang
untuk menyerah. "Ki Darma selama jadi perwira sudah kenyang berdiri di
medan pertempuran. Ketika masih prajurit, di bawah
kepemimpinan sang Prabu Sri Baduga, Ki Darma ikut
pertempuran-pertempuran kecil melawan Cirebon. Ketika
Pakuan dipimpin Sang Prabu Surawisesa, Ki Darma
bahkan lebih matang lagi meraup pengalaman bertempur.
Selama Sang Prabu Surawisesa memerintah hampir
empatbelas tahun lamanya, terjadi limabelas kali
pertempuran besar melawan Banten dan Cirebon. Ki
Darma di sini mulai lelah bertempur dan berani mengeritik
raja. Menurut Ki Darma, sebaiknya kita bertempur ketika
kita diserang saja. Lengkapnya pasukan dan utuhnya sikap-
sikap pemberani menurut Ki Darma lebih baik digunakan
untuk membela diri belaka. Tapi menurut kebanyakan
perwira dan juga raja, kebesaran negri juga tercipta bila
sanggup menepiskan berbagai kendala. Menurut raja, ketika
Pajajaran belum diserang oleh Banten dan Cirebon, negara
ini kuat di lautan. Ketika pelabuhan Kalapa (Sunda Kelapa)
belum direbut Banten dan Cirebon, Pajajaran melakukan
komunikasi dagang dengan bangsa asing melalui Kalapa.
Namun sesudah pelabuhan besar itu dikuasai Banten dan
Cirebon, tertutuplah hubungan ekonomi dengan negara-
negara seberang lautan. Hal ini amat berpengaruh terhadap
perekonomian dalam negri. Itulah sebabnya, Pasukan
Pajajaran beberapa kali sempat mencoba merebut
Pelabuhan Kalapa. Namun sejauh itu tak pernah berhasil,"
tutur Ki Rangga Guna. Menurut Ki Rangga Guna, "Ki Darma memang selalu
melontarkan kritik. Tapi kendati begitu, dia tetap berlaku
sebagai prajurit sejati yang taat kepada perintah. Ki Darma
selalu berupaya melumpuhkan kekuatan musuh dengan
cara membentuk pasukan kecil yang diambil dari perwira-
perwira pilihan. Mereka secara rahasia kerap kali


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengganggu pusat-pusat kekuatan musuh.
Ketika pemerintahan berpindah dari Sang Prbu
Surawisesa kepada Sang Prabu Ratu Dewata, sikap raja ini
amat kebalikan dengan yang lama. Bila Sang Prabu
Surawisesa bisa dikatakan gemar berperang, adalah Sang
Prabu Ratu Dewata yang memiliki kegemaran mengurung
diri di kuil bersama wiku-wiku istana. Melihat kenyataan
ini, Ki Darma pun tetap tak puas dan tetap melakukan
kritik. Dikatakannya, Raja selalu lemah memimpin negara,
padahal bahaya serbuan musuh tetap mengancam. Dan
terbukti ada penyerbuan besar-besaran ke pusat pemerintah,
dilakukan oleh pasukan Banten. Perang besar terjadi di
alun-alun benteng luar. Hanya karena kegagahan seribu
perwira pengawal raja saja istana tak berhasil ditembus.
Istana raja, Kedaton Sri Bima Untarayana Madura
Suradipati selamat dari serangan musuh tapi ratusan
perwira pilihan menjadi tumbal negara. Ki Darma
Tunggara yang lolos dari maut, tidak mendapatkan
penghargaan yang layak atas jerih payahnya
mempertahankan istana. Dia malah dicurigai oleh kalangan
pejabat sebagai penghianat. "
"Mengapa dituduh penghianat?" tanya Ginggi heran.
"Itulah karena kepandaian Ki Guru Darma meramal
kejadian yang bakal berlangsung," kata Ki Rangga Guna.
Mulanya pejabat istana ragu akan kepandaian Ki Darma
ini. Ketika naluri Ki Darma mengatakan bakal adanya
bahaya, hampir semua orang tak percaya. Beberapa pejabat
mengatakan, Ki Darma hanya mengada-ada sebab
benaknya selalu dirasuki hawa peperangan. Sebagian lagi
mengatakan mustahil ada penyerangan musuh ke
pedalaman. Selama berpuluh-puluh tahun, musuh memang tak
pernah melakukan penyerbuan langsung ke pusat istana.
Pasukan Pakuan memang kerap kali gagal melakukan
serangan ke pesisir utara karena pasukan musuh di pantai
memiliki senjata api bernama meriam. Namun juga
sebaliknya, pasukan musuh tak berani mengejar sampai ke
pedalaman sebab Pasukan Pakuan lebih berpengalaman
melakukan pertempuran di wilayahnya sendiri.
Namun hari itu kenyataan membuktikan lain. Pasukan
Banten ternyata berani menyerbu langsung ke pusat
pemerintahan dan hampir-hampir berhasil merebut pusat
pemerintahan Pakuan itu. Ki Darma tetap tak dipercaya memiliki naluri untuk
meramal kejadian yang besifat marabahaya. Dia dituduh
sebagai perwira yang gila perang dan kesal melihat raja
yang kerjanya mengurung diri di tempat suci. Maka saking
inginnya dipercaya bahwa negara selalu ada dalam bahaya
perang, Ki Darma dituduh sengaja "mengundang" musuh
agar segera terjadi pertempuran.
"Tentu saja ini amat kebalikan dengan kejadian
sebelumnya. Kalau di zaman Sang Prabu Surawisesa Ki
Darma dituding menolak perang, maka ketika di zaman
Sang Prabu Ratu Dewata, malah dituduh perwira yang gila
perang!" kata Ki Rangga Guna.
"Benar-benar keliru ?" gumam Ginggi kesal.
"Tiga tahun sebelum Sang Prabu Ratu Dewata diganti
oleh putranya Sang Ratu Sakti, Ki Darma mengundurkan
diri dari semua kegiatan di Pakuan. Dia melakukan
pengembaraan ke mana saja dan ketika itulah Ki Darma
mengambil murid sampai empat orang, kendati antara yang
satu dengan yang lainnya memiliki masa yang berbeda.
Satu dengan lainnya tak pernah saling kenal, kecuali aku
dan adikku saja," kata Ki Rangga Guna. "Dua murid
terdahulu sudah berpisah dengan Ki Darma lima tahun
ketika aku dan adikku Rangga Wisesa diambil murid oleh
Ki Guru," tuturnya. "Dan sesudah Ki Darma melepas kalian tiga atau empat
tahun baru Ki Darma membawaku ke Puncak
Cakrabuana," kata Ginggi menjelaskan.
Ki Rangga Guna melengkapi ceritanya. Ternyata
katanya, sesudah Ki Darma melepaskan masalah
kenegaraan, urusan bukan bertambah ringan. Marabahaya
bahkan datang lebih mengancam. Ketika masih berada di
istana, bahaya seberat apa pun masih bisa ditanggulangi
bersama para perwira lain. Tapi sesudah Ki Darma menjadi
orang "sipil", sudah tak ada lagi kawalan kekuatan lain di
luar dirinya. Pasukan musuh tahu betul, Ki Darma perwira
tangguh yang banyak merugikan musuh karena siasat
perangnya. Sekarang sesudah Ki Darma tak memiliki
pasukan, fihak musuh seperti berupaya untuk membalas
dendam. Ki Darma dikejar-kejar tentara musuh bila
pengembaraannya tiba di wilayah utara. Semua perwira
musuh bahkan seperti berlomba untuk menangkapnya.
"Aku sendiri mengalaminya. Ketika tengah bersama Ki
Guru melakukan perjalanan di wilayah Caringin, kami
dikepung Pasukan Cirebon. Ki Darma banyak melakukan
pembunuhan terhadap prajurit musuh. Hanya anehnya,
fihak Cirebon seperti tak berniat mengambil nyawa Ki
Guru. Sepertinya mereka hanya ingin menangkap saja.
Kalau tujuan mereka mengepung Ki Darma untuk
membunuhnya, hari itu tak mungkin kami berdua bisa lolos
dari kepungan ?" kata Ki Rangga Guna bicara dengan
nada heran. "Tidakkah mereka akan memanfaatkan tenaga Ki
Darma" Bukankah Ki Darma dikenal musuh sebagai akhli
siasat perang?" tanya Ginggi. Ki Rangga Guna termenung
sebentar tapi kemudian mengangguk-angguk."Bisa juga
begitu ?" ucapnya pelan.
"Jika begitu, barangkali Ki Darma tidak dianggap musuh
besar bagi Pasukan Cirebon!" kata Ginggi. Ki Rangga Guna
terdiam. "Entahlah, aku tak bisa meraba-raba maksud sebenarnya
dari fihak musuh. Yang jelas, setiap kami bertemu dengan
fihak musuh, selama itu pula kami dikejar dan dikepung.
Aku dan Ki Guru dalam upaya membuka kepungan
terpaksa harus melakukan pembunuhan. Nah, kalau
ternyata kami ternyata selalu membunuh, apakah mereka
tetap akan menarik Ki Guru sebagai sekutunya?" tanya Ki
Rangga Guna. Ginggi tak bisa memberikan komentarnya.
"Yang jelas, hidup Ki Darma semakin sulit sesudah dia
berhenti dan mengundurkan diri dari istana. Pihak yang
ditinggalkan seperti merasa tak senang, bahkan lebih dari
itu mereka seperti merasa dikhianati."
"Puncak marabahaya bagi Ki Guru Darma ketika pucuk
pemerintahan di Pakuan dipegang oleh Sang Prabu Ratu
Sakti yang kini memerintah. Sang Prabu Ratu Sakti bahkan
lebih keras dari raja-raja sebelumnya. Pakuan langsung
mengumumkan bahwa Ki Guru Darma itu seorang
penghianat yang berbahaya bagi negara. Barang siapa
menemukannya mati atau hidup akan diberi hadiah," kata
Ki Rangga Guna. Melihat bahaya seperti ini, Ki Guru Darma menyuruh
kami berpencar saja dan jangan sekali-kali mengaku sebagai
murid Ki Darma. Ki Guru Darma nampak agak kecewa
dengan kepemimpinan raja yang sekarang. Bukan karena
Sang Prabu Ratu Sakti berniat akan membunuhnya, tapi
yang mengecewakan Ki Guru, karena raja yang sekarang
bertindak keras terhadap rakyat. Barangsiapa ketahuan tak
mentaati kebijaksanaannya, mereka akan ditindak. Itulah
sebabnya, di beberapa daerah timbul pemberontakan.," kata
Ki Rangga Guna. Ginggi menunduk mendengar ucapan Ki Rangga Guna.
"Aku memang bukan muidnya, Paman ?" gumam
Ginggi. Ki Rangga Guna pun menghela nafas.
"Entah apa sebabnya Ki Guru Darma tidak mengangkat
atau mengakuimu sebagai muridnya yang syah. Tapi apa
pun yang terjadi, kenyataannya Ki Guru memberikan
berbagai ilmu kepandaian kepadamu. Berarti kau harus
mengakuinya sebagai guru, anak muda," kata Ki Rangga
Guna. Ginggi mengangguk tanda setuju.
"Barangkali hatiku pun sudah mengakuinya, Paman.
Kalau tak begitu tak nanti aku mau melaksanakan
amanatnya," kata Ginggi.
Ki Rangga Guna menoleh. "Aku harus mencari keempat muridnya dan aku harus
mengikuti petunjuk para muridnya dalam upaya membela
rakyat Pajajaran dari tekanan raja," kata Ginggi menatap Ki
Rangga Guna. Yang ditatap hanya termenung lesu.
"Sekarang aku sudah bertemu denganmu. Mungkin kau
tahu, apa yang harus aku lakukan seperti kehendak Guru,"
kata Ginggi. Ki Rangga Guna masih nampak diam, sehingga Ginggi
perlu berkata sekali lagi.
"Entahlah anak muda. Aku sendiri pun bingung
memikirkannya," kata Ki Rangga Guna pada akhirnya,
sehingga membuat heran Ginggi.
Ki Rangga Guna bangun dari duduknya. Dia berdiri
berpangku tangan. Matanya memandang ke pedataran di
Mutiara Hitam 9 Trio Detektif 41 Misteri Penyamun Horor Elang Terbang Di Dataran Luas 12
^